Menghadap Allah dengan Hati yang Selamat
Di tulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Allah Azza Wa Jalla berfirman:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ . إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
” pada hari (kiamat) saat harta dan
anak-anak tidak bermanfaat. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan
*hati yang selamat* (Q.S asy-Syu’araa’ ayat 88-89)
*Penjelasan*:
Pada hari itu, seseorang tidak bisa
menghindar dari adzab Allah. Dia tidak bisa membayar dgn hartanya
sebagai ganti agar ia terhindar dari adzab Allah.
Seandainya ia memiliki harta berupa emas
sepenuh bumi, hal itu tidak bisa dijadikan tebusan dirinya agar
terhindar dari adzab Allah. Hartanya tidak bisa memberi manfaat
sedikitpun. Demikian juga anaknya.
*Apakah yang dimaksud dengan hati yang selamat?*
Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan: itu
adalah hati yang hidup yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan
yang haq kecuali Allah.
Mujahid dan al-Hasan menyatakan: hati yang selamat dari kesyirikan.
Said bin Musayyib berkata: itu adalah
hati yang sehat, hatinya orang beriman. Sedangkan hati orang kafir dan
munafiq adalah hati yanh sakit.
Abu Utsman anNaisabuuriy menyatakan: itu adalah hati yang kosong dari kebid’ahan, (penuh) ketenangan menuju Sunnah.
(Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
menyatakan: Hati yang selamat artinya adalah selamat dari kesyirikan,
keraguan, kecintaan terhadap keburukan, terus menerus dalam kebid’ahan
dan dosa. Justru sebaliknya hati itu berisi ikhlas, ilmu, keyakinan,
cinta pada kebaikan, menghiasinya dalam hatinya. Kehendak dan cintanya
mengikuti kecintaan Allah. Hawa nafsunya (ditundukkan) untuk mengikuti
(ajaran) yang datang dari Allah (Taisiir Kariimir Rahmaan fii Tafsiirri
Kalaamil Mannaan (1/593)).