KECEMBURUAN SEORANG KAKAK YANG TERPUJI
di tulis oleh al ustadz Abu Utsman Kharisman
Kecemburuan adalah padanan kata yang
dirasa pas untuk menerjemahkan kata ghirah dalam bahasa Arab.
Kecemburuan ini bisa berupa perasaan tidak rela yang terbungkus
kemarahan dari seorang suami atau juga ayah, kakak kandung, dan
semisalnya ketika melihat seorang wanita tidak menjalankan syariat
Allah, seperti tidak mengenakan hijab secara syar’i, atau khawatir
terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan mahram. Itu adalah suatu hal
yang terpuji.
Seorang yang beriman haruslah memiliki perasaan cemburu demikian. Disebutkan dalam sebagian hadits:
الْمُؤْمِنُ يَغَارُ وَاللَّهُ أَشَدُّ غَيْرًا
Seorang mukmin memiliki perasaan cemburu, dan Allah lebih besar lagi kecemburuannya (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah cemburu dan sesungguhnya orang yang beriman
cemburu. Kecemburuan Allah adalah saat seorang beriman melakukan hal-hal
yang diharamkan terhadapnya (H.R Muslim)
Abdurrahman bin Abi Bakr radhiyallahu
anhuma adalah seorang Sahabat Nabi, kakak kandung Aisyah radhiyallahu
anha. Sedikit kisah berikut ini akan menunjukkan kecemburuan yang
terpuji dari Abdurrahman terhadap Aisyah sebagai teladan bagi orang
beriman.
Pada saat haji Wada’ Nabi melakukan
ibadah haji disertai oleh istri-istri beliau termasuk Aisyah
radhiyallahu anha. Aisyah mengalami haid saat akan melakukan umroh,
sehingga belum sempat melakukan thawaf (Umroh). Nabi kemudian
memerintahkan kepadanya untuk mengerjakan haji secara qiron, sehingga
thawaf maupun sa’i yang dilakukan sekali sudah cukup sebagai thawaf dan
sa’i bagi haji maupun umroh.
Saat hari Arafah, Aisyah sudah suci dari
haidnya. Beliau juga bisa melakukan thawaf Ifadhah pada hari anNahr
tanggal 10 Dzulhijjah. Saat sudah menyelesaikan aktivitas Mabit dan
melempar jumroh di Mina pada hari Tasyriq, Aisyah menyampaikan kepada
Nabi kegundahannya. Kebanyakan orang-orang telah menyelesaikan umroh dan
haji secara tersendiri, mendulang 2 pahala (umroh dan haji) sedangkan
Aisyah merasa ia hanya akan mendapatkan 1 pahala saja.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian membolehkan Aisyah untuk mengerjakan umroh. Nabi siap menunggu selesainya Aisyah mengerjakan umroh. Nabi menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakr untuk mengantarkan Aisyah ke wilayah terdekat yang tidak masuk Tanah Haram, yaitu di atTan’im kemudian berihram umroh dari sana.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian membolehkan Aisyah untuk mengerjakan umroh. Nabi siap menunggu selesainya Aisyah mengerjakan umroh. Nabi menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakr untuk mengantarkan Aisyah ke wilayah terdekat yang tidak masuk Tanah Haram, yaitu di atTan’im kemudian berihram umroh dari sana.
Saat menaiki unta bersama Abdurrahman
bin Abi Bakr, Aisyah merasa tempatnya sepi, tidak ada laki-laki yang
bukan mahramnya di sekitar itu. Aisyah kemudian menyingkap khimar
(penutup kepala) sehingga tersingkaplah bagian lehernya. Namun, timbul
kecemburuan Abdurrahman bin Abi Bakr. Ia tidak rela, jangan sampai ada
laki-laki yang bukan mahram melihat Aisyah dalam kondisi demikian.
Abdurrahman pun memukul kaki Aisyah dengan cemetinya. Hal itu untuk
mengingatkan Aisyah. Sedangkan Aisyah sendiri bertanya kepada
Abdurrahman: Apakah engkau melihat ada laki-laki lain di sekitar sini?
Sebenarnya apa yang dilakukan Aisyah radhiyallahu anha tidaklah salah,
karena memang sebatas yang beliau ketahui, tidak ada seorang pun
laki-laki lain yang bukan mahram beliau di sekitar tempat tersebut.
Namun, hal itu cukup memberikan contoh yang baik tentang kecemburuan
seorang kakak yang terpuji.
Kisah yang mengandung pelajaran berharga
akan teladan kecemburuan yang terpuji dari seorang kakak tersebut,
terdapat dalam Shahih Muslim Kitabul Hajj:
قَالَتْ
عَائِشَةُ رضى الله عنها يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَرْجِعُ النَّاسُ
بِأَجْرَيْنِ وَأَرْجِعُ بِأَجْرٍ فَأَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِى
بَكْرٍ أَنْ يَنْطَلِقَ بِهَا إِلَى التَّنْعِيمِ. قَالَتْ فَأَرْدَفَنِى
خَلْفَهُ عَلَى جَمَلٍ لَهُ – قَالَتْ – فَجَعَلْتُ أَرْفَعُ خِمَارِى
أَحْسُرُهُ عَنْ عُنُقِى فَيَضْرِبُ رِجْلِى بِعِلَّةِ الرَّاحِلَةِ.
قُلْتُ لَهُ وَهَلْ تَرَى مِنْ أَحَدٍ قَالَتْ فَأَهْلَلْتُ بِعُمْرَةٍ
ثُمَّ أَقْبَلْنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- وَهُوَ بِالْحَصْبَةِ.
Aisyah radhiyallahu anha berkata: Wahai
Rasulullah, apakah orang-orang kembali dengan 2 pahala (umroh dan haji)
sedangkan aku hanya 1 pahala (haji)? Kemudian Nabi memerintahkan
Abdurrahman bin Abi Bakr (saudara kandung Aisyah) untuk pergi bersama
Aisyah ke atTan’im. Kemudian Abdurrahman memboncengku pada unta
miliknya. Kuangkat khimar (penutup kepalaku) hingga kusingkap dari
leherku. Lalu Abdurrahman memukulkan cemeti ke kakiku. Aku berkata
kepadanya: Apakah engkau melihat seseorang (laki-laki) lain? Kemudian
aku berihram untuk umroh. Kemudian kami menemui Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam pada saat beliau berada di al-Hashbah (tempat melempar
jumroh di Mina, pent) (H.R Muslim Kitabul Hajj no 134).
Al-Imam as-Suyuthiy rahimahullah
menyatakan: Dia (Abdurrahman bin Abi Bakr) sengaja memukul kaki Aisyah
seperti memukul hewan tunggangan ketika Aisyah menyingkap khimar (kain
penutup) dari lehernya karena timbul kecemburuan terhadapnya (ad-Diibaaj
alaa Muslim (3/309)).
Demikianlah semestinya seorang kakak
membimbing adiknya perempuan. Arahkan untuk berhijab secara syar’i. Hal
yang sangat disayangkan ketika dalam kenyataan banyak yang sebaliknya.
Banyak kakak yang justru tidak senang ketika adiknya berhijab secara
syar’i. Mengetahui adiknya bercadar, sang kakak justru melarang dan
mencegahnya. Padahal sebenarnya teladan bercadar dan menutup wajah
berasal dari para istri Nabi, sesuai dengan yang Allah perintahkan.
Para istri Nabi dan Sahabat Nabi yang
wanita kebiasaan mereka menggunakan cadar dalam aktivitas sehari-hari.
Saat ihram, dilarang menggunakan cadar yang dijahit secara khusus.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang bukan mahram berada di
dekatnya, mereka menutup wajah dengan kain kerudung dan semisalnya.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا
حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى
وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau
berkata: Para pengendara (laki-laki) melewati kami pada saat kami
bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berihram. Jika mereka
akan melewati kami, kami turunkan jilbab kami dari kepala menutupi
wajah. Jika mereka telah melewati kami, kami menyingkapnya kembali (H.R
Abu Dawud, dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam Misykaatul Mashoobiih)