Kisah Asbabub Ukhdud (Para Pembuat Parit)
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Sudah menjadi Sunnatullah pada makhluk-makhluk-Nya bahwa akan
senantiasa terjadi pertikaian antara al-haq dengan yang batil sepanjang
masa dan di manapun jua. Adalah satu ketetapan pula dari Allah l bahwa
setiap orang yang mengatakan dirinya beriman tentu tidak lepas dari
berbagai ujian.
Allah l berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)
Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dari Sa’d bin Abi Waqqash z yang bertanya kepada beliau:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً؟ قَالَ:
اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ،
وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا
يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى
اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?”
Beliau menjawab: “Para Nabi. Kemudian yang mengikuti mereka (orang-orang
mulia). Kemudian yang mengikuti mereka (orang-orang mulia). Seseorang
diuji sesuai dengan kadar dien (iman)-nya. Kalau imannya kokoh, maka
berat pula ujiannya. Apabila imannya lemah, dia diuji sesuai dengan
kadar imannya. Dan senantiasa ujian itu menimpa seorang hamba sampai
membiarkannya berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak lagi mempunyai
dosa.”
Salah satu di antara sebab-sebab yang paling utama menangnya iman
dan ajaran dien ini serta jelasnya hakikat berita yang disampaikan para
rasul adalah munculnya para penentang yang memusuhi para rasul tersebut
dari kalangan orang-orang yang suka mengada-adakan kedustaan yang nyata.
Sebagaimana firman Allah l:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Dan firman Allah l:
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh
dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi
petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)
Hal itu tidak lain karena al-haq ini, semakin ditentang dan dilawan
dengan berbagai syubhat, maka Allah l munculkan hal-hal yang dengan itu
Dia tampakkan al-haq itu adalah haq, dan yang batil adalah batil.
Seperti ayat-ayat yang terang, yang akan menampakkan dalil-dalil tentang
al-haq tersebut dan bukti-buktinya yang nyata, serta rusaknya
argumentasi (baca: syubhat) yang menghadang al-haq tersebut.
Bahkan, dengan cara apapun ahlul batil berusaha menyembunyikan atau
menutup-nutupi al-haq, maka al-haq itu pasti semakin menjulang dan
menang. Maha Benar Allah Yang berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah
lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
(Al-Isra`: 81)
Dan firman-Nya:
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang
hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu
lenyap.” (Al-Anbiya`: 18)
Bani Israil Sepeninggal Nabi Musa q
Bani Israil adalah umat yang dahulunya hidup di bawah bimbingan
Allah l dan Rasul-Nya. Tetapi setelah mereka hidup jauh dari masa
nubuwah bahkan dari tuntunan Allah l dan Rasul-Nya, mereka diuji dengan
berbagai kesulitan dan kehinaan. Itulah janji dan ketetapan yang telah
Allah l berlakukan atas makhluk-makhluk-Nya.
Allah l berfirman:
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu:
‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan
pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Maka
apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua
(kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai
kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan
itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (Al-Isra`: 4-5)
Ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa yang dikuasakan untuk
menindas mereka. Namun yang jelas, penindasan tersebut tidak lain adalah
karena kezaliman, kemaksiatan, dan kekafiran yang mereka perbuat.
Sedangkan Allah l, tidaklah menzalimi siapapun dari makhluk ciptaan-Nya.
Allah l berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu
menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (Al-An’am: 129)
Al-Qurthubi t mengatakan dalam Tafsir-nya, menukil dari Ibnu Zaid:
“Ini adalah ancaman keras bagi orang yang zalim. Jika dia tidak berhenti
dari kezalimannya, niscaya Allah l kuasakan atas dirinya orang zalim
lainnya.”
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan mengatakan: “Kami
serahkan sebagian mereka (yang zalim itu) kepada yang lain karena
kekafiran yang mereka pilih untuk diri mereka.”
Syahdan, di zaman Bani Israil, jauh sepeninggal Nabi Musa q, di
saat Bani Israil semakin jauh dari masa nubuwah dan tuntunan Nabi
mereka, bergelimang kemaksiatan dan kekafiran, Allah l kuasakan atas
diri mereka orang-orang yang zalim dan bengis tidak berperikemanusiaan.
Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, pada Kitab Az-Zuhd
war Raqa`iq, bab Qishshah Ashhabil Ukhdud (no. 3005), dari Shuhaib bin
Sinan z, bahwa Rasulullah n bersabda (yang artinya):
Pada zaman dahulu, sebelum masa kalian ada seorang raja, dia
mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir ini sudah semakin
tua, dia berkata kepada raja tersebut: “Saya sudah tua, carikan untukku
seorang pemuda remaja yang akan saya ajari sihir.” Maka raja itupun
mencari seorang pemuda untuk diajari ilmu sihir.
Adapun pemuda itu, di jalanan yang dilaluinya (menuju tukang sihir)
itu ada seorang rahib (ahli ibadah). Lalu dia duduk di majelis rahib
tersebut, mendengarkan wejangannya dan ternyata uraian tersebut
menakjubkannya. Akhirnya, jika dia mendatangi tukang sihir itu, dia
melewati majelis si rahib dan duduk di sana. Kemudian, setelah dia
menemui tukang sihir itu, dia dipukul oleh tukang sihir tersebut. Pemuda
itupun mengadukan keadaannya kepada si rahib. Kata si rahib: “Kalau
engkau takut kepada si tukang sihir, katakan kepadanya: ‘Aku ditahan
oleh keluargaku.’ Dan jika engkau takut kepada keluargamu, katakan
kepada mereka: ‘Aku ditahan oleh tukang sihir itu’.”
Ketika dia dalam keadaan demikian, datanglah seekor binatang besar
yang menghalangi orang banyak. Pemuda itu berkata: “Hari ini saya akan
tahu, tukang sihir itu yang lebih utama atau si rahib.” Diapun memungut
sebuah batu dan berkata: “Ya Allah, kalau ajaran si rahib itu lebih
Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir itu, maka bunuhlah binatang
ini agar manusia bisa berlalu.” Pemuda itu melemparkan batunya hingga
membunuhnya. Akhirnya manusiapun dapat melanjutkan perjalanannya.
Kemudian pemuda itu menemui si rahib dan menceritakan keadaannya.
Si rahib berkata kepadanya: “Wahai ananda, hari ini engkau lebih utama
daripadaku. Kedudukanmu sudah sampai pada tahap yang aku lihat saat ini.
Sesungguhnya engkau tentu akan menerima cobaan, maka apabila engkau
ditimpa satu cobaan, janganlah engkau menunjuk diriku.”
Pemuda itupun akhirnya mampu mengobati orang yang dilahirkan dalam
keadaan buta, sopak (belang), dan mengobati orang banyak dari berbagai
penyakit. Berita ini sampai ke telinga teman duduk sang raja, yang buta
matanya. Diapun menemui pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak,
lalu berkata: “Semua hadiah yang ada di sini adalah untuk engkau, saya
kumpulkan, kalau engkau dapat menyembuhkan saya (dari kebutaan ini).”
Anak muda itu menjawab: “Sebetulnya, saya tidak dapat menyembuhkan
siapapun. Tapi yang menyembuhkan itu adalah Allah l. Kalau engkau
beriman kepada Allah l, saya doakan kepada Allah l, tentu Dia sembuhkan
engkau.”
Teman sang raja itupun beriman kepada Allah l, lalu Allah l
menyembuhkannya. Kemudian dia menemui sang raja dan duduk bersamanya
seperti biasa. Raja itu berkata kepadanya: “Siapa yang sudah
mengembalikan matamu?”
Dia menjawab: “Rabbku.” Raja itu menukas: “Apa kamu punya tuhan
selain aku?” Orang itu berkata: “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah l.”
Raja itupun menangkapnya dan tidak berhenti menyiksanya sampai dia
menunjukkan si pemuda. Akhirnya si pemuda ditangkap dan dibawa ke
hadapan raja tersebut. Sang raja berkata: “Wahai anakku, telah sampai
kepadaku kehebatan sihirmu yang dapat menyembuhkan buta, sopak, dan kamu
berbuat ini serta itu.”
Pemuda itu berkata: “Sesungguhnya saya tidak dapat menyembuhkan siapapun. Tapi yang menyembuhkan itu adalah Allah l.”
Raja itu menangkapnya dan terus menerus menyiksanya sampai dia
menunjukkan si rahib. Akhirnya si rahib ditangkap dan dihadapkan kepada
sang raja dan dipaksa: “Keluarlah dari agamamu.” Si rahib menolak. Raja
itu minta dibawakan sebuah gergaji, lalu diletakkan di atas kepala si
rahib dan mulailah kepala itu digergaji hingga terbelah dua. Kemudian
diseret pula teman duduk raja tersebut, dan dipaksa pula untuk kembali
murtad dari keyakinannya. Tapi dia menolak. Akhirnya kepalanya digergaji
hingga terbelah dua.
Kemudian pemuda itu dihadapkan kepada raja dan diapun dipaksa: “Keluarlah kamu dari keyakinanmu.” Pemuda itu menolak.
Akhirnya raja itu memanggil para prajuritnya: “Bawa dia ke gunung
ini dan itu, dan naiklah. Kalau kalian sudah sampai di puncak, kalau dia
mau beriman (bawa pulang). Kalau dia tidak mau, lemparkan dia dari
atas.” Merekapun membawa pemuda itu ke gunung yang ditunjuk. Si
pemudapun berdoa: “Ya Allah, lepaskan aku dari mereka dengan apa yang
Engkau kehendaki.” Seketika gunung itu bergetar dan merekapun
terpelanting jatuh. Pemuda itu datang berjalan kaki menemui sang raja.
Raja itu berkata: “Apa yang dilakukan para pengawalmu itu?”
Kata si pemuda: “Allah l menyelamatkanku dari mereka.”
Kemudian raja itu menyerahkan si pemuda kepada beberapa orang lalu
berkata: “Bawa dia dengan perahu ke tengah laut. Kalau dia mau keluar
dari keyakinannya, (bawa pulang), kalau tidak lemparkan dia ke laut.”
Merekapun membawanya. Si pemuda berdoa lagi: “Ya Allah, lepaskan aku
dari mereka dengan apa yang Engkau kehendaki.” Perahu itu karam dan
mereka pun tenggelam. Sedangkan si pemuda berjalan dengan tenang menemui
sang raja.
Raja itu berkata: “Apa yang dilakukan para pengawalmu itu?”
Kata si pemuda: “Allah l menyelamatkanku dari mereka.”
Lalu si pemuda melanjutkan: “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat
membunuhku sampai engkau melakukan apa yang kuperintahkan.” Sang raja
bertanya: “Apa itu?”
Kata si pemuda: “Kau kumpulkan seluruh manusia di satu tempat, kau
salib aku di sebatang pohon dan ambil sebatang panah dari kantung
panahku kemudian letakkan pada sebuah busur lalu ucapkanlah: ‘Bismillah
Rabbil ghulam’ (Dengan nama Allah, Rabb si pemuda), dan tembaklah aku
dengan panah tersebut. Kalau engkau melakukannya niscaya engkau akan
dapat membunuhku.”
Raja itupun mengumpulkan seluruh manusia di satu tempat dan
menyalib si pemuda, kemudian mengeluarkan anak panah dari kantung si
pemuda lalu meletakkannya pada sebuah busur dan berkata: “Bismillahi
Rabbil ghulam”, kemudian dia melepaskan panah itu dan tepat mengenai
pelipis si pemuda. Darah mengucur dan si pemuda segera meletakkan
tangannya di pelipis itu dan diapun tewas. Serta merta rakyat banyak
yang melihatnya segera berkata: “Kami beriman kepada Rabb si pemuda.
Kami beriman kepada Rabb si pemuda. Kami beriman kepada Rabb si pemuda.”
Raja itupun didatangi pengikutnya dan diceritakan kepadanya:
“Apakah anda sudah melihat, apa yang anda khawatirkan, demi Allah sudah
terjadi. Orang banyak sudah beriman (kepada Allah).”
Lalu raja itu memerintahkan agar menggali parit-parit besar dan
menyalakan api di dalamnya. Raja itu berkata: “Siapa yang tidak mau
keluar dari keyakinannya, bakarlah hidup-hidup dalam parit itu. (Atau:
ceburkan ke dalamnya).” Merekapun melakukannya, sampai akhirnya
diseretlah seorang wanita yang sedang menggendong bayinya. Wanita itu
mundur (melihat api yang bernyala-nyala), khawatir terjatuh ke dalamnya
(karena sayang kepada bayinya). Tapi bayi itu berkata kepada ibunya:
“Wahai ibunda, bersabarlah, karena sesungguhnya engkau di atas al-haq.”
Allah l menceritakan kisah ini juga dalam Kitab-Nya yang mulia dalam surat Al-Buruj:
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang
dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan
terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. Yang berapi (dinyalakan
dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka
menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena
orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan
cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian
mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka
azab (neraka) yang membakar….”
Itulah kisah yang Allah l ceritakan dalam Kitab-Nya yang mulia agar
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah mereka.
Faedah
Beberapa faedah dari kisah ini, di samping apa yang telah diuraikan sebelumnya ialah:
1. Belajar di waktu muda lebih mudah untuk menangkap pelajaran dan
memahami. Inilah alasan tukang sihir itu memilih remaja daripada yang
sudah tua. Demikianlah yang dituntunkan para ulama kita, hingga sebagian
mereka mengatakan: “Belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu,
dan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air.”
2. Kemenangan dakwah bukan hanya diukur banyaknya orang yang
mengikuti da’i di saat dia masih hidup. Boleh jadi setelah dia meninggal
dunia, orang banyak mulai menyadari kebenaran yang disampaikannya.
3. Termasuk sebuah kemenangan adalah ketika seorang mukmin lebih
memilih api yang membakar dirinya daripada hilangnya keimanan yang ada
di dalam dadanya. Inilah yang terlihat dari seorang wanita yang lemah
dengan bayinya yang masih dalam buaian. Wanita itu merasa iba kalau
anaknya ikut terbakar, tapi Allah l jadikan anak bayi itu mampu
berbicara menasihati ibunya agar tetap kokoh di atas keimanannya.
4. Sifat Rahmat Allah l, di saat begitu hebatnya kekejaman
orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman, di mana mereka
dengan tanpa perikemanusiaan membakar hidup-hidup orang-orang yang
menyatakan dirinya beriman, Allah k masih memberi kesempatan bagi
orang-orang kafir itu untuk bertaubat.
5. Ayat ini merupakan salah satu dari sekian hiburan (tasliyah)
bagi umat Muhammad n, yang Al-Qur`an ini turun di tengah-tengah mereka,
bahwasanya kepahitan dan penderitaan yang mereka alami bukanlah sesuatu
yang baru. Kekejaman dan penindasan terhadap kaum mukminin sudah terjadi
di masa-masa para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad n. Bahkan Allah l
berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan
Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
(Al-Baqarah: 214)
6. Di antara buah keimanan yang jujur dan kokoh ialah jauh dari
sifat tertipu dengan keadaan diri sendiri. Perhatikanlah ucapan si
pemuda remaja itu. Bukan dia yang menyembuhkan penyakit atau kebutaan,
tapi Allah l-lah yang menyembuhkan dan mengembalikan kebutaan seseorang.
Tidak sepantasnya pula orang yang berilmu menisbahkan nikmat Allah l
yang dirasakannya kepada diri mereka sendiri. Seolah-olah semua yang
diperolehnya adalah karena kepintaran dan kecakapannya.
7. Allah k mengabulkan doa orang yang sedang terjepit/kesulitan
jika dia berdoa kepada-Nya. Maka apabila seorang yang sedang dalam
kesulitan/terjepit memohon sesuatu kepada Allah l dengan penuh
keyakinan, pasti Allah l mengabulkan permintaannya.
8. Di samping sebagai hiburan bagi kaum mukminin, ayat ini juga
merupakan ancaman dan peringatan bagi orang-orang musyrik dan kafir di
manapun mereka berada. Allah Maha menyaksikan apa yang mereka perbuat
terhadap orang-orang yang beriman. Kalau Allah l tidak membalas
perbuatan mereka itu di dunia ini, maka sesungguhnya balasan yang
setimpal akan mereka dapatkan di akhirat, di saat mereka akhirnya
merasakan panasnya jahannam dan siksaan yang membakar, sebagaimana yang
dahulu mereka lakukan terhadap kaum mukminin di dunia. Oleh sebab itu,
hendaklah orang-orang yang mengaku dirinya beriman bersabar dengan
kesempitan dan kepahitan yang mereka alami di dunia ini.
Rasulullah n bersabda, dalam hadits Shuhaib z:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ
ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan orang-orang yang beriman itu.
Sesungguhnya semua urusannya adalah baik, dan itu tidak dirasakan
siapapun kecuali orang yang beriman. Kalau dia ditimpa kesenangan dia
bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan apabila dia ditimpa
kesusahan dia bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” Wallahul
muwaffiq.
Ukuran Sutrah
Ibnu Qudamah t menyatakan, “Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah,
setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang
tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak,
sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah
seperti tembok. Dan sungguh Nabi n pernah bersutrah dengan tombak. Abu
Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika
shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi n bersabda, “Bersutrahlah
kalian di dalam shalat walaupun hanya dengan sebuah anak panah.”1
Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata, “Mencukupi bagi
seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad berkata,
“Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi
n, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain
anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni, kitabus Shalah,
bab Imamah fashl Qadrus Sutrah)
Demikian pula dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi t bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)
Shalat Menghadap Wajah Manusia
Al-Mirdawi berkata, “Dibenci seseorang shalat menghadap wajah manusia.” (Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157).
Dalam hadits ‘Aisyah x disebutkan:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً .
“Sungguh aku pernah melihat Nabi n shalat dan aku berada di antara beliau dengan kiblat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian aku mempunyai keperluan, sementara aku tidak suka menghadap ke arah beliau, maka aku pun beringsut pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no. 511)
Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah x mengetahui bahwa Nabi n membenci bila seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam haditsnya yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap wajah manusia bukan semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat dari shalatnya disebabkan melihat pada orang yang di hadapannya, namun karena dalam hal ini ada keserupaan dengan peribadatan kepada makhluk. Maka perkara ini dibenci sebagaimana dibencinya shalat menghadap gambar yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat, fashl Ash-Shalatu Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab, Kitabush Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli)
Sebagai kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua:
Pertama, tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia melihat pada sesuatu yang melalaikannya.
Kedua, keadaan ini menyerupai sujud atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.
Tidak Membiarkan Sesuatu Lewat di Depannya
Nabi n tidak membiarkan sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu ketika:
كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ
“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/122-123)
Pada kali lain, Rasulullah n:
صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ مَا سَبَقَنِي إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
Beliau shalat wajib, lalu beliau menggabungkan tangan beliau (mencekik). Tatkala selesai shalat, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah terjadi sesuatu dalam shalat tadi?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja setan hendak lewat di hadapanku, maka aku mencekiknya hingga aku dapati dinginnya lidahnya di atas tanganku. Demi Allah, seandainya saudaraku Sulaiman tidak mendahuluiku dalam penguasaan terhadap setan niscaya aku akan mengikat setan tersebut di salah satu tiang masjid hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah. Siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalangi antara dia dengan kiblatnya (dengan lewat di hadapannya, pent.) maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ad-Daraquthni 140, Ahmad 5/104-105, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Berkata Al-Imam Al-Albani t, “Sanadnya shahih dengan syarat Muslim. Lafadz hadits ini dari Ad-Daraquthni. Dan tambahan:
فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu Sa’id Al-Khudri z.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/124)
Mencegah Orang yang Hendak Lewat
Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan. (Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail Mushalli)
Abu Said Al-Khudri z berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ibnul Arabi t menyatakan yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz: فَلْيُقَاتِلْهُ adalah menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl (membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, 1/344).
Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr t berkata, “Kami memandang pernyataan mudafa’ah ini diinginkan dengannya penekanan untuk betul-betul mendorong orang yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada batasnya.” (Al-Istidzkar 6/163)
Orang yang shalat mencegah orang yang hendak lewat pertama kali dengan cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun bila tetap memaksa ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan sebelumnya. (Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230)
Bila hal itu sampai mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut tanpa kesengajaan orang yang shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak ada tanggungan apa-apa dan tidak ada kewajiban yang dibebankan atas orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130, Al-Majmu’ 3/228, Fathul Bari, 1/754)
Ulama sepakat ia tidak boleh memerangi/melawan orang yang lewat tersebut dengan menggunakan senjata. (Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230, Nailul Authar, 3/8)
Untuk mencegah orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke depannya, tapi ia hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh tangannya dari tempat berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj 4/446,447)
Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)
Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang Shalat
Abu Juhaim ibnul Harits z berkata, “Rasulullah n bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)
Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)
Al-Imam Ibnu Hazm t menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )
Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.
Demikian pula dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi t bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)
Shalat Menghadap Wajah Manusia
Al-Mirdawi berkata, “Dibenci seseorang shalat menghadap wajah manusia.” (Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157).
Dalam hadits ‘Aisyah x disebutkan:
لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً .
“Sungguh aku pernah melihat Nabi n shalat dan aku berada di antara beliau dengan kiblat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian aku mempunyai keperluan, sementara aku tidak suka menghadap ke arah beliau, maka aku pun beringsut pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no. 511)
Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah x mengetahui bahwa Nabi n membenci bila seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam haditsnya yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap wajah manusia bukan semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat dari shalatnya disebabkan melihat pada orang yang di hadapannya, namun karena dalam hal ini ada keserupaan dengan peribadatan kepada makhluk. Maka perkara ini dibenci sebagaimana dibencinya shalat menghadap gambar yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat, fashl Ash-Shalatu Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab, Kitabush Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli)
Sebagai kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua:
Pertama, tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia melihat pada sesuatu yang melalaikannya.
Kedua, keadaan ini menyerupai sujud atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.
Tidak Membiarkan Sesuatu Lewat di Depannya
Nabi n tidak membiarkan sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu ketika:
كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ
“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/122-123)
Pada kali lain, Rasulullah n:
صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ مَا سَبَقَنِي إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
Beliau shalat wajib, lalu beliau menggabungkan tangan beliau (mencekik). Tatkala selesai shalat, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah terjadi sesuatu dalam shalat tadi?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja setan hendak lewat di hadapanku, maka aku mencekiknya hingga aku dapati dinginnya lidahnya di atas tanganku. Demi Allah, seandainya saudaraku Sulaiman tidak mendahuluiku dalam penguasaan terhadap setan niscaya aku akan mengikat setan tersebut di salah satu tiang masjid hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah. Siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalangi antara dia dengan kiblatnya (dengan lewat di hadapannya, pent.) maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ad-Daraquthni 140, Ahmad 5/104-105, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Berkata Al-Imam Al-Albani t, “Sanadnya shahih dengan syarat Muslim. Lafadz hadits ini dari Ad-Daraquthni. Dan tambahan:
فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ
dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu Sa’id Al-Khudri z.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/124)
Mencegah Orang yang Hendak Lewat
Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan. (Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail Mushalli)
Abu Said Al-Khudri z berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ibnul Arabi t menyatakan yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz: فَلْيُقَاتِلْهُ adalah menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl (membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, 1/344).
Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr t berkata, “Kami memandang pernyataan mudafa’ah ini diinginkan dengannya penekanan untuk betul-betul mendorong orang yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada batasnya.” (Al-Istidzkar 6/163)
Orang yang shalat mencegah orang yang hendak lewat pertama kali dengan cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun bila tetap memaksa ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan sebelumnya. (Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230)
Bila hal itu sampai mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut tanpa kesengajaan orang yang shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak ada tanggungan apa-apa dan tidak ada kewajiban yang dibebankan atas orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130, Al-Majmu’ 3/228, Fathul Bari, 1/754)
Ulama sepakat ia tidak boleh memerangi/melawan orang yang lewat tersebut dengan menggunakan senjata. (Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230, Nailul Authar, 3/8)
Untuk mencegah orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke depannya, tapi ia hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh tangannya dari tempat berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj 4/446,447)
Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)
Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang Shalat
Abu Juhaim ibnul Harits z berkata, “Rasulullah n bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)
Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)
Al-Imam Ibnu Hazm t menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )
Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.
Faedah
Adapun tambahan lafadz مِنَ الْإِثْمِ dalam hadits yang didapatkan
di sebagian kitab, di antaranya dalam Ahkam lil Bukhari oleh Al-Muhibb
Ath-Thabari, ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, dinyatakan
oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab t, “Lafadz ini ghairu mahfuzh (tidak
terjaga/tidak shahih).”
Ibnu ‘Abdil Barr t menyebutkan bahwa tambahan lafadz ini dari
riwayat Ats-Tsauri dari Salim Abun Nadhar, dan telah didapati pada kitab
Ibnu Abi Syaibah riwayat Ats-Tsauri mudrajah (sisipan dari periwayat)
dengan lafadz ini. Dengan demikian, keterangan yang ada menunjukkan
lafadz tersebut mudrajah dari sebagian perkataan perawi dan merupakan
tafsir dari makna (مَاذَا عَلَيْهِ). (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab
Al-Maarru baina yadail Mushalli)
Al-Imam Ibnu Shalah t berkata, “Lafadz tersebut tidak disebutkan dalam hadits secara sharih (jelas).” (Fathul Bari, 1/756)
Faedah
Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci
untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang
shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan,
“Haram dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke
tempat sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat
yang diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang
shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul
Ahkam, 2/62)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata, “Pendapat yang paling dekat
dengan kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena
seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang
ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang
yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan
sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami
katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh
darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah
tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)
(bersambung, insya Allah)
1 Dishahihkan hadits ini oleh Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 2783
2 Adapun Malikiyah dalam masalah qishash mereka berpandangan tidak
dibebankan kepadanya, akan tetapi dalam masalah diyat mereka terbagi
menjadi dua antara dibebankan dan tidaknya. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh
2/419)
Penyimpangan-penyimpangan Lain dalam Masalah Nikah
Alangkah baiknya kita mengetahui juga masalah-masalah lain yang
merupakan penyimpangan yang ada di sekitar kita. Perkara yang akan
merusak dan mengotori aqidah kita.
Ketahuilah perbuatan syirik besar itu menggugurkan tauhid
seseorang. Kebid’ahan menghalangi kesempurnaan tauhid seseorang.
Sedangkan perbuatan maksiat yang lain akan mengotori dan menghalangi
buah dari tauhid.
Banyak keyakinan, pemikiran, dan amalan sebagian muslimin yang
berkaitan dengan masalah pernikahan telah menyimpang dari tuntunan Allah
l dan Rasulullah n. Di antara pemikiran dan amalan menyimpang tersebut
adalah:
1. Minta jodoh dan anak kepada selain Allah l
Sebagian mereka ketika sulit mendapatkan jodoh atau anak, pergi ke
kuburan atau tempat yang dianggap keramat untuk minta jodoh atau anak.
Atau mereka pergi ke dukun. Padahal Rasulullah n menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Berdoa adalah ibadah.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Tafsiril Qur`an ‘an Rasulillah n, Bab Wa Min Suratil Baqarah, no. 2895)
Tidak boleh berdoa minta diberi jodoh, anak kecuali kepada Allah l.
Karena berdoa adalah ibadah, barangsiapa yang berdoa kepada selain
Allah l berarti telah terjatuh dalam perbuatan syirik. Tidak boleh pula
minta bantuan dukun atau yang disebut ‘orang pintar’. Rasulullah n
menyatakan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraf (dukun, ahli nujum, tukang
ramal dan sejenisnya), kemudian bertanya sesuatu kepadanya, tak akan
diterima shalatnya selama empatpuluh hari.” (HR. Muslim, Kitabus Salam,
Bab Tahrimul Kahanah wa Ityanil Kuhhan, no. 4137)
Beliau n berkata juga:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ n
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau ‘arraf, kemudian
membenarkan ucapannya, berarti dia telah kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Lihatlah bahaya mendatangi dukun! Semata mendatangi dan bertanya
kepada dukun akan mengakibatkan tidak diterimanya shalat selama 40 hari.
Jika membenarkannya, berarti telah mengingkari apa yang diturunkan
kepada Rasulullah n.
2. Tathayyur
Di antara penyelisihan aqidah dalam masalah menikah adalah melarang
melakukan acara pernikahan di bulan atau hari tertentu (karena takut
sial, ed.). Amalan seperti ini disebut tathayyur. Tathayyur adalah
beranggapan sial pada semua yang dilihat, didengar, serta beranggapan
sial pada tempat dan waktu tertentu.
Keyakinan sebagian orang bahwa bulan Shafar atau bulan Suro tidak
boleh ada pernikahan karena akan ada bencana bagi yang menikah di bulan
tersebut adalah keyakinan yang batil. Rasulullah n berkata:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada
thiyarah/tathayyur, tidak ada pengaruh burung hantu, dan tidak ada (sial
karena bulan) shafar.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ath-Thib, Bab La Hamah,
no. 5316)
Ditafsirkan bahwa shafar adalah bulan Shafar, karena orang-orang
jahiliah menganggap sial menikah di bulan Shafar. (Lihat Fathul Majid)
3. Tasyabbuh (meniru orang kafir)
Tasyabbuh (meniru) orang kafir adalah amalan yang haram dalam masalah pernikahan ataupun lainnya. Nabi n berkata:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum maka termasuk golongan
mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitabul Libas, Bab fi Lubsi Asy-Syuhrah, no.
3512)
Di antara perkara tasyabbuh yang ada dalam pernikahan adalah apa
yang disebut dablah (tukar cincin/ pertunangan, -ed). Jika sampai ada
keyakinan bahwa selama cincin tersebut masih di tangan kedua mempelai
maka akan tetap rukun rumah tangga keduanya, berarti telah terjatuh
dalam kesyirikan. Jika seseorang memakainya tanpa ada keyakinan seperti
itu, dia tetap terjatuh dalam tasyabbuh. Apalagi jika cincin tersebut
dari emas, maka pengantin pria terjatuh dalam keharaman lainnya, karena
Rasulullah n berkata:
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي حِلٌّ لِإِنَاثِهِمْ
“Sesungguhnya dua benda ini (yakni emas dan sutera, pen.) haram
atas laki-laki umatku dan halal bagi kaum wanitanya.” (HR. Ibnu Majah,
Kitabul Libas, Bab Labsil Harir wadz Dzahab lin Nisa`, no. 3585)
4. Menikah dengan Orang yang Berbeda Agama
Ketahuilah, seorang mukmin dan mukminah, bagaimanapun keadaannya,
mereka tetap lebih baik daripada orang kafir. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Sangat disayangkan, banyak orangtua mengorbankan putrinya untuk
mendapatkan dunia semata, menikahkan putrinya dengan orang kafir yang
tidak halal bagi mereka. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Orang kafir –walaupun ahlul kitab– tidaklah halal bagi seorang wanita muslimah.
5. Tiwalah
Tiwalah adalah sesuatu yang dibuat dengan keyakinan bisa membuat
suami cinta kepada istrinya atau istri kepada suaminya. Inipun satu
amalan yang terlarang. Rasulullah n berkata:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Inilah sebagian kecil masalah aqidah yang dilanggar sebagian kaum
muslimin dalam hal pernikahan. Masih banyak lagi penyimpangan yang
terjadi dalam acara pernikahan seperti: sesajen, sembelihan untuk selain
Allah l, dan lainnya. Hendaknya setiap muslim berhati-hati, jangan
sampai keyakinan dan amalannya terkotori syirik atau kebid’ahan.
Sehingga dia bisa meninggal di atas tauhid dan di atas Sunnah Rasulullah
n.
Walhamdulillah.
Membujang Ala Sufi
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak)
Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah l. Benarkah?
Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah l adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah l berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah l yang agung. Allah l syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga….” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah l menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas c berkata kepada Sa’id bin Jubair t: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah l. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n berkata:
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah l menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)
Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah l. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah t)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah n dan bertanya tentang ibadah beliau n. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada beliau n, beliau n berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam t berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah l dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah l telah berfirman:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah t dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi t menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi t)
Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash z berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ n عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah n menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)
Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil t ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau t berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah l halalkan berupa menikah –padahal menikah merupakan sunnah para rasul–. Allah l berfirman dalam kitab-Nya:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita n berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi n. Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi n datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah l dan paling bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah l berfirman dalam Al-Qur`an:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah l untuk meng-qishash-ku.” Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual) dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya membaca ayat Allah k:
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita….” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah l berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)
Ketahuilah, di antara sebab kesesatan manusia adalah ketika bersandar kepada akal dan perasaannya semata dalam beragama, seperti apa yang menimpa kaum Shufiyah. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan taufiq sampai akhir hayat kita.
Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah l. Benarkah?
Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah l adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah l berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah l yang agung. Allah l syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga….” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah l menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas c berkata kepada Sa’id bin Jubair t: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah l. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n berkata:
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah l menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)
Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah l. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah t)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah n dan bertanya tentang ibadah beliau n. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada beliau n, beliau n berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam t berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah l dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah l telah berfirman:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah t dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi t menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi t)
Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash z berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ n عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah n menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)
Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil t ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau t berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah l halalkan berupa menikah –padahal menikah merupakan sunnah para rasul–. Allah l berfirman dalam kitab-Nya:
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita n berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi n. Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi n datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah l dan paling bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah l berfirman dalam Al-Qur`an:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah l untuk meng-qishash-ku.” Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual) dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya membaca ayat Allah k:
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita….” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah l berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)
Ketahuilah, di antara sebab kesesatan manusia adalah ketika bersandar kepada akal dan perasaannya semata dalam beragama, seperti apa yang menimpa kaum Shufiyah. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan taufiq sampai akhir hayat kita.
Pernikahan Dalam Rangka Mawaddah WarRahmah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Dari jenis kalian.”
Yakni dari Bani Adam yang menjadi pasangan kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Fathul Qadir)
“Agar kamu merasa tenang dan condong kepadanya.”
Sebab jika dari dua jenis yang berbeda, tentu tidak mendatangkan
ketenangan bersamanya dan hatinya tidak condong kepadanya. (Tafsir
Al-Alusi)
“Saling mencintai dan mengasihi.”
Melalui tali pernikahan, sebagian kalian condong kepada sebagian
lainnya, yang sebelumnya kalian tidak saling mengenal, tidak saling
mencintai dan mengasihi. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud
mawaddah adalah kecintaan seorang suami kepada istrinya. Diriwayatkan
dari Mujahid bahwa beliau menafsirkan mawaddah dengan makna bersetubuh.
(Fathul Qadir karya Asy-Syaukani t)
“Dan kasih sayang.”
Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perasaan kasih
seorang lelaki kepada istrinya dari tertimpa keburukan. Diriwayatkan
dari Mujahid t, beliau mengatakan: “Rahmah adalah anak.” (Fathul Qadir)
Penjelasan Makna Ayat
Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “ ‘Di antara
tanda-tanda kekuasaan’ yang menunjukkan rahmat dan perhatian-Nya kepada
hamba-hamba-Nya, hikmah-Nya yang sangat agung dan ilmu-Nya yang luas,
adalah “Dia menciptakan kalian dari jenis kalian dengan
berpasang-pasangan,” yang mereka serasi dengan kalian dan kalianpun
serasi dengan mereka. Sesuai dengan bentuk kalian dan kalian sesuai
dengan bentuk tubuh mereka. “Agar kalian cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Allah jadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang”
sebagai buah dari pernikahan tersebut. Dengan adanya istri, seseorang
dapat bersenang-senang dan merasakan kenikmatan, mendapatkan manfaat
dengan adanya anak-anak, mendidik mereka, serta merasakan ketenangan
bersamanya. Sehingga kebanyakannya, engkau tidak mendapati sebuah kasih
sayang dan rahmat yang menyerupai apa yang dirasakan antara suami dan
istri. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya
bagi kaum yang berpikir. Yang menggunakan pikirannya dan mentadabburi
ayat-ayat Allah k serta berpindah dari satu ayat kepada yang lainnya.”
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Al-’Allamah Asy-Syinqithi t berkata: “Allah k menyebutkan dalam
ayat yang mulia ini bahwa Ia memberi anugerah kepada anak cucu Adam
berupa anugerah yang paling agung. Di mana Allah l menjadikan mereka
dari jenis dan bentuk mereka berpasang-pasangan. Kalau sekiranya Allah l
menjadikan pasangan dari jenis lain, tentu tidak akan terjadi kasih
sayang, perasaan cinta dan rahmat.” (Adhwa`ul Bayan, 3/213, dalam
penafsiran Surat An-Nahl ayat 72)
Mawaddah dalam Rumah Tangga
Ayat ini menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya bahwa di antara hikmah
adanya pernikahan antara seorang pria dengan wanita adalah agar dapat
mewujudkan perasaan saling mencintai dan saling mengasihi di antara
mereka. Hal ini baru dapat terwujud ketika seorang pria menikahi seorang
wanita yang pencinta/penyayang terhadap suaminya, serta mewujudkan
harapan suaminya dengan mendapatkan karunia dari Allah l berupa
keturunan dari anak-anak yang shalih dan shalihah. Allah k berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Dan firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Oleh karena itu, Rasulullah n memberikan anjuran kepada umatnya
untuk menikahi seorang wanita yang dapat mewujudkan mawaddah dan rahmah
dalam rumah tangganya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik z bahwa beliau
berkata: “Adalah Rasulullah n memerintahkan untuk menikah dan melarang
keras dari tabattul (mencegah diri untuk menikah). Beliau n bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang al-wadud dan al-walud, karena sesungguhnya
aku berbangga di hadapan para nabi dengan jumlah umatku yang banyak pada
hari kiamat.” (HR. Ahmad, 3/158, Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Bulban,
9/338, no. 4028, Al-Baihaqi, 7/81, Ath-Thabarani dalam Al-Ausath,
5/207. Dishahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`, 6/195, no. 1783)
Juga diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar z, beliau berkata: “Ada
seorang lelaki datang kepada Rasulullah n lalu berkata: ‘Sesungguhnya
aku mendapati seorang wanita yang memiliki kehormatan, kedudukan, dan
harta. Hanya saja dia tidak dapat melahirkan (mandul), apakah boleh aku
menikahinya?’ Maka Rasulullah n melarangnya. Lalu ia datang kedua
kalinya, dan beliau mengucapkan kalimat yang sama. Ia mendatanginya pada
kali yang ketiga, dan beliau n tetap mengucapkan kalimat yang sama.
Lalu Ralulullah n bersabda: “Nikahilah wanita yang al-wadud dan
al-walud, karena sesungguhnya aku berbangga di hadapan para nabi dengan
jumlah umatku yang banyak pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Kitab
An-Nikah, Bab Fi Tazwij Al-Abkar, no. 2050, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak,
2/176, Ibnu Hibban, 9/363, no. 4056. Dishahihkan Al-Albani t dalam
Shahih Abu Dawud)
Yang dimaksud al-wadud adalah seorang wanita yang sangat
pecinta/penyayang terhadap suaminya. Sedangkan makna al-walud adalah
wanita yang banyak melahirkan anak. Disebutnya dua sifat wanita yang
dijadikan sebagai istri ini adalah karena seorang wanita yang dapat
melahirkan anak banyak namun tidak memiliki sifat cinta kepada suaminya,
tidaklah menyebabkan kecintaan suaminya terhadapnya. Demikan pula
sebaliknya, seorang wanita yang pecinta terhadap suami namun tidak
dapat melahirkan anak, dia tidak pula dapat mewujudkan keinginan untuk
memperbanyak jumlah umat ini dengan banyaknya orang yang melahirkan.
Dua sifat ini dapat diketahui dari seorang perawan dengan melihat
kepada kerabatnya. Sebab, secara umum tabiat mereka saling menyerupai
antara satu dengan yang lain. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 6/33-34)
Diriwayatkan pula dari Ka’b bin ‘Ujrah z bahwa Rasulullah n bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِرِجَالِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَالُوا:
بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ، وَالشَّهِيدُ
فِي الْجَنَّةِ، وَالصِّدِّيقُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْمَوْلُودُ فِي
الْجَنَّةِ، وَالرَّجُلُ يَزُورُ أَخَاهُ فِي جَانِبِ الْمِصْرِ فِي
الْجَنَّةِ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟
قَالُوا: بَلَى يا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: الْوَدُودُ الْوَلُودُ الَّتِي
إِنْ ظَلَمَتْ أَوْ ظُلِمَتْ قَالَتْ: هَذِهِ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ لاَ
أَذُوقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang para lelaki penduduk
surga?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah n bersabda:
“Nabi dalam surga, syahid (yang mati dalam peperangan) dalam surga,
shiddiq (yang sangat jujur) dalam surga, anak yang dilahirkan (meninggal
di masa kecilnya) dalam surga, seseorang yang mengunjungi saudaranya di
sebuah kampung dalam surga. Maukah aku kabarkan kalian tentang wanita
ahli surga?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda:
“Wanita yang wadud (pecinta kepada suaminya), wanita yang banyak
melahirkan anak, (yang suka kembali kepada suaminya) yang jika dia
menzalimi atau dizalimi, maka dia berkata: ‘Diriku ada dalam
genggamanmu, aku tidak merasakan tidur hingga engkau ridha (kepadaku)’.”
(HR. Ath-Thabarani, 19/140, dihasankan Al-Albani t dalam Shahih
Al-Jami’, no. 2604)
Al-Ghazali t menjelaskan dalam Ihya` ‘Ulumuddin beberapa tujuan dan
faedah dalam pernikahan. Beliau mengatakan: “Pernikahan menjadi
penolong agama seseorang, menghinakan para setan, benteng yang kokoh
dalam menghadapi musuh Allah l, dan menjadi sebab untuk memperbanyak
(jumlah umat) yang menjadi kebanggaan pemimpin para Rasul n di hadapan
para nabi yang lain. Alangkah sepantasnya untuk ditunaikan
sebab-sebabnya dan dijelaskan maksud serta tujuannya.” Lalu beliau
mengatakan: “Dalam menikah ada lima faedah: mendapatkan anak,
menghancurkan syahwat, mengurus rumah, banyaknya kerabat, dan jiwa yang
berjihad untuk menegakkan hal tersebut.” Lalu beliau menyebutkan bahwa
jika ia berniat dalam menikah agar berketurunan, maka itu menjadi ibadah
yang dia diberi pahala atasnya bagi yang baik niatnya. Hal tersebut
bisa dijelaskan dari beberapa sisi:
Pertama, sesuai dengan apa yang dicintai Allah l melalui upaya menghasilkan anak demi kelangsungan kehidupan manusia.
Kedua, mencari apa yang dicintai Nabi n dengan memperbanyak sesuatu yang menjadi kebanggaan beliau.
Ketiga, mencari berkah dan banyaknya pahala, serta ampunan dosa dengan doa seorang anak yang shalih yang lahir setelahnya.
Dan ditegaskan oleh Al-Ghazzali bahwa poin pertamalah yang lebih
kuat dan lebih nampak bagi orang yang berakal. Lalu beliau menyebutkan
sebuah permisalan yang ringkasnya adalah: seorang tuan yang memberikan
kepada budaknya bibit tanaman dan alat-alat untuk bercocok tanam serta
sebidang tanah yang baik untuk bercocok tanam. Dia juga mengangkat
seorang pengawas yang selalu mendorong budaknya untuk bekerja. Jika
budak tersebut lambat dalam bekerja dan menanam, sedangkan pengawas yang
mendorongnya tersebut membiarkannya, tentu akan menyebabkan kemarahan
dan kemurkaan tuannya. Allah l menciptakan dua yang berpasangan, pria
dan wanita, memberikan bekal kepada masing-masing keduanya dengan
beberapa kekhususan, serta menjadikan syahwat pada keduanya sebagai
kekuatan yang mendorong untuk menampakkan hikmah-Nya dalam berketurunan
dan membentuk generasi. Maka barangsiapa yang menyimpang dari hal
tersebut atau menentangnya, berarti dia telah menentang sunnatullah
dalam hal ini, yang menyebabkan kemarahan dan kemurkaan-Nya. (Dinukil
dari Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, jilid 2, terbitan tahun 1425 H,
hal. 502-523)
Kaidah
Apa yang disebutkan di dalam ayat yang mulia tersebut berupa
anjuran mencari pasangan hidup dan menghasilkan keturunan, tidak
terlepas dari sebuah kaidah umum yang terdapat dalam agama ini yang
mengatakan:
الشَّارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلَّا بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ
رَاجِحَةٌ وَلَا يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ
رَاجِحَةٌ
“Syariat tidak memerintahkan kecuali kepada sesuatu yang
kemaslahatannya murni atau lebih mendominasi, dan tidak melarang kecuali
dari sesuatu yang kerusakannya murni atau lebih mendominasi.”
Kaidah ini dibangun di atas dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah l:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
Maka tidak ada sesuatupun yang bersifat adil, perbuatan baik, dan
menyambung hubungan dengan yang lain, melainkan Allah l memerintahkannya
berdasarkan ayat ini. Juga, tidak satupun perbuatan keji, mungkar yang
hubungannya dengan hak-hak Allah k, dan perbuatan zalim terhadap makhluk
baik terhadap darah, harta, dan kehormatan mereka melainkan Allah k
melarangnya.
Demikian pula firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan
(katakanlah): ‘Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah
Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali
kepadaNya)’.” (Al-A’raf: 29)
Di dalam ayat ini, Allah k mengumpulkan pokok-pokok (ushul) dari
perintah-perintah-Nya. Sebagaimana Allah l mengumpulkan pokok-pokok
(ushul) dari hal-hal yang diharamkan dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
Demikian pula dengan pernikahan, di mana seorang muslim dan
muslimah mendapatkan banyak kemaslahatan darinya, berupa pemeliharaan
terhadap kehormatan, mencegah dari perbuatan zina, memelihara pandangan,
melanjutkan generasi, dan berbagai faedah lainnya yang tidak
tersamarkan bagi mereka yang telah melakukannya.
Wallahu a’lam.
Mahar dalam Pandangan Syariat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Wajibnya Mahar
Dalam pernikahan merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan. Hal ini tampak dari firman Allah k:
“Kalian mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (An-Nisa’: 24)
Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Allah k:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa’: 4)
Dalam ayat lain, Allah k berfirman:
“Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Nabi k tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d z tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah n, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah n bertanya:
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ– فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ n مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah n. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah n bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah n, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah n melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah n, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah n. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah n. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Ibnu Abbas c mengabarkan bahwa ketika Nabi n menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib z dengan putri beliau Fathimah x, beliau meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah n bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah-mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud no. 2125, Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)
Hadits di atas menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul.
Tidak Disukai Berlebih-lebihan dalam Mahar
‘Uqbah bin ‘Amir z mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Abu Dawud no. 2117 dan selainnya. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1924)
‘Umar ibnul Khaththab z menasihatkan, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah l, tentunya Rasulullah n lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud no. 2106 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)
Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang/benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d z yang telah disebutkan. Demikian pula memerdekakan istri yang semula berstatus budak dapat dijadikan mahar sebagaimana Rasulullah n menjadikan kemerdekaan Shafiyyah bintu Huyai x dari perbudakan sebagai maharnya1. Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mahar, sebagaimana mahar Ummu Sulaim x ketika menikah dengan Abu Thalhah z2.
Tidak ada pula ketentuan jumlah minimal dan maksimal dari sebuah mahar. Hanya saja tidaklah disukai bila mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak laki-laki dan menghambat pernikahan. Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada. Wallahul musta’an.
Seharusnya hal ini menjadi perhatian, agar tidak menuntut mahar yang terlalu tinggi. Toh mahar ini merupakan hak si wanita. Ia yang seharusnya secara pribadi memiliki mahar tersebut. Adapun ayah atau keluarganya yang lain tidak punya hak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqih menurut jumhur ulama. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki, tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.
Pasal 35
(1) Suami yang menalak istrinya qobla al-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
(3) Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsl.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
Wallahu a’lam.
Wajibnya Mahar
Dalam pernikahan merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan. Hal ini tampak dari firman Allah k:
“Kalian mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (An-Nisa’: 24)
Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Allah k:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa’: 4)
Dalam ayat lain, Allah k berfirman:
“Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Nabi k tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d z tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah n, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah n bertanya:
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ– فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ n مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah n. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah n bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah n, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah n melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah n, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah n. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah n. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Ibnu Abbas c mengabarkan bahwa ketika Nabi n menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib z dengan putri beliau Fathimah x, beliau meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah n bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah-mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud no. 2125, Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)
Hadits di atas menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul.
Tidak Disukai Berlebih-lebihan dalam Mahar
‘Uqbah bin ‘Amir z mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Abu Dawud no. 2117 dan selainnya. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1924)
‘Umar ibnul Khaththab z menasihatkan, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah l, tentunya Rasulullah n lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud no. 2106 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)
Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang/benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d z yang telah disebutkan. Demikian pula memerdekakan istri yang semula berstatus budak dapat dijadikan mahar sebagaimana Rasulullah n menjadikan kemerdekaan Shafiyyah bintu Huyai x dari perbudakan sebagai maharnya1. Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mahar, sebagaimana mahar Ummu Sulaim x ketika menikah dengan Abu Thalhah z2.
Tidak ada pula ketentuan jumlah minimal dan maksimal dari sebuah mahar. Hanya saja tidaklah disukai bila mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak laki-laki dan menghambat pernikahan. Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada. Wallahul musta’an.
Seharusnya hal ini menjadi perhatian, agar tidak menuntut mahar yang terlalu tinggi. Toh mahar ini merupakan hak si wanita. Ia yang seharusnya secara pribadi memiliki mahar tersebut. Adapun ayah atau keluarganya yang lain tidak punya hak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqih menurut jumhur ulama. Lengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki, tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.
Pasal 35
(1) Suami yang menalak istrinya qobla al-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
(3) Apabila perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsl.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
Wallahu a’lam.
1 Seperti tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Anas bin Malik z.
2 Diriwayatkan haditsnya oleh An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 3340, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih An-Nasa`i.
Rukun dan Syarat Akad Nikah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah k:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim t, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah z secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi n bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau n juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah g. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha…, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah n:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah n bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan ; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah c secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi t mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi n maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah k:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim t, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah z secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi n bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau n juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah g. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha…, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah n:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah n bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan ; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah c secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi t mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi n maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka
tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan
kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula
kakek dari pihak ibu.
4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang
dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang
pernikahan, pasal 23.
Proses Syar’i Sebuah Pernikahan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah k berfirman:
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah k berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara
sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan
ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi
kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf,
tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih
bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
q Wanita itu shalihah, karena Nabi n bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena
empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang
memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan
Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah z)
q Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah n pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku
berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya
jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
q Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah c ketika memberitakan kepada Rasulullah n bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau n bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak
saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di
tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak
bisa mengurusi mereka, Rasulullah n memujinya, “Benar apa yang engkau
lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih
segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam
Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhor (melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah n untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا
رَسُوْلُ اللهِ n فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ
رَسُوْلُ اللهِ n رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Rasulullah n pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan
menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan
kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang
wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya
tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah n menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada
sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim
no. 3470 dari Abu Hurairah z)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah z meminang seorang
wanita, Rasulullah n bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat
wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah
n bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih
pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).”
(HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi t berkata, “Dalam sabda Rasulullah n kepada
Al-Mughirah z: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum
khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata
ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhor ternyata ia tidak
menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhor dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah
tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal
mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu
membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah z berkata, “Aku meminang seorang
wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat
melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada
Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah
sahabat Rasulullah n?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah n
bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk
meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita
tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t
dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani t berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin
dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak
menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ
يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ،
وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka
tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan
melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa
dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang
shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa
sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi
jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik t dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku
tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena
khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan
dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat
wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita
masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar
2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar
tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram
(berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan
seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari
no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya,
baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz
Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin
dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna
melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan
kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul
Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214,
Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa
tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita
ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan,
leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena
adanya hadits Rasulullah n:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu
melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka
hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat
bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib.
Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir
bin Abdillah c ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi
untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk
menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga
Muhammad bin Maslamah z sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga
cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk
membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan
dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian
tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi n mengizinkan
melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya.
Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh
si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang
dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula
bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh
tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya
sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh
dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat
bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si
wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhor ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya
telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu
diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah
n pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ
يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah
halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan
tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi
pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih
menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama
muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau
peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita,
atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang
kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan,
kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah
peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si
wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga
janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa
fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita
pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin t dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang
seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa
bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan
didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang
syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan
mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu
apa jawaban Syaikh t? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak
sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk
bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat.
Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan
yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman,
hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin,
2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si
wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya,
seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
q Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang
kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya
juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah n
pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian
ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya
kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian
tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t
dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
q Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia
malu. Abu Hurairah z berkata menyampaikan hadits Rasulullah n:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ
الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ
إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana
izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR.
Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan
ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya,
misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan
khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.
Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ،
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar
ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib,
karena adanya perintah Rasulullah n kepada Abdurrahman bin Auf z ketika
mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah n sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas z disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ n عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi n menyelenggarakan walimah ketika menikahi
istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah
dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan
Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya
akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya
hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul,
karena demikian yang dinukilkan dari Nabi n. Anas bin Malik z berkata,
“Nabi n menikah dengan Shafiyyah x dan beliau jadikan kemerdekaan
Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari
kemudian.” (Al-Imam Al-Albani t berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74:
“Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul
Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang
yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena
kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak
diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek
makanan. Rasulullah n bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang
dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang
miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana
kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara
gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya
pernikahan tersebut. Rasulullah n bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut
(suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no.
1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya
suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah
manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari t menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya,
“Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits
Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x yang mengisahkan kehadiran Rasulullah n
dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari
merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka
yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah n mendengarkannya.
(HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian
atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan
kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah z, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ n كاَنَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَاَن، إِذَا
تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ
بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi n bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau
mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita,
lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk
melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya
karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya.
Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih
mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah n, beliau bersiwak bila hendak
masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah x (HR.
Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya
sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas
c.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal
memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits
Asma` bintu Yazid bin As-Sakan x, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah x
untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah n. Setelah selesai aku
memanggil Rasulullah n untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk
di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau
minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.”
Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah n.
Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut….”seorang
budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah k,
mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di
atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa
yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no.
2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan
mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya.
Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin
Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus
budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi n, di antara mereka ada
Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah g. Lalu ditegakkan shalat, majulah
Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang
maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang
seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku
berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk
menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah l
dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya,
urusanmu dengan istrimu….” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani t berkata
dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari
keterangan di atas Rasulullah n memperkenankan Jabir z memperistri
seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah n dinikahi dalam keadaan
janda, kecuali Aisyah.
2 Faedah: Kisah Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab z yang
menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib z yang hendak
dinikahinya, adalah kisah yang dhaif (lemah), pada sanadnya ada irsal
dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, ketika membahas hadits no. 1273)
3 Bahkan Al-Imam Ahmad t sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan
mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang
bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala,
dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian
tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan
semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat
ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal
serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam
An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang
nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan:
“Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa
keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud
membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat
pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar
nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan
dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah
(pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada
dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di
atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya
perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal.
359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak
kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat
darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat
daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin
Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani t menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih
mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para
sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan
dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya
kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi n walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang
terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan
minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Doa Ketika Hendak Jima’
َالَ النَّبِيُّ n: لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ
يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا؛ ثُمَّ قُدِّرَ أَنْ يَكُونَ
بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Nabi n bersabda: Bila salah seorang di antara kalian ketika hendak mendatangi istrinya, berkata:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami (yakni anak).’
Kemudian ditaqdirkan keduanya memiliki anak dari hubungannya itu, maka setan tidak bisa membahayakan anak itu selamanya.” (HR. Abu Dawud no. 1846, Kitabun Nikah, Bab fi Jami’ An-Nikah, dari Ibnu ‘Abbas c)
“Nabi n bersabda: Bila salah seorang di antara kalian ketika hendak mendatangi istrinya, berkata:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami (yakni anak).’
Kemudian ditaqdirkan keduanya memiliki anak dari hubungannya itu, maka setan tidak bisa membahayakan anak itu selamanya.” (HR. Abu Dawud no. 1846, Kitabun Nikah, Bab fi Jami’ An-Nikah, dari Ibnu ‘Abbas c)
Menikah dengan Aturan Islam
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.
Pengertian Nikah
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah k berfirman:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah k berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1) [Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/175-176, Fathul Bari, 9/130, Adz-Dzakhirah, 4/188-189, At-Ta’rifat Lil Jurjani, hal. 237, Asy-Syarhul Mumti’, 12/5, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274]
Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dari Al-Qur`an, Allah k berfirman:
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur: 32)
Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah n, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah n kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud z)
Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’.
Penetap syariat banyak memberikan hasungan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak mafsadat.
Rasulullah n pernah bersabda memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar z, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/189)
Para sahabat Rasulullah n pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas c pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair t, “Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata, “Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)
Ibnu Mas’ud z berkata, “Seandainya tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4/128)
Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:
1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.
2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.
3. Memperbanyak umat Muhammad n dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah k yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah n untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.
4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).
5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah k mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah n bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani t dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)
6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah k berfirman:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)
Hukum Nikah
Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah k berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un z, seorang dari sahabat Rasulullah n, berkata, “Seandainya Rasulullah n mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah k berfirman:
“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)
[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al-Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)
Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab1 tentang hukum nikah:
q Ibnu Abidin Al-Hanafi t dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)
q Al-Qarafi Al-Maliki t berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang-orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah k dan Rasulullah n dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi n mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan2.” (Adz-Dzakhirah, 4/190)
q Asy-Syairazi Asy-Syafi’i t berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)
q Ibnu Qudamah Al-Hanbali t berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)
q Ibnu Hazm Azh-Zhahiri t berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)
Tujuan Menikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi n dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi n bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah k memerintahkan:
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah k memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi n:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.
1 Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah.
2 Yaitu hadits: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.
Pengertian Nikah
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah k berfirman:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah k berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1) [Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/175-176, Fathul Bari, 9/130, Adz-Dzakhirah, 4/188-189, At-Ta’rifat Lil Jurjani, hal. 237, Asy-Syarhul Mumti’, 12/5, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274]
Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dari Al-Qur`an, Allah k berfirman:
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur: 32)
Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah n, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah n kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud z)
Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’.
Penetap syariat banyak memberikan hasungan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak mafsadat.
Rasulullah n pernah bersabda memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar z, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/189)
Para sahabat Rasulullah n pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas c pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair t, “Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata, “Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)
Ibnu Mas’ud z berkata, “Seandainya tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4/128)
Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:
1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.
2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.
3. Memperbanyak umat Muhammad n dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah k yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah n untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.
4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).
5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah k mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah n bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani t dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)
6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah k berfirman:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)
Hukum Nikah
Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah k berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un z, seorang dari sahabat Rasulullah n, berkata, “Seandainya Rasulullah n mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah k berfirman:
“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)
[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al-Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)
Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab1 tentang hukum nikah:
q Ibnu Abidin Al-Hanafi t dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)
q Al-Qarafi Al-Maliki t berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang-orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah k dan Rasulullah n dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi n mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan2.” (Adz-Dzakhirah, 4/190)
q Asy-Syairazi Asy-Syafi’i t berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)
q Ibnu Qudamah Al-Hanbali t berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)
q Ibnu Hazm Azh-Zhahiri t berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)
Tujuan Menikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi n dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi n bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah k memerintahkan:
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah k memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi n:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.
1 Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah.
2 Yaitu hadits: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
Menikah Dalam Lingkaran Fitnah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin)
Menikah, sebagaimana praktik ibadah lainnya dalam Islam, juga terkepung oleh pelbagai penyimpangan. Bagaimana sesungguhnya “menikah” dalam kacamata Islam?
‘Imran bin Hiththan bin Zhabyan, seorang tabiin. Sebelum badai fitnah menghantam, ia seorang yang masyhur dengan menuntut ilmu dan hadits. Lantas, petaka pun tiba. Berawal dari dorongan hasratnya untuk menyadarkan putri pamannya, Hamnah, dari kungkungan paham Khawarij yang menyelimutinya. Ia pun beranjak coba merajut angan. Ia melangkah, mengikat tali kasih dengan putri berparas ayu Kharijiyah. Namun, angan tinggal angan. Citanya semula yang hendak menyadarkan Hamnah dari pemahaman Khawarij, ternyata sirna. Dirinya terfitnah. Pemahaman Khawarij sang istri justru menggerus benaknya. Lunturlah pemahaman Ahlus Sunnah yang lekat padanya. Jadilah ia seorang Khawarij. Ibnu Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, semula termasuk orang yang dijuluki ‘mata para ulama’, akan tetapi kini ia berubah menjadi seorang tokoh papan atas Khawarij. (Lihat Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi, 4/114-115, Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 3/317-318)
Sesungguhnya hati manusia semuanya ada di antara dua jari jemari Ar-Rahman. Jika menghendaki, Allah l bisa memalingkan setiap hati manusia sesuai yang Dia kehendaki. Hendaknya setiap manusia merasa dirinya tidak aman dari fitnah. Ketergelinciran hati manusia bisa disebabkan dari arah manapun. Inilah yang harus diwaspadai. Tak menutup kemungkinan pula ketergelinciran hati seseorang disebabkan karena pernikahan. Berapa banyak orang yang terjatuh pada kesyirikan, lantaran pernikahan dan prosesi yang menyertainya. Berapa banyak pula, disadari atau tidak, mereka terjatuh pada kemaksiatan. Menyadari hati yang bisa berubah-ubah, lemah, mudah terwarnai keadaan dan perlu tiang pancang nan kokoh, hendaknya seorang yang beriman kembali pada apa yang telah dituntunkan Rasulullah n. Berdasar hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, ia pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَـنـِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِـعِ الرَّحْمَنِ كَـقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَـشَاءُ. ثُمَّ قَـالَ رَسُولُ اللهِ n: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Sesungguhnya hati Bani Adam semuanya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman, seperti hati satu orang, Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah n bersabda: “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)
Demikianlah yang dituntunkan Rasulullah n. Memohon diberi ketetapan hati untuk senantiasa kokoh ada dalam ketaatan pada-Nya. Taat dalam setiap keadaan, termasuk saat menginjak ke pelaminan. Hingga dengan pernikahan tersebut, seseorang bisa menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk meraup keteguhan iman. Pernikahan tersebut benar-benar menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah l. Karena, nikah itu adalah sepenggal bentuk ibadah, yang merupakan bentuk pengamalan Sunnah Rasulullah n. Kata Rasulullah n:
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik z)
Becerminlah dari Ummu Sulaim x, seorang shahabiyah yang mulia. Ia menjadikan pernikahannya mampu mengantarkan kebaikan bagi dirinya, suaminya, kehidupan rumah tangganya, dan dakwah secara umum. Anas bin Malik z bertutur:
تَزَوَّجَ أَبُو طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الْإِسْلَامَ، أَسْلَمَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ قَبْلَ أَبِي طَلْحَةَ فَخَطَبَهَا فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، فَإِنْ أَسْلَمْتَ نَكَحْتُكَ. فَأَسْلَمَ فَكَانَ صَدَاقَ مَا بَيْنَهُمَا
“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Yang menjadi mahar bagi pernikahan keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim memeluk Islam sebelum Abu Thalhah. Maka, Abu Thalhah pun lantas melamar Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim, ‘Sungguh aku telah memeluk Islam. Jika engkau hendak menikahiku, engkau harus memeluk Islam terlebih dulu.’ Kemudian Abu Thalhah pun memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi mahar (dalam pernikahan) keduanya.” (HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya, no. 3340. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menshahihkan hadits ini)
Dalam riwayat lain dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim. Maka, Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang yang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak layak ditolak. Tetapi engkau lelaki kafir, sedangkan aku seorang muslimah. Tak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau mau memeluk Islam, maka (keislamanmu) itu sebagai maharku. Aku tidak meminta yang selainnya.’ Lantas Abu Thalhah pun memeluk Islam dan itulah yang menjadi maharnya.” Tsabit berkata: “Tidak pernah aku mendengar sama sekali tentang mahar yang lebih mulia dari yang diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni Islam.” (Sunan An-Nasa`i, no. hadits 3341 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t)
Asy-Syaikh Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari hafizhahullah (salah seorang ulama terkemuka di Yaman), terkait kisah hadits di atas, memberikan nasihat yang laik dicamkan benar-benar oleh kaum muslimin. Kata beliau hafizhahullah, “Begitulah yang semestinya diucapkan seorang muslimah. Dia tidak tertipu dengan harta kekayaan yang dimiliki pihak lelaki. Padahal, Abu Thalhah tergolong orang Anshar yang kaya harta. (Namun demikian) Ummu Sulaim tidak meminta harta kekayaan yang banyak dari Abu Thalhah. Tidak meminta perhiasan emas, tidak juga yang lainnya. Yang diminta hanyalah dia (Abu Thalhah) memeluk Islam karena Allah Rabbul ‘alamin, sekaligus dijadikan mahar baginya. Abu Thalhah pun memeluk Islam. Allah l telah menjadikannya seorang laki-laki beriman, shalih dan membantu (perjuangan) agama hingga Allah l mewafatkannya dalam Islam. Dengan (kecerdasan) akal seorang wanita beriman ini dan dengan keimanannya (Ummu Sulaim), ia menjadi pria tangguh, kokoh, dan berserah diri.” (Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari, hal. 9)
Adapun larangan seorang muslimah dinikahkan dengan seorang laki-laki musyrik telah nyata dalilnya. Terkait masalah ini, Asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa pengharaman menikahkan muslimah dengan laki-laki musyrik, sama saja baik laki-laki tersebut mubtadi’ (melakukan bid’ah yang menjadikan dia musyrik, pen.) atau selainnya, maka hujjah dalam masalah ini jelas berdasar Al-Kitab dan ijma’ (kesepakatan) umat. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Allah l juga berfirman:
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak pula halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Maka, sungguh telah nyata kedua ayat di atas mengharamkan pernikahan muslimah terhadap orang kafir dan musyrik secara mutlak. Sama saja, baik dia seorang ahli kitab atau paganis (penyembah berhala) yang tidak memiliki kitab (bukan ahli kitab), tetap haram.” (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 377)
Sedangkan pengharaman seorang muslim menikah dengan wanita kafir musyrikah, berdasar firman Allah l:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)
Juga firman Allah l:
“Dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat tersebut menjadi dalil atas pengharaman menikahi wanita musyrikah secara umum oleh kaum muslimin. Allah l mengecualikan yang demikian terhadap wanita-wanita ahli kitab, berdasar firman-Nya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Ma`idah: 5)
Maka, selama Allah l berikan keringanan dalam masalah menikahi para wanita ahli kitab, hal itu menjadi boleh. Adapun selain mereka, dari kalangan wanita-wanita musyrikah, larangan menikahi mereka tetap berlaku berdasar keumumannya. Seperti, (larangan menikahi) wanita-wanita penyembah berhala, patung-patung, bintang-bintang, dan api. Termasuk dalam hal ini, menghukumi mereka dari kalangan wanita-wanita pelaku kesyirikan dari kalangan ahli bid’ah, dihukumi karena kekafiran mereka. Hal ini jika mengaitkan para wanita tersebut kepada Islam. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 374)
Diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, atsar yang dinukil dari para imam salaf menunjukkan keharaman menikahi ahli bid’ah yang telah sampai batas ambang kekafiran. Seperti, Jahmiyah dan Qadariyah… Maka tidak boleh menikahkan mereka kepada para wanita Ahlus Sunnah disebabkan kekufurannya. Apabila telah telanjur menikahkannya, maka wajib fasakh (membatalkan) pernikahannya ketika itu juga.
Terkait Syiah Rafidhah, beliau hafizhahullah menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (dalam Majmu’ Fatawa, 32/61) saat menjawab pertanyaan tentang hukum menikah dengan Rafidhi (penganut paham Rafidhah, ed.) dan orang yang mengatakan tidak wajib shalat lima waktu. Kata Syaikhul Islam: “Tidak boleh seseorang menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya kepada seorang Rafidhi dan yang meninggalkan shalat. (Bila) saat menikahkannya atas dasar (pengetahuan) sesungguhnya dia seorang Sunni, menunaikan shalat lima waktu, kemudian diketahui bahwa dia seorang Rafidhi dan meninggalkan shalat, maka mereka harus mem-fasakh pernikahan tersebut.” (Ibid, hal. 380)
Dalam masalah pernikahan, Syiah menganut pemahaman membolehkan nikah mut’ah. Terjadi nikah mut’ah manakala seorang lelaki menikahi wanita dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tertentu itu habis, maka selesailah ikatan pernikahan tersebut. Tidak membutuhkan talak. Tidak ada nafkah bagi wanita itu. Tidak ada beban tanggung jawab pada laki-laki terhadap anak-anak yang dilahirkan wanita tersebut (karena hubungan keduanya). Tidak pula mewarisi (harta) dari laki-laki tersebut. Ini model pernikahan jahiliah. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitabun Nikah, hal. 340)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Nabi n telah mengharamkan mut’ah pada perang Khaibar, yaitu tahun ketujuh dari hijrah. Setelah perjanjian Hudaibiyyah, sebelum Fathu Makkah. Kemudian saat perang Authas (nama tempat dekat kota Tha`if), disebut juga perang Hunain, tahun kedelapan hijrah, Nabi n membolehkan mut’ah selama tiga hari sebagai bentuk rukhshah (keringanan). At-Tarkhish (rukhshah) artinya dibolehkan sesuatu yang asalnya terlarang dengan disertai adanya sebab yang membahayakan. Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah adalah batil. Dibolehkan saat diberlakukan rukhshah (pada masa Nabi n, pen.) dan setelah itu rukhshah itu dihapus. Yang masih memberlakukan nikah mut’ah ini hingga sekarang adalah Syiah Rafidhah.” (Tashilul Ilmam, hal. 340-341)
Rasulullah n telah secara tegas melarang nikah mut’ah. Dari Salamah bin Al-Akwa’ z, berkata:
رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ n عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Rasulullah n pernah memberi rukhshah (keringanan) pada tahun Authas dalam masalah mut’ah selama tiga hari, lalu melarangnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 1405)
Diriwayatkan dari Ali z, dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
“Rasulullah n telah melarang mut’ah pada hari Khaibar. Beliau juga melarang makan daging keledai jinak pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 4216, dan Muslim dalam Shahih-nya, no. 1407)
Pernikahan dalam Adat Jawa
Pernikahan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Masyarakat Jawa meyakini bahwa saat peralihan dari tingkat sosial yang satu ke yang lain, merupakan saat-saat berbahaya. Karenanya, untuk mendapatkan keselamatan hidup, dilakukan upacara-upacara. Menjadi manten (pengantin) merupakan bagian dari peralihan itu sendiri. Tradisi yang berlangsung biasanya berupa petung, prosesi, dan sesaji.
Petung adalah musyawarah untuk memutuskan suatu acara penting dalam keluarga. Petung dina lazim dilakukan untuk menentukan hari baik pada acara hajatan, seperti hari penikahan. Selain melihat calon mempelai dari kriteria bibit (keturunan), bobot (berat, yakni dilihat dari harta bendanya), bebet (kedudukan sosialnya: priayi, rakyat biasa, atau status sosial lainnya), juga ditentukan melalui pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman menentukan jodoh berdasar nama, hari kelahiran, dan neptu (jumlah nilai hari kelahiran dan nilai pasarannya: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Melalui perhitungan-perhitungan yang didasarkan Primbon Betaljemur Adammakna, maka kedua mempelai akan ditentukan baik buruknya perjodohan.
Selain itu, dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa masih meyakini peristiwa kejugrugan gunung. Yaitu peristiwa kematian atau kecelakaan salah satu anggota keluarga dekat mempelai pengantin. Peristiwa itu diyakini sebagai isyarat buruk dari pernikahan yang akan dilakukan.
Termasuk kepercayaan baik-buruk dalam masalah pernikahan, dalam tradisi masyarakat Jawa masih ada yang meyakini bulan-bulan baik untuk pernikahan yaitu Rejeb dan Besar. Bulan-bulan buruk yaitu Jumadil Awal, Pasa, Sura, dan Sapar. (Lihat Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Dr. Purwadi, dkk, Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol. I, No. 2)
Bagaimana pandangan syariat terhadap keyakinan-keyakinan seperti di atas?
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam, menyebutkan bahwa umat tertimpa malapetaka dengan tathayyur sejak menyimpang dari beribadah kepada Allah l. Tathayyur adalah (anggapan) kesialan. Sungguh, orang-orang sesat telah sampai kepada masalah penetapan kesialan hingga taraf yang membahayakan. Pada sebagian orang, nasib sial ditentukan karena waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, misal angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung, seperti dengan burung hantu, gagak, dan lainnya… Ketahuilah, tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) adalah termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah l. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)
Allah l berfirman:
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 131)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z secara marfu’:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tak seorangpun di antara kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 3910, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdulwahhab menyatakan (terkait hadits di atas) bahwa hal ini menjadi penjelas perihal pengharaman thiyarah. Karena hal itu termasuk syirik, terkait dengan menggantungkan hati kepada selain Allah l. Dikatakan dalam Syarhus Sunnah, bahwa thiyarah dikategorikan sebagai syirik karena mereka meyakini, sesungguhnya thiyarah bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudarat pada mereka, jika mereka telah mengamalkan apa yang diharuskan. Maka, hal ini seperti mereka menyekutukan (sesuatu) bersama Allah l. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr, (bahwa Rasulullah n bersabda yang artinya): “Barangsiapa yang mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah melakukan kesyirikan.” Para sahabat bertanya, “Maka, apa kaffarah (tebusan) untuk hal itu?” Beliau n menjawab:
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada ilah (sesembahan yang berhak diibadahi) kecuali Engkau.” (Lihat Fathul Majid, hal. 287)
Mudah-mudahan dengan menjaga prosesi pernikahan dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, pernikahan pun jadi diberkahi Allah l. Biduk rumah tangga pun siap melaju dengan diiringi keikhlasan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah l.
Wallahu a’lam. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Menikah, sebagaimana praktik ibadah lainnya dalam Islam, juga terkepung oleh pelbagai penyimpangan. Bagaimana sesungguhnya “menikah” dalam kacamata Islam?
‘Imran bin Hiththan bin Zhabyan, seorang tabiin. Sebelum badai fitnah menghantam, ia seorang yang masyhur dengan menuntut ilmu dan hadits. Lantas, petaka pun tiba. Berawal dari dorongan hasratnya untuk menyadarkan putri pamannya, Hamnah, dari kungkungan paham Khawarij yang menyelimutinya. Ia pun beranjak coba merajut angan. Ia melangkah, mengikat tali kasih dengan putri berparas ayu Kharijiyah. Namun, angan tinggal angan. Citanya semula yang hendak menyadarkan Hamnah dari pemahaman Khawarij, ternyata sirna. Dirinya terfitnah. Pemahaman Khawarij sang istri justru menggerus benaknya. Lunturlah pemahaman Ahlus Sunnah yang lekat padanya. Jadilah ia seorang Khawarij. Ibnu Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, semula termasuk orang yang dijuluki ‘mata para ulama’, akan tetapi kini ia berubah menjadi seorang tokoh papan atas Khawarij. (Lihat Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi, 4/114-115, Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 3/317-318)
Sesungguhnya hati manusia semuanya ada di antara dua jari jemari Ar-Rahman. Jika menghendaki, Allah l bisa memalingkan setiap hati manusia sesuai yang Dia kehendaki. Hendaknya setiap manusia merasa dirinya tidak aman dari fitnah. Ketergelinciran hati manusia bisa disebabkan dari arah manapun. Inilah yang harus diwaspadai. Tak menutup kemungkinan pula ketergelinciran hati seseorang disebabkan karena pernikahan. Berapa banyak orang yang terjatuh pada kesyirikan, lantaran pernikahan dan prosesi yang menyertainya. Berapa banyak pula, disadari atau tidak, mereka terjatuh pada kemaksiatan. Menyadari hati yang bisa berubah-ubah, lemah, mudah terwarnai keadaan dan perlu tiang pancang nan kokoh, hendaknya seorang yang beriman kembali pada apa yang telah dituntunkan Rasulullah n. Berdasar hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, ia pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَـنـِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِـعِ الرَّحْمَنِ كَـقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَـشَاءُ. ثُمَّ قَـالَ رَسُولُ اللهِ n: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Sesungguhnya hati Bani Adam semuanya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman, seperti hati satu orang, Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah n bersabda: “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)
Demikianlah yang dituntunkan Rasulullah n. Memohon diberi ketetapan hati untuk senantiasa kokoh ada dalam ketaatan pada-Nya. Taat dalam setiap keadaan, termasuk saat menginjak ke pelaminan. Hingga dengan pernikahan tersebut, seseorang bisa menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk meraup keteguhan iman. Pernikahan tersebut benar-benar menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah l. Karena, nikah itu adalah sepenggal bentuk ibadah, yang merupakan bentuk pengamalan Sunnah Rasulullah n. Kata Rasulullah n:
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik z)
Becerminlah dari Ummu Sulaim x, seorang shahabiyah yang mulia. Ia menjadikan pernikahannya mampu mengantarkan kebaikan bagi dirinya, suaminya, kehidupan rumah tangganya, dan dakwah secara umum. Anas bin Malik z bertutur:
تَزَوَّجَ أَبُو طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الْإِسْلَامَ، أَسْلَمَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ قَبْلَ أَبِي طَلْحَةَ فَخَطَبَهَا فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، فَإِنْ أَسْلَمْتَ نَكَحْتُكَ. فَأَسْلَمَ فَكَانَ صَدَاقَ مَا بَيْنَهُمَا
“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Yang menjadi mahar bagi pernikahan keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim memeluk Islam sebelum Abu Thalhah. Maka, Abu Thalhah pun lantas melamar Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim, ‘Sungguh aku telah memeluk Islam. Jika engkau hendak menikahiku, engkau harus memeluk Islam terlebih dulu.’ Kemudian Abu Thalhah pun memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi mahar (dalam pernikahan) keduanya.” (HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya, no. 3340. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menshahihkan hadits ini)
Dalam riwayat lain dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim. Maka, Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang yang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak layak ditolak. Tetapi engkau lelaki kafir, sedangkan aku seorang muslimah. Tak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau mau memeluk Islam, maka (keislamanmu) itu sebagai maharku. Aku tidak meminta yang selainnya.’ Lantas Abu Thalhah pun memeluk Islam dan itulah yang menjadi maharnya.” Tsabit berkata: “Tidak pernah aku mendengar sama sekali tentang mahar yang lebih mulia dari yang diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni Islam.” (Sunan An-Nasa`i, no. hadits 3341 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t)
Asy-Syaikh Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari hafizhahullah (salah seorang ulama terkemuka di Yaman), terkait kisah hadits di atas, memberikan nasihat yang laik dicamkan benar-benar oleh kaum muslimin. Kata beliau hafizhahullah, “Begitulah yang semestinya diucapkan seorang muslimah. Dia tidak tertipu dengan harta kekayaan yang dimiliki pihak lelaki. Padahal, Abu Thalhah tergolong orang Anshar yang kaya harta. (Namun demikian) Ummu Sulaim tidak meminta harta kekayaan yang banyak dari Abu Thalhah. Tidak meminta perhiasan emas, tidak juga yang lainnya. Yang diminta hanyalah dia (Abu Thalhah) memeluk Islam karena Allah Rabbul ‘alamin, sekaligus dijadikan mahar baginya. Abu Thalhah pun memeluk Islam. Allah l telah menjadikannya seorang laki-laki beriman, shalih dan membantu (perjuangan) agama hingga Allah l mewafatkannya dalam Islam. Dengan (kecerdasan) akal seorang wanita beriman ini dan dengan keimanannya (Ummu Sulaim), ia menjadi pria tangguh, kokoh, dan berserah diri.” (Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari, hal. 9)
Adapun larangan seorang muslimah dinikahkan dengan seorang laki-laki musyrik telah nyata dalilnya. Terkait masalah ini, Asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa pengharaman menikahkan muslimah dengan laki-laki musyrik, sama saja baik laki-laki tersebut mubtadi’ (melakukan bid’ah yang menjadikan dia musyrik, pen.) atau selainnya, maka hujjah dalam masalah ini jelas berdasar Al-Kitab dan ijma’ (kesepakatan) umat. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Allah l juga berfirman:
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak pula halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Maka, sungguh telah nyata kedua ayat di atas mengharamkan pernikahan muslimah terhadap orang kafir dan musyrik secara mutlak. Sama saja, baik dia seorang ahli kitab atau paganis (penyembah berhala) yang tidak memiliki kitab (bukan ahli kitab), tetap haram.” (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 377)
Sedangkan pengharaman seorang muslim menikah dengan wanita kafir musyrikah, berdasar firman Allah l:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)
Juga firman Allah l:
“Dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat tersebut menjadi dalil atas pengharaman menikahi wanita musyrikah secara umum oleh kaum muslimin. Allah l mengecualikan yang demikian terhadap wanita-wanita ahli kitab, berdasar firman-Nya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Ma`idah: 5)
Maka, selama Allah l berikan keringanan dalam masalah menikahi para wanita ahli kitab, hal itu menjadi boleh. Adapun selain mereka, dari kalangan wanita-wanita musyrikah, larangan menikahi mereka tetap berlaku berdasar keumumannya. Seperti, (larangan menikahi) wanita-wanita penyembah berhala, patung-patung, bintang-bintang, dan api. Termasuk dalam hal ini, menghukumi mereka dari kalangan wanita-wanita pelaku kesyirikan dari kalangan ahli bid’ah, dihukumi karena kekafiran mereka. Hal ini jika mengaitkan para wanita tersebut kepada Islam. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 374)
Diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, atsar yang dinukil dari para imam salaf menunjukkan keharaman menikahi ahli bid’ah yang telah sampai batas ambang kekafiran. Seperti, Jahmiyah dan Qadariyah… Maka tidak boleh menikahkan mereka kepada para wanita Ahlus Sunnah disebabkan kekufurannya. Apabila telah telanjur menikahkannya, maka wajib fasakh (membatalkan) pernikahannya ketika itu juga.
Terkait Syiah Rafidhah, beliau hafizhahullah menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (dalam Majmu’ Fatawa, 32/61) saat menjawab pertanyaan tentang hukum menikah dengan Rafidhi (penganut paham Rafidhah, ed.) dan orang yang mengatakan tidak wajib shalat lima waktu. Kata Syaikhul Islam: “Tidak boleh seseorang menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya kepada seorang Rafidhi dan yang meninggalkan shalat. (Bila) saat menikahkannya atas dasar (pengetahuan) sesungguhnya dia seorang Sunni, menunaikan shalat lima waktu, kemudian diketahui bahwa dia seorang Rafidhi dan meninggalkan shalat, maka mereka harus mem-fasakh pernikahan tersebut.” (Ibid, hal. 380)
Dalam masalah pernikahan, Syiah menganut pemahaman membolehkan nikah mut’ah. Terjadi nikah mut’ah manakala seorang lelaki menikahi wanita dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tertentu itu habis, maka selesailah ikatan pernikahan tersebut. Tidak membutuhkan talak. Tidak ada nafkah bagi wanita itu. Tidak ada beban tanggung jawab pada laki-laki terhadap anak-anak yang dilahirkan wanita tersebut (karena hubungan keduanya). Tidak pula mewarisi (harta) dari laki-laki tersebut. Ini model pernikahan jahiliah. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitabun Nikah, hal. 340)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Nabi n telah mengharamkan mut’ah pada perang Khaibar, yaitu tahun ketujuh dari hijrah. Setelah perjanjian Hudaibiyyah, sebelum Fathu Makkah. Kemudian saat perang Authas (nama tempat dekat kota Tha`if), disebut juga perang Hunain, tahun kedelapan hijrah, Nabi n membolehkan mut’ah selama tiga hari sebagai bentuk rukhshah (keringanan). At-Tarkhish (rukhshah) artinya dibolehkan sesuatu yang asalnya terlarang dengan disertai adanya sebab yang membahayakan. Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah adalah batil. Dibolehkan saat diberlakukan rukhshah (pada masa Nabi n, pen.) dan setelah itu rukhshah itu dihapus. Yang masih memberlakukan nikah mut’ah ini hingga sekarang adalah Syiah Rafidhah.” (Tashilul Ilmam, hal. 340-341)
Rasulullah n telah secara tegas melarang nikah mut’ah. Dari Salamah bin Al-Akwa’ z, berkata:
رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ n عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Rasulullah n pernah memberi rukhshah (keringanan) pada tahun Authas dalam masalah mut’ah selama tiga hari, lalu melarangnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 1405)
Diriwayatkan dari Ali z, dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
“Rasulullah n telah melarang mut’ah pada hari Khaibar. Beliau juga melarang makan daging keledai jinak pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 4216, dan Muslim dalam Shahih-nya, no. 1407)
Pernikahan dalam Adat Jawa
Pernikahan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Masyarakat Jawa meyakini bahwa saat peralihan dari tingkat sosial yang satu ke yang lain, merupakan saat-saat berbahaya. Karenanya, untuk mendapatkan keselamatan hidup, dilakukan upacara-upacara. Menjadi manten (pengantin) merupakan bagian dari peralihan itu sendiri. Tradisi yang berlangsung biasanya berupa petung, prosesi, dan sesaji.
Petung adalah musyawarah untuk memutuskan suatu acara penting dalam keluarga. Petung dina lazim dilakukan untuk menentukan hari baik pada acara hajatan, seperti hari penikahan. Selain melihat calon mempelai dari kriteria bibit (keturunan), bobot (berat, yakni dilihat dari harta bendanya), bebet (kedudukan sosialnya: priayi, rakyat biasa, atau status sosial lainnya), juga ditentukan melalui pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman menentukan jodoh berdasar nama, hari kelahiran, dan neptu (jumlah nilai hari kelahiran dan nilai pasarannya: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Melalui perhitungan-perhitungan yang didasarkan Primbon Betaljemur Adammakna, maka kedua mempelai akan ditentukan baik buruknya perjodohan.
Selain itu, dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa masih meyakini peristiwa kejugrugan gunung. Yaitu peristiwa kematian atau kecelakaan salah satu anggota keluarga dekat mempelai pengantin. Peristiwa itu diyakini sebagai isyarat buruk dari pernikahan yang akan dilakukan.
Termasuk kepercayaan baik-buruk dalam masalah pernikahan, dalam tradisi masyarakat Jawa masih ada yang meyakini bulan-bulan baik untuk pernikahan yaitu Rejeb dan Besar. Bulan-bulan buruk yaitu Jumadil Awal, Pasa, Sura, dan Sapar. (Lihat Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Dr. Purwadi, dkk, Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol. I, No. 2)
Bagaimana pandangan syariat terhadap keyakinan-keyakinan seperti di atas?
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam, menyebutkan bahwa umat tertimpa malapetaka dengan tathayyur sejak menyimpang dari beribadah kepada Allah l. Tathayyur adalah (anggapan) kesialan. Sungguh, orang-orang sesat telah sampai kepada masalah penetapan kesialan hingga taraf yang membahayakan. Pada sebagian orang, nasib sial ditentukan karena waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, misal angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung, seperti dengan burung hantu, gagak, dan lainnya… Ketahuilah, tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) adalah termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah l. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)
Allah l berfirman:
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 131)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud z secara marfu’:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tak seorangpun di antara kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 3910, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdulwahhab menyatakan (terkait hadits di atas) bahwa hal ini menjadi penjelas perihal pengharaman thiyarah. Karena hal itu termasuk syirik, terkait dengan menggantungkan hati kepada selain Allah l. Dikatakan dalam Syarhus Sunnah, bahwa thiyarah dikategorikan sebagai syirik karena mereka meyakini, sesungguhnya thiyarah bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudarat pada mereka, jika mereka telah mengamalkan apa yang diharuskan. Maka, hal ini seperti mereka menyekutukan (sesuatu) bersama Allah l. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr, (bahwa Rasulullah n bersabda yang artinya): “Barangsiapa yang mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah melakukan kesyirikan.” Para sahabat bertanya, “Maka, apa kaffarah (tebusan) untuk hal itu?” Beliau n menjawab:
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada ilah (sesembahan yang berhak diibadahi) kecuali Engkau.” (Lihat Fathul Majid, hal. 287)
Mudah-mudahan dengan menjaga prosesi pernikahan dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, pernikahan pun jadi diberkahi Allah l. Biduk rumah tangga pun siap melaju dengan diiringi keikhlasan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah l.
Wallahu a’lam. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Surat Pembaca edisi 39
Anak Zina, Anak Haram?
Pada Asy-Syari’ah edisi baru (edisi 38, red.), di halaman 7 tertulis … anak jadah/haram. Benarkah anak yang lahir di luar nikah anak haram? Kalau begitu apa sebaiknya digugurkan saja/dibunuh bayi-bayi yang lahir di luar pernikahan?
Ari
08132621xxxx
Apa yang tertulis dalam majalah sebenarnya hanyalah pengistilahan yang umum berlaku di masyarakat dari anak yang dihasilkan dari proses yang haram (di luar nikah). Bukan makna yang senyatanya (yang memupus kefitrian anak), meski bagi sebagian masyarakat istilah tersebut memang terkesan keras. Wallahu a’lam. Bagaimana status anak zina tersebut di mata syariat, anda bisa membaca rubrik Problema Anda dalam edisi kali ini. Menggarisbawahi poin yang anda tanyakan, perlu kami tekankan di sini bahwa setiap jiwa tidaklah boleh dibunuh tanpa alasan yang haq, yang memang dibenarkan oleh syariat.
Tahlilan dan Nyanyian
Tolong bahas masalah tahlilan, ziarah kubur yang benar, peringatan Isra Mi’raj dan lainnya, hukum nyanyian, serta bid’ah-bid’ah yang berkembang di Indonesia.
Ario
Malang
08180300xxxx
Tentang tahlilan, peringatan atau perayaan dalam Islam, serta bid’ah-bid’ah yang berkembang di Indonesia, belum bisa kami angkat dalam waktu dekat ini. Namun untuk nyanyian atau musik, insya Allah, akan diangkat menjadi tema utama edisi depan.
Ralat Kalimat
Pada rubrik kajian utama edisi Emansipasi (edisi 38, red.) halaman 24 kurang kata “ketidak…” sehingga menjadi “ketidakpatuhan dan ketidaktaatan.”
08564729xxxx
Anda benar, jazakumullahu khairan atas koreksinya. Jawaban ini sekaligus merupakan ralat, termasuk pada textwrap pada halaman yang sama.
Menempel Artikel Majalah
Apabila ana memfotokopi secara utuh beberapa lembar dari halaman majalah untuk nantinya ditempel di masjid, bolehkah?
Syifa’
08572903xxxx
Boleh, untuk kepentingan dakwah saudari dapat memfotokopi serta menempelkannya di masjid. Ketentuan tentang apa yang saudari tanyakan bisa dilihat kembali di Sajian (Daftar Isi) bagian bawah.
Tentang Multi Level Marketing
Kapan majalah menampilkan bahasan tentang jual beli dengan sistem MLM secara lengkap tentang hukum dan dalilnya. Sebab ana belum mendapatkan penjelasannya secara lengkap.
Ali-Pangkep
08134253xxxx
Pertanyaan tentang MLM memang cukup banyak yang masuk ke meja redaksi kami. Namun demikian, sesuai silabi yang kami susun, usulan anda belum bisa diangkat dalam waktu dekat. Kami harap pembaca bisa bersabar.
Pada Asy-Syari’ah edisi baru (edisi 38, red.), di halaman 7 tertulis … anak jadah/haram. Benarkah anak yang lahir di luar nikah anak haram? Kalau begitu apa sebaiknya digugurkan saja/dibunuh bayi-bayi yang lahir di luar pernikahan?
Ari
08132621xxxx
Apa yang tertulis dalam majalah sebenarnya hanyalah pengistilahan yang umum berlaku di masyarakat dari anak yang dihasilkan dari proses yang haram (di luar nikah). Bukan makna yang senyatanya (yang memupus kefitrian anak), meski bagi sebagian masyarakat istilah tersebut memang terkesan keras. Wallahu a’lam. Bagaimana status anak zina tersebut di mata syariat, anda bisa membaca rubrik Problema Anda dalam edisi kali ini. Menggarisbawahi poin yang anda tanyakan, perlu kami tekankan di sini bahwa setiap jiwa tidaklah boleh dibunuh tanpa alasan yang haq, yang memang dibenarkan oleh syariat.
Tahlilan dan Nyanyian
Tolong bahas masalah tahlilan, ziarah kubur yang benar, peringatan Isra Mi’raj dan lainnya, hukum nyanyian, serta bid’ah-bid’ah yang berkembang di Indonesia.
Ario
Malang
08180300xxxx
Tentang tahlilan, peringatan atau perayaan dalam Islam, serta bid’ah-bid’ah yang berkembang di Indonesia, belum bisa kami angkat dalam waktu dekat ini. Namun untuk nyanyian atau musik, insya Allah, akan diangkat menjadi tema utama edisi depan.
Ralat Kalimat
Pada rubrik kajian utama edisi Emansipasi (edisi 38, red.) halaman 24 kurang kata “ketidak…” sehingga menjadi “ketidakpatuhan dan ketidaktaatan.”
08564729xxxx
Anda benar, jazakumullahu khairan atas koreksinya. Jawaban ini sekaligus merupakan ralat, termasuk pada textwrap pada halaman yang sama.
Menempel Artikel Majalah
Apabila ana memfotokopi secara utuh beberapa lembar dari halaman majalah untuk nantinya ditempel di masjid, bolehkah?
Syifa’
08572903xxxx
Boleh, untuk kepentingan dakwah saudari dapat memfotokopi serta menempelkannya di masjid. Ketentuan tentang apa yang saudari tanyakan bisa dilihat kembali di Sajian (Daftar Isi) bagian bawah.
Tentang Multi Level Marketing
Kapan majalah menampilkan bahasan tentang jual beli dengan sistem MLM secara lengkap tentang hukum dan dalilnya. Sebab ana belum mendapatkan penjelasannya secara lengkap.
Ali-Pangkep
08134253xxxx
Pertanyaan tentang MLM memang cukup banyak yang masuk ke meja redaksi kami. Namun demikian, sesuai silabi yang kami susun, usulan anda belum bisa diangkat dalam waktu dekat. Kami harap pembaca bisa bersabar.
Mewujudkan Pernikahan Islami
Rasulullah n memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah
menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa
pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Ia bukan sekadar
lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”. Namun lebih dari itu.
Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim menjadi
sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan
hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya,
anak-anaknya, dst.
Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga
tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya
mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya
pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus untuk berumah tangga sebagai
bentuk ibadah kepada Allah l diringi dengan kesiapan untuk menerima
segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan
niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur
rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.
Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang
menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan
mengukuhi adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah dalam
Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sahibul
hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya.
Walimah nikah juga tidaklah dimaknai sebagai acara jual beli yang
memperhitungkan untung rugi atau minimalnya “balik modal”, sebagaimana
hal ini tecermin dalam budaya amplop. Sehingga yang diundang tidak
dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”, atau bahkan yang
“tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah “yang
penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.”
Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah n menyebut makanan
dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang kaya sebagai
sejelek-jelek makanan.
Lebih-lebih jika itu semua dibumbui acara-acara yang tidak memiliki
makna secara Islam seperti (dalam adat Jawa) siraman, ngerik,
midodareni, jual dawet, panggih, balang suruh, nginjak telur, dan
sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing
party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, berciuman di depan
tamu undangan, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa
musik (organ tunggal).
Namun demikian, soal kemungkaran dalam proses menikah ini tidak
hanya terjadi dalam dunia awam. Di kalangan aktivis atau pergerakan
Islam juga tak sepi dari kemungkaran. Dalam niat, tak sedikit dari
mereka yang meniatkan menikah karena ingin lari dari ”masa lalu”, semata
menghindari orangtua yang dianggap jauh dari nilai-nilai Islam, dan
sebagainya. Dalam tataran praktik ada yang mengawali proses nikah dengan
pacaran ”Islami”, saling tukar foto, biro jodoh ”Islami”, hingga
menikah tanpa wali.
Sebaliknya, ada pula kelompok sempalan Islam yang justru
mengajarkan untuk hidup membujang atau selibat sebagaimana ini telah
dilakoni para pastor, frater, bruder, suster, biksu/biksuni,
biarawan/biarawati, rahib, dan sejenisnya. Itulah salah satu inti ajaran
Sufi. Membiaklah dari gaya hidup menyimpang ala “rohaniwan-rohaniwan”
ini, beragam kelainan seperti homoseks, pedofilia, incest (hubungan seks
sedarah), dan lainnya.
Tak kalah “kacau balau”, adalah apa yang menjadi amalan ibadahnya
orang-orang Syiah Rafidhah, yakni nikah mut’ah. Model pernikahan yang
umum disebut dengan kawin kontrak ini praktiknya justru menjadi pintu
perzinaan yang dikemas legal. Tak heran, jika ada orang-orang yang
diulamakan atau ditokohkan tertangkap basah melakukan perzinaan, alasan
nikah mut’ah kerap mengemuka.
Begitulah ketika fitrah agama ini dilanggar. Perzinaan semakin
subur, perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat
pun menjadi bom waktu. Maka sudah masanya bagi kita untuk menghidupkan
syariat Allah l, mewujudkan pernikahan Islami di tengah masyarakat kita!
Tanda Khusnul Khatimah
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya. Al-Imam Al-Albani t menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha. Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah k agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!
Pertama: mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal z, ia menyampaikan dari Rasulullah n:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)
Kedua: meninggal dengan keringat di dahi.
Buraidah ibnul Hushaib z ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)
Ketiga: meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr c, beliau menyebutkan sabda Rasulullah n:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)
Keempat: syahid di medan perang. Allah k berfirman:
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)
Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah n bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)
2. Salah seorang sahabat Rasulullah n mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau n menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Kelima: meninggal di jalan Allah k.
Abu Hurairah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)
Keenam: meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik z, ia berkata, “Rasulullah n bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Aisyah x pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang tha’un, maka Rasulullah n mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)
Ketujuh: meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah n:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah z)
Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit z. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah n menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)
Kesembilan: meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi z menyebutkan hadits Rasulullah n:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)
Kesepuluh: meninggal dalam keadaan beramal shalih.
Hudzaifah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)
Kesebelas: meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah n bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr c)
Abu Hurairah z berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah n, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)
Keduabelas: meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah n pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid z dan sanadnya shahih)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya. Al-Imam Al-Albani t menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha. Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah k agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!
Pertama: mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal z, ia menyampaikan dari Rasulullah n:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)
Kedua: meninggal dengan keringat di dahi.
Buraidah ibnul Hushaib z ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)
Ketiga: meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr c, beliau menyebutkan sabda Rasulullah n:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)
Keempat: syahid di medan perang. Allah k berfirman:
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)
Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah n bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)
2. Salah seorang sahabat Rasulullah n mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau n menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Kelima: meninggal di jalan Allah k.
Abu Hurairah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)
Keenam: meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik z, ia berkata, “Rasulullah n bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Aisyah x pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang tha’un, maka Rasulullah n mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)
Ketujuh: meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah n:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah z)
Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit z. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah n menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)
Kesembilan: meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi z menyebutkan hadits Rasulullah n:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)
Kesepuluh: meninggal dalam keadaan beramal shalih.
Hudzaifah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)
Kesebelas: meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah n bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr c)
Abu Hurairah z berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah n, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)
Keduabelas: meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah n pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid z dan sanadnya shahih)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Penghukuman hadits ini dari Asy-Syaikh Al-Albani t dalam kitab yang sama.
2 Satu pendapat menyebutkan bahwa tha’un adalah luka-luka semacam
bisul bernanah yang biasa muncul di siku, ketiak, tangan, jari-jari dan
seluruh tubuh, disertai dengan bengkak serta sakit yang sangat.
Luka-luka itu keluar disertai rasa panas dan menghitam daerah
sekitarnya, atau menghijau ataupun memerah dengan merah lembayung (ungu)
yang suram. Penyakit ini membuat jantung berdebar-debar dan memicu
muntah. (Lihat Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/425)
Penjelasan lain tentang tha’un bisa dilihat dalam Fathul Bari, 10/222,223) -pent.
Memotong Rambut Seperti Model Barat
Tanya: Apa hukumnya memotong rambut dengan model yang diambil dari
majalah-majalah Barat atau model potongan yang dikenal di kalangan
orang-orang dengan nama tertentu, yang juga diambil dari Barat? Apabila
telah tersebar luas model potongan demikian di kalangan wanita muslimah,
apakah masih teranggap tasyabbuh?
Jawab: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Allah k menciptakan rambut wanita sebagai keindahan dan perhiasan baginya, sehingga haram bagi si wanita mencukurnya kecuali karena darurat. Bahkan dalam tahallul haji dan umrah, si wanita hanya disyariatkan memotong rambutnya seukuran kuku, di mana dalam saat yang bersamaan (dalam dua ibadah ini) lelaki disyariatkan mencukur rambutnya. Hal ini termasuk bukti bahwa wanita dituntut memelihara rambutnya dan tidak memotongnya kecuali karena kebutuhan, bukan semata alasan ingin berhias. Karena –misalnya– si wanita sakit sehingga rambutnya perlu dipotong atau ia tidak mampu menyediakan kebutuhan (biaya) perawatan rambutnya karena kefakirannya. Dalam keadaan seperti ini, boleh bagi si wanita meringankan rambutnya dengan memotongnya, sebagaimana hal ini dilakukan oleh sebagian istri Nabi n sepeninggal beliau1.
Adapun bila si wanita memotong rambutnya karena tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir dan fasik, maka tidak diragukan keharamannya, walaupun model seperti itu telah banyak tersebar di kalangan wanita muslimah, selama asalnya tasyabbuh maka tetap haram. Tersebar bukanlah berarti pembolehan, berdasarkan sabda Rasulullah n:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.”
Dan juga sabda beliau :
Jawab: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Allah k menciptakan rambut wanita sebagai keindahan dan perhiasan baginya, sehingga haram bagi si wanita mencukurnya kecuali karena darurat. Bahkan dalam tahallul haji dan umrah, si wanita hanya disyariatkan memotong rambutnya seukuran kuku, di mana dalam saat yang bersamaan (dalam dua ibadah ini) lelaki disyariatkan mencukur rambutnya. Hal ini termasuk bukti bahwa wanita dituntut memelihara rambutnya dan tidak memotongnya kecuali karena kebutuhan, bukan semata alasan ingin berhias. Karena –misalnya– si wanita sakit sehingga rambutnya perlu dipotong atau ia tidak mampu menyediakan kebutuhan (biaya) perawatan rambutnya karena kefakirannya. Dalam keadaan seperti ini, boleh bagi si wanita meringankan rambutnya dengan memotongnya, sebagaimana hal ini dilakukan oleh sebagian istri Nabi n sepeninggal beliau1.
Adapun bila si wanita memotong rambutnya karena tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir dan fasik, maka tidak diragukan keharamannya, walaupun model seperti itu telah banyak tersebar di kalangan wanita muslimah, selama asalnya tasyabbuh maka tetap haram. Tersebar bukanlah berarti pembolehan, berdasarkan sabda Rasulullah n:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.”
Dan juga sabda beliau :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang menyerupai (tasyabbuh) dengan selain kami.”2
Kaidah dalam perkara ini adalah apa yang merupakan kebiasaan
orang-orang kafir secara khusus maka tidak boleh kita melakukannya dalam
rangka tasyabbuh dengan mereka. Karena tasyabbuh dengan mereka dalam
perkara dzahir menunjukkan kecintaan kepada mereka di dalam batin.
Padahal Allah k telah berfirman:
“Siapa di antara kalian berloyalitas dengan mereka (orang-orang
kafir) maka dia termasuk dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51)
Berloyalitas kepada mereka adalah mencintai mereka dan termasuk
fenomena cinta adalah tasyabbuh dengan mereka.” (Al-Muntaqa min Fatawa
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/186, 187)
1 Seperti yang disebutkan dalam hadits berikut ini:
Abu Salamah bin Abdirrahman, anak susu dari Ummu Kultsum bintu Abi
Bakr, saudara perempuan Aisyah g, menyatakan, “Aku masuk ke tempat
Aisyah x bersama saudara laki-laki sepersusuan Aisyah. Maka saudaranya
ini bertanya kepada Aisyah tentang mandi janabah Nabi n. Aisyah pun
meminta diambilkan air dalam bejana yang berukuran sekadar satu sha’,
lalu ia mandi, sementara antara kami dan Aisyah ada penutup. Aisyah
menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali. Kata Abu Salamah:
كَانَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ n يَأْخُذْنَ مِنْ رُؤُسِهِنَّ حَتَّى يَكُوْنَ كَالوَفْرَةِ
“Adalah istri-istri Nabi n mengambil (memendekkan) rambut mereka hingga seperti wafrah.” (HR. Muslim no. 726)
Wafrah adalah rambut yang sampai ke kedua telinga dan tidak
melebihinya. Al-Qadhi Iyadh t menyatakan bahwa yang umum di kalangan
wanita-wanita Arab adalah memanjangkan rambut mereka hingga dapat
dijalin. Adapun yang dilakukan oleh istri-istri Nabi n ini bisa jadi
setelah wafat beliau n, karena mereka tidak lagi butuh berdandan dan
merasa tidak ada kebutuhan memanjangkan rambut mereka, dalam rangka
mempermudah perawatan rambut. Al-Imam An-Nawawi t memastikan bahwa hal
itu dilakukan oleh istri-istri Nabi n setelah beliau meninggal, bukan di
masa hidup beliau. Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Dalam hadits ini ada
dalil bolehnya wanita mengurangi rambutnya. Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj,
3/229)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata, “Boleh bagi wanita
mengambil/memotong rambutnya jika tidak bertujuan untuk tasyabbuh dengan
wanita-wanita kafir. Namun kalau tujuannya tasyabbuh, tidaklah
dibolehkan dengan dalil sabda Rasulullah n:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
dan hadits lainnya.” (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, hal. 148) -pent.
2 HR. At-Tirmidzi no. 2695 dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Lihat Ash-Shahihah hadits no. 2194.
Hukum (Rambut) Berponi
Tanya: Apa pendapat Anda tentang perbuatan sebagian wanita yang
memotong bagian depan rambut mereka dengan maksud berhias, yang biasa
distilahkan poni?
Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t
mengatakan: “Fuqaha Al-Hanabilah rahimahumullah menyebutkan dimakruhkan
wanita mengurangi sedikitpun dari rambut kepalanya kecuali dalam
tahallul ibadah haji atau umrah. Akan tetapi mereka tidak menyebutkan
dalil dalam masalah ini. Sebagian fuqaha Al-Hanabilah bahkan sampai
mengharamkan wanita menggunting rambutnya kecuali dalam tahallul haji
atau umrah. Akan tetapi saya tidak mengetahui ada dalil bagi mereka
dalam pengharaman tersebut. Sehingga yang rajih (pendapat yang kuat)
menurut saya adalah bila potongan rambut wanita tersebut sampai
menyerupai model rambut laki-laki atau menyerupai wanita-wanita musyrik,
maka hal itu tidak dibolehkan karena Nabi n:
لَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجاَلِ
“Beliau melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.”1
Rasulullah n juga bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.”2
Adapun bila potongan rambutnya tidak sampai pada batasan tersebut
(tidak menyerupai laki-laki atau menyerupai wanita kafir, pent.) maka
dibolehkan. Namun bersamaan dengan pendapat saya ini, saya tidak
menyukai dan tidak memandang baik bila wanita ataupun selain wanita
sibuk mengikuti setiap model baru yang ada. Karena, kalau kita asyik
mengikuti setiap model baru dan mengikuti semua yang datang dari luar
maka pastilah kita akan memasuki pintu taqlid (membebek) kepada mereka.
Hingga bisa jadi taqlid kita kepada mereka sampai dalam kesesatan
akhlak, akidah, dan pemikiran yang ada pada mereka.” (Fatawa Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 2/831)
Tanya: Bolehkah wanita memendekkan bagian depan dari rambutnya yang
terkadang sampai di atas alis si muslimah? Jazakumullah khairan.
Jawab: Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t berkata: “Kami tidak
memandang adanya larangan memotong rambut bagi wanita, yang dilarang
adalah menggundulinya. Engkau (wahai saudari) tidak boleh menggundul
rambut kepalamu. Namun kalau engkau memotongnya karena terlalu panjang
atau terlalu lebat, kami tidak melihat adanya larangan. Namun hendaknya
itu dilakukan dengan cara yang baik yang engkau sukai dan disukai oleh
suamimu. Di mana kalian berdua bisa menyepakati bentuk potongan tersebut
dengan syarat tidak menyerupai wanita kafir. Karena mungkin bila
dibiarkan panjang dan lebat akan sulit membersihkan serta menyisirnya.
Bila rambut si wanita lebat lalu ia memotong sebagiannya karena terlalu
panjang atau terlalu lebat maka tidak jadi masalah. Atau karena bila
dipangkas akan tampak lebih indah sehingga engkau dan suamimu
menyukainya, maka kami menganggap hal itu boleh-boleh saja. Adapun
mencukurnya sampai habis (gundul) tidak dibolehkan kecuali karena alasan
penyakit dan sejenisnya.” (Fatawal Mar`ah, hal. 85)
1 Ibnu ‘Abbas c berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللهُ n الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ, وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan
wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)
–pent.
2 HR. Ahmad 2/50, 92, Abu Dawud, dan selainnya dari Ibnu ‘Umar c.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1269. –pent.
Surat An-nisa Salah Satu Bukti Memuliakan Wanita
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.
1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah n sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah k menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam q. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah k berfirman: dan Nabi n menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah k berfirman:
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah x tentang firman Allah k: maka Aisyah menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah n tentang perkara wanita, maka Allah l menurunkan ayat:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah x berkata, “Dan firman Allah l dalam ayat yang lain:
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)
Masih dalam hadits Aisyah x tentang firman Allah k:
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah x berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah k berfirman:
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas c, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir t melanjutkan pada tafsir ayat: maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, ﭿ ﮀ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah k berfirman:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah k berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas c menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi t, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah k berfirman:
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah k berfirman dalam hal ini:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah n sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah k berfirman:
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Firman Allah l: ﯥ ﯦ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah l berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah z disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah k berfirman:
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.
Allah k berfirman:
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah k berfirman:
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah l-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr c adalah saudara perempuan Aisyah.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t.
Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?
Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)
Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.
1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah n sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah k menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam q. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)
Dalam hadits shahih disebutkan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah k berfirman: dan Nabi n menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)
2. Dijaganya hak perempuan yatim.
Allah k berfirman:
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah x tentang firman Allah k: maka Aisyah menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah n tentang perkara wanita, maka Allah l menurunkan ayat:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah x berkata, “Dan firman Allah l dalam ayat yang lain:
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)
Masih dalam hadits Aisyah x tentang firman Allah k:
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah x berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah k berfirman:
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas c, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir t melanjutkan pada tafsir ayat: maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, ﭿ ﮀ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.
Allah k berfirman:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.
Allah k berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)
Ibnu ‘Abbas c menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi t, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)
6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.
Allah k berfirman:
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah k berfirman dalam hal ini:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah n sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah k berfirman:
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Firman Allah l: ﯥ ﯦ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah l berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah z disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)
8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.
Allah k berfirman:
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)
9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.
Allah k berfirman:
“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)
Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Di akhir ayat di atas, Allah k berfirman:
“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)
Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)
Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah l-lah yang memberi taufik.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr c adalah saudara perempuan Aisyah.
2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t.
Salma Ummu Rafi’
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Dia adalah maulah (budak yang dibebaskan) Rasulullah n. Cukup lama dia memberikan khidmah (pengabdian) kepada Rasulullah n. Bahkan dialah yang menolong istri Rasulullah n, Khadijah bintu Khuwailid x saat melahirkan putra-putri beliau n. Ketika lahir cucu-cucu Rasulullah n dari Fathimah x, Salma pula yang membantu proses kelahirannya.
Demikian pula saat Mariyah Al-Qibthiyah, ummu walad Rasulullah n melahirkan putranya, Ibrahim. Setelah Ibrahim lahir dengan selamat, Salma Ummu Rafi’ x memanggil suaminya, Abu Rafi’ z, untuk menyampaikan kabar gembira akan lahirnya Ibrahim. Bergegas Abu Rafi’ menemui Rasulullah n. Penuh suka cita Rasulullah n menyambut kabar gembira ini, hingga beliau hadiahkan seorang budak kepada Abu Rafi’.
Suatu ketika, Ummu Rafi’ datang menemui Rasulullah n. Kepada beliau, dia adukan permasalahannya dengan suaminya. “Dia memukul saya,” katanya mengadu. “Ada masalah apa antara engkau dengan istrimu, wahai Abu Rafi’?” tanya beliau pada Abu Rafi’. “Dia mengganggu saya,” akunya.
“Gangguan apa yang kauberikan padanya, wahai Salma?” tanya beliau lagi. “Saya tidak mengganggunya sama sekali,” jawab Salma, “Tapi suatu waktu, dia berhadats ketika sedang shalat. Lalu saya katakan kepadanya, ‘Hai Abu Rafi’, sesungguhnya Rasulullah n pernah memerintahkan kepada kaum muslimin, jika salah seorang buang angin, hendaknya dia berwudhu!’ Tiba-tiba dia bangkit memukul saya!”
Rasulullah n tertawa mendengar jawaban Ummu Rafi’. “Wahai Abu Rafi’, dia itu tidak menyuruhmu kecuali pada kebaikan!” Lalu beliau pun mencandai Abu Rafi’.
Saat meninggalnya Fathimah Az-Zahra bintu Rasulillah x, Ummu Rafi’ turut memandikan jenazahnya bersama ‘Ali bin Abi Thalib z dan Asma` bintu ‘Umais x.
Ummu Rafi’ sempat meriwayatkan ilmu dari Rasulullah n dan putri beliau, Fathimah x. Riwayatnya pun diambil oleh sang cucu, ‘Ubaidullah bin ‘Ali bin Abi Rafi’.
Salma Ummu Rafi’, semoga Allah l meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
• Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/187-188)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (10/216)
• Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/196-198)
Dia adalah maulah (budak yang dibebaskan) Rasulullah n. Cukup lama dia memberikan khidmah (pengabdian) kepada Rasulullah n. Bahkan dialah yang menolong istri Rasulullah n, Khadijah bintu Khuwailid x saat melahirkan putra-putri beliau n. Ketika lahir cucu-cucu Rasulullah n dari Fathimah x, Salma pula yang membantu proses kelahirannya.
Demikian pula saat Mariyah Al-Qibthiyah, ummu walad Rasulullah n melahirkan putranya, Ibrahim. Setelah Ibrahim lahir dengan selamat, Salma Ummu Rafi’ x memanggil suaminya, Abu Rafi’ z, untuk menyampaikan kabar gembira akan lahirnya Ibrahim. Bergegas Abu Rafi’ menemui Rasulullah n. Penuh suka cita Rasulullah n menyambut kabar gembira ini, hingga beliau hadiahkan seorang budak kepada Abu Rafi’.
Suatu ketika, Ummu Rafi’ datang menemui Rasulullah n. Kepada beliau, dia adukan permasalahannya dengan suaminya. “Dia memukul saya,” katanya mengadu. “Ada masalah apa antara engkau dengan istrimu, wahai Abu Rafi’?” tanya beliau pada Abu Rafi’. “Dia mengganggu saya,” akunya.
“Gangguan apa yang kauberikan padanya, wahai Salma?” tanya beliau lagi. “Saya tidak mengganggunya sama sekali,” jawab Salma, “Tapi suatu waktu, dia berhadats ketika sedang shalat. Lalu saya katakan kepadanya, ‘Hai Abu Rafi’, sesungguhnya Rasulullah n pernah memerintahkan kepada kaum muslimin, jika salah seorang buang angin, hendaknya dia berwudhu!’ Tiba-tiba dia bangkit memukul saya!”
Rasulullah n tertawa mendengar jawaban Ummu Rafi’. “Wahai Abu Rafi’, dia itu tidak menyuruhmu kecuali pada kebaikan!” Lalu beliau pun mencandai Abu Rafi’.
Saat meninggalnya Fathimah Az-Zahra bintu Rasulillah x, Ummu Rafi’ turut memandikan jenazahnya bersama ‘Ali bin Abi Thalib z dan Asma` bintu ‘Umais x.
Ummu Rafi’ sempat meriwayatkan ilmu dari Rasulullah n dan putri beliau, Fathimah x. Riwayatnya pun diambil oleh sang cucu, ‘Ubaidullah bin ‘Ali bin Abi Rafi’.
Salma Ummu Rafi’, semoga Allah l meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
• Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/187-188)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (10/216)
• Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/196-198)
Tanggung Jawabmu di Rumah Suamimu
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah)
Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?
Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?
Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan dikungkung dalam
rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur dalam rumah berarti
membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita
berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu bersama lelaki
membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!
Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh
ini dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia
terbuang? Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah
karena mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam
defenisi kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar
rumah. Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus
suami dan anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak
memberikan pendapatan bagi negara.
Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi pekerjaan yang mulia
kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah mereka? Mereka diberi
tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima
bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa
kepada masyarakat dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi
mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan
fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang
berakal sehat dan lurus serta mau menggunakan akalnya. Suatu peran yang
tidak dapat dinilai dengan materi.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ
عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ
زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang
ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia
adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang
lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan
ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli
bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka.
Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya
tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap
kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138
dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar c)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus
memegangi perkara yang dapat membaikkan amanah yang ada dalam
penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang
dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj
12/417, Fathul Bari, 13/140)
Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang
amanah, bertindak sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa
yang diamanahkan kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala
negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang
amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak
ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Begitu pula seorang suami
sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta
pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping
suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya
berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang
pengaturannya dan tentang anak-anaknya.
Al-Khaththabi t berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di
atas, seorang imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang
lainnya, semuanya berserikat dalam penamaan atau pensifatan sebagai
ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda. Amanah dan
tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga
syariat dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum.
Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap keluarganya adalah
pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan hak-hak mereka.
Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan
rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik
untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia bertanggung jawab
menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan pelayanan yang
wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)
Al-Qadhi Iyadh t mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap
orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk
berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan
perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti,
seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap
rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan
pengaturannya terhadap harta tuannya.” (Al-Ikmal, 6/230)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjelaskan, “Setiap
ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada
yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya
kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya
tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang
suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya,
yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara
perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in
bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib
baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik
pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta
pertanggungjawaban tentang mereka.
Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan
akan ditanya tentang urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi
rumah dengan baik, dalam memasak, dalam menyiapkan kopi, teh, dalam
menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang
semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus
menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak
mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan
adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas dalam apa yang
tidak sepantasnya. Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya
dalam perbaikan mereka dan perbaikan keadaan serta urusan mereka,
seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka, melepaskan pakaian
yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka,
memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Demikian, ia akan
ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang
memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya.
Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam
rumahnya.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus
dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas
tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling
berilmu dan paling takut kepada Allah k, yaitu Rasulullah n sebagai
pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah k dari atas langit yang
ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya,
melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau n.
Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan
teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul rasa minder
berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di
rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya.
Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang
harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan
yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah k. Dan para ibu
rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan
ditanya tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits
Rasulullah n di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:
مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ
“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari
kiamat, apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah
menyia-nyiakannya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah
z, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam
Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar c
di atas )
Dan juga hadits:
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa
yang dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah
menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh
Al-Hafizh t dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik z)
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf,
termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan
menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya terhadap perkara yang
berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)
Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan
sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan
penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya
terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan
kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya
dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Kewajiban Menunaikan Amanah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.)
الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي فَرَضَ عَلَى الْعِبَادِ أدَاءََ الْأمَانَةِِ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِمْ الـْمَكْرَ وَالْـخِيَانَةَ وَأشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ يَرْجُوْ بِهاَ النَّجَاةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ الَّذِي خَتَمَ اللهُ بِهِ الرِّسَالَةَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الـْمَوْصُوْفُوْنَ بِالْعَدَالَةِ وسَلَّمَ تَسْلِيْمَا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Mengawali khutbah ini kami berwasiat pada diri kami pribadi dan seluruh hadirin untuk bertakwa kepada Allah l. Yaitu agar kita menjaga dan membentengi diri dari kemarahan serta siksa Allah l. Dan hal ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita serta dengan menjauhi segala larangan-Nya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Di antara bentuk ketakwaan seorang hamba kepada Allah l adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya. Baik amanah yang berkaitan dengan kewajiban kepada Allah l seperti shalat, berwudhu, membayar zakat dan yang lainnya, maupun yang berkaitan dengan kewajiban kepada sesama manusia. Sehingga seseorang perlu memahami bahwa amanah itu sangat luas cakupannya. Dan amanah yang diemban oleh setiap orang tidak selalu sama dengan yang lainnya. Namun semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah l nanti atas pelaksanaan amanah yang dipikulnya.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui, bahwa menjalankan amanah dan menjaganya bukanlah perkara yang bisa dilakukan semudah membalik tangan. Allah l telah menjelaskan tentang beratnya amanah di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah (yaitu menjalankan perintah-perintah Allah l dan meninggalkan seluruh larangan-Nya) kepada seluruh langit dan bumi serta gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Di dalam ayat tersebut kita mengetahui, bahwa makhluk-makhluk Allah l yang sangat besar tidak bersedia menerima amanah yang ditawarkan kepada mereka. Yaitu amanah yang berupa menjalankan syariat yang Allah l turunkan melalui utusan-Nya. Mereka enggan untuk menerima amanah tersebut bukan karena ingin menyelisihi Allah l. Bukan pula karena mereka tidak berharap balasan Allah l yang sangat besar dengan menjalankan amanah tersebut. Akan tetapi mereka menyadari betapa beratnya memikul amanah. Sehingga mereka khawatir akan menyelisihi amanah tersebut yang berakibat akan terkena siksa Allah l yang sangat pedih. Hanya saja, manusia dengan berbagai kelemahannya, memilih untuk menerima amanah tersebut. Sehingga kemudian terbagilah manusia menjadi tiga kelompok.
Kelompok yang pertama adalah orang–orang yang menampakkan dirinya seolah-olah menjalankan amanah. Yaitu dengan menampakkan keimanannya namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka itulah yang disebut orang–orang munafik.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang dengan terang-terangan menyelisihi amanah tersebut. Yaitu mereka tidak mau beriman baik secara lahir maupun batin. Mereka adalah orang-orang kafir dan musyrikin.
Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang menjaga amanah yaitu orang-orang yang beriman baik secara lahir maupun batin.
Dua kelompok pertama yang kita sebutkan tadi akan diadzab dengan adzab yang sangat pedih. Sedangkan kelompok yang ketiga yaitu mereka yang beriman secara lahir dan batin, merekalah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan serta rahmat dari Allah l. Hal ini sebagaimana tersebut dalam ayat berikutnya dalam firman-Nya:
“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 73)
Hadirin rahimakumullah,
Amanah yang berkaitan dengan menjalankan syariat Allah l atau ibadah ini, harus dilakukan dengan memenuhi dua syarat. Kedua syarat tersebut sesungguhnya merupakan realisasi dari dua kalimat syahadat yang selalu kita ucapkan. Kedua syarat tersebut, yang pertama adalah ikhlas dan yang kedua adalah harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad n.
Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk hanya mengharapkan ridha Allah l semata dalam menjalankan peribadatan kepada-Nya. Hal ini ditandai dengan istiqamahnya kita dalam beribadah kepada Allah l baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain. Sehingga kita tidak menjadi orang yang taat ketika dilihat orang lain namun bermaksiat kepada Allah l ketika sendirian. Janganlah kita lupa bahwa Allah l mengetahui segala perbuatan dan mengetahui seluruh yang ada di dalam hati kita. Ingatlah firman Allah l:
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (Al-Baqarah: 77)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Sedangkan untuk menjalankan syarat yang kedua, wajib bagi kita untuk berilmu dulu sebelum beramal. Sehingga kita tidak boleh seenaknya sendiri atau sekedar ikut-ikutan dalam tata cara peribadatan kepada Allah l. Kita harus melakukannya dengan aturan dan tata cara yang telah ditentukan oleh Rasulullah n. Karena kalau tidak demikian, maka akan berakibat tidak diterimanya amalan kita. Lihatlah bagaimana Rasulullah n memerintahkan seseorang untuk mengulangi wudhunya karena ada bagian anggota wudhu yang tidak terkena air. Begitu pula beliau n memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya karena tidak thuma’ninah ketika menjalankannya.
Semua ini menunjukkan bahwa ibadah itu telah ditentukan aturannya oleh Allah l. Sehingga kita harus senantiasa mengingat bahwa shalat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji dan yang lain-lainnya dari bentuk-bentuk ibadah adalah amanah yang kita harus menjalankannya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah l.
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun amanah yang berhubungan dengan muamalah, yaitu yang berkaitan dengan menjalankan kewajiban kepada sesama manusia, Allah l telah memerintahkan kita untuk menjalankannya dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Sedangkan cara untuk menjalankan amanah ini, adalah dengan kita senantiasa menginginkan agar orang lain mendapatkan kebaikan sebagaimana kita menginginkan kebaikan itu pada diri kita. Hal ini sebagaimana sabda nabi n:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يـُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُـحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sehingga seseorang yang bermuamalah dengan orang lain, semestinya melihat dan bercermin pada dirinya. Baik dalam hal jual beli, sewa-menyewa, bekerja pada pihak lain atau instansi tertentu, dan yang lainnya. Yaitu dia tidak ingin memperlakukan saudaranya dengan perlakuan yang tidak baik sebagaimana dia tidak ingin perlakuan tersebut menimpa dirinya.
Oleh karena itu seseorang yang menjual barang, misalnya, maka dia harus menjualnya dengan menjaga amanah. Tidak boleh bagi seorang penjual untuk mengkhianati pembelinya dengan berbuat curang dalam menimbang atau menakar. Dan tidak boleh baginya untuk berbuat dzalim dengan meninggikan harga karena si pembeli tidak mengetahui harga atau dengan menyembunyikan kerusakan atau cacat yang ada pada barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh bagi pembeli untuk mengkhianati penjual dengan berdusta untuk mengurangi harga yang sesungguhnya. Atau dengan menunda-nunda pembayaran barang yang dibelinya padahal dia memiliki kemampuan untuk membayarnya.
Hadirin rahimakumullah,
Tidak boleh pula bagi seorang yang menyewakan tempat, kendaraan, dan yang lainnya untuk berkhianat kepada orang yang menyewa miliknya itu. Misalnya menipu orang yang menyewa dengan meninggikan biaya sewanya, atau menyewakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dia tawarkan. Dan sebaliknya, tidak boleh bagi orang yang menyewa untuk menipu sehingga biaya sewanya lebih murah dari biaya yang semestinya, atau dia menggunakan barang sewaannya dengan tidak hati-hati sehingga berakibat rusaknya barang tersebut. Begitu pula orang yang bekerja pada sebuah perusahaan. Tidak boleh baginya untuk datang dan pulang seenaknya, tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, atau melakukan kesibukan lain di tempat kerjanya sehingga melalaikan dia dari tugas utamanya.
Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah l,
Termasuk dari menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan pendidikan. Seorang pengajar harus berusaha menjaga amanah yang dipikulnya. Dia harus berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Karena terkadang anak didik lebih banyak melihat kepada sikap dan tingkah laku pengajar daripada apa yang disampaikan kepada mereka. Begitu pula dia berusaha menyampaikan ilmu yang bermanfaat dengan cara yang mudah dipahami oleh anak didiknya serta tidak memaksakan diri untuk menyampaikan pelajaran yang belum dikuasainya yang berakibat dirinya akan terjatuh pada perbuatan “berbicara tanpa ilmu”. Terutama yang terkait dengan masalah agama. Semuanya harus dilakukan dengan menjaga amanah.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pemeliharaannya. Semakin banyak atau semakin luas lingkup kekuasaannya maka semakin besar tanggung jawabnya. Maka seorang penguasa bertanggung jawab atas warga negaranya dan seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap bawahannya. Begitu pula seorang suami bertanggung jawab atas keluarganya, dan seterusnya.
Sudah semestinya bagi pemimpin rumah tangga untuk memelihara keluarganya dari hal-hal yang membahayakan mereka baik yang berkaitan dengan urusan dunia apalagi akhiratnya. Terlebih pada saat kerusakan dan kemaksiatan tersebar di mana-mana. Sebagaimana setiap orang tentu akan lebih berusaha menjaga hartanya ketika dia mendengar bahwa pencurian dan yang semisalnya tengah merajalela. Bahkan menjaga keluarga dan anak-anaknya dari kerusakan yang ada di sekitarnya semestinya lebih diutamakan dari menjaga harta. Karena melalaikan kewajiban ini akan menyebabkan munculnya generasi mendatang yang akan berbuat kerusakan di muka bumi ini. Juga karena setiap orangtua tentunya tidak menginginkan dirinya masuk ke dalam surga sementara anak-anaknya diadzab di api neraka. Oleh karena itu, semestinya kita berusaha menjaga amanah ini, sehingga mudah-mudahan Allah l menyelamatkan kita semua dan keluarga kita dari api neraka serta mengumpulkan kita dan keluarga kita di dalam surga-Nya. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman dan yang keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami kumpulkan keturunan mereka dengan mereka di dalam surga dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (Ath-Thur: 21)
وَفَّقَنـِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ لِأَدَاءِ الْأمَانَةِ وَحَمَانَا جَمِيْعًا مِنَ الْإِضَاعَةِ وَالْـخِيَانَةِ وَغَفَرَ لَنَا وَلِوَلِدِيْنَا وَلِـجَمِيْعِ الْـمُسْلِمِيْنَ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي وَعَدَ مَنْ حَفِظَ الْأمَانَةَ وَرَعَاهَا أَجْرًا جَِزيْلاً، وَتَوَعَّدَ مَنْ أَضَاعَهَا وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا وَبِيْلا، أَحْمَدُهُ عَلَى جَزِيْلِ نِعَمِهِ، أَشْكُرُهُ عَلَى تَتَابُعِ إِحْسَانِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، حَثَّ عَلَى أَدَاءِ الْأَمَانةِ وَحَذَّرَ مِنْ الْـخِيَانَةِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l. Karena dengan bertakwa kepada-Nya, maka Allah l akan memudahkan segala urusan kita. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Sesungguhnya Allah l di samping menyebutkan di dalam firman-Nya perintah untuk menjalankan amanah, juga menyebutkan kepada kita larangan untuk berbuat khianat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui.” (Al-Anfal: 27)
Bahkan Allah l memberitakan kepada kita dalam ayat-Nya bahwa mengkhianati amanah adalah sifat orang-orang Yahudi, yang kita dilarang untuk meniru akhlak mereka. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
”Dan di antara mereka (orang-orang Yahudi) ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya.” (Ali ‘Imran: 75)
Begitu pula Rasulullah n memberitakan kepada kita bahwa mengkhianati amanah adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana dalam sabdanya:
آيَةُ الْـمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda-tanda orang munafiq ada tiga: Jika berbicara berdusta, bila berjanji tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah mengkhianatinya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim t disebutkan:
وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ
“Meskipun dia shalat dan puasa serta mengaku dirinya muslim.”
Hadirin rahimakumullah,
Maka sudah semestinya bagi kita untuk berusaha menjaga amanah yang telah kita terima. Baik yang berkaitan dengan kewajiban kita kepada Allah l maupun kepada sesama manusia. Akhirnya, mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa mengamalkan ilmu yang telah sampai kepada kita dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah l dan hadits-hadits Nabi n yang telah kita dengar. Dan mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga amanah yang ada di pundak-pundak kita.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الـْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَـهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالـْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْـمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُوَحِّدِينَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْـمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكانٍ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ. اللَّهُمَّ أَرِنَا الْـحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا اْلبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْلَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْـمُرْسَلينَ وَالْـحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِينَ.
الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي فَرَضَ عَلَى الْعِبَادِ أدَاءََ الْأمَانَةِِ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِمْ الـْمَكْرَ وَالْـخِيَانَةَ وَأشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ يَرْجُوْ بِهاَ النَّجَاةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ الَّذِي خَتَمَ اللهُ بِهِ الرِّسَالَةَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الـْمَوْصُوْفُوْنَ بِالْعَدَالَةِ وسَلَّمَ تَسْلِيْمَا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Mengawali khutbah ini kami berwasiat pada diri kami pribadi dan seluruh hadirin untuk bertakwa kepada Allah l. Yaitu agar kita menjaga dan membentengi diri dari kemarahan serta siksa Allah l. Dan hal ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita serta dengan menjauhi segala larangan-Nya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Di antara bentuk ketakwaan seorang hamba kepada Allah l adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya. Baik amanah yang berkaitan dengan kewajiban kepada Allah l seperti shalat, berwudhu, membayar zakat dan yang lainnya, maupun yang berkaitan dengan kewajiban kepada sesama manusia. Sehingga seseorang perlu memahami bahwa amanah itu sangat luas cakupannya. Dan amanah yang diemban oleh setiap orang tidak selalu sama dengan yang lainnya. Namun semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah l nanti atas pelaksanaan amanah yang dipikulnya.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui, bahwa menjalankan amanah dan menjaganya bukanlah perkara yang bisa dilakukan semudah membalik tangan. Allah l telah menjelaskan tentang beratnya amanah di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah (yaitu menjalankan perintah-perintah Allah l dan meninggalkan seluruh larangan-Nya) kepada seluruh langit dan bumi serta gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Di dalam ayat tersebut kita mengetahui, bahwa makhluk-makhluk Allah l yang sangat besar tidak bersedia menerima amanah yang ditawarkan kepada mereka. Yaitu amanah yang berupa menjalankan syariat yang Allah l turunkan melalui utusan-Nya. Mereka enggan untuk menerima amanah tersebut bukan karena ingin menyelisihi Allah l. Bukan pula karena mereka tidak berharap balasan Allah l yang sangat besar dengan menjalankan amanah tersebut. Akan tetapi mereka menyadari betapa beratnya memikul amanah. Sehingga mereka khawatir akan menyelisihi amanah tersebut yang berakibat akan terkena siksa Allah l yang sangat pedih. Hanya saja, manusia dengan berbagai kelemahannya, memilih untuk menerima amanah tersebut. Sehingga kemudian terbagilah manusia menjadi tiga kelompok.
Kelompok yang pertama adalah orang–orang yang menampakkan dirinya seolah-olah menjalankan amanah. Yaitu dengan menampakkan keimanannya namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka itulah yang disebut orang–orang munafik.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang dengan terang-terangan menyelisihi amanah tersebut. Yaitu mereka tidak mau beriman baik secara lahir maupun batin. Mereka adalah orang-orang kafir dan musyrikin.
Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang menjaga amanah yaitu orang-orang yang beriman baik secara lahir maupun batin.
Dua kelompok pertama yang kita sebutkan tadi akan diadzab dengan adzab yang sangat pedih. Sedangkan kelompok yang ketiga yaitu mereka yang beriman secara lahir dan batin, merekalah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan serta rahmat dari Allah l. Hal ini sebagaimana tersebut dalam ayat berikutnya dalam firman-Nya:
“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 73)
Hadirin rahimakumullah,
Amanah yang berkaitan dengan menjalankan syariat Allah l atau ibadah ini, harus dilakukan dengan memenuhi dua syarat. Kedua syarat tersebut sesungguhnya merupakan realisasi dari dua kalimat syahadat yang selalu kita ucapkan. Kedua syarat tersebut, yang pertama adalah ikhlas dan yang kedua adalah harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad n.
Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk hanya mengharapkan ridha Allah l semata dalam menjalankan peribadatan kepada-Nya. Hal ini ditandai dengan istiqamahnya kita dalam beribadah kepada Allah l baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain. Sehingga kita tidak menjadi orang yang taat ketika dilihat orang lain namun bermaksiat kepada Allah l ketika sendirian. Janganlah kita lupa bahwa Allah l mengetahui segala perbuatan dan mengetahui seluruh yang ada di dalam hati kita. Ingatlah firman Allah l:
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (Al-Baqarah: 77)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Sedangkan untuk menjalankan syarat yang kedua, wajib bagi kita untuk berilmu dulu sebelum beramal. Sehingga kita tidak boleh seenaknya sendiri atau sekedar ikut-ikutan dalam tata cara peribadatan kepada Allah l. Kita harus melakukannya dengan aturan dan tata cara yang telah ditentukan oleh Rasulullah n. Karena kalau tidak demikian, maka akan berakibat tidak diterimanya amalan kita. Lihatlah bagaimana Rasulullah n memerintahkan seseorang untuk mengulangi wudhunya karena ada bagian anggota wudhu yang tidak terkena air. Begitu pula beliau n memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya karena tidak thuma’ninah ketika menjalankannya.
Semua ini menunjukkan bahwa ibadah itu telah ditentukan aturannya oleh Allah l. Sehingga kita harus senantiasa mengingat bahwa shalat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji dan yang lain-lainnya dari bentuk-bentuk ibadah adalah amanah yang kita harus menjalankannya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah l.
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun amanah yang berhubungan dengan muamalah, yaitu yang berkaitan dengan menjalankan kewajiban kepada sesama manusia, Allah l telah memerintahkan kita untuk menjalankannya dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Sedangkan cara untuk menjalankan amanah ini, adalah dengan kita senantiasa menginginkan agar orang lain mendapatkan kebaikan sebagaimana kita menginginkan kebaikan itu pada diri kita. Hal ini sebagaimana sabda nabi n:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يـُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُـحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sehingga seseorang yang bermuamalah dengan orang lain, semestinya melihat dan bercermin pada dirinya. Baik dalam hal jual beli, sewa-menyewa, bekerja pada pihak lain atau instansi tertentu, dan yang lainnya. Yaitu dia tidak ingin memperlakukan saudaranya dengan perlakuan yang tidak baik sebagaimana dia tidak ingin perlakuan tersebut menimpa dirinya.
Oleh karena itu seseorang yang menjual barang, misalnya, maka dia harus menjualnya dengan menjaga amanah. Tidak boleh bagi seorang penjual untuk mengkhianati pembelinya dengan berbuat curang dalam menimbang atau menakar. Dan tidak boleh baginya untuk berbuat dzalim dengan meninggikan harga karena si pembeli tidak mengetahui harga atau dengan menyembunyikan kerusakan atau cacat yang ada pada barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, tidak boleh bagi pembeli untuk mengkhianati penjual dengan berdusta untuk mengurangi harga yang sesungguhnya. Atau dengan menunda-nunda pembayaran barang yang dibelinya padahal dia memiliki kemampuan untuk membayarnya.
Hadirin rahimakumullah,
Tidak boleh pula bagi seorang yang menyewakan tempat, kendaraan, dan yang lainnya untuk berkhianat kepada orang yang menyewa miliknya itu. Misalnya menipu orang yang menyewa dengan meninggikan biaya sewanya, atau menyewakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dia tawarkan. Dan sebaliknya, tidak boleh bagi orang yang menyewa untuk menipu sehingga biaya sewanya lebih murah dari biaya yang semestinya, atau dia menggunakan barang sewaannya dengan tidak hati-hati sehingga berakibat rusaknya barang tersebut. Begitu pula orang yang bekerja pada sebuah perusahaan. Tidak boleh baginya untuk datang dan pulang seenaknya, tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, atau melakukan kesibukan lain di tempat kerjanya sehingga melalaikan dia dari tugas utamanya.
Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah l,
Termasuk dari menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan pendidikan. Seorang pengajar harus berusaha menjaga amanah yang dipikulnya. Dia harus berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Karena terkadang anak didik lebih banyak melihat kepada sikap dan tingkah laku pengajar daripada apa yang disampaikan kepada mereka. Begitu pula dia berusaha menyampaikan ilmu yang bermanfaat dengan cara yang mudah dipahami oleh anak didiknya serta tidak memaksakan diri untuk menyampaikan pelajaran yang belum dikuasainya yang berakibat dirinya akan terjatuh pada perbuatan “berbicara tanpa ilmu”. Terutama yang terkait dengan masalah agama. Semuanya harus dilakukan dengan menjaga amanah.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pemeliharaannya. Semakin banyak atau semakin luas lingkup kekuasaannya maka semakin besar tanggung jawabnya. Maka seorang penguasa bertanggung jawab atas warga negaranya dan seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap bawahannya. Begitu pula seorang suami bertanggung jawab atas keluarganya, dan seterusnya.
Sudah semestinya bagi pemimpin rumah tangga untuk memelihara keluarganya dari hal-hal yang membahayakan mereka baik yang berkaitan dengan urusan dunia apalagi akhiratnya. Terlebih pada saat kerusakan dan kemaksiatan tersebar di mana-mana. Sebagaimana setiap orang tentu akan lebih berusaha menjaga hartanya ketika dia mendengar bahwa pencurian dan yang semisalnya tengah merajalela. Bahkan menjaga keluarga dan anak-anaknya dari kerusakan yang ada di sekitarnya semestinya lebih diutamakan dari menjaga harta. Karena melalaikan kewajiban ini akan menyebabkan munculnya generasi mendatang yang akan berbuat kerusakan di muka bumi ini. Juga karena setiap orangtua tentunya tidak menginginkan dirinya masuk ke dalam surga sementara anak-anaknya diadzab di api neraka. Oleh karena itu, semestinya kita berusaha menjaga amanah ini, sehingga mudah-mudahan Allah l menyelamatkan kita semua dan keluarga kita dari api neraka serta mengumpulkan kita dan keluarga kita di dalam surga-Nya. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman dan yang keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami kumpulkan keturunan mereka dengan mereka di dalam surga dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (Ath-Thur: 21)
وَفَّقَنـِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ لِأَدَاءِ الْأمَانَةِ وَحَمَانَا جَمِيْعًا مِنَ الْإِضَاعَةِ وَالْـخِيَانَةِ وَغَفَرَ لَنَا وَلِوَلِدِيْنَا وَلِـجَمِيْعِ الْـمُسْلِمِيْنَ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي وَعَدَ مَنْ حَفِظَ الْأمَانَةَ وَرَعَاهَا أَجْرًا جَِزيْلاً، وَتَوَعَّدَ مَنْ أَضَاعَهَا وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا وَبِيْلا، أَحْمَدُهُ عَلَى جَزِيْلِ نِعَمِهِ، أَشْكُرُهُ عَلَى تَتَابُعِ إِحْسَانِهِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، حَثَّ عَلَى أَدَاءِ الْأَمَانةِ وَحَذَّرَ مِنْ الْـخِيَانَةِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l. Karena dengan bertakwa kepada-Nya, maka Allah l akan memudahkan segala urusan kita. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Sesungguhnya Allah l di samping menyebutkan di dalam firman-Nya perintah untuk menjalankan amanah, juga menyebutkan kepada kita larangan untuk berbuat khianat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui.” (Al-Anfal: 27)
Bahkan Allah l memberitakan kepada kita dalam ayat-Nya bahwa mengkhianati amanah adalah sifat orang-orang Yahudi, yang kita dilarang untuk meniru akhlak mereka. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
”Dan di antara mereka (orang-orang Yahudi) ada orang yang jika kamu memercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya.” (Ali ‘Imran: 75)
Begitu pula Rasulullah n memberitakan kepada kita bahwa mengkhianati amanah adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana dalam sabdanya:
آيَةُ الْـمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda-tanda orang munafiq ada tiga: Jika berbicara berdusta, bila berjanji tidak menepati janjinya, dan apabila diberi amanah mengkhianatinya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim t disebutkan:
وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ
“Meskipun dia shalat dan puasa serta mengaku dirinya muslim.”
Hadirin rahimakumullah,
Maka sudah semestinya bagi kita untuk berusaha menjaga amanah yang telah kita terima. Baik yang berkaitan dengan kewajiban kita kepada Allah l maupun kepada sesama manusia. Akhirnya, mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa mengamalkan ilmu yang telah sampai kepada kita dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah l dan hadits-hadits Nabi n yang telah kita dengar. Dan mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga amanah yang ada di pundak-pundak kita.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الـْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَـهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالـْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْـمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُوَحِّدِينَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْـمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكانٍ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ. اللَّهُمَّ أَرِنَا الْـحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا اْلبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْلَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْـمُرْسَلينَ وَالْـحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِينَ.
Posting Komentar