Simpanan yang Tak Akan Sirna
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.
Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk
simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi
ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.
Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal
ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir.
Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta
memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah
harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang
tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi,
mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak
bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun
belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga
hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak
memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh
betapa sengsaranya.
Allah l berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Dan firman-Nya:
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)
Al-Imam At-Tirmidzi t meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban z, ia berkata: “Tatkala turun ayat:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)
Tsauban z berkata: Dahulu kami bersama Nabi n pada sebagian
safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai
emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu
harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi n
bersabda:
أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ
“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri
mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan
At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)
Tingkatan-tingkatan Amalan
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan
keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi
pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang
wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa
Allah l berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR.
Al-Bukhari, no. 6502)
Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan
dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Menimba ilmu
lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal.
53)
Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan
orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya
karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu
contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi n, walaupun sebesar
dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita,
meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa
menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia
mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang
mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.
Luasnya Rahmat Allah k
Kasih sayang Allah l terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja
orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh
Allah l, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya
orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan
nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di
hari kiamat nanti. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah l
beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki
yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh
berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum
pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.
Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah k adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah l:
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh
kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat
maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)
Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.
Barakah Keikhlasan
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah l
dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan
keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat
barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan
diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang
lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak
yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah k jaga
harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti
dalam surat Al-Kahfi ayat 82.
Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad n
bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh
batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak
akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai
perantara) kepada Allah l. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia
pandang paling ikhlas. Allah k kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut
bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.
Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah k
dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah l akan
mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian
hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak
mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah l dan
bersimpuh di hadapan-Nya.
Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang
melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan
kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya
dia melihat pembalasannya. Nabi n bersabda:
يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh
(pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR.
Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah z)
Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk
menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun
sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan
kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang
banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini
melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya.
(Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi n (yang artinya):
“Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir
mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina
Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata
kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum
anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah l) karenanya.” (Riyadhush
Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)
Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang
kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah k. Maka, orang yang
memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan
parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah k.
Sebagaimana sabda Nabi n (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya
mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya:
(yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau
menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau
mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang
memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan
dihasankan oleh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)
Dan tersebut dalam hadits:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ:
وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ.
فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan,
lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari
kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut
dimasukkan (oleh Allah k) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim,
Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)
Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut
dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang
terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya
orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?
Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah
banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu
lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu
amalan itu remeh padahal di sisi Allah k itu besar. Kemudian yang
terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa
dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi n bersabda dalam
haditsnya:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah x)
Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan
seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah k akan kekal. Sedangkan
dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.
Harta Kita yang Sesungguhnya
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta
kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah
kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi n bersabda:
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ.
قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai
dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah,
tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi
bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan,
sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR.
Al-Bukhari)
Ibnu Baththal t berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk
menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi
taqarrub kepada Allah k dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil
manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh
seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya
ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah l, maka
hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang
mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari,
11/260)
‘Aisyah x pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih
kambing, maka Nabi n bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing
itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.”
Nabi n bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih
Sunan At-Tirmidzi no. 2470)
Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal
di sisi Allah k dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di
sisi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Musik Perangkap Setan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)
Peperangan demi peperangan yang dikobarkan musuh-musuh Islam, dari zaman Rasulullah n, perang salib, Bosnia-Herzegovina, hingga yang berskala besar maupun kecil, terbukti menjadi senjata yang “kurang efektif” untuk membasmi umat Islam. Maka ditempuhlah berbagai cara untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Salah satunya lewat musik.
Perangkap-perangkap setan untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah l kian menjamur. Perangkap yang demikian lihai dan sistematis sehingga tidak sedikit dari kaum muslimin, terkhusus generasi mudanya, terperangkap di dalamnya. Seiring dengan itu, kelihaiannya telah meninabobokkan mereka dalam kemaksiatan, merusak akal mereka sehingga tidak bisa lagi dipergunakan sebagaimana mestinya, membungkam mulut mereka sehingga tidak lagi menyuarakan yang haq dan mengingkari yang batil. Perangkap yang telah mematikan ilmu mereka dan merusak perilaku mereka.
Siapa yang tidak tertipu dengan perangkap tersebut, jika luarnya penuh taburan bau semerbak, hamparan permadani emas dan perak, minuman yang menghilangkan dahaga, makanan yang berwarna-warni memikat dan segala kebutuhan syahwat terlihat. Siapa yang akan membayangkan jika di belakang semua ini ada jeratan perangkap yang membinasakan. Itulah kamuflase kehidupan yang dirancang Iblis dan bala tentaranya serta fatamorgana perjalanan hidup yang bersifat sementara. Allah l telah memperingatkan:
Peperangan demi peperangan yang dikobarkan musuh-musuh Islam, dari zaman Rasulullah n, perang salib, Bosnia-Herzegovina, hingga yang berskala besar maupun kecil, terbukti menjadi senjata yang “kurang efektif” untuk membasmi umat Islam. Maka ditempuhlah berbagai cara untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Salah satunya lewat musik.
Perangkap-perangkap setan untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah l kian menjamur. Perangkap yang demikian lihai dan sistematis sehingga tidak sedikit dari kaum muslimin, terkhusus generasi mudanya, terperangkap di dalamnya. Seiring dengan itu, kelihaiannya telah meninabobokkan mereka dalam kemaksiatan, merusak akal mereka sehingga tidak bisa lagi dipergunakan sebagaimana mestinya, membungkam mulut mereka sehingga tidak lagi menyuarakan yang haq dan mengingkari yang batil. Perangkap yang telah mematikan ilmu mereka dan merusak perilaku mereka.
Siapa yang tidak tertipu dengan perangkap tersebut, jika luarnya penuh taburan bau semerbak, hamparan permadani emas dan perak, minuman yang menghilangkan dahaga, makanan yang berwarna-warni memikat dan segala kebutuhan syahwat terlihat. Siapa yang akan membayangkan jika di belakang semua ini ada jeratan perangkap yang membinasakan. Itulah kamuflase kehidupan yang dirancang Iblis dan bala tentaranya serta fatamorgana perjalanan hidup yang bersifat sementara. Allah l telah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya
setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 168-169)
Perangkap Syahwat
Dari sekian perangkap Iblis yang telah melalaikan dari beribadah
kepada Allah l yang telah menghancurkan perilaku kaum muda-mudi, bahkan
anak-anak dan orang tua, menyebabkan lupa kepada Allah l dan hari akhir,
adalah musik serta segala bentuk nyanyian. Bagaimana pendapat anda yang
beriman, jika musik dan nyanyian itu sendiri telah melalaikan dari
beribadah kepada Allah l, ditambah dengan wanita telanjang atau setengah
telanjang, berhias dengan perhiasan jahiliah menari kesetanan di
hadapanmu?
Apakah setelah ini ada orang beriman yang menghalalkan musik dan
nyanyian, membolehkan wanita berdendang di hadapan lawan jenis,
menghalalkan campur baur lawan jenis, membolehkan mendengar musik? Jika
ada yang membolehkan, maka ketahuilah orang terebut telah masuk
perangkap setan dan jeratannya. Tinggalkanlah dia. Selamatkanlah agama
dan aqidahmu dari bahaya setan yang berujud manusia.
Perangkap Syubhat
Perangkap setan tidak terbatas pada lingkup membangkitkan syahwat
birahi dalam menentang syariat Allah l. Banyak perangkap lain yang telah
dipersiapkan untuk menyesatkan hamba-hamba Allah l dari jalan
kebenaran. Bila perangkap syahwat menurutnya tidak membuahkan hasil
karena orang yang akan dijebaknya memiliki ilmu, dia akan beralih kepada
cara yang lain. Yaitu, merusak ilmunya dengan berbagai manuver
pembiasan dan pengkaburan terhadap kebenaran yang telah diketahuinya.
Itulah perangkap syubhat. Selamatlah orang-orang yang dirahmati oleh
Allah l sehingga tidak terperangkap dan terjerat di dalamnya.
Dua bentuk perangkap syubhat yang dilakoni setan dalam menjerat mangsanya:
Pertama: Mengaburkan kebenaran sehingga menjadi sesuatu yang samar atau menjadi sebuah kebatilan, dan
Kedua: Mengokohkan kebatilan dengan berbagai penipuan sehingga menjadi agama yang dianut.
Dua hal ini telah Allah l peringatkan kaum mukminin darinya. Allah k juga mengancam para pelakunya dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batil dan
janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui.”
(Al-Baqarah: 42)
Berbagai simbol dan slogan kesesatan yang mengguncangkan aqidah dan
meresahkan kaum muslimin kian menyeruak. Tumbuh berkembang bagaikan
jamur di musim penghujan, tumbang satu akan bangkit seribu kesesatan
setelahnya.
Bisikan Setan
“Tinggalkan Al-Qur`an. Mari menuju musik dan nyanyian, menari,
berdansa dan berhura-hura. Riang gembira bersama lantunan musik dan
nyanyian biduanita. Menangislah. Bersedihlah. Basahi mulut dengan
nyanyian, guyur pipi dengan hujan tangisan. Apakah anda akan
meninggalkan kenikmatan yang jelas-jelas di hadapan anda?”
Dengan celotehan ini, tanpa musik semangat beraktivitas menurun dan
melemah. Sementara dengan musik justru akan menambah gairah dan
semangat dalam semua pekerjaan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir t menjelaskan: “Allah l memberitahukan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad n bahwa dia berkata:
“Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Ucapan ini terkait dengan kaum musyrikin yang tidak mau mendengar Al-Qur`an dan mengkajinya, sebagaimana firman Allah l:
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar
dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur`an ini dan buatlah hiruk-pikuk
terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka’.” (Fushshilat: 26)
Apabila Al-Qur`an dibacakan atas orang-orang kafir, mereka ribut
dan berbincang-bincang sehingga mereka tidak mendengarnya. Sikap seperti
ini termasuk perbuatan meninggalkan Al-Qur`an. Tidak mengimani dan
membenarkannya termasuk perbuatan meninggalkan Al-Qur`an. Tidak menggali
dan memahaminya termasuk perbuatan meninggalkannya. Tidak mengamalkan
dan melaksanakan perintah-perintahnya dan tidak menjauhi
larangan-larangannya termasuk perbuatan meninggalkannya. Berpaling
darinya dan cenderung kepada perkara selainnya seperti syair, ucapan,
nyanyian, perkara yang sia-sia, berbagai perkataan, (menempuh) jalan
yang tidak diambil dari Al-Qur`an, semuanya termasuk sikap meninggalkan
Al-Qur`an. Kita meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Maha Pemberi dan
Berkuasa (untuk berbuat) atas segala yang dikehendaki-Nya agar Allah l
menyelamatkan kita dari segala yang dibenci-Nya dan membimbing kita ke
jalan yang diridhai-Nya. Yaitu menjaga kitab-Nya, memahaminya dan
mengamalkan kandungannya di malam dan siang hari, sesuai dengan jalan
yang dicintai dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan dan Maha
Pemberi. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/317)
Al-Qur`an dan Aqidah, Menenteramkan Hati
Tidak diragukan lagi oleh setiap mukmin akan kedudukan aqidah dan
Al-Qur`an dalam hati orang-orang yang beriman. Al-Qur`an menentramkan,
menyejukkan, menyamankan, menyehatkan, membimbing serta berbagai macam
kebaikan lainnya. Allah l berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada
Rabb merekalah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
“Sesungguhnya Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang
mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
(Al-Isra`: 9)
“Dan kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur`an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)
“Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (An-Naml: 77)
Ibnul Qayyim t berkata: “Apabila anda ingin mengambil manfaat dari
Al-Qur`an, himpunlah hati anda ketika membaca dan mendengarkannya.
Pasang telinga anda. Hadirkan diri anda seperti hadirnya orang yang
diajak bicara oleh Allah l. Sesungguhnya ucapan itu tertuju kepada anda,
yang disampaikan melalui lisan Rasul-Nya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37)
Kesempurnaan pengaruh Al-Qur`an itu didukung adanya pengaruh yang
menyampaikan, kesiapan untuk menerima, adanya syarat-syarat terwujudnya
pengaruh tersebut, dan hilangnya penghalang-penghalang. (Al-Fawa`id,
hal. 9)
Asy-Syaikh As-Sa’di t menjelaskan: “Orang-orang yang beriman adalah
orang-orang yang bila dibacakan ayat Allah bertambah iman mereka.”
Karena mereka memasang pendengaran mereka, menghadirkan hati mereka
untuk mentadabburinya. Ketika itulah iman mereka bertambah. Karena
mentadabburinya termasuk salah satu amalan hati. Juga karena tadabbur
mengharuskan untuk meminta penjelasan atas makna yang tidak mereka
ketahui. Atau, mengingat-ingat apa yang mereka lupa. Atau, terwujud
dalam hati mereka kecintaan terhadap kebaikan dan besarnya harapan untuk
mendapatkan kemuliaan dari Rabb mereka. Atau, muncul rasa takut dari
murka-Nya. Atau, muncul sikap menghindar dari berbagai macam
kemaksiatan. Semuanya ini adalah hal-hal yang akan menambah iman mereka.
(Tafsir As-Sa’di, hal. 277)
Musik dan Nyanyian Menafikan Ketentraman dan Ketenangan yang Hakiki dalam Hati
Musik dan nyanyian di masa sekarang ini bagaikan benalu, atau
menjadi sahabat karib yang jika berpisah akan mengguncangkan hidup
seseorang. Di dalam rumah dengan segala macam aktivitasnya, bila tidak
diiringi dengan musik dan berbagai bentuk nyanyian, tak ubahnya ruangan
yang hampa bak kuburan yang sunyi dan sepi. Kantor-kantor, toko-toko,
kendaraan-kendaraan umum dan pribadi, lapak kaki lima pun tidak
ketinggalan. Ironisnya, pondok-pondok pesantren yang katanya tempat
menimba ilmu-ilmu agama juga menjadi ajang suara setan tersebut. Lebih
aneh lagi, rumah-rumah Allah l diramaikan dengan keharaman ini.
Demikianlah bila agama disingkirkan serta kepentingan hawa nafsu
dan golongan dikedepankan. Ketenangan bukan lagi bersama Al-Qur`an.
Kenyamanan bukan lagi dengan aqidah dan kekhusyukan, bukan lagi di
majelis ilmu.
Musik dan Nyanyian Haram Hukumnya
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman musik banyak sekali.
Bahkan Ibnul Qayyim t dan lainnya telah mengumpulkannya sampai sepuluh
hadits. Di antaranya:
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْمَعَازِفَ … الخ
“Benar-benar akan ada pada umatku kaum yang menghalalkan zina, sutera, dan musik ….” dst1
2. Hadits Anas bin Malik z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat: seruling ketika
mendapatkan kenikmatan dan ratapan (suara jeritan) ketika ditimpa
musibah.”2
3. Dari Abdullah bin ‘Abbas c, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr, judi, dan suara gendang. Dan segala yang memabukkan adalah haram.”3
Musik dan Nyanyian adalah “Qur`an“ Setan dan Jeratannya
Ibnul Qayyim t menjelaskan: “Termasuk tipu daya musuh Allah l yang
telah menipu orang-orang yang memiliki sedikit ilmu dan agama, serta
dengannya dia menjerat hati-hati orang yang jahil dan ahli kebatilan
adalah mendengar siulan, tepuk tangan dan nyanyian-nyanyian dengan
alat-alat yang haram. Yang telah memalingkan hati dari Al-Qur`an dan
menjadikannya untuk selalu berbuat kefasikan dan perbuatan-perbuatan
maksiat. Semuanya merupakan “qur`an” setan dan hijab yang tebal antara
dirinya dengan Allah l. Itu merupakan siulan homoseks dan para pezina.
Dengannya seorang yang fasik mencapai kenikmatan. Itulah tipu daya setan
terhadap jiwa-jiwa yang sesat.
Setan berusaha memperindah tipu daya tersebut dan menjadikan
manusia terlena karenanya. Dengan mudah, setan menebar berbagai macam
syubhat yang menyesatkan sehingga jiwa-jiwa tersebut menyambut segala
bisikan itu. Dengan tipu daya setan itulah Al-Qur`an ditinggalkan.
(Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fi Mashayidi
Asy-Syaithan, hal. 295)
Allah l berfirman:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Lahwal hadits yang dimaksud dalam ayat ini adalah nyanyian dan selainnya.
Abdullah bin ‘Abbas c mengatakan: “Ayat ini turun terkait dengan nyanyian dan semisalnya.”
Abdullah bin Mas’ud z ditanya tentang ayat ini, beliau berkata:
“Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar
selain-Nya.” Beliau mengulanginya tiga kali.
Ikrimah t dalam riwayat Syu’aib bin Yasar berkata: “Itu adalah
nyanyian. Begitu juga pendapat Al-Imam Mujahid t.” (Tahrim Alat
Ath-Tharb, karya Al-Imam Al-Albani, hal. 142)
Musik dan Nyanyian adalah Syi’ar Pezina, Pemabuk, Homoseks dan Orang Fasik
Al-Imam Malik t ditanya tentang nyanyian yang biasa dilakukan oleh
penduduk Madinah. Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang melakukan hal itu
menurut kami adalah orang-orang fasik.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Nyanyian adalah perkataan yang
sia-sia, menyerupai kebatilan, sesuatu yang bersifat khayalan.
Barangsiapa yang sering melakukannya, dia adalah orang yang tolol dan
ditolak persaksiannya.”
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan di dalam kitabnya Raudhatut Thalibin
(11/228) pada bagian kedua: “Dan dia menyanyi dengan sebagian alat
musik yang merupakan syi’ar para peminum khamr.”
Abu Ishaq t berkata: “Tidak sepantasnya bagi orang yang mencium
aroma ilmu untuk tidak mengharamkan musik. Yang paling ringan (hukumnya)
adalah bahwa (musik) merupakan syi’ar orang-orang fasik dan pemabuk.”
Abdullah bin Ahmad t berkata: “Aku bertanya kepada ayahku (Al-Imam
Ahmad t) tentang nyanyian. Beliau berkata: ‘Nyanyian menumbuhkan
kemunafikan di dalam hati dan tidak menyenangkanku’.” (Tahrim Alat
Ath-Tharb karya Al-Imam Al-Albani t secara ringkas, hal. 299 dan
seterusnya)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat takhrij haditsnya
dalam kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Al-Imam Al-Albani, hal. 38 dan
seterusnya.
2 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat takhrij haditsnya
dalam kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Al-Imam Albani, hal. 51 dan
seterusnya.
3 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat takhrij haditsnya
dalam kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Al-Imam Al-Albani, hal. 55 dan
seterusnya.
Bernyanyi Tanpa Alat Musik
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
‘Bernyanyi’ tanpa alat musik memang pernah dilakukan para sahabat. Namun apa yang mereka praktikkan amat berbeda dengan cara bernyanyi di masa sekarang.
‘Bernyanyi’ tanpa alat musik memang pernah dilakukan para sahabat. Namun apa yang mereka praktikkan amat berbeda dengan cara bernyanyi di masa sekarang.
Pada asalnya, nyanyian itu berasal dari lantunan bait-bait syair
yang menerangkan tentang sesuatu. Sehingga tidak benar jika kita
menyebutkan bahwa nyanyian itu haram secara mutlak, tidak pula
dinyatakan boleh secara mutlak. Oleh karenanya, Nabi n bersabda:
إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً
“Sesungguhnya di antara syair ada hikmahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5793)
Rasulullah n bersabda tatkala ditanya tentang syair: “Itu adalah
ucapan. Yang baiknya adalah baik dan yang jeleknya adalah jelek.” (HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dihasankan Al-Albani dalam
Ash-Shahihah, 1/447)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t memberikan beberapa syarat bolehnya nyanyian/nasyid:
1. Bait-bait syairnya diperbolehkan dan bukan hal yang terlarang.
2. Tidak dilantunkan seperti lantunan nyanyian yang rendah dan hina.
3. Tidak dengan suara yang menimbulkan fitnah.
4. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan siang dan malam.
5. Tidak menjadikannya sebagai satu-satunya nasihat untuk hatinya, sehingga memalingkannya dari nasihat Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Jika tidak terpenuhi salah satu dari syarat-syarat ini, maka
hendaklah ditinggalkan. (Kaset Nur ‘Alad Darb, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin,
no. 337, side A)
Oleh karena itu, para ulama membolehkan nyanyian orang-orang yang
berangkat haji di saat mereka menghibur perjalanan mereka, nyanyian
orang-orang yang berperang untuk memberi semangat jihad, nyanyian para
musafir, dan yang semisalnya. Namun mereka melantunkan bait syair
tersebut tidak dengan cara lantunan lagu yang biasanya disertai musik.
Asy-Syathibi t menjelaskan apa yang dahulu dilakukan mereka
(Al-I’tisham, 1/368): “Orang-orang Arab dahulu tidak mengenal cara
memperindah lantunan seperti apa yang dilakukan manusia pada hari ini.
Mereka melantunkan syair secara mutlak, tanpa mempelajari notasi yang
muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara dan memanjangkannya, sesuai
kebiasaan kaum Arab yang ummi yang tidak mengetahui alunan musik.
Sehingga tidak menimbulkan keterlenaan dan membuat bergoyang yang
melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang membangkitkan semangat.
Sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan bait-bait syairnya di
hadapan Rasul n, juga ketika kaum Anshar melantunkannya ketika menggali
galian Khandaq:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا
عَلىَ الْجِهَادِ مَا حَيِينَا أَبَدًا
Kamilah yang membai’at Muhammad
Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup
Lalu Nabi n menjawabnya:
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ الْآخِرَةِ
فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْـمُهَاجِرَةِ
Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat
Ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin
(HR. Al-Bukhari no. 2680)
Perbedaan Rebana dan Genderang
Rebana (duf) adalah alat musik yang menyerupai genderang (thabl).
Hanya saja thabl adalah yang tertutup dengan kulit dari dua arah atau
dari satu arah. Sedangkan duf terbuat dari kayu yang ditutup dengan
kulit dari satu arah, terkadang pada lubang-lubang bagian pinggirnya
diberi sesuatu yang mengeluarkan bunyi gemerincing. (Al-Qaulur Rasyid fi
Hukmil Ma’azif wal Ghina` wan Nasyid, Abu Karimah hal. 19)
Menabuh Rebana Khusus bagi Wanita
Hadits-hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa yang dibolehkan
memukul rebana adalah para wanita. Al-Hulaimi berkata dalam Syu’abul
Iman (4/283): “Memukul rebana tidak dihalalkan kecuali untuk para
wanita, sebab pada asalnya itu termasuk dari amalan mereka. Sungguh
Rasulullah n melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Hadits-hadits yang kuat
menunjukkan diizinkannya untuk para wanita, dan tidak diqiyaskan kepada
para lelaki, berdasarkan keumuman larangan dari menyerupai para wanita.”
(Fathul Bari, 9/134)
Hadits Thala’al Badru
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah n datang
ke Madinah, lalu anak-anak dan para wanita mendendangkan syair:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلهِ دَاعِ
Bulan purnama telah nampak di hadapan kami
dari Tsaniyyatul Wada’
Wajib bagi kami bersyukur
pada seorang penyeru yang berseru karena Allah
Ini adalah hadits yang lemah. Sanadnya mu’dhal, telah terjatuh tiga
atau lebih perawinya. Silahkan dilihat rincian bahasannya dalam
Silsilah Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani (2/598), dan kitab At-Tahrim
(hal. 123).
Musik Sebagai Ringtone
Sebagian kaum muslimin juga tidak menyadari bahwa yang termasuk
musik adalah menjadikan nada dan lantunan musik serta lagu sebagai
ringtone (nada dering) di ponsel. Hal ini termasuk dalam keumuman
larangan musik yang telah kita bahas.
Sebagai gantinya, hendaklah menggunakan bunyi-bunyi yang tidak
mengandung unsur musik dan nyanyian, seperti suara burung, ayam
berkokok, atau yang semisalnya. Juga diperbolehkan menggunakan jenis bel
tertentu yang tidak menyerupai bel gereja, seperti bunyi kring kring
yang biasa terdapat di telepon rumah (zaman dahulu), atau yang
semisalnya yang tidak bernada musik. Wallahu a’lam. (lihat pembahasan
tentang bel dalam kitab Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah, Al-Albani hal.
169)
Shahihkah Hadits Ibnu Abbas Tentang Bolehnya Nyanyian dan Alat Musik?
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc.)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ n وَقَالَ: لَا حَرَجَ
Bahwasanya Rasulullah n keluar ketika Hassan1 z telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat g duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan z bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah n tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”
Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah n memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit z dengan sabda beliau n: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit z.
Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi n kepada para sahabat g yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi n atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda). Sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Shahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah n?
Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas c di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib c.
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.
Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas c dapat diketahui dari beberapa tinjauan.
Pertama, kelemahan sanadnya.
Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.
Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.
Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah n sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah k dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.
Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.
Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.
Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam riwayat Al-Atsram: “Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”
Yahya bin Ma’in t berkata: “Huwa dha’if (Dia lemah).”
Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”
Abu Hatim Ar-Razi t berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5
An-Nasa`i t berkata: “Matruk (Ditinggalkan).”6
Al-Jauzajani t berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7
Ibnu Hibban t berkata: “Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Dha’if (lemah).”9
Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–: “Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10
An-Nasa`i berkata: “Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”
Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi t dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas c ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.
Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: “ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).” Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)
Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais: “Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11
Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.
Penyelisihan terhadap Al-Qur`an
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda).
Lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas c bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Qur`an dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur`an menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik. Demikian pula sabda-sabda Rasulullah n yang shahih.
Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah l:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ n خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا: هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ * إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ. فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ n وَقَالَ: لَا حَرَجَ
Bahwasanya Rasulullah n keluar ketika Hassan1 z telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat g duduk dua shaf, di tengah-tengah mereka budak perempuan milik Hassan z bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan: “Celaka! Apakah ada atasku * dosa jika aku berdendang?” Maka Rasulullah n tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atasmu).”
Sepintas, siapapun yang membaca hadits ini akan berkesimpulan bahwa nyanyian dan alat musik adalah sesuatu yang wajar dan boleh-boleh saja. Demikian dipahami dari zhahir hadits ini. Rasulullah n memberikan hukum atas perbuatan budak Hassan bin Tsabit z dengan sabda beliau n: “La haraj” (tidak mengapa), yang menunjukkan kebolehan apa yang dilakukan Sirin, budak perempuan Hassan bin Tsabit z.
Dalam hadits ini juga terdapat taqrir (persetujuan) Nabi n kepada para sahabat g yang menikmati mizhar dan mendengarkan alunan suara Sirin. Sehingga dipahami bahwa perbuatan tersebut adalah perkara mubah, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa persetujuan Nabi n atas perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda). Sesungguhnya hadits ini adalah sekian dari syubhat-syubhat yang dijadikan sandaran oleh hati-hati berpenyakit untuk membolehkan nyanyian dan alat musik. Akan tetapi benarkah hadits ini adalah dalil untuk mereka? Shahihkah penyandaran hadits ini kepada Rasulullah n?
Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asakir2 menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas c di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyq (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib c.
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah n, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu). Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’at (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian). Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil3.
Batilnya hadits Ibnu ‘Abbas c dapat diketahui dari beberapa tinjauan.
Pertama, kelemahan sanadnya.
Kedua, penyelisihannya terhadap Al-Qur`an.
Ketiga, penyelisihannya terhadap As-Sunnah yang shahih.
Keempat, hadits ini sangat bertentangan dengan keadaan sahabat Rasulullah n sebagai generasi terbaik, yang sangat menjaga batasan-batasan Allah k dan sangat jauh dari perkara-perkara yang diharamkan.
Empat tinjauan inilah yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan kali ini.
Diawali dari tinjauan sanad hadits, kita dapatkan dalam hadits ini dua orang perawi yang diperbincangkan yaitu Al-Husain bin ‘Abdillah dan Abu Uwais.
Perawi pertama, dia adalah Al-Husain bin ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi Al-Madani. Berikut kita nukilkan hukum ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil tentang Al-Husain bin ‘Abdillah.4
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam riwayat Al-Atsram: “Lahu asy-ya`u munkarah (Dia mempunyai beberapa perkara mungkar).”
Yahya bin Ma’in t berkata: “Huwa dha’if (Dia lemah).”
Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Laisa bi qawiyyin (Dia bukanlah orang yang kuat).”
Abu Hatim Ar-Razi t berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).”5
An-Nasa`i t berkata: “Matruk (Ditinggalkan).”6
Al-Jauzajani t berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”7
Ibnu Hibban t berkata: “Yuqallibul asanid wa yarfa’ul marasil (Dia membolak-balik sanad dan me-marfu’-kan yang mursal).”8
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Dha’if (lemah).”9
Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya Al-Maudhu’at (3/116) –setelah menyebutkan hadits di atas–: “Adapun Al-Husain, ‘Ali bin Al-Madini berkata tentangnya: “Taraktu haditsahu (Aku meninggalkan haditsnya).”10
An-Nasa`i berkata: “Matrukul hadits (Haditsnya ditinggalkan).” As-Sa’di berkata: “Laa yusytaghal bi haditsihi (Tidak disibukkan dengan haditsnya).”
Dari perkataan-perkataan ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil di atas didapatkan bahwa mereka bersepakat akan kedhai’fan (kelemahan) Al-Husain. Hal ini tentunya mengakibatkan lemah dan tertolaknya hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itulah Al-Imam Adz-Dzahabi t dalam kitab beliau Mizanul I’tidal (2/292) memasukkan hadits Ibnu ‘Abbas c ini sebagai salah satu dari kemungkaran-kemungkaran hadits Al-Husain bin ‘Abdillah.
Tentang perawi kedua yaitu Abu Uwais, berkata Ibnul Jauzi: “ Abu Uwais, namanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdillah bin Uwais. Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma’in) berkata: “Dha’iful hadits (Haditsnya lemah).” Dan Yahya pernah berkata: “Kana yasriqul hadits (Adalah dia mencuri hadits).” (Al-Maudhu’at 3/116)
Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Uwais: “Laisa biqawiyyin (Dia bukan orang yang kuat).”11
Demikian secara singkat beberapa nukilan ucapan ulama tentang kedha’ifan Al-Husain dan Abu Uwais. Wallahu a’lam.
Penyelisihan terhadap Al-Qur`an
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda).
Lemahnya hadits Ibnu ‘Abbas c bukan hanya ditinjau dari sisi sanad. Penyelisihan hadits ini terhadap Al-Qur`an dan hadits shahih semakin memperjelas kebatilannya. Al-Qur`an menunjukkan haramnya musik dan alat-alat musik. Demikian pula sabda-sabda Rasulullah n yang shahih.
Di antara ayat yang menunjukkan haramnya musik adalah firman Allah l:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
suara (ajakan)mu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan
pasukanmu yang berjalan kaki, dan berserikatlah dengan mereka pada harta
dan anak-anak serta beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan
oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Mujahid t mengatakan bahwa makna (ﯓ) adalah perkataan sia-sia dan
nyanyian. Demikian Ibnu Jarir Ath-Thabari t meriwayatkan perkataan
Mujahid t dalam tafsirnya.12
Dalam ayat lain Allah l berfirman:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di t berkata dalam tafsir
beliau: “Yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’ adalah
perkataan-perkataan yang melalaikan hati, yang menghalangi hati dari
tujuan yang mulia. Maka masuk di dalamnya seluruh jenis perkataan haram,
yang sia-sia dan batil, ucapan-ucapan yang tidak masuk akal dari
perkataan yang menjerumuskan kepada kekafiran, kefasikan, dan
kemaksiatan. (Juga) perkataan orang-orang yang menolak kebenaran dan
berdebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq, ghibah, namimah
(adu domba), dusta, cercaan dan celaan. (Termasuk juga) nyanyian, dan
alat-alat musik,13 dan perkara-perkara melalaikan yang tidak ada
manfaatnya, baik dunia atau agama.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 6/150)
As-Sunnah Ash-Shahihah Bertentangan dengan Hadits Ibnu ‘Abbas c
Di antara hadits Nabi n yang menunjukkan haramnya musik dan alat
musik adalah yang diriwayatkan dari sahabat Abu Malik Al-Asy’ari z,
bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْـمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku sekelompok kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.”
Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan hadits ini secara mu’allaq dalam
Ash-Shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban t dalam Shahih-nya, juga
yang lainnya dengan sanad yang shahih.14
Hadits yang mulia ini sangat tegas menyatakan haramnya alat musik
sebagaimana haramnya zina, khamr, dan sutera (bagi laki-laki). Hadits
ini sekaligus menjadi bukti dari sekian banyak bukti kenabian, di mana
Rasulullah n mengabarkan perkara yang belum terjadi, kemudian terjadi
seperti apa yang beliau kabarkan. Betapa banyak kaum muslimin
menghalalkan musik dan alat-alat musik dengan berbagai model dan
alirannya. Kenyataan yang menimpa umat ini sangat menyedihkan. Dan lebih
menyedihkan lagi, ketika orang yang menghalalkannya adalah sosok yang
mengaku sebagai da’i dan ustadz, kemudian menjual dagangannya dengan
menyuguhkan hadits-hadits palsu yang tidak sah dari Rasulullah n.
Subhanallah! Tidakkah mereka takut dengan ancaman Rasulullah n dalam
hadits yang mutawatir:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atasnamaku hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”15
Hadits kedua di antara hadits-hadits yang mengharamkan musik dan alat musik adalah sabda Rasulullah n:
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ: صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَصَوْتُ وَيْلٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
“Dua suara yang dilaknat: suara mizmar (seruling) di kala suka, dan suara (ratapan) celaka di kala musibah.”16
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam hadits terdapat pengharaman
alat musik, karena mizmar adalah alat (musik) yang ditiup. Hadits ini
merupakan salah satu dari banyak hadits yang membantah pembolehan Ibnu
Hazm terhadap alat-alat musik.”17
Kemuliaan Sahabat Membantah Hadits Ibnu Abbas c
Para pembaca rahimakumullah. Seorang muslim yang mengenal
kesempurnaan Rasulullah n dan kemuliaan para sahabat beliau g, akan
merasakan keanehan dan keganjilan pada hadits yang kita bahas ini.
Bagaimana tidak? Hadits tersebut mengandung celaan terhadap sahabat g,
bahkan kepada Rasulullah n.
Inilah sisi keempat yang dengannya kita mengenal kebatilan hadits
yang kita bahas. Yaitu dengan membandingkan keadaan sahabat Rasulullah n
yang sangat berlawanan dengan apa yang ditunjukkan oleh hadits.
Telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya sahabat
Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana dalam hadits
Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi
sesudahnya (tabi’in), kemudian generasi sesudahnya (tabi’ut
tabi’in).”18
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang wajib
diyakini tentang sahabat, bahwasanya mereka adalah umat yang paling
mulia dan generasi terbaik. Karena mereka adalah pendahulu (dalam
kebaikan), memiliki kekhususan berupa menyertai Nabi n, berjihad bersama
beliau, mengemban syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada
orang-orang sesudah mereka. Sungguh Allah k telah memuji mereka dalam
kitab-Nya. Allah l berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di bawahnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Dalam ayat lain Allah l berfirman:
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)19
Perhatikan sifat-sifat mulia yang Allah l berikan kepada sahabat
dalam dua ayat di atas. Tidak ada lagi keraguan akan kemuliaan sahabat
dan tingginya derajat mereka di sisi Allah l.
Sejarah Islam turut membuktikan bahwa mereka adalah generasi
terdepan umat ini. Waktu mereka dipenuhi dengan mempelajari ilmu,
mengamalkan dan menyebarkannya. Mereka adalah mujahidin yang senantiasa
berlaga di medan jihad untuk menegakkan kalimat Allah l di muka bumi.
Gelapnya malam mereka lalui dengan bertaubat dan berdiri di hadapan
Allah l, membaca dan mentadaburi ayat-ayat-Nya. Demikianlah sejarah
bertutur, mereka adalah generasi termulia yang paling bersemangat dalam
kebaikan serta paling jauh dari perkara yang tidak Allah l ridhai.
Adalah suatu hal yang mustahil bagi sahabat Rasulullah n yang waktu
mereka dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah l, kemudian mereka
membuang waktu dengan perbuatan sia-sia bahkan diharamkan Allah l.
Sangat mustahil, sahabat Rasulullah n yang demikian mulianya, duduk
bershaf menyia-nyiakan waktu dengan perkara haram, memandang wanita,
menikmati alunan lagu dan alat musik dari seorang perempuan yang tidak
halal di tengah-tengah mereka. Demi Allah, hal ini adalah kedustaan yang
nyata! Dan lebih tidak mungkin lagi Rasulullah n membiarkan kemungkaran
yang tampak di hadapan beliau.
Di akhir pembahasan, sejenak kita buka lembaran kehidupan sahabat g
bersama Rasulullah n yang penuh dengan kemuliaan. Sebuah sejarah yang
setiap muslim tidak pernah bosan membacanya.
Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani t dalam
kitabnya As-Sunan, meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Jabir bin
‘Abdillah z. Beliau z menceritakan di antara kisah kesungguhan sahabat
dalam beribadah dan berjihad fi sabilillah.
عَنْ جَابِرٍ [فِي رِوَايَةٍ عِنْدَ أَحْمَدَ: فِيْمَا يَذْكُرُ مِنَ
اجْتِهَادِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ n فِي الْعِبَادَةِ] قَالَ: خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللهِ n يَعْنِي فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ فَأَصَابَ
رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ
أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهَرِيقَ دَمًا فِي أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ. فَخَرَجَ
يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ n فَنَزَلَ النَّبِيُّ n مَنْزِلًا فَقَالَ:
مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: كُونَا بِفَمِ الشِّعْبِ. قَالَ:
فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ
الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ الْأَنْصَارِيُّ يُصَلِّي وَأَتَى الرَّجُلُ
فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرِفَ أَنَّهُ رَبِيئَةٌ لِلْقَوْمِ، فَرَمَاهُ
بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ
ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ، فَلَمَّا عَرِفَ
أَنَّهُمْ قَدْ نَذِرُوا بِهِ هَرَبَ، وَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا
بِالْأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، أَلاَ
أَنْبَهْتَنِي أَوَّلَ مَا رَمَى؟ :قَالَ كُنْتُ فِي سُورَةٍ أَقْرَؤُهَا،
فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا
Dari Jabir bin Abdillah z [tentang kesungguhan sahabat Rasulullah n
dalam beribadah]20, beliau berkata: Kami keluar bersama Rasulullah n
pada perang Dzatur Riqa’, (ketika itu) seorang sahabat membunuh
perempuan –istri dari seorang musyrikin–21, maka dia (laki-laki musyrik
tersebut) bersumpah tidak akan berhenti (mengejar) hingga menumpahkan
darah pada sahabat Muhammad n. Pergilah dia mengikuti jejak Nabi n. Maka
singgahlah Nabi n di suatu tempat, kemudian beliau bersabda: “Siapakah
yang akan menjaga kami?” Bangkitlah seorang sahabat dari Muhajirin dan
seorang dari Anshar.22 Beliau bersabda: “Berjagalah di ujung syi’b
(lembah antara dua bukit).” Tatkala keduanya telah pergi menuju ujung
lembah di antara dua bukit, tidurlah sahabat dari Muhajirin, sedangkan
sahabat dari Anshar tadi berdiri shalat. (Di saat itu) datanglah
laki-laki musyrik melihat sahabat Anshar (dalam keadaan shalat), dan
tahu bahwa dia adalah penjaga kaum. (Maka) dilepaskanlah anak panah
hingga mengenai sahabat Anshar. Lantas (oleh sahabat yang terpanah)
dicabutnya anak panah itu, hingga tiga kali terkena anak panah. Kemudian
sahabat Anshar itu ruku’ dan sujud, hingga bangunlah sahabatnya (dari
Muhajirin). Orang musyrik inipun tahu bahwasanya sahabat telah bersiaga,
maka dia pun lari. Berkatalah si Muhajir ketika melihat darah pada
sahabatnya: “Subhanallah, mengapa engkau tidak bangunkan aku ketika
engkau baru dipanah?” Sahabat Anshar itu menjawab: “Aku ketika itu
sedang membaca sebuah surat, dan aku tidak suka untuk memotongnya.”23
Perang Dzatur Riqa’ terjadi pada tahun ke-4 Hijriah demikian
dikatakan Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya. Disebut perang Dzatur Riqa’
karena para sahabat Rasulullah n ketika itu banyak yang membalut
kaki-kaki mereka yang terluka dalam peperangan, sebagaimana ditunjukkan
riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya, dari
sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z. Beliau z berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ n فِي غَزْوَةٍ وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ
بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ
قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا
الْخِرَقَ، فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ
مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Rasulullah n dalam sebuah peperangan, dan kami
enam orang memakai satu onta bergantian dalam mengendarainya. Kaki-kaki
kami terluka, dan terluka juga kakiku hingga lepas kuku-kukunya. Kami
ketika itu membalut kaki-kaki kami dengan kain-kain, maka dinamailah
perang tersebut dengan perang Dzatur Riqa’ karena apa yang kami lakukan,
(yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.”24
Lihatlah pembaca rahimakumullah, sebagian dari perjuangan yang
sangat menakjubkan dari Rasulullah n dan generasi terbaik umat ini.
Berjalan siang malam menempuh sahara dengan segala kesukarannya.
Mengorbankan jiwa dan raga untuk menegakkan kalimat Laa ilaa ha illallah
di muka bumi.
Perhatikan pula bagaimana sahabat Anshar itu tegak berdiri membaca
kalam Allah l dalam shalatnya di tengah-tengah tugas menjaga Rasulullah
n. Darah yang mengalirpun tidak lagi dihiraukan untuk tetap merenungi
kalam Allah k. Demikian pula kakinya tetap kokoh berdiri di hadapan
Allah l. Maka, orang yang mengetahui sejarah dan sadar akan kedudukan
sahabat, dia akan terkejut ketika mendengar hadits Ibnu ‘Abbas c yang
sangat tidak sesuai dengan kehidupan sahabat g. Selanjutnya dia akan
bertanya: “Shahihkah hadits ini?” Maka jawabnya: Hadits ini bathil dan
didustakan atas nama Rasulullah n.
Pembaca rahimakumullah (semoga Anda dirahmati Allah l).
Di akhir pembahasan ini, kita meminta kepada Allah l agar Dia
melindungi kita dari kesesatan dan penyimpangan di tengah badai fitnah
yang menimpa umat ini. Semoga Allah l menjadikan hati kita mencintai
keimanan, mencintai Rasulullah n dan generasi terbaik umat ini. Dan
semoga Allah l mengumpulkan kita bersama mereka di jannah-Nya yang penuh
kenikmatan dan kebahagiaan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga Allah l senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad n, keluarganya, dan para sahabatnya.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
1 Beliau adalah Hassan bin Tsabit bin Al-Mundzir bin Haram
Al-Anshari Al-Khazraji, penyair Rasulullah n. Beliau meninggal tahun 54
H. Lihat Taqrib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
2 Beliau adalah Al-Hafizh Abul Qasim ‘Ali bin Al-Hasan bin
Hibatullah bin Abdillah Asy-Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan
Ibnu ‘Asakir, meninggal tahun 571 H.
3 Lafadz bathil ketika digunakan untuk menghukumi sebuah hadits,
semakna dengan lafadz maudhu’ atau makdzub atau hadza min ifkihi.
Semuanya adalah lafadz-lafadz sharih (jelas) yang menunjukkan akan
kepalsuan hadits. Wallahu a’lam.
4 Lafadz-lafadz jarh (pencacatan rawi) tersebut adalah istilah yang
harus dipahami dan dicermati secara khusus dalam ilmu Al-Jarh wa
At-Ta’dil. Semua ibarat yang dilontarkan terhadap Al-Husain bin
‘Abdillah dan Abu Uwais adalah jarh (pencacatan) terhadap keduanya.
Wallahu a’lam.
5 Ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim
Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, dan An-Nasa`i disebutkan oleh Ibnu Abi
Hatim Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Jarh Wa At-Ta’dil (2/57).
6 Lihat Adh-Dhu’afa` wal Matrukin karya Al-Imam An-Nasa`i (1/33).
Ibnu Abi Hatim juga menukilkan ucapan An-Nasa`i dalam Al-Jarh wa
At-Ta’dil (2/57).
7 Lihat Asy-Syajarah Fi Ahwalir Rijal karya Al-Jauzajani, hal. 240.
8 Lihat Al-Majruhin karya Ibnu Hibban Al-Busti (1/242).
9 Lihat Taqribut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani.
10 Ucapan ‘Ali bin Al-Madini disebutkan Ibnu Abi Hatim dalam
Al-Jarh wa At-Ta’dil (2/57). Lihat juga Ad-Dhu’afa` karya Al-‘Uqaili
(1/245).
11 Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi (2/292).
12 Tafsir At-Thabari (15/118)
13 Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsir beliau (21/61-64)
meriwayatkan sejumlah riwayat dari sahabat dan tabi’in tentang makna (
ﭴ ﭵ) yaitu nyanyian, maka rujuklah kepadanya.
14 Pendapat Ibnu Hazm tentang dha’ifnya hadits ini adalah pendapat
yang tertolak. Untuk menambah keterangan, lihat pembahasan Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam risalah beliau Tahrim Alat
Ath-Tharb (hal. 38).
15 HR. Al-Bukhari no.108, dari hadits Az-Zubair bin Al-‘Awwam z. Di
awal hadits ini disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Az-Zubair t bertanya
kepada ayahnya: “Aku tidak mendengar engkau banyak menyampaikan hadits
dari Rasulullah n sebagaimana fulan dan fulan menyampaikannya.” Kemudian
Az-Zubair berkata sebagaimana lafadz hadits di atas.
16 HR. Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Ar-Ruba’iyat (2/22/1). Lihat pembahasan hadits pada Ash-Shahihah, no. 427.
17 Lihat Ash-Shahihah (1/2/790) hal. 791.
18 HR. Al-Bukhari no. 2652.19 Kitab At-Tauhid (hal. 122-123) oleh Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan.
20 Apa yang ada di antara dua kurung ada dalam riwayat Al-Imam Ahmad. Lihat Musnad Al-Imam Ahmad (3/359).
21 Faedah: Pada asalnya perempuan tidak boleh dibunuh dalam
peperangan, kecuali jika dia termasuk pasukan musyrikin yang ikut
berperang. Maka tidak ada isykal dalam hadits ini karena dibunuhnya
perempuan musyrik dalam perang Dzatur Riqa’. Boleh jadi karena dia masuk
dalam barisan pasukan musyrikin, atau terbunuh tanpa disengaja.
Demikian keterangan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah
ketika mensyarah hadits ini.
22 Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud (1/333) penulis memberikan faedah
bahwa Al-Imam Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwah menyebutkan nama dua
sahabat ini, yaitu ‘Ammar bin Yasir dari kalangan Muhajirin dan ‘Abbad
bin Bisyr dari Anshar.
23 HR. Abu Dawud (No.198)
Di antara faedah hadits Jabir bin Abdillah z yang bisa kita petik:
(1) Hadits ini merupakan dalil bahwa darah (selain darah haid dan nifas)
tidak najis (2) Keluarnya darah dengan sebab luka tidak membatalkan
wudhu, sebagaimana sahabat Anshar terus melakukan shalat dalam keadaan
darah mengalir (3) Menempuh sebab tidak menafikan tawakal, sebagaimana
ditunjukkan hadits bahwa Rasulullah n memerintahkan sahabat untuk
melakukan penjagaan (4) Shalat malam tidak disyaratkan harus tidur
sebelumnya, sebagaimana shalatnya sahabat Anshar ini. Juga ditunjukkan
oleh hadits wasiat Rasulullah n kepada Abu Hurairah z untuk shalat witir
sebelum tidur. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
24 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih, kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwatu
Dzatur Riqa’ (no. 4128) dan Muslim dalam Ash-Shahih, Kitab Al-Jihad was
Sair, Bab Ghazwatu Dzatir Riqa’ (no.1816)
Ketenangan Hati dengan Berdzikir
(ditulis oleh: Al-Ustadz Jauhari, Lc.)
Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah l menjelaskan:
Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah l menjelaskan:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu)
Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi
tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi
petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menyatakan, ﭮ artinya
diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji dan ancaman,
sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang padanya
nama-nama dan sifat-sifat Allah k. Dan ini termasuk bukti keagungan
Al-Qur`an dan keindahannya. Karena, Allah l mengetahui kebutuhan
makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta
menyempurnakan akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan
air bagi tanaman. Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak
disirami, ia akan layu bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu
disirami maka dia akan baik dan berbuah dengan berbagai macam buah yang
bermanfaat. Demikian pula hati. Ia selalu memerlukan pengulangan
makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna dari Al-Qur`an hanya
disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan tepat sasaran
dan tidak akan membuahkan hasil.
Ibnu Katsir t berkata: “Adh-Dhahhak berkata: ﭮ, yaitu mengulang
kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman
bin Zaid bin Aslam berkata: ﭮ, yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang
kisah Nabi Musa, Hud, dan nabi-nabi yang lain, r.”
Kemudian Ibnu Katsir t mengatakan: “Diriwayatkan dari Sufyan bin
‘Uyainah bahwa makna ﭮ adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya
(kebalikannya). Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian
orang-orang kafir, menyebutkan sifat surga kemudian sifat neraka.”
Jadi dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu
bersama kebalikannya, Allah l menginginkan agar kita paham apa yang
Allah l kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan:
وَبِضِدِّهَا تَتَمَيَّزُ الْأَشْيَاءُ
“Dan dengan kebalikannya, sesuatu dapat dibedakan.”
Dalam masalah musik pun demikian. Allah l jelaskan bagaimana jalan
orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah l juga
menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta
yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan
Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.
Orang yang Baik, Berakal, dan Beruntung
1. Orang-orang cerdik (ulul albab) selalu berdzikir
Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka’.” (Ali ‘Imran: 191)
Al-Imam Al-Baghawi t mengatakan: “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa
yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir,
dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan
ini.”
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan, ini mencakup seluruh dzikir
dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri,
kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring.
Maka pada ayat ini Allah l menunjukkan kepada kita jalan orang yang
baik dan beruntung. Yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu
mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan
pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak
ingin waktunya terbuang sia-sia.
2. Orang-orang beriman tenang hati mereka dan tentram dengan berdzikir
Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
Asy-Syaikh As-Sa’di t menyatakan, “Allah l menyebutkan sifat orang-orang beriman, maka Allah l menyatakan:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”
Maksudnya, akan hilang gundah gulana dan kegoncangannya, serta akan datang kebahagiaan dan ketentramannya.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain
mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih
disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada
Penciptanya.
3. Orang yang beruntung adalah orang yang menjauhi perbuatan sia-sia yang tidak berguna
Allah l mengatakan:
“Telah beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang
khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
perbuatan yang sia-sia.” (Al-Mu`minun: 1-3)
Makna ﭞ telah dijelaskan oleh para ulama.
Al-Imam Asy-Syaukani t dalam tafsirnya mengatakan: “Az-Zajjaj
berkata, ﭞ adalah semua kebatilan, perkara sia-sia dan tidak serius,
kemaksiatan, serta segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.”
Adh-Dhahhak mengatakan, “Sesungguhnya ﭞ di sini maknanya adalah
kesyirikan.” Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Ia (ﭞ) adalah seluruh
kemaksiatan.”
Makna ﭟ (berpaling darinya) adalah menjauhi dan tidak melirik kepadanya.
Inilah beberapa sifat dan kriteria orang-orang yang beriman. Mereka
selalu menjaga waktu dan berupaya untuk memanfaatkannya untuk perkara
yang membawa maslahat, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Mereka
selalu berdzikir dengan membaca Al-Qur`an atau dzikir-dzikir yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad n. Mereka mencari ketenangan dan
ketentraman dengan ketaatan kepada Allah l. Maka pantas sekali bila
mereka menjadi orang yang beruntung di sisi Allah l.
Orang-Orang yang Tidak Terbimbing
Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar,
mereka menjauh dari dzikir kepada Allah l dan larut dalam godaan-godaan
setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela
membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka
pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada
berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati
dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif.
Karena Allah l telah menegaskan:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit….” (Thaha: 124)
Kalimat(berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir t,
artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan
kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru
mengambil bimbingan dari yang lain.”
Jadi, orang yang mendengarkan musik dan lagu-lagu, berarti ia telah
berpaling dari Allah l. Karena Allah l telah melarangnya. Nabi n pun
telah melarangnya.
Adapun(penghidupan yang sempit), para ahli tafsir berbeda pendapat
tentangnya. Ada yang menafsirkan bahwa adalah kehidupan yang sempit,
seperti dinukil dari Ibnu ‘Abbas c. Ada juga yang menyatakan bahwa
maknanya adalah amalan dan rizki yang jelek, sebagaimana dinukil oleh
Ibnu Katsir dari Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Malik bin Dinar. Ada pula
yang mengatakan bahwa maksudnya adalah adzab kubur. Ini dinukil dari Abu
Sa’id Al-Khudri z, bahkan ada yang mengatakan bahwa (pendapat) ini
marfu’ sampai kepada Nabi n.
Al-Bazzar t meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hujairah, dari
Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad n, pada perkataan Allah l ﯺ (yang
sempit), beliau menjelaskan: “Kehidupan yang sempit yang Allah l katakan
adalah bahwa orang tersebut akan disiksa dengan 99 ekor ular yang
memakan dagingnya sampai hari kiamat.” Riwayat ini dikuatkan oleh
Al-Imam Asy-Syaukani t.
Al-Bazzar t juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Salamah,
dari Abu Hurairah z, dari Nabi Muhammad n, beliau menyatakan adalah
adzab kubur. Ibnu Katsir t menyatakan sanad hadits ini hasan.
Kaidah tafsir menyatakan: “Manakala ada penafsiran yang banyak dan
tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat
itu dibawa kepada semua makna yang ada.”
Walhasil, Ibnu Katsir t menyimpulkan bahwa tidak ada ketenangan dan
kelapangan dada bagi orang yang menjauh dari syariat Allah l.
Orang yang Menjauh dari Dzikir akan Ditemani Setan yang Menyesatkannya
Termasuk hukuman yang Allah l berikan atas orang yang menjauh dari
dzikir –dan orang yang senang dengan lagu dan musik termasuk dalam hal
ini– adalah bahwa Allah l akan mengirim setan dan membiarkannya
menyesatkan orang tersebut. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Dzat Yang Maha Pemurah
(Al-Qur`an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf: 36)
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan, Allah l mengabarkan tentang
hukuman yang keras bagi orang yang berpaling dari peringatan-Nya. Maka
Allah l mengatakan: ﭦ ﭧ artinya, “dan barangsiapa yang berpaling dan
menghalangi”, ﭨ ﭩ ﭪ yaitu Al-Qur`an yang agung, yang merupakan
nikmat yang terbesar dari Allah l kepada hamba-Nya. Maka, siapa yang
menerimanya berarti dia telah menerima pemberian yang terbaik, dan
beruntung mendapatkan hasil yang terbesar. Sebaliknya, siapa yang
menjauh darinya atau menolaknya, maka dia telah gagal dan merugi, serta
tidak akan berbahagia selamanya. Selanjutnya, Allah l akan kirimkan
kepadanya setan yang membangkang untuk menemani dan menyertainya,
memberikan janji-janji dan angan-angan, serta mendorongnya berbuat
maksiat. Semoga Allah l menjauhkan kita dari hal ini.
Dari paparan Al-Qur`an yang sangat jelas tadi, orang yang berakal
tentunya akan memilih perkara yang jelas membawa manfaat, yaitu selalu
berdzikir, membaca Al-Qur`an, dan mengamalkan syariat Allah l, baik
shalat maupun yang lain, yang akan menentramkan hati dan membawa
kebahagiaan ukhrawi. Dia juga akan berusaha keras meninggalkan apa yang
dilarang oleh Allah l, Dzat yang telah menciptakannya, meskipun perkara
ini telah mendarah daging pada dirinya. Allah l akan membimbing kita
kepada jalan yang benar sebagaimana telah ditegaskan:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(Al-‘Ankabut: 69)
Nabi Muhammad n juga telah memberikan motivasi, bahwa ketika
semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang dalam suatu perkara,
maka balasan dari Allah l juga lebih besar. Diriwayatkan dari Anas bin
Malik z bahwa Nabi n bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya cobaan.” (HR.
At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, no. 57, Ibnu Majah, Kitabul Fitan, no. 23.
At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan gharib.” Hadits ini dihasankan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 110)
Wallahu a’lam.
Fatwa Ulama tentang Nasyid Islam
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
Bagi kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif dari “cara bermusik”. Mereka berkukuh bahwa selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal itu diperbolehkan bahkan bisa menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa, nasyid mereka hampir tak ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya pun -meski kadang berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan kebid’ahan.
Belakangan, berkembang di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang dikenal dengan nasyid Islami. Nasyid ini dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok. Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada yang tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan nasyid Islami kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan lantunannya, tidak ada perbedaan.
Bila merunut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah n dan para sahabatnya g. Sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang disebut at-taghbir yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih. Ibnul Qayyim t menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan (1/229), bahwa penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i t adalah mutawatir.” Lihat At-Tahrim hal. 163)
Al-Imam Ahmad t ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Abu Dawud t berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad t) tidak mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi, 8/343)
At-Taghbir adalah bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.
Dari sini, nampaklah bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam, musik Islami, pacaran Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau embel-embel Islami yang lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekadar melihat namanya. Yang terpenting adalah hakikat dari apa yang terkandung di balik nama tersebut.
Maka, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum perkara yang disebut dengan nasyid Islami ini.
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Syaikhul Islam ditanya tentang sekelompok orang yang bergabung untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, minum khamr, dan yang lainnya. Kemudian salah seorang di antara Syaikh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti As-Sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Namun tidak memungkinkan baginya melakukan hal itu kecuali dengan cara membuat sebuah sama’ (nasyid) untuk mereka, di mana mereka berkumpul padanya dengan niat ini. Sama’ ini menggunakan rebana tanpa alat gemerincing, dan nyanyian seorang penyanyi dengan syair-syair yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.
Tatkala dilakukan cara ini, di antara kelompok tersebut ada yang bertaubat. Dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan tidak berzakat, menjadi berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, serta menjauhi perkara yang diharamkan. Maka apakah dibolehkan nasyid yang dibuat Syaikh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini.
Beliau t menjawab dengan panjang lebar. Di antara yang beliau katakan:
“Sesungguhnya Syaikh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakukan berbagai dosa besar itu bertaubat. Namun tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan, berupa metode yang bid’ah. Ini menunjukkan bahwa Syaikh tersebut jahil (tidak tahu) tentang metode-metode syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul n, para sahabat dan tabi’in, mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat, dengan cara-cara yang syar’i. Allah l telah berikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah.
Tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada cara syar’i yang Allah l utus Nabi-Nya dengannya, yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat. Sebab telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa orang-orang, yang tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah k, telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan. Tidak disebutkan padanya berkumpul dengan cara bid’ah sebagaimana yang dilakukan. Bahkan, orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan kebaikan –dan mereka adalah para wali Allah l yang bertakwa dari kalangan umat ini– telah bertaubat kepada Allah l dengan cara-cara yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa, 11/624-625)
Fatwa Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau berkata:
“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah k–. Yaitu seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid agamis.
Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah l kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah k. Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan! Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.
Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya. Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh Nabi n dari kaumnya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya l:
Bagi kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif dari “cara bermusik”. Mereka berkukuh bahwa selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal itu diperbolehkan bahkan bisa menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa, nasyid mereka hampir tak ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya pun -meski kadang berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan kebid’ahan.
Belakangan, berkembang di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang dikenal dengan nasyid Islami. Nasyid ini dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok. Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada yang tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan nasyid Islami kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan lantunannya, tidak ada perbedaan.
Bila merunut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah n dan para sahabatnya g. Sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang disebut at-taghbir yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih. Ibnul Qayyim t menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan (1/229), bahwa penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i t adalah mutawatir.” Lihat At-Tahrim hal. 163)
Al-Imam Ahmad t ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Abu Dawud t berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad t) tidak mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi, 8/343)
At-Taghbir adalah bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.
Dari sini, nampaklah bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam, musik Islami, pacaran Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau embel-embel Islami yang lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekadar melihat namanya. Yang terpenting adalah hakikat dari apa yang terkandung di balik nama tersebut.
Maka, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum perkara yang disebut dengan nasyid Islami ini.
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Syaikhul Islam ditanya tentang sekelompok orang yang bergabung untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, minum khamr, dan yang lainnya. Kemudian salah seorang di antara Syaikh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti As-Sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Namun tidak memungkinkan baginya melakukan hal itu kecuali dengan cara membuat sebuah sama’ (nasyid) untuk mereka, di mana mereka berkumpul padanya dengan niat ini. Sama’ ini menggunakan rebana tanpa alat gemerincing, dan nyanyian seorang penyanyi dengan syair-syair yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.
Tatkala dilakukan cara ini, di antara kelompok tersebut ada yang bertaubat. Dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan tidak berzakat, menjadi berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, serta menjauhi perkara yang diharamkan. Maka apakah dibolehkan nasyid yang dibuat Syaikh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini.
Beliau t menjawab dengan panjang lebar. Di antara yang beliau katakan:
“Sesungguhnya Syaikh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakukan berbagai dosa besar itu bertaubat. Namun tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan, berupa metode yang bid’ah. Ini menunjukkan bahwa Syaikh tersebut jahil (tidak tahu) tentang metode-metode syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul n, para sahabat dan tabi’in, mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat, dengan cara-cara yang syar’i. Allah l telah berikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah.
Tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada cara syar’i yang Allah l utus Nabi-Nya dengannya, yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat. Sebab telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa orang-orang, yang tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah k, telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan. Tidak disebutkan padanya berkumpul dengan cara bid’ah sebagaimana yang dilakukan. Bahkan, orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan kebaikan –dan mereka adalah para wali Allah l yang bertakwa dari kalangan umat ini– telah bertaubat kepada Allah l dengan cara-cara yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa, 11/624-625)
Fatwa Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau berkata:
“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah k–. Yaitu seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid agamis.
Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah l kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah k. Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan! Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.
Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya. Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh Nabi n dari kaumnya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya l:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini suatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di
Damaskus –dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Amman)– sebagian
pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat
(dari penyimpangan), dengan tujuan menyaingi nyanyian kaum Shufiyyah,
seperti qashidah Al-Bushiri dan yang lainnya. Nasyid tersebut terekam di
kaset.
Tidak berapa lama kemudian, nasyid tersebut sudah dibarengi pukulan
rebana! Mulanya, mereka menggunakannya pada acara-acara pesta
pernikahan, dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut
boleh. Kemudian kaset tersebut menyebar dan dikopi menjadi beberapa
kaset salinan. Tersebarlah penggunaannya di sekian banyak rumah.
Merekapun menyimaknya siang malam, baik dalam sebuah acara tertentu
ataupun tidak. Dan hal tersebut menjadi hiburan mereka!
Keadaan ini tidak terjadi melainkan karena hawa nafsu yang
mendominasi dan kebodohan terhadap tipu daya setan. Sehingga hal itu
memalingkan mereka dari perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarnya,
apalagi mempelajarinya. Al-Qur`an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan,
sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Al-Hafizh Ibnu
Katsir t berkata dalam tafsirnya (3/317): “Allah k berfirman
mengabarkan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad n bahwa ia berkata:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al-Qur`an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah k:
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar
Al-Qur`an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk
terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat: 26)
Adalah jika dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, mereka gaduh dan
memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak
mendengarnya. Hal ini termasuk meninggalkannya. Tidak beriman dengannya
dan tidak membenarkannya termasuk mengabaikan Al-Qur`an. Tidak
mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya. Tidak beramal
dengannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangannya
termasuk mengabaikannya. Berpaling darinya menuju kepada selainnya
berupa syair, perkataan, nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah
ucapan atau satu metode yang diambil dari selainnya, termasuk
mengabaikannya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Yang Maha
Pemberi Anugerah, Maha Kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar
menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa
yang diridhai-Nya berupa menghafal kitab-Nya dan memahaminya, serta
melaksanakan kandungannya, baik di malam maupun siang hari, dengan cara
yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha
Pemberi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 181-182)
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t
Beliau t ditanya: “Saya pernah mendengar sebagian nasyid Islami dan
di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian. Tanpa
musik, namun disertai suara yang indah. Bagaimanakah hukumnya? Sebagai
pengetahuan, ada sebagian ikhwan yang tidak senang dengannya dan
mengatakan bahwa hal itu termasuk amalan kaum Shufiyyah. Aku berharap
dari Syaikh yang mulia untuk memberi jawaban.”
Beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul n:
“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini, yang dinamakan
dengan nasyid Islami, di dalamnya terdapat sebagian perkara yang
terlarang. Di antaranya, nasyid tersebut dilantunkan seperti nyanyian
para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh.
Kemudian, nasyid itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu.
Bahkan terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan
yang semisalnya.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak ada tepuk
tangan dan pukulan piring atau yang semisalnya, dan si penanya berkata
bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dengan suara
yang indah dan merdu. Maka, kami berpandangan agar nasyid seperti ini
tidak didengarkan, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai
lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu.
Tentunya, yang lebih baik dari itu ialah mendengarkan
nasihat-nasihat yang bermanfaat, yang diambil dari Kitab Allah l dan
Sunnah Rasul-Nya n, serta perkataan para sahabat dan para imam dari
kalangan ahli ilmu dan agama. Karena, di dalamnya sudah terdapat
kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya.
Jika seseorang terbiasa tidak mengambil sesuatu sebagai nasihat
kecuali dengan cara tertentu, seperti lantunan nyanyian, hal itu akan
menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasihat-nasihat
yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa mengambil nasihat hanya dengan
cara ini. Hal ini sangat berbahaya, bahkan dapat menyebabkan seseorang
bersikap zuhud (tidak butuh) terhadap nasihat Al-Qur`an yang mulia dan
Sunnah Nabi n, serta perkataan para ulama dan imam.” (diterjemahkan dari
kaset Nur ‘Alad Darb, kaset no. 258, bagian kedua)
Fatwa Al-’Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri
“Sesungguhnya, sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar
di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan
dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah dari Islam. Sebab, hal itu telah
dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan
(gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka
untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan
Al-Qur`an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut
di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat
mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang
mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya,
dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan
mengharap wajah Allah l, dari ilmu dan amalannya.” (Iqamatud Dalil ‘Alal
Man’i Minal Anasyid Al-Mulahhanah wat Tamtsil hal. 6, dari situs
sahab.net)
“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan
lantunan nyanyian, dengan syair-syair para sahabat g tatkala mereka
membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan
dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi
semangat kepada untanya di waktu safar, maka ini adalah qiyas yang
batil. Sebab para sahabat g tidak pernah bernyanyi dengan syair-syair
tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang, yang
membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang
dilakukan oleh sebagian pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim
panas. Namun para sahabat g hanya mencukupkan melantunkan syair-syair
tersebut dengan mengangkat suara. Tidak disebutkan bahwa mereka
berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara, seperti yang
dilakukan para pelajar di zaman kita.
Kebaikan yang hakiki adalah mengikuti apa yang telah ditinggalkan
oleh Rasulullah n dan para sahabatnya g. Kejahatan yang sesungguhnya
adalah dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru
yang bukan dari bimbingan mereka, serta tidak dikenal pada zaman mereka.
Semua itu berasal dari bid’ah kaum Shufiyyah, yang menjadikan agama
mereka sebagai permainan serta hal yang melalaikan. Telah diriwayatkan
tentang bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan irama
secara berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam menjunjung Nabi n.
Mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan menamakannya dengan dzikir,
padahal pada hakikatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah k dan
dzikir-Nya. Dan siapapun yang menjadikan kaum Shufi yang sesat sebagai
pendahulu dan panutan, maka itu adalah seburuk-buruk teladan yang telah
mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (ibid, hal. 7-8)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya, penamaan nasyid-nasyid yang
dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya
perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:
1. Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan
penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syariat Islam,
sekaligus pernyataan bahwa syariat Islam belum sempurna di zaman Nabi n.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah k:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan
agama Islam bagi umat ini. Sehingga, pernyataan bahwa nasyid yang
berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan
terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari
ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.
2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasul n dalam menyampaikan dan
menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka
melantunkan nasyid secara berjamaah dengan lirik lagu. Tidak pula beliau
n mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
3. Menisbahkan kepada Rasul n dan para sahabatnya g bahwa mereka
telah menelantarkan salah satu perkara Islam dan tidak mengamalkannya.
4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama
nyanyian, dan memasukkannya sebagai perkara Islam. Telah disebutkan oleh
Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib
dari Ibnul Majisyun, dia berkata: “Aku mendengar Malik (bin Anas)
berkata: ‘Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam dan ia menganggapnya
baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad n telah
mengkhianati risalah. Sebab Allah l berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Maka, apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (ibid, hal. 11)
Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al-Minbariyyah (3/184-185):
“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak
beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa
kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah,
yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian.
Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di
beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim
serta ceramah-ceramah agama.
Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian
nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada
kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah k,
membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun
nasyid-nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok bid’ah
Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal yang
melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum
Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang
membuat orang bergoyang sebagai agama mereka.
Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan
melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah akibat buruk
yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak terkontrol,
serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.” (As`ilah ‘an Al-Manahij
Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)
Perbedaan ‘Nasyid Islami’ dengan Dendangan Syair para Sahabat Nabi n
q Mereka mendendangkan syair-syair mereka pada waktu tertentu,
seperti ketika safar (yang disebut dengan hida’), dengan tujuan mengusir
rasa kantuk. Atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat,
seperti membangun rumah, parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz).
Sedangkan nasyid Islami menjadi hiburan di setiap waktu, dengan alasan
sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu.
Sa’id bin Al-Musayyab t berkata:
إِنِّي لَأَبْغَضُ الْغِنَاءَ وَأُحِبُّ الرَّجْزَ
“Sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz.”
(Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 11/19743. Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 279)
q Syair-syair yang mereka lantunkan tersebut diistilahkan dengan nasyid kaum Arab, bukan nasyid Islami.
q Tujuan mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk
meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan di waktu
safar atau bekerja keras. Sedangkan nasyid Islami dibuat dengan tujuan
sebagai ‘sarana dakwah’. Agar orang yang mendengarnya menjadi sadar dari
perbuatan maksiat yang dia lakukan, sebagaimana fatwa Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah t yang telah lalu. Atau dengan alasan sebagai alternatif
pengganti lagu-lagu cabul.
q Lantunan syair mereka tidak mendorong untuk bergoyang dan
melenggak-lenggokkan badan, berbeda dengan yang disebut nasyid Islami.
q Lantunan syair-syair mereka tidak diiringi alat musik. Sedangkan
apa yang disebut nasyid Islami, mayoritasnya disertai dengan alat musik.
q Lantunan syair mereka tidak disertai dengan notasi (do-re-mi)
seperti halnya nyanyian. Berbeda dengan yang disebut nasyid Islami yang
menggunakan notasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian
secara umum. Bahkan di antara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki
perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul, kecuali gubahannya saja.
Adapun lirik dan lantunannya sama persis, tidak berbeda.
q Mereka melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan
berjamaah. Tidak seperti yang mereka namakan nasyid Islami. (Lihat
kitabal Bayan li Akhtha` Ba’dhil Kuttab, Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal.
341, kitab At-Tahrim, Al-Albani hal. 101)
Semoga Allah k senantiasa membimbing kita untuk mengenal al-haq dan
mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kita kebatilan agar kita dapat
menjauhkan diri darinya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Musik Yang Dikecualikan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
Pada momen atau keadaan tertentu, bernyanyi dan menggunakan alat musik tertentu memang diperkenankan. Namun demikian hal itu tidak lantas dijadikan dalil untuk membolehkan seluruh jenis alat musik pada seluruh jenis keadaan. Lihat penjelasannya.
Pada momen atau keadaan tertentu, bernyanyi dan menggunakan alat musik tertentu memang diperkenankan. Namun demikian hal itu tidak lantas dijadikan dalil untuk membolehkan seluruh jenis alat musik pada seluruh jenis keadaan. Lihat penjelasannya.
Setelah kita mengetahui nash-nash tentang haramnya musik secara
umum, perlu diketahui pula beberapa keadaan yang dikecualikan. Di
antaranya:
Bernyanyi Menabuh Rebana di Waktu Acara Pernikahan
Dalam hadits Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra` x, dia berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ n فَدَخَلَ حِيْنَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلىَ
فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ
بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ
قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ:
دَعِي هَذِهِ، وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
“Nabi n datang, lalu beliau masuk tatkala acara pernikahanku.
Beliau duduk di atas ranjangku seperti duduknya engkau dariku. Maka
beberapa anak perempuan kecil mulai memukul rebana sambil menyebut
kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku dalam Perang
Badr. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: ‘Di antara kami ada
seorang Nabi, yang mengetahui apa yang terjadi esok hari.’ Maka
Rasulullah n bersabda: ‘Tinggalkan ucapan ini, dan ucapkanlah apa yang
tadi engkau katakan’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab An-Nikah, Bab Dharbu
Ad-Duf fin Nikah wal Walimah, no. 4852)
Al-Hafizh t berkata ketika mengomentari hadits ini: “Al-Muhallab
berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya mengumumkan
pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang mubah’.” (Fathul Bari, 9/203)
Hal ini dikuatkan pula dengan hadits ‘Amir bin Sa’d z, dia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَأَبِي مَسْعُودٍ
الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ. فَقُلْتُ:
أَنْتُمَا صَاحِبَا رسول اللهِ n وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، يُفْعَلُ هَذَا
عِنْدَكُمْ؟ فَقَاَل: اجْلِسْ، إن شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ
اذْهَبْ، قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ
“Aku masuk ke tempat Quradzah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshari
dalam acara pernikahan. Ternyata ada beberapa anak wanita kecil sedang
bernyanyi. Maka aku bertanya: ‘Kalian berdua adalah sahabat Nabi n dan
ikut dalam Perang Badr. Hal ini (nyanyian) dilakukan di dekat kalian?’
Maka ia menjawab: ‘Jika engkau mau, dengarkanlah bersama kami. Dan jika
engkau mau, pergilah. Sesungguhnya telah dibolehkan bagi kami
bersenang-senang ketika pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3383. Dihasankan
Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Hathib z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَرَامِ وَالْحَلَالِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pembeda antara (hubungan) yang haram dan yang halal adalah menabuh
rebana dan suara dalam pernikahan.” (HR. Ahmad, 3/418, At-Tirmidzi no.
1088, An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Albani
dalam Al-Irwa`, 7/1994)
Bernyanyi dan Menabuh Rebana di Hari Raya
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah x, ia berkata:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي
الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ.
قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ:
أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رَسُولِ اللهِ n؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ
عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ
عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا
Abu Bakr masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan
kecil dari wanita Anshar sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan
oleh orang-orang Anshar pada masa Bu’ats (perang besar yang terjadi di
masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).” Aisyah berkata: “Keduanya
bukanlah penyanyi.” Abu Bakr lalu berkata: “Apakah seruling setan di
dekat Rasulullah n, di rumah Rasulullah n?” Hal itu terjadi pada hari
raya. Rasulullah n bersabda: ‘Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum
memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita’.” (HR. Al-Bukhari,
Kitab Al-‘Iedain, Bab Sunnatul ‘Iedain li Ahlil Islam no. 909)
Dalam riwayat Al-Bukhari pula, dari Aisyah x: “Abu Bakr z masuk ke
tempat Aisyah. Di dekatnya ada dua perempuan kecil –pada hari-hari Mina
(hari tasyriq) – sambil memukul rebana, dalam keadaan Nabi n menutup
wajahnya dengan bajunya. Abu Bakr lalu membentak mereka berdua. Maka
Nabi n menyingkap baju tersebut dari wajahnya lalu berkata: “Biarkanlah
keduanya wahai Abu Bakr, karena sesungguhnya ini adalah hari-hari raya.”
Waktu itu adalah hari-hari Mina.” (HR. Al-Bukhari no. 944)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari t berkata: “Hadits ini adalah hujjah
kami. Sebab Abu Bakr menamakan hal itu sebagai seruling setan, dan Nabi n
tidak mengingkari ucapan Abu Bakr. Hanya saja beliau n melarang Abu
Bakr melakukan pengingkaran keras terhadapnya karena kebaikan beliau
dalam bergaul, apalagi pada hari raya. Sementara Aisyah x masih anak
kecil pada waktu itu. Tetapi tidak ada dinukilkan dari beliau (Aisyah)
setelah beliau baligh dan mendapat ilmu kecuali celaan terhadap
nyanyian. Anak saudaranya sendiri yang bernama Al-Qasim bin Muhammad
mencela nyanyian dan melarang dari mendengarnya. Dia (Al-Qasim)
mengambil ilmu darinya (Aisyah x).” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi hal.
292, At-Tahrim hal. 114)
Ibnu Taimiyyah t juga berkata dalam risalah As-Sama’ War Raqsh
(Nyanyian dan Tarian): “Dalam hadits ini ada penjelasan bahwa berkumpul
untuk perkara ini bukanlah kebiasaan Nabi n dan para sahabatnya. Abu
Bakr z menamakannya sebagai seruling setan. Nabi n membiarkan anak-anak
perempuan cilik melakukannya dengan menyebutkan sebab bahwa itu adalah
hari raya. Dan anak-anak kecil diberi keringanan bermain pada hari-hari
raya, sebagaimana terdapat dalam hadits: ‘Agar kaum musyrikin mengetahui
bahwa di dalam agama kami terdapat kelonggaran’.” (At-Tahrim hal.
114-115)
Tidak diketahui ada riwayat yang shahih dari Nabi n, yang
membolehkan umatnya bernyanyi dengan menggunakan rebana, kecuali dua
keadaan tersebut: pesta pernikahan dan hari-hari raya.
Wallahul muwaffiq.
Peringatan
Adapun hadits Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa ada
seorang budak wanita hitam datang kepada Rasulullah n, ketika beliau n
pulang dari salah satu peperangan. Budak tersebut berkata: “Sesungguhnya
aku pernah bernadzar untuk aku memukul rebana di dekatmu, jika Allah k
mengembalikan engkau dalam keadaan selamat.” Beliau menjawab: “Jika
engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar
maka jangan engkau melakukannya.” Diapun mulai memukulnya. Lalu Abu
Bakr z masuk dalam keadaan dia tetap memukulnya. Lalu masuklah Umar z,
maka dia segera menyembunyikan rebana tersebut di belakangnya sambil
menutupi dirinya. Maka berkata Rasulullah n: “Sesungguhnya setan
benar-benar takut darimu, wahai Umar. Aku duduk di sini dan mereka ini
masuk. Tatkala engkau yang masuk, diapun melakukan apa yang dia lakukan
tadi.” (HR. Ahmad, 5/353, Ibnu Hibban, 10/4386, Al-Baihaqi, 10/77.
Dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1609)
Hadits ini merupakan kekhususan bagi Rasulullah n dan tidak
diqiyaskan kepada orang lain. Al-Albani t berkata: “Yang nampak bagiku
bahwa nadzar wanita tersebut merupakan luapan kegembiraan darinya dengan
kedatangan Nabi n dalam keadaan selamat dan sehat serta mendapat
pertolongan. Beliaupun mengampuni, sebab dia telah bernadzar dengannya
untuk menampakkan kegembiraannya. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau
n, bukan untuk manusia seluruhnya. Sehingga tidak boleh dijadikan
sebagai dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab,
tidak ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi
n.” (Silsilah Ash-Shahihah, 4/142, At-Tahrim hal. 124)
Lantas bolehkan selain rebana serta dimainkan oleh selain anak-anak
kecil dan wanita? Penjelasan tentang hal ini dapat dilihat dalam bagian
lain dari Kajian Utama ini (Bernyanyi tanpa Alat Musik).
Haramnya Musik dan Lagu
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai
alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini.
Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan
nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus,
angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah
sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat
di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin
tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal,
bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang
menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta
merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru,
ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.
Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari
berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia
bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan.
Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia,
menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya,
menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no.
2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah
Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan
Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja
semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam
berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal
untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf
Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan
rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm t sebagai tameng untuk
membenarkan penyimpangan tersebut.
Oleh karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum
musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n,
serta perkataan para ulama salaf.
Definisi Musik
Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata
‘azafa yang berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari
sesuatu, maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan
laki-laki yang ‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling
darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya
adalah yang tidak senang kepada mereka.
Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ), dan disebut juga
‘azfun (عَزْفٌ). Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh
penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai
alat musik. Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.
Al-Laits t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang
dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat
musik.” Al-Qurthubi t meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif
adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud
adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah
suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah
genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib
Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)
Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap
alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet
(sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul Qayyim t berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat
musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul
Lahafan, 1/260-261)
Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan,
atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada
gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan
sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik
jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah
(gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya
atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar
bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang
mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada
bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti
qanun dan qitsar (sejenis seruling).
Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan
berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu
mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu
menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul
tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran
yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis
alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama,
atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah
tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah
Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu
Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim
1. Firman Allah k:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat Allah l ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang
dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang
menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
q Abdullah bin ‘Abbas c, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat
ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan
Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah
(6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam
Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani
dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).
q Abdullah bin Mas’ud z, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini,
beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang
haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah,
Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya
shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani,
lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
q ‘Ikrimah t. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada
‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau
menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya
(2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan
Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
q Mujahid bin Jabr t. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan
oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu
Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya
shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij,
dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat
tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata:
Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij
mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
q Al-Hasan Al-Bashri t, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi t menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159)
dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata:
“Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim
hal. 144)
Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith
(3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits
adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah
semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik,
dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
2. Firman Allah k:
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan
kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?”
(An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
q Ibnu Abbas c. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu
jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main.
Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa
penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya
(27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh
Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)
q ‘Ikrimah t. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian,
menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi
Syaibah, 6/121)
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai,
dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan
dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud
sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu
tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan:
‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong,
dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas c berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu
kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’
Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai,
luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan
mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)
3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu
yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan
anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh
setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud
“menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu”
adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal
tersebut adalah:
q Mujahid t. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan
untuk bermaksiat kepada Allah k. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang
paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah l telah mengatakan kepada
Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di
antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara
tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya,
kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada
ketaatan kepada Allah l, maka termasuk dalam makna suara yang Allah l
maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata tatkala menjelaskan ayat
ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara
nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis
suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah
k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul Qayyim t berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa
nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.”
(Ighatsatul Lahafan, 1/255)
Dalil-dalil dari As-Sunnah
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى
جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي
الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛
فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina,
sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak
gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang
kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan:
‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah k membinasakan mereka di
malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang
lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR.
Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan
dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata…”1 tidaklah
memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari t tidak
dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga
hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “(Tentang) alat-alat
(musik) yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari t dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm),
yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat
Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits
ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata setelah menyebutkan panjang lebar
tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha
melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan
hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia
termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang
menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang
haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka
menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan
mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul
Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik z, bahwa Rasulullah n bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika
mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar
dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah,
6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat
yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah c, dari Abdurrahman bin ‘Auf z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ
فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ
شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ
وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan
fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan,
seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah,
merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69,
dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no.
1005)
An-Nawawi t berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas c, dia berkata: Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan
khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR.
Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam
Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan
Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama
‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang),
dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap
yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158,
Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan
Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
Atsar dari Ulama Salaf
1. Abdullah bin Mas’ud z berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan
Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya,
10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya
lemah)
2. Ishaq bin Thabba` t berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas t
tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka
beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang
melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal
dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal.
244, dengan sanad yang shahih)
Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling,
lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di
majelis?”
Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika
ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu
kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka
hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’,
Al-Qairawani, 262)
3. Al-Imam Al-Auza’i t berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz t menulis
sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang
menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam
Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah,
5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)
4. ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi t berkata: “Sesungguhnya nyanyian
itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan
tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang
menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr
Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin
Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan
dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5. Ibrahim bin Al-Mundzir t –seorang tsiqah (tepercaya) yang
berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari t– ditanya:
“Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung
kepada Allah k. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali
orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih,
lihat At-Tahrim hal. 100)
6. Ibnul Jauzi t berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam
Asy-Syafi’i t mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak
diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar
orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka
adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang
khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.
Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan
orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan
dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya
serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para
pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang
biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal.
283-284)
7. Ibnu Abdil Barr t berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati
keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil
upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui
perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan
batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8. Ath-Thabari t berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai
negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi,
14/56)
9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Mazhab empat imam
menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau
menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari t di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang
haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah
cukup menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.
1 Yang mengesankan ada keterputusan sanad antara beliau dengan
Hisyam, dan tidak mengatakan dengan tegas misalnya: “Telah mengabarkan
kepadaku.”
Musik dan Ritual Ibadah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’bin Sulaimi)
Musik adalah salah satu warna kehidupan di masa sekarang yang demikian kontras dengan masa sahabat dan ulama-ulama setelahnya. Jika dahulu generasi salaf demikian keras membenci musik berikut alat pendukungnya. Kini, musik justru dihalalkan, menjadi sumber nafkah, bahkan dijadikan sarana ibadah dan dakwah.
Fenomena Musik Di Tengah Kehidupan Umat
Musik, di mata kebanyakan orang “hanyalah” bagian dari seni dan budaya. Namun demikian berbagai alat musik dan perangkat pendukungnya telah sedemikian menjamur. Beragam tempat keramaian hampir tak pernah hampa dari musik. Televisi dan radio pun menjadi alat pemasar yang sangat efektif. Alhasil, musik semakin lekat dengan kehidupan umat. Seakan ia suatu kebutuhan primer yang mengiringi segala aktivitas kehidupan mereka. Hampir tak ada satu acara, baik besar maupun kecil kecuali diramaikannya. Festival, even olahraga, resepsi pernikahan, dan beragam acara lainnya di tengah umat, tak ada yang nihil darinya. Mulai dari dangdut, campursari, gending jawa, keroncong, pop, jazz, blues, rock, reggae, hip hop, R&B, rap, klasik, techno, house, country, black metal, hingga yang beraroma “padang pasir” seperti nasyid dan kasidah, saling berebut “pangsa pasar” yang tak lain adalah kaum muslimin.
Di banyak tempat, termasuk fasilitas-fasilitas umum, musik malah menjadi konsumsi “wajib”. Tempat ‘cangkruknya’ kawula muda, sarana transportasi darat, laut maupun udara, dan fasilitas umum lainnya pun tak sepi darinya. Tak heran, bila kemudian istilah full musik mempunyai nilai jual tersendiri. Bahkan tempat-tempat yang senyatanya diidentikkan dengan ibadah dan ketaatan pun dirambahnya. Masjid, pondok pesantren, madrasah, dan yang semisalnya acap kali ‘ramai’ dengan lantunan ‘musik Islami’, dalam anggapan mereka. Demikianlah fenomena musik di tengah kehidupan umat. Nada dan iramanya benar-benar telah “membelenggu” kehidupan mereka.
Musik Dalam Timbangan Islam
Dalam timbangan Islam, musik merupakan salah satu fitnah yang berbasiskan syahwat. Jatidirinya amat buruk. Peranannya pun amat besar dalam melalaikan umat dari ayat-ayat Allah l. Tak heran, bila Allah l yang Maha Rahman mengingatkan para hamba-Nya dari fitnah musik ini, sebagaimana dalam firman-Nya l:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud c, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahumullah, ayat ini turun berkaitan dengan musik dan nyanyian. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani hal.142-144)
Dalam Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir t juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al- Qur`an, kemudian berupaya untuk mendengarkan musik dan nyanyian dengan segala irama dan perantinya.
Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan: “Bukankah ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah l tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah l sebagai olok-olokan?”
Menanggapi hal ini Al-Imam Ibnu ‘Athiyyah t mengatakan: “Ayat ini berkaitan pula dengan umat Muhammad. Bentuk penyesatannya dari jalan Allah l tidak dengan kekufuran dan tidak pula dengan menjadikan ayat-ayat Allah l sebagai olok-olokan. Akan tetapi dalam bentuk memalingkan manusia dari ibadah, menghabiskan waktu untuk sesuatu yang dibenci (Allah l), serta menyeret mereka ke dalam barisan pelaku maksiat dan orang-orang yang berjiwa rendah…” (Al-Muharrar Al-Wajiz 13/9, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi, hal. 154)
Demikian halnya dengan Al-Wahidi, sebagaimana dalam pernyataannya: “Ayat ini meliputi siapa saja yang lebih memilih perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik daripada Al-Qur`an. Karena kata isytira` seringkali bermakna memilih dan mengganti.” (Al-Wasith 3/441, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 144-145)
Para pembaca, Rasulullah n juga telah memperingatkan umatnya dari fitnah musik. Di antara sabda beliau n itu adalah1:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ، يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ– لِـحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَداً، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ، وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik/alat musik. Mereka tinggal di puncak gunung, setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir: ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya Allah l adzab mereka dengan ditumpahkannya gunung tersebut kepada mereka atau digoncang dengan sekuat-kuatnya, sementara yang selamat dari mereka Allah ubah menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 5590 dari sahabat Abu Amir (Abu Malik) Al-Asy’ari z)2
Bagaimanakah sikap para sahabat Nabi n dan para ulama yang mengikuti jejak mereka tentang musik? Apakah mereka pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah l?
Dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menegaskan bahwa para sahabat, para tabi’in, dan seluruh pemuka agama ini belum pernah menjadikan musik dengan segala jenisnya sebagai sarana beribadah kepada Allah l, dan tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah l) dan ketaatan, bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela.
Sementara dalam Minhajus Sunnah 3/439, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menandaskan bahwa imam yang empat; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah sepakat tentang keharaman musik berikut alatnya.
Lebih spesifik lagi, Al-Imam Ibnul Jauzi t dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 230-231) menyitir sikap para pemuka murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i t dan generasi terdahulu madzhab Syafi’i, bahwa mereka sepakat mengingkari musik dan mendengarkannya. Adapun di kalangan muta’akhkhirin, para pemuka mereka mengingkarinya, di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari t. Sedangkan yang membolehkannya, hanyalah orang-orang yang sedikit ilmu lagi dikuasai oleh hawa nafsu.
Para pembaca yang mulia, demikianlah beberapa dalil dan keterangan para ulama seputar haramnya musik dan mendengarkannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.3
Ibadah dan Rambu-Rambunya
Ibadah merupakan ritual penting dalam kehidupan seorang hamba. Dengan ibadah, seorang hamba dapat bertaqarrub (mendekatkan dirinya) kepada Allah l. Dengan ibadah pula, seorang hamba menjadi insan bermakna dalam kehidupan ini. Kehidupannya akan senantiasa diberkahi, segala impitan dan kegalauan hidupnya pun akan teratasi dengan berbagai solusi. Allah l berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Ibadah pun mempunyai rambu-rambu. Jika rambu-rambu itu dikesampingkan, maka ibadah tersebut tidaklah bernilai sebagai amalan shalih dan tidak pula diterima di sisi Allah l.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Sebuah ibadah tidak bisa untuk bertaqarrub kepada Allah l, bahkan tidak diterima oleh-Nya kecuali dengan dua syarat:
1. Ikhlas karena Allah l, dengan mempersembahkan ibadah tersebut semata-mata mengharap wajah Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat, tanpa ada niatan mengharap pujian dan sanjungan manusia.
2. Mengikuti (tuntunan) Nabi n dalam beribadah, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan.” (Al-Manhaj Limuridil ‘Umrah wal Hajj)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t berkata: “Sesungguhnya di antara suatu ketentuan di kalangan ulama’ bahwasanya tidak diperbolehkan bertaqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang tidak disyariatkan (pada jenis ibadah tersebut), walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh); seperti adzan untuk dua shalat ied…4” Kemudian beliau mengatakan: “Bila hal ini telah diketahui, maka bertaqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang haram lebih tidak boleh lagi, bahkan hukumnya sangat diharamkan.” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 162)
Bolehkah Melaksanakan Ibadah Dengan Iringan Musik dan Nasyid/kasidah?
Para pembaca yang mulia, menyoal boleh dan tidaknya ritual ibadah yang diiringi alunan musik, cobalah anda perhatikan dengan cermat rambu-rambu ibadah di atas. Kemudian, lakukan tinjauan ulang tentang hukum musik yang telah lalu. Apa kesimpulannya? Anda dan juga saya akan menyimpulkan bahwa ritual ibadah dengan iringan musik tidaklah diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan diharamkan. Mengapa demikian? Tentu karena beberapa hal:
1. Allah l telah memperingatkan para hamba-Nya akan bahaya musik sebagaimana dalam Surat Luqman ayat 6. Tentunya, sesuatu yang diperingatkan Allah l tidaklah bisa menjadi sarana untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya.
2. Rasulullah l tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik. Bahkan dalam banyak sabdanya beliau n memperingatkan umatnya dari fitnah musik tersebut. Demikian pula para sahabat dan para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik, tidak pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah l, serta tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah l) dan ketaatan. Bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela, sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298).
Kalaulah Rasulullah n dan para sahabatnya serta para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik bahkan memperingatkan umat darinya, maka dari sisi manakah diperbolehkan?!
3. Sebagaimana telah lalu pada pembahasan Musik Dalam Timbangan Islam, bahwa hukum musik adalah haram, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadits Nabi n serta keterangan para ulama terkemuka. Di sisi lain, para ulama telah menentukan bahwa tidak diperbolehkan ber-taqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh). Tentunya, akan lebih tidak boleh lagi bahkan sangat diharamkan ber-taqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang haram (seperti halnya musik), sebagaimana keterangan Asy-Syaikh Al-Albani di atas.
4. Jika ditarik ke belakang, mata rantai sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual ibadah dengan iringan musik dan semacamnya ini merupakan kebiasaan orang-orang kafir, termasuk di dalamnya kaum Nasrani. Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” (Al-A’raf: 51)
Demikian pula dengan kaum musyrikin Quraisy. Allah l berfirman:
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)
Sementara Allah l dan Rasul-Nya telah melarang umat Islam dari sikap menyerupai orang-orang kafir dan musyrik (tasyabbuh) dalam segala hal. Atas dasar itulah, maka orang-orang yang beribadah dengan iringan musik dengan berbagai jenisnya itu hakikatnya telah mengikuti cara musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya dalam beribadah. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 163)
Mungkin akan ada yang berkomentar: “Itu kan kalau pelaksanaannya dengan main-main dan senda gurau. Bagaimanakah jika pelaksanaannya dengan penuh kekhusyukan, bahkan yang didendangkan pun sesuatu yang mengajak kepada zuhud dan melembutkan qalbu, seperti nasyid dan kasidah?!”
Wahai saudaraku, sesungguhnya nasyid dan kasidah dengan iringan musiknya yang syahdu telah ada di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Di masa itu, penduduk Iraq lebih mengenalnya dengan sebutan taghbir. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i t, taghbir merupakan warisan kaum zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen.) dalam rangka memalingkan umat Islam dari Al-Qur`an.
Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal t saat ditanya tentangnya, mengatakan: “Ia adalah muhdats (sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada contoh sebelumnya dari Rasulullah n, pen).” Kemudian saat ditanya: “Apakah boleh duduk-duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh duduk-duduk bersama mereka.” Beliau juga mengatakan: “Jika engkau bertemu dengan salah seorang dari mereka di satu jalan, maka lewatlah jalan selainnya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 11/298, Tahrim Alatith Tharbi hal. 163 dan Mukhalafat Ash-Shufiyyah Lil Imam Asy-Syafi’i hal. 176-177)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, setelah menyebutkan beberapa jenis musik termasuk di dalamnya taghbir, mengatakan: “Barangsiapa memainkan musik dengan segala jenisnya, dengan keyakinan menjalankan agama dan sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah l, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya.” (Majmu’ Fatawa 11/576)
Seperti itu pula fatwa ulama lainnya. Di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari, Al-Imam Ath-Thurthusyi, Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Ibnush Shalah, Al-Imam Asy-Syathibi, Al-Imam Ibnul Qayyim, Al-Imam Al-‘Iz bin Abdus Salam, dan Al-Imam Mahmud Al-Alusi. (Lihatlah rincian fatwa mereka dalam kitab Tahrim Alatith Tharbi hal. 168-176)
Mungkin di antara pembaca ada yang menggugat, seraya berkata: “Mengapa taghbir/nasyid/kasidah ini disikapi demikian keras oleh para ulama tersebut? Bukankah Rasulullah n saat tiba di kota Madinah (sebagian menyebutkan saat berhijrah dan sebagian yang lain menyebutkan saat kepulangan beliau n dari perang Tabuk), disambut oleh para sahabatnya dengan rebana dan nasyid Thala’al badru ‘alaina * min tsaniyyatil wada’… ?!”
Mengenai hal ini, anda bisa merujuk kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Al-Albani (seorang pakar hadits abad ini) jilid 2, hal. 63, hadits no. 598. Di sana disebutkan bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan dalil. Karena telah jatuh pada isnadnya tiga orang perawi atau lebih secara berurutan (mu’dhal). Dengan sebab itu pula Al-Hafizh Al-Iraqi melemahkannya dalam takhrijnya terhadap kitab Ihya` ‘Ulumiddin (2/244). Sebagaimana pula beliau mengingkari Al-Ghazali tentang penyebutannya lafadz (بِالدُّفِّ وَالْأَلْحَانِ): Yakni, dengan rebana dan irama/nada. Mengingat, tambahan lafadz tersebut tidak ada asalnya sama sekali dalam riwayat tersebut.
Bisa jadi ada yang berkata: “Meskipun kami mendengarkan musik, nasyid dan kasidah, tapi itu semua tidak memalingkan kami dari Al-Qur`an!”
Saudaraku, perkataan semacam ini sesungguhnya hanya teoritas belaka. Karena Al-Qur`an dan musik (dengan berbagai jenisnya) selamanya tidak akan bisa bersatu pada qalbu seseorang, bahkan keduanya saling bertentangan. Al-Qur`an melarang memperturutkan hawa nafsu dan mengikuti langkah-langkah setan. Sebagaimana pula memerintahkan kepada ‘iffah (menjaga kehormatan), menjauhkan diri dari syahwat dan sebab-sebab kesesatan. Adapun musik dan yang semisalnya memerintahkan kepada lawan dari semua itu. Demikianlah yang dinyatakan Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam Ighatsatul Lahafan (1/248) dan dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Tahrim Alatith Tharbi (hal. 149).
Realita di lapangan pun menunjukkan demikian. Sebagaimana kesimpulan dari Asy-Syaikh Al-Albani t: “Engkau tidaklah mendapati seseorang yang gemar musik (dengan segala jenisnya, pen) dan gemar mendengarkannya, melainkan ada padanya suatu penyimpangan baik dalam hal ilmu maupun amalan. Ada pula padanya kekurangsukaan untuk mendengarkan Al-Qur`an dan kecenderungan untuk mendengarkan musik. Manakala terdengar olehnya bacaan Al-Qur`an dan juga suara musik, maka kecondongan jiwanya kepada musik akan lebih kuat daripada kepada Al-Qur`an….” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 152)
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila sahabat Abdullah bin Mas’ud z mengatakan: “Musik/nyayian dapat menumbuh-suburkan sifat munafik pada qalbu.” Demikian pula Al-Imam Asy-Sya’bi t mengatakan: “Sesungguhnya musik/nyayian dapat menumbuhsuburkan sifat munafik pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir dapat menumbuhsuburkan iman pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman.” (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 145 dan 148)
Akhir kata, sebagai bahan renungan bagi kita semua, simaklah mutiara kata dari Al-Imam Al-Alusi t berikut ini: “Bila anda telah candu dengannya (musik dengan segala jenisnya, pen.), maka hati-hatilah kemudian hati-hatilah dari keyakinan bahwa memainkannya atau mendengarkannya merupakan suatu taqarrub kepada Allah l, sebagaimana keyakinan orang-orang rendahan dari kalangan Shufi. Kalaulah permasalahannya seperti apa yang mereka yakini, niscaya para nabi telah melakukannya dan memerintahkannya kepada para pengikutnya. Realita membuktikan, tak ada satu riwayat pun yang ternukil dari mereka tentang hal ini. Tak ada satu kitab suci pun yang mengisyaratkannya. Sementara Allah l telah menyatakan:
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Kalaulah sekiranya memainkan musik dan mendengarkannya bagian dari agama, serta sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah l Rabbul Alamiin, niscaya telah disampaikan oleh Nabi n dan telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada umat. Sedangkan beliau n telah mengatakan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ النَّارِ إِلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ الْجَنَّةِ إِلاَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada Al-Jannah dan menjauhkan kalian dari An-Nar melainkan telah kuperintahkan kalian untuk mengerjakannya, dan tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada An-Nar dan menjauhkan kalian dari Al-Jannah melainkan telah kularang kalian untuk mengerjakannya.”5 (Ruhul Ma’ani 11/79, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 1175-176)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Musik adalah salah satu warna kehidupan di masa sekarang yang demikian kontras dengan masa sahabat dan ulama-ulama setelahnya. Jika dahulu generasi salaf demikian keras membenci musik berikut alat pendukungnya. Kini, musik justru dihalalkan, menjadi sumber nafkah, bahkan dijadikan sarana ibadah dan dakwah.
Fenomena Musik Di Tengah Kehidupan Umat
Musik, di mata kebanyakan orang “hanyalah” bagian dari seni dan budaya. Namun demikian berbagai alat musik dan perangkat pendukungnya telah sedemikian menjamur. Beragam tempat keramaian hampir tak pernah hampa dari musik. Televisi dan radio pun menjadi alat pemasar yang sangat efektif. Alhasil, musik semakin lekat dengan kehidupan umat. Seakan ia suatu kebutuhan primer yang mengiringi segala aktivitas kehidupan mereka. Hampir tak ada satu acara, baik besar maupun kecil kecuali diramaikannya. Festival, even olahraga, resepsi pernikahan, dan beragam acara lainnya di tengah umat, tak ada yang nihil darinya. Mulai dari dangdut, campursari, gending jawa, keroncong, pop, jazz, blues, rock, reggae, hip hop, R&B, rap, klasik, techno, house, country, black metal, hingga yang beraroma “padang pasir” seperti nasyid dan kasidah, saling berebut “pangsa pasar” yang tak lain adalah kaum muslimin.
Di banyak tempat, termasuk fasilitas-fasilitas umum, musik malah menjadi konsumsi “wajib”. Tempat ‘cangkruknya’ kawula muda, sarana transportasi darat, laut maupun udara, dan fasilitas umum lainnya pun tak sepi darinya. Tak heran, bila kemudian istilah full musik mempunyai nilai jual tersendiri. Bahkan tempat-tempat yang senyatanya diidentikkan dengan ibadah dan ketaatan pun dirambahnya. Masjid, pondok pesantren, madrasah, dan yang semisalnya acap kali ‘ramai’ dengan lantunan ‘musik Islami’, dalam anggapan mereka. Demikianlah fenomena musik di tengah kehidupan umat. Nada dan iramanya benar-benar telah “membelenggu” kehidupan mereka.
Musik Dalam Timbangan Islam
Dalam timbangan Islam, musik merupakan salah satu fitnah yang berbasiskan syahwat. Jatidirinya amat buruk. Peranannya pun amat besar dalam melalaikan umat dari ayat-ayat Allah l. Tak heran, bila Allah l yang Maha Rahman mengingatkan para hamba-Nya dari fitnah musik ini, sebagaimana dalam firman-Nya l:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud c, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahumullah, ayat ini turun berkaitan dengan musik dan nyanyian. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani hal.142-144)
Dalam Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir t juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al- Qur`an, kemudian berupaya untuk mendengarkan musik dan nyanyian dengan segala irama dan perantinya.
Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan: “Bukankah ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah l tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah l sebagai olok-olokan?”
Menanggapi hal ini Al-Imam Ibnu ‘Athiyyah t mengatakan: “Ayat ini berkaitan pula dengan umat Muhammad. Bentuk penyesatannya dari jalan Allah l tidak dengan kekufuran dan tidak pula dengan menjadikan ayat-ayat Allah l sebagai olok-olokan. Akan tetapi dalam bentuk memalingkan manusia dari ibadah, menghabiskan waktu untuk sesuatu yang dibenci (Allah l), serta menyeret mereka ke dalam barisan pelaku maksiat dan orang-orang yang berjiwa rendah…” (Al-Muharrar Al-Wajiz 13/9, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi, hal. 154)
Demikian halnya dengan Al-Wahidi, sebagaimana dalam pernyataannya: “Ayat ini meliputi siapa saja yang lebih memilih perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik daripada Al-Qur`an. Karena kata isytira` seringkali bermakna memilih dan mengganti.” (Al-Wasith 3/441, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 144-145)
Para pembaca, Rasulullah n juga telah memperingatkan umatnya dari fitnah musik. Di antara sabda beliau n itu adalah1:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ، يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ– لِـحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَداً، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ، وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik/alat musik. Mereka tinggal di puncak gunung, setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir: ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya Allah l adzab mereka dengan ditumpahkannya gunung tersebut kepada mereka atau digoncang dengan sekuat-kuatnya, sementara yang selamat dari mereka Allah ubah menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 5590 dari sahabat Abu Amir (Abu Malik) Al-Asy’ari z)2
Bagaimanakah sikap para sahabat Nabi n dan para ulama yang mengikuti jejak mereka tentang musik? Apakah mereka pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah l?
Dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menegaskan bahwa para sahabat, para tabi’in, dan seluruh pemuka agama ini belum pernah menjadikan musik dengan segala jenisnya sebagai sarana beribadah kepada Allah l, dan tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah l) dan ketaatan, bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela.
Sementara dalam Minhajus Sunnah 3/439, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menandaskan bahwa imam yang empat; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah sepakat tentang keharaman musik berikut alatnya.
Lebih spesifik lagi, Al-Imam Ibnul Jauzi t dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 230-231) menyitir sikap para pemuka murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i t dan generasi terdahulu madzhab Syafi’i, bahwa mereka sepakat mengingkari musik dan mendengarkannya. Adapun di kalangan muta’akhkhirin, para pemuka mereka mengingkarinya, di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari t. Sedangkan yang membolehkannya, hanyalah orang-orang yang sedikit ilmu lagi dikuasai oleh hawa nafsu.
Para pembaca yang mulia, demikianlah beberapa dalil dan keterangan para ulama seputar haramnya musik dan mendengarkannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.3
Ibadah dan Rambu-Rambunya
Ibadah merupakan ritual penting dalam kehidupan seorang hamba. Dengan ibadah, seorang hamba dapat bertaqarrub (mendekatkan dirinya) kepada Allah l. Dengan ibadah pula, seorang hamba menjadi insan bermakna dalam kehidupan ini. Kehidupannya akan senantiasa diberkahi, segala impitan dan kegalauan hidupnya pun akan teratasi dengan berbagai solusi. Allah l berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Ibadah pun mempunyai rambu-rambu. Jika rambu-rambu itu dikesampingkan, maka ibadah tersebut tidaklah bernilai sebagai amalan shalih dan tidak pula diterima di sisi Allah l.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Sebuah ibadah tidak bisa untuk bertaqarrub kepada Allah l, bahkan tidak diterima oleh-Nya kecuali dengan dua syarat:
1. Ikhlas karena Allah l, dengan mempersembahkan ibadah tersebut semata-mata mengharap wajah Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat, tanpa ada niatan mengharap pujian dan sanjungan manusia.
2. Mengikuti (tuntunan) Nabi n dalam beribadah, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan.” (Al-Manhaj Limuridil ‘Umrah wal Hajj)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t berkata: “Sesungguhnya di antara suatu ketentuan di kalangan ulama’ bahwasanya tidak diperbolehkan bertaqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang tidak disyariatkan (pada jenis ibadah tersebut), walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh); seperti adzan untuk dua shalat ied…4” Kemudian beliau mengatakan: “Bila hal ini telah diketahui, maka bertaqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang haram lebih tidak boleh lagi, bahkan hukumnya sangat diharamkan.” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 162)
Bolehkah Melaksanakan Ibadah Dengan Iringan Musik dan Nasyid/kasidah?
Para pembaca yang mulia, menyoal boleh dan tidaknya ritual ibadah yang diiringi alunan musik, cobalah anda perhatikan dengan cermat rambu-rambu ibadah di atas. Kemudian, lakukan tinjauan ulang tentang hukum musik yang telah lalu. Apa kesimpulannya? Anda dan juga saya akan menyimpulkan bahwa ritual ibadah dengan iringan musik tidaklah diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan diharamkan. Mengapa demikian? Tentu karena beberapa hal:
1. Allah l telah memperingatkan para hamba-Nya akan bahaya musik sebagaimana dalam Surat Luqman ayat 6. Tentunya, sesuatu yang diperingatkan Allah l tidaklah bisa menjadi sarana untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya.
2. Rasulullah l tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik. Bahkan dalam banyak sabdanya beliau n memperingatkan umatnya dari fitnah musik tersebut. Demikian pula para sahabat dan para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik, tidak pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah l, serta tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah l) dan ketaatan. Bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela, sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298).
Kalaulah Rasulullah n dan para sahabatnya serta para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik bahkan memperingatkan umat darinya, maka dari sisi manakah diperbolehkan?!
3. Sebagaimana telah lalu pada pembahasan Musik Dalam Timbangan Islam, bahwa hukum musik adalah haram, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadits Nabi n serta keterangan para ulama terkemuka. Di sisi lain, para ulama telah menentukan bahwa tidak diperbolehkan ber-taqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh). Tentunya, akan lebih tidak boleh lagi bahkan sangat diharamkan ber-taqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang haram (seperti halnya musik), sebagaimana keterangan Asy-Syaikh Al-Albani di atas.
4. Jika ditarik ke belakang, mata rantai sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual ibadah dengan iringan musik dan semacamnya ini merupakan kebiasaan orang-orang kafir, termasuk di dalamnya kaum Nasrani. Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” (Al-A’raf: 51)
Demikian pula dengan kaum musyrikin Quraisy. Allah l berfirman:
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)
Sementara Allah l dan Rasul-Nya telah melarang umat Islam dari sikap menyerupai orang-orang kafir dan musyrik (tasyabbuh) dalam segala hal. Atas dasar itulah, maka orang-orang yang beribadah dengan iringan musik dengan berbagai jenisnya itu hakikatnya telah mengikuti cara musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya dalam beribadah. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 163)
Mungkin akan ada yang berkomentar: “Itu kan kalau pelaksanaannya dengan main-main dan senda gurau. Bagaimanakah jika pelaksanaannya dengan penuh kekhusyukan, bahkan yang didendangkan pun sesuatu yang mengajak kepada zuhud dan melembutkan qalbu, seperti nasyid dan kasidah?!”
Wahai saudaraku, sesungguhnya nasyid dan kasidah dengan iringan musiknya yang syahdu telah ada di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Di masa itu, penduduk Iraq lebih mengenalnya dengan sebutan taghbir. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i t, taghbir merupakan warisan kaum zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen.) dalam rangka memalingkan umat Islam dari Al-Qur`an.
Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal t saat ditanya tentangnya, mengatakan: “Ia adalah muhdats (sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada contoh sebelumnya dari Rasulullah n, pen).” Kemudian saat ditanya: “Apakah boleh duduk-duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh duduk-duduk bersama mereka.” Beliau juga mengatakan: “Jika engkau bertemu dengan salah seorang dari mereka di satu jalan, maka lewatlah jalan selainnya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 11/298, Tahrim Alatith Tharbi hal. 163 dan Mukhalafat Ash-Shufiyyah Lil Imam Asy-Syafi’i hal. 176-177)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, setelah menyebutkan beberapa jenis musik termasuk di dalamnya taghbir, mengatakan: “Barangsiapa memainkan musik dengan segala jenisnya, dengan keyakinan menjalankan agama dan sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah l, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya.” (Majmu’ Fatawa 11/576)
Seperti itu pula fatwa ulama lainnya. Di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari, Al-Imam Ath-Thurthusyi, Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Ibnush Shalah, Al-Imam Asy-Syathibi, Al-Imam Ibnul Qayyim, Al-Imam Al-‘Iz bin Abdus Salam, dan Al-Imam Mahmud Al-Alusi. (Lihatlah rincian fatwa mereka dalam kitab Tahrim Alatith Tharbi hal. 168-176)
Mungkin di antara pembaca ada yang menggugat, seraya berkata: “Mengapa taghbir/nasyid/kasidah ini disikapi demikian keras oleh para ulama tersebut? Bukankah Rasulullah n saat tiba di kota Madinah (sebagian menyebutkan saat berhijrah dan sebagian yang lain menyebutkan saat kepulangan beliau n dari perang Tabuk), disambut oleh para sahabatnya dengan rebana dan nasyid Thala’al badru ‘alaina * min tsaniyyatil wada’… ?!”
Mengenai hal ini, anda bisa merujuk kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Al-Albani (seorang pakar hadits abad ini) jilid 2, hal. 63, hadits no. 598. Di sana disebutkan bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan dalil. Karena telah jatuh pada isnadnya tiga orang perawi atau lebih secara berurutan (mu’dhal). Dengan sebab itu pula Al-Hafizh Al-Iraqi melemahkannya dalam takhrijnya terhadap kitab Ihya` ‘Ulumiddin (2/244). Sebagaimana pula beliau mengingkari Al-Ghazali tentang penyebutannya lafadz (بِالدُّفِّ وَالْأَلْحَانِ): Yakni, dengan rebana dan irama/nada. Mengingat, tambahan lafadz tersebut tidak ada asalnya sama sekali dalam riwayat tersebut.
Bisa jadi ada yang berkata: “Meskipun kami mendengarkan musik, nasyid dan kasidah, tapi itu semua tidak memalingkan kami dari Al-Qur`an!”
Saudaraku, perkataan semacam ini sesungguhnya hanya teoritas belaka. Karena Al-Qur`an dan musik (dengan berbagai jenisnya) selamanya tidak akan bisa bersatu pada qalbu seseorang, bahkan keduanya saling bertentangan. Al-Qur`an melarang memperturutkan hawa nafsu dan mengikuti langkah-langkah setan. Sebagaimana pula memerintahkan kepada ‘iffah (menjaga kehormatan), menjauhkan diri dari syahwat dan sebab-sebab kesesatan. Adapun musik dan yang semisalnya memerintahkan kepada lawan dari semua itu. Demikianlah yang dinyatakan Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam Ighatsatul Lahafan (1/248) dan dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Tahrim Alatith Tharbi (hal. 149).
Realita di lapangan pun menunjukkan demikian. Sebagaimana kesimpulan dari Asy-Syaikh Al-Albani t: “Engkau tidaklah mendapati seseorang yang gemar musik (dengan segala jenisnya, pen) dan gemar mendengarkannya, melainkan ada padanya suatu penyimpangan baik dalam hal ilmu maupun amalan. Ada pula padanya kekurangsukaan untuk mendengarkan Al-Qur`an dan kecenderungan untuk mendengarkan musik. Manakala terdengar olehnya bacaan Al-Qur`an dan juga suara musik, maka kecondongan jiwanya kepada musik akan lebih kuat daripada kepada Al-Qur`an….” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 152)
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila sahabat Abdullah bin Mas’ud z mengatakan: “Musik/nyayian dapat menumbuh-suburkan sifat munafik pada qalbu.” Demikian pula Al-Imam Asy-Sya’bi t mengatakan: “Sesungguhnya musik/nyayian dapat menumbuhsuburkan sifat munafik pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir dapat menumbuhsuburkan iman pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman.” (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 145 dan 148)
Akhir kata, sebagai bahan renungan bagi kita semua, simaklah mutiara kata dari Al-Imam Al-Alusi t berikut ini: “Bila anda telah candu dengannya (musik dengan segala jenisnya, pen.), maka hati-hatilah kemudian hati-hatilah dari keyakinan bahwa memainkannya atau mendengarkannya merupakan suatu taqarrub kepada Allah l, sebagaimana keyakinan orang-orang rendahan dari kalangan Shufi. Kalaulah permasalahannya seperti apa yang mereka yakini, niscaya para nabi telah melakukannya dan memerintahkannya kepada para pengikutnya. Realita membuktikan, tak ada satu riwayat pun yang ternukil dari mereka tentang hal ini. Tak ada satu kitab suci pun yang mengisyaratkannya. Sementara Allah l telah menyatakan:
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Kalaulah sekiranya memainkan musik dan mendengarkannya bagian dari agama, serta sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah l Rabbul Alamiin, niscaya telah disampaikan oleh Nabi n dan telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada umat. Sedangkan beliau n telah mengatakan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ النَّارِ إِلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ الْجَنَّةِ إِلاَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada Al-Jannah dan menjauhkan kalian dari An-Nar melainkan telah kuperintahkan kalian untuk mengerjakannya, dan tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada An-Nar dan menjauhkan kalian dari Al-Jannah melainkan telah kularang kalian untuk mengerjakannya.”5 (Ruhul Ma’ani 11/79, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 1175-176)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Mengingat ruang rubrik yang terbatas dan akan disebutkan secara
terperinci pada rubrik Kajian Utama, maka kami cukupkan dengan satu
hadits saja.
2 Hadits ini dilemahkan (bahkan divonis palsu) oleh Ibnu Hazm,
karena adanya keterputusan (dalam isnadnya) antara Al-Bukhari dengan
Hisyam bin ‘Ammar, juga adanya keraguan tentang nama sahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut, sebagaimana dalam Al-Muhalla (9/59).
Namun pendapat Ibnu Hazm ini merupakan pendapat yang lemah serta
menyelisihi keputusan para pakar hadits.
– Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Berbagai macam alat
musik, telah sah (pelarangannya) dari hadits yang diriwayatkan
Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dengan shighah ta’liq majzum (cara
periwayatan dengan menggantungkan/tidak menyebutkan nama syaikh yang di
atasnya, dan ketika menyebutkan nama syaikh yang di atas syaikh pertama,
menggunakan kata penyampai yang tegas, seperti قَالَ : telah berkata,
pen.), yang terpenuhi padanya syarat Shahih Al-Bukhari.” (Al-Istiqamah
1/294, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi karya Asy-Syaikh Al-Albani
hal. 39)
Semakin kuat lagi manakala Al-Imam Ibnul Qayyim menegaskan:
“Bahwasanya Al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan pernah
mendengar darinya. Maka bila Al-Bukhari mengatakan: ‘Telah berkata
Hisyam’, kedudukannya sama dengan perkataannya: ‘Dari Hisyam’.” (Lihat
Tahrim Alatith Tharbi, hal. 82-83)
– Al-Hafizh Ibnush Shalah berkata: “Hadits ini shahih, dikenal
bersambung (isnadnya), terpenuhi (padanya) syarat Shahih Al-Bukhari.”
(Muqaddimah Ibnish Shalah hal. 32)
– Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Kalaulah misalnya hadits ini
dianggap ada keterputusan pada isnadnya, maka ia merupakan satu
kelemahan yang hanya berkaitan dengan hadits ini saja dan tidak bisa
digeneralisir terhadap hadits-hadits yang semakna dengannya. Padahal
sungguh (hadits ini) telah bersambung melalui beberapa jalan dari para
hafizh tsiqah yang mendengarnya secara langsung dari Hisyam bin ‘Ammar.”
Kemudian Asy-Syaikh Al-Albani menyebutkan empat jalan tersebut, yaitu:
Al-Husain bin Abdullah Al-Qaththan, Musa bin Sahl Al-Jauni Al-Bashri
yang diiringi oleh Da’laj, Abdush Shamad Ad-Dimasyqi, dan Al- Hasan bin
Sufyan Al-Khurasani An-Naisaburi. Asy-Syaikh Al-Albani juga mengatakan
bahwa di sana masih ada empat orang perawi lainnya yang mendengarnya
secara langsung dari Hisyam bin ‘Ammar, lalu beliau mengisyaratkan untuk
merujuk kitab Taghliqut Ta’liq karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani,
5/17-19, dan juga kitab Siyar A’lamin Nubala` karya Al-Imam Adz-Dzahabi
(21/157 dan 23/7). (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, hal. 40-41)
– Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Adanya keraguan
tentang nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, tidaklah
berpengaruh pada keshahihannya (karena semua sahabat Nabi n itu adil dan
tepercaya, pen.). Ibnu Hazm menjadikannya sebagai poin kelemahan bagi
hadits ini, namun pendapat ini tertolak.” (Fathul Bari 10/56)
3 Untuk mengetahui lebih rinci syubhat-syubhat seputar musik
berikut bantahan, silakan merujuk kitab Ighatsatul Lahafan karya Al-Imam
Ibnul Qayyim, kitab Tahrim Alatith Tharbi karya Asy-Syaikh Al-Albani
dan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah lainnya.
4 Adzan, pada asalnya merupakan sesuatu yang disyariatkan untuk
mengumumkan masuknya waktu shalat fardhu. Namun ia tidak disyariatkan
pada dua shalat ied, karena Rasulullah n dan juga para sahabatnya tidak
melakukannya.
5 Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1803.
Surat Pembaca edisi 40
Ya`juj dan Ma`juj di Kaukasus?
Saya pembaca Asy-Syariah. Di sini (majalah Asy-Syariah edisi 37 hal. 31) disebut Ya`juj dan Ma`juj ada di belakang pegunungan Kaukasus. Apa di belakang gunung itu tidak ada orang yang pergi? Apa tidak ada negara di balik pegunungan tersebut? Tolong beri penjelasan kepada saya. Atas atensinya, saya ucapkan terima kasih.
Apendi-Kota Pajar, Aceh Selatan
085270xxxxxx
Sebenarnya apa yang tertulis pada majalah tersebut bukan hendak memutlakkan kebenaran bahwa benteng Dzulqarnain adalah celah Darial yang terletak di antara rantai pegunungan Kaukasus. Kalimat pada catatan kaki tersebut sekadar mengungkapkan adanya pendapat yang menyatakan demikian. Ini perlu kami jelaskan karena selain banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa celah Dzulqarnain berada di Kaukasus, juga karena ada penisbahan kepada salah satu ulama, yakni Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t. Tentang kebenarannya, tentu masih perlu penelitian lebih lanjut. Adapun Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebut bahwa Ya’juj dan Ma’juj berada di benua Asia bagian utara Cina (bisa dilihat di majalah edisi yang sama halaman 30). Wallahu a’lam.
Beda Harakat
Edisi 38, doa naik kendaraan di belakang cover pada bagian awal adalah Az-Zukhruf: 13-14. Ada perbedaan pada kata inna dalam Al-Qur`an panjang 5 harakat tapi dalam Asy-Syariah hanya 2 harakat. Mana yang benar? Mohon penjelasan/dijawab/dimuat dalam Asy-Syariah terbitan mendatang.
Sholihah – Klaten
085664xxxxxx
Penulisan lafadz ayat dalam mushaf Al-Qur`an memang telah disertai tanda bantu tajwid, di antaranya seperti yang anda sebutkan. Dan semestinya, bila memang hendak membaca Al-Qur`an dengan tartil, meskipun tidak ada tanda bantu tajwid, tetaplah dibaca sesuai dengan kaidah tajwid. Jadi masalahnya bukan pada penulisannya, tapi lebih kepada cara membacanya. Jazakillah khairan atas masukannya.
Permata Salaf
Pada edisi 31, Permata Salaf judulnya Kejelekan-kejelekan harta, tapi di daftar isi judulnya Hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Terus sampai edisi 38 kok tidak ada permata salaf yang judulnya seperti di atas?
Ahmad – Malang
081233xxxxxx
Mohon maaf kepada seluruh pembaca, judul dalam Daftar Isi memang sempat kami rencanakan untuk dimuat. Namun menjelang naik cetak, dengan beberapa pertimbangan, kami ganti dengan materi lain. Namun kami khilaf dengan tidak mengganti judul pada Daftar Isi sesuai dengan perubahan yang kami lakukan. Apa yang anda tanyakan insya Allah sudah bisa dilihat di edisi kali ini. Jazakumullahu khairan atas masukannya.
Dzikir Sesudah Shalat
Tolong dibahas masalah dzikir sesudah shalat.
Yasin – Ulujami
085226xxxxxx
Kajian tentang shalat insya Allah telah runut dalam Seputar Hukum Islam (SHI). Apa yang antum tanyakan insya Allah akan disinggung nantinya. Atau mungkin dengan pertimbangan lain bisa kami angkat dalam rubrik lain. Jazakumullahu khairan.
Saya pembaca Asy-Syariah. Di sini (majalah Asy-Syariah edisi 37 hal. 31) disebut Ya`juj dan Ma`juj ada di belakang pegunungan Kaukasus. Apa di belakang gunung itu tidak ada orang yang pergi? Apa tidak ada negara di balik pegunungan tersebut? Tolong beri penjelasan kepada saya. Atas atensinya, saya ucapkan terima kasih.
Apendi-Kota Pajar, Aceh Selatan
085270xxxxxx
Sebenarnya apa yang tertulis pada majalah tersebut bukan hendak memutlakkan kebenaran bahwa benteng Dzulqarnain adalah celah Darial yang terletak di antara rantai pegunungan Kaukasus. Kalimat pada catatan kaki tersebut sekadar mengungkapkan adanya pendapat yang menyatakan demikian. Ini perlu kami jelaskan karena selain banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa celah Dzulqarnain berada di Kaukasus, juga karena ada penisbahan kepada salah satu ulama, yakni Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t. Tentang kebenarannya, tentu masih perlu penelitian lebih lanjut. Adapun Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebut bahwa Ya’juj dan Ma’juj berada di benua Asia bagian utara Cina (bisa dilihat di majalah edisi yang sama halaman 30). Wallahu a’lam.
Beda Harakat
Edisi 38, doa naik kendaraan di belakang cover pada bagian awal adalah Az-Zukhruf: 13-14. Ada perbedaan pada kata inna dalam Al-Qur`an panjang 5 harakat tapi dalam Asy-Syariah hanya 2 harakat. Mana yang benar? Mohon penjelasan/dijawab/dimuat dalam Asy-Syariah terbitan mendatang.
Sholihah – Klaten
085664xxxxxx
Penulisan lafadz ayat dalam mushaf Al-Qur`an memang telah disertai tanda bantu tajwid, di antaranya seperti yang anda sebutkan. Dan semestinya, bila memang hendak membaca Al-Qur`an dengan tartil, meskipun tidak ada tanda bantu tajwid, tetaplah dibaca sesuai dengan kaidah tajwid. Jadi masalahnya bukan pada penulisannya, tapi lebih kepada cara membacanya. Jazakillah khairan atas masukannya.
Permata Salaf
Pada edisi 31, Permata Salaf judulnya Kejelekan-kejelekan harta, tapi di daftar isi judulnya Hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Terus sampai edisi 38 kok tidak ada permata salaf yang judulnya seperti di atas?
Ahmad – Malang
081233xxxxxx
Mohon maaf kepada seluruh pembaca, judul dalam Daftar Isi memang sempat kami rencanakan untuk dimuat. Namun menjelang naik cetak, dengan beberapa pertimbangan, kami ganti dengan materi lain. Namun kami khilaf dengan tidak mengganti judul pada Daftar Isi sesuai dengan perubahan yang kami lakukan. Apa yang anda tanyakan insya Allah sudah bisa dilihat di edisi kali ini. Jazakumullahu khairan atas masukannya.
Dzikir Sesudah Shalat
Tolong dibahas masalah dzikir sesudah shalat.
Yasin – Ulujami
085226xxxxxx
Kajian tentang shalat insya Allah telah runut dalam Seputar Hukum Islam (SHI). Apa yang antum tanyakan insya Allah akan disinggung nantinya. Atau mungkin dengan pertimbangan lain bisa kami angkat dalam rubrik lain. Jazakumullahu khairan.
MUSIK (ISLAMI), NA’UDZUBILLAH!
Hafal belasan lagu atau nasyid “Islami” tapi jauh dari ilmu
Al-Qur’an dan hadits adalah sekelumit ironi yang menimpa generasi muda
Islam kita. Sebuah potret yang juga melukiskan betapa musik telah
merambahi banyak kalangan. Dari yang awam hingga yang disebut
terpelajar, dari yang sekuler hingga mereka yang menyandang predikat
aktivis pergerakan Islam.
Sebuah fenomena yang tentu saja menggelisahkan, meski apa yang
disebut di atas belumlah apa-apa untuk menggambarkan betapa musik telah
menjadi candu yang menjauhkan umat dari agamanya.
Berkawannya musik dengan kemaksiatan lain jelas sulit dipungkiri.
Triping, mabuk-mabukan, judi, seks bebas, dunia malam, hingga anarkisme
dan barbarisme yang muncul saat pentas musik digelar, baik kelas kampung
yang cuma menyuguhkan dangdut murahan ataupun konser besar yang
melibatkan ribuan massa, adalah fakta tak terbantahkan yang kian
memperkuat anggapan minus tentang musik. Ini belum termasuk syair-syair
lagu yang umumnya bertema percintaan, lirik-lirik cabul, hingga yang
berisi pemujaan terhadap setan serta mengampanyekan anti Tuhan. Musik
pun, selain menjadikan manusia terlena, juga menumbuhkan sikap cengeng,
munafik, berjiwa memberontak, atau minimalnya membangkitkan kenangan
jahiliah.
Saking mendarah daging, sulit memang menemukan lingkungan yang tak
tercemari musik. Karena kita mempunyai tetangga, saudara, atau mungkin
orangtua yang masih demikian gandrung dengan musik. Mau tidak mau, sadar
atau tidak sadar, telinga kita terus dipaksa mengonsumsi musik.
Seakan-akan setiap manusia di muka bumi ini telah berkerabat dengan
musik.
Sebagai bangunan dari nilai-nilai kebajikan, Islam, melalui
Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mengajarkan seluruh bentuk kebaikan dan
mencegah umatnya dari segala bentuk keburukan. Ukuran baik dan buruk
tentunya berasal dari Allah l dan Rasul-Nya n. Bukan lahir dari selera
atau kemauan individu manusia. Jika logika manusia diperturutkan niscaya
kebaikan atau keburukan itu menjadi sangat subyektif.
Begitupun musik. Ketika ayat dan hadits menjelaskan akan
larangannya, sebagai hamba yang beriman semestinya kita menundukkan ego
kita sebagai manusia. Tidak pula mengambil ”jalan tengah” dengan
menciptakan apa yang disebut musik ”Islami” yang diistilahkan dengan
nasyid. Lebih-lebih jika dirunut, acapella yang menjadi akar dari nasyid
merupakan gaya musik Afro-Amerika. Begitu pun jenis nasyid lain yang
terinspirasi dari seni Gregorian. Keduanya, acapella dan gregorian,
merupakan gaya bermusik yang hidup dalam tradisi gereja.
Lebih parah, biar tampak bernafaskan Islam, tak sedikit syair dari
nasyid, kasidah, atau lagu-lagu ”religi” itu yang asal menggunakan
bahasa Arab tanpa tahu maknanya atau justru isinya bertentangan dengan
ajaran Islam, seperti shalawat bid’ah yang justru kental dengan
kesyirikan.
Pandangan yang juga ekstrem datang dari penganut sekuler atau
liberalisasi Islam. Menurut mereka, musik adalah bagian dari
berkesenian, sebuah wilayah yang mestinya lepas dari kerangka halal
haram. Fiqih, oleh kalangan yang sepaham dengan mereka, dianggap tak
mampu memahami seni. Bagi mereka, hukum dalam seni cuma dua, indah atau
buruk.
Semua pemahaman ini jelas menyelisihi dalil-dalil yang telah jelas
melarang musik. Jadi tak sesederhana orang melihat musik sebagai ”obat”
melepas penat dan membunuh jenuh di sela-sela rutinitas harian. Musik,
seharusnya dipandang sebagai media yang menjadikan umat lalai dari
agamanya serta muara dari kehidupan ini. Membuat abai terhadap Allah l,
satu-satunya Dzat kita memohon kemudahan dalam menjalankan roda hidup
ini.
Akankah kita gegabah melabrak syariat demi suatu ”seni” yang
disakralkan sebagai sebuah ”nilai”, sehingga demi semata kreativitas
atau kebebasan berekspresi, syariat justru dipinggirkan? Tidakkah pula
menjadi ironi manakala kita mendakwahkan Islam melalui nasyid yang
justru berakar dari tradisi non-Islam? Akankah kita menyamakan diri
dengan orang-orang Nasrani yang ibadah mereka memang tak jauh-jauh dari
bernyanyi dan bermusik?
Na’udzubillah!
Perjalanan Ruh
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Pernahkah anda hadir di sisi seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut, hingga jasadnya dingin, terbujur kaku, tak bergerak, karena ruhnya telah berpisah dengan badan? Lalu apa perasaan anda saat itu? Adakah anda mengambil pelajaran darinya? Adakah terpikir bahwa anda juga pasti akan menghadapi saat-saat seperti itu? Kemudian, pernahkah terlintas tanya di benak anda, ke mana ruh itu pergi setelah berpisah dengan jasad?
Hadits yang panjang dari Rasul yang mulia n di bawah ini memberi ilmu kepada kita tentang hal itu. Simaklah…!
Sahabat Rasulullah n, Al-Bara` bin ‘Azib z berkisah, “Kami keluar bersama Rasulullah n untuk mengantar jenazah seorang dari kalangan Anshar. Kami tiba di pemakaman dan ketika itu lahadnya sedang dipersiapkan. Rasulullah n duduk. Kami pun ikut duduk di sekitar beliau dalam keadaan terdiam, tak bergerak. Seakan-akan di atas kepala kami ada burung yang kami khawatirkan terbang. Di tangan Rasulullah n ketika itu ada sebuah ranting yang digunakannya untuk mencocok-cocok tanah. Mulailah beliau melihat ke langit dan melihat ke bumi, mengangkat pandangannya dan menundukkannya sebanyak tiga kali. Kemudian bersabda, “Hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah l dari adzab kubur,” diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu beliau berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,” pinta beliau sebanyak tiga kali.
Setelahnya beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit. Wajah-wajah mereka putih laksana mentari. Mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka duduk dekat si mukmin sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut q hingga duduk di sisi kepala si mukmin seraya berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah k.”
Ruh yang baik itu pun mengalir keluar sebagaimana mengalirnya tetesan air dari mulut wadah kulit. Malaikat maut mengambilnya. (Dalam satu riwayat disebutkan: Hingga ketika keluar ruhnya dari jasadnya, seluruh malaikat di antara langit dan bumi serta seluruh malaikat yang ada di langit mendoakannya. Lalu dibukakan untuknya pintu-pintu langit. Tidak ada seorang pun malaikat yang menjaga pintu malaikat kecuali mesti berdoa kepada Allah l agar ruh si mukmin diangkat melewati mereka). Ketika ruh tersebut telah diambil oleh malaikat maut, tidak dibiarkan sekejap matapun berada di tangannya melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah putih. Mereka meletakkan/membungkus ruh tersebut di dalam kafan dan wangi-wangian yang mereka bawa. Dan keluarlah dari ruh tersebut wangi yang paling semerbak dari aroma wewangian yang pernah tercium di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang baik ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling bagus yang dulunya ketika di dunia orang-orang menamakannya dengan nama tersebut. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia. Mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut. Lalu dibukakanlah pintu langit. Penghuni setiap langit turut mengantarkan ruh tersebut sampai ke langit berikutnya, hingga mereka sampai ke langit ke tujuh. Allah k berfirman, “Tulislah catatan amal hamba-Ku ini di ‘Illiyin dan kembalikanlah ia ke bumi karena dari tanah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanah mereka akan Aku kembalikan, dan dari dalam tanah mereka akan Aku keluarkan pada kali yang lain.”
Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Maka sungguh ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya ke kuburnya ketika mereka pergi meninggalkannya. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya, keduanya menghardiknya, mendudukkannya lalu menanyakan padanya, “Siapakah Rabbmu?”
Ia menjawab, “Rabbku adalah Allah l.”
Ditanya lagi, “Apa agamamu?”
“Agamaku Islam,” jawabnya.
“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi
“Dia adalah Rasulullah n,” jawabnya
“Apa amalmu?” pertanyaan berikutnya
“Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman dan membenarkannya,” jawabnya.
Ini adalah fitnah/ujian yang akhir yang diperhadapkan kepada seorang mukmin. Dan Allah l mengokohkannya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Allah menguatkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tsabit/kokoh dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat.” (Ibrahim: 27)
Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah benar hamba-Ku. Maka bentangkanlah untuknya permadani dari surga. Pakaikanlah ia pakaian dari surga, dan bukakan untuknya sebuah pintu ke surga!”
Lalu datanglah kepada si mukmin ini wangi dan semerbaknya surga serta dilapangkan baginya kuburnya sejauh mata memandang. Kemudian ia didatangi oleh seseorang yang berwajah bagus, berpakaian bagus dan harum baunya, seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menggembirakanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”
Si mukmin bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kebaikan.”
“Aku adalah amal shalihmu. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu melainkan seorang yang bersegera menaati Allah l dan lambat dalam bermaksiat kepada Allah l. Semoga Allah l membalasmu dengan kebaikan,” jawab yang ditanya
Kemudian dibukakan untuk sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu dikatakan, “Ini adalah tempatmu seandainya engkau dulunya bermaksiat kepada Allah k, lalu Allah k menggantikan bagimu dengan surga ini.” Maka bila si mukmin melihat apa yang ada dalam surga, ia pun berdoa, “Wahai Rabbku, segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.”
Dikatakan kepadanya, “Tinggallah engkau.”
Rasulullah n melanjutkan penuturan beliau tentang perjalanan ruh. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (dalam satu riwayat: hamba yang fajir) apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya dari langit para malaikat yang keras, kaku, dan berwajah hitam. Mereka membawa kain yang kasar dari neraka. Mereka duduk dekat si kafir sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut hingga duduk di sisi kepala si kafir seraya berkata, “Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah l.”
Ruh yang buruk itu pun terpisah-pisah/berserakan dalam jasadnya, lalu ditarik oleh malaikat maut sebagaimana dicabutnya besi yang banyak cabangnya dari wol yang basah, hingga tercabik-cabik urat dan sarafnya. Seluruh malaikat di antara langit dan bumi dan seluruh malaikat yang ada di langit melaknatnya. Pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada seorang pun malaikat penjaga pintu kecuali berdoa kepada Allah l agar ruh si kafir jangan diangkat melewati mereka. Kemudian malaikat maut mengambil ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut, namun tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat maut melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah hitam lalu dibungkus dalam kain yang kasar. Dan keluarlah dari ruh tersebut bau bangkai yang paling busuk yang pernah didapatkan di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang buruk ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling jelek yang dulunya ketika di dunia ia dinamakan dengannya. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia, mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut, namun tidak dibukakan.”
Rasulullah n kemudian membaca ayat:
“Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke lubang jarum.” (Al-A’raf: 40)
Allah k berfirman, ‘Tulislah catatan amalnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya dilemparkan begitu saja.”
Rasulullah n kemudian membaca ayat:
“Dan siapa yang menyekutukan Allah maka seakan-akan ia jatuh tersungkur dari langit lalu ia disambar oleh burung atau diempaskan oleh angin ke tempat yang jauh lagi membinasakan.” (Al-Hajj: 31)
Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya. Keduanya menghardiknya, mendudukkannya dan menanyakan kepadanya, “Siapakah Rabbmu?”
Ia menjawab, “Hah… hah… Aku tidak tahu.”
Ditanya lagi, “Apa agamamu?”
“Hah… hah… Aku tidak tahu,” jawabnya.
“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.
Kembali ia menjawab, “Hah… hah… aku tidak tahu.”
Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah dusta orang itu. Maka bentangkanlah untuknya hamparan dari neraka dan bukakan untuknya sebuah pintu ke neraka!”
Lalu datanglah kepadanya hawa panasnya neraka dan disempitkan kuburnya hingga bertumpuk-tumpuk/tumpang tindih tulang rusuknya (karena sesaknya kuburnya). Kemudian seorang yang buruk rupa, berpakaian jelek dan berbau busuk mendatanginya seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menjelekkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”
Si kafir bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kejelekan.”
“Aku adalah amalmu yang jelek. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu ini melainkan sebagai orang yang lambat untuk menaati Allah l, namun sangat bersegera dalam bermaksiat kepada Allah l. Semoga Allah l membalasmu dengan kejelekan,” jawab yang ditanya.
Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, bisu lagi tuli. Di tangannya ada sebuah tongkat dari besi yang bila dipukulkan ke sebuah gunung niscaya gunung itu akan hancur menjadi debu. Lalu orang yang buta, bisu dan tuli itu memukul si kafir dengan satu pukulan hingga ia menjadi debu. Kemudian Allah l mengembalikan jasadnya sebagaimana semula, lalu ia dipukul lagi dengan pukulan berikutnya. Ia pun menjerit dengan jeritan yang dapat didengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu neraka dan dibentangkan hamparan neraka, maka ia pun berdoa, “Wahai Rabbku! Janganlah engkau datangkan hari kiamat.” (HR. Ahmad 4/287, 288, 295, 296, Abu Dawud no. 3212, 4753, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 202)
Pembaca yang mulia, berita yang shahih dari Rasulullah n pasti benar adanya karena:
“Tidaklah beliau berbicara dari hawa nafsunya, hanyalah yang beliau sampaikan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Maka setelah membaca pengabaran beliau n di atas, masihkah tersisa angan yang panjang dalam kehidupan dunia ini? Adakah jiwa masih berani bermaksiat kepada Rabbul ‘Izzah dan enggan untuk taat kepada-Nya? Manakah yang menjadi pilihan saat harus menghadapi kenyataan datangnya maut menjemput: ruh diangkat dengan penuh kemuliaan ke atas langit lalu beroleh kenikmatan kekal, ataukah diempaskan dengan hina-dina lalu beroleh adzab yang pedih?
Bagi hati yang lalai, bangkit dan berbenah dirilah untuk menghadapi “hari esok” yang pasti datangnya. Adapun hati yang ingat, istiqamah-lah sampai akhir…
Sungguh hati seorang mukmin akan dicekam rasa takut disertai harap dengan berita di atas, air mata mengalir tak terasa, tangan pun tengadah memohon kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, “Ya Allah, berilah kami taufik kepada kebaikan dan istiqamah di atasnya sampai akhir hidup kami. Jangan jadikan kami silau dan tertipu dengan kehidupan dunia yang fana hingga melupakan pertemuan dengan-Mu. Wafatkanlah kami dalam keadaan husnul khatimah. Lindungi kami dari adzab kubur dan dari siksa neraka yang amat pedih. Ya Arhamar Rahimin, berilah nikmat kepada kami dengan surga-Mu yang seluas langit dan bumi. Amin… Ya Rabbal ‘Alamin.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Pernahkah anda hadir di sisi seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut, hingga jasadnya dingin, terbujur kaku, tak bergerak, karena ruhnya telah berpisah dengan badan? Lalu apa perasaan anda saat itu? Adakah anda mengambil pelajaran darinya? Adakah terpikir bahwa anda juga pasti akan menghadapi saat-saat seperti itu? Kemudian, pernahkah terlintas tanya di benak anda, ke mana ruh itu pergi setelah berpisah dengan jasad?
Hadits yang panjang dari Rasul yang mulia n di bawah ini memberi ilmu kepada kita tentang hal itu. Simaklah…!
Sahabat Rasulullah n, Al-Bara` bin ‘Azib z berkisah, “Kami keluar bersama Rasulullah n untuk mengantar jenazah seorang dari kalangan Anshar. Kami tiba di pemakaman dan ketika itu lahadnya sedang dipersiapkan. Rasulullah n duduk. Kami pun ikut duduk di sekitar beliau dalam keadaan terdiam, tak bergerak. Seakan-akan di atas kepala kami ada burung yang kami khawatirkan terbang. Di tangan Rasulullah n ketika itu ada sebuah ranting yang digunakannya untuk mencocok-cocok tanah. Mulailah beliau melihat ke langit dan melihat ke bumi, mengangkat pandangannya dan menundukkannya sebanyak tiga kali. Kemudian bersabda, “Hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah l dari adzab kubur,” diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu beliau berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,” pinta beliau sebanyak tiga kali.
Setelahnya beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit. Wajah-wajah mereka putih laksana mentari. Mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka duduk dekat si mukmin sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut q hingga duduk di sisi kepala si mukmin seraya berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah k.”
Ruh yang baik itu pun mengalir keluar sebagaimana mengalirnya tetesan air dari mulut wadah kulit. Malaikat maut mengambilnya. (Dalam satu riwayat disebutkan: Hingga ketika keluar ruhnya dari jasadnya, seluruh malaikat di antara langit dan bumi serta seluruh malaikat yang ada di langit mendoakannya. Lalu dibukakan untuknya pintu-pintu langit. Tidak ada seorang pun malaikat yang menjaga pintu malaikat kecuali mesti berdoa kepada Allah l agar ruh si mukmin diangkat melewati mereka). Ketika ruh tersebut telah diambil oleh malaikat maut, tidak dibiarkan sekejap matapun berada di tangannya melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah putih. Mereka meletakkan/membungkus ruh tersebut di dalam kafan dan wangi-wangian yang mereka bawa. Dan keluarlah dari ruh tersebut wangi yang paling semerbak dari aroma wewangian yang pernah tercium di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang baik ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling bagus yang dulunya ketika di dunia orang-orang menamakannya dengan nama tersebut. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia. Mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut. Lalu dibukakanlah pintu langit. Penghuni setiap langit turut mengantarkan ruh tersebut sampai ke langit berikutnya, hingga mereka sampai ke langit ke tujuh. Allah k berfirman, “Tulislah catatan amal hamba-Ku ini di ‘Illiyin dan kembalikanlah ia ke bumi karena dari tanah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanah mereka akan Aku kembalikan, dan dari dalam tanah mereka akan Aku keluarkan pada kali yang lain.”
Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Maka sungguh ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya ke kuburnya ketika mereka pergi meninggalkannya. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya, keduanya menghardiknya, mendudukkannya lalu menanyakan padanya, “Siapakah Rabbmu?”
Ia menjawab, “Rabbku adalah Allah l.”
Ditanya lagi, “Apa agamamu?”
“Agamaku Islam,” jawabnya.
“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi
“Dia adalah Rasulullah n,” jawabnya
“Apa amalmu?” pertanyaan berikutnya
“Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman dan membenarkannya,” jawabnya.
Ini adalah fitnah/ujian yang akhir yang diperhadapkan kepada seorang mukmin. Dan Allah l mengokohkannya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Allah menguatkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tsabit/kokoh dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat.” (Ibrahim: 27)
Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah benar hamba-Ku. Maka bentangkanlah untuknya permadani dari surga. Pakaikanlah ia pakaian dari surga, dan bukakan untuknya sebuah pintu ke surga!”
Lalu datanglah kepada si mukmin ini wangi dan semerbaknya surga serta dilapangkan baginya kuburnya sejauh mata memandang. Kemudian ia didatangi oleh seseorang yang berwajah bagus, berpakaian bagus dan harum baunya, seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menggembirakanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”
Si mukmin bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kebaikan.”
“Aku adalah amal shalihmu. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu melainkan seorang yang bersegera menaati Allah l dan lambat dalam bermaksiat kepada Allah l. Semoga Allah l membalasmu dengan kebaikan,” jawab yang ditanya
Kemudian dibukakan untuk sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu dikatakan, “Ini adalah tempatmu seandainya engkau dulunya bermaksiat kepada Allah k, lalu Allah k menggantikan bagimu dengan surga ini.” Maka bila si mukmin melihat apa yang ada dalam surga, ia pun berdoa, “Wahai Rabbku, segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.”
Dikatakan kepadanya, “Tinggallah engkau.”
Rasulullah n melanjutkan penuturan beliau tentang perjalanan ruh. Beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (dalam satu riwayat: hamba yang fajir) apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya dari langit para malaikat yang keras, kaku, dan berwajah hitam. Mereka membawa kain yang kasar dari neraka. Mereka duduk dekat si kafir sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut hingga duduk di sisi kepala si kafir seraya berkata, “Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah l.”
Ruh yang buruk itu pun terpisah-pisah/berserakan dalam jasadnya, lalu ditarik oleh malaikat maut sebagaimana dicabutnya besi yang banyak cabangnya dari wol yang basah, hingga tercabik-cabik urat dan sarafnya. Seluruh malaikat di antara langit dan bumi dan seluruh malaikat yang ada di langit melaknatnya. Pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada seorang pun malaikat penjaga pintu kecuali berdoa kepada Allah l agar ruh si kafir jangan diangkat melewati mereka. Kemudian malaikat maut mengambil ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut, namun tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat maut melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah hitam lalu dibungkus dalam kain yang kasar. Dan keluarlah dari ruh tersebut bau bangkai yang paling busuk yang pernah didapatkan di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang buruk ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling jelek yang dulunya ketika di dunia ia dinamakan dengannya. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia, mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut, namun tidak dibukakan.”
Rasulullah n kemudian membaca ayat:
“Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke lubang jarum.” (Al-A’raf: 40)
Allah k berfirman, ‘Tulislah catatan amalnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya dilemparkan begitu saja.”
Rasulullah n kemudian membaca ayat:
“Dan siapa yang menyekutukan Allah maka seakan-akan ia jatuh tersungkur dari langit lalu ia disambar oleh burung atau diempaskan oleh angin ke tempat yang jauh lagi membinasakan.” (Al-Hajj: 31)
Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya. Keduanya menghardiknya, mendudukkannya dan menanyakan kepadanya, “Siapakah Rabbmu?”
Ia menjawab, “Hah… hah… Aku tidak tahu.”
Ditanya lagi, “Apa agamamu?”
“Hah… hah… Aku tidak tahu,” jawabnya.
“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.
Kembali ia menjawab, “Hah… hah… aku tidak tahu.”
Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah dusta orang itu. Maka bentangkanlah untuknya hamparan dari neraka dan bukakan untuknya sebuah pintu ke neraka!”
Lalu datanglah kepadanya hawa panasnya neraka dan disempitkan kuburnya hingga bertumpuk-tumpuk/tumpang tindih tulang rusuknya (karena sesaknya kuburnya). Kemudian seorang yang buruk rupa, berpakaian jelek dan berbau busuk mendatanginya seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menjelekkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”
Si kafir bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kejelekan.”
“Aku adalah amalmu yang jelek. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu ini melainkan sebagai orang yang lambat untuk menaati Allah l, namun sangat bersegera dalam bermaksiat kepada Allah l. Semoga Allah l membalasmu dengan kejelekan,” jawab yang ditanya.
Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, bisu lagi tuli. Di tangannya ada sebuah tongkat dari besi yang bila dipukulkan ke sebuah gunung niscaya gunung itu akan hancur menjadi debu. Lalu orang yang buta, bisu dan tuli itu memukul si kafir dengan satu pukulan hingga ia menjadi debu. Kemudian Allah l mengembalikan jasadnya sebagaimana semula, lalu ia dipukul lagi dengan pukulan berikutnya. Ia pun menjerit dengan jeritan yang dapat didengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu neraka dan dibentangkan hamparan neraka, maka ia pun berdoa, “Wahai Rabbku! Janganlah engkau datangkan hari kiamat.” (HR. Ahmad 4/287, 288, 295, 296, Abu Dawud no. 3212, 4753, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 202)
Pembaca yang mulia, berita yang shahih dari Rasulullah n pasti benar adanya karena:
“Tidaklah beliau berbicara dari hawa nafsunya, hanyalah yang beliau sampaikan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Maka setelah membaca pengabaran beliau n di atas, masihkah tersisa angan yang panjang dalam kehidupan dunia ini? Adakah jiwa masih berani bermaksiat kepada Rabbul ‘Izzah dan enggan untuk taat kepada-Nya? Manakah yang menjadi pilihan saat harus menghadapi kenyataan datangnya maut menjemput: ruh diangkat dengan penuh kemuliaan ke atas langit lalu beroleh kenikmatan kekal, ataukah diempaskan dengan hina-dina lalu beroleh adzab yang pedih?
Bagi hati yang lalai, bangkit dan berbenah dirilah untuk menghadapi “hari esok” yang pasti datangnya. Adapun hati yang ingat, istiqamah-lah sampai akhir…
Sungguh hati seorang mukmin akan dicekam rasa takut disertai harap dengan berita di atas, air mata mengalir tak terasa, tangan pun tengadah memohon kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, “Ya Allah, berilah kami taufik kepada kebaikan dan istiqamah di atasnya sampai akhir hidup kami. Jangan jadikan kami silau dan tertipu dengan kehidupan dunia yang fana hingga melupakan pertemuan dengan-Mu. Wafatkanlah kami dalam keadaan husnul khatimah. Lindungi kami dari adzab kubur dan dari siksa neraka yang amat pedih. Ya Arhamar Rahimin, berilah nikmat kepada kami dengan surga-Mu yang seluas langit dan bumi. Amin… Ya Rabbal ‘Alamin.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Menyusui Karena Butuh Mahram
Tanya: Apakah menyusui anak laki-laki yang sudah besar
punya pengaruh dalam kemahraman? Bagaimana bila ada seorang wanita
menyusui anak laki-laki yang sudah besar karena ia membutuhkan mahram?
Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab: “Ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Jumhur berpendapat bahwa penyusuan yang menyebabkan kemahraman secara syar’i adalah bila si anak menyusu lima kali susuan atau lebih, dan penyusuan itu terjadi ketika si anak dalam batasan usia dua tahun. Dengan dalil sabda Rasulullah n yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah x:
لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Suatu penyusuan tidaklah menjadikan mahram kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.”4 Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Inilah mazhab/pendapat yang kami pegangi.
Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar. Mereka berargumen dengan kisah Salim maula Abi Hudzaifah c. Disebutkan bahwa Sahlah istri Abu Hudzaifah berkata, “Wahai Rasulullah, Salim biasa masuk menemuiku sementara ia sudah besar sehingga dalam diri Abu Hudzaifah ada rasa tidak senang.” Rasulullah n bersabda kepadanya:
أَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ
“Susuilah Salim hingga ia bisa masuk menemuimu.”5
Mereka yang menolak teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar memberikan tanggapan tentang kisah Salim, dengan beberapa jawaban. Di antaranya: kejadian Salim adalah khusus baginya. Sebagaimana pernyataan para Ummahatul Mukminin –semoga Allah l meridhai mereka– ketika menyatakan, “Kami tidaklah memandang peristiwa itu melainkan sebagai rukhshah (keringanan) yang Rasulullah n berikan kepada Salim secara khusus. Maka tidak boleh seorangpun masuk menemui kami dan melihat kami dengan penyusuan seperti itu.”
Dua orang syaikh, Ibnu Taimiyah t dan Ibnul Qayyim t mengambil jalan tengah dalam permasalahan ini. Keduanya menyebutkan bahwa kisah Salim Maula Abi Hudzaifah ini merupakan satu jenis peristiwa yang khusus berlaku dalam seluruh keadaan yang serupa dengan keadaan Sahlah bersama Salim. Hukumnya seperti hukum kisah Abu Burdah ketika menyembelih kurban sebelum dilangsungkannya shalat Id, maka Rasulullah n bersabda kepadanya:
شاَتُكَ شَاةُ لَحْمٍ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ عِنْدِي غَيْرَهَا غَيْر جَذَعٍ مِنَ الْمَعْزِ. فَأَجَازَهُ n، وَقَالَ: وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
“Kambing yang telah engkau sembelih itu keberadaannya sebagai kambing yang sekadar untuk dinikmati dagingnya (tidak teranggap sembelihan qurban karena disembelih sebelum shalat Id, pent.).” Abu Burdah berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak punya lagi kambing (untuk disembelih) selain kambing tersebut, kecuali seekor jadza’ dari ma’iz (anak kambing kacang/kambing jawa yang berusia 6 bulan –pent.).” Rasulullah n pun membolehkan Abu Burdah berqurban dengan anak kambingnya yang masih ada6seraya bersabda, “Dan ini tidak dibolehkan bagi seorang pun setelahmu.”7
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Maksudnya, tidak boleh lagi setelah keadaanmu ini.”
Apa yang kami isyaratkan ini disebutkan dengan jelas oleh Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, di mana beliau menyatakan, “Penyusuan lelaki/anak yang telah besar menyebabkan tersebarnya hurmah (hubungan kemahraman) dari sisi bolehnya ia masuk menemui ibu susunya dan berduaan dengannya, apabila memang si anak/lelaki yang sudah besar itu sebelumnya telah dididik/dibesarkan di rumah tersebut, di mana penghuni rumah tidak marah dengan keluar masuknya karena kebutuhan yang ada. Hal ini berdasarkan kisah Salim, maula Abi Hudzaifah.”
Dengan apa yang telah kami sebutkan, menjadi jelaslah jawaban yang ada dan menjadi jelas dengannya keberadaan wanita yang anda tanyakan. Keadaannya tentu tidak sama dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah, karena wanita itu ingin menyusui seorang anak yang sudah besar agar menjadi mahramnya. Yang seperti ini tidak dibolehkan.
Adapun kalau si wanita mengatakan, ia butuh kepada mahram, karena kalau aku mati siapa yang akan memasukkanku ke dalam kubur dan melepas ikatan kafanku?
Maka jawabannya, tidak apa-apa seorang lelaki ajnabi memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepas ikatan kafannya, walaupun di sana ada mahram si wanita. Demikian, dan hanya Allah l-lah yang memberi taufik. (Fatawa wa Rasa`il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 11/176, 177. Fatwa ini bernomor 2182/1, bertanggal 12 Sya’ban 1385 H)
Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab: “Ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Jumhur berpendapat bahwa penyusuan yang menyebabkan kemahraman secara syar’i adalah bila si anak menyusu lima kali susuan atau lebih, dan penyusuan itu terjadi ketika si anak dalam batasan usia dua tahun. Dengan dalil sabda Rasulullah n yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah x:
لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Suatu penyusuan tidaklah menjadikan mahram kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.”4 Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Inilah mazhab/pendapat yang kami pegangi.
Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar. Mereka berargumen dengan kisah Salim maula Abi Hudzaifah c. Disebutkan bahwa Sahlah istri Abu Hudzaifah berkata, “Wahai Rasulullah, Salim biasa masuk menemuiku sementara ia sudah besar sehingga dalam diri Abu Hudzaifah ada rasa tidak senang.” Rasulullah n bersabda kepadanya:
أَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ
“Susuilah Salim hingga ia bisa masuk menemuimu.”5
Mereka yang menolak teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar memberikan tanggapan tentang kisah Salim, dengan beberapa jawaban. Di antaranya: kejadian Salim adalah khusus baginya. Sebagaimana pernyataan para Ummahatul Mukminin –semoga Allah l meridhai mereka– ketika menyatakan, “Kami tidaklah memandang peristiwa itu melainkan sebagai rukhshah (keringanan) yang Rasulullah n berikan kepada Salim secara khusus. Maka tidak boleh seorangpun masuk menemui kami dan melihat kami dengan penyusuan seperti itu.”
Dua orang syaikh, Ibnu Taimiyah t dan Ibnul Qayyim t mengambil jalan tengah dalam permasalahan ini. Keduanya menyebutkan bahwa kisah Salim Maula Abi Hudzaifah ini merupakan satu jenis peristiwa yang khusus berlaku dalam seluruh keadaan yang serupa dengan keadaan Sahlah bersama Salim. Hukumnya seperti hukum kisah Abu Burdah ketika menyembelih kurban sebelum dilangsungkannya shalat Id, maka Rasulullah n bersabda kepadanya:
شاَتُكَ شَاةُ لَحْمٍ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ عِنْدِي غَيْرَهَا غَيْر جَذَعٍ مِنَ الْمَعْزِ. فَأَجَازَهُ n، وَقَالَ: وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
“Kambing yang telah engkau sembelih itu keberadaannya sebagai kambing yang sekadar untuk dinikmati dagingnya (tidak teranggap sembelihan qurban karena disembelih sebelum shalat Id, pent.).” Abu Burdah berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak punya lagi kambing (untuk disembelih) selain kambing tersebut, kecuali seekor jadza’ dari ma’iz (anak kambing kacang/kambing jawa yang berusia 6 bulan –pent.).” Rasulullah n pun membolehkan Abu Burdah berqurban dengan anak kambingnya yang masih ada6seraya bersabda, “Dan ini tidak dibolehkan bagi seorang pun setelahmu.”7
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Maksudnya, tidak boleh lagi setelah keadaanmu ini.”
Apa yang kami isyaratkan ini disebutkan dengan jelas oleh Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, di mana beliau menyatakan, “Penyusuan lelaki/anak yang telah besar menyebabkan tersebarnya hurmah (hubungan kemahraman) dari sisi bolehnya ia masuk menemui ibu susunya dan berduaan dengannya, apabila memang si anak/lelaki yang sudah besar itu sebelumnya telah dididik/dibesarkan di rumah tersebut, di mana penghuni rumah tidak marah dengan keluar masuknya karena kebutuhan yang ada. Hal ini berdasarkan kisah Salim, maula Abi Hudzaifah.”
Dengan apa yang telah kami sebutkan, menjadi jelaslah jawaban yang ada dan menjadi jelas dengannya keberadaan wanita yang anda tanyakan. Keadaannya tentu tidak sama dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah, karena wanita itu ingin menyusui seorang anak yang sudah besar agar menjadi mahramnya. Yang seperti ini tidak dibolehkan.
Adapun kalau si wanita mengatakan, ia butuh kepada mahram, karena kalau aku mati siapa yang akan memasukkanku ke dalam kubur dan melepas ikatan kafanku?
Maka jawabannya, tidak apa-apa seorang lelaki ajnabi memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepas ikatan kafannya, walaupun di sana ada mahram si wanita. Demikian, dan hanya Allah l-lah yang memberi taufik. (Fatawa wa Rasa`il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 11/176, 177. Fatwa ini bernomor 2182/1, bertanggal 12 Sya’ban 1385 H)
4 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. hadits 2150 –pent.
5 Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah x, ia
berkata: Sahlah bintu Suhail datang menemui Rasulullah n, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, saya melihat ketidaksenangan di wajah Abu Hudzaifah
dengan masuknya Salim ke rumah kami”. Nabi n bersabda, “Kalau begitu
susui Salim.” Sahlah menjawab, “Bagaimana aku menyusuinya sementara ia
sudah besar?”. Rasulullah n tersenyum dan berkata, “Sungguh aku tahu dia
sudah besar.” -pent.
6 Lihat pembahasan tentang syarat-syarat hewan kurban dan ketentuan lainnya dalam Majalah Asy-Syariah edisi 36.
7 HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Menikah dengan Anak Tiri Ayah
Tanya: Ayah saya menikah dengan seorang wanita yang memiliki anak
perempuan yang masih menyusu. Setelah pernikahannya dengan ayah saya,
wanita tersebut menyapih anak perempuannya. Ayah saya berkeinginan kelak
bila anak perempuan tersebut telah besar, ia hendak menikahkan saya
dengannya. Pertanyaannya, apakah hal tersebut dibolehkan bagi saya?
Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t menjawab:
Boleh ia menikah dengan anak perempuan yang merupakan rabibah (anak
tiri/anak istri) ayahnya tersebut. Boleh bagi anak laki-laki suami
menikah dengan rabibah ayahnya.
Yang menjadi kaidah di sini, pernikahan yang diharamkan dalam
hubungan mushaharah atau hubungan yang terjalin karena pernikahan
seorang pria dengan seorang wanita adalah ushul dan furu’1 istri bagi si
suami secara khusus dan tidak bagi kerabat suami2. Demikian pula ushul
dan furu’ suami menjadi haram untuk menikahi si istri secara khusus dan
tidak haram untuk menikahi kerabat si istri. Akan tetapi, tiga golongan
darinya, diharamkan dengan semata-mata akad, sedangkan satu golongan
lagi harus disertai dengan dukhul3, dengan perincian sebagai berikut:
– ushul suami haram bagi istri dengan akad
– furu’ suami haram bagi istri dengan akad
– ushul istri haram bagi suami dengan akad
– furu’ istri haram bagi suami dengan akad berikut dukhul.
Yang dimaksud ushul istri adalah ibunya, nenek-neneknya dan terus
ke atas. Sedangkan furu’-nya adalah putrinya, cucu-cucu perempuannya
dari anak-anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Sementara ushul suami
adalah ayahnya, kakek-kakeknya dan terus ke atas. Sedangkan furu’-nya
adalah putranya, cucu-cucu laki-lakinya dari anak-anak laki-lakinya dan
terus ke bawah.
Untuk lebih memperjelas permasalahan ini, kita berikan contoh berikut ini:
Apabila seorang lelaki (sebutlah B, –pent.) menikah dengan seorang
wanita yang bernama Zainab dan si Zainab punya ibu bernama Asma`. Maka
Asma` haram dinikahi oleh si B (menantunya/suami dari anak perempuannya)
dengan semata-mata akadnya dengan Zainab, karena Asma` termasuk ushul
Zainab.
Apabila Zainab ketika menikah dengan si B, sudah mempunyai anak
perempuan bernama Fathimah, maka Fathimah haram dinikahi si B (suami
ibunya) apabila si B/ayah tirinya tersebut telah dukhul dengan ibunya.
Maksudnya, ayah tirinya telah “bergaul” dengan ibunya. Namun bila si
ayah tiri menceraikan ibunya sebelum menggaulinya, maka Fathimah halal
dinikahi oleh mantan ayah tirinya. Sedangkan Asma`, si nenek (ibu dari
Zainab) tetap tidak halal dinikahi.
Bila si B memiliki ayah bernama Abdullah dan anak laki-laki bernama
Abdurrahman, maka Abdullah haram menikah dengan menantunya (istri si B
yaitu Zainab sebagaimana contoh di atas, pent.) dengan semata-mata akad
(antara si menantu dengan B, putranya, tanpa persyaratan dukhul, pent.).
Demikian pula yang berlaku bagi Abdurrahman. Ia haram menikah dengan
istri ayahnya (Zainab) dengan semata-mata akad (antara si B ayahnya
dengan Zainab/ibu tirinya, pent.). Namun boleh bagi Abdurrahman menikah
dengan Fathimah putri Zainab, karena yang diharamkan bagi ushul dan
furu’ suami adalah si istri secara khusus, dan tidak haram bagi
kerabat-kerabat istri.
Dan boleh bagi Abdullah, ayah si B, untuk menikah dengan Asma`, mertua si B (ibu Zainab).
Yang menjadi dalil dalam hal ini adalah firman Allah k:
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh
ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum
datangnya larangan ini)….” (An-Nisa`: 22-23)
Pelarangan dalam ayat di atas ditujukan kepada furu’ suami, haram bagi si anak laki-laki untuk menikahi istri ayahnya.
Firman Allah k:
“(Janganlah kalian menikahi) … ibu dari istri (mertua) kalian.”
Yang dimaukan di sini adalah ushul istri, haram dinikahi oleh si suami.
Firman Allah k:
“(Janganlah kalian menikahi)… putri-putri dari istri kalian yang
berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri.
Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah
dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya.”
Yang ditujukan di sini adalah furu’ istri, haram dinikahi oleh si suami.
Sedangkan firman Allah k:
“Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu).”
Pelarangan ditujukan kepada ushul suami, haram bagi seorang ayah menikahi istri anaknya.
Boleh bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita sementara ayah si
laki-laki menikahi putri si wanita, karena furu’ istri hanya haram bagi
suami, tidak bagi kerabat suami. Dan boleh seorang lelaki menikahi
seorang wanita, sementara ayahnya menikahi ibu si wanita. Wallahu a’lam
bish-shawab. (Durus wa Fatawa fil Haramil Makki, hal. 1041-1042)
1 Ushul seseorang berarti orangtuanya ke atas, kakek neneknya,
buyutnya dan seterusnya. Sedangkan furu’ berarti keturunannya ke bawah,
anaknya, cucunya, dan seterusnya. –pent.
2 Maksudnya dengan terjalinnya sebuah pernikahan, haram bagi suami
menikahi ushul dan furu’ istrinya. Namun keharaman ini tidak berlaku
bagi kerabat si suami, artinya boleh bagi kerabat suami menikah dengan
ushul dan furu’-nya istri. –pent.
3 Sudah akad dan sudah pula berjima’.
Tidak Ada Pacaran Islami
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah k.
Allah k berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
1 Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan dengan apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
Menempelkan label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah k.
Allah k berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan
tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang
benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi t yang masyhur
dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di
atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena kesyirikan
dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman
yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di
tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan
juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara
menjadi berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan
kurangnya penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan
berbagai penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena
perbuatan-perbuatan rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu
ditimpakan kepada mereka agar mereka mengetahui bahwa Allah l akan
membalas apa yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau
bertaubat dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di t dalam Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah, kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di
kota besar, bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang
terjadi hampir di seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya
karena dosa anak manusia.
Abul ‘Aliyah t berkata, “Siapa yang bermaksiat kepada Allah l di
muka bumi maka sungguh ia telah membuat kerusakan di bumi. Karena
kebaikan di bumi dan di langit diperoleh dengan ketaatan.” (Tafsir
Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab
kerusakan tersebut. Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh
saja, bahkan dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.
Di lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin
kita bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan
kerusakannya! Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap
Islam, yang aktif dalam organisasi Islam, training-training pembinaan
keimanan dan kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin
karena kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya
hawa nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan
mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena
diberi embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang
awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak
ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun
saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang
Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk beramal,
berzikir kepada Allah l, mengingatkan negeri akhirat, tentang surga dan
neraka. Begitu katanya!
Pacaran yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau
cocok, diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri
dengan cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah
seorang aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan
anak-anak muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda
Islam, ikhwan sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak
berjilbab, tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang
muslimah yang shalihah.”
Darimanakah mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka?
Benarkah mereka telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah
mereka terjerembab ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah
yang menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai
kebenaran. Mereka memang –katanya– tidak bersentuhan, tidak pegangan
tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari
keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para
pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk
berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah mereka
(anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa
hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah
dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga
mereka?
Rasulullah n telah mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ
ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ, فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ, وَزِنَا اللِّسَانِ
الْمَنْطِقُ, وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي, وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1.
Dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah
dengan memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara.
Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah z)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal
itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan
memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan
mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan
berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan
memegang. Kaki itu berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa
yang diharamkan). Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan,
sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR.
Muslim no. 2657)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Makna dari hadits di atas adalah anak
Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di antara mereka ada yang
melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke dalam
kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan hidupnya yang
sah, pent.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara majazi
(kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan
perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di
mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau
kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk melihat
zina, atau untuk menyentuh wanita non mahram atau untuk melakukan
pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan semisalnya, atau ia
memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.
Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya.
Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya,
dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan
kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram, sekalipun dekat dengannya.”
(Syarhu Shahih Muslim, 16/206)
Dengan pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka
dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara
memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk
perbuatan yang diharamkan.
Allah k memerintahkan: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada
laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan
mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka…’.” (An-Nur: 30-31) Tidakkah mereka tahu bahwa wanita merupakan
fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah n
dalam sabda beliau: مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى
الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah
yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR.
Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880) Di samping itu, dengan pacaran
“Islami” ala mereka, mereka tentu tidak akan lepas dari yang namanya
khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (bercampur baur
antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya hijab/tabir penghalang).
Rasulullah n pernah bersabda: لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ
مَعَ ذِي مَحْرَمٍ “Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki
bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama
mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259) Al-Qadhi Iyadh
t berkata, “Wanita adalah fitnah, sehingga laki-laki ajnabi dilarang
bersepi-sepi dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia diciptakan punya
kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan menguasai mereka
dengan perantaraan para wanita.” Beliau juga mengatakan bahwa wanita
adalah aurat yang sangat urgen untuk dijaga dan dipelihara. Dan
mahramnya sebagai orang yang memiliki kecemburuan terhadapnyalah yang
akan melindungi dan menjaganya. (Al-Ikmal, 4/448) Al-Imam An-Nawawi t
menyatakan, “Adapun bila seorang laki-laki ajnabi berdua-duaan dengan
wanita ajnabiyah tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, maka hukumnya
haram menurut kesepakatan ulama. Demikian pula bila bersama keduanya
hanya ada seseorang yang biasanya orang tidak sungkan/tidak merasa malu
berbuat sesuatu di hadapannya karena usianya yang masih kecil, seperti
anak laki-laki yang baru berumur dua atau tiga tahun dan yang
semisalnya. Karena keberadaan orang seperti ini sama saja seperti tidak
adanya.” (Al-Minhaj, 9/113) Rasulullah n juga bersabda:
“Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang
wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi no.
1171, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah n sampai memperingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ:
الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah
seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda
dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no.
5232 dan Muslim no. 5638)
Ipar di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak
laki-lakinya. Makna “Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi t, bahwa
kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya.
Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena
biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan
istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya
berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap
keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki
ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Al-Minhaj,
14/ 378)
Ketika Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t
ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang
terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan penanya,
sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya
akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad
berarti si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum dukhul. Namun
bila yang dimaksud sebelum zawaj adalah sebelum akad nikah, baru
pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini haram. Tidak boleh
dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki bernikmat-nikmat dengan
seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan, pandangan, maupun khalwat.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita
sekalipun, ia tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan
diterimanya pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan
bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat,
bebas telepon, bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena
hubungan keduanya belum resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya.
Lalu apatah lagi orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan,
walaupun diembel-embeli kata Islami?
Ada seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah
peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar
bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita
memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita,
namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun
bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dimintai fatwa
tentang hal ini, beliau menjawab, “Hal seperti itu tidak sepantasnya
dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang duduk bersamanya
telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara
bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki
adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang mengantarkan kepada
keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki
dengan si wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun
lewat telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang
laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya,
bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan
dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya
fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita,
maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.
Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita,
antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara
mereka, namun hanya bertujuan untuk saling mengenal –sebagaimana yang
mereka istilahkan– maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah
dan menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah k berfirman:
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara
sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan
ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi
kecuali bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf,
tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya
dituduh macam-macam).
Ulama telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan
talbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلَاتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka
laki-laki hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”
Hadits di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak
semestinya memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan
mahramnya, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia
terpaksa berbicara dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu
a’lam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan,
3/163,164)
Kita baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara
langsung. Lalu bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal.
58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan
seorang wanita ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh
cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab,
“Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan
syahwat di antara dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya
untuk saling bertemu dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat
seperti itu menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di
dalam hati. Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang
hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan
kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang
yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan
surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama
dan kehormatannya. Dan Allah l-lah yang memberi taufik.”
Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari
kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya,
apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah l,
maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t,
“Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia, untuk surat-menyurat
dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah.
Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak
ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya,
hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat
dengannya.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Dalam surat-menyurat antara pemuda dan
pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh
dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat
menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.” (Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?
Wallahul musta’an.
1 Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan dengan apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
Pakaian Anak Kita
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Rasa sayang orangtua memang bisa berbentuk apa saja. Termasuk dalam hal ini upaya “menjaga penampilan” anak. Namun sebatas apakah hal itu boleh dilakukan?
Anak-anak dengan kekhasan dunia mereka memang menarik untuk dicermati. Dunia anak bahkan tak luput menjadi ajang komoditi bagi para produsen. Tak lepas pula produsen pakaian. Berbagai macam mode dan gaya pakaian anak dilempar ke pasar, menarik minat orangtua untuk mendandani anak-anaknya dengan gaya terkini.
Namun teramat disayangkan, banyak orangtua dari kalangan muslimin yang masih terbawa arus ini, sehingga pakaian anak-anak mereka pun jauh dari tuntunan agama yang mulia ini.
Anak-anak perempuan muslimah keluar rumah tanpa menutup kepala dengan kerudung adalah pemandangan yang masih terlalu banyak kita saksikan. Andai kita tanyakan hal ini kepada orangtua mereka, meluncurlah berbagai alasan. Alasan si anak belum dewasa sehingga belum wajib menutup aurat, mungkin hanya satu di antara alasan yang ada. Yang lebih parah lagi, menganggap menutup aurat dan mengenakan pakaian yang diatur oleh syariat merupakan satu bentuk kemunduran.
Banyak anak perempuan yang “bergaya” dengan celana jins dan kemeja atau T-shirt, amat mirip gaya anak laki-laki. Ada yang sekadar mengenakan celana pendek dan baju kaos kala bermain bersama teman-temannya. Atau berbagai macam gaya lainnya seperti celana model stretch (ketat, yang mengecil ke bawah). Belum lagi kalau menghadiri acara khusus.
Anak laki-laki juga dengan gayanya tersendiri. Celana panjang melebihi mata kaki, celana pendek, menjadi pakaian keseharian. Ketika pesta, dasi pun kadang turut melengkapi penampilan.
Rupanya kita perlu menyadari lebih dalam, sebagai agama yang sempurna, Islam telah menerapkan berbagai aturan dalam setiap hal. Tak satu sisi kehidupan pun yang lepas dari aturan dan adab. Begitu pun dalam masalah pakaian, Islam memiliki berbagai aturan. Semua itu Allah l tetapkan semata-mata untuk kebaikan hamba-hamba-Nya.
Tidak dipungkiri, kewajiban-kewajiban syariat dibebankan bagi setiap muslim yang mukallaf; telah dewasa dan sempurna akalnya, sebagaimana sabda Rasulullah n yang disampaikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib z:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
Namun penunaian syariat perlu pembiasaan sejak anak-anak belum beranjak dewasa. Hal ini agar mereka tidak merasakan syariat sebagai beban berat. Oleh karena itu, kita perlu mengajari mereka adab-adab berpakaian, sehingga pakaian yang sesuai dengan syariat beserta seluruh adabnya merupakan sesuatu yang telah menyatu dalam kehidupan mereka.
Hendaknya anak-anak diajari untuk memakai pakaian yang menutup auratnya dan tidak menampakkan lekuk badannya, karena mengenakan pakaian yang menampakkan aurat atau bentuk tubuh bisa menjadi pemicu terjadinya kejelekan dan kerusakan.
Sejak awal, anak-anak harus dibiasakan pula mengenakan pakaian sesuai jenisnya; anak laki-laki mengenakan pakaian laki-laki, anak perempuan mengenakan pakaian perempuan.
Tentang tasyabbuh ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan dalam fatwa beliau, “Tasyabbuh (penyerupaan) laki-laki dengan perempuan termasuk dosa besar. Demikian pula penyerupaan perempuan dengan laki-laki. Dalilnya:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ n الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”1
Juga karena penyerupaan seperti ini akan merusak sunnah Allah l terhadap ciptaan-Nya, karena Allah l telah menciptakan kekhususan tersendiri bagi wanita dan kekhususan tersendiri pula bagi laki-laki. Jika wanita menyerupai laki-laki dan laki-laki menyerupai perempuan, tentu sunnah yang telah Allah k jadikan ini akan hilang dan sirna, sehingga terjadilah sesuatu yang bertentangan dengan penciptaan dan hikmah Allah k.” (Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 1761-1762)
Begitu pula, anak-anak tidak boleh dibiasakan memakai pakaian yang biasa dipakai orang-orang kafir atau orang-orang fasik. Jas model tuxedo (jas yang bagian belakangnya lebih panjang) misalnya, adalah pakaian yang biasa dipakai oleh orang kafir atau para pesulap. Begitu pula pakaian-pakaian yang membuka aurat sebagaimana jamak dipakai oleh wanita-wanita fasik. Rasulullah n bersabda:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 4031, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Kita perlu memerhatikan pula agar anak laki-laki tidak mengenakan pakaian yang isbal2. Abu Hurairah z menyampaikan dari Rasulullah n:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Bagian yang di bawah mata kaki dari sarung, tempatnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 5787)
Bukan berarti yang terlarang melebihi mata kaki hanyalah sarung, namun ini mutlak pada semua jenis pakaian. Demikian yang ditunjukkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam bab ( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ) (Segala yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka). (Fathul Bari, 10/316)
Dalam hadits dari Jabir bin Sulaim z, Rasulullah n bersabda:
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيْلَةِ، وَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيْلَةَ
“Angkatlah sarungmu hingga setengah betis. Bila engkau enggan, maka hingga mata kaki. Jauhilah olehmu memanjangkan sarung hingga melebihi mata kaki, karena hal ini termasuk kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR. Abu Dawud no. 4084, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hendaknya kita juga tidak memberikan pakaian dari bahan sutera pada anak laki-laki, karena haram bagi mereka mengenakannya, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah n sebagaimana dinukilkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari z:
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
“Diharamkan memakai sutera dan emas bagi kalangan laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi kalangan wanitanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1720, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Bila keluar rumah, anak-anak perempuan dibiasakan memakai pakaian yang menutup auratnya, panjang dan lapang, disertai kerudung untuk menutup kepalanya. Memang, syariat ini mewajibkan anak perempuan untuk mengenakan jilbab ketika mereka telah mencapai usia baligh, sebagaimana berlakunya beban-beban syariat yang lain. Namun pembiasaan hal ini sebelum mereka mencapai usia baligh, akan memudahkan mereka melaksanakannya. Tidak selayaknya kita pakaikan mereka pakaian yang pendek dan ketat. Hal ini pernah dinasihatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t:
“Aku berpendapat, tidak pantas seseorang memakaikan anak perempuannya pakaian seperti ini (pakaian yang pendek, pen.) semasa kanak-kanak. Karena bila dia terbiasa, hal ini akan melekat dan dianggap remeh olehnya. Bila yang seperti ini menjadi kebiasaannya, keadaan ini akan terus terbawa hingga dia dewasa. Yang kunasihatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimah, hendaknya mereka tinggalkan busana wanita asing dari kalangan musuh-musuh agama ini, dan hendaknya membiasakan anak-anak perempuan mereka untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat serta senantiasa merasa malu, karena malu itu termasuk keimanan.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Ash-Shalih Al-’Utsaimin, 2/845-846)
Yang banyak pula tersebar sekarang ini adalah pakaian dan aksesori anak-anak bergambar karakter atau tokoh-tokoh rekaan dari film kartun atau yang lainnya. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t mengatakan, “Tidak boleh seseorang mengenakan pakaian yang bergambar hewan atau manusia. Tidak boleh pula memakai qutrah, syimagh, atau yang semacamnya yang bergambar manusia, hewan, dan semacamnya. Karena Nabi n bersabda:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ صُوْرَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk bernyawa.”3 (Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 1217-1218)
Beliau juga mengatakan, “Ahlul ilmi berpendapat, haram memakaikan anak-anak apa pun yang haram dipakai oleh orang dewasa. Pakaian yang bergambar haram dipakai oleh orang dewasa, maka haram pula dipakai oleh anak-anak. Yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin adalah mencegah masuknya pakaian atau sepatu seperti ini, sehingga orang-orang yang membawa kerusakan tidak dapat masuk pada kita melalui jalan ini. Jika dicegah, mereka akan terhalang untuk memasok ke negeri ini dan menjadikan perkara ini sebagai perkara yang dianggap gampang oleh penduduk negeri ini.” (Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal.1228)
Selain memerhatikan pakaiannya, tentu tak boleh kita lupakan adab yang lain; doa ketika mengenakan pakaian. Kita ajari anak, bila mengenakan pakaian hendaknya memuji Allah l. Diriwayatkan oleh Sahl bin Mu’adz bin Anas, dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah n bersabda:
وَمَنْ لَبِسَ ثَوْبًا فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa mengenakan pakaian, lalu berdoa: ‘Segala pujian hanya milik Allah yang telah memberiku pakaian ini dan merizkikannya kepadaku tanpa usaha dan kekuatan dari diriku’, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud no. 4023, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Begitu pula jika anak memiliki pakaian baru, entah berupa baju, sarung, celana atau yang lainnya. Ketika mengenakannya, kita ajari pula anak untuk memuji Allah l. Demikian yang biasa dilakukan oleh Rasulullah n. Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri z:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ، إِمَّا قَمِيْصًا أَوْ عِمَامَةً، ثُمَّ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ
“Rasulullah n bila memakai pakaian baru berupa jenis pakaian apa saja, baik berupa gamis ataupun surban, beliau biasa mengucapkan, ‘Ya Allah, segala pujian hanyalah milik-Mu, Engkaulah yang memberiku pakaian ini, aku memohon kebaikan pakaian ini dan kebaikan tujuan dibuatnya pakaian ini, dan aku memohon perlindungan-Mu dari kejelekan pakaian ini dan kejelekan tujuan dibuatnya pakaian ini.” (HR. Abu Dawud no. 4020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Inilah sebagian kecil di antara sekian banyak adab dan aturan berpakaian dalam syariat Islam. Sepantasnya semua ini diajarkan kepada anak-anak agar nampak pembeda antara kita dengan orang-orang kafir, serta agar tegak pada diri mereka syiar kaum muslimin.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
1 HR. Al-Bukhari no. 5885
2 Isbal yaitu memanjangkan pakaian hingga melebihi mata kaki.
3 HR. Al-Bukhari no. 3226 dan Muslim 2106
Rasa sayang orangtua memang bisa berbentuk apa saja. Termasuk dalam hal ini upaya “menjaga penampilan” anak. Namun sebatas apakah hal itu boleh dilakukan?
Anak-anak dengan kekhasan dunia mereka memang menarik untuk dicermati. Dunia anak bahkan tak luput menjadi ajang komoditi bagi para produsen. Tak lepas pula produsen pakaian. Berbagai macam mode dan gaya pakaian anak dilempar ke pasar, menarik minat orangtua untuk mendandani anak-anaknya dengan gaya terkini.
Namun teramat disayangkan, banyak orangtua dari kalangan muslimin yang masih terbawa arus ini, sehingga pakaian anak-anak mereka pun jauh dari tuntunan agama yang mulia ini.
Anak-anak perempuan muslimah keluar rumah tanpa menutup kepala dengan kerudung adalah pemandangan yang masih terlalu banyak kita saksikan. Andai kita tanyakan hal ini kepada orangtua mereka, meluncurlah berbagai alasan. Alasan si anak belum dewasa sehingga belum wajib menutup aurat, mungkin hanya satu di antara alasan yang ada. Yang lebih parah lagi, menganggap menutup aurat dan mengenakan pakaian yang diatur oleh syariat merupakan satu bentuk kemunduran.
Banyak anak perempuan yang “bergaya” dengan celana jins dan kemeja atau T-shirt, amat mirip gaya anak laki-laki. Ada yang sekadar mengenakan celana pendek dan baju kaos kala bermain bersama teman-temannya. Atau berbagai macam gaya lainnya seperti celana model stretch (ketat, yang mengecil ke bawah). Belum lagi kalau menghadiri acara khusus.
Anak laki-laki juga dengan gayanya tersendiri. Celana panjang melebihi mata kaki, celana pendek, menjadi pakaian keseharian. Ketika pesta, dasi pun kadang turut melengkapi penampilan.
Rupanya kita perlu menyadari lebih dalam, sebagai agama yang sempurna, Islam telah menerapkan berbagai aturan dalam setiap hal. Tak satu sisi kehidupan pun yang lepas dari aturan dan adab. Begitu pun dalam masalah pakaian, Islam memiliki berbagai aturan. Semua itu Allah l tetapkan semata-mata untuk kebaikan hamba-hamba-Nya.
Tidak dipungkiri, kewajiban-kewajiban syariat dibebankan bagi setiap muslim yang mukallaf; telah dewasa dan sempurna akalnya, sebagaimana sabda Rasulullah n yang disampaikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib z:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
Namun penunaian syariat perlu pembiasaan sejak anak-anak belum beranjak dewasa. Hal ini agar mereka tidak merasakan syariat sebagai beban berat. Oleh karena itu, kita perlu mengajari mereka adab-adab berpakaian, sehingga pakaian yang sesuai dengan syariat beserta seluruh adabnya merupakan sesuatu yang telah menyatu dalam kehidupan mereka.
Hendaknya anak-anak diajari untuk memakai pakaian yang menutup auratnya dan tidak menampakkan lekuk badannya, karena mengenakan pakaian yang menampakkan aurat atau bentuk tubuh bisa menjadi pemicu terjadinya kejelekan dan kerusakan.
Sejak awal, anak-anak harus dibiasakan pula mengenakan pakaian sesuai jenisnya; anak laki-laki mengenakan pakaian laki-laki, anak perempuan mengenakan pakaian perempuan.
Tentang tasyabbuh ini, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan dalam fatwa beliau, “Tasyabbuh (penyerupaan) laki-laki dengan perempuan termasuk dosa besar. Demikian pula penyerupaan perempuan dengan laki-laki. Dalilnya:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ n الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”1
Juga karena penyerupaan seperti ini akan merusak sunnah Allah l terhadap ciptaan-Nya, karena Allah l telah menciptakan kekhususan tersendiri bagi wanita dan kekhususan tersendiri pula bagi laki-laki. Jika wanita menyerupai laki-laki dan laki-laki menyerupai perempuan, tentu sunnah yang telah Allah k jadikan ini akan hilang dan sirna, sehingga terjadilah sesuatu yang bertentangan dengan penciptaan dan hikmah Allah k.” (Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 1761-1762)
Begitu pula, anak-anak tidak boleh dibiasakan memakai pakaian yang biasa dipakai orang-orang kafir atau orang-orang fasik. Jas model tuxedo (jas yang bagian belakangnya lebih panjang) misalnya, adalah pakaian yang biasa dipakai oleh orang kafir atau para pesulap. Begitu pula pakaian-pakaian yang membuka aurat sebagaimana jamak dipakai oleh wanita-wanita fasik. Rasulullah n bersabda:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 4031, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Kita perlu memerhatikan pula agar anak laki-laki tidak mengenakan pakaian yang isbal2. Abu Hurairah z menyampaikan dari Rasulullah n:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Bagian yang di bawah mata kaki dari sarung, tempatnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 5787)
Bukan berarti yang terlarang melebihi mata kaki hanyalah sarung, namun ini mutlak pada semua jenis pakaian. Demikian yang ditunjukkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam bab ( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ) (Segala yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka). (Fathul Bari, 10/316)
Dalam hadits dari Jabir bin Sulaim z, Rasulullah n bersabda:
وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيْلَةِ، وَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيْلَةَ
“Angkatlah sarungmu hingga setengah betis. Bila engkau enggan, maka hingga mata kaki. Jauhilah olehmu memanjangkan sarung hingga melebihi mata kaki, karena hal ini termasuk kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” (HR. Abu Dawud no. 4084, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hendaknya kita juga tidak memberikan pakaian dari bahan sutera pada anak laki-laki, karena haram bagi mereka mengenakannya, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah n sebagaimana dinukilkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari z:
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
“Diharamkan memakai sutera dan emas bagi kalangan laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi kalangan wanitanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1720, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Bila keluar rumah, anak-anak perempuan dibiasakan memakai pakaian yang menutup auratnya, panjang dan lapang, disertai kerudung untuk menutup kepalanya. Memang, syariat ini mewajibkan anak perempuan untuk mengenakan jilbab ketika mereka telah mencapai usia baligh, sebagaimana berlakunya beban-beban syariat yang lain. Namun pembiasaan hal ini sebelum mereka mencapai usia baligh, akan memudahkan mereka melaksanakannya. Tidak selayaknya kita pakaikan mereka pakaian yang pendek dan ketat. Hal ini pernah dinasihatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t:
“Aku berpendapat, tidak pantas seseorang memakaikan anak perempuannya pakaian seperti ini (pakaian yang pendek, pen.) semasa kanak-kanak. Karena bila dia terbiasa, hal ini akan melekat dan dianggap remeh olehnya. Bila yang seperti ini menjadi kebiasaannya, keadaan ini akan terus terbawa hingga dia dewasa. Yang kunasihatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimah, hendaknya mereka tinggalkan busana wanita asing dari kalangan musuh-musuh agama ini, dan hendaknya membiasakan anak-anak perempuan mereka untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat serta senantiasa merasa malu, karena malu itu termasuk keimanan.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Ash-Shalih Al-’Utsaimin, 2/845-846)
Yang banyak pula tersebar sekarang ini adalah pakaian dan aksesori anak-anak bergambar karakter atau tokoh-tokoh rekaan dari film kartun atau yang lainnya. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t mengatakan, “Tidak boleh seseorang mengenakan pakaian yang bergambar hewan atau manusia. Tidak boleh pula memakai qutrah, syimagh, atau yang semacamnya yang bergambar manusia, hewan, dan semacamnya. Karena Nabi n bersabda:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ صُوْرَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk bernyawa.”3 (Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 1217-1218)
Beliau juga mengatakan, “Ahlul ilmi berpendapat, haram memakaikan anak-anak apa pun yang haram dipakai oleh orang dewasa. Pakaian yang bergambar haram dipakai oleh orang dewasa, maka haram pula dipakai oleh anak-anak. Yang semestinya dilakukan oleh kaum muslimin adalah mencegah masuknya pakaian atau sepatu seperti ini, sehingga orang-orang yang membawa kerusakan tidak dapat masuk pada kita melalui jalan ini. Jika dicegah, mereka akan terhalang untuk memasok ke negeri ini dan menjadikan perkara ini sebagai perkara yang dianggap gampang oleh penduduk negeri ini.” (Fatawa ‘Ulama Al-Balad Al-Haram, hal.1228)
Selain memerhatikan pakaiannya, tentu tak boleh kita lupakan adab yang lain; doa ketika mengenakan pakaian. Kita ajari anak, bila mengenakan pakaian hendaknya memuji Allah l. Diriwayatkan oleh Sahl bin Mu’adz bin Anas, dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah n bersabda:
وَمَنْ لَبِسَ ثَوْبًا فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa mengenakan pakaian, lalu berdoa: ‘Segala pujian hanya milik Allah yang telah memberiku pakaian ini dan merizkikannya kepadaku tanpa usaha dan kekuatan dari diriku’, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud no. 4023, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Begitu pula jika anak memiliki pakaian baru, entah berupa baju, sarung, celana atau yang lainnya. Ketika mengenakannya, kita ajari pula anak untuk memuji Allah l. Demikian yang biasa dilakukan oleh Rasulullah n. Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri z:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ، إِمَّا قَمِيْصًا أَوْ عِمَامَةً، ثُمَّ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ
“Rasulullah n bila memakai pakaian baru berupa jenis pakaian apa saja, baik berupa gamis ataupun surban, beliau biasa mengucapkan, ‘Ya Allah, segala pujian hanyalah milik-Mu, Engkaulah yang memberiku pakaian ini, aku memohon kebaikan pakaian ini dan kebaikan tujuan dibuatnya pakaian ini, dan aku memohon perlindungan-Mu dari kejelekan pakaian ini dan kejelekan tujuan dibuatnya pakaian ini.” (HR. Abu Dawud no. 4020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Inilah sebagian kecil di antara sekian banyak adab dan aturan berpakaian dalam syariat Islam. Sepantasnya semua ini diajarkan kepada anak-anak agar nampak pembeda antara kita dengan orang-orang kafir, serta agar tegak pada diri mereka syiar kaum muslimin.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
1 HR. Al-Bukhari no. 5885
2 Isbal yaitu memanjangkan pakaian hingga melebihi mata kaki.
3 HR. Al-Bukhari no. 3226 dan Muslim 2106
Tawaran Kepada Orang Shalih
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Kemapanan adalah alasan yang kerap dikemukakan orangtua atau wali kala menerima atau menolak pinangan seorang laki-laki terhadap putrinya. Mereka berargumen, kemapanan calon suami menjadi kunci utama dari kebahagiaan putrinya. Bagaimana dengan keteladanan salafus shalih dalam hal ini?
Abu Hurairah z mengabarkan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Abu Hatim Al-Muzani z juga menyampaikan hadits yang sama namun dengan lafadz sedikit berbeda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1085, hadits ini derajatnya hasan dengan dukungan hadits Abu Hurairah z di atas)
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tetap menerimanya walaupun pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak menyenangkan kami?” Rasulullah n menjawab pertanyaan ini dengan kembali mengulangi hadits di atas sampai tiga kali.
Ucapan Rasulullah n dalam hadits di atas ditujukan kepada para wali, إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ yakni bila seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan wanita yang merupakan anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut kalian pandang baik sisi agama dan pergaulannya, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian. إِلاَّ تَفْعَلُوا yakni bila kalian tidak menikahkan orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya tersebut dengan wanita kalian, malah lebih menyukai lelaki yang meminang wanita kalian adalah orang yang punya kedudukan/kalangan ningrat, memiliki ketampanan ataupun kekayaan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar. Karena bila kalian tidak mau menikahkan wanita kalian kecuali dengan lelaki yang berharta atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita kalian menjadi perawan tua dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya selalu ditolak karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya banyak orang terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para wali, hingga berkobarlah fitnah dan kerusakan. Dampak yang timbul kemudian adalah terputusnya nasab, sedikitnya kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu)
Kenapa kita bawakan hadits di atas dalam rubrik ini? Ya, karena tak jarang kita dapati pihak kerabat dari seorang wanita yang punya hak perwalian terhadapnya mempersulit pernikahan si wanita. Setiap lelaki yang datang meminang si wanita, mereka tolak bila tidak sesuai dengan kriteria mereka, walaupun si wanita senang dan mau menikah dengan si pelamar. Kalau lelaki yang melamar tersebut seorang yang pendosa, terkenal suka bermaksiat, memang sangat bisa diterima bila wali si wanita menolaknya. Permasalahannya sekarang, orang yang jelas baik sisi agamanya dan bagus akhlaknya pun ikut ditolak dengan berbagai alasan. Terhadap para wali yang berlaku demikian, kita hadapkan hadits Rasulullah n yang mulia di atas.
Para pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita-wanita yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka kepada seorang yang shalih.
Al-Qur’an yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di negeri Madyan1 kepada Nabi Musa q agar bersedia menikahi salah seorang“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka) dan di belakang orang banyak itu, ia dapati dua orang wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa bertanya, ‘Ada apa dengan kalian (hingga tidak ikut meminumkan ternak sebagaimana mereka)?’ Kedua wanita itu berkata, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa menolong kedua wanita tersebut dengan memberi minum ternak keduanya. Setelahnya, ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi, ia berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas (kebaikan)mu memberi minum ternak kami.’ Tatkala Musa menemui ayah si wanita dan menceritakan kisah dirinya, ayah si wanita berkata, ‘Janganlah engkau takut. Engkau telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah orang itu sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sebaik-baik orang yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah ayah si wanita kepada Musa, ‘Sungguh aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sampai sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu karena aku tidak ingin memberatkanmu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’. Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan’.” (Al-Qashash: 23-28)
Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab z. Ketika putrinya Hafshah x menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi z di Madinah, ‘Umar z mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan z yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah n, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq z dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah n meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah n. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab Umar.
“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah n pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah n tersebut. Seandainya Rasulullah n tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)
Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab t, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”
“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.
“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenasahnya?” tanya Sa’id.
Setelah beberapa lama berada dalam majelis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”
“Semoga Allah l merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar dua atau tiga dirham?” jawabku.
“Aku orangnya,” kata Sa’id.
“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku
“Iya,” jawab Sa’id.
Ia pun memuji Allah l dan bershalawat kepada Nabi n, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.
“Sa’id,” jawab si pengetuk.
Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid2. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”
“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.
“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.
“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah n, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”
Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)
Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau keponakan kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Faedah: Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa lelaki ini. Ada beberapa pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan lelaki itu adalah Nabi Syu’aib q yang diutus Allah k kepada penduduk Madyan. Inilah yang masyhur menurut kebanyakan ulama. Al-Hasan Al-Bashri t dan selainnya berpendapat demikian.
Pendapat lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan, Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa q, karena Syu’aib berkata kepada kaumnya:
Kemapanan adalah alasan yang kerap dikemukakan orangtua atau wali kala menerima atau menolak pinangan seorang laki-laki terhadap putrinya. Mereka berargumen, kemapanan calon suami menjadi kunci utama dari kebahagiaan putrinya. Bagaimana dengan keteladanan salafus shalih dalam hal ini?
Abu Hurairah z mengabarkan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Abu Hatim Al-Muzani z juga menyampaikan hadits yang sama namun dengan lafadz sedikit berbeda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1085, hadits ini derajatnya hasan dengan dukungan hadits Abu Hurairah z di atas)
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tetap menerimanya walaupun pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak menyenangkan kami?” Rasulullah n menjawab pertanyaan ini dengan kembali mengulangi hadits di atas sampai tiga kali.
Ucapan Rasulullah n dalam hadits di atas ditujukan kepada para wali, إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ yakni bila seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan wanita yang merupakan anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut kalian pandang baik sisi agama dan pergaulannya, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian. إِلاَّ تَفْعَلُوا yakni bila kalian tidak menikahkan orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya tersebut dengan wanita kalian, malah lebih menyukai lelaki yang meminang wanita kalian adalah orang yang punya kedudukan/kalangan ningrat, memiliki ketampanan ataupun kekayaan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar. Karena bila kalian tidak mau menikahkan wanita kalian kecuali dengan lelaki yang berharta atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita kalian menjadi perawan tua dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya selalu ditolak karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya banyak orang terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para wali, hingga berkobarlah fitnah dan kerusakan. Dampak yang timbul kemudian adalah terputusnya nasab, sedikitnya kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu)
Kenapa kita bawakan hadits di atas dalam rubrik ini? Ya, karena tak jarang kita dapati pihak kerabat dari seorang wanita yang punya hak perwalian terhadapnya mempersulit pernikahan si wanita. Setiap lelaki yang datang meminang si wanita, mereka tolak bila tidak sesuai dengan kriteria mereka, walaupun si wanita senang dan mau menikah dengan si pelamar. Kalau lelaki yang melamar tersebut seorang yang pendosa, terkenal suka bermaksiat, memang sangat bisa diterima bila wali si wanita menolaknya. Permasalahannya sekarang, orang yang jelas baik sisi agamanya dan bagus akhlaknya pun ikut ditolak dengan berbagai alasan. Terhadap para wali yang berlaku demikian, kita hadapkan hadits Rasulullah n yang mulia di atas.
Para pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita-wanita yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka kepada seorang yang shalih.
Al-Qur’an yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di negeri Madyan1 kepada Nabi Musa q agar bersedia menikahi salah seorang“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka) dan di belakang orang banyak itu, ia dapati dua orang wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa bertanya, ‘Ada apa dengan kalian (hingga tidak ikut meminumkan ternak sebagaimana mereka)?’ Kedua wanita itu berkata, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa menolong kedua wanita tersebut dengan memberi minum ternak keduanya. Setelahnya, ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi, ia berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas (kebaikan)mu memberi minum ternak kami.’ Tatkala Musa menemui ayah si wanita dan menceritakan kisah dirinya, ayah si wanita berkata, ‘Janganlah engkau takut. Engkau telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah orang itu sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sebaik-baik orang yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah ayah si wanita kepada Musa, ‘Sungguh aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sampai sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu karena aku tidak ingin memberatkanmu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’. Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan’.” (Al-Qashash: 23-28)
Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab z. Ketika putrinya Hafshah x menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi z di Madinah, ‘Umar z mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan z yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah n, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq z dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah n meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah n. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab Umar.
“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah n pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah n tersebut. Seandainya Rasulullah n tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)
Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab t, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”
“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.
“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenasahnya?” tanya Sa’id.
Setelah beberapa lama berada dalam majelis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”
“Semoga Allah l merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar dua atau tiga dirham?” jawabku.
“Aku orangnya,” kata Sa’id.
“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku
“Iya,” jawab Sa’id.
Ia pun memuji Allah l dan bershalawat kepada Nabi n, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.
“Sa’id,” jawab si pengetuk.
Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid2. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”
“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.
“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.
“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah n, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”
Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)
Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau keponakan kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Faedah: Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa lelaki ini. Ada beberapa pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan lelaki itu adalah Nabi Syu’aib q yang diutus Allah k kepada penduduk Madyan. Inilah yang masyhur menurut kebanyakan ulama. Al-Hasan Al-Bashri t dan selainnya berpendapat demikian.
Pendapat lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan, Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa q, karena Syu’aib berkata kepada kaumnya:
“Tidaklah kaum Luth berada jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Sementara masa kebinasaan kaum Luth terjadi di zaman Nabi Ibrahim q
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an. Dan diketahui bahwa jarak
antara masa Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa amatlah jauh, lebih dari 400
tahun, sebagaimana disebutkan lebih dari seorang ulama. Termasuk yang
memperkuat pendapat bahwa lelaki itu bukanlah Nabi Syu’aib adalah
seandainya benar dia Nabi Syu’aib niscaya Al-Qur`an akan menyebut
namanya dalam ayat tersebut. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/110)
2 Karena Sa’id memakmurkan hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah k.
Kewajiban Mensyukuri Nikmat
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ المُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا
بَعْدُ:
أَيُّهَا النََّاسُ، لَقَدْ قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ فِيْ كِتَابِِِهِ الْكَرِيْمِ:
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah
Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kalian dari
langit dan bumi? Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain
dia, maka mengapa kalian berpaling?” (Fathir: 3)
Di dalam ayat tersebut Allah l memerintahkan kepada seluruh manusia
agar mereka mengingat nikmat-nikmat-Nya. Karena yang demikian ini akan
mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah l.
Kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Ketahuilah, bahwa bersyukur kepada Allah l akan menyebabkan
terjaganya nikmat yang dikaruniakan kepada seseorang dan menyebabkan
datangnya nikmat-nikmat Allah l yang lainnya. Namun sebagaimana
diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Al-Qayyim t, syukur itu tidak akan
terwujud kecuali jika terbangun di atas lima perkara. Yaitu dengan
merendahkan dirinya kepada Allah l, mencintai-Nya, mengakui bahwa nikmat
tersebut merupakan karunia dari Allah l, memuji Allah l dengan
lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang
dibenci oleh Allah l. Oleh karena itu, sudah semestinya bagi kita untuk
melihat kembali usaha kita dalam mewujudkan rasa syukurnya kepada Allah
l. Karena apabila salah satu dari lima perkara yang harus dipenuhi
tersebut tidak dilakukan, maka belum dikatakan orang tersebut telah
bersyukur.
Dengan demikian, bersyukur itu tidaklah cukup dengan mengucapkan
alhamdulillah atau dengan sekadar menyadari bahwa nikmat tersebut
datangnya dari Allah l. Bahkan tidak cukup pula meskipun kemudian dia
tunjukkan dengan menghinakan diri serta tidak menyombongkan dirinya
kepada Allah l. Akan tetapi harus dilengkapi dengan mencintai Allah l
dan membuktikan cintanya tersebut dengan menggunakan nikmat-nikmat
tersebut di jalan yang diridhai-Nya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Allah l telah memberitakan dalam ayat-Nya, bahwa keridhaan-Nya
hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bersyukur, sebagaimana
dalam firman-Nya:
“Dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia akan meridhai kalian (dari perbuatan syukur tersebut).” (Az-Zumar: 7)
Oleh karena itu, sudah semestinya bagi orang-orang yang
mengharapkan surga Allah l untuk memperbaiki dirinya dalam bersyukur
kepada Allah l. Karena kalau tidak demikian, maka bisa jadi seseorang
menyangka dirinya telah bersyukur namun ternyata tidak demikian
kenyataannya. Padahal Allah l sebagaimana dalam firman-Nya, telah
membagi manusia menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok orang-orang yang
bersyukur dan kelompok orang-orang yang kufur, sebagaimana tersebut
dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; maka
(manusia) ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al-Insan: 3)
Maka marilah kita berusaha melihat pada diri kita masing-masing.
Pada kelompok yang mana kita berada? Sudahkah kita mensyukuri nikmat
waktu, nikmat sehat, penglihatan, pendengaran, lisan dan lain-lainnya
dengan menggunakannya untuk beribadah di jalan Allah l? Sudahkah kita
mensyukuri nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita, kemudahan dalam
sarana transportasi dan komunikasi serta yang semisalnya untuk digunakan
di jalan Allah l? Ataukah justru sarana tersebut digunakan untuk
bermaksiat kepada Allah l?
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Ingatlah, bahwa nikmat-nikmat Allah l yang dikaruniakan kepada kita
sangat banyak dan kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat
kelak. Oleh karena itu, marilah kita mensyukuri nikmat-nikmat Allah l
dan jangan mengkufurinya. Rasulullah n telah mencontohkan kepada umatnya
dan menganjurkan umatnya untuk mensyukuri nikmat. Tersebut di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim
rahimahumallah dalam Shahih keduanya, melalui jalan sahabat Anas z:
Bahwasanya Nabi n melewati sebiji kurma ketika sedang berjalan, maka
beliau n bersabda:
لَوْلاَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا
“Kalaulah bukan (karena aku takut) kurma tersebut dari shadaqah, sungguh aku akan memakannya.”
Dari satu hadits ini saja, kita bisa mengetahui betapa besarnya
perhatian Nabi n terhadap nikmat Allah l, sehingga tidak membiarkan
meskipun hanya sebiji kurma untuk dibuang dan rusak tanpa dimanfaatkan.
Kalau kita bandingkan dengan keadaan sebagian kita, akan kita dapatkan
perbedaan yang sangat jauh. Makanan yang dibuang sia-sia merupakan
pemandangan yang mungkin setiap hari dijumpai di sebagian rumah kita.
Baik karena berlebihan dalam memasaknya atau membelinya yang kemudian
menjadi rusak dan busuk sehingga kemudian dibuang sia-sia. Padahal
terkadang makanan tersebut bukanlah makanan yang murah harganya atau
mudah mendapatkannya. Sementara di sekitar rumahnya banyak orang-orang
fakir miskin yang tidak memiliki makanan. Sudah semestinya bagi kita
semua untuk berusaha memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada Allah l.
Saudara-saudaraku yang mudah-mudahan dirahmati Allah l,
Ketahuilah, bahwa seseorang apabila tidak mensyukuri nikmat Allah
l, maka dia akan berada pada satu dari dua keadaan. Kemungkinan yang
pertama, Allah l akan mengambil nikmat tersebut darinya dan kemungkinan
yang kedua, nikmat tersebut akan terus bersamanya namun akan menambah
beratnya siksa di akhirat kelak. Maka tentunya kita semua tidak ingin
terjatuh pada salah satu dari kedua keadaan tersebut.
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
dibiarkannya mereka (terus mendapat nikmat) adalah lebih baik bagi
mereka. Sesungguhnya Kami membiarkan mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka nantinya adzab yang
menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)
اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ،
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مَالِكُ يَوْمِ الدِّيْنِ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَهُ بِالْهُدَى
وَدِيْنِ الْحَقِّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْن وَحُجَّةً عَلَى
الْمُعَانِدِيْنَ وَمِنَّةً عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ أَجمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
أيُّهَا النََّاسُ، يَقُوْلَُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كِتَابِِِهِ الكَرِيْم:
ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ
“Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, dan bersyukurlah kalian
kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:
152)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Ketahuilah, bahwa nikmat yang paling besar yang Allah l karuniakan
kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan
pemahaman yang benar. Yaitu memahaminya sebagaimana yang telah diajarkan
oleh Rasulullah n kepada para sahabatnya. Karena seseorang yang telah
mendapatkan nikmat tersebut berarti dia telah mengikuti satu-satunya
jalan yang diridhai oleh Allah l, yang akan mengantarkan dirinya pada
kebahagiaan yang selamanya. Allah l berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Saudara-saudaraku seiman yang semoga senantiasa dirahmati Allah l,
Besarnya nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang
benar tersebut akan dirasakan oleh seseorang, ketika dia melihat
bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat ini. Betapa
banyak orang-orang yang tersesat sehingga mengikuti akidah orang-orang
kafir dan musyrikin. Betapa banyak orang-orang yang menyimpang karena
mengikuti aturan-aturan yang diada-adakan oleh pemimpinnya atau pendiri
kelompoknya sendiri. Begitu pula, betapa banyak orang-orang yang
tersesat karena hanya mengikuti kebiasaan atau tradisi masyarakatnya
yang mengada-adakan amal ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah n dan para sahabatnya. Maka, orang-orang yang benar-benar
mengikuti ajaran Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar,
sungguh dirinya telah diselamatkan oleh Allah l dari berbagai bentuk
kesesatan.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Besarnya nikmat Islam dan hidayah memahami agama Islam dengan benar
juga akan dirasakan manakala seseorang mengetahui janji Allah l bagi
orang-orang yang mendapatkan nikmat ini dan ancaman-Nya bagi orang-orang
yang tidak mendapatkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang
aman. (Yaitu) di dalam taman-taman dan mata air-mata air. Mereka memakai
sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan.
Demikian pula Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka
meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran).
Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia dan
Allah memelihara mereka dari adzab neraka. Sebagai karunia dari Rabbmu.
Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (Ad-Dukhan: 51-57)
Allah l menyebutkan balasan bagi orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat Islam di dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan
seperti makannya binatang-binatang dan neraka Jahannam adalah tempat
tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Maka marilah kita berusaha untuk mensyukuri nikmat yang paling
besar ini. Meskipun nikmat yang lainnya pun tidak boleh disepelekan.
Namun nikmat mengikuti agama Islam merupakan nikmat yang paling besar
dan tidak bisa dikalahkan oleh nikmat apapun. Sekalipun dibandingkan
dengan orang mendapatkan nikmat dunia dan seisinya, namun tidak
mendapatkan nikmat Islam. Marilah kita bersungguh-sungguh dalam
mempelajari dan mengamalkannya. Tidak sekadar mengikuti kebanyakan atau
keumuman orang. Tidak pula dengan mengandalkan semangat tanpa dilandasi
ilmu. Namun harus didasarkan kepada Al-Qur`an dan hadits Nabi n serta
memahami keduanya dengan bimbingan para ulama yang mengikuti jalan
generasi terbaik umat ini. Yaitu jalannya para sahabat Nabi n. Karena
mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari agama ini dari lisan
Rasulullah n dan mengetahui bagaimana Rasulullah n mempraktikkan agama
ini.
Dengan demikian kita akan diselamatkan dari berbagai ajaran yang
menyimpang dan selanjutnya mendapatkan janji Allah l, yaitu kenikmatan
surga pada kehidupan yang selamanya nanti. Wallahu a’lam bish-shawab.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه أَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
ِِ

Status Anak Zina
Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari
Perbuatan Zina”, sebagai berikut:
(Fulanah di Solo)

Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.
Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’[2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an[3] di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya[7].”
Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.
[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
[3] Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah ‘azza wa jalla atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah ‘azza wa jalla atasnya dirinya jika suaminya benar.
[4] Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).
[5] Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.
[6] Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).
[7] Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.
- Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
- Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
- Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?
- Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?
(Fulanah di Solo)

Jawab:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.
Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
- Wanita itu bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat An-Nur: 3:
- Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah[1] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’[2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
- Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لَا
يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ
مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا-
وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli
wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah
bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar
serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits
ini memiliki syawahid/penguat-penguat)- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang
tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik
bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki
syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)- Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah ‘azza wa jalla menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan
oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang
pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih
dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma)Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
- Keduanya tidak saling mewarisi.
- Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
- Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
- Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an[3] di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
- Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya[4]. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim.
- 4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya…. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ …
فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka
pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya
maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu
‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan
guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya[7].”
Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.
[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.
[3] Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah ‘azza wa jalla atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah ‘azza wa jalla atasnya dirinya jika suaminya benar.
[4] Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).
[5] Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.
[6] Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).
[7] Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Al-Bashir
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA)
Al-Bashir (الْبَصِيرُ) adalah salah satu Al-Asma`ul Husna. Allah l menyebut nama-Nya ini dalam beberapa ayat, di antaranya dalam surat An-Nisa` ayat 58:
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Juga dalam Asy-Syura ayat 11:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari z, juga disebutkan:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ n فِي سَفَرٍ فَكُنَّا إِذَا عَلَوْنَا كَبَّرْنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا. ثُمَّ أَتَى عَلَيَّ وَأَنَا أَقُولُ فِي نَفْسِي: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ، قُلْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ -أَوْ قَالَ- أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Kami bersama Nabi n. Bila kami menaiki dataran tinggi, maka kami mengucapkan takbir.1 Maka beliau mengatakan: ‘Wahai manusia kasihilah diri kalian, karena kalian tidaklah menyeru Dzat yang tuli atau jauh, akan tetapi Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat.’
Lalu beliau mendatangiku, sementara aku sedang mengucapkan dalam diriku: ‘La haula wala quwwata illa billah.’ Lalu beliau mengatakan: ‘Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa), ucapkan La haula wala quwwata illa billah. Sesungguhnya itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga.’ Atau beliau mengatakan: ‘Tidakkah kamu mau aku tunjuki salah satu harta kekayaan di surga? La haula wala quwwata illa billah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5905, 7386)
Dengan demikian, maka kita mengimani bahwa salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Bashir (البَصِير), artinya Yang Maha Melihat. Dan dengan demikian, berarti salah satu sifat Allah l adalah Al-Bashar (البَصَر) yakni melihat.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t mengatakan: “Al-Bashir maknanya adalah Yang melihat segala sesuatu walaupun lembut dan kecil. Maka, Ia melihat langkah semut kecil yang hitam di malam yang kelam di atas batu yang keras. Ia juga melihat apa yang di bawah tujuh bumi sebagaimana melihat apa yang di atas langit yang tujuh. Ia juga mendengar dan melihat siapa saja yang berhak mendapatkan balasan-Nya sesuai hikmah-Nya. Dan makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” (Tafsir As-Sa’di)
Dalam ayat dan hadits yang lain, Allah l menyebutkan sifat melihat dengan sebutan ru`yah (يَرَى-رُأْيَةً), sebagaimana Allah l sebutkan dalam surat Thaha ayat 46:
“Allah berkata: Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.”
Dan dalam surat Al-‘Alaq ayat 14:
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
Dalam hadits Nabi n disebutkan:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Malaikat Jibril mengatakan kepada Nabi: ‘Apakah ihsan itu?’ Beliau menjawab: ‘Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu’.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim)
Qiwamussunnah Al-Ashfahani t mengatakan: “Maka, penglihatan Sang Pencipta tidak seperti penglihatan makhluk, dan pendengaran Sang Pencipta tidak seperti pendengaran makhluk… Sehingga Allah k melihat apa yang di bawah tanah dan apa yang di bawah bumi yang ketujuh, serta apa yang di langit-langit yang tinggi. Tidak ada sesuatupun yang luput atau tersembunyi dari pandangan-Nya. Ia melihat apa yang berada di dalam lautan berikut kegelapannya, sebagaimana ia melihat apa yang di langit. Sementara manusia hanya melihat apa yang dekat dengan pandangannya, adapun yang jauh tidak mampu mereka lihat. Dan manusia tidak mampu melihat sesuatu yang tertutupi antara dia dengannya…
Terkadang nama itu sama, akan tetapi maknanya berbeda.” (Al-Hujjah, 1/181)
Allah l menyebutkan pula dalam Al-Qur`an sifat An-Nazhar (النَظَر) yang artinya juga melihat. Firman-Nya:
ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ
“Dan Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat.” (Ali ‘Imran: 77)
Sifat ini juga disebutkan dalam hadits Nabi n, dari Abu Hurairah z, dia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa-rupa dan harta benda kalian, akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim)
Dalam ayat dan hadits yang lain juga disebutkan bahwa Allah l memiliki mata. Dan ini adalah sifat Allah l yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Tentunya mata Allah l sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak sama dengan mata makhluk yang identik dengan kelemahan dan kekurangan. Nama bisa sama, akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah l berfirman:
“Tidaklah ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Tentang sifat ini, telah Allah l sebutkan dalam beberapa ayat:
“Dan buatlah bahtera itu dengan penglihatan mata Kami dan petunjuk Kami.” (Hud: 37)
“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan mata-Ku.” (Thaha: 39)
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan dari Rabbmu, maka sesungguhnya kamu dalam penglihatan mata Kami.” (Ath-Thur: 48)
Dalam hadits Abu Hurairah z disebutkan:
قَرَأَ رَسُولُ اللهِ n:{ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ} فَوَضَعَ إِصْبَعَهُ الدُّعَاءِ عَلىَ عَيْنَيْهِ وَإِبْهَامَهُ عَلىَ أُذُنَيْهِ
“Nabi n membaca ayat ini (artinya): ‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat.’ Lalu beliau meletakkan jari telunjuknya pada kedua matanya dan ibu jarinya pada pada dua telinganya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam Kitabut Tauhid hal. 43, Ad-Darimi dalam Radd ‘alal Marisi hal. 47, Ibnu Hibban no. 265, Al-Baihaqi dalam Al-Asma` wash Shifat no. 390. Dan lafadz hadits di atas adalah lafadz Ad-Darimi t. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Al-Harras t berkata: “Makna hadits ini adalah Allah l mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan mata. Sehingga hadits ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa pendengaran-Nya artinya pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat didengar, dan penglihatan-Nya adalah pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Tanpa diragukan lagi, ini adalah tafsir yang salah. Karena pendengaran dan penglihatan itu maknanya lebih dari sekadar pengetahuan, karena pengetahuan terkadang dapat diperoleh tanpanya.” (Syarh Nuniyyah, 2/72-73)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ اللهَ لَا يَخْفَى عَلَيْكُمْ إِنَّ اللهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى عَيْنِهِ- وَإِنَّ الـْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ
“Sesungguhnya Allah tidak tersamarkan pada kalian. Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah (dan beliau mengisyaratkan kepada matanya). Dan sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal mata sebelah kanannya cacat, seolah matanya sebiji anggur yang menonjol.” (HR. Al-Bukhari no. 4707 dari Ibnu ‘Umar c)
Ibnu Khuzaimah t mengatakan: “Maka wajib atas setiap mukmin untuk menetapkan bagi Penciptanya, Pembentuk rupanya, apa yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta dan Pembentuk rupa untuk diri-Nya, yaitu mata. Adapun selain mukmin, dia menolak dan meniadakan dari Allah l apa yang Allah l tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur`an, dengan keterangan dari Nabi n yang Allah l angkat sebagai penjelas apa yang datang dari-Nya.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Nabi n menerangkan bahwa Allah l memiliki dua mata, maka keterangan beliau sesuai dengan keterangan Al-Qur`an….”
Beliau juga mengatakan: “Dan kami mengatakan: ‘Rabb kami, Sang Pencipta, memiliki dua mata. Dengan keduanya, Ia melihat apa yang berada di bawah tanah dan bahkan di bawah bumi yang ketujuh dan apa yang berada pada langit-langit yang tinggi.”
Demikian pula hal ini diterangkan oleh Al-Lalaka`i t dalam Ushulul I’tiqad.
Ibnu Utsaimin t mengatakan: “Ahlus Sunnah bersepakat bahwa mata Allah l ada dua. Yang mendukung ijma’ (kesepakatan) ini adalah sabda Nabi n tentang Dajjal: ‘Sesungguhnya ia buta sebelah, dan Rabb kalian tidak buta sebelah’.” (‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Buah Mengimani Nama Al-Bashir
Tentu buah mengimani nama ini sangat jelas, yaitu akan menumbuhkan sikap muraqabah pada diri orang yang mengimaninya. Yakni, dia senantiasa merasa diawasi Allah l. Sehingga ia selalu mawas diri dan mempertimbangkan segala langkah yang akan ia tempuh dalam gerak-geriknya.
Sumber Bacaan:
q Shifatullah Al-Waridah fil Kitabi Was Sunnah
q Tafsir As-Sa’di
q Syarh Nuniyyah, dll.
1 Dalam sebagian lafadz: “Sampai kami keraskan suara kami.” (HR. Al-Bukhari, no. 2770)
Al-Bashir (الْبَصِيرُ) adalah salah satu Al-Asma`ul Husna. Allah l menyebut nama-Nya ini dalam beberapa ayat, di antaranya dalam surat An-Nisa` ayat 58:
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Juga dalam Asy-Syura ayat 11:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari z, juga disebutkan:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ n فِي سَفَرٍ فَكُنَّا إِذَا عَلَوْنَا كَبَّرْنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا. ثُمَّ أَتَى عَلَيَّ وَأَنَا أَقُولُ فِي نَفْسِي: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ، قُلْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ -أَوْ قَالَ- أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Kami bersama Nabi n. Bila kami menaiki dataran tinggi, maka kami mengucapkan takbir.1 Maka beliau mengatakan: ‘Wahai manusia kasihilah diri kalian, karena kalian tidaklah menyeru Dzat yang tuli atau jauh, akan tetapi Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat.’
Lalu beliau mendatangiku, sementara aku sedang mengucapkan dalam diriku: ‘La haula wala quwwata illa billah.’ Lalu beliau mengatakan: ‘Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa), ucapkan La haula wala quwwata illa billah. Sesungguhnya itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga.’ Atau beliau mengatakan: ‘Tidakkah kamu mau aku tunjuki salah satu harta kekayaan di surga? La haula wala quwwata illa billah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5905, 7386)
Dengan demikian, maka kita mengimani bahwa salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Bashir (البَصِير), artinya Yang Maha Melihat. Dan dengan demikian, berarti salah satu sifat Allah l adalah Al-Bashar (البَصَر) yakni melihat.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t mengatakan: “Al-Bashir maknanya adalah Yang melihat segala sesuatu walaupun lembut dan kecil. Maka, Ia melihat langkah semut kecil yang hitam di malam yang kelam di atas batu yang keras. Ia juga melihat apa yang di bawah tujuh bumi sebagaimana melihat apa yang di atas langit yang tujuh. Ia juga mendengar dan melihat siapa saja yang berhak mendapatkan balasan-Nya sesuai hikmah-Nya. Dan makna yang terakhir ini kembali kepada hikmah-Nya.” (Tafsir As-Sa’di)
Dalam ayat dan hadits yang lain, Allah l menyebutkan sifat melihat dengan sebutan ru`yah (يَرَى-رُأْيَةً), sebagaimana Allah l sebutkan dalam surat Thaha ayat 46:
“Allah berkata: Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.”
Dan dalam surat Al-‘Alaq ayat 14:
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
Dalam hadits Nabi n disebutkan:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Malaikat Jibril mengatakan kepada Nabi: ‘Apakah ihsan itu?’ Beliau menjawab: ‘Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu’.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim)
Qiwamussunnah Al-Ashfahani t mengatakan: “Maka, penglihatan Sang Pencipta tidak seperti penglihatan makhluk, dan pendengaran Sang Pencipta tidak seperti pendengaran makhluk… Sehingga Allah k melihat apa yang di bawah tanah dan apa yang di bawah bumi yang ketujuh, serta apa yang di langit-langit yang tinggi. Tidak ada sesuatupun yang luput atau tersembunyi dari pandangan-Nya. Ia melihat apa yang berada di dalam lautan berikut kegelapannya, sebagaimana ia melihat apa yang di langit. Sementara manusia hanya melihat apa yang dekat dengan pandangannya, adapun yang jauh tidak mampu mereka lihat. Dan manusia tidak mampu melihat sesuatu yang tertutupi antara dia dengannya…
Terkadang nama itu sama, akan tetapi maknanya berbeda.” (Al-Hujjah, 1/181)
Allah l menyebutkan pula dalam Al-Qur`an sifat An-Nazhar (النَظَر) yang artinya juga melihat. Firman-Nya:
ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ
“Dan Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat.” (Ali ‘Imran: 77)
Sifat ini juga disebutkan dalam hadits Nabi n, dari Abu Hurairah z, dia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa-rupa dan harta benda kalian, akan tetapi melihat kepada kalbu dan amal kalian.” (Shahih, HR. Muslim)
Dalam ayat dan hadits yang lain juga disebutkan bahwa Allah l memiliki mata. Dan ini adalah sifat Allah l yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Tentunya mata Allah l sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak sama dengan mata makhluk yang identik dengan kelemahan dan kekurangan. Nama bisa sama, akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah l berfirman:
“Tidaklah ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Tentang sifat ini, telah Allah l sebutkan dalam beberapa ayat:
“Dan buatlah bahtera itu dengan penglihatan mata Kami dan petunjuk Kami.” (Hud: 37)
“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan mata-Ku.” (Thaha: 39)
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan dari Rabbmu, maka sesungguhnya kamu dalam penglihatan mata Kami.” (Ath-Thur: 48)
Dalam hadits Abu Hurairah z disebutkan:
قَرَأَ رَسُولُ اللهِ n:{ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ} فَوَضَعَ إِصْبَعَهُ الدُّعَاءِ عَلىَ عَيْنَيْهِ وَإِبْهَامَهُ عَلىَ أُذُنَيْهِ
“Nabi n membaca ayat ini (artinya): ‘Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat.’ Lalu beliau meletakkan jari telunjuknya pada kedua matanya dan ibu jarinya pada pada dua telinganya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam Kitabut Tauhid hal. 43, Ad-Darimi dalam Radd ‘alal Marisi hal. 47, Ibnu Hibban no. 265, Al-Baihaqi dalam Al-Asma` wash Shifat no. 390. Dan lafadz hadits di atas adalah lafadz Ad-Darimi t. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Al-Harras t berkata: “Makna hadits ini adalah Allah l mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan mata. Sehingga hadits ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah yang berpendapat bahwa pendengaran-Nya artinya pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat didengar, dan penglihatan-Nya adalah pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Tanpa diragukan lagi, ini adalah tafsir yang salah. Karena pendengaran dan penglihatan itu maknanya lebih dari sekadar pengetahuan, karena pengetahuan terkadang dapat diperoleh tanpanya.” (Syarh Nuniyyah, 2/72-73)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ اللهَ لَا يَخْفَى عَلَيْكُمْ إِنَّ اللهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى عَيْنِهِ- وَإِنَّ الـْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ
“Sesungguhnya Allah tidak tersamarkan pada kalian. Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah (dan beliau mengisyaratkan kepada matanya). Dan sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal mata sebelah kanannya cacat, seolah matanya sebiji anggur yang menonjol.” (HR. Al-Bukhari no. 4707 dari Ibnu ‘Umar c)
Ibnu Khuzaimah t mengatakan: “Maka wajib atas setiap mukmin untuk menetapkan bagi Penciptanya, Pembentuk rupanya, apa yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta dan Pembentuk rupa untuk diri-Nya, yaitu mata. Adapun selain mukmin, dia menolak dan meniadakan dari Allah l apa yang Allah l tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur`an, dengan keterangan dari Nabi n yang Allah l angkat sebagai penjelas apa yang datang dari-Nya.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Nabi n menerangkan bahwa Allah l memiliki dua mata, maka keterangan beliau sesuai dengan keterangan Al-Qur`an….”
Beliau juga mengatakan: “Dan kami mengatakan: ‘Rabb kami, Sang Pencipta, memiliki dua mata. Dengan keduanya, Ia melihat apa yang berada di bawah tanah dan bahkan di bawah bumi yang ketujuh dan apa yang berada pada langit-langit yang tinggi.”
Demikian pula hal ini diterangkan oleh Al-Lalaka`i t dalam Ushulul I’tiqad.
Ibnu Utsaimin t mengatakan: “Ahlus Sunnah bersepakat bahwa mata Allah l ada dua. Yang mendukung ijma’ (kesepakatan) ini adalah sabda Nabi n tentang Dajjal: ‘Sesungguhnya ia buta sebelah, dan Rabb kalian tidak buta sebelah’.” (‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Buah Mengimani Nama Al-Bashir
Tentu buah mengimani nama ini sangat jelas, yaitu akan menumbuhkan sikap muraqabah pada diri orang yang mengimaninya. Yakni, dia senantiasa merasa diawasi Allah l. Sehingga ia selalu mawas diri dan mempertimbangkan segala langkah yang akan ia tempuh dalam gerak-geriknya.
Sumber Bacaan:
q Shifatullah Al-Waridah fil Kitabi Was Sunnah
q Tafsir As-Sa’di
q Syarh Nuniyyah, dll.
1 Dalam sebagian lafadz: “Sampai kami keraskan suara kami.” (HR. Al-Bukhari, no. 2770)
Posting Komentar