Kedudukan Seorang Ibu
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah)
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah k berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:
Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah k berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua
orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada
orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan
Allah k menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam
ayat:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua.”
(An-Nisa`: 36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya
untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang
lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi n bersabda ketika
ditanya oleh seorang sahabatnya:
يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟
قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟
قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk
kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali
bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?”,
tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyanya
lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan
Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata menukilkan ucapan Ibnu
Baththal t, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk
mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang
ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh
karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan
lalu menyusui. Tiga perkara ini dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia
merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam
memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini
terdapat dalam firman Allah l:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua
orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqman: 14)
Allah l menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan
Dia mengkhususkan ibu dengan tiga perkara (mengandung, melahirkan, dan
menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan
untuk berbuat baik kepada kerabat1. Ibu adalah yang paling berhak
mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian
kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sebab didahulukannya ibu adalah
karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di
samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang
dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya,
menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala
sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di t berkata
dalam tafsirnya terhadap surah Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan
kelembutan Allah l terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada
kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat
baik kepada kedua orangtua mereka dengan menujukan kepada keduanya
perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan
nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah l memberikan
peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik
kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang
ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian
kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan
memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang
disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau
dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh
bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu
yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini
dengan firman-Nya:
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233)
dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa minimal masa
kehamilan itu enam bulan. Karena masa menyusui (sebagaimana dinyatakan
dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 empat bulan, pent.).
Bila diambil dua tahun (24 bulan, pent.) dari masa 30 bulan tersisalah
enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran
agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan
lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba
saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun
dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di
situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusuinya kapan saja si
anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita
waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh
kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya
pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain
kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya.
Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan
berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang
menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no.
6461)
Abdullah bin ‘Umar c yang meriwayatkan hadits di atas dari
Rasulullah n mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya.
Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu dengan Abdullah di jalanan
Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai
yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya
sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini
bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang
gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang
sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada
si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi
oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah n
bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang
anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya’.” (HR.
Muslim no. 6460)
Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu.
Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas c, ada seseorang
datang kepada Ibnu Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang
wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada
lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan
lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita
tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas c bertanya, “Apakah
ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut.
“Bertaubatlah kepada Allah k dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu
‘Abbas, ‘Kenapa engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup
atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas c menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu
amalan yang lebih mendekatkan kepada Allah k daripada berbakti kepada
ibu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari t dalam Al-Adabul Mufrad dan
dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Karena berbakti kepada orangtua –khususnya ibu yang sedang menjadi
pembicaraan kita– telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak
membutuhkan perayaan Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan
menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau
memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari
pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat
baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan,
tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan
yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada
budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada
orangtua’ dalam budaya mereka.
Contoh Anak yang Berbakti
Abu Hurairah z dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya
dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar
kepada Allah l. Muhammad bin Sirin t berkata, “Kami sedang berada di
sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya
Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang
memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata,
“Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk
dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari t dalam Al-Adabul
Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani t dalam Shahih
Al-Adabil Mufrad)
Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam. Abu Hurairah
berkisah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam.
Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan
yang kubenci tentang Rasulullah n. Aku mendatangi Rasulullah n dalam
keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku
masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia
memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah
kepada Allah l agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah
n pun berdoa:
اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ
“Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abi Hurairah.”
Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabiullah n. Ketika
tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku
mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata,
“Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara
gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan
kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu
Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha illallah dan bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah n dalam
keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah!
Bergembiralah, sungguh Allah l telah mengabulkan doamu dan memberi
hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah k dan
menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)
Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada
ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani t. Rasulullah n bersabda tentangnya
kepada ‘Umar ibnul Khaththab z, “Suatu saat nanti akan datang kepada
kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia
berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dia terkena penyakit
belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar
dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti
kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah l kabulkan
sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu
maka lakukanlah2.” (HR. Muslim no. 6439)
Haramnya Durhaka kepada Ibu
Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari
berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah n melarang perbuatan durhaka
ini, dalam hadits beliau n:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Durhaka kepada ibu adalah haram dan
termasuk dosa besar, menurut kesepakatan ulama. Betapa banyak hadits
shahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian pula berbuat
durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi
penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah)
karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah.
Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah n tentang siapakah
yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah n menjawab,
“Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang
keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena
kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para
ibu.” (Al-Minhaj, 11/238)
Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat
Sa’d bin Abi Waqqash z menyebutkan bahwa telah turun beberapa ayat
Al-Qur`an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d
(yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selama-lamanya
sampai ia mau meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan
makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah l
mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku
adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang
engkau anut.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengan
melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh
pingsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang
bernama Umarah lalu memberinya minum. Mulailah si ibu mendoakan
kejelekan untuk Sa’d. Allah k pun menurunkan dalam Al-Qur`an, ayat
berikut:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)
“Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….”
Dalam ayat tersebut dinyatakan:
“Maka janganlah engkau menaati keduanya dan bergaullah kepada
keduanya di dunia dengan ma’ruf.” (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)
Rasulullah n bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu
dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no.
4742)
Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Musyrik
Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik
dengan ibunya yang berbeda agama dengannya alias kafir. Karena Allah k
berfirman:
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula
mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian
menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena
agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain
untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai
kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Mumtahanah: 8-9)
Asma bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq c berkata:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّيْ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ n فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n قُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ
وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ
“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrikah di masa
perjanjian Rasulullah n (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa
kepada Rasulullah n. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta
baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan putrinya. Apakah aku
boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah n menjawab, “Iya,
sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim
no. 2322)
Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah k yang menyatakan:
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah:
22)
Juga ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan
bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka
lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di
antara kalian yang berloyalitas dengan mereka maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 23)
Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak
mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata
dalam tafsir ayat-ayat ahkam sebagaimana dinukil oleh ‘Athiyyah Muhammad
Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154),
“Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku
adil, berbicara lembut dan surat-menyurat, dengan hukum Allah l tidaklah
termasuk loyalitas yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang
yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` (loyalitas) karena
permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu
dibolehkan Allah k dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang
musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah l menyebutkan
tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin,
kepada mereka ini kita dilarang untuk berloyalitas apabila bentuk
loyalitas tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Kemudian berbakti, menyambung
hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan
sayang-menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya: ‘Engkau tidak akan
mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’
Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang
tidak memerangi.” (Fathul Bari)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah n menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْناَكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian
kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.”
(HR. Muslim no. 6448)
2 Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Hadits Uwais ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua….” (Al-Minhaj, 16/312)
Khaulah Bintu Hakim
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirahman bintu ‘Imran)
Khaulah bintu Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin Al-Auqash bin Murrah bin Hilal bin Falij bin Tsa’labah bin Dzakwan bin Imri`il Qais bin Buhtsah bin Sulaim As-Sulamiyyah x, dikenal pula dengan kunyahnya, Ummu Syarik. Ibunya adalah Dha’ifah bintu Al-’Ash bin Umayyah bin ‘Abdi Syams.
Dialah yang turut mengantarkan Saudah bintu Zam’ah dan ‘Aisyah bintu Abi Bakr c ke dalam rumah tangga Rasulullah n, sebagai ummahatul mukminin. Ketika Khadijah bintu Khuwailid x meninggal, Khaulah menemui Rasulullah n yang sedang dirundung duka. “Wahai Rasulullah,” katanya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi?” “Dengan siapa?” “Kalau engkau menghendaki, ada yang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada yang janda,” jawab Khaulah. “Siapa yang gadis dan siapa yang janda?” “Yang gadis, ‘Aisyah, putri seseorang yang paling engkau cintai. Sedangkan yang janda, Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikutimu,” jelas Khaulah. “Pinangkanlah mereka berdua untukku,” utus Rasulullah n.
Khaulah pun mendatangi Ummu Ruman, ibu ‘Aisyah. “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan berkah apa kiranya yang akan Allah k datangkan bagi kalian?” “Apa itu?” tanya Ummu Ruman. “Rasulullah n meminang ‘Aisyah,” jawab Khaulah.
“Tunggu sebentar! Sebentar lagi Abu Bakr datang,” kata Ummu Ruman.
Tak lama, Abu Bakr pun datang. Khaulah pun menyampaikan maksudnya kepada Abu Bakr. “Apakah ‘Aisyah pantas menikah dengan beliau, sementara ‘Aisyah adalah anak saudaranya?” tanya Abu Bakr. Ketika Khaulah menyampaikan pertanyaan ini kepada Rasulullah n, beliau pun menjawab, “Aku saudaranya dan dia saudaraku, dan putrinya boleh menikah denganku.”
“Sesungguhnya Al-Muth’im bin ‘Adi pernah meminang ‘Aisyah untuk anaknya. Sungguh, aku tidak bisa menyelisihi janji,” kata Ummu Ruman pada Khaulah. Abu Bakr pun segera menemui Al-Muth’im. “Bagaimana pandanganmu tentang urusan anak gadis ini?” tanya Abu Bakr. Al-Muth’im memandang istrinya sambil bertanya, “Apa yang akan kau katakan?” Istri Al-Muth’im memandang Abu Bakr. “Sepertinya kalau kami nikahkan anak kami dengan anak perempuanmu, engkau akan memasukkan anak kami dalam agamamu,” kata istri Al-Muth’im. Abu Bakr mengalihkan pandangan pada Al-Muth’im, “Kau sendiri, apa yang hendak kau katakan?” “Dia telah mengatakan apa yang sudah kau dengar tadi,” jawab Al-Muth’im.
Abu Bakr segera beranjak pergi. Sekarang, tak ada janji apa pun yang harus dia penuhi dengan Al-Muth’im. “Katakan pada Rasulullah, dia bisa datang,” kata Abu Bakr pada Khaulah. Rasulullah n pun datang dan menikah dengan ‘Aisyah.
Khaulah bintu Hakim, salah seorang di antara para shahabiyah yang pernah menghibahkan dirinya kepada Rasulullah n, namun kemudian dinikahi oleh seorang shahabat, ‘Utsman bin Mazh’un z.
Dalam perjalanan rumah tangganya dengan ‘Utsman bin Mazh’un z, ada satu peristiwa yang memberikan banyak faedah bagi kaum muslimin. Suatu hari, Khaulah x mendatangi ‘Aisyah x dengan penampilan yang kusut dan jelek. ‘Aisyah merasa heran melihatnya, “Mengapa keadaanmu seperti itu?” “Suamiku selalu menegakkan shalat sepanjang malam dan selalu berpuasa di siang hari,” jawab Khaulah menjelaskan keadaannya. Ketika Rasulullah n datang, ‘Aisyah menceritakan keadaan Khaulah kepada beliau. Rasulullah n pun menemui ‘Utsman seraya menasihati, “Wahai ‘Utsman, sesungguhnya rahbaniyyah1 itu tidak ditetapkan bagi kita. Pada diriku ini ada contoh yang baik untukmu. Demi Allah, aku ini orang yang paling takut dan paling menjaga batasan-batasan Allah k.”
Dia pernah meriwayatkan ilmu dari Rasulullah n. Banyak yang mengambil ilmu darinya. Di antaranya Sa’d bin Abi Waqqash z tentang hadits ta’awwudz (meminta perlindungan kepada Allah k) dengan kalimat-kalimat Allah l yang sempurna ketika singgah di suatu tempat dalam perjalanan. Juga Sa’id ibnul Musayyab, Busr bin Sa’id, dan ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam.
Khaulah bintu Hakim x, seorang wanita shalihah dan penuh keutamaan. Semoga Allah l meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
• Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/116-117)
• Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/514-515)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (10/152)
• Siyar A’lamin Nubala’, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (1/157-158, 2/149-150)
1 Rahbaniyyah adalah cara hidup kependetaan yang berasal dari Nasrani, dengan menjauhi kesibukan dunia, meninggalkan segala kesenangan dunia, merasa tidak butuh terhadap dunia, menjauhkan diri dari istri dan keluarganya. Sampai-sampai di antara mereka ada yang mengebiri dirinya, memasang rantai di lehernya, maupun bentuk-bentuk penyiksaan diri lainnya.
Khaulah bintu Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin Al-Auqash bin Murrah bin Hilal bin Falij bin Tsa’labah bin Dzakwan bin Imri`il Qais bin Buhtsah bin Sulaim As-Sulamiyyah x, dikenal pula dengan kunyahnya, Ummu Syarik. Ibunya adalah Dha’ifah bintu Al-’Ash bin Umayyah bin ‘Abdi Syams.
Dialah yang turut mengantarkan Saudah bintu Zam’ah dan ‘Aisyah bintu Abi Bakr c ke dalam rumah tangga Rasulullah n, sebagai ummahatul mukminin. Ketika Khadijah bintu Khuwailid x meninggal, Khaulah menemui Rasulullah n yang sedang dirundung duka. “Wahai Rasulullah,” katanya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi?” “Dengan siapa?” “Kalau engkau menghendaki, ada yang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada yang janda,” jawab Khaulah. “Siapa yang gadis dan siapa yang janda?” “Yang gadis, ‘Aisyah, putri seseorang yang paling engkau cintai. Sedangkan yang janda, Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikutimu,” jelas Khaulah. “Pinangkanlah mereka berdua untukku,” utus Rasulullah n.
Khaulah pun mendatangi Ummu Ruman, ibu ‘Aisyah. “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan berkah apa kiranya yang akan Allah k datangkan bagi kalian?” “Apa itu?” tanya Ummu Ruman. “Rasulullah n meminang ‘Aisyah,” jawab Khaulah.
“Tunggu sebentar! Sebentar lagi Abu Bakr datang,” kata Ummu Ruman.
Tak lama, Abu Bakr pun datang. Khaulah pun menyampaikan maksudnya kepada Abu Bakr. “Apakah ‘Aisyah pantas menikah dengan beliau, sementara ‘Aisyah adalah anak saudaranya?” tanya Abu Bakr. Ketika Khaulah menyampaikan pertanyaan ini kepada Rasulullah n, beliau pun menjawab, “Aku saudaranya dan dia saudaraku, dan putrinya boleh menikah denganku.”
“Sesungguhnya Al-Muth’im bin ‘Adi pernah meminang ‘Aisyah untuk anaknya. Sungguh, aku tidak bisa menyelisihi janji,” kata Ummu Ruman pada Khaulah. Abu Bakr pun segera menemui Al-Muth’im. “Bagaimana pandanganmu tentang urusan anak gadis ini?” tanya Abu Bakr. Al-Muth’im memandang istrinya sambil bertanya, “Apa yang akan kau katakan?” Istri Al-Muth’im memandang Abu Bakr. “Sepertinya kalau kami nikahkan anak kami dengan anak perempuanmu, engkau akan memasukkan anak kami dalam agamamu,” kata istri Al-Muth’im. Abu Bakr mengalihkan pandangan pada Al-Muth’im, “Kau sendiri, apa yang hendak kau katakan?” “Dia telah mengatakan apa yang sudah kau dengar tadi,” jawab Al-Muth’im.
Abu Bakr segera beranjak pergi. Sekarang, tak ada janji apa pun yang harus dia penuhi dengan Al-Muth’im. “Katakan pada Rasulullah, dia bisa datang,” kata Abu Bakr pada Khaulah. Rasulullah n pun datang dan menikah dengan ‘Aisyah.
Khaulah bintu Hakim, salah seorang di antara para shahabiyah yang pernah menghibahkan dirinya kepada Rasulullah n, namun kemudian dinikahi oleh seorang shahabat, ‘Utsman bin Mazh’un z.
Dalam perjalanan rumah tangganya dengan ‘Utsman bin Mazh’un z, ada satu peristiwa yang memberikan banyak faedah bagi kaum muslimin. Suatu hari, Khaulah x mendatangi ‘Aisyah x dengan penampilan yang kusut dan jelek. ‘Aisyah merasa heran melihatnya, “Mengapa keadaanmu seperti itu?” “Suamiku selalu menegakkan shalat sepanjang malam dan selalu berpuasa di siang hari,” jawab Khaulah menjelaskan keadaannya. Ketika Rasulullah n datang, ‘Aisyah menceritakan keadaan Khaulah kepada beliau. Rasulullah n pun menemui ‘Utsman seraya menasihati, “Wahai ‘Utsman, sesungguhnya rahbaniyyah1 itu tidak ditetapkan bagi kita. Pada diriku ini ada contoh yang baik untukmu. Demi Allah, aku ini orang yang paling takut dan paling menjaga batasan-batasan Allah k.”
Dia pernah meriwayatkan ilmu dari Rasulullah n. Banyak yang mengambil ilmu darinya. Di antaranya Sa’d bin Abi Waqqash z tentang hadits ta’awwudz (meminta perlindungan kepada Allah k) dengan kalimat-kalimat Allah l yang sempurna ketika singgah di suatu tempat dalam perjalanan. Juga Sa’id ibnul Musayyab, Busr bin Sa’id, dan ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam.
Khaulah bintu Hakim x, seorang wanita shalihah dan penuh keutamaan. Semoga Allah l meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
• Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/116-117)
• Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/514-515)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (10/152)
• Siyar A’lamin Nubala’, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (1/157-158, 2/149-150)
1 Rahbaniyyah adalah cara hidup kependetaan yang berasal dari Nasrani, dengan menjauhi kesibukan dunia, meninggalkan segala kesenangan dunia, merasa tidak butuh terhadap dunia, menjauhkan diri dari istri dan keluarganya. Sampai-sampai di antara mereka ada yang mengebiri dirinya, memasang rantai di lehernya, maupun bentuk-bentuk penyiksaan diri lainnya.
Anak dan Televisi
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Seorang anak kecil nampak asyik menyimak adegan demi adegan film kartun kesukaannya. Adzan maghrib yang berkumandang pun tak membuatnya beranjak dari depan layar kaca. Sementara orangtuanya pun merasa ‘tak berkeberatan’ dengan itu semua. Bahkan terkadang ikut nimbrung menikmati hiburan anaknya.
Seorang anak kecil nampak asyik menyimak adegan demi adegan film kartun kesukaannya. Adzan maghrib yang berkumandang pun tak membuatnya beranjak dari depan layar kaca. Sementara orangtuanya pun merasa ‘tak berkeberatan’ dengan itu semua. Bahkan terkadang ikut nimbrung menikmati hiburan anaknya.
Gambaran di atas adalah potret keseharian yang banyak terjadi di
kalangan keluarga muslim. Televisi telah menjadi bagian terpenting dalam
hidup mereka. Ada orangtua yang justru merasa ‘kurang’ bila di rumahnya
tidak ada televisi. Mereka khawatir, anaknya tidak akan memiliki
pengetahuan yang luas dan aktual. Bahkan khawatir anaknya tidak akan
mendapat cukup hiburan.
Berbagai produk elektronik canggih pun berebut masuk dalam rumah
tangga. Televisi dengan layar super lebar, perangkat home theatre, VCD
player dan berbagai kerabatnya, membuat suasana rumah bak gedung sinema.
Atau televisi paling mungil yang bisa ditenteng ke mana-mana. Semuanya
menghadirkan ‘hiburan’, bagi anak-anak sekalipun.
Inilah kenyataan pahit yang tak disadari oleh sebagian besar kaum
muslimin. Padahal kenyataan sudah berbicara, betapa banyak anak terdidik
oleh keyakinan yang rusak melalui film-film kartun (dan juga jenis
sinema lainnya). Mereka merasa ‘aman-aman saja’. Bahkan mereka merasa
mampu meng-counter segala dampak negatif yang diusung oleh media semacam
televisi. Dengan membatasi waktu menonton anak, dengan memilihkan acara
yang tepat untuk anak, dengan mendampingi si anak di depan televisi,
dan segudang “kiat” lainnya. Namun di balik rasa aman yang mereka
miliki, rupanya ada hal-hal yang terlewatkan dari benak mereka.
Masuknya Gambar Makhluk Bernyawa di dalam Rumah
Sebenarnya, dengan memasukkan peranti elektronik seperti ini,
berarti dia memasukkan gambar-gambar makhluk bernyawa di dalam rumahnya.
Sementara Rasulullah n melarang dari hal ini. Jabir z meriwayatkan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ n عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ
“Rasulullah n melarang memasukkan gambar (makhluk hidup) ke dalam
rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.” (HR. At-Tirmidzi no.
1749, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
‘Aisyah x meriwayatkan pula bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَيُقَالُ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَقَالَ :إِنَّ البَيْتَ الَّذِي
فِيْهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Sesungguhnya pembuat gambar-gambar (makhluk bernyawa) seperti ini
akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa
yang kalian ciptakan ini!’.” Beliau n juga bersabda, “Sesungguhnya rumah
yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa) tidak akan
dimasuki oleh malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 2107)
Sama saja hukumnya, baik gambar itu di atas kertas ataupun di layar
televisi. Hal ini pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i t dan beliau memberikan jawaban:
“…Dan pembahasan tentang gambar ini (gambar di televisi, pen.),
apakah diharamkan atau tidak, yang kami yakini dan kami pegangi dalam
beragama kepada Allah k, gambar seperti ini haram, walaupun sekiranya
tidak ada dalil lain selain hadits qiram1. Yaitu hadits ‘Aisyah x yang
ada dalam Ash-Shahihain, bahwa ‘Aisyah pernah menutup ruangan kecil di
rumahnya dengan qiram (tirai tipis) yang bergambar (makhluk hidup).
Sementara qiram ini hanyalah salah satu jenis kain. Lalu Nabi n masuk
dan melihat qiram itu, atau hendak masuk kemudian melihat qiram itu.
Maka beliau pun enggan untuk masuk dan berubah wajahnya seraya berkata,
“Wahai ‘Aisyah, tidakkah kau tahu bahwa orang yang paling berat azabnya
pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat gambar-gambar seperti
ini?”
Juga pada kali yang lain, beliau hendak masuk. Tiba-tiba beliau
melihat dua buah bantal yang bergambar (makhluk hidup). Beliau pun
mengambil dua bantal itu dan menyobek gambar yang ada padanya.
Oleh karena itu, gambar makhluk bernyawa termasuk hal yang
diharamkan, baik gambar itu ada di kertas, televisi, ataupun video….”
(Ijabatus Sa`il, hal. 246)
Mendengarkan Musik dan Nyanyian
Ketika menyaksikan tayangan televisi ataupun film, mereka pun
takkan lepas dari mendengarkan musik dan nyanyian. Sementara musik dan
nyanyian ini jelas-jelas telah diharamkan oleh Allah k dan Rasul-Nya n.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang membeli perkataan yang sia-sia
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa ilmu dan ia
menjadikannya sebagai permainan.” (Luqman: 6)
Rasulullah n telah pula memperingatkan dalam sabda beliau yang
diriwayatkan oleh Abu ‘Amir Al-Asy’ari dan Abu Malik Al-Asy’ari c:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada di kalangan umatku kaum yang menganggap halal
zina, sutra (bagi laki-laki), khamr, dan alat musik.” (HR. Al-Bukhari
no. 5590)
Melalaikan Anak-anak dari Shalat
Menanamkan kewajiban shalat sejak masa kanak-kanak merupakan
perintah Rasulullah n. Sebagaimana dalam sabda beliau yang disampaikan
oleh ‘Amr ibnul ‘Ash z:
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا لِعَشْرِسِنِيْنَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia
tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia
sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR.
Ahmad no. 6756 dan dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5744, “Hadits ini hasan.”)
Namun pendidikan ini seringkali dirusak oleh sesuatu yang bernama
televisi. Yang banyak terjadi, ketika tiba waktu shalat anak-anak enggan
meninggalkan tayangan yang sedang asyik disaksikan untuk melaksanakan
shalat. Mereka lebih suka mengundurkan shalatnya hingga tayangan itu
tuntas. Atau kalaupun mereka pergi menunaikannya, hati mereka terpaut
dengan tayangan tadi, sehingga melaksanakan shalat secepat kilat untuk
kemudian duduk kembali di depan televisi. Jika demikian, dari mana
mereka akan mendapat ketenangan dan kekhusyukan dalam shalat? Sementara
Allah k berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Menyia-nyiakan Waktu
Semestinya anak-anak dibiasakan memanfaatkan waktu untuk melakukan
berbagai amalan shalih yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di
akhirat; menghafal Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah n, membaca
berbagai buku yang bermanfaat seperti tentang kehidupan Rasulullah n dan
para sahabat g, membantu aktivitas orangtua, dan banyak hal lagi.
Namun televisi dan berbagai ‘kerabat’nya menayangkan sajian-sajian
yang ‘sangat menarik’. Akibatnya, anak cenderung menghabiskan waktu
untuk kegiatan yang tidak ada manfaatnya. Padahal dalam sabdanya yang
disampaikan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas c, Rasulullah n telah
mengingatkan:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang sebagian besar manusia terlena di dalamnya, kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412)
Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan, tidak mungkin
mengisi waktu luang mereka dan anak-anak mereka tanpa televisi. Ini
adalah anggapan yang jelas salah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin t menasihatkan:
“Menyibukkan waktu tanpa televisi merupakan suatu hal yang mungkin
dilakukan. Saya tidak perlu menjelaskan (apa saja yang bisa dilakukan,
pen.) karena setiap orang tentu lebih paham dengan dirinya sendiri. Bisa
saja dia menyibukkan diri dengan menjahit jika dia seorang wanita, atau
membaca, mengunjungi perpustakaan, dan sebagainya. Kalau dia biasa
berniaga, maka dia sibukkan waktunya dengan perniagaan. Kalau dia
bekerja sebagai penjaga, maka dia sibukkan waktunya dengan penjagaan.
Intinya, setiap orang bisa menyibukkan diri dan waktunya dengan segala
sesuatu yang bermanfaat, serta tidak menyia-nyiakannya tanpa faedah.”
(Fatawa ‘Ulama` Al-Baladil Haram, hal. 1246)
Mengajarkan Nilai-nilai Negatif pada Anak
Terkadang orangtua menganggap, melihat televisi tidaklah buruk bagi
anak, karena –anggapan mereka– anak belum mengerti apa yang dilihat.
Mereka tidak menyadari, anak lebih mudah dipengaruhi oleh apa yang
dilihat daripada orang dewasa. Anak mempunyai kecenderungan untuk
meniru. Mereka meniru apa saja yang mereka lihat, termasuk dari
televisi. Sementara berbagai tayangan televisi menampilkan hal-hal yang
tidak dibenarkan oleh syariat yang mulia ini. Ungkapan-ungkapan kasar,
umpatan, bahkan adegan kekerasan dan kejahatan tergambar dengan nyata di
layar kaca.
Bila hal ini berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan
menumpulkan kepekaan anak. Akibatnya, mereka akan menerima
perilaku-perilaku buruk itu sebagai pola hidupnya. Wal ‘iyadzu billah!
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah menasihatkan
kepada pada pendidik –termasuk orangtua tentunya– berkaitan dengan hal
ini:
“Seorang pendidik haruslah memahamkan anak didiknya tentang
kejelekan bioskop, televisi, maupun video, serta menjelaskan bahaya
film-film asusila yang dapat menyirnakan keutamaan dan keberanian dari
jiwa mereka serta mengajarkan pencurian maupun berbagai tindak kriminal.
Betapa banyak pencuri dan penjahat yang mengetahui berbagai cara
berbuat kriminal dari tayangan film di bioskop atau televisi.
Kisah-kisah nyata tentang hal ini dapat kita saksikan….”
“…Seorang pendidik mestinya menjelaskan semua ini kepada anak
didiknya, serta menerangkan pula, seandainya mereka membeli buku yang
berisi ilmu atau kisah yang berfaedah, tentu ini jauh lebih baik….”
(Nida` ilal Murabbiyin wal Murabbiyat, hal. 79)
Masih banyak sisi-sisi negatif televisi yang belum terungkap di
sini. Yang jelas, dibanding satu dua manfaat yang ada, dampak negatif
televisi jauh lebih besar. Lebih-lebih lagi berbagai keharaman yang
terkandung di dalamnya. Sudah semestinya kita, orangtua, bertakwa kepada
Allah k dalam urusan anak-anak kita. Karena nanti kita akan ditanya
tentang mereka pada hari kiamat. Semogalah kita ingat firman Allah k:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga
kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, di
dalamnya terdapat malaikat-malaikat yang keras lagi kasar, yang tidak
pernah mendurhakai Allah dalam apa yang diperintahkan pada mereka, dan
mereka melaksanakan apa yang diperintahkan pada mereka.” (At-Tahrim: 6)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Meninggalkan Istri
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Terpisahnya jarak antara suami dengan istrinya adalah hal lumrah. Terlebih karena didesak oleh kebutuhan dan situasi yang syar’i. Namun demikian seyogianya suami tidak meninggalkan istrinya untuk waktu yang sangat lama. Sebaliknya juga, dibutuhkan kesabaran seorang istri manakala situasi menuntut yang demikian.
Terpisahnya jarak antara suami dengan istrinya adalah hal lumrah. Terlebih karena didesak oleh kebutuhan dan situasi yang syar’i. Namun demikian seyogianya suami tidak meninggalkan istrinya untuk waktu yang sangat lama. Sebaliknya juga, dibutuhkan kesabaran seorang istri manakala situasi menuntut yang demikian.
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami untuk bergaul dengan
istrinya dengan ma’ruf. Karena Allah k memerintahkan dalam firman-Nya
yang agung:
“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Hak untuk mendapatkan pergaulan dengan ma’ruf ini merupakan hak
yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya. Sebagaimana pula seorang
istri dituntut untuk berlaku demikian terhadap suaminya karena istri pun
punya kewajiban. Sebagaimana Allah k berfirman:
“Mereka (para istri) punya hak yang sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Al-Qasimi t berkata dalam tafsirnya, “Dalam ayat di atas
Allah l menetapkan adanya hak seorang istri terhadap suaminya, seperti
halnya suami punya hak yang harus ditunaikan istrinya. Maka
masing-masingnya melaksanakan apa yang semestinya mereka tunaikan untuk
pasangannya dengan cara yang ma’ruf.” (Mahasinut Ta`wil, 2/175)
Termasuk bergaul dengan ma’ruf adalah seorang suami tidak bepergian
meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama. Adalah merupakan hak istri
untuk menikmati pergaulan suaminya, sebagaimana seorang suami menikmati
pergaulan dengan istrinya. Namun terkadang sepasang suami istri
terpaksa “berpisah” dalam waktu lama dengan alasan suami harus mencari
pekerjaan di kota lain, atau bahkan di luar negeri untuk menghidupi
keluarganya. Atau suami harus bepergian lama dengan alasan tugas/dinas,
atau suami merantau ke negeri orang dalam rangka mencari ilmu. Lalu
timbullah pertanyaan, bolehkah hal ini dilakukan oleh suami? Berdosakah
dia?
Bila perginya si suami karena menunaikan kewajiban yang khusus
baginya atau yang berkaitan dengan istrinya atau kepentingan umum bagi
dirinya dan bagi umat, maka tidak ada dosa bagi si suami. Demikian pula
bila ia pergi dalam waktu lama tanpa udzur dan bukan karena menunaikan
kewajiban namun istrinya ridha, ia tidaklah berdosa. Akan tetapi bila
istrinya tidak ridha maka si suami berdosa dan pantas mendapatkan
hukuman. Karena dia telah menyia-nyiakan kewajiban dalam hidup
berkeluarga. Walaupun si istri tercukupi dari sisi penghasilan, pakaian,
tempat tinggal dan makanan, namun ia juga punya hak untuk memperoleh
nafkah batin. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 606, 19/338)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata, “Bila seorang
istri ridha dengan kepergian suami walaupun dalam masa yang lama, maka
itu merupakan hak istri. Si suami tidaklah berdosa. Namun dengan syarat
si suami meninggalkan istrinya di tempat aman, yang tidak dikhawatirkan
akan terjadi apa-apa pada istrinya. Apabila seorang suami pergi jauh
untuk mencari rizki dalam keadaan istrinya ridha maka suami tersebut
tidak berdosa walaupun ia tidak pulang hingga dua tahun atau lebih.
Adapun bila si istri menuntut haknya agar suaminya kembali/pulang, maka
perkaranya dalam hal ini dikembalikan kepada mahkamah syar’iyah. Apa
yang ditetapkan mahkamah syar’iyah maka itulah yang dilaksanakan.”
(Fatawa Nurun ‘Alad Darb, hal. 17)
Dengan demikian, bila istri ridha untuk sementara berjauhan dengan
suaminya baik dalam waktu singkat ataupun waktu yang lama, dan
masing-masing dapat menjaga kehormatan diri, maka tidak ada dosa bagi
keduanya. Namun bila si istri khawatir dirinya atau suaminya akan
terjatuh ke dalam fitnah meski ada kebutuhan untuk mencari penghidupan,
ia bisa menuntut untuk berkumpul kembali dalam rangka menjaga kehormatan
diri dan menjaga kemaluan. Akan tetapi bila si suami enggan untuk
segera kembali, istri dapat mengangkat perkaranya kepada hakim agama
(mahkamah syar’iyah) agar memutuskan perkara antara dia dan suaminya
sesuai dengan apa yang Allah k syariatkan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah,
fatwa no. 1545, 19/339, 340)
Berapa Lama Seorang Suami Diperkenankan Meninggalkan Istrinya?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Batasan yang ditetapkan secara syar’i tentang perginya suami
meninggalkan istrinya adalah selama empat bulan, tidak boleh lebih.
Kecuali bila si istri ridha, dengan catatan aman dari fitnah baik bagi
si istri maupun bagi si suami. Terkecuali orang yang dipaksa oleh
keadaan darurat untuk pergi dalam waktu yang lama, maka ia diberi udzur
karenanya.
Dalam masa kepergiannya itu, ketika memungkinkan bagi si suami
untuk kembali guna bertemu istrinya, menjaganya dan menunaikan
kebutuhannya maka wajib baginya untuk kembali. Khususnya di zaman kita
ini, yang banyak terjadi fitnah dan perkara-perkara menipu yang dapat
merusak akhlak. Maka tidak sepantasnya suami berjauhan dari istrinya
kecuali karena kebutuhan dan karena darurat disertai keinginan yang
besar untuk cepat-cepat menyelesaikan keperluan lalu segera kembali
kepada istri sesuai kesempatan yang ada.” (Al-Muntaqa min Fatawa
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/248)
Sebagaimana yang kita maklumi, seorang istri tidak hanya berhak
mendapatkan nafkah lahir, namun juga nafkah batin. Sehingga seorang
suami tidak cukup sekadar mencukupi kebutuhan lahiriah istrinya berupa
sandang, pangan, dan papan. Namun juga harus menaruh perhatian terhadap
kebutuhan batin istrinya. Bila ia bepergian dalam waktu lama berarti
kebutuhan yang satu ini akan terabaikan. Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts
Al-’Ilmiyyah wal Ifta`(Komisi Tetap untuk Pembahasan dan Fatwa, Dewan
Ulama Besar, KSA) yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baz t, ketika ditanya tentang berapa lama seorang
istri harus bersabar ditinggalkan suaminya tanpa memperoleh nafkah
batin, memberikan jawaban, “Masa yang mungkin bagi seorang istri untuk
bersabar dalam masalah jima’ secara umum adalah empat bulan. Empat bulan
ini adalah masa yang ditetapkan secara syar’i bagi seorang yang
meng-ilaa` istrinya, yaitu suami yang bersumpah tidak akan menggauli
istrinya. Waktu empat bulan ini lebih pantas ditetapkan sebagai batasan
waktu seorang istri dapat bersabar tidak mendapat nafkah batin dari
suaminya. Allah k berfirman:
“Bagi orang-orang (para suami) yang meng-ilaa` istrinya diberi
tangguh empat bulan. Kemudian bila mereka kembali kepada istrinya (mau
kembali menggauli istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha penyayang.” (Al-Baqarah: 226) [Fatwa no. 606, 19/338, 339]
Diriwayatkan sebuah atsar dari Umar ibnul Khathathab z saat beliau
menjadi Amirul Mukminin. Dikisahkan, suatu malam Umar mengelilingi kota
Madinah guna memeriksa keadaan rakyatnya. Bertepatan ketika melewati
sebuah rumah, Umar mendengar suara seorang wanita yang sedang
mendendangkan syair:
Amat panjangnya malam ini dan tertutup sisinya
Ia menaruh belas kasihan kepadaku karena tidak ada teman berbaring yang kudapat bersenda gurau dengannya
Aku bersenda gurau dengannya setingkat demi setingkat
Seakan-akan bulan yang memunculkan alisnya dalam kegelapan malam
Orang yang bermain dengannya dibuat senang karena berdekatan dengannya
Lunak pangkuannya, tidak dimiliki oleh kerabatnya
Maka demi Allah, seandainya bukan karena Allah, aku tidak peduli dengan selain-Nya
Niscaya akan bergerak sisi-sisi tempat tidur ini
Akan tetapi aku takut dengan malaikat yang dekat yang ditugasi mencatat amal diri-diri kita
Pencatat amal itu tidak pernah berhenti mencatat sepanjang masa
Karena takut kepada Rabbku dan juga rasa malu menahanku
Demikian pula karena memuliakan suamiku untuk dicapai martabatnya
Umar pun menanyakan kepada orang-orang tentang siapa wanita
tersebut. Dikabarkan kepada Umar, wanita itu adalah Fulanah yang
suaminya sedang pergi jauh untuk berperang fi sabilillah. Maka ‘Umar pun
mengirim utusan untuk memanggil suami wanita itu agar pulang menjumpai
istrinya. Kemudian Umar masuk ke tempat putrinya, Hafshah c untuk
bertanya, “Wahai putriku, berapa lama seorang wanita dapat bersabar
berpisah dengan suaminya dan tidak bergaul dengan suaminya?”
Hafshah menjawab, “Subhanallah, orang yang semisal ayah bertanya kepadaku tentang perkara seperti ini?”
“Kalaulah bukan karena ingin memerhatikan urusan kaum muslimin, aku tidak akan bertanya kepadamu,” tukas Umar.
“Lima bulan… dan bisa juga enam bulan,” Hafshah menjelaskan.
Setelah mendapatkan keterangan dari putrinya, ‘Umar pun menetapkan
waktu peperangan bagi pasukannya selama enam bulan. Dengan perincian
mereka berjalan selama sebulan, tinggal di tempat peperangan empat bulan
dan berjalan pulang selama sebulan. (Tuhfatul ‘Arus, Al-Istambuli, hal.
200)
Bila ada yang bertanya, apakah dengan meninggalkan istri dalam
waktu bertahun-tahun berarti telah jatuh talak kepada si istri, dan
ketika suaminya kembali dari bepergiannya tersebut harus menjalin akad
nikah yang baru? Maka dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts
Al-’Ilmiyyah wal Ifta’, “Meninggalkan istri dalam waktu sekian lama
tersebut tidaklah teranggap jatuh talak kepada si istri, sehingga jelas
tidak butuh akad nikah yang baru bila si suami kembali kepada istrinya.”
(Fatwa no. 9822, 19/341)
Seorang penanya mengajukan permasalahannya kepada Asy-Syaikh Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, “Saya tinggal di Sudan. Ketika
berusia 17 tahun, saya menikahi seorang gadis. Setelah menikahinya saya
hanya sempat mendampinginya selama tiga bulan karena saya harus safar ke
Libia dalam rangka mencari rizki yang halal. Sekarang telah lewat masa
dua tahun, saya belum juga dapat kembali ke negara saya dan kepada istri
saya karena tidak punya biaya untuk pulang, karena musibah kecelakaan
mobil yang berakibat patahnya tangan saya hingga saya tidak dapat
bekerja. Lalu apa jalan keluar terhadap keadaan ini? Apakah saya harus
mengirim surat cerai kepada istri saya yang telah saya tinggalkan lebih
dari dua tahun dan mungkin akan terus bertambah waktu yang ada
disebabkan kecelakaan yang menimpa saya ini? Namun perlu diketahui,
istri saya tersebut tinggal bersama ayah dan keluarga saya. Ia tidak
mengalami kekurangan sedikitpun dari sisi penghidupan/nafkah. Berilah
kami fatwa, jazakumullah khairan!”
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah memberikan
jawaban, “Apa yang disebutkan penanya bahwa ia safar meninggalkan
istrinya dan ada penghalang yang membuatnya tidak dapat kembali kepada
istrinya, lalu apakah ia harus mengirim surat cerai kepada si istri?
Jawabannya: Anda, wahai penanya, diberi udzur dalam apa yang anda
sebutkan. Anda tidak harus menceraikan istri anda selama anda punya
udzur. Karena anda sebutkan tentang musibah yang menimpa anda dan
ketidakmampuan anda untuk melakukan perjalanan/safar. Ini merupakan
udzur bagi anda dan tidak ada alasan untuk menggugat anda. Kecuali kalau
anda mampu menempuh perjalanan guna bertemu istri anda dan berkumpul
kembali dengannya tapi anda tidak mau melakukannya. Bila seperti ini
keadaannya, istri anda diberi pilihan; ia mau bersabar menanti anda
kembali, ataukah ia menuntut haknya terhadap anda. Karena itu, anda
lihat keadaan anda. Jalan keluar itu dekat, Insya Allah, bila niat dan
ketetapan hati anda benar. Terlebih lagi ayah anda telah menanggung
kebutuhan hidup istri anda. Maka tidak ada alasan bagi anda untuk gundah
gulana dan gelisah.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 283-283)
Contoh Kesabaran Seorang Istri Berpisah dengan Suaminya
Kami ingin membawakan sebuah contoh dari kisah orang terdahulu
berkaitan dengan kesabaran seorang istri ditinggal pergi dalam waktu
lama oleh suaminya. Perpisahan itu terjadi karena si suami hendak
menuntut ilmu agama ke negeri lain, untuk duduk di hadapan seorang alim
yang besar dan terdepan di masa itu.
Dikisahkan, Abdullah bin Al-Qasim Al-’Ataki Al-Mishri hendak safar
meninggalkan Kairo menuju ke Madinah guna menuntut ilmu di sisi Al-Imam
Malik t. Istri Abdullah ketika itu sedang hamil maka ia berkata kepada
istrinya, “Aku telah berketetapan hati untuk melakukan perjalanan guna
menuntut ilmu dan aku tidak melihat akan kembali ke negeri Mesir ini
kecuali setelah berlalu masa yang panjang. Bila engkau ingin agar aku
menceraikanmu, aku akan ceraikan sehingga engkau bisa menikah dengan
siapapun yang engkau inginkan. Namun bila engkau tetap ingin menjadi
istriku, aku pun akan melakukannya akan tetapi aku tak tahu kapan aku
dapat kembali kepadamu.”
Istri Abdullah memilih untuk tetap menjadi istrinya. Abdullah atau
yang lebih sering disebut dengan Ibnul Qasim kemudian menempuh
perjalanan untuk bertemu dengan Al-Imam Malik dan tinggal di Madinah
untuk mulazamah dengan Al-Imam Malik selama 17 tahun. Ia tidak
tersibukkan dengan jual beli/perdagangan, tapi semata-mata perhatiannya
ditujukan untuk menimba ilmu. Dalam masa tersebut, istrinya telah
melahirkan seorang anak laki-laki dan jelas telah tumbuh besar. Namun
Ibnul Qasim tidak mengetahui berita kelahiran putranya ini, karena
hubungan/komunikasinya dengan istrinya telah terputus sejak ia pergi.
Ibnul Qasim berkisah sendiri, “Ketika suatu hari aku sedang berada
di sisi Al-Imam Malik dalam majelis beliau, tiba-tiba datang menemui
kami seorang pemuda dari Mesir dalam keadaan menutup wajahnya. Ia
mengucapkan salam kepada Al-Imam Malik kemudian bertanya, “Apakah di
antara kalian ada Ibnul Qasim?” Orang-orang yang hadir pun menunjuk
Ibnul Qasim yang ditanya si pemuda. Pemuda itu menghadap kepadaku,
merangkulku, dan mengecup di antara dua mataku. Aku mendapati perasaan
bahwa ia adalah anakku. Ternyata ia memang anakku yang dulunya aku
tinggalkan masih dalam kandungan istriku. Sekarang ia telah besar dan
menjadi seorang pemuda.” (Waratsatul Anbiya`, hal. 41)
Lihatlah kesabaran yang mencengangkan dari istri Ibnul Qasim. Dalam
keadaan mengandung ditinggal oleh sang suami, hingga ia melahirkan dan
membesarkan anaknya, sampai si anak dapat menyusul sang ayah di negeri
penuntutan ilmunya, di sisi alim besar di masanya, imam Darul Hijrah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Syarat Sahnya Shalat
الْحَمْدُ لِلهِ ذِي الفَضْلِ وَالإِحْسَانِ، جَعَلَ إِقَامَةَ
الصَّلاَةِ مِنْ أَعْظَمِ صِفَاتِ أَهْلِ الإِيْمَانِ، وَأشْهَدُ أَنْ لاَ
إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُنْجِيْ مَنْ
قَالَهَا وَعَمِلَ بِهَا مِنَ النِّيْرَانِ، وَتُوْجِبُ لَهُ دُخُوْلَ
الجَنَانِ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُؤَيَّدُ
بِالمُعْجِزَاتِ وَالبُرْهَانِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأصْحَابِهِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ، وَسَلَّمَ
تَسْلِيْمً كَثِيْرًا؛
أَمّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحَانَ وَتَعَالَى أَمَرَ بِإِقَامَةِ الصَّلاَةِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah l, Rabb yang menciptakan dan menguasai serta mengatur seluruh alam semesta. Kita senantiasa memuji-Nya dalam keadaan apapun dan di manapun kita berada. Dialah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan tidak ada sesembahan selain-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah n, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berjalan di atas petunjuknya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Shalat lima waktu adalah perintah Allah l yang paling besar setelah kewajiban bertauhid kepada-Nya. Bahkan Allah l memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menegakkannya. Hal ini mengandung pengertian lebih dari sekadar menjalankannya. Menegakkan shalat sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah menjalankannya sebagaimana diperintahkan Allah l yaitu secara berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, serta kewajiban-kewajibannya. Dan akan lebih sempurna apabila dengan menjalankan sunnah-sunnahnya.
Hadirin jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Berdasarkan petunjuk dari Al-Qur`an dan hadits Nabi n, para ulama menyebutkan bahwa syarat sahnya shalat ada 9 (sembilan). Syarat-syarat ini harus dipenuhi ketika seseorang hendak mulai mengerjakan hingga dia menyelesaikan shalatnya. Kesembilan syarat tersebut adalah: Islam, berakal, tamyiz, suci dari hadats, suci dari najis, menutup aurat, telah masuk waktunya, menghadap kiblat dan niat. Berdasarkan syarat pertama, yaitu Islam, maka tidak sah dan tidak diterima shalat seseorang apabila dia mengerjakannya dalam keadaan dirinya masih kafir. Bahkan ibadah apapun yang dia lakukan tidak akan diterima oleh Allah l selama dia melakukannya dalam keadaan kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk mengetahui agamanya dengan benar serta menjaga dirinya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengeluarkannya dari agamanya. Karena bisa jadi seseorang merasa dirinya muslim, namun sesungguhnya dia telah keluar dari agamanya karena terjatuh pada perbuatan syirik atau pembatal Islam lainnya. Sehingga dirinya menyangka akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah l, namun ternyata dia tidak bakal mendapatkannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l tentang keadaan orang-orang kafir:
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. Orang yang dahaga menyangkanya (ada) air, namun ketika mendatanginya dia tidak mendapati air sedikitpun.” (An-Nur: 39)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Adapun syarat sahnya shalat yang kedua yaitu berakal, menunjukkan bahwasanya seseorang apabila dia mengerjakannya dalam keadaan gila maka shalatnya tidak sah. Begitu pula orang yang mabuk, tidur, dan semisalnya. Hal ini karena mereka tidak menyadari apa yang dilakukannya. Hanya saja orang yang meninggalkan shalat karena gila atau karena tertidur tidak dicatat sebagai orang yang berbuat dosa, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغََ
“Diangkat pena dari tiga orang, (yaitu): orang yang tertidur sampai dia bangun, orang yang gila sampai dia sadar dan anak kecil sampai dia baligh.” (HR. Ahmad dan lainnya disahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`)
Akan tetapi orang yang meninggalkannya karena sebab tertidur, setelah dia bangun maka dia wajib mengerjakan shalat-shalat yang ditinggalkannya. Hal ini disebutkan oleh sabda Nabi n:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa (dari mengerjakan) shalat atau dia tertidur dari shalat (sehingga meninggalkannya), maka kewajibannya adalah mengerjakannya ketika dia ingat.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun syarat yang ketiga adalah tamyiz, yaitu telah berusia 7 (tujuh) tahun atau lebih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi n:
مُرُا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika telah mencapai umur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila tidak mau shalat ketika sudah berumur sepuluh tahun, serta pisahkan mereka (pada usia tersebut) dari tempat tidurnya.” (HR. Ahmad dan lainnya disahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`)
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila seorang anak mengerjakan shalat ketika usianya telah mencapai tujuh tahun maka shalatnya sah, meskipun belum ada kewajiban atasnya untuk menjalankannya. Adapun anak yang belum berumur tujuh tahun maka belum diperintahkan untuk shalat. Sehingga tidak semestinya bagi anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun untuk ditempatkan di shaf bersama-sama orang-orang dewasa yang telah memenuhi syarat ketika menjalankan shalat. Karena dia tidak dianggap orang yang sedang shalat sehingga keberadaannya di dalam shaf secara tidak langsung bisa memutus shaf. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin, jamaah shalat jum’at rahimakumullah
Syarat yang keempat adalah bersuci dari hadats, baik berupa hadats besar yaitu dengan mandi ataupun hadats kecil yaitu dengan berwudhu. Akan tetapi dalam keadaan tertentu seseorang diberi kemudahan untuk bertayammum sebagai pengganti dari berwudhu ataupun mandi. Yaitu apabila seorang dalam keadaan tidak mendapatkan air, atau ada air namun dikhawatirkan akan menyebabkan bertambah parahnya sakit yang dideritanya atau memperlambat kesembuhannya. Allah l berfirman:
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan (maksudnya melakukan jima’), lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah wajah dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma`idah:6)
Hadirin rahimakumullah,
Adapun syarat sahnya shalat yang kelima adalah suci dari najis, baik yang mengenai badannya, pakaian atau tempat yang digunakan untuk shalat. Namun jika baru ingat atau mengetahui adanya najis setelah selesai dari shalat, maka shalatnya sah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam hadits yang menyebutkan bahwa Nabi n ketika diberitahu oleh malaikat Jibril di tengah-tengah shalatnya bahwa pada sandal yang dipakai oleh beliau n ada najisnya, maka beliau n melemparkan sandalnya dan melanjutkan shalatnya tanpa mengulangi shalatnya dari awal.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Syarat yang keenam dari syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Allah l berfirman:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah ketika (menuju) masjid (untuk menjalankan shalat).” (Al-A’raf: 31)
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk tidak sekadar menutup aurat, namun memerintahkan kita untuk berpenampilan yang baik ketika hendak menjalankan shalat. Maka sudah semestinya bagi kita untuk berpakaian yang bersih dan rapi ketika hendak mengerjakannya. Bukankah seseorang juga malu untuk memakai pakaian yang kotor dan bau ketika ingin menghadap pimpinannya? Maka semestinya seseorang lebih malu untuk berpenampilan seenaknya ketika hendak berhubungan dengan Allah l melalui shalat. Begitu pula seseorang semestinya memerhatikan aturan syariat dalam berpakaian baik di luar shalat maupun ketika shalat. Seperti tidak menggunakan pakaian yang menyerupai model pakaian orang kafir, baik pakaian yang sangat ketat maupun sangat tipis. Begitupula tidak mengenakan pakaian yang terdapat gambar makhluk yang bernyawa, serta tidak memakai pakaian yang menutup bagian mata kakinya (bagi laki-laki, ed.) dan yang lainnya.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Syarat sahnya shalat yang ketujuh adalah telah masuk waktu shalat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan pada waktu yang telah ditentukan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)
Sehingga tidaklah benar apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang menunda-nunda waktu shalat sampai keluar waktunya dengan alasan dalam perjalanan atau karena sakit. Bahkan semestinya mereka menjalankannya pada waktu yang telah ditetapkan atau menjamak shalat-shalat yang bisa dijamak. Adapun menjalankan shalat yang diwajibkan pada malam hari dengan dilakukan di siang hari dan sebaliknya, atau menjalankan shalat fajar setelah terbitnya matahari, maka ini adalah perbuatan yang melanggar syariat Allah l. Wallahu a’lam bish-shawab.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَ بِالْـمُحَافَظَةِ عَلىَ الصَّلاَةِ إِلَى الْمَمَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ فِيْ رُبُوْبِيَّتِهِ وإِلَهِيَّتِهِ وَمَا لَهُ مِنَ اْلأَسْماءِ وَالصِّفَاتِ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ الْـمُؤَيَّدُ بِالمُعْجِزَاتِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِيْ الْمَنَاقِبِ العَظِيْمَةِ وَالْكَرَامَاتِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمً كَثِيْرًا، أَمّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى فَإِنَّ تَقْوَاهُ سَبَبٌ لِنَيْلِ العِلْمِ النَّافِعِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa berusaha untuk mempelajari agama Islam dan mengamalkannya. Karena dengan itu Allah l akan mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan ilmu kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)
Jamaah jum’at rahimakumullah,
Masih berkaitan dengan syarat-syarat sahnya shalat, syarat yang kedelapan adalah menghadap kiblat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (Al-Baqarah:144)
Berkaitan dengan syarat ini, maka seseorang yang tidak berusaha mencari tahu arah kiblat dalam keadaan dia tidak tahu arah, kemudian setelah shalat dia baru tahu bahwa shalatnya tidak menghadap kiblat, maka shalatnya tidak sah. Syarat ini juga tetap berlaku meskipun orang yang menjalankannya dalam keadaan sakit. Sehingga wajib bagi orang yang sakit untuk menghadap kiblat meskipun dia shalat dalam keadaan berbaring miring, baik di atas sisi kanannya maupun sisi kirinya. Apabila shalatnya sambil berbaring di atas punggungnya maka dia menjadikan kakinya ke arah kiblat. Kecuali kalau tidak memungkinkan untuk melakukan itu semua, maka tidak mengapa baginya untuk shalat wajib ke arah mana yang dia mampu untuk melakukannya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun syarat yang kesembilan adalah niat, yaitu keinginan yang kuat untuk melakukan shalat tertentu dalam rangka beribadah kepada Allah l. Namun niat tempatnya di hati. Sehingga ketika seseorang telah bewudhu kemudian masuk shaf bersama-sama orang yang shalat berarti telah melekat niat pada dirinya meskipun tidak dia ucapkan. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa mengucapkan niat dengan mengatakan nawaitu ushalli dan seterusnya baik dengan lisannya maupun di dalam hatinya adalah bid’ah. Sehingga sudah semestinya kita tidak melakukannya, karena hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah n. Begitu pula wajib bagi kita untuk hati-hati dari penyakit was-was atau keraguan yang sering dimunculkan oleh setan. Sehingga terkadang ada orang yang bertakbir berkali-kali karena setan membisikkan kepadanya bahwa niatnya belum muncul dengan benar, atau ucapan takbirnya kurang benar.
Mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa menegakkan shalat. Sehingga kita tidak tergolong orang-orang yang shalat namun dikatakan sebagai orang yang celaka. Sebagaimana seseorang yang secara lahiriah mengerjakan gerakan-gerakan shalat namun di hadapan Allah l tidak dihukumi sebagai orang yang sedang shalat, karena dia mengakhirkan waktu shalatnya. Allah l berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un:4-5)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكانٍ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
أَمّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحَانَ وَتَعَالَى أَمَرَ بِإِقَامَةِ الصَّلاَةِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah l, Rabb yang menciptakan dan menguasai serta mengatur seluruh alam semesta. Kita senantiasa memuji-Nya dalam keadaan apapun dan di manapun kita berada. Dialah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan tidak ada sesembahan selain-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah n, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berjalan di atas petunjuknya.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Shalat lima waktu adalah perintah Allah l yang paling besar setelah kewajiban bertauhid kepada-Nya. Bahkan Allah l memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menegakkannya. Hal ini mengandung pengertian lebih dari sekadar menjalankannya. Menegakkan shalat sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah menjalankannya sebagaimana diperintahkan Allah l yaitu secara berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, serta kewajiban-kewajibannya. Dan akan lebih sempurna apabila dengan menjalankan sunnah-sunnahnya.
Hadirin jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Berdasarkan petunjuk dari Al-Qur`an dan hadits Nabi n, para ulama menyebutkan bahwa syarat sahnya shalat ada 9 (sembilan). Syarat-syarat ini harus dipenuhi ketika seseorang hendak mulai mengerjakan hingga dia menyelesaikan shalatnya. Kesembilan syarat tersebut adalah: Islam, berakal, tamyiz, suci dari hadats, suci dari najis, menutup aurat, telah masuk waktunya, menghadap kiblat dan niat. Berdasarkan syarat pertama, yaitu Islam, maka tidak sah dan tidak diterima shalat seseorang apabila dia mengerjakannya dalam keadaan dirinya masih kafir. Bahkan ibadah apapun yang dia lakukan tidak akan diterima oleh Allah l selama dia melakukannya dalam keadaan kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk mengetahui agamanya dengan benar serta menjaga dirinya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengeluarkannya dari agamanya. Karena bisa jadi seseorang merasa dirinya muslim, namun sesungguhnya dia telah keluar dari agamanya karena terjatuh pada perbuatan syirik atau pembatal Islam lainnya. Sehingga dirinya menyangka akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah l, namun ternyata dia tidak bakal mendapatkannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l tentang keadaan orang-orang kafir:
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. Orang yang dahaga menyangkanya (ada) air, namun ketika mendatanginya dia tidak mendapati air sedikitpun.” (An-Nur: 39)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Adapun syarat sahnya shalat yang kedua yaitu berakal, menunjukkan bahwasanya seseorang apabila dia mengerjakannya dalam keadaan gila maka shalatnya tidak sah. Begitu pula orang yang mabuk, tidur, dan semisalnya. Hal ini karena mereka tidak menyadari apa yang dilakukannya. Hanya saja orang yang meninggalkan shalat karena gila atau karena tertidur tidak dicatat sebagai orang yang berbuat dosa, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغََ
“Diangkat pena dari tiga orang, (yaitu): orang yang tertidur sampai dia bangun, orang yang gila sampai dia sadar dan anak kecil sampai dia baligh.” (HR. Ahmad dan lainnya disahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`)
Akan tetapi orang yang meninggalkannya karena sebab tertidur, setelah dia bangun maka dia wajib mengerjakan shalat-shalat yang ditinggalkannya. Hal ini disebutkan oleh sabda Nabi n:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa (dari mengerjakan) shalat atau dia tertidur dari shalat (sehingga meninggalkannya), maka kewajibannya adalah mengerjakannya ketika dia ingat.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun syarat yang ketiga adalah tamyiz, yaitu telah berusia 7 (tujuh) tahun atau lebih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi n:
مُرُا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika telah mencapai umur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila tidak mau shalat ketika sudah berumur sepuluh tahun, serta pisahkan mereka (pada usia tersebut) dari tempat tidurnya.” (HR. Ahmad dan lainnya disahihkan Al-Albani t dalam Al-Irwa`)
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila seorang anak mengerjakan shalat ketika usianya telah mencapai tujuh tahun maka shalatnya sah, meskipun belum ada kewajiban atasnya untuk menjalankannya. Adapun anak yang belum berumur tujuh tahun maka belum diperintahkan untuk shalat. Sehingga tidak semestinya bagi anak yang usianya belum mencapai tujuh tahun untuk ditempatkan di shaf bersama-sama orang-orang dewasa yang telah memenuhi syarat ketika menjalankan shalat. Karena dia tidak dianggap orang yang sedang shalat sehingga keberadaannya di dalam shaf secara tidak langsung bisa memutus shaf. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin, jamaah shalat jum’at rahimakumullah
Syarat yang keempat adalah bersuci dari hadats, baik berupa hadats besar yaitu dengan mandi ataupun hadats kecil yaitu dengan berwudhu. Akan tetapi dalam keadaan tertentu seseorang diberi kemudahan untuk bertayammum sebagai pengganti dari berwudhu ataupun mandi. Yaitu apabila seorang dalam keadaan tidak mendapatkan air, atau ada air namun dikhawatirkan akan menyebabkan bertambah parahnya sakit yang dideritanya atau memperlambat kesembuhannya. Allah l berfirman:
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan (maksudnya melakukan jima’), lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah wajah dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma`idah:6)
Hadirin rahimakumullah,
Adapun syarat sahnya shalat yang kelima adalah suci dari najis, baik yang mengenai badannya, pakaian atau tempat yang digunakan untuk shalat. Namun jika baru ingat atau mengetahui adanya najis setelah selesai dari shalat, maka shalatnya sah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam hadits yang menyebutkan bahwa Nabi n ketika diberitahu oleh malaikat Jibril di tengah-tengah shalatnya bahwa pada sandal yang dipakai oleh beliau n ada najisnya, maka beliau n melemparkan sandalnya dan melanjutkan shalatnya tanpa mengulangi shalatnya dari awal.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Syarat yang keenam dari syarat sahnya shalat adalah menutup aurat. Allah l berfirman:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah ketika (menuju) masjid (untuk menjalankan shalat).” (Al-A’raf: 31)
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk tidak sekadar menutup aurat, namun memerintahkan kita untuk berpenampilan yang baik ketika hendak menjalankan shalat. Maka sudah semestinya bagi kita untuk berpakaian yang bersih dan rapi ketika hendak mengerjakannya. Bukankah seseorang juga malu untuk memakai pakaian yang kotor dan bau ketika ingin menghadap pimpinannya? Maka semestinya seseorang lebih malu untuk berpenampilan seenaknya ketika hendak berhubungan dengan Allah l melalui shalat. Begitu pula seseorang semestinya memerhatikan aturan syariat dalam berpakaian baik di luar shalat maupun ketika shalat. Seperti tidak menggunakan pakaian yang menyerupai model pakaian orang kafir, baik pakaian yang sangat ketat maupun sangat tipis. Begitupula tidak mengenakan pakaian yang terdapat gambar makhluk yang bernyawa, serta tidak memakai pakaian yang menutup bagian mata kakinya (bagi laki-laki, ed.) dan yang lainnya.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Syarat sahnya shalat yang ketujuh adalah telah masuk waktu shalat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya shalat itu telah diwajibkan pada waktu yang telah ditentukan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)
Sehingga tidaklah benar apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang menunda-nunda waktu shalat sampai keluar waktunya dengan alasan dalam perjalanan atau karena sakit. Bahkan semestinya mereka menjalankannya pada waktu yang telah ditetapkan atau menjamak shalat-shalat yang bisa dijamak. Adapun menjalankan shalat yang diwajibkan pada malam hari dengan dilakukan di siang hari dan sebaliknya, atau menjalankan shalat fajar setelah terbitnya matahari, maka ini adalah perbuatan yang melanggar syariat Allah l. Wallahu a’lam bish-shawab.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَ بِالْـمُحَافَظَةِ عَلىَ الصَّلاَةِ إِلَى الْمَمَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ فِيْ رُبُوْبِيَّتِهِ وإِلَهِيَّتِهِ وَمَا لَهُ مِنَ اْلأَسْماءِ وَالصِّفَاتِ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُهُ الْـمُؤَيَّدُ بِالمُعْجِزَاتِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ ذَوِيْ الْمَنَاقِبِ العَظِيْمَةِ وَالْكَرَامَاتِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمً كَثِيْرًا، أَمّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى فَإِنَّ تَقْوَاهُ سَبَبٌ لِنَيْلِ العِلْمِ النَّافِعِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa berusaha untuk mempelajari agama Islam dan mengamalkannya. Karena dengan itu Allah l akan mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan ilmu kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)
Jamaah jum’at rahimakumullah,
Masih berkaitan dengan syarat-syarat sahnya shalat, syarat yang kedelapan adalah menghadap kiblat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya.” (Al-Baqarah:144)
Berkaitan dengan syarat ini, maka seseorang yang tidak berusaha mencari tahu arah kiblat dalam keadaan dia tidak tahu arah, kemudian setelah shalat dia baru tahu bahwa shalatnya tidak menghadap kiblat, maka shalatnya tidak sah. Syarat ini juga tetap berlaku meskipun orang yang menjalankannya dalam keadaan sakit. Sehingga wajib bagi orang yang sakit untuk menghadap kiblat meskipun dia shalat dalam keadaan berbaring miring, baik di atas sisi kanannya maupun sisi kirinya. Apabila shalatnya sambil berbaring di atas punggungnya maka dia menjadikan kakinya ke arah kiblat. Kecuali kalau tidak memungkinkan untuk melakukan itu semua, maka tidak mengapa baginya untuk shalat wajib ke arah mana yang dia mampu untuk melakukannya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun syarat yang kesembilan adalah niat, yaitu keinginan yang kuat untuk melakukan shalat tertentu dalam rangka beribadah kepada Allah l. Namun niat tempatnya di hati. Sehingga ketika seseorang telah bewudhu kemudian masuk shaf bersama-sama orang yang shalat berarti telah melekat niat pada dirinya meskipun tidak dia ucapkan. Bahkan para ulama menyebutkan bahwa mengucapkan niat dengan mengatakan nawaitu ushalli dan seterusnya baik dengan lisannya maupun di dalam hatinya adalah bid’ah. Sehingga sudah semestinya kita tidak melakukannya, karena hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah n. Begitu pula wajib bagi kita untuk hati-hati dari penyakit was-was atau keraguan yang sering dimunculkan oleh setan. Sehingga terkadang ada orang yang bertakbir berkali-kali karena setan membisikkan kepadanya bahwa niatnya belum muncul dengan benar, atau ucapan takbirnya kurang benar.
Mudah-mudahan Allah l menjadikan kita sebagai orang-orang yang bisa menegakkan shalat. Sehingga kita tidak tergolong orang-orang yang shalat namun dikatakan sebagai orang yang celaka. Sebagaimana seseorang yang secara lahiriah mengerjakan gerakan-gerakan shalat namun di hadapan Allah l tidak dihukumi sebagai orang yang sedang shalat, karena dia mengakhirkan waktu shalatnya. Allah l berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un:4-5)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكانٍ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Allah ada di mana-mana?
Bagaimana membantah orang-orang yang mengatakan: Bahwa
Allah l di mana-mana? Maha Tinggi Allah dari hal itu. Dan apa hukum
orang yang mengatakannya?
Jawaban:
Ahlus Sunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah l berada di atas Arsy (singgasana)-Nya. Tidak di dalam alam, bahkan terpisah darinya. Dan Dia mengetahui serta melihat segala sesuatu. Tiada yang tersembunyi baginya sesuatupun baik di bumi maupun di langit. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa` (berada/naik) di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (Al-Furqan: 59)
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (As-Sajdah: 4)
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (Hud: 7)
Di antara yang menunjukkan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya adalah turunnya Al-Qur`an dari-Nya. Dan tidaklah dikatakan turun kecuali dari atas ke bawah. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)
“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur`an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1-2)
“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 1-2)
Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya.
Dalam hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami z, ia mengatakan: “Aku memiliki seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku di daerah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari, aku melihat ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing yang digembalanya. Aku adalah seorang manusia dari bani Adam, yang bisa marah sebagaimana orang-orang marah, hingga aku menamparnya satu kali. Maka aku datang kepada Rasulullah n, lantas beliau menilainya sebagai suatu perkara besar atasku. Sehingga aku katakan: ‘Tidakkah kubebaskan saja dia?’ Beliau menjawab: ‘Bawa dia kemari.’ Akupun membawanya kepada beliau. Beliaupun mengatakan kepadanya: ‘Di manakah Allah?’, ‘Di atas langit,’ jawabnya. ‘Siapakah aku?’ tanya Rasulullah. ‘Engkau adalah Rasulullah,’ jawabnya. Lantas beliau mengatakan: ‘Bebaskan dia, sesungguhnya dia adalah wanita mukminah.’ Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan yang lain.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri z, ia mengatakan: Rasulullah n bersabda:
أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian percaya kepadaku, sementara aku adalah kepercayaan Yang di atas langit? Datang kepadaku berita langit pagi dan petang hari.”
Kedua: Barangsiapa meyakini bahwa Allah l berada di mana-mana maka dia tergolong aliran Hululiyyah (yang meyakini bahwa Allah l bersatu dengan makhluk-Nya, red.). Orang seperti itu dibantah dengan dalil-dalil yang telah lalu, yang menunjukkan bahwa Allah berada pada ketinggian dan berada di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kalau dia tunduk kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma (kesepakatan) (maka itu yang seharusnya, red.). Kalau tidak tunduk maka dia kafir, murtad dari agama Islam.
Adapun firman Allah l:
“Dan dia bersama kalian di manapun kalian berada.” (Al-Hadid: 4) Maknanya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah l bersama mereka dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui keadaan mereka.
Adapun firman Allah l:
”Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Al-An’am: 3)
Maka maknanya bahwa Allah l adalah Dzat yang diibadahi penghuni langit dan bumi.
Adapun firman Allah l:
”Dan Dia-lah Ilah (Yang disembah) di langit dan Ilah (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)
Maknanya bahwa Allah l adalah sesembahan penduduk langit dan penduduk bumi, tiada yang diibadahi dengan benar selain Dia. Demikianlah penggabungan antara ayat-ayat dan hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menurut pemeluk kebenaran.
Wa billahi taufiq washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ditandatangani oleh:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdurrazzaq Afifi, Abdullah Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 3/218)
Jawaban:
Ahlus Sunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah l berada di atas Arsy (singgasana)-Nya. Tidak di dalam alam, bahkan terpisah darinya. Dan Dia mengetahui serta melihat segala sesuatu. Tiada yang tersembunyi baginya sesuatupun baik di bumi maupun di langit. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa` (berada/naik) di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (Al-Furqan: 59)
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (As-Sajdah: 4)
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (Hud: 7)
Di antara yang menunjukkan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya adalah turunnya Al-Qur`an dari-Nya. Dan tidaklah dikatakan turun kecuali dari atas ke bawah. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)
“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur`an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1-2)
“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 1-2)
Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya.
Dalam hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami z, ia mengatakan: “Aku memiliki seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku di daerah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari, aku melihat ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing yang digembalanya. Aku adalah seorang manusia dari bani Adam, yang bisa marah sebagaimana orang-orang marah, hingga aku menamparnya satu kali. Maka aku datang kepada Rasulullah n, lantas beliau menilainya sebagai suatu perkara besar atasku. Sehingga aku katakan: ‘Tidakkah kubebaskan saja dia?’ Beliau menjawab: ‘Bawa dia kemari.’ Akupun membawanya kepada beliau. Beliaupun mengatakan kepadanya: ‘Di manakah Allah?’, ‘Di atas langit,’ jawabnya. ‘Siapakah aku?’ tanya Rasulullah. ‘Engkau adalah Rasulullah,’ jawabnya. Lantas beliau mengatakan: ‘Bebaskan dia, sesungguhnya dia adalah wanita mukminah.’ Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan yang lain.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri z, ia mengatakan: Rasulullah n bersabda:
أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian percaya kepadaku, sementara aku adalah kepercayaan Yang di atas langit? Datang kepadaku berita langit pagi dan petang hari.”
Kedua: Barangsiapa meyakini bahwa Allah l berada di mana-mana maka dia tergolong aliran Hululiyyah (yang meyakini bahwa Allah l bersatu dengan makhluk-Nya, red.). Orang seperti itu dibantah dengan dalil-dalil yang telah lalu, yang menunjukkan bahwa Allah berada pada ketinggian dan berada di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kalau dia tunduk kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma (kesepakatan) (maka itu yang seharusnya, red.). Kalau tidak tunduk maka dia kafir, murtad dari agama Islam.
Adapun firman Allah l:
“Dan dia bersama kalian di manapun kalian berada.” (Al-Hadid: 4) Maknanya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah l bersama mereka dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui keadaan mereka.
Adapun firman Allah l:
”Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Al-An’am: 3)
Maka maknanya bahwa Allah l adalah Dzat yang diibadahi penghuni langit dan bumi.
Adapun firman Allah l:
”Dan Dia-lah Ilah (Yang disembah) di langit dan Ilah (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)
Maknanya bahwa Allah l adalah sesembahan penduduk langit dan penduduk bumi, tiada yang diibadahi dengan benar selain Dia. Demikianlah penggabungan antara ayat-ayat dan hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menurut pemeluk kebenaran.
Wa billahi taufiq washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ditandatangani oleh:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdurrazzaq Afifi, Abdullah Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 3/218)
Manusia Berhak Atas Nikmat Allah
(ditulis oleh: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Ketika kita mendapatkan sebuah hasil yang baik, kadang terlintas dalam benak kita bahwa itu memang sudah semestinya dan adalah hak kita mendapatkannya karena kita telah membuat perencanaan, pengorganisasian, lalu bekerja keras melakukannya. Benarkah seperti itu?
Sebab tidak datangnya pertolongan, hidayah, atau nikmat yang sempurna adalah karena seseorang sebagai media bertempatnya pertolongan tersebut memang tidak pantas mendapatkan pertolongan dan nikmat. Di mana seandainya nikmat mendatanginya ia akan mengatakan: “Ini memang hakku, aku mendapatkannya karena aku memang pantas dan aku memang berhak.” Seperti Allah l ceritakan:
Ketika kita mendapatkan sebuah hasil yang baik, kadang terlintas dalam benak kita bahwa itu memang sudah semestinya dan adalah hak kita mendapatkannya karena kita telah membuat perencanaan, pengorganisasian, lalu bekerja keras melakukannya. Benarkah seperti itu?
Sebab tidak datangnya pertolongan, hidayah, atau nikmat yang sempurna adalah karena seseorang sebagai media bertempatnya pertolongan tersebut memang tidak pantas mendapatkan pertolongan dan nikmat. Di mana seandainya nikmat mendatanginya ia akan mengatakan: “Ini memang hakku, aku mendapatkannya karena aku memang pantas dan aku memang berhak.” Seperti Allah l ceritakan:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Maksudnya, “Bahwa saya mengetahui Allah l memang tahu bahwa saya berhak mendapatkannya dan pantas.”
Al-Farra` menerangkan bahwa maksudnya: “Aku mendapatkannya karena
aku memang punya kelebihan, bahwa aku memang pantas dan berhak terhadap
nikmat tersebut di mana Engkau memberikannya kepadaku.”
Muqatil menerangkan, dia mengatakan: “(Maksudnya) itu karena kebaikan yang Allah l ketahui ada pada diriku.”
Abdullah bin Al-Harits bin Naufal (seorang shalih yang sempat
melihat Nabi di masa kecilnya), ia menyebutkan tentang (Nabi) Sulaiman
bin Dawud dan kerajaan yang diberikan kepadanya. Lalu ia membaca ayat:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Maksudnya, “Bahwa saya mengetahui Allah l memang tahu bahwa saya berhak mendapatkannya dan pantas.”
Al-Farra` menerangkan bahwa maksudnya: “Aku mendapatkannya karena
aku memang punya kelebihan, bahwa aku memang pantas dan berhak terhadap
nikmat tersebut di mana Engkau memberikannya kepadaku.”
Muqatil menerangkan, dia mengatakan: “(Maksudnya) itu karena kebaikan yang Allah l ketahui ada pada diriku.”
Abdullah bin Al-Harits bin Naufal (seorang shalih yang sempat
melihat Nabi di masa kecilnya), ia menyebutkan tentang (Nabi) Sulaiman
bin Dawud dan kerajaan yang diberikan kepadanya. Lalu ia membaca ayat:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Yakni, Nabi Sulaiman q memandang apa yang Allah l berikan kepadanya
merupakan keutamaan Allah l dan karunia-Nya kepadanya dan bahwa Allah l
dengan itu tengah mengujinya sehingga beliau mensyukurinya. Adapun
Qarun, ia memandang bahwa pemberian itu karena dirinya sendiri dan ia
memang berhak terhadap pemberian itu.
Demikian pula seperti terdapat dalam firman Allah l:
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah
dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: ‘Ini adalah hakku, dan aku
tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Dan jika aku
dikembalikan kepada Rabbku maka sesungguhnya aku akan memperoleh
kebaikan pada sisi-Nya’. Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada
orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan
kepada mereka azab yang keras.” (Fushshilat: 50)
Yakni maksudnya, “Aku berhak mendapatkannya dan aku pantas. Jadi
hakku terhadapnya seperti hak seorang pemilik barang terhadap
barangnya.”
Adapun seorang mukmin, ia memandang bahwa itu merupakan milik
Rabbnya, kebaikan dari Allah l yang Dia karuniakan kepada hamba-Nya
tanpa hamba tersebut memiliki hak terhadapnya. Bahkan itu merupakan
sedekah Allah l yang Allah l sedekahkan kepada hamba-Nya. Dan bila Allah
l berkehendak, maka merupakan hak-Nya untuk tidak menyedekahkannya.
Seandainya Dia menghalangi sedekah tersebut kepadanya, tidak berarti
Allah l menghalanginya dari sesuatu yang ia berhak mendapatkannya. Bila
ia tidak merasa demikian, ia akan merasa bahwa dirinya pantas dan
berhak, sehingga ia merasa takjub dengan dirinya. Dengan nikmat itu, ia
menjadi melampaui batas dan sombong serta lancang terhadap yang lain.
Sehingga itu membuatnya senang dan bangga. Seperti yang Allah l
ceritakan:
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari
Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia menjadi putus
asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya
kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata:
‘Telah hilang bencana-bencana itu dariku’; sesungguhnya dia sangat
gembira lagi bangga.” (Hud: 9-10)
Allah l cela dia karena sikap putus asa dan ingkarnya saat ujian
dengan kesusahan dan Allah l cela dia karena sikap senang dan bangganya
saat ujian dengan nikmat, ia tukar pujiannya kepada Allah l, syukur dan
sanjungannya kepada-Nya saat Allah singkap darinya cobaan dengan
ucapannya: “Musibah telah hilang dariku.” padahal seandainya ia
mengatakan: “Allah l telah hilangkan musibah dariku dengan rahmat dan
karunia-Nya”, tentu Allah l tidak akan cela dia bahkan ia terpuji dengan
ucapan seperti itu. Namun ia telah lalai dari Sang Pemberi nikmat yang
menyingkap musibahnya serta menganggap musibah itu hilang dengan
sendirinya lalu ia berbangga dan senang.
Bila Allah l telah ketahui hal semacam ini dari seorang hamba maka
itu merupakan sebab terbesar akan terabaikannya dari pertolongan dan
ketidakpedulian Allah l, karena nikmat yang sempurna tak pantas
bertempat padanya, sebagaimana firman Allah l:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi
Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa.
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka
dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka
memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (Al-Anfal: 22-23)
Allah l beritakan bahwa mereka sebagai media bertempatnya nikmat
tidak dapat menerima nikmat tersebut. Di samping tidak menerima, mereka
juga memiliki penghalang lain yang menghambat sampainya nikmat itu
kepada mereka yaitu berpalingnya mereka dari kebaikan tersebut bila
mereka benar-benar mengetahuinya.
Di antara hal yang perlu diketahui bahwa sebab-sebab terabaikannya
seseorang dari pertolongan atau hidayah, di samping tetapnya jiwa pada
penciptaan asalnya lalu dibiarkannya pada keadaan yang demikian, juga
memang ada dari dan dalam dirinya.
Sementara sebab datangnya taufiq dari Allah l adalah karena Allah l
ciptakan dirinya siap untuk menerima nikmat. Sehingga sebab-sebab
taufiq itu dari Allah l dan merupakan karunia dari-Nya. Dialah
penciptanya, dan Allah Maha Hikmah lagi Maha Tahu.
(diterjemahkan dan diringkas oleh Qomar ZA dari kitab Al-Fawa`id karya Ibnul Qayyim t, hal. 227-229)
Al-Jamil
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar, ZA)
Di antara Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jamil (اَلْجَمِيْلُ ) Yang Maha Indah. Nama Allah Al-Jamil ini terdapat dalam hadits Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قاَلَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga siapa saja yang dalam kalbunya ada (walaupun) seberat semut kecil dari kesombongan.” Maka seseorang mengatakan: ‘Bahwa ada seseorang suka bila baju dan sandalnya bagus.” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (Shahih, HR. Muslim, Kitab Al-Iman Bab Tahrimul Kibir wa Bayanuhu, dari Abdullah bin Mas’ud z)
Ibnul Qayyim mengatakan pada beberapa bait syairnya:
Dan Dia Maha Indah sebenar-benarnya, bagaimana tidak!
Padahal seluruh keindahan alam adalah
Sebagian dari pengaruh keindahan-Nya
Maka Rabbnya lebih utama dan lebih pantas, menurut yang berpengetahuan
Keindahan-Nya pada dzat, sifat, perbuatan serta nama-Nya, dengan bukti!
Tiada sesuatupun yang menyerupai dzat dan sifat-Nya
Maha Suci Dia dari kedustaan sang pendusta
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan:
“Adapun Nama Al-Jamil maka itu adalah nama-Nya yang berasal dari kata Al-Jamaal yang berarti keindahan yang banyak. Sifat keindahan yang tetap bagi Allah l adalah keindahan yang mutlak, yang benar-benar keindahan. Karena sesungguhnya keindahan wujud ini dengan beraneka warna dan ragamnya adalah sebagian buah keindahan-Nya. Sehingga Allah l lebih utama tentunya dalam memiliki sifat keindahan dari segala sesuatu yang indah. Karena Pemberi keindahan kepada alam ini pasti berada pada puncak sifat keindahan. Dialah Yang Maha Indah pada Dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Keindahan Dzat-Nya, merupakan sesuatu yang tidak mungkin bagi hamba untuk mengungkapkannya sedikitpun atau menjangkau sebagian hakikatnya. Namun cukup bagimu bahwa penghuni surga dengan segala kenikmatan abadi yang mereka ada padanya dan keanekaragaman kelezatan serta kebahagiaan yang tidak terkira. Bila mereka melihat Rabb mereka dan menikmati keindahan-Nya, mereka lupa dengan segala apa yang mereka berada padanya. Kenikmatan yang mereka ada padanya terasa lenyap. Mereka berharap seandainya mereka terus berada pada keadaan ini. Dan tiada sesuatu yang lebih mereka sukai daripada larut dalam menyaksikan keindahan ini. Mereka juga memperoleh keindahan dari keindahan Allah l yang menambah keindahan mereka. Mereka tinggal dalam kerinduan yang abadi untuk melihat-Nya sehingga mereka berbahagia dengan hari al-mazid (ditambahnya nikmat dengan melihat Allah l) dengan kebahagiaan yang hampir-hampir kalbu mereka terbang karenanya.
Adapun keindahan nama-nama Allah l, maka seluruh nama Allah l adalah sangat indah. Bahkan merupakan sebaik-baik dan seindah-indah nama secara mutlak. Seluruh nama-Nya menunjukkan kesempurnaan pujian-Nya, keagungan-Nya, keindahan-Nya, serta kebesaran-Nya. Tidak ada padanya yang tidak baik dan tidak indah, selama-lamanya.
Adapun keindahan sifat, maka seluruh sifat-Nya adalah sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, sifat-sifat sanjungan dan pujian. Bahkan merupakan seluas-luasnya sifat dan paling sempurna pengaruh dan kaitannya. Lebih-lebih sifat kasih sayang, kebaikan, kemurahan, kedermawanan, dan pemberian nikmat.
Adapun keindahan perbuatan, maka perbuatan Allah l berkisar antara perbuatan baik yang terpuji dan tersyukuri. Dan perbuatan adil-Nya yang terpuji karena sesuai dengan hikmah dan pujian. Tiada kesia-siaan dalam perbuatannya, tiada kebodohan, kecurangan atau kedzaliman. Bahkan seluruhnya baik, kasih sayang, lurus, berpetunjuk, adil dan hikmah. Allah l berfirman (menceritakan ucapan Hud):
“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)
Dan hal itu karena kesempurnaan perbuatan-Nya mengikuti kesempurnaan dzat dan sifat-Nya. Karena perbuatan adalah buah dari sifat. Sedangkan sifat-Nya sebagaimana kami katakan adalah sifat yang paling sempurna. Maka tidak diragukan bahwa perbuatannya adalah perbuatan yang paling sempurna.
Buah Mengimani Nama Allah Al-Jamil
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan: “Ibadah yang muncul dengan nama Al-Jamil adalah tumbuhnya rasa cinta dan penghambaan kepada-Nya. Seorang hamba juga akan memberikan untuk-Nya kecintaannya yang murni. Sehingga kalbunya akan senantiasa bertasbih dalam taman-taman ilmu tentang-Nya serta medan keindahan-Nya. Ia akan berbahagia dengan apa yang dia dapatkan berupa buah keindahan dan kesempurnaan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Agung dan Mulia.”
Sumber Bacaan:
Syarh Nuniyyah Ibnul Qayyim karya Al-Harras
Shifatullah Al-Waridah fil Kitab was Sunnah karya Alwi As-Saqqaf
Syarh Asma`ullahi Al-Husna karya Sa’id Al-Qahthani
Di antara Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jamil (اَلْجَمِيْلُ ) Yang Maha Indah. Nama Allah Al-Jamil ini terdapat dalam hadits Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قاَلَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga siapa saja yang dalam kalbunya ada (walaupun) seberat semut kecil dari kesombongan.” Maka seseorang mengatakan: ‘Bahwa ada seseorang suka bila baju dan sandalnya bagus.” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (Shahih, HR. Muslim, Kitab Al-Iman Bab Tahrimul Kibir wa Bayanuhu, dari Abdullah bin Mas’ud z)
Ibnul Qayyim mengatakan pada beberapa bait syairnya:
Dan Dia Maha Indah sebenar-benarnya, bagaimana tidak!
Padahal seluruh keindahan alam adalah
Sebagian dari pengaruh keindahan-Nya
Maka Rabbnya lebih utama dan lebih pantas, menurut yang berpengetahuan
Keindahan-Nya pada dzat, sifat, perbuatan serta nama-Nya, dengan bukti!
Tiada sesuatupun yang menyerupai dzat dan sifat-Nya
Maha Suci Dia dari kedustaan sang pendusta
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan:
“Adapun Nama Al-Jamil maka itu adalah nama-Nya yang berasal dari kata Al-Jamaal yang berarti keindahan yang banyak. Sifat keindahan yang tetap bagi Allah l adalah keindahan yang mutlak, yang benar-benar keindahan. Karena sesungguhnya keindahan wujud ini dengan beraneka warna dan ragamnya adalah sebagian buah keindahan-Nya. Sehingga Allah l lebih utama tentunya dalam memiliki sifat keindahan dari segala sesuatu yang indah. Karena Pemberi keindahan kepada alam ini pasti berada pada puncak sifat keindahan. Dialah Yang Maha Indah pada Dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Keindahan Dzat-Nya, merupakan sesuatu yang tidak mungkin bagi hamba untuk mengungkapkannya sedikitpun atau menjangkau sebagian hakikatnya. Namun cukup bagimu bahwa penghuni surga dengan segala kenikmatan abadi yang mereka ada padanya dan keanekaragaman kelezatan serta kebahagiaan yang tidak terkira. Bila mereka melihat Rabb mereka dan menikmati keindahan-Nya, mereka lupa dengan segala apa yang mereka berada padanya. Kenikmatan yang mereka ada padanya terasa lenyap. Mereka berharap seandainya mereka terus berada pada keadaan ini. Dan tiada sesuatu yang lebih mereka sukai daripada larut dalam menyaksikan keindahan ini. Mereka juga memperoleh keindahan dari keindahan Allah l yang menambah keindahan mereka. Mereka tinggal dalam kerinduan yang abadi untuk melihat-Nya sehingga mereka berbahagia dengan hari al-mazid (ditambahnya nikmat dengan melihat Allah l) dengan kebahagiaan yang hampir-hampir kalbu mereka terbang karenanya.
Adapun keindahan nama-nama Allah l, maka seluruh nama Allah l adalah sangat indah. Bahkan merupakan sebaik-baik dan seindah-indah nama secara mutlak. Seluruh nama-Nya menunjukkan kesempurnaan pujian-Nya, keagungan-Nya, keindahan-Nya, serta kebesaran-Nya. Tidak ada padanya yang tidak baik dan tidak indah, selama-lamanya.
Adapun keindahan sifat, maka seluruh sifat-Nya adalah sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, sifat-sifat sanjungan dan pujian. Bahkan merupakan seluas-luasnya sifat dan paling sempurna pengaruh dan kaitannya. Lebih-lebih sifat kasih sayang, kebaikan, kemurahan, kedermawanan, dan pemberian nikmat.
Adapun keindahan perbuatan, maka perbuatan Allah l berkisar antara perbuatan baik yang terpuji dan tersyukuri. Dan perbuatan adil-Nya yang terpuji karena sesuai dengan hikmah dan pujian. Tiada kesia-siaan dalam perbuatannya, tiada kebodohan, kecurangan atau kedzaliman. Bahkan seluruhnya baik, kasih sayang, lurus, berpetunjuk, adil dan hikmah. Allah l berfirman (menceritakan ucapan Hud):
“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)
Dan hal itu karena kesempurnaan perbuatan-Nya mengikuti kesempurnaan dzat dan sifat-Nya. Karena perbuatan adalah buah dari sifat. Sedangkan sifat-Nya sebagaimana kami katakan adalah sifat yang paling sempurna. Maka tidak diragukan bahwa perbuatannya adalah perbuatan yang paling sempurna.
Buah Mengimani Nama Allah Al-Jamil
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan: “Ibadah yang muncul dengan nama Al-Jamil adalah tumbuhnya rasa cinta dan penghambaan kepada-Nya. Seorang hamba juga akan memberikan untuk-Nya kecintaannya yang murni. Sehingga kalbunya akan senantiasa bertasbih dalam taman-taman ilmu tentang-Nya serta medan keindahan-Nya. Ia akan berbahagia dengan apa yang dia dapatkan berupa buah keindahan dan kesempurnaan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Agung dan Mulia.”
Sumber Bacaan:
Syarh Nuniyyah Ibnul Qayyim karya Al-Harras
Shifatullah Al-Waridah fil Kitab was Sunnah karya Alwi As-Saqqaf
Syarh Asma`ullahi Al-Husna karya Sa’id Al-Qahthani
Kisah Ashhabis Sabti
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Turunnya Azab
Sedikit demi sedikit mulai bertambah mereka yang ikut menangkap ikan tersebut. Sementara orang-orang yang menasihati terus berulang-ulang mengingatkan mereka. Bahkan mengancam: “Kamu masih juga melakukannya, wahai musuh-musuh Allah. Demi Allah, kami tidak akan bertetangga lagi dengan kalian dalam satu desa.” Akhirnya mereka membagi desa itu dengan sebuah tembok.
Tatkala mereka tidak mau memerhatikan nasihat orang-orang yang melarang perbuatan buruk tersebut, bahkan terus menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran:
Turunnya Azab
Sedikit demi sedikit mulai bertambah mereka yang ikut menangkap ikan tersebut. Sementara orang-orang yang menasihati terus berulang-ulang mengingatkan mereka. Bahkan mengancam: “Kamu masih juga melakukannya, wahai musuh-musuh Allah. Demi Allah, kami tidak akan bertetangga lagi dengan kalian dalam satu desa.” Akhirnya mereka membagi desa itu dengan sebuah tembok.
Tatkala mereka tidak mau memerhatikan nasihat orang-orang yang melarang perbuatan buruk tersebut, bahkan terus menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran:
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat.” (Al-A’raf: 165)
Yaitu orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar; Kami
selamatkan mereka dari azab. Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah l
terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah
orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Allah l berfirman:
“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim.” (Al-A’raf: 165)
Yaitu mereka yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut:
“Siksaan yang keras.” (Al-A’raf: 165)
Yakni yang menyakitkan.
“Disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf: 165)
Kemudian Allah l terangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya:
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka
dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: ‘Jadilah kamu kera yang
hina’.” (Al-A’raf: 166)
Merekapun menjadi kera-kera yang hina, padahal sebelumnya mereka adalah manusia yang terhormat.
Keesokan harinya, orang-orang yang beriman tidak melihat seorangpun
keluar dari balik tembok tersebut. Tidak terdengar aktivitas mereka
seperti biasa. Akhirnya, mereka memasuki pintu pembatas kampung tersebut
dan melihat kenyataan yang menyedihkan. Seorang pria berikut istri dan
anaknya telah berubah menjadi kera. Mulailah mereka masuk menemui
kera-kera yang dahulunya adalah orang-orang yang mereka kenal.
“Wahai Fulan, bukankah sudah aku peringatkan kepadamu azab Allah?
Bukankah… bukankah?” Tapi tak ada sahutan, yang ada hanya tangis.
Sebagian kera yang mendekat mencium pakaian orang yang datang dan dia
mengenalnya, maka kera itupun menangis. Demikian dikisahkan oleh Ibnu
Jarir t dalam Tafsir-nya. Wallahu a’lam.
Beberapa Faedah Kisah Ini
1. Kisah yang terkandung dalam ayat ini dan yang semakna,
menegaskan kebenaran Nubuwwah Nabi Muhammad n. Sebab, kisah-kisah
seperti ini, yang bercerita tentang Bani Israil, tidak ada seorangpun
yang mengetahuinya kecuali melalui berita dari Allah l, sementara mereka
(ahli kitab) menutup-nutupinya.
2. Apabila Allah l memberi nikmat kepada satu umat lalu mereka
berpaling dari mensyukurinya, niscaya mereka ditimpa petaka pertama kali
kemudian menerima azab.
3. Pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, di mana Allah l selamatkan
orang-orang yang mencegah kemungkaran dan membinasakan orang-orang yang
berbuat kemungkaran dan tidak mau berhenti darinya.
4. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya amar ma’ruf nahi munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri mempunyai tiga tingkatan
sebagaimana diuraikan oleh Asy-Syinqithi t (Adhwa`ul Bayan, 1/408),
yaitu:
a. Iqamatul hujjah (menegakkan hujjah) Allah l terhadap
makhluk-Nya, sehingga mereka tidak punya alasan untuk berkilah.
Sebagaimana firman Allah l:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”
b. Lepasnya orang yang memerintahkan kebaikan dari tanggung jawab.
Sebagaimana firman Allah l tentang orang-orang shalih di kalangan
masyarakat yang melanggar hari Sabtu tersebut:
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (Al-A’raf: 164)
Juga firman Allah l:
“Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-kali tidak tercela.” (Adz-Dzariyat: 54)
Maka ini menunjukkan bahwa sekiranya dia tidak keluar dari tanggung jawab tersebut, tentulah dia tercela.
c. Berharap agar yang diperintah mendapatkan manfaat, sebagaimana firman Allah l:
“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” (Al-A’raf: 164)
Firman Allah l:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan
itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Kita tentu masih ingat dengan sabda Rasulullah n tentang amar
ma’ruf nahi munkar ini. Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi
rahimahumullah meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir c, dia berkata:
“Rasulullah n bersabda:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ
قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا
وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا
اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا: لَوْ
أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا.
فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا
عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang menjaga hudud (batas-batas hukum) Allah l
dan orang yang melanggarnya, seperti suatu kaum yang mengundi bagiannya
di atas sebuah kapal. Sebagian mereka menempati bagian atas dan yang
lain di bagian bawahnya. Lalu orang-orang yang berada di bagian bawahnya
apabila ingin minum, melewati orang-orang yang ada di sebelah atas.
Maka berkatalah mereka: ‘Seandainya kita lubangi bagian kita (di bawah)
ini, dan kita tidak mengganggu orang-orang di atas kita.’ Maka apabila
mereka (yang di atas) membiarkan orang-orang di bawah itu (melubangi
dasar kapal) dan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka binasa
(tenggelam) semua. Dan apabila mereka menahan tangan mereka (agar tidak
melubangi kapal), niscaya mereka selamat dan selamat pula semuanya.”
Al-Mubarakfuri t mengatakan tentang syarah hadits ini: “Seandainya
orang-orang yang fasik itu dicegah dari kefasikan mereka, niscaya dia
(yang fasik itu) selamat, dan mereka semua juga selamat dari azab Allah
l. Tapi jika mereka membiarkan dia berbuat fasik, niscaya mereka ditimpa
azab dan binasa karena kesialan yang dilakukan orang fasik tersebut.
Inilah makna firman Allah l:
ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸﯹ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (Al-Anfal: 25)
Yakni juga menimpa kamu secara merata disebabkan sikap mudahanah yang kamu lakukan.
Padahal sikap mudahanah ini termasuk perkara yang diharamkan, karena Allah l berfirman:
ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (Al-Qalam: 9)
Mudahanah artinya menyetujui penyimpangan dan kesesatan yang dianut
dan dilakukan oleh semua orang yang menyimpang, baik dari kalangan
orang kafir, ahli bid’ah maupun pelaku kemaksiatan. Jadi, anda mengakui
kesesatan itu dengan sikap menyetujui atau ikut dalam aktivitas mereka.
Sikap seperti ini jelas tidak layak dimiliki seorang muslim. Bahkan
ujian ini banyak dialami kaum muslim sehingga mereka merasakan kehinaan
dalam hidup dan kehidupan mereka. Padahal semestinya dia bangga dan
berani menampakkan keyakinan dan keimanan yang dimilikinya, menyelisihi
perilaku kebanyakan masyarakatnya. Terlebih lagi bagi seorang da’i yang
mengajak manusia kepada Allah l.
Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi t ketika menerangkan prinsip
al-wala` wal bara` menguraikan bahwasanya termasuk sikap loyal (muwalah)
kepada orang-orang kafir adalah mudahanah, mudarah, dan mujamalah
dengan mereka atas dasar agama. Inilah yang dialami kebanyakan kaum
muslimin dewasa ini. Bahkan inilah faktor internal yang menjadi sebab
kekalahan mereka. Di mana mereka melihat musuh-musuh Allah l unggul
dalam kekuatan materi sehingga membuat mereka terkagum-kagum.
Menurut mereka –yang tertipu ini– musuh-musuh tersebut adalah
simbol kekuatan dan teladan. Akhirnya mereka mulai secara perlahan
meninggalkan upaya mempelajari dien mereka karena sikap mujamalah
(basa-basi) terhadap orang-orang kafir itu, agar jangan dikatakan
fanatik. Alangkah benar sabda Rasulullah n yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari t dari Abu Sa’id Al-Khudri z:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قُلْنَا:
يَا رَسُولَ اللهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh-sungguh, kamu pasti akan mengikuti jalan (hidup)
orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, bahkan seandainya mereka masuk ke lubang dhab (sejenis biawak),
pasti kamu juga mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah,
(apakah mereka) Yahudi dan Nashara?” Kata beliau: “Siapa lagi?”
Mudahanah ini bermula dari persoalan kecil yang beranjak sedikit
demi sedikit kepada hal-hal yang besar hingga –na’udzu billahi–
berujung kepada kemurtadan. Ini adalah salah satu upaya setan
menggelincirkan manusia. Maka hendaklah kaum muslimin berhati-hati
terhadap diri dan keluarganya. Camkanlah, bahwa dia lebih tinggi dan
mulia apabila dia menjalankan manhaj Allah l dan mengikat dirinya dengan
syariat Allah l serta tuntutan aqidah-Nya.
Kisah ini menjadi peringatan bagi kita bagaimana Allah l mengazab
orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang-Nya
dengan melakukan muslihat (hilah). Sebagaimana Dia menyiksa tuan-tuan
kebun (ash-habul jannah) yang melakukan muslihat agar tidak bersedekah.
Demikian pula dalam kisah ini.
Rasulullah n mengingatkan kita dalam sabdanya dari hadits Abu Hurairah z:
لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ
“Janganlah kamu melakukan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang
Yahudi, sehingga kamu menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dengan
serendah-rendah muslihat.”
Rasulullah n juga mengingatkan kita dalam hadits lainnya:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Beliau n bersabda dalam hadits Jabir z:
إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ
وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ
شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا
الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا، هُوَ حَرَامٌ.
ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ n عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ،
إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ
فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr,
bangkai, babi, dan berhala (arca, patung, dan sebagainya).” Lalu
dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda
tentang gajih (lemak) bangkai? Karena dipakai untuk mengecat perahu,
meminyaki kulit, dan dipakai untuk penerangan oleh manusia.” Maka beliau
bersabda: “Tidak. Hal itu (yakni menjualnya) tetap haram.” Ketika itu
Rasulullah n bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi.
Sesungguhnya Allah, ketika mengharamkan gajih atas mereka, mereka
mencairkannya dan menjualnya kemudian memakan harganya (hasil penjualan
itu).”
Mudah-mudahan Allah l memberi taufik kepada kita, untuk
meninggalkan sikap minder terhadap orang-orang kafir, lalu bersemangat
menjalankan perintah Allah l dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh
keikhlasan. Wallahu a’lam.
Shalat Magrib
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Musilm Al-Atsari)
Awal dan Akhir Waktu Shalat Maghrib
Awal waktu maghrib adalah ketika matahari tenggelam. Yang teranggap dalam tenggelamnya matahari adalah hilangnya bulatannya, dan ini jelas sekali di daerah gurun. Adapun di tempat yang memiliki bangunan dan di puncak-puncak gunung, yang teranggap adalah tidak terlihat sedikitpun cahaya matahari di atas ujung dinding dan puncak-puncak gunung serta telah datang gelap dari arah timur. Adapun akhir waktu maghrib adalah saat hilangnya syafaq.1 (Al-Majmu’ 3/33, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Raudhatu Ath-Thalibin 1/208).
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ
“Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh/hilang syafaq.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula dalam hadits Abu Hurairah z:
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ
“Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”, Ats-Tsamarul Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Salamah ibnul Akwa’ z berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ
“Rasulullah n mengerjakan shalat maghrib ketika matahari tenggelam dan tersembunyi/tertutup dari pandangan.” (HR. Al-Bukhari no. 561 dan Muslim no. 1438)
Dalam permasalahan awal waktu ini terjadi kesepakatan di kalangan ulama. Namun untuk akhir waktu maghrib, ada perbedaan pendapat.
Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa maghrib hanya memiliki satu waktu, dengan dalil hadits Jibril yang mengimami Rasulullah n dalam dua hari. Dalam dua hari tersebut Jibril mengerjakan shalat maghrib hanya di satu waktu (hari kedua sama waktunya dengan hari pertama) yaitu ketika matahari tenggelam, saat orang yang berpuasa berbuka dari puasanya. Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak, Malik, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i. (Al-Majmu’ 3/33, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Al-Mabsuth 1/134, Nailul Authar 1/447 ).
Namun hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa waktu shalat maghrib dipanjangkan sampai hilangnya syafaq. Ini adalah pendapat lama (qadim) dari Al-Imam Asy-Syafi’i t. Pendapat inilah yang dishahihkan oleh sekelompok Syafi’iyyah dan dipilih serta dibela oleh An-Nawawi t dalam Al-Majmu’. Ini juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ashabur ra`yi. Sementara hadits Jibril hanyalah menunjukkan waktu utama dikerjakannya shalat maghrib dan sebagai pengabaran. (Al-Majmu’ 3/34, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Raudhatu Ath-Thalibin 1/209, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Ats-Tsamarul Mustathab 1/60)
Ibnu Hazm t mengomentari pendapat yang mengatakan maghrib hanya satu waktunya dengan mengatakan, “Ini merupakan pendapat yang jelas/tampak sekali kontradiksinya, tanpa ada burhan (dalil).” Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa pendapat ini batal dari beberapa sisi. (Al-Muhalla, 2/200,203)
Bersegera Mengerjakan Shalat Maghrib
Rafi’ ibnu Khadij z mengabarkan:
كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ
“Kami shalat maghrib bersama Rasulullah n, lalu salah seorang dari kami berlalu (setelah mengerjakan shalat maghrib) dan ia masih bisa melihat tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 559 dan Muslim no. 1439)
Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Makna hadits ini adalah Rasulullah n menyegerakan shalat maghrib di awal waktunya dengan semata-mata tenggelamnya matahari, hingga kami selesai dari shalat dan salah seorang dari kami melempar anak panahnya dari busurnya, maka ia masih dapat melihat tempat jatuhnya anak panah tersebut, karena masih adanya cahaya/belum gelap gulita.” (Al-Minhaj, 5/138)
Disenangi bersegera melaksanakan shalat maghrib ini sebelum munculnya bintang-bintang. Nabi n bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ– أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ- مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
“Terus menerus umatku dalam kebaikan –atau: di atas fithrah– selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib hingga munculnya bintang-bintang.” (HR. Ahmad 4/147, Abu Dawud no. 418. Al-Imam Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih dari banyak jalan.” Lihat Ats-Tsamarul Mustathab 1/61)
Adapun kelompok sesat Rafidhah justru menyelisihi hadits di atas. Mereka menganggap mustahab mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang. (Al-Hawil Kabir 2/19, Nailul Authar 1/448)
Namun penyegeraan ini tidaklah berarti bahwa setelah adzan maghrib langsung iqamah dan tidak boleh mengerjakan shalat dua rakaat sebelumnya. Karena justru Nabi n pernah bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ
“Di antara dua adzan2 ada shalat, di antara dua adzan ada shalat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 624 dan Muslim no. 1937)
Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah n bersabda:
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، لِمَنْ شَاءَ
“Shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1183)
Rasulullah n mengatakan: “Bagi siapa yang mau mengerjakannya”, karena beliau tidak suka orang-orang menjadikannya sebagai suatu sunnah yang ditetapkan.
Tidak Boleh Menamakan Shalat Maghrib dengan Nama Isya
Tidak disukai menamakan maghrib dengan isya3 sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang A’rab (badui). (Al-Majmu’ 3/39, Nailul Authar 1/455)
Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْمَغْرِبِ. قال: وَتَقُوْلُ الْأَعْرَابُ: هِيَ الْعِشَاءُ
“Jangan sekali-kali orang-orang A’rab mengalahkan kalian dalam penamaan shalat maghrib kalian ini.” Beliau mengatakan, “Orang-orang A’rab menamakan shalat maghrib dengan shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 563)
As-Sindi berkata, “Seakan-akan yang diinginkan dalam hadits ini dan yang semisalnya adalah larangan dari memperbanyak penggunaan bahasa A’rabi (bahasa orang badui). Di mana bahasa A’rab ini sampai mengalahkan nama yang syar’i, sehingga menjadi sedikit penggunaan nama syar’i di tengah manusia dan nama dari A’rab malah banyak tersebar.” (Hasyiyatus Sindi li Shahihil Al-Bukhari 1/107)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(bersambung insya Allah)
Awal dan Akhir Waktu Shalat Maghrib
Awal waktu maghrib adalah ketika matahari tenggelam. Yang teranggap dalam tenggelamnya matahari adalah hilangnya bulatannya, dan ini jelas sekali di daerah gurun. Adapun di tempat yang memiliki bangunan dan di puncak-puncak gunung, yang teranggap adalah tidak terlihat sedikitpun cahaya matahari di atas ujung dinding dan puncak-puncak gunung serta telah datang gelap dari arah timur. Adapun akhir waktu maghrib adalah saat hilangnya syafaq.1 (Al-Majmu’ 3/33, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Raudhatu Ath-Thalibin 1/208).
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ
“Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh/hilang syafaq.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula dalam hadits Abu Hurairah z:
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ
“Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”, Ats-Tsamarul Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Salamah ibnul Akwa’ z berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ
“Rasulullah n mengerjakan shalat maghrib ketika matahari tenggelam dan tersembunyi/tertutup dari pandangan.” (HR. Al-Bukhari no. 561 dan Muslim no. 1438)
Dalam permasalahan awal waktu ini terjadi kesepakatan di kalangan ulama. Namun untuk akhir waktu maghrib, ada perbedaan pendapat.
Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa maghrib hanya memiliki satu waktu, dengan dalil hadits Jibril yang mengimami Rasulullah n dalam dua hari. Dalam dua hari tersebut Jibril mengerjakan shalat maghrib hanya di satu waktu (hari kedua sama waktunya dengan hari pertama) yaitu ketika matahari tenggelam, saat orang yang berpuasa berbuka dari puasanya. Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak, Malik, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i. (Al-Majmu’ 3/33, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Al-Mabsuth 1/134, Nailul Authar 1/447 ).
Namun hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa waktu shalat maghrib dipanjangkan sampai hilangnya syafaq. Ini adalah pendapat lama (qadim) dari Al-Imam Asy-Syafi’i t. Pendapat inilah yang dishahihkan oleh sekelompok Syafi’iyyah dan dipilih serta dibela oleh An-Nawawi t dalam Al-Majmu’. Ini juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ashabur ra`yi. Sementara hadits Jibril hanyalah menunjukkan waktu utama dikerjakannya shalat maghrib dan sebagai pengabaran. (Al-Majmu’ 3/34, At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Raudhatu Ath-Thalibin 1/209, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…, Ats-Tsamarul Mustathab 1/60)
Ibnu Hazm t mengomentari pendapat yang mengatakan maghrib hanya satu waktunya dengan mengatakan, “Ini merupakan pendapat yang jelas/tampak sekali kontradiksinya, tanpa ada burhan (dalil).” Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa pendapat ini batal dari beberapa sisi. (Al-Muhalla, 2/200,203)
Bersegera Mengerjakan Shalat Maghrib
Rafi’ ibnu Khadij z mengabarkan:
كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ
“Kami shalat maghrib bersama Rasulullah n, lalu salah seorang dari kami berlalu (setelah mengerjakan shalat maghrib) dan ia masih bisa melihat tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 559 dan Muslim no. 1439)
Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Makna hadits ini adalah Rasulullah n menyegerakan shalat maghrib di awal waktunya dengan semata-mata tenggelamnya matahari, hingga kami selesai dari shalat dan salah seorang dari kami melempar anak panahnya dari busurnya, maka ia masih dapat melihat tempat jatuhnya anak panah tersebut, karena masih adanya cahaya/belum gelap gulita.” (Al-Minhaj, 5/138)
Disenangi bersegera melaksanakan shalat maghrib ini sebelum munculnya bintang-bintang. Nabi n bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ– أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ- مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
“Terus menerus umatku dalam kebaikan –atau: di atas fithrah– selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib hingga munculnya bintang-bintang.” (HR. Ahmad 4/147, Abu Dawud no. 418. Al-Imam Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih dari banyak jalan.” Lihat Ats-Tsamarul Mustathab 1/61)
Adapun kelompok sesat Rafidhah justru menyelisihi hadits di atas. Mereka menganggap mustahab mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang. (Al-Hawil Kabir 2/19, Nailul Authar 1/448)
Namun penyegeraan ini tidaklah berarti bahwa setelah adzan maghrib langsung iqamah dan tidak boleh mengerjakan shalat dua rakaat sebelumnya. Karena justru Nabi n pernah bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ
“Di antara dua adzan2 ada shalat, di antara dua adzan ada shalat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 624 dan Muslim no. 1937)
Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah n bersabda:
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، لِمَنْ شَاءَ
“Shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1183)
Rasulullah n mengatakan: “Bagi siapa yang mau mengerjakannya”, karena beliau tidak suka orang-orang menjadikannya sebagai suatu sunnah yang ditetapkan.
Tidak Boleh Menamakan Shalat Maghrib dengan Nama Isya
Tidak disukai menamakan maghrib dengan isya3 sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang A’rab (badui). (Al-Majmu’ 3/39, Nailul Authar 1/455)
Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْمَغْرِبِ. قال: وَتَقُوْلُ الْأَعْرَابُ: هِيَ الْعِشَاءُ
“Jangan sekali-kali orang-orang A’rab mengalahkan kalian dalam penamaan shalat maghrib kalian ini.” Beliau mengatakan, “Orang-orang A’rab menamakan shalat maghrib dengan shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 563)
As-Sindi berkata, “Seakan-akan yang diinginkan dalam hadits ini dan yang semisalnya adalah larangan dari memperbanyak penggunaan bahasa A’rabi (bahasa orang badui). Di mana bahasa A’rab ini sampai mengalahkan nama yang syar’i, sehingga menjadi sedikit penggunaan nama syar’i di tengah manusia dan nama dari A’rab malah banyak tersebar.” (Hasyiyatus Sindi li Shahihil Al-Bukhari 1/107)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(bersambung insya Allah)
Waktu-waktu Shalat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
3. SHALAT ASHAR
Shalat Wustha adalah Shalat Ashar
Allah k memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menjaga shalat lima waktu yang mereka kerjakan siang dan malam. Terlebih lagi shalat ashar sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
3. SHALAT ASHAR
Shalat Wustha adalah Shalat Ashar
Allah k memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menjaga shalat lima waktu yang mereka kerjakan siang dan malam. Terlebih lagi shalat ashar sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
“Jagalah oleh kalian shalat-shalat lima waktu dan shalat wustha,
serta berdirilah karena Allah dengan taat/khusyuk.” (Al-Baqarah: 238)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata, “Allah l memerintahkan untuk
menjaga shalat-shalat pada waktunya, menjaga batasan-batasannya, serta
mengerjakannya pada waktunya.” Al-Hafizh melanjutkan, “Allah l
mengkhususkan shalat wustha di antara shalat-shalat yang ada dengan
menambah penekanannya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/379)
Ulama berselisih pendapat tentang shalat yang disebut dengan shalat
wustha1. Al-Imam Asy-Syaukani t menyebutkan sampai 17 pendapat, dan
merajihkan pendapat yang mengatakan shalat ashar karena dalil-dalil yang
ada. (Nailul Authar 1/437,438)
Al-Imam Al-Baghawi t menyatakan, “Kebanyakan ulama berpendapat
shalat wustha adalah shalat ashar. Hal ini diriwayatkan oleh sekelompok
sahabat Rasulullah n. Ini merupakan pendapat ‘Ali, Abdullah bin Mas’ud,
Abu Ayyub, Abu Hurairah, dan Aisyah g2. Dengan ini pula Ibrahim
An-Nakha’i, Qatadah, dan Al-Hasan berpendapat.” (Ma’alimut Tanzil,
1/164)
Inilah pendapat yang kuat karena adanya hadits Rasulullah n yang beliau ucapkan ketika hari perang Ahzab:
مَلَأَ اللهُ قُبُوْرَهُمْ وَبُيُوْتَهُمْ نَارًا كَمَا شَغَلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ
“Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah-rumah mereka dengan api
sebagaimana mereka telah menyibukkan kita dari mengerjakan shalat wustha
(pada waktunya) hingga matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 2931
dan Muslim no. 1419)
Dalam riwayat Muslim (no. 1424) dan selainnya disebutkan, Rasulullah n menyatakan:
شَغَلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ
“Mereka telah menyibukkan kita dari mengerjakan shalat wustha (pada waktunya), shalat ashar.”
Al-Imam At-Tirmidzi t menyatakan ini merupakan pendapat mayoritas
ulama dari kalangan sahabat Nabi n dan selain mereka. (Sunan At-Tirmidzi
1/117)
Keutamaan Shalat Ashar dan Shalat Fajar
Jarir bin Abdillah z berkata, “Kami sedang berada di sisi Nabi n
suatu malam, lalu beliau melihat ke bulan yang sedang purnama seraya
berkata:
“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana
kalian melihat bulan purnama ini, kalian tidak akan berdesak-desakan
dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terluputkan3 dari
mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari
tenggelam, hendaklah kalian melakukannya.” Lalu beliau membaca ayat:
“Dan bertasbihlah memuji Rabbmu sebelum matahari terbit dan sebelum
tenggelamnya4.” (HR. Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 1432)
Al-Khaththabi t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa melihat
Allah l bisa diharapkan bagi orang yang menjaga dua shalat ini.” (Fathul
Bari, 2/46)
Rasulullah n pernah pula bersabda:
لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا – يَعْنِي الْفَجْرَ وَالْعَصْرَ
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum matahari
terbit dan sebelum tenggelam.” Yang beliau maksudkan adalah shalat fajar
dan shalat ashar. (HR. Muslim no. 1434)
Dalam hadits lain beliau menegaskan:
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang shalat bardain (fajar dan ashar) ia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari no. 574 dan Muslim no. 1436)
Al-Khaththabi t berkata, “Dua shalat ini dinamakan bardain karena
keduanya dikerjakan pada waktu siang yang dingin, dan keduanya merupakan
dua ujung siang saat udara enak dan telah hilang hawa yang panas.”
(Fathul Bari, 2/71)
Abu Hurairah z berkata bahwasanya Rasulullah n bersabda:
يَتَعَاقَبُوْنَ فِيْكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِالَّليْلِ وَمَلاَئِكَةٌ
بِالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُوْنَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ
الْعَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ، فَيَسْأَلُهُمْ –
وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ-: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ:
تَرَكْنَا وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ
“Saling berganti di tengah kalian malaikat malam dan malaikat
siang. Mereka berkumpul dalam shalat fajar dan shalat ashar. Kemudian
naiklah malaikat yang telah bermalam di tengah kalian, lalu Allah
bertanya kepada mereka –dan Allah lebih tahu daripada mereka–,
‘Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Kami
tinggalkan mereka dalam keadaan mereka mengerjakan shalat. Dan kami
datang kepada mereka dalam keadaan mereka mengerjakan shalat’.” (HR.
Al-Bukhari no. 555 dan Muslim no. 1430)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata, “Dalam hadits ini ada
isyarat agungnya dua shalat ini (ashar dan fajar). Karena pada dua
shalat tersebut berkumpul dua kelompok malaikat, sedangkan di selain dua
shalat ini hanya berkumpul satu kelompok malaikat. Hadits ini juga
menunjukkan mulianya dua waktu yang disebutkan (waktu ashar dan fajar).”
(Fathul Bari, 2/50)
Awal Waktu Ashar
Awal masuknya waktu shalat ashar adalah dengan berakhirnya waktu
shalat zhuhur. (Al-Majmu’ 3/30, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul
Kabir lil Rafi’i 1/368,369, Al-Hawil Kabir 2/16, Mughnil Muhtaj 1/249,
Asy-Syarhul Mumti’ 2/107)
Dalam hadits Jabir bin Abdillah Al-Anshari x disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ n جَاءَهُ جِبْرِيْلُ q فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهِ.
فَصَلَّى الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرُ
فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهِ. فَصَلَّى الْعَصْرَ حِيْنَ صَارَ ظِّلُ كُلِّ
شَيْءٍ مِثْلَهُ– أََوْ قَالَ: صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ –
Nabi n didatangi oleh malaikat Jibril q. Jibril berkata,
“Bangkitlah lalu shalatlah waktu ini.” Maka Rasulullah shalat zhuhur
ketika matahari telah tergelicir. Kemudian Jibril datang lagi kepada
Rasulullah pada waktu ashar, lalu berkata, “Bangkitlah, kerjakanlah
shalat.” Rasulullah pun mengerjakan shalat ashar tatkala bayangan segala
sesuatu sama dengan sesuatu tersebut –atau Jabir berkata, “…ketika
bayangannya sama dengannya.” (HR. Ahmad 3/330-331 dan selainnya.
Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih masyhur,” dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi. Kata Al-Imam Al-Albani, “Hadits ini sebagaimana dikatakan
oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi.”- Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah
wal Kitab, 1/58)
Ini merupakan pendapat Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan
jumhur ulama. Adapun Abu Hanifah berpandangan bahwa shalat ashar belum
masuk waktunya hingga bayangan sesuatu/benda panjangnya dua kali dari
panjang bendanya. Namun pendapatnya menyelisihi atsar dan menyelisihi
manusia, bahkan murid-muridnya tidak menyepakatinya. (Al-Mughni Kitab
Ash-Shalah, fashl Yastaqirru Wujubish Shalah bima Wajabat bihi,
Al-Minhaj 5/125, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Fathul Bari 2/36).
Al-Qurthubi t berkata sebagaimana dinukil Al-Hafizh Ibnu Hajar t
dalam Fathul Bari (2/36), “Orang-orang seluruhnya menyelisihi pendapat
Abu Hanifah dalam hal ini, sampaipun murid-muridnya yang mengambil
ilmu/pendapatnya. Namun datang sekelompok orang setelah mereka yang
membela pendapat Abu Hanifah. Orang-orang ini mengatakan, “Telah tsabit
perintah untuk ibrad (dalam shalat zhuhur) dan ibrad ini tentunya tidak
tercapai kecuali setelah hilangnya panas yang sangat. Sementara panas
yang sangat tersebut tidak dapat hilang/berlalu di negeri itu kecuali
setelah bayangan sesuatu benda dua kali dari panjang bendanya. Sehingga
awal waktu ashar adalah saat panjang bayangan benda dua kali dari
panjang bendanya.”
Namun bagaimana pun mereka membelanya, pendapat ini tetap lemah.
Akhir Waktu Ashar
Adapun akhir waktu ashar adalah selama matahari belum menguning dan
belum jatuh sisinya yang awal –sebagai waktu ikhtiyar–, atau matahari
belum tenggelam –sebagai waktu darurat–5. (Al-Majmu’ 3/31, Al-Mabsuth
1/134, Raudhatu Ath-Thalibin 1/208, Mughnil Muhtaj 1/249, Al-Muhalla
2/197, Nailul Authar 1/430, Asy-Syarhul Mumti’ 2/109)
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c
bahwa ketika Rasulullah n ditanya tentang waktu shalat ashar, beliau
menjawab:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ
“Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah z yang telah lewat, Rasulullah n bersabda:
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ
“Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir
waktunya saat matahari menguning.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan
selainnya. Al-Imam Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat
Al-Bukhari dan Muslim”, Ats-Tsamarul Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no.
1696)
Juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullah n:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ
الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ
الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit
maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh. Dan siapa yang mendapati
satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah
mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Disenangi Shalat Ashar di Awal Waktu
Disenangi bersegera mengerjakan shalat ashar ini sebagaimana yang
biasa dilakukan oleh Rasulullah n. Seperti disebutkan dalam hadits Anas
bin Malik z:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ
مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ، فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلىَ الْعَوَالِي، فَيَأْتِي
الْعَوَالِي وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Adalah Rasulullah n biasa mengerjakan shalat ashar dalam keadaan
matahari tinggi masih bersih warnanya (belum menguning atau berubah).
Lalu selesai shalat seseorang pergi ke kampung yang berada di sekitar
kota Madinah6. Ia tiba di kampung tersebut dalam keadaan matahari masih
tinggi.” (HR. Al-Bukhari no. 550 dan Muslim no. 1407)
Aisyah x juga mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ لَمْ تَخْرُجْ مِنْ حُجْرَتِهَا
“Adalah Rasulullah n biasa mengerjakan shalat ashar dalam keadaan
(cahaya) matahari belum keluar dari kamarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 544
dan Muslim no. 1382)
Abu Barzah Al-Aslami z mengabarkan, “Rasulullah n mengerjakan
shalat ashar. Selesai shalat ashar, salah seorang dari kami kembali ke
rumahnya di ujung kota Madinah dalam keadaan matahari masih putih
bersih/masih terasa panasnya.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no.
1460)
Anas bin Malik z berkata, “Rasulullah n shalat ashar mengimami
kami. Ketika selesai, datang seseorang dari Bani Salamah menemui beliau
seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami ingin menyembelih unta kami dan
kami senang bila engkau turut hadir.’ Beliau menjawab, ‘Iya.’ Rasulullah
pun pergi dan kami ikut menyertai beliau. Kami dapati unta belum
disembelih, lalu disembelihlah unta itu kemudian dipotong-potong lalu
dimasak. Setelah matang kami menyantapnya. Semua itu terjadi dalam
keadaan matahari belum tenggelam.” (HR. Muslim no. 1413)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Yang dimaukan dengan hadits-hadits
ini dan yang setelahnya adalah bersegera mengerjakan shalat ashar di
awal waktunya. Karena tidak mungkin seseorang dapat pergi setelah shalat
ashar ke tempat yang jaraknya 2 atau 3 mil dalam keadaan matahari masih
putih bersih belum berubah kekuningan dan semisalnya, kecuali bila ia
mengerjakan ashar ketika bayangan sesuatu/benda sama dengan bendanya.
Hampir-hampir hal ini tidak terjadi kecuali pada hari-hari yang
panjang.” (Al-Minhaj, 5/124)
Larangan Mengakhirkan Ashar di Waktu Isfirar7
Tidak boleh bersengaja mengakhirkan shalat ashar sampai waktu
isfirar sesaat sebelum matahari tenggelam terkecuali karena udzur.8
(Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl La Yajuzu Ta`khirul Ashri ‘an Waqtil
Ikhtiyar lighairi ‘Udzrin, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/134, At-Tahdzib
lil Baghawi 2/9, Al-Muhalla, 2/197, Nailul Authar 1/431).
Karena Nabi n bersabda:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى
إِذَا كَانَ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ، فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا
لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk menunggu matahari,
hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan9 ia
bangkit untuk shalat. Lalu ia mematuk dalam shalatnya10 sebanyak empat
kali, dalam keadaan ia tidak mengingat (berzikir) kepada Allah kecuali
sedikit.” (HR. Muslim no. 1411)
Al-Imam At-Tirmidzi t menukilkan tentang dibencinya mengakhirkan
shalat ashar dari Abdullah ibnul Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.
(Sunan At-Tirmidzi 1/107)
Ancaman bagi Orang yang Luput dari Shalat Ashar
Yang dimaksud dengan luput dari shalat ashar adalah mengakhirkan
waktunya dari waktu yang diperbolehkan tanpa udzur. Dalam hal ini
Rasulullah n bersabda:
الَّذِي تَفُوْتُهُ صَلاَةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلُهُ وَمَالُهُ
“Orang yang terluputkan dari shalat ashar seakan-akan ia ditimpa
musibah pada keluarga dan hartanya (sehingga ia tidak punya keluarga dan
harta lagi).” (HR. Al-Bukhari no. 552 dan Muslim no. 1416)
Faedah
Dinukilkan dari Al-Qadhi Husain, Ash-Shaidalani, Al-Imam
Al-Haramain, Ar-Ruyani, dan selain mereka, “Ashar memiliki lima waktu;
waktu fadhilah (utama), waktu ikhtiyar (pilihan), waktu jawaz
(dibolehkan) tanpa karahah/dibenci, waktu jawaz disertai
karahah/dibenci, dan waktu udzur. Waktu fadhilah adalah dari awal masuk
waktu ashar sampai bayangan seseorang panjangnya satu setengah kali dari
orang tersebut. Waktu ikhtiyar adalah sampai bayangan benda dua kali
panjang bendanya. Waktu jawaz tanpa karahah yaitu sampai isfirar
(menguning) matahari. Waktu jawaz disertai karahah yaitu saat isfirar
hingga matahari tenggelam. Waktu udzur adalah waktu zhuhur bagi orang
yang menjamak ashar dengan shalat zhuhur karena safar atau karena
hujan.” (Al-Majmu’ 3/31,32, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/369, Raudhatu
Ath-Thalibin 1/208)
Orang yang Meninggalkan Shalat Ashar
Abu Malik berkata, “Kami bersama Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslami z
dalam satu peperangan pada hari mendung (berawan). Maka ia berkata,
“Bersegeralah kalian mengerjakan shalat ashar karena Nabi n pernah
bersabda:
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Siapa yang meninggalkan shalat ashar (dengan sengaja) maka sungguh telah batal amalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 553)
Mendapatkan Satu Rakaat Shalat Ashar Sebelum Matahari Tenggelam
Abu Hurairah z menyampaikan hadits Rasulullah n:
إِذَا أَدْرَكَ أَحَدُكُمْ سَجْدَةً مِنْ صَلاَةِ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan satu sujud (satu
rakaat) dari shalat ashar sebelum matahari tenggelam maka hendaknya ia
menyempurnakan shalatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 556 dan Muslim no. 1373)
1 Kata Al-’Allamah Manshur bin Yunus bin Idris Al-Huti t, ahli
fiqih Hanabilah di zamannya, “Wustha maknanya utama dan pertengahan di
antara shalat nahariyah (yang dikerjakan siang hari) dan shalat lailiyah
(yang dikerjakan pada malam hari), atau pertengahan di antara dua
shalat ruba’iyah (shalat yang berjumlah empat rakaat yaitu zhuhur dan
isya).” (Syarhu Muntaha Al-Iradat, 1/134)
2 Juga pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, Ubai
bin Ka’b, Samurah bin Jundab, Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, Hafshah,
Ummu Salamah, Abidah As-Salmani, Adh-Dhahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Abu
Hanifah, Ahmad, Dawud, Ibnul Mundzir, dan selain mereka. (Al-Minhaj
5/130, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl Ma Shalatul Wustha, Nailul
Authar 1/437)
3 Di sini ada kinayah, harusnya mempersiapkan diri dan tidak
membiarkannya lalai seperti tertidur dan sebagainya. (Fathul Bari, 2/45)
4 Qaf: 39
5 Makna waktu darurat adalah seseorang terpaksa mengakhirkannya
dari waktu ikhtiyar. Misalnya seseorang menderita luka-luka yang
membuatnya tersibukkan dari mengerjakan shalat ashar karena membalut
luka-lukanya, dalam keadaan ia sebenarnya bisa mengerjakan shalat ashar
tersebut sebelum isfirar (cahaya menguning), namun ia akan menemui
kesulitan/kepayahan. Maka bila ia mengakhirkan shalat asharnya beberapa
saat sebelum datangnya shalat maghrib, berarti ia telah menunaikan
shalat ashar pada waktunya. Ia tidak berdosa karena masih ada waktu
darurat. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/109)
6 Kampung yang paling jauh dari Madinah jaraknya 8 mil dan yang
paling dekat 2 mil. Sebagiannya ada yang berjarak 3 mil dari Madinah.
(Al-Minhaj, 5/124)
7 Matahari telah berwarna kekuning-kuningan.
8 Udzur yang dimaksud adalah seperti wanita yang baru mandi suci
dari haid/nifasnya, orang kafir yang baru masuk Islam saat tersebut,
anak kecil yang baru baligh pada waktu tersebut, orang gila/pingsan yang
baru sadar, orang tidur yang baru bangun, atau orang sakit yang baru
sembuh. (Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl La Yajuzu Ta`khirul ‘Ashri
‘an Waqtil Ikhtiyar lighairi ‘Udzrin )
9 Setan memosisikan dua tanduknya agar matahari persis di antara
dua tanduknya ketika tenggelam dan terbit, karena orang-orang kafir pada
waktu itu sujud kepada matahari yang sebenarnya mereka sujud kepada
setan. (Nailul Authar 1/432)
10 Mengerjakannya dengan terburu-buru/tergesa-gesa tanpa
menyempurnakan kekhusyukan, tanpa thuma`ninah, dan menyempurnakan bacaan
zikir-zikir. Yang dimaksudkan dengan mematuk adalah bergerak dengan
cepat seperti mematuknya burung. (Al-Minhaj, 5/126)
Penakhlukan Yahudi Khaibar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Makkah Menanti Berita
Ibnul Qayyim t mengisahkan, dari Musa bin ‘Uqbah bahwa Quraisy mengadakan pertaruhan besar ketika mendengar keberangkatan Rasulullah n ke Khaibar. Di antara mereka ada yang mengatakan: “Muhammad (n dan para sahabatnya akan menang.” Ada pula yang mengatakan: “Dua sekutu dan Yahudi Khaibar akan menang.”
Waktu itu, Hajjaj bin ‘Ilath As-Sulami telah masuk Islam dan ikut dalam penaklukan Khaibar. Istrinya adalah Ummu Syaibah, saudari Bani ‘Abdid Dar bin Qushay. Hajjaj adalah seorang hartawan besar. Dia mempunyai simpanan kekayaan di tanah Bani Sulaim. Setelah Nabi n menaklukkan Khaibar, Hajjaj mengatakan: “Sesungguhnya saya mempunyai emas pada istri saya. Kalau dia dan keluarganya tahu keislaman saya, niscaya habis harta saya. Maka izinkanlah saya (mengambilnya). Saya akan mempercepat perjalanan mendahului berita ini. Dan pasti saya kabarkan sesuatu bila saya tiba, untuk menyelamatkan harta dan jiwa saya.”
Rasulullah n mengizinkannya. Setibanya di Makkah, dia berkata kepada istrinya: “Sembunyikan aku dan kumpulkan seluruh hartaku. Karena aku ingin membeli ghanimah Muhammad (n) dan para sahabatnya. Mereka telah dikalahkan, harta mereka telah dirampas. Muhammad (n) telah ditawan, dan para sahabatnya telah meninggalkannya. Orang-orang Yahudi bersumpah akan membawa dia ke Makkah kemudian membunuhnya sebagai balasan atas pembunuhan yang dilakukannya di Madinah.”
Akhirnya berita itu tersebar di seantero Makkah. Mendengar berita ini, kaum muslimin semakin tertekan dan berduka cita. Sementara musyrikin menampakkan sukacita dan kebahagiaan mereka.
Sampailah berita ini kepada ‘Abbas z, paman Rasulullah n. Diapun ingin berdiri dan keluar, tapi punggungnya terasa lemah, tidak mampu berdiri. Dia memanggil putranya Qutsam, yang mirip dengan Rasulullah n. Mulailah dia bersenandung dengan suara keras agar tidak dilecehkan oleh musuh-musuh Allah l:
Buah hatiku Qutsam, buah hatiku Qutsam
Mirip si pemilik hidung tinggi (mancung)
Nabi Rabbku Pemilik kenikmatan
Meski tidak disenangi mereka yang tak senang
Lalu berkumpullah beberapa orang di depan rumahnya, baik yang muslim maupun musyrik. Ada yang menampakkan kegembiraan, mengejek dan ada yang seperti mati karena kesedihan dan petaka.
Ketika kaum muslimin mendengar senandung ‘Abbas z dan ketabahannya, tenanglah jiwa mereka. Sedangkan musyrikin mengira ada berita lain yang sampai kepadanya. Kemudian ‘Abbas mengutus pelayannya kepada Hajjaj, dan berkata: “Temui dia, dan katakan kepadanya: ‘Celaka kamu, berita apa yang kau bawa, dan apa yang kau ucapkan ini. Yang Allah l janjikan itu lebih baik dari beritamu ini’.”
Setelah bujang itu berbicara dengannya, Hajjaj berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Abul Fadhl, dan katakan kepadanya: ‘Hendaknya dia temui aku di sebagian rumahnya hingga aku mendatanginya. Karena ada berita yang menyenangkannya’.”
Begitu tiba di pintu rumah, bujang itu berkata: “Gembiralah, wahai Abul Fadhl.” Seketika ‘Abbas z melompat gembira seolah-olah dia belum pernah terkena musibah sama sekali, lalu dia mencium kening bujangnya. Lalu bujang itu menyampaikan perkataan Hajjaj. Mendengar ini, ‘Abbas langsung membebaskan bujang itu, lalu berkata: “Ceritakan apa katanya.”
Bujang itu berkata: “Hajjaj mengatakan: ‘Temui aku di sebagian rumahmu sampai dia datang siang nanti’.”
Setelah Hajjaj datang dan berduaan dengannya, dia minta agar beritanya dirahasiakan untuk sementara. ‘Abbas setuju. Lalu kata Hajjaj: “Aku datang setelah Rasulullah n berhasil menaklukkan Khaibar, merampas harta benda mereka dan berlaku pada mereka pembagian Allah l. Sesungguhnya Rasulullah n telah memilih Shafiyyah bintu Huyai untuk pribadi beliau dan menikahinya. Tapi aku kemari untuk mengambil hartaku. Aku ingin mengumpulkan dan membawanya pergi. Dan aku sudah minta izin kepada Rasulullah n mengucapkan apa yang telah aku sebarkan, lalu beliau izinkan. Maka rahasiakan selama tiga hari, kemudian sebarkanlah apa yang kau mau.”
Istri Hajjaj selesai mengumpulkan harta bendanya kemudian dia bersiap untuk kembali ke Madinah. Setelah lewat tiga hari, ‘Abbas menemui istri Hajjaj dan berkata: “Apa yang dilakukan suamimu?”
Wanita itu berkata: “Sudah pergi.” Dia melanjutkan: “Semoga Allah l tidak membuatmu berduka cita, wahai Abul Fadhl. Sungguh menyusahkan kami juga apa yang menimpamu.”
‘Abbas z segera menimpali: “Betul. Allah l tidak akan membuatku berduka. Dan tidak terjadi –segala puji bagi Allah l– kecuali apa yang aku sukai. Allah l telah memberi kemenangan kepada Rasul-Nya terhadap Khaibar. Dan telah terjadi pembagian Allah l atas mereka. Rasulullah n memilih Shafiyyah untuk dirinya. Kalau engkau ada keperluan dengan suamimu, susullah dia.”
Wanita itu menukas: “Saya kira, demi Allah, anda jujur.”
Kata ‘Abbas z: “Demi Allah, aku jujur. Kenyataannya sebagaimana yang aku utarakan.”
Dia bertanya lagi: “Siapa yang menyampaikan berita ini kepadamu?”
“Yang menyampaikan kepadamu apa yang aku sampaikan kepadamu.”
Kemudian ‘Abbas pergi dan mendatangi majelis pemuka Quraisy. Begitu mereka melihat ‘Abbas, mereka berkata: “Demi Allah, ini betul-betul ketabahan, wahai Abul Fadhl. Tidaklah menimpamu melainkan kebaikan.”
Kata ‘Abbas: “Betul, segala puji bagi Allah. Tidak ada yang menimpaku kecuali kebaikan. Hajjaj telah menceritakan kepadaku demikian, demikian. Dia minta aku menyembunyikan berita ini selama tiga hari karena satu keperluan.”
Akhirnya Allah l kembalikan kesedihan dan kesusahan yang dialami kaum muslimin kepada orang musyrikin. Lalu keluarlah kaum muslimin dari rumah-rumah mereka menemui ‘Abbas. Setelah mereka mendengar berita ‘Abbas, wajah merekapun berseri-seri.1
Membagi Rampasan Khaibar
Usai peperangan, Rasulullah n membagi Khaibar menjadi 36 saham masing-masing terdiri dari 100 saham sehingga semuanya berjumlah 3600 saham. Untuk Rasulullah n dan kaum muslimin separuhnya. Adapun separuhnya untuk segala kepentingan kaum muslimin.
Kata Al-Baihaqi t: “Hal ini karena Khaibar dibebaskan tidak seluruhnya dengan kekerasan. Ada sebagiannya yang diperoleh dengan perdamaian.”
Tetapi Ibnul Qayyim t merajihkan bahwa Khaibar seluruhnya dibebaskan dengan kekerasan. Seandainya ada sebagian yang diperoleh dengan perdamaian, tentu Rasulullah n tidak mengusir orang-orang Yahudi itu dari Khaibar. Tatkala beliau bertekad mengusir mereka, orang-orang Yahudi itu berkata: “Kami lebih tahu tentang tanah Khaibar daripada kalian. Biarkan kami mengelolanya, separuh hasilnya untuk kalian.”
Ini merupakan bukti kuat bahwa Khaibar ditaklukkan dengan kekerasan.
Kedatangan Ja’far z dari Habasyah
Dalam peristiwa ini, datanglah putera paman beliau Ja’far bin Abi Thalib z dan teman-temannya disertai orang-orang Asy’ariyyin; Abu Musa dan teman-temannya.
Abu Musa z menceritakan:
Sampailah kepada kami berita keluarnya Rasulullah n, ketika kami masih di Yaman. Kamipun berangkat hijrah kepada beliau –saya dengan dua orang saudara– bersama 50 orang lebih dari kabilahku naik kapal. Tapi kami terdampar di kerajaan Najasyi, dan ternyata kami bertemu dengan Ja’far beserta teman-temannya. Dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah n mengutus kami dan memerintahkan kami menetap di sini, maka tinggallah bersama kami.”
Maka kamipun tinggal di sana hingga datang berita takluknya Khaibar. Ketika Khaibar jatuh, kamipun tiba di Madinah. Rasulullah n memberi kami saham dan beliau tidak membagi saham kepada siapapun yang tidak ikut serta dalam perang Khaibar ini, selain kepada para penumpang kapal bersama Ja’far dan teman-temannya.
Begitu melihat Ja’far dan rombongannya, Rasulullah n menyambut dan mencium keningnya seraya berkata:
وَاللهِ مَا أَدْرِي بِأَيّهِمَا أَفْرَحُ بِفَتْحِ خَيْبَرَ أَمْ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ؟
“Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, pembukaan Khaibar ataukah datangnya Ja’far?”2
Dalam peristiwa ini, Rasulullah n diberi hadiah daging panggang oleh seorang wanita Yahudi. Wanita itu adalah istri Salam bin Misykam. Ketika beliau n mencicipinya, daging itu bercerita kepada beliau bahwa dia dibubuhi racun. Maka beliau segera memuntahkannya.
Selain Rasulullah n, ada sahabat yang ikut makan daging tersebut, yaitu Bisyr bin Al-Bara` bin Ma’rur. Beliau gugur setelah memakan daging itu, sedangkan wanita itu kemudian dihukum mati. Demikian diterangkan Ibnu Qayyim t.
Faedah yang Diambil dari Peristiwa Khaibar
Beberapa faedah atau hikmah yang dapat dipetik dari penaklukan Khaibar ini, di antaranya:
1. Pembagian ghanimah, untuk pasukan berkuda tiga bagian, sedangkan pejalan kaki satu bagian.
2. Bila seorang prajurit menemukan makanan, dia boleh memakannya dan tidak masuk dalam khumus (1/5 harta yang harus dibagi).
3. Diharamkannya daging keledai jinak, dan sahih diriwayatkan bahwa alasan pengharamannya karena rijs (najis).
4. Boleh melakukan musaqah (memelihara tanaman orang lain dengan upah sebagian dari hasil buahnya, ed.) dan muzara’ah (mengolah tanah orang lain dengan upah sebagian hasilnya), sebagaimana Rasulullah n mempekerjakan Yahudi Khaibar mengolah tanah tersebut.
5. Bolehnya melakukan akad perdamaian dengan syarat.
6. Ahli dzimmah (yang menerima jaminan), bila melanggar syarat yang ditetapkan, maka tidak ada lagi jaminan atas mereka.
Wallahu a’lam.
1 HR. Ahmad (3/138), sanadnya sahih. Demikian menurut pentahqiq Zadul Ma’ad (3/339).
2 HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir (7, 8), dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
Makkah Menanti Berita
Ibnul Qayyim t mengisahkan, dari Musa bin ‘Uqbah bahwa Quraisy mengadakan pertaruhan besar ketika mendengar keberangkatan Rasulullah n ke Khaibar. Di antara mereka ada yang mengatakan: “Muhammad (n dan para sahabatnya akan menang.” Ada pula yang mengatakan: “Dua sekutu dan Yahudi Khaibar akan menang.”
Waktu itu, Hajjaj bin ‘Ilath As-Sulami telah masuk Islam dan ikut dalam penaklukan Khaibar. Istrinya adalah Ummu Syaibah, saudari Bani ‘Abdid Dar bin Qushay. Hajjaj adalah seorang hartawan besar. Dia mempunyai simpanan kekayaan di tanah Bani Sulaim. Setelah Nabi n menaklukkan Khaibar, Hajjaj mengatakan: “Sesungguhnya saya mempunyai emas pada istri saya. Kalau dia dan keluarganya tahu keislaman saya, niscaya habis harta saya. Maka izinkanlah saya (mengambilnya). Saya akan mempercepat perjalanan mendahului berita ini. Dan pasti saya kabarkan sesuatu bila saya tiba, untuk menyelamatkan harta dan jiwa saya.”
Rasulullah n mengizinkannya. Setibanya di Makkah, dia berkata kepada istrinya: “Sembunyikan aku dan kumpulkan seluruh hartaku. Karena aku ingin membeli ghanimah Muhammad (n) dan para sahabatnya. Mereka telah dikalahkan, harta mereka telah dirampas. Muhammad (n) telah ditawan, dan para sahabatnya telah meninggalkannya. Orang-orang Yahudi bersumpah akan membawa dia ke Makkah kemudian membunuhnya sebagai balasan atas pembunuhan yang dilakukannya di Madinah.”
Akhirnya berita itu tersebar di seantero Makkah. Mendengar berita ini, kaum muslimin semakin tertekan dan berduka cita. Sementara musyrikin menampakkan sukacita dan kebahagiaan mereka.
Sampailah berita ini kepada ‘Abbas z, paman Rasulullah n. Diapun ingin berdiri dan keluar, tapi punggungnya terasa lemah, tidak mampu berdiri. Dia memanggil putranya Qutsam, yang mirip dengan Rasulullah n. Mulailah dia bersenandung dengan suara keras agar tidak dilecehkan oleh musuh-musuh Allah l:
Buah hatiku Qutsam, buah hatiku Qutsam
Mirip si pemilik hidung tinggi (mancung)
Nabi Rabbku Pemilik kenikmatan
Meski tidak disenangi mereka yang tak senang
Lalu berkumpullah beberapa orang di depan rumahnya, baik yang muslim maupun musyrik. Ada yang menampakkan kegembiraan, mengejek dan ada yang seperti mati karena kesedihan dan petaka.
Ketika kaum muslimin mendengar senandung ‘Abbas z dan ketabahannya, tenanglah jiwa mereka. Sedangkan musyrikin mengira ada berita lain yang sampai kepadanya. Kemudian ‘Abbas mengutus pelayannya kepada Hajjaj, dan berkata: “Temui dia, dan katakan kepadanya: ‘Celaka kamu, berita apa yang kau bawa, dan apa yang kau ucapkan ini. Yang Allah l janjikan itu lebih baik dari beritamu ini’.”
Setelah bujang itu berbicara dengannya, Hajjaj berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Abul Fadhl, dan katakan kepadanya: ‘Hendaknya dia temui aku di sebagian rumahnya hingga aku mendatanginya. Karena ada berita yang menyenangkannya’.”
Begitu tiba di pintu rumah, bujang itu berkata: “Gembiralah, wahai Abul Fadhl.” Seketika ‘Abbas z melompat gembira seolah-olah dia belum pernah terkena musibah sama sekali, lalu dia mencium kening bujangnya. Lalu bujang itu menyampaikan perkataan Hajjaj. Mendengar ini, ‘Abbas langsung membebaskan bujang itu, lalu berkata: “Ceritakan apa katanya.”
Bujang itu berkata: “Hajjaj mengatakan: ‘Temui aku di sebagian rumahmu sampai dia datang siang nanti’.”
Setelah Hajjaj datang dan berduaan dengannya, dia minta agar beritanya dirahasiakan untuk sementara. ‘Abbas setuju. Lalu kata Hajjaj: “Aku datang setelah Rasulullah n berhasil menaklukkan Khaibar, merampas harta benda mereka dan berlaku pada mereka pembagian Allah l. Sesungguhnya Rasulullah n telah memilih Shafiyyah bintu Huyai untuk pribadi beliau dan menikahinya. Tapi aku kemari untuk mengambil hartaku. Aku ingin mengumpulkan dan membawanya pergi. Dan aku sudah minta izin kepada Rasulullah n mengucapkan apa yang telah aku sebarkan, lalu beliau izinkan. Maka rahasiakan selama tiga hari, kemudian sebarkanlah apa yang kau mau.”
Istri Hajjaj selesai mengumpulkan harta bendanya kemudian dia bersiap untuk kembali ke Madinah. Setelah lewat tiga hari, ‘Abbas menemui istri Hajjaj dan berkata: “Apa yang dilakukan suamimu?”
Wanita itu berkata: “Sudah pergi.” Dia melanjutkan: “Semoga Allah l tidak membuatmu berduka cita, wahai Abul Fadhl. Sungguh menyusahkan kami juga apa yang menimpamu.”
‘Abbas z segera menimpali: “Betul. Allah l tidak akan membuatku berduka. Dan tidak terjadi –segala puji bagi Allah l– kecuali apa yang aku sukai. Allah l telah memberi kemenangan kepada Rasul-Nya terhadap Khaibar. Dan telah terjadi pembagian Allah l atas mereka. Rasulullah n memilih Shafiyyah untuk dirinya. Kalau engkau ada keperluan dengan suamimu, susullah dia.”
Wanita itu menukas: “Saya kira, demi Allah, anda jujur.”
Kata ‘Abbas z: “Demi Allah, aku jujur. Kenyataannya sebagaimana yang aku utarakan.”
Dia bertanya lagi: “Siapa yang menyampaikan berita ini kepadamu?”
“Yang menyampaikan kepadamu apa yang aku sampaikan kepadamu.”
Kemudian ‘Abbas pergi dan mendatangi majelis pemuka Quraisy. Begitu mereka melihat ‘Abbas, mereka berkata: “Demi Allah, ini betul-betul ketabahan, wahai Abul Fadhl. Tidaklah menimpamu melainkan kebaikan.”
Kata ‘Abbas: “Betul, segala puji bagi Allah. Tidak ada yang menimpaku kecuali kebaikan. Hajjaj telah menceritakan kepadaku demikian, demikian. Dia minta aku menyembunyikan berita ini selama tiga hari karena satu keperluan.”
Akhirnya Allah l kembalikan kesedihan dan kesusahan yang dialami kaum muslimin kepada orang musyrikin. Lalu keluarlah kaum muslimin dari rumah-rumah mereka menemui ‘Abbas. Setelah mereka mendengar berita ‘Abbas, wajah merekapun berseri-seri.1
Membagi Rampasan Khaibar
Usai peperangan, Rasulullah n membagi Khaibar menjadi 36 saham masing-masing terdiri dari 100 saham sehingga semuanya berjumlah 3600 saham. Untuk Rasulullah n dan kaum muslimin separuhnya. Adapun separuhnya untuk segala kepentingan kaum muslimin.
Kata Al-Baihaqi t: “Hal ini karena Khaibar dibebaskan tidak seluruhnya dengan kekerasan. Ada sebagiannya yang diperoleh dengan perdamaian.”
Tetapi Ibnul Qayyim t merajihkan bahwa Khaibar seluruhnya dibebaskan dengan kekerasan. Seandainya ada sebagian yang diperoleh dengan perdamaian, tentu Rasulullah n tidak mengusir orang-orang Yahudi itu dari Khaibar. Tatkala beliau bertekad mengusir mereka, orang-orang Yahudi itu berkata: “Kami lebih tahu tentang tanah Khaibar daripada kalian. Biarkan kami mengelolanya, separuh hasilnya untuk kalian.”
Ini merupakan bukti kuat bahwa Khaibar ditaklukkan dengan kekerasan.
Kedatangan Ja’far z dari Habasyah
Dalam peristiwa ini, datanglah putera paman beliau Ja’far bin Abi Thalib z dan teman-temannya disertai orang-orang Asy’ariyyin; Abu Musa dan teman-temannya.
Abu Musa z menceritakan:
Sampailah kepada kami berita keluarnya Rasulullah n, ketika kami masih di Yaman. Kamipun berangkat hijrah kepada beliau –saya dengan dua orang saudara– bersama 50 orang lebih dari kabilahku naik kapal. Tapi kami terdampar di kerajaan Najasyi, dan ternyata kami bertemu dengan Ja’far beserta teman-temannya. Dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah n mengutus kami dan memerintahkan kami menetap di sini, maka tinggallah bersama kami.”
Maka kamipun tinggal di sana hingga datang berita takluknya Khaibar. Ketika Khaibar jatuh, kamipun tiba di Madinah. Rasulullah n memberi kami saham dan beliau tidak membagi saham kepada siapapun yang tidak ikut serta dalam perang Khaibar ini, selain kepada para penumpang kapal bersama Ja’far dan teman-temannya.
Begitu melihat Ja’far dan rombongannya, Rasulullah n menyambut dan mencium keningnya seraya berkata:
وَاللهِ مَا أَدْرِي بِأَيّهِمَا أَفْرَحُ بِفَتْحِ خَيْبَرَ أَمْ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ؟
“Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, pembukaan Khaibar ataukah datangnya Ja’far?”2
Dalam peristiwa ini, Rasulullah n diberi hadiah daging panggang oleh seorang wanita Yahudi. Wanita itu adalah istri Salam bin Misykam. Ketika beliau n mencicipinya, daging itu bercerita kepada beliau bahwa dia dibubuhi racun. Maka beliau segera memuntahkannya.
Selain Rasulullah n, ada sahabat yang ikut makan daging tersebut, yaitu Bisyr bin Al-Bara` bin Ma’rur. Beliau gugur setelah memakan daging itu, sedangkan wanita itu kemudian dihukum mati. Demikian diterangkan Ibnu Qayyim t.
Faedah yang Diambil dari Peristiwa Khaibar
Beberapa faedah atau hikmah yang dapat dipetik dari penaklukan Khaibar ini, di antaranya:
1. Pembagian ghanimah, untuk pasukan berkuda tiga bagian, sedangkan pejalan kaki satu bagian.
2. Bila seorang prajurit menemukan makanan, dia boleh memakannya dan tidak masuk dalam khumus (1/5 harta yang harus dibagi).
3. Diharamkannya daging keledai jinak, dan sahih diriwayatkan bahwa alasan pengharamannya karena rijs (najis).
4. Boleh melakukan musaqah (memelihara tanaman orang lain dengan upah sebagian dari hasil buahnya, ed.) dan muzara’ah (mengolah tanah orang lain dengan upah sebagian hasilnya), sebagaimana Rasulullah n mempekerjakan Yahudi Khaibar mengolah tanah tersebut.
5. Bolehnya melakukan akad perdamaian dengan syarat.
6. Ahli dzimmah (yang menerima jaminan), bila melanggar syarat yang ditetapkan, maka tidak ada lagi jaminan atas mereka.
Wallahu a’lam.
1 HR. Ahmad (3/138), sanadnya sahih. Demikian menurut pentahqiq Zadul Ma’ad (3/339).
2 HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir (7, 8), dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
Bakhil Terhadap Karunia Allah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)
Bakhil atau kikir tak sebatas berhubungan dengan materi. Perangai ini juga berkaitan dengan keimanan seseorang.
Bakhil atau kikir tak sebatas berhubungan dengan materi. Perangai ini juga berkaitan dengan keimanan seseorang.
Orang yang rendah dan hina tidak akan risih dengan kehinaan yang
disandangnya. Contoh yang sangat nyata adalah keadaan orang-orang yang
bakhil di mana mereka jatuh di mata Allah l serta dibenci oleh manusia.
Oleh karena itu seorang muslim yang baik akan menjauhkan dirinya dari
perangai kebakhilan yang tidak membawa manfaat sedikitpun bagi dunianya,
terlebih untuk akhiratnya. Kebakhilan sangat bertentangan dengan
kesempurnaan iman sebagaimana sabda Nabi n:
لاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيْمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul kebakhilan dan keimanan pada hati seorang
hamba selama-lamanya.” (HR. An-Nasa`i dan Al-Hakim dari Abu Hurairah z,
dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no.
7616)
As-Sindi t menjelaskan: “Yakni tidak sepantasnya bagi mukmin
menggabungkan antara iman dan kebakhilan karena kebakhilan merupakan
sesuatu yang paling jauh dari keimanan.” (Sunan An-Nasa`i wa Hasyiatil
Imam As-Sindi vol. VI/320)
Pengertian Bakhil (Kikir) dan Macam-macamnya
Bakhil adalah mencegah sesuatu yang seharusnya diberikan menurut
ketentuan syariat dan secara etika kesopanan. Misalnya sesuatu yang
wajib diberikan menurut ketentuan syariat adalah menunaikan zakat dan
nafkah kepada keluarga. Sedangkan contoh secara etika kesopanan adalah
tidak menyempitkan dalam pemberian nafkah dan tidak menuntut pada
sesuatu yang remeh. (Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidin hal. 66 cet. Dar
‘Ammar)
Merujuk kepada definisi bakhil tadi maka macam kebakhilan sangatlah
banyak. Ada yang bakhil dengan ilmunya, tenaganya, pikirannya,
lisannya, hartanya, dan yang lainnya. Allah l telah memuji orang yang
dijauhkan dari kebakhilan dirinya dalam firman-Nya:
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Diterangkan Asy-Syaikh As-Sa’di t: “Dipelihara dari kekikiran jiwa
mencakup dijaganya jiwa itu dari kekikiran pada seluruh yang
diperintahkan. Seorang hamba manakala dijaga dari kekikiran jiwanya,
maka dirinya akan bermurah hati untuk melaksanakan perintah-perintah
Allah l dan Rasul-Nya. Ia akan melakukannya dengan (sepenuh) ketaatan
dan ketundukan serta dalam keadaan berlapang dada. Jiwanya (juga) akan
mudah meninggalkan larangan Allah l meskipun jiwa menyukainya dan
mengajak serta menoleh kepadanya. Orang yang jiwanya dijaga dari
kekikiran akan mudah mencurahkan harta di jalan Allah l dan untuk
mencari ridha-Nya. Dengan demikian, ia akan mendapat keberuntungan.
Berbeda dengan orang yang tidak dijaga dirinya dari kebakhilan, bahkan
diuji dengan kebakhilan terhadap kebaikan, yang merupakan pokok dari
kejelekan.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 851 cet. Ar-Risalah)
Sebab-sebab Munculnya Kebakhilan terhadap Harta dan Cara Menangkalnya
Ketahuilah bahwa sebab munculnya kebakhilan adalah cinta harta. Dan cinta kepada harta ada dua sebab:
Pertama: Cinta dengan syahwat (kesenangan jiwa) yang tidak akan
kesampaian kepadanya kecuali dengan harta, di samping adanya angan-angan
yang panjang.
Kedua: Mencintai dzat dari harta itu sendiri. Ada dari manusia yang
memiliki harta yang cukup untuk sepanjang hidupnya (di dunia)
seandainya dia menggunakannya pada perkara yang wajar dan bahkan masih
tersisa beribu-ribu bersamanya. Sementara (terkadang) dia sudah tua dan
tidak punya anak, tetapi dirinya tidak mau mengeluarkan (dari hartanya)
sesuatu yang wajib atasnya. Tidak pula dia mau untuk bersedekah yang
bermanfaat baginya. Padahal jika ia mati, hartanya akan diambil oleh
musuhnya atau akan hilang jika hartanya ditimbun. Penyakit seperti ini
(hampir) tidak bisa diharapkan kesembuhannya. (Mukhtashar Minhajul
Qasidin, Ibnu Qudamah hal. 267)
Al-Imam Ibnu Hibban t berkata: “Orang yang berakal tatkala diberi
oleh Allah l harta di dunia yang fana ini dan mengetahui (akan)
lenyapnya harta darinya serta berpindah kepada yang lainnya dan tahu
bahwa harta tidak bermanfaat baginya di akhirat kecuali apa yang ia
suguhkan berupa amal shalih, hendaknya ia bersungguh-sungguh untuk
menunaikan hak-hak pada hartanya serta melaksanakan yang wajib pada
jalan-jalannya, dengan mengharapkan pahala di kemudian hari dan
(mendapatkan) sebutan yang baik di dunia. Karena kedermawanan akan
mendatangkan kecintaan dan pujian, sebagaimana kebakhilan mendatangkan
celaan dan kebencian. Tidak ada kebaikan pada harta kecuali dengan
adanya kedermawanan….” (Raudhatul ‘Uqala` hal. 235)
Perhatikanlah firman Allah l berikut:
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Ali ‘Imran: 180)
Renungilah ayat ini, bagaimana Allah l telah menyebutkan hal-hal
yang menjadikan seorang hamba tidak bakhil terhadap apa yang diberikan
oleh Allah l.
Pertama: Allah l mengabarkan bahwa apa yang ada pada hamba
merupakan keutamaan dan nikmat dari Allah l, bukan milik hamba. Bahkan
kalau bukan keutamaan dan kebaikan Allah l niscaya tidak akan sampai
kepadanya nikmat itu. Oleh karena itu, orang yang yakin bahwa apa yang
ada di tangannya (dari harta) adalah nikmat dari Allah l, niscaya dia
tidak akan mencegah (dari memberikan) nikmat yang tidak akan
membahayakannya. Bahkan (dengan memberikannya) akan mendatangkan manfaat
baginya pada hati dan hartanya, bertambah keimanannya, serta dijaganya
dari bencana.
Kedua: Apa yang dimiliki hamba (nanti) semuanya kembali kepada
Allah l dan akan diwarisi oleh Allah l. Sehingga tidak ada manfaat untuk
kikir terhadap sesuatu yang akan hilang darimu dan berpindah kepada
selainmu.
Ketiga: Allah l mengetahui seluruh amalan kalian. Konsekuensi dari
hal ini adalah adanya balasan yang baik atas kebaikan, serta adanya
siksaan atas kejelekan. Dengan ini, orang yang dalam hatinya ada
keimanan sekecil apapun tidak akan absen dari berinfak dengan sesuatu
yang akan mendapatkan pahala. Dia juga tidak akan ridha dengan
kebakhilan yang mendatangkan siksa.” (Lihat Taisir Al-Karimir Rahman
hal. 158-159)
Kebakhilan Penyakit yang Berbahaya
Penyakit yang menimpa badan seseorang dengan berbagai macamnya
tidak lebih berat dari penyakit yang menerpa hatinya. Karena kerugian
yang ditimbulkan dari jenis penyakit ini sangat kompleks. Yang
terbesarnya adalah terkikisnya keimanan dan terhambatnya seseorang untuk
sampai kepada surga Allah l. Manakala penyakit yang menimpa badan tidak
bisa disembuhkan di dunia, maka akan selesai dengan kematian. Sedangkan
penyakit hati, bila di dunia ini tidak segera disembuhkan maka akan dia
bawa di alam kuburnya dan akhirat nanti. Jika demikian lalu mengapa
kebanyakan orang jika badannya terkena penyakit berusaha untuk
mengobatinya meski harus menghabiskan harta bendanya, sementara jika
hatinya dihinggapi penyakit-penyakit kronis semacam bakhil, sombong,
suka kepada kemaksiatan dan bermalas-malasan dalam menjalankan ketaatan,
jarang yang berusaha menyembuhkannya?!
Inilah Nabi kita Muhammad n berlindung dari kebakhilan. Padahal
beliau berada pada puncak keimanan. Hal itu menandakan betapa penyakit
ini harus selalu diwaspadai. Nabi n dalam sebuah doanya mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan,
kemalasan, sikap pengecut, kepikunan, dan kebakhilan.” (HR. Muslim)
Pernah suatu saat Nabi n bertanya kepada Bani Salimah, tentang
siapa pemimpin mereka. Maka mereka menjawab: “Pemimpin kami adalah Judd
bin Qais, hanya saja kami menilainya orang yang bakhil.” Nabi n
bersabda: “Penyakit mana yang lebih besar daripada kebakhilan? Bahkan
pemimpin kalian adalah ‘Amr bin Al-Jamuh.” Adalah ‘Amr dahulu membuatkan
walimah bagi Nabi n bila beliau n menikah. (Shahih Al-Adab Al-Mufrad
no. 227)
Ancaman untuk Orang yang Bakhil
Janganlah seseorang mengira jika ia bakhil dengan apa yang wajib
dicurahkan kepada orang lain bahwa itu bagus buat mereka, bahkan itu
jelek bagi mereka, baik terhadap agama atau dunia mereka. Allah l
berfirman:
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat.” (Ali ‘Imran: 180)
Di antara hukumannya di dunia akan ditimpakan paceklik, tertahannya
hujan, dikutuk oleh Nabi n, dicabutnya barakah pada hartanya serta
dibinasakan (hartanya), juga memperoleh kebencian dari makhluk. Nabi n
bersabda:
مَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلَّا ابْتَلَا هُمُ اللهُ بِالسِّنِيْنَ
“Tidaklah suatu kaum mencegah (dari memberikan) zakat kecuali Allah
akan menguji mereka dengan paceklik.” (HR. Ath-Thabarani, lihat Shahih
At-Targhib no. 758)
Nabi n juga bersabda (yang artinya):
“Tidak ada hari yang manusia berada di pagi hari kecuali turun dua
malaikat, salah satunya berkata: ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang
yang berinfak’; dan yang lainnya mengatakan: ‘Ya Allah, berilah
kebinasaan kepada orang yang bakhil’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun ancaman di hari akhirat sungguh lebih dahsyat. Di antaranya
bahwa hartanya akan dijadikan lempengan yang panas lalu diseterikakan
pada lambung, dahi, dan punggungnya. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas
perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung,
dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35)
Harta yang tidak ia keluarkan zakatnya kalau itu berupa unta, sapi,
dan kambing maka nanti di padang Makhsyar akan menanduk dan
menginjak-injak pemiliknya, dari awal hingga akhir. Terus menerus, pada
suatu hari yang ukurannya 50.000 tahun, sampai diputuskan di antara para
hamba seperti dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu
Hurairah z.
Disebutkan pula di antara siksaannya bahwa hartanya akan dijadikan
ular yang melilit lehernya dan memakan tubuhnya. (Lihat Shahih
At-Targhib no. 751 dan 754)
Demikianlah nasib orang yang tidak mensyukuri pemberian Allah l,
bukanlah ketenangan dunia yang didapat dan bukan pula kenikmatan atau
akhirat yang digapai.
Orang yang Paling Bakhil
Kebakhilan bertingkat-tingkat. Ada yang bakhil pada dirinya dan
menyuruh orang untuk bakhil, bahkan memuji dan membela orang yang
bakhil. Allah l berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat
kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada
mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan.” (An-Nisa`: 37)
Termasuk orang yang paling bakhil adalah yang bakhil dengan salam. Nabi n bersabda:
أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجَزَ عَنِ الدُّعَاءِ وَأَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلَامِ
“Manusia yang paling lemah ialah yang melemah dari memohon (kepada
Allah), dan manusia yang paling bakhil ialah yang bakhil dengan salam.”
(HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dan dinyatakan sanadnya bagus dan
kuat oleh Al-Mundziri t)
Maksudnya, orang yang paling lemah pikirannya dan buta penglihatan
hatinya adalah orang yang lemah dari meminta kepada Allah l, terutama di
saat kesulitan. Hal itu karena ia telah meninggalkan perintah Allah l
(untuk memohon kepada-Nya) dan meremehkan sesuatu yang tidak ada
kesulitan padanya. Demikian pula orang yang paling bakhil adalah yang
bakhil dengan salam terhadap kaum mukminin yang ia temui, bak yang ia
kenal maupun yang tidak. Padahal yang demikian tidak membutuhkan banyak
modal, namun besar pahalanya. Tidak ada yang meremehkan yang seperti ini
kecuali orang yang bakhil dengan kebaikan dan mencegah dirinya dari
mendapat pahala. Orang seperti ini dikatakan paling bakhil, karena orang
yang bakhil dengan hartanya masih ada sisi kewajaran karena harta
umumnya disukai oleh jiwa. Adapun mengucapkan salam tidak perlu
mengeluarkan biaya. (Lihat Faidhul Qadir, 1/710-711)
Nabi n bersabda:
الْبَخِيْلُ الَّذِي ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil adalah yang aku disebut di sisinya lalu dia tidak bershalawat kepadaku.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3546)
Ini adalah kebakhilan yang paling jelek. Padahal bila dia
bershalawat kepada Nabi n sekali shalawat, Allah l akan bershalawat
kepadanya sepuluh shalawat. Adakah orang yang lebih bakhil daripada
orang yang bakhil atas dirinya untuk tidak mendapat pahala?
Hikayat Orang-orang Bakhil
Manusia dalam segala halnya ada yang cenderung berlebih-lebihan dan
ada pula yang meremehkan. Sangat jarang yang bersikap tengah-tengah.
Tidak terkecuali dalam menyikapi harta benda. Ada dari mereka yang
memubadzirkan hartanya sehingga habis hartanya dan terpaksa
meminta-minta. Adapula yang sangat kikir sampai-sampai dirinya sendiri
tidak mendapat bagian dari hartanya, apalagi orang lain.
Disebutkannya beberapa contoh dari orang-orang yang bakhil oleh
ulama dalam kitab-kitab mereka adalah untuk dijadikan ibrah (pelajaran)
bahwa kebakhilan setidaknya telah menjadikan lembaran sejarah seseorang
menjadi tercoreng. Hal ini akan mendorong orang untuk menjauhi perangai
yang tercela ini.
q Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c bahwa dahulu ada seorang lelaki
bangsawan Arab yang bernama Hajib. Dia seorang yang bakhil. Ia tidak mau
menyalakan api di malam hari (untuk penerang) karena tidak ingin ada
orang yang melihat api yang dinyalakan, lalu mengambil manfaat dari
cahayanya. Jika ia ingin menyalakan api, ia pun menyalakannya. Namun
bila ada orang yang ikut memanfaatkan cahaya apinya, ia pun
memadamkannya.
q Ada seorang lelaki paling jeleknya biasa menyapu masjid-masjid
dan mengumpulkan debu masjid, lalu ia membuat debu tadi menjadi batu
bata. Dia ditanya: “Untuk apa batu bata ini?” Ia menjawab: “Ini debu
yang diberkahi dan aku ingin (kalau mati) mereka menjadikan bata-bata
itu di atas liang lahatku.” Tatkala orang ini mati, dijadikanlah bata
itu di atas lahatnya. Dan bata itu lebih, sehingga sisa bata itu mereka
buang di rumah. Tatkala turun hujan, batu bata itu terbelah hancur.
Ternyata di dalamnya ada uang emas. Lalu orang-orang pergi ke kuburan
orang tersebut dan mengambil batu batanya. Ternyata seluruh batu bata
itu berisi penuh uang emas miliknya.
q Dahulu ada seorang yang bakhil mempunyai dua anak laki-laki dan
satu perempuan. Ketika ia sakit keras dikerumuni oleh keluarganya, ia
berkata kepada salah seorang anak laki-lakinya yang akan dikhususkan
dengan pemberian untuk tidak beranjak keluar. Sang ayah mengatakan
kepadanya bahwa ia punya uang seribu dinar di suatu tempat. Jika ia mati
maka anak laki-laki ini yang akan mengambilnya. Ketika orang ini sakit
keras, sang anak pergi dan mengambil harta itu. Ternyata sang ayah
sembuh sementara harta sudah di tangan anak laki-lakinya. Ia memintanya
namun sang anak tidak memberinya. Tatkala sang anak sakit keras dan
hampir mati, sang ayah meminta dengan sangat agar hartanya diberikan
karena khawatir harta akan hilang sia-sia. Sang anak akhirnya
menunjukkan tempat disimpannya harta itu. Lalu sang ayah mengambilnya.
Pada suatu saat sang ayah sakit keras maka anak tadi meminta ditunjukkan
tempat penimbunan harta itu. Tetapi sang ayah tidak mau menunjukkannya
dan ia mati, sedangkan hartanya lenyap tidak diketahui. (Lihat
Mukhtashar Minhajul Qasidin hal. 264 dan Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi
hal. 608-612, cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Hikayat orang-orang bakhil sangat panjang. Cukup bagi kita untuk
mengetahui seberapa mengerikannya hukuman atas orang yang bakhil dan
celaan yang terus menerus atas mereka. Ini balasan terhadap orang yang
tidak syukur nikmat. Sebagai orang muslim kita yakin akan janji Allah l
dan Rasul-Nya bahwa orang yang memberikan hartanya untuk kebaikan
niscaya Allah l memberi ganti yang lebih baik. Allah l berfirman:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya.” (Saba`: 39)
Nabi n bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Shadaqah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Sejarah telah membuktikan bahwa orang yang mengimani firman Allah l
dan sabda Nabi n tersebut lalu mengamalkannya maka Allah l berkahi
hartanya dan dijaga dari kejahatan. Sehingga hartanya terus bertambah
dan namanya senantiasa harum. Tetapi jika sebaliknya, maka Allah l cabut
barakah dari hartanya serta dilenyapkan-Nya. Ada yang habis hartanya
karena dicuri, kebanjiran, untuk berobat, ditipu, dan yang lainnya. Ini
baru sebagian hukuman dunia, dan di akhirat tentunya lebih dahsyat.
Orang yang berakal tentu bisa melihat jalan mana yang sekiranya akan
ditempuh.
Akhirul kalam, hanya kepada Allah l kita memohon agar Ia menjadikan
kita orang yang mensyukuri nikmat-Nya dan agar tidak menjadikan dunia
sebagai puncak tujuan kita. Wallahu a’lam bish-shawab.
Menuntut Hak dengan Menghancurkan Hak, Tabiat Manusia
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
Sudah menjadi tabiatnya, manusia lebih sering menuntut daripada menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Bahkan jika hak mereka telah terpenuhi sekalipun, tak tergambar rasa syukur sedikitpun pada sebagian mereka.
Sudah menjadi tabiatnya, manusia lebih sering menuntut daripada menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Bahkan jika hak mereka telah terpenuhi sekalipun, tak tergambar rasa syukur sedikitpun pada sebagian mereka.
Manusia dan Asal Kejadiannya
Tidak ada yang memungkiri bahwa manusia berasal dari setetes air
yang hina, jijik, dan kotor. Allah l menguji dengan penciptaan dari air
yang kotor ini, apakah manusia itu akan mau ingat asal muasalnya lalu
merenunginya, ataukah dia lupa lalu tertipu dengan dirinya sendiri?
(Tafsir As-Sa’di hal. 833)
Juga agar manusia sadar dan tidak menyombongkan diri di hadapan Allah l.
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (An-Nahl: 4)
“Dan apakah manusia tidak memerhatikan bahwa Kami menciptakannya
dari setetes air (mani) maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!”
(Yasin: 77)
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t (no. 3208 dan 6594) serta Muslim t (no. 2643) dari sahabat Abdullah bin Mas’ud z:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ
يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ
مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Setiap orang dari kalian dihimpun penciptaannya di dalam perut
ibunya 40 hari menjadi mani, kemudian menjadi darah seperti itu juga,
dan kemudian menjadi daging seperti itu juga.”
Manusia dan Tabiatnya
Di dalam Al-Qur`an Allah l telah menjelaskan tabiat buruk manusia
agar mereka berusaha keluar dari tabiat tersebut lalu memperbaiki diri.
Berusaha menjadi orang yang selalu berada dalam bimbingan ilmu Islam.
Hal ini tidak bertentangan dengan keterangan Allah l bahwa mereka
diciptakan di atas fitrah. Di antara tabiat-tabiat tersebut adalah:
a. Berkeluh kesah, kikir, dan rakus.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila mendapat
kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”
(Al-Ma’arij: 19-22)
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling
dan menjauhkan diri; tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka ia banyak
berdoa.” (Fushshilat: 51)
Rasulullah n bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ ماَلٍ لاَبْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ
“Dan jika anak Adam memiliki dua lembah emas niscaya dia akan
mencari yang ketiga dan tidak ada yang menuntaskan keinginannya kecuali
tanah.”1
b. Selalu menzalimi dirinya lagi jahil
“Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah l).” (Ibrahim: 34)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi,
dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab:
72)
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-‘Alaq: 6-7)
c. Banyak ingkar
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (Al-‘Adiyat: 6)
d. Tergesa-gesa
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku
perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta
kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.” (Al-Anbiya`: 37)
e. Tidak berterima kasih
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya
dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah
memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya
maka dia berkata: ‘Rabbku telah menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16)
Manusia Menuntut Hak
Dengan kejelekan tabiatnya, akan bisa dibayangkan apa yang akan
diperbuat manusia saat menuntut kemerdekaan dan semua hak tanpa
memerhatikan kewajiban dan hak orang lain. Dia mengharapkan haknya
dipenuhi oleh Allah l, namun dia justru bermaksiat kepada-Nya. Dia
mengharapkan kecintaan dari semua pihak, tetapi dia sendiri menzalimi
orang lain, dan begitu seterusnya. Jika setiap manusia tidak berusaha
meluruskan sifat-sifat dan tabiatnya niscaya ia akan terus berada dalam
kerusakan. Sehingga jika akhirnya manusia harus merasakan akibatnya,
janganlah sekali-kali mengambinghitamkan orang lain.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
(An-Nisa`: 79)
فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
“Maka barangsiapa yang menemukan balasannya adalah kebaikan,
hendaklah dia memuji Allah. Barangsiapa yang menjumpai balasannya adalah
selain itu (kejelekan) maka janganlah dia mencela melainkan dirinya
sendiri.”2
Manusia Diciptakan untuk Menuntut Hak?
Manusia diciptakan oleh Allah l untuk sebuah tujuan yang agung dan
besar, mulia dan tinggi. Karena tujuan inilah Allah l mengutus para
rasul, menurunkan kitab-kitab-Nya, menciptakan langit dan bumi, surga
dan neraka, menentukan adanya hari hisab, ganjaran kebaikan dan
timbangan amal. Tujuan yang mulia ini telah disebutkan oleh Allah l di
dalam kitab-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Karena tujuan inilah Allah l telah mempersiapkan ganjaran yang
besar atas jerih payahnya dalam mengemban tugas di dunia ini. Beribadah
merupakan kewajiban yang besar di hadapan Allah l sekaligus merupakan
hak Allah l yang paling besar. Jika manusia menuntut hak-haknya, maka
janganlah ia menutup mata dari hak Penciptanya. Manusia wajib
mengutamakan hak-hak Allah l dari hak selain-Nya. Rasulullah n pernah
bertanya kepada Mu’adz bin Jabal z:
يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ
الْعِبَادِ عَلىَ اللهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:
حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا
“Hai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak
hamba atas Allah?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui.” Beliau berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.”3
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra`: 23)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa`: 36)
“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Rabbmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia’.”
(Al-An’am: 151)
Allah l Mengutus Para Nabi untuk Menyampaikan Hak Allah l
Allah l mengutus para nabi dan rasul dengan satu misi, memberitahu
segenap hamba-hamba Allah l akan besarnya hak Allah l, serta jangan
sekali-kali mereka menghancurkan dan menyia-nyiakannya.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.”
(An-Nahl: 36)
Jenis hak inilah yang ditentang oleh kebanyakan orang. Oleh karena
inilah, Allah l mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan
Aku maka sembahlah Aku olehmu sekalian’.” (Al-Anbiya`: 25)
Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan: “Allah l telah memberitahukan
bahwa hujjah-Nya telah tegak di hadapan seluruh umat. Tiada satupun dari
umat terdahulu ataupun belakangan melainkan Allah l telah mengutus
kepada mereka seorang rasul, yang semuanya berada di atas satu dakwah
dan satu agama, yaitu beribadah hanya kepada Allah l tiada sekutu
bagi-Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 393)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t berkata dalam Kitab At-Tauhid: “Bahwa agama para nabi adalah satu.”
Manusia Memiliki Hak Atas Pencipta-Nya
Allah l telah mempersiapkan berbagai hak bagi hamba-hamba-Nya yang
melaksanakan tugas dalam memenuhi hak Allah l. Namun hak ini
–sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t–:
“Orang yang taat berhak mendapatkan ganjaran adalah pemberian hak yang
merupakan keutamaan dan nikmat dari Allah l, bukan sebuah bentuk timbal
balik sebagaimana yang berlaku pada makhluk. Sebagian orang mengatakan
tidak ada istilah pemberian hak, akan tetapi sebuah janji, dan janji-Nya
adalah benar. Adapula sebagian orang yang menetapkan hak lebih dari
makna yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah (seperti):
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Rum: 47)
Akan tetapi Ahlus Sunnah mengatakan Dialah Allah yang telah
mewajibkan atas diri-Nya untuk memberikan rahmat dan hak. Tidak ada
seorangpun dari makhluk-Nya yang mewajibkan-Nya.” (Fathul Majid hal. 41)
Allah l telah berjanji dan Dia tidak akan mengingkari janji untuk memenuhi hak-hak bagi orang yang taat kepada-Nya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit.” (An-Nisa`: 124)
“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya
pahala yang terbaik sebagai balasan dan akan Kami titahkan kepadanya
(perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami.” (Al-Kahfi: 88)
“Dan orang-orang yang beriman dan beramal shalih, benar-benar akan
Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami
beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”
(Al-‘Ankabut: 7)
Mu’tazilah, Jabriyyah, Qadariyyah, dan Hak
Tidak ada seorangpun yang telah mencium bau As-Sunnah meragukan
kesesatan mereka dalam agama dan (menganggap) mereka dari kalangan kaum
muslimin. Mereka tersesat karena sesatnya jalan mereka dalam beragama.
Pada edisi-edisi yang telah lewat telah dibahas dengan tuntas
–alhamdulillah– siapakah Mu’tazilah, Qadariyyah, dan Jabriyyah berikut
paham-paham mereka.
Dalam hal hak, Qadariyyah dan Mu’tazilah mengatakan: “Wajib bagi
Allah l untuk menunaikan hak bagi makhluk-Nya, karena hamba itu sendiri
yang memilih ketaatan kepada-Nya tanpa Dia menjadikan mereka taat.”
Artinya, hamba-hamba ini wajib untuk mendapatkan balasan sekalipun Allah
l tidak mewajibkan atas diri-Nya.
Jabriyyah menyatakan: “Allah l tidak mewajibkan atas diri-Nya
(memberikan) rahmat, karena Allah-lah satu-satunya yang berkuasa dan
berbuat dalam kekuasaan-Nya. Maka tidak ada hak bagi seorang hamba atas
Allah l, namun ini disebutkan hanya dalam bahasa kiasan.”
Adapun ahlul haq dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan: “Allah l
telah menjanjikan akan membalas mereka, tanpa ada seorangpun dari
makhluk-Nya yang mewajibkan atas Allah l. Dan Dialah yang menentukan
rahmat bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah yang mewajibkan atas
diri-Nya sendiri.” (Fathul Majid hal. 41)
Manusia Menuntut Hak, Melanggar Hak
Hak yang ditanggung manusia teramat banyak. Semua hak ini terhimpun
dalam wujud ketaatan kepada Allah l. Artinya, jika manusia itu menaati
segala aturan Allah l, perintah-Nya mereka kerjakan dan
larangan-larangan-Nya mereka tinggalkan, niscaya dia telah melepaskan
dirinya dari kewajiban. Dia telah berbuat sesuatu yang besar untuk
mendapatkan haknya.
1. Manusia melanggar hak Allah l
Yakni dengan melakukan berbagai bentuk kesyirikan dalam beribadah
kepada-Nya, kekufuran dengan berbagai macam coraknya, kemaksiatan dengan
berbagai macam warnanya. Padahal Allah l menjelaskan:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad
(no.18), Ibnu Majah (no. 3034) dan disahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahihul Jami’ (no. 7339) dan Al-Irwa` (7/89-91) dengan syahid-syahid
(pendukung-pendukung)nya, serta dihasankan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad
(no. 14), dari sahabat Abud Darda` z, Rasulullah n bersabda:
لَا تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ
“Janganlah kamu menyekutukan Allah sedikitpun walaupun kamu dipotong dan dibakar.”
2. Manusia Melanggar Hak Rasulullah n
Yakni dengan melanggar segala bimbingannya, menentang segala
perintahnya, menyelisihi sunnah-sunnahnya, serta mengambil petunjuk
selain dari petunjuk beliau.
Rasulullah n bersabda dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 7280) dari sahabat Abu Hurairah z:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ
الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Mereka
bertanya: “Siapa yang enggan itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda:
“Barangsiapa taat kepadaku maka dialah yang mau masuk surga dan
barangsiapa yang memaksiatiku maka dialah yang enggan.”
3. Manusia melanggar hak agamanya
Dengan melanggar segala aturan dan merusak kesempurnaannya. Padahal Allah l menjelaskan:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Saudaraku…
Hak apakah yang engkau tuntut, sementara hak Allah l, rasul dan
agama-Nya engkau runtuhkan? Tunaikanlah kewajibanmu sebelum menuntut dan
membela hakmu. Hakmu pasti terpenuhi jika engkau melaksanakan kewajiban
dengan pengajaran Rasulullah n.
Wallahu a’lam.
Teori Evolusi Melanggar Hak Allah dan Rosulnya
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc.)
Dari kebebasan berpikir berlandas kekufuran muncullah teori evolusi.1 Hak-hak Allah l dan rasul- rasul-Nya, bahkan seluruh manusia dilecehkan oleh teori ini. Berita Allah l dan Rasul-Nya n tentang penciptaan Adam dan Hawa pun ditolak. Anehnya, teori ini tetap bertahan dan tersebar di tengah kaum muslimin melalui kurikulum-kurikulum pendidikan. Sabda Rasulullah n berikut perlu kita renungkan sebagai timbangan syariat yang memutuskan kebatilan teori ini.
Dari kebebasan berpikir berlandas kekufuran muncullah teori evolusi.1 Hak-hak Allah l dan rasul- rasul-Nya, bahkan seluruh manusia dilecehkan oleh teori ini. Berita Allah l dan Rasul-Nya n tentang penciptaan Adam dan Hawa pun ditolak. Anehnya, teori ini tetap bertahan dan tersebar di tengah kaum muslimin melalui kurikulum-kurikulum pendidikan. Sabda Rasulullah n berikut perlu kita renungkan sebagai timbangan syariat yang memutuskan kebatilan teori ini.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ z عَنِ النَّبِيِّ n قَالَ: خَلَقَ اللهُ
آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّوْنَ ذِرَاعًا ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى
أُولَئِكَ مِنَ الـْمَلاَئِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّوْنَكَ تَحِيَّتَكَ
وَتَحِيَّةَ ذُرِّيَّتكَ. فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالُوْا:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللهِ،
فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْـجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ، فَلَمْ يَزَلِ
الْـخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ
Dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda: “Allah
menciptakan Adam dan tingginya 60 dzira’ (hasta). Kemudian Allah
berfirman kepada Adam: ‘Pergilah, ucapkan salam kepada mereka para
malaikat. Lalu dengarlah salam mereka kepadamu, sebagai salammu dan
salam keturunanmu!’ Maka Adam berkata: ‘Assalamu’alaikum.’
Malaikat-malaikat Allah menjawab: ‘Assalaamu’alaika warahmatullah’
–mereka menambahnya dengan ‘warahmatullah’. Maka semua orang yang masuk
jannah (tinggi badannya) seperti Adam. Dan manusia terus menerus
berkurang (ketinggiannya) hingga saat ini.”
Takhrij Hadits
Hadits ini shahih dan tergolong hadits-hadits muttafaqun ‘alaihi.
Al-Imam Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan’ani meriwayatkannya dalam
Al-Mushannaf, Kitabul Jami’ Bab Kaifa As-Salam war Radd (10/384, no.
19435) dari jalan Ma’mar bin Rasyid dari Hammam bin Munabbih dari Abu
Hurairah z.2
Melalui jalan Abdurrazzaq, imam-imam ahlul hadits mengeluarkan
hadits Abu Hurairah z. Di antara mereka adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal t
dalam Al-Musnad (2/315). Demikian pula Al-Imam Al-Bukhari t di dua
tempat dalam Shahih-nya, Kitab Al-Anbiya` r, Bab Khalqu Adam
Shalawatullahi ‘alaihi wa Dzurriyatihi (no. 3326) dan dalam Kitab
Al-Isti`dzan, Bab Bad`us Salam (11/3, no. 6227), dengan syarah Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani t), juga dalam Al-Adabul Mufrad (no. 978). Adapun
Al-Imam Muslim t, beliau meriwayatkannya dalam Ash-Shahih Kitab
Al-Jannah wa Shifatu Na’imiha wa Ahliha (17/178, dengan syarah An-Nawawi
t), juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah t dalam Kitab At-Tauhid
(1/93-94), Ibnu Hibban t dalam Shahih-nya (no. 6162), Ibnu Mandah t
dalam Ar-Radd ‘alal Jahmiyah (hal. 41-42), dan Al-Baihaqi t dalam
Al-Asma` wash Shifat (hal. 289-290).
Selain dari jalan Abdurrazzaq, hadits ini juga diriwayatkan
At-Tirmidzi t dalam As-Sunan (no. 3368), An-Nasa`i t dalam ‘Amalu
Al-Yaum wal Lailah (no. 218 dan 220), Ibnu Hibban t dalam Shahih-nya
(no. 6167), Al-Hakim t dalam Al-Mustadrak (1/64), dan Al-Baihaqi t dalam
Al-Asma` wash Shifat (hal. 324-325). Semuanya dari jalan Al-Harits bin
Abi Dzubab dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah z.
Lafadz hadits yang kita sebutkan adalah lafadz Al-Bukhari t dalam Shahih-nya Kitab Al-Anbiya`.
Makna Hadits
Hadits ini menerangkan penciptaan Adam q dalam bentuk yang sempurna, fisik, dan akalnya.
Dari sisi fisik, Allah l ciptakan beliau dengan kesempurnaan badan
dan anggota tubuh. Adam q diciptakan dengan tinggi 60 hasta, sebagaimana
sabda Rasulullah n:
خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّوْنَ ذِرَاعًا
“Allah menciptakan Adam, dan tingginya 60 dzira’ (hasta).”
Adapun dari sisi akal dan rohani, Allah l ciptakan Adam dalam
keadaan memiliki akal sempurna, mampu mengenal dan memahami, sebagaimana
ditunjukkan hadits Abu Hurairah z ini. Di mana Allah l memerintahkan
Adam q menuju sekelompok malaikat lalu mengucapkan salam kepada mereka
serta memerhatikan jawaban malaikat atas salam yang diucapkannya.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa Adam q tidak seperti keturunannya
dalam proses penciptaan. Allah l ciptakan dengan ketinggian 60 hasta
tanpa tahapan yang dilalui sebagaimana anak keturunannya, di mana mereka
mengalami perkembangan dimulai dari nutfah (air mani) kemudian ‘alaqah
(segumpal darah) kemudian mudhghah (segumpal daging). Sebagaimana hal
ini Allah l firmankan di awal surat Al-Mu`minun3, dan Rasulullah n
sabdakan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud z tentang proses terbentuknya
manusia dalam rahim ibunya.
Rasulullah n mengabarkan bahwa ketinggian Adam tidak berlanjut pada
seluruh keturunannya. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini,
keturunan Adam q akan terus berkurang tinggi tubuhnya hingga mencapai
ketinggian yang kita saksikan pada umat Nabi Muhammad n.4
Faedah berikutnya dari hadits ini, Rasulullah n mengabarkan bahwa
ahlul jannah akan masuk ke dalamnya dengan ketinggian 60 hasta, serupa
dengan bapak mereka Adam q. Dalam hadits lain Rasulullah n bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُوْرَةِ
الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَالَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ عَلَى أَشَدِّ
كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ إِضَاءَةً، لاَ يَبُوْلُونَ وَلاَ
يَتَغَوَّطُونَ وَلاَ يَتْفُلُوْنَ وَلاَ يَمْتَخِطُونَ، أَمْشَاطُهُمُ
الذَّهَبُ وَرَشْحُهُمُ الْمِسْكُ وَمَجَامِرُهُم الْأَلُوَّةُ
وَأَزْوَاجُهُمْ الْحُوْرُ الْعِينُ عَلَى خَلْقِ رَجُلٍ وَاحِدٍ عَلىَ
صُورَةِ أَبِيهِ آدَمَ سِتُّونَ ذِرَاعًا فِي السَّماءِ
“Sesungguhnya rombongan pertama yang masuk jannah seperti bulan di
malam purnama, dan rombongan berikutnya bercahaya seperti
bintang-bintang yang sangat gemerlap laksana mutiara di langit. Mereka
tidak kencing, tidak buang air besar, tidak meludah, tidak pula membuang
ingus. Sisir-sisir mereka dari emas, keringat mereka misik, dan
pengasapan mereka adalah al-aluwwah (kayu gaharu). Istri-istri mereka
adalah Al-Hurul ‘Iin (bidadari-bidadari bermata jeli), dengan perawakan
yang serupa sama dengan bapak mereka Adam, setinggi 60 hasta.”5
Ayat-ayat Al-Qur`an tentang Kesempurnaan Penciptaan Adam
Pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda), di samping
hadits Abu Hurairah z di atas, ayat-ayat Al-Qur`an telah menerangkan
kesempurnaan penciptaan Adam dan keturunannya. Allah l berfirman:
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di t berkata tentang ayat ini:
“Maksudnya, Allah l telah ciptakan manusia dengan penciptaan yang
sempurna. Serasi susunan anggota badannya, memiliki tubuh tegak, tidak
terluput sedikitpun dari apa yang dibutuhkan, baik perkara lahir atau
batin.” (Taisir Al-Karimir Rahman, 7/648)
Dari Ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah n tentang
Adam baik berkaitan dengan proses penciptaan, bentuk fisik atau waktu
penciptaannya6, dapat dipahami bahwa Allah l menciptakan Adam dengan
sempurna. Allah l juga memuliakan beliau dengan berbagai kemuliaan. Di
antara kemuliaan tersebut:
Pertama: Allah l ciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah l:
“Allah berfirman: ‘Hai Iblis, apa yang menghalangimu sujud kepada
(Adam) yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi?’.” (Shad: 75)
Kedua: Allah l ajarkan ilmu nama-nama segala sesuatu kepada Adam, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya. Kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman:
‘Sebutkanlah (oleh kalian) kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian
memang orang-orang yang benar!’.” (Al-Baqarah: 31)
Ibnu Katsir t berkata: “Dalam ayat ini ada kemuliaan Adam atas
malaikat, dengan apa yang Allah l khususkan untuknya berupa ilmu
nama-nama segala sesuatu yang tidak (diberikan) untuk malaikat.” (Tafsir
Ibnu Katsir (1/94))
Ketiga: Allah l perintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. Allah l berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat:
‘Sujudlah kalian kepada Adam.’ Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang
kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Tiga kemuliaan ini disebutkan Rasulullah n dalam hadits syafaat
yang masyhur, ketika manusia berada di Mahsyar mendatangi Adam q. Mereka
berkata kepadanya:
خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَأَسْجَدَ لَكَ مَلاَئِكَتَهُ وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلَّ شَيءٍ
“Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya, memerintahkan
malaikat-malaikat-Nya untuk sujud kepadamu, serta mengajarkan kepadamu
nama-nama segala sesuatu.”7
Keempat: Allah l tempatkan Adam dan Hawa di jannah-Nya, sebelum
Allah l turunkan ke muka bumi karena dosa yang dilakukan keduanya. Allah
l berfirman:
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu
jannah ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di
mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim’.” (Al-Baqarah: 35)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Di antara
faedah-faedah ayat ini adalah Allah l memberikan nikmat kepada Adam dan
Hawa, di mana Allah l tempatkan keduanya dalam jannah.” (Tafsir Surat
Al-Baqarah, 1/130)
Jannah yang ditempati Adam q adalah Jannatul khuldi yang akan
dimasuki anak keturunannya dari kalangan orang-orang yang beriman
setelah hari kebangkitan, sesudah mereka melewati Ash-Shirath
(jembatan), bukan jannah yang lain. Inilah yang ditunjukkan dzahir
Al-Kitab dan As-Sunnah. Ibnul Qayyim t berkata dalam Mimiyah-nya8:
فَحَيَّ عَلىَ جَنَّاتِ عَدْنٍ فَإِنَّهَا
مَنَازِلُكَ الْأُولَى وَفِيهَا الْـمُخَيَّمُ
Maka kemarilah menuju jannah ‘Adn! Sesungguhnya dia adalah * Tempat tinggalmu pertama, dan di dalamnya ada kemah-kemah
Maksud ucapan Ibnul Qayyim: “Tempat tinggalmu pertama” dalam bait
syair di atas, bahwasanya jannah yang akan dimasuki kaum muslimin
setelah hari kebangkitan adalah jannah yang pertama kali dahulu
ditempati Adam q bapak manusia.
Teori Darwin, Pelecehan terhadap Hak Rasul-rasul Allah l dan Manusia
Di tengah maraknya kampanye hak asasi manusia, ada hal yang
seharusnya kita tanyakan kepada mereka para pejuang HAM, dan tentunya
pertanyaan ini juga untuk kita masing-masing: sudahkah hak Allah l dan
rasul-rasul-Nya kita penuhi? Atau justru slogan hak asasi manusia
dijadikan sebagai alat untuk mengesampingkan hak Allah l dan Rasul-Nya
n?
Ketika kita tilik, ternyata HAM telah disalahgunakan untuk
menggeser hak-hak Allah l dan Rasul-Nya n. Sebagai misal, di saat Allah l
telah menetapkan syariat berkaitan dengan hukum waris, di mana Allah l
menentukan bahwa bagian anak perempuan separuh dari anak laki-laki, maka
dengan dalih pembelaan hak dan keadilan, sebagian manusia menyalahkan
hukum Allah l dan Rasul-Nya n. Mereka mengatakan bahwa hukum waris Islam
tidak adil, hukum waris Islam tidak lagi relevan di zaman emansipasi,
tidak lagi cocok untuk masyarakat modern dan berkembang seperti saat
ini.
Kebebasan berpikir tanpa batasan syariat adalah contoh lain dari
bentuk pelecehan terhadap hak-hak Allah l dan Rasul-Nya n. Kebebasan ini
menghasilkan pemikiran dan teori-teori yang menyelisihi syariat Allah l
serta menolak kabar dari Allah l dan Rasul-Nya n. Penyelisihan ini
tidak boleh dibela atau dibiarkan dengan dalih kebebasan berpikir dan
berekspresi. Bahkan sebaliknya, teori-teori ini harus diperangi dan
dihukumi dengan timbangan syar’i.
Para pembaca rahimakumullah (semoga Allah l merahmati Anda
sekalian). Hadits Abu Hurairah z dan ayat-ayat di atas menunjukkan
kemuliaan Adam q yang wajib kita yakini. Demikian kewajiban seorang
mukmin ketika mendengar ayat-ayat Allah l dan hadits-hadits Rasulullah
n. Tetapi kemuliaan Adam q telah dilecehkan dengan kelancangan manusia
yang tidak beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Bukan hanya Adam q,
bahkan seluruh nabi dan Bani Adam dilecehkan oleh teori evolusi yang
dicetuskan pemikirnya, seorang kafir, Charles Darwin, dalam tulisannya
On The Origin of Species by Means of Natural Selection (th. 1859 M), dan
pendahulu-pendahulunya. Dalam teorinya ini, dia nyatakan bahwa manusia
pertama bukanlah sosok manusia sempurna yang memiliki kesempurnaan akal
dan badan.
Kita tidak terlalu heran jika teori ini berasal dari orang kafir
yang tidak mau mengenal Allah l dan Rasul-Nya n, bahkan berpaling dari
al-haq serta merasa bangga dengan ilmu yang ada pada mereka. Yang sangat
disayangkan dan disesalkan, jika ada seorang muslim menganggap teori
ini sebagai perkara biasa dan tidak menyangkut soal akidah. Lebih ironis
lagi ketika teori evolusi dan pemikiran yang dibangun di atasnya
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan yang notabene dikonsumsi kaum
muslimin tanpa adanya penyaringan dan pengingkaran. Akankah hal ini juga
dibiarkan dengan dalih kebebasan berpikir dan perlindungan hak asasi
atau hak intelektual?
Berikut kita nukilkan bagaimana pemikiran Darwin dipaparkan dalam
mata pelajaran biologi sebagai kurikulum pendidikan yang diajarkan
kepada generasi muslim, tanpa adanya pengingkaran, bahkan terkesan
memberi penghormatan pada tokoh-tokoh pencetus teori ini serta menolerir
pemikiran yang dibawanya. Dikatakan dalam buku tersebut: Charles Robert
Darwin (1809-1882) adalah seorang ilmuwan Inggris. Dalam mengemukakan
teori evolusinya, ia bertumpu pada sejumlah data yang didapatnya dari
penelitian antara lain dari pulau Galapagos. Data yang dikemukakannya
jauh lebih lengkap dari tokoh evolusi sebelumnya seperti Lamarck,
Buffon, maupun Erasmus Darwin. Oleh karena itu, Darwin digelari sebagai
“Bapak Evolusi” …… teori evolusi menyatakan bahwa semua spesies yang ada
di bumi ini berasal dari spesies-spesies sebelumnya, sehingga manusia
pun mestinya berasal dari spesies yang sudah ada sebelum manusia. ……
Gorila dan Simpanse diduga merupakan primata yang paling erat hubungan
kekerabatannya dengan manusia, berdasarkan kenyataan bahwa susunan Hb
(hemoglobin) kedua primata hanya mempunyai sedikit perbedaan dengan
manusia. Primata primitif diduga telah ada kira-kira 75 juta tahun yang
lalu. Dari primata primitif radiasi evolusinya mengarah ke berbagai
macam bentuk, dan dari salah satu di antara jalur evolusinya dihasilkan
manusia.9
Tanpa ada pengingkaran, baik dalam buku ini atau dari para pemangku
mata pelajaran biologi, siswa dipersilakan mencerna teori ini dan
menikmatinya sebagai sebuah ilmu!
Para pembaca, semoga Allah l rahmati kita semua. Tidakkah kita
merasa iba kepada generasi muslim yang dijejali teori-teori kufur
seperti ini? Sesungguhnya telah menjadi kewajiban bagi kita untuk
membela hak-hak Allah l dan Rasul-Nya n sebagaimana salafus shalih dan
ulama-ulama Ahlus Sunnah bangkit mengungkapkan kecemburuan mereka ketika
musuh-musuh Allah l berusaha memadamkan syariat-Nya.
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di t berkata: “Kisah (Adam q)
yang sangat agung ini Allah l sebutkan dalam kitab-Nya di banyak tempat
dengan sangat jelas tanpa keraguan. Kisah ini termasuk seagung-agung
kisah yang disepakati seluruh rasul, diturunkan dalam kitab-kitab
samawi, dan diyakini seluruh pengikut para nabi, baik dari orang-orang
yang telah lalu atau yang akan datang. Hingga muncullah pada zaman-zaman
terakhir sekelompok orang zindiq yang mengingkari semua apa yang dibawa
oleh para rasul, bahkan mengingkari keberadaan Pencipta. Mereka tidak
menetapkan ilmu kecuali ilmu-ilmu alam yang bisa dicapai pikiran-pikiran
mereka yang sangat picik.
Dibangun di atas paham yang sangat jauh dari hakikat syariat dan
akal sehat inilah, mereka mengingkari (Adam dan Hawa) dan apa yang Allah
l dan Rasul-Nya n beritakan tentang keduanya. Mereka meyakini bahwa
manusia dahulu adalah sesosok hewan kera atau yang semisal dengannya,
hingga berevolusi menjadi manusia seperti keadaan saat ini. Mereka
tertipu dengan teori-teori rusak yang dibangun di atas sangkaan-sangkaan
akal yang menyimpang.
Demi mengagungkan teori ini mereka tinggalkan seluruh ilmu yang
shahih, lebih khusus ilmu-ilmu yang datang kepada mereka dari jalan
rasul-rasul Allah l. Benarlah atas mereka apa yang dikabarkan Allah l:
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada)
mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang
dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab
Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Ghafir: 83)
Perkara mereka sangatlah jelas bagi kaum muslimin dan semua orang
yang menetapkan adanya Al-Bari` (Dzat yang menciptakan, yaitu Allah l).
Semua mengetahui bahwa mereka adalah kelompok yang paling sesat.”
(Qashashul Anbiya` hal. 22-23)
Para pembaca rahimakumullah. Apa yang tertuang dalam teori evolusi
benar-benar penyelewengan dan pengingkaran atas semua kabar Allah l dan
Rasul-Nya n. Dalam teori evolusi, manusia pertama digambarkan sebagai
sosok yang sangat jelek, makhluk kera yang tidak mampu tegak berdiri.
Penggambaran ini jelas telah melecehkan hadits-hadits Rasulullah n yang
mengabarkan kesempurnaan penciptaan Adam q. Teori evolusi menggambarkan
manusia pertama sebagai manusia purba atau kera yang primitif. Tidak
mampu berbicara dan tidak mengenal ilmu, karena akal yang belum
berkembang, baru kemudian berevolusi (berkembang) seiring dengan
berjalannya waktu dan berlalunya masa.
Dia terwujud dan tinggal di dunia –bukan di jannah– memperjuangkan
nasibnya, bertarung melawan alam dengan segala kekurangannya, badan yang
bungkuk, otak yang bebal, mulut yang gagap tak pandai bicara hingga dia
mati. Kemudian keturunannya melanjutkan perjuangan bapaknya. Berjuang
di tengah kerasnya alam hingga kesempurnaan tubuh diperoleh dengan
bertahap. Mulailah badannya tegak, akalnya mampu berpikir dan mulutnya
pun berbicara dengan bahasa yang dipahami.
Para pembaca rahimakumullah, bandingkanlah teori ini dengan
kabar-kabar Allah l dan Rasul-Nya n yang demikian gamblang. Adakah
seorang muslim ridha hak-hak Allah l dan Rasul-Nya n dihinakan dengan
teori-teori seperti ini?
Di Antara Pengaruh Teori Darwin terhadap Sebagian Kaum Muslimin
Seorang muslim seharusnya mengetahui sejauh mana teori evolusi
menyimpang dari syariat Allah Yang Maha Agung. Teori ini telah
melecehkan Adam q dan seluruh keturunannya. Lebih dari itu, teori ini
jelas-jelas menentang Allah Rabbul ‘alamin (penguasa semesta alam).
Tetapi yang sangat mengherankan justru ketika seorang muslim terpengaruh
dengan teori ini, lalu menjadikannya sebagai bahan kajian. Padahal
berita Allah l dan Rasul-Nya n berkenaan dengan penciptaan Adam sangat
jelas. Menyedihkan memang ketika seorang muslim terpengaruh dengan teori
ini, sementara kabar Allah l dan Rasul-Nya n tidak dia ketahui bahkan
dipertentangkan dan disejajarkan dengan teori nyleneh evolusi.
Tentang hal ini, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t
berkata: “Akan tetapi (beberapa pengaruh) mazhab dahriyin10 telah masuk
kepada sebagian kaum muslimin. Muncul sekelompok (muslimin) di zaman ini
menafsirkan sujud malaikat kepada Adam (dengan penafsiran yang
menyelisihi syariat). Makna (sujud menurut mereka) adalah bahwa Allah l
menundukkan alam ini kepada Adam. Demikian pula hasil bumi, bahan
tambang dan sejenisnya, telah Allah l tundukkan untuk Bani Adam. Inilah
makna sujud malaikat (kepada Adam).
Seorang yang beriman kepada Allah l dan hari akhir tidak meragukan
bahwa penafsiran ini berakar dari teori (evolusi) yang jahat.
Penafsiran ini adalah bentuk penyelewengan terhadap kitab Allah l. Tidak
ada bedanya antara penyelewengan ini dengan penyelewengan kaum
Bathiniyah dan Qaramithah. Seandainya kisah (sujud malaikat kepada Adam)
ditakwilkan (diselewengkan maknanya) kepada makna ini, sungguh
penyimpangan serupa akan ditujukan pula kepada kisah-kisah lain dalam
Al-Qur`an.
Dengan sebab (penafsiran sesuai hawa nafsu) ini, berubahlah
Al-Qur`an yang sebelumnya penjelas bagi segala sesuatu, menjadi sekadar
simbol-simbol yang memungkinkan bagi musuh-musuh Islam melakukan apa
saja terhadap Al-Qur`an (berupa penyimpangan-penyimpangan makna). Maka
Al-Qur`an pun ditolak dan hidayahnya pun berubah menjadi penyesat,
rahmatnya berubah menjadi azab. Maha suci Engkau (ya Allah),
sesungguhnya ini adalah kedustaan yang nyata.” (Qashashul Anbiya`, hal.
23)
Wahai Manusia, Tunaikanlah Hak Allah l dan Rasul-Nya n
Pengingkaran terhadap syariat Allah l dan Rasul-Nya n, baik berupa
perintah dan larangan atau berita dan kabar, adalah bentuk pengingkaran
hak-hak Allah l dan Rasulullah n.
Teori evolusi dan pemahaman yang dibangun di atasnya adalah contoh
pengingkaran syariat yang wajib kita ingkari, bukan malah dibela dan
dipelihara dengan dalih kebebasan berpikir dan berkreasi. Apalagi
dijadikan sebagai kurikulum yang dikonsumsi generasi muslim tanpa
pengingkaran. Wallahul musta’an.
Manusia rame-rame mengusung slogan hak asasi manusia, tetapi mereka
melupakan hak Allah l dan Rasul-Nya n, disadari atau tidak. Lihatlah,
kesyirikan dengan berbagai jenis dan ragamnya begitu marak, dibiarkan
bahkan dilindungi undang-undang dengan dalih budaya yang harus
dilestarikan atau menghormati hak leluhur, dan alasan-alasan lainnya.
Tempat-tempat keramat yang sarat dengan penyimpangan dijadikan sebagai
cagar budaya, kesyirikanpun tumbuh subur dan berkembang bak jamur di
musim hujan. Mereka lupa dengan hak Allah l yang sangat agung –yaitu
tauhid– di saat mereka kumandangkan pemenuhan hak asasi manusia.
Tidakkah mereka ingat untuk apa mereka diciptakan? Rasulullah n bersabda
kepada Mu’adz bin Jabal z:
حَقُّ اللهِ عَلىَ الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada Allah saja
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (HR. Al-Bukhari)11
Allah l memiliki hak atas seluruh manusia. Demikian pula manusia
memiliki hak-hak yang wajib kita penuhi, sesuai dengan manzilah
(kedudukan) mereka. Rasul-rasul Allah memiliki hak, kedua orangtua
memiliki hak, tetangga memiliki hak. Demikian pula manusia seluruhnya.
Bahkan hewan-hewan juga memiliki hak. Tetapi haruslah diyakini bahwa
hak-hak tersebut hanya syariat Allah l-lah yang menjamin dan menjaganya,
bukan undang-undang buatan manusia atau ketentuan adat yang menguasai
tatanan sebuah masyarakat.
Pembaca rahimakumullah. Di akhir pembahasan ini, marilah kita
memohon kepada Allah l semoga Allah k mengembalikan kaum muslimin kepada
shirathal mustaqim. Teriring sebuah nasihat kepada kaum muslimin
terutama para pendidik untuk memerhatikan apa yang diucapkan dan
disampaikan, sesuaikah dengan syariat atau justru berseberangan
dengannya? Hal ini tidaklah terwujud kecuali jika mereka mau menempuh
kewajiban menuntut ilmu syariat dan bertanya kepada ulama rabbani, yang
benar-benar berjalan di atas jalan Rasulullah n dan sahabat-sahabat
beliau. Wallahu a’lam bish-shawab, wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa
alihi wa shahbihi ajma’in. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.12
1 Evolusi diartikan sebagai perkembangan makhluk hidup secara
berangsur-angsur dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih
sempurna. Misalnya, manusia berasal dari kera yang berkembang.
2 Faedah: Rantai sanad ini terkenal dengan shahifah Hammam bin
Munabbih, yaitu shahifah (lembaran) yang semua haditsnya diriwayatkan
dari jalan Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan’ani dari Ma’mar bin Rasyid
dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah z. Sanad ini disepakati
keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan semua hadits shahifah dalam Musnad beliau. Lihat Musnad
Al-Imam Ahmad (2/312-319). Sementara Syaikhain, Al-Bukhari dan Muslim
hanya meriwayatkan sebagian hadits shahifah, termasuk di dalamnya hadits
tentang penciptaan Adam q.
3 Lihat Al-Mukminun ayat 13-14
4 Hadits ini menunjukkan kepalsuan hadits tentang kisah ‘Auj bin
‘Unuq, anak Adam yang hidup hingga zaman nabi Nuh q yang memiliki
ketinggian 3333 sepertiga hasta. Kisah ini dikeluarkan Abu Syaikh dalam
kitab beliau Al-’Azhamah, dan tentang kepalsuannya diterangkan Ibnul
Qayyim dalam kitab beliau Al-Manarul Munif.
5 HR. Al-Bukhari (no.3327), Muslim (8/146), dan Ibnu Majah (no.
4333), dari hadits Abu Hurairah z. Lihat takhrij hadits ini dalam
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (7/3/1472, no. 3519).
6 Tentang waktu penciptaan Adam, Rasulullah n bersabda:
وَخُلِقَ آدَمُ q فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمْعَةِ فِيْمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيلِ
“Dan Allah ciptakan Adam q di pengujung waktu dari waktu-waktu
Jum’at, di antara ‘Ashar dan malam hari.” (HR. Muslim, 4/2149)7 Hadits
di atas adalah bagian dari hadits syafaat yang panjang diriwayatkan
Al-Bukhari (4/404) dan Ahmad (3/166) dari hadits Anas bin Malik z.
8 Qashidah mimiyah yang disebutkan Ibnul Qayyim di awal kitab Hadil
Arwah (hal. 23), Thariq Al-Hijratain (hal. 50-55), dan Madarijus
Salikin (3/200-201).9 Dari buku pelajaran Biologi untuk SMP, Drs. Slamet
Prawirohartono dan Prof. Dr. Ir. Siti Sutarmi, M.Sc., edisi ketiga
tahun 1991, Penerbit Erlangga, hal. 106-111.
10 Yaitu orang-orang yang mengingkari adanya pencipta. Mereka
menganggap bahwa hidup dan mati terjadi karena perputaran masa semata.
Sebagaimana Allah l berfirman tentang mereka dalam Surat Al-Jatsiyah
ayat 24.
11 HR. Al-Bukhari no. 285612 Faedah-faedah hadits Abu Hurairah z:
(1) Hadits ini menetapkan sifat Al-Kalam bagi Allah l. (2) Orang yang
berjalan mengucapkan salam kepada orang yang duduk, sebagaimana Adam
mengucapkan salam kepada malaikat (3) Boleh dalam menjawab salam dengan
ucapan: “Assalaamu’alaikum” (mendahulukan kata As-Salam) dan tidak
disyaratkan untuk mengakhirkannya dengan ucapan “Wa’alaikumus salam” (4)
Disunnahkan dalam menjawab salam dengan jawaban yang lebih sempurna,
sebagaimana jawaban malaikat kepada Adam. (5) Penduduk jannah masuk ke
dalamnya dalam keadaan sempurna dan hilang semua sifat kurang mereka di
dunia seperti cacat, buta, pendek tubuh, hitam kulit, dan sifat-sifat
kurang lainnya.
Dengan rahmat Allah l kita memohon kepada-Nya semoga Allah l
masukkan kita ke dalam Firdaus-Nya yang kekal dan mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Faedah-faedah lain dari hadits dapat dilihat pada
beberapa maraji’, di antaranya Fathul Bari (11/3-7) dan Syarh Shahih
Muslim (17/178) Al-Imam An-Nawawi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Islam Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu ‘Awanah Jauhari, Lc.)
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Ma`idah: 32)
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Ma`idah: 32)
Sesungguhnya Islam adalah syariat yang sangat indah. Keindahannya
jauh lebih tinggi dari apa yang mampu diibaratkan oleh para sastrawan
ahli olah lisan. Namun keindahan ini hanya dapat dirasakan dan disibak
(diungkap) oleh orang yang mencermati berbagai untaian hukum Islam
dengan cara yang benar. Jauh dari berbagai penghalang, kerancuan, dan
godaan setan.
Para ahli fiqih (fuqaha) menyimpulkan bahwa hukum-hukum dalam
syariat Islam semuanya berkisar pada penjagaan lima perkara besar yang
sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu:
1. Menjaga agama
2. Menjaga jiwa (nyawa)
3. Menjaga harta
4. Menjaga kehormatan (harga diri)
5. Menjaga akal
Penjelasan Mufradat Ayat
“Oleh sebab itu.”
ﭓ dalam bahasa Arab termasuk ism isyarah (kata tunjuk). Kata tunjuk
ini kembali kepada pembahasan yang ada pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu
kisah pembunuhan yang terjadi pada anak Nabi Adam q.
Al-Imam Asy-Syaukani t menyatakan: “Dan artinya bahwa berita
tentang dua anak Adam itulah yang menyebabkan kewajiban1 yang telah
disebut terhadap Bani Israil.” (Fathul Qadir, 2/40, cet. Darul Khair)
Dari potongan ayat ini, kita dapat memetik faedah bahwa kita harus
menjauhkan diri dari perbuatan yang jelek. Jangan sampai kita menjadi
teladan dalam kejelekan. Rasulullah n bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud
z:
لَيْسَ مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ
الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Tidak ada jiwa yang terbunuh dengan cara yang zalim (tidak
dibenarkan syariat) kecuali atas anak Adam yang pertama (mendapatkan)
bagian tanggungan (dosa) dari darah orang yang terbunuh tersebut. Karena
dia (anak Adam) adalah orang yang pertama kali mencontohkan pembunuhan
(dengan cara yang tidak benar).” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Anbiya` 1,
Kitab Ad-Diyat 2, Kitabul I’tisham 15; Muslim, Kitabul Qasamah 27;
At-Tirmidzi, Kitabul ‘Ilm 14; An-Nasa`i, Bab At-Tahrim 1; Ibnu Majah,
Kitab Ad-Diyat, 1; Ahmad bin Hanbal, juz 1 hal. 383, 430, 433)
“Kami tetapkan.”
Ibnu Katsir t mengatakan: “Artinya, Kami syariatkan dan Kami
beritahukan kepada mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/45, cet. Maktabah
Al-‘Ulum wal Hikam)
“Bani Israil.”
Mereka adalah anak keturunan Nabi Ya’qub q. Al-Imam Asy-Syaukani t
mengatakan: “Para ahli tafsir sepakat bahwa Israil adalah Ya’qub bin
Ishaq bin Ibrahim r, dan artinya adalah hamba Allah l. Karena Isra dalam
bahasa mereka artinya hamba, sedangkan Il adalah Allah l.”
Dari penjelasan ini, kita harus berhati-hati, meskipun kita
membenci orang Yahudi dan kebencian ini adalah suatu hal yang
diperintahkan agama, tetapi jangan sampai salah ucap. Sehingga kita
mencela Israel dengan mengatakan “Israel biadab…” dst, karena Israel
atau Israil yang lebih tepat adalah Nabi Ya’qub q. Na’udzu billah (Kita
berlindung kepada Allah l) bila kita sampai terjatuh dalam perbuatan
mencela seorang nabi. Ini adalah suatu kekafiran. Sehingga, bila kita
mau mengungkapkan kekesalan terhadap mereka, langsung saja kita sebut
‘Yahudi’. Ini lebih menyelamatkan kita, Insya Allah.2
Para ahli tafsir juga menyebutkan mengapa disebut Bani Israil pada
ayat ini secara khusus. Al-Imam Asy-Syaukani t mengatakan: “Dan
disebutkan Bani Israil secara khusus karena topik pembahasan ayat-ayat
ini dalam rangka menyebutkan kejahatan-kejahatan mereka, dan mereka
adalah umat pertama yang mendapat ancaman dari pembunuhan jiwa. Dan
dikeraskan hukum tersebut bagi mereka karena mereka banyak menumpahkan
darah dan membunuh para nabi.” (Fathul Qadir, 2/40, cet. Darul Khair)
Perlu dipahami, meskipun ayat ini berkenaan dengan mereka, orang
Yahudi, namun juga berlaku bagi umat Islam ini. Al-Imam Al-Baghawi t
dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Sulaiman bin ‘Ali: “Aku
bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri t: ‘Wahai Abu Sa’id, apakah ayat ini
juga bagi kita, sebagaimana dahulu bagi Bani Israil?’ Beliau menjawab:
‘Ya, demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali dia. Darah
Bani Israil tidak lebih mulia daripada darah kita (kaum muslimin,
pent.)’.” (Tafsir Al-Baghawi, 2/25, cet. Maktabah Ahmad Al-Baz, Makkah)
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia.”
Para ahli ushul fiqih telah menegaskan bahwa مَنْ adalah lafadz
yang menunjukkan umum. Demikian pula kata ﭛ adalah nakirah fi siyaq
asy-syarth, yaitu kalimat nakirah (bebas, tidak tertentu) dalam susunan
kalimat syarat, yang bermakna umum. Perincian masalah ini bisa dirujuk
dalam pembahasan masalah fiqih.
Yang ingin kita tonjolkan di sini adalah bahwa hukum Islam adalah
hukum yang adil. Tidak membedakan ras, bangsa, martabat atau status
sosial. Siapa yang melanggar maka ia akan ditindak tegas. Maka siapa
yang membunuh dengan cara yang tidak benar, ia akan mendapatkan hukuman.
Dan siapa yang dizalimi, dia akan dibela. Allah l menyatakan:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” (An-Nisa`: 92)
Dalam hadits ‘Aisyah x disebutkan:
أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْـمَرْأَةِ الَّتـِي سَرَقَتْ
فِي عَهْدِ النَّبِيِّ n فِي غَزْوَةِ الْفَتْحِ فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ
فِيهَا رَسُولَ اللهِ n؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا
أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ n. فَأُتِيَ بِهَا رَسُولُ
اللهِ n فَكَلَّمَهُ فِيهَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ
رَسُولِ اللهِ n فَقَالَ: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟
فَقَالَ لَهُ أُسَامَةُ: اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ اللهِ. فَلَمَّا
كَانَ الْعَشِيُّ قَامَ رَسُولُ اللهِ n فَاخْتَطَبَ فَأَثْنَى عَلَى اللهِ
بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ
الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا
عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَإِنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا. ثُمَّ أَمَرَ
بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقُطِعَتْ يَدُهَا
Bahwa orang-orang Quraisy terkacaukan dengan masalah wanita3 yang
mencuri pada zaman Nabi n pada perang Fathu Makkah (Pembebasan Kota
Makkah). Maka mereka bertanya-tanya: “Siapa yang akan melobi Rasulullah n
berkaitan dengan masalah wanita ini?” Maka mereka mengatakan: “Tidak
ada yang berani melobi Rasulullah n tentangnya, kecuali Usamah bin Zaid,
orang yang dicintai Rasulullah n.” Lalu dihadirkanlah wanita tersebut,
maka Usamah melobi Rasulullah n. Lalu berubahlah raut muka Rasulullah n
yang mulia dan beliau berkata: “Apakah engkau akan memberikan
pertolongan pada hukuman had yang telah ditentukan oleh Allah?” Usamah
kemudian menjawab: “Mohonkanlah ampunan bagiku, wahai Rasulullah.” Sore
harinya, Rasulullah n berdiri dan mulai berkhutbah. Beliau memuji Allah
dengan pujian yang pantas untuknya, seraya mengatakan: “Amma ba’du.
Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah apabila
ada orang yang mulia di antara mereka yang mencuri, mereka tinggalkan
(tidak dihukum). Namun bila ada orang yang lemah di antara mereka yang
mencuri maka mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Dzat yang diriku
berada di Tangan-Nya, kalau seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri,
niscaya akan aku potong tangannya.” Kemudian beliau memerintahkan agar
tangan wanita itu dipotong. (HR. Al-Bukhari, Kitab Fadha`il Ashhabin
Nabi 18, Kitabul Anbiya` 54, Kitabul Hudud 12; Muslim, Kitabul Hudud 8,
9; Abu Dawud, Kitabul Hudud 4; At-Tirmidzi, Kitabul Hudud 6; An-Nasa`i,
Kitab As-Sariq 5, 6; Ibnu Majah, Kitabul Hudud, 6; Ad-Darimi, Kitabul
Hudud, 6; Ahmad bin Hanbal, juz 3/286,295; 5/409; 6/329)
“Tanpa jiwa.”
Maksudnya, menurut Ibnu ‘Athiyyah t dalam tafsirnya, “Dia tidak
membunuh orang lain sehingga berhak dibunuh. Dan Allah l telah haramkan
jiwa seorang mukmin kecuali dengan satu di antara tiga hal yaitu: kafir
setelah beriman (murtad, pent.), berzina setelah menikah, membunuh jiwa
orang lain dengan zalim dan melampaui batas.” (Al-Muharrar Al-Wajiz,
2/182, cet. Darul Kutub Al-Ilmiah)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n menyatakan:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ؛ الثَّيِّبُ
الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالْتَارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ
“Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah,
kecuali dengan satu di antara tiga perkara: orang yang sudah menikah
berzina, orang yang membunuh orang lain maka dibunuh (qishash), dan
orang yang meninggalkan agama dan memisahkan diri dari jamaah (murtad).”
(HR. Al-Bukhari, Kitabud Diyat 6; Muslim, Kitabul Qasamah, 25; Abu
Dawud, Kitabul Hudud 1; At-Tirmidzi, Kitabul Hudud 15; An-Nasa`i, Bab
At-Tahrim 5, 11, 14; Ad-Darimi, Kitab As-Siyar 11; Ahmad bin Hanbal
1/61,63,65,70, 163,382,428,444,465; 6/181, 214)
“Atau kerusakan di bumi.”
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata tentang tafsir kalimat ini: “Telah
diperselisihkan tentang apa maksud kerusakan yang disebutkan dalam ayat
ini. Ada yang mengatakan kesyirikan, dan ada yang mengatakan merampok di
perjalanan. Dan lahiriah susunan kalimat Al-Qur`an menunjukkan bahwa
semua yang bisa dikatakan sebagai kerusakan di muka bumi maka itulah
maksudnya. Kesyirikan merupakan kerusakan di muka bumi. Merampok di
perjalanan juga kerusakan di muka bumi. Menumpahkan darah,
menginjak-injak, melecehkan kehormatan, dan mencuri harta adalah
kerusakan di muka bumi. Menghancurkan bangunan, merusak tanaman, dan
mengeringkan sungai adalah merusak di muka bumi. Dengan ini diketahui
bahwa semua ini merupakan kerusakan di muka bumi.” (Fathul Qadir, 2/40)
Jadi, orang ini membunuh dengan cara yang tidak dibenarkan oleh
agama, maka perbuatan jelek ini sangat dicela dalam agama Islam dan
diancam dengan ancaman yang keras. Allah l berfirman:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(An-Nisa`: 93)
Nabi n menjelaskan:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَقَتَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ
“Apabila dua orang muslim bertemu (berkelahi) dengan pedang mereka
berdua, lalu salah satunya membunuh yang lain, maka yang membunuh dan
yang dibunuh di neraka.” (HR. An-Nasa`i, Bab Tahrimul Qatl 29; Ibnu
Majah, Kitabul Fitan 11, dari sahabat Abu Bakrah z)
Beliau n juga bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِي غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Siapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang memiliki perjanjian
damai) pada selain waktu yang diperbolehkan membunuhnya (yaitu ketika di
luar perjanjian), Allah haramkan surga baginya (pembunuh tersebut).”
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya, juz 5/36, 38,50,51,52; Ibnu Majah, Kitabud
Diyat 32, dari Abu Bakrah z)
Maka ayat ini mengisyaratkan bahwa pembunuhan hanya diperbolehkan
ketika ada sebab yang mengharuskannya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t
mengatakan: “Dan ayat ini menunjukkan bahwa pembunuhan itu
diperbolehkan dengan salah satu di antara dua sebab, yaitu membunuh jiwa
dengan sengaja dengan cara yang tidak dibenarkan agama, maka orang
tersebut boleh dibunuh apabila dia mukallaf (baligh dan berakal) dan
setingkat, serta bukan ayah dari yang terbunuh. Yang kedua, dia membuat
kerusakan di bumi dengan merusak agama atau jiwa atau harta manusia,
seperti orang-orang kafir yang murtad dan menyerang, serta para penyeru
bid’ah yang tidak bisa ditangkal kejelekannya kecuali dengan dibunuh.
Demikian juga para perampok di jalan dan sejenis mereka, dari
orang-orang yang mengacaukan manusia dengan membunuh atau mengambil
harta mereka.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 252, cet. Darus Salam)
“Maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia.”
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna penyerupaan dalam
ayat ini. Ibnul Jauzi t menyimpulkan pendapat mereka dengan menyatakan:
“Dan pada firman Allah ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ada lima pendapat:
1. Bahwa dia mendapat dosa orang yang membunuh semua manusia. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan Az-Zajjaj.
2. Dia masuk neraka dengan sebab membunuh seorang muslim, sama
seandainya dia membunuh seluruh manusia. Ini dikatakan oleh Mujahid dan
‘Atha`. Al-Imam Ibnu Qutaibah mengatakan: ‘Ia disiksa sebagaimana orang
yang membunuh seluruh manusia.’
3. Bahwasanya wajib (ditegakkan) atasnya qishash seperti bila ia membunuh manusia seluruhnya. Ini dikatakan oleh Ibnu Zaid.
4. Dianjurkan bagi seluruh manusia untuk membantu keluarga korban
sehingga mereka mampu membalas, sebagaimana bila orang tersebut membunuh
keluarga mereka. Ini disebutkan oleh Abu Ya’la.
5. Barangsiapa membunuh nabi atau pemimpin yang adil maka
seolah-olah ia membunuh seluruh manusia. Ini diriwayatkan ‘Ikrimah dari
Ibnu ‘Abbas.” (Zadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir, 2/202, cet. Maktabah Darul
Baz, Makkah)
Pendapat-pendapat ini semuanya bisa diambil karena tidak saling
bertentangan dan bisa dicakup oleh ayat. Demikian menurut Ibnul Jauzi t
dan Al-Imam Asy-Syaukani t. Walhasil, ini menunjukkan betapa jelek
perbuatan membunuh dalam pandangan Islam, sehingga Islam memberikan
hukuman yang berat bagi pelakunya.
“Dan siapa yang menghidupkannya.”
Tentang kalimat ini juga ada lima pendapat:
1. Menyelamatkan dari kebinasaan. Ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Mujahid.
2. Meninggalkan pembunuhan yang dilarang. Ini riwayat Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, dan satu riwayat dari Mujahid.
3. Keluarga korban memaafkan pembunuh dari qishash. Ini dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Zaid, dan Ibnu Qutaibah.
4. Melarang dan mencegah dari pembunuhan.
5. Membantu keluarga korban untuk terwujudnya qishash. Kedua pendapat ini disebutkan oleh Abu Ya’la.
“Maka dia seolah-olah menghidupkan seluruh manusia.”
Al-Hasan Al-Bashri t dan Ibnu Qutaibah t mengatakan: “Maka ia
mendapatkan pahala orang yang menghidupkan seluruh manusia.” Sedangkan
Al-Mawardi t mengatakan: “Maknanya, maka seluruh manusia mesti berterima
kasih kepadanya sebagaimana bila dia menghidupkan mereka.” (Zadul
Masir, 2/203)
Penutup
Demikianlah salah satu paparan yang menunjukkan bahwa Islam
menjunjung tinggi hak manusia untuk hidup. Bebas menghirup udara di
dunia ini, sebagaimana yang digariskan oleh Sang Pencipta. Namun
manakala dia melanggar aturan Penciptanya, maka dengan hukum dan
ketentuan-Nya pula orang tersebut dienyahkan dari muka bumi demi
kemaslahatan orang banyak. Allah l menyatakan:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179)
Wallahu a’lam.
1 Yaitu kewajiban qishash dan yang berkaitan dengannya.
2 Bahkan ini adalah fatwa dari Asy-Syaikh Al-Luhaidan. (ed)
3 Dalam satu riwayat disebutkan bahwa wanita ini dari Bani Makhzum, suku yang berkedudukan tinggi. –pent.
Kampanye Memalingkan Umat dari Islam
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
“Penolakan terhadap nilai-nilai yang ingin diperjuangkan lewat Deklarasi HAM PBB dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai Islam adalah sebuah langkah yang memalukan dan berbahaya. Sebagaimana ditulis oleh Anwar Ibrahim1, ‘menyatakan bahwa kebebasan itu (identik dengan) Barat dan bukan Asia (atau Islam) sama artinya dengan menyerang tradisi kita sendiri dan nenek moyang kita yang sudah merelakan nyawa mereka dalam perjuangan menentang tirani dan ketidakadilan’. Nafsu besar sejumlah kaum muslim untuk menolak apa saja yang datang dari Barat, dapat berakibat pada pengkhianatan terhadap nilai-nilai dan cita-cita mereka sendiri.” (Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, penyunting Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, hal. 93)
Menanggapi pernyataan seperti di atas atau yang semisalnya, maka bagi seorang muslim yang terbaik adalah menunjukkan sikap kemuslimannya. Sikap yang didasari ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Karena, jikalah benar bahwa dalam Deklarasi Universal HAM PBB tersebut memiliki nilai-nilai yang mendasarkan diri kepada Islam, maka bagi seorang muslim mengamalkan Islam dengan baik dan benar menimbulkan hikmah yang selaras dengan nilai-nilai universal yang diakui semua pihak. Namun jika seorang muslim dengan mengamalkan Islam tersebut kemudian tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada Deklarasi Universal HAM, maka itulah yang harus ditunjukkan seorang muslim: bahwa agamanya melarang bersikap taklid, mengikuti pendapat atau nilai-nilai yang dinyatakan melalui perseorangan atau secara berkelompok (bersama-sama), yang pendapat atau nilai-nilai tersebut menyelisihi apa yang ditetapkan Allah l dan Rasul-Nya n. Firman Allah l:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 36)
Karena sesungguhnya ketaatan yang bersifat mutlak hanyalah kepada Allah l dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana telah dibimbing dalam Al-Qur`an:
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-(Nya), jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 32)
Hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?” Jawab Rasulullah n: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, no. 7280)
Maka, bagi seorang muslim yang secara benar dan baik mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, secara langsung atau tidak langsung dia akan memahami hak-hak yang bersifat asasi pada manusia. Syariat Islam akan membimbing dirinya untuk menyikapi setiap manusia. Bahkan dalam menyikapi hewan pun, Islam akan membimbingnya. Islam akan menuntun pemeluknya untuk memenuhi hak-hak asasi binatang, seperti hak untuk tidak disiksa dan dianiaya. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus z, dari Rasulullah n, beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas setiap sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh, perbaikilah proses membunuh itu. Apabila kalian menyembelih, maka perbaikilah proses sembelihan itu. Tajamkanlah pisau kalian dan percepatlah proses menyembelihnya.” (HR. Muslim, no. 1955)
Demikian pula binatang diberi hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barangsiapa menghalangi (dengan cara mengurung atau mengikatnya, misalnya) maka ada ancaman keras baginya. Ini digambarkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar c, dari Rasulullah n, beliau bersabda:
دَخَلَتِ الْمَرْأَةُ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Seorang wanita masuk neraka disebabkan seekor kucing. Dia mengikatnya, namun tidak memberinya makan dan tidak pula melepaskannya (agar mencari) makan dari binatang (serangga) bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 3318)
Begitulah Islam mengajarkan untuk bersikap baik terhadap hewan. Apatah lagi terhadap manusia?
Sikap hidup di atas Islam yang benar kelak melahirkan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang hakiki. Karena, tanpa berpijak kepada Islam, manusia akan bertindak sesuai hawa nafsu yang bergemuruh di dadanya. Setan pun akan menghiasi apa yang diperbuatnya sebagai amal yang baik. Allah l berfirman:
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka. Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 43)
Juga firman-Nya:
“Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.” (An-Naml: 24)
Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1948 merupakan reaksi terhadap sejarah masa lalu yang begitu kelam. Sejarah kehidupan manusia yang dilumuri oleh warna merah darah akibat tindak pemaksaan, penganiayaan, dan penyiksaan. Hidup manusia selalu di bawah tekanan dan paksaan. Kebebasan menjadi barang langka, bahkan sirna. Tak ada lagi nilai kesetaraan dalam kehidupan manusia. Wajah buruk dan kelam semacam ini banyak ditemui di belahan bumi Eropa dan Amerika. Dalam kondisi sosio-kultural semacam itu lahirlah gagasan-gagasan untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Untuk memuluskan itu semua diperlukan kebebasan. Maka, kebebasan menjadi prinsip dasar pemenuhan hak asasi manusia. Tanpa kebebasan tak akan bisa terpenuhi hak-hak dasar kemanusiaan tersebut. Demikianlah filosofi yang melatari lahirnya Deklarasi Universal HAM.
Tak heran bila ditelisik pasal-pasal yang terkandung dalam Deklarasi Universal HAM mencuat aroma liberalisme, kebebasan yang melabrak rambu-rambu Islam. Telaah pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM. Maka akan ditemukan paham HAM yang didasari kebebasan murni di dalamnya. Menurut pasal 18 Deklarasi itu: “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, memiliki keyakinan dan beragama; hak ini meliputi juga hak atas kebebasan berganti agama dan keyakinan, dan hak atas kebebasan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau di dalam kehidupannya sendiri, dalam pengajaran, pengamalan, dengan beribadat serta menjalankan perintah agama dan kepercayaan.”
Pasal 18 telah nyata melabrak syariat. Deklarasi yang dinyatakan sebagai aturan yang universal (bisa berlaku untuk semua orang, kalangan, atau bangsa), ternyata memudar nilai keuniversalannya. Pasal tersebut telah menajamkan konflik dengan kaum muslimin yang memiliki rasa cemburu terhadap agama yang mulia ini. Sebab, bagaimanapun, Islam tak akan menolerir setiap sikap murtad (pindah agama) dari pemeluknya. Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa orang yang murtad dari Islam bila tidak mau ruju’ (kembali kepada Islam) maka dihukum mati (oleh pemerintahan Islam, bukan individu). Ini sebagaimana didasarkan pada hadits Ibnu ‘Abbas c, bahwa Rasulullah n bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari no. 3017)
Juga dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالتَّارِكُ دِيْنَهُ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali (karena) salah satu dari tiga (perkara): (membunuh) jiwa dengan jiwa, orang yang sudah menikah berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (Sunan An-Nasa`i no. 4721, Sunan At-Tirmidzi no. 1402. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t)
Selain itu, hukum bagi yang murtad, dia tidak mewarisi harta karena kekafirannya. Telah sepakat ahlul ilmi (para ulama) bahwa orang yang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim. Jumhur (mayoritas) para sahabat dan fuqaha berpendapat bahwa seorang muslim tidak mewariskan kepada seorang yang kafir. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah t, 9/154)
Ini salah satu masalah krusial dari Deklarasi Universal HAM. Masalah lainnya bisa ditelisik dari pasal 2 dalam Deklarasi yang sama. Disebutkan dalam pasal 2 tersebut: “Setiap manusia berhak atas segala hak dan kebebasan tersebut dalam Deklarasi ini, dengan tanpa membeda-bedakan apapun juga, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asal golongan masyarakat, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya….”
Melalui rumusan ini melahirkan kesepakatan penghapusan terhadap segala jenis bentuk diskriminasi terhadap wanita. Apakah yang dimaksud ‘diskriminasi terhadap wanita’? Berdasar Ketentuan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 1, disebutkan bahwa yang dimaksud diskriminasi terhadap perempuan: “pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.” (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta 22, Komnas HAM dan The British Council, hal. 321)
Bila mencermati isi dari definisi tentang ‘diskriminasi terhadap perempuan’, maka sekarang bagaimana bila dihadapkan pada nilai-nilai Islam? Nampak sekali bahwa di balik kampanye memperjuangkan hak dan kebebasan kaum wanita, tidak lebih dari sekadar mengusung ide pembangkangan terhadap syariat. Dengan kampanye anti diskriminasi terhadap perempuan, senyatanya mendorong kaum muslimah untuk berpaling dari nilai-nilai Islam. Ini adalah program pengkufuran secara halus pada kaum muslimah. Betapa tidak. Sebab, dalam syariat telah dituntunkan hak dan kewajiban seorang muslimah. Dalam masalah waris, wanita mendapat seperdua dari laki-laki. Dalam pergaulan, wanita (dan juga laki-laki) dibatasi untuk tidak bercampur baur. Dalam safar (bepergian) wanita berbeda dengan laki-laki, wanita harus didampingi mahram. Dalam kehidupan rumah tangga, wanita dibedakan dengan laki-laki, pemimpin rumah tangga adalah laki-laki (suami). Maka sekian banyak pembedaan dan pembatasan yang ada dalam syariat, apakah lantas bisa dikatakan bahwa yang diatur dalam syariat seperti itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan?
Deklarasi Universal HAM berkenaan masalah penghapusan diskriminasi terhadap perempuan bisa mengarah kepada kekufuran. Secara halus, kaum muslimah digiring kepada satu tindakan yaitu berpaling dari akar tradisi nilai-nilai Islam yang selama ini diyakininya. Kita memohon keselamatan kepada Allah l dari semua tipu daya ini. Allahul musta’an.
Program memalingkan dari nilai-nilai Islam yang telah menjadi tradisi ini bisa nampak melalui pasal-pasal dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam pasal 16, berkenaan Persamaan Dalam Hukum Keluarga, paragraf ke-3 disebutkan, “Wilayah diskriminasi ini biasanya didasarkan atas praktik-praktik budaya dan agama yang telah berlangsung dalam waktu lama; hal ini menjadi salah satu wilayah yang paling sulit untuk diatasi dan yang paling berisiko untuk diubah. Pembuat rancangan Konvensi telah menyadari bahwa perubahan pada wilayah ini merupakan hal penting dalam rangka memberikan persamaan sepenuhnya bagi perempuan. Untuk melakukan perubahan ini, negara-negara peserta pertama-tama harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan atau mengubah peraturan atau perangkat yang ada, yang berhubungan dengan perkawinan dan keluarga yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.” (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta 22, Komnas HAM dan The British Council, hal. 331)
Begitulah yang tengah diperjuangkan para pegiat hak asasi manusia, terkhusus para pegiat emansipasi wanita yang bersemangat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Mereka sadar bahwa untuk menghapus dan mengubah ‘wilayah diskriminatif’ ini harus berhadapan dengan nilai-nilai budaya dan agama.
Allah l berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff: 8)
Sesungguhnya agama ini telah sempurna. Setiap aturan bagi kehidupan manusia ada di dalamnya. Allah l berfirman:
“Penolakan terhadap nilai-nilai yang ingin diperjuangkan lewat Deklarasi HAM PBB dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai Islam adalah sebuah langkah yang memalukan dan berbahaya. Sebagaimana ditulis oleh Anwar Ibrahim1, ‘menyatakan bahwa kebebasan itu (identik dengan) Barat dan bukan Asia (atau Islam) sama artinya dengan menyerang tradisi kita sendiri dan nenek moyang kita yang sudah merelakan nyawa mereka dalam perjuangan menentang tirani dan ketidakadilan’. Nafsu besar sejumlah kaum muslim untuk menolak apa saja yang datang dari Barat, dapat berakibat pada pengkhianatan terhadap nilai-nilai dan cita-cita mereka sendiri.” (Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, penyunting Sobirin Malian dan Suparman Marzuki, hal. 93)
Menanggapi pernyataan seperti di atas atau yang semisalnya, maka bagi seorang muslim yang terbaik adalah menunjukkan sikap kemuslimannya. Sikap yang didasari ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Karena, jikalah benar bahwa dalam Deklarasi Universal HAM PBB tersebut memiliki nilai-nilai yang mendasarkan diri kepada Islam, maka bagi seorang muslim mengamalkan Islam dengan baik dan benar menimbulkan hikmah yang selaras dengan nilai-nilai universal yang diakui semua pihak. Namun jika seorang muslim dengan mengamalkan Islam tersebut kemudian tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada Deklarasi Universal HAM, maka itulah yang harus ditunjukkan seorang muslim: bahwa agamanya melarang bersikap taklid, mengikuti pendapat atau nilai-nilai yang dinyatakan melalui perseorangan atau secara berkelompok (bersama-sama), yang pendapat atau nilai-nilai tersebut menyelisihi apa yang ditetapkan Allah l dan Rasul-Nya n. Firman Allah l:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 36)
Karena sesungguhnya ketaatan yang bersifat mutlak hanyalah kepada Allah l dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana telah dibimbing dalam Al-Qur`an:
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-(Nya), jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 32)
Hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?” Jawab Rasulullah n: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, no. 7280)
Maka, bagi seorang muslim yang secara benar dan baik mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, secara langsung atau tidak langsung dia akan memahami hak-hak yang bersifat asasi pada manusia. Syariat Islam akan membimbing dirinya untuk menyikapi setiap manusia. Bahkan dalam menyikapi hewan pun, Islam akan membimbingnya. Islam akan menuntun pemeluknya untuk memenuhi hak-hak asasi binatang, seperti hak untuk tidak disiksa dan dianiaya. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus z, dari Rasulullah n, beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas setiap sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh, perbaikilah proses membunuh itu. Apabila kalian menyembelih, maka perbaikilah proses sembelihan itu. Tajamkanlah pisau kalian dan percepatlah proses menyembelihnya.” (HR. Muslim, no. 1955)
Demikian pula binatang diberi hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barangsiapa menghalangi (dengan cara mengurung atau mengikatnya, misalnya) maka ada ancaman keras baginya. Ini digambarkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar c, dari Rasulullah n, beliau bersabda:
دَخَلَتِ الْمَرْأَةُ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Seorang wanita masuk neraka disebabkan seekor kucing. Dia mengikatnya, namun tidak memberinya makan dan tidak pula melepaskannya (agar mencari) makan dari binatang (serangga) bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 3318)
Begitulah Islam mengajarkan untuk bersikap baik terhadap hewan. Apatah lagi terhadap manusia?
Sikap hidup di atas Islam yang benar kelak melahirkan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang hakiki. Karena, tanpa berpijak kepada Islam, manusia akan bertindak sesuai hawa nafsu yang bergemuruh di dadanya. Setan pun akan menghiasi apa yang diperbuatnya sebagai amal yang baik. Allah l berfirman:
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka. Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 43)
Juga firman-Nya:
“Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.” (An-Naml: 24)
Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1948 merupakan reaksi terhadap sejarah masa lalu yang begitu kelam. Sejarah kehidupan manusia yang dilumuri oleh warna merah darah akibat tindak pemaksaan, penganiayaan, dan penyiksaan. Hidup manusia selalu di bawah tekanan dan paksaan. Kebebasan menjadi barang langka, bahkan sirna. Tak ada lagi nilai kesetaraan dalam kehidupan manusia. Wajah buruk dan kelam semacam ini banyak ditemui di belahan bumi Eropa dan Amerika. Dalam kondisi sosio-kultural semacam itu lahirlah gagasan-gagasan untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Untuk memuluskan itu semua diperlukan kebebasan. Maka, kebebasan menjadi prinsip dasar pemenuhan hak asasi manusia. Tanpa kebebasan tak akan bisa terpenuhi hak-hak dasar kemanusiaan tersebut. Demikianlah filosofi yang melatari lahirnya Deklarasi Universal HAM.
Tak heran bila ditelisik pasal-pasal yang terkandung dalam Deklarasi Universal HAM mencuat aroma liberalisme, kebebasan yang melabrak rambu-rambu Islam. Telaah pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM. Maka akan ditemukan paham HAM yang didasari kebebasan murni di dalamnya. Menurut pasal 18 Deklarasi itu: “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, memiliki keyakinan dan beragama; hak ini meliputi juga hak atas kebebasan berganti agama dan keyakinan, dan hak atas kebebasan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau di dalam kehidupannya sendiri, dalam pengajaran, pengamalan, dengan beribadat serta menjalankan perintah agama dan kepercayaan.”
Pasal 18 telah nyata melabrak syariat. Deklarasi yang dinyatakan sebagai aturan yang universal (bisa berlaku untuk semua orang, kalangan, atau bangsa), ternyata memudar nilai keuniversalannya. Pasal tersebut telah menajamkan konflik dengan kaum muslimin yang memiliki rasa cemburu terhadap agama yang mulia ini. Sebab, bagaimanapun, Islam tak akan menolerir setiap sikap murtad (pindah agama) dari pemeluknya. Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa orang yang murtad dari Islam bila tidak mau ruju’ (kembali kepada Islam) maka dihukum mati (oleh pemerintahan Islam, bukan individu). Ini sebagaimana didasarkan pada hadits Ibnu ‘Abbas c, bahwa Rasulullah n bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari no. 3017)
Juga dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالتَّارِكُ دِيْنَهُ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali (karena) salah satu dari tiga (perkara): (membunuh) jiwa dengan jiwa, orang yang sudah menikah berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (Sunan An-Nasa`i no. 4721, Sunan At-Tirmidzi no. 1402. Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t)
Selain itu, hukum bagi yang murtad, dia tidak mewarisi harta karena kekafirannya. Telah sepakat ahlul ilmi (para ulama) bahwa orang yang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim. Jumhur (mayoritas) para sahabat dan fuqaha berpendapat bahwa seorang muslim tidak mewariskan kepada seorang yang kafir. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah t, 9/154)
Ini salah satu masalah krusial dari Deklarasi Universal HAM. Masalah lainnya bisa ditelisik dari pasal 2 dalam Deklarasi yang sama. Disebutkan dalam pasal 2 tersebut: “Setiap manusia berhak atas segala hak dan kebebasan tersebut dalam Deklarasi ini, dengan tanpa membeda-bedakan apapun juga, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau perbedaan pendapat, kebangsaan atau asal golongan masyarakat, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya….”
Melalui rumusan ini melahirkan kesepakatan penghapusan terhadap segala jenis bentuk diskriminasi terhadap wanita. Apakah yang dimaksud ‘diskriminasi terhadap wanita’? Berdasar Ketentuan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 1, disebutkan bahwa yang dimaksud diskriminasi terhadap perempuan: “pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.” (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta 22, Komnas HAM dan The British Council, hal. 321)
Bila mencermati isi dari definisi tentang ‘diskriminasi terhadap perempuan’, maka sekarang bagaimana bila dihadapkan pada nilai-nilai Islam? Nampak sekali bahwa di balik kampanye memperjuangkan hak dan kebebasan kaum wanita, tidak lebih dari sekadar mengusung ide pembangkangan terhadap syariat. Dengan kampanye anti diskriminasi terhadap perempuan, senyatanya mendorong kaum muslimah untuk berpaling dari nilai-nilai Islam. Ini adalah program pengkufuran secara halus pada kaum muslimah. Betapa tidak. Sebab, dalam syariat telah dituntunkan hak dan kewajiban seorang muslimah. Dalam masalah waris, wanita mendapat seperdua dari laki-laki. Dalam pergaulan, wanita (dan juga laki-laki) dibatasi untuk tidak bercampur baur. Dalam safar (bepergian) wanita berbeda dengan laki-laki, wanita harus didampingi mahram. Dalam kehidupan rumah tangga, wanita dibedakan dengan laki-laki, pemimpin rumah tangga adalah laki-laki (suami). Maka sekian banyak pembedaan dan pembatasan yang ada dalam syariat, apakah lantas bisa dikatakan bahwa yang diatur dalam syariat seperti itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan?
Deklarasi Universal HAM berkenaan masalah penghapusan diskriminasi terhadap perempuan bisa mengarah kepada kekufuran. Secara halus, kaum muslimah digiring kepada satu tindakan yaitu berpaling dari akar tradisi nilai-nilai Islam yang selama ini diyakininya. Kita memohon keselamatan kepada Allah l dari semua tipu daya ini. Allahul musta’an.
Program memalingkan dari nilai-nilai Islam yang telah menjadi tradisi ini bisa nampak melalui pasal-pasal dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam pasal 16, berkenaan Persamaan Dalam Hukum Keluarga, paragraf ke-3 disebutkan, “Wilayah diskriminasi ini biasanya didasarkan atas praktik-praktik budaya dan agama yang telah berlangsung dalam waktu lama; hal ini menjadi salah satu wilayah yang paling sulit untuk diatasi dan yang paling berisiko untuk diubah. Pembuat rancangan Konvensi telah menyadari bahwa perubahan pada wilayah ini merupakan hal penting dalam rangka memberikan persamaan sepenuhnya bagi perempuan. Untuk melakukan perubahan ini, negara-negara peserta pertama-tama harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan atau mengubah peraturan atau perangkat yang ada, yang berhubungan dengan perkawinan dan keluarga yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.” (Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta 22, Komnas HAM dan The British Council, hal. 331)
Begitulah yang tengah diperjuangkan para pegiat hak asasi manusia, terkhusus para pegiat emansipasi wanita yang bersemangat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Mereka sadar bahwa untuk menghapus dan mengubah ‘wilayah diskriminatif’ ini harus berhadapan dengan nilai-nilai budaya dan agama.
Allah l berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff: 8)
Sesungguhnya agama ini telah sempurna. Setiap aturan bagi kehidupan manusia ada di dalamnya. Allah l berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi
agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Karenanya, hanya orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya yang
menganggap aturan-aturan dalam agama ini terasa menyesakkan, membuat
susah. Padahal Allah l telah berfirman:
“Kami tidak menurunkan Al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi
susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).”
(Thaha: 2-3)
Allah l-lah yang telah menciptakan alam semesta ini. Maka Allah l jua yang mengatur ciptaan-Nya. Wallahu a’lam.
1 Mantan deputi perdana menteri Malaysia, -ed.
Atas Nama Kebebasan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Masih ingatkah argumen yang dilontarkan para pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah saat diseret ke penjara oleh polisi? Satu di antara argumen yang mereka lempar kepada masyarakat, bahwa mereka berpemahaman seperti itu sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Masih ingatkah argumen yang dilontarkan para pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah saat diseret ke penjara oleh polisi? Satu di antara argumen yang mereka lempar kepada masyarakat, bahwa mereka berpemahaman seperti itu sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Prinsip kebebasan yang menjadi dasar HAM telah digunakan
sebaik-baiknya oleh kalangan Al-Qiyadah. Terlepas dari dibenarkan atau
tidak menggunakan prinsip kebebasan tersebut, namun yang nyata bahwa isu
HAM telah menjadi tameng bagi aksi-aksi kesesatan dan penyesatan
terhadap umat. Isu HAM telah menjadi senjata yang logis yang memberi
ruang kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk berpemahaman,
bertindak, beramal dan beribadah sesuai dengan apa yang diyakininya.
Walaupun keyakinan yang mereka usung tidak bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah alias sesat.
Tak semata itu, banyak kasus yang mengatasnamakan kebebasan lantas
bisa eksis di tengah masyarakat. Dengan atas nama kebebasan berekspresi
dan seni, seorang artis wanita dengan pakaian seronok, mendedahkan
aurat, tampil dengan penuh percaya diri di media-media iklan.
Tampilannya yang syur, mengumbar syahwat, dianggap sebagai sesuatu yang
lumrah. Ketika sekelompok masyarakat menggugat, maka sanggahannya pun
bertameng dengan kebebasan berekspresi dan seni. Lagi, isu HAM telah
dijadikan wahana untuk menyebarkan hal tak patut. Terlepas dibenarkan
atau tidak alasan demi kebebasan berekspresi dan seni.
Lebih dari ini, sepasang muda-mudi atas nama kebebasan, hidup
bersama dalam satu flat, didasari suka sama suka, tak ada paksaan dari
siapapun, tak ada pula tekanan dari pihak manapun, mereka menikmati
hidup tanpa ikatan nikah yang sah, (katanya) tanpa mengganggu siapapun
dan pihak manapun. Maka, keduanya lakukan itu atas nama kebebasan,
merupakan hak keduanya untuk saling mencurahkan kasih sayang dan
melampiaskan hasrat biologisnya, walau dengan cara zina. Lagi, isu HAM
menjadi alasan logis bagi terbukanya ruang perzinaan. Sekali lagi,
terlepas dari dibenarkan atau tidak alasan mereka dengan mengatasnamakan
kebebasan.
Sisi lain, atas dasar kebebasan mengemukakan pendapat secara lisan
atau tulisan di muka umum, lantas dengan berarak mengerahkan massa turun
ke jalan-jalan. Melakukan orasi yang berisi pembeberan “aib” pejabat
atau pemerintah. Jalanan menjadi macet, seakan republik ini cuma mereka
yang menghuni. Hajat sekian ratus, ribu bahkan jutaan manusia menjadi
terhambat, terganggu dan bahkan terlanggar. Sekali lagi, semua itu
dilakukan atas nama kebebasan.
Ini baru yang ada di jalanan. Belum yang terpampang di media
elektronik, spanduk, baliho, selebaran, koran, majalah, buku, dan
lainnya. Semua berangkat atas nama kebebasan. Sayang, dan amat sangat
disayangkan. Seakan penghuni negeri ini sudah tak lagi memiliki adab,
etika, sopan santun, tenggang rasa, akhlak terhadap pemerintah, dan
nilai-nilai keluhuran yang semestinya turut serta saat menyampaikan
pesan, nasihat, usul yang membangun terhadap pemerintah, kelompok
masyarakat tertentu, atau yang bersifat perorangan sekalipun. Firman
Allah l:
“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)
Berdasar hadits dari Abu Hurairah z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan perkataan yang baik itu merupakan sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 2989; Muslim no. 56)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjelaskan ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang menginginkan agar (berita) perbuatan
yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi
mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nur: 19)
beliau menyatakan, bahwa “suka menyebarkan perbuatan keji (al-faahisyah) di kalangan orang-orang beriman” meliputi dua makna:
Pertama, menyukai tersebarnya al-faahisyah di tengah-tengah
masyarakat muslim. Termasuk dalam hal ini adalah menyebarkan film-film
porno dan koran (majalah, selebaran, dan yang sejenis, ed.) yang jelek,
jahat, dan porno. Sungguh, media-media semacam ini, tanpa ragu lagi,
termasuk yang menyukai (menghendaki) tersebarnya al-faahisyah di
tengah-tengah komunitas muslimin. (Orang-orang yang terlibat di
dalamnya), mereka menginginkan timbul gejolak fitnah (bencana/kerusakan)
agama pada diri seorang muslim. Tentunya dengan sebab dari apa yang
disebarkan (oleh mereka) melalui majalah-majalah, surat kabar-surat
kabar porno yang merusak atau media-media lainnya yang sejenis.
Barangsiapa menghendaki (suka) tersebarnya al-faahisyah di tengah
komunitas muslim, maka baginya azab yang pedih di dunia dan akhirat.
Kedua, menyukai tersebarnya al-faahisyah pada orang tertentu, bukan
dalam lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh. Balasan untuk
perbuatan ini adalah azab yang pedih di dunia dan akhirat. (Syarhu
Riyadhish Shalihin, 1/598)
Kerusakan demi kerusakan akan senantiasa merambah bumi kala
aksi-aksi manusia atas nama kebebasan ditolerir. Peradaban manusia akan
terpuruk seiring nilai kebebasan yang lahir dari pemikiran-pemikiran
kufur yang menjadi landasan perbuatan manusia. Lihatlah, bagaimana
Amerika Serikat dengan mengatasnamakan HAM meluluhlantakkan Afghanistan.
Pemerintah AS mengirim pasukannya ke Afghanistan untuk menjaga hukum
HAM seperti yang dicantumkan dalam pasal 51 Piagam PBB. (Pengadilan HAM,
Indonesia dan Peradaban, Artidjo Alkostar hal. 21-22)
HAM dijadikan alat negara kafir untuk melegalkan kezaliman terhadap
negara kaum muslimin. Termasuk dalam konteks ini, isu HAM pun dijadikan
alat untuk melemahkan instrumen pemerintahan di Indonesia saat proses
reformasi berlangsung. Bersamaan dengan itu rakyat dihasung untuk berani
melawan pemerintahnya. Tentunya di bawah payung HAM, bahwa rakyat
memiliki kebebasan menyuarakan aspirasi sebebas-bebasnya. Yang lebih
parah, mereka menjadi kekuatan massa yang dikoordinir dan dimanfaatkan
secara politis oleh kelompok tertentu. Tak sedikit yang kemudian
melakukan tindakan-tindakan merusak. Anarkisme menjadi model perlawanan
terhadap pemerintah yang sah. Ini dampak dibukanya kran demokrasi dan
kebebasan.
Padahal dalam menyikapi pemerintah, kaum muslimin telah dibimbing Allah l dan Rasul-Nya. Firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa`: 59)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang dimaksud
ulil amri pada ayat tersebut berdasar apa yang disebutkan ahlul ilmi
adalah ulama dan umara’ (pemerintah). Wajib bagi umat Islam untuk
menaati pemerintah. Ketaatan terhadap pemerintah di sini dalam hal
ketaatan kepada Allah l. Karena firman Allah l:Tidaklah penyebutannya
dalam bentuk:
وَأَطِيْعُوا أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
(Taatilah ulil amri di antara kamu), sebab ketaatan terhadap
pemerintah mengikuti (ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya), tidak
berdiri sendiri. Atas dasar ini, apabila pemerintah memerintahkan
kemaksiatan terhadap Allah l, maka tidaklah wajib untuk mendengar dan
taat.
Hadits dari Ibnu ‘Umar c menjelaskan hal ini. Rasulullah n bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam hal suka atau
benci, kecuali bila yang diperintahkan terhadap hal yang maksiat. Bila
diperintah terhadap kemaksiatan maka janganlah mendengar dan taat.” (HR.
Al-Bukhari no. 7144; Muslim no. 1839. Lafadz di atas merupakan lafadz
Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1840)
Kaum muslimin diberi tuntunan pula dalam menyikapi pemerintahan
yang melakukan kemungkaran. Caranya dengan nasihat yang disampaikan
secara tersembunyi, tidak dengan terang-terangan atau dipublikasikan
kepada masyarakat. Disebutkan dalam hadits Syuraih bin Ubaid dan
selainnya, Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ
عَلَانِيَّةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa karena satu perkara,
janganlah menerangkannya secara terbuka (di depan publik). Tapi,
(lakukanlah) dengan cara mengambil tangannya di tempat tertutup
bersamanya. Jika dia menerima (nasihat tersebut), maka itulah (yang
diharapkan). Jika tidak, sungguh telah sampai nasihat kepadanya.” (HR.
Ahmad, Majma’u Az-Zawa`id no. 9161. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah fi Takhriji As-Sunnah no.
1096)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t terkait masalah ini menyatakan
bahwa bukan manhaj as-salaf, menyebarkan aib (cacat, cela, kelemahan,
kekurangan) pemerintah serta memublikasikannya di mimbar-mimbar
(media-media umum). Karena, yang seperti itu akan menambah parah
keadaan, memupus (kepercayaan rakyat) untuk mendengar dan taat dalam hal
yang ma’ruf. Juga semakin menjerembabkan ke keadaan yang membahayakan
dan tiada manfaat. Cara yang ditempuh (diikuti) pada kalangan salaf,
yaitu menasihati antara dia dengan penguasa (tidak di depan umum),
menyuratinya, atau menyampaikan melalui para ulama yang (para ulama ini)
akan menyampaikannya kepada penguasa hingga (tercapai) menuju kepada
kebaikan. Mengingkari kemungkaran hendaknya tanpa menyebut nama pelaku.
Berantaslah masalahnya dengan menyebut masalahnya. Kemungkaran zina,
kemungkaran minuman keras (khamr), kemungkaran riba tanpa menyebut siapa
pelakunya. Cukup dengan mengingkari kemaksiatan-kemaksiatan dan
memperingatkan (masyarakat) dari hal-hal tersebut. Tanpa menyebut fulan
sebagai oknumnya.
Saat terjadi fitnah (anarkisme) di zaman ‘Utsman bin Affan z,
sebagian masyarakat berkata kepada Usamah bin Zaid z: “Apakah engkau
tidak melakukan pengingkaran terhadap ‘Utsman?” Jawab Usamah: “Apakah
aku akan melakukan pengingkaran di hadapan orang banyak? Aku akan
mengingkarinya (cukup) antara aku dan dia saja. Aku tak ingin membuka
pintu kejelekan atas manusia.”
Tatkala mereka telah membuka kejelekan pada masa ‘Utsman z, yaitu
dengan melakukan pengingkaran terhadap ‘Utsman z secara terang-terangan,
lengkaplah sudah fitnah (petaka), pembantaian dan kerusakan-kerusakan
yang pengaruhnya terus berlangsung hingga sekarang. Hingga kemudian,
memunculkan fitnah antara ‘Ali dan Mu’awiyah c. Terbunuhnya ‘Utsman dan
‘Ali c lantaran sebab hal itu. Juga, banyak dari kalangan sahabat dan
selainnya yang terbunuh. Semuanya disebabkan cara melakukan pengingkaran
secara terbuka, transparan di depan umum dengan menyebutkan aib-aibnya.
Hingga terbakarlah emosi massa (untuk) melawan pemerintahnya. Mereka
pun lantas membunuhnya. Nas`alullaha al-’afiyah. (Mu’amalatu Al-Hukkam
fi Dhau`i Al-Kitab wa As-Sunnah, Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas t,
hal. 111-112)
Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits, (no.
2224) dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawi yang bertutur: “Kala aku bersama
Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang tengah berkhutbah, sedangkan
dia mengenakan pakaian tipis. Maka, berbicaralah Abu Bilal (Mirdas bin
Udayyah, seorang Khawarij): “Lihatlah kepada pemimpin kita, dia
mengenakan pakaian orang-orang fasiq!” Abu Bakrah pun lantas angkat
bicara, “Diam kamu. Aku telah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang merendahkan (menghina) penguasa Allah di muka
bumi, Allah akan merendahkan (menghinakan) dirinya.” (Hadits ini
dihasankan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ash-Shahihah no.
2296)
Demikian akhlak yang dibangun dalam Islam. Selalu dan selalu
memerhatikan kemaslahatan masyarakat banyak. Tak semata memfokuskan pada
hak asasi orang per orang, sementara kepentingan (hak orang lain)
terabaikan. Melalui proses penyampaian aspirasi yang diajarkan Islam,
maka kepentingan umum tidak terganggu (terlanggar) dan hak individu atau
kelompok pun tidak terabaikan. Karena masing-masing individu masih bisa
tetap menyampaikan aspirasi tanpa harus mengganggu yang lain serta
menimbulkan mudarat bagi masyarakat.
Bagaimana dengan sistem yang dibangun di atas kebebasan? Ya, karena
mereka memiliki hak asasi, hak untuk secara bebas meneriakkan
aspirasinya, maka tak terpikirkan lagi dampak dari aksi-aksinya. Tak
peduli lagi apakah setelah mengkritik pemerintah lantas masyarakat
terprovokasi atau tidak. Tak peduli lagi, apakah setelah dia bicara suhu
politik jadi memanas, ekonomi bergeser menurun, yang semua itu
dampaknya kepada masyarakat secara keseluruhan. Atau menjadikan citra
negeri muslim menjadi buruk di mata internasional. Semua tak
dipedulikan. Sebab, intinya atas nama kebebasan, hak asasi manusia harus
terwujud. Maka bergulirlah Deklarasi Universal HAM PBB tahun 1948
sebagai tameng dan alat perjuangan.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
(Al-Ma`idah: 50)
Mari, dengan hati yang jernih, kita pahami Islam ini dengan benar
dan baik. Kembalikan setiap masalah yang ada kepada agama. Bukan dengan
membanggakan nilai-nilai di luar Islam sebagai wujud rasa inferiotas
(minder) di hadapan peradaban Barat. Mari, kita tunjukkan sebagai muslim
yang baik. Yang menapaki jejak generasi salafush shalih.
Wallahu a’lam.
Apa Itu Hak Asasi Manusia (HAM)?
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Di tengah hiruk pikuk “reformasi”, satu di antara banyak peristiwa, adalah menggelembungnya isu Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini.
Awan hitam kelam menyelimuti persada. Suasana karut-marut mewarnai sudut-sudut kehidupan anak negeri. Rasa aman seakan menjadi komoditas yang sulit dijangkau. Seakan sirna kenyamanan dan rasa tenang hidup di bumi nyiur melambai. Demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, pembantaian manusia, hiruk pikuk memenuhi etalase kehidupan. Para penegak hukum tak mampu lagi menampakkan gigi taringnya. Berbagai kerusuhan bagaikan gelombang yang susul menyusul, sementara aparat ragu untuk bertindak. Keraguan ini cukup lama bergayut di dada para prajurit, hingga melambankan gerak menyapu para pelaku keonaran. Satu di antara sebab yang melambankan gerak pihak berwajib, tumbuhnya rasa takut terjerat jaring-jaring HAM. Tak mengherankan bila saat itu para prajurit dibekali buku saku yang berisi apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai HAM.
Apa itu HAM? Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, HAM didefinisikan sebagai berikut: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Kala itu, HAM bak monster yang menakutkan pihak aparat. Dalam skenario global, HAM menjadi alat yang langsung atau pun tidak, turut melemahkan kewibawaan pemerintah. Isu HAM terus dipompakan hingga target-target yang bersifat politis bisa digapai oleh elite politik tertentu. Selain tentunya, bagi pihak asing merupakan kesempatan emas untuk melakukan neo-kolonialisme (penjajahan model baru) melalui penetrasi budaya, yaitu menularkan budaya atau paham-paham sekular. Inti dari pemahaman ini berupaya menjauhkan umat Islam dari agamanya, dan lebih memfokuskan pada masalah dunia serta nilai-nilai yang tidak bersumber dari Islam.
Bila menilik sejarah, sesungguhnya keadaan umat Islam di Indonesia nyaris tidak lepas dari dominasi dan eksploitasi Barat. Proses sejarah menunjukkan bahwa setelah kolonialisme, yaitu penjajahan bersifat fisik berakhir, dunia Islam menghadapi masa neo-kolonialisme. Penjajahan pada fase neo-kolonialisme ini tidak lagi bersifat fisik, tetapi sudah dalam bentuk penjajahan nilai, ideologi, atau paham. Fase inilah terjadinya ghazwu al-fikr (perang pemikiran). Walaupun secara fisik negara-negara tempat kaum muslimin tinggal telah merdeka, namun tekanan budaya Barat senantiasa dijejalkan kepada kaum muslimin. Sehingga, akibat penetrasi budaya, ideologi, dan pemahaman tersebut, berubahlah cara pandang, cara berpikir, tingkah laku, bahkan i’tiqad (keyakinan) sebagian kaum muslimin. Nas`alullaha as-salamah wal ‘afiyah (Kepada Allah l-lah kita memohon keselamatan dan afiat).
Perubahan gaya hidup dengan meniru kaum kafir tersebut tentu saja melalui proses waktu. Secara bertahap namun terarah, proses tersebut terus bergulir hingga seseorang lantas mengikuti gaya hidup orang kafir. Rasulullah n telah memperingatkan perihal ini. Berdasar hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا حُجْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قَالُوا: الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kamu akan mengikuti cara-cara orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka berjalan (masuk) lubang dhabb (sejenis biawak), niscaya kamu pun akan berjalan ke lubang tersebut.” Para sahabat bertanya: “(Apakah yang dimaksud) Yahudi dan Nashara?” Jawab Rasulullah n: “Siapa lagi?” (HR. Ahmad, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadah, no. 5063)
Seiring arus globalisasi, gerakan neo-kolonialisme pun semakin mendapat celah untuk terus menerjang batas-batas negara. Karena, globalisasi itu sendiri dimaknai sebagai proses integrasi (penyatuan) ideologi, paham, nilai budaya ‘penjajah’ terhadap yang ‘dijajah’. Sehingga ideologi, paham, nilai budaya ‘penjajah’ terserap dan menyatu dalam kehidupan masyarakat yang ‘dijajah’. Inilah hakikat globalisasi terkait dengan gerakan neo-kolonialisme. Pemberian beasiswa untuk mempelajari Islam ke McGill University, Montreal, Kanada atau ke Chicago University, Amerika Serikat adalah bagian kecil dari program neo-kolonialisme. Menghadirkan para selebriti Barat ke negeri-negeri kaum muslimin juga merupakan bagian neo-kolonialisme. Dengan neo-kolonialisme, Barat melakukan hegemoni, yakni melakukan dominasi pemikiran, cara pandang, ideologi, pemahaman, dan budaya, hingga terbentuk sikap mental: “Kalau tidak dari Barat, tidak modern,” atau “Kalau tidak dari Barat, tidak keren.”
Dalam ranah sosial politik, demokratisasi merupakan sistem nilai dan ideologi yang ditanamkan ke negeri-negeri kaum muslimin. Demokrasi sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat melalui proses penetrasi yang kuat telah cukup membawa hasil yang ‘memuaskan’. Cap ‘tidak demokratis’ adalah sesuatu yang tidak disukai oleh kalangan pemerintahan di sebagian negara-negara muslim. Ini memberi sinyal bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem ideologi telah berhasil ditanam.
Bagaimana dengan ajaran Hak Asasi Manusia? Nyaris tak jauh beda. Saat memberi Kata Pengantar, M.M. Billah, seorang pegiat HAM, menyatakan bahwa fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri menunjukkan bahwa ajaran hak asasi manusia merupakan produk kebudayaan dan filsafat Barat dalam masa Pencerahan di abad ke-18, ketika para ahli filsafat masa itu berupaya mencari landasan kebenaran moral dan keagamaan di dalam sifat-sifat manusia, dan mengembangkan satu agama serta moralitas yang ‘alamiah’. Tetapi konsepsi tentang sifat manusia dan kebebasan manusia yang muncul pada kenyataannya amat menyatu dengan tradisi budaya yang memunculkannya, yakni kebudayaan dan filsafat Barat itu sendiri. (Agama dan Hak Asasi Manusia, John Kelsay dan Sumner B. Twiss)
Bukti bahwa ajaran hak asasi manusia ini tidak bisa lepas dari kebudayaan dan filsafat Barat bisa ditelusuri dari berbagai deklarasi yang melatarinya. Magna Charta (1215) dianggap sebagai dokumen sejarah yang menggagas hak asasi manusia. Magna Charta berisi prinsip-prinsip trial by jury (peradilan oleh juri), habeas corpus (surat perintah penahanan), dan pengawasan parlemen atas pajak. Walaupun hanya berisi prinsip-prinsip di atas, oleh beberapa kalangan, Magna Charta tetap dijadikan monumen bagi lahirnya gagasan-gagasan hak asasi manusia berikutnya. Di Inggris tumbuh gagasan melalui Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Di Amerika dengan Declaration of Independence (1776). Di Perancis, setelah Revolusi Perancis, lahir apa yang disebut dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warganegara (Declaration des Droit de l’home et du Citoyen, 1789). Hingga akhirnya semua gagasan yang berkembang dirumuskan menjadi sebuah deklarasi. Lahirlah kemudian Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Deklarasi inilah yang kemudian disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai dasar pemberlakuan hak asasi manusia di seluruh dunia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berisi 30 pasal tersebut secara resmi diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi (mengesahkan) sebagai Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat, ajaran hak asasi manusia tentu saja tidak bebas dari kritik. Pengejawantahan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan beragama di Barat (khususnya Perancis) justru buruk sekali. Larangan terhadap muslimah untuk mengenakan busana yang sesuai syariat ternyata tetap berlaku. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan setempat belum bersungguh-sungguh memberikan hak yang bersifat asasi kepada kaum muslimin. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat. Pasca peristiwa 11 September 2001 dengan hancurnya gedung WTC, pemerintah Amerika berlebihan, bahkan tidak patut dalam menyikapi warga muslim, terutama yang berasal dari warga asing. Apakah karena kemuslimannya lantas seseorang diperlakukan tidak patut di negara yang konon katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia?
Sikap semena-mena tersebut menunjukkan watak asli kaum kafir terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tidak akan merasa tenang bahkan bersikap sewenang-wenang terhadap orang-orang beriman. Allah l mengisahkan ashhabul ukhdud dalam Al-Qur`an sebagai pelajaran, betapa lantaran keimanan orang-orang beriman itu harus menghadapi tindak penyiksaan. Allah l berfirman:
Di tengah hiruk pikuk “reformasi”, satu di antara banyak peristiwa, adalah menggelembungnya isu Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini.
Awan hitam kelam menyelimuti persada. Suasana karut-marut mewarnai sudut-sudut kehidupan anak negeri. Rasa aman seakan menjadi komoditas yang sulit dijangkau. Seakan sirna kenyamanan dan rasa tenang hidup di bumi nyiur melambai. Demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, pembantaian manusia, hiruk pikuk memenuhi etalase kehidupan. Para penegak hukum tak mampu lagi menampakkan gigi taringnya. Berbagai kerusuhan bagaikan gelombang yang susul menyusul, sementara aparat ragu untuk bertindak. Keraguan ini cukup lama bergayut di dada para prajurit, hingga melambankan gerak menyapu para pelaku keonaran. Satu di antara sebab yang melambankan gerak pihak berwajib, tumbuhnya rasa takut terjerat jaring-jaring HAM. Tak mengherankan bila saat itu para prajurit dibekali buku saku yang berisi apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai HAM.
Apa itu HAM? Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, HAM didefinisikan sebagai berikut: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Kala itu, HAM bak monster yang menakutkan pihak aparat. Dalam skenario global, HAM menjadi alat yang langsung atau pun tidak, turut melemahkan kewibawaan pemerintah. Isu HAM terus dipompakan hingga target-target yang bersifat politis bisa digapai oleh elite politik tertentu. Selain tentunya, bagi pihak asing merupakan kesempatan emas untuk melakukan neo-kolonialisme (penjajahan model baru) melalui penetrasi budaya, yaitu menularkan budaya atau paham-paham sekular. Inti dari pemahaman ini berupaya menjauhkan umat Islam dari agamanya, dan lebih memfokuskan pada masalah dunia serta nilai-nilai yang tidak bersumber dari Islam.
Bila menilik sejarah, sesungguhnya keadaan umat Islam di Indonesia nyaris tidak lepas dari dominasi dan eksploitasi Barat. Proses sejarah menunjukkan bahwa setelah kolonialisme, yaitu penjajahan bersifat fisik berakhir, dunia Islam menghadapi masa neo-kolonialisme. Penjajahan pada fase neo-kolonialisme ini tidak lagi bersifat fisik, tetapi sudah dalam bentuk penjajahan nilai, ideologi, atau paham. Fase inilah terjadinya ghazwu al-fikr (perang pemikiran). Walaupun secara fisik negara-negara tempat kaum muslimin tinggal telah merdeka, namun tekanan budaya Barat senantiasa dijejalkan kepada kaum muslimin. Sehingga, akibat penetrasi budaya, ideologi, dan pemahaman tersebut, berubahlah cara pandang, cara berpikir, tingkah laku, bahkan i’tiqad (keyakinan) sebagian kaum muslimin. Nas`alullaha as-salamah wal ‘afiyah (Kepada Allah l-lah kita memohon keselamatan dan afiat).
Perubahan gaya hidup dengan meniru kaum kafir tersebut tentu saja melalui proses waktu. Secara bertahap namun terarah, proses tersebut terus bergulir hingga seseorang lantas mengikuti gaya hidup orang kafir. Rasulullah n telah memperingatkan perihal ini. Berdasar hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا حُجْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قَالُوا: الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kamu akan mengikuti cara-cara orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka berjalan (masuk) lubang dhabb (sejenis biawak), niscaya kamu pun akan berjalan ke lubang tersebut.” Para sahabat bertanya: “(Apakah yang dimaksud) Yahudi dan Nashara?” Jawab Rasulullah n: “Siapa lagi?” (HR. Ahmad, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadah, no. 5063)
Seiring arus globalisasi, gerakan neo-kolonialisme pun semakin mendapat celah untuk terus menerjang batas-batas negara. Karena, globalisasi itu sendiri dimaknai sebagai proses integrasi (penyatuan) ideologi, paham, nilai budaya ‘penjajah’ terhadap yang ‘dijajah’. Sehingga ideologi, paham, nilai budaya ‘penjajah’ terserap dan menyatu dalam kehidupan masyarakat yang ‘dijajah’. Inilah hakikat globalisasi terkait dengan gerakan neo-kolonialisme. Pemberian beasiswa untuk mempelajari Islam ke McGill University, Montreal, Kanada atau ke Chicago University, Amerika Serikat adalah bagian kecil dari program neo-kolonialisme. Menghadirkan para selebriti Barat ke negeri-negeri kaum muslimin juga merupakan bagian neo-kolonialisme. Dengan neo-kolonialisme, Barat melakukan hegemoni, yakni melakukan dominasi pemikiran, cara pandang, ideologi, pemahaman, dan budaya, hingga terbentuk sikap mental: “Kalau tidak dari Barat, tidak modern,” atau “Kalau tidak dari Barat, tidak keren.”
Dalam ranah sosial politik, demokratisasi merupakan sistem nilai dan ideologi yang ditanamkan ke negeri-negeri kaum muslimin. Demokrasi sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat melalui proses penetrasi yang kuat telah cukup membawa hasil yang ‘memuaskan’. Cap ‘tidak demokratis’ adalah sesuatu yang tidak disukai oleh kalangan pemerintahan di sebagian negara-negara muslim. Ini memberi sinyal bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem ideologi telah berhasil ditanam.
Bagaimana dengan ajaran Hak Asasi Manusia? Nyaris tak jauh beda. Saat memberi Kata Pengantar, M.M. Billah, seorang pegiat HAM, menyatakan bahwa fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri menunjukkan bahwa ajaran hak asasi manusia merupakan produk kebudayaan dan filsafat Barat dalam masa Pencerahan di abad ke-18, ketika para ahli filsafat masa itu berupaya mencari landasan kebenaran moral dan keagamaan di dalam sifat-sifat manusia, dan mengembangkan satu agama serta moralitas yang ‘alamiah’. Tetapi konsepsi tentang sifat manusia dan kebebasan manusia yang muncul pada kenyataannya amat menyatu dengan tradisi budaya yang memunculkannya, yakni kebudayaan dan filsafat Barat itu sendiri. (Agama dan Hak Asasi Manusia, John Kelsay dan Sumner B. Twiss)
Bukti bahwa ajaran hak asasi manusia ini tidak bisa lepas dari kebudayaan dan filsafat Barat bisa ditelusuri dari berbagai deklarasi yang melatarinya. Magna Charta (1215) dianggap sebagai dokumen sejarah yang menggagas hak asasi manusia. Magna Charta berisi prinsip-prinsip trial by jury (peradilan oleh juri), habeas corpus (surat perintah penahanan), dan pengawasan parlemen atas pajak. Walaupun hanya berisi prinsip-prinsip di atas, oleh beberapa kalangan, Magna Charta tetap dijadikan monumen bagi lahirnya gagasan-gagasan hak asasi manusia berikutnya. Di Inggris tumbuh gagasan melalui Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Di Amerika dengan Declaration of Independence (1776). Di Perancis, setelah Revolusi Perancis, lahir apa yang disebut dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warganegara (Declaration des Droit de l’home et du Citoyen, 1789). Hingga akhirnya semua gagasan yang berkembang dirumuskan menjadi sebuah deklarasi. Lahirlah kemudian Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Deklarasi inilah yang kemudian disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai dasar pemberlakuan hak asasi manusia di seluruh dunia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berisi 30 pasal tersebut secara resmi diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi (mengesahkan) sebagai Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat, ajaran hak asasi manusia tentu saja tidak bebas dari kritik. Pengejawantahan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan beragama di Barat (khususnya Perancis) justru buruk sekali. Larangan terhadap muslimah untuk mengenakan busana yang sesuai syariat ternyata tetap berlaku. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan setempat belum bersungguh-sungguh memberikan hak yang bersifat asasi kepada kaum muslimin. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat. Pasca peristiwa 11 September 2001 dengan hancurnya gedung WTC, pemerintah Amerika berlebihan, bahkan tidak patut dalam menyikapi warga muslim, terutama yang berasal dari warga asing. Apakah karena kemuslimannya lantas seseorang diperlakukan tidak patut di negara yang konon katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia?
Sikap semena-mena tersebut menunjukkan watak asli kaum kafir terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tidak akan merasa tenang bahkan bersikap sewenang-wenang terhadap orang-orang beriman. Allah l mengisahkan ashhabul ukhdud dalam Al-Qur`an sebagai pelajaran, betapa lantaran keimanan orang-orang beriman itu harus menghadapi tindak penyiksaan. Allah l berfirman:
“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena
orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha
Terpuji.” (Al-Buruj: 8)
Inilah pergulatan antara al-haq dan al-bathil. Antara iman dan
kekufuran. Antara hizbullah dan hizbu asy-syaithan. Sebab, pada intinya
mereka akan terus berupaya dengan beragam cara untuk menundukkan kaum
muslimin. Mereka tidak akan senang sebelum kaum muslimin mengikuti apa
yang mereka maukan.
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Maka, ketika Islam menutup ruang terjadinya ganti agama, karena
agama yang diakui di sisi Allah l hanyalah Islam, justru Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia membuka ruang kebebasan beragama, termasuk
dibolehkannya ganti agama (sebagaimana pada pasal 18). Dua kutub yang
saling bertolak belakang ini tentu saja tidak bisa dikompromikan.
Bagaimana mungkin seorang muslim memperkenankan (melegalkan) kepada kaum
muslimin untuk ganti agama? Padahal Allah l berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak
akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
“Sesungguhnya agama (yang diakui) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
Sikap terbaik bagi seorang muslim adalah mengamalkan agamanya
secara baik dan benar, sebagaimana telah dituntunkan oleh Rasulullah n
dan para sahabatnya g. Tidak silau dengan berbagai nilai, pemahaman, dan
ideologi yang lahir dari hawa nafsu manusia. Karena, sudah nyata antara
al-haq dan al-bathil, dan sesungguhnya petunjuk yang benar itu hanya
satu, yaitu petunjuk Allah l. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’.” (Al-Baqarah: 120)
Jadi, kembalilah kepada nilai-nilai Islam, wahai orang-orang yang memiliki akal.
Wallahu a’lam.
Hal Asasi Manusia (HAM) Didepan Penciptanya
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)
Upaya-upaya pemberangusan syariat Islam terus dilakukan dengan berbagai cara. Kini dengan bertameng HAM, syariat dan aturan agama diupayakan untuk diabaikan. Bimbingan dan petunjuk ilahi pun hendak dikesampingkan.
Upaya-upaya pemberangusan syariat Islam terus dilakukan dengan berbagai cara. Kini dengan bertameng HAM, syariat dan aturan agama diupayakan untuk diabaikan. Bimbingan dan petunjuk ilahi pun hendak dikesampingkan.
Isu-isu tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terus marak diusung.
Tampilannya pun telah direkayasa sedemikian rupa. Hingga berujung pada
opini bahwa HAM adalah kekuatan yang layak ditakuti. Dampaknya,
“orang-orang kuat” dunia pun “grogi” bila harus berurusan dengan perkara
yang satu ini. Aparat keamanan, baik militer maupun kepolisian yang
notabene pegang senjata pun “amat takut” bila dikasuskan perihal HAM.
Tak heran, bila HAM kemudian sering dijadikan senjata yang ditunggangi
kepentingan pihak-pihak yang tengah berupaya menjatuhkan rival
politiknya.
HAM itu sendiri sejatinya merupakan produk musuh-musuh Islam.
Tujuannya adalah pendangkalan keimanan umat dan pembentukan karakter
mereka agar menjadi orang-orang bebas, berani melawan, memberontak dan
menentang segala sesuatu yang tidak sesuai pikiran dan hawa nafsunya,
dengan dalih hak asasi. Tanpa memedulikan siapa yang dilawan dan
ditentangnya itu. Akhirnya, hawa nafsu diperturutkan dan syariat pun
ditanggalkan.
Namun anehnya, wacana HAM yang bergulir bak bola api di tengah umat
ini, justru disambut dan diperjuangkan oleh “umat Islam”. HAM pun
diundangkan. Pemerintah sering kali dihujat dan dikasuskan dengan alasan
pelanggaran hak asasi. Di lain pihak, dengan alasan hak asasi pula,
terkadang syariat dan aturan agama diabaikan. Bimbingan dan petunjuk
ilahi pun dikesampingkan. Padahal, siapakah makhluk yang bernama manusia
itu? Sejauh itukah keberaniannya kepada Allah l Yang Maha Kuasa sang
Pencipta?!
Manusia Makhluk yang Dilingkupi Segala Keterbatasan
Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah l yang menjalani
roda kehidupan di dunia fana ini. Dengan segala hikmah dan
keadilan-Nya, Allah l jadikan mereka sebagai makhluk yang dilingkupi
segala keterbatasan. Allah l menciptakan moyang mereka (Adam q) dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Sebagaimana firman Allah l:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
(Al-Hijr: 26)
Sedangkan keturunannya, Allah l ciptakan mereka dari percampuran
setetes air mani suami dan istri. Kemudian Allah l menjadikannya
mendengar dan melihat, untuk diuji oleh-Nya dengan berbagai perintah dan
larangan. Sebagaimana firman Allah l:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang
Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami
jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 1-2)
Tak ubahnya makhluk hidup lainnya, manusia pun mengalami sekian
fase dalam kehidupannya. Tercipta sebagai hamba yang lemah, kemudian
menjadi kuat (fisiknya) dan mengakhiri kehidupannya pun dalam keadaan
lemah. Allah l berfirman:
“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian
Dia menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,
kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Rum: 54)
Demikianlah manusia dengan segala keterbatasannya. Semua
(hakikatnya) dalam perjalanan menuju Rabb-nya. Kemudian setelah
meninggal dunia, akan bertemu dengan Allah l untuk melihat segala
kebaikan ataupun kejelekan yang dikerjakannya, kemudian menerima balasan
dari perbuatannya yang baik maupun yang buruk itu. Allah l berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (semut yang
amat kecil) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa
yang mengerjakan kejelekan seberat dzarrah (semut yang amat kecil) pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Manusia Amat Bergantung kepada Allah l
Keberadaan manusia sebagai makhluk, sangatlah bergantung kepada
Allah sang Penciptanya (Al-Khaliq). Kebutuhan mereka kepada Allah l
amatlah besar. Tanpa pertolongan dan kekuatan dari-Nya, tak akan mungkin
bisa menjalani pahit getirnya kehidupan ini. Allah l berfirman:
“Hai sekalian manusia, kalianlah yang amat butuh kepada Allah, dan
Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji.” (Fathir: 15)
Ketergantungan manusia terhadap sang Khaliq (Allah l) semakin
besar, manakala mereka telah menyanggupi untuk memikul amanat ibadah
dengan menjalankan segala perintah Allah l dan menjauhi segala yang
diharamkan-Nya, yang tak disanggupi oleh makhluk-makhluk besar seperti
langit, bumi, dan gunung-gunung. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Allah l
mengangkat permasalahan amanat yang diamanatkan-Nya kepada para
mukallaf, yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan
menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak.
Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan
gunung-gunung sebagai tawaran pilihan bukan keharusan, ‘Bila engkau
menjalankan dan melaksanakannya niscaya bagimu pahala, dan bila tidak,
niscaya kamu akan dihukum.’ Maka makhluk-makhluk itu enggan untuk
memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang
Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh pahala-Nya. Kemudian Allah
l tawarkan kepada manusia. Ia pun siap menerima amanat itu dan siap
memikulnya dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya.
Maka amanat berat itu pun akhirnya dibebankan kepadanya.” (Taisirul
Karimir Rahman, hal. 620)
Karunia Allah l yang Tak Terhingga terhadap Umat Manusia
Manusia dengan segala keterbatasan dan ketergantungannya kepada
Allah l, amatlah membutuhkan pertolongan dan kekuatan dari Allah l.
Terlebih dalam mengemban amanat berat yang tak dimampui oleh
makhluk-makhluk besar itu. Maka Allah l Yang Maha Rahman pun, memberikan
nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga kepada mereka untuk bisa
menjalankan segala tugas dan kepentingannya.
Allah l ciptakan mereka dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4)
Kemudian Allah l kuatkan persendian tubuhnya, sehingga mampu
bergerak untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Allah l berfirman:
“Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka.” (Al-Insan: 28)
Sebagaimana pula Allah l menjadikannya pandai berbicara, bisa
mendengar dan melihat, sehingga dapat berkomunikasi dan berinteraksi
dengan sesamanya. Allah l berfirman:
“Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahman: 3-4)
“Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Segala sarana kehidupan mereka pun telah dicukupi dan dimudahkan-Nya. Allah l berfirman:
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan dan
gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kalian berpasang-pasangan,
dan Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat, dan Kami jadikan malam
sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan
Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami
jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan
air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu
biji-bijan, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (An-Naba`:
6-16)
Allah l pun telah tentukan untuk mereka rezeki dengan segala hikmah
dan keilmuan-Nya. Masing-masing mendapatkannya sesuai dengan bagian dan
porsi yang semestinya. Allah l berfirman:
“Dan Allah melebihkan sebagian kalian atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (An-Nahl: 71)
Lebih dari itu, Allah l utus para nabi dan rasul kepada tiap-tiap
umat (dari mereka) sebagai pembimbing mereka ke jalan yang lurus.
Sebagaimana pula Dia turunkan kitab suci sebagai pedoman hidup mereka
menuju kehidupan yang terang benderang. Allah l berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
(Al-Hadid: 25)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan
kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak
pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya
dari Allah dan kitab yang menerangkan (Al-Qur`an). Dengan kitab itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan
keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang
itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan
seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah:
15-16)
Demikianlah nikmat dan karunia Allah l yang dicurahkan kepada umat
manusia. Walaupun kebanyakan dari mereka sangat zalim dan ingkar
terhadap nikmat-nikmat tersebut. Allah l berfirman:
“Dan Dia telah mengaruniakan kepada kalian (keperluan) dari segala
apa yang kalian minta. Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah
mungkin kalian mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat
zalim dan sangat ingkar (terhadap nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Apalah Arti Hak Asasi Manusia di Hadapan Penciptanya?!
Posisi manusia dengan segala keterbatasan dan ketergantungannya
kepada Allah l, menunjukkan bahwa mereka benar-benar sebagai hamba Allah
l. Terlebih, ketika predikat mukallaf (yang berkewajiban menjalankan
segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan Allah l)
disandangnya. Semakin jelas bahwa manusia itu hakikatnya adalah para
hamba yang harus mengikuti segala aturan dan rambu-rambu Ilahi di muka
bumi ini. Tak sepantasnya baginya untuk memosisikan diri sebagai
penentang bagi segala hikmah dan keputusan sang Penciptanya. Karena
apapun kondisinya, ia adalah makhluk yang lemah. Meskipun segudang harta
dan setumpuk gelar duniawi telah disandangnya. Tanpa nikmat, karunia,
pertolongan dan kekuatan dari Allah l, tak akan mungkin manusia bisa
menjalani pahit getirnya kehidupan ini dengan penuh keselamatan. Allah l
berfirman:
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan (bersifat) lemah.” (An-Nisa`: 28)
Berangkat dari sini, betapa naifnya bagi manusia (siapapun dia)
untuk menyoal hak asasinya di hadapan Penciptanya Yang Maha Kuasa.
Sementara Allah l telah menegaskan dalam firman-Nya:
“Dan Rabb-mu menciptakan segala apa yang Dia kehendaki dan
memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Al-Qashash: 68)
Apalagi bila istilah hak asasi manusia itu hanyalah kamuflase untuk
memperturutkan hawa nafsu dan bebas dari syariat Allah l. Apalah arti
hak asasi manusia di hadapan Penciptanya Yang Maha Kuasa, bila
senyatanya adalah belenggu hawa nafsu yang mengantarkan kepada kebebasan
yang kebablasan (melampaui batas). Allah l berfirman:
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqan: 43-44)
Hai manusia, ke mana engkau hendak pergi? Hidupmu di dunia ini
amatlah sementara. Sedangkan kemampuan berkaryamu amat terbatas pada
umur yang diberikan Allah l kepadamu. Dan ketika kematian menghampiri…
layaknya makhluk bernyawa, tak seorang pun yang terluput atau
tertangguhkan darinya. Allah l berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang
apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan.” (Al-Munafiqun: 11)
Kehidupan duniamu pun bukanlah akhir dari perjalananmu. Masih
tersisa dua kehidupan berikutnya; kehidupan di alam barzah (kubur) dan
kehidupan di alam akhirat. Dua kehidupan yang amat menentukan akan
posisimu, apakah termasuk orang-orang yang berbahagia ataukah
orang-orang yang merugi?! Sementara kesempatan untuk beramal shalih
sudah tertutup dalam dua kehidupan itu.
Masihkah engkau enggan untuk shalat, ruku’, dan sujud, menghambakan
diri kepada Penciptamu Yang Maha Kuasa?! Masihkah kesibukan duniamu
membuatmu lupa akan ayat-ayat Allah l dan negeri akhirat?! Sudah saatnya
bagimu untuk memahami hakikat hidup ini dengan arif dan bijaksana.
Jangan engkau menjadi orang yang berpaling dari peringatan Allah l.
Karena kesudahannya adalah petaka. Allah l berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari
kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau
menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah orang
yang (dapat) melihat?’ Allah berfirman: ‘Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada
hari ini kamupun dilupakan.’ Dan demikianlah Kami membalas orang yang
melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabb-nya. Dan
sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Thaha:
124-127)
Hai manusia, lihatlah dirimu bila berada di liang kubur. Engkau
akan menghuninya seorang diri. Tak ditemani oleh kawan dan orang yang
dicinta. Tak ditemani pula oleh segudang harta yang ditimbun
sebanyak-banyaknya di dunia. Pakaianmu hanyalah kain kafan yang melilit
tubuh. Ruanganmu hanyalah liang lahat yang amat terbatas. Tempat
pembaringanmu adalah tanah yang tak beralaskan suatu apa. Sementara azab
kubur akan diberikan kepada mereka yang berhak mendapatkannya, demikian
pula nikmat kubur pun akan diberikan kepada mereka yang berhak
mendapatkannya.
Perjalananmu tak berhenti sampai di situ. Manakala kiamat tiba,
semuanya akan dibangkitkan dari kuburnya. Engkau pun akan menghadap
Allah l seorang diri, untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang
dilakukan selama di dunia. Allah l berfirman:
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 95)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berbuat) dengan
penuh kesungguhan menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya
(untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan).”
(Al-Insyiqaq: 6)
Bila engkau telah memahami hakikat perjalanan hidupmu dalam tiga
fase kehidupan itu, maka sudah saatnya bagimu untuk kembali kepada Allah
l. Menghambakan diri kepada-Nya bukan kepada dirimu. Menjalankan segala
yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Duduk
bersimpuh di hadapan-Nya, menengadahkan tangan permohonan kepada-Nya
dengan penuh harap. Bertauhid dan tak menduakan-Nya (syirik) dalam
ibadah. Meniti jejak Rasul-Nya dan jauh dari perkara baru yang
diada-adakan dalam agama (bid’ah). Berpegang teguh dengan kitab suci-Nya
(Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya n, serta bersatu di atasnya.
Menjadikan Islam yang murni sebagai pedoman dalam kehidupan ini. Jauh
dari sikap ego dan sombong, dengan dalih hak asasi. Dengan suatu
harapan, bisa bertemu dengan Allah l dengan qalbu yang suci, di hari
yang tak lagi bermanfaat harta dan anak-anak (kiamat).
Mudah-mudahan Allah l menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya
yang shalih, yang selalu sadar diri akan posisinya yang lemah di
hadapan Allah l. Tunduk dan patuh kepada-Nya dengan penuh ketulusan.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin…
Posting Komentar