Waktu-waktu Terlarang untuk Shalat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
‘Uqbah bin ‘Amir z berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi n melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir z) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah z mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi n di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi t berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i t dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi n bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi t di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm t–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm t dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar c, “Bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id z:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab z, bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
‘Uqbah bin ‘Amir z berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi n melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir z) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah z mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi n di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi t berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i t dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi n bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi t di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm t–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm t dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar c, “Bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id z:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab z, bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Ummu Salamah x berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ n بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ:
شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Nabi n shalat dua rakaat setelah ashar dan mengatakan,
‘Orang-orang dari Abdul Qais menyibukkan aku dari mengerjakan shalat
sunnah dua raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq
dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitush Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal ‘Ashri
minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Hidayah mendatangkan Hidayah, Kesesatan mendatangkan Kesesatan
(Ibnu Qoyyim AlJauziyah)
Terulang-ulang dalam Al-Qur’an dijadikannya amalan yang ada pada qalbu dan anggota badan sebagai sebab hidayah atau sebab kesesatan. Sehingga pada qalbu dan anggota badan ini terdapat amalan-amalan yang membuahkan datangnya petunjuk, layaknya hubungan sebab dan musababnya. Demikian pula kesesatan.
Amal kebaikan membuahkan hidayah. Seiring bertambahnya amal kebaikan maka hidayah pun akan meningkat. Sementara amal kejahatan sebaliknya. Hal itu karena Allah l mencintai amal kebaikan sehingga memberikan balasan atasnya dengan hidayah dan keberuntungan, serta membenci amal kejahatan dan membalasinya dengan kesesatan dan kesengsaraan.
Allah l mencintai kebaikan dan mencintai para pemeluknya sehingga mendekatkan qalbu mereka kepada-Nya seukuran kebaikan yang mereka lakukan. Allah l juga membenci kejahatan dan para pemeluknya sehingga menjauhkan qalbu mereka dari-Nya seukuran dengan kejahatan yang melekat pada dirinya. Yang mendasari prinsip ini di antaranya firman Allah l:
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 1-2)
Ayat ini mengandung dua hal:
Pertama, bahwa Allah l memberikan petunjuk kepada orang yang menjauhi apa yang dibenci Allah l sebelum turunnya Al-Qur’an. Karena manusia dengan keragaman agama dan ajaran mereka, sesungguhnya telah menetap pada diri mereka bahwa Allah l membenci kezaliman, perbuatan-perbuatan keji, kerusakan di muka bumi, serta membenci pelakunya, dan mencintai keadilan, kebaikan, kedermawanan, kejujuran, perbaikan di muka bumi serta mencintai pelakunya. Sehingga ketika turun Al-Qur’an, Allah l memberikan pahala kepada para pemeluk kebaikan dengan memberikan taufik-Nya kepada mereka untuk beriman kepada Al-Qur’an sebagai balasan atas kebaikan dan ketaatan mereka. Dan Allah l biarkan para pelaku kejahatan, kekejian, dan kezaliman sehingga terhalangi antara mereka dan petunjuk Al-Qur’an.
Kedua, bahwa bila seorang hamba beriman kepada Al-Qur’an serta mendapat petunjuk darinya secara global dan menerima perintah-perintahnya serta membenarkan berita-beritanya, maka itu menjadi sebab hidayah yang lain yang ia dapatkan secara lebih rinci. Karena hidayah itu tidak ada habisnya sampai manapun seorang hamba dalam hidayah, di atas hidayahnya ada hidayah yang lain. Setiap kali seorang hamba bertakwa kepada Rabbnya maka dalam kadar itu hidayahnya meningkat kepada hidayah yang lain. Maka dia tetap berada pada tambahan hidayah selama berada pada takwa yang bertambah, dan setiap kali ia melewatkan bagian dari takwa maka akan terlewatkan pula hidayah yang seukuran dengannya. Sehingga setiap bertambah takwa bertambah hidayahnya dan setiap bertambah hidayahnya bertambah pula takwanya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)
“Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-Syura: 13)
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (Al-A’la: 10)
“Tidak ada yang mengambil peringatan, kecuali orang-orang yang kembali.” (Ghafir: 13)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya.” (Yunus: 9)
Allah l beri petunjuk mereka untuk beriman dahulu. Maka ketika mereka beriman, Allah l beri hidayah lagi untuk beriman lagi, hidayah setelah hidayah yang lain. Yang semacam ini adalah firman Allah l:
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Maryam: 76)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan.” (Al-Anfal: 29)
Termasuk dari furqan (pembeda) adalah cahaya yang Allah k berikan, yang dengannya mereka dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk furqan juga adalah kemenangan dan kemuliaan yang dengannya mereka dapat menegakkan kebenaran serta menghancurkan kebatilan. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya).” (Saba’: 9)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (Saba’: 19)
Ayat itu terdapat dalam surat Luqman, Ibrahim, Saba’, dan Asy-Syura. Allah l beritakan tentang ayat-ayat-Nya yang dapat disaksikan bahwa itu hanya bermanfaat untuk orang yang sabar dan bersyukur, sebagaimana Allah l beritakan bahwa ayat-ayat imaniah Qur’aniah hanya bermanfaat untuk orang yang bertakwa, takut, dan selalu bertaubat, serta orang yang tujuannya adalah mengikuti keridhaan-Nya. Dan bahwa yang dapat mengingatnya adalah yang takut kepada-Nya:
“Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1-3)
Dan Allah l berfirman tentang hari kiamat:
“Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit).” (An-Nazi’at: 45)
Adapun orang yang tidak beriman dengan adanya kiamat, tidak mengharapnya, dan tidak takut kepadanya, maka tidak akan bermanfaat untuknya ayat kauniyah maupun ayat Qur’aniah. Oleh karenanya, tatkala Allah l menyebutkan dalam surat Hud tentang hukuman atas umat-umat yang mendustakan para rasul dan apa yang menimpa mereka di dunia berupa kehinaan, setelahnya Allah k mengatakan:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat.” (Hud: 103)
Allah l beritakan bahwa pada hukuman Allah l terhadap para pendusta ada ibrah bagi orang yang takut terhadap azab akhirat.
Adapun orang yang tidak beriman terhadap adanya siksa dan tidak takut darinya maka hal itu tidak akan menjadi ibrah baginya. Bila mendengar tentangnya, ia akan mengatakan: masih saja di alam semesta ini ada kebaikan, kejelekan, kenikmatan, kemiskinan, kebahagiaan, dan kesengsaraan (yakni hal yang biasa). Bahkan terkadang menyandarkan kejadian-kejadian itu sebagai peristiwa alam semata.
Sabar dan syukur itu menjadi sebab seseorang bisa mendapat manfaat dari ayat-ayat. Karena iman itu terbangun di atas sabar dan syukur. Setengahnya sabar dan setengah yang lain syukur. Seukuran sabar dan syukurnya, muncul kekuatan imannya.
Yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah l hanyalah yang beriman kepada Allah l dan ayat-ayat-Nya. Dan imannya tidak akan sempurna kecuali dengan sabar dan syukur. Puncak syukur adalah tauhid, sedangkan puncak sabar adalah tidak menuruti hawa nafsu. Sehingga jika seseorang itu musyrik dan mengikuti hawa nafsu berarti dia tidak bersabar dan tidak bersyukur. Walhasil, ayat-ayat tidak akan bermanfaat baginya dan tidak akan berpengaruh dalam menumbuhkan iman kepadanya.
Adapun masalah berikutnya yaitu bahwa kejahatan, kesombongan, kedustaan, itu mengakibatkan kesesatan, maka keterangan semacam ini juga banyak dalam Al-Qur’an. Semacam firman Allah l:
“Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 26-27)
“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri?” (An-Nisa’: 88)
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup.’ Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110)
Allah l beritakan bahwa Dia menghukum mereka karena mereka menyingkir dari iman ketika iman datang kepada mereka, dalam keadaan mereka mengetahuinya namun justru berpaling darinya. Allah l menghukum mereka dengan membalikkan qalbu dan pandangan mereka serta menghalangi antara mereka dan iman, sebagaimana firman Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24)
Allah l memerintahkan mereka untuk menyambut Allah l dan Rasul-nya ketika menyeru mereka kepada sesuatu yang menghidupkan qalbu dan arwah mereka. Kemudian Allah l memperingatkan mereka dari keengganan mereka untuk menyambut, yang mana hal itu menjadi sebab munculnya penghalang antara mereka dengan iman.
Allah l berfirman:
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Ash-Shaff: 5)
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin:14)
Allah l kabarkan bahwa perbuatan mereka menyebabkan tertutupnya qalbu mereka dan menghalangi antara mereka dengan iman kepada ayat-ayat Allah l, sehingga merekapun menyebut ayat Allah k hanya sebagai ‘cerita-cerita orang dahulu’.
Allah l juga berfirman tentang orang munafik:
“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (At-Taubah: 67)
Allah l memberikan balasan kepada mereka karena mereka melupakan Allah l sehingga Allah l melupakan mereka dan membiarkan mereka tidak mendapat petunjuk dan rahmat. Allah l pun memberitakan bahwa Dia membuat mereka lupa sehingga mereka tidak mencari sesuatu untuk menyempurnakan diri mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Keduanya adalah petunjuk dan agama yang benar. Sehingga Allah l membuat mereka lupa untuk mencari hal itu, untuk mencintainya, mengetahuinya, bersemangat untuk mendapatkannya, sebagai hukuman karena mereka melupakan Allah l.
Allah l berfirman tentang mereka:
“Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (Muhammad: 16-17)
Allah l memadukan untuk mereka antara mengikuti hawa nafsu dan kesesatan, yang kesesatan itu sesungguhnya adalah buah dan akibatnya, sebagaimana Allah l memadukan dalam diri orang-orang yang mendapat hidayah antara ketakwaan dan hidayah.
(diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawa’id karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hal. 145-149, oleh Qomar Suaidi)
Terulang-ulang dalam Al-Qur’an dijadikannya amalan yang ada pada qalbu dan anggota badan sebagai sebab hidayah atau sebab kesesatan. Sehingga pada qalbu dan anggota badan ini terdapat amalan-amalan yang membuahkan datangnya petunjuk, layaknya hubungan sebab dan musababnya. Demikian pula kesesatan.
Amal kebaikan membuahkan hidayah. Seiring bertambahnya amal kebaikan maka hidayah pun akan meningkat. Sementara amal kejahatan sebaliknya. Hal itu karena Allah l mencintai amal kebaikan sehingga memberikan balasan atasnya dengan hidayah dan keberuntungan, serta membenci amal kejahatan dan membalasinya dengan kesesatan dan kesengsaraan.
Allah l mencintai kebaikan dan mencintai para pemeluknya sehingga mendekatkan qalbu mereka kepada-Nya seukuran kebaikan yang mereka lakukan. Allah l juga membenci kejahatan dan para pemeluknya sehingga menjauhkan qalbu mereka dari-Nya seukuran dengan kejahatan yang melekat pada dirinya. Yang mendasari prinsip ini di antaranya firman Allah l:
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 1-2)
Ayat ini mengandung dua hal:
Pertama, bahwa Allah l memberikan petunjuk kepada orang yang menjauhi apa yang dibenci Allah l sebelum turunnya Al-Qur’an. Karena manusia dengan keragaman agama dan ajaran mereka, sesungguhnya telah menetap pada diri mereka bahwa Allah l membenci kezaliman, perbuatan-perbuatan keji, kerusakan di muka bumi, serta membenci pelakunya, dan mencintai keadilan, kebaikan, kedermawanan, kejujuran, perbaikan di muka bumi serta mencintai pelakunya. Sehingga ketika turun Al-Qur’an, Allah l memberikan pahala kepada para pemeluk kebaikan dengan memberikan taufik-Nya kepada mereka untuk beriman kepada Al-Qur’an sebagai balasan atas kebaikan dan ketaatan mereka. Dan Allah l biarkan para pelaku kejahatan, kekejian, dan kezaliman sehingga terhalangi antara mereka dan petunjuk Al-Qur’an.
Kedua, bahwa bila seorang hamba beriman kepada Al-Qur’an serta mendapat petunjuk darinya secara global dan menerima perintah-perintahnya serta membenarkan berita-beritanya, maka itu menjadi sebab hidayah yang lain yang ia dapatkan secara lebih rinci. Karena hidayah itu tidak ada habisnya sampai manapun seorang hamba dalam hidayah, di atas hidayahnya ada hidayah yang lain. Setiap kali seorang hamba bertakwa kepada Rabbnya maka dalam kadar itu hidayahnya meningkat kepada hidayah yang lain. Maka dia tetap berada pada tambahan hidayah selama berada pada takwa yang bertambah, dan setiap kali ia melewatkan bagian dari takwa maka akan terlewatkan pula hidayah yang seukuran dengannya. Sehingga setiap bertambah takwa bertambah hidayahnya dan setiap bertambah hidayahnya bertambah pula takwanya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)
“Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-Syura: 13)
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (Al-A’la: 10)
“Tidak ada yang mengambil peringatan, kecuali orang-orang yang kembali.” (Ghafir: 13)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya.” (Yunus: 9)
Allah l beri petunjuk mereka untuk beriman dahulu. Maka ketika mereka beriman, Allah l beri hidayah lagi untuk beriman lagi, hidayah setelah hidayah yang lain. Yang semacam ini adalah firman Allah l:
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Maryam: 76)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan.” (Al-Anfal: 29)
Termasuk dari furqan (pembeda) adalah cahaya yang Allah k berikan, yang dengannya mereka dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk furqan juga adalah kemenangan dan kemuliaan yang dengannya mereka dapat menegakkan kebenaran serta menghancurkan kebatilan. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya).” (Saba’: 9)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (Saba’: 19)
Ayat itu terdapat dalam surat Luqman, Ibrahim, Saba’, dan Asy-Syura. Allah l beritakan tentang ayat-ayat-Nya yang dapat disaksikan bahwa itu hanya bermanfaat untuk orang yang sabar dan bersyukur, sebagaimana Allah l beritakan bahwa ayat-ayat imaniah Qur’aniah hanya bermanfaat untuk orang yang bertakwa, takut, dan selalu bertaubat, serta orang yang tujuannya adalah mengikuti keridhaan-Nya. Dan bahwa yang dapat mengingatnya adalah yang takut kepada-Nya:
“Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1-3)
Dan Allah l berfirman tentang hari kiamat:
“Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit).” (An-Nazi’at: 45)
Adapun orang yang tidak beriman dengan adanya kiamat, tidak mengharapnya, dan tidak takut kepadanya, maka tidak akan bermanfaat untuknya ayat kauniyah maupun ayat Qur’aniah. Oleh karenanya, tatkala Allah l menyebutkan dalam surat Hud tentang hukuman atas umat-umat yang mendustakan para rasul dan apa yang menimpa mereka di dunia berupa kehinaan, setelahnya Allah k mengatakan:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat.” (Hud: 103)
Allah l beritakan bahwa pada hukuman Allah l terhadap para pendusta ada ibrah bagi orang yang takut terhadap azab akhirat.
Adapun orang yang tidak beriman terhadap adanya siksa dan tidak takut darinya maka hal itu tidak akan menjadi ibrah baginya. Bila mendengar tentangnya, ia akan mengatakan: masih saja di alam semesta ini ada kebaikan, kejelekan, kenikmatan, kemiskinan, kebahagiaan, dan kesengsaraan (yakni hal yang biasa). Bahkan terkadang menyandarkan kejadian-kejadian itu sebagai peristiwa alam semata.
Sabar dan syukur itu menjadi sebab seseorang bisa mendapat manfaat dari ayat-ayat. Karena iman itu terbangun di atas sabar dan syukur. Setengahnya sabar dan setengah yang lain syukur. Seukuran sabar dan syukurnya, muncul kekuatan imannya.
Yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah l hanyalah yang beriman kepada Allah l dan ayat-ayat-Nya. Dan imannya tidak akan sempurna kecuali dengan sabar dan syukur. Puncak syukur adalah tauhid, sedangkan puncak sabar adalah tidak menuruti hawa nafsu. Sehingga jika seseorang itu musyrik dan mengikuti hawa nafsu berarti dia tidak bersabar dan tidak bersyukur. Walhasil, ayat-ayat tidak akan bermanfaat baginya dan tidak akan berpengaruh dalam menumbuhkan iman kepadanya.
Adapun masalah berikutnya yaitu bahwa kejahatan, kesombongan, kedustaan, itu mengakibatkan kesesatan, maka keterangan semacam ini juga banyak dalam Al-Qur’an. Semacam firman Allah l:
“Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 26-27)
“Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri?” (An-Nisa’: 88)
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup.’ Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110)
Allah l beritakan bahwa Dia menghukum mereka karena mereka menyingkir dari iman ketika iman datang kepada mereka, dalam keadaan mereka mengetahuinya namun justru berpaling darinya. Allah l menghukum mereka dengan membalikkan qalbu dan pandangan mereka serta menghalangi antara mereka dan iman, sebagaimana firman Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24)
Allah l memerintahkan mereka untuk menyambut Allah l dan Rasul-nya ketika menyeru mereka kepada sesuatu yang menghidupkan qalbu dan arwah mereka. Kemudian Allah l memperingatkan mereka dari keengganan mereka untuk menyambut, yang mana hal itu menjadi sebab munculnya penghalang antara mereka dengan iman.
Allah l berfirman:
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Ash-Shaff: 5)
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin:14)
Allah l kabarkan bahwa perbuatan mereka menyebabkan tertutupnya qalbu mereka dan menghalangi antara mereka dengan iman kepada ayat-ayat Allah l, sehingga merekapun menyebut ayat Allah k hanya sebagai ‘cerita-cerita orang dahulu’.
Allah l juga berfirman tentang orang munafik:
“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (At-Taubah: 67)
Allah l memberikan balasan kepada mereka karena mereka melupakan Allah l sehingga Allah l melupakan mereka dan membiarkan mereka tidak mendapat petunjuk dan rahmat. Allah l pun memberitakan bahwa Dia membuat mereka lupa sehingga mereka tidak mencari sesuatu untuk menyempurnakan diri mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Keduanya adalah petunjuk dan agama yang benar. Sehingga Allah l membuat mereka lupa untuk mencari hal itu, untuk mencintainya, mengetahuinya, bersemangat untuk mendapatkannya, sebagai hukuman karena mereka melupakan Allah l.
Allah l berfirman tentang mereka:
“Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (Muhammad: 16-17)
Allah l memadukan untuk mereka antara mengikuti hawa nafsu dan kesesatan, yang kesesatan itu sesungguhnya adalah buah dan akibatnya, sebagaimana Allah l memadukan dalam diri orang-orang yang mendapat hidayah antara ketakwaan dan hidayah.
(diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawa’id karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hal. 145-149, oleh Qomar Suaidi)
‘Umratul Qadha’
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah n berangkat menunaikan umrah, di bulan Dzul Qa’dah sambil menggiring 70 ekor binatang kurban.
Sesampainya di Ya’juj beliau mulai masuk Makkah dengan senjata pengembara, dan mengutus Ja’far bin Abi Thalib z untuk melamar Maimunah bin Al-Harits Al-’Amiriyah x yang menyerahkan urusannya kepada Al-’Abbas bin ‘Abdul Muththalib z. Kemudian ‘Abbas menikahkannya dengan Rasulullah n.
Setiba di Makkah, beliau n perintahkan kepada para sahabat agar membuka bahu-bahu mereka dan berlari kecil ketika thawaf. Ini dimaksudkan agar kaum musyrikin melihat ketabahan dan kekuatan kaum muslimin. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ n وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدُمُ عَلَيْكُمْ قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمْ الْحُمَّى. قَالَ: فَأَطْلَعَ اللهُ النَّبِيَّ n عَلَى ذَلِكَ فَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَرْمُلُوا، وَقَعَدَ الْمُشْرِكُونَ نَاحِيَةَ الْحِجْرِ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِمْ فَرَمَلُوا وَمَشَوْا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ. قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ تَزْعُمُونَ أَنَّ الْحُمَّى وَهَنَتْهُمْ هَؤُلاَءِ أَقْوَى مِنْ كَذَا وَكَذَا
Rasulullah n dan para sahabatnya tiba dalam keadaan penyakit demam Yatsrib (Madinah) telah melemahkan mereka. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin mengatakan: ‘Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu kaum yang telah dibuat lemah oleh demam.’ Dia berkata: “Maka Allah tampakkan kepada Nabi n pembicaraan mereka. Lalu beliau perintahkan kepada para sahabatnya agar melakukan ramal (jalan cepat), sementara kaum musyrikin duduk di arah al-hijr (tembok setengah lingkaran) sambil memandangi kaum muslimin. Maka kaum muslimin pun melakukan ramal (jalan dengan cepat) dan berjalan biasa di antara dua rukun1 tersebut. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin itu berkata: ‘Mereka ini yang kalian sangka bahwa panas telah membuat mereka lemah, (ternyata) mereka ini lebih kuat dari ini dan ini’.”
Penduduk Makkah, tua muda, besar kecil, pria dan wanita berdiri mengamati Rasulullah n dan para sahabatnya yang sedang thawaf di Ka’bah. Sementara itu, ‘Abdullah bin Rawahah berjalan di depan Rasulullah n dengan bersenandung:
Berilah dia jalan, wahai anak-anak kafir
Ar-Rahman telah menurunkan dalam wahyu (yang diturunkan-Nya)
Pada lembaran-lembaran yang dibacakan kepada Rasul-Nya
Wahai Rabbku, sungguh aku beriman dengan ucapannya
Sungguh aku melihat al-haq dalam menerimanya
Hari ini kami pukul kamu atas takwilnya
Dengan pukulan yang menghilangkan ujung kepala dari tempatnya
(pukulan yang) membuat lupa kekasih dari kekasihnya
Sementara, beberapa tokoh musyrikin sengaja menghilang, tidak suka melihat Rasulullah n, di samping menyimpan dendam dan kejengkelan.
Rasulullah n kemudian menetap di Makkah selama tiga hari sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Pagi-pagi, di hari keempat, datanglah Suhail bin ‘Amr dan Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza. Ketika itu Rasulullah n tengah bermajelis dengan beberapa orang Anshar, termasuk Sa’d bin ‘Ubadah. Kemudian Huwaithib berteriak mengingatkan beliau agar keluar dari kota Makkah saat itu juga. Sa’d bin ‘Ubadah tidak dapat menahan diri balas membentak: “Kau dusta, tidak ada lagi ibumu. Ini bukan tanahmu dan bukan pula tanah bapak moyangmu. Demi Allah, kami tidak akan keluar.”
Rasulullah n memanggil Huwaithib dan Suhail agar ikut serta dalam acara walimahan beliau itu. Tapi mereka tetap bersikeras agar beliau keluar dari Makkah saat itu juga sesuai dengan kesepakatan.
Rasulullah n memerintahkan Abu Rafi’ menyerukan agar berangkat. Beliaupun berangkat kemudian singgah di lembah Sarif dan membangun mahligai bersama Maimunah di sana.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau sedang ihram, dan masuk kepadanya dalam keadaan sudah halal. Demikian diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/392) dan Muslim (no. 1410). Adapun yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas c.
Ibnul Qayyim t menjelaskan bahwa pernyataan tersebut termasuk hal-hal yang disanggah dari beberapa pendapat beliau. Sa’id bin Al-Musayyab t sendiri mengatakan: “Ibnu ‘Abbas keliru (dalam hal ini) meskipun Maimunah adalah bibi beliau (saudara perempuan ibunya, Ummul Fadhl x). Padahal tidaklah Rasulullah n menikahi Maimunah x melainkan sesudah beliau dalam keadaan halal (tidak berihram). Demikian ditegaskan oleh Al-Bukhari.”2
Maimunah x sendiri dalam riwayat Muslim (no. 1411) menyatakan: “Rasulullah n menikahi saya dalam keadaan kami berdua sudah halal (tidak ihram) di Sarif.”3
Shahih pula diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa dia menyatakan: “Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau halal (tidak berihram), dan membangun mahligai bersamanya dalam keadaan halal. Sedangkan saya ketika itu adalah utusan di antara keduanya.”4
Ibnul Qayyim t telah menyebutkan beberapa pendapat tersebut. Yang paling kuat adalah apa yang disebutkan sendiri oleh Maimunah sebagai pelaku dari peristiwa tersebut. Jelas dia lebih mengetahui keadaan dirinya. Wallahu a’lam.
Mereka juga berselisih, tentang penamaan umrah ini. Apakah dia dinamakan ‘Umratul Qadha’ karena umrah ini adalah qadha (ganti) dari umrah yang sebelumnya mereka terhalang mengerjakannya (dalam peristiwa Hudaibiyah)? Ataukah dinamakan demikian karena berasal dari al-muqaadhaah (kesepakatan)?
Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan jumhur rahimahumullah berpendapat yang kedua, karena beliau melakukan kesepakatan dengan Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah. Sehingga yang dimaksud dengan qadha di sini adalah keputusan yang jatuh terhadapnya suatu ketetapan hukum, bukan sebagai ganti (qadha) dari umrah yang beliau dihalangi darinya. Sebab, umrah yang terhalang itu tidak rusak sehingga harus diganti. Wallahu a’lam.
Meninggalkan Makkah
Ketika hendak keluar dari kota Makkah, putri Hamzah bin ‘Abdul Muththalib mengejar beliau. Lalu dia digamit oleh ‘Ali bin Abi Thalib z dan berkata kepada Fathimah: “Ambillah anak pamanmu ini.” Fathimahpun segera menggendongnya.
Sesudah itu, ‘Ali, Ja’far, dan Zaid berselisih tentang siapa yang berhak mengurus anak perempuan tersebut.
‘Ali berkata: “Aku lebih berhak karena dia anak perempuan pamanku.”
Ja’far berkata: “Dia putri pamanku, khalah (saudara perempuan ibu)nya adalah istriku.”
Zaid mengatakan: “Dia putri saudaraku.”
Melihat ini, Rasulullah n memutuskan bahwa anak perempuan tersebut diasuh oleh khalah-nya. Beliau bersabda:
الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ
“Khalah itu sama kedudukannya dengan ibu.”
Beliau berkata kepada ‘Ali:
أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ
“Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.”
Sedangkan kepada Ja’far beliau katakan:
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي
“Engkau menyerupaiku dalam perawakan/penampilan dan akhlak.”
Dan kepada Zaid, beliau berkata:
أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلاَنَا
“Engkau adalah saudara dan maula kami.”5
Dari kejadian ini, ulama menyimpulkan bahwa khalah (saudara perempuan ibu) harus didahulukan dalam pengasuhan dari semua kerabat sesudah kedua ibu bapak.
Ibnu Katsir t dalam Sirah-nya menceritakan bahwa (peristiwa) umrah inilah yang dipaparkan oleh Allah l dalam Kitab-Nya yang mulia, dalam firman-Nya:
Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah n berangkat menunaikan umrah, di bulan Dzul Qa’dah sambil menggiring 70 ekor binatang kurban.
Sesampainya di Ya’juj beliau mulai masuk Makkah dengan senjata pengembara, dan mengutus Ja’far bin Abi Thalib z untuk melamar Maimunah bin Al-Harits Al-’Amiriyah x yang menyerahkan urusannya kepada Al-’Abbas bin ‘Abdul Muththalib z. Kemudian ‘Abbas menikahkannya dengan Rasulullah n.
Setiba di Makkah, beliau n perintahkan kepada para sahabat agar membuka bahu-bahu mereka dan berlari kecil ketika thawaf. Ini dimaksudkan agar kaum musyrikin melihat ketabahan dan kekuatan kaum muslimin. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:
قَدِمَ رَسُولُ اللهِ n وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدُمُ عَلَيْكُمْ قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمْ الْحُمَّى. قَالَ: فَأَطْلَعَ اللهُ النَّبِيَّ n عَلَى ذَلِكَ فَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَرْمُلُوا، وَقَعَدَ الْمُشْرِكُونَ نَاحِيَةَ الْحِجْرِ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِمْ فَرَمَلُوا وَمَشَوْا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ. قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ تَزْعُمُونَ أَنَّ الْحُمَّى وَهَنَتْهُمْ هَؤُلاَءِ أَقْوَى مِنْ كَذَا وَكَذَا
Rasulullah n dan para sahabatnya tiba dalam keadaan penyakit demam Yatsrib (Madinah) telah melemahkan mereka. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin mengatakan: ‘Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu kaum yang telah dibuat lemah oleh demam.’ Dia berkata: “Maka Allah tampakkan kepada Nabi n pembicaraan mereka. Lalu beliau perintahkan kepada para sahabatnya agar melakukan ramal (jalan cepat), sementara kaum musyrikin duduk di arah al-hijr (tembok setengah lingkaran) sambil memandangi kaum muslimin. Maka kaum muslimin pun melakukan ramal (jalan dengan cepat) dan berjalan biasa di antara dua rukun1 tersebut. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin itu berkata: ‘Mereka ini yang kalian sangka bahwa panas telah membuat mereka lemah, (ternyata) mereka ini lebih kuat dari ini dan ini’.”
Penduduk Makkah, tua muda, besar kecil, pria dan wanita berdiri mengamati Rasulullah n dan para sahabatnya yang sedang thawaf di Ka’bah. Sementara itu, ‘Abdullah bin Rawahah berjalan di depan Rasulullah n dengan bersenandung:
Berilah dia jalan, wahai anak-anak kafir
Ar-Rahman telah menurunkan dalam wahyu (yang diturunkan-Nya)
Pada lembaran-lembaran yang dibacakan kepada Rasul-Nya
Wahai Rabbku, sungguh aku beriman dengan ucapannya
Sungguh aku melihat al-haq dalam menerimanya
Hari ini kami pukul kamu atas takwilnya
Dengan pukulan yang menghilangkan ujung kepala dari tempatnya
(pukulan yang) membuat lupa kekasih dari kekasihnya
Sementara, beberapa tokoh musyrikin sengaja menghilang, tidak suka melihat Rasulullah n, di samping menyimpan dendam dan kejengkelan.
Rasulullah n kemudian menetap di Makkah selama tiga hari sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Pagi-pagi, di hari keempat, datanglah Suhail bin ‘Amr dan Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza. Ketika itu Rasulullah n tengah bermajelis dengan beberapa orang Anshar, termasuk Sa’d bin ‘Ubadah. Kemudian Huwaithib berteriak mengingatkan beliau agar keluar dari kota Makkah saat itu juga. Sa’d bin ‘Ubadah tidak dapat menahan diri balas membentak: “Kau dusta, tidak ada lagi ibumu. Ini bukan tanahmu dan bukan pula tanah bapak moyangmu. Demi Allah, kami tidak akan keluar.”
Rasulullah n memanggil Huwaithib dan Suhail agar ikut serta dalam acara walimahan beliau itu. Tapi mereka tetap bersikeras agar beliau keluar dari Makkah saat itu juga sesuai dengan kesepakatan.
Rasulullah n memerintahkan Abu Rafi’ menyerukan agar berangkat. Beliaupun berangkat kemudian singgah di lembah Sarif dan membangun mahligai bersama Maimunah di sana.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau sedang ihram, dan masuk kepadanya dalam keadaan sudah halal. Demikian diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/392) dan Muslim (no. 1410). Adapun yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas c.
Ibnul Qayyim t menjelaskan bahwa pernyataan tersebut termasuk hal-hal yang disanggah dari beberapa pendapat beliau. Sa’id bin Al-Musayyab t sendiri mengatakan: “Ibnu ‘Abbas keliru (dalam hal ini) meskipun Maimunah adalah bibi beliau (saudara perempuan ibunya, Ummul Fadhl x). Padahal tidaklah Rasulullah n menikahi Maimunah x melainkan sesudah beliau dalam keadaan halal (tidak berihram). Demikian ditegaskan oleh Al-Bukhari.”2
Maimunah x sendiri dalam riwayat Muslim (no. 1411) menyatakan: “Rasulullah n menikahi saya dalam keadaan kami berdua sudah halal (tidak ihram) di Sarif.”3
Shahih pula diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa dia menyatakan: “Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau halal (tidak berihram), dan membangun mahligai bersamanya dalam keadaan halal. Sedangkan saya ketika itu adalah utusan di antara keduanya.”4
Ibnul Qayyim t telah menyebutkan beberapa pendapat tersebut. Yang paling kuat adalah apa yang disebutkan sendiri oleh Maimunah sebagai pelaku dari peristiwa tersebut. Jelas dia lebih mengetahui keadaan dirinya. Wallahu a’lam.
Mereka juga berselisih, tentang penamaan umrah ini. Apakah dia dinamakan ‘Umratul Qadha’ karena umrah ini adalah qadha (ganti) dari umrah yang sebelumnya mereka terhalang mengerjakannya (dalam peristiwa Hudaibiyah)? Ataukah dinamakan demikian karena berasal dari al-muqaadhaah (kesepakatan)?
Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan jumhur rahimahumullah berpendapat yang kedua, karena beliau melakukan kesepakatan dengan Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah. Sehingga yang dimaksud dengan qadha di sini adalah keputusan yang jatuh terhadapnya suatu ketetapan hukum, bukan sebagai ganti (qadha) dari umrah yang beliau dihalangi darinya. Sebab, umrah yang terhalang itu tidak rusak sehingga harus diganti. Wallahu a’lam.
Meninggalkan Makkah
Ketika hendak keluar dari kota Makkah, putri Hamzah bin ‘Abdul Muththalib mengejar beliau. Lalu dia digamit oleh ‘Ali bin Abi Thalib z dan berkata kepada Fathimah: “Ambillah anak pamanmu ini.” Fathimahpun segera menggendongnya.
Sesudah itu, ‘Ali, Ja’far, dan Zaid berselisih tentang siapa yang berhak mengurus anak perempuan tersebut.
‘Ali berkata: “Aku lebih berhak karena dia anak perempuan pamanku.”
Ja’far berkata: “Dia putri pamanku, khalah (saudara perempuan ibu)nya adalah istriku.”
Zaid mengatakan: “Dia putri saudaraku.”
Melihat ini, Rasulullah n memutuskan bahwa anak perempuan tersebut diasuh oleh khalah-nya. Beliau bersabda:
الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ
“Khalah itu sama kedudukannya dengan ibu.”
Beliau berkata kepada ‘Ali:
أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ
“Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.”
Sedangkan kepada Ja’far beliau katakan:
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي
“Engkau menyerupaiku dalam perawakan/penampilan dan akhlak.”
Dan kepada Zaid, beliau berkata:
أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلاَنَا
“Engkau adalah saudara dan maula kami.”5
Dari kejadian ini, ulama menyimpulkan bahwa khalah (saudara perempuan ibu) harus didahulukan dalam pengasuhan dari semua kerabat sesudah kedua ibu bapak.
Ibnu Katsir t dalam Sirah-nya menceritakan bahwa (peristiwa) umrah inilah yang dipaparkan oleh Allah l dalam Kitab-Nya yang mulia, dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang
kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu
pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman,
dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak
merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia
memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Al-Fath: 27)
Wallahu a’lam.
1 Sudut sebelum Hajar Aswad dan sudut Hajar Aswad itu sendiri.
2 Pernyataan Sa’id bin Al-Musayyab ini menurut pentahqiq Zadul Ma’ad terdapat pada Abu Dawud (no. 1845) dan Al-Baihaqi.
3 HR. Abu Dawud (no. 1843), Ibnu Majah (no. 1964), dan Ahmad (6/333, 335).
4 HR. Ahmad (6/393), At-Tirmidzi (no. 841), dan katanya: “Ini
hadits hasan. Kami tidak tahu ada seorangpun yang menyebutkan sanadnya
selain Hammad bin Zaid, dari Mathar Al-Warraq. Sedangkan Mathar tidak
dapat dijadikan hujjah haditsnya.”
5 HR. Al Bukhari (7/385, 390) dan Abu Dawud (no. 2278).
Kedudukan Ahlul Ilmi dalam alQuran dan Assunnah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan)
Allah l dan Rasul-Nya n banyak menyebutkan keutamaan ilmu dan ahlul ilmi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah l turunkan kepada Rasul-Nya n, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah l turunkan.
Nabi n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah l kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah l akan menfaqihkan (menjadikan dia paham) akan agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah z)
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ z)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah l.”
Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
Dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidaklah bersyukur kepada Allah l, orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad (2/338) berkata: Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan juga oleh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 416, dari Al-Asy’ats bin Qais z)
Di antara keutamaan ahlul ilmi adalah sebagaimana berikut:
1. Ahlul ilmi adalah orang yang berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat.
Allah l berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah n bersabda:
يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابَ قَوْمًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Dia (Allah) akan meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan akan menghinakan dengannya pula kaum yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Allah l akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah l khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”
2. Ahlul ilmi adalah ahlul khasyyah (orang-orang yang takut) dan ahlut taqwa (orang yang bertakwa).
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan akupun menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik z)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah l, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah l tersebut mengharuskan dia menahan diri dari kemaksiatan dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Dan ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong untuk takut kepada Allah l.”
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata: “Hanya saja yang takut kepada Allah l dengan rasa takut yang sebenarnya, adalah para ulama yang mengenal Allah k. Karena, tatkala semakin sempurna ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang berada pada puncak kebaikan, maka rasa takut kepada-Nya pun semakin besar dan sempurna. Ahmad bin Shalih Al-Mishri meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik t, dia berkata: ‘Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah l masukkan ke dalam hati.’ Ahmad bin Shalih berkata: ‘Maknanya, khasyah (rasa takut) itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja (yang menyebabkan khasyah) adalah ilmu yang Allah l wajibkan untuk diikuti, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, serta apa yang datang dari para sahabat g, serta para imam kaum muslimin dari generasi setelah mereka. Maka hal ini tidak didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna pernyataan Al-Imam Malik bahwa ilmu itu adalah nur (cahaya), maksudnya adalah pemahaman terhadap ilmu tersebut dan pengetahuan tentang makna-maknanya.”
3. Ahlul ilmi adalah orang yang paling peduli terhadap umat.
Allah l berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Dari Jabir bin Abdillah z, berkata Rasulullah n bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَاذِبُ وَالْفِرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تُفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalanku dan permisalan kalian adalah seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian mulailah serangga kecil dan kupu-kupu menjatuhkan diri kepada api tersebut. Padahal orang itu senantiasa menghalau hewan-hewan itu darinya. Akupun menahan pinggang kalian dari api neraka dalam keadaan kalian berusaha melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslim)
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad n daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”
Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam kitabnya Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah: “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar terhadap gangguan mereka. berusaha menghidupkan orang-orang yang mati1 dan menjadikan orang-orang yang buta (hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur dari Allah l. Betapa banyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan Al-Kitab dan As-Sunnah). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, alangkah bagusnya kepedulian ulama terhadap umat. Namun, alangkah jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.”
4. Asingnya ahlul ilmi di kalangan umat merupakan alamat kebinasaan umat.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga bila Dia tidak menyisakan seorang alim pun (sampai) umat manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Maka mereka (para pemimpin itu) ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/438): “Tatkala hal tersebut terjadi, Islam hakiki yang terbangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan didapatkan, karena para ahlinya sungguh telah diwafatkan.”
5. Ahlul ilmi adalah ahlul bashirah (orang yang memiliki ilmu yang mantap), sehingga mampu mengetahui akan terjadinya fitnah di awal mula munculnya fitnah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Tahdzirul Basyar (hal. 29-30): “Ketahuilah, orang yang paling mampu mengetahui kejelekan dari awal munculnya adalah para pewaris nabi, yakni para ulama yang beramal dengan dua wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah), dan benar-benar paham terhadap keduanya.”
Allah l mengabarkan tentang perbuatan Qarun yang melampaui batas dan umat pada masa itu terfitnah dengannya. Allah l sebutkan pula bagaimana sikap ahlul ilmi terhadap hal itu.
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’.” (Al-Qashash: 79)
Ini adalah sikap kebanyakan orang, yaitu berangan-angan memiliki harta yang banyak seperti Qarun. Adapun sikap ahlul ilmi, Allah l kisahkan:
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (Al-Qashash: 80)
Tatkala Allah l benamkan Qarun berikut hartanya ke dalam bumi, barulah berubah sikap mayoritas umat tersebut.
Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Apabila fitnah itu baru muncul, para ulama mengetahuinya. Ketika fitnah itu telah berlalu, barulah umat menyadarinya.”
Sesungguhnya umat bisa mengetahui fitnah di awal munculnya, apabila mereka kembali (bertanya) kepada para ulama, bukan bertanya kepada orang menyerupai mereka. Perhatikanlah sikap para tabi’in ketika muncul fitnah Qadariyyah. Mereka bertanya kepada para sahabat g yang masih hidup pada masa itu, seperti Ibnu ‘Abbas c, Ibnu ‘Umar c, dan lainnya.
6. Ahlul ilmi adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.
Allah l berfirman:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa`: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah pelajaran adab dari Allah l bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul n (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).
Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”
Karena demikian agung dan mulianya kedudukan ahlul ilmi –yaitu para ulama– menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, sudah semestinya umat menghormati dan memuliakan mereka. Juga kembali kepada mereka dalam menghadapi berbagai problematika, mempelajari agama ini dengan bimbingan mereka, khususnya di masa yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jalan yang selamat kecuali kita merujuk kepada ahlul ilmi.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam At-Tanbihul Hasan (hal. 33): “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadang dakwah ke arah bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang selalu menyampaikan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang mana generasi salafush shalih berjalan di atasnya. Adapun orang yang tidak mau merujuk kepada mereka, maka:
1. Mungkin dia adalah orang yang mengatakan bahwa semuanya itu baik. Maksudnya, Ahlus Sunnah, ahlul bid’ah, hizbiyyun (orang yang fanatik terhadap golongannya) adalah sama. Sehingga, hakikatnya dia menyamakan antara yang haq dengan yang batil.
2. Atau mungkin dia adalah orang yang berusaha menggiring umat kepada salah satu kelompok bid’ah atau hizbiyyah. Sekaligus berusaha memerangi dakwah yang haq. Dia berjalan dalam perkara tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh induknya.2
Adapun orang yang kembali kepada ahlul ilmi, para ulama ahlul hadits, maka dia akan selamat dengan pertolongan Allah l, insya Allah.
Wallahu a’lam.
Allah l dan Rasul-Nya n banyak menyebutkan keutamaan ilmu dan ahlul ilmi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah l turunkan kepada Rasul-Nya n, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah l turunkan.
Nabi n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah l kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah l akan menfaqihkan (menjadikan dia paham) akan agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah z)
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ z)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah l.”
Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
Dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidaklah bersyukur kepada Allah l, orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad (2/338) berkata: Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan juga oleh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 416, dari Al-Asy’ats bin Qais z)
Di antara keutamaan ahlul ilmi adalah sebagaimana berikut:
1. Ahlul ilmi adalah orang yang berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat.
Allah l berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah n bersabda:
يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابَ قَوْمًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Dia (Allah) akan meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan akan menghinakan dengannya pula kaum yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Allah l akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah l khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”
2. Ahlul ilmi adalah ahlul khasyyah (orang-orang yang takut) dan ahlut taqwa (orang yang bertakwa).
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan akupun menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik z)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah l, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah l tersebut mengharuskan dia menahan diri dari kemaksiatan dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Dan ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong untuk takut kepada Allah l.”
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata: “Hanya saja yang takut kepada Allah l dengan rasa takut yang sebenarnya, adalah para ulama yang mengenal Allah k. Karena, tatkala semakin sempurna ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang berada pada puncak kebaikan, maka rasa takut kepada-Nya pun semakin besar dan sempurna. Ahmad bin Shalih Al-Mishri meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik t, dia berkata: ‘Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah l masukkan ke dalam hati.’ Ahmad bin Shalih berkata: ‘Maknanya, khasyah (rasa takut) itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja (yang menyebabkan khasyah) adalah ilmu yang Allah l wajibkan untuk diikuti, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, serta apa yang datang dari para sahabat g, serta para imam kaum muslimin dari generasi setelah mereka. Maka hal ini tidak didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna pernyataan Al-Imam Malik bahwa ilmu itu adalah nur (cahaya), maksudnya adalah pemahaman terhadap ilmu tersebut dan pengetahuan tentang makna-maknanya.”
3. Ahlul ilmi adalah orang yang paling peduli terhadap umat.
Allah l berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Dari Jabir bin Abdillah z, berkata Rasulullah n bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَاذِبُ وَالْفِرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تُفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalanku dan permisalan kalian adalah seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian mulailah serangga kecil dan kupu-kupu menjatuhkan diri kepada api tersebut. Padahal orang itu senantiasa menghalau hewan-hewan itu darinya. Akupun menahan pinggang kalian dari api neraka dalam keadaan kalian berusaha melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslim)
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad n daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”
Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata dalam kitabnya Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah: “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar terhadap gangguan mereka. berusaha menghidupkan orang-orang yang mati1 dan menjadikan orang-orang yang buta (hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur dari Allah l. Betapa banyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan Al-Kitab dan As-Sunnah). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, alangkah bagusnya kepedulian ulama terhadap umat. Namun, alangkah jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.”
4. Asingnya ahlul ilmi di kalangan umat merupakan alamat kebinasaan umat.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga bila Dia tidak menyisakan seorang alim pun (sampai) umat manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Maka mereka (para pemimpin itu) ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/438): “Tatkala hal tersebut terjadi, Islam hakiki yang terbangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan didapatkan, karena para ahlinya sungguh telah diwafatkan.”
5. Ahlul ilmi adalah ahlul bashirah (orang yang memiliki ilmu yang mantap), sehingga mampu mengetahui akan terjadinya fitnah di awal mula munculnya fitnah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Tahdzirul Basyar (hal. 29-30): “Ketahuilah, orang yang paling mampu mengetahui kejelekan dari awal munculnya adalah para pewaris nabi, yakni para ulama yang beramal dengan dua wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah), dan benar-benar paham terhadap keduanya.”
Allah l mengabarkan tentang perbuatan Qarun yang melampaui batas dan umat pada masa itu terfitnah dengannya. Allah l sebutkan pula bagaimana sikap ahlul ilmi terhadap hal itu.
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’.” (Al-Qashash: 79)
Ini adalah sikap kebanyakan orang, yaitu berangan-angan memiliki harta yang banyak seperti Qarun. Adapun sikap ahlul ilmi, Allah l kisahkan:
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (Al-Qashash: 80)
Tatkala Allah l benamkan Qarun berikut hartanya ke dalam bumi, barulah berubah sikap mayoritas umat tersebut.
Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Bashri t berkata: “Apabila fitnah itu baru muncul, para ulama mengetahuinya. Ketika fitnah itu telah berlalu, barulah umat menyadarinya.”
Sesungguhnya umat bisa mengetahui fitnah di awal munculnya, apabila mereka kembali (bertanya) kepada para ulama, bukan bertanya kepada orang menyerupai mereka. Perhatikanlah sikap para tabi’in ketika muncul fitnah Qadariyyah. Mereka bertanya kepada para sahabat g yang masih hidup pada masa itu, seperti Ibnu ‘Abbas c, Ibnu ‘Umar c, dan lainnya.
6. Ahlul ilmi adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.
Allah l berfirman:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa`: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah pelajaran adab dari Allah l bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul n (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).
Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”
Karena demikian agung dan mulianya kedudukan ahlul ilmi –yaitu para ulama– menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, sudah semestinya umat menghormati dan memuliakan mereka. Juga kembali kepada mereka dalam menghadapi berbagai problematika, mempelajari agama ini dengan bimbingan mereka, khususnya di masa yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jalan yang selamat kecuali kita merujuk kepada ahlul ilmi.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam At-Tanbihul Hasan (hal. 33): “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadang dakwah ke arah bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang selalu menyampaikan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang mana generasi salafush shalih berjalan di atasnya. Adapun orang yang tidak mau merujuk kepada mereka, maka:
1. Mungkin dia adalah orang yang mengatakan bahwa semuanya itu baik. Maksudnya, Ahlus Sunnah, ahlul bid’ah, hizbiyyun (orang yang fanatik terhadap golongannya) adalah sama. Sehingga, hakikatnya dia menyamakan antara yang haq dengan yang batil.
2. Atau mungkin dia adalah orang yang berusaha menggiring umat kepada salah satu kelompok bid’ah atau hizbiyyah. Sekaligus berusaha memerangi dakwah yang haq. Dia berjalan dalam perkara tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh induknya.2
Adapun orang yang kembali kepada ahlul ilmi, para ulama ahlul hadits, maka dia akan selamat dengan pertolongan Allah l, insya Allah.
Wallahu a’lam.
1 Yakni mati hatinya, disebabkan terjatuh dalam kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan. -pen
2 Seperti Sururiyyah, Quthbiyyah, dan yang lainnya, yang induknya adalah Ikhwanul Muslimin.
Pandangan Syaikuhul Islam dalam Maslah Uluhiyah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak)
Ibadah merupakan hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah l berfirman:
“Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Karena demikian pentingnya masalah ini maka dakwah semua rasul adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah l dan mengingkari sesembahan yang lain. Allah l berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)
Allah l berfirman:
“Tidaklah Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau kecuali Kami wahyukan kepada-Nya bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya’: 25)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Tauhid uluhiyah adalah kewajiban yang pertama dan terakhir dalam agama ini, batin dan lahirnya. Tauhid uluhiyah1 adalah awal dakwah para rasul.” (lihat Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 22)
Karena masalah uluhiyah ini adalah permasalahan yang paling penting maka para ulama Ahlus Sunnah banyak membahas permasalahan ini. Bahkan merupakan satu ciri dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah.
Di antara sekian ulama Ahlus Sunnah yang banyak membahas permasalahan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Dalam tulisan ini kami akan sebutkan sebagian kecil pandangan-pandangan beliau tentang masalah uluhiyah.
Allah l Menciptakan Kita untuk Beribadah kepada-Nya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Sesungguhnya Allah l menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah l berfirman:
‘Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku’.” (Adz-Dzariyat: 56) [Lihat Majmu’ Fatawa, 1/4]
Ibadah adalah Hak Allah l atas Hamba-Nya
Syaikhul Islam t mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya ini adalah hak Allah l atas hamba-Nya, yaitu hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan Mu’adz z dari Nabi n (yang maknanya):
“Apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Apakah kau tahu apa hak hamba atas Allah jika mengamalkannya?” Aku katakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak mereka tidak akan disiksa.” (Majmu’ Fatawa, 1/23)
Pengertian Ibadah
Syaikhul Islam t berkata: “Ibadah adalah satu nama yang mencakup semua perkara yang Allah l cintai dan Allah l ridhai baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Majmu’ Fatawa, 10/149)
Beliau t juga berkata: “Ibadah adalah taat kepada Allah l dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan melalui para Rasul-Nya.”
Syarat Diterimanya Ibadah
Beliau t berkata: “Ibadah dibangun di atas syariat dan ittiba’, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan. Karena Islam dibangun di atas dua perkara:
1. Kita beribadah kepada Allah l saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Kita beribadah kepada-Nya dengan syariat yang disyariatkan melalui lisan Rasulullah n, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan.
Allah l berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat sedikitpun mengindarkan kamu dari siksaan Allah.” (Al-Jatsiyah: 18-19)
Allah l berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Tidak boleh seorangpun beribadah kepada Allah l kecuali dengan apa yang disyariatkan Rasul-Nya, baik perkara yang wajib atau sunnah. Tidak boleh kita beribadah kepada-Nya dengan perkara-perkara bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 1/80)
Beliau t berkata: “Agama Islam dibangun di atas dua ushul (pokok): Beribadah kepada Allah l saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan beribadah kepada-Nya dengan apa yang telah disyariatkan melalui lisan Nabi-Nya n.” (Majmu’ Fatawa, 1/365)
Ibadah Badan yang Paling Afdhal adalah Shalat
Beliau t berkata: “Ibadah badan yang paling mulia adalah shalat, sedangkan ibadah harta yang paling mulia adalah berkurban. Apa yang terkumpul bagi seorang hamba dalam shalat tidak terkumpul pada selainnya. Dan apa yang terkumpul baginya dalam menyembelih kurban –jika disertai iman dan keikhlasan– karena keyakinan kuat dan baik sangka merupakan perkara menakjubkan. Oleh karena itu beliau (yakni Nabi n, red.) adalah seorang yang banyak shalat dan banyak berkurban.” (Lihat Fathul Majid hal. 126)
Siapakah Muwahhid?
Beliau t berkata: “Yang dimaksud dengan tauhid bukanlah semata tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah l saja yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan ahlul kalam dan orang sufi. Di mana mereka menyangka barangsiapa bisa menetapkan rububiyah dengan dalil maka telah menetapkan puncak tauhid. Kalau mereka telah bersaksi dengan tauhid ini dan mencurahkan segala upaya berarti dia telah mengorbankan dirinya dalam puncak tauhid!
Karena, walaupun seseorang telah meyakini apa yang merupakan hak Allah l berupa sifat-sifat-Nya dan menyucikannya dari yang disucikan dari-Nya serta meyakini bahwa Allah l pencipta segala sesuatu, dia belumlah dianggap sebagai muwahhid hingga bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah l, meyakini bahwa Allah l satu-satunya yang berhak diibadahi, serta senantiasa beribadah hanya kepada Allah l. (Lihat Fathul Majid hal. 15-16)
Kewajiban Pertama
Beliau t berkata: “Telah diketahui dengan pasti dalam agama rasul dan telah disepakati oleh umat, bahwa pokok Islam dan perkara pertama yang seorang diperintah dengannya adalah bersaksi tidak ada sesembahan yang haq selain Allah l dan Muhammad n adalah utusan-Nya. Dengan inilah seorang yang kafir menjadi muslim, musuh menjadi teman, orang yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga….” (Lihat Fathul Majid hal. 73)
Macam-Macam Syirik
Beliau t berkata: “Syirik ada dua macam: syirik besar dan kecil. Barangsiapa bersih dari keduanya, maka wajib untuknya surga. Barangsiapa mati dengan membawa syirik besar (tidak bertaubat darinya, pent.) pasti masuk neraka.” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 72)
Tidak Boleh Meminta Pertolongan kepada Selain Allah l
Para imam telah menegaskan –seperti Ahmad dan lainnya– bahwasanya tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk. Ini di antara perkara yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk. Mereka berkata: “Telah shahih dari Nabi n bahwa beliau minta perlindungan dengan kalimatullah dan beliau n memerintahkannya….” (Lihat Fathul Majid hal. 147)
Bahaya Sikap Ghuluw (Berlebihan dalam Mengagungkan)
Beliau t berkata: “Jika di zaman Rasulullah n ada orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam namun lepas darinya padahal telah melakukan ibadah yang besar, ketahuilah di zaman inipun ada orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan As-Sunnah namun lepas dari Islam karena beberapa sebab. Di antaranya, ghuluw terhadap sebagian tokoh mereka. Bahkan ghuluw terhadap Ali bin Abu Thalib, bahkan kepada Al-Masih ‘Isa q. Semua yang berbuat ghuluw kepada nabi atau orang shalih serta mempersembahkan kepadanya satu macam ibadah, seperti berkata: “Wahai sayidku fulan tolonglah aku”, “Hilangkanlah kesusahanku”, “Berilah rizki kepadaku”, atau “Aku dalam jaminanmu”, dan semisalnya, semua ini adalah kesyirikan dan kesesatan. Pelakunya diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat maka dibunuh (oleh pemerintah muslim karena telah terjatuh dalam kemurtadan, pent.).” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182, Majmu’ Fatawa, 3/383)
Hukum Membangun Masjid di atas Kuburan
Beliau t berkata: “Adapun membangun masjid di atas kuburan, semua kelompok telah menegaskan larangannya dengan merujuk hadits-hadits yang shahih. Ulama mazhab Hambali dan selain mereka dari murid-murid Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah juga menegaskan keharamannya.”
Kemudian beliau berkata: “Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para nabi dan orang shalih atau para raja dan selainnya harus dibersihkan dengan merobohkannya atau dengan cara lainnya. Ini, yang saya tahu, termasuk perkara yang tidak diperselisihkan kalangan para ulama yang terkenal.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim)
Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam masalah ini: “Aku lebih cenderung kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat).” Kemudian beliau membawakan hadits: “Rasulullah n melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau t berkata: “Aku telah menyaksikan pemerintah menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kuburan dan perbuatan tersebut tidak dicela para fuqaha ketika itu.” (Lihat Al-Umm)
Ibnu Hajar Al-Haitami t berkata –beliau adalah seorang ulama mazhab Syafi’i–: “Wajib bersegera menghancurkan kuburan-kuburan yang dibangun dan dijadikan masjid serta menghancurkan kubah-kubah yang berada di atas kubur, karena hal itu lebih mengandung mudarat dari masjid dhirar. Karena hal itu dibangun di atas maksiat kepada Rasulullah n, di mana beliau telah melarangnya dan memerintahkan menghancurkan kuburan-kuburan yang ditinggikan.” (Lihat Mukhalafah Ash-Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i hal. 67-70)
Ibnul Qayyim t berkata: “Wajib merobohkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, karena telah dibangun di atas maksiat kepada Allah l.” (Lihat Fathul Majid hal. 214)
Hukum Sembelihan untuk Selain Allah l
Ketika menjelaskan ayat Allah l:
“Apa yang disembelih untuk selain nama Allah.” (Al-Baqarah: 173)
Syaikhul Islam t berkata: “Yang tampak dari ayat di atas, apa yang disembelih untuk selain Allah l seperti dikatakan: sembelihan ini untuk ini. Jika ini yang dimaksudkan maka hukumnya sama saja baik dia lafadzkan atau tidak. Haramnya sembelihan seperti ini lebih jelas dari keharaman sembelihan untuk dimakan dan diucapkan ketika menyembelihnya dengan nama Al-Masih atau lainnya.” (Fathul Majid, hal. 127-128)
Doa Ada Dua Macam: Doa Ibadah dan Doa Mas’alah (Permohonan)
Syaikhul Islam t berkata: “Semua doa ibadah mengharuskan adanya doa permohonan, dan semua doa permohonan mengandung doa ibadah.” (Fathul Majid hal. 150)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh menerangkan: “Doa permohonan adalah meminta sesuatu yang bermanfaat bagi yang berdoa, baik untuk mendapatkan satu manfaat yang diinginkan atau untuk dihilangkan darinya kesusahan. Adapun doa ibadah adalah beribadah kepada Allah l dengan berbagai macam ibadah seperti shalat, sembelihan, nadzar, puasa, haji, dan lainnya dengan rasa takut dan harap, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, walaupun tidak ada bentuk permintaan di dalamnya. Namun seseorang yang beribadah (tentunya) menginginkan surga dan dijauhkan dari neraka, sehingga hakikatnya dia seorang yang menginginkan sesuatu dan menjauhkan diri dari sesuatu. Jika telah jelas hal tersebut, maka ketahuilah para ulama telah ijma’ bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa ini kepada selain Allah l, maka dia adalah seorang yang musyrik.” (Taisir Al-’Azizil Hamid dengan ringkas, hal. 170 dan 181)
Hukum Menetapkan Perantara dengan Bertaqarub kepada-Nya
Syaikhul Islam t berkata: “Barangsiapa membuat perantara antara dirinya dengan Allah l sehingga bertawakal dan berdoa serta memohon kepada perantara tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’. Dinukil ijma’ ini oleh banyak ulama, di antara mereka Ibnu Muflih dalam Al-Furu’, penulis Al-Inshaf, penulis Al-Ghayah dan Al-Iqna’, serta pensyarah selain mereka.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182-183, lihat Fatawa Kubra)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Itu adalah ijma’ yang shahih dan diketahui dalam syariat dengan pasti. Para ulama mazhab yang empat menegaskan dalam hukum murtad bahwa barangsiapa yang berbuat syirik berarti dia telah kafir.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 183)
Mencium Tanah dan Membungkuk
Syaikhul Islam t berkata: “Adapun mencium tanah, mengangkat kepala dan sejenisnya, layaknya gerakan sujud yang dilakukan di hadapan sebagian tokoh dan pemimpin, tidaklah diperbolehkan (dalam syariat, pent.). Bahkan tidak boleh membungkuk seperti keadaan ruku’. Sebagian sahabat berkata kepada Nabi n: “Seorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 1/372)
Beliau berkata juga: “Membungkuk ketika memberi penghormatan kepada orang lain termasuk hal yang dilarang. Sebagaimana dalam riwayat At-Tirmidzi dari Nabi n, mereka berkata kepada beliau n: “Seseorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.”
Juga karena ruku’ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah l, walaupun dalam syariat selain kita adalah bentuk penghormatan, sebagaimana dalam kisah Yusuf q:
“Merekapun merebahkan diri seraya sujud kepadanya dan berkata: ‘Wahai bapakku, ini adalah takwil mimpiku dulu’.” (Yusuf: 100)
Akan tetapi dalam syariat kita tidak dibolehkan sujud kecuali kepada Allah l….” (Majmu’ Fatawa, 1/377)
Demikianlah sekelumit pandangan-pandangan seorang alim Ahlus Sunnah, yang kemudian ucapan-ucapan beliau ini dijabarkan oleh para ulama Ahlus Sunnah setelah beliau t. Semoga apa yang kami paparkan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Ibadah merupakan hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah l berfirman:
“Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Karena demikian pentingnya masalah ini maka dakwah semua rasul adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah l dan mengingkari sesembahan yang lain. Allah l berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)
Allah l berfirman:
“Tidaklah Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau kecuali Kami wahyukan kepada-Nya bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya’: 25)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Tauhid uluhiyah adalah kewajiban yang pertama dan terakhir dalam agama ini, batin dan lahirnya. Tauhid uluhiyah1 adalah awal dakwah para rasul.” (lihat Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 22)
Karena masalah uluhiyah ini adalah permasalahan yang paling penting maka para ulama Ahlus Sunnah banyak membahas permasalahan ini. Bahkan merupakan satu ciri dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah.
Di antara sekian ulama Ahlus Sunnah yang banyak membahas permasalahan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Dalam tulisan ini kami akan sebutkan sebagian kecil pandangan-pandangan beliau tentang masalah uluhiyah.
Allah l Menciptakan Kita untuk Beribadah kepada-Nya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Sesungguhnya Allah l menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah l berfirman:
‘Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku’.” (Adz-Dzariyat: 56) [Lihat Majmu’ Fatawa, 1/4]
Ibadah adalah Hak Allah l atas Hamba-Nya
Syaikhul Islam t mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya ini adalah hak Allah l atas hamba-Nya, yaitu hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan Mu’adz z dari Nabi n (yang maknanya):
“Apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Apakah kau tahu apa hak hamba atas Allah jika mengamalkannya?” Aku katakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak mereka tidak akan disiksa.” (Majmu’ Fatawa, 1/23)
Pengertian Ibadah
Syaikhul Islam t berkata: “Ibadah adalah satu nama yang mencakup semua perkara yang Allah l cintai dan Allah l ridhai baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Majmu’ Fatawa, 10/149)
Beliau t juga berkata: “Ibadah adalah taat kepada Allah l dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan melalui para Rasul-Nya.”
Syarat Diterimanya Ibadah
Beliau t berkata: “Ibadah dibangun di atas syariat dan ittiba’, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan. Karena Islam dibangun di atas dua perkara:
1. Kita beribadah kepada Allah l saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Kita beribadah kepada-Nya dengan syariat yang disyariatkan melalui lisan Rasulullah n, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan.
Allah l berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat sedikitpun mengindarkan kamu dari siksaan Allah.” (Al-Jatsiyah: 18-19)
Allah l berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Tidak boleh seorangpun beribadah kepada Allah l kecuali dengan apa yang disyariatkan Rasul-Nya, baik perkara yang wajib atau sunnah. Tidak boleh kita beribadah kepada-Nya dengan perkara-perkara bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 1/80)
Beliau t berkata: “Agama Islam dibangun di atas dua ushul (pokok): Beribadah kepada Allah l saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan beribadah kepada-Nya dengan apa yang telah disyariatkan melalui lisan Nabi-Nya n.” (Majmu’ Fatawa, 1/365)
Ibadah Badan yang Paling Afdhal adalah Shalat
Beliau t berkata: “Ibadah badan yang paling mulia adalah shalat, sedangkan ibadah harta yang paling mulia adalah berkurban. Apa yang terkumpul bagi seorang hamba dalam shalat tidak terkumpul pada selainnya. Dan apa yang terkumpul baginya dalam menyembelih kurban –jika disertai iman dan keikhlasan– karena keyakinan kuat dan baik sangka merupakan perkara menakjubkan. Oleh karena itu beliau (yakni Nabi n, red.) adalah seorang yang banyak shalat dan banyak berkurban.” (Lihat Fathul Majid hal. 126)
Siapakah Muwahhid?
Beliau t berkata: “Yang dimaksud dengan tauhid bukanlah semata tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah l saja yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan ahlul kalam dan orang sufi. Di mana mereka menyangka barangsiapa bisa menetapkan rububiyah dengan dalil maka telah menetapkan puncak tauhid. Kalau mereka telah bersaksi dengan tauhid ini dan mencurahkan segala upaya berarti dia telah mengorbankan dirinya dalam puncak tauhid!
Karena, walaupun seseorang telah meyakini apa yang merupakan hak Allah l berupa sifat-sifat-Nya dan menyucikannya dari yang disucikan dari-Nya serta meyakini bahwa Allah l pencipta segala sesuatu, dia belumlah dianggap sebagai muwahhid hingga bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah l, meyakini bahwa Allah l satu-satunya yang berhak diibadahi, serta senantiasa beribadah hanya kepada Allah l. (Lihat Fathul Majid hal. 15-16)
Kewajiban Pertama
Beliau t berkata: “Telah diketahui dengan pasti dalam agama rasul dan telah disepakati oleh umat, bahwa pokok Islam dan perkara pertama yang seorang diperintah dengannya adalah bersaksi tidak ada sesembahan yang haq selain Allah l dan Muhammad n adalah utusan-Nya. Dengan inilah seorang yang kafir menjadi muslim, musuh menjadi teman, orang yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga….” (Lihat Fathul Majid hal. 73)
Macam-Macam Syirik
Beliau t berkata: “Syirik ada dua macam: syirik besar dan kecil. Barangsiapa bersih dari keduanya, maka wajib untuknya surga. Barangsiapa mati dengan membawa syirik besar (tidak bertaubat darinya, pent.) pasti masuk neraka.” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 72)
Tidak Boleh Meminta Pertolongan kepada Selain Allah l
Para imam telah menegaskan –seperti Ahmad dan lainnya– bahwasanya tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk. Ini di antara perkara yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk. Mereka berkata: “Telah shahih dari Nabi n bahwa beliau minta perlindungan dengan kalimatullah dan beliau n memerintahkannya….” (Lihat Fathul Majid hal. 147)
Bahaya Sikap Ghuluw (Berlebihan dalam Mengagungkan)
Beliau t berkata: “Jika di zaman Rasulullah n ada orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam namun lepas darinya padahal telah melakukan ibadah yang besar, ketahuilah di zaman inipun ada orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan As-Sunnah namun lepas dari Islam karena beberapa sebab. Di antaranya, ghuluw terhadap sebagian tokoh mereka. Bahkan ghuluw terhadap Ali bin Abu Thalib, bahkan kepada Al-Masih ‘Isa q. Semua yang berbuat ghuluw kepada nabi atau orang shalih serta mempersembahkan kepadanya satu macam ibadah, seperti berkata: “Wahai sayidku fulan tolonglah aku”, “Hilangkanlah kesusahanku”, “Berilah rizki kepadaku”, atau “Aku dalam jaminanmu”, dan semisalnya, semua ini adalah kesyirikan dan kesesatan. Pelakunya diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat maka dibunuh (oleh pemerintah muslim karena telah terjatuh dalam kemurtadan, pent.).” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182, Majmu’ Fatawa, 3/383)
Hukum Membangun Masjid di atas Kuburan
Beliau t berkata: “Adapun membangun masjid di atas kuburan, semua kelompok telah menegaskan larangannya dengan merujuk hadits-hadits yang shahih. Ulama mazhab Hambali dan selain mereka dari murid-murid Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah juga menegaskan keharamannya.”
Kemudian beliau berkata: “Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para nabi dan orang shalih atau para raja dan selainnya harus dibersihkan dengan merobohkannya atau dengan cara lainnya. Ini, yang saya tahu, termasuk perkara yang tidak diperselisihkan kalangan para ulama yang terkenal.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim)
Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam masalah ini: “Aku lebih cenderung kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat).” Kemudian beliau membawakan hadits: “Rasulullah n melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau t berkata: “Aku telah menyaksikan pemerintah menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kuburan dan perbuatan tersebut tidak dicela para fuqaha ketika itu.” (Lihat Al-Umm)
Ibnu Hajar Al-Haitami t berkata –beliau adalah seorang ulama mazhab Syafi’i–: “Wajib bersegera menghancurkan kuburan-kuburan yang dibangun dan dijadikan masjid serta menghancurkan kubah-kubah yang berada di atas kubur, karena hal itu lebih mengandung mudarat dari masjid dhirar. Karena hal itu dibangun di atas maksiat kepada Rasulullah n, di mana beliau telah melarangnya dan memerintahkan menghancurkan kuburan-kuburan yang ditinggikan.” (Lihat Mukhalafah Ash-Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i hal. 67-70)
Ibnul Qayyim t berkata: “Wajib merobohkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, karena telah dibangun di atas maksiat kepada Allah l.” (Lihat Fathul Majid hal. 214)
Hukum Sembelihan untuk Selain Allah l
Ketika menjelaskan ayat Allah l:
“Apa yang disembelih untuk selain nama Allah.” (Al-Baqarah: 173)
Syaikhul Islam t berkata: “Yang tampak dari ayat di atas, apa yang disembelih untuk selain Allah l seperti dikatakan: sembelihan ini untuk ini. Jika ini yang dimaksudkan maka hukumnya sama saja baik dia lafadzkan atau tidak. Haramnya sembelihan seperti ini lebih jelas dari keharaman sembelihan untuk dimakan dan diucapkan ketika menyembelihnya dengan nama Al-Masih atau lainnya.” (Fathul Majid, hal. 127-128)
Doa Ada Dua Macam: Doa Ibadah dan Doa Mas’alah (Permohonan)
Syaikhul Islam t berkata: “Semua doa ibadah mengharuskan adanya doa permohonan, dan semua doa permohonan mengandung doa ibadah.” (Fathul Majid hal. 150)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh menerangkan: “Doa permohonan adalah meminta sesuatu yang bermanfaat bagi yang berdoa, baik untuk mendapatkan satu manfaat yang diinginkan atau untuk dihilangkan darinya kesusahan. Adapun doa ibadah adalah beribadah kepada Allah l dengan berbagai macam ibadah seperti shalat, sembelihan, nadzar, puasa, haji, dan lainnya dengan rasa takut dan harap, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, walaupun tidak ada bentuk permintaan di dalamnya. Namun seseorang yang beribadah (tentunya) menginginkan surga dan dijauhkan dari neraka, sehingga hakikatnya dia seorang yang menginginkan sesuatu dan menjauhkan diri dari sesuatu. Jika telah jelas hal tersebut, maka ketahuilah para ulama telah ijma’ bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa ini kepada selain Allah l, maka dia adalah seorang yang musyrik.” (Taisir Al-’Azizil Hamid dengan ringkas, hal. 170 dan 181)
Hukum Menetapkan Perantara dengan Bertaqarub kepada-Nya
Syaikhul Islam t berkata: “Barangsiapa membuat perantara antara dirinya dengan Allah l sehingga bertawakal dan berdoa serta memohon kepada perantara tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’. Dinukil ijma’ ini oleh banyak ulama, di antara mereka Ibnu Muflih dalam Al-Furu’, penulis Al-Inshaf, penulis Al-Ghayah dan Al-Iqna’, serta pensyarah selain mereka.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182-183, lihat Fatawa Kubra)
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Itu adalah ijma’ yang shahih dan diketahui dalam syariat dengan pasti. Para ulama mazhab yang empat menegaskan dalam hukum murtad bahwa barangsiapa yang berbuat syirik berarti dia telah kafir.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 183)
Mencium Tanah dan Membungkuk
Syaikhul Islam t berkata: “Adapun mencium tanah, mengangkat kepala dan sejenisnya, layaknya gerakan sujud yang dilakukan di hadapan sebagian tokoh dan pemimpin, tidaklah diperbolehkan (dalam syariat, pent.). Bahkan tidak boleh membungkuk seperti keadaan ruku’. Sebagian sahabat berkata kepada Nabi n: “Seorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 1/372)
Beliau berkata juga: “Membungkuk ketika memberi penghormatan kepada orang lain termasuk hal yang dilarang. Sebagaimana dalam riwayat At-Tirmidzi dari Nabi n, mereka berkata kepada beliau n: “Seseorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.”
Juga karena ruku’ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah l, walaupun dalam syariat selain kita adalah bentuk penghormatan, sebagaimana dalam kisah Yusuf q:
“Merekapun merebahkan diri seraya sujud kepadanya dan berkata: ‘Wahai bapakku, ini adalah takwil mimpiku dulu’.” (Yusuf: 100)
Akan tetapi dalam syariat kita tidak dibolehkan sujud kecuali kepada Allah l….” (Majmu’ Fatawa, 1/377)
Demikianlah sekelumit pandangan-pandangan seorang alim Ahlus Sunnah, yang kemudian ucapan-ucapan beliau ini dijabarkan oleh para ulama Ahlus Sunnah setelah beliau t. Semoga apa yang kami paparkan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
1 Tauhid uluhiyah adalah menujukan segala macam ibadah hanya untuk Allah l.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Keutamaanya dalam Ilmu Tafsir
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Al-Khadhir Al-Harrani Ad-Dimasyqi, adalah seorang alim yang tidak ditemukan seorangpun di zamannya yang setara dengan beliau dalam berbagai hal. Baik dalam hal ilmu, lurusnya aqidah, semangat dalam beramal dan ketekunan dalam beribadah, maupun kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan yang menimpanya. Sosok beliau adalah salah satu di antara tokoh yang merupakan pembenaran terhadap firman Allah k:
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajadah: 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata menjelaskan ayat ini: “Maka kesabaran dan keyakinan, dengan keduanya akan tercapai kepemimpinan dalam agama.” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/358)
Keilmuan Beliau
Secara umum, beliau memiliki kelebihan dalam berbagai cabang ilmu. Hal ini dipersaksikan oleh murid-muridnya dan orang yang pernah bertemu dengannya. Di antara yang mempersaksikannya adalah Al-‘Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied t. Beliau berkata:
“Tatkala aku berkumpul dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu ada di hadapan matanya. Dia mengambil apa saja yang dia inginkan dan meninggalkan apa saja yang dia inginkan.”
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-‘Allamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamlakani t:
“Adalah beliau jika ditanya tentang satu cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa beliau tidak mengerti kecuali ilmu tersebut –karena sangat menguasai ilmu tersebut, red.–. Orang yang melihat juga menyimpulkan bahwa tidak seorangpun yang memiliki ilmu seperti dia. Jika para fuqaha dari berbagai mazhab duduk bersama beliau, mereka mendapatkan faedah tentang mazhab mereka dari beliau yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Tidak pula diketahui bahwa jika beliau berdebat dengan seseorang lalu hujjah beliau terputus (kehabisan dalil, red.). Tidaklah beliau berbicara tentang satu cabang ilmu, baik yang menyangkut ilmu syar’i atau yang lainnya, melainkan beliau mengalahkan orang yang takhassus (spesialisasinya, red.) dalam ilmu tersebut serta yang menisbahkan dirinya kepada ilmu tersebut. Beliau memiliki andil besar dalam membuat karya tulis yang bagus, ungkapan yang indah, sistematis, pembagian (pengklasifikasian), dan penjelasan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, 23-24)
Jamaluddin Abul Hajjaj Al-Mizzi t berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berilmu akan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta lebih semangat dalam mengikuti keduanya daripada beliau (Ibnu Taimiyah, pen.).” (Al-‘Uqud Ad- Durriyyah, Ibnu Abdil Hadi, hal. 23)
Kelebihan Beliau dalam Ilmu Tafsir
‘Umar Al-Bazzar berkata dalam kitabnya Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah: “Adapun kelebihan ilmunya, di antaranya adalah pengetahuan beliau akan ilmu Al-Qur`an yang mulia, kemampuan menggali faedah yang terkandung di dalamnya, penukilannya atas ucapan para ulama dalam penafsirannya serta menyebutkan penguat-penguatnya dengan dalil-dalil, dan apa yang telah Allah k anugerahkan berupa keajaiban-keajaiban-Nya dan berbagai hikmah-Nya, kefasihan, kepandaian, yang beliau capai dan puncak ilmu yang beliau bersandar kepadanya.
Jika dibacakan di majelis beliau beberapa ayat dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, maka beliau mulai penafsirannya hingga majelis selesai dan pelajaran berakhir dalam keadaan beliau baru menafsirkan sebagian ayat. Adalah majelis beliau berlangsung selama seperempat siang hari. Beliau melakukan hal tersebut secara spontan tanpa ada seorang pembaca ditunjuk untuk membacakan kepadanya sesuatu yang telah ditentukan, yang telah beliau persiapkan penafsirannya di malam hari. Namun orang yang hadir membaca apa yang mudah baginya lalu beliaupun mulai menafsirkannya. Biasanya, beliau tidak menghentikan pembicaraannya melainkan orang-orang yang hadir memahami bahwa kalaulah bukan karena waktu pelajaran telah selesai, tentu beliau akan menyebutkan hal-hal lain yang menjelaskan penafsiran makna yang terkandung di dalamnya. Namun beliau menghentikannya karena melihat kemaslahatan para hadirin. Sungguh beliau telah membacakan tafsir yang termuat dalam satu jilid besar. Juga firman Allah yang termuat dalam sekitar 35 lembar kertas. Telah sampai berita kepadaku bahwa beliau memulai mengumpulkan tafsir, sekiranya beliau menyelesaikannya, tentu akan mencapai 50 jilid.” (Al-A’lam Al-‘Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah, hal. 2-3, dari Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Asy-Syaikh ‘Alamuddin Al-Barzali berkata dalam Mu’jam Syuyuukhihi: “Beliau seorang imam yang telah disepakati keutamaan, kepandaian dan kebenaran agamanya. Dia membaca fiqih dan menjadi pakarnya. Demikian pula ilmu bahasa arab dan ushul. Beliau mahir pula dalam dua cabang ilmu: ilmu tafsir dan hadits. Beliau adalah seorang imam yang tidak terlampaui dalam segala sesuatu. Ia telah mencapai kedudukan mujtahid dan telah terkumpul pada diri beliau syarat-syarat mujtahid. Jika beliau menyebut tafsir maka yang lain terdiam disebabkan banyaknya hafalan beliau dan bagusnya dalam menyampaikan. Dan beliau meletakkan setiap ucapan pada tempatnya yang sesuai dalam men-tarjih, melemahkan, atau membatalkan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 28-29)
Beberapa Faedah Beliau dalam Ilmu Tafsir
Tatkala beliau menjelaskan tentang keutamaan merujuk kepada tafsir salafush shalih dari sahabat Nabi n dan tabi’in, disebabkan karena zaman mereka merupakan zaman di mana kaum muslimin bersatu dan sedikit perselisihan di antara mereka, beliau berkata:
“Oleh karena itu, perselisihan di kalangan para sahabat dalam penafsiran Al-Qur`an sangat sedikit. Meskipun di kalangan tabi’in lebih banyak perselisihan dibanding para sahabat, namun mereka (tabi’in) lebih sedikit jika dibandingkan pada zaman setelah mereka. Setiap kali terdapat zaman tersebut lebih mulia, maka persatuan, kesepakatan, ilmu, dan kejelasan lebih banyak. Di kalangan tabi’in ada yang mengambil semua penafsiran dari para sahabat, seperti yang dikatakan oleh Mujahid t: ‘Aku membacakan mushaf kepada Ibnu ‘Abbas c, aku menghentikannya pada setiap ayat dan aku bertanya tentangnya.’
Oleh karena itu, Ats-Tsauri t berkata: ‘Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukupkanlah dengannya.’ Oleh karena itu, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, dan selainnya dari kalangan para ulama rahimahumullah merujuk pada penafsirannya. Demikian pula Al-Imam Ahmad t dan yang lainnya dari kalangan penulis tafsir, sering menyebutkan jalur riwayat dari Mujahid t lebih banyak dari yang lain.” (Syarah Muqaddimah Fi Ushul Tafsir, hal. 25-26)
Beliau juga menjelaskan bahwa sebab-sebab munculnya banyak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah karena penyimpangan dari tafsir yang telah dijelaskan oleh para ulama salafush shalih, dan bermunculannya kelompok ahli bid’ah yang kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan hawa nafsunya. Beliau berkata:
“Secara umum, barangsiapa berpaling dari mazhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka, kepada sesuatu yang menyelisihi mereka, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Adapun jika dia seorang mujtahid, maka diampuni kesalahannya.
Maka yang dimaukan adalah menjelaskan jalan-jalan ilmu, dalil-dalilnya, dan jalan-jalan kebenaran. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dan mereka lebih mengetahui tentang penafsiran serta makna-maknanya. Sebagaimana mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang kebenaran yang dengannya Allah k utus Rasul-Nya n. Maka barangsiapa yang menyelisihi ucapan mereka dan menafsirkan Al-Qur`an namun menyelisihi penafsiran mereka, maka sungguh dia telah keliru dalam penempatan dalil dan pemahaman.”
Lalu beliau berkata: “Yang diinginkan di sini adalah memberikan peringatan atas munculnya perselisihan dalam penafsiran. Dan bahwa di antara sebab terbesar terjadinya hal tersebut adalah bid’ah-bid’ah yang batil, yang menyeru para pelakunya untuk mengubah ayat-ayat tersebut dari tempatnya, dan menafsirkan firman Allah k dan sabda Rasul-Nya n dengan selain apa yang dimaukan, serta menakwilkannya bukan pada takwil yang sebenarnya.” (Syarah Muqaddimah Ushul At-Tafsir hal. 125-126)
Demikian pula tatkala beliau menjelaskan tentang kondisi kitab-kitab tafsir yang ada. Beliau mengatakan: “Adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan manusia, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Dia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang tsabit dan tidak terdapat padanya bid’ah. Dia tidaklah menukil dari orang-orang yang tertuduh (berdusta) seperti Muqatil bin Bukair dan Al-Kalbi. Adapun tafsir-tafsir yang tidak menyebutkan riwayat-riwayat dengan sanad amat banyak, seperti tafsir Abdurrazzaq, ‘Abd bin Humaid, Waki’, Ibnu Abi Qutaibah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.
Adapun tiga kitab tafsir yang dipertanyakan, maka yang paling selamat dari bid’ah dan hadits-hadits yang lemah adalah tafsir Al-Baghawi. Namun tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi di mana Al-Baghawi menghapus hadits-hadits palsu dan bid’ah-bid’ah yang terdapat di dalamnya serta menghapus beberapa hal lain. Adapun tafsir Al-Wahidi, dia adalah murid Ats-Tsa’labi dan lebih berilmu dari gurunya dalam hal bahasa Arab. Namun Ats-Tsa’labi lebih selamat dari beberapa bid’ah, meskipun dia menyebutkannya hanya karena taqlid kepada yang lain. Tafsirnya (Al-Wahidi) singkat, ringkas dan sederhana, terkandung beberapa faedah yang agung, namun banyak terdapat penukilan-penukilan yang batil dan selainnya. Adapun tafsir Az-Zamakhsyari, tafsirnya penuh dengan bid’ah dan sejalan dengan metode Mu’tazilah dalam hal mengingkari sifat-sifat (Allah k), mengingkari ru’yah (kaum mukminin melihat Allah k di akhirat, pen.), menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dan mengingkari bahwa Allah k berkehendak atas segala sesuatu dan menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, serta pokok-pokok pemikiran kaum Mu’tazilah yang lainnya.”
Lalu beliau berkata: “Tafsir Al-Qurthubi lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih mendekati jalan orang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, serta lebih jauh dari bid’ah. Meskipun semua kitab ini tetap saja mengandung sesuatu yang dikritik, namun wajib bersikap adil di antara kitab-kitab tersebut dan memberikan setiap hak kepada yang berhak memilikinya. Tafsir Ibnu ‘Athiyyah lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih benar dalam hal penukilan dan pembahasannya serta lebih jauh dari bid’ah meskipun ada pada sebagiannya. Namun jauh lebih baik, bahkan ini adalah kitab tafsir yang paling shahih, (yaitu) tafsir Ibnu Jarir adalah yang paling shahih dari semuanya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13/385-3
Wallahu a’lam bish-shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Al-Khadhir Al-Harrani Ad-Dimasyqi, adalah seorang alim yang tidak ditemukan seorangpun di zamannya yang setara dengan beliau dalam berbagai hal. Baik dalam hal ilmu, lurusnya aqidah, semangat dalam beramal dan ketekunan dalam beribadah, maupun kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan yang menimpanya. Sosok beliau adalah salah satu di antara tokoh yang merupakan pembenaran terhadap firman Allah k:
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajadah: 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata menjelaskan ayat ini: “Maka kesabaran dan keyakinan, dengan keduanya akan tercapai kepemimpinan dalam agama.” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/358)
Keilmuan Beliau
Secara umum, beliau memiliki kelebihan dalam berbagai cabang ilmu. Hal ini dipersaksikan oleh murid-muridnya dan orang yang pernah bertemu dengannya. Di antara yang mempersaksikannya adalah Al-‘Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied t. Beliau berkata:
“Tatkala aku berkumpul dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu ada di hadapan matanya. Dia mengambil apa saja yang dia inginkan dan meninggalkan apa saja yang dia inginkan.”
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-‘Allamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamlakani t:
“Adalah beliau jika ditanya tentang satu cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa beliau tidak mengerti kecuali ilmu tersebut –karena sangat menguasai ilmu tersebut, red.–. Orang yang melihat juga menyimpulkan bahwa tidak seorangpun yang memiliki ilmu seperti dia. Jika para fuqaha dari berbagai mazhab duduk bersama beliau, mereka mendapatkan faedah tentang mazhab mereka dari beliau yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Tidak pula diketahui bahwa jika beliau berdebat dengan seseorang lalu hujjah beliau terputus (kehabisan dalil, red.). Tidaklah beliau berbicara tentang satu cabang ilmu, baik yang menyangkut ilmu syar’i atau yang lainnya, melainkan beliau mengalahkan orang yang takhassus (spesialisasinya, red.) dalam ilmu tersebut serta yang menisbahkan dirinya kepada ilmu tersebut. Beliau memiliki andil besar dalam membuat karya tulis yang bagus, ungkapan yang indah, sistematis, pembagian (pengklasifikasian), dan penjelasan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, 23-24)
Jamaluddin Abul Hajjaj Al-Mizzi t berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berilmu akan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta lebih semangat dalam mengikuti keduanya daripada beliau (Ibnu Taimiyah, pen.).” (Al-‘Uqud Ad- Durriyyah, Ibnu Abdil Hadi, hal. 23)
Kelebihan Beliau dalam Ilmu Tafsir
‘Umar Al-Bazzar berkata dalam kitabnya Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah: “Adapun kelebihan ilmunya, di antaranya adalah pengetahuan beliau akan ilmu Al-Qur`an yang mulia, kemampuan menggali faedah yang terkandung di dalamnya, penukilannya atas ucapan para ulama dalam penafsirannya serta menyebutkan penguat-penguatnya dengan dalil-dalil, dan apa yang telah Allah k anugerahkan berupa keajaiban-keajaiban-Nya dan berbagai hikmah-Nya, kefasihan, kepandaian, yang beliau capai dan puncak ilmu yang beliau bersandar kepadanya.
Jika dibacakan di majelis beliau beberapa ayat dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, maka beliau mulai penafsirannya hingga majelis selesai dan pelajaran berakhir dalam keadaan beliau baru menafsirkan sebagian ayat. Adalah majelis beliau berlangsung selama seperempat siang hari. Beliau melakukan hal tersebut secara spontan tanpa ada seorang pembaca ditunjuk untuk membacakan kepadanya sesuatu yang telah ditentukan, yang telah beliau persiapkan penafsirannya di malam hari. Namun orang yang hadir membaca apa yang mudah baginya lalu beliaupun mulai menafsirkannya. Biasanya, beliau tidak menghentikan pembicaraannya melainkan orang-orang yang hadir memahami bahwa kalaulah bukan karena waktu pelajaran telah selesai, tentu beliau akan menyebutkan hal-hal lain yang menjelaskan penafsiran makna yang terkandung di dalamnya. Namun beliau menghentikannya karena melihat kemaslahatan para hadirin. Sungguh beliau telah membacakan tafsir yang termuat dalam satu jilid besar. Juga firman Allah yang termuat dalam sekitar 35 lembar kertas. Telah sampai berita kepadaku bahwa beliau memulai mengumpulkan tafsir, sekiranya beliau menyelesaikannya, tentu akan mencapai 50 jilid.” (Al-A’lam Al-‘Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah, hal. 2-3, dari Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Asy-Syaikh ‘Alamuddin Al-Barzali berkata dalam Mu’jam Syuyuukhihi: “Beliau seorang imam yang telah disepakati keutamaan, kepandaian dan kebenaran agamanya. Dia membaca fiqih dan menjadi pakarnya. Demikian pula ilmu bahasa arab dan ushul. Beliau mahir pula dalam dua cabang ilmu: ilmu tafsir dan hadits. Beliau adalah seorang imam yang tidak terlampaui dalam segala sesuatu. Ia telah mencapai kedudukan mujtahid dan telah terkumpul pada diri beliau syarat-syarat mujtahid. Jika beliau menyebut tafsir maka yang lain terdiam disebabkan banyaknya hafalan beliau dan bagusnya dalam menyampaikan. Dan beliau meletakkan setiap ucapan pada tempatnya yang sesuai dalam men-tarjih, melemahkan, atau membatalkan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, hal. 28-29)
Beberapa Faedah Beliau dalam Ilmu Tafsir
Tatkala beliau menjelaskan tentang keutamaan merujuk kepada tafsir salafush shalih dari sahabat Nabi n dan tabi’in, disebabkan karena zaman mereka merupakan zaman di mana kaum muslimin bersatu dan sedikit perselisihan di antara mereka, beliau berkata:
“Oleh karena itu, perselisihan di kalangan para sahabat dalam penafsiran Al-Qur`an sangat sedikit. Meskipun di kalangan tabi’in lebih banyak perselisihan dibanding para sahabat, namun mereka (tabi’in) lebih sedikit jika dibandingkan pada zaman setelah mereka. Setiap kali terdapat zaman tersebut lebih mulia, maka persatuan, kesepakatan, ilmu, dan kejelasan lebih banyak. Di kalangan tabi’in ada yang mengambil semua penafsiran dari para sahabat, seperti yang dikatakan oleh Mujahid t: ‘Aku membacakan mushaf kepada Ibnu ‘Abbas c, aku menghentikannya pada setiap ayat dan aku bertanya tentangnya.’
Oleh karena itu, Ats-Tsauri t berkata: ‘Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukupkanlah dengannya.’ Oleh karena itu, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, dan selainnya dari kalangan para ulama rahimahumullah merujuk pada penafsirannya. Demikian pula Al-Imam Ahmad t dan yang lainnya dari kalangan penulis tafsir, sering menyebutkan jalur riwayat dari Mujahid t lebih banyak dari yang lain.” (Syarah Muqaddimah Fi Ushul Tafsir, hal. 25-26)
Beliau juga menjelaskan bahwa sebab-sebab munculnya banyak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah karena penyimpangan dari tafsir yang telah dijelaskan oleh para ulama salafush shalih, dan bermunculannya kelompok ahli bid’ah yang kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan hawa nafsunya. Beliau berkata:
“Secara umum, barangsiapa berpaling dari mazhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka, kepada sesuatu yang menyelisihi mereka, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Adapun jika dia seorang mujtahid, maka diampuni kesalahannya.
Maka yang dimaukan adalah menjelaskan jalan-jalan ilmu, dalil-dalilnya, dan jalan-jalan kebenaran. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dan mereka lebih mengetahui tentang penafsiran serta makna-maknanya. Sebagaimana mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang kebenaran yang dengannya Allah k utus Rasul-Nya n. Maka barangsiapa yang menyelisihi ucapan mereka dan menafsirkan Al-Qur`an namun menyelisihi penafsiran mereka, maka sungguh dia telah keliru dalam penempatan dalil dan pemahaman.”
Lalu beliau berkata: “Yang diinginkan di sini adalah memberikan peringatan atas munculnya perselisihan dalam penafsiran. Dan bahwa di antara sebab terbesar terjadinya hal tersebut adalah bid’ah-bid’ah yang batil, yang menyeru para pelakunya untuk mengubah ayat-ayat tersebut dari tempatnya, dan menafsirkan firman Allah k dan sabda Rasul-Nya n dengan selain apa yang dimaukan, serta menakwilkannya bukan pada takwil yang sebenarnya.” (Syarah Muqaddimah Ushul At-Tafsir hal. 125-126)
Demikian pula tatkala beliau menjelaskan tentang kondisi kitab-kitab tafsir yang ada. Beliau mengatakan: “Adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan manusia, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Dia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang tsabit dan tidak terdapat padanya bid’ah. Dia tidaklah menukil dari orang-orang yang tertuduh (berdusta) seperti Muqatil bin Bukair dan Al-Kalbi. Adapun tafsir-tafsir yang tidak menyebutkan riwayat-riwayat dengan sanad amat banyak, seperti tafsir Abdurrazzaq, ‘Abd bin Humaid, Waki’, Ibnu Abi Qutaibah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.
Adapun tiga kitab tafsir yang dipertanyakan, maka yang paling selamat dari bid’ah dan hadits-hadits yang lemah adalah tafsir Al-Baghawi. Namun tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi di mana Al-Baghawi menghapus hadits-hadits palsu dan bid’ah-bid’ah yang terdapat di dalamnya serta menghapus beberapa hal lain. Adapun tafsir Al-Wahidi, dia adalah murid Ats-Tsa’labi dan lebih berilmu dari gurunya dalam hal bahasa Arab. Namun Ats-Tsa’labi lebih selamat dari beberapa bid’ah, meskipun dia menyebutkannya hanya karena taqlid kepada yang lain. Tafsirnya (Al-Wahidi) singkat, ringkas dan sederhana, terkandung beberapa faedah yang agung, namun banyak terdapat penukilan-penukilan yang batil dan selainnya. Adapun tafsir Az-Zamakhsyari, tafsirnya penuh dengan bid’ah dan sejalan dengan metode Mu’tazilah dalam hal mengingkari sifat-sifat (Allah k), mengingkari ru’yah (kaum mukminin melihat Allah k di akhirat, pen.), menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dan mengingkari bahwa Allah k berkehendak atas segala sesuatu dan menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, serta pokok-pokok pemikiran kaum Mu’tazilah yang lainnya.”
Lalu beliau berkata: “Tafsir Al-Qurthubi lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih mendekati jalan orang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, serta lebih jauh dari bid’ah. Meskipun semua kitab ini tetap saja mengandung sesuatu yang dikritik, namun wajib bersikap adil di antara kitab-kitab tersebut dan memberikan setiap hak kepada yang berhak memilikinya. Tafsir Ibnu ‘Athiyyah lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih benar dalam hal penukilan dan pembahasannya serta lebih jauh dari bid’ah meskipun ada pada sebagiannya. Namun jauh lebih baik, bahkan ini adalah kitab tafsir yang paling shahih, (yaitu) tafsir Ibnu Jarir adalah yang paling shahih dari semuanya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13/385-3
Wallahu a’lam bish-shawab.
Pujian Para Ulama Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Keharuman nama beliau tidak hanya diakui oleh sahabat dan murid-murid beliau. Bahkan sebagian seteru beliau juga memberikan sanjungan tidak hanya berkaitan dengan keilmuan beliau tapi juga pribadinya.
1 Ibnu Katsir t menceritakan tentang kenyataan yang terjadi saat itu. Dan sebenarnya wanita dimakruhkan mengiringi jenazah. -ed
Keharuman nama beliau tidak hanya diakui oleh sahabat dan murid-murid beliau. Bahkan sebagian seteru beliau juga memberikan sanjungan tidak hanya berkaitan dengan keilmuan beliau tapi juga pribadinya.
Di antara mereka adalah Al-Qadhi Ibnu Makhluf yang juga lawan beliau, sebagaimana telah dinukil sebelumnya.
Ibnu Daqiqil ‘Ied t, seorang ulama yang ahli dalam dua mazhab;
Maliki dan Syafi’i, menceritakan pengalamannya ketika berkumpul dengan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t: “Saya lihat dirinya, dalil itu
seolah-olah ada di depan matanya. Dia ambil mana yang dia mau dan dia
tinggalkan mana yang dikehendakinya.”
Ibnu Az-Zamlakani t, juga mengatakan: “Terkumpul pada dirinya (Ibnu
Taimiyah) syarat-syarat seorang mujtahid secara sempurna. Dia mempunyai
andil besar dalam karya-karya bermutu, ungkapannya yang bernas dan
sistematis.”
Secara khusus, beliau memberi pujian terhadap karya Syaikhul Islam
yang berjudul Raf’ul Malam ‘an A’immatil A’lam. Kata beliau: “(Ini)
adalah karya tulis Asy-Syaikh Al-Imam, Al-‘Alim Al-‘Allamah, tidak ada
tandingannya, hafizh mujtahid, tokoh zahid ahli ibadah, teladan, imam
para imam, panutan umat, keagungan ulama, pewaris para Nabi, barakah
Islam, hujjatul Islam, pemberantas bid’ah, menghidupkan sunnah. Bagian
dari anugerah besar yang Allah k berikan kepada kita, yang dengannya
tegaklah hujjah terhadap musuh-musuh-Nya.”
Lalu beliau menulis beberapa bait memuji Syaikhul Islam:
مَاذَا يَقُولُ الْوَاصِفُوْنَ لَهُ * وَصِفَاتُهُ جَلَّتْ عَنِ الْحَصْرِ
هُوَ حُجَّةٌ للهِ قَاهِرَةٌ * هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَةُ الدَّهْرِ
هُوَ آيَةٌ ِللْخَلْقِ ظَاهِرَةٌ * أَنْوَارُهَا أَرْبَتْ عَلَى الْفَجْرِ
Apa yang kan diuraikan mereka yang mensifatkannya
Sedangkan sifat-sifatnya melampaui batasan
Dia adalah hujjah Allah yang menaklukkan
Dia adalah keajaiban masa di tengah-tengah kita
Dia adalah satu ayat Allah yang nyata bagi makhluk-Nya
Cahayanya mengalahkan kemilau fajar
Ibnu Az-Zamlakani juga menyatakan: “Apabila dia ditanya tentang
satu cabang ilmu, niscaya orang yang mendengar dan melihatnya pasti
menyangka Ibnu Taimiyah tidak punya ilmu lain kecuali itu, dan
memastikan bahwa tidak ada satupun yang memahami seperti dia. Ahli fikih
dari berbagai mazhab, jika berdiskusi dengannya, niscaya mereka memetik
faedah dari beliau hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.
Tidak pula pernah terdengar bahwa beliau berdebat dengan seseorang lalu
kalah. Jika dia membahas satu cabang ilmu –baik ilmu syariat atau
lainnya–, niscaya beliau mengungguli orang-orang yang ahli di bidang
tersebut. Beliau memiliki kelebihan dalam karya tulis, ungkapan yang
berisi, runut, juga dalam pembagian dan pejelasan.”
As-Subki, setelah mendapat teguran dari syaikhnya, Al-Imam
Adz-Dzahabi t, dia mengatakan: “Adapun ucapan sayyidi (tuanku) tentang
syaikh (Ibnu Taimiyah), maka hamba menyaksikan besarnya kedudukan
beliau, luasnya ilmu beliau dalam hal syariat maupun logika, juga
kejeniusannya, ijtihadnya, yang semua itu beliau capai melampaui keadaan
yang disifatkan orang. Hamba senantiasa mengatakan bahwa kedudukan
beliau dalam diri hamba amatlah agung dan lebih mulia dari itu. Seiring
dengan apa yang Allah l berikan kepada beliau, berupa sifat zuhud,
wara’, diyanah (pengamalan terhadap agama), membela al-haq, berdiri di
atas kebenaran tanpa tujuan lain, serta perjalanannya di atas cara hidup
kaum salaf, serta capaiannya yang luar biasa, yang sangat jarang
ditemukan seperti itu di zaman ini, bahkan di zaman kapanpun.”
Tajuddin As-Subki sendiri merasa bangga ketika Al-Mizzi menulis
biografi ayahnya Taqiyuddin As-Subki dengan gelar Syaikhul Islam, dan
tidak menuliskan gelar ini kecuali hanya kepada Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan ayahnya As-Subki. Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
seorang mubtadi’, zindiq apalagi kafir, tentulah dia tidak rela ayahnya
disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah.
Al-‘Allamah Al-Imam Qadhi Qudhah Mesir dan Syam, Abu ‘Abdullah
Muhammad bin Ash-Shafi ‘Utsman Ibnul Hariri Al-Anshari Al-Hanafi
menegaskan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul Islam, siapa lagi?”
Al-Imam Al-Mizzi (penyusun Tahdzibul Kamal) menyatakan pujiannya:
“Saya tidak pernah melihat tokoh seperti dia. Diapun tidak melihat ada
yang seperti dirinya. Saya tidak pernah melihat tokoh yang paling tahu
tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah serta paling teguh mengikuti
keduanya daripada beliau.”
Seorang syaikh yang shalih, ahli ibadah, Abu Thahir Muhammad
Al-Ba’li Al-Hanbali t membawakan beberapa bait syair, memuji Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Di antara pujian beliau:
يَا ابْنَ تَيْمِيَّةَ ياَ أَنْصَحَ الْعُلَمَا * يَا مَنْ لِأَسْرَارِ دِيْنِ اللهِ قَدْ فَهِمَا
يَا آيَةً ظَهَرَتْ فِي اْلكَوْنِ بَاهَرَةً * لاَ ِزلْتَ فِي سِلْكِ دِيْنِ اللهِ مُنْتَظِمًا
وَكُنْتَ وَاسِطَةً فِي عَقْدِهِ أَبَدَا * تُزِيْلُ مِنْهُ اْلأذَىَ وَاْلفَحْشَ وَالسَّقَمَا
جَمَعْتَ مِنْهُ الَّذِي قَد كَانَ فَرَّقَهُ * قَوْمٌ رَأَوْهُ هُدًى مِنْهُ وَكَانَ عَمَى
Hai Ibnu Taimiyah, hai ulama yang banyak memberi nasihat
Hai orang yang paham rahasia dien Allah
Hai ayat yang nampak cemerlang di alam semesta
Engkau senantiasa tersusun di dalam dien Allah ini
Engkau menjadi perantara dalam menguatkannya selamanya
Engkau lenyapkan kotoran darinya, juga kekejian dan kerusakan
Engkau kumpulkan dari dien ini apa yang dahulu diserakkan
Oleh kelompok yang menyangkanya hidayah padahal dia buta
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t juga mengatakan (Fathul Bari 6/289):
“…tambahan ini tidak ada sedikitpun dalam buku-buku hadits. Hal ini
telah diperingatkan oleh Al-‘Allamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.”
Di dalam kitab lainnya (At-Talkhishul Habir 3/179), Ibnu Hajar memuji beliau sebagai Al-Hafizh.
Jalaluddin As-Suyuthi (pengarang Al-Itqan dan Tafsir Jalalain)
mengatakan: “Demi Allah, belum pernah kedua mata saya melihat orang yang
paling luas ilmunya dan paling kuat kecerdasannya daripada seseorang
yang bernama Ibnu Taimiyah, disertai sikap zuhudnya dalam berpakaian,
makanan, wanita dan senantiasa tegak bersama al-haq (kebenaran) dan
berjihad dengan segenap kemampuannya.”
Kata beliau juga: “Ibnu Taimiyah adalah seorang syaikh, imam,
Al-‘Allamah, hafizh, kritikus, ahli fiqih, mujtahid, pakar tafsir yang
ulung, Syaikhul Islam. Simbol kezuhudan, salah seorang tokoh yang langka
di zamannya. Beliau adalah lautan ilmu, jenius dan ahli zuhud yang
sulit dicari tandingannya.”
Terakhir, perhatikanlah ucapan As-Subki (ayah Tajuddin As-Subki)
tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, ketika menegur orang yang
mencerca Ibnu Taimiyah: “Demi Allah, hai Fulan. Tidaklah ada yang
membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang jahil atau pengikut hawa
nafsu. Adapun orang jahil, dia tidak tahu apa yang dikatakannya.
Sedangkan pengikut hawa nafsu, dia dihalangi oleh hawa nafsunya dari
al-haq setelah dia mengetahuinya.”
Jadi, hanya ada dua kemungkinan pada diri orang-orang yang memusuhi
Ibnu Taimiyah t; orang jahil yang tidak mengerti apa yang dia katakan,
atau orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sehingga ilmu dan
kebenaran yang diketahuinya, tentang pribadi Syaikhul Islam atau
pemikirannya, terkubur oleh dendam kesumat, kedengkian, dan kesesatan
bid’ah yang diyakininya. Wallahul musta’an.
Wafat dalam Penjara
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menghabiskan hidupnya dengan
penuh kesabaran, rasa syukur dan perjuangan, baik dalam keadaan susah
maupun senang. Tidak sekalipun beliau ber-mujamalah (menjilat) dalam
amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak pernah beliau mundur dari
perkataan yang haq, selamanya. Sikap terus terang dan keberanian beliau
dalam menyuarakan yang haq, berkali-kali menyeret beliau ke penjara.
Mungkin itu pula salah satu sebab beliau tidak menikah.
Pada tahun 726 H, adalah akhir dari hukuman penjara yang beliau
terima. Ini disebabkan pemalsuan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya
terhadap fatwa beliau tentang ziarah kubur. Sehingga seolah-olah
Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur terlebih lagi makam Rasul n.
Ditambah lagi, sikap beliau kepada Sultan Nashir Al-Qalawun yang beliau
perlakukan sebagai murid. Beliau tidak segan-segan menegur dan
membimbingnya, sehingga sering Baginda merasa berat. Apalagi setelah
Syaikhul Islam menulis As-Siyasah Asy-Syar’iyah.
Akhirnya, musuh-musuh beliau berusaha mencari kesempatan melepaskan
kekuasaan pemerintah (Sultan) dari pengaruh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang tidak pernah bersikap munafik, riya, atau menjilat demi
mencari keselamatan pribadi.
Ibnu Taimiyah kembali dipenjarakan. Tapi yang terakhir ini lebih
berat beliau rasakan. Perlakuan yang beliau terima lebih buruk dari
sebelumnya. Beliau dijauhkan dari semua alat tulis dan dilarang
melakukan penelitian (membaca). Hanya saja, penderitaan itu tidak
berlangsung lama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah akhirnya sakit keras
beberapa hari. Hal itu mulai dirasakan sejak dikeluarkannya semua
perlengkapan tulis menulis dan membaca dari sisi beliau selama di
penjara.
Begitu mengetahui beliau sakit, Syamsuddin Al-Wazir meminta izin
menjenguk beliau. Melihat keadaan beliau, dia meminta maaf atas semua
kesalahannya selama ini. Oleh Syaikhul Islam, dia dimaafkan bahkan semua
yang memusuhinya, termasuk Sultan Nashir Al-Qalawun yang
memenjarakannya.
Kemudian, pada malam 22 Dzul Qa’dah 728 H, wafatlah Syaikhul Imam,
Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Hafizh Az-Zahid, Al-Mujahid Syaikhul Islam
Taqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Al-Imam Syihabuddin Abul Mahasin ‘Abdul
Halim bin Syaikhul Islam Abul Barakat ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin
Abul Qasim Muhammad bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Al-Khidhir bin ‘Ali
bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi, di dalam tembok
penjara Damaskus.
Berita ini mulanya hanya diketahui orang-orang yang di dalam
penjara. Kemudian, berita ini meluas hingga didengar oleh kaum muslimin.
Mereka terenyak. Berita itu betul-betul menggemparkan.
Akhirnya, berduyun-duyun mereka menuju ke benteng tersebut untuk
melihat jenazah beliau. Setelah itu mereka keluar, kemudian masuklah
kaum wanita seperti itu juga.
Setelah selesai dimandikan oleh sebagian tokoh seperti Al-Mizzi,
jenazah beliau dibawa ke luar penjara. Masyarakatpun berkumpul ikut
menyaksikan prosesi jenazah beliau. Mereka rela menutup pintu toko dan
menghentikan aktivitas mereka demi mengiringi jenazah beliau. Kaum
wanita yang tidak ikut serta, berdiri di atas rumah-rumah mereka melepas
jenazah sang imam. Sebagian mereka membagi-bagi daun bidara yang
dipakai untuk memandikan beliau.
Ibnu Katsir t memperkirakan dalam Al-Bidayah, ada sekitar 15.000
orang wanita ikut mengantar jenazah beliau.1 Belum lagi yang ada di atas
rumah-rumah mereka. Semua mendoakan rahmat dan menangisi beliau. Para
tentarapun ikut sibuk mengamankan prosesi jenazah tersebut.
Air mata tumpah, langitpun menangis. Ratapan duka dan doa mengantar
jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Seluruh rakyat di sekitar
penjara benteng tersebut tumpah ke jalanan mengantarkan jenazah beliau.
Pintu-pintu masjid Jami’ tak cukup menampung desakan rakyat banyak yang
ingin mendekati jenazah beliau. Kejadian ini tak jauh beda dengan
prosesi pemakaman jenazah Imam Ahli Sunnah wal Jamaah Abu ‘Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t. Di mana ketika beliau wafat di Baghdad,
ratusan ribu manusia mengantar jenazah beliau ke pemakaman. Al-Imam
Ahmad pernah mengatakan kepada ahli bid’ah: “Katakan kepada ahli bid’ah:
‘Keputusan antara kami dan kamu (ahli bid’ah) adalah yaumul janaiz
(hari kematian)’.”
Beliau dikebumikan setelah selesai shalat ‘ashar di pemakaman
Shufiyah, di sebelah kuburan saudaranya Syarafuddin ‘Abdullah. Di situ
pula dikebumikan salah seorang murid beliau yang terkemuka yaitu
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahumullah beberapa tahun kemudian.
Setelah dikebumikan, Asy-Syaikh Al-Imam Burhanuddin Al-Fazari dan
sejumlah ulama besar Asy-Syafi’iyah selama tiga hari berulang-ulang
mengunjungi kuburan Ibnu Taimiyah t.
Tidak ada yang tertinggal mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah ke pemakaman kecuali mereka yang lemah dan tidak dapat hadir,
serta tiga orang yang sangat keras permusuhannya terhadap beliau, yaitu
Ibnu Jumlah, Ash-Shadr, dan Al-Qafjari. Mereka yakin, seandainya mereka
ikut keluar niscaya umat akan menyakiti bahkan membunuh mereka.
Semoga Allah l merahmati ulama salaf yang telah wafat dan memelihara mereka yang masih hidup.
1 Ibnu Katsir t menceritakan tentang kenyataan yang terjadi saat itu. Dan sebenarnya wanita dimakruhkan mengiringi jenazah. -ed
Sejarah Hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Ahli bid’ah dan ahlul batil senantiasa memiliki kepentingan dan ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama As-Sunnah yang menghadang mereka maka runtuhlah kepentingan dan ambisi tersebut. Sehingga merekapun berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ahli bid’ah dan ahlul batil senantiasa memiliki kepentingan dan ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama As-Sunnah yang menghadang mereka maka runtuhlah kepentingan dan ambisi tersebut. Sehingga merekapun berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sunnatullah sendiri berlaku pada setiap hamba-Nya, Dia menggilirkan
kemenangan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Kadang Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan taufik Allah l adalah memunculkan di
tiap seratus tahun, tokoh yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini
bagi para pemeluknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah n:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini, di tiap ujung
seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi
pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)
Di antara para mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul Islam
Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin
‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin
‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali. Semoga Allah l
melimpahkan rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam
surga-Nya.
Nasab dan Kelahiran
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin
‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad
bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab
beliau berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir
bin Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari
Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini
-semoga Allah l merahmati beliau- dilahirkan pada hari Senin, tanggal
10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak
di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan
Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai
meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah
sekitarnya termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali
oleh Jenghis Khan tidak hanya menjarah daratan Cina, tapi juga menyerang
Timur Tengah bahkan sampai ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).
Allah l betul-betul menguji umat ini dengan memunculkan bangsa ini.
Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul Atsir t mengatakan: “Mereka
sujud kepada matahari ketika dia terbit, tidak mengharamkan apapun.
Mereka melahap semua binatang termasuk anjing dan babi serta yang
lainnya. Tidak mengenal nikah… dan seterusnya.” Tetapi belakangan,
banyak dari mereka yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga berbagai
kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar
biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas
kehancuran akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia
yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek
beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan
mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh
ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah l telah mempersiapkan
kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai terasa di
wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau
dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama
saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat di malam hari sambil
membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak mempunyai
kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh.
Gerobakpun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan
(istighatsah) kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat
dan lolos dari kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah
mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah?
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam
keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’,
sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda.
Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati
istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi
tersebut, beliau berkata: “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.” Akhirnya
keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir,
ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat,
sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.
Akhlak dan Kepribadiannya
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah t, tumbuh dalam pengawasan
sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan
pengabdian kepada Allah l. Sederhana dalam berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit
beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua
matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara.
Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat
cepat membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang
dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh
Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat
belajarnya, Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah
pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua
pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau
menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini.
Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali
mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar ma’ruf
nahi munkar, Allah l anugerahkan pula kepada beliau berbagai perilaku
yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan dipersaksikan oleh manusia
tentang keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan dalam
Al-Wafi bil Wafayat (2/375): “Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda
Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit.
Mulanya dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia
meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul
Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan? Ibunya menceritakan
bahwa tadi dia memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam
menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan
beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya
sedikitpun.”
Demikianlah tuntunan Rasulullah n sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ n طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Tidaklah pernah Rasulullah n mencela satu makanan sama sekali.
Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan bila tidak, beliaupun
meninggalkannya.”
Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya,
membuktikan bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan
keyakinan dan musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit,
penghambaan, dan inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah
mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat.
Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu
mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah k
berulang-ulang: “Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah
diriku.”
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: “Sungguh, pernah ada
sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya
istighfar (memohon ampun) kepada Allah l lebih kurang seribu kali,
hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.”
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah
l. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan
Rabbnya k dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke
kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat
fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan: “Inilah
sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu
mengulang-ulang ucapannya: “Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu
yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.”
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan:
“Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman
saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini
dengan keislaman yang baik.”
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim t menukil sebuah ucapan beliau tentang ketakwaan:
“Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak yang harus
dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan dirinya atas
orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela, menuntut, dan tidak
pula memukul.”
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja
Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh
Raja Nashir: “Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang
memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini?”
Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh yang
hadir ketika itu Syaikhul Islam berkata: “Saya melakukan hal itu? Demi
Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada
nilainya sepeserpun bagi saya.”2
Ibnu Katsir t, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali
ke kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama
adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian
berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir
meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan
menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah
menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan Sultan An-Nashir
mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang
menggulingkannya serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh
Al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr
Al-Munbaji, Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih
yang loyal kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa
untuk membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru
memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut.
Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka.
Bahkan beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka.
Kata beliau kepada Sultan: “Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya
Baginda tidak akan menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti
mereka. Adapun mereka yang menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya
tuntut apapun, ed.), dan saya tidak akan berusaha mencari pembelaan
untuk diri saya.”
Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’ wal
bara’ (cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya
berhak ditujukan kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Tidak sepantasnya
seseorang mengikat prinsip ini untuk kepentingan dirinya, tokoh atau
kelompoknya semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul Islam di
Mesir dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan orang-orang
Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh
orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka
siap meratakan negeri Mesir dengan tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka
membantah: “Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal?”
Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi Malikiyah,
salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul
Islam dipenjara: “Semoga Allah l merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia
berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Sedangkan kami,
ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat jelek serta
melakukan makar terhadapnya.”
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu
majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan
risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih
lagi Allah l menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat sulit
lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri dalam
ingatannya, baik lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67 dari
majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: “Di antara
keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah
Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena
beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu
juga isi kitab itu telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia
mengulang-ulang dan menukilnya dalam tulisan-tulisannya secara tekstual
atau makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar tentang
beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau
masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah
taman, lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau
berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah
memberi alasan kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus
mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya
untuk tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama
saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman
tersebut, dan kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau telah
membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan
ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa?’
Beliau menjawab: ‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi,
ananda sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di
tangan beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah
menghafalnya?’ Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab
itu kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang telah
menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan
mencium keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan
kepada siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena
khawatir ‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.”
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab
datang ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat
cepat hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak
tersebut. Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke
tempat belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian,
datanglah Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu
memanggilnya dan melihat batu tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah
menghapus tulisan yang ada kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu
memerintahkan beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya
tadi. Syaikhul Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang
dibacanya dari batu tulis itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu memerintahkan
beliau membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar
menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa kalau
anak ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang. Karena
belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.
Guru dan Murid Beliau
Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang
guru ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili,
Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan
Ibnu Abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang
jumlahnya. Murid-murid beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka
telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah t.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t mengatakan: “Seandainya Syaikh Taqiyuddin
tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan seorang murid
yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
–pengarang beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh pendukung
dan musuh beliau–, itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti nyata betapa
agung kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).”
Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir t, penyusun tafsir yang
menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir
dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah di
pemakaman Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun Tarikh
Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’,
Mizanul I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t penulis Fathul
Bari Syarh Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah l sambil minum
zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan
membaca yang luas (istiqra’ tam) seperti yang Allah l beri kepada
Al-Imam Adz-Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar t menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin Muhammad
yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri t, dia pernah menghadiri majelis Ibnu
Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang Yahudi tentang masalah
al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak,
lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban
dalam bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk
syair, lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan,
diuraikan) tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar
menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah n, beliau tidak
lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Ibnu Taimiyah sangat
mengagungkan Rasulullah n. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan
lebih semangat mengikuti Sunnah Rasulullah n daripada Ibnu Taimiyah.
Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadapi hadirin dengan
wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam
Al-‘Allamah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus
Salam Ibnu Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits
As-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh
Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh
Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh
Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang dipelajari adalah
masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui
tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya
dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta
yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah
Al-Hanbaliyah, menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah
seorang ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan meskipun
dalam penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa
ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau
menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu,
ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang
selesai menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal
bersama beliau untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab karya Ibnu Hazm t hal 275. Lihat At-Tibyan Syarh Badi’atil Bayan
Rembulan di Langit Zaman
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi n. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari Imran bin Hushain c, bahwa dia mendengar Rasulullah n bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).
Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan Islam yang benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah k dan mereka pun ridha kepada Allah k. Firman Allah l:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Allah l telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat. Berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat. Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka. Firman Allah l:
“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)
Menukil ucapan Ibnul Qayyim t dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait ayat di atas disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah k. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka. Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali kepada Allah k, (dikuatkan lagi) dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah l petunjuk. Firman-Nya:
“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin Raja’ As-Suhaimi, hal. 14)
Maka, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun yang utama. Yaitu para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut tabi’in). Siapapun yang mengikuti mereka dari aspek pemahaman, i’tiqad, perkataan maupun amal, maka dia berada di atas manhaj as-salaf. Adanya ancaman yang diberikan Allah l terhadap orang-orang yang memilih jalan-jalan selain jalan yang ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya setiap muslim berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah l berfirman:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah, bahwa tidaklah orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari salaf), termasuk orang-orang yang tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah sekarang ini, kecuali dia akan membenci (dakwah) as-salafiyah. Karena, as-salafiyah tidak semata pada hal yang terkait penisbahan (pengakuan). Tetapi as-salafiyah memurnikan keikhlasan karena Allah l dan memurnikan mutaba’ah (ikutan) terhadap Nabi n. Manusia itu terbagi dalam dua kelompok (salah satunya) yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-orang Islam yang keimanan mereka terpelihara, tidak menjadikan mereka keluar secara sempurna dari agama. Jadi, hizbu Ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak sesat dan menyesatkan serta tidak mengabaikan al-huda (petunjuk) dan al-haq (kebenaran) di setiap tempat dan zaman. (Ushul wa Qawa’id fi al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)
Rasulullah n berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah z, berkata:
لاَ يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِـي ظَاهِرِيْنَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba pada mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang unggul/menang.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7311)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh dengan apa yang Nabi n dan para sahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul/menang, tak akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang yang menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)
Bila menatap langit zaman, di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para pembela al-haq. Mereka adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk arah dalam kehidupan umat. Mereka memancarkan berkas cahaya yang memandu umat di tengah gelap gulita. Kala muncul bid’ah Khawarij dan Syi’ah, Allah l merobohkan makar mereka dengan memunculkan Ali bin Abi Thalib z dan Abdullah bin Abbas c. Begitupun saat Al-Qadariyah hadir, maka Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin ‘Abdillah g dari kalangan sahabat yang utama melawan pemahaman sesat tersebut. Washil bin ‘Atha’ dengan paham Mu’tazilahnya dipatahkan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, dan lain-lainnya dari kalangan utama tabi’in. Merebak Syi’ah Rafidhah, maka Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam Syafi’i, dan para imam Ahlus Sunnah lainnya menghadapi dan menangkal kesesatan Syi’ah Rafidhah. Jahm bin Shafwan yang mengusung Jahmiyah juga diruntuhkan Al-Imam Malik, Abdullah bin Mubarak, dan lainnya. Demikian pula tatkala menyebar pemahaman dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan Kalamullah. Maka, Al-Imam Ahmad bin Hanbal tampil memerangi pemahaman dan keyakinan sesat tersebut.
Allah l senantiasa memunculkan para pembela risalah-Nya. Mereka terus berupaya menjaga as-sunnah, agar tidak redup diempas para ahli bid’ah. Bermunculan para imam, seperti Al-Imam Al-Barbahari, Al-Imam Ibnu Khuzaimah, Al-Imam Ibnu Baththah, Al-Imam Al-Lalika’i, Al-Imam Ibnu Mandah, dan lainnya dari kalangan imam Ahlus Sunnah. Lantas pada kurun berikutnya, ketika muncul bid’ah sufiyah, ahlu kalam dan filsafat, hadir di tengah umat para imam, seperti Al-Imam Asy-Syathibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya, yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu Abdilhadi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan lainnya rahimahumullah.
Sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan lagi sosok yang asing. Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat luas. Kokoh dalam memegang sunnah. Sebab, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi para hamba, tidak ada pula keselamatan di hari kembali nanti (hari kiamat) kecuali dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah n.
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14)
Maka, ketaatan terhadap Allah l merupakan poros kebahagiaan yang seseorang berupaya mengitarinya, juga merupakan tempat kembali yang selamat yang seseorang tak akan merasa bingung darinya.
Sungguh Allah l telah menciptakan makhluk dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sesungguhnya peribadahan mereka dengan menaati-Nya dan taat terhadap Rasul-Nya. Tidak ada ibadah kecuali atas sesuatu yang telah Dia (Allah l) wajibkan dan sunnahkan dalam agama Allah l. Selain dari itu, maka yang ada hanyalah kesesatan dari jalan-Nya. Untuk hal ini Rasulullah n bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan satu amal yang tidak ada dasar perintah kami, maka tertolak.” (Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Shahih Muslim, 1718)
Rasulullah n bersabda pula dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah z yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan dishahihkan At-Tirmidzi t:
إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـي وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْـمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan. Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh sunnah dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2676) [Lihat Majmu’ah Al-Fatawa,1/4]
Itulah manhaj (cara pandang) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam menetapi Islam. Cara pandang inilah yang telah hilang dari sebagian kaum muslimin sehingga terjatuh pada perkara-perkara yang diada-adakan, yang perkara tersebut tidak dicontohkan Rasulullah n. Perkara tersebut mereka ada-adakan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam sendiri tak mengajarkan semacam itu. Mereka terbelenggu bid’ah nan menyesatkan.
Kekokohan memegang teguh prinsip beragama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi t. Kata Al-Hafizh Al-Mizzi t, “Aku tak pernah melihat orang yang seperti beliau. Tidak pula dia melihat orang yang seperti dirinya. Aku melihat, tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui dan sangat kuat mengikuti Al-Kitab dan sunnah Rasul-Nya dibanding beliau. Pantaslah bila sosok Syaikhul Islam senantiasa membuat susah para ahlu bid’ah. Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi t, bahwa beliau t adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang menyelisihi (Al-Kitab dan As-Sunnah). Menyusahkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, yang suka mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama. (Al-Ushul Al-Fikriyah Lil-Manahij As-Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh Khalid bin Abdirrahman Al-‘Ik)
Kecemburuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t terhadap harkat martabat Rasulullah n begitu besar. Itu bisa tergambar melalui tulisan beliau t yang berjudul Ash-Sharimu Al-Maslul ‘ala Syatimi Ar-Rasul (Pedang Terhunus terhadap Orang yang Mencaci Rasul n). Tulisan ini merupakan sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam menyikapi orang yang mencaci-maki Rasulullah n. Mencaci Rasulullah n sendiri bukan perkara ringan. Ini menyangkut nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras akal sehat ini merupakan bentuk penjagaan beliau t terhadap Rasulullah n dan risalah yang dibawanya.
Bahkan tatkala beliau dipenjara pun, senantiasa menyebarkan kebaikan kepada sesama penghuni penjara. Beliau t memberi bimbingan, melakukan amar ma’ruf, dan mencegah kemungkaran. Dikisahkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi t, tatkala beliau masuk tahanan, didapati para penghuni tahanan sibuk dengan beragam permainan yang sia-sia. Di antara mereka sibuk dengan main catur, dadu, dan lainnya. Mereka sibuk dengan permainan tersebut hingga melalaikan shalat. Lantas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mencegah hal itu secara tegas. Beliau memerintahkan mereka untuk menetapi shalat. Mengarahkan kepada Allah l dalam setiap amal shalih. Bertasbih, beristighfar, dan berdoa. Mengajari mereka tentang sunnah Rasulullah n, sesuai yang mereka butuhkan. Beliau t mendorong mereka untuk suka melakukan amal-amal kebaikan. Sehingga jadilah tempat tahanan tersebut senantiasa dipenuhi kesibukan dengan ilmu dan agama. Bilamana tiba waktu pembebasan, para narapidana tersebut lebih memilih hidup bersama beliau. Banyak dari mereka yang lantas kembali ke tahanan. Akibatnya, ruang tahanan itu pun penuh. (Al-Ushul Al-Fikriyah hal. 51)
Demikianlah kehidupan seorang alim. Keberadaannya senantiasa memberi manfaat kepada umat. Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan manusia. Dia laksana rembulan purnama di tengah bertaburnya bintang gemilang. Rasulullah n memberi perumpamaan keutamaan antara seorang alim dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’ z, Rasulullah n bersabda:
وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءَ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَـمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2682, Sunan Abi Dawud no. 3641, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menshahihkan hadits ini)
Begitulah seorang alim. Dia laksana rembulan di langit zaman. Wallahu a’lam.
Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi n. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari Imran bin Hushain c, bahwa dia mendengar Rasulullah n bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).
Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan Islam yang benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah k dan mereka pun ridha kepada Allah k. Firman Allah l:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Allah l telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat. Berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat. Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka. Firman Allah l:
“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)
Menukil ucapan Ibnul Qayyim t dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait ayat di atas disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah k. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka. Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali kepada Allah k, (dikuatkan lagi) dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah l petunjuk. Firman-Nya:
“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin Raja’ As-Suhaimi, hal. 14)
Maka, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun yang utama. Yaitu para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut tabi’in). Siapapun yang mengikuti mereka dari aspek pemahaman, i’tiqad, perkataan maupun amal, maka dia berada di atas manhaj as-salaf. Adanya ancaman yang diberikan Allah l terhadap orang-orang yang memilih jalan-jalan selain jalan yang ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya setiap muslim berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah l berfirman:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah, bahwa tidaklah orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari salaf), termasuk orang-orang yang tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah sekarang ini, kecuali dia akan membenci (dakwah) as-salafiyah. Karena, as-salafiyah tidak semata pada hal yang terkait penisbahan (pengakuan). Tetapi as-salafiyah memurnikan keikhlasan karena Allah l dan memurnikan mutaba’ah (ikutan) terhadap Nabi n. Manusia itu terbagi dalam dua kelompok (salah satunya) yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-orang Islam yang keimanan mereka terpelihara, tidak menjadikan mereka keluar secara sempurna dari agama. Jadi, hizbu Ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak sesat dan menyesatkan serta tidak mengabaikan al-huda (petunjuk) dan al-haq (kebenaran) di setiap tempat dan zaman. (Ushul wa Qawa’id fi al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)
Rasulullah n berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah z, berkata:
لاَ يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِـي ظَاهِرِيْنَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba pada mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang unggul/menang.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7311)
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh dengan apa yang Nabi n dan para sahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul/menang, tak akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang yang menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)
Bila menatap langit zaman, di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para pembela al-haq. Mereka adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk arah dalam kehidupan umat. Mereka memancarkan berkas cahaya yang memandu umat di tengah gelap gulita. Kala muncul bid’ah Khawarij dan Syi’ah, Allah l merobohkan makar mereka dengan memunculkan Ali bin Abi Thalib z dan Abdullah bin Abbas c. Begitupun saat Al-Qadariyah hadir, maka Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin ‘Abdillah g dari kalangan sahabat yang utama melawan pemahaman sesat tersebut. Washil bin ‘Atha’ dengan paham Mu’tazilahnya dipatahkan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, dan lain-lainnya dari kalangan utama tabi’in. Merebak Syi’ah Rafidhah, maka Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam Syafi’i, dan para imam Ahlus Sunnah lainnya menghadapi dan menangkal kesesatan Syi’ah Rafidhah. Jahm bin Shafwan yang mengusung Jahmiyah juga diruntuhkan Al-Imam Malik, Abdullah bin Mubarak, dan lainnya. Demikian pula tatkala menyebar pemahaman dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan Kalamullah. Maka, Al-Imam Ahmad bin Hanbal tampil memerangi pemahaman dan keyakinan sesat tersebut.
Allah l senantiasa memunculkan para pembela risalah-Nya. Mereka terus berupaya menjaga as-sunnah, agar tidak redup diempas para ahli bid’ah. Bermunculan para imam, seperti Al-Imam Al-Barbahari, Al-Imam Ibnu Khuzaimah, Al-Imam Ibnu Baththah, Al-Imam Al-Lalika’i, Al-Imam Ibnu Mandah, dan lainnya dari kalangan imam Ahlus Sunnah. Lantas pada kurun berikutnya, ketika muncul bid’ah sufiyah, ahlu kalam dan filsafat, hadir di tengah umat para imam, seperti Al-Imam Asy-Syathibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya, yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu Abdilhadi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan lainnya rahimahumullah.
Sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan lagi sosok yang asing. Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat luas. Kokoh dalam memegang sunnah. Sebab, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi para hamba, tidak ada pula keselamatan di hari kembali nanti (hari kiamat) kecuali dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah n.
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14)
Maka, ketaatan terhadap Allah l merupakan poros kebahagiaan yang seseorang berupaya mengitarinya, juga merupakan tempat kembali yang selamat yang seseorang tak akan merasa bingung darinya.
Sungguh Allah l telah menciptakan makhluk dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sesungguhnya peribadahan mereka dengan menaati-Nya dan taat terhadap Rasul-Nya. Tidak ada ibadah kecuali atas sesuatu yang telah Dia (Allah l) wajibkan dan sunnahkan dalam agama Allah l. Selain dari itu, maka yang ada hanyalah kesesatan dari jalan-Nya. Untuk hal ini Rasulullah n bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan satu amal yang tidak ada dasar perintah kami, maka tertolak.” (Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Shahih Muslim, 1718)
Rasulullah n bersabda pula dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah z yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan dishahihkan At-Tirmidzi t:
إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـي وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْـمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan. Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh sunnah dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2676) [Lihat Majmu’ah Al-Fatawa,1/4]
Itulah manhaj (cara pandang) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam menetapi Islam. Cara pandang inilah yang telah hilang dari sebagian kaum muslimin sehingga terjatuh pada perkara-perkara yang diada-adakan, yang perkara tersebut tidak dicontohkan Rasulullah n. Perkara tersebut mereka ada-adakan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam sendiri tak mengajarkan semacam itu. Mereka terbelenggu bid’ah nan menyesatkan.
Kekokohan memegang teguh prinsip beragama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi t. Kata Al-Hafizh Al-Mizzi t, “Aku tak pernah melihat orang yang seperti beliau. Tidak pula dia melihat orang yang seperti dirinya. Aku melihat, tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui dan sangat kuat mengikuti Al-Kitab dan sunnah Rasul-Nya dibanding beliau. Pantaslah bila sosok Syaikhul Islam senantiasa membuat susah para ahlu bid’ah. Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi t, bahwa beliau t adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang menyelisihi (Al-Kitab dan As-Sunnah). Menyusahkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, yang suka mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama. (Al-Ushul Al-Fikriyah Lil-Manahij As-Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh Khalid bin Abdirrahman Al-‘Ik)
Kecemburuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t terhadap harkat martabat Rasulullah n begitu besar. Itu bisa tergambar melalui tulisan beliau t yang berjudul Ash-Sharimu Al-Maslul ‘ala Syatimi Ar-Rasul (Pedang Terhunus terhadap Orang yang Mencaci Rasul n). Tulisan ini merupakan sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam menyikapi orang yang mencaci-maki Rasulullah n. Mencaci Rasulullah n sendiri bukan perkara ringan. Ini menyangkut nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras akal sehat ini merupakan bentuk penjagaan beliau t terhadap Rasulullah n dan risalah yang dibawanya.
Bahkan tatkala beliau dipenjara pun, senantiasa menyebarkan kebaikan kepada sesama penghuni penjara. Beliau t memberi bimbingan, melakukan amar ma’ruf, dan mencegah kemungkaran. Dikisahkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi t, tatkala beliau masuk tahanan, didapati para penghuni tahanan sibuk dengan beragam permainan yang sia-sia. Di antara mereka sibuk dengan main catur, dadu, dan lainnya. Mereka sibuk dengan permainan tersebut hingga melalaikan shalat. Lantas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mencegah hal itu secara tegas. Beliau memerintahkan mereka untuk menetapi shalat. Mengarahkan kepada Allah l dalam setiap amal shalih. Bertasbih, beristighfar, dan berdoa. Mengajari mereka tentang sunnah Rasulullah n, sesuai yang mereka butuhkan. Beliau t mendorong mereka untuk suka melakukan amal-amal kebaikan. Sehingga jadilah tempat tahanan tersebut senantiasa dipenuhi kesibukan dengan ilmu dan agama. Bilamana tiba waktu pembebasan, para narapidana tersebut lebih memilih hidup bersama beliau. Banyak dari mereka yang lantas kembali ke tahanan. Akibatnya, ruang tahanan itu pun penuh. (Al-Ushul Al-Fikriyah hal. 51)
Demikianlah kehidupan seorang alim. Keberadaannya senantiasa memberi manfaat kepada umat. Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan manusia. Dia laksana rembulan purnama di tengah bertaburnya bintang gemilang. Rasulullah n memberi perumpamaan keutamaan antara seorang alim dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’ z, Rasulullah n bersabda:
وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءَ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَـمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2682, Sunan Abi Dawud no. 3641, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t menshahihkan hadits ini)
Begitulah seorang alim. Dia laksana rembulan di langit zaman. Wallahu a’lam.
Surat Pembaca edisi 45
Kurang Teks Ayat
Bismillah. Ana temukan kesalahan pada majalah Asy-Syariah vol. IV/42/1429H/2008 pada halaman 62 tentang surat Hud: 56. Di halaman
ini tertulis Inna rabbi ala shirathim mustaqim, seharusnya inni
tawakkaltu alallahi rabbi warabbikum … dst. Semoga lebih teliti
lagi. Barakallahu fik.
yakub_______@gmail.com
Jazakumullah khairan. Anda benar, ada kekurangan pada lafadz ayatnya.
Usulan untuk Rubrik Doa
Bismillah. Ana ada usul untuk Asy-Syariah. Bagaimana kalau rubrik Doa dipenuhi, sehingga 1 halaman bisa memuat penuh 4-5 doa bahkan lebih. Karena ini sangat-sangat bermanfaat bagi orang-orang khususnya Ahlus Sunnah yang ingin mengamalkan doa-doa yang shahih. Karena kami mengambil hadits shahih dan hasan yang di Asy-Syariah sebagai rujukan. Bukankah ini hal yang bagus karena akan mempermudah orang lain untuk banyak menghafalkan doa-doa yang shahih? Mohon segera direalisasikan. Dan ini sangat-sangat membantu kami.
085285xxxxxx
Jazakumullah khairan atas masukannya. Insya Allah menjadi pertimbangan redaksi.
Bahan Berbahaya dalam Makanan
Saat ini banyak beredar di tengah-tengah masyarakat, berbagai macam produk makanan (juga minuman, serta obat-obatan kimiawi) yang mengandung bahan-bahan berbahaya (walaupun dalam takaran kecil); seperti pengawet, pewarna makanan (terutama untuk konsumsi anak-anak), penguat rasa/MSG, dll, yang secara kesehatan zat-zat tersebut sangat berbahaya bagi tubuh. Lalu bagaimana secara syar’i? Bagaimana seharusnya sikap Ahlus Sunnah dalam hal ini? Mohon dibahas dengan tuntas dalam Majalah Asy-Syariah. Jazakumullahu khairan.
Abu Zaid – Jogja
081226xxxxx
Sambungan Artikel
Afwan Asy-Syariah no. 44 tahun 2008, halaman 59 bersambung ke halaman berapa? Kok tidak ada keterangannya? Barakallahu fikum.
Rohmadi – Banjarnegara
085227xxxxxx
Jazakumullah khairan atas koreksinya. Artikel dari halaman 59 seharusnya bersambung ke halaman 70.
Usulan untuk Rubrik Permata Salaf
Bismillah, bagaimana kalau rubrik Permata Salaf disertakan bahasa Arabnya, minimal satu ucapan.
Abu Sulaiman – Muaraenim
081367xxxxxx
Usul Anda cukup bagus. Insya Allah kita usahakan untuk menyertakan teks bahasa Arabnya, selama tidak terlalu panjang. Jazakumullah khairan.
Syaikh Abdul Qadir Jailani
Bagaimana jika membahas tema Syaikh Abdul Qadir Jailani, karena sebagian kaum muslimin masih ta’ashub (fanatik) dan taqlid dengan beliau. Lebih-lebih dalam acara-acara kebid’ahan. Dalam doa-doanya, beliau selalu menjadi tawasul. Ana minta agar Asy Syari’ah mengupas secara jelas tentang kehidupan (biografi) beliau.
Laila – Bumiayu
0852826xxxxx
Tema ini memang termasuk hal yang sering ditanyakan pembaca, namun demikian kami minta maaf karena belum bisa kami angkat dalam waktu dekat, jadi harap bersabar. Jazakumullahu khairan.
Bismillah. Ana temukan kesalahan pada majalah Asy-Syariah vol. IV/42/1429H/2008 pada halaman 62 tentang surat Hud: 56. Di halaman
ini tertulis Inna rabbi ala shirathim mustaqim, seharusnya inni
tawakkaltu alallahi rabbi warabbikum … dst. Semoga lebih teliti
lagi. Barakallahu fik.
yakub_______@gmail.com
Jazakumullah khairan. Anda benar, ada kekurangan pada lafadz ayatnya.
Usulan untuk Rubrik Doa
Bismillah. Ana ada usul untuk Asy-Syariah. Bagaimana kalau rubrik Doa dipenuhi, sehingga 1 halaman bisa memuat penuh 4-5 doa bahkan lebih. Karena ini sangat-sangat bermanfaat bagi orang-orang khususnya Ahlus Sunnah yang ingin mengamalkan doa-doa yang shahih. Karena kami mengambil hadits shahih dan hasan yang di Asy-Syariah sebagai rujukan. Bukankah ini hal yang bagus karena akan mempermudah orang lain untuk banyak menghafalkan doa-doa yang shahih? Mohon segera direalisasikan. Dan ini sangat-sangat membantu kami.
085285xxxxxx
Jazakumullah khairan atas masukannya. Insya Allah menjadi pertimbangan redaksi.
Bahan Berbahaya dalam Makanan
Saat ini banyak beredar di tengah-tengah masyarakat, berbagai macam produk makanan (juga minuman, serta obat-obatan kimiawi) yang mengandung bahan-bahan berbahaya (walaupun dalam takaran kecil); seperti pengawet, pewarna makanan (terutama untuk konsumsi anak-anak), penguat rasa/MSG, dll, yang secara kesehatan zat-zat tersebut sangat berbahaya bagi tubuh. Lalu bagaimana secara syar’i? Bagaimana seharusnya sikap Ahlus Sunnah dalam hal ini? Mohon dibahas dengan tuntas dalam Majalah Asy-Syariah. Jazakumullahu khairan.
Abu Zaid – Jogja
081226xxxxx
Sambungan Artikel
Afwan Asy-Syariah no. 44 tahun 2008, halaman 59 bersambung ke halaman berapa? Kok tidak ada keterangannya? Barakallahu fikum.
Rohmadi – Banjarnegara
085227xxxxxx
Jazakumullah khairan atas koreksinya. Artikel dari halaman 59 seharusnya bersambung ke halaman 70.
Usulan untuk Rubrik Permata Salaf
Bismillah, bagaimana kalau rubrik Permata Salaf disertakan bahasa Arabnya, minimal satu ucapan.
Abu Sulaiman – Muaraenim
081367xxxxxx
Usul Anda cukup bagus. Insya Allah kita usahakan untuk menyertakan teks bahasa Arabnya, selama tidak terlalu panjang. Jazakumullah khairan.
Syaikh Abdul Qadir Jailani
Bagaimana jika membahas tema Syaikh Abdul Qadir Jailani, karena sebagian kaum muslimin masih ta’ashub (fanatik) dan taqlid dengan beliau. Lebih-lebih dalam acara-acara kebid’ahan. Dalam doa-doanya, beliau selalu menjadi tawasul. Ana minta agar Asy Syari’ah mengupas secara jelas tentang kehidupan (biografi) beliau.
Laila – Bumiayu
0852826xxxxx
Tema ini memang termasuk hal yang sering ditanyakan pembaca, namun demikian kami minta maaf karena belum bisa kami angkat dalam waktu dekat, jadi harap bersabar. Jazakumullahu khairan.
Mengenal Lebih Dekat Ulama Kita
Bisa jadi hanya sedikit dari kita yang mengenal sosok Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Selain karena awamnya umat Islam dari ulama-ulama
mereka (bahkan para sahabat Rasulullah n), juga dikarenakan ketokohannya
terkubur oleh pemujaan yang ditujukan terhadap tokoh-tokoh masa kini
semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Khomeini, Usamah bin Laden, dan
lain-lain. Entah dengan beragam alasan, tokoh-tokoh yang disebut di atas
dianggap lebih membumi, dianggap punya “ide-ide besar” dibanding
generasi salaf serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
Orang-orang yang jauh dari sebutan ulama, yang bukan pakarnya dalam hadits, fiqih, maupun tafsir, demikian dielu-elukan pemikirannya. Jika disebut kesalahan-kesalahan sang tokoh, beragam pembelaan kontan dilontarkan. “Ia adalah orang yang bersegera kembali kepada kebenaran”, ia belum memasuki “fase keislaman”, menyebut penyimpangan mendasar yang dilakukan sang tokoh dengan istilah kekeliruan, yang mengoreksi kesalahannya disebut zalim, dsb. Alhasil, sikap pemujaan yang membinasakan ini (diakui atau tidak) mengubur sekian banyak ketokohan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta ulama-ulama yang merupakan murid langsung mereka.
Ibnu Taimiyah hanyalah salah satu ”korban” dari kultus yang membius para aktivis pergerakan yang umumnya demikian mendewakan tokohnya. Keberadaan Ibnu Taimiyah serta orang-orang yang memang layak digelari ulama banyak diabaikan. Keilmuan mereka dalam hal hadits, fiqih, dan tafsir, hanya dianggap angin lalu. Para aktivis harakah cenderung mengambil pendapat tokoh-tokohnya ketimbang arahan para ulama, meski pendapat yang ”sang idola” anut menyelisihi dalil-dalil syariat. Atau kalau toh mengambil pendapat para ulama, yang diambil hanyalah pendapat-pendapat yang selaras dengan pola pikir pergerakan mereka.
Ditampilkannya tokoh seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam majalah ini hanyalah sekelumit pembelajaran bagaimana kita mendudukkan tokoh sesuai porsinya. Ketika kita menokohkan seseorang kita mesti tahu bagaimana aqidahnya, pemahamannya, keutamaannya, dan lain sebagainya yang semuanya mesti ditimbang dengan timbangan syariat. Semua itu bisa kita rekam ketika kita mengilas balik sejarah hidup para ulama melalui riwayat-riwayat shahih yang mengisahkan kehidupan mereka, bukan sekadar “katanya dan katanya”. Namun demikian meskipun kita memandang mereka sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekeliruan, kita tetap menjunjung tinggi adab kita sebagai seorang muslim terhadap ahlul ilmi.
Maka menjadi sesuatu yang miris jika ada umat Islam yang menjadikan seseorang sebagai panutan hanya karena ia adalah tokoh sepemahaman, seormas, separtai ataupun sealiran, tanpa menakarnya dengan timbangan syariat. Lebih ironis lagi jika hal itu dibumbui keyakinan batil yang menyimpang dari Islam, seperti anggapan ”setengah wali”, ”darah biru” kyai, ”keturunan” Nabi, dan yang lainnya. Mulai sekarang tanggalkan sikap kultus, kita rajut sikap bijak untuk mengenal lebih dekat para ulama kita, salah satunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Orang-orang yang jauh dari sebutan ulama, yang bukan pakarnya dalam hadits, fiqih, maupun tafsir, demikian dielu-elukan pemikirannya. Jika disebut kesalahan-kesalahan sang tokoh, beragam pembelaan kontan dilontarkan. “Ia adalah orang yang bersegera kembali kepada kebenaran”, ia belum memasuki “fase keislaman”, menyebut penyimpangan mendasar yang dilakukan sang tokoh dengan istilah kekeliruan, yang mengoreksi kesalahannya disebut zalim, dsb. Alhasil, sikap pemujaan yang membinasakan ini (diakui atau tidak) mengubur sekian banyak ketokohan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta ulama-ulama yang merupakan murid langsung mereka.
Ibnu Taimiyah hanyalah salah satu ”korban” dari kultus yang membius para aktivis pergerakan yang umumnya demikian mendewakan tokohnya. Keberadaan Ibnu Taimiyah serta orang-orang yang memang layak digelari ulama banyak diabaikan. Keilmuan mereka dalam hal hadits, fiqih, dan tafsir, hanya dianggap angin lalu. Para aktivis harakah cenderung mengambil pendapat tokoh-tokohnya ketimbang arahan para ulama, meski pendapat yang ”sang idola” anut menyelisihi dalil-dalil syariat. Atau kalau toh mengambil pendapat para ulama, yang diambil hanyalah pendapat-pendapat yang selaras dengan pola pikir pergerakan mereka.
Ditampilkannya tokoh seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam majalah ini hanyalah sekelumit pembelajaran bagaimana kita mendudukkan tokoh sesuai porsinya. Ketika kita menokohkan seseorang kita mesti tahu bagaimana aqidahnya, pemahamannya, keutamaannya, dan lain sebagainya yang semuanya mesti ditimbang dengan timbangan syariat. Semua itu bisa kita rekam ketika kita mengilas balik sejarah hidup para ulama melalui riwayat-riwayat shahih yang mengisahkan kehidupan mereka, bukan sekadar “katanya dan katanya”. Namun demikian meskipun kita memandang mereka sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekeliruan, kita tetap menjunjung tinggi adab kita sebagai seorang muslim terhadap ahlul ilmi.
Maka menjadi sesuatu yang miris jika ada umat Islam yang menjadikan seseorang sebagai panutan hanya karena ia adalah tokoh sepemahaman, seormas, separtai ataupun sealiran, tanpa menakarnya dengan timbangan syariat. Lebih ironis lagi jika hal itu dibumbui keyakinan batil yang menyimpang dari Islam, seperti anggapan ”setengah wali”, ”darah biru” kyai, ”keturunan” Nabi, dan yang lainnya. Mulai sekarang tanggalkan sikap kultus, kita rajut sikap bijak untuk mengenal lebih dekat para ulama kita, salah satunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Berita Tentang Hari Kiamat
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah)
Datangnya hari kiamat adalah suatu kepastian. Hanya saja berita tentang hari kiamat ini terasa asing atau terlupakan bagi sebagian manusia yang hidup mereka tersibukkan dengan bermain-main, lalai, mengenyangkan diri dengan syahwat dunia dan kelezatannya. Kenikmatan dunia berupa harta, anak-anak, dan sebagainya telah melupakan mereka akan pertemuan dengan hari tersebut. Padahal hari kiamat demikian dekatnya. Allah k berfirman:
“Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.” (Al-Qamar: 1)
“Manusia bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya?” (Al-Ahzab: 63)
Sahabat yang mulia Anas bin Malik z mengabarkan bahwa Nabi n pernah bersabda:
بُعِثْتُ أَناَ وَالسَّاعَةُ كَهاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِأَصْبِعَيْهِ السَّبَابَةِ وَالْوُسْطَى
“Diutusnya aku dengan datangnya hari kiamat seperti dua jari ini.” Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hari kiamat ini tidak akan menimpa kecuali sejelek-jelek manusia, karena orang-orang yang memiliki iman walaupun sangat tipis telah diwafatkan sebelumnya. Rasulullah n mengabarkan:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلىَ شِرَارِ النَّاسِ
“Tidak akan datang hari kiamat kecuali pada sejelek-jelek manusia.” (HR. Muslim)
Diawali hari kiamat dengan tiupan sangkakala oleh malaikat Israfil. Maka matilah seluruh penduduk langit dan penghuni bumi kecuali yang Allah l kehendaki. Kemudian diikuti tiupan kedua maka bangkitlah seluruh manusia dari dalam kuburnya.
“Dan ditiuplah sangkakala maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali yang Allah kehendaki. Kemudian ditiup lagi tiupan yang lain maka tiba-tiba mereka bangkit dari kubur mereka dalam keadaan menanti (putusannya masing-masing).” (Az-Zumar: 68)
Hari itu adalah hari yang sangat mengerikan. Allah k menggambarkannya dalam firman-Nya:
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya goncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). Pada hari itu ketika kalian melihat kegoncangan tersebut, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan semua wanita yang hamil dan kalian lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.” (Al-Hajj: 1-2)
Usai tiupan kedua, manusia bangkit dari kubur-kubur mereka dalam keadaan tanpa busana, tanpa alas kaki, dan belum dikhitan. Tidak ada seorang pun yang menoleh kepada yang lain karena kegelisahan yang menyelimuti. Semua dicekam ketakutan! Ketika Aisyah x mendengar berita ini dari Rasulullah n, ia berucap:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ جَمِيْعًا يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ؟ فَقَالَ n: الْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, para lelaki dan para wanita seluruhnya dikumpulkan dalam keadaan demikian berarti sebagian mereka akan melihat aurat sebagian yang lain?” Rasulullah n menjawab, “Perkaranya terlalu dahsyat dari membuat mereka berkeinginan demikian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Termasuk perkara yang menambah kedahsyatan hari tersebut adalah didekatkannya matahari dengan manusia sehingga peluh mereka bercucuran. Abu Hurairah z berkata, “Rasulullah n bersabda:
يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
“Manusia berkeringat pada hari kiamat sampai-sampai keringat mereka bercucuran ke bumi setinggi 70 hasta dan mengekang (menenggelamkan) mereka sampai mencapai telinga-telinga mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Miqdad ibnul Aswad z mengabarkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
تُدْنىَ الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ -قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ: فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيلِ، أَمَسَافَةُ الْأَرْضِ أَمِ الْمِيْلُ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ- قَالَ: فَيَكُوْنُ النَّاسُ عَلىَ قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا. وَأَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ n إِلَى فِيْهِ.
“Didekatkan matahari dengan makhluk (manusia) pada hari kiamat hingga jarak matahari dari mereka seukuran mil.” –Sulaim bin ‘Amir (perawi yang meriwayatkan dari Al-Miqdad, pent.), “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang beliau maksudkan dengan mil, apakah ukuran jarak ataukah kayu/alat yang digunakan untuk mencelaki mata.”–Rasulullah bersabda, “Maka manusia (pada saat itu) dibanjiri peluh sesuai kadar amalan mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua lututnya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua pinggangnya. Dan di antara mereka ada yang benar-benar ditenggelamkan oleh keringatnya.” Rasulullah n memberi isyarat ke mulutnya.” (HR. Muslim)
Di saat kebanyakan manusia tersiksa dengan panas yang sangat, peluh yang membanjiri dan ketakutan yang sangat, ada segolongan orang yang dinaungi oleh Allah k dengan naungan-Nya. Mereka tidak merasakan apa yang diderita oleh orang-orang lain. Di antara mereka adalah yang dikabarkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ, وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ, وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلِّقٌ بِالْمَسَاجِدِ, وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ, وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ, وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan yang Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Mereka adalah imam (pemimpin) yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya selalu terikat/terpaut dengan masjid-masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah mereka berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah, (kemudian) seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan kecantikan namun ia berkata, “Sungguh aku takut kepada Allah.” (Yang berikutnya) seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang berzikir (mengingat) Allah dalam keadaan sendirian lalu mengalir air matanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku, bayangkanlah kengerian pada hari itu. Manusia berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
“Maka demi Rabbmu! Kami sungguh-sungguh akan menanyakan kepada mereka seluruhnya, tentang apa yang dulunya mereka amalkan.” (Al-Hijr: 92-93)
Sungguh, tidak ada satu pun yang tersembunyi dari Allah k. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari ataupun menutupi apa yang dahulunya ia perbuat, karena anggota tubuhnya menjadi saksi.
فَيُخْتَمُ عَلَى فِيْهِ وَيُقَالُ لِفَخِذِهِ وَلَحْمِهِ وَعِظَامِهِ: انْطِقِيْ. فَتَنْطِقُ فَخِذُهُ وَلَحْمُهُ وَعِظَامُهُ بِعَمَلِهِ…
“Maka ditutuplah mulutnya dan dikatakan kepada pahanya, dagingnya dan tulangnya, ‘Berbicaralah!’ Lalu berbicaralah pahanya, daging dan tulangnya mengabarkan tentang amalannya (ketika di dunia)….” (HR. Muslim)
Sahabat Rasul yang bernama ‘Adi bin Hatim z mengabarkan sabda Rasulullah n:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانُ، فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ، وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ، وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ، فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali nanti akan diajak bicara oleh Rabbnya, tanpa ada seorang penerjemah antara dia dengan Rabbnya. Lalu ia memandang ke arah kanannya namun ia tidak melihat kecuali amal yang telah dilakukannya. Ia juga memandang ke arah kirinya, namun ia tidak melihat kecuali amal yang telah dilakukannya. Dan ia memandang ke depannya, namun ia tidak melihat kecuali neraka di hadapan wajahnya. Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku, termasuk yang menambah kengerian pada hari itu adalah sangat panjangnya hari tersebut. Sebagaimana berita dari Dzat yang Maha Benar pengabaran-Nya:
“Seseorang telah meminta disegerakannya azab yang pasti terjadi, bagi orang-orang kafir, yang tidak ada seorang pun dapat menolaknya. (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun1.” (Al-Ma’arij: 1-4)
Karenanya, hendaklah kita memikirkan kengerian hari tersebut dan kita harus ingat bahwa keselamatan dari kengeriannya hanyalah didapatkan dengan rahmat Allah, kemudian dengan amalan shalih.
Hari itu semua manusia akan menyesal. Bila ia seorang yang berbuat baik, ia akan menyesal kenapa ia tidak menambah dan memperbanyak kebaikannya. Bila ia seorang yang berbuat jelek, ia akan menyesal kenapa dahulu menyia-nyiakan umurnya dari melakukan amal shalih.
Ingatlah, saat catatan amal beterbangan pada hari tersebut dalam keadaan seseorang tidak tahu apakah ia akan menerima catatannya dengan tangan kanan sehingga ia beroleh kebahagiaan nan abadi, ataukah ia akan menerimanya dengan tangan kiri sehingga ia akan celaka.
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya catatan amaalnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, ‘Ambilllah, bacalah catatan amalku ini. Sungguh aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap amalku.’ Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan sedap sebagai balasan amalan yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’ Adapun orang yang diberikan kepadanya catatan amalnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Wahai, alangkah baiknya bila sekiranya tidak diberikan kepadaku catatan amalku ini. Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.’ (Allah berfirman), “Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkan dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.’ Sesungguhnya dulu dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung. Dan juga tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang pun teman baginya pada hari ini di sini. Dan tiada pula makanan sedikit pun baginya kecuali berupa darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (Al-Haqqah: 19-37)
Ingatlah saudariku, wahai hamba-hamba Allah l, dengan shirath (titian) yang licin lagi menggelincirkan yang diletakkan di atas punggung Jahannam. Manusia melewatinya sesuai kadar amalannya. Ada yang melewatinya dengan sangat cepat, ada yang lambat perlahan, ada yang merangkak, dan ada yang tersungkur ke dalam api yang menyala-nyala. Kita tak tahu apakah kita termasuk yang selamat melewatinya, ataukah na’udzubillah terperosok ke dalam jurang Jahannam. Kita mohon kepada Allah k keselamatan!
Ingatlah semua ini wahai saudariku! Yakinlah karena ini bukanlah khayalan, sekadar isapan jempol dan dongeng pengantar tidur. Semua yang disebutkan di sini sungguh benar adanya dan pasti datangnya. Perkara-perkara ini dekat, walaupun terasa kehidupan kita panjang.
Apa yang kita persiapkan untuk hari tersebut? Iya, amal shalih…. Dengannya setelah rahmat Allah k, kita akan selamat dan termasuk orang-orang yang berbahagia. Menjadi penghuni surga yang seluas langit dan bumi.
Ya Allah, ya Arhamar Rahimin, ya Karim! Selamatkanlah kami dari siksa-Mu dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang beruntung dapat mendiami surga-Mu, negeri kemuliaan-Mu. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Yang dimaksud adalah hari kiamat menurut salah satu dari empat pendapat yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam Tafsirnya (8/174).
Datangnya hari kiamat adalah suatu kepastian. Hanya saja berita tentang hari kiamat ini terasa asing atau terlupakan bagi sebagian manusia yang hidup mereka tersibukkan dengan bermain-main, lalai, mengenyangkan diri dengan syahwat dunia dan kelezatannya. Kenikmatan dunia berupa harta, anak-anak, dan sebagainya telah melupakan mereka akan pertemuan dengan hari tersebut. Padahal hari kiamat demikian dekatnya. Allah k berfirman:
“Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.” (Al-Qamar: 1)
“Manusia bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya?” (Al-Ahzab: 63)
Sahabat yang mulia Anas bin Malik z mengabarkan bahwa Nabi n pernah bersabda:
بُعِثْتُ أَناَ وَالسَّاعَةُ كَهاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِأَصْبِعَيْهِ السَّبَابَةِ وَالْوُسْطَى
“Diutusnya aku dengan datangnya hari kiamat seperti dua jari ini.” Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hari kiamat ini tidak akan menimpa kecuali sejelek-jelek manusia, karena orang-orang yang memiliki iman walaupun sangat tipis telah diwafatkan sebelumnya. Rasulullah n mengabarkan:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلىَ شِرَارِ النَّاسِ
“Tidak akan datang hari kiamat kecuali pada sejelek-jelek manusia.” (HR. Muslim)
Diawali hari kiamat dengan tiupan sangkakala oleh malaikat Israfil. Maka matilah seluruh penduduk langit dan penghuni bumi kecuali yang Allah l kehendaki. Kemudian diikuti tiupan kedua maka bangkitlah seluruh manusia dari dalam kuburnya.
“Dan ditiuplah sangkakala maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali yang Allah kehendaki. Kemudian ditiup lagi tiupan yang lain maka tiba-tiba mereka bangkit dari kubur mereka dalam keadaan menanti (putusannya masing-masing).” (Az-Zumar: 68)
Hari itu adalah hari yang sangat mengerikan. Allah k menggambarkannya dalam firman-Nya:
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya goncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). Pada hari itu ketika kalian melihat kegoncangan tersebut, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan semua wanita yang hamil dan kalian lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.” (Al-Hajj: 1-2)
Usai tiupan kedua, manusia bangkit dari kubur-kubur mereka dalam keadaan tanpa busana, tanpa alas kaki, dan belum dikhitan. Tidak ada seorang pun yang menoleh kepada yang lain karena kegelisahan yang menyelimuti. Semua dicekam ketakutan! Ketika Aisyah x mendengar berita ini dari Rasulullah n, ia berucap:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ جَمِيْعًا يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ؟ فَقَالَ n: الْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, para lelaki dan para wanita seluruhnya dikumpulkan dalam keadaan demikian berarti sebagian mereka akan melihat aurat sebagian yang lain?” Rasulullah n menjawab, “Perkaranya terlalu dahsyat dari membuat mereka berkeinginan demikian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Termasuk perkara yang menambah kedahsyatan hari tersebut adalah didekatkannya matahari dengan manusia sehingga peluh mereka bercucuran. Abu Hurairah z berkata, “Rasulullah n bersabda:
يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
“Manusia berkeringat pada hari kiamat sampai-sampai keringat mereka bercucuran ke bumi setinggi 70 hasta dan mengekang (menenggelamkan) mereka sampai mencapai telinga-telinga mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Miqdad ibnul Aswad z mengabarkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
تُدْنىَ الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ -قَالَ سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ: فَوَاللهِ، مَا أَدْرِي مَا يَعْنِي بِالْمِيلِ، أَمَسَافَةُ الْأَرْضِ أَمِ الْمِيْلُ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ- قَالَ: فَيَكُوْنُ النَّاسُ عَلىَ قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى كَعْبَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ إِلَى حَقْوَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا. وَأَشَارَ رَسُوْلُ اللهِ n إِلَى فِيْهِ.
“Didekatkan matahari dengan makhluk (manusia) pada hari kiamat hingga jarak matahari dari mereka seukuran mil.” –Sulaim bin ‘Amir (perawi yang meriwayatkan dari Al-Miqdad, pent.), “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang beliau maksudkan dengan mil, apakah ukuran jarak ataukah kayu/alat yang digunakan untuk mencelaki mata.”–Rasulullah bersabda, “Maka manusia (pada saat itu) dibanjiri peluh sesuai kadar amalan mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua lututnya. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua pinggangnya. Dan di antara mereka ada yang benar-benar ditenggelamkan oleh keringatnya.” Rasulullah n memberi isyarat ke mulutnya.” (HR. Muslim)
Di saat kebanyakan manusia tersiksa dengan panas yang sangat, peluh yang membanjiri dan ketakutan yang sangat, ada segolongan orang yang dinaungi oleh Allah k dengan naungan-Nya. Mereka tidak merasakan apa yang diderita oleh orang-orang lain. Di antara mereka adalah yang dikabarkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ, وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ, وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلِّقٌ بِالْمَسَاجِدِ, وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ, وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ, وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan yang Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Mereka adalah imam (pemimpin) yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya selalu terikat/terpaut dengan masjid-masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah mereka berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah, (kemudian) seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan kecantikan namun ia berkata, “Sungguh aku takut kepada Allah.” (Yang berikutnya) seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang berzikir (mengingat) Allah dalam keadaan sendirian lalu mengalir air matanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku, bayangkanlah kengerian pada hari itu. Manusia berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
“Maka demi Rabbmu! Kami sungguh-sungguh akan menanyakan kepada mereka seluruhnya, tentang apa yang dulunya mereka amalkan.” (Al-Hijr: 92-93)
Sungguh, tidak ada satu pun yang tersembunyi dari Allah k. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari ataupun menutupi apa yang dahulunya ia perbuat, karena anggota tubuhnya menjadi saksi.
فَيُخْتَمُ عَلَى فِيْهِ وَيُقَالُ لِفَخِذِهِ وَلَحْمِهِ وَعِظَامِهِ: انْطِقِيْ. فَتَنْطِقُ فَخِذُهُ وَلَحْمُهُ وَعِظَامُهُ بِعَمَلِهِ…
“Maka ditutuplah mulutnya dan dikatakan kepada pahanya, dagingnya dan tulangnya, ‘Berbicaralah!’ Lalu berbicaralah pahanya, daging dan tulangnya mengabarkan tentang amalannya (ketika di dunia)….” (HR. Muslim)
Sahabat Rasul yang bernama ‘Adi bin Hatim z mengabarkan sabda Rasulullah n:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانُ، فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ، وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ، وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ، فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali nanti akan diajak bicara oleh Rabbnya, tanpa ada seorang penerjemah antara dia dengan Rabbnya. Lalu ia memandang ke arah kanannya namun ia tidak melihat kecuali amal yang telah dilakukannya. Ia juga memandang ke arah kirinya, namun ia tidak melihat kecuali amal yang telah dilakukannya. Dan ia memandang ke depannya, namun ia tidak melihat kecuali neraka di hadapan wajahnya. Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku, termasuk yang menambah kengerian pada hari itu adalah sangat panjangnya hari tersebut. Sebagaimana berita dari Dzat yang Maha Benar pengabaran-Nya:
“Seseorang telah meminta disegerakannya azab yang pasti terjadi, bagi orang-orang kafir, yang tidak ada seorang pun dapat menolaknya. (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun1.” (Al-Ma’arij: 1-4)
Karenanya, hendaklah kita memikirkan kengerian hari tersebut dan kita harus ingat bahwa keselamatan dari kengeriannya hanyalah didapatkan dengan rahmat Allah, kemudian dengan amalan shalih.
Hari itu semua manusia akan menyesal. Bila ia seorang yang berbuat baik, ia akan menyesal kenapa ia tidak menambah dan memperbanyak kebaikannya. Bila ia seorang yang berbuat jelek, ia akan menyesal kenapa dahulu menyia-nyiakan umurnya dari melakukan amal shalih.
Ingatlah, saat catatan amal beterbangan pada hari tersebut dalam keadaan seseorang tidak tahu apakah ia akan menerima catatannya dengan tangan kanan sehingga ia beroleh kebahagiaan nan abadi, ataukah ia akan menerimanya dengan tangan kiri sehingga ia akan celaka.
“Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya catatan amaalnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, ‘Ambilllah, bacalah catatan amalku ini. Sungguh aku yakin bahwa aku akan menemui hisab terhadap amalku.’ Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan sedap sebagai balasan amalan yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’ Adapun orang yang diberikan kepadanya catatan amalnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Wahai, alangkah baiknya bila sekiranya tidak diberikan kepadaku catatan amalku ini. Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.’ (Allah berfirman), “Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkan dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.’ Sesungguhnya dulu dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung. Dan juga tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang pun teman baginya pada hari ini di sini. Dan tiada pula makanan sedikit pun baginya kecuali berupa darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (Al-Haqqah: 19-37)
Ingatlah saudariku, wahai hamba-hamba Allah l, dengan shirath (titian) yang licin lagi menggelincirkan yang diletakkan di atas punggung Jahannam. Manusia melewatinya sesuai kadar amalannya. Ada yang melewatinya dengan sangat cepat, ada yang lambat perlahan, ada yang merangkak, dan ada yang tersungkur ke dalam api yang menyala-nyala. Kita tak tahu apakah kita termasuk yang selamat melewatinya, ataukah na’udzubillah terperosok ke dalam jurang Jahannam. Kita mohon kepada Allah k keselamatan!
Ingatlah semua ini wahai saudariku! Yakinlah karena ini bukanlah khayalan, sekadar isapan jempol dan dongeng pengantar tidur. Semua yang disebutkan di sini sungguh benar adanya dan pasti datangnya. Perkara-perkara ini dekat, walaupun terasa kehidupan kita panjang.
Apa yang kita persiapkan untuk hari tersebut? Iya, amal shalih…. Dengannya setelah rahmat Allah k, kita akan selamat dan termasuk orang-orang yang berbahagia. Menjadi penghuni surga yang seluas langit dan bumi.
Ya Allah, ya Arhamar Rahimin, ya Karim! Selamatkanlah kami dari siksa-Mu dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang beruntung dapat mendiami surga-Mu, negeri kemuliaan-Mu. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Yang dimaksud adalah hari kiamat menurut salah satu dari empat pendapat yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam Tafsirnya (8/174).
Lama Waktu Nifas
Tanya: Berapa lama wanita yang nifas meninggalkan shalat?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab, “Wanita yang nifas memiliki beberapa keadaan:
Pertama: Darah nifasnya berhenti sebelum sempurna 40 hari dan setelah itu sama sekali tidak keluar lagi. Maka ketika darah tersebut berhenti/tidak keluar lagi, si wanita harus mandi, puasa (bila bertepatan dengan bulan Ramadhan), dan mengerjakan shalat (bila telah masuk waktunya).
Kedua: Darah nifasnya berhenti sebelum genap 40 hari, namun beberapa waktu kemudian darahnya keluar lagi sebelum selesai waktu 40 hari. Pada keadaan ini, si wanita mandi, puasa, dan shalat di saat berhentinya darah. Namun di saat darah tersebut kembali keluar berarti ia masih dalam keadaan nifas, sehingga ia harus meninggalkan puasa dan shalat. Ia harus mengqadha puasa wajib yang ditinggalkannya sementara untuk shalat yang ditinggalkan tidak ada qadha.
Ketiga: Darahnya terus menerus keluar sampai sempurna waktu 40 hari. Maka dalam jangka waktu 40 hari tersebut, ia tidak shalat dan tidak puasa. Setelah berhenti darahnya, barulah ia mandi, puasa, dan shalat.
Keempat: Darahnya keluar sampai lewat 40 hari.
Dalam hal ini ada dua gambaran:
1. Keluarnya darah setelah 40 hari tersebut bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya, yang berarti ia haid setelah nifas. Maka ia menunggu sampai selesai masa haidnya, baru bersuci.
2. Keluarnya darah tidak bertepatan dengan kebiasaan haidnya. Maka ia mandi setelah sempurna nifasnya selama 40 hari, ia mengerjakan puasa dan shalat walaupun darahnya masih keluar.
Apabila kejadian ini berulang sampai tiga kali, yakni setiap selesai melahirkan, dari melahirkan anak yang pertama sampai anak yang ketiga misalnya, darahnya selalu keluarnya lebih dari 40 hari berarti ini merupakan kebiasaan nifasnya. Yakni masa nifasnya memang lebih dari 40 hari. Selama masa nifas yang lebih dari 40 hari itu ia meninggalkan puasa yang berarti harus dia qadha di waktu yang lain (saat suci), sementara shalat yang ditinggalkan tidak ada qadhanya.
Apabila kejadian keluarnya darah lebih dari 40 hari ini tidak berulang, yakni hanya sekali, maka darah tersebut bukanlah darah nifas tapi darah istihadhah.
Wallahu a’lam.”
Tanya: Apabila darah terus keluar dari seorang wanita yang nifas sampai lebih 40 hari, apakah si wanita dibolehkan puasa dan shalat?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Wanita yang nifas bila tetap keluar darahnya lebih dari 40 hari dalam keadaan darah tersebut tidak mengalami perubahan, maka bila kelebihan waktu tersebut bertepatan dengan masa kebiasaan haid yang pernah dialaminya (sebelum hamil), ia tidak boleh mengerjakan shalat dan puasa (karena statusnya ia sedang haid).
Namun bila tidak bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya yang dulu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Di antara mereka ada yang mengatakan: bila telah sempurna waktu 40 hari dari masa nifasnya, wanita tersebut mandi dan harus mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya sekalipun darah terus keluar/mengalir dari kemaluannya, karena si wanita sekarang terhitung mengalami istihadhah.
Di antara ulama ada yang berpendapat: si wanita tetap menunggu berhentinya darah sampai 60 hari, yang berarti ia masih berstatus nifas. Karena memang ada wanita yang masa nifasnya 60 hari. Ini perkara yang memang nyata, ada sebagian wanita yang kebiasaan nifasnya selama 60 hari. Berdasarkan hal ini, si wanita yang darahnya terus keluar lebih dari 40 hari tetap menanti sucinya sampai maksimal 60 hari. Selewatnya dari 60 hari, ia menganggap dirinya haid bila darah masih saja keluar dalam hitungan waktu/lama kebiasaan haidnya. Setelahnya ia mandi dan shalat walaupun darahnya masih keluar, karena kali ini ia terhitung wanita yang istihadhah.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 60-61)
NIFAS BAGI WANITA YANG MELAHIRKAN
DENGAN BEDAH CAESAR
Tanya: Sebagian wanita mengalami kesulitan dalam melahirkan kandungannya sehingga terpaksa dilakukan pembedahan yang berarti anak yang dilahirkan tidak melalui kemaluan. Apa hukumnya wanita yang mengalami kasus seperti ini dari sisi darah nifasnya? Dan apa hukum mandi mereka secara syar’i?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t menjawab, “Hukum bagi wanita yang mengalami kejadian demikian sama dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena persalinan normal. Bila ia melihat keluarnya darah dari kemaluannya, ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Bila ia tidak lagi melihat keluarnya darah maka ia mandi, mengerjakan shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 70)
DARAH YANG KELUAR
SEBELUM MELAHIRKAN
Tanya: Seorang wanita hamil keluar darah dari kemaluannya lima hari sebelum melahirkan di bulan Ramadhan. Apakah darahnya tersebut darah haid atau darah nifas? Apa yang harus dilakukan ketika itu?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` menjawab, “Bila perkaranya sebagaimana yang disebutkan yakni si wanita yang sedang hamil melihat keluarnya darah lima hari sebelum melahirkan:
Jika ia tidak melihat adanya tanda-tanda dekatnya saat kelahiran seperti rasa sakit karena ingin melahirkan/kontraksi, maka darah tersebut bukanlah darah haid dan bukan pula darah nifas, melainkan darah fasad (rusak) menurut pendapat yang shahih. Karenanya, ia tidak meninggalkan ibadah, tetap mengerjakan shalat dan puasa.
Apabila bersamaan dengan keluarnya darah tersebut didapatkan tanda-tanda dekatnya saat kelahiran berupa rasa sakit dan semisalnya maka darahnya itu adalah darah nifas, sehingga ia tidak mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia telah selesai/suci dari nifasnya setelah melahirkan, ia mengqadha puasanya saja.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 67)
Jawab:
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab, “Wanita yang nifas memiliki beberapa keadaan:
Pertama: Darah nifasnya berhenti sebelum sempurna 40 hari dan setelah itu sama sekali tidak keluar lagi. Maka ketika darah tersebut berhenti/tidak keluar lagi, si wanita harus mandi, puasa (bila bertepatan dengan bulan Ramadhan), dan mengerjakan shalat (bila telah masuk waktunya).
Kedua: Darah nifasnya berhenti sebelum genap 40 hari, namun beberapa waktu kemudian darahnya keluar lagi sebelum selesai waktu 40 hari. Pada keadaan ini, si wanita mandi, puasa, dan shalat di saat berhentinya darah. Namun di saat darah tersebut kembali keluar berarti ia masih dalam keadaan nifas, sehingga ia harus meninggalkan puasa dan shalat. Ia harus mengqadha puasa wajib yang ditinggalkannya sementara untuk shalat yang ditinggalkan tidak ada qadha.
Ketiga: Darahnya terus menerus keluar sampai sempurna waktu 40 hari. Maka dalam jangka waktu 40 hari tersebut, ia tidak shalat dan tidak puasa. Setelah berhenti darahnya, barulah ia mandi, puasa, dan shalat.
Keempat: Darahnya keluar sampai lewat 40 hari.
Dalam hal ini ada dua gambaran:
1. Keluarnya darah setelah 40 hari tersebut bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya, yang berarti ia haid setelah nifas. Maka ia menunggu sampai selesai masa haidnya, baru bersuci.
2. Keluarnya darah tidak bertepatan dengan kebiasaan haidnya. Maka ia mandi setelah sempurna nifasnya selama 40 hari, ia mengerjakan puasa dan shalat walaupun darahnya masih keluar.
Apabila kejadian ini berulang sampai tiga kali, yakni setiap selesai melahirkan, dari melahirkan anak yang pertama sampai anak yang ketiga misalnya, darahnya selalu keluarnya lebih dari 40 hari berarti ini merupakan kebiasaan nifasnya. Yakni masa nifasnya memang lebih dari 40 hari. Selama masa nifas yang lebih dari 40 hari itu ia meninggalkan puasa yang berarti harus dia qadha di waktu yang lain (saat suci), sementara shalat yang ditinggalkan tidak ada qadhanya.
Apabila kejadian keluarnya darah lebih dari 40 hari ini tidak berulang, yakni hanya sekali, maka darah tersebut bukanlah darah nifas tapi darah istihadhah.
Wallahu a’lam.”
Tanya: Apabila darah terus keluar dari seorang wanita yang nifas sampai lebih 40 hari, apakah si wanita dibolehkan puasa dan shalat?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Wanita yang nifas bila tetap keluar darahnya lebih dari 40 hari dalam keadaan darah tersebut tidak mengalami perubahan, maka bila kelebihan waktu tersebut bertepatan dengan masa kebiasaan haid yang pernah dialaminya (sebelum hamil), ia tidak boleh mengerjakan shalat dan puasa (karena statusnya ia sedang haid).
Namun bila tidak bertepatan dengan waktu kebiasaan haidnya yang dulu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Di antara mereka ada yang mengatakan: bila telah sempurna waktu 40 hari dari masa nifasnya, wanita tersebut mandi dan harus mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya sekalipun darah terus keluar/mengalir dari kemaluannya, karena si wanita sekarang terhitung mengalami istihadhah.
Di antara ulama ada yang berpendapat: si wanita tetap menunggu berhentinya darah sampai 60 hari, yang berarti ia masih berstatus nifas. Karena memang ada wanita yang masa nifasnya 60 hari. Ini perkara yang memang nyata, ada sebagian wanita yang kebiasaan nifasnya selama 60 hari. Berdasarkan hal ini, si wanita yang darahnya terus keluar lebih dari 40 hari tetap menanti sucinya sampai maksimal 60 hari. Selewatnya dari 60 hari, ia menganggap dirinya haid bila darah masih saja keluar dalam hitungan waktu/lama kebiasaan haidnya. Setelahnya ia mandi dan shalat walaupun darahnya masih keluar, karena kali ini ia terhitung wanita yang istihadhah.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 60-61)
NIFAS BAGI WANITA YANG MELAHIRKAN
DENGAN BEDAH CAESAR
Tanya: Sebagian wanita mengalami kesulitan dalam melahirkan kandungannya sehingga terpaksa dilakukan pembedahan yang berarti anak yang dilahirkan tidak melalui kemaluan. Apa hukumnya wanita yang mengalami kasus seperti ini dari sisi darah nifasnya? Dan apa hukum mandi mereka secara syar’i?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t menjawab, “Hukum bagi wanita yang mengalami kejadian demikian sama dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena persalinan normal. Bila ia melihat keluarnya darah dari kemaluannya, ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Bila ia tidak lagi melihat keluarnya darah maka ia mandi, mengerjakan shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 70)
DARAH YANG KELUAR
SEBELUM MELAHIRKAN
Tanya: Seorang wanita hamil keluar darah dari kemaluannya lima hari sebelum melahirkan di bulan Ramadhan. Apakah darahnya tersebut darah haid atau darah nifas? Apa yang harus dilakukan ketika itu?
Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` menjawab, “Bila perkaranya sebagaimana yang disebutkan yakni si wanita yang sedang hamil melihat keluarnya darah lima hari sebelum melahirkan:
Jika ia tidak melihat adanya tanda-tanda dekatnya saat kelahiran seperti rasa sakit karena ingin melahirkan/kontraksi, maka darah tersebut bukanlah darah haid dan bukan pula darah nifas, melainkan darah fasad (rusak) menurut pendapat yang shahih. Karenanya, ia tidak meninggalkan ibadah, tetap mengerjakan shalat dan puasa.
Apabila bersamaan dengan keluarnya darah tersebut didapatkan tanda-tanda dekatnya saat kelahiran berupa rasa sakit dan semisalnya maka darahnya itu adalah darah nifas, sehingga ia tidak mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia telah selesai/suci dari nifasnya setelah melahirkan, ia mengqadha puasanya saja.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 67)
Berilah Hadiah
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah)
Saling memberi hadiah adalah hal yang mestinya dibiasakan. Namun demikian hal itu mesti diselaraskan dengan syariat. Tidak memberikan kepada lawan jenis jika tidak aman dari fitnah. Tidak pula memberikannya karena dikaitkan dengan perayaan tertentu yang merupakan budaya non-Islam seperti ulang tahun, Valentine’s Day, dan sebagainya.
Rasulullah n pernah bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)
Hadits yang mulia di atas menunjukkan bahwa pemberian hadiah1 akan menarik rasa cinta di antara sesama manusia, karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengannya akan terwujud kebaikan dan kedekatan. Sementara agama Islam adalah agama yang mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta. Allah k berfirman:
“Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika sebelumnya (di masa jahiliah) kalian saling bermusuhan lalu ia menjinakkan (mempersaudarakan) hati-hati kalian maka kalian pun dengan nikmat-Nya menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Ali ‘Imran: 103) [Taudhihul Ahkam, 5/127, 128]
Hadiah menumbuhkan cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan kedengkian di dalam hati. Ada hadits yang datang dalam hal ini namun sangat disayangkan haditsnya lemah berikut seluruh syawahid-nya, yaitu hadits:
تَهَادُوْا، فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تَُذْهِبُ بِالسَّخِيمَةِ
“Saling menghadiahilah kalian karena sesungguhnya hadiah itu akan mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Ibnu Mandah, lihat pembahasannya dalam Irwa`ul Ghalil, 6/45, 46)
Memberi Hadiah kepada Sesama Wanita
Abu Hurairah z menyampaikan sabda Nabi n kepada para wanita:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376)
Hadits di atas berisi hasungan untuk melakukan kebajikan sebagai salah satu akhlak kaum muslimin dan muslimat, di mana merekalah yang sepantasnya mempunyai sifat yang mulia ini. Sebagaimana hadits ini juga menunjukkan keutamaan memberikan hadiah kepada sesama, dan ada keterangan tentang hak tetangga yang harus diperlakukan dengan baik. Sampai-sampai Rasulullah n berpesan kepada Abu Dzar z:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak makanan berkuah maka perbanyaklah air/kuahnya dan berikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim no. 6631)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah z di atas memberikan isyarat ditekankannya memberikan hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit/kecil, dan ditekankannya menerima pemberian/hadiah walaupun sedikit/tidak berarti. (Fathul Bari 5/244, 245)
Dalam hadits ini terdapat bimbingan:
Pertama: kepada si pemberi/pihak yang menghadiahkan, janganlah menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangganya karena menganggap kecil dan remeh hadiah yang akan diberikan. Sedikit lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Jangan ia menganggap tiada berarti apa yang ada pada dirinya. Bahkan hendaknya ia menghadiahkan apa yang mudah baginya. Karena Allah k telah berfirman:
Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat dzarrah (semut yang sangat kecil) niscaya nanti ia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah: 7)
Rasulullah n pun bersabda:
فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari no. 6539 dan Muslim no. 2345)
Perlu diketahui, maksud dari hadiah itu adalah pengaruhnya secara maknawi, bukan materi dan manfaatnya secara material semata. Sungguh yang namanya hadiah walaupun kecil/sedikit akan dapat menumbuhkan cinta dan persaudaraan.
Al-Hafizh t dalam Fathul Bari menyebutkan hadits Aisyah Ummul Mukminin x yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani:
يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ، تَهَادُوْا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ, فَإِنَّهُ يُنْبِتُ الْمَوَدَّةَ وَيُذْهِبُ الضَّغَائِنَ
“Wahai wanita-wanitanya kaum mukminin, saling menghadiahilah kalian walaupun hanya dengan sepotong kaki kambing, karena yang demikian itu akan menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan kedengkian.”
Kedua: Bagi yang dihadiahi sepantasnya menerima hadiah yang diberikan tetangganya tersebut dan jangan menganggapnya remeh. (Al-Minhaj 7/121, Fathul Bari 5/245, Subulus Salam 5/241)
Memberi Hadiah kepada Lawan Jenis
Seorang wanita dibolehkan memberi dan menerima hadiah dari laki-laki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya, dengan catatan apabila aman dari fitnah2. Hal ini tidaklah bertentangan dengan kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim tentang Ratu negeri Saba` dengan Nabi Sulaiman q. Dikisahkan, ratu ini berkata kepada kaumnya:
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (An-Naml: 35)
Ternyata hadiah dari sang ratu ditolak oleh Nabi Sulaiman q:
“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata, ‘Apakah patut kalian menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kalian, tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah kalian’.” (An-Naml: 36)
Nabi Sulaiman q menolak hadiah Ratu Saba’ karena hadiah tersebut merupakan sogokan agar Nabi Sulaiman q membiarkan keberadaan kerajaan Ratu Saba’ berikut kebiasaan mereka menyembah matahari.
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Nabi n menerima hadiah dan membalasnya, namun beliau tidak menerima sedekah. Demikian pula Nabi Sulaiman dan seluruh para nabi, shalawat Allah k atas mereka semuanya. Adapun penolakan Nabi Sulaiman q terhadap hadiah yang diberikan Balqis3 (Ratu Saba`, pent.) karena Balqis menjadikan penerimaan dan penolakan hadiah tersebut sebagai tanda terhadap apa yang ada dalam jiwanya berdasarkan apa yang kita telah sebutkan. Yakni, ia ingin menguji apakah Sulaiman seorang raja ataukah seorang nabi. Karena dalam suratnya Nabi Sulaiman q menyatakan kepada sang ratu:
“Janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 31)
Dalam perkara seperti ini tentunya tidak diterima tebusan dan tidak pula hadiah. Sehingga dalam keadaan ini bukanlah sama sekali termasuk bab/pembahasan keharusan menerima hadiah seperti yang ditetapkan oleh syariat. Namun ini merupakan sogokan dan menjual kebenaran dengan kebatilan. Ini adalah sogokan yang tidak halal (sehingga harus ditolak, pent.)….” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 13/132)
Ibnu Abbas c mengabarkan:
أَهْدَتْ خَالَتِي أُمُّ حُفَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n سَمْنًا وَأَقِطًا وَأَضُبًّا، فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَالْأَقِطِ وَتَرَكَ اْلضَّبَّ تَقَذُّرًا. وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n, وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n.
“Bibiku Ummu Hufaid menghadiahkan kepada Rasulullah n mentega, keju, dan dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pent.). Maka beliau memakan mentega dan keju serta meninggalkan (tidak memakan) dhab karena tidak suka. Dhab tersebut disantap (dihidangkan dan dimakan oleh yang lain, pent.) di atas tempat hidangan Rasulullah n. Seandainya dhab itu haram, niscaya tidak akan disantap di atas tempat hidangan Rasulullah n4.” (HR. Al-Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 5013)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang wanita memberikan hadiah kepada laki-laki dan diperkenankannya menerima hadiah tersebut.
Anas bin Malik z berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ n بِلَحْمٍ, فَقِيْلَ: تُصُدِّقَ عَلَى بَرِيْرَةٍ. قَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Didatangkan kepada Nabi n daging, lalu dikatakan, “Daging ini disedekahkan untuk Barirah.” Beliau menjawab, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.” (HR. Al-Bukhari no. 2577)
Dalam riwayat Muslim (no. 2482) disebutkan:
أَهْدَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى النَّبِيِّ n لَحْمًا تُصُدِّقَ بِهِ عَلَيْهَا, فَقَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Barirah menghadiahi Nabi n daging yang disedekahkan kepadanya. Maka Nabi mengatakan, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.”
Diberitakan oleh Abu Hurairah z:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ، سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ؟ فَإِنْ قِيْلَ: صَدَقَةٌ. قَالَ لِأَصْحَابِهِ: كُلُوْا. وَلَمْ يَأْكُلْ، وَإِنْ قِيْلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ n وَأَكَلَ مَعَهُمْ.
Biasanya Rasulullah n bila dihidangkan makanan, beliau menanyakannya, “Apakah makanan ini hadiah ataukah sedekah?” Bila dijawab, “Sedekah”, beliau mempersilakan kepada para sahabatnya, “Makanlah kalian.” Sementara beliau sendiri tidak memakannya. Bila dijawab, “Hadiah”, beliau dengan segera memakannya bersama para sahabatnya. (HR. Al-Bukhari no. 2576)
Hadits ini secara umum menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari siapa saja, baik dari wanita ataupun lelaki, dari anak kecil ataupun orang dewasa. Karena Rasulullah n ketika diberitahu bahwa makanan yang disajikan itu hadiah, beliau tidak bertanya lebih lanjut, “Dari siapakah hadiah ini? Apakah dari wanita atau lelaki?”
Kebolehan memberi dan menerima hadiah dari lawan jenis, bila aman dari fitnah, juga ditunjukkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah x ia berkata:
دَخَلَ النَّـبِيُّ n عَلَى عَائِشَةَ، فَقَالَ: عِنْدَ كُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ، إِلاَّ شَيْءٌ بَعَثَتْ بِهِ أُمُّ عَطِيَّةَ مِنَ الشَّاةِ الَّتـِي بَعَثْتَ إِلَيْهَا مِنَ الصَّدَقَةِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Nabi n masuk ke tempat Aisyah lalu bertanya, “Apa kalian punya sesuatu yang bisa dimakan?” “Tidak ada,” jawab Aisyah, “Kecuali hanya daging kambing yang dikirimkan (dihadiahkan) Ummu ‘Athiyyah yang tadinya engkau kirimkan kepadanya sebagai daging sedekah.” Beliau menjawab, “Daging itu telah sampai pada tempatnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 2579 dan Muslim no. 2487)
Tidak halal bagi Rasulullah n mengambil sedekah dan memakannya. Beda halnya dengan hadiah, beliau n menerimanya karena dihalalkan bagi beliau. Dalam hadits di atas, Rasulullah n mengajari istri beliau, Aisyah x bahwa bila sedekah itu telah diambil oleh orang yang halal/dibolehkan untuk mengambilnya, kemudian orang tersebut ternyata memberikannya kepada orang lain sebagai hadiah atau menjualnya kepada orang lain, maka telah hilang dari benda/barang tersebut hukum sedekah. Sehingga dibolehkan bagi orang yang haram mengambil/makan dari harta sedekah untuk mengambil dan memanfaatkannya. (Fathul Bari, 5/253)
Rasulullah n pernah menyuruh putri beliau Fathimah x untuk mengirimkan tirai/tabir pintunya sebagai hadiah kepada salah seorang sahabat beliau yang punya kebutuhan. Ibnu Umar c mengabarkan:
أَتَى النَّبِيُّ n بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا، وَجَاءَ عَلِيٌّ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَذَكَرَهُ لِلنَّبِيِّ، قَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا سِتْرًا مَوْشِيًّا. فَقَالَ: مَالِي وَلِلدُّنْيَا؟ فَأَتَاهَا عَلِيٌّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: لِيَأْمُرْنِي فِيْهِ بِمَا شَاءَ. قَالَ: تُرْسِلِيْ بِهِ إِلَى فُلاَنٍ، أَهْلِ بَيْتٍ فِيْهِمْ حَاجَةٌ
Nabi n datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mau masuk ke dalam rumah putrinya ini. Setelahnya datanglah Ali, maka Fathimah menceritakan hal ini kepada suaminya. Ali pun menemui Nabi n guna menanyakan sebabnya. Rasulullah n menjelaskan, “Aku melihat di atas pintu rumahnya ada tabir/tirai bergaris dengan beragam warna.” Beliau kemudian berkata, “Apa urusanku dengan dunia?” Ali menemui istrinya lalu menyampaikannya, maka Fathimah berkata, “Silakan beliau memerintahkan kepadaku sekehendak beliau sehubungan dengan tabir/tirai itu.” Rasulullah n pun memberikan bimbingan, “Hendaknya Fathimah mengirimkan tabir/tirai itu kepada si Fulan, keluarga yang punya kebutuhan6.” (HR. Al-Bukhari no. 2613)
Rasulullah n juga pernah menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi seperti dikabarkan Anas bin Malik z, ia berkata:
أَنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ n بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ, فَأَكَلَ مِنْهَا. فَقِيْلَ: أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ: لاَ. فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ n.
Seorang wanita Yahudi datang kepada Nabi n dengan membawa daging kambing yang beracun (sebagai hadiah untuk Nabi n ), beliau pun memakannya. (Ternyata kemudian diketahui daging itu beracun) maka dinyatakan kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh wanita Yahudi itu?” Rasulullah melarang, “Jangan.” Kata Anas, “Aku terus menerus mengenali daging beracun itu pada anak lidah Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim)
Sebagai akhir, yang semestinya diperhatikan dalam memberikan hadiah adalah seseorang hendaknya melihat keadaan orang yang akan diberikan hadiah agar hadiah tersebut berada pada tempat yang semestinya dan lebih bermanfaat bagi yang menerimanya. Seorang yang fakir diberikan hadiah yang bisa dimanfaatkannya dan bisa menolong penghidupan serta nafkahnya. Sementara orang yang berpunya diberi hadiah pula yang sesuai keadaannya seperti diberi minyak wangi dan semisalnya. Dengan demikian masing-masing diberikan yang sesuai dengan keadaannya. (Taudhihul Ahkam, 5/128)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Saling memberi hadiah adalah hal yang mestinya dibiasakan. Namun demikian hal itu mesti diselaraskan dengan syariat. Tidak memberikan kepada lawan jenis jika tidak aman dari fitnah. Tidak pula memberikannya karena dikaitkan dengan perayaan tertentu yang merupakan budaya non-Islam seperti ulang tahun, Valentine’s Day, dan sebagainya.
Rasulullah n pernah bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)
Hadits yang mulia di atas menunjukkan bahwa pemberian hadiah1 akan menarik rasa cinta di antara sesama manusia, karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengannya akan terwujud kebaikan dan kedekatan. Sementara agama Islam adalah agama yang mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta. Allah k berfirman:
“Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika sebelumnya (di masa jahiliah) kalian saling bermusuhan lalu ia menjinakkan (mempersaudarakan) hati-hati kalian maka kalian pun dengan nikmat-Nya menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Ali ‘Imran: 103) [Taudhihul Ahkam, 5/127, 128]
Hadiah menumbuhkan cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan kedengkian di dalam hati. Ada hadits yang datang dalam hal ini namun sangat disayangkan haditsnya lemah berikut seluruh syawahid-nya, yaitu hadits:
تَهَادُوْا، فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تَُذْهِبُ بِالسَّخِيمَةِ
“Saling menghadiahilah kalian karena sesungguhnya hadiah itu akan mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Ibnu Mandah, lihat pembahasannya dalam Irwa`ul Ghalil, 6/45, 46)
Memberi Hadiah kepada Sesama Wanita
Abu Hurairah z menyampaikan sabda Nabi n kepada para wanita:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376)
Hadits di atas berisi hasungan untuk melakukan kebajikan sebagai salah satu akhlak kaum muslimin dan muslimat, di mana merekalah yang sepantasnya mempunyai sifat yang mulia ini. Sebagaimana hadits ini juga menunjukkan keutamaan memberikan hadiah kepada sesama, dan ada keterangan tentang hak tetangga yang harus diperlakukan dengan baik. Sampai-sampai Rasulullah n berpesan kepada Abu Dzar z:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak makanan berkuah maka perbanyaklah air/kuahnya dan berikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim no. 6631)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah z di atas memberikan isyarat ditekankannya memberikan hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit/kecil, dan ditekankannya menerima pemberian/hadiah walaupun sedikit/tidak berarti. (Fathul Bari 5/244, 245)
Dalam hadits ini terdapat bimbingan:
Pertama: kepada si pemberi/pihak yang menghadiahkan, janganlah menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangganya karena menganggap kecil dan remeh hadiah yang akan diberikan. Sedikit lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Jangan ia menganggap tiada berarti apa yang ada pada dirinya. Bahkan hendaknya ia menghadiahkan apa yang mudah baginya. Karena Allah k telah berfirman:
Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat dzarrah (semut yang sangat kecil) niscaya nanti ia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah: 7)
Rasulullah n pun bersabda:
فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari no. 6539 dan Muslim no. 2345)
Perlu diketahui, maksud dari hadiah itu adalah pengaruhnya secara maknawi, bukan materi dan manfaatnya secara material semata. Sungguh yang namanya hadiah walaupun kecil/sedikit akan dapat menumbuhkan cinta dan persaudaraan.
Al-Hafizh t dalam Fathul Bari menyebutkan hadits Aisyah Ummul Mukminin x yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani:
يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ، تَهَادُوْا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ, فَإِنَّهُ يُنْبِتُ الْمَوَدَّةَ وَيُذْهِبُ الضَّغَائِنَ
“Wahai wanita-wanitanya kaum mukminin, saling menghadiahilah kalian walaupun hanya dengan sepotong kaki kambing, karena yang demikian itu akan menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan kedengkian.”
Kedua: Bagi yang dihadiahi sepantasnya menerima hadiah yang diberikan tetangganya tersebut dan jangan menganggapnya remeh. (Al-Minhaj 7/121, Fathul Bari 5/245, Subulus Salam 5/241)
Memberi Hadiah kepada Lawan Jenis
Seorang wanita dibolehkan memberi dan menerima hadiah dari laki-laki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya, dengan catatan apabila aman dari fitnah2. Hal ini tidaklah bertentangan dengan kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim tentang Ratu negeri Saba` dengan Nabi Sulaiman q. Dikisahkan, ratu ini berkata kepada kaumnya:
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (An-Naml: 35)
Ternyata hadiah dari sang ratu ditolak oleh Nabi Sulaiman q:
“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata, ‘Apakah patut kalian menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kalian, tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah kalian’.” (An-Naml: 36)
Nabi Sulaiman q menolak hadiah Ratu Saba’ karena hadiah tersebut merupakan sogokan agar Nabi Sulaiman q membiarkan keberadaan kerajaan Ratu Saba’ berikut kebiasaan mereka menyembah matahari.
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Nabi n menerima hadiah dan membalasnya, namun beliau tidak menerima sedekah. Demikian pula Nabi Sulaiman dan seluruh para nabi, shalawat Allah k atas mereka semuanya. Adapun penolakan Nabi Sulaiman q terhadap hadiah yang diberikan Balqis3 (Ratu Saba`, pent.) karena Balqis menjadikan penerimaan dan penolakan hadiah tersebut sebagai tanda terhadap apa yang ada dalam jiwanya berdasarkan apa yang kita telah sebutkan. Yakni, ia ingin menguji apakah Sulaiman seorang raja ataukah seorang nabi. Karena dalam suratnya Nabi Sulaiman q menyatakan kepada sang ratu:
“Janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 31)
Dalam perkara seperti ini tentunya tidak diterima tebusan dan tidak pula hadiah. Sehingga dalam keadaan ini bukanlah sama sekali termasuk bab/pembahasan keharusan menerima hadiah seperti yang ditetapkan oleh syariat. Namun ini merupakan sogokan dan menjual kebenaran dengan kebatilan. Ini adalah sogokan yang tidak halal (sehingga harus ditolak, pent.)….” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 13/132)
Ibnu Abbas c mengabarkan:
أَهْدَتْ خَالَتِي أُمُّ حُفَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n سَمْنًا وَأَقِطًا وَأَضُبًّا، فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَالْأَقِطِ وَتَرَكَ اْلضَّبَّ تَقَذُّرًا. وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n, وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n.
“Bibiku Ummu Hufaid menghadiahkan kepada Rasulullah n mentega, keju, dan dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pent.). Maka beliau memakan mentega dan keju serta meninggalkan (tidak memakan) dhab karena tidak suka. Dhab tersebut disantap (dihidangkan dan dimakan oleh yang lain, pent.) di atas tempat hidangan Rasulullah n. Seandainya dhab itu haram, niscaya tidak akan disantap di atas tempat hidangan Rasulullah n4.” (HR. Al-Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 5013)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang wanita memberikan hadiah kepada laki-laki dan diperkenankannya menerima hadiah tersebut.
Anas bin Malik z berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ n بِلَحْمٍ, فَقِيْلَ: تُصُدِّقَ عَلَى بَرِيْرَةٍ. قَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Didatangkan kepada Nabi n daging, lalu dikatakan, “Daging ini disedekahkan untuk Barirah.” Beliau menjawab, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.” (HR. Al-Bukhari no. 2577)
Dalam riwayat Muslim (no. 2482) disebutkan:
أَهْدَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى النَّبِيِّ n لَحْمًا تُصُدِّقَ بِهِ عَلَيْهَا, فَقَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Barirah menghadiahi Nabi n daging yang disedekahkan kepadanya. Maka Nabi mengatakan, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.”
Diberitakan oleh Abu Hurairah z:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ، سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ؟ فَإِنْ قِيْلَ: صَدَقَةٌ. قَالَ لِأَصْحَابِهِ: كُلُوْا. وَلَمْ يَأْكُلْ، وَإِنْ قِيْلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ n وَأَكَلَ مَعَهُمْ.
Biasanya Rasulullah n bila dihidangkan makanan, beliau menanyakannya, “Apakah makanan ini hadiah ataukah sedekah?” Bila dijawab, “Sedekah”, beliau mempersilakan kepada para sahabatnya, “Makanlah kalian.” Sementara beliau sendiri tidak memakannya. Bila dijawab, “Hadiah”, beliau dengan segera memakannya bersama para sahabatnya. (HR. Al-Bukhari no. 2576)
Hadits ini secara umum menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari siapa saja, baik dari wanita ataupun lelaki, dari anak kecil ataupun orang dewasa. Karena Rasulullah n ketika diberitahu bahwa makanan yang disajikan itu hadiah, beliau tidak bertanya lebih lanjut, “Dari siapakah hadiah ini? Apakah dari wanita atau lelaki?”
Kebolehan memberi dan menerima hadiah dari lawan jenis, bila aman dari fitnah, juga ditunjukkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah x ia berkata:
دَخَلَ النَّـبِيُّ n عَلَى عَائِشَةَ، فَقَالَ: عِنْدَ كُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ، إِلاَّ شَيْءٌ بَعَثَتْ بِهِ أُمُّ عَطِيَّةَ مِنَ الشَّاةِ الَّتـِي بَعَثْتَ إِلَيْهَا مِنَ الصَّدَقَةِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Nabi n masuk ke tempat Aisyah lalu bertanya, “Apa kalian punya sesuatu yang bisa dimakan?” “Tidak ada,” jawab Aisyah, “Kecuali hanya daging kambing yang dikirimkan (dihadiahkan) Ummu ‘Athiyyah yang tadinya engkau kirimkan kepadanya sebagai daging sedekah.” Beliau menjawab, “Daging itu telah sampai pada tempatnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 2579 dan Muslim no. 2487)
Tidak halal bagi Rasulullah n mengambil sedekah dan memakannya. Beda halnya dengan hadiah, beliau n menerimanya karena dihalalkan bagi beliau. Dalam hadits di atas, Rasulullah n mengajari istri beliau, Aisyah x bahwa bila sedekah itu telah diambil oleh orang yang halal/dibolehkan untuk mengambilnya, kemudian orang tersebut ternyata memberikannya kepada orang lain sebagai hadiah atau menjualnya kepada orang lain, maka telah hilang dari benda/barang tersebut hukum sedekah. Sehingga dibolehkan bagi orang yang haram mengambil/makan dari harta sedekah untuk mengambil dan memanfaatkannya. (Fathul Bari, 5/253)
Rasulullah n pernah menyuruh putri beliau Fathimah x untuk mengirimkan tirai/tabir pintunya sebagai hadiah kepada salah seorang sahabat beliau yang punya kebutuhan. Ibnu Umar c mengabarkan:
أَتَى النَّبِيُّ n بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا، وَجَاءَ عَلِيٌّ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَذَكَرَهُ لِلنَّبِيِّ، قَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا سِتْرًا مَوْشِيًّا. فَقَالَ: مَالِي وَلِلدُّنْيَا؟ فَأَتَاهَا عَلِيٌّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: لِيَأْمُرْنِي فِيْهِ بِمَا شَاءَ. قَالَ: تُرْسِلِيْ بِهِ إِلَى فُلاَنٍ، أَهْلِ بَيْتٍ فِيْهِمْ حَاجَةٌ
Nabi n datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mau masuk ke dalam rumah putrinya ini. Setelahnya datanglah Ali, maka Fathimah menceritakan hal ini kepada suaminya. Ali pun menemui Nabi n guna menanyakan sebabnya. Rasulullah n menjelaskan, “Aku melihat di atas pintu rumahnya ada tabir/tirai bergaris dengan beragam warna.” Beliau kemudian berkata, “Apa urusanku dengan dunia?” Ali menemui istrinya lalu menyampaikannya, maka Fathimah berkata, “Silakan beliau memerintahkan kepadaku sekehendak beliau sehubungan dengan tabir/tirai itu.” Rasulullah n pun memberikan bimbingan, “Hendaknya Fathimah mengirimkan tabir/tirai itu kepada si Fulan, keluarga yang punya kebutuhan6.” (HR. Al-Bukhari no. 2613)
Rasulullah n juga pernah menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi seperti dikabarkan Anas bin Malik z, ia berkata:
أَنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ n بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ, فَأَكَلَ مِنْهَا. فَقِيْلَ: أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ: لاَ. فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ n.
Seorang wanita Yahudi datang kepada Nabi n dengan membawa daging kambing yang beracun (sebagai hadiah untuk Nabi n ), beliau pun memakannya. (Ternyata kemudian diketahui daging itu beracun) maka dinyatakan kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh wanita Yahudi itu?” Rasulullah melarang, “Jangan.” Kata Anas, “Aku terus menerus mengenali daging beracun itu pada anak lidah Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim)
Sebagai akhir, yang semestinya diperhatikan dalam memberikan hadiah adalah seseorang hendaknya melihat keadaan orang yang akan diberikan hadiah agar hadiah tersebut berada pada tempat yang semestinya dan lebih bermanfaat bagi yang menerimanya. Seorang yang fakir diberikan hadiah yang bisa dimanfaatkannya dan bisa menolong penghidupan serta nafkahnya. Sementara orang yang berpunya diberi hadiah pula yang sesuai keadaannya seperti diberi minyak wangi dan semisalnya. Dengan demikian masing-masing diberikan yang sesuai dengan keadaannya. (Taudhihul Ahkam, 5/128)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ummu Kultsum Bintu “Uqbah
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Berislam di negeri Makkah dan berbai’at kepada Rasulullah n sebelum masa hijrah. Dia wanita Quraisy pertama yang hijrah setelah hijrahnya Rasulullah n ke Madinah. Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah bin Abi Mu’aith bin Abi ‘Amr bin Umayyah bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay x. Dia saudara seibu sahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan z. Ibunya bernama Arwa bintu Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay.
Tahun ketujuh hijriyah. Seorang diri dia berjalan meninggalkan tanah airnya, Makkah, dengan berjalan kaki. Sampai akhirnya dalam perjalanan dia bertemu dengan seseorang dari suku Khuza’ah yang hendak berhijrah pula. Keduanya pun terus berjalan hingga tiba di Madinah.
Kala itu adalah masa berlangsungnya Perjanjian Hudaibiyah. Di antara isi perjanjian itu, siapa pun kaum muslimin dari kalangan Quraisy yang datang bergabung dengan Rasulullah n harus dikembalikan pada pihak Quraisy. Dengan perjanjian itu, Quraisy merasa berhak menuntut kembalinya orang-orang yang hijrah kepada Rasulullah n.
Begitulah yang dialami Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x. Kepergian wanita ini disusul oleh dua orang saudaranya, Al-Walid bin ‘Uqbah dan ‘Ammarah bin ‘Uqbah. Keduanya tiba di Madinah sehari setelah kedatangan Ummu Kultsum. Mereka mendatangi Rasulullah n untuk menuntut kembalinya Ummu Kultsum.
“Wahai Muhammad, penuhi syarat kami dan apa yang telah kau janjikan pada kami!” ujar mereka berdua.
Mendengar tuntutan itu, Ummu Kultsum mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku ini seorang wanita. Sebagaimana telah kau ketahui, keadaan wanita itu lemah. Bagaimanakah engkau akan mengembalikanku pada orang-orang kafir, hingga mereka nanti menimpakan cobaan terhadap agamaku, sementara aku tidak bisa bersabar menghadapinya?”
Dari peristiwa ini Allah k turunkan ayat yang membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita muslimah, dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 10:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian wanita-wanita yang beriman, hendaklah kalian uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tak ada dosa atasmu menikahi mereka bila kalian bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali pernikahan dengan wanita-wanita kafir, dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayarkan, dan hendaknya mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Sempurna hikmah-Nya.”
Ayat ini adalah ayat ujian bagi wanita-wanita mukminah yang berhijrah. Maka Rasulullah n pun menguji Ummu Kultsum, begitu pula wanita-wanita yang datang setelahnya. Beliau mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang membuat kalian keluar untuk berhijrah kecuali kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya serta agama Islam ini. Dan kalian tidak keluar karena ingin mendapatkan suami ataupun harta.”
Apabila wanita itu menyatakan demikian, maka dia dibiarkan tetap tinggal bersama kaum muslimin dan tidak dikembalikan pada keluarga mereka yang masih kafir.
“Allah telah membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita dengan ayat yang telah kalian ketahui,” kata Rasulullah pada Al-Walid dan ‘Ammarah, kedua saudara Ummu Kultsum. Akhirnya mereka berdua kembali dengan tangan hampa.
Waktu itu, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x belum menikah. Setelah kedatangannya di Madinah, dia disunting oleh Zaid bin Haritsah z. Namun ketika turut dalam Perang Mu’tah, Zaid gugur dalam dahsyatnya medan pertempuran. Setelah itu, Ummu Kultsum menikah lagi dengan Az-Zubair ibnul ‘Awwam z. Allah menganugerahkan pada mereka seorang anak perempuan bernama Zainab.
Ternyata dalam perjalanan kehidupan mereka berdua, pernikahan ini berakhir dengan perceraian. Ummu Kultsum menikah lagi dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf z hingga lahir dua orang anak, Ibrahim dan Hamid. Ummu Kultsum tetap berada di sisi ‘Abdurrahman bin ‘Auf sampai sang suami meninggal.
Sepeninggal ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ummu Kultsum menikah dengan ‘Amr ibnul ‘Ash. Namun sebulan setelah pernikahan itu, Ummu Kultsum meninggal.
Semasa hidupnya, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x meriwayatkan hadits dari Rasulullah n. Di antaranya yang termuat dalam Ash-Shahihain, tatkala Rasulullah n bersabda, “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan di antara manusia, lalu dia mengatakan perkataan yang baik atau menyampaikan ucapan yang baik.”
Dia juga meriwayatkan dari Busrah bintu Shafwan x. Kedua putranya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibrahim dan Hamid, meriwayatkan hadits yang disampaikannya.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/462-464)
Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/593-594)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/218-220)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/382)
Berislam di negeri Makkah dan berbai’at kepada Rasulullah n sebelum masa hijrah. Dia wanita Quraisy pertama yang hijrah setelah hijrahnya Rasulullah n ke Madinah. Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah bin Abi Mu’aith bin Abi ‘Amr bin Umayyah bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay x. Dia saudara seibu sahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan z. Ibunya bernama Arwa bintu Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay.
Tahun ketujuh hijriyah. Seorang diri dia berjalan meninggalkan tanah airnya, Makkah, dengan berjalan kaki. Sampai akhirnya dalam perjalanan dia bertemu dengan seseorang dari suku Khuza’ah yang hendak berhijrah pula. Keduanya pun terus berjalan hingga tiba di Madinah.
Kala itu adalah masa berlangsungnya Perjanjian Hudaibiyah. Di antara isi perjanjian itu, siapa pun kaum muslimin dari kalangan Quraisy yang datang bergabung dengan Rasulullah n harus dikembalikan pada pihak Quraisy. Dengan perjanjian itu, Quraisy merasa berhak menuntut kembalinya orang-orang yang hijrah kepada Rasulullah n.
Begitulah yang dialami Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x. Kepergian wanita ini disusul oleh dua orang saudaranya, Al-Walid bin ‘Uqbah dan ‘Ammarah bin ‘Uqbah. Keduanya tiba di Madinah sehari setelah kedatangan Ummu Kultsum. Mereka mendatangi Rasulullah n untuk menuntut kembalinya Ummu Kultsum.
“Wahai Muhammad, penuhi syarat kami dan apa yang telah kau janjikan pada kami!” ujar mereka berdua.
Mendengar tuntutan itu, Ummu Kultsum mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku ini seorang wanita. Sebagaimana telah kau ketahui, keadaan wanita itu lemah. Bagaimanakah engkau akan mengembalikanku pada orang-orang kafir, hingga mereka nanti menimpakan cobaan terhadap agamaku, sementara aku tidak bisa bersabar menghadapinya?”
Dari peristiwa ini Allah k turunkan ayat yang membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita muslimah, dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 10:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian wanita-wanita yang beriman, hendaklah kalian uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tak ada dosa atasmu menikahi mereka bila kalian bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali pernikahan dengan wanita-wanita kafir, dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayarkan, dan hendaknya mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Sempurna hikmah-Nya.”
Ayat ini adalah ayat ujian bagi wanita-wanita mukminah yang berhijrah. Maka Rasulullah n pun menguji Ummu Kultsum, begitu pula wanita-wanita yang datang setelahnya. Beliau mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang membuat kalian keluar untuk berhijrah kecuali kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya serta agama Islam ini. Dan kalian tidak keluar karena ingin mendapatkan suami ataupun harta.”
Apabila wanita itu menyatakan demikian, maka dia dibiarkan tetap tinggal bersama kaum muslimin dan tidak dikembalikan pada keluarga mereka yang masih kafir.
“Allah telah membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita dengan ayat yang telah kalian ketahui,” kata Rasulullah pada Al-Walid dan ‘Ammarah, kedua saudara Ummu Kultsum. Akhirnya mereka berdua kembali dengan tangan hampa.
Waktu itu, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x belum menikah. Setelah kedatangannya di Madinah, dia disunting oleh Zaid bin Haritsah z. Namun ketika turut dalam Perang Mu’tah, Zaid gugur dalam dahsyatnya medan pertempuran. Setelah itu, Ummu Kultsum menikah lagi dengan Az-Zubair ibnul ‘Awwam z. Allah menganugerahkan pada mereka seorang anak perempuan bernama Zainab.
Ternyata dalam perjalanan kehidupan mereka berdua, pernikahan ini berakhir dengan perceraian. Ummu Kultsum menikah lagi dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf z hingga lahir dua orang anak, Ibrahim dan Hamid. Ummu Kultsum tetap berada di sisi ‘Abdurrahman bin ‘Auf sampai sang suami meninggal.
Sepeninggal ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ummu Kultsum menikah dengan ‘Amr ibnul ‘Ash. Namun sebulan setelah pernikahan itu, Ummu Kultsum meninggal.
Semasa hidupnya, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x meriwayatkan hadits dari Rasulullah n. Di antaranya yang termuat dalam Ash-Shahihain, tatkala Rasulullah n bersabda, “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan di antara manusia, lalu dia mengatakan perkataan yang baik atau menyampaikan ucapan yang baik.”
Dia juga meriwayatkan dari Busrah bintu Shafwan x. Kedua putranya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibrahim dan Hamid, meriwayatkan hadits yang disampaikannya.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/462-464)
Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/593-594)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/218-220)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/382)
Amanah
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Meminjam sesuatu milik teman, kakak atau adik adalah suatu hal yang lumrah terjadi pada anak-anak. Mainan, baju, buku ataupun yang lainnya. Tetapi kadangkala ini menjadi biang keributan, gara-gara barang yang dipinjam pulang dalam keadaan rusak, atau bahkan hilang tak kembali lagi. Jelas, si anak pemilik barang tak akan bisa terima, sementara si peminjam sedikit pun tak merasa terbebani dengan hal ini.
Barangkali kalau kita telusuri ujung pangkal permasalahan yang terjadi di antara anak-anak ini, kita akan menemukan keharusan dan pentingnya mengajari anak untuk memiliki sifat amanah. Mainan yang dia pinjam, barang yang dititipkan, pesan yang disampaikan, adalah amanah yang harus dia jaga sebaik-baiknya. Tak layak, bahkan terlarang disia-siakan.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Berkenaan dengan ayat ini, Al-Imam Ibnu Katsir t memberikan penjelasan dalam tafsirnya, “Allah l mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dalam hadits Al-Hasan dari Samurah z, bahwa Rasulullah n bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah itu kepadamu, dan jangan kau khianati orang yang pernah mengkhianatimu.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan)1
Hadits ini umum, meliputi amanah-amanah yang wajib ditunaikan oleh setiap orang berupa hak-hak Allah k, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar, dan yang lainnya, yang dia diberi beban untuk menunaikannya dan tidak perlu dilihat oleh hamba-hamba yang lain, maupun amanah berupa hak-hak hamba yang harus ditunaikan oleh sebagian mereka pada sebagian yang lain, seperti barang titipan dan yang lainnya yang diamanahkan oleh orang lain tanpa pengawasan secara terang-terangan. Allah k memerintahkan untuk menunaikan itu semua. Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia ini, akan diberikan hukuman di akhirat nanti, sebagaimana yang ada dalam hadits shahih, Rasulullah n bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ
“Sungguh-sungguh kalian tunaikan hak pada yang berhak menerimanya, sampai-sampai dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/245)
Termasuk di antara konsekuensi perintah untuk menunaikan amanah pada yang berhak menerimanya adalah perintah untuk menjaga amanah tersebut. Tidaklah mungkin seseorang menunaikan amanah itu tanpa menjaganya. Yang dimaksud menjaganya adalah tidak melampaui batas dan tidak pula menyepelekannya. Dia menjaganya sesempurna mungkin tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan, sampai amanah itu tertunaikan pada yang berhak menerimanya. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)
Inilah yang harus kita ketahui, kemudian kita ajarkan kepada anak-anak, agar terbentuk sifat terpuji yang dapat menambah keimanan dalam diri mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t mengatakan, “Menunaikan amanah termasuk tanda keimanan seseorang. Karena itu, jika kau dapati seseorang memiliki sifat amanah dalam segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya, menunaikannya sesempurna mungkin, ketahuilah bahwa dia seorang yang kuat imannya. Dan jika kau dapati seseorang bersifat khianat, ketahuilah bahwa dia lemah imannya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)
Jangan sampai justru kita –orangtua– yang merusak sifat amanah dan membiasakan sifat khianat pada anak-anak. Tentu kita tidak ingin anak kita memiliki sifat tercela yang merupakan perangai orang munafik. Abu Hurairah z mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: jika bicara berdusta, jika berjanji menyelisihi janjinya, dan jika diberi amanah mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)
Rasulullah n memberitakan hal ini di antaranya agar kita berhati-hati dari sifat-sifat tercela ini, karena semua sifat ini termasuk tanda kemunafikan. Dikhawatirkan sifat kemunafikan dalam amalan (nifaq ‘amali) ini akan menggiring seseorang kepada kemunafikan dalam i’tiqad (keyakinannya), wal ‘iyadzu billah! Hingga akhirnya dia menjadi seorang munafik i’tiqadi, sehingga tanpa sadar dia telah keluar dari Islam. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/736)
Lihat bagaimana seorang ibu yang mulia, Ummu Sulaim x menguatkan sifat amanah yang dimiliki oleh anaknya, Anas bin Malik z. Ini diceritakan sendiri oleh Anas bin Malik z:
أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ n وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ. قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ، فَأَبْطَأْتُ عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ n لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَدًا
“Rasulullah n pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, ‘Apa yang membuatmu terlambat?’ ‘Rasulullah n menyuruhku untuk suatu keperluan,’ jawabku. ‘Apa keperluannya?’ tanya ibuku. Aku menjawab, ‘Itu rahasia.’ Ibuku pun mengatakan, ‘Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah n kepada siapa pun!’.” (HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482)
Jangan pula kita ajarkan anak untuk membalas sikap khianat orang lain jika ternyata suatu waktu hal ini menimpa si anak. Bahkan Rasulullah n mengajarkan kita untuk tetap jujur dalam amanah yang diberikan pada kita, walaupun pemilik amanah itu adalah orang yang pernah berlaku khianat pada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Meminjam sesuatu milik teman, kakak atau adik adalah suatu hal yang lumrah terjadi pada anak-anak. Mainan, baju, buku ataupun yang lainnya. Tetapi kadangkala ini menjadi biang keributan, gara-gara barang yang dipinjam pulang dalam keadaan rusak, atau bahkan hilang tak kembali lagi. Jelas, si anak pemilik barang tak akan bisa terima, sementara si peminjam sedikit pun tak merasa terbebani dengan hal ini.
Barangkali kalau kita telusuri ujung pangkal permasalahan yang terjadi di antara anak-anak ini, kita akan menemukan keharusan dan pentingnya mengajari anak untuk memiliki sifat amanah. Mainan yang dia pinjam, barang yang dititipkan, pesan yang disampaikan, adalah amanah yang harus dia jaga sebaik-baiknya. Tak layak, bahkan terlarang disia-siakan.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)
Berkenaan dengan ayat ini, Al-Imam Ibnu Katsir t memberikan penjelasan dalam tafsirnya, “Allah l mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dalam hadits Al-Hasan dari Samurah z, bahwa Rasulullah n bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah itu kepadamu, dan jangan kau khianati orang yang pernah mengkhianatimu.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan)1
Hadits ini umum, meliputi amanah-amanah yang wajib ditunaikan oleh setiap orang berupa hak-hak Allah k, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar, dan yang lainnya, yang dia diberi beban untuk menunaikannya dan tidak perlu dilihat oleh hamba-hamba yang lain, maupun amanah berupa hak-hak hamba yang harus ditunaikan oleh sebagian mereka pada sebagian yang lain, seperti barang titipan dan yang lainnya yang diamanahkan oleh orang lain tanpa pengawasan secara terang-terangan. Allah k memerintahkan untuk menunaikan itu semua. Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia ini, akan diberikan hukuman di akhirat nanti, sebagaimana yang ada dalam hadits shahih, Rasulullah n bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ
“Sungguh-sungguh kalian tunaikan hak pada yang berhak menerimanya, sampai-sampai dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/245)
Termasuk di antara konsekuensi perintah untuk menunaikan amanah pada yang berhak menerimanya adalah perintah untuk menjaga amanah tersebut. Tidaklah mungkin seseorang menunaikan amanah itu tanpa menjaganya. Yang dimaksud menjaganya adalah tidak melampaui batas dan tidak pula menyepelekannya. Dia menjaganya sesempurna mungkin tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan, sampai amanah itu tertunaikan pada yang berhak menerimanya. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)
Inilah yang harus kita ketahui, kemudian kita ajarkan kepada anak-anak, agar terbentuk sifat terpuji yang dapat menambah keimanan dalam diri mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t mengatakan, “Menunaikan amanah termasuk tanda keimanan seseorang. Karena itu, jika kau dapati seseorang memiliki sifat amanah dalam segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya, menunaikannya sesempurna mungkin, ketahuilah bahwa dia seorang yang kuat imannya. Dan jika kau dapati seseorang bersifat khianat, ketahuilah bahwa dia lemah imannya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)
Jangan sampai justru kita –orangtua– yang merusak sifat amanah dan membiasakan sifat khianat pada anak-anak. Tentu kita tidak ingin anak kita memiliki sifat tercela yang merupakan perangai orang munafik. Abu Hurairah z mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: jika bicara berdusta, jika berjanji menyelisihi janjinya, dan jika diberi amanah mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)
Rasulullah n memberitakan hal ini di antaranya agar kita berhati-hati dari sifat-sifat tercela ini, karena semua sifat ini termasuk tanda kemunafikan. Dikhawatirkan sifat kemunafikan dalam amalan (nifaq ‘amali) ini akan menggiring seseorang kepada kemunafikan dalam i’tiqad (keyakinannya), wal ‘iyadzu billah! Hingga akhirnya dia menjadi seorang munafik i’tiqadi, sehingga tanpa sadar dia telah keluar dari Islam. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/736)
Lihat bagaimana seorang ibu yang mulia, Ummu Sulaim x menguatkan sifat amanah yang dimiliki oleh anaknya, Anas bin Malik z. Ini diceritakan sendiri oleh Anas bin Malik z:
أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ n وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ. قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ، فَأَبْطَأْتُ عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ n لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَدًا
“Rasulullah n pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, ‘Apa yang membuatmu terlambat?’ ‘Rasulullah n menyuruhku untuk suatu keperluan,’ jawabku. ‘Apa keperluannya?’ tanya ibuku. Aku menjawab, ‘Itu rahasia.’ Ibuku pun mengatakan, ‘Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah n kepada siapa pun!’.” (HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482)
Jangan pula kita ajarkan anak untuk membalas sikap khianat orang lain jika ternyata suatu waktu hal ini menimpa si anak. Bahkan Rasulullah n mengajarkan kita untuk tetap jujur dalam amanah yang diberikan pada kita, walaupun pemilik amanah itu adalah orang yang pernah berlaku khianat pada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
tali pernikahan dengan wanita-wanita kafir, dan hendaklah kalian
minta mahar yang telah kalian bayarkan, dan hendaknya mereka meminta
mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha
Sempurna hikmah-Nya.”
Ayat ini adalah ayat ujian bagi wanita-wanita mukminah yang
berhijrah. Maka Rasulullah n pun menguji Ummu Kultsum, begitu pula
wanita-wanita yang datang setelahnya. Beliau mengatakan, “Demi Allah,
tidak ada yang membuat kalian keluar untuk berhijrah kecuali kecintaan
terhadap Allah, Rasul-Nya serta agama Islam ini. Dan kalian tidak keluar
karena ingin mendapatkan suami ataupun harta.”
Apabila wanita itu menyatakan demikian, maka dia dibiarkan tetap
tinggal bersama kaum muslimin dan tidak dikembalikan pada keluarga
mereka yang masih kafir.
“Allah telah membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita dengan
ayat yang telah kalian ketahui,” kata Rasulullah pada Al-Walid dan
‘Ammarah, kedua saudara Ummu Kultsum. Akhirnya mereka berdua kembali
dengan tangan hampa.
Waktu itu, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x belum menikah. Setelah
kedatangannya di Madinah, dia disunting oleh Zaid bin Haritsah z. Namun
ketika turut dalam Perang Mu’tah, Zaid gugur dalam dahsyatnya medan
pertempuran. Setelah itu, Ummu Kultsum menikah lagi dengan Az-Zubair
ibnul ‘Awwam z. Allah menganugerahkan pada mereka seorang anak perempuan
bernama Zainab.
Ternyata dalam perjalanan kehidupan mereka berdua, pernikahan ini
berakhir dengan perceraian. Ummu Kultsum menikah lagi dengan
‘Abdurrahman bin ‘Auf z hingga lahir dua orang anak, Ibrahim dan Hamid.
Ummu Kultsum tetap berada di sisi ‘Abdurrahman bin ‘Auf sampai sang
suami meninggal.
Sepeninggal ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ummu Kultsum menikah dengan ‘Amr
ibnul ‘Ash. Namun sebulan setelah pernikahan itu, Ummu Kultsum
meninggal.
Semasa hidupnya, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x meriwayatkan hadits
dari Rasulullah n. Di antaranya yang termuat dalam Ash-Shahihain,
tatkala Rasulullah n bersabda, “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan
di antara manusia, lalu dia mengatakan perkataan yang baik atau
menyampaikan ucapan yang baik.”
Dia juga meriwayatkan dari Busrah bintu Shafwan x. Kedua putranya
dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibrahim dan Hamid, meriwayatkan hadits yang
disampaikannya.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/462-464)
Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/593-594)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/218-220)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/382)
1 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 240.
2 HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 183, dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 136. Al-Imam
Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dengan lafadz:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Sungguh-sungguh kalian akan menunaikan hak pada yang berhak
menerimanya pada hari kiamat, sampai-sampai dituntut qishash untuk
kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”
Bolehkah Menghibahkan Diri
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
“Saya ingin menghibahkan diri kepada si Fulan”, demikian keinginan yang terucap dari seorang wanita. Ungkapan seperti ini tidak hanya sekali dua kali kita mendengarnya dan dinyatakan oleh lebih dari dua, tiga wanita.
Mereka berdalil dengan para sahabiyah yang menawarkan diri mereka untuk dinikahi oleh seorang yang shalih ataupun ditawarkan oleh para wali mereka. Namun sebenarnya ungkapan “menghibahkan diri” tidaklah tepat, bahkan tidak halal bagi seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki.
Yang pantas mereka nyatakan adalah ingin menawarkan diri kepada orang shalih, dan ini dibolehkan sebagaimana pernah kami angkat dalam rubrik ini juga, pada edisi yang telah lalu.
Menghibahkan diri kepada seorang lelaki tidaklah dibolehkan karena dipahami bahwa nantinya si lelaki menikahi si wanita tanpa mahar dan tanpa wali. Yang seperti ini hanya berlaku secara khusus bagi Rasulullah n, tidak bagi umat beliau. Sebagaimana Allah k berfirman tentang hal ini ketika menyebutkan wanita-wanita yang halal dinikahi oleh Rasul-Nya n:
“Saya ingin menghibahkan diri kepada si Fulan”, demikian keinginan yang terucap dari seorang wanita. Ungkapan seperti ini tidak hanya sekali dua kali kita mendengarnya dan dinyatakan oleh lebih dari dua, tiga wanita.
Mereka berdalil dengan para sahabiyah yang menawarkan diri mereka untuk dinikahi oleh seorang yang shalih ataupun ditawarkan oleh para wali mereka. Namun sebenarnya ungkapan “menghibahkan diri” tidaklah tepat, bahkan tidak halal bagi seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki.
Yang pantas mereka nyatakan adalah ingin menawarkan diri kepada orang shalih, dan ini dibolehkan sebagaimana pernah kami angkat dalam rubrik ini juga, pada edisi yang telah lalu.
Menghibahkan diri kepada seorang lelaki tidaklah dibolehkan karena dipahami bahwa nantinya si lelaki menikahi si wanita tanpa mahar dan tanpa wali. Yang seperti ini hanya berlaku secara khusus bagi Rasulullah n, tidak bagi umat beliau. Sebagaimana Allah k berfirman tentang hal ini ketika menyebutkan wanita-wanita yang halal dinikahi oleh Rasul-Nya n:
“(Dan dihalalkan pula bagi Nabi ) wanita mukminah yang menghibahkan
dirinya kepada Nabi jika memang Nabi berkeinginan untuk menikahinya
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua kaum mukminin.”
(Al-Ahzab: 50)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari t berkata dalam tafsirnya setelah
membawakan ayat, “Allah k mengatakan: ‘Kami menghalalkan bagi Nabi,
wanita mukminah yang menghibahkan dirinya kepada beliau tanpa mahar’.”
Ibnu Jarir melanjutkan, “Firman Allah k: Allah l menyatakan bila
Nabi-Nya berkenan menikahi wanita tersebut maka hal itu halal bagi
beliau tanpa mahar, sebagai pengkhususan bagimu, yang berarti tidak
halal bagi seorang pun dari umatmu untuk mendekati wanita yang
menghibahkan dirinya kepadanya. Hukum ini hanyalah untukmu wahai
Muhammad secara khusus, yang Aku khususkan bagimu dan tidak berlaku bagi
seluruh umatmu.”
Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai kepada Qatadah
tentang firman Allah l: ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤﯥ , kata Qatadah, “Tidak boleh seorang
wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki tanpa wali dan tanpa
mahar, kecuali kepada Nabi n. Hal ini merupakan kekhususan bagi beliau
dan tidak berlaku bagi orang lain…” (Jami’ul Bayan, 10/310)
Al-Imam Al-Qurthubi t mengatakan, “Ulama sepakat tentang tidak
bolehnya seorang wanita menghibahkan dirinya. Dengan lafadz hibah ini1,
tidaklah sempurna suatu pernikahan, kecuali pendapat yang diriwayatkan
dari Abu Hanifah dan murid-muridnya. Mereka berkata, ‘Apabila seorang
wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki lalu si lelaki
mempersaksikan bahwa dirinya akan memberikan mahar kepada si wanita maka
hal ini dibolehkan’.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 14/136)
Asy-Syaukani t menambahkan, “Adapun bila tanpa mahar maka tidak ada
perbedaan pendapat bahwa hal itu khusus bagi Nabi n.” (Fathul Qadir,
4/350)
Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya’bi, dan selain mereka, semuanya
menyatakan bila ada seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang
lelaki maka kapan lelaki itu masuk berduaan (dukhul) dengan si wanita,
wajib baginya menyerahkan mahar yang biasa diterima oleh wanita
semisalnya. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/273)
Sebagaimana Rasulullah n pernah menetapkan hal ini kepada Barwa’
bintu Wasyiq, istri Hilal bin Murrah Al-Asyja’i. Barwa’ ini menghibahkan
dirinya kepada Hilal yang kemudian menikahinya tanpa menyebutkan adanya
mahar. Namun Hilal meninggal sebelum sempat menggauli istrinya, maka
Rasulullah n menetapkan mahar untuk Barwa’ dengan mahar yang biasa
diterima oleh wanita semisalnya. (Al-Isti’ab fi Asma`il Ashhab 2/491,
Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, 8/49)
Adapun bila seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi n maka
tidak ada sesuatu pun yang wajib beliau berikan kepada si wanita
sekalipun beliau sampai dukhul dengannya. Karena beliau boleh menikah
tanpa mahar, tanpa wali, dan tanpa saksi-saksi sebagaimana yang terjadi
dalam kisah pernikahan/dukhulnya beliau dengan Zainab bintu Jahsyin x
seperti yang dikisahkan Anas bin Malik z:
لمَاَّ انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n لِزَيْدٍ:
فَاذْكُرْهَا عَلَيَّ. قَالَ: فَانْطَلَقَ زَيْدٌ حَتَّى أَتَاهَا وَهِيَ
تُخَمِّرُ عَجِيْنَهَا. قَالَ: فَلَمَّا رَأَيْتُهَا عَظُمَتْ فِي
صَدْرِيْ، حَتَّى مَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَنْظُرَ إِلَيْهَا أَنَّ رَسُوْلَ
الله n ذَكَرَهَا، فَوَلَّيْتُهَا ظَهْرِيْ وَنَكَصْتُ عَلَى عَقِبِيْ،
فَقُلْتُ: يَا زَيْنَبُ، أَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ n يَذْكُرُكِ. قَالَتْ:
مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أُوَامِرَ رَبِّي. فَقَامَتْ إِلَى
مَسْجِدِهَا، وَنَزَلَ الْقُرْآنُ، وَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ n فَدَخَلَ
عَلَيْهَا بِغَيْرِ إِذْنٍ
Tatkala selesai masa iddahnya Zainab, Rasulullah n berkata kepada
Zaid, “Pinangkan dia untukku dengan menyampaikan langsung kepadanya.”
Anas berkata, “Pergilah Zaid hingga datang ke tempat Zainab yang ketika
itu sedang memberi ragi adonan rotinya. Kata Zaid, “Ketika aku
melihatnya, terasa agungnya dia dalam dadaku2, sampai-sampai aku tidak
mampu memandangnya dikarenakan Rasulullah n menyebut dirinya (ingin
menikahinya). Aku pun membelakanginya dengan punggungku dan mundur ke
belakang3. Aku katakan, “Wahai Zainab! Rasulullah n mengutusku untuk
melamarmu.” Zainab menjawab, “Aku tidak akan melakukan apa-apa sampai
aku beristikharah dengan Rabbku.” Zainab pun bangkit menuju ke tempat
shalatnya dan ayat Al-Qur`an turun4. Rasulullah n datang lalu masuk
menemui Zainab tanpa meminta izin.” (HR. Muslim no. 3488)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menyinggung kekhususan hukum ini
untuk Nabi n menyatakan, “Wanita yang pernah menghibahkan dirinya kepada
Nabi n banyak. Sebagaimana kata Al-Imam Al-Bukhari: ‘Telah menyampaikan
kepada kami Zakariya bin Yahya, ia berkata: Telah menyampaikan kepada
kami Abu Usamah, ia berkata: ‘Telah menyampaikan kepada kami Hisyam bin
Urwah, dari bapaknya, dari Ummul Mukminin Aisyah x, ia berkata:
“Aku merasa cemburu dengan para wanita yang menghibahkan diri
mereka kepada Nabi n5 sampai aku berkata, “Apakah pantas wanita
menghibahkan dirinya (tidak malu)?” Maka tatkala Allah l menurunkan
ayat: “Engkau boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau kehendaki
di antara istri-istrimu dan boleh pula menggauli siapa yang engkau
kehendaki. Dan siapa-siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali
dari wanita yang telah engkau tolak/tinggalkan maka tidak ada dosa
bagimu.”6
Aku berkata, “Tidaklah aku memandang Rabbmu kecuali mengadakan apa
yang engkau inginkan tanpa menundanya dan menurunkan ketentuan yang
engkau sukai dan engkau pilih7.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/272)
Namun dari sekian banyak wanita yang menghibahkan dirinya kepada
Nabi n, tidak satu pun dari mereka yang beliau terima. Ini ditunjukkan
dalam hadits Simak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas c, ia berkata:
لَـمْ يَكُنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ n امْرَأَةً وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَهُ
“Tidak ada di sisi Rasulullah n wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ath-Thabari dan sanadnya hasan. Maksud hadits di atas, Rasulullah n
tidak dukhul dengan seorang pun dari wanita-wanita yang menghibahkan
dirinya kepada beliau. Walaupun sebenarnya hal itu dibolehkan bagi
beliau, karena perkaranya kembali kepada iradah/keinginan beliau. Ini
berdasarkan firman Allah l:
“…Jika memang Nabi berkeinginan untuk menikahinya….” (Fathul Bari, 8/667)
Ayat ke-50 dari surah Al-Ahzab di atas, Allah k tutup dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki,
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 50)
Ibnu Ka’b, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Jarir berkata
tentang firman Allah l di atas, “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa
yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri”, yakni dibatasi
bagi mereka untuk memiliki empat istri dari kalangan wanita merdeka
ditambah budak-budak wanita yang mereka inginkan berikut pensyariatan
wali, mahar, dan saksi-saksi dalam pernikahan mereka. Ini berlaku bagi
umatmu. Adapun engkau, Kami berikan rukhshah/keringanan/kekhususan
sehingga Kami tidak wajibkan bagimu sesuatu pun dari perkara tersebut,
“Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/273)
Demikianlah, semoga menjadi kejelasan bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Maksudnya bila misalnya seorang wanita mengatakan, “Aku
menghibahkan diri kepada si Fulan”, lalu si Fulan menjawab, “Saya
menerima wanita yang menghibahkan dirinya tersebut sebagai istri.”
2 Zaid segan dan memandang mulia kepada Zainab karena Nabi n ingin memperistrinya.
3 Zaid datang kepada Zainab untuk menyampaikan pinangan Rasulullah n
dalam keadaan ia melihat Zainab sebagaimana kebiasaan mereka, karena
hal ini terjadi sebelum turun perintah berhijab. Ketika rasa segan
menguasainya, Zaid pun mundur dan menyampaikan pinangan Rasulullah n
dalam keadaan memunggunginya agar ia tidak melihat Zainab. (Al-Minhaj,
9/229)
4 Yaitu ayat:
“Maka tatkala Zaid telah menyelesaikan keperluannya terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami menikahkannya denganmu (setelah habis
masa iddahnya, pent.)…” (Al-Ahzab: 37)
Rasulullah n kemudian masuk menemui Zainab x tanpa meminta izin
karena Allah l telah menikahkan Zainab x dengan beliau dengan ayat ini.
(Al-Minhaj, 9/230)
5 Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t, “Zahir kalimat ini
menunjukkan bahwa wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi n itu
lebih dari satu.” (Fathul Bari, 8/667)
6 Al-Ahzab: 51
7 HR. Al-Bukhari no. 4788
Penetapan Awal Ramadhan dan 1 Syawal
(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.)
Ma’asyiralmuslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa memuji Allah l atas keagungan dan
kesempurnaan-Nya. Kita senantiasa memuji-Nya baik dalam keadaan suka
maupun duka. Karena kita semua adalah makhluk yang lemah dan Dialah
satu-satunya yang Maha Kuasa. Tidak ada daya dan upaya yang bisa kita
lakukan kecuali dengan sebab pertolongan-Nya. Maka, kewajiban kita
adalah senantiasa memuji-Nya dan bertakwa kepada-Nya serta mensyukuri
berbagai nikmat yang telah Allah l karuniakan kepada kita.
Hadirin rahimakumullah,
Di antara nikmat Allah l yang sangat besar yang telah dikaruniakan
kepada kita adalah nikmat kemudahan yang telah Allah l tetapkan pada
aturan-aturan-Nya. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya:
“Tidaklah Allah hendak menyulitkan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Begitu pula sebagaimana disebutkan oleh Nabi n di dalam sabdanya:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama Islam adalah mudah. Dan tidaklah seorangpun
yang memberat-beratkan diri dalam agama ini kecuali dia sendiri yang
akan terkalahkan olehnya.” (HR. Al-Bukhari)
Hadirin rahimakumullah,
Di antara bentuk kemudahan yang telah Allah l tetapkan di dalam
syariat-Nya adalah telah ditentukannya waktu untuk memulai dan
mengakhiri ibadah dengan tanda-tanda yang jelas serta bisa diketahui
oleh keumuman orang. Termasuk dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan
cara menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal. Nabi n bersabda:
صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan beridul fitrilah
kalian karena melihat hilal, namun apabila kalian terhalang dari
melihatnya maka sempurnakanlah bulan menjadi tigapuluh hari.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini, kita mengetahui betapa mudahnya syariat yang
telah Allah l tetapkan untuk menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan.
Sehingga aturannya bisa dilakukan oleh keumuman kaum muslimin. Yaitu
ditetapkan dengan cara melihat hilal atau kalau tidak terlihat maka
menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya’ban
menjadi tigapuluh hari. Oleh karenanya, wajib bagi kaum muslimin untuk
menjalankan syariat ini dan tidak boleh bagi siapapun dari kaum muslimin
untuk membuat aturan yang baru dalam menetapkan awal Ramadhan atau satu
Syawal. Barangsiapa menggunakan cara selain dengan dua cara tersebut,
maka dia telah mengada-adakan syariat yang baru di dalam agama Islam.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Namun sungguh sangat disayangkan, ternyata ada di antara kaum
muslimin yang membuat cara baru yaitu dengan menggunakan hisab untuk
menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal. Bahkan mereka menganggap bahwa
cara yang baru tersebut lebih baik dan sesuai dengan kemajuan yang
berkembang di zaman ini. Anggapan tersebut menunjukkan bahwa mereka
kurang memahami sifat dari agama ini. Yaitu bahwa syariat yang Allah l
turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia, nabi kita Muhammad n adalah
syariat yang berlaku untuk selamanya sampai hari kiamat dan sempurna
serta berlaku untuk seluruh makhluk-Nya dari kalangan manusia dan jin.
Sehingga kewajiban kita tidak lain adalah menerima dan menjalankan
syariat ini sebagaimana dimaukan Allah l dan Rasul-Nya. Al-Imam Muhammad
bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri t sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam
Bukhari t dalam Shahih-nya mengatakan:
مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الرِّسَالَةُ وَعَلَى رَسُوْلِ اللهِ الْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا التَّسْليْمُ
“Dari Allah k datangnya syariat, kewajiban Rasulullah n adalah menyampaikannya, dan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Hadirin rahimakumullah,
Kita tidak memungkiri, bahwa ilmu hisab merupakan ilmu yang
memiliki manfaat. Akan tetapi menjadikan ilmu hisab sebagai alat untuk
menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan merupakan kesalahan besar dan
telah mendudukkan ilmu tersebut tidak pada tempatnya. Karena berpuasa
bulan Ramadhan merupakan ibadah yang telah ditetapkan waktunya dan cara
menetapkan waktunya. Bahkan caranya sebagaimana telah dijelaskan Nabi n
adalah cara yang sangat mudah dan sesuai dengan kemudahan yang telah
Allah l tetapkan terhadap agama ini. Adapun ilmu hisab di samping tidak
ditetapkan oleh syariat Islam sebagai cara untuk menetapkan awal dan
akhir bulan Ramadhan, juga tidak sesuai dengan kemudahan yang telah
Allah l tetapkan atas syariat-Nya. Karena ilmu ini hanya diketahui oleh
segelintir orang, itupun dalam keadaan mereka berbeda-beda metode dalam
menggunakan ilmu tersebut.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah l,
Sebagian mereka ada yang beranggapan bahwa ilmu hisab lebih teliti
untuk mengetahui munculnya hilal. Terlebih pada zaman teknologi sekarang
ini, menurut pandangan mereka ilmu hisab telah mengalami perkembangan
yang telah sampai pada puncaknya. Bahkan sebagian mereka menganggap
bahwa orang yang tetap menggunakan ru`yatul hilal dan tidak mau
menggunakan ilmu hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal
diibaratkan seperti orang yang memilih naik onta daripada kendaraan roda
empat di masa ini. Tentu saja ini adalah anggapan yang sangat salah.
Bahkan bisa menyeret kepada pelecehan terhadap sunnah.
Jamaah jum’at rahimakumullah,
Perlu diketahui, bahwa Allah l telah mengetahui apa yang akan
terjadi dari perkembangan ilmu hisab ini. Namun Allah l telah menetapkan
bahwa bukan dengan ilmu ini awal bulan Ramadhan dan Syawal ditetapkan.
Begitu pula perlu diketahui bahwa masalahnya bukan sekadar teliti atau
tidak teliti, akan tetapi sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi
n, masalahnya adalah terlihat hilal atau tidak terlihat. Kalau hilal
terlihat maka ditetapkan awal bulan Ramadhan dengannya dan apabila tidak
terlihat maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari.
Demikianlah petunjuk Nabi n dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
beliau n. Sehingga seorang muslim tentunya tidak ingin mengganti
sebaik-baik petunjuk dengan metode lainnya, sehebat apapun pandangan
akal manusia terhadap metode tersebut. Allah l berfirman:
“Apakah kalian mau mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)
Oleh karena itu, seandainya terjadi ketidaktepatan dalam memulai
bulan Ramadhan, namun kaum muslimin telah berusaha menetapkannya sesuai
dengan petunjuk Rasul n yaitu dengan melihat hilal (ru’yatulhilal), maka
mereka tidak berdosa, meskipun wajib baginya untuk mengganti hari puasa
yang ditinggalkannya di luar bulan Ramadhan. Adapun orang-orang yang
menetapkan awal bulan Ramadhan dengan hisab, meskipun mungkin mereka
tepat dalam memulai Ramadhan, namun mereka adalah orang-orang yang
terjatuh pada kesalahan karena mereka menetapkannya dengan cara baru
yang tidak disyariatkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mengatakan:
“Orang yang bersandar dengan ilmu hisab untuk menetapkan hilal
(awal Ramadhan) di samping dia adalah orang yang tersesat dalam
(memahami) syariat, (yaitu sebagai) seorang yang mengada-adakan syariat
baru dalam agama, dia juga orang yang salah secara akal.” (Majmu’
Fatawa, 25/207)
Hadirin rahimakumullah,
Sebagian mereka juga menyebutkan beberapa alasan lain untuk
membenarkan keyakinannya yang bertentangan dengan petunjuk Nabi n
tersebut. Namun semua alasan yang digunakan untuk membenarkan penetapan
awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab tidak dibangun di atas
ilmu dan bimbingan para ulama. Sebagian mereka menggunakan ayat yang
dipaksakan maknanya untuk menunjukkan apa yang mereka yakini. Padahal
tidak ada dari kalangan para sahabat dan para ulama setelahnya yang
memahami ayat tersebut seperti pemahaman mereka. Maka, di atas mimbar
ini kami mengajak kepada hadirin untuk jujur dan bersungguh-sungguh
dalam mengikuti agama ini. Tidak mendahulukan akal dan anggapan baik
pendapat siapapun apabila bertentangan dengan syariat Allah l.
نَفَعَنِيَ اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِهَدْيِ كِتَابِه أَقُوْلُ مَا
تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ
الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ
اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah kedua:
الحَمْدُ ِللهِ مُقَدِّرُ الْمَقْدُوْرِ وَمُصَرِّفُ اْلأَيَّامِ
وَالشُّهُوْرِ، وَ أَحْمَدُهُ عَلَى جَزِيْلِ نِعَمِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ
الشَّكُوْرُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيْرٍ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الْبَشِيْرُ النَّذِيْرُ وَالسِّرَاجُ الْمُنِيْرُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى
الْبَعْثِ وَالنُّشُوْرِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Puasa Ramadhan dan Iedul Fitri adalah ibadah yang sifatnya harus
dijalankan secara bersama-sama, sebagaimana yang telah disebutkan oleh
Nabi n dalam sabdanya:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُنَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa dan iedul Fitri
adalah hari ketika kalian semua berbuka (yaitu pada hari iedul Fitri)
dan Iedul Adh-ha adalah hari ketika kalian semua menyembelih hewan
kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk berusaha mewujudkan
suasana kebersamaan dan menghindari suasana bercerai-berai dalam
pelaksanakan ibadah ini. Walaupun memang benar ada perbedaan pendapat di
kalangan para ulama berkaitan dengan masalah memulai awal Ramadhan.
Yaitu apabila ada suatu negara yang telah melihat hilal apakah berarti
seluruh negara yang lainnya harus mengikuti negara tersebut dalam
memulai Ramadhan ataukah tidak. Namun demikian, para ulama menasihatkan
kepada seluruh kaum muslimin untuk mendahulukan kebersamaan dan tidak
sendiri-sendiri dalam pelaksanaan ibadah ini. Mereka, para ulama
menasihatkan agar kaum muslimin bersama-sama dalam memulai Ramadhan dan
mengakhirinya.
Hadirin rahimakumullah,
Untuk menciptakan suasana persatuan dan kebersamaan dalam
menjalankan puasa Ramadhan dan iedul Fitri ini, sebagaimana telah
dinasihatkan oleh para ulama, caranya tidak lain dengan menyerahkan
keputusan awal Ramadhan atau Iedul Fitri kepada pemerintah. Hal ini di
antaranya sebagaimana yang disebutkan para ulama di negara Saudi Arabia
yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah, mereka berfatwa: “… Maka jika
terjadi perselisihan di antara mereka (kaum muslimin), kewajiban mereka
adalah mengikuti keputusan penguasa di negaranya apabila dia seorang
muslim, karena keputusan penguasa dengan menetapkan salah satu dari dua
perbedaan akan menghilangkan perselisihan tersebut….” (Fatawa Al-Lajnah
jilid 8 no. 388).
Oleh karena itu kewajiban kaum muslimin terutama yang telah
berpengalaman dalam melihat hilal adalah berusaha untuk bersama-sama
melihat hilal kemudian menyerahkan hasilnya kepada pemerintah.
Selanjutnya mereka semua menunggu hasil keputusan pemerintah dalam
menetapkan awal Ramadhan dan Iedul Fitri. Yang demikian inilah yang
sesuai dengan petunjuk Nabi n.
Akhirnya mudah-mudahan Allah l senantiasa memberikan taufik-Nya
kepada kita dan pemerintah kita serta seluruh kaum muslimin untuk
berpegang teguh di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Mudah-mudahan kita diberi taufik oleh
Allah l untuk bisa mengisi bulan Ramadhan yang akan datang sesuai dengan
tuntunan Rasulullah n sehingga lebih baik dari bulan-bulan Ramadhan
sebelumnya yang telah berkali-kali mendatangi kita.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ
الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لـَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْـمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ
الشِّرْكَ وَالْـمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ
الْـمُسْلِمينَ في كُلِّ مَكانٍ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْـحَمْدُ لِلهِ
رَبِّ العَالَمِيْنَ
Menshalati Mayit yang Dahulu Tidak Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t ditanya tentang menyolati seorang
mayit yang dahulunya (semasa hidupnya) tidak melakukan shalat. Apakah
dengan itu seseorang mendapatkan pahala atau tidak? Apakah seseorang
berdosa bila meninggalkannya, sementara dia tahu bahwa dahulu si mayit
tidak shalat? Demikian pula mayit yang dahulunya meminum khamr dan tidak
shalat, bolehkah bagi yang mengetahui keadaannya untuk menyolatinya?
Jawab:
Seseorang yang menampakkan keislaman maka berlaku padanya hukum-hukum Islam yang zhahir (tampak), semacam pernikahan, warisan, dimandikan dan dishalati, dan dikuburkan di pekuburan muslimin, dan yang semacamnya.
Adapun yang mengetahui adanya kemunafikan dan kezindiqan1 pada dirinya (mayit), dia tidak boleh menyolatinya, walaupun si mayit (dahulunya) menampakkan keislaman. Karena Allah l melarang Nabi-Nya n untuk menyolati orang-orang munafik. Firman-Nya:
1 Yakni misalnya dia mencela Islam, atau menghina sebagian ajarannya semacam shalat, puasa, atau yang lain. (–pent.)
Jawab:
Seseorang yang menampakkan keislaman maka berlaku padanya hukum-hukum Islam yang zhahir (tampak), semacam pernikahan, warisan, dimandikan dan dishalati, dan dikuburkan di pekuburan muslimin, dan yang semacamnya.
Adapun yang mengetahui adanya kemunafikan dan kezindiqan1 pada dirinya (mayit), dia tidak boleh menyolatinya, walaupun si mayit (dahulunya) menampakkan keislaman. Karena Allah l melarang Nabi-Nya n untuk menyolati orang-orang munafik. Firman-Nya:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang
mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di
kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu
mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka.”
(Al-Munafiqun: 6)
Adapun yang menampakkan kefasikan bersamaan dengan adanya iman pada
dirinya, seperti para pelaku dosa besar, maka sebagian muslimin tetap
diharuskan menyolati (jenazah) mereka. Tapi (bila) seseorang tidak
menyolatinya dalam rangka memperingatkan orang-orang yang semacamnya
dari perbuatan seperti itu, sebagaimana Nabi n tidak mau menyolati
seseorang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan perang
sebelum dibagi, serta yang mati meninggalkan hutang dan tidak memiliki
(sesuatu) untuk membayarnya, juga sebagaimana dahulu banyak dari
kalangan salaf (pendahulu) berhalangan untuk menyolati ahli bid’ah, maka
pengamalannya terhadap sunnah ini bagus.
Dahulu putra Jundub bin Abdillah Al-Bajali berkata kepada ayahnya:
“Aku semalam tidak dapat tidur karena kekenyangan.” Jundub z mengatakan:
“Seandainya kamu mati maka aku tidak mau menyolatimu.” Seolah Jundub
mengatakan: “Kamu bunuh dirimu dengan kebanyakan makan.”
Yang semacam ini sejenis dengan pemboikotan terhadap orang-orang
yang menampakkan dosa besar agar mereka mau bertaubat. Bila perlakuan
semacam ini membuahkan maslahat yang besar maka sikap itu baik.
Barangsiapa tetap menyolatinya dengan mengharapkan rahmat Allah l
untuknya, sementara jika dia tidak menyolatinya juga tidak ada maslahat
yang besar, maka sikap yang demikian juga baik.
Atau, seandainya dia menampakkan bahwa dia tidak mau menyolatinya
namun tetap mendoakannya walaupun tidak menampakkan doanya –untuk
menggabungkan dua maslahat– maka memadu dua maslahat lebih baik daripada
meninggalkan salah satunya.
Orang yang tidak diketahui kemunafikannya sedangkan dia adalah
seorang muslim, boleh memintakan ampunan untuknya. Bahkan itu
disyariatkan dan diperintahkan. Sebagaimana firman Allah l:
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Semua orang yang menampakkan dosa besar, boleh dihukum dengan
diboikot dan cara yang lain, sampai pada mereka yang bila di-hajr
(boikot) akan mengakibatkan maslahat yang besar. Sehingga dihasilkanlah
maslahat yang syar’i dalam sikap tersebut semampu mungkin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t ditanya tentang seseorang yang
terkadang shalat, tetapi banyak meninggalkan atau tidak shalat. Apakah
(bila mati) dia dishalati?
Jawab:
Terhadap orang yang seperti ini, kaum muslimin tetap menyolatinya.
Bahkan kaum munafik yang menyembunyikan kemunafikannya, kaum muslimin
tetap menyolati dan memandikannya, dan diterapkan atasnya hukum-hukum
Islam, sebagaimana kaum munafik di zaman Nabi n.
Bila mengetahui kemunafikannya, maka ia tidak boleh menyolatinya.
Sebagaimana Nabi n dilarang menyolati orang yang beliau ketahui
kemunafikannya. Adapun seseorang yang dia ragukan keadaannya, maka
diperbolehkan menyolatinya bila ia menampakkan keislamannya. Sebagaimana
Nabi n menyolati orang yang beliau n belum dilarang untuk menyolatinya.
Di antara mereka ada yang belum beliau ketahui kemunafikannya,
sebagaimana Allah l firmankan:
“Di antara orang-orang Arab badui yang di sekelilingmu itu, ada
orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka
keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka.” (At-Taubah: 101)
Terhadap orang yang semacam mereka tidak boleh dilarang untuk
menyolatinya. namun shalat Nabi n dan kaum mukminin terhadap orang
munafik tidak bermanfaat untuknya. Sebagaimana Nabi n berkata ketika
memakaikan gamisnya kepada Ibnu Ubai (seorang munafik): “Dan tidak akan
bermanfaat gamisku untuk menolongnya dari hukuman Allah.” Allah l juga
berfirman:
“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu
mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka.”
(Al-Munafiqun: 6)
Orang yang terkadang meninggalkan shalat dan yang sejenisnya, yang
menampakkan kefasikan, bila para ulama meng-hajr (memboikot) nya dan
tidak menyolatinya akan membuahkan manfaat bagi muslimin –di mana hal
itu akan menjadi pendorong mereka untuk menjaga shalat– maka hendaknya
mereka memboikotnya dan tidak menyolatinya. Sebagaimana Nabi n tidak mau
menyolati orang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan
perang, serta orang yang mati meninggalkan hutang dan tidak ada yang
untuk melunasinya. Orang ini (yang meninggalkan shalat) lebih jelek dari
mereka.
(Majmu’ Fatawa, 24/285-288)
1 Yakni misalnya dia mencela Islam, atau menghina sebagian ajarannya semacam shalat, puasa, atau yang lain. (–pent.)
Al-Jawwad
(dituis okeh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)
Di antara Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jawwad (الْجَــوَّادُ) Yang Maha Dermawan. Nama Allah l ini tersebut dalam sebuah hadits dari Thalhah bin Ubaidillah z, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ وَيُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah itu Jawwad (Maha Dermawan) mencintai kedermawanan dan mencintai akhlak yang luhur, serta membenci akhlak yang rendah.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dan Asy-Syasyi dalam Musnad-nya, 1/80, Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas c dalam Hilyatul Auliya. Asy-Asyaikh Al-Albani t menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir no. 1744)
Dalam hadits yang lain, hadits qudsi:
وَلَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَحَيَّكُمْ وَمَيِّتَكُمْ وَرَطْبَكُمْ وَيَابِسَكُمُ اجْتَمَعُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْكُمْ مَا بَلَغَتْ أُمْنِيَّتُهُ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ سَائِلٍ مِنْكُمْ ما سَأَلَ ما نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي إِلاَّ كَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ مَرَّ بِالْبَحْرِ فَغَمَسَ فِيْهِ إِبْرَهُ ثُمَّ رَفَعَهَا إِلَيْهِ، ذَلِكَ بِأَنِّيْ جَوَّادٌ مَاجِدٌ أَفْعَلُ ما أُرِيدُ، عَطَائِي كَلَامٌ وَعَذَابِي كَلَامٌ، إِنَّمَا أَمْرِي لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْتُهُ أَنْ أَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Dan seandainya yang pertama di antara kalian (hamba-hamba-Ku) hingga yang akhir di antara kalian yang hidup dan yang mati di antara kalian, yang basah maupun yang kering di antara kalian, berkumpul dalam satu hamparan. Lantas setiap orang di antara kalian meminta sesuatu hingga akhir yang dia angan-angankan, lalu Aku beri semuanya apa yang dia minta, maka itu tidak akan mengurangi sebagianpun dari kerajaan-Ku kecuali seperti jika seseorang di antara kalian melewati sebuah lautan lalu mencelupkan jarumnya ke dalamnya lalu mengangkatnya lagi. Hal itu karena Aku adalah Jawwad (Maha Dermawan) Maha Mulia. Aku berbuat semauku, pemberian-Ku adalah ucapan (tinggal mengucap) dan azab-Ku adalah ucapan (tinggal mengucap). Sesungguhnya perintah-Ku terhadap sesuatu adalah bila Aku menghendakinya tinggal mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’ maka akan terjadi.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari sahabat Abu Dzar z, Kitab Shifatul Qiyamah bab 48 no. hadits 2495, lihat takhrijnya dalam kitab Al-Mathlabul Asna min Asma`illahil Husna hal. 50 karya Isham Al-Murri)
Ibnul Qayyim t mengatakan:
Dialah Yang Maha Dermawan,
meliputi seluruh alam dengan keutamaan dan kebaikan-Nya
Dialah Yang Maha Dermawan,
tidak akan menelantarkan siapa yang memohon-Nya sekalipun dari umat yang kafir
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras t menerangkan:
“Al-Jawwad adalah Yang memiliki sifat kedermawanan yang tinggi, yaitu memiliki kebaikan dan keutamaan yang banyak. Kedermawanan Allah l itu ada dua macam:
1. Kedermawanan yang mutlak, mencakup seluruh makhluk. Tidak ada sesuatupun dari makhluk melainkan memperolehnya. Semuanya telah Allah l beri karunia dan kebaikan dari-Nya.
2. Kedermawanan yang khusus untuk mereka yang memohon kepada Allah l, baik mereka meminta secara terus terang dengan ucapan atau dengan kondisi mereka yang mengharapkan kebaikan-Nya, baik yang meminta tersebut seorang mukmin atau seorang kafir, seorang yang baik ataupun yang jahat. Maka barangsiapa yang meminta kepada Allah l dengan sungguh-sungguh dalam meminta-Nya, benar-benar mengharap karunia-Nya, dengan merasa hina dan butuh di hadapan-Nya, niscaya Allah l akan berikan apa yang ia pinta dan Allah l akan sampaikan apa yang dia cari. Karena Dia Maha banyak kebaikan-Nya dan Maha Kasih Sayang…” (Syarh Nuniyyah, 2/95-96)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menjelaskan:
“Al-Jawwad yakni bahwa Allah l adalah Yang Maha Dermawan secara mutlak. Kedermawanan-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Allah l penuhi alam dengan keutamaan dan kedermawanan-Nya serta nikmat-Nya yang beraneka ragam. Allah l juga memberikan kedermawanan-Nya yang lebih khusus kepada orang-orang yang memohon kepada-Nya baik secara langsung dengan kata-kata ataupun (secara tidak langsung) dengan keadaannya. Baik dia seorang yang baik, yang jahat, muslim maupun kafir sekalipun. Maka barangsiapa yang memohon kepada Allah l, Ia akan memberikan apa yang dia mohon, menyampaikan apa yang dia pinta, karena Ia Maha Pemurah dan Maha Pengasih….” (Taisir Al-Karimirrahman, pada penjelasan surat An-Nahl: 53)
Di antara kedermawanan-Nya yang luas adalah apa yang Allah l sediakan untuk para wali-Nya di negeri kenikmatan. Sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Dan Yang Maha Dermawan adalah yang meratakan kedermawanan-Nya kepada seluruh penduduk langit dan bumi. Tidak ada pada seorang hambapun dari suatu nikmat melainkan dari-Nya. Dialah yang bila kecelakaan menimpa manusia, kepada-Nyalah mereka kembali, kepada-Nya mereka berdoa. Tidak satu makhlukpun lepas dari kebaikan-Nya walau sekejap mata. Akan tetapi hamba-hamba-Nya berbeda dalam memperoleh kedermawanan-Nya, seukuran dengan apa yang Allah l karuniakan kepada mereka berupa sebab-sebab yang mendatangkan kedermawanan dan kemurahan-Nya. Dan yang terbesarnya adalah berupa kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah l secara lahiriah dan amal batin. Juga amal berupa ucapan, perbuatan, dan amal dengan harta benda, serta untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti Nabi Muhammad n dalam berbuat atau diam. (Tafsir Asma`illah Al-Husna)
Buah Mengimani Nama Allah Al-Jawwad
Di antara buahnya adalah mengetahui keluasan karunia-Nya di dunia ini, di mana tidak ada sesuatupun yang tidak mendapatkan bagian dari karunia-Nya. Dengan mengimaninya kita mengetahui kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya dan memuji-Nya.
Di antara Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jawwad (الْجَــوَّادُ) Yang Maha Dermawan. Nama Allah l ini tersebut dalam sebuah hadits dari Thalhah bin Ubaidillah z, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ يُحِبُّ الْجُوْدَ وَيُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah itu Jawwad (Maha Dermawan) mencintai kedermawanan dan mencintai akhlak yang luhur, serta membenci akhlak yang rendah.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dan Asy-Syasyi dalam Musnad-nya, 1/80, Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas c dalam Hilyatul Auliya. Asy-Asyaikh Al-Albani t menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir no. 1744)
Dalam hadits yang lain, hadits qudsi:
وَلَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَحَيَّكُمْ وَمَيِّتَكُمْ وَرَطْبَكُمْ وَيَابِسَكُمُ اجْتَمَعُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْكُمْ مَا بَلَغَتْ أُمْنِيَّتُهُ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ سَائِلٍ مِنْكُمْ ما سَأَلَ ما نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي إِلاَّ كَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ مَرَّ بِالْبَحْرِ فَغَمَسَ فِيْهِ إِبْرَهُ ثُمَّ رَفَعَهَا إِلَيْهِ، ذَلِكَ بِأَنِّيْ جَوَّادٌ مَاجِدٌ أَفْعَلُ ما أُرِيدُ، عَطَائِي كَلَامٌ وَعَذَابِي كَلَامٌ، إِنَّمَا أَمْرِي لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْتُهُ أَنْ أَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Dan seandainya yang pertama di antara kalian (hamba-hamba-Ku) hingga yang akhir di antara kalian yang hidup dan yang mati di antara kalian, yang basah maupun yang kering di antara kalian, berkumpul dalam satu hamparan. Lantas setiap orang di antara kalian meminta sesuatu hingga akhir yang dia angan-angankan, lalu Aku beri semuanya apa yang dia minta, maka itu tidak akan mengurangi sebagianpun dari kerajaan-Ku kecuali seperti jika seseorang di antara kalian melewati sebuah lautan lalu mencelupkan jarumnya ke dalamnya lalu mengangkatnya lagi. Hal itu karena Aku adalah Jawwad (Maha Dermawan) Maha Mulia. Aku berbuat semauku, pemberian-Ku adalah ucapan (tinggal mengucap) dan azab-Ku adalah ucapan (tinggal mengucap). Sesungguhnya perintah-Ku terhadap sesuatu adalah bila Aku menghendakinya tinggal mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’ maka akan terjadi.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari sahabat Abu Dzar z, Kitab Shifatul Qiyamah bab 48 no. hadits 2495, lihat takhrijnya dalam kitab Al-Mathlabul Asna min Asma`illahil Husna hal. 50 karya Isham Al-Murri)
Ibnul Qayyim t mengatakan:
Dialah Yang Maha Dermawan,
meliputi seluruh alam dengan keutamaan dan kebaikan-Nya
Dialah Yang Maha Dermawan,
tidak akan menelantarkan siapa yang memohon-Nya sekalipun dari umat yang kafir
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras t menerangkan:
“Al-Jawwad adalah Yang memiliki sifat kedermawanan yang tinggi, yaitu memiliki kebaikan dan keutamaan yang banyak. Kedermawanan Allah l itu ada dua macam:
1. Kedermawanan yang mutlak, mencakup seluruh makhluk. Tidak ada sesuatupun dari makhluk melainkan memperolehnya. Semuanya telah Allah l beri karunia dan kebaikan dari-Nya.
2. Kedermawanan yang khusus untuk mereka yang memohon kepada Allah l, baik mereka meminta secara terus terang dengan ucapan atau dengan kondisi mereka yang mengharapkan kebaikan-Nya, baik yang meminta tersebut seorang mukmin atau seorang kafir, seorang yang baik ataupun yang jahat. Maka barangsiapa yang meminta kepada Allah l dengan sungguh-sungguh dalam meminta-Nya, benar-benar mengharap karunia-Nya, dengan merasa hina dan butuh di hadapan-Nya, niscaya Allah l akan berikan apa yang ia pinta dan Allah l akan sampaikan apa yang dia cari. Karena Dia Maha banyak kebaikan-Nya dan Maha Kasih Sayang…” (Syarh Nuniyyah, 2/95-96)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menjelaskan:
“Al-Jawwad yakni bahwa Allah l adalah Yang Maha Dermawan secara mutlak. Kedermawanan-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Allah l penuhi alam dengan keutamaan dan kedermawanan-Nya serta nikmat-Nya yang beraneka ragam. Allah l juga memberikan kedermawanan-Nya yang lebih khusus kepada orang-orang yang memohon kepada-Nya baik secara langsung dengan kata-kata ataupun (secara tidak langsung) dengan keadaannya. Baik dia seorang yang baik, yang jahat, muslim maupun kafir sekalipun. Maka barangsiapa yang memohon kepada Allah l, Ia akan memberikan apa yang dia mohon, menyampaikan apa yang dia pinta, karena Ia Maha Pemurah dan Maha Pengasih….” (Taisir Al-Karimirrahman, pada penjelasan surat An-Nahl: 53)
Di antara kedermawanan-Nya yang luas adalah apa yang Allah l sediakan untuk para wali-Nya di negeri kenikmatan. Sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Dan Yang Maha Dermawan adalah yang meratakan kedermawanan-Nya kepada seluruh penduduk langit dan bumi. Tidak ada pada seorang hambapun dari suatu nikmat melainkan dari-Nya. Dialah yang bila kecelakaan menimpa manusia, kepada-Nyalah mereka kembali, kepada-Nya mereka berdoa. Tidak satu makhlukpun lepas dari kebaikan-Nya walau sekejap mata. Akan tetapi hamba-hamba-Nya berbeda dalam memperoleh kedermawanan-Nya, seukuran dengan apa yang Allah l karuniakan kepada mereka berupa sebab-sebab yang mendatangkan kedermawanan dan kemurahan-Nya. Dan yang terbesarnya adalah berupa kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah l secara lahiriah dan amal batin. Juga amal berupa ucapan, perbuatan, dan amal dengan harta benda, serta untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti Nabi Muhammad n dalam berbuat atau diam. (Tafsir Asma`illah Al-Husna)
Buah Mengimani Nama Allah Al-Jawwad
Di antara buahnya adalah mengetahui keluasan karunia-Nya di dunia ini, di mana tidak ada sesuatupun yang tidak mendapatkan bagian dari karunia-Nya. Dengan mengimaninya kita mengetahui kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya dan memuji-Nya.
Posting Komentar