Langsung ke isi
Terbukti, kelompok bernama Islam Nusantara ini memang benar-benar merangkul mesra Syiah, Ahmadiyah, Nasrani, Hindu, Budha, dan kalangan non-Islam. Adapun terhadap saudara-saudara seislam yang mengamalkan ajaran Islam yang berbeda dengan versinya, mereka posisikan sebagai musuh sejadi-jadinya. Lebih-lebih terhadap muslimin yang mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ajak “tobat” dengan hujatan dan fitnah juga. Tampak jelas, Islam Nusantara hanya menjual istilah. Maka dari itu, demi mengakomodasi istilah-istilah “gaib” yang ditelorkan oleh kelompok ini, tampaknya perlu dibuat kamus JIN alias Jaringan Islam Nusantara.
Sikap “membina tidak menghina” ditunjukkan oleh salah satu tokoh JIN. Dengan (katanya) “memakai hati dan tidak memaki-maki”, ia tampakkan sikap sewot terhadap jenggot. Memelihara jenggot yang merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam —bahkan, banyak ulama yang mewajibkan—dikerdilkan sebagai adat Arab. Orang-orang berjenggot dibodoh-bodohkan. Lupakah dia, pendiri ormas yang dia pimpin sekarang berikut para kiainya juga berjenggot?
Kalau mengaku toleran, mengapa terhadap jenggot begitu antipati?! Kalau mengaku toleran, mengapa ketika ada orang memakai busana yang menutup aurat meradang? Kalau mengaku toleran, mengapa antipati dengan orang yang tidak mau tahlilan? Dengan logika bodoh saja, orang Nasrani, Budha, Hindu, Kong Hu Cu juga tidak tahlilan. Bukankah tidak tahlilan juga bagian dari keberagaman yang selama ini digembar-gemborkan? Lantas mengapa harus membawa-bawa nama Pancasila untuk urusan tahlilan? Siapa yang bodoh dan siapa yang diragukan Pancasila-nya?
Begitu paradoksnya Islam Nusantara. Sibuk menghina atribut Islam yang sejatinya bukan adat Arab, tetapi bungkam dengan banyaknya busana yang mengumbar aurat. Mari buka mata, hijab sebagai busana muslimah muncul setelah datangnya Islam, kala busana orang Arab jahiliah waktu itu mengumbar aurat.
Anggaplah busana itu meniru sesuatu yang telah menjadi kebiasaan di Timur Tengah, haruskah kita sesewot itu? Mengapa dia tidak sewot dengan banyaknya orang yang membebek dengan Barat, tak hanya dalam hal busana, namun juga gaya hidupnya? Mengapa tidak jujur bahwa inti ajaran Islam Nusantara hanya anti-Arab? Kalau memang mengedepankan yang berbau Nusantara, mengapa Ahmadiyah dan Syiah yang notabene bukan Nusantara dirangkul demikian mesra?
JIN juga begitu semangat mengatakan bahwa yang di luar mereka sebagai Islam yang hanya menonjolkan simbol. Padahal mereka jauh lebih parah, lebih mengedepankan seremoni namun jauh dari substansi. Seremoni yang tidak ada bimbingannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibela mati-matian. Semakin kehilangan substansi manakala mengaku cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kala ada muslimin yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti memelihara jenggot, dicerca habis-habisan.
Sadar atau tidak, Islam Nusantara menahbiskan diri sebagai “karyawan” Salibis. JIN tak lebih dari aliran yang intoleran terhadap sesama Islam, tetapi begitu toleran terhadap non-Islam. Cuma mengelus dada saja dengan aliran yang paradoks ini. Aliran yang seharusnya masuk kelompok “aneh tapi nyata”.
Islam Nusantara dan Rahmatan lil Alamin
Rahmatan lil alamin adalah sebuah istilah yang berasal
dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Secara lafadz, maknanya adalah kasih
sayang (rahmat) bagi alam semesta. Rahmatan lil alamin adalah misi utama pengutusan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta, baik yang mukmin maupun yang kafir.
Adapun yang mukmin, rahmat-Nya dalam bentuk Allah subhanahu wa ta’ala memberinya hidayah melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memasukkannya ke dalam al-Jannah (surga) karena beriman kepadanya dan mengamalkan segala kewajiban yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun yang kafir, rahmat-Nya dalam bentuk Allah subhanahu wa ta’ala menunda penyegeraan azab kepadanya sebagaimana yang telah menimpa umat terdahulu para pendusta rasul. Semua itu, dengan sebab kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir ath-Thabari, 18/551)
Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain;
Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain;
Semua diletakkan pada situasi dan kondisinya yang tepat. Tidak serampangan dan asal-asalan. Sudah barang tentu, yang dikedepankan adalah kasih sayang dan kelemahlembutan. Demikianlah yang terpancar dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sang teladan terbaik umat manusia.
Disebutkan dalam Shahih Muslim no. 1435, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan peringatan kepada bala tentaranya. Beliau bersabda, ‘Hendaknya kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat seperti dua jari ini—beliau merekatkan antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang bid’ah itu sesat’.”
Disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari no. 4066 dan Shahih Muslim no. 4973, kisah pemboikotan tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam Perang Tabuk, oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah sahabat Ka’b bin Malik al-Anshari radhiallahu ‘anhu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan salam kepada mereka dan tidak pula menjawab salam mereka. Beliau memerintahkan seluruh sahabat agar menjauhi mereka bertiga. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar berpisah dengan istri-istri mereka untuk sementara waktu.
Peristiwa itu berlangsung selama 50 hari hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan QS. at-Taubah: 118 yang menjelaskan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala untuk ketiganya.
Adapun perang di medan laga melawan orang-orang kafir, baik dari kalangan musyrikin Quraisy dan sekutunya, Yahudi, Nasrani, maupun Majusi, semuanya pernah terjadi dan dicatat rapi dalam sejarah. Melawan musyrikin Quraisy dan sekutunya, Yahudi, serta Nasrani telah terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun melawan Majusi terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.
Itulah makna rahmatan lil alamin yang sebenarnya. Mengandung dua sisi yang tak bisa ditinggalkan salah satu dari keduanya; kelembutan dan ketegasan. Masing-masing diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisinya yang tepat.
Rahmatan lil ’Alamin Ala Islam Nusantara
Tak bisa dimungkiri bahwa istilah rahmatan lil alamin pun ramai dipakai oleh pegiat Islam Nusantara. Bagaimana hakikatnya dalam perspektif mereka? Berikut ini penuturan para pegiatnya.
Sebut saja Said Aqil Siradj, pegiat sejati Islam Nusantara. Lihat ucapannya tentang jenggot yang senyatanya syariat Islam yang mulia, tentang tahlilan, dan merapatkan shaf dalam shalat yang merupakan tuntunan syariat yang mulia, sebagaimana bisa dibaca pada hlm. 15 edisi ini.
Para pembaca yang mulia, apabila perkataan-perkataan di atas dicermati secara saksama, teori rahmatan lil alamin Islam Nusantara hanyalah tinggal teori. Tak berakar sama sekali.
Mengapa demikian? Sebab, perkataan-perkataan di atas hakikatnya memukul bukan merangkul, menghina bukan membina, memaki-maki bukan memakai hati, menghujat bukan mengajak taubat, dan memaksakan bukan memberi pemahaman!
Contoh yang lain adalah Ulil Abshar Abdalla. Pada hari Ahad (3/8/2014) melalui akun twitternya, dia mengomentari sebuah foto di mana ada seorang ibu dan putri muslimah bercadar beserta dua kantong plastik besar berwarna hitam berisi sampah,
“Take care of your trashes. Cleanliness is part of faith. Wait, which one is the trash?”
Artinya, “Urus sampahmu. Kebersihan sebagian dari iman. Tunggu, yang mana sampahnya?”
(http://2.bp.blogspot.com/-9Y8DWqMJVIQ/U95-zid_al/AAAAAAAAAKI/QRAidd2UcYg/s1600/tweet+ulil+abshar+abdalla.jpg)
Para pembaca yang mulia, perhatikanlah perkataan Ulil, “Tunggu, yang mana sampahnya?”
Bukankah itu memukul bukan merangkul, menghina bukan membina, memaki-maki bukan memakai hati, menghujat bukan mengajak tobat, dan memaksakan bukan memberi pemahaman?
Apakah itu aplikasi dari sikap toleran, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras, cinta kedamaian, menolak kekerasan, moderat, santun, dan menghargai keberagaman?!
Jauh panggang dari api. Tak mengherankan apabila muktamar ke-33 salah satu ormas besar di Tanah Air ini yang bertemakan “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” diwarnai kericuhan. Sejak awal muktamar, saat registrasi, ketegangan dan aksi saling dorong sudah terjadi. Pada pertengahan acara, nyaris muncul muktamar tandingan. Bahkan, seusai muktamar sekalipun berbagai konflik internal masih sempat terjadi.
Sekiranya untuk internal ormas yang ketika itu dihadiri oleh para kader pilihan, ulama, dan cerdik cendekia saja, Islam Nusantara tak mampu menciptakan rahmatan lil alamin sebagaimana yang dipromosikan, lantas bagaimanakah untuk peradaban Indonesia dan dunia?!
Islam datang memilah dan memilih budaya. Yang sesuai dengan norma-norma syariat, dijaga dan dihormati. Adapun yang tidak sesuai dengan normanorma syariat, ditinggalkan dan tidak digandholi (Jawa: dipegangi).
Lebih dari itu, budaya atau kearifan lokal di Tanah Air kita ini amat banyak. Adat-istiadat dan tradisi masyarakatnya pun amat beragam. Budaya atau kearifan lokal manakah yang dijadikan standar oleh Islam Nusantara? Bukankah di negeri ini masih ada suku yang mengenakan koteka dan mempunyai budaya atau kearifan lokal juga?!
Di sisi lain, tidak sedikit dari nilai-nilai Islam yang luntur manakala bertaut dengan budaya. Sebut saja jilbab, diartikan oleh salah seorang pegiat Islam Nusantara dengan “pakaian yang pantas”. Maka dari itu, pakaian wanita apa saja (tidak harus berbentuk jilbab) yang dipandang pantas oleh suatu masyarakat, itulah jilbab.
Jenggot pun demikian, diklaim dapat mengurangi kecerdasan, sehingga semakin panjang jenggot seseorang maka semakin goblok. Masih banyak yang lainnya.
Sampai-sampai salah satu KBIH asal Pati, Jawa Tengah menerapkan untuk jamaahnya agar mengenakan blangkon (tutup kepala ala Jawa) saat berada di Tanah Suci dalam setiap kegiatan yang dilakukan kecuali saat ihram. Alasannya, karena terinspirasi dari Islam Nusantara. (m.nu.or.id 30/8/2015, kabarseputarmuria.com)
Dari sejumlah negara-negara Arab, berapa persenkah yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara? Bukankah Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Qatar, Bahrain, dan yang semisalnya termasuk dari negara-negara maju dunia baik dari sisi sosial ekonomi maupun stabilitas keamanannya?
Mereka adalah ladang-ladang minyak dunia yang tidak pelit menggelontorkan bantuan dana kemanusiaan untuk masyarakat internasional, termasuk Indonesia. Sebut saja Arab Saudi, menggelontorkan dana 806,6 miliar rupiah untuk bantuan korban tsunami Aceh. (m.antaranews.com 22/4/2014) Belum lagi bantuan dana dari individu warga Arab Saudi untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, sarana pendidikan, dan lain-lain, di banyak pelosok negeri ini.
Bisa jadi, yang dimaksud Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara itu adalah Yaman, Irak, Syria, Palestina, dan yang semisalnya. Jika demikian, tidaklah tepat untuk dimutlakkan sebagai Islam Arab, karena tak semua negara Arab seperti itu.
Lebih dari itu, konflik yang terjadi itu tak lepas dari intervensi negara-negara kafir Yahudi Israel dan Amerika Serikat. Tak luput pula campur tangan dari Negara Syi’ah, Iran. Timur Tengah sedang menjadi bidikan mereka semua. Kondisi darurat alias tidak stabil ini tentu tak bisa dijadikan barometer keislaman.
Mari koreksi ke dalam. Bukankah sebelum Indonesia merdeka kondisi kita benar-benar darurat alias tidak stabil? Hal itu tidak lain karena intervensi penjajah yang sangat kuat terhadap negeri ini. Di antara strategi jitu penjajah adalah mengadu-domba antar kelompok masyarakat, sehingga terjadilah perang saudara. Bahkan, setelah Indonesia merdeka sekalipun, terjadi beberapa pemberontakan yang alhamdulillah dapat dipadamkan.
Maaf saja, bukankah dalam muktamar yang mengusung tema utama Islam Nusantara itu juga terjadi konflik dengan sesama Islam dan “perang saudara”?!
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Rasul-Nya yang mulia dan orang-orang yang beriman untuk berjihad di jalan-Nya dengan mempertaruhkan harta dan jiwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Sejarah Islam dipenuhi oleh kisah-kisah perjuangan yang heroik membela agama Allah subhanahu wa ta’ala melawan orang-orang kafir. Sejak masa Baginda Rasul yang mulia, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan masa setelah mereka. Perjalanan Islam tak bisa dipisahkan dari itu semua.
Pertempuran demi pertempuran, yang tak jarang didahului oleh perang tanding. Sudah barang tentu, akan ada korban yang berjatuhan. Hal itu satu kemuliaan, bukan kerugian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Akan tetapi, perlu diingat bahwa jihad bukan terorisme dan terorisme bukan jihad. Jihad membutuhkan ilmu dan tidak dilakukan serampangan. Sikap mudah mengafirkan bukan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dibawa oleh Rasulullah. Gerakan teror dengan bom atau selainnya, bukan dari Islam. Al-Qaeda, ISIS, dan kelompok radikal semisal, baik dari unsur Islam, Kristen, Hindu, maupun selainnya adalah teroris.
Umat Islam harus waspada terhadap semua itu. Jangan sampai radikalisme dibendung dengan liberalisme, apapun namanya. Jangan pula liberalisme dibendung dengan radikalisme, apapun namanya.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta.” (al-Anbiya’: 107)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Sesungguhnya aku tidaklah diutus sebagai tukang laknat, tetapi sebagai rahmat.” (HR. Muslim no. 4704)
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah ketika menjelaskan kalimat rahmatan lil alamin menukilkan tafsir dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagai berikut,“Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta, baik yang mukmin maupun yang kafir.
Adapun yang mukmin, rahmat-Nya dalam bentuk Allah subhanahu wa ta’ala memberinya hidayah melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memasukkannya ke dalam al-Jannah (surga) karena beriman kepadanya dan mengamalkan segala kewajiban yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun yang kafir, rahmat-Nya dalam bentuk Allah subhanahu wa ta’ala menunda penyegeraan azab kepadanya sebagaimana yang telah menimpa umat terdahulu para pendusta rasul. Semua itu, dengan sebab kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir ath-Thabari, 18/551)
Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain;
- Pengutusan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke muka bumi ini sebagai rahmat bagi alam semesta, baik yang mukmin maupun yang kafir.
- Bentuk rahmatan lil alamin bagi orang mukmin adalah Allah subhanahu wa ta’ala memberinya hidayah melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memasukkannya ke dalam al-Jannah (surga) karena beriman kepadanya dan mengamalkan segala kewajiban yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.
- Bentuk rahmatan lil alamin bagi orang kafir adalah Allah subhanahu wa ta’ala menahan penyegeraan azab kepadanya dengan sebab kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Seluruh yang ada di alam semesta ini mendapatkan manfaat dengan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Orang-orang yang mengikuti beliau, mendapatkan kemuliaan di dunia dan di akhirat.
- Musuh-musuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta’ala segerakan tewas terbunuh, itu lebih baik bagi mereka daripada menjalani kehidupan. Sebab, semakin lama menjalani kehidupan, semakin dahsyat pula siksanya di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan kebinasaannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga kematian yang segera lebih baik bagi mereka daripada berkepanjangan di atas kekufuran.
- Orang-orang kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian damai dengan beliau), mereka dapat hidup aman di bawah naungan, perjanjian, dan jaminan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu kondisi ini lebih menguntungkan mereka daripada kondisi orang-orang kafir yang mengobarkan api peperangan terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Orang-orang munafik, dengan sebab menampakkan keimanan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjagalah darah, harta, dan keluarga mereka. Masih dihormati dan diberlakukan hukum Islam terhadap mereka dalam hal pembagian warisan dan lainnya.
- Adapun bangsa-bangsa yang jauh dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala meniadakan bencana (azab) global bagi penduduk bumi dengan sebab kerasulan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, semua yang ada di alam semesta ini mendapatkan manfaat dari kerasulan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjadi rahmat bagi siapa saja.
Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain;
- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat Islam yang dibawa oleh beliau adalah rahmat bagi alam semesta.
- Semua yang ada di alam semesta ini mendapatkan kemanfaatan (baca: rahmat) dari kerasulan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja jenis dan tingkat kemanfaatan yang dirasakan setiap pihak berbeda-beda.
- Rahmatan lil alamin tidak bertentangan dengan pengklasifikasian manusia menjadi mukmin, kafir, dan munafik.
- Rahmatan lil alamin tidak menafikan ajakan kepada kebenaran, peringatan dari kebatilan, dan pengingkaran terhadap kemungkaran.
- Rahmatan lil alamin tidak menafikan permusuhan, bahkan pertempuran dengan orang-orang kafir saat dibutuhkan.
- Bentuk rahmat bagi orang mukmin yang mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat beliau adalah mendapatkan kemuliaan di dunia dan di akhirat.
- Bentuk rahmat bagi orang kafir yang tewas terbunuh saat menghadapi pasukan Islam adalah tidak berkepanjangan hidup di atas kekufuran yang berkonsekuensi kedahsyatan siksa baginya.
- Bentuk rahmat bagi orang kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian damai dengan umat Islam) adalah dapat hidup aman di bawah naungan, perjanjian, dan jaminan umat Islam.
- Bentuk rahmat bagi orang munafik adalah terjaganya darah, harta, dan keluarga serta pemberlakuan hak-hak muslim kepadanya.
- Bentuk rahmat bagi bangsa-bangsa yang tak bersentuhan langsung dengan umat Islam adalah tidak adanya bencana (azab) yang bersifat global bagi penduduk bumi ini.
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad)
melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (Saba’: 28)
Rahmatan lil alamin tidak berarti pula liberal, bebas tanpa batas, toleran tanpa aturan, damai tanpa dalil, dan semisalnya. Rahmatan lil alamin itu terkadang dengan memboikot, terkadang dengan memberi peringatan keras. Bahkan, terkadang dengan perang.Semua diletakkan pada situasi dan kondisinya yang tepat. Tidak serampangan dan asal-asalan. Sudah barang tentu, yang dikedepankan adalah kasih sayang dan kelemahlembutan. Demikianlah yang terpancar dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sang teladan terbaik umat manusia.
Disebutkan dalam Shahih Muslim no. 1435, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan peringatan kepada bala tentaranya. Beliau bersabda, ‘Hendaknya kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus, sementara antara aku dan hari kiamat seperti dua jari ini—beliau merekatkan antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang bid’ah itu sesat’.”
Disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari no. 4066 dan Shahih Muslim no. 4973, kisah pemboikotan tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam Perang Tabuk, oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah sahabat Ka’b bin Malik al-Anshari radhiallahu ‘anhu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan salam kepada mereka dan tidak pula menjawab salam mereka. Beliau memerintahkan seluruh sahabat agar menjauhi mereka bertiga. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar berpisah dengan istri-istri mereka untuk sementara waktu.
Peristiwa itu berlangsung selama 50 hari hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan QS. at-Taubah: 118 yang menjelaskan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala untuk ketiganya.
Adapun perang di medan laga melawan orang-orang kafir, baik dari kalangan musyrikin Quraisy dan sekutunya, Yahudi, Nasrani, maupun Majusi, semuanya pernah terjadi dan dicatat rapi dalam sejarah. Melawan musyrikin Quraisy dan sekutunya, Yahudi, serta Nasrani telah terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun melawan Majusi terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.
Itulah makna rahmatan lil alamin yang sebenarnya. Mengandung dua sisi yang tak bisa ditinggalkan salah satu dari keduanya; kelembutan dan ketegasan. Masing-masing diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisinya yang tepat.
Rahmatan lil ’Alamin Ala Islam Nusantara
Tak bisa dimungkiri bahwa istilah rahmatan lil alamin pun ramai dipakai oleh pegiat Islam Nusantara. Bagaimana hakikatnya dalam perspektif mereka? Berikut ini penuturan para pegiatnya.
- Dr. Said Aqil Siradj berkata, “Islam Nusantara adalah Islam dengan cara pendekatan budaya, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras. Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. Berbeda dengan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.” (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam-nusantara)
- Ali Masykur Musa berkata, “Hal inilah yang menjadikan pesantren sebagai pelopor Islam yang rahmatan lil alamin sebagai wajah Islam Nusantara yang cinta kedamaian dan menolak kekerasan.”
“Tidak boleh lagi ada nyawa yang hilang
sebagai korban perjuangan beragama. Islam yang santun dan moderat itulah
substasi Islam Nusantara sebagai wajah Islam dunia ke depan yang penuh
kebajikan dan kedamaian.” (http://m.republika.co.id/berita/koran/opinikoran/15/07/09/nr7nka17-etikasosial-islam-nusantara)
- Zainul Milal Bizawie berkata, “Pesan rahmatan lil alamin menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat, toleran, cinta damai, dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memakimaki, Islam yang mengajak taubat bukan menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan.” (muktamar.nu.or.id)
- Toleran, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras, cinta kedamaian, menolak kekerasan, moderat, santun, dan menghargai keberagaman.
- Merangkul bukan memukul, membina bukan menghina, memakai hati bukan memaki-maki, mengajak taubat bukan menghujat, dan memberi pemahaman bukan memaksakan.
- Merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.
- Berbeda dengan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.
- Tidak boleh ada nyawa yang hilang sebagai korban perjuangan beragama.
- Poin ke-1 dan ke-2, sesungguhnya bukan ciri khas rahmatan lil alamin ala Islam Nusantara saja.
Sebut saja Said Aqil Siradj, pegiat sejati Islam Nusantara. Lihat ucapannya tentang jenggot yang senyatanya syariat Islam yang mulia, tentang tahlilan, dan merapatkan shaf dalam shalat yang merupakan tuntunan syariat yang mulia, sebagaimana bisa dibaca pada hlm. 15 edisi ini.
Para pembaca yang mulia, apabila perkataan-perkataan di atas dicermati secara saksama, teori rahmatan lil alamin Islam Nusantara hanyalah tinggal teori. Tak berakar sama sekali.
Mengapa demikian? Sebab, perkataan-perkataan di atas hakikatnya memukul bukan merangkul, menghina bukan membina, memaki-maki bukan memakai hati, menghujat bukan mengajak taubat, dan memaksakan bukan memberi pemahaman!
Contoh yang lain adalah Ulil Abshar Abdalla. Pada hari Ahad (3/8/2014) melalui akun twitternya, dia mengomentari sebuah foto di mana ada seorang ibu dan putri muslimah bercadar beserta dua kantong plastik besar berwarna hitam berisi sampah,
“Take care of your trashes. Cleanliness is part of faith. Wait, which one is the trash?”
Artinya, “Urus sampahmu. Kebersihan sebagian dari iman. Tunggu, yang mana sampahnya?”
(http://2.bp.blogspot.com/-9Y8DWqMJVIQ/U95-zid_al/AAAAAAAAAKI/QRAidd2UcYg/s1600/tweet+ulil+abshar+abdalla.jpg)
Para pembaca yang mulia, perhatikanlah perkataan Ulil, “Tunggu, yang mana sampahnya?”
Bukankah itu memukul bukan merangkul, menghina bukan membina, memaki-maki bukan memakai hati, menghujat bukan mengajak tobat, dan memaksakan bukan memberi pemahaman?
Apakah itu aplikasi dari sikap toleran, tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras, cinta kedamaian, menolak kekerasan, moderat, santun, dan menghargai keberagaman?!
Jauh panggang dari api. Tak mengherankan apabila muktamar ke-33 salah satu ormas besar di Tanah Air ini yang bertemakan “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” diwarnai kericuhan. Sejak awal muktamar, saat registrasi, ketegangan dan aksi saling dorong sudah terjadi. Pada pertengahan acara, nyaris muncul muktamar tandingan. Bahkan, seusai muktamar sekalipun berbagai konflik internal masih sempat terjadi.
Sekiranya untuk internal ormas yang ketika itu dihadiri oleh para kader pilihan, ulama, dan cerdik cendekia saja, Islam Nusantara tak mampu menciptakan rahmatan lil alamin sebagaimana yang dipromosikan, lantas bagaimanakah untuk peradaban Indonesia dan dunia?!
- Poin ke-3 menyebutkan bahwa di antara bentuk rahmatan lil alamin ala Islam Nusantara adalah merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.
Islam datang memilah dan memilih budaya. Yang sesuai dengan norma-norma syariat, dijaga dan dihormati. Adapun yang tidak sesuai dengan normanorma syariat, ditinggalkan dan tidak digandholi (Jawa: dipegangi).
Lebih dari itu, budaya atau kearifan lokal di Tanah Air kita ini amat banyak. Adat-istiadat dan tradisi masyarakatnya pun amat beragam. Budaya atau kearifan lokal manakah yang dijadikan standar oleh Islam Nusantara? Bukankah di negeri ini masih ada suku yang mengenakan koteka dan mempunyai budaya atau kearifan lokal juga?!
Di sisi lain, tidak sedikit dari nilai-nilai Islam yang luntur manakala bertaut dengan budaya. Sebut saja jilbab, diartikan oleh salah seorang pegiat Islam Nusantara dengan “pakaian yang pantas”. Maka dari itu, pakaian wanita apa saja (tidak harus berbentuk jilbab) yang dipandang pantas oleh suatu masyarakat, itulah jilbab.
Jenggot pun demikian, diklaim dapat mengurangi kecerdasan, sehingga semakin panjang jenggot seseorang maka semakin goblok. Masih banyak yang lainnya.
Sampai-sampai salah satu KBIH asal Pati, Jawa Tengah menerapkan untuk jamaahnya agar mengenakan blangkon (tutup kepala ala Jawa) saat berada di Tanah Suci dalam setiap kegiatan yang dilakukan kecuali saat ihram. Alasannya, karena terinspirasi dari Islam Nusantara. (m.nu.or.id 30/8/2015, kabarseputarmuria.com)
- Poin ke-4 menyebutkan bahwa rahmatan lil alamin ala Islam Nusantara berbeda dengan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.
Dari sejumlah negara-negara Arab, berapa persenkah yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara? Bukankah Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Qatar, Bahrain, dan yang semisalnya termasuk dari negara-negara maju dunia baik dari sisi sosial ekonomi maupun stabilitas keamanannya?
Mereka adalah ladang-ladang minyak dunia yang tidak pelit menggelontorkan bantuan dana kemanusiaan untuk masyarakat internasional, termasuk Indonesia. Sebut saja Arab Saudi, menggelontorkan dana 806,6 miliar rupiah untuk bantuan korban tsunami Aceh. (m.antaranews.com 22/4/2014) Belum lagi bantuan dana dari individu warga Arab Saudi untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, sarana pendidikan, dan lain-lain, di banyak pelosok negeri ini.
Bisa jadi, yang dimaksud Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara itu adalah Yaman, Irak, Syria, Palestina, dan yang semisalnya. Jika demikian, tidaklah tepat untuk dimutlakkan sebagai Islam Arab, karena tak semua negara Arab seperti itu.
Lebih dari itu, konflik yang terjadi itu tak lepas dari intervensi negara-negara kafir Yahudi Israel dan Amerika Serikat. Tak luput pula campur tangan dari Negara Syi’ah, Iran. Timur Tengah sedang menjadi bidikan mereka semua. Kondisi darurat alias tidak stabil ini tentu tak bisa dijadikan barometer keislaman.
Mari koreksi ke dalam. Bukankah sebelum Indonesia merdeka kondisi kita benar-benar darurat alias tidak stabil? Hal itu tidak lain karena intervensi penjajah yang sangat kuat terhadap negeri ini. Di antara strategi jitu penjajah adalah mengadu-domba antar kelompok masyarakat, sehingga terjadilah perang saudara. Bahkan, setelah Indonesia merdeka sekalipun, terjadi beberapa pemberontakan yang alhamdulillah dapat dipadamkan.
Maaf saja, bukankah dalam muktamar yang mengusung tema utama Islam Nusantara itu juga terjadi konflik dengan sesama Islam dan “perang saudara”?!
- Poin ke-5, menyebutkan bahwa rahmatan lil alamin ala Islam Nusantara adalah tidak boleh ada nyawa yang hilang sebagai korban perjuangan beragama.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Rasul-Nya yang mulia dan orang-orang yang beriman untuk berjihad di jalan-Nya dengan mempertaruhkan harta dan jiwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ جَٰهِدِ ٱلۡكُفَّارَ وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱغۡلُظۡ عَلَيۡهِمۡۚ وَمَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ٧٣
“Hai Nabi, perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.” (at-Taubah: 73)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰ تِجَٰرَةٖ تُنجِيكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ ١٠ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١١
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (ash-Shaf: 10—11)Sejarah Islam dipenuhi oleh kisah-kisah perjuangan yang heroik membela agama Allah subhanahu wa ta’ala melawan orang-orang kafir. Sejak masa Baginda Rasul yang mulia, al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan masa setelah mereka. Perjalanan Islam tak bisa dipisahkan dari itu semua.
Pertempuran demi pertempuran, yang tak jarang didahului oleh perang tanding. Sudah barang tentu, akan ada korban yang berjatuhan. Hal itu satu kemuliaan, bukan kerugian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ وَعۡدًا عَلَيۡهِ حَقّٗا فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ وَٱلۡقُرۡءَانِۚ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِۚ فَٱسۡتَبۡشِرُواْ بِبَيۡعِكُمُ ٱلَّذِي بَايَعۡتُم بِهِۦۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١١١
“Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga
untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam
Taurat, Injil dan al-Qur’an. dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah
kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 111)
Dari sini, jelaslah kebatilan perkataan Ali Masykur Musa, “Tidak
boleh ada lagi nyawa yang hilang sebagai korban perjuangan beragama.”Akan tetapi, perlu diingat bahwa jihad bukan terorisme dan terorisme bukan jihad. Jihad membutuhkan ilmu dan tidak dilakukan serampangan. Sikap mudah mengafirkan bukan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dibawa oleh Rasulullah. Gerakan teror dengan bom atau selainnya, bukan dari Islam. Al-Qaeda, ISIS, dan kelompok radikal semisal, baik dari unsur Islam, Kristen, Hindu, maupun selainnya adalah teroris.
Umat Islam harus waspada terhadap semua itu. Jangan sampai radikalisme dibendung dengan liberalisme, apapun namanya. Jangan pula liberalisme dibendung dengan radikalisme, apapun namanya.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Islam Nusantara, Disintegrasi Kehidupan Beragama
Tak bisa dimungkiri bahwa Islam merupakan agama yang paling banyak
penganutnya di gugusan kepulauan Nusantara ini. Para penganutnya berasal
dari banyak suku, ras atau etnis. Masing-masing mempunyai budaya dan
adat-istiadat yang berbedabeda. Dari Sabang sampai Merauke, komunitas
muslim berjajar seiring dengan berjajarnya pulau-pulau.
Sambung-menyambung menjadi satu oleh ikatan persaudaraan Islam (ukhuwah
islamiyah).
Di belahan bumi lainnya pun demikian adanya. Sejak berabad-abad lamanya mereka saling terikat dengan ikatan persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah). Sekalipun berasal dari suku bangsa yang berbeda, namun semuanya terayomi dengan Islam dan syariatnya yang rahmatan lil alamin.
Itulah Islam. Ia bukan milik orang Arab, orang Barat, orang Indonesia, orang Pakistan, orang Afrika, dan yang lainnya. Islam milik semuanya. Islam tak dikotak-kotak oleh ras, suku, etnis, atau wilayah teritorial tertentu. Justru, Islam yang menyatukan segala perbedaan ras, suku, etnis atau wilayah teritorial itu.
Semakin kuat umat Islam dalam berpegang-teguh dengan norma-norma Islam, semakin kuat pula persatuan dan persaudaraan di antara mereka. Semakin taat menjalankan segala tuntunannya, maka semakin mulia pula di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak seperti yang dikatakan oleh salah seorang pegiat Islam Nusantara, Luthfi Asysyaukanie dalam akun facebooknya, “Engkau ingin jadi orang jahat yang mudah membunuh dan memprovokasi? Beragamalah. Agama mempermudah jalanmu untuk menjadi penjahat tanpa engkau merasa sebagai penjahat. Agama yang merasa paling benar lebih pas lagi untukmu menjadi penjahat. Engkau akan dilatih menghasut dan membenci orang lain, setiap hari. Beragamalah jika engkau ingin jadi penjahat.”
Subhanallah… semakin beragama semakin jahat?! Mudah membunuh dan memprovokasi?! Akan dilatih menghasut dan membenci orang lain, setiap hari?! Sungguh, ini merupakan kebohongan yang nyata!
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Tak dapat disangkal, kemunculan Islam Nusantara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini cukup “meresahkan”. Terbukti, kemunculannya menuai banyak kritikan, baik dari kalangan atas maupun bawah. Kasusnya mulai ramai disoroti sejak adanya pembacaan ayat suci al-Qur’an dengan langgam jawa.
Penamaan Islam Nusantara itu sendiri kontradiktif dengan keuniversalan Islam yang tidak dibatasi oleh masa, suku bangsa, dan tempat tertentu. Terlepas maksud dan tujuan para penggagasnya yang mungkin tak bermaksud membatasi keuniversalan Islam, namun nama Islam Nusantara sudah menunjukkan adanya pembatasan, disadari maupun tidak.
Lebih dari itu, istilah Islam Nusantara membuka penilaian bahwa ada eksklusivitas dan kotak-kotak pada Islam. Apabila pintu ini dibuka, bahkan ditawarkan kepada dunia sebagaimana cita-cita para pegiatnya, tidak mustahil akan bermunculan nama-nama yang lainnya. Ada Islam Malaysia, Islam Singapura, Islam India, Islam Arab Saudi, Islam Pakistan, Islam Amerika, Islam Inggris, dan lain-lain. Padahal Islam hanya satu, yaitu yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam Nusantara tak ubahnya tunggangan baru bagi Jaringan Islam Liberal (JIL) atau orang-orang berpaham liberal yang telah lama ditinggalkan umat. Mengingat, para tokoh liberal mempunyai peran besar dalam mempromosikan Islam Nusantara tersebut, semisal Ulil Abshar Abdalla, Azyumardi Azra, Luthfi Asysyaukanie, dan Zuhairi Misrawi.
Melalui klaim pendekatan psikologi kenusantaraan dan ortodoksi kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali yang tidak asing bagi masyarakat muslim Indonesia, mereka bergerak. Bisa jadi, itulah strategi yang dianggap jitu untuk menyukseskan program mereka, sekaligus dapat meredam berbagai gejolak yang diperkirakan muncul. Akan tetapi, kenyataannya, mereka kerap kali melakukan pelanggaran.
Terlepas apakah ia sebuah paham, ajaran, mazhab, atau bukan; yang jelas, nama Islam Nusantara terus menggelinding di tengah publik. Semakin besar gaungnya, manakala salah satu ormas besar menjadikannya sebagai tema utama dalam Muktamar ke-33 bulan Agustus lalu.
Kesan rasisme atau kedaerahan pun tampak pada penamaan IslamNusantara. Seakan-akan mengebiri cakupan Islam yang bersifat universal untuk seluruh umat manusia. Walaupun ditampik oleh para pegiatnya, tetapi setidaknya doktrin-doktrin rasisme atau kedaerahan itu terselip dalam berbagai kesempatan ceramah atau tulisan para pegiatnya.
Cobalah perhatikan dengan seksama doktrin-doktrin berikut ini,
“Islam bukan Arab dan Arab bukanIslam.”
“Ambil Islamnya, buang Arabnya.”
“Islam Nusantara lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia, bukan Islam Arab.”
“Berbeda halnya dengan Islam arab yang kaku, penuh teror, dan kekerasan.”
Bukankah tampak nuansa anti-Arab? Ada apa Islam Nusantara dengan Arab?! Memang benar, Islam bukan Arab, karena Islam adalah agama, sedangkan Arab adalah etnis. Arab pun belum tentu Islam, karena ada orang Arab yang nonmuslim. Akan tetapi, diakui ataupun tidak, Islam tak bisa dipisahkan dengan Arab. Sebab, Islam muncul di negeri Arab. Al-Qur’annya berbahasa arab. Haditsnya berbahasa Arab. Nabinya dari bangsa Arab dan berbahasa Arab. Para sahabat Nabi, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, mayoritasnya dari bangsa Arab. Kitab-kitab ternama dalam khazanah keilmuan Islam pun mayoritasnya berbahasa Arab.
Doktrin anti Arab ini sangat mengkhawatirkan, minimalnya dari dua sisi:
Anehnya, yang jebolan barat pun menjadikan kedekatan dengan Syi’ah sebagai ciri Islam Nusantara. Sebut saja Ulil Abshar Abdalla, dalam akun twitternya (27/6/2015) berkicau, “Ciri Islam Nusantara: tidak memusuhi Syiah. Dan menganggap mereka bagian sah dari umat Islam. Beda dengan Islam Wahabi dan simpatisannya.”
Dari sini diketahui bahwa Islam Nusantara mempunyai rasa sentimen terhadap Arab dan segala hal yang berbau Arab. Tidak sadarkah mereka bahwa Islam datang dari negeri Arab? Tidak sadarkah bahwa tak sedikit tokoh, dai, kiai, dan ustadz di negeri ini yang beretnis Arab?
Kalau boleh tersinggung, merekalah orang yang pertama kali tersinggung terhadap doktrin-doktrin anti-Arab ala Islam Nusantara tersebut. Disintegrasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara pun terjadi.
Seiring dengan perjalanan waktu, Islam Nusantara semakin menciptakan suasana tak nyaman dalam kehidupan beragama. Simaklah pernyataan pegiat sejati Islam Nusantara Said Aqil Siradj berikut ini, “Pokoknya yang tahlilan, mantap sekali Pancasilanya. Kalau anti-tahlilan maka kita ragukan Pancasila-nya.” (Pancasila Rumah Kita: Perbedaan adalah Rahmat, Rabu 26/08/2015)
“Orang berjenggot itu mengurangi kecerdasan, jadi syaraf yang sebenarnya untuk mendukung kecerdasan otak, ketarik oleh, untuk memanjangkan jenggot…. Tapi kalau berjenggot, emosinya saja yang meledak-ledak, geger otaknya. Karena syaraf untuk mensupport otak supaya cerdas, ketarik oleh jenggot itu. Semakin panjang, semakin goblok! (https://youtu.be/MrXNQGGX1Ew)
“Kakinya harus ketemu satu sama lain, nggak boleh ada ruang antar kaki, kenapa? Nanti iblis di situ katanya tempatnya. Kalau saya Alhamdulillah, iblis bisa ikut shalat.” (https://youtu.be/ILwY4Eeeynw)
Ketiga pernyataan Said Aqil Siradj di atas, di samping banyak komentarnya yang lain, sangat kontroversial. Tak mengherankan, apabila dia menuai banyak kritikan, bantahan, dan peringatan. Tak terlewat, dari para kiai yang Said Aqil Siradj sendiri menjadi pimpinan ormasnya.
Jangan salahkan apabila ada yang mengatakan, “Suasana kondusif dalam kehidupan beragama di negeri ini akhir-akhir terganggu oleh para pegiat Islam Nusantara. Bahkan, kemunculan Islam Nusantara yang menimbulkan pro dan kontra merupakan bagian dari disintegrasi kehidupan beragama.”
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
[1] Maksudnya, meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka.
Di belahan bumi lainnya pun demikian adanya. Sejak berabad-abad lamanya mereka saling terikat dengan ikatan persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah). Sekalipun berasal dari suku bangsa yang berbeda, namun semuanya terayomi dengan Islam dan syariatnya yang rahmatan lil alamin.
Itulah Islam. Ia bukan milik orang Arab, orang Barat, orang Indonesia, orang Pakistan, orang Afrika, dan yang lainnya. Islam milik semuanya. Islam tak dikotak-kotak oleh ras, suku, etnis, atau wilayah teritorial tertentu. Justru, Islam yang menyatukan segala perbedaan ras, suku, etnis atau wilayah teritorial itu.
Semakin kuat umat Islam dalam berpegang-teguh dengan norma-norma Islam, semakin kuat pula persatuan dan persaudaraan di antara mereka. Semakin taat menjalankan segala tuntunannya, maka semakin mulia pula di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak seperti yang dikatakan oleh salah seorang pegiat Islam Nusantara, Luthfi Asysyaukanie dalam akun facebooknya, “Engkau ingin jadi orang jahat yang mudah membunuh dan memprovokasi? Beragamalah. Agama mempermudah jalanmu untuk menjadi penjahat tanpa engkau merasa sebagai penjahat. Agama yang merasa paling benar lebih pas lagi untukmu menjadi penjahat. Engkau akan dilatih menghasut dan membenci orang lain, setiap hari. Beragamalah jika engkau ingin jadi penjahat.”
Subhanallah… semakin beragama semakin jahat?! Mudah membunuh dan memprovokasi?! Akan dilatih menghasut dan membenci orang lain, setiap hari?! Sungguh, ini merupakan kebohongan yang nyata!
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (al-Hujurat: 13)
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barang siapa mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Nilai-nilai persatuan dan persaudaraan sangat diperhatikan oleh Islam, terkhusus dalam kehidupan beragama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢
“Janganlah kalian termasuk orangorang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka[1] dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 31—32)
Demikianlah Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Universal dan rahmatan lil alamin. Mengayomi tidak mengebiri. Lantas, bagaimanakah halnya dengan Islam Nusantara?Tak dapat disangkal, kemunculan Islam Nusantara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini cukup “meresahkan”. Terbukti, kemunculannya menuai banyak kritikan, baik dari kalangan atas maupun bawah. Kasusnya mulai ramai disoroti sejak adanya pembacaan ayat suci al-Qur’an dengan langgam jawa.
Penamaan Islam Nusantara itu sendiri kontradiktif dengan keuniversalan Islam yang tidak dibatasi oleh masa, suku bangsa, dan tempat tertentu. Terlepas maksud dan tujuan para penggagasnya yang mungkin tak bermaksud membatasi keuniversalan Islam, namun nama Islam Nusantara sudah menunjukkan adanya pembatasan, disadari maupun tidak.
Lebih dari itu, istilah Islam Nusantara membuka penilaian bahwa ada eksklusivitas dan kotak-kotak pada Islam. Apabila pintu ini dibuka, bahkan ditawarkan kepada dunia sebagaimana cita-cita para pegiatnya, tidak mustahil akan bermunculan nama-nama yang lainnya. Ada Islam Malaysia, Islam Singapura, Islam India, Islam Arab Saudi, Islam Pakistan, Islam Amerika, Islam Inggris, dan lain-lain. Padahal Islam hanya satu, yaitu yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam Nusantara tak ubahnya tunggangan baru bagi Jaringan Islam Liberal (JIL) atau orang-orang berpaham liberal yang telah lama ditinggalkan umat. Mengingat, para tokoh liberal mempunyai peran besar dalam mempromosikan Islam Nusantara tersebut, semisal Ulil Abshar Abdalla, Azyumardi Azra, Luthfi Asysyaukanie, dan Zuhairi Misrawi.
Melalui klaim pendekatan psikologi kenusantaraan dan ortodoksi kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali yang tidak asing bagi masyarakat muslim Indonesia, mereka bergerak. Bisa jadi, itulah strategi yang dianggap jitu untuk menyukseskan program mereka, sekaligus dapat meredam berbagai gejolak yang diperkirakan muncul. Akan tetapi, kenyataannya, mereka kerap kali melakukan pelanggaran.
Terlepas apakah ia sebuah paham, ajaran, mazhab, atau bukan; yang jelas, nama Islam Nusantara terus menggelinding di tengah publik. Semakin besar gaungnya, manakala salah satu ormas besar menjadikannya sebagai tema utama dalam Muktamar ke-33 bulan Agustus lalu.
Kesan rasisme atau kedaerahan pun tampak pada penamaan IslamNusantara. Seakan-akan mengebiri cakupan Islam yang bersifat universal untuk seluruh umat manusia. Walaupun ditampik oleh para pegiatnya, tetapi setidaknya doktrin-doktrin rasisme atau kedaerahan itu terselip dalam berbagai kesempatan ceramah atau tulisan para pegiatnya.
Cobalah perhatikan dengan seksama doktrin-doktrin berikut ini,
“Islam bukan Arab dan Arab bukanIslam.”
“Ambil Islamnya, buang Arabnya.”
“Islam Nusantara lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia, bukan Islam Arab.”
“Berbeda halnya dengan Islam arab yang kaku, penuh teror, dan kekerasan.”
Bukankah tampak nuansa anti-Arab? Ada apa Islam Nusantara dengan Arab?! Memang benar, Islam bukan Arab, karena Islam adalah agama, sedangkan Arab adalah etnis. Arab pun belum tentu Islam, karena ada orang Arab yang nonmuslim. Akan tetapi, diakui ataupun tidak, Islam tak bisa dipisahkan dengan Arab. Sebab, Islam muncul di negeri Arab. Al-Qur’annya berbahasa arab. Haditsnya berbahasa Arab. Nabinya dari bangsa Arab dan berbahasa Arab. Para sahabat Nabi, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, mayoritasnya dari bangsa Arab. Kitab-kitab ternama dalam khazanah keilmuan Islam pun mayoritasnya berbahasa Arab.
Doktrin anti Arab ini sangat mengkhawatirkan, minimalnya dari dua sisi:
- Menjadi sebab kebencian kepada Islam.
- Kekhawatiran adanya pengaruh dari Barat (baca: Yahudi dan Nasrani) dan Syi’ah Rafidhah (baca: Iran) yang notabene anti-Arab.
Anehnya, yang jebolan barat pun menjadikan kedekatan dengan Syi’ah sebagai ciri Islam Nusantara. Sebut saja Ulil Abshar Abdalla, dalam akun twitternya (27/6/2015) berkicau, “Ciri Islam Nusantara: tidak memusuhi Syiah. Dan menganggap mereka bagian sah dari umat Islam. Beda dengan Islam Wahabi dan simpatisannya.”
Dari sini diketahui bahwa Islam Nusantara mempunyai rasa sentimen terhadap Arab dan segala hal yang berbau Arab. Tidak sadarkah mereka bahwa Islam datang dari negeri Arab? Tidak sadarkah bahwa tak sedikit tokoh, dai, kiai, dan ustadz di negeri ini yang beretnis Arab?
Kalau boleh tersinggung, merekalah orang yang pertama kali tersinggung terhadap doktrin-doktrin anti-Arab ala Islam Nusantara tersebut. Disintegrasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara pun terjadi.
Seiring dengan perjalanan waktu, Islam Nusantara semakin menciptakan suasana tak nyaman dalam kehidupan beragama. Simaklah pernyataan pegiat sejati Islam Nusantara Said Aqil Siradj berikut ini, “Pokoknya yang tahlilan, mantap sekali Pancasilanya. Kalau anti-tahlilan maka kita ragukan Pancasila-nya.” (Pancasila Rumah Kita: Perbedaan adalah Rahmat, Rabu 26/08/2015)
“Orang berjenggot itu mengurangi kecerdasan, jadi syaraf yang sebenarnya untuk mendukung kecerdasan otak, ketarik oleh, untuk memanjangkan jenggot…. Tapi kalau berjenggot, emosinya saja yang meledak-ledak, geger otaknya. Karena syaraf untuk mensupport otak supaya cerdas, ketarik oleh jenggot itu. Semakin panjang, semakin goblok! (https://youtu.be/MrXNQGGX1Ew)
“Kakinya harus ketemu satu sama lain, nggak boleh ada ruang antar kaki, kenapa? Nanti iblis di situ katanya tempatnya. Kalau saya Alhamdulillah, iblis bisa ikut shalat.” (https://youtu.be/ILwY4Eeeynw)
Ketiga pernyataan Said Aqil Siradj di atas, di samping banyak komentarnya yang lain, sangat kontroversial. Tak mengherankan, apabila dia menuai banyak kritikan, bantahan, dan peringatan. Tak terlewat, dari para kiai yang Said Aqil Siradj sendiri menjadi pimpinan ormasnya.
Jangan salahkan apabila ada yang mengatakan, “Suasana kondusif dalam kehidupan beragama di negeri ini akhir-akhir terganggu oleh para pegiat Islam Nusantara. Bahkan, kemunculan Islam Nusantara yang menimbulkan pro dan kontra merupakan bagian dari disintegrasi kehidupan beragama.”
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
[1] Maksudnya, meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka.
Betapa Indah Nusantara Kita, Bila…
Betapa indah Nusantara kita, bila kemilau cahaya Islam menyentuh
setiap relung kehidupan masyarakat. Sudut demi sudut kehidupan
masyarakat berbinar menatap hari esok nan bahagia. Tiada diliputi
ketakutan. Tiada pula kekhawatiran menggayut di dada.
Segenap hak warga negara terjamin. Rasa keadilan sedemikian mudah dikunyah masyarakat. Tak cuma bagi mereka yang bermodal kuat, namun masyarakat berkebutuhan finansial pun teramat mudah untuk mengenyam rasa adil itu.
Mengapa? Karena semua insan di Nusantara ini telah tercelup Islam yang lurus, benar, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan Islam yang sekadar nama, sedangkan isi ajarannya tak lebih sebuah doktrin taklid, kultus individu, menanamkan jiwa penurut secara membabi buta, dan fanatik tanpa kritik. Intinya, umat sengaja dibodohkan agar mudah dibodohi.
Betapa indah Nusantara kita, bila segenap masyarakat dididik untuk meneladani Nabi-Nya. Dididik untuk selalu mengikuti sunnah. Walau itu menyangkut hal yang mungkin oleh sebagian orang dianggap masalah sepele.
Mencintai sunnah Nabi-Nya teramat sangat urgen di Nusantara ini. Di tengah kaum liberalis yang menggila dengan pemikiran rancu lagi menyesatkan, menanamkan cinta sunnah setidaknya meminimalisir gerakan fasad kaum liberalis. Lebih dari itu, mencintai dan mengamalkan sunnah Rasul-Nya dengan penuh keikhlasan bisa mendatangkan kebaikan. Perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
Karena itu, pegang kukuh sunnah itu. Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Banyak media masa, perguruan tinggi, pendidikan dasar dan menengah, pondok pesantren yang telah mereka taburi dengan pemikiran-pemikiran beracun. Melalui isu radikalisme dan terorisme, mereka sudutkan kaum muslimin yang kokoh berpegang pada tuntunan salaf. Walau mereka senyatanya tahu bahwa kaum salaf sangat menentang pemahaman radikalisme dan terorisme.
Namun, demi memuaskan hawa nafsu, mereka terus melontarkan tuduhan keji. Mereka tuduh Wahabi sebagai biang kekerasan. Padahal ungkapan-ungkapan yang mereka lontarkan—saat menuduh orang lain—sangat kental aroma kekerasannya meski dalam taraf verbal.
Menanamkan Rasisme
Betapa indah Nusantara kita, bila setiap penduduknya mematuhi titah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai seorang muslim yang lurus, baik, dan benar pemahaman keislamannya, tentu yang diikuti sebagai panutan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam universal, tidak terkotak-kotak oleh batas wilayah. Islam memupus sekat-sekat yang akan melahirkan jiwa sektarian (benci membabi buta terhadap kelompok lain), memunculkan jiwa ashabiyah (fanatik golongan), dan menonjolkan jiwa nasionalisme sempit (chauvinisme).
Perseteruan antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung lebih satu abad berhasil padam, dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Islam telah mempersatukan Aus dan Khazraj. Setelah Islam hadir di tengah mereka, tak lagi ada baku tikai, tak ada lagi perseteruan. Kedua suku itu berdamai. Mereka menjadi bersaudara. Persaudaraan yang dibangun di atas dasar Islam yang benar. Islam yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua tergambar melalui firman-Nya.
Meski demikian, tidaklah lantas warna kesukuan itu menjadi segalanya, bahkan menjadi penentu dalam menilai baik-buruk, benar-salah, lurus dan tidaknya sesuatu. Right or wrong is my country (benar atau salah adalah negaraku); jiwa korps. Islam yang benar Islam Nusantara, bukan Islam Arab.
Bukan demikian dan tidak seperti itu. Pemikiran semacam itu adalah pemikiran sektarian. Pemikiran yang menjadikan sukuku, bangsaku, korpsku, dibela habis walau kenyataannya suku, bangsa, dan korps tidak berada di pihak yang benar.
Pembelaan bersifat sektarian semacam itulah yang telah menjadikan manusia berdiri di tepi jurang kebinasaan. Cermati firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
Yang lebih memprihatinkan, ada sebagian orang yang mencoba membetot pemahamannya terkait dengan Islam ke arah yang picik, sempit, dan sektarian. Islam yang sedemikian universal, sempurna, coba ditarik menjadi “Islam” yang eksklusif yang berlabel Islam Nusantara. Sebab, pemahaman Islam yang dilabeli “Nusantara” ini, menumbuhkan sikap anti-Arab. Semua yang berbau Arab dibenci, dimusuhi, dan semaksimal mungkin dienyahkan.
Jubah, serban, dan jenggot, menjadi sasaran antara untuk menumbuhkan sikap anti-Arab. Padahal tatkala jubah, serban, jenggot disikapi, penyikapan itu tak cuma untuk anti-Arab. Penyikapan itu bisa merembet ke arah sentimen agama. Sebab, apa yang diungkap—jenggot, serban, dan jubah—senyatanya dituntunkan dalam Islam.
Di masa yang akan datang, tidak menutup kemungkinan—apabila Islam Nusantara terus dikampanyekan—sikap rasial itu akan merembet menjadi bentuk kebencian dan permusuhan terhadap warga keturunan. Inilah ungkapan seorang pembesar dari salah sebuah ormas besar yang sempat dipublikasikan media masa, “Islam Indonesia itu bukan Islam Arab, tidak harus pakai gamis, tidak harus pakai serban. Tidak. Islam Indonesia adalah Islam khas Indonesia.”
Sadar atau tidak, para pengusung paham Islam Nusantara, telah menanamkan bibit-bibit konflik rasial di Nusantara ini. Jelas, betapa rusak dan berbahaya pemahaman yang mereka usung. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan umat ini dari keterpurukan yang membinasakan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Betapa indah Nusantara kita, bila beragam kesyirikan dicegah dan keyakinan tauhid tertanam dalam pada masyarakat. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan perihal sebuah negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa?
Tidakkah Nusantara ini hendaknya diwarnai dengan hal-hal yang bisa membangkitkan keimanan dan ketakwaan penduduknya?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Tengoklah keadaan masyarakat di Nusantara ini. Dengan dikemas dalam bentuk wisata, praktik kesyirikan bak jamur di musim hujan. Biro-biro travel memfasilitasi untuk mengunjungi berbagai kuburan yang dikeramatkan. Bahkan, ada lokasi pemakaman yang dijadikan ritual kesyirikan diwarnai pula dengan tindak perzinaan.
Betapa indah Nusantara ini, bila tradisi dan budaya ditakar dengan syariat. Jangan asal berceloteh, sebagaimana dinyatakan seorang pembesar dari salah sebuah ormas besar, yang pernah dipublikasikan di sebuah media masa. Katanya, “Islam Nusantara itu artinya Islam yang tidak menghapus budaya, Islam yang tidak memusuhi tradisi, Islam yang tidak menafikan atau menghilangkan kultur.”
Masalahnya, budaya yang seperti apa, tradisi yang bagaimana, dan kultur yang model apa sehingga tak boleh dihapus, dimusuhi, dan dihilangkan?
Apakah tradisi dan budaya menyembelih kerbau yang diniatkan untuk sesaji bagi makhluk halus merupakan model budaya dan tradisi yang dilestarikan Islam Nusantara?
Apakah tradisi berpakaian sangat minim ala penduduk salah satu sudut Nusantara termasuk tradisi yang tidak boleh hilang dan dihapus?
Pernyataan sang pembesar di atas adalah pernyataan yang sangat membahayakan keyakinan umat. Pernyataan global tanpa rincian jelas. Pernyataan yang terkesan mencari pembenaran bagi konsep pengamalan agama agar sesuai budaya dan tradisi. Sebuah pembodohan terhadap umat.
Perubahan tradisi dan kultur di kalangan masyarakat Arab terjadi—dengan kehendak Allah—setelah dakwah ditegakkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kehadiran Islam telah mengubah sistem kehidupan masyarakat Arab.
Sebelum Islam datang, mereka saling melampiaskan dendam permusuhan. Setelah Islam datang, kedamaian meliputi mereka. Budaya permusuhan, perang antarkabilah lenyap.
Sebelum Islam datang, budaya dan tradisi syirik mendominasi kehidupan masyarakat Arab. Setelah Islam tiba, mereka menjadi masyarakat bertauhid yang memerangi beragam kesyirikan.
Tatanan masyarakat Arab benar-benar berubah. Ketika Islam datang, tak satu pun budaya, tradisi, dan kultur yang bertentangan syariat dibiarkan berkembang di tengah masyarakat. Telah terjadi perubahan dari masa jahiliah menuju masa yang dilandasi tauhid dan peradaban nan luhur.
Bahkan setelah itu, Islam tak semata menaungi masyarakat Arab. Islam pun menyebar ke segenap penjuru muka bumi. Itulah Islam yang telah ditunaikan secara benar oleh para sahabat serta para pengikutnya. Para sahabat mempelajari Islam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena itu, kurun mereka termasuk kurun yang sarat keutamaan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah generasi yang telah mendapat ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka pun ridha kepada-Nya.
Karena itu, betapa indah Nusantara kita, bila generasi salaf yang menjadi teladannya. Generasi salaf telah memberi teladan bagaimana berislam yang baik dan benar. Kepribadian mereka nan luhur pantas untuk diikuti. Sebelum “Nusantara” lahir, mereka telah menampilkan sosok yang penuh rahmah, santun, beradab, dan lembut terhadap sesamanya.
Islam telah mengajari mereka untuk menjadi pribadi agung. Dari tangan mereka pula lahir masyarakat berperadaban tinggi. Ketakwaan, keimanan, kejujuran, keberanian, kelembutan, dan segenap akhlak terpuji lainnya ada pada mereka.
Ketinggian moral yang mereka miliki telah diakui umat. Islam tanpa diiringi “Nusantara” pun tetap menampakkan kelemahlembutan, penuh santun dan menebar rahmah. Sebelum “Nusantara” ini ada, Islam telah membentuk manusia-manusia berkarakter terpuji. Jadi, bukan karena faktor “Nusantara” Islam lantas jadi lembut, santun, rahmah, dan tidak radikal. Tidak. Bukan begitu. Sejak dahulu Islam telah memuat ajaran-ajaran terpuji dan telah pula mewarnai kehidupan umat manusia sehingga menjadi kehidupan berperadaban. Kisah damai suku Aus dan Khazraj adalah bukti perubahan yang telah dilakukan Islam.
Konsep Islam Nusantara itu sendiri masih belum jelas dan definitif. Konsep yang belum jelas itu pun cenderung dipaksakan ke tengah umat. Opini diarahkan untuk menimbulkan kesan bahwa Islam Nusantara adalah model Islam yang selaras dengan masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Ketika para pengusung Islam Nusantara tengah bersemangat menjajakan gagasannya, di sebuah acara perhelatan besar sebuah ormas besar, peristiwa besar pun berlangsung. Aksi beraroma kekerasan pun menyeruak di tengah perhelatan tersebut. Padahal, beberapa hari sebelumnya, para pembesar ormas besar itu telah bersuara lantang tentang konsep Islam Nusantara yang mengedepankan sikap rahmah, santun, lembut, antiradikalisme, dan terorisme.
Namun, apa yang terucap jauh panggang dari api. Realitas tidak menampilkan wajah Islam Nusantara yang konon berwajah sejuk, lembut, dan penuh rahmah. Masyarakat justru disuguhi tontonan yang sangat amat tidak pantas jadi tuntunan. Memalukan.
Ke mana arah pemahaman Islam Nusantara? Di balik propaganda antiradikalisme, antiterorisme, menampilkan wajah lemah lembut dan antikekerasan dari kalangan pengusung Islam Nusantara, telah terendus siasat dan kolaborasi mereka dengan orang-orang liberal dan Syiah.
Selain itu, mereka terus menjejalkan ide pluralisme, liberalisme, dan sekularisme ke tengah kaum Muslimin. Mereka sudutkan sekelompok kaum muslimin yang kukuh dengan sunnah. Di sisi lain, mereka merangkul dan memeluk kaum Kristen. Mereka jaga gereja saat kaum Kristen merayakan Natal, namun mereka diam membisu tatkala sebuah masjid dibakar oleh kalangan Kristen saat Hari Raya Idul Fitri. Itulah upaya mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Demikian, semoga bermanfaat. Allahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Segenap hak warga negara terjamin. Rasa keadilan sedemikian mudah dikunyah masyarakat. Tak cuma bagi mereka yang bermodal kuat, namun masyarakat berkebutuhan finansial pun teramat mudah untuk mengenyam rasa adil itu.
Mengapa? Karena semua insan di Nusantara ini telah tercelup Islam yang lurus, benar, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan Islam yang sekadar nama, sedangkan isi ajarannya tak lebih sebuah doktrin taklid, kultus individu, menanamkan jiwa penurut secara membabi buta, dan fanatik tanpa kritik. Intinya, umat sengaja dibodohkan agar mudah dibodohi.
Betapa indah Nusantara kita, bila segenap masyarakat dididik untuk meneladani Nabi-Nya. Dididik untuk selalu mengikuti sunnah. Walau itu menyangkut hal yang mungkin oleh sebagian orang dianggap masalah sepele.
Mencintai sunnah Nabi-Nya teramat sangat urgen di Nusantara ini. Di tengah kaum liberalis yang menggila dengan pemikiran rancu lagi menyesatkan, menanamkan cinta sunnah setidaknya meminimalisir gerakan fasad kaum liberalis. Lebih dari itu, mencintai dan mengamalkan sunnah Rasul-Nya dengan penuh keikhlasan bisa mendatangkan kebaikan. Perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١
“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni
dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Menanamkan kesadaran pada masyarakat untuk mengikuti sesuatu yang telah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hakikatnya menanamkan salah satu prinsip Islam. Prinsip inilah yang
tengah diupayakan runtuh oleh musuh-musuh Islam melalui kaki tangan
mereka dari kalangan liberalis dan Syiah. Seorang pembesar dari sebuah
organisasi massa terbesar di Nusantara pernah melontarkan pernyataan
tentang jenggot yang sedemikian sinis. Ada apa di balik ini semua?Karena itu, pegang kukuh sunnah itu. Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ…
“Wajib bagi kalian berpegang kepada
sunnahku dan sunnah para khalifah yang terbimbing yang mendapat
petunjuk. Gigit sunnah itu dengan gigi geraham.” (HR . Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Perseteruan antara hizbullah melawan bala tentara setan senantiasa
terus berkecamuk. Kelompok liberalis yang telah berhasil menyusupkan
kader-kader binaannya di tubuh berbagai organisasi sosial politik, tentu
tak tinggal diam. Mereka aktif menebar pemikiran sekularisme,
liberalisme, dan pluralisme ke tengah umat melalui sarana yang ada.
Mereka meracuni umat dengan pemahaman sesat dan syubhat (rancu), hingga
umat pun tak bisa lagi memahami Islam secara baik dan benar.Banyak media masa, perguruan tinggi, pendidikan dasar dan menengah, pondok pesantren yang telah mereka taburi dengan pemikiran-pemikiran beracun. Melalui isu radikalisme dan terorisme, mereka sudutkan kaum muslimin yang kokoh berpegang pada tuntunan salaf. Walau mereka senyatanya tahu bahwa kaum salaf sangat menentang pemahaman radikalisme dan terorisme.
Namun, demi memuaskan hawa nafsu, mereka terus melontarkan tuduhan keji. Mereka tuduh Wahabi sebagai biang kekerasan. Padahal ungkapan-ungkapan yang mereka lontarkan—saat menuduh orang lain—sangat kental aroma kekerasannya meski dalam taraf verbal.
Menanamkan Rasisme
Betapa indah Nusantara kita, bila setiap penduduknya mematuhi titah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai seorang muslim yang lurus, baik, dan benar pemahaman keislamannya, tentu yang diikuti sebagai panutan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam universal, tidak terkotak-kotak oleh batas wilayah. Islam memupus sekat-sekat yang akan melahirkan jiwa sektarian (benci membabi buta terhadap kelompok lain), memunculkan jiwa ashabiyah (fanatik golongan), dan menonjolkan jiwa nasionalisme sempit (chauvinisme).
Perseteruan antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung lebih satu abad berhasil padam, dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Islam telah mempersatukan Aus dan Khazraj. Setelah Islam hadir di tengah mereka, tak lagi ada baku tikai, tak ada lagi perseteruan. Kedua suku itu berdamai. Mereka menjadi bersaudara. Persaudaraan yang dibangun di atas dasar Islam yang benar. Islam yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua tergambar melalui firman-Nya.
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٖ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ ١٠٣
“Dan berpegang teguhlah kalian semua
pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah
nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah)
bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian, sehingga dengan
nikmat-Nya kalian menjadi bersaudara. Padahal (saat itu) kalian berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari sana.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian
mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Secara realitas, manusia hidup berpuak, bersuku, dan berbangsa.
Secara realitas pula ada manusia berkulit hitam, putih, merah, dan warna
kulit lainnya. Semua itu tidak dinafikan oleh Islam.Meski demikian, tidaklah lantas warna kesukuan itu menjadi segalanya, bahkan menjadi penentu dalam menilai baik-buruk, benar-salah, lurus dan tidaknya sesuatu. Right or wrong is my country (benar atau salah adalah negaraku); jiwa korps. Islam yang benar Islam Nusantara, bukan Islam Arab.
Bukan demikian dan tidak seperti itu. Pemikiran semacam itu adalah pemikiran sektarian. Pemikiran yang menjadikan sukuku, bangsaku, korpsku, dibela habis walau kenyataannya suku, bangsa, dan korps tidak berada di pihak yang benar.
Pembelaan bersifat sektarian semacam itulah yang telah menjadikan manusia berdiri di tepi jurang kebinasaan. Cermati firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami
telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian
di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Mahateliti.” (al-Hujurat: 13)
Betapa indah Nusantara kita, bila mampu membebaskan diri dari pemikiran sektarian, ashabiyah, dan tidak terkungkung nasionalisme sempit dan picik.Yang lebih memprihatinkan, ada sebagian orang yang mencoba membetot pemahamannya terkait dengan Islam ke arah yang picik, sempit, dan sektarian. Islam yang sedemikian universal, sempurna, coba ditarik menjadi “Islam” yang eksklusif yang berlabel Islam Nusantara. Sebab, pemahaman Islam yang dilabeli “Nusantara” ini, menumbuhkan sikap anti-Arab. Semua yang berbau Arab dibenci, dimusuhi, dan semaksimal mungkin dienyahkan.
Jubah, serban, dan jenggot, menjadi sasaran antara untuk menumbuhkan sikap anti-Arab. Padahal tatkala jubah, serban, jenggot disikapi, penyikapan itu tak cuma untuk anti-Arab. Penyikapan itu bisa merembet ke arah sentimen agama. Sebab, apa yang diungkap—jenggot, serban, dan jubah—senyatanya dituntunkan dalam Islam.
Di masa yang akan datang, tidak menutup kemungkinan—apabila Islam Nusantara terus dikampanyekan—sikap rasial itu akan merembet menjadi bentuk kebencian dan permusuhan terhadap warga keturunan. Inilah ungkapan seorang pembesar dari salah sebuah ormas besar yang sempat dipublikasikan media masa, “Islam Indonesia itu bukan Islam Arab, tidak harus pakai gamis, tidak harus pakai serban. Tidak. Islam Indonesia adalah Islam khas Indonesia.”
Sadar atau tidak, para pengusung paham Islam Nusantara, telah menanamkan bibit-bibit konflik rasial di Nusantara ini. Jelas, betapa rusak dan berbahaya pemahaman yang mereka usung. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan umat ini dari keterpurukan yang membinasakan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كِتَٰبٌ أُنزِلَ إِلَيۡكَ فَلَا يَكُن فِي صَدۡرِكَ حَرَجٞ مِّنۡهُ لِتُنذِرَ بِهِۦ وَذِكۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ ٢ ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣
“(Inilah) Kitab yang diturunkan
kepadamu, maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau
memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang
yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan
janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kalian
mengambil pelajaran.” (al-A‘raf: 2—3)
Nusantara BertauhidBetapa indah Nusantara kita, bila beragam kesyirikan dicegah dan keyakinan tauhid tertanam dalam pada masyarakat. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan perihal sebuah negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa?
Tidakkah Nusantara ini hendaknya diwarnai dengan hal-hal yang bisa membangkitkan keimanan dan ketakwaan penduduknya?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٩٦
“Dan sekiranya penduduk negeri
beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi. Tetapi, ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka
kerjakan.” (al-A’raf: 96)
Betapa indah Nusantara kita, bila penduduknya benar-benar mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala,
mencegah beragam kesyirikan. Betapa banyak orang di Nusantara ini yang
mempraktikkan kesyirikan dan mempertahankannya dengan alasan budaya atau
tradisi. Melestarikan budaya dan tradisi nusantara—tanpa memandang
apakah budaya atau tradisi tersebut bertentangan dengan syariat atau
tidak—seakan menjadi keharusan yang tidak boleh diubah.Tengoklah keadaan masyarakat di Nusantara ini. Dengan dikemas dalam bentuk wisata, praktik kesyirikan bak jamur di musim hujan. Biro-biro travel memfasilitasi untuk mengunjungi berbagai kuburan yang dikeramatkan. Bahkan, ada lokasi pemakaman yang dijadikan ritual kesyirikan diwarnai pula dengan tindak perzinaan.
Betapa indah Nusantara ini, bila tradisi dan budaya ditakar dengan syariat. Jangan asal berceloteh, sebagaimana dinyatakan seorang pembesar dari salah sebuah ormas besar, yang pernah dipublikasikan di sebuah media masa. Katanya, “Islam Nusantara itu artinya Islam yang tidak menghapus budaya, Islam yang tidak memusuhi tradisi, Islam yang tidak menafikan atau menghilangkan kultur.”
Masalahnya, budaya yang seperti apa, tradisi yang bagaimana, dan kultur yang model apa sehingga tak boleh dihapus, dimusuhi, dan dihilangkan?
Apakah tradisi dan budaya menyembelih kerbau yang diniatkan untuk sesaji bagi makhluk halus merupakan model budaya dan tradisi yang dilestarikan Islam Nusantara?
Apakah tradisi berpakaian sangat minim ala penduduk salah satu sudut Nusantara termasuk tradisi yang tidak boleh hilang dan dihapus?
Pernyataan sang pembesar di atas adalah pernyataan yang sangat membahayakan keyakinan umat. Pernyataan global tanpa rincian jelas. Pernyataan yang terkesan mencari pembenaran bagi konsep pengamalan agama agar sesuai budaya dan tradisi. Sebuah pembodohan terhadap umat.
Perubahan tradisi dan kultur di kalangan masyarakat Arab terjadi—dengan kehendak Allah—setelah dakwah ditegakkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kehadiran Islam telah mengubah sistem kehidupan masyarakat Arab.
Sebelum Islam datang, mereka saling melampiaskan dendam permusuhan. Setelah Islam datang, kedamaian meliputi mereka. Budaya permusuhan, perang antarkabilah lenyap.
Sebelum Islam datang, budaya dan tradisi syirik mendominasi kehidupan masyarakat Arab. Setelah Islam tiba, mereka menjadi masyarakat bertauhid yang memerangi beragam kesyirikan.
Tatanan masyarakat Arab benar-benar berubah. Ketika Islam datang, tak satu pun budaya, tradisi, dan kultur yang bertentangan syariat dibiarkan berkembang di tengah masyarakat. Telah terjadi perubahan dari masa jahiliah menuju masa yang dilandasi tauhid dan peradaban nan luhur.
Bahkan setelah itu, Islam tak semata menaungi masyarakat Arab. Islam pun menyebar ke segenap penjuru muka bumi. Itulah Islam yang telah ditunaikan secara benar oleh para sahabat serta para pengikutnya. Para sahabat mempelajari Islam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena itu, kurun mereka termasuk kurun yang sarat keutamaan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah generasi yang telah mendapat ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka pun ridha kepada-Nya.
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
“Dan orang-orang terdahulu lagi yang
pertama-tama (berislam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikutinya dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di
dalamnya selamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah: 100)
Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada masa kurunku, kemudian orang-orang yang setelahnya, kemudian orang-orang yang setelahnya.” (HR . al-Bukhari dan Muslim)
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah mengungkapkan, “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟
‘Siapakah manusia terbaik?’
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ
“(Yaitu) kurun yang saya di dalamnya, kemudian (generasi) kedua, kemudian (generasi) ketiga.” (HR . Muslim)
Mereka itulah generasi salaf. Generasi yang memiliki banyak
keutamaan. Generasi yang patut untuk diteladani. Mereka adalah manusia
terbaik.Karena itu, betapa indah Nusantara kita, bila generasi salaf yang menjadi teladannya. Generasi salaf telah memberi teladan bagaimana berislam yang baik dan benar. Kepribadian mereka nan luhur pantas untuk diikuti. Sebelum “Nusantara” lahir, mereka telah menampilkan sosok yang penuh rahmah, santun, beradab, dan lembut terhadap sesamanya.
Islam telah mengajari mereka untuk menjadi pribadi agung. Dari tangan mereka pula lahir masyarakat berperadaban tinggi. Ketakwaan, keimanan, kejujuran, keberanian, kelembutan, dan segenap akhlak terpuji lainnya ada pada mereka.
Ketinggian moral yang mereka miliki telah diakui umat. Islam tanpa diiringi “Nusantara” pun tetap menampakkan kelemahlembutan, penuh santun dan menebar rahmah. Sebelum “Nusantara” ini ada, Islam telah membentuk manusia-manusia berkarakter terpuji. Jadi, bukan karena faktor “Nusantara” Islam lantas jadi lembut, santun, rahmah, dan tidak radikal. Tidak. Bukan begitu. Sejak dahulu Islam telah memuat ajaran-ajaran terpuji dan telah pula mewarnai kehidupan umat manusia sehingga menjadi kehidupan berperadaban. Kisah damai suku Aus dan Khazraj adalah bukti perubahan yang telah dilakukan Islam.
Konsep Islam Nusantara itu sendiri masih belum jelas dan definitif. Konsep yang belum jelas itu pun cenderung dipaksakan ke tengah umat. Opini diarahkan untuk menimbulkan kesan bahwa Islam Nusantara adalah model Islam yang selaras dengan masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Ketika para pengusung Islam Nusantara tengah bersemangat menjajakan gagasannya, di sebuah acara perhelatan besar sebuah ormas besar, peristiwa besar pun berlangsung. Aksi beraroma kekerasan pun menyeruak di tengah perhelatan tersebut. Padahal, beberapa hari sebelumnya, para pembesar ormas besar itu telah bersuara lantang tentang konsep Islam Nusantara yang mengedepankan sikap rahmah, santun, lembut, antiradikalisme, dan terorisme.
Namun, apa yang terucap jauh panggang dari api. Realitas tidak menampilkan wajah Islam Nusantara yang konon berwajah sejuk, lembut, dan penuh rahmah. Masyarakat justru disuguhi tontonan yang sangat amat tidak pantas jadi tuntunan. Memalukan.
Ke mana arah pemahaman Islam Nusantara? Di balik propaganda antiradikalisme, antiterorisme, menampilkan wajah lemah lembut dan antikekerasan dari kalangan pengusung Islam Nusantara, telah terendus siasat dan kolaborasi mereka dengan orang-orang liberal dan Syiah.
Selain itu, mereka terus menjejalkan ide pluralisme, liberalisme, dan sekularisme ke tengah kaum Muslimin. Mereka sudutkan sekelompok kaum muslimin yang kukuh dengan sunnah. Di sisi lain, mereka merangkul dan memeluk kaum Kristen. Mereka jaga gereja saat kaum Kristen merayakan Natal, namun mereka diam membisu tatkala sebuah masjid dibakar oleh kalangan Kristen saat Hari Raya Idul Fitri. Itulah upaya mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّۧنَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِۖ فََٔامَنَت طَّآئِفَةٞ مِّنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَكَفَرَت طَّآئِفَةٞۖ فَأَيَّدۡنَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَىٰ عَدُوِّهِمۡ فَأَصۡبَحُواْ ظَٰهِرِينَ ١٤
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kalian penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra
Maryam telah berkata kepada para pengikutnya yang setia, ‘Siapakah yang
akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Para
pengikut setianya menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.’
Lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lainnya
kafir. Lalu Kami berikan kekuatan kepada orang-orang beriman terhadap
musuh-musuh mereka, sehingga mereka menjadi orang-orang yang menang.” (ash-Shaf: 14)Demikian, semoga bermanfaat. Allahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Surat Pembaca Edisi 112
Rubrik “Jejak” Dibukukan
Bismillah. Ana usul Rubrik “Jejak” dapat dibuat bundel, mengingat masih sedikit buku berbahasa Indonesia yang membahas sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih sejarah setelah wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rubrik “Seputar Hukum Islam” Dibukukan Juga
Bismillah. Majalah Asy Syari’ah, kami ada saran. Karena Rubrik “Seputar Hukum Islam” termasuk rubrik yang ‘naik-turun’, barangkali artikel yang terkumpul dalam Rubrik “Seputar Hukum Islam” dapat dibukukan (tentu disempurnakan pembahasannya sampai salam).
Kami pribadi memandang hal itu bi idznillah akan memberikan manfaat bagi umat Islam, yang tentu ingin sekali mencocoki cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi artikel-artikel dalam Rubrik “Seputar Hukum Islam” yang telah lalu memuat banyak bimbingan ulama, sehingga insya Allah bisa menjawab pertanyaan yang tebersit dalam hati ketika membaca hadits tentang suatu amalan. Semoga dimudahkan. Amin.
085642xxxxxx
Jawaban Redaksi:
Kami ucapkan jazakumullah khairan atas usulan Anda. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kami mewujudkannya.
Kajian Utama Belum Selesai?
Bismillah. Lanjutan atau kesimpulan investasi forex (edisi 111, hlm. 22), boleh atau tidaknya mana? Jazakumullahu khairan.
Abu Ihsan—Magetan
Jawaban Redaksi:
Artikel yang Anda maksud adalah sambungan dari hlm. 15. Jadi, lanjutan pembahasan bisa Anda baca pada artikel-artikel di hlm. 16 dan selanjutnya. Kesimpulan pembahasan tentang forex bisa dibaca pada hlm. 21—22, pada subjudul “Trading Forex Dibangun di Atas Akad Transaksi yang Cacat”.
Kami memohon maaf apabila artikel yang bersambung mengurangi konsentrasi membaca Anda.
Jadwal Terbit Asy Syariah
Maaf, mau tanya, Majalah Asy-Syari’ah terbit tiap bulan itu berdasarkan bulan Masehi atau Hijriah ya?
Jawaban Redaksi:
Pada asalnya, kami mencanangkan bisa terbit setiap bulan berdasarkan urutan bulan Masehi. Akan tetapi, karena beberapa kendala, seringkali kami tidak bisa menepati jadwal tersebut. Kami memohon maaf kepada seluruh pembaca tercinta atas hal ini. Semoga Allah memudahkan kami untuk merealisasikan harapan kita semua.
Jadi 112 Halaman Lagi
Maaf, mau tanya, Majalah Asy-Syari’ah sejak beberapa edisi ini menjadi 104 halaman, bukan 112 lagi? Sekadar saran, barangkali untuk menyiasati kenaikan harga cetak dengan tetap mempertahankan 112 halaman bisa dengan memilih sampul seperti awal dahulu, sebelum seperti yang sekarang.
Jawaban Redaksi:
Kami ucapkan jazakumullah khairan atas usulan Anda. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkannya.
Bismillah. Ana usul Rubrik “Jejak” dapat dibuat bundel, mengingat masih sedikit buku berbahasa Indonesia yang membahas sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih sejarah setelah wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rubrik “Seputar Hukum Islam” Dibukukan Juga
Bismillah. Majalah Asy Syari’ah, kami ada saran. Karena Rubrik “Seputar Hukum Islam” termasuk rubrik yang ‘naik-turun’, barangkali artikel yang terkumpul dalam Rubrik “Seputar Hukum Islam” dapat dibukukan (tentu disempurnakan pembahasannya sampai salam).
Kami pribadi memandang hal itu bi idznillah akan memberikan manfaat bagi umat Islam, yang tentu ingin sekali mencocoki cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi artikel-artikel dalam Rubrik “Seputar Hukum Islam” yang telah lalu memuat banyak bimbingan ulama, sehingga insya Allah bisa menjawab pertanyaan yang tebersit dalam hati ketika membaca hadits tentang suatu amalan. Semoga dimudahkan. Amin.
085642xxxxxx
Jawaban Redaksi:
Kami ucapkan jazakumullah khairan atas usulan Anda. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kami mewujudkannya.
Kajian Utama Belum Selesai?
Bismillah. Lanjutan atau kesimpulan investasi forex (edisi 111, hlm. 22), boleh atau tidaknya mana? Jazakumullahu khairan.
Abu Ihsan—Magetan
Jawaban Redaksi:
Artikel yang Anda maksud adalah sambungan dari hlm. 15. Jadi, lanjutan pembahasan bisa Anda baca pada artikel-artikel di hlm. 16 dan selanjutnya. Kesimpulan pembahasan tentang forex bisa dibaca pada hlm. 21—22, pada subjudul “Trading Forex Dibangun di Atas Akad Transaksi yang Cacat”.
Kami memohon maaf apabila artikel yang bersambung mengurangi konsentrasi membaca Anda.
Jadwal Terbit Asy Syariah
Maaf, mau tanya, Majalah Asy-Syari’ah terbit tiap bulan itu berdasarkan bulan Masehi atau Hijriah ya?
Jawaban Redaksi:
Pada asalnya, kami mencanangkan bisa terbit setiap bulan berdasarkan urutan bulan Masehi. Akan tetapi, karena beberapa kendala, seringkali kami tidak bisa menepati jadwal tersebut. Kami memohon maaf kepada seluruh pembaca tercinta atas hal ini. Semoga Allah memudahkan kami untuk merealisasikan harapan kita semua.
Jadi 112 Halaman Lagi
Maaf, mau tanya, Majalah Asy-Syari’ah sejak beberapa edisi ini menjadi 104 halaman, bukan 112 lagi? Sekadar saran, barangkali untuk menyiasati kenaikan harga cetak dengan tetap mempertahankan 112 halaman bisa dengan memilih sampul seperti awal dahulu, sebelum seperti yang sekarang.
Jawaban Redaksi:
Kami ucapkan jazakumullah khairan atas usulan Anda. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkannya.
Topeng Tebal Islam Nusantara
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Sebuah topeng baru berwajah rahmatan lil ‘alamin, muncul di negeri ini. Wajah keriput yang tebal dengan “kosmetika” moderat, toleran, cinta damai, dan menghargai keberagaman. Konon, Islam mereka adalah yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak tobat bukan menghujat, dan seterusnya.Terbukti, kelompok bernama Islam Nusantara ini memang benar-benar merangkul mesra Syiah, Ahmadiyah, Nasrani, Hindu, Budha, dan kalangan non-Islam. Adapun terhadap saudara-saudara seislam yang mengamalkan ajaran Islam yang berbeda dengan versinya, mereka posisikan sebagai musuh sejadi-jadinya. Lebih-lebih terhadap muslimin yang mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ajak “tobat” dengan hujatan dan fitnah juga. Tampak jelas, Islam Nusantara hanya menjual istilah. Maka dari itu, demi mengakomodasi istilah-istilah “gaib” yang ditelorkan oleh kelompok ini, tampaknya perlu dibuat kamus JIN alias Jaringan Islam Nusantara.
Sikap “membina tidak menghina” ditunjukkan oleh salah satu tokoh JIN. Dengan (katanya) “memakai hati dan tidak memaki-maki”, ia tampakkan sikap sewot terhadap jenggot. Memelihara jenggot yang merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam —bahkan, banyak ulama yang mewajibkan—dikerdilkan sebagai adat Arab. Orang-orang berjenggot dibodoh-bodohkan. Lupakah dia, pendiri ormas yang dia pimpin sekarang berikut para kiainya juga berjenggot?
Kalau mengaku toleran, mengapa terhadap jenggot begitu antipati?! Kalau mengaku toleran, mengapa ketika ada orang memakai busana yang menutup aurat meradang? Kalau mengaku toleran, mengapa antipati dengan orang yang tidak mau tahlilan? Dengan logika bodoh saja, orang Nasrani, Budha, Hindu, Kong Hu Cu juga tidak tahlilan. Bukankah tidak tahlilan juga bagian dari keberagaman yang selama ini digembar-gemborkan? Lantas mengapa harus membawa-bawa nama Pancasila untuk urusan tahlilan? Siapa yang bodoh dan siapa yang diragukan Pancasila-nya?
Begitu paradoksnya Islam Nusantara. Sibuk menghina atribut Islam yang sejatinya bukan adat Arab, tetapi bungkam dengan banyaknya busana yang mengumbar aurat. Mari buka mata, hijab sebagai busana muslimah muncul setelah datangnya Islam, kala busana orang Arab jahiliah waktu itu mengumbar aurat.
Anggaplah busana itu meniru sesuatu yang telah menjadi kebiasaan di Timur Tengah, haruskah kita sesewot itu? Mengapa dia tidak sewot dengan banyaknya orang yang membebek dengan Barat, tak hanya dalam hal busana, namun juga gaya hidupnya? Mengapa tidak jujur bahwa inti ajaran Islam Nusantara hanya anti-Arab? Kalau memang mengedepankan yang berbau Nusantara, mengapa Ahmadiyah dan Syiah yang notabene bukan Nusantara dirangkul demikian mesra?
JIN juga begitu semangat mengatakan bahwa yang di luar mereka sebagai Islam yang hanya menonjolkan simbol. Padahal mereka jauh lebih parah, lebih mengedepankan seremoni namun jauh dari substansi. Seremoni yang tidak ada bimbingannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibela mati-matian. Semakin kehilangan substansi manakala mengaku cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kala ada muslimin yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti memelihara jenggot, dicerca habis-habisan.
Sadar atau tidak, Islam Nusantara menahbiskan diri sebagai “karyawan” Salibis. JIN tak lebih dari aliran yang intoleran terhadap sesama Islam, tetapi begitu toleran terhadap non-Islam. Cuma mengelus dada saja dengan aliran yang paradoks ini. Aliran yang seharusnya masuk kelompok “aneh tapi nyata”.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Nasihat Umar Bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
Wadi’ah al-Anshari mengatakan bahwa dia mendengar Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menasihati seseorang,
لاَ تَكَلَّمْ فِيمَا لاَ يَعْنِيكَ، وَاعْرِفْ عَدُوَّكَ، وَاحْذَرْ صَدِيقَكَ إِلاَّ الْأَمِينَ، وَلاَ أَمِينَ إِلاَّ مَنْ يَخْشَى اللهَ، وَ تَمْشِي مَعَ الْفَاجِرِ فَيُعَلِّمَكَ مِنْ فُجُورِهِ، وَ تُطَلِّعْهُ عَلَى سِرِّكَ، وَلاَ تُشَاوِرْ فِي أَمْرِكَ إِلاَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah engkau berbicara dalam urusan yang tidak engkau perlukan. Kenali musuhmu.
Waspadalah dari temanmu, kecuali yang tepercaya. Tidak ada orang tepercaya kecuali yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Janganlah engkau berjalan bersama
orang yang rusak, sehingga dia akan mengajarimu sebagian keburukannya.
Jangan pula engkau beri tahukan rahasiamu kepadanya.
Janganlah engkau bermusyawarah tentang urusanmu kecuali dengan orangorang yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla.”
(Shifatu ash-Shafwah hlm. 109)Zikir Setelah Shalat
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، حَوْلَ وَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، إِلَهَ إِ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Tidak ada sesembahan yang haq
kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala
kekuasaan dan segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali hanya
kepada-Nya. Milik-Nya segala kenikmatan dan keutamaan serta sanjungan
yang baik. Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, kami memurnikan
seluruh peribadatan ini hanya untuk-Nya meskipun orang-orang kafir tidak
menyukai.”
(HR. Muslim no. 1342 dari Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu)Saat Melihat Manusia Menyimpan Emas & Perak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu,
“Wahai Syaddad bin Aus, apabila engkau melihat manusia telah menyimpan emas dan perak, simpanlah kalimat-kalimat ini.
“Wahai Syaddad bin Aus, apabila engkau melihat manusia telah menyimpan emas dan perak, simpanlah kalimat-kalimat ini.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ وَالْعَزِيْمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ عِبَادَتِك، وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا، وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Ya Allah, sungguh aku memohon
kepada-Mu kekokohan di atas agama, istiqamah di atas jalan yang haq,
bersyukur atas nikmat-Mu, kebagusan dalam ibadah kepada-Mu, kalbu yang
selamat, dan lisan yang jujur. Aku memohon kebaikan yang Engkau ketahui.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang Engkau ketahui. Aku
memohon ampun kepada-Mu dari yang Engkau ketahui. Sesungguhnya, Engkau
Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.”
(HR. Ahmad no. 17114, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3228)Sabar yang Indah
“Sabar, ya?” demikian ucapan yang biasa kita dengar dari orang yang
hendak menenangkan seseorang yang sedang emosi atau tengah dilanda
duka. Sebenarnya apa hakikat sabar yang biasa terucap itu?
Menurut syariat, sabar adalah menahan diri dalam tiga urusan:
Sabar Menjalankan Ketaatan
Seorang insan harus bersabar ketika menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, ketaatan itu sebenarnya berat dan sulit bagi jiwa. Terkadang, berat pula bagi jasmani karena pada diri seseorang ada kelemahan dan kepayahan. Ibadah yang harus mengeluarkan harta juga berat, seperti mengeluarkan zakat dan berhaji.
Intinya, dalam ketaatan itu ada rasa berat bagi jiwa dan jasmani sehingga dibutuhkan kesabaran untuk menjalankannya.
Sabar Menjauhi Larangan
Seseorang harus menahan jiwanya dari berbuat maksiat. Sementara itu, jiwa itu ammarah bis su’, suka mengajak kepada kejelekan. Oleh karena itu, seorang insan harus membuat sabar jiwanya. Contoh hal yang diharamkan ialah berdusta, berkhianat, ghibah, memakan riba, mendengarkan musik, zina, mencuri, dan sebagainya.
Seseorang harus menahan jiwanya agar tidak melakukan semua itu. Dia harus berjuang untuk melawan ajakan berbuat haram dan mesti mengekang hawa nafsunya. Sabar di atas ketaatan lebih utama daripada sabar dalam menjauhi maksiat.
Sabar Menghadapi Takdir
Ketahuilah, ada dua macam takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang mengenai manusia: mula’imah dan mu’limah. Mula’imah adalah yang sesuai dengan keinginan dan menyenangkan seorang insan. Orang yang menerima takdir ini harus bersyukur. Syukur termasuk amal ketaatan. Dengan demikian, sabar dalam hal ini termasuk jenis kesabaran yang pertama.
Mu’limah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, pahit dirasakan. Seseorang diuji pada tubuh, harta, dan keluarganya. Dia harus bersabar menghadapi musibah tersebut dengan tidak melakukan apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu berkeluh kesah, menampakkan marah atas musibah tersebut, apakah diucapkan dengan lisan, disimpan dalam kalbu, ataupun ditunjukkan dengan perbuatan anggota badan.
Tingkatan Manusia Menghadapi Musibah
Saat terjadi musibah, manusia berada di antara salah satu dari empat keadaan berikut.
Marah dengan lisan terwujud dengan terucap doa kejelekan untuk dirinya karena musibah tersebut, “Duhai, celaka aku!”, “Betapa sengsaranya diri ini!”, atau “Mengapa harus datang musibah ini?”
Marah dengan anggota tubuh, terwujud dengan menampar pipi, menarik-narik rambut, merobek baju, meraung-raung, berguling-guling di lantai sambil meratap, dan sebagainya.
Orang yang berbuat hal-hal seperti di atas kala musibah melandanya adalah orang yang diharamkan mendapatkan pahala. Sudah pun tidak “sukses” dengan musibah tersebut, dia justru berdoa kejelekan untuk dirinya. Akhirnya, dia tertimpa dua musibah, yaitu musibah pada agamanya dengan marah tersebut dan musibah pada dunianya dengan ditimpa hal yang menyakitkan.
Sebenarnya dia benci dan tidak suka dengan musibah tersebut, tetapi dia menyabarkan dirinya. Lisannya ditahan agar tidak mengucapkan kata-kata yang mengundang kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Anggota tubuhnya dikekang agar tidak berbuat sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala. Di hatinya tidak ada prasangka yang buruk kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia sabar walau dia tidak suka dengan musibah tersebut.
Sabar yang seperti ini wajib dimiliki oleh setiap muslim saat menghadapi musibah.
Syukur merupakan tingkatan yang tertinggi. Hukumnya sunnah sebagaimana halnya tingkatan ketiga, yaitu ridha.
Sabar Hukumnya Wajib
Sebagaimana disebutkan bahwa sabar itu hukumnya wajib karena diperintahkan oleh agama ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam tanzil- Nya,
Contohnya ialah ayat yang mengabarkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersama orang-orang yang bersabar. Seorang yang bersabar akan beroleh pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menguatkan dan membantunya hingga sempurna kesabarannya sesuai dengan yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi kabar gembira kepada orang yang sabar. Siapakah mereka yang sabar itu?
Karena itu, apabila Anda ingin menjadi hamba yang utama dan mendapat pahala tiada batas, jika Anda ditimpa suatu musibah yang membutuhkan kesabaran, bersabarlah dan tanggunglah semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah dan ingatlah selalu,
(Faedah dari keterangan Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhu Riyadhis Shalihin, Bab “ash-Shabr”, hlm. 89—99)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Menurut syariat, sabar adalah menahan diri dalam tiga urusan:
- Sabar dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
- Sabar dalam menjauhi apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala
- Sabar dalam menghadapi takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang pahit.
Sabar Menjalankan Ketaatan
Seorang insan harus bersabar ketika menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, ketaatan itu sebenarnya berat dan sulit bagi jiwa. Terkadang, berat pula bagi jasmani karena pada diri seseorang ada kelemahan dan kepayahan. Ibadah yang harus mengeluarkan harta juga berat, seperti mengeluarkan zakat dan berhaji.
Intinya, dalam ketaatan itu ada rasa berat bagi jiwa dan jasmani sehingga dibutuhkan kesabaran untuk menjalankannya.
Sabar Menjauhi Larangan
Seseorang harus menahan jiwanya dari berbuat maksiat. Sementara itu, jiwa itu ammarah bis su’, suka mengajak kepada kejelekan. Oleh karena itu, seorang insan harus membuat sabar jiwanya. Contoh hal yang diharamkan ialah berdusta, berkhianat, ghibah, memakan riba, mendengarkan musik, zina, mencuri, dan sebagainya.
Seseorang harus menahan jiwanya agar tidak melakukan semua itu. Dia harus berjuang untuk melawan ajakan berbuat haram dan mesti mengekang hawa nafsunya. Sabar di atas ketaatan lebih utama daripada sabar dalam menjauhi maksiat.
Sabar Menghadapi Takdir
Ketahuilah, ada dua macam takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang mengenai manusia: mula’imah dan mu’limah. Mula’imah adalah yang sesuai dengan keinginan dan menyenangkan seorang insan. Orang yang menerima takdir ini harus bersyukur. Syukur termasuk amal ketaatan. Dengan demikian, sabar dalam hal ini termasuk jenis kesabaran yang pertama.
Mu’limah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, pahit dirasakan. Seseorang diuji pada tubuh, harta, dan keluarganya. Dia harus bersabar menghadapi musibah tersebut dengan tidak melakukan apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu berkeluh kesah, menampakkan marah atas musibah tersebut, apakah diucapkan dengan lisan, disimpan dalam kalbu, ataupun ditunjukkan dengan perbuatan anggota badan.
Tingkatan Manusia Menghadapi Musibah
Saat terjadi musibah, manusia berada di antara salah satu dari empat keadaan berikut.
- Dia murka atas musibah yang menimpanya.
Marah dengan lisan terwujud dengan terucap doa kejelekan untuk dirinya karena musibah tersebut, “Duhai, celaka aku!”, “Betapa sengsaranya diri ini!”, atau “Mengapa harus datang musibah ini?”
Marah dengan anggota tubuh, terwujud dengan menampar pipi, menarik-narik rambut, merobek baju, meraung-raung, berguling-guling di lantai sambil meratap, dan sebagainya.
Orang yang berbuat hal-hal seperti di atas kala musibah melandanya adalah orang yang diharamkan mendapatkan pahala. Sudah pun tidak “sukses” dengan musibah tersebut, dia justru berdoa kejelekan untuk dirinya. Akhirnya, dia tertimpa dua musibah, yaitu musibah pada agamanya dengan marah tersebut dan musibah pada dunianya dengan ditimpa hal yang menyakitkan.
- Dia bersabar atas musibah tersebut.
Sebenarnya dia benci dan tidak suka dengan musibah tersebut, tetapi dia menyabarkan dirinya. Lisannya ditahan agar tidak mengucapkan kata-kata yang mengundang kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Anggota tubuhnya dikekang agar tidak berbuat sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala. Di hatinya tidak ada prasangka yang buruk kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia sabar walau dia tidak suka dengan musibah tersebut.
Sabar yang seperti ini wajib dimiliki oleh setiap muslim saat menghadapi musibah.
- Ridha dengan musibah tersebut.
- Bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas musibah yang menimpa.
الْحَمْدُ لِلهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Segala puji bagi Allah atas seluruh keadaan.”
Dia bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas pahala yang diterimanya karena musibah tersebut jauh lebih besar dari musibah itu sendiri.Syukur merupakan tingkatan yang tertinggi. Hukumnya sunnah sebagaimana halnya tingkatan ketiga, yaitu ridha.
Sabar Hukumnya Wajib
Sebagaimana disebutkan bahwa sabar itu hukumnya wajib karena diperintahkan oleh agama ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam tanzil- Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kalian (dalam menjauhi apa yang Allah haramkan), perkuatlah
kesabaran (dalam menjalani ketaatan kepada-Nya), dan perbanyaklah
kebaikan serta terus meneruslah di atasnya….” (Ali ‘Imran: 200)
Musibah merupakan keniscayaan sebagai ujian kehidupan. Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥
“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan
kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang bersabar.” (al-Baqarah: 155)
Dengan ujian, akan tampak para pemenang dan nyata orang-orang yang kalah.وَلَنَبۡلُوَنَّكُمۡ حَتَّىٰ نَعۡلَمَ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar
akan menguji kalian agar Kami mengetahui (menampakkan) orang-orang yang
berjihad dan orang-orang yang bersabar di antara kalian.” (Muhammad: 31)
Pemenangnya adalah orang-orang yang bisa bersabar. Mereka dijanjikan
akan beroleh pahala yang sangat besar tanpa perhitungan sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala,إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ ١٠
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar: 10)
Itulah pahala berlipat ganda dari Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak mungkin manusia membilangnya. Bergembiralah orang-orang yang mau bersabar dengan kebersamaan Allah subhanahu wa ta’ala yang khusus, yaitu kebersamaan-Nya dengan para hamba pilihan-Nya,إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٣
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 153)
Perlu diketahui, ma’iyatulah (kebersamaan Allah dengan hamba-Nya) ada dua macam.- Kebersamaan yang umum (ma’iyah ‘ammah)
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيهَاۖ وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ٤
“Dia-lah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam hari. Kemudian dia beristiwa di atas Arsy. Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa
yang turun dari langit, dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama
kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kalian kerjakan.” (al-Hadid: 4)
مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ وَلَآ أَدۡنَىٰ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمۡ أَيۡنَ مَا كَانُواْۖ
“Tidak ada pembicaraan rahasia antara
tiga orang melainkan Dialah yang keempat. Dan tidak ada pembicaraan
rahasia antara lima orang melainkan Dia yang keenamnya. Dan tidak pula
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” (al-Mujadilah: 7)
Tidak ada satu makhluk pun kecuali Allah subhanahu wa ta’ala bersamanya dengan ilmu-Nya, yang meliputi mendengar, menguasai, mengatur, dan melihat seorang hamba dari makna rububiyah-Nya.- Kebersamaan yang khusus
Contohnya ialah ayat yang mengabarkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersama orang-orang yang bersabar. Seorang yang bersabar akan beroleh pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menguatkan dan membantunya hingga sempurna kesabarannya sesuai dengan yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi kabar gembira kepada orang yang sabar. Siapakah mereka yang sabar itu?
وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ ١٥٧
“Dan berikanlah kabar gembira kepada
orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang apabila mereka ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’
Mereka itulah yang beroleh pujian dari Rabb mereka (dipuji-puji di
hadapan para malaikat) dan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)
Berikanlah kabar gembira, wahai Nabi dan orang-orang yang sampai
kepadanya ayat ini. Berilah kabar gembira kepada orang yang sabar atas
musibah yang menimpa, tidak menghadapinya dengan kemarahan tetapi dengan
kesabaran. Lebih sempurna lagi dari itu adalah orang yang menghadapi
musibah dengan perasaan ridha. Lebih sempurna lagi adalah yaitu
menghadapinya dengan rasa syukur.Karena itu, apabila Anda ingin menjadi hamba yang utama dan mendapat pahala tiada batas, jika Anda ditimpa suatu musibah yang membutuhkan kesabaran, bersabarlah dan tanggunglah semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah dan ingatlah selalu,
أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
“Pertolongan itu bersama kesabaran. Kelapangan itu bersama musibah. Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
Jadi, tiada rugi Anda menyabar-nyabarkan diri.(Faedah dari keterangan Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhu Riyadhis Shalihin, Bab “ash-Shabr”, hlm. 89—99)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Menikah Disyariatkan Ketika Dibutuhkan
Apakah ada batasan usia layak menikah bagi pemuda dan pemudi?
Apakah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum poligami?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab[1],
“Tidak ada batasan usia tertentu untuk menikah. Perkaranya kembali kepada kebutuhan untuk menikah. Bila seorang pemuda atau pemudi butuh untuk menikah dalam usia berapa saja, maka disyariatkan kepada keduanya untuk menikah, tanpa membatasi umur, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Adapun masalah poligami, kebolehannya disepakati oleh kaum muslimin tanpa ada perbedaan pendapat, berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Jika si lelaki dapat memenuhi kebutuhan para istri, dia boleh menikahi sampai empat wanita. Namun,apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan istri dan khawatir berbuat curang dalam hal pembagian di antara para istri, dalam hal pemberian nafkah belanja, dan dalam hal pergaulan, dia mencukupkan dirinya dengan satu istri.
Adapun kecondongan dan kecintaan hati, tidak ada seorang manusia pun yang sanggup mengaturnya (sehingga tidak mungkin seorang suami dituntut menyamakan cintanya kepada para istrinya –pent.).
Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dia dihukumi berdosa hanyalah ketika berlaku curang dan tidak adil dalam hal pembagian di antara para istri (dalam urusan yang disanggupi untuk berlaku adil). Hal inilah yang membuat seseorang berdosa apabila tidak adil. Hal ini pula yang membuat seseorang tidak boleh berpoligami, yakni ketika tidak sanggup berbuat adil.
Batasan poligami dengan empat istri merupakan hal yang disepakati. Bila ada pendapat yang mengatakan boleh menikahi lebih dari empat istri, pendapat tersebut ganjil. Ijma’ (kesepakatan) ulama menyelisihi pendapat yang ganjil tersebut. (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh, 2/529–530)
Nikah Paksa
Apa hukumnya seorang pemudi atau pemuda menikah dengan paksaan keluarganya? Boleh atau tidak, mendurhakai (tidak menurut) kedua orang tua dalam hal ini?
Jawab:
Yang pertama, tidak sepantasnya seseorang dipaksa untuk menikah, baik dia lelaki maupun perempuan. Semestinya seseorang menikah karena keinginannya sendiri.
Terkait dengan masalah tidak menuruti orang tua dalam hal ini, perlu dirinci.
Apabila wanita yang dijodohkan denganmu oleh ayahmu secara paksa itu atau lelaki yang dijodohkan oleh seorang ayah dengan putrinya secara paksa, tidak cocok dari sisi agama[2], orang tua tidak boleh ditaati dalam hal ini. Sebab, ini berarti urusan maksiat, padahal tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada al-Khaliq.
Apabila seseorang menolak pasangan yang dijodohkan dengannya oleh orang tua bukan karena alasan agama, melainkan alasan yang lain, bisa jadi karena perangai atau hal lain yang tidak terkait agama, sebaiknya engkau menaati orang tuamu. Bisa jadi, hal itu baik bagimu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Jadi, apabila ketidaksukaanmu kepada istri atau ketidaksukaan istri kepada suami (karena nikah paksa) bukan karena alasan agama, yang lebih baik dia mematuhi ayahnya. Dia tetap melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan dalam pernikahan itu ada kebaikan, insya Allah.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh, 2/540–541)
[1] Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikutnya juga dari fatwa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah.
[2] Maksudnya, orang yang akan dijodohkan itu tidak bagus agamanya, padahal syariat memerintahkan untuk memilih pasangan yang agamanya baik. (-pent.)
Apakah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum poligami?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab[1],
“Tidak ada batasan usia tertentu untuk menikah. Perkaranya kembali kepada kebutuhan untuk menikah. Bila seorang pemuda atau pemudi butuh untuk menikah dalam usia berapa saja, maka disyariatkan kepada keduanya untuk menikah, tanpa membatasi umur, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرَجِ
“Wahai sekalian pemuda! Siapa di
antara kalian yang memiliki kemampuan, hendaknyalah menikah. Sebab,
menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Secara umum pernikahan dilakukan setelah seseorang baligh. Akan
tetapi, seandainya seorang pemuda menikah sebelum usia baligh, atau
pemudi dinikahkan sebelum baligh, maka tidak ada larangan dalam hal ini.
Sebab, tidak ada batasan usia layak menikah yang jika seseorang belum
mencapai usia tersebut maka belum boleh menikah. Namun, saat baligh,
kebutuhan untuk menikah lebih kuat. Kesimpulannya, pernikahan
disyariatkan ketika ada kebutuhan untuk melakukannya.Adapun masalah poligami, kebolehannya disepakati oleh kaum muslimin tanpa ada perbedaan pendapat, berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), nikahilah perempuan-perempuan lain yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Namun,
jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, nikahilah seorang
perempuan saja atau budak-budak yang kalian miliki.” (an-Nisa: 3)
Poligami disepakati kebolehannya oleh ahlul ilmi, dengan syarat si
lelaki menyakini dirinya dapat memenuhi kebutuhan para istri berupa
nafkah belanja, pakaian, dan tempat tinggal.Jika si lelaki dapat memenuhi kebutuhan para istri, dia boleh menikahi sampai empat wanita. Namun,apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan istri dan khawatir berbuat curang dalam hal pembagian di antara para istri, dalam hal pemberian nafkah belanja, dan dalam hal pergaulan, dia mencukupkan dirinya dengan satu istri.
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
“Jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, nikahilah seorang perempuan saja…”
Yang dimaksud ‘adil’ dalam ayat di atas adalah adil dalam hal bergaul
dengan istri, dalam hal pemberian nafkah belanja, tempat tinggal dan
pakaian, serta halhal lain yang mampu diterapkan keadilan padanya.Adapun kecondongan dan kecintaan hati, tidak ada seorang manusia pun yang sanggup mengaturnya (sehingga tidak mungkin seorang suami dituntut menyamakan cintanya kepada para istrinya –pent.).
Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat
ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung
kepada istri yang lebih kalian cintai sehingga membiarkan istri yang
lain (yang tidak atau kurang dicintai) terkatung-katung (tidak
dipergauli dengan baik, namun tidak juga diceraikan –pent.)….” (an-Nisa: 129)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi di antara istri-istrinya dan beliau berbuat adil. Beliau berkata,اللَّهُمَّ هَذَا قِسْمِي فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمَّنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ
“Ya Allah, inilah pembagianku dalam
apa yang aku mampu. Janganlah Engkau mencelaku dalam apa yang Engkau
kuasa sementara aku tidak kuasa.” (HR. Ashabus Sunan yang empat, dinyatakan sanadnya jayyid oleh al-Albani, al-Misykat no. 3235)
Yang beliau maksud dengan ‘yang aku tidak mampu’ adalah kecondongan
dan kecintaaan kalbu. Karena itu, seorang lelaki tidak berdosa apabila
dia lebih mencintai sebagian istrinya. Sebab, urusan cinta di luar
kemampuannya (dia tidak bisa menguasai dan mengaturnya).Dia dihukumi berdosa hanyalah ketika berlaku curang dan tidak adil dalam hal pembagian di antara para istri (dalam urusan yang disanggupi untuk berlaku adil). Hal inilah yang membuat seseorang berdosa apabila tidak adil. Hal ini pula yang membuat seseorang tidak boleh berpoligami, yakni ketika tidak sanggup berbuat adil.
Batasan poligami dengan empat istri merupakan hal yang disepakati. Bila ada pendapat yang mengatakan boleh menikahi lebih dari empat istri, pendapat tersebut ganjil. Ijma’ (kesepakatan) ulama menyelisihi pendapat yang ganjil tersebut. (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh, 2/529–530)
Nikah Paksa
Apa hukumnya seorang pemudi atau pemuda menikah dengan paksaan keluarganya? Boleh atau tidak, mendurhakai (tidak menurut) kedua orang tua dalam hal ini?
Jawab:
Yang pertama, tidak sepantasnya seseorang dipaksa untuk menikah, baik dia lelaki maupun perempuan. Semestinya seseorang menikah karena keinginannya sendiri.
Terkait dengan masalah tidak menuruti orang tua dalam hal ini, perlu dirinci.
Apabila wanita yang dijodohkan denganmu oleh ayahmu secara paksa itu atau lelaki yang dijodohkan oleh seorang ayah dengan putrinya secara paksa, tidak cocok dari sisi agama[2], orang tua tidak boleh ditaati dalam hal ini. Sebab, ini berarti urusan maksiat, padahal tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada al-Khaliq.
Apabila seseorang menolak pasangan yang dijodohkan dengannya oleh orang tua bukan karena alasan agama, melainkan alasan yang lain, bisa jadi karena perangai atau hal lain yang tidak terkait agama, sebaiknya engkau menaati orang tuamu. Bisa jadi, hal itu baik bagimu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ
“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu padahal itu lebih baik bagi kalian.” (al-Baqarah: 216)
فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
“Jika kalian tidak menyukai mereka
(para istri), (bersabarlah) karena bisa jadi kalian tidak menyukai
sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)
Bisa jadi, ayahmu memiliki pandangan yang lebih baik dan lebih jauh daripada dirimu untuk kebaikan di kemudian hari.Jadi, apabila ketidaksukaanmu kepada istri atau ketidaksukaan istri kepada suami (karena nikah paksa) bukan karena alasan agama, yang lebih baik dia mematuhi ayahnya. Dia tetap melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan dalam pernikahan itu ada kebaikan, insya Allah.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh, 2/540–541)
[1] Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikutnya juga dari fatwa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah.
[2] Maksudnya, orang yang akan dijodohkan itu tidak bagus agamanya, padahal syariat memerintahkan untuk memilih pasangan yang agamanya baik. (-pent.)
Nasihat Agung untuk Berpegang dengan Agama
Saudariku muslimah…
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membaikkan hidupmu dengan ilmu dan iman, memakmurkan waktumu dengan ketaatan kepada-Nya, dan mengindahkan dirimu dengan hijab dan rasa malu.
Hendaknyalah engkau menyadari bahwa nikmat Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu berupa agama ini sangatlah agung, anugerah-Nya atasmu dengan hidayah kepada agama ini amatlah besar.
Sebab, agama yang engkau anut adalah satu-satunya agama yang Dia ridhai untuk para hamba-Nya, Dia sempurnakan untuk mereka, dan Dia tidak menerima dari para hamba satu agama pun selain agamamu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Islam agama yang diberkahi. Kebaikan, keberkahan, dan kemanfaatannya kembali kepada orang yang berpegang dengannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Engkau perlu mengetahui beberapa urusan agung yang dapat membantumu berpegang dengan bimbingan agamamu dan arahan-arahannya yang bernilai tinggi. Dengan mengetahui urusan tersebut, engkau bisa menerima agamamu dengan penuh penerimaan, dada yang lapang, dan penuh ridha.
Musuh-musuh tersebut melakukan segala upaya yang mereka sanggupi untuk mewujudkan ambisi mereka. Tampil terdepan dari kalangan musuh tersebut adalah setan, musuh Allah subhanahu wa ta’ala, musuh agama, dan musuh orang-orang yang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Siapa yang menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan jujur, bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada-Nya, dan berharap kepada-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mengabulkan apa yang dia inginkan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memudahkan baginya apa yang dicarinya.
Termasuk doa yang agung adalah doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
Mengapa? Karena hal itu adalah hukum Dzat sebaik-baik penetap hukum, diturunkan dari Rabbul alamin, yang Mahahikmah dalam pengaturan-Nya, Yang Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan para hamba-Nya, Mahatahu apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan mereka, kesuksesan, dan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, merupakan permusuhan terbesar, dosa yang besar, serta kehinaan yang paling rendah apabila dikatakan bahwa ada hukum Allah subhanahu wa ta’ala terkait dengan wanita atau selainnya yang mengandung kezaliman atau ketimpangan di dalamnya.
Siapa yang berucap demikian, sungguh dia tidaklah memuliakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benar pengagungan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Siapa yang meyakini sebaliknya, maka amatlah jauh orang tersebut dari sikap mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala! Alangkah pantasnya dia di dunia ini dan di akhirat kelak beroleh kehinaan. Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengagungkan hukum-hukum-Nya.
Adapun tuduhan bahwa aturan agama ini, terkhusus untuk wanita, amat menyempitkan, memberikan madarat bagi wanita, dan menyusahkan mereka; semua itu adalah kesalahan besar dan ucapan tanpa ilmu terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan kalam-Nya, wahyu, dan hukum-Nya.
Perbuatan tersebut termasuk keharaman yang paling berat dan dosa yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perbuatan yang diharamkan-Nya, yang paling besar adalah,
Sebab, ucapan yang engkau dengar adalah ucapan Dzat yang menciptakanmu, menjadikanmu, dan memberimu anugerah berupa pendengaran, penglihatan, kekuatan, dan segala kenikmatan. Perbedaan antara ucapan-Nya dan ucapan makhluk-Nya tentu seperti perbedaan antara Dia subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya.
Berhati-hatilah apabila sampai terbetik dalam jiwamu perasaan enggan, tidak menerima, dan tidak suka dengan bimbingan/arahan Rabbul Alamin. Demikian pula terkait dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih dan tsabit dari beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala melaknat wanita yang membuat tato dan minta ditato, wanita yang mencabut rambut alis, dan mengikir gigi untuk keindahan, wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Ucapan ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya’qub. Dia datang menemui Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu seraya berkata, “Sampai kepadaku ucapan Anda bahwa Anda melaknat wanita yang begini dan begitu?”
Kata Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dilaknat dalam Kitabullah?”
Kata si wanita, “Sungguh, aku telah membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir, namun aku tidak mendapati apa yang Anda katakan.”
Kata Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu, “Jika engkau benar membacanya niscaya engkau akan dapatkan. Tidakkah engkau pernah membaca ayat,
Kata Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perbuatan tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 4886)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada ummahatul mukminin,
Hikmah adalah sunnah yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Saudariku muslimah… Apabila engkau mencari keindahan yang hakiki dan perhiasan yang sempurna, ketahuilah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas terhadap ayat ini. (Tafsir Ibni Katsir, 8/183)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membaikkan hidupmu dengan ilmu dan iman, memakmurkan waktumu dengan ketaatan kepada-Nya, dan mengindahkan dirimu dengan hijab dan rasa malu.
Hendaknyalah engkau menyadari bahwa nikmat Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu berupa agama ini sangatlah agung, anugerah-Nya atasmu dengan hidayah kepada agama ini amatlah besar.
Sebab, agama yang engkau anut adalah satu-satunya agama yang Dia ridhai untuk para hamba-Nya, Dia sempurnakan untuk mereka, dan Dia tidak menerima dari para hamba satu agama pun selain agamamu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Siapa yang mencari agama selain
Islam maka tidak diterima agama tersebut darinya dan di akhirat kelak
dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kalian agama kalian, telah pula Ku-sempurnakan nikmat-Ku untuk
kalian dan Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)
Islam adalah agama yang dengannya Allah subhanahu wa ta’ala memperbaiki keyakinan dan akhlak. Dengan Islam, Allah subhanahu wa ta’ala memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala memperindah lahir dan batin seseorang dengan Islam. Allah subhanahu wa ta’ala memurnikan orang yang memeluknya dan berpegang teguh dengannya dari kotoran kebatilan, penyimpangan, dan kesesatan.Islam agama yang diberkahi. Kebaikan, keberkahan, dan kemanfaatannya kembali kepada orang yang berpegang dengannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Engkau perlu mengetahui beberapa urusan agung yang dapat membantumu berpegang dengan bimbingan agamamu dan arahan-arahannya yang bernilai tinggi. Dengan mengetahui urusan tersebut, engkau bisa menerima agamamu dengan penuh penerimaan, dada yang lapang, dan penuh ridha.
- Yakinilah bahwa hukum yang paling baik, paling lurus, paling sempurna, dan paling indah adalah hukum Rabbul Alamin, Sang Pencipta segenap alam.
وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠
“Siapakah yang paling baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50)
أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِأَحۡكَمِ ٱلۡحَٰكِمِينَ ٨
“Bukankah Allah adalah sebaik-baik hakim?!” (at-Tin: 8)
وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡحَٰكِمِينَ ٨٧
“Dan Dia adalah sebaik-baik hakim.” (al-A’raf: 87)
Apabila engkau yakin akan hal ini, tentu engkau tidak akan ragu menerima hukum apa pun yang Dia subhanahu wa ta’ala tetapkan dan perintahkan.- Ketahuilah, kebahagiaan dan kemuliaanmu sangat tergantung pada kekokohanmu dalam agama ini dan ketaatanmu kepada Rabbul Alamin serta kekuatanmu berpegang dengan hukum-Nya.
إِن تَجۡتَنِبُواْ كَبَآئِرَ مَا تُنۡهَوۡنَ عَنۡهُ نُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَنُدۡخِلۡكُم مُّدۡخَلٗا كَرِيمٗا ٣١
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar
yang kalian dilarang darinya, niscaya Kami akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat masuk yang
mulia.” (an-Nisa: 31)
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)
- Sadarilah, ada banyak musuh yang dihadapi muslimah dalam hidup.
Musuh-musuh tersebut melakukan segala upaya yang mereka sanggupi untuk mewujudkan ambisi mereka. Tampil terdepan dari kalangan musuh tersebut adalah setan, musuh Allah subhanahu wa ta’ala, musuh agama, dan musuh orang-orang yang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لَكُمۡ عَدُوّٞ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّاۚ إِنَّمَا يَدۡعُواْ حِزۡبَهُۥ لِيَكُونُواْ مِنۡ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ ٦
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh
bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh. Dia hanyalah menyeru
golongannya agar mereka termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Karena itu, engkau wajib waspada dan sangat berhati-hati dari musuhmusuh tersebut.- Imanilah dengan kokoh bahwa taufik, kesalehan, istiqamah, kebaikan, keberkahan, dan kemuliaan, hanyalah di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
وَمَن يُهِنِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن مُّكۡرِمٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يَشَآءُ۩ ١٨
“Siapa yang Allah hinakan maka sama
sekali tidak ada baginya seorang pun yang dapat menjadikannya mulia,
sesungguhnya Allah melakukan apa yang Dia inginkan.” (al-Hajj: 18)
Karena itu, kuatkanlah hubunganmu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Berlindunglah selalu dan mohonlah kepada-Nya hidayah, taufik, dan tsabat/kekokohan di atas agama ini. Mintalah kepada-Nya subhanahu wa ta’ala
agar menyelamatkanmu dari berbagai ujian, membaikkan untukmu agamamu,
melindungimu dari berbagai kejelekan, dan menjauhkanmu dari
tempat-tempat yang hina.Siapa yang menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan jujur, bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada-Nya, dan berharap kepada-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan mengabulkan apa yang dia inginkan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memudahkan baginya apa yang dicarinya.
Termasuk doa yang agung adalah doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِيْ، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيْهَا مَعَادِيْ، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah, perbaikilah untukku
agamaku yang merupakan penjagaan urusanku . Perbaikilah bagiku duniaku
yang di dalamnya adalah penghidupanku. Perbaikilah akhiratku yang
merupakan tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan
bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai istirahat
bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim no. 7078)
- Jadikanlah perhatian terbesarmu dalam kehidupan ini adalah bagaimana engkau bisa mencapai kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, sukses dengan kebahagiaan meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, dan berbahagia dengan apa yang Dia siapkan untuk para hamba-Nya yang dimuliakan-Nya.
أُوْلَٰٓئِكَ فِي جَنَّٰتٖ مُّكۡرَمُونَ ٣٥
“Mereka itu dimuliakan dalam surga-surga.” (al-Ma’arij: 35)
Itulah kemuliaan yang hakiki. Kemuliaan itu diraih dengan takwa sebagaimana firman-Nya,إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (al-Hujurat: 13)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,قِيْلَ لِلنَّبِيِّ: مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ؟ قَالَ: أَكْرَمُهُمْ أَتْقَاهُمْ
Ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Siapakah manusia yang paling mulia?”
“Yang paling mulia dari mereka adalah yang paling bertakwa,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. al-Bukhari, no. 3374)
Barang siapa mencari kemuliaan selain kemuliaan di atas, sungguh
hakikatnya dia berputar dalam fatamorgana dan mengupayakan sesuatu yang
sia-sia lagi rugi.- Ketahuilah, hukum syariat yang terkait dengan wanita adalah hukum yang berada di puncak kesempurnaan.
Mengapa? Karena hal itu adalah hukum Dzat sebaik-baik penetap hukum, diturunkan dari Rabbul alamin, yang Mahahikmah dalam pengaturan-Nya, Yang Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan para hamba-Nya, Mahatahu apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan mereka, kesuksesan, dan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, merupakan permusuhan terbesar, dosa yang besar, serta kehinaan yang paling rendah apabila dikatakan bahwa ada hukum Allah subhanahu wa ta’ala terkait dengan wanita atau selainnya yang mengandung kezaliman atau ketimpangan di dalamnya.
Siapa yang berucap demikian, sungguh dia tidaklah memuliakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benar pengagungan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَّا لَكُمۡ لَا تَرۡجُونَ لِلَّهِ وَقَارٗا ١٣
“Mengapa kalian tidak mengagungkan
Allah dengan sebenar-benar pengagungan (dengan kalian tidak takut
terhadap hukuman dan siksa-Nya)[1].” (Nuh: 13)
Termasuk bentuk pengagungan kepada-Nya subhanahu wa ta’ala adalah berpegang dengan hukum-Nya, menaati perintah-Nya, dan meyakini padanya ada keselamatan, kesempurnaan, dan ketinggian.Siapa yang meyakini sebaliknya, maka amatlah jauh orang tersebut dari sikap mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala! Alangkah pantasnya dia di dunia ini dan di akhirat kelak beroleh kehinaan. Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengagungkan hukum-hukum-Nya.
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢
“Demikianlah (perintah
Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka
sesungguhnya hal tersebut muncul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Demikianlah beberapa urusan agung yang perlu selalu kita ingat agar
hati ini menjadi lunak. Hendaknya kita menerima semua hukum Allah subhanahu wa ta’ala
dengan dada yang lapang, jiwa yang tenang, dan menghadap penuh kepada
hukum-Nya. Itulah sebab kebahagiaan dan jalan kesuksesan di dunia dan di
akhirat.Adapun tuduhan bahwa aturan agama ini, terkhusus untuk wanita, amat menyempitkan, memberikan madarat bagi wanita, dan menyusahkan mereka; semua itu adalah kesalahan besar dan ucapan tanpa ilmu terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan kalam-Nya, wahyu, dan hukum-Nya.
Perbuatan tersebut termasuk keharaman yang paling berat dan dosa yang paling besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perbuatan yang diharamkan-Nya, yang paling besar adalah,
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Dan (Dia mengharamkan) kalian berucap/mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (al-A’raf: 33)
Wahai saudariku muslimah, tatkala engkau membaca satu ayat dari Kitabullah dan satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi arahan secara khusus bagi wanita, dengarkanlah ayat tersebut dengan penuh tadabbur, tenang, dan menerima dengan dada yang lapang.Sebab, ucapan yang engkau dengar adalah ucapan Dzat yang menciptakanmu, menjadikanmu, dan memberimu anugerah berupa pendengaran, penglihatan, kekuatan, dan segala kenikmatan. Perbedaan antara ucapan-Nya dan ucapan makhluk-Nya tentu seperti perbedaan antara Dia subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya.
Berhati-hatilah apabila sampai terbetik dalam jiwamu perasaan enggan, tidak menerima, dan tidak suka dengan bimbingan/arahan Rabbul Alamin. Demikian pula terkait dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih dan tsabit dari beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥
“Maka demi Rabbmu, mereka pada
hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Mengamalkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti mengamalkan al-Qur’an, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ
“Apa saja yang Rasulullah berikan kepada kalian, maka terimalah; dan apa saja yang beliau larang kalian darinya, maka tinggalkan (jangan dilakukan).” (al-Hasyr: 7)Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala melaknat wanita yang membuat tato dan minta ditato, wanita yang mencabut rambut alis, dan mengikir gigi untuk keindahan, wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Ucapan ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya’qub. Dia datang menemui Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu seraya berkata, “Sampai kepadaku ucapan Anda bahwa Anda melaknat wanita yang begini dan begitu?”
Kata Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dilaknat dalam Kitabullah?”
Kata si wanita, “Sungguh, aku telah membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir, namun aku tidak mendapati apa yang Anda katakan.”
Kata Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu, “Jika engkau benar membacanya niscaya engkau akan dapatkan. Tidakkah engkau pernah membaca ayat,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ
‘Apa saja yang Rasulullah
datangkan/berikan kepada kalian, maka ambil/terimalah dan apa saja yang
beliau larang kalian darinya, maka tinggalkan (jangan dilakukan).’
Si wanita menjawab, “Ya.”Kata Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perbuatan tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 4886)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada ummahatul mukminin,
وَٱذۡكُرۡنَ مَا يُتۡلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ وَٱلۡحِكۡمَةِۚ
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah.” (al-Ahzab: 34)Hikmah adalah sunnah yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Saudariku muslimah… Apabila engkau mencari keindahan yang hakiki dan perhiasan yang sempurna, ketahuilah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ ذَٰلِكَ خَيۡرٞۚ
“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (al-A’raf: 26)
Dalam doa yang ma’tsur,اللَّهُمَّ زَيِّنَا بِزِيْنَةِ الْإِيْمَانِ
“Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman.” (HR. an-Nasai dari Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Keimanan, ketakwaan, berpegang dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala,
hukum, dan bimbingan-Nya adalah perhiasan hakiki yang akan menjadikan
kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan bagi wanita di dunia dan
akhirat.Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas terhadap ayat ini. (Tafsir Ibni Katsir, 8/183)
Melindungi Anak dari Setan
Berikut ini beberapa cara yang bisa ditempuh untuk melindungi anak dari gangguan setan.
Oleh karena itu, sepantasnya seorang muslim melakukan sebagian bacaan al-Qur’an dan dzikrullah di rumahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Anda tunaikan shalat wajib di masjid, lalu pulang ke rumah mengerjakan shalat dua rakaat rawatib isya, maghrib, dan zhuhur. Demikian pula shalat rawatib sebelum asar.
Anda kerjakan semuanya di rumah. Anda memberi bagian ibadah shalat untuk rumah Anda.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) bagi al-Hasan dan al- Husain dengan berdoa,
Demikianlah Allah ‘azza wa jalla menjauhkan para setan dari makanan itu.
Berbeda halnya dengan anjing berburu dan anjing penjaga, ini diperbolehkan. Akan tetapi, ada orang yang memelihara anjing karena meniru kebiasaan orang Barat. Memelihara anjing yang seperti ini akan mengundang datangnya setan.
Abu Dawud meriwayatkan (no. 5095) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang keluar dari rumah dan membaca,
Buah karya asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri hafizhahullah
(diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/?p=1675 dengan beberapa penyesuaian)
- BERZIKIR KETIKA HENDAK MASUK RUMAH DAN HENDAK MAKAN
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اسْمَ اللهِ حِينَ يَدْخُلُ وَحِينَ يَطْعَمُ قَالَ الشَّيْطَانُ: مَبِيتَ لَكُمْ وَ عَشَاءَ
“Apabila seseorang memasuki rumahnya
dan menyebut nama Allah ketika memasukinya serta ketika makan, setan
berkata (kepada teman-temannya), ‘Kalian tidak punya tempat bermalam,
tidak pula makanan’.” (Shahihul Jami’ no. 519)
- BERDOA KETIKA HENDAK MENGGAULI ISTRI
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ …
“Ketika seseorang mendatangi istrinya….”
Maksudnya, ketika hendak menggaulinya. Ada sebuah sunnah yang
dilalaikan oleh banyak manusia dan para suami, yaitu berzikir kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan mengucapkan,اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari (anak) yang Engkau karuniakan kepada kami.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Sungguh, apabila ditakdirkan mereka
berdua mendapatkan anak dari jima tersebut, setan tidak akan bisa
membahayakannya selamanya.”
- MENGGUNAKAN RUMAH UNTUK BERZIKIR KEPADA ALLAH
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، وَالْبَيتِ الَّذِي لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، مَثَلُ الْحَيِّ والمَيِّتِ
“Permisalan rumah yang disebut nama Allah padanya dan yang tidak, seperti yang hidup dan yang mati.” (HR. Muslim no. 779)
Rumah yang hidup ialah rumah yang di dalamnya disebut nama Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun rumah yang mati dan tidak berguna ialah rumah yang tidak disebut nama Allah ‘azza wa jalla di dalamnya.Oleh karena itu, sepantasnya seorang muslim melakukan sebagian bacaan al-Qur’an dan dzikrullah di rumahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا مِنْ صَ تَالِكُمْ فِي بُيُوتِكُمْ، وَ تَجْعَلُوهَا عَلَيْكُمْ قُبُورًا، وَإِنَّ البَيْتَ لَيُتْلَى فِيْهِ القُرْآنُ؛ فَيَتَرَاءَى لِأَهْلِ السَّمَاءِ كَمَا تَتَرَاءَى النُّجُومُ لِأَهْلِ الْأَرْضِ
“Lakukanlah sebagian shalat kalian di
rumah kalian, dan jangan kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan.
Sungguh, dibacakan al-Qur’an di sebuah rumah, lantas terlihat oleh
penduduk langit sebagaimana terlihatnya bintang oleh penduduk bumi.” (dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 3112)
Sebagaimana halnya kita melihat bintang-bintang berkilau di langit,
demikian pula penduduk langit melihat rumah yang hidup, yang digunakan
untuk membaca al-Qur’an dan berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.- SERING MENUNAIKAN SHALAT DI RUMAH
Anda tunaikan shalat wajib di masjid, lalu pulang ke rumah mengerjakan shalat dua rakaat rawatib isya, maghrib, dan zhuhur. Demikian pula shalat rawatib sebelum asar.
Anda kerjakan semuanya di rumah. Anda memberi bagian ibadah shalat untuk rumah Anda.
لا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا
“Jangan kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan.” (HR. Abu Dawud no. 2042)
Anda harus mengerjakan shalat di rumah agar dilihat oleh anak-anak
sehingga mereka pun terbiasa melakukannya. Demikian pula anggota
keluarga yang lain, bisa melihat Anda shalat sehingga teringat kepada
Allah ‘azza wa jalla lantas menunaikan shalat.- MEMOHON PERLINDUNGAN BAGI ANAK DARI GANGGUAN SETAN
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) bagi al-Hasan dan al- Husain dengan berdoa,
أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطاَنٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ
“Aku memohon perlindungan untukmu
dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan, binatang
berbisa, dan dari ‘ain yang menimpakan kejelekan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari,كَانَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّ مَالُ يُعَوِّذُ بِهَا أَبْنَاءَهُ إِسْمِاعِيلَ وَإِسْحَاقَ
“Dahulu Ibrahim ‘alaihissalam memintakan perlindungan dengan doa ini bagi anak-anaknya, Ismail dan Ishaq.”
- MENAHAN ANAK TETAP DI RUMAH SAAT SHALAT MAGHRIB DAN SAAT MATAHARI TENGGELAM
كُفُّوا صِبْيَانَكُمْ عِنْدَ فَحْمَةِ الْعِشَاءِ، فَإِنُّكُمْ تَدْرُونَ مَا يَبُثُّ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ، فَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَأَطْفِئُوا ا صْملََابِيحَ، وَأَكْفِئُوا الْإِنَاءَ، وَأَوْكِئُوا السِّقَاءَ
“Tahanlah anak-anak kecil kalian
ketika datang waktu malam. Sebab, kalian tidak tahu makhluk apa yang
Allah tebarkan (saat itu). Karena itu, tutuplah pintu, padamkanlah
lampu, tutuplah bejana, kencangkanlah tali penutup wadah minum.” (lihat ash-Shahihah no. 3454)
Maknanya, apabila waktu malam tiba, cahaya dipadamkan dan makanan
tidak dibiarkan terbuka, tetapi ditutup. Hal ini sebagaimana disebutkan
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika tidak mendapati sesuatu untuk menutupi makanan atau wadah, Anda letakkan sesuatu di atasnya dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala. Misalnya, Anda letakkan potongan (kayu) atau sendok di atasnya sembari mengucapkan, “Bismillah.”Demikianlah Allah ‘azza wa jalla menjauhkan para setan dari makanan itu.
- MEMBACA SURAT AL-BAQARAH DI RUMAH
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibacakan surat al-Baqarah di dalamnya.”
تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian jadikan rumah
kalian sebagai pekuburan. Sungguh, setan akan lari dari rumah yang
dibacakan surat al-Baqarah di dalamnya.” (lihat Shahihul Jami’ no. 7227)
Perhatikanlah kekuatan surat al-Baqarah. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya sebagai salah satu sebab terusirnya setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“Bacalah oleh kalian surat
al-Baqarah! Sebab, membacanya adalah keberkahan dan meninggalkannya
adalah kerugian; dan para tukang sihir tidak mampu melawannya.” (HR. Muslim no. 780)
Diriwayatkan pula dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,مَنْ قَرَأَ الْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
“Barang siapa membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah pada satu malam, keduanya akan mencukupi dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1397)
Semua ini menunjukkan bahwa seorang muslim seharusnya
bersungguh-sungguh membacanya. Apabila seseorang membaca al-Baqarah di
rumah, ketika itulah setan terjauhkan dari dari diri, keluarga, dan
rumahnya. Hal ini akan menjadi sebab baiknya rumah.- MENJAUHKAN GAMBAR MAKHLUK BERNYAWA DARI DALAM RUMAH
- TIDAK MEMELIHARA ANJING
إِنَّا لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَلاَ كَلْبٌ
“Kami (para malaikat) tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk bernyawa dan anjing.” (HR. al-Bukhari no. 5960)
Memelihara anjing akan mengurangi pahala seseorang satu qirath setiap hari. Satu qirath (pahala)
kebaikan itu sebesar Gunung Uhud. Setiap hari akan berkurang pahala
kebaikannya sebesar Gunung Uhud karena dia memelihara anjing di rumahnya
tanpa ada kebutuhan.Berbeda halnya dengan anjing berburu dan anjing penjaga, ini diperbolehkan. Akan tetapi, ada orang yang memelihara anjing karena meniru kebiasaan orang Barat. Memelihara anjing yang seperti ini akan mengundang datangnya setan.
- MEMBIASAKAN DAN MENYURUH ANAK MENGHAFAL ZIKIR KELUAR RUMAH
Abu Dawud meriwayatkan (no. 5095) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang keluar dari rumah dan membaca,
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، حَوْلَ وَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.”
Sebuah doa yang mudah, tidak panjang, hanya tiga kalimat. Lihatlah kekuatan dan pengaruh doa ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ
Dikatakan kepadanya ketika itu, “Engkau diberi hidayah, dicukupi, dan dilindungi.”
Maksudnya, Anda mendapatkan hidayah, Allah menjaga Anda dari
kejahatan dan melindungi Anda dari setan. Tiga kalimat tersebut
membuahkan hasil yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ
“Para setan akan menghindar darinya.
Setan yang lain berkata kepadanya, ‘Bagaimana bisa (engkau menggoda)
seseorang yang telah diberi hidayah, dicukupi, dan dilindungi?’.”
Maksudnya, setan tidak akan sampai kepada dirinya yang telah
mengucapkan doa ini. Sebab, dia telah diberi hidayah, dicukupi, dan
dilindungi (oleh Allah).Buah karya asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri hafizhahullah
(diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/?p=1675 dengan beberapa penyesuaian)
Sosok Suami yang Adil
Apabila para suami ingin meneladani seseorang yang bisa berbuat adil di antara para istri, dialah sosok Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pribadi beliau sangat dan pasti mencukupi dijadikan teladan, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Tentang hukum beruswah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian mereka mengatakan hukumnya wajib, sampai ada dalil yang menunjukkan sunnah/mustahab. Sebagian yang lain berpendapat hukumnya mustahab/sunnah sampai ada dalil yang menunjukkan wajib.
Kata al-Imam al-Qurthubi rahimahullah, bisa jadi dirinci, (1) hukumnya wajib apabila terkait dengan urusan agama dan (2) hukumnya mustahab dalam urusan dunia. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/103)
Kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak istri. Di antara para istri tersebut ada yang lebih beliau cintai daripada yang lain. Sebab, cinta adalah urusan hati yang berada di Tangan ar-Rahman, sesuatu yang di luar kemampuan hamba.
Oleh karena itu, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dicela karena memiliki rasa cinta yang berbeda terhadap para istrinya. Memang, siapa pun tidak mungkin berbuat adil dalam urusan rasa cinta. Hanya saja, meski beliau lebih mencintai sebagian istrinya dibanding yang lain, hal itu tidaklah menghalangi beliau untuk berbuat adil secara zahir di antara mereka.
Aisyah radhiallahu ‘anha adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana kita tahu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menyatakan dan mengakuinya.
Ketika hendak safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengutamakan istri yang beliau cintai untuk selalu diajak bersama beliau. Beliau justru mengundi istri-istri beliau, siapa yang akan dibawa serta dalam safar. Hal ini sebagaimana sebagaimana penuturan Aisyah radhiallahu ‘anha,
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di kediamannya selama tiga hari setelah pernikahan mereka. Ketika beliau hendak meninggalkan rumah, Ummu Salamah menarik baju beliau, mengharap beliau masih mau berdiam di rumahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Memang dalam pembagian secara indrawi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar berbuat adil, tanpa kurang sedikit pun. Sebab, beliau sanggup dan mampu melakukan hal itu. Akan tetapi, urusan hati berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai Aisyah radhiallahu ‘anha lebih daripada istri-istri yang lain. Yang seperti ini di luar kemampuan dan keinginan beliau. Di samping itu, memang tidak ada tuntutan untuk berbuat adil dalam urusan hati. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Adapun dalam urusan lahiriah, seperti bermalam dan nafkah, suami wajib berlaku adil di antara istri-istrinya. Jika tidak, ia akan beroleh ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menghancurkan Rafidhah sehancur-hancurnya, mereka sangat membenci wanita yang justru sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
[2] Sekali lagi, kebinasaan bagi Rafidhah yang sangat membenci Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[3] Diriwayatkan oleh imam yang empat dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, dari jalan Hammad bin Salamah. Demikian kata Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari [9/389]. Kata at-Tirmidzi, “Diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid dan lebih dari satu orang, dari Ayyub, dari Abu Qilabah secara mursal. Riwayat yang mursal ini lebih sahih daripada riwayat Hammad bin Salamah.”
Adapun al-Imam al-Albani menyatakan hadits ini lemah dalam Dhaif Sunan at-Tirmidzi.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh telah ada bagi kalian uswah
hasanah pada diri Rasulullah, bagi siapa yang mengharapkan Allah dan
hari akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
Seorang yang beriman, mengharapkan pertemuan dengan Allah subhanahu wa ta’ala, membenarkan hari kebangkitan saat amalan mendapat balasan, takut akan hukuman Allah subhanahu wa ta’ala, dan berharap pahala-Nya, tentu tidak ragu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah/teladan.Tentang hukum beruswah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian mereka mengatakan hukumnya wajib, sampai ada dalil yang menunjukkan sunnah/mustahab. Sebagian yang lain berpendapat hukumnya mustahab/sunnah sampai ada dalil yang menunjukkan wajib.
Kata al-Imam al-Qurthubi rahimahullah, bisa jadi dirinci, (1) hukumnya wajib apabila terkait dengan urusan agama dan (2) hukumnya mustahab dalam urusan dunia. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/103)
Kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak istri. Di antara para istri tersebut ada yang lebih beliau cintai daripada yang lain. Sebab, cinta adalah urusan hati yang berada di Tangan ar-Rahman, sesuatu yang di luar kemampuan hamba.
Oleh karena itu, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dicela karena memiliki rasa cinta yang berbeda terhadap para istrinya. Memang, siapa pun tidak mungkin berbuat adil dalam urusan rasa cinta. Hanya saja, meski beliau lebih mencintai sebagian istrinya dibanding yang lain, hal itu tidaklah menghalangi beliau untuk berbuat adil secara zahir di antara mereka.
Aisyah radhiallahu ‘anha adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana kita tahu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menyatakan dan mengakuinya.
قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائشَةُ. قِيْلَ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ: أَبُوْهَا
Ditanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling Anda cintai?”
Beliau menjawab, “Aisyah.”[1]
Ditanyakan lagi, “(Kalau) dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya[2],” jawab beliau. (HR at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 3890)
Aisyah radhiallahu ‘anha mempersaksikan tentang keadilan sang suami dalam kisahnya berikut ini.كَانَ رَسُوْلُ اللهِ لاَ يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا. وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلاَّ وَهُوَ يَطُوْفُ عَلَيْنَا جَمِيْعًا، فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيْسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبْيِتُ عِنْدَهَا. وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِيْنَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُوْلُ اللهِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، يَوْمِيْ لِعَائِشَةَ. فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْهَا. قَالَتْ: نَقُوْلُ فِي ذَلِكَ: أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ:
وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
membedakan pembagian giliran di antara kami kami. Setiap hari beliau
berkeliling menemui kami semua. Beliau mendekati semua istrinya tanpa
‘menyentuhnya’, hingga sampai di rumah istri yang beroleh giliran di
hari tersebut, lalu beliau bermalam di rumahnya.
Tatkala Saudah radhiallahu ‘anha telah lanjut usia dan khawatir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menceraikannya, dia berkata, “Giliran hariku untuk Aisyah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima tawaran tersebut.” Terhadap masalah seperti yang dialami oleh Saudah inilah turun ayat Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا
“Apabila seorang istri mengkhawatirkan nusyuz dari suaminya….” (HR. Abu Dawud no. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggilir setiap istri beliau, siang dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha. Dia telah menghadiahkan siang dan malamnya untuk Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mencari ridha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bukhari no. 2593)Ketika hendak safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengutamakan istri yang beliau cintai untuk selalu diajak bersama beliau. Beliau justru mengundi istri-istri beliau, siapa yang akan dibawa serta dalam safar. Hal ini sebagaimana sebagaimana penuturan Aisyah radhiallahu ‘anha,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائهِ فَأَيَّتُهُنَّ أَخْرَجَ سَهْمَهَا خرَجَ بِهَا مَعَهُ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
safar, beliau mengundi istri-istri beliau. Siapa yang keluar namanya
dalam undian tersebut, dia akan dibawa serta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya.” (HR. al-Bukhari no. 2593)
Termasuk keadilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah ketika menikahi janda, beliau bermalam di kediamannya selama tiga
hari agar terjalin kedekatan dengan istri yang baru tersebut. Setelah
tiga hari, giliran istri yang baru tersebut sama dengan istri-istri yang
lain.Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di kediamannya selama tiga hari setelah pernikahan mereka. Ketika beliau hendak meninggalkan rumah, Ummu Salamah menarik baju beliau, mengharap beliau masih mau berdiam di rumahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ شِئْتِ أَنْ أُسَبِّعَ لَكِ وَأُسَبِّعَ لِنِسَائِي، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Jika kamu mau agar aku berdiam di
sisimu selama tujuh hari dan berdiam di sisi istri-istriku yang lainnya
selama tujuh hari, (akan kulakukan). Sebab, jika aku memberi waktu tujuh
hari untukmu, berarti aku juga harus memberi waktu tujuh hari untuk
istri-istriku.” (HR. Muslim no. 3610)
Keadilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
tidaklah berkurang, sampai pun beliau sakit. Beliau tetap menggilir
istri-istri beliau di rumah-rumah mereka, sampai akhirnya beliau
merasakan kepayahan karena sakit beliau yang semakin parah. Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan,لمَاَّ ثَقُلَ رَسُوْلُ اللهِ وَاشْتَدَّ وَجْعُهُ اسْتَأْذَنَ أَزْوَاجَهُ أَنْ يُمرَّضَ فِي بَيْتِي فَأَذِنَّ لَهُ
“Ketika sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah parah, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk dirawat di rumahku. Mereka pun mengizinkan beliau….” (HR. al-Bukhari no. 5714)
Dalam sebuah riwayat, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ مَاتَ فِيْهِ يَقُوْلُ: أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا
Rasulullah bertanya saat sakit yang mengantarkan beliau kepada ajalnya,
“Di mana saya besok? Di mana saya besok?” Beliau menginginkan hari giliran Aisyah.
Istri-istri beliau pun memperkenankan
beliau untuk berdiam di tempat yang beliau inginkan. Beliau pun tinggal
di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah….” (HR. al-Bukhari no. 5217)
Bersamaan dengan keadilan yang sempurna tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari perbuatan tidak adil dalam urusan yang beliau tidak mampu. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ هَذَا قِسْمَتِي فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ
Rasulullah membagi giliran di antara
istri-istrinya dan beliau berlaku adil. Beliau berdoa, “Ya Allah, ini
adalah pembagianku yang aku mampui. Janganlah Engkau mencelaku dalam apa
yang Engkau kuasa sementara aku tidak kuasa.”[3]
Urusan yang beliau tidak sanggup berlaku adil adalah masalah
kecondongan hati , yaitu cinta sebagaimana ditafsirkan oleh at-Tirmidzi.
(Sunan at-Tirmidzi)Memang dalam pembagian secara indrawi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar berbuat adil, tanpa kurang sedikit pun. Sebab, beliau sanggup dan mampu melakukan hal itu. Akan tetapi, urusan hati berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai Aisyah radhiallahu ‘anha lebih daripada istri-istri yang lain. Yang seperti ini di luar kemampuan dan keinginan beliau. Di samping itu, memang tidak ada tuntutan untuk berbuat adil dalam urusan hati. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ
“Kalian tidak akan sanggup untuk berbuat adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat ingin untuk melakukannya.” (an-Nisa: 129)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan urusan yang tidak dimampu yang tersebut dalam ayat di atas adalah, “Urusan cinta dan jima’.” (dinukil dalam Fathul Bari, 9/389)Adapun dalam urusan lahiriah, seperti bermalam dan nafkah, suami wajib berlaku adil di antara istri-istrinya. Jika tidak, ia akan beroleh ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ مَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شَقَّيْهِ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua istri lantas
condong kepada salah satunya (tidak berlaku adil), dia akan datang pada
hari kiamat dalam keadaan salah satu sisi tubuhnya miring.” (HR. Ahmad, dll; dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 2077)
Pergaulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
istri-istri beliau merupakan teladan bagi orang-orang beriman. Oleh
karena itu, seharusnya kita mengenali dan mempelajarinya, lantas
mencontohnya. Sebab, apa yang dilakukan beliau adalah bentuk
pensyariatan dan petunjuk kepada umat beliau, agar dicontoh dan
diteladani, selain dalam urusan yang menjadi kekhususan beliau.Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menghancurkan Rafidhah sehancur-hancurnya, mereka sangat membenci wanita yang justru sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
[2] Sekali lagi, kebinasaan bagi Rafidhah yang sangat membenci Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[3] Diriwayatkan oleh imam yang empat dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, dari jalan Hammad bin Salamah. Demikian kata Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari [9/389]. Kata at-Tirmidzi, “Diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid dan lebih dari satu orang, dari Ayyub, dari Abu Qilabah secara mursal. Riwayat yang mursal ini lebih sahih daripada riwayat Hammad bin Salamah.”
Adapun al-Imam al-Albani menyatakan hadits ini lemah dalam Dhaif Sunan at-Tirmidzi.
Riba Mendatangkan Petaka
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar
KHUTBAH PERTAMA:
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29 sebagai seruan bagi kaum muslimin,
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, pertumbuhan jasmani seseorang yang berasal dari makanan dan minuman haram akan terancam siksa neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisahtentang seseorang yang menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku!” Akan tetapi, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan sumber gizinya dari harta yang haram. Bagaimana mungkin doanya akan terkabulkan?! (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Di antara harta haram yang didapatkan dengan cara batil adalah harta riba. Semoga kita dijauhkan dari harta yang mendulang petaka ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
Dalam riwayat al-Imam at-Tirmidzi ada tambahan lafadz, “
Ada yang melakukan jual beli emas atau perak dengan sistem tukar tambah. Perhiasan emas yang lama langsung ditukar dengan yang baru di toko emas dengan tambahan biaya.
Praktik riba seperti inilah yang disebut riba fadhl dan dilarang keras oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
Kaum muslimin rahimakumullah,
Di antara praktik riba yang terjadi di tengah masyarakat kita adalah jual beli emas/perak dengan sistem bayar angsur (kredit) atau sebaliknya, dengan pembayaran di muka sedangkan emas/perak yang dibeli diterima pada lain waktu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
Hadirin rahimakumullah,
Hal yang semisal dengan emas dan perak adalah mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar/transaksi. Tidak dibenarkan tukar-menukar mata uang yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) kecuali harus sama jumlah nominalnya dan harus tunai diterima pada satu majelis.
Tidak dibenarkan pula tukar-menukar dua mata uang yang berbeda (misalnya rupiah dengan dollar) kecuali keduanya harus diterima secara tunai dan pada satu majelis.
Di antara praktik riba yang tumbuh subur di masyarakat kita adalah simpan-pinjam dengan sistem bunga. Riba jenis inilah yang dimaksud dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ali ‘Imran ayat 130,
Perlu kita sadari bahwa praktik riba seringkali disitilahkan dengan bahasa yang menarik dan memikat. Padahal penamaan tidaklah mengubah hakikat. Dengan istilah yang baru, riba tersebut menjadi terselubung.
Akan tetapi, riba tetaplah riba meskipun dinamakan “dana kredit” atau “mudharabah”, yang hakikatnya adalah pinjaman berbunga. Praktik-praktik seperti inilah yang menjadi salah satu sebab kehinaan pada suatu kaum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan kita dari hal ini,
Hakikatnya, Si A meminjam uang dari Si B dan harus mengembalikannya dengan nilai lebih tinggi.
KHUTBAH PERTAMA:
إِنَّ الْحَمْدَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29 sebagai seruan bagi kaum muslimin,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta kalian sesama kalian dengan cara batil.”
Memakan harta manusia dengan cara batil adalah makan harta yang haram dan makan makanan yang tidak baik. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah manusia agar mengonsumsi makanan yang halalan thayyiban, halal dan baik, sebagaimana firman-Nya,يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨
“Wahai manusia, makanlah dari makanan
yang halal dan yang baik dari apa yang terdapat di bumi ini. Dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan
adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 168)
Anjuran agar mengonsumsi makanan yang halal dan baik ini ditinjau
dari sisi zat makanannya dan dari sisi cara mendapatkannya. Daging babi
dan minuman keras, misalnya. Secara asal zatnya, keduanya merupakan
makanan dan minuman yang haram sehingga dikatakan tidak halal dan tidak
baik. Misal yang kedua, harta riba dan hasil curian. Keharamannya karena
didapatkan dan diperoleh dengan cara yang batil, meski asal muasal
zatnya halal.Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, pertumbuhan jasmani seseorang yang berasal dari makanan dan minuman haram akan terancam siksa neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ جِسْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram, maka neraka yang paling berhak dengannya.” (HR. Ahmad)
Makanan, minuman, dan pakaian haram yang dikonsumsi atau dikenakan
oleh seseorang merupakan salah satu penyebab tidak terkabulnya doa.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisahtentang seseorang yang menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku!” Akan tetapi, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan sumber gizinya dari harta yang haram. Bagaimana mungkin doanya akan terkabulkan?! (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Di antara harta haram yang didapatkan dengan cara batil adalah harta riba. Semoga kita dijauhkan dari harta yang mendulang petaka ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat (bunganya) dan
bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Ali ‘Imran: 130)
Pada ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Riba adalah harta yang tidak berkah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ
“Allah akan mencabut berkah dariharta riba. Dan Allah akan memelihara harta yang disedekahkan.” (al-Baqarah: 276)
Bermuamalah dengan praktik riba dan makan harta dari riba merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,اجْتَنِبُو السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apa saja wahai Rasulullah?”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الشِّرْكُ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِ تَالِ
Ketujuh dosa yang membinasakan tersebut adalah:- Syirik
- Sihir
- Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah tanpa alasan yang dibenarkan
- Memakan harta riba
- Memakan harta anak yatim
- Lari ketika perang sedang berkecamuk
- Menuduh wanita mukminah yang menjaga kehormatannya dengan tuduhan keji. (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat si pemakan riba dan pemberinya.” (HR. Muslim)Dalam riwayat al-Imam at-Tirmidzi ada tambahan lafadz, “
وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Juga yang menjadi saksi dan juru tulisnya.”
Sungguh, keberadaan riba di rumah tangga dan lingkungan kita sangat
mengerikan bahayanya dan sangat buruk akibatnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk segera meninggalkannya.يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman.”
فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩
“Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 278—279)
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، أَقُولُ مَا تَسْمَعُونَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوهُ وَتُوبُوا إِلَيْهِ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمِ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ وَالصَّ ةَالُ وَالسَّ مَالُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ أَمَّا بَعْدُ: فَإِلَى اللهِ الْمُشْتَكَى …
Hanya kepada Allah-lah kita mengadu atas merebaknya praktik riba di masyarakat kita sekarang ini. Berbagai bentuk muamalah riba ada dan terjadi di lingkungan kita.Ada yang melakukan jual beli emas atau perak dengan sistem tukar tambah. Perhiasan emas yang lama langsung ditukar dengan yang baru di toko emas dengan tambahan biaya.
Praktik riba seperti inilah yang disebut riba fadhl dan dilarang keras oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ
“Janganlah kalian berjual-beli emas dengan emas, kecuali harus sama dengan timbangannya.”
وَلَا تَشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
“Janganlah kalian melebihkan sebagian atas yang lain (maksudnya tukar tambah emas).”
وَلَا تَبِيْعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْ بِمِثْلٍ
“Janganlah kalian jual beli perak dengan perak kecuali sama timbangannya.”
وَلَا تَشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
Janganlah kalian melakukan tukar tambah antara perak dengan perak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْ بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْ بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas harus dengan
timbangan yang sama, perak dengan perak harus dengan timbangan yang
sama. Barang siapa melebihkan atau meminta untuk dilebihkan, maka itulah
riba.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kaum muslimin rahimakumullah,
Di antara praktik riba yang terjadi di tengah masyarakat kita adalah jual beli emas/perak dengan sistem bayar angsur (kredit) atau sebaliknya, dengan pembayaran di muka sedangkan emas/perak yang dibeli diterima pada lain waktu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلاَّ هَاءً وَهَاءً
“Emas dibayar dengan perak adalah riba kecuali jika dibayar tunai.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Umar radhiallahu ‘anhu)
وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian jual beli emas/perak dengan utang-piutang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu)
Hadirin rahimakumullah,
Hal yang semisal dengan emas dan perak adalah mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar/transaksi. Tidak dibenarkan tukar-menukar mata uang yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) kecuali harus sama jumlah nominalnya dan harus tunai diterima pada satu majelis.
Tidak dibenarkan pula tukar-menukar dua mata uang yang berbeda (misalnya rupiah dengan dollar) kecuali keduanya harus diterima secara tunai dan pada satu majelis.
Di antara praktik riba yang tumbuh subur di masyarakat kita adalah simpan-pinjam dengan sistem bunga. Riba jenis inilah yang dimaksud dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ali ‘Imran ayat 130,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan
bertambah berlipat-lipat….” sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ahli tafsir.Perlu kita sadari bahwa praktik riba seringkali disitilahkan dengan bahasa yang menarik dan memikat. Padahal penamaan tidaklah mengubah hakikat. Dengan istilah yang baru, riba tersebut menjadi terselubung.
Akan tetapi, riba tetaplah riba meskipun dinamakan “dana kredit” atau “mudharabah”, yang hakikatnya adalah pinjaman berbunga. Praktik-praktik seperti inilah yang menjadi salah satu sebab kehinaan pada suatu kaum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan kita dari hal ini,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian telah berjual beli
dengan sistem ‘inah, kalian memegang ekor-ekor sapi (sibuk dengan
ternak), kalian puas dengan cocok tanam, dan kalian meninggalkan jihad,
niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menimpakan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Sistem ‘inah adalah salah satu bentuk riba yang terselubung.
Gambarannya, Si A menjual barang kepada Si B secara kontan. Kemudian
barang tersebut dibeli kembali oleh Si A dengan harga yang lebih tinggi
dengan pembayaran secara tempo.Hakikatnya, Si A meminjam uang dari Si B dan harus mengembalikannya dengan nilai lebih tinggi.
نَسْألُ اللهَ السَّ مَالَةَ وَالْعَافِيَةَ
Kita memohon kepada Allah keselamatan dan kesejahteraan.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَ مُتَقَبَّلَا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Pekerjaan yang Mengandung Keharaman
Apabila harta yang didapat dari cara yang halal bercampur dengan
harta dari jalan yang haram, bagaimana hukumnya? Hal ini terjadi pada
transaksi dengan personal dan dengan lembaga negara.
Bagaimana pula hukum menggunakan harta yang saya ketahui berasal dari jalan yang mencurigakan? Saya mengingkarinya di hadapan orang yang membawa harta seperti ini. Bolehkah saya menggunakan harta tersebut?
Bolehkah saya bekerja di perusahaan seperti ini dalam keadaan saya tahu bahwa hal-hal di atas terjadi pada perusahaan tersebut, dan saya tetap mengingkari perbuatan mereka dengan keras?! Sebagai pertimbangan, ayah saya mendesak saya untuk bekerja bersamanya (di perusahaan tersebut) dalam bidang akuntansi.
Apabila ayah saya berkata kepada saya bahwa dia yang akan menanggung dosanya, bolehkah saya memenuhi permintaan ayah saya untuk mengambil pekerjaan tersebut? Apakah boleh saya memakan hasil pekerjaan tersebut? Perlu diketahui, saya mampu untuk bekerja di tempat mana pun, dengan gaji berapa pun, tetapi ayah saya tentu akan marah karena tidak terima.
Bolehkah saya tetap tinggal di rumah dengan keluarga yang seperti ini? Kepergian saya akan mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap kondisi keluarga.
Saya mengharap kepada Yang Mulia (Mufti) agar surat saya ini dipelajari dengan saksama, dengan mempertimbangkan kondisi saya dari segala sisi. Agama ini menuntut saya untuk tidak menumbuhkan tubuh saya dalam keharaman—apabila ada sesuatu yang haram (dalam urusan saya ini).
Kondisi saya di dalam rumah cukup berat. Dari satu sisi, saya tidak mampu meninggalkan rumah, demikian pula saudara-saudara saya. Sebab, kami tidak pernah berpikir untuk itu. Justru keberadaan saya di rumah memberi pengaruh, yaitu bisa meniadakan beberapa hal yang tidak diridhai oleh syariat. Jika saya tidak tinggal, bisa jadi hal-hal tersebut tersebar di dalam rumah.
Jawab:
Alasan lainnya, karena keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
Sekelompok ulama meriwayatkan hadits dari Sufyan ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Dzar bin Abdillah, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; seseorang bertanya kepada beliau radhiallahu ‘anhu, “Aku memiliki tetangga yang makan (dari penghasilan) riba. Dia selalu mengundangku (makan).”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjawab, “Suguhannya untukmu, dosanya menjadi tanggungannya.”
Akan tetapi, jika seorang muslim membersihkan diri dengan tidak bergaul dengan mereka dan sering saling memberi hadiah dan berkunjung dengan mereka, lantas mencukupkan diri sebatas tuntutan maslahat atau kebutuhan, tentu saja hal ini lebih baik baginya.
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.
Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Pemberian Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Qu’ud.
(Fatawa al-Lajnah, 26/312—315, fatwa no. 477
Komitmen dengan Agama Tidak Menghalangi Mencari Nafkah
Apa yang wajib diperbuat oleh seorang muslim sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkait dengan seorang pemuda muslim yang komitmen terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membiarkan jenggot? Hal ini mengakibatkan dia kesusahan mencari nafkah, terkadang ditangkap dan mendapatkan berbagai bentuk siksaan. Setiap kali melamar sebuah pekerjaan, hal ini memberatkannya. Dia tidak diterima karena berjenggot.
Berilah kami fatwa, semoga Anda mendapatkan balasan karena memberi perhatian terhadap keadaan kaum muslimin di Republik Mesir.
Jawab:
Mencari nafkah tidak hanya dengan bekerja menjadi pegawai pemerintahan. Jalan-jalan mencari nafkah yang tidak mengikat cukup banyak.
Maka dari itu, carilah jalan pekerjaan yang tidak mengikat, tetaplah komitmen dengan agama Anda, jauhilah sumber keburukan dan masalah, dalam rangka mencari keselamatan diri darinya.
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.
Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Pemberian Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan.
(Fatawa al-Lajnah, 15/77—78, fatwa no. 10575, pertanyaan no. 1)
Gaji Pekerjaan yang Didapat Dengan Ijazah Hasil Mencontek
Seseorang mendapatkan pekerjaan dengan sebuah ijazah dalam disiplin ilmu tertentu. Dia telah melakukan penipuan ketika menempuh ujian guna mendapatkan ijazah ini. Sekarang, dia telah bekerja dengan baik dengan persaksian dari bawahan. Apa hukum gaji yang dia dapatkan, halal ataukah haram?[1]
Jawab:
Insya Allah tidak mengapa. Hanya saja, dia harus bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari penipuan yang dia lakukan. Apabila dia bisa menunaikan tugasnya sebagaimana mestinya, penghasilannya tidak apa-apa. Akan tetapi, dia bersalah dalam hal penipuan yang dilakukannya dahulu. Dia harus bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari perbuatan tersebut.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, 19/31—32)
[1] Pertanyaan ini termuat dalam sekumpulan soal yang diajukan kepada Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pada musim haji 1415 H.
Bagaimana pula hukum menggunakan harta yang saya ketahui berasal dari jalan yang mencurigakan? Saya mengingkarinya di hadapan orang yang membawa harta seperti ini. Bolehkah saya menggunakan harta tersebut?
Bolehkah saya bekerja di perusahaan seperti ini dalam keadaan saya tahu bahwa hal-hal di atas terjadi pada perusahaan tersebut, dan saya tetap mengingkari perbuatan mereka dengan keras?! Sebagai pertimbangan, ayah saya mendesak saya untuk bekerja bersamanya (di perusahaan tersebut) dalam bidang akuntansi.
Apabila ayah saya berkata kepada saya bahwa dia yang akan menanggung dosanya, bolehkah saya memenuhi permintaan ayah saya untuk mengambil pekerjaan tersebut? Apakah boleh saya memakan hasil pekerjaan tersebut? Perlu diketahui, saya mampu untuk bekerja di tempat mana pun, dengan gaji berapa pun, tetapi ayah saya tentu akan marah karena tidak terima.
Bolehkah saya tetap tinggal di rumah dengan keluarga yang seperti ini? Kepergian saya akan mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap kondisi keluarga.
Saya mengharap kepada Yang Mulia (Mufti) agar surat saya ini dipelajari dengan saksama, dengan mempertimbangkan kondisi saya dari segala sisi. Agama ini menuntut saya untuk tidak menumbuhkan tubuh saya dalam keharaman—apabila ada sesuatu yang haram (dalam urusan saya ini).
Kondisi saya di dalam rumah cukup berat. Dari satu sisi, saya tidak mampu meninggalkan rumah, demikian pula saudara-saudara saya. Sebab, kami tidak pernah berpikir untuk itu. Justru keberadaan saya di rumah memberi pengaruh, yaitu bisa meniadakan beberapa hal yang tidak diridhai oleh syariat. Jika saya tidak tinggal, bisa jadi hal-hal tersebut tersebar di dalam rumah.
Jawab:
- Memberi suap dan menerimanya adalah haram, baik bagi yang menyuap, yang disuap, maupun yang menjadi perantaranya.
- Kami telah mengeluarkan fatwa tentang hukum memanfaatkan harta yang tercampur padanya antara yang halal dan yang haram, dengan nomor 2512, tanggal 28/7/1399 H.
- Apabila Anda mengetahui bahwa hadiah yang diberikan kepada Anda atau makanan yang disajikan kepada Anda adalah barang yang haram, Anda tidak boleh menerima atau memakannya.
- Apabila tidak terpisahkan antara penghasilan mereka yang halal dan penghasilan yang haram, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum menerima hadiahnya, memakan makanan yang disuguhkan ketika kita bertamu, dan yang semisalnya.
- Ada yang berpendapat, hukumnya haram secara mutlak.
- Ada yang menyatakan, apabila yang haram melebihi sepertiga dari penghasilan total, haram memakan suguhannya dan menerima hadiahnya.
- Ada pula yang menyatakan, apabila penghasilan yang haram lebih banyak daripada yang halal, haram memakan suguhannya dan menerima hadiahnya.
- Ada juga yang menyatakan, tidak haram secara mutlak sehingga hadiahnya diterima dan makanan pemberiannya boleh dimakan.
Alasan lainnya, karena keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu.” (al-Maidah: 5)
Telah diketahui bahwa orang Yahudi dan Nasrani memakan riba. Mereka
tidak memilih penghasilan yang halal. Mereka mendapat penghasilan dari
yang haram dan yang halal. Meski demikian, Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan memakan makanan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memakan darinya.Sekelompok ulama meriwayatkan hadits dari Sufyan ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Dzar bin Abdillah, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; seseorang bertanya kepada beliau radhiallahu ‘anhu, “Aku memiliki tetangga yang makan (dari penghasilan) riba. Dia selalu mengundangku (makan).”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjawab, “Suguhannya untukmu, dosanya menjadi tanggungannya.”
Akan tetapi, jika seorang muslim membersihkan diri dengan tidak bergaul dengan mereka dan sering saling memberi hadiah dan berkunjung dengan mereka, lantas mencukupkan diri sebatas tuntutan maslahat atau kebutuhan, tentu saja hal ini lebih baik baginya.
- Anda tidak boleh bekerja di perusahaan tersebut meski di bagian akuntansi dalam keadaan tahu kondisinya sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan. Sebab, hal itu termasuk saling menolong dalam hal dosa dan pelanggaran. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Berbeda halnya jika Anda memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk
mengubah hal-hal yang haram yang ada pada perusahaan tersebut. Dalam hal
ini, Anda tetap bekerja di situ lebih baik daripada meninggalkannya.
Sebab, keberadaan Anda di situ termasuk perbaikan dan mengubah
kemungkaran.- Janji ayah Anda untuk menanggung dosa yang terjadi dalam operasional perusahaan adalah kemungkaran. Hal ini tidak bermanfaat bagi Anda, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (al-An’am: 164)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡ وَٱخۡشَوۡاْ يَوۡمٗا لَّا يَجۡزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِۦ وَلَا مَوۡلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِۦ شَيًۡٔاۚ
“Hai manusia, bertakwalah kepada
Rabbmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak
dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong
bapaknya sedikit pun.” (Luqman: 33)
Berdasarkan hal ini, Anda tidak boleh memenuhi permintaannya untuk
mengambil pekerjaan itu, meski dia marah. Sebab, tidak ada ketaatan
kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada al-Khaliq. Ketaatan hanyalah
dalam hal yang baik. Kecuali jika Anda mampu mengubah kemungkaran
tersebut dan berharap bisa mengubahnya.- Jika Anda tetap tinggal dengan keluarga di rumah diharapkan bisa memperbaiki kondisi keislaman mereka dengan menasihati mereka sehingga mereka berhenti melakukan hal-hal yang menyelisihi syariat, tentu lebih baik Anda tinggal bersama mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.
Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Pemberian Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Qu’ud.
(Fatawa al-Lajnah, 26/312—315, fatwa no. 477
Komitmen dengan Agama Tidak Menghalangi Mencari Nafkah
Apa yang wajib diperbuat oleh seorang muslim sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkait dengan seorang pemuda muslim yang komitmen terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membiarkan jenggot? Hal ini mengakibatkan dia kesusahan mencari nafkah, terkadang ditangkap dan mendapatkan berbagai bentuk siksaan. Setiap kali melamar sebuah pekerjaan, hal ini memberatkannya. Dia tidak diterima karena berjenggot.
Berilah kami fatwa, semoga Anda mendapatkan balasan karena memberi perhatian terhadap keadaan kaum muslimin di Republik Mesir.
Jawab:
Mencari nafkah tidak hanya dengan bekerja menjadi pegawai pemerintahan. Jalan-jalan mencari nafkah yang tidak mengikat cukup banyak.
Maka dari itu, carilah jalan pekerjaan yang tidak mengikat, tetaplah komitmen dengan agama Anda, jauhilah sumber keburukan dan masalah, dalam rangka mencari keselamatan diri darinya.
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.
Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Pemberian Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan.
(Fatawa al-Lajnah, 15/77—78, fatwa no. 10575, pertanyaan no. 1)
Gaji Pekerjaan yang Didapat Dengan Ijazah Hasil Mencontek
Seseorang mendapatkan pekerjaan dengan sebuah ijazah dalam disiplin ilmu tertentu. Dia telah melakukan penipuan ketika menempuh ujian guna mendapatkan ijazah ini. Sekarang, dia telah bekerja dengan baik dengan persaksian dari bawahan. Apa hukum gaji yang dia dapatkan, halal ataukah haram?[1]
Jawab:
Insya Allah tidak mengapa. Hanya saja, dia harus bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari penipuan yang dia lakukan. Apabila dia bisa menunaikan tugasnya sebagaimana mestinya, penghasilannya tidak apa-apa. Akan tetapi, dia bersalah dalam hal penipuan yang dilakukannya dahulu. Dia harus bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari perbuatan tersebut.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, 19/31—32)
[1] Pertanyaan ini termuat dalam sekumpulan soal yang diajukan kepada Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pada musim haji 1415 H.
Al-Muqaddim & Al-Muakhkhir
Dua nama dari asmaul husna, dalam hadits disebutkan,
Allah subhanahu wa ta’ala juga al-Muakhkhir, yang mengakhirkan sebagian dari sebagian yang lain, baik dalam sisi waktunya maupun dalam sisi syariat. Dua sifat Allah subhanahu wa ta’ala (yang terkandung dalam dua nama ini) termasuk yang disebut dengan sifat fi’il (sifat perbuatan) yang mengikuti kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan hikmah-Nya, (yakni kapan Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, Allah subhanahu wa ta’ala akan melakukannya sesuai dengan hikmah-Nya, pen.). Keduanya juga termasuk yang disebut dengan sifat zat. Keduanya berada pada sebuah zat (yakni tidak berdiri sendiri, pen.).
Demikianlah semua sifat fi’il dari sudut pandang ini termasuk sifat zat. Zat (Allah subhanahu wa ta’ala) bersifat dengannya dan dari sisi keterkaitan sifat itu dengan sumber munculnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang disebut sifat fi’il.” (Syarah Qashidah Nuniyah, 2/120)
Buah Mengimani Nama Allah subhanahu wa ta’ala, al-Muqaddim dan al-Muakhkhir
Dengan mengimani dua nama Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, akan bertambah kepasrahan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal kemajuannya atau kemundurannya, keutamaannya atauberkurangnya keutamaan itu. Semuanya Allah subhanahu wa ta’ala yang menentukan.
Meski demikian, maju atau mundur, utama atau tidak, semuanya ada sebabnya yang Allah subhanahu wa ta’ala kaitkan dengannya. Kita mesti melakukan segala sebab keutamaan dan kemajuan serta menghindari sebab kemunduran. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala -lah yang memutuskan hasilnya.
Sebagai contoh, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para sahabatnya lambat dalam maju ke shaf depan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Engkaulah, al-Muqaddim dan Engkaulah, al-Muakhkhir. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan, “Di antara nama Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Muqaddim dan al-Muakhkhir. Keduanya termasuk nama yang saling berpasangan, tidak boleh salah satunya dipisahkan dari yang lain. Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Muqaddim
yakni yang mendahulukan sebagian sesuatu atas sebagian yang lain, baik
pendahuluan dalam penciptaan, seperti pendahuluan sebagian makhluk atas
yang lain dalam menciptakannya, maupun dalam hal mendahulukan sebab atas
akibatnya, syarat atas yang dipersyaratkan; atau pendahuluan dalam hal
maknawi atau dalam hal syariat, seperti diutamakannya sebagian nabi atas
seluruh manusia yang lain, diutamakannya nabi atas sebagian nabi yang
lain, dan diutamakan sebagian hamba atas hamba yang lain.Allah subhanahu wa ta’ala juga al-Muakhkhir, yang mengakhirkan sebagian dari sebagian yang lain, baik dalam sisi waktunya maupun dalam sisi syariat. Dua sifat Allah subhanahu wa ta’ala (yang terkandung dalam dua nama ini) termasuk yang disebut dengan sifat fi’il (sifat perbuatan) yang mengikuti kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan hikmah-Nya, (yakni kapan Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, Allah subhanahu wa ta’ala akan melakukannya sesuai dengan hikmah-Nya, pen.). Keduanya juga termasuk yang disebut dengan sifat zat. Keduanya berada pada sebuah zat (yakni tidak berdiri sendiri, pen.).
Demikianlah semua sifat fi’il dari sudut pandang ini termasuk sifat zat. Zat (Allah subhanahu wa ta’ala) bersifat dengannya dan dari sisi keterkaitan sifat itu dengan sumber munculnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang disebut sifat fi’il.” (Syarah Qashidah Nuniyah, 2/120)
Buah Mengimani Nama Allah subhanahu wa ta’ala, al-Muqaddim dan al-Muakhkhir
Dengan mengimani dua nama Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, akan bertambah kepasrahan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal kemajuannya atau kemundurannya, keutamaannya atauberkurangnya keutamaan itu. Semuanya Allah subhanahu wa ta’ala yang menentukan.
Meski demikian, maju atau mundur, utama atau tidak, semuanya ada sebabnya yang Allah subhanahu wa ta’ala kaitkan dengannya. Kita mesti melakukan segala sebab keutamaan dan kemajuan serta menghindari sebab kemunduran. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala -lah yang memutuskan hasilnya.
Sebagai contoh, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para sahabatnya lambat dalam maju ke shaf depan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَقَدَّمُوا فَأَتِمُّوا بِي، وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ، لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرُهُمُ اللهُ
“Majulah dan ikuti aku. Yang di
belakang kalian akan mengikuti kalian. Akan tetap ada orang-orang yang
memilih berada di belakang hingga Allah subhanahu wa ta’ala mengakhirkan mereka.” (Sahih, HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Wallahul Muwaffiq.Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Iblis VS Manusia (5)
Sebagaimana sudah diceritakan bahwa setan menjerumuskan manusia ke
jurang kebinasaan sekaligus menyeret mereka kepada kekafiran dan
kesyirikan, tidaklah secara langsung. Tetapi berangsur-angsur, selangkah
demi selangkah.
Enam pintu yang telah dijelaskan pada edisi sebelumnya adalah cara yang umum digunakan oleh setan menghancurkan manusia. Selain enam pintu ini masih ada jalan-jalan lain yang memperjelas pintu-pintu tersebut.
Berlindung dari Setan
Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tidak membiarkan kita begitu saja melawan musuh yang satu ini. Dengan rahmat-Nya, Dia mengajari manusia cara untuk menghadapi musuh yang paling berat ini.
Satu hal yang harus kita ingat, bagaimanapun banyaknya tipu muslihat setan untuk menghancurkan manusia, semua tipu muslihat itu lemah. Sangat lemah bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetap istiqamah di atas jalan yang lurus dan senantiasa istighfar dan bertobat.
Allah subhanahu wa ta’ala dengan kasih sayang-Nya membimbing kita kepada hal-hal yang membuat kita terjaga dari makar dan godaan setan. Yang paling penting di antara upaya berlindung dari gangguan dan tipu daya setan itu adalah bertauhid, be
Enam pintu yang telah dijelaskan pada edisi sebelumnya adalah cara yang umum digunakan oleh setan menghancurkan manusia. Selain enam pintu ini masih ada jalan-jalan lain yang memperjelas pintu-pintu tersebut.
Berlindung dari Setan
Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tidak membiarkan kita begitu saja melawan musuh yang satu ini. Dengan rahmat-Nya, Dia mengajari manusia cara untuk menghadapi musuh yang paling berat ini.
Satu hal yang harus kita ingat, bagaimanapun banyaknya tipu muslihat setan untuk menghancurkan manusia, semua tipu muslihat itu lemah. Sangat lemah bagi orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetap istiqamah di atas jalan yang lurus dan senantiasa istighfar dan bertobat.
Allah subhanahu wa ta’ala dengan kasih sayang-Nya membimbing kita kepada hal-hal yang membuat kita terjaga dari makar dan godaan setan. Yang paling penting di antara upaya berlindung dari gangguan dan tipu daya setan itu adalah bertauhid, be
Posting Komentar