Pangkal Segala Keburukan
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan:
“Empat perkara yang jika ada pada diri seseorang niscaya Allah l akan menjaganya dari setan dan mengharamkannya dari api neraka, yaitu siapa saja yang bisa menguasai diri tatkala didera oleh keinginan, rasa takut, nafsu syahwat, dan kemarahan.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali t menerangkan:
Keempat perkara yang disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri ini merupakan pangkal dari segala macam keburukan. Karena, keinginan terhadap sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya dengan sebab meyakini kemanfaatannya. Sehingga jika seseorang tengah berkeinginan terhadap sesuatu niscaya akan terbawa untuk berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia yakini akan bisa menyampaikannya. Terkadang mayoritas cara-cara tersebut adalah cara-cara yang diharamkan, atau bisa jadi sesuatu yang dia ingini itu sendiri merupakan perkara yang haram.
Sedangkan (definisi) takut adalah kekhawatiran terhadap sesuatu. Apabila seseorang merasa takut terhadap sesuatu niscaya akan melakukan sebab-sebab (faktor-faktor) yang dapat menolaknya dengan berbagai cara/jalan yang diyakini akan dapat menolaknya. Adakalanya kebanyakan dari jalan-jalan tersebut adalah perkara-perkara yang diharamkan.
Syahwat ialah kecondongan jiwa kepada hal-hal yang mencocokinya di mana jiwa itu merasakan kelezatan/kenyamanan dengannya. Mayoritasnya, jiwa itu cenderung kepada keharaman-keharaman seperti zina, mencuri, minum khamr, condong kepada kekafiran, sihir, kemunafikan, dan kebid’ahan-kebid’ahan.
Sedangkan kemarahan ialah mendidihnya darah di qalbu guna mencegah hal-hal yang menyakitinya tatkala mengkhawatirkan bakal terjadinya suatu peristiwa, atau dalam upaya membalas dendam kepada pihak yang telah menyakitinya sesudah terjadinya peristiwa tersebut. Sehingga muncullah dari semua itu tindakan–tindakan yang haram, seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan. Muncul pula darinya berbagai macam ucapan yang diharamkan seperti fitnah, menuduh tanpa bukti, caci-maki, serta ucapan-ucapan keji yang bisa saja naik ke derajat kekafiran sebagaimana yang terjadi pada diri Jabalah bin Al-Aiham. Demikian pula sumpah–sumpah yang tidak diperbolehkan secara syariat dan atau sampai mengucapkan kalimat talak (cerai) kepada istri yang kemudian berakhir dengan penyesalan.
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 379-380)
“Empat perkara yang jika ada pada diri seseorang niscaya Allah l akan menjaganya dari setan dan mengharamkannya dari api neraka, yaitu siapa saja yang bisa menguasai diri tatkala didera oleh keinginan, rasa takut, nafsu syahwat, dan kemarahan.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali t menerangkan:
Keempat perkara yang disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri ini merupakan pangkal dari segala macam keburukan. Karena, keinginan terhadap sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya dengan sebab meyakini kemanfaatannya. Sehingga jika seseorang tengah berkeinginan terhadap sesuatu niscaya akan terbawa untuk berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia yakini akan bisa menyampaikannya. Terkadang mayoritas cara-cara tersebut adalah cara-cara yang diharamkan, atau bisa jadi sesuatu yang dia ingini itu sendiri merupakan perkara yang haram.
Sedangkan (definisi) takut adalah kekhawatiran terhadap sesuatu. Apabila seseorang merasa takut terhadap sesuatu niscaya akan melakukan sebab-sebab (faktor-faktor) yang dapat menolaknya dengan berbagai cara/jalan yang diyakini akan dapat menolaknya. Adakalanya kebanyakan dari jalan-jalan tersebut adalah perkara-perkara yang diharamkan.
Syahwat ialah kecondongan jiwa kepada hal-hal yang mencocokinya di mana jiwa itu merasakan kelezatan/kenyamanan dengannya. Mayoritasnya, jiwa itu cenderung kepada keharaman-keharaman seperti zina, mencuri, minum khamr, condong kepada kekafiran, sihir, kemunafikan, dan kebid’ahan-kebid’ahan.
Sedangkan kemarahan ialah mendidihnya darah di qalbu guna mencegah hal-hal yang menyakitinya tatkala mengkhawatirkan bakal terjadinya suatu peristiwa, atau dalam upaya membalas dendam kepada pihak yang telah menyakitinya sesudah terjadinya peristiwa tersebut. Sehingga muncullah dari semua itu tindakan–tindakan yang haram, seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan. Muncul pula darinya berbagai macam ucapan yang diharamkan seperti fitnah, menuduh tanpa bukti, caci-maki, serta ucapan-ucapan keji yang bisa saja naik ke derajat kekafiran sebagaimana yang terjadi pada diri Jabalah bin Al-Aiham. Demikian pula sumpah–sumpah yang tidak diperbolehkan secara syariat dan atau sampai mengucapkan kalimat talak (cerai) kepada istri yang kemudian berakhir dengan penyesalan.
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 379-380)
Lihatlah Kebawah
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Dunia dengan perhiasannya demikian menyilaukan…
Allah l pun memberikannya kepada kepada hamba yang dicintai-Nya dan kepada hamba yang tidak dicintai-Nya, sehingga kelebihan yang didapatkan seseorang dalam perkara dunia bukanlah jaminan ia dicintai oleh Dzat Yang di atas. Berapa banyak orang yang jahat, ingkar kepada Allah l dan Rasul-Nya n, namun ia beroleh kekayaan melimpah dan jabatan yang tinggi. Sebaliknya, banyak hamba yang taat kepada Allah l dan Rasul-Nya n tidak beroleh dunia kecuali sekadarnya. Kenapa demikian? Karena memang dunia tiada bernilai di sisi Allah l. Sampai-sampai kata Rasul yang mulia n:
لَوْكاَنَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَناَحَ بَعُوْضَةٍ، ماَ سَقَى كاَفِرًا مِنْهَا شُرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini di sisi Allah punya nilai setara dengan sebelah sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum seorang kafir seteguk air pun.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 940)
Tatkala Rasulullah n lewat di sebuah pasar sementara orang-orang berada di sekitarnya, beliau melewati bangkai seekor anak kambing yang cacat telinganya. Beliau memegang telinga bangkai hewan tersebut, lalu berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوْا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ ثُمَّ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُم؟ قَالُوْا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا، أَنَّهُ أَسَكٌ، فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ. فَقاَلَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian ingin memiliki bangkai anak kambing ini dengan membayar satu dirham?”
“Kami tidak ingin memilikinya walau dengan membayar sedikit, karena apa yang akan kami perbuat dengannya?” jawab mereka yang ditanya.
Beliau kembali mengulang pertanyaannya, “Apakah kalian ingin bangkai anak kambing ini jadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun hewan ini masih hidup, ia cacat, telinganya kecil, apatah lagi ia sudah menjadi bangkai!” jawab mereka.
Rasulullah n bersabda, “Maka demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.” (HR. Muslim)
Mungkin kita termasuk orang yang mendapatkan dunia sekadarnya, tidak berlebih seperti yang diperoleh orang-orang di sekitar kita, yang mungkin punya rumah mewah, mobil gonta-ganti, perabotan yang wah…, dan jabatan yang empuk. Kekurangan yang ada pada kita dari sisi dunia dan kelebihan yang diperoleh orang lain seharusnya tidak perlu membuat dada kita sempit sehingga kita berburuk sangka kepada Allah Yang Maha Adil. Rasul yang mulia n telah memberi bimbingan dalam perkara dunia kita ini. Beliau n bertitah:
انْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dalam satu riwayat:
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberi kelebihan dalam hal harta dan rupa/fisik, maka hendaklah ia melihat orang yang lebih rendah dari dirinya.”
Hadits di atas memberi arahan kepada setiap muslim agar selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia dan jangan melihat kepada orang yang melebihinya. Karena bila ia berbuat demikian akan membuatnya berkeluh kesah, sempit dada, dan tidak bersyukur dengan apa yang Allah l berikan kepadanya. Sebaliknya dalam perkara agama/akhirat, seorang muslim harusnya melihat ke atas, kepada orang yang lebih darinya dalam beramal ketaatan, dalam keshalihan dan ketakwaan sehingga ia terpacu untuk terus menambah ketaatan dan amal ibadah. (Bahjatun Nazhirin, 1/534)
Al-Imam Ath-Thabari t berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan sebuah hadits yang mengumpulkan kebaikan. Karena bila seorang hamba melihat orang yang di atasnya dalam kebaikan, ia menuntut jiwanya untuk turut bergabung dengan orang yang dilihatnya tersebut. Ia pun mengecilkan keadaannya ketika itu sehingga ia bersungguh-sungguh untuk menambah kebaikan. Bila dalam perkara dunianya ia melihat kepada orang yang di bawahnya, akan tampak baginya nikmat Allah l yang terlimpah padanya, ia pun mengharuskan jiwanya bersyukur. Inilah makna ucapan Rasulullah n di atas. Bila seseorang tidak melakukan anjuran Nabi n tersebut maka keadaannya jadi sebaliknya. Ia terkagum-kagum dengan amalannya sehingga ia malas menambah kebaikan. Ia membelalakkan dua matanya kepada dunia dan berambisi untuk menambahnya. Nikmat Allah l yang diperolehnya pun diremehkan dan tidak ditunaikan haknya.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/515)
Rasulullah n telah memberikan nasihat yang akan mengobati penyakit yang mungkin ada di dalam dada, maka amalkanlah! Selalulah melihat orang yang kekurangan dan lebih susah daripada diri kita.
Lihatlah… Allah l telah memberikan tempat tinggal yang menaungi kita setiap harinya walau berupa rumah yang sederhana, maka syukurilah karena berapa banyak tuna wisma di sekitar kita. Mereka terpaksa tidur di emperan toko, di kolong jembatan, dan di dalam rumah-rumah kardus…
Setiap harinya kita bisa makan dan minum walau hidangan yang tersaji sederhana, namun syukurilah. Lihatlah di sana … Ada orang-orang yang mengais-ngais sampah untuk mencari sesuatu yang dapat mengganjal perut mereka yang lapar.
Kita diberi nikmat berupa pakaian yang dapat menutup aurat kita dan melindungi kita dari hawa panas dan dingin, walau harganya tak seberapa. Namun lihatlah… di sana ada orang-orang yang berpakaian compang-camping karena fakirnya.
Lihatlah dan tengoklah selalu kepada orang yang hidupnya lebih sulit daripada kita, dengan begitu kita dapat mensyukuri nikmat Allah l yang diberikan-Nya kepada kita.
Ingatlah selalu bahwa dunia ini ibaratnya hanyalah fatamorgana, tiada berharga, maka jangan engkau terlalu berpanjang angan untuk meraihnya. Tapi berambisilah untuk kehidupanmu setelah mati. Di sana ada negeri kekal menantimu…!!!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Dunia dengan perhiasannya demikian menyilaukan…
Allah l pun memberikannya kepada kepada hamba yang dicintai-Nya dan kepada hamba yang tidak dicintai-Nya, sehingga kelebihan yang didapatkan seseorang dalam perkara dunia bukanlah jaminan ia dicintai oleh Dzat Yang di atas. Berapa banyak orang yang jahat, ingkar kepada Allah l dan Rasul-Nya n, namun ia beroleh kekayaan melimpah dan jabatan yang tinggi. Sebaliknya, banyak hamba yang taat kepada Allah l dan Rasul-Nya n tidak beroleh dunia kecuali sekadarnya. Kenapa demikian? Karena memang dunia tiada bernilai di sisi Allah l. Sampai-sampai kata Rasul yang mulia n:
لَوْكاَنَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَناَحَ بَعُوْضَةٍ، ماَ سَقَى كاَفِرًا مِنْهَا شُرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini di sisi Allah punya nilai setara dengan sebelah sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum seorang kafir seteguk air pun.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 940)
Tatkala Rasulullah n lewat di sebuah pasar sementara orang-orang berada di sekitarnya, beliau melewati bangkai seekor anak kambing yang cacat telinganya. Beliau memegang telinga bangkai hewan tersebut, lalu berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوْا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ ثُمَّ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُم؟ قَالُوْا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا، أَنَّهُ أَسَكٌ، فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ. فَقاَلَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian ingin memiliki bangkai anak kambing ini dengan membayar satu dirham?”
“Kami tidak ingin memilikinya walau dengan membayar sedikit, karena apa yang akan kami perbuat dengannya?” jawab mereka yang ditanya.
Beliau kembali mengulang pertanyaannya, “Apakah kalian ingin bangkai anak kambing ini jadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun hewan ini masih hidup, ia cacat, telinganya kecil, apatah lagi ia sudah menjadi bangkai!” jawab mereka.
Rasulullah n bersabda, “Maka demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.” (HR. Muslim)
Mungkin kita termasuk orang yang mendapatkan dunia sekadarnya, tidak berlebih seperti yang diperoleh orang-orang di sekitar kita, yang mungkin punya rumah mewah, mobil gonta-ganti, perabotan yang wah…, dan jabatan yang empuk. Kekurangan yang ada pada kita dari sisi dunia dan kelebihan yang diperoleh orang lain seharusnya tidak perlu membuat dada kita sempit sehingga kita berburuk sangka kepada Allah Yang Maha Adil. Rasul yang mulia n telah memberi bimbingan dalam perkara dunia kita ini. Beliau n bertitah:
انْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dalam satu riwayat:
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberi kelebihan dalam hal harta dan rupa/fisik, maka hendaklah ia melihat orang yang lebih rendah dari dirinya.”
Hadits di atas memberi arahan kepada setiap muslim agar selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia dan jangan melihat kepada orang yang melebihinya. Karena bila ia berbuat demikian akan membuatnya berkeluh kesah, sempit dada, dan tidak bersyukur dengan apa yang Allah l berikan kepadanya. Sebaliknya dalam perkara agama/akhirat, seorang muslim harusnya melihat ke atas, kepada orang yang lebih darinya dalam beramal ketaatan, dalam keshalihan dan ketakwaan sehingga ia terpacu untuk terus menambah ketaatan dan amal ibadah. (Bahjatun Nazhirin, 1/534)
Al-Imam Ath-Thabari t berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan sebuah hadits yang mengumpulkan kebaikan. Karena bila seorang hamba melihat orang yang di atasnya dalam kebaikan, ia menuntut jiwanya untuk turut bergabung dengan orang yang dilihatnya tersebut. Ia pun mengecilkan keadaannya ketika itu sehingga ia bersungguh-sungguh untuk menambah kebaikan. Bila dalam perkara dunianya ia melihat kepada orang yang di bawahnya, akan tampak baginya nikmat Allah l yang terlimpah padanya, ia pun mengharuskan jiwanya bersyukur. Inilah makna ucapan Rasulullah n di atas. Bila seseorang tidak melakukan anjuran Nabi n tersebut maka keadaannya jadi sebaliknya. Ia terkagum-kagum dengan amalannya sehingga ia malas menambah kebaikan. Ia membelalakkan dua matanya kepada dunia dan berambisi untuk menambahnya. Nikmat Allah l yang diperolehnya pun diremehkan dan tidak ditunaikan haknya.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/515)
Rasulullah n telah memberikan nasihat yang akan mengobati penyakit yang mungkin ada di dalam dada, maka amalkanlah! Selalulah melihat orang yang kekurangan dan lebih susah daripada diri kita.
Lihatlah… Allah l telah memberikan tempat tinggal yang menaungi kita setiap harinya walau berupa rumah yang sederhana, maka syukurilah karena berapa banyak tuna wisma di sekitar kita. Mereka terpaksa tidur di emperan toko, di kolong jembatan, dan di dalam rumah-rumah kardus…
Setiap harinya kita bisa makan dan minum walau hidangan yang tersaji sederhana, namun syukurilah. Lihatlah di sana … Ada orang-orang yang mengais-ngais sampah untuk mencari sesuatu yang dapat mengganjal perut mereka yang lapar.
Kita diberi nikmat berupa pakaian yang dapat menutup aurat kita dan melindungi kita dari hawa panas dan dingin, walau harganya tak seberapa. Namun lihatlah… di sana ada orang-orang yang berpakaian compang-camping karena fakirnya.
Lihatlah dan tengoklah selalu kepada orang yang hidupnya lebih sulit daripada kita, dengan begitu kita dapat mensyukuri nikmat Allah l yang diberikan-Nya kepada kita.
Ingatlah selalu bahwa dunia ini ibaratnya hanyalah fatamorgana, tiada berharga, maka jangan engkau terlalu berpanjang angan untuk meraihnya. Tapi berambisilah untuk kehidupanmu setelah mati. Di sana ada negeri kekal menantimu…!!!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Bermudah-mudah Mengucapkan Kata Cerai
Banyak dijumpai suami yang bermudah-mudah mengucapkan kata cerai
kepada istrinya walau hanya karena perkara yang remeh. Bagaimana hukum
syariat terhadap permasalahan seperti ini?
Jawab:
Samahatus Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz t memberikan jawabannya, “Yang
disyariatkan bagi seorang muslim adalah tidak sering-sering mengucapkan
cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam
percakapan dia dengan orang lain1. Karena Nabi n bersabda:
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”2
Juga karena banyak mengucapkan talak akan berdampak buruk.
Talak dibolehkan ketika ada kebutuhan. Bahkan terkadang mustahab
bila ada maslahat atau akan timbul kemudaratan yang besar bila istri
tetap dipertahankan.
Yang diajarkan oleh As-Sunnah adalah bila terpaksa talak maka yang
dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya
rujuk bila memang diinginkan selama si istri masih dalam masa ‘iddah
atau dengan akad nikah yang baru bila masa ‘iddah telah berakhir.
Talak dijatuhkan seorang suami dalam keadaan istrinya hamil atau
dalam keadaan suci yang dalam masa suci tersebut ia belum menggaulinya.
Adapun bila si istri sedang haid, tidak boleh dijatuhkan talak. Karena
Nabi n pernah memerintahkan Ibnu Umar c untuk kembali kepada istrinya
yang ditalaknya dalam keadaan haid3. Ketika itu Ibnu Umar c
diperintahkan menahan si istri sampai suci dari haidnya tersebut.
Kemudian datang haid berikutnya sampai suci lagi, setelah itu ia boleh
mentalaknya bila mau, namun dengan ketentuan ia sama sekali belum
menggaulinya di masa suci tersebut. Nabi n mengatakan kepada Ibnu Umar
c, “Itulah iddah yang Allah l perintah untuk menceraikan istri dalam
masa tersebut.”
Dalam lafadz lain yang diriwayatkan Al-Imam Muslim t disebutkan bahwa Nabi n berkata kepada Umar z:
مُرْهُ –يَعْنِي ابْنَهُ عَبْدَ اللهِ- فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلاً
“Perintahkan dia -yaitu putra Umar, Abdullah- agar merujuk
istrinya, kemudian setelah itu ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci
atau dalam keadaan hamil.”
Tidak boleh seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid
atau nifas, atau di masa sucinya di mana ia telah menggaulinya. Adapun
terhadap istri yang sedang hamil atau telah berhenti haid (menopause),
tidak terlarang menjatuhkan talak atasnya berdasarkan hadits Ibnu Umar c
yang telah disebutkan. Ini merupakan tafsir terhadap firman Allah l:
“Wahai Nabi, apabila kalian mentalak para istri kalian maka
talaklah mereka di masa mereka dapat menghadapi iddah mereka.”
(Ath-Thalaq: 1)
Tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan
satu kalimat4 atau dalam satu kesempatan, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan An-Nasa’i dengan sanad yang hasan, dari Mahmud ibnu Labid,
bahwasanya sampai kepada Nabi n berita adanya seseorang yang langsung
menjatuhkan talak tiga kepada istrinya. Maka beliau bangkit dalam
keadaan marah kemudian bersabda:
أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟
“Apakah Kitabullah dipermainkan sementara aku masih berada di antara kalian (masih hidup)?”5
Juga berdasarkan hadits di dalam Shahihain (dua kitab shahih) dari
Ibnu ‘Umar c, ia berkata kepada orang yang langsung menjatuhkan talak
tiga kepada istrinya:
لَقَدْ عَصَيْتَ رَبَّكَ فِيْمَا أَمَرَكَ بِهِ مِنْ طَلاَقِ امْرَأَتِكَ
“Sungguh engkau telah bermaksiat kepada Rabbmu dalam perkara yang diperintahkan-Nya kepadamu dalam urusan mentalak istrimu.”
Allah l-lah yang memberi taufik. (Al-Fatawa, Kitabud Da’wah, 92/234,244)
Di daerah kami ada orang-orang yang dalam percakapan mereka,
berulang-ulang bersumpah dengan talak. Misalnya, “Sungguh telah jatuh
talak kepada istriku”, “(Demi talak) kalau engkau melakukan ini atau
bila engkau keluar ke tempat itu.” Padahal mereka semua yang mengatakan
seperti ini punya istri. Apakah benar jatuh talak dalam keadaan seperti
ini atau tidak?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t berfatwa,
“Pertanyaan ini berisi dua masalah. Yang pertama: Keadaan orang-orang
bodoh yang lisan mereka terbiasa mengucapkan kalimat talak dalam segala
keadaan, yang remeh ataupun yang berat. Mereka ini telah menyelisihi
bimbingan Nabi n dalam sabda beliau:
مَنْ كَانَ حاَلِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang bersumpah maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam (jangan bersumpah).”6
Bila seorang mukmin ingin bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan
nama Allah k. Namun tidak sepantasnya ia banyak bersumpah walaupun
dengan menyebut nama Allah l, karena Allah l berfirman:
“Jagalah sumpah-sumpah kalian.” (Al-Ma’idah: 89)
Di antara penafsiran ayat ini adalah janganlah kalian banyak bersumpah (walau) dengan menyebut nama Allah k.
Adapun bila mereka bersumpah dengan menyebut talak, misalnya “Wajib
bagiku talak (demi talak) kalau engkau melakukan itu” atau “Wajib
bagiku talak bila engkau tidak melakukan ini dan itu.” Atau ia
mengatakan, “Bila engkau melakukan itu maka jatuh talak kepada istriku”,
“Bila engkau tidak melakukannya berarti jatuh talak pada istriku”, dan
kalimat semisalnya, maka sumpah seperti ini menyelisihi bimbingan Nabi
n.
Banyak ahli ilmu –bahkan mayoritasnya– mengatakan bila seseorang
bersumpah demikian maka jatuh talak kepada istrinya, walaupun pendapat
yang rajih adalah bila talak digunakan dalam sumpah dengan tujuan
menghasung untuk melakukan sesuatu, melarang dari sesuatu, membenarkan
atau mendustakan atau menekankan suatu perkara maka hukumnya sama dengan
hukum sumpah, berdasarkan firman Allah l:
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu, karena ingin mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepada kalian semuanya untuk membebaskan diri dari sumpah kalian, dan
Allah adalah Pelindung kalian dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki
hikmah.” (At-Tahrim: 1-2)
Dalam ayat di atas, Allah l menjadikan tahrim (pengharaman yang dilakukan Nabi n) sebagai sumpah.
Juga berdasar sabda Nabi n:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amalan itu tergantung dengan niatnya. Dan masing-masing orang memperoleh apa yang ia niatkan.”7
Orang yang bersumpah dengan menyebut talak tidaklah berniat
mentalak istrinya. Ia hanyalah meniatkan sumpah atau meniatkan makna
sumpah. Maka bila ia melanggar sumpahnya, wajib baginya membayar
kaffarah sumpah8. Inilah pendapat yang rajih.
Masalah yang kedua: bersumpah untuk mengharuskan orang lain (agar
berbuat atau tidak berbuat sesuatu) baik dengan menyebut talak, dengan
menyebut nama Allah k atau dengan menyebut salah satu sifat Allah l,
merupakan tindakan yang memberatkan orang lain, bahkan terkadang
memudaratkan orang lain. Dengan begitu, tanpa ragu dikatakan bahwa
sumpah demikian bisa memberatkan mahluf ‘alaihi (orang yang dinyatakan
sumpah di hadapannya atau disebut dalam sumpah). Misalnya orang yang
bersumpah mengatakan kepadanya, “Wajib bagiku talak (demi talak) kalau
engkau tidak melakukan hal itu”.). Bisa pula memberatkan orang yang
bersumpah (halif).
Mahluf ‘alaihi terkadang melakukan apa yang disebutkan dalam sumpah
dengan menanggung kesulitan/kepayahan sehingga jelas hal ini
memberatkannya. Bisa jadi ia tidak melakukan apa yang disebutkan dalam
sumpah tersebut karena adanya kesulitan. Akibatnya halif harus membayar
kaffarah sumpah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“…maka kaffarah melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh
orang miskin dari makanan yang biasa engkau berikan kepada keluarga
kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. Siapa yang tidak mendapatkannya (tidak mampu melakukannya) maka
kaffarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah
sumpah kalian bila kalian bersumpah (lalu melanggarnya)…” (Al-Ma’idah:
89)
Allah l menyebutkan kaffarah sumpah itu ada empat perkara. Tiga
perkara darinya boleh dipilih mana yang mau dilakukan (takhyir), apakah
memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau
memerdekakan seorang budak. Kaffarah yang satunya sebagai tartib (urutan
berikutnya), bila seseorang tidak dapat melakukan tiga perkara yang
telah disebutkan maka ia berpuasa tiga hari berturut-turut. Dalam firman
Allah l:
“Siapa yang tidak mendapatkannya (tidak mampu melakukannya)…”
dihilangkan penyebutan obyeknya agar mencakup orang yang tidak
mendapatkan makanan untuk diberikan kepada fakir miskin, atau tidak
mendapatkan pakaian, atau tidak mendapatkan dana untuk memerdekakan
budak, dan mencakup pula orang yang tidak mendapatkan fakir miskin untuk
diberikan makanan atau pakaian, atau tidak mendapatkan budak untuk
dimerdekakan.
Berdasarkan hal ini, bila engkau berada di suatu negeri yang di
situ tidak ada orang-orang fakir maka boleh bagimu berpuasa tiga hari
sebagai kaffarah sumpahmu, karena pantas dikatakan engkau sebagai orang
yang tidak mendapatkan. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, hal. 85)
1 Misalnya dengan mengatakan kepada orang-orang, “Bila saya berbuat
ini maka berarti jatuh cerai pada istri saya.” “Kalau kamu begitu
berarti jatuh talak pada istri saya”, atau kalimat semisalnya.
2 HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan lain-lain. Namun hadits yang
disebutkan Asy-Syaikh t adalah hadits yang dhaif/lemah, sebagaimana
diterangkan Asy-Syaikh Albani t dalam Al-Irwa’ no. 2040.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
4 Seperti seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Jatuh talak
atasmu, jatuh talak atasmu, jatuh talak atasmu.” Atau ia mengatakan,
“Aku mentalakmu dengan talak tiga.”
5 Hadits ini dilemahkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Dha’if Ibni Majah no. 3401 dan Al-Misykat no. 3292.
6 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
7 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
8 Dan tidak jatuh talak pada istrinya.
Haditsul Ifk dan Faedah yang didapatkan Berkaitan dengan Wanita
Ummul Mukminin Aisyah x, istri Rasulullah n yang mulia
pernah menceritakan kisahnya yang panjang tentang fitnah terhadap
dirinya. Aisyah bertutur, “Bila Rasulullah n ingin bepergian (safar),
beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang keluar undiannya,
dialah yang dibawa serta dalam safar beliau n. Dalam suatu safarnya guna
melakukan peperangan1, beliau mengundi di antara kami. Keluarlah
namaku, hingga beliau membawaku dalam safar tersebut setelah turunnya
perintah hijab2. Aku dibawa di atas sekedupku dan diturunkan dari unta
dengan sekedupku3. Kami terus berjalan dalam safar tersebut hingga
Rasulullah n selesai dari peperangannya dan kembali pulang.
Suatu malam saat perjalanan telah mendekati kota Madinah, rombongan berhenti untuk istirahat beberapa waktu. Aku pun keluar dari sekedupku untuk menunaikan hajat, berjalan jauh sendirian hingga meninggalkan rombongan pasukan tersebut. Selesai menunaikan hajat, aku kembali ke untaku. Namun ternyata kalung dari batu merjan Azhfar yang sebelumnya melingkar di leherku hilang. Aku pergi mencarinya hingga aku tertahan beberapa waktu karenanya. Sementara itu datanglah orang-orang yang bertugas mengangkat sekedupku. Mereka memikul sekedupku dan menaikkannya ke atas unta yang aku tunggangi dalam keadaan menyangka aku berada di dalam sekedup tersebut. Kenapa demikian? Karena kaum wanita di masa itu kurus-kurus, tidak diberati dengan daging. Mereka hanya makan sedikit makanan. Orang-orang yang mengangkat sekedupku itu tidak merasa ganjil dengan ringannya sekedup tersebut4. Aku sendiri saat itu masih sangat belia5.
Unta-unta pun diberangkatkan bersama rombongan pasukan. Mereka melanjutkan perjalanan di akhir malam. Sementara itu aku telah menemukan kalungku yang hilang, namun rombongan pasukan telah berlalu. Aku kembali ke tempat mereka tadinya beristirahat, namun tidak seorang pun yang kutemui. Aku menuju ke tempat diletakkannya sekedupku dengan keyakinan mereka akan menyadari ketidakberadaan diriku bersama rombongan hingga mereka kembali ke tempat tersebut untuk mencariku. Ketika aku sedang duduk di tempatku berada, rasa kantuk menyerangku hingga aku tertidur.
Saat itu Shafwan ibnul Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani z berada di belakang pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan mengenaliku karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab. Aku terbangun dengan ucapan istirja’6nya ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara satu kata pun. Aku pun tidak mendengar darinya satu kata pun selain ucapan istirja’nya hingga ia menderumkan untanya, lalu membelakangiku. Aku naik ke atas unta tersebut dalam keadaan dituntun oleh Shafwan sampai kami berhasil menyusul rombongan pasukan saat mereka istirahat pada siang hari yang panasnya menyengat. Maka binasalah orang yang binasa dengan kejadian tersebut. Yang paling berperan menyebarkan berita dusta7 itu adalah Abdullah bin Ubai bin Salul.
Kami akhirnya tiba di Madinah. Di awal kedatangan kami, aku jatuh sakit selama sebulan. Sementara orang-orang tenggelam dalam pembicaraan seputar tuduhan dusta terhadapku, dalam keadaan aku tidak mengetahuinya sedikitpun. Hanya saja aku melihat keganjilan. Tidak kudapati kelembutan Rasulullah n sebagaimana yang biasa aku dapatkan bila sedang sakit. Rasulullah n hanya masuk sebentar ke tempatku, mengucapkan salam, kemudian berkata kepada ibuku yang merawatku, “Bagaimana keadaan putri kalian?” Setelah itu beliau berlalu. Demikianlah keganjilan yang ada. Namun aku tidak menyadari bila ada berita jelek seputar diriku. Sampai akhirnya aku keluar dari rumahku dalam keadaan masih sempoyongan karena belum begitu pulih dari sakitku. Ummu Misthah menemaniku saat itu. Kami menuju ke tempat kami biasa buang hajat, dan kami tidak keluar untuk buang hajat kecuali pada waktu malam. Itu kami lakukan sebelum kami membuat WC dekat rumah kami. Perkara kami adalah sebagaimana perkaranya orang Arab yang awal dalam mencari tempat yang jauh untuk buang hajat. Dulunya kami merasa terganggu dengan bau tidak sedap bila membuat WC dekat rumah kami.
Aku pergi bersama Ummu Misthah. Ia adalah putri Abu Rahm bin Abdi Manaf. Ibunya adalah putri Shakhr bin Amir, bibi Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah z8.
Seselesainya dari urusan kami, aku dan Ummu Misthah kembali menuju ke rumahku. Ketika itu Ummu Misthah terpeleset, ia pun mengumpat anaknya, “Celaka Misthah.”
“Jelek sekali ucapanmu”, tegurku, “Apakah engkau mencela seseorang yang pernah ikut dalam perang Badr?”
“Wahai wanita yang lengah (sedikit pengetahuan tentang tipu daya yang dilakukan manusia), tidakkah kau mendengar apa yang diucapkan oleh Misthah?” tanya Ummu Misthah.
“Apa yang dikatakannya?” tanyaku.
Ummu Misthah pun menceritakan kepadaku apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyebarkan berita dusta seputar diriku, hingga bertambah parahlah sakitku.
Sesampainya di rumah, Rasulullah n masuk menemuiku, mengucapkan salam lalu bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”
“Apakah engkau mengizinkan aku untuk pergi menemui kedua orangtuaku?”, pintaku kepada beliau n. Ketika itu aku berniat mencari kepastian berita yang disampaikan Ummu Misthah kepada kedua orangtuaku. Rasulullah n memberikan izin, maka aku pun mendatangi kedua orangtuaku.
“Wahai ibunda, apa gerangan yang diperbincangkan orang-orang tentang diriku?” tanyaku kepada ibuku.
“Wahai putriku, tenanglah jangan risau. Demi Allah, jarang sekali keberadaan seorang wanita jelita yang dicintai oleh suaminya, serta ia memiliki madu-madu melainkan dia akan banyak dibicarakan dan dicari-cari kesalahannya,” kata ibuku menghibur.
“Subhanallah, berarti benar orang-orang membicarakan berita dusta tersebut?” tanyaku.
Sepanjang malam itu aku menangis hingga pagi hari air mataku tidak berhenti mengalir. Aku tidak bercelak untuk berangkat tidur9, sampai pagi aku terus menangis.
Ketika wahyu belum juga turun, Rasulullah n memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid c untuk mengajak keduanya bermusyawarah, apakah menceraikan istrinya10 atau tidak. Usamah bin Zaid mengisyaratkan kepada Rasulullah n dengan apa yang diketahuinya bahwa istri beliau terlepas dari tuduhan tersebut dan dengan apa yang diketahuinya dari kecintaan Rasulullah n kepada istri beliau. “Wahai Rasulullah, tahanlah istrimu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan,” ujar Usamah.
Adapun Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyempitkanmu. Wanita selain dia masih banyak. Namun bila engkau bertanya kepada budak perempuan itu11, niscaya ia akan membenarkanmu12.”
Rasulullah n kemudian memanggil Barirah. “Wahai Barirah, apakah engkau pernah melihat dari Aisyah sesuatu yang meragukanmu?” tanya Rasulullah n.
Barirah menjawab, “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Tidak pernah aku lihat darinya suatu perkara pun yang aku anggap jelek, kecuali sekadar ia seorang wanita yang masih belia, yang tertidur/lalai dari menjaga adonan roti untuk keluarganya hingga datanglah kambing memakan adonan tersebut.”
Pada hari itu Rasulullah n bangkit mencari bantuan untuk membalas perbuatan Abdullah bin Ubai bin Salul. Beliau bersabda di atas mimbar, “Wahai sekalian kaum mukminin! Siapakah yang dapat membantuku menghadapi seseorang yang telah menyakitiku dalam urusan ahli baitku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari istriku kecuali kebaikan. Namun mereka telah menyebut-nyebut seorang lelaki13 yang aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan, dan ia tidak pernah masuk menemui keluargaku kecuali bersamaku.”
Bangkitlah Sa’d bin Mu’adz Al-Anshari z sembari berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan menuntaskan sakit hatimu terhadap orang tersebut. Bila ia dari kalangan kabilah Aus (kabilahnya), aku akan memenggal lehernya. Jika ia dari kalangan saudara-saudara kami, orang-orang Khazraj, engkau perintahkan pada kami apa yang engkau kehendaki dan kami akan melaksanakan titahmu,” ucapnya.
Sa’d bin ‘Ubadah z, pemuka orang-orang Khazraj, berdiri dan ia sebelumnya seorang yang sempurna keshalihannya, namun ia dihinggapi semangat kesukuannya hingga ia berkata kepada Sa’d bin Mu’adz, “Dusta engkau, demi Allah. Jangan engkau bunuh dia dan engkau tidak akan mampu membunuhnya.”
Usaid bin Hudhair z, anak paman Sa’d bin Mu’adz, berdiri dan ikut angkat suara menujukan kepada Sa’d bin ‘Ubadah, “Dusta engkau, demi Allah. Kami sungguh-sungguh akan membunuh orang itu. Kamu memang munafik14 yang ingin berdebat membela orang-orang munafik.”
Bangkitlah emosi dua kabilah ini, Aus dan Khazraj. Sampai-sampai mereka ingin mengobarkan peperangan sementara Rasulullah n masih berdiri di atas mimbar. Beliau terus menerus menenangkan kedua belah pihak hingga mereka terdiam dan beliau pun diam.”
Aisyah x melanjutkan kisahnya, “Aku tinggal di hariku tersebut dalam keadaan air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak bercelak untuk berangkat tidur. Di pagi harinya, kedua orangtuaku telah berada di sisiku. Sungguh aku telah menghabiskan air mataku. Menangis sehari dua malam dan tidak bercelak. Air mataku tiada hentinya mengalir. Keduanya menyangka tangisan yang demikian akan membelah hatiku. Ketika keduanya sedang duduk di sisiku yang masih terus menangis, datang seorang wanita Anshar minta izin menemuiku. Aku mengizinkannya, ia duduk menangis bersamaku. Dalam keadaan demikian, Rasulullah n masuk menemui kami. Beliau mengucapkan salam, kemudian duduk. Beliau belum pernah duduk di sisiku sejak tersebar fitnah tersebut. Telah lewat waktu sebulan, wahyu belum juga turun sehubungan dengan perkaraku. Rasulullah n bertasyahhud ketika duduk, lalu berkata, “Adapun setelah itu, wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bahwa engkau begini dan begitu. Bila memang engkau terlepas dari tuduhan tersebut maka Allah akan menyatakan hal itu, Dia akan membersihkanmu dari tuduhan tersebut. Namun jika memang engkau berbuat dosa, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena jika seorang hamba mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat kepada Allah, Allah pasti akan menerima taubatnya.”
Seselesainya Rasulullah n dari ucapannya tersebut, menyusutlah air mataku hingga aku merasa tidak ada setetes pun yang keluar. Aku katakan kepada ayahku, “Mohon berilah tanggapan terhadap pernyataan Rasulullah n itu.”
“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah n,” jawab ayahku.
“Berilah jawaban kepada Rasulullah n, wahai ibu,” kataku kepada ibuku.
Beliau menjawab yang sama dengan jawaban ayahku, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah n.”
Sebagai wanita yang masih belia belum banyak membaca/menghafal Al-Qur’an, aku menjawab, “Demi Allah, aku sungguh yakin kalian telah mendengar pembicaraan jelek tentang diriku hingga menetap di hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau aku katakan pada kalian bahwa aku berlepas diri dari tuduhan tersebut, dan demi Allah Dia tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut, niscaya kalian tidak akan membenarkanku (tidak percaya dengan pengingkaranku). Kalau aku mengakui perkara tersebut benar adanya –padahal demi Allah Dia Tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut– kalian akan membenarkan pengakuanku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan permisalan untuk kalian kecuali ucapan ayah Yusuf (Nabi Ya’qub) yang berkata:
‘Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Allah sajalah yang dimintai pertolongan atas apa yang kalian ceritakan’.” (Yusuf: 18)
Kemudian aku palingkan wajahku ke arah dinding sembari berbaring di atas tempat tidurku. Ketika itu aku yakin diriku lepas dari tuduhan itu dan Allah l akan membersihkan namaku karena memang aku tidak melakukannya. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah l akan menurunkan wahyu-Nya yang akan terus dibaca tentang perkaraku. Karena, bagiku urusan diriku terlalu rendah hingga Allah l perlu membicarakannya dengan wahyu yang akan dibaca. Harapanku hanyalah agar Rasulullah n bermimpi dalam tidurnya di mana dalam mimpi tersebut Allah l menunjukkan terlepasnya diriku dari tuduhan itu.
Demi Allah, Rasulullah n belum meninggalkan tempat duduknya dan belum ada seorang pun dari keluargaku yang beranjak keluar tatkala turun wahyu kepada beliau n. Mulailah beliau mengalami kepayahan sebagaimana yang biasa beliau alami bila wahyu sedang turun. Sampai-sampai keringat semisal mutiara mengucur deras dari tubuh beliau padahal hari sangat dingin, karena beratnya ucapan yang sedang diturunkan. Tatkala berlalu kejadian itu dari diri beliau n, beliau tertawa. Awal kalimat yang beliau ucapkan pada Aisyah adalah, “Wahai Aisyah, sungguh Allah telah membersihkanmu dari tuduhan tersebut.”
“Bangkitlah menuju kepada Rasulullah,” perintah ibuku.
“Demi Allah, aku tidak akan bangkit menuju kepadanya dan tidak ada yang kupuji kecuali Allah k,” ucapku.
Allah l menurunkan ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita dusta itu adalah golongan dari kalian juga maka janganlah kalian menyangka bahwa berita dusta itu buruk bagi kalian bahkan baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita dusta itu, baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kalian mendengar berita dusta itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa tidak berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka yang menuduh itu tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah orang-orang yang dusta di sisi Allah. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar, dikarenakan pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. Ingatlah di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang sedikitpun tidak kalian ketahui sementara kalian menganggapnya sebagai sesuatu yang ringan saja, padahal perkaranya besar di sisi Allah. Mengapa di saat mendengar berita bohong tersebut kalian tidak berkata, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal ini. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami, ini adalah dusta yang besar. Allah memperingatkan kalian agar jangan kembali berbuat seperti itu selama-lamanya, jika memang kalian orang-orang yang beriman. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki hikmah. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua (niscaya kalian akan ditimpa azab yag besar), dan Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih dari perbuatan keji dan mungkar itu selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 11-21)
Ketika Allah l menurunkan ayat yang menyatakan sucinya diriku dari tuduhan dusta tersebut, ayahku Abu Bakr Ash-Shiddiq z yang biasanya memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kekerabatan dengannya dan juga karena kefakiran Misthah, menyatakan, “Demi Allah, aku selamanya tidak mau lagi memberikan sedikitpun nafkah kepada Misthah setelah ia membicarakan apa yang ia bicarakan tentang Aisyah.”
Allah l menurunkan ayat-Nya sebagai teguran:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan serta berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr z berkata, “Tentu, demi Allah, aku senang bila Allah mengampuniku.” Beliau pun kembali memberikan nafkah kepada Misthah sebagaimana semula. “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah ini dari Misthah selama-lamanya,” ucapnya.
Rasulullah n sempat bertanya kepada Zainab bintu Jahsyin x tentang perkaraku. “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui atau engkau lihat dari diri Aisyah?” tanya beliau.
“Wahai Rasulullah, aku menjaga penglihatan dan pendengaranku. Aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan,” jawab Zainab.
Di antara istri-istri Rasulullah n, Zainab inilah yang menyaingiku dalam hal upaya ingin lebih dekat dengan Rasulullah n dan mendapat tempat lebih di hati beliau. Namun Allah l menjaga Zainab dengan sifat wara-nya sehingga ia tidak berucap buruk tentang diriku. Adapun saudaranya, Hamnah bintu Jahsyin, turut menyebarkan berita dusta tersebut karena ingin membela (memenangkan) saudarinya15. Ia pun celaka bersama orang-orang lain yang turut menyebarkan berita dusta tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Demikianlah penukilan secara makna dari hadits yang panjang tentang kisah fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah x yang dikenal dengan haditsul ifk.
Banyak faedah yang disebutkan ulama kita dari hadits di atas. Di antara faedah yang berkaitan dengan kaum wanita dapat kita sebutkan berikut ini :
1. Seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri disyariatkan untuk mengundi di antara istri-istrinya bila hendak membawa salah seorang dari mereka dalam safarnya.
2. Boleh membawa istri bepergian walaupun dalam rangka berperang.
3. Sekedup berfungsi seperti rumah bagi seorang wanita.
4. Wanita boleh menunggang unta yang di atas punggung unta itu dibuatkan sekedup. Adapun di zaman kita ini kebolehannya mencakup seluruh kendaraan yang bisa menutupi si wanita dalam perjalanannya.
5. Laki-laki ajnabi boleh memberikan khidmat/pelayanan kepada seorang wanita dari balik hijab.
6. Seorang wanita boleh menutup dirinya dengan sesuatu yang terpisah dari tubuhnya.
7. Bila aman dari fitnah, wanita boleh pergi sendirian untuk buang hajat ke suatu tempat bila memang di rumahnya tidak ada WC, walaupun tanpa izin yang khusus dari suaminya, tapi cukup bersandar dengan izin yang umum berdasarkan kebiasaan yang umum.
8. Wanita boleh memakai perhiasan kalung dan semisalnya ketika safar tapi tidak boleh dipertontonkan kepada lelaki selain mahramnya.
9. Harusnya seorang wanita menjaga hartanya dari tersia-siakan walaupun nilainya sedikit. Kalung Aisyah tidaklah terbuat dari emas, tidak pula dari batu jauhar, tapi ketika hilang Aisyah berupaya mencarinya. Namun sebaliknya, tidak boleh terlalu berambisi kepada harta karena akan berakibat kesialan dan berdampak kejelekan.
10. Wanita harus menutup wajahnya dari pandangan lelaki yang bukan mahram.
11. Seorang lelaki harus memerhatikan adab terhadap wanita terlebih lagi bila terjadi khalwat (berduaan).
12. Ketika seorang lelaki ajnabi berjalan sementara di dekatnya ada wanita ajnabiyyah, maka ia berjalan di depan wanita tersebut, tidak di belakangnya, agar ia aman dari kemungkinan melihat si wanita. Karena bisa jadi ada yang tersingkap dari si wanita ketika ia sedang berjalan.
13. Seorang suami semestinya bersikap lembut kepada istrinya dan bergaul baik dengannya. Namun di saat terjadi sesuatu yang ia ingkari dari istrinya, walaupun belum pasti, ia boleh mengurangi perlakuan baik/lembut kepada istrinya seperti yang biasa ia lakukan di kala tidak terjadi apa-apa. Faedahnya agar si istri menangkap perubahan sikap suaminya hingga ia mau minta maaf atau mengakui kesalahannya.
14. Bila seorang wanita hendak keluar rumah karena suatu keperluan, hendaknya ia ditemani seseorang atau dilayani oleh seseorang yang bisa memberikan rasa aman.
15. Seorang wanita harus meminta izin kepada suaminya bila hendak menziarahi kedua orangtuanya.
16. Hadits ini menunjukkan Aisyah dan Zainab c memiliki kelebihan dibanding istri-istri Rasulullah n yang lain.
17. Diharamkan menyebarkan berita keji di tengah kaum muslimin.
18. Boleh mengajak budak perempuan bermusyawarah atau meminta pendapatnya dalam perkara yang ia punya pengetahuan tentangnya, sebagaimana Rasulullah n meminta pendapat Barirah x.
19. Seorang suami semestinya mengucapkan salam kepada keluarganya bila hendak masuk rumah.
Demikian faedah-faedah ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam karyanya yang sangat bernilai, Fathul Bari (8/608-609).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Suatu malam saat perjalanan telah mendekati kota Madinah, rombongan berhenti untuk istirahat beberapa waktu. Aku pun keluar dari sekedupku untuk menunaikan hajat, berjalan jauh sendirian hingga meninggalkan rombongan pasukan tersebut. Selesai menunaikan hajat, aku kembali ke untaku. Namun ternyata kalung dari batu merjan Azhfar yang sebelumnya melingkar di leherku hilang. Aku pergi mencarinya hingga aku tertahan beberapa waktu karenanya. Sementara itu datanglah orang-orang yang bertugas mengangkat sekedupku. Mereka memikul sekedupku dan menaikkannya ke atas unta yang aku tunggangi dalam keadaan menyangka aku berada di dalam sekedup tersebut. Kenapa demikian? Karena kaum wanita di masa itu kurus-kurus, tidak diberati dengan daging. Mereka hanya makan sedikit makanan. Orang-orang yang mengangkat sekedupku itu tidak merasa ganjil dengan ringannya sekedup tersebut4. Aku sendiri saat itu masih sangat belia5.
Unta-unta pun diberangkatkan bersama rombongan pasukan. Mereka melanjutkan perjalanan di akhir malam. Sementara itu aku telah menemukan kalungku yang hilang, namun rombongan pasukan telah berlalu. Aku kembali ke tempat mereka tadinya beristirahat, namun tidak seorang pun yang kutemui. Aku menuju ke tempat diletakkannya sekedupku dengan keyakinan mereka akan menyadari ketidakberadaan diriku bersama rombongan hingga mereka kembali ke tempat tersebut untuk mencariku. Ketika aku sedang duduk di tempatku berada, rasa kantuk menyerangku hingga aku tertidur.
Saat itu Shafwan ibnul Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani z berada di belakang pasukan. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan mengenaliku karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab. Aku terbangun dengan ucapan istirja’6nya ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara satu kata pun. Aku pun tidak mendengar darinya satu kata pun selain ucapan istirja’nya hingga ia menderumkan untanya, lalu membelakangiku. Aku naik ke atas unta tersebut dalam keadaan dituntun oleh Shafwan sampai kami berhasil menyusul rombongan pasukan saat mereka istirahat pada siang hari yang panasnya menyengat. Maka binasalah orang yang binasa dengan kejadian tersebut. Yang paling berperan menyebarkan berita dusta7 itu adalah Abdullah bin Ubai bin Salul.
Kami akhirnya tiba di Madinah. Di awal kedatangan kami, aku jatuh sakit selama sebulan. Sementara orang-orang tenggelam dalam pembicaraan seputar tuduhan dusta terhadapku, dalam keadaan aku tidak mengetahuinya sedikitpun. Hanya saja aku melihat keganjilan. Tidak kudapati kelembutan Rasulullah n sebagaimana yang biasa aku dapatkan bila sedang sakit. Rasulullah n hanya masuk sebentar ke tempatku, mengucapkan salam, kemudian berkata kepada ibuku yang merawatku, “Bagaimana keadaan putri kalian?” Setelah itu beliau berlalu. Demikianlah keganjilan yang ada. Namun aku tidak menyadari bila ada berita jelek seputar diriku. Sampai akhirnya aku keluar dari rumahku dalam keadaan masih sempoyongan karena belum begitu pulih dari sakitku. Ummu Misthah menemaniku saat itu. Kami menuju ke tempat kami biasa buang hajat, dan kami tidak keluar untuk buang hajat kecuali pada waktu malam. Itu kami lakukan sebelum kami membuat WC dekat rumah kami. Perkara kami adalah sebagaimana perkaranya orang Arab yang awal dalam mencari tempat yang jauh untuk buang hajat. Dulunya kami merasa terganggu dengan bau tidak sedap bila membuat WC dekat rumah kami.
Aku pergi bersama Ummu Misthah. Ia adalah putri Abu Rahm bin Abdi Manaf. Ibunya adalah putri Shakhr bin Amir, bibi Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah z8.
Seselesainya dari urusan kami, aku dan Ummu Misthah kembali menuju ke rumahku. Ketika itu Ummu Misthah terpeleset, ia pun mengumpat anaknya, “Celaka Misthah.”
“Jelek sekali ucapanmu”, tegurku, “Apakah engkau mencela seseorang yang pernah ikut dalam perang Badr?”
“Wahai wanita yang lengah (sedikit pengetahuan tentang tipu daya yang dilakukan manusia), tidakkah kau mendengar apa yang diucapkan oleh Misthah?” tanya Ummu Misthah.
“Apa yang dikatakannya?” tanyaku.
Ummu Misthah pun menceritakan kepadaku apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyebarkan berita dusta seputar diriku, hingga bertambah parahlah sakitku.
Sesampainya di rumah, Rasulullah n masuk menemuiku, mengucapkan salam lalu bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”
“Apakah engkau mengizinkan aku untuk pergi menemui kedua orangtuaku?”, pintaku kepada beliau n. Ketika itu aku berniat mencari kepastian berita yang disampaikan Ummu Misthah kepada kedua orangtuaku. Rasulullah n memberikan izin, maka aku pun mendatangi kedua orangtuaku.
“Wahai ibunda, apa gerangan yang diperbincangkan orang-orang tentang diriku?” tanyaku kepada ibuku.
“Wahai putriku, tenanglah jangan risau. Demi Allah, jarang sekali keberadaan seorang wanita jelita yang dicintai oleh suaminya, serta ia memiliki madu-madu melainkan dia akan banyak dibicarakan dan dicari-cari kesalahannya,” kata ibuku menghibur.
“Subhanallah, berarti benar orang-orang membicarakan berita dusta tersebut?” tanyaku.
Sepanjang malam itu aku menangis hingga pagi hari air mataku tidak berhenti mengalir. Aku tidak bercelak untuk berangkat tidur9, sampai pagi aku terus menangis.
Ketika wahyu belum juga turun, Rasulullah n memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid c untuk mengajak keduanya bermusyawarah, apakah menceraikan istrinya10 atau tidak. Usamah bin Zaid mengisyaratkan kepada Rasulullah n dengan apa yang diketahuinya bahwa istri beliau terlepas dari tuduhan tersebut dan dengan apa yang diketahuinya dari kecintaan Rasulullah n kepada istri beliau. “Wahai Rasulullah, tahanlah istrimu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan,” ujar Usamah.
Adapun Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyempitkanmu. Wanita selain dia masih banyak. Namun bila engkau bertanya kepada budak perempuan itu11, niscaya ia akan membenarkanmu12.”
Rasulullah n kemudian memanggil Barirah. “Wahai Barirah, apakah engkau pernah melihat dari Aisyah sesuatu yang meragukanmu?” tanya Rasulullah n.
Barirah menjawab, “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Tidak pernah aku lihat darinya suatu perkara pun yang aku anggap jelek, kecuali sekadar ia seorang wanita yang masih belia, yang tertidur/lalai dari menjaga adonan roti untuk keluarganya hingga datanglah kambing memakan adonan tersebut.”
Pada hari itu Rasulullah n bangkit mencari bantuan untuk membalas perbuatan Abdullah bin Ubai bin Salul. Beliau bersabda di atas mimbar, “Wahai sekalian kaum mukminin! Siapakah yang dapat membantuku menghadapi seseorang yang telah menyakitiku dalam urusan ahli baitku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari istriku kecuali kebaikan. Namun mereka telah menyebut-nyebut seorang lelaki13 yang aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan, dan ia tidak pernah masuk menemui keluargaku kecuali bersamaku.”
Bangkitlah Sa’d bin Mu’adz Al-Anshari z sembari berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan menuntaskan sakit hatimu terhadap orang tersebut. Bila ia dari kalangan kabilah Aus (kabilahnya), aku akan memenggal lehernya. Jika ia dari kalangan saudara-saudara kami, orang-orang Khazraj, engkau perintahkan pada kami apa yang engkau kehendaki dan kami akan melaksanakan titahmu,” ucapnya.
Sa’d bin ‘Ubadah z, pemuka orang-orang Khazraj, berdiri dan ia sebelumnya seorang yang sempurna keshalihannya, namun ia dihinggapi semangat kesukuannya hingga ia berkata kepada Sa’d bin Mu’adz, “Dusta engkau, demi Allah. Jangan engkau bunuh dia dan engkau tidak akan mampu membunuhnya.”
Usaid bin Hudhair z, anak paman Sa’d bin Mu’adz, berdiri dan ikut angkat suara menujukan kepada Sa’d bin ‘Ubadah, “Dusta engkau, demi Allah. Kami sungguh-sungguh akan membunuh orang itu. Kamu memang munafik14 yang ingin berdebat membela orang-orang munafik.”
Bangkitlah emosi dua kabilah ini, Aus dan Khazraj. Sampai-sampai mereka ingin mengobarkan peperangan sementara Rasulullah n masih berdiri di atas mimbar. Beliau terus menerus menenangkan kedua belah pihak hingga mereka terdiam dan beliau pun diam.”
Aisyah x melanjutkan kisahnya, “Aku tinggal di hariku tersebut dalam keadaan air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak bercelak untuk berangkat tidur. Di pagi harinya, kedua orangtuaku telah berada di sisiku. Sungguh aku telah menghabiskan air mataku. Menangis sehari dua malam dan tidak bercelak. Air mataku tiada hentinya mengalir. Keduanya menyangka tangisan yang demikian akan membelah hatiku. Ketika keduanya sedang duduk di sisiku yang masih terus menangis, datang seorang wanita Anshar minta izin menemuiku. Aku mengizinkannya, ia duduk menangis bersamaku. Dalam keadaan demikian, Rasulullah n masuk menemui kami. Beliau mengucapkan salam, kemudian duduk. Beliau belum pernah duduk di sisiku sejak tersebar fitnah tersebut. Telah lewat waktu sebulan, wahyu belum juga turun sehubungan dengan perkaraku. Rasulullah n bertasyahhud ketika duduk, lalu berkata, “Adapun setelah itu, wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bahwa engkau begini dan begitu. Bila memang engkau terlepas dari tuduhan tersebut maka Allah akan menyatakan hal itu, Dia akan membersihkanmu dari tuduhan tersebut. Namun jika memang engkau berbuat dosa, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena jika seorang hamba mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat kepada Allah, Allah pasti akan menerima taubatnya.”
Seselesainya Rasulullah n dari ucapannya tersebut, menyusutlah air mataku hingga aku merasa tidak ada setetes pun yang keluar. Aku katakan kepada ayahku, “Mohon berilah tanggapan terhadap pernyataan Rasulullah n itu.”
“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah n,” jawab ayahku.
“Berilah jawaban kepada Rasulullah n, wahai ibu,” kataku kepada ibuku.
Beliau menjawab yang sama dengan jawaban ayahku, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah n.”
Sebagai wanita yang masih belia belum banyak membaca/menghafal Al-Qur’an, aku menjawab, “Demi Allah, aku sungguh yakin kalian telah mendengar pembicaraan jelek tentang diriku hingga menetap di hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau aku katakan pada kalian bahwa aku berlepas diri dari tuduhan tersebut, dan demi Allah Dia tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut, niscaya kalian tidak akan membenarkanku (tidak percaya dengan pengingkaranku). Kalau aku mengakui perkara tersebut benar adanya –padahal demi Allah Dia Tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut– kalian akan membenarkan pengakuanku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan permisalan untuk kalian kecuali ucapan ayah Yusuf (Nabi Ya’qub) yang berkata:
‘Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Allah sajalah yang dimintai pertolongan atas apa yang kalian ceritakan’.” (Yusuf: 18)
Kemudian aku palingkan wajahku ke arah dinding sembari berbaring di atas tempat tidurku. Ketika itu aku yakin diriku lepas dari tuduhan itu dan Allah l akan membersihkan namaku karena memang aku tidak melakukannya. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah l akan menurunkan wahyu-Nya yang akan terus dibaca tentang perkaraku. Karena, bagiku urusan diriku terlalu rendah hingga Allah l perlu membicarakannya dengan wahyu yang akan dibaca. Harapanku hanyalah agar Rasulullah n bermimpi dalam tidurnya di mana dalam mimpi tersebut Allah l menunjukkan terlepasnya diriku dari tuduhan itu.
Demi Allah, Rasulullah n belum meninggalkan tempat duduknya dan belum ada seorang pun dari keluargaku yang beranjak keluar tatkala turun wahyu kepada beliau n. Mulailah beliau mengalami kepayahan sebagaimana yang biasa beliau alami bila wahyu sedang turun. Sampai-sampai keringat semisal mutiara mengucur deras dari tubuh beliau padahal hari sangat dingin, karena beratnya ucapan yang sedang diturunkan. Tatkala berlalu kejadian itu dari diri beliau n, beliau tertawa. Awal kalimat yang beliau ucapkan pada Aisyah adalah, “Wahai Aisyah, sungguh Allah telah membersihkanmu dari tuduhan tersebut.”
“Bangkitlah menuju kepada Rasulullah,” perintah ibuku.
“Demi Allah, aku tidak akan bangkit menuju kepadanya dan tidak ada yang kupuji kecuali Allah k,” ucapku.
Allah l menurunkan ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita dusta itu adalah golongan dari kalian juga maka janganlah kalian menyangka bahwa berita dusta itu buruk bagi kalian bahkan baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita dusta itu, baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kalian mendengar berita dusta itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa tidak berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka yang menuduh itu tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah orang-orang yang dusta di sisi Allah. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar, dikarenakan pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. Ingatlah di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang sedikitpun tidak kalian ketahui sementara kalian menganggapnya sebagai sesuatu yang ringan saja, padahal perkaranya besar di sisi Allah. Mengapa di saat mendengar berita bohong tersebut kalian tidak berkata, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal ini. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami, ini adalah dusta yang besar. Allah memperingatkan kalian agar jangan kembali berbuat seperti itu selama-lamanya, jika memang kalian orang-orang yang beriman. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki hikmah. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua (niscaya kalian akan ditimpa azab yag besar), dan Allah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih dari perbuatan keji dan mungkar itu selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 11-21)
Ketika Allah l menurunkan ayat yang menyatakan sucinya diriku dari tuduhan dusta tersebut, ayahku Abu Bakr Ash-Shiddiq z yang biasanya memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kekerabatan dengannya dan juga karena kefakiran Misthah, menyatakan, “Demi Allah, aku selamanya tidak mau lagi memberikan sedikitpun nafkah kepada Misthah setelah ia membicarakan apa yang ia bicarakan tentang Aisyah.”
Allah l menurunkan ayat-Nya sebagai teguran:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan serta berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr z berkata, “Tentu, demi Allah, aku senang bila Allah mengampuniku.” Beliau pun kembali memberikan nafkah kepada Misthah sebagaimana semula. “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah ini dari Misthah selama-lamanya,” ucapnya.
Rasulullah n sempat bertanya kepada Zainab bintu Jahsyin x tentang perkaraku. “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui atau engkau lihat dari diri Aisyah?” tanya beliau.
“Wahai Rasulullah, aku menjaga penglihatan dan pendengaranku. Aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan,” jawab Zainab.
Di antara istri-istri Rasulullah n, Zainab inilah yang menyaingiku dalam hal upaya ingin lebih dekat dengan Rasulullah n dan mendapat tempat lebih di hati beliau. Namun Allah l menjaga Zainab dengan sifat wara-nya sehingga ia tidak berucap buruk tentang diriku. Adapun saudaranya, Hamnah bintu Jahsyin, turut menyebarkan berita dusta tersebut karena ingin membela (memenangkan) saudarinya15. Ia pun celaka bersama orang-orang lain yang turut menyebarkan berita dusta tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Demikianlah penukilan secara makna dari hadits yang panjang tentang kisah fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah x yang dikenal dengan haditsul ifk.
Banyak faedah yang disebutkan ulama kita dari hadits di atas. Di antara faedah yang berkaitan dengan kaum wanita dapat kita sebutkan berikut ini :
1. Seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri disyariatkan untuk mengundi di antara istri-istrinya bila hendak membawa salah seorang dari mereka dalam safarnya.
2. Boleh membawa istri bepergian walaupun dalam rangka berperang.
3. Sekedup berfungsi seperti rumah bagi seorang wanita.
4. Wanita boleh menunggang unta yang di atas punggung unta itu dibuatkan sekedup. Adapun di zaman kita ini kebolehannya mencakup seluruh kendaraan yang bisa menutupi si wanita dalam perjalanannya.
5. Laki-laki ajnabi boleh memberikan khidmat/pelayanan kepada seorang wanita dari balik hijab.
6. Seorang wanita boleh menutup dirinya dengan sesuatu yang terpisah dari tubuhnya.
7. Bila aman dari fitnah, wanita boleh pergi sendirian untuk buang hajat ke suatu tempat bila memang di rumahnya tidak ada WC, walaupun tanpa izin yang khusus dari suaminya, tapi cukup bersandar dengan izin yang umum berdasarkan kebiasaan yang umum.
8. Wanita boleh memakai perhiasan kalung dan semisalnya ketika safar tapi tidak boleh dipertontonkan kepada lelaki selain mahramnya.
9. Harusnya seorang wanita menjaga hartanya dari tersia-siakan walaupun nilainya sedikit. Kalung Aisyah tidaklah terbuat dari emas, tidak pula dari batu jauhar, tapi ketika hilang Aisyah berupaya mencarinya. Namun sebaliknya, tidak boleh terlalu berambisi kepada harta karena akan berakibat kesialan dan berdampak kejelekan.
10. Wanita harus menutup wajahnya dari pandangan lelaki yang bukan mahram.
11. Seorang lelaki harus memerhatikan adab terhadap wanita terlebih lagi bila terjadi khalwat (berduaan).
12. Ketika seorang lelaki ajnabi berjalan sementara di dekatnya ada wanita ajnabiyyah, maka ia berjalan di depan wanita tersebut, tidak di belakangnya, agar ia aman dari kemungkinan melihat si wanita. Karena bisa jadi ada yang tersingkap dari si wanita ketika ia sedang berjalan.
13. Seorang suami semestinya bersikap lembut kepada istrinya dan bergaul baik dengannya. Namun di saat terjadi sesuatu yang ia ingkari dari istrinya, walaupun belum pasti, ia boleh mengurangi perlakuan baik/lembut kepada istrinya seperti yang biasa ia lakukan di kala tidak terjadi apa-apa. Faedahnya agar si istri menangkap perubahan sikap suaminya hingga ia mau minta maaf atau mengakui kesalahannya.
14. Bila seorang wanita hendak keluar rumah karena suatu keperluan, hendaknya ia ditemani seseorang atau dilayani oleh seseorang yang bisa memberikan rasa aman.
15. Seorang wanita harus meminta izin kepada suaminya bila hendak menziarahi kedua orangtuanya.
16. Hadits ini menunjukkan Aisyah dan Zainab c memiliki kelebihan dibanding istri-istri Rasulullah n yang lain.
17. Diharamkan menyebarkan berita keji di tengah kaum muslimin.
18. Boleh mengajak budak perempuan bermusyawarah atau meminta pendapatnya dalam perkara yang ia punya pengetahuan tentangnya, sebagaimana Rasulullah n meminta pendapat Barirah x.
19. Seorang suami semestinya mengucapkan salam kepada keluarganya bila hendak masuk rumah.
Demikian faedah-faedah ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam karyanya yang sangat bernilai, Fathul Bari (8/608-609).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Yaitu perang menghadapi Bani Mushthaliq dari Khuza’ah.
2 Yaitu ayat yang berisi perintah kepada wanita untuk menutup
dirinya dari pandangan lelaki ajnabi/non mahram. Karena itulah Aisyah x
dibawa dalam sekedupnya yang tertutup dari pandangan orang-orang dan
sekedup itu diletakkan di atas punggung unta. Karena bagian dalam
sekedup itu tertutup dari pandangan mata, maka orang-orang yang
memikulnya tidak tahu apakah Aisyah ada di dalamnya atau tidak,
sebagaimana akan disebutkan dalam kelanjutan kisah Aisyah ini.
3 Yang dipikul oleh beberapa orang.
4 Karena ada atau tidak adanya Aisyah x di dalamnya sama saja bagi
mereka, tidak terlalu terasa bedanya, disebabkan ringannya tubuh Aisyah
x.
5 Aisyah x sudah menyatakan tubuhnya kurus, ditambah lagi usianya
masih kecil, belum genap 15 tahun, sehingga lebih menunjukkan ringannya
tubuhnya. Seakan-akan Aisyah juga ingin menunjukkan udzur dari
perbuatannya yang demikian bersemangat mencari kalungnya yang putus.
Juga kenapa ia mencarinya sendirian tanpa mengajak teman atau
memberitahu suaminya. Hal itu terjadi karena usianya yang masih kecil
dan minim pengalaman sehingga tidak menyadari akibat yang akan
didapatnya.
Dari sini didapatkan pula faedah bahwa orang-orang yang memikul
sekedup Aisyah sangatlah beradab terhadap Aisyah, amat jauh dari
perbuatan mengintip isi sekedup. Sehingga ketika mereka mengangkat
sekedup tersebut mereka tidak tahu bahwa Aisyah tidak berada di
dalamnya. (Fathul Bari, 8/584)
6 Yaitu ucapan Inna lillahi wa inna ilaihir raji’un.
7 Yakni Shafwanz dituduh telah berbuat tidak senonoh dengan Ummul Mukminin Aisyah x.
8 Misthah dan ibunya termasuk muhajirin awwalin (orang-orang yang
pertama berhijrah ke Madinah). Ayah Misthah meninggal saat ia masih
kecil, maka ia diasuh oleh Abu Bakr karena kekerabatannya dengan ibu
Misthah.
9 Menunjukkan bahwa Aisyah begadang.
10 Yakni Aisyah x.
11 Yang Ali maksudkan adalah budak perempuan bernama Barirah yang biasa melayani Aisyah.
12 Bahwa istrimu suci, lepas dari tuduhan tersebut.
13 Yakni Shafwan.
14 Usaid tidaklah memaksudkan kemunafikan di sini dengan kemunafikan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
15 Yang menjadi madu Aisyah x sehingga dapat menjatuhkan Aisyah dan meninggikan kedudukan Zainab, saudarinya.
Kunci-kunci Rejeki
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Mencari rezeki termasuk salah satu perkara yang menyibukkan kehidupan seorang insan, terlebih lagi bila ia seorang kepala rumah tangga yang memiliki banyak tanggungan, anak dan istri yang harus dihidupinya. Tak jarang untuk mendukung ekonomi keluarga seorang istri turut bekerja, baik di dalam maupun di luar rumahnya.
Mencari rezeki termasuk salah satu perkara yang menyibukkan kehidupan seorang insan, terlebih lagi bila ia seorang kepala rumah tangga yang memiliki banyak tanggungan, anak dan istri yang harus dihidupinya. Tak jarang untuk mendukung ekonomi keluarga seorang istri turut bekerja, baik di dalam maupun di luar rumahnya.
Kata sebagian orang yang tertipu dengan dunia, tahun-tahun
belakangan ini hidup semakin sulit, susah mendapatkan penghasilan.
“Jangankan yang halal, yang haram aja susah,” kata mereka. “Jadi orang
itu jangan terlalu lurus, jangan terlalu jujur, karena nanti susah dapat
bagian, sempit rezekinya. Nggak apa-apa sedikit bengkok kalau pengen
hidup senang,” kata yang lain. “Sama agama biasa aja lah, jangan terlalu
fanatik, nanti dunianya nggak dapat.”, “Nggak apa-apa deh kita menutup
mata dari sebagian hukum Islam kalau ingin ekonomi rumah tangganya baik,
Allah kan Maha Tahu kesulitan kita, kan zaman semakin sulit.” Atau
pernyataan lain yang senada. Wallahul musta’an.
Ungkapan dan anggapan seperti di atas sepertinya sedikit banyak
turut memengaruhi pikiran kita yang ingin lebih dalam mempelajari agama
dan memegangi tuntunan agama. “Kayaknya kita ikut ngaji, hidup semakin
sempit. Apa-apa tidak boleh. Mau usaha ini nggak boleh, usaha itu nggak
pantas. Suami saya putar-putar cari rezeki nggak dapat juga.”
Apa iya seperti itu? Benarkah berpegang dengan Islam yang benar akan menyempitkan rezeki?
Sungguh mereka yang berpikiran demikian lupa atau pura-pura lupa
bahwa Sang Pencipta k tidaklah mensyariatkan agama-Nya kepada insan
hanya sekadar membimbing kehidupan ukhrawinya saja. Bahkan ajaran-Nya
juga berisi bimbingan kehidupan duniawi dan bagaimana mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia. Bukankah Nabi yang mulia n banyak
melantunkan doa:
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.”
(Al-Baqarah: 201)1
Al-Qadhi ‘Iyadh2 t berkata, “Beliau n banyak mengucapkan doa: ‘Ya
Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia…’ dst, karena doa ini
mengumpulkan seluruh makna doa dari perkara dunia dan akhirat.
Hasanah/kebaikan yang dipinta di sini menurut mereka adalah kenikmatan.
Maka beliau n memohon kepada Allah l kenikmatan dunia dan akhirat serta
penjagaan dari azab neraka.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/190)
Al-Hafizh Ibnu Katsir3 t menyatakan, “Kebaikan di dunia mencakup
seluruh yang dicari/diharapkan dari dunia ini berupa kesehatan, rumah
yang lapang, istri yang baik, rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat,
amal shalih, kendaraan yang mudah, sebutan yang baik, dan selainnya.
Meliputi kebaikan apa saja yang disebutkan para ahli tafsir. Tidak ada
pertentangan satu sama lain, karena seluruhnya termasuk kebaikan di
dunia. Adapun kebaikan di akhirat, tentunya yang paling tinggi adalah
masuk surga dan yang di bawahnya adalah keamanan dari kengerian yang
dahsyat di padang mahsyar, mudahnya penghisaban, dan perkara kebaikan
akhirat lainnya. Sementara permintaan selamat dari neraka berkonsekuensi
memohon diberi kemudahan untuk menempuh sebab-sebab keselamatan ketika
hidup di dunia berupa menjauhi perkara-perkara yang diharamkan,
dosa-dosa, meninggalkan syubhat dan yang haram.” (Tafsir Al-Qur’anil
Azhim, 1/319)
Allah yang Maha Mulia, demikian pula Nabi-Nya yang mulia n, tidak
membiarkan umat Islam berjalan dalam kegelapan dan kebingungan kala
berupaya mencari penghidupan. Bahkan diajarkan kepada umat ini
sebab-sebab datangnya rezeki, yang kalau umat ini memahaminya, berpegang
dengannya dan menggunakannya dengan baik niscaya rezeki akan mudah
diperolehnya sebagai anugerah dari Ar-Razzaq (Allah Yang Maha Memberi
rezeki). Rezeki terbuka baginya dari segala arah serta berkah dari
langit dan bumi tercurah atasnya.
Allah k berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan
bertakwa niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi…” (Al-A’raf: 96)
Karena keinginan menjelaskan hal ini kepada keluarga-keluarga kaum
muslimin yang sedang berjuang mencari penghidupan yang halal, kami
sengaja mengangkat permasalahan ini dalam rubrik keluarga, Mengayuh
Biduk. Idenya kami dapatkan dari sebuah kutaib (kitab kecil) yang
ditulis oleh Dr. Fadhl Ilahi berjudul Mafatihur Rizqi fi Dhau’il Kitab
was Sunnah4.
Ketahuilah, wahai keluarga kaum muslimin! Jalan yang melapangkan
rezeki seseorang itu -di samping tentunya usaha melalui pekerjaan yang
halal, sebagaimana dijelaskan dalam Vol. IV/No. 46- bentuknya berupa
amal shalih atau kebaikan yang bisa kita sebutkan berikut ini:
1. Istighfar dan taubat
2. Takwa
3. Tawakkal kepada Allah l
4. Menghadirkan hati di hadapan Allah l/ konsentrasi ketika beribadah
5. Mengikutkan haji dengan umrah
6. Silaturahim
7. Infak fi sabilillah
8. Memberi nafkah kepada seseorang yang menghabiskan waktunya menuntut ilmu agama
9. Berbuat baik kepada orang-orang lemah
10. Berhijrah di jalan Allah k.
1. Istighfar dan Taubat
Termasuk amalan yang paling penting sebagai pembuka rezeki seorang
hamba adalah istighfar/minta ampun dan taubat kepada Allah Al-Ghaffar
At-Tawwab. Namun yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya hakikat dari
istighfar dan taubat? Karena kebanyakan orang memandang istighfar dan
taubat cukup dengan lisan saja, dengan semata mengatakan,
“Astaghfirullah wa atubu ilaih.” Tapi kalimat ini tidak ada kesannya di
dalam hati, apalagi tampak pada amalan tubuh.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin (hal. 33-34), Al-Imam An-Nawawi5 t
menjelaskan, “Ulama mengatakan, bertaubat itu wajib dilakukan dari
setiap dosa. Bila maksiatnya antara hamba dengan Allah l, tidak ada
kaitannya dengan hak anak Adam, maka harus terpenuhi tiga syarat:
1. Mencabut diri dari maksiat tersebut.
2. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan.
3. Berketetapan hati (bertekad kuat) untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Bila hilang salah satu dari tiga syarat di atas, taubat seseorang tidaklah sah.
Apabila maksiat yang dilakukan ada kaitannya dengan orang lain,
maka syaratnya ada empat. Tiga yang telah disebutkan, ditambah dengan
melepaskan diri dari hak orang lain yang diambil/dilanggarnya. Bila
berupa harta atau semisalnya, ia kembalikan kepada pemiliknya atau minta
diikhlaskan. Bila berupa tuduhan keji kepada orang lain maka
dipersilakannya orang itu untuk membalasnya/memberi hukum had kepadanya
atau meminta pemaafannya. Bila itu berupa ghibah, ia minta
kehalalannya.”
Dalil-dalil yang menunjukkan istighfar dan taubat sebagai pintu rezeki adalah sebagai berikut:
1. Nabi Nuh q pernah berkata kepada kaumnya:
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian,
sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan
mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut serta memperbanyak
harta dan anak-anak kalian serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun
dan mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai untuk kalian…” (Nuh:
10-12)
Dari ayat-ayat yang mulia di atas, tampak bagi kita bahwa istighfar mendatangkan perkara-perkara berikut ini:
– Pengampunan dari Allah k atas dosa-dosa yang dilakukan karena Dia Maha Pengampun.
– Allah l akan menurunkan hujan yang berturut-turut/susul-menyusul
sebagaimana kata Ibnu Abbas c: ﭔ adalah sebagiannya mengikuti sebagian
yang lain. (Riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitabut Tafsir, Surah
Nuh)
– Allah k akan memperbanyak harta dan anak-anak. Atha’ t berkata
dalam tafsirnya terhadap ayat ﭖ ﭗ ﭘ : “Dia akan memperbanyak harta dan
anak-anak kalian.” (Tafsir Al-Baghawi, 4/367)
– Allah l akan mengadakan kebun-kebun.
– Allah l akan mengadakan sungai-sungai yang dengannya kalian dapat
mengairi kebun-kebun dan sawah ladang kalian. (Tafsir Ath-Thabari,
12/249)
Al-Imam Al Qurthubi6 t berkata, “Dalam ayat ini dan juga dalam
surah Hud7 ada bukti/dalil bahwa dengan istighfar akan diturunkan rezeki
dan hujan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 18/190)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya mengatakan, “Maksudnya bila
kalian bertaubat kepada Allah k, beristighfar kepada-Nya, dan
menaati-Nya niscaya Dia akan memperbanyak rezeki kalian, mencurahkan
kepada kalian dari keberkahan langit dan menumbuhkan untuk kalian dari
keberkahan bumi. Dia tumbuhkan untuk kalian tanam-tanaman, Dia deraskan
susu perahan untuk kalian, serta Dia berikan kepada kalian harta dan
anak-anak. Dia jadikan untuk kalian kebun-kebun yang di dalamnya
terdapat beraneka macam buah, diselingi kebun-kebun tersebut dengan
aliran sungai-sungai.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 8/182)
Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab z berpegang dengan pengabaran
yang ada di dalam ayat-ayat di atas ketika meminta hujan kepada Allah l.
Disebutkan bahwa Umar z pernah keluar ke tanah lapang guna memintakan
hujan untuk manusia, maka beliau tidak menambah selain istighfar sampai
kembali ke kediamannya, lalu turunlah hujan. Ada yang berkata kepadanya,
“Kami tidak mendengarmu meminta hujan kepada Allah l.” Umar menjawab
bahwa ia meminta hujan dengan beristighfar, kemudian ia membaca ayat:
“Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha
Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada
kalian dengan berturut-turut…” (Tafsir Ath-Thabari 12/249, Tafsir
Al-Khazin 4/345)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri8 t memberikan arahan untuk beristighfar
kepada setiap orang yang datang kepadanya mengadukan kemarau,
kemiskinan, kemandulan/tidak beroleh keturunan dan keringnya
kebun-kebun, seperti yang diriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Shabih, ia
berkata, “Seorang lelaki mengadukan problem kemarau kepada Al-Hasan. Ia
pun memberi bimbingan, ‘Istighfarlah kepada Allah l’, ucapnya. Yang lain
datang mengeluhkan kemiskinannya. ‘Istighfarlah kepada Allah l’, kata
Al-Hasan. Orang lain lagi datang seraya berkata kepada Al-Hasan, ‘Mohon
berdoalah kepada Allah l agar Dia memberi rezeki seorang anak untukku.’
Al-Hasan menjawab, ‘Istighfarlah kepada Allah l.’ Yang lain lagi
mengeluhkan keringnya kebun-kebun. ‘Istighfarlah kepada Allah l’, kata
Al-Hasan.
Kami mengatakan kepada Al-Hasan, ‘Telah datang kepadamu beberapa
orang dengan pengaduan yang berbeda-beda, namun engkau menyuruh mereka
semua agar beristighfar.’
Al-Hasan menjawab, “Aku tidak berkata demikian dari pikiranku sendiri. Sungguh Allah l berfirman dalam surah Nuh:
ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian,
sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan
mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan memperbanyak
harta dan anak-anak kalian serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan
mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai untuk kalian…” (Nuh: 10-12)
[Tafsir Al-Qurthubi, 18/196, Ruhul Ma’ani, 14/112]
2. Nabi Hud q pernah mengajak kaumnya untuk beristighfar:
(Nabi Hud berkata) “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian
lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada
kalian dengan berturut-turut dan Dia akan menambah kekuatan kepada
kekuatan kalian serta janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.”
(Hud: 52)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata menafsirkan ayat di atas, “Kemudian
Nabi Hud q menyuruh mereka istighfar yang dengannya akan menghapuskan
dosa-dosa yang lalu, dan mengajak mereka bertaubat dari apa yang akan
dihadapi di waktu mendatang. Siapa yang memiliki sifat seperti ini maka
Allah l akan melapangkan rezekinya, memudahkan urusannya, dan menjaga
perkaranya. Karena itu Allah l berfirman:
“…niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut…” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/230)
3. Dalam surah Hud ayat 3, Allah l berfirman:
“Mohon ampunlah kalian kepada Rabb kalian, kemudian bertaubatlah
kepada-Nya niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik
(terus-menerus) kepada kalian sampai waktu yang telah ditentukan …”
(Hud: 3)
Dalam ayat di atas, Allah l menjanjikan kehidupan yang baik bagi
orang yang beristighfar dan bertaubat. Yang dimaksud ﮱ ﯓ ﯔ adalah Dia
akan memberikan keutamaan kepada kalian dengan rezeki dan kelapangan,
sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas c. (Zadul Masir, 3/319)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Ini merupakan buah istighfar dan
taubat, yaitu Allah l akan memberikan kepada kalian perkara-perkara yang
bermanfaat, seperti kelapangan rezeki dan kehidupan yang enak. Dia
tidak membinasakan kalian dengan azab-Nya sebagaimana yang dilakukan-Nya
atas orang-orang sebelum kalian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/5)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi9 t berkata, “Ayat yang
mulia ini menunjukkan bahwa istighfar dan taubat kepada Allah l dari
dosa-dosa yang pernah dilakukan merupakan sebab Allah l memberikan
kenikmatan kepada pelakunya dengan terus-menerus sampai waktu yang telah
ditentukan. Karena Allah l menyebutkan istighfar dan taubat sebagai
syarat diperolehnya jaza’ (balasan) berupa kenikmatan tersebut (susunan
fi’il syarat dengan fi’il jawab/jaza’).” (Adhwa’ul Bayan, 3/9)
2. Takwa
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah10 t mengatakan, “Hakikat takwa
adalah melakukan ketaatan kepada Allah l karena iman dan mengharapkan
pahala, melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Ia
melakukan apa yang Allah l perintahkan kepadanya karena mengimani
perintah tersebut dan membenarkan janji-Nya. Ia meninggalkan apa yang
Allah l larang karena mengimani larangan tersebut (datangnya dari Allah
l) dan khawatir beroleh ancaman-Nya. Sebagaimana ucapan Thalq ibnu
Habib11 t, “Bila terjadi fitnah maka padamkanlah dengan takwa.” Mereka
yang mendengar ucapan Thalq ini bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
takwa?” Thalq menjawab, “Takwa adalah engkau beramal ketaatan kepada
Allah k di atas cahaya dari Allah k karena mengharapkan pahala Allah k,
dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah k di atas cahaya dari Allah
k karena takut akan hukuman Allah l.” (Ar-Risalah At-Tabukiyyah, hal.
25-26)
Dengan demikian, siapa yang tidak menjaga dirinya dari dosa berarti
ia bukan seorang yang bertakwa. Siapa yang kedua matanya bersengaja
melihat apa yang Allah l haramkan padanya, atau kedua telinganya
bersengaja mendengar apa yang mengundang kemarahan Allah l, atau kedua
tangannya bersengaja mengambil apa yang tidak Allah l ridhai, atau ia
sengaja berjalan ke tempat yang Allah l benci, berarti ia tidak menjaga
dirinya dari dosa.
Siapa yang menyelisihi perintah Allah l dan melakukan perkara yang
Allah l larang berarti ia bukanlah dari kalangan muttaqin. Siapa yang
memperhadapkan dirinya kepada kemarahan Allah l dan hukuman-Nya maka
sungguh ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan muttaqin. (Mafatihur
Rizki, hal. 24)
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa takwa termasuk sebab
dibukakannya rezeki seorang hamba. Di antara yang dapat kita sebutkan di
sini:
1. Allah l berfirman:
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan jadikan
baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Dalam ayat di atas Allah l menyebutkan dua balasan bagi orang yang bertakwa:
Pertama: diberikan jalan keluar yang menyelamatkannya dari setiap
bencana/kesulitan di dunia dan di akhirat, sebagaimana kata Ibnu Abbas
c.
Kedua: diberi rezeki yang tidak disangka-sangkanya, tak pernah ia
angankan dan tak pernah diharapnya. (Tafsir Ath-Thabari, 12/130)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan, “Siapa yang bertakwa kepada
Allah l dalam perkara yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang
dilarang-Nya, maka Allah l akan jadikan baginya jalan keluar dari
perkaranya, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya, yaitu dari sisi yang tak pernah terbetik di
benaknya.” (Tafsir Ibni Katsir, 8/117)
2. Dalam surah Al-A’raf ayat 96, Allah l berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan
bertakwa niscaya pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi…”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di t berkata
menafsirkan ayat di atas, “Seandainya mereka beriman dengan hati mereka
dengan keimanan yang benar, dibuktikan dengan amalan, dan mereka
bertakwa kepada Allah k secara lahir dan batin dengan meninggalkan
seluruh yang diharamkan Allah l, niscaya Allah k akan bukakan untuk
mereka berkah langit dan bumi. Sehingga Dia menurunkan hujan atas mereka
dengan berturut-turut dan Dia tumbuhkan untuk mereka berbagai tanaman
dari bumi, yang dengannya mereka dan hewan ternak mereka hidup dengan
makmur serta rezeki melimpah tanpa merasakan kepayahan, kelelahan, dan
keletihan…” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 298)
3. Allah l mengabarkan tentang ahlul kitab sebagai umat yang
sebelum kita, namun dengan diutusnya Rasulullah n mereka dituntut untuk
beriman kepada beliau dan kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau
n:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat,
Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari Rabb mereka, niscaya
mereka akan mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka…”
(Al-Ma’idah: 66)
Bila ahlul kitab itu mau bertakwa dengan menjalankan hukum Taurat,
Injil, dan Al-Qur’an, niscaya Allah l akan menurunkan hujan yang
berturut-turut dari langit dan bumi pun mengeluarkan berkahnya, kata
Ibnu Abbas c. (Tafsir Ath-Thabari, 4/240)
Al-Imam Al Qurthubi t berkata, “Yang serupa dengan ayat ini adalah:
‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan jadikan
baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya.’ (Ath-Thalaq: 2-3)
1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari t dalam
kitab Shahihnya (no. 6389) dan Muslim t (no. 6781) dari Anas bin Malik
z, ia berkata:
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِالنَّبِيِّ n: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Doa yang paling banyak diucapkan Nabi n adalah: “Wahai Rabb kami,
berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta
lindungilah kami dari azab neraka.”
2 Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Iyadh ibn Musa ibn
Iyadh Al-Yahshibi t, salah seorang imam/tokoh ulama dalam ilmu hadits di
negeri Maghrib, lahir tahun 476 H, wafat pertengahan tahun 544 H dalam
keadaan terusir dari negerinya karena fitnah yang dahsyat yang terjadi
pada zaman beliau. Semoga Allah l merahmati beliau.
3 Al-Imam Al-Hafizh Al-Muhaddits (ahli hadits), Al-Mu’arrikh (pakar
sejarah), ahli tafsir, ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin
Katsir bin Dhau’ bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasqi Asy-Syafi’i t, lahir
tahun 701 H, salah seorang murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Beliau wafat tahun 774 H.
4 Pembahasan ini akan kami tulis secara bersambung agar semua sisi
dapat tersampaikan secara cukup mendetail. Wallahul musta’an, dan
Dia-lah yang memberi taufik.
5 Al-Imam Al-Muhaqqiq Al-Hafizh Muhyiddin Yahya ibnu Syaraf ibnu
Murri ibnu Hasan ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu’ah ibnu Hizam Abu
Zakariyya An-Nawawi Ad-Dimasyqi t, lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H.
6 Al-Imam Al-Mufassir Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad Al-Anshari
Al-Khazraji Al-Andalusi Qurthubi t, seorang imam yang kokoh dan mendalam
ilmunya, wafat di bulan Syawwal tahun 671 H.
7 Beliau mengisyaratkan kepada firman Allah l:
(Nabi Hud berkata): “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb
kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan
kepada kalian dengan berturut-turut dan Dia akan menambah kekuatan
kepada kekuatan kalian dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat
dosa.” (Hud: 52)
8 Al-Imam Abu Sa’id Al-Hasan ibnu Abil Hasan Yasar Al-Bashri t,
maula Zaid bin Tsabit Al-Anshari z. Ibunya adalah bekas budak yang
dimerdekakan oleh Ummul Mukminin Ummu Salamah x, lahir dua tahun
terakhir dari masa khilafah ‘Umar ibnul Khaththab z. Beliau seorang imam
yang zuhud, wafat tahun 110 H.
9 Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakni
Asy-Syinqithi t, lahir tahun 1325 H dan wafat tahun 1393 H. Beliau
seorang alim yang sangat luas ilmunya akan kitabullah.
10 Al-Imam Syamsuddin Muhammad ibnu Abi Bakr ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah t, lahir tahun 691 H dan wafat tahun 751 H. Beliau salah
seorang murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Seorang yang faqih
bermazhab Hambali, bahkan seorang mujtahid mutlak, ahli tafsir, fikih,
nahwu, dan ilmu ushul.
11 Thalq ibnu Habib Al-Anzi Al-Bashri t, seorang tabi’in, murid
Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Jabir, Ibnuz Zubair, Ibnul ‘Ash, dan selain
mereka, g.
Berobat dalam Tinjauan Syariat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.)
الْحَمْدُ لِلهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، أَمَرَ بِالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ مَعَ الْأَخْذِ بِالْأَسْبَابِ النَّافِعَةِ، وَنَهَى عَنِ الْإِعْتِمَادِ عَلَى غَيْرِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَتْبَاعِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ؛
أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْااللهَ تَعَالَى فِيْ السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ فَإِنَّ التَّقْوَى سَبَبٌ لِتَفْرِيْجِ الْكُرُوْبِ وَمَحْوِ الذُّنُوْبِ
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dalam keadaan apapun. Sesungguhnya dengan bertakwa kepada-Nyalah, seseorang akan dikeluarkan oleh Allah l dari berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Hadirin rahimakumullah,
Kita semua adalah makhluk yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah l. Maka janganlah orang yang sehat dan kuat tertipu dengan kekuatannya, sehingga merasa dirinya bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa memohon pertolongan Rabb-nya. Sebaliknya, jangan pula orang yang tertimpa musibah atau dalam kondisi lemah berputus asa dari rahmat-Nya. Ingatlah bahwa putus asa adalah sifat yang sangat tercela. Orang yang berputus asa sama artinya telah berburuk sangka kepada Rabb-nya, serta menganggap bahwa rahmat Allah l itu sangat sedikit terhadap hamba-hamba-Nya. Allah l telah menyebutkan dalam firman-Nya ketika mengabarkan perkataan Nabi-Nya Ibrahim q:
“Telah berkata (Ibrahim q): ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa mencontoh akhlak para nabi, yang senantiasa yakin akan pertolongan Allah l. Di antaranya Allah l sebutkan tentang Nabi-Nya, Ibrahim q yang berkata:
“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80)
Begitu pula tentang Nabi-Nya, Ayyub q:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia berdoa kepada Rabb-Nya: ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang’.” (Al-Anbiya’: 83)
Hadirin rahimakumullah,
Demikianlah keadaan sosok orang-orang yang mengenal Allah l dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Sehingga dengan sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang senantiasa yakin akan pertolongan Allah l dan senantiasa berprasangka baik kepada-Nya. Begitu pula, dengan sebab keimanan mereka kepada Allah l yang kokoh menancap di dalam hatinya, mereka menjadi orang yang yakin bahwa Allah l Mahakuasa untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan bahwasanya Allah l sangat luas rahmat-Nya serta sangat besar kebaikan dan keutamaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dalam kehidupannya di dunia, setiap orang tentu sangat mungkin untuk jatuh sakit. Bahkan terkadang dalam satu waktu seseorang bisa terkena beberapa jenis penyakit. Maka perlu kiranya kita ingatkan, bahwa orang yang sedang sakit disyariatkan baginya untuk memerhatikan dua perkara, yaitu:
Yang pertama: Tidak mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran terhadap ketetapan Allah l atas dirinya. Namun dia harus bersabar atas ketetapan Allah l pada dirinya. Karena kesabaran seorang muslim menandakan keimanan dirinya, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَه
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim, (karena) sesungguhnya semua urusannya berakibat baik (baginya), dan yang demikian ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang muslim, (yaitu) apabila mendapat nikmat dia bersyukur sehingga akibatnya baik baginya dan apabila tertimpa musibah dia bersabar dan akibatnya (juga) baik baginya.” (HR. Muslim dan yang lainnya)
Begitu pula hendaknya orang yang sakit juga melakukan introspeksi diri dari kesalahan-kesalahannya. Karena musibah yang menimpa seseorang merupakan akibat dari kesalahannya, sebagaimana Allah l sebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
Sehingga dengan kesabarannya dan upaya mengintrospeksi diri tersebut akan menjadi sebab terhapuskan dosa-dosanya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun perkara kedua yang perlu diperhatikan oleh orang yang sakit adalah berobat dengan pengobatan yang bermanfaat. Tidak boleh baginya untuk mencari bentuk pengobatan yang menyelisihi syariat. Hal ini karena Allah l telah menetapkan bahwa segala penyakit itu ada obatnya. Maka hendaknya yang dia lakukan adalah berusaha untuk mencari tahu tentang obat atau tatacara pengobatannya, karena tidak setiap orang mengetahuinya. Al-Imam Muslim t di dalam kitab Shahih-nya menyebutkan dalam salah satu hadits yang beliau riwayatkan dengan sanadnya melalui jalan sahabat Jabir bin ‘Abdillah z, dari Nabi n, bahwasanya beliau n bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat penyakit tersebut mengenai (orang yang sakit) maka dia akan sembuh atas izin Allah k.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut dan yang semisalnya menunjukkan bahwa orang yang sakit tidak dilarang untuk berobat. Begitu pula berobatnya orang yang sakit tidaklah berarti menentang ketetapan Allah l serta tidak pula bertentangan dengan kewajiban bertawakkal kepada-Nya. Bahkan orang yang berobat ibarat orang yang berusaha menghilangkan rasa lapar dan hausnya dengan makan dan minum. Tentunya hal tersebut sebagaimana telah kita ketahui bersama merupakan perkara yang tidak terlarang. Bahkan berobat selama menggunakan cara yang tidak bertentangan dengan syariat merupakan salah satu bentuk usaha yang menunjukkan benarnya tawakkal seseorang. Di samping itu, telah menjadi sunnatullah bahwa segala sesuatu telah ditetapkan sebab untuk mendapatkannya. Sehingga justru dengan berobat akan menjadi sebab semakin sempurnanya tauhid seseorang.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Ketahuilah bahwa berobat yang sesuai dengan syariat secara umum bisa dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah berobat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi n. Yaitu dengan cara dibacakan ayat dan doa tersebut dengan diniatkan untuk mengobati pada bagian yang terkena sakit. Pengobatan cara seperti ini disebut dengan istilah ruqyah. Cara ini, dengan izin Allah l, akan menjadi sebab sembuhnya orang yang terkena penyakit. Karena Allah l telah memberitakan kepada kita bahwa kalam-Nya adalah obat. Sebagaimana pula telah disebutkan dalam banyak hadits yang menunjukkan disyariatkannya pengobatan dengan cara ini. Di antaranya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالمُعَوِّذَاتِ
“Bahwasanya Nabi n dahulu apabila terkena sakit beliau membaca untuk (mengobati) dirinya dengan mu’awwidzat (yaitu surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas).” (HR. Muslim)
Adapun cara yang kedua adalah berobat dengan menggunakan pengobatan yang bermanfaat dan diperbolehkan secara syariat. Adapun obat-obatan yang terbuat dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah l maka tidak boleh dijadikan sebagai obat. Hal ini sebagaimana disebutkan Nabi n dalam sabdanya, ketika ada salah seorang sahabat yaitu Thariq bin Suwaid z menanyakan tentang khamr, yaitu sesuatu yang memabukkan, untuk dijadikan sebagai obat. Maka beliau menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٍ
“Sesungguhnya (khamr) itu bukan obat bahkan (khamr)itu adalah penyakit.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk pengobatan yang tidak diperbolehkan adalah pengobatan dengan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan penyakit. Misalnya dengan mengikatkan benang di leher atau di tangan, dengan maksud untuk menghilangkan penyakit yang mengenainya atau untuk mencegah datangnya penyakit. Perbuatan ini bahkan dikategorikan sebagai perbuatan syirik yang bisa mengurangi kesempurnaan iman, bahkan bisa menghilangkannya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian orangtua dengan mengalungkan benang di leher atau di tangan anaknya ketika ingin mengobatinya dari penyakit panas atau yang semisalnya adalah cara pengobatan yang dilarang dalam syariat. Karena benang atau semisalnya yang dikalungkan itu tidak ada kaitannya secara langsung untuk mengurangi atau menghilangkan penyakit. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits, bahwa Nabi n ketika mendapatkan ada sahabatnya yang mengenakan sejenis logam di lengannya untuk menghilangkan sakit pada lengannya tersebut, beliau n mengatakan:
انْزِعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا، فَإِنَّكَ لَوْ مُتَّ وَهُوَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Lepaskan dan buanglah (logam yang engkau lingkarkan di tanganmu), karena sesungguhnya (apa yang kamu lingkarkan di tanganmu itu) tidak akan membuat engkau kecuali semakin lemah. Seandainya engkau mati dalam keadaan masih memakainya, sungguh engkau tidak akan mendapatkan keberuntungan selamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang dikatakan baik oleh sebagian para ulama)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam masalah yang berkaitan dengan pengobatan dan tatacaranya. Jangan sampai keinginan untuk mendapatkan kesembuhan baik untuk diri kita, keluarga kita, atau yang lainnya, membuat kita tidak memerhatikan aturan yang telah disyariatkan. Ingatlah bahwa sakit yang menimpa seseorang itu tidaklah seberapa dibandingkan siksa Allah l di akhirat kelak. Maka janganlah kita mengorbankan agama kita dengan terjatuh pada pelanggaran dan menyalahi syariat-Nya, terkhusus dalam masalah berobat. Begitu juga dalam masalah yang lainnya. Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjaga dan menunjuki kita semua ke jalan yang diridhai-Nya. Wallahu a’lamu bish-shawab. Walhamdulillahi rabbil ’alamin.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berusaha untuk mengenal Rabb kita dengan sebenar-benarnya. Semakin mengenal-Nya, maka kita akan semakin mengerti apa yang harus kita lakukan dalam kehidupan di dunia ini. Seseorang yang mengetahui Allah l adalah Rabb yang memiliki sifat hikmah dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, tentu akan bersabar dan tetap istiqamah di atas syariat-Nya. Karena dia mengerti bahwa di balik datangnya musibah itu ada hikmah yang Allah l kehendaki. Di antaranya adalah sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Sehingga dengan ujian tersebut terbedakanlah antara orang yang bersabar dengan yang tidak bersabar. Oleh karena itu, seseorang yang telah mengenal Rabbnya tidak akan melanggar syariat-Nya tatkala dirinya ditimpa musibah. Termasuk dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan masalah berobat. Seorang muslim tentu tidak akan mengorbankan agamanya, dengan melakukan pengobatan yang diharamkan oleh Allah l.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk dari cara berobat yang diharamkan oleh Allah l adalah cara pengobatan dengan mendatangi para dukun atau yang semisalnya. Bahkan para ulama telah menghukumi para dukun atau tukang ramal sebagai orang-orang kafir. Karena mereka dalam praktik pengobatannya menggunakan bantuan dan beribadah kepada setan. Begitu pula, karena mereka adalah orang-orang yang terang-terangan atau sembunyi-sembunyi mengaku bahwa dirinya bisa mengetahui perkara yang ghaib. Maka tidak boleh bagi orang yang menderita sakit untuk mendatangi dukun atau orang-orang yang dianggap bisa meramal nasib atau mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang. Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk membenarkan berita yang datang dari mereka.
Hadirin rahimakumullah,
Di dalam Shahihnya, Al-Imam Muslim t meriwayatkan bahwa Nabi n bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu (kepadanya) maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lainnya disebutkan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا وَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun dan membenarkan ucapannya maka dia telah mengingkari wahyu yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Muslim)
Kedua hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya yang semakna menunjukkan larangan dan ancaman yang sangat keras bagi orang yang mendatangi serta membenarkan berita dari dukun dan yang semisalnya.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui bahwa pada masa sekarang banyak praktik perdukunan yang dikemas dalam bentuk praktik pengobatan. Oleh karena itu, jangan sampai kita tertipu dengan istilah-istilah yang mereka pakai untuk mengaburkan keadaan mereka yang sesungguhnya. Janganlah kita tertipu dengan istilah ruqyah, pengobatan alternatif, atau yang semisalnya yang mereka gunakan dalam praktik perdukunan mereka. Janganlah kita tertipu ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka gunakan. Karena mereka menggunakannya tidak sebagaimana mestinya. Begitu pula janganlah kita tertipu dengan penamaan diri mereka dengan sebutan paranormal, orang pintar, tabib, bahkan kyai atau ustadz sekalipun. Berhati-hatilah dalam perkara ini dengan bertanya kepada para ulama atau penuntut ilmu yang kokoh di atas agama Allah l agar kita tidak melanggar syariat-Nya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya dan tidak ada kebaikannya.
Maka sudah semestinya bagi kaum muslimin untuk tidak mendatangi praktik-praktik perdukunan yang mereka lakukan, serta tidak menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang menggunakan bantuan setan yang mereka peragakan. Sebagaimana pula hendaknya pemerintah melarang praktik dan pertunjukan tersebut. Karena semua itu bertentangan dengan syariat Allah l. Mudah-mudahan Allah l senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita dan para pemimpin bangsa kita sehingga bisa menjalankan syariat-Nya.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينَ، اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ، اللَّهُمَّ احْفَظْ وُلاَةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ، يَا حَيُّ، يَا قَيُّوْمُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
الْحَمْدُ لِلهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، أَمَرَ بِالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ مَعَ الْأَخْذِ بِالْأَسْبَابِ النَّافِعَةِ، وَنَهَى عَنِ الْإِعْتِمَادِ عَلَى غَيْرِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَتْبَاعِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، أَمَّا بَعْدُ؛
أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْااللهَ تَعَالَى فِيْ السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ فَإِنَّ التَّقْوَى سَبَبٌ لِتَفْرِيْجِ الْكُرُوْبِ وَمَحْوِ الذُّنُوْبِ
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dalam keadaan apapun. Sesungguhnya dengan bertakwa kepada-Nyalah, seseorang akan dikeluarkan oleh Allah l dari berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Hadirin rahimakumullah,
Kita semua adalah makhluk yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah l. Maka janganlah orang yang sehat dan kuat tertipu dengan kekuatannya, sehingga merasa dirinya bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa memohon pertolongan Rabb-nya. Sebaliknya, jangan pula orang yang tertimpa musibah atau dalam kondisi lemah berputus asa dari rahmat-Nya. Ingatlah bahwa putus asa adalah sifat yang sangat tercela. Orang yang berputus asa sama artinya telah berburuk sangka kepada Rabb-nya, serta menganggap bahwa rahmat Allah l itu sangat sedikit terhadap hamba-hamba-Nya. Allah l telah menyebutkan dalam firman-Nya ketika mengabarkan perkataan Nabi-Nya Ibrahim q:
“Telah berkata (Ibrahim q): ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa mencontoh akhlak para nabi, yang senantiasa yakin akan pertolongan Allah l. Di antaranya Allah l sebutkan tentang Nabi-Nya, Ibrahim q yang berkata:
“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80)
Begitu pula tentang Nabi-Nya, Ayyub q:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia berdoa kepada Rabb-Nya: ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang’.” (Al-Anbiya’: 83)
Hadirin rahimakumullah,
Demikianlah keadaan sosok orang-orang yang mengenal Allah l dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Sehingga dengan sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang senantiasa yakin akan pertolongan Allah l dan senantiasa berprasangka baik kepada-Nya. Begitu pula, dengan sebab keimanan mereka kepada Allah l yang kokoh menancap di dalam hatinya, mereka menjadi orang yang yakin bahwa Allah l Mahakuasa untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan bahwasanya Allah l sangat luas rahmat-Nya serta sangat besar kebaikan dan keutamaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dalam kehidupannya di dunia, setiap orang tentu sangat mungkin untuk jatuh sakit. Bahkan terkadang dalam satu waktu seseorang bisa terkena beberapa jenis penyakit. Maka perlu kiranya kita ingatkan, bahwa orang yang sedang sakit disyariatkan baginya untuk memerhatikan dua perkara, yaitu:
Yang pertama: Tidak mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan yang menunjukkan ketidaksabaran terhadap ketetapan Allah l atas dirinya. Namun dia harus bersabar atas ketetapan Allah l pada dirinya. Karena kesabaran seorang muslim menandakan keimanan dirinya, sebagaimana disebutkan oleh Nabi n dalam sabdanya:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَه
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim, (karena) sesungguhnya semua urusannya berakibat baik (baginya), dan yang demikian ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang muslim, (yaitu) apabila mendapat nikmat dia bersyukur sehingga akibatnya baik baginya dan apabila tertimpa musibah dia bersabar dan akibatnya (juga) baik baginya.” (HR. Muslim dan yang lainnya)
Begitu pula hendaknya orang yang sakit juga melakukan introspeksi diri dari kesalahan-kesalahannya. Karena musibah yang menimpa seseorang merupakan akibat dari kesalahannya, sebagaimana Allah l sebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
Sehingga dengan kesabarannya dan upaya mengintrospeksi diri tersebut akan menjadi sebab terhapuskan dosa-dosanya.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun perkara kedua yang perlu diperhatikan oleh orang yang sakit adalah berobat dengan pengobatan yang bermanfaat. Tidak boleh baginya untuk mencari bentuk pengobatan yang menyelisihi syariat. Hal ini karena Allah l telah menetapkan bahwa segala penyakit itu ada obatnya. Maka hendaknya yang dia lakukan adalah berusaha untuk mencari tahu tentang obat atau tatacara pengobatannya, karena tidak setiap orang mengetahuinya. Al-Imam Muslim t di dalam kitab Shahih-nya menyebutkan dalam salah satu hadits yang beliau riwayatkan dengan sanadnya melalui jalan sahabat Jabir bin ‘Abdillah z, dari Nabi n, bahwasanya beliau n bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat penyakit tersebut mengenai (orang yang sakit) maka dia akan sembuh atas izin Allah k.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut dan yang semisalnya menunjukkan bahwa orang yang sakit tidak dilarang untuk berobat. Begitu pula berobatnya orang yang sakit tidaklah berarti menentang ketetapan Allah l serta tidak pula bertentangan dengan kewajiban bertawakkal kepada-Nya. Bahkan orang yang berobat ibarat orang yang berusaha menghilangkan rasa lapar dan hausnya dengan makan dan minum. Tentunya hal tersebut sebagaimana telah kita ketahui bersama merupakan perkara yang tidak terlarang. Bahkan berobat selama menggunakan cara yang tidak bertentangan dengan syariat merupakan salah satu bentuk usaha yang menunjukkan benarnya tawakkal seseorang. Di samping itu, telah menjadi sunnatullah bahwa segala sesuatu telah ditetapkan sebab untuk mendapatkannya. Sehingga justru dengan berobat akan menjadi sebab semakin sempurnanya tauhid seseorang.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Ketahuilah bahwa berobat yang sesuai dengan syariat secara umum bisa dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah berobat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi n. Yaitu dengan cara dibacakan ayat dan doa tersebut dengan diniatkan untuk mengobati pada bagian yang terkena sakit. Pengobatan cara seperti ini disebut dengan istilah ruqyah. Cara ini, dengan izin Allah l, akan menjadi sebab sembuhnya orang yang terkena penyakit. Karena Allah l telah memberitakan kepada kita bahwa kalam-Nya adalah obat. Sebagaimana pula telah disebutkan dalam banyak hadits yang menunjukkan disyariatkannya pengobatan dengan cara ini. Di antaranya disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالمُعَوِّذَاتِ
“Bahwasanya Nabi n dahulu apabila terkena sakit beliau membaca untuk (mengobati) dirinya dengan mu’awwidzat (yaitu surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas).” (HR. Muslim)
Adapun cara yang kedua adalah berobat dengan menggunakan pengobatan yang bermanfaat dan diperbolehkan secara syariat. Adapun obat-obatan yang terbuat dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah l maka tidak boleh dijadikan sebagai obat. Hal ini sebagaimana disebutkan Nabi n dalam sabdanya, ketika ada salah seorang sahabat yaitu Thariq bin Suwaid z menanyakan tentang khamr, yaitu sesuatu yang memabukkan, untuk dijadikan sebagai obat. Maka beliau menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٍ
“Sesungguhnya (khamr) itu bukan obat bahkan (khamr)itu adalah penyakit.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk pengobatan yang tidak diperbolehkan adalah pengobatan dengan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan penyakit. Misalnya dengan mengikatkan benang di leher atau di tangan, dengan maksud untuk menghilangkan penyakit yang mengenainya atau untuk mencegah datangnya penyakit. Perbuatan ini bahkan dikategorikan sebagai perbuatan syirik yang bisa mengurangi kesempurnaan iman, bahkan bisa menghilangkannya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian orangtua dengan mengalungkan benang di leher atau di tangan anaknya ketika ingin mengobatinya dari penyakit panas atau yang semisalnya adalah cara pengobatan yang dilarang dalam syariat. Karena benang atau semisalnya yang dikalungkan itu tidak ada kaitannya secara langsung untuk mengurangi atau menghilangkan penyakit. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits, bahwa Nabi n ketika mendapatkan ada sahabatnya yang mengenakan sejenis logam di lengannya untuk menghilangkan sakit pada lengannya tersebut, beliau n mengatakan:
انْزِعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا، فَإِنَّكَ لَوْ مُتَّ وَهُوَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Lepaskan dan buanglah (logam yang engkau lingkarkan di tanganmu), karena sesungguhnya (apa yang kamu lingkarkan di tanganmu itu) tidak akan membuat engkau kecuali semakin lemah. Seandainya engkau mati dalam keadaan masih memakainya, sungguh engkau tidak akan mendapatkan keberuntungan selamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang dikatakan baik oleh sebagian para ulama)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita senantiasa berhati-hati dalam masalah yang berkaitan dengan pengobatan dan tatacaranya. Jangan sampai keinginan untuk mendapatkan kesembuhan baik untuk diri kita, keluarga kita, atau yang lainnya, membuat kita tidak memerhatikan aturan yang telah disyariatkan. Ingatlah bahwa sakit yang menimpa seseorang itu tidaklah seberapa dibandingkan siksa Allah l di akhirat kelak. Maka janganlah kita mengorbankan agama kita dengan terjatuh pada pelanggaran dan menyalahi syariat-Nya, terkhusus dalam masalah berobat. Begitu juga dalam masalah yang lainnya. Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjaga dan menunjuki kita semua ke jalan yang diridhai-Nya. Wallahu a’lamu bish-shawab. Walhamdulillahi rabbil ’alamin.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berusaha untuk mengenal Rabb kita dengan sebenar-benarnya. Semakin mengenal-Nya, maka kita akan semakin mengerti apa yang harus kita lakukan dalam kehidupan di dunia ini. Seseorang yang mengetahui Allah l adalah Rabb yang memiliki sifat hikmah dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, tentu akan bersabar dan tetap istiqamah di atas syariat-Nya. Karena dia mengerti bahwa di balik datangnya musibah itu ada hikmah yang Allah l kehendaki. Di antaranya adalah sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Sehingga dengan ujian tersebut terbedakanlah antara orang yang bersabar dengan yang tidak bersabar. Oleh karena itu, seseorang yang telah mengenal Rabbnya tidak akan melanggar syariat-Nya tatkala dirinya ditimpa musibah. Termasuk dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan masalah berobat. Seorang muslim tentu tidak akan mengorbankan agamanya, dengan melakukan pengobatan yang diharamkan oleh Allah l.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk dari cara berobat yang diharamkan oleh Allah l adalah cara pengobatan dengan mendatangi para dukun atau yang semisalnya. Bahkan para ulama telah menghukumi para dukun atau tukang ramal sebagai orang-orang kafir. Karena mereka dalam praktik pengobatannya menggunakan bantuan dan beribadah kepada setan. Begitu pula, karena mereka adalah orang-orang yang terang-terangan atau sembunyi-sembunyi mengaku bahwa dirinya bisa mengetahui perkara yang ghaib. Maka tidak boleh bagi orang yang menderita sakit untuk mendatangi dukun atau orang-orang yang dianggap bisa meramal nasib atau mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang. Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk membenarkan berita yang datang dari mereka.
Hadirin rahimakumullah,
Di dalam Shahihnya, Al-Imam Muslim t meriwayatkan bahwa Nabi n bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu (kepadanya) maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lainnya disebutkan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا وَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun dan membenarkan ucapannya maka dia telah mengingkari wahyu yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Muslim)
Kedua hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya yang semakna menunjukkan larangan dan ancaman yang sangat keras bagi orang yang mendatangi serta membenarkan berita dari dukun dan yang semisalnya.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui bahwa pada masa sekarang banyak praktik perdukunan yang dikemas dalam bentuk praktik pengobatan. Oleh karena itu, jangan sampai kita tertipu dengan istilah-istilah yang mereka pakai untuk mengaburkan keadaan mereka yang sesungguhnya. Janganlah kita tertipu dengan istilah ruqyah, pengobatan alternatif, atau yang semisalnya yang mereka gunakan dalam praktik perdukunan mereka. Janganlah kita tertipu ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka gunakan. Karena mereka menggunakannya tidak sebagaimana mestinya. Begitu pula janganlah kita tertipu dengan penamaan diri mereka dengan sebutan paranormal, orang pintar, tabib, bahkan kyai atau ustadz sekalipun. Berhati-hatilah dalam perkara ini dengan bertanya kepada para ulama atau penuntut ilmu yang kokoh di atas agama Allah l agar kita tidak melanggar syariat-Nya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya dan tidak ada kebaikannya.
Maka sudah semestinya bagi kaum muslimin untuk tidak mendatangi praktik-praktik perdukunan yang mereka lakukan, serta tidak menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang menggunakan bantuan setan yang mereka peragakan. Sebagaimana pula hendaknya pemerintah melarang praktik dan pertunjukan tersebut. Karena semua itu bertentangan dengan syariat Allah l. Mudah-mudahan Allah l senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita dan para pemimpin bangsa kita sehingga bisa menjalankan syariat-Nya.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينَ، اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ، اللَّهُمَّ احْفَظْ وُلاَةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ، يَا حَيُّ، يَا قَيُّوْمُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Peringatan Terhadap Yahudi Akan Kehancurannya di Tangan Tentara Nabi Muhammad dan Nasihat Kepada Kaum Muslimin
(ditulis oleh: Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah)
Kepada umat yang dimurkai (Yahudi), yang Allah k berfirman tentang mereka:
“Karena itu mereka (Yahudi) mendapat murka di atas kemurkaan (yang mereka dapatkan sebelumnya). Dan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (Al-Baqarah: 90)
Kepada umat yang hina dan rendah, yang telah Allah l timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan buah dari kekufuran mereka serta perbuatan mereka membunuh para nabi. Allah k berfirman:
“Telah ditimpakan kepada mereka (Yahudi) kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah serta ditimpakan kepada mereka kerendahan. Yang demikian itu (yakni: ditimpa kehinaan, kerendahan, dan kemurkaan dari Allah k) karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu (yakni: kekafiran dan pembunuhan atas para nabi) disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Ali ‘Imran: 112)
Inilah sebagian sifat-sifat kalian yang mengharuskan kalian senantiasa berada dalam kehinaan, kerendahan, dan selalu mendapat kemurkaan dari Allah k. Kalian tidak akan pernah bisa tegak dalam kebaikan kecuali dengan berpegang pada tali (agama) Allah l dan tali (perjanjian) dengan manusia, hingga hari ini dan sampai hari kiamat kelak. Kalian tidak memiliki sandaran sejarah keimanan dan aqidah. Kalian tidak memiliki latar belakang sejarah sifat kejantanan dan keberanian. Kalian hanya berani berperang dari balik tembok, sementara permusuhan (perselisihan) di antara kalian sendiri sangat sengit. Sungguh sifat-sifat keji kalian sangat banyak, di antaranya:
– khianat
– melanggar
– menebar fitnah
– menyalakan api peperangan
- dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Setiap kalian menyalakan api peperangan niscaya Allah l memadamkannya. Sungguh sejarah kalian sangat kelam. Kondisi dan sifat jelek kalian tersebut sudah sangat dikenal oleh segenap umat.
Terhadap umat yang mendapat murka (Yahudi) tersebut, aku katakan –ini juga dikatakan oleh setiap muslim yang jujur–:
Janganlah kalian sombong! Janganlah kalian berbuat kejahatan! Dan janganlah kalian terpesona dengan apa yang telah kalian peroleh berupa kemenangan yang menipu! Sesungguhnya, demi Allah l, kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara Nabi Muhammad n! Kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap aqidah Nabi Muhammad n, aqidah tauhid la ilaha illallah. Kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Amr bin Al-’Ash, dan Nu’man bin Muqarrin g yang tertarbiyah (terdidik) di atas aqidah dan manhaj Nabi Muhammad n, yang mereka (para panglima tersebut) mentarbiyah pasukannya di atas aqidah tersebut, memimpin pasukannya untuk meninggikan kalimatullah. Sungguh kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan kalian sekarang, seperti tentara Kisra (Persia) dan tentara Kaisar (Romawi), tidak mampu mengalahkan mereka (tentara Nabi Muhammad n tersebut).
Kalian tidak akan pernah menang menghadapi pasukan yang demikian kondisinya, demikian kondisi aqidahnya, demikian kondisi manhajnya, dan demikian kondisi tujuannya yaitu dalam rangka meninggikan Kalimatullah. Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang terdiri dari generasi yang telah menyimpang. Allah k berfirman:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang mayoritasnya tidak meyakini aqidah Nabi Muhammad n dan para sahabatnya, tidak meyakini manhaj Nabi Muhammad n dan tentaranya, dan tidak meyakini tujuan yang dulu mereka (Nabi Muhammad n dan tentaranya) berjihad karenanya. (Pasukan yang nilainya sekadar) buih itulah yang bisa kalian kalahkan. Disebabkan ketidakberdayaan dan kelemahan pasukan tersebut, negara kalian bisa berdiri. Kalian bisa tampil di muka bumi, dan kalian bisa menebar kerusakan padanya.
Allah k berfirman:
“Kami telah tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab (yang telah Allah l turunkan pada mereka) itu: ‘Sesungguhnya kamu pasti akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, pasti Kami datangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka akan menguasai kampung-kampung (kalian) tersebut, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak, serta Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar. Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian telah berbuat baik untuk diri kalian sendiri, dan jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu untuk diri kalian sendiri. Apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai’.” (Al-Isra’: 4-7)
Inilah sejarah perjalanan hidup kalian. Demikianlah Allah l memperlakukan kalian. Meskipun (kehancuran pertama kalian) tersebut telah berlalu melalui tangan bangsa Majusi, maka bagi kalian akan ada lagi kehancuran yang lebih dahsyat lagi melalui tangan tentara Nabi Muhammad n, tentara Islam sebagaimana telah Allah l janjikan untuk kalian karena kehinaan dan kerendahan kalian di hadapannya (tentara Islam). Allah k berfirman:
“Jika kalian kembali kepada (kedurhakaan) niscaya Kami pun kembali (mengazab kalian). Kami telah menjadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-Isra’: 8)
Sekarang ternyata kalian kembali (melakukan kedurhakaan), maka pasti akan kembali pula kepada kalian azab Allah l yang sangat keras. (Dia Allah l adalah) Dzat yang tidak akan pernah mengingkari janji. Melalui tangan tentara Nabi Muhammad n, bukan tentara yang telah menjadi kaki tangan kalian atau kaki tangan Barat dan Nashara, serta kaki tangan harta duniawi. Jangan kalian sombong dan jangan tertipu. Demi Allah l, kalian tidak akan pernah menang terhadap Islam. Kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Nabi Muhammad n, serta kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab z), tentara Khalid (bin Al-Walid z), serta saudara-saudaranya dari kalangan tentara-tentara Allah k dan tentara-tentara Islam.
Kepada seluruh kaum muslimin secara umum,
Baik pemerintah maupun rakyat, kelompok-kelompok maupun partai-partai, ulama maupun cendekiawan: Sampai kapan kalian cenderung mengutamakan kehidupan (dunia) yang hina ini? Sampai kapan kalian hidup layaknya buih? Sampai kapan?! Sampai kapan?! Sampai kapan?! Mana orang-orang yang berakal jernih di tengah-tengah kalian?! Mana para ulama kalian?! Mana para cendekiawan kalian?! Mana para panglima perang kalian?!
Kalian telah mendirikan ribuan sekolah dan universitas, mana hasilnya? Demi Allah l, kalau seandainya ada sepuluh sekolah dan universitas yang tegak di atas manhaj nubuwwah, baik dalam aqidah, akhlak, maupun penerapan syariat yang bijaksana, niscaya dunia akan terang dengan cahaya iman dan tauhid. Akan sirnalah kegelapan kebodohan, kesyirikan, dan kebid’ahan, dan musuh tidak akan bisa menguasai (menjajah) kalian seperti ini. Kalau ada sebagian universitas yang tegak di atas manhaj yang benar, maka menyusuplah orang-orang yang tidak suka dengan manhaj (yang haq) tersebut, kemudian merusak perjalanannya serta merusak para akademisi dan lulusannya. Hanya kepada Allah l sajalah tempat kita mengadu.
Tidakkah kenyataan pahit ini mendorong kalian untuk meninjau kembali kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas-universitas kalian, serta metode pendidikan kalian? Tidakkah sudah tiba masanya untuk memikirkan baik-baik dalam rangka melakukan perbaikan terhadap sistem tersebut? Menggantinya secara total, memberlakukan kurikulum Islamiah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n serta manhaj as-salafush shalih. Demi Allah l, tidak akan baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik kondisi generasi awal umat ini.
Gantilah kurikulum-kurikulum tersebut yang tidak menghasilkan kecuali buih. Berlakukanlah manhaj rabbani, yang tidak ada kebaikan, kesuksesan, maupun keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengannya. Jika kalian memang benar-benar menginginkan untuk diri kalian dan untuk umat kalian kesuksesan, kebaikan, dan kemenangan terhadap musuh-musuhnya, terutama (kemenangan) terhadap suatu kaum yang telah Allah l timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan (yaitu kaum Yahudi).
Kepada pemerintah muslimin secara khusus,
Sungguh di atas pundak kalian terdapat tanggung jawab yang sangat besar:
Tanggung Jawab Pertama,
Kewajiban kalian untuk senantiasa berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan sirah para Al-Khulafa’ur Rasyidin baik dalam aqidah, ibadah, maupun politik kalian, serta dalam mengemban tanggung jawab rakyat dan pendidikan mereka.
Kewajiban dari Allah l atas kalian –secara pasti– adalah:
– Kalian enyahkan segala undang-undang (buatan manusia) yang membuat mundur dan terbelakangnya umat (dalam hal keimanan dan aqidah mereka).
– Hendaknya kalian melakukan kebijakan dalam mengatur umat (rakyat) kalian dalam segala urusan kehidupan mereka, baik kehidupan keagamaan maupun kehidupan dunia mereka, berdasarkan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta bimbingan para Al-Khulafa’ur Rasyidin.
Karena sesungguhnya kalian hanyalah hamba-hamba Allah l, yang di atas bumi-Nya kalian hidup, dari rezeki-Nya lah kalian makan, minum, dan berpakaian, maka sudah merupakan hak Allah k atas kalian adalah kalian beribadah hanya kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, serta kalian merasa mulia dengan agama dan syariat-Nya. Maka berpegangteguhlah kepadanya dan perintahkan rakyat kalian agar juga berpegang teguh kepadanya. Kondisi keagamaan rakyat sangat bergantung dengan kondisi para pemimpin mereka. Sesungguhnya Allah l akan mencabut (kezaliman atau kerusakan) melalui tangan sulthan (penguasa) yang tidak bisa dicabut melalui (nasihat-nasihat) Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah Ar-Rasyid ‘Utsman (bin ‘Affan z).
Tanggung Jawab Kedua,
Hendaknya kalian membentuk sebuah pasukan yang Islami yang terdidik di atas bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta terdidik di atas fondasi tentara Islam, dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan dan target tentara Nabi Muhammad n. Sungguh, wajib atas kalian untuk mendidik (tentara tersebut) di atas bimbingan aqidah dan manhaj Nabi Muhammad n, serta aqidah dan manhaj Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab), Khalid (bin Al-Walid), serta mendidik (tentara tersebut) di atas tujuan yang telah digariskan oleh Allah l untuk Muhammad n dan para sahabatnya, agar mereka menjadi junudullah (tentara Allah l) sejati. Maka jika kondisi mereka seperti itu, sungguh mereka (junudullah tersebut) tidak akan pernah terkalahkan. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya tentara Kami-lah yang pasti menang.” (Ash-Shaffat: 173)
Bukan di atas tujuan-tujuan duniawi dan syiar-syiar jahiliah, baik syiar nasionalisme, syiar kebangsaan, syiar kedaerahan, ataupun syiar-syiar lain yang lebih jelek dari itu semua. Sungguh telah cukup (sebagai pelajaran) bagi kalian dan rakyat kalian, apa yang selama ini menimpa kalian dan rakyat kalian, yaitu pelecehan oleh umat yang paling rendah dan paling hina (yaitu Yahudi), serta tantangan mereka terhadap kalian, kesombongannya, ketakaburannya, dan sikap ekstrem mereka terhadap kalian. Demi Allah l, tidak akan bisa menghilangkan berbagai kejahatan dan kesombongan (Yahudi) tersebut kecuali dengan cara berpegang teguh kepada Islam, serta mentarbiyah rakyat dan tentara kalian di atas prinsip-prinsip (aqidah) dan ideologi Islam, serta menghilangkan segala bentuk syiar, pemikiran, dan ideologi yang mengantarkan umat kepada kenyataan yang sangat pahit ini.
Kepada rakyat Palestina secara khusus,
Wajib atas rakyat Palestina untuk mengetahui bahwa:
Negeri Palestina tidaklah dimerdekakan kecuali dengan Islam, di bawah kepemimpinan Faruqul Islam (’Umar bin Al-Khaththab z) dan bala tentaranya yang Al-Islamiyyah Al-Faruqiyyah.
Tidak mungkin pula negeri Palestina dibebaskan dari kenajisan Yahudi kecuali dengan Islam yang benar, yang dengannya negeri Palestina telah berhasil direbut melalui kepemimpinan Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab z). Sungguh kalian telah berupaya membela diri dengan sekuat tenaga. Saya tidak mengetahui suatu bangsa yang bisa bersabar seperti kesabaran kalian, namun sayang banyak di antara kalian yang tidak beraqidah dengan aqidahnya Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab z) dan tidak bermanhaj dengan manhajnya. Kalau seandainya jihad kalian ditegakkan di atas aqidah dan manhaj tersebut, niscaya berbagai problem kalian akan teratasi, dan niscaya kalian akan meraih kemenangan dan kesuksesan.
Maka wajib atas kalian menegakkan aqidah, manhaj, dan jihad kalian di atas bimbingan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, wajib pula atas kalian semuanya untuk berpegang teguh pada tali (agama) Allah l dan tidak berpecah-belah.
Terapkanlah ini semua dengan penuh keseriusan dan keikhlasan baik di masjid-masjid kalian, sekolah-sekolah kalian, maupun di universitas-universitas kalian. Jujurlah kepada Allah l dalam semua itu Insya Allah demi terwujudnya kemenangan yang gemilang terhadap bangsa (Yahudi), saudara-saudara kera dan babi.
Sesungguhnya bagi kaum muslimin penduduk Syam ada janji yang pasti melalui lisan (Rasulullah n) sang Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan), yaitu janji kemenangan atas kaum Yahudi dan Nashara. Maka bangkitlah kalian dengan penuh kesungguhan menyongsong terwujudnya janji tersebut. Tanpa itu pasti kalian tidak akan memperoleh kecuali kegagalan dan kerugian.
Sungguh, demi Allah l, tidak bermanfaat bagi kalian ikut campurnya Amerika Serikat, PBB, serta tidak memberi manfaat kepada kalian semangat nasionalisme ataupun semangat kebangsaan yang sangat dibenci (oleh Allah l). Maka bersegeralah, bersegeralah merealisasikan sebab-sebab terwujudnya kemenangan yang hakiki dan pasti. Sungguh telah cukup bagi kalian (sebagai pelajaran) berbagai pengalaman yang sangat banyak, yang semuanya tidak bermanfaat dan tidak akan bermanfaat untuk kalian sedikitpun (selain merealisasikan sebab-sebab kemenangan yang hakiki dan pasti). Janganlah kalian menjadi seperti kondisi yang diungkapkan dalam syair:
كَالْعَيْسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهُ الظَّمَأُ
وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ
Seperti unta yang berjalan di gurun, ia terbunuh (mati) oleh dahaga
Padahal air senantiasa terbawa di atas punggungnya
Ya Allah, wujudkan untuk umat ini dalam perkara yang benar, yang dengannya para wali-Mu menjadi mulia dan musuh-musuh-Mu menjadi hina. Ya Allah, tinggikanlah kalimat-Mu, muliakanlah agama-Mu, dan muliakanlah dengannya kaum muslimin, bimbinglah mereka kepada-Mu dan kepada agama-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar (mengabulkan) doa.
Diterjemahkan dari www.sahab.net
Kepada umat yang dimurkai (Yahudi), yang Allah k berfirman tentang mereka:
“Karena itu mereka (Yahudi) mendapat murka di atas kemurkaan (yang mereka dapatkan sebelumnya). Dan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (Al-Baqarah: 90)
Kepada umat yang hina dan rendah, yang telah Allah l timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan buah dari kekufuran mereka serta perbuatan mereka membunuh para nabi. Allah k berfirman:
“Telah ditimpakan kepada mereka (Yahudi) kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah serta ditimpakan kepada mereka kerendahan. Yang demikian itu (yakni: ditimpa kehinaan, kerendahan, dan kemurkaan dari Allah k) karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu (yakni: kekafiran dan pembunuhan atas para nabi) disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Ali ‘Imran: 112)
Inilah sebagian sifat-sifat kalian yang mengharuskan kalian senantiasa berada dalam kehinaan, kerendahan, dan selalu mendapat kemurkaan dari Allah k. Kalian tidak akan pernah bisa tegak dalam kebaikan kecuali dengan berpegang pada tali (agama) Allah l dan tali (perjanjian) dengan manusia, hingga hari ini dan sampai hari kiamat kelak. Kalian tidak memiliki sandaran sejarah keimanan dan aqidah. Kalian tidak memiliki latar belakang sejarah sifat kejantanan dan keberanian. Kalian hanya berani berperang dari balik tembok, sementara permusuhan (perselisihan) di antara kalian sendiri sangat sengit. Sungguh sifat-sifat keji kalian sangat banyak, di antaranya:
– khianat
– melanggar
– menebar fitnah
– menyalakan api peperangan
- dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Setiap kalian menyalakan api peperangan niscaya Allah l memadamkannya. Sungguh sejarah kalian sangat kelam. Kondisi dan sifat jelek kalian tersebut sudah sangat dikenal oleh segenap umat.
Terhadap umat yang mendapat murka (Yahudi) tersebut, aku katakan –ini juga dikatakan oleh setiap muslim yang jujur–:
Janganlah kalian sombong! Janganlah kalian berbuat kejahatan! Dan janganlah kalian terpesona dengan apa yang telah kalian peroleh berupa kemenangan yang menipu! Sesungguhnya, demi Allah l, kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara Nabi Muhammad n! Kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap aqidah Nabi Muhammad n, aqidah tauhid la ilaha illallah. Kalian tidak akan pernah bisa menang terhadap tentara yang dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Amr bin Al-’Ash, dan Nu’man bin Muqarrin g yang tertarbiyah (terdidik) di atas aqidah dan manhaj Nabi Muhammad n, yang mereka (para panglima tersebut) mentarbiyah pasukannya di atas aqidah tersebut, memimpin pasukannya untuk meninggikan kalimatullah. Sungguh kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan kalian sekarang, seperti tentara Kisra (Persia) dan tentara Kaisar (Romawi), tidak mampu mengalahkan mereka (tentara Nabi Muhammad n tersebut).
Kalian tidak akan pernah menang menghadapi pasukan yang demikian kondisinya, demikian kondisi aqidahnya, demikian kondisi manhajnya, dan demikian kondisi tujuannya yaitu dalam rangka meninggikan Kalimatullah. Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang terdiri dari generasi yang telah menyimpang. Allah k berfirman:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Kalian hanya akan bisa mengalahkan pasukan yang mayoritasnya tidak meyakini aqidah Nabi Muhammad n dan para sahabatnya, tidak meyakini manhaj Nabi Muhammad n dan tentaranya, dan tidak meyakini tujuan yang dulu mereka (Nabi Muhammad n dan tentaranya) berjihad karenanya. (Pasukan yang nilainya sekadar) buih itulah yang bisa kalian kalahkan. Disebabkan ketidakberdayaan dan kelemahan pasukan tersebut, negara kalian bisa berdiri. Kalian bisa tampil di muka bumi, dan kalian bisa menebar kerusakan padanya.
Allah k berfirman:
“Kami telah tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab (yang telah Allah l turunkan pada mereka) itu: ‘Sesungguhnya kamu pasti akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, pasti Kami datangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka akan menguasai kampung-kampung (kalian) tersebut, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak, serta Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar. Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian telah berbuat baik untuk diri kalian sendiri, dan jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu untuk diri kalian sendiri. Apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai’.” (Al-Isra’: 4-7)
Inilah sejarah perjalanan hidup kalian. Demikianlah Allah l memperlakukan kalian. Meskipun (kehancuran pertama kalian) tersebut telah berlalu melalui tangan bangsa Majusi, maka bagi kalian akan ada lagi kehancuran yang lebih dahsyat lagi melalui tangan tentara Nabi Muhammad n, tentara Islam sebagaimana telah Allah l janjikan untuk kalian karena kehinaan dan kerendahan kalian di hadapannya (tentara Islam). Allah k berfirman:
“Jika kalian kembali kepada (kedurhakaan) niscaya Kami pun kembali (mengazab kalian). Kami telah menjadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-Isra’: 8)
Sekarang ternyata kalian kembali (melakukan kedurhakaan), maka pasti akan kembali pula kepada kalian azab Allah l yang sangat keras. (Dia Allah l adalah) Dzat yang tidak akan pernah mengingkari janji. Melalui tangan tentara Nabi Muhammad n, bukan tentara yang telah menjadi kaki tangan kalian atau kaki tangan Barat dan Nashara, serta kaki tangan harta duniawi. Jangan kalian sombong dan jangan tertipu. Demi Allah l, kalian tidak akan pernah menang terhadap Islam. Kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Nabi Muhammad n, serta kalian tidak akan pernah menang terhadap tentara Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab z), tentara Khalid (bin Al-Walid z), serta saudara-saudaranya dari kalangan tentara-tentara Allah k dan tentara-tentara Islam.
Kepada seluruh kaum muslimin secara umum,
Baik pemerintah maupun rakyat, kelompok-kelompok maupun partai-partai, ulama maupun cendekiawan: Sampai kapan kalian cenderung mengutamakan kehidupan (dunia) yang hina ini? Sampai kapan kalian hidup layaknya buih? Sampai kapan?! Sampai kapan?! Sampai kapan?! Mana orang-orang yang berakal jernih di tengah-tengah kalian?! Mana para ulama kalian?! Mana para cendekiawan kalian?! Mana para panglima perang kalian?!
Kalian telah mendirikan ribuan sekolah dan universitas, mana hasilnya? Demi Allah l, kalau seandainya ada sepuluh sekolah dan universitas yang tegak di atas manhaj nubuwwah, baik dalam aqidah, akhlak, maupun penerapan syariat yang bijaksana, niscaya dunia akan terang dengan cahaya iman dan tauhid. Akan sirnalah kegelapan kebodohan, kesyirikan, dan kebid’ahan, dan musuh tidak akan bisa menguasai (menjajah) kalian seperti ini. Kalau ada sebagian universitas yang tegak di atas manhaj yang benar, maka menyusuplah orang-orang yang tidak suka dengan manhaj (yang haq) tersebut, kemudian merusak perjalanannya serta merusak para akademisi dan lulusannya. Hanya kepada Allah l sajalah tempat kita mengadu.
Tidakkah kenyataan pahit ini mendorong kalian untuk meninjau kembali kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas-universitas kalian, serta metode pendidikan kalian? Tidakkah sudah tiba masanya untuk memikirkan baik-baik dalam rangka melakukan perbaikan terhadap sistem tersebut? Menggantinya secara total, memberlakukan kurikulum Islamiah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n serta manhaj as-salafush shalih. Demi Allah l, tidak akan baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik kondisi generasi awal umat ini.
Gantilah kurikulum-kurikulum tersebut yang tidak menghasilkan kecuali buih. Berlakukanlah manhaj rabbani, yang tidak ada kebaikan, kesuksesan, maupun keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengannya. Jika kalian memang benar-benar menginginkan untuk diri kalian dan untuk umat kalian kesuksesan, kebaikan, dan kemenangan terhadap musuh-musuhnya, terutama (kemenangan) terhadap suatu kaum yang telah Allah l timpakan kepada mereka kehinaan dan kerendahan (yaitu kaum Yahudi).
Kepada pemerintah muslimin secara khusus,
Sungguh di atas pundak kalian terdapat tanggung jawab yang sangat besar:
Tanggung Jawab Pertama,
Kewajiban kalian untuk senantiasa berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan sirah para Al-Khulafa’ur Rasyidin baik dalam aqidah, ibadah, maupun politik kalian, serta dalam mengemban tanggung jawab rakyat dan pendidikan mereka.
Kewajiban dari Allah l atas kalian –secara pasti– adalah:
– Kalian enyahkan segala undang-undang (buatan manusia) yang membuat mundur dan terbelakangnya umat (dalam hal keimanan dan aqidah mereka).
– Hendaknya kalian melakukan kebijakan dalam mengatur umat (rakyat) kalian dalam segala urusan kehidupan mereka, baik kehidupan keagamaan maupun kehidupan dunia mereka, berdasarkan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta bimbingan para Al-Khulafa’ur Rasyidin.
Karena sesungguhnya kalian hanyalah hamba-hamba Allah l, yang di atas bumi-Nya kalian hidup, dari rezeki-Nya lah kalian makan, minum, dan berpakaian, maka sudah merupakan hak Allah k atas kalian adalah kalian beribadah hanya kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, serta kalian merasa mulia dengan agama dan syariat-Nya. Maka berpegangteguhlah kepadanya dan perintahkan rakyat kalian agar juga berpegang teguh kepadanya. Kondisi keagamaan rakyat sangat bergantung dengan kondisi para pemimpin mereka. Sesungguhnya Allah l akan mencabut (kezaliman atau kerusakan) melalui tangan sulthan (penguasa) yang tidak bisa dicabut melalui (nasihat-nasihat) Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan oleh Khalifah Ar-Rasyid ‘Utsman (bin ‘Affan z).
Tanggung Jawab Kedua,
Hendaknya kalian membentuk sebuah pasukan yang Islami yang terdidik di atas bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta terdidik di atas fondasi tentara Islam, dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan dan target tentara Nabi Muhammad n. Sungguh, wajib atas kalian untuk mendidik (tentara tersebut) di atas bimbingan aqidah dan manhaj Nabi Muhammad n, serta aqidah dan manhaj Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab), Khalid (bin Al-Walid), serta mendidik (tentara tersebut) di atas tujuan yang telah digariskan oleh Allah l untuk Muhammad n dan para sahabatnya, agar mereka menjadi junudullah (tentara Allah l) sejati. Maka jika kondisi mereka seperti itu, sungguh mereka (junudullah tersebut) tidak akan pernah terkalahkan. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya tentara Kami-lah yang pasti menang.” (Ash-Shaffat: 173)
Bukan di atas tujuan-tujuan duniawi dan syiar-syiar jahiliah, baik syiar nasionalisme, syiar kebangsaan, syiar kedaerahan, ataupun syiar-syiar lain yang lebih jelek dari itu semua. Sungguh telah cukup (sebagai pelajaran) bagi kalian dan rakyat kalian, apa yang selama ini menimpa kalian dan rakyat kalian, yaitu pelecehan oleh umat yang paling rendah dan paling hina (yaitu Yahudi), serta tantangan mereka terhadap kalian, kesombongannya, ketakaburannya, dan sikap ekstrem mereka terhadap kalian. Demi Allah l, tidak akan bisa menghilangkan berbagai kejahatan dan kesombongan (Yahudi) tersebut kecuali dengan cara berpegang teguh kepada Islam, serta mentarbiyah rakyat dan tentara kalian di atas prinsip-prinsip (aqidah) dan ideologi Islam, serta menghilangkan segala bentuk syiar, pemikiran, dan ideologi yang mengantarkan umat kepada kenyataan yang sangat pahit ini.
Kepada rakyat Palestina secara khusus,
Wajib atas rakyat Palestina untuk mengetahui bahwa:
Negeri Palestina tidaklah dimerdekakan kecuali dengan Islam, di bawah kepemimpinan Faruqul Islam (’Umar bin Al-Khaththab z) dan bala tentaranya yang Al-Islamiyyah Al-Faruqiyyah.
Tidak mungkin pula negeri Palestina dibebaskan dari kenajisan Yahudi kecuali dengan Islam yang benar, yang dengannya negeri Palestina telah berhasil direbut melalui kepemimpinan Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab z). Sungguh kalian telah berupaya membela diri dengan sekuat tenaga. Saya tidak mengetahui suatu bangsa yang bisa bersabar seperti kesabaran kalian, namun sayang banyak di antara kalian yang tidak beraqidah dengan aqidahnya Al-Faruq (’Umar bin Al-Khaththab z) dan tidak bermanhaj dengan manhajnya. Kalau seandainya jihad kalian ditegakkan di atas aqidah dan manhaj tersebut, niscaya berbagai problem kalian akan teratasi, dan niscaya kalian akan meraih kemenangan dan kesuksesan.
Maka wajib atas kalian menegakkan aqidah, manhaj, dan jihad kalian di atas bimbingan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, wajib pula atas kalian semuanya untuk berpegang teguh pada tali (agama) Allah l dan tidak berpecah-belah.
Terapkanlah ini semua dengan penuh keseriusan dan keikhlasan baik di masjid-masjid kalian, sekolah-sekolah kalian, maupun di universitas-universitas kalian. Jujurlah kepada Allah l dalam semua itu Insya Allah demi terwujudnya kemenangan yang gemilang terhadap bangsa (Yahudi), saudara-saudara kera dan babi.
Sesungguhnya bagi kaum muslimin penduduk Syam ada janji yang pasti melalui lisan (Rasulullah n) sang Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan), yaitu janji kemenangan atas kaum Yahudi dan Nashara. Maka bangkitlah kalian dengan penuh kesungguhan menyongsong terwujudnya janji tersebut. Tanpa itu pasti kalian tidak akan memperoleh kecuali kegagalan dan kerugian.
Sungguh, demi Allah l, tidak bermanfaat bagi kalian ikut campurnya Amerika Serikat, PBB, serta tidak memberi manfaat kepada kalian semangat nasionalisme ataupun semangat kebangsaan yang sangat dibenci (oleh Allah l). Maka bersegeralah, bersegeralah merealisasikan sebab-sebab terwujudnya kemenangan yang hakiki dan pasti. Sungguh telah cukup bagi kalian (sebagai pelajaran) berbagai pengalaman yang sangat banyak, yang semuanya tidak bermanfaat dan tidak akan bermanfaat untuk kalian sedikitpun (selain merealisasikan sebab-sebab kemenangan yang hakiki dan pasti). Janganlah kalian menjadi seperti kondisi yang diungkapkan dalam syair:
كَالْعَيْسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهُ الظَّمَأُ
وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ
Seperti unta yang berjalan di gurun, ia terbunuh (mati) oleh dahaga
Padahal air senantiasa terbawa di atas punggungnya
Ya Allah, wujudkan untuk umat ini dalam perkara yang benar, yang dengannya para wali-Mu menjadi mulia dan musuh-musuh-Mu menjadi hina. Ya Allah, tinggikanlah kalimat-Mu, muliakanlah agama-Mu, dan muliakanlah dengannya kaum muslimin, bimbinglah mereka kepada-Mu dan kepada agama-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar (mengabulkan) doa.
Diterjemahkan dari www.sahab.net
Sikap Ulama Terhadap Konflik Palestina Yahudi
Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh
Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah ketika beliau menjawab
pertanyaan tentang sikap dan kewajiban kita terkait dengan peristiwa
yang menimpa saudara-saudara kita di Ghaza (Gaza), Palestina. Penjelasan
ini beliau sampaikan pada hari Senin, 9 Muharram 1430 H, dalam salah
satu pelajaran yang beliau sampaikan, yaitu pelajaran syarh kitab
Fadhlul Islam. Apa yang disampaikan sebenarnya merupakan sikap secara
umum dalam menyikapi konflik Palestina-Yahudi yang terus saja
berlangsung.
Kewajiban terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara
kita kaum muslimin di Jalur Ghaza Palestina baru-baru ini adalah sebagai
berikut:
Pertama:
Merasakan besarnya nilai kehormatan darah (jiwa) seorang muslim.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah (no. 3932) dari
sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar c berkata: Saya melihat Rasulullah n sedang
thawaf di Ka’bah seraya beliau berkata (kepada Ka’bah):
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ
حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ
أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ حُرْمَةً مِنْكِ، مَالِهِ وَدَمِهِ
“Betapa bagusnya engkau (wahai Ka’bah), betapa wangi aromamu,
betapa besar nilai dan kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih
besar di sisi Allah dibanding engkau, baik kehormatan harta maupun darah
(jiwa)nya.”2
Dalam riwayat At-Tirmidzi (no. 2032) dengan lafadz: Dari sahabat
‘Abdullah bin ‘Umar c, bahwa Rasulullah n naik ke atas mimbar kemudian
beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata:
يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ
الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ
تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ
تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ،
وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai segenap orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun
keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum
muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian
mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib
saudaranya muslim, niscaya Allah akan terus memeriksa aibnya.
Barangsiapa yang diperiksa oleh Allah segala aibnya, niscaya Allah akan
membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”
Suatu ketika Ibnu ‘Umar c melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan
(kepada Ka’bah): “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar
kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi
Allah l dibanding kamu.”
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata tentang kedudukan hadits tersebut:
“Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).
Seorang muslim, jika melihat darah kaum muslimin ditumpahkan,
jiwanya dibunuh, atau hati kaum muslimin diteror, maka tidak diragukan
lagi pasti dia akan menjadikan ini sebagai perkara besar, karena
terhormatnya darah kaum muslimin dan besarnya hak mereka.
Bagaimana menurutmu, kalau seandainya seorang muslim melihat ada
orang yang hendak menghancurkan Ka’bah, ingin merobohkan dan
mempermainkannya, maka betapa ia menjadikan hal ini sebagai perkara
besar?!! Sementara Rasulullah n telah menegaskan: “Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh
lebih besar di sisi Allah dibanding engkau (wahai Ka’bah), baik
kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya.”
Maka perkara pertama yang wajib atas kita adalah merasakan betapa
besar nilai kehormatan darah kaum mukminin yang bersih, yang baik, dan
sebagai pengikut Sunnah Rasulullah n, yang senantiasa berjalan di atas
bimbingan Islam. Kita katakan, bahwa darah (kaum mukminin) tersebut
memiliki kehormatan yang besar dalam hati kita.
Kita tidak ridha –demi Allah l– dengan ditumpahkannya darah seorang
mukmin pun (apalagi lebih), walaupun setetes darah saja, tanpa alasan
yang haq (dibenarkan oleh syariat). Maka bagaimana dengan kebengisan dan
tindakan yang dilakukan oleh para ekstremis, orang-orang yang zalim,
para penjajah negeri yang suci, bumi yang suci dan sekitarnya??!
Innalillah wa inna ilaihi raji’un!!
Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk tidak peduli dengan darah
(kaum mukminin) tersebut, terkait dengan hak dan kehormatan (darah
mukminin), kehormatan negeri tersebut, dan kehormatan setiap muslim di
seluruh dunia, dari kezaliman tangan orang kafir yang penuh dosa,
durhaka, dan penuh kezaliman, seperti peristiwa (yang terjadi sekarang
di Palestina) ataupun kezaliman yang lebih ringan dari itu.
Kedua:
Wajib atas kita membela saudara-saudara kita. Pembelaan kita
tersebut harus dilakukan dengan cara yang syar’i. Cara yang syar’i itu
tersimpulkan sebagai berikut:
Kita membela mereka dengan cara berdoa untuk mereka. Kita doakan
mereka pada waktu sepertiga malam terakhir. Kita doakan mereka dalam
sujud-sujud (kita). Bahkan kita doakan dalam qunut (nazilah) yang
dilakukan pada waktu shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh
waliyyul amr (pemerintah).
Jangan heran dengan pernyataan saya “dalam qunut nazilah yang
dilakukan dalam shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul
amr.” Karena umat Islam telah melalui berbagai musibah yang dahsyat
pada zaman sahabat Nabi n, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan
bahwa para sahabat melakukan qunut nazilah selama mereka tidak
diperintah oleh pemimpin (kaum muslimin).
Oleh karena itu saya katakan: Kita membantu saudara-saudara kita
dengan doa pada waktu-waktu sepertiga malam terakhir. Kita bantu
saudara-saudara kita dengan doa dalam sujud. Kita membantu
saudara-saudara kita dengan doa saat kita berdzikir dan menghadap Allah
l, agar Allah l menolong kaum muslimin yang lemah.
Semoga Allah l membebaskan kaum muslimin dari cengkraman
tangan-tangan zalim, mengokohkan mereka (kaum muslimin) dengan ucapan
(aqidah) yang haq, serta menolong mereka terhadap musuh kita, musuh
mereka, musuh Allah l, dan musuh kaum mukminin.
Ketiga dan Keempat:
Terkait dengan sikap kita terhadap peristiwa Ghaza:
Kita harus waspada terhadap orang-orang yang memancing di air
keruh, menyeru dengan seruan-seruan yang penuh emosional atau seruan
yang ditegakkan di atas perasaan (jauh dari bimbingan ilmu dan sikap
ilmiah), yang justru membuat kita terjatuh pada masalah yang makin
besar.
Kalian tahu bahwa Rasulullah n berada di Makkah, berada dalam
periode Makkah, ketika itu beliau mengetahui bahwa orang-orang kafir
terus menimpakan siksaan yang keras terhadap kaum muslimin.
Sampai-sampai kaum muslimin ketika itu meminta kepada Rasulullah n agar
mengizinkan mereka berperang. Ternyata Rasululllah n hanya mengizinkan
sebagian mereka untuk berhijrah (meninggalkan tanah suci Makkah menuju
ke negeri Habasyah). Namun sebagian lainnya (tidak beliau izinkan)
sehingga mereka terus minta izin dari Rasulullah n untuk berperang dan
berjihad.
Dari sahabat Khabbab bin Al-Arat z:
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ
فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ: أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا، أَلاَ
تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ
لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ
عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ
دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ
عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ
لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ
إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى
غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
Kami mengadu kepada Rasulullah n ketika beliau sedang berbantalkan
burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan
siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kami. Berdoalah
(wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami.”
Maka Rasulullah3 n berkata: “Dulu seseorang dari kalangan umat
sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia
dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya
gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia
digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua. Namun perlakuan itu
tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang
disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya,
akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari
agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam),
hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan
dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah
atau (dia hanya khawatir terhadap) serigala (yang akan menerkam)
kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.” Hadits ini diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).
Rasulullah n terus berada dalam kondisi ini dalam periode Makkah
selama 13 tahun. Ketika beliau berada di Madinah, setelah berjalan
selama dua tahun turunlah ayat:
“Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka
telah dizalimi. Sesungguhnya Allah untuk menolong mereka adalah sangat
mampu.” (Al-Haj: 39)
Maka ini merupakan izin bagi mereka untuk berperang.
Kemudian setelah itu turun lagi ayat:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian,
(tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190)
Kemudian setelah itu turun ayat:
“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (At-Taubah: 12)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir.” (At-Taubah: 29)
Yakni bisa kita katakan, bahwa perintah langsung untuk berjihad
turun setelah 16 atau 17 tahun berlalunya awal risalah. Jika masa dakwah
Rasulullah adalah 23 tahun, berarti 17 tahun adalah perintah untuk
bersabar. Maka kenapa kita sekarang terburu-buru??!
Kalau ada yang mengatakan: “Ya akhi, mereka (Yahudi) telah
mengepung kita! Ya akhi, mereka (Yahudi) telah menzalimi kita di
Ghaza!!”
Maka jawabannya: “Bersabarlah. Janganlah kalian terburu-buru dan
janganlah kalian malah memperumit masalah. Janganlah kalian mengalihkan
permasalahan dari kewajiban bersabar dan menahan diri kepada sikap
perlawanan ditumpahkan padanya darah (kaum muslimin).”
Wahai saudara-saudaraku, hingga pada jam berangkatnya saya untuk
mengajar, jumlah korban terbunuh telah mencapai 537 orang dan korban
luka 2.500 orang. Apa ini?!!
Bagaimana kalian menganggap enteng perkara ini? Mana kesabaran
kalian? Mana sikap menahan diri kalian? Sebagaimana jihad itu ibadah,
maka sabar pun juga merupakan ibadah.
Bahkan tentang sabar ini Allah l berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Jadi sabar merupakan ibadah. Kita beribadah kepada Allah l dengan amalan kesabaran.
Kenapa kalian mengalihkan umat dari kondisi sabar menghadapi kepungan musuh kepada perlawanan dan penumpahan darah?
Kenapa kalian menjadikan warga yang aman, yang tidak memiliki
keahlian berperang, baik terkait dengan urusan-urusan maupun
strategi-strategi perang, sebagai sasaran serbuan, sasaran serangan, dan
sasaran pukulan tersebut, sementara kalian sendiri malah keluar menuju
Beirut dan Lebanon??! Kalian telah menimpakan bencana terhadap umat,
sementara kalian sendiri malah keluar (dari Palestina)??!
Oleh karena itu saya katakan: Janganlah seorang pun menggiring kita dengan perasaan atau emosi untuk membalik realita.
Kami mengatakan: Wajib atas kita untuk bersabar dan menahan diri
serta tidak terburu-buru. Sabar adalah ibadah. Rasulullah n telah
bersabar dengan kesabaran yang panjang atas kezaliman Quraisy dan atas
kezaliman orang-orang kafir. Kaum muslimin yang bersama beliau juga
bersabar. Apabila dakwah Rasulullah n selama 23 tahun, sementara 17
tahun di antaranya Rasulullah bersabar (terhadap kekejaman/ kebengisan
kaum musyrikin), maka kenapa kita melupakan sisi kesabaran?? Dua atau
tiga tahun mereka dikepung/diboikot! Kita bersabar dan jangan menimpakan
kepada umat musibah, pembunuhan, kesusahan, dan kesulitan tersebut.
Janganlah kita terburu beralih pada aksi militer!!
Wahai saudaraku, takutlah kepada Allah l! Apabila Rasulullah n
merasa iba kepada umatnya dalam masalah shalat, padahal itu merupakan
rukun Islam yang kedua, beliau mengatakan (kepada Mu’adz): “Apakah
engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?!!” karena Mu’adz
membaca surat terlalu panjang dalam shalat; Maka bagaimana menurutmu
terhadap orang-orang yang hanya karena (menuruti) perasaan dan emosinya
yang meluap menyeret umat kepada penumpahan darah dan aksi perlawanan di
mana mereka tidak memiliki kemampuan, bahkan meski sepersepuluh saja
mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan?
Bukankah tepat kalau kita katakan (kepada mereka): Apakah kalian
hendak menimpakan musibah kepada umat dengan aksi perlawanan ini, yang
sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
perlawanan tersebut?!
Tidak ingatkah kita ketika kaum kafir dari kalangan Quraisy dan
Yahudi berupaya mencabik-cabik Rasulullah n dalam perang Ahzab, setelah
adanya pengepungan (terhadap Rasulullah n dan para sahabatnya) yang
berlangsung selama satu bulan, lalu sikap apa yang Rasulullah lakukan?
Beliau n mengutus (utusan) kepada kabilah Ghathafan seraya untuk
menyampaikan kepada mereka: “Saya akan memberikan kepada kalian separuh
dari hasil perkebunan kurma di Madinah agar mereka (kabilah Ghathafan)
tidak membantu orang-orang kafir dalam memerangi kami.”
Kemudian beliau mengutus kepada para pimpinan Anshar. Mereka pun
datang (kepada beliau). Rasulullah n menyampaikan kepada mereka bahwa
beliau telah mengambil kebijakan begini dan begini. Kemudian beliau
berkata: “Kalian telah melihat apa yang telah menimpa umat berupa
kegentingan dan kesulitan?”
Perhatikan, keletihan dan kesulitan yang menimpa umat bukanlah
perkara yang enteng bagi beliau n. Rasulullah n tidak rela memimpin
mereka untuk melakukan perlawanan militer dalam keadaan mereka tidak
memiliki daya dan kemampuan. Sehingga dengan itu beliau n menerima ide
dari sahabat Salman Al-Farisi untuk membuat parit (dalam rangka
menghalangi kekuatan/ serangan musuh).
Demikianlah (cara perjuangan Rasulullah l). Padahal beliau adalah
seorang Rasul n dan bersama beliau ada para sahabatnya. Apakah kita
lebih kuat imannya dibanding Rasulullah n?! Apakah kita lebih kuat
agamanya dibanding Rasulullah n??! Apakah kita lebih besar kecintaannya
terhadap Allah l dan agama-Nya dibanding Rasulullah n dan para
sahabatnya??!
Tentu tidak, wahai saudaraku.
Sekali lagi, Rasulullah n tidak memaksakan (kepada para sahabatnya)
untuk melakukan perlawanan (terhadap orang kafir). Bukan perkara yang
ringan bagi beliau ketika kesulitan yang menimpa umat sudah sedemikian
parah. Sehingga terpaksa beliau mengutus kepada kabilah Ghathafan untuk
memberikan kepada mereka separuh dari hasil perkebunan kurma Madinah
(agar mereka tidak membantu kaum kafir menyerang Rasulullah n dan para
sahabatnya). Namun Allah l kuatkan hati dua pimpinan Anshar. Keduanya
berkata: “Wahai Rasulullah, mereka tidak memakan kurma tersebut dari
kami pada masa jahiliah, maka apakah mereka akan memakannya dari kami
pada masa Islam? Tidak wahai Rasulullah. Kami akan tetap bersabar.”
Mereka (Anshar) tidak mengatakan: “Kami akan tetap berperang.” Namun mereka berkata: “Kami akan bersabar.”
Tatkala mereka benar-benar bersabar, setia mengikuti Rasulullah n
dan ridha, datanglah kepada mereka pertolongan dari arah yang tidak
mereka sangka. Datanglah pertolongan dari sisi Allah l. Datanglah hujan
dan angin, dan seterusnya. Bacalah peristiwa ini dalam kitab-kitab sirah
(sejarah), pada (pembahasan) tentang peristiwa perang Ahzab.
Maka, permasalahan yang saya ingatkan adalah: Janganlah ada seorang
pun yang menyeret kalian hanya dengan perasaan dan emosinya, sehingga
dia akan membalik realita yang sebenarnya kepada kalian.
Aku mendengar sebagian orang mengatakan bahwa “Penyelesaian
permasalahan yang terjadi adalah dengan jihad dan seruan untuk
berjihad!”
Tentu saja saya tidak mengingkari jihad, jika yang dimaksud adalah
jihad yang syar’i. Sementara jihad yang syar’i memilliki syarat-syarat.
Syarat-syarat tersebut belum terpenuhi pada kita sekarang ini. Kita
belum memenuhi syarat-syarat terlaksananya jihad syar’i pada hari ini.
Sekarang kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Allah
l tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.
Apabila Sayyiduna ‘Isa q pada akhir zaman nanti akan berhukum
dengan syariat Muhammad n, ‘Isa adalah seorang nabi dan bersamanya ada
kaum mukminin, namun Allah l mewahyukan kepadanya: ‘Naiklah bersama
hamba-hamba-Ku ke Gunung Ath-Thur karena sesungguhnya Aku akan
mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu melawannya.’ Siapakah
kaum tersebut? Mereka adalah Ya’juj dan Ma’juj.
Perampasan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj –mereka termasuk
keturunan Adam (yakni manusia)– terhadap kawasan Syam dan sekitarnya
adalah seperti perampasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan
ahlul batil terhadap salah satu kawasan dari kawasan-kawasan
(negeri-negeri) Islam. Maka jihad melawan mereka adalah termasuk jihad
difa’ (defensif, membela diri). Meskipun demikian, ternyata Allah l
mewahyukan kepada ‘Isa q –beliau ketika itu berhukum dengan syariat Nabi
Muhammad n–: “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Gunung Ath-Thur. Karena
sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan
mampu melawannya.”
Allah l tidak mengatakan kepada mereka: “Berangkatlah melakukan
perlawanan terhadap mereka.” Allah l juga tidak mengatakan kepada
mereka: “Bagaimana kalian membiarkan mereka menguasai negeri dan umat?”
Tidak. Tapi Allah l mengatakan: “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke
Gunung Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum
yang kalian tidak akan mampu melawannya.” Inilah hukum Allah l.
Jadi, meskipun jihad difa’, tetap kita harus melihat kemampuan.
Kalau seandainya masalahnya adalah harus melawan dalam situasi dan
kondisi apapun, maka apa gunanya Islam mensyariatkan bolehnya perdamaian
dan gencatan senjata antara kita dengan orang-orang kafir? Padahal
Allah l telah berfirman:
“Jika mereka (orang-orang kafir) condong kepada perdamaian, maka
condonglah kepadanya (terimalah ajakan perdamaian tersebut).” (Al-Anfal:
61)
Apa makna itu semua?
Oleh karena itu, Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t memfatwakan bolehnya
berdamai dengan Yahudi, meskipun mereka telah merampas sebagian tanah
Palestina, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin, menjaga jiwa
mereka, dengan tetap diiringi upaya mempersiapkan diri sebagai kewajiban
menyiapkan kekuatan untuk berjihad. Persiapan kekuatan untuk berjihad
dimulai pertama kali dengan persiapan maknawi imani (yakni mempersiapkan
kekuatan iman), baru kemudian persiapan materi/fisik.
Maka kami tegaskan bahwa:
Kewajiban kita terhadap tragedi besar yang menimpa kaum muslimin (di Palestina) dan negeri-negeri lainnya:
q Bahwa kita membantu mereka dengan doa untuk mereka, dengan cara yang telah saya jelaskan di atas.
q Kita menjadikan masalah darah kaum muslimin sebagai perkara
besar, kita tidak boleh mengentengkan perkara ini. Kita menyadari bahwa
ini merupakan perkara besar yang tidak diridhai oleh Allah l dan
Rasul-Nya n serta kaum muslimin.
q Kita bersikap waspada agar jangan sampai ada seorang pun yang
menyeret kita hanya dengan perasaan dan emosi kepada perkara-perkara
yang bertentangan dengan syariat Allah l.
q Kita mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah l dengan cara
mengingatkan diri kita dan saudara-saudara kita tentang masalah sabar.
Allah l telah berfirman:
“Bersabarlah sebagaimana kesabaran para ulul ‘azmi dari kalangan para rasul.” (Al-Ahqaf: 35)
Karena sesungguhnya sikap sabar merupakan sebuah siasat yang
bijaksana dan terpuji dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Sabar
merupakan obat. Dengan kesabaran dan ketenangan serta tidak
terburu-buru, insya Allah problem akan terselesaikan. Kita memohon
kepada Allah l pertolongan dan taufiq. Adapun menyeret umat pada
perkara-perkara yang berbahaya, maka ini bertentangan dengan syariat
Allah l dan bertentangan dengan agama Allah l.
Kelima:
Memberikan bantuan materi yang disalurkan melalui lembaga-lembaga
resmi, yaitu melalui jalur pemerintah. Selama pemerintah membuka pintu
(penyaluran) bantuan materi dan sumbangan, maka pemerintah lebih berhak
didengar dan ditaati. Setiap orang yang mampu untuk menyumbang maka
hendaknya dia menyumbang. Barangsiapa yang lapang jiwanya untuk membantu
maka hendaknya dia membantu. Namun janganlah menyalurkan harta dan
bantuan tersebut kecuali melalui jalur resmi sehingga lebih terjamin,
insya Allah, akan tepat sasaran. Jangan tertipu dengan nama besar
apapun, jika itu bukan jalur resmi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Janganlah memberikan bantuan dan sumbanganmu kecuali pada jalur resmi.
Inilah secara ringkas kewajiban kita terhadap tragedi yang menimpa saudara-saudara di Ghaza.
Saya memohon kepada Allah l agar menolong dan mengokohkan mereka
serta memenangkan mereka atas musuh-musuh kita dan musuh-musuh mereka
(saudara-saudara kita yang di Palestina), serta menghilangkan dari
mereka (malapetaka tersebut).
Kita memohon agar Dia menunjukkan keajaiban-keajaiban Qudrah-Nya
atas para penjajah, para penindas, dan para perampas yang zalim dan
penganiaya (Yahudi) tersebut.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
(Diambil dari http://www.assalafy.org disertai dengan perubahan redaksional)
1 Sengaja kami tidak menyebutnya dengan Israel. Karena sebutan
Israel/Israil tidak pada tempatnya dilekatkan pada bangsa Yahudi yang
menjajah Palestina sekarang. Diterangkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t:
“Para ahli tafsir sepakat bahwa Israil adalah Ya’qub bin Ishaq bin
Ibrahim r, dan artinya adalah hamba Allah l. Karena Isra dalam bahasa
mereka artinya hamba, sedangkan Il adalah Allah l.”
Dari penjelasan ini, kita harus berhati-hati. Meskipun kita
membenci orang Yahudi dan kebencian ini memang satu hal yang
diperintahkan agama, tetapi jangan sampai salah ucap. Sehingga kita
mencela Yahudi dengan mengatakan “Israel biadab…”, “Israel la’natullah”,
dst, karena Israel atau Israil yang lebih tepat adalah Nabi Ya’qub q.
Na’udzu billah (Kita berlindung kepada Allah l) bila kita sampai
terjatuh dalam perbuatan mencela seorang nabi. Ini adalah suatu
kekafiran. Sehingga, bila kita mau mengungkapkan kekesalan terhadap
mereka, langsung saja kita sebut ‘Yahudi’. Ini lebih menyelamatkan kita,
Insya Allah. (Silakan lihat kembali rubrik Tafsir edisi 42/Vol. IV/1429
H/2008) -red
Tentang keculasan dan sepak terjang Yahudi, pembaca juga dapat melihatnya kembali di edisi 32/Vol. III/1428 H/2007. -red
2 Semula Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini, sehingga
beliau pun meletakkannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah dan Dha’if
Al-Jami’. Namun kemudian beliau rujuk dari pendapat tersebut. Beliau
menshahihkan hadits tersebut dan memasukkannya dalam Ash-Shahihah no.
3420. Beliau t mengatakan: “Demikianlah. Dahulu aku mendhaifkan hadits
Ibnu Majah ini dalam beberapa takhrij dan ta’liq-ku sebelum dicetaknya
Syu’abul Iman. Ketika aku memeriksa sanadnya dan menjadi jelas
kehasanannya, aku segera membuat takhrijnya di sini untuk melepaskan
diri dari tanggungan, juga sebagai bentuk nasihat kepada umat, sembari
berdoa:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami bila kami lupa atau salah.” (Al-Baqarah: 286)
Berdasarkan hal ini, hadits tersebut dipindahkan dari Dha’if
Al-Jami’ Ash-Shaghir dan Dha’if Sunan Ibni Majah kepada Shahih keduanya.
3 Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafadz disebutkan bahwa:
Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda: … dst.
Sikap dan Kewajiban Umat Terhadap Muslim Palestina
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ Saudi Arabia
Segala puji hanyalah milik Allah l Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, nabi kita Muhammad (n), kepada keluarga beliau dan para sahabatnya, serta umatnya yang setia mengikutinya sampai akhir zaman. Wa ba’du:
Sesungguhnya Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’ (Dewan Tetap Untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia mengikuti (perkembangan yang terjadi) dengan penuh kegalauan, kesedihan, dan kepedihan, akan musibah yang telah dan sedang terjadi yang menimpa saudara-saudara kita muslimin Palestina. Lebih khusus lagi di Jalur Gaza, yakni berupa kejahatan, terbunuhnya anak-anak, kaum wanita, orang-orang yang telah renta, pelanggaran-pelanggaran terhadap kehormatan, rumah-rumah serta bangunan-bangunan yang dihancurkan, serta pengusiran penduduk. Tidak diragukan lagi ini merupakan kejahatan dan kezaliman terhadap penduduk Palestina.
Dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan ini, umat Islam wajib untuk berdiri satu barisan bersama saudara-saudara mereka di Palestina serta bahu-membahu dengan mereka. Ikut membela dan membantu mereka serta bersungguh-sungguh dalam menepis kezaliman yang menimpa mereka dengan segala hal dan sarana apapun yang mungkin dilakukan sebagai wujud dari persaudaraan seagama dan seikatan iman.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)
Allah l juga berfirman:
“Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
Nabi n bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا، وََشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan yang saling menopang, lalu beliau menautkan antar jari-jemari (kedua tangannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau (n) juga bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بْالْحُمَى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan kelemahlembutan di antara mereka adalah bagaikan satu tubuh. Apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan panas/ demam dan tidak bisa tidur.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah (n) juga bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menzalimi saudaranya, tidak membiarkannya (tidak ditolong), tidak mencelakakannya, dan tidak meremehkannya.” (HR. Muslim)
Pembelaan sendiri bentuknya umum meliputi banyak aspek sesuai kemampuan sambil tetap memerhatikan keadaan, baik dalam bentuk materil ataupun moril. Bisa dari kaum muslimin berupa dana, bahan makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain sebagainya. Atau dari pihak negara-negara Arab dan Islam dengan mempermudah sampainya bantuan-bantuan tersebut kepada mereka, serta bersikap sungguh-sungguh dalam urusan mereka, membela kepentingan-kepentingan mereka di forum-forum pertemuan, acara-acara, dan konferensi (musyawarah) antar negara (multilateral) maupun nasional. Semua itu termasuk dalam bekerjasama di atas kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan di dalam firman-Nya:
“Dan bekerjasamalah kalian di atas kebajikan dan ketakwaan.” (Al-Ma’idah: 2)
Kemudian termasuk dalam hal ini juga, menyampaikan nasihat kepada mereka serta menunjuki mereka kepada setiap kebaikan. Di antaranya yang paling besar, mendoakan mereka pada setiap waktu agar cobaan ini diangkat dari mereka dan agar bencana ini disingkap dari mereka, serta mendoakan mereka agar Allah l memulihkan keadaan mereka serta membimbing amalan dan ucapan mereka.
Sesungguhnya kami mewasiatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di Palestina untuk bertakwa kepada Allah l dan bertaubat kepada-Nya. Sebagaimana kami mewasiatkan mereka agar bersatu di atas kebenaran serta meninggalkan perpecahan dan pertikaian. Juga menutup celah bagi pihak musuh yang memanfaatkan kesempatan dan akan terus memanfaatkan (kondisi ini) dengan melakukan tindak kesewenang-wenangan dan pelecehan.
Kami menganjurkan kepada seluruh saudara kami untuk menjalani hal-hal yang menjadi sebab terangkatnya kesewenang-wenangan terhadap negeri mereka, sambil tetap menjaga keikhlasan dalam berbuat karena Allah l dan mencari keridhaan-Nya. Juga meminta tolong dengan kesabaran dan shalat serta musyawarah dengan para ulama, orang-orang yang cerdas dan bijak di setiap urusan mereka. Karena semua itu berguna untuk mendapatkan taufiq dan tepatnya langkah.
Sebagaimana kami juga mengajak kepada orang-orang yang cerdas di setiap negeri dan masyarakat dunia seluruhnya, agar melihat bencana ini dengan kacamata orang yang berakal dan sikap yang adil, untuk memberikan kepada masyarakat Palestina hak-hak mereka serta mengangkat kezaliman dari mereka. Agar mereka hidup dengan kehidupan yang mulia. Sekaligus kami juga berterima kasih kepada setiap pihak yang berlomba-lomba dalam membela dan membantu mereka baik negara maupun individu.
Kami mohon kepada Allah l dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi untuk menyingkap kesedihan dari umat ini serta memuliakan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, memenangkan para wali-Nya dan menghinakan musuh-musuh-Nya. Lantas menjadikan tipu daya mereka bumerang bagi mereka dan menjaga umat Islam dari kejahatan-kejahatan mereka. Sesungguhnya Dialah Penolong kita dalam hal ini dan Dzat Yang Maha Berkuasa.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad (n), kepada keluarga, sahabat, serta umatnya yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat.
(Dikutip dengan beberapa penyesuaian dari terjemahan fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ Saudi Arabia, judul asli “Fatwa Ulama Seputar Bencana di Palestina” di http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=282. Sumber fatwa dari alamat url http://www.sahab.net/home/index.php?threads_id=152, disertai dengan perubahan redaksional)
Segala puji hanyalah milik Allah l Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, nabi kita Muhammad (n), kepada keluarga beliau dan para sahabatnya, serta umatnya yang setia mengikutinya sampai akhir zaman. Wa ba’du:
Sesungguhnya Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’ (Dewan Tetap Untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia mengikuti (perkembangan yang terjadi) dengan penuh kegalauan, kesedihan, dan kepedihan, akan musibah yang telah dan sedang terjadi yang menimpa saudara-saudara kita muslimin Palestina. Lebih khusus lagi di Jalur Gaza, yakni berupa kejahatan, terbunuhnya anak-anak, kaum wanita, orang-orang yang telah renta, pelanggaran-pelanggaran terhadap kehormatan, rumah-rumah serta bangunan-bangunan yang dihancurkan, serta pengusiran penduduk. Tidak diragukan lagi ini merupakan kejahatan dan kezaliman terhadap penduduk Palestina.
Dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan ini, umat Islam wajib untuk berdiri satu barisan bersama saudara-saudara mereka di Palestina serta bahu-membahu dengan mereka. Ikut membela dan membantu mereka serta bersungguh-sungguh dalam menepis kezaliman yang menimpa mereka dengan segala hal dan sarana apapun yang mungkin dilakukan sebagai wujud dari persaudaraan seagama dan seikatan iman.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)
Allah l juga berfirman:
“Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
Nabi n bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا، وََشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan yang saling menopang, lalu beliau menautkan antar jari-jemari (kedua tangannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau (n) juga bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بْالْحُمَى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan kelemahlembutan di antara mereka adalah bagaikan satu tubuh. Apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan panas/ demam dan tidak bisa tidur.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasulullah (n) juga bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menzalimi saudaranya, tidak membiarkannya (tidak ditolong), tidak mencelakakannya, dan tidak meremehkannya.” (HR. Muslim)
Pembelaan sendiri bentuknya umum meliputi banyak aspek sesuai kemampuan sambil tetap memerhatikan keadaan, baik dalam bentuk materil ataupun moril. Bisa dari kaum muslimin berupa dana, bahan makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain sebagainya. Atau dari pihak negara-negara Arab dan Islam dengan mempermudah sampainya bantuan-bantuan tersebut kepada mereka, serta bersikap sungguh-sungguh dalam urusan mereka, membela kepentingan-kepentingan mereka di forum-forum pertemuan, acara-acara, dan konferensi (musyawarah) antar negara (multilateral) maupun nasional. Semua itu termasuk dalam bekerjasama di atas kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan di dalam firman-Nya:
“Dan bekerjasamalah kalian di atas kebajikan dan ketakwaan.” (Al-Ma’idah: 2)
Kemudian termasuk dalam hal ini juga, menyampaikan nasihat kepada mereka serta menunjuki mereka kepada setiap kebaikan. Di antaranya yang paling besar, mendoakan mereka pada setiap waktu agar cobaan ini diangkat dari mereka dan agar bencana ini disingkap dari mereka, serta mendoakan mereka agar Allah l memulihkan keadaan mereka serta membimbing amalan dan ucapan mereka.
Sesungguhnya kami mewasiatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di Palestina untuk bertakwa kepada Allah l dan bertaubat kepada-Nya. Sebagaimana kami mewasiatkan mereka agar bersatu di atas kebenaran serta meninggalkan perpecahan dan pertikaian. Juga menutup celah bagi pihak musuh yang memanfaatkan kesempatan dan akan terus memanfaatkan (kondisi ini) dengan melakukan tindak kesewenang-wenangan dan pelecehan.
Kami menganjurkan kepada seluruh saudara kami untuk menjalani hal-hal yang menjadi sebab terangkatnya kesewenang-wenangan terhadap negeri mereka, sambil tetap menjaga keikhlasan dalam berbuat karena Allah l dan mencari keridhaan-Nya. Juga meminta tolong dengan kesabaran dan shalat serta musyawarah dengan para ulama, orang-orang yang cerdas dan bijak di setiap urusan mereka. Karena semua itu berguna untuk mendapatkan taufiq dan tepatnya langkah.
Sebagaimana kami juga mengajak kepada orang-orang yang cerdas di setiap negeri dan masyarakat dunia seluruhnya, agar melihat bencana ini dengan kacamata orang yang berakal dan sikap yang adil, untuk memberikan kepada masyarakat Palestina hak-hak mereka serta mengangkat kezaliman dari mereka. Agar mereka hidup dengan kehidupan yang mulia. Sekaligus kami juga berterima kasih kepada setiap pihak yang berlomba-lomba dalam membela dan membantu mereka baik negara maupun individu.
Kami mohon kepada Allah l dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi untuk menyingkap kesedihan dari umat ini serta memuliakan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, memenangkan para wali-Nya dan menghinakan musuh-musuh-Nya. Lantas menjadikan tipu daya mereka bumerang bagi mereka dan menjaga umat Islam dari kejahatan-kejahatan mereka. Sesungguhnya Dialah Penolong kita dalam hal ini dan Dzat Yang Maha Berkuasa.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad (n), kepada keluarga, sahabat, serta umatnya yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat.
(Dikutip dengan beberapa penyesuaian dari terjemahan fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ Saudi Arabia, judul asli “Fatwa Ulama Seputar Bencana di Palestina” di http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=282. Sumber fatwa dari alamat url http://www.sahab.net/home/index.php?threads_id=152, disertai dengan perubahan redaksional)
Hukum Rokok
Saya mau bertanya tentang kaidah para ulama yang berkaitan
dengan pengharaman rokok, baik secara naqli (nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah) atau aqli (akal)?
(Abu Ibrahim/email)
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini:
1 Demikian pula firman Allah l:“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa: 29) -pen.
(Abu Ibrahim/email)
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini:
Alhamdulillah, washallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa’ala alihi washahbihi wasallam.
Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama dalam masalah
ini. Yang rajih (kuat) insya Allah seperti yang disebutkan dalam
pertanyaan bahwa hukumnya haram. Di antara ulama yang menegaskan
haramnya adalah Al-Imam Al-’Allamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baz t bersama para ulama yang tergabung bersamanya dalam Al-Lajnah
Ad-Daimah dan Al-Imam Al-’Allamah Al-Faqih Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t.
Asy-Syaikh Bin Baz t mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (6/362): “Rokok
hukumnya haram. Karena rokok adalah sesuatu yang jelek serta mengandung
banyak mudarat (kerusakan dan kerugian). Allah l hanyalah menghalalkan
bagi hamba-hambanya apa-apa yang baik dari makanan, minuman serta yang
lainnya, dan mengharamkan atas mereka apa-apa yang jelek. Allah l
berfirman:
Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad): “Apa yang dihalalkan
buat mereka?” Katakan: “Telah dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.”
(Al-Maidah: 4)
Allah l berfirman menjelaskan sifat Nabi-Nya Muhammad n dalam surat Al-A’raf (157):
“Dia mengajak mereka kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari
yang mungkar serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan atas mereka segala yang jelek.”
Rokok dengan segala macam jenisnya yang ada tidak termasuk dari
yang baik-baik, bahkan termasuk dari yang jelek-jelek. Demikian pula
segala macam minuman yang memabukkan termasuk dari yang jelek-jelek.
(Dengan demikian) haram hukumnya mengisap rokok, menjual dan
memperdagangkannya. Karena rokok mengandung berbagai macam mudarat serta
dampak yang buruk.”
Beliau juga berkata pada (6/23-24): “Sudut pandang –yang dijadikan
dalil/argumen oleh para ulama yang mengharamkannya– adalah karena rokok
memudaratkan, terkadang menghilangkan kesadaran dan terkadang
memabukkan. Dalil yang menunjukkan haramnya adalah keumuman dalil yang
mengharamkan segala sesuatu yang memudaratkan.
Artinya haram atas diri seseorang melakukan apa saja yang
memudaratkan pada agama atau dunianya, baik itu berupa racun, rokok,
atau selainnya dari apa-apa yang memberi mudarat. Dalilnya adalah firman
Allah l:
“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri-diri kalian dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)1
Demikian pula sabda Rasulullah n:
“Tidak ada mudarat (yang dibenarkan), secara sengaja maupun tidak sengaja.”2
Oleh karena itu ahli tahqiq (peneliti) dari kalangan ulama
mengharamkan mengisap rokok dengan melihat banyaknya mudarat besar yang
ditimbulkannya. Mudarat-mudarat itu diketahui oleh pakar medis (dokter)
dan setiap orang yang berinteraksi dengan mereka. Terkadang menyebabkan
kematian mendadak, penyakit menahun/kronis, batuk keras, atau penyakit
lainnya. Hal ini seluruhya telah kami ketahui dan kami telah mendapat
cukup informasi dari sekian pecandu rokok yang tidak terhitung jumlahnya
baik yang mengisapnya secara langsung, menggunakan pipa, atau dengan
cara-cara yang lain yang biasa dilakukan dalam mengisap rokok, bahwa
seluruhnya memudaratkan. Maka wajib atas para dokter (ahli kesehatan)
untuk menasihati pecandu rokok agar berhenti mengisap rokok dan wajib
atas diri seorang dokter dan pengajar/pendidik untuk menjauhkan diri
dari rokok, karena kedua golongan ini merupakan panutan yang dicontoh
masyarakat.”
Berfatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dalam Fatawa Al-Lajnah (22/179):
“Mengisap rokok haram hukumnya. Karena termasuk dari yang jelek-jelek,
sementara Allah l dan Rasul-Nya telah mengharamkan segala yang
jelek-jelek. Allah l berfirman tentang sifat Nabi-Nya n:
“Dia mengajak mereka kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan atas mereka segala yang jelek.” (Al-A’raf: 157)
Demikian pula dikarenakan rokok mengandung mudarat yang merusak
kesehatan dan merugikan secara materi, sedangkan syariat Islam datang
untuk menjaga keselamatan jiwa raga dan harta benda. Tetap saja para
ulama masa lalu dan masa sekarang mengategorikan menjaga keselamatan
jiwa raga dan harta benda termasuk dari lima perkara yang harus dijaga
keselamatannya secara darurat3 untuk menjaga tetap terwujudnya umat ini
dan tetap tegaknya urusan umat ini dalam bentuk yang semestinya. Telah
tsabit (tetap) larangan dalam syariat ini dari membuang-buang harta
secara sia-sia sementara tidak diragukan lagi bahwa menghamburkan uang
untuk membeli rokok termasuk dalam kategori membelanjakan harta untuk
sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan membelanjakannya dalam perkara
yang memudaratkan diri dan lingkungannya, sehingga jelaslah bahwa hal
itu termasuk menyia-nyiakan harta.4”
Al-’Utsaimin t menegaskan haramnya rokok karena mudaratnya dalam
Asy-Syarhul Mumti’ pada Kitab Al-Ath’imah (6/306)/Terbitan Darul Atsar,
Al-Qahirah.
1 Demikian pula firman Allah l:“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa: 29) -pen.
2 Hadits ini datang dari banyak jalan dari banyak sahabat seperti
Abu Hurairah, Jabir, Abu Sa’id Al-Khudri, dan yang lainnya g. Seluruh
jalan tersebut memiliki kelemahan, namun kebanyakan dari jalan-jalan itu
kelemahannya ringan sehingga saling menguatkan satu dengan yang lainnya
untuk naik ke derajat hadits yang shahih atau hasan. Sebagaimana kata
Al-’Alai dan Al-Albani. Lihat: Irwa’ Al-Ghalil (3/408-414) no (896)
-pen.
3 Lima perkara itu adalah menjaga agama, menjaga jiwa raga, menjaga harta, menjaga kehormatan, dan menjaga akal –pen.
4 Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثاً: قِيْلَ وَقاَلَ وَإِضَاعَةَ الماَلِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
“Sesungguhnya Allah membenci tiga perkara atas kalian: pembicaraan
sia-sia, menyia-nyiakan harta, banyak meminta” (Muttafaq ‘alaih dari
Al-Mughirah bin Syu’bah z)
Hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits Abu Hurairah z dikeluarkan oleh Muslim. -pen.
Cinta adalah Pengorbanan, Tanda Cinta Ibrahim sang Khalil
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Bertahun-tahun sudah, suara tangis bayi belum juga memenuhi rumah tangga Khalil Allah, Ibrahim q. Sarah, istri beliau juga sudah semakin renta. Menurut kita, keadaan seperti ini mustahil akan beroleh anak. Tapi apakah demikian keyakinan seorang yang menyandang kedudukan tertinggi dalam berhubungan dengan Sang Khaliq Yang Maha Kuasa?
Tentu tidak.
Seorang yang bertauhid, senantiasa bersegera dalam kebaikan, selalu waspada, tidak berputus asa dan tetap membersihkan hatinya dari berbagai kotoran, terlebih lagi Nabiyullah Khalilur Rahman Ibrahim q yang selalu berdoa, meminta kepada Allah l agar diberi karunia seorang anak.
Allah l berfirman tentang Ibrahim:
“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (Ash-Shaffat: 100-108)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah l menceritakan tentang Khalil-Nya Ibrahim q setelah meninggalkan kaumnya. Ibrahim meminta kepada Rabbnya agar diberi anugerah berupa seorang anak yang shalih. Kemudian Allah l memberi kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang penyabar, yaitu Isma’il q.
Inilah putra pertama beliau, yang lahir di saat Nabi Ibrahim q berusia 86 tahun, sebagaimana disepakati oleh seluruh agama. Usia yang cukup renta dan mustahil menurut kita masih akan beroleh anak.
Tapi, siapa yang ragu dengan kekuasaan Allah l, kalau bukan orang-orang yang tidak beriman? Atau sangat tipis imannya?
Kemudian, perhatikan pula doa yang dipanjatkan Ibrahim, bukan semata-mata naluri kerinduan seorang ayah, tapi lebih dari itu. Harapan utama, agar anak itu adalah anak yang shalih, berguna bagi sesama.
Seorang anak, jika dia tidak bermanfaat, tentu akan merugikan orang lain, bahkan dapat menjadi azab bagi siapa saja terlebih kedua orangtuanya. Nas’alullaha as-salamah.
Allah l berfirman:
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 55)
Oleh karena itu pula, ketika seorang mukmin berdoa, mengharapkan kehadiran anak, tetapi belum terkabul, janganlah terburu-buru dan ingin disegerakan terwujud harapannya. Lihatlah bagaimana Nabi dan Khalil Allah, Ibrahim q. Selama berpuluh tahun, beliau tetap meminta dan berdoa kepada Allah l agar diberi anugerah berupa seorang anak yang shalih.
Simaklah apa yang difirmankan Allah l:
“Dan kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim. Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan: ‘Salam.’ Berkata Ibrahim: ‘Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu.’ Mereka berkata: ‘Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim.’ Berkata Ibrahim: ‘Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata: ‘Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 51-56)
Orang-orang sesat, yaitu orang-orang yang mendustakan dan jauh dari kebenaran.
Maksudnya, beliau merasa tidak mungkin beroleh anak karena sudah rentanya, bukan karena putus asa dari rahmat Allah l.
Ingatlah pula bahwa Rasulullah n bersabda:
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Akan dikabulkan untuk kalian (doa kalian) selama tidak terburu-buru, (dengan mengatakan): ‘Aku sudah berdoa tapi tidak dikabulkan untukku’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ad-Da’awat dan Muslim Kitab Adz-Dzikri wa Ad-Da’awat)
Karena itu janganlah berputus asa. Teladanilah Al-Khalil q. Terlebih lagi pertolongan dan kelapangan itu selalu datang di saat kesulitan dan kesempitan memuncak. Rasulullah n mengingatkan kita dalam sabdanya:
وَاعْلَمْ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيرًا وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau senangi terdapat kebaikan yang sangat banyak. Ketahuilah pula, bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar, kelapangan ada bersama kesempitan/kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (HR. Ahmad)
Kelahiran Isma’il
Dengan hadirnya Isma’il, serasa lengkap kehidupan rumah tangga Ibrahim Al-Khalil. Hari-hari begitu manis. Setiap ada kesempatan, Ibrahim bermain-main mesra dengan Isma’il hingga suatu ketika terlihat oleh Sarah.1
Allah l Maha Tahu.
Ketika melihat rasa cinta kepada sang putra mulai mengambil tempat dalam relung hati Ibrahim, Sang Kekasih cemburu kepada Khalil-Nya bila ada di dalam hatinya tempat untuk ‘kekasih’ lain selain Dia. Maka Allah l perintahkan Ibrahim menyembelih putranya, tempat curahan cinta dan kasih sayangnya saat itu. Namun maksud sebenarnya bukanlah menyembelih anak itu, bukan pula sebagai siksaan. Perintah itu tidak lain adalah agar membersihkan relung-relung hati Ibrahim hanya untuk-Nya, tidak untuk ditempati yang lain dan agar (cinta itu) semakin murni hanya untuk Allah l.
Di saat seperti itu, Ibrahim q melihat dalam mimpi bahwa dia diperintah untuk menyembelih putranya ini. Perintah melalui mimpi ini pun memiliki suatu hikmah tertentu, yakni agar pelaksanaan perintah itu lebih besar terasa sebagai ujian dan cobaan.
Kita maklumi, ketika itu beliau begitu mengharap kehadiran seorang anak yang akan mewarisinya. Setelah Allah l menyenangkannya dengan mengabulkan doanya, anak itupun lahir, tumbuh pesat, Allah l perintahkan dia menyembelih putranya. Dengan perintah ini, kalau dia jalankan, lenyaplah keturunannya, buyarlah harapannya. Sungguh, ini ujian yang sangat berat dan sangat manusiawi. Seorang manusia, seusia Nabi Ibrahim q, baru dikaruniai Allah l seorang putra setelah bertahun-tahun mendambakannya, kemudian harus menerima kenyataan anak itu lenyap dari pandangannya. Entah meninggal dunia atau hilang dan sebagainya.
Kita ingat, betapa sedihnya Rasulullah n, ketika putra beliau Ibrahim dari Maria Al-Qibthiyah meninggal dunia dalam pelukan beliau. Air mata beliau menitik, hatipun berduka.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik z, dia menceritakan:
دَخَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ n عَلَى أَبِي سَيْفٍ الْقَيْنِ وَكَانَ ظِئْرًا ِلإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَم فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ إِبْرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِبْرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَجَعَلَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللهِ n تَذْرِفَانِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ z: وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ؛ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى. فَقَالَ: إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Kami masuk kepada Abu Saif Al-Qain -suami ibu susu Ibrahim-, lalu Rasulullah n mengambil Ibrahim kemudian menciumnya. Setelah itu kami masuk pula beberapa waktu kemudian, sementara Ibrahim sedang tersengal-sengal nafasnya. Mulailah air mata Rasulullah n menitik. Berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf z: “Dan engkau, Wahai Rasulullah (menangis)?” Beliaupun berkata: “Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.” Kemudian menyusul yang berikutnya. Lalu Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini berduka, dan kami tidak mengucapkan apa-apa kecuali yang diridhai Rabb kami. Sungguh, kami sangat berduka berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”
Tapi mimpi tersebut adalah wahyu. Sang Khalil pun menyambut perintah itu dan siap menjalankannya. Akhirnya tampaklah hikmah Allah l dengan menguji beliau.
Inilah tafsir firman Allah l:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Ash-Shaffat: 106)2
Allah l berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (Ash-Shaffat: 102)
Demikianlah keimanan seorang ayah yang mulia, yang mengerti betul dia telah bertindak benar dalam mendidik putranya, dan tahu sejauh mana keikhlasan putranya yang berbakti. Maka diapun ingin mengajak putranya bergabung dalam pahala, lalu dia pun bertanya dalam keadaan percaya penuh jawaban sang putra.
Di sini, keduanya menyodorkan kepada kita ujian agung ini dalam beribadah kepada Allah l, tunduk kepada perintah-Nya hingga Allah l mengabadikan nama mereka berdua serta memuji keduanya dengan ayat-ayat yang terus dibaca selama-lamanya.
Tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian yang dipersaksikan oleh Allah l bahwa itu adalah ujian yang nyata. Yaitu membebani seorang manusia dengan perintah menyembelih putranya sendiri dan membebani yang akan disembelih, agar keduanya beriman dan bersabar, tunduk serta mengharap pahala.
Ketika keduanya siap menjalankan perintah tersebut, dan Allah k mengetahui kejujuran iman keduanya, kesabaran serta ketundukan mereka, Allah l ganti sang putra dengan sembelihan agung. Tak sampai di situ, Allah l juga memberi ganjaran kepada sang ayah dengan menganugerahkan kepadanya seorang putra yang lain karena kesabaran dan keridhaannya menyembelih putra satu-satunya, Isma’il q.
Allah l berfirman:
“Dan Kami sampaikan berita gembira kepadanya dengan (akan lahirnya) Ishaq sebagai Nabi di antara orang-orang shalih.”
Allah l lepaskan mereka berdua karena kesabaran dan ketundukan mereka menghadapi cobaan berat itu.
Beberapa Faedah dari Kisah Ini
Dalam ayat Ash-Shaffat ini Allah l menjelaskan bahwa yang disembelih adalah Isma’il, sebab kisah ini disusul dengan berita gembira kelahiran Ishaq. Pendapat ini mutawatir dari sahabat dan tabi’in, seperti ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Abu Thufail, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir, Abu Shalih, Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’, Rabi’ bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dan yang paling kuatnya dari penafsiran Ibnu ‘Abbas c.
Hadits-hadits dan atsar sahabat serta tabi’in menunjukkan bahwa yang disembelih adalah Isma’il. Sebab itu pula orang-orang yang berkorban di hari Nahar, orang yang sa’i di antara Shafa dan Marwah dan melontar jumrah, (salah satu hikmahnya ialah) sebagai peringatan tentang keadaan Isma’il dan ibunya Hajar.
Memang ada sebagian ahli tafsir, seperti Al-Baghawi dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in termasuk Ka’b Al-Ahbar bahwasanya yang disembelih adalah Ishaq. Ternyata tidak berhenti hingga di sini, sebagian dari mereka menisbahkannya kepada Nabi n. Padahal hadits-hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah n tentang hal ini lemah, tanpa kecuali. Baik yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ad-Daraquthni, ataupun Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, demikian dijelaskan secara terperinci oleh Dr. Muhammad Abu Syahbah dalam kitabnya Israiliyat wal Maudhu’at fi Kutubit Tafsir.
Yang benar, riwayat bahwa yang disembelih adalah Ishaq merupakan kisah Israiliyat dari ahli kitab yang dinukil oleh mereka yang masuk Islam dari kalangan mereka, seperti Ka’b Al-Ahbar, lalu diterima oleh sebagian sahabat dan tabi’in, karena husnuzhan (baik sangka) kepada mereka. Di samping itu, adanya rukhshah (keringanan) bolehnya menyampaikan berita tentang mereka.
Hakikatnya, riwayat-riwayat ini hanyalah buatan ahli kitab karena permusuhan mereka yang telah berakar sejak dahulu kala, terhadap Nabi n dan bangsa Arab. Mereka tidak ingin Isma’il, kakek Nabi n dan bangsa Arab yang paling atas, meraih keutamaan ini. Mereka ingin agar kakek moyang mereka, Ishaq dan bangsa Yahudilah yang meraihnya.
Tidak ada satu hadits shahih pun dari Rasulullah Al-Ma’shum n memperkuat pendapat tersebut, sehingga (karenanya) kita harus meninggalkan zahir Al-Qur’anul Karim. Tidak pula dipahami seperti ini dari Al-Qur’anul Karim. Bahkan mafhum, manthuq, apalagi nash, menegaskan bahwa yang disembelih adalah Isma’il.3
Hal ini sebetulnya tidak perlu diributkan, sudah terbukti bahwa mereka telah mengubah-ubah Taurat.
Allah l juga berkehendak lain. Mereka lengah. Sejatinya, para penjahat itu selalu menyisakan jejak, sehingga kejahatannya dapat ditelusuri lalu dibongkar.
Demikianlah al-haq, kapanpun dan di manapun dia senantiasa akan tetap bersinar meskipun terkadang redup. Bagaimanapun upaya menutup-nutupi sebuah kebenaran, pasti suatu ketika bakal terungkap.
Mereka memang telah mengubah nama Isma’il menjadi Ishaq. Di antara buktinya, inilah sebagian cuplikan dari Taurat mereka:
“Terjadi sesudah ini, untuk beberapa perkara, bahwasanya Allah menguji Ibrahim lalu berfirman kepadanya: ‘Wahai Ibrahim’, beliaupun menjawab: ‘Inilah saya.’
Allah l berfirman: ‘Ambillah anakmu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishaq dan pergilah ke tanah Moria, persembahkanlah dia di sana, sebagai korban bakaran, pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu’.” (Kitab Kejadian: 22,1-2).
Tidak ada bukti paling jelas yang menunjukkan kebohongan mereka selain dari kata ‘tunggal’ ini. Sudah pasti, Ishaq bukanlah putra tunggal beliau. Karena beliau telah mempunyai anak yang lainnya yaitu Isma’il yang berusia 14 atau 15 tahun. Sebagaimana ditegaskan pula oleh Taurat mereka: “Dan Ibrahim telah berusia 86 tahun ketika Hajar melahirkan Isma’il untuk Ibrahim.” (Kejadian: 16,1).4
Dalam kitab yang sama (Kejadian 21,5): “Ibrahim berusia 100 tahun ketika Ishaq dilahirkan.”
Bagaimana mungkin Allah l mengingkari janji-Nya dan memerintahkan Ibrahim menyembelih putranya yang telah dijanjikan kepadanya keberkatan sang putra? Bagaimana mungkin Ishaq sebagai satu-satunya putra bagi Ibrahim? Apakah kalian mencoret Ismail sebagai putra Ibrahim, setelah kalian coret beliau dari kenabian? Yang pasti, kisah penyembelihan ini terjadi sebelum Ishaq dilahirkan, di saat Isma’il masih sebagai putra Ibrahim q satu-satunya.
Kenyataan bahwa yang disembelih adalah Isma’il, ditunjukkan pula oleh zahir ayat, di mana Allah l berfirman setelah menguraikan kisah penyembelihan ini:
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.” (Ash-Shaffat: 112)
Sehingga, mereka yang menjadikan kata ﮁ (seorang Nabi) sebagai haal (menerangkan keadaan) berarti dia memaksakan (ayat agar sesuai dengan kemauannya), sandarannya tidak lain adalah riwayat Israiliyat (dari bani Israil), sementara kitab mereka sudah penuh dengan tahrif (perubahan).
Apalagi di sini, menunjukkan sebuah kepastian yang tidak dapat dipungkiri lagi. Karena Allah k menurut mereka –Yahudi sendiri– memerintahkan Ibrahim menyembelih putra tunggalnya. Bahkan dalam sebagian naskah Taurat yang disalin ke dalam bahasa Arab tercantum kata bikr (anak pertama), sebagai ganti wahiid (anak tunggal). Sehingga kata Ishaq, adalah sisipan palsu, karena beliau bukanlah anak pertama, dan bukan pula anak tunggal Ibrahim q.5
Keterangan lain bahwa yang disembelih adalah Ism’ail, bukan Ishaq, karena seandainya Ishaq yang disembelih, tentunya tidak tepat Ibrahim diperintah menyembelih Ishaq sebelum lahirnya Ya’qub dari sulbi (keturunan) beliau. Sebab, jika hal itu diperintahkan jelaslah diketahui bahwa berita gembira yang pertama menghalangi penyembelihan Ishaq sebelum lahirnya Ya’qub.
Adapun maksud ujian ini adalah menampakkan tekadnya dan mengokohkan ketinggian derajat Ibrahim dalam ketaatan kepada Rabbnya. Sebab, seorang anak begitu besar pengaruhnya dalam diri seorang ayah. Apalagi anak satu-satunya, yang merupakan harapan sang ayah di masa depan, bertambah tinggi kedudukannya dalam jiwa sang ayah.
Huruf fa’ pada ayat:
“Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Adalah fa’ al-fashihah, artinya, jika engkau mengetahui hal ini, maka perhatikanlah bagaimana pandanganmu. Adapun pandangan di sini adalah pandangan dengan akal (pendapat), bukan dengan penglihatan (mata).
Maknanya di sini, perhatikanlah sesuatu yang dengannya engkau hadapi perintah ini. Sebab perintah ini, ketika berkaitan dengan pribadi sang anak, maka dia punya bagian dalam pelaksanaan. Sehingga tawaran Ibrahim kepada putranya ini adalah ujian, seberapa jauh ketaatannya menyambut perintah Allah l pada dirinya, sehingga terwujudlah keridhaan dan kesiapan untuk menjalankan perintah. Ibrahim sendiri juga dalam keadaan tidak mengharapkan dari putranya selain menerima. Karena beliau tahu keshalihan putranya.
Artinya di sini, perintah tersebut tergantung kepada dua hal: wahyu dan penyampaian Rasul. Sehingga andaikata Isma’il mendurhakai, tentulah keadaannya seperti putra Nuh yang enggan naik ke dalam kapal ketika diajak oleh ayahandanya Nuh q. Jadi, dianggap kafir.
Mimpi sendiri adalah awal permulaan wahyu. Kebenarannya sesuai dengan kebenaran/kejujuran si pemimpi. Orang yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya. Sejalan dengan semakin dekatnya waktu, hampir-hampir mimpi itu tidak pernah meleset. Sebagaimana sabda Nabi n. Hal itu karena jauhnya masa dari kenabian dan bekas-bekasnya. Sehingga untuk orang-orang beriman diganti dengan mimpi. Seperti ini juga adalah apa yang muncul sesudah masa sahabat. Sedangkan tidak muncul pada sahabat karena mereka tidak membutuhkan hal itu, disebabkan kekuatan iman mereka.
Mimpi para Nabi adalah wahyu, karena terjaga dari setan. Hal ini berdasarkan kesepakatan umat. Sebab itulah Al-Khalil (Ibrahim q) menyembelih putranya Isma’il q, berdasarkan mimpi.
Siapa yang ingin mimpinya benar, hendaklah dia senantiasa berusaha jujur dan bersikap benar, memakan yang halal, dan memerhatikan perintah dan larangan, tidur dengan kesucian sempurna, sambil menghadap kiblat, dan menyebut nama Allah l sampai dikalahkan oleh kantuknya. Kalau sudah demikian, Insya Allah mimpinya tidak akan berdusta.
Dengan ayat dan kisah ini, sebagian ulama ushul fiqih menjadikannya dalil sahnya nasikh (hukum yang menghapus) sebelum terlaksananya perbuatan (yakni hukum yang terhapus). Berbeda dengan sekelompok kaum Mu’tazilah.
Adapun tujuan disyariatkannya mula-mula, adalah meneguhkan Al-Khalil q di atas kesabaran untuk menyembelih anaknya dan tekadnya melakukan hal tersebut. Sebab itulah Allah l berfirman:
“Sesungguhnya ini betul-betul ujian yang nyata.”
Yakni ujian yang jelas gamblang, di mana Allah l memerintahkannya menyembelih putranya, lalu dia bersegera dalam keadaan tunduk menerima perintah Allah l tersebut dan menaatinya. Sebab itu pula Allah l menyatakan:
“Dan Ibrahim yang menepati janji.” (An-Najm: 37)
Tatkala Allah l mengetahui tekad dan keyakinan serta kesungguhan Ibrahim menjalankan perintah melalui mimpinya, Allah Yang Maha Pengasih menebus Isma’il q dengan sembelihan yang agung. Nabi Ibrahim q pun sukses dengan gemilang melewati ujian berat ini. Beliau betul-betul mampu mengejawantahkan derajat khullah, rasa cinta yang tidak lagi menerima saingan sekecil apapun. Maka Allah l pun menginginkan khullah itu murni hanya untuk Allah l, tidak disaingi oleh rasa cinta kasih kepada sang putra ataupun sesuatu yang lainnya.
Maka, jelaslah bahwa di antara sebab paling utama untuk meraih derajat khullah ini adalah senantiasa datang menghadap kepada Allah l, menjaga kesucian hati, niat yang lurus, kekuatan kesabaran dan keyakinan.
Lihatlah betapa Allah l mengabulkan doa Ibrahim q, dengan menganugerahkan seorang putra untuk beliau. Demikianlah doa yang muncul dari jiwa yang penuh dengan keimanan, ketakwaan, dan hati yang bersih dari hawa nafsu, sangat pantas dikabulkan. Wallahu a’lam.
1 Kisah Isma’il dan ibunya Hajar e yang dibawa ke Makkah atas perintah Allah l, akan diceritakan pada edisi yang lain. Insya Allah.
2 At-Tahrir wat Tanwiir (12/141) -Program Syamilah.
3 Al-Bidayah wan Nihayah (1/183) -Program Syamilah
4 Diterjemahkan sebagaimana yang dinukil dalam bahasa Arab. Wallahu a’lam.
5 Al-Bidayah wan Nihayah (1/183) -Program Syamilah
Bertahun-tahun sudah, suara tangis bayi belum juga memenuhi rumah tangga Khalil Allah, Ibrahim q. Sarah, istri beliau juga sudah semakin renta. Menurut kita, keadaan seperti ini mustahil akan beroleh anak. Tapi apakah demikian keyakinan seorang yang menyandang kedudukan tertinggi dalam berhubungan dengan Sang Khaliq Yang Maha Kuasa?
Tentu tidak.
Seorang yang bertauhid, senantiasa bersegera dalam kebaikan, selalu waspada, tidak berputus asa dan tetap membersihkan hatinya dari berbagai kotoran, terlebih lagi Nabiyullah Khalilur Rahman Ibrahim q yang selalu berdoa, meminta kepada Allah l agar diberi karunia seorang anak.
Allah l berfirman tentang Ibrahim:
“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (Ash-Shaffat: 100-108)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah l menceritakan tentang Khalil-Nya Ibrahim q setelah meninggalkan kaumnya. Ibrahim meminta kepada Rabbnya agar diberi anugerah berupa seorang anak yang shalih. Kemudian Allah l memberi kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang penyabar, yaitu Isma’il q.
Inilah putra pertama beliau, yang lahir di saat Nabi Ibrahim q berusia 86 tahun, sebagaimana disepakati oleh seluruh agama. Usia yang cukup renta dan mustahil menurut kita masih akan beroleh anak.
Tapi, siapa yang ragu dengan kekuasaan Allah l, kalau bukan orang-orang yang tidak beriman? Atau sangat tipis imannya?
Kemudian, perhatikan pula doa yang dipanjatkan Ibrahim, bukan semata-mata naluri kerinduan seorang ayah, tapi lebih dari itu. Harapan utama, agar anak itu adalah anak yang shalih, berguna bagi sesama.
Seorang anak, jika dia tidak bermanfaat, tentu akan merugikan orang lain, bahkan dapat menjadi azab bagi siapa saja terlebih kedua orangtuanya. Nas’alullaha as-salamah.
Allah l berfirman:
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 55)
Oleh karena itu pula, ketika seorang mukmin berdoa, mengharapkan kehadiran anak, tetapi belum terkabul, janganlah terburu-buru dan ingin disegerakan terwujud harapannya. Lihatlah bagaimana Nabi dan Khalil Allah, Ibrahim q. Selama berpuluh tahun, beliau tetap meminta dan berdoa kepada Allah l agar diberi anugerah berupa seorang anak yang shalih.
Simaklah apa yang difirmankan Allah l:
“Dan kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim. Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan: ‘Salam.’ Berkata Ibrahim: ‘Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu.’ Mereka berkata: ‘Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim.’ Berkata Ibrahim: ‘Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata: ‘Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 51-56)
Orang-orang sesat, yaitu orang-orang yang mendustakan dan jauh dari kebenaran.
Maksudnya, beliau merasa tidak mungkin beroleh anak karena sudah rentanya, bukan karena putus asa dari rahmat Allah l.
Ingatlah pula bahwa Rasulullah n bersabda:
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Akan dikabulkan untuk kalian (doa kalian) selama tidak terburu-buru, (dengan mengatakan): ‘Aku sudah berdoa tapi tidak dikabulkan untukku’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ad-Da’awat dan Muslim Kitab Adz-Dzikri wa Ad-Da’awat)
Karena itu janganlah berputus asa. Teladanilah Al-Khalil q. Terlebih lagi pertolongan dan kelapangan itu selalu datang di saat kesulitan dan kesempitan memuncak. Rasulullah n mengingatkan kita dalam sabdanya:
وَاعْلَمْ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيرًا وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau senangi terdapat kebaikan yang sangat banyak. Ketahuilah pula, bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar, kelapangan ada bersama kesempitan/kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (HR. Ahmad)
Kelahiran Isma’il
Dengan hadirnya Isma’il, serasa lengkap kehidupan rumah tangga Ibrahim Al-Khalil. Hari-hari begitu manis. Setiap ada kesempatan, Ibrahim bermain-main mesra dengan Isma’il hingga suatu ketika terlihat oleh Sarah.1
Allah l Maha Tahu.
Ketika melihat rasa cinta kepada sang putra mulai mengambil tempat dalam relung hati Ibrahim, Sang Kekasih cemburu kepada Khalil-Nya bila ada di dalam hatinya tempat untuk ‘kekasih’ lain selain Dia. Maka Allah l perintahkan Ibrahim menyembelih putranya, tempat curahan cinta dan kasih sayangnya saat itu. Namun maksud sebenarnya bukanlah menyembelih anak itu, bukan pula sebagai siksaan. Perintah itu tidak lain adalah agar membersihkan relung-relung hati Ibrahim hanya untuk-Nya, tidak untuk ditempati yang lain dan agar (cinta itu) semakin murni hanya untuk Allah l.
Di saat seperti itu, Ibrahim q melihat dalam mimpi bahwa dia diperintah untuk menyembelih putranya ini. Perintah melalui mimpi ini pun memiliki suatu hikmah tertentu, yakni agar pelaksanaan perintah itu lebih besar terasa sebagai ujian dan cobaan.
Kita maklumi, ketika itu beliau begitu mengharap kehadiran seorang anak yang akan mewarisinya. Setelah Allah l menyenangkannya dengan mengabulkan doanya, anak itupun lahir, tumbuh pesat, Allah l perintahkan dia menyembelih putranya. Dengan perintah ini, kalau dia jalankan, lenyaplah keturunannya, buyarlah harapannya. Sungguh, ini ujian yang sangat berat dan sangat manusiawi. Seorang manusia, seusia Nabi Ibrahim q, baru dikaruniai Allah l seorang putra setelah bertahun-tahun mendambakannya, kemudian harus menerima kenyataan anak itu lenyap dari pandangannya. Entah meninggal dunia atau hilang dan sebagainya.
Kita ingat, betapa sedihnya Rasulullah n, ketika putra beliau Ibrahim dari Maria Al-Qibthiyah meninggal dunia dalam pelukan beliau. Air mata beliau menitik, hatipun berduka.
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik z, dia menceritakan:
دَخَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ n عَلَى أَبِي سَيْفٍ الْقَيْنِ وَكَانَ ظِئْرًا ِلإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَم فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ إِبْرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِبْرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَجَعَلَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللهِ n تَذْرِفَانِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ z: وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ؛ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى. فَقَالَ: إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Kami masuk kepada Abu Saif Al-Qain -suami ibu susu Ibrahim-, lalu Rasulullah n mengambil Ibrahim kemudian menciumnya. Setelah itu kami masuk pula beberapa waktu kemudian, sementara Ibrahim sedang tersengal-sengal nafasnya. Mulailah air mata Rasulullah n menitik. Berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf z: “Dan engkau, Wahai Rasulullah (menangis)?” Beliaupun berkata: “Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.” Kemudian menyusul yang berikutnya. Lalu Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini berduka, dan kami tidak mengucapkan apa-apa kecuali yang diridhai Rabb kami. Sungguh, kami sangat berduka berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”
Tapi mimpi tersebut adalah wahyu. Sang Khalil pun menyambut perintah itu dan siap menjalankannya. Akhirnya tampaklah hikmah Allah l dengan menguji beliau.
Inilah tafsir firman Allah l:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (Ash-Shaffat: 106)2
Allah l berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (Ash-Shaffat: 102)
Demikianlah keimanan seorang ayah yang mulia, yang mengerti betul dia telah bertindak benar dalam mendidik putranya, dan tahu sejauh mana keikhlasan putranya yang berbakti. Maka diapun ingin mengajak putranya bergabung dalam pahala, lalu dia pun bertanya dalam keadaan percaya penuh jawaban sang putra.
Di sini, keduanya menyodorkan kepada kita ujian agung ini dalam beribadah kepada Allah l, tunduk kepada perintah-Nya hingga Allah l mengabadikan nama mereka berdua serta memuji keduanya dengan ayat-ayat yang terus dibaca selama-lamanya.
Tidak ada ujian yang lebih besar daripada ujian yang dipersaksikan oleh Allah l bahwa itu adalah ujian yang nyata. Yaitu membebani seorang manusia dengan perintah menyembelih putranya sendiri dan membebani yang akan disembelih, agar keduanya beriman dan bersabar, tunduk serta mengharap pahala.
Ketika keduanya siap menjalankan perintah tersebut, dan Allah k mengetahui kejujuran iman keduanya, kesabaran serta ketundukan mereka, Allah l ganti sang putra dengan sembelihan agung. Tak sampai di situ, Allah l juga memberi ganjaran kepada sang ayah dengan menganugerahkan kepadanya seorang putra yang lain karena kesabaran dan keridhaannya menyembelih putra satu-satunya, Isma’il q.
Allah l berfirman:
“Dan Kami sampaikan berita gembira kepadanya dengan (akan lahirnya) Ishaq sebagai Nabi di antara orang-orang shalih.”
Allah l lepaskan mereka berdua karena kesabaran dan ketundukan mereka menghadapi cobaan berat itu.
Beberapa Faedah dari Kisah Ini
Dalam ayat Ash-Shaffat ini Allah l menjelaskan bahwa yang disembelih adalah Isma’il, sebab kisah ini disusul dengan berita gembira kelahiran Ishaq. Pendapat ini mutawatir dari sahabat dan tabi’in, seperti ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Abu Thufail, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi, Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir, Abu Shalih, Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’, Rabi’ bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dan yang paling kuatnya dari penafsiran Ibnu ‘Abbas c.
Hadits-hadits dan atsar sahabat serta tabi’in menunjukkan bahwa yang disembelih adalah Isma’il. Sebab itu pula orang-orang yang berkorban di hari Nahar, orang yang sa’i di antara Shafa dan Marwah dan melontar jumrah, (salah satu hikmahnya ialah) sebagai peringatan tentang keadaan Isma’il dan ibunya Hajar.
Memang ada sebagian ahli tafsir, seperti Al-Baghawi dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in termasuk Ka’b Al-Ahbar bahwasanya yang disembelih adalah Ishaq. Ternyata tidak berhenti hingga di sini, sebagian dari mereka menisbahkannya kepada Nabi n. Padahal hadits-hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah n tentang hal ini lemah, tanpa kecuali. Baik yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ad-Daraquthni, ataupun Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, demikian dijelaskan secara terperinci oleh Dr. Muhammad Abu Syahbah dalam kitabnya Israiliyat wal Maudhu’at fi Kutubit Tafsir.
Yang benar, riwayat bahwa yang disembelih adalah Ishaq merupakan kisah Israiliyat dari ahli kitab yang dinukil oleh mereka yang masuk Islam dari kalangan mereka, seperti Ka’b Al-Ahbar, lalu diterima oleh sebagian sahabat dan tabi’in, karena husnuzhan (baik sangka) kepada mereka. Di samping itu, adanya rukhshah (keringanan) bolehnya menyampaikan berita tentang mereka.
Hakikatnya, riwayat-riwayat ini hanyalah buatan ahli kitab karena permusuhan mereka yang telah berakar sejak dahulu kala, terhadap Nabi n dan bangsa Arab. Mereka tidak ingin Isma’il, kakek Nabi n dan bangsa Arab yang paling atas, meraih keutamaan ini. Mereka ingin agar kakek moyang mereka, Ishaq dan bangsa Yahudilah yang meraihnya.
Tidak ada satu hadits shahih pun dari Rasulullah Al-Ma’shum n memperkuat pendapat tersebut, sehingga (karenanya) kita harus meninggalkan zahir Al-Qur’anul Karim. Tidak pula dipahami seperti ini dari Al-Qur’anul Karim. Bahkan mafhum, manthuq, apalagi nash, menegaskan bahwa yang disembelih adalah Isma’il.3
Hal ini sebetulnya tidak perlu diributkan, sudah terbukti bahwa mereka telah mengubah-ubah Taurat.
Allah l juga berkehendak lain. Mereka lengah. Sejatinya, para penjahat itu selalu menyisakan jejak, sehingga kejahatannya dapat ditelusuri lalu dibongkar.
Demikianlah al-haq, kapanpun dan di manapun dia senantiasa akan tetap bersinar meskipun terkadang redup. Bagaimanapun upaya menutup-nutupi sebuah kebenaran, pasti suatu ketika bakal terungkap.
Mereka memang telah mengubah nama Isma’il menjadi Ishaq. Di antara buktinya, inilah sebagian cuplikan dari Taurat mereka:
“Terjadi sesudah ini, untuk beberapa perkara, bahwasanya Allah menguji Ibrahim lalu berfirman kepadanya: ‘Wahai Ibrahim’, beliaupun menjawab: ‘Inilah saya.’
Allah l berfirman: ‘Ambillah anakmu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishaq dan pergilah ke tanah Moria, persembahkanlah dia di sana, sebagai korban bakaran, pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu’.” (Kitab Kejadian: 22,1-2).
Tidak ada bukti paling jelas yang menunjukkan kebohongan mereka selain dari kata ‘tunggal’ ini. Sudah pasti, Ishaq bukanlah putra tunggal beliau. Karena beliau telah mempunyai anak yang lainnya yaitu Isma’il yang berusia 14 atau 15 tahun. Sebagaimana ditegaskan pula oleh Taurat mereka: “Dan Ibrahim telah berusia 86 tahun ketika Hajar melahirkan Isma’il untuk Ibrahim.” (Kejadian: 16,1).4
Dalam kitab yang sama (Kejadian 21,5): “Ibrahim berusia 100 tahun ketika Ishaq dilahirkan.”
Bagaimana mungkin Allah l mengingkari janji-Nya dan memerintahkan Ibrahim menyembelih putranya yang telah dijanjikan kepadanya keberkatan sang putra? Bagaimana mungkin Ishaq sebagai satu-satunya putra bagi Ibrahim? Apakah kalian mencoret Ismail sebagai putra Ibrahim, setelah kalian coret beliau dari kenabian? Yang pasti, kisah penyembelihan ini terjadi sebelum Ishaq dilahirkan, di saat Isma’il masih sebagai putra Ibrahim q satu-satunya.
Kenyataan bahwa yang disembelih adalah Isma’il, ditunjukkan pula oleh zahir ayat, di mana Allah l berfirman setelah menguraikan kisah penyembelihan ini:
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih.” (Ash-Shaffat: 112)
Sehingga, mereka yang menjadikan kata ﮁ (seorang Nabi) sebagai haal (menerangkan keadaan) berarti dia memaksakan (ayat agar sesuai dengan kemauannya), sandarannya tidak lain adalah riwayat Israiliyat (dari bani Israil), sementara kitab mereka sudah penuh dengan tahrif (perubahan).
Apalagi di sini, menunjukkan sebuah kepastian yang tidak dapat dipungkiri lagi. Karena Allah k menurut mereka –Yahudi sendiri– memerintahkan Ibrahim menyembelih putra tunggalnya. Bahkan dalam sebagian naskah Taurat yang disalin ke dalam bahasa Arab tercantum kata bikr (anak pertama), sebagai ganti wahiid (anak tunggal). Sehingga kata Ishaq, adalah sisipan palsu, karena beliau bukanlah anak pertama, dan bukan pula anak tunggal Ibrahim q.5
Keterangan lain bahwa yang disembelih adalah Ism’ail, bukan Ishaq, karena seandainya Ishaq yang disembelih, tentunya tidak tepat Ibrahim diperintah menyembelih Ishaq sebelum lahirnya Ya’qub dari sulbi (keturunan) beliau. Sebab, jika hal itu diperintahkan jelaslah diketahui bahwa berita gembira yang pertama menghalangi penyembelihan Ishaq sebelum lahirnya Ya’qub.
Adapun maksud ujian ini adalah menampakkan tekadnya dan mengokohkan ketinggian derajat Ibrahim dalam ketaatan kepada Rabbnya. Sebab, seorang anak begitu besar pengaruhnya dalam diri seorang ayah. Apalagi anak satu-satunya, yang merupakan harapan sang ayah di masa depan, bertambah tinggi kedudukannya dalam jiwa sang ayah.
Huruf fa’ pada ayat:
“Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Adalah fa’ al-fashihah, artinya, jika engkau mengetahui hal ini, maka perhatikanlah bagaimana pandanganmu. Adapun pandangan di sini adalah pandangan dengan akal (pendapat), bukan dengan penglihatan (mata).
Maknanya di sini, perhatikanlah sesuatu yang dengannya engkau hadapi perintah ini. Sebab perintah ini, ketika berkaitan dengan pribadi sang anak, maka dia punya bagian dalam pelaksanaan. Sehingga tawaran Ibrahim kepada putranya ini adalah ujian, seberapa jauh ketaatannya menyambut perintah Allah l pada dirinya, sehingga terwujudlah keridhaan dan kesiapan untuk menjalankan perintah. Ibrahim sendiri juga dalam keadaan tidak mengharapkan dari putranya selain menerima. Karena beliau tahu keshalihan putranya.
Artinya di sini, perintah tersebut tergantung kepada dua hal: wahyu dan penyampaian Rasul. Sehingga andaikata Isma’il mendurhakai, tentulah keadaannya seperti putra Nuh yang enggan naik ke dalam kapal ketika diajak oleh ayahandanya Nuh q. Jadi, dianggap kafir.
Mimpi sendiri adalah awal permulaan wahyu. Kebenarannya sesuai dengan kebenaran/kejujuran si pemimpi. Orang yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya. Sejalan dengan semakin dekatnya waktu, hampir-hampir mimpi itu tidak pernah meleset. Sebagaimana sabda Nabi n. Hal itu karena jauhnya masa dari kenabian dan bekas-bekasnya. Sehingga untuk orang-orang beriman diganti dengan mimpi. Seperti ini juga adalah apa yang muncul sesudah masa sahabat. Sedangkan tidak muncul pada sahabat karena mereka tidak membutuhkan hal itu, disebabkan kekuatan iman mereka.
Mimpi para Nabi adalah wahyu, karena terjaga dari setan. Hal ini berdasarkan kesepakatan umat. Sebab itulah Al-Khalil (Ibrahim q) menyembelih putranya Isma’il q, berdasarkan mimpi.
Siapa yang ingin mimpinya benar, hendaklah dia senantiasa berusaha jujur dan bersikap benar, memakan yang halal, dan memerhatikan perintah dan larangan, tidur dengan kesucian sempurna, sambil menghadap kiblat, dan menyebut nama Allah l sampai dikalahkan oleh kantuknya. Kalau sudah demikian, Insya Allah mimpinya tidak akan berdusta.
Dengan ayat dan kisah ini, sebagian ulama ushul fiqih menjadikannya dalil sahnya nasikh (hukum yang menghapus) sebelum terlaksananya perbuatan (yakni hukum yang terhapus). Berbeda dengan sekelompok kaum Mu’tazilah.
Adapun tujuan disyariatkannya mula-mula, adalah meneguhkan Al-Khalil q di atas kesabaran untuk menyembelih anaknya dan tekadnya melakukan hal tersebut. Sebab itulah Allah l berfirman:
“Sesungguhnya ini betul-betul ujian yang nyata.”
Yakni ujian yang jelas gamblang, di mana Allah l memerintahkannya menyembelih putranya, lalu dia bersegera dalam keadaan tunduk menerima perintah Allah l tersebut dan menaatinya. Sebab itu pula Allah l menyatakan:
“Dan Ibrahim yang menepati janji.” (An-Najm: 37)
Tatkala Allah l mengetahui tekad dan keyakinan serta kesungguhan Ibrahim menjalankan perintah melalui mimpinya, Allah Yang Maha Pengasih menebus Isma’il q dengan sembelihan yang agung. Nabi Ibrahim q pun sukses dengan gemilang melewati ujian berat ini. Beliau betul-betul mampu mengejawantahkan derajat khullah, rasa cinta yang tidak lagi menerima saingan sekecil apapun. Maka Allah l pun menginginkan khullah itu murni hanya untuk Allah l, tidak disaingi oleh rasa cinta kasih kepada sang putra ataupun sesuatu yang lainnya.
Maka, jelaslah bahwa di antara sebab paling utama untuk meraih derajat khullah ini adalah senantiasa datang menghadap kepada Allah l, menjaga kesucian hati, niat yang lurus, kekuatan kesabaran dan keyakinan.
Lihatlah betapa Allah l mengabulkan doa Ibrahim q, dengan menganugerahkan seorang putra untuk beliau. Demikianlah doa yang muncul dari jiwa yang penuh dengan keimanan, ketakwaan, dan hati yang bersih dari hawa nafsu, sangat pantas dikabulkan. Wallahu a’lam.
1 Kisah Isma’il dan ibunya Hajar e yang dibawa ke Makkah atas perintah Allah l, akan diceritakan pada edisi yang lain. Insya Allah.
2 At-Tahrir wat Tanwiir (12/141) -Program Syamilah.
3 Al-Bidayah wan Nihayah (1/183) -Program Syamilah
4 Diterjemahkan sebagaimana yang dinukil dalam bahasa Arab. Wallahu a’lam.
5 Al-Bidayah wan Nihayah (1/183) -Program Syamilah
Perjalanan Ruh Menuju Penciptanya
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc)
Kehidupan dunia bagai seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon yang rindang untuk sesaat melepas penatnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
Kehidupan dunia hanyalah salah satu dari sekian jenjang yang dilewati oleh manusia untuk menuju jenjang berikutnya yang berujung pada kehidupan yang kekal nan abadi. Keyakinan seperti inilah yang terpatri dalam sanubari mukmin sejati sehingga ia tidak terlena dengan kemegahan dunia yang memesonanya. Jasadnya memang bersama manusia di muka bumi ini, namun ruhnya melintasi angkasa dan menembus langit yang tujuh. Ruhnya ingin selalu dekat dengan Rabbnya karena di sanalah ia mendapatkan kedamaian dan sejuknya kehidupan. Allah l berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Tubuhnya dijadikan kendaraan untuk menyampaikan ruhnya kepada sang kekasih (Allah l) yang selalu dirindukan. Matanya sayu karena banyak shalat malam dan membaca Al-Qur’an. Tubuhnya pun tampak lemas karena banyak berpuasa di siang hari. Tetapi kerinduan yang membara dalam hatinya membuatnya mampu menundukkan medan yang sangat sulit dan mendekatkan jauhnya jarak perjalanan.
Sebagian salaf berkata: “Orang yang menghidupkan malam harinya dengan ibadah lebih merasakan kelezatan daripada orang yang berhura-hura. Kalau tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.” (At-Tazkiyah baina Ahlis Sunnah wash-Shufiyah, Ahmad Farid hal. 13)
Inilah Rasul n kita bersabda:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ
“Dan dijadikan penyejuk mataku pada shalat.” (HR. Ahmad dll, lihat Shahihul Jami’ no. 3124)
Saking nikmatnya mereka di saat bermunajat kepada Rabbnya, terkadang tak terasa air mata telah berderai membasahi pipi. Seolah tubuhnya berada pada taman yang indah dan kakinya menginjakkan pada istana yang megah. Inilah sesungguhnya surga dunia, yaitu tenteramnya jiwa di saat seseorang ingat akan Rabbnya dan berdiri melakukan berbagai ketaatan di hadapan-Nya. Syaikhul Islam t menerangkan: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, barangsiapa tidak memasukinya maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.”
Ibnul Qayyim t, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, menceritakan bagaimana tegarnya sang guru di saat para musuhnya memenjarakannya. Para musuhnya, meski mampu mengekang ruang gerak tubuhnya, namun mereka tidak bisa memenjarakan hatinya yang selalu dekat dengan Allah l. Penjara bukan sesuatu yang menakutkan manakala hati seseorang selalu berhubungan dengan Pencipta-Nya.
Ibnu Taimiyah t menyatakan dengan tegas bahwa orang yang terpenjara sesungguhnya adalah yang hatinya terhalangi dari mengenal Allah l, sedangkan orang yang tertawan adalah yang disandera oleh hawa nafsunya. (Lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, bersama Majmu’atul Hadits An-Najdiah hal. 727)
Kerinduan terhadap perjumpaan dengan Allah l menjadikan mereka rela mengorbankan segala yang mahal dan berharga. Adalah ketika perang Badr, Rasulullah n memberi semangat pasukannya dengan ucapannya: “Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi.” Maka seorang sahabat bernama ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari z mengatakan dengan terheran-heran: “Wahai Rasulullah, surga yang seluas langit dan bumi?” “Benar,” jawab Nabi n. Lalu ‘Umair berucap, “Bakhin-bakhin (kalimat untuk menunjukkan besarnya perkara, pen.).”
Rasulullah n mengatakan, “Apa yang mendorongmu mengatakan bakhin-bakhin?” ‘Umair berkata, “Demi Allah ya Rasulullah, tidak ada yang mendorongku kecuali karena berharap aku termasuk penghuninya.” Nabi n mengatakan, “Sesungguhnya kamu termasuk dari penghuni surga.” Maka Umair mengeluarkan kurma dari kantong anak panahnya lantas memakannya. Kemudian dia mengatakan, “Bila aku hidup hingga aku makan kurmaku ini (sampai habis) sungguh itu suatu kehidupan yang lama.” Umair lalu membuang kurma yang dibawanya kemudian maju bertempur hingga terbunuh. (HR. Muslim)
Perampok-perampok Jalanan
Sebuah cita-cita besar niscaya membutuhkan pengorbanan. Seorang mukmin tatkala bertekad melangkahkan kakinya untuk kembali menuju kampung halamannya yang sesungguhnya (surga) yang padanya terdapat berbagai kenikmatan, bukan berarti akan sampai tujuan tanpa ada rintangan. Karang yang menggunung bisa saja tiba-tiba muncul menghadang lajunya perahu. Adapun para penghalang jalan itu di antaranya:
1. Iblis
Dia adalah biang segala kejahatan semenjak ia diusir dari jannah (surga) karena membangkang terhadap perintah Allah l. Dia berjanji di hadapan-Nya hendak menyesatkan bani Adam. Semenjak itu, api permusuhan dikobarkan. Kedengkian dijadikan sebagai motor penggerak untuk menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus. Allah l berfirman menjelaskan ucapan iblis:
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian akan aku datangi mereka dari muka, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)’.” (Al-A’raf: 16-17)
Perhatikan ayat di atas, bagaimana Iblis menyerang manusia dari berbagai arah. Sebagian ahli tafsir menjelaskan maksud “aku akan mendatangi mereka dari arah muka dan belakang” yakni bahwa Iblis melontarkan keraguan pada hati manusia tentang hari akhirat. Dia bisiki manusia agar mengingkari adanya surga dan neraka serta hari kebangkitan. Adapun maksud mendatangi dari belakang bahwa Iblis menggoda mereka untuk berambisi terhadap dunia (harta, kedudukan, dst.). Iblis datang dari arah kanan maksudnya bahwa ia menjadikan manusia ragu terhadap kebenaran dan dibuatnya mereka berat melakukan kebaikan. Sedangkan ia datang dari sebelah kiri maksudnya bahwa ia menghasung dan mendorong orang untuk berbuat maksiat. (Lihat Ighatsatul Lahafan, 1/102-103)
Setan adalah faktor utama tersendatnya perjalanan menuju Allah l. Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap bisikannya karena dia adalah musuh bagi kita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168. Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Ighatsatul Lahafan min Mashayidi Asy-Syaithan telah membeberkan secara gamblang tentang trik-trik setan dalam menggoda manusia.
2. Hawa Nafsu
Hawa nafsu cenderung mengajak kepada kejelekan. Oleh karena itu, bila orang tidak mampu menundukkannya maka dia akan menjadi budaknya. Hawa nafsu bagai kabut pada hati seseorang, yang menjadikan gelap jalan kebaikan di depannya daripada jalan kejelekan. Bila kita ingin sampai tujuan, sudah pasti kita harus bersungguh-sungguh untuk mengekangnya. Masing-masing sedang berpacu dengan ajal, sementara orang-orang yang sebelum kita sudah sampai tujuan. Akankah kita masih tertahan oleh nafsu angkara?!
3. Orang-orang Kafir dan Zalim
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah.” (Al-Anfal: 36)
Betapa banyak dana yang mereka keluarkan untuk memurtadkan kaum muslimin serta menebarkan opini miring seputar Islam dan kaum muslimin. Mereka juga tidak tanggung-tanggung menyediakan dana yang besar untuk membangun sarana maksiat dan tempat-tempat hiburan yang melalaikan. Mereka ingin menjauhkan syariat Islam dari kaum muslimin karena mereka tahu bahwa sumber kejayaan umat ada padanya. Dibuatnya manusia berkelompok-kelompok dan berpartai-partai sehingga loyalitas tidak lagi di atas agama, namun di atas kepentingan golongan.
Demikianlah sebagian perampok jalan yang menjadikan kita tertuntut untuk mempersenjatai diri dengan bekal ilmu dan iman yang cukup.
Bekal dalam Perjalanan
Orang yang berjalan menuju Allah l dan negeri akhirat, bahkan berjalan ke manapun, tidak akan sempurna dan tidak akan sampai tujuan kecuali dengan dua bekal kekuatan, yakni:
1. Kekuatan Ilmiah
Yaitu berupa ilmu syariat yang cukup. Dengannya seseorang bisa melihat jalan dan lajur mana yang akan ditempuh. Juga akan bisa menghindarkan dari tempat yang membinasakan dan tikungan maut. Kekuatan ilmiah ini bagai obor yang sangat terang cahayanya yang berada di tangannya. Dengan kekuatan ilmiah seseorang bisa berjalan di tempat yang dipenuhi dengan gelapnya kebodohan dan kemaksiatan. Ia akan berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam jurang penyimpangan serta terhindar dari duri kemaksiatan.
2. Kekuatan Amaliah
Yaitu adanya tekad untuk melakukan perjalanan. Tekad yang kuat akan mendekatkan sesuatu yang jauh dan memudahkan perkara yang rumit. Bila seseorang telah bersungguh-sungguh untuk melangkahkan kakinya atau menaiki kendaraannya sehingga pos demi pos dilewati, maka setengah perjalanan telah dilalui dan perjumpaan dengan kekasih sudah di depan mata. Letihnya perjalanan pun mulai terobati dan kaki ini terasa sudah tidak sabar lagi sehingga langkah pun dipercepat. Dirinya bergumam: “Wahai diri, bersenanglah karena rumahmu sudah dekat dan perjumpaan pun tinggal sesaat. Jangan kau putus di tengah jalan, nantinya akan terhalang dari kekasih. Sungguh kehidupan dunia seluruhnya ibarat anak tangga menuju tempat berikutnya. Oleh karena itu, jangan kau terputus di padang sahara (yakni dunia). Demi Allah, itu adalah tempat yang membinasakan. Wahai diri, jika engkau merasa capek untuk melakukan perjalanan maka ingatlah bahwa di depanmu kekasihmu telah menunggu dengan berbagai jamuan yang menyenangkan. Jangan kau berhenti, karena di belakangmu ada musuh yang selalu siap mencelakakan dan menyiksamu.” (Lihat Thariqul Hijratain, karya Ibnul Qayyim t hal. 174)
Nabi n dahulu pernah berdoa:
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
“Dan aku memohon kepadamu (wahai Allah) kelezatan memandang kepada wajah-Mu dan rindu berjumpa dengan-Mu.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 1301)
Jalan yang Pintas dan Cepat
Tidak mengetahui jalan dan rintangan-rintangannya serta arah yang dituju oleh seseorang dalam melakukan perjalanan, hanya akan menimbulkan keletihan. Di samping itu, faedah yang bisa diambil juga sangat minim. Nabi n bersabda:
وَاسْتَعِينُوا بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dan pergunakanlah (kesempatan) di waktu pagi dan sore serta sesuatu pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari)
Tiga waktu tersebut adalah cara yang mudah untuk menempuh perjalanan di atas bumi ini. Waktu pagi dan sore adalah saat-saat yang teduh dan orang masih bersemangat. Sedangkan waktu malam bumi itu dilipat. Jika ini adalah perjalanan di bumi, maka demikian pula dengan perjalanan menuju akhirat. Bila seseorang memanfaatkan tiga waktu tadi dengan baik untuk beramal shalih terutama di pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir, niscaya dia akan meraup kebaikan yang besar dan mencapai tujuan dengan sukses. Perjalanan dengan cepatnya ditempuh tanpa tertimpa keletihan yang berarti. Apa yang dicita-citakan dari perkara dunia telah didapat dan hasrat dirinya telah terpenuhi. (lihat Bahjatu Qulubil Abrar, As-Sa’di hal. 64)
Dikenal Allah l Walau Tidak Dikenal Manusia
Rasulullah n pernah berpesan kepada sahabat Ibnu Umar c (yang artinya): “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang yang asing atau penyeberang jalan.” (HR. Al-Bukhari)
Seorang mukmin di dunia ini ibarat orang yang bepergian. Dia singgah di negeri orang karena suatu keperluan. Hatinya selalu diliputi kerinduan kepada negerinya dan orang yang dicintainya. Ia tidak menyaingi orang lain dalam kemewahan dan tidak bersedih atas derita yang dialaminya.
Pada suatu ketika ada seorang lelaki melewati Rasulullah n. Maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Sahabat itu menjawab, “Ia seorang lelaki bangsawan. Demi Allah, orang ini jika melamar pasti akan dinikahkan, dan jika memberikan pembelaan niscaya akan diterima.” Rasulullah n waktu itu diam. Kemudian tidak berapa lama lewat seorang laki-laki lain, maka Nabi n bertanya kepada sahabat tadi, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Sahabat itu menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini seorang yang fakir dari kaum muslimin. Orang ini bila melamar niscaya ditolak, jika memberi pembelaan tidak diterima, dan jika berkata tidak didengar ucapannya.” Maka Nabi n bersabda, “Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada orang (bangsawan) itu sepenuh bumi.” (Muttafaqun ‘alaihi. Lihat Riyadhush Shalihin no. 258)
Pada tahun 21 H terjadi perang Nahawand antara muslimin dengan Majusi. Komando pasukan muslimin di tangan sahabat An-Nu’man bin Muqarrin z. Peperangan berlangsung dengan sengitnya sampai sang komandan terbunuh. Namun akhirnya kemenangan ada di pihak muslimin. Diutuslah seseorang untuk membawa berita kemenangan sekaligus berita duka atas terbunuhnya sang komandan. Umar menerima berita tersebut dan menangis. Kemudian dia bertanya kepada orang yang membawa berita, “Lalu siapa lagi yang gugur?” Utusan tadi menjawab, “Fulan, fulan….. dan berapa orang yang tidak engkau kenal, wahai Amirul Mukminin.” Umar menangis seraya berucap, “Tidak jadi soal bagi mereka bila Umar tidak mengenalnya, tetapi Allah l mengenal mereka. Semoga Allah l menganugerahkan mati syahid kepada mereka.” (lihat Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin wad Daulah Al-Umawiyah hal. 53)
Wallahu a’lam.
Kehidupan dunia bagai seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon yang rindang untuk sesaat melepas penatnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
Kehidupan dunia hanyalah salah satu dari sekian jenjang yang dilewati oleh manusia untuk menuju jenjang berikutnya yang berujung pada kehidupan yang kekal nan abadi. Keyakinan seperti inilah yang terpatri dalam sanubari mukmin sejati sehingga ia tidak terlena dengan kemegahan dunia yang memesonanya. Jasadnya memang bersama manusia di muka bumi ini, namun ruhnya melintasi angkasa dan menembus langit yang tujuh. Ruhnya ingin selalu dekat dengan Rabbnya karena di sanalah ia mendapatkan kedamaian dan sejuknya kehidupan. Allah l berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Tubuhnya dijadikan kendaraan untuk menyampaikan ruhnya kepada sang kekasih (Allah l) yang selalu dirindukan. Matanya sayu karena banyak shalat malam dan membaca Al-Qur’an. Tubuhnya pun tampak lemas karena banyak berpuasa di siang hari. Tetapi kerinduan yang membara dalam hatinya membuatnya mampu menundukkan medan yang sangat sulit dan mendekatkan jauhnya jarak perjalanan.
Sebagian salaf berkata: “Orang yang menghidupkan malam harinya dengan ibadah lebih merasakan kelezatan daripada orang yang berhura-hura. Kalau tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.” (At-Tazkiyah baina Ahlis Sunnah wash-Shufiyah, Ahmad Farid hal. 13)
Inilah Rasul n kita bersabda:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ
“Dan dijadikan penyejuk mataku pada shalat.” (HR. Ahmad dll, lihat Shahihul Jami’ no. 3124)
Saking nikmatnya mereka di saat bermunajat kepada Rabbnya, terkadang tak terasa air mata telah berderai membasahi pipi. Seolah tubuhnya berada pada taman yang indah dan kakinya menginjakkan pada istana yang megah. Inilah sesungguhnya surga dunia, yaitu tenteramnya jiwa di saat seseorang ingat akan Rabbnya dan berdiri melakukan berbagai ketaatan di hadapan-Nya. Syaikhul Islam t menerangkan: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, barangsiapa tidak memasukinya maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.”
Ibnul Qayyim t, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, menceritakan bagaimana tegarnya sang guru di saat para musuhnya memenjarakannya. Para musuhnya, meski mampu mengekang ruang gerak tubuhnya, namun mereka tidak bisa memenjarakan hatinya yang selalu dekat dengan Allah l. Penjara bukan sesuatu yang menakutkan manakala hati seseorang selalu berhubungan dengan Pencipta-Nya.
Ibnu Taimiyah t menyatakan dengan tegas bahwa orang yang terpenjara sesungguhnya adalah yang hatinya terhalangi dari mengenal Allah l, sedangkan orang yang tertawan adalah yang disandera oleh hawa nafsunya. (Lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, bersama Majmu’atul Hadits An-Najdiah hal. 727)
Kerinduan terhadap perjumpaan dengan Allah l menjadikan mereka rela mengorbankan segala yang mahal dan berharga. Adalah ketika perang Badr, Rasulullah n memberi semangat pasukannya dengan ucapannya: “Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi.” Maka seorang sahabat bernama ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari z mengatakan dengan terheran-heran: “Wahai Rasulullah, surga yang seluas langit dan bumi?” “Benar,” jawab Nabi n. Lalu ‘Umair berucap, “Bakhin-bakhin (kalimat untuk menunjukkan besarnya perkara, pen.).”
Rasulullah n mengatakan, “Apa yang mendorongmu mengatakan bakhin-bakhin?” ‘Umair berkata, “Demi Allah ya Rasulullah, tidak ada yang mendorongku kecuali karena berharap aku termasuk penghuninya.” Nabi n mengatakan, “Sesungguhnya kamu termasuk dari penghuni surga.” Maka Umair mengeluarkan kurma dari kantong anak panahnya lantas memakannya. Kemudian dia mengatakan, “Bila aku hidup hingga aku makan kurmaku ini (sampai habis) sungguh itu suatu kehidupan yang lama.” Umair lalu membuang kurma yang dibawanya kemudian maju bertempur hingga terbunuh. (HR. Muslim)
Perampok-perampok Jalanan
Sebuah cita-cita besar niscaya membutuhkan pengorbanan. Seorang mukmin tatkala bertekad melangkahkan kakinya untuk kembali menuju kampung halamannya yang sesungguhnya (surga) yang padanya terdapat berbagai kenikmatan, bukan berarti akan sampai tujuan tanpa ada rintangan. Karang yang menggunung bisa saja tiba-tiba muncul menghadang lajunya perahu. Adapun para penghalang jalan itu di antaranya:
1. Iblis
Dia adalah biang segala kejahatan semenjak ia diusir dari jannah (surga) karena membangkang terhadap perintah Allah l. Dia berjanji di hadapan-Nya hendak menyesatkan bani Adam. Semenjak itu, api permusuhan dikobarkan. Kedengkian dijadikan sebagai motor penggerak untuk menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus. Allah l berfirman menjelaskan ucapan iblis:
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian akan aku datangi mereka dari muka, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)’.” (Al-A’raf: 16-17)
Perhatikan ayat di atas, bagaimana Iblis menyerang manusia dari berbagai arah. Sebagian ahli tafsir menjelaskan maksud “aku akan mendatangi mereka dari arah muka dan belakang” yakni bahwa Iblis melontarkan keraguan pada hati manusia tentang hari akhirat. Dia bisiki manusia agar mengingkari adanya surga dan neraka serta hari kebangkitan. Adapun maksud mendatangi dari belakang bahwa Iblis menggoda mereka untuk berambisi terhadap dunia (harta, kedudukan, dst.). Iblis datang dari arah kanan maksudnya bahwa ia menjadikan manusia ragu terhadap kebenaran dan dibuatnya mereka berat melakukan kebaikan. Sedangkan ia datang dari sebelah kiri maksudnya bahwa ia menghasung dan mendorong orang untuk berbuat maksiat. (Lihat Ighatsatul Lahafan, 1/102-103)
Setan adalah faktor utama tersendatnya perjalanan menuju Allah l. Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap bisikannya karena dia adalah musuh bagi kita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168. Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Ighatsatul Lahafan min Mashayidi Asy-Syaithan telah membeberkan secara gamblang tentang trik-trik setan dalam menggoda manusia.
2. Hawa Nafsu
Hawa nafsu cenderung mengajak kepada kejelekan. Oleh karena itu, bila orang tidak mampu menundukkannya maka dia akan menjadi budaknya. Hawa nafsu bagai kabut pada hati seseorang, yang menjadikan gelap jalan kebaikan di depannya daripada jalan kejelekan. Bila kita ingin sampai tujuan, sudah pasti kita harus bersungguh-sungguh untuk mengekangnya. Masing-masing sedang berpacu dengan ajal, sementara orang-orang yang sebelum kita sudah sampai tujuan. Akankah kita masih tertahan oleh nafsu angkara?!
3. Orang-orang Kafir dan Zalim
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah.” (Al-Anfal: 36)
Betapa banyak dana yang mereka keluarkan untuk memurtadkan kaum muslimin serta menebarkan opini miring seputar Islam dan kaum muslimin. Mereka juga tidak tanggung-tanggung menyediakan dana yang besar untuk membangun sarana maksiat dan tempat-tempat hiburan yang melalaikan. Mereka ingin menjauhkan syariat Islam dari kaum muslimin karena mereka tahu bahwa sumber kejayaan umat ada padanya. Dibuatnya manusia berkelompok-kelompok dan berpartai-partai sehingga loyalitas tidak lagi di atas agama, namun di atas kepentingan golongan.
Demikianlah sebagian perampok jalan yang menjadikan kita tertuntut untuk mempersenjatai diri dengan bekal ilmu dan iman yang cukup.
Bekal dalam Perjalanan
Orang yang berjalan menuju Allah l dan negeri akhirat, bahkan berjalan ke manapun, tidak akan sempurna dan tidak akan sampai tujuan kecuali dengan dua bekal kekuatan, yakni:
1. Kekuatan Ilmiah
Yaitu berupa ilmu syariat yang cukup. Dengannya seseorang bisa melihat jalan dan lajur mana yang akan ditempuh. Juga akan bisa menghindarkan dari tempat yang membinasakan dan tikungan maut. Kekuatan ilmiah ini bagai obor yang sangat terang cahayanya yang berada di tangannya. Dengan kekuatan ilmiah seseorang bisa berjalan di tempat yang dipenuhi dengan gelapnya kebodohan dan kemaksiatan. Ia akan berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam jurang penyimpangan serta terhindar dari duri kemaksiatan.
2. Kekuatan Amaliah
Yaitu adanya tekad untuk melakukan perjalanan. Tekad yang kuat akan mendekatkan sesuatu yang jauh dan memudahkan perkara yang rumit. Bila seseorang telah bersungguh-sungguh untuk melangkahkan kakinya atau menaiki kendaraannya sehingga pos demi pos dilewati, maka setengah perjalanan telah dilalui dan perjumpaan dengan kekasih sudah di depan mata. Letihnya perjalanan pun mulai terobati dan kaki ini terasa sudah tidak sabar lagi sehingga langkah pun dipercepat. Dirinya bergumam: “Wahai diri, bersenanglah karena rumahmu sudah dekat dan perjumpaan pun tinggal sesaat. Jangan kau putus di tengah jalan, nantinya akan terhalang dari kekasih. Sungguh kehidupan dunia seluruhnya ibarat anak tangga menuju tempat berikutnya. Oleh karena itu, jangan kau terputus di padang sahara (yakni dunia). Demi Allah, itu adalah tempat yang membinasakan. Wahai diri, jika engkau merasa capek untuk melakukan perjalanan maka ingatlah bahwa di depanmu kekasihmu telah menunggu dengan berbagai jamuan yang menyenangkan. Jangan kau berhenti, karena di belakangmu ada musuh yang selalu siap mencelakakan dan menyiksamu.” (Lihat Thariqul Hijratain, karya Ibnul Qayyim t hal. 174)
Nabi n dahulu pernah berdoa:
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
“Dan aku memohon kepadamu (wahai Allah) kelezatan memandang kepada wajah-Mu dan rindu berjumpa dengan-Mu.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 1301)
Jalan yang Pintas dan Cepat
Tidak mengetahui jalan dan rintangan-rintangannya serta arah yang dituju oleh seseorang dalam melakukan perjalanan, hanya akan menimbulkan keletihan. Di samping itu, faedah yang bisa diambil juga sangat minim. Nabi n bersabda:
وَاسْتَعِينُوا بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dan pergunakanlah (kesempatan) di waktu pagi dan sore serta sesuatu pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari)
Tiga waktu tersebut adalah cara yang mudah untuk menempuh perjalanan di atas bumi ini. Waktu pagi dan sore adalah saat-saat yang teduh dan orang masih bersemangat. Sedangkan waktu malam bumi itu dilipat. Jika ini adalah perjalanan di bumi, maka demikian pula dengan perjalanan menuju akhirat. Bila seseorang memanfaatkan tiga waktu tadi dengan baik untuk beramal shalih terutama di pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir, niscaya dia akan meraup kebaikan yang besar dan mencapai tujuan dengan sukses. Perjalanan dengan cepatnya ditempuh tanpa tertimpa keletihan yang berarti. Apa yang dicita-citakan dari perkara dunia telah didapat dan hasrat dirinya telah terpenuhi. (lihat Bahjatu Qulubil Abrar, As-Sa’di hal. 64)
Dikenal Allah l Walau Tidak Dikenal Manusia
Rasulullah n pernah berpesan kepada sahabat Ibnu Umar c (yang artinya): “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang yang asing atau penyeberang jalan.” (HR. Al-Bukhari)
Seorang mukmin di dunia ini ibarat orang yang bepergian. Dia singgah di negeri orang karena suatu keperluan. Hatinya selalu diliputi kerinduan kepada negerinya dan orang yang dicintainya. Ia tidak menyaingi orang lain dalam kemewahan dan tidak bersedih atas derita yang dialaminya.
Pada suatu ketika ada seorang lelaki melewati Rasulullah n. Maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Sahabat itu menjawab, “Ia seorang lelaki bangsawan. Demi Allah, orang ini jika melamar pasti akan dinikahkan, dan jika memberikan pembelaan niscaya akan diterima.” Rasulullah n waktu itu diam. Kemudian tidak berapa lama lewat seorang laki-laki lain, maka Nabi n bertanya kepada sahabat tadi, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Sahabat itu menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini seorang yang fakir dari kaum muslimin. Orang ini bila melamar niscaya ditolak, jika memberi pembelaan tidak diterima, dan jika berkata tidak didengar ucapannya.” Maka Nabi n bersabda, “Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada orang (bangsawan) itu sepenuh bumi.” (Muttafaqun ‘alaihi. Lihat Riyadhush Shalihin no. 258)
Pada tahun 21 H terjadi perang Nahawand antara muslimin dengan Majusi. Komando pasukan muslimin di tangan sahabat An-Nu’man bin Muqarrin z. Peperangan berlangsung dengan sengitnya sampai sang komandan terbunuh. Namun akhirnya kemenangan ada di pihak muslimin. Diutuslah seseorang untuk membawa berita kemenangan sekaligus berita duka atas terbunuhnya sang komandan. Umar menerima berita tersebut dan menangis. Kemudian dia bertanya kepada orang yang membawa berita, “Lalu siapa lagi yang gugur?” Utusan tadi menjawab, “Fulan, fulan….. dan berapa orang yang tidak engkau kenal, wahai Amirul Mukminin.” Umar menangis seraya berucap, “Tidak jadi soal bagi mereka bila Umar tidak mengenalnya, tetapi Allah l mengenal mereka. Semoga Allah l menganugerahkan mati syahid kepada mereka.” (lihat Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin wad Daulah Al-Umawiyah hal. 53)
Wallahu a’lam.
Safar dalam Rangka Ziarah Kubur, Apakah Disyariatkan?
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
Wisata ziarah atau perjalanan khusus untuk melakukan ziarah ke makam tertentu seperti makam orang-orang yang dianggap wali atau “setengah” wali, masih banyak ditemukan dalam masyarakat kita. Benarkah perilaku demikian disyariatkan?
Wisata ziarah atau perjalanan khusus untuk melakukan ziarah ke makam tertentu seperti makam orang-orang yang dianggap wali atau “setengah” wali, masih banyak ditemukan dalam masyarakat kita. Benarkah perilaku demikian disyariatkan?
Seiring dengan bergulirnya waktu, dari hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun berganti abad,
seluruhnya menjadi saksi atas segala peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan manusia ini. Musibah demi musibah, fitnah demi fitnah, datang
silih berganti. Yang besar menggantikan yang kecil dan yang kecil tidak
memiliki nilai karena besarnya fitnah yang datang setelahnya.
وَتَجِيءُ فِتْنَةٌ فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا
“Dan datanglah fitnah yang sebagiannya lebih besar dari yang lain.”
(HR. Muslim no. 4882 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash c)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan: “Sebagiannya menjadi kecil
dikarenakan fitnah berikutnya lebih besar. Fitnah kedua menjadikan
fitnah pertama tidak berarti.” (Syarah Shahih Muslim, 6/318)
Fitnah besar telah melanda kaum muslimin dan menelan korban beratus
juta manusia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan mayoritas isi dunia
berada dalam ancaman fitnah besar tersebut. Bergelimpangan tubuh dan
jasad manusia yang tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk
menyelamatkan diri. Seandainya pun hidup, itu adalah jasadnya, sedangkan
qalbunya telah mati. Itulah fitnah kejahilan tentang agama. Seiring
dengan badai fitnah besar ini, muncul badai yang mengempaskan ke jurang
kebinasaan dan kecelakaan yang abadi, mencabut akar-akar keimanan yang
telah menancap dalam sanubari. Memorakporandakan ketulusan niat dan
kelurusan jalan menuju Allah l. Itulah para penyeru kesesatan, da’i di
pintu neraka jahannam, seperti yang telah disinyalir Rasulullah n akan
kemunculannya.
Pembunuhan Akal dan Keyakinan
Usaha pendangkalan akal dan keyakinan ini kian hari kian meruyak,
sehingga tidak ada jenjang tingkat pemahaman yang luput dari upaya ini.
Banyak cara yang ditempuh dan banyak jalan yang dilalui untuk sampai
pada tujuan itu. Tersebarnya khurafat dan tahayul adalah salah satu cara
pendangkalan serta pembunuhan akal dan keyakinan ini. Demikian juga
dengan pengultusan individu, merupakan wasilah paling mulus untuk
mewujudkan pendangkalan ini.
Dari manakah datangnya keyakinan bahwa orang yang telah meninggal,
berada dalam alam lain yaitu alam kubur, bisa berbuat untuk orang yang
hidup di dunia? Dari manakah asalnya keyakinan bahwa kuburan tertentu
mengandung berbagai macam karamah, barakah, dan keajaiban? Dari manakah
asalnya keyakinan bahwa roh-roh orang yang telah mati bergentayangan dan
akan mendatangi siapa saja yang dikehendakinya? Dari manakah asalnya
keyakinan bahwa orang yang mati bisa menjadi perantara orang hidup
kepada Allah l dalam banyak hal? Dari manakah asalnya keyakinan bahwa
orang yang telah mati bisa menyapa orang yang hidup di dunia?
Sungguh semuanya ini merupakan perangkap setan dan tipu muslihatnya
untuk menyesatkan kaum muslimin dari kebenaran agamanya. Merusak akal
dan mendangkalkannya agar tidak bisa memikirkan kemaslahatan dirinya,
padahal Allah l berfirman:
“Dan tidaklah sama antara orang yang hidup dan orang yang telah
mati. Sesungguhnya Allah akan memperdengarkan siapa saja yang
dikehendakinya dan kamu tidak akan bisa memperdengarkan siapa yang ada
di dalam kubur.” (Fathir: 22)
Rasulullah n bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ
ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Bila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali
tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan
anak shalih yang mendoakan kedua orangtuanya.” (HR. Muslim no. 4310
dari sahabat Abu Hurairah z)
Ziarah Kubur adalah Kebaikan yang Disyariatkan
Ziarah kubur telah disyariatkan Allah l dan Rasul-Nya n. Bahkan
telah disebutkan pula tujuan disyariatkannya ziarah tersebut. Hal ini
menunjukkan tidak ada yang tersisa dari amalan yang sekiranya
mendatangkan maslahat melainkan telah dijelaskan di dalam syariat.
Ziarah kubur termasuk amalan besar yang memiliki nilai yang tinggi di
dalam syariat.
Dari Sulaiman bin Burdah dari bapaknya berkata, Rasulullah n bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَلاَ تَقُولُوا هُجْرًا
“Dulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah dan janganlah kalian mengatakan hujr (kata-kata yang
keji).” (HR. Ahmad no. 2032, 5/361)
Kata هُجْرًا diterangkan oleh As-Sindi t, artinya sesuatu yang
tidak pantas diucapkan yang akan menghilangkan tujuan ziarah yaitu
sebagai peringatan.
An-Nawawi t mengatakan:
“ هُجْرًا adalah ucapan yang batil (menyelisihi ajaran agama).” (Ahkamul Jana’iz, hal. 227)
As-Suyuthi t berkata: “هُجْرًا artinya ucapan yang keji kotor,
sebagaimana disebutkan dalam An-Nihayah.” (lihat Syarah Sunan An-Nasa’i,
3/275)
Rasulullah n juga bersabda:
أَلاَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلاَثٍ، نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ ثُمَّ بَدَا لِي أَنَّهَا تُرِقُّ الْقُلُوبَ
وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ فَزُورُوهَا وَلاَ تَقُولُوا هجْرًا
“Ketahuilah bahwa aku telah melarang kalian dari tiga perkara: Aku
melarang kalian dari ziarah kubur kemudian nampak padaku bahwa ziarah
kubur akan melembutkan hati dan meneteskan air mata maka ziarahlah
kalian dan jangan kalian mengatakan hujr (kata-kata yang keji).” (HR.
Ahmad no. 13640 dari sahabat Anas z)
زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ
يُؤْذِنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Rasulullah n pernah berziarah ke kubur ibunya dan beliau menangis
serta menangis pula orang-orang yang berada di sekelilingnya. Lantas
beliau n bersabda: “Aku meminta kepada Rabbku untuk aku memintakan
ampunan baginya dan Allah tidak memberikan izin serta aku meminta izin
untuk menziarahi ibuku dan Allah mengizinkan. Maka ziarah kuburlah
kalian karena sesungguhnya akan mengingatkan kepada kematian.” (HR.
Muslim no. 976 dari sahabat Abu Hurairah z)
Muhyiddin Al-Barkawi t (wafat tahun 981 H) mengatakan: “Yang
disyariatkan oleh Nabi kita dalam berziarah adalah untuk mengingat
akhirat, sebagai peringatan serta untuk mengambil pelajaran dari orang
yang diziarahi. Juga berbuat baik kepadanya dengan cara mendoakannya
serta memintakan baginya kasih sayang dari Allah l. Sehingga orang yang
berziarah di samping berbuat baik untuk si mayit, juga berbuat baik bagi
dirinya.” (lihat Ziyarah Qubur Asy-Syar’iyyah wa Asy-Syirkiyyah hal.
28)
Bentuk-bentuk Ziarah kubur
Sebagaimana perkara yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ziarah
kubur adalah sebuah ibadah dan bentuk taqarrub kepada Allah l dengan
berbagai macam hikmahnya. Akan tetapi ziarah ini memiliki macam/bentuk.
Telah disebutkan oleh para ulama di dalam kitab mereka bahwa ziarah itu
ada tiga macam/bentuk:
Pertama: Ziarah yang disyariatkan.
Artinya, ziarah yang dianjurkan oleh Rasulullah n yang bertujuan
untuk mengingatkan akan akhirat dan kematian dengan adab-adab yang telah
diajarkannya. Ziarah yang seperti ini dilakukan dengan tiga syarat:
1. Tidak dengan syaddur rihal (safar).
2. Tidak mengucapkan kalimat hujr (keji) seperti berdzikir dengan cara bid’ah dan berdoa kepada penghuni kuburan.
3. Tidak mengkhususkan waktu tertentu.
Kedua: Ziarah yang bid’ah
Artinya bentuk ziarah yang tidak dicontohkan Rasulullah n dan
sahabatnya. Atau dengan kata lain ziarah yang terdapat salah satu dari
tiga hal yang disebutkan di atas.
Ketiga: Ziarah yang syirik
Artinya ziarah yang mengandung kesyirikan, seperti meminta kepada
penghuni kuburan atau menjadikan penghuninya sebagai perantara antara
dirinya dengan Allah l. Atau menyembelih kurban di sisinya atau
menunaikan nadzar, meminta terlepaskan dari belenggu yang melilit hidup,
meminta perlindungan, dan lain sebagainya. (lihat Al-Qaulul Mufid Min
Adillati At-Tauhid hal. 192-194)
Syaddur Rihal, Landasan dan Maknanya
Kata syaddur rihal adalah istilah agama yang memiliki makna
mempersiapkan dengan matang untuk melakukan sebuah safar/ perjalanan.
Rasulullah n bersabda:
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
“Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil
Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.” (HR. Al-Bukhari no. 1132 dari Abu
Sa’id Al-Khudri z dan Muslim No. 1397 dari Abu Hurairah z)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Yang dimaksud dengan (وَلاَ
تُشَدُّ الرِّحَالُ) adalah larangan melakukan safar menuju selainnya
(tiga masjid itu). Ath-Thibi t berkata: ‘Larangan dengan kata ini lebih
tinggi nilainya dari hanya kata larangan semata’.” (Fathul Bari 4/190)
Al-Qasthalani berkata: “Telah terjadi perselisihan tentang syaddur
rihal kepada selain tiga masjid, seperti ziarah kepada orang shalih yang
masih hidup atau yang telah meninggal, serta tempat-tempat yang
memiliki keutamaan untuk bertabaruk padanya. Abu Muhammad Al-Juwaini
mengatakan, diharamkan berdasarkan makna lahiriah (tekstual) hadits.
Pendapat ini dipilih oleh Al-Qadhi Husain. Demikian juga pendapat
Al-Qadhi ‘Iyadh dan selain mereka. Yang shahih menurut Imam Al-Haramain
dan selain beliau dari kalangan ulama Syafi’iyyah adalah membolehkan hal
itu, sedangkan larangannya hanya dikhususkan dalam masalah i’tikaf pada
selain tiga masjid. Namun saya berpendapat bahwa (pengkhususan pada
i’tikaf ini) tidak memiliki dalil.” (Lihat ‘Aunul Ma’bud 4/417)
Bolehkah Syaddur Rihal dalam rangka Ziarah Kubur?
Nash yang menjelaskan adanya syaddur rihal dan arah tujuan yang
dibolehkan telah jelas sebagaimana dalam sabda Rasulullah n di atas.
Yang menjadi persoalan adalah syaddur rihal juga dilakukan pada selain
ketiga masjid tersebut, seperti ziarah kubur tertentu atau mendatangi
tempat-tempat yang dikeramatkan. Tentunya hal ini akan menimbulkan
pertanyaan: apakah syariat membolehkannya atau tidak?
Ibnu Jarir Ath-Thabari t berkata: “Demikian juga, tidak boleh
syaddur rihal kepada kuburan nabi, wali, atau semacamnya, karena hal itu
merupakan sarana (wasilah) menuju kesyirikan, sementara wasilah itu
hukumnya sama seperti hukum tujuannya. Oleh karena itu, kita menemukan
Rasulullah n telah mengharamkan hal itu. Beliau bersabda: ‘Dan jangan
ada syaddur rihal melainkan kepada tiga masjid yaitu Masjidil Haram,
masjidku ini, dan Masjid Al-Aqsha.’ Ini maknanya bahwa safar tidak boleh
dilakukan demi kuburan orang shalih, kuburan wali, atau selainnya.
Benar bahwa kita mencintai Nabi n melebihi kecintaan kita pada diri,
bapak, anak, keluarga dan harta. Kita juga mencintai sahabat, mencintai
wali-wali Allah l yang shalih, dan kita mencintai orang yang mencintai
mereka serta memusuhi orang yang memusuhi mereka. Kita juga mengetahui
bahwa siapa saja yang memusuhi wali Allah l maka Allah l mengumumkan
perang terhadapnya. Namun apakah cinta kepada mereka menyebabkan kita
menjadikan mereka sebagai tandingan (bagi Allah l), lalu kita
bertawassul dengan mereka, kita thawaf di kuburan mereka, dan kita
bernadzar serta berkorban untuk mereka?” (Lihat Tawassul Al-Masyru’ wal
Mamnu’, 1/14)
Ibnul Qayyim t berkata: “Contoh yang ketiga belas bahwa Nabi n
melarang membangun masjid di atas kuburan dan melaknat orang yang
melakukannya. Beliau juga melarang untuk mengapur kuburan,
meninggikannya, dan menjadikannya sebagai masjid, shalat menghadapnya
atau di sisinya. Beliau n melarang menyalakan lampu padanya dan
memerintahkan untuk meratakannya, melarang menjadikannya sebagai ied
(dikunjungi secara rutin), melarang untuk syaddur rihal kepadanya agar
tertutup jalan untuk menjadikannya sebagai berhala dan kesyirikan, serta
mengharamkan syaddur rihal bagi orang yang bermaksud demikian, ataupun
bagi orang yang tidak bermaksud demikian dalam rangka menutup pintu
kesyirikan.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/139)
Al-Lajnah Ad-Da’imah (1/493 pertanyaan no. 4230) berfatwa: “Tidak
boleh syaddur rihal kepada kuburan para nabi, orang-orang shalih, dan
selain mereka. Bahkan ini merupakan kebid’ahan, dasarnya adalah sabda
Rasulullah n: ‘Tidak boleh syaddur rihal kecuali kepada tiga masjid
yaitu Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjid Al-Aqsha’. Rasulullah n
bersabda: ‘Barangsiapa melakukan satu amalan yang bukan dari perintahku
maka amalan tersebut tertolak.’ Adapun ziarah kubur tanpa syaddur rihal
adalah sunnah berdasarkan hadits Nabi: ‘Ziarahlah kubur karena akan
mengingatkan kepada kematian.’ (HR. Muslim)
Seseorang tidak boleh untuk syaddur rihal menuju kuburan Rasulullah
n, karena hukumnya yang paling ringan adalah menyia-nyiakan harta.
Sedangkan menyia-nyiakan harta adalah haram.” (lihat Durus wa Fatawa
Al-Haramil Madani, 1/131)
Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata: “Adapun syaddur rihal untuk ziarah
kubur maka tidak boleh. Yang disyariatkan syaddur rihal adalah ke tiga
masjid secara khusus.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz, 5/317)
Mengapa Dilarang Syaddur Rihal?
Telah jelas dari ucapan para ulama di atas akan larangan syaddur
rihal menuju kuburan. Hikmahnya adalah tertutupnya pintu-pintu
kesyirikan dan berbagai kerusakan lainnya, seperti menjadikannya sebagai
ied (dikunjungi secara rutin), atau akan menjatuhkan kepada sikap
ghuluw (berlebihan) serta melampaui batas dalam memuji, sebagaimana
kebanyakan orang telah terjatuh di dalamnya disebabkan keyakinan mereka
tentang bolehnya syaddur rihal untuk menziarahi makam Rasulullah n.
(Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz, 1/71 dan Lihat Tawassul
Al-Masyru’ wal Mamnu’, 1/14, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari)
Landasan yang Membolehkan
Asy-Syaikh Ibnu Baz t mengatakan: “Adapun berbagai hadits yang
telah diriwayatkan dalam bab ini, yang dijadikan sebagai hujjah
disyariatkannya syaddur rihal ke kuburan Nabi adalah hadits-hadits yang
lemah sanad-sanadnya, bahkan maudhu’ (palsu), sebagaimana kelemahannya
telah diingatkan oleh ulama huffazh (besar) dari ahli hadits seperti
Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan selain mereka
rahimahumullah. Maka tidaklah boleh dipertentangkan dengan hadits-hadits
shahih yang menjelaskan tidak bolehnya syaddur rihal kecuali ke tiga
masjid tersebut.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Baz, 1/71)
Di antara contohnya:
مَنْ زَارَنِي وَزَارَ أَبِي إِبْرَاهِيمَ فِي عَامٍ وَاحِدٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah kepadaku dan kepada bapakku Ibrahim dalam tahun yang sama maka dia akan masuk surga.”
Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan: “Hadits ini maudhu’ (palsu).
Az-Zarkasyi t berkata dalam kitab Al-La’ali Al-Mantsurah no. 156:
Sebagian huffazh berkata: ‘Hadits ini maudhu’ dan tidak ada seorang pun
dari ahli ilmu hadits meriwayatkannya.’ Demikian juga yang dikatakan
Al-Imam An-Nawawi t: ‘Maudhu’, tidak memiliki asal.’ Dibawakan juga oleh
As-Suyuthi t di dalam kitab Dzail Al-Ahadits Al-Maudhu’ah no. 119, Ibnu
Taimiyah dan An-Nawawi rahimahumallah berkata: ‘Sesungguhnya haditsnya
maudhu’ dan disepakati oleh Al-Imam Asy-Syaukani t’.” (Lihat Silsilah
Adh-Dha’ifah, 1/120)
Contoh lain adalah:
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي، فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Barangsiapa yang berziarah kepadaku setelah matiku maka dia seolah-olah menziarahiku semasa hidupku.”
Asy-Syaikh Albani t berkata hadits ini adalah batil. (lihat Silsilah Adh-Dha’ifah 3/89)
Masih banyak lagi hadits-hadits dhaif dan maudhu’ yang dijadikan
hujjah atas bolehnya syaddur rihal dalam ziarah kubur, karena
terbatasnya tempat sehingga tidak memungkinkan untuk membawakan
seluruhnya. Wallahu a’lam.
Membingkai Safar dengan Do’a
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya Allah l adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah l tidaklah menerima amalan kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah l telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada segenap Rasul:
‘Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Mu’minun: 51)
Allah l juga berfirman:
‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu’.” (Al-Baqarah: 172)
Setelah itu Rasulullah n menceritakan keadaan seseorang yang telah lama safar, rambutnya kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sembari berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya pun haram, pakaiannya juga haram, serta ia dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia panjatkan akan dikabulkan?”
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya Allah l adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah l tidaklah menerima amalan kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah l telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada segenap Rasul:
‘Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Mu’minun: 51)
Allah l juga berfirman:
‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu’.” (Al-Baqarah: 172)
Setelah itu Rasulullah n menceritakan keadaan seseorang yang telah lama safar, rambutnya kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sembari berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya pun haram, pakaiannya juga haram, serta ia dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia panjatkan akan dikabulkan?”
Beberapa Hal tentang Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t di dalam Shahih-nya
(no. 1015), Al-Imam At-Tirmidzi t di dalam As-Sunan (no. 2989), dan
Al-Imam Ahmad t di dalam Al-Musnad (2/328).
Madaar (jalur utama) hadits ini adalah Fudhail bin Marzuq. Dia
meriwayatkan dari ‘Adi bin Tsabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah z.
Adapun Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Fadhl melalui Abu Usamah, dari
Abu Kuraib Muhammad bin Al-’Ala’. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Fadhl
melalui Abu Nu’aim, dari ‘Abd bin Humaid. Sementara Al-Imam Ahmad
meriwayatkan dari Fadhl dengan perantara Abu An-Nadhr.
Abu Hazim adalah Salman Al-’Asyja’i Al-Kufi t. Dia ditsiqahkan oleh
para ulama, di antaranya Yahya bin Ma’in dan Abu Dawud. Al-Imam Ibnu
‘Abdil Barr t berkata, “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa dia
seorang yang tsiqah.” Abu Hazim termasuk kalangan tabi’in dan meninggal
dunia pada masa pemerintahan ‘Umar bin Abdul Aziz t.
‘Adi bin Tsabit Al-Anshari Al-Kufi adalah Ibnu Binti ‘Abdillah bin
Yazid Al-Khatmi. Ayahnya adalah seorang sahabat Nabi n. Dia ditsiqahkan
para ulama semisal Al-Imam Ahmad t dan An-Nasa’i t.
Fudhail bin Marzuq t kunyahnya Abu Abdirrahman Al-Kufi Ar-Raqqasyi.
Tergolong generasi awal dari tabi’ut tabi’in. Adz-Dzahabi t menyatakan
ketsiqahannya.
Diagram periwayatan bisa dilihat di samping.
Makna Mufradat Hadits
وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ
“Padahal makanannya haram.”
Artinya menunjukkan bahwa dia dibesarkan semenjak kecil dengan
makanan yang haram. Adapula ulama yang membedakan maknanya. Apabila
huruf dzal tanpa tasydid maka maksudnya dia sendiri yang mencari makanan
tersebut. Jika menggunakan tasydid maksudnya ia diberi makan oleh orang
lain. (Tuhfadzul Ahwadzi, dalam syarah hadits ini)
فَأَنَّى
“Lantas bagaimana mungkin…”
Ini adalah kalimat yang digunakan untuk sesuatu yang sangat jauh
kemungkinan terjadinya. Maksudnya, dari mana dia akan dikabulkan doanya
,dan bagaimana mungkin dikabulkan doanya sementara keadaan dia seperti
ini? (Tuhfadzul Ahwadzi, dalam syarah hadits ini)
يُطِيلُ السَّفَرَ
“Yang telah lama safar.”
Dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi t bahwa orang tersebut melakukan
safar untuk melaksanakan ketaatan. Seperti haji, ziarah yang mustahab,
silaturahmi, dan yang semisalnya. (Syarah Shahih Muslim tentang hadits
ini)
Mustajabnya Doa Musafir
Kehidupan seorang muslim tidak akan terlepas dari doa. Semenjak
pertama kali ia membuka mata dari tidur malamnya sampai ia kembali ke
peraduannya selalu dihiasi dengan doa. Karena doa adalah senjata
sekaligus benteng pertahanan yang ampuh dan kokoh. Doa akan benar-benar
bermanfaat bila disertai keyakinan penuh bahwa Allah l akan
mengabulkannya. Karena Allah Maha Mendengar. Allah k berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah:186)
Di antara faktor yang harus diperhatikan ketika berdoa adalah
mencari waktu-waktu yang dinashkan (disebutkan oleh dalil) sebagai saat
yang mustajab. Di antara waktu yang dinashkan adalah di saat safar.
Ketika menjelaskan tentang hadits di atas, Al-Imam Ibnu Rajab t di dalam
Jami’ul Ulum wal Hikam menyatakan bahwa sabda Rasulullah n ini
merupakan keterangan tentang adab-adab di dalam berdoa. Selain itu juga
diterangkan tentang sebab-sebab terkabulnya doa sekaligus hal-hal yang
dapat menghalangi terkabulkannya doa.
Pembahasan kita saat ini adalah safar di mana menjadi salah satu
sebab doa yang dipanjatkan seorang hamba akan dikabulkan. Safar adalah
salah satu sebab makbulnya doa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah z,
Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga macam doa yang mustajab, dan tidak ada keraguan di
dalamnya. Doa orangtua, doa seorang musafir, dan doa orang yang
terzalimi.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad [no. 32], Abu
Dawud [no. 1536], At-Tirmidzi [2/256], Ibnu Majah [no. 3862], Ibnu
Hibban [no. 2406], dan Ahmad [2/258]. Hadits ini dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani t. Silakan merujuk As-Silsilah Ash-Shahihah no.
598)
Al-Imam An Nawawi t di dalam Riyadh Ash-Shalihin membuat bab dengan
judul Disunnahkannya Berdoa Ketika Safar. Kemudian beliau membawakan
hadits di atas.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menjelaskan bahwa
seorang musafir adalah orang yang meninggalkan kampung halamannya. Ia
tetap dikatakan sebagai musafir hingga kembali ke negerinya. Beliau
menambahkan, pada umumnya doa seorang musafir adalah doa orang yang
benar-benar dalam kesulitan. Seorang hamba jika dalam kesulitan dan
berdoa kepada Rabbnya tentu akan dikabulkan karena Allah l menjawab doa
orang yang mengkhawatirkan mudarat dan kesulitan.
Lalu beliau menegaskan, seorang musafir yang berdoa agar Allah l
memudahkan safarnya atau memberikan pertolongan kepadanya atau doa yang
lain, maka sungguh Allah l akan mengabulkannya. Oleh karena itu,
sepatutnya seorang musafir mempergunakan kesempatan di dalam safar untuk
berdoa. Apabila safar yang dia lakukan dalam rangka ketaatan seperti
umrah dan haji, tentu akan menambah kekuatan dikabulkannya doa. (Syarah
Riyadh Ash-Shalihin)
Doa seorang musafir termasuk doa orang yang sedang mengalami
kesulitan. Allah l menjanjikan, doa orang yang mengalami kesulitan akan
dikabulkan. Allah l berfirman:
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping
Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).”
(An-Naml: 62)
Ibnu Katsir t berkata, “Dalam ayat ini Allah l mengingatkan bahwa
hanya Dia yang berhak untuk diminta ketika terjadi kesulitan. Hanya Dia
yang diharap di saat muncul persoalan. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa
yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke
daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima
kasih.” (Al-Isra’: 67)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya
kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)
Maka, semakin berat dan jauh safar seseorang semakin besar pula
kemungkinan untuk dikabulkannya doa. Karena safar akan menjadi sebab
bertambahnya kepasrahan hati disebabkan jauhnya ia dari kampung halaman.
Doa seorang musafir akan bertambah besar kemungkinan dikabulkan
apabila dia menengadahkan kedua tangannya. Hal ini diperkuat dengan
hadits Salman z, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى
مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala Dzat Yang Maha Malu dan Maha
Memberi, Allah malu apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya
kepada-Nya kemudian mengembalikannya dalam keadaan hampa.” (HR. Abu
Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ahmad,
5/438)
Ketika Asy Syaikh Al-‘Utsaimin t ditanya tentang hikmah
dikabulkannya doa seorang musafir, beliau menjawab, “Hikmah di balik itu
bahwa seorang musafir akan terpusat hatinya. (Pikiran) ia tidak sesibuk
sebagaimana ketika menetap di kota maupun desa. Kemudian lagi, pada
umumnya seorang musafir akan berdoa seperti doa orang yang mengalami
kesulitan dan benar-benar membutuhkan Allah l karena ia sedang berada di
dalam perjalanan. Lebih-lebih jika safarnya adalah safar yang
dilingkupi ketakutan dan rasa cemas. Tentu orang yang berdoa akan
bertambah besar harapan dan kepasrahan hatinya kepada Allah l
dibandingkan dengan keadaan sebaliknya. Hal inilah yang menjadi sebab
dikabulkannya doa.” (Nur ‘Ala Ad-Darb)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t juga menerangkan tentang mustajabnya
doa seorang musafir. Beliau berkata, “Doa itu mustajab ketika turunnya
hujan, berkecamuk peperangan, ketika adzan dan iqamat, di akhir shalat,
ketika sujud, doa orang yang berpuasa, doa seorang musafir, doa orang
yang dizalimi, dan yang semisalnya. Semua ini berdasarkan hadits-hadits
yang dikenal di dalam kitab-kitab shahih dan sunan.” (Majmu’ Fatawa
27/129)
Beberapa Contoh Doa yang Dikabulkan Ketika Safar
Al-Imam Ibnu Al-Qayyim t di dalam Zadul Ma’ad (1/462) menjelaskan
bahwa berjihad, haji, umrah, dan hijrah termasuk bagian dari safar.
Berikut ini beberapa peristiwa yang menjadi ibrah bagi kita, betapa doa
sungguh luar biasa. Subhanallah.
1. Hadits Anas bin Malik z yang diriwayatkan Al-Bukhari (7/294),
Muslim (2009), yang mengisahkan perjalanan Rasulullah n menuju kota
Madinah ditemani oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq z dalam rangka berhijrah. Di
dalam perjalanan panjang itu, Rasulullah n dikejar oleh seorang
penunggang kuda yang bermaksud jahat yaitu Suraqah bin Malik. Ketika
Suraqah mulai nampak mendekat, Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ اصْرَعْهُ
“Ya Allah, jatuhkanlah dia di atas tanah.” Kuda itu pun menjatuhkan
Suraqah lalu berdiri kembali sambil meringkik. Suraqah berseru, “Wahai
Nabi Allah, silakan perintahkan kepada saya apa yang anda inginkan!”
Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau di tempatmu, jangan biarkan
seorang pun menyusul kami.”
Allah l mengabulkan doa Nabi-Nya hingga Suraqah yang semula hendak
mencelakai Rasulullah n justru berubah menjadi pelindung dan
menyelamatkan Rasulullah n dari pengejaran mata-mata.
Kisah ini merupakan contoh Allah l mengabulkan doa seorang musafir dalam rangka hijrah.
2. Hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 3953)
tentang perang Badar. Rasulullah n tiada henti memanjatkan doa. Meminta
dengan sepenuh hati agar Allah k menurunkan pertolongan dan memenangkan
kaum muslimin. Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ
“Ya Allah, sesungguhnya aku benar-benar meminta jaminan dan
janji-Mu. Ya Allah, jikalau Engkau kehendaki, Engkau tidak lagi akan
diibadahi.”
Di dalam riwayat Ahmad (1/30) disebutkan bahwa Rasulullah n ketika
berdoa, selendang beliau terjatuh. Lalu datanglah Abu Bakr memungut
selendang itu dan memakaikannya kembali di pundak Rasulullah n. Abu Bakr
berkata, “Cukup wahai Nabi Allah, doa yang anda pinta. Karena
sesungguhnya Rabbmu pasti akan mewujudkan janji-Nya.”
Kisah ini adalah contoh Allah l mengabulkan doa seorang musafir dalam rangka berjihad.
3. Sebuah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad t lengkap dengan
sanadnya, dalam Az-Zuhud (hal. 257), Ibnu Sa’d di dalam Ath-Thabaqat
(7/135), serta Ibnu Abi Ad-Dunya di dalam Mujab Ad-Da’wah, tentang kisah
perjalanan Shilah bin Asy-yam. Ketika itu Shilah sedang melintasi
daerah Ihwaz1 di atas hewan tunggangannya dalam keadaan benar-benar
lapar. Tidak ada seorang manusia pun yang ia temui. Hingga pada
akhirnya, Shilah berdoa kepada Allah l dan memohon agar diberi makanan.
Shilah bertutur, “Tiba-tiba aku mendengar suara keras di belakangku
seperti ada sesuatu yang jatuh. Ketika aku menoleh, aku melihat kain
berwarna putih. Lalu aku pun turun dari kendaraan untuk mengambil kain
tersebut. Ternyata di dalam bungkusan itu terdapat sekantong kurma
matang. Aku pun membawa kurma tersebut dan kembali menaiki kendaraanku.”
Kisah ini merupakan contoh makbulnya doa seorang musafir dalam rangka menuntut ilmu syar’i.
4. Al-Imam Ibnu Sa’d t di dalam Ath-Thabaqat ketika membawakan
biografi Sufyan bin ‘Uyainah t, meriwayatkan dengan sanadnya dari
Al-Hasan bin ‘Imran, keponakan Sufyan bin ‘Uyainah. Ia berkata: Aku
menemani pamanku, Sufyan, pada haji terakhir yang ia tunaikan pada tahun
197 H. Ketika kami tiba di Muzdalifah, beliau mendirikan shalat.
Setelah itu dia beristirahat di atas pembaringannya lalu berkata,
“Sungguh, aku telah mendatangi tempat ini selama 70 tahun (untuk
menunaikan ibadah haji). Setiap tahun aku selalu berdoa, ‘Ya Allah,
hamba memohon agar haji kali ini bukanlah haji untuk yang terakhir
kalinya.’ Sungguh, aku benar-benar merasa malu kepada Allah karena
seringnya aku mengucapkan doa ini.” Lalu, Sufyan bin ‘Uyainah kembali ke
kediamannya di pinggiran kota Makkah. Tahun berikutnya, Sufyan bin
‘Uyainah meninggal dunia di hari Sabtu bulan Rajab tahun 198 H.
Beberapa Doa yang Diajarkan untuk Seorang Musafir
Safar adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan ujian. Tidak
sedikit halangan yang menghadang. Dalam keadaan seperti inilah, setan
selalu menggoda hendak menjerumuskan anak keturunan Adam ke dalam dosa.
Oleh karenanya, Rasulullah n mengajarkan untuk kita sebuah doa yang
mulia:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ
أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ
يُجْهَلَ عَلَيَّ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan dan disesatkan,
dari ketergelinciran dan digelincirkan, kezaliman dan dizalimi, serta
dari kebodohan atau dibodohi.” (HR. Ahmad, 6/306, Ibnu Majah no. 3884,
An-Nasa’i, 8/268, At-Tirmidzi no. 3427, Abu Dawud no. 5094 dari Ummu
Salamah x)
Safar bukan saja sebuah perjalanan yang melelahkan. Safar pun
merupakan bagian amaliah yang sarat dengan nilai-nilai ibadah. Sebelum
memulai safar, kita diingatkan untuk tetap menjaga tauhid dalam bentuk
menyerahkan diri sebagai tawakkal kita kepada Allah l. Kita pun mesti
meyakini bahwa safar yang dilakukan tidak akan tercapai melainkan dengan
kehendak-Nya. Rasulullah n mengajarkan doa untuk kita:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Dengan menyebut asma Allah, aku benar-benar bertawakkal kepada
Allah, tidak ada daya dan upaya melainkan milik Allah.” (HR. Abu Dawud
no. 5094, At-Tirmidzi no. 3426 dari Anas bin Malik z)
Doa semacam ini sangat bermanfaat sekali bagi seorang muslim
sehingga ia dianjurkan untuk mengucapkannya setiap kali keluar
meninggalkan rumah untuk menyelesaikan urusan dunia maupun ibadahnya. Ia
akan selalu mendapatkan perlindungan di dalam perjalanan, memperoleh
pertolongan untuk menunaikan kepentingan dan memperoleh taufiq.
Seorang musafir pun semestinya bertekad untuk berbuat kebajikan dan
ketakwaan. Ia harus selalu berkeinginan untuk melaksanakan amalan yang
diridhai Allah l. Rasulullah n membimbing kita untuk memohon
pertolongan dari Allah l agar mampu beramal dan bertakwa di dalam safar.
Beliau berdoa:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى
“Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kebaikan dan takwa dari-Mu di
dalam safar kami, demikian pula kami meminta amalan yang Engkau ridhai.”
(HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar c no. 1342)
Safar memang perjalanan yang melelahkan. Terkadang banyak kesulitan
yang dihadapi. Sehingga seorang musafir membutuhkan perlindungan agar
selamat hingga tiba di tempat tujuan. Rasulullah n mengajarkan untuk
kita sebuah doa:
اللَّهُمَّ بَلاَغًا يَبْلُغُ خَيْرًا مَغْفِرَةً مِنْكَ وَرِضْوَانًا
بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ
أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ
هَوِّنْ عَلَيْنَا السَّفَرَ وَاطْوِ لَنَا الْأَرْضَ، اللَّهُمَّ أَعُوذُ
بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْقَلِبِ
“Ya Allah, aku memohon agar aku sampai dan mendapatkan kebaikan,
maghfirah dari-Mu dan keridhaan. Hanya di tangan-Mu segala kebaikan,
sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya
Allah, Engkau adalah teman di dalam safar dan pengganti dalam keluarga.
Ya Allah, permudahlah safar ini untuk kami dan gulunglah bumi untuk
kami. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar dan
kejelekan dari tempat kembali.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya,
3/226, dari Al-Barra’)
Sebagai bentuk syukur seorang musafir ketika dia kembali ke kampung halaman, hendaknya ia berdoa:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Kami kembali, sebagai orang yang bertaubat, senantiasa beribadah,
dan memuji Rabb kami.” (HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Alangkah indahnya perjalanan seorang muslim. Dimulai dengan doa,
sepanjang safar dihiasi doa, dan diakhiri dengan doa pula. Benar-benar
membingkai safar dengan doa.
Beberapa Faedah Lain dari Hadits
Hadits ini termasuk dasar kaidah-kaidah penting di dalam Islam.
Banyak sekali faedah yang dapat diambil dari hadits ini, di antaranya:
1. Di dalam hadits ini dijelaskan tentang dianjurkannya berinfaq dengan barang yang halal.
2. Dijelaskan juga tentang disyariatkannya serius di dalam berdoa,
dalam bentuk memerhatikan makanan, minuman, dan pakaian. Al-Imam Wahb
bin Munabbih t menyatakan, “Barangsiapa ingin doanya dikabulkan Allah l
hendaknya dia memilih makanan yang baik.” (Jami’ Al-’Ulum wal Hikam)
3. Hendaknya seorang musafir dirinya sendiri, orangtua, keluarga,
dan orang-orang yang dicintai. Hendaknya pula ia memilih doa yang
bersifat umum dan menyeluruh. Disertai dengan khudhu’ (ketundukan) dan
harapan besar. Karena doa musafir mustajab, maka tidak layak bila
disia-siakan.
4. Pada dasarnya, terdapat kesamaan hukum syar’i antara para nabi dan rasul. Kecuali ada dalil yang menjelaskan perbedaannya.
5. Syariat Islam memerintahkan umat untuk mengonsumsi makanan yang
halal. Hal ini merupakan sifat para nabi dan pengikut mereka. Makanan
yang halal akan memengaruhi ibadah seorang hamba, doa, dan diterimanya
amalan yang ia lakukan.
6. Tanggung jawab orangtua untuk memberi nafkah yang halal kepada anak dan istri sebagai perwujudan firman Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Wallahu a’lam.
Safar duniawi Menuju Safar Ukhrawi
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 13-14)
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 13-14)
Penjelasan Mufradat Ayat
Maha Suci Allah. Kata ini merupakan kata dasar (mashdar/maf’ul
muthlaq) dalam kedudukan manshub (dengan alamat harakat fathah)
disebabkan oleh sebuah fi’il (kata kerja) yang tersembunyi, yaitu:
أُسَبِّحُ اللهَ سُبْحَانًا أَيْ تَسْبِيحًا
(Saya benar-benar menyucikan Allah). Secara bahasa at-tasbih
bermakna menjauhkan dari segala keburukan. Adapun secara syar’i bermakna
menyucikan dari segala apa yang tidak layak bagi kebesaran Allah l dan
kesempurnaan-Nya. (lihat Adhwa’ul Bayan tafsir Surat Al-Isra’ ayat 1)
“Yang telah menundukkan semua ini bagi kami.”
Bermakna ذَلَّلَ yaitu menundukkan. Adapun ﭺ merupakan isim
isyarat/kata tunjuk yang kembali kepada lafadz مَا pada ayat sebelumnya
(Az-Zukhruf: 12) yaitu ﭨ ﭩ artinya apa-apa yang kamu tunggangi
(kapal/perahu dan binatang ternak).
Bermakna مُطِيقِينَ, yaitu mampu menguasai, sebagaimana ditafsirkan
oleh Ibnu Abbas c yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir,
dan Ibnu Abi Hatim. Pendapat serupa juga diucapkan oleh Qatadah,
Mujahid, dan As-Suddi. Mujahid -dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh
Al-Firyabi, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir- juga berkata: “Makna ﭾ
adalah unta, kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), dan keledai.”
Kata ﭾ diambil dari أَقْرَنَ لِلْأَمْرِ إِذَا أَطَاقَهُ وَقَوِيَ
عَلَيْهِ artinya menguasai perkara apabila ia mampu dan kuat. Maknanya
adalah kalau bukan karena Allah l yang menundukkan perahu dan binatang
ternak sebagai tunggangan bagi kita, kita tidak mampu melakukannya. Akan
tetapi karena kelembutan dan kemuliaan-Nya, Allah l tundukkan dan
mudahkan sebab-sebabnya.
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Maknanya:
أَيْ لَصَائِرُونَ إِلَيْهِ بَعْدَ مَمَاتِنَا وَإِلَيْهِ سَيْرُنَا الْأَكْبَرُ
yaitu kita kembali kepada-Nya setelah kematian kita dan hanya
kepada-Nya perjalanan kita yang terbesar (perjalanan menuju akhirat,
pen.). Hal ini sebagai bentuk peringatan terhadap perjalanan dunia atas
perjalanan akhirat. Sebagaimana yang Allah l peringatkan tentang bekal
yang sifatnya duniawi atas bekal yang sifatnya ukhrawi, dalam surat
Al-Baqarah ayat 197:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Demikian pula terhadap pakaian yang sifatnya duniawi atas pakaian yang sifatnya ukhrawi, seperti pada surat Al-A’raf ayat 26:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian
takwa itulah yang paling baik.”
Bermakna رَاجِعُونَ artinya kembali, sebagaimana disebutkan oleh
jumhur (kebanyakan) ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Al-Alusi,
Al-Baidhawi, Ath-Thabari, Ibnul Jauzi, Abu Hayyan, Asy-Syaukani, dan
Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir mereka.
Asy-Syinqithi t dalam tafsir surat Al-Mulk ayat 15 berkata: “Ayat Allah l:
‘Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.’
Allah l sebutkan ayat ini setelah adanya perintah (kepada manusia) untuk
melakukan perjalanan di segala penjuru bumi, mencari rezeki, melihat
dan mencermati akibat dari suatu sebab serta ditundukkannya bumi. Ayat
ini seperti ayat:
“Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 14)
setelah ayat:
“(Yaitu) Yang Menciptakan seluruh yang berpasang-pasangan serta
menundukkan kapal dan binatang ternak sebagai kendaraan.” (Az-Zukhruf:
12)
Pada ayat ini terdapat kandungan makna yang menetapkan adanya
kekuasaan Allah l atas hari kebangkitan (menghidupkan orang mati),
sehingga seseorang dapat melakukan perjalanan di segala penjuru bumi,
menggunakan dan memanfaatkan kebaikan darinya. Semua itu bukan
semata-mata untuk mencari rezeki, namun dalam rangka menjalani sebab dan
melihat kepada akibat, serta mengambil pelajaran terhadap seluruh
ciptaan(Nya). Yang terpenting (dari semua itu) adalah mencari bekal
untuk kehidupan akhirat.”
Abu Hayyan t berkata dalam kitabnya Al-Bahrul Muhith ketika
menafsirkan surat Az-Zukhruf ayat 14: “Makna ayat ‘Dan sesungguhnya kami
akan kembali kepada Rabb kami,’ adalah ikrar (pengakuan) untuk kembali
kepada Allah l dan adanya hari kebangkitan. Karena tatkala seorang
penumpang menaiki kapal (dalam pelayarannya) berisiko binasa karena
tenggelam. Menunggangi hewan juga berisiko tergelincir, membahayakan dan
tidak menjamin keselamatannya. Oleh karenanya, ayat ini mengingatkan
kepada seseorang untuk senantiasa merasa (ingat/sadar) bahwa kembalinya
hanya kepada Allah l, siap untuk berjumpa dengan-Nya, dalam keadaan ia
tidak melupakan perkara itu baik dalam hati maupun lisan (dengan cara
berdoa).”
Penjelasan Ayat dan Faedahnya
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Ayat ini menjelaskan
bahwa Rabb yang disifati dengan sifat-sifat ini (sebagaimana yang telah
disebutkan dalam ayat sebelumnya seperti Pencipta langit dan bumi, Dzat
Yang menurunkan air hujan dari langit menurut kadar yang diperlukan,
Dzat Yang menciptakan segala yang berpasangan, Yang menjadikan kapal dan
binatang ternak yang dapat ditunggangi, dst, lihat Az-Zukhruf: 9-11,
pen.), semua itu termasuk bagian dari limpahan nikmat Allah l kepada
hamba-Nya. Sehingga, hanya Dia-lah yang paling berhak untuk diibadahi,
dan hanya kepada-Nya lah dilakukan doa dan sujud.” (Taisir Al-Karimir
Rahman)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam Majmu Al-Fatawa
(4/462): “Termasuk perkara Sunnah Rasulullah n (yang beliau ajarkan)
adalah memakan makanan yang dijumpai (yang ada) di negeri tempat ia
tinggal, memakai pakaian serta mengendarai kendaraan yang dijumpai (yang
ada) yang Allah l bolehkan. Barangsiapa menggunakan apa yang ia jumpai
di negerinya (tempat ia tinggal), maka ia telah mengikuti sunnah.
Sebagaimana beliau n menunaikan ibadah haji dari kota Madinah.
Barangsiapa menunaikan haji dari kota asalnya, ia telah mengikuti
sunnah, walaupun kota-kota lain itu tidak sama dengan kota Madinah
Rasulullah n.
Demikian pula ayat (pada surat Az-Zukhruf ayat 12-13),
(mengajarkan) etika apabila seseorang menaiki kendaraan di atas lautan
(kapal), daratan (binatang ternak/kendaraan), dan udara (pesawat
terbang, pen.). Meskipun Rasulullah n, demikian pula Abu Bakr dan Umar
c, belum pernah berlayar di atas lautan (menaiki kapal laut). Akan
tetapi beliau n pernah mengabarkan kepada Ummu Haram bintu Milhan x1
tentang sekelompok orang dari umatnya yang berperang di jalan Allah l,
mereka menaiki kapal laut layaknya raja-raja di atas singgasana. Lalu
Ummu Haram berkata: “Berdoalah kepada Allah l agar menjadikanku termasuk
mereka.” Beliau bersabda: “Engkau termasuk mereka.”
Ayat ini termasuk bagian dari rangkaian doa ketika seseorang
menaiki kendaraan baik di darat, di udara maupun di lautan dalam rangka
safar (bepergian). Ada beberapa hadits yang dibawakan oleh para ulama
dalam bab adab ketika seseorang menaiki kendaraan untuk safar. Di
antaranya hadits Ibnu ‘Umar c, apabila Rasulullah n telah berada di atas
unta/kendaraannya bermaksud untuk safar, beliau bertakbir tiga kali
kemudian membaca:
ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ اللَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ
الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا
وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ
وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ
وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي
الْمَالِ وَالْأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal
kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan
kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu
dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan, dan amal perbuatan yang Engkau
ridhai. Ya Allah, mudahkanlah dalam safar kami ini dan dekatkanlah
jauhnya jarak bepergian. Ya Allah, Engkaulah Dzat yang menyertai dalam
safar dan pengganti keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari kepayahan/kesukaran dalam safar, jeleknya
pandangan dan jeleknya kembali, baik pada harta maupun keluarga.”
Apabila beliau kembali (hendak pulang), beliau juga membaca doa
dengan diberi tambahan: “Kami orang-orang yang akan kembali, orang yang
taat, bertaubat, beribadah dan hanya untuk Rabb kami, kami memuji.” (HR.
Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)
Hadits lain adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud dan
At-Tirmidzi dari jalan Ali bin Rabi’ah, ia berkata: Aku menyaksikan Ali
z, didatangkan kepada beliau tunggangan agar (beliau) menungganginya.
Ketika akan menaiki tunggangan itu, beliau membaca: بِسْمِ اللهِ. Ketika
sudah berada di atas punggungnya (duduk di atas kendaraan) beliau
membaca: الْحَمْدُ لِلهِ. Lalu beliau membaca:
Lalu membaca الْحَمْدُ لِلهِ tiga kali, اللهُ أَكْبَرُ tiga kali, lalu membaca:
سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
“Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
sendiri. Ampunilah aku, karena tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa
kecuali Engkau.”
Lalu beliau tertawa. Aku (Ali bin Rabi’ah) bertanya: “Mengapa
engkau tertawa, wahai Amirul Mu’minin?” Beliau berkata: “Aku melihat
Rasulullah n berbuat sebagaimana aku berbuat, kemudian beliau n tertawa.
Akupun bertanya: ‘Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?’ Beliau
bersabda: ‘Sesungguhnya Rabbmu sungguh merasa takjub dengan hamba-Nya
apabila dia berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرُكَ
‘Wahai Rabbku, ampunilah aku atas dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau’.”
Adapun doa menaiki kendaraan yang tersebut pada surat Hud ayat 41:
“Nuh berkata: ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut
nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Rabbku
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”
Juga dalam surat Al-Mu’minun ayat 29:
“Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.”
Al-Imam As-Suyuthi t dalam tafsirnya Ad-Durrul Mantsur ketika
menafsirkan ayat ini menyebutkan riwayat dari Mujahid t, yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu
Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim: “Ayat:
Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.’
adalah doa yang Allah l perintahkan kepada Nabi Nuh q ketika turun dari perahunya.”
Kemudian beliau menyebutkan juga riwayat ‘Abd bin Humaid, Ibnul
Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Qatadah, beliau berkata: “Allah l
mengajari kalian cara kalian berdoa ketika menaiki kendaraan dan ketika
turun dari kendaraan. Ketika menaiki kendaraan, doa yang dibaca adalah
ayat:
dan ayat:
Adapun ketika turun:
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi t dalam tafsirnya
Adhwa’ul Bayan, pada tafsir surat Hud ayat 41 berkata: “Allah l
menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Nabi-Nya Nuh -semoga
shalawat dan salam atas beliau serta atas Nabi kita Muhammad n-
memerintahkan para sahabatnya, yaitu orang-orang yang telah dikatakan
kepada mereka: ‘Bawalah mereka dalam bahtera’ supaya mereka naik ke
dalamnya sambil berdoa. Pada surat Al-Falah (Al-Mu’minun, pen.)
menerangkan bahwa Allah l memerintahkan apabila Nabi Nuh q dan
orang-orang yang bersamanya telah berada di atas perahu agar memuji
Allah l, yang telah menyelamatkan mereka dari orang-orang kafir yang
zalim.
Mereka juga diperintahkan untuk memohon kepada-Nya agar menempatkan
mereka pada tempat yang diberkahi. Hal itu sebagaimana yang tersebut
pada ayat:
“Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas
bahtera (kapal) itu maka ucapkanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’, dan berdoalah: ‘Wahai
Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah
sebaik-baik yang memberi tempat.” (Al-Mu’minun: 28-29)
Adapun dalam surat Az-Zukhruf ayat 12-14, Allah l menerangkan apa
yang seharusnya diucapkan ketika menaiki perahu dan kendaraan lainnya,
dengan membaca:
Al-Imam An-Nawawi t berkata dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
ibnul Hajjaj: “Bab: Disunnahkan berdoa apabila menaiki tunggangan
(kendaraan) dalam rangka safar untuk ibadah haji atau yang lainnya, dan
penjelasan yang paling utama dari doa tersebut.”
Kemudian beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Umar c di atas, yang menyebutkan doa bagi seorang yang menaiki kendaraan.
Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata dalam kitabnya Bahjah Qulubil Abrar
pada hadits yang ke-85: “Hadits ini (hadits Abdullah bin Umar c riwayat
Muslim, pen.) mengandung faedah-faedah yang agung berkaitan dengan
safar. Doa yang tersebut dalam hadits ini mencakup permohonan dalam hal
kemaslahatan agama (yang merupakan perkara paling penting) dan
kemaslahatan dunia, tercapainya perkara yang disenangi serta
terhindarnya dari perkara yang buruk serta tidak disukai, mensyukuri
nikmat-nikmat Allah l, mengingat kebesaran dan kemuliaan-Nya. Doa ini
mencakup pula safar yang berada di atas ketaatan Allah l dan dalam
perkara yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Di akhir doa ini
terdapat bentuk pengakuan terhadap nikmat Allah l, sebagaimana yang
terdapat di awal doa. Maka sebagaimana wajib bagi seorang hamba untuk
memuji Allah l atas dimudahkannya melakukan ibadah dan dalam memulai
hajatnya, wajib pula bagi hamba tadi untuk memuji Allah l atas
disempurnakan dan dicukupkannya hajatnya, serta setelah selesai darinya.
Karena sesungguhnya keutamaan, kebaikan, dan sebab itu semua adalah
milik-Nya semata, dan Allah l adalah pemilik keutamaan yang mulia.
Beliau pun memulai dan mengakhiri safarnya dengan doa, yang dimulai
dengan membesarkan Allah l dan memuji-Nya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan: “Sebagaimana yang
diketahui dalam doa-doa Nabi n bahwa kalimat tahmid (Alhamdulillah)
seiring dengan kalimat tasbih (Subhanallah), sedangkan kalimat tahlil
seiring dengan kalimat takbir. Namun pada sebagian keadaan, beliau n
mengumpulkan takbir dengan tahlil, dan takbir dengan tahmid, sebagaimana
yang beliau lakukan dalam doa beliau ketika menaiki kendaraan, seperti
dalam hadits Ibnu Umar c riwayat Al-Imam Muslim dan hadits ‘Ali bin Abi
Thalib z riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Perpaduan ini mengingatkan
kepada kenikmatan Allah l, yang mengharuskan kita untuk mensyukuri-Nya
disertai memuji-Nya. Karena menunggangi kendaraan termasuk keutamaan
dari sekian keutamaan dan merupakan bagian nikmat, maka Nabi n
menggabungkan dalam doa tersebut antara dua perkara, sebagaimana firman
Allah l: “Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat
nikmat Rabbmu apabila telah duduk di atasnya dan supaya kamu
mengucapkan: ‘Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami
padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya’.” (Az-Zukhruf: 14)
Pada ayat ini Allah l memerintahkan untuk mengingat nikmat Allah l
dan mengingat-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya (mengucapkan
Alhamdulillah). Allah l perintahkan untuk bertasbih, dan tasbih adalah
kalimat yang seiring dengan pujian. Ketika didatangkan tunggangan
(kendaraan) kepada Nabi n, saat akan menaiki beliau membaca Bismillah.
Ketika sudah duduk berada di atas punggungnya, beliau membaca
Alhamdulillah. Kemudian beliau n membaca:
Kemudian beliau membaca الْحَمْدُ لِلهِ tiga kali dan اللهُ أَكْبَرُ tiga kali, lalu membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْلِي
“Tiada ilah yang berhak disembah selain-Mu, Maha Suci Engkau, aku telah berbuat zalim terhadap diriku, maka ampunilah aku.”
Setelah beliau n menyebutkan kemuliaan-kemuliaan Allah l berupa
takbir dan tahlil, beliau menutup dengan istighfar, karena seiring
dengan tauhid. Sehingga doa yang dibaca di atas kendaraan mencakup empat
kalimat (tahmid, tasbih, tahlil, dan takbir) dan disertai dengan
istighfar.” (Diringkas dari Majmu’ Al-Fatawa, 24/240-241)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Kisah ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari t dalam hadits no. 6272
dari Anas bin Malik z, beliau berkata: “Jika Rasulullah n pergi ke
Quba, beliau singgah di tempat Ummu Haram bintu Milhan x. Dia pun
menjamu beliau, dan Ummu Haram ketika itu adalah istri Ubadah bin
Ash-Shamit z. Pada suatu hari beliau n masuk ke rumahnya dan ia pun
menjamunya. Kemudian Rasulullah n tidur, lalu terbangun sambil tertawa.
Ummu Haram bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Ada sekelompok orang dari umatku, mereka ditampakkan
kepadaku sedang berperang di jalan Allah l. Mereka menaiki kapal laut
layaknya raja-raja di atas singgasana.” Ummu Haram berkata: “Berdoalah
kepada Allah agar menjadikanku termasuk bagian dari mereka….” Kemudian
beliau tidur kembali. Di akhir hadits beliau n bersabda: “Engkau
termasuk golongan yang pertama (dari mereka).” Maka Ummu Haram ikut
mengarungi lautan pada masa (pemerintahan) Mu’awiyah, namun beliau
terjatuh dari kendaraannya ketika berlabuh dan meninggal dunia.
Penyimpangan-Penyimpangan dalam Safar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
1. Wanita safar tanpa mahram
Adalah anggapan yang keliru bahwa Islam mengesampingkan kaum wanita atau merendahkan mereka. Namun justru sebaliknya. Islam sangat memerhatikan dan memuliakan mereka. Sebagai bentuk penjagaan terhadap mereka, Islam melarang seorang wanita safar sendirian (tanpa mahram) karena wanita bisa mengundang syahwat/fitnah yang bisa menjerumuskan pada perbuatan keji. Di sisi lain, mereka hampir-hampir tidak bisa melindungi diri karena kelemahan dan kekurangan yang ada pada mereka. Dan tidaklah ada yang memiliki kecemburuan untuk melindungi kaum wanita seperti yang dimiliki oleh mahram-mahramnya.
Oleh karena itu, Rasulullah n melarang seorang wanita safar tanpa mahram sebagaimana dalam sabdanya:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahram1nya.” (Muttafaqun alaihi dari Abu Hurairah z)
Atas dasar ini kita nasihatkan kepada para ayah atau para wali agar tidak membiarkan istri, anak perempuan, atau saudarinya safar tanpa mahram. Terlebih lagi hanya dalam rangka bekerja sebagai TKW, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena kita mendengar dan menyaksikan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi akibat mereka safar sendirian (tanpa mahram) ke daerah/negeri lain. Semoga Allah l menyelamatkan kita semua.
Demikian pula apa yang banyak terjadi di negeri kita, sebagian muslimah menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram. Mereka hanya mengikuti rombongan muslimah lain yang memiliki mahram (mahram titip).
Ulama telah menjelaskan tentang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz t dalam fatwanya menjelaskan:
Pertanyaan: Seorang wanita tidak memiliki mahram di mana dia dikenal sebagai wanita yang baik. Dia hendak menunaikan haji fardhu. Bolehkah ia pergi berhaji (ikut) bersama wanita-wanita lain yang memiliki mahram?
Jawaban Asy-Syaikh Ibnu Baz t:
Wanita yang tidak memiliki mahram, tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji. Karena mahram bagi wanita termasuk syarat “menempuh perjalanan”, dan kemampuan untuk “menempuh perjalanan” merupakan syarat diwajibkannya haji (bagi seseorang). Allah l berfirman:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97)
Tidak boleh bagi wanita untuk safar menunaikan haji atau untuk yang selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari, bahwa beliau n bersabda:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi wanita safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahram.”
Juga hadits Ibnu ‘Abbas c bahwa beliau mendengar Nabi n bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak (diperbolehkan) seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali bersama mahram (wanita tersebut), dan tidaklah (diperbolehkan) seorang wanita safar kecuali bersama mahram.”
Maka berdirilah seorang lelaki kemudian berkata: “Wahai Rasullah, sesungguhnya istriku pergi berhaji dan aku telah diwajibkan untuk berangkat perang ini dan itu.” Rasulullah n berkata: “Pulanglah kemudian berhajilah bersama istrimu!”
Yang berpendapat seperti ini adalah Al-Hasan, An-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, dan Ashabur Ra’yi. Ini adalah pendapat yang shahih, karena pendapat ini sesuai dengan keumuman hadits-hadits tentang larangan bagi wanita untuk safar tanpa suami ataupun mahram.
Yang menyelisihi pendapat ini adalah Malik, Asy-Syafi’i, dan Al-Auza’i. Mereka semua mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada hujjah bagi syarat itu. Ibnul Mundzir berkata: “Mereka meninggalkan berpendapat dengan dzahir (teks) hadits, dan mereka semua menyaratkan suatu syarat yang tidak ada hujjah bagi syarat itu.”
Allah l-lah yang memberikan taufiq. (Fatawa An-Nisa’ hal. 132-133, lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 1183, 4909)
2. Tayammum dalam Safar
Seorang musafir hendaknya tidak bermudah-mudah untuk mengganti wudhu dengan tayammum. Telah diajukan pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah tentang masalah ini (fatwa no. 4373).
Pertanyaan: Apakah bertayammum dalam safar itu mutlak (diperbolehkan) walaupun mendapatkan air?
Jawab:
Seorang musafir tidak boleh bertayammum kecuali dalam keadaan sakit yang apabila menggunakan air akan membahayakannya, atau karena tidak bisa menggunakan air atau mendapatkannya. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. Dan jika kalian sakit atau sedang dalam safar atau kembali dari tempat buang air atau kalian telah menggauli istri, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik (suci), usaplah muka dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa’: 43)
Allah l juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai ke siku, dan usaplah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menggauli istri lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci). Usaplah muka dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak berkehendak menyulitkan kalian tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian supaya kalian bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
Allah l mensyaratkan pergantian bersuci dengan air kepada bersuci dengan tanah (tayammum) tatkala mereka tidak mendapatkan air, berdasarkan apa yang shahih dari Nabi n bahwasanya beliau n bersabda:
جُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
“Telah dijadikan bumi ini untuk kita dan tanahnya sebagai tempat sujud dan (dijadikan) tanah itu sebagai alat bersuci (tayammum) apabila kita tidak mendapatkan air.” (HR. Muslim)
Akan tetapi orang sakit yang tidak mampu menggunakan air (sendirian atau dibantu orang lain) atau termudaratkan dengan pemakaian air karena sakit yang ia derita, boleh baginya bertayammum walaupun ada air. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.” (Ath-Taghabun: 16)
Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdur Razaq ‘Afifi
Anggota: Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’u.
3. Bermudah-mudah dalam memaknai rukhshah dalam shalat
a. Shalat fardhu di atas kendaraan
Al-Lajnah Ad-Da’imah telah menjelaskan permasalahan ini sebagaimana dalam fatwa mereka (8/123, no. 1375).
Pertanyaan: Apakah diperbolehkan bagi musafir untuk melakukan shalat fardhu di atas mobil, kereta api, pesawat terbang, atau hewan tunggangan, dalam keadaan ia khawatir terhadap jiwa dan hartanya? Apakah ia shalat (menghadap) kemana pun kendaraan itu mengarah, ataukah ia harus senantiasa menghadap kiblat, ataukah ia menghadap kiblat pada permulaan shalat saja?
Apabila jawaban pertanyaan di atas adalah ya, dan tidak ada kekhawatiran, juga bahwa kendaraannya berhenti pada beberapa tempat dengan waktu sebentar sekali, terkadang jika musafir (penumpang) pergi hendak menunaikan shalat fardhu, kendaraan telah pergi. Sehingga ia akan kehilangan barang (bawaan) atau yang lainnya.
Jawab:
Apabila penumpang mobil, kereta api, pesawat terbang, atau hewan tunggangan khawatir atas dirinya seandainya dia turun melaksanakan shalat fardhu; sementara seandainya dia mengakhirkan shalat tersebut sampai tiba di tempat yang tenang (aman) untuk melakukan shalat di sana, hilanglah waktu shalat tersebut; maka (hendaklah) dia melakukan shalat sesuai kemampuannya, berdasarkan keumuman firman Allah l:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Juga firman Allah l:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)
Juga firman Allah l:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
Adapun keadaan dia shalat menghadap kemana pun kendaraan tersebut mengarah, atau harus selalu menghadap kiblat, atau hanya pada waktu pertama (takbiratul ihram) saja, ini kembali kepada kemampuannya. Apabila dia bisa menghadap kiblat dalam seluruh (gerakan) shalat, dia wajib melakukannya, karena hal itu termasuk salah satu syarat sah shalat fardhu tatkala safar maupun mukim.
Apabila tidak memungkinkan dalam seluruh (gerakan) shalat, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah l sesuai kemampuannya, berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.
Ini semuanya dalam shalat fardhu. Adapun dalam shalat nafilah (sunnah) maka perkaranya lapang. Boleh bagi seorang muslim untuk melakukan shalat di atas kendaraannya kemana pun mengarah, walaupun ia mampu turun pada waktu-waktu shalat. Karena Nabi n melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya kemana pun mengarah. Namun, yang lebih utama adalah menghadap kiblat tatkala takbiratul ihram bila memungkinkan (untuk melakukan) shalat sunnah ketika ia berjalan dalam safar.
Allah l lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga, dan para sahabatnya.
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
b. Shalat fardhu dengan duduk di atas kendaraan dalam keadaan mampu berdiri
Al-Lajnah Ad-Da’imah telah menjelaskan permasalahan ini (8/126, fatwa no. 12087).
Pertanyaan: Apakah boleh shalat fardhu di atas pesawat terbang dalam keadaan duduk padahal mampu untuk berdiri, karena malu?
Jawab:
Tidak boleh melakukan shalat dalam keadaan duduk di atas pesawat terbang ataupun yang lainnya, apabila mampu berdiri. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah l:
“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238)
Juga hadits Imran bin Hushain z yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwasanya Nabi n berkata kepadanya:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka dengan duduk. Jika engkau tidak mampu dengan tidur miring.”
An-Nasa’i t menambahkan dengan sanad yang shahih:
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًَا
“Jika engkau tidak mampu maka dengan telentang.”
Allah l lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga dan para sahabatnya.
Hukum Safar ke Negeri Kafir
Safar ke negeri-negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali terpenuhi tiga syarat:
1. Memiliki ilmu untuk membantah syubhat-syubhat (kerancuan berpikir).
2. Memiliki agama yang mencegahnya dari hawa nafsu.
3. Ada kebuutuhan untuk melakukan safar.
Apabila ketiga syarat ini tidak sempurna/ terpenuhi, maka tidak boleh melakukan safar ke negeri-negeri kafir, karena di dalamnya terdapat fitnah (ujian, cobaan) atau kekhawatiran terjatuh ke dalam fitnah. Di dalamnya juga terkandung penyia-nyiaan harta.
Apabila ada kebutuhan, misalnya untuk berobat atau mencari ilmu yang tidak didapatkan di negerinya, maka hal ini tidaklah mengapa (boleh). Dengan syarat memiliki ilmu dan agama seperti yang telah disebutkan di atas.
Sedangkan safar dalam rangka rekreasi/berlibur ke negeri-negeri kafir, ini bukanlah kebutuhan. Karena dia bisa pergi tamasya ke negeri-negeri Islam yang menjaga penduduknya di atas syariat Islam.
Tinggal di Negeri Kafir
Ada dua syarat pokok untuk tinggal di negeri kafir:
1. Orang yang tinggal merasa aman (tenang) di atas agamanya.
Dia memiliki ilmu dan iman serta kekuatan yang menenangkan dirinya untuk tetap kokoh di atas agamanya. Juga untuk berhati-hati dari berbagai penyimpangan. Dia juga bisa menanamkan permusuhan dan kebenciannya dalam qalbunya terhadap orang-orang kafir, serta menjauhkan diri dari loyalitas dan kecintaan terhadap mereka.
2. Merasa tenang dalam menampakkan syiar-syiar Islam tanpa ada penghalang. Dia tidak dihalangi dari melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
Macam-macam bentuk tinggal di negeri kafir
1. Tinggal di negeri kafir dalam rangka mendakwahkan Islam dan memberikan dorongan untuk (melaksanakan) syariat Islam. Ini termasuk bagian dari jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya, dengan syarat perwujudan dakwah tersebut nyata dan tidak ada yang menghalangi dari dakwah atau menghalangi penerimaan dakwah tersebut. Karena sesungguhnya mendakwahkan Islam termasuk salah satu kewajiban agama. Itu adalah jalan para rasul. Nabi n memerintahkan untuk menyampaikan Islam ini pada setiap waktu dan tempat. Beliau n bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari)
2. Tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengetahui kehidupan mereka seperti rusaknya akidah, batilnya peribadatan, hilangnya akhlak, dan jeleknya perangai mereka, dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan mereka. Juga untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya kepada orang-orang yang mengagumi mereka.
Ini juga termasuk jihad, karena di dalamnya terkandung peringatan dari kekufuran dan para pemeluknya, yang juga meliputi dorongan untuk (melaksanakan syariat) Islam. Namun dengan syarat, tujuan yang hendak dicapai tersebut bisa terwujud tanpa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Apabila tujuan tersebut tidak bisa terwujud karena ada yang menghalanginya, maka tidak ada faedahnya dia tinggal di negeri kafir itu. Bahkan dia wajib menahan diri (untuk tidak tinggal di negeri itu) bila tujuan tercapai namun mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Seperti, mereka membalas perbuatan tersebut dengan mencela Islam, utusan (duta) Islam, dan pemimpin Islam.
Hal ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108)
Yang semisal dengan ini yaitu tinggal di negeri kafir untuk melihat keadaan kaum muslimin di negeri itu, supaya diketahui tipu daya mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin berhati-hati dari mereka.
3. Tinggal di negeri kafir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah (negeri) muslim, serta pengaturan hubungan antara pemerintah muslim dengan pemerintah kafir, seperti kedutaan. Hukumnya disesuaikan dengan alasan tinggal di negeri itu.
4. Tinggal di negeri kafir dalam rangka kebutuhan khusus yang mubah, seperti berbisnis dan berobat. Yang seperti ini diperbolehkan tinggal di negeri itu sesuai dengan kebutuhan.
5. Tinggal di negeri kafir dalam rangka belajar.
Ini termasuk jenis tinggal (di negeri kafir) karena adanya kebutuhan. Namun ini lebih membahayakan agama dan akhlak pelajar tersebut.
Oleh karena itu, wajib untuk lebih berhati-hati dalam bentuk tinggal yang seperti ini daripada bentuk tinggal yang sebelumnya. Disyaratkan juga (selain dua syarat pokok di atas) beberapa hal berikut:
a. Pelajar tersebut memiliki kematangan akal yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang memudaratkan, serta berwawasan jauh ke depan.
b. Memiliki ilmu syariat, yang dengannya dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dengan yang batil (salah), serta mampu mengalahkan kebatilan dengan kebenaran.
c. Memiliki agama yang menjaga (melindungi)nya dari kekufuran dan kefasikan.
d. Butuhnya terhadap ilmu itu, yaitu memberikan maslahat kepada kaum muslimin, dan tidak didapatkan ilmu yang semisalnya di institusi pendidikan di negerinya.
6. Tinggal dalam rangka menetap (menjadi penduduk)
Ini lebih berbahaya dari jenis sebelumnya karena kerusakan-kerusakan yang akan timbul dengan bercampur-baur bersama orang-orang kafir. Juga perasaan dia sebagai warga negara yang diwajibkan dengan tuntutan-tuntutan negara berupa kecintaan, loyalitas, dan memperbanyak jumlah orang kafir. Dia juga mendidik keluarganya di tengah-tengah penduduk yang kafir. Sehingga keluarganya akan menyerap (meniru) akhlak dan kebiasaan orang kafir. Terkadang juga mengikuti mereka dalam permasalahan akidah dan peribadatan.
Oleh karena itu, datang (sebuah berita) dalam hadits Nabi n:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ
“Barangsiapa bergaul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya.”
Hadits ini walaupun sanadnya dhaif, tetapi memiliki sisi untuk diperhitungkan. Karena tinggal bersama (seseorang) itu menuntut untuk menyerupainya.
Diriwayatkan dari Qais bin Hazim, dari Jarir bin Abdullah z, bahwasanya Nabi n bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لَا تُرَاءَى نَارَهُمَا
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah (yang dimaksud tinggal di tengah-tengah mereka itu)?” Rasulullah n menjawab: “Janganlah saling terlihat api (yang ada di rumah) keduanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan kebanyakan perawinya meriwayatkan secara mursal dari Qais bin Hazim, dari Nabi n)
At-Tirmidzi berkata: “Saya mendengar Muhammad –yakni Al-Bukhari– berkata: ‘Yang benar, hadits Qais dari Nabi n adalah mursal’.”
Bagaimana jiwa seorang mukmin akan merasa senang (bahagia) tinggal di negeri-negeri kafir yang ditampakkan kepadanya syiar-syiar kekufuran. Hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain Allah l dan Rasul-Nya n, dalam keadaan ia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya, mendengar dengan kedua telinganya serta ridha dengannya. Bahkan ia menisbatkan diri kepada negeri tersebut. Dia tinggal di negeri tersebut bersama keluarga dan anak-anaknya. Dia merasa tenang dengan negeri tersebut sebagaimana ia merasa tenang dengan negeri-negeri muslimin. Padahal di tempat itu terdapat bahaya besar yang mengintai dirinya, keluarga dan anak-anaknya, dalam hal agama serta akhlak mereka. (Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 131-138, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, dengan beberapa perubahan). Wallahu a’lam.
1 Lihat pengertian mahram, catatan kaki hal. 8
1. Wanita safar tanpa mahram
Adalah anggapan yang keliru bahwa Islam mengesampingkan kaum wanita atau merendahkan mereka. Namun justru sebaliknya. Islam sangat memerhatikan dan memuliakan mereka. Sebagai bentuk penjagaan terhadap mereka, Islam melarang seorang wanita safar sendirian (tanpa mahram) karena wanita bisa mengundang syahwat/fitnah yang bisa menjerumuskan pada perbuatan keji. Di sisi lain, mereka hampir-hampir tidak bisa melindungi diri karena kelemahan dan kekurangan yang ada pada mereka. Dan tidaklah ada yang memiliki kecemburuan untuk melindungi kaum wanita seperti yang dimiliki oleh mahram-mahramnya.
Oleh karena itu, Rasulullah n melarang seorang wanita safar tanpa mahram sebagaimana dalam sabdanya:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahram1nya.” (Muttafaqun alaihi dari Abu Hurairah z)
Atas dasar ini kita nasihatkan kepada para ayah atau para wali agar tidak membiarkan istri, anak perempuan, atau saudarinya safar tanpa mahram. Terlebih lagi hanya dalam rangka bekerja sebagai TKW, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena kita mendengar dan menyaksikan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi akibat mereka safar sendirian (tanpa mahram) ke daerah/negeri lain. Semoga Allah l menyelamatkan kita semua.
Demikian pula apa yang banyak terjadi di negeri kita, sebagian muslimah menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram. Mereka hanya mengikuti rombongan muslimah lain yang memiliki mahram (mahram titip).
Ulama telah menjelaskan tentang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz t dalam fatwanya menjelaskan:
Pertanyaan: Seorang wanita tidak memiliki mahram di mana dia dikenal sebagai wanita yang baik. Dia hendak menunaikan haji fardhu. Bolehkah ia pergi berhaji (ikut) bersama wanita-wanita lain yang memiliki mahram?
Jawaban Asy-Syaikh Ibnu Baz t:
Wanita yang tidak memiliki mahram, tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji. Karena mahram bagi wanita termasuk syarat “menempuh perjalanan”, dan kemampuan untuk “menempuh perjalanan” merupakan syarat diwajibkannya haji (bagi seseorang). Allah l berfirman:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97)
Tidak boleh bagi wanita untuk safar menunaikan haji atau untuk yang selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari, bahwa beliau n bersabda:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi wanita safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahram.”
Juga hadits Ibnu ‘Abbas c bahwa beliau mendengar Nabi n bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak (diperbolehkan) seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali bersama mahram (wanita tersebut), dan tidaklah (diperbolehkan) seorang wanita safar kecuali bersama mahram.”
Maka berdirilah seorang lelaki kemudian berkata: “Wahai Rasullah, sesungguhnya istriku pergi berhaji dan aku telah diwajibkan untuk berangkat perang ini dan itu.” Rasulullah n berkata: “Pulanglah kemudian berhajilah bersama istrimu!”
Yang berpendapat seperti ini adalah Al-Hasan, An-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, dan Ashabur Ra’yi. Ini adalah pendapat yang shahih, karena pendapat ini sesuai dengan keumuman hadits-hadits tentang larangan bagi wanita untuk safar tanpa suami ataupun mahram.
Yang menyelisihi pendapat ini adalah Malik, Asy-Syafi’i, dan Al-Auza’i. Mereka semua mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada hujjah bagi syarat itu. Ibnul Mundzir berkata: “Mereka meninggalkan berpendapat dengan dzahir (teks) hadits, dan mereka semua menyaratkan suatu syarat yang tidak ada hujjah bagi syarat itu.”
Allah l-lah yang memberikan taufiq. (Fatawa An-Nisa’ hal. 132-133, lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 1183, 4909)
2. Tayammum dalam Safar
Seorang musafir hendaknya tidak bermudah-mudah untuk mengganti wudhu dengan tayammum. Telah diajukan pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah tentang masalah ini (fatwa no. 4373).
Pertanyaan: Apakah bertayammum dalam safar itu mutlak (diperbolehkan) walaupun mendapatkan air?
Jawab:
Seorang musafir tidak boleh bertayammum kecuali dalam keadaan sakit yang apabila menggunakan air akan membahayakannya, atau karena tidak bisa menggunakan air atau mendapatkannya. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. Dan jika kalian sakit atau sedang dalam safar atau kembali dari tempat buang air atau kalian telah menggauli istri, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik (suci), usaplah muka dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa’: 43)
Allah l juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai ke siku, dan usaplah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menggauli istri lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci). Usaplah muka dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak berkehendak menyulitkan kalian tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian supaya kalian bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
Allah l mensyaratkan pergantian bersuci dengan air kepada bersuci dengan tanah (tayammum) tatkala mereka tidak mendapatkan air, berdasarkan apa yang shahih dari Nabi n bahwasanya beliau n bersabda:
جُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
“Telah dijadikan bumi ini untuk kita dan tanahnya sebagai tempat sujud dan (dijadikan) tanah itu sebagai alat bersuci (tayammum) apabila kita tidak mendapatkan air.” (HR. Muslim)
Akan tetapi orang sakit yang tidak mampu menggunakan air (sendirian atau dibantu orang lain) atau termudaratkan dengan pemakaian air karena sakit yang ia derita, boleh baginya bertayammum walaupun ada air. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.” (Ath-Taghabun: 16)
Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdur Razaq ‘Afifi
Anggota: Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’u.
3. Bermudah-mudah dalam memaknai rukhshah dalam shalat
a. Shalat fardhu di atas kendaraan
Al-Lajnah Ad-Da’imah telah menjelaskan permasalahan ini sebagaimana dalam fatwa mereka (8/123, no. 1375).
Pertanyaan: Apakah diperbolehkan bagi musafir untuk melakukan shalat fardhu di atas mobil, kereta api, pesawat terbang, atau hewan tunggangan, dalam keadaan ia khawatir terhadap jiwa dan hartanya? Apakah ia shalat (menghadap) kemana pun kendaraan itu mengarah, ataukah ia harus senantiasa menghadap kiblat, ataukah ia menghadap kiblat pada permulaan shalat saja?
Apabila jawaban pertanyaan di atas adalah ya, dan tidak ada kekhawatiran, juga bahwa kendaraannya berhenti pada beberapa tempat dengan waktu sebentar sekali, terkadang jika musafir (penumpang) pergi hendak menunaikan shalat fardhu, kendaraan telah pergi. Sehingga ia akan kehilangan barang (bawaan) atau yang lainnya.
Jawab:
Apabila penumpang mobil, kereta api, pesawat terbang, atau hewan tunggangan khawatir atas dirinya seandainya dia turun melaksanakan shalat fardhu; sementara seandainya dia mengakhirkan shalat tersebut sampai tiba di tempat yang tenang (aman) untuk melakukan shalat di sana, hilanglah waktu shalat tersebut; maka (hendaklah) dia melakukan shalat sesuai kemampuannya, berdasarkan keumuman firman Allah l:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Juga firman Allah l:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)
Juga firman Allah l:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
Adapun keadaan dia shalat menghadap kemana pun kendaraan tersebut mengarah, atau harus selalu menghadap kiblat, atau hanya pada waktu pertama (takbiratul ihram) saja, ini kembali kepada kemampuannya. Apabila dia bisa menghadap kiblat dalam seluruh (gerakan) shalat, dia wajib melakukannya, karena hal itu termasuk salah satu syarat sah shalat fardhu tatkala safar maupun mukim.
Apabila tidak memungkinkan dalam seluruh (gerakan) shalat, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah l sesuai kemampuannya, berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.
Ini semuanya dalam shalat fardhu. Adapun dalam shalat nafilah (sunnah) maka perkaranya lapang. Boleh bagi seorang muslim untuk melakukan shalat di atas kendaraannya kemana pun mengarah, walaupun ia mampu turun pada waktu-waktu shalat. Karena Nabi n melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya kemana pun mengarah. Namun, yang lebih utama adalah menghadap kiblat tatkala takbiratul ihram bila memungkinkan (untuk melakukan) shalat sunnah ketika ia berjalan dalam safar.
Allah l lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga, dan para sahabatnya.
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
b. Shalat fardhu dengan duduk di atas kendaraan dalam keadaan mampu berdiri
Al-Lajnah Ad-Da’imah telah menjelaskan permasalahan ini (8/126, fatwa no. 12087).
Pertanyaan: Apakah boleh shalat fardhu di atas pesawat terbang dalam keadaan duduk padahal mampu untuk berdiri, karena malu?
Jawab:
Tidak boleh melakukan shalat dalam keadaan duduk di atas pesawat terbang ataupun yang lainnya, apabila mampu berdiri. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah l:
“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238)
Juga hadits Imran bin Hushain z yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwasanya Nabi n berkata kepadanya:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka dengan duduk. Jika engkau tidak mampu dengan tidur miring.”
An-Nasa’i t menambahkan dengan sanad yang shahih:
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًَا
“Jika engkau tidak mampu maka dengan telentang.”
Allah l lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga dan para sahabatnya.
Hukum Safar ke Negeri Kafir
Safar ke negeri-negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali terpenuhi tiga syarat:
1. Memiliki ilmu untuk membantah syubhat-syubhat (kerancuan berpikir).
2. Memiliki agama yang mencegahnya dari hawa nafsu.
3. Ada kebuutuhan untuk melakukan safar.
Apabila ketiga syarat ini tidak sempurna/ terpenuhi, maka tidak boleh melakukan safar ke negeri-negeri kafir, karena di dalamnya terdapat fitnah (ujian, cobaan) atau kekhawatiran terjatuh ke dalam fitnah. Di dalamnya juga terkandung penyia-nyiaan harta.
Apabila ada kebutuhan, misalnya untuk berobat atau mencari ilmu yang tidak didapatkan di negerinya, maka hal ini tidaklah mengapa (boleh). Dengan syarat memiliki ilmu dan agama seperti yang telah disebutkan di atas.
Sedangkan safar dalam rangka rekreasi/berlibur ke negeri-negeri kafir, ini bukanlah kebutuhan. Karena dia bisa pergi tamasya ke negeri-negeri Islam yang menjaga penduduknya di atas syariat Islam.
Tinggal di Negeri Kafir
Ada dua syarat pokok untuk tinggal di negeri kafir:
1. Orang yang tinggal merasa aman (tenang) di atas agamanya.
Dia memiliki ilmu dan iman serta kekuatan yang menenangkan dirinya untuk tetap kokoh di atas agamanya. Juga untuk berhati-hati dari berbagai penyimpangan. Dia juga bisa menanamkan permusuhan dan kebenciannya dalam qalbunya terhadap orang-orang kafir, serta menjauhkan diri dari loyalitas dan kecintaan terhadap mereka.
2. Merasa tenang dalam menampakkan syiar-syiar Islam tanpa ada penghalang. Dia tidak dihalangi dari melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
Macam-macam bentuk tinggal di negeri kafir
1. Tinggal di negeri kafir dalam rangka mendakwahkan Islam dan memberikan dorongan untuk (melaksanakan) syariat Islam. Ini termasuk bagian dari jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya, dengan syarat perwujudan dakwah tersebut nyata dan tidak ada yang menghalangi dari dakwah atau menghalangi penerimaan dakwah tersebut. Karena sesungguhnya mendakwahkan Islam termasuk salah satu kewajiban agama. Itu adalah jalan para rasul. Nabi n memerintahkan untuk menyampaikan Islam ini pada setiap waktu dan tempat. Beliau n bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari)
2. Tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengetahui kehidupan mereka seperti rusaknya akidah, batilnya peribadatan, hilangnya akhlak, dan jeleknya perangai mereka, dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan mereka. Juga untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya kepada orang-orang yang mengagumi mereka.
Ini juga termasuk jihad, karena di dalamnya terkandung peringatan dari kekufuran dan para pemeluknya, yang juga meliputi dorongan untuk (melaksanakan syariat) Islam. Namun dengan syarat, tujuan yang hendak dicapai tersebut bisa terwujud tanpa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Apabila tujuan tersebut tidak bisa terwujud karena ada yang menghalanginya, maka tidak ada faedahnya dia tinggal di negeri kafir itu. Bahkan dia wajib menahan diri (untuk tidak tinggal di negeri itu) bila tujuan tercapai namun mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Seperti, mereka membalas perbuatan tersebut dengan mencela Islam, utusan (duta) Islam, dan pemimpin Islam.
Hal ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108)
Yang semisal dengan ini yaitu tinggal di negeri kafir untuk melihat keadaan kaum muslimin di negeri itu, supaya diketahui tipu daya mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin berhati-hati dari mereka.
3. Tinggal di negeri kafir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah (negeri) muslim, serta pengaturan hubungan antara pemerintah muslim dengan pemerintah kafir, seperti kedutaan. Hukumnya disesuaikan dengan alasan tinggal di negeri itu.
4. Tinggal di negeri kafir dalam rangka kebutuhan khusus yang mubah, seperti berbisnis dan berobat. Yang seperti ini diperbolehkan tinggal di negeri itu sesuai dengan kebutuhan.
5. Tinggal di negeri kafir dalam rangka belajar.
Ini termasuk jenis tinggal (di negeri kafir) karena adanya kebutuhan. Namun ini lebih membahayakan agama dan akhlak pelajar tersebut.
Oleh karena itu, wajib untuk lebih berhati-hati dalam bentuk tinggal yang seperti ini daripada bentuk tinggal yang sebelumnya. Disyaratkan juga (selain dua syarat pokok di atas) beberapa hal berikut:
a. Pelajar tersebut memiliki kematangan akal yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang memudaratkan, serta berwawasan jauh ke depan.
b. Memiliki ilmu syariat, yang dengannya dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dengan yang batil (salah), serta mampu mengalahkan kebatilan dengan kebenaran.
c. Memiliki agama yang menjaga (melindungi)nya dari kekufuran dan kefasikan.
d. Butuhnya terhadap ilmu itu, yaitu memberikan maslahat kepada kaum muslimin, dan tidak didapatkan ilmu yang semisalnya di institusi pendidikan di negerinya.
6. Tinggal dalam rangka menetap (menjadi penduduk)
Ini lebih berbahaya dari jenis sebelumnya karena kerusakan-kerusakan yang akan timbul dengan bercampur-baur bersama orang-orang kafir. Juga perasaan dia sebagai warga negara yang diwajibkan dengan tuntutan-tuntutan negara berupa kecintaan, loyalitas, dan memperbanyak jumlah orang kafir. Dia juga mendidik keluarganya di tengah-tengah penduduk yang kafir. Sehingga keluarganya akan menyerap (meniru) akhlak dan kebiasaan orang kafir. Terkadang juga mengikuti mereka dalam permasalahan akidah dan peribadatan.
Oleh karena itu, datang (sebuah berita) dalam hadits Nabi n:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ
“Barangsiapa bergaul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya.”
Hadits ini walaupun sanadnya dhaif, tetapi memiliki sisi untuk diperhitungkan. Karena tinggal bersama (seseorang) itu menuntut untuk menyerupainya.
Diriwayatkan dari Qais bin Hazim, dari Jarir bin Abdullah z, bahwasanya Nabi n bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لَا تُرَاءَى نَارَهُمَا
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah (yang dimaksud tinggal di tengah-tengah mereka itu)?” Rasulullah n menjawab: “Janganlah saling terlihat api (yang ada di rumah) keduanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan kebanyakan perawinya meriwayatkan secara mursal dari Qais bin Hazim, dari Nabi n)
At-Tirmidzi berkata: “Saya mendengar Muhammad –yakni Al-Bukhari– berkata: ‘Yang benar, hadits Qais dari Nabi n adalah mursal’.”
Bagaimana jiwa seorang mukmin akan merasa senang (bahagia) tinggal di negeri-negeri kafir yang ditampakkan kepadanya syiar-syiar kekufuran. Hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain Allah l dan Rasul-Nya n, dalam keadaan ia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya, mendengar dengan kedua telinganya serta ridha dengannya. Bahkan ia menisbatkan diri kepada negeri tersebut. Dia tinggal di negeri tersebut bersama keluarga dan anak-anaknya. Dia merasa tenang dengan negeri tersebut sebagaimana ia merasa tenang dengan negeri-negeri muslimin. Padahal di tempat itu terdapat bahaya besar yang mengintai dirinya, keluarga dan anak-anaknya, dalam hal agama serta akhlak mereka. (Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 131-138, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, dengan beberapa perubahan). Wallahu a’lam.
1 Lihat pengertian mahram, catatan kaki hal. 8
Salat dalam Safar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
Dari Abu Hurairah z, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab, menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum dan tidurnya. Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai dari hajatnya, hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Allah l berfirman:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 28)
Di antara rahmat Allah l yang diberikan kepada hamba-Nya, Allah l memberikan hukum-hukum khusus bagi musafir sesuai dengan kondisinya. Di antara hukum-hukum yang terkait dengan musafir adalah:
Menjama’ Dua Shalat
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menjama’ dua shalat.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa diperbolehkan menjama’ dua shalat dalam safar, baik jama’ taqdim (mengerjakan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang pertama) ataupun ta’khir (mengerjakan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang kedua). Mereka berhujjah dengan:
a. Hadits Ibnu Umar c:
كَانَ النَّبِيُّ n يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ
“Adalah Nabi n menggabungkan antara Maghrib dan Isya apabila beliau terus berjalan cepat (dalam safar).” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Anas bin Malik z:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
“Adalah Nabi n apabila berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan Zhuhur sampai waktu Ashr, kemudian berhenti dan menjama’ antara keduanya. Dan apabila beliau berangkat setelah matahari tergelincir, beliau shalat Zhuhur lalu naik kendaraan (untuk berangkat).” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, Abu Hanifah, dan Ibnu Sirin berpendapat tidak diperbolehkan menjama’ shalat dalam safar, kecuali di Arafah antara Zhuhur dengan Ashar, dan di Muzdalifah antara Maghrib dengan Isya.
Mereka berdalil dengan:
a. Hadits-hadits tentang tauqit (waktu-waktu shalat). Barangsiapa menggabungkan dua shalat berarti tidak mengerjakan shalat pada waktu-waktunya.
b. Hadits Ibnu Mas’ud z, beliau menuturkan:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ n صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَّى الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah n melakukan shalat di luar waktu-waktunya, kecuali dua shalat, beliau menjama’ antara Maghrib dengan Isya, dan shalat shubuh sebelum waktunya.”1 (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pendapat yang kuat, wallahu a’lam, adalah pendapat jumhur ulama. Adapun hadits-hadits tauqit bersifat umum bagi orang yang safar maupun yang mukim. Sedangkan hadits tentang jama’ adalah khusus bagi musafir, sehingga lebih didahulukan. Adapun hadits Ibnu Mas’ud z lebih berisi penafian. Sedangkan hadits-hadits yang disebutkan jumhur berisi penetapan sehingga didahulukan, karena di dalamnya ada tambahan ilmu. Lihat Al-Majmu’ (4/176), Al-Mughni (2/570), Fathul Bari (2/675), dan Asy-Syarhul Mumti’ (4/548).
Diperbolehkan Jama’ Taqdim
Mayoritas ulama membolehkan jama’ taqdim, berdasarkan:
1. Hadits-hadits jama’ di Arafah, di antaranya:
a. Dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Salim telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Al-Hajjaj bin Yusuf bertanya kepada Abdullah bin Umar c, pada tahun Al-Hajjaj memerangi Ibnuz Zubair:
كَيْفَ تَصْنَعُ فِي الْمَوْقِفِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ سَالِمٌ: إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ السُّنَّةَ فَهَجِّرْ بِالصَّلَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: صَدَقَ، إِنَّهُمْ كَانُوا يَجْمَعُونَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي السُّنَّةِ. فَقُلْتُ لِسَالِمٍ: أَفَعَلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ n؟ فَقَالَ سَالِمٌ: وَهَلْ تَتَّبِعُونَ فِي ذَلِكَ إِلَّا سُنَّتَهُ؟
“Bagaimana engkau melakukan shalat di tempat wukuf pada hari Arafah?” Salim berkata: “Jika engkau menginginkan As-Sunnah maka segerakanlah shalat di awal waktu pada hari Arafah.” Abdullah bin Umar c berkata: “Benar. Mereka (para sahabat) menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar dalam As-Sunnah.” Maka aku (Ibnu Syihab) berkata kepada Salim: “Apakah Rasulullah n melakukan demikian?” Lalu Salim berkata: “Bukankah kalian tidak mengikuti dalam permasalahan itu kecuali sunnah beliau n?” (Shahih Al-Bukhari, 4/260)
b. Dari Jabir bin Abdillah c, di dalamnya disebutkan: “Sehingga tatkala matahari telah tergelincir, Rasulullah n menuju tengah lembah kemudian berkhutbah. Setelah itu:
فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Maka Bilal adzan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zhuhur, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat (sunnah) di antara keduanya sedikitpun.” (Shahih Muslim, 8/170)
c. Dari Ibnu Umar c, di dalamnya disebutkan:
حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ رَاحَ رَسُولُ اللهِ n مُهَجِّرًا فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ
“Sehingga tatkala memasuki Zhuhur, Rasulullah n pergi untuk mengerjakan shalat di awal waktu. Kemudian beliau menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar lalu berkhutbah kepada manusia.” (Sunan Abi Dawud, 1/445)
2. Hadits Ali z:
أَنَّهُ كَانَ يَسِيْرُ حَتَّى إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَأَظْلَمَ نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَقُولُ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n يَصْنَعُ
Bahwasanya dulu beliau (Ali z) berjalan (safar), hingga ketika matahari telah terbenam dan hari menjadi gelap, beliau singgah lantas mengerjakan shalat Maghrib kemudian Isya. Beliau lalu berkata: “Demikianlah saya melihat Rasulullah n melakukannya.” (HR. Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad)
Asy-Syaikh Muqbil t berkata: “Hadits ini minimal keadaannya hasan lighairihi. Sehingga dengan ini hadits-hadits tentang jama’ taqdim telah jelas tsabit (shahih) dari Rasulullah n.” (Al-Jam’u baina Ash-Shalatain, hal. 90)
Lihat pula Nailul Authar (2/486) dan Fathul Bari (2/679).
Diperbolehkan menjama’ shalat walaupun sedang singgah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits-hadits jama’ yang mutlak, tidak terkait dengan safar yang terus berjalan atau sedang singgah. Di antaranya adalah Mu’adz ibnu Jabal z, yang diriwayatkan oleh Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa’:
أَنَّ النَّبِيَّ n أَخَّرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ
“Bahwasanya Nabi n mengakhirkan shalat di suatu hari pada perang Tabuk. Kemudian beliau keluar, mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan cara jama’. Lalu beliau masuk (ke dalam tempat istirahatnya), kemudian beliau keluar lalu menjama’ shalat Maghrib dan Isya.”
Ibnu Abdil Barr t berkata: “Hadits ini sanadnya tsabit.”
Asy-Syafi’i t dalam kitabnya Al-Umm, Ibnu Abdil Barr dan Al-Baji menyatakan bahwa masuk dan keluarnya Nabi n (ke dan dari kemahnya), tidaklah terjadi melainkan ketika beliau singgah. Tidak berjalan terus-menerus dalam safar. Dalam hadits ini juga terdapat bantahan yang jelas bagi orang yang berpendapat bahwa shalat tidak dijama’ melainkan bila safarnya terus berjalan.
Adapun Al-Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim, berpendapat tidak dibolehkan menjama’ dua shalat, kecuali bila safarnya berjalan terus. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar c, dahulu apabila beliau terus berjalan dalam safar, beliau menjama’ antara maghrib dan isya. Ibnu Umar z berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
“Bahwasanya Nabi n jika terus berjalan cepat (dalam safar), beliau menjama’ antara keduanya.”
Pendapat yang kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat mayoritas ulama, karena mereka memiliki tambahan pendalilan dalam hadits-haditsnya yang dapat diterima. Juga karena safar itu adalah tempat kelelahan, keberatan, dan kesusahan. Juga karena rukhshah menjama’ tidaklah diberikan melainkan untuk memberi kemudahan dalam safar. Ini merupakan tarjih guru kami Asy-Syaikh Muqbil t sebagaimana dalam Al-Jam’u baina Ash-Shalatain (hal. 73) dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/553). Lihat juga Taisirul ‘Allam (1/220).
Dua shalat dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing shalat dengan satu iqamat
Dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
a. Dua shalat yang dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing satu iqamat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dasar yang mereka gunakan adalah hadits Jabir z dalam Shahih Muslim yang menyebutkan tatacara Nabi n mengerjakan haji wada’ tatkala di Arafah.
ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا –وَفِيهِ: حَتَّى إِذَا أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Kemudian adzan, dan Rasulullah n berdiri lalu shalat Zhuhur. Kemudian berdiri lalu shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
Di dalamnya disebutkan: “Sampai Rasulullah n tiba di Muzdalifah, lalu beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamat. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
b. Sufyan Ats-Tsauri dan sekelompok ulama rahimahumullah yang lain berpendapat cukup dengan satu iqamat untuk dua shalat. Dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar c:
أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ لَهُمَا
“Bahwasanya beliau menjama’ keduanya dengan satu iqamat untuk dua shalat tersebut.”
c. Mazhab Malik
Beliau berpendapat menggabungkan dua shalat dengan dua adzan dan dua iqamat. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud z dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi n mengerjakan dua shalat, masing-masing dengan satu adzan dan satu iqamat.
أَنَّهُ صَلَّى الصَّلَاتَيْنِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
“Bahwasanya beliau n shalat (menggabungkan) dua shalat. Masing-masing shalat dengan satu adzan dan satu iqamat.”
Pendapat yang kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat pertama, sebagaimana dirajihkan Ibnul Qayyim t dalam Tahdzibus Sunnah (3/282) dan diikuti oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam Al-Jam’u baina Ash-Shalatain fir Safar (hal. 98). Lihat juga Taisirul ‘Allam (1/433).
Shalat yang Dijama’
Shalat yang diperbolehkan dijama’ adalah Zhuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan Isya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas c:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
“Adalah Rasulullah n menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar apabila beliau n berjalan (dalam safar), juga menjama’ antara Maghrib dengan Isya.” (HR. Al-Bukhari)
Hukum Mengqashar Shalat dalam Safar
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum mengqashar shalat dalam safar. Berikut ini perinciannya:
1. Wajib mengqashar
Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, Umar ibnul Khaththab, Ibnu Umar, Jabir, dan Ibnu Abbas g. Yang berpendapat seperti ini juga adalah Umar bin Abdil Aziz, Qatadah, Al-Hasan Al-Bashri, Hammad bin Abi Sulaiman, ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah. Dalil mereka adalah sebagai berikut:
a. Rasulullah n terus-menerus mengqashar shalat dalam seluruh safarnya. Tidak shahih bahwa beliau n menyempurnakan shalat (dalam safar), sebagaimana dinyatakan Ibnu Umar c:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ n فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
“Aku menyertai Nabi n, maka beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula Abu Bakr, Umar, dan Utsman -semoga Allah meridhai mereka-.” (HR. Al-Bukhari no. 1102 dan Muslim no. 689)
b. Hadits Aisyah x:
فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
“Shalat itu (pertama kali) diwajibkan dua rakaat. Maka shalat dalam safar tetap (dua rakaat) sedangkan shalat hadhar (mukim) ditambah/disempurnakan (empat rakaat).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Ibnu Abbas c:
إِنَّ اللهَ فَرَضَ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ رَكْعَتَيْنِ وَعَلَى الْمُقِيمِ أَرْبَعًا وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
“Sesungguhnya Allah k telah mewajibkan melalui lisan Nabi kalian bagi musafir shalat dua rakaat, dan bagi orang yang mukim empat rakaat, dan shalat khauf satu rakaat.” (HR. Muslim)
d. Hadits Umar z:
صَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْمُسَافِرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قََصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ n
“Shalat Al-Adha dua rakaat, shalat fajar (subuh) dua rakaat, shalat Al-Fithr dua rakaat, shalat musafir dua rakaat yang sempurna, bukan diqashar sesuai sabda Nabi Muhammad n.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah no. 1063)
e. Hadits Ibnu Umar c, di dalamnya disebutkan:
أَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah n memerintahkan kami agar shalat dua rakaat dalam safar.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban no. 2735, Ibnu Khuzaimah no. 946)
2. Tidak wajib qashar
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama walaupun mereka berbeda pendapat mana yang lebih afdhal (qashar atau sempurna). Hujjah mereka adalah:
a. Firman Allah l:
“Maka tiada mengapa (tiada dosa) bagi kalian (musafir) untuk mengqashar shalat bila kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa’: 101)
Peniadaan dosa (نَفْيُ الْجُنَاحِ) dalam ayat ini menunjukkan bahwa mengqashar shalat adalah rukhshah (keringanan), bukan wajib.
b. Sabda Nabi n ketika ditanya oleh Umar z tentang surat An-Nisa’ ayat 101 di atas, sedangkan keadaan sudah aman. Beliau n berkata:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Qashar itu sedekah yang Allah bersedekah dengannya untuk kalian. Maka terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Kata sedekah menunjukkan bahwa qashar merupakan rukhshah.
c. Hadits Aisyah x:
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ n فِي عُمْرَةِ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ. فَقَالَ: أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ
“Aku safar bersama Nabi n untuk umrah pada bulan Ramadhan. Beliau berbuka sedangkan aku berpuasa. Beliau mengqashar shalat sedangkan aku melaksanakan dengan sempurna. Aku katakan: ‘Bapak dan ibuku menjadi tebusanmu. Engkau berpuasa sedangkan aku berbuka. Engkau mengqashar sedangkan aku menyempurnakan (shalat).’ Maka beliau n bersabda: ‘Wahai Aisyah, engkau benar/baik’.” (HR. Ad-Daraquthni dan An-Nasa’i)
d. Hadits Aisyah x:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ يَقْصُرُ فِي السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيُفْطِرُ وَيَصُومُ
“Bahwasanya Nabi n dahulu mengqashar shalat dalam safar dan terkadang menyempurnakan. Beliau berbuka dan terkadang berpuasa.” (HR. Ad-Daraquthni)
Pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat di atas –wallahu a’lam– adalah pendapat pertama, sebagaimana dirajihkan oleh Asy-Syaukani dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumallah.
Sedangkan dalil-dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama, dijawab dengan jawaban sebagai berikut:
1. Tentang ayat 101 dari surat An-Nisa’
Asy-Syaukani t berkata bahwa ayat tersebut datang dalam rangka menerangkan perintah mengurangi sifat shalat, bukan mengurangi jumlah rakaat. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Al-Hadyu berkata: Sesungguhnya ayat tersebut menunjukkan disyariatkan mengqashar shalat yang mencakup mengurangi rukun-rukunnya dan mengurangi jumlah rakaatnya. Pengurangan tersebut bergantung kepada dua hal:
a. Safar
b. Kondisi khauf (bahaya)
Apabila dua hal itu ada, diperbolehkan mengurangi keduanya (mengurangi rukun shalat dan jumlah rakaatnya). Sehingga shalat khauf dikerjakan dengan mengurangi jumlah rakaatnya dan mengurangi rukun-rukunnya.
Apabila kedua hal tadi tidak ada (yakni dalam keadaan aman dan mukim/tidak safar) maka shalat dikerjakan secara sempurna.
Apabila dalam keadaan khauf (bahaya) dan tidak safar, maka rukun-rukunnya dikurangi namun jumlah rakaatnya disempurnakan. Ini adalah suatu jenis qashar, dan di dalam ayat 101 surat An-Nisa’ bukanlah qashar secara mutlak.
Apabila dalam keadaan safar namun aman, maka jumlah rakaatnya dikurangi (diqashar) namun rukun-rukunnya tetap dikerjakan secara sempurna. Ini juga termasuk jenis qashar, tetapi bukan qashar mutlak. Shalat ini telah diqashar jika dilihat dari jumlah rakaatnya, namun sempurna dilihat dari kesempurnaan rukun-rukunnya, walaupun tidak masuk dalam makna ayat 101 dari surat An-Nisa’. –selesai ucapan beliau– (Nailul Authar, 2/472)
Dari sisi yang lain, Allah l juga menafikan junah (dosa) pada perkara yang wajib. Seperti dalam firman Allah l:
“Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (Al-Baqarah: 158)
Padahal thawaf di sini adalah thawaf ifadhah menurut kesepakatan ulama, yang merupakan rukun haji.
2. Tentang hadits Umar z
Dalam akhir hadits Rasulullah n memerintahkan untuk menerima sedekah tersebut yang menunjukkan bahwa musafir tidak bisa menghindar dari menerimanya. (Nailul Authar, 2/472)
Demikian pula, lafadz sedekah bisa menunjukkan sesuatu yang wajib. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya sedekah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ….” (At-Taubah: 60)
3. Tentang dua hadits dari Aisyah x, semuanya dhaif. Lihat Irwa’ul Ghalil (3/7), At-Talkhis Al-Habir (2/549), Zadul Ma’ad (1/447).
Adapun perbuatan Utsman z menyempurnakan shalat di Mina telah diingkari oleh Ibnu Mas’ud z, sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dengan menyatakan:
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku shalat bersama Nabi n di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakr di Mina dua rakaat, bersama Umar ibnul Khaththab dua rakaat.
فَلَيْتَ حَظِّي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ
Andaikata bagianku dari empat rakat, dua rakaat yang diterima (oleh Allah l).”
Tidaklah Ibnu Mas’ud z mengingkari perbuatan Utsman z karena melakukan dua perkara yang sama-sama boleh. Tentunya, beliau mengingkari karena telah melihat langsung bahwa Nabi n dan khalifah-khalifah setelahnya selalu shalat dua rakaat dalam safar. Lihat Zadul Ma’ad (1/451).Wallahu a’lam bish-shawab.
Lihat pula Nailul Authar (2/473), Al-Jam’u baina Ash-Shalatain (hal. 101), Ijabatus Sa’il (hal. 473).
Shalat yang Diqashar
Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Al-Mughni (2/559) berkata: Ibnul Mundzir t berkata: “Ahli ilmu telah sepakat bahwa tidak ada qashar untuk shalat Maghrib dan Subuh. Namun qashar itu pada shalat ruba’iyyah (yang empat rakaat).”
Shalat Musafir di Belakang Orang Yang Mukim
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t menjelaskan masalah ini dalam risalahnya Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar (hal. 101): “Dia hendaknya mengikuti imam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan dari Musa bin Salamah t.
كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ n
“Dahulu kami bersama Ibnu Abbas c di Makkah. Kemudian aku berkata: ‘Dulu, ketika kami bersamamu, kita shalat empat rakaat. Dan apabila kami kembali ke tempat tinggal kami, kami shalat dua rakaat.’ Ibnu Abbas c berkata: ‘Itu adalah sunnah Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad n)’.”
Asal hadits ini ada dalam Shahih Muslim.
Sopir yang Terus-Menerus Melakukan Safar
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan dalam Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar (hal. 108): “Hukum yang berlaku baginya sama dengan hukum musafir yang tidak terus-menerus, berdasarkan keumuman dalil-dalil safar. Dia wajib mengqashar shalat dan boleh berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah l:
“Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Sampai Kapan Seorang Musafir Mengqashar Shalat?
Pertanyaan: Terjadi perdebatan antara saya dengan salah seorang teman saya dari Arab tentang mengqashar shalat dalam keadaan kami berada di Amerika. Terkadang kami tinggal di sana (hingga) dua tahun. Maka saya menyempurnakan shalat seperti ketika saya berada di negara saya. Sedangkan teman saya mengqashar shalat karena ia menganggap dirinya adalah musafir meskipun waktunya sampai dua tahun. Maka kami mengharap penjelasan tentang hukum mengqashar shalat sesuai dengan kondisi kami beserta dalilnya!
Jawab:
Pada dasarnya, yang berhak mendapat rukhshah (keringanan) dalam mengqashar shalat ruba’iyyah (empat rakaat) adalah seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan. Berdasarkan firman Allah l:
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” (An-Nisa’: 101)
Juga perkataan Ya’la bin Umayyah: “Saya berkata kepada Umar ibnul Khaththab z:
‘Maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat jika kalian takut diserang orang-orang kafir.’
Kemudian beliau z berkata:
عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ n فَقَالَ: هِيَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَةتَهُ
“Aku juga heran tentang hal yang engkau herankan. Maka aku (Umar) menanyakannya kepada Rasulullah n, lalu beliau bersabda: ‘Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya kepada kalian. Maka terimalah sedekah-Nya’.” (HR. Muslim)
Termasuk dalam kelompok musafir yang sedang melakukan perjalanan adalah seseorang yang mukim (di suatu tempat) selama 4 hari 4 malam atau kurang. Berdasarkan apa yang shahih dari hadits Jabir dan Ibnu Abbas g, bahwasanya saat haji Wada’, Nabi n tiba di Makkah pada waktu Subuh tanggal 4 Dzulhijjah. Kemudian beliau n mukim pada tanggal 4, 5, 6, dan 7. Beliau shalat subuh di Al-Abthah pada tanggal 8. Beliau mengqashar shalat pada hari-hari ini (tanggal 4, 5, 6, dan 7). Sungguh beliau telah berniat untuk bermukim di Makkah sebagaimana hal itu telah diketahui. Maka, setiap musafir yang berniat untuk mukim semisal dengan mukim Nabi n atau kurang dari itu, ia mengqashar shalat.
Sedangkan barangsiapa yang berniat untuk mukim lebih dari itu maka ia menyempurnakan shalat, karena ia tidak dihukumi sebagai musafir.
Adapun orang yang bermukim dalam safarnya lebih dari empat hari dan belum berniat untuk mukim, bahkan ia bertekad jika urusannya telah selesai maka ia akan kembali; seperti orang yang tinggal di area jihad melawan musuh, atau ia ditahan oleh penguasa, atau sakit misalnya; dan ia berniat (1) apabila telah selesai dari jihadnya dengan adanya pertolongan Allah l atau perjanjian (damai); atau (2) ia terlepas dari sesuatu yang menahannya, berupa sakit, kekuatan musuh penguasa, atau musuh melarikan diri, atau (3) dalam rangka menjual barang dagangan; atau yang semisalnya, maka ia dianggap sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar shalat ruba’iyyah walaupun dalam waktu yang lama. Berdasarkan apa yang telah shahih dari Nabi n bahwasanya beliau n bermukim di Makkah selama 19 hari dan beliau mengqashar shalat. Beliau n juga bermukim di Tabuk selama 20 hari dalam rangka berjihad melawan orang-orang Nasrani. Namun beliau shalat bersama para sahabatnya secara qashar, karena beliau tidak berniat untuk mukim. Beliau n berniat untuk safar, di mana apabila telah selesai urusannya, (beliau n akan kembali, pen.).
Wabillahit taufiq, washallallahu ala nabiyyina Muhammad, wa alihi washahbihi wasallam.
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, no. 1813)
1 Sebelum waktu yang biasanya beliau n melakukan shalat itu padanya, namun tetap setelah masuk waktu shalat. Lihat Fathul Bari. -ed
Dari Abu Hurairah z, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab, menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum dan tidurnya. Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai dari hajatnya, hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Allah l berfirman:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 28)
Di antara rahmat Allah l yang diberikan kepada hamba-Nya, Allah l memberikan hukum-hukum khusus bagi musafir sesuai dengan kondisinya. Di antara hukum-hukum yang terkait dengan musafir adalah:
Menjama’ Dua Shalat
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menjama’ dua shalat.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa diperbolehkan menjama’ dua shalat dalam safar, baik jama’ taqdim (mengerjakan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang pertama) ataupun ta’khir (mengerjakan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang kedua). Mereka berhujjah dengan:
a. Hadits Ibnu Umar c:
كَانَ النَّبِيُّ n يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ
“Adalah Nabi n menggabungkan antara Maghrib dan Isya apabila beliau terus berjalan cepat (dalam safar).” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Anas bin Malik z:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
“Adalah Nabi n apabila berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan Zhuhur sampai waktu Ashr, kemudian berhenti dan menjama’ antara keduanya. Dan apabila beliau berangkat setelah matahari tergelincir, beliau shalat Zhuhur lalu naik kendaraan (untuk berangkat).” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Al-Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, Abu Hanifah, dan Ibnu Sirin berpendapat tidak diperbolehkan menjama’ shalat dalam safar, kecuali di Arafah antara Zhuhur dengan Ashar, dan di Muzdalifah antara Maghrib dengan Isya.
Mereka berdalil dengan:
a. Hadits-hadits tentang tauqit (waktu-waktu shalat). Barangsiapa menggabungkan dua shalat berarti tidak mengerjakan shalat pada waktu-waktunya.
b. Hadits Ibnu Mas’ud z, beliau menuturkan:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ n صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَّى الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah n melakukan shalat di luar waktu-waktunya, kecuali dua shalat, beliau menjama’ antara Maghrib dengan Isya, dan shalat shubuh sebelum waktunya.”1 (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pendapat yang kuat, wallahu a’lam, adalah pendapat jumhur ulama. Adapun hadits-hadits tauqit bersifat umum bagi orang yang safar maupun yang mukim. Sedangkan hadits tentang jama’ adalah khusus bagi musafir, sehingga lebih didahulukan. Adapun hadits Ibnu Mas’ud z lebih berisi penafian. Sedangkan hadits-hadits yang disebutkan jumhur berisi penetapan sehingga didahulukan, karena di dalamnya ada tambahan ilmu. Lihat Al-Majmu’ (4/176), Al-Mughni (2/570), Fathul Bari (2/675), dan Asy-Syarhul Mumti’ (4/548).
Diperbolehkan Jama’ Taqdim
Mayoritas ulama membolehkan jama’ taqdim, berdasarkan:
1. Hadits-hadits jama’ di Arafah, di antaranya:
a. Dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Salim telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Al-Hajjaj bin Yusuf bertanya kepada Abdullah bin Umar c, pada tahun Al-Hajjaj memerangi Ibnuz Zubair:
كَيْفَ تَصْنَعُ فِي الْمَوْقِفِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ سَالِمٌ: إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ السُّنَّةَ فَهَجِّرْ بِالصَّلَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: صَدَقَ، إِنَّهُمْ كَانُوا يَجْمَعُونَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي السُّنَّةِ. فَقُلْتُ لِسَالِمٍ: أَفَعَلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ n؟ فَقَالَ سَالِمٌ: وَهَلْ تَتَّبِعُونَ فِي ذَلِكَ إِلَّا سُنَّتَهُ؟
“Bagaimana engkau melakukan shalat di tempat wukuf pada hari Arafah?” Salim berkata: “Jika engkau menginginkan As-Sunnah maka segerakanlah shalat di awal waktu pada hari Arafah.” Abdullah bin Umar c berkata: “Benar. Mereka (para sahabat) menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar dalam As-Sunnah.” Maka aku (Ibnu Syihab) berkata kepada Salim: “Apakah Rasulullah n melakukan demikian?” Lalu Salim berkata: “Bukankah kalian tidak mengikuti dalam permasalahan itu kecuali sunnah beliau n?” (Shahih Al-Bukhari, 4/260)
b. Dari Jabir bin Abdillah c, di dalamnya disebutkan: “Sehingga tatkala matahari telah tergelincir, Rasulullah n menuju tengah lembah kemudian berkhutbah. Setelah itu:
فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Maka Bilal adzan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zhuhur, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat (sunnah) di antara keduanya sedikitpun.” (Shahih Muslim, 8/170)
c. Dari Ibnu Umar c, di dalamnya disebutkan:
حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ رَاحَ رَسُولُ اللهِ n مُهَجِّرًا فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ
“Sehingga tatkala memasuki Zhuhur, Rasulullah n pergi untuk mengerjakan shalat di awal waktu. Kemudian beliau menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar lalu berkhutbah kepada manusia.” (Sunan Abi Dawud, 1/445)
2. Hadits Ali z:
أَنَّهُ كَانَ يَسِيْرُ حَتَّى إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَأَظْلَمَ نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَقُولُ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n يَصْنَعُ
Bahwasanya dulu beliau (Ali z) berjalan (safar), hingga ketika matahari telah terbenam dan hari menjadi gelap, beliau singgah lantas mengerjakan shalat Maghrib kemudian Isya. Beliau lalu berkata: “Demikianlah saya melihat Rasulullah n melakukannya.” (HR. Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad)
Asy-Syaikh Muqbil t berkata: “Hadits ini minimal keadaannya hasan lighairihi. Sehingga dengan ini hadits-hadits tentang jama’ taqdim telah jelas tsabit (shahih) dari Rasulullah n.” (Al-Jam’u baina Ash-Shalatain, hal. 90)
Lihat pula Nailul Authar (2/486) dan Fathul Bari (2/679).
Diperbolehkan menjama’ shalat walaupun sedang singgah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits-hadits jama’ yang mutlak, tidak terkait dengan safar yang terus berjalan atau sedang singgah. Di antaranya adalah Mu’adz ibnu Jabal z, yang diriwayatkan oleh Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa’:
أَنَّ النَّبِيَّ n أَخَّرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ
“Bahwasanya Nabi n mengakhirkan shalat di suatu hari pada perang Tabuk. Kemudian beliau keluar, mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan cara jama’. Lalu beliau masuk (ke dalam tempat istirahatnya), kemudian beliau keluar lalu menjama’ shalat Maghrib dan Isya.”
Ibnu Abdil Barr t berkata: “Hadits ini sanadnya tsabit.”
Asy-Syafi’i t dalam kitabnya Al-Umm, Ibnu Abdil Barr dan Al-Baji menyatakan bahwa masuk dan keluarnya Nabi n (ke dan dari kemahnya), tidaklah terjadi melainkan ketika beliau singgah. Tidak berjalan terus-menerus dalam safar. Dalam hadits ini juga terdapat bantahan yang jelas bagi orang yang berpendapat bahwa shalat tidak dijama’ melainkan bila safarnya terus berjalan.
Adapun Al-Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim, berpendapat tidak dibolehkan menjama’ dua shalat, kecuali bila safarnya berjalan terus. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar c, dahulu apabila beliau terus berjalan dalam safar, beliau menjama’ antara maghrib dan isya. Ibnu Umar z berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
“Bahwasanya Nabi n jika terus berjalan cepat (dalam safar), beliau menjama’ antara keduanya.”
Pendapat yang kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat mayoritas ulama, karena mereka memiliki tambahan pendalilan dalam hadits-haditsnya yang dapat diterima. Juga karena safar itu adalah tempat kelelahan, keberatan, dan kesusahan. Juga karena rukhshah menjama’ tidaklah diberikan melainkan untuk memberi kemudahan dalam safar. Ini merupakan tarjih guru kami Asy-Syaikh Muqbil t sebagaimana dalam Al-Jam’u baina Ash-Shalatain (hal. 73) dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/553). Lihat juga Taisirul ‘Allam (1/220).
Dua shalat dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing shalat dengan satu iqamat
Dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
a. Dua shalat yang dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing satu iqamat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dasar yang mereka gunakan adalah hadits Jabir z dalam Shahih Muslim yang menyebutkan tatacara Nabi n mengerjakan haji wada’ tatkala di Arafah.
ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا –وَفِيهِ: حَتَّى إِذَا أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Kemudian adzan, dan Rasulullah n berdiri lalu shalat Zhuhur. Kemudian berdiri lalu shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
Di dalamnya disebutkan: “Sampai Rasulullah n tiba di Muzdalifah, lalu beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamat. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
b. Sufyan Ats-Tsauri dan sekelompok ulama rahimahumullah yang lain berpendapat cukup dengan satu iqamat untuk dua shalat. Dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar c:
أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ لَهُمَا
“Bahwasanya beliau menjama’ keduanya dengan satu iqamat untuk dua shalat tersebut.”
c. Mazhab Malik
Beliau berpendapat menggabungkan dua shalat dengan dua adzan dan dua iqamat. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud z dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi n mengerjakan dua shalat, masing-masing dengan satu adzan dan satu iqamat.
أَنَّهُ صَلَّى الصَّلَاتَيْنِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
“Bahwasanya beliau n shalat (menggabungkan) dua shalat. Masing-masing shalat dengan satu adzan dan satu iqamat.”
Pendapat yang kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat pertama, sebagaimana dirajihkan Ibnul Qayyim t dalam Tahdzibus Sunnah (3/282) dan diikuti oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam Al-Jam’u baina Ash-Shalatain fir Safar (hal. 98). Lihat juga Taisirul ‘Allam (1/433).
Shalat yang Dijama’
Shalat yang diperbolehkan dijama’ adalah Zhuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan Isya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas c:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
“Adalah Rasulullah n menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar apabila beliau n berjalan (dalam safar), juga menjama’ antara Maghrib dengan Isya.” (HR. Al-Bukhari)
Hukum Mengqashar Shalat dalam Safar
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum mengqashar shalat dalam safar. Berikut ini perinciannya:
1. Wajib mengqashar
Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, Umar ibnul Khaththab, Ibnu Umar, Jabir, dan Ibnu Abbas g. Yang berpendapat seperti ini juga adalah Umar bin Abdil Aziz, Qatadah, Al-Hasan Al-Bashri, Hammad bin Abi Sulaiman, ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah. Dalil mereka adalah sebagai berikut:
a. Rasulullah n terus-menerus mengqashar shalat dalam seluruh safarnya. Tidak shahih bahwa beliau n menyempurnakan shalat (dalam safar), sebagaimana dinyatakan Ibnu Umar c:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ n فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
“Aku menyertai Nabi n, maka beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula Abu Bakr, Umar, dan Utsman -semoga Allah meridhai mereka-.” (HR. Al-Bukhari no. 1102 dan Muslim no. 689)
b. Hadits Aisyah x:
فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
“Shalat itu (pertama kali) diwajibkan dua rakaat. Maka shalat dalam safar tetap (dua rakaat) sedangkan shalat hadhar (mukim) ditambah/disempurnakan (empat rakaat).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Ibnu Abbas c:
إِنَّ اللهَ فَرَضَ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ رَكْعَتَيْنِ وَعَلَى الْمُقِيمِ أَرْبَعًا وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
“Sesungguhnya Allah k telah mewajibkan melalui lisan Nabi kalian bagi musafir shalat dua rakaat, dan bagi orang yang mukim empat rakaat, dan shalat khauf satu rakaat.” (HR. Muslim)
d. Hadits Umar z:
صَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْمُسَافِرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قََصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ n
“Shalat Al-Adha dua rakaat, shalat fajar (subuh) dua rakaat, shalat Al-Fithr dua rakaat, shalat musafir dua rakaat yang sempurna, bukan diqashar sesuai sabda Nabi Muhammad n.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah no. 1063)
e. Hadits Ibnu Umar c, di dalamnya disebutkan:
أَمَرَنَا أَنْ نُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah n memerintahkan kami agar shalat dua rakaat dalam safar.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban no. 2735, Ibnu Khuzaimah no. 946)
2. Tidak wajib qashar
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama walaupun mereka berbeda pendapat mana yang lebih afdhal (qashar atau sempurna). Hujjah mereka adalah:
a. Firman Allah l:
“Maka tiada mengapa (tiada dosa) bagi kalian (musafir) untuk mengqashar shalat bila kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa’: 101)
Peniadaan dosa (نَفْيُ الْجُنَاحِ) dalam ayat ini menunjukkan bahwa mengqashar shalat adalah rukhshah (keringanan), bukan wajib.
b. Sabda Nabi n ketika ditanya oleh Umar z tentang surat An-Nisa’ ayat 101 di atas, sedangkan keadaan sudah aman. Beliau n berkata:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Qashar itu sedekah yang Allah bersedekah dengannya untuk kalian. Maka terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Kata sedekah menunjukkan bahwa qashar merupakan rukhshah.
c. Hadits Aisyah x:
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ n فِي عُمْرَةِ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ. فَقَالَ: أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ
“Aku safar bersama Nabi n untuk umrah pada bulan Ramadhan. Beliau berbuka sedangkan aku berpuasa. Beliau mengqashar shalat sedangkan aku melaksanakan dengan sempurna. Aku katakan: ‘Bapak dan ibuku menjadi tebusanmu. Engkau berpuasa sedangkan aku berbuka. Engkau mengqashar sedangkan aku menyempurnakan (shalat).’ Maka beliau n bersabda: ‘Wahai Aisyah, engkau benar/baik’.” (HR. Ad-Daraquthni dan An-Nasa’i)
d. Hadits Aisyah x:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ يَقْصُرُ فِي السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيُفْطِرُ وَيَصُومُ
“Bahwasanya Nabi n dahulu mengqashar shalat dalam safar dan terkadang menyempurnakan. Beliau berbuka dan terkadang berpuasa.” (HR. Ad-Daraquthni)
Pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat di atas –wallahu a’lam– adalah pendapat pertama, sebagaimana dirajihkan oleh Asy-Syaukani dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumallah.
Sedangkan dalil-dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama, dijawab dengan jawaban sebagai berikut:
1. Tentang ayat 101 dari surat An-Nisa’
Asy-Syaukani t berkata bahwa ayat tersebut datang dalam rangka menerangkan perintah mengurangi sifat shalat, bukan mengurangi jumlah rakaat. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Al-Hadyu berkata: Sesungguhnya ayat tersebut menunjukkan disyariatkan mengqashar shalat yang mencakup mengurangi rukun-rukunnya dan mengurangi jumlah rakaatnya. Pengurangan tersebut bergantung kepada dua hal:
a. Safar
b. Kondisi khauf (bahaya)
Apabila dua hal itu ada, diperbolehkan mengurangi keduanya (mengurangi rukun shalat dan jumlah rakaatnya). Sehingga shalat khauf dikerjakan dengan mengurangi jumlah rakaatnya dan mengurangi rukun-rukunnya.
Apabila kedua hal tadi tidak ada (yakni dalam keadaan aman dan mukim/tidak safar) maka shalat dikerjakan secara sempurna.
Apabila dalam keadaan khauf (bahaya) dan tidak safar, maka rukun-rukunnya dikurangi namun jumlah rakaatnya disempurnakan. Ini adalah suatu jenis qashar, dan di dalam ayat 101 surat An-Nisa’ bukanlah qashar secara mutlak.
Apabila dalam keadaan safar namun aman, maka jumlah rakaatnya dikurangi (diqashar) namun rukun-rukunnya tetap dikerjakan secara sempurna. Ini juga termasuk jenis qashar, tetapi bukan qashar mutlak. Shalat ini telah diqashar jika dilihat dari jumlah rakaatnya, namun sempurna dilihat dari kesempurnaan rukun-rukunnya, walaupun tidak masuk dalam makna ayat 101 dari surat An-Nisa’. –selesai ucapan beliau– (Nailul Authar, 2/472)
Dari sisi yang lain, Allah l juga menafikan junah (dosa) pada perkara yang wajib. Seperti dalam firman Allah l:
“Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (Al-Baqarah: 158)
Padahal thawaf di sini adalah thawaf ifadhah menurut kesepakatan ulama, yang merupakan rukun haji.
2. Tentang hadits Umar z
Dalam akhir hadits Rasulullah n memerintahkan untuk menerima sedekah tersebut yang menunjukkan bahwa musafir tidak bisa menghindar dari menerimanya. (Nailul Authar, 2/472)
Demikian pula, lafadz sedekah bisa menunjukkan sesuatu yang wajib. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya sedekah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ….” (At-Taubah: 60)
3. Tentang dua hadits dari Aisyah x, semuanya dhaif. Lihat Irwa’ul Ghalil (3/7), At-Talkhis Al-Habir (2/549), Zadul Ma’ad (1/447).
Adapun perbuatan Utsman z menyempurnakan shalat di Mina telah diingkari oleh Ibnu Mas’ud z, sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dengan menyatakan:
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku shalat bersama Nabi n di Mina dua rakaat, bersama Abu Bakr di Mina dua rakaat, bersama Umar ibnul Khaththab dua rakaat.
فَلَيْتَ حَظِّي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ
Andaikata bagianku dari empat rakat, dua rakaat yang diterima (oleh Allah l).”
Tidaklah Ibnu Mas’ud z mengingkari perbuatan Utsman z karena melakukan dua perkara yang sama-sama boleh. Tentunya, beliau mengingkari karena telah melihat langsung bahwa Nabi n dan khalifah-khalifah setelahnya selalu shalat dua rakaat dalam safar. Lihat Zadul Ma’ad (1/451).Wallahu a’lam bish-shawab.
Lihat pula Nailul Authar (2/473), Al-Jam’u baina Ash-Shalatain (hal. 101), Ijabatus Sa’il (hal. 473).
Shalat yang Diqashar
Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Al-Mughni (2/559) berkata: Ibnul Mundzir t berkata: “Ahli ilmu telah sepakat bahwa tidak ada qashar untuk shalat Maghrib dan Subuh. Namun qashar itu pada shalat ruba’iyyah (yang empat rakaat).”
Shalat Musafir di Belakang Orang Yang Mukim
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t menjelaskan masalah ini dalam risalahnya Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar (hal. 101): “Dia hendaknya mengikuti imam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan dari Musa bin Salamah t.
كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ n
“Dahulu kami bersama Ibnu Abbas c di Makkah. Kemudian aku berkata: ‘Dulu, ketika kami bersamamu, kita shalat empat rakaat. Dan apabila kami kembali ke tempat tinggal kami, kami shalat dua rakaat.’ Ibnu Abbas c berkata: ‘Itu adalah sunnah Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad n)’.”
Asal hadits ini ada dalam Shahih Muslim.
Sopir yang Terus-Menerus Melakukan Safar
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan dalam Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar (hal. 108): “Hukum yang berlaku baginya sama dengan hukum musafir yang tidak terus-menerus, berdasarkan keumuman dalil-dalil safar. Dia wajib mengqashar shalat dan boleh berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah l:
“Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Sampai Kapan Seorang Musafir Mengqashar Shalat?
Pertanyaan: Terjadi perdebatan antara saya dengan salah seorang teman saya dari Arab tentang mengqashar shalat dalam keadaan kami berada di Amerika. Terkadang kami tinggal di sana (hingga) dua tahun. Maka saya menyempurnakan shalat seperti ketika saya berada di negara saya. Sedangkan teman saya mengqashar shalat karena ia menganggap dirinya adalah musafir meskipun waktunya sampai dua tahun. Maka kami mengharap penjelasan tentang hukum mengqashar shalat sesuai dengan kondisi kami beserta dalilnya!
Jawab:
Pada dasarnya, yang berhak mendapat rukhshah (keringanan) dalam mengqashar shalat ruba’iyyah (empat rakaat) adalah seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan. Berdasarkan firman Allah l:
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat.” (An-Nisa’: 101)
Juga perkataan Ya’la bin Umayyah: “Saya berkata kepada Umar ibnul Khaththab z:
‘Maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat jika kalian takut diserang orang-orang kafir.’
Kemudian beliau z berkata:
عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ n فَقَالَ: هِيَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَةتَهُ
“Aku juga heran tentang hal yang engkau herankan. Maka aku (Umar) menanyakannya kepada Rasulullah n, lalu beliau bersabda: ‘Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya kepada kalian. Maka terimalah sedekah-Nya’.” (HR. Muslim)
Termasuk dalam kelompok musafir yang sedang melakukan perjalanan adalah seseorang yang mukim (di suatu tempat) selama 4 hari 4 malam atau kurang. Berdasarkan apa yang shahih dari hadits Jabir dan Ibnu Abbas g, bahwasanya saat haji Wada’, Nabi n tiba di Makkah pada waktu Subuh tanggal 4 Dzulhijjah. Kemudian beliau n mukim pada tanggal 4, 5, 6, dan 7. Beliau shalat subuh di Al-Abthah pada tanggal 8. Beliau mengqashar shalat pada hari-hari ini (tanggal 4, 5, 6, dan 7). Sungguh beliau telah berniat untuk bermukim di Makkah sebagaimana hal itu telah diketahui. Maka, setiap musafir yang berniat untuk mukim semisal dengan mukim Nabi n atau kurang dari itu, ia mengqashar shalat.
Sedangkan barangsiapa yang berniat untuk mukim lebih dari itu maka ia menyempurnakan shalat, karena ia tidak dihukumi sebagai musafir.
Adapun orang yang bermukim dalam safarnya lebih dari empat hari dan belum berniat untuk mukim, bahkan ia bertekad jika urusannya telah selesai maka ia akan kembali; seperti orang yang tinggal di area jihad melawan musuh, atau ia ditahan oleh penguasa, atau sakit misalnya; dan ia berniat (1) apabila telah selesai dari jihadnya dengan adanya pertolongan Allah l atau perjanjian (damai); atau (2) ia terlepas dari sesuatu yang menahannya, berupa sakit, kekuatan musuh penguasa, atau musuh melarikan diri, atau (3) dalam rangka menjual barang dagangan; atau yang semisalnya, maka ia dianggap sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar shalat ruba’iyyah walaupun dalam waktu yang lama. Berdasarkan apa yang telah shahih dari Nabi n bahwasanya beliau n bermukim di Makkah selama 19 hari dan beliau mengqashar shalat. Beliau n juga bermukim di Tabuk selama 20 hari dalam rangka berjihad melawan orang-orang Nasrani. Namun beliau shalat bersama para sahabatnya secara qashar, karena beliau tidak berniat untuk mukim. Beliau n berniat untuk safar, di mana apabila telah selesai urusannya, (beliau n akan kembali, pen.).
Wabillahit taufiq, washallallahu ala nabiyyina Muhammad, wa alihi washahbihi wasallam.
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, no. 1813)
1 Sebelum waktu yang biasanya beliau n melakukan shalat itu padanya, namun tetap setelah masuk waktu shalat. Lihat Fathul Bari. -ed
Adab-adab Safar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
1. Istikharah Sebelum Safar
Apabila seseorang bertekad untuk melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah l. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi n: فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا (pada seluruh perkara): “Lafadz ini umum namun yang dimaksud adalah khusus. Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.” (Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Safar
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan. Allah l berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)
Perintah ini ditujukan kepada Nabi n, padahal beliau n adalah manusia yang paling baik dan paling benar pandangannya. Beliau n bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Demikian pula khalifah-khalifah setelahnya, mengajak orang-orang yang shalih dan memiliki pandangan yang baik untuk bermusyawarah dengan mereka. (Syarh Riyadhis Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, 2/520)
Maka, bermusyawarah sebelum safar merupakan petunjuk Nabi n yang seharusnya diikuti.
3. Menyiapkan Bekal Safar
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t berkata: “Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121)
Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas c, beliau berkata: “Penduduk Yaman pernah naik haji tanpa membawa bekal. Mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah l.’ Setelah tiba di Makkah, ternyata mereka meminta-minta kepada orang-orang di sana. Lalu Allah l menurunkan ayat teguran:
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (Al-Baqarah: 197) [Shahih Al-Bukhari no. 1523]
Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (3/449) berkata: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat faedah bahwa meninggalkan meminta-minta kepada orang lain termasuk ketakwaan’.”
4. Membawa Teman dalam Safar
Dianjurkan bagi musafir untuk membawa teman yang bisa membantu tatkala dibutuhkan. Rasulullah n bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Seandainya manusia mengetahui apa-apa yang ada pada safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka seorang musafir tidak akan melakukan safar pada malam hari sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 2998 dari Ibnu Umar c)
Adapun hadits Jabir bin Abdullah c:
نَدَبَ رَسُوْلُ اللهِ n النَّاسَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ ثُمَّ –ثَلَاثَ مَرَّاتٍ- فَقَالَ النَّبِيُّ n: لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيٌّ وَحَوَارِيَّ الزُّبَيْرُ
“Pada perang Khandaq, Nabi n menawarkan (untuk menjadi mata-mata) kepada para sahabatnya. Maka Az-Zubair segera menyambutnya. (Rasulullah n mengulangi tawarannya sampai tiga kali, dan Az-Zubair selalu menyambutnya). Kemudian Rasulullah n bersabda: ‘Setiap nabi punya penolong, dan penolongku adalah Az-Zubair’.” (HR. Al-Bukhari no. 2997)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang safar sendirian dalam keadaan darurat, atau untuk kemaslahatan yang tidak didapatkan melainkan dengan safar sendirian, seperti mengutus mata-mata (dalam perang). Sedangkan safar sendirian selain keadaan tersebut adalah makruh. Bisa jadi, pembolehan (safar sendirian) itu adalah saat dibutuhkan pada kondisi aman. Sedangkan pelarangan safar sendirian itu adalah ketika kondisi bahaya, sementara tidak ada kepentingan mendesak untuk melakukan safar.” (Fathul Bari, 6/161)
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah n bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).” (HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
6. Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah l
Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar c, dari Nabi n, beliau bersabda:
إِنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيمَ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا اسْتُوْدِعَ شَيْئًا حَفِظَهُ
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah berkata: ‘Sesungguhnya Allah k apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah l dengan membaca:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” (HR. Abu Dawud no. 2601, dengan sanad yang shahih, dari Abdullah Al-Khatmi z. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud. Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam Al-Jami’ Ash-Shahih [2/503]: “Hadits shahih menurut syarat Muslim.”)
7. Disunnahkan Berangkat pada Hari Kamis
Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 2950) dari Ka’b bin Malik z:
أَنَّ النَّبِيَّ n خَرَجَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Bahwasanya Nabi n berangkat ketika perang Tabuk pada hari Kamis, dan adalah beliau n menyukai safar pada hari Kamis.”
Disunnahkan pula berangkat di waktu pagi, karena Rasulullah n telah berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berilah barakah untuk umatku di waktu pagi mereka.”
Apabila mengutus pasukan, beliau n juga memberangkatkan mereka di waktu pagi. (HR. Abu Dawud, no. 2602, At-Tirmidzi no. 1212 dari Shakhr ibnu Wada’ah Al-Ghamidi z. Lihat Shahihul Jami’ no. 2180, Al-Misykat no. 3908, Shahih Abi Dawud no. 2270)
8. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ
”Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.” (HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar c)
9. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadits Jabir z, dia berkata:
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
”Dulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.” (HR. Al-Bukhari no. 2993)
Begitu pula hadits Ibnu Umar c, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ n وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوْا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
“Kebiasaan Nabi n dan pasukannya, apabila mereka mendaki bukit-bukit (berjalan naik), mereka bertakbir. Apabila turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Dawud no. 2599, lihat Shahih Abi Dawud no. 263)
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar c, beliau bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ n إِذَا قَفَلَ مِنْ الْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ كُلَّمَا أَوْفَى عَلَى ثَنِيَّةٍ أَوْ فَدْفَدٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا
“Kebiasaan Nabi n apabila kembali bepergian dari haji atau umrah, tatkala melewati bukit atau tempat yang tinggi, beliau bertakbir tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 6385 dan Muslim no. 1344)
Hal ini sepantasnya dilakukan oleh seorang musafir, baik tatkala berada di udara (seperti di atas pesawat terbang) ataupun tatkala berada di atas bumi (darat).
10. Berjalan pada Malam Hari
Disunnahkan bagi musafir untuk berjalan pada malam hari, berdasarkan hadits Anas z, beliau berkata: Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian berjalan pada malam hari (tatkala safar) karena sesungguhnya bumi itu dilipat (dipendekkan) pada malam hari.” (HR. Abu Dawud no. 2571, dishahihkan oleh Asy-Syaih Al-Albani t di dalam Ash-Shahihah no. 681. Lihat juga Shahihul Jami, no. 4064)
11. Memperbanyak Doa Ketika Safar
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas z berkata: Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.” (HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash-Shahihah no. 596)
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim x, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan),
maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim no. 2708)
13. Segera Pulang Menemui Keluarga Jika Telah Selesai Urusannya
Rasulullah n bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.” (HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah z)
14. Mendatangi Keluarganya pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n لَا يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلًا وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah n tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
15. Jika safar cukup lama, dilarang mendatangi keluarganya di malam hari, kecuali ada pemberitahuan sebelumnya
Jabir bin Abdillah c berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ طُرُوقًا
“Rasulullah n melarang seseorang yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga/istrinya pada malam hari.” (HR. Muslim no. 1928)
Faedah: Al-Imam An-Nawawi t dan Al-Hafizh Ibnu Hajar t telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa larangan ini berlaku bagi yang datang mendadak tanpa pemberitahuan. Adapun musafir yang sudah memberitahu sebelumnya, maka tidak termasuk dalam larangan ini. Wallahu a’lam. (Fathul Bari, 9/252, Syarh Shahih Muslim, 13/73)
16. Membaca Doa Ketika Melihat Kampungnya
Anas z berkata:
أَقْبَلْنَا مَعَ النَّبِيِّ n حَتَّى إِذَا كُنَّا بِظَهْرِ الْمَدِينَةِ قَالَ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ؛ فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُهَا حَتَّى قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
“Kami datang bersama Nabi n, hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau n mengucapkan:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
‘Orang-orang yang kembali, bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau n terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
17. Melakukan shalat dua rakaat di masjid terdekat ketika telah tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’b bin Malik z:
كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah n apabila kembali dari suatu safar, beliau n memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
Jabir bin Abdillah c berkata: “Dulu kami bersama Nabi n dalam suatu safar. Tatkala kami tiba di Madinah, Rasulullah n berkata kepadaku:
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masuklah masjid kemudian shalatlah dua rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 3087)
Kebanyakan manusia lalai dari sunnah ini, mungkin karena tidak tahu atau karena menyepelekan. Namun sepantasnya setiap muslim menghidupkan sunnah ini. Wallahul muwaffiq.
Ini adalah sebagian dari adab-adab safar. Bagi yang menginginkan pembahasan lebih luas, silakan membaca dan merujuk kitab Al-Majmu’ karya An-Nawawi t dan Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim t, serta Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t.
Wallahu a’lam.
1. Istikharah Sebelum Safar
Apabila seseorang bertekad untuk melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah l. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi n: فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا (pada seluruh perkara): “Lafadz ini umum namun yang dimaksud adalah khusus. Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.” (Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
2. Musyawarah Sebelum Safar
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, serta mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan. Allah l berfirman:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)
Perintah ini ditujukan kepada Nabi n, padahal beliau n adalah manusia yang paling baik dan paling benar pandangannya. Beliau n bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Demikian pula khalifah-khalifah setelahnya, mengajak orang-orang yang shalih dan memiliki pandangan yang baik untuk bermusyawarah dengan mereka. (Syarh Riyadhis Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, 2/520)
Maka, bermusyawarah sebelum safar merupakan petunjuk Nabi n yang seharusnya diikuti.
3. Menyiapkan Bekal Safar
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t berkata: “Seorang musafir tidaklah pantas berkata: ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakkal.’ Ini adalah ucapan bodoh, karena membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi maupun bertentangan dengan tawakkal.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 121)
Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas c, beliau berkata: “Penduduk Yaman pernah naik haji tanpa membawa bekal. Mereka berkata: ‘Kami bertawakkal kepada Allah l.’ Setelah tiba di Makkah, ternyata mereka meminta-minta kepada orang-orang di sana. Lalu Allah l menurunkan ayat teguran:
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (Al-Baqarah: 197) [Shahih Al-Bukhari no. 1523]
Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (3/449) berkata: “Al-Muhallab berkata: ‘Dalam hadits ini terdapat faedah bahwa meninggalkan meminta-minta kepada orang lain termasuk ketakwaan’.”
4. Membawa Teman dalam Safar
Dianjurkan bagi musafir untuk membawa teman yang bisa membantu tatkala dibutuhkan. Rasulullah n bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Seandainya manusia mengetahui apa-apa yang ada pada safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka seorang musafir tidak akan melakukan safar pada malam hari sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 2998 dari Ibnu Umar c)
Adapun hadits Jabir bin Abdullah c:
نَدَبَ رَسُوْلُ اللهِ n النَّاسَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ ثُمَّ –ثَلَاثَ مَرَّاتٍ- فَقَالَ النَّبِيُّ n: لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيٌّ وَحَوَارِيَّ الزُّبَيْرُ
“Pada perang Khandaq, Nabi n menawarkan (untuk menjadi mata-mata) kepada para sahabatnya. Maka Az-Zubair segera menyambutnya. (Rasulullah n mengulangi tawarannya sampai tiga kali, dan Az-Zubair selalu menyambutnya). Kemudian Rasulullah n bersabda: ‘Setiap nabi punya penolong, dan penolongku adalah Az-Zubair’.” (HR. Al-Bukhari no. 2997)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang safar sendirian dalam keadaan darurat, atau untuk kemaslahatan yang tidak didapatkan melainkan dengan safar sendirian, seperti mengutus mata-mata (dalam perang). Sedangkan safar sendirian selain keadaan tersebut adalah makruh. Bisa jadi, pembolehan (safar sendirian) itu adalah saat dibutuhkan pada kondisi aman. Sedangkan pelarangan safar sendirian itu adalah ketika kondisi bahaya, sementara tidak ada kepentingan mendesak untuk melakukan safar.” (Fathul Bari, 6/161)
5. Memilih Ketua Rombongan
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar. Rasulullah n bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga orang akan berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).” (HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
6. Menitipkan Keluarga, Harta, dan Apa Saja yang Diinginkan kepada Allah l
Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar c, dari Nabi n, beliau bersabda:
إِنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيمَ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا اسْتُوْدِعَ شَيْئًا حَفِظَهُ
“Sesungguhnya Luqman Al-Hakim pernah berkata: ‘Sesungguhnya Allah k apabila dititipi sesuatu pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah l dengan membaca:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” (HR. Abu Dawud no. 2601, dengan sanad yang shahih, dari Abdullah Al-Khatmi z. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud. Asy-Syaikh Muqbil t berkata dalam Al-Jami’ Ash-Shahih [2/503]: “Hadits shahih menurut syarat Muslim.”)
7. Disunnahkan Berangkat pada Hari Kamis
Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 2950) dari Ka’b bin Malik z:
أَنَّ النَّبِيَّ n خَرَجَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Bahwasanya Nabi n berangkat ketika perang Tabuk pada hari Kamis, dan adalah beliau n menyukai safar pada hari Kamis.”
Disunnahkan pula berangkat di waktu pagi, karena Rasulullah n telah berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berilah barakah untuk umatku di waktu pagi mereka.”
Apabila mengutus pasukan, beliau n juga memberangkatkan mereka di waktu pagi. (HR. Abu Dawud, no. 2602, At-Tirmidzi no. 1212 dari Shakhr ibnu Wada’ah Al-Ghamidi z. Lihat Shahihul Jami’ no. 2180, Al-Misykat no. 3908, Shahih Abi Dawud no. 2270)
8. Bertakbir Tiga Kali Ketika Sudah Naik Di Atas Kendaraan
Kemudian membaca doa berikut ini:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ
”Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan di saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.” (HR.Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar c)
9. Bertakbir Tatkala Mendaki (Naik) dan Bertasbih Ketika Menurun
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua atau tiga kali, tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Berdasarkan hadits Jabir z, dia berkata:
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
”Dulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.” (HR. Al-Bukhari no. 2993)
Begitu pula hadits Ibnu Umar c, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ n وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوْا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
“Kebiasaan Nabi n dan pasukannya, apabila mereka mendaki bukit-bukit (berjalan naik), mereka bertakbir. Apabila turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Dawud no. 2599, lihat Shahih Abi Dawud no. 263)
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar c, beliau bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ n إِذَا قَفَلَ مِنْ الْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ كُلَّمَا أَوْفَى عَلَى ثَنِيَّةٍ أَوْ فَدْفَدٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا
“Kebiasaan Nabi n apabila kembali bepergian dari haji atau umrah, tatkala melewati bukit atau tempat yang tinggi, beliau bertakbir tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 6385 dan Muslim no. 1344)
Hal ini sepantasnya dilakukan oleh seorang musafir, baik tatkala berada di udara (seperti di atas pesawat terbang) ataupun tatkala berada di atas bumi (darat).
10. Berjalan pada Malam Hari
Disunnahkan bagi musafir untuk berjalan pada malam hari, berdasarkan hadits Anas z, beliau berkata: Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian berjalan pada malam hari (tatkala safar) karena sesungguhnya bumi itu dilipat (dipendekkan) pada malam hari.” (HR. Abu Dawud no. 2571, dishahihkan oleh Asy-Syaih Al-Albani t di dalam Ash-Shahihah no. 681. Lihat juga Shahihul Jami, no. 4064)
11. Memperbanyak Doa Ketika Safar
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/ minuman yang haram. Anas z berkata: Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.” (HR. Al-Baihaqi, 3/345. Lihat Ash-Shahihah no. 596)
12. Berdoa Ketika Singgah
Berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim x, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan),
maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim no. 2708)
13. Segera Pulang Menemui Keluarga Jika Telah Selesai Urusannya
Rasulullah n bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan), menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.” (HR. Al-Bukhari no. 1804, Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah z)
14. Mendatangi Keluarganya pada Awal Siang atau Pada Akhir Siang Bila Tidak Mampu
Anas z berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n لَا يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلًا وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah n tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
15. Jika safar cukup lama, dilarang mendatangi keluarganya di malam hari, kecuali ada pemberitahuan sebelumnya
Jabir bin Abdillah c berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ طُرُوقًا
“Rasulullah n melarang seseorang yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga/istrinya pada malam hari.” (HR. Muslim no. 1928)
Faedah: Al-Imam An-Nawawi t dan Al-Hafizh Ibnu Hajar t telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa larangan ini berlaku bagi yang datang mendadak tanpa pemberitahuan. Adapun musafir yang sudah memberitahu sebelumnya, maka tidak termasuk dalam larangan ini. Wallahu a’lam. (Fathul Bari, 9/252, Syarh Shahih Muslim, 13/73)
16. Membaca Doa Ketika Melihat Kampungnya
Anas z berkata:
أَقْبَلْنَا مَعَ النَّبِيِّ n حَتَّى إِذَا كُنَّا بِظَهْرِ الْمَدِينَةِ قَالَ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ؛ فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُهَا حَتَّى قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
“Kami datang bersama Nabi n, hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau n mengucapkan:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
‘Orang-orang yang kembali, bertaubat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau n terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
17. Melakukan shalat dua rakaat di masjid terdekat ketika telah tiba
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’b bin Malik z:
كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah n apabila kembali dari suatu safar, beliau n memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
Jabir bin Abdillah c berkata: “Dulu kami bersama Nabi n dalam suatu safar. Tatkala kami tiba di Madinah, Rasulullah n berkata kepadaku:
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masuklah masjid kemudian shalatlah dua rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 3087)
Kebanyakan manusia lalai dari sunnah ini, mungkin karena tidak tahu atau karena menyepelekan. Namun sepantasnya setiap muslim menghidupkan sunnah ini. Wallahul muwaffiq.
Ini adalah sebagian dari adab-adab safar. Bagi yang menginginkan pembahasan lebih luas, silakan membaca dan merujuk kitab Al-Majmu’ karya An-Nawawi t dan Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim t, serta Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t.
Wallahu a’lam.
Macam-macam Safar
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
Safar dibagi menjadi lima macam:
1. Safar haram
Seperti safar dalam rangka mengerjakan keharaman (seperti judi, zina, atau tindak kriminal). Safar seperti ini hukumnya haram. Termasuk safar yang haram adalah safarnya seorang wanita sendirian tanpa mahram.
2. Safar makruh
Seperti safar seseorang sendirian.
3. Safar mubah
Seperti safar untuk bertamasya/piknik.
4. Safar mustahab
Seperti safar untuk mengerjakan haji yang kedua kalinya.
5. Safar wajib
Seperti safar untuk mengerjakan haji yang pertama kalinya. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/492)
Apakah dalam Safar Maksiat Diperbolehkan Mengqashar Shalat dan Berbuka Puasa?
Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah berpendapat diperbolehkannya mengqashar shalat dalam seluruh safar, kecuali safar maksiat. An-Nawawi t menyandarkan pendapat ini kepada jumhur (mayoritas) ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah l:
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah: 173)
Sisi pendalilannya, Allah l tidak membolehkan memakan bangkai dalam keadaan darurat (terpaksa) bagi al-baghi, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa, dan bagi al-’adi yaitu orang yang muharrib (memerangi) dan merampok. Karena al-baghi dan al-’adi adalah orang-orang yang bermaksiat kepada Allah l dalam safar mereka. (Catatan kaki Asy-Syarhul Mumti’, 4/442, lihat Ahkam Al-Qur’an lil Qurthubi 2/225, Adhwa’ul Bayan, 4/167)
Sedangkan Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan Al-Muzani rahimahumullah berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam seluruh safar, walaupun safar maksiat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil1 yang mengharuskan mengqashar shalat dalam safar.
Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang kedua, sebagaimana dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Adapun tentang ayat 173 dari surat Al-Baqarah di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan:
“Ayat tersebut, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baghi adalah orang yang mencari makanan haram padahal ia mampu mendapatkan makanan yang halal. Sedangkan al-’adi adalah orang yang melampaui batas kebutuhannya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24/25)
Asy-Syaikh Shiddiq Hasan Khan t berkata: “Yang nampak dari dalil-dalil mengqashar shalat dan berbuka (tidak puasa, ketika safar) adalah tidak ada perbedaan antara orang yang safar dalam ketaatan maupun orang yang safar dalam kemaksiatan. Terlebih lagi dalam hal mengqashar shalat, karena shalat seorang yang safar telah disyariatkan oleh Allah l untuk diqashar. Maka, sebagaimana Allah l telah mensyariatkan bagi orang yang mukim untuk menyempurnakan shalat tanpa dibedakan antara orang yang sedang dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan, tanpa ada khilaf (perselisihan antara ahli ilmu), demikian pula Allah l telah mensyariatkan bagi orang yang safar untuk shalat dua rakaat tanpa perbedaan (antara orang yang safar taat atau maksiat).” (Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Radhah An-Nadiyyah, 1/398)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Mengqashar shalat tergantung dengan safar. Maksudnya, mengerjakan shalat dua rakaat dalam safar merupakan kewajiban. Dan bukanlah shalat dua rakaat ini diubah dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan yang lainnya, dari Aisyah x, bahwa dia berkata:
أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَافَرَ رَسُولُ اللهِ n فَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ وَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ
“Shalat itu pertama kali diwajibkan dua rakaat, kemudian Rasulullah n safar. Maka shalat hadhar (tidak dalam safar) jumlah rakaatnya ditambah dan shalat dalam safar ditetapkan dua rakaat.”
Sekarang menjadi jelas bahwa dua rakaat dalam safar adalah kewajiban, bukan rukhshah. Atas dasar itu, maka tidak ada perbedaan antara safar haram dan safar mubah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 4/494)
Lihat juga Al-Mughni (2/540), Al-Majmu’ (4/158), dan Majmu’ Al-Fatawa (24/52).
Safar dibagi menjadi lima macam:
1. Safar haram
Seperti safar dalam rangka mengerjakan keharaman (seperti judi, zina, atau tindak kriminal). Safar seperti ini hukumnya haram. Termasuk safar yang haram adalah safarnya seorang wanita sendirian tanpa mahram.
2. Safar makruh
Seperti safar seseorang sendirian.
3. Safar mubah
Seperti safar untuk bertamasya/piknik.
4. Safar mustahab
Seperti safar untuk mengerjakan haji yang kedua kalinya.
5. Safar wajib
Seperti safar untuk mengerjakan haji yang pertama kalinya. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/492)
Apakah dalam Safar Maksiat Diperbolehkan Mengqashar Shalat dan Berbuka Puasa?
Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah berpendapat diperbolehkannya mengqashar shalat dalam seluruh safar, kecuali safar maksiat. An-Nawawi t menyandarkan pendapat ini kepada jumhur (mayoritas) ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah l:
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah: 173)
Sisi pendalilannya, Allah l tidak membolehkan memakan bangkai dalam keadaan darurat (terpaksa) bagi al-baghi, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa, dan bagi al-’adi yaitu orang yang muharrib (memerangi) dan merampok. Karena al-baghi dan al-’adi adalah orang-orang yang bermaksiat kepada Allah l dalam safar mereka. (Catatan kaki Asy-Syarhul Mumti’, 4/442, lihat Ahkam Al-Qur’an lil Qurthubi 2/225, Adhwa’ul Bayan, 4/167)
Sedangkan Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan Al-Muzani rahimahumullah berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam seluruh safar, walaupun safar maksiat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil1 yang mengharuskan mengqashar shalat dalam safar.
Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang kedua, sebagaimana dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Adapun tentang ayat 173 dari surat Al-Baqarah di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan:
“Ayat tersebut, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baghi adalah orang yang mencari makanan haram padahal ia mampu mendapatkan makanan yang halal. Sedangkan al-’adi adalah orang yang melampaui batas kebutuhannya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24/25)
Asy-Syaikh Shiddiq Hasan Khan t berkata: “Yang nampak dari dalil-dalil mengqashar shalat dan berbuka (tidak puasa, ketika safar) adalah tidak ada perbedaan antara orang yang safar dalam ketaatan maupun orang yang safar dalam kemaksiatan. Terlebih lagi dalam hal mengqashar shalat, karena shalat seorang yang safar telah disyariatkan oleh Allah l untuk diqashar. Maka, sebagaimana Allah l telah mensyariatkan bagi orang yang mukim untuk menyempurnakan shalat tanpa dibedakan antara orang yang sedang dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan, tanpa ada khilaf (perselisihan antara ahli ilmu), demikian pula Allah l telah mensyariatkan bagi orang yang safar untuk shalat dua rakaat tanpa perbedaan (antara orang yang safar taat atau maksiat).” (Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Radhah An-Nadiyyah, 1/398)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Mengqashar shalat tergantung dengan safar. Maksudnya, mengerjakan shalat dua rakaat dalam safar merupakan kewajiban. Dan bukanlah shalat dua rakaat ini diubah dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan yang lainnya, dari Aisyah x, bahwa dia berkata:
أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَافَرَ رَسُولُ اللهِ n فَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ وَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ
“Shalat itu pertama kali diwajibkan dua rakaat, kemudian Rasulullah n safar. Maka shalat hadhar (tidak dalam safar) jumlah rakaatnya ditambah dan shalat dalam safar ditetapkan dua rakaat.”
Sekarang menjadi jelas bahwa dua rakaat dalam safar adalah kewajiban, bukan rukhshah. Atas dasar itu, maka tidak ada perbedaan antara safar haram dan safar mubah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 4/494)
Lihat juga Al-Mughni (2/540), Al-Majmu’ (4/158), dan Majmu’ Al-Fatawa (24/52).
1 Di antaranya, dari Abdullah bin Umar c, dia berkata:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ n فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ
“Aku telah menemani Rasulullah n, maka beliau tidak pernah menambah
lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula aku menemani Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsman seperti itu.” (Muttafaqun alaih, lafadz ini adalah
lafadz Al-Bukhari)
Safar dan Batasannya
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
Safar merupakan bagian hidup setiap muslim dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Rabbnya atau untuk meraih kemaslahatan duniawinya. Dari kesempurnaan agama ini serta kemudahan-kemudahan yang ada di dalamnya, Allah l menetapkan hukum-hukum safar serta mengajarkan adab-adabnya di dalam Al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya n.
Pengertian Safar
Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472)
Batasan Safar
Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Al-Imam Ash-Shan’ani t menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)
Di sini akan kita sebutkan beberapa pendapat.
1. Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas c:
كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ
“Adalah beliau berdua (Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari itu.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi t dengan sanad yang shahih, dan Al-Bukhari t dalam Shahih-nya secara mu’allaq)
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi n:
يَا أَهْلَ مَكَّةَ، لاَ تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat (dalam perjalanan) kurang dari 4 barid dari Makkah ke ‘Asfan.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif sekali karena ada dua perawi yang dhaif: Abdulwahhab bin Mujadid bin Jabr dan Isma’il bin ‘Iyyasy. Lihat Al-Irwa’ no. 565)
2. Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta). Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar c:
لاَ تُسَافِرُ الْـمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”1 (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah no. 1034)
3. Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan sehari penuh. Pendapat ini dipilih oleh Al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.
Dan masih ada beberapa pendapat yang lain.
Sedangkan riwayat yang paling kuat dalam permasalahan ini adalah hadits Anas z:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah n apabila beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat 2 rakaat (yakni mengqashar shalat).” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, Bab Shalatul Musafirin wa Qashruha, no. 1116)
Dalam riwayat di atas tidak dipastikan apakah Rasulullah n mengqashar shalat pada jarak 3 mil atau 3 farsakh. Sehingga riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam membatasi jarak safar.
Adapun larangan Rasulullah n terhadap seorang wanita yang safar sejauh perjalanan 3 hari tanpa mahram, maka tidak ada hujjah dalam hadits tersebut2. Karena hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa safar tidak terwujud atau terjadi kecuali dalam jarak perjalanan tiga hari. Hadits itu hanya menunjukkan larangan bagi seorang wanita untuk safar tanpa disertai mahram.
Hal ini ditunjukkan pula dalam riwayat yang lain dari sahabat Abu Sa’id z dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Di dalamnya terdapat lafadz يَوْمَيْنِ (dua hari):
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahramnya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafadz يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (satu hari satu malam):
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah z)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa safar tidak dibatasi dengan perjalanan tiga hari.
Ibnu Qudamah berkata: “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah l atau Rasul-Nya n.”
Sedangkan dalam Al-Qur’an3 dan As-Sunnah4, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu.
Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.”
Ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap/ menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar yang disyariatkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.
Pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumullah. (lihat Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’ 4/150, Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’ 4/497, Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar hal. 122)
Wallahu a’lam.
1 Mahram adalah lelaki yang diharamkan menikahinya selama-lamanya, disebabkan adanya hubungan nasab (keturunan), hubungan pernikahan, dan persusuan. Lihat Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, no. 990)
2 Yakni hadits Ibnu ’Umar c:
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
3 Firman Allah l:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa’: 101)
Juga firman Allah l:
“Dan barangsiapa sakit atau dalam safar (kemudian berbuka) maka hendaknya ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.” (Al-Baqarah: 185)
4 Di antaranya, dari Abdullah bin Umar c, dia berkata:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ n فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ
“Aku telah menemani Rasulullah n, maka beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula aku menemani Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman seperti itu.” (Muttafaqun alaih, lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari)
Safar merupakan bagian hidup setiap muslim dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Rabbnya atau untuk meraih kemaslahatan duniawinya. Dari kesempurnaan agama ini serta kemudahan-kemudahan yang ada di dalamnya, Allah l menetapkan hukum-hukum safar serta mengajarkan adab-adabnya di dalam Al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya n.
Pengertian Safar
Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472)
Batasan Safar
Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Al-Imam Ash-Shan’ani t menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)
Di sini akan kita sebutkan beberapa pendapat.
1. Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas c:
كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ
“Adalah beliau berdua (Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari itu.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi t dengan sanad yang shahih, dan Al-Bukhari t dalam Shahih-nya secara mu’allaq)
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi n:
يَا أَهْلَ مَكَّةَ، لاَ تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat (dalam perjalanan) kurang dari 4 barid dari Makkah ke ‘Asfan.” (HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif sekali karena ada dua perawi yang dhaif: Abdulwahhab bin Mujadid bin Jabr dan Isma’il bin ‘Iyyasy. Lihat Al-Irwa’ no. 565)
2. Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta). Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar c:
لاَ تُسَافِرُ الْـمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”1 (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah no. 1034)
3. Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan sehari penuh. Pendapat ini dipilih oleh Al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.
Dan masih ada beberapa pendapat yang lain.
Sedangkan riwayat yang paling kuat dalam permasalahan ini adalah hadits Anas z:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah n apabila beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat 2 rakaat (yakni mengqashar shalat).” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, Bab Shalatul Musafirin wa Qashruha, no. 1116)
Dalam riwayat di atas tidak dipastikan apakah Rasulullah n mengqashar shalat pada jarak 3 mil atau 3 farsakh. Sehingga riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam membatasi jarak safar.
Adapun larangan Rasulullah n terhadap seorang wanita yang safar sejauh perjalanan 3 hari tanpa mahram, maka tidak ada hujjah dalam hadits tersebut2. Karena hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa safar tidak terwujud atau terjadi kecuali dalam jarak perjalanan tiga hari. Hadits itu hanya menunjukkan larangan bagi seorang wanita untuk safar tanpa disertai mahram.
Hal ini ditunjukkan pula dalam riwayat yang lain dari sahabat Abu Sa’id z dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Di dalamnya terdapat lafadz يَوْمَيْنِ (dua hari):
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahramnya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafadz يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (satu hari satu malam):
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah z)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa safar tidak dibatasi dengan perjalanan tiga hari.
Ibnu Qudamah berkata: “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah l atau Rasul-Nya n.”
Sedangkan dalam Al-Qur’an3 dan As-Sunnah4, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu.
Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.”
Ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap/ menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar yang disyariatkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.
Pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumullah. (lihat Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’ 4/150, Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’ 4/497, Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar hal. 122)
Wallahu a’lam.
1 Mahram adalah lelaki yang diharamkan menikahinya selama-lamanya, disebabkan adanya hubungan nasab (keturunan), hubungan pernikahan, dan persusuan. Lihat Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, no. 990)
2 Yakni hadits Ibnu ’Umar c:
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
3 Firman Allah l:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa’: 101)
Juga firman Allah l:
“Dan barangsiapa sakit atau dalam safar (kemudian berbuka) maka hendaknya ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.” (Al-Baqarah: 185)
4 Di antaranya, dari Abdullah bin Umar c, dia berkata:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ n فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ
“Aku telah menemani Rasulullah n, maka beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula aku menemani Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman seperti itu.” (Muttafaqun alaih, lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari)
Posting Komentar