Masturbasi Membatalkan Puasa
Apakah membatalkan puasa seseorang yang melakukan masturbasi hingga mengeluarkan air mani?
Ismail
Dijawab oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari:
Perlu diketahui bahwa masturbasi hingga ejakulasi (istimna’) dengan bantuan tangan sendiri atau dengan bantuan alat hukumnya haram atas laki-laki dan wanita, baik sedang berpuasa atau tidak. Demikian pula halnya istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki, atau pun bercumbu dengannya, berpelukan dan semisalnya dengan maksud mencapai ejakulasi untuk memuaskan syahwat saat sedang berpuasa hukumnya haram, karena hal ini termasuk mengumbar nafsu syahwat yang terlarang saat berpuasa. Begitu pula hukumnya atas wanita yang melakukannya dengan suaminya atau budak wanita dengan tuannya saat dia sedang berpuasa.
Guru kami yang mulia, Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata dalam Ijabatus Sa’il (hal. 174): “Jika seorang lelaki bermesraan dengan istrinya (bercumbu dan berpelukan) untuk memuaskan syahwatnya dengan ejakulasi di luar farji istri, maka dia berdosa dengan itu. Sebab Rasulullah n telah bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Orang yang berpuasa meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Jika dia melakukan hal itu dalam keadaan jahil (tidak tahu hukum), maka ketika dia mengetahui hukumnya hendaklah bertaubat kepada Allah l. Jika dia bermesraan dengan istrinya dalam keadaan mengerti hukum bahwa boleh baginya bermesraan dengan istrinya[1] selain jima’ (bersetubuh), lalu dia mencapai ejakulasi, sementara dirinya tidak bermaksud untuk itu, maka dia tidak berdosa.”
Hal ini membatalkan puasa, seperti halnya ejakulasi yang dicapai dengan jima’ (bersetubuh) yang merupakan pembatal puasa, berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini dikuatkan dengan hadits qudsi di atas bahwa orang yang berpuasa menahan diri dari makanan, minuman dan syahwat yang merupakan pembatal-pembatal puasa. Sementara ejakulasi merupakan syahwat, dengan dalil sabda Rasulullah n:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Pada kemaluan setiap kalian ada shadaqah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya dan dia mendapat pahala dengannya?” Rasulullah n bersabda: “Tahukah kalian, kalau dia meletakannya dalam perkara yang haram, apakah dia berdosa karenanya? Demikian pula halnya jika dia meletakkanya dalam perkara yang halal, maka dia mendapat pahala karenanya.”(HR. Muslim dari Abu Dzar z)
Tentu saja ejakulasi saat orgasme (puncak kenikmatan syahwat) adalah syahwat yang terlarang saat berpuasa dan membatalkan puasa, dengan cara apapun seseorang mencapainya. Meskipun memang benar bahwa jima’ (bersetubuh) itu sendiri membatalkan puasa, walaupun tanpa ejakulasi.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa(25/224), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/386-388) dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259-260).
Inilah yang nampak bagi kami dalam permasalahan ini. Sangat sulit dibenarkan bahwa halal-halal saja bagi orang yang berpuasa untuk melampiaskan syahwatnya dengan ejakulasi selain jima’ (bersetubuh), padahal hal itu jelas-jelas merupakan pemuasan syahwat yang semakna dengan ejakulasi yang dicapai dengan jima’.
Kesimpulannya, jika hal itu sengaja dilakukan dalam keadaan mengerti hukum, maka pelakunya berdosa dan puasanya batal. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah l dan tidak disyariatkan baginya untuk mengqadha (mengganti) puasa yang batal itu di luar bulan Ramadhan, menurut pendapat yang rajih (kuat). Karena yang rajih tidak disyariatkan bagi yang meninggalkan puasa atau membatalkan puasanya secara sengaja untuk mengqadha dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/225-226), dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil dalam Ijabatus Sa’il(hal. 175).
Adapun masalah kaffarah, maka ejakulasi dengan selain jima’ (bersetubuh) tidak ada kaffarahnya, menurut pendapat yang rajih. Seluruh ulama yang kami sebutkan di atas sepakat dalam hal ini. Sebab dalil kaffarah hanya datang pada masalah jima’ atas orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan jima’. Dan hal ini tidak bisa disamakan dengan ejakulasi tanpa jima’, karena jima’ urusannya lebih keras.
Keterangan ini untuk puasa wajib. Adapun puasa sunnah, maka boleh bagi seseorang untuk membatalkannya kapan saja dia mau dengan melakukan pembatal-pembatal puasa yang ada tanpa konsekuensi dosa. Namun ulama mengatakan bahwa tidak sepantasnya membatalkannya tanpa tujuan yang mengandung maslahat. Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ismail
Dijawab oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari:
Perlu diketahui bahwa masturbasi hingga ejakulasi (istimna’) dengan bantuan tangan sendiri atau dengan bantuan alat hukumnya haram atas laki-laki dan wanita, baik sedang berpuasa atau tidak. Demikian pula halnya istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki, atau pun bercumbu dengannya, berpelukan dan semisalnya dengan maksud mencapai ejakulasi untuk memuaskan syahwat saat sedang berpuasa hukumnya haram, karena hal ini termasuk mengumbar nafsu syahwat yang terlarang saat berpuasa. Begitu pula hukumnya atas wanita yang melakukannya dengan suaminya atau budak wanita dengan tuannya saat dia sedang berpuasa.
Guru kami yang mulia, Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata dalam Ijabatus Sa’il (hal. 174): “Jika seorang lelaki bermesraan dengan istrinya (bercumbu dan berpelukan) untuk memuaskan syahwatnya dengan ejakulasi di luar farji istri, maka dia berdosa dengan itu. Sebab Rasulullah n telah bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:
يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Orang yang berpuasa meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Jika dia melakukan hal itu dalam keadaan jahil (tidak tahu hukum), maka ketika dia mengetahui hukumnya hendaklah bertaubat kepada Allah l. Jika dia bermesraan dengan istrinya dalam keadaan mengerti hukum bahwa boleh baginya bermesraan dengan istrinya[1] selain jima’ (bersetubuh), lalu dia mencapai ejakulasi, sementara dirinya tidak bermaksud untuk itu, maka dia tidak berdosa.”
Hal ini membatalkan puasa, seperti halnya ejakulasi yang dicapai dengan jima’ (bersetubuh) yang merupakan pembatal puasa, berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini dikuatkan dengan hadits qudsi di atas bahwa orang yang berpuasa menahan diri dari makanan, minuman dan syahwat yang merupakan pembatal-pembatal puasa. Sementara ejakulasi merupakan syahwat, dengan dalil sabda Rasulullah n:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Pada kemaluan setiap kalian ada shadaqah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya dan dia mendapat pahala dengannya?” Rasulullah n bersabda: “Tahukah kalian, kalau dia meletakannya dalam perkara yang haram, apakah dia berdosa karenanya? Demikian pula halnya jika dia meletakkanya dalam perkara yang halal, maka dia mendapat pahala karenanya.”(HR. Muslim dari Abu Dzar z)
Tentu saja ejakulasi saat orgasme (puncak kenikmatan syahwat) adalah syahwat yang terlarang saat berpuasa dan membatalkan puasa, dengan cara apapun seseorang mencapainya. Meskipun memang benar bahwa jima’ (bersetubuh) itu sendiri membatalkan puasa, walaupun tanpa ejakulasi.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa(25/224), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/386-388) dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259-260).
Inilah yang nampak bagi kami dalam permasalahan ini. Sangat sulit dibenarkan bahwa halal-halal saja bagi orang yang berpuasa untuk melampiaskan syahwatnya dengan ejakulasi selain jima’ (bersetubuh), padahal hal itu jelas-jelas merupakan pemuasan syahwat yang semakna dengan ejakulasi yang dicapai dengan jima’.
Kesimpulannya, jika hal itu sengaja dilakukan dalam keadaan mengerti hukum, maka pelakunya berdosa dan puasanya batal. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah l dan tidak disyariatkan baginya untuk mengqadha (mengganti) puasa yang batal itu di luar bulan Ramadhan, menurut pendapat yang rajih (kuat). Karena yang rajih tidak disyariatkan bagi yang meninggalkan puasa atau membatalkan puasanya secara sengaja untuk mengqadha dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/225-226), dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil dalam Ijabatus Sa’il(hal. 175).
Adapun masalah kaffarah, maka ejakulasi dengan selain jima’ (bersetubuh) tidak ada kaffarahnya, menurut pendapat yang rajih. Seluruh ulama yang kami sebutkan di atas sepakat dalam hal ini. Sebab dalil kaffarah hanya datang pada masalah jima’ atas orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan jima’. Dan hal ini tidak bisa disamakan dengan ejakulasi tanpa jima’, karena jima’ urusannya lebih keras.
Keterangan ini untuk puasa wajib. Adapun puasa sunnah, maka boleh bagi seseorang untuk membatalkannya kapan saja dia mau dengan melakukan pembatal-pembatal puasa yang ada tanpa konsekuensi dosa. Namun ulama mengatakan bahwa tidak sepantasnya membatalkannya tanpa tujuan yang mengandung maslahat. Wal ‘ilmu ‘indallah.
[1] Maksudnya tanpa disertai niatan untuk memuaskan syahwat dengan ejakulasi di luar farji istri. –pen
Sifat-sifat Penghuni Surga
Allah l berfirman:
“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.”(Qaf: 31-35)
Allah akan mendekatkan surga bagi orang-orang yang bertakwa, sehingga surga begitu dekat dengan mereka. Terlihat berbagai macam kenikmatan yang ada di dalamnya. Ini sebagai buah dari ketakwaan mereka kepada Allah, di mana mereka menjauhi segala macam kesyirikan, yang kecil maupun besar, melaksanakan perintah-perintah Rabb mereka dan tunduk kepada-Nya. Kedekatan ini merupakan wujud janji Allah kepada mereka, dan Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Apa sifat-sifat mereka yang akan mendapatkan janji Allah tersebut?
Pertama: Awwab
Yakni orang yang senantiasa kembali kepada Allah, dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan, dari kelalaian menuju kepada ingat Allah. Al-Imam Mujahid mengatakan:
هُوَ الَّذِي إِذَا ذَكَرَ ذَنْبَهُ اسْتَغْفَرَ مِنْهُ
“Dia adalah seseorang yang bila ingat dosanya, dia meminta ampun dari dosanya.”
Sehingga setiap saat kembali kepada Allah dengan mengingat-Nya, mencintai-Nya, mohon pertolongan kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya.
Kedua: Hafizh
Ibnu Abbas c mengatakan:
لِمَا ائْتَمَنَهُ اللهُ عَلَيْهِ وَافْتَرَضَهُ
“(Yakni menjaga) apa yang Allah amanahkan kepadanya dan Allah wajibkan kepadanya.”
Qatadah t mengatakan: “Menjaga apa yang Allah titipkan kepadanya berupa hak-hak dan nikmat-nikmat-Nya.”
Ibnul Qayyim t menjelaskan: “Ketika jiwa itu punya dua kekuatan, yaitu kekuatan untuk berbuat dan kekuatan untuk menahan, maka sifat awwab digunakan pada kekuatan perbuatannya untuk kembali kepada Allah, keridhaan dan ketaatan kepada-Nya. Sedangkan hafizh digunakan pada kekuatan penjagaannya dalam menahan diri dari maksiat dan larangan-Nya. Sehingga hafizh adalah yang menahan diri dari apa yang diharamkan kepadanya. Dan awwab adalah yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya.”
Asy-Syaikh As-Sa’di t menjelaskan: “Ia menjaga apa yang Allah perintahkan kepadanya dengan merealisasikannya dengan ikhlas dan dengan sempurna, sesempurna-sempurnanya, serta menjaga batasan-batasannya.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t menjelaskan: “Tidak menyia-nyiakan perintah-Nya dan tidak menyambutnya dengan kemalasan, bahkan dia bersemangat padanya.”
Ketiga: Khosyyaturrahman bil ghaib
Ini memiliki dua makna. Makna yang pertama, takut kepada Allah walaupun tidak ada yang melihatnya kecuali Allah. Sifat ini mengandung keimanannya terhadap wujud Allah, rububiyah-Nya dan kemampuan-Nya serta ilmu dan pengetahuan-Nya terhadap keadaan hamba-hamba-Nya. Juga mengandung keimanan terhadap kitab-Nya, Rasul-Nya dan perintah serta larangan-Nya, serta keimanan terhadap janji, ancaman serta perjumpaan dengan-Nya. Tidak sah rasa takut kepada Allah padahal dia tidak melihat-Nya, kecuali dengan ini semua.
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Yakni seseorang yang takut kepada Allah dalam keadaan sendirian, di mana tidak seorangpun melihatnya kecuali Allah.”
Sehingga rasa takut semacam ini tidak mungkin terwujud kecuali jika dia tahu tentang Allah, dan sifat-sifat-Nya, tahu bahwa Allah Maha Melihat dan Mendengar serta Maha Mengetahui.
Takut semacam inilah takut yang hakiki. Karena takut yang hakiki adalah takut yang berdasarkan ilmu, sehingga rasa takut ini diiringi dengan rasa pengagungan terhadap Allah. Adapun takutnya seseorang kepada Allah saat dilihat manusia atau di hadapan mereka, bisa jadi itu hanya karena riya’ atau sum’ah (ingin didengar dan disanjung orang bahwa dia baik). Sehingga hal ini tidak menunjukkan rasa takutnya kepada Allah. Jadi takut yang bermanfaat adalah takut kepada Allah saat sendirian dan saat di hadapan manusia.
Makna yang kedua, ia takut kepada Allah walaupun ia tidak melihat-Nya. Akan tetapi ia melihat ayat-ayat Allah yang menunjukkan adanya Allah.
Keempat: Datang dengan kalbu yang munib.
Yakni kalbu yang bertaubat kepada Allah.
Ibnu Katsir menjelaskan: “Yakni dia berjumpa dengan Allah dengan kalbu yang selamat (dari dosa dan maksiat), pasrah kepada-Nya, dan tunduk di hadapan-Nya.”
Yakni ia wafat dalam keadaan kembali kepada Allah, seperti firman Allah:
“Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Yakni ia senantiasa bertaubat kepada Allah sampai ia wafat. Dan amalan itu tergantung dengan penutupnya. Semoga Allah menutup amal kita dengan kebaikan.
Untuk mereka yang memiliki empat sifat tersebut, Allah l katakan:
“Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (Qaf: 34-35)
“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.”(Qaf: 31-35)
Allah akan mendekatkan surga bagi orang-orang yang bertakwa, sehingga surga begitu dekat dengan mereka. Terlihat berbagai macam kenikmatan yang ada di dalamnya. Ini sebagai buah dari ketakwaan mereka kepada Allah, di mana mereka menjauhi segala macam kesyirikan, yang kecil maupun besar, melaksanakan perintah-perintah Rabb mereka dan tunduk kepada-Nya. Kedekatan ini merupakan wujud janji Allah kepada mereka, dan Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Apa sifat-sifat mereka yang akan mendapatkan janji Allah tersebut?
Pertama: Awwab
Yakni orang yang senantiasa kembali kepada Allah, dari kemaksiatan menuju kepada ketaatan, dari kelalaian menuju kepada ingat Allah. Al-Imam Mujahid mengatakan:
هُوَ الَّذِي إِذَا ذَكَرَ ذَنْبَهُ اسْتَغْفَرَ مِنْهُ
“Dia adalah seseorang yang bila ingat dosanya, dia meminta ampun dari dosanya.”
Sehingga setiap saat kembali kepada Allah dengan mengingat-Nya, mencintai-Nya, mohon pertolongan kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya.
Kedua: Hafizh
Ibnu Abbas c mengatakan:
لِمَا ائْتَمَنَهُ اللهُ عَلَيْهِ وَافْتَرَضَهُ
“(Yakni menjaga) apa yang Allah amanahkan kepadanya dan Allah wajibkan kepadanya.”
Qatadah t mengatakan: “Menjaga apa yang Allah titipkan kepadanya berupa hak-hak dan nikmat-nikmat-Nya.”
Ibnul Qayyim t menjelaskan: “Ketika jiwa itu punya dua kekuatan, yaitu kekuatan untuk berbuat dan kekuatan untuk menahan, maka sifat awwab digunakan pada kekuatan perbuatannya untuk kembali kepada Allah, keridhaan dan ketaatan kepada-Nya. Sedangkan hafizh digunakan pada kekuatan penjagaannya dalam menahan diri dari maksiat dan larangan-Nya. Sehingga hafizh adalah yang menahan diri dari apa yang diharamkan kepadanya. Dan awwab adalah yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya.”
Asy-Syaikh As-Sa’di t menjelaskan: “Ia menjaga apa yang Allah perintahkan kepadanya dengan merealisasikannya dengan ikhlas dan dengan sempurna, sesempurna-sempurnanya, serta menjaga batasan-batasannya.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t menjelaskan: “Tidak menyia-nyiakan perintah-Nya dan tidak menyambutnya dengan kemalasan, bahkan dia bersemangat padanya.”
Ketiga: Khosyyaturrahman bil ghaib
Ini memiliki dua makna. Makna yang pertama, takut kepada Allah walaupun tidak ada yang melihatnya kecuali Allah. Sifat ini mengandung keimanannya terhadap wujud Allah, rububiyah-Nya dan kemampuan-Nya serta ilmu dan pengetahuan-Nya terhadap keadaan hamba-hamba-Nya. Juga mengandung keimanan terhadap kitab-Nya, Rasul-Nya dan perintah serta larangan-Nya, serta keimanan terhadap janji, ancaman serta perjumpaan dengan-Nya. Tidak sah rasa takut kepada Allah padahal dia tidak melihat-Nya, kecuali dengan ini semua.
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Yakni seseorang yang takut kepada Allah dalam keadaan sendirian, di mana tidak seorangpun melihatnya kecuali Allah.”
Sehingga rasa takut semacam ini tidak mungkin terwujud kecuali jika dia tahu tentang Allah, dan sifat-sifat-Nya, tahu bahwa Allah Maha Melihat dan Mendengar serta Maha Mengetahui.
Takut semacam inilah takut yang hakiki. Karena takut yang hakiki adalah takut yang berdasarkan ilmu, sehingga rasa takut ini diiringi dengan rasa pengagungan terhadap Allah. Adapun takutnya seseorang kepada Allah saat dilihat manusia atau di hadapan mereka, bisa jadi itu hanya karena riya’ atau sum’ah (ingin didengar dan disanjung orang bahwa dia baik). Sehingga hal ini tidak menunjukkan rasa takutnya kepada Allah. Jadi takut yang bermanfaat adalah takut kepada Allah saat sendirian dan saat di hadapan manusia.
Makna yang kedua, ia takut kepada Allah walaupun ia tidak melihat-Nya. Akan tetapi ia melihat ayat-ayat Allah yang menunjukkan adanya Allah.
Keempat: Datang dengan kalbu yang munib.
Yakni kalbu yang bertaubat kepada Allah.
Ibnu Katsir menjelaskan: “Yakni dia berjumpa dengan Allah dengan kalbu yang selamat (dari dosa dan maksiat), pasrah kepada-Nya, dan tunduk di hadapan-Nya.”
Yakni ia wafat dalam keadaan kembali kepada Allah, seperti firman Allah:
“Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Yakni ia senantiasa bertaubat kepada Allah sampai ia wafat. Dan amalan itu tergantung dengan penutupnya. Semoga Allah menutup amal kita dengan kebaikan.
Untuk mereka yang memiliki empat sifat tersebut, Allah l katakan:
“Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (Qaf: 34-35)
Taqwa dan Keutamaannya
KHUTBAH PERTAMA:
الْحَمْدُ لِلهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَوَاتُ رَبِّي وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah l yang telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya dan menjanjikan berbagai keutamaan bagi siapa saja yang menjalankannya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada yang diibadahi dengan benar selain Allah l, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan sebenar-benar takwa. Takwa adalah sebab yang akan membuat seseorang memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tidak bertakwa akan mendatangkan kesulitan dan bencana. Oleh karena itu, kita semuanya dan seluruh muslimin sesungguhnya sangat butuh akan takwa. Allah l telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an, ayat-ayat yang berkaitan dengan takwa dan keutamaannya, begitu pula Rasulullah n di dalam hadits-haditsnya. Maka takwa merupakan wasiat Allah l dan Rasul-Nya yang harus dipahami maksudnya dan senantiasa dijaga serta dijalankan oleh setiap muslim. Bukan sekadar kalimat yang selalu didengar atau diucapkan namun tidak diperhatikan dan tidak ada wujudnya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Para ulama telah menjelaskan definisi takwa dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda namun semuanya kembali pada maksud yang sama. Yaitu agar seseorang membuat penghalang yang membentengi dan menjaga dirinya dari terkena kemarahan dan azab Allah l. Sesuatu yang akan menjadi penghalang serta menjaga seseorang dari terkena azab Allah l, tidak lain adalah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwasanya fondasi dari ketakwaan seseorang kepada Allah l adalah persaksiannya terhadap dua kalimat syahadat. Persaksian terhadap dua kalimat syahadat ini bukanlah sekadar diucapkan dengan lisan. Namun juga harus dipahami maknanya serta diamalkan kandungannya. Sehingga siapa saja yang telah bersaksi dengan dua kalimat syahadat ini, dia harus meninggalkan dan berlepas diri serta meyakini batilnya segala bentuk peribadatan kepada selain Allah l dan mengarahkan segala bentuk ibadahnya hanya kepada Allah l saja. Begitu pula dia harus mengimani bahwa Muhammad bin ‘Abdillah ibn ‘Abdul Muththalib n adalah hamba Allah l dan utusan-Nya. Yaitu dia meyakini bahwa beliau adalah seorang hamba yang tidak boleh diibadahi, sekaligus beliau seorang Rasul yang tidak boleh didustai. Disamping itu, dia juga harus meyakini bahwa Nabi Muhammad n adalah penutup para nabi yang diutus oleh Allah l untuk seluruh manusia dan jin. Sehingga tidak ada satu pun yang hidup setelah diutusnya beliau n kecuali harus membenarkan seluruh ajarannya dan mengikuti agamanya. Nabi n bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ، يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya –yakni demi Allah– tidaklah satu pun yang telah mendengar tentang aku dari umat ini baik dari kalangan Yahudi dan tidak pula dari kalangan Nasrani, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali (dia) termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk konsekuensi dari dua kalimat syahadat adalah harus mencintai Allah l dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya. Rasulullah n bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah sempurna iman salah seseorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Muslim)
Disamping itu, dua kalimat syahadat juga mengharuskan orang yang mengucapkannya untuk mencintai saudaranya sesama muslim yang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah l. Nabi n bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara, yang apabila seseorang itu memilikinya maka dia dengan sebab tiga perkara tersebut akan mendapatkan manisnya iman, (yaitu) seorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya; dan dia mencintai saudaranya yang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah; serta dia membenci untuk kembali terjatuh kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia tidak ingin dirinya dilempar ke api.” (HR. Muslim)
Seseorang yang masih mendahulukan keinginan dirinya dengan mengikuti hawa nafsunya daripada kecintaannya serta ketaatannya kepada Allah l dan Rasul-Nya, maka hal itu menunjukkan kelemahan imannya dan kurang sempurnanya dirinya dalam melaksanakan dua kalimat syahadat.
Hadirin rahimakumullah,
Disamping itu, ketakwaan seseorang juga tidak akan terwujud kecuali dia harus menjalankan kewajiban yang paling besar setelah menjalankan dua kalimat syahadat yaitu menegakkan shalat lima waktu. Amalan ini merupakan tiang Islam, dan merupakan barometer untuk menimbang baik atau tidaknya amalan seseorang serta sebagai pembeda yang membedakan antara seorang muslim dengan orang kafir.
Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan jika mereka mau bertaubat dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian seagama.” (At-Taubah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mau menjalankan kewajiban shalat lima waktu bukanlah saudara kita seiman.
Hadirin rahimakumullah,
Namun perlu diketahui pula bahwasanya wajib bagi kaum laki-laki untuk menjalankan kewajiban shalat lima waktu ini secara berjamaah. Yaitu dengan menjalankannya di masjid, bukan di rumah. Adapun apa yang dipahami oleh sebagian kaum muslimin bahwa apabila di rumahnya ada satu orang laki-laki atau lebih bersamanya berarti dia bisa mengerjakan shalat berjama’ah di rumahnya adalah pemahaman yang salah. Kewajiban shalat berjamaah di masjid ini merupakan paling besarnya syiar Islam yang harus nampak. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa menjaga kewajiban yang sangat besar ini yaitu shalat berjamaah di masjid sebagai bukti ketakwaan kita kepada Allah l Marilah kita senantiasa berhati-hati dari segala hal yang akan menghalangi atau melalaikan kita dari shalat berjamaah, seperti mendatangi acara-acara hiburan yang diwarnai kemaksiatan atau menyaksikannya melalui layar televisi serta berbicara atau ngobrol yang tidak menentu, dan yang semisalnya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Seseorang yang ingin bertakwa, dia harus mewujudkan persaksiannya terhadap dua kalimat syahadat. Yaitu dengan menjadikan Allah l sebagai satu-satunya yang diibadahi dan meninggalkan seluruh jenis perbuatan syirik serta membencinya sebagaimana bencinya dirinya terkena api. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa disebut sebagai orang yang bertakwa apabila dia masih membenarkan atau membolehkan diarahkannya salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah l, meskipun dia menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Maka untuk mewujudkan takwa, seseorang harus membangun ibadahnya di atas fondasi ini serta harus menegakkan shalat lima waktu yang akan menjadi tiang dari ketakwaannya. Selanjutnya sebagai bentuk ketakwaan yang sebenar-benarnya, dia pun harus menjalankan perintah-perintah Allah l lainnya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya. Oleh karena itu, marilah kita bertakwa kepada Allah l atas diri kita dengan tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah l. Disamping itu juga atas keluarga kita dengan menjalankan tanggung jawab kepada mereka dan tidak menyia-nyiakannya. Begitu pula, marilah kita bertakwa kepada Allah l terhadap kerabat kita dengan menjaga silaturahim dan tidak memutusnya, serta terhadap saudara-saudara kita seiman dengan tetap menjaga kehormatan mereka. Yang tidak kalah pentingnya, marilah kita bertakwa kepada Allah l terhadap dakwah kita yaitu dengan senantiasa di atas hikmah dalam menjalankannya.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk bagian yang paling penting dari bentuk ketakwaan seseorang adalah at-tafaqquh fiddin, yaitu bersungguh-sungguh dalam mempelajari agama Allah l. Kewajiban menuntut ilmu ini sangat erat kaitannya dengan takwa. Dengan bersemangat dalam menuntut ilmu seseorang akan mengetahui perintah-perintah Allah l dan larangan-larangan-Nya. Sehingga dengan demikian dia akan benar-benar tepat dalam menjalankan perintah-perintah Allah l dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada ahli ilmu tentang agama kita, agar kita bisa benar-benar mewujudkan ketakwaan kita kepada Allah l. Akhirnya, kita memohon kepada Allah l melalui nama-nama-Nya yang husna, agar kita semuanya diberi pertolongan dan kemudahan untuk mewujudkan takwa dan istiqamah di atasnya sampai ajal mendatangi kita. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
KHUTBAH KEDUA:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَاتِمِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa mewujudkan takwa di dalam kehidupan kita dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa bertakwa kepada Allah l adalah sumber segala kebaikan dan kunci untuk memperoleh kebahagiaan serta bekal yang sangat berguna untuk kehidupan dunia dan akhirat. Allah l berfirman:
“Maka berbekallah kalian dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 197)
Allah l juga menyebutkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa di sisi Rabb mereka (disediakan) surga yang penuh dengan kenikmatan.” (Al-Qalam: 34)
Hadirin rahimakumullah,
Allah l telah menyebutkan di dalam ayat-ayat-Nya perihal keutamaan atau buah yang akan dipetik oleh orang yang bertakwa. Di antaranya adalah bahwa orang-orang yang bertakwa akan dicintai oleh Allah l. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Disamping itu, orang yang bertakwa juga akan dikaruniai rasa aman dan kebahagiaan di saat sebagian orang ditimpa rasa takut dan kesedihan. Allah l berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 62-64)
Termasuk buah dari bertakwa kepada Allah l adalah bahwa orang-orang yang bertakwa akan dikaruniai furqan, yaitu pertolongan dari Allah l baik berupa ilmu atau yang lainnya, sehingga dengannya seseorang akan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Disamping itu juga akan dibersihkan jiwanya dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dengan diberi kemudahan untuk beramal shalih sehingga akan menghapus kesalahan-kesalahannya. Begitu pula akan diampuni dosa-dosanya dengan diberi taufiq untuk senantiasa beristighfar dan bertaubat dari dosa yang dilakukannya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepada kalian furqan dan Allah akan menghilangkan diri-diri kalian dari kesalahan-kesalahan kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Orang yang bertakwa juga akan diselamatkan oleh Allah l dari berbagai bahaya dan akan diberi jalan keluar dari setiap kesempitan yang menimpanya. Disamping itu juga akan dimudahkan berbagai urusannya serta diberi rezeki di luar dugaannya dari arah yang dia tidak sangka-sangka.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan akan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Begitu pula dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Hadirin rahimakumullah,
Dari ayat-ayat tersebut, kita mengetahui betapa butuhnya kita akan takwa. Karena setiap orang tentu menginginkan jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya. Terlebih permasalahannya menyangkut agama atau akhiratnya, karena masalah ini akan berkaitan dengan selamat dan tidaknya seseorang dari siksa kubur serta kejadian berikutnya saat berada di padang mahsyar sampai kemudian berujung pada selamat dan tidaknya dirinya dari terkena pedihnya siksa api neraka. Maka setiap orang tentu membutuhkan ilmu untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang batil, serta mana yang baik akibatnya dan mana yang berbahaya. Begitu pula yang berkaitan dengan urusan dunia, setiap orang tentu membutuhkan rezeki dan kemudahan dalam urusan-urusan yang dihadapinya. Baik yang berkaitan dengan istri, anak, dan keluarga maupun dengan masyarakat di sekitarnya. Semua ini akan bisa diselesaikan dan menjadi baik hasilnya apabila dihadapi dengan takwa. Mudah-mudahan Allah l menjadikan kita semua menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya .
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا، وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلاَيَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
الْحَمْدُ لِلهِ حَمْداً كَثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَوَاتُ رَبِّي وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah l yang telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya dan menjanjikan berbagai keutamaan bagi siapa saja yang menjalankannya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada yang diibadahi dengan benar selain Allah l, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan sebenar-benar takwa. Takwa adalah sebab yang akan membuat seseorang memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tidak bertakwa akan mendatangkan kesulitan dan bencana. Oleh karena itu, kita semuanya dan seluruh muslimin sesungguhnya sangat butuh akan takwa. Allah l telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an, ayat-ayat yang berkaitan dengan takwa dan keutamaannya, begitu pula Rasulullah n di dalam hadits-haditsnya. Maka takwa merupakan wasiat Allah l dan Rasul-Nya yang harus dipahami maksudnya dan senantiasa dijaga serta dijalankan oleh setiap muslim. Bukan sekadar kalimat yang selalu didengar atau diucapkan namun tidak diperhatikan dan tidak ada wujudnya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Para ulama telah menjelaskan definisi takwa dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda namun semuanya kembali pada maksud yang sama. Yaitu agar seseorang membuat penghalang yang membentengi dan menjaga dirinya dari terkena kemarahan dan azab Allah l. Sesuatu yang akan menjadi penghalang serta menjaga seseorang dari terkena azab Allah l, tidak lain adalah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwasanya fondasi dari ketakwaan seseorang kepada Allah l adalah persaksiannya terhadap dua kalimat syahadat. Persaksian terhadap dua kalimat syahadat ini bukanlah sekadar diucapkan dengan lisan. Namun juga harus dipahami maknanya serta diamalkan kandungannya. Sehingga siapa saja yang telah bersaksi dengan dua kalimat syahadat ini, dia harus meninggalkan dan berlepas diri serta meyakini batilnya segala bentuk peribadatan kepada selain Allah l dan mengarahkan segala bentuk ibadahnya hanya kepada Allah l saja. Begitu pula dia harus mengimani bahwa Muhammad bin ‘Abdillah ibn ‘Abdul Muththalib n adalah hamba Allah l dan utusan-Nya. Yaitu dia meyakini bahwa beliau adalah seorang hamba yang tidak boleh diibadahi, sekaligus beliau seorang Rasul yang tidak boleh didustai. Disamping itu, dia juga harus meyakini bahwa Nabi Muhammad n adalah penutup para nabi yang diutus oleh Allah l untuk seluruh manusia dan jin. Sehingga tidak ada satu pun yang hidup setelah diutusnya beliau n kecuali harus membenarkan seluruh ajarannya dan mengikuti agamanya. Nabi n bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ، يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya –yakni demi Allah– tidaklah satu pun yang telah mendengar tentang aku dari umat ini baik dari kalangan Yahudi dan tidak pula dari kalangan Nasrani, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali (dia) termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk konsekuensi dari dua kalimat syahadat adalah harus mencintai Allah l dan Rasul-Nya lebih dari cintanya kepada selain keduanya. Rasulullah n bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah sempurna iman salah seseorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Muslim)
Disamping itu, dua kalimat syahadat juga mengharuskan orang yang mengucapkannya untuk mencintai saudaranya sesama muslim yang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah l. Nabi n bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara, yang apabila seseorang itu memilikinya maka dia dengan sebab tiga perkara tersebut akan mendapatkan manisnya iman, (yaitu) seorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya; dan dia mencintai saudaranya yang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah; serta dia membenci untuk kembali terjatuh kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia tidak ingin dirinya dilempar ke api.” (HR. Muslim)
Seseorang yang masih mendahulukan keinginan dirinya dengan mengikuti hawa nafsunya daripada kecintaannya serta ketaatannya kepada Allah l dan Rasul-Nya, maka hal itu menunjukkan kelemahan imannya dan kurang sempurnanya dirinya dalam melaksanakan dua kalimat syahadat.
Hadirin rahimakumullah,
Disamping itu, ketakwaan seseorang juga tidak akan terwujud kecuali dia harus menjalankan kewajiban yang paling besar setelah menjalankan dua kalimat syahadat yaitu menegakkan shalat lima waktu. Amalan ini merupakan tiang Islam, dan merupakan barometer untuk menimbang baik atau tidaknya amalan seseorang serta sebagai pembeda yang membedakan antara seorang muslim dengan orang kafir.
Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan jika mereka mau bertaubat dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian seagama.” (At-Taubah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mau menjalankan kewajiban shalat lima waktu bukanlah saudara kita seiman.
Hadirin rahimakumullah,
Namun perlu diketahui pula bahwasanya wajib bagi kaum laki-laki untuk menjalankan kewajiban shalat lima waktu ini secara berjamaah. Yaitu dengan menjalankannya di masjid, bukan di rumah. Adapun apa yang dipahami oleh sebagian kaum muslimin bahwa apabila di rumahnya ada satu orang laki-laki atau lebih bersamanya berarti dia bisa mengerjakan shalat berjama’ah di rumahnya adalah pemahaman yang salah. Kewajiban shalat berjamaah di masjid ini merupakan paling besarnya syiar Islam yang harus nampak. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa menjaga kewajiban yang sangat besar ini yaitu shalat berjamaah di masjid sebagai bukti ketakwaan kita kepada Allah l Marilah kita senantiasa berhati-hati dari segala hal yang akan menghalangi atau melalaikan kita dari shalat berjamaah, seperti mendatangi acara-acara hiburan yang diwarnai kemaksiatan atau menyaksikannya melalui layar televisi serta berbicara atau ngobrol yang tidak menentu, dan yang semisalnya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Seseorang yang ingin bertakwa, dia harus mewujudkan persaksiannya terhadap dua kalimat syahadat. Yaitu dengan menjadikan Allah l sebagai satu-satunya yang diibadahi dan meninggalkan seluruh jenis perbuatan syirik serta membencinya sebagaimana bencinya dirinya terkena api. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa disebut sebagai orang yang bertakwa apabila dia masih membenarkan atau membolehkan diarahkannya salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah l, meskipun dia menjalankan shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Maka untuk mewujudkan takwa, seseorang harus membangun ibadahnya di atas fondasi ini serta harus menegakkan shalat lima waktu yang akan menjadi tiang dari ketakwaannya. Selanjutnya sebagai bentuk ketakwaan yang sebenar-benarnya, dia pun harus menjalankan perintah-perintah Allah l lainnya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya. Oleh karena itu, marilah kita bertakwa kepada Allah l atas diri kita dengan tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah l. Disamping itu juga atas keluarga kita dengan menjalankan tanggung jawab kepada mereka dan tidak menyia-nyiakannya. Begitu pula, marilah kita bertakwa kepada Allah l terhadap kerabat kita dengan menjaga silaturahim dan tidak memutusnya, serta terhadap saudara-saudara kita seiman dengan tetap menjaga kehormatan mereka. Yang tidak kalah pentingnya, marilah kita bertakwa kepada Allah l terhadap dakwah kita yaitu dengan senantiasa di atas hikmah dalam menjalankannya.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk bagian yang paling penting dari bentuk ketakwaan seseorang adalah at-tafaqquh fiddin, yaitu bersungguh-sungguh dalam mempelajari agama Allah l. Kewajiban menuntut ilmu ini sangat erat kaitannya dengan takwa. Dengan bersemangat dalam menuntut ilmu seseorang akan mengetahui perintah-perintah Allah l dan larangan-larangan-Nya. Sehingga dengan demikian dia akan benar-benar tepat dalam menjalankan perintah-perintah Allah l dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada ahli ilmu tentang agama kita, agar kita bisa benar-benar mewujudkan ketakwaan kita kepada Allah l. Akhirnya, kita memohon kepada Allah l melalui nama-nama-Nya yang husna, agar kita semuanya diberi pertolongan dan kemudahan untuk mewujudkan takwa dan istiqamah di atasnya sampai ajal mendatangi kita. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
KHUTBAH KEDUA:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَاتِمِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa mewujudkan takwa di dalam kehidupan kita dan marilah kita senantiasa mengingat bahwa bertakwa kepada Allah l adalah sumber segala kebaikan dan kunci untuk memperoleh kebahagiaan serta bekal yang sangat berguna untuk kehidupan dunia dan akhirat. Allah l berfirman:
“Maka berbekallah kalian dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 197)
Allah l juga menyebutkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa di sisi Rabb mereka (disediakan) surga yang penuh dengan kenikmatan.” (Al-Qalam: 34)
Hadirin rahimakumullah,
Allah l telah menyebutkan di dalam ayat-ayat-Nya perihal keutamaan atau buah yang akan dipetik oleh orang yang bertakwa. Di antaranya adalah bahwa orang-orang yang bertakwa akan dicintai oleh Allah l. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Disamping itu, orang yang bertakwa juga akan dikaruniai rasa aman dan kebahagiaan di saat sebagian orang ditimpa rasa takut dan kesedihan. Allah l berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.” (Yunus: 62-64)
Termasuk buah dari bertakwa kepada Allah l adalah bahwa orang-orang yang bertakwa akan dikaruniai furqan, yaitu pertolongan dari Allah l baik berupa ilmu atau yang lainnya, sehingga dengannya seseorang akan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Disamping itu juga akan dibersihkan jiwanya dari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dengan diberi kemudahan untuk beramal shalih sehingga akan menghapus kesalahan-kesalahannya. Begitu pula akan diampuni dosa-dosanya dengan diberi taufiq untuk senantiasa beristighfar dan bertaubat dari dosa yang dilakukannya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepada kalian furqan dan Allah akan menghilangkan diri-diri kalian dari kesalahan-kesalahan kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Orang yang bertakwa juga akan diselamatkan oleh Allah l dari berbagai bahaya dan akan diberi jalan keluar dari setiap kesempitan yang menimpanya. Disamping itu juga akan dimudahkan berbagai urusannya serta diberi rezeki di luar dugaannya dari arah yang dia tidak sangka-sangka.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan akan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Begitu pula dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Hadirin rahimakumullah,
Dari ayat-ayat tersebut, kita mengetahui betapa butuhnya kita akan takwa. Karena setiap orang tentu menginginkan jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya. Terlebih permasalahannya menyangkut agama atau akhiratnya, karena masalah ini akan berkaitan dengan selamat dan tidaknya seseorang dari siksa kubur serta kejadian berikutnya saat berada di padang mahsyar sampai kemudian berujung pada selamat dan tidaknya dirinya dari terkena pedihnya siksa api neraka. Maka setiap orang tentu membutuhkan ilmu untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang batil, serta mana yang baik akibatnya dan mana yang berbahaya. Begitu pula yang berkaitan dengan urusan dunia, setiap orang tentu membutuhkan rezeki dan kemudahan dalam urusan-urusan yang dihadapinya. Baik yang berkaitan dengan istri, anak, dan keluarga maupun dengan masyarakat di sekitarnya. Semua ini akan bisa diselesaikan dan menjadi baik hasilnya apabila dihadapi dengan takwa. Mudah-mudahan Allah l menjadikan kita semua menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya .
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ آمِنَّا فِيْ أَوْطَانِنَا، وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلاَةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلاَيَتَنَا فِيْ مَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Wujud Cinta Shahabat, Generasi Paling Mulia di Zaman Mulia
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Abu Musa Al-Asy’ari bertutur:
صَلَّيْنَا الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: مَا زِلْتُمْ هَا هُنَا؟ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْمَغْرِبَ ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: أَحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ. قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَكَانَ كَثِيرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، فَقَالَ: النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ، وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ.
“Kami pernah melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah n. Kemudian kami berkata, ‘Alangkah baiknya bila kita tetap duduk di sini hingga kita dapat shalat isya’ bersama beliau. ‘ Lalu kami pun tetap duduk sampai Rasulullah n keluar menemui kami dan bertanya, “Kalian masih berada di sini?” Kami menjawab, “Wahai Rasulullah kami telah melaksanakan shalat maghrib bersama Anda, lalu kami berkata, ‘Alangkah baiknya bila kita tetap duduk di sini hingga dapat shalat isya’ bersama Anda. ‘ Lantas Rasulullah n bersabda, “Bagus –atau: Kalian benar.” Setelah itu beliau n mengangkat kepala ke arah langit –beliau sering mengangkatnya ke arah langit– dan bersabda, “Bintang gemintang adalah ketentraman untuk langit. Apabila bintang gemintang itu lenyap maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk langit. Aku adalah ketentraman untuk para sahabatku, apabila aku wafat maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk para sahabatku. Dan para sahabatku adalah ketentraman untuk seluruh umatku, apabila para sahabatku telah meninggal maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk umatku.”
Tentang sanad hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 2531). Beliau berkata: “Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ishaq bin Ibrahim dan Abdullah bin Umar bin Abaan telah menceritakan kepada kami, dan mereka mendapatkan hadits ini dari Husain bin Ali Al-Ju’fi, dari Mujammi’ bin Yahya, dari Sa’id bin Abi Burdah, dari Abu Burdah, dari Abu Musa z.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam ‘Abd bin Humaid (no. 539) dari Husain bin Ali, melalui sanad yang sama dengan sanad Al-Imam Muslim.
Al-Imam Ahmad juga meriwayatkannya (4/398) dari Ali bin Abdillah, dari Husain bin Ali, melalui sanad yang sama dengan sanad Al-Imam Muslim.
Dengan demikian, derajat hadits ini shahih. Silahkan melihat keterangan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 6800).
Makna hadits
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata, “Ulama menjelaskan bahwa أَمَنَةٌ dibaca dengan hamzah dan mim yang difathah. Al-Amnu dan Al-Amaan adalah satu makna. Adapun makna hadits ini, selama bintang gemintang masih ada maka langit pun tetap ada. Apabila bintang gemintang berjatuhan dan berserakan pada hari kiamat maka langit akan lemah, terpecah dan terbelah lalu hancur.
Sabda Nabi n: Aku adalah ketentraman untuk para sahabatku, apabila aku wafat maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk para sahabatku, artinya jika aku meninggal maka akan menimpa sahabatku apa yang dijanjikan untuk mereka berupa berbagai fitnah, banyaknya peperangan, orang-orang A’rab yang murtad, perselisihan hati dan hal-hal lainnya yang telah diperingatkan Nabi n secara jelas. Semuanya telah terjadi.
Sedangkan sabda Nabi n: Dan para sahabatku adalah ketentraman untuk seluruh umatku, apabila para sahabatku telah meninggal maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk umatku, maknanya, muncul berbagai bid’ah, hal-hal baru dalam beragama, banyaknya fitnah, munculnya tanduk setan, kemenangan Romawi dan yang lain atas kaum muslimin, dilanggarnya kehormatan kota Madinah dan Makkah, serta hal-hal lain. Semua ini termasuk mu’jizat Nabi n.”
Mengapa mereka mencela sahabat Nabi n?
Rasulullah n menetapkan bahwa di antara wujud keimanan seorang hamba adalah mencintai para sahabatnya. Adapun sikap membenci dan mengecilkan kedudukan sahabat menjadi bukti seseorang memusuhi Islam, disadari maupun tidak. Setan memperdaya dan mempermainkan mereka yang tidak memiliki fiqih dengan menghembuskan keyakinan dan pemikiran yang dapat meruntuhkan pilar-pilar Islam. Kecintaan terhadap para sahabat Nabi n sebagai contohnya.
Kecintaan kepada para sahabat telah menjadi tolak ukur seseorang dapat dikatakan sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagaimana kebencian terhadap mereka telah ditetapkan sebagai ciri ahlul bid’ah. Seluruh ulama yang menulis tentang akidah Ahlus Sunnah selalu menyebutkan sebuah bab yang terkait dengan wajibnya mencintai dan membela kehormatan para sahabat. Karena mereka adalah generasi paling mulia.
Lalu mengapa sebagian orang menunjukkan kebencian dan keraguan terhadap kedudukan para sahabat? Banyak alasan yang dapat dimunculkan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun seluruh alasan tersebut kembali kepada satu hal, yaitu bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat g bertentangan dengan hawa nafsu dan syahwat mereka. Merasa kesesatan mereka disalahkan dan tidak dibenarkan secara pandangan Islam, maka tidak ada jalan bagi mereka kecuali dengan mencela para penukil hadits, yaitu para sahabat Rasulullah g.
Al-Imam Ibnu Khuzaimah menjelaskan, “Orang yang buta mata hatinya mencela Abu Hurairah z karena ingin menolak haditsnya, disebabkan ia tidak faham tentang maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’athil jahmi (pengikut aliran sesat Jahmiyah), hanya karena ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah z yang menyelisihi madzhab kufur mereka, ia lalu mencela Abu Hurairah z dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah sucikan darinya. Tuduhan ini untuk membentuk opini pada orang awam, bahwa hadits-hadits Abu Hurairah tidak benar.
Adakalanya ia seorang Khawarij yang mengangkat pedang terhadap kaum muslimin dan menganggap tidak wajibnya menaati khalifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah z dari Nabi n yang menyelisihi madzhab sesatnya, lalu ia tidak dapat menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah, maka ujung-ujungnya ia menggunakan cara lain yaitu mencela Abu Hurairah z.
Atau mungkin dia seorang qadari (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan Islam dan kaum muslimin serta mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti taqdir yang telah ditetapkan Allah dahulu sebelum hamba melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi n dalam menetapkan taqdir, lantas ia tidak mendapatkan hujjah yang dapat digunakan untuk mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka mereka mencari alasan dengan menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah z tidak boleh dipakai sebagai hujjah.
Atau mungkin dia orang bodoh yang ingin menjadi faqih, namun mencarinya dari tempat yang salah. Jika ia mendengar berita Abu Hurairah z menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya secara taklid tanpa hujjah, maka orang tersebut tentu akan mencela Abu Hurairah z dan menolak riwayat-riwayatnya yang menyelisihi madzhab mereka. Tetapi anehnya ia akan berhujjah menggunakan hadits-hadits Abu Hurairah z jika hadits tersebut sesuai dengan madzhabnya untuk mengalahkan orang yang tidak sependapat.” (Al-Mustadrak Ala Ash-Shahihain no. 6233 dengan sedikit perubahan)
Besarlah dosa orang yang mencela sahabat Nabi n
Banyak sekali dalil naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang menjelaskan keutamaan sahabat, baik secara umum maupun perorangan. Banyak juga dalil naqli yang menunjukkan haramnya mencela dan meremehkan kedudukan para sahabat. Sebagai satu contoh adalah hadits Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
“Barangsiapa mencela sahabatku maka baginya laknat Allah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1001 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilalil Jannah 2/469)
Yang menunjukkan bahwa hal ini adalah sangat penting sekali adalah banyaknya perkataan ulama yang membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya adalah pernyataan Al-Imam Ibnu Qudamah, “Termasuk sunnah adalah memberikan loyalitas dan cinta untuk para sahabat Rasulullah g. Demikian juga menceritakan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan rahmat, memintakan ampun untuk mereka serta menahan diri untuk tidak menceritakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Juga mengakui keutamaan serta mereka terdahulu di dalam Islam.” (Lum’atul I’tiqad hal. 32)
Ibnu Hajar berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat tentang wajibnya tidak mencela seorangpun dari para sahabat.” (Fathul Bari, 13/34)
Al-Imam Malik bin Anas berkata, “Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ambisi untuk menghabisi Rasulullah n, namun mereka tidak mampu. Lalu mereka pun mencela sahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Sebab, jika beliau orang baik maka para sahabatnya pun orang baik.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 580)
Al-Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang bangun pagi sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, maka ia termasuk dalam ayat:
“Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min).” (Al-Fath: 29) [Ash-Sharimul Maslul]
Al-Imam Al-‘Awwam bin Hausyab berkata, “Sebutkanlah kebaikan-kebaikan sahabat Nabi Muhammad n, tentu hati manusia akan cinta kepada mereka. Janganlah kalian menceritakan kejelekan-kejelakan mereka, karena akan menumbuhkan kebencian kepada mereka.” (As-Sunnah karya Al-Khallal hal. 829)
Abu Utsman Ash-Shabuni berkata, “Ashabul hadits meyakini untuk menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah n, serta menjaga kesucian lisan sehingga tidak menyebutkan sesuatu yang menunjukkan celaan atau kekurangan mereka. Mereka juga meyakini untuk mendoakan rahmat serta memberikan kecintaan untuk para sahabat seluruhnya.” (‘Aqidatus Salaf 144)
Lebih lengkapnya silahkan membaca Asy Syari’ah Vol. II/No. 17/1426 H/2005 dengan judul Membela kemuliaan para shahabat.
Anggapan salah yang harus diluruskan
Kebencian merupakan pangkal kejahatan. Karena kebencian jugalah mereka berusaha untuk menyudutkan para sahabat dengan berbagai upaya. Dengan beberapa hadits yang dipahami secara salah, mereka ingin menjauhkan umat dari generasi pertama Islam. Berikut ini beberapa hadits yang seringkali menjadi alasan bagi pengikut hawa nafsu dan ahlul bid’ah untuk meruntuhkan kepercayaan umat terhadap para sahabat.
1. Hadits Ibnu Abbas yang menceritakan tentang telaga Rasulullah n pada hari kiamat nanti. Umat beliau n akan turut menikmati telaga tersebut. Telaga yang airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dibandingkan madu, jumlah timbanya seperti banyaknya bintang di langit, dan barangsiapa yang minum seteguk saja, ia tidak akan merasakan haus selamanya. Disebutkan bahwa akan ada sekelompok orang dari umat Islam yang akan dihalangi bahkan diusir sehingga tidak dapat mendekati telaga tersebut. Maka Rasulullah pun berusaha untuk membela:
فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أُصَيْحَابِي. فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Wahai Rabbku, mereka adalah sahabatku!” Lalu malaikat pun menjelaskan, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Maka Rasulullah mendoakan kejelekan untuk mereka, “Sungguh celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 4625 dan Muslim no. 2860)
Berdasarkan hadits di atas, mereka yang tersesat jalannya beranggapan bahwa setelah Rasulullah n wafat, para sahabat kemudian murtad dan membuat hal-hal yang baru dalam Islam sehingga mereka diusir dari telaga Rasulullah n. Kerancuan di dalam memahami ini dapat diluruskan dengan beberapa jawaban:
1. Yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah sahabat dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian istilah. Sehingga yang disebut sebagai sahabat di dalam hadits ini adalah umat yang mengikuti Nabi Muhammad n secara umum. Sebagaimana pengikut Abu Hanifah dikatakan Ashaab Abi Hanifah atau pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i yang disebut dengan Ashaab Asy-Syafi’i. Demikian juga penggunaan kalimat “Ashaabuna” untuk orang-orang sebelumnya dan sependapat dalam salah satu madzhab, padahal selang waktu di antara mereka terpaut jauh. Adapun Rasulullah n pada hari kiamat nanti dapat mengenali umat Islam karena terlihat tanda-tanda wudhu di wajah dan tangan mereka, sebagaimana hadits Hudzaifah riwayat Muslim (no. 248).
2. Seandainya “sahabat” yang disebutkan di dalam hadits tersebut adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah n, maka sebagian ulama telah menyebutkan beberapa kemungkinan makna. Di antaranya, (pertama) bahwa yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah kaum munafikin dan orang-orang yang murtad. Boleh jadi mereka dibangkitkan pada hari kiamat nanti dengan wajah dan tangan yang menunjukkan mereka pun berwudhu ketika di dunia.
Kedua, yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah orang-orang yang beriman di masa Rasulullah n lalu mereka murtad sepeninggal Rasulullah n. Beliau dapat mengenali mereka karena semasa hidupnya beliau mengetahui orang-orang tersebut.
Ketiga, yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah pelaku maksiat dan dosa besar yang meninggal dalam keadaan bertauhid. (Syarah Nawawi)
Di dalam hadits itu sendiri terdapat lafadz yang menguatkan kemungkinan makna yang kedua yaitu sabda Rasulullah n pada beberapa riwayat hadits yang memanggil mereka dengan Ushaihabi dalam bentuk tashghir. Al-Imam Al-Khaththabi menjelaskan bahwa lafadz ini menunjukkan tentang sedikitnya orang-orang tersebut. Hal ini pun hanya terjadi pada sebagian orang Arab badui yang kaku, dan tidak terjadi pada diri sahabat yang masyhur. (Fathul Bari 8/136)
Demikian juga lafadz hadits yang menyebutkan bahwa “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” menunjukkan bahwa Rasulullah n tidak mengenali mereka secara perorangan meskipun Nabi n mengetahui mereka merupakan dari bagian umat Islam. (Fathul Bari 11/484)
Sehingga memahami “sahabatku” dalam hadits di atas adalah sahabat Rasulullah n dengan pengertian secara istilah, tidak akan dilakukan oleh seorang muslim, karena menyelisihi rekomendasi Allah dan Rasul-Nya untuk para sahabat. Demikian juga bertentangan dengan ijma’ kaum muslimin. Wallahu a’lam.
2. Mereka menganggap bahwa sebagian sahabat berani berdusta di masa hidup Rasulullah n. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka pun berdusta atas nama Rasulllah n. Anggapan ini muncul berdasarkan sebuah riwayat dari Buraidah bin Al-Hushaib z, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَوْمٍ فِي جَانِبِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ n أَمَرَنِي أَنْ أَحْكُمَ بِرَأْيِي فِيكُمْ، فِي كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ كَانَ خَطَبَ امْرَأَةً مِنْهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَأَبَوْا أَنْ يُزَوِّجُوهُ، فَبَعَثَ الْقَوْمُ إِلَى النَّبِيِّ n يَسْأَلُونَهُ، فَقَاَل: كَذَبَ عَدُوُّ اللهِ. ثُمَّ أَرْسَلَ رَجُلاً فَقَالَ: إِنْ أَنْتَ وَجَدْتَهُ مَيِّتاً فَأَحْرِقْهُ. فَوَجَدَهُ قَدْ لُدِغَ فَمَاتَ، فَحَرَقَهُ
Seseorang datang menemui suatu kaum di dekat kota Madinah. Ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku diperintah oleh Rasulullah n untuk memutuskan dalam perkara kalian dengan pendapatku sendiri.” Dahulu di masa jahiliyah orang tersebut pernah melamar seorang wanita dari kampung mereka, namun mereka enggan untuk menikahkannya. Kemudian mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah n guna menanyakan tentang orang tersebut. Lalu Rasulullah n bersabda, “Musuh Allah telah berdusta.” Lalu Rasulullah mengutus seorang sahabat dan berpesan, “Jika engkau menemuinya dalam keadaan ia telah meninggal maka bakarlah jenazahnya.” Ternyata sahabat itu menemukan ia telah disengat binatang berbisa dan meninggal. Ia pun dibakar.
Hadits ini dibawakan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (4/1371) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Muqaddimah Al-Maudhu’at (1/55-56). Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Shalih bin Hayyan Al-Qurasyi. Menurut kesepakatan ulama hadits, ia termasuk perawi yang lemah dan cacat, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib (4/386). Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan biografinya dalam kitab Al-Mizan dan menjelaskan bahwa hadits di atas termasuk riwayatnya yang munkar.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (3/59) dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash. Namun dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Atha’ bin Sa’ib, yang termasuk perawi mukhtalith. Al-Imam Abu Dawud menjelaskan bahwa hadits ini termasuk hadits yang ia sampaikan setelah mengalami ikhtilath. (Tahdzib At-Tahdzib 7/203)
Kesimpulannya, hadits ini lemah sekali dan tidak dapat digunakan sebagai hujjah dan landasan dalam berpendapat. Wallahul musta’an.
3. Mereka mengatakan bahwa para sahabat saling berperang satu sama lain dalam perang Shiffin dan Jamal. Padahal Rasulullah n pernah bersabda dalam sebuah hadits dari sahabat Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajali:
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّاراً يَضْرِبُ بَعْضَكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian menebas leher yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 7080 dan Muslim no. 65)
Kedustaan semacam ini telah dibahas secara luas oleh Ibnul A’rabi dalam Al-‘Awashim minal Qawashim dan Syaikhul Islam dalam Minhajus Sunnah.
Perlu difahami bahwa hadits ini diucapkan oleh Rasulullah n dalam konteks larangan dan peringatan dari memerangi orang mukmin. Penggunaan istilah kekafiran untuk perbuatan memerangi orang mukmin menunjukkan beberapa kemungkinan secara makna. Di antaranya untuk menunjukkan bahwa larangan tersebut benar-benar keras sehingga setiap orang yang mendengarnya benar-benar akan memperhatikan. Sehingga makna hadits tersebut adalah “Janganlah kalian melakukan perbuatan orang-orang kafir dengan saling membunuh satu sama lain.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan adanya beberapa kemungkinan yang lain dalam Fathul Bari (13/30 dan 12/201-202).
Oleh karena itu, peperangan yang pernah terjadi di antara para sahabat bukan dengan dasar keyakinan menghalalkan perbuatan tersebut sehingga dinyatakan perbuatan tersebut sebagai salah satu bentuk kekufuran. Bagaimana mungkin disebut sebagai bentuk kekufuran, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebut mereka sebagai kaum mukminin.
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 9-10)
Di dalam ayat di atas, Allah l menamakan mereka sebagai orang-orang yang bersaudara, menyebut mereka sebagai kaum mukminin, padahal terjadi peperangan dan perbuatan aniaya di antara mereka.
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata, “Berdasarkan hal ini dan beberapa hal lainnya, Al-Imam Al-Bukhari berdalil bahwa perbuatan maksiat tidak dapat mengeluarkan dari keimanan walaupun besar. Bukan seperti keyakinan kaum Khawarij dan para pengikutnya dari kaum Mu’tazilah dan yang sejenis. Demikian juga telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan dari Abu Bakrah, beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah n berada di atas mimbar sementara Al-Hasan bin ‘Ali berada di samping beliau. Terkadang Rasulullah n menghadap ke arah sahabat, kadang-kadang beliau menghadap ke arah Al-Hasan. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya cucuku ini adalah seorang pemimpin dan semoga dengan perantaranya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin.” Terjadilah apa yang telah disabdakan Rasulullah n. Dengan perantaraan Al-Hasan, Allah l mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Irak setelah terjadi peperangan panjang dan banyak pertempuran dahsyat.”
Sehingga, sahabat yang terlibat dalam peperangan tersebut tidaklah keluar dari dua kemungkinan. Benar dalam pendapatnya, atau salah dalam berijtihad dan tetap mendapatkan pahala. Benarlah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang telah berkata, “Allah telah membersihkan pedang kita dari darah mereka. Maka janganlah menodai lisan kita dengan membicarakan mereka dengan kejelekan.” (Fathul Mughits 3/96)
Khatimah
Para sahabat Nabi n adalah orang-orang yang memiliki banyak keutamaan. Mereka adalah generasi terbaik umat ini sebagaimana disabdakan sendiri oleh Rasulullah n. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah. Banyak di antara mereka ketika masih hidup telah mendapatkan kabar gembira yaitu akan dimasukkan ke dalam surga. Tidak ada keutamaan yang demikian tinggi seperti ini didapatkan oleh umat manapun, terlebih umat setelah mereka.
Abu Musa Al-Asy’ari bertutur:
صَلَّيْنَا الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: مَا زِلْتُمْ هَا هُنَا؟ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْمَغْرِبَ ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: أَحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ. قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَكَانَ كَثِيرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، فَقَالَ: النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ، وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ.
“Kami pernah melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah n. Kemudian kami berkata, ‘Alangkah baiknya bila kita tetap duduk di sini hingga kita dapat shalat isya’ bersama beliau. ‘ Lalu kami pun tetap duduk sampai Rasulullah n keluar menemui kami dan bertanya, “Kalian masih berada di sini?” Kami menjawab, “Wahai Rasulullah kami telah melaksanakan shalat maghrib bersama Anda, lalu kami berkata, ‘Alangkah baiknya bila kita tetap duduk di sini hingga dapat shalat isya’ bersama Anda. ‘ Lantas Rasulullah n bersabda, “Bagus –atau: Kalian benar.” Setelah itu beliau n mengangkat kepala ke arah langit –beliau sering mengangkatnya ke arah langit– dan bersabda, “Bintang gemintang adalah ketentraman untuk langit. Apabila bintang gemintang itu lenyap maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk langit. Aku adalah ketentraman untuk para sahabatku, apabila aku wafat maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk para sahabatku. Dan para sahabatku adalah ketentraman untuk seluruh umatku, apabila para sahabatku telah meninggal maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk umatku.”
Tentang sanad hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 2531). Beliau berkata: “Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ishaq bin Ibrahim dan Abdullah bin Umar bin Abaan telah menceritakan kepada kami, dan mereka mendapatkan hadits ini dari Husain bin Ali Al-Ju’fi, dari Mujammi’ bin Yahya, dari Sa’id bin Abi Burdah, dari Abu Burdah, dari Abu Musa z.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam ‘Abd bin Humaid (no. 539) dari Husain bin Ali, melalui sanad yang sama dengan sanad Al-Imam Muslim.
Al-Imam Ahmad juga meriwayatkannya (4/398) dari Ali bin Abdillah, dari Husain bin Ali, melalui sanad yang sama dengan sanad Al-Imam Muslim.
Dengan demikian, derajat hadits ini shahih. Silahkan melihat keterangan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 6800).
Makna hadits
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata, “Ulama menjelaskan bahwa أَمَنَةٌ dibaca dengan hamzah dan mim yang difathah. Al-Amnu dan Al-Amaan adalah satu makna. Adapun makna hadits ini, selama bintang gemintang masih ada maka langit pun tetap ada. Apabila bintang gemintang berjatuhan dan berserakan pada hari kiamat maka langit akan lemah, terpecah dan terbelah lalu hancur.
Sabda Nabi n: Aku adalah ketentraman untuk para sahabatku, apabila aku wafat maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk para sahabatku, artinya jika aku meninggal maka akan menimpa sahabatku apa yang dijanjikan untuk mereka berupa berbagai fitnah, banyaknya peperangan, orang-orang A’rab yang murtad, perselisihan hati dan hal-hal lainnya yang telah diperingatkan Nabi n secara jelas. Semuanya telah terjadi.
Sedangkan sabda Nabi n: Dan para sahabatku adalah ketentraman untuk seluruh umatku, apabila para sahabatku telah meninggal maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk umatku, maknanya, muncul berbagai bid’ah, hal-hal baru dalam beragama, banyaknya fitnah, munculnya tanduk setan, kemenangan Romawi dan yang lain atas kaum muslimin, dilanggarnya kehormatan kota Madinah dan Makkah, serta hal-hal lain. Semua ini termasuk mu’jizat Nabi n.”
Mengapa mereka mencela sahabat Nabi n?
Rasulullah n menetapkan bahwa di antara wujud keimanan seorang hamba adalah mencintai para sahabatnya. Adapun sikap membenci dan mengecilkan kedudukan sahabat menjadi bukti seseorang memusuhi Islam, disadari maupun tidak. Setan memperdaya dan mempermainkan mereka yang tidak memiliki fiqih dengan menghembuskan keyakinan dan pemikiran yang dapat meruntuhkan pilar-pilar Islam. Kecintaan terhadap para sahabat Nabi n sebagai contohnya.
Kecintaan kepada para sahabat telah menjadi tolak ukur seseorang dapat dikatakan sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagaimana kebencian terhadap mereka telah ditetapkan sebagai ciri ahlul bid’ah. Seluruh ulama yang menulis tentang akidah Ahlus Sunnah selalu menyebutkan sebuah bab yang terkait dengan wajibnya mencintai dan membela kehormatan para sahabat. Karena mereka adalah generasi paling mulia.
Lalu mengapa sebagian orang menunjukkan kebencian dan keraguan terhadap kedudukan para sahabat? Banyak alasan yang dapat dimunculkan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun seluruh alasan tersebut kembali kepada satu hal, yaitu bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat g bertentangan dengan hawa nafsu dan syahwat mereka. Merasa kesesatan mereka disalahkan dan tidak dibenarkan secara pandangan Islam, maka tidak ada jalan bagi mereka kecuali dengan mencela para penukil hadits, yaitu para sahabat Rasulullah g.
Al-Imam Ibnu Khuzaimah menjelaskan, “Orang yang buta mata hatinya mencela Abu Hurairah z karena ingin menolak haditsnya, disebabkan ia tidak faham tentang maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’athil jahmi (pengikut aliran sesat Jahmiyah), hanya karena ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah z yang menyelisihi madzhab kufur mereka, ia lalu mencela Abu Hurairah z dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah sucikan darinya. Tuduhan ini untuk membentuk opini pada orang awam, bahwa hadits-hadits Abu Hurairah tidak benar.
Adakalanya ia seorang Khawarij yang mengangkat pedang terhadap kaum muslimin dan menganggap tidak wajibnya menaati khalifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah z dari Nabi n yang menyelisihi madzhab sesatnya, lalu ia tidak dapat menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah, maka ujung-ujungnya ia menggunakan cara lain yaitu mencela Abu Hurairah z.
Atau mungkin dia seorang qadari (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan Islam dan kaum muslimin serta mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti taqdir yang telah ditetapkan Allah dahulu sebelum hamba melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi n dalam menetapkan taqdir, lantas ia tidak mendapatkan hujjah yang dapat digunakan untuk mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka mereka mencari alasan dengan menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah z tidak boleh dipakai sebagai hujjah.
Atau mungkin dia orang bodoh yang ingin menjadi faqih, namun mencarinya dari tempat yang salah. Jika ia mendengar berita Abu Hurairah z menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya secara taklid tanpa hujjah, maka orang tersebut tentu akan mencela Abu Hurairah z dan menolak riwayat-riwayatnya yang menyelisihi madzhab mereka. Tetapi anehnya ia akan berhujjah menggunakan hadits-hadits Abu Hurairah z jika hadits tersebut sesuai dengan madzhabnya untuk mengalahkan orang yang tidak sependapat.” (Al-Mustadrak Ala Ash-Shahihain no. 6233 dengan sedikit perubahan)
Besarlah dosa orang yang mencela sahabat Nabi n
Banyak sekali dalil naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang menjelaskan keutamaan sahabat, baik secara umum maupun perorangan. Banyak juga dalil naqli yang menunjukkan haramnya mencela dan meremehkan kedudukan para sahabat. Sebagai satu contoh adalah hadits Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
“Barangsiapa mencela sahabatku maka baginya laknat Allah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1001 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilalil Jannah 2/469)
Yang menunjukkan bahwa hal ini adalah sangat penting sekali adalah banyaknya perkataan ulama yang membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya adalah pernyataan Al-Imam Ibnu Qudamah, “Termasuk sunnah adalah memberikan loyalitas dan cinta untuk para sahabat Rasulullah g. Demikian juga menceritakan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan rahmat, memintakan ampun untuk mereka serta menahan diri untuk tidak menceritakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Juga mengakui keutamaan serta mereka terdahulu di dalam Islam.” (Lum’atul I’tiqad hal. 32)
Ibnu Hajar berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat tentang wajibnya tidak mencela seorangpun dari para sahabat.” (Fathul Bari, 13/34)
Al-Imam Malik bin Anas berkata, “Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ambisi untuk menghabisi Rasulullah n, namun mereka tidak mampu. Lalu mereka pun mencela sahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Sebab, jika beliau orang baik maka para sahabatnya pun orang baik.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 580)
Al-Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang bangun pagi sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, maka ia termasuk dalam ayat:
“Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min).” (Al-Fath: 29) [Ash-Sharimul Maslul]
Al-Imam Al-‘Awwam bin Hausyab berkata, “Sebutkanlah kebaikan-kebaikan sahabat Nabi Muhammad n, tentu hati manusia akan cinta kepada mereka. Janganlah kalian menceritakan kejelekan-kejelakan mereka, karena akan menumbuhkan kebencian kepada mereka.” (As-Sunnah karya Al-Khallal hal. 829)
Abu Utsman Ash-Shabuni berkata, “Ashabul hadits meyakini untuk menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah n, serta menjaga kesucian lisan sehingga tidak menyebutkan sesuatu yang menunjukkan celaan atau kekurangan mereka. Mereka juga meyakini untuk mendoakan rahmat serta memberikan kecintaan untuk para sahabat seluruhnya.” (‘Aqidatus Salaf 144)
Lebih lengkapnya silahkan membaca Asy Syari’ah Vol. II/No. 17/1426 H/2005 dengan judul Membela kemuliaan para shahabat.
Anggapan salah yang harus diluruskan
Kebencian merupakan pangkal kejahatan. Karena kebencian jugalah mereka berusaha untuk menyudutkan para sahabat dengan berbagai upaya. Dengan beberapa hadits yang dipahami secara salah, mereka ingin menjauhkan umat dari generasi pertama Islam. Berikut ini beberapa hadits yang seringkali menjadi alasan bagi pengikut hawa nafsu dan ahlul bid’ah untuk meruntuhkan kepercayaan umat terhadap para sahabat.
1. Hadits Ibnu Abbas yang menceritakan tentang telaga Rasulullah n pada hari kiamat nanti. Umat beliau n akan turut menikmati telaga tersebut. Telaga yang airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dibandingkan madu, jumlah timbanya seperti banyaknya bintang di langit, dan barangsiapa yang minum seteguk saja, ia tidak akan merasakan haus selamanya. Disebutkan bahwa akan ada sekelompok orang dari umat Islam yang akan dihalangi bahkan diusir sehingga tidak dapat mendekati telaga tersebut. Maka Rasulullah pun berusaha untuk membela:
فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أُصَيْحَابِي. فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Wahai Rabbku, mereka adalah sahabatku!” Lalu malaikat pun menjelaskan, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Maka Rasulullah mendoakan kejelekan untuk mereka, “Sungguh celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 4625 dan Muslim no. 2860)
Berdasarkan hadits di atas, mereka yang tersesat jalannya beranggapan bahwa setelah Rasulullah n wafat, para sahabat kemudian murtad dan membuat hal-hal yang baru dalam Islam sehingga mereka diusir dari telaga Rasulullah n. Kerancuan di dalam memahami ini dapat diluruskan dengan beberapa jawaban:
1. Yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah sahabat dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian istilah. Sehingga yang disebut sebagai sahabat di dalam hadits ini adalah umat yang mengikuti Nabi Muhammad n secara umum. Sebagaimana pengikut Abu Hanifah dikatakan Ashaab Abi Hanifah atau pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i yang disebut dengan Ashaab Asy-Syafi’i. Demikian juga penggunaan kalimat “Ashaabuna” untuk orang-orang sebelumnya dan sependapat dalam salah satu madzhab, padahal selang waktu di antara mereka terpaut jauh. Adapun Rasulullah n pada hari kiamat nanti dapat mengenali umat Islam karena terlihat tanda-tanda wudhu di wajah dan tangan mereka, sebagaimana hadits Hudzaifah riwayat Muslim (no. 248).
2. Seandainya “sahabat” yang disebutkan di dalam hadits tersebut adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah n, maka sebagian ulama telah menyebutkan beberapa kemungkinan makna. Di antaranya, (pertama) bahwa yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah kaum munafikin dan orang-orang yang murtad. Boleh jadi mereka dibangkitkan pada hari kiamat nanti dengan wajah dan tangan yang menunjukkan mereka pun berwudhu ketika di dunia.
Kedua, yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah orang-orang yang beriman di masa Rasulullah n lalu mereka murtad sepeninggal Rasulullah n. Beliau dapat mengenali mereka karena semasa hidupnya beliau mengetahui orang-orang tersebut.
Ketiga, yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah pelaku maksiat dan dosa besar yang meninggal dalam keadaan bertauhid. (Syarah Nawawi)
Di dalam hadits itu sendiri terdapat lafadz yang menguatkan kemungkinan makna yang kedua yaitu sabda Rasulullah n pada beberapa riwayat hadits yang memanggil mereka dengan Ushaihabi dalam bentuk tashghir. Al-Imam Al-Khaththabi menjelaskan bahwa lafadz ini menunjukkan tentang sedikitnya orang-orang tersebut. Hal ini pun hanya terjadi pada sebagian orang Arab badui yang kaku, dan tidak terjadi pada diri sahabat yang masyhur. (Fathul Bari 8/136)
Demikian juga lafadz hadits yang menyebutkan bahwa “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” menunjukkan bahwa Rasulullah n tidak mengenali mereka secara perorangan meskipun Nabi n mengetahui mereka merupakan dari bagian umat Islam. (Fathul Bari 11/484)
Sehingga memahami “sahabatku” dalam hadits di atas adalah sahabat Rasulullah n dengan pengertian secara istilah, tidak akan dilakukan oleh seorang muslim, karena menyelisihi rekomendasi Allah dan Rasul-Nya untuk para sahabat. Demikian juga bertentangan dengan ijma’ kaum muslimin. Wallahu a’lam.
2. Mereka menganggap bahwa sebagian sahabat berani berdusta di masa hidup Rasulullah n. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka pun berdusta atas nama Rasulllah n. Anggapan ini muncul berdasarkan sebuah riwayat dari Buraidah bin Al-Hushaib z, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَوْمٍ فِي جَانِبِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ n أَمَرَنِي أَنْ أَحْكُمَ بِرَأْيِي فِيكُمْ، فِي كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ كَانَ خَطَبَ امْرَأَةً مِنْهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَأَبَوْا أَنْ يُزَوِّجُوهُ، فَبَعَثَ الْقَوْمُ إِلَى النَّبِيِّ n يَسْأَلُونَهُ، فَقَاَل: كَذَبَ عَدُوُّ اللهِ. ثُمَّ أَرْسَلَ رَجُلاً فَقَالَ: إِنْ أَنْتَ وَجَدْتَهُ مَيِّتاً فَأَحْرِقْهُ. فَوَجَدَهُ قَدْ لُدِغَ فَمَاتَ، فَحَرَقَهُ
Seseorang datang menemui suatu kaum di dekat kota Madinah. Ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku diperintah oleh Rasulullah n untuk memutuskan dalam perkara kalian dengan pendapatku sendiri.” Dahulu di masa jahiliyah orang tersebut pernah melamar seorang wanita dari kampung mereka, namun mereka enggan untuk menikahkannya. Kemudian mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah n guna menanyakan tentang orang tersebut. Lalu Rasulullah n bersabda, “Musuh Allah telah berdusta.” Lalu Rasulullah mengutus seorang sahabat dan berpesan, “Jika engkau menemuinya dalam keadaan ia telah meninggal maka bakarlah jenazahnya.” Ternyata sahabat itu menemukan ia telah disengat binatang berbisa dan meninggal. Ia pun dibakar.
Hadits ini dibawakan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (4/1371) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Muqaddimah Al-Maudhu’at (1/55-56). Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Shalih bin Hayyan Al-Qurasyi. Menurut kesepakatan ulama hadits, ia termasuk perawi yang lemah dan cacat, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib (4/386). Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan biografinya dalam kitab Al-Mizan dan menjelaskan bahwa hadits di atas termasuk riwayatnya yang munkar.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (3/59) dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash. Namun dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Atha’ bin Sa’ib, yang termasuk perawi mukhtalith. Al-Imam Abu Dawud menjelaskan bahwa hadits ini termasuk hadits yang ia sampaikan setelah mengalami ikhtilath. (Tahdzib At-Tahdzib 7/203)
Kesimpulannya, hadits ini lemah sekali dan tidak dapat digunakan sebagai hujjah dan landasan dalam berpendapat. Wallahul musta’an.
3. Mereka mengatakan bahwa para sahabat saling berperang satu sama lain dalam perang Shiffin dan Jamal. Padahal Rasulullah n pernah bersabda dalam sebuah hadits dari sahabat Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajali:
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّاراً يَضْرِبُ بَعْضَكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian menebas leher yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 7080 dan Muslim no. 65)
Kedustaan semacam ini telah dibahas secara luas oleh Ibnul A’rabi dalam Al-‘Awashim minal Qawashim dan Syaikhul Islam dalam Minhajus Sunnah.
Perlu difahami bahwa hadits ini diucapkan oleh Rasulullah n dalam konteks larangan dan peringatan dari memerangi orang mukmin. Penggunaan istilah kekafiran untuk perbuatan memerangi orang mukmin menunjukkan beberapa kemungkinan secara makna. Di antaranya untuk menunjukkan bahwa larangan tersebut benar-benar keras sehingga setiap orang yang mendengarnya benar-benar akan memperhatikan. Sehingga makna hadits tersebut adalah “Janganlah kalian melakukan perbuatan orang-orang kafir dengan saling membunuh satu sama lain.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan adanya beberapa kemungkinan yang lain dalam Fathul Bari (13/30 dan 12/201-202).
Oleh karena itu, peperangan yang pernah terjadi di antara para sahabat bukan dengan dasar keyakinan menghalalkan perbuatan tersebut sehingga dinyatakan perbuatan tersebut sebagai salah satu bentuk kekufuran. Bagaimana mungkin disebut sebagai bentuk kekufuran, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebut mereka sebagai kaum mukminin.
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 9-10)
Di dalam ayat di atas, Allah l menamakan mereka sebagai orang-orang yang bersaudara, menyebut mereka sebagai kaum mukminin, padahal terjadi peperangan dan perbuatan aniaya di antara mereka.
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata, “Berdasarkan hal ini dan beberapa hal lainnya, Al-Imam Al-Bukhari berdalil bahwa perbuatan maksiat tidak dapat mengeluarkan dari keimanan walaupun besar. Bukan seperti keyakinan kaum Khawarij dan para pengikutnya dari kaum Mu’tazilah dan yang sejenis. Demikian juga telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan dari Abu Bakrah, beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah n berada di atas mimbar sementara Al-Hasan bin ‘Ali berada di samping beliau. Terkadang Rasulullah n menghadap ke arah sahabat, kadang-kadang beliau menghadap ke arah Al-Hasan. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya cucuku ini adalah seorang pemimpin dan semoga dengan perantaranya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin.” Terjadilah apa yang telah disabdakan Rasulullah n. Dengan perantaraan Al-Hasan, Allah l mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Irak setelah terjadi peperangan panjang dan banyak pertempuran dahsyat.”
Sehingga, sahabat yang terlibat dalam peperangan tersebut tidaklah keluar dari dua kemungkinan. Benar dalam pendapatnya, atau salah dalam berijtihad dan tetap mendapatkan pahala. Benarlah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang telah berkata, “Allah telah membersihkan pedang kita dari darah mereka. Maka janganlah menodai lisan kita dengan membicarakan mereka dengan kejelekan.” (Fathul Mughits 3/96)
Khatimah
Para sahabat Nabi n adalah orang-orang yang memiliki banyak keutamaan. Mereka adalah generasi terbaik umat ini sebagaimana disabdakan sendiri oleh Rasulullah n. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah. Banyak di antara mereka ketika masih hidup telah mendapatkan kabar gembira yaitu akan dimasukkan ke dalam surga. Tidak ada keutamaan yang demikian tinggi seperti ini didapatkan oleh umat manapun, terlebih umat setelah mereka.
Aqidah Dua Mujaddid dalam Islam
Mujaddid adalah seorang yang menjadi sebab kembalinya kaum muslimin
kepada al-haq dan meninggikan bendera Islam. Seorang dianggap mujaddid
disyaratkan seorang Ahlus Sunnah yang shalih dan berilmu.
Rasulullah n telah mengabarkan akan adanya para mujaddid dalam Islam. Beliau n bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Allah mengutus untuk umat ini di setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud no. 4291, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
Di antara mujaddid dalam Islam adalah Al-Imam Asy-Syafi’i t. Al-Imam Ahmad t berkata, “Allah l menetapkan bagi manusia,setiap seratus tahunnya ada seorang yang mengajari mereka As-Sunnah dan menafikan kedustaan atas nama Rasul. Kami pun menelaah, ternyata di pengujung seratus tahun adalah Umar bin Abdul Aziz t, dan di pengujung tahun dua ratus adalah Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Ahmad t juga berkata, “Sejak 30 tahun lalu, tidaklah aku tidur malam kecuali aku mendoakan kebaikan bagi Asy-Syafi’i dan memohonkan ampunan untuknya.” (Lihat Mukhalafat Ash-Shufiyah hal. 10-11)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “Seorang mujaddid yang hakiki adalah seorang yang berilmu tentang syariat Allah l, istiqamah di atas Sunnah Rasulullah n dan mengembalikan manusia kepada petunjuk. Berita yang dikabarkan Rasulullah n dalam hadits ini telah terbukti. Terus-menerus –walhamdulillah– Allah l mengaruniakan kepada umat ini dengan kemunculan para mujaddid ketika umat sangat membutuhkan keberadaan mereka. Di antara para mujaddid adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal di abad ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan, serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di abad kedua belas.” (Min A’lamil Mujaddidin)
Aqidah dua imam
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan kepada para pembaca beberapa perkara aqidah dan dakwah dua orang mujaddid dalam Islam, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad bin Idris t serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t. Kita akan dapati ternyata aqidah dan dakwah yang dibawa keduanya sama. Dakwah dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu dakwah kepada tauhid dan As-Sunnah berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
Sebagai bukti kesamaan aqidah dan dakwah kedua imam tersebut, penulis akan membawakan beberapa masalah dan prinsip kedua imam dalam beberapa masalah. Perlu diketahui, apa yang kami paparkan hanyalah sebagian kecil dari sekian persamaan prinsip kedua imam ini. Di antara masalah tersebut:
1. Mentauhidkan Allah l dalam ibadah
Allah l menciptakan kita hanyalah untuk kita beribadah kepadaNya. Allah l berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Katsir t berkata, “Allah l mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan itu adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat: Ikhlas hanya mengharap wajah Allah l dan mutaba’ah (sesuai tuntunan Rasulullah n).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Kahfi: 110)
Oleh karena itu, ulama Ahlus Sunnah di antaranya Al-Imam Asy-Syafi’i t sangat mementingkan masalah ini. Ibnul Qayyim t meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i t dengan sanadnya, kata beliau, “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya dan aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta selain keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah l dan Muhammad n adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah l ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah l turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Masalah inilah yang banyak dibahas oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t. Bukti akan hal ini adalah buku-buku yang beliau tulis, seperti Kitabut Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, Qawa’idul Arba’, dan lainnya.
Larangan membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam.
Dari Jabir bin Abdillah z:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah n melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah n pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu, jika ada seorang yang shalih di antara mereka mati, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata, “Ketahuilah, kaum muslimin yang terdahulu dan akan datang, yang awal dan akhir mereka sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah sepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya adalah perkara bid’ah yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah n atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, padahal orang mati bukanlah tempat satu pun di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat.” Perawi dari Thawus berkata: “Nabi n melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau t juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata pula: “Aku membenci ini karena Sunnah Rasulullah dan atsar…” (Lihat Al-Umm)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Asy-Syaikh menerangkan: “Al-Imam Nawawi t menegaskan dalam Majmu’ Al-Muhadzdzab tentang haramnya membangun kuburan secara mutlak. Beliau juga menyebutkan yang semisalnya dalam Syarah Shahih Muslim.” (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t juga banyak membahas masalah ini di dalam karya-karya beliau. Di antaranya dalam Kitabut Tauhid beliau bawakan Bab Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan menjadikannya berhala yang disembah selain Allah. Beliau bawakan beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Sa’id z, Rasulullah n bersabda:
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
”Ya Allah, jangan kau jadikan kuburanku menjadi berhala yang disembah, sangat keras murka Allah kepada orang-orang yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.”
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Penulis (yakni Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) ingin menerangkan dengan bab ini empat perkara: Pertama: Peringatan agar tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kuburan orang shalih. Kedua: Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan mengatarkan kepada menyembah kuburan tersebut. Ketiga: Kuburan yang disembah akan menjadi berhala, walaupun itu kuburan orang shalih. Keempat: Mengingatkan sebab larangan membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)
Dalam nama dan sifat Allah
Al-Imam Asy-Syafi’i t seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, sangatlah jelas prinsip mereka dalam menetapkan sifat-sifat Allah l yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau t berkata, “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana datang dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya n kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, dan memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah l memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah l juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Dia tidak buta sebelah (picak) sebagaimana Nabi n ketika berbicara tentang Dajjal:
“Sesungguhnya Dajjal itu picak dan Rabb kalian tidaklah picak.”
Dia tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi n berkata tentang seorang yang terbunuh di medan perang dia berjumpa dengan Allah l dalam keadaan Allah l tertawa kepadanya…”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t berkata:
“Termasuk dalam permasalahan iman kepada Allah: Mengimani apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Tidak mentahrif ataupun menta’thilnya. Bahkan aku meyakini tidak ada satu pun yang serupa dengan Allah l dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat…” (Dinukil dari A’lamul Mujaddidin hal. 95)
Masalah al-‘uluw (ketinggian Allah l di atas)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meyakini Allah l ada di atas Arsy-Nya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia beristiwa di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami z, ketika beliau hendak membebaskan budaknya, Rasulullah n menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan, “Di mana Allah l?” Hamba sahaya tadi menjawab, “Allah l di atas.” Beliau berkata, “Siapa aku?” Budak tadi berkata, “Engkau utusan Allah.” Rasulullah n berkata, “Bebaskanlah dia, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim t meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i t dengan sanadnya, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, dan aku telah mengambil ilmu dari mereka seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya. Bahwasanya Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyus Islamiyah)
Yang lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam bab zhihar. Beliau berkata:
“Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku, dari Hilal bin Usamah, dari ‘Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: ‘Aku pernah datang kepada Rasulullah. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, aku punya seorang jariyah (hamba sahaya wanita) yang menggembala kambing. Ketika aku mendatanginya, ternyata telah hilang seekor kambing. Ketika aku bertanya kepadanya, dia jawab bahwa kambingnya telah dimakan serigala. Akupun marah kepadanya. Aku adalah seorang bani Adam, hingga menempeleng wajahnya. Sekarang aku punya kewajiban membebaskan budak. Apakah aku boleh bebaskan dia?’ Rasulullah berkata kepada hamba sahaya tersebut: ‘Di mana Allah?’ Dia menjawab: ‘Di atas.’ Rasulullah berkata: ‘Siapa aku?’ Budak tadi menjawab: ‘Engkau Rasulullah.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bebaskanlah dia.’
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Nama orang tersebut Mu’awiyah bin Al-Hakam. Demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.” (Lihat Al-Umm)
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i t mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin, dan beliau menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah l ada di atas sebagai tanda keimanan.
Sikap terhadap Sufi (Shufiyah)
Telah kami sampaikan di edisi sebelumnya[1] tentang siapa Sufi (shufiyah) serta pemikiran dan aqidah mereka. Telah kami paparkan juga ucapan-ucapan keras Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shufiyah. Di antara ucapan beliau tentang shufiyah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi t dengan sanadnya: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, niscaya akan engkau akan dapati dia menjadi orang dungu sebelum datang waktu dhuhur.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t juga berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang Sufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum Sufiyah selama empat puluh hari, tidak mungkin kembali akalnya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Asas (dasar) Sufiyah adalah malas.”
Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t sangatlah keras pengingkaran beliau terhadap shufiyah, dan ini merupakan perkara yang masyhur. Di antara buktinya adalah berbagai fitnah dan tuduhan zalim Sufiyah terhadap beliau t.
Sihir
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan padanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang-bintang yang tujuh, meyakini bahwa bintang-bintang itu bisa melakukan apa yang diminta, maka ini menyebabkan dia kafir. Jika dia meyakini bolehnya hal tersebut maka dia kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t banyak membahas permasalahan sihir dalam kitab-kitabnya. Beliau bawakan dalam Kitabut Tauhid beberapa bab berkaitan dengan sihir. Beliau bahkan memasukkannya dalam kitab Nawaqidhul Islam (Pembatal-pembatal keislaman). Beliau berkata:
“Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir. Termasuk sihir adalah ‘athaf dan sharaf (sihir untuk membuat orang cinta atau benci). Barangsiapa melakukan sihir atau ridha kepadanya maka telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah l:
Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al Baqarah: 102)
Taklid
Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ menunjukkan rusaknya taklid. Allah l berfirman:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar t berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t sangat mencerca taklid. Beliau t berkata: “Kaum muslimin telah ijma’ bahwa barangsiapa yang jelas baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata juga: “Semua yang aku ucapkan dan menyelisihi ucapan Nabi n maka Nabi n lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa taklid termasuk perbuatan jahiliyah. Beliau t berkata: “Sesungguhnya keyakinan agama orang-orang jahiliyah dibangun di atas beberapa landasan. Dan landasan utama mereka adalah taklid …” (Masa’il Jahiliyah)
Menggagungkan Sunnah Rasulullah
Mengagungkan Sunnah Rasulullah adalah kewajiban setiap mukmin. Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah l juga berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau pernah berkata: “Semua hadits Rasulullah yang shahih maka aku berpendapat dengannya, walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi n bahwa beliau berkata begini dan begini.” Penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i gemetar dan memerah wajahnya, lalu berkata: “Celaka engkau. Bumi mana yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi n kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya?!”
Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab t menyebutkan dalam Nawaqidhul Islam termasuk pembatal keislaman adalah mengolok-olok apa yang dibawa oleh Rasulullah n. Beliau n berkata:
“Keenam: Barangsiapa memperolok-olok sesuatu dari perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah n atau memperolok pahala dan siksa (yang diberitakan Rasulullah n) maka dia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah l:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)
Dalam Kitabut Tauhid, beliau membawakan ucapan Al-Imam Ahmad t: “Aku heran dengan suatu kaum yang telah mengetahui sanad hadits dan keshahihannya tapi malah mengambil pendapat Sufyan. Padahal Allah l berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Bid’ah
Di antara perkara yang harus dijauhi seorang muslim adalah perkara-perkara bid’ah, karena bid’ah banyak mudharatnya bagi seseorang. Di antara kerusakan bid’ah:
Bid’ah semuanya sesat
Bid’ah menjadi sebab tertolaknya amal
Bid’ah merupakan pintu kesyirikan
Bid’ah sebab terjadinya perpecahan
Oleh karena besarnya bahaya bid’ah, para ulama memperingatkan umat dari bahayanya, di antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i t. Beliau t berkata: “Barangsiapa menganggap baik (satu perkara baru yang tidak disyariatkan) maka dia telah membuat syariat, sebagaimana Allah l berfirman mengingkari orang yang melakukan kebid’ahan dalam agama Allah l:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Makna membuat syariat yakni membuat kebidahan.
Demikian juga Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t, beliau banyak menerangkan prinsip ini dalam kitab-kitab beliau. Di akhir kitab Fadhlul Islam, beliau membuat bab: Tahdzir minal bida’ (peringatan agar menjauhi bid’ah-bid’ah). Dalam risalahnya yang lain beliau berkata: “Aku meyakini bahwa semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.” (Lihat A’lamul Mujaddidin hal. 101)
Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat simpulkan bahwa dakwah yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t adalah dakwah para ulama Ahlus Sunnah yang mendahului beliau. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t tidaklah membawa sesuatu yang baru. Perkara yang beliau dakwahkan sama dengan dakwah Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama Ahlus Sunnah lainnya. Sehingga orang yang melecehkan dakwah dan aqidah Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab pada hakikatnya menghina dan melecehkan imam Ahlus Sunnah, Al-Imam Asy-Syafi’i t. Mudah-mudahan Allah l merahmati kedua imam tersebut karena jasa-jasa mereka bagi kaum muslimin. Amin.
[1] Lihat Majalah Asy-Syariah edisi 56.
Rasulullah n telah mengabarkan akan adanya para mujaddid dalam Islam. Beliau n bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Allah mengutus untuk umat ini di setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud no. 4291, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
Di antara mujaddid dalam Islam adalah Al-Imam Asy-Syafi’i t. Al-Imam Ahmad t berkata, “Allah l menetapkan bagi manusia,setiap seratus tahunnya ada seorang yang mengajari mereka As-Sunnah dan menafikan kedustaan atas nama Rasul. Kami pun menelaah, ternyata di pengujung seratus tahun adalah Umar bin Abdul Aziz t, dan di pengujung tahun dua ratus adalah Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Ahmad t juga berkata, “Sejak 30 tahun lalu, tidaklah aku tidur malam kecuali aku mendoakan kebaikan bagi Asy-Syafi’i dan memohonkan ampunan untuknya.” (Lihat Mukhalafat Ash-Shufiyah hal. 10-11)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “Seorang mujaddid yang hakiki adalah seorang yang berilmu tentang syariat Allah l, istiqamah di atas Sunnah Rasulullah n dan mengembalikan manusia kepada petunjuk. Berita yang dikabarkan Rasulullah n dalam hadits ini telah terbukti. Terus-menerus –walhamdulillah– Allah l mengaruniakan kepada umat ini dengan kemunculan para mujaddid ketika umat sangat membutuhkan keberadaan mereka. Di antara para mujaddid adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal di abad ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan, serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di abad kedua belas.” (Min A’lamil Mujaddidin)
Aqidah dua imam
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan kepada para pembaca beberapa perkara aqidah dan dakwah dua orang mujaddid dalam Islam, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad bin Idris t serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t. Kita akan dapati ternyata aqidah dan dakwah yang dibawa keduanya sama. Dakwah dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu dakwah kepada tauhid dan As-Sunnah berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
Sebagai bukti kesamaan aqidah dan dakwah kedua imam tersebut, penulis akan membawakan beberapa masalah dan prinsip kedua imam dalam beberapa masalah. Perlu diketahui, apa yang kami paparkan hanyalah sebagian kecil dari sekian persamaan prinsip kedua imam ini. Di antara masalah tersebut:
1. Mentauhidkan Allah l dalam ibadah
Allah l menciptakan kita hanyalah untuk kita beribadah kepadaNya. Allah l berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Katsir t berkata, “Allah l mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan itu adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat: Ikhlas hanya mengharap wajah Allah l dan mutaba’ah (sesuai tuntunan Rasulullah n).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Kahfi: 110)
Oleh karena itu, ulama Ahlus Sunnah di antaranya Al-Imam Asy-Syafi’i t sangat mementingkan masalah ini. Ibnul Qayyim t meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i t dengan sanadnya, kata beliau, “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya dan aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta selain keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah l dan Muhammad n adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah l ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah l turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Masalah inilah yang banyak dibahas oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t. Bukti akan hal ini adalah buku-buku yang beliau tulis, seperti Kitabut Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, Qawa’idul Arba’, dan lainnya.
Larangan membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam.
Dari Jabir bin Abdillah z:
نَهَى رَسُولُ اللهِ n أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah n melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah n pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu, jika ada seorang yang shalih di antara mereka mati, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata, “Ketahuilah, kaum muslimin yang terdahulu dan akan datang, yang awal dan akhir mereka sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah sepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya adalah perkara bid’ah yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah n atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, padahal orang mati bukanlah tempat satu pun di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat.” Perawi dari Thawus berkata: “Nabi n melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau t juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata pula: “Aku membenci ini karena Sunnah Rasulullah dan atsar…” (Lihat Al-Umm)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Asy-Syaikh menerangkan: “Al-Imam Nawawi t menegaskan dalam Majmu’ Al-Muhadzdzab tentang haramnya membangun kuburan secara mutlak. Beliau juga menyebutkan yang semisalnya dalam Syarah Shahih Muslim.” (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t juga banyak membahas masalah ini di dalam karya-karya beliau. Di antaranya dalam Kitabut Tauhid beliau bawakan Bab Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan menjadikannya berhala yang disembah selain Allah. Beliau bawakan beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Sa’id z, Rasulullah n bersabda:
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
”Ya Allah, jangan kau jadikan kuburanku menjadi berhala yang disembah, sangat keras murka Allah kepada orang-orang yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.”
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Penulis (yakni Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) ingin menerangkan dengan bab ini empat perkara: Pertama: Peringatan agar tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kuburan orang shalih. Kedua: Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan mengatarkan kepada menyembah kuburan tersebut. Ketiga: Kuburan yang disembah akan menjadi berhala, walaupun itu kuburan orang shalih. Keempat: Mengingatkan sebab larangan membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)
Dalam nama dan sifat Allah
Al-Imam Asy-Syafi’i t seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, sangatlah jelas prinsip mereka dalam menetapkan sifat-sifat Allah l yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau t berkata, “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana datang dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya n kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, dan memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah l memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah l juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Dia tidak buta sebelah (picak) sebagaimana Nabi n ketika berbicara tentang Dajjal:
“Sesungguhnya Dajjal itu picak dan Rabb kalian tidaklah picak.”
Dia tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi n berkata tentang seorang yang terbunuh di medan perang dia berjumpa dengan Allah l dalam keadaan Allah l tertawa kepadanya…”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t berkata:
“Termasuk dalam permasalahan iman kepada Allah: Mengimani apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Tidak mentahrif ataupun menta’thilnya. Bahkan aku meyakini tidak ada satu pun yang serupa dengan Allah l dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat…” (Dinukil dari A’lamul Mujaddidin hal. 95)
Masalah al-‘uluw (ketinggian Allah l di atas)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meyakini Allah l ada di atas Arsy-Nya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia beristiwa di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami z, ketika beliau hendak membebaskan budaknya, Rasulullah n menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan, “Di mana Allah l?” Hamba sahaya tadi menjawab, “Allah l di atas.” Beliau berkata, “Siapa aku?” Budak tadi berkata, “Engkau utusan Allah.” Rasulullah n berkata, “Bebaskanlah dia, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim t meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i t dengan sanadnya, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, dan aku telah mengambil ilmu dari mereka seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya. Bahwasanya Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyus Islamiyah)
Yang lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam bab zhihar. Beliau berkata:
“Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku, dari Hilal bin Usamah, dari ‘Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: ‘Aku pernah datang kepada Rasulullah. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, aku punya seorang jariyah (hamba sahaya wanita) yang menggembala kambing. Ketika aku mendatanginya, ternyata telah hilang seekor kambing. Ketika aku bertanya kepadanya, dia jawab bahwa kambingnya telah dimakan serigala. Akupun marah kepadanya. Aku adalah seorang bani Adam, hingga menempeleng wajahnya. Sekarang aku punya kewajiban membebaskan budak. Apakah aku boleh bebaskan dia?’ Rasulullah berkata kepada hamba sahaya tersebut: ‘Di mana Allah?’ Dia menjawab: ‘Di atas.’ Rasulullah berkata: ‘Siapa aku?’ Budak tadi menjawab: ‘Engkau Rasulullah.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bebaskanlah dia.’
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Nama orang tersebut Mu’awiyah bin Al-Hakam. Demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.” (Lihat Al-Umm)
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i t mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin, dan beliau menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah l ada di atas sebagai tanda keimanan.
Sikap terhadap Sufi (Shufiyah)
Telah kami sampaikan di edisi sebelumnya[1] tentang siapa Sufi (shufiyah) serta pemikiran dan aqidah mereka. Telah kami paparkan juga ucapan-ucapan keras Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shufiyah. Di antara ucapan beliau tentang shufiyah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi t dengan sanadnya: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, niscaya akan engkau akan dapati dia menjadi orang dungu sebelum datang waktu dhuhur.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t juga berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang Sufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum Sufiyah selama empat puluh hari, tidak mungkin kembali akalnya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Asas (dasar) Sufiyah adalah malas.”
Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t sangatlah keras pengingkaran beliau terhadap shufiyah, dan ini merupakan perkara yang masyhur. Di antara buktinya adalah berbagai fitnah dan tuduhan zalim Sufiyah terhadap beliau t.
Sihir
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan padanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang-bintang yang tujuh, meyakini bahwa bintang-bintang itu bisa melakukan apa yang diminta, maka ini menyebabkan dia kafir. Jika dia meyakini bolehnya hal tersebut maka dia kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t banyak membahas permasalahan sihir dalam kitab-kitabnya. Beliau bawakan dalam Kitabut Tauhid beberapa bab berkaitan dengan sihir. Beliau bahkan memasukkannya dalam kitab Nawaqidhul Islam (Pembatal-pembatal keislaman). Beliau berkata:
“Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir. Termasuk sihir adalah ‘athaf dan sharaf (sihir untuk membuat orang cinta atau benci). Barangsiapa melakukan sihir atau ridha kepadanya maka telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah l:
Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al Baqarah: 102)
Taklid
Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ menunjukkan rusaknya taklid. Allah l berfirman:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar t berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”
Al-Imam Asy-Syafi’i t sangat mencerca taklid. Beliau t berkata: “Kaum muslimin telah ijma’ bahwa barangsiapa yang jelas baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata juga: “Semua yang aku ucapkan dan menyelisihi ucapan Nabi n maka Nabi n lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa taklid termasuk perbuatan jahiliyah. Beliau t berkata: “Sesungguhnya keyakinan agama orang-orang jahiliyah dibangun di atas beberapa landasan. Dan landasan utama mereka adalah taklid …” (Masa’il Jahiliyah)
Menggagungkan Sunnah Rasulullah
Mengagungkan Sunnah Rasulullah adalah kewajiban setiap mukmin. Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah l juga berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau pernah berkata: “Semua hadits Rasulullah yang shahih maka aku berpendapat dengannya, walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi n bahwa beliau berkata begini dan begini.” Penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i gemetar dan memerah wajahnya, lalu berkata: “Celaka engkau. Bumi mana yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi n kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya?!”
Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab t menyebutkan dalam Nawaqidhul Islam termasuk pembatal keislaman adalah mengolok-olok apa yang dibawa oleh Rasulullah n. Beliau n berkata:
“Keenam: Barangsiapa memperolok-olok sesuatu dari perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah n atau memperolok pahala dan siksa (yang diberitakan Rasulullah n) maka dia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah l:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)
Dalam Kitabut Tauhid, beliau membawakan ucapan Al-Imam Ahmad t: “Aku heran dengan suatu kaum yang telah mengetahui sanad hadits dan keshahihannya tapi malah mengambil pendapat Sufyan. Padahal Allah l berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Bid’ah
Di antara perkara yang harus dijauhi seorang muslim adalah perkara-perkara bid’ah, karena bid’ah banyak mudharatnya bagi seseorang. Di antara kerusakan bid’ah:
Bid’ah semuanya sesat
Bid’ah menjadi sebab tertolaknya amal
Bid’ah merupakan pintu kesyirikan
Bid’ah sebab terjadinya perpecahan
Oleh karena besarnya bahaya bid’ah, para ulama memperingatkan umat dari bahayanya, di antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i t. Beliau t berkata: “Barangsiapa menganggap baik (satu perkara baru yang tidak disyariatkan) maka dia telah membuat syariat, sebagaimana Allah l berfirman mengingkari orang yang melakukan kebid’ahan dalam agama Allah l:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Makna membuat syariat yakni membuat kebidahan.
Demikian juga Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t, beliau banyak menerangkan prinsip ini dalam kitab-kitab beliau. Di akhir kitab Fadhlul Islam, beliau membuat bab: Tahdzir minal bida’ (peringatan agar menjauhi bid’ah-bid’ah). Dalam risalahnya yang lain beliau berkata: “Aku meyakini bahwa semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.” (Lihat A’lamul Mujaddidin hal. 101)
Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat simpulkan bahwa dakwah yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t adalah dakwah para ulama Ahlus Sunnah yang mendahului beliau. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t tidaklah membawa sesuatu yang baru. Perkara yang beliau dakwahkan sama dengan dakwah Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama Ahlus Sunnah lainnya. Sehingga orang yang melecehkan dakwah dan aqidah Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab pada hakikatnya menghina dan melecehkan imam Ahlus Sunnah, Al-Imam Asy-Syafi’i t. Mudah-mudahan Allah l merahmati kedua imam tersebut karena jasa-jasa mereka bagi kaum muslimin. Amin.
[1] Lihat Majalah Asy-Syariah edisi 56.
Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri
Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.
Di tengah persaingan hidup yang semakin ketat ini, sulit kita dapatkan orang yang memiliki kepedulian terhadap nasib orang lain. Sikap egois telah mendominasi kebanyakan manusia sehingga tidak terhindar darinya kecuali orang yang dirahmati Allah l.
Secara umum memang terasa sangat berat bagi seseorang untuk memberikan hartanya atau mencurahkan tenaganya dan yang semisalnya tanpa ada imbal balik. Namun lain halnya dengan seorang mukmin, sifat egois tercela itu bisa disingkirkannya. Hal itu karena dia beriman kepada Allah l dan hari pembalasan. Dia menjadikan keridhaan Allah l sebagai puncak tujuannya, sedangkan dunia beserta perhiasannya sebagai penopang dalam taat kepada-Nya. Dia yakin bahwa kemanfaatan yang dia suguhkan kepada orang lain niscaya akan mendapatkan pembalasan di sisi Allah l, sebagaimana firman-Nya:
“Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Muzammil: 20)
Pengajaran Islam yang diserapnya mampu membentuk kepribadiannya. Sebagai muslim yang mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri. Bila dia melihat di sana ada ruang untuk melebihkan orang lain maka dia pun melebihkannya atas dirinya. Terkadang dia lapar agar orang lain kenyang. Adakalanya dia harus dahaga agar orang lain tidak kehausan. Bahkan dia siap untuk mati agar orang lain hidup.
Inilah seorang mukmin sejati. Dia bersenang hati bila mampu menyuguhkan yang terbaik untuk orang lain. Masa hidupnya yang indah dilalui dengan pendekatan yang tulus terhadap Allah l dan pengorbanan demi maslahat kemanusiaan. Orang seperti ini adalah orang yang paling baik, sebagaimana sabda Nabi n:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik orang ialah yang paling berguna bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabarani, Ad-Daruquthni, dll. Asy-Syaikh Al-Albani menghasankan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
Konsekuensi iman
Iman tidaklah dinyatakan dengan lisan belaka, namun juga harus tercermin dalam amaliah keseharian. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai mukmin yang sempurna imannya bila bersikap acuh terhadap saudaranya. Nabi n bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang kalian tidak (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia cinta bagi saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ingatlah, kaum muslimin ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh ada yang sakit maka organ tubuh yang lainnya ikut merasakannya. Oleh karenanya, derita yang dialami oleh saudara kita adalah derita kita semua, sebagaimana kebahagiaan yang dirasakan mereka adalah kebahagiaan kita. Semangat kebersamaan dan jiwa kesetiakawanan harus selalu ditumbuhkembangkan. Akankah seorang tega bila dia kenyang sementara saudaranya kelaparan?! Nabi n bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Bukan seorang mukmin yang dia kenyang sementara tetangganya lapar.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 82)
Orang yang tidak peduli terhadap kondisi orang lain tak ubahnya seperti binatang. Dia tahu temannya sakit atau mati namun dia tidak menghiraukannya, karena di benaknya hanyalah bagaimana perutnya kenyang dan syahwatnya tersalurkan.
Keutamaan itsar (mengutamakan orang lain)
Al-Itsar ((الْإِيثَارُ adalah melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Sifat ini termasuk akhlak mulia yang mendatangkan kecintaan Allah l dan manusia. Allah l memuji orang-orang Anshar karena mereka memiliki sifat-sifat kemuliaan, di antaranya adalah sifat itsar. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Orang-orang Anshar termasuk pendahulu umat ini yang kita diperintah untuk mengikutinya. Sifat-sifat mereka telah diabadikan dalam Al-Qur’an, seperti cintanya mereka terhadap orang-orang yang yang berhijrah ke negeri mereka. Hal ini karena mereka cinta kepada Allah l dan Rasul-Nya sehingga mereka cinta kepada para kekasih-Nya dan pembela agama-Nya. Orang Anshar tidak dihinggapi kedengkian terhadap saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin.
Demikian pula di antara sifat mereka yang berbeda dengan selainnya adalah melebihkan orang lain di atas diri mereka. Ini bentuk kedermawanan yang paling tinggi. Mengutamakan orang lain pada sesuatu yang jiwa ini sebenarnya menyukainya, bahkan sangat membutuhkannya, tidaklah mampu dilakukan kecuali oleh orang yang bersih akhlaknya. Kecintaan kepada Allah l didahulukan di atas kecintaannya kepada apa yang disenangi oleh dirinya. Orang yang seperti ini telah terhindar dari kebakhilan yang dengannya dia meraih predikat orang yang beruntung. Bila seseorang dijauhkan dari sifat bakhil maka dia akan bermurah hati untuk menjalankan perintah Allah l dan menjauhi larangan-Nya serta mudah mencurahkan harta dan tenaganya kepada orang lain. (Lihat Tafsir As-Sa’di pada surat Al-Hasyr)
Allah l juga menjelaskan di antara sifat orang-orang yang mulia dengan firman-Nya:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (Al-Insan: 8)
Abu Hurairah z berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan mengatakan, “Sungguh saya ditimpa kesulitan hidup.” Maka Rasulullah menuju istri-istrinya, namun beliau tidak mendapatkan dari mereka sesuatu apapun (yang bisa diberikan kepadanya). Maka Rasulullah n mengatakan, “Siapa yang mau menjamu orang ini pada malam ini?” Berkata seorang Anshar, “Saya, wahai Rasulullah.” Orang Anshar tersebut datang kepada istrinya lalu mengatakan, “(Ini adalah) tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu (yang harus disuguhkan kepadanya).” Istrinya mengatakan, “Demi Allah, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak-anak.” Suaminya berkata, “Bila anak-anak ingin makan maka tidurkanlah mereka, dan kemarilah kamu (membawa hidangan) lalu matikan lampu. (Tidak mengapa) malam ini kita lapar.” Istrinya menjalankan perintah suaminya. Pada keesokan harinya orang Anshar itu pergi kepada Rasulullah n maka beliau bersabda, “Sungguh Allah kagum/tertawa kepada fulan dan fulanah (seorang Anshar dan istrinya).” Lalu Allah l menurunkan ayat-Nya:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9) [Shahih Al-Bukhari no. 4889]
Adalah Rasulullah n memuji orang-orang Asy’ariyyin, kabilah Abu Musa Al-Asy’ari sahabat Nabi n, dengan sabdanya:
إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوا بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang (kabilah) Asy’ari apabila mereka hampir habis perbekalannya dalam peperangan atau menipis stok makanan keluarganya di Madinah, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki pada satu kain. Lalu mereka membagi di antara mereka pada satu wadah dengan sama rata. Mereka adalah golonganku dan aku adalah golongan mereka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sikap itsar yang menakjubkan
Manakala iman seseorang telah mengakar, niscaya akan memunculkan berbagai keajaiban. Dengan bermodalkan iman yang tulus, seseorang mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh para raja, hartawan, dan orang yang kuat lagi perkasa sekalipun. Lihatlah bagaimana dahulu para sahabat Nabi g. Mereka tulus berhijrah meninggalkan Makkah tempat tumpah darahnya dan harta bendanya, menuju Madinah demi mempertahankan agamanya. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib z pada malam hijrah Nabi n, dia tidur di atas ranjang Nabi n. Padahal rumah tersebut telah dikepung oleh para musuh. Ali rela mengorbankan nyawanya di jalan Allah l.
Pada tahun 18 H, di masa pemerintahan Umar bin Khaththab z, terjadi kekeringan dan paceklik yang dahsyat di wilayah Hijaz (Madinah, Makkah, dan sekitarnya). Umar mengulurkan bantuan kepada orang-orang Badui berupa unta, gandum, dan minyak, sehingga apa yang ada di baitul mal habis. Beliau berdoa memohon kepada Allah l agar diturunkan hujan. Allah l pun mengabulkan permohonannya. Umar berkata: “Alhamdulillah, demi Allah, seandainya Dia tidak melepaskan musibah kekeringan ini niscaya aku tidak membiarkan keluarga suatu rumah kaum muslimin yang mempunyai keluasan rezeki kecuali aku akan memasukkan bersama mereka sejumlah mereka dari orang-orang fakir. Karena tidak akan binasa dua orang apabila memakan makanan yang mencukupi satu orang.” (Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 438 dan Al-Bidayah wan Nihayah 7/103-105)
Kebijakan Umar sesuai dengan petunjuk Rasulullah n seperti dalam haditsnya:
طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الْإِثْنَيْنِ وَطَعَامُ الْإِثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ الْأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ
“Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang, dan makanan empat orang mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir z)
Dahulu ‘Aisyah punya sepetak tanah di sisi kuburan Nabi n (suaminya) dan bapaknya (Abu Bakr). Tanah tersebut ia persiapkan untuk menguburnya bila suatu saat ia dipanggil oleh sang Khaliq. Namun ketika Umar pada detik-detik akhir menjelang wafatnya meminta izin kepada ‘Aisyah untuk dikuburkan nantinya di tempat tersebut, ‘Aisyah pun mengizinkannya dan memberikan tanah tersebut kepada Umar. (Siyar Al-Khulafa’ Ar-Rasyidinkarya Adz-Dzahabi hal. 91)
Melebihkan orang lain dan pembagiannya
Melebihkan orang lain atas diri sendiri dianjurkan pada perkara duniawi. Adapun dalam masalah ketaatan maka kita diperintah untuk berlomba-lomba padanya. Allah l berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.” (Al-Baqarah: 148)
Nabi n juga bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
“Seandainya manusia tahu apa yang ada pada adzan dan shaf pertama (dari pahala) kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan berundi, maka niscaya mereka akan berundi.”(Muttafaqun ‘alahi)
Oleh karena itu, melebihkan orang lain atas dirinya sendiri terbagi mejadi tiga:
1. Dilarang. Hal ini seperti anda mengutamakan orang lain pada perkara yang syariat mewajibkan atas anda. Misalnya anda dan teman anda dalam keadaan batal wudhunya, anda mempunyai air yang hanya cukup untuk berwudhu satu orang. Bila anda berikan kepada teman anda, maka anda tidak punya air untuk berwudhu dan terpaksa tayammum. Dalam keadaan seperti ini tidak boleh memberikan air itu kepadanya, karena anda mendapatkan air dan air itu milik anda. Maka, melebihkan orang lain pada perkara yang diwajibkan oleh syariat adalah haram hukumnya. Karena hal tersebut berakibat menggugurkan kewajiban yang dibebankan atas anda.
2. Makruh, yaitu melebihkan orang lain pada perkara sunnah. Misalnya anda mampu berdiri di shaf pertama dalam shalat, namun anda justru mempersilakan orang lain untuk menempatinya. Hal ini makruh, karena menandakan anda kurang bersemangat terhadap kebaikan. Padahal berdiri di shaf pertama dalam shalat sangat besar keutamaannya. Maka bagaimana anda mendahulukan orang lain, padahal anda berhak mendapatkan keutamaan itu?
3. Boleh dan terkadang dianjurkan. Yaitu melebihkan orang lain pada perkara yang bukan ibadah. Seperti anda memberikan makanan kepada orang lain yang lapar padahal anda sendiri juga lapar. Perbuatan ini terpuji. (Lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 54-55)
Fitnah-fitnah Besar dalam Islam, Upaya Meluruskan Sejarah
Seakan menjadi hal yang niscaya dalam sejarah,
peristiwa-peristiwa memilukan juga turut mewarnai perjalanan Islam.
Beragam peristiwa atau lebih tepatnya fitnah ini tak urung menjadi “sisi
kelam” yang terus dikenang umat sepanjang masa. Terlebih, berbagai
peristiwa itu yang seharusnya ditangkap hikmah darinya malah disikapi
dan dimaknai secara berbeda oleh sebagian umat (kelompok) Islam.
Sebagai contoh, peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan z. Tanpa didukung riwayat-riwayat yang sahih, ada pihak-pihak yang justru mendukung tindakan biadab ini secara terang-terangan maupun terselubung. Faraq Fouda, tokoh Islam Liberal Mesir, dalam tulisannya yang dipromosikan kalangan Islam Liberal di Indonesia, menganggap sahabat yang mulia ini korup hingga “umat” –entah umat mana yang dimaksud Fouda- mendesaknya untuk mundur. Karena menolak, Utsman pun dibunuh. Begitu pun Sayyid Quthub, tokoh yang didewa-dewakan kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), yang di depan namanya ditambahi gelar “Asy-Syahid”, juga ikut-ikutan memancing di air keruh dengan menyudutkan Utsman sebagai pihak yang seolah-olah memang bersalah dengan mengatakan bahwa pemberontakan yang didalangi tokoh Yahudi Abdullah bin Saba’ lebih dekat kepada “ruh Islam” daripada pihak Utsman. Tak hanya itu, di bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah, Sayyid Quthub juga banyak menguraikan cerita-cerita dusta (tidak jelas sumber dan sanadnya), tentang ketidakadilan Utsman.
Lebih ironis lagi, peristiwa yang didahului oleh aksi demonstrasi anarkis pertama dalam sejarah Islam kemudian ada yang menjadikannya sebagai dalil untuk membenarkan aksi-aksi demonstrasi dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Ketidaktepatan dalam memahami sejarah ini, alhasil, saling bahu-membahu dalam menggulung kebenaran. Sejarah bukan lagi dimaknai secara proporsional namun justru terpenjara oleh kepentingan kelompok.
Demikian juga dengan upaya-upaya mengaburkan sejarah. Abdullah bin Saba’, aktor intelektual di balik makar pembunuhan Utsman juga hendak digunting dari lembar sejarah. Tokoh peletak dasar agama Syiah Rafidhah, oleh kalangan penganut agama tersebut, orientalis, dan musuh-musuh Islam lainnya, hendak dikesankan sebagai tokoh fiktif. Tujuan akhirnya, tak lain adalah mengelabui umat dengan memupus fakta adanya pertalian yang erat antara agama Syiah dan Yahudi.
Oleh karena itu, adanya seruan-seruan untuk menyatukan Islam dan Syiah, sebagaimana digemakan oleh Hasan Al-Banna dan tokoh IM lainnya serta kalangan Islam Liberal, jelas berasal dari orang-orang yang bukan saja tidak paham akidah namun juga orang yang tidak mengerti sejarah.
Maka, agar perbedaan dalam memahami setiap peristiwa sejarah tidak menjurang, dibutuhkan ilmu dalam memahaminya. Setiap alur peristiwa semestinya didukung riwayat-riwayat yang sahih sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hawa nafsu pribadi atau kelompok sudah seharusnya tunduk di hadapan dalil-dalil syariat. Bukan malah meliuk-liukkan sejarah, mendistorsinya atau bahkan mengubur penggal sejarah demi kepentingan kelompoknya. Bahkan memutarbalikkan sejarah justru untuk menelanjangi Islam itu sendiri sebagaimana dilakukan para orientalis, kelompok agama lain (Yahudi, Nasrani, Syiah Rafidhah, dll), serta orang-orang yang membebek dengan mereka.
Sudah mafhum, seiring dengan munculnya kelompok-kelompk sempalan dalam Islam, banyak pula bertaburan hadits-hadits palsu yang ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk membela akidah atau amalan mereka. Sehingga setiap sejarah terlebih yang menyangkut eksistensi Islam, seperti fitnah-fitnah besar yang akan dipaparkan di Kajian Utama edisi ini, mesti dicermati secara saksama agar kita menjadi bagian dari orang-orang yang bisa memahami agama ini secara lurus. Insya Allah!
Sebagai contoh, peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan z. Tanpa didukung riwayat-riwayat yang sahih, ada pihak-pihak yang justru mendukung tindakan biadab ini secara terang-terangan maupun terselubung. Faraq Fouda, tokoh Islam Liberal Mesir, dalam tulisannya yang dipromosikan kalangan Islam Liberal di Indonesia, menganggap sahabat yang mulia ini korup hingga “umat” –entah umat mana yang dimaksud Fouda- mendesaknya untuk mundur. Karena menolak, Utsman pun dibunuh. Begitu pun Sayyid Quthub, tokoh yang didewa-dewakan kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), yang di depan namanya ditambahi gelar “Asy-Syahid”, juga ikut-ikutan memancing di air keruh dengan menyudutkan Utsman sebagai pihak yang seolah-olah memang bersalah dengan mengatakan bahwa pemberontakan yang didalangi tokoh Yahudi Abdullah bin Saba’ lebih dekat kepada “ruh Islam” daripada pihak Utsman. Tak hanya itu, di bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah, Sayyid Quthub juga banyak menguraikan cerita-cerita dusta (tidak jelas sumber dan sanadnya), tentang ketidakadilan Utsman.
Lebih ironis lagi, peristiwa yang didahului oleh aksi demonstrasi anarkis pertama dalam sejarah Islam kemudian ada yang menjadikannya sebagai dalil untuk membenarkan aksi-aksi demonstrasi dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Ketidaktepatan dalam memahami sejarah ini, alhasil, saling bahu-membahu dalam menggulung kebenaran. Sejarah bukan lagi dimaknai secara proporsional namun justru terpenjara oleh kepentingan kelompok.
Demikian juga dengan upaya-upaya mengaburkan sejarah. Abdullah bin Saba’, aktor intelektual di balik makar pembunuhan Utsman juga hendak digunting dari lembar sejarah. Tokoh peletak dasar agama Syiah Rafidhah, oleh kalangan penganut agama tersebut, orientalis, dan musuh-musuh Islam lainnya, hendak dikesankan sebagai tokoh fiktif. Tujuan akhirnya, tak lain adalah mengelabui umat dengan memupus fakta adanya pertalian yang erat antara agama Syiah dan Yahudi.
Oleh karena itu, adanya seruan-seruan untuk menyatukan Islam dan Syiah, sebagaimana digemakan oleh Hasan Al-Banna dan tokoh IM lainnya serta kalangan Islam Liberal, jelas berasal dari orang-orang yang bukan saja tidak paham akidah namun juga orang yang tidak mengerti sejarah.
Maka, agar perbedaan dalam memahami setiap peristiwa sejarah tidak menjurang, dibutuhkan ilmu dalam memahaminya. Setiap alur peristiwa semestinya didukung riwayat-riwayat yang sahih sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hawa nafsu pribadi atau kelompok sudah seharusnya tunduk di hadapan dalil-dalil syariat. Bukan malah meliuk-liukkan sejarah, mendistorsinya atau bahkan mengubur penggal sejarah demi kepentingan kelompoknya. Bahkan memutarbalikkan sejarah justru untuk menelanjangi Islam itu sendiri sebagaimana dilakukan para orientalis, kelompok agama lain (Yahudi, Nasrani, Syiah Rafidhah, dll), serta orang-orang yang membebek dengan mereka.
Sudah mafhum, seiring dengan munculnya kelompok-kelompk sempalan dalam Islam, banyak pula bertaburan hadits-hadits palsu yang ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk membela akidah atau amalan mereka. Sehingga setiap sejarah terlebih yang menyangkut eksistensi Islam, seperti fitnah-fitnah besar yang akan dipaparkan di Kajian Utama edisi ini, mesti dicermati secara saksama agar kita menjadi bagian dari orang-orang yang bisa memahami agama ini secara lurus. Insya Allah!
Adab Menggunakan HP bagian 2
Bimbingan Ketiga: Memerhatikan waktu
Waktu merupakan nikmat besar yang kebanyakan manusia melalaikannya. Dari Ibnu ‘Abbas c (bahwa Nabi n bersabda):
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia melalaikannya: (1) kesehatan, dan (2) waktu luang.” (HR. Al-Bukhari, 11/196)
Waktu merupakan nikmat besar yang akan ditanyakan di hadapan Allah k. Nabi n telah bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَ عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ كَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai dia ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan (4) untuk apa dia belanjakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417, dan beliau berkata: “Hadits hasan shahih.” Diriwayatkan juga dari sahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid Al-Aslami z, dan diriwayatkan Al-Khathib dalam kitab Iqtidha’ Al-’Ilmi Al-’Amal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2417. Beliau juga berkata dalam Ash-Shahih Al-Jami’ hadits no. 7300: “Shahih”, dan dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits no. 946)1
Seyogianya, seorang muslim berbicara dengan ringkas dan seperlunya, tidak berpanjang lebar/bertele-tele sebagaimana yang sering dijumpai dan disaksikan. Kecuali jika memang benar-benar dibutuhkan. Ini semua dalam rangka bersemangat untuk menjaga waktu yang merupakan modal engkau di dunia ini. Allah l berfirman:
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Al-Furqan: 62)
Di antara penyebab tersia-siakannya waktu yang ditimbulkan dari fasilitas ini (HP) adalah apa yang dinamakan dengan ‘permainan’/game. Sebagian orang banyak tersibukkan waktunya untuk permainan ini, lalai dari berdzikir kepada Allah l dan tenggelam dalam permainan setan tersebut. Maka, sudah selayaknya seorang muslim memerhatikan waktunya dan menyibukkan hidupnya di dunia yang hanya beberapa menit ini dengan ketaatan kepada Allah l. Sungguh betapa bagusnya perkataan seorang penyair:
… إِنَّ الْحَيَاةَ دَقَائِقُ وَثَوَانُ
Sesungguhnya hidup ini hanyalah beberapa menit dan detik saja
Bimbingan Keempat: Menjaga lisan
Bahaya lisan sangatlah besar. Kejelekannya tidaklah kecil jika engkau tidak bertakwa kepada Allah l dalam menggunakan lisan ini. Bersemangatlah engkau ketika berbicara untuk tidak mengucapkan kecuali kebaikan, tidak bertutur kata kecuali perkara-perkara yang positif. Allah l berfirman:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
Perkataan yang engkau ucapkan akan dihitung dan terekam. Maka berhati-hatilah engkau agar tidak tergelincir dalam perbuatan ghibah terhadap seorang muslim, berdusta atas namanya, ataupun berbuat namimah (adu domba). Berhati-hatilah dari mencela, mencaci, serta ucapan yang mengandung kefasikan dan dosa. Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. Al-Bukhari 11/265, Muslim no. 47)
Bimbingan Kelima: Hemat (tidak menghamburkan) harta (pulsa)
Sebagian orang menyangka bahwa harta yang dimiliki adalah mutlak miliknya sehingga dia berhak untuk membelanjakan hartanya tersebut untuk keperluan apa saja sekehendaknya. Ini adalah anggapan yang salah, karena harta itu pada hakikatnya merupakan milik Allah l. Engkau adalah orang yang bertanggung jawab dan diberi amanah atas harta tersebut serta kelak akan diperhitungkan di hadapan Allah l. Membelanjakan harta di luar perkara yang syar’i (menyelisihi syariat) tidak diperbolehkan. Maka, ketika seorang muslim bermudah-mudah membeli pulsa dan untuk ngobrol hal-hal yang tidak bermanfaat, ini termasuk sikap berlebihan (pemborosan). Adapun jika dia menggunakannya untuk perkara yang bermudharat, ini termasuk bentuk perbuatan tabdzir yang Allah l larang dalam Al-Qur’an. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’: 26-27)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari sahabiyah Khaulah Al-Anshariyyah x, dia berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dengan cara yang tidak haq, maka bagi mereka An-Nar (neraka) pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2950)
Bimbingan Keenam: Berhati-hati dari nyanyian
Kebanyakan orang terjatuh dalam sikap bermudah-mudahan (menganggap enteng) mendengarkan nyanyian, walaupun telah jelas dan gamblang dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya. Sungguh ini adalah gejala yang tidak baik, wal ‘iyadzubillah (kita berlindung kepada Allah l).
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata ketika menafsirkan firman Allah l:
“Di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai ejekan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Beliau t berkata: “Ketika Allah l telah menyebutkan keadaan orang-orang yang berbahagia, … Allah l mengiringkannya dengan menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengambil manfaat dengan mendengarkan Kalamullah (Al-Qur’an), dan mereka malah mendengarkan seruling-seruling, nyanyian (lagu-lagu) dengan iringan irama dan alat-alat musik. Sebagaimana yang dikatakan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud z tentang firman Allah l:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna.”
Beliau berkata: “(Perkataan yang tidak berguna) itu adalah –demi Allah– nyanyian (lagu-lagu).”
Demikian pula yang dikatakan sahabat Ibnu ‘Abbas, Jabir c, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, ‘Umar bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Badzimah rahimahumullah.
Al-Hasan t berkata: “Ayat ini –yakni ayat:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.”
diturunkan berkenaan dengan nyanyian dan seruling-seruling.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/443-443)
Nabi n bersabda:
فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ. قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْـمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَتَى ذَلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقَيْنَاتُ وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الْخُمُورُ
“Di umat ini akan ada (azab dalam bentuk) penenggelaman ke dalam bumi, pengubahan bentuk/rupa (manusia pada bentuk yang lebih jelek), dan pelemparan (dengan batu).” Salah seorang dari kaum muslimin bertanya: “Wahai Rasulullah kapan hal itu akan terjadi?” Rasulullah n menjawab: “Ketika bermunculannya perbudakan, alat-alat musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At-Tirmidzi no. 2212 dari Imran bin Hushain z. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2212, beliau juga berkata dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hadits no. 2379: “Hasan li ghairihi.”)
Semakin bertambah keharamannya sesuai dengan keadaan zaman, tempat, orang yang berbicara baik laki-laki maupun perempuan, dan obyek pembicaraan berupa perkataan yang mengandung kefasikan, kekufuran, dan kesyirikan.
Bimbingan Ketujuh: Memilih Nada Dering (ringtone) yang dibolehkan secara syar’i
Seorang muslim hendaknya bersemangat untuk menghindari segala bentuk penyelisihan terhadap syariat yang bijaksana ini dalam segala hal, sampaipun pada permasalahan nada dering (ringtone) pada telepon (HP/Jawwal). Barangsiapa yang memerhatikan masalah ini menunjukkan kuatnya iman dan upaya dia dalam berpegang teguh terhadap agama ini.
Kita perhatikan, sebagian orang terkadang menjadikan nada dering teleponnya berupa suara musik atau potongan lagu dari para penyanyi baik laki-laki maupun perempuan. Ini semua merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh syariat yang bijaksana ini.
Menjadikan nada dering berupa potongan lagu sendiri telah lewat penjelasannya pada bimbingan keenam di atas.
Adapun nada dering berupa potongan suara musik, telah disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t di dalam Shahih-nya:
لَيَكُونُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada pada umatku sekelompok kaum yang menghalalkan perzinaan, sutera, khamr, dan ma’azif.”
Yang dimaksud dengan ma’azif sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama pakar bahasa (Arab) maknanya adalah alat-alat permainan dan musik.
Di antara perkara yang juga perlu diperhatikan adalah:
Tidak boleh menjadikan suara (nada dering) telepon/HP dari ayat-ayat Al-Qur’an, doa dan dzikir syar’i, maupun adzan. Karena hal ini bisa menggiring seseorang kepada perbuatan menghinakan ayat, doa, dzikir, dan adzan tersebut. Kalamullah (Al-Qur’an) dan Kalam Rasulillah n (Al-Hadits) itu lebih agung daripada sekadar dijadikan nada dering atau bel alarm. Wallahul musta’an. Akan tetapi hendaknya nada dering itu berupa bunyi yang biasa saja.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa, Kerajaan Saudi ‘Arabia, yang beranggotakan para ulama besar, ed.) ditanya sebagai berikut:
Telah didapati di kebanyakan HP suara-suara lagu dan musik. Bolehkah menggunakan suara lagu tadi sebagai pengganti dari bel biasa?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ (sebagaimana dalam majalah Ad-Da’wah edisi 1795 hal. 42). Berikut teks jawabannya:
“Tidak diperbolehkan menggunakan lagu-lagu atau musik pada HP dan lainnya dari fasilitas (fitur) yang ada, karena mendengarkan alat-alat musik hukumnya haram sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i. Cukuplah menggunakan bel biasa. Wabillahit taufiq.”
Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (Mufti Agung Kerajaan Saudi ‘Arabia, sekarang selaku ketua Komite), Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan (anggota), Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid (anggota), Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (anggota).
(Semakin besar lagi kemungkaran ini, tatkala suara musik pada HP tersebut berbunyi di dalam masjid. Lebih besar lagi ketika itu terjadi ketika di tengah-tengah shalat. Allahul musta’an. –ed.)
(bersambung, Insya Allah)
(diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri, dari http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=368419, diambil dari www.assalafy.org dengan beberapa perubahan)
1 Di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hadits no. 946, lafadznya sebagai berikut:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat nanti dari sisi Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan, dan (4) untuk apa dia belanjakan, (5) tentang apa yang dia amalkan setelah mengetahui ilmunya.”
Waktu merupakan nikmat besar yang kebanyakan manusia melalaikannya. Dari Ibnu ‘Abbas c (bahwa Nabi n bersabda):
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia melalaikannya: (1) kesehatan, dan (2) waktu luang.” (HR. Al-Bukhari, 11/196)
Waktu merupakan nikmat besar yang akan ditanyakan di hadapan Allah k. Nabi n telah bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَ عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ كَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai dia ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan (4) untuk apa dia belanjakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2417, dan beliau berkata: “Hadits hasan shahih.” Diriwayatkan juga dari sahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid Al-Aslami z, dan diriwayatkan Al-Khathib dalam kitab Iqtidha’ Al-’Ilmi Al-’Amal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2417. Beliau juga berkata dalam Ash-Shahih Al-Jami’ hadits no. 7300: “Shahih”, dan dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits no. 946)1
Seyogianya, seorang muslim berbicara dengan ringkas dan seperlunya, tidak berpanjang lebar/bertele-tele sebagaimana yang sering dijumpai dan disaksikan. Kecuali jika memang benar-benar dibutuhkan. Ini semua dalam rangka bersemangat untuk menjaga waktu yang merupakan modal engkau di dunia ini. Allah l berfirman:
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Al-Furqan: 62)
Di antara penyebab tersia-siakannya waktu yang ditimbulkan dari fasilitas ini (HP) adalah apa yang dinamakan dengan ‘permainan’/game. Sebagian orang banyak tersibukkan waktunya untuk permainan ini, lalai dari berdzikir kepada Allah l dan tenggelam dalam permainan setan tersebut. Maka, sudah selayaknya seorang muslim memerhatikan waktunya dan menyibukkan hidupnya di dunia yang hanya beberapa menit ini dengan ketaatan kepada Allah l. Sungguh betapa bagusnya perkataan seorang penyair:
… إِنَّ الْحَيَاةَ دَقَائِقُ وَثَوَانُ
Sesungguhnya hidup ini hanyalah beberapa menit dan detik saja
Bimbingan Keempat: Menjaga lisan
Bahaya lisan sangatlah besar. Kejelekannya tidaklah kecil jika engkau tidak bertakwa kepada Allah l dalam menggunakan lisan ini. Bersemangatlah engkau ketika berbicara untuk tidak mengucapkan kecuali kebaikan, tidak bertutur kata kecuali perkara-perkara yang positif. Allah l berfirman:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
Perkataan yang engkau ucapkan akan dihitung dan terekam. Maka berhati-hatilah engkau agar tidak tergelincir dalam perbuatan ghibah terhadap seorang muslim, berdusta atas namanya, ataupun berbuat namimah (adu domba). Berhati-hatilah dari mencela, mencaci, serta ucapan yang mengandung kefasikan dan dosa. Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. Al-Bukhari 11/265, Muslim no. 47)
Bimbingan Kelima: Hemat (tidak menghamburkan) harta (pulsa)
Sebagian orang menyangka bahwa harta yang dimiliki adalah mutlak miliknya sehingga dia berhak untuk membelanjakan hartanya tersebut untuk keperluan apa saja sekehendaknya. Ini adalah anggapan yang salah, karena harta itu pada hakikatnya merupakan milik Allah l. Engkau adalah orang yang bertanggung jawab dan diberi amanah atas harta tersebut serta kelak akan diperhitungkan di hadapan Allah l. Membelanjakan harta di luar perkara yang syar’i (menyelisihi syariat) tidak diperbolehkan. Maka, ketika seorang muslim bermudah-mudah membeli pulsa dan untuk ngobrol hal-hal yang tidak bermanfaat, ini termasuk sikap berlebihan (pemborosan). Adapun jika dia menggunakannya untuk perkara yang bermudharat, ini termasuk bentuk perbuatan tabdzir yang Allah l larang dalam Al-Qur’an. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’: 26-27)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari sahabiyah Khaulah Al-Anshariyyah x, dia berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dengan cara yang tidak haq, maka bagi mereka An-Nar (neraka) pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2950)
Bimbingan Keenam: Berhati-hati dari nyanyian
Kebanyakan orang terjatuh dalam sikap bermudah-mudahan (menganggap enteng) mendengarkan nyanyian, walaupun telah jelas dan gamblang dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya. Sungguh ini adalah gejala yang tidak baik, wal ‘iyadzubillah (kita berlindung kepada Allah l).
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata ketika menafsirkan firman Allah l:
“Di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai ejekan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Beliau t berkata: “Ketika Allah l telah menyebutkan keadaan orang-orang yang berbahagia, … Allah l mengiringkannya dengan menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengambil manfaat dengan mendengarkan Kalamullah (Al-Qur’an), dan mereka malah mendengarkan seruling-seruling, nyanyian (lagu-lagu) dengan iringan irama dan alat-alat musik. Sebagaimana yang dikatakan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud z tentang firman Allah l:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna.”
Beliau berkata: “(Perkataan yang tidak berguna) itu adalah –demi Allah– nyanyian (lagu-lagu).”
Demikian pula yang dikatakan sahabat Ibnu ‘Abbas, Jabir c, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, ‘Umar bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Badzimah rahimahumullah.
Al-Hasan t berkata: “Ayat ini –yakni ayat:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.”
diturunkan berkenaan dengan nyanyian dan seruling-seruling.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/443-443)
Nabi n bersabda:
فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ. قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْـمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَتَى ذَلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقَيْنَاتُ وَالْمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الْخُمُورُ
“Di umat ini akan ada (azab dalam bentuk) penenggelaman ke dalam bumi, pengubahan bentuk/rupa (manusia pada bentuk yang lebih jelek), dan pelemparan (dengan batu).” Salah seorang dari kaum muslimin bertanya: “Wahai Rasulullah kapan hal itu akan terjadi?” Rasulullah n menjawab: “Ketika bermunculannya perbudakan, alat-alat musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At-Tirmidzi no. 2212 dari Imran bin Hushain z. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2212, beliau juga berkata dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hadits no. 2379: “Hasan li ghairihi.”)
Semakin bertambah keharamannya sesuai dengan keadaan zaman, tempat, orang yang berbicara baik laki-laki maupun perempuan, dan obyek pembicaraan berupa perkataan yang mengandung kefasikan, kekufuran, dan kesyirikan.
Bimbingan Ketujuh: Memilih Nada Dering (ringtone) yang dibolehkan secara syar’i
Seorang muslim hendaknya bersemangat untuk menghindari segala bentuk penyelisihan terhadap syariat yang bijaksana ini dalam segala hal, sampaipun pada permasalahan nada dering (ringtone) pada telepon (HP/Jawwal). Barangsiapa yang memerhatikan masalah ini menunjukkan kuatnya iman dan upaya dia dalam berpegang teguh terhadap agama ini.
Kita perhatikan, sebagian orang terkadang menjadikan nada dering teleponnya berupa suara musik atau potongan lagu dari para penyanyi baik laki-laki maupun perempuan. Ini semua merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh syariat yang bijaksana ini.
Menjadikan nada dering berupa potongan lagu sendiri telah lewat penjelasannya pada bimbingan keenam di atas.
Adapun nada dering berupa potongan suara musik, telah disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t di dalam Shahih-nya:
لَيَكُونُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada pada umatku sekelompok kaum yang menghalalkan perzinaan, sutera, khamr, dan ma’azif.”
Yang dimaksud dengan ma’azif sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama pakar bahasa (Arab) maknanya adalah alat-alat permainan dan musik.
Di antara perkara yang juga perlu diperhatikan adalah:
Tidak boleh menjadikan suara (nada dering) telepon/HP dari ayat-ayat Al-Qur’an, doa dan dzikir syar’i, maupun adzan. Karena hal ini bisa menggiring seseorang kepada perbuatan menghinakan ayat, doa, dzikir, dan adzan tersebut. Kalamullah (Al-Qur’an) dan Kalam Rasulillah n (Al-Hadits) itu lebih agung daripada sekadar dijadikan nada dering atau bel alarm. Wallahul musta’an. Akan tetapi hendaknya nada dering itu berupa bunyi yang biasa saja.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa, Kerajaan Saudi ‘Arabia, yang beranggotakan para ulama besar, ed.) ditanya sebagai berikut:
Telah didapati di kebanyakan HP suara-suara lagu dan musik. Bolehkah menggunakan suara lagu tadi sebagai pengganti dari bel biasa?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ (sebagaimana dalam majalah Ad-Da’wah edisi 1795 hal. 42). Berikut teks jawabannya:
“Tidak diperbolehkan menggunakan lagu-lagu atau musik pada HP dan lainnya dari fasilitas (fitur) yang ada, karena mendengarkan alat-alat musik hukumnya haram sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i. Cukuplah menggunakan bel biasa. Wabillahit taufiq.”
Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (Mufti Agung Kerajaan Saudi ‘Arabia, sekarang selaku ketua Komite), Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan (anggota), Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid (anggota), Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (anggota).
(Semakin besar lagi kemungkaran ini, tatkala suara musik pada HP tersebut berbunyi di dalam masjid. Lebih besar lagi ketika itu terjadi ketika di tengah-tengah shalat. Allahul musta’an. –ed.)
(bersambung, Insya Allah)
(diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri, dari http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=368419, diambil dari www.assalafy.org dengan beberapa perubahan)
1 Di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hadits no. 946, lafadznya sebagai berikut:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat nanti dari sisi Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan, dan (4) untuk apa dia belanjakan, (5) tentang apa yang dia amalkan setelah mengetahui ilmunya.”
Wanita Keluar Rumah Ikut Suaminya Berdakwah
Ada sekelompok orang dari kalangan da’i
biasa keluar berdakwah ke kota lain di waktu-waktu tertentu. Safar
dakwahnya tersebut terkadang sampai berhari-hari atau sampai sepekan.
Mereka mengajarkan kaum muslimin tentang perkara agama mereka, di mana
kaum lelakinya bermajelis di salah satu masjid sedangkan para wanitanya
mendengarkan ta’lim dengan bermajelis di rumah salah seorang mereka.
Apakah disenangi bagi wanita ikut keluar berdakwah (menyertai suaminya)?
Padahal dengan keluarnya tersebut, ia harus meninggalkan anak-anaknya
dengan dititipkan pada salah seorang kerabatnya?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz t menjawab pertanyaan yang senada dengan soal di atas. Kata beliau, “Bila mereka yang keluar berdakwah tersebut memiliki ilmu seperti yang ditunjukkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tentang perkara tauhid dan hukum-hukum syariah yang lain, maka apa yang mereka lakukan itu sangat bagus. Sama saja, apakah waktu safar dakwahnya itu singkat ataupun lama, berdasarkan firman Allah l:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak manusia) kepada Allah dan mengerjakan amal shalih serta berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
“Ajaklah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)
Katakanlah (ya Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak manusia kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (Yusuf: 108)
Juga berdasar sabda Nabi n:
فَوَاللهِ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيرٌ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka Demi Allah! Bila Allah memberi hidayah lewat dirimu satu orang saja, maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dahulu Nabi n pernah mengutus para da’i illallah (yang menyeru kepada jalan Allah l) ke negeri Yaman dan kepada mayoritas kabilah Arab. Tidak ada larangan bila orang yang berdakwah tersebut menyertakan istrinya. Wallahu waliyyut taufiq.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 9/296)
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz t menjawab pertanyaan yang senada dengan soal di atas. Kata beliau, “Bila mereka yang keluar berdakwah tersebut memiliki ilmu seperti yang ditunjukkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tentang perkara tauhid dan hukum-hukum syariah yang lain, maka apa yang mereka lakukan itu sangat bagus. Sama saja, apakah waktu safar dakwahnya itu singkat ataupun lama, berdasarkan firman Allah l:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak manusia) kepada Allah dan mengerjakan amal shalih serta berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
“Ajaklah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)
Katakanlah (ya Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak manusia kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (Yusuf: 108)
Juga berdasar sabda Nabi n:
فَوَاللهِ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيرٌ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Maka Demi Allah! Bila Allah memberi hidayah lewat dirimu satu orang saja, maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta merah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dahulu Nabi n pernah mengutus para da’i illallah (yang menyeru kepada jalan Allah l) ke negeri Yaman dan kepada mayoritas kabilah Arab. Tidak ada larangan bila orang yang berdakwah tersebut menyertakan istrinya. Wallahu waliyyut taufiq.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 9/296)
Anak Kecil Lewat di Depan Orang Shalat
Apakah seorang ibu harus menahan anaknya yang masih kecil
lewat di hadapannya saat ia sedang shalat, padahal itu terjadi
berulang-ulang di tengah shalat? Tentunya berulang-ulangnya mencegah si
anak lewat dapat menghilangkan kekhusyukan dalam shalat. Sementara jika
si ibu shalat sendirian tanpa menempatkan si anak di dekatnya, si ibu
(tentu) mengkhawatirkan anaknya (karena tidak ada yang menjaganya).
Jawab:
Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin t kembali menjawab, “Tidak ada dosa bagi si ibu membiarkan anaknya lewat di hadapannya bila memang si anak sering lalu lalang dan si ibu sendiri khawatir shalatnya terganggu bila terus-menerus mencegah si anak, sebagaimana hal ini dikatakan ahlul ilmi rahimahumullah. Akan tetapi, sepantasnya ketika si ibu hendak shalat, hendaknya memberikan sesuatu kepada anaknya yang bisa dijadikannya sebagai mainan (sehingga si anak asyik dengan benda/mainan tersebut, pen.) sementara si anak berada di sekitar/dekat dengan ibunya. Karena bila seorang anak diberi sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai mainan, biasanya mainan itu membuatnya lupa terhadap yang lain. Namun bila si anak terus menggelayuti (nggendholi, Jw.) ibunya karena merasa lapar atau haus, yang lebih utama si ibu menunda shalatnya hingga ia selesai menunaikan kebutuhan anaknya (menyuapi makan atau memberi minum). Setelah itu ia menghadapkan dirinya kepada amalan shalatnya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151-152)
Jawab:
Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin t kembali menjawab, “Tidak ada dosa bagi si ibu membiarkan anaknya lewat di hadapannya bila memang si anak sering lalu lalang dan si ibu sendiri khawatir shalatnya terganggu bila terus-menerus mencegah si anak, sebagaimana hal ini dikatakan ahlul ilmi rahimahumullah. Akan tetapi, sepantasnya ketika si ibu hendak shalat, hendaknya memberikan sesuatu kepada anaknya yang bisa dijadikannya sebagai mainan (sehingga si anak asyik dengan benda/mainan tersebut, pen.) sementara si anak berada di sekitar/dekat dengan ibunya. Karena bila seorang anak diberi sesuatu yang bisa dijadikannya sebagai mainan, biasanya mainan itu membuatnya lupa terhadap yang lain. Namun bila si anak terus menggelayuti (nggendholi, Jw.) ibunya karena merasa lapar atau haus, yang lebih utama si ibu menunda shalatnya hingga ia selesai menunaikan kebutuhan anaknya (menyuapi makan atau memberi minum). Setelah itu ia menghadapkan dirinya kepada amalan shalatnya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151-152)
Hafalan Al-Qur’an untuk Anak Kecil
Bolehkah ayah dan ibu mengajarkan hafalan Al-Qur’an kepada
anak mereka yang masih kecil, sementara keduanya tahu si anak terkadang
melantunkan surat yang dihafalnya di kamar mandi saat buang hajat, atau
si anak membacanya dengan cara yang tidak pantas (terhadap Al-Qur’anul
Karim), dalam keadaan si anak telah berulang kali diperingatkan?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin t menjawab, “Iya, sepantasnya ayah dan ibu membacakan Al-Qur’anul Karim kepada anak mereka agar si anak menghafalnya dan keduanya memperingatkan si anak agar tidak membaca Al-Qur’an di tempat yang tidak sepantasnya. Kalau toh anak-anak tetap melakukannya maka mereka belum mukallaf (belum dibebani syariat, belum terkena perintah dan larangan, pen.). Mereka tidak berdosa. Ketika ayah atau ibu mendengar si anak membacanya di tempat yang tidak layak, hendaknya menerangkan bahwa hal itu tidak boleh.
Anak kecil harus dihasung untuk banyak menghafal Al-Qur’an. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari tentang ‘Amr ibnu Salamah Al-Jarmi1 yang menjadi imam bagi kaumnya, padahal usianya baru enam atau tujuh tahun. Dan itu terjadi di masa Nabi n.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151)
1 ‘Amr bin Salamah menuturkan kelengkapan kisahnya: Kami bermukim di dekat sebuah mata air yang biasa dilewati orang-orang. Suatu ketika serombongan musafir yang berkendaraan melewati kami. Kami pun bertanya kepada mereka, “Bagaimana kabarnya orang-orang? Ada apa dengan mereka? Bagaimana dengan lelaki yang sedang ramai pemberitaannya?” Mereka menjawab, “Lelaki itu mengaku Allah-lah yang mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Allah mewahyukan kepadanya ini dan itu (dengan membacakan wahyu Al-Qur’an yang mereka maksud).” Aku pun menghafal wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut seakan-akan menempel dalam dadaku. Sementara itu kabilah-kabilah Arab menunda keislaman mereka sampai Fathu Makkah. Mereka mengatakan, “Biarkan dia dan kaumnya. Bila dia menang atas kaumnya berarti memang dia nabi yang benar.” Tatkala terjadi Fathu Makkah, setiap kaum bersegera masuk Islam. Ayahku mendahului kaumku dalam berislam. Saat ayahku datang dari menemui Nabi n, ia berkata, “Demi Allah! Aku datang kepada kalian dari sisi nabi yang haq (benar-benar seorang nabi). Nabi itu berkata, “Shalatlah kalian shalat ini di waktu itu dan shalat itu di waktu ini. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya mengimami kalian.” Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata tidak ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya melainkan aku, karena sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan musafir. Kaumku pun memajukan aku di hadapan mereka untuk mengimami mereka, padahal saat itu usiaku masih enam atau tujuh tahun. Saat mengimami mereka aku mengenakan pakaian yang pendek. Bila aku sujud, pakaian itu terangkat dari bagian bawah tubuhku. Seorang wanita dari kampung (yang ikut shalat bersama jamaah) lalu berkata, “Tidakkah kalian menutupkan dari kami pantat pembaca Al-Qur’an kalian itu?” Kaumku lalu membelikan untukku pakaian dan mereka pakaikan kepadaku. Tidaklah aku bergembira memperoleh sesuatu sebagaimana gembiraku mendapat pakaian tersebut.” (HR. Al-Bukhari) –pen.
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin t menjawab, “Iya, sepantasnya ayah dan ibu membacakan Al-Qur’anul Karim kepada anak mereka agar si anak menghafalnya dan keduanya memperingatkan si anak agar tidak membaca Al-Qur’an di tempat yang tidak sepantasnya. Kalau toh anak-anak tetap melakukannya maka mereka belum mukallaf (belum dibebani syariat, belum terkena perintah dan larangan, pen.). Mereka tidak berdosa. Ketika ayah atau ibu mendengar si anak membacanya di tempat yang tidak layak, hendaknya menerangkan bahwa hal itu tidak boleh.
Anak kecil harus dihasung untuk banyak menghafal Al-Qur’an. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari tentang ‘Amr ibnu Salamah Al-Jarmi1 yang menjadi imam bagi kaumnya, padahal usianya baru enam atau tujuh tahun. Dan itu terjadi di masa Nabi n.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151)
1 ‘Amr bin Salamah menuturkan kelengkapan kisahnya: Kami bermukim di dekat sebuah mata air yang biasa dilewati orang-orang. Suatu ketika serombongan musafir yang berkendaraan melewati kami. Kami pun bertanya kepada mereka, “Bagaimana kabarnya orang-orang? Ada apa dengan mereka? Bagaimana dengan lelaki yang sedang ramai pemberitaannya?” Mereka menjawab, “Lelaki itu mengaku Allah-lah yang mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Allah mewahyukan kepadanya ini dan itu (dengan membacakan wahyu Al-Qur’an yang mereka maksud).” Aku pun menghafal wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut seakan-akan menempel dalam dadaku. Sementara itu kabilah-kabilah Arab menunda keislaman mereka sampai Fathu Makkah. Mereka mengatakan, “Biarkan dia dan kaumnya. Bila dia menang atas kaumnya berarti memang dia nabi yang benar.” Tatkala terjadi Fathu Makkah, setiap kaum bersegera masuk Islam. Ayahku mendahului kaumku dalam berislam. Saat ayahku datang dari menemui Nabi n, ia berkata, “Demi Allah! Aku datang kepada kalian dari sisi nabi yang haq (benar-benar seorang nabi). Nabi itu berkata, “Shalatlah kalian shalat ini di waktu itu dan shalat itu di waktu ini. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya mengimami kalian.” Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata tidak ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya melainkan aku, karena sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan musafir. Kaumku pun memajukan aku di hadapan mereka untuk mengimami mereka, padahal saat itu usiaku masih enam atau tujuh tahun. Saat mengimami mereka aku mengenakan pakaian yang pendek. Bila aku sujud, pakaian itu terangkat dari bagian bawah tubuhku. Seorang wanita dari kampung (yang ikut shalat bersama jamaah) lalu berkata, “Tidakkah kalian menutupkan dari kami pantat pembaca Al-Qur’an kalian itu?” Kaumku lalu membelikan untukku pakaian dan mereka pakaikan kepadaku. Tidaklah aku bergembira memperoleh sesuatu sebagaimana gembiraku mendapat pakaian tersebut.” (HR. Al-Bukhari) –pen.
Bersuci bagian 2
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Di edisi yang lalu kita telah berbicara tentang beberapa masalah terkait thaharah wanita haid. Berikut ini lanjutan pembahasannya.
Wanita haid ditimpa janabah
Bila wanita haid ditimpa janabah, di mana mungkin sebelum haid ia junub dan belum sempat mandi kemudian haid mendatanginya, ataupun ketika sedang haid ia ihtilam (mimpi basah), apakah ia tetap wajib mandi janabah (dalam keadaan ia sedang haid); ataukah boleh menundanya sampai ia suci dari haid baru kemudian ia mandi dengan niat menghilangkan kedua hadats sekaligus, janabah dan haid; ataukah ia harus mandi dua kali, yakni mandi haid dan mandi junub?
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat:
Pertama: Si wanita tidak wajib segera mandi janabah, dan ketika suci nanti cukup baginya satu kali mandi untuk mengangkat kedua hadats tersebut. Ini merupakan pendapat jumhur ahlul ilmi, di antara mereka adalah imam madzhab yang empat: Abu Hanifah (Al-Muhalla, 1/291), Al-Imam Malik (Al-Mudawwanah, 1/134), Al-Imam Syafi’i (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, Bab ‘Illatu Man Yajibu alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu), dan Al-Imam Ahmad ibnu Hambal (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah), semoga Allah l merahmati mereka semua. Pendapat ini yang dinyatakan Rabi’ah, Abu Az-Zinad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i dalam satu riwayat darinya. (Al-Ausath 2/105, Al-Mudawwanah, 1/134)
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Nabi n dahulu ketika junub karena menggauli beberapa istri beliau secara bergantian. Beliau n hanya mencukupkan sekali mandi pada akhirnya, padahal janabahnya berulang. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik z berikut ini:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ
“Adalah Nabi n mendatangi istri-istri beliau (untuk menggauli mereka secara bergiliran) dengan sekali mandi.” (HR. Muslim no. 706)
Wanita haid yang ditimpa janabah juga demikian. Bila ia junub dan datang haidnya sebelum sempat mandi janabah maka cukup baginya mandi sekali saat suci. (Al-Ausath, 2/105)
2. Bila terkumpul pada seseorang beberapa hadats kecil yang mengharuskannya berthaharah shughra (yaitu dengan berwudhu) saat hendak shalat, seperti tidur nyenyak, keluar angin dari dubur, dan menyentuh istri sehingga keluar madzi, atau selesai buang air besar dan bersamaan dengan itu buang air kecil juga, maka cukup bagi yang mengalaminya melakukan sekali wudhu. Ia tidak diperintahkan berwudhu untuk masing-masing hadats. (Al-Ausath 2/106)
Ia tidak wajib mandi janabah sebelum suci dari haidnya, karena mandinya tidak berfaedah baginya. (Al-Majmu’, 2/171)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Bila wanita haid mengalami janabah maka ia tidak wajib mandi sampai selesai haidnya. Demikian dinyatakan Al-Imam Ahmad. Ini juga merupakan pendapat Ishaq. Karena dengan mandi pun hukum-hukum yang ada tidak bermanfaat baginya1. Namun bila ia mandi janabah dalam masa haidnya, mandinya sah dan hilang hukum janabah darinya. Al-Imam Ahmad t mengatakan, ‘(Dengan mandi itu) hilang janabahnya, namun haidnya tidak hilang sampai terputus/berhenti darahnya’.” (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah)
Pendapat kedua: Seharusnya ia mandi. Bila tidak maka saat suci nanti ia mandi dua kali, untuk haid dan untuk janabah. Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Atha’, sebagaimana pendapat mereka diriwayatkan dalam Mushannaf Abdir Razzaq (no. 1057-1060, 1/275). Demikian pula pendapat Jabir bin Zaid, Qatadah, Al-Hakam, Thawus, ‘Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, Maimun bin Mihran, dan satu pendapat dari Dawud Azh-Zhahiri beserta pengikutnya. (Al-Muhalla, 1/293)
Mereka berdalil bahwa Allah l mewajibkan mandi dari janabah dan mewajibkan pula mandi haid. Satu dengan yang lainnya berbeda, maka tidak boleh menggugurkan salah satunya kecuali dengan argumen dari Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kesepakatan ulama. (Al-Ausath 2/105, Al-Muhalla 1/290)
Pendapat kedua ini yang dipegangi oleh Ahlul hadits negeri Syam, Al-Imam Al-Albani t. Ketika memberi ta’liq terhadap Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq dalam masalah mandi, beliau berkata, “Yang tampak bagiku, tidak cukup sekali mandi (untuk haid dan janabah, atau untuk mandi Jum’at dan mandi pada hari Id, atau untuk janabah dan mandi Jum’at) bahkan harus mandi untuk masing-masing perkara yang wajib padanya mandi. Maka untuk haid dilakukan satu kali mandi, untuk janabah dilakukan mandi yang lain lagi. Atau untuk janabah satu kali mandi dan untuk Jum’at mandi yang lain. Karena masing-masing mandi ini telah datang dalil yang menunjukkan wajibnya, sehingga tidak boleh menyatukannya dalam satu amalan….” (Tamamul Minnah, hal. 126)
Pendapat ketiga: Ia harus mandi janabah, namun bila ia tidak melakukannya cukup baginya sekali mandi saat suci dari haid. Demikian satu riwayat dari Al-Imam Ahmad t dan satu riwayat dari Al-Auza’i t. (Al-Ausath 2/105)
Untuk pencukupan sekali mandi saat suci, mereka berargumen seperti argumen pendapat yang pertama. Adapun pewajiban mandi janabah walaupun masih haid (belum suci) maka bisa jadi mereka beragumen dengan hujjah pendapat kedua, wallahu a’lam.2
Dari perbedaan pendapat yang ada maka yang kami condongi, wallahu a’lam adalah pendapat yang dipegangi jumhur ahlul ilmi, yaitu cukup baginya sekali mandi saat suci untuk mengangkat haid sekaligus janabahnya3.
Namun bila ia hendak membaca Al-Qur’an atau hendak duduk di masjid untuk mendengarkan taklim misalnya, maka sebaiknya ia mandi atau setidaknya berwudhu untuk meringankan janabahnya, wallahu a’lam bish-shawab. (lihat Al-Mughni fashl Idza Tawadha’a Junub falahu Al-Lubts fil Masjid)4
Meninggal dalam keadaan haid, bagaimana dengan mandinya?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Ia dimandikan sekali. Ibnul Mundzir t berkata sebagaimana dinukil Ibnu Qudamah t, “Ini merupakan pendapat ulama dari penjuru negeri yang kami hafal.” (Al-Mughni, Kitab Al-Jana’iz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
2. Adapun pula yang berpendapat si wanita yang telah menjadi mayat tersebut dimandikan dua kali, mandi haid dan mandi jenazah. Demikian pendapat Al-Hasan Al-Bahsri t. (Al-Mughni, Kitab Al-Janaiz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
Namun yang utama dari dua pendapat yang ada, kata Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t, adalah pendapat pertama. Karena orang yang meninggal dunia telah keluar dari hukum taklif, sehingga tidak ada baginya kewajiban melakukan satu ibadah pun. Yang ada hanyalah ia dimandikan sebagai jenazah (bukan mandi haid) agar ia meninggalkan dunia dengan keadaan yang sempurna dari sisi kebersihan dan kebagusan dalam pandangan. Hal ini sudah tercapai dengan sekali mandi. Alasan lainnya adalah mandi sekali mencukupi bagi orang yang terkumpul padanya dua kewajiban mandi seperti wanita yang haid dan tertimpa janabah. (Al-Mughni Kitab Al-Janaiz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
Datang dan berlalunya haid
Ulama sepakat bahwa datangnya haid diketahui dengan keluarnya darah berwarna hitam, kental, dan beraroma tidak sedap dari kemaluan pada waktu yang memang biasa. Sedangkan untuk berlalu atau selesainya haid, mereka berbeda pendapat, antara satu di antara dua perkara berikut ini, apakah dengan:
1. Jufuf, yaitu bila seorang wanita meletakkan kain, kapas, atau tisu dalam kemaluannya, ketika dikeluarkan didapati kain kapas tersebut dalam keadaan kering;
Ataukah dengan:
2. Qashshah baidha’, yaitu cairan putih yang dikeluarkan rahim setelah darah haid berhenti. (Fathul Bari, 1/544)
Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa’ membawakan riwayat dari ‘Alqamah ibnu Abi ‘Alqamah Al-Madani dari ibunya, Marjanah, maulah Aisyah Ummul Mukminin x. Ibunya berkata: “Para wanita pernah datang menemui Aisyah dengan membawa potongan kain yang di dalamnya ada kapas. Tampak di kapas tersebut cairan kuning dari darah haid. Mereka melakukan hal tersebut untuk menanyakan apakah sudah diperkenankan shalat bila masih keluar cairan demikian? Aisyah berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat qashshah baidha’. Yang dimaukan Aisyah dengan ucapannya tersebut adalah suci dari haid.” (Atsar ini dikeluarkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahihnya secara mu’allaq/tanpa menyebutkan sanadnya, pada Kitab Al-Haidh, bab Iqbalil Mahidh wa Idbarihi)
Marjanah, rawi yang menyampaikan kisah di atas, kata Al-Hafizh t tentangnya, “Maqbulah.” (At-Taqrib, hal. 769)
Makna maqbul (diterima riwayatnya) menurut Al-Hafizh adalah ia maqbul bila ada yang mengikutinya dalam periwayatan. Bila tidak, maka ia lemah/layyin.
Ada pula penyebutan tentang qushshah baidha’ ini dari riwayat yang dikeluarkan oleh Ad-Darimi (1/214) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra (1/337). Dalam riwayat Ad-Darimi disebutkan, Aisyah x berkata, “Apabila engkau melihat darah maka tahanlah dari mengerjakan shalat sampai engkau melihat tanda suci berwarna putih seperti perak. Setelahnya, engkau mandi dan mengerjakan shalat.”
Makhul Abu Abdillah Ad-Dimasyqi t, seorang tabi’in ulama penduduk Syam, berkata, “Janganlah si wanita mandi sampai ia melihat tanda suci berwarna putih laksana perak.” (Diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/94)
‘Atha t, juga seorang alim yang besar berkata menjawab pertanyaan Ibnu Juraij tentang tanda suci, “(Tanda suci dari haid) berupa abyadh jufuf/warna putih kering, tidak ada warna kekuningan bersamanya dan tidak ada pula cairan/air.” Jufuf adalah abyadh.
Al-Imam Malik t berkata, “Aku pernah bertanya kepada para wanita tentang cairan putih yang dikeluarkan rahim setelah darah haid berhenti. Ternyata perkaranya dimaklumi/diketahui oleh mereka, yang dengannya mereka mengetahui bahwa mereka telah suci.” (Fathul Bari, 1/545)
Dalam masalah tanda suci yang diperselisihkan ini, berkata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, “Tanda suci itu diketahui oleh para wanita, yaitu cairan putih yang keluar saat haid berhenti. Namun sebagian wanita tidak melihat keluarnya cairan tersebut saat datang sucinya, sampai datang haid yang kedua/yang berikutnya. Sama sekali ia tidak melihat cairan tersebut keluar dari kemaluannya. Maka wanita yang demikian tanda sucinya diketahui dengan cara ia memasukkan kapas yang putih ke dalam tempat keluarnya darah, kemudian ia keluarkan lagi dalam keadaan kapas tersebut tidak berubah (tetap putih bersih dan kering), maka itu adalah tanda sucinya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/498)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Walaupun ia telah mandi janabah namun hukumnya tetaplah ia belum suci, sehingga belum boleh mengerjakan shalat, tidak boleh puasa, tidak boleh thawaf di Baitullah, serta belum halal bagi suaminya untuk menggaulinya. Kata Al-Imam Asy-Syafi’i t, semestinya bila si wanita mandi, ia pun suci dengan mandinya tersebut. Sementara dalam kondisi sedang haid, ia tidak bisa suci dengan mandi janabah yang dilakukannya. Sehingga, ia menanti saat selesainya haidnya, barulah ia mandi dan cukup dengan sekali mandi untuk haid sekaligus janabah. (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, bab ‘Illatu man Yajibu alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu)
2 Al-Ahkam Al-Mutarattibah ‘alal Haidh, wan Nifas wal Istihadhah, hal. 76, karya Dr. Shalih ibn Abdillah Al-Lahm, pengajar studi fiqih di Fakultas Syariah Jami’atul Qashim.
3 Faedah:
Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di dalam kitabnya Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal Furuq wat Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah menyebutkan dalam kaidah ke-41: Apabila terkumpul dua ibadah dari jenis yang satu, maka perbuatan dua ibadah tadi bisa saling masuk dan dicukupkan untuk keduanya satu perbuatan saja, bila memang maksud ibadah tadi satu.
Kemudian beliau memberi contoh orang yang masuk masjid ketika telah datang waktu shalat rawatib, lalu ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat rawatib dan tahiyatul masjid sekaligus, maka orang ini beroleh keutamaan keduanya. (hal. 96)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin dalam ta’liqnya terhadap kitab Asy-Syaikh As-Sa’di di atasmenyatakan: “Ini merupakan kaidah yang penting, yaitu bisa saling masuknya (digabungkannya) beberapa ibadah, akan tetapi dengan syarat-syarat berikut:
1. Ibadah tersebut maksudnya satu dan jenisnya satu. Shalat dengan shalat misalnya, atau puasa dengan puasa.
2. Salah satu dari dua ibadah yang digabung tersebut bukan tabi’ah (penyerta/pengikut) bagi ibadah yang satunya lagi. Kalau yang satunya merupakan tabi’ah dari yang lain maka tidak bisa digabungkan. Seperti shalat sunnah subuh dengan shalat subuh. Tidak bisa seseorang menggabungkan keduanya, di mana ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat sunnah subuh dan shalat fardhiyah subuh. Karena sunnah subuh ini merupakan tabi’ah. (hal. 168)
4 Di antara ahlul ilmi yang berpendapat bolehnya orang junub membaca Al-Qur’an adalah Ibnu Abbas c dari kalangan sahabat Rasulullah n, di mana Ibnu Abbas c pernah membaca surah Al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair. Ini juga merupakan pendapat Dawud Azh-Zhahiri dengan pengikutnya. (Syarhus Sunnah 2/43, Al-Muhalla 1/96)
Namun lebih utama bagi si junub untuk berwudhu terlebih dahulu. Asy-Syaikh Al-Albani ketika menerangkan hadits:
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ l إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ
“Sungguh aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci/berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 17, dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 834)
Beliau mengatakan, “Nabi n tidak suka berzikir kepada Allah l kecuali dalam keadaan beliau telah bersuci. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an tanpa thaharah (bersuci) lebih utama lagi kemakruhannya. Maka tidak sepantasnya pendapat yang membolehkan orang yang berhadats membaca Al-Qur’an itu dimutlakkan (dibiarkan tanpa batasan tertentu) begitu saja, sebagaimana dilakukan sebagian saudara-saudara kita dari kalangan ahlul hadits.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/489)
Di edisi yang lalu kita telah berbicara tentang beberapa masalah terkait thaharah wanita haid. Berikut ini lanjutan pembahasannya.
Wanita haid ditimpa janabah
Bila wanita haid ditimpa janabah, di mana mungkin sebelum haid ia junub dan belum sempat mandi kemudian haid mendatanginya, ataupun ketika sedang haid ia ihtilam (mimpi basah), apakah ia tetap wajib mandi janabah (dalam keadaan ia sedang haid); ataukah boleh menundanya sampai ia suci dari haid baru kemudian ia mandi dengan niat menghilangkan kedua hadats sekaligus, janabah dan haid; ataukah ia harus mandi dua kali, yakni mandi haid dan mandi junub?
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat:
Pertama: Si wanita tidak wajib segera mandi janabah, dan ketika suci nanti cukup baginya satu kali mandi untuk mengangkat kedua hadats tersebut. Ini merupakan pendapat jumhur ahlul ilmi, di antara mereka adalah imam madzhab yang empat: Abu Hanifah (Al-Muhalla, 1/291), Al-Imam Malik (Al-Mudawwanah, 1/134), Al-Imam Syafi’i (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, Bab ‘Illatu Man Yajibu alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu), dan Al-Imam Ahmad ibnu Hambal (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah), semoga Allah l merahmati mereka semua. Pendapat ini yang dinyatakan Rabi’ah, Abu Az-Zinad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i dalam satu riwayat darinya. (Al-Ausath 2/105, Al-Mudawwanah, 1/134)
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Nabi n dahulu ketika junub karena menggauli beberapa istri beliau secara bergantian. Beliau n hanya mencukupkan sekali mandi pada akhirnya, padahal janabahnya berulang. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik z berikut ini:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ
“Adalah Nabi n mendatangi istri-istri beliau (untuk menggauli mereka secara bergiliran) dengan sekali mandi.” (HR. Muslim no. 706)
Wanita haid yang ditimpa janabah juga demikian. Bila ia junub dan datang haidnya sebelum sempat mandi janabah maka cukup baginya mandi sekali saat suci. (Al-Ausath, 2/105)
2. Bila terkumpul pada seseorang beberapa hadats kecil yang mengharuskannya berthaharah shughra (yaitu dengan berwudhu) saat hendak shalat, seperti tidur nyenyak, keluar angin dari dubur, dan menyentuh istri sehingga keluar madzi, atau selesai buang air besar dan bersamaan dengan itu buang air kecil juga, maka cukup bagi yang mengalaminya melakukan sekali wudhu. Ia tidak diperintahkan berwudhu untuk masing-masing hadats. (Al-Ausath 2/106)
Ia tidak wajib mandi janabah sebelum suci dari haidnya, karena mandinya tidak berfaedah baginya. (Al-Majmu’, 2/171)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Bila wanita haid mengalami janabah maka ia tidak wajib mandi sampai selesai haidnya. Demikian dinyatakan Al-Imam Ahmad. Ini juga merupakan pendapat Ishaq. Karena dengan mandi pun hukum-hukum yang ada tidak bermanfaat baginya1. Namun bila ia mandi janabah dalam masa haidnya, mandinya sah dan hilang hukum janabah darinya. Al-Imam Ahmad t mengatakan, ‘(Dengan mandi itu) hilang janabahnya, namun haidnya tidak hilang sampai terputus/berhenti darahnya’.” (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah)
Pendapat kedua: Seharusnya ia mandi. Bila tidak maka saat suci nanti ia mandi dua kali, untuk haid dan untuk janabah. Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Atha’, sebagaimana pendapat mereka diriwayatkan dalam Mushannaf Abdir Razzaq (no. 1057-1060, 1/275). Demikian pula pendapat Jabir bin Zaid, Qatadah, Al-Hakam, Thawus, ‘Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, Maimun bin Mihran, dan satu pendapat dari Dawud Azh-Zhahiri beserta pengikutnya. (Al-Muhalla, 1/293)
Mereka berdalil bahwa Allah l mewajibkan mandi dari janabah dan mewajibkan pula mandi haid. Satu dengan yang lainnya berbeda, maka tidak boleh menggugurkan salah satunya kecuali dengan argumen dari Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kesepakatan ulama. (Al-Ausath 2/105, Al-Muhalla 1/290)
Pendapat kedua ini yang dipegangi oleh Ahlul hadits negeri Syam, Al-Imam Al-Albani t. Ketika memberi ta’liq terhadap Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq dalam masalah mandi, beliau berkata, “Yang tampak bagiku, tidak cukup sekali mandi (untuk haid dan janabah, atau untuk mandi Jum’at dan mandi pada hari Id, atau untuk janabah dan mandi Jum’at) bahkan harus mandi untuk masing-masing perkara yang wajib padanya mandi. Maka untuk haid dilakukan satu kali mandi, untuk janabah dilakukan mandi yang lain lagi. Atau untuk janabah satu kali mandi dan untuk Jum’at mandi yang lain. Karena masing-masing mandi ini telah datang dalil yang menunjukkan wajibnya, sehingga tidak boleh menyatukannya dalam satu amalan….” (Tamamul Minnah, hal. 126)
Pendapat ketiga: Ia harus mandi janabah, namun bila ia tidak melakukannya cukup baginya sekali mandi saat suci dari haid. Demikian satu riwayat dari Al-Imam Ahmad t dan satu riwayat dari Al-Auza’i t. (Al-Ausath 2/105)
Untuk pencukupan sekali mandi saat suci, mereka berargumen seperti argumen pendapat yang pertama. Adapun pewajiban mandi janabah walaupun masih haid (belum suci) maka bisa jadi mereka beragumen dengan hujjah pendapat kedua, wallahu a’lam.2
Dari perbedaan pendapat yang ada maka yang kami condongi, wallahu a’lam adalah pendapat yang dipegangi jumhur ahlul ilmi, yaitu cukup baginya sekali mandi saat suci untuk mengangkat haid sekaligus janabahnya3.
Namun bila ia hendak membaca Al-Qur’an atau hendak duduk di masjid untuk mendengarkan taklim misalnya, maka sebaiknya ia mandi atau setidaknya berwudhu untuk meringankan janabahnya, wallahu a’lam bish-shawab. (lihat Al-Mughni fashl Idza Tawadha’a Junub falahu Al-Lubts fil Masjid)4
Meninggal dalam keadaan haid, bagaimana dengan mandinya?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Ia dimandikan sekali. Ibnul Mundzir t berkata sebagaimana dinukil Ibnu Qudamah t, “Ini merupakan pendapat ulama dari penjuru negeri yang kami hafal.” (Al-Mughni, Kitab Al-Jana’iz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
2. Adapun pula yang berpendapat si wanita yang telah menjadi mayat tersebut dimandikan dua kali, mandi haid dan mandi jenazah. Demikian pendapat Al-Hasan Al-Bahsri t. (Al-Mughni, Kitab Al-Janaiz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
Namun yang utama dari dua pendapat yang ada, kata Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t, adalah pendapat pertama. Karena orang yang meninggal dunia telah keluar dari hukum taklif, sehingga tidak ada baginya kewajiban melakukan satu ibadah pun. Yang ada hanyalah ia dimandikan sebagai jenazah (bukan mandi haid) agar ia meninggalkan dunia dengan keadaan yang sempurna dari sisi kebersihan dan kebagusan dalam pandangan. Hal ini sudah tercapai dengan sekali mandi. Alasan lainnya adalah mandi sekali mencukupi bagi orang yang terkumpul padanya dua kewajiban mandi seperti wanita yang haid dan tertimpa janabah. (Al-Mughni Kitab Al-Janaiz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
Datang dan berlalunya haid
Ulama sepakat bahwa datangnya haid diketahui dengan keluarnya darah berwarna hitam, kental, dan beraroma tidak sedap dari kemaluan pada waktu yang memang biasa. Sedangkan untuk berlalu atau selesainya haid, mereka berbeda pendapat, antara satu di antara dua perkara berikut ini, apakah dengan:
1. Jufuf, yaitu bila seorang wanita meletakkan kain, kapas, atau tisu dalam kemaluannya, ketika dikeluarkan didapati kain kapas tersebut dalam keadaan kering;
Ataukah dengan:
2. Qashshah baidha’, yaitu cairan putih yang dikeluarkan rahim setelah darah haid berhenti. (Fathul Bari, 1/544)
Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa’ membawakan riwayat dari ‘Alqamah ibnu Abi ‘Alqamah Al-Madani dari ibunya, Marjanah, maulah Aisyah Ummul Mukminin x. Ibunya berkata: “Para wanita pernah datang menemui Aisyah dengan membawa potongan kain yang di dalamnya ada kapas. Tampak di kapas tersebut cairan kuning dari darah haid. Mereka melakukan hal tersebut untuk menanyakan apakah sudah diperkenankan shalat bila masih keluar cairan demikian? Aisyah berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat qashshah baidha’. Yang dimaukan Aisyah dengan ucapannya tersebut adalah suci dari haid.” (Atsar ini dikeluarkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahihnya secara mu’allaq/tanpa menyebutkan sanadnya, pada Kitab Al-Haidh, bab Iqbalil Mahidh wa Idbarihi)
Marjanah, rawi yang menyampaikan kisah di atas, kata Al-Hafizh t tentangnya, “Maqbulah.” (At-Taqrib, hal. 769)
Makna maqbul (diterima riwayatnya) menurut Al-Hafizh adalah ia maqbul bila ada yang mengikutinya dalam periwayatan. Bila tidak, maka ia lemah/layyin.
Ada pula penyebutan tentang qushshah baidha’ ini dari riwayat yang dikeluarkan oleh Ad-Darimi (1/214) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra (1/337). Dalam riwayat Ad-Darimi disebutkan, Aisyah x berkata, “Apabila engkau melihat darah maka tahanlah dari mengerjakan shalat sampai engkau melihat tanda suci berwarna putih seperti perak. Setelahnya, engkau mandi dan mengerjakan shalat.”
Makhul Abu Abdillah Ad-Dimasyqi t, seorang tabi’in ulama penduduk Syam, berkata, “Janganlah si wanita mandi sampai ia melihat tanda suci berwarna putih laksana perak.” (Diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/94)
‘Atha t, juga seorang alim yang besar berkata menjawab pertanyaan Ibnu Juraij tentang tanda suci, “(Tanda suci dari haid) berupa abyadh jufuf/warna putih kering, tidak ada warna kekuningan bersamanya dan tidak ada pula cairan/air.” Jufuf adalah abyadh.
Al-Imam Malik t berkata, “Aku pernah bertanya kepada para wanita tentang cairan putih yang dikeluarkan rahim setelah darah haid berhenti. Ternyata perkaranya dimaklumi/diketahui oleh mereka, yang dengannya mereka mengetahui bahwa mereka telah suci.” (Fathul Bari, 1/545)
Dalam masalah tanda suci yang diperselisihkan ini, berkata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, “Tanda suci itu diketahui oleh para wanita, yaitu cairan putih yang keluar saat haid berhenti. Namun sebagian wanita tidak melihat keluarnya cairan tersebut saat datang sucinya, sampai datang haid yang kedua/yang berikutnya. Sama sekali ia tidak melihat cairan tersebut keluar dari kemaluannya. Maka wanita yang demikian tanda sucinya diketahui dengan cara ia memasukkan kapas yang putih ke dalam tempat keluarnya darah, kemudian ia keluarkan lagi dalam keadaan kapas tersebut tidak berubah (tetap putih bersih dan kering), maka itu adalah tanda sucinya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/498)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Walaupun ia telah mandi janabah namun hukumnya tetaplah ia belum suci, sehingga belum boleh mengerjakan shalat, tidak boleh puasa, tidak boleh thawaf di Baitullah, serta belum halal bagi suaminya untuk menggaulinya. Kata Al-Imam Asy-Syafi’i t, semestinya bila si wanita mandi, ia pun suci dengan mandinya tersebut. Sementara dalam kondisi sedang haid, ia tidak bisa suci dengan mandi janabah yang dilakukannya. Sehingga, ia menanti saat selesainya haidnya, barulah ia mandi dan cukup dengan sekali mandi untuk haid sekaligus janabah. (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, bab ‘Illatu man Yajibu alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu)
2 Al-Ahkam Al-Mutarattibah ‘alal Haidh, wan Nifas wal Istihadhah, hal. 76, karya Dr. Shalih ibn Abdillah Al-Lahm, pengajar studi fiqih di Fakultas Syariah Jami’atul Qashim.
3 Faedah:
Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di dalam kitabnya Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal Furuq wat Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah menyebutkan dalam kaidah ke-41: Apabila terkumpul dua ibadah dari jenis yang satu, maka perbuatan dua ibadah tadi bisa saling masuk dan dicukupkan untuk keduanya satu perbuatan saja, bila memang maksud ibadah tadi satu.
Kemudian beliau memberi contoh orang yang masuk masjid ketika telah datang waktu shalat rawatib, lalu ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat rawatib dan tahiyatul masjid sekaligus, maka orang ini beroleh keutamaan keduanya. (hal. 96)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin dalam ta’liqnya terhadap kitab Asy-Syaikh As-Sa’di di atasmenyatakan: “Ini merupakan kaidah yang penting, yaitu bisa saling masuknya (digabungkannya) beberapa ibadah, akan tetapi dengan syarat-syarat berikut:
1. Ibadah tersebut maksudnya satu dan jenisnya satu. Shalat dengan shalat misalnya, atau puasa dengan puasa.
2. Salah satu dari dua ibadah yang digabung tersebut bukan tabi’ah (penyerta/pengikut) bagi ibadah yang satunya lagi. Kalau yang satunya merupakan tabi’ah dari yang lain maka tidak bisa digabungkan. Seperti shalat sunnah subuh dengan shalat subuh. Tidak bisa seseorang menggabungkan keduanya, di mana ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat sunnah subuh dan shalat fardhiyah subuh. Karena sunnah subuh ini merupakan tabi’ah. (hal. 168)
4 Di antara ahlul ilmi yang berpendapat bolehnya orang junub membaca Al-Qur’an adalah Ibnu Abbas c dari kalangan sahabat Rasulullah n, di mana Ibnu Abbas c pernah membaca surah Al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair. Ini juga merupakan pendapat Dawud Azh-Zhahiri dengan pengikutnya. (Syarhus Sunnah 2/43, Al-Muhalla 1/96)
Namun lebih utama bagi si junub untuk berwudhu terlebih dahulu. Asy-Syaikh Al-Albani ketika menerangkan hadits:
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ l إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ
“Sungguh aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci/berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 17, dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 834)
Beliau mengatakan, “Nabi n tidak suka berzikir kepada Allah l kecuali dalam keadaan beliau telah bersuci. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an tanpa thaharah (bersuci) lebih utama lagi kemakruhannya. Maka tidak sepantasnya pendapat yang membolehkan orang yang berhadats membaca Al-Qur’an itu dimutlakkan (dibiarkan tanpa batasan tertentu) begitu saja, sebagaimana dilakukan sebagian saudara-saudara kita dari kalangan ahlul hadits.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/489)
‘Aisyah Bintu Thalhah
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
‘Aisyah bintu Thalhah bin ‘Ubaidillah Ummu ‘Imran Al-Madaniyah rahimahallah, putri salah seorang sahabat mulia yang dijanjikan dengan surga, Thalhah bin Ubaidillah z. Ibunya adalah putri Abu Bakr Ash-Shiddiq z, Ummu Kultsum. Dari pernikahan orang mulia, Thalhah dan Ummu Kultsum, terlahirlah Aisyah bintu Thalhah, seorang wanita Quraisy yang mulia di masanya.
Dia disunting oleh putra pamannya, Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shiddiq t. Namun ketetapan takdir Ilahi memisahkan dua insan ini. Abdullah mendahului sang istri kembali ke hadapan Penciptanya.
Sepeninggal suaminya, ‘Aisyah dipinang oleh Mush’ab bin Az-Zubair t yang kala itu menjabat sebagai gubernur ‘Iraq. Mush’ab memberikan mahar padanya sebesar seratus ribu dinar. Ternyata Mush’ab pun mendahuluinya menghadap Allah k.
‘Aisyah kemudian menikah dengan ‘Umar bin ‘Ubaidillah bin Ma’mar At-Taimi dengan mahar sejuta dirham.
‘Aisyah bintu Thalhah rahimahallah, seorang wanita yang turut menyebarkan ilmu. Dia meriwayatkan hadits dari bibinya, ‘Aisyah Ummul Mukminin x. Riwayatnya pun dinukil oleh orang-orang setelahnya.
Yahya bin Ma’in t menyatakan tentangnya, “Tsiqah, hujjah,” sebagai tanda bahwa dia wanita yang kokoh dan terpercaya dalam periwayatan. Sementara Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi t mengatakan, “Dia seorang wanita yang begitu mulia. Orang-orang meriwayatkan darinya karena berbagai keutamaan yang dimilikinya serta adabnya.”
Tahun 110 H, ‘Aisyah bintu Thalhah wafat di Madinah. Semoga Allah l meridhainya.
Sumber bacaan:
Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi (4/369-370)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/237-238)
‘Aisyah bintu Thalhah bin ‘Ubaidillah Ummu ‘Imran Al-Madaniyah rahimahallah, putri salah seorang sahabat mulia yang dijanjikan dengan surga, Thalhah bin Ubaidillah z. Ibunya adalah putri Abu Bakr Ash-Shiddiq z, Ummu Kultsum. Dari pernikahan orang mulia, Thalhah dan Ummu Kultsum, terlahirlah Aisyah bintu Thalhah, seorang wanita Quraisy yang mulia di masanya.
Dia disunting oleh putra pamannya, Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shiddiq t. Namun ketetapan takdir Ilahi memisahkan dua insan ini. Abdullah mendahului sang istri kembali ke hadapan Penciptanya.
Sepeninggal suaminya, ‘Aisyah dipinang oleh Mush’ab bin Az-Zubair t yang kala itu menjabat sebagai gubernur ‘Iraq. Mush’ab memberikan mahar padanya sebesar seratus ribu dinar. Ternyata Mush’ab pun mendahuluinya menghadap Allah k.
‘Aisyah kemudian menikah dengan ‘Umar bin ‘Ubaidillah bin Ma’mar At-Taimi dengan mahar sejuta dirham.
‘Aisyah bintu Thalhah rahimahallah, seorang wanita yang turut menyebarkan ilmu. Dia meriwayatkan hadits dari bibinya, ‘Aisyah Ummul Mukminin x. Riwayatnya pun dinukil oleh orang-orang setelahnya.
Yahya bin Ma’in t menyatakan tentangnya, “Tsiqah, hujjah,” sebagai tanda bahwa dia wanita yang kokoh dan terpercaya dalam periwayatan. Sementara Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi t mengatakan, “Dia seorang wanita yang begitu mulia. Orang-orang meriwayatkan darinya karena berbagai keutamaan yang dimilikinya serta adabnya.”
Tahun 110 H, ‘Aisyah bintu Thalhah wafat di Madinah. Semoga Allah l meridhainya.
Sumber bacaan:
Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi (4/369-370)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/237-238)
Belajar Menghormati Tetangga
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran)
Sesuatu yang tak dapat dihindari dalam hidup bermasyarakat adalah kehidupan bertetangga. Karena yang kita harapkan adalah hidup bermasyarakat dengan tenteram dan damai, tentunya kita juga harus hidup dengan tenteram dan damai bersama tetangga kita. Alangkah nyaman hidup bersama tetangga yang baik. Sebaliknya, alangkah sempitnya hidup bersama tetangga yang jelek, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah n, yang dinukil oleh Isma’il bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ؛ وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ: الْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ
“Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang: tetangga yang jelek, istri yang jelek, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1232 dan Al-Khathib dalam At-Tarikh 12/99. Al-Imam Al-Albani mengatakan dalam Ash-Shahihah no. 282: “Ini adalah sanad yang shahih menurut syarat Syaikhain/Al-Bukhari dan Muslim.”)
Di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga. Allah l berfirman:
“Dan sembahlah Allah, dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (An-Nisa’: 36)
Betapa pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Jibril u menekankan dalam wasiatnya kepada Nabi n. Ummul Mukminin ‘Aisyah x mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril selalu berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris.” (HR. Al-Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624)
Bahkan beliau n mengancam keras orang yang mengganggu tetangganya dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah z:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6016)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim no. 46)
Kita adalah sosok yang telah dewasa. Akal kita telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk menurut pandangan syariat, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Namun tidak demikian dengan anak-anak kita. Sehingga justru kadang gangguan terhadap tetangga datang dari ulah anak-anak kita. Mungkin dengan teriakan-teriakannya, mungkin dengan tingkah lakunya yang mengganggu, kurang adabnya mereka, dan sebagainya.
Untuk itu, semestinya kita mengajari mereka tentang adab-adab bertetangga, agar anak-anak kita pun mengerti bahwa tetangga adalah orang-orang yang harus dihormati dan dihargai, serta terlarang untuk disakiti.
Menjelaskan terlarangnya mengganggu tetangga
Memberi penjelasan kepada anak-anak tentang sesuatu yang harus dilakukan atau dihindari dalam agama merupakan suatu hal yang penting. Ini akan memberikan motivasi kepada si anak untuk menjalankannya. Karena itu, penting pula kita jelaskan kepada anak-anak bahwa Rasulullah n menyuruh kita untuk berbuat baik kepada tetangga kita. Beliau pun melarang kita mengganggu mereka, sebagaimana dalam sabda beliau di atas.
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t menjelaskan bahwa sabda beliau n itu menunjukkan haramnya memusuhi tetangga, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Dengan ucapan, artinya tetangga mendengar segala sesuatu yang mengganggu dan merisaukannya, seperti memutar radio, televisi, atau yang lainnya sehingga mengganggu tetangga. Ini tak boleh dilakukan. Memutar bacaan Kitabullah sekalipun, kalau suaranya mengganggu tetangga, maka ini termasuk sikap memusuhi tetangga, sehingga tak boleh dilakukan.
Adapun dengan perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu rumah tetangga, menyempitkan jalan masuk ke rumahnya, mengetuk-ngetuk pintunya, dan perbuatan lainnya yang memadharatkan tetangga. Termasuk pula jika dia memiliki tanaman di sekitar tembok tetangganya yang pengairannya mengganggu tetangga. Ini pun termasuk gangguan terhadap tetangga, sehingga tak boleh dilakukan.
Dengan demikian, diharamkan mengganggu tetangga dengan gangguan apapun. Kalau dia lakukan hal ini, maka dia bukanlah seorang mukmin. Maknanya, dia tidak bersifat dengan sifat-sifat kaum mukminin dalam permasalahan yang menyelisih kebenaran ini. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/203)
Perlu pula kita jelaskan pada anak-anak bahwa mengganggu tetangga bisa menjerumuskan seseorang ke neraka. Sebaliknya, berbuat baik kepada tetangga bisa mengantarkan seseorang ke surga. Abu Hurairah z menceritakan:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ n: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ، وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. قَالُوا: وَفُلاَنَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ وَتَصَدَّقُ بِأُثُوْرٍ (مِنَ الْأَقِطِ)، وَلاَ تُؤْذِي أَحَدًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Nabi pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, si Fulanah itu biasa shalat malam, puasa di siang hari, melakukan kebaikan demikian, dan bersedekah, tapi dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya.” Rasulullah n pun bersabda, “Dia tidak punya kebaikan. Dia termasuk penduduk neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Sementara si Fulanah (wanita yang lain) hanya menjalankan shalat wajib, bersedekah hanya dengan sepotong keju, tapi tak pernah mengganggu siapa pun.” Rasulullah menyatakan, “Dia termasuk penduduk surga.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 119, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 180 bahwa isnadnya shahih)
Memberikan makanan kepada tetangga
Kadang terjadi, anak-anak memakan makanan yang dibawa dari rumah di hadapan anak-anak tetangga tanpa membaginya. Mereka biarkan teman-temannya menatap penuh selera tanpa bisa merasakannya. Terkadang yang seperti ini jadi biang keributan, karena si teman merengek pada orangtuanya yang mungkin saja tak mampu membelikan makanan serupa dengan segera. Atau bahkan terjadi pertengkaran gara-gara si teman tak bisa menahan dirinya sehingga meminta dengan paksa.
Amatlah terpuji jika anak terbiasa membagi makanan dengan anak-anak tetangga. Begitu pula kita bisa melatih mereka untuk memberikan makanan yang kita miliki kepada tetangga.
Rasulullah n pernah memerintahkan hal ini kepada Abu Dzar Al-Ghifari z:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak makanan berkuah, perbanyak airnya, lalu bagi-bagikan ke tetanggamu!” (HR. Muslim no. 2625)
Demikian pula jika kita memiliki makanan lain selain makanan berkuah, minuman –seperti kelebihan susu perahan misalnya– dan sebagainya, maka selayaknya kita membaginya kepada para tetangga, karena ini adalah hak mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin 2/203)
Terlebih lagi jika tetangga kita dalam keadaan kekurangan dan kelaparan, mestinya kita lebih memerhatikannya. Ibnu ‘Abbas c pernah memberitahu Abdullah bin Az-Zubair c bahwa dia pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Bukanlah seseorang yang sempurna imannya orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 82)
Melarang anak-anak mengambil barang milik tetangga
Terkadang ada anak yang membawa mainan yang bukan miliknya sepulang dari bermain dengan anak tetangga. Setelah ditelusuri, dia mengambil mainan milik teman yang dia inginkan. Ada pula yang mengambil buah dari pohon tetangga tanpa seizin pemiliknya. Ini semua adalah contoh perilaku tak terpuji yang bisa terjadi pada anak-anak.
Karena itu, anak perlu disadarkan bahwa mengambil barang orang lain tanpa izin atau mencuri adalah suatu hal yang terlarang. Allah k dan Rasul-Nya n melarang keras akan hal ini. Lebih-lebih lagi mencuri milik tetangga, ini lebih besar lagi keharamannya.
Al-Miqdad ibnul Aswad z mengisahkan:
سَأَلَ رَسُوْلُ اللهِ n أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَا، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ، حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
Rasulullah n pernah bertanya kepada para sahabat beliau tentang zina. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda, “Seseorang berzina dengan sepuluh orang wanita lebih ringan daripada berzina dengan istri tetangganya.” Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat tentang mencuri. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh Allah k dan Rasul-Nya.” Lalu beliau menyatakan, “Seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan daripada mencuri dari rumah tetangganya.” (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 103, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 76)
Dengan mengajarkan adab-adab ini kepada anak-anak, diharapkan mereka tidak membuat berbagai ulah yang akan mengganggu atau bahkan merugikan tetangga. Begitu pula kita akan terjaga dari ancaman mengganggu tetangga, sekalipun gangguan itu bukan langsung berasal dari perbuatan kita melainkan dari tingkah polah anak-anak kita. Mudah-mudahan dengan itu kita dapat mewujudkan perintah Rasulullah n yang disampaikan oleh Abu Syuraih Al-Khuza’i z:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim no. 47)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sesuatu yang tak dapat dihindari dalam hidup bermasyarakat adalah kehidupan bertetangga. Karena yang kita harapkan adalah hidup bermasyarakat dengan tenteram dan damai, tentunya kita juga harus hidup dengan tenteram dan damai bersama tetangga kita. Alangkah nyaman hidup bersama tetangga yang baik. Sebaliknya, alangkah sempitnya hidup bersama tetangga yang jelek, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah n, yang dinukil oleh Isma’il bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ؛ وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ: الْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ
“Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang: tetangga yang jelek, istri yang jelek, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1232 dan Al-Khathib dalam At-Tarikh 12/99. Al-Imam Al-Albani mengatakan dalam Ash-Shahihah no. 282: “Ini adalah sanad yang shahih menurut syarat Syaikhain/Al-Bukhari dan Muslim.”)
Di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat baik kepada tetangga. Allah l berfirman:
“Dan sembahlah Allah, dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (An-Nisa’: 36)
Betapa pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Jibril u menekankan dalam wasiatnya kepada Nabi n. Ummul Mukminin ‘Aisyah x mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril selalu berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris.” (HR. Al-Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624)
Bahkan beliau n mengancam keras orang yang mengganggu tetangganya dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah z:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6016)
Dalam riwayat Al-Imam Muslim:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim no. 46)
Kita adalah sosok yang telah dewasa. Akal kita telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk menurut pandangan syariat, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Namun tidak demikian dengan anak-anak kita. Sehingga justru kadang gangguan terhadap tetangga datang dari ulah anak-anak kita. Mungkin dengan teriakan-teriakannya, mungkin dengan tingkah lakunya yang mengganggu, kurang adabnya mereka, dan sebagainya.
Untuk itu, semestinya kita mengajari mereka tentang adab-adab bertetangga, agar anak-anak kita pun mengerti bahwa tetangga adalah orang-orang yang harus dihormati dan dihargai, serta terlarang untuk disakiti.
Menjelaskan terlarangnya mengganggu tetangga
Memberi penjelasan kepada anak-anak tentang sesuatu yang harus dilakukan atau dihindari dalam agama merupakan suatu hal yang penting. Ini akan memberikan motivasi kepada si anak untuk menjalankannya. Karena itu, penting pula kita jelaskan kepada anak-anak bahwa Rasulullah n menyuruh kita untuk berbuat baik kepada tetangga kita. Beliau pun melarang kita mengganggu mereka, sebagaimana dalam sabda beliau di atas.
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t menjelaskan bahwa sabda beliau n itu menunjukkan haramnya memusuhi tetangga, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Dengan ucapan, artinya tetangga mendengar segala sesuatu yang mengganggu dan merisaukannya, seperti memutar radio, televisi, atau yang lainnya sehingga mengganggu tetangga. Ini tak boleh dilakukan. Memutar bacaan Kitabullah sekalipun, kalau suaranya mengganggu tetangga, maka ini termasuk sikap memusuhi tetangga, sehingga tak boleh dilakukan.
Adapun dengan perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu rumah tetangga, menyempitkan jalan masuk ke rumahnya, mengetuk-ngetuk pintunya, dan perbuatan lainnya yang memadharatkan tetangga. Termasuk pula jika dia memiliki tanaman di sekitar tembok tetangganya yang pengairannya mengganggu tetangga. Ini pun termasuk gangguan terhadap tetangga, sehingga tak boleh dilakukan.
Dengan demikian, diharamkan mengganggu tetangga dengan gangguan apapun. Kalau dia lakukan hal ini, maka dia bukanlah seorang mukmin. Maknanya, dia tidak bersifat dengan sifat-sifat kaum mukminin dalam permasalahan yang menyelisih kebenaran ini. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/203)
Perlu pula kita jelaskan pada anak-anak bahwa mengganggu tetangga bisa menjerumuskan seseorang ke neraka. Sebaliknya, berbuat baik kepada tetangga bisa mengantarkan seseorang ke surga. Abu Hurairah z menceritakan:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ n: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ، وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. قَالُوا: وَفُلاَنَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوْبَةَ وَتَصَدَّقُ بِأُثُوْرٍ (مِنَ الْأَقِطِ)، وَلاَ تُؤْذِي أَحَدًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Nabi pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, si Fulanah itu biasa shalat malam, puasa di siang hari, melakukan kebaikan demikian, dan bersedekah, tapi dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya.” Rasulullah n pun bersabda, “Dia tidak punya kebaikan. Dia termasuk penduduk neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Sementara si Fulanah (wanita yang lain) hanya menjalankan shalat wajib, bersedekah hanya dengan sepotong keju, tapi tak pernah mengganggu siapa pun.” Rasulullah menyatakan, “Dia termasuk penduduk surga.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 119, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 180 bahwa isnadnya shahih)
Memberikan makanan kepada tetangga
Kadang terjadi, anak-anak memakan makanan yang dibawa dari rumah di hadapan anak-anak tetangga tanpa membaginya. Mereka biarkan teman-temannya menatap penuh selera tanpa bisa merasakannya. Terkadang yang seperti ini jadi biang keributan, karena si teman merengek pada orangtuanya yang mungkin saja tak mampu membelikan makanan serupa dengan segera. Atau bahkan terjadi pertengkaran gara-gara si teman tak bisa menahan dirinya sehingga meminta dengan paksa.
Amatlah terpuji jika anak terbiasa membagi makanan dengan anak-anak tetangga. Begitu pula kita bisa melatih mereka untuk memberikan makanan yang kita miliki kepada tetangga.
Rasulullah n pernah memerintahkan hal ini kepada Abu Dzar Al-Ghifari z:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak makanan berkuah, perbanyak airnya, lalu bagi-bagikan ke tetanggamu!” (HR. Muslim no. 2625)
Demikian pula jika kita memiliki makanan lain selain makanan berkuah, minuman –seperti kelebihan susu perahan misalnya– dan sebagainya, maka selayaknya kita membaginya kepada para tetangga, karena ini adalah hak mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin 2/203)
Terlebih lagi jika tetangga kita dalam keadaan kekurangan dan kelaparan, mestinya kita lebih memerhatikannya. Ibnu ‘Abbas c pernah memberitahu Abdullah bin Az-Zubair c bahwa dia pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Bukanlah seseorang yang sempurna imannya orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 82)
Melarang anak-anak mengambil barang milik tetangga
Terkadang ada anak yang membawa mainan yang bukan miliknya sepulang dari bermain dengan anak tetangga. Setelah ditelusuri, dia mengambil mainan milik teman yang dia inginkan. Ada pula yang mengambil buah dari pohon tetangga tanpa seizin pemiliknya. Ini semua adalah contoh perilaku tak terpuji yang bisa terjadi pada anak-anak.
Karena itu, anak perlu disadarkan bahwa mengambil barang orang lain tanpa izin atau mencuri adalah suatu hal yang terlarang. Allah k dan Rasul-Nya n melarang keras akan hal ini. Lebih-lebih lagi mencuri milik tetangga, ini lebih besar lagi keharamannya.
Al-Miqdad ibnul Aswad z mengisahkan:
سَأَلَ رَسُوْلُ اللهِ n أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَا، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ، حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
Rasulullah n pernah bertanya kepada para sahabat beliau tentang zina. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda, “Seseorang berzina dengan sepuluh orang wanita lebih ringan daripada berzina dengan istri tetangganya.” Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat tentang mencuri. Para sahabat menjawab, “Haram, diharamkan oleh Allah k dan Rasul-Nya.” Lalu beliau menyatakan, “Seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan daripada mencuri dari rumah tetangganya.” (HR. Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 103, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 76)
Dengan mengajarkan adab-adab ini kepada anak-anak, diharapkan mereka tidak membuat berbagai ulah yang akan mengganggu atau bahkan merugikan tetangga. Begitu pula kita akan terjaga dari ancaman mengganggu tetangga, sekalipun gangguan itu bukan langsung berasal dari perbuatan kita melainkan dari tingkah polah anak-anak kita. Mudah-mudahan dengan itu kita dapat mewujudkan perintah Rasulullah n yang disampaikan oleh Abu Syuraih Al-Khuza’i z:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim no. 47)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Membentengi Rumah dari Setan
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Pada lembaran ini di edisi yang lalu kita telah membicarakan lima hal yang dapat dilakukan untuk membentengi rumah dari setan, yaitu:
1. Mengucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir
2. Berzikir kepada Allah l ketika makan dan minum
3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah
4. Membaca secara khusus surah Al-Baqarah dalam rumah
5. Banyak melakukan shalat sunnah/nafilah dalam rumah.
Berikut ini kelanjutan dari lima hal di atas:
Membersihkan rumah dari suara setan
Allah l berfirman dalam kalam-Nya yang agung:
“Hasunglah siapa yang engkau sanggupi dari kalangan mereka dengan suaramu.” (Al-Isra: 64)
Mujahid t menerangkan, suara setan adalah laghwi (ucapan sia-sia/main-main) dan nyanyian/lagu. (Tafsir Ath-Thabari, 8/108)
Sebuah hadits dari sahabat yang mulia, Abu Malik Al-Asy’ari z, mengingatkan kita bahwa nyanyian, musik berikut alatnya bukanlah perkara yang terpuji, namun lebih dekat kepada azab. Abu Malik z berkata: Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِن أُمَّتِي أَقوَامٌ يَستَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُم، يَأتِيهِم– يَعنِي الفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَينَا غَدًا. فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ أَخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ
“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Ada sekelompok orang yang tinggal di lereng puncak gunung. Setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir, ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya, Allah l azab mereka dengan ditimpakannya gunung tersebut kepada mereka atau diguncang dengan sekuat-kuatnya. Sementara yang selamat dari mereka, Allah l ubah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Musik dan lagu merupakan perkara yang jelas keharamannya1. Allah l mengingatkan:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan beroleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas c dan Abdullah bin Mas’ud z, juga pendapat Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah l merahmati mereka– ayat ini turun berkenaan dengan musik dan nyanyian. (lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani t, hal. 142-144)
Abdullah bin Mas’ud z sampai mengatakan, “Musik/nyanyian akan menumbuhsuburkan kemunafikan di dalam qalbu.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10)
Al-Imam Malik t ketika ditanya tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian, beliau menjawab, “Sungguh menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang fasik.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal t dalam Al-Amru bil Ma’ruf dan Ibnul Jauzi t dalam Talbis Iblis hal. 244 dengan sanad yang shahih)
Al-Imam Ath-Thabari t berkata, “Telah sepakat ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita haramnya nyanyian sebagai suara setan. Maka bila dalam sebuah rumah selalu disenandungkan lagu-lagu dan diputar musik, niscaya setan akan menempati rumah tersebut. Setan ini tentunya tidak sendiri. Ia akan memanggil bala tentaranya dari segala penjuru, lalu mereka menebarkan kerusakan dalam rumah tersebut serta membuat perselisihan serta perpecahan, kemarahan, dan kebencian di antara anggota-anggotanya. Karenanya, janganlah kita menjadikan rumah kita sebagai sarang setan, tempat mereka beranak-pinak.
Membuang lonceng dari rumah
Bila sekiranya di rumah kita ada lonceng-lonceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi n bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah z:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (HR. Muslim no. 5514)
Masih dari Abu Hurairah z, ia memberitakan sabda Rasulullah n:
لاَ تَصْحَبُ الْمَلاَئِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلاَ جَرَسٌ
“Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau lonceng (yang biasa dikalungkan di leher hewan, pen.).” (HR. Muslim no. 5512)
Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan.
Apa sebabnya para malaikat menjauhi lonceng? Ada yang mengatakan karena jaras/lonceng menyerupai naqus yang biasa dibunyikan di gereja. Ada pula yang berpandangan karena lonceng termasuk gantungan yang terlarang bila dipasang di leher. Ada juga yang berpendapat karena suara yang ditimbulkannya. Pendapat yang akhir ini diperkuat dengan riwayat:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-Minhaj 13/321)
Yang umum kita lihat, lonceng-lonceng itu digantungkan di leher hewan peliharaan. Dari lonceng tersebut keluarlah suara berirama bila hewan yang memakainya berjalan atau menggerak-gerakkan lehernya. Tentunya menggantung lonceng seperti ini dibenci dengan dalil hadits di atas.
Faedah
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menyatakan, dering yang terdengar dari jam sebagai pengingat waktu dan yang semisalnya, tidaklah masuk dalam pelarangan, karena lonceng itu tidak digantungkan di leher hewan peliharaan dan suaranya keluar hanya di waktu-waktu tertentu sebagai pengingat. Demikian pula bel rumah yang biasa dipasang di pintu rumah, tidak masuk dalam larangan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338)
Ada faedah penting yang juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam kitab yang sama, kita bawakan di sini sebagai tambahan ilmu. Asy-Syaikh t mengingatkan tentang adanya sebagian telepon, ketika tersambung dengan nomor yang dituju namun masih menanti orang yang dituju karena sedang tidak ada di tempat (masih dipanggilkan misalnya, pen.) didapatkan adanya pesan: “Tunggulah beberapa saat, dengarkanlah terlebih dahulu musik ini!” Hal ini jelas haram karena musik hukumnya haram. Akan tetapi bila seseorang tidak mampu menghubungi orang yang diinginkan kecuali sebelumnya terdengar sambungan suara musik maka dosanya ditanggung oleh orang yang menginginkan musik tadi sebagai nada tunggu untuk nomor teleponnya. Hanya saja, kalau bisa disampaikan nasihat kepada yang bersangkutan maka disampaikan hingga musik tidak lagi menjadi nada tunggu, sekadar pesan, “Tunggulah beberapa saat!” Setelah itu diam, tidak ada suara lain, sampai akhirnya orang yang dituju berbicara.
Ada sebagian orang menjadikan bacaan Al-Qur’an sebagai nada tunggu atau nada sambung, di mana saat terhubung dengan nomor yang dituju terdengar lantunan beberapa ayat Al-Qur’an. Ketahuilah, perbuatan seperti ini justru merendahkan nilai Kalamullah, walaupun yang melakukannya tidak bermaksud demikian. Al-Qur’an turun kepada kita untuk sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung daripada hal tersebut. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki qalbu dan amalan-amalan. Al-Qur’an tidak turun untuk dijadikan nada tunggu pada telepon dan selainnya. Selain itu, terkadang yang menghubungi kita bukanlah orang yang mengagungkan Al-Qur’an, tidak perhatian terhadapnya dan terasa berat baginya mendengar sesuatu dari Kitabullah. Terkadang juga yang menghubungi kita seorang Nasrani, seorang kafir, atau seorang Yahudi. Ia dengar Al-Qur’an tersebut lalu ia menyangka itu adalah nyanyian, karena ia tidak kenal dengan Al-Qur’an, apalagi bila ia bukan orang Arab yang mengerti bahasa Arab. Dengan begitu tidaklah diragukan, perbuatan demikian justru merendahkan Al-Qur’an. Karenanya, kepada orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nada tunggu dinasihatkan: bertakwalah engkau kepada Allah l! Kalamullah itu lebih mulia untuk dijadikan sebagai nada tunggu!
Adapun kata-kata hikmah yang ada riwayatnya atau hadits yang ada riwayatnya dari Nabi n tidaklah terlarang dipakai sebagai nada tunggu, seperti hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu.”2
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرضِهِ
“Siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”3 Wallahu ta’ala a’lam. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338-339)
Tidak menempatkan gambar dan patung di dalam rumah
Gambar dan patung yang dimaksudkan di sini adalah yang berupa/berbentuk makhluk bernyawa (hewan dan manusia)4. Gambar dan patung seperti ini harus disingkirkan dari rumah, terkecuali boneka untuk mainan anak perempuan, demikian kata Al-Qadhi t. (Al-Minhaj, 14/308)
Namun boneka ini tidak boleh dalam bentuk yang detail, sebagaimana jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t ketika ditanya tentang masalah ini. (lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh, no. 329, 2/227-278)5
Makhluk Allah l yang mulia, para malaikat, tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung. Sementara seperti yang telah kita katakan, bila para malaikat keluar dari rumah, niscaya yang bersarang di dalam rumah tersebut adalah para setan karena rumah itu adalah rumah yang buruk.
Aisyah x pernah membeli namruqah6 yang bergambar (makhluk hidup). Ketika Rasulullah n melihat namruqah tersebut beliau hanya berdiri di depan pintu, enggan untuk masuk ke dalam rumah. Aisyah x pun mengetahui ketidaksukaan tampak pada wajah beliau. Aisyah x berucap:
أَتُوبُ إِلَى اللهِ، مَاذَا أَذنَبْتُ؟ قَالَ: مَا هَذِهِ النَّمْرُقَةُ؟ قُلتُ: لِتَجْلِسَ عَلَيْهَا وَتَوَسَدَّهَا. قَالَ: إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَومَ الْقِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقتُمْ؛ وَإِنَّ الْمَلاَئِكِةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّوَرةُ
“Aku bertaubat kepada Allah, apa gerangan dosa yang kuperbuat?” Rasulullah menjawab, “Untuk apa namruqah ini?” “Aku membelinya agar engkau bisa duduk di atasnya serta menjadikannya sebagai sandaran,” jawab Aisyah. Rasulullah kemudian memberikan penjelasan, “Sungguh pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka, ’Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan’ dan sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar (bernyawa) tidak akan dimasuki para malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5957 dan Muslim no. 5499)
Abu Hurairah z berkata dari Rasulullah n:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ
“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslim no. 5511)
Tidak memelihara anjing atau membiarkan anjing masuk ke dalam rumah
Abu Thalhah z menyampaikan sabda Rasul yang mulia n:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.” (HR. Al-Bukhari no. 3225 dan Muslim no. 5481)
Aisyah x mengisahkan:
وَاعَدَ رَسُولَ اللهِ n جِبرِيلُ فِي سَاعَةٍ يَأتِيهَا فِيهَا، فَجَاءَتْ تِلْكَ السَّاعَةُ وَلَمْ يَأتِهِ، وَفِي يَدِهِ عَصًا فَأَلقَاهَا مِنْ يَدِهِ وَقَالَ: مَا يُخلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلاَ رُسُلُهُ. ثُمَّ الْتَفَتَ فَإِذَا جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ سَرِيرٍ، فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ، مَتَى دَخَلَ هَذَا الْكَلْبُ هَهُنَا؟ فَقَالَتْ: مَا دَرَيتُ. فَأَمَرَ بِهِ فَأُخرِجَ فَجَاءَ جِبْرِيلُ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ :nوَاعَدْتَنِي فَجَلَسْتُ لَكَ فَلَمْ تَأتِ. فَقَالَ: مَنَعَنِي الْكَلْبُ الَّذِي كَانَ فِي بَيْتِكَ، إِناَّ لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
Jibril berjanji kepada Rasulullah n untuk mendatangi beliau di suatu waktu. Maka tibalah waktu tersebut namun ternyata Jibril tak kunjung datang menemui beliau. Ketika itu di tangan beliau ada sebuah tongkat, beliau melemparkan tongkat tersebut dari tangan beliau seraya berkata, “Allah dan para utusannya tidak akan menyelisihi janjinya.” Beliau lalu menoleh dan ternyata di bawah tempat tidur ada seekor anjing kecil. Beliau berkata, “Ya Aisyah, kapan anjing itu masuk ke sini?” “Saya tidak tahu,” jawab Aisyah. Beliau lalu menyuruh anjing itu dikeluarkan. Setelah itu datang Jibril. Rasulullah n berkata, “Engkau berjanji kepadaku untuk datang di waktu tadi, aku pun duduk menantimu namun ternyata engkau tidak kunjung datang.” Jibril memberi alasan, “Anjing yang tadi berada dalam rumahmu mencegahku untuk masuk karena sungguh kami tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan tidak pula masuk ke rumah yang ada gambar.” (HR. Muslim no. 5478)
Dengan demikian, haram bagi seorang muslim memelihara anjing7 tanpa ada kebutuhan, terkecuali anjing untuk berburu, anjing penjaga kebun, atau penjaga hewan ternak/peliharaan, sebagaimana pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar c yang akan datang penyebutannya.
Apakah boleh memelihara anjing untuk menjaga rumah? Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Satu pendapat mengatakan tidak boleh sesuai zhahir hadits yang ada. Namun pendapat yang paling shahih menurut Al-Imam An-Nawawi t adalah boleh dikarenakan ada kebutuhan, wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 10/480)
Barangsiapa memelihara anjing tanpa kebutuhan maka ia terkena ancaman hadits Ibnu Umar c berikut ini. Rasulullah n bersabda:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَطاَنِ
“Siapa yang memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing berburu berkurang dua qirath pahala amalannya setiap hari.” (HR. Al-Bukhari no. 5482 dan Muslim no. 3999)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menyatakan, anjing itu memiliki beragam warna, namun khusus anjing berwarna hitam dinyatakan Rasulullah n sebagai setan ketika dipertanyakan kepada beliau, “Apa bedanya anjing merah atau anjing putih dengan anjing hitam?” Beliau menjawab:
الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيطَانٌ
“Anjing hitam adalah setan.”
Anjing hitam ini bila lewat di hadapan orang yang sedang shalat akan memutus shalat orang tersebut sehingga ia harus mengulangi shalatnya dari awal. Demikian pula bila anjing ini lewat di antara orang yang shalat dan sutrahnya.
Mayoritas ulama berpendapat, anjing hitam tidak boleh dijadikan anjing pemburu karena anjing ini setan, walaupun ia telah diajari dan ketika dilepas untuk berburu pemiliknya telah mengucapkan basmalah. Sebagaimana orang kafir dari kalangan bani Adam yang tidak halal bagi kita memakan hewan buruannya, terkecuali bila ia seorang Yahudi atau Nasrani, demikian pula setan berupa anjing tidak sah buruannya.
Adapun anjing selain warna hitam tidaklah membatalkan shalat dan boleh dijadikan hewan pemburu sesuai syarat-syarat yang diterangkan para ulama.
Sementara memelihara anjing tanpa kebutuhan hukumnya haram termasuk dosa besar. Sebagai hukumannya, orang yang memelihara anjing itu dikurangi pahala amalannya setiap hari sebesar dua qirath. Satu qirath sendiri kata Rasulullah n adalah semisal gunung Uhud. Dikecualikan dari pengharaman ini adalah bila anjing itu dipelihara untuk dijadikan hewan pemburu atau penjaga ladang agar tidak dirusak oleh hewan-hewan ternak, atau anjing itu dipelihara sebagai penjaga ternak, baik berupa unta, kambing, ataupun sapi. Sehingga ternak-ternak ini terjaga dari serigala ataupun dari pencuri. Anjing bisa pula dimanfaatkan untuk menjaga harta, misalnya seseorang memiliki harta di satu tempat dan tidak ada penjaga keamanan (seperti satpam) di tempat tersebut, lalu ia memanfaatkan anjing sebagai penjaga hartanya. Hal ini dibolehkan. Adapun selain kepentingan yang telah disebutkan maka hukumnya haram.
Termasuk hikmah Allah l, Dia jadikan yang buruk itu untuk yang buruk dan yang jelek untuk yang jelek. Orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan atheis di negeri timur ataupun barat, biasa memelihara anjing yang mereka rawat sedemikian rupa dengan penuh kasih sayang. Demikianlah Allah l jadikan orang-orang yang buruk dan jelek tersebut menyayangi hewan yang buruk… (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/334-336)
Hendaklah peringatan yang seperti ini menjadi perhatian kita. Karena ada di antara keluarga muslim, yang mungkin mereka jahil (tidak tahu) atau bersikap masa bodoh atau sok meniru orang Barat, memelihara anjing di rumah mereka sebagai hewan kesayangan keluarga. Anjing tadi bebas keluar masuk ke rumah tuannya. Bahkan masuk ke kamar dan ikut tidur di tempat tidur tuannya. Anjing itu pun biasa menjilati bejana/wadah makan dan minum mereka, sementara pemiliknya tiada perhatian akan hal ini. Padahal bejana/wadah tadi ternajisi karenanya dengan najis yang berat sehingga pembasuhannya harus sampai tujuh kali, salah satunya dengan tanah, sebagaimana datang pengajarannya dari As-Sunnah yang shahihah8.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (insya Allah bersambung)
1 Lihat pembahasan lebih detail tentang musik dan lagu dalam rubrik Kajian Utama Majalah Asy-Syariah edisi 40.
2 Hadits shahih riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, dishahihkan dalam Al-Irwa’.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim.
4 Pembahasan tentang hukum gambar bernyawa pernah dimuat secara bersambung dalam majalah Asy-Syariah edisi 21, 22, dan 23.
5 Lihat kembali fatwa tentang boneka yang pernah dimuat dalam majalah Asy-Syariah edisi 23, pada rubrik Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah.
6 Namruqah adalah bantal-bantal yang dijejer berdekatan satu dengan lainnya, atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478)
7 Pernah datang larangan Rasulullah n untuk membunuh semua anjing kecuali anjing berburu atau anjing penjaga kambing/ternak. Namun kemudian larangan tadi mansukh (dihapus), sehingga semua anjing tidak boleh dibunuh, kecuali anjing yang berwarna murni hitam dan punya dua titik putih di atas kedua matanya. Sebagaimana hal disebutkan antara lain dalam hadits berikut ini:
Jabir ibnu Abdillah c berkata, “Rasulullah n memerintahkan kami membunuh anjing-anjing, sampai ada seorang wanita datang dari dusun membawa anjingnya kami pun membunuh anjingnya. Kemudian setelahnya Nabi n melarang membunuh anjing… ” (HR. Muslim no. 3996)
8 Yaitu hadits Rasulullah:
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَن يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابٌِ
“Sucinya bejana salah seorang kalian bila dijilati (bagian dalamnya) oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, cucian pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim)
Dalam satu lafadz ada tambahan:
فَلْيُرِقْهُ
“Tuanglah airnya ke tanah.”
Maksudnya sebelum bejana tadi dicuci, hendaknya air yang ada di dalamnya dituang/dibuang.
Pada lembaran ini di edisi yang lalu kita telah membicarakan lima hal yang dapat dilakukan untuk membentengi rumah dari setan, yaitu:
1. Mengucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir
2. Berzikir kepada Allah l ketika makan dan minum
3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah
4. Membaca secara khusus surah Al-Baqarah dalam rumah
5. Banyak melakukan shalat sunnah/nafilah dalam rumah.
Berikut ini kelanjutan dari lima hal di atas:
Membersihkan rumah dari suara setan
Allah l berfirman dalam kalam-Nya yang agung:
“Hasunglah siapa yang engkau sanggupi dari kalangan mereka dengan suaramu.” (Al-Isra: 64)
Mujahid t menerangkan, suara setan adalah laghwi (ucapan sia-sia/main-main) dan nyanyian/lagu. (Tafsir Ath-Thabari, 8/108)
Sebuah hadits dari sahabat yang mulia, Abu Malik Al-Asy’ari z, mengingatkan kita bahwa nyanyian, musik berikut alatnya bukanlah perkara yang terpuji, namun lebih dekat kepada azab. Abu Malik z berkata: Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِن أُمَّتِي أَقوَامٌ يَستَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُم، يَأتِيهِم– يَعنِي الفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَينَا غَدًا. فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ أَخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ
“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Ada sekelompok orang yang tinggal di lereng puncak gunung. Setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir, ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya, Allah l azab mereka dengan ditimpakannya gunung tersebut kepada mereka atau diguncang dengan sekuat-kuatnya. Sementara yang selamat dari mereka, Allah l ubah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Musik dan lagu merupakan perkara yang jelas keharamannya1. Allah l mengingatkan:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan beroleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas c dan Abdullah bin Mas’ud z, juga pendapat Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah l merahmati mereka– ayat ini turun berkenaan dengan musik dan nyanyian. (lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani t, hal. 142-144)
Abdullah bin Mas’ud z sampai mengatakan, “Musik/nyanyian akan menumbuhsuburkan kemunafikan di dalam qalbu.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10)
Al-Imam Malik t ketika ditanya tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian, beliau menjawab, “Sungguh menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang fasik.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal t dalam Al-Amru bil Ma’ruf dan Ibnul Jauzi t dalam Talbis Iblis hal. 244 dengan sanad yang shahih)
Al-Imam Ath-Thabari t berkata, “Telah sepakat ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita haramnya nyanyian sebagai suara setan. Maka bila dalam sebuah rumah selalu disenandungkan lagu-lagu dan diputar musik, niscaya setan akan menempati rumah tersebut. Setan ini tentunya tidak sendiri. Ia akan memanggil bala tentaranya dari segala penjuru, lalu mereka menebarkan kerusakan dalam rumah tersebut serta membuat perselisihan serta perpecahan, kemarahan, dan kebencian di antara anggota-anggotanya. Karenanya, janganlah kita menjadikan rumah kita sebagai sarang setan, tempat mereka beranak-pinak.
Membuang lonceng dari rumah
Bila sekiranya di rumah kita ada lonceng-lonceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi n bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah z:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (HR. Muslim no. 5514)
Masih dari Abu Hurairah z, ia memberitakan sabda Rasulullah n:
لاَ تَصْحَبُ الْمَلاَئِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلاَ جَرَسٌ
“Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau lonceng (yang biasa dikalungkan di leher hewan, pen.).” (HR. Muslim no. 5512)
Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan.
Apa sebabnya para malaikat menjauhi lonceng? Ada yang mengatakan karena jaras/lonceng menyerupai naqus yang biasa dibunyikan di gereja. Ada pula yang berpandangan karena lonceng termasuk gantungan yang terlarang bila dipasang di leher. Ada juga yang berpendapat karena suara yang ditimbulkannya. Pendapat yang akhir ini diperkuat dengan riwayat:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
“Lonceng itu adalah seruling setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-Minhaj 13/321)
Yang umum kita lihat, lonceng-lonceng itu digantungkan di leher hewan peliharaan. Dari lonceng tersebut keluarlah suara berirama bila hewan yang memakainya berjalan atau menggerak-gerakkan lehernya. Tentunya menggantung lonceng seperti ini dibenci dengan dalil hadits di atas.
Faedah
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menyatakan, dering yang terdengar dari jam sebagai pengingat waktu dan yang semisalnya, tidaklah masuk dalam pelarangan, karena lonceng itu tidak digantungkan di leher hewan peliharaan dan suaranya keluar hanya di waktu-waktu tertentu sebagai pengingat. Demikian pula bel rumah yang biasa dipasang di pintu rumah, tidak masuk dalam larangan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338)
Ada faedah penting yang juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t dalam kitab yang sama, kita bawakan di sini sebagai tambahan ilmu. Asy-Syaikh t mengingatkan tentang adanya sebagian telepon, ketika tersambung dengan nomor yang dituju namun masih menanti orang yang dituju karena sedang tidak ada di tempat (masih dipanggilkan misalnya, pen.) didapatkan adanya pesan: “Tunggulah beberapa saat, dengarkanlah terlebih dahulu musik ini!” Hal ini jelas haram karena musik hukumnya haram. Akan tetapi bila seseorang tidak mampu menghubungi orang yang diinginkan kecuali sebelumnya terdengar sambungan suara musik maka dosanya ditanggung oleh orang yang menginginkan musik tadi sebagai nada tunggu untuk nomor teleponnya. Hanya saja, kalau bisa disampaikan nasihat kepada yang bersangkutan maka disampaikan hingga musik tidak lagi menjadi nada tunggu, sekadar pesan, “Tunggulah beberapa saat!” Setelah itu diam, tidak ada suara lain, sampai akhirnya orang yang dituju berbicara.
Ada sebagian orang menjadikan bacaan Al-Qur’an sebagai nada tunggu atau nada sambung, di mana saat terhubung dengan nomor yang dituju terdengar lantunan beberapa ayat Al-Qur’an. Ketahuilah, perbuatan seperti ini justru merendahkan nilai Kalamullah, walaupun yang melakukannya tidak bermaksud demikian. Al-Qur’an turun kepada kita untuk sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung daripada hal tersebut. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki qalbu dan amalan-amalan. Al-Qur’an tidak turun untuk dijadikan nada tunggu pada telepon dan selainnya. Selain itu, terkadang yang menghubungi kita bukanlah orang yang mengagungkan Al-Qur’an, tidak perhatian terhadapnya dan terasa berat baginya mendengar sesuatu dari Kitabullah. Terkadang juga yang menghubungi kita seorang Nasrani, seorang kafir, atau seorang Yahudi. Ia dengar Al-Qur’an tersebut lalu ia menyangka itu adalah nyanyian, karena ia tidak kenal dengan Al-Qur’an, apalagi bila ia bukan orang Arab yang mengerti bahasa Arab. Dengan begitu tidaklah diragukan, perbuatan demikian justru merendahkan Al-Qur’an. Karenanya, kepada orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nada tunggu dinasihatkan: bertakwalah engkau kepada Allah l! Kalamullah itu lebih mulia untuk dijadikan sebagai nada tunggu!
Adapun kata-kata hikmah yang ada riwayatnya atau hadits yang ada riwayatnya dari Nabi n tidaklah terlarang dipakai sebagai nada tunggu, seperti hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu.”2
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرضِهِ
“Siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”3 Wallahu ta’ala a’lam. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338-339)
Tidak menempatkan gambar dan patung di dalam rumah
Gambar dan patung yang dimaksudkan di sini adalah yang berupa/berbentuk makhluk bernyawa (hewan dan manusia)4. Gambar dan patung seperti ini harus disingkirkan dari rumah, terkecuali boneka untuk mainan anak perempuan, demikian kata Al-Qadhi t. (Al-Minhaj, 14/308)
Namun boneka ini tidak boleh dalam bentuk yang detail, sebagaimana jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t ketika ditanya tentang masalah ini. (lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh, no. 329, 2/227-278)5
Makhluk Allah l yang mulia, para malaikat, tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung. Sementara seperti yang telah kita katakan, bila para malaikat keluar dari rumah, niscaya yang bersarang di dalam rumah tersebut adalah para setan karena rumah itu adalah rumah yang buruk.
Aisyah x pernah membeli namruqah6 yang bergambar (makhluk hidup). Ketika Rasulullah n melihat namruqah tersebut beliau hanya berdiri di depan pintu, enggan untuk masuk ke dalam rumah. Aisyah x pun mengetahui ketidaksukaan tampak pada wajah beliau. Aisyah x berucap:
أَتُوبُ إِلَى اللهِ، مَاذَا أَذنَبْتُ؟ قَالَ: مَا هَذِهِ النَّمْرُقَةُ؟ قُلتُ: لِتَجْلِسَ عَلَيْهَا وَتَوَسَدَّهَا. قَالَ: إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَومَ الْقِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقتُمْ؛ وَإِنَّ الْمَلاَئِكِةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّوَرةُ
“Aku bertaubat kepada Allah, apa gerangan dosa yang kuperbuat?” Rasulullah menjawab, “Untuk apa namruqah ini?” “Aku membelinya agar engkau bisa duduk di atasnya serta menjadikannya sebagai sandaran,” jawab Aisyah. Rasulullah kemudian memberikan penjelasan, “Sungguh pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka, ’Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan’ dan sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar (bernyawa) tidak akan dimasuki para malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5957 dan Muslim no. 5499)
Abu Hurairah z berkata dari Rasulullah n:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ
“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslim no. 5511)
Tidak memelihara anjing atau membiarkan anjing masuk ke dalam rumah
Abu Thalhah z menyampaikan sabda Rasul yang mulia n:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.” (HR. Al-Bukhari no. 3225 dan Muslim no. 5481)
Aisyah x mengisahkan:
وَاعَدَ رَسُولَ اللهِ n جِبرِيلُ فِي سَاعَةٍ يَأتِيهَا فِيهَا، فَجَاءَتْ تِلْكَ السَّاعَةُ وَلَمْ يَأتِهِ، وَفِي يَدِهِ عَصًا فَأَلقَاهَا مِنْ يَدِهِ وَقَالَ: مَا يُخلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلاَ رُسُلُهُ. ثُمَّ الْتَفَتَ فَإِذَا جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ سَرِيرٍ، فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ، مَتَى دَخَلَ هَذَا الْكَلْبُ هَهُنَا؟ فَقَالَتْ: مَا دَرَيتُ. فَأَمَرَ بِهِ فَأُخرِجَ فَجَاءَ جِبْرِيلُ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ :nوَاعَدْتَنِي فَجَلَسْتُ لَكَ فَلَمْ تَأتِ. فَقَالَ: مَنَعَنِي الْكَلْبُ الَّذِي كَانَ فِي بَيْتِكَ، إِناَّ لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
Jibril berjanji kepada Rasulullah n untuk mendatangi beliau di suatu waktu. Maka tibalah waktu tersebut namun ternyata Jibril tak kunjung datang menemui beliau. Ketika itu di tangan beliau ada sebuah tongkat, beliau melemparkan tongkat tersebut dari tangan beliau seraya berkata, “Allah dan para utusannya tidak akan menyelisihi janjinya.” Beliau lalu menoleh dan ternyata di bawah tempat tidur ada seekor anjing kecil. Beliau berkata, “Ya Aisyah, kapan anjing itu masuk ke sini?” “Saya tidak tahu,” jawab Aisyah. Beliau lalu menyuruh anjing itu dikeluarkan. Setelah itu datang Jibril. Rasulullah n berkata, “Engkau berjanji kepadaku untuk datang di waktu tadi, aku pun duduk menantimu namun ternyata engkau tidak kunjung datang.” Jibril memberi alasan, “Anjing yang tadi berada dalam rumahmu mencegahku untuk masuk karena sungguh kami tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan tidak pula masuk ke rumah yang ada gambar.” (HR. Muslim no. 5478)
Dengan demikian, haram bagi seorang muslim memelihara anjing7 tanpa ada kebutuhan, terkecuali anjing untuk berburu, anjing penjaga kebun, atau penjaga hewan ternak/peliharaan, sebagaimana pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar c yang akan datang penyebutannya.
Apakah boleh memelihara anjing untuk menjaga rumah? Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Satu pendapat mengatakan tidak boleh sesuai zhahir hadits yang ada. Namun pendapat yang paling shahih menurut Al-Imam An-Nawawi t adalah boleh dikarenakan ada kebutuhan, wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 10/480)
Barangsiapa memelihara anjing tanpa kebutuhan maka ia terkena ancaman hadits Ibnu Umar c berikut ini. Rasulullah n bersabda:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَطاَنِ
“Siapa yang memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing berburu berkurang dua qirath pahala amalannya setiap hari.” (HR. Al-Bukhari no. 5482 dan Muslim no. 3999)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menyatakan, anjing itu memiliki beragam warna, namun khusus anjing berwarna hitam dinyatakan Rasulullah n sebagai setan ketika dipertanyakan kepada beliau, “Apa bedanya anjing merah atau anjing putih dengan anjing hitam?” Beliau menjawab:
الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيطَانٌ
“Anjing hitam adalah setan.”
Anjing hitam ini bila lewat di hadapan orang yang sedang shalat akan memutus shalat orang tersebut sehingga ia harus mengulangi shalatnya dari awal. Demikian pula bila anjing ini lewat di antara orang yang shalat dan sutrahnya.
Mayoritas ulama berpendapat, anjing hitam tidak boleh dijadikan anjing pemburu karena anjing ini setan, walaupun ia telah diajari dan ketika dilepas untuk berburu pemiliknya telah mengucapkan basmalah. Sebagaimana orang kafir dari kalangan bani Adam yang tidak halal bagi kita memakan hewan buruannya, terkecuali bila ia seorang Yahudi atau Nasrani, demikian pula setan berupa anjing tidak sah buruannya.
Adapun anjing selain warna hitam tidaklah membatalkan shalat dan boleh dijadikan hewan pemburu sesuai syarat-syarat yang diterangkan para ulama.
Sementara memelihara anjing tanpa kebutuhan hukumnya haram termasuk dosa besar. Sebagai hukumannya, orang yang memelihara anjing itu dikurangi pahala amalannya setiap hari sebesar dua qirath. Satu qirath sendiri kata Rasulullah n adalah semisal gunung Uhud. Dikecualikan dari pengharaman ini adalah bila anjing itu dipelihara untuk dijadikan hewan pemburu atau penjaga ladang agar tidak dirusak oleh hewan-hewan ternak, atau anjing itu dipelihara sebagai penjaga ternak, baik berupa unta, kambing, ataupun sapi. Sehingga ternak-ternak ini terjaga dari serigala ataupun dari pencuri. Anjing bisa pula dimanfaatkan untuk menjaga harta, misalnya seseorang memiliki harta di satu tempat dan tidak ada penjaga keamanan (seperti satpam) di tempat tersebut, lalu ia memanfaatkan anjing sebagai penjaga hartanya. Hal ini dibolehkan. Adapun selain kepentingan yang telah disebutkan maka hukumnya haram.
Termasuk hikmah Allah l, Dia jadikan yang buruk itu untuk yang buruk dan yang jelek untuk yang jelek. Orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan atheis di negeri timur ataupun barat, biasa memelihara anjing yang mereka rawat sedemikian rupa dengan penuh kasih sayang. Demikianlah Allah l jadikan orang-orang yang buruk dan jelek tersebut menyayangi hewan yang buruk… (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/334-336)
Hendaklah peringatan yang seperti ini menjadi perhatian kita. Karena ada di antara keluarga muslim, yang mungkin mereka jahil (tidak tahu) atau bersikap masa bodoh atau sok meniru orang Barat, memelihara anjing di rumah mereka sebagai hewan kesayangan keluarga. Anjing tadi bebas keluar masuk ke rumah tuannya. Bahkan masuk ke kamar dan ikut tidur di tempat tidur tuannya. Anjing itu pun biasa menjilati bejana/wadah makan dan minum mereka, sementara pemiliknya tiada perhatian akan hal ini. Padahal bejana/wadah tadi ternajisi karenanya dengan najis yang berat sehingga pembasuhannya harus sampai tujuh kali, salah satunya dengan tanah, sebagaimana datang pengajarannya dari As-Sunnah yang shahihah8.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (insya Allah bersambung)
1 Lihat pembahasan lebih detail tentang musik dan lagu dalam rubrik Kajian Utama Majalah Asy-Syariah edisi 40.
2 Hadits shahih riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, dishahihkan dalam Al-Irwa’.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim.
4 Pembahasan tentang hukum gambar bernyawa pernah dimuat secara bersambung dalam majalah Asy-Syariah edisi 21, 22, dan 23.
5 Lihat kembali fatwa tentang boneka yang pernah dimuat dalam majalah Asy-Syariah edisi 23, pada rubrik Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah.
6 Namruqah adalah bantal-bantal yang dijejer berdekatan satu dengan lainnya, atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478)
7 Pernah datang larangan Rasulullah n untuk membunuh semua anjing kecuali anjing berburu atau anjing penjaga kambing/ternak. Namun kemudian larangan tadi mansukh (dihapus), sehingga semua anjing tidak boleh dibunuh, kecuali anjing yang berwarna murni hitam dan punya dua titik putih di atas kedua matanya. Sebagaimana hal disebutkan antara lain dalam hadits berikut ini:
Jabir ibnu Abdillah c berkata, “Rasulullah n memerintahkan kami membunuh anjing-anjing, sampai ada seorang wanita datang dari dusun membawa anjingnya kami pun membunuh anjingnya. Kemudian setelahnya Nabi n melarang membunuh anjing… ” (HR. Muslim no. 3996)
8 Yaitu hadits Rasulullah:
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَن يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابٌِ
“Sucinya bejana salah seorang kalian bila dijilati (bagian dalamnya) oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, cucian pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim)
Dalam satu lafadz ada tambahan:
فَلْيُرِقْهُ
“Tuanglah airnya ke tanah.”
Maksudnya sebelum bejana tadi dicuci, hendaknya air yang ada di dalamnya dituang/dibuang.
Hukum Onani
Apa hukum onani/masturbasi bagi pria dan wanita?
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah l.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i t, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad t. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud z:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin t berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul n bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah n akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr c:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah n untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad t memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani t dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi n), yaitu sabda Nabi n kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah l membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz t dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah l. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah l.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i t, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad t. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud z:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin t berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul n bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah n akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr c:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah n untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad t memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani t dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi n), yaitu sabda Nabi n kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah l membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz t dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah l. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.

Sifat Shalat Nabi (2)
Tidak mendahului imam dalam bertakbir
Bila seseorang shalat di belakang imam, janganlah mendahului imam dalam bertakbir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makmum mendahului imamnya. Seperti dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Hanyalah imam itu dijadikan untuk
diikuti. Maka bila ia bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan kalian
bertakbir hingga ia bertakbir. Bila ia ruku’ maka ruku’lah kalian dan
jangan kalian ruku’ sampai ia ruku’ …” (HR. Abu Dawud no. 603,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Mengangkat tangan
Mengangkat kedua tangan ketika memulai shalat merupakan perkara yang disyariatkan, bahkan perkara yang disepakati (ijma’). (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296)
Telah dinukilkan pernyataan ijma’ ini oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnus Subki. (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama’ 2/6, Nailul Authar 2/11)
Akan tetapi, telah dinukilkan dari Al-Imam Malik rahimahullah
riwayat tidak mengangkat tangan sama sekali. Namun demikian, dikatakan
oleh Al- Imam Zainuddin Abul Fadhl Al-‘Iraqi dalam Tharhut Tatsrib
(2/446) bahwa riwayat ini syadz (ganjil). Demikian pula Al-Imam Ibnu
Rajab rahimahullah menafikannya dan menyatakan bahwa
periwayatan tersebut nampaknya tidak benar dari Malik, karena hadits
mengangkat tangan adalah hadits yang disepakati keshahihannya dan tidak
didapati celaan seorang pun terhadap perawinya. (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296)
Namun demikian para ulama berselisih,
apakah hukumnya wajib atau mustahab. Sebagian besar ahlul ilmi, yakni
jumhur dan termasuk dalam hal ini imam yang empat, mengatakan hukumnya
sunnah (Subulus Salam 2/169). Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan perkara tersebut sebagaimana dalam hadits al-musi’i shalatahu di atas. Beliau hanya mengajarkan takbir saja. Seandainya mengangkat tangan itu seperti hukum takbir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentunya beliau akan mengajarkan pada orang tersebut (Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/297). Pendapat inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Kata Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah,
mengangkat tangan dalam shalat tidaklah wajib. Tidak ada ulama yang
berpendapat demikian kecuali Dawud Azh-Zhahiri. Ia mengatakan wajib
mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Namun sebagian pengikut madzhab/murid-muridnya menyelisihi pendapatnya ini. Mereka tidak mewajibkannya. (Ikmalul Mu’lim 2/261-262)
Yang berpendapat wajib di antaranya
adalah Al-Humaidi, Dawud Azh-Zhahiri, Ahmad bin Yasar, ‘Ali ibnul
Madini, Ishaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Auza’i. (Fathul
Bari, Ibnu Rajab 4/296-297, Nailul Authar 2/11)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram pada awal shalat adalah perkara fardhu. Shalat tidak teranggap (sah) tanpa perkara ini.” (Al-Muhalla 2/264)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram pada awal shalat adalah perkara fardhu. Shalat tidak teranggap (sah) tanpa perkara ini.” (Al-Muhalla 2/264)
Dalil mereka di antaranya adalah hadits: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
Keadaan tangan ketika bertakbir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkadang mengangkat tangan beliau bersamaan dengan takbir, di waktu
lain sebelum takbir dan pernah pula setelah bertakbir. Dalilnya di
antaranya hadits-hadits berikut ini:
– Bersamaan dengan takbir
Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membuka shalat dengan bertakbir, lalu beliau mengangkat kedua tangannya
ketika bertakbir, hingga beliau menjadikan kedua tangannya setentang
(sejajar) dengan kedua pundaknya….” (HR. Al-Bukhari no. 736)
Mengangkat tangan bersamaan dengan
bertakbir ini merupakan pendapat dalam madzhab Hanafiyah, juga pendapat
Asy-Syafi’i dan pendapat Malikiyah.
– Sebelum takbir
Ditunjukkan dalam hadits Abdullah ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma juga, ia berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bila bangkit mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya
hingga keduanya setentang (sejajar) dengan kedua pundaknya, kemudian
beliau bertakbir….” (HR. Muslim no. 860 dan Al-Bukhari dalam kitabnya Juz Raf’il Yadain)
– Setelah takbir
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul Huwairits radhiallahu ‘anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila selesai bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau….” (HR. Muslim no. 863 dan Al-Bukhari dalam Juz Raf’il Yadain)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila selesai bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau….” (HR. Muslim no. 863 dan Al-Bukhari dalam Juz Raf’il Yadain)
Abu Qilabah mengabarkan: Ia pernah
melihat Malik ibnul Huwairits apabila shalat maka ia bertakbir dan
mengangkat kedua tangannya. Bila ia ingin ruku’, ia mengangkat kedua
tangannya. Demikian pula ketika mengangkat kepalanya dari ruku’, ia
mengangkat kedua tangannya dan ia menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. (HR. Muslim no. 862 dan Al-Bukhari no. 737)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah menerangkan, “…Masing-masing cara yang telah disebutkan merupakan sunnah yang tsabitah (pasti ketetapannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga semestinya seorang muslim mengamalkannya dalam shalatnya.
Jangan sampai ia tinggalkan salah satu dari tiga cara ini. Yang
sepantasnya, di satu waktu ia melakukan yang ini, di kali lain cara yang
itu, dan di waktu selanjutnya ia amalkan cara yang satunya lagi.” (Al-Ashl 1/198-199)
Tata cara mengangkat tangan
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat tangannya, beliau membentangkan/meluruskan jari-jemarinya.
Satu jari dengan jari yang lain tidak terlalu direnggangkan, namun tidak
pula dirapatkan/digabungkan satu dengan yang lainnya, dan diarahkan ke
kiblat (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 3/61). Ini sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bila masuk dalam shalatnya (memulai shalatnya dengan takbiratul ihram),
beliau mengangkat tangannya dengan membentangkan jari-jarinya.” (HR. Abu Dawud no. 753 dan selainnya, dishahihkan oleh guru kami Al-Imam Al-Wadi’i rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih 2/95)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersungguh-sungguh dalam mengangkat kedua tangan beliau, sampai-sampai
terlihat kedua ketiak beliau. Sebagaimana kata Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Seandainya aku berada di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya aku dapat melihat kedua ketiak beliau.” (HR.
Abu Dawud no. 746, shahih menurut syarat Muslim, seperti kata guru kami
Al-Imam Al-Wadi’i rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih 2/96)
Dalam hadits yang telah dibawakan, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat tangannya hingga setentang (sejajar) dengan kedua pundak
beliau, dan di waktu lain beliau mengangkat keduanya hingga sejajar
dengan kedua telinga beliau. Karena dua tata cara ini ada dalilnya, maka
keduanya merupakan sunnah dan dua-duanya bisa diamalkan. Al-Imam Abul
Hasan As-Sindi rahimahullah berkata, “Tidaklah saling
bertentangan di antara amalan-amalan/tata cara yang berbeda-beda. Karena
boleh jadi semua tata cara tersebut terjadi di waktu-waktu yang
berbeda. Sehingga, semuanya merupakan sunnah, terkecuali ada dalil yang
menunjukkan mansukh (terhapus)nya sebagian tata cara tersebut…” (Hasyiyah Sunan An-Nasa’i lis Sindi 2/122)
Faedah
Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ulama –semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka– berbeda pendapat tentang sejumlah ibadah yang disebutkan dengan cara yang beragam. Apakah yang afdhal mencukupkan satu cara saja, ataukah yang afdhal melakukan semuanya pada waktu-waktu yang berbeda, ataukah yang afdhal menjamak (mengumpulkan) apa yang mungkin dijamak?
Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ulama –semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka– berbeda pendapat tentang sejumlah ibadah yang disebutkan dengan cara yang beragam. Apakah yang afdhal mencukupkan satu cara saja, ataukah yang afdhal melakukan semuanya pada waktu-waktu yang berbeda, ataukah yang afdhal menjamak (mengumpulkan) apa yang mungkin dijamak?
Yang benar dalam hal ini adalah pendapat
kedua yang pertengahan, yaitu ibadah yang datang dengan cara yang
beragam sekali waktu diamalkan satu cara dan di kali lain dilakukan cara
yang satunya lagi.”
Beliau melanjutkan, “Kalau engkau hanya
mengamalkan satu cara dan meninggalkan cara lain, niscaya akan mati cara
yang lain. Karena suatu sunnah tidak mungkin tetap hidup terkecuali
bila kita sekali waktu mengamalkannya, di kali lain mengamalkan yang
lain lagi. Alasan lain, bila seseorang di satu waktu mengamalkan satu
cara, di kali lain ia melakukan cara yang lain lagi, niscaya hatinya
akan hadir ketika menunaikan amalan yang diajarkan oleh As-Sunnah[1]. Perkara ini nyata, dapat disaksikan. Karena itulah orang yang setiap kali istiftah mengucapkan: “Subhanaka allahumma wa bihamdika…. “, engkau dapati dirinya dari awal ia bertakbir langsung lanjut dengan “Subhanaka allahumma wa bihamdika…”
tanpa ia sadari. Karena ia sudah terbiasa dengan bacaan tersebut. Akan
tetapi bila suatu waktu ia mengucapkan bacaan ini dan di kali lain ia
mengucapkan doa yang lain, niscaya ia akan (lebih) perhatian.
Ada beberapa faedah mengamalkan ibadah yang memiliki tata cara beragam:
- Mengikuti sunnah
- Menghidupkan sunnah
- Menghadirkan hati (dalam melakukan ibadah)
Bisa juga kita dapati faedah yang
keempat: Bila salah satu cara dari beberapa cara itu ada yang lebih
pendek/ringkas dari yang lain, seperti zikir setelah shalat, maka
seseorang terkadang ingin mempercepat selesai dari zikir tersebut,
sehingga ia mencukupkan dengan mengucapkan Subhanallah 10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu akbar
10 kali. Maka orang ini melakukan amalan yang menepati As-Sunnah dengan
waktu yang lebih singkat, karena ingin menunaikan hajatnya. Dan tidak
ada keberatan/dosa bagi seseorang melakukan hal itu, apatah lagi bila
ada hajatnya yang ingin ditunaikan….” (Asy-Syarhul Mumti’ 3/19-20)
Perhatian
Sebagian orang mengangkat kedua tangannya tanpa melewati dadanya, seakan-akan ia memberi isyarat dengan kedua tangannya. Yang seperti ini lebih mirip dengan perbuatan sia-sia/bermain-main dalam shalat. Ini sama sekali bukan termasuk dari ajaran As-Sunnah. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 3/61)
Sebagian orang mengangkat kedua tangannya tanpa melewati dadanya, seakan-akan ia memberi isyarat dengan kedua tangannya. Yang seperti ini lebih mirip dengan perbuatan sia-sia/bermain-main dalam shalat. Ini sama sekali bukan termasuk dari ajaran As-Sunnah. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 3/61)
Faedah
Al-Hafizh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan perbedaan lelaki dan perempuan dalam hal mengangkat tangan.” (Fathul Bari 2/287)
Adapun Hanafiyah berpandangan, lelaki mengangkat tangannya sampai kedua telinganya sedangkan perempuan sampai dua pundaknya, karena ini lebih menutup (cukup) baginya. Dan dinukilkan dari Ummud Darda’ radhiallahu ‘anha bahwa beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dua bahunya. Demikian pula pendapat Az-Zuhri. Sementara ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Hammad bin Abi Sulaiman berpendapat wanita mengangkat kedua tangannya sejajar payudaranya, dan ini yang diamalkan Hafshah bintu Sirin rahimahallah.
Al-Hafizh rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan perbedaan lelaki dan perempuan dalam hal mengangkat tangan.” (Fathul Bari 2/287)
Adapun Hanafiyah berpandangan, lelaki mengangkat tangannya sampai kedua telinganya sedangkan perempuan sampai dua pundaknya, karena ini lebih menutup (cukup) baginya. Dan dinukilkan dari Ummud Darda’ radhiallahu ‘anha bahwa beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dua bahunya. Demikian pula pendapat Az-Zuhri. Sementara ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Hammad bin Abi Sulaiman berpendapat wanita mengangkat kedua tangannya sejajar payudaranya, dan ini yang diamalkan Hafshah bintu Sirin rahimahallah.
‘Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah
mengatakan bahwa wanita memiliki keadaan yang berbeda dengan laki-laki.
Kalaupun dia tidak melakukan yang demikian, maka tidak mengapa. (Tharhut Tatsrib 2/450)
Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah
berkata, “Yang benar, tidak ada perbedaan antara shalat laki-laki dan
shalat perempuan. Perbedaan yang disebutkan oleh sebagian fuqaha
tersebut tidak ada dalilnya. Sementara ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Merupakan pokok yang mencakup
keseluruhan shalat. Juga, pensyariatan agama ini mencakup laki-laki
maupun perempuan, kecuali bila ada dalil yang memang mengkhususkannya.
Karena itu, sunnah bagi wanita untuk
shalat sebagaimana laki-laki shalat, baik dalam ruku’, sujud, bacaan,
meletakkan kedua tangan di atas dada, ataupun yang lainnya. Ini lebih
utama. Demikian pula dalam hal meletakkan tangan di atas lutut ketika
ruku’, meletakkan tangan di atas tanah ketika sujud sejajar pundak atau
sejajar telinga, meluruskan punggung ketika ruku’, apa yang dibaca
ketika ruku’, sujud, setelah bangkit dari ruku’, setelah bangkit dari
sujud, ataupun di antara dua sujud. Semuanya sama dengan laki-laki,
sebagai pengamalan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya. (Majmu’ Fatawa 11/80)
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya. (Majmu’ Fatawa 11/80)
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1]
Ia akan perhatian dengan amalan/gerakan yang sedang dilakukannya. Beda
halnya bila ia terbiasa terus-menerus hanya melakukan satu cara, niscaya
gerakannya ibarat gerakan yang spontan, tanpa harus dipikir terlebih
dahulu. Karena sudah terbiasa dilakukan, sehingga hatinya tidak ia
hadirkan. Shalatnya bergulir begitu saja tanpa ia pikirkan apa saja yang
telah dilakukan dan diucapkannya dalam shalat tersebut. Wallahu a’lam. -pen.
Nabi Yusuf dan Istri Pembesar bagian 2 (sebuah Renungan)
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Dunia adalah tempat ujian dan cobaan
Sesungguhnya dunia adalah negeri tempat berbagai macam ujian dan cobaan serta amalan. Di dunia ini kita mengalami berbagai musibah, penyakit, dan semua yang mengeruhkan pikiran kita. Semua itu sesuai dengan takdir Allah Yang Maha Hakim (Menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya) lagi Maha mengetahui. Musibah dan kesulitan-kesulitan tersebut umumnya disebabkan oleh dosa yang kita lakukan. Sehingga berbagai petaka dan musibah itu mungkin berfungsi sebagai penghapus dosa dan kesalahan seorang manusia, atau mengangkat derajat dan kedudukannya di sisi Rabb semesta alam, sebagaimana ujian dan musibah yang dialami oleh para Nabi Allah l.
Rasulullah n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً ْالأَنْبِيَاءُ ثُمَّ ْالأَمْثَلُ فَْالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal mereka. Seseorang itu diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka apabila dia teguh dan kokoh dalam agamanya, semakin keras pula ujian yang diterimanya. Kalau dalam agamanya ada kelembekan, maka dia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Dan senantiasa seseorang menerima ujian, hingga dia dibiarkan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak menanggung dosa.”
Rasulullah n juga bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan seiring dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai suatu kaum, niscaya Dia uji mereka. Sehingga siapa yang ridha (menerima ujian itu) maka dia akan memperoleh keridhaan dan siapa yang marah (tidak rela menerima ujian itu) maka dia tentu menerima kemarahan.”
Adapun fitnah atau ujian paling membahayakan seorang laki-laki adalah fitnah wanita. Rasulullah n bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku satu fitnah yang lebih membahayakan terhadap kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
Hal ini adalah karena manusia itu sebagaimana dinyatakan oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.” (Ali ‘Imran: 14)
Semua ini merupakan hal-hal yang jika manusia memandangnya begitu indah dalam kehidupan dunia mereka. Bahkan menjadi salah satu sebab ujian bagi mereka. Namun yang paling beratnya adalah fitnah wanita. Sedangkan berita dari Nabi n tentang kenyataan ini adalah agar waspada terhadap fitnah wanita.
Melalui hadits ini pula kita dapatkan faedah adanya upaya menutup segala pintu yang membawa kepada fitnah wanita. Sebab itu pula wajib bagi kaum wanita untuk berhijab, tidak menampakkan perhiasannya di hadapan pria yang bukan mahram atau suaminya. Wajib pula kaum wanita menjauhkan dirinya dari tempat-tempat yang penuh dengan ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan. Dan demi menjaga hal ini pula Rasulullah n mengingatkan:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan paling jeleknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jeleknya adalah yang paling depan.”
Semua itu adalah agar menjauhkan wanita dari barisan laki-laki. Bahkan dalam sebagian riwayat, disebutkan bahwa Nabi n sengaja duduk beberapa saat, tidak berbalik menghadapi para sahabatnya seusai shalat agar memberi kesempatan kaum wanita keluar lebih dahulu, tidak berebut pintu dengan kaum laki-laki.
Menundukkan pandangan
Untuk menjaga dan menutup semua jalan yang dapat membawa seseorang kepada perbuatan keji inilah, adanya perintah kepada orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan agar menundukkan pandangannya.
Allah l berfirman:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, serta janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya..” (An-Nur: 30-31)
Ibnul Qayyim t menerangkan bahwa dalam ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan) ini terdapat sejumlah faedah:1
Faedah pertama, menahan pandangan akan melepaskan jiwa dari pedihnya kekecewaan/penyesalan. Karena orang yang mengumbar pandangan matanya, semakin panjang kekecewaannya. Dia melihat sesuatu yang memperbesar keinginannya tetapi dia tidak mampu bersabar menahannya, namun juga tidak mampu meraih seluruhnya. Itulah penderitaan. Sebagaimana dikatakan:
وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَائِدًا
لِقَلْبِكَ يَوْمًا أَتْعَبَتْكَ الْمَنَاظِرُ
رَأَيْتَ الَّذِي لاَ كُلَّهُ أَنْتَ قَادِرٌ
عَلَيْهِ وَلاَ عَن بَعْضِهِ أَنْتَ صَابِرُ
Jika engkau lepaskan pandanganmu sebagai duta
Bagi hatimu, niscaya kelak pemandangan itu akan memayahkanmu
Kau lihat apa yang tidak semuanya dapat kau raih
Tidak pula terhadap sebagiannya kau dapat bersabar
Pandangan itu menembus ke dalam jantung seperti panah menembus. Kalau panah itu tidak membunuhmu, maka dia pasti melukai. Seperti api yang dilemparkan ke rerumputan kering, kalau tidak melalap habis seluruhnya, dia tentu membakar sebagiannya. Benarlah ungkapannya:
كُلُّ الْحَوَادِثِ مَبْدَاهَا مِنَ النَّظَرِ
وَمَعْظَمُ النَّارِ مِن مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ
كَمْ نَظْرَةً بَلَغَتْ فِى قَلْبِ صَاحِبِهَا
كَمَبْلَغِ السَّهْمِ بَيْنَ الْقَوْسِ وَالْوَتَرِ
Semua kejadian awalnya dari pandangan
Api yang besar asalnya adalah percikan yang kecil
Betapa banyak pandangan yang melukai hati pemiliknya
Bagai serbuan panah di antara busur dan senarnya
Faedah kedua, menahan pandangan mewariskan cahaya dalam hati, kecemerlangan yang nampak pada mata dan wajah serta anggota tubuh. Sebagaimana halnya melepaskan pandangan mata menyebabkan kegelapan yang terlihat pada wajah dan anggota tubuh pelakunya. Sebab itulah –wallahu a’lam– Allah l menyebutkan ayat surat An-Nur:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” sesudah firman-Nya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.”
Faedah ketiga, menahan pandangan mewariskan firasat yang sehat. Karena firasat yang benar merupakan bagian dari cahaya sekaligus buahnya. Apabila hati itu bersinar terang, niscaya firasat itu benar, karena hati bagai cermin yang bening, menampakkan semua obyek yang diketahui sebagaimana adanya. Sedangkan lepasnya pandangan, seperti embusan nafas di kaca tersebut. Sehingga jika seseorang melepaskan pandangannya, maka nafasnya naik menyelimuti cermin hatinya sehingga memudarkan cahaya hati tersebut.
Syuja’ Al-Karmani mengatakan: “Siapa yang memenuhi lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, mengisi batinnya dengan senantiasa muraqabah dan menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, menahan nafsunya dari syahwat, serta memakan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset.” Dan firasat Syuja’ t tidak pernah meleset.
Allah l memberi balasan kepada hamba-Nya sesuai dengan jenis amalannya. Sehingga, siapa yang menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, tentu Allah l gantikan untuknya berupa tajamnya cahaya bashirah (mata hatinya). Maka ketika dia menahan pandangannya karena Allah l, maka Allah l lepaskan cahaya bashirahnya. Sebaliknya, siapa yang melepaskan pandangannya kepada yang diharamkan, niscaya Allah l tahan bashirahnya.
Faedah keempat, menahan pandangan membukakan untuknya jalan-jalan dan pintu-pintu ilmu, memudahkan baginya segala sebab meraih ilmu tersebut. Hal itu karena adanya cahaya hati. Sehingga, jika hati itu bercahaya, tampaklah semua hakikat ma’lumat (yang diketahui), tersingkaplah semua hakikat itu dengan segera baginya dan menembus kepada yang lainnya. Sebaliknya, siapa yang melepaskan pandangannya, niscaya perbuatan itu mengeruhkan hatinya, menggelapinya serta menghalanginya dari pintu dan jalan-jalan ilmu.
Faedah kelima, menahan pandangan menyebabkan kekuatan, keteguhan, dan keberanian hati hingga memberinya kekuasaan bashirah kepadanya disertai kekuatan hujjah. Dalam sebuah atsar disebutkan: “Sesungguhnya orang yang menyelisihi hawa nafsunya, setan pun akan takut kepada bayangan orang tersebut.”
Sebab itulah didapati pada mereka yang menuruti hawa nafsunya, kehinaan dan kelemahan hati serta kerendahan jiwa, yang memang Allah l berikan kepada mereka yang lebih mementingkan hawa nafsunya daripada keridhaan-Nya.
Al-Hasan (Al-Bashri t) pernah mengatakan: “Sesungguhnya mereka, meski (suara derap) bighal (peranakan kuda dan keledai, red.) berjalan mengiringi mereka dan keledai-keledai berbaris di belakang mereka, kehinaan maksiat ada dalam hati mereka. Allah l tidak suka kecuali menghinakan orang-orang yang mendurhakai-Nya.”
Faedah keenam, menahan pandangan menyebabkan kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan hati yang lebih hebat daripada kelezatan, kesenangan yang diperoleh karena memandang (sesuatu yang diharamkan). Tidak diragukan lagi, bahwa jiwa kita, bila dia menyelisihi hawanya, niscaya menimbulkan kebahagiaan dan kegembiraan serta kelezatan yang lebih sempurna daripada kelezatan karena menuruti hawa dalam hal-hal yang tidak ada kecocokan di antara keduanya. Di sinilah letak keistimewaan akal daripada hawa nafsu.
Faedah ketujuh, menahan pandangan akan melepaskan hati dari tawanan syahwat. Karena yang dikatakan tawanan adalah orang yang ditawan oleh syahwat dan hawa nafsunya. Seperti burung pipit di tangan seorang balita yang mempermainkan si pipit kecil itu tanpa daya untuk terbang.
Faedah kedelapan, menahan pandangan akan menutup pintu jahannam darinya.
Faedah kesembilan, menahan pandangan akan memperkuat akal, menambah dan meneguhkannya. Sedangkan kebiasaan mengumbar pandangan tidak terjadi melainkan karena kurangnya akal dan tidak memiliki perhatian terhadap akibat yang terjadi.
Faedah kesepuluh, menahan pandangan akan membersihkan hati dari mabuk syahwat dan lelapnya kelalaian. Karena mengumbar pandangan menyebabkan kuatnya kelalaian dari Allah l dan negeri akhirat bahkan menjerumuskan pelakunya ke dalam perasaan dimabuk asmara. Sebagaimana Allah l berfirman tentang orang-orang yang dimabuk cinta terhadap wajah yang rupawan:
“(Allah berfirman): ‘Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)’.” (Al-Hijr: 72)
Karena itu, mengumbar pandangan bagai secangkir arak (tuak, minuman keras) dan ‘isyq adalah rasa mabuk akibat minuman tersebut. Sementara, mabuk karena ‘isyq lebih hebat daripada mabuk karena khamr. Sebab, orang mabuk karena minuman keras mungkin akan sadar, tetapi mabuk karena ‘isyq amat jarang menjadi sadar kecuali ketika dia di ambang kematian.
Kisah ‘Atha’ bin Yasar t
Pernah pula di kalangan tabi’in yang mengalami ujian seperti ini. ‘Atha’ bin Yasar, saudara Sulaiman bin Yasar. Dalam riwayat hidup beliau, diceritakan:
Suatu hari dia berangkat dari Madinah bersama saudaranya Sulaiman dan beberapa sahabat mereka. Kemudian mereka singgah di Abwa’ dan membuat kemah. Di daerah itu ada seorang wanita badui yang cantik jelita yang ingin menimbulkan fitnah pada ‘Atha’ bin Yasar. Maka masuklah wanita itu ke dalam tenda di saat ‘Atha’ tinggal sendirian. Ketika itu beliau sedang shalat, maka beliau pun mempercepatnya karena mengira wanita itu sedang dalam keperluan.
Setelah itu beliau bertanya kepada wanita itu: “Engkau ada keperluan?”
“Ya,” kata wanita itu.
“Apa itu?”tanya ‘Atha’.
“Bangun dan gauli saya. Saya tidak bersuami,” jawab wanita itu.
“Pergilah dari sini. Jangan kau bakar aku dan dirimu dengan api neraka,” kata ‘Atha’. Lalu mulailah beliau menangis sampai tersedu-sedu.
Melihat ‘Atha’ menangis, wanita itu tersentuh, lalu ikut pula menangis mendengar nasihat yang diucapkan ‘Atha’ tadi. Akhirnya wanita itu pun duduk menangis. Dua orang laki-laki dan perempuan itu menangis hebat. Kemudian datanglah Sulaiman bin Yasar dan melihat dua orang ini sedang menangis. Dia tidak tahu apa yang tadi terjadi. Tapi jiwanya ikut terdorong untuk menangis menyaksikan keadaan mereka berdua. Tak lama datang pula sahabat mereka lalu masuk ke dalam tenda. Mereka melihat ada seorang wanita menangis bersama ‘Atha’ dan Sulaiman yang juga menangis. Mereka pun terpengaruh, lalu ikut menangis tanpa tahu ada kejadian apa sebelum ini.
Akhirnya, semua terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Setelah tenang, wanita itu bangkit dan pergi. Kemudian yang lain pun berdiri dan beranjak dari tempat itu. Semuanya pergi ke tempat tidurnya. Sementara Sulaiman merasa segan bertanya kepada saudaranya ada yang terjadi?
Hari-hari berlalu. Suatu ketika mereka safar ke Mesir.
Pada malam harinya, di sebuah kamar, ‘Atha’ terbangun sambil menangis. Mendengar isak tangis saudaranya, Sulaiman tergugah dari tidurnya. Beliau bertanya kepada ‘Atha’: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai saudaraku?
Tangis ‘Atha’ semakin keras. Sulaiman kembali bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai saudaraku?”
“Mimpi yang baru saja kulihat malam ini,” kata ‘Atha’.
“Mimpi apa?” tanya Sulaiman. Lalu beliau terus mendesak agar ‘Atha’ menceritakannya. Maka ‘Atha’ meminta kesepakatan dan janji saudaranya untuk tidak menceritakannya selama dia masih hidup.
Kata ‘Atha’: “Aku melihat Nabi Yusuf q dalam mimpiku. Mulailah aku memandang beliau. Ketika aku melihat eloknya rupa beliau, aku menangis –dalam mimpi–. Beliau pun memandangku dan berkata: ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai fulan?’
Aku berkata: ‘Demi bapak dan ibuku tebusanmu, wahai Nabi Allah. Aku teringat engkau dan istri pembesar itu serta ujian yang engkau alami dengannya. Penjara yang engkau rasakan, perpisahanmu dengan Nabi Ya’qub q, maka aku pun menangis karenanya’.”
Aku merasa takjub kepada beliau.
Beliau pun berkata: ‘Akulah yang mestinya takjub dengan lawan wanita badui di Abwa’ itu?’ Aku tahu apa yang beliau maksud, maka aku pun menangis dan terbangun sambil terus menangis. Kemudian ‘Atha’ t menceritakan pula kisahnya dengan wanita badui di Abwa.
Kisah ini disimpan oleh Sulaiman bin Yasar sampai ‘Atha’ meninggal dunia. Setelah ‘Atha’ meninggal dunia, dia pun menceritakan kisah ini hingga menjadi terkenal di Madinah.
Sulaiman bin Yasar sendiri adalah seorang yang gagah dan rupawan. Suatu hari, seorang wanita masuk ke dalam rumahnya dan merayunya agar menggauli dirinya. Tapi Sulaiman menolak. Wanita itu berkata kepadanya: “Kalau begitu aku akan mempermalukanmu.”
Akhirnya, Sulaiman melarikan diri keluar dari rumahnya, dia biarkan rumah itu untuk si wanita.
Kisah Abu Bakr Al-Miski t
Lain lagi dengan Abu Bakr Al-Miski.
Dia digelari Al-Miski (berbau misik/minyak wangi) karena sebuah kejadian. Ada seorang wanita meminta agar Abu Bakr masuk ke dalam rumahnya. Abu Bakr adalah seorang pedagang. Maka beliau pun masuk. Ternyata wanita itu menginginkan perbuatan yang haram. Untuk itu, dia (wanita tersebut) tutup pintu rumahnya. Lalu apa yang dilakukan Abu Bakr?
Dia bekata: “Saya ingin ke kamar kecil.” Kemudian di dalam kamar mandi (WC) dia melaburi tubuhnya dengan kotoran dan keluar dari kamar mandi. Wanita itu menjauh darinya lalu membuka pintu rumahnya, akhirnya Abu Bakr pun keluar meninggalkan wanita itu. Sejak saat itulah tubuhnya berbau misik (meskipun tidak menggunakan minyak wangi). Wallahu a’lam.
Yang terakhir, jatuh cinta karena semata rupa yang elok termasuk hal-hal yang disebabkan oleh unsur kesyirikan. Semakin jauh seseorang dari keikhlasan, semakin dekat kepada kesyirikan, maka cintanya kepada rupa yang elok semakin kuat. Semakin kuat tauhid dan keikhlasan seseorang semakin jauh dia dari godaan rupa yang elok. Kenyataan inilah yang menjerumuskan istri pembesar kepada apa yang diceritakan Allah l, yaitu syirik yang ada padanya. Sedangkan Nabi Yusuf q selamat dari perbuatan tersebut karena keikhlasannya. Allah l berfirman:
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Kata السُّوءَ (kemungkaran) di sini bermakna al-’isyq (cinta) sedangkan الْفَحْشَاءَ (kekejian) adalah perbuatan zina. Orang yang mukhlash ialah orang yang memurnikan cintanya karena Allah l, sehingga Allah l pun membersihkannya dari fitnah ‘isyq terhadap rupa. Dan orang yang musyrik, hatinya terpaut kepada sesuatu selain Allah l, tidak membersihkan tauhid dan cintanya karena Allah k. Wallahul Muwaffiq.
1 Raudhatul Muhibbin hal. 97 dengan ringkas.
Dunia adalah tempat ujian dan cobaan
Sesungguhnya dunia adalah negeri tempat berbagai macam ujian dan cobaan serta amalan. Di dunia ini kita mengalami berbagai musibah, penyakit, dan semua yang mengeruhkan pikiran kita. Semua itu sesuai dengan takdir Allah Yang Maha Hakim (Menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya) lagi Maha mengetahui. Musibah dan kesulitan-kesulitan tersebut umumnya disebabkan oleh dosa yang kita lakukan. Sehingga berbagai petaka dan musibah itu mungkin berfungsi sebagai penghapus dosa dan kesalahan seorang manusia, atau mengangkat derajat dan kedudukannya di sisi Rabb semesta alam, sebagaimana ujian dan musibah yang dialami oleh para Nabi Allah l.
Rasulullah n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً ْالأَنْبِيَاءُ ثُمَّ ْالأَمْثَلُ فَْالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal mereka. Seseorang itu diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka apabila dia teguh dan kokoh dalam agamanya, semakin keras pula ujian yang diterimanya. Kalau dalam agamanya ada kelembekan, maka dia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Dan senantiasa seseorang menerima ujian, hingga dia dibiarkan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak menanggung dosa.”
Rasulullah n juga bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan seiring dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai suatu kaum, niscaya Dia uji mereka. Sehingga siapa yang ridha (menerima ujian itu) maka dia akan memperoleh keridhaan dan siapa yang marah (tidak rela menerima ujian itu) maka dia tentu menerima kemarahan.”
Adapun fitnah atau ujian paling membahayakan seorang laki-laki adalah fitnah wanita. Rasulullah n bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku satu fitnah yang lebih membahayakan terhadap kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
Hal ini adalah karena manusia itu sebagaimana dinyatakan oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.” (Ali ‘Imran: 14)
Semua ini merupakan hal-hal yang jika manusia memandangnya begitu indah dalam kehidupan dunia mereka. Bahkan menjadi salah satu sebab ujian bagi mereka. Namun yang paling beratnya adalah fitnah wanita. Sedangkan berita dari Nabi n tentang kenyataan ini adalah agar waspada terhadap fitnah wanita.
Melalui hadits ini pula kita dapatkan faedah adanya upaya menutup segala pintu yang membawa kepada fitnah wanita. Sebab itu pula wajib bagi kaum wanita untuk berhijab, tidak menampakkan perhiasannya di hadapan pria yang bukan mahram atau suaminya. Wajib pula kaum wanita menjauhkan dirinya dari tempat-tempat yang penuh dengan ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan. Dan demi menjaga hal ini pula Rasulullah n mengingatkan:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan paling jeleknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jeleknya adalah yang paling depan.”
Semua itu adalah agar menjauhkan wanita dari barisan laki-laki. Bahkan dalam sebagian riwayat, disebutkan bahwa Nabi n sengaja duduk beberapa saat, tidak berbalik menghadapi para sahabatnya seusai shalat agar memberi kesempatan kaum wanita keluar lebih dahulu, tidak berebut pintu dengan kaum laki-laki.
Menundukkan pandangan
Untuk menjaga dan menutup semua jalan yang dapat membawa seseorang kepada perbuatan keji inilah, adanya perintah kepada orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan agar menundukkan pandangannya.
Allah l berfirman:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, serta janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya..” (An-Nur: 30-31)
Ibnul Qayyim t menerangkan bahwa dalam ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan) ini terdapat sejumlah faedah:1
Faedah pertama, menahan pandangan akan melepaskan jiwa dari pedihnya kekecewaan/penyesalan. Karena orang yang mengumbar pandangan matanya, semakin panjang kekecewaannya. Dia melihat sesuatu yang memperbesar keinginannya tetapi dia tidak mampu bersabar menahannya, namun juga tidak mampu meraih seluruhnya. Itulah penderitaan. Sebagaimana dikatakan:
وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَائِدًا
لِقَلْبِكَ يَوْمًا أَتْعَبَتْكَ الْمَنَاظِرُ
رَأَيْتَ الَّذِي لاَ كُلَّهُ أَنْتَ قَادِرٌ
عَلَيْهِ وَلاَ عَن بَعْضِهِ أَنْتَ صَابِرُ
Jika engkau lepaskan pandanganmu sebagai duta
Bagi hatimu, niscaya kelak pemandangan itu akan memayahkanmu
Kau lihat apa yang tidak semuanya dapat kau raih
Tidak pula terhadap sebagiannya kau dapat bersabar
Pandangan itu menembus ke dalam jantung seperti panah menembus. Kalau panah itu tidak membunuhmu, maka dia pasti melukai. Seperti api yang dilemparkan ke rerumputan kering, kalau tidak melalap habis seluruhnya, dia tentu membakar sebagiannya. Benarlah ungkapannya:
كُلُّ الْحَوَادِثِ مَبْدَاهَا مِنَ النَّظَرِ
وَمَعْظَمُ النَّارِ مِن مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ
كَمْ نَظْرَةً بَلَغَتْ فِى قَلْبِ صَاحِبِهَا
كَمَبْلَغِ السَّهْمِ بَيْنَ الْقَوْسِ وَالْوَتَرِ
Semua kejadian awalnya dari pandangan
Api yang besar asalnya adalah percikan yang kecil
Betapa banyak pandangan yang melukai hati pemiliknya
Bagai serbuan panah di antara busur dan senarnya
Faedah kedua, menahan pandangan mewariskan cahaya dalam hati, kecemerlangan yang nampak pada mata dan wajah serta anggota tubuh. Sebagaimana halnya melepaskan pandangan mata menyebabkan kegelapan yang terlihat pada wajah dan anggota tubuh pelakunya. Sebab itulah –wallahu a’lam– Allah l menyebutkan ayat surat An-Nur:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” sesudah firman-Nya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.”
Faedah ketiga, menahan pandangan mewariskan firasat yang sehat. Karena firasat yang benar merupakan bagian dari cahaya sekaligus buahnya. Apabila hati itu bersinar terang, niscaya firasat itu benar, karena hati bagai cermin yang bening, menampakkan semua obyek yang diketahui sebagaimana adanya. Sedangkan lepasnya pandangan, seperti embusan nafas di kaca tersebut. Sehingga jika seseorang melepaskan pandangannya, maka nafasnya naik menyelimuti cermin hatinya sehingga memudarkan cahaya hati tersebut.
Syuja’ Al-Karmani mengatakan: “Siapa yang memenuhi lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, mengisi batinnya dengan senantiasa muraqabah dan menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, menahan nafsunya dari syahwat, serta memakan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset.” Dan firasat Syuja’ t tidak pernah meleset.
Allah l memberi balasan kepada hamba-Nya sesuai dengan jenis amalannya. Sehingga, siapa yang menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, tentu Allah l gantikan untuknya berupa tajamnya cahaya bashirah (mata hatinya). Maka ketika dia menahan pandangannya karena Allah l, maka Allah l lepaskan cahaya bashirahnya. Sebaliknya, siapa yang melepaskan pandangannya kepada yang diharamkan, niscaya Allah l tahan bashirahnya.
Faedah keempat, menahan pandangan membukakan untuknya jalan-jalan dan pintu-pintu ilmu, memudahkan baginya segala sebab meraih ilmu tersebut. Hal itu karena adanya cahaya hati. Sehingga, jika hati itu bercahaya, tampaklah semua hakikat ma’lumat (yang diketahui), tersingkaplah semua hakikat itu dengan segera baginya dan menembus kepada yang lainnya. Sebaliknya, siapa yang melepaskan pandangannya, niscaya perbuatan itu mengeruhkan hatinya, menggelapinya serta menghalanginya dari pintu dan jalan-jalan ilmu.
Faedah kelima, menahan pandangan menyebabkan kekuatan, keteguhan, dan keberanian hati hingga memberinya kekuasaan bashirah kepadanya disertai kekuatan hujjah. Dalam sebuah atsar disebutkan: “Sesungguhnya orang yang menyelisihi hawa nafsunya, setan pun akan takut kepada bayangan orang tersebut.”
Sebab itulah didapati pada mereka yang menuruti hawa nafsunya, kehinaan dan kelemahan hati serta kerendahan jiwa, yang memang Allah l berikan kepada mereka yang lebih mementingkan hawa nafsunya daripada keridhaan-Nya.
Al-Hasan (Al-Bashri t) pernah mengatakan: “Sesungguhnya mereka, meski (suara derap) bighal (peranakan kuda dan keledai, red.) berjalan mengiringi mereka dan keledai-keledai berbaris di belakang mereka, kehinaan maksiat ada dalam hati mereka. Allah l tidak suka kecuali menghinakan orang-orang yang mendurhakai-Nya.”
Faedah keenam, menahan pandangan menyebabkan kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan hati yang lebih hebat daripada kelezatan, kesenangan yang diperoleh karena memandang (sesuatu yang diharamkan). Tidak diragukan lagi, bahwa jiwa kita, bila dia menyelisihi hawanya, niscaya menimbulkan kebahagiaan dan kegembiraan serta kelezatan yang lebih sempurna daripada kelezatan karena menuruti hawa dalam hal-hal yang tidak ada kecocokan di antara keduanya. Di sinilah letak keistimewaan akal daripada hawa nafsu.
Faedah ketujuh, menahan pandangan akan melepaskan hati dari tawanan syahwat. Karena yang dikatakan tawanan adalah orang yang ditawan oleh syahwat dan hawa nafsunya. Seperti burung pipit di tangan seorang balita yang mempermainkan si pipit kecil itu tanpa daya untuk terbang.
Faedah kedelapan, menahan pandangan akan menutup pintu jahannam darinya.
Faedah kesembilan, menahan pandangan akan memperkuat akal, menambah dan meneguhkannya. Sedangkan kebiasaan mengumbar pandangan tidak terjadi melainkan karena kurangnya akal dan tidak memiliki perhatian terhadap akibat yang terjadi.
Faedah kesepuluh, menahan pandangan akan membersihkan hati dari mabuk syahwat dan lelapnya kelalaian. Karena mengumbar pandangan menyebabkan kuatnya kelalaian dari Allah l dan negeri akhirat bahkan menjerumuskan pelakunya ke dalam perasaan dimabuk asmara. Sebagaimana Allah l berfirman tentang orang-orang yang dimabuk cinta terhadap wajah yang rupawan:
“(Allah berfirman): ‘Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)’.” (Al-Hijr: 72)
Karena itu, mengumbar pandangan bagai secangkir arak (tuak, minuman keras) dan ‘isyq adalah rasa mabuk akibat minuman tersebut. Sementara, mabuk karena ‘isyq lebih hebat daripada mabuk karena khamr. Sebab, orang mabuk karena minuman keras mungkin akan sadar, tetapi mabuk karena ‘isyq amat jarang menjadi sadar kecuali ketika dia di ambang kematian.
Kisah ‘Atha’ bin Yasar t
Pernah pula di kalangan tabi’in yang mengalami ujian seperti ini. ‘Atha’ bin Yasar, saudara Sulaiman bin Yasar. Dalam riwayat hidup beliau, diceritakan:
Suatu hari dia berangkat dari Madinah bersama saudaranya Sulaiman dan beberapa sahabat mereka. Kemudian mereka singgah di Abwa’ dan membuat kemah. Di daerah itu ada seorang wanita badui yang cantik jelita yang ingin menimbulkan fitnah pada ‘Atha’ bin Yasar. Maka masuklah wanita itu ke dalam tenda di saat ‘Atha’ tinggal sendirian. Ketika itu beliau sedang shalat, maka beliau pun mempercepatnya karena mengira wanita itu sedang dalam keperluan.
Setelah itu beliau bertanya kepada wanita itu: “Engkau ada keperluan?”
“Ya,” kata wanita itu.
“Apa itu?”tanya ‘Atha’.
“Bangun dan gauli saya. Saya tidak bersuami,” jawab wanita itu.
“Pergilah dari sini. Jangan kau bakar aku dan dirimu dengan api neraka,” kata ‘Atha’. Lalu mulailah beliau menangis sampai tersedu-sedu.
Melihat ‘Atha’ menangis, wanita itu tersentuh, lalu ikut pula menangis mendengar nasihat yang diucapkan ‘Atha’ tadi. Akhirnya wanita itu pun duduk menangis. Dua orang laki-laki dan perempuan itu menangis hebat. Kemudian datanglah Sulaiman bin Yasar dan melihat dua orang ini sedang menangis. Dia tidak tahu apa yang tadi terjadi. Tapi jiwanya ikut terdorong untuk menangis menyaksikan keadaan mereka berdua. Tak lama datang pula sahabat mereka lalu masuk ke dalam tenda. Mereka melihat ada seorang wanita menangis bersama ‘Atha’ dan Sulaiman yang juga menangis. Mereka pun terpengaruh, lalu ikut menangis tanpa tahu ada kejadian apa sebelum ini.
Akhirnya, semua terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Setelah tenang, wanita itu bangkit dan pergi. Kemudian yang lain pun berdiri dan beranjak dari tempat itu. Semuanya pergi ke tempat tidurnya. Sementara Sulaiman merasa segan bertanya kepada saudaranya ada yang terjadi?
Hari-hari berlalu. Suatu ketika mereka safar ke Mesir.
Pada malam harinya, di sebuah kamar, ‘Atha’ terbangun sambil menangis. Mendengar isak tangis saudaranya, Sulaiman tergugah dari tidurnya. Beliau bertanya kepada ‘Atha’: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai saudaraku?
Tangis ‘Atha’ semakin keras. Sulaiman kembali bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai saudaraku?”
“Mimpi yang baru saja kulihat malam ini,” kata ‘Atha’.
“Mimpi apa?” tanya Sulaiman. Lalu beliau terus mendesak agar ‘Atha’ menceritakannya. Maka ‘Atha’ meminta kesepakatan dan janji saudaranya untuk tidak menceritakannya selama dia masih hidup.
Kata ‘Atha’: “Aku melihat Nabi Yusuf q dalam mimpiku. Mulailah aku memandang beliau. Ketika aku melihat eloknya rupa beliau, aku menangis –dalam mimpi–. Beliau pun memandangku dan berkata: ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai fulan?’
Aku berkata: ‘Demi bapak dan ibuku tebusanmu, wahai Nabi Allah. Aku teringat engkau dan istri pembesar itu serta ujian yang engkau alami dengannya. Penjara yang engkau rasakan, perpisahanmu dengan Nabi Ya’qub q, maka aku pun menangis karenanya’.”
Aku merasa takjub kepada beliau.
Beliau pun berkata: ‘Akulah yang mestinya takjub dengan lawan wanita badui di Abwa’ itu?’ Aku tahu apa yang beliau maksud, maka aku pun menangis dan terbangun sambil terus menangis. Kemudian ‘Atha’ t menceritakan pula kisahnya dengan wanita badui di Abwa.
Kisah ini disimpan oleh Sulaiman bin Yasar sampai ‘Atha’ meninggal dunia. Setelah ‘Atha’ meninggal dunia, dia pun menceritakan kisah ini hingga menjadi terkenal di Madinah.
Sulaiman bin Yasar sendiri adalah seorang yang gagah dan rupawan. Suatu hari, seorang wanita masuk ke dalam rumahnya dan merayunya agar menggauli dirinya. Tapi Sulaiman menolak. Wanita itu berkata kepadanya: “Kalau begitu aku akan mempermalukanmu.”
Akhirnya, Sulaiman melarikan diri keluar dari rumahnya, dia biarkan rumah itu untuk si wanita.
Kisah Abu Bakr Al-Miski t
Lain lagi dengan Abu Bakr Al-Miski.
Dia digelari Al-Miski (berbau misik/minyak wangi) karena sebuah kejadian. Ada seorang wanita meminta agar Abu Bakr masuk ke dalam rumahnya. Abu Bakr adalah seorang pedagang. Maka beliau pun masuk. Ternyata wanita itu menginginkan perbuatan yang haram. Untuk itu, dia (wanita tersebut) tutup pintu rumahnya. Lalu apa yang dilakukan Abu Bakr?
Dia bekata: “Saya ingin ke kamar kecil.” Kemudian di dalam kamar mandi (WC) dia melaburi tubuhnya dengan kotoran dan keluar dari kamar mandi. Wanita itu menjauh darinya lalu membuka pintu rumahnya, akhirnya Abu Bakr pun keluar meninggalkan wanita itu. Sejak saat itulah tubuhnya berbau misik (meskipun tidak menggunakan minyak wangi). Wallahu a’lam.
Yang terakhir, jatuh cinta karena semata rupa yang elok termasuk hal-hal yang disebabkan oleh unsur kesyirikan. Semakin jauh seseorang dari keikhlasan, semakin dekat kepada kesyirikan, maka cintanya kepada rupa yang elok semakin kuat. Semakin kuat tauhid dan keikhlasan seseorang semakin jauh dia dari godaan rupa yang elok. Kenyataan inilah yang menjerumuskan istri pembesar kepada apa yang diceritakan Allah l, yaitu syirik yang ada padanya. Sedangkan Nabi Yusuf q selamat dari perbuatan tersebut karena keikhlasannya. Allah l berfirman:
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Kata السُّوءَ (kemungkaran) di sini bermakna al-’isyq (cinta) sedangkan الْفَحْشَاءَ (kekejian) adalah perbuatan zina. Orang yang mukhlash ialah orang yang memurnikan cintanya karena Allah l, sehingga Allah l pun membersihkannya dari fitnah ‘isyq terhadap rupa. Dan orang yang musyrik, hatinya terpaut kepada sesuatu selain Allah l, tidak membersihkan tauhid dan cintanya karena Allah k. Wallahul Muwaffiq.
1 Raudhatul Muhibbin hal. 97 dengan ringkas.
Sifat-sifat Penghuni Neraka
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)
Dalam surat Qaf, Allah l menerangkan beberapa sifat penghuni neraka. Allah l berfirman:
Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah l menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah l: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah l oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah l pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah l: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dalam firman Allah l tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam.
1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya.
2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah l.
3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah l, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah l.
4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah l dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi n. Mereka melarang beliau n berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau n. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah t menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.”
5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah l ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya.
6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah l: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah l.
Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah l katakan:
“Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, Rasulullah n bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ
Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah l bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad)
Dalam surat Qaf, Allah l menerangkan beberapa sifat penghuni neraka. Allah l berfirman:
Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah l menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah l: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah l oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah l pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah l: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dalam firman Allah l tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam.
1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya.
2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah l.
3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah l, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah l.
4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah l dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi n. Mereka melarang beliau n berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau n. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah t menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.”
5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah l ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya.
6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah l: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah l.
Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah l katakan:
“Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, Rasulullah n bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ
Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah l bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad)
Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
Allah l dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah l:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah l dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menyatakan dalam tafsirnya: “Allah l mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah l, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir t menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah l Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah l juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah l bahkan telah mengabarkan:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah l akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah l) dan siksaan?! Allah l berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah l memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah k juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)
Fitnah (godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah l karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah l memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid t berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah n bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid c)
Al-Mubarakfuri t berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah n menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah c, bahwa Rasulullah n melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau n lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi t berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah l telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah l dan Rasul-Nya n melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah l berfirman:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir z, Rasulullah n bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau n menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah l dan Rasul-Nya n memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah l. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah n bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Godaan dunia dan harta
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah l menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar z)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah l. Sebagaimana firman-Nya:
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah l) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah l dan Rasul-Nya n. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah n:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah l karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah l karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud z)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar z menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi n berkata kepada beliau n:
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah l dari hal tersebut). Padahal Allah l telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah n bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf z)
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Allah l menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir t menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah t: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau n menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau n menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah l berfirman:
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah l mengutus Rasul-Nya Muhammad n, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah l memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah l membawa kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar c, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau c berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman z. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman z. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah l dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah l mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.
Allah l dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah l:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah l dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t menyatakan dalam tafsirnya: “Allah l mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah l, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir t menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah l Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah l juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah l bahkan telah mengabarkan:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah l akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah l) dan siksaan?! Allah l berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah l memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah k juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)
Fitnah (godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah l karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah l memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid t berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah n bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid c)
Al-Mubarakfuri t berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah n menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah c, bahwa Rasulullah n melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau n lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi t berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah l telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah l dan Rasul-Nya n melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah l berfirman:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir z, Rasulullah n bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau n menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah l dan Rasul-Nya n memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah l. Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah n bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Godaan dunia dan harta
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah l menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar z)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah l. Sebagaimana firman-Nya:
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah l) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah l dan Rasul-Nya n. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah n:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah l karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah l karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud z)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar z menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi n berkata kepada beliau n:
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah l dari hal tersebut). Padahal Allah l telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah n bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf z)
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Allah l menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir t menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah t: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau n menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau n menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah l berfirman:
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah l mengutus Rasul-Nya Muhammad n, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah l memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah l membawa kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar c, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau c berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman z. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman z. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah l dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah l mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.
Posting Komentar