Nasehat Untuk Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala
yang telah menjadikan umat ini sebaik-baik umat yang dimunculkan untuk
manusia. Predikat mulia ini mereka raih karena menegakkan ketaatan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memperjuangkan agama-Nya.
Di antaranya adalah menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu mengajak
manusia untuk menjalankan kebaikan dan melarang mereka dari
kemungkaran.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah urusan
pokok dalam agama ini. Jika perkara ini dijalankan dengan tulus dan
benar niscaya kebaikan akan merata, kejahatan akan menyempit dan mereda,
serta kehidupan manusia akan lurus lagi terbimbing.
Penyakit yang Harus Diobati
Sungguh, tidak akan beres kehidupan
manusia tanpa adanya amar ma’ruf nahi mungkar karena tabiat manusia
adalah suka melampaui batas dan berbuat zalim, kecuali yang memang
dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tabiat jelek ini
memiliki faktor yang melandasinya, di antaranya: jiwa yang jelek, setan
dari golongan jin dan manusia yang memperindah perbuatan jelek untuk
menipu. Belum lagi beragam bujuk rayu syahwat yang diharamkan dan
berbagai syubhat yang ditebarkan. Inilah di antara perkara-perkara yang
menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kemaksiatan sehingga tersendat
derap langkah hatinya menuju negeri kedamaian di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Seseorang yang telah terjangkiti penyakit syahwat yang diharamkan dan
penyakit syubhat (pemikiran yang menyimpang dari kebenaran) hendaknya
segera diobati. Jika tidak, hati akan mati atau setidaknya berpenyakit.
Jika di tengah-tengah manusia berdiri sekian rumah sakit untuk mengobati
beragam penyakit badan berikut beragam dokter spesialis, tentu penyakit
syahwat dan syubhat lebih berhak mendapatkan penanganan yang serius,
karena jika tidak segera diobati akan membahayakan kalbu dan agama. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging.
Apabila baik, akan baik pula seluruh tubuh, dan bila rusak akan rusak
seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Agar Terhindar dari Azab Allah subhanahu wa ta’ala
Kita meyakini bahwa segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala,
larangan dan aturan-Nya, adalah semata-mata maslahat bagi manusia.
Apabila dilanggar, kesemrawutan hidup tidak bisa dihindarkan. Bahkan,
jika kemaksiatan telah merajalela, laknat dan azab Allah subhanahu wa ta’ala tidak bisa ditangkal. Hal ini seperti yang dialami oleh bani Israil, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Telah dilaknati orang-orang kafir
dari bani Israil dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian
itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu
sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
Oleh karena itu, amar ma’ruf nahi mungkar harus kita tegakkan agar terhindar dari ancaman Allah subhanahu wa ta’ala, tentu sebatas kemampuan kita masing-masing.
Sifat-Sifat yang Harus Disandang oleh Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Ketahuilah bahwa amar ma’ruf nahi
mungkar adalah amalan yang paling mulia dan memiliki tujuan yang sangat
utama. Oleh karena itu, amalan ini tidak bisa dilakukan serampangan dan
hanya bermodalkan semangat. Ada hal-hal yang semestinya diperhatikan dan
rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh orang yang terjun di kancah dakwah
ini. Di antaranya:
- Berilmu tentang hal yang ma’ruf (baik) dari yang mungkar (jelek)
Hal ini harus ada karena amar ma’ruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah yang menuntut adanya bashirah (pengetahuan) tentang perkara yang akan disampaikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)
ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Tanpa mengenal yang ma’ruf dan yang mungkar, seseorang tidak akan
mungkin menjalankan amalan yang mulia ini. Pepatah arab mengatakan:
فَاقِدُ الشَّيءِ لَا يُعْطِيهِ
“Orang yang tidak punya sesuatu pun, tidak bisa memberi.”
Amar ma’ruf nahi mungkar tanpa ilmu
tidak akan membuahkan perbaikan apa pun, justru akan lebih banyak
mendatangkan mudarat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh sebagian da’i
yang suka menyampaikan hadits-hadits lemah atau palsu tentang
keutamaan-keutamaan amalan. Tanpa terasa, dengan ini mereka telah
menebarkan kebid’ahan dalam amalan, sementara mereka menyangka sedang
mengajak kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perlu diketahui bahwa timbangan untuk mengukur yang baik dan yang buruk
adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah yang kuat (sahih) sesuai dengan yang
dipahami oleh generasi salaf umat ini.
Tak lupa pula kita ingatkan bahwa ada masalah-masalah khilafiyah (yang
masih diperselisihkan oleh ulama). Ada perkara khilafiyah yang
menyisakan ruang bagi ulama untuk berijtihad dan tidak ada bentuk
penyelisihan terhadap dalil Al-Qur’an, hadits yang kuat, dan kesepakatan
ulama. Pada jenis khilafiyah yang seperti ini, seseorang harus
berlapang dada jika ada yang menyelisihinya serta tidak boleh melakukan
pengingkaran terhadap yang menyelisihi pendapatnya. Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah
berkata, “Seseorang tidak boleh mengingkari orang yang berijtihad dalam
hal yang diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang (bukan
pokok agama).” Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu melihat seseorang
melakukan suatu amalan yang masih diperselisihkan sedangkan kamu
berpendapat lain, engkau tidak boleh melarangnya.” (Lihat Adabul Khilaf
karya Dr. Shalih bin Abdillah bin Humaid hlm. 39)
- Ikhlas
Jika keikhlasan menyertai amalan yang
mulia ini niscaya akan membuahkan kebaikan bagi semua pihak. Orang yang
mengajak kepada kebaikan akan mendapat pahala sedangkan orang yang
diajak sangat besar kemungkinannya menerima dakwah. Bisa jadi, satu
kalimat yang diucapkan oleh seseorang yang berasal dari hati yang tulus
memiliki pengaruh yang hebat. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Akan
tetapi, ketahuilah bahwa apabila kamu mengatakan yang haq (kebenaran)
dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan ada pengaruh (yang baik), meskipun kebenaran itu (pada awalnya) ditolak di hadapanmu.”
Kalimat yang haq pasti akan membekas, cepat atau lambat. (Syarah al-Arba’in hlm. 154)
Kalimat yang haq pasti akan membekas, cepat atau lambat. (Syarah al-Arba’in hlm. 154)
Keikhlasan dalam amar ma’ruf nahi mungkar bisa muncul jika hati seseorang merasa terpanggil untuk menegakkan agama Allah subhanahu wa ta’ala
dan memperjuangkannya. Demikian pula, beragam penyelewengan yang ia
saksikan di tengah-tengah umat mendorongnya melakukan langkah perbaikan.
Rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap umat menjadikan hatinya
tidak rela jika umat jauh dari kebaikan dan terjerumus dalam jurang
kenistaan. Memang tidak sama orang yang menangis karena ditinggal mati
oleh kekasihnya dengan orang yang menangis karena bayaran.
- Mengamalkan apa yang disampaikan
Sangat tercela jika engkau melarang
sesuatu padahal engkau sendiri terjatuh di dalamnya. Kapan kata-kata
nasihatmu akan bernilai jika ucapan tidak selaras dengan perbuatan?
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan Nabi Syu’aib q dengan firman-Nya:
“(Patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Perumpamaan
orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya
sendiri, seperti sumbu (lampu) yang menyinari manusia sedangkan dirinya
sendiri terbakar.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir, lihat Shahih al-Jami’ no. 5837)
- Lemah lembut, bijak, dan tidak terburu-buru
Tidaklah kelemahlembutan melekat pada
sesuatu melainkan menjadikannya indah. Adapun kekakuan merupakan
kebodohan, dan sikap terburu-buru termasuk dari setan.
Amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya menggunakan metode yang baik sehingga mudah berterima. Perkara ini memerlukan bimbingan dan penjelasan tentang yang baik dan yang buruk. Selain itu, perlu diingat bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan yang dilarang bisa jadi karena ketidaktahuannya akan hal yang diwajibkan dan yang dilarang, sehingga memerlukan bimbingan.
Amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya menggunakan metode yang baik sehingga mudah berterima. Perkara ini memerlukan bimbingan dan penjelasan tentang yang baik dan yang buruk. Selain itu, perlu diingat bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan yang dilarang bisa jadi karena ketidaktahuannya akan hal yang diwajibkan dan yang dilarang, sehingga memerlukan bimbingan.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Termasuk kelemahlembutan dan
hikmah adalah memerhatikan kondisi seorang yang akan diperintah dan
dilarang (karena) orang yang terjatuh dalam maksiat memiliki tiga
keadaan:
- Orang yang tidak tahu bahwa yang ia lakukan itu adalah maksiat dan diharamkan.
Terhadap orang yang seperti ini Anda cukup menjelaskan, “Wahai fulan, kamu telah melakukan perbuatan maksiat dan hal yang diharamkan.” Jika memang orang ini terjerumus ke dalam maksiat karena kebodohan, (dengan penjelasan ini) dia akan meninggalkannya. - Orang yang mengetahui apa yang dilakukannya itu maksiat, ia diberi nasihat dan ditakut-takuti dengan hukuman.
- Orang yang suka membantah dan menebarkan syubhat.
Orang yang seperti ini dibantah dengan cara yang lebih baik, sehingga syubhat (pemikiran yang menyimpang dari kebenaran) itu runtuh. (Muhadharah fil Aqidah wad Da’wah, 2/315—316)
Termasuk bentuk kelemahlembutan dan bijak adalah bertahap dalam menyampaikan kebaikan. Hal ini seperti pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar Mu’adz memulai dakwahnya dengan ajakan untuk mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala,
kemudian shalat lima waktu, lalu yang berikutnya, dan yang berikutnya.
Dengan adanya tahapan, seorang yang diajak akan mudah menyerapnya lalu
mengamalkannya.
Demikian pula, termasuk bijak dalam
berdakwah adalah mengetahui kondisi orang yang diajak dan menggunakan
kalimat-kalimat yang mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan
kesalahpahaman. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Ajak bicaralah orang dengan yang mereka pahami. Apakah kamu mau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya didustakan?” (Shahih al-Bukhari, “Kitabul Ilmi” bab ke-49)
- Bersabar
Dalam hal kebaikan, manusia terbagi
menjadi dua: ada yang menerima dan ada yang menolak. Seperti itu pula
jalan dakwah, bukan jalan yang sunyi dari aral yang menghadang. Akan ada
orang yang menolak ajakan, bahkan ada yang mengajak berkonfrontasi.
Namun, tidak perlu berkecil hati, karena Allah subhanahu wa ta’ala akan menolong kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40—41)
Segala makar jahat tidak akan ada pengaruhnya jika Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki.
- Sayang kepada kaum muslimin
Melengkapi penjelasan di atas, sikap
sayang terhadap kaum muslimin adalah hal yang mendorong seseorang untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Seorang mukmin akan ikut senang
dengan kesenangan mereka dan ikut prihatin dengan kondisi buruk yang ada
di tengah-tengah mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اْلمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِن
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Sikap sayang ini akan melahirkan ketulusan, kelemahlembutan, dan selalu
menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin. Nasihat yang diberikan adalah
untuk memperbaiki dan membangun, tidak membeberkan cacat dan
menumbangkan (kepribadian seseorang). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berbicara tentang ciri-ciri Ahlus Sunnah, “Para imam Ahlus Sunnah wal
Jamaah dan ahlul ilmi, mereka memiliki ilmu, keadilan, dan kasih sayang.
Mereka mengenali kebenaran yang dengannya mereka mencocoki sunnah dan
terhindar dari bid’ah.
Mereka (juga) berbuat adil terhadap
orang yang keluar dari sunnah, bahkan walaupun menzalimi Ahlus Sunnah.
Mereka menyayangi manusia, menginginkan kebaikan, petunjuk, dan ilmu
bagi manusia. Tidak ada dari awal niat untuk berbuat jelek terhadap
manusia. Bahkan, apabila Ahlus Sunnah membalas (kejelekan) manusia dan
menjelaskan kesalahan, kebodohan, dan kezaliman mereka, tujuannya adalah
menjelaskan yang benar, menyayangi manusia, amar ma’ruf nahi mungkar,
serta bertujuan agar agama ini hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala dan supaya kalimat Allah subhanahu wa ta’ala itu yang paling mulia.” (al-Ibanah karya asy-Syaikh Muhammad al-Imam hlm. 26—27)
Berita Gembira
Kabar baik bagi Anda yang tengah
menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Anda telah berusaha menyelamatkan
akidah umat, ibadah, akhlak, dan muamalah mereka dari berbagai
penyimpangan. Semoga dengan usaha Anda ini, Allah subhanahu wa ta’ala
memalingkan azab dari umat ini serta menurunkan berkah-Nya untuk kita
semua. Anda termasuk orang yang terbaik ucapannya, sebagaimana firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Anda sedang mengikuti jejak para nabi dan rasul. Terimalah hadiah yang mulia berikut ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, baginya pahala seperti yang melakukan kebaikan.” (Sahih, HR. al-Imam Muslim, Ahmad, dll dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئاً
“Barang siapa mengajak kepada
petunjuk, ia mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Sebagai penutup, mari kita senantiasa
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar pada diri, keluarga, masyarakat, dan
bangsa kita, bahkan seluruh manusia. Sungguh, inilah jalan keselamatan
dan pintu menuju keberkahan. Namun, jangan lupa untuk meluruskan niat
serta meningkatkan kualitas ilmu dan amal.
Curahkanlah kebaikan kepada seluruh manusia dengan penuh kasih sayang. Berteladanlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan generasi terbaik umat ini dalam menjalankan tugas dakwah yang mulia
ini serta bersabarlah atas segala rintangan karena Allah subhanahu wa ta’ala bersama orang-orang yang sabar.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ أَجْمَعِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc
Mengingkari Kemungkaran Mendulang Berkah dalam Meneladani Para Rasul
Selalu Salah, Tabiat Manusia
Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Allah subhanahu wa ta’ala
pula yang menyusun tubuh manusia beserta organ-organ yang saling
menopang dalam kesempurnaan penciptaan tersebut. Setiap organ memiliki
tugas yang berbeda. Organ yang selalu saling menolong, bahu-membahu
tanpa pamrih, tidak ada keluhan, atau menolak permintaan organ yang
lain. Itulah salah satu sisi kesempurnaan penciptaan manusia.
Di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala telah membedakan
manusia dengan makhluk yang lain, yaitu manusia dianugerahi akal.
Dengannya, mereka mengetahui segala kemaslahatan hidup dan yang
membahayakan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menuntut mereka
untuk menjaga, melindungi, dan berusaha ke arah yang bermanfaat serta
meninggalkan hal yang bermudarat. Karena dengan akal, Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan pengajaran wahyu dan membebankan pengamalan syariat kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala
telah memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih kebaikan atau
keburukan, jalan kebenaran atau kebatilan, serta petunjuk atau
kesesatan.
Kebebasan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka penuh dengan kasih sayang-Nya. Mereka tidak lepas dari bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia subhanahu wa ta’ala
mengutus hamba-hamba pilihan-Nya kepada manusia untuk melakukan
perbaikan terhadap segala bentuk kerusakan. Namun, ada manusia yang
dikhawatirkan oleh malaikat di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala:
Dan ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan
Engkau?” Rabb berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian
tidak ketahui.” (al-Baqarah: 30)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ucapan malaikat ini bukan penentangan terhadap kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan pula wujud hasad terhadap bani Adam sebagaimana yang dipahami oleh sebagian ahli tafsir. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat para malaikat bahwa mereka ‘tidak akan mendahului Allah subhanahu wa ta’ala dengan ucapan apa pun.’ Artinya, mereka tidak meminta sesuatu yang tidak diizinkan tatkala Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk yang akan menghuni dunia ini. Qatadah rahimahullah
berkata, ‘Telah ada dalam ilmu mereka bahwa manusia akan melakukan
perusakan di muka bumi. Oleh karena itu, mereka berkata, ‘Engkau akan
menjadikan mereka (khalifah) di muka bumi?’ Ini adalah sebuah pertanyaan
untuk mengetahui hikmah apa di balik semua ini.
Mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, apa hikmah penciptaan mereka? Padahal sebagian mereka ada yang melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Jika hikmahnya adalah agar mereka beribadah kepada-Mu, kami pun telah bertasbih kepada-Mu dan menyucikan-Mu. Kami shalat menghadap-Mu dan tidak pernah terjadi sedikit pun (perusakan dan pertumpahan darah) seperti itu. Apakah kekurangan diri kami?’
Mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, apa hikmah penciptaan mereka? Padahal sebagian mereka ada yang melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Jika hikmahnya adalah agar mereka beribadah kepada-Mu, kami pun telah bertasbih kepada-Mu dan menyucikan-Mu. Kami shalat menghadap-Mu dan tidak pernah terjadi sedikit pun (perusakan dan pertumpahan darah) seperti itu. Apakah kekurangan diri kami?’
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjawab pertanyaan mereka, ‘Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.’ Maknanya, Allah subhanahu wa ta’ala
mengetahui maslahat yang kuat dalam penciptaan makhluk ini meskipun
memiliki sifat merusak sebagaimana yang disebutkan oleh malaikat. Sebuah
hikmah yang malaikat tidak mengetahuinya. Allah subhanahu wa ta’ala
akan menjadikan sebagian mereka sebagai nabi, lalu mengutus para rasul
ke tengah-tengah mereka, dan di kalangan mereka juga ada shiddiqun
(orang-orang yang jujur), para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah,
ahli zuhud, orang-orang baik, orang-orang yang didekatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, ulama, orang-orang yang beramal, orang-orang yang khusyuk, orang-orang yang mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, dan orang-orang yang mengikuti para rasul. Shalawat dan salam atas mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/216)
Kerusakan yang dilakukan oleh mereka di muka bumi ini bermacam-macam
bentuknya. Semuanya kembali kepada satu arah, yaitu bermaksiat kepada
Allah subhanahu wa ta’ala. Abu Aliyah rahimahullah berkata, “Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala berarti melakukan kerusakan karena kebaikan dunia dan langit ini adalah dengan ketaatan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
‘Jangan kalian melakukan kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki’,
menurut kebanyakan ahli tafsir, maknanya adalah jangan kalian melakukan
kerusakan padanya dengan kemaksiatan-kemaksiatan.”
Kemudian beliau mengatakan, “Kesimpulannya, kesyirikan dan berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, beribadah kepada selain-Nya, atau menaati selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerusakan yang paling besar di muka bumi.” (Majmu’ Fatawa 15/24)
Di samping kerusakan yang akan diperbuat, manusia juga banyak melakukan kesalahan dan kekeliruan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan di dalam haditsnya:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap bani Adam banyak melakukan
kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang banyak
bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Darimi, dihasankan oleh
asy-Syaikh al-Albani di dalam al-Misykat no. 2341)
Perbaikan Setelah Kerusakan
Perusakan di muka bumi terus bergulir
dengan bermacam-macam bentuk dan model. Semuanya bermuara pada satu hal,
yaitu menolak segala bentuk perbaikan, dengan nama apa pun. Artinya,
menolak diutusnya para rasul dan menolak undang-undang hidup yang dibawa
oleh para rasul tersebut. Menurut mereka, Al-Qur’an dan as-Sunnah yang
menjadi rujukan tidak perlu dihiraukan. Semua ini tentu akan berdampak
pada kehidupan yang celaka dan kebinasaan jika tidak segera kembali
kepada kebenaran yang dibawa. Allah subhanahu wa ta’ala telah memperbaiki dunia ini dengan diutusnya para rasul yang ditutup oleh nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menurunkan kitab-kitab dan shuhuf (lembaran-lembaran) yang ditutup oleh kitab Al-Qur’an.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Menyeru untuk taat kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala setelah Dia memperbaiki dunia ini dengan mengutus para rasul, menjelaskan syariat dan seruan menuju ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, adalah salah satu sifat orang yang merusak.” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memperbaiki dunia ini dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
agamanya, dan perintah untuk mentauhidkan-Nya, serta melarang untuk
merusak dunia ini dengan menyekutukan-Nya dan menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barang siapa yang mempelajari kondisi alam ini, dia akan menemukan
bahwa sebab segala bentuk kebaikan di muka bumi adalah mentauhidkan
Allah subhanahu wa ta’ala, menaati-Nya, dan menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun segala kejahatan di alam ini: fitnah, bala, paceklik, dikuasai
musuh, dan sebagainya, sebabnya adalah penyelisihan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seruan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa mendalaminya secara benar niscaya dia akan menemukan semua
hal ini, baik pada dirinya maupun orang lain. Tidak ada daya, upaya,
dan kekuatan melainkan milik Allah subhanahu wa ta’ala.” (Majmu’ Fatawa 15/24)
Penolakan hamba terhadap upaya perbaikan dunia ini oleh Allah subhanahu wa ta’ala
benar-benar nyata dan jelas. Bahkan, orang-orang yang diutus melakukan
perbaikan dituduh sebagai perusak. Ironinya, di antara mereka ada yang
dibunuh, seperti Nabi Yahya ‘alaihissalam dan Nabi Zakariya ‘alaihissalam. Tindakan anarki yang dilakukan oleh umat dengan membunuh utusan Allah subhanahu wa ta’ala
tersebut sesungguhnya termasuk gerakan cinta kemungkaran dan benci
kebaikan kendatipun mereka mengistilahkannya sebagai upaya
mempertahankan kebudayaan/ajaran nenek moyang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan ucapan kaum Nabi Nuh kepada beliau ‘alaihissalam:
Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata,
“Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.”
Nuh menjawab, “Wahai kaumku, tidak ada padaku kesesatan sedikit pun, aku
hanyalah utusan dari Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 60—61)
Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan pula ucapan kaum ‘Ad kepada Nabi Hud ‘alaihissalam:
Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami
benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya
kami menganggap kamu termasuk orang orang yang berdusta.” Hud berkata,
“Wahai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikit pun, tetapi aku
ini adalah utusan dari Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 66—67)
Allah subhanahu wa ta’ala juga mengisahkan ucapan kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam:
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di
antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang
telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus
(menjadi rasul) oleh Rabb-nya?” (al-A’raf: 75)
Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan ucapan kaum Nabi Luth ‘alaihissalam:
Dan jawab kaumnya tidak lain hanya
mengatakan, “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu
ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan
diri.” (al-A’raf: 82)
Allah subhanahu wa ta’ala pun mengisahkan ucapan penduduk Madyan kepada Nabi Syu’aib ‘alaihissalam:
Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang
menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu, wahai
Syu’aib, dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau
kamu kembali kepada agama kami.” (al-A’raf: 88)
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan ucapan Fira’un tentang Nabi Musa ‘alaihissalam:
Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata,
“Sesungguhnya Musa adalah ahli sihir yang pandai, yang bermaksud hendak
mengeluarkan kamu dari negerimu.” (Fir’aun berkata), “Maka apakah yang
kamu anjurkan?” Pemuka-pemuka itu menjawab, “Beri tangguhlah dia dan
saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang akan
mengumpulkan (ahli-ahli sihir).” (al-A’raf: 109—111)
Dan pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) berkata,
“Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di
negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” Fir’aun
menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan
hidup perempuan-perempuan mereka. Sesungguhnya kita berkuasa penuh di
atas mereka.” (al-A’raf: 127)
Kemungkaran yang Dihadapi oleh Para Nabi dan Rasul
Perjalanan hidup setiap hamba ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala
lah yang telah mengatur ragam kehidupan mereka. Ada yang baik dan ada
yang jelek. Ada yang mendapatkan petunjuk dan ada yang tidak
mendapatkannya. Ada yang beriman dan ada yang kafir. Ada yang
memperbaiki dan ada pula yang merusak. Semua ini ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan sesungguhnya kamu akan
ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (an-Nahl: 93)
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus para rasul ke tengah
kaum yang membuat kerusakan untuk memperbaiki perbuatan mereka. Tidak
ada tingkat dan bentuk kerusakan terbesar yang mereka hadapi selain
menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah muara segala
bentuk kerusakan. Bahkan, bermunculannya para penguasa yang diktator pun
tidak luput darinya, sampai pun dia mengaku diri sebagai Rabb semesta
alam. Semua ini menunjukkan besarnya kerusakan syirik yang tidak hanya
menimpa rakyat jelata, namun juga para penguasa. Pengutusan para rasul
ke tengah mereka memiliki misi yang sama yaitu:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu!” Di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (an-Nahl: 36)
Para Rasul Memulai Dakwah
Dari ayat di atas, jelas bahwa para
rasul memulai pemberantasan dan pengingkaran terhadap yang mungkar dari
yang terbesar kemungkarannya, yaitu kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dalam kitab beliau al-Ushulu ats-Tsalatsah menjelaskan, “Perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah mentauhidkan-Nya, yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam peribadahan. Larangan Allah subhanahu wa ta’ala yang terbesar adalah menyekutukan-Nya, yaitu berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mendulang Berkah dari Para Rasul Menjadi Keberkahan di Masa Kini
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke tengah-tengah kaum yang tatanan kehidupan mereka telah hancur. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka butuhkan. Siang malam, para utusan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut menyampaikan amanat risalah tanpa dihinggapi rasa bosan dan putus asa. Mereka yakin bahwa hidayah ada di tangan Dzat yang mengutus mereka. Mereka hanya diperintahkan untuk berusaha menyampaikan segala apa yang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka bersabar menghadapi segala gangguan di jalan dakwah.
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke tengah-tengah kaum yang tatanan kehidupan mereka telah hancur. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka butuhkan. Siang malam, para utusan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut menyampaikan amanat risalah tanpa dihinggapi rasa bosan dan putus asa. Mereka yakin bahwa hidayah ada di tangan Dzat yang mengutus mereka. Mereka hanya diperintahkan untuk berusaha menyampaikan segala apa yang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka bersabar menghadapi segala gangguan di jalan dakwah.
“Maka bersabarlah kamu seperti
orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah
bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) atas mereka.”
(al-Ahqaf: 35)
Setiap langkah yang mereka lakukan dalam menepis kemungkaran tidak
keluar dari koridor dan jalan yang telah dipancangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menjalani dakwah di atas wahyu ilahi sehingga berhasil mengubah dan menyelamatkan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah tugas besar tersebut mereka emban, jelaslah siapa yang berada dalam kecelakaan dan yang selamat.
Mendulang keberkahan dari usaha mereka itu tergambar dalam beberapa hal
ketika melawan kemungkaran, di antaranya: mengikhlaskan niat semata-mata
mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala, menegakkannya di atas
ilmu, meneladani para rasul, bersabar di jalannya, tidak bosan
melaksanakannya, bersemangat ketika memikulnya, percaya akan bantuan dan
pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala, serta tidak berputus asa.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Kesan Indah dalam Teguran
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkisah:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Seorang Arab badui datang. Ia lantas buang air kecil di salah satu
sudut masjid. Orang-orang berusaha untuk menghalangi, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melarang mereka. Setelah ia selesai dari hajatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyediakan seember air. Kemudian, air tersebut diguyurkan ke tempat (buang air kecil) tersebut.”
Derajat Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 221) dan Muslim (no. 284 & 285).
Dalam riwayat Abu Dawud (ash-Shahihah,
380) ditambahkan lafadz yang menyebutkan, “Lalu orang badui tersebut
berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah rahmat untuk diriku dan Muhammad.
Janganlah engkau merahmati orang lain selain kami.’ Nabi Muhammad
menyatakan, ‘Sungguh, engkau telah mempersempit sesuatu yang luas’.”
Makna Hadits
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
berkata menjelaskan hadits ini, “Pada umumnya, watak asli orang-orang
Arab dari pedalaman (badui) adalah kaku dan jahil terhadap hukum-hukum
Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang ada di dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu ini adalah salah satu contohnya. Seorang Arab badui masuk ke Masjid Nabi di kota Madinah. Saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat sedang berada di dalam masjid. Orang badui tersebut
lalu berjalan menuju salah satu sudut masjid, kemudian duduk dan buang
air kecil. Perbuatan itu dianggap sebagai kesalahan besar oleh para
sahabat. Mereka pun berteriak ingin menghalanginya. Akan tetapi,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malah melarang
mereka, karena kelemahlembutan dan perhatian beliau terhadap orang
jahil. Dengan hal ini, beliau sekaligus memberi pengajaran kepada umat
agar mereka menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara hikmah dan
lemah lembut. Bisa jadi, jika orang badui tersebut dilarang, ia akan
bangkit berdiri (sebelum selesai hajatnya) dan benda najis justru akan
mengenai pakaian dan badannya, serta tercecer pada beberapa tempat di
dalam masjid. Bahkan, ia akan mengalami gangguan karena menghentikan
hajatnya secara terpaksa.
Setelah menyelesaikan hajatnya dan hilanglah hal-hal yang dikhawatirkan di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat menghilangkan bekas kencingnya dengan membersihkan tempat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tempat itu diguyur dengan menggunakan seember air.
Al-Imam Muslim rahimahullah menambahkan riwayat, “Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada orang badui tersebut, ‘Sesungguhnya, masjid tidaklah
pantas untuk membuang air atau kotoran. Masjid hanyalah untuk berzikir
kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shalat, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana yang disabdakan beliau.
Di dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah para sahabat untuk membiarkannya. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya, kalian diutus untuk memberi kemudahan. Kalian
tidaklah diutus untuk menimbulkan kesusahan.” (Tanbihul Afham 1/87—88)
Asy-Syaikh Alu Bassam menerangkan alasan sikap lemah lembut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap orang badui tersebut, yaitu agar nasihat dan pelajaran lebih
mudah diterima saat beliau sampaikan. (Taisirul ‘Allam 1/88)
Menumbuhkan Mental Seorang Penasihat
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
menjelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya pembahasan ini, yaitu amar ma’ruf
nahi mungkar, telah sering diabaikan semenjak dahulu. Hanya sedikit
yang tersisa. Kewajiban ini adalah urusan besar. Dengannya, urusan
menjadi tegak dan kokoh, karena jika keburukan telah banyak menyebar,
siksa akan dirasakan oleh orang baik dan orang jahat. Apabila mereka
tidak mencegah perbuatan zalim, telah dekat masanya Allah subhanahu wa ta’ala
akan menurunkan siksa secara merata. Hendaknya orang-orang yang
menyelisihi perintah-Nya berhati-hati akan ditimpakan kepada mereka
ujian atau azab yang pedih. Semestinya, para pencari akhirat dan
pengejar ridha Allah subhanahu wa ta’ala memerhatikan kewajiban
ini karena manfaatnya sangat besar. Lebih-lebih saat sebagian besar
amar ma’ruf nahi mungkar telah hilang. Hendaknya ia mengikhlaskan niat
dan tidak merasa takut terhadap orang yang ia ingkari karena
kedudukannya amat tinggi.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (al-Hajj: 40)
“Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-Ankabut: 69)
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami
telah beriman”, dan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka, sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang
dusta. (al-Ankabut: 2—3)
Ketahuilah, pahala yang diperoleh itu sesuai dengan kadar kesulitan.
Hendaknya, ia tidak meninggalkan kewajiban ini dengan alasan
persahabatan, hubungan kasih sayang, sengaja mengelak, mencari muka,
atau mempertahankan kedudukan. Sebab, persahabatan dan hubungan kasih
sayang menghadirkan kehormatan dan hak. Sebagai bentuk haknya, ia
memberinya nasihat, membimbingnya kepada kemaslahatan akhirat, dan
menyelamatkan dirinya dari mudarat.
Teman dan kekasih adalah orang yang berusaha memperbaiki urusan
akhiratnya meskipun menyebabkan dunianya berkurang. Adapun musuh adalah
orang yang berupaya melenyapkan atau mengurangi urusan akhiratnya
meskipun dengan itu ia memperoleh gambaran manfaat di dunia.
Sesungguhnya, Iblis lah musuh kita, sedangkan para nabi adalah kekasih
kaum mukminin karena usaha mereka untuk kemaslahatan akhirat dan hidayah
mereka.
Kita memohon, agar Allah Yang Mahamulia mencurahkan taufik kepada kita,
orang-orang tercinta, dan kaum muslimin secara keseluruhan sehingga
memperoleh keridhaan-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan kedermawanan dan rahmat-Nya untuk kita. Wallahu a’lam.
Pelaksana amar ma’ruf nahi mungkar sendiri semestinya bersikap lemah
lembut agar lebih memungkinkan meraih tujuan. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
pernah berpetuah, “Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia
telah memberikan untuknya nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun
seseorang yang menegur saudaranya secara terbuka (di muka umum), ia
telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.”
Di antara bentuk amar ma’ruf nahi mungkar yang diremehkan oleh sebagian
besar kaum muslimin adalah ketika seseorang menyaksikan orang lain
menjual barang dagangan yang memiliki cacat atau semisalnya. Ia tidak
mengingkarinya, tidak juga memberitahu si pembeli tentang cacat
tersebut. Ini adalah kesalahan fatal. Para ulama telah menjelaskan bahwa
orang yang mengetahuinya wajib mengingkari si penjual dan memberitahu
si pembeli. Wallahu a’lam. (Syarah Shahih Muslim 2/24)
Agar Teguran Dirasakan Indah
Seorang muslim, pelaku dakwah, mesti
mempertimbangkan banyak sisi dalam menjalani kehidupan pribadi seorang
muslim, terutama dalam mengajak atau menegur. Berikut ini beberapa hal
yang dapat kami sajikan.
- Teguran dan nasihat harus dilandasi asas kelembutan. Dengan
demikian, pihak yang dinasihati atau ditegur akan benar-benar merasakan
niat baik dari pihak yang memberi nasihat. Dengan asas kelembutan dan
kasih sayang, nasihat dan teguran akan mudah diterima, mengena dalam
hati, dan membuahkan berkah.
Abu Umamah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, “Ada seorang pemuda menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan saya untuk berbuat zina?’ Para sahabat pun spontan bersuara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Mendekatlah kemari!’ Pemuda itu lalu mendekat dan duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya, ‘Relakah engkau jika hal itu terjadi pada ibumu?’ Ia menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya sebagai tebusanmu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tentu demikian juga orang lain. Mereka tidak rela hal itu terjadi pada ibu mereka. Relakah engkau jika perbuatan tersebut terjadi pada putrimu?’ Ia menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya sebagai tebusanmu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tentu demikian juga orang lain. Mereka tidak rela hal itu terjadi pada putri mereka. Relakah engkau jika perbuatan tersebut terjadi pada saudara perempuanmu?’
(Ibnu Auf menambahkan, Rasulullah juga menyebut bibi [dari ayah dan ibu])
Pemuda itu selalu menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya untuk tebusanmu.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan beliau di atas dada si pemuda, lalu mendoakannya:
Pemuda itu selalu menjawab, ‘Tentu tidak, Allah menjadikan saya untuk tebusanmu.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan beliau di atas dada si pemuda, lalu mendoakannya:
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قَلْبَهُ وَاغْفِرْ ذَنْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ
‘Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan jagalah kemaluannya.’
Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih ia benci daripada perbuatan zina.” (HR. Ahmad 3/285, lihat ash-Shahihah, 1/645 no. 370)
Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih ia benci daripada perbuatan zina.” (HR. Ahmad 3/285, lihat ash-Shahihah, 1/645 no. 370)
Perhatikanlah! Kita dapat menyaksikan cara yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengobati “penyakit” sang pemuda. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengambil sikap kasar, tidak pula menghadapinya dengan hati keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
justru berbicara melalui akal sehat si pemuda, berusaha menguatkan ruh
kebaikan pada dirinya, dan memadamkan api syahwat darinya.
Pembaca…
Pada kesempatan lain, seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku!” Rasulullah bertanya, “Apakah yang membuat dirimu binasa?” Ia menjawab, “Aku telah menggauli istriku pada siang hari bulan Ramadhan, padahal aku sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar ia memerdekakan seorang budak. Orang itu berkata, “Aku tidak punya.” Lantas, Rasulullah memerintahkannya untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia mengatakan, “Aku tidak akan mampu.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin. Ia berkata, “Aku tidak mampu.” Orang itu lalu duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu datang membawa sekeranjang kurma lalu bersabda, “Terimalah ini dan bersedekahlah dengannya!”
Pada kesempatan lain, seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku!” Rasulullah bertanya, “Apakah yang membuat dirimu binasa?” Ia menjawab, “Aku telah menggauli istriku pada siang hari bulan Ramadhan, padahal aku sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar ia memerdekakan seorang budak. Orang itu berkata, “Aku tidak punya.” Lantas, Rasulullah memerintahkannya untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia mengatakan, “Aku tidak akan mampu.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin. Ia berkata, “Aku tidak mampu.” Orang itu lalu duduk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu datang membawa sekeranjang kurma lalu bersabda, “Terimalah ini dan bersedekahlah dengannya!”
Ia berkata,
أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللهِ؟ وَاللهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنِّي
“Apakah untuk orang yang lebih fakir
dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua gunung ini tidak
ada keluarga yang lebih fakir daripada kami.”
Rasulullah pun tertawa hingga terlihat geraham beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikanlah untuk makan keluargamu sendiri!”
Hadits di atas, yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 1936) dan Muslim (no. 1111), hendaknya menjadi pegangan
setiap muslim dalam hidupnya. Dalam kelembutan, ada samudra kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa, bukan
tertawa biasa. Sebab, geraham beliau pun terlihat. Mengapa? Orang itu
datang sambil mengatakan, “Binasalah aku!” Akan tetapi, ia pulang
membawa keberuntungan. Bagaimana, jika salah seorang dari kita yang
mengalaminya? Mungkin dengan mudah kita menyalahkan orang tersebut.
Mungkin dengan ringan kita akan memperolok-olok dirinya. Atau bahkan,
kita akan menghinanya hanya karena ia terjatuh dalam kesalahan.
Hendaknya seorang muslim tidak merasa senang ketika saudaranya terjatuh
dalam kesalahan. Sebaliknya, ia justru berusaha memperbaiki saudaranya
sebagaimana halnya ia ingin dirinya baik.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan jika ia memiliki tiga
perangai: lemah lembut dalam mengajak dan melarang, bersikap adil dalam
mengajak dan melarang, serta berilmu tentang apa yang diajak dan
dilarangnya.” (al-Wara’, al-Imam Ahmad hlm. 166)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ وَيُعْطِي عَلَيْهِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang
Mahalembut. Ia mencintai kelembutan dalam setiap hal. Ia akan
memberikan (kebaikan) pada kelembutan sesuatu yang tidak Ia berikan pada
kekerasan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebagai bentuk kelembutan, ia
menjaga harga diri dan kehormatan saudaranya yang muslim dengan memberi
nasihat atau teguran secara baik dan tidak menceritakan kesalahannya ke
sana-kemari. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah memberikan petuah,
“Barang siapa menegur saudaranya secara diam-diam, ia telah memberinya
nasihat dan menghiasi dirinya. Adapun seseorang yang menegur saudaranya
secara terbuka, ia telah membuat saudaranya malu dan merasa buruk.” (Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi 2/24)
Lain halnya jika saudaranya melakukan kesalahan secara terang-terangan,
merasa bangga, mengulanginya setelah ditegur, dan memberikan dampak
buruk yang besar, ia dapat menegurnya secara terbuka agar khalayak umum
dapat berhati-hati dan menghindarinya. Wallahu a’lam.
- Yang harus diperhatikan juga dalam amar ma’ruf nahi mungkar adalah penguasaan tentang kondisi orang, tabiat, watak masyarakat, dan waktu. Dengan demikian, cara penyampaian dan metode pelaksanaan akan sesuai dengan kadar dan kemampuan. Cara penyampaian kepada orang awam tentu berbeda dengan cara penyampaian kepada orang yang terpelajar. Demikian juga antara orang pandai dan orang jahil.
Abbas al-Anbari berkisah, “Aku pernah
berjalan bersama Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) di kota Basrah. Lalu aku
mendengar seseorang berkata kepada orang lain, ‘Wahai anak zina!’ Orang
itu pun membalas, ‘Apa anak zina!?’ Aku pun berhenti, sementara Abu
Abdillah terus berjalan. Lalu, al-Imam Ahmad menoleh ke arahku, ‘Wahai
Abul Fadhl, ayo terus jalan!’ Aku mengatakan, ‘Kita telah mendengar (apa
yang mereka ucapkan), kita wajib (mengingatkan).’ Al-Imam Ahmad segera
menjawab, ‘Peristiwa tadi tidak termasuk’.” (al-Amru bil Ma’ruf,
al-Khallal hlm. 114)
Saat itu, al-Imam Ahmad tidak
mengingatkan pelaku (yang mengucapkan kata-kata kotor) karena orang itu
berasal dari kalangan rendahan.
- Saat menegur atau menyampaikan nasihat, pertimbangkanlah baik buruknya, maslahat dan mafsadahnya. Akankah memunculkan kebaikan, ataukah justru melahirkan kemungkaran yang lebih parah?
Ibnul Qayyim rahimahullah (I’lamul Muwaqqi’in 3/4) menjelaskan, “Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menetapkan syariat untuk umatnya dalam hal mengingkari
kemungkaran, dengan tujuan munculnya kebaikan yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya. Apabila konsekuensi dari mengingkari satu bentuk
kemungkaran adalah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi dan
lebih dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tidak diperkenankan untuk mengingkarinya meskipun Allah subhanahu wa ta’ala
membencinya dan membenci pelakunya. Siapa saja yang memerhatikan
berbagai peristiwa yang pernah terjadi dalam Islam, baik besar maupun
kecil, ia pasti menemukan bahwa ajaran semacam ini telah diabaikan.
Demikian juga kurangnya kesabaran dalam
mengingkari kemungkaran sehingga ia berusaha menghilangkannya dengan
tergesa-gesa. Akhirnya, usahanya justru menimbulkan kemungkaran yang
jauh lebih parah. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan kemungkaran terbesar di Makkah, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat mengubahnya.
Bahkan, sekalipun Makkah telah dibukakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
untuk beliau dan menjadi negeri Islam, ditambah keinginan kuat beliau
untuk mengubah letak Ka’bah dengan mengembalikannya pada posisi fondasi
Ibrahim. Akan tetapi, itu semua beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam urungkan, padahal beliau mampu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir hal itu akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah, yaitu
penolakan dari Quraisy, sementara mereka baru saja masuk ke dalam Islam
dan baru beberapa saat terlepas dari kekafiran.”
Faedah Hadits
Hadits ini mengandung beberapa faedah. Kami menukilkannya dari penjelasan asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarah Bulughul Maram, dengan beberapa perubahan.
- Orang jahil tidak dapat diajak berbicara sebagaimana orang pandai, namun mereka disikapi dengan kelembutan. Orang Arab badui tersebut menyangka bahwa sudut masjid yang lapang itu seperti tempat lapang biasa, dapat digunakan untuk buang air kecil.
- Keumuman watak masyarakat pedalaman adalah kejahilan. Sama halnya dengan masyarakat pedalaman, orang yang tidak aktif menghadiri majelis ilmu dan majelis ulama, seringnya akan mengalami kejahilan.
- Bertindak segera dalam mencegah kemungkaran. Sebab, para sahabat cepat-cepat mencegah kemungkaran dan melarang orang badui tersebut.
- Apabila satu bentuk kemungkaran tidak hilang melainkan dengan memunculkan kemungkaran yang lebih besar, untuk sementara boleh tidak diingkari. Artinya, kemungkaran itu didiamkan hingga tiba waktu yang tepat. Dalilnya adalah sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para sahabat yang hendak menghentikan hajat orang badui tersebut. Penjelasannya telah diterangkan di atas.
- Tanah akan menjadi suci dengan menuangkan air di atasnya, tidak perlu menggalinya, seperti yang dikerjakan oleh sebagian orang. Cukup dengan menuangkan air pada tempat yang terkena najis, tanah pun menjadi suci. Namun, jika najis itu berbentuk benda, seperti tinja, benda najis tersebut dihilangkan baru kemudian dituangkan air pada tempatnya.
- Untuk menyucikan najis yang mengenai tanah tidak ditentukan jumlah tuangan air atasnya.
- Air seni manusia hukumnya najis. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perintah untuk menyucikannya. Ada riwayat yang menjelaskan ancaman siksa untuk orang yang tidak membersihkan atau menyucikan diri dari air seni.
- Salah satu syarat sah shalat adalah kesucian tempat. Masjid adalah tempat melaksanakan shalat. Jika kesucian tempat bukan termasuk syarat shalat, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintah para sahabat untuk menuangkan air pada tempat tersebut.
- Tidak diperbolehkan meletakkan benda najis dalam masjid. Demikian juga membuang sampah di masjid meskipun sampah tersebut benda yang suci karena masjid harus dibersihkan dari kotoran dan sampah.
- Menjaga kesucian masjid adalah wajib hukumnya.
- Indahnya akhlak, metode pengajaran, dan hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bagusnya cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi penjelasan. Beliau membimbing, tidak pantas benda kotor dan najis berada di dalam masjid. Masjid dibangun untuk melaksanakan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti shalat, zikir, dan yang semisalnya.
- Aktivitas keduniaan tidak seharusnya dilakukan di dalam masjid. Masjid tidak boleh digunakan untuk kegiatan jual beli, mengumumkan kehilangan barang, atau melakukan profesi usaha. Contoh mudahnya, seorang penjahit diharamkan bekerja menjahit di dalam masjid karena masjid dibangun hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Semoga ringkasnya pembahasan ini tidak
mengurangi manfaat yang diperoleh. Mudah-mudahan semakin bertambahnya
ilmu dan pengalaman, beriring dengan perjalanan waktu, Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan kita sebagai hamba yang selalu berhias dengan sifat hikmah
dan kelembutan. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

Pelanggaran Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di sini, penulis tidak bermaksud
menyebutkan satu per satu pelanggaran yang terjadi ketika beramar ma’ruf
nahi mungkar yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, atau
organisasi.
Sebenarnya, dari semua tulisan tentang masalah ini sudah sangat jelas
mana langkah yang benar dan tepat yang bisa menjadi pegangan, serta mana
langkah yang keliru dan tidak sesuai syariat untuk kemudian dihindari.
Tentu, siapa pun yang menempuh cara-cara yang keliru dan tidak sesuai
syariat berati telah melakukan sebuah pelanggaran. Namun, yang penulis
maksud dengan pelanggaran di sini lebih ke arah adanya sebagian orang,
kelompok, atau organisasi yang lantang menyuarakan amar ma’ruf nahi
mungkar, tetapi di sisi lain mereka jauh dari yang ma’ruf, tidak
mengamalkannya, justru dekat kepada kemungkaran, bahkan melakukan
kemungkaran. Adakah pelanggaran amar ma’ruf nahi mungkar yang lebih
besar dari ini?!
Yang wajib bagi setiap muslim, baik yang memerintah maupun yang diperintah, adalah mengikuti kebenaran.
Sungguh banyak ancaman yang keras dan teguran yang tegas bagi siapa saja
yang ucapannya menyelisihi perbuatannya, terutama orang yang melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mengapa kamu suruh orang lain
mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu
sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka, tidakkah kamu
berpikir?” (al-Baqarah: 44)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan.” (ash-Shaff: 2—3)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala lainnya:
Syu’aib berkata, “Wahai kaumku,
bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan
dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi
perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan
mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud selain
(mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah
aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud: 88)
Di dalam banyak hadits yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf namun tidak melakukan yang
ma’ruf dan bernahi mungkar tetapi justru melakukan yang mungkar, ia
bagaikan keledai Jahannam yang isi perutnya keluar terburai.
Sahabat Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku
mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pada hari kiamat, akan dihadirkan
seseorang yang kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya
keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai
yang berputar-putar menarik mesin gilingannya. Lalu penduduk neraka
berkumpul mengelilinginya seraya berkata, ‘Wahai fulan, apa yang terjadi
denganmu? Bukankah kamu dahulu orang yang memerintah kami berbuat
ma’ruf dan melarang kami berbuat mungkar?’ Orang itu berkata, ‘Aku
memang memerintah kalian agar berbuat ma’ruf tapi aku sendiri tidak
melaksanakannya dan melarang kalian berbuat mungkar, namun aku malah
mengerjakannya’.” (HR. al-Bukhari no. 3027 bab “Sifatun Nar wa Annaha
Makhluqah” dan Muslim no. 5305 bab “‘Uqubatu man Ya’mur bil Ma’ruf wala
Yaf’aluhu…”)
Begitu juga orang yang diperintah kepada yang ma’ruf. Apabila ia tidak
menghiraukannya dan berpaling dari peringatan, keadaannya pun sama
bagaikan keledai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka mengapa mereka (orang-orang
kafir) berpaling dari peringatan (Allah subhanahu wa ta’ala)?
Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari
singa.” (al-Mudatstsir: 49—51)
Dari sahabat Anas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika malam Isra’, aku melewati suatu kaum yang lidahnya dipotong dengan gunting dari api. Aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
bertanya, ‘Kenapa mereka dihukum seperti itu?’ (Malaikat) berkata,
‘Mereka adalah umatmu di dunia, mereka memerintahkan kebaikan kepada
orang-orang namun melupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca
Al-Qur’an. Mengapakah mereka tidak menggunakan akal sehatnya?!’.” (HR.
Ahmad no. 12391)
Ancaman keras yang tertera, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang
ditujukan kepada para penegak amar ma’ruf nahi mungkar, seperti isi
perut yang keluar terburai, lidah yang dipotong dengan api, dan
kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala, bukan karena beramar
ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi, karena melakukan kemungkaran dalam
keadaan mengetahuinya dan menasihati manusia untuk menjauh darinya,
serta meninggalkan yang ma’ruf dalam keadaan mengetahuinya dan
memotivasi manusia untuk melakukannya. Jadi, ancaman itu disebabkan oleh
kemaksiatan, bukan lantaran beramar ma’ruf nahi mungkar, karena pada
dasarnya amalan tersebut (amar ma’ruf nahi mungkar) adalah baik.
Dari sini, jelas bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak gugur
(kewajibannya) sekalipun bagi yang tidak saleh, apalagi yang saleh.
Untuk itu, seorang muslim memikul dua kewajiban sekaligus: kewajiban
beramar ma’ruf nahi mungkar dan kewajiban mengamalkan yang ma’ruf yang
telah diperintahkannya kepada manusia. Kemudian kewajiban mencegah
kemungkaran (nahi mungkar) dan kewajiban meninggalkan kemungkaran.
Jika salah satunya saja yang dilakukan dan mengabaikan kewajiban
lainnya, atau bahkan meninggalkan kedua-duanya, dia mendapat ancaman. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

Akibat Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di awal pembahasan ini telah
dijelaskan tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak sedikit di
dalam Al-Qur’an, sanjungan dan pujian kepada yang menunaikannya dengan
baik, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang
siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak
Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (an-Nisa: 114)
Kemudian, apa akibat yang akan diperoleh oleh orang yang mengabaikan dan
meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar? Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara detail memberitahukan kepada kita sebagai berikut.
Pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Maidah: 63)
Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini
menegaskan bahwa orang yang tidak mencegah kemungkaran sama halnya
dengan pelaku kemungkaran itu sendiri. Ayat ini juga sekaligus sebagai
celaan bagi para ulama yang tidak beramar ma’ruf nahi mungkar.”
(al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengutip riwayat dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
tentang ayat ini. Beliau (Ibnu Abbas) berkata, “Tidak ada dalam
Al-Qur’an celaan sekeras (celaan) yang ada di ayat ini.” (Tafsir
al-Qur’anul ‘Azhim)
Kedua: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud
dan ‘Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
Inilah akibat tidak saling mengingatkan dan mencegah kemungkaran yang dilakukan. Allah subhanahu wa ta’ala mencela mereka, agar (siapa pun) berhati-hati dari melakukan hal yang sama. (lihat Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Ijma’ sudah ditetapkan
bahwa mencegah kemungkaran adalah wajib bagi yang mampu dan aman dari
bahaya yang mengancam diri serta kaum muslimin secara umum. Namun, jika
dikhawatirkan ada bahaya (mudarat), mengingkarinya adalah dengan hati
dan menjauh dari kemungkaran tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Ayat di atas juga terkait dengan orang yang mendiamkan kemungkaran
padahal mampu dan berwenang mencegahnya. (lihat Tafsir Taisir
Karimirrahman, as-Sa’di)
Ketiga: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka,
Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat serta
Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras,
disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-‘Araf: 165)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala
telah memastikan akan selamatnya orang-orang yang mengingkari
kemungkaran serta binasanya orang-orang yang zalim dan yang
mendiamkannya, karena balasan yang akan diperoleh itu akan setimpal
dengan perbuatan yang dilakukan.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)
Keempat: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh
para nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang
menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka
akan menerima siksa yang pedih.” (Ali Imran: 21)
Ayat ini, menurut al-Imam al-Qurthubi rahimahullah, menunjukkan
bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga wajib atas umat terdahulu. Beliau
juga mengatakan, “Seperti yang telah disinggung oleh Ibnu Abdil Bar,
kemungkaran itu wajib dicegah oleh siapa pun yang mampu.” (al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an)
Di dalam Shahih al-Bukhari dari Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah subhanahu wa ta’ala
dan yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan
sebuah kapal, yang sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di
atas dan sebagian lagi di bagian bawah. Jika mereka (yang di bawah)
mencari air untuk minum mereka, mereka harus melewati orang-orang yang
berada di bagian atas. Mereka pun berkata, ‘Seandainya boleh, kami
lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami, sehingga kami
tidak mengganggu orang yang berada di atas kami.’ Jika orang yang berada
di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah
itu, mereka akan binasa semuanya. Namun, jika mereka mencegah dengan
tangan mereka, maka mereka akan selamat semuanya.” (HR. al-Bukhari no
2313, 2489, at-Tirmidzi no. 2099, Ahmad no. 17638, 17653 )
Hadits yang mulia ini memberikan
keterangan yang penting bahwa kaum muslimin berserikat dalam urusan
agama yang akan menyelamatkan mereka di akhirat. Ini persis seperti
berserikatnya manusia pada umumnya dalam manfaat berlayar menggunakan
sebuah kapal untuk keselamatannya di dunia.
Apabila semua orang yang berserikat menggunakan kendaraannya berupa
kapal tadi mendiamkan salah seorang mereka yang akan merusak
keseimbangan perahu, hal itu akan menjadi penyebab celakanya mereka
semua.
Demikian juga, diamnya kaum muslimin
terhadap orang yang melakukan kefasikan dan tidak mengingkari
kemungkarannya akan menjadi sebab celakanya mereka semua di akhirat
bahkan juga di dunia.
Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya
kalian beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Jika tidak, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala
akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian
memohon kepada-Nya, namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR.
at-Tirmidzi no. 2095)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala
pada suatu umat sebelumnya melainkan dia memiliki pembela dan sahabat
yang memegang teguh sunnah-sunnah dan perintah-perintahnya. Kemudian
datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak
mereka lakukan dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barang
siapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka, maka dia seorang
mukmin. Barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisan, maka dia
seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad dengan hati melawan mereka,
maka dia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan (sebesar)
biji sawi pun.” (HR. Muslim no. 71 bab “Bayan Kauni Nahyi ‘anil Mungkar
minal Iman”)
Wal ’ilmu indallah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

Mengubah Kemungkaran dengan Kekuatan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengingatkan dan memerintahkan
yang ma’ruf serta mengingatkan dan mencegah dari yang mungkar sesuai
dengan tuntunan syariat.
Persoalannya, jika dalam menjalankan itu
semua menggunakan kekuatan, seperti yang kerap dilakukan oleh
sekelompok orang, apakah syariat membolehkannya? Apakah hal tersebut
menjadi kewenangan tiap orang, ataukah menjadi kewenangan penguasa dan
pemerintah?
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah
mengatakan, “Para ulama menjelaskan, amar ma’ruf nahi mungkar bagi para
umara adalah dengan tangan, bagi para ulama dengan lisan, kemudian bagi
mereka yang lemah dan keumuman orang adalah dengan hati.”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah
berkata, “Apabila diperkirakan mengubah kemungkaran dengan tangan akan
menyebabkan timbulnya kemungkaran yang lebih besar, seperti terbunuhnya
(si pelaku kemungkaran) atau terbunuhnya pihak lain, hendaknya seseorang
menahan tangannya dan cukup menyampaikan nasihat secara lisan.
Jika penyampaian nasihat secara lisan
juga dikhawatirkan menimbulkan hal yang sama, hendaknya ia mengubah
kemungkaran dengan hatinya. Inilah yang dimaksud oleh hadits.
Kemudian, kalau ada yang meminta bantuan
untuk mengubah suatu kemungkaran, hendaknya diberi bantuan selama
proses tersebut tidak mengarah pada penggunaan senjata tajam dan
penyerangan (karena ini mengandung kemungkaran dari sisi yang lain).
Jika terjadi demikian, sebaiknya hal itu diserahkan kepada yang
mempunyai wewenang, atau sebaiknya mengingkari kemungkaran dengan hati.
Inilah duduk persoalan yang sesungguhnya
dan penerapan yang benar menurut para ulama. Berbeda dengan pandangan
(keliru) yang membolehkan pengubahan kemungkaran secara terang-terangan
pada setiap keadaan, meski menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka,
serta memunculkan banyak pertentangan.” (dikutip dari Syarh Shahih Muslim)
Pihak penguasa atau pemerintah yang
memiliki kekuasaan dan kekuatan, wajib menegakkan yang ma’ruf dan
menghilangkan yang mungkar dengan kekuatan. Demikian pula, para ulama
dapat menunaikan kewajibannya, yaitu mengarahkan dan menciptakan
perbaikan. Kewajiban ulama adalah memotivasi manusia untuk melakukan
yang ma’ruf dan menerangkan tentang keburukan, bahaya, dan akibat
kemungkaran.
Adapun yang tidak berkemampuan untuk
itu, tak ada jalan lain bagi mereka selain mencintai yang ma’ruf dan
membenci segala kemungkaran dengan hatinya.
Apa yang telah disampaikan di atas tadi, tidak berarti bahwa siapa yang melihat suatu kemaksiatan dan mendekatinya berdalih tidak punya wewenang dan hukum, lantas mendiamkannya tanpa ada kesungguhan usaha untuk mencegah dan menghilangkannya.
Apa yang telah disampaikan di atas tadi, tidak berarti bahwa siapa yang melihat suatu kemaksiatan dan mendekatinya berdalih tidak punya wewenang dan hukum, lantas mendiamkannya tanpa ada kesungguhan usaha untuk mencegah dan menghilangkannya.
Islam menuntut siapa saja yang melihat
kemungkaran agar mencegah dan mengubahnya dengan ucapan yang lembut.
Jika tidak berhasil dan ia mempunyai kemampuan untuk mengubahnya dengan
kekuatan, ubahlah menggunakan kekuatan.
Ada baiknya, jika pihak pemerintah
memiliki lembaga khusus amar ma’ruf nahi mungkar—semacam membentuk
Densus 88 untuk memburu dan membasmi para teroris—, sehingga setiap
orang, kelompok, atau organisasi tidak semaunya mengubah kemungkaran
dengan kekuatan menurut caranya sendiri.
Tentu sangat dikhawatirkan jika semua
pihak mengubah kemungkaran dengan kekuatannya. Hal itu hanya akan
memunculkan fitnah, keresahan, dan kekacauan. Bahkan, sangat mungkin
menjadi pemicu munculnya kemungkaran baru yang lebih besar.
Tidak dimungkiri, mungkin saja ada yang
melakukan itu semua dengan niat yang baik. Akan tetapi, juga tidak
menutup kemungkinan para aktornya malah orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, yang hanya bertujuan membuat kericuhan, keonaran, dan
menebar kejelekan.
Melarang Kemungkaran Berbeda dengan Mengubahnya
Masalah yang sangat penting untuk
diketahui dalam pembahasan amar ma’ruf nahi mungkar adalah mengetahui
perbedaan antara mengubah kemungkaran dan mencegah/melarangnya.
Ternyata, banyak orang yang masih tidak memahami persoalan ini dengan
baik. Akibatnya, tak sedikit yang justru terjatuh dalam kesalahan yang
fatal. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya sebagai berikut.
- Mengubah kemungkaran pada hakikatnya adalah menghilangkan dan melenyapkan wujudnya, seperti menumpahkan miras, menghancurkan sarana perjudian, dan lain-lain. Adapun mealrang kemungkaran berarti menyampaikan nasihat, peringatan, dan ancaman.
- Mengubah kemungkaran dilakukan pada saat kemungkaran itu terjadi. Adapun hukuman bagi si pelaku kemungkaran menjadi wewenang penguasa atau pemerintah.
Berbeda halnya dengan mencegah/melarang.
Hal ini dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah kemungkaran itu
terjadi. Tidak terkait waktu sama sekali.
- Mengubah kemungkaran membutuhkan kekuasaan dan kekuatan, terutama dalam hal menghentikannya. Adapun melarang, setiap orang memiliki kemampuan, baik dengan nasihat yang menyentuh maupun dengan dialog yang bijak.
- Mengubah kemungkaran adalah fardhu kifayah menurut pendapat mayoritas ahli fikih, dan dapat menjadi fardhu ‘ain bagi yang mengetahuinya dan memiliki kemampuan.
Adapun mencegah/melarang kemungkaran,
karena ada kemudahan dan kemungkinan tidak ada fitnah saat melakukannya,
maka menjadi wajib ‘ain bagi setiap muslim, dalam setiap keadaan,
sesuai dengan kemampuannya. (al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil
Munkar).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sebuah cincin emas di tangan seorang lelaki. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu melepas dan melemparnya sembari berkata, “Salah seorang dari
kalian pergi menuju bara api neraka lalu dia memakainya di tangannya.”
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi,
dikatakan kepada lelaki itu, “Ambillah cincinmu, manfaatkanlah!” Dia
menjawab, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan mengambilnya selamanya
padahal cincin itu telah dilempar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menyebutkan beberapa faedah hadits ini dalam Syarh Riyadhish Shalihin
(1/225). Di antara yang beliau sebutkan berkaitan dengan pembahasan amar
ma’ruf nahi mungkar. Berikut ini petikannya.
“Hadits ini menunjukkan pemakaian cara keras dalam hal mengubah kemungkaran ketika dibutuhkan. (Dalam hadits di atas) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengatakan kepada lelaki tersebut, ‘Emas itu haram (bagi lelaki),
engkau jangan memakainya’, atau ‘maka lepaslah’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
justru melepas dan melemparnya ke tanah. Telah diketahui bahwa amar
ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang
mungkar) itu berbeda dengan mengubah kemungkaran. Mengubah kemungkaran
dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan mampu melaksanakannya,
seperti penguasa atau yang ditunjuk mewakilinya, atau seperti seorang
kepala rumah tangga terhadap keluarganya, atau seperti seorang wanita
terhadap urusan rumahnya, atau yang semisalnya. Pihak-pihak seperti ini
memiliki kekuasaan untuk mengubah kemungkaran dengan tangannya. Jika
tidak mampu, dengan lisannya. Jika masih tidak mampu, dengan hatinya.
Adapun memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar hukumnya wajib
dalam segala keadaan karena di dalamnya tidak ada pengubahan, hanya
perintah kepada kebaikan dan larangan dari kemungkaran.”
Selain itu, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
juga menyatakan, “Faedah lainnya, seseorang hendaknya berlaku hikmah
dalam hal mengubah kemungkaran. Lelaki ini disikapi keras oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, seorang A’rabi (penduduk pedalaman) yang kencing di masjid tidak
disikapi demikian. Kemungkinan, lelaki yang mengenakan cincin emas
tersebut sudah mengetahui hukumnya dan keharamannya, tetapi dia
bermudah-mudahan. Berbeda halnya dengan A’rabi yang kencing di masjid,
dia jahil, tidak mengetahui hukumnya. Dia datang dan melihat ada tempat
yang kosong di masjid, lalu kencing di situ. Dia menganggap dirinya
berada di padang pasir yang luas …. Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lemah lembut terhadap Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiallahu ‘anhu yang berbicara ketika sedang shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersikap lembut terhadap seorang lelaki yang menggauli istrinya
pada siang hari bulan Ramadhan. Keadaan yang berbeda membutuhkan sikap
yang berbeda pula. Oleh karena itu, saudaraku muslim, hendaknya engkau
menerapkan hikmah pada setiap ucapan dan perbuatanmu….
Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang dianugerahi hikmah dan mendapat kebaikan yang banyak dengan sebab itu.”
Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari
Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Mengingkari Kemungkaran dengan Tangan
Mengingkari kemungkaran dengan tangan
adalah tingkat pengingkaran yang paling tinggi, seperti menumpahkan
miras, menghancurkan patung yang disembah, melarang orang dari berbuat
jahat, dan lain-lain.
Pengingkaran dengan tangan dilakukan oleh pihak yang mempunyai
kewenangan terhadap pelaku kemungkaran, seperti pemerintah atau yang
mewakilinya, seperti satgas amar ma’ruf nahi mungkar (yang ditunjuk
langsung). Semua sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Begitu pun seorang muslim terhadap keluarga dan anak-anaknya. Ia menyuruh mereka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala
dan mencegahnya dari hal-hal yang diharamkan-Nya dengan tangan apabila
tidak mempan dengan ucapan, sesuai dengan kelapangan dan kemampuan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pengingkaran terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya. Maka dia (Ibrahim)
menghancurkan (semua berhala itu) berkeping-keping, kecuali yang
terbesar (induknya), agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.”
(al-Anbiya: 57—58)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
Dia (Musa) berkata, “Pergilah kau! Maka sesungguhnya di dalam kehidupan
(di dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku)!’
Dan engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan (di akhirat)
yang tidak akan dapat engkau hindari, dan lihatlah tuhanmu itu yang
engkau tetap menyembahnya. Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh
kami akan menghamburkannya (abunya) ke dalam laut (berserakan).”
(Thaha: 97)
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang membakar seekor anak lembu yang disembah di samping Allah subhanahu wa ta’ala.
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadits, beliau berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Makkah dalam
keadaan di sekeliling Ka’bah ada 360 patung. Lalu beliau menusuknya
menggunakan tongkat yang ada di tangan beliau, seraya membaca (firman
Allah subhanahu wa ta’ala), ‘Telah datang kebenaran dan sirnalah kebatilan’.” (HR. al-Bukhari no. 2298)
Dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata “Aku pernah
menjamu suatu kaum dengan minuman di rumah Abu Thalhah. Saat itu, khamr
(minuman keras) mereka adalah al-fadhikh (arak yang terbuat dari buah
kurma). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintah seorang penyeru untuk mengumumkan bahwa khamr telah
diharamkan.” Anas berkata, “Abu Thalhah lalu berkata kepadaku, ‘Keluar
dan tumpahkanlah!’ Aku pun keluar dan menumpahkannya. Khamr pun
mengaliri jalan-jalan kota Madinah.” (HR. al-Bukhari no. 2284)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma juga meriwayatkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melihat sebuah cincin emas di tangan seorang laki-laki lalu
beliau mencopot cincin tersebut dan langsung melemparkannya….” (HR.
al-Bukhari no. 3897)
Dalil-dalil yang semisal di atas sangat banyak. Semuanya menunjukkan pencegahan kemungkaran dengan tangan.
Akan tetapi, mencegah kemungkaran dengan tangan menjadi tidak tepat jika
dilakukan oleh setiap orang dalam setiap kemungkaran. Hal tersebut bisa
berdampak kerusakan dan bahaya yang besar.
Semestinya, kewenangan untuk mengubah/mencegah kemungkaran dengan tangan
itu ada pada pemerintah atau wakilnya yang ditunjuk langsung sebagai
penegak amar ma’ruf nahi mungkar.
Bisa jadi, kewenangan itu ada dalam wilayah setiap orang. Seperti di
dalam rumah, setiap kepala keluarga mencegah kemungkaran yang dilakukan
anak, istri, atau pembantunya. Jadi, setiap orang memiliki wilayah
kewenangan mencegah kemungkaran dengan tangan, dengan cara-cara yang
bijak dan disyariatkan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Tidak dibolehkan bagi
siapa pun untuk menghilangkan kemungkaran dengan sesuatu yang justru
lebih mungkar. Seperti, seseorang yang berkeinginan untuk memotong
tangan pencuri, mencambuk peminum arak, atau menegakkan hukuman-hukuman
lainnya. Kalau sampai dia melakukannya, tentu akan menyebabkan
pertumpahan darah dan berbagai kerusakan. Karena setiap orang akan
berusaha melayangkan pukulan kepada yang lainnya dan mengklaim orang
lain lebih berhak mendapatkan (hukuman). Hal ini seharusnya dikembalikan
pada kewenangan pemerintah.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyyah)
Apa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam tadi, mengingatkan penulis
kepada maraknya berbagai wacana saat ini untuk melokalisasi kemungkaran.
Salah satu tujuannya, agar kemungkaran yang dimaksud tidak menyebar
luas. Misalnya, menampung para pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK)
di sebuah tempat, yang akhirnya tempat tersebut menjadi tempat yang
bebas untuk melakukan kemungkaran tadi. Ini sudah menjadi rahasia umum
terjadi di kota-kota besar di wilayah negeri ini, yang sampai sekarang
tetap eksis, seperti di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya, dan
kota lainnya.
Belum lagi perjudian, yang sekarang ini sedang marak diperbincangkan,
apakah melokalisasi perjudian sebagai wujud pelegalan kemungkaran
tersebut atau tidak. Memang, dahulu sekitar tahun 2006 pernah ada wacana
untuk menjadikan kasino di Kepulauan Seribu, namun, walhamdulillah,
masyarakat menolak keras wacana tersebut.
Namun, asal tahu saja, penjudi asal Indonesia tercatat menempati
peringkat tiga besar di Singapura. Oleh karena itu, Musni Umar seorang
Sosiolog UI, menilai secara sosiologis masyarakat Indonesia memang tidak
menerima perjudian. Namun, perlu juga dilihat keuntungan dari
kasino-kasino itu. Menurutnya, daripada uangnya lari ke luar negeri,
lebih baik digunakan untuk pembangunan di dalam negeri. Subhanallah!
Intinya, kemungkaran tetaplah kemungkaran meskipun wujud dan sifatnya
berbeda. Kemungkaran tidak boleh dicegah dengan kemungkaran lainnya
meskipun bentuknya berbeda.
Mengingkari dengan Lisan
Setidaknya ada empat langkah yang harus ditempuh dalam mengingkari kemungkaran dengan lisan.
Pertama: Mengenalkan (bahaya dan jeleknya) kemungkaran dengan tenang dan lemah lembut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” (HR. al-Bukhari no. 5565)
Sekelompok Yahudi datang lalu mereka berkata, “As-samu ‘alaikum, wahai
Muhammad! (Mereka maksudkan doa kematian).” ‘Aisyah mendengar ucapan
mereka, ia pun berkata, “Alaikum as-samu wal la’nah’ (untuk kalian hal
yang serupa dan laknat).” Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata,
“La’anakumullah wa ghadiba ‘alaikum’ (semoga laknat dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala atas kalian).” Rasulullah bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala
mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” ‘Aisyah menjawab,
“Bukankah engkau mendengar apa kata mereka?” Rasulullah menjawab,
“Tidakkah engkau mendengar apa yang aku katakan kepada mereka?” Yaitu
‘wa ‘alaikum’ (Bagi kalian juga yang semisal). Sesungguhnya doa kita
akan dikabulkan, sedangkan doa mereka tidak. (HR. al-Bukhari no. 5570)
Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menampakkan sikap lembut kepada mereka, padahal mereka Yahudi, dengan
harapan mereka mendapat hidayah dan tunduk pada kebenaran. Lalu,
bagaimana kiranya sikap beliau terhadap orang-orang yang beriman?!
Dengan demikian, yang lurus dalam beramar ma’ruf nahi mungkar akan
selalu berusaha untuk menampakkan sikap lembut dan menggunakan
ungkapan-ungkapan yang cocok, kata-kata yang baik, dan nasihat yang
bijak di dalam sebuah majelis, di jalan atau di tempat mana pun.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu
dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa
yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 125)
Inilah metode yang ditempuh para pendahulu yang saleh (salaf) dalam
beramar ma’ruf nahi mungkar: menampilkan sikap lembut, tenang dibarengi
oleh ilmu, pemahaman terhadap situasi, kondisi, dan amal.
Kedua: Mencegah kemungkaran, yang dikemas dalam bentuk nasihat dan wejangan serta menanamkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Langkah ini ditujukan kepada pelaku kemungkaran yang mengetahui hukum syariat terkait dengan perbuatannya.
Langkah ini ditujukan kepada pelaku kemungkaran yang mengetahui hukum syariat terkait dengan perbuatannya.
Langkah ini berbeda dengan yang pertama, yang umumnya diterapkan kepada pelaku kemungkaran yang tidak mengetahui hukum syariat.
Ibaratnya, langkah kedua ini untuk
mengingatkan kembali pelaku akan hukum syariat yang sudah diketahuinya.
misalnya tentang janji Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang taat kepada-Nya dengan metode yang hikmah dan arahan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzariyat: 55)
Ketiga: Teguran yang keras.
Langkah ini ditempuh ketika pelaku
kemungkaran tidak jera dengan metode/langkah sebelumnya. Terapkan
teguran yang keras dengan memerhatikan etika dan kaidah syar’i, tidak
menyampaikan sesuatu melainkan dengan jujur, dan tidak melebar
kesana-kemari jika tidak perlu.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagai bapak para nabi menempuh langkah ini, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“(Ibrahim berkata), ‘Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?’.” (al-Anbiya: 67)
Keempat: Ancaman dan menakut-nakuti.
Langkah keempat ini adalah langkah
terakhir yang bisa ditempuh dalam melakukan pengingkaran kemungkaran
dengan lisan. Caranya, menyampaikan kepada pelaku kemungkaran, “Kalau
engkau tidak menghentikan perbuatanmu, aku akan bertindak!” atau “Aku
akan melaporkanmu kepada pihak berwajib agar menghukum dan
memenjarakanmu.”
Tetapi, ancaman yang disampaikan harus
benar-benar wajar dan masuk akal, supaya si pelaku memercayai ancaman
dan tindakan yang akan diambil oleh pihak yang mengingkarinya.
Mengingkari dengan Hati
Para pembaca, sampailah kita pada
tingkatan mengingkari kemungkaran dengan hati, yaitu bagi seorang mukmin
yang tidak memiliki kemampuan untuk mengingkari dengan tangan dan
lisannya.
Tidak ada jalan lain bagi siapa yang keadaannya demikian, selain
membenci dan menampakkan ketidaksukaan kepada kemungkaran dan pelakunya
dengan hatinya—dan Allah Maha Mengetahui hal tersebut.
Kewajiban ini tidak bisa gugur dari seorang mukmin, siapa pun dia,
karena tidak ada halangan apa pun yang mencegahnya. Tidak ada lagi cara
lain untuk mengingkari kemungkaran. Bahkan, pengingkaran dengan hati
adalah akhir batas keimanan. Seperti sabda Nabi, “Dan mencegah dengan
hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70)
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ditanya, “Siapakah yang
disebut mayat hidup itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mengenal
yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar.”
Sebagai penutup pembahasan ini, saya (penulis) ingin menegaskan kembali
bahwa amar ma’ruf nahi mungkar wajib bagi laki-laki dan wanita.
Bagi para wanita, ada kewajiban untuk mengingkari kemungkaran yang
dilakukan oleh sesamanya dan oleh kerabatnya dari kaum lelaki.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia pernah melihat
seorang wanita di antara Shafa dan Marwah mengenakan pakaian yang ada
garis (berbentuk) salib. Beliau segera menegurnya dan berkata, “Lepaskan
(jangan dipakai) pakaian ini!
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat yang seperti ini di pakaian, beliau langsung memotongnya.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, lihat Shahih al-Bukhari no. 5496)
Suatu ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun pernah melihat
saudara laki-lakinya (Abdurrahman) tampak tergesa-gesa ketika berwudhu
supaya tidak tertinggal menyalati jenazah Sa’ad bin Abi Waqqas. ‘Aisyah
pun menegurnya, “Wahai Abdurrahman, sempurnakan jika berwudhu, karena
aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Celakalah bagi tumit-tumit (yang
tidak terbasuh dengan air wudhu) dengan (ancaman) api neraka’.” (HR.
Muslim no. 353 dan seterusnya)
Di dalam kitab Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Seluruh hadits ini (tentang amar ma’ruf nahi mungkar)
menunjukkan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan.
Adapun mengingkarinya dengan hati adalah suatu keharusan (dalam setiap
keadaan).
Siapa yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, berarti telah hilang keimanan dari hatinya.” (Qawa’id Muhimmah fi al-Amri bil Ma’ruf wa an-Nahyi ‘anil Munkar)
Wal ’ilmu indallah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Sesungguhnya, dalam membangun serta
membina akidah dan akhlak seorang muslim, Islam tidak sekadar
menjadikannya sebagai pribadi yang saleh. Akan tetapi, juga mendorongnya
untuk menjadi pribadi yang mushlih (selalu mengupayakan terciptanya
perbaikan), saleh bagi dirinya dan mengupayakan kesalehan bagi
selainnya.
Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar
mengajarkan kepada setiap muslim untuk menjadi pribadi yang saleh dan
mushlih. Untuk itu, menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar haruslah
mengetahui tahapan-tahapannya, dari mana memulainya dan apa yang mesti
diperhatikannya.
Memulai dari yang Paling Penting Kemudian yang Penting Berikutnya
Mendahulukan yang terpenting dari yang penting adalah bagian dari kaidah penerapan amar ma’ruf nahi mungkar. Seseorang yang akan menerapkannya hendaknya memulai langkahnya dengan memperbaiki dasar-dasar keyakinan, yaitu memerintahkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, serta mencegah kesyirikan, kebid’ahan, dan hal-hal yang berbau sihir.
Mendahulukan yang terpenting dari yang penting adalah bagian dari kaidah penerapan amar ma’ruf nahi mungkar. Seseorang yang akan menerapkannya hendaknya memulai langkahnya dengan memperbaiki dasar-dasar keyakinan, yaitu memerintahkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, serta mencegah kesyirikan, kebid’ahan, dan hal-hal yang berbau sihir.
Kemudian ia memerintahkan menegakkan
shalat, menunaikan zakat, serta kewajiban-kewajiban lainnya. Lalu ia
memerintahkan meninggalkan perkara-perkara haram. Berikutnya, ia
memerintahkan perkara-perkara yang sunnah, diikuti dengan meninggalkan
hal-hal yang makruh.
Demikianlah metode dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar yang diterapkan oleh seluruh rasul Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka memberikan porsi yang lebih terhadap pembenahan akidah tanpa
mengesampingkan perkara-perkara penting lainnya, karena pada dasarnya
tidak ada masalah yang tidak penting dalam Islam.
Melihat Maslahat dan Mafsadah
Ada satu kaidah yang tidak boleh
diabaikan oleh orang yang hendak menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar,
yaitu ‘menolak mafsadah (kerusakan) lebih diutamakan daripada mengambil
maslahat’. Oleh karena itu, menjadi keharusan mengetahui maslahat yang
dihasilkan dan mafsadah yang ditimbulkan dari penerapan amar ma’ruf nahi
mungkar. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.
Pertama: Apabila kemaslahatan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan mafsadahnya, wajib beramar ma’ruf nahi mungkar.
Kedua: Apabila yang
terjadi kebalikannya, yakni mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya,
menjadi tidak wajib menegakkannya bahkan diharamkan.
Ketiga: Jika keadaannya
seimbang antara maslahat dan mafsadahnya, atau yang ma’ruf dan yang
mungkar sama-sama dilakukan, maka tidak boleh memerintah kepada yang
ma’ruf, tidak pula mencegah yang mungkar. Artinya, dalam kondisi ini,
menghindari terjadinya mafsadah yang lebih besar diutamakan daripada
mengambil maslahat.
Keempat: Apabila bercampur antara yang
ma’ruf dengan yang mungkar, langkah yang diambil adalah menyampaikan
seruan/dakwah secara khusus kepada yang ma’ruf dan menyampaikan ajakan
secara khusus agar menjauh dari segala hal yang mungkar.
Sebenarnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
telah menjelaskan kaidah ini dengan gamblang. Beliau mengatakan,
“Apabila maslahat dan mafsadah, kebaikan dan kejelekan, sama-sama
mencuat atau sama-sama menguat, yang wajib adalah mendahulukan mana yang
lebih dominan. Hal ini karena amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun
membawa misi untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah, tetap harus
mempertimbangkan apa yang menjadi rintangannya.
Jika maslahat yang hendak dicapai tidak
sebesar mafsadah yang akan muncul, tidak boleh menerapkan amar ma’ruf
nahi mungkar, bahkan menjadi haram dalam kondisi tersebut.
Tetapi, mengukur maslahat dan mafsadah
itu harus dengan timbangan syariat. Artinya, kapan seseorang itu punya
kemampuan untuk mengikuti dalil, maka tidak boleh berpaling darinya.
Kalau tidak, maka berijtihad dengan pendapatnya jika ia termasuk ahli
ijtihad. Namun, sangat sedikit orang yang berkemampuan seperti di atas.
Intinya, ini adalah bagian yang dikembalikan kepada ahlul ilmi dan
ulama.
Dengan demikian, apabila seseorang atau suatu kelompok mencampuradukkan antara yang ma’ruf dan yang mungkar, serta tidak lagi membedakan keduanya (bisa jadi kedua-duanya dilakukan atau ditinggalkan), tidak diperkenankan memerintah mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, akan tetapi hendaknya mempertimbangkan hal berikut.
Dengan demikian, apabila seseorang atau suatu kelompok mencampuradukkan antara yang ma’ruf dan yang mungkar, serta tidak lagi membedakan keduanya (bisa jadi kedua-duanya dilakukan atau ditinggalkan), tidak diperkenankan memerintah mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, akan tetapi hendaknya mempertimbangkan hal berikut.
Apabila jumlah yang ma’rufnya lebih
banyak dilakukan, maka sampaikan perintah kepada (yang ma’ruf). Meskipun
masih terjadi kemungkaran yang jumlahnya lebih sedikit, tidak boleh
dicegah dari melakukannya (nahi mungkar), karena hal tersebut justru
akan menyebabkan hilangnya yang ma’ruf yang secara kuantitas jauh lebih
banyak.
Bahkan, mencegahnya (nahi mungkar) ketika itu sama saja dengan menghalang-halangi dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala, mengusahakan hilangnya ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, serta dianggap menghilangkan perbuatan baik.
Sebaliknya, apabila kemungkaran yang dilakukannya lebih banyak, maka harus dicegah (nahi mungkar) meskipun mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan yang jumlahnya lebih sedikit. Ini karena memerintahkan kepada yang ma’ruf yang lebih sedikit dilakukan hanya akan menyebabkan bertambahnya kemungkaran, sehingga hal itu (amar ma’ruf) justru masuk dalam kategori mengupayakan terjadinya kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Sebaliknya, apabila kemungkaran yang dilakukannya lebih banyak, maka harus dicegah (nahi mungkar) meskipun mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan yang jumlahnya lebih sedikit. Ini karena memerintahkan kepada yang ma’ruf yang lebih sedikit dilakukan hanya akan menyebabkan bertambahnya kemungkaran, sehingga hal itu (amar ma’ruf) justru masuk dalam kategori mengupayakan terjadinya kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Kemudian, kalau kedua-duanya sama-sama
dilakukan, baik yang ma’ruf maupun yang mungkar dan keduanya saling
terkait, maka tidak boleh menerapkan amar ma’ruf, tidak pula nahi
mungkar. Kadang-kadang amar ma’ruf lebih tepat, tapi kadang juga
sebaliknya nahi mungkar yang lebih tepat. Atau justru lebih tepat untuk
tidak menerapkan (menahan dulu) amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bisa
terjadi dalam perkara tertentu yang nyata.”
Meneliti dan Memastikan Kemungkaran
Di antara yang membawa keberhasilan
dalam menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar adalah meneliti dan memastikan
kemungkaran yang hendak diubah dan ditiadakan. Karena itu, memiliki
ilmu tentang yang ma’ruf dan yang mungkar menurut kacamata syariat
adalah penting. (lihat kembali pembahasan ini di rubrik ”Manhaji” edisi
ini)
Oleh sebab itu, pastikanlah bahwa
kemungkaran yang akan dicegah benar-benar perkara mungkar yang diingkari
oleh Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika sebagian orang melihat suatu
perbuatan atau mendengar suatu ucapan, terkadang dianggapnya sebagai
suatu kemungkaran karena berpatokan kepada kebiasaan yang berlaku dan
adat istiadat manusia pada umumnya. Ternyata menurut syariat Islam
ternyata bukan sesuatu yang mungkar, bahkan boleh jadi malah sesuatu
yang ma’ruf. Atau bahkan sebaliknya, melihat sesuatu yang sebenarnya
ma’ruf menurut syariat, tetapi dianggapnya sebagai sesuatu yang mungkar.
Inilah fenomena yang sering terjadi dan
tampak di sebagian wilayah Islam. Semua itu terjadi semata-mata karena
kebodohan yang melekat dalam diri umat Islam.
Jadi, langkah kroscek (memastikan) dari suatu kemungkaran adalah hal yang dituntut dari siapa saja yang hendak mengingkari kemungkaran, termasuk kita pastikanlah bahwa itu adalah kemungkaran dan benar-benar dilakukan.
Jadi, langkah kroscek (memastikan) dari suatu kemungkaran adalah hal yang dituntut dari siapa saja yang hendak mengingkari kemungkaran, termasuk kita pastikanlah bahwa itu adalah kemungkaran dan benar-benar dilakukan.
Hal lain yang wajib diperhatikan adalah
jangan tergesa-gesa untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang dari
suatu kemungkaran, jika dasarnya hanya prasangka tanpa melalui proses
mencari kepastian (tabayyun dan tatsabbut).
Mungkin saja seseorang dihinggapi perasaan ingin melakukan yang baik atau bahkan yang buruk, atau berpikir untuk melakukan kemungkaran namun ternyata tidak jadi melakukannya.
Mungkin saja seseorang dihinggapi perasaan ingin melakukan yang baik atau bahkan yang buruk, atau berpikir untuk melakukan kemungkaran namun ternyata tidak jadi melakukannya.
Apabila seseorang mendapatkan informasi
tentang adanya kemungkaran, maka hendaknya ia mencari kepastian tentang
keadaan si pembawa informasi. Mungkin saja ia seorang munafik, orang
yang fasik, penyebar fitnah, atau tukang ghibah yang ingin menciptakan
kerusakan dan tidak membuat perbaikan.
Boleh jadi, ada sekelompok orang yang sebenarnya tidak punya tujuan untuk mencegah dan menghilangkan kemungkaran, yang mereka inginkan hanya sekadar mengacaukan dan memalingkan konsentrasi.
Boleh jadi, ada sekelompok orang yang sebenarnya tidak punya tujuan untuk mencegah dan menghilangkan kemungkaran, yang mereka inginkan hanya sekadar mengacaukan dan memalingkan konsentrasi.
Allah subhanahu wa ta’ala
memberitahukan kepada kita tentang orang-orang munafik, penyebar fitnah
dan tukang ghibah, serta orang-orang fasik dalam firman-Nya:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui bahwa engkau adalah rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (al-Munafiqun: 1)
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui bahwa engkau adalah rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (al-Munafiqun: 1)
“Dan janganlah engkau patuhi setiap
orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian
kemari menyebarkan fitnah.” (al-Qalam: 10—11)
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika
seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka
telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena
kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan kamu
itu.” (al-Hujurat: 6)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin
agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan
di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(an-Nur: 19)
(al-Amru bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Mungkar fi Dha’ui Kitabillah)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Tidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf
nahi mungkar adalah upaya menciptakan kemaslahatan umat dan memperbaiki
kekeliruan yang ada pada tiap-tiap individunya. Dengan demikian, segala
hal yang bertentangan dengan urusan agama dan merusak keutuhannya,
wajib dihilangkan demi menjaga kesucian para pemeluknya.
Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh
karena Islam adalah akidah dan syariat yang meliputi seluruh kebaikan
dan menutup segala celah yang berdampak negatif bagi kehidupan manusia.
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya sebagai landasan utama dalam Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang
ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang
fasik.” (Ali Imran: 110)
Jika kita perhatikan dengan saksama,
sebenarnya diutusnya para rasul dan diturunkannya Al-Kitab adalah dalam
rangka memerintah dan mewujudkan yang ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi
intinya, kemudian untuk mencegah dan menghilangkan yang mungkar, yaitu
kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-Nya adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara yang mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara menyeluruh.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-Nya adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara yang mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara menyeluruh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan hal tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan dengan adanya
amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik
umat di tengah-tengah manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran: 110)
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki kemampuan. Artinya, jika
ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili. Dengan kata
lain, hukumnya fardhu kifayah.
Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi
seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada
seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika
tidak ada yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya,
saat melihat anak, istri, atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau
mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah. Namun,
terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada pihak
lain yang menjalankannya.”
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
mengemukakan hal yang sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya,
kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan
kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan
umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai
dengan kemampuannya.”
Dengan kata lain, kewajibannya terletak
pada kemampuan. Dengan demikian, setiap orang wajib menegakkannya sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah dan infakkanlah harta
yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran,
mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)
Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan
adalah tiga hal yang terkait erat dengan proses amar ma’ruf nahi
mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu dibanding yang
lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.
Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar
ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap individu (wajib ‘ain),
namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang
dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar
al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain
rahimahumullah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah di antara kamu ada
segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa di antara kalian yang melihat
suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tangannya. Jika belum mampu,
cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan hatinya, dan
pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no.
70 dan lain-lain)
Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Dialah) yang menciptakan mati dan
hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah,
ketaatan, dan amal saleh. Karena itu, harus dilakukan dengan benar dan
penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang diterima. Al-Imam
Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa suatu amalan
meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu
pun sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan kebenaran berarti harus berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan memenuhi beberapa syarat berikut.
Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.
Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.
Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi
mungkar, ilmu yang harus dimiliki meliputi tiga hal, antara lain:
Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan antara
keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek yang menjadi sasarannya;
serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah yang tepat dan
terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat).
Tujuan utamanya adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari
proses amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan kemungkaran yang
lain.
Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ
وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لَا
يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam tiap urusan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah subhanahu wa ta’ala
akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR.
Muslim “Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no. 4173, Ahmad
no. 614, 663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no. 2673)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada
dalam sesuatu, melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah sikap lemah
lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan menghinakannya.” (HR.
Muslim no. 4698, Abu Dawud no. 2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)
Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah
mengatakan, “Tidak boleh beramar ma’ruf dan bernahi mungkar selain
orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut, bersikap adil
(proporsional), dan berilmu yang baik.”
Termasuk sikap lemah lembut apabila
senantiasa memerhatikan kehormatan dan perasaan manusia. Oleh karena
itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar hendaknya mengedepankan
kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau kejelekan. Kecuali, mereka
yang cenderung senang dan bangga untuk menampakkan aibnya sendiri
dengan melakukan kemungkaran dan kemaksiatan secara terang-terangan.
Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya dengan cara terang-terangan
atau sembunyi-sembunyi.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi,
sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan menghiasinya. Siapa yang
menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan khalayak umum),
sungguh ia telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih
Muslim)
Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah beramar ma’ruf nahi mungkar.
Gangguan seolah-olah menjadi suatu
kemestian bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu,
jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu kerusakan yang
ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang diinginkan.
Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad)
sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati, dan
janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari
mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa seolah-olah tinggal (di
dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan.
Maka tidak ada yang dibinasakan, selain kaum yang fasik (tidak taat
kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (al-Ahqaf: 35)
“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)
“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu
ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan
Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu ketika engkau bangun.”
(at-Thur: 48)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam firman-Nya:
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan
suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
Seseorang yang beramar ma’ruf nahi
mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai penyampai kebenaran.
Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran. Oleh karena
itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi cobaan serta ujian
baginya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka
akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka
tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3)
Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat
Perjalanan hidup suatu umat seringkali
tidak selalu dalam satu keadaan. Pasang surutnya iman, berat ringannya
tantangan, dan besar kecilnya godaan sangat berpengaruh bagi eksistensi
mereka dalam kehidupan. Terkadang ia mampu bertahan di atas kebaikan,
dan terkadang pula terseok-seok diempaskan oleh badai kemungkaran.
Mahasuci Allah dengan segala hikmah-Nya yang telah membimbing para hamba
untuk saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran,
serta menjadikannya sebagai amalan mulia dalam semua syariat (agama)
yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Bahkan, karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kitab suci dan mengutus para rasul di muka bumi. Demikianlah penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/198).
Dalam istilah agama, amalan menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran disebut dengan al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil mungkar
(اَلْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ)
– al-amru (اَلْأَمْرُ): menyeru/memerintah.
– bil ma’ruf (بِالْمَعْرُوفِ): dengan (kepada) kebaikan.
– wan nahyu (وَالنَّهْيُ): dan mencegah/melarang.
– ‘anil mungkar (عَنِ الْمُنْكَرِ): dari kemungkaran.
Istilah itu pun kemudian lebih dikenal di masyarakat kita dengan sebutan amar ma’ruf nahi mungkar..
Para pembaca yang mulia, amar ma’ruf nahi mungkar adalah simbol keimanan
dan kepedulian suatu umat. Keberadaannya pada suatu umat laksana
tonggak bagi kehidupan mereka. Ketika tonggak amar ma’ruf nahi mungkar
itu roboh, akan roboh pula tatanan kehidupan mereka dan akan berakhir
dengan kebinasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud
dan Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain (selalu) tidak saling mencegah
dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
“Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak
mencegah mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (al-Maidah:
63)
Sebaliknya, ketika tonggak amar ma’ruf nahi mungkar pada suatu umat itu
tegak, akan tegak pula tatanan kehidupan mereka dan akan berakhir dengan
keberuntungan. Dengan sebab itulah Allah subhanahu wa ta’ala menyematkan gelar “sebaik-baik umat” kepada umat Islam yang dipelopori oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
Dengan sebab itu pula, terbedakan antara kehidupan orang-orang yang beriman dengan kehidupan orang-orang yang munafik. Allah subhanahu wa ta’ala memuji kehidupan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyeru (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Allah subhanahu wa ta’ala pun mencela kehidupan orang-orang yang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Orang-orang munafik lelaki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang
lain adalah sama. Mereka menyeru membuat yang mungkar dan mencegah
berbuat yang ma’ruf, serta menggenggamkan tangannya (berlaku kikir).
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”
(at-Taubah: 67)
Kewajiban Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah tonggak yang kuat untuk
mempertahankan keberadaan suatu umat, kemuliaan dan keutuhannya.
Dengannya, suatu umat tidak bisa diporak-porandakan oleh hawa nafsu dan
tidak bisa pula dicerai-beraikan oleh jalan-jalan kesesatan.” (Majalis
Syahri Ramadhan, al-Majlis al-‘Isyrun)
Betapa tinggi kedudukan amar ma’ruf nahi mungkar itu. Betapa besar
manfaatnya bagi kehidupan umat. Ketika ia dicampakkan, ilmu tentangnya
diremehkan, dan pelaksanaannya tidak dipedulikan, niscaya akan tersebar
kesesatan dan kebodohan di tengah umat, negeri-negeri akan hancur, dan
umat manusia pun akan binasa.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amar ma’ruf nahi mungkar merupakan poros terkuat agama ini. Dengan misi itulah, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para nabi dan rasul. Ketika ia dicampakkan, ilmu tentangnya diremehkan, dan pelaksanaannya tidak dipedulikan, niscaya akan tersebar kesesatan dan kebodohan (di tengah umat, pen.), negeri-negeri akan hancur, dan umat manusia pun akan binasa.” (ad-Durar as-Saniyyah 15/15)
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amar ma’ruf nahi mungkar merupakan poros terkuat agama ini. Dengan misi itulah, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para nabi dan rasul. Ketika ia dicampakkan, ilmu tentangnya diremehkan, dan pelaksanaannya tidak dipedulikan, niscaya akan tersebar kesesatan dan kebodohan (di tengah umat, pen.), negeri-negeri akan hancur, dan umat manusia pun akan binasa.” (ad-Durar as-Saniyyah 15/15)
Tak heran jika Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar tersebut sebagai kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam kalam ilahi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Demikian halnya dalam as-Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lisannya yang mulia bersabda:
وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi (Allah subhanahu wa ta’ala) Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sungguh tegakkanlah oleh kalian amar ma’ruf nahi mungkar
(perintah kepada yang ma’ruf dan larangan dari yang mungkar). Jika
kalian tidak melakukannya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala
akan menurunkan kepada kalian hukuman dari-Nya, kemudian doa kalian
tidak lagi dikabulkan-Nya.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, no.
2169 dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Misykah, no. 5140 dan Shahih at-Targhib wat Tarhib, no. 2313)
Al-Hafizh Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah berkata,
“Sungguh telah sepakat (dalil-dalil) dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan
ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kewajiban beramar ma’ruf nahi
mungkar.” (Syarh Shahih Muslim 2/212)
Al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kewajiban terbesar dalam syariat
(Islam) yang suci ini. Ia adalah salah satu landasannya yang utama dan
tonggaknya yang terkokoh. Dengan amar ma’ruf nahi mungkar, segala aturan
dalam syariat ini menjadi sempurna dan puncak kemuliaannya pun tampak
semakin tinggi.” (Fathul Qadir, tafsir Ali Imran: 104)
Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, “Apakah kewajiban amar
ma’ruf nahi mungkar itu berlaku untuk semua elemen umat ataukah ada
rinciannya?”
Al-Hafizh Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar itu sifatnya fardhu kifayah. Apabila sebagian dari umat ini ada yang melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut dari sebagian yang lain. Namun, jika semua elemen umat meninggalkannya, semua yang berkemampuan tanpa ada uzur dan rasa takut, akan berdosa karenanya. Beramar ma’ruf nahi mungkar pun bisa menjadi kewajiban bagi orang tertentu secara khusus, ketika tidak ada yang mengetahui hal itu selain dia atau tidak ada yang mampu mencegah dari kemungkaran selainnya. (Lihat Syarh Shahih Muslim 2/213)
Al-Hafizh Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar itu sifatnya fardhu kifayah. Apabila sebagian dari umat ini ada yang melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut dari sebagian yang lain. Namun, jika semua elemen umat meninggalkannya, semua yang berkemampuan tanpa ada uzur dan rasa takut, akan berdosa karenanya. Beramar ma’ruf nahi mungkar pun bisa menjadi kewajiban bagi orang tertentu secara khusus, ketika tidak ada yang mengetahui hal itu selain dia atau tidak ada yang mampu mencegah dari kemungkaran selainnya. (Lihat Syarh Shahih Muslim 2/213)
Al-Imam Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah
menambahkan bahwa kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar itu dapat
dilakukan dengan menggunakan tangan, lisan, dan hati dalam lingkup yang
dimampui. Kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar dengan menggunakan
tangan dan lisan hukumnya fardhu kifayah. Apabila sebagian umat ini ada
yang melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut dari sebagian yang lain.
Namun, jika semua elemen umat meninggalkannya, semuanya pun berdosa
karenanya. Adapun kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar dengan
menggunakan hati berlaku bagi setiap muslim dalam segala kondisinya.
(Lihat ad-Durar as-Saniyyah 8/62)
Kaidah Penentuan yang Ma’ruf dan yang Mungkar
Para Pembaca yang mulia, kewajiban
beramar ma’ruf nahi mungkar tidak mungkin terlaksana tanpa mengilmui
(memahami dengan baik) sesuatu yang ma’ruf dan yang mungkar. Demikian
pula pelaku amar ma’ruf nahi mungkar, tidak mungkin menegakkannya dengan
benar tanpa mengilmui (memahami dengan baik) sesuatu yang ma’ruf dan
yang mungkar itu. Bahkan, mudarat (efek negatif) yang ditimbulkannya
seringkali lebih besar daripada manfaatnya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Seseorang yang melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar
harus mengilmui (memahami dengan baik) hukum-hukum syar’i terkait dengan
yang ma’ruf dan yang mungkar. Jika pelaku amar ma’ruf nahi mungkar
tidak memahaminya dengan baik, lalu menyeru orang kepada sesuatu yang
dianggapnya ma’ruf padahal dalam pandangan syariat bukan ma’ruf, mudarat
(efek negatif) yang ditimbulkannya akan lebih besar daripada
manfaatnya.” (Majmu’ah Rasail asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
5/208)
Jika demikian, apa kaidah penentuan yang ma’ruf dan yang mungkar itu?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah (2/329) menjelaskan bahwa sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik oleh syariat. Adapun yang mungkar adalah yang dinilai jelek oleh syariat. Segala sesuatu yang diperintahkan dalam syariat adalah ma’ruf, sedangkan segala sesuatu yang dilarang dalam syariat adalah mungkar. Dalam Syarh Riyadhish Shalihin “Bab al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar”, beliau memperjelas bahwa sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik dan ditetapkan oleh syariat, berupa berbagai ibadah yang bersifat ucapan dan perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin. Adapun yang mungkar adalah segala sesuatu yang diingkari oleh syariat dan dilarangnya, berupa berbagai kemaksiatan, kekufuran, kefasikan, pelanggaran, dusta, ghibah (menceritakan kejelekan sesama muslim), namimah (mengadu-domba), dan sebagainya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah (2/329) menjelaskan bahwa sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik oleh syariat. Adapun yang mungkar adalah yang dinilai jelek oleh syariat. Segala sesuatu yang diperintahkan dalam syariat adalah ma’ruf, sedangkan segala sesuatu yang dilarang dalam syariat adalah mungkar. Dalam Syarh Riyadhish Shalihin “Bab al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar”, beliau memperjelas bahwa sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik dan ditetapkan oleh syariat, berupa berbagai ibadah yang bersifat ucapan dan perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin. Adapun yang mungkar adalah segala sesuatu yang diingkari oleh syariat dan dilarangnya, berupa berbagai kemaksiatan, kekufuran, kefasikan, pelanggaran, dusta, ghibah (menceritakan kejelekan sesama muslim), namimah (mengadu-domba), dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/311) berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyeru kita agar berbuat yang ma’ruf, yaitu ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesuatu yang ma’ruf itu mencakup ash-shalah (kesalehan), al-hasanat
(kebagusan), al-khair (kebaikan), dan al-bir (kebajikan). Allah subhanahu wa ta’ala juga mencegah dari kemungkaran, yaitu kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesuatu yang mungkar itu mencakup al-fasad (kerusakan), as-sayyiat
(keburukan), asy-syar (kejelekan), dan al-fujur (kejahatan).”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa sesuatu yang ma’ruf itu adalah yang dinilai baik oleh syariat dan akal sehat, yang meliputi hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dan hak-hak sesama hamba. Beliau rahimahullah
juga menjelaskan bahwa segala sesuatu yang tanpa keberadaannya tidak
terwujud yang ma’ruf maka ia juga termasuk hal yang ma’ruf. Demikian
pula segala sesuatu yang dengan keberadaannya menjadi terwujud sebuah
kemungkaran maka ia juga termasuk dari kemungkaran. (Lihat Taisir
al-Karimirrahman, tafsir al-Hajj: 41)
Para Pembaca yang mulia, dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa:
- Sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik oleh syariat dan akal sehat. Ini mencakup semua yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari berbagai ibadah yang bersifat ucapan dan perbuatan, yang berkaitan dengan hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dan juga hak-hak hamba, baik yang lahir maupun yang batin.
- Segala bentuk ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dari yang ma’ruf.
- Segala sesuatu yang tanpa keberadaannya tidak terwujud yang ma’ruf maka ia juga termasuk hal yang ma’ruf.
- Sesuatu yang ma’ruf mencakup semua yang diistilahkan dalam syariat dengan ash-shalah (kesalehan), al-hasanat (kebagusan), al-khair (kebaikan), dan al-bir (kebajikan).
- Sesuatu yang mungkar adalah yang dinilai jelek oleh syariat dan akal sehat.
- Segala sesuatu yang diingkari oleh syariat dan dilarang olehnya berupa berbagai kemaksiatan, kekufuran, kefasikan, pelanggaran, dusta, ghibah, namimah, dan sebagainya termasuk hal kemungkaran.
- Segala bentuk kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk kemungkaran.
- Segala sesuatu yang dengan keberadaannya akan terwujud sebuah kemungkaran, ia juga termasuk kemungkaran.
- Sesuatu yang mungkar mencakup semua yang diistilahkan dalam syariat dengan al-fasad (kerusakan), as-sayyiat (keburukan), asy-syar (kejelekan), dan al-fujur (kejahatan).
Jika demikian, apa contoh nyata dari yang ma’ruf dan yang mungkar itu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/209) menyebutkan beberapa contoh nyata dari yang ma’ruf, antara lain:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/209) menyebutkan beberapa contoh nyata dari yang ma’ruf, antara lain:
- Syariat Islam yang dikandung oleh rukun Islam: shalat lima waktu yang dikerjakan pada waktunya, berbagai sedekah yang diperintahkan dalam syariat, puasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.
- Rukun iman: iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari akhir, serta iman kepada takdir (ketentuan) Allah subhanahu wa ta’ala yang baik dan yang buruk.
- Ihsan, yaitu engkau beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika tidak melihat-Nya sungguh Dia subhanahu wa ta’ala melihatmu.
- Segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang bersifat lahir maupun batin.
- Mengikhlaskan agama ini untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata, bertawakal hanya kepada-Nya, mendahulukan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada selain keduanya, mengharap rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, takut akan azab-Nya, sabar terhadap keputusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan menerima apa yang datang dari-Nya.
- Jujur ketika berkata, menepati janji, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturahmi, tolong-menolong dalam hal kebajikan dan ketakwaan, berbuat baik terhadap tetangga, menyantuni anak yatim dan orang miskin, berbuat baik dengan ibnu sabil (orang yang sedang melakukan perjalanan), teman sejawat, istri, dan hamba sahaya, serta bersikap adil dalam ucapan dan perbuatan.
- Menganjurkan kepada akhlak mulia seperti ucapan, “Sambunglah orang yang telah memutuskan hubungan denganmu!”, “Berilah orang yang tak mau memberimu!”, atau “Maafkanlah orang yang menzalimimu!”.
- Anjuran kepada persatuan dan larangan dari perselisihan, dll.
Adapun contoh nyata dari yang mungkar, disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/210), antara lain: - Perbuatan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang merupakan kemungkaran terbesar dalam kehidupan ini. Syirik adalah sikap menduakan dalam berdoa atau beribadah (berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala di satu sisi dan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala di sisi yang lain). Semisal berdoa kepada matahari, bulan, dan bintang, atau malaikat, nabi, orang saleh, jin, patung-patung mereka, kuburan-kuburan mereka, dan lain sebagainya yang dipanjatkan kepadanya sebuah doa (selain Allah subhanahu wa ta’ala). Berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala agar dientaskan dari musibah yang sedang melanda (istighatsah), atau sujud kepadanya. Semua yang disebutkan di atas dan yang semisalnya merupakan perbuatan syirik yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui lisan para rasul.
- Segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti membunuh jiwa tanpa haq, memakan harta orang lain dengan cara yang batil, baik dengan cara merampasnya, transaksi riba, maupun perjudian.
- Semua jenis jual beli dan muamalah yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Memutuskan tali silaturahmi, durhaka kepada kedua orang tua, curang dalam sukatan (takaran) dan timbangan.
- Semua jenis ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dll.
Dinamika Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Para Pembaca yang mulia, telah berlalu
keterangan seputar kedudukan amar ma’ruf nahi mungkar, perannya yang
besar dalam kehidupan, dan kewajiban untuk menegakkannya dengan terlebih
dahulu mengilmui (memahami dengan baik) kaidah penentuan yang ma’ruf
dan yang mungkar. Bagaimanakah agar penegakan amar ma’ruf nahi mungkar
itu berjalan dengan baik, mendapat ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan berbuah berkah dalam kehidupan? Untuk meraih semua itu, hendaknya memerhatikan hal-hal penting berikut ini.
- Meluruskan niat dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.
Di antara niat yang lurus dalam beramar ma’ruf nahi mungkar adalah mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala, kekhawatiran akan azab-Nya jika tidak melakukannya, marah karena Allah subhanahu wa ta’ala
ketika syariat-Nya dilanggar, untuk menasihati orang-orang yang beriman
dan menyayangi mereka, menginginkan keselamatan bagi mereka dari
kemarahan dan azab Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan akhirat, serta karena pengagungan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala
dan kecintaan kepada-Nya bahwa Dialah yang berhak ditaati tanpa
dimaksiati, diingat tanpa dilupakan, dan disyukuri tanpa dikufuri
nikmat-Nya. Demikian faedah dari al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, hadits ke-34.
- Memenuhi syarat-syarat amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu:
- Mengilmui (memahami dengan baik) sesuatu yang ma’ruf dan yang mungkar.
- Mengetahui kondisi seorang yang akan diseru, apakah dia berkewajiban untuk mengerjakannya (mukallaf) ataukah tidak.
- Mengetahui dengan yakin bahwa orang yang akan diseru kepada yang ma’ruf itu akan meninggalkannya dan orang yang akan dicegah dari kemungkaran itu akan mengerjakannya.
- Adanya kemampuan untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, tanpa adanya sesuatu yang membahayakan.
- Tidak menimbulkan kerusakan (kemungkaran) yang lebih besar dengan sebab amar ma’ruf nahi mungkar tersebut. Demikian secara global faedah dari asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah (2/230—235) dan Syarh Riyadhish Shalihin “Bab al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar”.
Ada tambahan faedah dari asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam koleksi fatwa beliau no. 199, yaitu:
- Mengedepankan sikap hikmah dan lemah lembut dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.
g. Bersabar atas segala gangguan. - Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan tahapan yang dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
berkata, “Seseorang tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar
melainkan ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut ketika menyeru
dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, mengilmui sesuatu yang
diseru dan dicegahnya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hadits ke-34)
- Tahapan mengingkari/mencegah kemungkaran yang dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukannya dengan tangan; jika tidak mampu dengan tangan, dengan lisan; dan jika tidak mampu dengan lisan, dengan hati.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya
mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan
lisannya. Jika tidak mampu dengan lisannya, dengan hatinya; dan itulah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, no. 78 dari sahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Siapakah pelaku pada masing-masing tahapan tersebut? Asy-Syaikh Abdul
Muhsin al-Abbad hafizhahullah menjelaskan bahwa yang berhak
mengingkari/mencegah kemungkaran dengan menggunakan tangan adalah pihak
yang berwenang dari pemerintah kaum muslimin,[1]
demikian pula setiap kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya
secara khusus. Adapun selain mereka, dengan menggunakan lisan apabila
memang ada kemampuan. Jika tidak mampu dengan lisan, dengan hati, yaitu
dengan cara membencinya dan merasakan kebencian tersebut pada hati,
itulah selemah-lemah iman. (Lihat Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil
Arbain, hadits ke-34)
- Ada beberapa kesalahan dalam beramar ma’ruf nahi mungkar yang harus dihindari oleh semua pihak yang beramar ma’ruf nahi mungkar, antara lain:
- Tidak mengilmui (memahami dengan baik) yang halal dan yang haram, demikian pula yang ma’ruf dan yang mungkar.
- Tidak adanya sikap hikmah, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan tidak memahami urut-urutan pentingnya permasalahan.
- Beramar ma’ruf nahi mungkar dengan kekerasan dan jauh dari sikap lemah lembut.
d. Kurangnya kesabaran dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. - Tidak memedulikan tahapan amar ma’ruf nahi mungkar yang dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Tergesa-gesa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap permasalahan besar yang terjadi di tangah umat, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada para ulama yang mumpuni. (Diringkas dari koleksi fatwa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah no. 204)
Para Pembaca yang mulia, demikianlah
sajian “Manhaji” seputar amar ma’ruf nahi mungkar. Semoga berbuah faedah
bagi kehidupan kita semua; amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan,
dilakukan sesuai dengan bimbingan, dan dibangun di atas lurusnya niatan.
Dengan harapan, semua itu dapat mengantarkan kepada ridha ar-Rahman dan
berbuah berkah dalam kehidupan.
Amin, Ya Mujibas Sailin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
[1] Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah
dalam koleksi fatwa beliau no. 203, agar penegakan amar ma’ruf nahi
mungkar itu berjalan lebih rapi dan membuahkan hasil yang maksimal, maka
pemerintah kaum muslimin bisa membentuk secara resmi badan khusus di
bidang tersebut yang terdiri dari para ulama dan orang-orang yang
mempunyai semangat tinggi untuk menegakkan kebaikan, dengan segala
sarana penunjangnya, sebagaimana yang ada di Kerajaan Saudi Arabia.

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar bukan Anarkisme
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Kemungkaran terpampang jelas di depan
kita. Pelacuran dan hiburan malam di mana-mana, majalah/tabloid/VCD
porno/semiporno mudah didapatkan di pinggir-pinggir jalan, situs porno
mudah diakses anak-anak kita, judi dengan beragam jenisnya telah
demikian mengakar, miras dan narkoba merajalela, seks bebas menjadi
biasa, artis seronok dan pezina dibela serta dipuja-puja, klenik dan
syirik—dengan beragam kemasan—membudaya, penistaan agama dipelihara,
yang haram—seperti rokok—dicarikan dalil-dalil pembenarnya.
Di bulan suci umat Islam, Ramadhan,
suasananya tak kalah menyedihkan. Di siang hari, warung makan atau
restoran buka secara terang-terangan. Sementara itu, yang tutup malah
bisa dihitung dengan jari. Orang bebas makan dan minum di tempat terbuka
tanpa rasa sungkan lagi. Di malam hari, gempita suasana malam tak
sedikit pun menyiratkan bahwa siang hari sebelumnya, (sebagian) kaum
muslimin baru saja menunaikan salah satu ibadah yang agung, berpuasa.
Tanya seakan terus menerpa, benarkah negara ini adalah negara dengan
jumlah penduduk muslim terbesar di dunia?
Miris memang. Betapa agama telah
demikian tak berharga. Ketika itu semua ditentang, gelombang pembelaan
dari media dan tokoh-tokoh “nyeleneh” justru datang. Kalau
hiburan malam ditutup bagaimana nasib pekerjanya, kalau lokalisasi ini
ditutup bagaimana dengan nasib “penghuni”-nya dan warung-warung yang
dihidupi oleh lokalisasi ini?, “Seni jangan dikaitkan dengan agama”,
“Ini kebebasan berekspresi!” dan seterusnya.
Agama justru dikalahkan oleh persoalan
perut. Islam mesti bersimpuh di hadapan seni. Na’udzubillah! Jika
mengikuti emosi kita, rasanya kita ingin melibas habis itu semua
secepatnya. Ingin kita geruduk sarang-sarang prostitusi, ingin kita
bakar diskotek dan tempat hiburan malam, ingin kita “sweeping” warung penjual miras, dan seterusnya.
Namun, apakah itu semua menyelesaikan
masalah? Apakah ini solusi bagi umat Islam yang memang sangat jahil
(bodoh) terhadap agamanya? Sudahkah kita berbekal ilmu yang benar dan
mengedepankan sikap hikmah dan lemah lembut dalam amar ma’ruf nahi
mungkar ini? Di manakah kesabaran kita? Sudahkah kita menempuh tahapan
demi tahapan yang digariskan syariat?
Niat baik dan semangat semata, nyata tak
pernah cukup. Di tengah masyarakat dan media yang bodoh, orang yang
berdiri di barisan penegak amar ma’ruf nahi mungkar justru sering
diposisikan negatif. Terlebih jika “amar ma’ruf nahi mungkar” itu
dibarengi tindakan anarki. Muncullah istilah-istilah yang sejatinya
melecehkan Islam: preman berpeci atau preman bersorban.
Memang, seseorang yang beramar ma’ruf
nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai penyampai
kebenaran, padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran.
Oleh karena itu, wajar jika ia mendapat beragam “gangguan”. Masalahnya,
kita perlu menyadari, ada kewenangan-kewenangan yang hanya dimiliki oleh
pemerintah melalui aparaturnya, seperti kepolisian atau Satpol PP. Kala
semua pihak mengubah kemungkaran dengan kekuatan menurut cara-caranya
sendiri, yang terjadi justru fitnah dan kekacauan, bahkan memicu
munculnya kemungkaran baru yang lebih besar.
Dalam hal membangun serta membina akidah
dan akhlak seorang muslim, Islam tidak sekadar menjadikannya sebagai
pribadi yang saleh. Akan tetapi, juga mendorongnya untuk menjadi pribadi
yang mushlih (selalu mengupayakan terciptanya perbaikan), saleh bagi
dirinya dan mengupayakan kesalehan bagi selainnya.
Maka, ketika amar ma’ruf nahi mungkar
dilakukan secara serampangan, bahkan dijiwai anarkisme, berarti itu
bukan amar ma’ruf nahi mungkar yang sesungguhnya.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Surat Pembaca edisi 70
Rubrik Boga
Saya sangat senang dengan majalah
Asy-Syariah karena membuat pengetahuan agama bertambah dengan pemahaman
yang benar. Ana punya usul, bisakah Asy-Syariah memuat tentang
masakan-masakan dan cara membuat kue tertentu, karena selain menambah
ilmu agama, majalah ini dapat juga menambah ilmu tentang dunia.
0852965xxxxx
Jawaban Redaksi
Sejumlah usulan
tentang rubrik tambahan memang banyak masuk ke meja Redaksi. Namun,
untuk sementara penambahan rubrik masih kami pertimbangkan secara
matang, terlebih jika penambahan rubrik tersebut berkonsekuensi pada
penambahan halaman. Jazakumullahu khairan atas masukannya.
Tema Tidak Sesuai
Maaf saya mau tanya, kenapa tema yang
diangkat dalam majalah bulan ini (edisi 68) tidak sesuai dengan tema
yang tertera pada edisi 67 yakni “Sikap terhadap Musibah”? 0817035xxxxx
Jawaban Redaksi
Mohon maaf pada
edisi 67 (halaman 104) di bawah Daftar Agen, terjadi kesalahan dalam
penulisan tema edisi depan. Di situ tertulis “Solusi Menghadapi
Musibah”, yang benar adalah “Sikap yang Benar terhadap Nonmuslim.”
Sekali lagi kami meminta maaf atas kesalahan ini.
Kurang Kata
Bismillah. Afwan pada edisi 68:
1. Halaman 72 pada arti QS. Ali Imran: 64 tertulis “…tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain SEBAB rabb-rabb selain Allah”, seharusnya SEBAGAI rabb-rabb selain Allah.
2. Halaman 94 pada arti QS. al-Maidah: 72 kurang kata “ada” pada: “Dan tidak ADA penolong bagi orang-orang zalim.”
0852219xxxxx
1. Halaman 72 pada arti QS. Ali Imran: 64 tertulis “…tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain SEBAB rabb-rabb selain Allah”, seharusnya SEBAGAI rabb-rabb selain Allah.
2. Halaman 94 pada arti QS. al-Maidah: 72 kurang kata “ada” pada: “Dan tidak ADA penolong bagi orang-orang zalim.”
0852219xxxxx
Jawaban Redaksi
Jazakumullahu khairan atas koreksinya.
Uzur Shalat Berjamaah
Harap dibahas apa saja uzur untuk tidak shalat berjamaah beserta dalil-dalilnya.
0852271xxxxx
0852271xxxxx
Jawaban Redaksi
Ini masukan berharga bagi kami, jazakumullahu khairan atas masukannya.
Tentang Kaos
Kepada Majalah Asy-Syariah, ada usulan
dari Pelanggan, bagaimana kalau bikin kaos Majalah Asy-Syariah untuk
dibagi-bagi kepada agen supaya terkenal di masyarakat. Terima kasih.
081790xxxxx
081790xxxxx
Jawaban Redaksi
Akan kami pertimbangkan, jazakumullahu khairan atas masukannya.

Keutamaan Ilmu Atas Harta
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata,
“Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu itu akan menjagamu, sedangkan harta engkaulah yang menjaganya. Ilmu itu semakin berkembang dengan diinfakkan, sedangkan harta akan berkurang jika dinafkahkan. Ilmu adalah yang mengaturmu, sedangkan harta, engkau yang akan mengaturnya. Mencintai ilmu adalah agama yang seseorang itu beribadah dengannya.
“Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu itu akan menjagamu, sedangkan harta engkaulah yang menjaganya. Ilmu itu semakin berkembang dengan diinfakkan, sedangkan harta akan berkurang jika dinafkahkan. Ilmu adalah yang mengaturmu, sedangkan harta, engkau yang akan mengaturnya. Mencintai ilmu adalah agama yang seseorang itu beribadah dengannya.
Ilmu akan membuahkan ketaatan di dalam kehidupan pemiliknya serta
mengharumkan namanya setelah ia meninggal dunia. Kebaikan para
pemelihara harta akan melenyap bersamaan dengan kepergiannya. Para
penimbun harta (pada hakikatnya) telah mati (meskipun) mereka itu masih
hidup. Adapun para ulama tetap kekal sepanjang masa. Jasad mereka telah
tiada, namun kenangan tentang mereka senantiasa melekat di hati
manusia.”
(Durus fil Qira’ah al-Mustawa ar-Rabi’ hlm. 16)
Pelajaran dari Surat Al ‘Ashr
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Terkecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta nasihat-menasihati agar menaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran.
(al-‘Ashr: 1—3)
Terkait dengan surat yang mulia ini, al-Imam asy-Syafi’i t pernah berkata, “Seandainya manusia mentadabburi surat ini niscaya surat ini melapangkan mereka.”
Sebuah surat yang pendek, hanya terdiri dari tiga ayat, namun demikian agung kandungannya. Di dalamnya termuat keterangan tentang sebab kerugian dan keberuntungan. Tentu setiap orang yang berakal menginginkan keberuntungan dan ingin menghindar dari kerugian. Namun, bisa jadi ia tidak mengetahui apa saja yang dapat menjatuhkannya ke dalam kerugian sehingga ia bisa menghindarinya. Ia tidak tahu pula cara-cara yang akan mengantarkannya kepada keberuntungan sehingga ia bisa mengupayakannya.
Allah l memberi anugerah kepada para hamba-Nya dengan menerangkan hal tersebut kepada mereka dalam sebuah surat yang pendek. Surat yang mudah dihafal dan dipahami oleh orang dewasa dan anak kecil, orang awam dan orang yang belajar, agar tegak hujjah-Nya terhadap para hamba-Nya, dan agar orang yang menginginkan keselamatan diri dapat mengamalkannya.
Allah l bersumpah menyebut masa yang manusia ada padanya dalam kehidupan dunia. Demikianlah, Allah l bersumpah dengan apa saja dari makhluk-Nya yang Dia inginkan. Adapun makhluk tidak boleh bersumpah dengan selain nama Allah l, karena bersumpah selain menyebut Allah l adalah perbuatan syirik1.
Tidaklah Allah l bersumpah menyebut makhluk-Nya melainkan di dalamnya ada rahasia yang agung dan hikmah yang tinggi, agar pandangan mengarah kepadanya, baik untuk mengambil pelajaran maupun faedah. Dalam ayat ini, Allah l bersumpah dengan masa, yang merupakan zaman dan waktu tempat manusia hidup dalam kehidupan dunia ini. Perjalanan waktu sarat dengan pelajaran. Waktu dan zaman adalah pergantian malam dan siang, tempat berlangsungnya berbagai kejadian, peristiwa, dan perubahan; di samping ada faedah/manfaat yang agung bagi manusia jika pandai menggunakannya dalam urusan yang bermanfaat.
Allah l bersumpah bahwa seluruh manusia merugi di dunia dan di akhirat. Sama saja, baik ia orang berpunya maupun papa, kaya maupun miskin, pandai maupun bodoh, mulia maupun rendahan, lelaki maupun perempuan, selain orang yang mengisi waktu dengan empat hal: iman, amal saleh, berwasiat dengan kebenaran, dan berwasiat dengan kesabaran.
Iman adalah pembenaran hati yang tidak bermanfaat jika tanpa amal. Seperti kata al-Hasan al-Bashri t, “Iman itu bukan dengan berhias-hias, bukan pula dengan berangan-angan. Akan tetapi, iman adalah apa yang menetap dalam hati dan dibenarkan oleh amalan.”
Tidak semua amalan itu teranggap saleh kecuali jika terkumpul di dalamnya: ikhlas karena Allah l, bersih dari seluruh macam kesyirikan, dan mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah n, disertai dengan meninggalkan semua bid’ah.
Ada orang yang berpayah-payah melakukan kebajikan namun hanya kemanfaatan duniawi yang menjadi tujuan. Jelas, hal ini menjauhkan mereka dari Allah l dan dari surga-Nya karena tidak ada pada amalan tersebut salah satu atau kedua syarat: ikhlas dan mutaba’ah.
Allah l berfirman:
“Banyak wajah pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas, diberi minum dengan air dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (al-Ghasyiyah: 2—7)
Ibnu Abbas c dan Qatadah t menafsirkan bahwa wajah-wajah itu tertunduk dan amalannya tidak bermanfaat. Dalam ayat disebutkan:
“Bekerja keras lagi kepayahan.”
Maksudnya, mereka melakukan amalan yang banyak yang memayahkan mereka. Namun, mereka masuk neraka karena amalan tersebut tidak di atas perkara yang disyariatkan.
Jika seperti ini keadaan orang-orang yang beramal—yakni beramal bukan di atas petunjuk—bagaimana halnya dengan keadaan orang-orang yang tidak beramal sama sekali? Mereka hidup di dunia ini sebagaimana kehidupan binatang ternak. Hidup semata untuk perut dan kemaluan. Tidak mau mengerjakan shalat, enggan berzakat, dan tidak berhati-hati menjaga diri dari yang haram, serta tidak menahan diri dari dosa dan kejahatan. Kita memohon keselamatan dan hidayah kepada Allah l.
Dalam firman Allah l:
Yang dimaksud adalah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, berdakwah kepada Allah l di atas bashirah/ilmu dan dengan hikmah, mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lalai. Dengan demikian, seseorang tidak cukup beramal saleh dan hanya memperbaiki dirinya sendiri. Seharusnya ia juga berupaya memperbaiki orang lain karena seseorang itu tidak menjadi mukmin yang hakiki sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya2. Seseorang tidak selamat dari kerugian dan tidak beroleh keuntungan melainkan jika ia berupaya memperbaiki dirinya dan orang lain. Ini menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bukan termasuk campur tangan terhadap urusan orang lain, sebagaimana ucapan sebagian orang jahil masa ini. Orang yang beranggapan seperti ini tidak tahu bahwa yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang yang menginginkan kebaikan bagi manusia, menginginkan keselamatan mereka dari azab Allah l, dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَؤُا الْمُنْكَرَ وَلَمْ يُغَيِّرْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ
“Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran dan tidak berusaha mengubahnya, hampir-hampir Allah meratakan azab dari sisi-Nya terhadap mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4338 dan at-Tirmidzi no. 2169, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
Allah l telah melaknat Bani Israil karena mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka perbuat.3
Sekarang kita membicarakan firman Allah l:
“… dan nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran.”
Sabar adalah menahan diri di atas ketaatan kepada Allah l dan menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Sabar ada tiga macam: sabar di atas ketaatan kepada Allah l, sabar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah l, dan sabar terhadap takdir Allah l yang menyakitkan.
Kesesuaian penyebutan sabar setelah penyebutan berwasiat dengan kebenaran adalah bahwa orang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan berhadapan dengan gangguan manusia, baik berbentuk ucapan maupun perbuatan. Maka dari itu, ia wajib bersabar menghadapinya dan terus-menerus beramar ma’ruf nahi mungkar. Ia harus sabar menanggung gangguan yang didapatkannya dari manusia, karena orang yang tidak sabar menghadapi gangguan mereka tidak akan bisa terus-menerus menasihati mereka.
Hamba Allah l yang saleh, Luqman al-Hakim, pernah berkata kepada putranya, sebagaimana yang diabadikan oleh Allah l dalam Al-Qur’an yang mulia:
”Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik, cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan oleh Allah.” (Luqman: 17)
Para nabi berkata kepada umat mereka:
”Kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kalian lakukan terhadap kami.” (Ibrahim: 12)
Orang yang tidak memiliki kesabaran tidak pantas menunaikan tugas memperbaiki manusia. Bahkan, ia pun tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali ibnu Abi Thalib z berkata, “Kedudukan sabar dalam agama ini sebagaimana keberadaan kepala pada jasad.”
Al-Imam Ahmad t berkata pula, “Kami dapati sebaik-baik urusan kami dengan kesabaran.”
Demikianlah, surat al-Ashr ini adalah surat yang agung. Ia merupakan mukjizat. Ringkas lafadz-lafadznya namun mendalam maknanya. Ia merangkum sebab-sebab kebahagiaan secara keseluruhan dan berisi peringatan akan sebab-sebab kesengsaraan seluruhnya. Seandainya orang yang paling fasih ingin menerangkan seluruh sebab kebahagiaan dan sebab kesengsaraan, niscaya ia membutuhkan buku yang tebalnya berjilid-jilid. Itu pun terkadang tidak sampai pada yang ia inginkan. Akan tetapi, surat al-Ashr memuat semuanya karena dia adalah kalamullah yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari depan atau belakangnya. Jin dan manusia tidak mampu mendatangkan surat yang semisalnya.
Sebagai pesan yang tidak patut diluputkan, bertakwalah kalian, wahai kaum muslimin! Jadikanlah surat al-Ashr sebagai pegangan hidup kalian dalam berjalan menuju Allah l. Janganlah kalian menyia-nyiakan pengamalannya hingga menjadi orang-orang yang merugi.
Bertakwalah kalian kepada Allah l! Jagalah waktu kalian agar tidak terbuang percuma sebagaimana kalian harus menjaga amalan kalian jangan sampai rusak. Manfaatkanlah umur kalian dengan ketaatan dan amal saleh sebelum kalian menyesali apa yang luput pada suatu hari kelak di mana tidak bermanfaat lagi penyesalan.
Supaya jangan ada orang yang mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah.” Atau supaya jangan ada yang berkata, “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, “Kalau sekiranya aku dapat kembali ke dunia niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (az-Zumar: 56—58)
Umurmu, wahai insan, adalah kesempatan emas yang dianugerahkan oleh Allah l kepadamu untuk engkau habiskan dalam hal yang dapat memberikan kemanfaatan bagimu. Oleh karena itu, bersemangatlah untuk menjaganya lebih dari semangatmu menjaga hartamu, karena jika harta hilang mungkin beroleh gantinya. Adapun umur, jika hilang tidak mungkin didapatkan penggantinya.
Banyak orang mengeluhkan waktu luang yang dimilikinya. Ia ingin menghabiskan waktunya tersebut walau dalam hal yang sebenarnya bermudarat atau tidak berfaedah. Ia habiskan malamnya bergadang dengan berbuat sia-sia dan bermain-main sehingga ia pun tertidur dari mengerjakan shalat subuh. Ia bepergian untuk bersenang-senang dan menghabiskan liburan musim panas walaupun di tempat yang paling rusak. Ia beri jiwanya apa yang disenanginya walaupun berdampak mudarat dan kesengsaraan bagi jiwanya. Ia tidak menghisab dirinya guna menghadapi hisab hari esok dan masa depannya. Tidak pernah pula ia berpikir tentang mati, kubur, hari dikumpulkannya makhluk, perhitungan amal, dan tempat kembali yang abadi. Ia tak pernah merenungkan isi surat al-Ashr dan apa yang dituntut darinya. Tidak juga pernah terpikirkan olehnya tentang akhir kesudahan yang bakal diperoleh, sebagaimana ia tidak dapat mengambil pelajaran dari orang lain yang mendapat akhir kesudahan yang buruk.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Petikan dari khutbah Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, dalam kitab al-Khuthab al-Minbariyah fi Munasabat al-’Ashriyah, 4/448—452, Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Catatan Kaki:
1 Rasulullah n bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, sungguh ia telah berbuat syirik.” (HR. Abu Dawud no. 1590 dan at-Tirmidzi no. 3251. Disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Terkecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta nasihat-menasihati agar menaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran.
(al-‘Ashr: 1—3)
Terkait dengan surat yang mulia ini, al-Imam asy-Syafi’i t pernah berkata, “Seandainya manusia mentadabburi surat ini niscaya surat ini melapangkan mereka.”
Sebuah surat yang pendek, hanya terdiri dari tiga ayat, namun demikian agung kandungannya. Di dalamnya termuat keterangan tentang sebab kerugian dan keberuntungan. Tentu setiap orang yang berakal menginginkan keberuntungan dan ingin menghindar dari kerugian. Namun, bisa jadi ia tidak mengetahui apa saja yang dapat menjatuhkannya ke dalam kerugian sehingga ia bisa menghindarinya. Ia tidak tahu pula cara-cara yang akan mengantarkannya kepada keberuntungan sehingga ia bisa mengupayakannya.
Allah l memberi anugerah kepada para hamba-Nya dengan menerangkan hal tersebut kepada mereka dalam sebuah surat yang pendek. Surat yang mudah dihafal dan dipahami oleh orang dewasa dan anak kecil, orang awam dan orang yang belajar, agar tegak hujjah-Nya terhadap para hamba-Nya, dan agar orang yang menginginkan keselamatan diri dapat mengamalkannya.
Allah l bersumpah menyebut masa yang manusia ada padanya dalam kehidupan dunia. Demikianlah, Allah l bersumpah dengan apa saja dari makhluk-Nya yang Dia inginkan. Adapun makhluk tidak boleh bersumpah dengan selain nama Allah l, karena bersumpah selain menyebut Allah l adalah perbuatan syirik1.
Tidaklah Allah l bersumpah menyebut makhluk-Nya melainkan di dalamnya ada rahasia yang agung dan hikmah yang tinggi, agar pandangan mengarah kepadanya, baik untuk mengambil pelajaran maupun faedah. Dalam ayat ini, Allah l bersumpah dengan masa, yang merupakan zaman dan waktu tempat manusia hidup dalam kehidupan dunia ini. Perjalanan waktu sarat dengan pelajaran. Waktu dan zaman adalah pergantian malam dan siang, tempat berlangsungnya berbagai kejadian, peristiwa, dan perubahan; di samping ada faedah/manfaat yang agung bagi manusia jika pandai menggunakannya dalam urusan yang bermanfaat.
Allah l bersumpah bahwa seluruh manusia merugi di dunia dan di akhirat. Sama saja, baik ia orang berpunya maupun papa, kaya maupun miskin, pandai maupun bodoh, mulia maupun rendahan, lelaki maupun perempuan, selain orang yang mengisi waktu dengan empat hal: iman, amal saleh, berwasiat dengan kebenaran, dan berwasiat dengan kesabaran.
Iman adalah pembenaran hati yang tidak bermanfaat jika tanpa amal. Seperti kata al-Hasan al-Bashri t, “Iman itu bukan dengan berhias-hias, bukan pula dengan berangan-angan. Akan tetapi, iman adalah apa yang menetap dalam hati dan dibenarkan oleh amalan.”
Tidak semua amalan itu teranggap saleh kecuali jika terkumpul di dalamnya: ikhlas karena Allah l, bersih dari seluruh macam kesyirikan, dan mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah n, disertai dengan meninggalkan semua bid’ah.
Ada orang yang berpayah-payah melakukan kebajikan namun hanya kemanfaatan duniawi yang menjadi tujuan. Jelas, hal ini menjauhkan mereka dari Allah l dan dari surga-Nya karena tidak ada pada amalan tersebut salah satu atau kedua syarat: ikhlas dan mutaba’ah.
Allah l berfirman:
“Banyak wajah pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas, diberi minum dengan air dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (al-Ghasyiyah: 2—7)
Ibnu Abbas c dan Qatadah t menafsirkan bahwa wajah-wajah itu tertunduk dan amalannya tidak bermanfaat. Dalam ayat disebutkan:
“Bekerja keras lagi kepayahan.”
Maksudnya, mereka melakukan amalan yang banyak yang memayahkan mereka. Namun, mereka masuk neraka karena amalan tersebut tidak di atas perkara yang disyariatkan.
Jika seperti ini keadaan orang-orang yang beramal—yakni beramal bukan di atas petunjuk—bagaimana halnya dengan keadaan orang-orang yang tidak beramal sama sekali? Mereka hidup di dunia ini sebagaimana kehidupan binatang ternak. Hidup semata untuk perut dan kemaluan. Tidak mau mengerjakan shalat, enggan berzakat, dan tidak berhati-hati menjaga diri dari yang haram, serta tidak menahan diri dari dosa dan kejahatan. Kita memohon keselamatan dan hidayah kepada Allah l.
Dalam firman Allah l:
Yang dimaksud adalah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, berdakwah kepada Allah l di atas bashirah/ilmu dan dengan hikmah, mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lalai. Dengan demikian, seseorang tidak cukup beramal saleh dan hanya memperbaiki dirinya sendiri. Seharusnya ia juga berupaya memperbaiki orang lain karena seseorang itu tidak menjadi mukmin yang hakiki sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya2. Seseorang tidak selamat dari kerugian dan tidak beroleh keuntungan melainkan jika ia berupaya memperbaiki dirinya dan orang lain. Ini menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bukan termasuk campur tangan terhadap urusan orang lain, sebagaimana ucapan sebagian orang jahil masa ini. Orang yang beranggapan seperti ini tidak tahu bahwa yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang yang menginginkan kebaikan bagi manusia, menginginkan keselamatan mereka dari azab Allah l, dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَؤُا الْمُنْكَرَ وَلَمْ يُغَيِّرْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ
“Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran dan tidak berusaha mengubahnya, hampir-hampir Allah meratakan azab dari sisi-Nya terhadap mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4338 dan at-Tirmidzi no. 2169, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
Allah l telah melaknat Bani Israil karena mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka perbuat.3
Sekarang kita membicarakan firman Allah l:
“… dan nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran.”
Sabar adalah menahan diri di atas ketaatan kepada Allah l dan menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Sabar ada tiga macam: sabar di atas ketaatan kepada Allah l, sabar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah l, dan sabar terhadap takdir Allah l yang menyakitkan.
Kesesuaian penyebutan sabar setelah penyebutan berwasiat dengan kebenaran adalah bahwa orang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan berhadapan dengan gangguan manusia, baik berbentuk ucapan maupun perbuatan. Maka dari itu, ia wajib bersabar menghadapinya dan terus-menerus beramar ma’ruf nahi mungkar. Ia harus sabar menanggung gangguan yang didapatkannya dari manusia, karena orang yang tidak sabar menghadapi gangguan mereka tidak akan bisa terus-menerus menasihati mereka.
Hamba Allah l yang saleh, Luqman al-Hakim, pernah berkata kepada putranya, sebagaimana yang diabadikan oleh Allah l dalam Al-Qur’an yang mulia:
”Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik, cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan oleh Allah.” (Luqman: 17)
Para nabi berkata kepada umat mereka:
”Kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kalian lakukan terhadap kami.” (Ibrahim: 12)
Orang yang tidak memiliki kesabaran tidak pantas menunaikan tugas memperbaiki manusia. Bahkan, ia pun tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali ibnu Abi Thalib z berkata, “Kedudukan sabar dalam agama ini sebagaimana keberadaan kepala pada jasad.”
Al-Imam Ahmad t berkata pula, “Kami dapati sebaik-baik urusan kami dengan kesabaran.”
Demikianlah, surat al-Ashr ini adalah surat yang agung. Ia merupakan mukjizat. Ringkas lafadz-lafadznya namun mendalam maknanya. Ia merangkum sebab-sebab kebahagiaan secara keseluruhan dan berisi peringatan akan sebab-sebab kesengsaraan seluruhnya. Seandainya orang yang paling fasih ingin menerangkan seluruh sebab kebahagiaan dan sebab kesengsaraan, niscaya ia membutuhkan buku yang tebalnya berjilid-jilid. Itu pun terkadang tidak sampai pada yang ia inginkan. Akan tetapi, surat al-Ashr memuat semuanya karena dia adalah kalamullah yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari depan atau belakangnya. Jin dan manusia tidak mampu mendatangkan surat yang semisalnya.
Sebagai pesan yang tidak patut diluputkan, bertakwalah kalian, wahai kaum muslimin! Jadikanlah surat al-Ashr sebagai pegangan hidup kalian dalam berjalan menuju Allah l. Janganlah kalian menyia-nyiakan pengamalannya hingga menjadi orang-orang yang merugi.
Bertakwalah kalian kepada Allah l! Jagalah waktu kalian agar tidak terbuang percuma sebagaimana kalian harus menjaga amalan kalian jangan sampai rusak. Manfaatkanlah umur kalian dengan ketaatan dan amal saleh sebelum kalian menyesali apa yang luput pada suatu hari kelak di mana tidak bermanfaat lagi penyesalan.
Supaya jangan ada orang yang mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah.” Atau supaya jangan ada yang berkata, “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, “Kalau sekiranya aku dapat kembali ke dunia niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (az-Zumar: 56—58)
Umurmu, wahai insan, adalah kesempatan emas yang dianugerahkan oleh Allah l kepadamu untuk engkau habiskan dalam hal yang dapat memberikan kemanfaatan bagimu. Oleh karena itu, bersemangatlah untuk menjaganya lebih dari semangatmu menjaga hartamu, karena jika harta hilang mungkin beroleh gantinya. Adapun umur, jika hilang tidak mungkin didapatkan penggantinya.
Banyak orang mengeluhkan waktu luang yang dimilikinya. Ia ingin menghabiskan waktunya tersebut walau dalam hal yang sebenarnya bermudarat atau tidak berfaedah. Ia habiskan malamnya bergadang dengan berbuat sia-sia dan bermain-main sehingga ia pun tertidur dari mengerjakan shalat subuh. Ia bepergian untuk bersenang-senang dan menghabiskan liburan musim panas walaupun di tempat yang paling rusak. Ia beri jiwanya apa yang disenanginya walaupun berdampak mudarat dan kesengsaraan bagi jiwanya. Ia tidak menghisab dirinya guna menghadapi hisab hari esok dan masa depannya. Tidak pernah pula ia berpikir tentang mati, kubur, hari dikumpulkannya makhluk, perhitungan amal, dan tempat kembali yang abadi. Ia tak pernah merenungkan isi surat al-Ashr dan apa yang dituntut darinya. Tidak juga pernah terpikirkan olehnya tentang akhir kesudahan yang bakal diperoleh, sebagaimana ia tidak dapat mengambil pelajaran dari orang lain yang mendapat akhir kesudahan yang buruk.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Petikan dari khutbah Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, dalam kitab al-Khuthab al-Minbariyah fi Munasabat al-’Ashriyah, 4/448—452, Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Catatan Kaki:
1 Rasulullah n bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, sungguh ia telah berbuat syirik.” (HR. Abu Dawud no. 1590 dan at-Tirmidzi no. 3251. Disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
TINGGAL BERSAMA MANTAN ISTRI
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh si wanita tinggal di rumah lelaki yang telah menceraikannya, dalam keadaan lelaki tersebut atau orang lain yang bukan mahramnya masuk ke rumah itu.
Adapun jika ia dan putra-putranya tinggal di rumah yang terpisah, tidak berhubungan dengan tempat tinggal mantan suaminya, dan si mantan suami juga tidak masuk ke rumah tersebut dan tidak tinggal bersama mereka, ini tidak apa-apa. Jika keadaannya seperti yang ditanyakan—mereka tinggal serumah padahal sudah bercerai, seakan-akan si wanita masih berstatus sebagai istrinya yang mantan suami biasa masuk menemuinya dan semisalnya—tentu hal ini tidak diperbolehkan. Si wanita wajib menjauh dari mantan suaminya1 dan tinggal di rumah yang terpisah, yang aman dari terjadi fitnah (godaan) dan hal lain yang dikhawatirkan.”
Selanjutnya asy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa ketentuan ini berlaku jika talak yang terjadi adalah talak ba’in (talak tiga atau talak yang tidak dapat dirujuk walaupun masih dalam masa ‘iddah). Adapun jika talaknya adalah talak raj’i (talak satu atau dua) dan si wanita masih dalam masa ‘iddah, ia tetap tinggal di rumah suaminya, seatap dengannya.2 Ini berdasarkan firman Allah l:
“Janganlah kalian (para suami yang mentalak) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak) dari rumah mereka (yang ditempati bersama kalian) dan janganlah mereka keluar dari rumah, melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (ath-Thalaq: 1)
Ketentuan yang disebutkan oleh ayat di atas berlaku untuk istri yang ditalak raj’i, selama dalam masa ‘iddah. Adapun wanita yang ditalak ba’in oleh suaminya, ia tidak berhak beroleh tempat tinggal. Setelah perceraian, ia tidak boleh tinggal serumah dengan mantan suaminya sebagaimana layaknya suami istri. (Majmu’ Fatawa, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/650—651)
Catatan Kaki:
1 Karena mantan suaminya bukan lagi mahramnya, sehingga haram baginya ikhtilath dan khalwat dengannya.
2 Karena selama masa ‘iddah statusnya masih sebagai istri. Jjika ‘iddah telah berakhir, ia bukan lagi istri.
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh si wanita tinggal di rumah lelaki yang telah menceraikannya, dalam keadaan lelaki tersebut atau orang lain yang bukan mahramnya masuk ke rumah itu.
Adapun jika ia dan putra-putranya tinggal di rumah yang terpisah, tidak berhubungan dengan tempat tinggal mantan suaminya, dan si mantan suami juga tidak masuk ke rumah tersebut dan tidak tinggal bersama mereka, ini tidak apa-apa. Jika keadaannya seperti yang ditanyakan—mereka tinggal serumah padahal sudah bercerai, seakan-akan si wanita masih berstatus sebagai istrinya yang mantan suami biasa masuk menemuinya dan semisalnya—tentu hal ini tidak diperbolehkan. Si wanita wajib menjauh dari mantan suaminya1 dan tinggal di rumah yang terpisah, yang aman dari terjadi fitnah (godaan) dan hal lain yang dikhawatirkan.”
Selanjutnya asy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa ketentuan ini berlaku jika talak yang terjadi adalah talak ba’in (talak tiga atau talak yang tidak dapat dirujuk walaupun masih dalam masa ‘iddah). Adapun jika talaknya adalah talak raj’i (talak satu atau dua) dan si wanita masih dalam masa ‘iddah, ia tetap tinggal di rumah suaminya, seatap dengannya.2 Ini berdasarkan firman Allah l:
“Janganlah kalian (para suami yang mentalak) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak) dari rumah mereka (yang ditempati bersama kalian) dan janganlah mereka keluar dari rumah, melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (ath-Thalaq: 1)
Ketentuan yang disebutkan oleh ayat di atas berlaku untuk istri yang ditalak raj’i, selama dalam masa ‘iddah. Adapun wanita yang ditalak ba’in oleh suaminya, ia tidak berhak beroleh tempat tinggal. Setelah perceraian, ia tidak boleh tinggal serumah dengan mantan suaminya sebagaimana layaknya suami istri. (Majmu’ Fatawa, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/650—651)
Catatan Kaki:
1 Karena mantan suaminya bukan lagi mahramnya, sehingga haram baginya ikhtilath dan khalwat dengannya.
2 Karena selama masa ‘iddah statusnya masih sebagai istri. Jjika ‘iddah telah berakhir, ia bukan lagi istri.
PERCERAIAN DAN PEMUTUSAN SILATURAHIM
Saudara perempuan saya menikah dengan anak lelaki bibi saya
(sepupu/misan). Suaminya peminum khamr. Jika mabuk, ia tidak ingat
apa-apa (berbuat semaunya tanpa sadar). Suatu ketika, di saat mabuknya,
ia mencekik istrinya (saudari saya) dan hampir-hampir membunuhnya jika
tidak ketahuan keluarga yang lain. Saudari saya tidak sanggup lagi
menanggung akibat perbuatan suaminya, ia datang ke tempat kami. Si suami
pun memutuskan untuk menceraikannya. Setelah sempurna jatuhnya talak,
terputuslah kabar/hubungan antara kami dan keluarga bibi kami. Saya
berharap kesediaan Anda memberi jawaban atas pertanyaan berikut: Apakah
pemutusan hubungan seperti ini dinamakan memutus silaturahim?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Perceraian yang terjadi antara lelaki tersebut dan saudari Anda karena si lelaki berakhlak buruk, gemar melakukan keharaman dan peminum khamar, adalah hal yang bagus. Menjauh dari pelaku kejahatan adalah sesuatu yang dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim tidak boleh berteman dengan orang fasik, yang bermudah-mudahan/meremehkan urusan agamanya karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya, terlebih lagi seorang istri terhadap suaminya. Apabila suami rusak akhlaknya dan menyimpang agamanya, hal ini akan berpengaruh kepada si istri dan anak-anaknya. Selain itu, menjauhkan dan melepaskan si istri dari suami yang demikian merupakan kelapangan bagi si istri. Urusan perceraian tersebut baik baginya, insya Allah. Semoga Allah l menggantikan yang lebih baik untuknya.
Kejadian seperti ini memberi penekanan kepada para wali wanita agar memilihkan suami yang baik dan saleh untuk mereka, serta menjauhkan mereka dari suami yang fasik dan berakhlak buruk. Hal ini karena orang seperti itu akan memberi pengaruh jelek terhadap agama dan kehidupan mereka.
Adapun memutus hubungan rahim sebagai dampak perceraian tersebut adalah hal yang buruk. Semestinya kalian tidak memutus hubungan kekerabatan kalian dan terus menyambungnya. Kalian wajib bersilaturahim dan berlaku baik kepada karib kerabat. Jika lelaki yang diceritakan itu bertaubat kepada Allah l dan meninggalkan kebiasaan minum khamrnya, hendaknya kembali dijalin persahabatan dan persaudaraan dengannya. Akan tetapi, jika terus-menerus dalam penyimpangan dan maksiatnya, serta tidak mau bertaubat, ia dihajr/diboikot karena Allah l, sampai ia mau bertaubat kepada-Nya. Keluarga si lelaki (pihak kerabat yang lain) tidak ada alasan untuk diboikot. Bahkan, mereka tidak boleh diboikot, dengan dalil firman Allah l:
“Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (al-An’am: 164)
(Majmu’ Fatawa, Shalih Fauzan al-Fauzan, 2/647—648)
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Perceraian yang terjadi antara lelaki tersebut dan saudari Anda karena si lelaki berakhlak buruk, gemar melakukan keharaman dan peminum khamar, adalah hal yang bagus. Menjauh dari pelaku kejahatan adalah sesuatu yang dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim tidak boleh berteman dengan orang fasik, yang bermudah-mudahan/meremehkan urusan agamanya karena hal itu akan berpengaruh pada dirinya, terlebih lagi seorang istri terhadap suaminya. Apabila suami rusak akhlaknya dan menyimpang agamanya, hal ini akan berpengaruh kepada si istri dan anak-anaknya. Selain itu, menjauhkan dan melepaskan si istri dari suami yang demikian merupakan kelapangan bagi si istri. Urusan perceraian tersebut baik baginya, insya Allah. Semoga Allah l menggantikan yang lebih baik untuknya.
Kejadian seperti ini memberi penekanan kepada para wali wanita agar memilihkan suami yang baik dan saleh untuk mereka, serta menjauhkan mereka dari suami yang fasik dan berakhlak buruk. Hal ini karena orang seperti itu akan memberi pengaruh jelek terhadap agama dan kehidupan mereka.
Adapun memutus hubungan rahim sebagai dampak perceraian tersebut adalah hal yang buruk. Semestinya kalian tidak memutus hubungan kekerabatan kalian dan terus menyambungnya. Kalian wajib bersilaturahim dan berlaku baik kepada karib kerabat. Jika lelaki yang diceritakan itu bertaubat kepada Allah l dan meninggalkan kebiasaan minum khamrnya, hendaknya kembali dijalin persahabatan dan persaudaraan dengannya. Akan tetapi, jika terus-menerus dalam penyimpangan dan maksiatnya, serta tidak mau bertaubat, ia dihajr/diboikot karena Allah l, sampai ia mau bertaubat kepada-Nya. Keluarga si lelaki (pihak kerabat yang lain) tidak ada alasan untuk diboikot. Bahkan, mereka tidak boleh diboikot, dengan dalil firman Allah l:
“Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (al-An’am: 164)
(Majmu’ Fatawa, Shalih Fauzan al-Fauzan, 2/647—648)
Ummu Waraqah bintu Naufal
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)
Sebenarnya dia bernama Ummu Waraqah bintu Abdillah bin al-Harits bin ‘Uwaimir bin Naufal al-Anshariyah. Namun, dia lebih dikenal dengan nama Ummu Waraqah bintu Naufal x, nisbah kepada kakek buyutnya.
Dia seorang wanita yang begitu berharap mendapat kemuliaan di negeri akhirat. Saat kaum muslimin bersiap untuk Perang Badar, Ummu Waraqah memohon izin kepada Rasulullah n untuk turut dalam peperangan. “Wahai Rasulullah, izinkan saya pergi bersama kalian, agar saya bisa merawat orang yang sakit dan mengobati yang terluka. Mudah-mudahan dengan itu Allah l menganugerahiku mati syahid,” pintanya.
“Tinggallah di rumahmu! Sungguh Allah akan menganugerahimu mati syahid di rumahmu,” jawab Rasulullah n.
Ummu Waraqah pun taat dengan titah Rasulullah n.
Waktu terus bergulir. Tiba masa kaum muslimin diperintah oleh Amirul Mukminin, Umar ibnul Khaththab z. Waktu itu, Ummu Waraqah seperti biasa, selalu shalat mengimami anggota keluarganya.
Namun suatu malam, tak terdengar bacaan Qur’annya dalam shalat. Oleh karena itu, paginya Amirul Mukminin berkomentar keheranan, “Demi Allah, semalam aku tak mendengar bacaan bibiku, Ummu Waraqah.”
Amirul Mukminin tak tinggal diam. Beliau z segera mencari tahu keadaan Ummu Waraqah. Dimasukinya rumah Ummu Waraqah, tapi tak seorang pun tampak di situ.
Amirul Mukminin terus melangkah menuju kamar. Di salah satu sisi kamar, jasad Ummu Waraqah terbujur kaku bertutupkan selimutnya. Sementara budak laki-laki dan budak perempuan milik Ummu Waraqah yang tinggal bersama beliau x di rumah tersebut tak lagi tampak batang hidungnya.
Ternyata, malam itu Ummu Waraqah dibunuh oleh sepasang budak miliknya dengan menutupkan kain selimut, hingga Ummu Waraqah mengembuskan napas yang terakhir. Padahal Ummu Waraqah selalu mendidik mereka berdua dan berlaku baik kepada keduanya. Hanya karena tidak sabar ingin segera mereguk napas kebebasan sebagaimana dijanjikan oleh sang tuan jika ia telah meninggal dunia, mereka pun tega berbuat demikian kepada wanita salehah ini. Setelah membunuh Ummu Waraqah, dua budak itu kabur.
Mengetahui kejadian tersebut, Amirul Mukminin mengatakan, “Telah benar Allah dan Rasul-Nya1!”
Beliau segera mengumumkan di hadapan manusia, “Sesungguhnya Ummu Waraqah telah dibunuh oleh dua budaknya. Sekarang mereka berdua kabur. Barang siapa melihat mereka, harus membawa mereka kemari!”
Kedua budak yang berkhianat dan melakukan perusakan di muka bumi dengan membunuh itu berhasil ditangkap. Mereka dihadapkan kepada Amirul Mukminin. Beliau pun menanyai mereka, dan mereka berdua mengakui perbuatannya.
Amirul Mukminin memutuskan agar dua budak ini disalib. Merekalah orang pertama yang disalib di negeri Madinah.
Ummu Waraqah, semoga Allah l meridhainya…
Sumber Bacaan:
– al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/489—490)
– al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/601—602)
Catatan Kaki:
1 Jauh hari sebelumnya, Rasulullah n telah mengabarkan bahwa Ummu Waraqah akan menemui syahid di rumahnya, saat Ummu Waraqah meminta izin untuk turut keluar berperang menyertai para mujahidin.
Sebenarnya dia bernama Ummu Waraqah bintu Abdillah bin al-Harits bin ‘Uwaimir bin Naufal al-Anshariyah. Namun, dia lebih dikenal dengan nama Ummu Waraqah bintu Naufal x, nisbah kepada kakek buyutnya.
Dia seorang wanita yang begitu berharap mendapat kemuliaan di negeri akhirat. Saat kaum muslimin bersiap untuk Perang Badar, Ummu Waraqah memohon izin kepada Rasulullah n untuk turut dalam peperangan. “Wahai Rasulullah, izinkan saya pergi bersama kalian, agar saya bisa merawat orang yang sakit dan mengobati yang terluka. Mudah-mudahan dengan itu Allah l menganugerahiku mati syahid,” pintanya.
“Tinggallah di rumahmu! Sungguh Allah akan menganugerahimu mati syahid di rumahmu,” jawab Rasulullah n.
Ummu Waraqah pun taat dengan titah Rasulullah n.
Waktu terus bergulir. Tiba masa kaum muslimin diperintah oleh Amirul Mukminin, Umar ibnul Khaththab z. Waktu itu, Ummu Waraqah seperti biasa, selalu shalat mengimami anggota keluarganya.
Namun suatu malam, tak terdengar bacaan Qur’annya dalam shalat. Oleh karena itu, paginya Amirul Mukminin berkomentar keheranan, “Demi Allah, semalam aku tak mendengar bacaan bibiku, Ummu Waraqah.”
Amirul Mukminin tak tinggal diam. Beliau z segera mencari tahu keadaan Ummu Waraqah. Dimasukinya rumah Ummu Waraqah, tapi tak seorang pun tampak di situ.
Amirul Mukminin terus melangkah menuju kamar. Di salah satu sisi kamar, jasad Ummu Waraqah terbujur kaku bertutupkan selimutnya. Sementara budak laki-laki dan budak perempuan milik Ummu Waraqah yang tinggal bersama beliau x di rumah tersebut tak lagi tampak batang hidungnya.
Ternyata, malam itu Ummu Waraqah dibunuh oleh sepasang budak miliknya dengan menutupkan kain selimut, hingga Ummu Waraqah mengembuskan napas yang terakhir. Padahal Ummu Waraqah selalu mendidik mereka berdua dan berlaku baik kepada keduanya. Hanya karena tidak sabar ingin segera mereguk napas kebebasan sebagaimana dijanjikan oleh sang tuan jika ia telah meninggal dunia, mereka pun tega berbuat demikian kepada wanita salehah ini. Setelah membunuh Ummu Waraqah, dua budak itu kabur.
Mengetahui kejadian tersebut, Amirul Mukminin mengatakan, “Telah benar Allah dan Rasul-Nya1!”
Beliau segera mengumumkan di hadapan manusia, “Sesungguhnya Ummu Waraqah telah dibunuh oleh dua budaknya. Sekarang mereka berdua kabur. Barang siapa melihat mereka, harus membawa mereka kemari!”
Kedua budak yang berkhianat dan melakukan perusakan di muka bumi dengan membunuh itu berhasil ditangkap. Mereka dihadapkan kepada Amirul Mukminin. Beliau pun menanyai mereka, dan mereka berdua mengakui perbuatannya.
Amirul Mukminin memutuskan agar dua budak ini disalib. Merekalah orang pertama yang disalib di negeri Madinah.
Ummu Waraqah, semoga Allah l meridhainya…
Sumber Bacaan:
– al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/489—490)
– al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/601—602)
Catatan Kaki:
1 Jauh hari sebelumnya, Rasulullah n telah mengabarkan bahwa Ummu Waraqah akan menemui syahid di rumahnya, saat Ummu Waraqah meminta izin untuk turut keluar berperang menyertai para mujahidin.
Menjaga Anak Kita, Nasehat Seorang Alim untuk Orang Tua
Kelalaian demi kelalaian masih saja terjadi pada diri orang tua.
Kasus demi kasus masih bergulir dalam cerita kehidupan anak. Terakhir,
berita hilangnya beberapa anak gadis karena kabur dengan teman laki-laki
yang dikenalnya melalui jejaring sosial bernama Facebook (FB). Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Siapa kiranya yang paling bertanggung jawab atas semua ini kalau bukan kita, orang tua. Terkadang justru kita sendirilah yang memfasilitasi kerusakan anak. Wallahul musta’an.
Walau berjuta dalih dilontarkan dan berjuta argumen dinyatakan untuk mengaburkan kesalahan kita, namun di hadapan Allah l kita tidak bisa berkamuflase. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Oleh karena itu, yang lebih pantas bagi kita adalah berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan berhati lapang untuk memperbaiki keadaan. Sangat layak kita kaji nasihat seorang alim besar yang mengingatkan kita akan kewajiban yang harus kita tunaikan terhadap anak, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb seluruh alam.
Berikut ini petikan nasihat Fadhilatus Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam salah satu khutbah beliau.
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah l dan bersyukurlah pada-Nya atas nikmat berupa anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian.
Ketahuilah, anak merupakan cobaan dan ujian bagi hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang anaknya menjadi penyejuk matanya di dunia dan akhirat karena dia selalu memelihara mereka dan melaksanakan berbagai kewajiban yang harus ditunaikannya terhadap mereka. Dengan demikian, Allah l membaikkan keadaan anak-anaknya.
Allah l berfirman tentang sifat hamba-hamba ar-Rahman:
“Dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan dan anak-anak sebagai penyejuk mata’.” (al-Furqan: 74)
Tidaklah mereka memanjatkan permohonan ini kepada Allah l, melainkan setelah menempuh berbagai sebab dan konsisten dengan usaha mereka itu.
Di sisi lain, ada di antara manusia yang anaknya hanya menjadi penyesalan di dunia dan akhirat karena dia tidak mendidik mereka dan tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka. Dia menyia-nyiakan hak yang telah ditetapkan oleh Allah l untuk anak, sehingga anak-anaknya pun menyia-nyiakan hak yang ditetapkan oleh Allah l untuk orang tuanya. Tidak ada gunanya si anak bagi orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Jadilah dia orang yang rugi.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ketahuilah, itulah kerugian yang nyata’.” (az-Zumar: 15)
Wahai hamba-hamba Allah! Sesungguhnya Allah l telah menitipkan anak dan keluarga kepada kalian. Allah l juga memerintahkan kalian untuk menjaga mereka dari berbagai kerusakan, dan mengarahkan mereka menuju kebaikan. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang padanya ada para malaikat yang keras lagi kasar yang tak pernah mendurhakai Allah pada segala yang Allah perintahkan pada mereka dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim: 6)
Dalam ayat ini, Allah l memerintahkan kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari neraka yang amat mengerikan ini. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan dengan menjaga diri dan keluarga dari berbagai kerusakan dan selalu melakukan kebaikan. Namun, sudahkah kita mewujudkan semua ini? Sudahkah kita menjaga, mengarahkan, dan mendidik anak-anak sejauh kemampuan kita? Sudahkah kita tunaikan semua faktor yang mendatangkan kebaikan bagi mereka? Sudahkah kita mengawasi gerak-gerik dan diam mereka? Sudahkah kita memerhatikan seluruh tindak-tanduk, baik ucapan, perbuatan, pulang, maupun pergi mereka? Ataukah kita justru melalaikan semua itu, tenggelam dalam kesibukan mencari serpihan dunia, atau merasa malas mengawasi dan tak pernah memedulikan mereka?
Kalau bukan kita yang mengurusi mereka, siapa lagi yang mau mengurusi mereka? Kalau bukan kita yang mendidik akhlak dan memperbaiki keadaan mereka, siapa lagi yang akan melakukannya? Apakah orang lain yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan si anak yang akan melakukan semua itu, padahal orang-orang tersebut berpikiran menyimpang dan berakhlak rusak?
Demi Allah! Tidaklah Allah l menitipkan anak-anak kepada kalian dan memerintahkan kalian untuk menjaga mereka, melainkan Dia menginginkan agar kalian betul-betul memelihara dan senantiasa menjaga mereka serta menunaikan amanat ini. Hal ini karena pada umumnya anak-anak itu lemah, membutuhkan uluran tangan. Mereka belum mampu memberikan kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun kalian adalah orang yang memelihara mereka. Maka dari itu, takutlah kepada Allah l dalam hal anak-anak ini, karena kelak Allah l akan menanyai kalian tentang mereka.
Wahai manusia! Mungkin ada di antara kalian yang mengajukan alasan yang lemah untuk membela dirinya jika dituntut untuk mendidik anak-anaknya. Mungkin dia beralasan bahwa dia tidak mampu mendidik mereka karena mereka durhaka kepada orang tuanya. Padahal, andaikata mau memikirkan hal ini tentu dia akan menemukan kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri. Dari awal dia telah melalaikan perintah Allah l yang harus dia laksanakan terhadap anak-anak itu. Akhirnya, mereka pun menjadi anak-anak yang durhaka.
Seandainya dia bertakwa kepada Allah l, tentu Dia akan memberikan jalan keluar dan kemudahan dalam urusan ini. Namun, dia justru melalaikan dan menyia-nyiakan pendidikan mereka semasa kecil sehingga ketika dewasa mereka pun biasa membangkang, meremehkan, dan menyia-nyiakan perintah orang tuanya.
Walaupun demikian keadaannya, orang yang seperti ini hendaknya tidak berputus asa dari kasih sayang Allah l. Dia harus bertaubat kepada Allah l atas tindakannya di masa lalu yang melalaikan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya ia memohon pertolongan kepada-Nya agar dapat memperbaiki keadaan mereka di kemudian hari, disertai sering berdoa dan bertindak penuh hikmah. Mudah-mudahan dengan itu, Allah l akan menjadikan anak-anak itu patuh kepadanya dan memperbaiki keadaan mereka.
Wahai manusia! Kalau kita memikirkan keadaan masyarakat kita, kebanyakan orang mempunyai ambisi terhadap harta lebih besar daripada ambisi mereka terhadap keluarganya. Dia menyibukkan badan dan pikiran untuk harta, bagaimana agar dapat menghasilkan harta lebih banyak, mengembangkan, mengelola, dan menjaganya. Adapun keluarga, tidak pernah dia perhatikan. Tidak pernah pula dia tanyakan. Ia tidak pernah juga mencari tahu tentang aktivitas dan teman-teman mereka.
Ini kesalahan besar dan sebuah kebodohan yang nyata! Ambisi untuk memperbaiki keluarga lebih wajib dan lebih pasti. Memerhatikan mereka lebih penting karena kebaikan mereka adalah kebaikan generasi masa depan, sedangkan rusaknya mereka adalah kerusakan generasi mendatang. Apakah kita rela—sementara kita ini adalah kaum muslimin—bahwa nanti akan tumbuh dari kita generasi-generasi yang melalaikan agama dan akhlak mulia?
Kita kelak akan menghadapi liburan musim panas. Selama liburan itu, para remaja akan memiliki kelonggaran aktivitas pikiran dan fisik. Oleh karena itu, kita harus memadati kesempatan seperti ini dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi mereka. Bisa dengan membaca buku-buku yang bermanfaat sesuai taraf kemampuan dan pemahaman mereka. Bisa dengan membaca pelajaran-pelajaran yang akan dipelajari tahun depan. Bisa pula dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat seperti berdagang, membantu pekerjaan orang tua, atau aktivitas lain yang dapat mengisi waktu luang dan menyibukkan pikiran.
Setiap orang pasti memiliki aktivitas amalan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Apabila aktivitas ini diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, dia akan memperoleh kebaikan. Kalau tidak, aktivitasnya akan menyimpangkannya dari jalan yang lurus, atau mengakibatkan kemalasan, kelemahan, kecemasan, dan kekacauan pikiran.
Maka dari itu—wahai anak-anakku—hendaklah kalian mengisi kesempatan liburan dengan hal-hal yang bermanfaat. Dan kalian—wahai para ayah—hendaknya bersemangat untuk mengawasi dan mendidik anak-anak kalian. Semoga Allah l memberikan taufik kepada kita semua untuk melakukan segala hal yang Dia cintai dan ridhai, serta memberikan kebaikan kepada kita di akhirat.
(Diterjemahkan oleh Ummu Abdirrahman bintu Imran dari khutbah beliau yang berjudul “Ri’ayatul Aulad” yang terhimpun dalam kitab adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’ hlm. 98—101)
Siapa kiranya yang paling bertanggung jawab atas semua ini kalau bukan kita, orang tua. Terkadang justru kita sendirilah yang memfasilitasi kerusakan anak. Wallahul musta’an.
Walau berjuta dalih dilontarkan dan berjuta argumen dinyatakan untuk mengaburkan kesalahan kita, namun di hadapan Allah l kita tidak bisa berkamuflase. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Oleh karena itu, yang lebih pantas bagi kita adalah berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan berhati lapang untuk memperbaiki keadaan. Sangat layak kita kaji nasihat seorang alim besar yang mengingatkan kita akan kewajiban yang harus kita tunaikan terhadap anak, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb seluruh alam.
Berikut ini petikan nasihat Fadhilatus Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam salah satu khutbah beliau.
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah l dan bersyukurlah pada-Nya atas nikmat berupa anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian.
Ketahuilah, anak merupakan cobaan dan ujian bagi hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang anaknya menjadi penyejuk matanya di dunia dan akhirat karena dia selalu memelihara mereka dan melaksanakan berbagai kewajiban yang harus ditunaikannya terhadap mereka. Dengan demikian, Allah l membaikkan keadaan anak-anaknya.
Allah l berfirman tentang sifat hamba-hamba ar-Rahman:
“Dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan dan anak-anak sebagai penyejuk mata’.” (al-Furqan: 74)
Tidaklah mereka memanjatkan permohonan ini kepada Allah l, melainkan setelah menempuh berbagai sebab dan konsisten dengan usaha mereka itu.
Di sisi lain, ada di antara manusia yang anaknya hanya menjadi penyesalan di dunia dan akhirat karena dia tidak mendidik mereka dan tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka. Dia menyia-nyiakan hak yang telah ditetapkan oleh Allah l untuk anak, sehingga anak-anaknya pun menyia-nyiakan hak yang ditetapkan oleh Allah l untuk orang tuanya. Tidak ada gunanya si anak bagi orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Jadilah dia orang yang rugi.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ketahuilah, itulah kerugian yang nyata’.” (az-Zumar: 15)
Wahai hamba-hamba Allah! Sesungguhnya Allah l telah menitipkan anak dan keluarga kepada kalian. Allah l juga memerintahkan kalian untuk menjaga mereka dari berbagai kerusakan, dan mengarahkan mereka menuju kebaikan. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang padanya ada para malaikat yang keras lagi kasar yang tak pernah mendurhakai Allah pada segala yang Allah perintahkan pada mereka dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim: 6)
Dalam ayat ini, Allah l memerintahkan kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari neraka yang amat mengerikan ini. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan dengan menjaga diri dan keluarga dari berbagai kerusakan dan selalu melakukan kebaikan. Namun, sudahkah kita mewujudkan semua ini? Sudahkah kita menjaga, mengarahkan, dan mendidik anak-anak sejauh kemampuan kita? Sudahkah kita tunaikan semua faktor yang mendatangkan kebaikan bagi mereka? Sudahkah kita mengawasi gerak-gerik dan diam mereka? Sudahkah kita memerhatikan seluruh tindak-tanduk, baik ucapan, perbuatan, pulang, maupun pergi mereka? Ataukah kita justru melalaikan semua itu, tenggelam dalam kesibukan mencari serpihan dunia, atau merasa malas mengawasi dan tak pernah memedulikan mereka?
Kalau bukan kita yang mengurusi mereka, siapa lagi yang mau mengurusi mereka? Kalau bukan kita yang mendidik akhlak dan memperbaiki keadaan mereka, siapa lagi yang akan melakukannya? Apakah orang lain yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan si anak yang akan melakukan semua itu, padahal orang-orang tersebut berpikiran menyimpang dan berakhlak rusak?
Demi Allah! Tidaklah Allah l menitipkan anak-anak kepada kalian dan memerintahkan kalian untuk menjaga mereka, melainkan Dia menginginkan agar kalian betul-betul memelihara dan senantiasa menjaga mereka serta menunaikan amanat ini. Hal ini karena pada umumnya anak-anak itu lemah, membutuhkan uluran tangan. Mereka belum mampu memberikan kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun kalian adalah orang yang memelihara mereka. Maka dari itu, takutlah kepada Allah l dalam hal anak-anak ini, karena kelak Allah l akan menanyai kalian tentang mereka.
Wahai manusia! Mungkin ada di antara kalian yang mengajukan alasan yang lemah untuk membela dirinya jika dituntut untuk mendidik anak-anaknya. Mungkin dia beralasan bahwa dia tidak mampu mendidik mereka karena mereka durhaka kepada orang tuanya. Padahal, andaikata mau memikirkan hal ini tentu dia akan menemukan kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri. Dari awal dia telah melalaikan perintah Allah l yang harus dia laksanakan terhadap anak-anak itu. Akhirnya, mereka pun menjadi anak-anak yang durhaka.
Seandainya dia bertakwa kepada Allah l, tentu Dia akan memberikan jalan keluar dan kemudahan dalam urusan ini. Namun, dia justru melalaikan dan menyia-nyiakan pendidikan mereka semasa kecil sehingga ketika dewasa mereka pun biasa membangkang, meremehkan, dan menyia-nyiakan perintah orang tuanya.
Walaupun demikian keadaannya, orang yang seperti ini hendaknya tidak berputus asa dari kasih sayang Allah l. Dia harus bertaubat kepada Allah l atas tindakannya di masa lalu yang melalaikan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya ia memohon pertolongan kepada-Nya agar dapat memperbaiki keadaan mereka di kemudian hari, disertai sering berdoa dan bertindak penuh hikmah. Mudah-mudahan dengan itu, Allah l akan menjadikan anak-anak itu patuh kepadanya dan memperbaiki keadaan mereka.
Wahai manusia! Kalau kita memikirkan keadaan masyarakat kita, kebanyakan orang mempunyai ambisi terhadap harta lebih besar daripada ambisi mereka terhadap keluarganya. Dia menyibukkan badan dan pikiran untuk harta, bagaimana agar dapat menghasilkan harta lebih banyak, mengembangkan, mengelola, dan menjaganya. Adapun keluarga, tidak pernah dia perhatikan. Tidak pernah pula dia tanyakan. Ia tidak pernah juga mencari tahu tentang aktivitas dan teman-teman mereka.
Ini kesalahan besar dan sebuah kebodohan yang nyata! Ambisi untuk memperbaiki keluarga lebih wajib dan lebih pasti. Memerhatikan mereka lebih penting karena kebaikan mereka adalah kebaikan generasi masa depan, sedangkan rusaknya mereka adalah kerusakan generasi mendatang. Apakah kita rela—sementara kita ini adalah kaum muslimin—bahwa nanti akan tumbuh dari kita generasi-generasi yang melalaikan agama dan akhlak mulia?
Kita kelak akan menghadapi liburan musim panas. Selama liburan itu, para remaja akan memiliki kelonggaran aktivitas pikiran dan fisik. Oleh karena itu, kita harus memadati kesempatan seperti ini dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi mereka. Bisa dengan membaca buku-buku yang bermanfaat sesuai taraf kemampuan dan pemahaman mereka. Bisa dengan membaca pelajaran-pelajaran yang akan dipelajari tahun depan. Bisa pula dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat seperti berdagang, membantu pekerjaan orang tua, atau aktivitas lain yang dapat mengisi waktu luang dan menyibukkan pikiran.
Setiap orang pasti memiliki aktivitas amalan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Apabila aktivitas ini diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, dia akan memperoleh kebaikan. Kalau tidak, aktivitasnya akan menyimpangkannya dari jalan yang lurus, atau mengakibatkan kemalasan, kelemahan, kecemasan, dan kekacauan pikiran.
Maka dari itu—wahai anak-anakku—hendaklah kalian mengisi kesempatan liburan dengan hal-hal yang bermanfaat. Dan kalian—wahai para ayah—hendaknya bersemangat untuk mengawasi dan mendidik anak-anak kalian. Semoga Allah l memberikan taufik kepada kita semua untuk melakukan segala hal yang Dia cintai dan ridhai, serta memberikan kebaikan kepada kita di akhirat.
(Diterjemahkan oleh Ummu Abdirrahman bintu Imran dari khutbah beliau yang berjudul “Ri’ayatul Aulad” yang terhimpun dalam kitab adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’ hlm. 98—101)
Beberapa Kekeliruan Suami
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Dalam dua edisi yang lalu telah dibawakan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh seorang suami dalam bergaul dengan istrinya. Kali ini, kami sedikit menambahkan apa yang tertinggal dari pembahasan yang lalu.
Merendahkan Istri dan Pekerjaannya di dalam Rumah
Ada tipe suami yang cenderung merendahkan istri. Ia memandang istrinya dengan sebelah mata sampai-sampai ia menganggap rendah pekerjaan rumah tangga yang biasa dijalani oleh istri. Ia pun enggan membantu istrinya. Sebagian orang jahil bahkan berpandangan bahwa membantu pekerjaan rumah akan menghilangkan sifat kejantanan. Padahal kalau ia mau menengok kehidupan berumah tangga yang dijalani oleh pemimpin para suami, Rasulullah n, sungguh ia mendapatkan kenyataan yang bertolak belakang dengan apa yang ada di pikirannya. Rasulullah n adalah gambaran seorang suami terbaik terhadap keluarganya, sebagaimana kabar beliau n sendiri:
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. at-Tirmidzi, disahihkan dalam ash-Shahihah no. 285)
Al-Aswad t, seorang tabi’in, berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ n يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ؟
Aku pernah bertanya kepada Aisyah x, “Apa yang biasa dilakukan Nabi n di dalam rumahnya?”
Istri Rasulullah n, Aisyah x, menjawab:
كَانَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ– فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu pekerjaan keluarganya. Jika datang waktu shalat, beliau keluar untuk melaksanakannya.” (HR. al-Bukhari no. 676)
Dalam kitab asy-Syama’il karya al-Imam at-Tirmidzi t (no. 2491) disebutkan bahwa Aisyah x berkata:
ماَ كَانَ إِلاَّ بَشَرٌ مِنَ الْبَشَرِ يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Tidaklah beliau melainkan seorang manusia sebagaimana yang lain. Beliau biasa membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani keperluannya sendiri.” (Disahihkan al-Imam al-Albani t dalam tahqiq-nya terhadap Mukhtashar asy-Syama’il al-Muhammadiyyah no. 293 dan ash-Shahihah no. 671)
Dalam riwayat Ahmad (6/256) dan Ibnu Hibban yang dibawakan dalam Fathul Bari (2/212) disebutkan:
يَخِيطُ ثَوْبَهُ
“Beliau biasa menjahit pakaiannya.”
Ibnu Hibban menambahkan:
وَيَرْقَعُ دَلْوَهُ
“Dan menambal embernya.”
Kira-kira pandangan dan ucapan miring apa lagi yang bisa dilontarkan seorang suami setelah melihat perbuatan Rasululah n, teladan umat ini?
Menyebarkan Rahasia Istri dan Hubungan Intim Dengannya
Hubungan intim yang dilakukan bersama istri, bagi sebagian orang yang jahil, bukan lagi sesuatu yang harus dijaga, disimpan rapat, dan dirahasiakan. Hal itu justru dibicarakan secara terbuka dengan kawan-kawan mereka di kedai, warung kopi, di jalanan, dan kadang diungkap di media massa, baik sebagai bahan lelucon maupun untuk berbangga. Padahal Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ أَشَرُّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهَا ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah suami yang bercampur dengan istrinya dan istrinya bercampur dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 3527)
Hadits ini menunjukkan haramnya seorang suami menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dan istrinya, yaitu perkara-perkara istimta’ dan merinci hal tersebut. Haram pula membeberkan kepada orang lain apa yang diucapkan dan diperbuat oleh istrinya saat berhubungan dan semisalnya. Jika semata-mata mengatakan ia telah bercampur dengan istrinya alias jima’, sementara tidak ada faedah atau kebutuhan untuk menyebutkan hal tersebut, hukumnya makruh karena menghilangkan muru’ah atau kewibawaan. Bukankah Nabi n telah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالَيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.”
Sekiranya ada kebutuhan untuk menyebutnya atau ada faedah yang ingin diperoleh maka tidaklah makruh, sebagaimana Nabi n mengabarkan “urusan” beliau dan istrinya.
إِنِّي لَأَفْعَلُهُ أَنَا وَهَذِهِ
“Aku dan dia ini (beliau maksudkan salah seorang istri beliau) pernah melakukannya.”
Nabi n juga pernah bertanya kepada Abu Thalhah z:
أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟
“Apakah kalian (yakni Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim) ‘pengantinan’ tadi malam?” (al-Minhaj, 10/250)
Tergesa-Gesa dan Bermudah-Mudah Menjatuhkan Talak
Ikatan pernikahan adalah ikatan yang kuat. Allah l sendiri yang menamakannya dengan mitsaqan ghalizha, sebagaimana firman-Nya:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.” (an-Nisa: 21)
Oleh karena itu, tidaklah pantas seorang suami tergesa-gesa dan bermudah-mudah ingin mengurai ikatan ini dengan kalimat talak atau cerai. Sungguh perceraian dalam Islam tidaklah disyariatkan untuk menjadi pedang yang tajam yang diletakkan di leher istri. Perceraian juga tidak ditetapkan untuk menjadi sumpah guna meyakinkan berita atau ucapan layaknya perbuatan sebagian orang-orang bodoh.
Islam tidak melarang perceraian sama sekali, namun ia bukan langkah awal dalam menyelesaikan perselisihan. Islam telah mengajarkan tahapan-tahapan penyelesaian terhadap persoalan dan pertikaian yang muncul di antara suami-istri. Jika sumber permasalahan berasal dari istri, penyelesaiannya sebagaimana yang Allah l firmankan dalam Tanzil-Nya:
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz/pembangkangannya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka (boikot) di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian (taubat dan berhenti dari nusyuznya), janganlah sekali-kali kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa: 34)
Jika sumber masalah dari suami, misalnya ia tak menyukai istrinya, daripada bercerai, Islam menawarkan perdamaian dengan cara istri merelakan sebagian haknya tidak dipenuhi. Misalnya, hak beroleh nafkah, pakaian, atau mabit/bermalam, asalkan tetap bersatu dalam ikatan pernikahan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/314). Hal ini seperti tersebut dalam firman Allah l:
“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari suaminya, tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (an-Nisa: 128)
Oleh karena itu, tatkala Saudah bintu Zam’ah x berusia senja dan Rasulullah n berkeinginan untuk menceraikannya, Saudah menempuh ash-shulh ini. Ia merelakan giliran hari dan malamnya tidak dipenuhi, serta dihadiahkannya kepada Aisyah x (sehingga Aisyah x beroleh giliran dua hari dua malam) asalkan Rasulullah n berkenan tetap mempertahankannya sebagai istri beliau n. Rasulullah n pun menerima shulh tersebut.
Jika persoalannya berasal dari kedua belah pihak, keluarga masing-masing didatangkan untuk membantu mencarikan penyelesaian problem keduanya sebagaimana firman-Nya:
“Dan jika kalian mengkhawatirkan persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami istri tersebut.” (an-Nisa: 35)
Kalaupun mau tidak mau kalimat talak harus terucap dan jalan perpisahan terpaksa ditempuh, seorang suami harus memerhatikan agar ia tidak menceraikan istrinya dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci tetapi sempat digaulinya dalam masa suci tersebut, sampai tampak jelas atau diperoleh kepastian si istri ini hamil atau tidak dari hasil hubungan tersebut. Semua ini berkaitan dengan ’iddah yang harus dijalani oleh istri pasca-perceraian. Kalau ia ditalak dalam keadaan haid, masa ’iddah yang harus dilaluinya nanti akan panjang karena haid yang sedang dijalani tidak terhitung. Ia harus menunggu tiga haid yang berikutnya. Begitu pula jika si istri ditalak dalam keadaan suci tapi telah digauli, tidak bisa dipastikan bagaimana iddahnya, apakah tiga quru’1 jika ia tidak hamil ataukah dengan melahirkan kandungannya jika ternyata ia hamil2.
Seharusnya, suami menjatuhkan talak di saat istri bisa menghadapi ’iddahnya dengan jelas, yaitu saat suci sebelum digauli, atau saat si istri tengah mengandung. Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istri kalian, hendaklah kalian ceraikan mereka pada saat mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar…” (ath-Thalaq: 1)
Tidak diperkenankan pula bagi suami langsung menjatuhkan talak tiga pada istrinya dalam satu kesempatan. Hendaklah talak itu dijatuhkan satu per satu.
Rasa Cemburu yang Lemah
Di masa ini, kecemburuan seorang suami terhadap istrinya telah melemah. Jika ditanya apa buktinya? Kita katakan banyak. Di antaranya, seorang suami membolehkan lelaki lain yang bukan mahram istrinya bersalaman dengan si istri, bertatap muka dengannya, tersenyum, dan berbincang-bincang bersama. Sama saja apakah lelaki yang bukan mahram si istri itu adalah kerabat suami, saudara lelakinya, misannya, atau orang jauh/bukan kerabat suami. Dibiarkannya si istri keluar rumah dengan berdandan ala jahiliah, baik dengan dalih berbelanja, kerja, menghadiri undangan, maupun alasan lain. Termasuk pula bukti kelemahan cemburu suami adalah membiarkan istrinya pergi berduaan dengan sopir pribadi dalam mobil.
Sungguh, betapa banyak problem yang timbul karena sikap meremehkan ini! Betapa banyak keluarga yang hancur akibat kemaksiatan ini. Wallahul musta’an.
Di manakah mata yang mau melihat, telinga yang mau mendengar, dan hati yang mau memahami?
Semoga Allah l memberi hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.
Catatan Kaki:
1 Tentang maksud quru’, ulama salaf, khalaf, dan para imam, terbagi dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan quru’ adalah suci, ada pula yang mengatakan haid. Wallahu a’lam. (Tafsir Ibni Katsir, 2/353—354)
2 Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (ath-Thalaq: 4)
Adapun wanita yang tidak hamil disebutkan dalam:
“Istri-istri yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’.” (al-Baqarah: 228)
Dalam dua edisi yang lalu telah dibawakan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh seorang suami dalam bergaul dengan istrinya. Kali ini, kami sedikit menambahkan apa yang tertinggal dari pembahasan yang lalu.
Merendahkan Istri dan Pekerjaannya di dalam Rumah
Ada tipe suami yang cenderung merendahkan istri. Ia memandang istrinya dengan sebelah mata sampai-sampai ia menganggap rendah pekerjaan rumah tangga yang biasa dijalani oleh istri. Ia pun enggan membantu istrinya. Sebagian orang jahil bahkan berpandangan bahwa membantu pekerjaan rumah akan menghilangkan sifat kejantanan. Padahal kalau ia mau menengok kehidupan berumah tangga yang dijalani oleh pemimpin para suami, Rasulullah n, sungguh ia mendapatkan kenyataan yang bertolak belakang dengan apa yang ada di pikirannya. Rasulullah n adalah gambaran seorang suami terbaik terhadap keluarganya, sebagaimana kabar beliau n sendiri:
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. at-Tirmidzi, disahihkan dalam ash-Shahihah no. 285)
Al-Aswad t, seorang tabi’in, berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ n يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ؟
Aku pernah bertanya kepada Aisyah x, “Apa yang biasa dilakukan Nabi n di dalam rumahnya?”
Istri Rasulullah n, Aisyah x, menjawab:
كَانَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ– فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu pekerjaan keluarganya. Jika datang waktu shalat, beliau keluar untuk melaksanakannya.” (HR. al-Bukhari no. 676)
Dalam kitab asy-Syama’il karya al-Imam at-Tirmidzi t (no. 2491) disebutkan bahwa Aisyah x berkata:
ماَ كَانَ إِلاَّ بَشَرٌ مِنَ الْبَشَرِ يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Tidaklah beliau melainkan seorang manusia sebagaimana yang lain. Beliau biasa membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani keperluannya sendiri.” (Disahihkan al-Imam al-Albani t dalam tahqiq-nya terhadap Mukhtashar asy-Syama’il al-Muhammadiyyah no. 293 dan ash-Shahihah no. 671)
Dalam riwayat Ahmad (6/256) dan Ibnu Hibban yang dibawakan dalam Fathul Bari (2/212) disebutkan:
يَخِيطُ ثَوْبَهُ
“Beliau biasa menjahit pakaiannya.”
Ibnu Hibban menambahkan:
وَيَرْقَعُ دَلْوَهُ
“Dan menambal embernya.”
Kira-kira pandangan dan ucapan miring apa lagi yang bisa dilontarkan seorang suami setelah melihat perbuatan Rasululah n, teladan umat ini?
Menyebarkan Rahasia Istri dan Hubungan Intim Dengannya
Hubungan intim yang dilakukan bersama istri, bagi sebagian orang yang jahil, bukan lagi sesuatu yang harus dijaga, disimpan rapat, dan dirahasiakan. Hal itu justru dibicarakan secara terbuka dengan kawan-kawan mereka di kedai, warung kopi, di jalanan, dan kadang diungkap di media massa, baik sebagai bahan lelucon maupun untuk berbangga. Padahal Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ أَشَرُّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي إِلَيْهَا ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah suami yang bercampur dengan istrinya dan istrinya bercampur dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim no. 3527)
Hadits ini menunjukkan haramnya seorang suami menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dan istrinya, yaitu perkara-perkara istimta’ dan merinci hal tersebut. Haram pula membeberkan kepada orang lain apa yang diucapkan dan diperbuat oleh istrinya saat berhubungan dan semisalnya. Jika semata-mata mengatakan ia telah bercampur dengan istrinya alias jima’, sementara tidak ada faedah atau kebutuhan untuk menyebutkan hal tersebut, hukumnya makruh karena menghilangkan muru’ah atau kewibawaan. Bukankah Nabi n telah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالَيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau ia diam.”
Sekiranya ada kebutuhan untuk menyebutnya atau ada faedah yang ingin diperoleh maka tidaklah makruh, sebagaimana Nabi n mengabarkan “urusan” beliau dan istrinya.
إِنِّي لَأَفْعَلُهُ أَنَا وَهَذِهِ
“Aku dan dia ini (beliau maksudkan salah seorang istri beliau) pernah melakukannya.”
Nabi n juga pernah bertanya kepada Abu Thalhah z:
أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟
“Apakah kalian (yakni Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim) ‘pengantinan’ tadi malam?” (al-Minhaj, 10/250)
Tergesa-Gesa dan Bermudah-Mudah Menjatuhkan Talak
Ikatan pernikahan adalah ikatan yang kuat. Allah l sendiri yang menamakannya dengan mitsaqan ghalizha, sebagaimana firman-Nya:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.” (an-Nisa: 21)
Oleh karena itu, tidaklah pantas seorang suami tergesa-gesa dan bermudah-mudah ingin mengurai ikatan ini dengan kalimat talak atau cerai. Sungguh perceraian dalam Islam tidaklah disyariatkan untuk menjadi pedang yang tajam yang diletakkan di leher istri. Perceraian juga tidak ditetapkan untuk menjadi sumpah guna meyakinkan berita atau ucapan layaknya perbuatan sebagian orang-orang bodoh.
Islam tidak melarang perceraian sama sekali, namun ia bukan langkah awal dalam menyelesaikan perselisihan. Islam telah mengajarkan tahapan-tahapan penyelesaian terhadap persoalan dan pertikaian yang muncul di antara suami-istri. Jika sumber permasalahan berasal dari istri, penyelesaiannya sebagaimana yang Allah l firmankan dalam Tanzil-Nya:
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz/pembangkangannya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka (boikot) di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian (taubat dan berhenti dari nusyuznya), janganlah sekali-kali kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa: 34)
Jika sumber masalah dari suami, misalnya ia tak menyukai istrinya, daripada bercerai, Islam menawarkan perdamaian dengan cara istri merelakan sebagian haknya tidak dipenuhi. Misalnya, hak beroleh nafkah, pakaian, atau mabit/bermalam, asalkan tetap bersatu dalam ikatan pernikahan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/314). Hal ini seperti tersebut dalam firman Allah l:
“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari suaminya, tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (an-Nisa: 128)
Oleh karena itu, tatkala Saudah bintu Zam’ah x berusia senja dan Rasulullah n berkeinginan untuk menceraikannya, Saudah menempuh ash-shulh ini. Ia merelakan giliran hari dan malamnya tidak dipenuhi, serta dihadiahkannya kepada Aisyah x (sehingga Aisyah x beroleh giliran dua hari dua malam) asalkan Rasulullah n berkenan tetap mempertahankannya sebagai istri beliau n. Rasulullah n pun menerima shulh tersebut.
Jika persoalannya berasal dari kedua belah pihak, keluarga masing-masing didatangkan untuk membantu mencarikan penyelesaian problem keduanya sebagaimana firman-Nya:
“Dan jika kalian mengkhawatirkan persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami istri tersebut.” (an-Nisa: 35)
Kalaupun mau tidak mau kalimat talak harus terucap dan jalan perpisahan terpaksa ditempuh, seorang suami harus memerhatikan agar ia tidak menceraikan istrinya dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci tetapi sempat digaulinya dalam masa suci tersebut, sampai tampak jelas atau diperoleh kepastian si istri ini hamil atau tidak dari hasil hubungan tersebut. Semua ini berkaitan dengan ’iddah yang harus dijalani oleh istri pasca-perceraian. Kalau ia ditalak dalam keadaan haid, masa ’iddah yang harus dilaluinya nanti akan panjang karena haid yang sedang dijalani tidak terhitung. Ia harus menunggu tiga haid yang berikutnya. Begitu pula jika si istri ditalak dalam keadaan suci tapi telah digauli, tidak bisa dipastikan bagaimana iddahnya, apakah tiga quru’1 jika ia tidak hamil ataukah dengan melahirkan kandungannya jika ternyata ia hamil2.
Seharusnya, suami menjatuhkan talak di saat istri bisa menghadapi ’iddahnya dengan jelas, yaitu saat suci sebelum digauli, atau saat si istri tengah mengandung. Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istri kalian, hendaklah kalian ceraikan mereka pada saat mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar…” (ath-Thalaq: 1)
Tidak diperkenankan pula bagi suami langsung menjatuhkan talak tiga pada istrinya dalam satu kesempatan. Hendaklah talak itu dijatuhkan satu per satu.
Rasa Cemburu yang Lemah
Di masa ini, kecemburuan seorang suami terhadap istrinya telah melemah. Jika ditanya apa buktinya? Kita katakan banyak. Di antaranya, seorang suami membolehkan lelaki lain yang bukan mahram istrinya bersalaman dengan si istri, bertatap muka dengannya, tersenyum, dan berbincang-bincang bersama. Sama saja apakah lelaki yang bukan mahram si istri itu adalah kerabat suami, saudara lelakinya, misannya, atau orang jauh/bukan kerabat suami. Dibiarkannya si istri keluar rumah dengan berdandan ala jahiliah, baik dengan dalih berbelanja, kerja, menghadiri undangan, maupun alasan lain. Termasuk pula bukti kelemahan cemburu suami adalah membiarkan istrinya pergi berduaan dengan sopir pribadi dalam mobil.
Sungguh, betapa banyak problem yang timbul karena sikap meremehkan ini! Betapa banyak keluarga yang hancur akibat kemaksiatan ini. Wallahul musta’an.
Di manakah mata yang mau melihat, telinga yang mau mendengar, dan hati yang mau memahami?
Semoga Allah l memberi hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.
Catatan Kaki:
1 Tentang maksud quru’, ulama salaf, khalaf, dan para imam, terbagi dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan quru’ adalah suci, ada pula yang mengatakan haid. Wallahu a’lam. (Tafsir Ibni Katsir, 2/353—354)
2 Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (ath-Thalaq: 4)
Adapun wanita yang tidak hamil disebutkan dalam:
“Istri-istri yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’.” (al-Baqarah: 228)
Bantuan Kepedulian dengan Keikhlasan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
Allah l adalah sesembahan kita satu-satunya. Tidak ada sesembahan lain yang berhak kita sembah selain Dia semata. Dialah sesembahan yang memiliki nama-nama yang mulia, yang mengandung sifat-sifat yang sempurna.
Di antara sifat-sifat-Nya yang sempurna adalah al-qudrah (Mahakuasa), al-hikmah (Mahabijaksana), dan adil. Dengan sifat-sifat tersebut, Allah l menakdirkan terjadinya berbagai peristiwa di alam semesta yang fana ini. Termasuk di antaranya adalah musibah-musibah yang menimpa bangsa dan negara Indonesia, seperti tsunami di Aceh, lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, gempa bumi di Bantul, banjir di berbagai daerah, erupsi Merapi di Sleman, Magelang, dan sekitarnya, gagal panen di berbagai wilayah, munculnya penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan sebagainya.
Allah l senantiasa menghendaki kebaikan bagi hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allah l terus-menerus memperingatkan dengan ayat-ayat kauniah (berupa kejadian di alam sekitar) dan ayat syar’iyah-Nya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dengan demikian, diharapkan mereka mau menyadari, bersabar, dan kembali ke jalan-Nya yang lurus setelah mereka lupa dan jauh dari Allah l karena kemaksiatan dan kedurhakaan.
Jika kita memerhatikan musibah-musibah tersebut dengan kacamata agama Islam yang sempurna, kita akan mendapatkan berbagai pelajaran yang sangat berharga. Di antaranya adalah:
1. Mengingatkan kita akan kekuasaan-Nya yang sempurna.
Allah l berfirman:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)
2. Mengingatkan kita akan sifat hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna pula.
Berbagai macam musibah itu terjadi karena dosa-dosa kita. Allah l telah menegaskan dalam ayat-Nya yang mulia:
“Dan apa pun musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Itu pun Allah l sudah memaafkan banyak dosa kita. Kalau bukan karena ampunan-Nya, tidak akan tersisa seorang pun di antara kita melainkan pasti binasa disebabkan dosa-dosanya. Allah l berfirman:
“Dan sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi satu makhluk melata pun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu. Maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
Oleh karena itu, alasan apa yang menyebabkan seorang hamba sombong dan angkuh di hadapan Allah l, terus-menerus bergelimang dalam kemaksiatan, kedurhakaan, dan kezaliman?
Allah l menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidaklah sulit bagi Allah.” (Fathir: 15—17)
Dua hikmah yang mulia ini sudah pernah dibahas secara rinci dalam rubrik sebelumnya.
3. Menggugah, membangkitkan, dan menguatkan persaudaraan, kecintaan, dan kepedulian kita terhadap sesama karena Allah k semata, bukan karena organisasi, partai, aliran, marga, atau kepentingan dunia yang lain.
Allah l memberitakan tentang persaudaraan yang hakiki karena keimanan:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
Rasulullah n memerintah kita untuk bersaudara karena Allah l. Beliau n bersabda:
وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n menggambarkan kuatnya ikatan persaudaraan karena Allah l, dalam keadaan suka dan duka, melalui sabda beliau n:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi, seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih atau mengeluh, semua anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Muttafaqun alaih dari an-Nu’man bin Basyir c)
Bantuan, Wujud Kecintaan, Persaudaraan, dan Kepedulian
Berbagai musibah yang terjadi menyebabkan hilangnya nyawa; kehancuran, kehilangan, dan kerusakan harta benda; sakit atau luka, ketakutan atau trauma, dan kelaparan. Allah l berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)
Oleh karena itu, sebagai wujud kecintaan, persaudaraan, dan kepedulian kita kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, kita seharusnya membantu dan meringankan beban mereka. Hal ini sebagaimana perintah Allah l:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah l senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu membantu saudaranya.” (HR. Muslim no. 4867 dari Abu Hurairah z)
Bantuan yang kita berikan kepada mereka bisa berupa materi, seperti uang, bahan makanan, pakaian, obat-obatan, dan lainnya. Allah l berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (al-Insan: 8—10)
Rasulullah n bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri selain terhadap dua golongan: (1) orang yang dikaruniai harta yang melimpah oleh Allah l dan dia membelanjakannya di jalan yang haq, (2) orang yang dikaruniai hikmah (ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah), dia menunaikannya (mengamalkannya), serta mengajarkannya.” (Muttafaqun alaih, dari Ibnu Mas’ud z)
Bantuan yang kita berikan kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah juga bisa dalam bentuk tenaga, seperti evakuasi pengungsi dan korban bencana, membersihkan jalan dari hal-hal yang mengganggu, memperbaiki, dan membenahi sarana umum serta rumah, dan lainnya.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan, sebagiannya menguatkan yang lain.” (Muttafaqun alaih dari Abu Musa al-Asy’ari z)
Beliau n bersabda juga:
وَتُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَة
“Engkau membantu seseorang dalam hal kendaraannya hingga menaikkannya di atasnya, atau engkau mengangkat barang-barangnya ke kendaraannya, itu sedekah.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلًا يَتَقَلَّبُ فِي الْجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِي النَّاسَ
“Sungguh, aku melihat seseorang yang mondar-mandir di dalam surga karena sebuah pohon di jalan yang ditebangnya karena mengganggu manusia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n juga bersabda tentang cabang-cabang keimanan.
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
“… Yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
Seorang mukmin juga bisa mewujudkan kecintaan dan kepeduliannya terhadap saudara-saudaranya yang terkena musibah dalam bentuk nasihat, saran yang baik, dan doa. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar ….” (at-Taubah: 71)
Rasulullah n bersabda:
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik itu sedekah.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Dari Jarir bin Abdillah z, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللهِ n عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِم
“Aku membai’at Rasulullah n untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim.” (Muttafaqun alaih)
Dari Anas bin Malik z, ia berkata:
مَرَّ النَّبِيُّ n بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبْرٍ وَهِيَ تَبْكِي فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي
“Nabi n melewati seorang wanita yang sedang menangis di samping kuburan (anaknya). Beliau n berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!’.” (Muttafaqun alaih)
Dari Abu ad-Darda z, Rasulullah n bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya (tanpa diketahuinya) mustajab (akan dikabulkan). Di samping kepalanya ada malaikat yang bertugas. Ketika dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata, ‘Amin, mudah-mudahan engkau mendapatkan yang semisalnya’.” (HR. Muslim)
Termasuk salah satu hal yang semakin menyempurnakan kecintaan dan kepedulian seorang muslim terhadap saudaranya yang sedang tertimpa musibah adalah tidak menyakiti mereka dengan ucapan dan perbuatan, seperti komentar-komentar yang menyakitkan dan meresahkan melalui media massa. Demikian pula pencurian dan penjarahan harta benda mereka, penyalahgunaan bantuan yang menjadi hak mereka, dan sebagainya.
Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 58)
Rasulullah n bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari kejahatan lisan dan tangannya.” (Muttafaqun alaih dari Abdullah bin Amr ibnul Ash c)
Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (an-Nisa: 29)
Rasulullah n bersabda:
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, sungguh Allah mewajibkan untuknya neraka dan mengharamkan surga.” Ada yang bertanya, “Walaupun sesuatu yang remeh, wahai Rasulullah?” Beliau n menjawab, “Walaupun sebatang ranting pohon siwak.” (HR. Muslim dari Abu Umamah z)
Ancaman untuk Orang yang Tidak Ikhlas Membantu
Bantuan yang kita berikan kepada saudara-saudara kita yang sedang mendapatkan ujian dan cobaan, adalah sebuah bentuk ibadah. Sebuah ibadah tidak akan diterima oleh Allah l melainkan jika seseorang ikhlas mengamalkannya dan mengikuti tuntunan Rasulullah n.
Allah l berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku
akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabbku.” (az-Zumar: 11—12)
Dapat kita simpulkan, amalan apa pun—termasuk bantuan kepada saudara kita yang menjadi korban bencana, dalam bentuk harta, tenaga, pikiran, dan doa—yang mengandung harapan pujian, sanjungan, dan imbalan dunia serta suara, tidak akan diterima oleh Allah l.
Ada organisasi, partai, dan lembaga yang memberi bantuan sambil memasang spanduk yang memuat kalimat yang mencerminkan ketidakikhlasan. Mungkin kita pernah melihat spanduk dengan tulisan “Peristiwa 27 Juli 1996 adalah bukti kepedulian kami”, atau “Bersih, peduli, dan profesional”, atau kalimat semacamnya.
Mungkin kita pernah pula melihat bantuan-bantuan yang berlabel organisasi atau partai tertentu, sampai pun nasi bungkus dan mi instan. Kita berlindung kepada Allah l dari hal-hal yang seperti itu.
Perhatikanlah bagaimana ancaman Allah l terhadap orang-orang yang tidak ikhlas beramal. Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ … وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ؛ فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, golongan pertama yang akan diputuskan perkaranya pada hari kiamat adalah … (di antaranya) orang yang diberikan kelapangan rezeki dan dikaruniai berbagai jenis harta oleh Allah l. Orang tersebut didatangkan dan Allah l mengingatkannya akan berbagai kenikmatan yang Dia limpahkan kepadanya. Dia pun mengingatnya. Lalu Allah l bertanya kepadanya, ‘Untuk apa engkau gunakan berbagai nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku tinggalkan satu jalan pun yang Engkau cintai untuk berinfak padanya melainkan aku telah berinfak karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau justru melakukannya supaya dikatakan dermawan, dan sungguh engkau telah dijuluki demikian.’ Kemudian ia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya (tertelungkup) hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 1905 dari Abu Hurairah z)
Kita berlindung kepada Allah l dari hal itu.
اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا قَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, karuniailah kami hati yang khusyuk, lisan yang senantiasa berzikir, dan amalan yang diterima.”
Allah l adalah sesembahan kita satu-satunya. Tidak ada sesembahan lain yang berhak kita sembah selain Dia semata. Dialah sesembahan yang memiliki nama-nama yang mulia, yang mengandung sifat-sifat yang sempurna.
Di antara sifat-sifat-Nya yang sempurna adalah al-qudrah (Mahakuasa), al-hikmah (Mahabijaksana), dan adil. Dengan sifat-sifat tersebut, Allah l menakdirkan terjadinya berbagai peristiwa di alam semesta yang fana ini. Termasuk di antaranya adalah musibah-musibah yang menimpa bangsa dan negara Indonesia, seperti tsunami di Aceh, lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, gempa bumi di Bantul, banjir di berbagai daerah, erupsi Merapi di Sleman, Magelang, dan sekitarnya, gagal panen di berbagai wilayah, munculnya penyakit yang belum ditemukan obatnya, dan sebagainya.
Allah l senantiasa menghendaki kebaikan bagi hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allah l terus-menerus memperingatkan dengan ayat-ayat kauniah (berupa kejadian di alam sekitar) dan ayat syar’iyah-Nya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dengan demikian, diharapkan mereka mau menyadari, bersabar, dan kembali ke jalan-Nya yang lurus setelah mereka lupa dan jauh dari Allah l karena kemaksiatan dan kedurhakaan.
Jika kita memerhatikan musibah-musibah tersebut dengan kacamata agama Islam yang sempurna, kita akan mendapatkan berbagai pelajaran yang sangat berharga. Di antaranya adalah:
1. Mengingatkan kita akan kekuasaan-Nya yang sempurna.
Allah l berfirman:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)
2. Mengingatkan kita akan sifat hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna pula.
Berbagai macam musibah itu terjadi karena dosa-dosa kita. Allah l telah menegaskan dalam ayat-Nya yang mulia:
“Dan apa pun musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Itu pun Allah l sudah memaafkan banyak dosa kita. Kalau bukan karena ampunan-Nya, tidak akan tersisa seorang pun di antara kita melainkan pasti binasa disebabkan dosa-dosanya. Allah l berfirman:
“Dan sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi satu makhluk melata pun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu. Maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
Oleh karena itu, alasan apa yang menyebabkan seorang hamba sombong dan angkuh di hadapan Allah l, terus-menerus bergelimang dalam kemaksiatan, kedurhakaan, dan kezaliman?
Allah l menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidaklah sulit bagi Allah.” (Fathir: 15—17)
Dua hikmah yang mulia ini sudah pernah dibahas secara rinci dalam rubrik sebelumnya.
3. Menggugah, membangkitkan, dan menguatkan persaudaraan, kecintaan, dan kepedulian kita terhadap sesama karena Allah k semata, bukan karena organisasi, partai, aliran, marga, atau kepentingan dunia yang lain.
Allah l memberitakan tentang persaudaraan yang hakiki karena keimanan:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
Rasulullah n memerintah kita untuk bersaudara karena Allah l. Beliau n bersabda:
وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n menggambarkan kuatnya ikatan persaudaraan karena Allah l, dalam keadaan suka dan duka, melalui sabda beliau n:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi, seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih atau mengeluh, semua anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Muttafaqun alaih dari an-Nu’man bin Basyir c)
Bantuan, Wujud Kecintaan, Persaudaraan, dan Kepedulian
Berbagai musibah yang terjadi menyebabkan hilangnya nyawa; kehancuran, kehilangan, dan kerusakan harta benda; sakit atau luka, ketakutan atau trauma, dan kelaparan. Allah l berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)
Oleh karena itu, sebagai wujud kecintaan, persaudaraan, dan kepedulian kita kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, kita seharusnya membantu dan meringankan beban mereka. Hal ini sebagaimana perintah Allah l:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah l senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu membantu saudaranya.” (HR. Muslim no. 4867 dari Abu Hurairah z)
Bantuan yang kita berikan kepada mereka bisa berupa materi, seperti uang, bahan makanan, pakaian, obat-obatan, dan lainnya. Allah l berfirman:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (al-Insan: 8—10)
Rasulullah n bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri selain terhadap dua golongan: (1) orang yang dikaruniai harta yang melimpah oleh Allah l dan dia membelanjakannya di jalan yang haq, (2) orang yang dikaruniai hikmah (ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah), dia menunaikannya (mengamalkannya), serta mengajarkannya.” (Muttafaqun alaih, dari Ibnu Mas’ud z)
Bantuan yang kita berikan kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah juga bisa dalam bentuk tenaga, seperti evakuasi pengungsi dan korban bencana, membersihkan jalan dari hal-hal yang mengganggu, memperbaiki, dan membenahi sarana umum serta rumah, dan lainnya.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan, sebagiannya menguatkan yang lain.” (Muttafaqun alaih dari Abu Musa al-Asy’ari z)
Beliau n bersabda juga:
وَتُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَة
“Engkau membantu seseorang dalam hal kendaraannya hingga menaikkannya di atasnya, atau engkau mengangkat barang-barangnya ke kendaraannya, itu sedekah.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلًا يَتَقَلَّبُ فِي الْجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِي النَّاسَ
“Sungguh, aku melihat seseorang yang mondar-mandir di dalam surga karena sebuah pohon di jalan yang ditebangnya karena mengganggu manusia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Rasulullah n juga bersabda tentang cabang-cabang keimanan.
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
“… Yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah z)
Seorang mukmin juga bisa mewujudkan kecintaan dan kepeduliannya terhadap saudara-saudaranya yang terkena musibah dalam bentuk nasihat, saran yang baik, dan doa. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar ….” (at-Taubah: 71)
Rasulullah n bersabda:
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik itu sedekah.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Dari Jarir bin Abdillah z, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللهِ n عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِم
“Aku membai’at Rasulullah n untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim.” (Muttafaqun alaih)
Dari Anas bin Malik z, ia berkata:
مَرَّ النَّبِيُّ n بِامْرَأَةٍ عِنْدَ قَبْرٍ وَهِيَ تَبْكِي فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي
“Nabi n melewati seorang wanita yang sedang menangis di samping kuburan (anaknya). Beliau n berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!’.” (Muttafaqun alaih)
Dari Abu ad-Darda z, Rasulullah n bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya (tanpa diketahuinya) mustajab (akan dikabulkan). Di samping kepalanya ada malaikat yang bertugas. Ketika dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata, ‘Amin, mudah-mudahan engkau mendapatkan yang semisalnya’.” (HR. Muslim)
Termasuk salah satu hal yang semakin menyempurnakan kecintaan dan kepedulian seorang muslim terhadap saudaranya yang sedang tertimpa musibah adalah tidak menyakiti mereka dengan ucapan dan perbuatan, seperti komentar-komentar yang menyakitkan dan meresahkan melalui media massa. Demikian pula pencurian dan penjarahan harta benda mereka, penyalahgunaan bantuan yang menjadi hak mereka, dan sebagainya.
Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 58)
Rasulullah n bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari kejahatan lisan dan tangannya.” (Muttafaqun alaih dari Abdullah bin Amr ibnul Ash c)
Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (an-Nisa: 29)
Rasulullah n bersabda:
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, sungguh Allah mewajibkan untuknya neraka dan mengharamkan surga.” Ada yang bertanya, “Walaupun sesuatu yang remeh, wahai Rasulullah?” Beliau n menjawab, “Walaupun sebatang ranting pohon siwak.” (HR. Muslim dari Abu Umamah z)
Ancaman untuk Orang yang Tidak Ikhlas Membantu
Bantuan yang kita berikan kepada saudara-saudara kita yang sedang mendapatkan ujian dan cobaan, adalah sebuah bentuk ibadah. Sebuah ibadah tidak akan diterima oleh Allah l melainkan jika seseorang ikhlas mengamalkannya dan mengikuti tuntunan Rasulullah n.
Allah l berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.” Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku
akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabbku.” (az-Zumar: 11—12)
Dapat kita simpulkan, amalan apa pun—termasuk bantuan kepada saudara kita yang menjadi korban bencana, dalam bentuk harta, tenaga, pikiran, dan doa—yang mengandung harapan pujian, sanjungan, dan imbalan dunia serta suara, tidak akan diterima oleh Allah l.
Ada organisasi, partai, dan lembaga yang memberi bantuan sambil memasang spanduk yang memuat kalimat yang mencerminkan ketidakikhlasan. Mungkin kita pernah melihat spanduk dengan tulisan “Peristiwa 27 Juli 1996 adalah bukti kepedulian kami”, atau “Bersih, peduli, dan profesional”, atau kalimat semacamnya.
Mungkin kita pernah pula melihat bantuan-bantuan yang berlabel organisasi atau partai tertentu, sampai pun nasi bungkus dan mi instan. Kita berlindung kepada Allah l dari hal-hal yang seperti itu.
Perhatikanlah bagaimana ancaman Allah l terhadap orang-orang yang tidak ikhlas beramal. Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ … وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ؛ فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, golongan pertama yang akan diputuskan perkaranya pada hari kiamat adalah … (di antaranya) orang yang diberikan kelapangan rezeki dan dikaruniai berbagai jenis harta oleh Allah l. Orang tersebut didatangkan dan Allah l mengingatkannya akan berbagai kenikmatan yang Dia limpahkan kepadanya. Dia pun mengingatnya. Lalu Allah l bertanya kepadanya, ‘Untuk apa engkau gunakan berbagai nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku tinggalkan satu jalan pun yang Engkau cintai untuk berinfak padanya melainkan aku telah berinfak karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau justru melakukannya supaya dikatakan dermawan, dan sungguh engkau telah dijuluki demikian.’ Kemudian ia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya (tertelungkup) hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 1905 dari Abu Hurairah z)
Kita berlindung kepada Allah l dari hal itu.
اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا قَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, karuniailah kami hati yang khusyuk, lisan yang senantiasa berzikir, dan amalan yang diterima.”
Posting Komentar