
Usaha, Doa, Sebab, dan Takdir
Usaha, Doa, Sebab, dan Takdir
Usaha, Bagian dari Takdir
Usaha adalah bagian dari takdir. Tidak ada kontradiksi antara usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa akhirat tidak akan
digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan meninggalkan lawannya
(amal buruk), ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh merealisasikan
keimanan dan memperbanyak wujud-wujud keimanan yang terperinci. Ia akan
bersungguh-sungguh melakukan amalan saleh yang akan mengantarkan
dirinya menuju akhirat. Sisi yang lain, ia akan meninggalkan kekufuran
dan kemaksiatan. Ia akan segera bertaubat jika terjatuh dalam dosa.
Jika pemilik ladang mengetahui bahwa hasil kerjanya tidak akan berhasil
melainkan dengan menanam dan mengairinya disertai dengan pengawasan
ketat, ia akan bersemangat dan bersungguh-sungguh melakukan segala cara
untuk menumbuhkan tanamannya, memaksimalkannya, dan mencegah hama
penyakit.
Jika pelaku produksi mengetahui bahwa hasil-hasil produksi, dengan berbagai ragam jenis dan manfaatnya, tidak akan berhasil didapatnya melainkan dengan mempelajari disiplin ilmu produksi dan menguasainya, lalu mempraktikkannya, ia akan berusaha dan bersungguh-sungguh.
Jika pelaku produksi mengetahui bahwa hasil-hasil produksi, dengan berbagai ragam jenis dan manfaatnya, tidak akan berhasil didapatnya melainkan dengan mempelajari disiplin ilmu produksi dan menguasainya, lalu mempraktikkannya, ia akan berusaha dan bersungguh-sungguh.
Barang siapa mengharapkan keturunan atau membiakkan hewan ternaknya,
tentu ia akan bekerja dan berusaha. Demikianlah pada seluruh urusan.”
(ar-Riyadh an-Nadhirah, as-Sa’di, hlm. 125—126)
Adapun dalil yang menjelaskan wajibnya si hamba berusaha sangat banyak. Antara lain:
1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, riwayat Muslim (4/2025).
1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, riwayat Muslim (4/2025).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ
عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ
أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا؛
وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan
mukmin yang lemah, dan masing-masing mempunyai kebaikan.
Bersungguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat untukmu. Mohonlah
pertolongan dari Allah dan jangan merasa lemah. Jika ada sesuatu menimpa
dirimu, jangan ucapkan, ‘Andai saja saya melakukan begini, tentu akan
menjadi begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah, ‘Telah ditakdirkan Allah,
apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘andai saja’, akan membuka amalan setan.”
- Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, riwayat al-Bukhari (10/179) dan Muslim (4/1740).
Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu
pernah berangkat menuju Syam. Setibanya di wilayah Sargh, beliau
disambut oleh para panglima perang, Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta
sahabat-sahabat lainnya. Mereka menyampaikan berita kepada Umar bahwa di
negeri Syam sedang terjangkiti satu wabah. Umar lalu memerintahkan
untuk mengundang para sahabat dalam rangka bermusyawarah. Mulai dari
kalangan Muhajirin, lalu kalangan Anshar, kemudian kaum Quraisy. Dari
musyawarah tersebut, Umar memutuskan untuk kembali pulang.
Lalu Umar radhiallahu ‘anhu mengumumkan, “Sesungguhnya aku akan kembali besok pagi, bersiap-siaplah besok.” Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk lari dari takdir Allah?” Umar menjawab,
Lalu Umar radhiallahu ‘anhu mengumumkan, “Sesungguhnya aku akan kembali besok pagi, bersiap-siaplah besok.” Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk lari dari takdir Allah?” Umar menjawab,
لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا، يَا أَبَا عُبَيْدَةَ نَعَمْ، نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ
اللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ، أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ
فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى
جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ
وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟
“Andai saja bukan kamu yang mengatakannya, wahai Abu Ubaidah. Ya, kita lari dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala menuju takdir Allah subhanahu wa ta’ala
yang lain. Apa pendapatmu, jika engkau mempunyai ternak unta lalu
singgah di sebuah lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi yang subur,
sisi yang lain gersang. Bukankah dengan takdir Allah juga jika engkau
menggiringnya ke sisi yang subur? Bukankah dengan takdir Allah juga
engkau menggiringnya ke sisi yang gersang?”
Setelah itu, datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu
yang sebelumnya tidak hadir karena ada keperluan. Ia berkata,
“Sesungguhnya aku memiliki ilmu tentang masalah ini. Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Jika kalian mendengar terjadi wabah di suatu daerah, janganlah
mendatanginya. Jika kalian berada di suatu daerah yang sedang
terjangkiti wabah, janganlah meninggalkannya untuk lari’.”
Umar pun memuji Allah subhanahu wa ta’ala, lalu bertolak (kembali ke Madinah).
Orang Cerdas
Orang yang benar-benar cerdas akan
berusaha menghindari takdir dengan takdir juga, menghadapi takdir dengan
takdir pula. Tidak akan mungkin kita menjalani kehidupan melainkan
dengan cara ini. Rasa lapar dan haus, kedinginan, seluruh hal yang
menakutkan dan membahayakan, adalah takdir. Seluruh makhluk berusaha
untuk terhindar dari hal tersebut dengan takdir juga.
Demikianlah kondisi hamba yang
memperoleh taufik dan petunjuk. Ia pasti berusaha untuk terhindar dari
“takdir” siksa di akhirat dengan “takdir” taubat, iman, dan amal saleh.
(ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 27)
Perlu diingat, yang mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala
telah mencatat takdir makhluk, lima puluh ribu tahun sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi,” beliau juga yang mengatakan, “Beramallah,
karena masing-masing akan dimudahkan untuk apa yang diciptakan
untuknya.” Lalu:
“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” (al-Baqarah: 85)
(al-Iman bil Qadha, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 127—129)
Doa, Bagian dari Takdir
Soal: Sesuatu yang
dimohon dalam doa, jika memang telah ditakdirkan untuk terjadi, pasti
terjadi. Sama saja, apakah si hamba berdoa ataukah tidak. Jika memang
sudah ditakdirkan untuk tidak terjadi, tidak akan mungkin akan terjadi,
baik si hamba memohon maupun tidak.
Jawab:
Sekelompok orang memandang benar pernyataan di atas. Mereka kemudian tidak ingin berdoa dan mengatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!”
Sekelompok orang memandang benar pernyataan di atas. Mereka kemudian tidak ingin berdoa dan mengatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!”
Mereka sendiri, dengan kejahilan dan
kesesatan, pasti akan mengalami kontradiksi. Menerima pendapat mereka
sama saja menghilangkan seluruh bentuk sebab. Coba saja ditanyakan
kepada salah seorang dari mereka, “Jika kenyang dan puas dari dahaga
memang telah ditakdirkan untukmu, pasti terjadi, apakah engkau makan
ataukah tidak? Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak kenyang, tidak
akan mungkin terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak?”
“Jika memang telah ditakdirkan engkau
memiliki anak, pasti terjadi baik engkau berhubungan badan dengan istri
maupun tidak. Jika memang sudah ditakdirkan engkau tidak memiliki anak,
pasti tidak akan terjadi. Lalu, apa guna menikah?” Demikian juga hal-hal
yang lain.
Pertanyaannya, “Apakah hal di atas akan
diucapkan oleh seseorang yang berakal? Seorang manusia? Bahkan, hewan
ternak sekalipun memiliki fitrah untuk melakukan ‘sebab’ untuk
mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, hewan lebih berakal dan lebih
bisa memahami dibandingkan dengan kelompok ini. Mereka layaknya hewan
ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”
Ada kelompok lain, sedikit lebih pandai daripada kelompok pertama. Mereka berpendapat, “Berdoa adalah ibadah murni. Allah subhanahu wa ta’ala
akan memberikan pahala bagi hamba yang mau berdoa. Berdoa tidak
memiliki pengaruh terhadap apa yang diminta, dari sisi mana pun.”
Menurut mereka, berdoa atau tidak adalah
sama saja, tidak akan memberikan pengaruh terhadap apa yang diminta.
Hubungan doa dan terjadinya keinginan, menurut mereka, sama dengan
hubungan diam dengan terjadinya keinginan.
Ada kelompok lain yang berpendapat, “Doa hanyalah murni pertanda, yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala
sebagai tanda terpenuhinya keinginan. Barang siapa diberi taufik untuk
berdoa, hal itu sebagai tanda bahwa keinginannya telah terpenuhi.” Sama
halnya dengan awan hitam pekat di musim penghujan yang menjadi tanda
bahwa hujan akan turun. Dengan demikian, ketaatan hanyalah pertanda
adanya pahala, bukan sebab. Kekufuran dan maksiat hanyalah pertanda
siksa, bukan sebab.
Masih menurut kelompok ini, tindakan
memecahkan bukanlah “sebab” pecah, tindakan membakar bukan juga “sebab”
kebakaran, dan melakukan perbuatan membunuh bukanlah “sebab” kematian.
Hanya sebatas pertanda saja.
Pendapat semacam ini berseberangan dengan akal dan daya indra, bertentangan dengan syariat dan fitrah, serta berhadapan dengan segenap pemikir. Orang berakal juga menertawakan mereka.
Pendapat semacam ini berseberangan dengan akal dan daya indra, bertentangan dengan syariat dan fitrah, serta berhadapan dengan segenap pemikir. Orang berakal juga menertawakan mereka.
Yang benar, sesuatu yang ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala
juga memiliki “sebab-sebab” yang juga ditakdirkan. Berdoa termasuk
“sebab” sehingga segala sesuatu tidak hanya ditakdirkan tanpa adanya
“sebab”. Akan tetapi, ia ditakdirkan beserta “sebabnya”. Pada saat si
hamba melaksanakan “sebab”, apa yang ditakdirkan akan terjadi. Namun,
jika ia tidak melaksanakan “sebab”, yang ditakdirkan pun tidak terjadi.
Hal ini sama dengan kenyang yang
ditakdirkan terjadi dengan sebab makan, puas dari dahaga dengan sebab
minum, memiliki anak dengan sebab berhubungan badan, menuai panen dengan
sebab menanam benih, dan matinya hewan dengan sebab disembelih.
Demikian juga, masuk ke dalam surga ditakdirkan dengan melakukan amalan
saleh, dan masuk ke dalam neraka dengan sebab melakukan kejahatan.
Kesimpulannya, berdoa termasuk “sebab” terbesar. Jika sesuatu yang
ditakdirkan dapat terjadi dengan “sebab” doa, tidaklah benar untuk
dinyatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Sebagaimana tidak dapat
dibenarkan untuk mengatakan, “Tidak ada manfaatnya makan dan minum.
Tidak ada gunanya seluruh aktivitas dan perbuatan.”
Tidak ada “sebab” lain yang melebihi manfaat doa. Tidak pula ada “sebab”
lain yang melebihi doa dalam hal mewujudkan keinginan. Oleh karena itu,
para sahabat—sebagai generasi yang paling mengenal Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya serta generasi yang paling mengerti tentang agama—sangat
kuat mewujudkan doa sebagai “sebab”, syarat-syarat dan adabnya, jika
dibandingkan dengan orang lain.
Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu selalu memohon pertolongan dengan berdoa ketika menghadapi musuh. Doa merupakan bala tentaranya yang terbesar. Beliau radhiallahu ‘anhu
sering mengingatkan pasukannya, “Sesungguhnya kalian tidak memperoleh
kemenangan dengan jumlah yang banyak. Akan tetapi, kalian mendapat
kemenangan hanyalah dengan pertolongan dari langit.”
Beliau juga sering menyampaikan, “Sesungguhnya aku tidak meragukan
tentang dikabulkannya doa, namun aku khawatir hilangnya keinginan untuk
berdoa. Apabila kalian mendapatkan kemudahan untuk berdoa, sesungguhnya
dikabulkannya doa selalu mengiringi doa.”
Barang siapa memperoleh jalan untuk berdoa, doa itu akan dikabulkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
(al-Baqarah: 186) (ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 22—24)
Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah doa memiliki pengaruh mengubah catatan takdir manusia yang telah ada sebelum ia diciptakan?”
Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi, doa dapat memberikan pengaruh
untuk mengubah catatan takdirnya. Namun, perubahan itu pun telah
tercatat juga sebagai takdir dengan sebab doa. Jangan mengira, jika Anda
berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala berarti Anda telah
meminta sesuatu yang tidak tercatat sebagai takdir! Doa juga telah
tercatat sebagai takdir. Demikian juga hasil dari doa tersebut telah
tercatat sebagai takdir.
Oleh sebab itu, kita menyaksikan ada orang yang membacakan doa untuk
orang sakit, kemudian sembuh. Kisah pasukan perang yang ditugaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah dalil akan hal ini. Mereka singgah untuk bertamu di sebuah
kampung, namun mereka tidak dijamu sebagai tamu. Lalu, ditakdirkan
kepala kampung tersebut digigit oleh ular berbisa. Kemudian mereka
memohon orang yang dapat membacakan doa untuk si kepala kampung. Akan
tetapi, para sahabat mengajukan syarat, yaitu upah untuk melakukannya.
Mereka lalu menyerahkan sekawanan kambing. Salah seorang sahabat lantas
berangkat untuk membacakan al-Fatihah.
Setelah itu, si sakit langsung berdiri
seolah-olah ia baru saja lepas dari ikatan. Maksudnya, seperti seekor
unta yang terlepas tali kekangnya. Benar, bacaan sahabat tersebut
memiliki pengaruh untuk kesembuhan si sakit.
Kesimpulannya, doa memang memiliki pengaruh, namun tidak mengubah
takdir. Perubahan tersebut pun termasuk bagian dari takdir, yang terjadi
dengan sebuah “sebab” yang juga telah ditakdirkan. Demikian juga
seluruh “sebab”, ia memiliki pengaruh pada “akibat” dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu, “sebab” adalah takdir yang tercatat, “akibat” pun takdir
yang tercatat. (Fatawa Aqidah, Fahd bin Nashir, hlm. 234)
Keterikatan serta Keterkaitan Takdir dan Sebab
Takdir tidak berbenturan dengan sebab yang syar’i dan qadari. Hal ini karena “sebab” termasuk takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Mengaitkan dan mengikatkan antara sebab dan akibat adalah konsekuensi dari hikmah-Nya, sebagai sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang paling tinggi, yaitu sifat yang ditetapkan sendiri oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk diri-Nya pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an.
Contoh sebab qadari adalah firman-Nya:
“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu
angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal. Lalu
kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka apabila hujan itu
turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka
menjadi gembira. Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada
mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah
bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah
mati.
Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa
seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang
telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (ar-Rum: 48—50)
Contoh sebab syar’i adalah firman-Nya:
“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah
datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi
Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula)
Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Seluruh bentuk perbuatan yang ditentukan balasannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
baik pahala maupun siksa, termasuk sebab syar’i, jika dilihat dari sisi
bahwa seorang hamba dituntut untuk melaksanakannya. Juga dapat
dikatakan sebagai sebab qadari, jika dilihat dari aspek terjadinya
berdasarkan takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Cara Pandang Manusia Terhadap Sebab
Terkait dengan posisi “sebab”, ada tiga cara pandang yang muncul di permukaan.
1. Kelompok nufat (pengingkar).
1. Kelompok nufat (pengingkar).
Mereka mengingkari pengaruh dan peran
“sebab”. Mereka menyatakan, “Sebab hanyalah sebatas tanda yang ada pada
saat terjadinya sesuatu, bukan sebagai penyebabnya.” Mereka berpendapat,
“Pecahnya kaca yang dilempar batu terjadi ketika batu mengenai kaca,
bukan disebabkan oleh lemparan batu.”
Kelompok ini menyelisihi dalil dan menentang daya indra. Mereka telah mengingkari hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang menghubungkan antara sebab dan akibat.
Kelompok ini menyelisihi dalil dan menentang daya indra. Mereka telah mengingkari hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang menghubungkan antara sebab dan akibat.
- Kelompok ghulat (berlebihan).
Mereka menetapkan pengaruh dan peran
“sebab”, namun meyakininya secara berlebihan. Mereka menyatakan, “sebab”
dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya tanpa kehendak Allah.
Kelompok ini tergelincir dan terjatuh dalam dosa kesyirikan. Dengan
keyakinan ini, mereka menetapkan adanya “pencipta” selain Allah subhanahu wa ta’ala. Pendapat ini juga berseberangan dengan dalil dan daya indra.
Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ menerangkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Secara kenyataan, kita juga menyaksikan
dengan jelas, kadang-kadang terjadi “sebab” namun tidak muncul
“akibat”nya, seizin Allah subhanahu wa ta’ala tentunya.
Contohnya, Nabi Ibrahim q yang tidak terbakar ketika dilemparkan ke
dalam kobaran api. Api pun menjadi dingin dan keselamatan, beliau tidak
terbakar.
- Kelompok wasath (berada pada kebenaran).
Mereka memperoleh petunjuk yang lurus
kepada kebenaran. Mereka berada pada posisi di antara kedua kelompok
sebelumnya. Mereka mengambil sisi kebenaran dari dua kelompok
sebelumnya. Mereka menyatakan, “sebab” memang memiliki pengaruh dan
peran pada “akibat”, namun tidak secara sendirinya. Hal itu terjadi
dengan kekuatan dan kemampuan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada “sebab” tersebut.
Kelompok ini adalah kelompok yang adil.
Mereka diberi taufik pada kebenaran dengan memadukan antara dalil, akal,
dan daya indra. Sebagaimana halnya takdir tidak berbenturan dengan
sebab syar’i dan qadari, demikian juga takdir tidak berbenturan dengan
kehendak dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang hamba untuk melakukan
perbuatan. Jadi, setiap makhluk memiliki kehendak dan kemampuan. Ia
sendiri yang berbuat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Di antaramu ada orang yang menghendaki
dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian
Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya
Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 152)
“Dan sesungguhnya kalau mereka
melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).”
(an-Nisa’: 66)
“Barang siapa mengerjakan amal yang
saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat
jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah
Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya).” (Fushshilat: 46)
“Dan berangkatlah mereka di pagi hari
dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu
(menolongnya).” (al-Qalam: 25)
Akan tetapi, sebagai makhluk ia tidak
dapat berdiri dan terpisah secara sendirian dalam kehendak, kemampuan,
dan perbuatannya. Sama halnya, “sebab” tidak dapat berdiri sendiri dalam
menghasilkan “akibat”. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) melainkan jika dikehendaki Allah, Rabb semesta
alam.” (at-Takwir: 28—29)
Kehendak, kemampuan, dan perbuatan
adalah sifat yang melekat pada makhluk. Oleh karena itu, kehendak,
kemampuan, dan perbuatannya pun adalah makhluk juga. Hal ini karena
sifat mengikuti yang disifati. Maka dari itu, Dzat yang menciptakan
makhluk, Dia pula yang menciptakan sifat makhluk. (Taqrib at-Tadmuriyah,
Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 105—107)
- Contoh Perpaduan Antara Takdir dan Kehendak Hamba
Penjelasannya demikian; jika seorang
hamba menegakkan shalat, berpuasa, dan melakukan kebajikan, atau ia
berbuat kemaksiatan, dialah pelaku kebajikan atau kemaksiatan tersebut.
Perbuatannya, tanpa setitik keraguan, terjadi berdasarkan pilihan dan
keinginannya sendiri. Secara pasti, ia merasakan dirinya tidak “dipaksa”
untuk melakukan atau tidak melakukannya. Ia pun meyakini dengan pasti,
jika mau, ia tidak akan melakukannya.
Sebagaimana penjelasan di atas merupakan kenyataan bahwa seperti itulah yang dinashkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dalam Al-Qur’an dan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya. Dalam Al-Qur’an dan
as-Sunnah, amalan kebaikan dan keburukan yang diperbuat oleh hamba
dinisbahkan dan dilekatkan pada diri hamba itu sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya juga memberitakan, merekalah pelaku perbuatan itu
sesungguhnya. Mereka akan memperoleh pujian dan pahala jika yang
diperbuat kebaikan. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan celaan dan siksa
jika yang diperbuat keburukan.
Maka dari itu, telah jelas dan terang,
tanpa ada keraguan, seluruh perbuatan hamba dilakukan oleh mereka
sendiri, dengan pilihan mereka sendiri. Jika mau, mereka lakukan. Jika
mau, mereka tinggalkan. Hal ini dapat dibuktikan secara akal, daya
indra, syariat, dan kenyataan. (Tanbihat al-Lathifah, as-Sa’di, hlm.
82—83)
Secara akal, tidaklah mungkin Allah subhanahu wa ta’ala
menetapkan siksa atas si hamba karena perbuatan yang ia “dipaksa”
melakukannya. Kalau bukan karena pilihan dan kehendak si hamba sendiri,
tidak mungkin ia terbebani syariat.
Secara daya indra, si hamba merasakan sendiri pada dirinya secara pasti,
ia tidak dalam keadaan “dipaksa” untuk berbuat atau tidak berbuat.
Secara syariat, banyak ayat dan hadits yang menyandarkan perbuatan itu kepada si hamba. Di antaranya adalah:
“Pada hari itu manusia keluar dari
kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada
mereka (balasan) atas amalan mereka.” (az-Zalzalah: 6)
Secara kenyataan, kita menyaksikan
sendiri bahwa orang yang mengerjakan shalat, puasa, dan lainnya adalah
si hamba, bukan Rabb. Maka dari itu, hambalah yang secara hakiki
langsung berbuat. (Ta’liqat Yasin ‘alal Wasithiyyah, hlm. 231)
Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

Pemahaman terhadap Takdir dan Syari’at
Setelah membahas letak penting takdir
dan syariat yang harus diimani oleh setiap hamba, kali ini kita akan
membahas pemahaman atau pendirian orang terhadap takdir dan syariat.
Jika dikelompokkan, umat manusia dalam menyikapi takdir dan syariat akan
terbagi menjadi dua.
- Hamba yang memperoleh petunjuk dan kebahagiaan.
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka juga beriman kepada syariat-Nya sehingga melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan. Mereka juga beriman kepada balasan yang
dipersiapkan, pahala atau hukuman. Mereka tidak beralasan dengan takdir
untuk meninggalkan syariat. Mereka juga tidak beralasan dengan syariat
untuk mengingkari takdir. Mereka tidak mempertentangkan atau
membenturkan antara takdir dan syariat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah para pengusung kebenaran yang mewujudkan tingkatan:
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (al-Fatihah: 5)
Mereka beriman kepada konsekuensi firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 54)
- Hamba yang tersesat dan celaka, menyelisihi kebenaran.
Mereka terbagi dalam tiga tingkatan.
- Al-Majusiyah
Tingkatan ini alur pemikiran agama
Majusi dalam memahami takdir.Mereka adalah kelompok qadariyah: beriman
kepada syariat, namun mendustakan takdir. Di antara mereka ada yang
berlebihan dalam mengingkari kesempurnaan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyatakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menakdirkan perbuatan hamba. Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui perbuatan hamba sebelum terjadinya.”
Tingkatan di bawah mereka berpendapat, “Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui perbuatan hamba sebelum terjadinya.” Namun, mereka mengingkari perbuatan tersebut terjadi karena takdir Allah subhanahu wa ta’ala atau diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah kaum mu’tazilah dan yang sepemikiran.
Pendapat kelompok ini terbantah pada pembahasan “Maratibul Qadar”.
2. Al-Musyrikiyah
Dalam hal memahami takdir, tingkatan ini
mengikuti alur pemikiran kaum musyrikin. Mereka adalah orang-orang yang
mengakui keberadaan takdir Allah subhanahu wa ta’ala, namun menetapkannya sebagai alasan untuk meninggalkan syariat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka:
Orang-orang yang memper-sekutukan Allah,
akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak
kami tidak mempersekutukan-Nya, tidak (pula) kami mengharamkan barang
sesuatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah
mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.
Katakanlah, “Apakah kalian memiliki ilmu sehingga kalian bisa
menyampaikannya kepada kami? Kalian tidak mengikuti selain persangkaan
belaka, dan kalian tidak lain hanya berdusta.” (al-An’am: 148)
3. Al-Iblisiyah
Kelompok ini mengikuti alur pemikiran
Mereka adalah orang-orang yang mengakui keberadaan takdir dan syariat,
namun membenturkan dan mempertentangkan keduanya.
Mereka mencela dan menyalahkan hikmah-Nya. Mereka menyatakan, “Bagaimana mungkin Allah subhanahu wa ta’ala
sebagai Dzat yang memberi perintah dan larangan untuk hamba-Nya, lantas
menetapkan takdir untuk mereka, lalu ada yang menentang perintah dan
larangan itu? Bukankah hal ini kontradiktif? Bukankah hal ini ketetapan
yang bertentangan dengan hikmah-Nya?”
Mereka adalah para pengikut Iblis. Iblis beralasan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai sikap penentangan, saat ia diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam q dengan mengatakan:
Allah berfirman, “Apakah yang
menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” Iblis
menjawab, “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api,
sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)
Pendapat kelompok ini terbantah pada pembahasan “Maksiat dengan Alasan
Takdir.” (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 115—116)
Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

Bekal Wajib untuk Membahas Takdir
Maratibul Qadar (Tingkatan Beriman kepada Takdir)
Para ulama telah menjelaskan tentang wajibnya meyakini
tingkatan-tingkatan beriman kepada takdir. Tanpa meyakini keempat hal
tersebut, keimanan kepada takdir tidaklah sempurna.
Beriman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala memiliki empat tingkatan.
- Beriman bahwa Allah Maha Mengetahui, dengan ilmu-Nya yang azali (terdahulu) dan abadi, tentang seluruh yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, kecil atau besar, yang lahir atau batin, perbuatan-perbuatan-Nya, dan perbuatan-perbuatan makhluk-Nya.
- Beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menulis takdir atas segala sesuatu, dalam Lauh Mahfuzh, sampai saat kebangkitan hari kiamat. Tidak ada sebuah kejadian pun, yang telah atau akan terjadi, melainkan pasti telah tertulis dan telah ditentukan takdirnya, sebelum terjadinya.
Dalil kedua tingkatan di atas adalah ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun dalil dari Al-Qur’an, di antaranya:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?
Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya selain Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, serta tiada sehelai
daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(al-An’am: 59)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ. قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat takdir seluruh makhluk, lima puluh ribu tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi.” Beliau berkata, “Arsy Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas air.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiallahu ‘anhuma)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari sahabat Imran bin Hushain z (no. 7418), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى
الْمَاءِ ثُمَّ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ
كُلَّ شَيْءٍ
“Allah subhanahu wa ta’ala ada, tidak ada sesuatu pun sebelumnya, dan ‘Arsy Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas air. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi, serta mencatat tentang segala sesuatu dalam adz-Dzikr.”
- Beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat masyi’ah (kehendak) yang mencakup segalanya.
Tidak ada sesuatu yang terjadi atau yang
tidak terjadi, baik besar maupun kecil, lahir maupun batin, di langit
maupun di bumi, melainkan dengan masyi’ah Allah subhanahu wa ta’ala, apakah tentang perbuatan-perbuatan-Nya atau perbuatan-perbuatan makhluk-Nya.
- Beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat khalq (mencipta).
Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang menciptakan segalanya, besar atau kecil, lahir atau batin. Penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala
meliputi zat seluruh makhluk, sifat-sifat mereka, serta apa yang mereka
perbuat, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun hasil dan pengaruh
perbuatan makhluk.
Dalil tingkatan ketiga dan keempat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (az-Zumar: 62)
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit
dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya
dalam kekuasaan(-Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia
menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)
Allah subhanahu wa ta’ala tidak
menciptakan sesuatu melainkan berdasarkan masyi’ah-Nya. Hal ini karena
tidak ada yang dapat memaksa-Nya, dengan kesempurnaan kerajaan dan
kekuasaan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan perbuatan-Nya yang berdasarkan masyi’ah-Nya.
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang
yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan
di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat
apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
“Allah meluaskan rezeki dan
menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan
kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan)
kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (ar-Ra’d: 26)
Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa perbuatan makhluk-Nya juga sesuai dengan masyi’ah-Nya.
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu
yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) melainkan jika dikehendaki Allah, Rabb semesta
alam.” (at-Takwir: 28—29)
“Dan kalau Allah menghendaki,
niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah
rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan.
Akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman
dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat
apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Baqarah 253)
(Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 103—104)
Iradah Allah subhanahu wa ta’ala (Kehendak Allah subhanahu wa ta’ala)
Di antara sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang tinggi dan suci adalah iradah (memiliki kehendak). Dengan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ulama menyimpulkan bahwa iradah Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam.
- Iradah kauniyah qadariyah (kehendak Allah yang terkait dengan ketetapan alam dan takdir-Nya)
Segala yang terjadi di alam semesta ini,
termasuk beriman atau kafirnya seseorang, semua terjadi dengan kehendak
dan ketetapan Allah. Iradah ini disebut juga dengan masyi’ah
(kehendak).
Tidak ada satu pun makhluk yang dapat
lepas dari iradah jenis ini. Setiap muslim atau kafir berada di bawah
iradah ini. Ketaatan dan kemaksiatan, seluruhnya dengan masyi’ah Allah subhanahu wa ta’ala dan iradah-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (ar-Ra’d: 11)
“Barang siapa yang Allah menghendaki
akan memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk
agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia
sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa atas orang-orang
yang tidak beriman.” (al-An’am: 125)
Sifat-sifat iradah kauniyah adalah sebagai berikut.
- Iradah kauniyah ada yang dicintai-Nya, ada juga yang tidak. Yaag dicintai-Nya misalnya keimanan seseorang, sedangkan yang tidak dicintai-Nya misalnya kekafiran seseorang.
- Walaupun sebagian iradah kauniyah tidak dicintai oleh Allah, namun terkadang ada kebaikan yang diinginkan di baliknya. Misalnya, penciptaan Iblis dan seluruh keburukan. Tujuannya adalah memunculkan banyak kebaikan, seperti taubat dan istighfar setelah terjatuh dalam godaan Iblis, serta mujahadah (bersungguh-sungguh) melawan godaannya.
- Iradah kauniyah pasti terjadi.
- Iradah kauniyah terkait dengan rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, segala sesuatu yang terjadi terkait dengan pengaturan Allah terhadap alam ini. Pengaturan ini merupakan sifat Allah sebagai Rabb semesta alam.
- Iradah syar’iyah diniyah
Artinya, Allah mencintai amalan syariat
yang Dia kehendaki untuk diamalkan, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
dan lainnya. Iradah ini disebut juga dengan mahabbah (kecintaan). Iradah
ini mengandung cinta dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala terhadap amalan-amalan tersebut.
Contohnya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah hendak menerima taubatmu ….” (an-Nisa’: 27)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah
menginginkan agar seseorang bertaubat dari dosa-dosanya, yang taubat ini
merupakan sesuatu yang dicintai-Nya.Dengan demikian, taubat termasuk
dalam iradah syar’iyah diniyah.
Sifat-sifat iradah syar’iyah adalah sebagai berikut.
- Iradah syar’iyah seluruhnya dicintai dan diridhai-Nya.
- Iradah syar’iyah memang diinginkan zatnya, seperti bentuk-bentuk ketaatan.
Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya, mensyariatkan, dan meridhainya secara zatnya.
- Iradah syar’iyah ada yang terjadi, ada pula yang tidak. Ketika Allah
menghendaki agar manusia taat, ada yang melakukannya dan ada yang
tidak.
Jika iradah syar’iyah pasti terjadi, tentu umat manusia akan menjadi muslim seluruhnya. - Iradah syar’iyah terkait dengan uluhiyah Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, ibadah-ibadah yang disyariatkan merupakan bentuk penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah.
Hubungan Iradah Kauniyah & Iradah Syar’iyah
Iradah kauniyah dan syar’iyah terwujud
sekaligus pada seorang hamba yang berbuat ketaatan. Orang yang
melaksanakan shalat, misalnya. Shalat adalah sesuatu yang dicintai Allah
subhanahu wa ta’ala, maka disebut syar’iyah. Jika dia benar-benar menegakkan shalat, disebut kauniyah (karena benar-benar terjadi).
Iradah kauniyah berdiri sendiri tanpa
iradah syar’iyah tergambar pada diri orang kafir. Kekafirannya adalah
kauniyah karena benar-benar terjadi. Namun, kekafirannya itu bukan
iradah syar’iyah karena kekafiran tidak dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Iradah syar’iyah berdiri sendiri tanpa
iradah kauniyah tergambar pada keimanan, yang tidak terjadi orang kafir.
Keimanan adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka disebut iradah syar’iyah. Namun tidak terjadi karena dia kafir, maka bukan iradah kauniyah.
“Barang siapa mampu membedakan antara
iradah syar’iyah dengan iradah kauniyah, ia pasti akan selamat dari
banyak kerancuan yang telah menggelincirkan kaki dan menyesatkan
pikiran. Barang siapa memerhatikan amalan hamba dengan kedua mata ini,
ia akan mampu melihat. Barang siapa memerhatikan syariat tanpa takdir
atau sebaliknya, maka ia buta.” (al-Iman bil Qadha’, Muhammad bin
Ibrahim, hlm. 82—84)
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Soal: Kita meyakini keberadaan takdir buruk. Apakah tidak bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keburukan tidak (dinisbahkan) kepada-Nya”?
Jawab: Maksud takdir buruk tidaklah terkait dengan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal menentukan takdir. Namun, terkait dengan hal-hal yang ditakdirkan. Sama halnya dengan perbedaan khalq (perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala mencipta) dan makhluq (hal-hal yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala).
Marilah kita mengambil sebuah contoh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke
jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan penjelasan mengenai kerusakan yang terjadi, sebab dan
tujuannya. Kerusakan adalah sesuatu yang buruk, sebab terjadinya adalah
ulah tangan manusia. Tujuannya ialah “Supaya Allah subhanahu wa ta’ala merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Oleh karena itu, bentuk kerusakan yang
terjadi, baik di daratan maupun di lautan, mengandung hikmah. Pada
asalnya, kerusakan tersebut adalah sesuatu yang buruk. Namun, ia
memiliki hikmah yang sangat besar. Dengan demikian, adanya hikmah
tersebut menyebabkan takdir “munculnya kerusakan” menjadi sesuatu yang
baik.
Demikian halnya kemaksiatan dan kekufuran. Hal tersebut merupakan takdir dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun, keduanya memiliki hikmah yang sungguh besar. Andai tidak terjadi
kemaksiatan dan kekufuran, syariat Islam tidak akan terwujud. Jika saja
tidak muncul kemaksiatan dan kekufuran, penciptaan manusia akan menjadi
sia-sia.
(Syarah al-Wasithiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 542—543)
Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

Takdir, Wilayah Terbatas : Mendudukkan Pembahasan Takdir
Membahas masalah takdir sangatlah
penting. Namun, sebagian kalangan justru keliru memahaminya dengan
mengatakan, “Membahas masalah takdir hanya melahirkan keraguan dan
kebingungan!”, “Membahas masalah takdir hanya akan menjadi sebab
ketergelinciran dan kesesatan!”
Semua anggapan di atas tidaklah benar
karena membahas masalah takdir sangatlah penting. Hal ini dibuktikan
dengan beberapa hal berikut.
- Beriman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman.
Keimanan seorang hamba tidak akan mungkin sempurna melainkan dengan beriman kepada takdir. Lalu, bagaimana mungkin caranya untuk mengetahui keimanan terhadap takdir, jika tidak dibicarakan dan tidak dijelaskan? - Al-Qur’an banyak menyebutkan masalah takdir serta perinciannya.
Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk mempelajari dan merenungkan Al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran.” (Shaad: 29)
Lalu, apakah alasannya mengecualikan ayat-ayat takdir dari keumuman perintah tersebut?
- Beriman kepada takdir disebutkan dalam hadits terbesar dalam Islam, hadits Jibril ‘alaihissalam.
Peristiwa dalam hadits tersebut terjadi pada hari-hari terakhir
kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
“Orang tadi adalah Jibril. Ia datang untuk memberikan pelajaran tentang agama manusia.” (HR. Muslim no. 8)
Jadi, mempelajari masalah takdir juga termasuk bagian dari agama. Hukumnya wajib, walaupun secara global.
- Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah takdir yang sangat rinci.
Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (no. 2648) dari sahabat
Jabir radhiallahu ‘anhu. Suraqah bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ، أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ. قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ؟ فَقَالَ: اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ
“Wahai Rasulullah, mohon berikan penjelasan tentang agama ini kepada
kami, seolah-olah kami diciptakan sekarang ini. Untuk apakah kita
beramal hari ini, apakah pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir
yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?” Beliau menjawab, “Bahkan
pada hal-hal yang pena telah kering darinya dan takdir yang berjalan.”
Ia bertanya, “Lalu apa guna beramal?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Beramallah kalian, karena masing-masing dipermudah
(untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya).”
- Para sahabat menyampaikan masalah takdir kepada murid-murid mereka, kalangan tabi’in.
Mereka mengajukan pertanyaan tentang
takdir untuk menguji dan mengetahui pandangan mereka. Dalam sebuah
riwayat Muslim (no. 2650), Abul Aswad ad-Du’ali berkata, “Imran bin
Hushain radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepadaku, ‘Apa pendapatmu
tentang amalan yang dikerjakan orang hari ini, yakni bekerja keras?
Apakah sesuatu yang telah ditetapkan
untuk mereka dan sesuatu yang telah lewat takdir sebelumnya? Ataukah
untuk sesuatu yang akan mereka hadapi, dari ajaran yang dibawa oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka dan hujjah telah tegak untuk
mereka?’ Aku menjawab, ‘Bahkan, sesuatu yang telah ditetapkan untuk
mereka.’ Beliau bertanya, ‘Kalau begitu, apakah bukan sebuah kezaliman
bagi mereka?’ Abul Aswad berkata, ‘Aku pun langsung benar-benar
terkejut.’ Aku berkata, ‘Segala sesuatu adalah ciptaan Allah subhanahu
wa ta’ala, kekuasaan di tangan-Nya. Dia tidak ditanya tentang
perbuatan-Nya, akan tetapi merekalah yang akan ditanya tentang perbuatan
mereka.’ Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu berkata:
يَرْحَمُكَ اللهُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلَّا لِأَحْزِرَ عَقْلَكَ
‘Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
merahmatimu, sesungguhnya aku tidak memaksudkan dari pertanyaanku
kepadamu melainkan untuk memahamkan akalmu’.”
- Para ulama salaf telah menulis dan menyusun tulisan tentang takdir.
Jika kita melarang pembahasan tentang takdir, sama artinya menganggap mereka sebagai orang-orang bodoh.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Telah
pasti secara dalil qath’i, dari Al-Kitab, as-Sunnah, ijma’ sahabat,
ijma’ ahlil halli wal ‘aqdi, dari generasi salaf dan khalaf, tentang
ketetapan takdir. Banyak ulama yang menulis tentang takdir. Di antara
kitab terbaik yang ditulis dan banyak memberikan faedah adalah kitab
karya al-Hafizh al-Faqih Abu Bakr al-Baihaqi, semoga Allah subhanahu wa
ta’ala merahmatinya.” (Syarah an-Nawawi, an-Nawawi, 1/154—155)
Pertanyaannya, bagaimana memadukan keterangan di atas dengan beberapa riwayat yang menunjukkan larangan membicarakan takdir?
Misalnya, hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu riwayat ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jamul al-Kabir (no. 10448) dan yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Misalnya, hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu riwayat ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jamul al-Kabir (no. 10448) dan yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا
“Apabila disebut tentang takdir, tahanlah diri!” (as-Silsilah ash-Shahihah, 1/24 [34])
Atau contoh lain, hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu riwayat at-Tirmidzi (no. 2133) yang dihasankan oleh
al-Albani. Di dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sangat marah saat menyaksikan para sahabat sedang berselisih
tentang takdir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الْأَمْرِ، عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلَّا تَتَنَازَعُوا فِيهِ
“Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena memperselisihkan masalah
ini (takdir). Saya mengharuskan kalian untuk tidak berselisih tentang
masalah ini!”
Menjawab pertanyaan di atas sebenarnya mudah karena ajaran Islam tidak mengandung kontradiksi.
Menjawab pertanyaan di atas sebenarnya mudah karena ajaran Islam tidak mengandung kontradiksi.
Larangan untuk membicarakan tentang takdir hanyalah pada kondisi-kondisi berikut ini.
- Membica-rakan tentang takdir secara batil, tanpa ilmu dan tanpa dalil.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(al-Isra’: 36)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata,
“Maksudnya, takdir termasuk rahasia. Apabila seseorang membahasnya dan
memperdalam pembahasan, ia tidak akan mungkin pernah mencapai tujuan
melainkan jika dia berjalan sesuai dengan keterangan nash-nash. Pada
beberapa hadits disebutkan, ‘Jika perkara takdir disebut, tahanlah
diri!’ Hal ini karena jika si hamba memperdalam pembahasan tentang
takdir bukan di atas ilmu, ia akan terperosok dalam kesesatan. Sebab
kesesatannya, karena ia mencari ‘illah (alasan) bagi perbuatan-perbuatan
Allah subhanahu wa ta’ala dan membahas takdir tanpa memiliki
pengetahuan tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Syarah Lum’atul I’tiqad,
al-Fauzan, hlm. 70—72)
- Landasan membicarakan tak-dir adalah dengan akal, karena akal manusia sangat terbatas.
- Tidak bersikap tunduk dan menerima ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala tentang takdir, karena takdir termasuk perkara gaib.
- Membahas sisi dan aspek yang tersembunyi tentang takdir, sesuatu yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap nash.
Kesimpulan: Hukum Membahas tentang Takdir
- Jika membahasnya dengan kebenaran, dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah, disertai keterangan para ulama, boleh dan tidak dilarang bahkan terkadang wajib.
- Jika membahasnya dengan kebatilan, tidak boleh dan terlarang.
(al-Iman bil Qadha wal Qadar, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 19—25)
Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

Takdir Berjalan Seiring Syari’at
Kejahilan merupakan sumber segala
petaka. Oleh karena itu, Islam memerintahkan pemeluknya untuk berjuang
demi mengangkat kejahilan dari dirinya. Islam mengajak dan menyeru umat
untuk menuntut ilmu syar’i dan memperdalam pemahamannya tentang agama.
Hanya dengan ilmu, yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, seorang
hamba akan menggapai ketenangan dan kebahagiaan, baik dunia maupun
akhirat.
Dengan sebab kejahilan, sebagian
kalangan berusaha untuk “ikhtiar” dengan mendatangi dukun dan
paranormal. “Untuk merubah nasib,” katanya. Padahal, mendatangi dukun
atau paranormal bukan termasuk ikhtiar yang diizinkan oleh syariat.
Disebabkan tidak mampu memahami takdir dan ikhtiar berikut bentuk-bentuk
ikhtiar dengan baik, hal itu pun terjadi.
Atau contoh kejahilan lainnya. Munculnya anggapan, “Kalau beriman dengan
takdir akan menjadi sebab kemunduran umat!” Mereka, karena kejahilan,
meyakini dengan mengimani takdir akan menjadikan hamba malas untuk
bekerja dan berusaha. Padahal, usaha dan bekerja keras merupakan bagian
dari takdir juga. Sekali lagi, kesalahan berpikir semacam ini karena
kejahilan.
Dengan memohon taufik dan kemudahan dari Allah Yang Maha Pemurah, kami akan menyumbangkan sedikit uraian tentang takdir. Semoga bermanfaat.
Dengan memohon taufik dan kemudahan dari Allah Yang Maha Pemurah, kami akan menyumbangkan sedikit uraian tentang takdir. Semoga bermanfaat.
Urgensi Beriman Kepada Takdir
Seorang hamba harus beriman kepada
takdir karena mengimani takdir termasuk bagian dari enam rukun iman.
Beriman kepada takdir merupakan bentuk kesempurnaan tauhid rububiyah,
wujud nyata dari hakikat tawakal seorang hamba dan sikap penyerahan diri
kepada Allah subhanahu wa ta’ala, disertai usaha untuk
melakukan sebab-sebab yang dibenarkan dan bermanfaat. Dengan beriman
kepada takdir, seorang hamba akan mampu meraih ketenangan dalam
hidupnya. Hal ini karena ia meyakini bahwa setiap perkara yang
ditakdirkan akan menimpa dirinya, tidak mungkin meleset. Sebagaimana ia
meyakini pula, semua yang ditakdirkan akan luput dari dirinya, tidak
akan mungkin menimpanya.
Mengimani takdir Allah subhanahu wa ta’ala akan mendidik hamba
untuk tidak merasa ujub saat cita-citanya tercapai, sebab ia yakin bahwa
tercapainya cita-cita tersebut karena telah ditakdirkan. Usaha yang ia
lakukan tidak lain hanyalah sebab. Allah subhanahu wa ta’ala jua yang memudahkannya untuk melakukan sebab tersebut.
Beriman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala akan membimbing
setiap hamba untuk tidak goncang dan bersedih saat keinginannya gagal
tercapai, atau saat ia menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Ia
telah meyakini bahwa seluruh alur kehidupan telah diatur oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, ia memilih sikap ridha dan menerima selapang hati. Tentang hal di atas, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa
di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu,
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)
(Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 113—114)
Letak Penting Syariat
Seorang hamba harus beriman kepada
syariat. Syariat adalah seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perintah, larangan, dan konsekuensi
yang terkait, yaitu balasan, pahala, atau hukuman. Jadi, setiap hamba
berkewajiban melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, serta
harus beriman akan adanya balasan, pahala, atau hukuman.
Hal ini karena setiap orang diciptakan dengan memiliki kehendak dan
keinginan. Dengan adanya kehendak pada dirinya, seorang hamba akan
berusaha memperoleh apa yang ia inginkan dan menghindari apa yang tidak
ia inginkan. Namun, manusia juga memerlukan hukum-hukum untuk mengatur
kehendak dan keinginannya agar ia tidak terjatuh pada hal yang akan
merugikannya. Juga agar ia tidak kehilangan hal yang akan memberinya
manfaat, tanpa ia sadari.
Syariat Ilahi, yang diajarkan oleh para rasul, adalah hukum-hukum
tersebut. Dengan keberadaan syariat tersebut, sebuah hukum ditentukan.
Akan terpisahkan antara hal yang mendatangkan manfaat dan sesuatu yang
membawa kerugian, antara kebaikan dan kerusakan, karena syariat tersebut
datang dari sisi Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui, Dzat Yang
Maharahmat, dan Dzat Yang Mahahikmah.
Akal manusia, walaupun mampu menentukan hal yang bermanfaat atau
bermudarat, kemampuannya terbatas. Akal tidak dapat mengetahuinya secara
detail dan terperinci. Hanya syariatlah yang dapat menentukannya secara
sempurna.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Oleh karena itu, kami berpendapat, manfaat dan mudarat dapat diketahui
oleh fitrah, diketahui oleh akal, terkadang diketahui dengan pengalaman,
dan bisa diketahui melalui syariat. Syariat datang untuk mendukung
fitrah, akal, dan pengalaman. Fitrah, akal, dan pengalaman pun mendukung
syariat.” (Taqrib at-Tadmuriyah, hlm. 113—114)
Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

Kala Mujur Tak Bisa Diraih, Malang Tak Bisa Ditolak
Menakjubkan! Sebuah ungkapan yang
sangat tepat kala menatap sikap hidup seorang mukmin. Betapa tidak, kala
ujian hidup mendera, dunia terasa sempit mengimpit, sikap sabar
membalut dirinya. Kesabaran yang menghiasi jiwa membawa seorang mukmin
meraih kebaikan tiada terhingga. Sebaliknya, jika seorang mukmin hidup
bertabur kesenangan, tiada kesusahan melilit dirinya, sikap syukur
mengarahkannya meraup kebaikan. Hidupnya penuh makna, tidak dipoles oleh
dunia yang menipu lagi melalaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggambarkan sikap hidup seorang mukmin tersebut dengan
ungkapan, “Menakjubkan!”
Renungi dan hayati sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Menakjubkan urusan yang menimpa seorang mukmin. Sungguh, semua
urusannya membawa kebaikan untuknya. Tidak ada seorang pun yang bisa
seperti itu selain seorang mukmin. Jika kegembiraan menimpa dirinya, ia
bersyukur. Sikap syukurnya ini membawa kebaikan baginya. Jika ditimpa
kesusahan, ia pun bersabar. Sikap sabarnya ini pun membawa kebaikan
untuknya.” (HR. Muslim no. 64, dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan
radhiallahu ‘anhu)
“Inilah keadaan seorang mukmin,” kata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah. Beliau menambahkan, setiap manusia tidak lepas dari qadha
(ketentuan) dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang mencakup dua
perkara: senang atau susah. Oleh karena itu, manusia terbagi menjadi dua
macam: mukmin dan bukan mukmin. Seorang mukmin menganggap segala
sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala baginya,
sehingga hal ini baik baginya. Ketika kesusahan menimpanya, lantas dia
bersabar atas takdir-Nya seraya menanti disirnakannya impitan hidup oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengharap pahala dari-Nya, hal ini
membawa kebaikan baginya. Dia berharap mendapat pahala karena tergolong
orang-orang yang bersabar. Jika dirinya memperoleh kesenangan dalam
bentuk nikmat beragama—seperti memiliki ilmu (syariat) dan beramal
saleh—dan memperoleh nikmat dunia—seperti harta, anak, dan
keluarga—lantas dia bersyukur kepada-Nya dengan menjalankan ketaatan1,
sikap syukur ini akan mendatangkan kebaikan untuknya. Jadilah ia
memperoleh dua macam kenikmatan, yaitu nikmat beragama dan nikmat dunia.
Nikmat dunia berbentuk kesenangan, sedangkan nikmat beragama berbentuk
syukur. Inilah potret seorang mukmin. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/79)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menukilkan hadits
Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu di atas guna menjelaskan
kewajiban seseorang yang sedang sakit untuk bersikap ridha terhadap
qadha Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar atas takdir-Nya, dan husnuzhan
(berbaik sangka) kepada-Nya. Dengan bersikap demikian, ia akan
mendapatkan kebaikan. (Ahkamul Jana’iz wa Bida’uha, hlm. 11)
Kebaikan demi kebaikan akan senantiasa dipetik oleh seorang mukmin.
Tidak ada yang sia-sia. Ia tetap penuh optimis menatap setiap keadaan
dalam hidup ini. Walau mujur tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak,
namun dengan bersabar dirinya akan tetap kukuh, tidak putus asa. Ia
senantiasa bersemangat atas segala hal yang bisa bermanfaat baginya
seraya memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ
“Bersemangatlah atas segala sesuatu yang bermanfaat bagimu, mintalah
pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau merasa lemah.” (HR.
Muslim no. 2664)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah figur mulia
yang telah memberi contoh untuk tetap bersemangat. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap menginginkan kebaikan bagi umatnya. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bersemangat menginginkan keimanan
dan keselamatan umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah datang
kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Berat terasa
olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamata) kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang yang beriman.” (at-Taubah: 128)
Sikap sabar dan tangguh menghadapi beragam kesulitan adalah buah dari
keimanan terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Dia tidak
berkeluh kesah atas apa yang menimpanya. Semua itu adalah ketetapan
Allah subhanahu wa ta’ala atas dirinya. Dia meyakini bahwa pertolongan
Allah subhanahu wa ta’ala beriring dengan kesabaran. Sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5—6)
Demikian pula sikap syukur. Sikap ini merupakan buah dari keimanan
terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang mukmin
tentu memahami benar bahwa segala nikmat yang ada pada dirinya merupakan
pemberian Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).” (an-Nahl: 53)
Agar nikmat yang ada padanya senantiasa bertambah, maka syukur kepada
Allah subhanahu wa ta’ala harus dilakukan. Allah subhanahu wa ta’ala
telah menetapkan hal ini sebagaimana firman-Nya:
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu
memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari
(nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Keimanan terhadap qadha dan takdir secara benar akan menghasilkan buah
yang baik, membentuk akhlak yang indah, serta akan melahirkan aktivitas
peribadahan yang benar dan beragam. Semua itu akan berdampak pada
individu dan masyarakat. Iman kepada qadha dan takdir Allah subhanahu wa
ta’ala secara benar bisa membentuk kepribadian seorang muslim yang
memancarkan cahaya kemuliaan. Tidak sebagaimana yang disalahpahami oleh
sebagian orang bahwa mengimani qadha dan takdir Allah subhanahu wa
ta’ala hanya akan melemahkan semangat hidup dan memadamkan kesungguhan
beraktivitas. Ini terjadi pada kalangan Jabriyah. Atau sebaliknya,
akibat bernafsu mengejar kemajuan hidup, tumbuh pemahaman yang salah
terhadap qadha dan takdir. Iman kepada qadha dan takdir Allah subhanahu
wa ta’ala dianggap sebagai penghambat kemajuan kaum muslimin. Akibatnya,
seorang muslim—menurutnya—tidak perlu beriman kepada qadha dan takdir
Allah subhanahu wa ta’ala. Wal ‘iyadzu billah.
Perbuatan yang menjadi sebab-sebab terjadinya satu ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala tidak mesti meniadakan keimanan terhadap takdir. Bahkan, hal itu bisa menjadi penyempurna bagi keimanan terhadap qadha dan takdir.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang hamba—seiring beriman kepada takdir—dia harus pula bersungguh-sungguh beramal. Dia dapat menempuh sebab-sebab yang bisa menyelamatkan seraya berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudahan yang ada padanya menjadi sebab teraihnya kebahagiaan. Allah subhanahu wa ta’ala pun membantunya dalam hal tersebut. (Syarhu Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari, 2/629)
Perbuatan yang menjadi sebab-sebab terjadinya satu ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala tidak mesti meniadakan keimanan terhadap takdir. Bahkan, hal itu bisa menjadi penyempurna bagi keimanan terhadap qadha dan takdir.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang hamba—seiring beriman kepada takdir—dia harus pula bersungguh-sungguh beramal. Dia dapat menempuh sebab-sebab yang bisa menyelamatkan seraya berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudahan yang ada padanya menjadi sebab teraihnya kebahagiaan. Allah subhanahu wa ta’ala pun membantunya dalam hal tersebut. (Syarhu Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari, 2/629)
Nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah menaruh perhatian terhadap perkara yang
dijadikan sebab syar’i dalam beragam urusan kehidupan. Bahkan, sungguh
kita telah diperintah untuk beramal, berupaya mengais rezeki, menyiapkan
segala sesuatunya untuk menghadapi musuh, menyiapkan bekal untuk safar,
dan selainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi.” (al-Jumu’ah: 10)
“Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya.” (al-Mulk: 15)
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
Allah dan musuhmu.” (al-Anfal: 60)
Adapun terkait dengan urusan mempersiapkan perbekalan para musafir yang akan berhaji, firman-Nya:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197)
Dalam urusan (perintah) berdoa dan memohon pertolongan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu.” (al-Mu’min: 60)
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (al-Baqarah: 45)
(al-Iman bil Qadha wal Qadar, Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hlm. 125)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah pun menyebutkan hal semisal di atas. Beliau rahimahullah
berkata, “Kebanyakan manusia mengira bahwa menetapkan sebab-sebab
(terjadinya sesuatu) akan meniadakan keimanan kepada qadha dan takdir.
Hal ini tentu merupakan sebuah kesalahan yang sangat keji. Karena akan
mengembalikan (pemahaman) terhadap takdir secara keji sekali sehingga
menjadikan sebuah hikmah yang batil….”
Pernyataan ini merupakan bukti peniadaan terhadap keberadaan sebab
tersebut. Karena sesungguhnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah
mengaitkan satu keadaan ke keadaan sebagian lainnya, menata sebagian
dengan sebagian lainnya, dan mengadakan sebagian atas sebagian lainnya.
Lantas, apakah engkau akan tetap mengatakan, wahai orang yang
berprasangka lagi jahil, bahwa yang paling utama adalah mendirikan
bangunan, tetapi tanpa konstruksi; mengelola bibit (biji-bijian), buah,
dan tanaman, tetapi tanpa adanya ladang dan pengairan; mewujudkan adanya
anak-anak dan keturunan, tetapi tanpa pernikahan; masuk surga, tetapi
tanpa adanya iman dan amal saleh; masuk neraka, tetapi tanpa adanya
kekufuran dan maksiat?” (al-Iman bil Qadha wal Qadar, hlm. 126)
Perkembangan bid’ah dalam hal takdir awalnya muncul di Bashrah dan
Damaskus. Kemunculannya menjelang akhir masa para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
‘Umar, Anas bin Malik, dan Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhum. Saat
itu, para sahabat radhiallahu ‘anhum mengingkari pemahaman bid’ah ini
dengan keras, demikian pula menyikapi secara keras terhadap para pelaku
dan pengusungnya.
Orang yang pertama melontarkan pernyataan masalah qadar adalah salah
satu penduduk kota Bashrah, Irak, yang bernama Sawsan. Dia adalah
penjual makanan, asalnya pemeluk agama Nasrani kemudian memeluk Islam.
Dari Sawsan inilah Ma’bad al-Juhani menelan pemahaman masalah takdir.
Setelah itu, Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi mengambil pemahaman masalah
qadar dari Ma’bad al-Juhani. Kedua orang ini, Ma’bad dan Ghailan,
merupakan tokoh papan atas dalam menyebarkan pemahaman antitakdir.
Bahkan Ghailan dihukum mati lantaran mempertahankan pemahamannya.
Walaupun dia sempat bertaubat melalui Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,
tetapi sepeninggal Umar bin Abdul Aziz dia kembali ke pemahamannya
semula. Karena itu, dia dihukum mati. (al-Iman bil Qadha wal Qadar, hlm.
257)
Muhammad bin Syu’aib berkata, “Saya telah mendengar al-Imam al-Auza’i
(imam penduduk Syam) berkata, ‘Orang yang pertama berbicara tentang
qadar adalah Sawsan di Irak. Dia dahulu seorang Nasrani. Lantas memeluk
Islam, kemudian menjadi Nasrani kembali. Ma’bad mengambil pemahaman
tentang qadar darinya. Kemudian Ghailan al-Qadari pun mengambil
pemahaman masalah qadar dari Ma’bad.’” (Siyar A’lami an-Nubala’, 4/100)
Semenjak Ma’bad al-Juhani mengumandangkan pemahaman sesat tentang
masalah takdir ini, kaum muslimin pun melakukan pengingkaran terhadap
pemahaman yang diusung Ma’bad.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, dia berkata,
“Yang pertama kali melontarkan pernyataan tentang takdir adalah Ma’bad
al-Juhani. Saat saya dan Humaid bin Abdirrahman al-Himyari berhaji atau
umrah, saya katakan, ‘Seandainya kami bertemu dengan salah satu sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami akan menanyakan kepadanya
perihal apa yang diucapkan mereka tentang masalah takdir.’
(Ternyata) bertepatan dengan saat itu, Abdullah bin Umar bin
al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma masuk masjid. Kami mengapit Abdullah
bin Umar radhiallahu ‘anhuma. Salah satu dari kami berada di sebelah
kanan beliau, sedangkan lainnya berada di sebelah kirinya.
Karena aku mengira temanku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka
aku pun berkata kepada Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ‘Wahai Abu
Abdirrahman, sungguh telah tampak di hadapan kami manusia yang membaca
Al-Qur’an dan mencari-cari ilmu yang rumit….’
Setelah menyebutkan urusan mereka, sesungguhnya mereka berkeyakinan
tidak ada takdir. Sungguh perkara tersebut merupakan unuf, yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui hal itu hingga para hamba itu
berbuat atau beramal.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma adalah orang yang menyelisihinya. Sungguh, seandainya salah satu dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud, lalu diinfakkan, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim no. 1)
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma adalah orang yang menyelisihinya. Sungguh, seandainya salah satu dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud, lalu diinfakkan, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim no. 1)
Disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
bahwa lantaran mereka telah mendustakan takdir, terutama mereka
mengingkari ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, maka kafir. Adapun orang
kafir, tentu tidak akan diterima infaknya. Sebagaimana Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada yang menghalangi
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya, kecuali karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. (at-Taubah: 54) (Lihat Ta’liq
‘ala Shahih Muslim, hlm. 92)
Pernyataan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin di atas terkait ucapan Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma:
لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُهُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Sungguh seandainya salah satu di antara mereka memiliki emas sebesar
Gunung Uhud lalu diinfakkan, niscaya Allah tidak akan menerimanya hingga
dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim, no. 1)
Demikianlah sikap tegas salafush shalih terhadap para pengingkar takdir.
Al-Imam Thawus rahimahullah pernah memperingatkan, “Diperingatkan
(kepada kalian) terhadap perkataan Ma’bad. Karena sesungguhnya Ma’bad
adalah seorang qadari (pengingkar takdir).”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menyatakan, “Hati-hatilah kalian
terhadap Ma’bad al-Juhani. Sungguh dia itu sesat dan menyesatkan.”
(Siyar A’lami an-Nubala’, hlm. 100—101)
Lebih dari itu, hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
menerangkan tentang al-Qadariyyah. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ، إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ
“Al-Qadariyyah adalah Majusi umat ini. Jika mereka sakit, janganlah
dijenguk, dan jika mati, janganlah dipersaksikan (menghadiri jenazah
mereka).” (HR. Abu Dawud no. 4691. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan
hadits ini hasan. Lihat Syarhu Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wal Jama’ah,
al-Lalikai, hlm. 299)
Era kini, bala tentara al-Qadariyah semakin mendapat angin. Senjata
untuk menggempur ahlul-iman dipasok pula dari kalangan filosof. Melalui
pemikiran-pemikiran filosof yang ditebar, tidak sedikit umat yang
teracuni. Sebagian umat asyik berlogika filsafat, namun setelah itu
berujung pada pendangkalan iman. Bahkan sampai menutup mati pintu hati
dari cahaya agama. Racun filsafat telah menjadikan hati manusia kufur
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Sikap kritis akalnya terhadap Islam
menyebabkan keimanannya rusak. Akal kotor menuntun hidupnya, sementara
Islam dicampakkan. Wal ‘iyadzu billah.
Sebut saja paham filsafat eksistensialisme humanisme. Paham filsafat yang digagas dari pemikiran Jean Paul Sartre, seorang didikan Yahudi Perancis di Paris ini menyebutkan bahwa manusia harus menjadi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memilih (free will). Manusia bebas menentukan dirinya sendiri. Menurut Sartre, manusia bebas karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada. (Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, Harry Hamersma, hlm. 56)
Sebut saja paham filsafat eksistensialisme humanisme. Paham filsafat yang digagas dari pemikiran Jean Paul Sartre, seorang didikan Yahudi Perancis di Paris ini menyebutkan bahwa manusia harus menjadi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memilih (free will). Manusia bebas menentukan dirinya sendiri. Menurut Sartre, manusia bebas karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada. (Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, Harry Hamersma, hlm. 56)
Kebebasan yang disuarakan Sartre hanyalah ingin menegaskan bahwa manusia
harus menentukan dirinya sendiri sebagai wujud eksistensinya
(keberadaannya) sebagai manusia. Manusia tidak boleh ditentukan oleh
keadaan di luar dirinya. Eksistensi manusia tidaklah menjadi hakiki
kecuali diri manusia secara mutlak bisa melakukan segala sesuatu sesuai
dengan kehendaknya. (al-Iman bil Qadha wal Qadar, hlm. 254)
Inilah bentuk racun yang ditebarkan Jean Paul Sartre. Dia menolak
terhadap takdir dan adanya Allah subhanahu wa ta’ala. Karena baginya,
manusia harus memiliki kebebasan dalam eksistensinya, tidak boleh
diintervensi hal-hal dari luar dirinya, termasuk intervensi dari
nilai-nilai agama yang berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Keyakinan
manusia terhadap takdir hanya akan membelenggu eksistensinya sebagai
manusia. Begitulah penjabaran pokok-pokok pemikiran filsafat
eksistensialisme humanisme yang digaungkan oleh Jean Paul Sartre.
Pemikiran yang menjadikan manusia kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya.
Pemikiran yang pada akhirnya akan membuang jauh-jauh keimanan terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia
ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.” (at-Tin: 4—6)
“Sucikanlah nama Rabbmu Yang
Mahatinggi, yang menciptakan. Dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan
yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (al-A’la:
1—3)
Sehebat apa pun manusia, dia memiliki keterbatasan. Sebebas apa pun
ruang yang dimiliki manusia, pasti ada batas. Segala sesuatu telah Allah
subhanahu wa ta’ala ciptakan berdasarkan kadarnya. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Melalui pemahaman filsafat, keimanan
terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala bisa terkikis.
Pemahaman Islam yang utuh pun akan bisa tercabik-cabik.
Seseorang yang menjalani filsafat secara mendalam bisa terseret dan berselancar menggunakan logikanya, memikirkan sesuatu yang di luar kapasitas akalnya. Bahkan sesuatu yang gaib pun akan direka dengan logika. Tanpa ada bimbingan Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman salaf ash-shalih. Tanpa disertai tuntunan para ulama rabbani yang teruji kecendekiaan dan kealimannya.
Filsafat bisa memudarkan cahaya keimanan yang telah menetap di hati. Oleh karena itu, melalui filsafat inilah musuh-musuh Islam menggempur akidah kaum muslimin agar luruh luntur. Mereka menancapkan paham rasionalitas tanpa batas dan jauh dari nilai kebenaran melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu, lahirlah para pemikir agama yang tidak memiliki semangat beragama dalam jiwanya. Hatinya kering kerontang. Hampa, tiada cahaya keimanan membersit dari lubuk hati. Melontar pemikiran tanpa bingkai keimanan. Apa yang ditawarkan tak menjadikan hati hidup, tak menjadikan akal tunduk, tak menghujamkan keimanan yang makin kukuh tangguh. Akhir dari petualangan mengulum filsafat menjadikan akidah luntur, kufur tiada syukur. Nas’alullaha as-salamah.
Ahlus Sunnah bersaksi dan meyakini sesungguhnya kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, manis dan pahit lantaran qadha dan takdir. Tidak menyeleweng dan menyimpang dari keduanya. Ini sesuai dengan hadits Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Islam. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam!”
Seseorang yang menjalani filsafat secara mendalam bisa terseret dan berselancar menggunakan logikanya, memikirkan sesuatu yang di luar kapasitas akalnya. Bahkan sesuatu yang gaib pun akan direka dengan logika. Tanpa ada bimbingan Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman salaf ash-shalih. Tanpa disertai tuntunan para ulama rabbani yang teruji kecendekiaan dan kealimannya.
Filsafat bisa memudarkan cahaya keimanan yang telah menetap di hati. Oleh karena itu, melalui filsafat inilah musuh-musuh Islam menggempur akidah kaum muslimin agar luruh luntur. Mereka menancapkan paham rasionalitas tanpa batas dan jauh dari nilai kebenaran melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu, lahirlah para pemikir agama yang tidak memiliki semangat beragama dalam jiwanya. Hatinya kering kerontang. Hampa, tiada cahaya keimanan membersit dari lubuk hati. Melontar pemikiran tanpa bingkai keimanan. Apa yang ditawarkan tak menjadikan hati hidup, tak menjadikan akal tunduk, tak menghujamkan keimanan yang makin kukuh tangguh. Akhir dari petualangan mengulum filsafat menjadikan akidah luntur, kufur tiada syukur. Nas’alullaha as-salamah.
Ahlus Sunnah bersaksi dan meyakini sesungguhnya kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, manis dan pahit lantaran qadha dan takdir. Tidak menyeleweng dan menyimpang dari keduanya. Ini sesuai dengan hadits Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Islam. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah Engkau
bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain
Allah, sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, Engkau tegakkan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhaji ke
Baitullah bila mampu menempuh perjalanannya.”
Jibril lantas berkata, “Engkau benar.” Kami pun terheran. Dia bertanya, dia pula yang membenarkannya.
Lantas Jibril bertanya kembali, “Beritahukan kepadaku tentang iman.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau beriman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir,
serta engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” Jibril
kemudian berkata, “Engkau benar.” (Syarhu Aqidati as-Salaf Ashabil
Hadits, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al-Madkhali hafizhahullah, hlm.
212)
Mengimani masalah takdir meliputi empat perkara:
- Mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu,
secara global maupun terperinci, azali (terdahulu) dan abadi, baik itu
terkait perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala maupun perbuatan
hamba-hamba-Nya.
2. Mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menuliskan semua hal itu di Lauhil Mahfudz. Dua perkara ini disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala pada firman-Nya:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?
Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)
Dalam Shahih Muslim, dari Abdillah bin Amr bin al-‘Ash radhiallahu
‘anhuma, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menuliskan takdir segenap makhluk lima puluh ribu tahun
sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim, no. 2653,
at-Tirmidzi, no. 2156, dan selain keduanya).
- Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan terjadi melainkan atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, baik segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala maupun hal-hal terkait perbuatan makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman terkait perbuatan-Nya:
“Dan Rabbmu mencipta apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (al-Qashash: 68)
“Dan (Allah) memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
“Dialah yang membentukmu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” (Ali ‘Imran: 6)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman terkait perbuatan makhluk-Nya:
“Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan terhadap mereka, lalu pasti mereka memerangimu.” (an-Nisa’: 90)
“Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang
mereka ada-adakan.” (al-An’am: 112)
- Mengimani bahwa seluruh yang ada adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala, baik zat, sifat, maupun gerakannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu.” (az-Zumar: 62)
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sesungguhnya Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)
Mengimani takdir sebagaimana telah kami uraikan di atas, tidaklah lantas
meniadakan kehendak bagi seorang hamba dalam perbuatan-perbuatan yang
bersifat ikhtiar (memilih) dan kemampuan atas hal itu. Karena
sesungguhnya syariat dan kenyataan yang ada memastikan adanya kehendak
dan kemampuan bagi setiap orang. (Syarhu al-Ushul ats-Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 191—192).
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Catatan Kaki:
1 Karena bersyukur itu tidak semata
mengucapkan, “Saya bersyukur kepada Allah.” Akan tetapi, harus ada
pengamalan ketaatan kepada-Nya.

Surat Pembaca Edisi 71
Mengapa Sering Menyoroti Kelompok Lain?
Kenapa majalah Asy-Syari’ah/salafi
sering mengungkap kekurangan tokoh jamaah lain, apakah salafi merasa
paling benar (egois) padahal yang saya dengar dari jamaah lain salafi
adalah bentukan dari putra mahkota Arab Saudi, agar tidak mendakwahkan
masalah politik, karena dalam Islam tidak ada sistem kerajaan sehingga
bisa membela kerajaan Arab, dan selalu mencari-cari kekurangan jamaah
lain kemudian diajak ke salafi? Bukankah persatuan lebih penting dalam
Islam? Bukankah saling melengkapi kekurangan kita lebih penting dari
pada kita hanya melihat kekurangan jamaah lain.
Abu Qois-Lampung 0852699xxxxx
Jawaban Redaksi
Anda salah dalam
memahami masalah ini. Mengungkapkan kesalahan atau mengkritik kesalahan
seseorang /kelompok adalah kewajiban yang digariskan oleh Allah kepada
kaum muslimin secara umum, bukan hanya salafi. Ini adalah bagian dari
amar ma’ruf nahi mungkar yang telah kita kethaui bersama sebagai sebuah
prinsip penting dalam agama ini. Tanpa adanya kritik terhadap kesalahan,
maka Islam akan terkotori berbagai bid’ah.
Perlu diingat, ini
bukan sikap egois atau ingin menang sendiri. Seorang salafi sejati tidak
merasa maksum (terbebas dari kesalahan). Yang maksum hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, ia merasa berkewajiban untuk melakukan kritik sebagai bentuk penunaian tanggung jawabnya di hadapan Allah.
Salafi adalah nisbah
kepada generasi salaf: sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka
ada jauh sebelum ada Kerajaan Arab Saudi. Kepada generasi yang paling
dekat dengan kemurnian Islam inilah semestinya kita merujuk dalam hal
mengaplikasikan Islam.
Salafi bukanlah
kelompok atau organisasi, apalagi bentukan putra mahkota Saudi
sebagaimana dituduhkan. Politik Islam adalah politik yang beretika,
tidak larut dalam sistem yang disetting nonmuslim (seperti demokrasi)
yang praktiknya justru mengebiri syariat Islam, namun juga tidak
bermudah-mudah dalam menjatuhkan penguasa. Mendapatkan
penguasa/pemerintah yang banyak kekurangannya adalah niscaya di masa
kita ini, namun di sini kita dituntut bagaimana bersikap secara benar
dengan tidak hanya bermodalkan semangat.
Salah satu kelompok
yang sering kami singgung adalah Syiah (Rafidhah), agama yang
mengafirkan hampir seluruh sahabat, menyebut istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
sebagai pelacur, acap menikam Islam dari belakang, serta menjadi otak
di balik huru-hara di dalam sejarah Islam. Diamkah kita terhadap
kesesatan mereka? Di manakah amar ma’ruf nahi mungkar kita di saat ada
tokoh dan kelompok Islam justru mengampanyekan “persatuan” dengan
merangkul Syiah?
Sebaiknya Anda
membaca kembali edisi-edisi kami yang telah lalu, bagaimana hakikat
dakwah salaf, mengapa kita merujuk mereka dalam memahami agama ini, dan
seterusnya. Dengan merujuk merekalah kita berharap bisa mengaplikasikan
Islam yang benar sebagaimana Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.

Mengimani Takdir≠Menyerah pada Nasib
Takdir acap dituding sebagai biang yang
membelenggu cara berpikir umat. Mengimani takdir hanya membuat umat
mundur dan tidak mau berusaha. Bahkan dalam beberapa tulisan orientalis,
kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai salah satu faktor kejatuhan
peradaban Islam.
Umat Islam yang memercayai takdir, oleh kalangan antiislam, diibaratkan
sebagai daun kering dalam embusan badai. Artinya, kaum muslimin hidup di
bawah bayang-bayang kekuasaan mutlak bernama takdir yang mencengkram
segala sesuatu dalam hidupnya. Mereka “dipaksa” dalam setiap
perilakunya, seolah-olah mengimani takdir identik dengan tidak mau
berikhtiar (tidak ada kebebasan memilih).
Pertanyaannya, kalau kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai sebab
kemunduran Islam, mengapa generasi-generasi awal Islam yang keimanan
mereka kepada takdir sangat kuat justru mampu membawa Islam pada puncak
keemasannya? Kalau kemiskinan dianggap kemunduran dan kesuksesan duniawi
dianggap kemajuan, mengapa generasi emas Islam tersebut mayoritasnya
justru orang-orang miskin?
Artinya, ada kesalahpahaman dalam memahami takdir dan ada salah kaprah
dalam memahami apa itu “kemajuan”. Dalam kesejarahan Islam, memang
muncul dua kutub besar dalam masalah takdir. Kutub pertama: Qadariyah,
Majusi umat ini, membatasi takdir pada “kebaikan” saja sementara
“keburukan” di luar takdir. Sementara itu, kutub satunya: Jabriyah
(determinisme), mencabut segala bentuk kebebasan pada diri manusia.
Islam (Ahlus Sunnah) sendiri berada di pertengahan di antara dua kutub
ekstrem tersebut, yakni manusia wajib mengimani takdir baik atau buruk,
dengan diberi kebebasan dalam menjalani (baca: memilih) hidupnya di
dunia yang telah diatur rambu-rambunya dalam Islam. Siapa yang ingin
selamat, tentu memilih jalan Islam. Oleh karena itu, orang-orang yang
berbuat maksiat tidak bisa menyandarkan ulahnya pada takdir dengan
mengabaikan sebabnya (kehendak manusia).
Orang-orang yang bunuh diri hanya karena soal “cinta”, orang-orang stres
karena gagal jadi anggota dewan atau kepala daerah, ibu-ibu yang tega
membuang bahkan membunuh bayi hasil hubungan gelapnya dengan orang lain,
remaja-remaja bunuh diri karena hamil di luar nikah, merekalah justru
orang-orang yang dihasilkan dari cara berpikir antitakdir.
Kalau mereka mau merenungi takdir, semestinya mereka akan mencoba
memetik hikmahnya, memikirkan luasnya pintu taubat, dan tumbuh keinginan
untuk memperbaiki diri. Ia justru lebih bisa menatap masa depan dengan
selalu berharap Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan jalan keluar atau kemudahan dari masalah yang tengah ia hadapi.
Intinya, mengimani takdir bukan berarti menyerah pada nasib. Orang yang
menyerah pada nasib memang membuat malas dan lamban, serta berhenti pada
titik kegagalannya. Sementara itu, orang yang beriman pada takdir
justru tak akan berlarut-larut dalam kesedihan dan tak akan tenggelam
dalam kegagalan. Ia akan segera bangkit. Kala ia meraih kesuksesan atau
kebahagiaan, ia pun tak berbangga diri. Ia sadar bahwa apa yang ia raih
semata-mata karena takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam.
Tips Aman dan Nyaman Berkendara
Seiring dengan tingginya angka
kecelakaan yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin, Redaksi
terpanggil untuk menyuguhkan tips aman dan nyaman berkendara, khususnya
bagi kendaraan roda dua.
- Berdoa sebelum memulai perjalanan.
- Taati peraturan, alat pemberi isyarat lalu lintas, rambu-rambu lalu lintas, marka jalan, dan petunjuk petugas/polisi. Ingat, ini bagian dari kewajiban setiap muslim untuk taat kepada pemerintah.
- Pastikan kelengkapan surat motor Anda berupa STNK dan SIM.
- Pastikan kendaraan Anda memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama berikut arah dan daya pancarnya, rem dan lampu rem, lampu penunjuk arah (lampu sein), alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan (speedometer), knalpot, kedalaman alur ban, dan spakbor.
Jika ada yang harus diperbaiki jangan
tunda, segera diperbaiki. Jika ada suku cadang yang memang harus
diganti, segera diganti. Ingat, ketaklaikan motor Anda bisa membahayakan
keselamatan diri dan orang lain.
- Jangan mengganti suku cadang yang tidak standar, seperti warna lampu dan ukuran ban karena bisa memengaruhi keselamatan atau kenyamanan berkendara.
- Gunakan semua kelengkapan kendaraan sebagaimana fungsinya. Seperti menyalakan lampu sein saat hendak berbelok atau berbalik arah, atau—sesuai UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 107 (2)—menyalakan lampu utama di siang hari.
- Gunakan alat keselamatan berkendara (safety riding) atau pelindung, seperti helm Standar Nasional Indonesia (SNI), baik untuk pengemudi maupun pembonceng. Jika Anda sering bepergian jarak jauh, selain helm SNI—disarankan yang fullface—gunakan juga jaket yang tahan terhadap terpaan angin, sepatu yang menutup tumit, sarung tangan yang ada pelindung kerasnya, pelindung dada, masker/penutup hidung, serta—jika perlu—pelindung lutut dan pelindung lengan/siku. Selain berfungsi mengurangi cedera, juga untuk menjaga kesehatan. Disarankan menggunakan perlengkapan dengan warna yang mudah terlihat, lebih baik lagi yang bisa merefleksikan cahaya (fluorescent,) seperti rompi pemantul cahaya, terutama jika berkendara di malam hari.
- Kendalikan emosi, kendarai kendaraan dengan tenang dan senyaman mungkin. Jangan terpancing oleh kendaraan lain yang menyalip Anda atau pengendara lain yang ugal-ugalan. Ingat, jika Anda berbalapan dengan kendaraan lain, menang atau kalah, tidak membawa manfaat apa pun. Demikian juga, seyogianya kita bisa memupuk kesabaran ketika menghadapi kendaraan dari arah berlawanan yang memakan jalur kita atau “ngeblong” sebagaimana hal itu sering kita jumpai pada bus, truk, dan sebagian mobil pribadi.Salah satu hal yang juga mesti dikedepankan adalah kesiapan menghadapi kemungkinan terburuk. Sikap ini akan menumbuhkan kehati-hatian dalam berkendara.
- Selalu waspada dan jangan melamun, konsentrasikan pikiran pada jalan dan kendaraan di depan Anda. Jangan terlalu mengandalkan insting, pastikan keadaan aman tersebut. Jika mengantuk atau lelah, segera istirahat di rest area, masjid, atau SPBU terdekat.
- Hindari berkendara ketika masih di bawah pengaruh obat, terutama yang membuat mengantuk/pusing.
- Bersikap sopan dalam berkendara, seperti tidak menyalakan klakson
secara berlebihan atau tidak menggunakan jenis klakson yang mengganggu
pemakai jalan lain.
12. Jika kita berkendaraan secara berombongan, jangan memenuhi badan jalan.Termasuk dalam hal ini, jika Anda berkendara dengan teman pengendara lain, jangan mengobrol di jalan raya sehingga mengurangi kelapangan pengendara lain.
- Memberi kesempatan kepada penyeberang jalan, terutama penyandang cacat atau manusia berusia lanjut. Ini termasuk adab Islam yang mesti kita pupuk.
- Wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda (UU No. 22/2009 pasal 106).
- Pada kecepatan rendah menggunakan lajur kiri.
- Pacu kendaraan Anda dalam kecepatan normal, meskipun normal itu sangat relatif. Di dalam kota atau permukiman, kecepatan 60 km/jam bisa jadi termasuk kecepatan tinggi. Namun di jalan raya antarkota atau lingkar luar yang sepi, kecepatan 80 km/jam bisa jadi sesuatu yang normal.
- Kendaraan roda dua pada prinsipnya hanya dinaiki oleh dua orang. Oleh karena itu, untuk keselamatan bersama, hindari mengikutkan banyak anggota keluarga seperti anak lebih dari satu atau anak yang masih bayi. Hindari juga membawa barang secara berlebihan yang dapat mengganggu kenyamanan berkendara.
- Kurangi risiko sebanyak mungkin.
- Selalu jaga jarak aman dengan kendaraan di depannya.
- Hindari bepergian di malam hari dan saat hujan deras jika tidak mendesak. Bagi sebagian orang, risiko kecelakaan lebih tinggi karena keterbatasan jarak pandang.
- Perhatikan pakaian Anda, terutama untuk Anda muslimah. Jika Anda membonceng, selalu jaga pakaian Anda agar tidak tersangkut rantai atau masuk jeruji ban. Sangat dianjurkan menggunakan perlengkapan tambahan, seperti tutup rantai.
- Lintasi jalur alternatif—jika memang ada—, untuk menghindari jalan yang padat, jalan rusak dan berlubang, atau jalan yang rawan kejahatan.
- Menyalip secara aman.
- Selalu perhatikan spion dan jangan lupa menyalakan lampu sein, lebih bagus lagi menyalakan klakson.
- Jangan memaksa diri menyalip kendaraan yang juga tengah menyalip.
- Jangan mendahului pada posisi yang tidak memungkinkan kita melihat kondisi lalu lintas di depan, seperti menyalip di tikungan, puncak tanjakan, terowongan tanpa pembatas jalur, dekat persimpangan jalan, kompleks perumahan, atau dekat sekolah yang anak-anak banyak bermain.
- Berhati-hati jika hendak melintas dekat mobil yang berhenti/parkir, bisa jadi mobil tersebut berhenti karena ada orang/kendaraan yang hendak menyeberang atau kemungkinan pintu mobil dibuka secara tiba-tiba.
- Jangan berhenti mendadak setelah menyalip, pastikan jarak aman dengan kendaraan di belakangnya. Jangan zig-zag di jalan, bisa jadi di belakang kita ada kendaraan yang juga bermaksud menyalip.
- Hindari menyalip dari kiri, terutama dari sisi dalam tikungan ketika hendak menyalip mobil/bus.
- Menyalakan klakson saat melintasi deretan mobil dalam antrean di siang hari atau menyalakan lampu jauh ketika malam hari sesering mungkin untuk memberikan perhatian dan jangkauan penglihatan kaca spion bagi kedua jalur mobil yang kita lintasi sehingga pengendara mobil mengetahui keberadaan kita.
- Pengemudi yang berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas, wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan kendaraan. Pengemudi sebagaimana dimaksud jika terhalang oleh suatu rintangan atau pengguna jalan lain di depannya, wajib mendahulukan kendaraan yang datang dari arah berlawanan. (UU No. 22/2009 pasal 110)
- Pada jalan yang menanjak yang tidak memungkinkan berpapasan, pengemudi kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi kesempatan jalan kepada pengemudi kendaraan yang arahnya mendaki. (UU No. 22/2009 pasal 111)
- Perhatikan situasi lalu lintas jika hendak berpindah jalur. Walaupun sudah menyalakan lampu sein, jangan langsung memotong jalan jika hendak berpindah jalur, terutama dari kanan ke kiri. Jika Anda dari kiri hendak ke kanan, pastikan Anda telah berada di lajur kanan terlebih dahulu dengan tetap memantau arus lalu lintas melalui spion.
- Jika Anda dari gang, jalan kecil, bahu/pinggir jalan, atau dari jalur lambat kemudian bemaksud memasuki jalan raya/jalur cepat, perhatikan kendaraan yang hendak melintas. Lebih baik berhenti dengan memerhatikan arus kendaraan terlebih dahulu daripada langsung masuk menikung yang seringnya mengagetkan sekaligus membahayakan pengendara lain.Sebaliknya, jika hendak masuk jalan kecil atau berbelok ke kiri, selalu menyalakan lampu sein atau dengan isyarat tangan dengan jarak aman—tidak mendadak.
- Saat di traffic light.
- Fokus pada lampu lalu lintas. Pastikan Anda jalan setelah lampu
benar-benar menyala hijau, bukan karena lampu menyala merah tinggal
beberapa detik.
b. Countdown timer (penghitung waktu mundur) hanya bersifat membantu, bukan patokan apalagi jadi alat untuk “nge-track”. - Jika dari kejauhan lampu lalu lintas sudah menyala kuning atau countdown timer warna hijau telah menunjuk angka di bawah lima detik, lebih baik memilih berhenti daripada memaksa diri untuk memacu kendaraan.
- Jangan menggunakan ponsel ketika berkendara.
Hindari ber-SMS, telepon, mengambil
gambar, dan sebagainya saat berkendara. Pemakaian handsfree tidak
disarankan karena tetap mengurangi konsentrasi berkendara.
- Sedia mantel sebelum hujan. Ini bukan pepatah, tapi merupakan bagian dari kesiapan berkendara. Spakbor harus selalu terpasang di motor Anda. Ketiadaan spakbor kala hujan dan saat melintas di jalan yang dipenuhi banyak genangan, bisa mengganggu bahkan merugikan orang lain. Bagi pengendara jarak jauh, mantel/jas hujan yang disarankan adalah yang terpisah bagian atas dan bawahnya. Wallahu a’lam.
Uraian di atas hanyalah beberapa tips sederhana yang dapat kami sajikan kepada Anda, tentunya masih banyak yang lainnya.
Di sini, kami juga mengingatkan bahwa segala takdir telah ditentukan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sehati-hati kita berkendara, namun jika pengendara atau pengguna jalan
lain tidak berhati-hati, kecelakaan lalu lintas tetap tidak
terhindarkan. Jalan di Indonesia termasuk berbahaya, terlebih tidak
didukung oleh kedisplinan pengguna jalan. Kita hanya bisa berdoa memohon
diberi keselamatan, namun ketika kita ditimpa musibah, kita pun harus
siap bersabar dalam menjalaninya. Sebagai manusia kita hanya bisa
berusaha, selebihnya Allah subhanahu wa ta’ala yang menentukan.
Semoga bermanfaat. (Redaksi, dari berbagai sumber)

Adab Diri pada Lisan, Tetangga dan Tamu
Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan banyak pelajaran, nasihat, dan pesan kebaikan kepada umat
beliau dalam hadits-haditsnya yang agung. Tentang adab Islami kerap pula
beliau sampaikan. Di antara hadits yang berbicara tentang adab Islami
ini adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah (no. 6018) dan al-Imam Muslim rahimahullah (no. 171 & 172) dalam kitab Shahih keduanya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata
baik atau ia diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
Wahai muslimah, bacalah dan renungkan hadits di atas, niscaya engkau
dapati faedah yang besar. Engkau akan menyadari, betapa banyak orang
yang tidak menjalankan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hal ini. Engkau dapatkan banyak lisan yang digunakan untuk
berucap jelek, dusta, ghibah, namimah, mengumpat, mencela, dan melaknat.
Kita sadari, para wanita banyak yang jatuh dalam penyakit lisan ini.
Kita pun bertanya, tertuju pertama kali kepada diri kita sendiri, “Di
manakah pengamalan hadits:
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berucap yang baik atau ia diam’.”
Engkau dapati buruknya hubungan
bertetangga di masyarakat, apalagi di kota-kota besar. Banyak orang
bersikap individualis. Seseorang tidak mau peduli dengan tetangga di
sebelahnya. Jangankan menyampaikan kebaikan, justru kejelekan yang
“dipersembahkan” untuk tetangga, dengan berkata buruk kepada tetangga,
mengganggu istirahatnya dengan suara berisik, menyempitkan jalannya, dan
perbuatan lain yang membuat tetangga tidak nyaman dan merasa terganggu.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Demi Allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika ditanya,
“Siapakah yang Anda maksudkan, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari no. 6016 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari no. 6016 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ya, bukankah termasuk tuntutan iman yang sempurna adalah memuliakan tetangga, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sedang menjadi pembicaraan kita?
Satu lagi adab yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, yaitu memuliakan tamu. Ini pun tidak dijalankan dengan semestinya seperti yang dimaukan oleh syariat.
Untuk beroleh faedah dari hadits yang
mulia di atas, kita coba menukil secara ringkas pembahasan dari seorang
alim yang mulia, Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
terhadap hadits ini sebagai salah satu hadits yang termuat dalam
al-Arba’in an-Nawawiyah (hadits ke-15). Semoga kita dimudahkan dan
diberi taufik untuk mengamalkannya.
Berkata Baik atau Diam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berucap yang baik atau ia diam.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersyaratkan iman dengan berucap baik atau diam. Maksudnya adalah
memberikan anjuran dan dorongan untuk berucap baik atau paling tidak
diam.
Perlu diketahui bahwa kebaikan dalam berucap itu terbagi dua.
- Kebaikan pada apa yang diucapkan
Contohnya adalah berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertasbih, bertahmid, membaca Al-Qur’an, mengajarkan ilmu, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
- Kebaikan pada apa yang dimaksud/dituju.
Misalnya, seseorang mengucapkan ucapan
untuk memberikan kegembiraan kepada teman duduk. Ini adalah kebaikan,
melihat dampak yang dihasilkannya berupa kedekatan antarteman, hilangnya
kekakuan, dan hilangnya perasaan asing.
Jika kita duduk bersama sekelompok orang dan kita tidak mendapati ucapan kebaikan yang bisa kita ketengahkan kepada mereka (jenis kebaikan yang pertama), namun kita terus diam dari awal sampai akhir, niscaya hal ini menimbulkan kekakuan. Akan timbul perasaan asing antara satu orang dan yang lain, tidak merasa dekat. Akan tetapi, jika kita berbicara dengan mereka—walaupun bukan ucapan yang disebutkan dalam jenis kebaikan yang pertama—guna menyenangkan teman duduk, seperti menanyakan keadaan keluarga dan anak-anaknya, ini merupakan kebaikan dalam hal maksud/tujuan.
Jika kita duduk bersama sekelompok orang dan kita tidak mendapati ucapan kebaikan yang bisa kita ketengahkan kepada mereka (jenis kebaikan yang pertama), namun kita terus diam dari awal sampai akhir, niscaya hal ini menimbulkan kekakuan. Akan timbul perasaan asing antara satu orang dan yang lain, tidak merasa dekat. Akan tetapi, jika kita berbicara dengan mereka—walaupun bukan ucapan yang disebutkan dalam jenis kebaikan yang pertama—guna menyenangkan teman duduk, seperti menanyakan keadaan keluarga dan anak-anaknya, ini merupakan kebaikan dalam hal maksud/tujuan.
Memuliakan Tetangga
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”
Tetangga memiliki hak. Semakin dekat rumahnya dengan rumah kita maka haknya pun semakin besar.
Tetangga memiliki hak. Semakin dekat rumahnya dengan rumah kita maka haknya pun semakin besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kita memuliakan tetangga tanpa membatasi bentuk
pemuliaan, apakah dengan memberi uang, sedekah, pakaian, ataukah yang
lain. Yang menjadi patokan, segala sesuatu yang dalam syariat disebutkan
secara mutlak, tidak dibatasi, maka perkaranya kembali kepada ‘urf atau
kebiasaan yang ada di masyarakat Islam, sebagaimana hal ini disebutkan
oleh kaidah fiqih. Dengan demikian, memuliakan tetangga itu tidak
dibatasi dan tidak ditentukan.
Apa saja yang dianggap oleh orang-orang
sebagai bentuk pemuliaan, berarti hal itu termasuk di dalamnya. Tentu
saja pemuliaan ini bisa berbeda antara tetangga yang satu dan yang lain.
Pemuliaan kepada tetangga yang fakir mungkin dilakukan dengan
memberinya sepotong roti. Adapun tetangga yang kaya, tentu sepotong roti
tidak mencukupi, malah bisa dianggap menghinanya. Orang biasa yang
menjadi tetangga kita mungkin merasa cukup dengan pemberian berupa
sesuatu yang sederhana. Namun, orang yang mulia dan dipandang manusia
tentu butuh lebih dari itu untuk memuliakannya.
Batasan Tetangga
Apakah yang disebut sebagai tetangga
harus bersebelahan dengan rumah kita, berhadapan, atau dalam jarak
tertentu, atau bagaimana? Hal ini kembali pula kepada ‘urf (adat).
Ada riwayat dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah,
ia pernah ditanya tentang tetangga. Beliau menjawab bahwa tetangga
adalah empat puluh rumah di depannya, empat puluh rumah di belakangnya,
empat puluh rumah di sebelah kanannya dan empat puluh rumah di sebelah
kirinya. (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam al-Adabul Mufrad hadits no. 109, disahihkan sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad)
Di waktu sekarang, jumlah tersebut mungkin menyulitkan. Adapun di zaman beliau rahimahullah
jarak empat puluh rumah adalah jarak yang bisa jadi sedikit/kecil.
Adapun di zaman kita ini, mungkin empat puluh rumah adalah jarak satu
kampung. Jika kita katakan tetangga itu adalah empat puluh rumah dari
kita, padahal rumah-rumah yang ada seperti istana, besar dan luas,
niscaya jumlah empat puluh ini sulit. Karena sebab inilah kemungkinan
al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul atsar ini dengan
Bab al-Adna Fal Adna Minal Jiran (Bab Tetangga yang paling dekat lalu
yang paling dekat) karena banyaknya jumlah tetangga dengan bilangan
empat puluh ini sehingga yang harus diperhatikan dan dikedepankan adalah
yang paling dekat dengan rumah kita lalu yang berikutnya.
Ketika Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Aku memiliki dua tetangga. Manakah di antara keduanya yang semestinya
aku berikan hadiah?” Rasulullah menjawab, “Engkau berikan kepada
tetangga yang paling dekat pintu rumahnya dari rumahmu.” (HR. al-Bukhari
dalam Shahih-nya)
Memuliakan Tamu
“Dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
Tamu adalah orang yang singgah di tempat Anda. Misalnya, ada seorang musafir mampir di rumah Anda, ini adalah tamu yang wajib dimuliakan.
Sebagian ahlul ilmi berkata, “Perjamuan untuk tamu itu hanya wajib jika tempat tersebut berupa kampung atau kota kecil. Adapun di kota besar, perjamuan tidak wajib karena di kota bisa dijumpai rumah makan dan penginapan/hotel yang musafir bisa singgah ke sana. Adapun di kampung, musafir yang lewat membutuhkan tempat bernaung/singgah.”
Tamu adalah orang yang singgah di tempat Anda. Misalnya, ada seorang musafir mampir di rumah Anda, ini adalah tamu yang wajib dimuliakan.
Sebagian ahlul ilmi berkata, “Perjamuan untuk tamu itu hanya wajib jika tempat tersebut berupa kampung atau kota kecil. Adapun di kota besar, perjamuan tidak wajib karena di kota bisa dijumpai rumah makan dan penginapan/hotel yang musafir bisa singgah ke sana. Adapun di kampung, musafir yang lewat membutuhkan tempat bernaung/singgah.”
Akan tetapi, zahir (lahiriah) hadits bersifat umum, tidak membedakan kota atau kampung. Tamu tetap harus diberi jamuan.
Faedah Hadits
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang sedang kita bicarakan ini memiliki beberapa faedah.
- Seseorang wajib diam selain dalam kebaikan.
Demikian pemahaman dari zahir hadits. Akan tetapi, ada tiga keadaan berkaitan dengan ucapan manusia.
a. Perkataan yang baik, ini yang dituntut untuk diucapkan oleh lisan.
b. Ucapan yang buruk.
b. Ucapan yang buruk.
Hukumnya haram. Seseorang harus menahan
diri darinya, wajib diam tidak mengucapkannya. Sama saja, baik
kejelekannya ada pada ucapan itu sendiri maupun pada dampak yang
ditimbulkan.
c. Ucapan sia-sia (laghwi), yaitu ucapan yang tidak mengandung kebaikan dan kejelekan.
Seseorang tidak diharamkan berucap yang laghwi, namun yang lebih utama adalah ia diam dari berucap yang laghwi.
- Anjuran menjaga lisan.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh Mu’adz ibnu Jabal radhiallahu ‘anhu tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan penjelasan kepadanya dan mengajarinya beberapa hal. Setelahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu:
“Maukah aku beritahukan kepadamu tentang
sesuatu yang menguasai seluruh perkara itu?” “Tentu, wahai Rasulullah,”
kata Mu’adz. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memegang lisannya sendiri seraya berkata, “Tahan ini.”
Mu’adz bertanya,” Wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena ucapan yang kita ucapkan?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu kehilangan kamu[1],
wahai Mu’adz. Bukankah orang yang disungkurkan/ditelungkupkan di atas
wajah-wajah mereka—atau beliau berkata: di atas hidung-hidung mereka—ke
dalam api neraka, melainkan karena ulah lisan-lisan mereka?” (HR. at-Tirmidzi no. 2616, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)
- Wajib memuliakan tetangga.
Bentuk pemuliaan ini kembali kepada
‘urf. Bisa dengan mengunjungi, mengucapkan salam, atau duduk di sisinya.
Pada kesempatan yang lain, ia bisa mengundang tentangganya ke rumah dan
memberi jamuan kepadanya. Bisa pula dengan memberinya hadiah.
- Agama Islam adalah agama yang menginginkan kedekatan dan saling kenal antara satu dan yang lain.
- Wajib memuliakan tamu dengan sesuatu yang dianggap pemuliaan, misalnya berwajah cerah, berseri-seri, memberi senyum, dan menampakkan kegembiraan saat menyambut atau menemuinya, seraya mengatakan misalnya, “Silakan masuk. Saya senang sekali dengan kedatangan Anda.”
Wallahu ta’ala a’lam.
(Dinukil dengan beberapa perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq
al-Atsariyah dari Syarhul Arba’in an-Nawawiyah, karya asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, hlm. 200—204)
[1]
Makna kalimat ini tidaklah seperti zahirnya, yaitu sang ibu kehilangan
putranya. Namun, kalimat ini diucapkan oleh orang Arab untuk memberikan
dorongan.

Anak Lahir di Atas Fitrah
Saya ingin memperoleh perincian dan keterangan serta apa perbedaan kedua hadits ini. Hadits yang mulia menyatakan:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
Hadits lain berbunyi:
يُكْتَبُ رِزْقُهُ وَ عَمَلُهُ وَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْد
“(Untuk janin yang ditiupkan ruhnya
padanya, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada malaikat penjaga
janin agar) janin tersebut dicatat rezekinya, amalnya, dan apakah ia
orang yang sengsara ataukah orang yang berbahagia.”
Jawab:
Pertama, hadits:
Pertama, hadits:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan
di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan lafadz:
كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Adapun al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dengan lafadz:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan
yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang
terpotong telinganya? (Anaknya lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknya lah yang kemudian memotong telinganya, -pen.).”
Makna hadits di atas adalah manusia difitrahkan (memiliki sifat
pembawaan sejak lahir) dengan kuat di atas Islam. Akan tetapi, tentu
harus ada pembelajaran Islam dengan perbuatan/tindakan. Siapa yang Allah
subhanahu wa ta’ala takdirkan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala
akan menyiapkan untuknya orang yang akan mengajarinya jalan petunjuk
sehingga jadilah dia dipersiapkan untuk berbuat (kebaikan).
Sebaliknya, siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala ingin menghinakannya dan mencelakakannya, Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan sebab yang akan mengubahnya dari fitrahnya dan membengkokkan
kelurusannya. Hal ini sebagaimana keterangan yang ada dalam hadits
tentang pengaruh yang dilakukan kedua orang tua terhadap anaknya yang
menjadikan si anak beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Kedua dalam Shahihain dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menceritakan kepada kami, dan beliau adalah orang yang
benar lagi dibenarkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari
kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari
sebagai setetes mani/nuthfah. Kemudian nuthfah tadi menjadi segumpal
darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari.
Lalu diutuslah malaikat kepada janin tersebut dan diitiupkanlah ruh
kepadanya. Malaikat lalu diperintah untuk menulis empat perkara: ditulis
rezeki si janin, ajalnya, amalnya, dan apakah ia orang yang sengsara
ataukah orang yang berbahagia. Maka demi Allah yang tidak ada sesembahan
yang patut disembah selain-Nya, sungguh salah seorang dari kalian
melakukan amalan ahlul jannah hingga tidaklah antara dia dan surga
melainkan tinggal sehasta, namun catatannya telah mendahuluinya (bahwa
dia bukanlah ahlul jannah) lalu ia berbuat dengan perbuatan ahlul
nar/neraka maka ia pun masuk neraka. Ada pula salah seorang dari kalian
melakukan perbuatan ahlul nar hingga tidaklah jarak dia dengan neraka
kecuali tinggal sehasta namun catatannya telah mendahuluinya (bahwa dia
bukanlah ahlun nar tapi ahlul jannah) maka pada akhirnya ia beramal
dengan amalannya ahlul jannah lalu ia pun masuk jannah.”
Kesengsaraan dan kebahagiaan yang telah
dicatat tersebut adalah penulisan azali (sejak dahulu, sebelum makhluk
diciptakan) dengan tinjauan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang azali (yakni Allah subhanahu wa ta’ala
sudah mengetahui dan menetapkan bahwa si hamba termasuk orang yang
bahagia dengan beroleh surga atau termasuk orang yang celaka dengan
masuk neraka, jauh sebelum si hamba diciptakan bahkan sebelum semua
makhluk diciptakan, -pen.) dan akhir amalan seorang hamba sesuai dengan
ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang azali (sengsarakah dia ataukah bahagia?)
Ketiga, melihat pertanyaan yang ada
(seolah-olah menganggap kedua hadits di atas bertentangan), dengan
merenungkan makna hadits yang pertama dan kedua akan jelas keduanya
tidak bertentangan.
Hal ini karena manusia terfitrah dengan kuat di atas kebaikan. Jika dalam ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, ia termasuk golongan orang-orang yang berbahagia dan kebahagiaan inilah yang ditetapkan pada akhir hidupnya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menyiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Namun, jika dalam ilmu Allah subhanahu wa ta’ala ia termasuk golongan orang-orang yang celaka, Allah subhanahu wa ta’ala
akan menggiring untuknya orang yang akan memalingkannya dari jalan
kebaikan dan menyertainya pada jalan kejelekan, mendorongnya di atas
kejelekan dan terus-menerus mendampinginya hingga ditutup umurnya dengan
penutup yang jelek.
Sungguh, banyak nash menyebutkan adanya
penulisan takdir yang telah terdahulu yang berisi ketentuan golongan
yang berbahagia dan yang sengsara.
Di dalam ash-Shahihain dari Ali radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Tidak ada satu jiwa pun melainkan
Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan tempatnya di surga atau di
neraka dan telah dicatat baginya kesengsaraan atau kebahagiaannya.
Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita pasrah
saja dengan apa yang telah ditulis untuk kita dan tidak perlu beramal?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beramallah kalian
karena setiap orang akan dimudahkan kepada apa yang dia diciptakan
untuknya. Golongan yang berbahagia akan dimudahkan untuk beramal dengan
amalan orang-orang yang berbahagia. Adapun golongan yang celaka akan
dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
“Adapun orang-orang yang suka memberi lagi bertakwa. Dia juga membenarkan surga/pahala yang baik…” (al-Lail: 5—6).”
Hadits ini menunjukkan bahwa kebahagiaan
dan kecelakaan telah tercatat dalam kitab/catatan takdir. Diperolehnya
kebahagiaan dan kesengsaraan itu sesuai dengan amalan. Masing-masing
orang akan dimudahkan melakukan amalan yang telah ditentukan/diciptakan
untuknya, yang hal itu merupakan sebab kebahagiaan dan kesengsaraannya. Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 6334, 3/525—527)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Hukum Perayaan Ulang Tahun
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai[1] oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjawab beberapa pertanyaan berikut ini.
Ada saudara-saudara kami, kaum muslimin,
yang menyelenggarakan perayaan ulang tahun untuk diri mereka dan
anak-anak mereka. Apa sebenarnya pandangan Islam dalam masalah “ulang
tahun” ini?
Jawab:
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di atas nash (dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih:
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di atas nash (dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu
dalam perkara kami ini padahal bukan bagian darinya maka amalan yang
diada-adakan itu tertolak.”
Demikian pula sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ علَيْهَا أمرنا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak.”
Perayaan ulang tahun adalah satu macam ibadah yang diada-adakan dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan demikian, memperingati ulang tahun siapa pun tidak boleh
dilakukan, bagaimanapun kedudukan atau perannya dalam kehidupan ini.
Makhluk yang paling mulia dan rasul yang paling afdhal yaitu Muhammad
ibnu Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah dihafal berita dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perayaan hari kelahirannya. Tidak pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi arahan kepada umatnya untuk merayakan dan memperingati ulang tahun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, orang-orang yang paling afdhal dari umat ini setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para khalifah umat ini dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada berita bahwa mereka memperingati ulang tahunnya atau ulang tahun salah seorang dari mereka, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya.
Perlu selalu dicamkan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk
mereka dan mengikuti urusan yang lurus/tegak yang diperoleh dari
madrasah Nabi mereka. Ditambah lagi, dalam bid’ah yang satu ini ada
unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai) perbuatan Yahudi dan Nasrani, serta
orang-orang kafir selain mereka dalam hal perayaan-perayaan yang mereka
ada-adakan. Wallahul musta’an.
(Fatwa no. 2008, kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’, 3/83—84)
(Fatwa no. 2008, kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’, 3/83—84)
Istri saya biasa mengadakan acara tahunan untuk putra saya bertepatan
dengan hari kelahirannya yang diistilahkan hari ulang tahun. Dalam acara
ini disediakan beraneka makanan dan diletakkan lilin (di atas kue tart)
sejumlah umur si anak. Di awal acara, si anak diminta meniup semua
lilin yang dinyalakan tersebut, setelahnya barulah acara dimulai. Apa
hukum syariat dalam perbuatan semacam ini?
Jawab:
Tidak boleh membuat acara ulang tahun untuk seorang pun karena hal itu bid’ah, padahal telah pasti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tidak boleh membuat acara ulang tahun untuk seorang pun karena hal itu bid’ah, padahal telah pasti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-adakan dalam urusan/perintah/perkara kami ini apa yang bukan bagiannya maka yang diada-adakan itu tertolak.”
Juga karena acara ulang tahun itu tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 5289)
Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 5289)
[1] Wakil Ketua: asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Anggota: asy-Syaikh Abdullah ibnu Ghudayyan dan asy-Syaikh Abdullah ibnu Qu’ud.

Arti Penting Wanita dalam Kehidupan
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang
paling mulia, keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang
berjalan mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
Di dalam Islam, wanita muslimah memiliki
kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang besar bagi kehidupan setiap
muslim. Dia merupakan madrasah atau sekolah yang pertama dalam membangun
masyarakat yang saleh, jika si wanita berjalan di atas petunjuk
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena berpegang dengan keduanya akan
menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan umat dan penyimpangannya tidak akan terjadi melainkan dengan
menjauhkan wanita dari bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala serta dari wahyu yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا؛ كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِي
“Aku tinggalkan di tengah kalian dua
hal yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan
keduanya: Kitabullah dan sunnahku.”
Al-Qur’anul Karim menyebutkan arti penting seorang wanita, baik sebagai
ibu, istri, saudara perempuan, maupun anak perempuan. Di samping
menyebutkan hak dan kewajiban mereka, As-Sunnah yang suci juga merinci
hal tersebut.
Kepayahan dan beban yang mereka tanggung sebagiannya melebihi beban
lelaki. Oleh karena itu, kewajiban yang paling penting bagi seseorang
(setelah menunaikan kewajiban kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya) adalah bersyukur kepada ibu, berbakti, dan berbuat baik
kepadanya. Kewajiban kepada ibu ini didahulukan daripada kepada ayah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua
orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua ibu
bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya
dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat
puluh tahun, ia berdoa, “Duhai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku,
serta supaya aku dapat beramal saleh yang Engkau ridhai. Berilah
kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk
orang-orang yang berserah diri.” (al-Ahqaf: 15)
Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling berhak untuk aku berlaku baik kepadanya?” Beliau menjawab,
“Ibumu.” “Kemudian siapa ?” tanya si lelaki. “Ibumu,” jawab Rasulullah.
“Lalu siapa lagi?” tanya orang itu lagi. “Ibumu,” jawab Rasulullah untuk
ketiga kalinya. Saat orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasulullah
mengatakan, “Ayahmu.”
Berdasar hadits di atas, hak ibu untuk mendapatkan kebaikan dari anaknya tiga kali lipat daripada hak ayah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyinggung peran seorang istri dalam kehidupan seorang lelaki.
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian
sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antara kalian ada rasa kasih dan sayang (mawaddah wa
rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala
di atas, “Mawaddah adalah mahabbah (cinta), sedangkan rahmah adalah
kasih sayang. Hal ini karena seorang lelaki menahan seorang wanita
(untuk tetap hidup bersamanya sebagai istri) mungkin karena ia mencintai
si wanita atau ia menyayanginya karena mendapatkan anak dari si
wanita.” (Tafsir Ibni Katsir)
Sungguh, peran tiada banding telah
dilakukan seorang istri yang namanya harum sepanjang sejarah perjalanan
anak manusia, Khadijah bintu Khuwailid, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya. Sosok istri yang terus dikenang oleh Khairul Anam, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menenangkan rasa takut yang sempat menyergap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Jibril turun membawa wahyu pertama kali kepada beliau di Gua Hira. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui istrinya dalam keadaan gemetar seraya memerintahkan, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.”
Mengalirlah tutur kata penuh kebaikan
dari lisan Khadijah, membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak,
demi Allah! Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya
engkau adalah orang yang suka menyambung kekerabatan, menanggung beban
orang yang kesusahan, memberi harta kepada orang yang tidak memiliki,
menjamu tamu, dan membantu orang yang membela kebenaran.”
Dalam bidang ilmu dan dakwah, kita tidak lupa dengan peran ash-Shiddiqah Aisyah bintu ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang tokoh-tokoh sahabat banyak mengambil hadits darinya. Demikian pula
kebanyakan wanita mengambil hukum-hukum yang berkaitan dengan diri
mereka dari Aisyah radhiallahu ‘anha.
Pada masa lalu yang tidak terlalu jauh dari kita, di zaman al-Imam Muhammad ibnu Su’ud rahimahullah, istrinya menasihatinya agar menerima dakwah al-Imam al-Mujaddid Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, tatkala beliau menawarkan dakwahnya kepada Ibnu Su’ud[1].
Nasihat sang istri kepada sang suami ini sungguh berpengaruh besar
dalam terjalinnya kesepakatan antara keduanya untuk memperbarui dakwah
dan menyebarkannya. Sekarang kita bisa merasakan, alhamdulillah,
pengaruh dakwah tersebut dengan tertancapnya akidah tauhid pada
anak-anak jazirah ini.
Tidak pula saya sangsikan bahwa ibu saya
memiliki keutamaan yang besar dan pengaruh yang tidak kecil dalam
mendorong saya untuk belajar dan membantu saya dalam menuntut ilmu.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melipatgandakan pahala bagi beliau atas kebaikan yang diberikannya kepada saya.
Sebagai akhir, tidak pula kita ragukan
bahwa rumah yang dipenuhi dengan mawaddah, mahabbah, kasih sayang, dan
tarbiyah Islamiah akan memberikan pengaruh bagi seseorang. Dengan izin
Allah subhanahu wa ta’ala, orang tersebut akan diberi taufik
dalam urusannya, sukses dalam pekerjaan apa saja yang dia upayakan, baik
dalam menuntut ilmu, usaha perdagangan, perkebunan, maupun pekerjaan
lainnya.
Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala
saya memohon agar memberi taufik kepada semuanya kepada apa yang
dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabi kita Muhammad, segenap keluarga, dan para sahabatnya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(Disusun kembali dengan sedikit
perubahan/tambahan dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh
Ibnu Baz, 3/348—350, oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Ditulis oleh: Samahatul Walid al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah
[1] Dikisahkan, tatkala asy-Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah
meninggalkan negeri Uyainah atas permintaan penguasanya karena tak
kuasa memberikan pembelaan kepada beliau dan dakwah tauhid yang beliau
serukan, beliau menuju ke negeri Dir’iyah, tempat tinggal salah seorang
murid terbaiknya, Ibnu Suwailim. Menerima kedatangan sang guru, Ibnu
Suwailim merasa takut dan gelisah. Ia mengkhawatirkan keselamatan diri
dan gurunya dari ancaman penduduk negeri yang tidak senang dengan dakwah
tauhid yang beliau tegakkan. Namun, asy-Syaikh menenangkan si murid,
mengajaknya bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan menjanjikan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala
bagi orang yang mau menolong agama-Nya. Dalam keadaan demikian, sampai
kabar tentang asy-Syaikh kepada istri penguasa Dir’iyah, Muhammad ibnu
Su’ud. Wanita salehah ini menawari suaminya untuk memberikan bantuan
kepada asy-Syaikh. Ia juga mengingatkan suaminya bahwa kedatangan
asy-Syaikh ke negeri mereka adalah nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang digiring oleh Allah subhanahu wa ta’ala
untuknya sehingga sepatutnya bersegera merangkulnya. Si istri ini
menyusupkan ketenangan kepada suaminya, membuat suaminya mencintai
dakwah asy-Syaikh sekaligus pribadi beliau. Sang suami yang menjabat
penguasa ini akhirnya berkata, “Biar dia yang datang kepadaku.”
Istrinya berkata, “Justru hendaknya
engkau yang pergi menemuinya. Kalau engkau mengirim orang untuk
menyuruhnya mendatangimu, bisa jadi orang-orang akan berkata bahwa amir
mencarinya untuk menangkap dan menghukumnya. Namun, kalau engkau yang
pergi menemuinya, hal itu merupakan kemuliaan baginya dan bagimu.”
Akhirnya, pergilah sang amir menemui asy-Syaikh di rumah muridnya.

Saat Terjadi Pertikaian
Hidup berumah tangga tak selamanya
berjalan mulus tanpa masalah. Bahkan, masalah pasti muncul saat dua
insan telah mengikat perjanjian suci yang dinyatakan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an sebagai mitsaqan ghalizha1. Sudah
menjadi kemestian bahwa menikah dan hidup bersama, seatap, bahkan satu
selimut dengan anak manusia yang memiliki sifat banyak kesalahan dan
khilaf, pasti suatu saat memunculkan persoalan, kecil atau besar, remeh
atau berat. Hanya di surga kelak barulah didapatkan rumah tangga tanpa
problem, selalu seia sekata dalam limpahan nikmat yang tiada
berkesudahan dari Sang Pemberi kenikmatan, Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun rumah tangga di dunia sebagaimana yang kita maklumi….
Namun, sebenarnya jika pihak suami dan istri menunaikan dengan
semestinya kewajiban yang dituntut darinya dan tidak berlebihan menuntut
haknya, niscaya tidak ada kesempatan munculnya perselisihan yang
membahayakan keutuhan rumah tangga. Yang ada hanyalah kebersamaan
sepasang insan, suami istri, yang bahagia dengan sedikit riak-riak
kehidupan sebagai bumbu pernikahan. Akan tetapi, sekali lagi, hidup
mesti tak lepas dari masalah karena kesempurnaan hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala.
Bagaimanapun seorang suami atau seorang istri berupaya agar tidak
timbul persoalan dalam kebersamaan mereka, terkadang tetap saja ada
permasalahan. Demikianlah manusia dengan sifat lemah dan kurang yang
dimilikinya.
Lalu bagaimana cara kita bersikap saat muncul persoalan, pertikaian, atau percekcokan?
Ada beberapa hal yang sebaiknya ditempuh saat terjadi permasalahan/pertikaian dalam rumah tangga, sebagaimana dinasihatkan oleh ahlul ilmi. Berikut ini kami paparkan sebagiannya kepada pembaca yang mulia.
Ada beberapa hal yang sebaiknya ditempuh saat terjadi permasalahan/pertikaian dalam rumah tangga, sebagaimana dinasihatkan oleh ahlul ilmi. Berikut ini kami paparkan sebagiannya kepada pembaca yang mulia.
- Setiap pihak—dalam hal ini suami dan istri—harus berhias dengan kesabaran, tabah menahan diri, dan tidak serampangan/tergesa-gesa bertindak ketika sedang marah dan emosi.
Terlebih seorang istri, hendaknya ia
tidak membantah/menjawab seluruh kalimat yang dilemparkan suaminya
kepadanya saat marah. Demikian pula suami, ia harus bisa menahan diri
sehingga tidak mengucapkan kalimat yang menyakiti hati istrinya, atau
melontarkan cacian dan celaan yang dapat menorehkan luka.
- Suami hendaknya meninggalkan kamar/ruangan tempat terjadinya perselisihan atau pertengkaran.
Jika memang terpaksa ia harus keluar
rumah, itu lebih baik hingga urat sarafnya yang tegang kembali tenang
dan marahnya reda. Urusan pun kembali berjalan pada posisinya yang
normal. Jika si suami kembali ke rumahnya, hendaknya ia tidak lupa
menunaikan hak seorang muslim terhadap muslim yang lain,2 apalagi si
muslim itu adalah istrinya sendiri. Di samping itu, ia juga menjalankan
adab ketika masuk rumah, yaitu mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh.” Mendapatkan ucapan salam demikian, maka
seorang istri hendaklah mengingat kewajibannya kepada saudaranya
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Lima hal yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim terhadap
saudaranya, yaitu menjawab salam, mendoakan, “Yarhamukallah” kepada
orang yang bersin (yang memuji Allah ketika bersinnya), memenuhi
undangan, menjenguk orang yang sakit, dan mengikuti jenazah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jadi, ia tetap menjawab salam suaminya walaupun sedang marahan
dengannya. Tentu sebagai penyerta ucapan salam, hendaknya keduanya
saling memberikan senyuman kecil, karena tidak mungkin kalimat yang
berisi doa dan salam kedamaian ini diucapkan dengan wajah cemberut.
Semestinya senyuman yang tersungging dari keduanya ini dapat mengetuk
hati yang terkunci karena emosi, meredam marah, bahkan menghilangkannya,
dan berujung dengan berakhirnya percekcokan. Ini adalah langkah awal
untuk menyelesaikan permasalahan.
Mungkin kita masih ingat akan kisah yang pernah terjadi di zaman nubuwwah, pada rumah tangga putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, Fathimah az-Zahra radhiallahu ‘anhu dan suaminya yang mulia, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ketika ada percekcokan antara keduanya, Ali radhiallahu ‘anhu keluar dari rumahnya, meninggalkan istrinya. Untuk lebih lengkapnya kita baca haditsnya.
Sahl ibnu Sa’d as-Sa’idi radhiallahu ‘anhu berkata:
“Nama yang paling dicintai oleh Ali
radhiallahu ‘anhu adalah Abu Turab, dia senang jika dipanggil dengan
sebutan itu. Yang menyebutnya dengan Abu Turab tidak lain adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari Ali saling bermarahan dengan
istrinya Fathimah. Ali pun keluar dari rumahnya lalu pergi ke masjid dan
berbaring di dekat dindingnya. Datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyusul Ali setelah beliau tidak mendapatinya di rumahnya.
Ketika beliau menanyakan keberadaan Ali, orang pun menunjukkan, “Dia
sedang berbaring dekat dinding.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang mendekat kepada Ali sementara punggung Ali penuh dengan debu atau
tanah. Mulailah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu
tersebut dari punggung Ali seraya berkata, “Duduklah, wahai Abu Turab!” (HR. al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya)
- Saat terjadi perselisihan dan kemarahan, seorang suami tidak boleh berpikir untuk bercerai.
Keinginan bercerai ini harus dijauhkan
dari benaknya karena setan bisa mengambil kesempatan dalam keadaan si
insan labil akibat kemarahan seperti ini. Jika bisikan setan dituruti,
dilakukanlah tindakan dan dijatuhkanlah keputusan yang tidak akan
diambil saat hati itu tenang dan keadaan stabil. Akhirnya, sesal datang
kemudian, ketika penyesalan tidak lagi berguna.
Perceraian adalah jalan keluar terakhir
yang diberikan oleh Islam saat hidup bersama sebagai sepasang suami
istri tidak mungkin lagi diteruskan dan mustahil tetap dipertahankan.
Perceraian bukanlah pedang atau cambuk yang dilecutkan kepada istri
setiap kali si suami marah. Bahkan, termasuk kedunguan jika ada orang
yang menyangka bahwa perceraian adalah solusi dari problemnya, padahal
masih mungkin ditempuh cara-cara lain yang positif.
- Seorang istri yang dijatuhi talak satu atau dua oleh suaminya, hendaknya tidak berkeinginan keluar dari rumah suaminya lalu tinggal di rumah orang tua/keluarganya selama masih dalam masa iddah, walaupun suami yang menyuruhnya pergi/mengusirnya dalam keadaan marah.
Tuntutan suami itu tidaklah benar. Akan tetapi, emosi dan kemarahan telah membutakan dan menghilangkan kesadarannya3.
Oleh sebab itu, si istri tidak boleh
terpengaruh oleh emosi suami. Tetaplah ia diam di rumah suaminya dan
tidak keluar darinya. Keluar meninggalkan rumah suami adalah urusan yang
mudah dilakukan. Keputusannya ada di tangan istri. Akan tetapi, kembali
ke rumah suami, bersatu kembali dalam kedamaian setelah meninggalkannya
adalah urusan yang sulit karena keputusannya bukan di tangan istri,
tetapi di tangan suami. Jika sebuah urusan berada di tangan orang lain,
tentu tidak mudah bertindak-tanduk di dalamnya.
Di sisi lain, diimbau kepada istri untuk tidak bermudah-mudah meminta cerai dari suami ketika ada percekcokan.
- Ketika seorang suami melihat kekurangan istrinya dalam menunaikan
kewajibannya dan memenuhi kebutuhan suaminya, seharusnya suami menyadari
bahwa istri yang sempurna tidak ada di dunia, hanya ada di akhirat
saja.
Bagaimanapun sempurnanya seorang wanita, pasti ia memiliki kekurangan. Oleh karena itu, suami hendaklah melihat sisi-sisi positif yang ada pada istrinya dan memandang celah-celah kebaikan pada istrinya. Inilah makna bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia:
“Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah. Jika ia membenci satu perangai dari si mukminah,
niscaya ia akan ridha dengan perangainya yang lain.” (HR. al-Imam Muslim
dalam Shahih-nya)
Suami hendaknya mengingat bahwa wanita itu diciptakan dari tulang rusuk,
padahal sifat tulang rusuk itu bengkok. Maka dari itu, mau tidak mau,
suami bernikmat-nikmat dan bersenang-senang dengan istrinya di atas
kebengkokan yang merupakan tabiatnya. Jika suami menuntut, hal itu akan
mematahkannya. Patahnya adalah menalaknya4. Padahal menalaknya akan
memberi mudarat bagi suami dan istri sekaligus, di samping mudarat bagi
masyarakat. Namun, jika ada kebutuhan darurat yang syar’i, barulah
ditempuh jalan perpisahan.
- Seorang istri tidak boleh menceritakan masalah yang terjadi antara
dia dan suaminya kepada ayahnya, ibunya, salah seorang kerabatnya, atau
kerabat suami.
Hal ini akan memperluas/memperuncing masalah dan membuat keluarga istri tidak suka kepada si suami. Di sisi lain, istri juga tidak beroleh faedah apapun selain pandangan kebencian keluarganya kepada suaminya. Perselisihan yang ada juga akan terus diingat, tidak bisa dilupakan.
Beda halnya jika pertikaian dijaga hanya berputar di dalam rumah, tidak
diketahui pihak luar, niscaya akan berakhir dan terlupakan bersama
dengan terjadinya perdamaian antara keduanya atau saat tersungging
senyuman dari salah satunya kepada yang lain.
Dengan demikian, tidak sepantasnya istri menceritakan
persoalan/percekcokannya dengan suaminya kepada keluarganya, apa pun
bentuk masalahnya, selama si istri ingin tetap hidup bersama suaminya.
Bahkan, sampaipun hidup bersama tidak mungkin lagi diharapkan, bahtera
tidak mungkin lagi diselamatkan, dan jatuh keputusan akhir harus
bercerai dengan sang suami, si istri tetap tidak boleh menceritakannya.
Maka dari itu, tidak sepantasnya seorang istri menyebarkan keburukan
mantan suaminya, berbuat jelek kepadanya, dan membongkar
aib/cacat/celanya sehingga menjatuhkan nama baiknya. Perbuatan seperti
ini berarti merobek tabir yang ditutupkan Allah subhanahu wa ta’ala
kepada keduanya. Di samping itu, seorang muslim juga diperintah untuk
menutup aib saudaranya. Perbuatan ini juga merupakan sikap penentangan
terhadap ikatan kuat yang pernah terjalin di antara keduanya, padahal
Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan:
“Janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian.” (al-Baqarah: 237)
Maksudnya, janganlah kalian melupakan kebaikan di antara kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/378)
Maksudnya, janganlah kalian melupakan kebaikan di antara kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/378)
- Tidak sepantasnya suami memberitakan kepada keluarganya atau kepada keluarga istrinya tentang apa yang terjadi antara dia dan istrinya. Ia juga tidak boleh mengadukan istri kepada pihak keluarga istri.
Problem yang ada adalah problemnya, dan
dia sendiri yang harus menghadapinya. Tidak boleh ia melibatkan orang
lain ke dalam masalahnya.
- Ketika seorang istri melihat atau menangkap satu tanda dari suaminya yang menunjukkan si suami ingin berdamai atau baikan kembali, hendaknya istri saat itu juga dengan segera menyambut ajakan atau isyarat damai tersebut. Istri hendaknya bersyukur dengan baiknya tabiat suaminya.
Demikian pula, seorang suami seharusnya menerima upaya apa pun yang
dilakukan oleh istri guna mencari keridhaannya, selama tidak melanggar
keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, atau selama upaya tersebut
merupakan hal yang ma’ruf (baik), bukan yang mungkar. Suami hendaknya
juga mensyukuri upaya sang istri tersebut.
Demikian sedikit bimbingan saat terjadi pertikaian…
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi kalian berdua dan mengumpulkan kalian selalu dalam kebaikan. Wallahu a’lam bish-shawab. (Disarikan dari Risalah ilal ‘Arusin wa Nashihah liz Zaujain)
Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq alAtsariyah

Imam Shalat ditempat yang Lebih Tinggi
Bagaimana kedudukan hadits tentang
larangan imam lebih tinggi dari makmum di terjemahan Nailul Authar? Ana
benar-benar ingin tahu. Syukran.
Sugeng—Surabaya (0317708xxxx)
Jawab:
Posisi imam yang berada di tempat yang lebih tinggi dari makmum telah dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini terdapat beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
Posisi imam yang berada di tempat yang lebih tinggi dari makmum telah dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini terdapat beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
Dari Hammam bahwasanya sahabat
Hudzaifah radhiallahu ‘anhuma mengimami orang-orang di kota Mada’in di
atas tempat yang lebih tinggi. Sahabat Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu lalu
memegang bajunya dan menariknya. Ketika selesai dari shalatnya Abu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidakkah kamu tahu bahwa mereka
melarang dari perbuatan itu?” Hudzaifah menjawab, “Ya, aku baru ingat
ketika engkau menarikku.” (Sahih, HR. Abu Dawud 1/163 no. 597 dan disahihkan oleh al-Albani)
Dari Adi bin Tsabit al-Anshari, seseorang telah memberitahukan kepadaku bahwa ia bersama ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu
di kota Mada’in. Kemudian dikumandangkan iqamat. Lalu ‘Ammar maju dan
berdiri di atas tempat yang lebih tinggi melakukan shalat, sementara
orang-orang di bawah. Hudzaifah radhiallahu ‘anhu pun maju lalu
menarik dua tangannya hingga ‘Ammar mengikutinya sampai Hudzaifah
menurunkannya. Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya Hudzaifah berkata,
“Tidakkah kamu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, ‘Bilamana seseorang mengimami sebuah kaum, janganlah ia
berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat mereka atau semakna
dengan itu.’ Ammar pun berkata, ‘Karena itulah saya menuruti engkau
ketika kamu memegang tanganku’.” (Hasan, HR. Abu Dawud, 1/163 no. 598,
dihasankan oleh al-Albani dengan dukungan riwayat sebelumnya secara
global)
Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah melarang imam untuk berdiri di atas sesuatu sementara
orang-orang di belakangnya lebih rendah darinya.” (Hasan, HR.
ad-Daruquthni, dihasankan oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah no. 281)
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, seorang imam tidak diperbolehkan
berada pada tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Inilah yang
kemudian dipegangi oleh beberapa ulama, di antaranya sahabat Ibnu
Mas’ud, an-Nakha’i, ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, al-Auza’i, dan Ahmad
dalam salah satu riwayat dari beliau sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Rajab1 dalam kitab Fathul Bari.
Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm (hlm. 310, cet. Qutaibah). Beliau rahimahullah
berkata, “Kalau imam pernah mengajari orang shalat (yakni dengan
berdiri di tempat yang tinggi) satu kali, saya menyukai baginya (setelah
itu) untuk shalat sejajar dengan makmum. Hal ini karena tidak pernah
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau shalat di atas mimbarnya2, melainkan hanya satu kali. Tempat
beliau selain waktu itu adalah di atas tanah bersama para makmum. Oleh
karena itu, yang dipilih adalah imam sejajar dengan makmum. Seandainya
lebih tinggi atau lebih rendah, shalatnya dan shalat mereka tidak rusak
(tetap sah).”
Adapun kadar ketinggian yang dimaksud adalah, “Setiap tempat yang sah
untuk dikatakan—menurut bahasa dan kebiasaan—bahwa yang demikian lebih
tinggi dari tempat makmum maka itu terlarang.” Demikian penjelasan
asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab ats-Tsamarul Mustathab.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ukuran yang terlarang adalah jika
melebihi tinggi postur tubuh menusia. Jika kurang dari itu
diperbolehkan. Kembali asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
mengatakan bahwa perincian yang semacam itu tidak ada dalilnya dalam
hadits. Itu hanya sekadar pendapat akal. Oleh karena itu, asy-Syaukani rahimahullah
mengatakan setelah menyebutkan pendapat-pendapat ulama dalam hal
perbedaan kadar tinggi tersebut bahwa kesimpulan dari dalil-dalil
tersebut adalah dilarangnya imam lebih tinggi dari makmum tanpa adanya
perbedaan antara di masjid dan di tempat lain, tanpa perbedaan antara
setinggi postur tubuh manusia, kurang atau lebih dari itu.
Sebagian ulama belakangan berfatwa bahwa jika lebih tinggi sedikit
diperbolehkan, sebagaimana pendapat mazhab Hanbali dan Maliki. (Majmu
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Liqa Bab Maftuh dan Fiqh Islami wa
Adillatuhu)
Namun, fatwa dan pendapat ini juga lemah jika kita menengok keterangan di atas.
Bilamana bersama imam pada tempat yang tinggi tersebut ada sebagian shaf makmum, hal ini diperbolehkan karena imam saat itu tidak menyendiri di tempat tersebut. Ini semakna dengan yang disebutkan dalam kitab al-Inshaf karya al-Mirdawi rahimahullah dan kemudian difatwakan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Ibnu Utsaimin rahimahullah. (al-Imamah fish Shalah, al-Qahthani, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, dan Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin)
Bilamana bersama imam pada tempat yang tinggi tersebut ada sebagian shaf makmum, hal ini diperbolehkan karena imam saat itu tidak menyendiri di tempat tersebut. Ini semakna dengan yang disebutkan dalam kitab al-Inshaf karya al-Mirdawi rahimahullah dan kemudian difatwakan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Ibnu Utsaimin rahimahullah. (al-Imamah fish Shalah, al-Qahthani, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, dan Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin)
Hukum di atas berlaku bilamana tidak ada maslahat dan kepentingan saat
imam berposisi lebih tinggi dari makmum. Adapun jika ada maslahat untuk
mengajari orang shalat dengan praktik langsung, hal ini diperbolehkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah shalat di atas mimbar sebagaimana dalam hadits berikut.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus (seseorang) kepada Fulanah—seorang wanita yang telah
disebut namanya oleh Sahl (bin Sa’d) radhiallahu ‘anhu—, “Perintahlah
budakmu yang tukang kayu untuk membuatkan bangunan kayu untuk aku duduk
di atasnya ketika aku berceramah di hadapan manusia.” Kemudian wanita
itu memerintahkannya sehingga ia membuatnya dari tharfa’ (sejenis pohon
cemara) di daerah al-Ghabah lalu dia bawa. Wanita itu mengutus seseorang
untuk membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar mimbar
tersebut diletakkan di sini. Setelah itu, aku melihat beliau shalat di
atas mimbar tersebut. Beliau bertakbir di atasnya, kemudian ruku’ di
atasnya, kemudian turun mundur lalu sujud di dasar mimbar. Setelah itu
beliau kembali lagi. Setelah selesai, beliau menghadap kepada manusia
lalu berkata, “Wahai manusia, aku melakukan hal ini hanya agar kalian
mengikuti aku dan kalian mempelajari shalatku.” (Shahih, Muttafaqun ‘alaihi dari sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu)
Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Jika seseorang menjadi imam
lalu dia shalat sebagai imam orang-orang yang baru masuk Islam sehingga
ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum untuk mengajari
mereka hukum-hukum shalat yang langsung dilihat mata, hal itu
diperbolehkan sesuai dengan hadits sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu.
Tetapi, kalau alasan ini tidak ada, janganlah ia shalat di tempat yang
lebih tinggi dari tempat makmum, sesuai dengan hadits dari sahabat Abu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Dengan demikian, kedua hadits itu tidak bertentangan dan saling membantah. (Shahih Ibnu Hibban)
Pendapat lain dalam masalah ini adalah membolehkan imam lebih tinggi
dari makmum secara mutlak. Ini adalah salah satu riwayat dari al-Imam
Ahmad, Ibnu Hazm, dan ad-Darimi (Shahih al-Bukhari, Fathul Bari karya
Ibnu Rajab, dan ats-Tsamarul Mustathab).
Ibnu Rajab rahimahullah berkomentar, “Pendapat ini sangat aneh
dari al-Imam Ahmad. Tidak dikenal pendapat ini dari beliau selain
melalui jalur ini, dan Ibnu Hazm rahimahullah bersandar
padanya. Mereka menukilkan dari Ahmad bolehnya seorang imam di tempat
yang lebih tinggi dari makmum. Hal ini bertentangan dengan mazhab beliau
yang sudah tersebar (dalam hal ini), yang telah dinukil oleh para
pengikut mazhab beliau di kitab-kitab mereka, serta disebutkan oleh
al-Khiraqi dan yang setelahnya. Demikian juga, Hanbal dan Ya’qub bin
Bakhtan menukilkan dari Ahmad bahwa beliau berkata, ‘Janganlah tempat
imam lebih tinggi dari tempat orang yang di belakangnya. Akan tetapi,
tidak mengapa yang di belakangnya lebih tinggi’.” (Fathul Bari)
Dalam kitab bermazhab Hanbali pula, al-Inshaf, disebutkan bahwa yang benar dalam mazhab Hanbali adalah tidak boleh.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan tentang pendalilan mereka dengan hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas mimbar untuk mendasari pendapat mereka, “Hal ini adalah
pendalilan yang aneh dari para imam tersebut. Keherananku hampir-hampir
tidak habis. Bagaimana bisa mereka berdalil untuk membolehkan hal itu
secara mutlak, padahal perbuatan beliau itu (jelas-jelas) terkait dengan
pengajaran, sebagaimana ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.” (ats-Tsamarul Mustathab)
Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah pun sebelumnya telah membantah pendapat tersebut, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.
Tempat Makmum Boleh Lebih Tinggi dari Imam
Secara ringkas tempat makmum boleh lebih tinggi dari imam. Hal itu pernah dilakukan oleh Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma.
“Abu Hurairah shalat di lantai atas
masjid dengan shalatnya imam (mengikuti imam).” (Riwayat al-Bukhari
secara mu’allaq dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’ radhiallahu ‘anhu
di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi postur tubuh
manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas
radhiallahu ‘anhu mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut
dan menjadi makmum. (Riwayat Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam kitab
al-Muntaqa, dan al-Imam Ahmad berdalil dengannya sebagaimana kata Ibnu
Rajab dalam Fathul Bari)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Shalat pada tempat yang
dibangun di atas tanah semacam sebuah ruangan di masjid atau di atas
loteng masjid, semuanya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini
tanpa ada perbedaan, kecuali pada beberapa permasalahan yang
diperselisihkan.” (Fathul Bari)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Adapun tinggi (tempat)
makmum jika berlebihan yang lebih dari 300 hasta sehingga makmum tidak
mungkin mengetahui gerakan imam, hal itu dilarang menurut kesepakatan
ulama, tanpa ada perbedaan antara masjid dan yang lain. Adapun kurang
dari ukuran tersebut, pada asalnya boleh, sampai adanya dalil yang
melarang. Hal yang mendukung hukum asal ini adalah perbuatan Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu tersebut dan tidak ada yang mengingkarinya.”
Namun, apakah kebolehan ini secara
mutlak atau saat keadaan menuntut demikian dengan tetap memerhatikan
aturan-aturan shaf/barisan shalat?
Di sini terjadi perbedaan pendapat. Yang kuat/rajih dari dua pendapat yang ada adalah yang kedua.
Al-Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Seseorang shalat di atas loteng bermakmum dengan imam?”
Beliau menjawab, “Jika antara dia dengan imamnya ada jalan atau sungai, tidak boleh.”
Beliau ditanya lagi, “Anas (bin Malik) shalat Jum’at di loteng.”
Beliau ditanya lagi, “Anas (bin Malik) shalat Jum’at di loteng.”
Beliau menjawab, “Pada hari Jum’at tidak ada jalan orang-orang.”
Beliau memaksudkan bahwa pada hari Jumat jalan-jalan penuh dengan orang-orang sehingga shaf-shaf bersambung. Demikian penjelasan Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.
Beliau memaksudkan bahwa pada hari Jumat jalan-jalan penuh dengan orang-orang sehingga shaf-shaf bersambung. Demikian penjelasan Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Atsar-atsar yang
lain dari Umar, asy-Sya’bi, dan Ibrahim an-Nakha’i dalam kitab Ibnu Abi
Syaibah (2/223) dan Abdurrazzaq (3/81—82), menyebutkan hal itu tidak
boleh jika antara dia dengan imam ada jalan dan yang semacamnya.
Bisa jadi, apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat yang pertama (semacam perbuatan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
dipahami bahwa itu saat ada uzur/alasan, seperti penuhnya masjid,
sebagaimana ucapan Hisyam bin Urwah, “Suatu saat aku bersama ayahku
datang (ke masjid). Ternyata kami dapati masjid telah penuh. Kami pun
tetap shalat bersama imam di sebuah rumah di sisi masjid, dan antara
keduanya ada jalan (Riwayat Abdurrazzaq, 3/82 dengan sanad yang sahih
dari beliau).” (Tamamul Minnah)
Beliau juga mengatakan bahwa jika makmum shalat di tempat yang tinggi,
ada kemungkinan karena keadaan darurat seperti tempat yang sempit dan
selainnya, atau tidak ada darurat. Jika kemungkinan yang pertama, tidak
ada pembicaraan karena hal darurat menyebabkan bolehnya sesuatu yang
terlarang. Tetapi kalau tidak, mengakibatkan terputusnya shaf/barisan
dan menyendiri dari barisan yang ada, sebagaimana yang dilakukan banyak
muadzin atau yang lain, juga orang yang shalat di halaman padahal di
depan mereka masih kosong dan cukup untuk banyak shaf, hal yang semacam
ini tidak boleh. (ats-Tsamarul Mustathab)
Pendapat lain dalam hal ini adalah boleh secara mutlak tanpa perincian
di atas. Ini adalah riwayat lain dari pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah (Fathul Bari karya Ibnu Rajab), tetapi pendapat ini lemah. Wallahu a’lam.
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi

As-Salam
Di antara al-Asma’ul Husna adalah as-Salam (السَّلامُ). Nama Allah subhanahu wa ta’ala ini tersebut dalam firman-Nya:
”Dia-lah Allah yang tiada Ilah (yang
berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera,
Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa,
Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.” (al-Hasyr: 23)
Nama ini juga tersebut dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu:
Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika selesai dari shalatnya beristighfar tiga kali dan mengucapkan, “Ya
Allah, Engkau-lah as-Salam dan dari-Mu-lah keselamatan. Mahabesar
Engkau, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan!”
Al-Walid (salah satu perawi hadits ini)
bertanya kepada al-Auza’i (gurunya), “Bagaimanakah cara beristighfar?”
Ia berkata, “Engkau mengucapkan, ‘Astaghfirullah, astaghfirullah! (Aku
mohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala, aku mohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala!)’.” (Sahih, HR. Muslim)
Makna as-Salam
Ibnu Qutaibah rahimahullah
mengatakan, “Dia menamai Diri-Nya dengan as-Salam karena Dia selamat dan
bebas dari aib, kekurangan, kehancuran, serta kematian yang mengenai
makhluk-Nya.” (Gharibul Qur’an)
Al-Khaththabi rahimahullah mengatakan, “As-Salam adalah sifat Allah subhanahu wa ta’ala,
yaitu yang selamat dari segala aib, serta bebas dari segala kejelekan
dan kekurangan yang dapat menimpa makhluk.” (Sya’nud Du’a)
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan ketika menjelaskan ayat di atas, “As-Salam yakni yang selamat
dari segala cacat dan kekurangan karena kesempurnaan-Nya dalam Dzat,
sifat, dan perbuatan-Nya.”
As-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Al-Quddus, as-Salam yakni yang diagungkan, yang suci dari
seluruh kekurangan dan keserupaan makhluk terhadap-Nya, serta yang suci
dari siapa pun yang akan mendekati atau menyamainya pada salah satu sisi
kesempurnaan-Nya.”
Jadi, nama Allah al-Quddus dan as-Salam berarti kesucian Allah subhanahu wa ta’ala
dari kekurangan pada segala sisi. Keduanya mengandung kesempurnaan yang
paripurna dari segala sisi karena jika kekurangan itu tidak ada,
berarti tetaplah kesempurnaan seluruhnya. Dengan demikian, Dialah yang
Mahasuci, Mahabesar, yang suci dari segala kejelekan serta yang terbebas
dari penyerupaan dengan makhluk, kekurangan, dan segala yang bertolak
belakang dengan kesempurnaan-Nya. Inilah patokan tentang apa yang Allah subhanahu wa ta’ala
suci darinya. Ia suci dari segala kekurangan dari sisi mana pun. Ia
suci dan agung dari adanya penyerupaan, tandingan, atau lawan bagi-Nya.
Ia suci pula dari kekurangan dalam hal sifat-sifat-Nya yang merupakan
sifat yang paling sempurna, paling agung, dan paling luas.
Di antara kesempurnaan penyucian-Nya
adalah penetapan sifat kesombongan dan keagungan bagi-Nya karena
penyucian tersebut dimaksudkan untuk hal yang lain. Penetapan sifat
kesombongan dan keagungan bagi Allah subhanahu wa ta’ala
dimaksudkan untuk menjaga kesempurnaan-Nya dari berbagai sangkaan yang
jelek, semacam sangkaan jahiliah yang mengalamatkan kepada diri-Nya
sangkaan-sangkaan jelek yang tidak pantas bagi kebesaran-Nya. Jika
seorang hamba mengucapkan pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
“Subhanallah” (Mahasuci Allah), “Taqaddasallah” (Mahasuci Allah), atau
“Ta’alallah” (Mahatinggi Allah) berarti dia sedang memuji-Nya dengan
kesucian-Nya dari segala kekurangan, dengan segala kesempurnaan. (Tafsir
Asma’illah)
Buah Mengimani Nama Allah as-Salam
Dengan mengimani nama Allah as-Salam, kita mengetahui kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dan kesucian-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala suci dari segala kekurangan dan cacat, sebagaimana halnya Ia suci dari serikat dan tandingan. Keyakinan ini membuat kita semakin mantap dalam beribadah kepada-Nya karena Rabb yang kita ibadahi adalah Rabb Yang Mahasempurna, tiada kekurangan-Nya sedikit pun.
Dengan mengimani nama Allah as-Salam, kita mengetahui kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dan kesucian-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala suci dari segala kekurangan dan cacat, sebagaimana halnya Ia suci dari serikat dan tandingan. Keyakinan ini membuat kita semakin mantap dalam beribadah kepada-Nya karena Rabb yang kita ibadahi adalah Rabb Yang Mahasempurna, tiada kekurangan-Nya sedikit pun.
Dengan demikian, segala pinta dan
harapan kita dalam tawakal dan doa tidak akan sia-sia. Dia pasti
memenuhi janji-Nya dan Mahakuasa untuk memenuhinya karena Dia Mahakaya
dan Mahamampu. Maka dari itu, ibadahilah Dia satu-satu-Nya, tentu ibadah
kita takkan sia-sia. Tinggalkan semua sesembahan selain-Nya, karena
selain-Nya tidak ada yang memiliki kesempurnaan seperti yang
dimiliki-Nya, yang ada justru berbagai kekurangan.
ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)Buah Keimanan
Keimanan yang benar memiliki banyak
faedah dan buah terhadap kalbu, badan, ketenteraman, dan kehidupan yang
baik di dunia serta akhirat, baik dalam waktu yang dekat maupun yang
akan datang.
- Buah keimanan yang paling besar adalah mendapatkan kebahagiaan sebagai wali Allah subhanahu wa ta’ala yang khusus.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa.” (Yunus: 62—63)
Setiap mukmin yang bertakwa adalah wali Allah subhanahu wa ta’ala yang khusus. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka:
“Allah adalah wali orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)
Maksudnya, Allah akan mengeluarkan
mereka dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan, dari kegelapan
kebodohan menuju cahaya ilmu, dari kegelapan maksiat menuju cahaya
ketaatan, dan dari kegelapan kelalaian menuju cahaya kesadaran dan
ingat.
Ringkasnya, Allah subhanahu wa ta’ala
akan mengeluarkan mereka dari kegelapan berbagai kejelekan menuju
cahaya-cahaya kebaikan, dalam waktu yang dekat atau yang akan datang.
Sesungguhnya mereka mendapatkan anugerah yang besar ini karena mereka
memiliki keimanan yang benar dan mewujudkannya dengan ketakwaan.
Sungguh, takwa merupakan kesempurnaan iman.
- Berbahagia karena mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dan jannah (surga)-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan
keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang
besar.” (at-Taubah: 71—72)
Mereka mendapatkan ridha Rabb mereka dan
rahmat-Nya serta keberuntungan berupa tempat tinggal yang baik karena
keimanan mereka. Dengan keimanan itu pula mereka menyempurnakan diri
mereka dan orang lain dengan cara menegakkan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-nya serta beramar ma’ruf nahi mungkar.
- Iman yang sempurna akan menghalangi mereka dari masuk neraka. Adapun iman, walaupun sedikit, akan menghalanginya dari kekekalan di dalam neraka.
- Allah subhanahu wa ta’ala akan menolong orang-orang mukmin
dari segala hal yang tidak disukai dan akan menyelamatkan mereka
(memberi jalan keluar) dari segala kesulitan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.” (al-Hajj: 38)
Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala
akan membela mereka dari setiap hal yang tidak mereka sukai, kejelekan
setan dari kalangan jin dan manusia, musuh-musuh, dan hal-hal yang tidak
disukai, sebelum menimpa mereka atau meringankannya setelah menimpa
mereka.
Allah menyebutkan keadaan Nabi Yunus ‘alaihissalam:
Maka ia menyeru dalam keadaan yang
sangat gelap bahwa “Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau.
Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari
kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.
(al-Anbiya: 87—88)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam surah ath-Thalaq ayat 2:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah…”,
dengan menjalankan keimanan dan konsekuensinya, maka: “Allah akan
menjadikan baginya jalan keluar.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (ath-Thalaq: 4)
Wallahu a’lam.
Sumber bacaan: Syajaratul
Iman karya asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di hlm. 43—46 dengan sedikit
perubahan. At-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abdul Jabbar

Sifat Shalat Nabi (4)
Telah kita lewati pembicaraan tentang
qiraah (membaca Al-Qur’an) di dalam shalat. Termasuk hal yang perlu
diperhatikan dalam membaca Al-Qur’an adalah membacanya dengan tartil,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
untuk membaca Al-Qur’an dengan tartil, tidak tergesa-gesa atau
cepat-cepat. Al-Qur’an dibaca huruf demi huruf, kata demi kata. Membaca
Al-Qur’an dengan cara seperti ini juga berlaku di dalam shalat. Maka
dari itu, orang yang shalat harus memerhatikan bacaannya. Ia tidak boleh
tergesa-gesa ingin segera menyelesaikan bacaannya.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana yang lebih utama atau
afdhal, apakah mentartil Al-Qur’an dalam keadaan surat/ayat yang dibaca
pendek/sedikit atau cepat dalam membaca Al-Qur’an namun banyak ayat yang
bisa dibaca. Pendapat yang pertama dipegangi oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka, dan dipilih oleh Ibnu Sirin rahimahullah. Adapun pendapat kedua dipegangi oleh pengikut Syafi’iyah dengan berdalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah maka ia memperoleh
satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali.” (HR. at-Tirmidzi no. 2910, disahihkan dalam al-Misykat no. 2137 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 6469) (al-Ashl, 2/562)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/125) menggabungkan dua pendapat ini dan al-Hafizh rahimahullah
mengikutinya dalam Fathul Bari (9/73). Dinyatakan bahwa masing-masing
memiliki keutamaan, baik yang cepat maupun yang tartil. Namun, dengan
syarat orang yang membaca dengan cepat tidak terluputkan darinya satu
huruf pun, harakat atau sukun yang wajib. Salah satunya bisa lebih utama
daripada yang lain dan bisa pula sama. Orang yang mentartil dan
memerhatikan apa yang dibacanya, meresapi dan merenungkannya, ibarat
orang yang bersedekah dengan satu permata yang sangat mahal. Sementara
itu, orang yang membaca dengan cepat, ibarat orang yang bersedekah
dengan sejumlah permata, tetapi nilai semua permata tersebut sama dengan
satu permata yang mahal. Terkadang satu permata lebih bernilai dari
sejumlah permata, namun terkadang pula sebaliknya, sejumlah permata
lebih mahal daripada satu permata. Wallahu a’lam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pada hari kiamat nanti dikatakan kepada
pembaca Al-Qur’an, “Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil
sebagaimana engkau mentartilnya di dunia. Sungguh, kedudukanmu (derajat
di surga) menurut akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Daud no. 1464,
at-Tirmidzi no. 2914, dll. Hadits ini hasan sebagaimana dalam al-Misykat
no. 2134 dan ash-Shahihah no. 2240)
Isti’adzah dan Meludah Kecil dalam Shalat
Utsman ibnu Abil Ash radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, sungguh setan
menghalangi antara aku dan shalatku serta bacaanku. Ia membuatku kacau
dan ragu-ragu saat membaca Al-Qur’an (dalam shalat).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu adalah setan yang disebut Khinzib.
Jika engkau merasakan gangguannya, berta’awudzlah (mintalah
perlindungan) kepada Allah darinya dan meludah kecillah ke arah kirimu
tiga kali.” Utsman berkata, “Aku pun melakukan bimbingan Rasul tersebut
maka Allah menghilangkan gangguan setan itu dariku.” (HR. Muslim no.
5702)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya berta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika ditimpa waswas, disertai dengan meludah kecil ke arah kiri tiga kali[1].” (al-Minhaj 14/411)
Ruku’
Selesai membaca Al-Qur’an saat berdiri dalam shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sejenak. Demikianlah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan setiap selesai membaca satu ayat. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat kedua tangan untuk bertakbir, sebagaimana mengangkat tangan
saat takbiratul ihram, lalu ruku’. Tentang mengangkat tangan sebelum
ruku’ ini beritanya mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini adalah mazhab imam yang tiga dan selain mereka dari kalangan jumhur
ahli hadits dan fuqaha. (Mausu’ah ash-Shalah ash-Shahihah, 2/868)
Tata Cara Ruku’
Pada awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan tathbiq dalam ruku’, yaitu mengumpulkan jari-jemari kedua
telapak tangannya, dengan menempelkan bagian dalam telapak tangan satu
dengan yang lain, lalu diletakkan di antara dua paha atau dua lutut
beliau sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1191, “Kitabul Masajid”, bab an-Nadb ila wadh’il aydi ‘alar rukab fir ruku’ wa naskhut tathbiq)
Cara ruku’ seperti ini kemudian ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan beliau melarangnya. Yang kemudian beliau lakukan saat ruku’ adalah:
Cara ruku’ seperti ini kemudian ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan beliau melarangnya. Yang kemudian beliau lakukan saat ruku’ adalah:
- Meletakkan dua telapak tangan beliau di atas kedua lutut beliau.
Cara seperti inilah yang belakangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Sa’d ibnu Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat. Beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Kemudian ruku’ dan mengumpulkan jari-jemari kedua tangannya dengan menempelkan bagian dalam telapak tangan satu dengan yang lain lalu meletakkannya di antara dua lututnya.”
Hal ini sampai kepada Sa’d, maka ia berkata, “Benar saudaraku itu.
Dahulu kami memang melakukan cara seperti itu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami dengan cara seperti ini.” Sa’d memegang kedua
lututnya (dengan kedua telapak tangannya). (HR. al-Bukhari dalam Raf’ul
Yadain hlm. 12, dll. Al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah berkata, “Isnadnya tsabit sahih.” Al-Imam al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini di atas syarat Muslim.” Lihat al-Ashl, 2/628)
Mush’ab ibnu Sa’d berkata, “Aku shalat di samping ayahku. Aku
mengumpulkan jari-jemari telapak tanganku dengan menempelkan bagian
dalam telapak tangan satu dengan yang lain dan aku letakkan di antara
kedua pahaku. Ayahku melarangku ruku’ dengan cara demikian. Ia
menyatakan, ‘Dahulu kami melakukan cara seperti yang kau lakukan, lalu
kami dilarang. Kemudian kami diperintah untuk meletakkan tangan-tangan
kami di atas lutut’.” (HR. al-Bukhari no. 790 dan Muslim no. 1197)
Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Sungguh,
termasuk sunnah (ajaran/petunjuk Nabi) adalah memegang lutut saat
ruku’.” (HR. at-Tirmidzi no. 258 dan an-Nasa’i no. 1035, sanadnya sahih
sebagaimana dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Sunan an-Nasa’i)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Ini yang diamalkan oleh ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tabi’in, dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada perselisihan di
antara mereka dalam hal ini, selain yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
dan sebagian muridnya. Mereka mengumpulkan jari-jemari mereka (saat
ruku). Cara tathbiq (yang mereka lakukan) ini mansukh menurut ahlul
ilmi.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/162—163)
- Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua telapak tangan beliau di atas kedua lutut, beliau seakan menggenggam keduanya.
Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam tambahan hadits Abu Humaid as-Sa’idi[2] radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi no. 260:
“Rasulullah ruku’ dan meletakkan dua
telapak tangan di atas kedua lutut. Beliau mengokohkan kedua tangan
tersebut pada kedua lututnya seakan-akan menggenggam keduanya.”
(Disahihkan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Hadits Umar radhiallahu ‘anhu di atas juga menunjukkan hal demikian.
- Jari-jemari direnggangkan (dijauhkan satu dari yang lain) ketika menggenggam lutut.
Hal ini pernah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah shalatnya. Dalam hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (al-Musnad, 4/340) disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang salah shalatnya:
“Apabila engkau ruku’, letakkanlah dua
telapak tanganmu di atas kedua lututmu, kemudian renggangkanlah
jari-jemarimu satu dari yang lain, lalu diam/tenanglah hingga seluruh
anggota mengambil bagian/posisinya.” (“Sanadnya hasan,” kata al-Imam
al-Albani rahimahullah dalam al-Ashl, 2/633)
Hadits di atas memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Ia menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang A’rabi:
“Jika engkau ruku’, letakkanlah kedua
telapak tanganmu di atas kedua lututmu, kemudian renggangkanlah
jari-jemarimu, lalu diam/tenanglah hingga setiap anggota mengambil
tempat/posisinya.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)
Posisi jari-jemari ini ke arah yang lebih rendah di atas kedua betis, seperti ditunjukkan oleh hadits Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Badri radhiallahu ‘anhu, yang dibawakan oleh Atha’ ibnus Saib, dari Salim al-Barad, ia berkata, “Kami mendatangi Abu Mas’ud Uqbah ibnu Amr al-Anshari. Kami mengatakan kepadanya, ‘Sebutkan kepada kami tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Abu Mas’ud pun berdiri di hadapan kami di dalam masjid. Ia bertakbir. Tatkala ruku’, ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan ia menjadikan jari-jemari lebih rendah dari lututnya, serta menjauhkan kedua sikunya dari rusuknya, hingga segala sesuatu tenang/menetap pada tempat/posisinya…’.”
Posisi jari-jemari ini ke arah yang lebih rendah di atas kedua betis, seperti ditunjukkan oleh hadits Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Badri radhiallahu ‘anhu, yang dibawakan oleh Atha’ ibnus Saib, dari Salim al-Barad, ia berkata, “Kami mendatangi Abu Mas’ud Uqbah ibnu Amr al-Anshari. Kami mengatakan kepadanya, ‘Sebutkan kepada kami tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Abu Mas’ud pun berdiri di hadapan kami di dalam masjid. Ia bertakbir. Tatkala ruku’, ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan ia menjadikan jari-jemari lebih rendah dari lututnya, serta menjauhkan kedua sikunya dari rusuknya, hingga segala sesuatu tenang/menetap pada tempat/posisinya…’.”
Setelah menyelesaikan shalatnya, Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Demikianlah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.” (HR. Abu Dawud no. 863, disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
- Dari hadits Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu di atas kita dapati pula tata cara ruku’ yang berikutnya, yaitu menjauhkan kedua siku dari rusuk.
Hal ini ditunjukkan pula oleh hadits dari sejumlah sahabat. Di antaranya adalah hadits Abu Humaid radhiallahu ‘anhu dengan lafadz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya seakan-akan
memegangi kedua lututnya. Beliau juga menjauhkan kedua tangannya dari
kedua rusuknya.” (HR. at-Tirmidzi no. 260, disahihkan dalam Shahih Sunan
at-Tirmidzi)
At-Tirmidzi rahimahullah
berkata, “Inilah yang dipilih oleh ahlul ilmi, yaitu seseorang yang
shalat hendaknya menjauhkan kedua tangannya dari kedua rusuknya ketika
ruku’ dan sujud.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/163)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dari seorang
ulama pun tentang sunnahnya hal ini. Hikmah dilakukannya cara seperti
ini adalah lebih sempurna dalam penampakan dan bentuk shalat.”
Catatan
Sunnah menjauhkan kedua tangan dari kedua rusuk ini dilakukan dengan syarat tidak mengganggu orang lain yang shalat di sampingnya dalam shalat berjamaah. Yang wajib dalam ruku’, kata sebagian ulama (sebagaimana dalam al-Inshaf 3/480), ia membengkokkan punggungnya di mana keberadaannya lebih dekat kepada ruku’ yang sempurna daripada berdiri sempurna. Artinya, orang yang melihatnya mengetahui bahwa ia sedang ruku’, tidak sedang berdiri. (asy-Syarhul Mumti’, 3/91)
Sunnah menjauhkan kedua tangan dari kedua rusuk ini dilakukan dengan syarat tidak mengganggu orang lain yang shalat di sampingnya dalam shalat berjamaah. Yang wajib dalam ruku’, kata sebagian ulama (sebagaimana dalam al-Inshaf 3/480), ia membengkokkan punggungnya di mana keberadaannya lebih dekat kepada ruku’ yang sempurna daripada berdiri sempurna. Artinya, orang yang melihatnya mengetahui bahwa ia sedang ruku’, tidak sedang berdiri. (asy-Syarhul Mumti’, 3/91)
Insya Allah bersambung
Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
[1]
Ia sedikit mengarahkan kepalanya ke arah kiri tubuhnya, bukan ke arah
orang lain yang ada di sebelah kirinya apabila ia shalat berjamaah,
karena hal tersebut akan mengganggu orang lain.
[2] Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits Abu Humaid tanpa tambahan yang disebutkan.

Hakim yang Adil dan Bijaksana
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan
Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman,
karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya, dan
Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami
telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih
tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan
ilmu, dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua
bertasbih bersama Dawud. Dan Kami lah yang melakukannya. Dan telah Kami
ajarkan kepada Dawud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu
dalam peperanganmu. Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Dan
(telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang
tiupannya yang berembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah
memberkahinya. dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami
telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan yang menyelam
(ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu,
dan adalah Kami memelihara mereka itu.” (al-Anbiya: 78—82)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan bagaimana keadilan dan kebijakan Nabi Dawud dan putranya, Sulaiman ‘alaihissalam,
ketika keduanya memberi keputusan tentang sebidang kebun anggur yang
dirusak oleh kambing milik kaumnya, yang tercerai-berai di malam hari
tanpa ada seorang pun yang mengawasinya hingga merusak anggur-anggur
tersebut.
Ibnu Katsir rahimahullah menukil dari Abu Ishaq, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala ini. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan, “(Yaitu) kebun anggur yang mulai tumbuh, lalu dirusak oleh kambing-kambing tersebut.”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian, Nabi Dawud ‘alaihissalam memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun anggur tersebut.”
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang melihat peristiwa itu, berkata, “Bukan demikian, wahai Nabi Allah.”
“(Kalau begitu), bagaimana?” tanya Nabi Dawud.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
berkata, “Anda serahkan kebun anggur itu kepada pemilik kambing agar dia
mengurusi kebun tersebut hingga kembali seperti semula, dan Anda
serahkan kambing-kambing itu kepada pemilik kebun anggur ini agar dia
memperoleh sesuatu dari kambing tersebut. Apabila anggur-anggur itu
sudah kembali seperti semula, Anda serahkan kembali kebun anggur kepada
pemiliknya, dan kambing-kambing itu kepada pemiliknya.”
Inilah maksud firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat).”
Selain itu, agar kita tidak salah memahami—melalui ungkapan ini—seolah-olah ada bentuk merendahkan derajat Nabi Dawud ‘alaihissalam, Allah subhanahu wa ta’ala melanjutkan firman-Nya:
“Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.”
Bahkan, pada ayat-ayat selanjutnya, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan keutamaan yang dimiliki oleh kedua nabi Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia ini.
Jadi, Nabi Dawud ‘alaihissalam memutuskan perkara dengan keadilan, sedangkan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memutuskannya dengan fadhl (karunia, keutamaan). Allah subhanahu wa ta’ala memberi pujian kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam atas keputusan beliau yang sangat tepat, sebagai taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala, karena Allah mencintai rifq (kelemahlembutan) dalam segala hal. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya Allah Mahalembut, dan mencintai kelemahlembutan dalam segala hal’.”[1]
Kita pun tidak boleh lupa bahwa Nabi Sulaiman adalah putra Nabi Dawud ‘alaihissalam, sehingga setiap keutamaan yang diperoleh oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, tentu saja itu adalah keutamaan pula bagi Nabi Dawud ‘alaihissalam.
Seorang hakim, jika dia berijtihad, kemudian keliru dalam keputusannya,
dia memperoleh satu pahala. Kalau dia benar, dia menerima dua pahala.
Ini dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
“Apabila seorang hakim berijtihad, lalu
dia benar, dia memperoleh dua pahala. Dan jika seorang hakim berijtihad,
dan ternyata keliru, dia mendapat satu pahala.”[2]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dahulu ada dua orang wanita bersama anak
mereka masing-masing. Tiba-tiba datanglah seekor serigala membawa anak
salah seorang dari mereka. Berkatalah seorang dari wanita itu kepada
temannya, “Yang dibawa lari serigala adalah putramu.”
Yang lain membantah, “(Bukan). Yang dibawa serigala itu adalah putramu.”
Akhirnya, keduanya mengajukan perkara mereka kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Lalu, beliau pun memutuskan perkara itu dengan memenangkan wanita yang lebih tua.
Akhirnya, keduanya mengajukan perkara mereka kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Lalu, beliau pun memutuskan perkara itu dengan memenangkan wanita yang lebih tua.
Kedua wanita itu keluar menemui Nabi Sulaiman bin Dawud ‘alaihissalam, lalu menceritakan perihal mereka. Setelah itu, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada orang-orang, “Ambilkan untuk saya pisau agar saya bisa membagi dua anak ini untuk mereka.”
Tiba-tiba, wanita yang lebih muda berkata, “Jangan lakukan, semoga Allah merahmati Anda. Ini putranya.”
Nabi Sulaiman pun memenangkan perkara untuk wanita yang lebih muda ini.3
Akhirnya, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memutuskan bahwa anak itu adalah milik wanita yang lebih muda. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sama sekali tidak bermaksud sungguh-sungguh ingin membelah bayi itu. Akan tetapi, beliau ingin mengetahui lebih jelas. Ibu bayi yang sesungguhnya tentu tidak rela bayi itu mati. Dia lebih suka bayi itu tetap hidup terpelihara walaupun tidak berada di sisinya. Adapun yang bukan ibu si bayi, tentu tidak keberatan bayi itu dibelah dua, sebab dengan demikian, mereka berdua sama-sama kehilangan bayi.
Akhirnya, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memutuskan bahwa anak itu adalah milik wanita yang lebih muda. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sama sekali tidak bermaksud sungguh-sungguh ingin membelah bayi itu. Akan tetapi, beliau ingin mengetahui lebih jelas. Ibu bayi yang sesungguhnya tentu tidak rela bayi itu mati. Dia lebih suka bayi itu tetap hidup terpelihara walaupun tidak berada di sisinya. Adapun yang bukan ibu si bayi, tentu tidak keberatan bayi itu dibelah dua, sebab dengan demikian, mereka berdua sama-sama kehilangan bayi.
Oleh sebab itulah, ketika menerima keputusan ini, wanita yang lebih tua
dengan gembira menyetujui agar bayi itu dibelah dua, sedangkan yang
lebih muda tidak. Naluri keibuan dan kasih sayangnya kepada sang putra
mendorongnya untuk merelakan, biarlah bayi itu jauh dari sisinya, yang
penting dia tetap hidup dan terawat, walaupun bukan di pangkuan ibu
kandungnya.
Sambil meratap iba, wanita muda itu berkata, “Jangan, wahai Nabi Allah.
Jangan lakukan, semoga Allah merahmati Anda, biarlah. Itu putranya,
serahkanlah kepadanya!”
Perhatikanlah keputusan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, yang
mengakui bahwa bayi itu anak wanita yang lebih muda. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa jika tanda-tanda sebuah kebohongan terlihat jelas,
tidak dapat dijadikan dasar hukum terhadap orang yang mengakuinya. Ada
tidaknya pengakuan itu sama saja. Artinya, perkataan si wanita yang
lebih muda bahwa bayi itu milik wanita yang lebih tua, tidak dapat
diterima, sehingga Nabi Sulaiman ‘alaihissalam justru memutuskan yang lebih mudalah yang benar.
Jadi, wanita yang lebih tua ini tidak menolak andaikata bayi itu memang
dibelah dua, karena dia kini sebatang kara, kehilangan anak. Kemudian,
dia pun ingin wanita muda itu juga sama seperti dia, kehilangan anaknya.
Akan tetapi, melihat kekhawatiran dan kasih sayang wanita muda itu kepada bayi tersebut, permohonannya agar bayi itu tetap hidup—walaupun di tangan ibu yang lain—daripada mati, justru memperkuat kesimpulan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, bahwa adanya kasih sayang kepada bayi itu merupakan salah satu bukti bahwa wanita muda ini adalah ibu si bayi. Beliau pun yakin, melalui sikap menggampangkan dari wanita yang lebih tua, bahkan sangat mendukung agar bayi itu dibelah dua, bahwa wanita yang lebih tua ini bukanlah ibu si bayi.
Akan tetapi, melihat kekhawatiran dan kasih sayang wanita muda itu kepada bayi tersebut, permohonannya agar bayi itu tetap hidup—walaupun di tangan ibu yang lain—daripada mati, justru memperkuat kesimpulan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, bahwa adanya kasih sayang kepada bayi itu merupakan salah satu bukti bahwa wanita muda ini adalah ibu si bayi. Beliau pun yakin, melalui sikap menggampangkan dari wanita yang lebih tua, bahkan sangat mendukung agar bayi itu dibelah dua, bahwa wanita yang lebih tua ini bukanlah ibu si bayi.
Oleh sebab itu, beliau pun mengambil bayi tersebut dan menyerahkannya kepada wanita yang lebih muda.
Jadi, keputusan yang dibuat Nabi Dawud ‘alaihissalam dengan
memenangkan perkara wanita yang lebih tua adalah berdasarkan data-data
yang terlihat (lahiriah), karena bayi itu ada di tangan wanita yang
lebih tua.
Kadang-kadang, ujian yang diberikan, seperti yang dilakukan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam itu amat diperlukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan ‘Ali radhiallahu ‘anhu
untuk membunuh seorang laki-laki yang dikebiri (buah pelirnya) dengan
tujuan hendak menampakkan kebersihan orang tersebut dari tuduhan dan
menampakkan bahwa tuduhan yang muncul dari sekadar melihat tidaklah
sepenuhnya benar.
Seperti itu pula yang terjadi dalam kisah penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahandanya, Ibrahim ‘alaihissalam. Dikatakan bahwa dalam peristiwa ini, Allah subhanahu wa ta’ala ingin menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, sejauh mana beliau menyambut dan siap melaksanakan perintah Allah ‘alaihissalam itu walaupun melalui mimpi. Wallahu a’lam.
Dalam kisah ini terlihat betapa tajam firasat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, dan alangkah jeniusnya beliau dalam menyimpulkan satu keputusan hukum melalui indikasi dan tanda-tandanya.
Di balik itu semua, yang harus diyakini adalah bahwa para nabi itu juga
manusia biasa, seperti kita. Kadang, mereka memutuskan persoalan
sebagaimana yang terlihat oleh mereka dengan ijtihad yang khusus dan
bukan wahyu. Dari sinilah, pernah diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا أنا بَشَرٌ، وَإنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إلَيَّ، وَلَعَلَّ
بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجّتِهِ مِنْ بَعْضٍ، فَأَقْضِيَ لَهُ
بِنَحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ فَإِنَّما
أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ
‘Saya hanya seorang manusia biasa,
sementara kalian mengajukan perkara kalian kepada saya. Bisa jadi,
sebagian kalian lebih pandai mengemukakan alasannya daripada yang lain,
lalu saya memenangkan perkaranya sesuai dengan apa yang saya dengar.
Oleh sebab itu, siapa yang saya menangkan perkaranya, dengan membawa hak
saudaranya, berarti saya telah memberinya sepotong api neraka’.”4
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil untuk
memberlakukan hukum sesuai dengan data yang terlihat (lahiriah)
sekaligus memperlihatkan kepada manusia bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sama seperti manusia lainnya. Meskipun ada perbedaan antara
beliau dengan manusia biasa dalam hal penampakan terhadap perkara gaib
yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada beliau. Itu pun dalam hal-hal yang khusus, bukan hukum-hukum yang umum….”5
Artinya, bisa saja seorang nabi keliru dalam memutuskan sesuatu di antara umatnya. Akan tetapi, jika ijtihad itu keliru, Allah subhanahu wa ta’ala
akan meluruskannya. Adapun dalam hal penyampaian ajaran, seorang nabi
tidak akan keliru. Dengan demikian, hal ini tidak menggugurkan
kemaksuman mereka sama sekali.
Alangkah jauhnya kita dibandingkan mereka, padahal kita mengaku mengikuti jalan mereka r. Sering, tanpa periksa, hanya dengan mengandalkan kepercayaan kita kepada yang membawa berita atau keterangan, kita memutuskan sebuah perkara, padahal masalahnya tidaklah demikian. Akhirnya, timbul perselisihan di antara sesama muslimin.
Alangkah jauhnya kita dibandingkan mereka, padahal kita mengaku mengikuti jalan mereka r. Sering, tanpa periksa, hanya dengan mengandalkan kepercayaan kita kepada yang membawa berita atau keterangan, kita memutuskan sebuah perkara, padahal masalahnya tidaklah demikian. Akhirnya, timbul perselisihan di antara sesama muslimin.
Satu hal yang dapat kita ambil pula dari kisah dua wanita ini ialah
bahwa rasa dengki membuat hati menjadi mati. Karena dengki, wanita yang
lebih tua kehilangan naluri keibuannya, sehingga rela mengorbankan bayi
‘tak berdosa’ demi memuaskan keinginan dirinya. Karena dengki pula setan
yang terkutuk berusaha sekuat tenaganya menyeret manusia agar
menemaninya di neraka. Karena dengki pula orang-orang Yahudi berusaha
menghancurkan kaum muslimin, di antaranya dengan melepaskan kaum
muslimin dari keyakinan mereka.
Semoga kisah ini bermanfaat.
Semoga kisah ini bermanfaat.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] HR. al-Bukhari (5678).
[2] HR. al-Bukhari (7352) dan Muslim (1716).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Wafat
Jamaah haji yang mulia itu telah tiba
di Madinah, namun bukan untuk beristirahat dan santai, melainkan
melanjutkan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kapankah seorang mukmin dapat merasakan santai? Musuh-musuhnya, baik
yang terlihat maupun tidak, setiap saat mengintai dan berusaha
membinasakannya. Terlebih lagi junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak Allah subhanahu wa ta’ala
mengangkat beliau menjadi nabi dan rasul, kapankah beliau merasakan
istirahat dan santai? Mata beliau terpejam dalam tidurnya, tetapi
hatinya terjaga dan senantiasa menunggu wahyu yang datang.
Alangkah tepat untuk direnungkan pernyataan al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah ini, “Sesungguhnya, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan rehat (ketenangan, kesantaian) seorang mukmin melainkan di dalam jannah (surga).”
Terlebih lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengatakan, “Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin.”
Artinya, perjuangan memang belum usai. Peperangan ini baru berhenti
setelah al-haq kokoh di dalam hati seorang mukmin saat dia menghadap
Rabbnya.
Diceritakan dalam Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi rahimahullah, dan beliau menukilnya dari putra al-Imam Ahmad yang bernama Saleh rahimahumullah, bahwa pada saat al-Imam Ahmad terbaring sakit yang membawa ajalnya, tiba-tiba al-Imam Ahmad menggerakkan tangannya memberi isyarat (seolah-olah mengatakan), “Tidak (belum).”
Diceritakan dalam Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi rahimahullah, dan beliau menukilnya dari putra al-Imam Ahmad yang bernama Saleh rahimahumullah, bahwa pada saat al-Imam Ahmad terbaring sakit yang membawa ajalnya, tiba-tiba al-Imam Ahmad menggerakkan tangannya memberi isyarat (seolah-olah mengatakan), “Tidak (belum).”
Ketika hal ini ditanyakan kepada al-Imam
Ahmad, beliau mengatakan, “Iblis menampakkan diri kepadaku dan berkata,
‘Sekarang engkau selamat dariku, wahai Ahmad’.”
Aku pun menjawab, “Belum.”1
Aku pun menjawab, “Belum.”1
Demikianlah. Alangkah minimnya
kesempatan bagi seorang mukmin ‘menikmati’ dunianya. Apalagi jika dia
adalah seorang da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Lebih-lebih lagi junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kasih sayangnya kepada umat manusia, mendorong beliau berusaha
bagaimana caranya agar mereka selamat dari azab dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Mahabenar Allah subhanahu wa ta’ala yang berfirman:
“Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Nun jauh di sana, di sebelah utara.
Imperium Romawi dengan segenap keangkuhannya, mulai dihinggapi
kekhawatiran melihat beberapa kerajaan kecil jajahan mereka sudah ada
yang memeluk Islam. Mereka memandang bahwa hal ini akan membahayakan
keutuhan dan kewibawaan Bizantium dengan “salib agung”-nya.
Akhirnya, mulailah mereka menyerang raja-raja kecil yang telah memeluk
Islam itu, seperti yang mereka lakukan terhadap Farwah bin ‘Amr
al-Judzami di Ma’an. Demi mengetahui kejahatan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyiapkan pasukan besar untuk menghentikannya.
Senin, beberapa hari menjelang berakhirnya bulan Shafar tahun 11 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin agar bersiap-siap menyerang Romawi. Esok paginya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma agar membawa pasukan tersebut menuju tempat gugurnya Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu, ayah Usamah, lalu melintasi Balqa’ dan Darum, di Palestina.
Persiapan pasukan ini, terutama pengangkatan Usamah sebagai panglima
perang, mulai mendapat sorotan dari sebagian kaum muslimin. Mengapa
harus Usamah? Bukankah masih ada para sahabat senior yang ahli dan
berpengalaman di medan tempur? Di sana ada Khalid bin al-Walid, Si
Pedang Allah, ada Ikrimah bin Abi Jahl, keduanya adalah pahlawan pilih
tanding dari Bani Makhzum. Ada pula Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan
Muhajirin lain yang senior dan tangguh.
Usamah yang masih belia, baru berumur 18 atau 19 tahun, sudah diserahi tugas sebagai panglima perang? Itulah keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Usamah yang masih belia, baru berumur 18 atau 19 tahun, sudah diserahi tugas sebagai panglima perang? Itulah keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Melihat para sahabat masih berlambat-lambat melepas pasukan Usamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbicara di hadapan mereka, “Kalau kalian mengkritik kepemimpinan
Usamah, sungguh kalian juga pernah mengkritik kepemimpinan ayahandanya
sebelum ini. Demi Allah, ayahanda Usamah (Zaid bin Haritsah) memang
pantas menjadi panglima, dan dia termasuk orang yang paling aku cintai.
Sungguh, Usamah juga termasuk orang yang paling aku cintai sesudah
ayahandanya.”2
Akhirnya, kaum muslimin bergabung dalam pasukan Usamah bin Zaid. Dalam keadaan menahan sakit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar melepas pasukan Usamah.
Pasukan mulai bertolak meninggalkan kota Madinah dengan setengah hati karena mendengar berita sakitnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah berjalan beberapa mil dari Madinah, mereka pun singgah di Jurf sambil menanti-nanti berita tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tanggal 28 atau 29 Shafar tahun 11 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih sempat turut serta menyalatkan jenazah di Baqi’. Dalam perjalanan
pulang, beliau mulai merasakan sakit kepala yang berat, demam yang
tinggi.
Setiba di rumah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Duh, kepalaku (sakitnya)….”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “Bahkan akulah… kepalaku sangat sakit…”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melanjutkan, “Tidak rugilah engkau. Andaikata engkau meninggal dunia
sebelumku, tentu aku akan memandikanmu, mengafanimu, dan menyalatkan
jenazahmu.”
“Kalau begitu, demi Allah, pasti setelah itu engkau akan kembali berpengantinan dengan istri-istrimu yang lain,” kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Mendengar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum. Sejak itu, mulailah beliau merasakan sakit yang sangat berat.
Biasanya, secara bergiliran, istri-istri beliau yang tercinta selalu
menjaga dan merawat beliau, jika beliau sakit. Sampai pada suatu ketika,
sekitar sepekan sebelum wafat, beliau mulai bertanya-tanya, “Di mana
saya besok? Di mana saya besok?” Beliau terlihat sangat antusias dirawat
di rumah istri tercinta ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Para istri beliau yang lain pun mengizinkan beliau dirawat di rumah ‘Aisyah.
Ibunda ‘Aisyah menuturkan, “Setelah mereka mengizinkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ditemani dua orang lelaki dari keluarganya, salah satunya adalah al-Fadhl bin ‘Abbas.”
Ibunda ‘Aisyah menuturkan, “Setelah mereka mengizinkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ditemani dua orang lelaki dari keluarganya, salah satunya adalah al-Fadhl bin ‘Abbas.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan keluar
perlahan-lahan berpegangan dengan dua sahabat tersebut dengan kepala
yang dibelit sehelai kain untuk menahan sakit. Setelah berada di rumah
‘Aisyah, mulailah beliau terlihat tenang.
Beberapa kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak sadarkan diri karena beratnya sakit yang beliau derita. Dua kali
lebih berat dari yang dirasakan orang biasa. Itulah kemuliaan yang
diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada beliau. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas beliau.
Setelah siuman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dimandikan dengan air tujuh qirbah dari beberapa sumur. Kemudian, beliau keluar menuju mimbar menemui para sahabatnya.
Setelah memanjatkan puji-pujian untuk Allah subhanahu wa ta’ala, yang pertama beliau ucapkan adalah mendoakan dan memintakan ampunan buat para sahabat.
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ada salah seorang di antara hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, diberi pilihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apakah dia mau memilih dunia atau apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.”
Setelah itu, beliau berkata, “Sesungguhnya, ada salah seorang di antara hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, diberi pilihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apakah dia mau memilih dunia atau apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mendengar perkataan ini, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu
tak dapat menahan isak tangisnya, sambil berlinang air mata, beliau
berkata, “Kami tebus Anda dengan jiwa raga kami dan anak-anak kami,
wahai Rasulullah!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum menanggapi, “Tenanglah, wahai Abu Bakr. Janganlah engkau menangis!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum menanggapi, “Tenanglah, wahai Abu Bakr. Janganlah engkau menangis!”
Para sahabat yang lain terheran-heran mendengar perkataan Abu Bakr tadi. Ada apa dengan orang tua ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan keadaan seorang hamba, tetapi dia malah mengucapkan
kata-kata seperti ini? Aneh. Bukankah sudah sewajarnya, seorang hamba
yang mukmin lebih mencintai apa yang ada di sisi Allah?
Itulah Abu Bakr. Pengenalannya yang utuh terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya membuat hatinya demikian peka. Beliau paham bahwa hamba itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dan itu berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka bertemu dengan Allah subhanahu wa ta’ala daripada berlama-lama hidup bersama mereka. Inilah yang menyedihkan Abu Bakr. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya dan para sahabat lainnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,
“Tidak ada yang paling bermanfaat dalam persahabatan dan hartanya bagi
saya selain Abu Bakr. Sungguh, saya berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala
untuk mengambil khalil dari kalangan kalian. Karena sesungguhnya, Allah
telah menjadikan saya sebagai khalil. Seandainya saya mau mengambil
kekasih yang sangat disayang (khalil) dari kalangan manusia, pasti aku
jadikan Abu Bakr sebagai khalil. Akan tetapi, dia adalah saudara saya
seiman dan sahabat saya. Tidak boleh ada celah atau pintu yang tersisa
selain pintu Abu Bakr.”
“Wahai manusia,” lanjut beliau, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian terbiasa menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai masjid (tempat beribadah), maka janganlah kalian menjadikan
kuburan itu sebagai masjid. Sungguh, saya melarang kalian melakukannya.”
Larangan ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ulangi lagi
pada saat beliau menghadapi maut. Setelah menyingkap kain yang menutup
wajahnya yang mulia, beliau bersabda, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, (karena) mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.”3
“Siapa yang selama ini pernah saya cambuk punggungnya, maka inilah
punggung saya. Silakan membalas! Dan siapa yang dulu pernah saya nodai
kehormatannya, maka inilah kehormatan saya. Silakan membalas!”
Setelah itu, beliau turun dari mimbar, shalat zhuhur, dan kembali duduk
di mimbar mengulang perkataannya tadi. Tiba-tiba seorang sahabat
berkata, “Anda masih punya utang kepada saya tiga dirham.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera berkata, “Lunasilah, wahai Fadhl!”
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpesan tentang orang-orang Anshar, “Saya ingatkan kalian tentang kaum
Anshar. Mereka adalah tempat saya menyimpan rahasia dan mereka telah
menunaikan kewajiban mereka, sementara hak mereka belum mereka peroleh.
Oleh karena itu, terimalah dari orang-orang yang baik di kalangan mereka
dan maafkanlah yang salah di antara mereka.”
Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang-orang bertambah banyak, sementara kaum Anshar semakin sedikit jumlahnya, seperti garam dalam makanan. Oleh sebab itu, siapa yang diangkat menjadi penguasa di antara kalian, hendaklah menerima dari orang yang baik di kalangan Anshar dan memaafkan yang salah di antara mereka.”
Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang-orang bertambah banyak, sementara kaum Anshar semakin sedikit jumlahnya, seperti garam dalam makanan. Oleh sebab itu, siapa yang diangkat menjadi penguasa di antara kalian, hendaklah menerima dari orang yang baik di kalangan Anshar dan memaafkan yang salah di antara mereka.”
Setelah itu, beliau kembali ke rumah dengan rasa sakit memuncak.
Sejak saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak sanggup keluar untuk shalat berjamaah. Sementara itu, para sahabat menunggu-nunggu, mungkin mereka masih menikmati suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Kalam Ilahi, mengimami mereka.
Sejak saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak sanggup keluar untuk shalat berjamaah. Sementara itu, para sahabat menunggu-nunggu, mungkin mereka masih menikmati suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Kalam Ilahi, mengimami mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah kaum muslimin sudah shalat?”
“Belum, ya Rasulullah. Mereka menunggu Anda,” kata ‘Aisyah.
“Ambilkan air untukku,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah air itu diberikan kepada beliau, beliau pun mandi. Tetapi, beliau kembali tidak sadarkan diri. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar Abu Bakr menjadi imam.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Umar saja. Jangan Abu Bakr,
karena dia terlalu perasa, gampang menangis. Bisa jadi, dia tidak
sanggup mengimami kaum muslimin.”
Kemudian ibunda ‘Aisyah meminta Hafshah radhiallahu ‘anha agar memanggil ‘Umar menjadi imam. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dan tetap menyuruh agar Abu Bakr menjadi imam. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak senang dan berkata, “Kalian seperti perempuan di zaman Nabi Yusuf, pergilah!”
Kemudian ibunda ‘Aisyah meminta Hafshah radhiallahu ‘anha agar memanggil ‘Umar menjadi imam. Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dan tetap menyuruh agar Abu Bakr menjadi imam. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak senang dan berkata, “Kalian seperti perempuan di zaman Nabi Yusuf, pergilah!”
Hafshah berkata kepada ‘Aisyah, “Belum pernah saya mendapatkan yang baik darimu.”
Sejak saat itu para sahabat meminta Abu Bakr agar menjadi imam shalat mereka. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
merasa agak ringan, beliau keluar sambil dipapah dua orang kerabatnya,
lalu duduk di sebelah kiri Abu Bakr. Melihat hal ini, Abu Bakr mundur.
Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat agar Abu Bakr tetap di tempatnya.
Akhirnya, Abu Bakr shalat mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan para sahabat tetap berimam kepada Abu Bakr.4
Para sahabat tidak menduga apa-apa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih tersenyum membuka tabir rumahnya, memandang ke arah mereka yang
sedang shalat shubuh. Abu Bakr pun mundur, mengira Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keluar mengimami mereka. Bahkan, para sahabat hampir memutus shalat mereka karena gembira melihat keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulai membaik.
Namun, itu tak lama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kembali ke rumah dan menutupkan tirainya.
Ketika matahari mulai sepenggalan, Fathimah datang menjenguk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut dengan gembira sebagaimana biasa, lalu berbisik. Tiba-tiba Fathimah radhiallahu ‘anha menangis. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik sekali lagi, dan Fathimah tertawa.
Akan tetapi, kesedihan tetap menggayut di wajah Fathimah, melihat penderitaan ayahandanya. “Duhai, ayahanda. Alangkah beratnya penderitaanmu.”
Akan tetapi, kesedihan tetap menggayut di wajah Fathimah, melihat penderitaan ayahandanya. “Duhai, ayahanda. Alangkah beratnya penderitaanmu.”
“Tidak ada lagi penderitaan bagi ayahmu sesudah hari ini,” kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.5
Sambil menudingkan tangan ke langit, beliau berkata, “Bersama teman yang tertinggi.”
Pada saat seperti itu, masuklah Abdurrahman bin ‘Abu Bakr sambil bersiwak. Pandangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terpaku pada siwak yang di tangannya. ‘Aisyah segera bertanya, “Saya ambilkan untukmu, wahai Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat, “Ya.”
‘Aisyah meminta siwak itu dari Abdurrahman dan melembutkannya, lalu menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sambil tetap bersandar di pangkuan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosok mulutnya dengan siwak yang sudah dilembutkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Kejadian ini tidak pernah lekang dari ingatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Air liurnya bercampur dengan liur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat-saat perjalanan terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dunia, dan awal perjalanan menuju akhirat. Terlebih lagi, Allah subhanahu wa ta’ala mengambil ruh Khalil-Nya yang paling mulia di atas pangkuan ‘Aisyah, dalam pelukan beliau radhiallahu ‘anha.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mencelupkan
tangannya ke dalam air yang ada di hadapannya. Kemudian beliau
mengusapkan air itu ke wajahnya sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah. Sungguh, kematian itu ada
rasa sakitnya.”6
Setelah itu beliau mengangkat tangannya dan berkata, “Bersama teman yang
tertinggi.” Kalimat ini beliau ulang-ulang sampai beliau mengembuskan
nafas yang terakhir. Ucapan ini menunjukkan betapa rindunya beliau
bertemu dengan Kekasihnya, Allah subhanahu wa ta’ala.
Tangan yang mulia itu pun terkulai. Ruh suci itu telah kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Fathimah radhiallahu ‘anha yang turut melepas keberangkatan ayahanda tercinta tak dapat membendung tangisnya. Sambil berurai air mata, beliau radhiallahu ‘anha
berseru lirih, “Duhai Ayahanda, kepada Jibril kusampaikan berita duka
ini. Duhai Ayahanda, alangkah dekatnya kepada Rabbnya. Duhai Ayahanda,
surga Firdaus tempat kembalinya. Duhai Ayahanda, dia sambut panggilan
Rabbnya.”7
Senin, di bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H, Manusia Agung telah pergi.
Mewariskan landasan hidup yang kekal abadi, bagi para pencari
kebahagiaan yang sejati.
Tangis pun meledak. Hujan air mata di kamar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Tak ada ratapan, dan tak ada kata yang terucap selain yang diserukan Fathimah radhiallahu ‘anha.
Semua yang ada di dalam rumah itu tak kuasa menahan duka. Bagaimana
mungkin? Tidak ada musibah yang lebih hebat daripada kehilangan kekasih
yang sangat dicintai. Oleh sebab itu, menangislah wahai kaum muslimin,
wahai umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan
tetapi, ingatlah, musibah di atas musibah, adalah jika kita tidak
bertemu juga dengan beliau di telaga al-Haudh. Tidak pula menjadi
tetangga beliau di dalam jannah (surga). Na’udzu billah min dzalik.
Gelap. Kota Madinah seakan gelap gulita. Kekasih mulia telah pergi
memenuhi janji bertemu Rabbnya di tempat yang tertinggi. Mimbar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan-akan turut merasakan kesedihan yang melanda para sahabat.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah melihat keadaan yang lebih indah dan cerah dibandingkan ketika masuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah. Dan (sekarang) aku tidak pernah melihat keadaan yang lebih buruk dan pekat dibandingkan saat wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”8
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah melihat keadaan yang lebih indah dan cerah dibandingkan ketika masuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah. Dan (sekarang) aku tidak pernah melihat keadaan yang lebih buruk dan pekat dibandingkan saat wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”8
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan, wahai junjungan! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
membalasimu dengan kebaikan atas jasamu terhadap umatmu. Shalawat dan
salam semoga senantiasa Dia limpahkan atasmu, keluarga, dan para
sahabatmu, serta orang-orang yang mengikutimu dengan baik hingga hari
pembalasan.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Catatan Kaki:
1 Syu’abul Iman karya al-Imam al-Baihaqi
(1/81). Kata beliau, “Al-Imam Ahmad mempunyai salaf (pendahulu) yang
benar dalam masalah ini.” Diriwayatkan yang seperti itu juga dari Atha’
bin Yasar rahimahullah.
2 HR. al-Bukhari (2/612).
3 HR. al-Bukhari (1/408) dan Muslim (1/376).
4 HR. Ibnu Majah (1/389), disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani.
5 HR. al-Bukhari (2/641).
6 HR. al-Bukhari (2/640).
7 HR. Ibnu Majah (1630), disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani.
8 HR. At-Tirmidzi (5/588).
Posting Komentar