
Hukum-Hukum Barang Gadaian Selama Dalam Status Digadaikan
1. Biaya barang gadaian/rahin ditanggung oleh pegadai/rahin
Apabila penggadai mengeluarkan biaya, ada dua kemungkinan:
a. Dengan niat sedekah, maka tidak ada hak meminta ganti tentunya.
b. Dengan niat meminta kembali, ini pun ada beberapa macam :
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin lantas ia tidak memintanya, maka ia tidak boleh meminta ganti rugi karena ini adalah kesalahannya.
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin dan ia memintanya, maka boleh meminta ganti rugi karena dia di sini ibarat wakil pemilik barang.
• Dalam keadaan tidak mungkin meminta izin karena halangan tertentu yang diterima secara syar’i, maka ia boleh meminta ganti rugi karena diamengeluarkan biaya demi menjaga haknya. Bahkan, ia telah berbuat baik kepadapegadai/rahin.(ManarusSabil, 2/89)
3. Murtahin memanfaatkan barang gadaian/rahn
Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan :
6. Apabila rahn rusak atau mati
Pembiayaan barang gadaian ditanggung
oleh pegadai/rahin, mulai makannya, pakaiannya, tempat tinggal atau
penyimpanannya, penjaganya, pengawetannya, hingga apa saja yang
memerlukan pembiayaan. Ini adalah pendapat Malik dan asy-Syafi’i.
Alasannya, pembiayaan tersebut adalah bagian dari nafkah terhadapnya,
dan barang tersebut tetap berstatus sebagai miliknya. Dalam hal ini ada
sebuah riwayat yang mursal (lemah),
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Barang gadaian tidak boleh ditutup, miliknyalah keuntungannya dan
atasnyalah kerugiannya.” (HR. ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan
al-Baihaqi. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 1410)
Namun, banyak ulama yang sependapat
dengan kandungan riwayat tersebut karena selaras dengan alasan bahwa
barang itu masih menjadi miliknya, sebagaimana apabila berkembang tetap
miliknya, ketika berkurang dan membutuhkan biaya pun menjadi
tanggungannya. (al-Mughni 6/517, ManarusSabil 2/89, al-Mulakhash
al-Fiqhi 2/55)
2. Apabila murtahin mengeluarkan biaya, bolehkah ia meminta ganti kepada rahin?Apabila penggadai mengeluarkan biaya, ada dua kemungkinan:
a. Dengan niat sedekah, maka tidak ada hak meminta ganti tentunya.
b. Dengan niat meminta kembali, ini pun ada beberapa macam :
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin lantas ia tidak memintanya, maka ia tidak boleh meminta ganti rugi karena ini adalah kesalahannya.
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin dan ia memintanya, maka boleh meminta ganti rugi karena dia di sini ibarat wakil pemilik barang.
• Dalam keadaan tidak mungkin meminta izin karena halangan tertentu yang diterima secara syar’i, maka ia boleh meminta ganti rugi karena diamengeluarkan biaya demi menjaga haknya. Bahkan, ia telah berbuat baik kepadapegadai/rahin.(ManarusSabil, 2/89)
3. Murtahin memanfaatkan barang gadaian/rahn
Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan :
Pertama, yang tidak membutuhkan biaya,
seperti rumah dan perhiasan. Barang jenis ini tidak boleh dimanfaatkan
tanpa seizin pegadai/rahin. Bahkan, dengan izin pun tidak boleh
dimanfaatkan apabila itu adalah barang gadaian dari sebuah utang, karena
memanfaatkannya berarti telah mengambil sebuah manfaat dari utangnya.
Sementara itu, kaidah menyebutkan, “Setiap utang yang membawa kepada
pengambilan manfaat, maka itu adalah riba.”
Kedua, yang membutuhkan biaya, maka sama
dengan sebelumnya. Lain halnya apabila dalam bentuk hewan yang
menghasilkan susu dan hewan yang dapat ditunggangi. Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama membolehkan pengambilan
manfaat dari susu dan punggungnya walaupun tanpa seizing pegadai/rahin,
selama dia mengeluarkan biaya makan hewan tersebut, maka ia dapat
memanfaatkan seukuran biayanya. Dalam hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian dapat ditunggangi dengan
member biayanya apabila dalam keadaan tergadai, dan susu juga dapat
diminum dengan nafkahnya apabila dalam keadaan tergadai, dan kewajiban
yang menaiki dan meminumnya untuk memberi nafkah.” (Shahih, HR.
al-Bukhari).
Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah.
Pendapat lain, tidak boleh memanfaatkan
barang gadaian tersebut sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah,
Malik, dan asy-Syafi’i rahimahumullah.
Pendapat pertama lebih kuat, sesuai
dengan teks hadits. Masalah lain, barang gadaian selain yang dapat
diambil susunya atau ditunggangi.
Barang seperti ini bisa dibagi menjadi
dua: (1) hewan atau budak; (2), rumah dan semisalnya. Adapun hewan,
budak, dan sejenisnya, tidak boleh dimanfaatkan menurut pendapat yang
rajih. Abu Bakr al-Atsram mengatakan, “Yang diamalkan adalah tidak boleh
memanfaatkan barang gadaian sedikit pun selain yang dikhususkan oleh
syariat. Sebab, qiyasnya menuntut, tidak boleh memanfaatkan sedikit pun
darinya. Adapun kami membolehkan pemanfaatan hanya pada yang diperah dan
dinaiki karena adanya hadits.”
Pendapat lain membolehkan jika
pemilik/rahin tidak mau menafkahi. Namun, pendapat ini lemah. Adapun
rumah yang butuh pembiayaan, misalnya rumah yang rusak, murtahin tidak
boleh memanfaatkannya walaupun telah memperbaikinya. Sebab, pemiliknya
saja tidak punya kewajiban memperbaiki, sehingga apabila murtahin
memperbaikinya, itu dianggap sedekah.
Catatan: Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, apabila murtahin memanfaatkan rahn dengan memakainya,
menungganginya (selain cara yang dibolehkan), mengenakan baju gadaian,
menyusukan anak kepadanya (apabila seorang budak wanita), memanfaatkan
hasil lainnya, menempatinya, atau selainnya, hal itu dihitung sebagai
pengurang piutangnya seukuran itu. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan
bahwa utang pegadai/rahin dianggap terbayar seukuran dengan nilainya,
karena manfaat dari barang gadai tersebut adalah milik pegadai…. (lihat
al-Mughni, 6/509—513)
4. Rahin memanfaatkan barang gadaian/rahn
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
“Tidak boleh bagi pegadai memanfaatkan barang gadaiannya… dan tidak
boleh bertransaksi atasnya, baik menyewakan, meminjamkan, atau selain
keduanya tanpa keridhaan murtahin. Ini adalah pendapat ats-Tsauri.
Adapun menjaga dan memperbaikinya, ini adalah keharusan bagi
rahin.”(al-Mughni, 6/516—517)
Akan tetapi, apabila pegadai/ rahin diberi izin oleh murtahin untuk memanfaatkannya, hal ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dasarnya adalah keumuman hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
Akan tetapi, apabila pegadai/ rahin diberi izin oleh murtahin untuk memanfaatkannya, hal ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dasarnya adalah keumuman hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian ditunggangi dengan
nafkahnya apabila digadaikan, dan susu hewan yang mengeluarkan susu
dapat diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan kewajiban yang
menunggangi dan meminum adalah member nafkah.” (Shahih, HR. al- Bukhari
dan yang lain)
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan
bahwa barang siapa menggadaikan hewan yang dapat diperah dan
ditunggangi, ia tidak dihalangi untuk memerah susunya dan
menungganginya. Namun, tentu pemanfaatan tersebut selama tidak
bermudarat terhadap barang gadaian. (Abhats Hai’ah Kibar Ulama, Bab
“ar-Rahn”)
5. Hasil dari rahn
Globalnya, seluruh perkembangan dan
hasil dari rahn menjadi barang gadaian di tangan pemegang barang gadaian
tersebut, seperti pokoknya. Apabila dibutuhkan untuk dijual maka dijual
bersama pokoknya, baik hasil yang berkembang itu tersambung dengan
pokoknya -seperti kegemukan atau kepintaran-maupun yang terpisah-
seperti penghasilan keterampilan, upah, anak, buah, susu, wol, dan bulu.
Pendapat semacam ini yang diambil oleh an-Nakha’i dan asy-Sya’bi.
Alasannya, hukum gadai telah tetap pada barang tersebut dengan akad dari
pemilik sehingga termasuk di dalamnya perkembangan dan manfaat yang
dihasilkannya, sebagaimana kepemilikan dalam hal pembelian dan
perkembangan itu adalah perkembangan dari barang gadaian tersebut.
(al-Mughni, 6/513)
Masih ada pendapat lain selain pendapat di atas, namun inilah yang rajih.6. Apabila rahn rusak atau mati
Apabila terjadi kerusakan pada sebagian
barang gadaian, yang masih tersisa tetap menjadi barang gadaian sebagai
jaminan atas seluruh utangnya. Namun, kerusakan selama dalam pegangan
penggadai/murtahin, siapakah yang menanggungnya? Ada dua kemungkinan.
a. Kerusakan tersebut karena kesengajaan
penggadai atau kelalaiannya, maka dia yang menanggungnya. Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata, “Apabila murtahin melakukan perusakan pada barang
gadaian atau menyepelekan penjagaan barang gadaian yang berada dalam
pemeliharaannya, dia harus menanggung ganti rugi. Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat dalam hal wajibnya ditanggung penggadai.
Sebab, ini adalah amanat yang ada di tangannya. Ia juga wajib
menggantinya apabila rusak karena kesengajaan atau kelalaiannya,
layaknya sebuah barang titipan (wadi’ah).”
b. Apabila rusak tanpa kesengajaan atau
kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti. Kerusakan ini jika terjadi pada
harta pegadai/rahin. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib,
dan dipegangi oleh Atha’, az-Zuhri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur,
dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 6/522)
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Persyaratan antara Rahin dan Murtahin
1. Syarat antara rahin dan murtahin dalam rahn, syarat sah dan syarat fasid
Yang rajih adalah tidak batal, hanya syaratnya yang batal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (lihat al-Mughni, 6/505—507, 510)
2. Sepakat untuk menyerahkan rahn kepada seseorang yang dipercaya atau lebih
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Persyaratan yang terjadi antara kedua
belah pihak pada barang gadaian dibagi menjadi dua, syarat yang sahih
(benar) dan syarat yang fasid (rusak/batal).
Syarat sahih, misalnya,
salah satunya memberikan syarat bahwa barang gadaian diamanatkan kepada
seorang jujur yang dia tentukan, atau dua orang, atau sekelompok orang.
Atau ia mempersyaratkan, nanti yang menjualnya adalah orang yang jujur tersebut di saat jatuh tempo dan rahin
tidak dapat membayar. Kata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat tentang sahnya hal ini.” Atau, ia mensyaratkan bahwa
yang menjualnya nanti adalah penggadai/ murtahin. Ini juga sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik, ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Sementara itu, asy-Syafi’i memandang
tidak sah pada syarat yang terakhir ini. Yang rajih adalah pendapat
pertama, dengan alasan bahwa selama boleh mewakilkan kepada selain
murtahin, boleh pula mewakilkan kepada murtahin, sebagaimana penjualan
barang-barang yang lain.
Syarat fasid, globalnya adalah semisal syarat yang bertolak belakang dengan maksud rahn. Contohnya:- Agar barang gadaian tidak dijual ketika jatuh tempo dan tidak bisa bayar.
- Agar utang tidak dilunasi dengan nilai dari barang itu.
- Tidak boleh dijual saat dikhawatirkan rusak.
- Barang dijual berapa pun harganya.
- Tidak dijual selain dengan harga yang diridhai oleh rahin.
- Agar rahin punya hak khiyar (pilih).
- Akad rahn tidak menetap padanya.
- Rahn dibatasi waktu tertentu.
- Sehari menjadi barang gadaian, sehari tidak.
- Rahn/barang gadaian harus berada di tangan rahin.
- Rahin/pegadai boleh memanfaatkannya.
- Murtahin/penggadai memanfaatkannya.
- Apabila rusak, ditanggung murtahin.
- Apabila rusak, ditanggung oleh orang yang diamanati.
Ini semua adalah syarat yang rusak,
karena di antaranya ada syarat yang bertentangan dengan maksud akad
pergadaian atau tidak sejalan dengan akad pergadaian, serta tidak
memerhatikan maslahat barang gadaian tersebut.
Termasuk syarat yang rusak adalah apabila jatuh tempo dan rahin tidak mampu bayar, maka barang menjadi milik murtahin, dan telah dibahas sebelum ini.
Apabila terjadi persyaratan yang fasid, apakah akad pergadaiannya batal?Yang rajih adalah tidak batal, hanya syaratnya yang batal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (lihat al-Mughni, 6/505—507, 510)
2. Sepakat untuk menyerahkan rahn kepada seseorang yang dipercaya atau lebih
Ini termasuk kesepakatan yang diperbolehkan. Orang tersebut menjadi wakil murtahin dalammengqabdh
barang gadaian tersebut. Ini adalah pendapat Atha’, Thawus, Malik,
asy-Syafi’i, dan yang lain. Apabila diamanatkan kepada dua orang,
keduanya harus menjaga rahn sesuai dengan amanat. Ketika orang yang
diamanati menyatakan ketidaksanggupan, harus diterima. (al-Mughni, 6/470—472)
3. Sepakat untuk dijual olehnya saat tidak bisa bayar
Apabila kedua belah pihak juga sepakat
bahwa orang yang diamanatilah yang menjual barang tersebut apabila telah
jatuh tempo, ini adalah kesepakatan atau persyaratan yang sah menurut
Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i. Ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu
Qudamah.
Apabila pegadai membatalkan amanat, hal ini juga sah menurut asy-Syafi’i. (lihat al-Mughni, 6/473)
4. Apabila sekelompok orang menggadaikan sebuah barang Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Apabila sekelompok orang bergadai dan menggadaikan barangnya
kepada seseorang, atau (sebaliknya) seseorang bergadai dan menggadaikan
barangnya pada sekelompok orang, siapa saja dari kelompok tersebut yang
melunasi utangnya, lepaslah bagiannya dari barang gadaian tersebut.
Adapun bagian teman-temannya tetap menjadi barang gadaian sesuai dengan
nilainya.
Demikian pula apabila satu orang yang
bergadai tersebut melunasi utangnya kepada sebagian kelompok tersebut
namun belum kepada yang lainnya, hak orang yang dilunasi atas barang
gadaian tersebut berarti hilang. Dengan demikian, senilai itu pula hak
kembali kepada pegadai, sedangkan yang lain masih tetap sebagai barang
yang tergadai pada para penggadai tersebut.” (al-Muhalla, 8/107)
5. Apabila pegadai/rahin atau penggadai/murtahin meninggal dunia
Para fuqaha berpendapat bahwa akad
pergadaian tidak terbatalkan dengan kematian salah satu dari kedua orang
yang berakad setelah barang gadaian itu tetap statusnya sebagai barang
gadaian.
Apabila pegadai meninggal dunia, ahli
warisnya mewakilinya dan barang tersebut tetap di tangan murtahin atau
ahli warisnya. Barang gadaian tidak lepas melainkan dengan dilunasinya
utang atau dilepaskannya oleh penggadai/ murtahin, maka murtahin lebih
berhak atas barang gadaian itu dan harganya apabila dijual selama masa
hidup rahin atau setelah wafatnya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyahal-Kuwaitiyyah, melalui program asy-Syamilah 7/32)
Namun, tampaknya Ibnu Hazm menyelisihi
mereka. Beliau mengatakan, “Apabila rahin atau murtahin meninggal dunia,
akad pergadaian menjadi batal, dan barang gadaian tersebut wajib
dikembalikan kepada rahin atau ahli warisnya….” (al-Muhalla, 8/100)
6. Apabila terjadi perbedaan antara rahin dan murtahin
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah
membuat bab dalam masalah ini dengan judul “Bab apabila rahin dan
murtahin berselisih dan semacamnya, bukti-bukti adalah kewajiban
pendakwa dan sumpah adalah kewajiban terdakwa yang mengingkari.”
Maksudnya, apabila pendakwa memiliki
bukti yang dapat diterima secara syar’i, hal itu menjadi patokan dalam
menentukan hukum. Namun, apabila pendakwa tidak dapat mendatangkan bukti
dan terdakwa ingin mengingkarinya, terdakwa cukup bersumpah. Lalu
beliau menyebutkan hadits dari Ibnu Abi Mulaikah,
كَتَبْتُ
إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَكَتَبَ إِلَيَّ أَنَّ النَّبِيَّ -صل الله عليه
وسلم- قَضَى أَنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
“Aku menulissuratkepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menulis pula (jawabannya) kepadaku bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa sumpah itu kewajiban orang yang tertuduh.”
Demikian pula hadits Abu Wail, bahwa Abdullah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
مَنْ
حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً وَهْوَ فِيهَا فَاجِرٌ،
لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ
ذَلِكَ {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ
ثَمَنًا قَلِيلاً –فَقَرَأَ إِلَى– عَذَابٌ أَلِيمٌ{
“Barangsiapa bersumpah dengan sebuah
sumpah yang menjadikan dirinya berhak atas suatu harta padahal
sumpahnya palsu, dia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah
marah kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat yang membenarkannya
(artinya), ‘Sesungguhnya orang -orang yang menukar janji (nya dengan)
Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu
tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan
berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih’.” (Ali Imran: 77)
Kemudian, Asy’ats bin Qais keluar menemui kami lalu berkata,
“(Abdullah) Abu Abdurrahman menyebutkan hadits apa kepada kalian?” Kami
pun menyebutkannya. Beliau mengatakan,
صَدَقَ،
لَفِيَّ وَاللهِ أُنْزِلَتْ، كَانَتْ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُومَةٌ
فِي بِئْرٍ فَاخْتَصَمْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ -صل الله عليه وسلم-:
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ -صل الله عليه وسلم- شَاهِدُكَ أَوْ يَمِينُهُ
قُلْتُ: إِنَّهُ إِذًا يَحْلِفُ وَلاَ يُبَالِي. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ-صل
الله عليه وسلم- مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً هُوَ
فِيهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ. فَأَنْزَلَ
اللهُ تَصْدِيقَ ذَلِكَ، ثُمَّ اقْتَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: {إِنَّ الَّذِينَ
يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً – إِلَى –
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ{
“Benar beliau. Dalam urusanku -demi
Allah- ayat ini turun. Dahulu antara aku dan seseorang ada pertikaian
dalam urusan sebuah sumur. Kami mengadukannya kepada Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka beliau mengatakan,‘Saksimu atau sumpahnya.’ Aku menjawab,‘Kalau
begitu, dia akan bersumpah dan tidak akan peduli.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata,‘Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menyebabkan
dirinya berhak atas sebuah harta padahal sumpahnya palsu, ia akan
berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala dalam keadaan Allah Subhanahu wata’ala marah kepadanya.’ Allah Subhanahu wata’ala
lalu menurunkan ayat yang membenarkan hal itu.” Lalu beliau membacaayat
ini (artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya
dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka
itu tidak mendapat bagian (pahala) diakhirat, dan Allah tidak akan
berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih.” (Ali Imran: 77)
Maksud al-Bukhari rahimahullah adalah
memahamkan hadits ini sesuai dengan keumumannya, menyelisihi pendapat
yang mengatakan bahwa perbedaan dalam hal pergadaian, yang diterima
adalah pendapat murtahin selama (nilai utang yang diklaimnya) tidak
melebihi nilai barang gadaian. Demikian kata Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Bari, 5/145)
Dengan demikian, kaidah pemutusan
perselisihan dalam hal ini secara garis besar sama dengan perselisihan
dalam masalah lain. Untuk melihat pendapatpendapat para ulama secara
lebih luas bisa dirujuk pada kitab al-Mughni (6/524).
7. Apabila rahin tidak lagi diketahui orangnya atau tempat tinggalnya.
Abul Harits menukil dari al-Imam Ahmad rahimahullah
tentang masalah barang gadaian yang ada dalam kekuasaannya selama
bertahun-tahun. Ia telah putus asa untuk mengetahui para pemiliknya.
Kata al-Imam Ahmad rahimahullah, “Ia menjualnya dan menyedekahkan sisanya.” Tampak dari riwayat ini bahwa penggadai mengambil haknya terlebih dahulu. (al-Mughni: 6/534-535)
Ada pula riwayat lain dari beliau yang dipahami bahwa murtahin tidak
mengambil haknya. Adapun apabila dia membawa urusannya kepada hakim lalu
hakim menjualnya dan memberikan haknya kepadanya, itu pun boleh. (al-Mughni, 6/535)Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Beberapa Persoalan Seputar Gadai
Menahan Barang Dagangan Sebagai Gadai
Kebun Dimanfaatkan Penerima Gadai
Hadits lemah, lihat Irwa’ul Ghalil no. 1398. Namun tentang maknanya, ulama menerimanya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Anggota: Shalih al-Fauzan, Abdullah bin Ghudayyan, Abdul Aziz Alu asy-Syaikh
Zakat pada Barang yang Tergadai
Apa hukum zakat pada harta milik saya yang digadaikan, apakah wajib atas saya menzakatinya ataukah tidak?
Jawab:
Gadai Konvensional
Bagaimana halnya dengan gadai konvensional?
Jawab :
Gadai Motor, Bolehkan Dimanfaatkan?
Bolehkah benda gadai berupa motor atau mobil kita manfaatkan dengan kita membayar bahan bakarnya?
Jawab :
Menggadaikan BPKB
Apakah penyerahan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah berarti qabdh terhadap kendaraan bermotor yang dijadikan gadai?
Jawab:
Jika seseorang membeli emas dari kami,
namun masih ada sebagian yang belum dibayar, lantas kami menahan
sebagian emas tersebut sebagai gadai atas kekurangan yang belum
terbayar. Apakah hal ini diperbolehkan?
Jawab:
Tidak boleh menjual emas dengan dibayar
perak melainkan kontan. Dengan demikian, gambaran tersebut (dalam
pertanyaan) tidak boleh.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil : Abdurrazzaq Afifi ; Anggota : Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud.
Kebun Dimanfaatkan Penerima Gadai
Di sebagian perdesaan di Mesir marak
pergadaian lahan-lahan pertanian. Gambarannya, seseorang yang butuh uang
meminjam uang dari orang lain. Sebagai imbalannya, pemilik uang
(kreditur) mengambil lahan pertanian milik orang yang meminjam sebagai
barang gadaian. Orang yang meminjami mengambil tanah tersebut,
memanfaatkan buah-buahannya atau apa yang dihasilkan dari kebun
tersebut. Adapun pemilik tanah tidak mengambil hasil bumi itu sama
sekali. Selanjutnya, tanah pertanian berada di bawah pengelolaan yang
mengutangi sampai yang berutang melunasi pinjamannya. Apa hukum
pergadaian tanah pertanian tersebut, yaitu mengambil hasil buminya,
halal ataukah haram?
Jawab :
Barang siapa mengutangi atau meminjami,
ia tidak boleh mensyaratkan kepada orang yang berutang suatu manfaat
atau faedah sebagai imbalan atas peminjamannya tersebut, berdasarkan apa
yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), “Setiap utang yang mendatangkan suatu manfaat itu adalah riba.”
Para ulama telah sepakat menyepakati hal
tersebut, di antara contoh manfaat tersebut adalah apa yang telah
disebutkan dalam pertanyaan, yaitu pergadaian sebuah tanah oleh orang
yang berutang kepada yang meminjami, lalu pemanfaatannya diserahkan
kepada pemiutang hingga pengembalian pinjaman yang menjadi kewajiban
pemilik tanah.
Demikian pula dalam hal tanggungan,
tidak boleh bagi orang yang meminjami (kreditur) untuk memetik hasil
bumi atau memanfaatkannya sebagai imbalan atas tempo yang diberikan
kepada orang yang punya tanggungan (debitur). Sebab, maksud gadai adalah
jaminan demi memperoleh utang atau pinjaman, bukan sebagai imbalan
pemberian utang.
Bukan pula imbalan atas pemberian tangguh atau jangka waktu pelunasan. Allah Subhanahu wata’ala -lah yang memberi taufik, semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya.Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Anggota: Shalih al-Fauzan, Abdullah bin Ghudayyan, Abdul Aziz Alu asy-Syaikh
Zakat pada Barang yang Tergadai
Apa hukum zakat pada harta milik saya yang digadaikan, apakah wajib atas saya menzakatinya ataukah tidak?
Jawab:
Kita harus mengetahui dahulu apakah
harta yang digadaikan itu harta zakat atau bukan. Kalau itu termasuk
harta zakat, keberadaannya sebagai barang gadaian tidak menghalanginya
untuk dizakati.
Sebagai contoh, seorang wanita
menggadaikan perhiasannya kepada seseorang. Hal itu tidak menghalanginya
untuk mengeluarkan zakat perhiasannya, karena perhiasan itu wajib
dizakati. Apabila ia menggadaikannya, pergadaian tersebut tidak
menggugurkan kewajiban zakatnya, karena pergadaian tidak memindahkan
kepemilikan harta.
Adapun jika barang gadaian tersebut
bukan harta yang wajib dizakati, misalnya seseorang menggadaikan
rumahnya, maka rumah tidak ada zakatnya, baik dia gadaikan maupun tidak,
selama tidak diperdagangkan.
Apabila rumah itu disiapkan untuk
diperdagangkan, tidak mungkin/boleh digadaikan. Sebab, seseorang yang
sering jual beli rumah tidak mungkin menjadikannya sebagai barang
gadaian, bahkan mesti menjadi barang lepas yang bisa dia pakai untuk
jual beli. (Ibnu Utsaimin)
Gadai Konvensional
Bagaimana halnya dengan gadai konvensional?
Jawab :
Dalam praktik gadai konvensional tedapat
beberapa hal yang tidak sejalan dengan syariat. Di antaranya, nasabah
diharuskan membayar sewa modal atau bunga. Ini termasuk riba yang
diharamkan dalam agama.
Terdapat pula pasal, “Tidak laku/lebih
rendah dari taksiran dibeli pemerintah, kerugian ditanggung kantor
pegadaian.” Ini juga tidak sesuai syariat. Menurut syariat, segala
kerugian pada barang gadai ditanggung pemberi gadai, termasuk dalam hal
ini ketika tidak laku, maka kerugian tetap dalam tanggungan pegadai.
Di samping itu, ada biaya asuransi.
Asuransi itu sendiri tidak sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana telah
dijelaskan dalam edisi 16 dan 29.
Gadai Motor, Bolehkan Dimanfaatkan?
Bolehkah benda gadai berupa motor atau mobil kita manfaatkan dengan kita membayar bahan bakarnya?
Jawab :
Sebatas yang kami ketahui, jika barang
tersebut adalah barang gadaian dari sebuah piutang, tidak boleh
dimanfaatkan walaupun kita yang membayar bahan bakarnya. Sebab,
pemakaian itu sendiri sudah punya nilai. Buktinya, ada penyewaan sepeda
motor dan mobil. Dengan demikian, penggadai/penerima gadai/murtahin
dengan piutangnya telah mengambil manfaat, maka itu riba.
Tidak dapat pula dikiaskan antara mobil
atau motor dan punggung unta atau sapi yang dapat ditunggangi karena
murtahin memberi makan kepadanya. Hewan adalah makhluk hidup yang sangat
tergantung pada kebutuhan hidup berupa makanan. Oleh karena itu, siapa
yang memberi makan, dia yang memanfaatkan, baik pegadai maupun
penggadai. Sebaliknya, benda mati tidak membutuhkan makanan. Seandainya
dua belah pihak tidak memedulikan barang tersebut, tidak begitu
bermasalah.
Menggadaikan BPKB
Apakah penyerahan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah berarti qabdh terhadap kendaraan bermotor yang dijadikan gadai?
Jawab:
Ini termasuk masalah kontemporer yang insya Allah akan kami tanyakan kepada para ulama. Namun, untuk kehati-hatian, kami memandang bahwa hal itu belum termasuk qabdh.
Sebab, pada kenyataannya ada orang yang menggadaikan BPKB di suatu
tempat, lantas ia menggadaikan kendaraan bermotornya di tempat yang
lain.
Ada pula penjualan kendaraan bermotor
tanpa BPKB. Atas dasar itu, untuk qabdh kendaraan bermotor harus
benar-benar kendaraan tersebut diserahkan kepada murtahin/penerima
gadai. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, LcTanya Jawab Ringkas
Menelan Ingus Saat Berpuasa
Apakah puasa batal disebabkan menelan ingus yang terasa di tenggorokan karena sedang sakit flu? +6281390XXXXXX
Ingus (dahak) yang langsung turun kekerongkongan lalu ditelan tidak membatalkan puasa karena tidak bisa dihindari. Berbeda halnya jika turun ke mulut, harus diludahkan. Jika turun ke mulut lantas ditelan, akan membatalkan puasa, menurut pendapat yang rajih. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Merokok Membatalkan Puasa
Apakah merokok membatalkan puasa? +6281331XXXXXX
Ya, merokok membatalkan puasa. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Transfusi Darah Saat Berpuasa
Bolehkah kita melakukan transfuse darah pada saat berpuasa? +6285641XXXXXX
Menikahkan Gadis dengan Pemuda yang Telah Bertobat dari Maksiat
Bismillah. Bagaimanakah hokum orang yang kerja di pabrik rokok atau jual beli rokok? +6285733XXXXXX
Istri Tidak Mau Belajar Agama
Lailatul Qadar Hanya Untuk yang Beri’tikaf?
Apakah benar bahwa keutamaan lailatul qadar hanya didapatkan oleh mereka yang beri’tikaf? Rahmat -Situbondo
Zakat Fitrah dengan Uang
Mengapa zakat fitrah tidak boleh dengan uang? Bagaimana dengan zakat mal? +6281391XXXXXX
Zakat Fitrah untuk Takmir Masjid
Zakat Harta Piutang
Harta piutang (uang yang kita pinjamkan kepada orang lain) apakah wajib dikeluarkan zakatnya? +6287838XXXXXX
Piutang ada rinciannya menurut pendapat yang rajih :
Onani Membatalkan Puasa
Bagaimana hukum orang yang melakukan onani/masturbasi di bulan Ramadhan? +6285743XXXXXX
Menyusui Sekaligus Haid di Bulan Ramadhan
Apabila wanita menyusui di bulan Ramadhan dan datang haidnya di bulan tersebut, apakah ia mengqadha atau berfidyah? +6285341XXXXXX
Wanita Dinikahkan oleh Saudara Sepupu Ibu
Mendapat Pekerjaan karena Menyuap
Haramkah gaji orang yang mendapatkan pekerjaan dengan cara suap?+6285262XXXXXX
Istri Tahu, Suami Tidak Mencintainya
Zakat Fitrah dengan Jagung
Bolehkah seseorang membayar zakat dengan jagung, padahal makanannya setiap hari adalah nasi? +6282145XXXXXX
Masa Iddah Istri yang Belum Digauli
Apakah seorang istri yang ditalak oleh suami dalam keadaan qabla dukhul (belum digauli) tidak ada masa iddah?
Cadar untuk Anak-Anak
Apa hukum memakai cadar bagi muslimah? +628970XXXXXX
Apakah puasa batal disebabkan menelan ingus yang terasa di tenggorokan karena sedang sakit flu? +6281390XXXXXX
Ingus (dahak) yang langsung turun kekerongkongan lalu ditelan tidak membatalkan puasa karena tidak bisa dihindari. Berbeda halnya jika turun ke mulut, harus diludahkan. Jika turun ke mulut lantas ditelan, akan membatalkan puasa, menurut pendapat yang rajih. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Merokok Membatalkan Puasa
Apakah merokok membatalkan puasa? +6281331XXXXXX
Ya, merokok membatalkan puasa. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Transfusi Darah Saat Berpuasa
Bolehkah kita melakukan transfuse darah pada saat berpuasa? +6285641XXXXXX
Hukum transfusi darah (menyuplai
darah kepada orang sakit yang membutuhkan bantuan darah) boleh,
berdasarkan pendapat yang mengatakan berbekam bukan pembatal puasa.
Namun, dimakruhkan bagi yang khawatir dirinya akan melemah tubuhnya
karena darahnya diambil (apalagi biasanya dalam jumlah besar). Lain
halnya jik aorang sakit tersebut dalam kondisi darurat (terancam mati)
jika tidak disuplai darah, maka tidak mengapa bagi yang berpuasa wajib
mendonorkan darahnya. Jika dia menjadi lemah karenanya hingga sangat
berat melanjutkan puasanya (tersiksa) dan khawatir termudaratkan, ia
boleh berbuka dan mengqadhanya diluar Ramadhan. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Menikahkan Gadis dengan Pemuda yang Telah Bertobat dari Maksiat
Apakah kita boleh menikahkan anak gadis
kita dengan laki-laki yang dahulunya bermaksiat dan sekarang sudah
bertobat? Apakah kita boleh menundanya padahal si perempuan ingin segera
menikah? +6285733XXXXXX
Jika si laki-laki sudah bertobat
dengan tobat nashuha -dan Allah Maha Pengampun-, tidak mengapa
menikahkan keduanya jika saling menyukai. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Hukum Kerja di Pabrik RokokBismillah. Bagaimanakah hokum orang yang kerja di pabrik rokok atau jual beli rokok? +6285733XXXXXX
Yang benar, rokok diharamkan. Oleh
karena itu, tidak boleh kerja di pabrik rokok atau jual beli rokok,
karena kedua hal tersebut termasuk bentuk kerjasama dalam maksiat.
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melaknat
orang yang memakan (mengambil) riba, yang memberi riba, juru tulis, dan
dua saksi akad riba. (HR. Muslim dari Jabir).
Yang pertama jelas dilaknat karena
diam mengambil (memakan riba). Adapun yang memberi riba dilaknat karena
dia memberi riba pada akad yang dilakukannya bersama pemakan riba
tersebut, padahal dia yang dizalimi. Namun, ia ikut terlaknat karena
terlibat sehingga akad riba itu terjadi. Begitu pula halnya saksi dan
juru tulis akad riba tersebut. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Istri Tidak Mau Belajar Agama
Saya sudah belajar agama lebih dari lima
tahun, tetapi istri saya sulit dinasihati untuk menjadi muslimah yang
menjalankan sunnah. Saya mencari nafkah dan dia berada di rumah sehingga
saya mendoakan agar dia dibukakan pintu hatinya. Saya berkeinginan
untuk menalaknya. Bagaimana sikap saya seharusnya dalam masalah ini? +6285866XXXXXX
Nasihati semaksimal mungkin sampai
batas Anda tidak mampu lagi menyabarinya sehingga Anda butuh menalaknya
demi maslahat diri Anda. Jika maslahat Anda menuntut untuk
menceraikannya, semogaAllah Subhanahu wata’ala menggantikan dengan
wanita lain yang lebih baik dan salehah. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Diare, Berpuasa atau Tidak?
Jika kita sedang berpuasa tiba-tiba
sakit diare, apakah menahan untuk terus berpuasa dengan keadaan perut
sakit itu lebih baik daripada membatalkannya? Mengingat hari ini adalah
awal sepuluh hari terakhir puasa (masuk malam lailatul qadar). +6281326XXXXXX
Jika diare Anda ringan dan tubuh
Anda tidak terpengaruh dengan puasa, wajib tetap berpuasa. Jika diare
membuat tubuh Anda terasa lebih enak tanpa puasa, afdhal berbuka. Jika
Anda lemas dan berat menjalankan puasa, makruh berpuasa. Jika puasa akan
memudaratkan Anda, haram berpuasa. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Lailatul Qadar Hanya Untuk yang Beri’tikaf?
Apakah benar bahwa keutamaan lailatul qadar hanya didapatkan oleh mereka yang beri’tikaf? Rahmat -Situbondo
Hal itu tidak benar. Rasul
Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa beribadah (shalat
tarawih) dimalam lailatul qadar karena iman dan pahala, akan diampuni
baginya dosa-dosanya yang lalu,” tanpa mempersyaratkan harus i’tikaf. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Zakat Fitrah dengan Uang
Mengapa zakat fitrah tidak boleh dengan uang? Bagaimana dengan zakat mal? +6281391XXXXXX
Menurut pendapat yang rajih, zakat
fitrah dengan uang tidak sah. Adapun zakat mal boleh, apabila ada
tuntutan hajat atau maslahat. LihatMajalah Asy-Syari’ah edisi ‘Muslim
Taat Bayar Zakat.’ (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Zakat Fitrah untuk Takmir Masjid
Bolehkah zakat fitrah dibagikan kepada
selain fakir miskin? Misalnya, dibagikan kepada delapan ashnaf.
Mengingat takmir masjid di tempat kami mendapatkan jatah zakat fitrah. +6285266XXXXXX
Terdapat perbedaan pendapat dalam
masalah ini, tetapi yang benar zakat fitrah hanya khusus untuk fakir
miskin. Takmir masjid tidak berhak mendapatkan, walaupun menurut
pendapat yang mengatakan zakat fitrah untuk delapan golongan. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Zakat Harta Piutang
Harta piutang (uang yang kita pinjamkan kepada orang lain) apakah wajib dikeluarkan zakatnya? +6287838XXXXXX
Piutang ada rinciannya menurut pendapat yang rajih :
1. Pada orang yang mampu melunasi
dan amanah dalam melunasi utang, wajib dikeluarkan zakatnya apabila
mencapai nishab dan telah melewati satu periode (haul).
2. Pada orang yang tidak mampu
melunasi, atau mampu tetapi tidak amanah (menunda-nunda pembayarannya),
tidak terkena zakat. Namun, jika suatu ketika terlunasi juga, wajib
dikeluarkan zakatnya untuk tahun itu saja (saat terlunasi). (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Bagaimana hukum orang yang melakukan onani/masturbasi di bulan Ramadhan? +6285743XXXXXX
Onani membatalkan puasa seperti
halnya senggama, tetapi tidak ada kafaratnya menurut pendapat yang
rajah. Tentang onani bagi yang berpuasa secara rinci telah kami bahas
tuntas di Rubrik “Problema Anda” edisi 57 dan buku Fikih Puasa Lengkap. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Menyusui Sekaligus Haid di Bulan Ramadhan
Apabila wanita menyusui di bulan Ramadhan dan datang haidnya di bulan tersebut, apakah ia mengqadha atau berfidyah? +6285341XXXXXX
Kewajiban wanita yang menyusui dan bertepatan datang haidnya adalah mengqadha puasa, menurut pendapat yang rajih. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Wanita Dinikahkan oleh Saudara Sepupu Ibu
Bagaimana hukum seorang wanita yang
menikah tidak didampingi oleh walinya, hanya didampingi oleh saudara
sepupu ibunya (wanita), padahal ia masih punya ayah? Waktu itu ia
diperantauan, jauh dari orang tua. Selain itu, ia juga jahil, tidak tahu
hukumnya. Kalau mempunyai anak, status anaknya bagaimana? +6282140XXXXXX
Jika dia menyangka menikah tanpa
wali boleh -sebagaimana pendapat sebagian ulama-, pernikahan tersebut
berstatus nikah syubhat yang harus diulangi dengan pernikahan yang sah,
sedangkan anaknya sah sebagai anak keduanya. Jika ia menikah semaunya
saja dan atas dasar hawa nafsu tanpa dasar ilmu yang disangkanya benar,
hal itu batil dan anak tersebut adalah anak zina. Keduanya harus
berpisah sampai menikah kembali dengan cara yang sah. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Mendapat Pekerjaan karena Menyuap
Haramkah gaji orang yang mendapatkan pekerjaan dengan cara suap?+6285262XXXXXX
Suap yang haram adalah pemberian
harta yang menjadikan benar sesuatu yang batil atau menjadikan batil
suatu yang haq. Jika dengan itu sesuatu yang bukan haknya menjadi haknya
(kezaliman), hasil yang didapatkan dari pekerjaan tersebut
haram.Wallahua ’lam. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Istri Tahu, Suami Tidak Mencintainya
Ada suami yang perhatiannya lebih besar
untuk temannya daripada untuk istrinya sendiri. Si istri tahu bahwa si
suami tidak mencintai istrinya karena buruk rupanya. Bagaimana sikap si
istri? +6287894XXXXXX
Istri sebaiknya bersabar dan memperbaiki akhlak terhadap suami untuk mengimbangi kekurangan fisiknya. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Zakat Fitrah dengan Jagung
Bolehkah seseorang membayar zakat dengan jagung, padahal makanannya setiap hari adalah nasi? +6282145XXXXXX
Zakat fitrah wajib dibayarkan dengan
makanan pokok daerah setempat. Jadi, jika makanan pokoknya beras, wajib
dibayarkan dengan beras. Jika makanan pokoknya jagung, wajib dibayarkan
dengan jagung. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Masa Iddah Istri yang Belum Digauli
Apakah seorang istri yang ditalak oleh suami dalam keadaan qabla dukhul (belum digauli) tidak ada masa iddah?
Tidak ada masa iddah bagi wanita
yangdicerai qabla dukhul berdasarkan surat al-Ahzab ayat 49. Yang
dimaksud ‘qabladukhul’ menurut pendapat yang rajah- adalah sebelum
digauli (senggama) meskipun sudah berdua-duaan di kamar pengantin dan
terjadi apa yang terjadi selain senggama. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)
Cadar untuk Anak-Anak
Apa hukum memakai cadar bagi muslimah? +628970XXXXXX
Cadar yang dimaksud adalah penutup
wajah, selain jilbab yang dikenakan oleh seorang wanita. Jilbab berbeda
dengan cadar. Seorang muslimah yang telah baligh diwajibkan memakai
jilbab yang besar. Adapun cadar, terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Sebagian ulama mewajibkannya bagi muslimah. Adapun sebagian yang
lain menyatakan tidak wajib hukumnya, namun sunnah. Perbedaan pendapat
ini cukup kuat. Namun, perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ini
berlaku pada seorang muslimah yang sudah baligh. Adapun bagi anak-anak,
yakni yang belum baligh, maka sudah barang tentu tidak ada kewajiban
bagi mereka untuk mengenakan cadar. (al-Ustadz Qomar Suaidi)
Gadai Dalam Muamalah Non tunai
(Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Jika kalian dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) dan tidak memperoleh
seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang).” (al-Baqarah : 283)
Penjelasan Mufradat dan Makna Ayat
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ
“Jika kalian dalam perjalanan.” Artinya,
jika kalian dalam keadaan safar dan terjadi muamalah atau utang piutang
sampai batas waktu yang ditentukan,
وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
“Dan kalian tidak memperoleh penulis.”
Jumhur (mayoritas) ulama membacanya كَاتِبًا yang artinya seorang
(penulis) yang akan menulis untuk kalian. Ibnu Abbas, Ubai, adh-Dhahak,
‘Ikrimah, dan Abul ‘Aliyah membacanya كِتَابًا yang artinya buku/kertas
untuk menulis.
Al-Anbari rahimahullah menyebutkan bahwa Mujahid menafsirkannya dengan pena. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan, maknanya adalah kalian mendapatkan seorang penulis, namun
tidak ada kertas atau pena. Sebagai pengganti catatan/tulisan tersebut
adalah gadai barang dari orang yang meminjam.
فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh pemiutang).” Kata الرِّهَانُ artinya jaminan utang, yakni
barang gadai. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari, kata
الرَّهْنُ dengan memfathah ra’ dan mensukun ha’, secara bahasa berarti
الاِحْتِبَاسُ , yaitu menahan, sebagaimana ucapan mereka,
رَهَنَ الشَّيْءُ إِذَا دَامَ وَثَبَتَ
Artinya, sesuatu itu tergadai apabila dia diam dan tetap. Di antara penggunaan kata tersebut dalam al-Qur’an adalah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (al- Mudatstsir: 38)
Adapun secara syariat, rahn bermakna
menjadikan harta sebagai jaminan atas suatu utang. Mayoritas qurra’,
seperti Nafi’, ‘Ashim, Ibnu ‘Amir, Hamzah, dan al-Kisa’I rmae’mbacanya
رِهَانٌ dengan mengkasrah , memfathah ha’, dan menetapkan alif.
Adapun Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Abdul
Warits membacanya رُهُنٌ dengan mendhammah ra’ dan ha’, tanpa alif.
‘Ashim bin Abi an-Najud membacanya رَهْنٌ dengan memfathah dan mensukun
ha’.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan,
ulama yang membacanya dengan lafadz الرِّهَانُ menghendaki bentuk jamak
(plural) dari الرَّهْنُ . Adapun ulama yang membacanya dengan lafadz
الرُّهُنُ menghendaki bentuk jamak (plural) dari الرِّهَانُ ,
seakan-akan mereka menjamak suatu kata yang sudah dalam bentuk jamak.
Az-Zajjaj, Ibnul A’rabi, dan al-Akhfasy
mengatakan bahwa kata الرَّهْنُ bisa ditempatkan pada kata وَأَرْهَنْتُ
رَهَنْتُ. Abul Farisi mengatakan, kata أَرْهَنْتُ ditempatkan dalam
muamalah, sedangkan رَهَنْتُ ditempatkan dalam pinjam-meminjam dan jual
beli.
Gadai, Jaminan Saat Safar dan Mukim
Ibnul Jauzi dalam tafsirnya, Zadul Masir,
menyebutkan alasan dikhususkannya barang tanggungan/jaminan ketika
terjadi muamalah tidak secara tunai di waktu safar. Kata beliau, pada
umumnya saat safar adalah keadaan yang sulit dijumpai adanya seorang
penulis dan saksi. Dengan demikian, diperlukan adanya barang tanggungan
sebagai jaminan kepercayaan atas pihak yang berutang di sisi pihak yang
berpiutang (mengutangi).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, pada tafsir ayat sebelumnya (al-Baqarah: 282) menyatakan, Allah Subhanahu wata’ala
telah menyebutkan disyariatkan adanya catatan dan saksi ketika terjadi
muamalah tidak secara tunai (seperti jual beli, utang-piutang, atau
sewa-menyewa) dalam batas waktu yang ditentukan. Gunanya adalah untuk
menjaga harta dan tidak menimbulkan keraguan. Setelahnya, disusul oleh
ayat yang menyebutkan keadaan yang umumnya seseorang sulit mendapatkan
penulis, seperti ketika safar. Jadi, kesulitan tersebut digantikan
kedudukannya oleh pensyariatan gadai. Ulama mengatakan bahwa
disyariatkannya gadai di waktu safar ditetapkan berdasarkan nash/dalil
al-Qur’an. Adapun disyariatkannya gadai di waktu mukim (di rumah, tidak
sedang bepergian) ditetapkan berdasarkan perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syinqithi rahimahullah
mengatakan, dari ayat ini, sebagian ulama mengambil pendapat bahwa gadai
tidaklah disyariatkan selain dalam safar. Di antara ulama yang
berpendapat demikian adalah Mujahid, adh-Dhahhak, dan Dawud
(azh-Zhahiri). Akan tetapi, yang benar gadai berlaku juga di waktu
mukim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, sebagaimana hadits Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu,
دِرْعَهُ بِشَعِيرٍ صل الله عليه وسلم وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ
“Sungguh, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan gandum.” (HR. al-Bukhari)
Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli makanan (gandum) dari seorang Yahudi (Abu Syahm) tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan (setahun), dan beliau menggadaikan
baju besinya.” (HR. al-Bukhari)
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, gadai diperbolehkan di waktu mukim meskipun didapati adanya penulis. Al Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam kitab Shahih-nya, pada “Kitabur Rahn”, “Bab fi ar-Rahn fi al-Hadhar (Bab tentang gadai di waktu mukim)”, kemudian beliau menyebutkan surat al-Baqarah ayat 283, dan disusul hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Barang Gadai Harus Dipegang Pemiutang
Al-Baghawi mengatakan, para ulama
bersepakat bahwa gadai tidak sempurna kecuali jika barang gadai telah
diterima/dipegang oleh pihak pemiutang.
Ibnu Katsir menyatakan, sebagian ulama
berdalil dengan ayat ini bahwa gadai tidak wajib kecuali jika dipegang
(diterima), seperti pendapat asy-Syafi’i rahimahullah dan jumhur. Adapun al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa barang gadai harus berada di tangan pihak pemiutang.
Al-Alusi rahimahullah
mengatakan, kalimat مَقْبُوْضَةٌ adalah isyarat bahwa gadai dapat
dipegang oleh yang mewakili dan tidak harus dipegang oleh yang
berpiutang itu sendiri.
Hukum Gadai
Asy-Syinqithi rahimahullah
mengatakan bahwa gadai tidaklah wajib karena fungsinya sebagai pengganti
catatan. Sebagaimana halnya hukum catatan tidak wajib, maka gadai juga
demikian. Penjabarannya adalah ayat yang sebelumnya,
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوآاِذَا تَدَا يَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلىٰ اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (al-Baqarah: 282)
Zahir ayat ini menunjukkan, penulisan
utang hukumnya wajib karena hukum asal perintah menunjukkan kewajiban.
Namun, diisyaratkan bahwa perintah dalam ayat ini maksudnya adalah
irsyad (bimbingan/sunnah) dan bukan wajib. Hal ini berdasarkan ayat,
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) dan tidak memperoleh seorang penulis,
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al- Baqarah: 283)
Sebab, gadai hukumnya tidak wajib
menurut ijma’. Gadai adalah pengganti dari catatan saat kesulitan
(mendapatkan penulis/catatan). Apabila hukum catatan itu wajib,
penggantinya pun wajib. Yang memperjelas tidak wajibnya gadai adalah
kelanjutan ayat tersebut,
فَإِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْ تُمِنَ اَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
“Akan tetapi, jika sebagian kalian memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).”Wallahul muwaffiq.

Kriteria Azan Yang Wajib Dihadiri
Saya hamba Allah Subhanahuwata’la
dipedalaman Kabupaten Pasar, Kalimantan Timur. Saya mau tanya. Saya
punya kebunyang jauh dari rumah, jaraknya±40km. Jika saya shalat dikebun
itu, apakah sah menurut syariat?
Saya mohon jawabannya karena saya
menyadari kebodohan saya. Saya mohon dimuat di majalah Asy-Syari’ah.
Saya senang sekali membaca majalah ini, mudah mudahan bisa mengurangi
kemaksiatan saya kepada Allah Yang MahaPenciptaalamini. Saya pelanggan
majalah Asy-Syari’ah. Mohon dijelaskan dengan dalil-dalilnya.
Jazakallahu khairan
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Masalah yang Anda tanyakan bermuara kepada dua hadits berikut.
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu
رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله،ِ n أَتَى النَّبِيَّ
إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ
أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ، n رَسُولَ اللهِ
فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ
النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ.
Seorang lelaki buta1 datang menemui Nabi
dan berkata,“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak punya penuntun yang
menuntunku ke masjid.” Lantas ia meminta Nabi memberi keringanan
untuknya agar ia Bisa shalat dirumahnya. Maka dari itu,Nabi n memberi
keringanan untuknya.Tatkala ia berbalik meninggalkan Nabi
beliau memanggilnya dan bertanya,
“Apakah kamu mendengar azan untuk shalat?” Ia menjawab,“Ya.” Nabi
bersabda, “Kalau begitu, jawablah!” (HR. Muslim)
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ
مِنْ عُذْرٍ.
“Barangsiapa mendengar azan lalu ia
tidak datang (menghadiri shalat jamaah dimasjid), tidak ada shalat
baginya, kecuali jika ia tidak datang karena uzur (halangan).” (HR.
IbnuMajah, ad- Daraquthni, dan al-Hakim)
Hadits ini diperselisihkan apakah marfu’ (sabda Nabi n) atau mauquf
(ucapan Ibnu Mas’ud z sendiri). Al- Imam al-Hakim menyatakannya sahih
secara marfu’, serta disetujui oleh adz- Dzahabi dan al-Albani.
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar, “Sanadnya
sesuai syarat al-Imam Muslim, tetapi sebagian ahli hadits merajihkan
riwayat yang mauquf.”2 Kedua hadits ini menunjukkan wajib bagi lelaki
muslim yang mukallaf (baligh dan berakal) untuk menghadiri shalat
berjamaah di masjid jika ia mendengar azan, kecuali yang punya uzur
(halangan), seperti halnya sakit atau lainnya.
Inilah pendapat yang rajih dalam masalah
ini. Kriteria mendengar azan yang dimaksud pada kedua hadits di atas
adalah mendengar azan yang dikumandangkan dengan suara biasa tanpa
pengeras suara (speaker) di keheningan tanpa ada penghalang sampainya
suara ke tempat yang bersangkutan. Untuk itu kami nukilkan keterangan
beberapa ulama ahli fatwa pada masa ini.
1. Kata al-Imam ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Baz
pada salah satu fatwanya, “Wajib atasmu melaksanakan shalat berjamaah
bersama saudara-saudaramu kaum muslimin di masjid jika kamu mendengar
azan dari tempatmu, yaitu azan dengan suara biasa tanpa pengeras suara
yang
dikumandangkan di keheningan dan tidak
ada penghalang yang menghalangi sampainya suara azan itu ke tempatmu.
Adapun jika kamu berada di tempat yang jauh sehingga tidak mendengar
azan yang dikumandangkan tanpa pengeras suara, boleh bagimu shalat di
rumahmu atau berjamaah bersama tetanggamu.
Hal itu sebagaimana telah tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan hadits Ibnu ‘Abbas di atas.
2. Kata al-Imam Ibnu ‘Utsaimin dalam
syarahkitab Riyadhash-Shalihin, “Akan tetapi, yang dimaksud adalah
mendengar azan yang dikumandangkan dengan suara biasa, bukan dengan
mikrofon.” Beliau juga berkata pada syarah kitab Bulughul Maram, “
Diantara faedah yang dipetik dari hadits ini (hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu) adalah jika seseorang tidak mendengar azan, tidak wajib atasnya hadir shalat berjamaah di masjid.
Apakah yang dimaksud dengan ini adalah
mendengar secara hakiki ataukah berada di tempat yang darinya ia akan
mendengar azan kalau tidak ada sesuatu yang menghalangi terdengarnya
azan itu (mendengar secara hukum)? Andaikan masjid dekat darimu, tetapi
kamu tidak mendengar azan karena banyaknya suara, keramaian,dan
kesibukan, apakah hal itu berarti kamu tidak wajib shalat berjamaah di
masjid? Jawabannya, ‘Tidak begitu.’ Yang dimaksud oleh hadits ini adalah
jika seseorang berada di suatu tempat yang terjangkau suara azan, wajib
baginya hadir shalat jamaah di masjid.
Oleh karena itu, jika ia tuli sedangkan
ia bertetangga dengan masjid, kewajiban shalat jamaah tidak gugur
atasnya. Sebab, yang diperhitungkan adalah dekatnya tempat seseorang
dari masjid. Jika muazin memperdengarkan azannya dari jauh kepada
seseorang, yang tampak dari hadits adalah wajibbaginya mememenuhi seruan
itu walaupun memberatkan dirinya.
Akan tetapi ,jika muazin memperdengarkan
azannya kepadanya melalui alat, seperti pengeras suara yang ada pada
masa ini, speaker dapat menjangkau pendengaran seseorang meskipun dia
berada di tempat yang sangat jauh—yang tampak bagi kami adalah tidak
wajib baginya memenuhi panggilan itu.
Barang siapa berpegang dengan makna yang
tampak dari lafadz hadits, ia akan mewajibkan hadir walaupun seseorang
berada di tempat yang jauh selama dirinya mendengar azan melalui
pengeras suara.
Barang siapa berpendapat bahwa yang
diperhitungkan adalah alunan suara dan seseorang wajib hadir jika
mendengarnya dengan suara biasa, ia akan mengatakan tidak wajib hadir
apabila jaraknya jauh dan memberatkan.”
Yang terakhir ini yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin sebagaimana telah beliau nyatakan secara jelas sebelumnya.
3. Kata al-‘Allamah Shalih al-Fauzan
pada salah satu fatwanya, “Yang menjadi kriteria dalam hal wajibnya
menghadiri shalat jamaah di masjid adalah mendengar azan. Jika engkau
mendengar azan dengan suara biasa tanpa pengeras suara, wajib atasmu
shalat di masjid dan memenuhi panggilan muazin.
Lain halnya jika engkau terhalangi oleh
sebuah uzur syar’i, seperti halnya sakit atau yang kamu sebutkan6 bahwa
istrimu merasa ngeri dan ketakutan di malam hari apabila engkau
meninggalkannya pergi ke masjid untuk menghadiri shalat berjamaah. Hal
itu adalah uzur syar’i bagimu untuk dibolehkan shalat di rumah, karena
istrimu merasa ngeri dan takut sehingga ia membutuhkan kehadiranmu di
sisinya.”
Asy-Syaikh al-Fauzan t juga ditanya
tentang makna hadits Abu Hurairah z tersebut, beliau berfatwa, “Ya. Hal
itu seperti yang datang dari Nabi n, barang siapa mendengar azan, wajib
atasnya menjawab panggilan muazin untuk pergi ke masjid jika ia berada
dekat dari masjid dan memungkinkan baginya pergi ke masjid untuk
mendapatkan shalat jamaah.
Adapun jika ia jauh dari masjid dengan
jarak yang memberatkannya dan ia tidak bisa mendapatkan shalat jamaah di
masjid itu, tidak wajib atasnya menghadiri seruan azan yang didengarnya
melalui mikrofon lantaran jaraknya yang jauh sebagaimana disebutkan.”
Alhasil, berdasarkan keterangan di atas,
jawaban pertanyaan Anda tidak keluar dari rincian berikut ini. Jika
yang terdekat dari kebun Anda adalah kampung Anda yang berjarak ±40 km,
tidak wajib mendatanginya karena jaraknya yang sangat jauh dan sangat
memberatkan untuk mendatanginya.
Begitu pula halnya jika ada perkampungan
dan masjid lain, tetapi letaknya jauh dan memberatkan Anda untuk
berjalan mendatanginya, Anda tidak wajib menghadirinya walaupun azannya
terdengar melalui pengeras suara. Dengan demikian, boleh bagi Anda
melaksanakan shalat sendiri di kebun atau berjamaah dengan kaum muslimin
lainnya yangada di sana.
Jika ada perkampungan dan masjid yang
dekat dari kebun Anda dengan azan yang terdengar, walapun dengan suara
biasa (tanpa pengeras suara) jika dikumandangkan di keheningan tanpa ada
penghalang untuk menjangkau kebun Anda, wajib atas Anda memenuhi
panggilan azan itu untuk shalat jamaah di masjid itu. Wallahu a’lam.
Tata Cara Sujud
Oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Tata Cara Sujud
Tata cara sujud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits dan kabar yang datang dalam masalah ini adalah sebagai berikut.
1. Sujud diatas tujuhtulang;
dahi dan hidung (teranggap satu bagian),
kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung telapak kaki.
Artinya, ketujuh anggota tersebut harus menempel ke lantai saat
seseorang sujud, tidak boleh terangkat. Hal ini ditunjukkan oleh hadits
Abdullah bin Abbas yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ—وَفِي رِوَايَةٍ: أُمِرْنَا أَنْ
نَسْجُدَ—عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ—
وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ—، وَالْيَدَيْنِ— وَفِي لَفْظٍ:
الْكَفَّيْنِ—، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ…
“Aku diperintah (dalam satu riwayat,
“Kami diperintah”1) untuk sujud di atas tujuh tulang: di atas dahi—dan
beliau mengisyaratkan tangannya ke atas hidung2—, dua tangan(dalam
satulafadz, “dua telapak tangan”3), dua lutut, dan ujung-ujung dua
telapak kaki.” (HR. al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098)
Dalam hadits al-Abbas ibnu Abdil Muththalib disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ: وَجْهُهُ،
وَكَفَّاهُ، وَرُكْبَتَاهُ، وَقَدَمَاهُ
“Apabila seorang hamba sujud, sujud pula
bersamanya tujuh anggotanya: dahinya, dua telapak tangannya, dua
lututnya, dan dua telapak kakinya.” (HR. Muslim no. 1100)
Tidak Cukup Hanya Menempelkan Dahi atau Hidung
Disebutkan di atas bahwa dahi dan hidung
teranggap satu tulang/anggota, lantas apakah mencukupi apabila hanya
salah satunya yang menempel ke bumi, ataukah harus kedua-duanya?
Dalam hal ini ada perselisihan di
kalangan ulama. Abu Hanifah dan Ibnul Qasim dari kalangan pengikut
al-Imam Malik berpandangan cukup sujud di atas salah satunya, hidung
atau dahi saja. Kebanyakan fuqaha mazhab Syafi’i menganggap boleh sujud
di atas sebagian dahi.
Namun, Ibnul Mundzir menukilkan adanya
ijma’ sahabat tentang tidak sahnya sujud hanya di atas hidung tanpa
dahi. Adapun jumhur berpendapat cukup sujud di atas dahi saja.
Sementara itu, al-Auza’i, Ahmad, Ishaq,
Ibnu Habib dari kalangan mazhab Maliki, dan selain mereka menyatakan
wajib menempelkan dahi dan hidung saat sujud. Ini adalah pendapat
asy-Syafi’i juga (FathulBari 2/384, al-Minhaj,4/431). Pendapat inilah
yang benar, insyaAllah, dengan dalil adanya perintah untuk sujud di atas
dahi dan hidung.
Tidak Wajib Membuka Dahi Saat Sujud
Bisa jadi, saat sujud, dahi tertutup
oleh pakaian yang dikenakannya, seperti kerudung yang dipakai oleh
seorang wanita. Namun, kerudung yang menutupi dahi tersebut tidak wajib
diangkat agar dahi bisa langsung bersentuhan dengan tempat sujud.
Al-Imam an-Nawawi t dalam al- Majmu’
(3/403) mengisyaratkan bahwa hal tersebut tidaklah wajib, termasuk pula
membuka anggota sujud lainnya, seperti dua telapak tangan, dua lutut,
dan ujung-ujung dua telapak kaki.
Menurut beliau, penamaan sujud telah tercapai dengan meletakkan anggota-anggota sujud tanpa perlu membuka/menyingkap penutupnya.
Anggota Sujud Tidak Sekadar Disentuhkan ke Lantai
Rasulullah benar-benar menempelkan
hidung dan dahinya ke lantai saat sujud, sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits Abu Humaid as-Sa’idi z yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no.
270) dan Abu Dawud (no. 723), serta dinyatakan sahih dalam al-Misykat
(no. 108).
Beliau berkata kepada sahabat yang salah shalatnya(al-Musi’uShalatahu) sebagaimana dalam hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiyallahu anhu,
إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُوْدِكَ
“Apabila engkau sujud, mapankan
sujudmu(dengan benar-benar menempelkan anggota sujud kebumi).” (HR. Abu
Dawud no. 859, dinyatakan hasan dalam Shahih Abi Dawud)
Dalam sebuah riwayat,
إِذَا أَنْتَ سَجَدْتَ فَأَمْكَنْتَ وَجْهَكَ وَيَدَيْكَ
حَتَّى يَطْمَئِنَّ كُلُّ عَظْمٍ مِنْكَ إِلَى مَوْضِعِهِ
“Apabila engkau sujud, mapankan wajah
dan kedua tanganmu (di tempat sujud) hingga seluruh tulangmu tenang
ditempatnya.” (HR. IbnuKhuzaimah no. 638 dengan sanad yang hasan,
al-Ashl, 2/733) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ الْأَرْضِ مَا
يُصِيْبُ الْجَبِيْنُ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak
menempelkan hidungny kebumi sebagaimana halnya dahi.” (HR ad- Daraquthni
no. 1303, al-Baihaqi 2/104, dan al-Hakim 1/270, dari Abdullah ibnu
Abbas radhiyallahu anhu)
Al-Hakim menyatakannya sahih menurut
syarat al-Bukhari. Hal inidibenarkan oleh adz-Dzahabi. Al-Imam Albani t
menyatakan bahwa hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya,
hanya saja ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan at-Tirmidzi mengatakan ada
‘illatnya, yaitu hadits ini mursal.
Akan tetapi, ada riwayat dari Ikrimah
dari jalur yang lain secara maushul (bersambung sanadnya) sehingga
riwayat yang mursal tersebut menjadi kuat. Ada pula riwayat pendukungnya
dari hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha yang dikeluarkan oleh ad-Daraquthni (no.1302) dan hadits Ummu Athiyyah radhiyallahu anha yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani.(al-Ashl, 2/735)
2. Kedua tangan ikut sujud bersama wajah dan diangkat saatwajah diangkat. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
إِنَّ الْيَدَيْنِ تَسْجُدَانِ كَمَا يَسْجُدُ الْوَجْهُ، فَإِذَا
وَضَعَ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ
فَلْيَرْفَعْهُمَا
“Sesungguhnya kedua tangan itu sujud
sebagaimana halnya wajah bersujud. Apabila salah seorang dari kalian
meletakkan wajahnya, hendaknya ia meletakkan kedua tangannya.Apabila ia
mengangkat wajahnyah, endaknyaia mengangkatk eduat angannyap ula.” (HR.
Abu Dawud no. 892danlainnya dari hadits Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhu , dinyatakan sahih dalam al-Irwa no. 313)
3. Saat sujud, Rasulullah bertumpudiataskeduatelapak tangannya. Hal ini sebagaimana termuat dalam hadits al-Bara’ ibnu ‘Azib radhiyallahu anhu , ia berkata,
يَسْجُدُ عَلَى أَلْيَتَيْ الكَفِّ n كَان رَسُوْلُ اللهِ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud diatas kedua telapak tangan bagian dalam.” (HR. al-Hakim 1/227, al-Baihaqi 2/107, Ahmad 4/295. Lihat al-Ashl, 2/726)
4. Jari-jemari didekatkan (tidak direnggangkan) dan diarahkan ke kiblat. Wail ibnu Hujr <radhiyallahu anhu menyebutkan,
كَانَ إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ n أَنَّ النَّبِيَّ
“Apabila Nabi sujud, beliau merapatkan
jari-jemarinya.” (HR. IbnuKhuzaimah no. 642, al-Hakim 1/227, dan
al-Baihaqi 2/112, dengan sanad yang hasan. Lihat al- Ashl, 2/727)
Al-Bara’ radhiyallahu anhu mengabarkan,
إِذَا رَكَعَ بَسَطَ ظَهْرَهُ، وَإِذَا سَجَدَ n كَانَ النَّبِيُّ
وَجَّهَ أَصَابِعَهُ قِبَلَ الْقِبْلَةِ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
rukuk, beliau membentangkan punggungnya, dan apabila sujud beliau
mengarahkan jari jemarinya kearahkiblat.” (HR. al- Baihaqi 2/113, dengan
sanad yang sahih, lihat al-Ashl 2/639)
5. Kedua telapak tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diletakkan sejajarkedua pundak. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu anhu,
وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ
مَنْكِبَيْه
“Beliau menjauhkan kedua tangannya dari
kedua pinggangnya dan Meletakkan kedua telapak tangannya setentang
kedua pundaknya.” (HR. at-Tirmidzi no. 270, Abu Dawud no. 734, dll.,
dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, Shahih Sunan Abi Dawud,
dan al-Misykat no. 108)
Terkadang, tangan diletakkan setentang dengan kedua telinga, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu anhu dari jalan Zaidah,yang menceritakan tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disaksikannya. Di antaranya, Wail mengatakan,
ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ
“Beliau lalu sujud dan meletakkan kedua
telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya.” (HR. Abu Dawud no.
726, an-Nasa’i no. 889, dll., dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud,
Shahih Sunan an-Nasa’i, dan al-Irwa’ 2/68—69) (insyaAllah bersambung)__

Berimannya Tukang Sihir Fir’aun
Setiap nabi yang diutus oleh Allah l
tentu memiliki mukjizat yang sesuai dengan keadaan manusia di zamannya.
Pada masa Nabi Musa q, sihir adalah sesuatu yang hebat dan tukang-tukang
sihir adalah orang-orang yang sangat dihormati.
Allah l mengutus Nabi Musa q dengan
mukjizat yang membuat mata para tukang sihir itu terbelalak dan akal
mereka kebingungan. Akhirnya, setelah mereka menyadari bahwa apa yang
dilakukan oleh Nabi Musa q bukanlah sihir seperti yang mereka perbuat,
mereka tunduk dan beriman dengan sepenuh hati mereka.
Tukang Sihir Fira’un
Syahdan, setelah mendapat perintah dari
Allah l di sebuah lembah suci bernama Thuwa, Nabi Musa q segera
mempercepat langkah bersama keluarganya menuju tanah kelahirannya,
Mesir.
Tak lama, setelah bertemu kembali dengan
saudara-saudaranya di Mesir, Nabi Musa q menerangkan apa yang
diterimanya di lembah suci Thuwa. Nabi Harun q yang sudah mendapat
berita langit pun segera bersiap menemani
saudara kandungnya, Nabi Musa q.
Berangkatlah mereka ke istana Fir’aun menyampaikan pesan-pesan dari
Allah Subhanahuwata’ala kepadanya dan seluruh pengikutnya. Allah
Subhanahuwata’ala berfirman,
وَقَالَ مُوسَىٰ يَا فِرْعَوْنُ إِنِّي رَسُولٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
Musa berkata,“Hai Fir’aun, sesungguhnya aku inia dalah seorang utusan dari Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 104)
Alam yang di atas dan yang di bawah. Dia
membina dan memelihara seluruh makhluk-Nya dengan berbagai macam tadbir
(pengaturan) ilahi, yang diantaranya bahwa Dia tidak membiarkan
makhluk-Nya tersia-sia begitu saja.
Sebab itulah, Dia mengutus para rasul-
Nya sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Dengan lemah lembut
dan santun, kedua nabiyullah yang mulia ini berdialog dengan Fir’aun,
mengajaknya kepada kesucian dan rasa takut kepada Allah
Subhanahuwata’ala. Allah Ta;ala berfirman,
<
فَأْتِيَاهُ
فَقُولَا إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
وَلَا تُعَذِّبْهُمْ ۖ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكَ ۖ
وَالسَّلَامُ عَلَىٰ مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَىٰ
إِنَّا قَدْ أُوحِيَ إِلَيْنَا أَنَّ الْعَذَابَ عَلَىٰ مَن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
Maka datanglah kamu berdua kepadanya
(Fir’aun) dan katakanlah, “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan
Rabbmu, maka biarkan bani Israil ikut kami dan janganlah kamu menyiksa
mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti
(atas kerasulan kami) dari Rabbmu, dan keselamatan itu dilimpahkan
kepada orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya telah diwahyukan
kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang
mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 47—48)
Dalam ayat ini, ada dua tugas utama
kedua nabiyullah yang mulia ini. Yang pertama, mengajak Fir’aun kepada
Islam, yaitu berserah diri hanya kepada Allah l dengan tauhid, tunduk
kepada Allah dengan mengerjakan ketaatan, serta menjauhi syirik dan para
pemeluknya.
Yang kedua, membebaskan bani Israil dari
belenggu perbudakan dan penindasan Fir’aun agar bisa mengatur hidup
mereka sendiri dan Nabi Musa Alaihissalam dapatmenegakkan syariat Allah
Subhanahuwata’ala atas mereka.
Nabi Musa Alaihissalam mengatakan pula
bahwa dia datang dengan beberapa ayat (mukjizat) yang menunjukkan
kebenarannya sebagai seorang utusan Allah Subhanahuwata’ala. Setelah
dialog yang panjang tentang Allah Subhanahuwata’ala, disertai bukti
logis yang tidak dapat dibantah, Fir’aun terpojok.
Dia tidak mampu berbuat banyak di
hadapan ayat-ayat Allah Subhanahuwata’ala yang disampaikan oleh Nabi
Musa Alaihissalam. Untuk menutupi kelemahan dan kebodohannya, dia
berlindung di balik kekuasaannya, maka mulailah dia mengancam Nabi
Musa Alaihissalam dan orang-orang yang mengikuti beliau. Allah Ta’ala
berfirman,
قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَٰهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِي
Fir’aun berkata, “Sungguh jika kamu
menyembah ilah(sesembahan) selain aku, benar-benar aku akan menjadikan
kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (asy-Syu’ara: 29)
Demikianlah keadaan orang-orang yang
menolak dan mengingkari al-haq yang datang kepada mereka padasetiap masa
dan tempat. Apabila orangorang yang berkuasa ini sudah terdesak, tidak
mampu mematahkan bukti dan fakta sebuah kebenaran, mereka lebih sering
berlindung di balik kekuasaan dan kekuatan mereka, kecuali hanya
orang-orang yang dirahmati Allah
Subhanahuwata’ala. Kemudian Allah Subhanahuwata’ala berfirman
menerangkan keadaan Nabi Musa Alaihissalam,
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُّبِينٍ
Musa berkata, “Dan apakah (kamu akan
melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan)
yang nyata?” (asy-Syu’ara: 30)
Mendengar perkataan Nabi Musa , Fir’an
menantang , bahkan menjadikannya sebagai syarat kebenaran dan kejujuran
Nabi Musa. Kemudian Nabi Musa Alaihissalam melemparkan tongkatnya.
Dengan izin Allah l, tongkat itu berubah menjadi ular besar yang nyata.
Setelah itu, Nabi Musa Alaihissalam memegang ular itu dan seketika itu
juga menjadi tongkat kembali.
Beliau memasukkan tangannya ke dalam
bajunya lalu mengeluarkannya kembali, dan ternyata tangan itu putih
berkilau terlihat oleh siapa pun yang ada di sana. Bukannya tunduk,
Fir’aun malah mengejek dan mengatakan bahwa itu adalah sihir.
Dengan angkuh, dia berkata kepada para
pembesarnya, “Keduanya tidak lain adalah ahli sihir yang ingin mengusir
kalian dari negeri kalian ini. Bagaimana menurut kalian?” Para pembesar
itu berkata, “Tundalah urusan dia dan saudaranya (Harun). Kumpulkanlah
para tukang sihir di seluruh kerajaan ini untuk menghadapi mereka.
Mudah-mudahan mereka menang dan kita
akan mengikuti tukang-tukang sihir itu.”Mereka pun membuat kesepakatan
untuk mengadu ilmu pada hari raya rakyat Mesir ketika matahari naik
sepenggalah.
Fir’aun segera menyebar pasukannya
mencari tukang sihir yang andal di seluruh pelosok negeri Mesir. Tak
lama, terkumpullah puluhan ahli sihir yang terpandai di negeri itu. Pada
hari yang telah disepakati itu, para tukang sihir itu datang membawa
perlengkapan sihir mereka.
Ibnu Katsir menukilkan adanya riwayat
yang menyebutkan jumlah mereka sampai belasan ribu orang. Tetapi,
menurut Ibnu Ishaq t, semua urusan mereka kembali kepada empat orang
yang dianggap sebagai pemuka tukang-tukang sihir tersebut, yaitu Satur,
‘Azur, Hathhath, dan Yashqa.
Dalam pertemuan yang menegangkanitu,
hadir pula seluruh pembesar dan panglima serta pejabat pemerintahan di
kerajaan Fir’aun. Bangsa Qibti sebagai penduduk pribumi Mesir yang
mengikuti agama Fir’aun juga hadir mengeluelukan dan mengharapkan
kemenangan tukang-tukang sihir tersebut. Allah Subhanahuwata’ala
berfirman,
<
فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا إِن كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ
قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ إِذًا لَّمِنَ الْمُقَرَّبِي
Tatkala ahli-ahli sihir itu datang,
mereka pun bertanya kepada Fir’aun, “Apakah kami sungguh-sungguh
mendapat upah yang besar jika kami Adalah orang-orang yang menang?”
Fir’aun menjawab, “Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian
benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku).”
(asy-Syu’araa: 41—42)
Setelah mendapat jawaban Fir’aun,
tukang-tukang sihir itu segera berbalik menghadap kepada Nabi Musa dan
Harun e, kemudian mereka berkata, “Hai Musa, engkau yang menunjukkan
keahlian lebih dahulu ataukah kami?” “Kalian yang lebih dahulu.
Lemparkanlah apa yang mau kalian lemparkan,” jawab beliau.
Dengan penuh kesombongan dan yakin
menang, tukang-tukang sihir itu melemparkan tali dan semua peralatan
sihir mereka sambil berkata, “Demi kekuasaan Fir’aun, kami pasti
menang.” Tiba-tiba dengan takdir Allah juga tentu saja—tali dan tongkat
yang mereka lemparkan itu ditampakkan dalam pandangan Nabi Musa
seakanakan ular yang merayap dengan cepat menuju ke arah beliau.
Para penonton ada yang ketakutan, bahkan Nabi Musa pun sempat dihinggapi rasa takut. Allah Ta’ala berfirman,
سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
<
“Mereka menyulap mata orang dan
menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang
besar (menakjubkan).” (al-A’raf: 116)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ
فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَىٰ
“Tiba-tiba, tali-tali dan tongkat
tongkat mereka terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat,
lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” (Thaha:
66-67)
Ayat ini juga menegaskan kepada kita
bahwa sihir adalah sesuatu yang nyata, dalam artian keberadaannya memang
diakui. Kalau sihir itu bukan sesuatu yang jelas adanya, Nabi Musa
tidak mungkin merasa takut, sebagaimana diterangkan Allah
Subhanahuwata’ala dalam ayat ini. Kalau sihir itu bukan sesuatu yang
nyata, niscaya Allah Subhanahuwata’ala tidak akan memerintahkan Nabi-Nya
Muhammad dan umat beliau untuk meminta perlindungan kepada Allah
Subhanahuwaata’la dari kejahatannya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنتَ الْأَعْلَ
وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا ۖ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ ۖ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ
Kami berkata,“Janganlah kamu takut
,sesungguhnya kamulah yang paling (menang). Lemparkanlah apa yang ada
ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat.
Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir(
belaka),dan tukang sihir itu tidak akan menang, dari mana saja ia
datang.” (Thaha:68-69)
Para tukang sihir sudah merasa senang
melihat perubahan meski Sekilas pada wajah Nabi Musa Alaihissalam.
Mereka mengira bahwa setelah itu Nabi Musa q semakin ketakutan dan lari.
Dugaan mereka salah. Ternyata, dengan tenang, Nabiyullah Musa
Alaihissalam melemparkan tongkatnya. Dengan izin Allah
Subhanahuwata’ala, tongkat itu menjadi ular besar yang dengan cepat
menelan ular-ular palsu buatan para tukang sihir tersebut.
Demikianlah, setiap nabi yang diutus
oleh Allah Subhanahuwata’ala tentu memiliki mukjizat yang sesuai dengan
keadaan manusia di zamannya. Pada masa Nabi Musa q, sihir adalah sesuatu
yang hebat dan tukang-tukang sihir adalah orang-orang yang sangat
dihormati.
Kemudian Allah l mengutus Nabi Musa q
dengan mukjizat yang membuat mata para tukang sihir itu terbelalak dan
bingung, karenasihir yang mereka andalkan selama ini tidak ada artinya
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Musa Alaihissalam.
Melihat kenyataan yang ada di hadapan mereka ini, mereka pun menyadari
bahwa apa yang dilakukanoleh Nabi Musa Alaihissalam bukanlah sihir
seperti yang mereka perbuat.
Akhirnya, mereka tunduk dan beriman
dengan sepenuh hati mereka. Fir’aun dan para pengikutnya yang sudah
merasa senang dan yakin akan kemenangan para tukang sihir terkejut
melihat ular-ular itu ditelan oleh ular besar yang berasal dari tongkat
Nabi Musa Alaihissalam.
Tukang-tukang sihir itu tak kalah
herannya, mereka menyangka akan menang dan memperoleh kedudukan di sisi
Fir’aun, apalagi tadi melihat seolaholah Nabi Musa Alaihissalam takut.
Ternyata,kini keadaan berbalik. Jelaslah
kebenaran, gugurlah makar dan tipu daya orangorang kafir itu.
Tukang-tukang sihir itu pun akhirnya yakin bahwa yang dilakukan oleh
Nabi Musa Alaihissalam bukanlah sihir seperti yang mereka kerjakan, itu
pasti bimbingan dari Allah Ta’ala. Dengan segera mereka menjatuhkan diri
sujud untuk menghormati Nabi Musa Alaihissalam, sambil berseru, “Kami
beriman kepada Rabb semesta alam, Rabb Musa dan Harun.”
Melihat kekalahan para tukang sihirnya,
bahkan dengan berani sujud kepada Nabi Musa dan Harun e di hadapannya,
serta pengakuan mereka bahwa mereka beriman kepada Allah
Subhanahuwata’ala yang menciptakan alam semesta, Rabb Musa dan Harun,
dengan penuh kemurkaan Fir’aun berteriak, “Kalian berani beriman
kepadanya sebelum aku memberi izin kepada kalian? Jangan-jangan, dialah
yang mengajari kalian ilmu sihir.
Aku akan memotong tangan dan kaki kalian
secara bersilang lalu menyalib kalian di pokok-pokok kurma, supaya
kalian tahu siapa yang paling keras dan paling kekal siksanya.” Keimanan
yang dengan cepat meresap ke dalam hati para tukang sihir itu setelah
melihat bukti nyata
kebenaran yang dibawa Nabi Musa
Alaihissalam, membuat tukang-tukang sihir itu berani menantang bahaya.
Mereka tahu, Fir’aun tidak pernah main-main dengan ancamannya.
Mereka juga tahu betapa bengis dan
jahatnya Fir’aun. Dengan tenang mereka menjawab, “Kami tidak peduli,
sesungguhnya kami yakin bahwa kami pasti kembali kepada Rabb kami.”
Ancaman Fir’aun itu justru menambah keimanan mereka.
Semua itu karena ilmu yang ada pada
tukang sihir itu menyadarkan mereka bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi
Musa q di luar kemampuan seorang manusia, bukan pula sihir, melainkan
sebuah kenyataan dan pertolongan dari Allah l. Oleh sebab itulah, mereka
segera beriman dengan keimanan yang kokoh. Allah Ta’ala berfirman,
قَالُوا
لَن نُّؤْثِرَكَ عَلَىٰ مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي
فَطَرَنَا ۖ فَاقْضِ مَا أَنتَ قَاضٍ ۖ إِنَّمَا تَقْضِي هَٰذِهِ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
إِنَّا آمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَغْفِرَ لَنَا خَطَايَانَا وَمَا أَكْرَهْتَنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِ ۗ وَاللَّهُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Mereka berkata,“Kami sekali-kali tidak
akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang
telah datang kepada kami dan dari (Allah) yang telah menciptakankami;
maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya
Akan dapat memutuskan padakehidupan di dunia ini. Sesungguhnya kami
Telah beriman kepada Rabb kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan
kami dan sihir yangtelahkamup aksakan kepada kami melakukannya. Dan
Allah lebih baik(pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (Thaha:
72—73)
Itulah keimanan sejati, di pagi hari mereka dalam kekafiran yang nyata, sebagai tukang sihir, siang harinya mereka adalah syuhada. Fenomena yang sangat bertolak belakang dengan keadaan sebagian orang yang diberitakan oleh ash-Shadiqul Mashduq, ketika mendorong umatnya untuk bersegera mengerjakan amalan, mendahului berbagai ujian yang datang bertubi-tubi bagai kepingan malam yang gelap gulita. Sabda beliau
,
بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَناً كَقِطَعِ اللَّيْلِ المُظْلِم،ِ
يُصْبحُ الرَّجُلُ مُؤْمِناً وَيُمْسِي كَافِراً، وَيُمْسِي
مُؤمِناً ويُصبحُ كَافِراً، يَبيعُ دِينَهُ بعَرَضٍ مِنَ الدُّنيا
“Dahuluilah ujian-ujian itu dengan
amalan. Ujian-ujian yang(keadaannya) Seperti kepingan malam yang gelap
gulita. Pada pagi hari seseorang itu dalam keadaan beriman, di sore
harinya dia menjadikafir. Pada sore hari diamasih sebagai mukmin, di
pagi harinya dia telah menjadi kafir. Dia menjual agamanyad emi
mendapatkan sebagian harta dunia.”
Hanya karena mencari kekayaan dunia
yang sedikit, mereka rela menukar agamanya dalam sekejap. Fir’aun memang
membuktikan ancamannya. Tukang-tukang sihir itu pun ditangkap lalu
dihukum mati, dengan disalib di atas pokok-pokok kurma, setelah
merasakan siksaan dari Fir’aun; tangan kaki mereka dipotong
secarabersilang. Wallahu a’lam.
oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Menumpas Musailamah al-Kadzdzab (1)
Sajah dan Bani Tamim
Sajah bintu al-Harits bin Suwaid bin ‘Aqfan at-Taghlibiyah adalah seorang wanita Arab beragama Kristen. Ia muncul di saat bani Tamim bersikap mendua, apakah terus berada dalam kemurtadan, atau tetap dalam Islam tanpa menunaikan zakat, atau menunaikannya.
Sajah bintu al-Harits bin Suwaid bin ‘Aqfan at-Taghlibiyah adalah seorang wanita Arab beragama Kristen. Ia muncul di saat bani Tamim bersikap mendua, apakah terus berada dalam kemurtadan, atau tetap dalam Islam tanpa menunaikan zakat, atau menunaikannya.
Sajah mengaku nabi dan mempunyai
pasukan, gabungan dari kaumnya dan orang-orang yang menerima
pengakuannya, seperti Malik bin Nuwairah dan ‘Utharid bin Hajib, serta
beberapa pemuka bani Tamim. Adapun yang lainnya, tidak menerima
seruannyatetapi berdamai dan sepakat tidak akan memeranginya.
Akhirnya, mulailah mereka menyerang
kabilah lain dan yang pertama dituju adalah Musailamah. Pada waktu itu,
Musailamah sedang berperang menghadapi Tsumamah bin Utsal yang dibantu
oleh ‘Ikrimah bin Abi Jahl z dengan sepasukan muslimin sambil menunggu
kedatangan pasukan Khalid bin Walid .
Sebab itu, mendengar Sajah akan
menyerang, Musailamah cemas. Bersama empat puluh pemuka kaumnya, ia
menemui Sajah dan bertemu dalam sebuah kemah. Di situ Musailamah
menjanjikan akan menyerahkan separuh negeri Arab kepada Sajah apabila
dia mau menarik pasukannya.
Sajah menerima kesepakatan tersebut.
Setelah berduaan dengan Sajah, Musailamah bertanya, “Apa yang diwahyukan
kepadamu?” Sajah berkata, “Apakah pantas wanita lebih dahulu? Kamulah
yang menjelaskan lebih dahulu, apa yang diwahyukan kepadamu?” Mulailah
Musailamah membacakan mantra “wahyu” yang diperolehnya. Di antara ajaran
sesat Musailamah ialah dia mengharuskan seorang bujang menikah, kalau
istrinya melahirkan anak laki-laki, istri itu haram digauli suaminya
sampai dia melahirkan lagi anak laki-laki atau anak itu mati.
Setelah itu, Musailamah meminta Sajah
agar bersedia menjadi istrinya supaya pengikut mereka bersatu menguasai
Arab. Sajah menerimanya, dan menetap bersama Musailamah selama tiga hari
di kemah tersebut. Ketika kaumnya mendengar Sajah menikah dengan
Musailamah mereka kecewa, “Apa maharnya?” “Tidak ada,” kata Sajah.
“Orang buruk itu tidak pantas menikah dengan wanita seperti engkau tanpa
mahar.”
Akhirnya, Sajah mengutus seseorang
meminta mahar kepada Musailamah. Setelah utusan itu datang, Musailamah
mengatakan, “Sampaikan kepada kaummu, bahwa Musailamah telah membebaskan
kalian dari dua shalat yang diwajibkan oleh Muhammad, yaitu Subuh dan
‘Isya.” Mereka pun menerima dan Sajah membawa pasukannya kembali ke
jazirah setelah menerima kesepakatan separuh hasil bumi dari Musailamah.
Apalagi dia mendengar pula pasukan
Khalid mulai mendekati daerah Yamamah. Di kemudian hari, mereka diusir
oleh Mu’awiyah setelah bersatunya kaum muslimin pada ‘Amul Jama’ah
(Tahun Persatuan).
Malik bin Nuwairah
Malik termasuk yang terbujuk oleh Sajah
yang bertolak dari jazirah untuk menguasai tanah Arab. Setelah Sajah
kembali ke negerinya, Malik mulai menyesal dan mencela dirinya sendiri.
Akhirnya, dia menetap di sebuah tempat bernama Baththah. Dialah yang
diserang oleh Khalid bin Walid z dengan pasukan muslimin. Ketika Malik
dalam keadaan bingung, pasukan Khalid sudah mengepungnya, demikian pula
beberapa pengikutnya.
Adapun penduduk yang lain sudah
menyatakan taat dan menunaikan zakat, serta tetap dalam Islam. Berita
tentang Malik menjadi simpang siur. Ada yang mengatakan dia dan
sahabat-sahabatnya juga mengerjakan shalat. Ada pula yang mengatakan
tidak demikian. Malam harinya, Malik dan pengikutnya yang tertawan
dibiarkan tidur berselimut dingin. Malam itu juga terdengar perintah
membunuh para tawanan tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa Malik sempat dipanggil dan diingatkan untuk meninggalkan keyakinan sesat yang dibisikkan oleh Sajah kepadanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa Malik sempat dipanggil dan diingatkan untuk meninggalkan keyakinan sesat yang dibisikkan oleh Sajah kepadanya.
Sampai pada pembahasan bahwa shalat dan
zakat adalah ibadah yang beriringan disebutkan dalam al-Qur’an karena
keutamaan keduanya. Yang satu adalah ibadah badaniah, sedangkan yang
lain adalah ibadah maliah (harta). Malik membantah, “Itu menurut teman
kalian (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -ed).” “Apakah beliau teman kami saja, bukan temanmu juga?”
Kemudian Khalid memerintahkan Dhirar bin
al-Azwar memenggal leher Malik. Setelah itu Khalid mengambil istri
Malik, Ummu Tamin bintu Minhal. Abu Qatadah al-Anshari radhiyallahu anhu
segera menemui Khalid dan terjadi dialog seru di antara keduanya.
Namun, kemudian Abu Qatadah mengadukan hal ini kepada Khalifah Abu Bakr radhiyallahu anhu . ‘Umar yang juga mengetahui berita itu mendesak Khalifah untuk mencopot Khalid dari kedudukannya sebagai panglima.
Akan tetapi, Abu Bakr dengan tegas menolaknya, “Aku tidak akan menyarungkan kembali pedang yang telah dihunus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap orang-orang yang kafir.” Khalid segera menemui Khalifah dan
mengajukan alasan mengapa membunuh Malik. Abu Bakr menerimanya dan
memaafkannya serta tetap mengangkatnya sebagai panglima kaum muslimin.
Perang Yamamah
Khalifah akhirnya meridhai Khalid, dan beliau pun mengirimnya untuk menumpas Musailamah dan bani Hanifah yang murtad. Beberapa orang Anshar berpandangan bahwa kaum muslimin tidak punya cukup kekuatan. Mereka pun enggan berangkat. “Aku tidak memaksa. Siapa yang mau ikut silakan, yang tidak, juga silakan.”
Khalifah akhirnya meridhai Khalid, dan beliau pun mengirimnya untuk menumpas Musailamah dan bani Hanifah yang murtad. Beberapa orang Anshar berpandangan bahwa kaum muslimin tidak punya cukup kekuatan. Mereka pun enggan berangkat. “Aku tidak memaksa. Siapa yang mau ikut silakan, yang tidak, juga silakan.”
Akhirnya, orang-orang Anshar tetap
tinggal di Buzakhah satu dua hari. Sepeninggal Khalid dan pasukannya,
mereka justru saling menyalahkan. “Kalau mereka kalah, kita akan dituduh
telah menjadi sebab, dan ini menjadi aib seumur hidup. Kalau mereka
menang, itulah kebaikan yang luput dari kita. Kirim utusan, susul Khalid
dan sampaikan bahwa kita akan mengikutinya.”
Akhirnya, mereka pun berangkat menyusul
pasukan Khalid. Kaum muslimin pun bergerak. Setiap melewati satu kabilah
Arab yang murtad, mereka menyerang kabilah tersebut. Sementara itu di
Madinah, Khalifah telahmenyiapkan pasukan lain dalam jumlahnbesar dan
persenjataan lengkap untuk menjaga bagian belakang pasukan Khalid.
Pasukan muslimin meneruskan perjalanan
sampai bertemu dengan bagian belakang pasukan Sajah. Setelah memukul
musuh, mereka terus bergerak ke Yamamah. Musailamah pun mendengar
kedatangan Khalid dan tentara Islam. Musailamah mulai menyusun barisan
di pinggir Yamamah, di sebuah tempatbernama ‘Aqriba dan menyeru penduduk
Yamamah untuk menyerang Khalid.
Penduduk Yamamah menyambut seruan itu.
Mereka menempatkan al- Muhkam bin ath-Thufail dan Rajjal bin ‘Unfuwah.
Khalid bertemu dengan ‘Ikrimah dan Syurahbil. Khalid menyusun barisan
mereka dan menempatkan Syurahbil di bagian depan. Di sayap kiri dan
kanan, Zaid bin al-Khaththab dan Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah.
Dalam perjalanan, pasukan itu bertemu
dengan orang-orang bani Hanifah yang ingin membalas dendam. Khalid
menyerang dan menangkap mereka lalu memerintahkan agar rombongan itu
dibunuh semuanya. Sebagian sahabat ada yang menyarankan agar membiarkan
pemimpin kelompok itu tetap hidup. Majja’ah al-Hanafi, nama pemimpin kelompok itu pun ditawan.
pemimpin kelompok itu tetap hidup. Majja’ah al-Hanafi, nama pemimpin kelompok itu pun ditawan.
Sebetulnya, dia seorang pemimpin kabilah
yang cakap dan ditaati. Setiap kali singgah di satu tempat, Khalid
mengajaknya makan dan berbincangbincang. Kadang-kadang sampai pada
masalah “wahyu” yang dibacakan Musailamah kepada para pengikutnya. Suatu
ketika, setelah mendengar syair yang dibacakan Majja’ah, Khalid
mengejeknya, “Sial kau, hai Majja’ah. Aku tahu kau sebetulnya seorang
pemimpin yang cerdas.
Coba dengarkan Kitab Allah
Subhanahuwata’ala, dan perhatikan bagaimana musuh Allah (Musailamah)
mencoba menantangnya.” Khalid mulai membacakan surat al-A’la,
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Rabbmu Y ang Maha tinggi.”
Kemudian, Majja’ah berkata, “Sebetulnya
ada seorang pria Bahrain yang pandai menulis. Musailamah sangat dekat
dengannya dan tidak ada yang lebih dekat daripada orang itu. Setiap kali
dia keluar menemui kami, pria Bahrain itu berkata, ‘Sial kalian, hai
penduduk Yamamah. Demi Allah, pemimpin kalian ini adalah pendusta. Aku
yakin kalian tidak menuduhku apa-apa, kalian tahuaku sangat dekat
dengannya.
Sungguh,demi Allah, dia selalu menipu
kalian dan membaiat kalian di atas kebatilan’.” Khalid pun bertanya,
“Terus, apa yang dilakukan si Bahrain itu?” “Dia melarikan diri dan
tetap mengatakan hal itu, sampai terdengar Musailamah. Dia terus lari ke
Bahrain hingga tersusul oleh Musailamah.”
Kemudian Khalid mengorek lagi beberapa
syair yang dibacakan Musailamah kepada pengikutnya. Setelah selesai,
Khalid berkata, “Inikah yang kalian anggap benar dan kalian
memercayainya?” “Kalau tidak benar, tidak mungkin mau menghadapimu besok
lebih dari sepuluh ribu pedang yang akan merobekrobekmu sampai mati.”
“Kalau begitu, cukuplah Allah
Subhanahiwata’la membela kami dari kalian, dan Dia pasti akan memuliakan
agama-Nya. Sebetulnya Dialah yang kalian perangi, dan agama-Nyalah
sasaran kalian.” Allahu Akbar.
Inilah ucapan yang tegas dan jelas
menunjukkan keimanan Khalid dan besarnya rasa percaya beliau kepada
Allah k. Mulailah Khalid melancarkan teror kepada lawannya. Tujuannya
jelas untuk menjatuhkan mental musuh. Khalid sendiri tidak pernah
menganggap remeh lawannya.
Sering dalam pertempuran di mana pun,
beliau tidak tidur kecuali tetap dalam keadaan siaga. Khalid memanggil
Ziyad bin Labib yang dahulunya adalah teman baik Muhkam bin Thufail,
pemuka Yamamah. Setelah itu, Khalid menyuruh Umar bin Shalih al-Yasykuri
untuk mengingatkan mereka akan Islam dan menakut-nakuti mereka.
Khalid sendiri berangkat menyertai
Tsumamah bin Utsal yang mengajak kaumnya kembali kepada Islam dan
menebarkan hawa perang kepada mereka. Keadaan benar-benar seperti yang
diperkirakan oleh Khalifah Abu Bakr. PendudukYamamah, bani Hanifah tidak
sama dengan kabilah lain. Tekad mereka sudah bulat, untuk membagi dua
dunia ini. Memproklamasikan bahwa satu nabi untuk Quraisy, satu nabi
untuk mereka. Khalid mengatur barisan muslimin dengan cekatan. Bagian
depan, beliau tunjuk Syurahbil bin Hasanah.
Sayap kanan dikomandani oleh Abu
Hudzaifah. Sayap kiri oleh Syuja’, dan jantung pasukan dipimpin oleh
Zaid bin al- Khaththab, saudara ‘Umar. Adapun Usamah, memimpin pasukan
berkuda,sedangkan di belakang, ada barisan wanita dengan semua
perbekalan pasukan. (insyaAllah bersambung)
oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Agar Tidak Terjerat Riba
Ranjau riba ada di mana-mana. Ia ada
di berbagai sendi kehidupan manusia. Sistem muamalah riba telah memasuki
bidang pertanian, perikanan, perkebunan, lebih-lebih lagi perdagangan.
Bahkan,di zaman sekarang ini, sebagian ibadah pun tidak selamat dari
riba, seperti pendaftaran calon jamaah haji dengan sistem pinjaman bank
(dana talangan) untuk setoran awal, tabungan haji di bank riba, dan
sebagainya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Dengan berbagai cara mereka menawarkan
produk-produk riba yang menggiurkan bagi yang diperbudak oleh
dunia—melalui berbagai media. Bahkan, sering kita jumpai para pemburu
mangsa itu datang ke rumah-rumah menawarkan produk mereka disertai
bujukan dan rayuan. Misalnya, kredit murah dapat hadiah, pinjaman bunga
ringan tanpa jaminan, kartu kredit yang praktis dan aman untuk melakukan
berbagai transaksi, dan sebagainya.
Para pembaca yang budiman, barakallahu
fikum. Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat yang menciptakan kita. Dialah
yang paling mengetahui kemaslahatan kehidupan para hamba-Nya. Oleh
karena itu, Dia mengharamkan riba dengan berbagai ragam dan penamaannya
di dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamukepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari
api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taat tilah
Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (al-‘Imran: 130-132)
Allah juga mengabarkan kepada para
hamba-Nya bahwa orang yang memakan hasil riba pada hari kiamat akan
dibangkitkan dari kubur mereka laiknya orang yang kerasukan jin,
sebagaimana firman-Nya,
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu
adalah karena mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambilriba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambirl iba),m akao
rangit ua dalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.”
(al-Baqarah: 275)
Bahkan, Rasulullah juga menegaskan tentang keharaman riba di dalam sabdanya,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ
وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ
النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ،
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِ تَالِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Tinggalkanlah tujuh perkara yang
membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab“, Mempersekutukan Allah, sihir,membunuh jiwa yang diharamkan
oleh Allah untuk dibunuh selain dengan alasan yang haq, makan riba,
makan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita-wanita
mukminat (yang menjaga kehormatan) berbuat zina.” (Muttafaqunalaih dari
dari Abu Hurairah)
Terkait dosa yang sangat menakutkan dengan sebab riba, Rasulullah melaknat lima golongan, sebagaimana berita dari Ibnu Mas’ud ,
آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ , لَعَنَ رَسُولُ اللهِ
“Rasulullah melaknat orang yang memakan
hasil riba dan orang yang memberi riba.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi,
yang lainnya menambahkan, “Dan dua orang saksinya serta penulisnya.”)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin berkata, “Kelima golongan ini dilaknat melalui lisan
Rasulullah. Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang berbuat
dosa, dia bersekutu dengan pelakunya, dan demikianlah keadaannya.”
(Syarh Riyadush Shalihin, 4/152)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz berkata, “Seorang muslim yang mengharapkan kebaikan dan keselamatan
dirinya dari azab Allah serta berhasil mendapatkan keridhaan dan
rahmat-Nya, hendaknya menjauhi kerja sama dengan bank-bank riba,
menyimpan dana untuk mendapatkan bunga, dan meminjam dengan bunga,
karena menanam saham, meminjam, dan menyimpan uang dengan bunga pada
bank-bank tersebut termasuk muamalah dengan cara riba dan kerja sama
(ta’awun) dalam hal dosa dan permusuhan, yang dilarang oleh Allah dalam
firman-Nya,
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Tolong-menolonglah kamu
dalam(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangantolong-menolongdalamberbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu
Kepada Alah, sesungguhnya Alah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)
Wahai hamba Allah , bertakwalah
kepada-Nya. Selamatkanlah diri Anda dan jangan tertipu dengan banyaknya
jumlah bank ribawi, tersebarnya riba di setiap tempat, dan banyaknya
orang yang bermuamalah dengan cara tersebut.
Sebab, itu bukan dalil yang menunjukkan
halalnya. Hal itu justru menunjukkan banyaknya penyimpangan terhadap
perintah Allah Subhanahuwata’ala dan penyelisihan terhadap syariat-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن
تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang
dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta( terhadap Allah). (al-An’am: 116).”
(NashihahHammahfi at-Tahdziri minal Mu’amalah ar-Ribawiyah, hlm. 9—10)
Selanjutnya, beliau berkata, “Termasuk
perkara yang sudah dimaklumi dalam agama Islam berdasarkan dalil dalil
dari al-Kitab dan as-Sunnah bahwa keuntungan yang didapatkan oleh para
pemilik dana sebagai imbalan atas tindakan menabung di bank-bank riba
adalah haram. Hal ini termasuk (muamalah) dengan sistem riba yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini termasuk dosa besar, dan akan
dicabut berkahnya, dibenci oleh-Nya, serta menyebabkan tidak diterimanya
amalan (atau tidak dikabulkannya doa).”
Rasulullh bersabda , “Sesungguhnya Alah Maha baik dan Tidak akan
menerima selain yang baik. SesungguhnyaAllah Subhanahuwata’ala telah
memerintahkan orang-orang yang beriman sebagaimana perintah-Nya kepada
para rasul. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik,dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mu’minun: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,makanlah
diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu
menyembah.” (al-Baqarah: 172)
Kemudian beliau menceritakan tentang
seseorang yang menempuh perjalanan jauh sampai kusut rambutnya dan
berdebu pakaiannya. Dia menengadahkan kedua tangannya kelangit sambil
berkata, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku! ’ Padahal makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dari hal-hal yang
haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Faktor Utama Terjatuh Dalam Riba
Banyak faktor yang menyebabkan
orang-orang terjatuh ke dalam jerat riba. Di sini kami akan menyebutkan
beberapa faktor yang paling pokok. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz t mengatakan,
“Yang sangat memprihatinkan adalah
mayoritas orang—setelah Allah Subhanahuwata’la mengaruniakan dan
melapangkan hartanya karena keutamaan-Nya serta menjadikan mereka
kaya—justru tidak peduli terhadap pengamalan hukumhukum Islam. Mereka
pun tidak merasa cukup dengan apa yang dikaruniakan oleh Allah
Subhanahuwata’ala kepada mereka sehingga tidak membutuhkan segala
sesuatu yang telah diharamkan-Nya. Perhatian mereka justru terhadap
hal-hal yang bisa menghasilkan materi dengan cara apa pun, halal atau
haram. Hal ini tidaklah terjadi selain karena lemahnya keimanan dan
sedikitnya rasa takut mereka terhadap Allah ,sementara itu kecintaan
terhadap harta telah memenuhi hati mereka. (Nashihah Hammah
fiat-Tahdziriminal Mu’amalah ar-Ribawiyah, hlm. 10—11)
1. Lemahnya keimanan
Para pembaca yang budiman, kalau kita
perhatikan, berbagai kemaksiatan tidaklah terjadi selain karena
kelemahan atau ketiadaan iman dalam hati pelakunya. Oleh karena itu,
Allah l di dalam banyak ayat dan Rasul-Nya di dalam hadits-hadits
mengaitkan sebuah larangan atau perintah dengan iman. Iman inilah yang
mendorong pemiliknya untuk melakukan kebaikan, dengan cara melaksanakan
perintah atau meninggalkan larangan-Nya. Termasuk di antaranya adalah
larangan Allah l terhadap riba, sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah: 278)
Allah Subhanahuwata’ala menjelaskan
sikap yang mulia bagi para hamba-Nya karena keimanan mereka terhadap
keputusan Allah dan Rasul-Nya, terkhusus hukum riba. Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:
36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barang siapa diantara kalian melihat
kemungkaran, ubahlah dengan Tangannya. Apabilati dak mampu, ubahlah
dengan lisannya. Apabila tidak mampu, dengan hatinya,dan itu adalah
selemah lemah iman.” (HR. Muslim)
2. Tidak takut kepada Allah
Coba kita perhatikan ancaman- ancaman
Allah Subhanahuwata’la terhadap para pelaku riba yang tidak mau
meninggalkan larangan-Nya. Allah berfirman,
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka
Baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
didalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Dia juga berfirman,
فَإِن
لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا
تُظْلَمُونَ
“Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak(pula) dianiaya.” (al-Baqarah:
279)
Ibnu Abbas berkata, “Akan dikatakan
kepada orang yang memakan hasil riba nanti pada hari kiamat, ‘Ambillah
pedangmu untuk bertempur!’ Kemudian beliau membaca,
‘Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah danRasul-Nya akan
memerangimu’.” Beliau juga mengatakan, “Barang siapa tetap melakukan
muamalah riba dan tidak meninggalkannya, wajib bagi imam (pemerintah)
kaum muslimin untuk meminta tobatnya. Kalau dia mau meninggalkannya
(itulah yang diharapkan), (jika tidak demikian) dia dihukum mati (oleh
penguasa).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/296)
Kesimpulannya, orang yang tidak
memedulikan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya dalam hal bermuamalah
riba dengan berbagai sistemnya, berarti tidak ada rasa takut kepada
Allah l di dalam hatinya.
3. Diperbudak oleh dunia Allah l dengan
hikmah-Nya yang sempurna menciptakan manusia dengan salah satu tabiat
jeleknya, yaitu rakus (tamak, serakah). Hal itu ujian dan cobaan bagi
mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
لَوْ أَنَّ بِالْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ
لَهُ وَادِيَانِ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِ التُّرَابُ وَيَتُوبُ
اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya anak Adam memiliki satu
lembah yang berisi emas, sungguh dia akan berambisi memiliki dua lembah
(yang berisi emas pula), dan tidak ada yang akan memenuhi mulutnya
selain tanah. Akan tetapi, Allah l menerima tobat siapa saja dari
hamba-Nya.”(Muttafaqun alaih dari Ibnu Abbas )
Rasulullah juga mengabarkan bahwa ujian yang paling besar bagi umatnya adalah harta. Sabda beliau,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya, bagi setiap umat ada ujian (tersendiri), dan ujian
bagi umatku adalah harta.” (HR. at-Tirmidzi dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu)
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam menjelaskan,
“Apabila kita perhatikan keadaan kaum muslimin (khususnya), niscaya
kita akan mendapatkan fakta bahwa harta itu benar-benar menjadi ujian.
Bagaimana tidak, kita menyaksikan orang yang telah diperbudak oleh harta
mengumpulkannya dari mana saja, walaupun dengan cara haram, walaupun
jalan untuk mendapatkan yang haram tersebut sangat sulit; seperti riba,
suap, merampas, mencuri, menzalimi, khianat, bahkan kekafiran sekalipun.
Padahal cara itu akan menghinakan mereka karena telah menjual
kehormatan dan kebenaran. Bahkan, dengan sebab itu terjadilah peperangan
dan pertumpahan darah, kehormatan terkorbankan, serta kalbu mereka
terpenuhi oleh kedengkian, kebencian, dan permusuhan. Dengan sebab itu
pula, terjadilah berbagai fitnah (gejolak) yang sangat besar, seperti
pemberontakan, penggulingan kekuasaan, dan penculikan. Dengan sebab itu
pula, berubahlah ibadah kepada Allah l menjadi peribadahan terhadap
harta.” (TahdzirulBasyarminUshuliasy-Syar, hlm. 94)
Itulah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas umatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Amr bin Auf al- Anshari radhiyallahu anhu ,
فَوَاللهِ، مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى
أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكَكُمْ
كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku
khawatirkan akan menimpa kalian. Akan tetapi, aku khawatir akan
dibukakan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibukakan kepada
orang-orang sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba(dengan
menghalalkan berbagai cara) untuk mendapatkannya sebagaimana mereka
telah berlomba-lomba mendapatkannya, hingga dunia itu membinasakan
kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.”( Muttafaqunalaih)
Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahuwata’ala dari berbagai hal yang menyelisihi syariat-Nya.Upaya Menyelamatkan Diri dari Riba
1. Bertakwa kepada Allah , Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata,
“Takwa adalah takut kepada Dzat Yang Mahamulia, beramal dengan wahyu,
merasa cukup (qana’ah) dengan yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi hari akhir.” Oleh karena itu, bagaimanapun sulitnya urusan
kita, dengan takwa akan datang jalan keluarnya, bukan dengan muamalah
riba. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar.” (ath-Thalaq: 2)Dengan sebab takwa pula, urusan kita menjadi mudah, sebagaimana janji Allah subhanahuwata’ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (ath-Thalaq: 4)Dengan sebab takwa, kita akan bisa memilah antara yang halal dan yang haram, sebagaimana firman-Nya,
إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا
“Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (alat pemilah).” (al-Anfal: 29)
Dengan sebab takwa pula, akibat yang
baik pasti akan didapatkan olehmereka yang bertakwa, sebagaimana berita
dari Allah Subhanahuwata’ala ,
تِلْكَ
الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي
الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakandi(muka) bumi. Dan kesudahan (yangbaik) itu adalah bagi
orang-orang yangbertakwa.” (al-Qashash: 83)
Oleh karena itu, Rasulullah menasihati kita untuk bertakwa dalam
urusan harta pada khususnya. Dalam hadits Abi Sa’id al-Khudri z,
Rasulullah bersabda,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا
وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau
(enak rasanya dan menyenangkan tatakala dipandang), dan sungguh Allah
menjadikan kalian silih berganti atasnya. Kemudian Dia akan melihat
bagaimana kalian akan beramal (dengan dunia itu). Oleh karena itu,
hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karen awal petaka
yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita.”( HR.Muslim)
2. Kesabaran menghadapi problematika kehidupan Allah dengan hikmah
dan keadilan-Nya yang sempurna menjadikan dunia sebagai medan ujian dan
cobaan.
وَلَنَبْلُوَنَّكُم
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ
وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan. Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (al- Baqarah: 155)
3. Zuhuddanwara’ terhadap dunia Ibnul
Qayyim menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Zuhud adalah
meninggalkan segala sesuatu yang tidak memberi manfaat di akhirat.
Adapun wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang engkau khawatirkan
akan menyusahkan atau merugikan di akhirat.”(MadarijusSalikin, hlm. 283)
Allah mengabarkan kepada para hamba-Nya tentang hakikat kehidupan dunia,
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali‘Imran: 185)Rasulullah bersabda,
يُؤْتَى
بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ
رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ، هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ:
وَاللهِ، يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَيُصْبَغُ
صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ
بُؤْسًا قَطُّ، هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: وَاللهِ، يَا
رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
“Pada hari kiamat akan didatang kan
seorang yang paling nikmat kehidupannya didunia dan dia termasuk calon
penghuni neraka. Dia dicelupkan kedalam neraka dengan satu kali celupan
lalu ditanya, ‘Wahai anak Adam apakah kamu pernah melihat kebaikan
(walaupun sedikit)?Apakah pernah terlintas kenikmatan kepadamu(walaupun
sedikit)?’ Dia menjawab,‘Tidak, demi Allah wahai Rabb!’Didatangkan pula
seorang yang paling susah kehidupannya di dunia Dan dia termasuk calon
penghuni surga. Dia dicelupkan sekali celupan didalam surga, lalu
ditanya,‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan kesusahan (walaupun
sedikit)? Pernahkah engkau melewati kesulitan walaupun sedikit?’Dia
menjawab,‘Tidak, demi Allah, tidak pernah lewat satu kesusahan pun dan
aku tidak pernah merasakan suatu kesulitan’.” (HR. Muslim)
Tatkala menghadap Allah kelak, kita
tidak membawa harta yang kita miliki di dunia. Harta justru bisa
mempersulit kita ketika dimintai pertanggung jawaban di hadapan-Nya.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan didunia itu).” (at-Takatsur: 8)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ
الْمَيِّتَ ثَ ثَالٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ
أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى
عَمَلُهُ
“Ada tiga pihak yang ikut mengantarkan
jenazah: keluarga, harta, dan anaknya. Dua pihak akan kembali, dan yangs
atu akan tinggal bersamanya. Keluarga dan hartanya akan kembali,
sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (Muttafaqun‘alaih
dari Anas bin Malik )
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t
berkata, “Sabar terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah maknanya
adalah menahan diri dari segala sesuatu yang telah diharamkan-Nya.
Hal ini membutuhkan kesabaran karena
jiwa itu cenderung kepada yang buruk, mengajak kepada hal-hal yang buruk
pula. Oleh karena itu, seseorang harus berusaha menahan dirinya dari
berdusta dan bermuamalah dengan memakan harta dengan cara yang batil,
seperti riba atau lainnya, dan (menahan diri) dari perbuatan zina, minum
khamr, mencuri, dan sebagainya.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/62-63)
4. Qana’ah
Qana’ah adalah seorang hamba menerima
atau merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah l kepada dirinya.
Rasulullah memuji sifat yang mulia ini,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh bahagia orang yang masuk Islam
dan dikaruniai rizeki yang cukup, sertaAllah l menjadikannya merasa
cukup dengan apa yang Dia telahkaruniakankepadanya.”(HR. Muslim dari
Ibnu Umar)
Dengan qana’ah, seorang muslim akan
selamat dari perbudakan harta dan dunia. Dia akan selamat dari penyakit
rakus dan serakah sehingga selamat dari berbagai jebakan dan jeratan
riba.
5. Mencari rezeki yang halal dengan cara yang halal Allah
memerintahkan hamba-Nya untuk mencari rezeki dan keutamaan dari-Nya. Dia
berfirman,
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat,
bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah, dan seringlah
mengingat Allah supaya kamu beruntung.”(al-Jumu’ah: 10)
Dari al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu anhu ,
dari Nabi bersabda (yang artinya), “Tidaklah seseorang memakan makanan
yang lebih baik daripada hasil jerih payahnya sendiri. Sesungguhnya Nabi
Dawud senantiasa makan darijerih payahnya sendiri.” (HR. al-Bukhari)
Cara ini akan memudahkan pertanggungjawaban seorang hamba di hadapan Allah l pada hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ
عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ،
وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ
جِسْمِهِ فِيمَ أَبْ هَالُ
“Tidak akan bergeser kedua telapak
kakinya seorang hamba nanti pada Hari kiamat sampai dia ditanya tentang
umurnya untuk apa dia habiskan,tentang ilmunya pada apa dia
amalkan,tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia
belanjakan, serta tentang badannya pada perkara apa dia pergunakan.”
(HR. at-Tirmidzi)
6. Kepedulian dan bantuan orang-orang
kaya Harta adalah nikmat dari Allah yang harus disyukuri. Di antara
wujud rasa syukur seorang hamba yang diberi limpahan materi adalah
membantu saudaranya dengan pinjaman tanpa riba. Allah l berfirman,
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, serta jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
وَا خْآلِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا
وَا خْآلِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Barang siapa menghilangkan atau
meringankan kesusahan seorang mukmin dari berbagai kesusahan dunia,
niscaya Allah Subhanahuwata’ala akan menghilangkan atau meringankan
kesusahannya nanti pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan urusan
orang yang dalam kesulitan, niscaya Allah Subhanahuwata’ala akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barang siapa menutupi
kekurangan seorang muslim, niscaya Allah Subhanahuwata’ala akan menutupi
kekurangannya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang
hamba selama hamba tersebut membantu saudaranya.” (HR. Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Rajab radhiyallahu anhu
berkata, “Keringanan yang diberikan kepada orang yang tertimpa
kesulitan terwujud dengan dua hal, (1) memberi kelonggaran waktu sampai
mendapatkan kemudahan (untuk melunasinya) dan hal itu adalah wajib
(hukumnya) sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Jika (orang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jikakamumengetahui.”(al-Baqarah: 280)
(2) merelakan tanggungan tersebut
darinya apabila dia adalah orang yang mengutangi. Kalau tidak demikian,
dengan cara memberi sesuatu yang bisa digunakan untuk melunasi utangnya;
dan keduanya adalah keutamaan yang agung.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
2/289)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), “Ada seorang pedagang yang suka memberikan
pinjaman (utang)kepada orang lain.Apabila dia melihat ada orang yang
kesulitan ( melunasi utangnya),dia berkata kepada anak-anaknya,
‘Relakanlah tanggungannya, mudah mudahan Allahl mengampuni dosa dosa
kita.’ Allah Subhanahuwata’ala pun mengampuni dosa-dosanya.”
(Muttafaqun‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda pula (yang artinya), “Barang siapa memberi kelonggaran atau
merelakan tanggungannya seorangyangdalam kesulitan, niscayaAllah l akan
menaunginya dinaungan(Arsy-Nya) Pada hari yang tidak ada naungan selain
naungan (Arsy-Nya).” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda (yang artinya), “Pada hari kiamat nanti, Allahl akan
mendatangkan salah seorang hamba-Nyalalubertanya, ‘Apa yang engkau
amalkan karena-Ku ketika hidup di dunia?’Dia menjawab,‘Aku tidak beramal
di dunia melainkan karena-Mu, wahai Rabb, walaupun sebiji sawi yang aku
harapkan(pahala dengannya),’ dia mengucapkan tiga kali. Hamba tersebut
akhirnya berkata,‘Wahai Rabb, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan
harta yang banyak kepadaku dan akua dalah orang yang melakukan jual beli
dengan orang-orang.Diantara akhlakku adalah suka merelakan
(mengikhlaskan). Aku biasa memberi Kelonggaran orang yang kesulitan dan
memberikan tangguh kepada orang yang dalam kesulitan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah
Subhanahuwata’ala berfirman, “Aku lebih berhak untuk memberikan
kemudahan, (maka) masuklah kesurga!” (HR. al-Bukhari dan Muslim)Akhirnya,
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَ مُتَقَبَّل
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ilmu yang Bermanfaat ,rezeki yang baik, dan amalan yang diterima.”Amin, ya Rabbal ‘alamin.
oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan
Allah telah menguji setiap hamba-Nya
dengan ujian yang berbedabeda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian
tersebut, Allah l menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas
ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa
menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah
ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan
berganti.
Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh
atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan
yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di
belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan
penipuan yang besar?
Cermati, lihat, dan belajarlah dari
orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini
diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan
yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi
bumerang dan senjata makan tuan.
Dunia telah memikat, menjerat,
membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut
al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang
tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang
akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki
yang pencemburu.
Orang yang berjalan mengejar dunia
bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika
dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya
dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim
hlm. 53)
Allah Subhanahuwata’ala mencela Dunia
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185)
وَاضْرِبْ
لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ
السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا
تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا,
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ
الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Berilah perumpamaan kepada mereka,
kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit.
Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah
Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi
harapan.” (al-Kahfi: 45—46)
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
قُلْ
أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِّن ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ
رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَأَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ
بِالْعِبَادِ
“Dijadikan indah pada pandangan manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaituwanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yangbaik(jannah/ surga).
Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baikdari yang
demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepadaA llah),pada sisi
Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka
kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan
serta keridaan Allah, dan AllahMahaMelihat akan hamba-hamba-Nya.”
(AliImran: 14-15)
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau
belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32)
إِنَّمَا
مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ
وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا
وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا
أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ
تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia
ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu
tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya
menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada
mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan
tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum
pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24)
وَمَا
هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ
الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main
belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Sesungguhnyajanji-janji Alla itu benar , maka janganlah kehidupan
dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan
Allah.” (Luqman: 33)
Ketika membahas tafisr surat al-Fath,
as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah
l kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan
memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah
main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam
urusan hati. Seorang hamba
senantiasa berada dalam kelalaian karena
urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya,
baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat
peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap
amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan,
kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang
menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud
terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.”
(Tafsir as-Sa’di hlm. 790)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mencela Dunia
Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah
melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di
sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak
kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang
telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu
dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya?
Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian
senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah
cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda,
“Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya
(bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا،
وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan
hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh
Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini,
lantas Dia akan melihat apayangkalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh
karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena
awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR.
Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu )
وَاللهِ، مَا الدُّنْيَا فِي ا خْآلِرَةِ إِ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ
فِي الْيَمِّ-فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ
فِي الْيَمِّ-فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan
dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya
ini—Yahya, salah seorangperawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke
dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR.
Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu )
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku
adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu )
عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ نَامَ رَسُولُ اللهِ
أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا
أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا
لَكَ وِطَاءً؟ فَقَالَ: مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي
الدُّنْيَا إِ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ
رَاحَ وَتَرَكَهَا
Rasulullah tidur diatas sebuah tikar.
Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami
mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau
bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian
lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.a
t-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu )
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا
مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala dalam
keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak
dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama
seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu )
Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat
dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula
Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya agar para hamba tidak
tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah
Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi
Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai.
2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telingakiri.
3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.
Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu
untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena
melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong
orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak
tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah
kenikmatan yang semu dan menipu.
Dunia, Sumber Malapetaka
Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia
terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk
membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan
turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab
hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Dunia pula yang menghancurkanpersatuan
dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang
dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah
menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah
mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin
secara khusus.
Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa,
terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah
menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia,
menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah
menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.
Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran
Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut
selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi
sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran
itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada
keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang
tercela, seperti cinta kepada dunia,
mencari ketinggian, berlomba-lomba di
hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi,
manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah berfirman,
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2)
Terkadang, banyak sebab yang mendorong
sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya
adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia
mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan
menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.
Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi
menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin
memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu
Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong
kepada dunia, berbanggabangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri
dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong
kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan
menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu
kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia
akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun
orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu
“menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’
al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin
Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang
orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para
pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan
syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa
menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat
mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran
dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650)
Perilaku setiap orang yang berpaling
dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan
perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki
“sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya.
Oleh karena itu, saat Rasulullah datang
membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq.
Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka
menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.
Dunia, Sebab Utama KesesatanSaat menafsirkan firman Allah l,
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata,
“Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki
sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil
yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang
apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah.
Akhirnya, mereka mengubah ciriciri
beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama
beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.”
(Tafsir al-Qur’an 1/22)
Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan
juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi
Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka
mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin
Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah
kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang
diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh
saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang
tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu
setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”
Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa
kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami
telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka
memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi
minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga
melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata,
‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat
Miftah Daar as-Sa’adah 1/93)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia
mencintainya, cintanya bukan karena Allah l, melainkan karena dia
adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun
dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan
kepemimpinan.
Jadi, asal muasal cintanya adalah karena
sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa
mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih
dia cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak
mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244)
Asy – Syaukani berkata ,“Terkadang,
sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa
yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun
kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena
berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka
mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia
meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang
diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.”
(Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)
Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah
berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini.
Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya
tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk
menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke
tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di
bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan
harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal
yang aku perintahkan.
Aku ini tidak punya keahlian untuk
bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu
nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling
di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal
itu terjadi?’
Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi.
Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah l saat Anda mengutamakan ridha-Nya
di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan
menjadikan Anda miskin?
Jika hal itu benar-benar menimpa Anda,
kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan
marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa
yang luput dari Anda.’
Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’
Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi
alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orangYahudi saat
mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum
musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak
takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan
kami dari ini.’ Diapun terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil
YahudiwanNashara hlm. 12)
Oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Dari Gadai Kita Belajar Akhlak Nabi
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِثَ ثَالِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ x تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ
“Rasulullah wafat, sedangkan baju perang beliau masih digadaikan kepada seorang Yahudi dengan nilai tiga puluh sha’ gandum. ”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
antara lain Aisyah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Asma’ binti
Yazid. Adapun hadits Anas bin Malik, perawi dari beliau adalah Qatadah,
dikeluarkan oleh al-Bukhari (2/9—10,115), an-Nasa’i (2/224),
at-Tirmidzi (1/229), Ibnu Majah (2437), Ibnu Hibban (1124), dan Ahmad
(3/133, 208, 238). Adapun hadits Ibnu Abbas c, perawi dari beliau adalah
Ikrimah, dikeluarkan oleh an-Nasa’i, at-Tirmidzi, ad-Darimi (2/259),
dan Ahmad (1/236). Adapun hadits Asma’ binti Yazid, perawi dari beliau
adalah Syahr bin Hausyab, dikeluarkan oleh Ibnu Majah (2438) dan Ahmad
(6/453). Adapun hadits ‘Aisyah ‘Aisyah radhiyallahu’anha di atas, perawi dari beliau adalah al-Aswad bin
Yazid. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dari Muhammad bin Katsir dari Sufyan bin Uyainah dari al-A’masy Sulaiman
bin Mihran dari Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad bin Yazid. Di dalam
sanad hadits ini terdapat beberapa keunikan, di antaranya, Terdapat tiga
orang tabi’in dalam satu sanad: al-A’masy, Ibrahim, dan al-Aswad,
semuanya berasal dari Kufah.2. Terdapat contoh periwayatan perawi dari
pamannya sendiri (dari pihak ibu), yaitu riwayat Ibrahim an-Nakha’i dari
al-Aswad.
Memang, keluarga adalah lingkup terkecil
dalam arah pendidikan. Tidak sedikit rumah tangga muslimin yang menjadi
sumber ilmu dan melahirkan ulama-ulama umat. Oleh sebab itu, dalam ilmu
hadits dikenal beberapa pembahasan khusus mengenai hal ini. Misalnya,
kitab Tasmiyatu Man Ruwiya‘anhu karya Ali al-Madini. Kitab ini membahas
para perawi yang memiliki saudara kandung seorang perawi juga. Al-Khatib
al-Baghdadi menyusun sebuah kitab khusus yang menyebutkan para perawi
yang meriwayatkan dari ayahnya sendiri. Tentang riwayat seorang anak
dari ayahnya sendiri, Abu Nashr al-Wa’ili mengumpulkannya secara khusus
dalam sebuah karya tulis.
Hadits di atas termasuk bukti keberkahan ilmu dalam sebuah keluarga. Al-Imam Bukhari meriwayatkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha
di atas pada sebelas tempat. Selain itu, hadits di atas juga
diriwayatkan oleh Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Di dalam Musnad
asy-Syafi’i disebutkan bahwa kuniah orang Yahudi itu adalah Abus
Syahmah. Demikian juga penjelasan al-Khatib al-Baghdadi dalamkitab
al-Mubhamat dan penjelasan Imamul Haramain. (Umdatul Qari) Zuhudnya Nabi
Kita
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk baginda yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Beliau adalah figur dalam hal kezuhudan dan teladan dalam menjauhi
urusan-urusan duniawi. Harta benda secara bergelombang dan tiada putus
berdatangan ke kota Madinah dari seluruh penjuru negeri. Entah itu harta
jizyah ataukah ghanimah (harta rampasan perang), ada juga harta fai’
(harta orang kafir yang diperoleh tanpa peperangan).
Setiap kali datang harta tersebut, saat itu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membagikan dan menyerahkan kepada yang berhak. Walaupun beliau mampu
menyisihkan harta untuk kebutuhan makanan pokok keluarga, baik dari
hasil tanah milik beliau maupun dari harta-harta tersebut di atas, namun
kedermawanan selalu mendorong beliau n untuk menginfakkan harta milik
beliau.
Sampai-sampai,demikebutuhan makan
keluarga, beliau menggadaikan baju perang kepada seorang Yahudi. Baju
perang tersebut dinilai dengan tiga puluh sha’ gandum. Satu sha’ terdiri
dari empat mud. Adapun satu mud seukuran empat kali dua telapak tangan.
Sungguh luar biasa! Kejadian ini menjadi bukti terbesar akan kezuhudan,
kesederhanaan, dan semangat berinfak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejarah mencatat, di tahun ke-9 dan
ke-10 H, saat harta datang berlimpah, beliau menghabiskan harta tidak
berbilang untuk tamu dan para utusan yang datang dari berbagai penjuru
negeri. Kalau hanya untuk tiga puluh sha’gandum, tidaklah sulit bagi
Nabi untuk memperolehnya dari para sahabat. Namun, beliau n lebih
memilih untuk menggadaikan salah satu harta bernilai tinggi yang
dimilikinya kepada seorang Yahudi. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah untuk baginda yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa :
apabila baju besi yang dimaksud adalah
yang terkenal dengan nama al-Batra’, dihikayatkan bahwa baju besi
tersebut dipakai oleh al-Husain bin Ali ketika beliau terbunuh.
Kemudian, baju besi itu diambil oleh Ubaidullah bin Ziyad. Setelah
Ubaidullah terbunuh di tangan al-Mukhtar, baju besi itu jatuh di tangan
Abbad bin al-Hushain al-Hanzhali.
Setelah itu, gubernur Basrah, Khalid bin
Abdillah bin Usaid memintanya dari Abbad, namun Abbad menolak.
Akhirnya, Abbad dijatuhi hukuman cambuk sebanyak seratus kali. Setelah
itu tidak diketahui lagi keberadaan baju besi tersebut. Mengapa Nabi n
membeli gandum dari orang Yahudi dengan cara gadai dan tidak memilih
para sahabat? Didalam Syarah ShahihMuslim karya an-Nawawi disebutkan
beberapa kemungkinan, di antaranya,
1. Hal itu dilakukan Nabi sebagai penjelasan diperbolehkannya muamalah tersebut.
2. Saat itu tidak ada orang yang memiliki kelebihan bahan makanan selain si Yahudi tersebut.
3. Sahabat tidak ingin menerima gadai
dari Nabi, tidak pula mau menerima pembayaran. Dengan demikian, sengaja
Nabi memilih orang Yahudi agar tidak memberatkan sahabat. Jika ada
pertanyaan, “Dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memiliki kebiasaan untuk mempersiapkan kebutuhan makanan pokok keluarga
untuk setahun, lalu mengapa beliau meminjam gandum dari orang Yahudi?”
Ada beberapa kemungkinan jawaban, di antaranya ;
1. Kejadian tersebut setelah kebutuhan makanan pokok beliau habis.
2. Beliau kedatangan tamu secara tiba-tiba.
Kemilau Mutiara Hadits
1.Diperbolehkannya gadai, lebih lebih al-Qur’an juga menunjukkannya.
2. Diperbolehkan untuk bermuamalah
dengan orang-orang kafir dan hal ini tidak termasuk bentuk kecenderungan
membela mereka. Al -I mamash – Shan’ani menjelaskan, ”Hal ini telah
diketahui secara dharuri. Rasulullah dan para sahabat tinggal di Makkah
selama tiga belas tahun lamanya dan berinteraksi dengan kaum musyrikin.
Beliau juga menetap di Madinah selama sepuluh tahun dan berinteraksi
dengan ahli kitabserta berkegiatan di pasar mereka.”
3. Diperbolehkan untuk berhubungan
dengan seseorang yang hartanya dominan haram. Dengan syarat, barang
tersebut tidak diketahui secara pasti sebagai barang haram. Al-Imam
ash-Shan’ani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan tidak perlunya
memerhatikan tata cara bermuamalah sesama mereka (ahli kitab). Sudah
diketahui, mereka berjual beli khamr, memakan dan mengambil harta haram.
Akan tetapi, bukan tugas kita untuk
meneliti muamalah mereka dan cara harta bisa sampai ke tangan mereka.
Kita bermuamalah dengan merekase bagaimana kepada orang yang
berkepemilikan halal, hingga ada bukti pasti kebalikannya. Seperti itu
juga kita bersikap kepada orang-orang zalim.
4. Hadits ini tidak menunjukkan bolehnya
menjual senjata kepada kaum kafir. Sebab, baju perang bukanlah senjata.
Gadai juga bukan bentuk jual beli. Selain itu, orang Yahudi, tempat
Nabi menggadaikan, termasuk golongan musta’manin yang memperoleh jaminan
keamanan dan keselamatan, sehingga tidak dikuatirkan munculnya gejolak
dan pengkhianatan darinya. Sebab, membantu kaum kafir dan musuh dengan
senjata merupakan keharaman dan pengkhianatan besar.
5. Hadits ini menunjukkan kezuhudan dan
kesederhanaan Nabi, karena berharap janji Allah l dan kedermawanan. Oleh
karena itu, beliau tidak membiarkan ada harta yang tersisa di sisi
beliau. Ibnu Abbas radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا مَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ
سَارَ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ فَاسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ
سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
”Apa urusanku dengan dunia?Aku dan dunia
ibarat seorang pengendara yang melakukan perjalanan di siang hari,
berteduh dan bernaung di sebuah pohon kemudian melanjutkan perjalanan
dan meninggalkan tempa tersebut.” (HR. Ahmad, lihat ash-Shahihah no.
439)
6. Diperbolehkannya melakukan gadai saat
mukim. Dengan demikian, ayat yang menjelaskan tentang gadai di saat
safar hanyalah menunjukkan keumuman gadai. Hal ini adalah pendapat yang
dipegang oleh jumhur ulama. Sementara itu, Mujahid, adh-Dhahhak, dan
mazhab Zhahiriyah berpendapat bahwa gadai hanya dapat dilakukan pada
saat safar.
7. Perintah berusaha adalah bagian dari
sikap tawakal. Rasulullah mengajarkan bahwa untuk mendapatkan nafkah
harus dibarengi dengan usaha dan perjuangan. Salah satunya dengan cara
gadai. Perintah berusaha pun dapat diambil dari sisi lain hadits ini,
yaitu Rasulullah menggunakan baju besi untuk melindungi diri dalam
peperangan.
8. Hadits ini adalah contoh penggunaan
kaidah “mendahulukan yang lebih penting”. Baju besi adalah perlengkapan
perang yang diperlukan seorang prajurit. Dalam waktu yang sama, keluarga
beliau membutuhkan nafkah. Beliau lebih mendahulukan nafkah keluarga
karena wajib hukumnya, sedangkan berperang tetap dapat dilakukan meski
tanpa baju besi.
9. Hadits di atas menyatakan pengakuan
Islam atas kepemilikan harta orang kafir. Harta yang dimiliki secara sah
oleh orang kafir tidak dapat dirampas atau diambil selain dengan cara
yang diizinkan oleh syariat. Jadi, bukan karena kekafiran seseorang
lantas kita boleh menzaliminya.
10. Hadits ini menunjukkan perhatian
ahli waris terhadap beban dan tanggungan keluarga yang meninggal.
Sekaligus, hadits ini menunjukkan pentingnya bagi seseorang untuk
mencatat dan memberitahukan kepada ahli warisnya, baik tentang beban hak
dan kewajiban dirinya maupun hak dan kewajiban orang lain. Rasulullah
wafat dalam keadaankeluarga beliau mengetahui tanggungan gadai kepada
orang Yahudi.
11. Seluruh perjalanan hidup Rasulullah
selalu memberikan manfaat dan dapat diambil ibrahnya. Sejak beliau
dilahirkan, beranjak dewasa, diangkat menjadi nabi hingga akhir hayat
beliau, selalu ada pelajaran dan bimbingan bagi setiap orang yang ingin
merenunginya. Setelah Rasulullah wafat pun, umat beliau masih dapat
mengambil banyak pelajaran dari perbuatan beliau yang menggadaikan baju
besi kepada seorang Yahudi.
12. Warisan yang terbaik adalah amal
kebaikan. Perhatikanlah, bagaimanakah Rasulullah meninggalkan dunia ini?
Beliau tinggalkan dunia dalam keadaan beliau menjadi pemimpin dan
penguasa Jazirah Arab, ditakuti oleh setiap raja yang ada saat itu. Para
sahabat siap sedia mengorbankan jiwa raga dan harta untuk beliau.
Namun, beliau tinggalkan dunia ini tanpa
mewariskan dinar, dirham, budak sahaya, atau hartayang lain. Beliau
hanya meninggalkan baghal berwarna putih, senjata, dan tanah yang beliau
wasiatkan sebagai sedekah. Beliau meninggalkan dunia dalam keadaan baju
besi beliau tergadai di tangan orang Yahudi. Para sahabat sangat
memahami hal ini. Warisan beliau adalah ilmu.
Sulaiman bin Mihran bercerita, “Suatu
hari, Abdullah bin Mas’ud sedang bersama murid-muridnya. Tiba-tiba
lewatlah seorang badui. Ia bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’
Ibnu Mas’ud menjawab,
يَقْتَسِمُونَهُ n عَلَى مِيْرَاثِ مُحَمَّدٍ
‘Mereka sedang membagi – bagikan warisan Muhammad’.” (SyarafAshabil Hadits, al-Khatib)
Mudah-mudahan kita pun termasuk pengikut
beliau yang sangat berharap mendapatkan bagian dari warisan ilmu yang
beliau tinggalkan. Semogabermanfaat. Walhamdulillah rabbil ‘alamin.
oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Ketika Agama Digadaikan Demi Kesenangan Sesaat
Minimnya ilmu, tipisnya iman, dan
kuatnya dorongan hawa nafsu kerap kali menutup pintu hati seseorang
untuk memahami hakikat kehidupan dunia yang sedang dijalaninya. Harta
yang merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wata’ala tak jarang
menjadi ujian dan sebab jauhnya seseorang dari agama Islam yang suci.
Padahal, agama Islam adalah bekal utama bagi seseorang dalam hidup ini.
Dengan Islam, seseorang akan berbahagia dan terbimbing dalam menghadapi
pahit getirnya kehidupan. Sebaliknya, tanpa Islam, hidup seseorang tiada
berarti dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
>Anehnya, di antara manusia ada yang
menggadaikan Islam -agama dan bekal utamanya- demi kesenangan dunia yang
sesaat. Betapa meruginya orang itu. Dia akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala di hari kiamat dengan tangan hampa dan terhalang dari kebahagiaan yang hakiki.
Hakikat Kehidupan Dunia
Tak bisa dimungkiri bahwa kehidupan
dunia dikitari oleh keindahan dan kenikmatan (syahwat). Semuanya
dijadikan indah pada pandangan manusia, sehingga setiap orang mempunyai
kecondongan kepadanya sesuai dengan kadar syahwat yang menguasainya.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan sesungguhnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala lah tempat kembali yang baik (al-Jannah). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini (syahwat), yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(al-Jannah).” (Ali Imran: 14)
Namun, betapa pun menyenangkan kehidupan
dunia itu, sungguh ia adalah kehidupan yang fana. Semuanya bersifat
sementara. Tiada makhluk yang hidup padanya melainkan akan
meninggalkannya. Tiada pula harta yang ditimbun melainkan akan berpisah
dengan pemiliknya. Keindahan dunia yang memesona dan kenikmatannya yang
menyenangkan itu pasti sirna di kala Allah Subhanahu wata’ala menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اعْلَمُوا
أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ
بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ
أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ
يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ
اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah diantara kalian serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu
lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur, dan diakhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)
إِنَّمَا
مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ
وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا
وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا
أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ
تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniaw itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit,
lalu tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan suburnya karena air itu,
diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila
bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya,
dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (dapat
memetik hasilnya), tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami diwaktu malam
atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman
yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang
berpikir.” (Yunus: 24)
Sudah sepatutnya setiap pribadi muslim
memahami hakikat kehidupan dunia, agar tidak salah jalan dalam
menempuhnya. Lebih-lebih, dunia bukanlah akhir seorang hamba dalam
menuju Rabb-nya. Masih ada dua fase kehidupan berikutnya: kehidupan di
alam kubur (barzakh) dan kehidupan di alam akhirat.
Di alam kubur (barzakh), setiap orang
akan mendapatkan nikmat kubur atau azab kubur, sesuai dengan perhitungan
amalnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Setelah itu, di alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala
seorang diri, mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang
dikerjakannya selama hidup di dunia, dan akan mendapatkan balasan yang
setimpal (dari Allah Subhanahu wata’ala) atas segala apa yang diperbuatnya itu. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu
telah bekerja (berbuat) dengan penuh kesungguhan menuju Rabbmu, maka
pasti kamu akan menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan segala
perbuatan yang dilakukan).” (al-Insyiqaq: 6)
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah(semut kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejelekan seberat zarrah (semut kecil)
pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7-8)
Tiada Hidup Tanpa Agama Islam
Demikianlah kehidupan dunia dengan
segala liku-likunya. Kehidupan yang bersifat sementara, namun sangat
menentukan bagi dua kehidupan berikutnya; di alam kubur (barzah) dan di
alam akhirat. Sebab, segala perhitungan yang terjadi pada dua kehidupan
tersebut sangat bergantung pada amal dan bekal yang telah dipersiapkan
oleh setiap hamba pada kehidupan dunianya.
Maka dari itu, tiada bekal yang dapat
mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki pada dua kehidupan tersebut
selain agama Islam, yang terangkum dalam takwa, iman, dan amal saleh.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa….” (al- Baqarah: 197)
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Betapa pentingnya peran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan ini. Agama satu-satunya yang sempurna dan diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Betapa bahagianya orang yang dikaruniai keteguhan (istiqamah) di atas
agama Islam yang mulia; dengan berupaya memahaminya sesuai dengan
pemahaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, serta menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya.
Sebaliknya, betapa celakanya orang yang
mencari selain agama Islam sebagai bekal hidupnya. Segala upayanya tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu wata’ala, dan di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kita apabila Allah Subhanahu wata’ala
mengingatkan orang-orang yang beriman agar berpegang teguh dengan agama
yang mulia ini dan meninggal dunia sebagai pemeluknya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah
sekali-kali meninggal dunia melainkan sebagai pemeluk agama Islam.” (Ali Imran: 102)
Mengapa Harus Menggadaikan Agama?
Kehidupan dunia adalah medan tempaan dan ujian (darul ibtila’) bagi setiap hamba yang menjalaninya. Masing-masing akan mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan kadar keimanannya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan (kenikmatan). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian
dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Ujian dalam bentuk keburukan
bermacam-macam. Adakalanya berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta
(kemiskinan), kekurangan jiwa (wafatnya orang-orang yang dicintai),
kekurangan buah-buahan (bahan makanan), dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لَنَبْلُوَنَّكُم
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ
وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sungguh akan Kami berikan ujian kepada
kalian, dalam bentuk sedikit dari ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira
kepadaorang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 155)
Ujian dalam bentuk kebaikan juga
bermacam-macam. Adakalanya berupa kenikmatan, harta, anak-anak,
kedudukan, dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya harta dan
anak-anak kalian itu (sebagai) ujian, dan di sisi Allahlah pahala yang
besar.” (al-Anfal: 28)
Beragam ujian itu diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepada para hamba tiada lain agar tampak jelas di antara para hamba
tersebut siapa yang jujur dalam keimanannya dansiapa pula yang berdusta,
siapa yang selalu berkeluh kesah dan siapa pula yang bersabar.
Demikianlah, Allah Subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الم
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif Laam Miim, apakah manusia mengira
untuk dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak
diberi ujian? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala
mengabarkan bahwa Dia akan memberikan beragam ujian kepada para
hamba-Nya, agar tampak jelas (di antara para hamba tersebut) siapa yang
jujur (dalam keimanannya) dan siapa pula yang berdusta, siapa yang
selalu berkeluh kesah, dan siapa pula yang bersabar.
Demikianlah sunnatullah. Sebab,
manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi orang yang beriman
tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul ketidakjelasan
(militansi/semangat keislamannya, –pen.), dan ini tentu saja bukanlah suatu hal yang positif. Sementara itu, hikmah Allah Subhanahu wata’ala menghendaki adanya sinyal pembeda antara orang-orang yang baik (ahlul khair) dan orang-orang yang jahat (ahlusy syar).
Itulah fungsi tempaan dan ujian, bukan untuk memupus keimanan
orang-orang yang beriman, bukan pula untuk menjadikan mereka lari dari
Islam. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan keimanan orang-orang yang beriman.”(Taisirul Karimirrahman, hlm. 58)
Berbahagialah orang-orang yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala
saat ujian tiba. Manakala ujian keburukan yang tiba, dia hadapi dengan
penuh kesabaran. Manakala ujian kebaikan, dihadapinya dengan penuh
syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun orang-orang yang tidak diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala
saat ujian tiba, agama menjadi taruhannya. Iman dan Islam yang
merupakan modal utama dalam hidup ini digadaikannya demi kesenangan
sesaat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَادِرُوا
بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ
الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ
كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal,
(karena akan datang) ujian-ujian ibarat potongan-potongan malam yang
gelap. (Disebabkan ujian tersebut) di pagi hari seseorang dalam keadaan
beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam keadaan
beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya
dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no. 118 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits di atas mencakup seluruh pribadi
umat ini, baik yang miskin maupun yang kaya. Yang miskin menjual
agamanya dan menggadaikan imannya, karena tak sabar akan ujian
kekurangan (kemiskinan) yang dideritanya. Cukup banyak contoh kasusnya
di masyarakat kita. Terkadang dengan iming-iming jabatan, terkadang
dengan pemberian modal usaha atau pinjaman lunak, terkadang dengan
pemberian rumah atau tempat tinggal, terkadang dengan pembagian sembako,
bahkan terkadang hanya dengan beberapa bungkus mi instan.
Adapun yang kaya, dia menjual agamanya
dan menggadaikan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya. Ia tidak
mau mensyukuri karunia Allah Subhanahu wata’ala yang diberikan
kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa semua itu berkat kepandaian dan jerih
payahnya semata. Ingatkah Anda tentang kisah Qarun, seorang hartawan
dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa ‘alaihis salam) yang menggadaikan agama dan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya? Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ
قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ
مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي
الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ
الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ,
قَالَ
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ
مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ
الْمُجْرِمُونَ
“Sesungguhnya Qarun termasuk dari
kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah
karuniakan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh
berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya
berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau terlalu bangga diri (sombong),
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri
(sombong). Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun pun menjawab, ‘Sesungguhnya
aku dikaruniai harta tersebut dikarenakan ilmu (kepandaian)-ku.’
Tidakkah Qarun tahu, sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelum
dia yang jauh lebih kuat darinya dan lebih banyak dalam mengumpulkan
harta? Dan tak perlu dipertanyakan lagi orang-orang jahat itu tentang
dosa-dosa mereka. Maka (suatu hari) tampillah Qarun di tengah-tengah
kaumnya dengan segala kemegahannya, lalu berkatalah orang-orang yang
tertipu oleh kehidupan dunia‘ ,Duhai kiranya kami dikaruniai (harta)
seperti Qarun, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.’
Adapun orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan, ‘Celakalah kalian,
sesungguhnya karunia Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, namun tidaklah pahala itu
diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (al-Qashash: 76-80)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut, –pen.)
bahwa Qarun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga
ia lupa diri, dan semuayang dimilikinya itu ternyata tidak mampu
menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana yang telah dialami (sebelumnya, –pen.) oleh Fir’aun.” (Tafsir al-Qurthubi)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
ketika menafsirkan ayat ke-77 dari surat al-Qashash tersebut,
mengatakan, “Pergunakanlah apa yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepadamu, yaitu harta yang banyak dan nikmat yang tak terhingga itu,
untuk ketaatan kepada Rabb-mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya
dengan beragam amal saleh, yang diharapkan dengannya mendapatkan pahala,
baik di dunia maupun di akhirat. (Janganlah kamu melupakan bagianmu
dari [kenikmatan] duniawi, -pen.) yang Allah Subhanahu wata’ala
halalkan bagimu, yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan
menikahi wanita. Menjadi keharusan bagimu untuk menunaikan hak Rabb-mu,
hak dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah
haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah Subhanahu wata’ala telah berbuat baik kepadamu. Janganlah
kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di
(muka) bumi dan berbuat kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita
bahwa siapa pun yang menjalani kehidupan dunia ini pasti akan
menghadapi berbagai ujian. Saat itulah seseorang akan mengalami
pergolakan dan perseteruan dalam jiwanya. Hasilnya akhirnya, apakah bisa
istiqamah di atas iman dan Islam, ataukah ia justru menggadaikannya
demi kesenangan sesaat.
Maka dari itu, ketika ujian itu tiba, tiada kata yang indah yang patut diucapkan selain dzikrullah (berzikir dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala), karena dengan zikrullah hati akan menjadi tenteram sehingga dimudahkan untuk memilih jalan kebenaran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (zikrullah).
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’d: 28)
Demikian pula, tiada perbuatan yang
paling berguna bagi keselamatan diri ini selain kesungguhan dalam
beramal saleh (termasuk menuntut ilmu agama), sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Lebih dari itu, peran doa sangat penting
dalam membantu keistiqamahan seseorang di atas iman dan Islam, kokoh di
atas agama Allah Subhanahu wata’ala dan tak mudah menggadaikannya demi kesenangan sesaat. Di antara doa yang diajarkan oleh Allah l dalam al-Qur’an adalah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)
“Wahai Rabb kami, Janganlah Engkau
sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami hidayah dan
karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau
adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam juga selalu berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan
hati, kokohkanlah hatiku ini diatas agama-Mu.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam
as-Sunnah no. 232 dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Akhir kata, semoga taufik dan hidayah Allah Subhanahu wata’ala
selalu mengiringi kita dalam kehidupan dunia ini, sehingga dapat
istiqamah di atas agama-Nya yang mulia serta berpijak di atas manhaj
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dengan satu harapan, mendapatkan kesudahan terbaik dalam hidup ini (husnul khatimah) dan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya yang dipenuhi dengan kenikmatan. Amin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin SulaimiJauhi Sumber Kesalahan
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Allah l menciptakan makhluk-Nya untuk selalu taat kepada-Nya, dalam keadaan Dia tidak butuh kepada apa pun dan siapa pun1, baik itu makhluk yang disebut malaikat, jin, maupun manusia.2
Dari tiga jenis makhluk yang disebutkan ini, jenis malaikat tidaklah diberi bagian untuk durhaka kepada-Nya, karena malaikat adalah makhluk yang diciptakan untuk senantiasa taat, tunduk, patuh, dan selalu beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah l sifatkan mereka dalam al-Qur’an,
“Mereka tidak pernah bermaksiat kepada Allah dalam apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Tertinggal dua jenis makhluk yang dari keduanyalah terjadi kedurhakaan dan kemaksiatan kepada Rabbul Alamin, manusia dan jin. Memang kepada keduanyalah dibebankan taklif, beban-beban syariat, yang bila keduanya mau menjalankannya dengan baik selama hidup di dunia, kelak akan beroleh kenikmatan abadi yang tiada tara. Sebaliknya, apabila keduanya enggan, kesengsaraan dan derita tiada terperi telah menanti.
Manusia dan jin, Allah l ciptakan secara syar’i untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana dalam Tanzil-Nya yang agung,
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Di antara manusia dan jin ada yang menjadi hamba Allah l yang taat, namun lebih banyak lagi yang durhaka dengan kehendak dan hikmah Allah l yang agung serta keadilan-Nya.
Kedurhakaan dan kemaksiatan yang diperbuat dua makhluk yang diistilahkan tsaqalain (dua yang berat) ini terus saja terjadi di muka bumi. Banyak dan tiada terhitung pelanggaran yang mereka lakukan. Namun disebutkan pokok atau awal dari kesalahan makhluk itu ada tiga: ambisi, hasad/iri dengki, dan kibr/sombong3.
1. Ambisi
Merasa tidak puas dengan apa yang telah diperoleh dan terus ingin menambah dan menambah.
Karena sifat inilah, dengan kehendak Allah l dan hikmah-Nya, bapak kita Adam q dikeluarkan dari jannah (surga) untuk kemudian turun ke bumi sebagai negeri yang memang telah dipersiapkan untuk dihuni bangsa manusia4.
Iblis yang menyimpan dendam kesumat kepada Adam q berusaha menggelincirkan Adam dan Hawa dengan tipu muslihatnya, tatkala ia melihat ambisi Adam untuk tetap abadi di surga guna terus merasakan kenikmatan tiada tara. Sebelumnya Allah l telah bertitah kepada Adam q,
Dan Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian berdua sukai, namun janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 35)
Maka Kami berkata, “Wahai Adam, sesungguhnya Iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kalian berdua dari surga, yang menyebabkan kamu celaka. Sungguh di dalam surga ini kamu tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang.” (Thaha: 117—118)
Iblis, nenek moyang para setan, pun melancarkan makar busuknya terhadap kedua bapak dan ibunya manusia ini.
Maka setan membisikkan pikiran jelek kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu aurat keduanya. Setan berkata, “Rabb kalian berdua tidaklah melarang kalian dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal di dalam surga. “ (al-A’raf: 20)
Kemudian setan membisikkan pikiran jelek kepada Adam, dengan berkata, “Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi5 (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaha: 120)
Pada akhirnya, karena ambisi ingin kekal di dalam surga jatuhlah Adam dalam tipu daya setan.
Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah dari pohon terlarang itu, tampaklah bagi keduanya aurat keduanya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb keduanya menyeru, “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepada kalian berdua, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?’.” (al-A’raf: 22)
Karena kesalahan tersebut, Adam dan Hawa akhirnya diturunkan ke bumi, tidak lagi menghuni surga nan bergelimang kenikmatan, setelah Allah l menerima taubat keduanya.
2. Hasad atau Dengki
Hasad adalah tidak suka terhadap nikmat yang Allah l berikan kepada orang lain, sama saja apakah disertai keinginan hilangnya nikmat tersebut dari orang yang didengki ataupun tidak, demikian disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Karena sifat buruk ini, terjadilah permusuhan di antara dua putra Adam. Tatkala keduanya mempersembahkan kurban sebagai amalan taqarrub kepada Rabbul Alamin, hanya kurban salah satunya yang diterima, sementara itu yang satu lagi ditolak. Irilah anak Adam yang ditolak kurbannya terhadap saudaranya sehingga akhirnya ia tega membunuhnya. Terjadilah pembunuhan pertama di muka bumi. Akibat sifat apa? Ya, iri dengki atau hasad.
Allah l mengabadikan kisah pembunuhan tersebut dalam Tanzil-Nya,
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang mereka dan tidak diterima dari yang lain. Yang tidak diterima berkata, “Aku pasti akan membunuhmu!” Berkata yang diterima kurbannya, “Sungguh Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam. Sungguh aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” Maka hawa nafsu yang tidak diterima kurbannya menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah saudaranya maka jadilah dia seorang di antara orang-orang yang merugi. (al-Maidah: 27—30)
Hasad juga merupakan perangai musuh kita al-maghdhubi ‘alaihim, yaitu orang-orang Yahudi, yang dalam shalat saat membaca al-Fatihah kita selalu berlindung dari mengikuti jalan mereka. Allah l berfirman tentang Yahudi,
“Apakah mereka hasad terhadap manusia atas nikmat keutamaan yang Allah berikan kepadanya?” (an-Nisa: 54)
Ketika kita dapati perasaan hasad ini dalam hati kita maka tahanlah lisan dan perbuatan kita, jangan kita munculkan apa yang tersimpan dalam dada. Berusahalah menghilangkan rasa tidak suka tersebut. Berdoalah agar Allah menambahkan keutamaan-Nya kepadanya (orang yang didengki) dan Dia memberimu sesuatu yang lebih utama darinya.
3. Sombong
Rasulullah n menerangkan tentang kibr atau sombong dengan sabdanya,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)
Karena kesombongan, Iblis jatuh dalam kekafiran. Kisahnya, tatkala Allah l memerintahkan para malaikat dan ikut bergabung bersama mereka si Iblis6, untuk sujud penghormatan kepada Adam, maka seluruh malaikat sujud sebagai kepatuhan terhadap perintah Allah l. Namun Iblis enggan, dengan congkaknya ia menolak, beralasan ia lebih baik daripada Adam karena ia diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah. Murkalah Rabbul Alamin kepadanya dan diusirlah dia dari surga.
Allah l berfirman menceritakan kesombongan Iblis,
Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada para malaikat, “Sujudlah kalian sebagai penghormatan kepada Adam!” Maka mereka semua sujud, kecuali Iblis, dia enggan dan sombong, dan jadilah dia termasuk orang-orang kafir. (al-Baqarah: 34)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan bahwa Iblis musuh Allah l hasad kepada Adam q dengan kemuliaan yang Allah l berikan kepada Adam. Ia mengatakan dirinya dari api lebih baik daripada Adam yang diciptakan dari tanah. Jadilah kesombongan sebagai awal dosa yang diperbuat oleh makhluk.
Rasulullah n telah mengancam orang yang sombong dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada kesombongan walau seberat semut yang kecil.” (HR. Muslim)
Maka hendaklah kita membuang rasa sombong ini dari hati kita dengan cepat menerima kebenaran, sesuai ataupun tidak dengan hawa nafsu kita, dan hargailah hamba-hamba Allah l, jangan mengangkat diri di hadapan mereka, namun tawadhu’lah.
Demikianlah keburukan sifat terlalu ambisi, hasad, dan sombong. Semuanya akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang kesengsaraan, maka berhati-hatilah darinya!
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Referensi
• al-Qur’anul Karim
• al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, al-Imam an-Nawawi, cet. Darul Ma’rifah, Bairut.
• at-Ta’shil fi Thalabil ‘Ilm, asy-Syaikh Muhammad ibn Umar ibn Salim Bazmul, cet. Dar al-Imam Ahmad, Kairo.
• Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, cet. Dar ‘Alamil Kutub, Riyadh.
• Kitabul ‘Ilm, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, cet. Dar ats-Tsurayya lin Nasyr, Riyadh.
• Syarhus Sunnah lil Muzani, Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. Darul Minhaj, Kairo.
• Tafsir al-Qur’anil azhim, al-Hafizh Ibnu Katsir, cet. al-Maktabah at-Tauqifiyyah, Kairo.
Allah l menciptakan makhluk-Nya untuk selalu taat kepada-Nya, dalam keadaan Dia tidak butuh kepada apa pun dan siapa pun1, baik itu makhluk yang disebut malaikat, jin, maupun manusia.2
Dari tiga jenis makhluk yang disebutkan ini, jenis malaikat tidaklah diberi bagian untuk durhaka kepada-Nya, karena malaikat adalah makhluk yang diciptakan untuk senantiasa taat, tunduk, patuh, dan selalu beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah l sifatkan mereka dalam al-Qur’an,
“Mereka tidak pernah bermaksiat kepada Allah dalam apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Tertinggal dua jenis makhluk yang dari keduanyalah terjadi kedurhakaan dan kemaksiatan kepada Rabbul Alamin, manusia dan jin. Memang kepada keduanyalah dibebankan taklif, beban-beban syariat, yang bila keduanya mau menjalankannya dengan baik selama hidup di dunia, kelak akan beroleh kenikmatan abadi yang tiada tara. Sebaliknya, apabila keduanya enggan, kesengsaraan dan derita tiada terperi telah menanti.
Manusia dan jin, Allah l ciptakan secara syar’i untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana dalam Tanzil-Nya yang agung,
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Di antara manusia dan jin ada yang menjadi hamba Allah l yang taat, namun lebih banyak lagi yang durhaka dengan kehendak dan hikmah Allah l yang agung serta keadilan-Nya.
Kedurhakaan dan kemaksiatan yang diperbuat dua makhluk yang diistilahkan tsaqalain (dua yang berat) ini terus saja terjadi di muka bumi. Banyak dan tiada terhitung pelanggaran yang mereka lakukan. Namun disebutkan pokok atau awal dari kesalahan makhluk itu ada tiga: ambisi, hasad/iri dengki, dan kibr/sombong3.
1. Ambisi
Merasa tidak puas dengan apa yang telah diperoleh dan terus ingin menambah dan menambah.
Karena sifat inilah, dengan kehendak Allah l dan hikmah-Nya, bapak kita Adam q dikeluarkan dari jannah (surga) untuk kemudian turun ke bumi sebagai negeri yang memang telah dipersiapkan untuk dihuni bangsa manusia4.
Iblis yang menyimpan dendam kesumat kepada Adam q berusaha menggelincirkan Adam dan Hawa dengan tipu muslihatnya, tatkala ia melihat ambisi Adam untuk tetap abadi di surga guna terus merasakan kenikmatan tiada tara. Sebelumnya Allah l telah bertitah kepada Adam q,
Dan Kami berfirman, “Wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian berdua sukai, namun janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 35)
Maka Kami berkata, “Wahai Adam, sesungguhnya Iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kalian berdua dari surga, yang menyebabkan kamu celaka. Sungguh di dalam surga ini kamu tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang.” (Thaha: 117—118)
Iblis, nenek moyang para setan, pun melancarkan makar busuknya terhadap kedua bapak dan ibunya manusia ini.
Maka setan membisikkan pikiran jelek kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu aurat keduanya. Setan berkata, “Rabb kalian berdua tidaklah melarang kalian dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal di dalam surga. “ (al-A’raf: 20)
Kemudian setan membisikkan pikiran jelek kepada Adam, dengan berkata, “Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi5 (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaha: 120)
Pada akhirnya, karena ambisi ingin kekal di dalam surga jatuhlah Adam dalam tipu daya setan.
Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah dari pohon terlarang itu, tampaklah bagi keduanya aurat keduanya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb keduanya menyeru, “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepada kalian berdua, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?’.” (al-A’raf: 22)
Karena kesalahan tersebut, Adam dan Hawa akhirnya diturunkan ke bumi, tidak lagi menghuni surga nan bergelimang kenikmatan, setelah Allah l menerima taubat keduanya.
2. Hasad atau Dengki
Hasad adalah tidak suka terhadap nikmat yang Allah l berikan kepada orang lain, sama saja apakah disertai keinginan hilangnya nikmat tersebut dari orang yang didengki ataupun tidak, demikian disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Karena sifat buruk ini, terjadilah permusuhan di antara dua putra Adam. Tatkala keduanya mempersembahkan kurban sebagai amalan taqarrub kepada Rabbul Alamin, hanya kurban salah satunya yang diterima, sementara itu yang satu lagi ditolak. Irilah anak Adam yang ditolak kurbannya terhadap saudaranya sehingga akhirnya ia tega membunuhnya. Terjadilah pembunuhan pertama di muka bumi. Akibat sifat apa? Ya, iri dengki atau hasad.
Allah l mengabadikan kisah pembunuhan tersebut dalam Tanzil-Nya,
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang mereka dan tidak diterima dari yang lain. Yang tidak diterima berkata, “Aku pasti akan membunuhmu!” Berkata yang diterima kurbannya, “Sungguh Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam. Sungguh aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” Maka hawa nafsu yang tidak diterima kurbannya menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah saudaranya maka jadilah dia seorang di antara orang-orang yang merugi. (al-Maidah: 27—30)
Hasad juga merupakan perangai musuh kita al-maghdhubi ‘alaihim, yaitu orang-orang Yahudi, yang dalam shalat saat membaca al-Fatihah kita selalu berlindung dari mengikuti jalan mereka. Allah l berfirman tentang Yahudi,
“Apakah mereka hasad terhadap manusia atas nikmat keutamaan yang Allah berikan kepadanya?” (an-Nisa: 54)
Ketika kita dapati perasaan hasad ini dalam hati kita maka tahanlah lisan dan perbuatan kita, jangan kita munculkan apa yang tersimpan dalam dada. Berusahalah menghilangkan rasa tidak suka tersebut. Berdoalah agar Allah menambahkan keutamaan-Nya kepadanya (orang yang didengki) dan Dia memberimu sesuatu yang lebih utama darinya.
3. Sombong
Rasulullah n menerangkan tentang kibr atau sombong dengan sabdanya,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)
Karena kesombongan, Iblis jatuh dalam kekafiran. Kisahnya, tatkala Allah l memerintahkan para malaikat dan ikut bergabung bersama mereka si Iblis6, untuk sujud penghormatan kepada Adam, maka seluruh malaikat sujud sebagai kepatuhan terhadap perintah Allah l. Namun Iblis enggan, dengan congkaknya ia menolak, beralasan ia lebih baik daripada Adam karena ia diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah. Murkalah Rabbul Alamin kepadanya dan diusirlah dia dari surga.
Allah l berfirman menceritakan kesombongan Iblis,
Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada para malaikat, “Sujudlah kalian sebagai penghormatan kepada Adam!” Maka mereka semua sujud, kecuali Iblis, dia enggan dan sombong, dan jadilah dia termasuk orang-orang kafir. (al-Baqarah: 34)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan bahwa Iblis musuh Allah l hasad kepada Adam q dengan kemuliaan yang Allah l berikan kepada Adam. Ia mengatakan dirinya dari api lebih baik daripada Adam yang diciptakan dari tanah. Jadilah kesombongan sebagai awal dosa yang diperbuat oleh makhluk.
Rasulullah n telah mengancam orang yang sombong dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada kesombongan walau seberat semut yang kecil.” (HR. Muslim)
Maka hendaklah kita membuang rasa sombong ini dari hati kita dengan cepat menerima kebenaran, sesuai ataupun tidak dengan hawa nafsu kita, dan hargailah hamba-hamba Allah l, jangan mengangkat diri di hadapan mereka, namun tawadhu’lah.
Demikianlah keburukan sifat terlalu ambisi, hasad, dan sombong. Semuanya akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam jurang kesengsaraan, maka berhati-hatilah darinya!
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Referensi
• al-Qur’anul Karim
• al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, al-Imam an-Nawawi, cet. Darul Ma’rifah, Bairut.
• at-Ta’shil fi Thalabil ‘Ilm, asy-Syaikh Muhammad ibn Umar ibn Salim Bazmul, cet. Dar al-Imam Ahmad, Kairo.
• Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, cet. Dar ‘Alamil Kutub, Riyadh.
• Kitabul ‘Ilm, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, cet. Dar ats-Tsurayya lin Nasyr, Riyadh.
• Syarhus Sunnah lil Muzani, Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. Darul Minhaj, Kairo.
• Tafsir al-Qur’anil azhim, al-Hafizh Ibnu Katsir, cet. al-Maktabah at-Tauqifiyyah, Kairo.

Kapan Wanita Boleh Shalat?
Kapan seorang wanita mengerjakan shalat fardhu di rumahnya, apakah setelah azan ataukah setelah iqamah?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Bila telah masuk waktu shalat, maka para wanita yang berada di rumah-rumah bisa mengerjakan shalat tanpa menanti iqamah. Begitu terdengar adzan muadzin yang memang menyerukan adzannya saat telah masuk waktu shalat maka para wanita bisa langsung shalat dan boleh juga mereka menunda dari awal waktunya, wallahu a’lam. (al-Muntaqa, 3/181)
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Bila telah masuk waktu shalat, maka para wanita yang berada di rumah-rumah bisa mengerjakan shalat tanpa menanti iqamah. Begitu terdengar adzan muadzin yang memang menyerukan adzannya saat telah masuk waktu shalat maka para wanita bisa langsung shalat dan boleh juga mereka menunda dari awal waktunya, wallahu a’lam. (al-Muntaqa, 3/181)
Istri Mengimami Suami
Bolehkah saya mengimami suami saya dalam shalat karena saya lebih
paham agama dan berpendidikan dengan mengenyam bangku pendidikan di
Fakultas Syari’ah sedangkan suami saya setengah buta huruf?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t menjawab, “Tidak boleh wanita mengimami laki-laki, baik lelaki itu suaminya, putranya, maupun ayahnya. Karena memang wanita tidak mungkin menjadi imam bagi kaum lelaki dan itulah sebabnya Nabi n bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ
“Tidak akan beruntung suatu kaum bila wanita yang mengurusi perkara mereka4.”
Bahkan, sampaipun si wanita lebih ahli membaca al-Qur’an daripada si lelaki, tetap saja si wanita tidak boleh mengimami lelaki tersebut. Nabi n bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ….
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap Kitabullah5….”
Sekalipun wanita berada bersama lelaki tetaplah tidak termasuk dalam sasaran pembicaraan hadits di atas (karena yang dituju oleh hadits adalah lelaki dengan lelaki saja6).
Buktinya bisa kita baca dari firman Allah l,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok7. Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.” (al-Hujurat: 11)
Dalam ayat di atas, Allah l membagi manusia menjadi dua golongan, yaitu kaum lelaki dan kaum wanita8. Dengan demikian wanita tidak masuk dalam keumuman sabda Rasulullah n,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ….
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap Kitabullah….”
(Fatawa, 1/382)
Catatan Kaki:
4 HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya
5 HR. Muslim no. 1530
6 Adapun wanita tidak menjadi sasaran pembicaraan hadits di atas bila shalat bersama lelaki, sehingga sekalipun di antara jamaah wanita ada yang lebih paham dan lebih banyak hafalan al-Qur’annya daripada seluruh jamaah laki-laki, tetap saja si wanita tidak bisa dikedepankan sebagai imam.
7 Yang dimaksud kaum di sini adalah khusus kaum lelaki, karena untuk wanita disebutkan dalam kelanjutan ayat.
8 Seandainya kata “kaum” sudah mencakup wanita niscaya tidak perlu lagi disebutkan kelanjutan ayat di atas, “Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.”
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t menjawab, “Tidak boleh wanita mengimami laki-laki, baik lelaki itu suaminya, putranya, maupun ayahnya. Karena memang wanita tidak mungkin menjadi imam bagi kaum lelaki dan itulah sebabnya Nabi n bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ
“Tidak akan beruntung suatu kaum bila wanita yang mengurusi perkara mereka4.”
Bahkan, sampaipun si wanita lebih ahli membaca al-Qur’an daripada si lelaki, tetap saja si wanita tidak boleh mengimami lelaki tersebut. Nabi n bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ….
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap Kitabullah5….”
Sekalipun wanita berada bersama lelaki tetaplah tidak termasuk dalam sasaran pembicaraan hadits di atas (karena yang dituju oleh hadits adalah lelaki dengan lelaki saja6).
Buktinya bisa kita baca dari firman Allah l,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok7. Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.” (al-Hujurat: 11)
Dalam ayat di atas, Allah l membagi manusia menjadi dua golongan, yaitu kaum lelaki dan kaum wanita8. Dengan demikian wanita tidak masuk dalam keumuman sabda Rasulullah n,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ….
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya terhadap Kitabullah….”
(Fatawa, 1/382)
Catatan Kaki:
4 HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya
5 HR. Muslim no. 1530
6 Adapun wanita tidak menjadi sasaran pembicaraan hadits di atas bila shalat bersama lelaki, sehingga sekalipun di antara jamaah wanita ada yang lebih paham dan lebih banyak hafalan al-Qur’annya daripada seluruh jamaah laki-laki, tetap saja si wanita tidak bisa dikedepankan sebagai imam.
7 Yang dimaksud kaum di sini adalah khusus kaum lelaki, karena untuk wanita disebutkan dalam kelanjutan ayat.
8 Seandainya kata “kaum” sudah mencakup wanita niscaya tidak perlu lagi disebutkan kelanjutan ayat di atas, “Tidak boleh pula wanita mengolok-olok wanita yang lain, karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik daripada yang mengolok-olok.”

Waswas ketika Shalat
Saya seorang wanita yang mengerjakan ibadah yang diwajibkan Allah subhanahu wa ta’ala
kepada saya, hanya saja di saat mengerjakan shalat saya banyak lupa di
mana saya shalat sedangkan pikiran saya bisa melayang-layang mengingat
beberapa kejadian pada hari tersebut.
Padahal sebelumnya pikiran itu tidak
terlintas di benak saya melainkan setelah saya mulai melakukan shalat.
Saya tidak mampu lepas dari hal ini kecuali ketika membaca bacaan shalat
dengan keras. Lalu apa yang Anda nasihatkan kepada saya?
Jawab:
“Masalah yang Anda keluhkan ini banyak pula dikeluhkan oleh orang yang shalat, ketika setan membuka pintu waswas baginya di tengah shalat. Terkadang ada orang selesai dari mengerjakan shalatnya dalam keadaan ia tidak tahu apa yang tadi diucapkan/dibacanya saat shalat. Akan tetapi penyakit yang demikian telah diberikan bimbingan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasinya yaitu dengan meniup (meludah kecil) ke arah kiri tiga kali dan mengucapkan ‘audzu billahi minasy syaithani rajim. Bila ia lakukan hal ini, akan hilanglah darinya apa yang didapatinya dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
“Masalah yang Anda keluhkan ini banyak pula dikeluhkan oleh orang yang shalat, ketika setan membuka pintu waswas baginya di tengah shalat. Terkadang ada orang selesai dari mengerjakan shalatnya dalam keadaan ia tidak tahu apa yang tadi diucapkan/dibacanya saat shalat. Akan tetapi penyakit yang demikian telah diberikan bimbingan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasinya yaitu dengan meniup (meludah kecil) ke arah kiri tiga kali dan mengucapkan ‘audzu billahi minasy syaithani rajim. Bila ia lakukan hal ini, akan hilanglah darinya apa yang didapatinya dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Bagi orang yang masuk dalam amalan shalat hendaknya meyakini ia sedang berada di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sedang bermunajat dengan Allah subhanahu wa ta’ala,
bertaqarrub/mendekat kepada-Nya dengan membesarkan dan mengagungkan-Nya
serta membaca kalam-Nya, disertai doa yang dipanjatkan pada
tempat-tempat yang memang disyariatkan untuk berdoa dalam shalat.
Apabila seseorang bisa merasakan perasaan seperti ini dalam shalat maka
ia bisa masuk menghadap Rabbnya dengan khusyuk, penuh pengagungan,
mencintai kebaikan yang ada di sisi-Nya, serta takut akan hukuman-Nya
apabila ia sampai tidak serius menunaikan kewajiban yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan atasnya,” demikian jawaban dari Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. (Fatawa al-Mar’ah, 1/32—33)

Shalat Menggendong Anak
Apakah seorang ibu boleh shalat sambil menggendong anaknya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.
Telah pasti kabar yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya3.
Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.
Telah pasti kabar yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya3.
Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)

Shalat Gerhana di Rumah
Bolehkah wanita shalat gerhana (shalat kusuf) sendirian di rumahnya? Apa yang lebih utama baginya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Tidak apa-apa wanita shalat kusuf di rumahnya karena perintah dalam hal ini bersifat umum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
Namun, kalau si wanita keluar ke masjid sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat[2] dan ikut shalat bersama orang-orang, tentu ini adalah kebaikan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin, 16/310)
3 Catatan kaki seluruhnya dari penerjemah. HR. al-Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 1212.
[1] Gerhana bulan atau matahari berakhir dengan bulan kembali bercahaya dan matahari kembali bersinar.
[2] Seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Asma binti Abi Bakr g dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab, “Tidak apa-apa wanita shalat kusuf di rumahnya karena perintah dalam hal ini bersifat umum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِكُمْ
“Shalatlah kalian dan berdoalah sampai tersingkap/hilang apa yang menimpa kalian.”[1]Namun, kalau si wanita keluar ke masjid sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat[2] dan ikut shalat bersama orang-orang, tentu ini adalah kebaikan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin, 16/310)
3 Catatan kaki seluruhnya dari penerjemah. HR. al-Bukhari no. 5996 dan Muslim no. 1212.
[1] Gerhana bulan atau matahari berakhir dengan bulan kembali bercahaya dan matahari kembali bersinar.
[2] Seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Asma binti Abi Bakr g dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.
Agar Wanita Tidak Diperdaya
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Ishaq al-Atsariyah)
Wanita ikutan jadi kontestan pemilukada? Kampanye keliling ke mana-mana, tanpa malu-malu tampil di depan para lelaki dan posternya dipasang di mana-mana. Ah… sudah biasa, tidak aneh di zaman modern ini? Jangankan jadi kepala daerah, bupati, atau gubernur, jabatan presiden juga pernah diduduki oleh seorang wanita.
Wanita keluar rumah tanpa menutup aurat, bercampur baur dengan para lelaki, kerja bersisian, tidak jarang berduaan. Apa yang diherankan…? Semuanya sudah dianggap lazim sebagai tuntutan zaman “kemajuan”.
Belum lagi kontes ratu-ratuan yang menjadikan wanita sebagai objek pemuas mata lelaki, tidak terhitung macam ragamnya, mulai tingkat daerah, nasional, hingga internasional. Berlomba-lomba putri-putri kita (baca: muslimah) yang jelita untuk ikut dalam ajang pamer kebagusan wanita tersebut. Kok ribut…? Itu kan biasa.
Lalu, banggakah kita dengan pencapaian yang diperoleh wanita?
Terkagum-kagumkah kita dengan “kesuksesan” yang diraih kaum wanita?
Kemajuankah ini atau malah keterpurukan dan kehinaan?
Pernahkah kita menyadari bahwa segala upaya mengeluarkan wanita dari “istana”nya, dari hijab yang syar’i dan dari rasa malu adalah bagian dari makar jahat yang terselubung dari orang-orang kafir, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani? Makar busuk terhadap Islam dan pemeluknya. Bagaimana bisa demikian? Allah l telah memperingatkan,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha/senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)
Mahabenar Allah l dengan firman-Nya. Betapa Yahudi dan Nasrani terus melancarkan permusuhannya kepada kaum muslimin dan berusaha menarik kaum muslimin sekuat-kuatnya agar mengikuti agama mereka.
Dilancarkanlah gerakan pemurtadan, mulai dari cara yang paling kasar sampai cara yang halus. Bila usaha permurtadan tidak berhasil, mereka tidak berputus asa.
Ditempuhlah upaya-upaya pendangkalan akidah dan akhlak generasi muslim.
Dilancarkan ghazwul fikri, perang pemikiran, di tengah kaum muslimin, bahwa mengikuti orang kafir adalah kemajuan, sementara tetap bertahan dengan aturan agama adalah kemunduran, kolot, dan terbelakang. Bila upaya-upaya “kriminal” yang mereka lakukan ini berhasil maka tidak perlu kaum muslimin keluar dari Islam lalu beragama dengan agama mereka. Cukuplah prestasi gemilang mereka raih manakala bermunculan individu-individu kaum muslimin yang kosong dari ruh Islam, tidak tersisa Islam kecuali sekadar nama, simbol, dan pengakuan. Hanya Allah l saja yang dimintai pertolongan-Nya dalam menghadapi seluruh makar musuh-musuh-Nya….
Apabila sudah demikian keadaan kaum muslimin, maka ujung-ujungnya bisa saja terjadi tragedi seperti di Bosnia, pembantaian kaum muslimin yang sudah minder dengan agamanya. Ya Allah, kami mohon keselamatan dari kejahatan musuh agama-Mu!
Demikianlah ahlul batil dari kalangan orang-orang kafir ataupun orang-orang yang membebek kepada mereka, ingin selalu menyesatkan manusia dan memalingkan mereka dari agama Allah l. Bagi yang mau memerhatikan dan merenungkan keadaan kebanyakan kaum muslimin pada hari ini, maka ia akan melihat betapa mereka telah banyak berpaling dari aturan agama dan mengikuti yang selainnya.
Sungguh benar Rasulullah n tatkala mengabarkan,
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
Sungguh, kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai andai orang sebelum kalian masuk ke lubang dhabb1 niscaya kalian akan ikut masuk. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah umat terdahulu itu Yahudi dan Nasrani? Rasul menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Sungguh Yahudi terus-menerus melakukan upaya untuk merusak kaum muslimin dalam hal akhlak dan akidah mereka. Orang-orang Yahudi punya ambisi terhadap negeri-negeri kaum muslimin dan selain mereka. Mereka mempunyai beragam makar yang sebagiannya sudah mereka capai dan terus-menerus mereka melakukan upaya dengan getol untuk mewujudkan rencana yang tersisa. Sebagaimana mereka memerangi kaum muslimin dengan kekuatan dan senjata serta menguasai sebagian tanah kaum muslimin, maka mereka juga memerangi kaum muslimin dalam pemikiran dan keyakinan. Karena itulah, mereka menyebarkan di tengah kaum muslimin kepercayaan, mazhab, dan aliran-aliran yang batil.” (Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah, 59/1403 H)
Musuh-musuh Islam mencari cara untuk menyebarkan kerusakan di tengah masyarakat kaum muslimin, maka mereka dapati wanita sebagai alat paling ampuh untuk mendukung rencana pengrusakan mereka. Mereka mendapati; baiknya wanita merupakan kebaikan bagi masyarakatnya, dan sebaliknya rusaknya wanita berarti rusaknya masyarakat. (al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wad Da’awat Tahrir, hlm. 18, al-’Uraini)
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad alusy Syaikh hafizhahullah, Menteri Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Kerajaan Saudi Arabia, mengatakan, “Allah l memuliakan Bani Adam dengan beragam pemuliaan. Di antaranya yang paling agung adalah apa yang disyariatkan-Nya untuk mereka berupa permasalahan akidah/keyakinan dan hukum-hukum yang akan memperbaiki keadaan mereka, serta meluruskan mereka dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Di antara sejumlah pemuliaan tersebut adalah perkara yang berkaitan dengan wanita, yang syariat datang memberitahukan kadarnya, berlaku adil kepadanya, serta menjelaskan hak, kewajiban, dan tugas-tugasnya. Dan perkara ini telah sempurna lagi mencapai puncaknya dalam ajaran yang dibawa oleh manusia utusan Allah l, nabi dan kekasih-Nya Muhammad n.
Agama Islam telah demikian sempurna memberikan pemuliaan kepada wanita, menjelaskan hak-haknya dalam masalah harta, dan apa saja yang harus dilakukan agar wanita terjaga. Islam datang membawa syariat yang sesuai bagi masing-masing jenis (lelaki dan wanita) dan menyamakan antara keduanya dalam perkara yang memang harus sama sembari tetap memerhatikan perbedaan yang ada sesuai dengan hikmah yang dikandunginya.
Namun, ada saja orang-orang yang punya tujuan dan keinginan macam-macam. Mereka enggan kecuali keluar dari manhaj yang syar’i dan bersikap tidak peduli dengan adanya perbedaan antara lelaki dan wanita. Mereka ingin menceburkan wanita ke tempat kebinasaan dan berakibat buruk di dunia dan di akhirat.
Ajakan kepada wanita untuk menerjuni tempat-tempat tersebut dilakukan dengan propaganda yang lahiriahnya rahmat, kasih sayang, dan semangat untuk memberikan kebaikan kepada wanita dan terpenuhinya hak-hak mereka, di bawah tema/isu yang dapat menipu orang yang tidak memiliki pandangan lurus dan akal yang kokoh. Propaganda tersebut mencampuradukkan al-haq dengan al-batil, dan merupakan penyesatan terhadap umat. Sekali waktu dia datang atas nama “kebebasan wanita”, di waktu lain dengan bertajuk “keadilan terhadap wanita”. Kadang dimunculkan dengan slogan mengoptimalkan potensi wanita, demikian seterusnya.
Propaganda yang beragam dengan isu yang berbeda namun terangkum dalam satu tujuan, yaitu mengeluarkan wanita dari manhaj yang syar’i serta memperhadapkan wanita kepada kerendahan, kehinaan, dan fitnah.
Propaganda yang buruk ini telah sukses dijalankan di pelbagai belahan bumi, dan tidaklah asing bila propaganda semacam ini laris di masyarakat nonmuslim yang memang kaum wanita terinjak kehormatannya dan tidak beroleh banyak haknya2.
Yang aneh justru bila sebagian muslimah yang dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah l dan hikmah yang dibawa Rasulullah Muhammad n, dan mereka bisa menikmati terpenuhinya hak-hak mereka serta keistimewaan lain yang dibawa oleh Islam sedangkan wanita-wanita lain di luar Islam tidak merasakan seperti yang dirasakannya, namun justru mereka ikut termakan dengan propaganda yang sepertinya manis namun merupakan racun tersebut, tanpa berpikir panjang akan munculnya kerusakan dan bahaya bila mereka memenuhi ajakan dusta itu.
Termasuk yang harus selalu ditekankan dan bersesuaian dengan pengalaman yang ada dalam sejarah kaum muslimin bahwa berpegang teguhnya wanita dengan syariat Allah l, adab-adab Islam dan akhlak adalah jalan yang paling utama dan perantara yang paling sukses untuk memberikan faedah bagi wanita dalam membangun umat, memperbaikinya dan menguatkan peradabannya.
Di antara buktinya adalah apa yang direalisasikan oleh wanita yang berpegang dengan aturan agama di negeri Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah (KSA) berupa keberhasilan di bidang yang memang cocok dengan tabiatnya berupa pendidikan untuk anak-anaknya, mengurusi rumah suaminya, mengajari anak-anak perempuan, dan mengobati sesama perempuan. Hijab yang dikenakannya tidaklah mencegahnya dan menjadi penghalang untuk meraih kesuksesan tersebut, bahkan hijab tersebut justru menjadi sebab terjaga dan terpeliharanya dirinya.
Adapun fitnah wanita yang terjadi di masyarakat kaum muslimin maka semua itu disebabkan sebagian wanita mereka dari tidak berpegang dengan apa yang disyariatkan oleh Islam serta akhlak dan adab wanita yang tercakup.
Saya berdoa untuk kaum muslimin dan muslimah agar mereka berpegang secara sempurna dengan agama Islam dalam seluruh sisinya dan mengambil pelajaran dari apa yang didapatkan oleh masyarakat-masyarakat yang menganggap lazim budaya tabarruj dan membuka wajah, serta memberikan keleluasan bagi wanita untuk terjun di lapangan-lapangan pekerjaan yang tidak cocok bagi dirinya dan tidak sesuai dengan tabiatnya.
Saya doakan pula agar kaum muslimin tidak tertipu dengan propaganda buruk yang disuarakan oleh para penyeru atas nama kebebasan kaum wanita. Saya pun mendoakan para penyeru itu agar mengoreksi diri mereka dan berhati-hati sehingga tidak menjadi sebab menyimpangnya umat, bahkan membantu musuh-musuh mereka untuk menghancurkan umat.
Saya doakan mereka agar mengingat hari perhitungan amalan di hadapan Allah l yang menciptakan mereka. Saya mohon kepada Allah l agar mencegah kejelekan dan fitnah yang menyesatkan dari kaum muslimin, dan agar Allah l memenangkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan agar Allah l memberi taufik kepada para pemimpin kaum muslimin untuk berhukum dengan syariat-Nya serta berpegang teguh dengan agama-Nya.
Semoga Allah l memberikan balasan kebaikan kepada pemerintah kita, agar menambahkan petunjuk, iman, dan taufik kepada mereka, dan semoga Allah l menolong agama-Nya dengan mereka.” (Mukadimah kitab al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wad Da’awat Tahrir, hlm. 5—11, al-‘Uraini, secara ringkas)
Ada ucapan dan peringatan yang sangat bagus al-Faruq Umar ibnul Khaththab z yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah t dalam Mushannafnya (7/113). Umar z berkata,
إِناَّ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلَامِ، فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّ بِغَيْرِهِ
“Kita adalah orang-orang yang dimuliakan oleh Allah l dengan Islam, maka janganlah kita mencari kemuliaan dengan selainnya.”
Oleh karena itu, apabila kaum wanita ingin beroleh kemuliaan, berpeganglah dengan Islam. Jangan menoleh sedikit pun pada seruan-seruan yang menyimpang dari aturan agama kita. Sebab, semua itu akan berakhir dengan kesengsaraan di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Wanita ikutan jadi kontestan pemilukada? Kampanye keliling ke mana-mana, tanpa malu-malu tampil di depan para lelaki dan posternya dipasang di mana-mana. Ah… sudah biasa, tidak aneh di zaman modern ini? Jangankan jadi kepala daerah, bupati, atau gubernur, jabatan presiden juga pernah diduduki oleh seorang wanita.
Wanita keluar rumah tanpa menutup aurat, bercampur baur dengan para lelaki, kerja bersisian, tidak jarang berduaan. Apa yang diherankan…? Semuanya sudah dianggap lazim sebagai tuntutan zaman “kemajuan”.
Belum lagi kontes ratu-ratuan yang menjadikan wanita sebagai objek pemuas mata lelaki, tidak terhitung macam ragamnya, mulai tingkat daerah, nasional, hingga internasional. Berlomba-lomba putri-putri kita (baca: muslimah) yang jelita untuk ikut dalam ajang pamer kebagusan wanita tersebut. Kok ribut…? Itu kan biasa.
Lalu, banggakah kita dengan pencapaian yang diperoleh wanita?
Terkagum-kagumkah kita dengan “kesuksesan” yang diraih kaum wanita?
Kemajuankah ini atau malah keterpurukan dan kehinaan?
Pernahkah kita menyadari bahwa segala upaya mengeluarkan wanita dari “istana”nya, dari hijab yang syar’i dan dari rasa malu adalah bagian dari makar jahat yang terselubung dari orang-orang kafir, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani? Makar busuk terhadap Islam dan pemeluknya. Bagaimana bisa demikian? Allah l telah memperingatkan,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha/senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)
Mahabenar Allah l dengan firman-Nya. Betapa Yahudi dan Nasrani terus melancarkan permusuhannya kepada kaum muslimin dan berusaha menarik kaum muslimin sekuat-kuatnya agar mengikuti agama mereka.
Dilancarkanlah gerakan pemurtadan, mulai dari cara yang paling kasar sampai cara yang halus. Bila usaha permurtadan tidak berhasil, mereka tidak berputus asa.
Ditempuhlah upaya-upaya pendangkalan akidah dan akhlak generasi muslim.
Dilancarkan ghazwul fikri, perang pemikiran, di tengah kaum muslimin, bahwa mengikuti orang kafir adalah kemajuan, sementara tetap bertahan dengan aturan agama adalah kemunduran, kolot, dan terbelakang. Bila upaya-upaya “kriminal” yang mereka lakukan ini berhasil maka tidak perlu kaum muslimin keluar dari Islam lalu beragama dengan agama mereka. Cukuplah prestasi gemilang mereka raih manakala bermunculan individu-individu kaum muslimin yang kosong dari ruh Islam, tidak tersisa Islam kecuali sekadar nama, simbol, dan pengakuan. Hanya Allah l saja yang dimintai pertolongan-Nya dalam menghadapi seluruh makar musuh-musuh-Nya….
Apabila sudah demikian keadaan kaum muslimin, maka ujung-ujungnya bisa saja terjadi tragedi seperti di Bosnia, pembantaian kaum muslimin yang sudah minder dengan agamanya. Ya Allah, kami mohon keselamatan dari kejahatan musuh agama-Mu!
Demikianlah ahlul batil dari kalangan orang-orang kafir ataupun orang-orang yang membebek kepada mereka, ingin selalu menyesatkan manusia dan memalingkan mereka dari agama Allah l. Bagi yang mau memerhatikan dan merenungkan keadaan kebanyakan kaum muslimin pada hari ini, maka ia akan melihat betapa mereka telah banyak berpaling dari aturan agama dan mengikuti yang selainnya.
Sungguh benar Rasulullah n tatkala mengabarkan,
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
Sungguh, kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai andai orang sebelum kalian masuk ke lubang dhabb1 niscaya kalian akan ikut masuk. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah umat terdahulu itu Yahudi dan Nasrani? Rasul menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Sungguh Yahudi terus-menerus melakukan upaya untuk merusak kaum muslimin dalam hal akhlak dan akidah mereka. Orang-orang Yahudi punya ambisi terhadap negeri-negeri kaum muslimin dan selain mereka. Mereka mempunyai beragam makar yang sebagiannya sudah mereka capai dan terus-menerus mereka melakukan upaya dengan getol untuk mewujudkan rencana yang tersisa. Sebagaimana mereka memerangi kaum muslimin dengan kekuatan dan senjata serta menguasai sebagian tanah kaum muslimin, maka mereka juga memerangi kaum muslimin dalam pemikiran dan keyakinan. Karena itulah, mereka menyebarkan di tengah kaum muslimin kepercayaan, mazhab, dan aliran-aliran yang batil.” (Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah, 59/1403 H)
Musuh-musuh Islam mencari cara untuk menyebarkan kerusakan di tengah masyarakat kaum muslimin, maka mereka dapati wanita sebagai alat paling ampuh untuk mendukung rencana pengrusakan mereka. Mereka mendapati; baiknya wanita merupakan kebaikan bagi masyarakatnya, dan sebaliknya rusaknya wanita berarti rusaknya masyarakat. (al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wad Da’awat Tahrir, hlm. 18, al-’Uraini)
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad alusy Syaikh hafizhahullah, Menteri Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Kerajaan Saudi Arabia, mengatakan, “Allah l memuliakan Bani Adam dengan beragam pemuliaan. Di antaranya yang paling agung adalah apa yang disyariatkan-Nya untuk mereka berupa permasalahan akidah/keyakinan dan hukum-hukum yang akan memperbaiki keadaan mereka, serta meluruskan mereka dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Di antara sejumlah pemuliaan tersebut adalah perkara yang berkaitan dengan wanita, yang syariat datang memberitahukan kadarnya, berlaku adil kepadanya, serta menjelaskan hak, kewajiban, dan tugas-tugasnya. Dan perkara ini telah sempurna lagi mencapai puncaknya dalam ajaran yang dibawa oleh manusia utusan Allah l, nabi dan kekasih-Nya Muhammad n.
Agama Islam telah demikian sempurna memberikan pemuliaan kepada wanita, menjelaskan hak-haknya dalam masalah harta, dan apa saja yang harus dilakukan agar wanita terjaga. Islam datang membawa syariat yang sesuai bagi masing-masing jenis (lelaki dan wanita) dan menyamakan antara keduanya dalam perkara yang memang harus sama sembari tetap memerhatikan perbedaan yang ada sesuai dengan hikmah yang dikandunginya.
Namun, ada saja orang-orang yang punya tujuan dan keinginan macam-macam. Mereka enggan kecuali keluar dari manhaj yang syar’i dan bersikap tidak peduli dengan adanya perbedaan antara lelaki dan wanita. Mereka ingin menceburkan wanita ke tempat kebinasaan dan berakibat buruk di dunia dan di akhirat.
Ajakan kepada wanita untuk menerjuni tempat-tempat tersebut dilakukan dengan propaganda yang lahiriahnya rahmat, kasih sayang, dan semangat untuk memberikan kebaikan kepada wanita dan terpenuhinya hak-hak mereka, di bawah tema/isu yang dapat menipu orang yang tidak memiliki pandangan lurus dan akal yang kokoh. Propaganda tersebut mencampuradukkan al-haq dengan al-batil, dan merupakan penyesatan terhadap umat. Sekali waktu dia datang atas nama “kebebasan wanita”, di waktu lain dengan bertajuk “keadilan terhadap wanita”. Kadang dimunculkan dengan slogan mengoptimalkan potensi wanita, demikian seterusnya.
Propaganda yang beragam dengan isu yang berbeda namun terangkum dalam satu tujuan, yaitu mengeluarkan wanita dari manhaj yang syar’i serta memperhadapkan wanita kepada kerendahan, kehinaan, dan fitnah.
Propaganda yang buruk ini telah sukses dijalankan di pelbagai belahan bumi, dan tidaklah asing bila propaganda semacam ini laris di masyarakat nonmuslim yang memang kaum wanita terinjak kehormatannya dan tidak beroleh banyak haknya2.
Yang aneh justru bila sebagian muslimah yang dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah l dan hikmah yang dibawa Rasulullah Muhammad n, dan mereka bisa menikmati terpenuhinya hak-hak mereka serta keistimewaan lain yang dibawa oleh Islam sedangkan wanita-wanita lain di luar Islam tidak merasakan seperti yang dirasakannya, namun justru mereka ikut termakan dengan propaganda yang sepertinya manis namun merupakan racun tersebut, tanpa berpikir panjang akan munculnya kerusakan dan bahaya bila mereka memenuhi ajakan dusta itu.
Termasuk yang harus selalu ditekankan dan bersesuaian dengan pengalaman yang ada dalam sejarah kaum muslimin bahwa berpegang teguhnya wanita dengan syariat Allah l, adab-adab Islam dan akhlak adalah jalan yang paling utama dan perantara yang paling sukses untuk memberikan faedah bagi wanita dalam membangun umat, memperbaikinya dan menguatkan peradabannya.
Di antara buktinya adalah apa yang direalisasikan oleh wanita yang berpegang dengan aturan agama di negeri Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah (KSA) berupa keberhasilan di bidang yang memang cocok dengan tabiatnya berupa pendidikan untuk anak-anaknya, mengurusi rumah suaminya, mengajari anak-anak perempuan, dan mengobati sesama perempuan. Hijab yang dikenakannya tidaklah mencegahnya dan menjadi penghalang untuk meraih kesuksesan tersebut, bahkan hijab tersebut justru menjadi sebab terjaga dan terpeliharanya dirinya.
Adapun fitnah wanita yang terjadi di masyarakat kaum muslimin maka semua itu disebabkan sebagian wanita mereka dari tidak berpegang dengan apa yang disyariatkan oleh Islam serta akhlak dan adab wanita yang tercakup.
Saya berdoa untuk kaum muslimin dan muslimah agar mereka berpegang secara sempurna dengan agama Islam dalam seluruh sisinya dan mengambil pelajaran dari apa yang didapatkan oleh masyarakat-masyarakat yang menganggap lazim budaya tabarruj dan membuka wajah, serta memberikan keleluasan bagi wanita untuk terjun di lapangan-lapangan pekerjaan yang tidak cocok bagi dirinya dan tidak sesuai dengan tabiatnya.
Saya doakan pula agar kaum muslimin tidak tertipu dengan propaganda buruk yang disuarakan oleh para penyeru atas nama kebebasan kaum wanita. Saya pun mendoakan para penyeru itu agar mengoreksi diri mereka dan berhati-hati sehingga tidak menjadi sebab menyimpangnya umat, bahkan membantu musuh-musuh mereka untuk menghancurkan umat.
Saya doakan mereka agar mengingat hari perhitungan amalan di hadapan Allah l yang menciptakan mereka. Saya mohon kepada Allah l agar mencegah kejelekan dan fitnah yang menyesatkan dari kaum muslimin, dan agar Allah l memenangkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan agar Allah l memberi taufik kepada para pemimpin kaum muslimin untuk berhukum dengan syariat-Nya serta berpegang teguh dengan agama-Nya.
Semoga Allah l memberikan balasan kebaikan kepada pemerintah kita, agar menambahkan petunjuk, iman, dan taufik kepada mereka, dan semoga Allah l menolong agama-Nya dengan mereka.” (Mukadimah kitab al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wad Da’awat Tahrir, hlm. 5—11, al-‘Uraini, secara ringkas)
Ada ucapan dan peringatan yang sangat bagus al-Faruq Umar ibnul Khaththab z yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah t dalam Mushannafnya (7/113). Umar z berkata,
إِناَّ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلَامِ، فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّ بِغَيْرِهِ
“Kita adalah orang-orang yang dimuliakan oleh Allah l dengan Islam, maka janganlah kita mencari kemuliaan dengan selainnya.”
Oleh karena itu, apabila kaum wanita ingin beroleh kemuliaan, berpeganglah dengan Islam. Jangan menoleh sedikit pun pada seruan-seruan yang menyimpang dari aturan agama kita. Sebab, semua itu akan berakhir dengan kesengsaraan di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Posting Komentar