
Apakah Disyaratkan Jumlah Jamaah Tertentu?
Sahnya shalat Jum’at itu dengan berjamaah. Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ
“Jum’atan adalah hak yang wajib ditunaikan secara berjamaah atas setiap muslim.” (HR. Abu Dawud)Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Shalat Jum’at tidak sah selain dengan berjamaah menurutijma’.”(Subulus Salam 2/53)
Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal jumlah yang harus hadir untuk sahnya Jum’atan menjadi lima belas pendapat. Setiap pendapat mengemukakan argumentasinya. Akan tetapi, tidak ada sedikit pun hadits-hadits yang kuat yang mengharuskan jumlah tertentu, sebagaimana dinyatakan oleh as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah. (Nailul Authar, 3/277)
Yang benar, syarat apa pun dalam suatu ibadah tidak dianggap selain yang ada dalilnya. Dalam masalah ini, tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah (yang kuat) tentang penentuan jumlah. Yang pasti, shalat Jum’at harus dilakukan secara berjamaah, sebagaimana hadits Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu. (Subulus Salam, 2/56—57)
Maka dari itu, dua orang adalah jumlah minimal untuk dikatakan jamaah, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya, bab “Dua Orang dan yang Lebih dari Dua adalah Jamaah”, lalu beliau rahimahullah menyebutkan riwayat Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيْمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
“Apabila waktu shalat telah datang, kumandangkan azan dan iqamah oleh
kalian berdua, kemudian hendaklah yang paling tua dari kalian berdua
menjadi imam.” (hadits no. 658)Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Shalat berjamaah dalam seluruh shalat itu sah dengan dua orang, dan tidak ada perbedaan antara shalat Jum’at dan shalat jamaah. Tidak ada dalil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Jum’atan tidak sah selain dengan (jumlah jamaah) tertentu. Pendapat inilah yang paling kuat menurut saya.” (Nailul Authar, 3/276)
Adapun hadits-hadits yang datang tentang penyebutan jumlah jamaah shalat Jum’at, kesimpulannya ada dua:
1. Riwayatnya kuat, namun jumlah tersebut hanya bersifat kebetulan pada sebuah peristiwa dan tidak menunjukkan persyaratan Jum’atan.
Misalnya, atsar Ka’b bin Malik bahwa apabila mendengar azan Jum’at dikumandangkan, dia mendoakan rahmat bagi sahabat As’ad bin Zurarah karena dialah yang pertama kali memimpin shalat Jum’at di bani Bayadhah. Ketika ditanya jumlah jamaah ketika itu, Ka’b menjawab empat puluh orang. (Riwayat Abu Dawud no. 1069 dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar t dalam at- Talkhish 2/56)
2. Riwayatnya lemah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Contohnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Sunnah (Nabi)
telah berlalu bahwa pada setiap tiga orang itu ada imamnya, atau pada setiap empat puluh orang atau lebih ada Jum’atan, (shalat Ied) al-Adha, dan al-Fitri, karena mereka adalah jamaah.” (HR. ad-Daruquthni 2/4)
Hadits ini dinyatakan dhaif (lemah) oleh ulama Syafi’iyah dan selainnya. Di antara mereka adalah al-Baihaqi rahimahullah dan an-Nawawi rahimahullah seperti dalam al-Majmu’ (4/368) dan Ibnu Hajar rahimahullah dalam Bulughul Maram. Alasannya, dalam sanad hadits ini ada rawi bernama Abdul Aziz bin Abdurrahman.
Ahmad rahimahullah berkata, “Saya mencoret hadits-haditsnya karena ia dusta atau palsu.”
An-Nasai rahimahullah berkata, “Dia bukan orang yang tepercaya.” (Subulus Salam2/56) Wallahua’lam bish-shawab.

Adab Mendatangi Shalat Jum’at
Sesungguhnya, pelaksanaan Jum’atan
adalah perkumpulan akbar kaum muslimin di suatu kota, wilayah, atau
kampung dalam setiap pekannya. Oleh karena itu, disyariatkan bagi orang
yang akan berangkat Jum’atan melakukan beberapa hal berikut :
1. Mandi untuk Shalat Jum’at
Hukum mandi Jum’at adalah wajib. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Hukum mandi Jum’at adalah wajib. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hari Jum’ata dalah wajib atas setiap yang sudah baligh.” (HR. al-Bukhari no. 879)
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam mengatakan wajib dan tentu tidak ada yang lebih fasih
daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyampaikan kata-kata.
Adapun hadits yang menyatakan,
“Barangsiapa berwudhu pada hariJum’at, dia telah bagus dan barangsiapa
yang mandi, mandi itu lebihbaik.” (HR. an-Nasai dalam Sunan-nya dari
Amrah)
Andaikata riwayat ini sahih, tetap tidak
mengandung nash dan dalil bahwa mandi Jum’at itu tidak wajib. Di
dalamnya hanya dijelaskan tentang wudhu adalah sebaik-baik amalan dan
bahwa mandi itu lebih baik, hal ini tidak diragukan. Sungguh Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَوْءَامَنَ اَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًالَّهُمْ
“Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” (Ali Imran: 110)
Apakah ayat ini menunjukkan bahwa iman dan takwa tidak wajib? Sama sekali tidak. (al-Muhalla 2/14, Ibnu Hazm)
Masalah lain, wajibnya mandi bukan
karena hari Jum’at, melainkan karena akan menghadiri Jum’atan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Apabila salah
seorang dari kalian mendatangi Jum’atan hendaknya dia mandi.”
(Shahihal-Bukhari no. 877 dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang
ingin menghadiri Jum’atan harus mandi meskipun yang akan hadir itu orang
yang tidak wajib Jum’atan, seperti budak, anak kecil, dan wanita.
Dipahami pula dari hadits ini, mandi tidak disyariatkan bagi yang tidak
menghadiri Jum’atan. (lihat kitab Ahaditsul Jumu’ah hlm. 204 karya Abdul
Quddus Muhammad Nadzir)
Adapun waktu mandi yang dianggap sudah
mencukupi/sah untuk pelaksanaan shalat Jum’at adalah dari terbitnya
fajar shadiq (subuh) hingga pelaksanaan shalat Jum’at.(Ahaditsul Jumu’ah
hlm. 202 dan al-Majmu’ karya an-Nawawi rahimahullah 4/408)
Mandi Jum’at yang bagus praktiknya
adalah seperti mandi junub, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam
al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya, bab “Fadhlul Jumu’ah” hadits
no. 881, yang insya Allah akan dijelaskan.
Apabila Tidak Mendapatkan Air untuk Mandi
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, seseorang yang tidak menemukan air untuk mandi Jum’atan
atau termudaratkan jika dia menggunakan air, lalu dia tidak mandi
Jum’atan, mandinya tidak bisa diganti dengan tayammum. Sebab, tayammum
itu disyariatkan (hanya) untuk menghilangkan hadats. (asy-Syarhul Mumti’
5/110—111)
2. Berhias untuk shalat Jum’at dengan mengenakan pakaian yang terbagus, bersiwak, dan memakai minyak wangi selain bagi wanita. Hal ini berlandaskan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنَ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
“Mandi hari Jum’at atas setiap yang baligh, bersiwak, dan memakai minyak wangi semampunya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya), “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at lalu membaguskan mandinya, ia bersuci dan bagus dalam bersucinya, ia memakai pakaian yang terbaik yang dimilikinya, ia memakai wewangian keluarganya yang dia mampu, lalu mendatangi Jum’atan dan tidak berkata sia-sia, serta tidak memisahkan antara dua orang, akan diampuni (dosanya) antara hari itu dan Jum’at berikutnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 907dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya), “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at lalu membaguskan mandinya, ia bersuci dan bagus dalam bersucinya, ia memakai pakaian yang terbaik yang dimilikinya, ia memakai wewangian keluarganya yang dia mampu, lalu mendatangi Jum’atan dan tidak berkata sia-sia, serta tidak memisahkan antara dua orang, akan diampuni (dosanya) antara hari itu dan Jum’at berikutnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 907dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
3. Berpagi-pagi menuju shalat Jum’at
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyamakan orang yang berpagi-pagi menuju Jum’atan dengan orang yang
berkurban/bersedekah dengan hartanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya),“Barangsiapa mandi hari Jum’at seperti
mandi junub lalu pergi (Jum’atan), seolah-olah ia bersedekah dengan
unta. Barangsiapa pergi pada waktu yang kedua, seolah-olah ia bersedekah
dengan sapi.
Barangsiapa pergi pada waktu ketiga,
seolah-olah ia bersedekah dengan kambing yang bertanduk. Barangsiapa
pergi pada waktu keempat, seolah-olah ia bersedekah dengan ayam. Barang
siapa pergi pada waktu kelima, seolah-olah ia bersedekah dengan telur.
Apabila imam telah keluar (menuju masjid), para malaikat itu datang
(dan) mendengarkan zikir (khutbah).” (Shahih al-Bukhari no. 881)
Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam membagi waktu keutamaan antara terbitnya matahari di hari
Jum’at dan datangnya imam menjadi lima bagian.
Wallahua’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
Khutbah Jum’at dan Adab-Adab Khatib
Dalam penjelasan al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah sebelumnya disebutkan bahwa khutbah adalah syarat sahnya Jum’atan karena tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Khutbah Jum’at adalah bagian dari zikir yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat al-Jumu’ah dan Allah Subhanahu wata’ala
memerintah kita untuk bersegera mendatanginya. Khutbah juga momen yang
sangat tepat untuk menjelaskan perkara agama karena saat itu kaum
muslimin berkumpul pada sebuah tempat atau kampung yang tidak seperti
hari-hari biasa.
Membuat Mimbar
Disyariatkan berkhutbah di atas mimbar seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah berkhutbah di atas mimbar adalah memudahkan makmum untuk melihat khatib dan mendengarkan khutbahnya. (Fathul Bari 2/400)
Waktu Azan Jum’at
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan
dari as-Saib bin Yazid bahwa ia berkata, “Adalah azan Jum’at awalnya
apabila imam sudah duduk di atas mimbar di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika di masa Utsman radhiyallahu ‘anhu -dan manusia telah banyak- Utsman menambahkan azan yang ketiga di Zaura.1” (HR. al-Bukhari no. 912)
Yang dimaksud dengan tiga azan di sini
adalah azan pertama sebelum Utsman keluar untuk khutbah, azan kedua
adalah ketika beliau sudah duduk di atas mimbar, dan azan yang ketiga
adalah iqamah. Jadi, iqamah juga dinamakan azan.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata, “Saya menyukai untuk dikumandangkan azan pada hari Jum’at
ketika imam (khatib) telah masuk masjid dan duduk di tempat ia
berkhutbah (mimbar)…. Apabila imam telah melakukan hal itu, muazin
memulai mengumandangkan azan. Apabila telah selesai azan, imam berdiri
menyampaikan khutbahnya, tidak lebih dari itu.”
Asy-Syafi’i lalu menyebutkan hadits
as-Saib bin Yazid di atas kemudian berkata, “Atha’ mengingkari/tidak
menyetujui bahwa yang melakukan azan ketiga itu adalah Utsman. Atha’
mengatakan bahwa yang membuat-buat azan Jum’at tiga itu adalah Mu’awiyah2.”
Lalu asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Namun, siapa pun yang melakukan tiga azan pertama kali, perkara yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu (yakni hanya satu azan dan satu iqamat, -red.) tetap lebih saya sukai.” (al-Umm 1/503-504)
Sifat Khutbah
Setelah selesai azan, khatib berdiri menyampaikan khutbahnya yang diawali dengan pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala, shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengucapkan dua kalimat syahadat seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Tentang pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala, mayoritas ulama berpendapat wajibnya hal itu dalam khutbah. Demikian pula tentang shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ahaditsul Jumu’ah hlm. 340)
Adapun syahadatain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
(yang artinya), “Semua khutbah yang tidak ada padanya tasyahud (ucapan
dua kalimat syahadat) maka khutbah itu seperti tangan yang terkena
penyakit lepra.” (Sunan Abu Dawud no. 4841, asy-Syaikh al-Albani
menyatakan sahih dalam Tamamul Minnah hlm. 334)
Seyogianya diketahui, khutbah yang disyariatkan adalah apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu mendorong manusia untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi
laranganlarangannya. Ini adalah ruh khutbah dan karena itu pula khutbah
disyariatkan.
Jadi, syarat utama dalam khutbah adalah
nasihat yang melembutkan hati dan memberi faedah untuk para hadirin.
Adapun memulai khutbah dengan pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala,
shalawat atas Nabi, membaca sesuatu dari al-Qur’an, dan semisalnya, ini
termasuk kesempurnaan khutbah, namun bukan syarat sahnya.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah (hlm. 54) dan asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Hasyiah asy-Syarhul Mumti’ (5/73).
Meskipun bukan syarat sahnya khutbah,
tidak sepantasnya hal itu untuk ditinggalkan -agar terhindar dari
perselisihan pendapat tentang apakah hal tersebut syarat khutbah atau
bukan- karena dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya.
Di sini ada sebuah hal yang perlu
diingatkan, yakni sebagian khatib menyebutkan hadits-hadits lemah dan
palsu dalam khutbahnya tanpa menyebutkan derajat haditsnya. Ini adalah
salah satu sebab tersebarnya kebid’ahan di tengah-tengah masyarakat,
disadari atau tidak. Oleh karena itu, hendaknya khatib mencukupkan diri
dengan menyebutkan hadits yang sahih dan kuat.
Demikian pula jika sebagian khatib
memanfaatkan kesempatan khutbahnya untuk berkampanye, mengajak kepada
partai politik tertentu dan memperingatkan umat dari partai politik yang
lain. Perbuatan ini telah mencederai kedudukan khutbah yang sejatinya
adalah zikrullah. Hendaknya para khatib takut kepada Allah Subhanahu wata’ala dan tidak mengkhianati umat.
Bolehkah Berkhutbah dengan Selain Bahasa Arab?
Agar para jamaah mengambil faedah dari
khutbah yang disampaikan, sepantasnya seorang khatib memilih bahasa yang
mudah dipahami. Oleh karena itu, menurut pendapat yang terkuat, boleh
berkhutbah dengan selain bahasa Arab apabila para jamaah tidak mengerti
bahasa Arab.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin berkata, “Dalam masalah ini, yang benar adalah khatib
Jum’at itu tidak boleh berkhutbah dengan bahasa yang tidak dipahami oleh
para hadirin dan selainnya. Jika para hadirin bukan orang Arab,
misalnya, dia berkhutbah dengan bahasa mereka, karena ini adalah sarana
penjelas bagi mereka. Tujuan khutbah adalah menjelaskan batasanbatasan
Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya serta menasihati
dan membimbing mereka. Adapun ayat-ayat al-Qur’an harus (disebutkan)
dengan bahasa Arab, lalu dijelaskan dengan bahasa hadirin.
Dalil bolehnya berkhutbah dengan selain bahasa Arab adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ اِلَّابِلِسَانِ قَوْمِهِ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun selain dengan bahasa kaumnya.” (Ibrahim: 4)
Allah Subhanahu wata’ala
menerangkan (pada ayat di atas), sarana penjelas hanyalah dengan bahasa
yang dipahami oleh orang-orang yang diajak bicara. (Fatawa Arkanil Islam hlm. 393)
Beberapa Adab Khatib
1. Mengucapkan salam kepada makmum ketika naik mimbar.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa setelah naik mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam. (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 917)
2. Duduk setelah menaikinya, sebelum
menyampaikan khutbah sambil mendengarkan azan Jum’at yang dikumandangkan
muazin serta menjawab azannya.
3. Selesai azan, ia berdiri menghadap
makmum dan menyampaikan khutbah dengan menyandarkan tangannya pada
tongkat atau busur panah.
Ini berlandaskan pada hadits al-Hakam bin Hazm al-Kulafi radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menyaksikan/mengikuti Jum’atan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berdiri
(dalam khutbah) bersandarkan pada
tongkat atau busur panah. (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nyadanal-Hafizh
menyatakannya hasan dalam at-Talkish al-Habir 2/65). Dalam masalah ini
memang ada pebedaan pendapat, sebagian ulama memandangnya tidak perlu.
(-red.)
4. Duduk di antara dua khutbah untuk istirahat sejenak lalu berdiri lagi untuk menyampaikan khutbah kedua.
Hal ini seperti penuturan sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri. (Shahih al-Bukhari no. 920)
5. Mengeraskan suara (secara wajar) agar makmum mendengar apa yang diucapkannya.
Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah,
kedua matanya memerah dan suaranya tinggi, seolah-olah beliau adalah
seorang pemberi peringatan kepada pasukan bahwa musuh akan menyerang di
waktu pagi atau sore. (Shahih Muslim, “Kitabul Jumu’ah”)
6. Memendekkan khutbah dan memanjangkan shalat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ طُوْلَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيْلُواالصُّلَاةَ وَاقْصُرُواالْخُطْبَةَ
Sesungguhnya panjangnya shalat dan
pendeknya khutbah seseorang adalah pertanda (mendalam) pemahamannya.
Panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah!” (ShahihMuslim no. 869
dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma)
Hadist ini menunjukkan disyariatkannya
memendekkan waktu (durasi) khutbah. Yang dimaksud adalah khutbah yang
sedang, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu pertengahan,
antara pendek yang tidak mencukupi dan panjang yang berlebihan.
Pendeknya khutbah menandakan keilmuan
khatib yang mendalam, dilihat dari sisi bahwa dia bisa mengungkapkan
sesuatu yang luas dengan kata-kata yang ringkas (padat). Apabila
panjang, tidak sampai memberatkan para makmum atau sampai keluar waktu.(Ahaditsul Jumu’ah hlm. 355)
Namun, jika sesekali khatib memanjangkan khutbah karena kebutuhan, hal ini tidak mengapa.
Di antara faedah memendekkan durasi
khutbah adalah agar materi khutbah mudah diserap dan dipahami serta agar
makmum tidak bosan mendengarkannya.
7. Dimakruhkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya saat berdoa karena apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berisyarat dengan jarinya ketika berdoa saat khutbah.
Hal ini berlandaskan hadits ‘Umarah bin Ruwaibah radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar mengangkat kedua tangannya. ‘Umarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala menjelekkan kedua tangannya. Sungguh, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih dari melakukan seperti ini -beliau berisyarat dengan jari
telunjuknya.” (Shahih Muslim, “Kitabul Jumu’ah”)
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bid’ahnya mengangkat kedua tangan saat berdoa di atas mimbar. (Nailul Authar, 3/32)
Lain halnya ketika berdoa saat istisqa’ (meminta hujan), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mengangkat kedua tangannya sampai terlihat putih ketiaknya.
8. Berkhutbah sesuai dengan kondisi.
Misalnya, berkhutbah menjelaskan
perkara-perkara yang terkait puasa Ramadhan menjelang masuknya bulan
Ramadhan atau di awal-awal Ramadhan. Hal ini agar manusia menjalankan
ibadah puasa di atas pengetahuan yang mendalam.
Demikian pula berkhutbah dengan bahasa yang jelas dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.
——————————————————————
1. Zaura adalah rumah milik Utsman yang
ada di pasar. Azan di Zaura dikumandangkan sebelum Utsman keluar (untuk
khutbah) agar manusia tahu bahwa waktu Jum’atan telah datang. (Fathul
Bari 2/394)
Azan ini disebut azan ketiga walaupun
pelaksanaannya lebih dahulu, karena azan tersebut belum ada pada zaman
Nabi dan baru ada setelahnya. Wallahu a’lam. (-red.)
2. Pengingkaran Atha’ tidak tepat karena riwayat-riwayat telah menyebutkan bahwa yang melakukannya adalah Utsman radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Fathul Bari, 2/394-395)
KEBID’AHAN-KEBID’AHAN DALAM KHUTBAH
Ada beberapa perkara bid’ah yang dilakukan di saat khatib berkhutbah, di antaranya:
1. Sebagian muazin mengeraskan suara dengan menyebutkan hadits,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ فَقَدْلَغَوْتَ
“Apabila engkau mengatakan kepada
temanmu,‘Diamlah,’ pada hari Jum’at dalam keadaan imam sedang
berkhutbah, engkau telah melakukan yang sia-sia.”
Ini diucapkannya ketika imam keluar untuk khutbah sampai naik di atas mimbar.
2. Khatib menaiki mimbar dengan perlahan-lahan secara sengaja.
3. Khatib memukulkan tongkat atau semisalnya pada anak tangga mimbar ketika menaikinya.
4. Duduk di bawah mimbar saat berlangsungnya khutbah untuk mencari kesembuhan.
5. Mengkhususkan khutbah kedua untuk shalawat atas Rasul dan doa, serta mengosongkannya dari nasihat dan peringatan.
6. Melagukan khutbah.
7. Khatib selalu mengakhiri khutbah dengan menyebutkan ayat,
إِنّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Atau ucapan,
اُذْكُرُوااللهَ يَذْكُرْكُمْ
(Lihat al-Ajwibah an-Nafi’ah karya asy-Syaikh al-Albani)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
Adab Orang yang Mendengarkan Khutbah
Ada beberapa adab yang dituntunkan bagi orang yang mendengarkan khutbah.
1. Bila seseorang masuk masjid, jangan duduk sampai shalat sunnah tahiyatul masjid meskipun khatib sedang berkhutbah.
Ini berlandaskan hadits Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwa datang seorang lelaki di hari Jum’at
dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan
khutbah lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu
sudah shalat?” Ia menjawab, “Belum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Shalatlah dua rakaat!” (Shahih al-Bukhari no. 931)
2. Jika seseorang masuk masjid
di hari Jum’at dan azan Jum’at sedang dikumandangkan, apakah dia tetap
berdiri menunggu sampai selesainya azan atau dia langsung shalat
tahiyatul masjid?
Ulama menyebutkan bahwa dia langsung
shalat tahiyatul masjid karena mendengarkan khutbah itu wajib sedangkan
menjawab azan itu sunnah. (Majmu’ Fatawa asy-SyaikhMuhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin 12/202)
3. Duduk di mana saja dia mendapatkan tempat dimasjid dan dianjurkan mendekat kepada imam.
4. Tidak melewati pundak-pundak orang dan tidak memisahkan antara dua orang.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah
meriwayatkan dalam Sunan-nya (1118) dari Abdullah bin Busr radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Datang seorang lelaki pada hari Jum’at dengan
melangkahi leher-leher manusia dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam sedang berkhutbah maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan,
إِجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ
“Duduklah, kamu telah mengganggu!”
(Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnul Munzir rahimahullah seperti dalam al-Majmu’ 4/421 karya an-Nawawi rahimahullah)
(Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnul Munzir rahimahullah seperti dalam al-Majmu’ 4/421 karya an-Nawawi rahimahullah)
Melangkahi pundak-pundak orang menurut
pendapat yang kuat hukumnya haram, lebih-lebih jika hal itu terjadi
ketika berlangsungnya khutbah karena terkandung bentuk menyakiti orang
lain dan menyibukkan orang dari mendengarkan khutbah. Dikecualikan dalam
hal ini adalah imam, karena memang tempatnya di depan. Apabila imam
bisa sampai di depan tanpa harus melewati pundak-pundak orang, maka itu
yang seharusnya dilakukan. Misalnya, ada pintu masuk imam di bagian
depan.
Dikecualikan pula dari larangan ini
orang yang ingin mengisi tempat yang masih kosong di bagian depan.
Misalnya, orang-orang yang datang lebih awal mengambil tempat duduk di
bagian belakang masjid atau tengah-tengahnya dan membiarkan shaf-shaf
depan tidak ditempati. Dibolehkannya melewati mereka karena biasanya
mereka sendiri yang telah meremehkan shaf-shaf terdepan sehingga tidak
mengapa untuk ditempati walaupun terpaksa harus melewati pundak-pundak
manusia. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/125-126)
5. Diam saat berlangsungnya khutbah.
Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila kamu mengatakan kepada temanmu
di hari Jum’at,‘Diamlah kamu!’ dalam keadaan imam sedang berkhutbah maka
kamu telah berkata yang sia-sia.” (HR. al-Bukhari no. 394dan Muslim)
Orang yang seperti ini telah sia-sia Jum’atannya meskipun telah gugur kewajibannya.
Hadits ini menunjukkan larangan dari seluruh percakapan saat berlangsungnya khutbah, karena jika ucapan “diamlah kamu” yang terkandung bentuk amar ma’ruf saja dikatakan sia-sia karena bukan pada waktu yang tepat, tentunya perkataan yang sifatnya biasa saja lebih dilarang lagi.
Hadits ini menunjukkan larangan dari seluruh percakapan saat berlangsungnya khutbah, karena jika ucapan “diamlah kamu” yang terkandung bentuk amar ma’ruf saja dikatakan sia-sia karena bukan pada waktu yang tepat, tentunya perkataan yang sifatnya biasa saja lebih dilarang lagi.
Khutbah sebagai salah satu syiar
Jum’atan yang terbesar, tentu yang dimaukan agar para jamaah
mendengarkannya dan tidak menyibukkan dengan selainnya. Diharapkan,
selesai dari Jum’atan mereka telah menyerap materi khutbah yang
mendorongnya kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran.
kemungkaran.
Namun, suatu hal yang sangat menyedihkan
bahwa kita masih mendapatkan sebagian jamaah asyik mengobrol pada saat
khatib dengan seriusnya menyampaikan khutbah. Yang lebih memilukan,
sebagian mereka tenggelam dalam percakapan yang haram dan melukai
kehormatan saudaranya.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa
larangan berkata-kata adalah hanya saat berlangsungnya khutbah. Adapun
ketika khatib tidak sedang berkhutbah, seperti ketika duduk di antara
dua khutbah, hal ini tidak mengapa.
Demikian pula, perintah untuk diam saat
khutbah tidak hanya diam dari mengajak bicara orang lain namun juga diam
dari berzikir dan membaca al-Qur’an.(lihat Subulus Salam 2/51)
Adapun menjawab salam, membaca hamdalah
kalau bersin dan mengucapkan shalawat ketika nama Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam disebut, diperselisihkan kebolehannya saat berlangsung
khutbah. Sebagian ulama mengatakan hal itu tidak boleh karena ucapan
“diamlah kamu” sudah dianggap sia-sia, padahal ia termasuk kategori
al-ma’ruf (sesuatu yang baik), Maka, semua ma’ruf yang lainnya juga
dilarang karena memang bukan waktunya, dan bahwa dilarangnya hal
tersebut termasuk masalah “mendahulukan yang terpenting dari yang
penting”, wallahu a’lam. (lihat al-Ajwibah an-Nafi’ah karya asy-Syaikh
al-Albani hlm. 60)
Apakah orang yang tidak mendengar
ceramah khatib boleh berbicara? Dalam permasalahan ini juga ada
perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat tidak boleh. (lihat Syarh
Shahih Muslim, karya an-Nawawi 6/377)
Pendapat jumhur ini tampaknya lebih
kuat, karena hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah
disebutkan secara tekstualnya adalah perintah untuk diam dari seluruh
ucapan saat khutbah berlangsung kecuali yang telah dikhususkan oleh
dalil. Wallahu a’lam. (lihat Ahaditsul Jumu’ah)
Di antara yang dikecualikan oleh dalil
adalah shalat tahiyatul masjid, jamaah berbincang dengan khatib dan
jamaah diajak bicara oleh khatib. Adapun ucapan yang sifatnya harus
seperti memperingatkan orang buta yang akan jatuh ke sumur atau orang
yang dikhawatirkan tersengat api, ular, atau kebakaran, dan yang
semisalnya, maka hal ini boleh. (Lihat al-Mughni 3/198)
Apabila khatib menyampaikan materi
khutbah yang tidak layak, sebagian salaf membolehkan berbicara di saat
khutbah. (Fathul Bari 2/415 dan Mushannaf Abdurrazzaq 3/213)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila
khatib memasukkan dalam khutbahnya sesuatu yang bukan kategori zikir
kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula doa yang
diperintahkan, maka berbicara di saat itu boleh.” (al-Muhalla 5/62)
6. Larangan duduk ihtiba, yaitu
seseorang duduk menegakkan kedua lutut dan kedua kakinya lalu
menggabungkannya ke perutnya dengan cara mengikatnya dengan kain atau
kedua tangannya.
Ini berlandaskan hadits Abu Dawud dalam
Sunan-nya dari Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari ihtiba di hari Jum’at dalam
keadaan imam sedang berkhutbah. (no. 1110)
Dilarang duduk seperti ini karena akan
bisa membuat seorang tertidur dan menjadi pengantar untuk batalnya
wudhunya.1 (Lihat ‘Aunul Ma’bud 3/322)
7. Tidak bermain-main saat
berlangsungnya khutbah karena akan mengganggu konsentrasi. Demikian pula
tidak melakukan sesuatu yang bisa menyibukkan dari mendengar khutbah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa memegang/menyentuh kerikil
maka dia telah melakukan perkara yang sia-sia.” (Shahih Sunan Ibnu Majah
no. 901 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Di sini, kami mengajak para takmir atau pengelola masjid untuk tidak mengedarkan kotak infak di saat berlangsungnya khutbah, karena sangat mengganggu konsentrasi para jamaah. Mungkin bisa dicari cara selain ini. (-red.)
Di sini, kami mengajak para takmir atau pengelola masjid untuk tidak mengedarkan kotak infak di saat berlangsungnya khutbah, karena sangat mengganggu konsentrasi para jamaah. Mungkin bisa dicari cara selain ini. (-red.)
8. Bergeser dari tempat duduknya apabila mengantuk.
Ini berlandaskan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
“Apabila salah seorang kalian mengantuk
pada hari Jum’at, hendaklah ia berpindah dari tempat duduknya itu.”
(ShahihSunanat-Tirmidzi no. 526)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
————————————————————-
1. Tentang duduk ihtiba, ada pendapat lain. Sebagian ulama membolehkannya dengan alas an bahwa hadits yang melarang duduk ihtiba derajatnya lemah. Untuk mengompromikan kedua pendapat tersebut, al-Iraqi menyatakan,”Seandainya dianggap semua hadits tersebut shahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah (melakukan duduk ihtiba) ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah hingga ia menyelesaikannya.” (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345) (-ed.)
1. Tentang duduk ihtiba, ada pendapat lain. Sebagian ulama membolehkannya dengan alas an bahwa hadits yang melarang duduk ihtiba derajatnya lemah. Untuk mengompromikan kedua pendapat tersebut, al-Iraqi menyatakan,”Seandainya dianggap semua hadits tersebut shahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah (melakukan duduk ihtiba) ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah hingga ia menyelesaikannya.” (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345) (-ed.)

Tata Cara Shalat Jum’at
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
shalat Jum’at adalah fardhu/wajib atas laki-laki yang berakal dan sudah
baligh yang bukan musafir, serta tidak ada uzur/halangan yang
membolehkannya untuk meninggalkan Jum’atan. Shalat Jum’at dikerjakan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala sehingga
seseorang meraih surga-Nya dan terhindar dari azab-Nya.
Shalat Jum’at dilangsungkan setelah
didahului dengan dua khutbah. Apabila khatib telah selesai berkhutbah
maka muazin mengumandangkan iqamah, dan yang utama bahwa khatib itu juga
yang memimpin shalat Jum’at, meskipun boleh jika khatib dan imam Jum’at
itu berbeda. Hal ini dibolehkan karena khutbah adalah amalan tersendiri
dan terpisah dari shalat, hanya saja hal ini menyelisihi sunnah. (Lihat
Fatawa al- Lajnah ad-Daimah 8/237)
Telah mutawatir dan masyhur dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau shalat Jum’at hanya dua
rakaat1. Demikian pula bahwa kaum muslimin telah sepakat bahwa shalat
Jum’at itu dua rakaat. Dengan ini, shalat Jum’at adalah shalat
tersendiri, bukan zhuhur dan bukan ganti dari zhuhur. Barang siapa
menyangka bahwa Jum’atan adalah shalat zhuhur yang diqashar/diringkas
maka dia telah jauh rimbanya. Akan tetapi, Jum’atan adalah shalat
tersendiri yang memiliki syarat dan sifat yang khusus. Oleh karena itu,
shalat Jum’at dilakukan dua rakaat meskipun dalam kondisi mukim. (lihat
asy-Syarhul Mumti’ 5/88-89)
Surat Apa yang Dibaca dalam Shalat Jum’at?
Surat apa saja dari al-Qur’an yang
dibaca imam setelah al-Fatihah maka telah mencukupi. Namun ada beberapa
surat yang disunnahkan untuk dibaca pada shalat Jum’at yaitu surat
al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun atau surat al-A’la
(سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى)
dan surat al-Ghasyiyah
(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ).
Hal ini berlandaskan hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu
membaca surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun dalam shalat Jum’at (HR.
Muslim no. 879)
Dari sahabat an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca :
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
dan
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
pada shalat ‘Ied dan Jum’at.” (HR. Muslim 878)
Ulama menyebutkan di antara hikmah
membaca surat al-Jumu’ah karena ia memuat tentang wajibnya Jum’atan dan
hukum-hukum Jum’atan. Adapun hikmah dibacanya surat al-Munafiqun karena
orang-orang munafik tidaklah berkumpul pada suatu majelis yang lebih
banyak daripada saat Jum’atan. Oleh karena itu, dibaca surat ini sebagai
celaan atas mereka dan peringatan agar mereka bertobat. (lihat Syarh
Shahih Muslim 6/404 karya an-Nawawi rahimahullah)
Bacaan al-Fatihah dan surat pada shalat
Jum’at itu dengan jahr (dikeraskan) sebagaimana dengan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini tentu menjadi salah satu bukti
bahwa shalat Jum’at tidak sama dengan shalat zhuhur. Adapun
bacaan-bacaan yang lain di saat sujud, ruku’, dan semisalnya, serta
gerakan-gerakannya sama dengan shalat-shalat yang lain.
Kapan Seseorang Dikatakan telah Mendapatkan Shalat Jum’at?
Jika mendapatkan satu rakaat bersama
imam yang minimalnya mendapatkan ruku’ bersama imam pada rakaat kedua
berarti dia telah mendapatkan shalat Jum’at sehingga dia tinggal
menambah satu rakaat yang tertinggal. Ini berlandaskan hadits Abu
Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَلْيَصِلْ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat
dari (shalat) Jum’at hendaklah dia menyambung kepadanya rakaat yang
lain.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 927)
Hadits ini dijadikan landasan dalam
beramal menurut mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan yang lainnya.
Mereka mengatakan, “Barang siapa mendapati satu rakaat dari Jum’atan
maka ia shalat (satu rakaat) yang lain untuk (menyempurnakannya). Barang
siapa mendapati mereka sudah duduk maka ia shalat empat rakaat.” (Sunan
at-Tirmidzi 2/403)
Maka dari itu, barang siapa yang tidak mendapati shalat Jum’at bersama imam ia shalat zhuhur empat rakaat, bukan shalat Jum’at.
Adakah Shalat Sunnah Qabliah Jum’at?
Perlu diketahui bahwa disunnahkan bagi
seseorang yang masuk masjid pada hari Jum’at untuk shalat sunnah sampai
imam naik mimbar untuk berkhutbah. Shalat sunnah ini tidak ada bilangan
dan waktu tertentu. Jadi, ini tergolong shalat sunnah mutlak, bukan
qabliah. Adapun masalah apakah untuk shalat Jum’at ada shalat sunnah
qabliah yang khusus selain tahiyatul masjid sebagaimana ada shalat
qabliah zhuhur? Maka dalam hal ini tidak ada dalil yang kuat sedikit pun
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat sebelum Jum’at empat rakaat tanpa memisahkan padanya
(dengan salam) maka sanadnya lemah sekali. An-Nawawi rahimahullah
mengatakan dalam al-Khulashah bahwasanya itu adalah hadits batil.
(AhaditsulJumu’ah hlm. 315 dan al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 32)
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan,
“Apabila Bilal telah selesai mengumandangkan azan maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam memulai berkhutbah. Tidak ada seorang pun (dari
sahabat) yang berdiri melakukan shalat dua rakaat sama sekali. Dahulu,
azan tidak ada selain satu saja, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at
seperti (shalat) hari raya, tidak ada sunnah qabliah.
Ini adalah yang paling sahih dari dua
pendapat ulama, dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan
hal ini. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu keluar
rumahnya (untuk khutbah Jum’at) dan ketika naik mimbar, Bilal
mengumandangkan azan. Jika Bilal telah menyempurnakan azan, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah tanpa adanya pemisah.
Hal ini terlihat jelas oleh mata, lalu
kapan mereka (para sahabat) shalat sunnah (qabliah)?! Barang siapa
mengira bahwa mereka semuanya berdiri lalu shalat dua rakaat, dia adalah
orang yang paling bodoh tentang sunnah. Apa yang kami sebutkan bahwa
tidak ada shalat sunnah sebelum shalat Jum’at adalah pendapat Malik,
Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, dan salah satu sisi (pendapat)
pengikut-pengikut asy-Syafi’i.”
Lalu Ibnul Qayyim rahimahullah
menyebutkan pendalilan orang-orang yang menyatakan adanya sunnah qabliah
dan memberi bantahan yang luar biasa bagusnya kepada mereka. (lihat
Zadul Ma’ad, 1/417—424) Sesungguhnya, di antara yang menyebabkan
sebagian orang melakukan shalat sunnah qabliah Jum’at yang tidak ada
contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum adalah adanya azan awal sebelum khatib naik mimbar.
Oleh karena itu, kami tegaskan kembali
ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al-Umm bahwa azan Jum’at
yang beliau sukai adalah seperti yang ada di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam naik mimbar. Jika ada yang berdalil dengan hadits,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
“Antara dua azan ada shalat.”
(Muttafaqun ‘alaihi) Yang dimaksud dua azan adalah azan dan iqamah,
sehingga bukan antara azan Jum’at pertama sebelum naik mimbar dengan
azan ketika khatib telah naik mimbar. Hal ini karena azan Jum’at di
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ketika beliau naik mimbar.
Shalat Sunnah Ba’diyah Jum’at
Disunnahkan untuk shalat sunnah selesai
shalat Jum’at setelah berzikir atau beralih dari tempat yang ia shalat
Jum’at. Shalat sunnah setelah Jum’atan ada dua macam: dua rakaat atau
empat rakaat. Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari jalan sahabat
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dahulu shalat sebelum zhuhur dua rakaat dan setelah zhuhur dua
rakaat, setelah maghrib dua rakaat di rumahnya, dan dua rakaat setelah
isya’. Beliau tidak shalat setelah Jum’at sampai beliau pergi lalu
shalat dua rakaat. (Shahih al-Bukhari no. 937)
Adapun yang empat rakaat, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكَمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Apabila salah seorang kalian telah
shalat Jum’at, hendaknya ia shalat setelahnya empat rakaat.” (HR. Muslim
no. 881 dan selainnya)
Jika Hari Raya Jatuh Pada Hari Jum’at
Di sana ada rukhsah/keringanan untuk
meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan zhuhur bila seseorang
telah shalat hari raya yang jatuh pada hari Jum’at. Hal ini
berlandaskan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
قَدْ اِجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
“Telah terkumpul pada hari kalian ini
dua hari raya. Barang siapa yang mau maka (shalat hari raya) telah
mencukupinya dari Jum’atan, dan sesungguhnya kami akan mengadakan
Jum’atan.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.
4365)
Ash-Shan’ani rahimahullah
berkata,“Sesungguhnya shalat Jum’at setelah shalat ied menjadi rukhsah
(suatu keringanan) boleh melakukannya dan boleh meninggalkannya, dan ini
khusus bagi yang shalat ied dan bukan bagi orang yang tidak shalat
ied.” (Subulus Salam, 2/52)
Rukhsah di sini umum sifatnya bagi imam
dan makmum. Adapun pengabaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa “Kami akan menjalankan Jum’atan” hal ini tidak menunjukkan bahwa
imam wajib melaksanakan Jum’atan. Sebab, ucapan ini bersifat pemberitaan
yang tidak pas untuk dijadikan dalil tentang wajibnya Jum’atan bagi
imam.
Di antara dalil bahwa imam juga
mendapatkan rukhsah adalah sahabat Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu, yang
waktu itu sebagai penguasa, tidak shalat Jum’at pada hari raya. Ketika
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya tentang itu, beliau menjawab,
“Sesuai dengan sunnah.” (Sunan an-Nasai no. 1590)
Selain itu, tidak ada seorang sahabat
pun yang mengingkari sahabat Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu. (Nailul
Authar 3/336) Meskipun demikian, imam disyariatkan untuk tetap hadir di
masjid dengan tujuan menegakkan shalat Jum’at bersama orang-orang yang
menghadirinya. Hal ini berlandaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang telah berlalu penyebutannya
وَأَنَا مُجَمِّعُوْنَ
(“Dan kami akan menegakkan Jum’atan.”)
Wanita Menghadiri Shalat Jum’at
Shalat Jum’at dan shalat berjamaah tidak
wajib atas wanita. Yang sunnah bagi mereka di hari Jum’at dan selainnya
adalah shalat di rumahnya dan ini lebih utama. Namun, jika ia ikut
shalat Jum’at bersama kaum muslimin, ini menggugurkan kewajibannya untuk
shalat zhuhur. Hanya saja, ketika keluar, dia harus mengenakan hijab
dan pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai minyak wangi. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلْيَخْرُجْنَ تَفِ تَالِ
“Hendaknya mereka keluar tanpa memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌلَهُنَّ
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa
wanita tidak wajib Jum’atan, tetapi shalat zhuhur di rumahnya. Namun,
apabila ia shalat Jum’at bersama orang banyak, Jum’atannya sah dan
menggantikan shalat zhuhur. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa 12/333-334,
asy-Syaikh Ibnu Baz)
Jum’atannya dianggap sah karena wanita
tersebut bermakmum kepada imam shalat Jum’at, sehingga sah baginya
karena sebagai pengikut. Dan tidak sah Jum’atan wanita itu kalau dia
shalat sendirian.(Lihat asy-Syarhual-Mumti’ 5/21)
Menjamak Shalat Ashar dengan Shalat Jum’at
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah menerangkan, “Sebatas pengetahuan kami, dalam hal ini tidak
ada dalil yang menunjukkan bolehnya menjamak (menggabungkan) shalat
ashar dengan shalat Jum’at. Tidak ada nukilan tentang menjamak shalat
tersebut dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari
seorang sahabat Rasul radhiyallahu ‘anhum. Maka dari itu, yang menjadi
keharusan adalah tidak melakukannya. Orang yang telah melakukannya harus
mengulangi shalat ashar apabila telah masuk waktunya.” (Majmu’ Fatawa
12/300, asy-Syaikh Ibnu Baz)
Senada dengan itu adalah pernyataan
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, “Shalat ashar tidak dijamak
dengan Jum’atan karena tidak adanya sunnah yang menjelaskan hal itu.
Tidak benar hal itu dikiaskan dengan menjamak ashar dengan zhuhur,
karena perbedaan yang banyak antara Jum’at dengan zhuhur. Hukum asalnya,
setiap shalat harus dikerjakan pada waktunya kecuali ada dalil yang
membolehkan untuk menjamaknya dengan yang lain.” (Fatawa Arkanil Islam
hlm. 383)
Masalah ini memang diperselisihkan oleh
para ulama. Sebagian ulama membolehkan menjamak shalat Jum’at dengan
shalat ashar, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi. Alasan mereka,
shalat Jum’at adalah pengganti shalat zhuhur sehingga ia mengambil
hukum-hukum shalat zhuhur, termasuk dalam hal bolehnya dijamak dengan
shalat ashar. Wallahu a’lam. (-ed.)
Shalat Zhuhur Setelah Shalat Jum’at
Telah diketahui dari agama ini secara
pasti dan dengan dalil-dalil syariat bahwa Allah Subhanahu wata’ala Yang
Mahasuci tidaklah mensyariatkan di waktu zhuhur hari Jum’at kecuali
satu (shalat) wajib yaitu shalat Jum’at atas para lelaki yang
mukim/tinggal dan menetap, merdeka/bukan budak dan yang telah dibebani
oleh panggilan syariat. Bila kaum muslimin menjalankan hal itu maka
tidak ada kewajiban yang lain, baik zhuhur maupun selainnya. Bahkan
shalat Jum’at itulah yang harus dilakukan saat itu.
Sungguh, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan as-salaf ash-shalih
setelah mereka, tidaklah melakukan shalat wajib yang lain setelah
Jum’atan… dan tidak diragukan bahwa hal itu (shalat zhuhur setelah
Jum’atan) merupakan kebid’ahan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah menyebutkan (yang artinya), “Berhati-hatilah kamu dari
perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru (dalam agama)
adalah sesat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/363)
Bolehkah Shalat Jum’at di Rumah dengan Keluarga?
Ada banyak riwayat tentang pelaksanaan
shalat Jum’at di masjid, yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at tidak
boleh dikerjakan selain di masjid. Oleh karena itu, orang yang shalat
Jum’at di rumah dengan keluarganya harus mengulangi dengan melakukan
shalat zhuhur dan tidak sah Jum’atannya. Sebab, yang wajib atas para
lelaki adalah shalat Jum’at bersama saudara-saudaranya kaum muslimin di
rumah-rumah Allah Subhanahu wata’ala (masjid-masjid). (Lihat Fatawa
al-Lajnah ad-Daimah 8/196)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Shalat Jum’at tidak sah selain di
masjid (baik) di kota maupun desa.” (Fatawa Arkanil Islam, 391)
Shalat Jum’at bagi Orang yang Bekerja di Anjungan Lepas Pantai
Di sini kami akan menampilkan pertanyaan
yang ditujukan kepada al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal
Ifta’ (Komite Fatwa Ulama Saudi Arabia) beserta jawabannya dengan nomor
fatwa 6113.
Berikut ini petikan terjemahannya. Kami
para karyawan minyak perusahaan Aramco. Kebiasaan tugas kami adalah
bekerja di tengah-tengah laut selama setengah bulan berturut-turut.
Jumlah kami terkadang mencapai delapan orang. Pertanyaannya, apakah sah
bagi kami shalat Jum’at padahal kami tidak menjadikannya tempat tinggal
dan tidak selalu menetap, dan jumlah kami seperti yang telah disebutkan,
ataukah kami shalat zhuhur? Kami berharap faedah dan semoga Anda semua
selalu dalam kebaikan. Al-Lajnah ad-Daimah menjawab sebagai berikut :
Jika kenyataannya seperti yang telah disebutkan bahwa kalian tidak
menjadikannya tempat tinggal bersama orang-orang yang menetap dan kalian
bekerja dalam kondisi terpencil di tengah-tengah laut selama lima belas
hari, yang wajib atas kalian selama masa itu adalah shalat zhuhur,
bukan Jum’at. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/219—220)2
Membaca Surat Tertentu setelah Shalat Jum’at
Ada riwayat yang menyebutkan keutamaan
membaca surat al-Ikhlas dan Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas)
setelah shalat Jum’at, namun sanadnya lemah dan tidak bisa dijadikan
landasan dalam beramal. Ibnus Sunni rahimahullah meriwayatkan dalam
kitab ‘Amalul Yaumi Wallailah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
bahwa ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang
artinya), “Barangsiapa yang membaca setelah shalat Jum’at
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, قُلْ أعُوذُ بِرَبِّالفَلَقِ
dan
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
tujuh kali maka Allah Subhanahu wata’ala
akan melindunginya dengan bacaan tadi dari kejelekan sampai Jum’at
berikutnya.” Di dalam sanad hadits ini ada rawi bernama al-Khalil bin
Murrah, ia seorang yang dhaif (lemah), dinyatakan lemah oleh Abu Hatim.
Al-Bukhari rahimahullah juga berkata bahwa haditsnya munkar. (Ahaditsul
Jumu’ah hlm. 133)
Bepergian di Hari Jum’at
Tidak mengapa seseorang bepergian di
hari Jum’at karena tidak ada dalil yang kuat yang melarangnya. Adapun
mengawali bepergian di waktu shalat Jum’at, pendapat yang kuat adalah
tidak boleh bagi orang yang berkewajiban menghadiri Jum’atan, kecuali
kalau dikhawatirkan akan terpisah dari rombongan yang tidak memungkinkan
bepergian selain bersama mereka, dan uzur-uzur semisal itu. Sebab,
apabila syariat telah membolehkan seseorang untuk tidak menghadiri
Jum’atan karena uzur hujan, meninggalkan Jum’atan bagi orang yang
kesulitannya melebihi itu tentu lebih boleh lagi. Demikian pula
dibolehkan bagi yang khawatir tertinggal pesawat, kereta, dan
semisalnya, padahal ia telah memesan tiketnya. (Lihat Nailul Authar,
3/273-274 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/203)
Mendirikan Shalat Jum’at Lebih Dari Satu Masjid di Satu Kampung atau Tempat
Jika keadaan menuntut dilaksanakannya
shalat Jum’at lebih dari satu masjid di satu kampung, hal ini tidak
mengapa. Misalnya, masjid yang biasa untuk Jum’atan sudah tidak bisa
menampung banyaknya jamaah karena sempitnya masjid, atau antar warga
terjadi pertikaian yang apabila disatukan Jum’atannya akan timbul
kekacauan dan tidak bisa didamaikan, dan yang semisalnya. Adapun apabila
Jum’atan dilaksanakan di banyak tempat (masjid) tanpa ada hajat
(tuntutan) demikian, hal ini menyelisihi sunnah dan menyelisihi apa yang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafarasyidun berada di
atasnya. (Lihat Fatawa Arkanil Islam hlm. 390)
Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah
menerangkan, “Suatu hal yang maklum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam membedakan secara praktik amaliah antara Jum’at dan shalat lima
waktu. Sungguh telah kuat (riwayat) bahwasanya di Madinah banyak masjid
yang didirikan shalat jamaah …
Adapun Jum’atan dahulu tidaklah
berbilang. Jamaah masjid-masjid yang lain semuanya mendatangi masjid
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Jum’atan di sana. Pemisahan dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara amaliah antara shalat jamaah
dan shalat Jum’at tidaklah sia-sia. Jadi, ini seharusnya dicermati.
Meskipun ini bukan menjadi syarat (sahnya Jum’atan) … ,
setidaknya hal ini menunjukkan bahwa
berbilangnya Jum’atan tanpa ada keperluan yang mendesak adalah
menyelisihi sunnah3. Apabila seperti itu urusannya, seyogianya dicegah
untuk tidak (terjadi) banyaknya Jum’atan dan bersungguh-sungguh agar
Jum’atan disatukan sebisa mungkin dalam rangka mengikuti Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat setelahnya. Dengan
demikian, akan terwujud secara sempurna hikmah disyariatkannya shalat
Jum’at dan faedah-faedahnya.
Akan berakhir pula perpecahan yang
muncul karena dijalankannya Jum’atan di setiap masjid yang besar dan
masjid yang kecil, sampai-sampai sebagian masjid (yang diadakan
Jum’atan) itu hampir saling menempel (sangat berdekatan). Sebuah hal
yang tidak mungkin dikatakan boleh oleh orang yang mencium bau fikih
yang benar. (al-Ajwibahan-Nafi’ah hlm. 47) Demikianlah beberapa hal yang
berkaitan dengan shalat Jum’at yang bisa kami tampilkan. Tentu masih
banyak hal yang belum bisa disebutkan di ruang yang terbatas ini. Atas
segala kekurangan dan kekhilafan, kami meminta maaf. Wallahu ta’ala
a’lam bish-shawab.
صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
————————————————————
1. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu berkata, “Shalat (ied) al-Adha dua rakaat, shalat Jum’at dua
rakaat, shalat (ied) al-Fithri dua rakaat, dan shalat musafir dua
rakaat, sempurna tanpa diringkas, melalui lisan Nabi kalian, dan telah
merugi orang yang membuat kedustaan.” (Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1425)
2. Namun, bilamana seseorang hendak melakukan shalat Jum’at di tempat
tersebut, tetap diperbolehkan, sebagaimana difatwakan oleh sebagian
ulama. 3. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan, “Tidak termasuk
keperluan yang mendesak apabila imamnya seorang yang isbal (pakaiannya
menutupi mata kaki) atau fasik. Sebab, para sahabat dahulu shalat
dibelakang al-Hajjaj bin Yusuf. Padahal dia seorang yang sangat zalim
dan melampaui batas, membunuh para ulama, dan orang-orang yang tidak
bersalah. Mereka shalat dibelakangnya. Bahkan, yang benar adalah boleh
jika imam itu orang fasik walaupun di selain shalat Jum’at selama
kefasikannya tidak mencacati satu syarat (sahnya) shalat yang
diyakininya sebagai syarat. (Apabila imam melanggarnya), ketika itulah
ia tidak boleh shalat dibelakangnya. (asy-Syarhul Mumti’, 5/96)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
Tanya Jawab Ringkas Edisi 82
Buang Angin Terus-Menerus
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Saya seorang wanita yang memiliki
masalah dengan shalat. Terkadang saya harus berwudhu berkali-kali karena
buang angin yang tidak bisa ditahan, apakah itu penyakit atau bukan?
Saya sedih karena hal itu sering terjadi sehingga shalat tidak bisa
tenang karena sering buang angin dan terkadang shalat belum selesai
karena harus berkali-kali wudhu, sedangkan anak sedang menangis. Apa
yang harus saya lakukan supaya shalat saya bisa khusyuk? Mohon jawaban
dari ustadz. (Ummu Fulan)
Jawab :
Anda tidak perlu bersedih.
Bersabarlah atas takdir Allah Subhanahu wata’ala. Hal itu adalah ujian
bagi Anda yang harus dihadapi dengan kesabaran. Ada kemungkinan hal itu
karena masuk angin. Cobalah atasi dengan menggunakan jaket dan kaos kaki
serta ikhtiar-ikhtiar lainnya. Carilah waktu redanya buang angin itu
untuk melaksanakan shalat di waktu itu. Selain itu, upayakanlah
menenangkan anak Anda dengan memberinya makanan atau mainan, lalu Anda
melaksanakan shalat agar dapat lebih khusyuk. Jika anak Anda menangis
saat shalat, tidak mengapa mempercepat shalatnya. Sebab, pernah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami di masjid dan
bermaksud memanjangkan shalat, tetapi mendengar suara tangis bayi di
belakangnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempercepat
shalatnya. Wallahua ’lam.
Tidur Sebelum Zhuhur, Bangun Waktu Ashar
Ustadz, saya mau tanya. Kalau kita
ketiduran melewati waktu zhuhur kemudian baru bangun waktu ashar, terus
shalat yang kita lakukan bagaimana tata caranya? Apakah boleh diringkas
jadi
dua rakaat dua rakaat? Terima kasih. (timxxxx@yahoo.co.id)
Jawab :
Ketika Anda terbangun, maka langsung
mengqadha shalat zhuhur tersebut empat rakaat, setelah itu baru shalat
Ashar empat rakaat. Tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat dua rakaat
karena qashar khusus untuk musafir.
Urutan Shalat Ketika Jamak Ta’khir
Saya mau bertanya tentang shalat yang
dijamak ta’khir, seperti shalat maghrib dan isya. Urutan shalat yang
dikerjakan pertama shalat apa dahulu? Kemudian masalah mandi janabah,
bagaimana tata caranya menurut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Terima kasih. (Nusa)
Jawab :
- 1. Sesuai urutan shalat : shalat zhuhur kemudian shalat ashar; shalat maghrib kemudian shalat isya.
- 2. Tata cara mandi janabah menurut tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
- Berniat untuk mandi suci dalam kalbu.
- Kemudian membaca basmalah.
- Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna.
- Kemudian mengguyurkan air di atas kepala dengan cidukan tangan (dan meratakannya di seluruh kulit kepala)
- Setelah itu mengguyur kepala tiga kali; dimulai dengan mengguyur belahan kanan kepala kemudian belahan kiri, kemudian mengguyur pertengahan kepala.
- Terakhir, mengguyur sekujur tubuh yang tersisa; dimulai dengan belahan kanan tubuh, kemudian yang kiri. Wallahu a’lam.
Menikahi Wanita yang Dizinai
Bolehkah seorang lelaki yang sudah bertobat menikahi wanita yang pernah dizinainya?
Jawab :
Boleh, dengan dua syarat :
- 1. Wanita tersebut juga telah bertobat.
- 2. Wanita tersebut telah menjalani istibra’ (pembebasan) rahim dari kemungkinan adanya janin hasil hubungan zina itu dengan haid satu kali (jika tidak hamil) atau melahirkan bayinya (jika hamil).
Puasa Dawud
Apa ada sunnahnya puasa Dawud dan apa pernah ada sahabat yang menjalankan puasa itu?
Jawab :
Puasa Dawud adalah puasa sunnah yang
afdal (paling utama), tidak ada puasa sunnah yang lebih utama darinya.
Hal ini sebagaimana bimbingan Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada sahabat yang mulia Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu
‘anhuma (dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih).
Puasa Ayyamul Bidh
Bagaimana cara puasa sunnah ayyamulbidh
(tanggal13,14, dan15) tiap bulan, sedangkan kita tidak tahu kapan
tanggal 1 setiap bulan hijriah. Apakah boleh bersandar kepada kalender
hijriah karena kita susah ru’yatul hilal?
Jawab :
Anda dapat melihat langsung bulan
yang bersinar terang diatas langit pada tanggal 13,14, dan 15 bulan
qamariah. Tidak mengapa menggunakan kalender yang ada sebagai acuan
untuk membantu Anda mengamati bulan yang ada di atas Anda, karena pada
malam malam itu bulan terlihat sangat terang di atas langit. Anda dapat
mengetahui secara langsung dengan melihat bulan tersebut, insya Allah.
Wallahu a’lam.
Wali Nikah Seorang Dukun
Bismillah. Sahkah sebuah perkawinan yang akhwat tersebut walinya seorang dukun?
Jawab :
Jika walinya itu telah dinasihati dan
ditegakkan hujah atasnya tentang kafirnya perdukunan yang bekerja
dengan ilmu sihir (kerjasama dengan setan), mengklaim ilmu gaib, dan
semacamnya, namun dia tetap menekuninya karena hawa nafsu, dia kafir.
Jika demikian, tidak sah perwaliannya. Wallahu a’lam.
Mertua Tetap Mahram Meski Sudah Bercerai
- Setelah wanita bercerai dari suaminya, apakah mertua laki-laki tetap menjadi mahram bagi wanita tersebut?
- Jika suami istri cerai dan hak asuh jatuh kepada wanita, sampai usia berapa si anak berhak dinafkahi oleh ayahnya?
- Apakah merencanakan untuk mencerai sudah termasuk talak?
Jawab :
- Ya, tetap mahram.
- Seorang ayah yang punya kemampuan menafkahi berkewajiban menafkahi anaknya sampai si anak mampu menafkahi dirinya sendiri dengan penghasilannya.
- Rencana mencerai tidak termasuk mencerai.
Suami Mengancam Talak
Seorang suami mengancam istrinya dengan
kata-kata, “Kalau berani pulang ke rumah orang tuamu, kau bukan istriku
lagi. “Apakah termasuk talak? Suami hanya ingin mengancam agar istri
takut, karena istri tidak betah di tempat mertua. Mohon penjelasannya.
Jawab :
Hukumnya adalah sumpah yang dapat
ditebus dengan kafarat sumpah jika dilanggar. Jadi, jika ternyata suatu
saat istrinya pulang kerumah orang tuanya, si suami terkena kafarat
sumpah yang dilanggar itu.
Puasa Sunnah Hari Sabtu
Bagaimana hukum melakukan puasa sunnah
bertepatan dengan hari Sabtu? Sebab, saya membaca hadits riwayat Ahmad
dan Abu Dawud, terdapat larangan puasa pada hari Sabtu kecuali apa-apa
yang diwajibkan. Kalau jadwal puasa Dawud kami bertepatan dengan hari
Sabtu, apa yang harus kami lakukan? Apakah kami melompatinya ke hari
Ahad atau bagaimana? (Rahmat-Situbondo)
Jawab :
Yang rajah (kuat), boleh berpuasa
sunnah pada hari Sabtu. Hadits larangan puasa sunnah pada hari Sabtu
adalah hadits yang keliru dan tidak bisa dijadikan hujah. Apalagi
terkait dengan puasa Dawud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
membimbing Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma agar berpuasa Dawud;
berpuasa sehari dan berbuka sehari (Muttafaq ‘alaih), tanpa
mengecualikan hari Sabtu. Artinya, meskipun puasa Dawud itu bertepatan
jatuhnya dengan hari Sabtu, tetap berpuasa. Masalah ini telah kami kupas
tuntas dengan taufik Allah Subhanahu wata’ala pada buku kami, Fikih
Puasa Lengkap.
Halalkah Kadal?
Apakah kadal boleh dimakan?
Jawab :
Terdapat perbedaan pendapat. Yang kami pandang lebih hati-hati adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan haram.
Qadha Shalat Lail
- Bolehkah qadha shalat lail? Seseorang shalat lail beberapa rakaat. Belum sebelas rakaat, ternyata masuk waktu subuh. Dia ingin menyempurnakan menjadi sebelas rakaat, bagaimana caranya? Kapan waktu qadhanya? Apakah pakai witir?
- Kapan mulai waktu puasa Syawal, apakah harus berurutan?
Jawab :
- Yang disyariatkan diqadha apabila luput karena uzur adalah shalat witir. Seperti halnya jika ketiduran dan terlambat bangun, lalu shalat lail beberapa rakaat, tetapi ternyata waktu subuh telah tiba, yang artinya waktu shalat witir telah habis. Jika demikian, shalat witirnya diqadha di waktu dhuha ditambah satu rakaat untuk menggenapkannya sesuai jumlah rakaat shalat witir yang menjadi kebiasaan seseorang. Jika biasanya dia shalat witir tiga rakaat, diqadha dengan empat rakaat; dengan cara dua rakaat dua rakaat. Jika biasanya dia shalat witir lima rakaat, diqadha dengan enam rakaat; dengan cara dua rakaat dua rakaat. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengqadha shalat witirnya yang luput karena sakit atau tertidur di waktudhuha dua belas rakaat (HR. Muslim).
- Mulai tanggal 2 Syawal dan tidak harus berurutan.
Contoh Kasus Pembagian Warisan
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Seorang bapak meninggal dengan
meninggalkan sejumlah harta. Ahli warisnya terdiri dari istri, dua anak
perempuan, dua anak laki-laki, seorang saudara perempuan sekandung dan
dua orang saudara laki-laki sekandung. Bagaimana pembagian harta waris
tersebut? Jazakallahu khair. (+6285868xxxxxx)
Jawab :
Istri mendapatkan 1/8 karena ada anak.
Saudara dan saudari gugur karena adanya anak laki-laki. Sisa harta
dibagi untuk anak laki-laki dan perempuan, dengan anak laki-laki
mendapatkan dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
Bisnis Valuta Asing
Saat ini marak orang tertarik bisnis
valuta asing dengan keuntungan 10% dari modal, dengan cara menyerahkan
sejumlah uang kepada orang lain tanpa tahu proses pembelian valuta
tersebut. Setiap bulan kita menerima 10% dari modal kita. Bagaimana
hukumnya? Jazakumullah khairan. (+6281354XXXXXX)
Jawab :
Jual beli valas disyaratkan harus
serah terima di tempat. Sistem online tidak boleh karena terkena riba
nasiah. Adapun hakikat akad di atas adalah mudharabah. Penetapan laba
dengan nominal atau persentase tertentu adalah riba karena ada unsure
pertaruhan dengan spekulasi tinggi. Yang benar, laba menggunakan
persentase sesuai dengan kesepakatan, tergantung untung rugi usaha yang
dijalankan. Apabila rugi, investor pun harus ikut menanggungnya. Lihat
masalah mudharabah di Asy-Syariah edisi 28 dan 53. Waffaqakumullah.

Bersegera Menuju Zikrullah
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْفِى
الْأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ واذْكُرُوْا اللهَ كَثِيْرً
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah
ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan banyak-banyak mengingat Allah supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah : 9-10)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Kata “jumu’ah” dibaca oleh mayoritas
ahli qira’ah dengan huruf mim yang didhammah. Abdullah bin Zubair,
al-A’masy, dan yang lainnya membacanya dengan huruf mim yang disukun
(الجُمْعَة). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
bahwasanya ia berkata, “Al-Qur’an diturunkan dengan bacaan tatsqil (yang
diberatkan) dan tafkhim (ditebalkan), maka bacalah ,الجُمُعَة (yaitu
dengan mim yang didhammah).” (Tafsir al-Qurthubi, 460/20)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Hari Jum’at disebut Jum’at karena ia berasal dari kata jam’u,
yaitu berkumpul. Sebab, kaum muslimin berkumpul pada hari itu setiap
pekan sekali di tempat-tempat ibadah yang besar. Pada hari itu
disempurnakan penciptaan makhluk, karena ia adalah hari keenam dari enam
hari saat Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi. Pada
hari itu Adam ‘alaihis salam diciptakan. Pada hari itu pula ia
dimasukkan ke dalam surga, serta pada hari itu dia dikeluarkan. Pada
hari itu hari kiamat terjadi, dan pada hari itu terdapat waktu yang
tidaklah bertepatan dengan seorang hamba mukmin yang memohon kebaikan
kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali Allah Subhanahu wata’ala pasti mengabulkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang sahih.” (Tafsir Ibnu Katsir, 10/558)
Tafsir Ayat
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآ
“Hai orang-orang yang beriman.”
Allah Subhanahu wata’ala mengarahkan firman-Nya kepada kaum mukminin, maka sepantasnya setiap muslim menyimak apa yang akan difirmankan-Nya.
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berfirman untuk kaum mukminin secara khusus tentang hari Jum’at, tanpa menyebut orang-orang kafir, sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463)
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berfirman untuk kaum mukminin secara khusus tentang hari Jum’at, tanpa menyebut orang-orang kafir, sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap mereka.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika Engkau mendengar Allah Subhanahu
wata’ala berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman’, pasanglah
pendengaranmu. Sebab, padanya terkandung kebaikan yang engkau
diperintahkan melakukannya atau keburukan yang engkau dilarang darinya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/255)
Panggilan untuk kaum mukminin dalam ayat
ini terkhusus bagi para mukallaf yang terkena kewajiban untuk
melaksanakan shalat Jum’at, berdasarkan ijma’ para ulama. (Tafsir al-Qurthubi)
Orang yang tidak terkena kewajiban, tidak termasuk dalam keumuman ayat ini. Diriwayatkan dari sahabat Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوكٌ، أَوِامْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ
“Jum’at adalah hak yang wajib atas
setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat golongan: budak sahaya,
wanita, anak kecil, atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud no. 1067 dengan sanad yang sahih)
Demikian pula halnya dengan musafir karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan safar bersama para sahabatnya, namun tidak diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat Jum’at bersama sahabatnya dalam perjalanan safar.
Bahkan, bertepatan dengan hari Jum’at di Arafah pada saat haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat zhuhur dan ashar secara jamak, namun tidak melaksanakan shalat Jum’at.
إِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at.”
Ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud panggilan di dalam ayat ini adalah azan di hari Jum’at.
Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sebutan ‘pada hari Jum’at’ memberi faedah tersebut. Sebab, panggilan azan yang khusus pada hari itu adalah panggilan untuk shalat tersebut (shalat Jum’at, -pen.). Adapun shalat lainnya bersifat umum pada seluruh hari. Kalaulah yang dimaksud oleh ayat ini bukan panggilan azan Jum’at, maka pengkhususan sebutan Jum’at dan penyandaran hari tersebut kepadanya menjadi tidak bermakna dan tidak berfaedah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463)
Ibnul Arabi rahimahullah berkata, “Sebutan ‘pada hari Jum’at’ memberi faedah tersebut. Sebab, panggilan azan yang khusus pada hari itu adalah panggilan untuk shalat tersebut (shalat Jum’at, -pen.). Adapun shalat lainnya bersifat umum pada seluruh hari. Kalaulah yang dimaksud oleh ayat ini bukan panggilan azan Jum’at, maka pengkhususan sebutan Jum’at dan penyandaran hari tersebut kepadanya menjadi tidak bermakna dan tidak berfaedah.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/463)
Penyebutan “dipanggil untuk shalat”
menunjukkan bahwa kewajiban Jum’at terkhusus bagi yang mendengar
panggilan azan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ
“Jum’at itu wajib bagi setiap yang
mendengarkan panggilan azan.” (HR. Abu Dawud no. 1056, dari Abdullah bin
Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini diperselisihkan tentang
marfu’ atau mauquf-nya dari ucapan Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhuma. Namun, al-Albani menyatakan bahwa riwayat ini hasan secara
marfu’ dalam Shahih Abi Dawud)
Para fuqaha berselisih tentang jarak
seorang muslim yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Ada yang
berpendapat enam mil, ada pula yang berpendapat empat mil, ada lagi yang
mengatakan tiga mil.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata, “Ukuran seseorang mendengar azan adalah jika seorang muazin
suaranya lantang, dalam kondisi hening, dan angin bertiup tenang, muazin
berdiri di pagar batas kampung.” Al-Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah
berkata, “Wajib shalat Jum’at bagi yang mendengar panggilan azan.” (Tafsir al-Qurthubi : 20/469)
Azan yang dimaksud di dalam ayat ini
adalah azan yang menunjukkan masuknya waktu shalat, bukan azan tambahan
yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang
dimaksud azan di sini adalah azan ketika imam duduk di atas mimbar pada
hari Jum’at, sebab tidak ada azan lain pada masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam selain itu.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/301)
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Bersegeralah menuju zikrullah.”
Bersegera yang dimaksud di sini
diterangkan oleh al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, “Yang dimaksud
as-sa’yu (bersegera) di sini adalah bersegera menuju shalat Jum’at dan
menjadikannya sebagai hal yang penting dan yang paling diperhatikan,
bukan melangkah dengan cepat menuju shalat yang telah dilarang.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sangat menganjurkan umatnya untuk bersegera sedini
mungkin berada di masjid pada hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at
seperti mandi junub lalu berangkat (menuju shalat Jum’at), seakan-akan
dia bersedekah seekor unta. Barang siapa berangkat pada waktu yang
kedua, seakan-akan dia bersedekah seekor sapi. Barangsiapa datang pada
waktu yang ketiga, seakan-akan dia bersedekah seekor domba. Barang siapa
datang pada waktu yang keempat, seakan-akan dia bersedekah seekor ayam.
Barang siapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia bersedekah
sebutir telur. Jika imam telah keluar, para malaikat pun hadir untuk
mendengar zikir.” (HR. al-Bukhari, hlm. 841)
Adapun berjalan dengan cepat atau berlari, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau,
إِذَا
أُقِيمَتِ الصَّ ةَالُ فَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ،
عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
“Jika telah ditegakkan shalat, janganlah
kalian mendatanginya dengan berlari, datangilah dengan berjalan.
Hendaklah kalian menjaga ketenangan. Apa yang kalian dapatkan,
shalatlah! Apa yang kalian tertinggal, sempurnakanlah!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ibnu Juraij radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Atha’ tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Bersegeralah menuju zikrullah.” Beliau menjawab, “Pergi dengan berjalan.” (Riwayat Abdurrazzaq dalam Mushannaf, no. 5347)
Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, as-sa’yu yang disebut dalam kitabullah adalah beramal dan berbuat.” (al-Muwaththa, 1/106)
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “zikrullah” dalam ayat ini.
Ada yang berkata bahwa maknanya adalah shalat. Ada pula yang mengatakan,
maknanya adalah khutbah dan nasihat, dan ini adalah pendapat Sa’id bin
Jubair rahimahullah.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Yang
sahih, semua itu adalah wajib, dan awalnya adalah khutbah. Inilah yang
menjadi pendapat para ulama kami, selain Ibnul Majisyun yang berpendapat
sunnah. Dalil yang menunjukkan wajibnya; bahwa bersegera menuju
zikrullah mengharamkan jual beli. Kalaulah bukan karena wajibnya, tentu
jual beli tidak akan diharamkan. Sebab, sesuatu yang mustahab tidak bisa
mengharamkan sesuatu yang hukumnya mubah.”(Tafsir al-Qurthubi, 20/474)
وَذَرُواالْبَيْعَ
“Tinggalkan jual beli!”
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Tinggalkanlah jual beli jika telah dikumandangkan azan dan bersegeralah
menuju shalat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Disebutkan “jual beli” pada ayat di atas karena mayoritas kesibukan orang pasar adalah berjual beli. Akan tetapi, ayat ini mencakup segala jenis kesibukan yang menghalangi seseorang menuju
Disebutkan “jual beli” pada ayat di atas karena mayoritas kesibukan orang pasar adalah berjual beli. Akan tetapi, ayat ini mencakup segala jenis kesibukan yang menghalangi seseorang menuju
zikrullah. Al-Allamah asy-Syaukani
rahimahullah menerangkan, “Tinggalkan muamalah jual beli, dan segala
bentuk muamalah diikutkan pula hukumnya.” (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 5/302)
Ibnul Arabi rahimahullah berkata,
“Alasan jual beli dilarang adalah karena menyibukkan (dari bersegera
menuju shalat Jum’at, -pen.). Maka dari itu, setiap perkara yang
menyibukkan dari pelaksanaan Jum’at, yaitu seluruh jenis akad,
diharamkan secara syariat dan dibatalkan akadnya
sebagai bentuk hukuman.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475)
sebagai bentuk hukuman.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Oleh karena itu, para ulama sepakat tentang diharamkannya jual
beli setelah dikumandangkan azan kedua.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/563)
Yang dimaksud azan kedua yaitu azan yang
menunjukkan masuknya waktu Jum’at, yaitu saat khatib telah duduk di
atas mimbar. Adapun azan pertama adalah azan yang dilakukan pada zaman
Utsman radhiyallahu ‘anhu, dilakukan sebelum masuk waktunya.
Sahkah jual beli setelah Dikumandangkan Azan yang Menunjukkan Masuknya Waktu?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan
para ulama tentang hokum sahnya jual beli saat azan Jum’at yang
menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan. Perbedaan ini lahir
dari sebuah kaidah yang menjadi perselisihan pula dalam penerapannya,
yaitu,
النَّهْيُ يَقْتَضِي الْفَسَادَ
“Larangan menunjukkan rusaknya sebuah amalan.”
Menurut penelitian, jika ada larangan dalam sebuah amalan, ada beberapa keadaan :
1. Larangan tersebut kembali kepada ibadah itu sendiri atau kepada syaratnya, maka amalan tersebut hukumnya batil dan tidak sah.
Di antara contoh masalah ini adalah larangan shalat pada waktu terlarang, shalat membelakangi kiblat, shalat dalam keadaan berhadats, shalat tanpa thuma’ninah, berpuasa pada waktu terlarang seperti hari raya, atau menikah tanpa wali. Ibadah-ibadah tersebut hukumnya batil dan tidak sah.
1. Larangan tersebut kembali kepada ibadah itu sendiri atau kepada syaratnya, maka amalan tersebut hukumnya batil dan tidak sah.
Di antara contoh masalah ini adalah larangan shalat pada waktu terlarang, shalat membelakangi kiblat, shalat dalam keadaan berhadats, shalat tanpa thuma’ninah, berpuasa pada waktu terlarang seperti hari raya, atau menikah tanpa wali. Ibadah-ibadah tersebut hukumnya batil dan tidak sah.
2. Larangan yang dilakukan tersebut
tidak bersentuhan langsung dengan inti ibadah atau syarat dan rukunnya,
maka ibadah yang dikerjakannya sah namun dia melakukan perbuatan dosa.
Di antara contoh hal ini adalah berwudhu menggunakan bejana emas dan perak, atau shalat memakai serban dari kain sutra, padahal memakai bejana emas dan perak serta mengenakan sutra bagi pria itu terlarang. Ibadahnya sah, namun dia melakukan perbuatan dosa.
Di antara contoh hal ini adalah berwudhu menggunakan bejana emas dan perak, atau shalat memakai serban dari kain sutra, padahal memakai bejana emas dan perak serta mengenakan sutra bagi pria itu terlarang. Ibadahnya sah, namun dia melakukan perbuatan dosa.
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ini
adalah mazhab ulama dari dahulu hingga sekarang.” (Lihat Syarah Qawa’id
al-Manzhumah al-Fiqhiyah, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 54; Syarah
Qawa’id al-Manzhumah al-Fiqhiyah as-Sa’diyah, karya asy-Syaikh Sa’d
asy-Syitsri, hlm. 110; Syarah al-Ushul min Ilmil Ushul, Ibnu Utsaimin,
hlm. 135-136)
Ketika kaidah ini diterapkan pada hukum jual beli saat azan Jum’at yang
menunjukkan masuknya waktu telah dikumandangkan, ternyata larangan ini
kembali kepada inti jual beli itu sendiri. Dengan demikian, jual beli
tersebut hukumnya batil dan tidak sah.
Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan,
“Yang sahih, jual beli itu rusak dan tidak sah, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap amalan yang tidak
berdasarkan aturan kami maka ia tertolak.’ Wallahua’lam.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/475)
Hanya saja, dikecualikan dalam hal ini
adalah jual beli yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan
shalat Jum’at, seperti wanita dan musafir, maka hukum jual belinya sah.
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Orang yang tidak diwajibkan
menghadiri shalat Jum’at tidak dilarang melakukan jual beli.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/474)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Doa dalam Khutbah Jum’at
وَعَنْ
سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صل الله
عليه وسلم كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ
وَالْمُسْلِمَاتِ كُلَّ جُمُعَةٍ
“Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu,“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memintakan ampun bagi orang-orang mukmin, muslimin, dan muslimat setiap hari Jum’at.”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan al-Bazzar dalam Musnad-nya (2/307-308) Kasyful Astar. Al-Bazzar rahimahullah
meriwayatkan dari Khalid bin Yusuf bin Khalid, dari bapaknya -Yusuf bin
Khalid-, dari Ja’far bin Sa’d bin Samurah, dari Khubaib bin Sulaiman
bin Samurah, dari ayahnya Sulaiman bin Samurah, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu.
Al-Bazzar rahimahullah berkata, “Saya tidak tahu hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selain dengan sanad ini.” Melalui jalan Ja’far bin Sa’d bin Samurah pula ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkan dalam al-Kabir (7/264 no. 7079) dengan lafadz,
كاَنَ
النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَلِلْمُسْلِمَاتِ كُلَّ يَوْمِ
جُمُعَةٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memintakan ampunan bagi mukminin, mukminat, muslimin, dan muslimat.”
Sanad hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu dipenuhi dengan perawi-perawi lemah.
1. Khalid bin Yusuf bin Khalid
“Dha’if (lemah),” demikian dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (2/649).
2. Yusuf bin Khalid bin ‘Umair as-Samti
Ibnu Ma’in rahimahullah dalam Tarikh ad-Duri (2/684), “Kadzdzab, zindiq la yuktabu haditsuhu (Tukang dusta, zindiq tidak boleh ditulis haditsnya).”
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam al-‘Ilal (2/101), “Kadzdzab. Khabits, ‘Aduwullahi ta’ala (Tukang dusta, busuk, musuh Allah Subhanahu wata’ala).”
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam al-‘Ilal (2/101), “Kadzdzab. Khabits, ‘Aduwullahi ta’ala (Tukang dusta, busuk, musuh Allah Subhanahu wata’ala).”
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata dalam Taqrib, “Tarakuuhu, kadzdzabahu Ibnu Ma’in.” (Ulama
meninggalkannya, dan Ibnu Ma’in menyatakannya sebagai pendusta)
Al-Haitsami rahimahullah
dalam Majma’ (2/190) berkata, “Dalam sanad al-Bazzar terdapat seorang
perawi bernama Yusuf bin Khalid as-Samti, seorang yang dha’if.”
3. Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub al-Fazari
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib berkata, “Laisabil Qawiy (bukan orang yang kuat).”
4. Khubaib bin Sulaiman bin Samurah
Dia dinyatakan majhul oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib. Adz-Dzahabi rahimahullah (al-Mizan 2/649) berkata, “Laa Yu’raf wa Qad Dhu’if (dia tidak dikenal, dan ia didhaifkan/dinyatakan lemah).”
5. Sulaiman bin Samurah bin Jundub al-Fazari
Al-Hafizh Abul Hasan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Laa tu’raf lahul hal (Dia tidak dikenal keadaannya).” (Bayanul Wahm wal Iham, 5/138)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib berkata, “Maqbul.”
Dari tinjauan sanad, kita dapatkan bahwa hadits ini sangat lemah, bahkan batil, tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Dari tinjauan sanad, kita dapatkan bahwa hadits ini sangat lemah, bahkan batil, tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Apakah Doa Khatib untuk Kebaikan Kaum Muslimin Sunnah dalam Khutbah?
Sering kita mendengar khatib selalu
berdoa memohonkan ampun atau doa kebaikan lainnya bagi kaum mukminin dan
mukminat. Sebagian khatib kita dapatkan tidak berdoa dalam khutbahnya.
Muncullah sebuah pertanyaan, apakah
seorang khatib disunnahkan untuk selalu mendoakan kaum muslimin? Atau
apakah doa khatib bukan sesuatu yang disyariatkan? Hadits Samurah bin
Jundub radhiyallahu ‘anhu adalah dalil yang tegas, nash yang
menunjukkan disyariatkannya imam mendoakan kaum mukminin, bahkan
menunjukkan merutinkan doa untuk kaum mukminin pada hari Jum’at, saat
berkhutbah, kalau seandainya hadits ini tidak dha’if. Namun telah kita
lalui bahwa hadits Samurah sangat lemah dan tidak bisa dijadikan
sandaran, sehingga butuh akan dalil lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
memberikan keterangan dalam Syarhul Mumti’ ketika menjelaskan perkataan
penulis Zaad al-Mustaqni’, “(Dan hendaknya khatib) mendoakan kaum
muslimin.”
Syaikh berkata, “(Maksudnya) disunnahkan
pula (bagi khatib) dalam khutbah mendoakan kaum muslimin, pemerintah,
dan rakyatnya, (alasannya) karena waktu tersebut adalah saat yang sangat
diharapkan terkabulnya doa, dan doa untuk kaum muslimin tidak diragukan
adalah kebaikan. Oleh karena itu, fuqaha menganggap sunnah doa bagi
kaum muslimin.”
Boleh jadi ada yang menyanggah, “Alasan
bahwa waktu tersebut adalah waktu yang mustajab, dan doa bagi kaum
muslimin adalah maslahat yang sangat besar, (dua alasan yang mendasari
disunnahkannya doa untuk kaum muslimin ini) sudah ada di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ternyata beliau
tidak melakukannya1 maka (yang semestinya dikatakan) adalah meninggalkan
doa tersebut; karena seandainya perkara ini termasuk yang disyariatkan
niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.
Oleh karena itu, dibutuhkan dalil khusus yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
selalu mendoakan kaum muslimin (dalam khutbah Jum’at). Jika dalil
khusus tersebut tidak ada maka kita tidak mengatakan bahwa doa tersebut
termasuk sunnah khutbah, maksimalnya kita katakana bahwa mendoakan kaum
muslimin dalam khutbah adalah jaiz (boleh). Diriwayatkan dalam sebuah
hadits,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendoakan kaum mukminin setiap Jum’at.”
Seandainya hadits ini sahih maka hadits
ini adalah dalil dalam masalah ini, dan kita katakan bahwa mendoakan
kaum muslimin termasuk sunnah dalam khutbah. Namun, seandainya hadits
ini tidak sahih, kita katakan bahwa mendoakan kaum mukminin (dalam
khutbah) adalah perkara yang boleh. Hanya saja, hal ini tidak dijadikan
sebagai sunnah yang selalu dilakukan, karena jika selalu dilakukan,
manusia akan menyangka bahwa hal ini termasuk sunnah….(asy-Syarhul
Mumti’, 5/65-66, dengan sedikit perubahan)
Dalil-Dalil Lain Disyariatkannya Doa bagi Khatib
Ulama Syafi’iyah, demikian pula fuqaha
Hanabilah memandang bahwa doa khatib pada hari Jum’at untuk kebaikan
kaum muslimin adalah perkara yang mustahab. Zahirnya ini pula yang
dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Meskipun hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dha’if, namun ada dalil lain tentang disyariatkannya doa secara umum.
Al Imam al Baihaqi rahimahullah
menyebutkan hadits-hadits yang menunjukkan disyariatkannya doa bagi
khatib dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (3/210). Beliau memberinya
judul, “Bab Mayustadallubihi‘alaan yad’uwa fi khutbatihi.” Artinya, bab
tentang nash-nash yang dijadikan dalil atas disyariatkannya khatib
berdoa dalam khutbahnya.
Dalam bab tersebut, beliau meriwayatkan hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ
عُمَارَةَ بْنِ رُوَيْبَةَ قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ رَافِعًا
يَدَيْهِ فَقَالَ: قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ
رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ
هَكَذَا-وَأَشَارَ بِأَصْبِعِهِ الْمَسْبَحَةَ
“Dari ‘Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu
‘anhu, beliau melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya
(ketika berkhutbah) lalu beliau berkata,“Semoga Allah menjelekkan dua
tangan itu, sungguh aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak lebih dari memberikan isyarat demikian,” ‘Umarah mengisyaratkan
jari telunjuk.
Kemudian al-Baihaqi meriwayatkan hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم شَاهِرًا يَدَيْهِ قَطُّ
يَدْعُو عَلَى مِنْبَرِهِ وَلاَ عَلَى غَيْرِهِ وَلَكِنْ رَأَيْتُهُ
يَقُولُ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَعَقَدَ الْوُسْطَى
بِالْإِبْهَامِ
“Tidak pernah sama sekali aku melihat
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya berdoa
di atas mimbar tidak pula di atas lainnya, namun aku melihat beliau
mengisyaratkan telunjuknya dan menggenggam jari tengah dan ibu jari.”
Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Maksud
(penyebutan) dua hadits ini adalah menetapkan (disyariatkannya) doa
dalam khutbah, kemudian sunnah dalam doa khutbah untuk tidak mengangkat
kedua tangan, dan mencukupkan isyarat dengan telunjuk….”(Sunan al-Kubra,
3/210)
Hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu
‘anhu shahih, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (873), an-Nasai (3/108),
Abu Dawud (no. 1104), at-Tirmidzi (no. 515), dan Ibnu Majah (no. 1103).
Hadits Sahl bin Sa’d dikeluarkan pula
oleh Abu Dawud (no. 1105) dengan kelemahan dalam sanadnya, namun
dikuatkan oleh hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh
al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (3/77) menyatakan hadits Sahl sebagai
hadits hasan.
Apakah Khatib Mengangkat Dua Tangan Saat Berdoa?
Tidak ada satu riwayat pun menyatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan
beliau dalam berdoa ketika khutbah Jum’at selain saat memohon turun
hujan (istisqa’) atau memohon dihentikan hujan (istisha’).
Riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengangkat kedua tangan saat memohon hujan atau mohon
dihentikan hujan dalam khutbah banyak disebutkan dalam kitab-kitab
hadits baik Shahihain atau lainnya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Paceklik (kekeringan) menimpa manusia di zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga suatu saat, ketika Shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar berkhutbah di hari Jum’at datang
seorang Arab badui dari arah yang menghadap mimbar, dari pintu yang
menghadap ke arah Darul Qadha’.2 Ketika itu beliau sedang berdiri
berkhutbah.
Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta
benda binasa, keluarga kelaparan, kuda-kuda binasa, kambing-kambing
binasa, ternak-ternak binasa, dan jalan-jalan terputus, maka berdoalah
kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk kami agar Dia menurunkan hujan’.”
(Anas radhiyallahu ‘anhu berkata), “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa, hingga saya bisa melihat putih ketiaknya,
(Anas radhiyallahu ‘anhu berkata), “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa, hingga saya bisa melihat putih ketiaknya,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.”
Orang-orang pun mengangkat tangan-tangan mereka berdoa bersama beliau.”
(Tidak disebutkan bahwa beliau membalik
rida’ [selendang] tidak pula disebutkan beliau berbalik menghadap
kiblat) (Berkata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu), “Demi Allah, kami
sama sekali tidak melihat segumpal awan pun di langit, tidak pula
pelangi, dan sungguh langit ketika itu bersih seperti kaca.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Lalu
dari balik bukit muncul awan seperti perisai. Ketika sampai ke
tengah-tengah langit, awan itu menyebar, kemudian turun hujan. Demi Dzat
yang jiwaku ada di Tangan-Nya belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menurunkan kedua tangannya –saat berdoa- datanglah awan
bergulung-gulung laksana gunung, dan belum lagi beliau turun dari mimbar
kecuali hujan telah turun dengan lebat hingga air hujan berjatuhan dari
jenggot Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Dalam satu riwayat: Maka bertiuplah
angin membawa awan, lalu awan itu berkumpul, langit pun mengembangkan
awan yang tidak membawa hujan. “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam turun
dari mimbar mengerjakan shalat. Lalu kami keluar sambil mencebur ke air
hingga kami tiba di rumah (karena begitu lebatnya hujan) hampir-hampir
seseorang tidak dapat sampai ke rumahnya.”
(Kota Madinah pun) dituruni hujan pada
hari itu, esoknya, esok lusa, dan hari-hari berikutnya sampai hari
Jum’at berikutnya tanpa henti. Sehingga, saluran-saluran air kota
Madinah penuh air.”
Berkata Anas radhiyallahu ‘anhu selanjutnya, “Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama enam hari.”
Pada hari Jum’at berikutnya, seorang
badui yang dahulu atau badui lainnya datang ke masjid dari pintu yang
sama. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sedang
berdiri berkhutbah, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, rumah-rumah roboh,
jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak binasa, para musafir
tidak dapat bepergian, jalan-jalan terhalang, harta benda pun tenggelam,
maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala agar menahan hujan itu
untuk kami.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pun tersenyum, kemudian mengangkat kedua tangan beliau dan berdoa,‘Ya
Allah, (hujanilah) sekeliling kami, namun jangan atas kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan di atas puncak-puncak gunung dan dataran tinggi, di
perut-perut lembah dan tempat-tempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan.’
Tidaklah beliau menunjukkan kedua tangan
beliau ke suatu awan melainkan awan tersebut terbelah seperti lubang
bulat yang luas, terbelah seperti terbelahnya kain.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya
lihat awan menyingkir di sekitar Madinah ke kanan dan ke kiri seperti
kumpulan kambing. Turunlah hujan di sekeliling kami, tetapi tidak
diturunkan sedikit pun di dalam kota Madinah. Sehingga, kami dapat
keluar dan berjalan di bawah sinar matahari.”
Allah Subhanahu wata’ala menampakkan
kepada manusia mukjizat Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
mengabulkan doanya. Lembah Qanah mengalir selama sebulan. Tidak ada
seorang pun dari suatu daerah kecuali ia menceritakan hujan lebat (di
kota Madinah tahun itu.)3
Khatib Mengangkat Telunjuk ketika Berdoa
Dari hadits Umarah bin Ru’aibah dan Sahl
bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma, diambil faedah bahwa khatib cukup
memberikan isyarat telunjuk saat berdoa dalam khutbah Jum’at.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin pernah ditanya tentang mengangkat dua tangan saat khatib
berdoa, demikian pula mengangkat telunjuk ketika berdoa dan ketika nama
Allah Subhanahu wata’ala disebut.
Jawaban beliau, “Tentang mengangkat
kedua tangan saat berdoa dalam khutbah, para sahabat mengingkari Bisyr
bin Marwan saat ia berkhutbah dan mengangkat kedua tangannya. Ya, telah
sahih riwayat kedatangan badui saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam berkhutbah, sang badui berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta-harta
musnah, jalan-jalan terputus, dan berdoalah kepada Allah Subhanahu
wata’ala agar Dia menurunkan hujan.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengangkat kedua tangannya berdoa,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.”
Dari riwayat-riwayat ini menjadi terang bahwasanya,1. Mengangkat kedua tangan dalam khutbah Jum’at disyariatkan ketika meminta hujan (istisqa) atau memohon dihentikan hujan (istishha’).
2. Manusia ketika itu mengangkat kedua
tangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat doa
istisqa’. Ini adalah dalil bahwa makmum yang mendengarkan khutbah hanya
mengangkat kedua tangan dalam doa istisqa’, (dan istishha’).
3. Jika khatib berdoa dengan doa selain
istisqa maka khatib tidak mengangkat kedua tangan, demikian pula makmum
tidak mengangkat kedua tangan mereka.4
Tentang mengangkat telunjuk ketika
berdoa, amalan ini dilakukan dalam duduk tasyahhud,… mengisyaratkan
telunjuk juga datang dalilnya dalam khutbah Jum’at atau saat beliau
berdoa, selain doa istisqa’. Adapun apa yang dilakukan keumuman manusia
yang mereka mengisyaratkan telunjuk setiap kali imam menyebut nama Allah
Subhanahu wata’ala dengan maksud mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala,
maka saya tidak tahu ada dalil dalam masalah ini.”5
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Doa
imam saat sesudah naiknya (ke mimbar) tidak ada asalnya (yakni
dalilnya), dan dibenci imam mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam
khutbah dan ini pendapat yang paling sahih dari dua pendapat Hanabilah,
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengisyaratkan
telunjuknya ketika berdoa, adapun dalam istisqa maka beliau mengangkat
kedua tangannya, ketika beliau meminta hujan di atas mimbar.”6
Wallahu ta’ala a’lamDitulis oleh : Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal
————————————————
1. Yakni tidak ada dalil sahih yang tegas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dalam khutbah.
2. Darul Qadha’ adalah rumah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dinamai Darul Qadha’ karena rumah ini dijual untuk membayar utangUmar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan al-qadha’ sendiri bermakna menunaikan atau membayar.
3. Kisah istisqa’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat Jum’at diriwayatkan banyak ahlul hadits dalam kitab-kitab mereka dengan lafadz yang beragam, dan apa yang kita sebutkan dalam tulisan ini diambil dari Muhtashar Shahih al-Bukhari (1/282—284) karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau mengumpulkan lafadz-lafadz yang berserakan dalam satu kisah.
4. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dalam khutbah Jum’at selain doa istisqa. Tidak adanya penukilan sahabat padahal shalat Jum’at terjadi berulang-ulang dihadapan seluruh sahabat demikian pula factor pendorong untuk menukilkan berita yang semacam ini sangat kuat, menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam shalat Jum’at melainkan dalam istisqa dan istishha’. Demikian pula pengingkaran sahabat terhadap Bisyr bin Marwan dalam riwayat Muslim menguatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak mengangkat kedua tangan, wallahu ta’ala a’lam.
5. Majmu’ Fatawa wa Rasail (16/67).
6. Ikhtiyarat Fiqhiyyah.

Tathayur, Praktik Syirik Masa Jahiliah
Setiap perilaku yang dinisbahkan
kepada masa jahiliah adalah tercela, demikian disebutkan oleh asy-Syaikh
Shalih al-Fauzan dan lainnya. Namun, sangat disayangkan masih banyak
kaum muslimin yang memiliki keyakinan seperti orang-orang di masa
jahiliah.
Di antara sekian perilaku jahiliah yang
banyak kaum muslimin terjatuh ke dalamnya adalah tathayur; beranggapan
sial dengan yang dilihat, didengar, atau lainnya; disebutjuga thiyarah.
Tathayur adalah perbuatan orang musyirikin jahiliah, perbuatan
orang-orang yang mengingkari para rasul Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَاِذَاجَآءَتْهُمُ
الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَاهٰاذِهِ ۚ وَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ
يَطَّيَّرُوا بِمُوْسٰى وَمَنْ مَعَهُ ۗ اَلَآ اِنَّماَ طَآ ئِرُهُمْ
عِنْدَ اللهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرُهُمْ لَايَعْلَمُوْنَ
“Kemudian apabila datang kepada
mereka kemakmuran, mereka berkata, “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan
jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu
kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya
kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui.” (al-A’raf: 131)
Makna ayat di atas, ketika Fir’aun dan
pengikutnya mendapatkan kebaikan berupa kesuburan, kelapangan, dan
kesehatan mereka berkata, “Kami memang pantas dan berhak
mendapatkannya.” Namun, ketika mendapatkan musibah berupa bencana atau
kemarau, mereka pun bertathayur dengan Musa dan pengikutnya. Mereka
berkata, “Ini adalah karena kesialan Musa dan pengikutnya, kita tertimpa
kesialan mereka.” Maka Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah.”
Yakni, datangnya kesialan datang dari Allah Subhanahu wata’ala karena sebab kekufuran mereka dan perbuatan mereka mendustakan ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala dan para rasul-Nya. Tathayur adalah simbol musyrikin dan perilaku jahiliah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالُوْآ
اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ ۚ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ
وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ قَالُوْا طَآئِرُكُمْ
مَعَكُمْ ۗ اَئِنْذُكِّرْتُمْ ۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُوْنَ
“Mereka menjawab,“Sesungguhnya kami
bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti
(menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan
mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata,
“Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi
peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang
melampui batas.” (Yasin: 18-19)
Makna ayat di atas, bagian kalian dan
apa yang menimpa kalian berupa kejelekan adalah karena sebab perbuatan
dan kekufuran kalian serta karena kalian menyelisihi para pemberi
nasihat. Bukan karena kami ataupun sebab kami, melainkan semata karena
perbuatan kalian yang zalim dan melampaui batas. Kesialan orang zalim
ada pada dirinya sendiri. Kejelekan yang menimpanya adalah dia sendiri
yang menyebabkannya dan tentunya terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wata’ala.
Makna Tathayur
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah berkata,
“Tathayur adalah beranggapan sial dengan sesuatu yang terlihat,
terdengar, atau sesuatu yang telah maklum. Yang terlihat seperti
terbangnya burung, yang terdengar seperti suara burung dan sejenisnya,
serta yang maklum yakni sesuatu yang tidak terdengar dan tidak terlihat,
seperti beranggapan sial dengan hari tertentu, dengan bulan tertentu,
dan lainnya.”
Seorang yang bertathayur telah menyelisihi perkara tauhid dari dua sisi,
- Dia memutuskan hawa nafsu tawakalnya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan bersandar kepada sesuatu selain-Nya.
- Menggantungkan hati kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya. (diringkas dari al-Qaulul Mufid Syarah Kitab at-Tauhid)
Asy-Syaikh Abdurahman bin Hasan berkata, “…
Tiyarah (tathayur) adalah syirik karena terkandung perbuatan
menggantungkan hati kepada selain Allah Subhanahu wata’ala.” (Fathul Majid)
Dalil Haramnya Tathayur
Banyak dalil yang menunjukkan haramnya tathayur, bahkan tathayur adalah satu macam kesyirikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثلاَثًا
“Tiyarah adalah syirik, tiyarah adalah
syirik (beliau ucapkan tiga kali)….” (HR. Abu Dawud no. 3910, dinyatakan
shahih oleh asy-Syaikh Albani)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لاَعَدْوَى، وَلاَ طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ، وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada tiyarah, hamah, dan tidak ada pula (bulan) Shafar.1” (HR. al-Bukhari no. 5757)
Asy-Syaikh Abdurahman bin Hasan
menerangkan, hadits ini jelas menunjukkan haramnya tiyarah, dan tiyarah
adalah syirik karena terdapat perbuatan menggantungkan hati kepada
selain Allah Subhanahu wata’ala.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
juga berkata, “Tathayur menjadi syirik besar jika seorang yang
bertathayur meyakini perkara yang dia jadikan sarana tathayur bisa
berbuat dan melakukan kejelekan dengan sendirinya. Jika dia meyakini
sebagainya sebab saja, hukumnya adalah syirik kecil.”
Bentuk-Bentuk Tathayur, Kesyirikan yang Dianggap Biasa
Kalau kita mau mengumpulkan
bentuk-bentuk tathayur yang dilakukan masyarakat, niscaya akan kita
dapatkan banyak sekali bentuk tathayur yang mereka lakukan dengan
berbagai macam objeknya. Lebih sangat disayangkan, banyak orang
menganggap hal tersebut sebagai perkara biasa. Mereka tidak paham bahwa
perkara tathayur merusak tauhid seorang muslim.
Dalam tulisan ini akan disebutkan secara
global sebagian bentuk tathayur yang ada di masyarakat kita.
Mudah-mudahan menjadi nasihat bagi kaum muslimin untuk menjauhi tathayur
dan mengingatkan orang lain yang masih sering melakukannya.
Di antara bentuk tathayur yang menyebar di masyarakat kita :
1. Bertathayur dengan melihat arah terbangnya burung
Ini adalah asal mula tathayur;
beranggapan sial dengan burung. Jika melihat burung terbang ke kanan
misalnya, mereka melakukan apa yang telah diniatkan sebelumnya. Namun,
jika melihat burung ke arah kiri, mereka mengurungkan niat beraktivitas,
bepergian, atau lainnya.
2. Bertathayur dengan hari tertentu
Di antaranya adalah keyakinan sebagian
orang bahwa malam Jum’at adalah malam yang keramat, yang pada hari itu
banyak terjadi musibah. Di sebagian daerah, orang tidak mau bekerja di
hari Senin. Masuk ke dalam poin ini, perbuatan sebagian orang yang
menganggap sial kalau anaknya lahir di tanggal dua puluh satu.
3. Bertathayur dengan bulan tertentu
Seperti keyakinan jahiliah yang meyakini
Shafar sebagai bulan sial dan Syawal adalah bulan sial bagi yang
menikah di bulan tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Syawal dan Aisyah radhiyallahu ‘anha bebangga-bangga dengan itu kepada istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam al-Bidayah wan Nihayah, “Bersandingnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha
di bulan Syawal adalah bantahan bagi sebagian orang yang tidak
menyenanginya dengan sangkaan khawatir adanya perceraian di antara
keduanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata,
لاَعَدْوَى، وَلاَ طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ، وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada
tiyarah, tidak ada keyakinan kepada burung hantu, dan tidak ada
keyakinan tentang sialnya(bulan) Shafar.”
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah beranggapan sial di bulan tersebut. Ibnu Rajab rahimahullah
berkata bahwa beranggapan sial dengan bulan Shafar termasuk tiyarah
yang dilarang, demikian juga beranggapan sial dengan hari tertentu
seperti hari Rabu dan anggapan sial ala jahiliah jika menikah di bulan
Syawal. Semisal dengan ini di masyarakat kita adalah tiyarah dengan
bulan Sura (Muharram) sehingga sebagian orang tidak mau melakukan acara
pernikahan di bulan tersebut.
4. Bertathayur dengan angka tertentu
Sebagian mereka beranggapan sial dengan
angka tertentu. Kelompok yang paling terkenal kedunguannya dalam masalah
angka adalah Syiah Rafidhah, karena mereka antipati terhadap angka
sepuluh. Mengapa? Karena akidah mereka yang sesat membenci bahkan
mengkafirkan sepuluh orang sahabat yang dipastikan masuk surga (termasuk
Ali).
Masuk ke dalam poin ini adalah perbuatan
sebagian orang yang menganggap adanya nomer-nomer keberuntungan,
seperti angka delapan, atau nomer-nomer sial, seperti angka tiga belas.
Mereka rela mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli nomer-nomer telepon
atau memesan pelat nomer kendaraan yang mengandung hoki (keberuntungan)
menurut mereka, angka delapan misalnya.
5. Bertathayur dengan ayat al-Qur’an
Sebagian orang bahkan beranggapan sial
dengan al-Qur’an. Mereka membuka mushaf, jika yang terbuka ayat tentang
azab mereka pun beranggapan sial.
6. Bertathayur dengan burung hantu
Di antara bentuk tiyarah jahiliah adalah
beranggapan sial dengan burung malam atau kadang disebut burung hantu.
Sebagian orang berkeyakinan kalau rumahnya didatangi burung tersebut,
ada salah seorang dari penghuninya yang akan wafat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
لاَعَدْوَى، وَلاَ طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada tiyarah, dan tidak ada keyakinan kepada burung hantu….”
Asy-Syaikh Abdurrahman Alu asy-Syaikh berkata, “Al-Farra’ berkata, ‘Al Hamah adalah salah satu burung malam’.”
Ibnul Arabi rahimahullah berkata,
“Mereka dahulu turut beranggapan jika ada burung hinggap di rumah salah
seorang dari mereka, ia akan berkata, ‘Burung ini membawa kabar duka
untukku atau kepada salah seorang penghuni rumah’.”
Demikian yang terjadi di masyarakat
Arab. Bisa jadi, setiap masyarakat memiliki anggapan demikian terhadap
jenis burung yang lain.
7. Bertathayur dengan gatal yang ada di tubuhnya
Kalau gatal di telapak tangan kanan, itu tanda kebaikan; kalau yang gatal yang kiri berarti tanda kejelekan.
8. Diantara bentuk tathayur yang ada,
mereka tidak jadi bepergian karena ketika hendak pergi ada gelas atau
piring yang pecah atau melihat hewan tertentu
9. Bertathayur dengan suara gemuruh di telinga
Ketika di telinganya ada suara-suara gemuruh dianggap sebagai tanda kejelekan.
10. Bertathayur ketika bertemu dengan orang buta atau cacat lainnya
11. Bertathayur dengan tempat tertentu
Di antara perkara yang dijadikan bahan
tathayur adalah tempat, ketika banyak kecelakaan di satu tempat
misalnya, mereka menganggap sebagai tempat “angker” yang memiliki
pengaruh dalam kecelakaan-kecelakaan yang ada.
12. Sebagian pedagang melakukan tathayur
dengan minta uang pas dari pembeli pertama Sebagian mereka beranggapan
kalau dalam penjualan pertama (penglaris) mengeluarkan uang kembalian
maka akan merusak jualannya di hari tersebut.
13. Bertathayur dengan beberapa aktivitas
Di antaranya tathayur dengan menyapu
rumah ketika dirinya sedang safar atau (pergi ke) salah satu
keluarganya. Mereka menyangka bahwa itu adalah sebab kebinasaannya.
Demikian juga mereka bertathayur dengan
menyapu rumah di waktu siang atau malam karena mereka menyangka itu
adalah sebab dihilangkan berkah dan rezeki.
Terapi Tathayur
Jika kita telah tahu bahwa tathayur
adalah perbuatan syirik, seorang muslim harus berusaha menjauhkan
dirinya dari tathayur. Di antara usaha yang bisa dia lakukan adalah:
1. Memahami bahaya tiyarah
Tiyarah menunjukkan kurangnya akal,
rusaknya pandangan, dan penyimpangan dari jalan yang lurus karena
tiyarah adalah kesyirikan, satu di antara sekian maker setan yang tidak
ada sangkut pautnya sama sekali dengan sebuah kejadian.
2. Mujahadah
Maknanya bersungguh-sungguh dalam usaha
menghilangkan tiyarah yang ada dalam jiwanya terus melawannya hingga
hilang tiyarah secara total.
3. Mengimani qadha dan qadar
Ia yakin bahwa apa yang akan menimpanya
pasti akan mengenainya dan sesuatu yang tak ditakdirkan mengenainya tak
akan pernah menimpanya.
4. Berbaiksang kakepada Allah Subhanahu wata’ala Ia yakin bahwa Allah Subhanahu wata’ala menetapkan sesuatu dengan penuh keadilan, rahmat, dan hikmah-Nya.
5. Melanjutkan niatan yang ada di hatinya, tidak menoleh sedikit pun
6. Berdoadengan doa-doa yang syar’i
7. Tawakal kepada Allah Subhanahu wata’ala
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyatakan
ini adalah perkara pokok dalam menghilangkan tathayur. Kemudian dia
hendaknya melanjutkan amalan atau kegiatan yang hendak ia lakukan
kemudian yang ketiga dia berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan. (Lihat
I’anatul Mustafid)
8. Minta perlindungan kepada Allah Subhanahu wata’ala, karena tiyarah termasuk bisikan setan
وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْبِا اللهِ ۖ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Jika setan mengganggumu dengan suatu
gangguan, mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushilat: 36)
Penutup
Mudah-mudahan sedikit tulisan ini bisa
menjadi pencerahan bagi orang-orang yang terkadang masih terjatuh pada
tathayur dan juga bermanfaat sebagai bahan nasihat bagi kaum muslimin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
—————————————————————
- “Tidak ada penyakit menular”, maksudnya yang menular dengan sendirinya tanpa kehendak Allah. “Hamah” maksudnya anggapan sial dengan burung hantu. Adapun “tidak ada bulan Shafar” maksudnya anggapan sial dengan bulan Shafar. (-ed.)

Mengagungkan Masjid dan Hari Jum’at Dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “
Takwa adalah sumber seluruh kebaikan sehingga orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang
yang menyibukkan dirinya dengan berbagai kebaikan, baik terkait dengan dirinya maupun orang lain. Termasuk kebaikan yang muncul dari ketakwaan adalah amalan yang mengagungkan syiar-syiar Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya,
yang menyibukkan dirinya dengan berbagai kebaikan, baik terkait dengan dirinya maupun orang lain. Termasuk kebaikan yang muncul dari ketakwaan adalah amalan yang mengagungkan syiar-syiar Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya,
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَآءِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul
dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Yang perlu diperhatikan, mengagungkan
syiar-syiar Islam harus dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amalan-amalan ini
termasuk ibadah yang agung, yang tidak akan diterima oleh Allah
Subhanahu wata’ala selain dengan dua syarat tersebut. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
وَمَآ اُمِرُوْآ اِلَّا لِيَعْبُدُ اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh selain
untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah dari kami padanya, amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Mengagungkan syiar-syiar Allah Subhanahu
wata’ala bukan dengan cara-cara yang mengandung syirik, bid’ah, dan
mungkar, seperti yang dilakukan oleh ahlul bid’ah dan mayoritas
orang-orang jahil. Mereka ingin mengagungkan syiar-syiar Islam, namun
dengan cara-cara yang mungkar. Na’udzubillah min dzalik. Allah Subhanahu
wata’ala dengan keadilan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan
masjid-masjid dan hari Jumat sebagai bagian dari syiar-syiar yang mulia.
Masjid adalah markas dakwah dan ibadah, sedangkan hari Jumat adalah
hari raya kaum muslimin setiap pekan, dengan berbagai ibadah dan
keutamaan-keutamaan yang khusus. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan
kemuliaan masjid di dalam kitab-Nya,
فِى
بُيُوْتٍ اَذِنَ اللهُ اَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا السْمُهُ ۙ
يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ رِجَالٌ
لَاتُلْهِيْهِمْ تِجَا رَةٌ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَاِقَامِ
الصَّلٰوْةِ وَاِتَآءِ الزَّكٰوةِ ۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ
فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْاَبْصَارُ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid
yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di
dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jualbeli dari mengingat
Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan(dari) membayarkan zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi guncang.” (an-Nur : 36-37)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
مَاكَانَ
لِلْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يَعْمُرُوْا مَسَاجِدَاللهِ شَاهِدِيْنَ عَلٰى
اَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ ۗ اُوْلٰئِكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ ۚ وَفِى
النَّارِ هُمْ خَالِدُوْنَاِنَّمَا يَعْمُرُمَسَاجِدَاللهِ مَنْ اٰمَنَ
بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقامَ الصَّلَاةَ وَاٰتى الزَّكٰوةَ
وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللهَ ۗ فَعَسٰى اُولٰئِكَ اَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ
الْمُهْتَدِيْنَ
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu
memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka
sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka
kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah
ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(at-Taubah: 17-18)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman tentang ibadah yang khusus pada hari Jumat,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseur untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.”( al-Jumu’ah : 9 )
Adapun salah satu dalil yang menunjukkan
bahwa hari Jumat adalah hari raya pekanan kaum muslimin adalah hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
أَضَلَّ
اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا، فَكَانَ لِلْيَهُودِ يَوْمُ
السَّبْتِ ، وَكَانَ لِلنَّصَارَ ى يَوْمُ الْأَحَدِ، فَجَاءَ اللهُ بِنَا
فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Allah Subhanahu wata’ala menjadikan
umat-umat sebelum kita tidak mengetahui keutamaan hari Jumat.
Orang-orang Yahudi menjadikan hari raya pekanan pada hari Sabtu,
sedangkan orang-orang Nasrani mendapatkan hari raya pekanan pada hari
Ahad. Kemudian Allah menunjuki kita untuk memilih hari Jumat (sebagai
hari raya pekanan).” (HR. Muslim)
Kami akan menjelaskan beberapa hal
terkait dengan tata cara mengagungkan masjid dan hari Jumat sesuai
dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Mengagungkan dan memakmurkan
masjid dengan membersihkannya dari berbagai kotoran dan hal-hal yang
berbau tidak sedap, memberi pengharum ruangan setiap hari, terkhusus
hari Jumat
a. Disunnahkan menyapu dan membersihkan
masjid dari benda-benda najis dan menjijikkan, seperti kencing, kotoran
manusia, ludah, ingus, dahak, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana
disebutkan oleh beberapa hadits berikut.
• Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ
امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا
فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ
فَقَالُوا: مَاتَ. قَالَ: أَفَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟ قَالَ:
فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: دُلُّونِي
عَلَى قَبْرِهِ. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ: إِنَّ هَذِهِ
الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَ تَالِي عَلَيْهِمْ
“Seorang wanita hitam -atau seorang
pemuda- yang biasa membersihkan (menyapu) masjid meninggal. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan sehingga bertanya
tentangnya. Mereka menjawab, “Dia sudah meninggal.” Beliau
berkata,“Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku?” Seakan-akan
mereka menganggap kecil urusannya. Beliau berkata, “Tunjukkanlah
kuburannya kepadaku!” Merekapun menunjukkan kuburannya lantas beliau
menshalatkannya. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah dipenuhi oleh kegelapan bagi
para penghuninya, dan sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala meneranginya
dengan sebab shalatku (ini) atas mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh bin Shalih al-‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Termasuk faedah hadits ini adalah bolehnya
seorang wanita mengurusi kebersihan masjid dan hal ini tidak terbatas
bagi kaum laki-laki saja. Bahkan, siapa saja yang mengharapkan pahala
dengan membersihkan masjid, dia akan mendapatkannya. Sama saja, wanita
itu sendiri yang membersihkannya atau dia menyuruh orang lain dan dia
membayar upahnya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/29)
• Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم رَأَى فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ مُخَاطًا أَوْ بُصَاقًا أَوْ نُخَامَةً فَحَكَّهُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melihat ingus, ludah, atau dahak menempel ditembok masjid sebelah
kiblat, maka beliau mengeriknya (membersihkannya).” (Muttafaqun ‘alaih)
• Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di masjid adalah sebuah kesalahan dan penghapusnya adalah menimbunnya (membersihkannya).” (Muttafaqun alaih)
• Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
نَّ
هَذِهِ الْمَسَاجِدَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَ
الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّ ةَالِ
وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya, masjid ini tidak
dibenarkan padanya air kencing dan kotoran, tetapi masjid-masjid itu
hanyalah untuk dzikrullah, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (HR. Muslim)
b. Disunnahkan memberi wangi-wangian atau pengharum ruangan
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Disunnahkan member pengharum di dalam masjid karena Sa’id bin Manshur menyebutkan dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menyuruh memberi pengharum masjid setiap hari Jumat ketika masuk siang hari.” (Zadul Ma’ad, 1/382)
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Disunnahkan member pengharum di dalam masjid karena Sa’id bin Manshur menyebutkan dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menyuruh memberi pengharum masjid setiap hari Jumat ketika masuk siang hari.” (Zadul Ma’ad, 1/382)
2. Adab-adab sebelum dan ketika berangkat ke masjid
a. Mandi, bersiwak (menggosok gigi), dan memakai minyak wangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
“Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib
bagi tiap orang yang sudah baligh, bersiwak (menggosok gigi), dan
memakai minyak wangi apabila dia mendapatkannya.”
Oleh karena itulah, seorang yang hendak
pergi ke masjid tidak boleh memakan dan meminum segala sesuatu yang
berbau tidak sedap karena akan mengganggu orang lain, seperti bawang
putih, bawang merah, daun bawang, dan lebih-lebih rokok. Sebab,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَ فَلْيَعْتَزِلْنَا-أَوْ قَالَ:فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa yang makan bawang putih
atau bawang merah, hendaknya dia menjauhi kami atau menjauhi masjid
kami.” (Muttafaqun alaih)
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah pada hari Jumat dan berkata di dalam khutbahnya,
ثُمَّ
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ أَرَاهُمَا إِ
خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل
الله عليه وسلم إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ
أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا
فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا
“Selanjutnya, kalian, wahai manusia,
sungguh telah memakan dua buah tanaman yang tidaklah tampak olehku
selain busuk (baunya), yaitu bawang merah dan bawang putih. Sungguh, aku
melihat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati bau
busuk keduanya dari seseorang di dalam masjid maka beliau memerintahkan
agar orang itu dikeluarkan dari masjid hingga ke Baqi’. Oleh karena itu,
barangsiapa ingin memakan keduanya, hendaknya ia menghilangkan bau
busuknya dengan memasaknya terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Adapun seorang muslimah yang ingin
menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah bersama kaum muslimin,
tidak boleh memakai minyak wangi yang menyebabkan orang lain mencium bau
wangi darinya sehingga akan menimbulkan godaan. Sebab, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَ تَمَسَّ طِيبًا
“Apabila salah seorang diantara kalian
para wanita ikut shalat berjamaah di masjid, janganlah memakai minyak
wangi.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengancam seorang wanita yang memakai wangi lalu melewati kaum laki-laki
agar mereka mencium bau wanginya dalam sabdanya,
إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Apabila seorang wanita memakai minyak
wangi lalu dia melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya,
dia adalah seorang pezina.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai)
b. Dianjurkan memakai pakaian bersih yang bagus dan syar’i yang dimilikinya
Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ
وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ
الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ
أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً
لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
“Barangsiapa mandi pada hari Jumat,
memakai minyak wangi (apabila dia memilikinya), memakai pakaian (syar’i)
yang paling bagus, kemudian keluar menuju ke masjid, lantas dia shalat
dan tidak mengganggu orang lain, kemudian diam (mendengar khutbah)
apabila imam berkhutbah sampai dia shalat, hal-hal itu menjadi penghapus
dosa-dosanya antara Jumat tersebut dan Jumat berikutnya.” (HR. Ahmad,
dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
c. Berdoa ketika keluar dari rumah menuju masjid
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumahnya) untuk shalat dan berdoa,
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي
سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي
نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا ، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا ، وَمِنْ
تَحْتِي نُورًا، اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam
hatiku, jadikanlah cahaya di lisanku, jadikanlah cahaya dibelakangku,
jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya dari atasku, dan
jadikanlah cahaya dari bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.” (HR.
Muslim)
d. Berpagi-pagi berangkat, lebih baik dengan berjalan kaki dan tenang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi sebagaimana mandi
junub pada hari Jumat kemudian dia berangkat (pada waktu pertama),
seakan-akan dia telah berkurban seekor unta. Barangsiapa datang di
masjid pada waktu kedua, seakan-akan dia telah berkurban seekor sapi.
Barang siapa datang pada waktu ketiga, seakan-akan dia telah berkurban
dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa datang pada waktu
keempat, seakan-akan dia telah berkurban seekor ayam. Barangsiapa datang
pada waktu kelima, seakan-akan dia telah berkurban sebutir telur.
Apabila imam telah keluar, para malaikat menutup (melipat)
lembaran-lembaran catatannya lalu (para malaikat) mendengarkan khutbah.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Suri teladan kita, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, telah menjelaskan keutamaan berjalan kaki
tatkala pergi ke masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
مَنْ
تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ
لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ
إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa bersuci dirumahnya kemudian
berjalan menuju ke salah satu masjid Allah Subhanahu wata’ala untuk
menunaikan salah satu kewajiban (shalat) yang diwajibkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala (atasnya), pada setiap dua langkah kakinya, satu
langkah akan menggugurkan satu dosa dan satu langkah yang lain akan
mengangkat derajat.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِذَا
سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّ ةَالِ وَعَلَيْكُمْ
بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apabila kalian mendengar iqamah,
berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian tenang dan tidak
mempercepat jalan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah (bersama imam),
sedangkan apa yang kalian tertinggal darinya, sempurnakanlah (setelah
imam salam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Apabila seorang muslim pergi ke masjid
dengan kendaraan, tetap wajib baginya tenang dan tidak tergesa-gesa
dalam perjalanan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَإِنَّ الْبِرَّ لَيْسَ باِلْإيِضَاعِ
“Wahai sekalian umat manusia, wajib atas
kalian untuk tenang karena kebaikan itu bukan dengan tergesa-gesa.”
(HR. al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
3. Adab-Adab di Masjida. Doa ketika masuk dan keluar masjid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا
دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي
أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ؛ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid maka hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”. Apabila dia keluar hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-Mu’.” (HR. Muslim)Ketika masuk, dahulukan kaki kanan dan tatkala keluar, dahulukan kaki kiri. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
senang mendahulukan sebelah kanan dalam hal memakai sandal, bersisir,
bersuci, dan pada seluruh urusannya.” (Muttafaqun‘alaih)
b. Berusaha mencari tempat di shaf yang
paling depan dan dekat dengan imam tanpa memisahkan dua orang yang
sedang duduk berdampingan dan tidak melangkahi pundak-pundak jamaah yang
telah duduk.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
أَ
تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا، فَقُلْنَا:
يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟
قَالَ : يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ
“Mengapa kalian tidak bershaf
sebagaimana para malaikat bershaf disisi Rabbnya?” Kami bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana cara malaikat bershaf disisi Rabbnya?” Beliau
menjawab,“Mereka menyempurnakan shaf-shaf di depan dan merapatkannya.”
(HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi umatnya untuk berlomba-lomba mencari shaf yang terdepan dalam sabdanya,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ سَالْتَهَمُوا
“Seandainya umat manusia mengetahui
keutamaan (menjawab) panggilan azan dan keutamaan shaf terdepan dan
mereka tidak bisa mendapatkannya selain dengan berundi, sungguh mereka
akan berundi (untuk mendapatkannya).” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya tentang cara mengatur shaf dalam sabdanya,
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
“Sempurnakanlah shaf yang depan kemudian
shaf yang berikutnya (di belakangnya). Adapun shaf yang masih kurang
hendaknya di akhir .”(HR. Abu Dawud dan an-Nasai dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam melarang memisahkan dua orang yang duduk berdampingan, baik
dengan cara duduk di antara keduanya maupun mengusir salah satunya
lantas menduduki tempat duduknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ
“Kemudian dia tanpa memisahkan dua orang yang duduk berdampingan.” (HR. al-Bukhari dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu)
Larangan di atas dikecualikan bagi orang yang mendapatkan izin dari keduanya sebagaimana dalam hadits,
يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِ بِإِذْنِهِمَا
“Tidak halal bagi seorangpun memisahkan
dua orang (yang duduk berdampingan) selain dengan izin dari keduanya.”
(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Sebaik-baik pembimbing umat, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang muslim mengusir
saudaranya dari tempat duduknya lantas mendudukinya. Dari Ibnu Umar,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُقَامَ الرَّجُلُ مِنْ مَجْلِسِهِ وَيَجْلِسَ فِيهِ آخَرُ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang seseorang diusir dari tempat duduknya lantas orang lain
mendudukinya. Akan tetapi, (yang boleh dilakukan) mereka bergeser dan
berlapang-lapang (supaya orang lain bisa masuk dan duduk).” (Muttafaqun
‘alaih)
Apabila seseorang berdiri dan
meninggalkan tempat duduknya karena kebutuhannya kemudian kembali, dia
paling berhak atas tempat duduknya semula, sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
“Apabila salah seorang diantara kalian berdiri dari tempat duduknya lantas kembali, dia paling berhak atasnya.” (HR. Muslim)
Termasuk adab-adab di dalam masjid,
tatkala seseorang berusaha mendapatkan shaf awal (depan), ia tidak boleh
melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Hal ini
diterangkan oleh hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu,
جَاءَ
رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صل
الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم :
اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ
“Seorang laki-laki datang pada hari
Jumat lalu melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda,‘Duduklah! Sungguh engkau
telah mengganggu (menyakiti) dan mengakhirkan (jamaah).” (HR. Abu Dawud
dan an-Nasa’i, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih
Sunan Abu Dawud)
Syaikhul Islam menjelaskan, seseorang
tidak boleh mengisi shaf-shaf di belakang padahal shaf di depan masih
longgar. Demikian pula, tidak boleh membuat shaf di jalan-jalan dan
toko-toko padahal di dalam masjid masih longgar. Barang siapa melakukan
perbuatan seperti itu, dia berhak mendapatkan hukuman. Orang-orang yang
datang setelahnya boleh melangkahinya dan masuk menyempurnakan shaf-shaf
yang di depan karena hal ini tidak dilarang baginya.
Hal ini sebagaimana tidak bolehnya
seseorang meletakkan tempat duduknya terlebih dahulu (misal: sajadah) di
masjid namun dia berangkat terlambat (demi mengaveling tempat duduk di
shaf awal) sehingga orang lain tidak berhak mendudukinya. Justru tempat
duduknya itu (harus dihilangkan), dan boleh dipakai (oleh orang lain)
untuk shalat menurut pendapat yang benar.
Apabila masjid telah penuh dengan shaf,
mereka boleh membuat shaf di luar masjid. Apabila shaf-shaf itu
bersambung dengan masjid, walaupun di jalan-jalan dan di pasar-pasar,
shalat Jumatnya sah. Adapun apabila mereka membuat shaf dalam keadaan
ada jarak (jalan) yang memisahkan shaf-shaf mereka dengan shaf-shaf yang
ada di masjid, shalatnya tidak sah berdasarkan pendapat yang paling
jelas di antara dua pendapat para ulama. (al-Kubra, 1/137)
c. Shalat sunnah tahiyatul masjid walaupun imam telah berkhutbah
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaih)
Tatkala imam sudah berkhutbah, hendaknya shalat tahiyatul masjid dikerjakan dengan ringan, sebagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Tatkala imam sudah berkhutbah, hendaknya shalat tahiyatul masjid dikerjakan dengan ringan, sebagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Apabila salah seorang diantara kalian datang dan imam sedang
berkhutbah, hendaknya dia shalat dua rakaat dan mengerjakannya dengan
ringan.” (Muttafaqun ‘alaih)d. Duduk mendengarkan khutbah dan menghadap kepada khatib
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat
sebuah bab dalam kitab Shahih-nya Bab “Mendengarkan Khutbah”. Beliau
berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila hari Jumat telah tiba,
para malaikat berdiri di depan pintu untuk menulis orang-orang yang
datang, satu demi satu. Permisalan orang yang berpagi-pagi (berangkat ke
masjid) seperti orang yang berkurban seekor unta, kemudian seperti
orang yang berkurban seekor sapi, kemudian seekor domba, kemudian seekor
ayam, kemudian seekor telur. Apabila imam telah keluar mereka (para
malaikat) menutup lembaran-lembaran catatannya dan mendengarkan
khutbah.” (HR. al-Bukhari, 929)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan tentang wajibnya seseorang diam mendengarkan khutbah dalam sabdanya,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada temanmu
pada hari Jumat,‘Diam, dengarkanlah (khutbah),’ padahal imam sedang
berkhutbah, itu berarti engkau telah berbuat sia-sia.” (Mutttafaqun
‘alaih)
Demikian pula disunnahkan bagi jamaah
untuk menghadap kepada imam tatkala dia berkhutbah, sebagaimana
perkataan al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya “Bab Imam menghadap kaum
(hadirin) dan kaum itu menghadap imam tatkala berkhutbah”. Beliau
berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم جَلَسَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى الْمِنْبَر وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ
“Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas mimbar1 dan kami pun duduk di sekelilingnya.”
e. Apabila mengantuk, hendaknya ia berpindah (bergeser) dari tempat duduknya selama tidak mengganggu orang lain.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِ
“Apabila salah seorang diantara kalian
mengantuk di tempat duduknya, hendaknya dia pindah ke tempat lain.” (HR.
Ahmad, AbuDawud, dan at-Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
f. Boleh memakai hibwah2 (melakukan
ihtiba) pada hari Jumat ketika mendengarkan khutbah imam karena
hadits-hadits yang melarangnya dhaif.
Banyak ulama salafus shalih yang memakainya, selama tidak menyebabkan auratnya tersingkap dan mengantuk.
Banyak ulama salafus shalih yang memakainya, selama tidak menyebabkan auratnya tersingkap dan mengantuk.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata,
“Ibnu Umar memakai hibwah ketika imam berkhutbah, demikian juga Anas bin
Malik, Syuraih, Sha’sha’ah bin Shuhan, Sa’id bin al-Musayib, Ibrahim
an-Nakha’i, Makhul, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’d.”
Beliau berkata, “Tidak ada yang sampai kepadaku berita dari seorang
salaf pun yang membencinya (hibwah), selain Ubadah bin Nusaiya.” (Sunan
Abu Dawud, no. 191)
Al-Iraqi rahimahullah berkata,
“Mayoritas ulama berpendapat bahwa hibwah tidak makruh. Adapun tentang
hadits-hadits dalam hal ini, mereka menjawab bahwa seluruh hadits
tersebut dhaif.” (Nailul Authar, 2/299)
Kalaupun dianggap semuanya sahih,
larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah
ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah, sampai ia menyelesaikan
khutbahnya. (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345, -ed.)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah
taufik kepada kita. semua untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya, baik dalam
ilmu maupun amal, baik secara lahir maupun batin.Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
—————————————————————-
1. Mimbar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berupa tiga anak tangga sehingga bisa diduduki. Berbeda halnya dengan mimbar yang ada di zaman sekarang pada umumnya. (-red.)
2. Al-hibwah yaitu seorang mengikat/mendekatkan kedua lututnya ke perut dengan tali atau pakaiannya, lalu mendekatkan keduanya ke punggungnya. Terkadang, hal ini dilakukan dengan tangan sebagai pengganti tali/pakaian. (an-Nihayah li Ibni Atsir)

Menumpas Musailamahal-Kadzdzab (2)
Awal Peperangan Pasukan muslimin akhirnya bertemu dengan pasukan Musailamah di ‘Aqriba’. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan
bahwa jumlah pasukan muslimin ketika itu sekitar belasan ribu orang,
sedangkan pengikut Musailamah al-Kadzdzab hampir seratus ribu orang.
Bendera Muhajirin dipegang oleh Salim, maula Abu Hudzaifah. Sebelum itu,
bendera ada di tangan ‘Abdullah bin Hafsh bin Ghanim hingga beliau
gugur. Kaum muslimin juga mengkhawatirkan keselamatan Salim, tetapi kata
Salim, “Kalau begitu (kalau aku mencari selamat) aku adalah pembawa
al-Qur’an yang paling buruk.”
Bendera Anshar dibawa oleh Tsabit bin
Qais bin Syammas. Demikianlah suku-suku Arab lainnya, mereka berada di
bawah bendera masing-masing bersama pemimpin mereka.
Setelah kedua pasukan saling berhadapan,
Musailamah berkata di hadapan pengikutnya, “Hari ini adalah hari
kecemburuan. Hari, yang kalau kalian kalah, istri-istri kalian akan
dinikahi sebagai tawanan, tanpa mahar. Karena itu, bertempurlah demi
kehormatan kalian dan belalah istri-istri kalian.”
Peperangan mulai berkobar, beberapa
kabilah Arab kocar-kacir menerima serangan pengikut Musailamah
al-Kadzdzab. Mereka melarikan diri dari gelanggang pertempuran.
Denting pedang dan tombak masih menggema di
tanah Yamamah. Ringkik kuda yang menari-nari di tengah-tengah kedua
pasukan dan jerit kematian mengoyak cakrawala siang itu. Bumi Yamamah
mulai dibasahi darah kedua pasukan, yang satu demi membela harga diri,
yang lain demi menegakkan Kalam Ilahi.
Orang-orang Arab pengikut Musailamah
terus menyerang sampai mendekati kemah Khalid, bahkan hampir membunuh
istrinya, Ummu Tamim. Tetapi, wanita itu diselamatkan oleh Majja’ah,
katanya, “Sebaik-baik wanita merdeka adalah wanita ini.”
Melihat kepanikan di barisan muslimin,
sebagian sahabat saling menegur. Tsabit berkata, “Alangkah buruknya yang
dibiasakan teman kalian. Bukan begini kami berperang bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Tsabit segera menyiapkan dirinya dengan
perlengkapan jenazah dan menggali lubang hingga betisnya, lalu berdiri
di dalamnya sambil tetap memegang bendera Anshar. Tidak ada satu pun
prajurit musuh yang mendekat kecuali terkena sabetan pedangnya.
Satu persatu musuh berjatuhandi tangan Tsabit, hingga Allah Subhanahu wata’ala
menjalankan ketetapan-Nya, bahwa Tsabit harus pulang menghadap, meraih
janji yang sudah disediakan. Bertiuplah angin surga menyambar tubuh
kasar Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Jasad kasar itu pun ambruk ke bumi, tetapi ruhnya dengan cepat menembus petala langit menghadap penciptanya, Allah ‘azza wa jalla. Semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhainya.
Dialah yang dahulu ketika mendengar firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآ لَاتَرْفَعُوآ اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْطِ النَّبِيِّ وَلَا
تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ
اَعْمَا لُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah
kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya
suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-Hujurat: 2)
mengurung diri di rumahnya selama berhari-hari, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan. Kemudian, beliau menanyakan perihal Tsabit kepada sebagian sahabat.
Salah seorang sahabat (Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu)
menyanggupi akan mencari keterangan tentang Tsabit. Sahabat itu menemui
Tsabit yang ternyata sedang menangis sambil menundukkan kepalanya di
dalam rumah. “Bagaimana keadaanmu?” Tanya Sa’d kepada Tsabit.
“Buruk,” kata Tsabit, “Kalian tahu, akulah yang paling keras suaranya melebihi suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan akulah yang selalu berbicara lantang kepada beliau. Sekarang amalanku gugur dan menjadi penduduk neraka.”
Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan ucapan Tsabit radhiyallahu ‘anhu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Tidak. Bahkan, sebetulnya dia termasuk penghuni surga.”1
Allahu Akbar.
Itulah hasil gemblengan wahyu melalui tangan mahaguru yang paling ahli mendidik jiwa manusia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adakah kita meyakini bahwa ayat-ayat itu ditujukan juga kepada kita,
walaupun berkisah tentang orang-orang Yahudi, atau yang lainnya?
Duhai, kiranya kita merasakan pula apa
yang dirasakan oleh Tsabit ketika melewati ayat demi ayat Kitab Suci
al-Qur’an. Wallahul Musta’an.
Duhai, sangatlah pantas, Allah Subhanahu wata’ala memuliakan
mereka dan menjadikan mereka sebagai anutan dan teladan bagi
orang-orang yang datang sesudah mereka. Siapa saja yang mengikuti mereka
dengan baik, niscaya memperoleh keridhaan sebagaimana pendahulu mereka
yang saleh ini.
Kebun Maut2
Bani Hanifah semakin hebat menyerang
kaum muslimin, hingga membuat kaum muslimin kepayahan. Satu demi satu
para penghafal al-Qur’an di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berguguran sebagai kembang syuhada. Namun, pasukan musuh juga mulai kocar-kacir.
Musailamah al-Kadzdzab masih memompa
semangat tempur para pengikutnya. “Maju terus, bela dan pertahankanlah
kehormatan kalian, hai bani Hanifah!” teriaknya.
Sementara itu, para pengikut Musailamah mulai bertanya-tanya, “Mana yang kau janjikan kepada kami?”
Musailamah al-Kadzdzab hanya menjawab
dengan dorongan untuk terus berperang membela harga diri mereka, jangan
kalah dari Quraisy.
Perlahan tapi pasti, barisan muslimin
yang tadi sempat kocar-kacir, mulai merapat. Di sana-sini terdengar
seruan, “Hai para penghafal surat al-Baqarah, wahai penghafal al-Qur’an.
Hari ini hancurlah sihir!”
Abu Hudzaifah pun berseru, “Hai para ahli al-Qur’an, hiasilah al-Qur’an dengan perbuatan kalian!”
Zaid bin al-Khaththab, saudara ‘Umar juga mengingatkan para pembawa al-Qur’an, agar bertempur dengan penuh semangat.
Sementara itu, Khalid sang panglima
mulai maju ke kancah pertempuran. Khalid mencari keberadaan Musailamah.
Beberapa saat belum menemukannya, Khalid mengatur barisan, dan mulai
menantang duel satu lawan satu. Tidak ada musuh yang maju selain binasa
di tangannya.
Perang semakin seru, sedangkan Khalid
tetap menawarkan agar musuh kembali kepada al-haq. Namun, setan yang
bercokol dalam diri Musailamah tidak menerima sedikit pun, dia terus
berusaha memutar leher Musailamah agar tetap dalam kekafiran.
Akhirnya, Khalid mengalihkan perhatian
memisahkan orang-orang Arab dari Muhajirin dan Anshar. Para sahabat
masih bertahan dengan kesabaran luar biasa dalam pertempuran itu. Mereka
terus maju seolah-olah mengantarkan nyawa kepada musuh-musuh mereka
sampai Allah Subhanahu wata’ala memberi kemenangan.
Perlahan tetapi pasti, kekalahan mulai
membayangi pasukan si nabi palsu. Kaum muslimin terus mendesak lawan
mereka. Pedang di tangan kaum muslimin menebas tanpa rintangan semaunya,
hingga musuh masuk ke dalam kebun milik Musailamah al-Kadzdzab.
Kebun inidinamai HadiqatuRahman, karena
Musailamah mengangkat dirinya sebagai Rahmanul Yamamah. Gelar ini
dikenal oleh bangsa Arab ketika itu. Namun, karena kelancangannya
mencatut salah satu nama yang khusus bagi Allah Subhanahu wata’ala, Allah Subhanahu wata’ala pun menghinakannya dengan serendah-rendahnya.
Pengikut Musailamah al-Kadzdzab
berlarian menuju kebun tersebut. Terdengar pula suara Muhkam bin Thufail
memberi komando bani Hanifah agar segera menuju kebun itu. Adapun dia
sendiri menghadang pasukan muslimin yang mengejar.
‘Abdurrahman bin Abi Bakr mendekati
Muhkam, lalu melesatkan panahnya. Dengan deras panah itu meluncur hingga
menembus leher Muhkam. Tubuh Muhkam ambruk, pengikutnya pun melarikan
diri dan mengunci pintu kebun itu dari dalam.
Kaum muslimin tidak tinggal diam. Mereka maju mengepung benteng kebun itu.
Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu, saudara Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berseru, “Wahai kaum muslimin, lemparkan aku ke dalam kebun itu!”
Mereka pun dengan cekatan mengangkat tubuh Barra’ dalam alat pelempar, hingga melewati tembok kebun tersebut.
Sesampainya di dalam, Barra’ disambut
oleh pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Namun, Barra’ tidak gentar.
Ratusan orang itu dihadapinya seorang diri sampai dia berhasil membuka
pintu gerbang kebun tersebut.
Dengan suara gegap gempita, kaum
muslimin menerobos kebun itu. Tubuh-tubuh pengikut Musailamah
al-Kadzdzab mulai bertumbangan. Musailamah al-Kadzdzab sendiri mencoba
bersandar di dinding kebun itu sambil menutupi dirinya, bagai unta
hijau. Saking marah dan kecewanya melihat kekalahan mulai membayang di
depan matanya, Musailamah kehilangan akal.
Dengan cepat pula, Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu, yang dahulu pernah membunuh Hamzah radhiyallahu ‘anhu
dalam Perang Uhud, melemparkan tombak yang dipakainya membunuh Hamzah.
Tombak itu dengan telak bersarang di tubuh Musailamah al-Kadzdzab.
Beberapa saat kemudian, seorang prajurit muslim lainnya, Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu, menebas tubuh nabi palsu itu sampai tersungkur ke tanah.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang
wanita dari atas rumah Musailamah al-Kadzdzab, “Tolong! Amirul Mukminin
dibunuh oleh budak hitam itu!”
Setelah peperangan agak reda, Khalid
membawa Majja’ah yang terbelenggu ke medan pertempuran untuk menunjukkan
mana Musailamah al-Kadzdzab. Ketika melewati Rajjal, Khalid bertanya,
“Inikah Musailamah?”
“Bukan. Demi Allah, dia ini lebih baik daripada Musailamah. Ini Rajjal bin ‘Unfuwah.”
Kemudian mereka melewati satu tubuh yang ditembus tombak dan kepala putus, berkulit kuning dan bermuka buruk.
“Inilah dia,” kata Majja’ah.
“Semoga Allah memburukkan muka kalian. Manusia sejelek ini yang kalian ikuti?”
Setelah itu, Khalid mengirim pasukan
berkuda mengambil yang tercecer dalam pertempuran itu, baik tawanan
maupun perlengkapan. Beliau sendiri bertekad untuk menyerang benteng
yang ada di Yamamah. Padahal, yang ada di sana hanya wanita, anak-anak,
dan orang-orang yang sudah tua.
Majja’ah yang ingin menyelamatkan
sisa-sisa kabilahnya berusaha mengecoh Khalid, “Di sana masih banyak
prajurit, marilah buat perdamaian dengan saya dalam urusan mereka.”
Melihat keadaan kaum muslimin yang juga cukup payah, Khalid menerima tawaran tersebut.
“Biarkan saya ke sana untuk berunding.”
Sesampainya di sana, Majja’ah menyuruh
kaum wanita mengenakan baju besi dan berdiri di puncak benteng,
seolah-olah pasukan yang siap tempur.
Panglima Khalid melihat ke atas benteng,
ternyata masih banyak ‘pasukan’ yang siap melanjutkan pertempuran,
seperti yang diberitakan Majja’ah. Akhirnya Khalid menerima usul
gencatan senjata dan berdamai, serta menawarkan Islam kepada mereka.
Ternyata, mereka menerima dan semua kembali kepada al-haq. Sebagian
tawanan yang telah dikuasai kaum muslimin pun dikembalikan. Adapun
sisanya, dikirim kepada Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq di Madinah.
Dari salah seorang tawanan itu pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengambil seorang wanita yang kemudian melahirkan putranya Muhammad, yang dikenal dengan Muhammad ibnul Hanafiah. (insyaAllah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
—————————————————
- HR. al-Bukhari (4846) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
- Tajul ‘Arus (6/310).

Asiah, Masyithah, dan Terbelahnya Laut Merah
Keimanan tukang-tukang sihir itu
bukannya membuat bangsa Qibthi beriman, melainkan semakin dendam dan
jauh dari al-haq. Fir’aun sendiri semakin bertambah kekafiran dan
keingkarannya.
Para pembesar kerajaan Fir’aun menghasut Fir’aun agar menghancurkan bani Israil. Allah Subhanahu wata’ala berfirman menceritakan makar mereka,
وَقَالَ
الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَدَرُمُوْسٰى وَقَوْمَهُ
لِيُفْسِدُوا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَ ۗ قَالَ سَنُقَتِّلُ
اَبْنَآءَهُمْ وَنَسْتَحْيِى نِسَآءَهُمْ ۚ وَاِنَّا فَوْقَهُمْ
قَاهِرُوْنَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari
kaum Fir’aun (kepada Fir’aun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya
untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) serta meninggalkan kamu
dan sesembahanmu?” Fir’aun menjawab“, Akan kita bunuh anak-anak lelaki
mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan
sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (al-A’raf: 127)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wata’ala
menerangkan bahwa dengan tindakan kejamnya itu, Fir’aun merasa aman
dari bani Israil. Bangsa Qibthi (pribumi Mesir) tidak akan terancam
dengan berkurangnya jumlah bani Israil, lebih-lebih lagi yang tersisa
adalah kaum wanita dan orang-orang yang lemah, sehingga mudah untuk
menindas mereka.
Demikianlah. Dalam keadaan diselimuti oleh ketakutan itu, bani Israil dibimbing oleh Nabi Musa alaihis salam agar semakin dekat kepada Allah Subhanahu wata’ala, merendahkan diri, dan selalu meminta pertolongan kepada-Nya dengan shalat dan sabar.
Akhirnya, Allah Subhanahu wata’ala
mengirim hujan yang sangat lebat hingga menenggelamkan tanaman dan
sawah ladang mereka, kemudian belalang yang memakan tanaman dan
buah-buahan mereka. Hilang azab yang satu, datang azab berikutnya.
Muncullah darah yang memenuhi rumah-rumah mereka. Air yang mereka timba
dari sungai Nil tidak lagi jernih, tetapi berubah menjadi darah. Setelah
itu, datang katak yang mengisi bejana dan perabotan mereka, bahkan
setiap kali mereka membuka tutup makanan mereka, yang ada adalah katak.
Semua itu tidak mengenai bani Israil sama sekali.
Setiap datang bencana yang sangat buruk ini, orang-orang kafir itu datang menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan meminta agar Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala supaya bencana itu dijauhkan dari mereka. Nabi Musa ‘alaihis salam
memenuhi permintaan mereka dengan harapan mereka mau beriman.
Berulang-ulang mereka meminta agar diselamatkan, dan berulang-ulang pula
Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa, tetapi mereka tidak juga beriman.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَمَّ
وَقَعَ عَلَيْهِمُ الرِّجْزُ قَالُوْا يَا مُوْسَى ادْعُ لَنَارَبَّكَ
بِمَا عَهِدَ عِنْدَكَ ۚ لَئِنْ كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْ مِنَنَّ
لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِى اِسْرَا ءِيْلَ فَلَمَّ كَشَفْنَا
عَنْهُمُ الرِّجْزَ اِلٰى اَجَلٍ هُمْ بَالِغُوهُ اِذَا هُمْ يَنْكُثُوْن
فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَ غْرَقْنَا هُمْ فِي الْيَمِّ بِاَنَّهُمْ
كَذَّبُوْا بِاٰيَاتِنَاوَكَانُوْا عَنْحهَا غَافِلِيْنَ
“Dan ketika mereka ditimpa oleh azab
(yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata, “Hai Musa, mohonkanlah
untuk kami kepada Rabbmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui
oleh Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan
azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami
biarkan bani Israil pergi bersamamu.” Setelah Kami hilangkan azab itu
dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba
mereka mengingkarinya. Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami
tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami
dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu.” (al-A’raf: 134-136)
Itulah Fir’aun dan pengikutnya. Setiap datang ayat Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka, semakin bertambah keingkaran mereka. Akhirnya, Allah Subhanahu wata’ala menghukum mereka dengan menenggelamkan mereka semua di Laut Merah.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّآ اٰسِفُوْ نَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَغْرَقْنَاهُمْ اَجْمَعِيْنَ فَجَعَلْنَا هُمْ سَلَفً وَمَثَلاً لِلْاٰ خِرِيْنَ
“Tatkala mereka membuat Kami murka,
Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (dilaut),
dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang
yang kemudian.” (az-Zukhruf : 55-56)
Kejadian yang mereka alami itu diceritakan oleh Allah Subhanahu wata’ala
Yang Maha Benar perkataan-Nya, agar orang-orang yang mau mengambil
pelajaran dan nasihat menjadikan keadaan mereka sebagai pelajaran dan
nasihat, lalu menjaga dirinya dengan menaati Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya ‘alaihis salam.
Asiah dan Masyithah
Kemurkaan dan dendam Fir’aun semakin
memuncak, lebih-lebih lagi setelah mengetahui pula istrinya Asiah bintu
Muzahim beriman kepada bekas anak angkatnya, Musa bin ‘Imran ‘alaihumas salam. Setiap
hari Asiah dijemur di bawah terik matahari. Tetapi, setiap kali dia
ditinggal sendirian oleh Fir’aun, para malaikat datang menaunginya
dengan sayap-sayap mereka.
Akhirnya, Fir’aun memerintahkan prajuritnya mencari batu besar untuk dilemparkan ke tubuh Asiah yang sedang dijemur.
“Tanyai dia, kalau dia tetap beriman, lemparkan batu itu ke tubuhnya. Kalau dia menarik ucapannya, dia adalah istriku.”
Asiah tetap berpegang dengan
keimanannya. Fir’aun dan beberapa pembesarnya melihat ke arahnya yang
tersenyum. Mereka terheran-heran, “Dia sudah gila rupanya. Kita menyiksa
dia dengan hebat, dia malah tersenyum.”
Ahli tafsir menyebutkan bahwa Asiah tersenyum karena doanya dikabulkan Allah Subhanahu wata’ala,
sebuah rumah sudah disediakan untuknya di dalam surga, dan diselamatkan
dari keganasan Fir’aun dan para pengikutnya. Setelah itu, Allah Subhanahu wata’ala mencabut
ruhnya, menyelamatkannya dari kekejaman Fir’aun. Batu besar yang
disiapkan untuk meremukkan tubuh Asiah akhirnya dilemparkan juga, tetapi
hanya menimpa seonggok jasad yang sudah kaku.
Menurut sebagian ahli tafsir, Asiah
beriman karena mengetahui keimanan Masyithah, istri seorang pembesar
kerajaan yang sudah beriman. Kisah Masyithah ini disebutkan dalam
sebagian
kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
tetapi melalui jalur Hammad bin Salamah yang meriwayatkannya dari Atha’
bin Saib yang kacau hafalannya. Oleh karena itu, sebagian ulama,
seperti asy-Syaikh al-Albani menganggapnya lemah, meskipun rawi lainnya
tsiqah.
Masyithah adalah tukang sisir putrid
Fir’aun. Suatu hari, sisir yang ada di tangannya terlepas dari
tangannya. Masyithah segera menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala. Mendengar ucapannya, putri Fir’aun bertanya, “Apakah kamu punya tuhan selain ayahku?”
“Rabbku, Rabb ayahmu, dan Rabb segala sesuatu adalah Allah Subhanahu wata’ala.”
Putri Fir’aun marah besar. Dia menampar
Masyithah dan menyiksanya, lalu melaporkan keimanan Masyithah kepada
ayahnya. Masyithah dibawa menghadap Fir’aun dalam keadaan sudah yakin
akan menerima siksaan yang sangat kejam dari Fir’aun.
“Apakah kamu menyembah sesuatu selain aku?”
“Ya, aku menyembah Allah, Rabbmu dan Rabb segala sesuatu.”
Fir’aun pun mengikatnya dan
menakuti-nakutinya dengan ular yang besar. Namun, Masyithah tidak goyah.
Fir’aun jengkel dan mengancam akan menyembelih anaknya di hadapan
Masyithah.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan,” tantang Masyithah.
Fir’aun semakin murka. Dengan bengis,
satu demi satu anak Masyithah disembelih di hadapan Masyithah. Tetapi,
hal itu tidak membuat Masyithah goyah, hingga Allah Subhanahu wata’ala mencabut ruhnya.
Setelah itu, Fir’aun memerintahkan
pasukannya untuk membantai seluruh laki-laki, tua muda, besar, dan kecil
dari kalangan bani Israil, serta membiarkan kaum wanita mereka tetap
hidup.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰ اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِى اِنَّكُمْ مُتَّبَعُوْنَ
“Dan Kami wahyukan (perintahkan)
kepadaMusa,‘Pergilah dimalam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku
(baniIsrail), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli’.” (asy-Syu’ara : 52)
Begitu Fir’aun mengetahui bahwa
permukiman bani Israil sudah kosong, dia segera memerintahkan pasukannya
mengejar. Seluruh pasukan kerajaan Mesir dikerahkan untuk menangkap
Nabi Musa ‘alaihis salam dan bani Israil. Bergeraklah mereka
meninggalkan negeri Mesir, meninggalkan sawah ladang, kebun-kebun,
gudang-gudang harta, dan kemewahan.
Sementara itu, Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam
bersama bani Israil sudah tiba di tepi Laut Merah. Sayup-sayup sudah
terdengar pula derap kaki kuda bala tentara Fir’aun. Bani Israil mulai
diselimuti rasa takut yang luar biasa. Berkali-kali mereka menoleh ke
belakang. Tampaklah debu mulai membubung tinggi.
Mereka berteriak kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, “Kita tersusul. Fir’aun pasti membasmi kita sampai habis.”
“Itu tidak akan pernah terjadi,” kata Nabi Musa ‘alaihis salam dengan tenang dan mantap. (insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Tata Cara Sujud
Zikir-Zikir di Saat Sujud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sujudnya didapatkan membaca beragam zikir dan doa. Sekali waktu
beliau membaca satu macam zikir, dan di waktu lain membaca zikir yang
lain lagi. Di antara zikir sujud, ada yang sama dengan zikir di saat
ruku’, karenanya bila ada kesamaan kami tidak artikan dan Pembaca bisa
melihat artinya pada pembahasan zikir-zikir ruku’ yang telah lalu
berikut keterangan haditsnya.
Bacaan atau zikir ketika sujud yang biasa dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai berikut :
1. Bacaan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
“Mahasuci Rabbku Yang Maha Tinggi.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengulangi membaca zikir di atas sebanyak 3 kali, namun terkadang
beliau ulangi lebih dari itu, hingga suatu kali di saat shalat malam
beliau mengulanginya beberapa kali.
Disebutkan sujud beliau ketika itu
hampir mendekati masa berdiri beliau, padahal saat berdiri beliau
membaca tiga surat yang panjang, yaitu al-Baqarah, an-Nisa’, dan Ali
‘Imran, dengan diselang-selingi doa dan istighfar. (Dari hadits
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1811)
2. Bacaan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
“Maha suci Rabbku Yang Maha tinggi dan pujian bagi-Nya.” (3 kali)
3. Bacaan:
سُبُّوْحٌ، قُدُّوْسٌ، رَبُّ الْمَلآئِكَةِ وَالرُّوْحِ
4. Bacaan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي
5. Bacaan:
سُبْحَانَ ذِيْ الْجَبَرُوْتِ، وَالْمَلَكُوْتِ، وَالْكِبْرِيَاءِ، وَالْعَظَمَةِ 1
6. Bacaan:
اللَّهُمَّ
لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، [وَأَنْتَ رَبِّي ]،
سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَ صَوَّرَهُ، [فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ]،
وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku sujud,
hanya kepada-Mu aku beriman, dan hanya kepada-Mu aku berserah diri.
Engkau adalah Rabbku. Telah sujud wajah ku kepada Dzat yang telah
menciptakannya dan membentuknya, lalu Dia baguskan rupanya dan Dia
membelah pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah sebaik-baik
Pencipta.”
Dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tambahan
yang pertama yaitu lafadz وَأَنْتَ رَبِّي dikeluarkan oleh ath-Thahawi
(137/1) dan at-Tirmidzi no. 3423 serta ad-Daraquthni (30). Al-Imam
Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan sahih. Tambahan kedua dari salah satu riwayat Muslim.
7. Bacaan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبي كُلَّهُ، دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya Allah, ampunilah dosaku seluruhnya,
yang kecil/sedikit dan yang besar/banyak, yang awalnya dan yang
akhirnya, yang terang-terangan dan yang rahasia/tersembunyi.”2
(Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan al-Imam Muslim no. 1084)
8. Bacaan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan dengan pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak untuk dibadahi kecuali Engkau.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, tatkala ia kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
di suatu malam dari tempat tidurnya, dia menyangka beliau pergi keluar.
Mulailah Aisyah meraba-raba dalam kegelapan, ternyata didapatinya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang ruku atau sujud dan membaca zikir di atas. (HR. Muslim no. 1089)
9. Bacaan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ، وَمَا أَعْلَنْتُ
“Ya Allah, ampunilah aku, apa yang aku rahasiakan dan apa yang aku tampakkan (dari kejelekan/dosa).”
(Dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha juga, diriwayatkan oleh an-Nasa’i no. 1124, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)
10. Bacaan:
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُوْرًا، وَفِي لِسَانِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِي
سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ تَحْتِي
نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا، وَعَنْ يَمِيْنِي نُوْرًا،
وَعَنْ يَسَارِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ أَمَامِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ خَلْفِي
نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِي نَفْسِيْ نُوْرًا، وَأَعْظِمْ لِي نُوْرًا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam
hatiku, cahaya dalam lisanku. Jadikanlah cahaya dalam pendengaranku.
Jadikanlah cahaya pada penglihatanku. Jadikanlah cahaya dari bawahku.
Jadikanlah cahaya dari atasku, demikian pula cahaya dari kananku dan
dari kiriku. Jadikan pula cahaya di depan dan di belakangku. Jadikan
pula cahaya pada jiwaku, dan besarkanlah cahaya untukku.”
(Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Tatkala ia bermalam di rumah bibinya, Maimunah bintu al-Harits radhiyallahu ‘anha di saat giliran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di rumahnya. Ibnu Abbas melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bangkit untuk menunaikan hajatnya. Setelahnya beliau berwudhu seperti
wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mengerjakan shalat dan di sujudnya
beliau membaca zikir tersebut. Diriwayatkan oleh Muslim no. 1791 dan
an-Nasa’i no. 1121).
Namun, riwayat yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan
zikir yang hampir sama dengan zikir di atas setelah selesai shalat
yakni saat berdoa seperti dalam riwayat Muslim no. 1796, sehingga
terkadang beliau melakukan yang ini (membacanya dalam sujud), di kali
lain yang itu (saat berdoa setelah shalat lail).
11. Bacaan:
“Ya Allah, sungguh aku berlindung
kepada-Mu dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu. Aku berlindung dengan
pemaafan-Mu dari hukuman-Mu. Aku berlindung dengan-Mu dari-Mu. Aku tidak
dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji
diri-Mu.” (Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim no. 1090)
Larangan Membaca al-Qur’an saat Sujud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ألآ
، وَإِنِّي نُهِيْتُ أَن أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدً ا،
فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ عز و جل وَأَمَّا
السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيهِ الدُّعَاءَ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ
لَكُمْ
“Sungguh, aku dilarang untuk membaca
al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud. Adapun ketika ruku’ maka agungkanlah
Rabb di dalamnya. Adapun saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa
karena pantas doa kalian dikabulkan.” (HR. Muslim no. 1074 dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Di saat sujud, diperintahkan bersungguh-sungguh dalam berdoa dan memperbanyaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan,
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَ هُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ فِيْهِ
“Sedekat-dekatnya hamba dengan Rabbnya adalah di saat si hamba sedang sujud, maka perbanyaklah doa di dalam sujud.” (HR. Muslim no. 1083 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat dilarang membaca al-Qur’an di saat sujud berdasar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas. Namun sebagian ulama lain berpandangan bolehnya membaca al-Qur’an. Ini adalah pendapat al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan yang
lainnya karena hadits di atas tidak sahih menurut mereka.
Namun, yang benar adalah sebagaimana yang kami katakan, dilarangnya membaca al-Qur’an di
saat sujud karena hadits tersebut sahih sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya dan hadits ini dinyatakan sahih juga oleh al-Imam ath-Thabari rahimahullah dan yang lainnya. (Bidayatul Mujtahid, hlm. 122)
Hikmah Larangan Membaca al-Qur’an Saat Sujud
Seseorang yang shalat dilarang membaca
al-Qur’an di saat ruku’ dan sujud karena posisi ruku’ dan sujud
mengharuskan seseorang merunduk, menyungkurkan punggung dan telungkup,
tentunya al-Qur’an tidak sepantasnya dibaca dalam keadaan seperti ini.
Bandingkan saja bila Anda bicara kepada
seseorang dalam posisi Anda ruku’ atau sujud, atau Anda bicara dalam
posisi berdiri, manakah yang lebih menunjukkan penghormatan kepada yang
diajak bicara? Tentunya bila Anda bicara
sambil berdiri. Adapun bila Anda bicara kepada orang lain dalam keadaan
Anda ruku’ niscaya orang yang diajak bicara akan berkata, “Orang ini
cuek padaku. Ia tidak menaruh perhatian kepadaku.”
Apabila ada orang ingin berbicara
tentang seorang alim dan ia berkata, “Wahai orang-orang, kemarilah
kalian… Aku hendak menceritakan kepada kalian tentang alim Fulan.”
Ketika orang-orang sudah berkumpul, ia pun ruku’ atau sujud, dan
bercerita kepada manusia dalam posisi demikian, tentunya hal ini tidak
pantas. Karena itulah, ulama berkata, “Karena al-Qur’anul Karim itu
memiliki kedudukan yang agung, maka sepantasnya ia dibaca (dalam shalat)
saat posisi orang yang shalat tinggi, yaitu ketika berdiri.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughil Maram, 3/416-417)
Hukum Shalat Orang yang Membaca al-Qur’an saat Ruku’ atau Sujud
Mayoritas ulama berpendapat shalatnya
sah, karena membaca al-Qur’an dilarang dalam ruku’ dan sujud bukan
karena al-Qur’annya sebagai sesuatu yang tidak boleh dibaca dalam
shalat, namun dilarang karena kedudukan, ketinggian, dan keagungan
al-Qur’an tidak pantas dibaca dalam posisi menunduk. Adapun al-Qur’an
sendiri adalah ucapan yang disyariatkan dalam shalat dan termasuk
zikir-zikir yang masyru’. (al-Fiqhul Islami wa ‘Adillatuhu, 2/961)
Adapun pendapat yang lainnya yang merupakan pendapat al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah,
shalat yang dikerjakan tersebut batal karena orang yang shalat itu
telah mengucapkan ucapan yang dilarang, sebagaimana bila seseorang
berbicara dalam shalat dengan ucapan manusia. (al-Muhalla 2/361; Nailul Authar 2/108)
Bolehnya Berdoa dalam Sujud dengan Doa yang Ada dalam al-Qur’an
Seperti ketika sujud seseorang membaca doa,
رَبَّنَا
غْفِرْلَنَا ذُنُوْ بَنَا وَاِسْرَافَنَا فِى اَمْرِنَ وَثَبِّتْ
اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
“Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa
kami dan tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami,
kokohkanlah telapak-telapak kaki kami (tetapkanlah pendirian kami) dan
tolonglah kami dari orang-orang kafir.” (Ali Imran: 147)
atau berdoa,
رَبَّنَآاٰتِنَا فِى الدُّنْيَاحَسَنَةً وَفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَا بَ النَّارِ
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungi kami dari azab neraka.” (al-Baqarah: 201)
Hal ini dibolehkan karena yang
mengucapkannya tidak bersengaja untuk membaca al-Qur’an, tapi ia
bermaksud berdoa dengan doa yang ada dalam al-Qur’an, maka doa yang
dibacanya termasuk zikir. (asy-Syarhul Mumti’, 3/133)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
———————————————————————-
- Untuk keterangan hadits zikir no. 1-5, dan arti zikir no. 3-5, bisa dilihat dalam pembahasan zikir-zikir ruku’ yang telah lalu dalam edisi-edisi Asy-Syariah terdahulu.
- Tersembunyi dari orang lain, tetapi tidak tersembunyi bagi Allah Subhanahu wata’ala, karena keduanya sama saja bagi Allah Subhanahu wata’ala. Dia Maha Mengetahui yang rahasia dan tersembunyi.

Azh-Zhahir
Azh-Zhahir adalah salah satu nama Allah Subhanahu wata’ala. Nama tersebut termaktub dalam surat al-Hadid ayat yang ke-3,
هُوَالْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Hadid: 3)
Demikian pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, saat beliau memuji Allah Subhanahu wata’ala, beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ
أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ اخْآلِرُ فَلَيْسَ
بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْء، وَأَنْتَ
الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ، اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا
مِنَ الْفَقْرِ
“Ya Allah, Engkaulah al-Awwal, tiada
sesuatu pun sebelummu. Engkaulah al-Akhir, tiada sesuatupun setelah-Mu.
Engkau adalah azh-Zhahir, tiada sesuatu pun di atas-Mu, dan Engkau
adalah al-Bathin, tiada sesuatu pun yang lebih dekat dari-Mu.
Lunaskanlah utang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.”
Faedah Mengimani Nama Allah azh-Zhahir
Dengan mengimaninya, kita mengetahui salah satu sifat yang Mahaagung, yaitu ketinggian Allah Subhanahu wata’ala di atas seluruh makhluk-Nya. Ini berarti:
1. Allah Subhanahu wata’ala tidak di mana-mana, sebagaimana anggapan sebagian orang, bahkan Allah Subhanahu wata’ala di atas makhluk-Nya.
2. Allah Subhanahu wata’ala tidak menyatu dengan makhluk-Nya atau sebagian makhluk-Nya, bahkan Allah Subhanahu wata’ala terpisah dari mereka semuanya.
3. Tidak benar apa yang dikatakan oleh
sebagian firqah (kelompok sempalan) yang terpengaruh oleh ilmu kalam dan
filsafat bahwa “Allah Subhanahu wata’ala di atas alam, tidak
pula di bawahnya; tidak di sebelah kanan alam, tidak di sebelah kirinya;
tidak di sebelah depan atau belakangnya; serta tidak bersatu dengan
alam, tidak pula terpisah darinya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wata’ala ada di atas alam dan seluruh makhluk-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ءَاَمِنْتُمْ
مَنْ فِى السَّمَآءِ اَنْ يَحْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَاهِيَ
تَمُوْرُ اَمْ اَمِنْتُمْ مَنْ فِى السَّمَآءِ اَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ
حَاسِبَا ۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ
“Apakah kamu merasa aman terhadap
Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu, sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang? Atau apakah kamu merasa
aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang
berbatu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan)
peringatan-Ku.” (al-Mulk: 16-17)
Ditulis oleh : Al-Ustadz Qomar Suaidi
Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an
Pertanyaan :
Jika sedang haid, apa bolehseorang
wanita menulis Arab atau membaca al-Qur’an, karena ia seorang pengajar
di sekolah? (+6285647xxxxxx)
Apabila seorang wanita sedang haid kan
tidak boleh memegang al-Qur’an, tetapi kalau membaca tanpa memegangnya,
boleh atau tidak? (6285747xxxxxx)
Jawab:
Membaca al-Qur’an bisa dilakukan dengan
cara hafalan dan bisa dengan memegang mushaf. Atas dasar itu, jawaban
akan kami rinci sesuai dengan kedua kemungkinan tersebut. Yang pertama,
membacaal-Qur’an dengan hafalan bagi wanita yang haid.
Hal ini diperbolehkan dengan beberapa alasan berikut :
1. Membaca al-Qur’an temasuk berzikir, dan dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berzikir setiap saat. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Adalah Nabi berzikir kepada Allah pada seluruh keadaannya.”( Sahih, HR. Muslim)
2. Tidak ada larangan yang jelas dalam hadits yang sahih, justru ada isyarat yang membolehkannya.
Di antaranya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika hendak melaksanakan haji dan mengalami haid,
هَذَا
شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، افْعَلِي مَا يَفْعَلُ
الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Ini adalah sesuatu yang telah
ditetapkan oleh Allah pada anak-anak wanita Adam. Lakukanlah apa yang
dilakukan seorang yang haji selain thawaf di Ka’bah sampai engkau suci.” (Sahih, HR. Muslim)
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh beberapa ulama, di antaranya al-Imam al-Bukhari. Tampaknya, ini juga pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, karena beliau mengatakan, “Tidak mengapa bagi yang junub untuk membaca al-Qur’an.” (Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq)
Ini juga pendapat Said bin al-Musayyib dan Dawud. (lihat Shahih al-Bukhari dan al-Mughni)
Memang ada beberapa pendapat yang lain,
namun pendapat-pendapat tersebut tidak berdasarkan dalil yang sahih dan
tegas. Di antara pendapat yang lain itu adalah (wanita yang sedang haid)
tidak boleh membaca al-Qur’an.
Dalil mereka di antaranya,
كَانَ
رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم يَخْرُجُ مِنَ الْخَ ءَالِ فَيَقْرَأُ
الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنِ
الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar dari toilet lalu membacaal-Qur’an dan memakan daging bersama
kami. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi beliau dari al-Qur’an
selain janabat.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَقْرَأْ الْحَائِضُ وَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Wanita yang haid dan junub tidak boleh
membaca al-Qur’an sedikitpun.” (HR. at-Tirmidzi) Akan tetapi, kedua
hadits tersebut lemah.
Hadits yang pertama lemah karena salah
seorang perawinya yang bernama Abdullah bin Salimah al-Muradi al-Kufi.
Beliau adalah shaduq (jujur, hafalannya kurang kuat), namun di akhir
umurnya, hafalan beliau berubah menjadi semakin jelek. Asy-Syaikh
al-Albani menyatakan hadits ini lemah karena perawi tersebut.
Walaupun Ibnu Hajar menganggapnya hasan,
tetapi pendapat beliau lemah, karena beliau sendiri mengakui kelemahan
hafalan Abdullah bin Salimah di akhir umurnya. (Tamamul Minnah)
Hadits yang kedua juga lemah karena
salah seorang perawinya adalah Ismail bin Ayyas. Apabila beliau
meriwayatkan dari selain penduduk Syam, riwayatnya lemah. Padahal, dalam
hadits ini ia meriwayatkan dari selain penduduk Syam.
Ibnu Hajar mengatakan, “Adapun hadits Ibnu Umar lemah dari seluruh jalannya.” (Fathul Bari)
Yang kedua, membaca al-Qur’an dari mushaf dengan memegangnya.
Hal ini juga boleh, apabila dia tidak dapat membacanya dengan hafalan, terlebih bagi orang yang sedang belajar atau mengajar.
Namun, sebenarnya dalam masalah ini
cukup banyak perselisihan ulama. Masalah ini kembali kepada hokum
menyentuh al-Qur’an bagi orang yang berhadats, apakah boleh atau tidak.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang hal ini. Di antara mereka ada yang mengharamkan orang yang
berhadats kecil atau besar untuk menyentuh mushaf al-Qur’an. Adapula di
antara mereka yang membolehkan.
Kami cenderung kepada pendapat yang melarang menyentuh al-Qur’an selain dalam keadaan suci. Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Menyentuh mushaf, dipersyaratkan padanya kesucian dari hadats
besar dan hadats kecil, menurut mayoritas para ulama. Hal ini
sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Ini adalah
pendapat Salman, Sa’d, dan para sahabat selain mereka….” (26/200)
Beliau juga mengatakan, “Adapun menyentuh
mushaf, yang benar adalah wajib untuk berwudhu, sebagaimana pendapat
jumhur ulama. Inilah yang dikenal dari para sahabat, Sa’d, Salman, dan
Ibnu Umar.”
Ibnu Taimiyah juga mengatakan dalam
kitab Mukhtashar Fatawa al-Mishriyyah, tidak diketahui ada sahabat yang
lain menyelisihi mereka. Bahkan, ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,
لاَ تَمُسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah engkau menyentuh al-Qur’an selain engkau dalam keadaan suci.” (Sahih, lihat al-Irwa’ no. 122)
Memang terdapat kelemahan pada
sanad-sanad hadits ini. Namun, seperti kata asy-Syaikh al-Albani,
ringkas kata, semua jalan hadits ini tidak lepas dari kelemahan, tetapi
kelemahan yang ringan yang tidak ada seorang pun perawi/periwayatnya
yang tertuduh sebagai pendusta. Cacatnya adalah kemursalan atau hafalan
yang jelek. Di antara hal yang menjadi ketetapan dalam ilmu mushthalah
adalah sanad-sanad itu saling menguatkan apabila padanya tidak terdapat
seseorang yang tertuduh sebagai pendusta… Maka dari itu, jiwa ini merasa
tenteram terhadap kesahihannya.
Lebih-lebih al-Imam Ahmad bin Hanbal
telah berhujah dengannya, sebagaimana telah berlalu, dan disahihkan pula
oleh teman beliau, Ishaq bin Rahuyah.
Ishaq al-Marwazi mengatakan dalam kitab
Masail al-ImamAhmad,“Saya tanyakan (kepada al-Imam Ahmad), ‘Apakah
seseorang boleh membaca al-Qur’an tanpa wudhu?’ Beliau rahimahullah menjawab,
‘Ya, tetapi jangan membaca dari mushaf selama tidak berwudhu’.”
Selanjutnya Ishaq mengatakan, “(Yang benar adalah) seperti yang dia
katakan, berdasarkan riwayat yang sahih dari sabda Nabi, ‘Janganlah
menyentuh al-Qur’an selain orang yang suci.’
Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabi’in.” (Irwa’ul Ghalil)
Ada beberapa perbedaan lafadz dalam
hadits ini, namun secara global maknanya mirip. Banyak ulama berdalil
dengan riwayat ini dalam masalah ini, yakni mereka memahami makna suci
dalam hadits tesebut dengan suci dari hadats besar dan kecil. Sebagian
ulama memahami bahwa maksud suci di sini adalah seorang mukmin, bukan
kafir.
Namun, tampaknya yang kuat bahwa
kesucian yang dimaksud adalah dari hadats, lebih-lebih dari kekafiran,
karena arah pembicaraan hadits ini tertuju kepada kaum muslimin.
Haid Tidak Sama dengan Junub
Meskipun demikian, diperbolehkan
menyentuh mushaf bagi wanita yang haid ketika dibutuhkan. Sebab, kondisi
haid tidak sama dengan orang yang junub. Orang yang junub mudah
menghilangkan janabatnya, yaitu dengan mandi. Adapun wanita yang haid
atau nifas tidak bisa suci dengan mandi, sementara itu waktu haid
berhari-hari, apalagi nifas. Oleh karena itu, ketika dia butuh untuk
membaca langsung dari mushaf karena tidak hafal, hal ini diperbolehkan.
Ini termasuk kebutuhan darurat. Sebab, kondisi seorang yang haid berbeda
dengan yang junub, hadats besar janabat dapat dengan mudah dihilangkan
dengan mandi besar, sementara itu haid tidak bisa.
Pendapat inilah yang dipilih oleh
beberapa ulama mazhab Maliki, sebagaimana tertera dalam kitab Hasyiah
ad-Dasuqi dan ash-Shawi ‘ala Syarhil Kabir.
Berikut ini nukilan dari kitab Hasyiah
ad-Dasuqi, “(Wanita yang haid dilarang) menyentuh mushaf, maksudnya
selama ia bukan sebagai pengajar atau pelajar. Kalau dia adalah pengajar
atau pelajar, ia boleh menyuntuhnya.”
Demikian pula ketika dalam kondisi sangat
dibutuhkan, seperti menjaga al-Qur’an dari pencuri dan sebagainya. Hal
ini sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (26/184).
Meskipun demikian, memegangnya dengan pelapis lebih utama. Wallahu a’lam.

Gadai, Mahalnya Amanah Di Tengah Umat
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Amanah kian pudar di zaman sekarang.
Utang piutang demikian sering terjadi, demikian sering pula ada
pihak-pihak yang terzalimi. Banyak orang yang berutang lantas mangkir
dari kewajibanmembayar. Amanah memang mudah diucapkan, namun sulit kala
dipraktikkan.
Di zaman yang kejujuran dan sikap amanah
menjadi barang mahal, banyak muamalah utang piutang yang menuntut
adanya jaminan/agunan untuk memberikan rasa aman bagi pemberi utang
(kreditor). Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam
pandangan syariat sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk
mengambil seluruh atau sebagian utang dari jaminan tersebut, itulah yang
disebut gadai (ar-rahn).
Gadai sendiri pernah dipraktikkan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kepada seorang Yahudi,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menggadaikan baju perangnya demi
membeli sedikit gandum. Tidak berarti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam tidak dipercaya jika “sekadar” utang tanpa agunan. Namun,
perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ini mengandung hikmah
yang besar.
Tidak hanya sebagai dalil yang memberi
keabsahan praktik gadai, namun menunjukkan itikad baik beliau sekaligus
kesederhanaan seorang pemimpin umat. Kondisi prihatin dan serba
kekurangan yang semestinya dicontoh oleh kita semua, terutama para
pemimpin atau pejabat pemerintahan.
Sudah mafhum, tabiat manusia adalah suka
menzalimi sesama. Oleh karena itu, Islam pun memagari setiap muamalah
(transaksi) dengan aturan-aturan yang indah agar manusia melakukan
muamalah secara benar, tidak memakan harta orang lain dengan cara yang
batil. Islam mensyariatkan ar-rahn untuk kemaslahatan bersama dan
masyarakat secara luas.
Dengan gadai, orang yang
menggadaikan/pemberi gadai (ar-rahin) tertutupi kebutuhannya tanpa harus
kehilangan harta miliknya. Adapun pemberi utang/pemegang gadai
(al-murtahin), selain mendapat ketenangan dan rasa aman atas haknya, dia
juga mendapatkan keuntungan syar’i apabila memang ia niatkan untuk
mencari pahala dari Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun kemaslahatan yang dirasakan
masyarakat, yaitu memperluas interaksi, saling memberikan kecintaan dan
kasih sayang di antara mereka, serta menjauhkan masyarakat dari praktik
bunga yang tidak wajar, ijon, dan praktik riba lainnya.
Gadai, pada asalnya mengikuti (bersifat
accessoir) akad (perjanjian) pokoknya berupa utang piutang. Ketika
terjadi perjanjian utang piutang, barang/objek gadai (marhun) harus
diserahterimakan oleh ar-rahin kepada al-murtahin sejak dilangsungkannya
akad. Serah terima (qabdh) ini bahkan menjadi syarat mutlak
(inbezitstelling) dari gadai. Dengan serah terima tersebut, agunan akan
berada di bawah kekuasaan (secara fisik) al-murtahin.
Namun, agunan dalam syariat gadai adalah
amanat, hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Murtahin dalam hal ini hanya mempunyai hak kebendaan, tidak boleh
memanfaatkan atau menyalahgunakan barang gadai. Dengan kata lain, fungsi
marhun adalah untuk menjaga kepercayaan setiap pihak, sehingga murtahin
meyakini bahwa rahin beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya.
Penjualan objek gadai (baik dengan cara
lelang maupun lainnya) hanyalah upaya terakhir yang dilakukan apabila
ada rahin yang wanprestasi (hingga batas waktu yang telah ditetapkan
rahin masih belum melunasi pinjamannya).
Alhasil, Islam sangat menjaga agar
transaksi gadai benar-benar tidak merugikan salah satu pihak, dengan
melarang bunga gadai, mencegah timbulnya biaya-biaya yang tidak
disebutkan dalam akad awal, dan sebagainya. Akad gadai pun dilarang
mengandung syarat fasid, seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan
dapat dimanfaatkan tanpa batas. Islam benar-benar menyeimbangkan hak dan
kewajiban secara indah di tengah mahalnya sifat amanah di tengah umat.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Surat Pembaca Edisi 81
Artikel Terlalu Panjang
Bismillah, Bukan Bismallah
Permata Salaf dengan Teks Arab
Sejarah Tahlilan dan Jenazah
SHI Kadang Muncul
Saya membaca lembar Sakinah no. 80/1433
H. Ada artikel-artikel panjang yang bagus dan bermanfaat, tetapi mengapa
tidak memakai subjudul? Melelahkan dan capek, seolah-olah tidak ada
tempat berhenti. Afwan, jadi malas mau melanjutkan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberikan kemudahan bagi kita semua.
Rusydi Addawwany (0815596xxxxx)
Redaksi :
Sedikit demi sedikit, kami terus berupaya memperbaiki kekurangan-kekurangan kami, diantaranya apa yang Anda sampaikan. Jazakumulahu khairan atas masukannya.
Bismillah, Bukan Bismallah
Di rubrik “Doa”, dalam teks hadits pada
lafadz bismillah, tertulis bismallah di empat tempat, apa tidak salah
ketik? (0852282xxxxx)
Redaksi :
Benar, ada kesalahan cetak karena ketidaktelitian kami. Jazakumullahu khairan atas koreksinya.
Permata Salaf dengan Teks Arab
Saya pelanggan setia Asy-Syariah. Usul,
bagaimana jika pada rubrik “Permata Salaf” dicantumkan pula teks
Arabnya, agar kami bisa langsung dapat menghafalnya untuk menguatkan
hujah/ceramah/diskusi? Abu Ayyas (0819036xxxxx)
Redaksi :
Jazakumullahu khairan atas masukannya, akan kami pertimbangkan.
Sejarah Tahlilan dan Jenazah
Tolong penjelasan tentang acara tahlilan
kematian seseorang yang marak dilakukan, bagaimana hukumnya,
sejarahnya, dan siapa yang membawanya. (0819338xxxxx)
Saya usul bagaimana jika Asy-Syariah
memuat pembahasan tentang masalah jenazah dari awal sampai akhir, karena
banyak yang belum memahami masalah ini. (0856497xxxxx)
Redaksi :
Pembahasan tentang
pengurusan jenazah sejak menemui orang yang sedang sakaratul maut hingga
takziah pernah dimuat secara berseri pada lembar Sakinah edisi 17
sampai 23. Semoga di waktu mendatang, kami diberi kemudahan untuk
mengangkat tema tentang sejarah tahlilan, jenazah, dan ziarah kubur
secara lebih lengkap.
SHI Kadang Muncul
Mengapa bahasan tentang sifat shalat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kadang ada, kadang tidak ada? Padahal bahasan tersebut cukup penting. Mohon diteruskan tanpa diseling-seling. (0858676xxxxx)
Redaksi :
Sebagaimana sering
kami sampaikan, ketika kami dihadapkan pada permasalahan keterbatasan
halaman, sejumlah rubrik -terutama yang tidak terkait dengan tema utama-
akan“ timbul tenggelam”. Memang menjadi persoalan ketika naskah yang
terpaksa turun adalah rubrik bersambung, yang tentu akan mengurangi
kenyamanan Pembaca.
Jazakumullahu khairan atas masukannya.

Ketika Agama Digadaikan Demi Kesenangan Sesaat
Minimnya ilmu, tipisnya iman, dan
kuatnya dorongan hawa nafsu kerap kali menutup pintu hati seseorang
untuk memahami hakikat kehidupan dunia yang sedang dijalaninya. Harta
yang merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wata’ala tak jarang
menjadi ujian dan sebab jauhnya seseorang dari agama Islam yang suci.
Padahal, agama Islam adalah bekal utama bagi seseorang dalam hidup ini.
Dengan Islam, seseorang akan berbahagia dan terbimbing dalam menghadapi
pahit getirnya kehidupan. Sebaliknya, tanpa Islam, hidup seseorang tiada
berarti dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
Anehnya, di antara manusia ada yang
menggadaikan Islam -agama dan bekal utamanya- demi kesenangan dunia yang
sesaat. Betapa meruginya orang itu. Dia akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala di hari kiamat dengan tangan hampa dan terhalang dari kebahagiaan yang hakiki.
Hakikat Kehidupan Dunia
Tak bisa dimungkiri bahwa kehidupan
dunia dikitari oleh keindahan dan kenikmatan (syahwat). Semuanya
dijadikan indah pada pandangan manusia, sehingga setiap orang mempunyai
kecondongan kepadanya sesuai dengan kadar syahwat yang menguasainya.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan sesungguhnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala lah tempat kembali yang baik (al-Jannah). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini (syahwat), yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(al-Jannah).” (Ali Imran: 14)
Namun, betapa pun menyenangkan kehidupan
dunia itu, sungguh ia adalah kehidupan yang fana. Semuanya bersifat
sementara. Tiada makhluk yang hidup padanya melainkan akan
meninggalkannya. Tiada pula harta yang ditimbun melainkan akan berpisah
dengan pemiliknya. Keindahan dunia yang memesona dan kenikmatannya yang
menyenangkan itu pasti sirna di kala Allah Subhanahu wata’ala menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اعْلَمُوا
أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ
بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ
أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ
يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ
اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah diantara kalian serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu
lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur, dan diakhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)
إِنَّمَا
مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ
وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا
وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا
أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ
تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniaw itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit,
lalu tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan suburnya karena air itu,
diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila
bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya,
dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (dapat
memetik hasilnya), tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami diwaktu malam
atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman
yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang
berpikir.” (Yunus: 24)
Sudah sepatutnya setiap pribadi muslim
memahami hakikat kehidupan dunia, agar tidak salah jalan dalam
menempuhnya. Lebih-lebih, dunia bukanlah akhir seorang hamba dalam
menuju Rabb-nya. Masih ada dua fase kehidupan berikutnya: kehidupan di
alam kubur (barzakh) dan kehidupan di alam akhirat.
Di alam kubur (barzakh), setiap orang
akan mendapatkan nikmat kubur atau azab kubur, sesuai dengan perhitungan
amalnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Setelah itu, di alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala
seorang diri, mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang
dikerjakannya selama hidup di dunia, dan akan mendapatkan balasan yang
setimpal (dari Allah Subhanahu wata’ala) atas segala apa yang diperbuatnya itu. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu
telah bekerja (berbuat) dengan penuh kesungguhan menuju Rabbmu, maka
pasti kamu akan menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan segala
perbuatan yang dilakukan).” (al-Insyiqaq: 6)
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ{}وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah(semut kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejelekan seberat zarrah (semut kecil)
pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7-8)
Tiada Hidup Tanpa Agama Islam
Demikianlah kehidupan dunia dengan
segala liku-likunya. Kehidupan yang bersifat sementara, namun sangat
menentukan bagi dua kehidupan berikutnya; di alam kubur (barzah) dan di
alam akhirat. Sebab, segala perhitungan yang terjadi pada dua kehidupan
tersebut sangat bergantung pada amal dan bekal yang telah dipersiapkan
oleh setiap hamba pada kehidupan dunianya.
Maka dari itu, tiada bekal yang dapat
mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki pada dua kehidupan tersebut
selain agama Islam, yang terangkum dalam takwa, iman, dan amal saleh.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa….” (al- Baqarah: 197)
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Betapa pentingnya peran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan ini. Agama satu-satunya yang sempurna dan diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Betapa bahagianya orang yang dikaruniai keteguhan (istiqamah) di atas
agama Islam yang mulia; dengan berupaya memahaminya sesuai dengan
pemahaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, serta menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya.
Sebaliknya, betapa celakanya orang yang
mencari selain agama Islam sebagai bekal hidupnya. Segala upayanya tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu wata’ala, dan di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kita apabila Allah Subhanahu wata’ala
mengingatkan orang-orang yang beriman agar berpegang teguh dengan agama
yang mulia ini dan meninggal dunia sebagai pemeluknya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah
sekali-kali meninggal dunia melainkan sebagai pemeluk agama Islam.” (Ali Imran: 102)
Mengapa Harus Menggadaikan Agama?
Kehidupan dunia adalah medan tempaan dan ujian (darul ibtila’) bagi setiap hamba yang menjalaninya. Masing-masing akan mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan kadar keimanannya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan (kenikmatan). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian
dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Ujian dalam bentuk keburukan
bermacam-macam. Adakalanya berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta
(kemiskinan), kekurangan jiwa (wafatnya orang-orang yang dicintai),
kekurangan buah-buahan (bahan makanan), dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ
وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sungguh akan Kami berikan ujian kepada
kalian, dalam bentuk sedikit dari ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira
kepadaorang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 155)
Ujian dalam bentuk kebaikan juga
bermacam-macam. Adakalanya berupa kenikmatan, harta, anak-anak,
kedudukan, dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya harta dan
anak-anak kalian itu (sebagai) ujian, dan di sisi Allahlah pahala yang
besar.” (al-Anfal: 28)
Beragam ujian itu diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepada para hamba tiada lain agar tampak jelas di antara para hamba
tersebut siapa yang jujur dalam keimanannya dansiapa pula yang berdusta,
siapa yang selalu berkeluh kesah dan siapa pula yang bersabar.
Demikianlah, Allah Subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الم,
{}أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا
يُفْتَنُونَ{} وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif Laam Miim, apakah manusia mengira
untuk dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak
diberi ujian? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala
mengabarkan bahwa Dia akan memberikan beragam ujian kepada para
hamba-Nya, agar tampak jelas (di antara para hamba tersebut) siapa yang
jujur (dalam keimanannya) dan siapa pula yang berdusta, siapa yang
selalu berkeluh kesah, dan siapa pula yang bersabar.
Demikianlah sunnatullah. Sebab,
manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi orang yang beriman
tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul ketidakjelasan
(militansi/semangat keislamannya, –pen.), dan ini tentu saja bukanlah suatu hal yang positif. Sementara itu, hikmah Allah Subhanahu wata’ala menghendaki adanya sinyal pembeda antara orang-orang yang baik (ahlul khair) dan orang-orang yang jahat (ahlusy syar).
Itulah fungsi tempaan dan ujian, bukan untuk memupus keimanan
orang-orang yang beriman, bukan pula untuk menjadikan mereka lari dari
Islam. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan keimanan orang-orang yang beriman.”(Taisirul Karimirrahman, hlm. 58)
Berbahagialah orang-orang yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala
saat ujian tiba. Manakala ujian keburukan yang tiba, dia hadapi dengan
penuh kesabaran. Manakala ujian kebaikan, dihadapinya dengan penuh
syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun orang-orang yang tidak diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala
saat ujian tiba, agama menjadi taruhannya. Iman dan Islam yang
merupakan modal utama dalam hidup ini digadaikannya demi kesenangan
sesaat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ
الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ
مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ
الدُّنْيَا
“Bergegaslah kalian untuk beramal,
(karena akan datang) ujian-ujian ibarat potongan-potongan malam yang
gelap. (Disebabkan ujian tersebut) di pagi hari seseorang dalam keadaan
beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam keadaan
beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya
dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no. 118 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits di atas mencakup seluruh pribadi
umat ini, baik yang miskin maupun yang kaya. Yang miskin menjual
agamanya dan menggadaikan imannya, karena tak sabar akan ujian
kekurangan (kemiskinan) yang dideritanya. Cukup banyak contoh kasusnya
di masyarakat kita. Terkadang dengan iming-iming jabatan, terkadang
dengan pemberian modal usaha atau pinjaman lunak, terkadang dengan
pemberian rumah atau tempat tinggal, terkadang dengan pembagian sembako,
bahkan terkadang hanya dengan beberapa bungkus mi instan.
Adapun yang kaya, dia menjual agamanya
dan menggadaikan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya. Ia tidak
mau mensyukuri karunia Allah Subhanahu wata’ala yang diberikan
kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa semua itu berkat kepandaian dan jerih
payahnya semata. Ingatkah Anda tentang kisah Qarun, seorang hartawan
dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa ‘alaihis salam) yang menggadaikan agama dan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya? Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ
قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ
مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي
الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ
الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
قَالَ
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ
مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ
الْمُجْرِمُونَ
فَخَرَجَ
عَلَىٰ قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ ۖ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو
حَظٍّ عَظِيمٍ
وَقَالَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ
آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
“Sesungguhnya Qarun termasuk dari
kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah
karuniakan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh
berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya
berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau terlalu bangga diri (sombong),
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri
(sombong). Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun pun menjawab, ‘Sesungguhnya
aku dikaruniai harta tersebut dikarenakan ilmu (kepandaian)-ku.’
Tidakkah Qarun tahu, sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelum
dia yang jauh lebih kuat darinya dan lebih banyak dalam mengumpulkan
harta? Dan tak perlu dipertanyakan lagi orang-orang jahat itu tentang
dosa-dosa mereka. Maka (suatu hari) tampillah Qarun di tengah-tengah
kaumnya dengan segala kemegahannya, lalu berkatalah orang-orang yang
tertipu oleh kehidupan dunia‘ ,Duhai kiranya kami dikaruniai (harta)
seperti Qarun, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.’
Adapun orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan, ‘Celakalah kalian,
sesungguhnya karunia Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, namun tidaklah pahala itu
diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (al-Qashash: 76-80)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut, –pen.)
bahwa Qarun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga
ia lupa diri, dan semuayang dimilikinya itu ternyata tidak mampu
menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana yang telah dialami (sebelumnya, –pen.) oleh Fir’aun.” (Tafsir al-Qurthubi)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
ketika menafsirkan ayat ke-77 dari surat al-Qashash tersebut,
mengatakan, “Pergunakanlah apa yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepadamu, yaitu harta yang banyak dan nikmat yang tak terhingga itu,
untuk ketaatan kepada Rabb-mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya
dengan beragam amal saleh, yang diharapkan dengannya mendapatkan pahala,
baik di dunia maupun di akhirat. (Janganlah kamu melupakan bagianmu
dari [kenikmatan] duniawi, -pen.) yang Allah Subhanahu wata’ala
halalkan bagimu, yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan
menikahi wanita. Menjadi keharusan bagimu untuk menunaikan hak Rabb-mu,
hak dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah
haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah Subhanahu wata’ala telah berbuat baik kepadamu. Janganlah
kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di
(muka) bumi dan berbuat kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita
bahwa siapa pun yang menjalani kehidupan dunia ini pasti akan
menghadapi berbagai ujian. Saat itulah seseorang akan mengalami
pergolakan dan perseteruan dalam jiwanya. Hasilnya akhirnya, apakah bisa
istiqamah di atas iman dan Islam, ataukah ia justru menggadaikannya
demi kesenangan sesaat.
Maka dari itu, ketika ujian itu tiba, tiada kata yang indah yang patut diucapkan selain dzikrullah (berzikir dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala), karena dengan zikrullah hati akan menjadi tenteram sehingga dimudahkan untuk memilih jalan kebenaran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (zikrullah).
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’d: 28)
Demikian pula, tiada perbuatan yang
paling berguna bagi keselamatan diri ini selain kesungguhan dalam
beramal saleh (termasuk menuntut ilmu agama), sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Lebih dari itu, peran doa sangat penting
dalam membantu keistiqamahan seseorang di atas iman dan Islam, kokoh di
atas agama Allah Subhanahu wata’ala dan tak mudah
menggadaikannya demi kesenangan sesaat. Di antara doa yang diajarkan
oleh Allah Subhanahuwata’ala dalam al-Qur’an adalah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Wahai Rabb kami, Janganlah Engkau
sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami hidayah dan
karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau
adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam juga selalu berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan
hati, kokohkanlah hatiku ini diatas agama-Mu.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam
as-Sunnah no. 232 dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Akhir kata, semoga taufik dan hidayah Allah Subhanahu wata’ala
selalu mengiringi kita dalam kehidupan dunia ini, sehingga dapat
istiqamah di atas agama-Nya yang mulia serta berpijak di atas manhaj
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dengan satu harapan, mendapatkan kesudahan terbaik dalam hidup ini (husnul khatimah) dan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya yang dipenuhi dengan kenikmatan. Amin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)
Seputar Hukum Gadai
Definisi Gadai
Dalam Safar Saja atau Boleh Saat Mukim?
Dalam bahasa Arab, gadai disebut rahn (رَهْن), yang secara bahasa berarti sesuatu yang tetap atau tertahan. Hal ini seperti dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya.” (ath-Thur : 21)
Adapun dalam ilmu fikih, rahn adalah istilah bagi “pemberian harta sebagai jaminan atas suatu utang.” Barang atau harta yang dijadikan gadai juga disebut rahn. (Fathul Bari 5/140, al-Mughni 6/443)
Hikmah dan Tujuan Gadai
Tujuan gadai adalah untuk melunasi utang
dengan nilainya apabila penanggungnya tidak dapat membayarnya. Adapun
hikmah adanya gadai adalah menjaga harta kekayaan dan demi keamanan dari
hilang (ditipu). Ini termasuk rahmat Allah Subhanahu wata’ala
kepada para hamba-Nya, yang membimbing mereka kepada sesuatu yang
mengandung kebaikan bagi mereka. (lihat al-Mughni 6/443 dan
al-Mulakhasal-Fiqhi 2/53)
Hukum Gadai
Hukum gadai adalah jaiz atau boleh, berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits, ijma’, dan qiyas. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن
كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)1.
Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
kalbunya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 283)
Adapun dalam al-Hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ -صل الله عليه وسلم- مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tempo, lalu beliau
menjadikan baju besinya sebagai gadainya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Adapun ijma’, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa kaum muslimin secara umum sepakat tentang bolehnya gadai. (al-Mughni, 6/444)
Adapun qiyas, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“… Karena gadai adalah sesuatu yang dibutuhkan, baik kebutuhan
penggadai/murtahin maupun pegadai/rahin, maka qiyas dan pandangan yang
benar menuntut adanya gadai.” (Mudzakkiratul Fiqh)Dalam Safar Saja atau Boleh Saat Mukim?
Gadai diperbolehkan dalam keadaan mukim
sebagaimana bolehnya dalam keadaan safar, walaupun konteks ayat tersebut
di atas terkait dengan safar. Hal ini tidak lain karena gadai lebih
dibutuhkan dalam keadaan safar karena biasanya saat semacam itu
seseorang sulit mendapatkan saksi atau penulis sehingga membutuhkan
jaminan berupa barang gadaian. Hal ini tidak berarti gadai tidak
dibolehkan di saat mukim apabila mereka memang membutuhkannya.
Dalam Tafsir as-Sa’di disebutkan, “Karena tujuan gadai adalah untuk menjamin kepercayaan, hal itu diperbolehkan baik saat mukim maupun safar. Allah Subhanahu wata’ala
hanya menyebutkan safar (dalam ayat) karena saat semacam itu biasanya
dibutuhkan gadai disebabkan tidak adanya penulis (perjanjian). Ini semua
bilamana pemilik hak tersebut menyukai untuk mencari kepercayaan atas
hartanya. Namun, ketika pemilik harta merasa aman terhadap orang yang
berutang dan menyukai untuk bertransaksi dengannya tanpa gadai,
hendaknya yang punya tanggungan menunaikan utangnya secara utuh tanpa
menzalimi atau mengurangi haknya. ‘Danbertakwalahkepada Allah, Rabb-Nya’
dalam hal menunaikan hak dan membalas orang yang telah berprasangka
baik kepadanya dengan kebaikan pula.”
Perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli gandum dari orang Yahudi dengan tempo lalu memberinya baju besi
beliau sebagai gadai juga menunjukkan bolehnya gadai dalam keadaan
mukim, karena saat itu beliau berada di Madinah.
Istilah-Istilah Terkait Gadai
Dalam proses pergadaian ada beberapa
istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu, karena istilah-istilah
tersebut akan kerap terulang. Selain itu, istilah-istilah tersebut
perlu dipahami dengan tepat agar kita dapat memahami masalah dengan
benar. Di antara istilah-istilah tersebut adalah:
Menggadai : menerima
barang sebagai tanggungan uang yang dipinjamkan kepada pemilik barang
tersebut. Contoh, “Siapa yang menggadai sawahmu?” Dalam ungkapan bahasa
Arab, irtahana (اِرْتَهَنَ)
Menggadaikan :
menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Contoh, “Ia menggadaikan
gelang dan kalung istrinya untuk berjudi.” Dalam ungkapan bahasa Arab, arhana (اَرْهَنَ)
Bergadai : meminjam
uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Contoh, “Ia terpaksa
bergadai untuk membayar kontrak rumahnya.” Dalam ungkapan bahasa Arab,
rahana (رَهَنَ)
Pegadai : orang yang bergadai. Dalam ungkapan bahasa Arab, rahin (رَاهِنٌ)
Penggadai: orang yang menggadai. Contoh, “Para
penggadai itu makin menjerat petani.” Dalam bahasa Arab, murtahin (
مُرْتَهِنٌ ). (lihat dan al-Mu’jamul Wasith)
Ditulis oleh al Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
__________________________________________________________
1. Yakni barang gadaianDitulis oleh al Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
__________________________________________________________

Ketentuan Tentang Pegadai, Penggadai, Dan barang Gadaian
Rukun Gadai
2. Rahin, pegadai atau pemberi gadai.
3. Murtahin, penggadai atau penerima gadai.
4. Marhun, barang yang digadaikan.
5. Marhun bihi, pinjaman atau piutang.
1. Syarat-syarat pegadai/rahin dan penggadai/murtahin
Dipersyaratkan pada barang yang digadaikan hal-hal berikut.
4. Gadai dengan barang yang dimiliki secara berserikat
Penulis sendiri cenderung kepada pendapat kedua, dengan alasan:
Qabdh barang gadaian bisa dilakukan dengan dua cara :
Persyaratan ini adalah persyaratan yang batil atau rusak.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
(1) Satu wasaq=60 sha’;1 sha’=4 mud;1 mud=544 gr. Jadi, 1 wasaq sekitar 130 kg.
(2) Contohnya, iameminjamuang rupiahkepada seseorang dan menjadikan baranggadaiannya jugauangrupiah dengan nilaiyang samayang dipasrahkan kepada seseorang yangamanah dengan kesepakatan keduabelah pihak.
(3) Ta’zir adalah sanksi yang diberikan oleh hakim sesuai dengan kebijaksanaannya dalam rangka membuat pelakunya jera.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam hal
menyebutkan jumlah rukun-rukun gadai. Ada yang menyebut tiga, ada yang
menyebut empat, ada pula yang menyebut lima. Namun, rincinya bisa kita
sebut lima.
1. Shighat (ungkapan) ijab dan qabul, penyerahan dan penerimaan.2. Rahin, pegadai atau pemberi gadai.
3. Murtahin, penggadai atau penerima gadai.
4. Marhun, barang yang digadaikan.
5. Marhun bihi, pinjaman atau piutang.
1. Syarat-syarat pegadai/rahin dan penggadai/murtahin
Disyaratkan pada setiap pihak bahwa keduanya adalah seseorang yang secara syar’i diperbolehkan membelanjakan harta (ja’izuttasharruf), yaitu -menurut asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah –orang yang merdeka, baligh, berakal, dan rasyid (mampu membelanjakan harta dengan benar). Jadi, setiap pihak harus memiliki empatsyaratini.(asy-Syarhul Mumti’)
Dengan demikian, budak tidak boleh
bergadai kecuali apabila diizinkan oleh tuannya. Demikian juga anak
kecil yang belum baligh, orang gila atau yang hilang akal, serta safih
(yang tidak bisa membelanjakan harta dengan benar), tidak diperbolehkan
bergadai.
Persyaratan ini diperlukan karena akad
pergadaian ini adalah salah satu bentuk pembelanjaan harta dan
disyaratkan adanya saling ridha, yang itu tidak akan terwujud melainkan
dari orang yang memiliki sifat tersebut. (Manarus Sabil, 2/84,
as-SailulJarrar, 3/271)
2. Dibolehkan bergadai pada orang kafir
Bukan merupakan syarat seorang pegadai atau penggadai harus seorang muslim, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
sendiri telah melakukan pergadaian dengan orang Yahudi yang bernama Abu
Syahm, seperti disebutkan oleh hadits Aisyah pada pembahasan
sebelumnya. Demikian pula sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu
mengungkapkan keinginannya bergadai dari seorang Yahudi yang bernama
Ka’b bin al-Asyraf dengan menggadaikan senjatanya untuk mendapatkan satu
atau dua wasaq1 makanan, sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari no. 2510.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah juga membuat bab khusus terkait masalah ini dengan judul “Bab ar-Rahn ‘indal Yahudi wa Ghairihim” (Bab Gadai kepada Orang-Orang Yahudi dan Selain Mereka), lalu menyebutkan kisah pergadaian Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan Abu Syahm. Maksud dari bab ini adalah bolehnya bermuamalah dengan selain muslimin, demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (5/145).
Beliau rahimahullah juga
mengatakan bahwa hadits itu mengandung pelajaran bolehnya bermuamalah
dengan orang-orang kafir pada sebuah transaksi yang belum jelas
haramnya, dalam keadaan keyakinan mereka (orang kafir) tidak
berpengaruh. Demikian juga muamalah sesama mereka (yang haram seperti
riba juga tidak berpengaruh, -red.). Diambil faedah pula dari hadits
tersebut tentang bolehnya bertransaksi dengan seseorang yang mayoritas
hartanya haram. (Fathul Bari, 5/141)
Mungkin tebersit dalam benak kita, mengapa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak bertransaksi dengan para sahabat yang mampu? Ibnu Hajar rahimahullah menjawab, “Ulama mengatakan bahwa hikmah beralihnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dari bermuamalah dengan para sahabat yang berkecukupan ke transaksi
dengan Yahudi adalah untuk menerangkan bolehnya hal tersebut (dari sisi
hukum, –red.), atau karena mereka saat itu juga sedang tidak
memiliki makanan yang lebih, atau khawatir mereka tidak mau menerima
uang atau ganti dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak mau membebani mereka.” (Fathul Bari, 5/141—142)
3. Syarat rahn, barang yang digadaikanDipersyaratkan pada barang yang digadaikan hal-hal berikut.
-
- Diketahui barangnya, jenis, ukuran, dan sifatnya. Maka dari itu, yang belum diketahui barangnya atau jenis, ukuran, dan sifatnya, tidak boleh digadaikan. (al-Mughni, 6/467)
- Barang tersebut dimiliki oleh pegadai/rahin atau diizinkan baginya untuk menggadaikannya walaupun bukan miliknya.
- Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diperjualbelikan, seperti senjata, hewan, baju besi, dan sebagainya. Adapun menggadaikan anjing atau khamr tidak diperbolehkan karena tidak diperbolehkan memperjualbelikannya. Sebab, tujuan gadai adalah sebagai jaminan untuk membayar utang dari nilainya nanti saat pegadai tidak dapat membayar utangnya. Terkecuali dari syarat ini adalah buah-buahan sebelum tampak matangnya dan biji-bijian sebelum mengeras. Walaupun dalam kondisi semacam ini tidak boleh diperjualbelikan, tetapi boleh menjadi barang gadaian. Apabila utang telah dibayar sebelum jatuh tempo, lepaslah buah-buahan tersebut dari pergadaian. Apabila buah-buahan tersebut matang sebelum jatuh tempo, bisa dijual terlebih dahulu untuk dijadikan jaminan/gadai. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang pengecualian ini, yang menurut asy-Syafi’i tidak boleh, namun yang rajih adalah boleh. (lihat al-Mughni, 6/455, 466, 461; al-Muhalla, 8/89; MudzakkirahFiqih, 2/339, al-Mulakhasal-Fiqhi, 2/53; Manarus Sabil, 2/84; dan Shahih al-Bukhari “Kitab ar-Rahn”)
4. Gadai dengan barang yang dimiliki secara berserikat
Atas dasar keterangan di atas, maka diperbolehkan menggadaikan barang yang dimiliki pegadai/rahin
secara berserikat dengan yang lain. Sebab, tujuan gadai adalah untuk
melunasi utang dengan harganya, dan barang yang dimiliki secara
berserikat bisa dijual. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i,
al-Auza’i, dan yang lain. (al-Mughni, 6/456)
5. Rahn dalam bentuk barang yang cepat rusak
Barang yang cepat rusak semacam
buah-buahan, baik yang membutuhkan pengeringan -seperti anggur dan
kurma- maupun yang tidak -seperti semangka- apabila perlu diawetkan
dengan cara dijemur karena waktu pembayaran belum tiba, biaya penjemuran
ditanggung oleh pegadai/rahin. Adapun yang tidak mungkin
dikeringkan dan dikhawatirkan rusak, barang tersebut dijual dan hasil
penjualannya menjadi pengganti barang gadaian sebelumnya. (al-Mughni 6/459 dan al-Muhalla 8/100)
6. Gambaran gadai dengan sebab beli atau sebab utang
Gadai bisa terjadi karena pembelian barang yang pembayarannya bersifat tempo, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dengan seorang Yahudi. Bisa jadi pula karena berutang atau meminjam,
yaitu seseorang berutang lalu memberikan jaminan berupa barang gadaian.
7. Gadai adalah lazim atas pegadai/rahin
Lazim yang dimaksud disini adalah sebuah
istilah dalam transaksi syar’i untuk menyebut sebuah transaksi yang
bersifat tetap dan tidak boleh dibatalkan selain dengan kerelaan dua
belah pihak yang bertransaksi.
“Rahn/gadai bagi penggadai/murtahin adalah hak baginya. Adapun bagi pegadai/rahin, itu adalah tanggungan baginya. Pemilik hak (murtahin) boleh menggugurkan atau merelakan tanpa kerelaan pihak yang lain (rahin), sedangkan penanggung hak (rahin) tidak boleh membatalkannya selain dengan kerelaan pihak yang lain.” (Mudzakkirah Fiqih 2/340)
8. Menjadi lazim sejak qabdh (dikuasai) oleh penggadai ataukah sejak akad?
Sejak kapankah ditetapkannya barang sebagai barang gadaian? Apakah sejak terjadinya akad atau sejak qabdh, yakni diterimanya barang tersebut oleh penggadai/murtahin?
Dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat. Pendapat yang lebih kuat adalah menjadi lazim sejak terjadinya
akad atas adanya pergadaian di antara dua belah pihak. Alasannya,
pergadaian adalah salah satu transaksi syar’i atau akad, dan ayat-ayat
menunjukkan wajibnya kita menepati akad dan janji, semacam firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُم
بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي
الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang
akan dibacakan kepadamu. (Hal itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (al-Maidah: 1)
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra’: 34)
Alasan lainnya adalah kewajiban menunaikan amanat. Keberadaan barang gadaian yang masih bersama pegadai/rahin adalah amanat di tangannya dari penggadai/murtahin. Ini adalah pendapat yang dipegangi oleh al-Imam Malik rahimahullah, dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah di masa ini.
Sementara itu, pendapat lainnya adalah
barang gadaian baru berstatus tetap sebagai barang gadaian apabila telah
diqabdh (diterima) oleh murtahin. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan
asy-Syafi’i rahimahumallah.
Di antara buah perbedaan ini adalah ketika barang gadaian itu masih di tangan pegadai, bolehkah ia menjualnya?
Menurut pendapat pertama, tidak boleh,
karena barang tersebut telah berstatus menjadi barang gadaian. Adapun
menurut pendapat kedua, boleh, karena belum berstatus sebagai barang
gadaian. Pendapat pertama lebih kuat. (Mudzakkirah Ushul Fiqh, 2/340 dan al-Mughni, 6/445)
9. Terus diqabdh oleh murtahin, apakah disyaratkan dalam tetapnya status barang gadaian?
Apabila dikatakan sebagai syarat, ketika
barang gadaian itu dipinjam oleh pegadai berarti batallah pergadaian.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
-
- Sebagian mereka menjadikannya syarat sahnya pergadaian, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka.
- Hal itu bukan syarat sehingga apabila suatu saat barang tersebut dipinjam oleh pegadai dan penggadai mengizinkannya, pergadaian tidak batal. Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dan di antara ulama masa ini yang berpendapat demikian adalah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Penulis sendiri cenderung kepada pendapat kedua, dengan alasan:
- Tetapnya status barang itu menjadi barang gadaian adalah dengan akad walaupun belum diqabdh, menurut pendapat yang kuat -sebagaimana uraian di atas- apalagi pada pembahasan kita ini.
- Pegadai diperbolehkan memanfaatkannya selama diizinkan oleh murtahin/penggadai dan tidak bermudarat pada barang gadaian. Ini artinya barang tersebut terkadang tidak dalam qabdh murtahin (seperti akan dijelaskan).
- Dibolehkan untuk menyewakan barang gadaian apabila keduanya sepakat. Hal ini juga berarti barang tersebut lepas dari qabdh murtahin.
- Hal ini tidak menghalangi keterkaitan hak murtahin dengan barang gadaian itu, yang menjadi tujuan gadai. Adapun firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“… hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al-Baqarah: 283)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa apabila (murtahin)
memegang barang gadaian satu kali, maka telah sempurna dan dia lebih
berhak terhadap barang tersebut daripada seluruh para penuntut piutang
terhadap pegadai. Di sisi lain, pegadai tidak boleh mengeluarkan barang
tersebut dari statusnya sebagai barang gadaian hingga hak yang ada pada
barang gadai tersebut dilepas (dengan membayar utang, –red.). (al-Umm, Abhats Hai’ah Kibar Ulama, asy-Syarhul Mumti’)
10. Murtahin/penggadai tidak boleh mengqabdh selain dengan izin pegadai/rahin
Murtahin atau penggadai tidak
diperkenankan mengqabdh atau menguasai barang gadaian tersebut tanpa
seizin pegadai atau rahin, karena barang tersebut tetap masih milik
rahin. (al-Mughni, 6/449)
11. Apakah akad rahn dilakukan bersamaan dengan akad pinjam meminjam, sebelumnya, ataukah sesudahnya?
Akad pergadaian bisa terjadi saat pembelian dengan pembayaran secara tempo, saat peminjaman uang, setelahnya, atau sebelumnya.
Untuk yang pertama (akad gadai bersamaan dengan akad peminjaman atau
pembelian secara tempo), sah menurut pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan
Ibnu Hazm rahimahumullah.
Untuk yang kedua (akad gadai terjadi sebelum akad peminjaman atau pembelian secara tempo), menurut Ibnu Qudamah rahimahullah juga sah secara ijma’. Namun, tampaknya Ibnu Hazm rahimahullah tidak sependapat.
Untuk yang ketiga (akad gadai terjadi
setelah akad peminjaman atau pembelian secara tempo), contohnya, “Mobil
ini saya gadaikan kepadamu, besok kamu pinjami saya uang senilai
sekian.” Ini sah menurut Abu Hanifah dan Malik. Namun, Ibnu Qudamah dan
Ibnu Hazm menganggap lemah pendapat ini. Alasannya, barang gadaian itu
sesuatu yang terkait dengan sebuah hak seseorang, sedangkan sebelum ada
akad jual beli atau pinjam-meminjam belum ada hak yang ditanggung,
bagaimana bisa diberikan rahn?! Berbeda halnya dengan yang pertama dan
kedua, jelas bahwa barang gadaian tersebut terkait dengan sebuah
tanggungan. (al-Mughni 6/444—445, al-Muhalla 8/101)
12. Tata cara qabdh (menguasai/pengambilalihan)Qabdh barang gadaian bisa dilakukan dengan dua cara :
Apabila barangnya bisa dipindahkan, murtahin mengqabdhnya dengan mengambilnya dari rahin dengan bentuk pemindahan.
Akan tetapi, apabila barangnya tidak bisa dipindahkan, seperti rumah dan tanah, qabdhnya dengan cara rahin menyerahkannya kepada murtahin dan tidak menghalangi murtahin untuk menguasainya.
Globalnya, qabdh dalam hal ini adalah seperti qabdh dalam masalah jual beli dan hibah. (al-Mughni 6/450, al-Muhalla, 8/89 )
13. Rahn tidak lepas sampai utang dibayar, atau penggadai/murtahin melepaskannya.
rahn/barang gadai tidak dapat
lepas dari statusnya sebagai barang yang digadaikan kecuali jika utang
telah dibayar seluruhnya, karena barang tersebut adalah jaminan bagi
seluruh utangnya. (Manarus Sabil, 2/87)
Kemungkinan lain, murtahin/penggadai melepasnya dengan kerelaannya. Ketika itu, barang gadaian tersebut terlepas karena penggadai telah melepaskan haknya.
14. Apabila rahin telah membayar sebagian utang
Pembayaran sebagian utang belum bisa melepaskan barang gadaian, atas dasar keterangan sebelumnya. Ibnul Mundzir rahimahullah
berkata, “Semua (ulama) yang saya hafal/ketahui pendapatnya
(menyatakan) bahwa siapa saja yang menggadaikan sesuatu dengan sebuah
barang lantas membayarkan sebagiannya dan ingin melepaskan sebagian
barang gadaiannya, ia tidak boleh melakukannya sampai dia melunasi
hingga akhir tanggungannya dan melepaskannya.” Ini adalah pendapat
Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, dan yang dipilih oleh Ibnu Hazm. (al-Mughni 6/481, al-Muhalla 8/101, dan ManarusSabil, 2/87)
15. Apabila utang telah jatuh tempo tetapi belum dibayar, rahn dijual untuk membayar utang
Apabila telah datang waktu pelunasan utang, pegadai/rahin
diminta untuk membayar utangnya sebagaimana layaknya utang lainnya yang
tidak melibatkan barang gadaian. Namun, apabila ia tidak bisa
membayarnya, barang gadaian itu digunakan untuk melunasi utang dengan
cara yang dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah sebagaimana berikut ini.
Apabila barang gadaian itu sama jenisnya
dengan barang yang diutang dan seukuran/senilai dengan utangnya, barang
tersebut bisa diambil oleh penggadai/ murtahin sebagai pelunasannya.
Jika ternyata nilainya lebih besar daripada utangnya, dia ambil haknya
dan mengembalikan kelebihannya. Apabila ternyata kurang, dia ambil
seluruhnya dan kekurangannya tetap menjadi tanggungan pegadai/rahin….2
Apabila barang gadaian itu dari jenis
yang berbeda (dengan yang diutang) dan keduanya bersepakat (setelah tiba
waktu pelunasan, -red.) untuk menjadikannya sebagai ganti utangnya, hal
itu diperbolehkan sesuai dengan persetujuan mereka berdua. Namun,
apabila penggadai/murtahin tetap meminta pelunasan dalam bentuk barang
yang sejenis dengan yang dia
utangkan, barang tersebut dijual dan
hasil penjualannya diberikan kepadanya (sesuai dengan nilai utangnya).
(Mudzakkirah Fiqih 2/342—343, al-Mughni 6/5531, Manarus Sabil, 2/88)
16. Apabila rahin tidak mau menjual barang gadaian atau
melunasi utangnya, hakim berhak menjual barang tersebut atau
menghukumnya.
Asy-Syaikh al-Fauzan berkata, “Apabila
dia tidak mau, berarti dia mumathil (orang yang menunda-nunda utang
padahal ada kemampuan). Ketika itu, hakim memaksanya untuk membayar
utang.
Kalau tidak mau juga, hakim memenjarakannya dan memberikan sanksi ta’zir3
sampai dia mau melunasi utang yang ditanggungnya dari hartanya sendiri,
atau menjual barang gadaiannya dan melunasi utangnya dari hasil
penjualan barang gadai tersebut.
Apabila tidak mau juga, hakim berhak
menjual barang tersebut dan melunasi utang rahin dengannya karena ini
adalah kewajiban atas orang yang berutang, sehingga hakim mewakilinya
saat ia tidak mau melakukan pembayaran. Selain itu, barang tersebut
adalah jaminan atas utangnya yang dijual saat jatuh tempo. Apabila
ternyata ada sisa setelah dibayarkan utangnya, itu menjadi milik
pegadai/rahin dan dikembalikan kepadanya karena itu adalah hartanya.
Namun, kalau belum tertutupi dengan hasil penjualan barang gadaian itu,
utangnya tetap menjadi tanggungan pegadai/rahin dan wajib dia lunasi.” (al-Mulakhashal-Fiqhi 2/55, al-Mughni 6/531, Manarus Sabil, 2/88)
17. Persyaratan murtahin ‘Apabila utang tidak dibayar, rahn jadi milik saya.’Persyaratan ini adalah persyaratan yang batil atau rusak.
“Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu
Umar, Syuraih, an-Nakha’i, Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur
ra’yi, tidak kami ketahui seorang pun menyelisihi mereka,” demikian kata
Ibnu Qudamah (al-Mughni 6/507).
Dalam hal ini diriwayatkan sebuah hadits yang mursal,
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ
“Barang gadaian tidak boleh ditutup.”
(HR. Ibnu Majah, Malik, ad-Daraquthni, IbnuHibban, dan al-Baihaqi. Lihat
Irwa’ul Ghalil no.1410)
Akan tetapi, para ulama menerima maknanya dan mereka berpendapat sesuai dengan kandungannya.
Al-Imam Ahmad rahimahullah
menerangkan makna hadits tersebut ketika al-Atsram bertanya kepadanya,
“Apa makna barang gadaian tidak boleh ditutup?” Beliau menjawab,
“Seseorang tidak boleh menggadaikan barangnya kepada orang lain lantas
mengatakan, ‘Kalau aku datang membayar dengan uang dirham sampai waktu
tertentu (maka aku ambil kembali barang itu). Kalau tidak, barang itu
menjadi milikmu’.” (al-Mughni 6/507, Manarus Sabil 2/87)
18. Murtahin lebih berhak dari seluruh ghurama’ (kreditur)/punya hak mendahului (hak preferensi)
Ketika pegadai juga memiliki tanggungan
yang lain sehingga banyak pihak (kreditur) menuntutnya, sementara itu ia
tidak mampu membayar semua utangnya, murtahin lebih didahulukan daripada penuntut yang lain terhadap barang yang digadaikan tersebut.
Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Dia (penggadai/murtahin) memiliki kekhususan terhadap nilai
barang gadaian tersebut dibandingkan penuntut selainnya, karena haknya
terkait dengan barang gadaian dan tanggungan pegadai itu sekaligus.
Adapun hak para penuntut yang lain hanya terkait dengan tanggungan
rahin/pegadai (dalam kasus utang lain yang tanpa barang gadaian), tidak
terkait dengan barang gadaian tersebut. Dengan demikian, hak murtahin
lebih kuat.
Ini adalah salah satu faedah terbesar dari barang gadaian, yaitu
diutamakannya hak kreditur gadai apabila terjadi muzahamah/persaingan di
antara para penuntut utang (kreditur lainnya). Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Ini adalah mazhab asy-Syafi’i,
ashabur ra’yi, dan yang lain. Barang gadaian itu lalu dijual, apabila
harganya senilai utangnya, dia ambil semuanya. Apabila lebih besar dari
nilai utangnya, sisanya dibagi kepada para penuntut. (al-Mughni,
6/531—532)Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
(1) Satu wasaq=60 sha’;1 sha’=4 mud;1 mud=544 gr. Jadi, 1 wasaq sekitar 130 kg.
(2) Contohnya, iameminjamuang rupiahkepada seseorang dan menjadikan baranggadaiannya jugauangrupiah dengan nilaiyang samayang dipasrahkan kepada seseorang yangamanah dengan kesepakatan keduabelah pihak.
(3) Ta’zir adalah sanksi yang diberikan oleh hakim sesuai dengan kebijaksanaannya dalam rangka membuat pelakunya jera.
Posting Komentar