
Di Balik Keindahan Islam Manhaji
Islam, Cahaya Bagi Kehidupan
Sebelum Islam datang, kehidupan umat
manusia berlumur kenistaan. Norma-norma agama tidak dihiraukan. Akhlak
mulia diabaikan. Kesyirikan—dosa besar yang paling besar—menjadi ikon
peradaban. Pembunuhan, kezaliman, perzinaan, dan beragam kemaksiatan
lainnya menyatu dalam kehidupan. Sementara itu, cahaya iman dan
ramburambu tauhid padam, seiring dengan berputarnya roda zaman. Masa itu
pun kemudian dikenal dalam sejarah dengan masa jahiliah (kebodohan).
Kala umat manusia berada dalam jurang
kejahiliahan itu, Allah Yang Maha rahman mengutus Rasul-Nya yang
terbaik, Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai pemberi peringatan, membawa petunjuk ilahi, agama Islam yang benar dan Kitab Suci al-Qur’an.
Dengan itulah, Allah l menunjuki umat
manusia kepada jalan keselamatan dan mengentaskan mereka dari jurang
kejahiliahan menuju kehidupan Islam yang terang benderang.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah (Allah Subhanahuwata’ala) yang
telah mengutusR asul-Nyad engan(m embawa) petunjukd ana gamay angb
enar,a gar Allahmemenangkanagamatersebut atassemuaagamayangada, walaupun
orang-orangm usyrikti dakm enyukainya.” (ash-Shaff: 9)
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا
مِّمَّا كُنتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ ۚ قَدْ
جَاءَكُم مِّنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ () يَهْدِي بِهِ اللَّهُ
مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ
“Hai Ahli kitab,telah datang kepada
kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari al-Kitab yang
kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sungguh, telah
datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan
(al-Qur’an). Dengan kitab itulah, Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu
pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya
yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka kejalan
yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Islam Rahmatan Lil Alamin
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Agama yang
diliputi kesempurnaan dan keindahan. Syariatnya yang senantiasa relevan
sepanjang masa benar-benar menyinari segala sudut kehidupan. Tak hanya
wacana keilmuan yang dihadirkan, misi tazkiyatun nufus (penyucian jiwa)
dari berbagai akhlak tercela (amoral) pun selalu ditekankan, seiring
dengan misi keilmuan tersebut yang mengawal umat manusia menuju puncak
kemuliaan. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya’: 107)
Syariatnya senantiasa memerhatikan
hubungan antara hamba dan Penciptanya (Allah Subhanahuwata’ala), dengan
memurnikan ibadah hanya untuk-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, tunduk dan patuh kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya,
memosisikan-Nya sebagai tumpuan hidup, serta berlepas diri dari
orang-orang yang menyekutukan- Nya.
Demikian pula, Islam memerhatikan
hubungan antara hamba dan sesamanya, yaitu dengan cara menyayangi yang
lebih muda dan menghormati yang lebih tua, menyantuni yang lemah,
membantu yang sedang kesulitan, menyambung tali silaturahmi, menjaga
hubungan baik dengan tetangga, memuliakan tamu, bagus dalam bermuamalah
(berinteraksi), jujur dalam bertransaksi, dan sebagainya.
Syariat Islam adil dan tepat, tidak
berlebihan dan tidak bermudah-mudahan dalam segala aspeknya. Itulah di
antara kesempurnaan Islam. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Padahari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kalian agama kalian, telah Ku cukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhaI islam itu sebagai agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahumullah dalam ceramah agama yangbertajuk
asy-Syari’ahal-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratual-Basyar Ilaiha
mengatakan, “Syariat ini dipenuhi kemudahan, toleransi, kasih sayang,
dan kebaikan. Syariat ini dipenuhi oleh kemaslahatan yang tinggi dan
senantiasa memerhatikan berbagai sisi yang dapat mengantarkan para hamba
menuju kebahagiaan dan kehidupan mulia, di dunia dan di akhirat.”
Islam, Nikmat yang Amat Mulia
Di antara kenikmatan yang teramat mulia
bagi seseorang adalah nikmat Islam. Orang-orang yang hidup di bawah
bimbingan Islam tidak sama dengan orang-orang yang hidup berkesumat
benci terhadapnya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
أَفَمَن
شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ
ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ
فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Apakah orang-orang yang Allah lapangkan
dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari
Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang
besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Alah,
mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)
Asy-Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di rahimahumullah berkata, “Apakah orang yang dilapangkan dadanya
oleh Allah Subhanahuwata’ala untuk (menyambut) agama Islam, siap
menerima dan menjalankan segala hukum (syariat) yang dikandungnya dengan
penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah
makna firman Allah Subhanahuwata’ala, ‘ia mendapat cahaya dariRabbnya’),
sama dengan selainnya? Yaitu, orang-orang yang membatu hatinya terhadap
Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahuwata’alal, dan
berat hatinya menyebut (nama) Allah Subhanahuwata’ala. Dia justru selalu
berpaling dari (ibadah kepada) Rabbnya dan mempersembahkan (ibadah
tersebut) kepada selain Allah Subhanahuwata’ala. Merekalah orang-orang
yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir
al-Karimirrahman, hlm. 668)
Tak heran apabila
Allah Subhanahuwata’ala mewasiatkan kepada para hamba-Nya agar masuk ke
dalam agama Islam itu secara total (kaffah), sebagaimana firman-Nya,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kalian ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi
kalian.” (al-Baqarah: 208)
Menilik Dasar Hukum Islam
Dasar hukum Islam yang paling utama adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesempurnaan dan keindahan Islam tak bisa dipisahkan dari keduanya. Sejak dini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan keduanya kepada umat, dengan membacakannya dan menjelaskan
segala kandungannya. Itulah di antara misi utama diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh umat manusia. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن
كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ () وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا
يَلْحَقُوا بِهِمْ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ()
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat- Nya
kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada
kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan Mereka Dia-lah
Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (al-Jumu’ah: 2—3)
Kedudukan keduanya sebagai dasar hukum
semakin nyata manakala Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan orang-orang
yang beriman agar kembali kepada keduanya saat terjadi perbedaan
pendapat di antara mereka. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kalian.Kemudian
jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika Kalian benar-benar beriman
kepada Allah Dan harikemudian. Hal itu lebih utama (bagi kalian) dan
lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahumullah
berkata, “Ini adalah perintah Allah Subhanahuwata’ala agar segala yang
diperselisihkan oleh manusia, baik dalam masalah pokok agama maupun
cabangnya, dikembalikan kepada al- Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana
firman-Nya ,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
‘Tentang apa pun yang kalian
perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai
sifat sifat demikian) itulah Allah Rabbku. Hanya kepada-Nyalah aku
bertawakal dan hanya kepada-Nya pula aku kembali.’ (asy-Syura: 10)
Oleh karena itu, apa yang diputuskan dan
dinyatakan benar oleh Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya maka
itulah yang benar, sedangkan yang selainnya adalah kesesatan.” (Tafsir
Ibnu Katsir 2/345)
Dengan mengikuti keduanya, akan diraih keberuntungan di dunia dan di akhirat. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ
مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ
إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ
آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي
أُنزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti
Rasul, nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis didalam
Taurat dan Injil yang ada disisi mereka, menyuruh
merekamengerjakanyangma’ruf (baik) dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar (buruk); menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk; serta membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Orang-orang yang
beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah
orang-orang yangberuntung.” (al-A’raf: 157)
Demikianlah al-Qur’an dan as- Sunnah.
Keduanya adalah peninggalan berharga yang diwariskan oleh Rasulullah n
kepada umatnya. Barang siapa berpegang teguh dengan keduanya, niscaya
tak akan sesat selama-lamanya. Rasulullah n bersabda,
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ
“Aku wariskan untuk kalian dua hal, jika
kalian berpegang teguh dengan keduanya tak akan sesat selama-lamanya:
Kitabullah(al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik dalam al-
Muwaththa’, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul
Mashabih 1/66)
Satu hal penting yang harus diperhatikan
oleh setiap muslim dan muslimah bahwa berpegang teguh dengan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dengan cara seseorang memahaminya secara benar sesuai dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (as-salafushshalih)
Tidak berdasarkan logika atau hawa nafsu. Di samping itu, dia menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman hidup, dan kembali kepada keduanya saat terjadi perbedaan pendapat.
Islam di Antara Makar Musuh- Musuhnya
Kesempurnaan dan keindahanIslam amat
dibenci oleh musuh-musuhnya. Sebab itu, sejak awal masa keislaman,
mereka tak pernah tinggal diam. Berbagai makar dan permusuhan mereka
lakukan. Terkadang dengan kontak fisik yang terwujud dalam berbagai
episode peperangan. Terkadang pula dengan perang pemikiran (ghazwul
fikri). Perang jenis kedua inilah yang terus mereka gencarkan hingga
hari ini. Karena di mata mereka, hal ini sangat strategis demi
pendangkalan keimanan dan emosional keislaman (ghirah) kaum muslimin.
Tak pelak, kerancuan berpikir (syubhat)
mereka tebar di tengahtengah kaum muslimin, terutama yang berkaitan
dengan al-Qur’an dan as- Sunnah. Targetnya, menjauhkan kaum muslimin
dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengikis kepercayaan mereka terhadap
kedua peninggalan berharga yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
itu. Mereka yakin, selama kaum muslimin berpegang teguh dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya kehidupan mereka terbimbing dan sulit
dikalahkan. Terkait dengan al-Qur’an, mereka tebar beragam kerancuan
berpikir (syubhat) atau hujatan. Di antaranya adalah:
1. Al-Qur’an adalah buatan Muhammad,
bukan wahyu dari Allah Subhanahuwata’ala. Allah Subhanahuwata’ala
membantah tuduhan semacam ini dalam firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ
“Sesungguhnya kamu benar-benar diberial-Qur’andarisisi(Allah) yang Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (an-Naml: 6)
قُلْ
نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ
آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ () وَلَقَدْ نَعْلَمُ
أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ ۗ لِّسَانُ الَّذِي
يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ ()
“Katakanlah,‘ Ruhul Qudus( Jibril)
menurunkan al-Qur’an itu dari Rabbm dengan benar, untuk meneguhkan (
hati) orang-orang yang telah beriman,serta menjadi petunjuk dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Alah).’ Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwa mereka berkata‘, Sesungguhnya al-Qur’an itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah
bahasa‘ajam (selain bahasa Arab), sedangkanal-Qur’an adalah dalam bahasa
Arab yang terang.” (an-Nahl: 102—103)
2.A l-Qur’an adalah dongengan orang-orang dahulu.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمِنْهُم
مَّن يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ ۖ وَجَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن
يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا ۚ وَإِن يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَّا
يُؤْمِنُوا بِهَا ۚ حَتَّىٰ إِذَا جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ
الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
“Diantara mereka adaorang yang
mendengarkan (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas
hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan( Kamil etakkan)
sumbatan di telinga mereka. Jika pun Mereka melihat segala tanda(
kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sampai apabila
mereka Datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata,
‘Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongengan orang- orang dahulu’.”
(al-An’am: 25)
3. Al-Qur’an adalah kumpulan syair yang digubah oleh Muhammad. Allah Subhanahuwata’ala membantah mereka dalam firman-Nya,
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُّبِينٌ
“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya
(Muhammad) dan bersyair Itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak
lain hanyalah pelajaran dan kitab Yang memberi penerangan.”( Yasin:6 9)
4. Al-Qur’an adalah kitab suci palsu,
mengalami perubahan, atau tidak lengkap, sebagaimana hujatan kaum
Syi’ah. Allah Subhanahuwata’ala membantah tuduhan semacam ini dalam
firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang Menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”3 (al-Hijr: 9)
5. Ayat-ayat al-Qur’an saling bertentangan. Allah Subhanahuwata’ala membantahnya dalam firman-Nya,
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ
عِوَجًا ۜ () قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ
وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ
لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا ()
“Segala puji bagi Allah yang telah
menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Qur’an) dan dia tidak
Mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk
memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allahdan memberi
berita gembira kepada orang-orang Yang beriman, yang mengerjakan amal
saleh, bahwa mereka akan mendapat Pembalasan yang baik.” (al-Kahfi: 1—2)
Demikianlah Kitab Suci al-Qur’an.
Betapapun banyaknya makar yang ditujukan kepadanya, kesucian dan
kemurniannya akan senantiasa terjaga, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Allah Subhanahuwata’ala dalam surat al-Hijr ayat 9 di atas.
Adapun makar dan hujatan musuhmusuh Islam terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beragam pula bentuknya. Target utamanya adalah agar Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ditolak oleh umat, baik secara total maupun sebagiannya. Terkait hal ini, Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ () إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ()
“Tiadalah yang diucapkann yaitu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (an-Najm: 3—4)
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl: 44)
مَّا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberitakan Rasul kepada
kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah;
dan bertakwalah kepada Allah . Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ingatlah, sungguh aku telah diberi
(olehAllah Subhanahuwata’ala, -pen.) al-Kitab dan yang semisal dengannya
(as-Sunnah, -pen.) secara bersamaan. Ingatlah, sungguh akan ada seorang
laki-laki yang kenyang perutnya sambil bertelekan diatas sofanya
mengatakan, ‘Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan al-Qur’an ini, apa
yang kalian dapati padanya dari sesuatu yang halal maka halalkanlah,
dan apa yang kalian dapati padanya dari sesuatu yang haram maka
haramkanlah.’ ( Kemudian beliau bersabda ),‘Dan ( ingatlah ),
sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah n itu seperti yang
diharamkan oleh Allah Subhanahuwata’ala….’.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah dari sahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 163)
Demikianlah selayang pandang tentang
Islam dan keindahannya, semoga dapat memberikan pencerahan bagi
kehidupan kita. Dengan satu harapan, semoga kita semakin giat
mempelajari Islam dan semakin sabar mengamalkannya di setiap sendi
kehidupan kita. Wallahua’lambish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Mengapa Mereka Ragukan Keindahan Islam?
Islam seluruhnya indah. Akidahnya
adalah akidah yang paling benar, paling lurus, dan menyucikan jiwa. Adab
adab yang diajarkannya paling terpuji. Demikian pula amalan-amalan dan
hukum-hukumnya adalah amalan dan hukum yang paling baik dan paling
adil. Islam adalah agama kebahagiaan, ketenteraman, serta kemenangan di
dunia dan akhirat.
Islam tidak membiarkan manusia dalam
kesendiriannya, atau bersama keluarga, sanak saudara, tetangga, atau
bersama saudara-saudara seagamanya, bahkan bersama manusia lainnya,
tetapi Islam mengajarkan adab-adabnya secara rinci, serta menunjukkan
cara-cara bergaul yang membuat kehidupannya damai dan penuh kebahagiaan.
Ketika seseorang mau menatap dan mentadabburi mahasin (keindahan) Islam, sungguh Allah subhanahu wata’ala akan meresapkan keimanan dan kelezatan iman ke dalam kalbunya. Allah subhanahu wata’alaberfirman,
وَلَٰكِنَّ
اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ
وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ
هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan, menjadikan iman itu indah dalam kalbumu, serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (al-Hujurat:
7)
Keindahan yang Tidak Terlukiskan Ibnul
Qayyim rahimahumullah berkata, “Jika Anda perhatikan hikmah yang sangat
agung pada agama yang lurus, syariat yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan segala kesempurnaannya, niscaya keindahan syariat ini tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata, tidak kuasa untuk disifatkan, serta
tidak dapat digambarkan oleh orang-orang yang akalnya cemerlang
sekalipun. Mereka tidak bisa melakukannya meskipun mereka berkumpul
untuk memikirkannya, meskipun mereka semua memiliki akal yang paling
sempurna—menurut ukuran akal yang paling cemerlang untuk mengenali
keindahan Islam dan menyaksikan keutamaannya.
Sungguh, di alam semesta ini tidak
pernah ada syariat yang lebih sempurna, lebih mulia, dan lebih agung
darinya. Syariat Islam itu sendirilah yang menjadi saksi dan yang
disaksikan, menjadi hujah dan yang didukung oleh hujah, tentang
keagungan dan keindahannya. Bahkan seandainya Rasul tidak datang membawa
bukti keterangan niscaya sudah cukup syariat ini menjadi bukti dan
saksi bahwa ia diturunkan dari sisi Allah subhanahu wata’ala.” ( Miftah Dar as-Sa’adah)
Syariat Islam sangat agung dan penuh
keindahan. Cahaya keindahannya telah menyinari semesta dan setiap orang
mampu menatapnya. Akan tetapi, bersama dengan terangnya cahaya kebenaran
tersebut, tetap saja kebanyakan manusia lebih suka memilih jalan-jalan
setan.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk ( memasuki)
agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat.” (al-Baqarah: 256)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dalam keadaan ajaran Islam mencapai puncak-puncak keindahan,
kesempurnaan, dan keadilan karena yang mensyariatkan adalah Allah subhanahu wata’ala,
Dzat yang Mahaindah, Mahasempurna, dan Maha adil. Untuk memeluk agama
Islam yang penuh dengan keindahan inilah, seluruh manusia diseru agar
tunduk berserah diri beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Ilah (sesembahan) kalian semua ialah
Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh ( kepada
Alah).” (al-Hajj: 34)
Sebenarnya Mereka Tahu
Musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala
sebenarnya sadar bahwa Islam adalah agama yang mulia, agama yang penuh
dengan keindahan. Bahkan, kekaguman itu terucap dari lisan sebagian
mereka atau telah masuk dalam relung hati mereka. Akan tetapi,
kedengkian dan hasad menghalangi mereka dari hidayah. Kejahilan dan hawa
nafsu membuatnhati mereka terbalik, seperti kekufuran Fir’aun dan
kaumnya.
فَلَمَّا
جَاءَتْهُمْ آيَاتُنَا مُبْصِرَةً قَالُوا هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ ()
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ
فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang
jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka‘Ini adalah sihir yang
nyata.’ Mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka)
padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka dari itu,
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
(an-Naml: 13—14)
Demikian pula ahlul kitab yang di atas
ilmu. Mereka berpaling dari hidayah dalam keadaan mengenal kebenaran
Islam dan Nabi Muhammad, serta lebih memilih jahannam. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ
وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti
mengenal anak-anak mereka sendiri. Sungguh, sebagian diantara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (al-Baqarah: 146)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang ahlul kitab,
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ
بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَٰؤُلَاءِ
أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
“Apakah kamu tidak memerhatikan
orang-orang yang diberi bagian dari al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt
dan thaghut, serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik
Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang
beriman.” (an-Nisa: 51)
Ayat ini turun berkenaan dengan dua
tokoh ahlul kitab, Huyai bin Akhthab dan Ka’b al-Asyraf. Keduanya
mengerti betul kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya juga sangat yakin akan kebenaran Islam.
Namun, ketika musyrikin Makkah bertanya
kepada keduanya saat datang ke Makkah, “Kalian adalah ahlul kitab.
Kabarkanlah kepada kami siapa yang lebih mendapat petunjuk, kami atau
Muhammad dan pengikutnya?” Keduanya menjawab dengan jawaban yang
disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam ayat di atas, “Kalian (musyrikin Makkah) lebih baik dan lebih lurus jalannya daripada Muhammad dan sahabatnya.”
Demikian pula munafikin, mereka tahu kebenaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keindahan Islam, namun kebencian dan hasad membutakan hati mereka. Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
sekawanan munafikin mengolok-olok beliau dan para sahabat, menjadikan
beliau sebagai bahan ejekan dan senda gurau. Ketika Perang Tabuk, di
antara mereka memberikan komentar tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan ucapan kekafiran,
“Belum pernah kita melihat semisal mereka para pembaca al-Qur’an (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat), yang paling rakus makannya, paling dusta ucapannya, dan paling penakut kala berhadapan dengan musuh.”
Allahu Akbar, sungguh mereka telah mengucapkan sebuah perkataan yang bertolak belakang dengan yang mereka ketahui. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bukanlah orang yang rakus atau banyak makan, sebaliknya beliau bersabar
dengan kelaparan yang beliau derita. Beliau pernah mengganjal perut
dengan bebatuan. Beliau bukan pula pendusta, bahkan manusia menjulukinya
sebagai al-Amin sebelum kerasulan beliau.
Tidak sekalipun beliau berdusta. Demikian pula dalam perang, tidak ada seorang pun yang lebih pemberani daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua tuduhan munafikin dan orang kafir kepada Islam dan Nabi Islam
adalah dusta. Sepanjang sejarah, iblis dan bala tentaranya berusaha
memalingkan manusia dari Islam dengan menyematkan tuduhan-tuduhan keji
terhadap Islam.
Padahal Islam diliputi dengan keindahan.
Enam tahun silam misalnya, sebagian orang menyebarkan gambar karikatur
Nabi bersorbankan rudal, menggambarkan kekejaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan syariat Islam yang beliau bawa. Padahal semua tahu, sejarah manusia
menyaksikan, dunia pun menjadi saksi bisu bahwa orang-orang kafirlah
yang justru telahmembuat kerusakan di muka bumi.
Merekalah yang telah menumpahkan
darah-darah manusia. Merekalah yang menebarkan kekejaman dan kekejian.
Terkait kejadian ini, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali
hafizhahullah berkata, “Media massa, baik surat kabar maupun yang
lainnya, telah menyebarkan berita-berita menyedihkan dan melukai (umat),
yang bersumber dari musuhmusuh Islam yang dengki dan terputus dari
kebaikan, yang menyudutkan agama dan nabi Islam. (Di antaranya)
perbuatan yang mengandung celaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjelek-jelekkan risalahnya, baik yang muncul dari individu maupun organisasi Nasrani yang menyimpan kedengkian.
Juga dari sebagian penulis yang dengki
dan orang yang tidak peduli, seperti para karikaturis sebuah surat kabar
Denmark, Jylland Posten, yang menghina sebaik-baik manusia dan rasul
paling sempurna, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal, bumi tidak pernah mengetahui
ada orang yang lebih cerdas dan lebih mulia daripada beliau dalam hal
akhlak, keadilan, dan kasih sayang. Tidak pernah diketahui ada satu
risalah pun yang lebih sempurna, lebih menyeluruh, lebih adil, dan lebih
kasih sayang daripada risalah beliau.
Risalah ini mengandung keimanan terhadap
seluruh nabi dan rasul, menghormati mereka dan menjaga mereka dari
tikaman dan penghinaan, serta menjaga sejarah mereka. Di antara para
rasul tersebut adalah ‘Isa dan Musa ‘alaihisslam. Barang siapa kafir terhadap Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghinanya, berarti dia telah kafir terhadap para rasul dan menghina mereka semuanya.
Sungguh, orang-orang rendahan dan buas itu telah mengolok-olok beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah membuat beragam karikatur, berjumlah dua belas karikatur
yang sangat menghina. Salah satunya menampilkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan sorban yang menyerupai bom di atas kepalanya.”
Pembaca, demikianlah musuh-musuh Islam
mengolok-olok dan menuduh Islam sebagai agama kejam, keji, dan agama
yang menyebarkan teror. Tidak tanggungtanggung, mereka merobek
kehormatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disebarkan ke
seluruh penjuru dunia, padahal sesungguhnya mereka mengetahui kemuliaan
Islam dan kebobrokan diri mereka sendiri….
Asy-Syaikh Rabi’ berkata selanjutnya, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para khalifahnya yang terbimbing, dan para sahabatnya yang mulia, tidak
pernah membuat pabrik-pabrik senjata, meski persenjataan kuno
sekalipun, baik pedang maupun tombak, lebih-lebih bom atom dan rudal
antarbenua, serta semua jenis senjata pemusnah massal. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat satu pun pabrik senjata karena beliau diutus sebagai rahmat bagi alam semesta….
Adapun kalian, wahai orangorang Barat
yang sok mengaku modern, kami nyatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya
kalian memiliki aturan dan perundang-undangan yang menghancurkan akhlak
dan membolehkan berbagai perkara yang haram. Di antaranya adalah zina
dan penyimpangan seksual. Di antaranya juga adalah riba yang
menghancurkan ekonomi umat. Kalian menghalalkan bangkai dan daging babi
yang mengakibatkan sifat dayyuts sehingga seorang laki-laki tidak merasa
cemburu terhadap istrinya, saudara wanitanya, dan anak perempuannya.
Kemudian wanita-wanita itu berzina dan mencari pasangan kumpul kebo
semaunya. Ini adalah sarana-sarana penghancur yang diharamkan oleh
risalah semua rasul.
Adapun bom dan seluruh senjata pemusnah
serta sarana-sarananya, baik pesawat tempur, tank, maupun rudal
jelajah, sesungguhnya kalianlah para insinyur dan produsennya. Semua itu
dengan akal setan kalian yang tidak berpikir selain demi permusuhan,
kezaliman, kekerasan, melampaui batas, ketamakan menguasai seluruh jenis
manusia serta memperbudak mereka, menumpahkan darah dan merampok
kekayaan mereka… Semua itu dipoles dengan nama kemajuan, membela hak
asasi manusia, kebebasan, dan keadilan….”1
Wahai orang-orang yang tertipu, siapakah yang berbuat kerusakan di muka bumi? Para nabi dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mereka para kafir durjana?
Faedah Mempelajari Keindahan Islam
Di tengah-tengah badai fitnah dan perang
pemikiran, serta semakin jauhnya sebagian kaum muslimin dari mengenal
keindahan agamanya, pembahasan mengenai mahasin dinul Islam menjadi
perkara yang sangat penting karena:
1. Mentadabburi dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah tentang keindahan Islam termasuk amalan yang termulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran.” (Shad: 29)
2. Mempelajari dan mentadabburi keindahan
Islam adalah salah satu bentuk syukur terhadap nikmat Islam yang
dianugerahkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (adh-Dhuha: 11)
3. Merenungkan keindahan Islam dan kesempurnaan syariat Allah subhanahu wata’ala
adalah salah satu sebab bertambahnya keimanan, hingga ia merasakan
kelezatan iman. Semakin kuat perhatian seorang muslim terhadap keindahan
agama ini, semakin kokoh tapak kakinya dalam mengenal agama ini,
mengenal keindahan dan kesempurnaannya, serta keburukan apa pun yang
menyelisihinya. Ia pun menjadi orang yang kuat keimanannya.
Barang siapa mengenal Islam di atas ilmu, dia akan ridha Allah subhanahu wata’ala sebagai Rabbnya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabinya, dan Islam sebagai agamanya, serta tidak pernah terbetik dalam kalbunya untuk mencari ganti selain Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tiga sifat yang jika itu ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: (Pertama) Allah subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya (Kedua) ia mencintai
seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah Subhanahu wata’ala
(Ketiga) ia membenci untuk kembali kepada kekafira setelah Allah
menyelamatkannya darinya sebagaimana ia benci untuk dilempar dalam
api.”
4. Mempelajari dan menyebarkan mahasin Islam termasuk sebesar-besar dakwah kepada orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam.
5. Mempelajari dan menyebarkan mahasin
Islam termasuk sebesar-besar dakwah (ajakan) kepada kaum muslimin untuk
lebih bertamassuk (berpegang teguh) dengan Islam.
6. Pembahasan mahasinul Islam juga sebagai bantahan bagi musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala yang selalu memutarbalikkan fakta, dan menyematkan tuduhan-tuduhan keji terhadap Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demi Allah, pembahasan mahasinul Islam,
seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahumullah, tidak mungkin kita
ibaratkan dengan kata-kata. Seandainya seluruh orang cerdas
mendiskusikannya tidaklah mungkin mereka mampu menunaikan hak-haknya.
Apa yang kita lakukan hanyalah upaya
kecil untuk menyadarkan diri kita dari kelalaian, dan usaha untuk
mensyukuri nikmat Islam yang Allah Subhanahuwata’ala anugerahkan kepada
kita. Di samping itu, kita berusaha memberikan peringatan kepada
musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala yang berupaya mengolok-olok Islam bahwa makar busuk mereka tidak pernah akan berhasil.
Sebab, Allah Subhanahu wata’ala lah yang menyempurnakan cahaya agama-Nya, kemudian di hadapan mereka sungguh ada azab yang pedih.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama)
Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap
menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaff:
8)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Menyelami Samudra Keindahan Islam
Islam adalah Agama Seluruh Nabi dan
Rasul Islam adalah agama yang memiliki fadhilah (keutamaan) yang tidak
terhingga. Siapa pun yang menyelaminya, dia akan mendapatkan betapa luas
dan dalamnya keindahan itu. Di antara keutamaannya, Islam adalah agama
seluruh nabi dan rasul. Islam secara syariat adalah:
الْاِسْتِسْ مَالُ لِلهِ بِالتَّوْحِيدِ وَالْاِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأهَْلِهِ
“Menyerahkan diri kepada
Allah Subhanahuwata’ala denganmentauhidkan-Nya, tunduk kepada
Allah Subhanahuwata’ala dengan ketaatan kepada-Nya, serta berlepas diri
dari kesyirikan dan pelakunya.”
Agama Islam inilah yang didakwahkan oleh
seluruh nabi dan rasul kepada umatnya, dari rasul yang pertama hingga
diutusnya penutup para nabi, Muhammad bin Abdillah radhiyallahu anhu.
Perbedaan yang ada dari risalah nabi dan rasul hanya pada ahkam (hukum
hukum tata cara ibadah) yang memang Allah Subhanahuwata’ala
menetapkannya berbeda sesuai dengan zaman dan keadaan setiap umat.
Sebagai contoh, dalam syariat terdahulu, tanah tidak dijadikan sebagai alat bersuci. Adapun dalam syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanah menjadi pengganti air untuk bersuci, yakni dengan bertayammum. Dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terhapuslah semua hukum nabi nabi terdahulu. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَ تَّالٍ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi adalah saudara dengan ibu-ibu yang berbeda, namun agamanya satu.” (HR. al-Bukhari no. 3187)
Makna hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa semua nabi dan rasul berada pada satu pokok agama,
yaitu Islam dengan maknanya secara syar’i: Menyerahkan diri kepada Allah
dengan mentauhidkan-Nya tunduk kepada Alah dengan ketaatan kepada-Nya,
serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku syirik.
Adapun dalam ahkam (tata cara ibadahnya)
terdapat beberapa perbedaan. Sungguh, ini adalah keindahan Islam.
Sebuah kebahagiaan ketika seorang memeluk agama Islam, agama yang
dipeluk dan diserukan oleh seluruh nabi dan rasul. Alangkah bahagianya
ketika kita masuk ke dalam jannah—insya Allah—bersama dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta seluruh nabi dan rasul.
Perhatikanlah, Saudaraku. Ketika kaum
Yahudi dan Nasrani, mengklaim bahwa Nabi Ibrahim Alaihisslam adalah
Yahudi atau Nasrani, Allah Subhanahuwata’ala membantah persangkaan
mereka. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan
(pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus
(berpaling dari kesyirikan) lagi muslim (berserahdirikepada Allah).
Sekali-kali dia bukanlah termasuk golongan orang – orang musyrik.” (Ali
Imran: 67)
Demikian pula Isa bin Maryam
‘Alaihissalam, Demi Allah, beliau bukanlah Nasrani. Beliau tidak
mengajari umatnya untuk menyembah dirinya. Beliau tidak pula mengajari
manusia untuk menyembah ibunya, Maryam. Yang beliau dakwahkan adalah
Islam, memerintahkan manusia untuk beribadah hanya kepada
Allah Subhanahuwata’ala dan meninggalkan peribadahan kepada selain-Nya.
Nabi Isa ‘Alaihissalam berlepas diri dari ucapan dan keyakinan kaum
Nasrani. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَإِذْ
قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ
اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَانَكَ
مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِن كُنتُ
قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا
فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ () مَا قُلْتُ لَهُمْ
إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۚ
وَكُنتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَّا دُمْتُ فِيهِمْ ۖ فَلَمَّا
تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدٌ ()
Dan (ingatlah) ketika
Allah Subhanahuwata’ala berfirman“ ,Hai isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang ilah
(sesembahan) selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Maha suci Engkau, tidaklah
patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku ( mengatakannya).Jika aku
pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau
perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: Sembahlah Allah, Rabbku dan
Rabb kalian, dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada
diantara mereka. Maka setelah Engkau angkat aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu’.” (al-Maidah: 116—117)
Nabi Isa ‘Alaihissalam, yang kini masih
hidup di langit. Di akhir zaman, beliau akan turun ke muka bumi
menegakkan syariat Islam beserta hukum-hukum yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan dengan tawadhu’ beliau shalat di belakang Imam Mahdi.
…
فَبَيْنَمَا إِمَامُهُمْ قَدْ تَقَدَّمَ يُصَلِّي بِهِمُ الصُّبْحَ إِذْ
نَزَلَ عَلَيْهِمْ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ الصُّبْحَ فَرَجَعَ ذَلِكَ
الْإِمَامُ يَنْكُصُ يَمْشِي الْقَهْقَرِي لِيَتَقَدَّمَ عِيْسَى يُصَلِّي
بِالنَّاسِ فَيَضَعُ عِيْسَى يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ لَهُ:
تَقَدَّمْ فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ أُقِيمَتْ. فَيُصَلِّي بِهِمْ
إِمَامُهُم
“… Tatkala imam mereka (al-Mahdi) maju
untuk mengimami shalat subuh, tiba tiba turun kepada mereka‘Isa bin
Maryam ‘Alaihissalam. Bergegas mundurlah Imam Mahdi kebelakang agar Nabi
‘Isa ‘Alaihissalam mengimami manusia. Nabi‘Isa pun meletakkan tangan
beliau diantara pundak al-Mahdi seraya berkata, ‘Maju dan shalatlah,
karena untukmu shalat ini ditegakkan’. Akhirnya Imam Mahdi maju
mengimami shalat.”
Nabi Musa ‘Alaihissalam, salah seorang nabi
termulia dari bani Israil, termasuk ulul ‘azmi, agama yang beliau
serukan kepada Fir’aun dan pengikutnya juga Islam. Namun, mereka
menolaknya. Di saat yang Allah Subhanahuwata’ala tidak menerima lagi
tobat, barulah Fir’aun bertobat dan menyatakan keislaman. Perhatikan
firman Allah Subhanahuwata’ala berikut.
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ
بَغْيًا وَعَدْوًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dan Kami memungkinkan bani Israil
melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya,
karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu
telah hampir tenggelam berkatalah dia, “Saya beriman bahwa tidak ada
ilah selain ilah yang diimani oleh bani Israil, dan saya termasuk kaum
muslimin (orang – orang yang berserah diri kepada Allah).” (Yunus: 90)
Perhatikan ucapan Fir’aun di saat
ajalnya. Ia menyatakan dirinya seorang muslim, beriman kepada Musa
Alaihissalam. Namun, ia menyatakannya saat Allah Subhanahuwata’ala tidak
lagi menerima keislaman seseorang. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Apakah sekarang (barukamu percaya),
padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yunus: 91)
Inilah salah satu keindahan Islam, semua
nabi dan rasul menyerukan Islam, memerintahkan umatnya mengesakan Allah
l dalam beribadah dan meninggalkan thaghut, sesembahan selain Allah l.
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم
مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),“Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut itu.” Lantas diantara umat itu ada orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang – orang yang
telah pasti kesesatan baginya. Maka dar itu, berjalanlah kamu di muka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang orang yang mendustakan
(rasul rasul). (an-Nahl: 36)
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَقَالُوا
كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ () قُولُوا
آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَىٰ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا
أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ
لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ()
Mereka berkata,“Hendaklah kamu menjadi
penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.”
Katakanlah,“Tidak, bahkan (kami mengikuti) agamaIbrahim yang lurus. Dan
bukanlah dia(Ibrahim) dari golongan orang musyrik.” Katakanlah (hai
orang-orang mukmin), Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepadak ami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya’kub, dan anak cucunya, sertaapa yang diberikan kepada Musa dan Isa
serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami
tidakmembeda-bedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya.” (al- Baqarah: 135-136)
Islam, Agama yang Diridhai oleh Allah Subhanahuwata’ala
Di antara keindahan Islam yang sangat
mendasar, Islam adalah satusatunya agama yang diridhai oleh Allah
Subhanahuwata’ala. Allah Subhanahuwata’ala tidak menerima dari seorang
hamba selain Islam. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain
agamaIslam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
As-Sa’di t berkata, “Barang siapa
beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan selain agama Islam yang
Allah Subhanahuwata’ala meridhainya untuk hamba-Nya, sungguh amalannya
tertolak, tidak diterima. Sebab, agama Islam sajalah yang mengandung
ketundukan kepada Allah l, ketulusan (dalam beribadah kepada-Nya), dan
ketaatan kepada para rasul-Nya. Siapa pun yang tidak membawa Islam
berarti ia tidak menempuh sebab keselamatan dari azab Allah l dan
keberuntungan dengan pahala-Nya. Semua agama selain Islam adalah batil.”
(Tafsir as-Sa’di)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama(yang diridhai) dissi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Satu kemuliaan ini saja sebenarnya sudah
cukup bagi seseorang untuk memeluk agama yang mulia ini, agar dirinya
dirahmati oleh Allah l dan memperoleh keberuntungan di dunia dan
akhirat, serta selamat dari azab-Nya Subhanahuwata’ala.
Saudaraku, di Padang Mahsyar kelak, kaum
musyrikin mengikuti sesembahansesembahan mereka masuk ke dalam neraka.
Demikian pula Yahudi dan Nasrani masuk ke dalam neraka sebelum jembatan
dipancangkan. Yang tersisa hanya kaum muslimin, yaitu seluruh nabi dan
rasul serta orang-orang yang beriman kepada mereka. Termasuk yang masih
berdiri bersama kaum muslimin adalah orang-orang yang menampakkan
dirinya Islam padahal ia kafir (munafik).
Al-Imam Muslim rahimahumullah meriwayatkan sebuah hadits yang sangat panjang dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu no. 269, di antara teksnya adalah:
إِذَا
كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ: لِيَتَّبِعْ كُلُّ أُمَّةٍ
مَا كَانَتْ تَعْبُدُ؛ فَ يَبْقَى أَحَدٌ كَانَ يَعْبُدُ غَيْرَ اللهِ
سُبْحَانَهُ مِنَ الْأَصْنَامِ وَالْأَنْصَابِ إِلَّا يَتَسَاقَطُونَ فِي
النَّارِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ إِلَّا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ مِنْ
بَرٍّ وَفَاجِرٍ وَغُبَّرِ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَيُدْعَى الْيَهُودُ
فَيُقَالُ لَهُمْ : مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ؟ قَالُوا: كُنَّا نَعْبُدُ
عُزَيْرَ ابْنَ اللهِ. فَيُقَالُ: كَذَبْتُمْ، مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ
صَاحِبَةٍ وَلَا وَلَدٍ، فَمَاذَا تَبْغُونَ؟ قَالُوا: عَطِشْنَا، يَا
رَبَّنَا فَاسْقِنَا. فَيُشَارُ إِلَيْهِمْ: أَلَا تَرِدُونَ؟
فَيُحْشَرُونَ إِلَى النَّارِ كَأَنَّهَا سَرَابٌ يَحْطِمُ بَعْضُهَا
بَعْضًا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي النَّارِ؛ ثُمَّ يُدْعَى النَّصَارَى
فَيُقَالُ لَهُمْ: مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ ؟ قَالُوا : كُنَّا نَعْبُدُ
الْمَسِيحَ ابْنَ اللهِ. فَيُقَالُ لَهُمْ: كَذَبْتُمْ، مَا اتَّخَذَ اللهُ
مِنْ صَاحِبَةٍ وَلَا وَلَدٍ . فَيُقَالُ لَهُمْ : مَاذَ ا تَبْغُونَ ؟
فَيَقُولُونَ عَطِشْنَا، يَا رَبَّنَا فَاسْقِنَا. قَالَ: فَيُشَارُ
إِلَيْهِمْ: أَلَا تَرِدُونَ؟ فَيُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ كَأَنَّهَا
سَرَابٌ يَحْطِمُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَيَتَسَاقَطُونَ فِي النَّارِ؛ حَتَّى
إِذَا لَمْ يَبْقَ إِلَّا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَرٍّ
وَفَاجِرٍ أَتَاهُمْ رَبُّ الْعَالَمِينَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى …
Ketika hari kiamat terjadi, ada penyeru
yang mengumumkan,“Setiap umat hendaklah mengikuti apa yang dahulu
disembah.”Tidak tersisa orang orang yang dahulu menyembah selain
Allah Subhanahuwata’ala ,yakni berhala, selain berjatuhan ke dalam
neraka. Hingga yang tinggal hanya orang-orang yang menyembah Allah l,
ada yang baik dan ada yang jahat serta sisa-sisa Ahli Kitab.
Dipanggillah orang-orang Yahudi. Mereka
ditanya,“Apa yang dahulu kalian sembah?” Mereka menjawab, “Kami
menyembah Uzair, anak Allah.” Dikatakan,“Kalian dusta! Allah tidak
menjadikan seorang pun sebagai istri atau anak. Lalu apa yang kalian
inginkan?” Mereka menjawab,“Kami haus, wahai Rabb kami, berilah kami
minum!” Lalu ditunjukkan kepada mereka,“Kenapa kalian tidakdatang
kesana?” Mereka digiring ke neraka, seolah-olah neraka itu fatamorgana
yang saling menghancurkan. Mereka pun berjatuhan ke dalam neraka.
Kemudian orang-orang Nasrani dipanggil.
Mereka ditanya, “Apa yang dahulu kalian sembah?” Mereka menjawab,“Kami
menyembah Isa al- Masih anak Allah.” Dikatakan kepada mereka, “Kalian
dusta! Allah tidak menjadikan seorang pun sebagai istri atau anak. Apa
yang kalian inginkan?”Mereka menjawab,“Kami haus, wahai Rabb, berilah
kami minum.” Lalu ditunjukkan kepada mereka, “Kenapa kalian tidak datang
kesana?” Mereka digiring ke neraka Jahanam, seolah-olah neraka itu
fatamorgana yang saling menghancurkan. Mereka pun berguguran kedalam
neraka. Ketika yang tinggal hanya orang orang yang dahulu menyembah
Allah Subhanahuwata’ala (yang baik dan yang
jahat),Allah Subhanahuwata’ala datang kepada mereka…
Islam Mengeluarkan Manusia dari Kegelapan Menuju Cahaya
Keindahan Islam ini disaksikan oleh
semua mata manusia, dan dibuktikan oleh sejarah kehidupan manusia. Islam
mengeluarkan manusia dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid,
mengeluarkan manusia dari kegelapan kemaksiatan menuju cahaya ketaatan,
kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu. Allah Subhanahuwata’ala
berfirman,
اللَّهُ
وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ
النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang
beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada
cahaya (iman). Orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah
setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (
kekafiran) . Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (al-Baqarah: 257)
Dahulu manusia berada di atas Islam,
mentauhidkan Allah l dalam beribadah kepada-Nya. Kemudian muncullah awal
kesyirikan di masa Nabi Nuh ‘Alaihisslam. Sekelompok manusia ketika itu
menjadikan Wadd, Suwa’, Yaghuts, dan Nasr sebagai sesembahan selain
Allah Subhanahuwata’ala. Allah Subhanahuwata’ala pun mengutus Nuh
‘Alaihissalam menyeru manusia mengajak mereka keluar dari kegelapan
syirik menuju cahaya tauhid.
Demikian seterusnya,
Allah Subhanahuwata’ala mengutus para rasul-Nya silih berganti. Hingga
Allah Subhanahuwata’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia seluruhnya, di saat kegelapan jahiliah meliputi kehidupan anak manusia. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن
كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang rasul diantara mereka ,yang membacakan ayat ayat-Nya
kepada mereka, menyucikan merekadan mengajarkan kepada mereka Kitab dan
Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar benar
dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah: 2)
Sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
umat manusia secara menyeluruh berada pada masa kejahiliahan. Mereka
diperbudak oleh kesyirikan. Dunia juga gelap dipenuhi kezaliman dan
kerusakan di muka bumi.
Sebagai contoh, kaum wanita benarbenar
dijatuhkan kedudukannya. Wanita adalah barang dagangan dan warisan,
tidak ada nilainya sedikit pun. Bahkan, manusia merasa malu dengan
karunia Allah Subhanahuwata’ala berupa anak perempuan, hingga mereka
tega menguburkan anak perempuannya hidup-hidup menjemput kematian dengan
sangat tragis.
وَإِذَا
بُشِّرَ أَحَدُهُم بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
() يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ
عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا
يَحْكُمُونَ ()
“Apabila seseorang dari mereka diberi
kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah )
mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (an-Nahl: 58—59)
Demikianlah kejahiliahan melingkupi,
hingga datang cahaya Islam mengeluarkan manusia dari kegelapan masa
jahiliah menuju cahaya hidayah. Manusia lepas dari belenggu kesyirikan,
hak-hak manusia terjaga, termasuk kaum wanita, diangkat dan dihormati
hak-hak mereka. Manusia pun bersatu dalam ikatan Islam, dan berusaha
menjauhkan diri dari kezaliman. Allah Subhanahuwata’ala berfirman
mengingatkan nikmat ukhuwah,
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ
مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Berpeganglah kalian semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah akan
nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah)
bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian, lalu
menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.
Kalian telah berada ditepi jurang neraka ,lalu Allah menyelamatkan
kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
Islam, Fitrah yang Seluruh Manusia Terlahir di Atasnya
Di antara keindahan Islam, Islam adalah
agama yang manusia dilahirkan di atasnya. Inilah fitrah yang
Allah Subhanahuwata’ala tetapkan atas seluruh manusia. Oleh karena itu,
seluruh syariat Islam diterima oleh akal sehat dan fitrah yang selamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ
الْبَهِيمَةَ، هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
“Semua bayit erlahir di atas fitrah,
maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi. Seperti halnya hewan ternak yang dilahirkan, apakah engkau
dapatkan lahir dalam keadaan terpotong (dicacati)?” (HR. al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Fitrah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Islam, sebagaimana diterangkan oleh riwayat lain dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah, manusia diciptakan di atas Islam, di atas tauhid, meyakini
Allah Subhanahuwata’ala sebagai Rabbul ‘alamin, meyakini bahwa Dia
adalah satu-satunya yang berhak diibadahi.
Allah Subhanahuwata’ala mengabarkan,
manusia seluruhnya telah diambil persaksiannya di hadapan
Allah Subhanahuwata’ala bahwa mereka adalah para hamba-Nya.
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ
شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا
غَافِلِينَ () أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ
وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّن بَعْدِهِمْ ۖ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ
الْمُبْطِلُونَ ()
“ Dan (ingatlah), ketika Rabbmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),“Bukankah
Aku ini Rabb kalian?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau adalah Rabb kami),
kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini ( keesaan Rabb)”, atau agar kamu
tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Rabb sejak dahulu,sedangkan kami ini adalah anak anak
keturunan yang ( datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”
(al-A’raf: 172—173)
Karena Islam adalah fitrah yang manusia
terlahir di atasnya, semua ajaran Islam adalah ajaran yang diterima oleh
fitrah manusia, menyucikan jiwa mereka, dan tidak memberatkan.
Islam adalah Agama yang Mudah
Di antara keindahan Islam, ia adalah
agama yang mudah, tidak memberatkan sama sekali. Bahkan, siapa yang
berpegang dengannya, ia dapatkan semuanya dimudahkan oleh Allah
Subhanahuwata’ala. Akidah Islam adalah akidah yang mudah, karena ia
sesuai dengan fitrah penciptaan manusia.
Demikian pula ibadah, muamalah, dan
akhlak yang diajarkan Islam, semuanya mudah dan mendatangkan maslahat
(kebaikan kebaikan) dunia dan akhirat. Keindahan Islam berupa kemudahan
ini ditunjukkan oleh dalil-dalil dari al- Kitab dan as-Sunnah.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“… Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat- Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Maidah: 6)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Alah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (al-Baqarah: 185)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda menegaskan pokok yang agung ini,
إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌإِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama Islam ini mudah, dan
tidak ada seorang pun memperberat agama ini melainkan ia akan
dikalahkan.” (HR. al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Shalat lima waktu, misalnya,
Allah Subhanahuwata’ala mewajibkannya pada waktu-waktu yang sesuai,
tidak mengganggu keseimbangan kehidupan seseorang di dunia ini. Bahkan,
dengan shalat, seseorang senantiasa memperoleh dua kebaikan sekaligus,
kebaikan dunia dan akhirat. Shalat subuh misalnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللهِ
“Barang siapa shalat subuh, dia dalam jaminan Allah Subhanahuwata’ala.” (HR. Muslim dari sahabat Jundab bin Abdillah al- Qasri radhiyallahu anhu)
Belum lagi faedah-faedah lain yang
bersifat duniawi dan ukhrawi dari ibadah shalat; menggugurkan dosa-dosa,
mencegah perbuatan keji dan mungkar, shalat berjamaah mempererat
ukhuwah, tidak lupa pula keutamaan kalimat “Amin” dalam sabda-sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kalimat inilah yang menyebabkan orangorang Yahudi sangat iri kepada kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ماَ حَسَدَكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدُوكُمْ عَلَى السَّ مَالِ وَالتَّأْمِينِ
“Yahu ditidaklah hasad terhadap sesuatu
yang ada pada kalian sebagaimana hasad mereka terhadap kalian dalam hal
ucapan salam dan amin.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabal Mufrad, dan
dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Semua keutamaan shalat semakin memperingan
ibadah yang agung ini. Demikianlah semua syariat Islam, mudah dan
dimudahkan oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Islam adalah Agama yang Diperkokoh
dengan Bukti yang Kuat Islam adalah
agama yang diperkuat oleh mukjizat, bukti-bukti yang nyata, dan
dalil-dalil yang terang. Setiap mata yang menyaksikannya akan yakin
bahwa Islam adalah syariat yang datang dari Allah Subhanahuwata’ala.
Dalam mendakwahkan Islam, seluruh nabi
dan rasul diperkuat oleh Allah Subhanahuwata’ala dengan bukti kebenaran
dakwah mereka. Tentang Nabi Isa ‘Alaihissalam, Allah Subhanahuwata’ala
berfirman,
وَرَسُولًا
إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ
ۖ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنفُخُ
فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ ۖ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ
وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ اللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم
بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya aku telah datang kepadamu
dengan membawa sesuatu tanda(mukjizat) dariRabb-mu, yaitu aku membuat
untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia
menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang
yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu
apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dirumahmu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku)
bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Ali Imran: 49)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ قَدْ أُعْطِيَ مِنَ
“Tidak ada seorang nabi pun, kecuali
diberi mukjizat yang dengan semisal itu manusia beriman, dan (di antara)
mukjizat yang dianugerahkan kepadaku adalah wahyu yang
Allah Subhanahuwata’ala wahyukan kepadaku, dan aku berharap menjadi nabi
yang terbanyak pengikutnya di hari kiamat.” (ShahihMuslim no. 152 dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Sebagai rasul terakhir, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi oleh Allah Subhanahuwata’ala mukjizat yang sangat banyak dan beragam. Ulama menyebutkan bahwa mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai ribuan, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 60.000 mukjizat. Subhanallah!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah, beliau berkata, “Perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sungguh termasuk ayat-ayat (mukjizat), demikian pula akhlaknya,
sabda-sabdanya, perbuatan-perbuatannya, syariatnya, umatnya, dan
karamah-karamah orang orang saleh dari umat beliau, semua itu termasuk
ayat (mukjizat-mukjizat) beliau.”
Mukjizat-mukjizat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak dan beragam itu bisa dibagi menjadi dua kelompok:
1. Mukjizat-mukjizat yang terjadi di masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berakhir dengan wafatnya beliau. Misalnya, makanan dan minuman yang
sedikit menjadi banyak dengan berkah Allah Subhanahuwata’ala, demikian
pula keluarnya air yang melimpah dari jari-jemari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua mukjizat itu berakhir dengan wafatnya beliau.
2. Mukjizat yang terus berlangsung
sesudah wafatnya hingga hari kiamat. Contohnya, al-Qur’an dan
beritaberita gaib yang beliau kabarkan dalam sabda-sabdanya yang mulia
lantas terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan, seperti tanda-tanda
hari kiamat.
Wahai segenap manusia, sejenak kita lihat
sebagian kecil dari mukjizat al- Qur’an, yaitu penjagaan yang dijanjikan
oleh Allah Subhanahuwata’ala dalam firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkanal-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al- Hijr: 9)
Di antara yang Allah Subhanahuwata’ala
jaga adalah lafadznya. Tidakkah kita renungkan, sejak empat belas abad
silam al-Qur’an diturunkan, selama itu pula manusia dan jin seluruhnya
ditantang untuk membuat satu surat saja yang terpendek yang semisal
dengan al-Qur’an. Adakah orang yang mampu membuatkannya? Mana ahli
bahasa? Mana ahli sastra Arab? Adakah al- Qur’an berubah lafadznya,
hurufnya?
Wahai musuh-musuh Allah
Subhanahuwata’ala, wahai semua orang kafir dan munafik dari kalangan jin
dan manusia, berkumpullah kalian untuk mengubah satu saja ayat
al-Qur’an. Bukankah kalian paling bersemangat untuk menghancurkan Islam?
Jika kalian tidak mampu… dan sungguh empat belas abad telah berlalu,
kalian semua lemah. Bersegeralah kalian bertobat. Peluklah agama Islam
ini sebelum datangnya azab Allah Subhanahuwata’ala atas kalian.
Islam adalah Agama yang Dijaga dari Tabdil (Perubahan)
Di antara keindahan Islam, agama Islam
adalah agama yang senantiasa dijaga oleh Allah Subhanahuwata’ala hingga
hari kiamat. Penjagaan itu meliputi penjagaan sumber hukum Islam yaitu
al-Qur’an dan hadits. Allah Subhanahuwata’ala juga terus menjaga
keberadaan generasi yang senantiasa mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya. Dalil yang menunjukkan bahwa Allah
Subhanahuwata’ala menjaga al-Qur’an dan as-Sunnah adalah firman Allah
Subhanahuwata’ala,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Adapun penjagaan al-Qur’an yang
dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala adalah pemeliharaan lafadz
(huruf-huruf) nya. Semua ayat al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir.
Tidak ada satu lafadz pun dari al-Qur’an yang dapat diubah oleh manusia
(dan jin) sebagaimana telah disinggung di atas.
Allah Subhanahuwata’ala menjaga pula
pemahaman al-Qur’an dari penyimpangan, yaitu dengan
Allah Subhanahuwata’ala jaga hadits-hadits Rasulullah n yang berfungsi
sebagai penjelas al-Qur’an atau sebagai penafsir al-Qur’an.
Di antara bentuk penjagaan Allah Subhanahuwata’ala terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Allah Subhanahuwata’ala menyiapkan generasi ahlul hadits yang gigih
menjaga kemurnian hadits, sejak zaman sahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in,
hingga generasi berikutnya, semisal al-Imam Malik, al-Imam asy-
Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, dan ribuan ulama
ahlul hadits dari setiap generasi.
Dengan demikian, terjagalah kemurnian hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terpisahkanlah mana yang dusta dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang sahih penyandarannya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam adalah Agama yang Sempurna, Syamil
Seseorang yang melihat Islam akan
menyaksikan bahwa segala yang dibutuhkan oleh manusia ada di dalamnya.
Tidak ada satu perkara pun yang dibutuhkan oleh manusia selain hal itu
ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab
(al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
عَنْ
سَلْمَانَ قَالَ قِيلَ لَهُ لَقَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ
حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَأَنْ لَا نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ
وَأَنْ لَا يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثثَالَةِ أحَْجَارٍ
أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ
Dikatakan kepada Salmanal- Farisi radhiyallahu anhu,“Sungguh,
Nabi kalian telah mengajari kalian segala sesuatu, sampai pun masalah
adab membuanghajat.” Salman menjawab,“ Benar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau
kencing. Beliau melarang pula kami beristinja’ dengan tangan kanan dan
beristinja dengan batu kurang dari tiga atau beristinja dengan tulang.”
(HR. Abu Dawud no. 6)
Tidak hanya mengatur muamalah antara
manusia dan Allah Subhanahuwata’ala, atau antarmanusia, tetapi Islam
juga menerangkan muamalah manusia dengan binatang atau jin. Dari Abu
Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“ Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk
berlaku baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh, berlaku
baiklah dalam membunuh. Apabila kalian menyembelih, berlaku baiklah
dalam menyembelih. Dan hendaklah salah seorang diantara kalian
menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.”
Adakah syariat yang sempurna seperti syariat Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Pembaca, semoga Allah Subhanahuwata’ala merahmati kita semua, masih
banyak keutamaan agama Islam di antaranya Islam adalah agama yang kekal
hingga akhir zaman, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan selalu ada sekelompok umatku
berperang di atas al-haq, mendapat kemenangan sampai hari kiamat.” (HR.
Muslim no. 3547 dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu)
Islam adalah agama yang universal bukan
hanya untuk kalangan Arab, namun juga non-Arab, bahkan untuk kalangan
jin, seperti firman Allah Subhanahuwata’ala,
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
Katakanlah,“Hai manusia sesungguhnyaa kua dalahu utusan Allah kepada kalian semua.” (al-A’raf: 158)
Islam adalah agama yang mengajari umatnya
berbuat baik (ihsan). Bahkan, semua syariat Islam adalah ihsan. Islam
adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah agama yang dimenangkan
oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Masih banyak keutamaan-keutamaan lain yang
terkandung dalam dua wahyu, al-Kitab dan as-Sunnah. Waktu dan ruang
tidak memungkinkan bagi kita menyelami lebih dalam samudra keindahan dan
keutamaan Islam. Bahkan, seumur hidup kita sekalipun tidak mampu
mengibaratkan keindahan dan keutamaan Islam.
Ya Allah, jadikanlah hati-hati kami
mencintai-Mu, nabi dan para rasul-Mu, serta agama Islam yang Engkau
ridhai. Lebih dari itu, wahai Rabb kami, cintailah kami, ampunilah
dosa-dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan dosa seluruh kaum
mukminin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Sejenak Bersama Beberapa Syariat Islam
Keindahan Islam bersifat menyeluruh,
meliputi setiap perkara agama beserta dalil-dalilnya, mencakup
pokok-pokok agama yang diajarkan dan hukumhukumnya. Termasuk semua hal
yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, baik berupa
ilmu ilmu syariat, ilmu-ilmu alam semesta, maupun ilmu sosial
kemasyarakatan, semuanya menunjukkan keindahan dan kesempurnaan syariat
Islam yang agung.
Perlu diingat, membicarakan satu per
satu syariat Islam yang penuh dengan keindahan sangatlah besar. Mustahil
seseorang menguasai dan meliputi semua keindahan itu serta menyingkap
segala hikmah yang terkandung dalam setiap bagian syariat.
Sudah kita lalui pembahasan keindahan
Islam dari sisi keutamaan dan kekhususan Islam, tiba saatnya kita
melihat beberapa contoh hukum-hukum agama yang mulia ini, yang
seluruhnya adalah bukti keindahan Islam sekaligus bukti bahwa agama ini
dari Allah Subhanahuwata’ala, tentu saja dengan memohon kepada Allah
Subhanahuwata’ala, semoga Dia memberikan taufik kepada kita semua untuk
menyaksikan keindahan-keindahan tersebut.
Pokok-Pokok Keimanan
Ini adalah ajaran yang paling agung dan
paling mendatangkan kebaikan dalam syariat Islam. Pokok-pokok keimanan
dalam syariat Islam yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul dibangun di
atas iman kepada Allah Subhanahuwata’ala, iman kepada para malaikat-Nya,
iman kepada kitab kitab- Nya, iman kepada para rasul- Nya, iman kepada
hari akhir, dan iman kepada takdir. Seseorang yang berpegang dengan
pokok-pokok keimanan ini dengan penuh keikhlasan dan sesuai dengan
bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti akan merasakan ketenangan jiwa, ketenteraman, dan kebahagiaan yang tidak terlukiskan.
Kalbu dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah Rabbul ’Alamin,
terbebas dari perbudakan dan penghambaan kepada makhluk. Perhatikanlah
para penyembah makhluk. Betapa buruknya mereka, bergantung kepada
sesuatu yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun. Betapa bodohnya
mereka yang bergantung dengan matahari, bulan, pohon, batu, jin, bahkan
malaikat dan nabi sekalipun. Lihatlah tuhan-tuhan kaum musyrikin yang
dihancurkan Ibrahim. Pantaskah seseorang bergantung dengan makhluk lemah
seperti itu?
قَالَ
بَل رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ
وَأَنَا عَلَىٰ ذَٰلِكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ () وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ
أَصْنَامَكُم بَعْدَ أَن تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ () فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا
إِلَّا كَبِيرًا لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ () قَالُوا مَن
فَعَلَ هَٰذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ () قَالُوا
سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ () قَالُوا
فَأْتُوا بِهِ عَلَىٰ أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ ()
قَالُوا أَأَنتَ فَعَلْتَ هَٰذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ () قَالَ
بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَٰذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ
() فَرَجَعُوا إِلَىٰ أَنفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنتُمُ
الظَّالِمُونَ () ثُمَّ نُكِسُوا عَلَىٰ رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا
هَٰؤُلَاءِ يَنطِقُونَ () قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا
يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ () أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا
تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Maka Ibrahim membuat berhala berhala itu
hancur berkeping- keping, kecuali yang terbesar (induk) dari patung
patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka
berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan
kami? Sesungguhnya dia termasuk orang-orangyangzalim.” Mereka berkata,
“Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini,
namanya Ibrahim.”
Mereka berkata, “(Kalau demikian)
bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka
menyaksikan.” Mereka bertanya, “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan
ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”Ibrahim menjawab,
“Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah
kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.”
Ketika mereka telah kembali kepada
kesadaran mereka, (Ibrahim) lalu berkata,“Sesungguhnya kalian semua
adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri),” kemudian kepala
mereka tertunduk (laluberkata),“Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah
mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” Ibrahim
berkata, “Maka mengapakah kalian menyembah selain Allah,sesuatu yang
tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat
kepada kalian? Ah (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah selain
Allah. Maka apakah kalian tidak memahami?” (al-Anbiya: 58—67)
Pokok-Pokok Jual Beli, Sewa- Menyewa, dan Serikat
Manusia membutuhkan sesamanya. Di antara
kebutuhan itu adalah kebutuhan untuk tukar-menukar apa yang mereka
miliki dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, atau berserikat dalam
usaha. Islam datang menghalalkan jual beli, sewa-menyewa, dan serikat
dengan beragam jenisnya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Kebolehan tersebut tentu tidak dilepas
begitu saja oleh syariat, namun Islam memberikan aturan-aturan yang
demikian indah dalam setiap jenis muamalah tersebut, hingga
terlindungilah semua pihak dari kezaliman dan terwujudlah berkah
Allah Subhanahuwata’ala atas jual beli, sewa menyewa, dan serikat
tersebut.
Kalau kita melihat hukum jual beli,
dalil-dalil menunjukkan bahwa Islam menetapkan syarat-syarat sahnya jual
beli. Dengan itu, jual beli akan terhindar dari kezaliman di antaranya:
mempersyaratkan keridhaan dua belah pihak, baik penjual maupun pembeli;
yang melakukan jual beli adalah orang-orang yang memang diperbolehkan
syariat melakukan jual beli, seperti orang berakal (tidak gila);
barang yang diperjualbelikan haruslah
halal dan memiliki kemanfaatan yang mubah; barang yang diperjualbelikan
dapat diserahterimakan; barang yang diperjualbelikan harus jelas
sifatnya, ukurannya, atau jumlahnya, bukan barang yang majhul (tidak
diketahui).
Dari nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tampak bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala
menetapkan syarat-syarat yang menjamin keberkahan, di antaranya adalah
adanya keridhaan. Dengan aturan-aturan tersebut, jadilah jual beli
mendapatkan berkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ
لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ
بَيْعِهِمَا
“Pembeli dan penjual diberi pilihan
selama keduanya belum berpisah. Kalaukeduanya jujur dan menjelaskan
(keadaan barang/harga), jual belinya diberkahi. Kalau keduanya berdusta
dan menyembunyikan cacat barang, niscaya dihapus berkah jual belinya.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melewati tumpukan makanan lalu memasukkan tangan ke dalamnya. Tiba tiba
jari beliau merasakan basah. Kata beliau, “Hai penjual makanan, apa
ini?” “Kena hujan, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Mengapa tidak engkau
letakkan di atas makanan agar terlihat oleh orang?” Kemudian beliau
berkata,
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa menipu kami, dia bukan golongan kami.”
Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajari umat ini semua jalan kebaikan dan menutup setiap celah
kejelekan, termasuk dalam hal jual beli, sebagaimana ini tampak dalam
kisah ini.
Penetapan dan Pengokohan Hak-Hak Antarmakhluk
Di antara keindahan yang dapat
disaksikan oleh semua manusia adalah Islam mengatur hubungan antara
manusia dengan berbagai keberagaman mereka. Adab dan etika pergaulan
diajarkan dalam syariat yang agung ini dengan sangat rinci.
Islam mengokohkan hak-hak antarmanusia,
di samping menjelaskan kewajiban-kewajiban mereka. Islam menjawab dengan
tuntas bagaimana manusia bergaul dengan kedua orang tuanya, suami atau
istrinya, anakanak dan karib kerabatnya, bagaimana bertetangga,
bagaimana bergaul dengan manusia dengan berbagai tingkat akal dan status
sosialnya, bagaimana bermuamalah dengan orang-orang kafir, bahkan
dengan makhluk lain: malaikat, jin, dan hewan. Islam menjawabnya dengan
rinci tanpa menyisakan kekurangan sedikit pun. Allahu Akbar!
Di antara ayat dan hadits yang banyak
yang menetapkan dan mengatur seluruh hak, kewajiban, dan etika pergaulan
adalah firman Allah Subhanahuwata’ala,
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي
الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن
كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah danjanganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
keduaorangtua, karib kerabat, anak anak yatim, orang-orang
miskin,tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat , ibnu
sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (an- Nisa: 36)
Dengan ditetapkannya etika-etika
pergaulan serta pengokohan hak dan kewajiban antarmanusia, terwujudlah
keseimbangan, kedamaian, dan keselarasan hidup.
Hukum Waris
Harta termasuk masalah yang sangat
sensitif, lebih-lebih ketika seseorang meninggal dunia. Kasus rebutan
warisan tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan masyarakat. Kita acap
mendengar pertikaian di antara anggota keluarga karena ahli waris
berebut harta. Kakak memusuhi adiknya, paman membenci kemenakannya,
bahkan lebih dari itu banyak kasus pembunuhan dan kezaliman yang
sebabnya adalah harta warisan ini.
Pemandangan yang menyedihkan ini
sebenarnya tidak akan terjadi seandainya mereka mengetahui kesempurnaan
agama Islam dan berpegang dengannya. Islam telah mengatur segala aspek
kehidupan manusia dengan sempurna tanpa ada kekurangan sedikit pun,
karena syariat Islam adalah syariat Allah Subhanahuwata’ala, Dzat yang
Mahaadil dan Maha Mengetahui akan maslahat hamba-hamba-Nya.
Dialah yang berhak memerintah, dan Dia
pula yang berhak mengatur. Termasuk dalam hal waris,
Allah Subhanahuwata’ala telah menetapkan hukum-Nya yang sempurna dan
tidak ada sedikit pun kezaliman di dalamnya. Manusia tidak dibiarkan
mengurusi masalah yang sangat sensitif ini, karena tabiat mereka yang
rakus terhadap harta.
Jika telah memiliki satu gunung emas,
mereka menginginkan gunung berikutnya, di samping tabiat mereka adalah
kejahilan dan kezaliman. Allah Yang Maha adil, menetapkan pembagian
waris dari atas langit. Perhatikan kisah berikut, menceritakan sebuah
kasus kematian dan pembagian waris pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata,
جَاءَتْ امْرَأَةُ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ بِابْنَتَيْهَا مِنْ سَعْدٍ
Istri Sa’d bin Rabi’ radhiyallahu anhu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kedua anak perempuan dari Sa’d radhiyallahu anhu,
dia berkata, “Wahai Rasulullah , kedua anak perempuan ini adalah anak
Sa’d bin Rabi’ yang terbunuh syahid ketika Perang Uhud bersama engkau,
dan paman keduanya (yakni saudara laki-laki Sa’d bin Rabi’ -pen)
mengambil harta keduanya dan tidak meninggalkan sisa harta untuk
keduanya, dan keduanya tidak bisa dinikahkan selain jika memiliki harta.
(Mendengar pengaduan ini) Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah akan memutuskan urusan ini.” Kemudian turunlah ayat ayat tentang waris, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus kepada paman kedua anak ini dan memerintahkan agar memberi
kedua anak perempuan Sa’db in Rab di ua pertiga, dan memberi ibunya
seperdelapan dan apa yang tersisa adalah untukmu.
Beberapa contoh syariat Islam di atas
dengan pembahasan yang sangat ringkas, sungguh tidaklah mampu menunaikan
hak untuk menggambarkan keindahan syariat yang agung dan mulia
ini.Namun, kita berharap mudah mudahan dengan contoh yang sedikit di
atas, kita semakin bersyukur atas nikmat Islam yang dianugerahkan oleh
Allah Subhanahuwata’ala kepada kita yang fakir dan penuh dosa.Hanyalah
doa yang kita panjatkan,
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Wahai Rabb kami, ampunilah dosa dosa kami
dan tindakan- tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami,
tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami atas kaum yang kafir.”
(Ali Imran: 147)
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Indahnya Hukum Qishash
Semua syariat Allah Subhanahuwata’ala,
termasuk di dalamnya qishash, hudud, dan jihad fi sabilillah adalah
keindahan dan bukti kebesaran Allah Subhanahuwata’ala sebagai Dzat Yang
Mahasempurna. Dari sisi mana pun syariat Islam ditinjau, orang yang
berakal pasti akan bersimpuh menyaksikan cahaya keindahannya,
sebagaimana ia akan bersimpuh mengagumi kesempurnaan dan keindahan
penciptaan semesta. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
تَبَارَكَ
الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ()
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ
عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ () الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ
سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ
فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ () ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ
كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
“Maha suci Allah yang di tangan- Nyalah
segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih
baik a malnya. Dan Dia Maha perkasa lagi Maha Pengampun. Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali
kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun
dalam keadaan payah.” (al-Mulk:1—4)
Hanya orang-orang yang tidak berakal
lagi angkuh sajalah yang memandang syariat Allah Subhanahuwata’ala
dengan pandangan sinis sembari membusungkan dadanya, bahkan mencoba-coba
menjelekkan Islam dengan hawa nafsunya.
Sungguh, mereka terancam tidak akan masuk jannah karena takabur yang
ada pada mereka, berupa penolakan terhadap al-haq. Hal ini sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu
,
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ
حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ
الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Tidak akan masuk jannah orang yang dalam
kalbunya ada seberat dzarrah kesombongan. Seseorang bertanya,
“Bagaimana dengan orang yang suka memakai baju yang bagus dan alas kaki
yang bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan
,kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR.
Muslim)
Qishash dalam Sorotan Musuh Allah Subhanahuwata’ala
Qishash, hukum hadd dan jihad fi
sabilillah, seringkali dipakai kaum zindiq, munafik, dan musuh-musuh
Allah Subhanahuwata’ala untuk menyudutkan Islam. Dengan syariat ini,
mereka menggambarkan Islam sebagai agama yang sadis, kasar, atau tidak
berperikemanusiaan.
Propaganda-propaganda tersebut membuat
orang-orang yang dungu atau lemah iman mengatakan bahwa Islam adalah
agama yang kejam, atau setidaknya mengatakan bahwa hukum qishash dan
hukum had tidak lagi relevan di masa masa ini, serta lebih pas jika
qishash dan hudud lalu diganti dengan hukuman lain, seperti denda atau
kurungan.
Wahai orang yang masih sedikit memiliki
akal, jawablah dengan jujur, “Seorang pembunuh yang ditegakkan qishash
atasnya, yang dengan itu dirinya diampuni oleh Allah Subhanahuwata’ala,
dan dengan itu keluarga korban terobati dari kezaliman, dengan itu pula
terhalangi pembunuhan berikutnya, yang seperti ini lebih baik; ataukah
vonis bagi pembunuh dengan kurungan sekian tahun yang kemudian bisa
diganti dengan denda, kemudian dia beraksi kembali melakukan pembunuhan,
keluarga korban juga tidak terobati dari kezalimantersebut. Jawablah
dengan sisa akalmu, manakah yang lebih baik?
Sebagai jawaban, cukup kita bacakan ayat Allah Subhanahuwata’ala yang menunjukkan keindahan qishash,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
Bagi yang beriman dengan firman Rabbul
‘Alamin ini, ia akan mendapatkan kemuliaan. Namun, siapa yang
mencoba-coba menyimpangkan ayat atau mengingkarinya, bersiaplah
menikmati azab Allah Subhanahuwata’ala. Berilah kabar gembira kepadanya
berupa jahannam, wal ‘iyadzubillah.
Pengertian Qishash dan Dalil Pensyariatan
Secara bahasa, “qishash” ( (قِصَاصٌ
berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”, seperti
“al-qashash”. Adapun secara istilah, qishash adalah:
Membalaspelakukejahatanseperti perbuatannya,a pabilai am embunuh maka
dibunuh dan bila ia memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga
dipotong. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahuwata’ala,
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ
وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ ۚ
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka
didalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa( dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al- Maidah: 45)
Qishash disyariatkan dalam al- Qur’an
dan as-Sunnah, serta ijma’. Di antara dalil dari al-Qur’an adalah firman
Allah Subhanahuwata’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ
وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ ()
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, qishash
diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka, barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,dan
hendaklah ( yang diberimaaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah
itu, baginyasiksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (al-Baqarah: 178—179)
Demikian pula firman Allah Subhanahuwata’ala pada surat al-Maidah ayat 45 di atas. Adapun dalil dari as-Sunnah, Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أنَْ يَقْتُلَ
“Siapa menjadi keluarga korban terbunuh
maka ia memiliki dua pilihan: bisa memilih diyat, dan bisa juga membunuh
(memintaqishash).” (HR.al-Jama’ah)
At-Tirmidzi rahimahumullah meriwayatkan dengan lafadz,
لَمَّا
فَتَحَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مَكَّةَ قَامَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ
بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ
Ketika Allah Subhanahuwata’ala
membukakan kemenangan untuk Rasul-Nya atas kota Makkah, beliau berdiri
memuji Allah Subhanahuwata’ala dan menyanjungnya lalu bersabda,“Siapa
menjadi keluarga korban terbunuh maka ia diberi dua pilihan:memaafkannya
atau membunuhnya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1409)
Betapa Indahnya Qishash
Di antara nama-nama Allah Yang
Mahaindah(al-Asmaul Husna) adalah al-Hakim. Nama ini menunjukkan bahwa
Dialah Dzat yang memiliki hukum, Dialah yang menetapkan dan memutuskan,
serta Dialah yang menetapkan segala sesuatu dengan sempurna dan penuh
hikmah.
Di antara bukti keimanan kita terhadap
nama Allah al-Hakim, kita meyakini bahwa semua hukum yang ditetapkan-Nya
penuh dengan maslahat, kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat, dan
diliputi hikmah yang sangat sempurna. Termasuk qishash, syariat ini
penuh dengan hikmah, sebagian kecilnya diketahui oleh manusia dan banyak
yang menjadi rahasia Allah Subhanahuwata’ala. Di antara hikmah-hikmah
qishash adalah:
1. Dengan ditegakkannya qishash,
masyarakat akan terjaga dari kejahatan. Sebab, hukuman ini mencegah
setiap orang yang akan berbuat zalim dan menumpahkan darah orang lain.
Dengan demikian, terjagalah kehidupan manusia dari pembunuhan. Allah
Subhanahuwata’ala menyebutkan hikmah ini dalam firman-Nya,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
2. Dengan qishash tegaklah keadilan, dan
tertolonglah orang yang dizalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali
korban untuk membalas kepada pelaku sebagaimana yang diperlakukan
terhadap korban. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
“Dan barang siapa dibunuh secara zalim,
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam embunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)
3. Qishash adalah kebaikan bagi pelaku
kejahatan yang dengan ditegakkannya qishash atas dirinya,
Allah Subhanahuwata’ala menjadikan hukuman tersebut sebagai kafarat
(penghapus dosa) sehingga di akhirat tidak lagi dituntut, tentu saja
jika dia seorang muslim.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah
menerangkan, “Barang siapa berjumpa dengan Allah Subhanahuwata’ala dalam
keadaan telah ditegakkan had di dunia atas dosa yang ia lakukan, had
tersebut adalah kafarat (penebus dosanya), sebagaimana telah sahih
berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ushulus Sunnah)
Di antara hadits yang dimaksud oleh al-Imam Ahmad rahimahumullahadalah hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu , beliau berkata,
فِي
مَجْلِسٍ فَقَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ
لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، فَمَنْ
وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ
ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا
مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ إِنْ شَاءَ
عَفَا
عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Suatu hari kami bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
disebuah majelis. Beliau bersabda,‘Berbaiatlah kalian kepadaku untuk
tidak menyekutukan Allah Subhanahuwata’ala dengan sesuatu pun, tidak
berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah l selain dengan haq. Barang siapa di antara kalian yang
menunaikannya, pahalanya ada pada Allah Subhanahuwata’ala, dan
barangsiapa melanggar sebagiannya lalu dihukum (seperti qishash, potong
tangan –pen) maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun)
barang siapa melanggarnya lalu Allah Subhanahuwata’ala menutupinya maka
urusannya diserahkan kepada Allah .Jika Dia berkehendak, Dia
mengampuninya, dan apabila Dia menghendaki,Dia akan mengazabnya’.”
(Muttafaqun ‘alaihi dan ini lafadz al-Imam Muslim Subhanahuwata’ala)
Demikian pula hadits Khuzaimah bin Tsabitbradhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصَابَ ذَنْبًا أُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ
“Barang siapa melakukan dosa yang telah
ditegakkan had atas dosa tersebut, itu menjadi penebus baginya.” (HR.
al-Imam Ahmad [5/214—215]
4. Terwujudnya kemakmuran dan berkah bagi negeri yang menegakkan qishash atau had. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah rahimahumullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أنَْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Satu hukuman had yang ditegakkan dimuka
bumi lebih baik bagi penduduk bum itu daripada hujan yang menimpa
mereka empat puluh hari.” (HR. Ibnu Majah, 2/111, dinyatakan sahih oleh
al-Albani dengan syawahidnya dalam ash-Shahihah, 1/461 no. 231)
Qishash Ada Aturannya
Di samping keindahan qishash yang tampak
dalam hikmah-hikmahnya, syariat ini juga indah dari sisi
aturan-aturannya. Qishash tidak sembarang diterapkan sebagaimana
gambaran atau tuduhan orang-orang yang jahil. Qishash tidak sembrono
tanpa aturan, tetapi ia adalah hukum Allah l yang mempunyai tatanan yang
indah dan penuh kesempurnaan. Di antara aturannya, qishash tidak
ditegakkan kecuali jika terpenuhi syaratsyaratnya. Syarat-syarat
tersebut adalah:
1. Semua wali korban yang berhak
menuntut qishash adalah mukallaf. Jika ada di antara mereka anak kecil
atau orang gila, hak penuntutan qishash tidak bisa diwakilkan kepada
walinya, karena qishash mengandung tujuan memuaskan/melegakan (keluarga
korban) dengan pembalasan.
Dalam keadaan ini, pelaksanaan qishash
wajib ditangguhkan dengan cara memenjarakan pelaku pembunuhan hingga
anak kecil tersebut baligh atau orang gila tersebut sadar, untuk
kemudian meminta pertimbangan mereka apakah qishash akan ditegakkan atau
dimaafkan. Hal ini dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qishash, hingga anak korban baligh.
إِنَّ مُعَاوِيَةَ حَبَسَ هُدْبَةَ بْنَ خَشْرَمٍ فِي قِصَاصٍ حَتَّى بَلَغَ ابْنُ الْقَتِيلِ
“Sesungguhnya Mu’awiyah memenjarakan
Hudbah bin Khasyram dalam kasus qishash hingga anak korban mencapai umur
baligh.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Irwaul Ghalil, 7/276)
Amalan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c ini
dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau.
Apabila anak kecil atau orang gila keduanya membutuhkan nafkah dari para
walinya, hanya wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan
qishash kepada pembunuh dengan meminta diyat, karena orang gila tidak
jelas kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil.(al-Mulakhash al-Fiqh,
2/476)
2. Adanya kesepakatan dari para wali
korban untuk ditegakkannya qishash dan tidak dimaafkan. Apabila sebagian
mereka—walaupun hanya seorang—memaafkan si pembunuh dari qishash,
gugurlah qishash tersebut. (asy-Syarhul Mumti’, 14/38)
Dari Zaid bin Wahb al-Juhani,
(DimasaUmar) seseorang membunuh
istrinya. Umar memanggil tiga saudara wanita tersebut. Lalu salah
seorang dari ketiganya memaafkan. Umar pun mengatakan, “Ambillah oleh
kalian berdua 2/3 diyat, karena sungguh tidak ada lagi jalan untuk
membunuhnya.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam as- Sunan al-Kubra [8/60]
dengansanad yang sahih)
3. Pelaksanaan qishash aman dari perilaku
melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman
Allah Subhanahuwata’ala,
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَن
قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف
فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah (membunuhnya), selain dengan suatu (alasan) yang
benar. Barangsiapa dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahliwaris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)
Apabila qishash menyebabkan sikap
melampaui batas, hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan dalam
ayat di atas. Dengan demikian, apabila ada kasus wanita hamil akan
diqishash misalnya, qishash tidak ditegakkan hingga ia melahirkan
anaknya. Sebab, membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan
menyebabkan kematian janinnya padahal janin tersebut tidak berdosa.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
“Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (al- An’am: 164)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda ditegakkannya rajam atas wanita al-Ghamidiyah karena ia dalam keadaan hamil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah wanita ini menanti kelahiran anaknya dan menyusuinya hingga sang anak tidak lagi tergantung dengan susu ibunya.
فَجَاءَتْ
الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ
فَطَهِّرْنِي. وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللهِ ، لِمَ تَرُدُّنِي؟ لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا
رَدَدْتَ مَاعِزًا، فَوَاللَهِ إِنِّي لَحُبْلَى. قَالَ: إِمَّا لَا،
فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي. فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي
خِرْقَةٍ، قَالَتْ: هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ. قَالَ: اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ
حَتَّى تَفْطِمِيهِ. فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ
كِسْرَةُ خُبْزٍ، فَقَالَتْ: هَذَا يَا نَبِيَّ اللهِ، قَدْ فَطَمْتُهُ
وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ. فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا
وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا فَيُقْبِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ
بِحَجَرٍ فَرَمَى رَأْسَهَا فَتَنَضَّحَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ
فَسَبَّهَا فَسَمِعَ
سَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ، مَهْ يَا خَالِدُ، نَبِيُّ اللهِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ. ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى
عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
سَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ، مَهْ يَا خَالِدُ، نَبِيُّ اللهِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ. ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى
عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
Seorang wanita dari kabilah Ghamidiyah datang kepada Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,ia
b erkata,“ WahaRi asulullah,s ungguh aku telah berzina maka (tegakkan
rajam) untuk menyucikanku.” Namun, Rasul berpaling darinya (tidak
membalas permohonannya), hingga keesokan hari ia berkata,“Wahai
Rasulullah, kenapa engkau tolak aku , apakah engkau menolak aku
sebagaimana engkau tolak Ma’iz? Demi Allah,aku telah hamil (yakni benar
benar berzina).”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaksekarang, pergilah engkau hingga engkau melahirkan
(kandunganmu).” Setelah melahirkan, datang sangwanita membawa bayi pada
sebuah kain (yang digendongnya), ia berkata,“Ini anakku, aku telah
melahirkannya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Pergilah, susui anakmu hingga engkau sapih.” Setelah
menyapihnya, ia datang membawa anaknya yang sedang memegang sepotong
roti.
Ia berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah
menyapihnya dan ia sudah bisa memakan makanan.” Nabi lalu menyerahkan
si anak kepada salah seorang muslimin. Setelah itu,beliau memerintahkan
penggalian tanah dan memendam si wanita hingga dadanya, lantas
memerintahkan manusia merajamnya.
Khalid bin Walid radhiyallahu anhu
datang dan melempari kepala wanita itu dengan sebuah batu. Memancarlah
darah ke wajah Khalid sehingga Khalidmencelanya. Nabi n mendengar celaan
Khalid terhadap wanita tersebut. Beliau bersabda, “Tunggu, hai Khalid.
Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh dia telah bertobat
dengan sebuah tobat yang apabila dilakukan olepemungut pajak, tentu akan
diampuni dosanya.” Selanjutnya, Nabi memerintahkann manusia menyalati
dan menguburkan.(Shahih Muslim, bab “Orang yang Mengaku Berbuat Zina”,
no. 3208)
Kisah yang sangat mengagumkan.
Kesungguhan tobat seorang wanita, kesungguhan rasa takut kepada Allah
Subhanahuwata’ala. Di sisi lain, kita saksikan kasih sayang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan keindahan syariat Islam. Tidak sia-sia sang wanita menundukkan
dirinya di hadapan syariat Allah Subhanahuwata’ala, Allah
Subhanahuwata’la telah menerima tobatnya.
Hukum Islam Tidak Memandang Status Sosial
Hukum qishash dan hadd yang sangat indah
dan dipenuhi maslahat, semakin tampak keindahannya dengan keadilan
hukum Islam. Islam tidak membedakan penegakan hukum ini apakah
diterapkan pada bangsawan atau orang biasa, hukuman Allah
Subhanahuwata’ala berlaku atas seluruh umat.
Tidak seperti umat-umat terdahulu, hukum
hanya diberlakukan bagi kaum lemah, adapun kaum bangsawan mereka kebal
hukum. Hadits berikut menggambarkan dengan jelas betapa indah dan
adilnya hukum Islam. Dari Urwah dari Aisyah radhiyallahu anha,
أَنَّ
قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي
سَرَقَتْ فَقَالُوا: وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالُوا:
وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، حِبُّ رَسُولِ
اللهِ ؟ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ . رَسُولِ اللهِ: أَتَشْفَعُ فِي
حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟ : ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا سَرَ َ فِيهِمُ ا تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَ َ لضَّعِيفُ
أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ
مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Kabilah Quraisy merasa sedih dengan
perkara wanita Makhzumiyah yang terbukti telah mencuri (dan telah sampai
urusannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ),mereka berkata, “Siapa kiranya yang menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang wanita ini (agar mendapat keringanan dan tidak dipotong
tangannya)?” Diantara mereka ada yang berkata, “Tidak ada yang berani
selain Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usamah lalu menyampaikannya kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Apakah engkau hendak memberi syafaat pada salah satu hukum
had A lah?”Beliau kemudian berdiri berpidato, “Sesungguhnyayang
membinasakan umat sebelumkalian adalah apabila ada diantara orang-orang
mulia mereka melakukan pencurian, mereka membiarkannya; dan apabila yang
mencuri dari kalangan lemah, merekam enegakkanh ukumh ada tasnya.Demi
Allah, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh aku akan
potong tangannya.”
Inilah Amerika Serikat (AS), Sang Pembela HAM
Yahudi, dengan AS sebagai keledai
tunggangannya, adalah kaum yang paling getol mencela qishash dan hukum
Islam lainnya. Tidak ketinggalan pula seluruh orang kafir, munafikin,
dan orang-orang yang berpenyakit hati ikut berbaris membawa misi yang
sama. Sebagai penutup pembahasan kita, marilah kita lihat bagaimana
keadaan negara pembela HAM, apakah mereka mendapatkan ketenteraman
dengan menyelisihi hukum Allah Subhanahuwata’ala?
Dalam sebuah berita dilaporkan bahwa di
Amerika Serikat, setiap tahunnya terjadi 20 juta kasus kejahatan, dan
itu yang tercatat. Juru bicara kantor pendataan di Kementerian Kehakiman
AS mengatakan bahwa berdasarkan data yang tercatat, pada 2009 angka
kejahatan yang meliputi pencurian dan pembunuhan meningkat tajam.
Dari keseluruhan angka tersebut
4.300.000 kasus lebih terkait dengan aksi pemerkosaan, perampokan, dan
penganiayaan. Ditambahkannya, kasus pencurian rumah dan pencurian mobil
tercatat sebanyak 15,6 juta kasus. Sementara itu, situs penerangan
Kepolisian Federal AS dalam laporannya menyebutkan bahwa pada 2009
terjadi setidaknya 16.000 kasus pembunuhan yang dilaporkan secara resmi
ke kepolisian.
Di sejumlah kota, khususnya Detroit, di
negara bagian Michigan, tingkat kejahatan sedemikian tinggi sehingga
disamakan oleh sebagian kalangan dengan kawasan perang. Dinyatakan pula
bahwa setiap tahunnya tercatat ratusan ribu kasus pemerkosaan, dengan
90% pelaku pemerkosaan tidak pernah ditahan.
Inilah Amerika yang dielukan. Inikah
para pembela HAM? Dengan dalih membela HAM, mereka campakkan hukum Allah
Subhanahuwata’ala. Mereka akan menuai hasilnya di dunia dan akhirat.
Demi Allah, sebentar lagi mereka akan tumbang, negeri mereka akan
hancur, sebagaimana halnya Allah Subhanahuwata’ala menumbangkan
benteng-benteng kokoh Yahudi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
هُوَ
الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِن
دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا ۖ
وَظَنُّوا أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ
اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ
الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي
الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Dia-lah yang mengeluarkan orang orang
kafir diantara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan
keluar. dan pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat
mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah ; maka Allah mendatangkan
kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah
mencampakkanketakutankedalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah
rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang
beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orangorang yang mempunyai pandangan.” (al-Hasyr: 59)
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.

Al Quran Petunjuk Ke Jalan Yang Benar
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya al-Qur’anini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus.” (al-Isra’: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat
يَهْدِ
“memberikan petunjuk….”Menurut al-Alusi rahimahumullah, yaitu memberikan petunjuk bagi manusia semuanya, bukan hanya kelompok tertentu.
لِلَّتِي
“kepada yang….”
Kata ini berkedudukan sebagai
sifat/na’at terhadap suatu kata yang tersembunyi, yang bila ditunjukkan
berarti jalan, sehingga maknanya: “kepada (jalan) yang….” Sebagian ahli
bahasa berpendapat, ia berkedudukan sebagai hal (menerangkan keadaan).
Artinya,“kepada keadaan yang lebih lurus”, yaitu mentauhidkan Allah
Subhanahuwata’ala dan beriman kepada para rasul-Nya.
أَقْوَمُ
“Lebih lurus.”Maknanya, yang lebih benar dan lebih adil, yaitu Islam dan kalimat syahadat. Banyak ulama tafsir memaknainya dengan mengesakan Allah Subhanahuwata’ala, beriman kepada- Nya dan kepada para rasul-Nya, serta beramal dengan menaati-Nya.
Tafsir Ayat
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahumullah dalam
tafsirnya menyatakan, pada ayat ini Allah Subhanahuwata’ala
memberitakan tentang kemuliaan dan keagungan al-Qur’an, yaitu ia
memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Maksudnya, yang lebih
adil dan lebih tinggi (mulia), berupa keyakinan, amal kebaikan, dan
akhlak (yang mulia). Barang siapa memperoleh petunjuk dengan perkara
yang diseru oleh al-Qur’an, tentu ia akan menjadi manusia yang paling
sempurna, paling lurus, dan paling benar pada seluruh urusannya.
Ibnu Katsir rahimahumullah menjelaskan
dalam tafsirnya, Allah Subhanahuwata’ala memuji kitab-Nya yang mulia,
yang Ia turunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad, yaitu al-Qur’an. Ia
(al-Qur’an) memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan lebih
jelas/terang. Diterangkan oleh Ibnu Jarir ath- Thabari t dalam
tafsirnya, Allah l menyebutkan dalam ayat ini, al Qur’an yang telah Dia
turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan bimbingan dan petunjuk bagi orang mukmin kepada jalan yang
lebih lurus, yaitu jalan yang lebih lurus daripada jalan lainnya. Itulah
agama Allah Subhanahuwata’ala, agama yang Allah Subhanahuwata’ala
mengutus dengannya para nabi-Nya, yaitu agama Islam.
Beliau juga menyebutkan sebuah riwayat
dari jalan Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zaid—seputar tafsir ayat
ini— beliau berkata, “Maksudnya, al-Qur’an memberikan petunjuk kepada
jalan yang lebih benar. Ia (al-Qur’an) itu yang benar dan yang haq,
lawannya adalah yang batil/salah. Lalu beliau membaca,
“Di dalamnya terdapat (isi) kitabkitab yang lurus.”
Artinya, berisikan kebenaran dan tidak ada kebengkokan di dalamnya, sebagaimana halnya firman Allah Subhanahuwata’ala ,
وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ قَيِّمًا
“Dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya; sebagai bimbingan yang lurus.” (al-Kahfi: 1)
Asy-Syaukani rahimahumullah dalam
tafsirnya, Fathul Qadir, menyebutkan sebuah riwayat yang dikeluarkan
oleh al-Hakim t, dari Ibnu Mas’ud z, bahwasanya beliau sering membaca
ayat ini. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim t dalam tafsirnya dari
Qatadah t yang berkata, “Maknanya, al-Qur’an memberikan petunjuk kepada
kalian tentang penyakit dan obatnya. Penyakit yang dimaksud adalah
dosa-dosa dan kesalahan. Adapun obatnya adalah dengan istighfar (memohon
ampun kepada-Nya).”
Al-Qur’an, Petunjuk ke Jalan yang Benar.
Asy-Syinqithi rahimahumullah menerangkan
dalam tafsirnya, pada ayat ini Allah Subhanahuwata’ala menyebutkan
bahwa al-Qur’an adalah kitab yang paling agung dibandingkan dengan
kitab-kitab samawi yang lain. Terkumpul padanya seluruh ilmu. Ia adalah
kitab terakhir yang turun. Ia memberikan petunjuk kepada jalan yang
lebih lurus, yaitu jalan yang lebih adil, benar, dan mulia.
Pada ayat ini pula,
Allah Subhanahuwata’ala mengumpulkan dan menyebutkan secara umum (tidak
terperinci) semua yang ada pada al-Qur’an, yaitu petunjuk kepada jalan
yang paling baik, adil, dan benar. Seandainya kita menyelidiki rincian
ayat ini dalam bentuk yang sempurna, pasti kita akan mendapatkan semua
itu pada al-Qur’an yang agung ini.
Sebab, seluruh urusan terkandung pada
ayat ini. Ayat ini mengandung petunjuk kepada kebaikan dunia dan
akhirat. Berikut akan kami sebutkan beberapa masalah yang penting dan
diingkari oleh orang-orang kafir. Mereka mencela Islam karenanya, akibat
ketidak mampuan mereka memahami hikmah yang sangat mulia dalam
al-Qur’an. Inilah jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, di
antaranya:
1. Tauhidullah (keesaan Allah
Subhanahuwata’ala ) Al-Qur’an telah memberikan petunjuk kepada jalan
yang lebih lurus dan adil, yaitu keesaan-Nya dalam hal rububiyah-Nya,
peribadahan kepada- Nya, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya. Berdasarkan
hasil penelitian/kajian terhadap al-Qur’an bahwa tauhidullah terbagi
menjadi tiga macam:
a. Tauhidullah dalam hal rububiyah-
mengatur segala urusan, menghidupkan, mematikan, dan sebagainya. Di
antara ayat yang menunjukkan hal ini adalah:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka,”Siapakah yang
menciptakan mereka?” Niscaya mereka menjawab,“Allah.” (az-Zukhruf: 87)
Jenis tauhid ini telah terbentuk dan
diakui oleh fitrah orang-orang yang berakal. Namun, pengakuan ini tidak
bermanfaat kecuali dengan mengikhlaskan (memurnikan) ibadah hanya untuk
Allah Subhanahuwata’la .
b. Tauhidullah dalam hal peribadahan
Kaidahnya adalah perwujudan makna kalimat La ilaha illallah. Kalimat ini
tersusun dari dua makna: peniadaan dan penetapan.
Makna peniadaan adalah melepaskan segala jenis yang diibadahi selain Allah Subhanahuwata’la, apa pun dan siapa pun dia, pada semua jenis peribadahan. Adapun makna penetapan adalah mengesakan Allah Subhanahuwata’la semata pada seluruh jenis ibadah dengan ikhlas dalam bentuk yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebanyakan ayat yang ada pada al-Qur’an menerangkan masalah ini. Misalnya firman Allah Subhanahuwata’la,
Makna peniadaan adalah melepaskan segala jenis yang diibadahi selain Allah Subhanahuwata’la, apa pun dan siapa pun dia, pada semua jenis peribadahan. Adapun makna penetapan adalah mengesakan Allah Subhanahuwata’la semata pada seluruh jenis ibadah dengan ikhlas dalam bentuk yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebanyakan ayat yang ada pada al-Qur’an menerangkan masalah ini. Misalnya firman Allah Subhanahuwata’la,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan (yang hak
untuk diibadahi) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.”
(Muhammad: 19)
c. Tauhidullah dalam nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Ada dua prinsip yang mendasari masalah ini: Pertama,
menyucikan-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat para makhluk,
sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’la,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ
يَعْنِيْه [حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]
“Tidakadasesuatupunyangserupa dengan Dia.” (asy-Syura: 11)
Kedua, mengimani sifat-sifat- Nya yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata’la atau yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk yang sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya, seperti firman Allah Subhanahuwata’la,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yangserupa dengan Dia, dan Dialah YangMaha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (asy- Syura: 11)
2. Allah Subhanahuwata’la
menjadikan talak (menceraikan istri) berada ditangan laki-laki (para
suami) Firman Allah Subhanahuwata’la,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu….” (ath-Thalaq: 1)
Sebab, wanita (para istri)
diperumpamakan seperti sawah ladang (tempat bercocok tanam), ditaburkan
padanya air laki-laki, sebagaimana ditaburkannya benih/biji-bijian pada
bumi (sawah ladang). Allah Subhanahuwata’la berfirman,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam.” (al- Baqarah: 223)
Seorang petani tidak akan memaksa diri
untuk menabur benih pada ladang yang tidak ia sukai untuk tempat
bercocok tanam. Bisa jadi, menurutnya, tempat itu tidak layak baginya.
Adapun bukti pasti yang dapat dinalar bahwa suami itu ibarat petani dan
istri ibarat sawah ladang; alat bertanam ada pada suami. Kalau sang
istri berkehendak untuk berhubungan dengan suami, dalam keadaan sang
suami tidak berkenan dan tidak menyukai, sang istri tidak akan mampu
berbuat apa-apa. Sebaliknya, jika sang suami berkenan dan memaksa sang
istri, dalam keadaan ia (istri) tidak menyukai, akan terjadi kehamilan
dan kelahiran.
Maka dari itu, tabiat dan fitrah
menunjukkan bahwa suami itu sebagai pelaku (subjek) dan istri sebagai
objek. Dengan demikian, orang-orang berakal sepakat bahwa penisbahan
anak itu kepada suami, bukan kepada istri. Disamakannya wanita (istri)
dan laki laki (suami) dalam hal ini diingkari oleh nalar, dan masalahnya
cukup jelas.
3. Dibolehkan bagi laki-laki untuk berpoligami
Di antara bentuk al-Qur’an memberikan
petunjuk kepada jalan yang benar adalah dibolehkannya seorang laki-laki
menikahi wanita lebih dari satu (sampai memiliki empat istri). Jika
seorang khawatir tidak dapat berbuat adil, cukup baginya seorang istri
atau budak yang ia miliki.
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم
مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.Kemudian jika kamu taku
tidak akan berlaku adil,(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang
kamu miliki.” (an-Nisa: 3)
4. Dalam warisan, bagian laki laki lebih banyak daripadawanita
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa
al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus, laki-laki
mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita. Allah l berfirman,
وَإِن
كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya
kamu tidak sesat dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa:
176)
Di antara alasannya, laki-laki memiliki
keutamaan dari sisi penciptaan (tabiat asal), kekuatan, kemuliaan, dan
keelokan. Sebaliknya, wanita diciptakan Allah Subhanahuwata’la dalam
kondisi kurang akal, lemah. Wanita yang pertama kali ada diciptakan oleh
Allah Subhanahuwata’la dari bagian tubuh laki-laki (tulang rusuk).
Allah Subhanahuwata’la berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“Kaum laki-laki tu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
telah Melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita).” (an- Nisa: 34)
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (al-Baqarah: 228)
Dengan demikian, laki-laki tidak sama dengan wanita. Allah Subhanahuwata’la berfirman,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنثَىٰ
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (AliImran: 36)
Barang siapa mengatakan perempuan sama
dengan laki-laki, ia telah merelakan dirinya untuk menjadi manusia yang
terlaknat. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهَاتِ بِالرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki
yang menyerupai wanita.” (HR. at- Tirmidzi, beliau menyatakan hadits
ini hasan sahih)
5. Mengamalkan sunnah Di antara bukti
bahwa al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang benar ialah
iamemerintahkan manusia untuk memahami serta mengamalkan isi dan
kandungannya dengan mengamalkan sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُو
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah!” (al Hasyr: 7)Wallahuta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

Tanya Jawab Ringkas Edisi 83
Jin Mendapat Syariat?
Apakah jin mendapatkan syariat seperti kita (shalat, puasa, dsb.)? Apakah mereka juga bisa membaca mushaf al- Qur’an dan hafalan?
Apakah jin mendapatkan syariat seperti kita (shalat, puasa, dsb.)? Apakah mereka juga bisa membaca mushaf al- Qur’an dan hafalan?
081391XXXXXX
Ya, kehidupan jin seperti manusia, hanya beda alam. Lihat surat adz- Dzariyat ayat 56.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Takbir Ied bagi Wanita
Bolehkah wanita takbir pada ied? Apa syarat-syaratnya?
Bolehkah wanita takbir pada ied? Apa syarat-syaratnya?
081391XXXXXX
Wanita diperbolehkan takbir ied
sebagaimana laki-laki. Namun, tidak boleh mengeraskan suaranya sampai
terdengar oleh laki-laki yang bukan mahram, juga tanpa ikhtilath. Cukup
sendiri atau di tengah-tengah wanita atau mahramnya.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Jumlah Lafadz Takbir Ied
Berapa kali lafadz takbir ied?
Berapa kali lafadz takbir ied?
081391XXXXXX
Semuanya boleh, karena lafadz takbir
datangnya dari perbuatan salaf, tidak adariwayat dalam sunnah. Bahkan,
semata-mata mengulang lafadz takbir juga boleh. Namun, yang afdal adalah
bertakbir sesuai dengan contoh salaf.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Keputihan Membatalkan Wudhu?
Bismillah. Apakah keputihan itu dapat membatalkan wudhu dan shalat? Apakah keputihan itu najis? Jazakumullah khairan.
Bismillah. Apakah keputihan itu dapat membatalkan wudhu dan shalat? Apakah keputihan itu najis? Jazakumullah khairan.
085647XXXXXX
Pendapat yang rajih, hukum asal sesuatu
adalah suci dan tidak membatalkan wudhu sampai ada nash dalil yang
menjelaskannya.Tidak ada nash yang menjelaskan najisnya keputihan atau
termasuk pembatal wudhu.
Adapun lafadz“ yangk eluard ari dua jalan qubul dan dubur” bukan lafadz hadits, melainkan pernyataan jumhur ulama; itu pun tidak baku untuk semua permasalahan. Wallahul muwaffiq.
Adapun lafadz“ yangk eluard ari dua jalan qubul dan dubur” bukan lafadz hadits, melainkan pernyataan jumhur ulama; itu pun tidak baku untuk semua permasalahan. Wallahul muwaffiq.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Zakat dari Jualan Sabu-Sabu
Bismillah. Apakah boleh seseorang mengeluarkan zakat harta dari hasil yang haram, misal dari hasil jual sabu-sabu. Bagaimana orang yang menerimanya? Jazakallahu khairan.
Bismillah. Apakah boleh seseorang mengeluarkan zakat harta dari hasil yang haram, misal dari hasil jual sabu-sabu. Bagaimana orang yang menerimanya? Jazakallahu khairan.
085260XXXXXX
Allah Subhanahuawata’ala tidak menerima
selain yang baik. Orang yang mempunyai harta haramatau dari hasil yang
haram,tidak boleh memakainya kecuali apabila dia mendapatkannya sebelum
mengetahui ilmunya, maka apa yang telah berlalu, halal baginya.
Adapun setelah mempunyai ilmu, dia harus alokasikan untuk kepentingan umum. Sebagian ulama berpen dapat boleh bagi pihak lain untuk menerimanya, tetapi yang wara’ adalah tidak menerimanya; karena termasuk syubhat.
Adapun setelah mempunyai ilmu, dia harus alokasikan untuk kepentingan umum. Sebagian ulama berpen dapat boleh bagi pihak lain untuk menerimanya, tetapi yang wara’ adalah tidak menerimanya; karena termasuk syubhat.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Wakaf Bersyarat
Bismillah. Bagaimana status tanah orang yang mengatakan, “Saya wakafkan tanah ini kalau untuk dibangun masjid.” Apakah masih sebagai tanah wakaf ketika diketahui hampir tidak mungkin membangun masjid di tanah tersebut?
Bismillah. Bagaimana status tanah orang yang mengatakan, “Saya wakafkan tanah ini kalau untuk dibangun masjid.” Apakah masih sebagai tanah wakaf ketika diketahui hampir tidak mungkin membangun masjid di tanah tersebut?
085221XXXXXX
Wakaf itu tergantung niat dan lafadz siwaqif. Sementara itu, nazir
hanya menjalankan amanat wakaf tersebut selama tidak melanggar syar’i.
Wakaf di atas diistilahkan wakaf mu’allaqbi syarthi (wakaf yang terikat
dengans yarat). Apabila sesuai dengan syarat, statusnya wakaf. Jika
tidak,tidak dianggap wakaf kecuali apabila waqif mempunyai lafadzlain.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Contoh Jual Beli Istishna’ & Salam
Seseorang menjual tanah dan rumah yang baru dibangun setelah akad jual beli dan membayar DP 50%. Apakah yang demikian termasuk jual beli yang terlarang karena belum ada barang (rumah)? Pertanyaan yang sama, seseorang membeli baju, namun stoknya habis, jadi barang baru diberikan setelah datang. Jazakumullahu khairan. 081254XXXXXX
Seseorang menjual tanah dan rumah yang baru dibangun setelah akad jual beli dan membayar DP 50%. Apakah yang demikian termasuk jual beli yang terlarang karena belum ada barang (rumah)? Pertanyaan yang sama, seseorang membeli baju, namun stoknya habis, jadi barang baru diberikan setelah datang. Jazakumullahu khairan. 081254XXXXXX
Kasus pertama disebut istishna’; boleh
menurut pendapat yang rajih, dengan syarat rumah itu sesuai dengan
kriteria yang disepakati. Waktu pelunasannya adalah pada waktu
penyerahan rumah atau sebelumnya.
Kasuske-2 menggunakan sistem salam; yaitu uang kontan dimuka untu kbarang yang disepakati dengan sifat, timbangan, ukuran, dan waktu penyerahan yang disepakati. al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Kasuske-2 menggunakan sistem salam; yaitu uang kontan dimuka untu kbarang yang disepakati dengan sifat, timbangan, ukuran, dan waktu penyerahan yang disepakati. al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Memukul Anak Agar Jera
Bismillah. Bolehkah menghukum anak dengan memukulnya agar jera sehingga menjadi pelajaran baginya dan bagi teman-temannya? 08179XXXXXX
Bismillah. Bolehkah menghukum anak dengan memukulnya agar jera sehingga menjadi pelajaran baginya dan bagi teman-temannya? 08179XXXXXX
Pendidikan Islam dibangun di atas rahmah
dan kelembutan, khususnya tarbiyahanak-anak. Kekerasan dan kekasaran
dalam pendidikan tidak dibenarkan dalam syariat. Yang ada adalah
ketegasan dan ke disiplinan dengan rambu-rambunya.
Apabila ada anak yang salah melanggar, hukumannya disesuaikan dengan kadar dan jenis kesalahan, juga kondisi setiap anak. Bisa jadi diberi peringatan, hukuman ringan, sedang, ataumungkinberat, asalkan tidak membahayakan.
Hukuman tidak dilihat dari usia, karena hadits tentang pembeda antar umur tujuh dan sepuluh tahun hanya dalam urusan shalat dan tempat tidur. Apabila terpaksa menghukum dengan pukulan, tidak boleh memukul wajah atau bagian tubuh yang rawan d an tidakbolehmelukai. Wallahulmuwaffiq.
Apabila ada anak yang salah melanggar, hukumannya disesuaikan dengan kadar dan jenis kesalahan, juga kondisi setiap anak. Bisa jadi diberi peringatan, hukuman ringan, sedang, ataumungkinberat, asalkan tidak membahayakan.
Hukuman tidak dilihat dari usia, karena hadits tentang pembeda antar umur tujuh dan sepuluh tahun hanya dalam urusan shalat dan tempat tidur. Apabila terpaksa menghukum dengan pukulan, tidak boleh memukul wajah atau bagian tubuh yang rawan d an tidakbolehmelukai. Wallahulmuwaffiq.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Bayar Pajak karena Terpaksa
Bagaimana hukum orang yang membayar pajak karena terpaksa? Sebab, kita akan diberi sanksi kalau tidak membayar. 085867XXXXXX
Bagaimana hukum orang yang membayar pajak karena terpaksa? Sebab, kita akan diberi sanksi kalau tidak membayar. 085867XXXXXX
Dengan kondisi seperti di negara kita, mau
tidak mau kita harus membayar pajak. Oleh karena itu, lakukan demi
meredam fitnah; sedangkan dosanya ditanggung oleh pihak yang mewajibkan.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Haramnya Bekerja di Kantor Pajak
Apa penyebab haramnya bekerja di kantor pajak? 082173XXXXXX
Apa penyebab haramnya bekerja di kantor pajak? 082173XXXXXX
Pajak dihukumi haram, karena:
1. Memakan harta sesama muslim dengan cara yang batil.
2. Tidakberdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, danpemahamansalaf.
3. Tasyabbuh perbuatan orangorangkafirdanpemerintahzalim.
4. Pajak dizaman salaf diterapkan terhadap orang kafir, bukan terhadap muslim. Selainitu, terdapat hadits yang menunjukkan bahwa pajak termasuk dosa besar. Lihat halaman 41 majalah edisi ini pada akhir hadits yang menyebutkan kisah wanita Ghamidiyah yang meminta agar dirinya dirajam karena telah berzina.
Ada kitab khusus yang membahas tentang pajak, ditulis oleh Fahd Nahsyali al-‘Adani, dan diberi pendahuluan oleh asy-SyaikhMuhammadal-Imam.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
al-Ustadz Qomar Suaidi
1. Memakan harta sesama muslim dengan cara yang batil.
2. Tidakberdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, danpemahamansalaf.
3. Tasyabbuh perbuatan orangorangkafirdanpemerintahzalim.
4. Pajak dizaman salaf diterapkan terhadap orang kafir, bukan terhadap muslim. Selainitu, terdapat hadits yang menunjukkan bahwa pajak termasuk dosa besar. Lihat halaman 41 majalah edisi ini pada akhir hadits yang menyebutkan kisah wanita Ghamidiyah yang meminta agar dirinya dirajam karena telah berzina.
Ada kitab khusus yang membahas tentang pajak, ditulis oleh Fahd Nahsyali al-‘Adani, dan diberi pendahuluan oleh asy-SyaikhMuhammadal-Imam.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
al-Ustadz Qomar Suaidi
Contoh Kasus Waris
Seorang kakek mempunyai 4 putra, 7 putri, dan 1 putri angkat. Ayah saya adalah salah seorang putra kakek tersebut. Kami tiga bersaudara, putra semua. Ayah saya lebih dahulu meninggal dari kakek atau nenek. Ketika kakek meninggal dengan meninggalkan sejumlah harta, harta tersebut tidak segera dibagi. Ketika nenek meninggal, baru dilakukan pembagian warisan.
Bagaimana pembagian harta waris tersebut? Apakah kami mendapatkan warisanjuga? Jazakumullahukhairan.081370XXXXXX
Seorang kakek mempunyai 4 putra, 7 putri, dan 1 putri angkat. Ayah saya adalah salah seorang putra kakek tersebut. Kami tiga bersaudara, putra semua. Ayah saya lebih dahulu meninggal dari kakek atau nenek. Ketika kakek meninggal dengan meninggalkan sejumlah harta, harta tersebut tidak segera dibagi. Ketika nenek meninggal, baru dilakukan pembagian warisan.
Bagaimana pembagian harta waris tersebut? Apakah kami mendapatkan warisanjuga? Jazakumullahukhairan.081370XXXXXX
Anda semua tidak mendapatkan warisan,
karena orang tua meninggal sebelum kakek-nenek yang memiliki harta.Dalam
ilmu waris, Anda semua gugur karena masih ada anak-anak dari
kakek-nenek tersebut.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Sudah Tidak Bekerja, Masih Digaji
Seseorang yang sudah tidak bekerja lagi mendapatkan gaji tiap bulan sampai bulan keempat. Bolehkah ia mempergunakan uang gaji tersebut?085275XXXXX
Seseorang yang sudah tidak bekerja lagi mendapatkan gaji tiap bulan sampai bulan keempat. Bolehkah ia mempergunakan uang gaji tersebut?085275XXXXX
Jika dari pemerintah atau perusahaan
sebagai subsidi, diperbolehkan. Namun, apabila bukan subsidi, tetapi
gaji bulanan atas pekerjaan kita (yang ternyata kita sudah tidak
bekerja), tidak boleh diambil. Jika dari asuransi,dirinci lagi. JikaDari
uang gaji kita yang dipotong tiap bulan, boleh diambil sejumlah nominal
gaji saja; tetapi jika dari selain itu, lebih baik tidak diambil karena
bukan hak kita.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Anak Menghajikan Orang Tua
Apa hukumnya seorang anak yang menghajikan bapak dan ibunya yang sudah meninggal? 08156XXXXXX
Apa hukumnya seorang anak yang menghajikan bapak dan ibunya yang sudah meninggal? 08156XXXXXX
Jika orang tua pada masa hidupnya termasuk
mampu haji, tetapi tidak ada kesempatan berangkat hingga wafat, anak
boleh menghajikannya dengan syarat yang menjadi wakil sudah pernah haji
sebelumnya. Begitu pula apabila orang tua berwasiat dan tidak lebih
dari1/3 harta, maka ditunaikan wasiatnya.
al-Ustadz Muhammad Afifuddin

Berjuta Cinta dalam Bayang-Bayang Pedang
Dari Abdullah bin Umar rahimahumullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُعِثْتُ
بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتىَّ يُعْبَدَ اللهُ وَحْدَهُ لا
شَرِيْكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِيْ تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِيْ وَجُعِلَ الذُّلُّ
وَالصِّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
فَهُوَ مِنْهُمْ
“Aku diutus menjelang hari kebangkitan
dengan pedang supaya hanya Allah semata yang di ibadahi, tiada sekutu
bagi-Nya. Rezekiku diletakkan di bawah naungan pedangku. Kerendahan dan
kehinaan ditetapkan bagi siapa saja yang menyelisihi perintahku. Barang
siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk bagian dari mereka.”
Benarkah Islam agama yang penuh rahmah dan kasih sayang? Benarkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cinta dan kedamaian kepada umat manusia? Jika memang benar, mengapa kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dipenuhi dengan cerita perang dan pertempuran? Itulah sebuah syubhat
yang diungkap untuk mencitrakan Islam sebagai agama yang buas dan penuh
kebencian. Maka dari itu, hadits di atas hanya sebagian penggalannya
yang dibahas untuk sedikit menjawab syubhat tersebut.
Hadits tersebut dikeluarkan oleh al-Imam
Ahmad (no. 5114, 5115, 5667), al-Khatib dalam al-Faqih wal Mutafaqqih
(2/73), dan Ibnu Asakir (1/19/96) dari jalan Abdurrahman bin Tsabit bin
Tsauban dari Hassan bin ‘Athiyyah dari Abu Munib al-Jarasyi.
Asy-Syaikh al-Albani menjelaskan dalam
Jilbab Mar’ah Muslimah (203— 204), “Hadits ini sanadnya hasan. Mengenai
Ibnu Tsauban, memang ada pembicaraan, namun tidak memudaratkan. Al-Imam
al-Bukhari rahimahumullahtelah menyebutkan sebagian dari hadits di atas
secara mu’allaq di dalam Shahihnya (6/75).”
Al-Hafizh rahimahumullah menjelaskan
dalam syarahnya, “Hadits ini adalah bagian dari hadits yang dikeluarkan
oleh al- Imam Ahmad dari jalan Abu Munib… dan hadits ini mempunyai
penguat yang mursal dengan sanad yang hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari jalan al-‘Auza’i dari Sa’id bin Jabalah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan.”
Tujuan Berperang
Perang, dalam perspektif Islam, memiliki tujuan dan cita-cita mulia, antara lain:
1. Membebaskan manusia dari peribadahan kepada makhluk menuju peribadahan kepada Allah Subhanahuwata’ala , Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki untuk mereka. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
1. Membebaskan manusia dari peribadahan kepada makhluk menuju peribadahan kepada Allah Subhanahuwata’ala , Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki untuk mereka. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dans upaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (al- Anfal: 39)
2. Menghapuskan kezaliman dan mengembalikan setiap hak kepada pemiliknya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuasa menolong mereka itu.”
(al-Hajj: 39)
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ
“(Yaitu) orang-orang yang telah diusir
dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, selain karena
mereka berkata,‘Rabb kami hanyalah Allah’.” (al-Hajj: 40)
3. Menghinakan orang-orang kafir, menghukum, dan melemahkan kekuatan mereka. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
قَاتِلُوهُمْ
يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ
عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ () وَيُذْهِبْ غَيْظَ
قُلُوبِهِمْ ۗ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan
menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu. Allah akan
menghinakan mereka, menolong kamu dari mereka, dan melegakan hati
orang-orang yang beriman,serta Allah akan menghilangkan panas hati orang
orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang-orang yang dikehendaki-
Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 14-15)
(al-Mulakhas Fiqhi, al-Fauzan, 1/379—380)
Beberapa Adab dalam Berperang
Sebagai bukti bahwa Islam mengajarkan
cinta kasih, tidak asal membunuh, dan tidak menekankan kebencian, adalah
adab-adab yang dibimbingkan oleh Rasulullah n pada setiap peperangan.
Di antaranya adalah,
1. Islam selalu menawarkan pilihan
pilihan sebelum berperang, yaitu masuk Islam atau membayar jizyah
(semacam upeti) dengan mereka tetap menjalankan agama masing-masing.
Di dalam hadits Buraidah radhiyallahu anhu, beliau bercerita, “Dahulu, kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat seorang panglima untuk sebuah pasukan perang, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
selalu memberikan wasiat secara khusus untuk bertakwa kepada Allah
Subhanahuwata’ala dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang
menyertainya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan,
“Berperanglahdengan menyebut nama Allah
Subhanahuwata’ala di jalan- Nya! Perangilah orang-orang yang kufur
terhadap Allah Subhanahuwata’ala! Janganlah kalian berbuat ghulul
(mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi), berkhianat, mencincang
jasad musuh, dan janganlah membunuh anak-anak.
Jikaengkauberjumpamusuhdarikaum musyrikin, tawarkan kepada mereka tiga
hal. Apa pun yang mereka pilih darimu, terimalahdantahanlahdirimu dari
mereka.” (Shahih Muslim, 1731)
Ketiga hal tersebut adalah: masuk Islam, membayar jizyah, atau berperang. Sama juga dengan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebelum menyerang benteng Khaibar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ
“Berangkatlah dengan hati-hati hingga
engkau berada didepan benteng mereka. Kemudian, ajaklah mereka ke dalam
Islam! Sampaikan kepada mereka akan kewajiban mereka terhadap hak Allah
Subhanahuwata’ala . Demi Allah, (seandainya) Allah Subhanahuwata’ala
memberikan hidayah kepada seseorang melalui sebab dirimu, itulebih baik
bagimu daripada unta merah.”(HR. al-Bukhari no. 2942, Muslimno. 2406)
2. Islam tidak mengajarkan untuk
berharap bertemu dengan musuh. Namun, jika telah berjumpa haruslah
bersabar. Di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ فَإذَِا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا
“Janganlah kalian berharap-harap bertemu
dengan musuh. Akan tetapi, jika kalian telah bertemu dengan
musuh,bersabarlah!” (HR. al-Bukhari no. 3025 dan Muslim no. 1741)
3. Dilarang membunuh kaum wanita dan anak-anak. Ibnu Umar radhiyallahu anhu bercerita tentang seorang wanita yang ditemukan terbunuh dalam sebuah peperangan yang diikuti oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak (HR. al-Bukhari no. 3013 dan Muslim no. 1745).
4. Dilarang berbuat khianat, mencincang
,dan mencacat jasad musuh, serta ghulul (mengambil harta rampasan perang
sebelum dibagi).
Dalilnya adalah hadits Buraidah radhiyallahu anhu pada poin pertama.
Dalilnya adalah hadits Buraidah radhiyallahu anhu pada poin pertama.
5. Dilarang membunuh musuh yang dalam keadaan tidak berdaya.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beristirahat di bawah naungan sebuah pohon dalam Perang Dzatur Riqa’.
Datang seorang musuh dengan menghunus pedang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang tertidur. Saat Nabi terbangun, orang itu bertanya, “Apakah
engkau takut kepadaku?” Jawab Nabi, “Tidak!” Orang itu bertanya lagi,
“Siapa yang akan menghalangiku dari membunuhmu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah Subhanahuwata’ala.” Seketika itu, pedang yang ia bawa terjatuh lalu diambil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau balik bertanya, “Siapakah yang akan menghalangiku dari membunuhmu?”Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam. Ia menolak, tetapi berjanji untuk tidak lagi ikut memerangi kaum muslimin. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya pergi.
Orang itu kembali ke kaumnya dan
mengatakan, “Aku datang kepada kalian setelah bertemu dengan manusia
terbaik.” (HR. al- Bukhari no. 4139 dan Muslim no. 843)
Latar Belakang Perang di Masa Nabi n
Sejarah perang di masa Nabi Muhammad n selalu diawali oleh sikap-sikap
kaum musyrikin yang mengganggu ketenteraman kaum muslimin, pengkhianatan
mereka, dan kezaliman mereka. Perang terjadi setelah tiga belas tahun
lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum
muslimin bersabar atas kezaliman dan kejahatan kaum musyrikin selama di
Makkah. Berikut ini beberapa latar belakang perang yang terjadi pada
masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Perang Badar
Semua berawal dari rongrongan kaum
musyrikin Quraisy yang berusaha membuat makar untuk menghancurkan kaum
muslimin. Mereka mengirim suratsurat kepada kaum musyrikin di Yatsrib
(Madinah) untuk berusaha menekan, memerangi, dan mengusir kaum muslimin
dari kota Madinah. Mereka diancam akan dibunuh dan perempuan-perempuan
mereka akan dihalalkan jika tidak memerangi kaum muslimin. Kaum muslimin
pun berusaha balas menekan. Di antara bentuknya adalah melakukan
penghadangan terhadap kafilah-kafilah dagang kaum musyrikin Quraisy.
Hingga suatu saat, kafilah dagang yang
dipimpin oleh Abu Sufyan berhasil lepas dari pengintaian kaum muslimin.
Ia pun mengirimkan berita kepada kaum musyrikin di Makkah tentang usaha
penghadangan kaum muslimin. Berangkatlah kurang lebih 1.000 orang
pasukan dengan perlengkapan dan peralatan perang, di atas keangkuhan dan
kesombongan. Sementara itu, kaum muslimin hanya membawa perlengkapan
dan peralatan seadanya, itu pun dengan jumlah pasukan kurang lebih tiga
ratus orang. Terjadilah peperangan yang kemudian dimenangi oleh kaum
muslimin.
2. Perang Bani Nadhir
Bermula dari kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ke bani Nadhir untuk menghitung/ menentukan tebusan atas kesalahan
seorang sahabat yang membunuh dua orang Yahudi. Namun, orangorang bani
Nadhir justru berencana mempergunakan kesempatan tersebut untuk membunuh
Rasulullah n secara diam-diam. Akan tetapi, malaikat Jibril
memberitahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bergegas kembali ke Madinah lalu memerintahkan Muhammad bin Maslamah
untuk menyampaikan kepada bani Nadhir agar mereka segera meninggalkan
tempat mereka dalam waktu sepuluh hari. Jika tidak, mereka akan
diperangi. Karena hasutan dari orang-orang Yahudi lainnya, mereka pun
menolak tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka justru mempersiapkan diri untuk berperang melawan kaum muslimin.
Setelah dikepung selama enam malam, bani Nadhir kemudian menyerah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusir mereka dari Madinah dan memberikan kemurahan sehingga mereka
bisa membawa barang dan harta, selain senjata. Allah Subhanahuwata’ala
menceritakan hal ini dalam surat al-Hasyr.
3. Perang Ahzab Perang ini terjadi
karena persekongkolan dan makar jahat kaum musyrikin Makkah, kabilah
Ghathafan, kaum Yahudi, dan kabilah-kabilah lainnya. Mereka bersepakat
untuk bersatu dan bersama-sama menyerang kota Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bermusyawarah dengan para sahabat untuk menentukan strategi di dalam
menghadapi pasukan gabungan tersebut. Jadi, Perang Ahzab adalah perang
yang terjadi karena kaum muslimin membela diri dan mempertahankan kota
Madinah.
4. PerangBaniQuraizhah Bani Quraizhah
adalah kabilah Yahudi yang melakukan pengkhianatan terhadap kaum
muslimin. Pada saat kaum muslimin sedang sibuk melawan pasukan gabungan
dalam Perang Ahzab di sebelah utara Madinah, bani Quraizhah yang berada
di sebelah selatan Madinah malah menyatakan perang.
Padahal, tidak ada yang menghalangi
antara bani Quraizhah dengan lokasi perlindungan kaum wanita dan
anak-anak kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat bersedih, pun para sahabatnya. Setelah Allah Subhanahuwata’ala
memberikan kemenangan kepada kaum muslimin dalam peristiwa Perang Ahzab,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berangkat menuju tempat tinggal bani Quraizhah untuk menghukum mereka atas pengkhianatan yang mereka lakukan.
5. Perang Mu’tah
Perang ini terjadi karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
marah saat mendengar utusan beliau, sahabat al-Harits bin ‘Amr, yang
membawa surat untuk penguasa negeri Basra malah dibunuh dan dipenggal
kepalanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan
pasukan terdiri dari 3.000 orang dengan pimpinan secara bergantian Zaid
bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Itu pun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan untuk menyampaikan tawaran Islam kepada mereka terlebih dahulu. Jika menolak, mereka boleh diperangi.
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpesan, “Berperanglahkaliandengannama Allah Subhanahuwata’ala
dandijalan Allah Subhanahuwata’ala. Bunuhlah orangy angm elakukank
ekufurank epada Allah Subhanahuwata’ala. Janganlah kalian menipu dan
mencuri harta rampasan perang. Jangan pula membunuh anak-anak, kaum
wanita, dan orang-orang tua. Janganlah kalianmerusak tempat
ibadahmereka, menebangpohonkurma, danpohon apapun,serta janganlah
merobohkan bangunan!”
6. Fathu Makkah
Inilah peristiwa penaklukan kota Makkah.
Bermula dari pengkhianatan kaum musyrikin Quraisy yang secara diam-diam
membantu sekutu mereka, bani Bakr, untuk menyerang bani Khuza’ah.
Padahal Khuza’ah adalah sekutu kaum muslimin. Sementara itu, dalam
Perjanjian Hudaibiyah telah disepakati masa gencatan senjata. Ternyata,
orangorang bani Bakr telah membunuh lebih dari dua puluh orang bani
Khuza’ah. Khuza’ah lalu menyampaikan berita itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bergeraklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat untuk menaklukan kota Makkah.
Setelah kota Makkah ditaklukkan, apa
yang beliau lakukan? Beliau mengatakan kepada kaum Quraisy yang dahulu
memusuhi dan memerangi kaum muslimin, “Pada hari ini tidak ada cercaan
terhadap kalian. Bubarlah, karenakalianadalah orang-orang yang bebas!”
Sungguh Sangat Berbeda!
Sungguh sangat berbeda! Peperangan yang
dikenal dan terjadi pada masa jahiliah adalah peperangan yang dipenuhi
oleh kekejaman, kekerasan, perampokan, penghancuran kehormatan,
pemusnahan ladang dan kebun, pembunuhan terhadap anak-anak, tanpa kasih
sayang dan rasa perikemanusiaan.
Adapun Islam, peperangan adalah sarana untuk menebarkan kasih sayang dan keadilan, menolong orang-orang yang terzalimi, dan menegakkan kalimat Allah Subhanahuwata’ala sehingga peribadahan benarbenar menjadi hanya untuk Allah Subhanahuwata’ala.
Adapun Islam, peperangan adalah sarana untuk menebarkan kasih sayang dan keadilan, menolong orang-orang yang terzalimi, dan menegakkan kalimat Allah Subhanahuwata’ala sehingga peribadahan benarbenar menjadi hanya untuk Allah Subhanahuwata’ala.
Lihatlah adab-adab berperang yang
diajarkan oleh Islam. Betapa rahmat dan penuh cinta! Bandingkanlah!
Selama tidak lebih dari delapan tahun peperangan yang dijalankan di masa
hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, korban terbunuh hanya sebatas 1.000 orang dari kalangan kaum muslimin, kaum musyrikin, Yahudi, dan Nasrani.
Dengan rentang waktu yang relatif
singkat dan korban jiwa yang relatif kecil, kaum muslimin mampu
menundukkan hampir seluruh Jazirah Arab dan menciptakan keamanan serta
ketenteraman. Adapun peperangan di zaman jahiliah sangat jauh berbeda.
Korban begitu banyak, dilatarbelakangi oleh dendam dan benci, penuh
ketakutan dan tidak berakhir.
Misalnya, perang antara bani Bakr dan
kabilah Taghlib yang terjadi selama empat puluh tahun dengan korban
sekitar 70.000 orang! Atau perang antara Aus dan Khazraj yang terjadi
hampir seratus tahun. Sungguh sangat berbeda! Bandingkanlah dengan
peperangan yang dilakukan dan dijalani oleh kaum kafir Barat! Dalam
Perang Dunia Pertama, yang hanya berlangsung kurang lebih selama empat
tahun, minimalnya ada 40 juta orang tewas.
Mayoritasnya adalah warga sipil yang
tidak terlibat dalam peperangan secara langsung. Sekitar 9 juta orang
tewas akibat kekurangan pangan, kelaparan, pembunuhan massal, dan
terlibat secara tidak langsung dalam pertempuran. Dalam perang ini,
senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman atas warga sipil
dari udara dilakukan, dan banyak pembunuhanmassal.
Bandingkan juga dengan Perang Dunia
Kedua! Perang terbesar dalam sejarah manusia yang melibatkan kaum kafir
Barat yang hanya terjadi dalam waktu enam tahun, telah memakan korban 70
juta orang tewas, mayoritasnya masyarakat sipil. Dalam dua perang dunia
ini, mencuat nama-nama penjahat perang semacam Hitler, Mussolini,
Lenin, Stalin, dan lainnya. Demikian juga kejahatankejahatan yang
tercatat dalam sejarah hitam dunia. Tokyo dibom bakar oleh sekutu yang
mengakibatkan 90.000 orang tewas akibat kebakaran hebat di seluruh kota.
Hiroshima dan Nagasaki dibom atom yang
mengakibatkan korban dan kerugian besar. Hal-hal yang sangat tidak
beradab dan tidak berperikemanusiaan telah dipertontonkan oleh kaum
kafir Barat. Atau juga kejahatan yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic
yang melakukan genosida (pembantaian etnis secara massal) terhadap kaum
muslimin di Bosnia.
Belum lagi kejahatan kaum kafir Barat
terhadap kaum muslimin di Afghanistan, Palestina, Chechnya, dan banyak
daerah lain. Sebelumnya lagi, dalam catatan Perang Salib. Sejarah telah
mencatat kekejaman dan kejahatan yang dilakukan oleh kaum Salibis
terhadap kaum
muslimin.
muslimin.
Pembunuhan terhadap wanita dan
anak-anak, pembakaran masjid dan bangunan lainnya, pemerkosaan, tindakan
keji dan bengis, serta perbuatan bengis lainnya. Kita harus bertanya,
“Siapakah yang patut dianggap sebagai kaum yang jahat dan tidak
berperikemanusiaan? Siapa pula yang pantas dinilai sebagai kaum yang
penuh rahmat dan kasih sayang? Kaum muslimin yang mengajarkan adab adab
penuh cinta dan kasih sayang di dalam berperang; ataukah kaum kafir
Barat yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan?” Alhamdulillah, Islam
adalah agama yang mengajarkan rahmat dan kasih sayang.
Al-Qur’an, sunnah, dan sejarah Nabi
Muhammad n menjadi bukti hal tersebut. Meskipun ada kelompok kelompok
atau individu-individu yang melakukan kejahatan lalu menisbatkan dirinya
kepada Islam, sesungguhnya Islam berlepas diri dari mereka. Wallahulmusta’an, walhamdulillah
Rabbil ‘alamin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibn Rifa’iRabbil ‘alamin.

Berani Dan Optimis Melalui Tawakal
Orang yang paling minim tingkat ilmunya tidak meragukan keluasan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala
di dunia ini. Setiap makhluk merasakan dan mendapatkannya. Namun, semua
itu tidaklah sebanding dengan keluasan rahmat-Nya di akhirat kelak.
Di dunia, Allah Subhanahuwata’ala
menurunkan satu dari seratus rahmat-Nya dan 99 rahmat dipersiapkan bagi
orang yang beriman kelak di hari kiamat. Tentu merugi dan celaka jika
seseorang terlalaikan oleh satu rahmat dan melupakan rahmat yang akan
didapatkan kelak di akhirat.
Seseorang dengan mudah bisa mendapatkan keluasan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala
di dunia, akan tetapi untuk mendapatkan yang 99 tersebut membutuhkan
perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Dengan mengetahui luasnya
rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala di dunia ataupun di akhirat,
menjadikan seseorang berani sekaligus berharap (raja’) di dalam hidup.
Berani untuk menghadapi segala risiko dalam usaha meraih rahmat yang
luas tersebut dan berharap karena Allah Yang Maha Pemurah akan
mencurahkan rahmat- Nya kepada siapa pun.
Di sinilah letak keistimewaan hidup orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kala menjalani hidup, dadanya senantiasa lapang dan luas, karena
diamengetahui rahasia hidup ini dan rahasia kebahagiaan di atasnya.
Mereka berani dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi
dalam menjalankan roda ketaatan dan berharap dalam keluasan rahmat,
pengampunan, dan kedermawanan Allah Subhanahuwata’ala.
Namun orang orang yang beriman tersebut
sebelum menjadi orang yang berani dan berharap, mereka telah berkarya
besar sembari menyandarkan diri kepada Allah Subhanahuwata’ala dalam
segala usahanya.
Yang Menjadikan Dada Lapang
1. Tauhid
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahumullah
mengatakan, “Hal terbesar yang akan menjadikan dada lapang adalah
ketauhidan. Berdasarkan kesempurnaannya, kekuatannya, dan bertambahnya,
kelapangan dada akan mengalami yang serupa. Allah SSubhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ
“Apakah orang-orang yang dibukakan Allah
hatinya untuk ( menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari
Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (az-Zumar: 22)
فَمَن
يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن
يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا
يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ
“Barang siapa yang Allah kehendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa ta’ala kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (al-An’am 125)
Petunjuk dan tauhid adalah sebab yang
paling besar bagi lapangnya dada, sebagaimana syirik dan kesesatan
sebagai sebab terbesar dada menjadi sempit dan sulit.
2. Iman
Termasuk perkara yang akan menjadikan
dada itu lapang adalah cahaya iman yang diletakkan oleh
Allah Subhanahuwata’ala di dalam hati. Dengannya dada menjadi lapang,
menjadikan hati selalu dalam kebahagiaan. Jika cahaya iman tersebut
sirna, dadanya akan menjadi sempit dan sulit, berada dalam kungkungan
yang paling sempit dan sulit. Seorang hamba akan mendapatkan kelapangan
dada sesuai dengan bagian yang dia dapatkan dari cahaya tersebut,
sebagaimana halnya cahaya yang bisa diraba serta kegelapan yang bisa di
indra akan menjadikan dada lapang dan dada sempit.
3. Ilmu
Ilmu akan menjadikan dada lapang dan
menjadikannya luas, bahkan melebihi luasnya dunia. Sementara itu,
kejahilan akan mewariskan dada yang sempit, kerdil, dan tertutup. Di
saat ilmu seorang hamba bertambah luas, maka bertambah lapang dadanya.
Tentu saja, hal ini tidak mencakup semua ilmu, tetapi hanya ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu ilmu yang bermanfaat. Pemilik ilmu yang bermanfaat adalah orang
yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling baik akhlaknya,
dan paling bagus kehidupannya.
4. Bertobat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Bertobat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,
mencintai- Nya setulus hati, memasrahkan diri kepada-Nya, dan
bernikmat-nikmat beribadah kepada-Nya, akan menjadikan dada lapang.
Sebagian mereka terkadang mengucapkan, “Jika saya di dalam surga dalam
kondisi ini, niscaya saya berada dalam kehidupan yang baik.”
5. Cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Sungguh, cinta kepda Allah Subhanahu wa ta’ala
memiliki pengaruh menakjubkan bagi lapangnya dada, baiknya jiwa, dan
lezatnya hati. Tidak ada yang mengetahuinya selain orang yang bisa
merasakannya. Saat cinta itu kuat dan keras, niscaya dada itu akan
menjadi lapang dan luas. Tidaklah dada menjadi sempit kecuali tatkala
melihat orang-orang yang telanjang dari semuanya ini. Memandang mereka
akan menjadikan mata kita penuh kotoran dan bergaul dengan mereka
menjadikan ruh kita panas.
Termasuk perkara besar yang akan menyebabkan dada sesak adalah berpaling dari Allah Subhanahu wa ta’ala, bergantungnya hati kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala, lalai dari menginga Allah Subhanahu wa ta’ala, dan mencintai selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah Subhanahuwata’ala, niscaya
Allah Subhanahuwata’ala akan mengazabnya dengan sesuatu (selain Allah)
tersebut, yang akibatnya hatinya terbelenggu dalam mencintai selain
AllahSubhanahu wa ta’ala. Akhirnya, tidak ada orang yang paling
celaka di muka bumi ini daripada dirinya, tidak ada yang paling
tertutup akalnya, yang paling jelek kehidupannya, dan yang paling lelah
hati daripada dirinya.
6. Zikir kepada Allah Subhanahuwata’ala
Zikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
dalam segala kondisi dan di setiap tempat. Maka dari itu, zikir itu
memiliki pengaruh menakjubkan terhadap lapangnya dada dan nikmatnya
hati. Tentunya, sikap lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam
menyempitkan dada, terbelenggu dan tersiksanya.
7. Berbuat Baik kepada Makhluk
Berbuat baik kepada setiap makhluk dan
memberikan manfaat kepada mereka dengan segala yang memungkinkan seperti
dengan harta, kedudukan, dan yang bermanfaat untuk badan (jasmani),
serta berbagai bentuk kebaikan lainnya. Seorang yang dermawan dan senang
berbuat baik adalah orang yang paling lapang dadanya, yang paling baik
jiwanya, dan yang paling tenteram hatinya.
Sementara itu, sifat bakhil yang tidak
ada padanya kebaikan adalah orang yang paling sempit dadanya, paling
jelek kehidupannya, serta yang paling besar keperihan dan kesedihan
hidupnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mempermisalkan dalam riwayat yang sahih orang yang bakhil dan rajin
bersedekah seperti halnya dua orang yang memiliki dua tameng besi.
Di saat orang yang gemar bersedekah
mengeluarkan sedekahnya, maka melebarlah tameng itu dan meluas, hingga
menutupi pakaian dan anggota badannya. Adapun apabila orang bakhil ingin
bersedekah, tetaplah setiap lingkara besi pada posisinya, tidak
meluas. Demikianlah permisalan orang yang beriman dan gemar untuk
bersedekah, lapang hatinya. Demikian pula pemisalan orang yang bakhil,
sempit dadanya dan tersekap hatinya.
8. Keberanian
Seseorang yang memiliki jiwa pemberani
akan memiliki dada yang lapang, luwes perangainya, dan terbuka hatinya.
Sementara itu, seorang yang penakut berada dalam kondisi dada yang
sempit dan yang paling kerdil hatinya. Dia tidak memiliki kebahagiaan,
kesenangan, kelezatan, dan kenikmatan selain sebagaimana halnya
binatang.
Oleh karena itu, kebahagiaan ruh,
kelezatannya, kenikmatannya, dan kewibawaannya, menjadi sesuatu yang
haram didapatkan orang yang memiliki sifat penakut, sebagaimana halnya
terhalangi bagi orang yang bakhil, orang yang berpaling dari Allah SSubhanahu wa ta’ala, lalai dari berzikir kepada-Nya, jahil tentang Allah Subhanahu wa ta’ala, nama-nama-Nya, sifat-sifat- Nya, dan tentang agama-Nya, serta menggantungkan hatinya kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Semua bentuk kenikmatan ini akan menjadi
kebun dari salah satu kebun surga di dalam kubur. Demikian halnya
kesempitan dada dan kerdilnya hati akan berubah menjadi azab dan
belenggu di dalam kubur. Keberadaan seseorang di alam kubur bagaikan
keberadaan hati di dalam dada, akankah bernikmat atau mendapat siksaan,
terbelenggu atau mendapatkan kemerdekaan? Tidak ada yang menjadi
penghalang jika dada tersebut menjadi lapang, sebagaimana tidak ada yang
akan menjadikan dada tersebut sempit, karena semuanya itu akan sirna
dengan sirnanya sebab-sebabnya. Segala sifat yang akan menyentuh dan
hinggap di dalam hati, maka itulah yang akan menjadikan dada tersebut
lapang atau sempit. Inilah yang menjadi barometernya, wallahulmusta’an.”(Zadul Ma’ad 2/23)
Berani dan Berharap, Sebuah Pengorbanan dan Perjuangan
Berani dan berharap dalam hidup adalah
dua senyawa yang jika bertemu dan berbaur, akan menjadi sebuah akhlak
yang sangat terpuji. Sifat berani adalah sifat terpuji yang mengandung
segala akhlak yang terpuji lainnya.
Keberanian adalah buah dari iman seseorang kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Terlebih jika dia mengimani adanya hari kebangkitan dan hari kiamat. Allah Subhanahu wa ta’ala telah memuji sifat berani di jalan-Nya sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari sahabat Abu Musa radhiyallahu anhu,
ia berkata, “Dikatakan, ‘Ya Rasulullah, seseorang berperang
dengankeberanian, berperang karena kebangsaan, berperang dengan
landasanriya, siapakah diantara mereka Yang benar-benar berjuang di
jalan Allah Subhanahu wa ta’ala?’
Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya dialah yang berada di atas jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.” Kesempurnaan sifat keberanian itu ada pada sifat al-hilm yang artinya sabar, tidak tergesa-gesa, cerdas, dan tangkas, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ وَإِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي
“Bukanlah yang dinamakan kuat itu
adalah orang yang bisa membanting lawan, tetapiyang dikatakan kuat
adalah orang yang bisa menahan diritatkala marah.” (Majmu’ Fatawa
15/432)
Berharap adalah buah dari ilmu tentang sifat rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala,
seperti pengampunan, kelembutan, maaf, dan kebaikan. Berharap terhadap
pahala yang ada di sisi-Nya termasuk amalan hati yang paling besar dan
pendorong kepada ketaatan yang paling kuat. Kekuatan berharap di dalam
hati tergantung pada kekuatan ilmu kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya.
Ibnul Qayyim rahimahumullah berkata , “Kuatnya berharap itu tergantung pada kekuatan pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta pengetahuan bahwa rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala
mengalahkan murka-Nya. Tanpa ruh berharap, niscaya akan lenyaplah
ubudiyah hati dan anggota badan. Akan hancur pula tempat-tempat menyebut
nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala.”
Berharap itu adalah sebuah ibadah yang
tidak boleh lepas dari kehidupan seorang muslim, baik saat melakukan
kebaikan maupun melakukan kejelekan. Saat dia melakukan kebaikan, dia
berharap bahwa amalnya diterima, yang wajib atau yang sunnah. Adapun
saat dia melakukan kejelekan, dia berharap diterima tobatnya dan
dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-Baqarah: 218)
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا
مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ
Katakanlah,“Hai hamba-hamba- Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Alah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
(az-Zumar: 53)
Maksud ayat ini adalah bagi orang yang bertobat. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala
mengumumkan bagi orang yang berbuat dosa, apa pun perbuatan dosa
tersebut. Artinya, Allah Subhanahuwata’ala akan mengampuni dengan taubat
yang baik, bagi siapa pun yang berdosa atas dosa apa pun, dan ini
khusus taubat sebagai sebab pengampunan. Sampai-sampai ulama berselisih
pendapat dalam hal mana yang lebih utama antara dua orang yang berharap
tersebut. Sebagian mereka mengatakan lebih utama berharapnya orang yang
berbuat baik, karena kuatnya sebab-sebab berharap itu pada dirinya.
Sebagian lagi mengatakan yang lebih
utama adalah berharapnya orang yang berbuat salah untuk bertobat karena
berharapnya itu bersih dari amalan yang jelek dan selalu dibarengi
melihat kesalahannya. Namun, yang tampak adalah keutamaan tersebut tidak
ditinjau dari sisi berharap itu, tetapi keutamaan tersebut sangatlah
tergantung pada apa yang terdapat di dalam hati pemiliknya yaitu sifat
takwa di saat dia berharap. Barang siapa lebih bertakwa, tentu
berharapnya lebih afdal, apakah di saat dia berbuat baik ataupun berbuat
salah. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kalian.” (al-Hujurat: 13)
Dari penjelasan di atas, tampak jelas
tentang berharap yang terpuji berupa bentuk berharapnya orang yang
berbuat amalan agar amalnya diterima, atau berharapnya orang yang
bertaubat agar taubatnya diterima. Adapun berharap yang kosong dari
karya nyata (amal) dan terus dalam kemaksiatan lalu bersandar kepada
pengampunan Allah Subhanahu wa ta’ala maka sikap ini adalah maghrur (tertipu) dan merasa aman dari azab Allah Subhanahuwata’ala.”
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Apakah mereka merasa aman dari azab
Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah
kecuali orang-orang yang merugi.” (al- A’raf: 99)
Sebab, hukuman orang yang berbuat
maksiat adalah istidraj (dibiarkan) atas kemaksiatannya, pada akhirnya
dibinasakan setelahnya.” (Atsar al- Matsalul al-‘A’la hlm. 25)
Ilmu, Fondasi Akhlak yang Agung
Ibnu Qayyim rahimahumullah berkata , “Pengetahuan seorang hamba tentang keesaan AllahSubhanahu wa ta’ala
dalam hal menolak mudarat, mendatangkan manfaat, memberi, tidak
memberi, menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan akan
membuahkan ubudiyah tawakal batiniah.
Konsekuensi tawakal dan buahbuahnya jelas sekali. Pengetahuan dia tentang Allah Maha Mendengar, Melihat, dan tentang ilmu AllahSubhanahu wa ta’ala
yang tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun yang paling kecil, baik di
langit maupun di bumi. Allah Subhanahuwata’ala mengetahui yang
tersembunyi dan yang tampak. Allah l juga mengetahui mata yang
berkhianat dan segala yang tersembunyi di dalam dada. Semua ini akan
membuahkan terjaganya lisan, anggota badan, dan pikirannya dari segala
yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahuwata’ala.
Dia menjadikan semua anggota tubuhnya tergantung kepada apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
dan diridhai-Nya. Semua ini juga akan melahirkan rasa malu di dalam
batin yang akan membuahkan sikap menjauhkan diri dari segala yang
diharamkan dan segala yang jelek. Mengenal AllahSubhanahu wa ta’ala
bahwa dia adalah Dzat yang Mahakaya, dermawan, mudah memberi, banyak
kebaikannya, dan penyayang; akan melahirkan harapan yang luas lalu
membuahkan segala bentuk ubudiyah lahiriah dan batiniah.
Semuanya tergantung pada pengetahuan dan ilmunya. Demikian pula pengetahuan seorang hamba tentang keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala,
kemuliaan-Nya akan membuahkan ketundukan, ketenteraman, dan kecintaan
yang akan melahirkan segala bentuk pengabdian lahiriah kepada Allah l
dan itulah konsekuensinya.
Demikian pula tatkala berilmu tentang
kesempurnaan dan keindahan, serta ketinggian sifatsifat- Nya akan
melahirkan kecintaan yang khusus dalam semua bentuk ubudiyah. Oleh
karena itu, semua bentuk pengabdian akan kembali kepada namanama dan
sifat-sifat AllahSubhanahu wa ta’ala. Semua bentuk peribadahan terikat dengan semua di atas sebagaimana terikatnya ciptaan dengan-Nya.
Di alam ini, seluruh ciptaan dan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala adalah konsekuensi dari nama-nama dan sifatsifat- Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan menjadi mulia karena ketaatan mereka dan tidak akan hina karena kemaksiatan mereka. Renungilah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih al-Bukhari, yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayatkan dari Rabbnya,
يَا عِبَادِي، إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّونِي
“Hai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian
tidak mampu berbuat mudarat terhadap-Ku hingga mencelakai- Ku. Kalian
juga tidak dapat berbuat kemanfaatan bagi-Ku hingga memberiku manfaat.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya setelahnya,
يَا
عِبَادِي، إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَأَنَاأَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ
“Hai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian
melakukan kesalahan dimalam hari dan sianghari, sementara Aku adalah
pengampundosa, maka minta ampunlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan
mengampuni kalian.”
Ini mengandung makna bahwa apa yang diperbuat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
terhadap mereka dalam hal mengampuni kesalahankesalahan mereka,
dikabulkannya permintaan mereka, dan dilepaskannya mereka dari segala
bentuk malapetaka, tidak berarti Allah mengambil manfaat
darimereka.(Madarijus Salikin 2/90)
Koreksilah Berharapmu dan Perbaruilah Cintamu
Berharap itu sumbernya adalah menyaksikan janji-janji Allah Subhanahu wa ta’ala dan berbaik sangka kepada AllahSubhanahu wa ta’ala, serta menyaksikan segala apa yang dipersiapkan oleh Allah l bagi orang yang mengutamakan Allah Subhanahu wa ta’ala,
Rasulullah n, dan negeri akhirat. Berharap menjadikan petunjuk sebagai
hakim terhadap hawa nafsunya, dan wahyu atas ra’yu-nya (pendapatnya),
sunnah atas bid’ah, dan menjadikan hakim segala apa yang telah dilalui
oleh para sahabat atas adat istiadat yang berlaku.
Sementara itu, cinta itu sumbernya adalah menyaksikan nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala
dan sifat-sifat-Nya sebagaimana menyaksikan segala nikmat dan
pemberian-Nya. Apabila mengingat dosa-dosanya, ia berbalut rasa takut;
apabila mengingat rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala, luas pengampuan, dan maaf-Nya, dia berbalut rasa berharap; dan apabila mengingat keindahan dan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala, kesempurnaan-Nya, kebaikan dan nikmat-Nya, ia akan berbalut rasa cinta.
Oleh karena itu, hendaklah setiap hamba
menimbang imannya dengan tiga hal ini (takut, berharap, dan cinta) agar
dia mengetahui kadar iman yang dimilikinya. Sesungguhnya, hati itu
terfitrah dengan Ramah Lingkungan cinta kepada keindahan dan cinta
kepada Pemberi Keindahan, dan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang Mahaindah, keindahan yang sempurna dari segala sisi.
Indah pada Dzat-Nya, indah pada
sifat-Nya, indah pada perbuatan-perbuatan-Nya, dan indah pada
nama-nama-Nya. Jika berkumpul keindahan seluruh makhluk pada seseorang
lalu dibandingkan dengan keindahan Allah Subhanahu wa ta’ala,
perbandingannya lebih lemah daripada pancaran cahaya lentera yang paling
lemah di hadapan pancaran sinar matahari. (Madarijus Salikin 3/288)
Sifat berharap yang penuh kejujuran
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim.
Berharap akan membangkitkan dan mendorong untuk bertobat dengan benar,
mendorong untuk beramal saleh berharap keberuntungan dengan surga Allah
Subhanahuwata’ala, melihat-Nya, dan mendengar pembicaraan-Nya. Berharap
yang jujur akan menjaga akidah seorang muslim dari bergantung kepada
makhluk mengharapkan keberkahan dari mereka, atau syafaat, atau jalan
keluar dari malapetaka. Oleh karena itu, pada kehidupan seorang muslim
yang jujur, Anda tidak menjumpai penampilan-penampilan syirik dalam
harapan, seperti mencari berkah melalui kedudukan para nabi, dengan para
wali, dan melalui kuburan-kuburan mereka; atau mencari berkah di sumber
mata air, gua, atau tempat sejenisnya.
Sebab, seorang muslim mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang tunggal dalam hal mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Dia mengimani bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala
adalah satu-satunya Dzat tempat menggantungkan harapan segala yang
dicita-citakannya berupa kebaikan dunia dan akhirat.
(Atsaral-Matsalulal-A’la hlm. 25)
Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Ramah Lingkungan
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah syariat yang paling sempurna. Seluruh aspek kehidupan manusia
telah diatur di dalamnya dengan sangat rapi. Yang demikian karena Allah
Subhanahuwata’ala telah mengutus beliau untuk seluruh manusia dan
sebagai penutup para nabi, sehingga syariatnya akan senantiasa ada
hingga akhir zaman serta selalu relevan untuk dijalankan di setiap waktu
dan tempat. Allah Subhanahuwata’ala menyebutkan kesempurnaan agama ini
dalam firman-Nya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“TelahKu- sempurnakan untuk kamu
agamamu ,telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telahKu- ridhai Islam
itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Kesempurnaan agama adalah anugerah Ilahi
yang tak terhingga. Oleh karena itu, dahulu orang-orang Yahudi iri
kepada kita dengan ayat tersebut. Mereka berkata, “Andaikata ayat ini
turun kepada kami (orang-orang Yahudi), niscaya kami akan jadikan (hari
turunnya) sebagai hari raya.”(Shahihal-Bukhari no. 4606)
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana
orang-orang Yahudi mengetahui besarnya ayat yang menyebutkan
kesempurnaan agama Islam ini, sehingga mereka iri kepada kita dan
berandai-andai sekiranya ayat tersebut turun kepada mereka.
Sebegitu besarnya nikmat yang Allah
Subhanahuwata’ala limpahkan kepada muslimin. Namun amat disayangkan,
sebagian muslimin justru tidak tahu yang demikian sehingga ada yang
minder dengan Islamnya, sedangkan sebagian yang lain justru menambah
nambah dalam agama ini sesuatu yangbukan bersumber dari Islam.
Kesempurnaan Islam telah diakui oleh
orang-orang nonmuslim seperti telah tersebut di atas. Demikian pula
tersebutdalam Shahih Muslim pada kitab “ath-Thaharah” bahwa orang-orang
musyrik mengatakan kepada sahabat Salman al-Farisi radhiyallahu anhu, “Kami melihat Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu sampai pun (adab) ketika buang air?” Salman berkata, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari bercebok dengan tangan kanan kami atau buang air dengan menghadap kiblat.”
Dengan menjalankan konsep yang dibawa
oleh Islam, kebahagiaan hidup di tengah-tengah masyarakat akan menjadi
kenyataan. Sebab, konsep tersebut datang dari Dzat yang menciptakan alam
semesta dan tahu persis apa yang menjadi maslahat hamba-hamba-Nya.
Menjaga Nikmat dengan Selalu Taat
Keberkahan hidup terdapat dalam
merealisasikan takwa kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan mengerjakan
perintah-Nya,menjauhi larangan-Nya, dan mempercayai berita yang datang
dari-Nya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم
بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم
بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan jika sekiranya penduduk negeri
negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf:
96)
Allah Subhanahuwata’ala juga berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
“Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Tidak tersesat di dunia dan tidak sengsara di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Apabila ketakwaan mendatangkan
keberkahan, sebaliknya kemaksiatan adalah sumber berbagai bencana.
Kesenangan hidup berubah menjadi penderitaan, keindahan alam menjadi
rusak, dan ketenangan terusik. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (kejalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Agar Lingkungan Tetap Nyaman dan Sehat
Di antara sisi yang mendapatkan
perhatian Islam adalah mewujudkan kenyamanan dan kebersihan lingkungan.
Hal ini akan tampak jelas dengan contoh contoh berikut.
1. Dilarang buang air besar dan
kecil ditengah jalan dan naungan yang biasa dijadikan untuk berteduh.
Dalam hal ini telah datang hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوْا
اللَّعَّانَيْنِ.قَالُوْا وَمَااللَّعَّانَانِ يَارَسُوْلَ اللَّهِ؟
قَالَ: الََّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْظِلِّهِمْ
“Hindarkanlah dua hal yang mendatangkan
laknat.” Para sahabat bertanya,“Apa dua hal yang mendatangkan laknat,
wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,“Orang yang buang air pada jalan
(tempat lalu lalang) manusia atau tempat bernaungnya mereka.” (Shahih
Muslim no. 269dan Sunan Abu Daud no. 25)
Disebutkan pula dalam riwayat lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Hindarkanlah tiga perbuatan yang akan mendatangkan kutukan:
buang air disumber air, ditempat berteduh, dan ditengah-tengah jalan.”
(Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu
Majah no. 266)
Orang yang melakukan hal tersebut
biasanya mendapatkan kutukan dan kecaman dari masyarakat karena mereka
merasa terganggu dengan adanya sesuatu yang najis yang bisa mengenai
tubuh mereka, dan tentu saja mereka merasa jijik karenanya.
Sebagian ulama menerangkan bahwa yang
dimaksud dengan jalan adalah yang biasa dilalui, bukan jalan yang sudah
tidak difungsikan lagi. Demikian pula tempat-tempat yang biasa digunakan
untukberteduh.(‘AunulMa’bud, 1/47)
Bentuk menyakiti orang pada tiga
perbuatan tadi sangat nyata. Orang yang buang air pada sumber-sumber air
telah mencemari kebersihannya yang bisa menebarkan penyakit. Di samping
itu, orang yang akan menggunakannya akan merasa jijik sehingga
menghalangi beberapa keperluan mereka.
Demikian pula tempat yang biasa
dijadikan sebagai tempat berteduh. Sama saja apakah itu halte tempat
untuk menunggu kendaraan, atau pohon yang biasa digunakan orang untuk
berteduh dari teriknya matahari, dan tempat beristirahat di bawahnya.
2. Dilarang melemparkan sesuatu
dijalankaum musliminyangbisa menimbulkan mudarat. Contohnya, melempar
kulit buah yang rawan menimbulkan kecelakaan dengan terpelesetnya
tunggangan/kendaraan.
Demikian pula meletakkan pecahan kaca
dan duri yang bisa melukai orang yang melaluinya atau sisa-sisa material
bangunan yang akan mengganggu para pengguna jalan. Orang yang melakukan
hal itu telah melakukan tindak kejahatan meskipun sebagian orang
melakukannya tanpa ada niatan mengganggu. Ia dihukumi telah melakukan
kejahatan karena perbuatannya menjadi faktor termudaratinya orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh menimbulkan mudarat dan tidak boleh menimpakan mudarat.”(HR. Ibnu Majah)
Tersebut dalam kaidah fikih,
لِلْمُتَسَبِّبِ حُكْمُ الْمُبَاشِرِ
“Orang yang menjadi sebab (terjadinya sesuatu) memiliki hukum (seperti) orang yang melakukan sesuatu.”
Apabila seperti itu keadaannya, lalu
bagaimana dengan orang yang memang sengaja menimpakan mudarat? Dalam
kesempatan ini, kami mengingatkan sebagian orang yang membuka jasa
penambalan ban sebagaimana pemberitaan media ada dari mereka yang
sengaja menebarkan ranjau paku di jalan sekitar tempat usahanya.
Kami katakan, “Wahai Saudara, takutlah
Saudara kepada Allah Subhanahuwata’ala yang selalu memantau perbuatanmu.
Andaikata orang tidak tahu perbuatanmu, tetapi Dia (Allah
Subhanahuwata’ala) tidak lalai barang sekejap pun dan akan membalas
kejahatanmu. Anda telah melakukan kejahatan besar yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa, kerugian materi, cedera yang bisa membuat cacat seumur
hidup, mengganggu kenyamanan, serta membuang waktu dan kesempatan orang
lain dengan percuma. Mana kasih sayang Anda terhadap sesama, dan mana
bentuk rasa takut Anda kepada Sang Pencipta?!
Saudara, berhentilah dari menzalimi
orang dan bertobatlah sebelum terlambat. Saudara harus tahu bahwa
perbuatanmu merupakan salah satu kezaliman yang akan disegerakan di
dunia hukumnya. Apa Saudara kira dengan cara ini Saudara menjadi kaya?!
Tidak. Akan dilenyapkan hasil yang haram ini pada saatnya nanti dan
Saudara akan menyesal karena menanggung dosa dan cela.”
Untuk Saudara, kami akan sampaikan firman Allah Subhanahuwata’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila Saudara masih punya iman dan takwa. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.” (al- Ahzab: 58)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ آذَى الْمُسْلِمِيْنَ فِى طُرُقِهِمْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyakiti kaum musliminp
adaja lanm ereka,ia b erhak mendapatkank utukanm ereka.”( HR.
ath-Thabarani dalam al-Kabir dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-
Albani dalam Shahih al-Jami’)
Kami juga mengharap pemerintah terus
memantau para pengganggu ketertiban ini dan menindak mereka agar rasa
aman dan nyaman rakyat—yang menjadi tanggung jawab pemerintah—bisa
terwujud. Korban yang berjatuhan telah banyak dan kita tentu tidak ingin
ada lagi yang menjadi korban kejahatan ini. Kami juga mengajak seluruh
lapisan masyarakat untuk berperan aktif menyadarkan orang yang melakukan
praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan norma-norma
kemasyarakatan ini.
Setiap individu masyarakat seharusnya
sadar bahwa menjaga keramahan lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar adat kebiasaan, bahkan
termasuk perkara yang diatur dalam agama. Untuk mereka kami suguhkan
hadiah berikut.
Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjuki aku kepada suatu amalan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أمَِطِ الْأَذَى عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ
‘Singkirkan gangguan dari jalan manusia’.” (Shahihal-Adabulal-Mufrad no. 168)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda (yang artinya), “Seorang lelaki melewati duri di jalan
lalu dia berkata,‘Aku akan singkirkan duri ini agar tidak membahayakan
seorang muslim. Dia pun diampuni (oleh Allah).” (Shahihal-Adabal-Mufrad
no. 169)
Dari sini, jelas bahwa mencegah/
menyingkirkan gangguan yang akan menimpa manusia termasuk dari misi
Islam yang agung yang pelakunya berhak memperoleh penghargaan. Masih
terkaitan dengan kenyamanan jalan, seseorang dilarang mengemudikan
kendaraan secara ugal-ugalan yang bisa membahayakan diri dan orang lain,
baik kalangan pengguna jalan maupun yang lainnya. Allah l berfirman,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.” (al-Baqarah: 195)
Seseorang juga semestinya meminimalisir
bisingnya suara kendaraannya agar tidak menyakiti yang mendengarnya.
Patuhilah ramburambu lalu lintas karena itu dibuat untuk kemaslahatan
bersama. Adapun berjualan di jalan umum yang memang lebar, tidak
menyempitkan orang lain, dan tidak mengganggu pengguna jalan, hal ini
dibolehkan. (al-Mughni, Ibnu Qudamah 8/161)
Namun, tentu dengan tetap melihat aturan
pemerintah setempat yang mengatur lokasi berjualan agar terwujud
ketertiban. Apabila ada satu kelompok masyarakat yang mendirikan
bangunan di jalan umum, seyogianya hal itu dicegah meskipun jalannya
lebar. Sebab, fungsi jalan adalah untuk lalu lalang orang, bukan untuk
bangunan.
Dengan demikian,bangunan yang telah
didirikan di atasnya semestinya dirobohkan (dipindahkan), sekalipun itu
masjid. Apabila ada orang yang memanfaatkan jalan untuk meletakkan
barang-barang atau alat-alat/material bangunan yang sifatnya sementara
dan akan dipindahkan segera, ia diberi kelapangan selama tidak
mengganggu para pengguna jalan. (al-Ahkam as- Sulthaniyah, karya
al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali hlm. 306)
Masuk pula di sini adalah talang air
rumah yang menjorok ke jalan umum. Intinya, fasilitas umum yang
disediakan oleh pemerintah dan pihak lainnya hendaknya kita jaga
kenyamanannya. Jangan sampai manusia terhalangi memanfaatkannya
sebagaimana fungsinya.
Dalam hal ini, ada beberapa adab yang
berkaitan dengan jalan, yang jika dilakukan akan berbuah kebaikan, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Saling menebar salam.
2. Menundukkan pandangan dari sesuatu yang tidak boleh dilihat.
3. Membantu orang yang membutuhkan, seperti menyeberangkan orang yang lemah dan mengangkatkan barang di atas kendaraan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), “Hindari duduk-duduk dijalan. Apabila kalian
tidak mau kecuali duduk (di situ), maka berikanlah haknya jalan,
(yaitu): menundukkan pandangan, mencegah gangguan, menjawab salam,
memerintahkan kepada yang baik, dan mencegah dari yang mungkar.”( HR.
Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari sahabat Abu Sa’id radhiyallahu anhu)
Jangan pula ada yang mengubahubah papan
petunjuk arah yang ada di jalan atau mencurinya, karena akan menyebabkan
para pengguna jalan yang melewatinya tersesat. Orang seperti ini akan
mendapat kutukan dari Allah Subhanahuwata’ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang artinya), “Allah melaknat orang yang mengubah-ubah
tanda-tanda/rambu rambu bumi.”( Shahih Muslimn o.1 978 dari Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu anhu)
3. Menjaga keharmonisan hidup bertetangga Tetangga
Anda adalah orang yang tinggal dekat dengan rumah Anda. Mereka mempunyai hak yang besar untuk diperlakukan secara baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ كَا نَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِفَلْيُحْسِنْ
“Barang siapa beriman kepada Allah
Subhanahuwata’ala dan hari akhir, hendaknya ia berbuat baik kepada
tetangganya.” (HR. al-Bukhari)
Mereka termasuk orang yang cepat
memberikan bantuan dan pertolongan kepada Anda di saat membutuhkan. Oleh
karena itu, manakala Anda menyakiti mereka, Anda terancam dengan siksa
api neraka. Telah tersebut dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang seorang wanita, yang ia rajin shalat malam, puasa pada siang
hari, melakukan (kebaikan) dan bersedekah, namun dia juga mengganggu
tetangganya dengan lisannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidak ada kebaikan padanya,ia termasuk penghuni neraka.” (Shahihal-Adabal-Mufrad no. 88)
Hadits ini menunjukkan besarnya hak
tetangga dan bahayanya menyakiti mereka. Bahkan, saking besarnya hak
tetangga, seseorang tidak dikatakan mukmin yang sempurna apabila
membiarkan tetangganya kelaparan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Bukanlah seorang mukmin yang ia kenyang sedangkan tetangganya kelaparan.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 82 dari Ibnu az-Zubair radhiyallahu anhu)
Saudaraku yang dimuliakan Allah
Subhanahuawata’ala, kita semua tahu bahwa harta yang melimpah dan
kedudukan terpandang yang dimiliki seseorang menjadi kurang berarti
manakala ia bertetangga dengan orang yang suka mengganggu anak dan
istrinya, mencuri hartanya, dan mengusik ketenangannya. Oleh karena
itu, dahulu dikatakan,
الْجَارُ قَبْلَ الدَّارِ
“Cari tetangga yang baik dahulu sebelum membuat rumah.”
Agar ketenangan dalam hidup bertetangga
terus berlangsung, kiranya ada beberapa perkara yang semestinya
diperhatikan, di antaranya:
1. Tidak menggali sumur dekat dengan sumur tetangganya sehingga mengakibatkan sumur tetangga hilang airnya. (al-Mughni, 8/181)
2. Dilarang membuka lubang angin yang
darinya dia bisa melihat secara langsung ke dalam rumah tetangganya atau
membangun bangunan yang tinggi yang bisa menutupi rumah tetangga dan
tidak mendapatkan sinar matahari dan menghalangi masuknya cahaya.
(al-Wafi’ Syarah al-Arba’in, 235)
3. Dilarang melakukan suatu aktivitas di
tempatnya sendiri (rumah atau pekarangannya) apabila itu menimbulkan
mudarat yang nyata terhadap tetangganya. Misalnya, ia menumbuk gandum di
dekat tembok tetangganya sehingga mengakibatkan tembok tetangganya
retak-retak dan terancam roboh; atau meletakkan sesuatu yang busuk
baunya, seperti bangkai di pekarangan rumahnya, sehingga bau busuknya
tercium oleh tetangga.
Masuk pula di sini adalah seseorang yang
mengoperasikan sebuah alat yang sangat keras bunyinya saat orang-orang
sedang beristirahat di tengah malam tanpa ada keterpaksaan yang
mengharuskan demikian. Adapun meletakkan kayu atau mengikatkan tali
jemuran pakaian pada tembok tetangga, hal ini dibolehkan selama tembok
tetangga itu kuat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أنَْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِى جِدَارِهِ
“Janganlah seorang tetangga melarang
tetangganya untuk menancapkan papan kayu pada temboknya.” (HR. Ahmad,
al-Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu )
Adapun membuang atau menimbun benda berbau
di tanahnya lantas merembes ke tanah orang lain sehingga bangunan
menjadi rapuh dan terancam roboh karenanya, hal ini dilarang.
(al-Majmu’, 16/134)
Apabila seseorang memiliki pohon yang
dahannya menyebar hingga melewati tembok orang lain atau di atas rumah
tetangga, tetangganya berhak meminta pemilik pohon tersebut agar
memotong dahannya. (al-Ahkam as-Sulthaniyah, karya Abu Ya’la hlm.
300—301)
Ini adalah sebagian kecil dari perkara
yang menunjukkan keindahan dan kesempurnaan Islam. Ini adalah bukti
nyata bahwa Islam tidak hanya mementingkan kebersihan hati saja, tetapi
juga indahnya lahiriah. Sebelum kami akhiri pembahasan ini, kami
mengajak kepada segenap muslimin pada khususnya untuk selalu menjaga
ketenangan, kenyamanan, kebersihan, dan kesehatan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum
muslimin meninggalkan rokok dan petasan yang mudaratnya sangat besar.
Demikian pula hendaknya mereka menjaga fasilitas-fasilitas umum agar
berfungsi sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, tidak termasuk orang
yang beretika luhur apabila, misalnya, seseorang buang air di toilet
umum lantas tidak menyiram kotorannya atau membersihkannya. Semoga Allah
Subhanahuwata’ala selalu membimbing kita kepada jalan yang lurus dan
mulia. Amiin.
Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Mengumpulkan Al-Qur’an
Kisah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu
Di Masa Nubuwah
Sejak al-Qur’anul Karim turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah membiasakan para sahabat mengumpulkan al-Qur’an, menuliskannya,
bahkan memerintahkannya dan mendiktekannya. Tidak hanya itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari para sahabat radhiyallahu anhuma
cara membacanya secara tepat dan menerangkan pula makna-maknanya serta
memberi contoh penerapannya. Setelah 23 tahun mengajarkan al- Qur’an,
beliau pun meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan al-Qur’anul
Karim ini sudah dihafal oleh sebagian besar sahabatnya dan dipahami
makna maknanya oleh mereka.
Semoga Allah Subhanahuwata’ala
melimpahkan shalawat dan salam- Nya untuk beliau. Al-Qur’an tidak
dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena masih menunggu kemungkinan adanya nasikh (yang menghapus [hukum
atau bacaan] ayat sebelumnya). Setelah berhenti masa turunnya al-Qur’an
dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Allah Subhanahuwata’ala mengilhamkan kepada para al-Khulafa ar-Rasyidin
untuk mengumpulkannya. Allah Subhanahuwata’ala memenuhi janji-Nya yang
pasti dan benar—bahkan Dia tidak pernah menyalahi janji—bahwa Dia
menjamin akan memelihara Kitab-Nya untuk umat ini, sebagaimana
firman-Nya,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al- Hijr: 19)
Inilah janji Allah Subhanahuwata’ala,
bahwa Dia akan memelihara Kitab Suci yang mulia ini, baik di saat
turunnya maupun setelahnya. Pada saat turunnya, Allah Subhanahuwata’ala
memeliharanya dari setan yang ingin mencurinya, sedangkan setelah
turunnya, Allah Subhanahuwata’ala meletakkannya di dada Rasul- Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian di dada umatnya. Termasuk di sini, Allah Subhanahuwata’ala
memeliharanya dari perubahan terhadap lafadznya, apakah dengan
penambahan ataukah pengurangan.
Allah Subhanahuwata’ala memelihara pula
makna-maknanya, maka tidak ada seorang pun yang berusaha menyelewengkan
maknanya melainkan Allah Subhanahuwata’ala membangkitkan sebagian
hamba-Nya yang akan menjelaskan mana yang haq. Segala puji dan syukur
hanya milik Allah Subhanahuwata’ala.
Badruddinaz –Zarkasyi rahimahumullah
menukilkan bahwa penulisan al-Qur’an bukanlah perkara muhdats (bid’ah
dalam masalah agama). Sebab, semasa hidupnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memerintahkan agar para sahabat menuliskannya. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai beberapa orang penulis wahyu di antara para sahabat radhiyallahu anhuma.
Akan tetapi, penulisan tersebut masih
terserak-serak di beberapa tempat. Ada yang ditulis di pelepah pelepah
kurma, lempengan-lempengan batu, lembaranlembaran kulit, tulang-tulang
binatang ternak kalau sudah kering, dan kayu kayu tempat duduk yang
diletakkan di punggung-punggung unta.
Pengumpulan al-Qur’an sendiri bisa
bermakna menghafalnya dan membacanya tanpa melihat tulisannya. Bisa juga
bermakna penulisannya, baik huruf, kata, maupun surat-suratnya. Jadi,
yang pertama adalah pengumpulan di dalam dada, sedangkan yang kedua
adalah pengumpulan di lembaran-lembaran kertas atau mushaf.
Pengumpulan al-Qur’anul Karim dalam
bentuk penulisan terjadi tiga kali pada masa generasi pertama. Yang
pertama pada masa Rasulullah n, yang kedua pada masa Abu Bakr
ash-Shiddiq radhiyallahu anhu, dan yang ketiga terjadi pada masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu.
Pada masa Khalifah ‘Utsman inilah dibuat beberapa mushaf lalu dikirim
ke seluruh penjuru di mana kaum muslimin berada. Pada masa inilah muncul
berbagai penilaian yang membuat kabur persoalan ini bagi sebagian besar
kaum muslimin.
Masa Khalifah Abu Bakr
Dalam Perang Yamamah—yang diceritakan
dalam edisi lalu—banyak sahabat yang menghafal al-Qur’an gugur sebagai
syuhada. Melihat keadaan ini, ‘Umar al-Faruq radhiyallahu anhu
segera menemui Khalifah dan berkata, “Sebagaimana Anda ketahui, dalam
Perang Yamamah ini telah gugur banyak para penghafal al-Qur’an. Saya
khawatir, kalau terjadi peristiwa seperti ini, banyak al-Qur’an yang
akan hilang. Menurut saya, sebaiknya Anda segera memberi perintah agar
kaum muslimin mengumpulkan al-Qur’an.”
Abu Bakr ash-Shiddiq segera menjawab, “Bagaimana mungkin aku mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
‘Umar z mengajukan beberapa alasan hingga memantapkan hati Abu Bakr
menerima sarannya. Setelah hati Abu Bakr dilapangkan oleh
Allah Subhanahuwata’ala untuk menerima kebenaran yang disampaikan ‘Umar,
keduanya berangkat mencari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu.
Setelah itu, Khalifah Abu Bakr berkata kepada Zaid, “Tadi ‘Umar
menemuiku dan mengatakan bahwa para penghafal al-Qur’an dalam Perang
Yamamah banyak yang gugur dan ia khawatir kalau terjadi peperangan di
beberapa tempat lagi akan menjadi sebab banyaknya al-Qur’an yang hilang,
lalu ia menyarankan agar aku memerintahkan agar al-Qur’an dikumpulkan.
Saya katakan kepadanya bahwa bagaimana mungkin kita mengerjakan sesuatu
yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah adalah baik.
Dia pun menerangkan beberapa alasan
sampai Allah Subhanahuwata’ala melapangkan hatiku menerimanya.” Kemudian
Abu Bakr melanjutkan, “Dan engkau, Zaid, adalah seorang pemuda yang
cerdas, kami tidak mencurigaimu. Apalagi engkau pernah menulis wahyu
untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Carilah ayat-ayat al-Qur’an yang terserak-serak itu dan kumpulkanlah.”
Mendengar penuturan Khalifah ini, Zaid
berkata, “Demi Allah, seandainya Anda berdua menugaskan saya memindahkan
sebuah gunung, itu lebih mudah daripada mengerjakan apa yang Anda
berdua perintahkan kepada saya.” “Bagaimana mungkin saya mengerjakan
sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” lanjut Zaid.
Khalifah dan sahabatnya, al-Faruq, tidak
henti-hentinya menerangkan kepada Zaid kebaikan dan maslahat yang besar
dari pekerjaan tersebut. Akhirnya, Allah Subhanahuwata’ala membukakan
hati Zaid untuk menerima penjelasan mereka berdua, lalu ia pun
mengerjakannya.
Ketika itu, Zaid bin Tsabit berusia 22 tahun. Beliau pernah ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempelajari bahasa Ibrani (bahasa ibu orang-orang Yahudi). Mulailah
Zaid mengumpulkan al- Qur’an. Zaid sendiri adalah seorang penghafal
al-Qur’an, bahkan beliau menyimpan catatan al-Qur’an itu untuk dirinya,
namun beliau tidak mengandalkan apa yang beliau hafal dan beliau tulis.
Hal itu karena pekerjaan beliau ini
bukan sekadar mengumpulkan al-Qur’an, melainkan juga meneliti dan
memastikan kevalidan apa yang ditulisnya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khalifah sendiri menugaskan ‘Umar dan Zaid radhiyallahu anhu agar duduk di pintu masjid, kemudian kalau ada yang membawakan dua saksi tentang Kitab Allah, tulislah.
Keduanya segera menjalankan tugas, dan ‘Umar pun berkata, “Siapa yang pernah menerima dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagian al-Qur’an hendaklah dia menemui kami membawa al-Qur’an
tersebut.” Demikian pula Zaid yang ditugaskan oleh Khalifah. Zaid segera
mendatangi para sahabat untuk menanyai mereka ayat yang ada pada
mereka.
Akhirnya, beliau pun mendapatkan
al-Qur’an itu dari pelepah-pelepah kurma, lempenganlempengan batu, dan
hafalan para sahabat, sampai beliau menerima ayat terakhir surat
at-Taubah (128 sampai selesai) dari Khuzaimah bin Tsabit .
Jadi, tujuan mereka sebetulnya ialah
tidak menuliskan sesuatu dari al-Qur’an selain apa yang pernah mereka
tulis di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan
sekadar hafalan. Pekerjaan Zaid bin Tsabit ini berlangsung hampir lima
belas bulan, sejak Pertempuran Yamamah hingga akhir tahun 11 H atau awal
12 H, dan selesai sebelum wafatnya Abu Bakr ash-Shiddiq adhiyallahu anhu, pada malam Selasa, 17 Jumadi Tsani 13 H.
Mengapa Khalifah dan al-Faruq memilih
Zaid yang masih belia, bukan sahabat yang lainnya? Sebagian sejarawan
menyebutkan beberapa alasan, berdasarkan perkataan Khalifah ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam Shahihnya, yaitu sebagai berikut.
1. Zaid adalah salah seorang sahabat yang hafal al-Qur’an sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
2. Zaid menyaksikan pembacaan terakhir al-Qur’anul Karim ini lalu Al-Qur’an tidak dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena masih menunggu kemungkinan adanya nasikh (yang
menghapus [hukum atau bacaan] ayat sebelumnya).membacakannya kepada
kaum muslimin sampai beliau wafat. Sebab itulah, Khalifah dan ‘Umar
menjadikannya sebagai acuan.
3. Zaid termasuk salah seorang penulis wahyu yang diakui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan yang paling terkenal dan paling sering.
4. Zaid mempunyai kecerdasan dan sikap
wara’ yang tinggi, demikian pula akhlaknya yang mulia, agamanya yang
kokoh, dan bisa menjaga amanat.
5. Usianya yang masih muda, sehingga
lebih semangat dan rajin serta lebih giat menjalan tugasnya. Bisa
dipertimbangkan juga, selain hal-hal di atas, tulisannya yang bagus dan
jelas, karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, ia yang sering diminta menulis wahyu atau risalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah selesai mengumpulkan al- Qur’an
di dalam lembaran-lembaran kertas, Khalifah Abu Bakr meminta pendapat
sebagian sahabat tentang namanya. Ada yang berpendapat namanya adalah
sifr, ada pula yang menamakannya mushaf. Yang terakhir inilah yang
dipilih oleh Khalifah ash- Shiddiq dan berlaku sampai sekarang.
Inilah salah satu kebaikan dan jasa Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu,
sampai ‘Ali bin Abi Thalib z mengatakan, “Semoga Allah
Subhanahiwata’ala merahmati Abu Bakr, beliaulah yang pertama kali
mengumpulkan al- Qur’an dalam lembaran mushaf.” Dengan pernyataan tegas
‘Ali Radhiyallahu anhu ini masih ada segolongan orang yang menyatakan bahwa yang pertama mengumpulkan al-Qur’an adalah ‘Ali Radhiyallahu anhu.
Sekiranya ada yang sahih riwayat tentang beliau dalam masalah ini,
kemungkinan maknanya adalah pengumpulan dalam bentuk hafalan, atau
beliau mengumpulkannya dengan cara lain dan tujuan lain.
Bahkan, sebagian mufasir dari kalangan Syi’ah menyatakan bahwa ‘Ali Radhiyallahu anhu
mengumpulkannya berdasarkan waktu turunnya, nama orang-orang yang turun
al-Qur’an itu tentang mereka, takwil ayat-ayat mustasyabih, penentuan
nasikhmansukhnya, manayangumum dan khususnya, serta menjelaskan ilmuilmu
yang terkait dengan ayat tersebut dan cara membacanya.
Seandainya pendapat ini sahih dan
tampaknya yang benar adalah sebaliknya tidak juga menunjukkan bahwa
beliau adalah orang yang pertama mengumpulkan al-Qur’an. Mengapa tidak?
Karena Ibnu Sirin pernah bertanya kepada ‘Ikrimah, salah seorang murid
Ibnu ‘Abbas, “Apakah para sahabat mengumpulkannya sebagaimana turunnya,
yang pertama, kemudian yang berikutnya?” Kata ‘Ikrimah, “Seandainya jin
dan manusia bersatu melakukannya, mereka tetap tidak mampu.”
Akhirnya, sejak itu mushaf tersebut
berada di tangan Khalifah hingga beliau wafat. Kemudian, berada di
tangan ‘Umar selama hidupnya dan setelah itu di tangan Hafshah bintu
‘Umar. Mushaf tersebut tetap di tangan Ummul Mukminin Hafshah sampai
diminta oleh Khalifah ‘Utsman untuk disalin dan dibuat beberapa
kopiannya lalu disebarkan ke beberapa penjuru wilayah Islam.
Setelah itu, mushaf tersebut disimpan ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, tetapi kemudian diminta oleh Marwan bin al-Hakam ketika pulang menguburkan jenazah Ummul Mukminin Hafshah Radhiyallahu anhu, lalu merobeknya karena khawatir ada sesuatu yang berbeda dengan salinan mushaf yang dibuat oleh ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu. Wallahu a’lam. (insyaAllah bersambung)
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Duduk di antara Dua Sujud
Sujud yang Lama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan sujud beliau mendekati lamanya ruku’ beliau, namun terkadang
beliau sangat lama sujudnya karena ada satu perkara/kejadian. Syaddad
ibnul Had radhiyallahu anhu menceritakan, “Pada waktu salah satu shalat siang (Zhuhur atau Ashar), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju kami dalam keadaan menggendong Hasan atau Husain radhiyallahu anhu .
Beliau lalu maju untuk mengimami jamaah
shalat, sementara cucu beliau diletakkan di sisi telapak kakinya yang
kanan. Beliau bertakbir untuk shalat. Di saat sujud, beliau melakukannya
dengan demikian panjang, hingga aku mengangkat kepalaku di antara
manusia untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Ternyata si cucu menunggangi pundak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang sujud. Aku kembali kepada sujudku. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyelesaikan shalatnya, orang-orang pun bertanya, “Wahai Rasulullah,
Anda sujud dalam shalat ini demikian panjangnya hingga kami menyangka
telah terjadi suatu perkara atau turun wahyu kepada Anda!” Beliau
menjawab, “Semua itu tidak terjadi, melainkan karena anakku1 ini
menunggangiku. Aku tidak suka menyudahi kesenangannya sampai ia sendiri
menyelesaikan hajatnya.” (HR. an-Nasa’i no. 1141, Ahmad 3/493, 6/467,
al-Hakim 3/164, sanadnyasahih di atas syarat syaikhani, kata al- Hakim,
dan disepakati oleh adz-Dzahabi.Hadits ini dinyatakan sahih dalam Shahih
Sunan an-Nasa’i)
Keutamaan Sujud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ رَحْمَةَ مَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ،
“Ketika Allah Subhanahuwata’ala ingin
merahmati siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara penghuni neraka, Ia
memerintahkan para malaikat untuk mengeluarkan dari dalam neraka orang
yang dahulunya pernah beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala .Para
malaikat pun mengeluarkan orang-orang yangdemikian. Para malaikat
mengenali mereka dengan bekas-bekas (tanda) sujud.Allah
Subhanahuwata’ala mengharamkan bagi api neraka melahap bekas sujud.
Mereka itu keluar dari neraka. Seluruh bagian tubuh bani Adam( yang
masuk neraka) dilahap oleh api neraka terkecuali bekas sujud.” (Potongan
hadits yang panjang tentang hari kebangkitan dan syafaat yang dibawakan
oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu , dikeluarkan oleh al-Bukhari no. 6573 dan Muslim no. 450).
Tsauban radhiyallahu anhu maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mengajarkan suatu amalan yang paling dicintai Allah
Subhanahuwata’ala atau amalan yangbisa memasukkannya ke dalam surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ لِلهِ، فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لله
“Hendaknya engkau memperbanyak sujud
kepada Allah Subhanahuwata’ala ,karena tidaklah engkau sujud kepada
Allah Subhanahuwata’ala dengan satu sujud saja melainkan Allah
Subhanahuwata’ala akan mengangkat derajatmu karenanya dengan satu
derajat dan Diahapuskan darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim no. 1093)
Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiyallahu anhu berkata, “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku siapkan air wudhu beliau dan air untuk keperluan buang hajat
beliau. Beliau lalu bertanya, ‘Mintalah sesuatu.’ Aku katakan, ‘Aku
minta agar aku bisa menemanimu di surga.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Atau permintaan yang lain?’ ‘Itu saja yang kuminta,’ jawab Rabi’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ
‘Kalau begitu bantulah aku dengan engkau banyak melakukan sujud (dengan shalat)’.” (HR. Muslim no. 1094)
Bangkit dari Sujud
Seraya bertakbir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya, dan beliau perintahkan hal ini kepada orang yang salah shalatnya.
Duduk di antara Dua Sujud
Setelah mengangkat kepalanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
duduk bersimpuh dengan menjulurkan telapak kaki kiri dan duduk di atas
kaki kirinya dengan tenang/ thuma’ninah, sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits Maimunah bintu al-Harits radhiyallahu anha yang dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahumullah no. 1108. Demikian pula hadits Aisyah radhiyallahu anha yang menyebutkan,
وَكَانَ يَفْتَرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Beliau menjulurkan ( telapak) kaki kirinya dan menegakkan (telapak) kaki kanannya.”(HR. Muslim no. 1110)
Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata,
مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَم الْيُمْنَى
“Termasuk sunnah shalat adalah
menegakkan telapak kaki yangkanan, menghadapkan jari-jemari kaki ke arah
kiblat, dan duduk diatas kaki kiri.” (HR. an-Nasa’i no. 1157, 1158,
dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i dan al-Irwa’ no. 317)
Duduk seperti inilah yang diistilahkan duduk iftirasy. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk iq’a, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma Thawus pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhu tentang iq’a di atas dua tumit, maka beliau menjawab bahwa duduk seperti itu sunnah. (HR. Muslim no. 1198)
Thawus rahimahumullah berkata,
“Aku melihat tiga Abdullah: Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair
melakukannya.” Ini dilakukan pula oleh Salim, Nafi’, Thawus, Atha’, dan
Mujahid. Al-Imam Ahmad radhiyallahu anhu menyatakan pula, “Penduduk Kufah melakukannya.” (al-Isyraf‘alaMadzahibil‘Ulama, 2/35—36)
Tata cara duduk iq’a ditunjukkan oleh riwayat al-Baihaqi. Disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegakkan dua tumit beliau dan bagian dalam (yang dipakai untuk
menapak) kedua telapak kaki atau duduk bertumpu di atas ujung-ujung jari
kedua kaki. Duduk iq’a ini diamalkan oleh kebanyakan salafus shalih.
At-Tirmidzi rahimahumullah menerangkan, “Sebagian ahlul ilmi dari
kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang
dengan hadits ini (hadits Ibnu Abbas), sehingga mereka memandang tidak
apa-apa duduk iq’a. Ini adalah pendapat sebagian penduduk Makkah dari
kalangan ahli fikih dan ilmu.” (Sunan at-Tirmidzi, kitabash-Shalah,
bab“Fi ar-Rukhshah fil Iq’a”)
Sementara itu, sebagian ulama lain tidak menyenangi iq’a, di antara mereka adalah Ali radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu . Ibnu Umar radhiyallahu anhu
pernah pula mengatakan kepada anak-anaknya, “Jangan kalian meneladani
aku dalam hal iq’a, karena aku melakukannya hanyalah ketika usiaku telah
lanjut.” Ibrahim ibnu Yazid an-Nakha’i rahimahumullah berkata, “Mereka
membenci amalan iq’a dalam shalat.”
Ini juga pendapat al-Imam Malik,
asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, ashabur ra’yi, dan kebanyakan ulama.
(al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama, 2/36)
Sebagian ulama yang lain menyatakan
boleh memilih. Dia bisa menjulurkan kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya (duduk iftirasy), bisa pula duduk iq’a di atas kedua tumitnya.
Iftirasy dan iq’a keduanya sunnah, hanya saja iftirasy lebih dikenal dan
lebih banyak yang memberitakannya, sebagaimana diriwayatkan dan
dibenarkan oleh sepuluh orang sahabat. Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamshallallahu ‘alaihi wa sallam
sering melakukannya dan terkenal di kalangan para sahabat. Jadi,
iftirasy lebih utama dari iq’a, walaupun duduk iq’a ini pernah dilakukan
oleh beliau pada satu keadaan. (al-Ashl, 2/806—807)
Inilah pendapat yang kuat dalam masalah
ini, wallahua’lambish-shawab. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat
makruhnya duduk iq’a berhujah dengan hadits-hadits yang melarang iq’a,
yaitu hadits riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu anhu , Ibnu Majah dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu , Ahmad bin Hanbal dari riwayat Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu , al-Baihaqi dari riwayat Samurah radhiyallahu anhu dan Anas radhiyallahu anhu .
Semua sanadnya dhaif, sebagaimana
dinyatakan demikian oleh al-Imam an- Nawawi rahimahumullah dalam
al-Minhaj/Syarhu Muslim (5/22) dan asy-Syaukani rahimahumullah dalam
Nailul Authar (2/143), selain dua hadits berikut.
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata,
ثلاَثٍ: عَنْ نَقْرَةٍ �َ عَنْ n نَهَانِي رَسُوْلُ اللهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarangku dari tiga hal (dalamshalat): mematuk seperti patukan ayam
jantan, duduk iq ’a seperti iq’a anjing, dan menoleh seperti tolehan
serigala.” (HR. Ahmad 2/265, hadits ini hasan lighairihi sebagaimana
dalam Shahih at-Targhib no. 555)
2. Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu ,ia berkata,
عَنِ الْإِقْعَاءِ فِي الصَّلاَةِ n نَهَى رَسُوْلُ اللهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari duduk iq’a dalam shalat.” (HR. al-Hakim 1/272)
Dalam sanadnya ada al-Hasan al-Bashri rahimahumullah yang meriwayatkan dari Samurah radhiyallahu anhu,
sementara itu Hasan al-Bashri adalah rawi yang banyak melakukan tadlis
dalam periwayatannya sebagaimana disebutkan dalam at-Taqrib dengan
membawa kalimat periwayatan yang memungkinkan tadlis itu bisa terjadi
dari sisi beliau, seperti riwayat di atas.
Lebih-lebih lagi, riwayat beliau dari Samurah radhiyallahu anhu
bermasalah—apakah beliau mendengarkannya secara langsung atau
tidak—kecuali hadits akikah yang diriwayatkan oleh al-Imam
al-Bukhari rahimahumullah dalam Shahih-nya yang al-Hasan secara
terang-terangan menyatakan mendengar hadits ini dari Samurah radhiyallahu anhu.
Adapun yang beliau tidak secara
terang-terangan menyatakan mendengar maka tidak bisa menjadi hujah
sebagaimana hadits ini. Karena itulah, al-Imam an- Nawawi rahimahumullah
menyatakannya lemah. Jadi, yang tertinggal sekarang adalah hadits Abu
Hurairah radhiyallahu anhu yang berderajathasan. Sebenarnya, hadits Abu Hurairah di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma tentang sunnahnya iq’a karena yang dilarang dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu
adalah iq’a yang khusus, yaitu iq’a anjing; menempelkan dua pantatnya
ke bumi/tanah dan menegakkan keduabetisnya serta meletakkan kedua tangan
di atas bumi.
Demikian yang ditafsirkan oleh ahli
bahasa, di antaranya Abu Ubaid dalam kabar yang diriwayatkan al-Baihaqi.
Dengan demikian iq’a yang terlarang ini berbeda dengan iq’a yang
ditetapkan dalam as-Sunnah.
Dengan demikian, hadits-hadits yang ada
dalam masalah iq’a ini, yang satu menyatakan sunnah dan yang lainnya
melarang, bisa dipadukan. Demikian diterangkan oleh al- Baihaqi, diikuti
oleh Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, dan para muhaqqiq selain mereka—semoga
Allah Subhanahuwata’ala merahmatimereka semua. (al-Ashl, 2/806)
A l – Imaman – Nawawi rahimahumullah
menyatakan, yang benar iq’a itu ada dua macam. Yang satu dibenci, yaitu
seperti duduknya anjing; dan yang kedua sunnah, yaitu duduk (menempatkan
pantat) di atas dua tumit, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dan itulah yang dilakukanoleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Minhaj, 5/22—23) Wallahu ta’ala a’lam.
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
10 Bahan Renungan
Marilah kita duduk sesaat, tinggalkan
segala kesibukan pikiran. Sejenak kita merenung, niscaya kita akan
mendapat manfaat, insya Allah. Pertama, merenungi mulianya kebenaran dan
rendahnya kebatilan.
Caranya adalah dengan merenungi keagungan Allah subhanahu wa ta’ala,
Rabb sekalian alam,bahwa Dia mencintai kebenaran dan membenci
kebatilan. Barang siapa mengikuti kebenaran, ia berhak memperoleh
ridha-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala pun akan menjadi penolongnya di duniadan akhirat, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala akan memilihkan segala sesuatu yang Dia ketahui baik dan mulia baginya hingga Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkannya.
Allah subhanahu wa ta’ala juga
akan mengangkat derajatnya, mendekatkannya kepada-Nya, serta
menempatkannya di sisi-Nya dalam keadaan mulia, diberi nikmat yang
langgeng dan kemuliaan yang abadi, yang angan-angan tidak akan mampu
membayangkan kebesarannya.
Adapun seseorang yang condong kepada
kebatilan, dia berhak mendapat kemurkaan Rabb sekalian alam dan
hukuman-Nya. Barang siapa di antara Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya
al-Mu’allimi rahimahullah. mereka diberi-Nya sedikit
kenikmatan dunia, hal itu sesungguhnya karena rendahnya dia di sisi-Nya,
untuk menambahnya semakin jauh dari-Nya dan agar Allah subhanahu wa ta’ala
melipatgandakan untuknya siksaan di akhirat dengan siksaan yang pedih
lagi kekal dan tidak dapat dibayangkan kedahsyatannya oleh akal
siapapun.
Kedua, merenungi perbandingan kenikmatan
dunia dengan ridha Rabbul Alamin beserta kenikmatan akhirat. Juga
perbandingan kesengsaraan dunia dengan murka Rabb sekalian alam dan
siksaan akhirat. Juga mentadaburi firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَمَّا جَآءَهُمُ ٱلۡحَقُّ قَالُواْ هَٰذَا سِحۡرٞ وَإِنَّا بِهِۦ كَٰفِرُونَ ٣٠ وَقَالُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ عَلَىٰ رَجُلٖ مِّنَ ٱلۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيمٍ ٣١ أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢ وَلَوۡلَآ أَن يَكُونَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ لَّجَعَلۡنَا لِمَن يَكۡفُرُ بِٱلرَّحۡمَٰنِ لِبُيُوتِهِمۡ سُقُفٗا مِّن فِضَّةٖ وَمَعَارِجَ عَلَيۡهَا يَظۡهَرُونَ ٣٣ وَلِبُيُوتِهِمۡ أَبۡوَٰبٗا وَسُرُرًا عَلَيۡهَا يَتَّكُِٔونَ ٣٤ وَزُخۡرُفٗاۚ وَإِن كُلُّ ذَٰلِكَ لَمَّا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَٱلۡأٓخِرَةُ عِندَ رَبِّكَ لِلۡمُتَّقِينَ ٣٥
Tatkala kebenaran (al-Qur’an) itu datang
kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang mengingkarinya.” Dan mereka berkata, “Mengapa al
Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua
negeri (Makkah dan Thaif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Rabbmu?” Kami telah menentukan antara mereka penghidupa nmereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Rabbmu lebih baik daripada
apa yang mereka kumpulkan. Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari
manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan
bagi orang orang yang kafir kepada Rabb Yang Maha Pemurah loteng-loteng
perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga tangga (perak) yang merekame
naikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah
mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya.
Dan ( Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka).
Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan
kehidupan akhirat itu disisi Rabbmu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa. (az-Zukhruf: 30—35)
Dipahami dari ayat di atas, apabila manusia tidak jadi satu umat, tentu Allah subhanahu wa ta’ala
akan memberi ujian bagi kaum mukminin dengan sesuatu yang luar biasa,
di antaranya dengan kafakiran yang sangat, mudarat, rasa takut,
kesedihan, dan selain itu. Cukup (bukti) bagi Anda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menguji para nabi-Nya dan orang-orang pilihannya.
Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yangartinya),
“… permisalan seorang mukmin bagaikan
ranting yang lentur dari sebuah pohon, angin menggerakkannya, terkadang
membuatnya miring dan terkadang menegakkannya sampai kering. Adapun
permisalan orang fajir adalah bagaikan pohon khamah yang kaku, tegak
pada pangkalnya, tidak ada yang bisa menggerakkannya sehingga (bila
tumbang) tumbangnya sekaligus.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, ini sebagai pendidikan bagi
kaum muslimin, agar seorang mukmin tetap merasa tenang dengan kepenatan
kehidupan dan musibahnya, menghadapinya dengan ridha, sabar, dan
berharap pahala di sisi Rabbnya, dengan kalbu yang tulus, tidak
menganganangankan berbagai nikmat duniawi, serta tidak iri kepada
pemiliknya.
Kemudian ia tidak merasa tenteram dengan
keselamatan dan nikmat (yang sementara ini ada pada dirinya) serta
tidak terus condong kepadanya. Bahkan ia menyambut semua itu dengan
tetap merasa khawatir dan penuh kehati-hatian, disertai rasa takut.
Khawatir bilamana semua itu ternyata disediakan untuknyakarena adanya
cacat pada imannya.
Oleh karena itu, jiwanya berkeinginan menyalurkan nikmat-nikmat itu menuju jalan Allah subhanahu wa ta’ala
, tidak merasa tenteram dengan kelonggarannya dan juga tidak akan
kikir, tidak bangga diri dengan karunia yang diberikan kepadanya, tidak
sombong, dan tidak teperdaya.
Hadits tersebut tidak menyinggung keadaan orang-orang kafir karena hujah terhadapnya telah jelas bagaimana pun keadaannya.
Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah di antara manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى
“Para nabi kemudian yang serupa dengan
mereka, kemudian yang serupa dengan mereka berikutnya, sehingga
seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Bila agamanya kokoh, maka
ujiannya semakin menguat. Tapi bila agamanya tipis maka dia pun akan
diuji sesuai dengannya. Maka ujian itu akan terus menimpa seorang hamba
sehingga Allah subhanahu wa ta’ala akan biarkan dia berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya salah.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan ad-Darimi)
Sungguh, Nabi Ayyub Alaihissalam telah
diuji dengan ujian yang telah banyak kita dengar. Nabi Ya’qub
Alaihissalam diuji dengan kehilangan dua putranya, dan sungguh
pengaruhnya begitu besar pada kalbunya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan dalam kitab-Nya,
وَتَوَلَّىٰ عَنۡهُمۡ وَقَالَ يَٰٓأَسَفَىٰ عَلَىٰ يُوسُفَ وَٱبۡيَضَّتۡ عَيۡنَاهُ مِنَ ٱلۡحُزۡنِ فَهُوَ كَظِيمٞ ٨٤
Dan Ya’qub berpaling dari mereka
(anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,”
dikedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang
yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). (Yusuf: 84)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diuji dengan ujian seperti yang telah kita baca pada kisah perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah subhanahu wa ta’ala
bebankan kepada beliau tugas untuk mengajak kaumnya agar meninggalkan
tradisi yang mereka tumbuh di atasnya, yang mereka ikuti dari nenek
moyang mereka, baik berupa perbuatan syirik maupun kesesatan.
Dengan tegas beliau mengajak mereka
secara sembunyi ataupun dengan terang-terangan, siang dan malam
berkeliling di tempat-tempat perkumpulan mereka dan desa-desa mereka.
Terus beliau melakukan itu selama tiga belas tahun, sedangkan mereka
justru menyakiti beliau dengan sekeras kerasnya.
Padahal, sebelum itu, beliau telah hidup
di tengah-tengah mereka selama empat puluh tahun atau lebih, dan beliau
tidak pernah tahu ada yang mengganggu beliau. Beliau berasal dari
kabilah yang mulia, di rumah keluarga yang terhormat, serta beliau pun
tumbuh di atas akhlak yang mulia, karenanya beliau dihormati manusia dan
dimuliakan manusia.
Beliau juga pada puncak rasa malu,
ghirah, dan kemuliaan jiwa. Barang siapa yang seperti ini keadaannya
tentu terasa sangat pedih saat diganggu, sangat berat baginya untuk maju
menghadapi beragam gangguan, semakin terasa berat cobaan itu dengan
jenis gangguannya. Yang ini merendahkannya, yang itu mencelanya, yang
lain meludahi mukanya, dan yang ini berusaha menginjak lehernya saat
beliau bersujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sementara itu, yang lain meletakkan
ari-ari unta di atas punggung beliau saat sujud, yang ini memegang kerah
bajunya dan mencekiknya, serta yang ini menusuk hewan tunggangannya
sehingga tunggangannya memelantingkan beliau. Bahkan, pamannya sendiri
selalu mengikutinya ke mana dia pergi untuk mengganggunya dan
memperingatkan orang-orang darinya serta mengatakan bahwa dia
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah pendusta, orang gila.
Ada pula yang menghasut orang orang
bodoh untuk mengganggu beliau sehingga melemparinya dengan batu sampai
kedua kaki beliau bercucuran darah. Mereka memboikotnya bersama
keluarganya dalam waktu lama di sebuah lembah agar mati kelaparan.
Mereka menyiksa para pengikutnya dengan siksaan yang beraneka ragam. Di
antara mereka ada yang mereka baringkan di atas pasir yang panas saat
terik matahari tanpa diberi air.
Ada pula di antara mereka yang dilempar
ke dalam api sehingga tidak ada yang memadamkannya selain punggungnya.
Bahkan, di antara mereka ada seorang wanita yang mereka siksa agar mau
kembali ke agamanya. Ketika mereka putus asa dari kembalinya wanita itu,
salah seorang dari mereka menikamnya pada kemaluannya sehingga mati.
Semua itu tidak lain karena beliau
mengajak mereka untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya, dari
kerusakan menuju kebaikan, dari kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala
menuju keridhaan-Nya, dari siksa- Nya yang kekal menuju kenikmatan-Nya
yang abadi. Tetapi mereka tidak menoleh kepada semua itu, padahal bukti
begitu nyata. Keinginan mereka, yang penting menyelisihi kemauan
muslimin.
Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
diuji dengan wafatnya kedua orang tuanya saat beliau masih kecil, lalu
kakeknya, lalu pamannya yang dahulu melindunginya, lalu istrinya yang
selama itu menenteramkannya dan meringankan bebannya. Kemudian cobaan
terus menimpanya—dan perincian masalah ini panjang—padahal beliau adalah
pemuka anak Adam, bahkan yangpaling dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Perhatikanlah ini semua, agar kita
mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa apa yang kita perebutkan
matimatian berupa kenikmatan dunia berikut kedudukannya, ternyata tidak
ada artinya di hadapan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dan
kenikmatan yang abadi di sisi-Nya. Apa yang kita hindari, seperti
kesengsaraan dunia dan kesusahannya, ternyata juga tidak berarti apa-apa
dibandingkan dengan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala, kemarahan-Nya, dan kekekalan di neraka jahannam.
Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), “Didatangkan orang yang paling merasakan
nikmat dari pendudukdunia dari penghuni neraka pada hari kiamat, lalu
dicelupkan di dalam neraka satu kali celupan, lalu dikatakan
kepadanya‘,Wahai anak Adam, apakahkamupernahsekalisajamelihat keindahan,
apakah pernah sedikit saja melewatimus uatuk enikmatan?Maka ia
menjawab,‘ Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.’ Di datangkan pula orang
yang palingsengsara selama di dunia dari penduduksurgalalu
dicelupkandengan satu kali celupan disurga, kemudian dikatakan
kepadanya,‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah melihat kesengsaraan
sedikit saja? Apakah pernah melewatimu kesusahan sedikit saja? Ia
menjawab,‘ Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah melewatiku
kesengsaraan sama sekali dan aku tidak pernah melihat kesusahan
samasekali’.” (Sahih, HR. Muslim) (insya Allah bersambung)
(diterjemahkan oleh Qomar Suaidi ZA dari kitab al-Qa’idila Tashihil‘Aqaid)

Batasn Laba Maksimum dalam Penjualan
Apakah termasuk riba apabila kita membelis ebuah barang dan kita menjualnya dengan harga dua kali lipat dari harga belinya?
085340XXXXXX
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Dalam syariat yang agung ini tidak ada
penentuan batas laba maksimum dalam penjualan suatu barang. Maka dari
itu, hal itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku di pasar-pasar kaum
muslimin. Menurut al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai Ibnu Baz), “Laba
penjualan seorang pedagang tidak dibatasi secara syariat dengan
persentase tertentu. Akan tetapi, tidak boleh menipu pembeli dengan cara
menjual dengan harga yang melebihi harga standar di pasaran.
Disyariatkan bagi seorang muslim untuk
tidak mengambil laba terlalu besar, tetapi menjadi orang yang bersifat
toleran (berlapang dada) dalam menjual dan membeli berdasarkan anjuran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersifat toleran (berlapang dada) dalam muamalah.”
Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah berkata dalam FathDzilJalal walIkram—memetik faedah dari hadits ‘Urwah al-Bariqi radhiyallahu anhu yang diberi uang satu dinar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
membeli seekor kambing, lalu ia berhasil membeli dua ekor dengan uang
itu, kemudian menjual salah satunya dengan harga satu dinar, sehingga
dia membawakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor kambing dan uang satu dinar—, “
Di antara faedah hadits ini adalah
bahwasanya pengambilan laba dalam jual beli tidak punya batas maksimum.
Oleh karena itu, boleh bagi seorang penjual mengambil laba senilai 1/10
dari harga barangnya, 1/5, 1/4, atau lebih besar dari itu.
Namun, hal itu dengan syarat tidak
melakukan penipuan harga. Adapun jika hal itu dengan cara penipuan
harga, haram mengambil laba melebihi kewajaran di pasaran. Lain halnya
jika hal itu dihasilkan dengan cara usaha (tanpa unsur penipuan harga),
yaitu dikarenakan harga pasaran barang itu naik; penjual pertama menjual
kepadanya dengan harga murah karena bersikap toleran kepadanya, atau
seseorang membeli darinya dengan harga mahal karena bersikap toleran
kepadanya.
Jika demikian, hal itu tidak mengapa.
Boleh jadi, penjual pertama mengetahui bahwa barang dagangan itu harga
pasarannya dua puluh, lalu ia menjualnya kepada Anda seharga sepuluh.
Jika Anda menjualnya dengan harga standar di pasaran, berapa harganya?
Harganya dua puluh atau lebih.
Hal itu tidak mengapa, karena penjual
pertama menjualnya dengan harga murah kepada Anda lantaran sikap
tolerannya. Boleh jadi pula, pembeli tahu bahwa harganya sepuluh
(misalnya), tetapi ia ingin memberi manfaat kepada Anda dengan
membelinya seharga dua puluh, hal itu pun tidak mengapa. Walaupun pada
kedua contoh tersebut harga pasarannya tidak mengalami lonjakan di
pasaran.”
Jadi, yang tidak boleh adalah menipu
pembeli yang tidak tahu harga pasaran dan tidak pandai menawar sehingga
mengeruk darinya laba sebesar-besarnya melebihi kebiasaan yang berlaku
di pasar-pasar kaum muslimin. Ini yang dikenal dalam ilmu fikih sebagai
penjualan kepada al-mustarsil.
Terdapat dua tafsir mengenai makna al-mustarsil:
1. Orang yang tidak tahu harga barang di pasaran.
2. Orang yang tidak bisa menawar barang,
tetapi menuruti ucapan penjual. Ini yang datang dari al-Imam Ahmad
rahimahumullah. Alhasil, al-mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga
pasaran dan tidak pandai menawar harga.
Ibnu Taimiyah rahimahumullah menerangkan
setelah menyebutkan kedua tafsir tersebut, “Maka dari itu, ia tidak
boleh ditipu dengan pengambilan laba yang sangat merugikannya, baik yang
ini (makna pertama) maupun yang itu (makna kedua).”
Ibnu Taimiyah rahimahumullah berkata,
“Tidak boleh menjual kepada al-mustarsil kecuali dengan harga wajar,
sebagaimana penjualan kepada yang lainnya (yang tahu harga). Tidak boleh
bagi seorang penjual menipu orang yang menurutinya dengan mengeruk laba
yang sangat besar melebihi kewajaran. Ada sebagian ulama membatasinya
sebesar 1/3 dari harga barang. Ada yang membatasinya dengan 1/6 dari
harga barang. Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu kembali kepada
kebiasaan yang berlaku.
Apa yang sudah menjadi kebiasaan
masyarakat dalam pengambilan laba jual beli mereka kepada orang yang
pandai menawar, senilai itu pulalah laba yang diambil dari
al-mustarsil.” Pendapat yang terakhir inilah yang benar, bahwa hal itu
kembali kepada kebiasaan yang adadi pasar-pasar kaum muslimin.
Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qayyim, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah menegaskan bahwa almustarsil
yang dirugikan melebihi harga wajar, memiliki hak khiyar al-ghabn, yaitu
hak orang yang rugi karena tertipu dalam transaksi jual beli untuk
memilih antara meneruskan akad tersebut atau melakukan fasakh
(pembatalan akad).
Ini adalah mazhab Ahmad dan Malik. Dalilnya adalah penetapan khiyar al-ghabn oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada kasus talaqqi ar-rukban, yaitu menghadang kafilah yang datang ke
suatu negeri sebelum masuk pasar agar dibeli murah jauh di bawah harga
standar. Jika ia telah masuk pasar lantas mengetahui bahwa dirinya
tertipu, ia berhak memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya.
Adapun hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu:
غَبْنُ الْمُسْتَرْسِلِ حَرَامٌ.
“Menipual-mustarsiladalah perbuatan haram.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
dan hadits Jabir, Anas, dan ‘Ali radhiyallahu anhu :
غَبْنُ الْمُسْتَرْسِلِ رِبًا.
“Menipua l-mustarsila dalahr iba.” (HR. al-Baihaqi)
Keduanya hadits yang dha’if (lemah),
bukan hujah.3 Adapun pendapat asy-Syafi’i dan Malik yang menyatakan
transaksi itu telah terjadi dan sah tanpa adanya hak khiyar baginya,
adalah pendapat yang lemah. Wallahu a’lam.4

Menjauhi Perdebatan Dalam Hal Agama
Ma’n bin Isa berkata, “Suatu hari, (al-Imam) Malik bin Anas rahimahullah
keluar dari masjid dalam keadaan bersandar pada tanganku. Ada seorang
lelaki -yang dipanggil Abul Huriyah, yang tertuduh berpemahaman
Murji’ah- menyusulnya dan mengatakan, “Wahai hamba Allah, dengarkanlah
sesuatu yang akan aku sampaikan kepadamu. Aku akan beradu hujah denganmu
dan memberitahumu tentang pemikiranku.”
Al-Imam Malik rahimahullah bertanya, “Bagaimana jika engkau mengalahkanku (dalam perdebatan)?”
Dia menjawab, “Kalau aku mengalahkanmu, engkau harus mengikuti pemikiranku.”
Al-Imam Malik rahimahullah bertanya lagi, “Kalau ada orang lain yang kemudian mendebat lantas mengalahkan kita?”
Dia menjawab, “Kita ikuti dia.”
Al-Imam Malik rahimahullah menukas,
يَا عَبْدَ اللهِ، بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا بِدِيْنٍ وَاحِدٍ، وَأَرَاكَ تَنْتَقِلُ مِنْ دِيْنٍ إِلَى دِينٍ
“Wahai hamba Allah, Allah Subhanahu
wata’ala mengutus Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan satu
agama. Namun, aku lihat engkau berpindah dari satu agama ke agama yang
lain.” (asy-Syari’ah, al-Ajurri, hlm. 62)
(Catatan kaki al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilatil Manahij al-Jadidah hlm. 78, cet. Maktabah al-Huda al-Muhammadi)

Surat Pembaca edisi 82
Aliran Pemuja Setan
Saya ingin request. Kalau bisa, tolong
dimuat materi seputar Satanisme dan agenda jahat mereka serta cara kaum
muslimin harus menyikapi/ mengantisipasinya. (0857992xxxxx)
Redaksi :
Akan kami pertimbangkan, jazakumullahu khairan atas masukannya.
Buletin Asy-Syariah
Bismillah. Saya punya usul, agar dakwah
kian berkembang terutama di pelosok-pelosok, mungkin bagus kalau
Asy-Syariah membuat bulletin dan menyelipkan dalam majalah yang
manfaatnya bisa kita kopi, perbanyak, dan kita bagi ke masyarakat. Insya Allah para pembaca siap walau harganya dinaikkan. (0852406xxxxx)
Redaksi :
Kami pernah menerbitkan bulletin
Asy-Syariah meskipun dalam jumlah dan lingkup peredaran yang terbatas.
Jika buletin dimaksud adalah semacam suplemen majalah yang dengan
penambahan suplemen tersebut bisa jadi akan berimbas pada kenaikan
harga, ini butuh pertimbangan mendalam. Jazakumullahu khairan atas
masukannya.
Birrul Walidain
Mohon dibahas tentang birrul walidain
dan uququlwalidain, mencakup pengertiannya, kedudukannya,
dalil-dalilnya, bentuk-bentuk birrul walidain dan uququl walidain,
faktor pendukung dan penyebabnya, solusinya yang disertai contoh
nyatanya dari salafus shalih. Saya usulkan tema demikian karena keadaan
masyarakat saat ini yang sangat kronis dalam kaitannya bermuamalah
dengan kedua orang tua. Semoga majalah Asy-Syariah bisa segera
merealisasikan tema pembahasan yang sangat penting ini. (0856472xxxxx)
Redaksi :
Akan kami pertimbangkan, jazakumullahu khairan atas masukannya.
Koreksi I
Asy-Syariah edisi 81 rubrik hadits tertulis “tuwuffiya rasulullahi radhiyallahu’anha…”. Bukankah seharusnya“tuwuffiyarasulullahshalallahu ‘alahi wasallam..”? (0813294xxxxx)
Koreksi II
Bismillah. Pada Asy Syariah Vol. VII No. 79, Rubrik Permata Salaf, hadits Ibnu Abbas, tertulis, “Fa innama tanalu wilayatallahu…”, bukannya seharusnya “fa innama tunalu wilayatullahi”? Barakalahufikum.
Abu Ayyasy-Batam (08563xxxxxx)
Redaksi :
Anda berdua benar, jazakumallahu khairan atas koreksinya.

Khutbah Jumat Digugat
Di Yaman, suasana hari Jum’at terasa
berbeda dengan hari-hari lainnya. Perbedaan tersebut akan terasa
menonjol manakala tinggal bersama komunitas Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Semenjak mentari pagi memancarkan cahayanya, denyut kehidupan terasa
menggeliat. Saat kehangatan sinar mentari menyapa, anak-anak kecil
keluar rumah penuh ceria. Mereka mengenakan jubah dan jas. Tampilan
mereka sangat apik dan bersih, kontras dengan tampilan mereka pada
hari-hari selain Jum’at.
Hari Jum’at, suasana pasar terasa lebih
ramai. Para lelaki berbelanja kebutuhan untuk makan siang. Sudah menjadi
tradisi pada hari Jum’at mengundang teman, tetangga, atau saudara untuk
makan siang bersama. Undangan makan siang selepas menunaikan shalat
Jum’at menciptakan suasana kehangatan dan keakraban tersendiri.
Persaudaraan terasa kental. Kedekatan hati terasa lekat mengikat.
Penjual kayu arak pun tak ketinggalan
hadir di tengah suasana hari Jum’at. Dengan mengeluarkan uang receh
sepuluh real Yaman, seseorang sudah bisa mendapatkan kayu untuk
bersiwak. Sebuah harga nan teramat murah untuk meraup pahala dari
menghidupkan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Hari Jum’at, hari yang penuh keutamaan.
Saat orang-orang beriman mengamalkan sunnah; mandi, berdandan,
mengenakan wewangian, bersiwak, dan amalan sunnah lainnya.
Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahih-nya menyebutkan “Bab Fadhlu Yaumil Jumu’ah” (bab tentang Kemuliaan Hari Jum’at). Beliau rahimahullah menyebutkan hadits bahwa Abdurrahman al-A’raj sungguh telah mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُ
يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ،
وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا
“Sebaik-baik hari (yang) matahari
terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan,
padahari itu pula dimasukkan kedalam surga, dan pada hari Jum’at
dikeluarkan darinya.” (HR. Muslim no. 854)
Dalam hadits lain disebutkan,
وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Tidaklah terjadi kiamat selain pada hari Jum’at.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan mandi pada hari itu. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْجُمُعَةُ فَلْيَغْتَسِلْ
“Jika tiba hari Jum’at pada kalian, hendaklah kalian mandi.” (HR. al- Bukhari no. 877)
Kewajiban mandi ini pun dipertegas oleh hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hariJum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” (HR. al-Bukhari no. 879)
Dianjurkan pula bersiwak pada hari Jum’at, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ،عِنْدَ كُلِّ صَ ةَالٍ
“Seandainya tidak memberatkan atas umatku sungguh akan aku perintah mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” (HR. al-Bukhari no. 887)
Pada hari Jum’at dianjurkan pula
mengenakan pakaian terbagus yang dimiliki oleh seseorang. Dalam sebuah
hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dikisahkan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
melihat sebuah pakaian bergaris yang dijual di sisi pintu masjid. Umar
pun berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya
seandainya engkau membeli pakaian ini lantas engkau kenakan pada hari
Jum’at.” (HR. al-Bukhari no. 886)
Selain itu, pakailah pula wewangian. Hadits dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menjelaskan hal ini. Sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam,
يَغْتَسِلُ
رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ
وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ
يَخْرُجُ فَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ
ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ إِ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
“Tidaklah seseorang mandi pada hari
Jum’at, lalu bersuci semampunya, kemudian meminyaki dan mengoleskan
wewangian rumahnya, lantas keluar (menuju masjid) dan tidak memisahkan
diantara dua orang (yakni melangkahi dua orang yang duduk berdampingan
di masjid), lalu ia shalat sesuai apa yang telah ditetapkan untuknya,
setelah itu ia diam ketika imam (khatib) berbicara, kecuali ia akan
mendapatkan ampunan antara Jum’at tersebut dengan Jum’at berikutnya.” (HR. al-Bukhari no. 883)
Penamaan Hari Jum’at
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, penamaan al-Jumu’ah berasal dari kata jum’atun, yang terambil dari akar kata al-jam’u. Mengapa demikian? Karena pada hari itu kaum muslimin berkumpul (setiap pekan) sekali di tempat-tempat peribadahan yang besar.
Dalam sebuah hadits dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Salman, apakah hari Jum’at itu?” Salman menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
يَوْمَ جُمِعَ فِيهِ أَبَوَاكَ
“Hari ketika dikumpulkannya (dipertemukannya) kedua orangtua kalian (Adam dan Hawa).”
(HR. al- Hakim dalam al-Mustadrak [1/277]. Al-Haitsami mengatakan dalam
al-Majma’ [2/174], “Riwayat ath-Thabarani dalam al-Kabir dan sanadnya
hasan.”)
Dijelaskan pula oleh Ibnu Katsir rahimahullah,
dahulu hari tersebut dinamakan Yaumul ‘Urubah. Sesungguhnya, umat-umat
terdahulu telah memiliki pilihan hari. Kaum Yahudi memilih hari Sabtu.
Kaum Nasrani memilih hari Ahad. Adapun umat ini dipilihkan oleh Allah Subhanahu wata’ala hari Jum’at. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan orangorang beriman agar berkumpul pada hari Jum’at untuk beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseur untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Hal itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Qailulah pada Hari Jum’at
Berbeda dengan hari yang lain, qailulah pada hari Jum’at dilakukan setelah
menunaikan shalat Jum’at. Adapun di selain hari Jum’at dilakukan
sebelum tergelincir matahari (sebelum waktu zhuhur). Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صل الله عليه وسلم الْجُمُعَةَ ثُمَّ تَكُونُ الْقَائِلَةُ
“Kami pernah shalat Jum’at bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian melakukan qailulah.” (HR. al-Bukhari no. 941)
Disebutkan pula dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu,
مَا كُنَّا نَقِيلُ وَ نَتَغَدَّى إِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Tidaklah kami melakukan qailulah dan makan siang selain setelah (menunaikan) shalat Jum’at.” (Muttafaqun ‘alaih dan ini lafadz al-Imam Muslim)
Menurut al-Imam Muhammad bin Ismail bin
Amir ash-Shan’ani, yang dimaksud qailulah adalah istirahat di
pertengahan hari (siang hari) meski tidak disertai tidur. (Subulus Salam, 2/65)
Kisah pada Hari Jum’at
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi tengah berdiri berkhutbah pada hari Jum’at. Lantas datang
serombongan unta dari Syam (membawa barang dagangan). Berpalinglah
orang-orang ke sana hingga tidak tersisa selain dua belas orang saja.
Dengan kejadian ini, turunlah ayat dalam surat al-Jumu’ah,
وَاِذَارَاَوْاتِجَارَةًاَوْ
لَهْوًاانْفَضُّوآ اِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمَا ۗ قُلْ مَاعِنْدَ اللهِ
خَيْرٌ مِنَ الَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۗ وَاللهُ خَيْرُ
الرَّازِقِيْنَ
“Dan apabila mereka melihat
perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah,“Apa yang
di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan.” Dan
Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (al-Jumu’ah: 11)
Hadits ini menjadi dalil bahwa
disyariatkan berkhutbah pada hari Jum’at sambil berdiri. Pendapat ini
sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya (7/97), an-Nawawi rahimahullah dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (6/176), dan ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/65).
Faedah lain dari hadits di atas,
sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi, disebutkan bahwa yang tersisa
hanya dua belas orang, termasuk sahabat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dalam riwayat lain disebutkan, termasuk sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu sendiri. Ini menunjukkan manqabah (kedudukan terpuji) bagi tiga sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. (al-Minhaj, 6/176)
Khutbah Jum’at Digugat
Seorang muslim dan muslimah, tidak sepatutnya lancang mendahului Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. semestinya dia tunduk dan patuh terhadap segala ketentuan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْا لَاتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا
اللهَ ۗ اِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌيَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْا
لَاتَرْفَعُوْآاَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتٍ النَّبِيِّ وَلَاتَجْهَرُوا
لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ
اَعْماَلُكُمْ وَاَنْتُمْ لَاتَشْعُرُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari
suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-Hujurat: 1-2)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa ayat di atas mengandung muatan adab terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam, yaitu mengagungkan, menghormati,dan memuliakannya. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintah para hamba-Nya yang beriman dengan hal-hal yang dituntut oleh keimanan kepada Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya, yaitu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan Nya. Dan agar mereka berjalan di belakang
perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala serta mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam semua urusan. Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan pula agar mereka tidak mendahului Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak berucap sebelum beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam menitahkan. Inilah hakikat adab yang wajib ditunaikan terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Inilah hakikat keberuntungan dan kebahagiaan hamba.
Adapun sikap lancang akan menyirnakan
kebahagiaan dan kenikmatan abadi. Dalam ayat ini terkandung larangan
mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di atas perkataan beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, sesungguhnya bilamana telah jelas sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya dari yang lain, apapun keadaannya. (Taisiral-Karimirrahman, hlm. 799)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قُلْ
اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ
وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللهُ غَفُوْرٌرَحِيْمٌ
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Menurut penjelasan asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, ayat di atas mengandung makna bahwa tanda kejujuran (iman seorang hamba kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam) adalah mengikuti (ittiba’) kepada Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam
dalam segala aspek, baik ucapan maupun perbuatan, yang prinsip maupun
yang furu’ (cabang) dalam masalah agama, yang lahir maupun yang batin.
Barang siapa ittiba’ kepada Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam berarti menunjukkan kejujuran pengakuannya mencintai Allah Subhanahu wata’ala. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 128)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَاوَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّىٰ يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَبَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِى اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُواتَسْلِيْمً
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku melarang kalian dari satu perkara, jauhilah ia. Apabila aku memerintahkan sebuah urusan, tunaikanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan satu amal tanpa dasar perintah kami, (amal) itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718 dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Maka dari itu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
menetapkan bahwa shaf wanita dalam shalat berada di belakang shaf pria,
seorang wanita yang jujur keimanannya akan tunduk patuh. Ia tak akan
membantah dan menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Persamaan gender
dalam hal ini tidak ada. Sebab, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberi contoh tentang hal ini.
Kata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
صَلَّى النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
shalat dirumah Ummu Sulaim. Aku dan seorang yatim berdiri di belakang
beliau, sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang kami.”( HR. al-Bukhari no. 874)
Adapun orang yang hatinya diliputi oleh
hawa nafsu, tentu tidak berkenan dengan tata aturan ibadah semacam ini.
Hatinya akan berontak, tidak bisa menerima apa yang telah ditentukan
oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, tak hanya
masalah shaf yang ditentang. Khutbah Jum’at yang semestinya dilakukan
oleh seorang pria, digugat pula. Kata mereka, tidak adakah kesempatan
bagi da’i perempuan berkhutbah? Dari sekian ribu masjid di tanah air,
tidak ada satu pun wanita menjadi khatib. Satu-satunya wanita yang
berani berkhutbah Jum’at di hadapan pria dan menjadi imam shalat dengan
makmum kaum pria adalah Prof. Amina Wadud. Dia melakukannya di Masjid
Claremont Main Road di Cape Town, Afrika Selatan. Tidak hanya itu, Amina
Wadud -yang pernah memberi kuliah umum di Fakultas Ushuludin dan
Filsafat UIN Jakarta (4 Juni 2009) ini- pernah menjadi imam shalat
Jum’at di gereja katedral di Sundram Tagore Gallery, 137 Greene Street,
New York. Aktivis feminis liberal radikal ini tak lagi memiliki rasa
malu dan takut kepada Allah Subhanahu wata’ala ketika menyalahi
tuntunan Rasul-Nya. Berulang kali dia melakukan hal ini. Di Pusat
Pendidikan Muslim di Oxford, Inggris, tahun 2008 lalu, ia juga menjadi
imam shalat Jum’at setelah menjadi khatib. Padahal di antara jamaah yang
hadir banyak dari kalangan pria.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اِنْ يَتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْاَنْفُسُ ۚ وَلَقَدْ جَآءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدٰى ۗ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, Dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (an-Najm: 23)
Karena itu, ikutilah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰى ۙمَاضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَاغَوٰى ۚوَمَايَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰىاِنْ هُوَ اِلَّا وَهْيٌ يُوْحٰى ۙ
“Demi bintang ketika terbenam,
kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 1-4)
Wallahu a’lam.
Oleh : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Keutamaan Hari Jumat
Sesungguhnya Dzat yang mencipta alam
semesta dan yang mengatur jagat raya telah melebihkan atau
mengistimewakan sebagian hari di atas hari-hari yang lain. Di antaranya
adalah hari Jum’at, Allah Subhanahu wata’ala memerintah umat
Islam untuk mengagungkannya dengan beragam amalan yang disyariatkan.
Padahal umat sebelum kita, dari kalangan Yahudi dan Nasrani, telah
diperintah untuk mengagungkannya, namun mereka menyelisihinya. Orang
Yahudi memilih hari Sabtu dan orang Nasrani memuliakan hari Minggu
(Ahad).
Jum’at adalah salah satu nama hari dalam
sepekan. Dalam bahasa Arab, bentuk penulisannya adalah ,الْجُمْعَةُ
terambil dari kata ( الْجَمْعُ ) yang berarti mengumpulkan sesuatu yang
terpencar. Adapun menurut para ahli qiraat, cara membacanya ada tiga:
dengan didhammah huruf mimnya (اْلجُمُعَة), difathahkan (اْلجُمَعَة)
atau disukun (اْلجُمْعَة). (Lihat al-Qamus al-Muhith, 3/14-15 dan Tafsir
al-Qurthubi, 18/97)
Adapun tentang alasan dinamakan hari
Jum’at, para ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa di masa
jahiliah manusia menamakannya hari al-‘Arubah. Dalam Fathul Bari
(2/353), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan
pendapat-pendapat ulama tersebut lalu menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwa dinamakan hari Jum’at karena penciptaan Nabi Adam ‘alaihis salam terjadi pada hari tersebut.
Landasan pendapat ini adalah hadits Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Wahai Salman, apa itu hari Jum’at?” Salman menjawab, “Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali dan Salman selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
يَا سَلْمَانُ، يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِهِ جُمِعَ أَبُوْكَ -أَوْ أَبُوْكُمْ- أَنَا أُحَدِّثُكَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Wahai Salman, hari Jum’at terkumpul
padanya penciptaan bapakmu atau bapak kalian. Aku akan bercerita
kepadamu tentang hari Jum’at.”(Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1732)
Hari Jum’at memiliki kedudukan yang sangat
mulia dalam syariat Islam dan mempunyai keistimewaan yang tidak ada pada
hari-hari yang lain. Berikut beberapa keistimewaan hari Jum’at.
1. Hari raya umat Islam yang terulang-ulang setiap pekan
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada suatu Jum’at,
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ لَكُمْ عِيْدًا
“Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala
sebagai hari raya bagi kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam
al-Mu’jamash-Shaghir dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam Shahih al-Jami’)
2. Terjadinya hari kiamat pada hari Jum’at
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُ
يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ
آدَمُ وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَ
تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ
“Sebaik-baik hari yang terbit matahari pada
waktu itu adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan
ke dalam surga, dan dikeluarkan dari surga. Tidak akan terjadi kiamat
selain pada hari Jum’at.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
3. Orang yang mati pada hari Jum’at ataumalam Jum’at akan dihindarkan dari fitnah (pertanyaan) kubur
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tiada seorang muslim yang mati pada hari Jum’at atau malamnya kecuali Allah Subhanahu wata’ala akan menghindarkannya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dalam Ahkam al-Janaiz, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya hasan atau sahih dengan banyaknya jalan periwayatan)
4. Diharamkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi oleh puasa sehari sebelum atau setelahnya
Hal ini berlandaskan hadits Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepadanya hari Jum’at dalam keadaan dia Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu puasa kemarin?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi apakah kamu ingin puasa esok hari?” Juwairiyah menjawab,“Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,“Berbukalah kamu!” (HR. al-Bukhari no. 1986)
5. Ada saat yang mustajab/dikabulkan bagi orang yang berdoa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hari Jum’at lalu bersabda,
فِيْهِ سَاعَةٌ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Pada hari itu ada saat yang tidaklah
seorang hamba muslim bertepatan dengannya dalam keadaan dia berdiri
shalat yang ia meminta sesuatu kepada Allah Subhanahu wata’ala melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 935)
Saat yang mustajab dari hadits ini diperselisihkan waktunya oleh ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menyebutkan ada 42 pendapat. Dari pendapat sebanyak itu, yang dikuatkan
oleh al-Hafizh ada dua, yaitu antara duduknya imam di atas mimbar
hingga selesai shalat Jum’at, dan
pendapat yang kedua adalah setelah shalat ashar hingga tenggelamnya matahari. (Fathul Bari 2/416-420)
Setelah menyebutkan bukti-bukti bahwa saat yang mustajab itu setelah ashar, Ibnul Qayyim rahimahullah
menyebutkan, “Ini adalah pendapat mayoritas salaf, dan banyak hadits
menunjukkan pendapat ini. Pendapat berikutnya adalah saat shalat Jum’at.
Adapun pendapat selebihnya tidak ada dalilnya.”
Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan,
waktu yang dikhususkan adalah akhir waktu setelah ashar, yaitu waktu
tertentu di hari Jum’at yang tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu
shalat Jum’at maka mengikuti shalat tersebut baik maju pelaksanaannya
maupun mundur. Beliau menyebutkan bahwa berkumpulnya kaum muslimin,
shalat mereka, kekhusyukan dan permohonan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala, memiliki pengaruh kuat untuk dikabulkannya doa. (Zadul Ma’ad)
Masih banyak keistimewaan hari Jum’at yang tidak bisa ditampilkan seluruhnya di sini karena keterbatasan ruang. Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan sekian puluh keistimewaan dalam kitabnya Zadul Ma’ad jilid pertama. Bahkan, as-Suyuthi rahimahullah menulis kitab khusus tentang keistimewaan hari Jum’at yang beliau beri judul Nurul Lum’ah fi Khashaish Yaumil Jumu’ah.
saja, orang yang membacanya perlu jeli
dan hati-hati karena as-Suyuthi tidak hanya memuat hadits/atsar yang
kuat tetapi juga yang lemah, bahkan maudhu’ (palsu). Wallahu a’lam.
Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
Amalan-Amalan yang Dianjurkan di Hari Jum’at
Di samping shalat Jum’at dan seluruh
rangkaian ibadah yang menyertainya, ada beberapa amalan yang
disyariatkan untuk dikerjakan padahari Jum’at, diantaranya :
1. Memperbanyak shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Memperbanyak shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini berlandaskan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ
مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوْاعَلَيَّ مِنَ
الصَّ ةَالِ فِيْهِ فَإِنَّ صَ تَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ
“Sesungguhnya diantara hari-hari kalian
yang paling mulia adalah hari Jum’at. Karena itu, perbanyaklah
bershalawat kepadaku pada hari itu karena shalawat kalian akan
ditampakkan kepadaku.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1528 dari Aus
bin Aus radhiyallahu ‘anhu. An-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus
Shalihin menyatakannya sahih)
2. Membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at dan siang harinya
Landasannya adalah atsar Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
Landasannya adalah atsar Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَلَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada
hari Jum’at, akan bersinar baginya cahaya antara dirinya dan Baitul
Haram.” (Riwayatal-Baihaqi dalam asy-Syu’ab dan dinyatakan sahih oleh
al-‘Allamah al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Atsar tersebut juga datang dengan lafadz
yang lain, “Barang siapa membaca suratal-Kahfi pada hari Jum’at maka
akan bersinar baginya cahaya antara dua Jum’at.” (Riwayat an-Nasai dalam
Alyaum Wallailah, dan asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam
Shahih at-Targhib no. 735)
Adapun hadits yang menyebutkan, “Barang
siapa membaca (surat) Yasin pada suatu malam, ia berada di pagi hari
dalam keadaan telah diampuni. Barang siapa membaca (surat) ad-Dukhan
pada malam Jum’at, ia berada di pagi hari dalam keadaan telah diampuni,”
adalah hadits palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi
rahimahullah dalam al-Maudhu’at. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
“Ad-Daruquthni berkata, ‘Muhammad bin Zakaria (perawi hadits ini)
memalsukan hadits’.” (Lihat kitab Ahaditsul Jumu’ah hlm. 131)
3. Disunnahkan membaca surat as-Sajdah dan ad-Dahr (al-Insan) pada shalat subuh di hari Jum’at.
Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca pada shalat subuh di hari Jum’at آلم تنزيل (surat as-Sajdah) dan هل أتى على الإنسان (surat ad-Dahr). (Shahih al-Bukhari no. 891)
Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca pada shalat subuh di hari Jum’at آلم تنزيل (surat as-Sajdah) dan هل أتى على الإنسان (surat ad-Dahr). (Shahih al-Bukhari no. 891)
Disebutkan bahwa hikmah disyariatkannya
membaca dua surat ini karena keduanya mengandung isyarat tentang
penciptaan Adam yang terjadi pada hari Jum’at dan adanya isyarat tentang
kondisi hari kiamat yang akan terjadi pada hari Jum’at. (lihat Fathul
Bari 2/379)
Larangan-Larangan Pada Hari Jum’at
1. Dilarang mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat malam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَخُصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي
“Janganlah kalian mengkhususkan malamJum’at untuk shalat malam di antara malam-malam yang ada.”
2. Larangan mengkhususkan puasa pada siang harinya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِ أنْ يَكُوْنَ فِي صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أحَدُكُمْ
“Janganlah kalian mengkhususkan hari Jum’at
dengan puasa di antara hari-hari yang ada kecuali (bertepatan) dengan
puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang dari kalian.” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah salah seorang kalian puasa di hari
Jum’at kecuali (bersama) sehari sebelumnya atau setelahnya.”
(Muttafaqun‘alaih)
Adapun hikmah dilarangnya puasa pada hari
Jum’at karena pada hari itu disyariatkan memperbanyak ibadah, yaitu
zikir, doa, tilawah al-Qur’an, dan shalawat atas Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, seseorang dianjurkan tidak berpuasa
agar bisa menopang terlaksananya amalan-amalan tersebut dengan semangat
dan tanpa kebosanan.
Hal ini sama dengan jamaah haji yang wukuf
di Padang Arafah yang disunnahkan tidak berpuasa karena hikmah tersebut.
Ada pula ulama yang menyebutkan hikmah yang lain, yaitu karena hari
Jum’at adalah hari raya, dan pada hari raya tidak boleh berpuasa.
Demikian pula di antara
Demikian pula di antara
hikmahnya adalah untuk menyelisihi
orang-orang Yahudi karena mereka mengkhususkan hari raya mereka untuk
puasa. Wallahu a’lam. (Diringkas dari kitab Ahaditsul Jumu’ah hlm.
47-48)
Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Hukum Shalat Jum’at dan Persyaratannya
Shalat Jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
“Hai orang-orang beriman, apabila
diseruuntuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (al-Jumu’ah: 9)
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala
memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah
adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan
bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala
juga melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar
seseorang tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak
wajib, tentu Allah Subhanahu wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah
hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya Jum’atan, yaitu hadits
Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib atas
setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak
sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam
as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu’ 4/349, demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3111)
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah
menukil adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau,
yaitu al-Ijma’ dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t
dalam al-Majmu’ SyarhulMuhadzab (4/349).
Keutamaan Shalat Jum’at
Anugerah Allah Subhanahu wata’ala
kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara
anugerah tersebut adalah shalat Jum’at yang dikerjakan oleh hamba.
Di samping mendatangkan pahala, shalat
Jum’at juga menjadi pembersih dosa antara Jum’at tersebut dan Jum’at
berikutnya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنِ
اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ
أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِي مَعَهُ غُفِرَ
لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلَاثَةٍ
أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu shalat (sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya,
sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya,
diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah
tiga hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jum’atan
Melaksanakan shalat Jum’at adalah syiar
orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan
dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتَمِنَّ اللهُ عَلَى
قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Hendaknya orang-orang berhenti
meninggalkan Jum’atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu wata’ala akan
menutup hati-hati mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang
yang lalai.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma)
Apabila seseorang ditutup hatinya, dia
akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal
yang memudaratkan (membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman yang keras
terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan Jum’atan. Juga
menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan
diabaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (lihat Subulus Salam 2/45)
Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkandalam al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya), “Barangsiapa meninggalkan 3 Jum’atan tanpa
uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin.” (Shahih at-Targhib no.
728)
Atas Siapa Shalat Jum’at Diwajibkan?
Shalat Jum’at wajib atas golongan berikut :
1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum’atan, bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْابِااللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
Apabila Allah Subhanahu wata’ala
tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu
ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima.
(lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/10)
Adapun anak kecil yang belum baligh
tidak wajib Jum’atan karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian,
anak laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih),
dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat Jum’at.
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّ ةَالِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ
“Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila sudah berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Sabrah radhiyallahu ‘anhu. Al-‘Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami’)
Sementara itu, orang yang tidak berakal
(gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan
kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ
الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena terangkat dari tiga golongan :
dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia
dewasa, dan dari orang gila sampai dia (kembali) berakal (waras).”
(Shahih Sunan at-
Tirmidzi no. 1423)
Yang dimaksud dengan “pena terangkat” adalah tidak adanya beban syariat.
2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum’at atas perempuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ اِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ
مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib
ditunaikan oleh setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat orang:
budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan sahih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ dan al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ No. 592)
Seseorang yang berkelamin ganda (ambiguousgenitalia,
keraguan alat kelamin, -red.) tidak wajib Jum’atan karena tidak
terwujudnya persyaratan pada dirinya. Orang yang seperti itu tidak
diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, padahal hukum asalnya
seorang itu terbebas dari
tanggungan/kewajiban sampai yakin
(adanya) persyaratan yang menjadikan ia diwajibkan. Sementara itu, di
sini belum terbukti adanya persyaratan tersebut. (asy-Syarhul Mumti’
5/7)
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Teman-teman kami (ulama mazhab Syafi’i) telah berkata, ‘Tidak wajib
Jum’atan bagi orang (yang berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan
tentang (syarat) wajibnya’.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/350)
3. Orang yang merdeka, yaitu yang bukan budak sahaya
Dalam masalah ini, ulama berbeda
pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa budak sahaya tidak wajib
Jum’atan berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada poin kedua. Hal
ini juga dikarenakan manfaat diri budak sahaya dimiliki oleh tuannya
sehingga ia tidak leluasa. (lihat al-Majmu’ 4/351, an-Nawawi rahimahullah, dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat,
apabila tuannya mengizinkannya untuk Jum’atan, dia wajib menghadiri
Jum’atan karena sudah tidak ada uzur lagi baginya. Pendapat ini yang
dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
(asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir (orang yang sedang bepergian)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
musafir tidak wajib Jum’atan. Di antara ulama tersebut adalah al-Imam
Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara hujah (argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu melakukan safar/bepergian dan beliau tidak shalat Jum’at dalam safarnya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
menunaikan haji wada’ di Padang Arafah (wukuf) pada hari Jum’at, beliau
shalat zhuhur dan ashar dengan menjamak keduanya dan tidak shalat
Jum’at. Demikian pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Mereka safar untuk
haji dan selainnya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang shalat
Jum’at saat bepergian. Demikian pula para sahabat Nabi selain
al-Khulafa’ ar-Rasyidin radhiyallahu ‘anhum dan yang setelah mereka.” (al-Mughni 3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil yang paling jelas tentang tidak wajibnya Jum’atan atas musafir adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Padang Arafah di hari Jum’at. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kemudian (muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah, lalu shalat ashar.” (Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)
Adapun tentang musafir yang singgah atau
menetap bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama
berpendapat disyariatkannya Jum’atan atas mereka karena mereka mengikuti
orang-orang yang mukim.
Di antara hujahnya, dahulu para sahabat yang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggal di Madinah beberapa hari, yang tampak, mereka ikut shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/15)
Ulama juga mensyaratkan diwajibkannya
Jum’atan atas seseorang yakni dia tinggal dan menetap di mana pun mereka
menetap dan dari apa pun rumah mereka terbuat. Berbeda halnya dengan
orang-orang badui yang senantiasa berpindah-pindah tempat untuk mencari
lahan yang banyak rumput dan airnya. Orang yang seperti ini tidak wajib
Jum’atan. (Lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/166-167)
Karena tinggal menetap di suatu tempat
adalah syarat wajibnya Jum’atan, orang-orang yang bekerja di tengah laut
seperti nakhoda, anak buah kapal (ABK), dan para musafirin yang ada di
atas kapal tidak wajib Jum’atan. Bahkan, sebagian ulama mengatakan tidak
sah jika mereka melakukan Jum’atan, sebagaimana pendapat asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Sebab, menurut petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Jum’atan itu tidak dilakukan selain di perkotaan atau perdesaan yang
memang tempat menetap. Adapun orang yang tengah berlayar, mereka tidak
menetap dan berpindah-pindah. Jadi, yang wajib atas mereka adalah shalat
zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hlm. 391)
5. Orang yang tidak ada uzur/halangan yang mencegahnya untuk menghadiri Jum’atan
Orang yang memiliki uzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menerangkan,
“(Kata) uzur sangat luas penjabarannya. Intinya adalah segala halangan
yang mencegah seseorang menghadiri pelaksanaan Jum’atan. Bisa jadi, hal
itu berupa sesuatu yang mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang
dikhawatirkannya, atau bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada
seorang pun yang bisa menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah
(takut dari) penguasa zalim yang akan berbuat kezaliman, hujan deras
yang terus-menerus, sakit yang mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk
uzur juga adalah seseorang yang mengurusi jenazah yang tidak ada yang
mengurusinya selain dia, yang apabila dia tinggalkan, jenazah itu akan
tersia-siakan dan rusak. (at-Tamhid 16/243-244)
6. Orang yang sakit
Dalilnya telah berlalu pada pembahasan orang yang tidak wajib Jum’atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi
keringanan di sini adalah apabila si sakit menghadiri Jum’atan, ia akan
menemui kesulitan yang nyata, bukan sekadar perkiraan. Maka dari itu,
masuk pula dalam hal ini adalah seseorang yang terkena diare berat. (al-Majmu’, an- Nawawi, 4/352)
Di antara uzur yang membolehkan
meninggalkan Jum’atan dan menggantinya dengan shalat zhuhur adalah
seorang yang diberi tanggung jawab atas sebuah tugas yang berkaitan
dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia dituntut untuk
melaksanakan tugas tersebut di waktu
shalat Jum’at, seperti aparat keamanan, petugas pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula dokter piket (dokter jaga)
di rumah sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia meninggalkan
tugasnya untuk shalat Jum’at diperkirakan akan berdampak pada lambannya
penanganan terhadap pasien yang membutuhkan pertolongan segera sehingga
bisa mengancam keselamatan pasien. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 8/189-192)
Khutbah, Syarat Sahnya Jum’atan?
Untuk sahnya shalat Jum’at haruslah didahului oleh khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum’atan. Tidak
sah Jum’atan tanpa adanya khutbah. Ini adalah pendapat ‘Atha,
an-Nakha’i, Qatadah, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan
Ashabur Ra’yi. Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain
al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata, ‘Sah shalat Jum’at semuanya, apakah
imam berkhutbah atau tidak, karena shalat Jum’at adalah shalat hari raya
sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah seperti shalat Idul Adha’.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dalil kami adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah’.” (al-Jumu’ah: 9)
Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain), Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at dalam keadaan apa pun, padahal beliau bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.” (al-Mughni, 3/170-171)
Waktu Shalat Jum’at
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu
shalat Jum’at sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dari tergelincirnya
matahari hingga masuknya waktu ashar.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika matahari telah tergelincir.” (Shahih Muslim, “Kitab al-Jumu’ah”)
Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka shalat Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari 2/387)
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Landasan pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صل الله عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ
إلَى جِمَالِنَا فَنُرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ
“Adalah Rasulullah shalat Jum’at
kemudian kami pergi menuju unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami
mengistirahatkannya ketika tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul Jumu’ah”)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, karena para sahabat
mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka setelah Jum’atan di saat
matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at
terjadi sebelumnya.
Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar (bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat
Jum’at mengimami manusia. Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi
dua kelompok. Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari
tergelincir dan sekelompok yang lain mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia
berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin Abi Thalib).
Terkadang kami telah mendapati adanya bayangan dan terkadang kami belum
mendapatinya.” (Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)
Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini
menjawab bahwa hal itu tidak menafikan bolehnya shalat Jum’at
sebelumnya. (Nailul Authar 3/310)
Kesimpulannya, shalat Jum’at
sebelum/menjelang tergelincirnya matahari itu boleh sebagaimana jika
dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang
dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah
hlm. 25).
Wallahu a’lam.
Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Posting Komentar