
Hukum Arisan
Apa hukum arisan?
Arisan dikenal oleh sebagian orang Arab dengan istilah jam’iyyah (kumpulan
peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak
ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan
darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli fatwa masa kini.
1. Ada yang berpendapat haram. Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah berfatwa,
“Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan) dan
perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan
syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang
yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan haram.
Di antara ulama ada yang berfatwa boleh
dengan alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus
pada salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak.
Menurut saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang
mengharamkan). Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
“Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.”1 (Lihat kitab Asna al-Mathalib hlm. 240, al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)
Seluruh ulama telah sepakat atas makna
yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam
makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung
syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi n melarang
adanya dua akad dalam satu akad. Wallahu a’lam.”2
2. Ada yang berpendapat boleh. Ini adalah fatwa Ibnu Baz—bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya—dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut kutipan fatwa mereka.
• Al-Imam Ibnu Baz rahimahumullah
ditanya mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar
mengumpulkan sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka
memberikannya kepada salah seorang dari mereka, lalu diberikan kepada
orang berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai
seluruh peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini.
Beliau t menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang
tidak mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun.
Majelis Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan
mayoritas mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh
peserta arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah l yang memberi
taufik.”
• Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah Bulughul Maram,
“Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap
bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka.
Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan
pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga
uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini
tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?
Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang
yang menarik manfaat/ riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan
uang lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata,
‘Bukankah disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang
berarti syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)?’
Kami jawab bahwa hal itu bukan syarat
adanya akad lain, tetapi sematamata syarat agar utang itu dilunasi.
Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia
mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu.
Berdasarkan keterangan ini, pendapat
bahwa arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/riba adalah anggapan
yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung
penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang
senilai seribu dengan syarat dikembalikan dua ribu, tentu saja hal itu
tidak boleh, karena tergolong piutang yang menarik manfaat/riba.”
Alhasil, yang benar menurut kami adalah
pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan oleh
al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya arisan
telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang menarik
manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang lebih
dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya arisan.
Arisan bukan pengutangan yang mengandung
syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta
yang mendapat undian (giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan
yang terkumpul berarti dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang
belum dapat giliran).
Adapun peserta yang telah dapat giliran,
setorannya untuk membayar utangnya kepada pesertapeserta yang belum
dapat giliran. Demikianlah seterusnya hingga berakhir.
Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba.
Wallahu a’lam.
Namun, pada perkembangannya ada
model-model arisan yang diboncengi dengan lelang motor atau semacamnya
yang perlu diwaspadai. Sebab, boleh jadi itu tergolong pengutangan yang
menarik manfaat/riba sehingga haram. Hal itu apabila peserta arisan yang
mendapat giliran di putaran-putaran berikutnya atau putaran terakhir
diuntungkan oleh peserta-peserta sebelumnya dengan mendapat kelebihan
dari nilai uang yang dikumpulkannya selama arisanberlangsung. Wallahul musta’an.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Surat Pembaca Edisi 84
Pembahasan Khusus LDII
Saya sangat senang dengan kehadiran
Asy-Syariah, mudah-mudahan mampu memperbaiki muslimin dengan pemahaman
yang benar. Saya minta tolong Asy-Syariah segera memuat pembahasan
khusus tentang Islam Jama’ah/LDII, karena melihat kondisi jamaahnya
semakin lama semakin menyimpang dengan kehadiran Kholil dan Aziz yang
mengaku belajar dan mendapat sanad dari syaikh Yahya bin Utsman (di
Masjidil Haram). Yang tadinya orang tua saya agak ragu dengan LDII,
sekarang menjadi yakin, bahkan anaknya sendiri dikafirkan hanya karena
keluar dari LDII. Tolong segera dibahas, sebelum syubhat-syubhatnya
menyebar. Abu Fauzan –Jakarta Selatan. 085786xxxxx
Redaksi :
Dalam waktu dekat ini, kami belum bisa membahas apa yang Anda usulkan. Namun, usulan Anda tetap kami pertimbangkan, insya Allah. Jazakumullahu khairan.
———————————————————————————————————————————–Bahas Tentang Habib
Bismillah. Tolong Asy-Syariah membahas
tuntas masalah habib (keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam) karena banyak di masa sekarang ini mereka para habib
bermunculan mendakwahkan kebid’ahan dan kesyirikan. Ada perkataan dari
mereka entah “hadits” atau bukan yang menyatakan bahwa seluruh keturunan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk surga walaupun berbuat dosa,
dan adakah habib palsu? Bahas semua syubhatnya. (085328xxxxxx)
Redaksi :Jazakumullahu khairan atas masukannya, akan kami pertimbangkan.
———————————————————————————————————————————–
Kapan Islam Masuk Ternate?
Afwan, saya mulai tertarik membaca
Asy-Syariah bulan April 2012. Saya merasa baru masuk Islam setelah
mengenal majalah ini. Saya mau tanya, Islam masuk Ternate kapan, siapa
yang membawa ajaran Islam ke Ternate, terima kasih atas jawabanya. Sarif
Saleh Djabar. 085394xxxxxx
Redaksi :
Mohon maaf, sejujurnya kami tidak mampu
menjawab pertanyaan Anda. Sejarah Dunia atau Sejarah Nusantara yang
tidak didukung oleh riwayat atau tradisi sanad, masih sulit
dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga jawaban dari pertanyaan
Anda sama sulitnya ketika menjawab pertanyaan, kapan tepatnya Islam
masuk Indonesia. Jazakumulahu kha
———————————————————————————————————————————–Rubrik Belajar Bahasa Arab
Bismillah, saya pelanggan tetap majalah
Asy-Syariah, saya ingin sekali belajar Bahasa Arab. Bisakah majalah
Asy-Syariah menyelipkan lembaran khusus belajar Bahasa Arab. 089631xxxxx
Redaksi :Jazakumullahu khairan atas masukannya, akan kami pertimbangkan.

Kita Beribadah Bersama Pemerintah
menganut mazhab menyimpang. Mazhab
yang dianut oleh pemerintah masa itu didasarkan pada pemikiran yang
buruk, bahkan kekafiran. Mereka, para penguasa masa itu, memaksakan
pemahaman bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Untuk
menyebarkan pemahaman ini, pihak penguasa tak segan menggunakan kekuatan
fisik dan senjata. Tak heran pada saat itu banyak darah kaum muslimin
mengalir, membasahi bumi yang dibakar fitnah. Tidak sedikit pula darah
para ulama yang tertumpah.
Penangkapan dan pemaksaan terus
dilakukan. Propaganda untuk menanamkan keyakinan batil bahwa al-Qur’an
adalah makhluk senantiasa berlangsung. Penguasa mewajibkan rakyatnya
untuk menganut keyakinan sesat tersebut. Padahal para ulama menegaskan
bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Fitnah ini mulai bergulir pada masa
kekhalifahan al-Makmun (198-218 H), kemudian berlanjut hingga
kekhalifahan dijabat oleh al-Mu’tashim (218-227H). Keadaan fitnah mulai
mereda saat kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq bin Mu’tashim (227-232
H). Fitnah itu padam ketika kekhalifahan dipegang oleh al-Mutawakkil ‘alallah, Ja’far bin al-Mu’tashim. Rakyat menyambut gembira atas pengangkatan al-Mutawakkil ‘alallah,
karena ia termasuk orang yang mencintai as-Sunnah dan Ahlus Sunnah.
Fitnah pada masa kekhalifahannya diredam. Khalifah menyebarkan seruan
dalam bentuk tulisan ke seluruh pelosok negeri. Isinya, tidak boleh
seorang pun mengatakan (berpendapat) bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Tidak hanya itu, Khalifah al-Mutawakkil ‘alallah menulis instruksi agar Gubernur Baghdad, Ishaq bin Ibrahim, membawa al-Imam Ahmad rahimahullah menghadap kepadanya. Kedatangan al-Imam Ahmad rahimahullah dimuliakan oleh Ishaq bin Ibrahim. Sebab, dia mengetahui bahwa khalifah al-Mutawakkil‘alallah memuliakan al-Imam Ahmad rahimahullah.
Pada kesempatan itu, Ishaq bin Ibrahim bertanya kepada al-Imam Ahmad seputar al-Qur’an. Al-Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Pertanyaan dalam rangka interogasi atau meminta bimbingan?”
Ishaq menjawab, “Pertanyaan dalam rangka meminta bimbingan.”
Al-Imam Ahmad pun memberi jawaban, “Al-Qur’an adalah kalamullah, diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, bukan makhluk.” Ishaq bin Ibrahim merasa tenang dengan jawaban al-Imam Ahmad rahimahullah tersebut. (al-Bidayahwaan-Nihayah, Ibnu Katsir, 14/412)
Masih terkait dengan fitnah yang
berkecamuk semasa al-Imam Ahmad, dikisahkan para fuqaha (ulama) Baghdad
berkumpul bersama al-Imam Ahmad rahimahullah. Saat itu kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq. Para fuqaha itu menyampaikan pernyataan di hadapan al-Imam Ahmad rahimahullah,
“Sungguh urusan ini telah berkembang pesat (yakni pemahaman al-Qur’an
adalah makhluk). Kami tidak menyukai kepemimpinannya, kepemimpinan pun
tidak pantas baginya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah
memandang mereka dan berkata, “Hendaklah kalian mengingkari dengan hati
kalian. Janganlah kalian melepaskan ketaatan kepadanya. Jangan kalian
hancurkan persatuan kaum muslimin. Jangan kalian tumpahkan darah kaum
muslimin dengan sebab kalian. Perhatikan benar akibat tindakan kalian.
Bersabarlah kalian hingga Allah Subhanahu wata’ala mengistirahatkan orang baik dan diistirahatkan dia dari perbuatan dosa.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak benar (mencabut ketaatan dari penguasa). Perbuatan seperti itu menyelisihi hadits.” (Mu’amalatul Hukkam fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, asy-Syaikh Dr. Abdussalam bin Barjas Abdilkarim, hlm. 8-9)
Begitulah gambaran sikap salaf terhadap
penguasa. Gambaran nan mengagumkan yang menjelaskan bagaimana Ahlus
Sunnah wal Jamaah mempraktikkan cara menjalin hubungan dengan penguasa.
Sekalipun penguasa yang ada melakukan tindakan yang zalim kepada
rakyatnya, tetapi apa yang tergambar dari perbuatan al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah, imam Ahlus Sunnah cukup menjadi penerang dan
petunjuk bagaimana seorang Ahlus Sunnah menyikapi penguasanya. Karena
itu, pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah memperingatkan kepada segenap
penganutnya agar tidak melakukan tindakan yang keluar dari ketaatan
terhadap penguasa. Taatilah penguasa dalam hal yang ma’ruf.
Bukti lain bahwa Ahlus Sunnah sangat
mementingkan penguasa adalah penekanan untuk selalu mendoakan penguasa.
Dalam kitab as-Sunnah karya al-Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah
disebutkan, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada
penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu. Jika engkau
mendengar seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa
dia pengikut as-Sunnah, insya Allah.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seandainya aku memiliki doa (yang dikabulkan oleh Allah), tidaklah aku tujukan doa itu kecuali untuk penguasa.”
Jika doa kebaikan bagi penguasa itu
dikabulkan, kebaikan seorang penguasa tentu akan dirasakan oleh
masyarakatnya. Namun, jika doa kejelekan itu dikabulkan, kejelekan itu
akan berimbas pada rakyatnya. Karena itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu
membimbing pengikutnya untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi
penguasanya.
Bukti lain bahwa Ahlus Sunnah memiliki
perhatian terhadap penguasa adalah senantiasa mencari uzur bagi
penguasa. Dengan senantiasa memberi uzur pada penguasa, diharapkan
tumbuh sikap yang positif terhadap penguasa itu sendiri. Tidak lantas
melakukan tindakan menentang dan mencela penguasa. Ulama berkata, “Jika
urusan penguasa telah lurus, perbanyaklah memuji Allah Subhanahu wata’ala dan bersyukur kepada-Nya.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 9-10)
Sikap ini tidak berarti kita ridha terhadap kesalahan dan kezaliman penguasa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
سَتَكُونُ
أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ
أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوا: أَفَ
نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada nanti para penguasa yang
kalian mengetahui kebaikan dan kemungkaran mereka. Barang siapa
mengetahui kebaikan mereka, dia telah menunaikan tanggung jawabnya.
Barang siapa mengingkari kemungkaran mereka, dia selamat. Akan tetapi,
(yang berdosa) adalah yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya,
“Tidakkah kami perangi saja mereka itu?” Beliau menjawab, “Jangan,
selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim)
Pencela Penguasa Pertama Kali
Para ulama memaparkan bahwa yang pertama
kali melakukan pencelaan terhadap penguasa adalah Abdullah bin Saba’.
Melalui kemasan amar ma’ruf nahi munkar, Abdullah bin Saba’ memprovokasi
massa untuk melawan penguasa. Melalui bid’ah Saba’iyah, umat menjadi
berpecah belah dan sibuk dengan fitnah. Hasil puncak fitnah Saba’iyah
ini adalah terbunuhnya sahabat mulia, Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Disebutkan oleh Ibnu Asakir t dalam
TarikhDimasyqi (3/29), Abdullah bin Saba’ (Saba’iyah dinisbatkan
kepadanya) adalah kelompok ekstrem Syiah Rafidhah. Asalnya, dia Yahudi
penduduk Yaman yang menampakkan keislaman. Dia berkeliling ke
wilayah-wilayah kaum muslimin demi memalingkan kaum muslimin dari
ketaatan terhadap penguasanya. Dia menyusupkan berbagai kejelekan di
tengah kaum muslimin.
Abdullah bin Saba’ berhasil masuk ke Damaskus saat kekhalifahan dijabat sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Menurut asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah,
Abdullah bin Saba’ berkeliling mulai dari Hijaz, Bashrah, Kuffah, dan
Syam untuk mengeluarkan penduduknya dari sana (dalam rangka menentang
penguasa). Selanjutnya, Ibnu Saba’ datang ke Mesir dengan tujuan yang
sama.
Salah satu isu yang diusung untuk membakar massa adalah melakukan celaan kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dituduh
melakukan tindakan korupsi dan mengumpulkan harta kekayaan tanpa hak.
Lantas, massa bangkit dan bergerak. Mereka mulai mencela para pemimpin
mereka seakan-akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah tindakan
mencela penguasa untuk pertama kalinya. (Mu’amalatul Hukkam, hlm.
163-164)
Beribadah Bersama Pemerintah
Di Indonesia beda hari menyelenggarakan
Idul Fitri seakan sudah tradisi. Masyarakat dipaksa untuk menerima
perbedaan tersebut seakan-akan sebagai sebuah hal yang wajar. Bahkan,
apabila masyarakat dianggap bisa menerima perbedaan tersebut, kebanggaan
pun menyeruak. Bangga jika masyarakat telah semakin dewasa menerima
perbedaan. Sementara itu, tidak terbetik untuk mendidik masyarakat
berpedoman pada tuntunan as-Sunnah, terkhusus dalam menentukan hari raya
dan shalat Id.
Syariat Islam membimbing umatnya untuk berubah sesuai dengan tuntunan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kaum muslimin agar berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Yang dimaksud dengan “tali (agama)
Allah” adalah kitab-Nya (al-Qur’an). Hal ini sebagaimana dituliskan
dalam Shahih Muslim dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
>أَلَا
وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ، أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللهِ مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ
تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ.
“Ingatlah, sungguh telah aku tinggalkan
bagi kalian dua hal. Salah satunya kitabullah, yaitu tali Allah. Barang
siapa mengikutinya, ia berada di atas petunjuk. Barangsiapa
meninggalkannya, dia berada di atas kesesatan.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُو
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyebutkan bahwa ada kaidah yang bermanfaat dalam hal kewajiban
berpegang teguh pada ar-Risalah. Jelas, bahwa kebahagiaan dan petunjuk
adalah dalam hal mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sungguh, kesesatan dan malapetaka disebabkan menyelisihinya. Setiap
keburukan di alam khususnya pada seorang hamba, disebabkan menyelisihi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan jahil (tidak paham) dengan apa yang telah dibawanya.
Sungguh, kebahagiaan para hamba dalam
kehidupan dunia dan tempat kembalinya (akhirat) harus dengan mengikuti
ar-Risalah. Karena itu, ar- Risalah adalah sebuah keharusan bagi mereka.
Kebutuhan para hamba terhadap ar-Risalah melebihi kebutuhan mereka
terhadap segala sesuatu. Ar-Risalah adalah ruh bagi segenap alam,
cahaya, dan denyut kehidupan. Akankah alam
menjadi lebih baik kala tidak ada ruh,
kehidupan, dan cahaya? Dunia adalah sebuah kegelapan dan terlaknat
kecuali sesudah munculnya “cahaya” ar-Risalah.
Begitu pula dengan seorang hamba. Dia dalam kegelapan dan kematian. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَوَمَن
كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي
النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ
“Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang
yang dengan cahaya tersebut dia dapat berjalandi tengah umat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (al- An’am: 122)
Inilah sifat seorang mukmin. Dahulu dia mati dalam kegelapan dan kejahilan. Lantas Allah Subhanahu wata’ala
menghidupkannya dengan ruh ar-Risalah dan cahaya keimanan. Dia
menjadikan baginya cahaya yang digunakan untuk berjalan di tengah umat
manusia. (Majmu’ Fatawa, 19/93-97. Lihat al-Hujajual-Qawiyah‘ala ‘ana
Wasail ad-Da’wahTaufiqiyyah, asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas, hlm.
27-28)
Di antara tuntunan risalah Islam adalah
menentukan beberapa jenis ibadah yang pelaksanaannya bersama pemerintah.
Di antara jenis ibadah tersebut adalah shalat, zakat, haji, dan umrah.
Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah menukilkan bahwa Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat dalam al-Mushannaf, dari al-A’masy, dari Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, dia berkata,
“Mereka tunaikan shalat dibelakang para penguasa, siapapun mereka.”
Ini adalah kabar perihal perbuatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh, mereka shalat di belakang para penguasa walau penguasa itu
bermaksiat dan fasik. Bahkan para sahabat mengingkari orang yang shalat
tetapi tidak di belakang penguasa.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah telah mengingkari perbuatan al-Hasan bin Shalih bin Hay yang tidak mau shalat Jum’at di belakang para imam. (Siyar A’lami an-Nubala’, 4/193)
Disebutkan pula dalam ath-Thabaqat
(4/193) dengan sanad yang bagus, dari Zaid bin Aslam, pada masa fitnah
al-Hajjaj bin Yusuf, tidaklah Abdullah bin Umar c mendatangi amir
(penguasa) selain saat shalat di belakangnya. Demikian pula dalam hal
menunaikan zakat, beliau sampaikan kepada penguasa.
Begitu pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang
shalat di belakang al-Hajjaj bin Yusuf. Diungkapkan oleh para ulama,
al-Hajjaj bin Yusuf adalah seorang penguasa yang sering menumpahkan
darah kaum muslimin. Bahkan, para ulama tak segan dibunuhnya. Namun, apa
yang telah diperbuat oleh al-Hajjaj bin Yusuf tidak menjadi alasan
untuk tidak shalat bersama penguasa. (Lihat Mu’amalatul Hukkam,
asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah)
Mazhab al-Imam Ahmad, Ishaq bin Ibrahim,
Abdullah bin Makhlad, Abdullah bin Zubair al-Humaidi, Sa’id bin Mansur,
dan selain mereka, “…. (Ibadah) Jum’at, dua hari raya, dan haji harus
bersama penguasa, meski penguasa itu tidak baik, tidak adil, dan tidak
bertakwa. Adapun membayar sedekah, upeti, zakat, fai’, dan harta
rampasan perang, diserahkan kepada penguasa, baik penguasa itu bersikap
adil dalam urusan tersebut maupun berbuat tidak adil dan zalim.” (Hadi
al-Arwah, Ibnu Qayyim rahimahullah, hlm. 399)
Dahulu, zakat dahulu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kepada orang (sahabat) yang diperintah atau ditunjuk oleh beliau
untuk mengurusinya, kemudian kepada Abu Bakr, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum. Saat Utsman radhiyallahu ‘anhu
telah terbunuh, terjadi perselisihan, siapa yang berhak mengelola
zakat. Sebagian orang menentukan pilihan pada orang yang membagikan.
Sebagian lagi memilih bahwa pembayaran zakat kepada penguasa. Apabila
penguasa menuntut zakat, wajib membayarkan zakat tersebut kepada
penguasa.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan,
“Bayarkanlah zakat kepada penguasa kalian. Jika baik penguasa tersebut,
kebaikan itu bagi dirinya. Jika ia pendosa, dosanya akan kembali
kepadanya.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 182)1
Dalam masalah haji dan jihad bersama
pemerintah, telah menjadi kesepakatan salaf bahwa jihad ditegakkan harus
bersama penguasa, yang baik ataupun yang buruk. Kekuasaannya tidaklah
gugur hanya lantaran sering bermaksiat atau tidak bersikap adil.
Demikian pula ibadah Jum’at, haji, dan dua hari raya hendaknya dilakukan
bersama pemerintah, meski pemerintah tidak memiliki sikap baik, adil,
dan bertakwa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 183)
Sungguh, sangat memprihatinkan ketika kaum
muslimin tidak memahami ketentuan syariat tentang jenis ibadah yang
ditunaikan bersama pemerintah. Andai mereka mengerti dan mau menunaikan
ketentuan syariat, tidak ada lagi hari raya yang berlainan hari,
biidznillah (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala). Tak ada lagi
silang sengketa karena semuanya satu kalimat, berhari raya bersama
pemerintah. Begitu pula jihad, zakat, dan haji. Apa jadinya jika
pemerintah tidak turut mengatur?!
Marilah kembali kepada tuntunan Islam.
Jangan mengedepankan kepentingan kelompok. Sungguh, tidak akan beruntung
hamba yang terbius hawa nafsu dan enggan merujuk pada nilai-nilai Islam
yang telah dicontohkan salaf ash-shalih. Wallahu a’lam.
Oleh : Al Ustadz Abul Faruq Ayip Safrudin
———————————————————————————–
[1] Dalam hal penyerahan zakat kepada
pemerintah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mazhab Ahmad dan
Syafi’i membedakan antara zakat harta yang tampak (seperti zakat ternak)
dan yang tidak tampak (seperti: emas, perak, dan barang dagangan).
Mereka berpendapat, zakat harta yang tampak diserahkan kepada penguasa,
sedangkan zakat harta yang tidak tampak boleh ditunaikan sendiri secara
langsung kepada penerimanya. Bahkan, sebagian mereka menganggap lebih
utama langsung ditunaikan sendiri agar lebih tenang/tenteram bahwa zakat
itu benar-benar sampai kepada penerimanya.
Pendapat yang lain menganggap
disunnahkan seseorang untuk menyalurkan sendiri zakatnya agar yakin
zakat itu sampai kepada orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini
tidak membedakan antara harta yang tampak dan tidak tampak. Ini adalah
salah satu pendapat Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan ulama masa kini. Lihat Dhawabith Mu’amalatil Hukkam
(2/585) karya asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri. Asy-Syaikh Rabi’
mengatakan,”Jika penguasa meminta zakat diserahkan kepada mereka, wajib
bagi manusia untuk menyerahkannya kepada penguasa. Jika mereka tidak mau
menyerahkannya, penguasa memerangi mereka sampai mereka mau
menyerahkannya. (Syarh Ushul as-Sunnah hlm. 82)

Mengenal Kedudukan Pemerintah
Di antara kenikmatan paling berharga yang Allah Subhanahu wata’ala
anugerahkan kepada kita sebagai hamba-Nya adalah agama yang lurus
(Islam). Tidak ada kehidupan di dunia dan kebahagiaan di akhirat tanpa
kehadirannya. Siapa yang mengikutinya dan berpegang teguh dengannya akan
selamat, dan siapa yang berpaling darinya akan celaka.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ () وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Kemudian jika benar-benar datang
petunjuk-Ku kepadamu, siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa
takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Adapun orang-orang
yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka.
Mereka kekal didalamnya.” (al-Baqarah: 38—39)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ
اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا
يَشْقَىٰ () وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku,
maka (ketahuilah) barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan
sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari
peringatan- Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit,
dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
(Thaha: 123-124)
Islam adalah agama yang sempurna. Kehadirannya benar-benar memuliakan manusia dan menebar kasih sayang di antara mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) selain untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiya’: 107)
Karena itu, Islam tidak datang untuk sekadar mengatur hubungan manusia dengan yang menjadi pencipta mereka, Allah Subhanahu wata’ala
Rabbul’ alamin. Akan tetapi, Islam juga mengatur hubungan sesama
mereka. Apalagi, hubungan sesama manusia seringkali menimbulkan
pertentangan atau perselisihan yang berujung pada pertengkaran, bahkan
pembunuhan.
Meski di satu sisi saling membutuhkan
satu sama lain, manusia mempunyai kecenderungan untuk saling
menjatuhkan, bahkan saling mencelakakan. Maka dari itu, manusia tidak
akan bisa menjalankan urusan agama dan dunianya secara sempurna, kecuali
jika ada yang menjadi pemimpin di tengah-tengah mereka yang mempunyai
wilayah dan kewenangan untuk memerintah dan menjalankan pemerintahannya
dengan baik.
Oleh karena itu, keberadaan pemimpin
atau dalam hal ini adalah pemerintah, menjadi sesuatu yang sangat
penting. Islam pun secara khusus mengajarkan bahkan mewajibkan untuk
mewujudkan sikap taat kepadanya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalian.” (an- Nisa: 59)
Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan bahwa urusan pemerintahan merupakan kewajiban agama yang
paling besar. Bahkan, tidak ada artinya penegakan agama dan dunia tanpa
adanya pemerintahan. Kemaslahatan bani Adam tidak akan berjalan secara
sempurna kecuali dengan membentuk komunitas yang berada dalam bingkai
pemerintah, karena sebagian di antara mereka pasti membutuhkan sebagian
yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍفَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila ada tiga orang yang keluar
dalam satu safar (menempuh perjalanan), maka hendaknya mereka menunjuk
salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mewajibkan mengangkat seorang pemimpin sekalipun dalam komunitas yang
kecil saat bepergian. Hal ini merupakan cermin peringatan yang berlaku
untuk segala bentuk komunitas.
Allah Subhanahu wata’ala juga
telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar yang itu tidak bisa berjalan
secara sempurna kecuali dengan menggunakan kekuasaan dan kepemimpinan.
Begitu pula yang berlaku untuk hal-hal ibadah yang telah diwajibkan,
seperti pelaksanaan jihad, penegakan keadilan, pelaksanaan haji dan
shalat berjamaah, shalat ‘ied, membela pihak yang terzalimi, menerapkan
hokum dan lainnya, yang semua itu tidak akan berjalan dengan sempurna
kecuali dengan menggunakan kekuasaan dan kepemimpinan.
Oleh karena itu, ada sebuah riwayat yang menyebutkan, “Sultan (pemerintahan) itu adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi.”
Juga disebutkan, “Enam puluh tahun
bersama pemimpin yang jahat itu masih jauh lebih baik daripada satu
malam tanpa ada pemerintah.”
Maka dari itu, para salaf seperti
al-Fudhail bin Iyadh, Ahmad bin Hanbal, dan selain mereka rahimahumullah
pernah berkata, “Andaikata kami mempunyai doa yang dikabulkan, akan
kami jadikan doa itu untuk kebaikan pemerintah.”
Dengan demikian, wajib menetapkan pemerintahan, dan itu adalah perwujudan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala,
karena mendekatkan diri kepada-Nya dengan menaati-Nya dan menaati
Rasul-Nya adalah bentuk pendekatan diri yang paling utama (as-Siyasah
asy-Syar’iyyah).
Kedudukan pemerintah dalam Islam sangat agung. Bahkan, termasuk anugerah yang Allah Subhanahu wata’ala tetapkan untuk manusia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Dan kalau Allah tidak melindungi
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini.
Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh
alam.”
(al-Baqarah: 251)
Andaikata Allah Subhanahu wata’ala
tidak menetapkan adanya pemerintahan di muka bumi, sudah pasti manusia
akan saling mengalahkan. Urusan mereka pun akan menjadi kacau dan
keadaannya menjadi tak menentu. Akhirnya, rusaklah bumi ini dan apa yang
ada padanya. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala memberi karunia kepada hamba-Nya dengan menetapkan kekuasaan (pemerintahan) untuk mereka.
Dalam firman-Nya di atas, Allah Subhanahu wata’ala menyatakan, “Tetapi Allah Subhanahu wata’ala mempunyai karunia (yangdilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.” Dengan demikian, karunia Allah Subhanahu wata’ala
atas manusia dengan ditetapkannya kekuasaan di tengah-tengah mereka
adalah bukti akan keutamaan dan kedudukan pemerintah. Sebab, karunia
Allah Subhanahu wata’ala itu adalah peringatan atas perkara-perkara yang di bawahnya dan sebagai penjelasan akan keagungan karunia-Nya. (Mu’amalatul Hukkam fi Dhauil Kitab was-Sunnah)
Sehubungan dengan ayat di atas, al-Imam al-Alusi rahimahullah
dalam tafsirnya mengemukakan, “Dalam hal ini ada peringatan akan
keutamaan pemerintah, tanpa keberadaannya tidak akan beres urusan dunia.
Oleh karena itu, ada istilah, ‘Agama dan pemerintah (adalah) dua
saudara kembar. Jika salah satunya tinggi, yang lainnya ikut tinggi.’
Agama adalah kepala, sedangkan pemerintah sebagai penjaga. Sesuatu yang
tidak berkepala akan dianggap hancur dan yang tidak memiliki penjaga
akan hilang.” (Ruhul Ma’ani)
Beberapa hal yang menunjukkan keutamaan dan kedudukan pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan agar memberikan ketaatan kepada pemerintah. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala
gandengkan perintah taat kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya dengan
taat kepada mereka. Ini semata-mata menunjukkan ketinggian kadar dan
kedudukannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)
Kewajiban taat kepada pemerintah ini adalah selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu, apabila mereka memerintah kepada kemaksiatan, maka
tidak ada kewajiban untuk menaatinya karena “tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik.”
Kedua, syariat telah menjelaskan bahwa siapa saja yang memuliakan pemerintah, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya. Siapa saja yang menghinakan pemerintah, Allah Subhanahu wata’ala pun akan menghinakannya.
Maknanya, siapa yang melawan pemerintah
lalu menghinakannya, baik lewat ucapan maupun perbuatan, berarti telah
melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu wata’ala dan melakukan tindakan yang jelek. Jadi, hukuman yang diperolehnya sesuai dengan tindakan jeleknya. Allah Subhanahu wata’ala akan membalas penghinaan itu dengan penghinaan-Nya dan balasan Allah Subhanahu wata’ala tentu lebih besar dan keras.
Hukuman yang ditetapkan tersebut karena
akibat yang ditimbulkan dari menghina pemerintah itu sangatlah buruk :
menghilangkan kewibawaannya dan membuat pencitraan yang tidak baik.
Bahkan, menghina seperti itu menghilangkan maksud dan tujuan syariat
yakni menetapkan kekuasaan (pemerintahan).
Sebaliknya, siapa yang memuliakan
pemerintah dengan tetap menjaga apa yang telah ditetapkan oleh syariat
untuknya dari segala hak dan kewajiban, menghormatinya dan membelanya,
serta tidak membelot dari perintahnya dalam perkara yang ma’ruf, maka
balasan yangdiperolehnya akan sesuai dengan tindakan baiknya. Allah Subhanahu wata’ala
akan memuliakannya di dunia dengan mengangkat kedudukannya, menggiring
seluruh hamba-Nya untuk memuliakannya, dan di akhirat kelak akan
dimasukkan ke dalam surga.
Ada riwayat yang menyebutkan,
مَنْ أَجَلَّ سُلْطَانَ اللهِ أَجَلَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang mengagungkan sultan yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka Allah Subhanahu wata’ala akan mengagungkannya pada hari kiamat.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah)
Ketiga, syariat melarang umatnya mencela pemerintah. Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Para pembesar kita dari kalangan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita mencela umara, menipu, dan bermaksiat kepadanya, hendaklah kalian bersabar dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dll.)
Nukilan di atas adalah consensus (ijma’) dari para pembesar sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang larangan mencela pemerintah karena hanya akan mengakibatkan kekacauan dan pemberontakan.
Dalam sebuah riwayat dari Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama dengan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu
di dekat mimbar Ibnu Amir (Gubernur Bashrah pada waktu itu) yang sedang
berceramah dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari kain halus.
Kemudian ada seorang pria, yang disebut Abu Bilal, berkata, ‘Lihatlah!
Pemimpin kita memakai pakaian orang-orang fasik.’ Abu Bakrah berkata,
‘Diamlah! Sungguh aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Siapa yang memuliakan sultan (pemerintah) Allah Subhanahu wata’ala didunia, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya pada hari kiamat. Siapa yang menghinakan sultan (pemerintah) Allah Subhanahu wata’ala didunia, Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya pada harikiamat’.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Mengenai kisah ini, al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah
menerangkan, “Abu Bilal yang dimaksud adalah seseorang yang berafiliasi
kepada pemahaman Khawarij. Yang menunjukkan kebodohannya adalah
anggapannya bahwa pakaian yang terbuat dari kain halus adalah pakaian
orangorangfasik.”(Siyar ‘Alam an-Nubala’)
Keempat, menjadi kesepakatan umat
secara keseluruhan bahwa manusia tidak dapat menjalankan semua
urusannya dengan sempurna, baik dalam hal agama maupun dunia, kecuali
dengan adanya pemimpin. Jika bukan karena Allah Subhanahu wata’ala lalu adanya pemimpin, lenyaplah agama dan rusaklah dunia.
Al-Faqih Abu Abdillah al-Qala’i asy-Syafi’i rahimahullah
dalam kitabnya, Tahdzibur Riyasah, mengatakan, “Keteraturan urusan
agama dan dunia adalah hal yang dituju, namun itu tidak bisa tercapai
melainkan dengan adanya pemimpin. Andai kata kita tidak mengatakan wajib
adanya pemerintah, tentu hal itu akan menyebabkan terus berlangsungnya
perselisihan dan pembunuhan hingga hari kiamat.
Seandainya manusia tidak mempunyai
pemimpin yang ditaati, tentu akan pudar dan hilang kemuliaan Islam.
Seandainya umat tidak mempunyai pemimpin yang berkuasa, maka mihrab dan
mimbar-mimbar akan menjadi tak berfungsi. Jalan-jalan pun akan sepi dari
lalu lalang orang.
Seandainya ada satu masa yang kosong
dari pemerintahan, maka hokum-hukum tidak akan berjalan, anak-anak yatim
akan telantar, dan pelaksanaan ibadah haji pun akan terhenti. Andaikata
tidak ada para pemimpin, para penegak hukum dan para petugas/aparat,
maka orang-orang yang sendirian tidak akan menikah dan anak-anak yatim
pun tidak mempunyai kafil (yang bertanggung jawab terhadapnya).
Seandainya tidak ada pemerintah, maka manusia akan kacau keadaannya dan
satu sama lain akan saling memangsa (membunuh).”
Kelima, jika pemerintah berlaku adil, mereka akan menjadi pihak yang paling banyak dan besar pahalanya. Al-’Izz bin Abdis Salam rahimahullah dalam
kitabnya, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, mengemukakan, “Secara
umum, yang berlaku adil dari kalangan pemerintah, pahalanya akan lebih
besar dibandingkan seluruh manusia, karena mereka mengupayakan tegaknya
kemaslahatan secara sempurna dan mencegah kerusakan secara menyeluruh.”
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
>إِنَّ
الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ عَلَى
يَمِينِ الرَّحْمَنِ –وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ- الَذِّي يَعْدِلُونَ فِي
حُكْمِهِمْ أَهْلَهُمْ وَمَا وَلُوْا
“Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di sisi Allah Subhanahu wata’ala di
atas mimbar-mimbar dari cahaya di kanan ar-Rahman –dan kedua tangan-Nya
kanan. Mereka adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hokum yang
ditetapkannya, terhadap keluarganya dan terhadap amanat yang dibebankan
kepadanya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits riwayat al-Bukharidan muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ ….
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah Subhanahu wata’ala di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, (yaitu di antaranya): Pemimpin yang adil… dst.”
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
pemimpin yang adil maksudnya adalah pemilik wilayah (pemerintahan) yang
luas dan termasuk pula yang memimpin sesuatu dari urusan kaum muslimin
dan berlaku adil di dalamnya. (Fathul Bari) Keenam, menjadi kesepakatan
kaum muslimin bahwa menjalankan roda pemerintahan adalah seutama-utama
ketaatan, sebagaimana yang telah disinggung oleh al-‘Izz Ibnu Abdis
Salam dalam kitabnya, Qawaidul Ahkam. Bahkan, termasuk kewajiban agama
yang paling besar, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah sebelumnya.
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Kewajiban Pemerintah
Fakta sejarah menunjukkan, manusia
tidak dapat melangsungkan kehidupannya di dunia dengan baik tanpa adanya
kepemimpinan yang menjadi rujukannya. Komunitas manusia itu sangat
membutuhkan aturan yang menjadi pedomannya dalam mewujudkan kemaslahatan
bersama.
Adalah pemerintah yang memikul tugas dan
tanggung jawab. Ini seperti yang ditetapkan oleh syariat dan harus
ditunaikannya dengan baik serta sungguh-sungguh, sehingga terwujudlah
kemaslahatan dan kemanfaatan secara menyeluruh. Setidaknya, ada dua
kewajiban utama/pokok yang harus ditunaikan oleh pemerintah.
>Pertama, menjaga keutuhan agama dan memeliharanya. Inilah yang paling penting untuk diperhatikan dan dijaga.
>Kedua, mengatur urusan dunia,
sebab segala urusan tidak akan berjalan dengan lurus dan segala yang
menjadi tujuan umum pun tidak akan tercapai kecuali dengan tertibnya
urusan dunia. Hal ini meliputi kemaslahatan dunia secara umum, yaitu
dengan mengambil langkah-langkah konkret dan kerja nyata, tidak sekadar
imbauan saja tetapi ada bukti nyata di lapangan.
>Dari dua kewajiban ini kemudian berkembang menjadi beberapa kewajiban. Al-Imam al-Mawardi rahimahullah telah
mengulasnya dalam kitab Ahkamus Sulthaniyah. Beliau berkata, “Yang
menjadi kewajiban atas pemerintah terkait dengan urusan-urusan umum, ada
sepuluh kewajiban :
1. Menjaga agama (Islam) dengan
dasar-dasarnya yang telah ditetapkan dan yang telah disepakati generasi
umat terdahulu yang saleh. Maka, jika bermunculan para pelaku bid’ah,
orang-orang yang menyimpang, atau pembawa syubhat, hendaknya dijelaskan
dan diterangkan kepadanya tentang kebenaran lalu menuntunnya kepada
sesuatu yang harus dijalaninya berupa tugas dan hukuman. Semua itu
dilakukan agar agama tetap terjaga dari kesalahan dan umat juga terjaga
dari penyimpangan.
2. Memutuskan hukum atas dua belah pihak
yang berselisih dan melerai dua belah pihak yang bertikai, sehingga
yang zalim tidak lagi bertindak semena-mena dan yang terzalimi tidak
lagi merasa lemah.
3. Menjaga regenerasi Islam dan
memberikan perlindungan kepada kaum hawa, sehingga semua pihak dapat
menjalankan aktivitasnya dan dapat melakukan perjalanan (safar) dengan
rasa aman tanpa ada kekhawatiran terhadap keselamatan jiwa ataupun
hartanya.
4. Menerapkan/menegakkan hukum, agar larangan-larangan Allah Subhanahu wata’ala tidak dilanggar serta hak-hak hamba-Nya pun tidak sirna dan rusak.
5. Menjaga perbatasan wilayah dengan
persiapan yang baik dan kekuatan yang mumpuni, sehingga musuh tidak lagi
leluasa untuk melakukan hal-hal yang diharamkan atau bahkan melakukan
penganiayaan terhadap seorang muslim di wilayah tersebut.
6. Mengumumkan/mengangkat bendera jihad
kepada pihak yang menentang Islam setelah didakwahi untuk masuk Islam
atau -kalau tidak- untuk masuk dalam kategori kafir dzimmi (kafir yang
hidup di negara muslim). Semua itu agar hak-hak Allah Subhanahu wata’ala dapat ditunaikan setelah Allah Subhanahu wata’ala memenangkan agama-Nya di atas agama-agama yang lain.
7. Mengumpulkan fai’dan shadaqah sesuai
dengan apa yang telah diwajibkan oleh syariat, baik secara nash maupun
melalui ijtihad tanpa menimbulkan rasa takut dan tidak pula menggunakan
kekerasan.
8. Mengatur pemberian dan mengambil dari
Baitul Mal tanpa berlebihan, lalu menyerahkannya di waktu yang tidak
terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat.
9. Memenuhi kebutuhan orang-orang yang
dipercaya untuk menjaga harta benda dan menjalankan tugas, agar segala
tugas dapat dijalankan dengan baik dan harta benda dapat terjaga dengan
baik.
10. Menangani langsung urusan-urusan
penting dan selalu memerhatikan situasi dan kondisi, agar tetap
bersemangat mengatur umat dan menjaga agama, tidak membiasakan untuk
mewakilkan tugas dan kewajiban karena alasan sibuk ataupun alasan ibadah
sekalipun. Jika memang ada alasan yang mengharuskan untuk mewakilkan
tugasnya, hendaknya hal itu tetap dalam pengawasannya, karena yang
dipercaya kadang khianat dan yang baik kadang berbuat curang.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا
دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ
اللَّهِ ۚ
“Wahai Dawud, sesungguhnya engkau Kami
jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu,
karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (Shad: 26) (Ahkaamas-Sulthaaniyyah)
Kewajiban-kewajiban yang disebutkan di atas jika dikelompokkan akan menyangkut beberapa hal, di antaranya,
- Keagamaan, seperti menjaga agama dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang berkaitan dengan hal itu; memerhatikan dan memakmurkan masjid-masjid; mempermudah pelaksanaan ibadah haji; mengurusi zakat dan mendistribusikannya kepada pihak yang berhak sesuai aturan syariat; juga membantu para da’i dalam penyebaran dakwah.
- Keamanan, baik yang bersifat internal seperti memutuskan hokum kepada dua belah pihak yang berselisih dan melerai dua belah pihak yang bertikai, atau keamanan yang bersifat eksternal, seperti menjaga wilayah perbatasan, menyiapkan pasukan yang kuat dan terlatih, dan hal-hal yang terkait.
- Perekonomian, yaitu dengan menjaga kekayaan kaum muslimin dan mengembangkannya dengan membangun pertanian dan perindustrian atau disesuaikan dengan lingkungan setempatnya, menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai yang menjadi pendukungnya, kemudian menyerahkannya kepada kaum muslimin secara adil sehingga tidak ada pihak yang merasa lebih diuntungkan dan dirugikan. Di samping itu, juga mencegah adanya transaksi-transaksi yang diharamkan serta jual beli yang dilarang.
- Administrasi, seperti memenuhi kebutuhan orang-orang yang dipercaya menjaga harta kekayaan dan menjalankan sebuah tugas.
- Politik, yaitu mengatur urusan umat dengan sesuatu yang bermaslahat untuk mereka dan hal-hal yang bersangkutan dengan masalah itu.
- Sosial Kemasyarakatan, seperti menjaga perilaku/akhlak manusia, menebar kebaikan, dan mencegah kemungkaran.
Demikianlah kewajiban yang ada di pundak
pemerintah dan harus diperhatikan dengan saksama. Hendaknya pemerintah
memahami dengan baik kedudukannya karena sesungguhnya pemerintahan
adalah bagian kenikmatan yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala.
Siapa yang menunaikan dan menjalankannya dengan baik, maka akan
memperoleh kebahagiaan yang tak terhingga. Sebaliknya, siapa yang tidak
menjalankannya dengan baik, akan memperoleh kesengsaraan dan kecelakaan.
Siapa yang tidak mengetahui kadar nikmat
ini dan justru menyibukkan diri dengan melakukan tindakan zalim serta
memperturutkan hawa nafsunya, maka sangat rentan untuk masuk dalam
kategori musuh Allah Subhanahu wata’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam sabdanya,
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ
وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada satu hamba pun yang Allah Subhanahu wata’ala (beri kesempatan) memimpin rakyat, lalu meninggal dunia dalam keadaan berbuat curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Subhanahu wata’ala haramkan surga baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pemerintah hendaknya bersungguh-sungguh
untuk dapat mengambil hati seluruh rakyatnya, membuat rakyatnya rela dan
mencintainya dengan menjaga agar selalu sesuai dengan syariat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ
عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ، وَشِرَارُ أ ئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ
تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونُكُمْ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah
mereka yang kalian mencintainya dan mereka pun mencintai kalian. Kalian
mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Adapun sejelek-jelek
pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci
kalian, kalian mencela mereka dan mereka pun mencela kalian.” (HR.
Muslim)
Oleh : Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Kewajiban Rakyat
Telah diketahui secara pasti dari ajaran
Islam, tidak ada agama kecuali dengan adanya komunitas, tidak ada
komunitas kecuali dengan adanya pemimpin, tidak ada pemimpin kecuali
dengan adanya sikap menaati dan mendengar. Keluar dari ketaatan terhadap
pemerintah dan membelot adalah sebab terbesar rusaknya Negara dan
manusia serta melencengnya dari jalan petunjuk.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah
menyatakan, “Demi Allah Subhanahu wata’ala, agama tidak akan lurus
kecuali dengan adanya pemerintah meskipun jahat dan zalim. Demi Allah,
kebaikan yang Allah Subhanahu wata’ala berikan dengan adanya mereka
(pemerintah) jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang mereka
rusak.” (as-Sunnah fima Yata’allaq bi Waliyyil Ummah)
Oleh karena itu, demi menjaga keutuhan
hubungan komunitas manusia dengan pemimpinnya, syariat telah menjelaskan
tentang tugas dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, sehingga
terjalinlah ta’awun (kerjasama) yang baik antara keduanya di atas
kebajikan dan takwa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan dan dosa.” (al-Maidah: 2)
Di antara kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik oleh rakyat.
Di antara kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik oleh rakyat.
Pertama: Ikhlas dan Mendoakan
Inilah kewajiban yang pertama yang dipikul oleh rakyat, yaitu ikhlas menyukai segala kebaikan untuk mereka dan membenci segala kejelekan untuk mereka serta tidak lupa untuk mendoakan kebaikan dan taufik, karena kebaikannya adalah berarti kebaikan untuk rakyat.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengemukakan, “Mendoakan pemerintah termasuk pendekatan diri yang agung kepada Allah
Inilah kewajiban yang pertama yang dipikul oleh rakyat, yaitu ikhlas menyukai segala kebaikan untuk mereka dan membenci segala kejelekan untuk mereka serta tidak lupa untuk mendoakan kebaikan dan taufik, karena kebaikannya adalah berarti kebaikan untuk rakyat.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengemukakan, “Mendoakan pemerintah termasuk pendekatan diri yang agung kepada Allah
Subhanahu wata’ala dan seutama-utama ketaatan serta termasuk bagian nasihat untuk Allah Subhanahu wata’ala dan hamba-Nya.”
Al-Imam al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah menyatakan, “Seandainya aku mendapat bagian harta dari Baitul Mal, aku akanmengambilnya lalu aku gunakan untuk membuat makanan. Lalu, aku undang orang-orang yang saleh dan terpandang. Setelah selesai, akan kukatakan kepada mereka, ‘Mari kita berdoa kepada Rabb kita agar memberi taufik kepada pemimpin kita dan seluruh (pihak) yang mengatur urusan-urusan kita’.” (Sirajul Muluk)
Al-Imam al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah menyatakan, “Seandainya aku mendapat bagian harta dari Baitul Mal, aku akanmengambilnya lalu aku gunakan untuk membuat makanan. Lalu, aku undang orang-orang yang saleh dan terpandang. Setelah selesai, akan kukatakan kepada mereka, ‘Mari kita berdoa kepada Rabb kita agar memberi taufik kepada pemimpin kita dan seluruh (pihak) yang mengatur urusan-urusan kita’.” (Sirajul Muluk)
Kewajiban rakyat adalah mendoakan
pemerintah, walaupun jahat dan zalim sekalipun, bukan memberontaknya.
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah menegaskan, “Apabila Anda melihat ada
orang yang mengajak melakukan pemberontakan kepada pemerintah,
ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu. Kalau Anda mendengar
ada orang yang mendoakan kebaikan untuk pemerintah, ketahuilah bahwa dia
adalah pengikut sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah)
Kedua: Menghormati dan Memuliakan
Syariat telah mewajibkan atas umat untuk memuliakan dan menghormati umara’. Dalam waktu yang bersamaan syariat juga melarang dari mencela, merendahkan, dan menghina mereka. Semua itu agar kewibawaan dan karisma umara tetap terjaga di mata rakyat, sehingga terciptalah keharmonisan dan kemaslahatan dalam segala hal.
Syariat telah mewajibkan atas umat untuk memuliakan dan menghormati umara’. Dalam waktu yang bersamaan syariat juga melarang dari mencela, merendahkan, dan menghina mereka. Semua itu agar kewibawaan dan karisma umara tetap terjaga di mata rakyat, sehingga terciptalah keharmonisan dan kemaslahatan dalam segala hal.
Sehubungan dengan hal itu, al-Imam Sahl
bin Abdullah at-Tustari rahimahullah berkata, “Manusia akan tetap baik
(keadaannya) selama mereka memuliakan pemerintah dan ulama. Jika mereka
memuliakan keduanya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki
keadaan dunia danakhiratnya. Sebaliknya, jika mereka meremehkan
keduanya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan merusak dunia dan
akhiratnya.” (as-Sunnah lil Imamal-Khallal)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Musa
radhiyallahu ‘anhu, “Termasuk mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala :
memuliakan orang tua yang muslim, penghafal al-Qur’an, dan pemerintahan
yang adil.” (Riwayat Abu Dawud)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah menjelaskan, “Termasuk mengagungkan Allah Subhanahu
wata’ala adalah memuliakan pemerintah yang adil. Siapa yang
melakukannya, maka akan masuk ke dalam salah satu dari tujuh golongan
yang akan mendapatkan naungan Allah Subhanahu wata’ala di hari yang
tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” (Nurul Bashair wal Albab)
Menurut al-Imam Thawuus rahimahullah, termasuk sunnah menghormati empat golongan manusia: orang yang berilmu, orang yang sudah tua, pemerintah, dan orang tua.
Menurut al-Imam Thawuus rahimahullah, termasuk sunnah menghormati empat golongan manusia: orang yang berilmu, orang yang sudah tua, pemerintah, dan orang tua.
Adapun al-Imam al-Baghawi rahimahullah
mengatakan, “Apabila berkumpul suatu kaum, yang lebih utama untuk
didahulukan adalah pemimpin (pemerintah), kemudian orang yang berilmu,
kemudian yang paling tua usianya.” (Syarhu Sunnah lil Imam al-Baghawi)
Ketiga: Mendengar dan Taat
Mendengar dan taat adalah kewajiban rakyat yang paling besar terhadap pemerintahnya, karena ketaatan merupakan landasan dan kunci berjalannya semua urusan negara dan masyarakat, kunci terwujudnya seluruh program, serta kunci tercapainya tujuan yang berkaitan dengan agama dan dunia.
Mendengar dan taat adalah kewajiban rakyat yang paling besar terhadap pemerintahnya, karena ketaatan merupakan landasan dan kunci berjalannya semua urusan negara dan masyarakat, kunci terwujudnya seluruh program, serta kunci tercapainya tujuan yang berkaitan dengan agama dan dunia.
Pemerintah memiliki wewenang untuk
memerintah dan melarang. Hal itu tidak mungkin terealisasi kecuali
dengan adanya sikap mendengar dan taat dari pihak rakyat. Untuk itulah,
sahabat Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada
Islam tanpa ada jamaah (komunitas), tidak ada jamaah tanpa ada pemimpin,
dan tidak ada pemimpin tanpa ada ketaatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa
Fadhlih)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisaa: 59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menerangkan, “Taat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya wajib atas setiap orang, sebagaimana pula taat kepada
pemerintah adalah wajib lantaran Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan
agar taat kepada mereka.” (Majmu’ul Fatawa)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah mengatakan, “Ayat ini adalah nash (dalil) tentang wajibnya
taat kepada ulil amri yaitu umara dan ulama. Hadits-hadits yang sahih
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan bahwa
ketaatan ini adalah sesuatu yang harus, bahkan wajib, dalam perkara yang
ma’ruf. Adapun keluar dari ketaatan terhadap umara dan membelot dengan
mengadakan penyerangan atau selainnya, itu adalah bentuk kemaksiatan dan
penentangan terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta
penyelisihan terhadap akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Salaful
Ummah.”(Nashihah Muhimmah)
I
I
bnu Rajab al Hambal rahimahullah
menegaskan, “Mendengar dan taat kepada pemerintah muslimin melahirkan
kebaikan di dunia dan kemaslahatan manusia dalam kehidupannya. Bahkan,
hal itu dapat membantu mereka untuk menampakkan agama dan ketaatan
kepada Rabbnya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Taat kepada Pemerintah Bagian dari Taat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Siapa yang taat kepadaku, berarti diataat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang taat kepada pemimpin, berarti dia taat kepadaku. Siapa yang bermaksiat kepada pemimpin, berarti dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Siapa yang taat kepadaku, berarti diataat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang taat kepada pemimpin, berarti dia taat kepadaku. Siapa yang bermaksiat kepada pemimpin, berarti dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Agar Mendengar dan Taat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan sikap mendengar dan taat kepada pemerintah sebagai bagian dari wasiatnya. Al-Imam ad-Darimi rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam Sunannya dari sahabat Irbadh bin Saariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan wejangan yang sangat menyentuh kami sampai membuat air mata kami bercucuran dan hati kami menjadi bergetar. Ada seseorang diantara kami yang berkata,‘Wahai Rasulullah, sepertinya wejangan ini menjadi wejangan perpisahan. Berilah kami wasiat.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudianbersabda, ‘Kuwasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, mendengar dan taat kepada pemimpin kalian walaupun dia seorang hamba sahaya dari Habasyah’.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikan sikap mendengar dan taat kepada pemerintah sebagai bagian dari wasiatnya. Al-Imam ad-Darimi rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam Sunannya dari sahabat Irbadh bin Saariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan wejangan yang sangat menyentuh kami sampai membuat air mata kami bercucuran dan hati kami menjadi bergetar. Ada seseorang diantara kami yang berkata,‘Wahai Rasulullah, sepertinya wejangan ini menjadi wejangan perpisahan. Berilah kami wasiat.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudianbersabda, ‘Kuwasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, mendengar dan taat kepada pemimpin kalian walaupun dia seorang hamba sahaya dari Habasyah’.”
Sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Sesungguhnya, kekasihku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam)
telah berwasiat kepadaku agar mendengar dan taat kepada pemimpin,
sekalipun dia seorang hamba sahaya yang cacat.” (HR. Muslim)
Perintah untuk Mendengar dan Taat dalam Setiap Keadaan
Perintah untuk Mendengar dan Taat dalam Setiap Keadaan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memerintahkan untuk tetap mendengar dan taat kepada pemerintah dalam
setiap keadaan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرةٍ عَلَيْكَ
“Hendaknya engkau tetap mendengar dan
taat kepada pemimpin dalam keadaan susah ataupun senang, dalam keadaan
rela ataupun terpaksa, bahkan sekalipun dalam keadaan dia bertindak
sewenang-wenang terhadap kalian.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Tidak Ada Sikap Mendengar dan Taat dalam Kemaksiatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada pemerintah selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika memerintahkan kemaksiatan, dia tidak boleh mendengar dan taat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus. Adapun perintahnya yang lain tetap harus didengar dan ditaati. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada pemerintah selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika memerintahkan kemaksiatan, dia tidak boleh mendengar dan taat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus. Adapun perintahnya yang lain tetap harus didengar dan ditaati. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِم فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أَمَرُوا بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ
سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar dan taat kepada pemimpin
menjadi kewajiban atas seorang muslim, dalam hal yang disenangi ataupun
dibenci, selama pemerintah itu tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Namun,
jika menyuruh kepada kemaksiatan, tidak ada sikap mendengar dan taat.”
(HR. al-Bukhari)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengemukakan, “Ketika penguasa memerintahkan sesuatu, perintahnya tidak lepas dari tiga keadaan.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengemukakan, “Ketika penguasa memerintahkan sesuatu, perintahnya tidak lepas dari tiga keadaan.
1. Perintahnya termasuk apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam keadaan ini, wajib bagi kita untuk melaksanakannya karena hal itu adalah perintah Allah Subhanahu wata’ala dan perintahnya. Andai mereka mengatakan, “Tegakkanlah shalat!” kita wajib menegakkannya sebagai realisasi dari perintah Allah Subhanahu wata’ala kemudian perintahnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Dalam keadaan ini, wajib bagi kita untuk melaksanakannya karena hal itu adalah perintah Allah Subhanahu wata’ala dan perintahnya. Andai mereka mengatakan, “Tegakkanlah shalat!” kita wajib menegakkannya sebagai realisasi dari perintah Allah Subhanahu wata’ala kemudian perintahnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan taatilah ulil amri di antara
kalian.” (an-Nisa’: 59)
2. Mereka memerintahkan sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam keadaan ini, kita katakan, ‘Kami akan mendengar dan taat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan bermaksiat kepada kalian, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik.’ Misalnya, mereka mengatakan, ‘Kalian tidak boleh shalat berjamaah di masjid!’ Kita katakan, ‘Tidak ada sikap mendengar, tidak ada pula ketaatan.’
Dalam keadaan ini, kita katakan, ‘Kami akan mendengar dan taat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan bermaksiat kepada kalian, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik.’ Misalnya, mereka mengatakan, ‘Kalian tidak boleh shalat berjamaah di masjid!’ Kita katakan, ‘Tidak ada sikap mendengar, tidak ada pula ketaatan.’
3. Mereka memerintahkan sesuatu yang tidak ada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, tidak pula ada larangannya.
Dalam keadaan ini, yang wajib ialah mendengar dan taat. Menaatinya bukan karena mereka adalah si ini dan si itu, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita untuk menaatinya dan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dengar dan taatlah, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas.’
Dalam keadaan ini, yang wajib ialah mendengar dan taat. Menaatinya bukan karena mereka adalah si ini dan si itu, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita untuk menaatinya dan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dengar dan taatlah, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas.’
Bahkan, ketika beliau ditanya tentang
pemerintah yang merampas hak rakyatnya dan bertindak zalim, beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Atas mereka apa yang telah
dipikulnya (dosa) dan bagi kalian apa yang telah kalian pikul (pahala).’
Kita memikul kewajiban untuk mendengar dan taat’.” (Transkrip ceramah
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin yang berjudul Tha’atu Wulatil Umur)
Keempat: Menyampaikan Nasihat dan Mengingatkan
Pemerintah bukanlah pihak yang ma’shum alias terjaga dari melakukan kesalahan. Mereka pada dasarnya adalah manusia biasa, kadang berbuat yang benar dan kadang berbuat yang salah. Maka dari itu, sampai kapan pun, mereka membutuhkan nasihat dan arahan-arahan yang baik.
Pemerintah bukanlah pihak yang ma’shum alias terjaga dari melakukan kesalahan. Mereka pada dasarnya adalah manusia biasa, kadang berbuat yang benar dan kadang berbuat yang salah. Maka dari itu, sampai kapan pun, mereka membutuhkan nasihat dan arahan-arahan yang baik.
Menyampaikan nasihat kepada mereka
dengan benar adalah bagian dari pilar Islam dan petunjuk orang-orang
saleh terdahulu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِرَسُولِهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلْأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat. Kami bertanya
(kata para sahabat), ‘Untuk siapa?’ Beliau menjawab,‘Untuk Allah
Subhanahu wata’ala, rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin,
dan untuk kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah
berkata, “Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin berarti menginginkan
kebaikannya, kelurusannya, dan keadilannya, serta menginginkan agar
umat bersatu di bawahnya dan membenci perpecahan. Kemudian juga
memuliakannya dan membantunya dalam kebenaran serta mengingatkannya
dengan baik dan lembut, mengubur keinginan untuk menggulingkannya dan
justru mendoakannya dengan taufik dan kebaikan.”(Jami’ul Ulum wal Hikam)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah menjelaskan, “Para pemimpin kaum muslimin adalah pemerintah
mereka dari yang paling tinggi jabatannya hingga yang paling bawah.
Karena kewajiban yang mereka pikul itu lebih berat dibandingkan yang
lain, wajib menasihatinya sesuai dengan kedudukan dan jabatannya.
Nasihat itu di antaranya adalah mengakui
kepemimpinannya dan pemerintahannya, wajib menaatinya dalam hal yang
baik dan mendorong rakyat kepada hal itu, menunaikan segala perintahnya
yang tidak menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya,
kemudian mendoakan mereka dengan kebaikan dan taufik, tidak mencelanya,
atau menyebarkan kejelekan-kejelekannya, karena hal itu akan menimbulkan
kerusakan yang besar.
Siapa yang melihat di antara mereka ada
yang melakukan sesuatu yang tidak baik, hendaknya segera untuk
mengingatkannya secara sembunyisembunyi, tidak terang-terangan, dengan
lembut dan bahasa yang mengena sesuai dengan keadaan. Inilah yang harus
ditempuh dan diberlakukan kepada setiap orang, terkhusus pemerintah.
Sebab, mengingatkan pemerintah itu memiliki kebaikan sekaligus menjadi
bukti kejujuran dan keikhlasan.”
Kelima: Membela dan Membantu
Kewajiban rakyat berikutnya terhadap pemerintah ialah membela dan membantu, dalam artian bekerja sama dengan pemerintah dalam mewujudkan kemajuan di segala bidang, baik yang bersifat eksternal seperti berjihad melawan musuh dengan harta dan jiwa, atau yang sifatnya internal seperti mengembangkan perindustrian, pertanian, memperbaiki moral, akhlak, dan lain-lain.
Kewajiban rakyat berikutnya terhadap pemerintah ialah membela dan membantu, dalam artian bekerja sama dengan pemerintah dalam mewujudkan kemajuan di segala bidang, baik yang bersifat eksternal seperti berjihad melawan musuh dengan harta dan jiwa, atau yang sifatnya internal seperti mengembangkan perindustrian, pertanian, memperbaiki moral, akhlak, dan lain-lain.
Wajib bagi rakyat untuk memberikan
pembelaan terhadap pemerintahnya, ketika ada sebagian pihak yang
melanggar hak-haknya seperti ketika ada pihakpihak yang ingin
memberontaknya dan melepaskan ketaatan kepadanya. Membelanya berarti
membela kaum muslimin dan menjaga kehormatan agama. (Fiqh Siyasah
as-Syar’iyah)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan
kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian dan dia
datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggalah lehernya
(perangilah).” (HR. Muslim)
Al Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dalam hadits ini, ada
perintah untuk memerangi pihak yang hendak memberontak kepada pemerintah
dan mencegah pihak yang hendak memecah belah kesatuan kaum muslimin.
Namun, jika tidak jera, hendaknya diperangi saja.” (Syarh Shahih Muslim)
Oleh : al Ustadz Hamzah Yusuf
Cara Menasehati Pemerintah
Hukum asal dalam cara menasihati
pemerintah adalah dengan sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan.
Diriwayatkan dari sahabat Iyadh radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسَلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَا
نِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإْن قَبِلَ مِنْهُ
فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa hendak menasihati
pemerintah tentang sesuatu, janganlah dia lakukan dengan
terang-terangan. Akan tetapi, hendaknya dia ajak dan menyendiri
dengannya. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, sungguh ia
telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (HR. Ahmad dalam
Musnad-nya)
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari
Syaqiq, dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau
(Usamah) ditanya, “Tidakkah engkau temui Utsman dan berbicara
kepadanya!?”
Sahabat Usamah menjawab, “Apakah kalian
menganggap aku tidak berbicara kepadanya hingga harus diperdengarkan
kepada kalian! Demi Allah, aku sudah berbicara langsung antara aku
dengannya tanpa harus aku buka satu perkara yang aku tidak ingin menjadi
orang yang paling pertama membukanya.”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah menjelaskan,
“Maksud sahabat Usamah, tentang satu perkara yang tidak ingindibukanya
adalah terang-terangan dalam memberikan pengingkaran kepada pemerintah
karena khawatir dari akibat buruk yang muncul darinya. Oleh karena itu,
hendaknya dengan cara lemah lembut dan menasihatinya dengan
sembunyisembunyi dan itu lebih dapat diterima.” (Fathul Bari)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
rahimahullah berkata, “Ketika mereka (orang-orang Khawarij) membuka
pintu kejelekan di zaman Utsman radhiyallahu ‘anhu dan mengingkari
Utsman dengan terang-terangan, maka merebaklah fitnah, pembunuhan, dan
kerusakan yang sampai hari ini manusia masih merasakan akibatnya,
sehingga terjadilah fitnah antara Mu’awiyah dan ‘Ali radhiyallahu
‘anhuma. Dengan sebab itu pula, terbunuhlah Utsman dan Ali, bahkan
banyak dari kalangan sahabat lainnya yang ikut terbunuh. Semuanya
disebabkan oleh pengingkaran secara terang-terangan dan mengumbar
kejelekan pemerintah, sehingga manusia membenci pemerintahnya dan bahkan
membunuhnya.”(Nashihah Muhimmah)
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengeluarkan
sebuah riwayat dari Said bin Jumhan, ia berkata, “Aku menjumpai sahabat
Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, lalu kukatakan kepadanya,
‘Sesungguhnya pemerintah (ini) menzalimi manusia dan berbuat semena-mena
terhadap mereka.’
Beliau meraih tanganku dan
menggenggamnya dengan kuat, lalu berkata, ‘Celaka engkau, hai Ibnu
Jumhan! Hendaknya engkau tetap bersama dengan jamaah kaum muslimin.
Hendaknya engkau tetap bersama dengan jamaah kaum muslimin. Jika
pemerintah itu mau mendengarkanmu, datangilah kediamannya dan sampaikan
kepadanya apa yang engkau ketahui. Kalau mau menerima, itulah yang
diharapkan. Kalau tidak, sesungguhnya engkau tidaklah lebih tahu
darinya.” (RiwayatAhmad)
Al Imam Asy Syaukani rahimahullah
menjelaskan, “Dianjurkan bagi siapa saja yang mengetahui kekeliruan
pemerintah dalam sebagian persoalan untuk menasihatinya. Tidak boleh
menampakkan kebencian kepadanya di depan khalayak umum, tetapi seperti
yang dijelaskan dalam hadits, yaitu mengajaknya dan menyendiri dengannya
kemudian bersungguh-sungguh menasihatinya dan tidak merendahkannya.”
(as-Sail al-Jarrar)
Dari semua uraian di atas, maka
menasihati pemerintah tidak di hadapannya tetapi di depan umum secara
terang-terangan -padahal masih mungkin untuk menasihatinya secara
sembunyi-sembunyi- tidaklah diperbolehkan, karena menyelisihi nash-nash
yang sudah berlalu penyebutannya.
Menasihati pemerintah secara
sembunyi-sembunyi, namun kemudian mengumbarnya ke tengah-tengah manusia
juga tidak diperbolehkan. Lebih-lebih lagi, menasihati pemerintah dalam
keadaan tidak di hadapannya secara terang-terangan di majelis-majelis
umum, di saat menyampaikan pidato, ceramah, atau lainnya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah berkata, “Bukan manhaj Salaf, mengumbar/mengumumkan
kejelekankejelekan pemerintah, apalagi kalau hal itu dilakukan di atas
mimbar-mimbar. Sebab, hal itu hanya akan menimbulkan kekacauan,
menghilangkan sikap mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruf, bahkan
menyulut terjadinya pemberontakan yang berbahaya dan tidak mengandung
manfaat sama sekali.”
Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah beliau mengatakan, “Ada sebagian orang yang di setiap
majelis biasa membicarakan pemerintah, melanggar kehormatannya dan
menyebarkan kejelekan-kejelekannya, bahkan tanpa menyinggung sedikit pun
kebaikankebaikannya. Tidak diragukan, cara-cara seperti ini tidak akan
menambah apa pun selain memperbesar persoalan, tidak membuahkan solusi,
dan tidak menghilangkan masalah. Justru menambah runyam, memunculkan
bencana di atas bencana, membuat rakyat benci kepada pemerintahnya dan
tidak lagi menjalankan perintah-perintahnya.”(Wujub Tha’atis Sulthan)

Sikap-sikap yang Salah Terhadap Pemerintah
Berikut ini beberapa keyakinan dan tindakan yang keliru terkait hubungan seorang muslim dengan pemerintahnya.
1. Sebagian orang mengatakan bahwa tidak
ada ketaatan dan keharusan taat kepada pemerintah, dengan alasan
hadits-hadits yang memuat tentang perintah mendengar dan taat hanyalah
ditujukan kepada imam yang global dan kekuasaannya meliputi seluruh
dunia atau yang biasa diistilahkan dengan khalifah yang satu.
Tidak diragukan, pernyataan ini adalah
pernyataan yang batil menyelisihi kesepakatan ahlul ilmi. Karena itu,
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah menukil kesepakatan dari Ibnu Baththal rahimahullah,
yang mengatakan, “Para fuqaha telah sepakat akan wajibnya taat kepada
pemerintah yang berkuasa dan berperang bersamanya. Bahkan, ketaatan
kepadanya jauh lebih baik daripada memberontak terhadapnya.” (Fathul
Bari)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
berkata, “Para ulama dari seluruh mazhab telah sepakat bahwa siapa saja
yang berkuasa di sebuah negeri, maka statusnya dianggap sebagai imam
dalam seluruh perkara. Jika tidak seperti ini, maka dunia tidak akan
tegak karena manusia sejak zaman dahulu sebelum al-Imam Ahmad rahimahullah
hingga hari ini, mereka tidak berkumpul di bawah satu imam. Tidak
pernah diketahui ada seorang ulama yang menyebutkan sesuatu dari hukum
yang menyatakan bahwa tidak sah kecuali dengan adanya imamterbesar.”(ad-Duraras-Sunniyyah fi Ajwibati an-Najdiyyah)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah
juga mengemukakan, “Seperti telah diketahui bahwa di setiap satu
daerah/wilayah ada pemerintahnya. Demikian pula di daerah atau
wilayah-wilayah lainnya. Tidak mengapa dengan berbilangnya pemerintahan,
wajib bagi penduduk setiap daerah dan wilayah itu untuk memberikan
ketaatan kepada pemerintahnya masing-masing setelah berbaiat kepadanya.
Siapa yang mengingkari hal ini, dia pembohong. Dia tidak pantas diajak
bicara dengan dalil, karena dia tidak dapatmemahaminya.”(as-Sailal-Jarrar)
Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Umat Islam telah terpisah-pisah sejak zaman sahabat.
Seperti yang telah diketahui, sahabat Abdullah bin Zubair di Makkah,
yang lainnya ada di Syam, di Mesir, bahkan di Yaman, dan seterusnya.
Kaum muslimin meyakini bahwa baiat diberikan kepada penguasa tempat
mereka tinggal. Kemudian penguasa itu disebut amirul mukminin. Tak ada
seorang pun yang mengingkari hal ini. Siapa yang mengingkarinya berarti
hendak memecah belah kesatuan kaum muslimin dari sisi tidak komitmennya
dengan baiat dan penyelisihannya dengan kesepakatan kaum muslimin sejak
dahulu.” (al-Fatawaas-Syar’iyyah fial-Qadhaya al-’Ashriyyah)
Pada kesempatan lain, beliau kembali
mengatakan, “Sejak zaman dahulu, zaman para ulama, manusia sudah
terpisah-pisah tempat tinggalnya menjadi beberapa bagian
(wilayah/negara). Tiap-tiap bagian (wilayah/negara tersebut) ada
pemerintahannya yang didengar dan ditaati dengan kesepakatan kaum
muslimin. Tidak ada seorang pun yang mengatakan, ‘Tidak wajib taat,
kecuali kepada pemimpin yang menyeluruh meliputi seluruh negeri kaum
muslimin (satu khalifah).’
Tidak mungkin bagi siapa pun untuk
mengatakan hal itu. Kalau sampai ada yang mengatakan demikian, berarti
tidak akan ada pemimpin bagi kaum muslimin sekarang ini, dan semua
manusia akan mati dalam keadaan mati jahiliah. Karena itu, pemimpin
(pemerintah) ada di setiap tempat dan daerah sesuai dengan keadaan
masing-masing.” (Syarh Riyadhus Shalihin)
Kemudian beliau menegaskan kembali,
“Imam adalah pemimpin tertinggi di sebuah negara, tidak disyaratkan dia
menjadi pemimpin bagi seluruh kaum muslimin. Sebab, imam yang menyeluruh
yang meliputi seluruh negeri kaum muslimin sudah tidak ada sejak
dahulu. Para tokoh Islam tetap meyakini untuk memberikan loyalitas dan
ketaatan kepada pihak yang menjadi pemimpin di wilayahnya, meskipun
tidak memiliki pemerintahan yang umum (meliputi seluruh wilayah
muslimin).” (asy-Syarhul Mumti’)
2. Ada sekelompok orang yang membuat
sebuah komunitas (jamaah) kemudian setiap anggota jamaah tersebut
dituntut untuk mendengar dan taat kepadanya (sebagai pimpinannya) atau
setiap anggota jamaah memberikan baiat kepadanya untuk senantiasa taat
dan mendengar. Sementara itu, pemerintah yang sah ada di tengah-tengah
mereka. Dengan tindakannya tersebut, mereka memosisikan diri sebagai
waliyyul amri yang memiliki kekuasaan dan pemerintahan.
Ini adalah sebuah kesalahan besar dan dosa yang besar pula. Siapa yang melakukan ini berarti telah menentang Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya serta menyelisihi nash-nash yang syar’i. Karena itu,
tidak wajib menaatinya, bahkan haram, sebab pada dasarnya yang
bersangkutan tidak memiliki kekuasaan. Tidak pula pemerintahan sama
sekali. Jadi atas dasar apa harus didengar dan ditaati layaknya
pemerintahan yang telah tegak dan jelas?!
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan
kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian, dan dia
datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggallah lehernya.” (HR.
Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan agar taat kepada pemimpin-pemimpin yang sudah ada dan
diketahui, yang mereka itu memiliki pemerintahan dan kekuasaan untuk
mengatur urusan manusia. Bukan taat kepada yang tidak ada dan tidak
diketahui. Bukan pula kepada yang tidak memiliki pemerintahan dan
kekuasaan sama sekali.” (Majmu’ul Fatawa)
3. Adapula orang yang mengatakan tidak
harus taat kepada peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah,
seperti peraturan lalu lintas, keimigrasian, dan lain-lain. Alasannya,
menurut mereka, peraturan-peraturan tersebut tidak ada landasan
syar’inya sedangkan ketaatan kepada pemerintah hanyalah terkait dengan
perkara-perkara yang syar’i saja, dalam hal yang mubah dan bersifat
anjuran tidaklah wajib!
Perkataan seperti ini sesungguhnya lebih
disebabkan oleh sedikitnya ilmu. Al-Allamah al-Mubarakfuri mengatakan,
“Pemimpin, apabila memerintahkan kepada sesuatu yang mubah dan bersifat
anjuran, wajib ditaati.”(Tuhfatul Ahwadzi)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah
berkata, “Ini adalah kebatilan dan kemungkaran. Yang benar adalah wajib
mendengar dan taat dalam perkaraperkara yang tidak mengandung
kemungkaran di dalamnya. Peraturan-peraturan itu ditetapkan pemerintah
untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk itu, wajib tunduk, mendengar dan
taat, karena termasuk dari perkara yang ma’ruf yang bermanfaat untuk
kaum muslimin.”(Nashihah Muhimmah)
4. Anggapan bolehnya memberikan baiat kepada pemimpin organisasi di samping kepada pemerintah.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menegaskan, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan dua
baiat, yaitu baiat kepada pemerintah setempat dan baiat kepada pemimpin
organisasi yang diikutinya. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
terkait dengan perintah mengangkat pemimpin kepada tiga orang yang
melakukan safar, tidaklah berarti bahwa mereka harus memberikan baiat
kepada yang diangkat jadi pemimpinnya. Namun, maksudnya adalah hendaknya
ada satu orang di antara mereka yang dapat menyatukan kalimat-kalimat
mereka (membuat keputusan), sehingga mereka tidak berselisih. Ini
sekaligus menunjukkan bahwa pintu menuju perselisihan harus senantiasa
ditutup dari segala arah.” (Transkrip ceramah berjudul Tha’atu Wulatil Umur)
5. Tidak berbaiat kepada pemerintah menjadi alasan untuk tidak mendengar dan taat.
Inilah sikap tidak terpuji yang
diperlihatkan oleh sebagian orang kepada pemerintah. Akibatnya, mereka
tidak merasa bersalah ketika harus berseberangan dan menyelisihi
aturanaturan yang telah ditetapkan, sekalipun aturan-aturan tersebut
menyangkut keagamaan. Sebaliknya, mereka lebih manut dan taat kepada
pimpinan organisasinya atau “jamaah”-nya, karena merasa telah memberikan
baiat kepadanya. Padahal semua itu hanyalah gambaran dari kebodohan dan
omong kosong belaka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya perintahkan berupa taat kepada pemerintah dan
menyampaikan nasihat kepadanya adalah wajib bagi setiap orang, meski
tidak memberikan janji kepadanya dan memberikan sumpah setia (baiat)
kepadanya.” (Majmu’ul Fatawa)
Adapun asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
mengatakan, “Apabila kaum muslimin bersatu di bawah seorang pemimpin,
maka wajib bagi semuanya untuk taat, walaupun secara individu tidak
berbaiat kepadanya. Para sahabat dan kaum muslimin tidak semuanya
berbaiat kepada sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Hanya yang berada di Madinah yang berbaiat dan tuntutan dari baiat tersebut berlaku untuksemua.”(Tha’atu Wulatil Umur)
6. Berdemonstrasi adalah termasuk wasilah dakwah dan upaya untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.
Tidak samar bagi siapa pun, demonstrasi
di negeri ini menjadi budaya yang terus dihidupkan dan dikembangkan,
seolah-olah ia menjadi senjata ampuh untuk keluar dari sebuah
permasalahan. Siapa yang tidak ada keinginan untuk itu dicap sebagai
pengecut dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Lalu, benarkah
demo menjadi solusi untuk bisa keluar dari kesulitan dan masalah?
Kalau mau jujur, akibat yang ditimbulkan
dari berdemonstrasi jauh lebih rusak dan mengerikan dibandingkan
problem yang terjadi. Anda lihat, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan
para demonstran akhir-akhir ini, sungguh di luar kewajaran dan melampaui
batasan, seperti aksi jahit mulut hingga aksi bunuh diri. Aksi-aksi ini
akan terus berlangsung, bahkan bisa jadi semakin mengerikan. Nas’alullah as-salamah.
Siapa yang rugi? Apakah masalah selesai
setelah itu? Justru masalah kian membesar dan akan bertambah. Kondisi
seperti ini diperparah dengan adanya fatwa-fatwa dari pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan menyatakan bahwa demonstrasi adalah wasilah
dakwah, bagian dari bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad di
jalan Allah Subhanahu wata’ala.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak melihat aksi demonstrasi dengan berjalan kaki atau longmarch
sebagai solusi. Justru, saya melihatnya hanya sebagai sebab timbulnya
fitnah dan kejelekan serta sebab tindakan zalim dan aniaya kepada
sebagian pihak. Cara yang disyariatkan adalah mengirim surat,
menyampaikan nasihat dan berdakwah kepada kebaikan dengan metode yang
syar’i yang telah diuraikan oleh para ulama. Jadi, dengan mengirim
tulisan (surat), berbicara langsung kepada pemimpin/pemerintah, atau
melalui telepon, dan menyampaikan nasihat. Tidak mengumbar
kejelekan-kejelekan pemerintah di atas mimbar-mimbar.
Wallahulmusta’an.”(Fatawa al-’Ulama al-Akabir)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Yang wajib bagi kita adalah menasihati pemerintah sesuai
kemampuan. Adapun aksi turun ke jalan dan melakukan protes secara
terang-terangan, maka ini menyelisihi petunjuk para salaf, dan aksi-aksi
tadi sama sekali tidak nyambung dengan syariat. Tidak pula dengan upaya
perbaikan. Semua itu hanyalah kemudaratan. Tidak boleh mendukung aksi
demonstrasi dan semisalnya, karena upaya perbaikan dapat dilakukan
dengan selainitu.”(Fatawa al-Ulama al-Akabir)
Di lain kesempatan, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menegaskan, “Penting kiranya untuk memahami manhaj salaf dalam
bermuamalah dengan pemerintah, jangan sampai kesalahan pemerintah
dijadikan celah untuk memprovokasi manusia dan menjauhkannya dari
pemerintah karena ini adalah kerusakan dan satu penyebab utama munculnya
fitnah.
Berpalingnya hati dari pemerintah akan
mendatangkan fitnah, kejelekan, dan kekacauan. Begitu pun berpalingnya
hati dari para ulama akan mendatangkan sikap meremehkan para ulama dan
lebih jauhnya lagi meremehkan syariat. Maka, yang wajib adalah melihat
apa yang telah ditempuh oleh para salaf dalam menghadapi pemerintahnya.
Seseorang harus berhati-hati dan selalu melihat apa akibat yang akan
timbul. Penting diketahui bahwa orang yang gemar melakukan provokasi
pada hakikatnya sedang membantu musuh-musuh Islam.
Yang jadi patokan bukanlah dengan
provokasi, bukan pula dengan menampakkan emosi yang meluap-luap. Akan
tetapi, patokannya adalah adanya hikmah, dan saya tidak memaksudkan kata
hikmah berarti mendiamkan kesalahan, namun memperbaiki kesalahan agar
hukum/keadaan menjadi lebih baik.” (Mu’amalatul Hukkam)
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Bersabar terhadap Pemerintah
Adalah gambaran dari kesempurnaan
Islam dan keindahan syariatnya, ketika ada perintah untuk bersabar dalam
menghadapi kejahatan dan kezaliman pemerintah. Sudah tentu tujuan
utamanya adalah menggapai kemaslahatan dan menghindari kerusakan,
sehingga terciptalah kebaikan rakyat dan negara.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengemukakan, “Bersabar menghadapi kejahatan para pemimpin adalah salah
satu pokok dari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Majmu’ul Fatawa)
Bersabar Jika Diperlakukan Sewenang-Wenang
Jauh sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
sudah mengabarkan bahwa akan terjadi sepeninggalnya tindak
kesewenangwenangan dari pemerintah. Namun, beliau sama sekali tidak
memerintahkan kepada kita untuk memberontak atau untuk melanggar
perintahnya, justru kita diperintahkan agar menunaikan kewajiban kita
terhadapnya.
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadits dalam Shahihnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا. قَالُوا: فَمَا
تَأْمُرُنَا، يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَدُّو إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ
وَسَلُوا اللهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku, kalian akan
melihat sikap mementingkan diri sendiri (yang dilakukan oleh penguasa)
dan banyak hal yang kalian pasti mengingkarinya (menolaknya).” Para
sahabat bertanya, “Apa yang akan engkau perintahkan kepada kami, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka dengan baik dan
mohonlah hak kalian kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Shahih al-Bukhari)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Dalam hadits ini ada anjuran untuk mendengar dan taat,
meskipun yang menjadi pemimpin itu zalim dan berbuat aniaya. Ketaatan
yang menjadi haknya tetap harus ditunaikan, tidak boleh memberontak
kepadanya dan melepaskan ketaatan kepadanya. Akan tetapi, hendaknya
kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam menyingkirkan gangguannya dan menolak kejelekannya, serta memohon kebaikannya.”(Syarh Shahih Muslim)
Kezaliman dan kejahatan yang dilakukan
pemerintah, baik dengan alasan yang dibenarkan maupun tidak, tidak
menjadi alasan bolehnya menggulingkan pemerintah, seperti keinginan
banyak pihak. Sebab, hal itu berarti upaya menghilangkan kejelekan
dengan yang lebih jelek dan upaya meredam tindakan zalim dengan tindakan
yang lebih zalim.
Pemberontakan hanya akan menimbulkan
kezaliman dan kerusakan yang lebih besar dibandingkan kezaliman yang
dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, hendaknya mereka bersabar seperti
kesabaran yang dituntut ketika beramar ma’ruf dan bernahi munkar dari
kezaliman yang dilakukan oleh objek yang menjadi sasarannya. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat
dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari
yang mungkar dan bersabarlah dari apa yang menimpamu.” (Luqman: 17)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati (Ulul Azmi).” (al-Ahqaf: 35)
Kemudian, firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (ath-Thur: 48)
Al-Imam al-Ajurri rahimahullah
mengatakan, “Siapa saja yang menjadi pemimpinmu, dari bangsa Arab atau
bukan, berkulit hitam atau putih atau berasal dari bangsa non-Arab
sekalipun, maka taatilah dalam perkara yang tidak mengandung kemaksiatan
kepada Allah Subhanahu wata’ala, walaupun hakmu dizalimi,
punggungmu dipukul, kehormatanmu dilanggar, dan hartamu dirampas. Semua
itu jangan sampai mendorongmu untuk melakukan pemberontakan terhadapnya
dengan pedangmu (senjatamu) sampai membunuhnya. Dan jangan sekali-kali
kamu bekerjasama dengan kelompok Khawarij untuk memberontaknya. Jangan
pula mendorong orang-orang selainmu (menggerakkan massa) untuk
memberontaknya. Akan tetapi, bersabarlah!”(asy-Syari’ah lil Imam al-Ajurri)
Kemudian, beliau (al-Imam al-Ajurri) menukil sebuah riwayat dari Suwaid bin Ghafalah. Suwaid berkata, “Sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata kepadaku, “Hai, Aba Umayyah. Aku tidak tahu, mungkin setelah
tahun ini aku tidak lagi bertemu denganmu. Maka, jika kamu dipimpin oleh
seorang hamba sahaya dari Habasyah dan keadaannya cacat, tetaplah
bersikap mendengar dan taat kepadanya. Kalau punggungmu dipukul,
bersabarlah. Kalau hakmu ditahan, tetaplah bersabar.” (asy-Syari’ah)
Bersabar dan Tidak Melepaskan Ketaatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk tetap bersabar, walaupun melihat pemerintah melakukan kemaksiatan. Al-Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan hadits dalam Shahihnya dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin kemudian melihat
pemimpinn yaitu melakukan suatu kemaksiatan, maka hendaknya ia ingkari
kemaksiatan yang dilakukannya itu dan tidak melepaskan ketaatan
kepadanya.” (Shahih Muslim)
Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ
أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ
إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa yang membenci sesuatu dari
pemimpinnya, hendaknya bersabar karena sesungguhnya tidak ada seorang
pun yang keluar dari (ketaatan) kepada pemerintah walaupun sejengkal
kemudian mati melainkan mati dalam keadaan mati jahiliah.” (Shahih Muslim)
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Akan muncul sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil
petunjuk dengan petunjukku dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku.
Dan akan adapula ditengah-tengah mereka orang-orang yang berhati setan
namun berbadan manusia.” Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apa yang harus aku lakukan, wahai Rasulullah, jikaaku menjumpai hal itu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab,“Engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin. Walaupun
punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat.” (Shahih Muslim)
Al Imam al Qurtubi rahimahullah menerangkan,
“Yang menjadi pegangan mayoritas ulama ialah bahwa bersabar untuk tetap
taat kepada pemimpin yang jahat itu lebih utama daripada
memberontaknya, karena melepaskan ketaatan dan melakukan pemberontakan
terhadapnya berarti mengubah keamanan dengan ketakutan, menumpahkan
darah, dan memberi peluang kepada orangorang yang jahat, menebar bahaya
bagi kaum muslimin, dan menciptakan kerusakan di muka bumi.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Tidak Ada Hujah pada Hari Kiamat bagi Yang Melepaskan Ketaatan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
نَزَعَ يَدَهُ مِنَ الطَّاعَةِ فَلاَ حُجَّةَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
وَمَنْ مَاتَ مُفَارِقًا لِلْجَمَاعَةِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan ketaatan (kepada
pemimpin), tidak ada hujah baginya pada hari kiamat. Siapa saja yang
mati dalam keadaan memisahkan diri dari jamaah, matinya sebagai mati
jahiliah.” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda, “Siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri
dari jamaah kemudian mati, maka matinya sebagai mati jahiliah.” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Inilah sikap yang harus diambil dalam
menghadapi kejahatan/kejelekan pemerintah dan seperti ini pula sikap
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kemudian, sebagai upaya untuk menghilangkan
kejelekan itu, hendaknya mereka mengingat kembali kesalahan dan
kejelekan yang mereka lakukan sendiri.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan musibah apapun yang menimpa kamu
adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Atas dasar itu, mereka bersegera melakukan tobat dan istighfar, memohon kepada Allah ‘azza wa jalla
agar melenyapkan kemudaratan yang menimpanya, lalu menempuh cara-cara
yang syar’i untuk menghilangkan kezaliman dengan penuh kelembutan dan
hikmah.
Al-Imam al-Hasan Bashri rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa kejahatan pemimpin adalah bagian/ akibat dari kemurkaan Allah l dan kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala
tidak boleh dihadapi dengan pedang/senjata. Akan tetapi, harus dijaga
dan dihindari dengan doa, tobat, dan kembali kepada-Nya, serta
melepaskan diri dari semua dosa. Jika murka Allah Subhanahu wata’ala dihadapi dengan pedang, murka Allah Subhanahu wata’ala itu akan lebih cepat membinasakan.”(Mu’amalatul Hukkam)
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah menjelaskan, “Pemerintah terkadang menyuruh kepada yang bukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala (maksiat) maka tidak boleh ditaati selain dalam perkara yang mengandung ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya. Adapun keharusan taat yang tetap diberikan kepada mereka
meskipun jahat, karena keluar dari ketaatannya akan melahirkan
kerusakan yang lebih besar daripada kejahatan yang dilakukannya.
Bahkan, kesabaran menghadapi kejahatannya
menjadi penggugur kesalahan-kesalahan (dosa) dan akan melipatgandakan
pahala, karena Allah Subhanahu wata’ala tidaklah membebankannya
kepada kita melainkan lantaran jeleknya amalanamalan kita. Balasan yang
didapat itu biasanya sesuai dengan jenis amalan yang dilakukan. Karena
itu, hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam beristighfar, bertobat, dan
memperbaiki amalan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ
“Dan mengapa kalian (heran) ketika
ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kalian telah
menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang
Badr) kalian berkata, dari mana datangnya musibah (kekalahan) ini?
Katakanlah, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ (Ali ‘Imran: 165)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian
orang-orang zalim berteman dengan sesame, sesuai dengan apa yang mereka
kerjakan.’ (al-An’am: 129)
Maka dari itu, jika seluruh rakyat ingin terbebas dari kezaliman pemimpin, hendaknya mereka meninggalkan kezaliman.” (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah)
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Menjalin Kebersamaan melalui Ibadah Bersama Pemerintah
Seperti yang sudah disinggung
sebelumnya bahwa komunitas manusia tidak bisa lepas dari pemimpinnya.
Hal itu karena hubungannya menjadi sebuah persatuan dan kesatuan yang
memang tidak bisa dipisahkan.
Kekuatan sebuah komunitas manusia
tergantung pada sejauh mana kekuatan hubungannya dengan pemerintahnya.
Sebaliknya, lemahnya sebuah komunitas manusia adalah gambaran lemahnya
hubungan mereka dengan pemerintahnya. Karena itu, syariat memerintahkan
agar segenap manusia menjaga persatuan dan kesatuan di bawah
pemerintahnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran : 103)
Sehubungan dengan ayat di atas, al-Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah
menyebutkan sebuah riwayat dalam tafsirnya. Dari Simak Ibnul Walid
al-Hanafi, bahwa ia (Simak) bertemu dengan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
di Madinah. Kemudian, ia berkata, “Apa yang akan engkau katakana
tentang pemerintah kita yang menzalimi kita, memaki kita, dan mengambil
sedekah kita dengan sewenang-wenang? Apa kita harus
menghadang/menghentikannya?” Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
menjawab, “Tidak. Serahkan saja kepada mereka, hai Hanafi! Jagalah
persatuan! Jagalah persatuan! Sesungguhnya, yang telah membinasakan umat
terdahulu adalah perpecahan. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Para ahli tafsir berbeda uraiannya tentang maksud tali Allah Subhanahu wata’ala, namun sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan tali Allah Subhanahu wata’ala adalah persatuan.” (al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir Kitabil ‘Aziz)
Al Imam al Qurthubi rahimahullah menguraikan dalam tafsirnya, “Bahwa di antara para ahli tafsir ada yang mengatakan tali Allah Subhanahu wata’ala adalah al-Qur’an, namun ada juga yang berpendapat tali Allah Subhanahu wata’ala adalah jamah (persatuan). Secara makna, semuanya berdekatan dan saling terkait, karena Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan. Perpecahan adalah kehancuran, sedangkan persatuan adalah keselamatan.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَا
تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang akan
mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)
Al-Imam Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, Allah ‘azza wa jalla membenci perpecahan bagi kalian dan mengingatkan serta melarang kalian darinya. Dan Allah Subhanahu wata’ala
meridhai bagi kalian sikap mendengar dan taat (kepada pemimpin) itu,
jadikanlah diri kalian ridha terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala ridhai untuk kalian, jika kalian mampu. Tidak ada kekuatan selain kekuatan Allah Subhanahu wata’ala.” (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala
meridhai bagi kalian tiga perkara: (yaitu) kalian beribadah kepada-Nya
dan kalian tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, serta
hendaklah kalian berpegang teguh kepada tali Allah Subhanahu wata’ala semuanya dan tidak bercerai-berai.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari sabdanya, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh kepada tali Allah Subhanahu wata’ala’ adalah persatuan. Wallahu a’lam.” (at-Tamhid)
Dalam Musnad Ahmad, ada sebuah riwayat dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثلاَثُ
خِصَالٍ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْ صَالُ
الْعَمَلِ لِلهِ، وَمُنَاصَحَةِ وُلَاةِ الْأَمْرِ، وَلُزُومُ
الْجَمَاعَةِ.
“Ada tiga hal yang dengannya tidak akan
ada kedengkian/kebencian dalam hati seorang muslim selama-lamanya
(yaitu) : mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala, menyampaikan nasihat kepada pemimpin, dan komitmen kepada persatuan.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini mencakup pilar-pilar agama dan kaidah-kaidahnya serta hak Allah Subhanahu wata’ala
dan hamba-Nya yang dengan itu terpeliharalah kemaslahatan dunia dan
akhirat. Adapun penjelasannya adalah bahwa hak itu terbagi menjadi dua:
hak Allah Subhanahu wata’ala dan hak hamba. Hak Allah Subhanahu wata’ala adalah kita beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Sementara hak hamba terbagi menjadi dua:
ada yang khusus dan ada yang umum. Hak hamba yang khusus seperti setiap
orang berbuat baik kepada kedua orang tuanya, menunaikan hak
istri/suaminya, serta tetangganya.
Adapun hak yang umum, maka manusia dalam
hal ini ada dua golongan yaitu: pemerintah dan rakyat. Hak pemerintah
adalah mendapatkan nasihat, sedangkan hak rakyat adalah membangun
persatuan, karena kemaslahatan tidak akan sempurna kecuali dalam bingkai
persatuan. Mereka tidak akan bersepakat dalam kesesatan, justru
kebaikan agama dan dunianya ada dalam persatuan dan komitmen
terhadapnya.” (Majmu’ul Fatawa)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
menegaskan, “Tidak akan terjadi keburukan dalam agama manusia dan
urusan dunianya, kecuali jika mengabaikan tiga hal yang disebutkan dalam
hadits tadi atau mengabaikan sebagiannya.”(Masa’ilal-Jahiliyyah)
Al – Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan, “Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits tadi, dan komitmen kepada persatuan, adalah di antara
perkara yang akan membersihkan hati dari kedengkian dan kebencian,
karena orang yang bergabung dengan kesatuan kaum muslimin tentu ia akan
mencintai mereka seperti mencintai dirinya sendiri dan akan membenci
untuk terjadi pada mereka sesuatu yang dibenci apabila terjadi pada
dirinya. Ia akan merasakan keburukan ketika keburukan itu menimpa mereka
dan akan merasakan kesenangan ketika kesenangan itu menimpa mereka.
Ini keadannya jelas berbeda dengan pihak
yang justru menjauh dari mereka (kaum muslimin) dan sibuk mencela,
mencaci maki, dan mencerca, seperti kelakuan kelompok Syi’ah Rafidhah,
Khawarij, dan Mu’tazilah, serta yang lainnya. Hati mereka dipenuhi
dengan kedengkian dan kebencian.” (Miftah Daris Sa’adah)
Diriwayatkan dari al-Imam al-’Auza’i rahimahullah, beliau berkata, “Sejak dahulu dikatakan bahwa ada lima hal yang berada di atasnya para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para tabi’in, yaitu menjaga persatuan, mengikuti sunnah,
memakmurkan masjidmasjid, dan membaca al-Qur’an, serta jihad di jalan
Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamah)
Dalam salah satu pidatonya, sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Hai sekalian manusia, hendaknya kalian menampakkan ketatan
(kepada pemimpin kalian). Bersatulah di bawahnya, karena itulah tali
Allah Subhanahu wata’ala yang kalian diperintahkan untuk
berpegang teguh dengannya. Apa yang kalian tidak sukai dalam kebersaman
itu jauh lebih baik dibandingkan dengan yang kalian sukai dalam
perpecahan.” (Tafsir Ibnu Jarir)
Seluruh uraian di atas memberi
keterangan kepada kita tentang wajibnya menjaga persatuan dan
menggabungkan diri dalam persatuan bersama pemerintah, karena dalam
persatuan ada kemaslahatan, ada rahmat, dan ada berkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ، وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Al-Jamah (persatuan) adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab.” (HR. Ahmad dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Makan dengan garam dalam keadan manusia bersatu (di bawah
pemerintah) lebih aku sukai daripada makan manisan dalam keadan manusia
berpecah belah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Salafush Shalih seluruhnya bersepakat
akan wajibnya bersatu, sehingga komitmen kepada persatuan adalah salah
satu pilar akidah Ahlus Sunnah wal Jamah. Dalam SyarhUshul I’tiqad
Ahlissunnah wal Jamah, al-Imam al-Lalikai rahimahullah mengutip riwayat dari Tsabit Ibnu ‘Ajlan t. Beliau berkata, ”Saya telah berjumpa dengan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
Ibnul Musayyab, al-Hasan Bashri, Sa’ied bin Jubair, asy-Sya’bi, Ibrahim
an-Nakha’i, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Abdullah bin Abi
Mulaikah, az-Zuhri, Makhul, al-Qasim Aba Abdirrahman, ‘Atha
al-Khurasani, Tsabit al-Bunani, al-Hakam bin ‘Utbah, Ayub as-Sikhtiyani,
Hammad, Muhammad bin Sirin, Abu ‘Amir -beliau sempat berjumpa dengan
sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu-, Yazid ar-Raqasyi, dan Sulaiman bin Musa rahimahumullah.
Semuanya memerintahkan kepadaku untuk (bergabung dan menjaga) persatuan
dan melarangku untuk bergaul dengan para pengikut hawa nafsu.”
Salah satu wujud persatuan dan
kebersaman dengan pemerintah adalah melalui ibadah bersama mereka. Maka
dari itu, ketika pemerintah memimpin pelaksanan sebuah ibadah atau
menganjurkan dan mengumumkan waktu pelaksanan ibadah, rakyat mempunyai
kewajiban untuk mendengar dan taat. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jamah dari dahulu hingga sekarang.
Al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah
mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang mazhab
Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok agama dan apa yang dijumpai keduanya
berupa keyakinan para ulama di setiap tempat serta apa yang menjadi
keyakinan keduanya. Keduanya menjawab, ‘Kami mendapati para ulama di
berbagai wilayah, seperti Hijaz, Irak, Syam, dan juga Yaman, mazhab
mereka adalah -keduanya pun menyebutkan beberapa hal kemudian keduanya
menegaskan- kita menunaikan kewajiban jihad dan haji bersama pemerintah
kaum muslimin di setiap zaman. Kita juga tidak memandang bolehnya
memberontak kepada pemerintah dan melakukan pembunuhan di masa fitnah.
Kita mendengar dan taat kepada siapa yang Allah Subhanahu wata’ala takdirkan sebagai pemimpin urusan-urusan kita.
Kita tidak akan melepaskan ketatan, kita
akan selalu mengikuti sunnah dan jamah serta menjauh dari penyelisihan,
perselisihan, dan perpecahan. Kewajiban jihad bersama pemerintah tetap
berlaku/ berlangsung sejak Allah Subhanahu wata’ala mengutus
nabi-Nya hingga hari kiamat, tidak ada yang dapat menggugurkannya.
Demikian halnya dengan haji dan penyerahan shadaqah yang diambil dari
sumbernya kepada pemerintah.”(Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Pernah ditanyakan kepada al-Imam Sahl
bin Abdillah at-Tustari tentang kapan seseorang itu diketahui sebagai
Ahlus Sunnah wal Jamah.
Beliau menjawab, “Apabila dikenal dari
dirinya sepuluh perkara: tidak memisahkan diri dari persatuan, tidak
mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak
melakukan pemberontakan dengan pedang (senjata), tidak mengingkari
adanya takdir, tidak ragu-ragu dalam hal keimanan, tidak suka berdebat
dalam agama, tidak enggan untuk menyalati yang meninggal dunia dari kaum
muslimin karena satu dosa, tidak menolak bolehnya mengusap kedua khuf,
serta tidak meninggalkan shalat berjamah di belakang pemerintah yang
jahat atau yang baik (ketika mereka menjadi imam).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Kemudian al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah
menjelaskan, “Ashabul Hadits meyakini bahwa shalat Jum’at, shalat ied,
dan shalat-shalat lainnya dilakukan di belakang pemerintah muslim, yang
baik ataupun jahat. Mereka meyakini berperang melawan orangorang kafir
dilakukan bersama pemerintah, meskipun pemerintah itu jahat. Mereka
senantiasa mendoakan kebaikan dan taufik untuk pemerintah. Mereka juga
tidak meyakini bolehnya memberontak kepada pemerintah, meskipun tampak
kecondongannya kepada kejahatan dan kecurangan. Mereka juga meyakini
bolehnya memerangi kelompok yang membelot dari pemerintah sampai mau
kembali kepada ketatan.” (Aqidah Salaf wa Ashabil Hadits)
Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullah
berkata, “Telah sepakat para ulama dari kalangan ahli fikih, ahlul
‘ilmi, serta ahli ibadah dan yang dikenal kezuhudannya dari generasi
pertama umat ini hingga waktu kita sekarang bahwa shalat Jum’at dan
pelaksanan shalat hari raya (‘Idul Fitri dan Adha) serta yang menyangkut
Mina, ‘Arafah, dan jihad, adalah bersama pemerintah, yang baik ataupun
yang jahat. Menyerahkan shadaqah dan sepersepuluh dari hasil bumi kepada
mereka adalah sah. Mendirikan shalat di masjid-masjid besar yang mereka
bangun, melewati/berjalan di jembatan yang mereka buat serta jual beli
dan seluruh perdagangan, pertanian, dan perindustrian di setiap zaman
bersama setiap pemerintah adalah sah berdasarkan hukum al-Qur’an dan
as-Sunnah.” (Syarhul Ibanah)
Maka dari itu, tidak ada wewenang bagi
siapa pun untuk menyendiri dan menyelisihi kewenangan pemerintah pada
urusan yang menyangkut ibadah secara umum, terutama ibadah yang
pelaksanannya melibatkan seluruh kaum muslimin secara bersaman. Semua
itu sebagai upaya mengokohkan persatuan, melindungi darah, dan
menyatukan barisan, serta menghindari perpecahan dan kekacauan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَا
تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang akan
mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)
Shalat Jamah Bersama Pemerintah
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
terus berlaku ketika memerintahkan untuk memerangi kaum Khawarij dan
memerintahkan untuk bersabar menghadapi pemimpin yang jahat dan zalim,
serta perintah shalat di belakang mereka (bagaimana pun keadannya). (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَؤُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka memimpin shalat kalian. Jika mereka
benar, (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah,
kebenarannya untuk kalian dan (kesalahannya) mereka yang menanggung.”
(HR. al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya kepadaku, ‘Bagaimana sikapmu, jika para pemimpin yang ada di
tempatmu mengakhir-akhirkan shalat dari waktunya atau menyia-nyiakan
shalat dari waktunya?’ Aku pun balik bertanya kepada beliau, ‘Apa yang
akan engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, ‘Shalatlah tepat pada waktunya dan jika selesai shalat kamu
menjumpai mereka hendak memimpin shalat, maka shalatlah lagi bersama
mereka. Shalatmu kali ni terhitung amalan sunnah untukmu.” (HR. Muslim)
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
berkata kepada Syu’aib, “Wahai Syu’aib, tidak akan bermanfat untukmu
apa yang telah engkau tulis sampai engkau meyakini bolehnya (sahnya)
shalat di belakang pemerintah yang baik dan yangjahat.”(Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Al-Imam ath-Thahawi rahimahullah
berkata, “Kami memandang boleh (sah) shalat di belakang pemimpin yang
baik dan yang jahat dari kalangan kaum muslimin dan menyalati yang
meninggal dunia dari mereka.”(Aqidah ath-Thahawiyyah)
Sejumlah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di belakang para pemimpin yang jahat seperti sahabat Ibnu Umar dan Anas radhiyallahu ‘anhuma.
Keduanya pernah shalat di belakang Hajjaj (seorang pemimpin yang jahat
dan zalim). Sahabat Ibnu Mas’ud juga pernah shalat di belakang al-Walid
bin Uqbah dan sejumlah para ulama sunnah shalat di belakang para umara
yang zalim dari bani Umayyah dan bani Abbasiyah.
Oleh karena itu, dalam kitab Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits, al-ImamAbu Utsman ash-Shabuni rahimahullah
menjelaskan bahwa para Ahli Hadits berpandangan disyariatkannya shalat
Jum’at, ied, dan shalat-shalat lainnya bersama pemerintah muslimin yang
baik atau yang jahat.”
Shalat Jum’at Bersama Pemerintah
Al-Imam Abu Bakr al-Isma’ili rahimahullah
menjelaskan, “Ahlus Sunnah wal Jamah berpendapat bahwa shalat Jum’at
dan selainnya boleh (sah) di belakang pemerintah muslim yang baik atau
yang jahat, karena Allah k mewajibkan shalat Jum’at dan memerintahkan
untuk menunaikannya dengan kewajiban (dan perintah) yang mutlak.” (I’tiqad Ahlil Hadits)
Al-Imam Ahmad rahimahullah
mengatakan, “Shalat Jum’at di belakang pemerintah dan di belakang siapa
saja yang mewakilinya adalah boleh (sah), sempurna, dua raka’at. Siapa
yang mengulangi shalatnya, mak dia pelaku bid’ah.” (Ushulas-Sunnah)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad dan al-Imam al-Barbahari rahimahullah
dalam Syarhus Sunnah, keduanya, juga menyatakan bolehnya shalat Jum’at
di belakang pemerintah. Kemudian, al- Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah
berkata, “Para ahli hadits meyakini akan disyariatkannya shalat Jum’at,
shalat ied, dan shalat-shalat lainnya bersama pemerintah muslimin yang
baik ataupun yang jahat.” (Aqidah Salaf wa Ashhabul Hadits)
Dengan demikian, siapa saja yang enggan
dan meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjamah di belakang
pemerintah yang jahat, maka dia pelaku bid’ah menurut mayoritas ulama. (Ibnu Abil ‘Izz, Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah)
Berpuasa & Berhari Raya Bersama Pemerintah
Sesungguhnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memberi isyarat akan pentingnya menjaga persatuan, yang dalam hal
ini, ketika akan mengawali pelaksanan ibadah puasa ataupun ketika akan
mengawali hari berbuka atau ‘Iedul Fithri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Berpuasa adalah hari dimana kalian
semuanya berpuasa dan berbuka adalah hari di mana kalian semuanya
berbuka, serta hari raya kurban adalah hari dimana kalian semua
berkurban.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Ketika komunitas manusia akan
melaksanakan semua ibadah ini, lalu setiap pihak menetapkan keputusan
dan sikap/kewenangan tersendiri, maka tidak akan pernah ada wujud
persatuan dan kebersaman. Akan tetapi, jika mereka melakukannya dengan
serempak sesuai dengan aturan syariat yang ditetapkan, kemudian
mengembalikan keputusan dan kewenangannya kepada pemerintah mereka, akan
terwujudlah persatuan dan kebersaman yang diharapkan sehingga berpuasa
bersama pemerintahnya dan berhari raya pun bersama pemerintahnya.
Terkait dengan hadits di atas, al-Imam Abul Hasan as-Sindi rahimahullah
berkata, “Yang pasti, penentuan urusan ini (berpuasa, berbuka, dan
berhari raya) bukanlah kewenangan setiap orang. Tidak dibolehkan bagi
mereka untuk menyendiri dalam pelaksanannya. Akan tetapi, hendaknya
dikembalikan kepada pemerintah. Untuk itu, wajib bagi setiap orang untuk
mengikuti apa yang telah diputuskan/ditetapkan pemerintah dan komunitas
manusia yang bersamanya.” (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Majah)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau
media lainnya tentang penetapan masuknya awal bulan Hijriyyah, maka
wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuk dan keluarnya
bulan, baik bulan Ramadhan atau bulan yang lainnya.
Hal itu dikarenakan pengumuman dari pemerintah adalah hujah syar’i yang harus diamalkan. Oleh sebab itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat
penetapan awal bulan agar mereka semuanya berpuasa, dan pada waktu itu,
masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk menjalankan ibadahpuasa.”(Majalis Syahr Ramadhan)
Dalam sebuah ceramah yang
disampaikannya, syaikh kembali menegaskan bahwa siapa yang telah
melihat hilal dengan yakin, hendaklah memberi tahu pemerintah dan jangan
menyembunyikannya. Kemudian, jika pemerintah mengumumkan masuknya bulan
Ramadhan, berpuasalah. Sebaliknya, jika pemerintah mengumumkan masuknya
bulan Syawal, berbukalah, karena pengumuman yang disampaikan pemerintah
itulah hukum yang terkait dengannya. (Ditranskrip dari ceramah
berjudul Man Yajibu ‘Alaihi Shaumu Ramadhan)
Berhaji & Berjihad Bersama Pemerintah
Ahlus Sunnah wal Jamah berkeyakinan
bahwa pelaksanan ibadah haji, jihad, dan shalat Jum’at disyariatkan
bersama penguasa yang baik dan yang jahat. (Ibnu Taimiyah, Aqidah al-Wasithiyyah)
Jihad adalah ibadah yang agung dan salah satu syiar Islam. Dengan jihad, Allah Subhanahu wata’ala menangkan agama ini. Dengan jihad pula, kaum muslimin mendapatkan kemenangan.
Jihad adalah ‘amal jama’i. Oleh karena
itu, salah satu syarat jihad untuk ditegakkan adalah hendaknya di bawah
bendera pemerintah yang muslim. Tidak dibenarkan setiap orang mengangkat
bendera jihad dan perang, atau setiap pihak membuat kelompok
tersendiri, karena hanya akan membahayakan kaum muslimin sendiri sebelum
dapat mengalahkan orang-orang kafir.
Jika kaum muslimin terkotak-kotak
menjadi sekian kelompok atau jamah kemudian masing-masing mengusung
bendera jihad, yang akan terjadi adalah saling berlomba menampakkan
kelompoknya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka akan saling
menjatuhkan dan saling menjegal.
Kondisi ini pernah dialami oleh beberapa
kelompok jihad di waktu yang lalu. Ketika berhasil mengalahkan musuh,
yang terjadi kemudian ialah saling menyerang dan membunuh antarmereka
sendiri. Sebabnya adalah karena semua
berebut untuk mendapatkan kekuasan. Inilah akibat berjihad tidak di
bawah satu bendera dan satu pimpinan.
Karena itu, kemaslahatan yang didapat
ketika jihad itu ditegakkan di bawah satu bendera sangatlah besar. Kaum
muslimin akan tetap berada di atas persatuan dan kesatuannya. Demi
kemaslahatan yang besar ini, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa jihad
ditegakkan bersama pemerintah, yang baik atau yang jahat sekalipun.
Al-Imam Ali Ibnul Madini rahimahullah
menegaskan, “Berjihad yang dilakukan bersama umara terus berlangsung
hingga hari kiamat, terlepas apakah dia umara yang baik atau jahat.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
menerangkan, “Perkara jihad dan ijtihadnya diserahkan sepenuhnya kepada
pemimpin dan wajib atas seluruh rakyat untuk menati kebijakan-kebijakan
yang telah ditentukan oleh pemerintah mereka.” (al-Mughni)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah
juga berkata, “Tidak diperbolehkan bagi sebuah pasukan perang untuk
berangkat berperang selain dengan izin penguasa, agar penguasa tersebut
dapat memantau dan membantu dari belakang mereka.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Aku berpendapat bahwa jihad tetap berlangsung bersama setiap pemerintah (yang baik atau yang jahat).” (Aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab)
Demikian halnya dengan pelaksanan ibadah haji, Ahlus Sunnah meyakini harus bersama dengan pemerintah. Al-Imam Abu Zur’ah rahimahullah
berkata, “Kami (Ahlus Sunnah) tidak mengafirkan kaum muslimin lantaran
dosa-dosa mereka (selama tidak sampai pada kekafiran). Kami serahkan
keadan batinnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Kami menunaikan kewajiban jihad dan haji bersama dengan pemerintah muslim di setiap masa dan zaman.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ”Kami berpendapat bahwa haji dan jihad tetap berlangsung bersama setiap pemimpin, yang baik ataupun yang jahat.” (Lum’atul I’tiqad)
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah juga mengatakan hal yang sama, pelaksanan haji dan jihad bersama pemerintah tetap berlangsung. (Syarhus Sunnah) Wallahu a’lam.
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Tanya Jawab Ringkas Edisi 84
Menagih Utang Tidak Merusak Ukhuwah?
Bismillah. Apakah pantas orang menagih
utang beberapa kali sampai orang yang berutang melunasinya tetapi si
pengutang tidak menegurnya lagi setelah kejadian itu, sehingga si
penagih merasa telah merusak ukhuwah dengan pengutang? Padahal pada saat
menagih, penagih mencari kondisi yang tepat. (085275XXXXX)
Jawab :
Menagih utang hukumnya boleh, bahkan
hak yang mengutangi walaupun di dalam masjid. Hal itu tidak merusak
ukhuwah sebagaimana pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, Abdullah bin Ka’b menagih utang dari Hadrad bin Abi Hadrad di
dalam masjid sampai suara keduanya meninggi (HR. al-Bukhari). Seharusnya
pihak yang berutang berterima kasih karena telah dibantu. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Sumbangan Pemerintah untuk Membangun Masjid
Bismillah. Bolehkah menerima sumbangan dana untuk membangun masjid dari pemerintah? 085731XXXXXX
Jawab :
Diperbolehkan menerima atau meminta
dana dari pemerintah, karena sama seperti baitul mal. Meminta dana
kepada pemerintah diperbolehkan dan tidak termasuk meminta-minta. Lihat
kitab Dzammul Mas’alah karya asy-Syaikh Muqbil. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Warisan Tetapi Tidak Boleh Dijual?
Seseorang diberi warisan dengan syarat
tidak boleh dijual. Apakah warisan dengan syarat ini sah? Apakah syarat
tersebut termasuk wasiat yang tidak boleh dilanggar? (085740XXXXXX)
Jawab :
Warisan adalah harta peninggalan
mayit untuk ahli warisnya dan dibagi setelah selesai urusan jenazah,
utang, dan wasiatnya. Warisan adalah milik ahliwaris, bukan lagi milik
mayit, jadi terserah penggunaannya oleh ahli waris. Syarat tidak boleh
dijual menyalahi konsekuensi harta waris. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Ibu Mertua, Mahram bagi Suami
Bismillah. Saya pernah menikahi seorang
wanita. Setelah seminggu menikah, istri saya meninggal, sehingga selama
saya menikah, saya belum pernah berjima’ dengannya. Apakah setelah istri
saya meninggal dengan keadaan saya belum menggaulinya, saya masih
mahram dengan ibunya? Jazakumullah khairan. (088261XXXXXX)
Menurut para fuqaha, akad nikah
dengan wanita sudah menjadikan ibunya mahram bagi kita walau belum
terjadi apa-apa. Yassarallahu umurakum. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Akad Nikah yang Sah Bisa Dibatalkan?
Na’am, jazakumullah khairan.
Namun, setelah istri saya meninggal, saya difitnah oleh ayahnya bahwa
saya menikahi anaknya memiliki niat yang tidak baik, karena saya terlalu
cepat mengatakan ingin “ganti tikar” menikahi adiknya. Kemudian ayahnya
marah dan terucap, “Pernikahan kalian (saya dengan istri yang
meninggal) gak sah.” Apa bisa orang tua membatalkan pernikahan dengan
anaknya yang sudah terjadi? Bagaimana status pernikahan itu? (088261XXXXXX)
Jawab :
Akad nikah yang sah sesuai ketentuan
syariat tidak bisa dibatalkan oleh wali wanita. Akad bisa batal dengan
talak ba’in, talak raj’i, hingga habis masa ‘iddah, khulu’, li’an, atau
diketahui pasutri adalah mahram nasab atau karena susuan. Namun, karena
sudah terjadi ketegangan dengan mertua, ahsan (sebaiknya) menahan diri
tidak tergesagesa dalam bertindak. Lembutkan hati mereka, tunjukkan
akhlak mulia. Kalau ternyata lebih besar mafsadahnya, maka lebih baik
menikah dengan wanita lain. Yassarallahu umurakum. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Mahram karena Susuan
Seorang anak wanita baru lahir dan
ibunya meninggal yang kemudian disusui oleh tetangganya. Apakah anak
wanita itu mahram dengan saudara-saudara tetangganya tersebut?
089665XXXXXX
Kalau sudah disusui sebanyak lima kali
kenyang, maka mahram. Tanda kenyangnya adalah bayi tersebut melepaskan
sendiri dari susuannya. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Dalil Lutut atau Tangan Dahulu ketika Akan Sujud
Bismillah. Dalam rubrik “Tanya Jawab
Ringkas” edisi 74 mengenai “lutut atau tangan dahulu ketika sujud”,
jawabannya adalah “pendapat yang rajih adalah kedua cara tersebut boleh,
karena hadits yang dijadikan argument oleh kedua belah pihak (tidak ada
yang sahih)”. Apakah benar pernyataan tersebut? (085696XXXXXX)
Jawab :
Setelah diteliti, kedua belah pihak
mendhaifkan hadits-hadits yang dijadikan argument oleh pihak yang
menyelisihi. Secara kenyataan juga demikian. Maka dari itu, kedua cara
tersebut diperbolehkan, namun yang afdhal adalah mendahulukan kedua
tangan berdasarkan keumuman hadits al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu
dalam Shahih al-Bukhari, “Tidak ada seorang pun dari kami (para sahabat)
yang membungkukkan punggungnya hingga Rasul Shallallahu ‘alaihi
wasallam sempurna sujud….” Wallahul muwaffiq. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Utang untuk Kurban
Bismillah. Bolehkah seseorang berkurban dengan uang hasil berutang? (085275XXXXXX)
Jawab :
Kalau mampu membayar setelah itu,
maka tidak ada masalah karena kurban sangat ditekankan, seperti fatwa
dari asy-Syaikh Ibnu‘Utsaimin. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Antara Iuran Kurban Sapi & Kurban Kambing Sendiri
Manakah yang lebih afdal antara kurban iuran tujuh orang untuk satu sapi dengan seekor kambing untuk satu orang? (081347XXXXXX)
Seekor kambing untuk satuorang. Masalah ini sudah pernah dibahas di Majalah Asy-Syariah edisi 36, silakan dilihat kembali. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Mau Melahirkan, Masih Wajib Shalat?
Bismilah. Jika seorang ibu akan
melahirkan dengan rasa sakit sudah datang tetapi belum mengeluarkan
darah, sedangkan waktu shalat sudah masuk, apakah masih diwajibkan untuk
shalat? (081392XXXXXX)
Jawab :
Selama belum keluar darah nifas, maka
masih suci dan wajib shalat. Lakukan sesuai kemampuan. Jika keluar
darah1-2 hari sebelum kelahiran karena kontraksi janin, sudah terhitung
nifas. Yassarallahul umur. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Kurban Berkelompok
Bismillah. Apakah disyariatkan dalam berkurban dengan cara menabung setiap bulan untuk dibelikan sapi sebagai hewan kurban? (082135XXXXXX)
Jawab :
Kalau dilakukan tujuh orang dengan
nominal yang sama sampai bisa membeli seekorsapi, maka tidak masalah;
karena diperbolehkan tujuh orang berserikat pada seekor sapi. Kalau pada
seekor kambing, maka tidak boleh. Karena tidak boleh berserikat pada
seekor kambing. (al-Ustadz Muhammad Afifuddin)
Jual Beli Kredit yang Mengandung Riba
Apakah proses jual beli motor dengan cara kredit, sebagaimana yang ada pada zaman sekarang ini termasuk praktik ribawi ? (085730XXXXXX)
Jawab :
Akad jual beli motor/mobil dengan cara kredit yang ada pada zaman sekarang di diler-diler adalah riba, ditinjau dari dua sisi:
1. Ada syarat denda pada akad bagi
yang menunggak. Tidak benar mengatakan boleh dengan alasan seseorang
akan membayarnya tanpa menunggak sehingga tidak terkena denda. Sebab,
hal itu adalah akad riba dari asalnya, walaupun dengan niat akan
melunasinya tanpadenda. Lagi pula,
siapa yang bisamemastikan dia tidak akan menunggak?
2. Angsuran dibayarkan ke lembaga
finance yang menalangi setiap motor/mobil yang dicicil oleh nasabah,
tidak dibayarkan ke diler (penjual). Hal itu karena motor/mobil yang
dikreditkan oleh diler telah ditalangi/ditebus secara kontan oleh
finance tersebut. Artinya, pembeli sebenarnya diutangi secara tidak
langsung oleh finance tersebut agar bisa membeli motor/mobil yang
dinginkan, lalu pembeli membayar utang itu kepadanya dengan nilai
lebihbesar (harga cicil). Ini adalah rekayasa riba yang dikenal dengan
istilah i’nah model tiga pihak. Wallahu a’lam. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Jika Penguasa Mengakhirkan Waktu Sholat
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku,
يَا
أَبَا ذَرٍّ، إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّ
ةَالَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا فَإِنْ أَنْتَ أَدْرَكْتَهُمْ فَصَلِّ الصَّ
ةَالَ لِوَقْتِهَا-وَرُبَّمَا قَالَ: فِي رَحْلِكَ-ثُمَّ ائْتِهِمْ فَإِنْ
وَجَدْتَهُمْ قَدْ صَلُّوا كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُمْ لَمْ
يُصَلُّوا صَلَّيْتَ مَعَهُمْ فَتَكُونُ لَكَ نَافِلَةً.
“Wahai Abu Dzar, sungguh akan muncul di
tengah kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat dari
waktu-waktunya. Jika engkau dapatkan mereka, shalatlah engkau pada
waktunya.’ -atau beliau mengatakan-, ‘Shalatlah di rumahmu, kemudian
datangilah mereka. Jika kalian dapatkan mereka sudah selesai menunaikan
shalat, engkau telah tunaikan shalat sebelumnya. Seandainya engkau
dapatkan mereka belum shalat, shalatlah bersama mereka dan shalat itu
adalah nafilah (sunnah) bagimu’.”
Takhrij Hadits
Hadits Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah
dalam al-Musnad (5/169) melalui jalan Isma’il bin Ibrahim bin Miqsam
yang dikenal dengan Ibnu ‘Ulayyah, dari Shalih bin Rustum Abu ‘Amir
al-Khazzaz, dari Abu‘Imran al-Jauni, dari Abdullah bin Shamit dari
sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullah
dalam Shahih-nya (1/448 no. 648), Abu Dawud dalam Kitab Shalat bab
“Idza Akhkhara al-Imam ash-Shalah ‘anil Waqti” (“Jika Imam mengakhirkan
Shalat dari Waktunya”) no. 431, at-Tirmidzi (1/232 no. 176), an-Nasai
no. 858, Ibnu Majah no. 1257, ad-Darimi no. 1229 bab “ash-Shalah Khalfa
man Yuakhkhiru ash-Shalah ‘an Waqtiha” (“Shalat di Belakang Orang yang
Mengakhirkan Shalat dari Waktunya), dan ath-Thahawi (1/263), semua
meriwayatkan melalui jalan Abu ‘Imranal-Jauni dari Abdullah bin
ash-Shamit dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.
Tentang hadits ini, at-Tirmidzi rahimahullah
berkata,“Haditsun hasanun (hadits ini hasan).” Beliau juga berkata,
“Dan dalam bab ini diriwayatkan pula dari Abdullah bin Mas’ud dan
‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu.”
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu memiliki banyak syawahid sebagaimana disebutkan oleh at-Tirmidzi, di antaranya,
Pertama: Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibnu Majah secara
marfu’, diriwayatkan pula secara mauquf oleh al-Imam Ahmad dan Muslim.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ
لِي رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم : كَيْفَ بِكُمْ إِذَا أَتَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُصَلُّونَ الصَّلاَةَ لِغَيْرِ مِيقَاتِهَا؟ قُلْتُ:
فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ، يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ :
صَلِّ الصَّلَاةَ لِمِيقَاتِهَا، وَاجْعَلْ صَلَاتَكَ مَعَهُمْ سبحة.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya kepadaku, ‘Apa yang kalian lakukan seandainya datang kepada
kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat, tidak pada waktunya?
Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepadaku
seandainya zaman itu menjumpaiku?’ Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Shalatlah engkau pada waktunya, dan jadikanlah shalatmu
bersama mereka sebagai amalan sunnah’.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kedua: Hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قَالَ
رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم : إِنَّهَا سَتَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي
أُمَرَاءُ تُشْغِلُهُمْ أَشْيَاءُ عَنِ الصَّلاَةِ لِوَقْتِهَا حَتَّى
يَذْهَبَ وَقْتُهَا ، فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا.فَقَالَ رَجُلٌ:
يَا رَسُولَ اللهِ، أُصَلِّي مَعَهُمْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنْ شِئْتَ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,‘Sungguh sepeninggal ku akan ada ditengah kalian penguasa yang
oleh berbagai urusan hingga melalaikan shalat pada waktunya hingga
habis waktunya, maka shalatlah kalian pada waktunya.’ Salah seorang
sahabat bertanya,‘Wahai Rasulullah, apakah aku shalat bersama mereka?’
Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,‘Ya, jika engkau suka’.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Ketiga: Hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَيَكُونُ
مِنْ بَعْدِي أَئِمَّةٌ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَا قِيتِهَا
فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَا تَكُمْ مَعَهُمْ سبحة
“Akan ada sepeninggalku penguasa-penguasa
yang mematikan shalat dari waktu-waktunya, maka shalatlah kalian pada
waktunya dan jadikanlah shalat kalian bersama mereka sebagai shalat
sunnah.” (HR. Ahmad, 4/124)
Berita Gaib yang Terwujud
Perkara gaib adalah mutlak milik Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak ada yang mengetahui sedikit pun dari perkara gaib di antara
makhluk-makhluk-Nya, baik malaikat, nabi, maupun rasul, apalagi selain
mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَعِندَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا
وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا
فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci
semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (al-Lauh al-Mahfuz).” (al-An’am: 59)
Adapun apa yang diberitakan para rasul
tentang perkara gaib, bukan karena mereka mengetahui perkara gaib, namun
mereka kabarkan berdasar wahyu Allah Subhanahu wata’ala yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepada mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا () إِلَّا مَنِ
ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui
yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang
gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26-27)
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu termasuk berita-berita gaib yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kabarkan sebagai salah satu mukjizat dan tanda kenabian. Beliau
kabarkan munculnya penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat, berita
itu pun terjadi.
Makna Mengakhirkan Shalat
Apa maksud sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Mereka mengakhirkan shalat?” Apakah makna mereka mengakhirkan shalat
hingga keluar dari waktunya secara keseluruhan, seperti mengakhirkan
shalat ashar hingga tenggelam matahari dan masuk waktu Maghrib? Atau
maknanya mengakhirkan shalat dari awal waktu (waktu ikhtiyar) dan
menunaikannya di akhir waktu (waktu idhthirar)?
Sebagaimana diketahui bahwa waktu shalat
ada dua: (1) waktu ikhtiyar, yaitu awal waktu yang seorang muslim
seharusnya melaksanakan shalat di waktu tersebut; (2) waktu idhthirar
yaitu waktu yang masih diperbolehkan seseorang menunaikan shalat dalam
keadaan darurat (memiliki uzur).
Shalat isya dan ashar misalnya, keduanya
memiliki dua waktu tersebut. Waktu ikhtiyar untuk shalat isya adalah
sejak masuk waktu isya’ hingga pertengahan malam, adapun selepas
pertengahan malam hingga terbit fajar adalah waktui dhthirar. Waktu
ikhtiyar untuk shalat ashar dimulai semenjak bayangan sesuatu sama
dengan dirinya hingga bayangan sesuatu tersebut menjadi dua kali lipat
dirinya. Adapun waktu idhtirar dimulai sejak bayangan sesuatu dua kali
dirinya hingga tenggelam matahari.
Kita kembali kepada hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyifati para penguasa yang akan datang dengan sebuah sifat,
سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا
“Sungguh akan muncul di hadapan kalian penguasa-penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya.”
Maksud dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Mereka mengakhirkan shalat.” Adalah mengakhirkan shalat dari waktu
ikhtiyar dan melakukannya di waktu idhthirar, bukan maknanya
mengakhirkan hingga keluar waktu shalat dan masuk waktu shalat
berikutnya.
An-Nawawi rahimahullah menerangkan, maksud sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditshadits ini
( يُؤَخِّرُونَ الصَّ ةَالَ عَنْ وَقْتِهَا)
“mereka mengakhirkan shalat dari waktunya”, yakni waktu ikhtiyar,
bukan maksudnya mereka mengakhirkan hingga habis waktunya.
Riwayat-riwayat yang dinukilkan tentang penguasa-penguasa yang telah
lalu, yang mereka lakukan adalah mengakhirkan shalat dari waktu yang
ikhtiyar dan tidak ada satu pun dari mereka mengakhirkannya hingga habis
semua waktu. Oleh karena itu, berita-berita Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang penguasa yang mengakhirkan shalat ini dibawa kepada kenyataan yang telah terjadi.” (al-Minhaj dan al-Majmu’ [3/48])
Apa Yang Kita Lakukan Jika Penguasa Mengakhirkan Shalat dari Waktu Ikhtiyar?
Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
adalah nash yang memutuskan permasalahan ini; kita diperintahkan untuk
shalat tepat pada waktunya, yakni di waktu ikhtiyar walaupun secara
munfarid di rumah, kemudian shalat kembali berjamaah bersama penguasa di
akhir waktu. Semua ini untuk menjaga persatuan umat.
Al-Allamah al-Albani rahimahullah
berkata, “Jika sudah menjadi kebiasaan para penguasa mengakhirkan
shalat dari waktu ikhtiyar, keharusan seorang muslim adalah tetap shalat
pada waktunya di rumahnya kemudian (mengulangi) shalat bersama penguasa
ketika mereka shalat. Shalat kedua ini adalah sunnah baginya….” (Lihat ats-Tsamaral-Mustathab [1/86])
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Dalam hadits ini (ada faedah) bahwasanya jika seorang penguasa
mengakhirkan shalat dari waktu yang awal (dan melakukannya di akhir
waktu) disunnahkan bagi makmum untuk melakukan shalat di awal waktu
secara munfarid (bersendiri) kemudian mengulangi shalat bersama dengan
imam….” (al-Minhaj)
Apa Hikmahnya?
Perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas mengandung hikmah yang sangat besar, di antaranya menjaga ijtima’ul kalimah (persatuan kaum muslimin).
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengabarkan bahwasanya akan muncul sepeninggal beliau penguasa-penguasa
yang mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, kemudian beliau
memberikan arahan (bimbingan) kepada orang yang (mau) mengikuti petunjuk
beliau agar ia melakukan shalat pada waktunya kemudian melakukannya
berjamaah bersama penguasa, dengan itu tercapailah dua keutamaan,
keutamaan shalat di awal waktu, serta keutamaan persatuan umat dan
merapatkan barisan. (Muhadharah Syarah Sunan Abi Dawud)
Persatuan dan Meninggalkan Perpecahan adalah Pokok Penting dalam Agama
Ayat-ayat al-Qur’an dan haditshadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok yang sangat agung ini. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ
مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kalian semua pada
tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah
kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian
mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَا ثًا، أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئاً، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا،
وَأَنْ تُنَاصِحُوا مِنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ
“Sesungguhnya Allah ridha bagi kalian
tiga hal : kalian beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan apapun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan
tidak berpecah-belah, kalian menasihati orang yang Allah menjadikannya
sebagai penguasa kalian….” (HR. Ahmad)
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang
menetapkan pokok ini sangat banyak di dalam al-Qur’an, namun betapa
banyak umat Islam yang lupa akan pokok yang agung ini, hingga umat pun
bercerai-berai dalam firqah-firqah yang demikian banyak.
Hanya dengan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman sahabat sajalah umat akan kembali bersatu.
Menaati Penguasa dalam Perkara yang Ma’ruf, Sebab Persatuan Umat
Hadits Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang memerintahkan atau menganjurkan setiap insan muslim menjaga
persatuan di bawah penguasa muslim dan tidak melakukan perkara-perkara
yang menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan menentang
penguasa muslim.
Sebagaimana dimaklumi, keberadaan
penguasa (waliyul amri) adalah perkara yang sangat mendesak dan harus
ada, untuk mengurusi perkara-perkara agama seperti puasa, ied, haji, dan
jihad fi sabilillah, demikian pula untuk tertanganinya urusan dunia
kaum muslimin.
Karena pentingnya pemimpin, para sahabat memandang untuk segera menetapkan kekhilafahan sebelum memakamkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebelum berkobar fitnah karena kekosongan kepemimpinan, terpilihlah Abu
Bakr ash-Shiddiq z sebagai khalifah dengan ijma’ (kesepakatan) seluruh
sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sejarah pun mencatat betapa besar jasa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dalam meredam badai fitnah yang menimpa umat pasca-wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.1
Tanpa penguasa, kaum muslimin tidak akan
terurusi urusan dunia sebagaimana tidak akan terurusi urusan agama
mereka, bahkan sudah barang tentu kekacauan dan ketidakstabilan akan
muncul dengan dahsyat. Kemudian, keberadaan penguasa tidak akan berarti
dan maslahat tidak akan terwujud kecuali jika mereka ditaati, tentunya
dalam perkara yang ma’ruf.
Oleh karena itulah menaati pemerintah termasuk salah satu pokok-pokok penting akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (an- Nisa: 59)2
Beribadah Bersama Pemerintah
Termasuk bentuk ketaatan yang
diperintahkan adalah menunaikan ibadah yang sifatnya jama’i bersama
mereka seperti shalat, puasa, hari raya dan jihad, meskipun mereka
adalah penguasa yang fasik.
Beribadah bersama penguasa meskipun
mereka fasik adalah salah satu pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah
sebagaimana dinukilkan dalam kitab-kitab akidah salaf.
AL Imam al Barbahari rahimahullah
(329 H) berkata, “Haji dan jihad terus berlangsung bersama pemimpin
(penguasa/pemerintah). Dan shalat Jum’at di belakang mereka boleh.”
Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim al-Isma’ili rahimahullah
(371 H) berkata, “Ahlul hadits (Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkeyakinan
(boleh dan sahnya) shalat Jum’at dan selainnya di belakang seluruh
penguasa muslim yang baik atau jahat; karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan shalat Jum’at untuk kita datangi dengan perintah yang mutlak3, dan Allah Maha Mengetahui bahwa para penegak shalat Jum’at di antara mereka ada yang fasik dan jahat, namun Allah Subhanahu wata’ala tidak mengkhususkan waktu tertentu, tidak pula mengecualikan perintah tersebut.4
Maksud ucapan al-Isma’ili, seandainya
shalat di belakang pemerintah yang jahat tidak boleh dan tidak perlu
dipenuhi seruannya, niscaya perintah Allah Subhanahu wata’ala
tidak bersifat mutlak. Dua nukilan di atas kiranya cukup untuk
menunjukkan kesepakatan Ahlus Sunnah dalam pokok yang agung ini, dan
seandainya perkataan imam-imam Ahlus Sunnah kita nukilkan sebagian
besarnya niscaya akan menjadi sebuah pembahasan yang sangat panjang.
Puasa dan Ied bersama Pemerintah
Di antara ibadah yang dilakukan bersama
pemerintah adalah shaum (puasa) dan hari raya sebagaimana telah dibahas
pada rubrik-rubrik yang lain. Kami tambahkan di sini beberapa hal.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Hari berpuasa adalah hari yang manusia
berpuasa, hari berbuka adalah hari yang manusia berbuka, dan hari
menyembelih adalah hari yang manusia menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi,
dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 1/389 no.
224)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata
setelah meriwayatkan hadits, “Sebagian ahul ilmi menafsirkan hadits ini:
Makna hadits bahwasanya puasa dan berbuka adalah bersama jamaah
(muslimin) dan mayoritas manusia.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam kitabnya Subulus Salam
(72/2),“Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya yang dijadikan patokan
penentuan ied adalahmenyesuaikan dengan manusia (bersama penguasa), dan
seseorang yang bersendiri melihat hilal ied wajib atasnya tetap
menyesuaikan manusia serta mengikuti keputusan masyarakat dalam shalat,
berbuka, dan menyembelih.”
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Makna inilah5 yang dipahami dari hadits. Diperkuat bahwasanya Aisyah radhiyallahu ‘anha berhujah dengan makna ini kepada Masruq6
ketika suatu saat Masruq tidak melakukan puasa Arafah (yang ditentukan
penguasa ketika itu) hanya karena kekhawatiran (janganjangan) hari itu
adalah hari nahr (ied). Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya (yakni Masruq) tidak dianggap (dalam masalah ini), (muslimin). Beliau lalu berkata,
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah hari yang manusia
menyembelih kurban-kurban mereka dan hari berbuka adalah hari yang
manusia berbuka’.” (Riwayat ini jayyid sanadnya dengan riwayat
sebelumnya)
Al-Albani rahimahullah
selanjutnya berkata, “Inilah makna yang sesuai dengan syariat yang penuh
kebaikan yang salah satu tujuannya adalah mempersatukan manusia dan
merapatkan shaf-shaf mereka serta menjauhkan umat dari semua perkara
yang memecah belah persatuan berupa pendapat-pendapat pribadi
(golongan).
Syariat tidak menganggap pendapat
pribadi dalam ibadah-ibadah jama’i -meskipun benar menurut pendapatnya-
seperti puasa, penetapan ied, dan shalat jamaah. Tidakkah Anda
perhatikan bagaimana para sahabat? Mereka shalat di belakang sahabat
lainnya dalam keadaan ada di antara mereka yang berpendapat menyentuh
wanita, zakar, dan keluarnya darah membatalkan wudhu sedangkan lainnya
tidak menganggapnya membatalkan wudhu; di antara mereka ada yang
menyempurnakan shalat dalam safar, di antara mereka ada yang
mengqasharnya; sungguh perbedaan mereka ini tidak menghalangi mereka
untuk bersatu di belakang satu imam dan menganggap sahnya shalat
bersamanya (meskipun ada perbedaan-perbedaan tersebut), karena mereka
mengetahui bahwasanya perpecahan dalam agama lebih jelek dari perbedaan
dalam sebagian pendapat.
Bahkan, sampai sebagian mereka
benar-benar tidak memedulikan pendapat pribadinya yang menyelisihi
al-Imam al-A’zham (amirul mukminin) dalam perkumpulan yang besar seperti
(berkumpulnya seluruh kaum muslimin dalam ibadah haji) di Mina, mereka
(sahabat) benar-benar meninggalkan pendapat pribadi di saat berkumpulnya
manusia. Semua itu untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi
dengan sebab mengamalkan pendapat pribadi.
Abu Dawud rahimahullah
meriwayatkan (dalam Sunan-nya [1/307]) bahwa Utsman shalat di Mina empat
rakaat. Berkatalah Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Utsman, “Aku
shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (di Mina)
dua rakaat (yakni diqashar), bersama Abu Bakr dua rakaat, bersama Umar
juga dua rakaat, bersama Utsman di awal pemerintahannya juga demikian.
Namun, kemudian ia sempurnakan (empat rakaat)….” Akan tetapi, Ibnu
Mas’ud tetap shalat empat rakaat (di belakang Utsman). Beliau pun
ditanya, “Engkau salahkan Utsman, tetapi engkau shalat di belakangnya?!”
Ibnu Mas’ud menjawab,
الْخِلَافُ شَرٌّ
“Perselisihan itu kejelekan.”
Yang semisal dengan ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah (5/155) dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, semoga Allah Subhanahu wata’ala
meridhai segenap sahabat. Renungkanlah hadits ini dan atsar sahabat
yang telah disebutkan, wahai orang yang terus-menerus bercerai-berai
dalam shalat-shalat mereka dan tidak mau bermakmum kepada imam-imam
masjid, seperti shalat witir di bulan Ramadhan dengan alasan imam-imam
masjid berbeda mazhabnya dengan mazhab mereka!
Sebagian mereka merasa bangga dengan
ilmu falak, lalu berpuasa dan beridul fitri mendahului atau lebih akhir
dari jamaah kaum muslimin (bersama pemerintahnya). Ia lebih menganggap
pendapatnya dan amalannya tanpa memedulikan penyelisihannya terhadap
kaum muslimin dan pemerintahnya.
Hendaknya mereka merenungkan ilmu apa
yang saya sebutkan. Semoga mereka mendapatkan obat atas kejahilan dan
ujub yang bersarang dalam dada mereka.
Semoga mereka mau menjadi satu shaf
bersama saudara-saudaranya kaum muslimin, karena Tangan Allah bersama
jamaah.” (Diringkas dengan beberapa perubahan dari Silsilah ash-Shahihah). Wallahu a’lam.

Di Bawah Naungan Keindahan & Kesempurnaan Syariat Allah Subhanahu wata’ala
Kemaslahatan Hidup dalam Syariat yang Bijaksana
Allah Subhanahu wata’ala telah
menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-sebaik makhluk di dunia ini.
Segala yang terkait dengan hidupnya telah Dia persiapkan. Tidak ada
sekecil apa pun yang mereka butuhkan dalam hidup, kecuali telah dipenuhi
oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak ada seorang dari mereka yang dizalimi oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Namun, berapa dari manusia yang mengetahui bahwa hal itu adalah
pemberian ilahi untuk disyukuri? Yang terjadi, kebanyakan mereka justru
kufur terhadapnya.
Sebelum Allah Subhanahu wata’ala menciptakan mereka, bahkan sebelum Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi dengan jarak lima puluh ribu tahun, Allah Subhanahu wata’ala
telah mencatat dan menulis ketentuan hidup mereka. Apa yang akan mereka
kerjakan, apa yang akan mereka dapatkan, semuanya ada dalam catatan dan
tidak ada yang luput darinya.
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَ ئَالِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah Subhanahu wata’ala telah menulis takdir-takdir makhluk sebelum Allah Subhanahu wata’ala menciptakan langit dan bumi 50.000 tahun.” (HR. Muslim no. 4797 dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Dialah yang berbuat, Dialah yang berkehendak dan Dialah yang Mahabijaksana dalam segala-galanya.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Rabbmu Maha Berbuat apa yang Dia inginkan.” (Hud: 107)
وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِّلْعَالَمِينَ
“Dan Allah tidak menginginkan kezaliman sedikit pun terhadap alam ini.” (Ali Imran: 108)
Keindahan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wata’ala
yang terhampar di alam ini yang disaksikan secara kasatmata, yang bisa
dirasa dan diraba oleh pancaindra, yang diakui oleh fitrah dan diyakini
oleh hati, benar-benar membuktikan bahwa Dialah Zat yang satu yang telah
mengaturnya serta Dialah Zat Yang Mahabijaksana yang telah menentukan
dan menciptakannya.
Keadilan dan kebijaksanaan-Nya dalam
pengaturan dan pencatatan takdir setiap makhluk-Nya menunjukkan keadilan
dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wata’ala dalam menentukan aturan hidup di dalam syariat-Nya.
Segala hal yang terkait dengan hidup ini ada aturannya di dalam syariat Allah Subhanahu wata’ala
yang bila dikaji dengan dasar iman dan ilmu yang lurus, niscaya kita
akan menemukan bentuk keadilan yang tiada tara. Kesempurnaan aturan di
dalam syariat ini sangatlah sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
Allah Subhanahu wata’ala telah
menentukan syariat yang khusus bagi kaum pria, tidak untuk kaum wanita,
begitu juga sebaliknya. Namun, keumuman syariat-Nya diperuntukkan bagi
keduanya, pria atau wanita. Di dalam penentuan kekhususan itu
benar-benar Allah Maha Bijaksana sehingga tidak ada satu makhluk pun
yang dizalimi oleh satu aturan pun. Dia juga telah menentukan kodrat
yang berbeda antara kaum pria dan wanita dengan kebijaksanaan-Nya. Maka
dari itu, saat wanita atau kaum pria mencoba untuk melakukan perubahan
kodrat pria ke wanita atau sebaliknya, kita menemukan adanya kecaman
dari Zat yang Maha Bijaksana dan dari Rasul-Nya. Di antaranya,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang
menyerupai kaum pria.” (HR. al-Bukhari no. 5435 dan Ibnu Majah no. 1894
dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wata’ala juga
mengecam saat kaum wanita mencoba mengambil alih posisi yang itu dipikul
oleh kaum pria menurut pandangan syariat-Nya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak akan beruntung suatu kaum jika
mereka menyerahkan urusannya kepada kaum wanita.” (HR. al-Bukhari no.
4073 dan 6570 dari sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu)
Meluruskan Paham, Menyatukan Tujuan
Keadilan Allah Subhanahu wata’ala
dalam takdir dan syariat-Nya mendapat protes dari sebagian hamba-Nya,
jika tidak dikatakan mayoritas mereka. Hal ini terbukti dengan
kelangkaan orang yang benar-benar lurus dalam memahami Islam dan
mengamalkannya, serta langkanya orang yang berakidah yang benar.
Karena itu, saat mendapatkan ujian berupa musibah, sebagian orang enggan untuk mengembalikannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ironisnya, mereka mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah Subhanahu wata’ala,
seperti paranormal alias dukun, kuburan, atau tempat yang dikeramatkan.
Bukankah ini bentuk kezaliman terhadap Zat Yang Maha Adil? Bukankah ini
bentuk protes terhadap syariat-Nya yang telah melarang berbuat syirik?
Usaha yang dilakukan oleh hamba-Nya
dalam menambah dan mengurangi keabsahan, kesempurnaan, dan keindahan
syariat-Nya dengan menghidupkan berbagai bid’ah, juga merupakan bentuk
protes mereka terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala yang adil dan sempurna ini.
Demikian juga mengubah kodrat dari wanita ke pria dan sebaliknya, juga merupakan bentuk protes mereka terhadap takdir Allah Subhanahu wata’ala
Kapan manusia tidak lagi menuntut? Tentu saat mereka masuk ke liang
lahad dan mengerti tempat yang akan dihuninya, surga atau neraka.
Allah Subhanahu wata’ala telah
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat adil dan melarang mereka
untuk berbuat zalim. Adil dalam bermuamalah dengan Allah Subhanahu wata’ala, dengan dirinya, dan di saat bermuamalah dengan orang lain. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,
وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan hendaklah kamu berlaku adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Hujurat: 9)
Bentuk keadilan dalam bermuamalah dengan Allah Subhanahu wata’ala adalah Anda mengetahui bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah memberi Anda banyak nikmat, lalu Anda mensyukurinya. Allah Subhanahu wata’ala telah menjelaskan kepada
Anda kebenaran dan jalan-jalan yang akan
menyampaikan kepada diri-Nya dan surga-Nya, lalu Anda menerima dan
melaksanakannya. Bentuk keadilan Anda terhadap orang lain adalah Anda
bermuamalah bersama mereka dengan jalan yang Anda suka jika mereka
bermuamalah dengan Anda.
Perintah dari Allah Subhanahu wata’ala
untuk berbuat adil diselewengkan kalimatnya dengan bahasa yang indah
namun berlintah, yaitu istilah “kesetaraan”. Penyelewengan ini telah
menelan banyak korban kaum muslimin tanpa disadari. Sebab, istilah ini
termasuk slogan orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam. Kaum
komunis telah berusaha dengan slogan ini menjerat orang-orang Islam agar
meninggalkan keadilan agamanya dan meluluhlantakkan mereka.
Dengan slogan “persamaan hak”, mereka
menafikan adanya jurang pemisah antara hak pria dan wanita. Artinya,
menurut mereka, pria dan wanita memiliki hak yang sama; hak pemerintah
dengan rakyat juga sama sehingga tidak ada kekuasaan pemerintah atas
rakyatnya; hak ayah atas anaknya sehingga ayah tidak memiliki kekuasaan
untuk mengatur, memerintah, dan melarang anaknya.
Sungguh, slogan ini telah diadopsi oleh orang Islam dan mereka mengumandangkannya untuk menggugat, memprotes keadilan Allah Subhanahu wata’ala,
di dalam syariat-Nya. (lihat faedah ringkas dengan ringkas SyarahAqidah
Wasithiyyah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hlm. 189)
Tidak Puas dengan Syariat-Nya, Sebuah Malapetaka
Menyibak berkah di dalam syariat Allah
Yang Mahabijaksana sangat erat hubungannya dengan sikap keistiqamahan
menjalankan syariat Allah Subhanahu wata’ala secara kaffah (menyeluruh), menerima semua yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sungguh, generasi pertama umat inilah
yang pertama kali mengantongi banyak berkah dalam kehidupan. Mereka
adalah generasi yang aslam (paling selamat), ahkam (paling kokoh), dan
a’lam (yang paling mumpuni ilmunya) tentang agama Allah Subhanahu wata’ala, sekaligus generasi yang paling tinggi tingkat pengamalannya terhadap Islam.
Adapun generasi kita adalah generasi yang sangat alot dan manja. Alot dari menerima kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala,
manja karena tidak mau menerima risiko apabila berada di atas
kebenaran. Akibatnya, generasi ini berada dalam keadaan yang menyedihkan
dan memilukan. Banyak syariat yang ditolak dan ditentangnya tanpa rasa
takut sedikit pun.
Tidakkah cukup bagi Anda jika syariat yang
Anda tolak itu datang dari Allah Yang Mahabijaksana, atau Anda masih
menyangka ada syariat al-hakim yang perlu direvisi?
Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya kesyirikan dengan segala macamnya? Bagaimana pendapat Anda bahwa Allah Subhanahu wata’ala
telah mengharamkan segala bentuk kebid’ahan dalam agama dengan segala
bentuknya? Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya khamr, judi, dan
mengundi nasib? Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya riba? Bagaimana
pendapat Anda tentang haramnya ikhtilath (campur baur) pria dan wanita?
Bagaimana pendapat Anda tentang haramnya zina? Bagaimana pendapat Anda
tentang syariat Allah Subhanahu wata’ala agar wanita itu tinggal
di rumah-rumah mereka? Bagaimana pendapat Anda tentang kewajiban mencari
nafkah itu ada di pundak kaum pria? Bagaimana pendapat Anda tentang
syariat wanita berpergian jauh/safar harus bersama mahramnya? Bagaimana
pendapat Anda jika agama telah mengharamkan berjabat tangan antara pria
dan wanita yang bukan mahram? Bagaimana pendapat Anda tentang syariat
talak (perceraian) ada di tangan suami? Apa komentar Anda jika Allah Subhanahu wata’ala telah membolehkan bagi kaum pria untuk beristri lebih dari satu?
Apa dan bagaimana komentar Anda terhadap syariat-syariat-Nya yang lain? Masih adakah syariat Allah Subhanahu wata’ala
yang perlu direvisi menurut Anda yang mungkin tidak sesuai dengan
hikmah penciptaan manusia ini? Atau masih adakah aturan agama yang
mengatur kehidupan kaum wanita dan mengatur batas-batas pergaulan mereka
yang mengandung ketidakadilan?
Atau, Anda akan mengatakan, “Kami mendengar dan patuh, semuanya untuk kemaslahatan kami”?
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah beliau takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur : 63)
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, “Hendaklah takut orangorang yang menyalahi perintahnya. Artinya, perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jalan, manhaj, sunnah, dan syariat beliau. Jadi, semua ucapan dan perbuatan diukur dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan perbuatannya. Apabila sesuai, akan diterima. Jika tidak, tentu
ditolak, siapa pun yang mengucapkan dan melakukannya, sebagaimana dalam
riwayat sahih dalam kitab Shahihain dan selain keduanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan sesuatu yang tidak ada bimbingannya dariku, amalnya ditolak.”
Hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
baik penyelisihan batiniah maupun lahiriah, apabila hati mereka ditimpa
fitnah yang berupa kekafiran, kefasikan, dan kebid’ahan, atau mereka
ditimpa oleh azab yang pedih di dunia dalam bentuk pembunuhan, dihukum
had, dipenjarakan,dan sebagainya.(Lihat TafsirIbnu Katsir 4/89)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
“Dijadikan rendah dan hina orang yang menyelisihi perintahku.” (HR. Ahmad no. 4868 dari sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Bingung, Akhir Ilmu Filsafat
Sungguh telah berlalu orang-orang yang
telah mencoba memperlihatkan ketidakpuasan mereka dengan syariat agama
yang lurus dan manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan) lalu mengambil
jalur yang lain sehingga menjadi orang yang merana dalam kebimbangan dan
kebingungan.
Inilah Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah.
Beliau tumbuh di tengah aliran Mu’tazilah selama empat puluh tahun dan
mendebat (siapa pun) di atas aliran tersebut, lalu berlepas diri darinya
dan tampil menjelaskan kesesatan Mu’tazilah serta membantahnya dengan
keras.
Inilah Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah.
Bersama dengan kecerdasannya yang sangat, keahliannya dan kepintarannya
dalam masalah ilmu kalam dan filsafat, kezuhudan, melatih diri
(kontemplasi), tasawuf, ternyata semua masalah ini berakhir pada sikap
tawaqquf (terbungkam) dan bingung. Di akhir hayatnya, dia memberi arahan
ke jalan ahli kasyaf, walaupun setelah itu dia kembali ke jalan ahli
hadits dan menulis Iljamul ‘Awam ‘an ‘Ilmil Kalam.
Lain halnya dengan Abu Abdillah Muhammad bin Umar ar-Razi rahimahullah.
Dia berkata di dalam kitabnya, Aqsamul Ladzdzat, “Sungguh saya telah
mendalami ilmu kalam dan jalan ilmu filsafat. Saya tidak menemukan
sesuatu yang bisa menyembuhkan sakit dan menghilangkan dahaga. Saya
justru menemukan jalan yang benar adalah jalan al-Qur’an. Saya membaca
dalam hal itsbat (menetapkan nama dan sifat Allah Subhanahu wata’ala),
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah), yang beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh diangkat.” (Fathir: 10)
Dan saya membaca tentang nafi (meniadakan sifat-sifat yang tidak patut bagi Allah Subhanahu wata’ala),
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (asy-Syura: 11)
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaha: 110)
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
Lalu dia berkata, “Barang siapa mencoba seperti percobaanku, dia akan tahu seperti apa yang aku tahu.”
Beliau sering melantunkan syair berikut,
Akhir dari mendahulukan akal adalah kebingungan
Dan kebanyakan usaha manusia ini sesat
Ruh-ruh kita berada dalam kengerian jasad
Dan hasil dari dunia kita adalah menyakitkan dan sia-sia
Kami tidak menemukan dalam pencarian sepanjang umur
Melainkan hanya mengumpulkan kata Fulan dan kata Allan
Inilah Abul Ma’ali al-Juwaini. Ia
meninggalkan apa yang dahulu dianut dan didalaminya, lalu memilih jalan
salaf. Dia berkata, “Wahai para murid kami, jangan kalian menyibukkan
diri dengan ilmu kalam. Jika saya mengetahui bahwa ilmu kalam akan
menyampaikan saya kepada kondisi ini, niscaya saya tidak akan
menyibukkan diri dengannya.”
Dia juga berkata saat meninggal,
“Sungguh, saya telah menyelami lautan samudra. Saya meninggalkan
orang-orang Islam dan ilmu mereka, dan saya masuk ke dalam apa yang
mereka larang. Sekarang, jika Allah Subhanahu wata’ala tidak
menyelamatkanku dengan rahmat-Nya, celakalah Ibnu Juwaini. Inilah saya,
meninggal di atas akidah ibuku, (atau dia berkata) di atas akidah
orang-orang tua Naisabur.”
Demikian pula yang diucapkan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani rahimahullah. Beliau memberitakan bahwa dirinya tidak menemukan di sisi ahli filsafat dan ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan.
Terkadang, beliau melantunkan, “Sungguh
saya berkeliling di beberapa madrasah dan saya arahkan pandangan kepada
orang-orang pintarnya. Saya tidak melihat kecuali mereka meletakkan
telapak tangan di bawah dagunya dalam kebingungan atau menggeletukkan
giginya karena menyesal.” (Majmu’ Fatawa, 4/72)
Keberanian & Kesabaran Menjalankan Syariat
Sikap menerima dan patuh dalam menjalankan syariat adalah sikap dan perilaku orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala. Mereka menyambut dengan cepat segala apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam hidupnya, bahkan dia melakukan perlombaan untuk meraih dan mendapatkan yang lebih baik dan bernilai di hadapan Allah Subhanahu wata’ala. Suri teladan mereka adalah para rasul Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah
orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiya: 90)
Hidupnya dipersembahkan untuk Allah Subhanahu wata’ala
karena dia mengetahui bahwa dia pasti akan kembali kepada-Nya dan akan
disodorkan kepadanya dua pertanyaan: Apa yang dahulunya kalian sembah?
Dan bagaimana tanggapanmu terhadap rasul yang diutus?
Al-Imam Qatadah dan Abu ‘Aliyah berkata,
“Dua kalimat yang akan ditanya umat terdahulu dan belakangan, “Apa yang
dahulunya kalian sembah? Dan bagaimana tanggapan kamu kepada para
rasul?”
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ () عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.’ (al-Hijr : 92-93)
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya Kami akan menanyai
umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya
Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (al-A’raf: 6)
لِّيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur tentang kejujuran mereka.” (al-Ahzab: 8)
Pertanyaan pertama tentang keikhlasan dan yang kedua tentang mutaba’ah (lihat Ighatsatul Lahafan 1/83, Madarijus Salikin 1/341).
Dia meyakini dunia yang ditempatinya ini akan berakhir, tidak ada kekekalan kecuali di sisi Allah Subhanahu wata’ala
dan tidak ada keabadian kecuali kelak di akhirat. Bila dia menemukan di
alam hidupnya ada satu bagian dari syariat belum dikerjakannya maka dia
menengadahkan tangannya meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala
kekuatan untuk bisa melaksanakan syariat tersebut. Dia mengetahui bahwa
di dalam syariat itu terdapat kemaslahatan bagi manusia secara
menyeluruh, terkhusus bagi orangorang yang beriman kepadanya. Apakah
sikap beriman jika menerima satu syariat dan menolak yang lain? Apakah
sikap orang yang beriman dengan sempurna jika ada satu syariat masih
mengganjal di hati alias tidak menerima?
Orang yang beriman menyadari bahwa Allah Subhanahu wata’ala mensyariatkan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala Maha Mengetahui segala aturan yang mendatangkan maslahat dan yang akan menyebabkan adanya mudarat.
Saudaraku, lapangkan dada Anda untuk menerima segala ketentuan Allah Subhanahu wata’ala
di dalam syariatnya. Apabila Anda menemukan ada tuntunan yang berat
untuk Anda kerjakan, koreksilah iman Anda, koreksi hati dan jiwa Anda.
Mengapa?
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا () وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10)
Ikhlaskan hati, dan khusyukkan jiwa untuk meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala agar mendapatkan keberkahan hidup, bantuan dan pertolongan-Nya untuk menjalankan syariat-Nya.
Jangan mencela, jangan membenci, dan jangan melecehkan! Kitalah yang pantas untuk dicela.
Oleh : al Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Tunaikan Kewajibanmu, Engkau akan Dapatkan Hakmu
Allah Subhanahu wata’ala adalah satu-satunya sesembahan kita yang berhak menerima berbagai peribadahan. Dia Subhanahu wata’ala
adalah Zat yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna,
sehingga semua perbuatan-Nya senantiasa mengandung hikmah dan keadilan.
Di antara bukti yang menunjukkannya, Allah Subhanahu wata’ala
menjadikan dunia yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi
seluruh hamba-Nya. Siapa di antara mereka yang taat dan siapa yang
bermaksiat; siapa di antara mereka yang berhak mendapatkan rahmat-Nya
dan siapa yang berhak mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan hal itu di dalam firman-Nya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (al-Mulk: 2)
Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sebagian kita sebagai ujian dan cobaan bagi sebagian yang lainnya, sebagaimana firman-Nya,
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagiankamu sebagai
cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu
Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)
Termasuk ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wata’ala yang diberitakan dalam ayat ini adalah para penguasa bagi rakyatnya. Tujuannya, menurut Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya, adalah “maukah kalian bersabar, sehingga kalian menegakkan kewajiban-kewajiban, yang dengan sebab itu Allah Subhanahu wata’ala akan memberi pahala, ataukah kalian justru tidak mau bersabar hingga mengakibatkan kalian mendapat siksa?”
Di antara kewajiban kaum muslimin terhadap para penguasanya berdasarkan syariat Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut.
Mencintai Mereka Karena Allah Subhanahu wata’ala
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk mencintai mereka karena-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa di antara sifat pemimpin yang baik adalah dicintai oleh rakyatnya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
>خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَ يُصَلُّونَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَ شِرَا رُ أَ ئِمَّتِكُمْ الَّذِ
يْنَ تُبْغِضُو نَهُمْ وَ يُبْغِضُو نَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَ نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ : لَا ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah para
pemimpin yang kalian cintai dan yang mencintai kalian, mereka mendoakan
kebaikan bagi kalian dan kalian mendoakan kebaikan bagi mereka.
Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian benci dan
yang membenci kalian, kalian melaknati (mendoakan keburukan) bagi
mereka dan mereka melaknati kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Tidak, selama mereka menegakkan shalat di antara kalian.” (HR. Muslim dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
>Oleh karena itu, hendaknya kaum
muslimin secara umum dan para dai secara khusus menebarkan dan
menguatkan kecintaan mereka terhadap para penguasa karena Allah Subhanahu wata’ala, seperti kata al-‘Allamah Ibnu Jama’ah al-Kinani rahimahullah,
“Di antara sepuluh hak penguasa adalah kembalinya hati yang sempat
membencinya dan terkumpulnya kecintaan rakyat kepadanya. Sebab, kedua
hal ini mengandung kemaslahatan dan kebaikan bagi umat, serta akan
menjadikan teraturnya urusan agama.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 55)
Kecintaan kaum muslimin terhadap para penguasa karena Allah Subhanahu wata’ala akan terealisasi dengan :
- Membantu mereka dalam rangkamenegakkankewajiban mereka karena Allah Subhanahu wata’ala.
Al-‘Allamah Ibnu Jama’ah rahimahullah
berkata, “Di antara hak-hak penguasa atas rakyatnya adalah memikul
tanggung jawabnya terhadap umat dan menolongnya sesuai dengan
kemampuannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
تَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, janganlah tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Yang paling berhak untuk dibantu dalam urusan tersebut adalah para penguasa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 55)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Seluruh anak Adam, kepentingan-kepentingan mereka, baik yang
berkaitan dengan dunia maupun akhirat, tidak akan menjadi sempurna
kecuali dengan bersatu, saling membantu, dan juga saling menolong.
Mereka saling membantu dalam upaya meraih hal yang bermanfaat bagi
mereka dan saling menolong dalam upaya menepis berbagai macam perkara
yang akan membahayakan mereka. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa
manusia memiliki tabiat-tabiat yang berdekatan (antara satu dengan
lainnya).
Apabila mereka berkumpul, pasti mereka
memiliki kepentingan bersama yang harus mereka tunaikan untuk meraih hal
yang bermanfaat bagi mereka dan juga memiliki urusan yang harus mereka
hindari, karena perkara itu merugikan mereka sehingga mereka harus
menaati pemimpinnya agar tercapai tujuannya.” (al-Hisbah, hlm. 2)
- Bermuamalah bersama mereka dengan adab mulia, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kedua nabi-Nya, Musa dan Harun ‘alaihimas salam untuk mendakwahi Fir’aun la’natullah dalam firman-Nya,
اذْهَبْ
أَنتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي () اذْهَبَا إِلَىٰ
فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ () فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan
membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam
mengingat-Ku. Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia
telah melampaui batas; maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha:
42-44)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsir-nya, “Ayat ini mengandung pelajaran yang agung. Fir’aun la’natullah berada pada puncak kezaliman dan kesombongan, sedangkan Musa ‘alaihis sallam adalah pilihan Allah Subhanahu wata’ala di antara para hamba-Nya. Meskipun demikian, Allah Subhanahu wata’ala
memerintah Nabi-Nya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan
lemah lembut sebagaimana yang dikatakan oleh Yazid ar-Raqasyi tatkala
menjelaskan ayat tersebut.
Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah
mengatakan, terdapat larangan mencela para penguasa secara khusus
karena akan menyulut api fitnah dan membuka pintu kerusakan terhadap
umat.
Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah
berkata, “Senantiasa umat manusia berada dalam kebaikan selama mereka
memuliakan sulthan (pemimpinnya) dan para ulama. Karena apabila mereka
memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan
memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Apabila mereka melecehkan
keduanya, niscaya mereka akan mendatangkan kerusakan urusan dunia dan
akhiratnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)
- Menasihati mereka dalam urusan agama dan dunia dengan cara yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Untuk Allah Subhanahu wata’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin seluruhnya.” (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata, “Perbuatan menyebarkan kekurangan/aib para penguasa dan
menyebutkannya melalui mimbar tidak termasuk manhaj salaf. Sebab, hal
itu akan menimbulkan kekacauan, ketidaktaatan masyarakat dalam urusan
yang baik serta pembicaraan yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya
(bagi mereka).”
Akan tetapi, cara yang tepat menurut
salaf adalah menasihatinya dengan sembunyi-sembunyi (rahasia), dengan
surat, atau dengan menghubungi para ulama yang akan mengarahkan mereka
kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran seperti mengingkari zina, minum
khamr, atau riba tanpa menyebutkan pelakunya. Cukup mengingkari
macam-macam kemaksiatan dan memperingatkan umat darinya tanpa
menyebutkan pelakunya, baik pelakunya dari kalangan penguasa atau
selainnya.
Setelah mereka (ahlul fitnah) berhasil
membuka pintu kejelekan itu pada zaman ‘Utsman dan mereka mengingkari
‘Utsman dengan terang-terangan. Lengkaplah fitnah, peperangan, dan
kerusakan yang tidak akan berhenti karena dampak jelek yang
ditimbulkannya sampai hari ini, sehingga muncullah fitnah antara Ali dan
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma, terbunuhnya ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma karenanya, serta terbunuhnya sekian banyak para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan sebab mengingkari kemungkaran dan membeberkan kekurangan dengan terangterangan.
Pada akhirnya, orang yang paling mereka benci adalah pemimpin mereka dan pada puncaknya mereka membunuh pemimpin itu. (Huququ ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah karya Ibnu‘Utsaimin, hlm. 27-28)
Mendengar dan Taat dalam Perkara yang Bukan Maksiat
Mendengar dan taat terhadap para
penguasa kaum muslimin dalam perkara yang bukan maksiat adalah perkara
yang telah disepakati kewajibannya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ini
adalah salah satu prinsip yang membedakan mereka dengan ahlul bid’ah.
Hampir tidak ada sebuah tulisan dalam permasalahan akidah Ahlus Sunnah
kecuali di dalamnya dibahas dengan jelas tentang wajibnya mendengar dan
taat kepada penguasa, walaupun mereka sewenang-wenang, zalim, fasik, dan
jahat. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 59)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Wahai orang-orang yangberiman, taatilah Allah, rasul, dan pemimpin kalian.” (an-Nisa’: 59)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا
سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib bagi setiap muslim untuk
mendengar dan taat (kepada pemimpinnya) baik pada perkara yang disenangi
maupun yang dibenci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat
maksiat. Apabila dia diperintah untuk berbuat maksiat, tidak boleh
mendengar dan taat (pada perkara itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Dari ‘Alqamah bin Wa’il al-Hadhrami, dari ayahnya, beliau berkata, “Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
‘Wahai Nabi Allah! Apa pendapatmu apabila yang memimpin kami adalah
para penguasa yang meminta kami memenuhi hak mereka, tetapi mereka
menghalangi hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, kemudian berulang dua atau tiga kali, sehingga al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata,‘Dengar dan taatilah, hanyalah dibebankan kepada mereka segala
sesuatu yang wajib mereka tunaikan dan kepada kalian segala sesuatu yang
wajib kalian tunaikan’.” (HR. Muslim)
Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala
telah membebankan dan mewajibkan para penguasa untuk berbuat adil
terhadap rakyatnya. Apabila mereka tidak melaksanakannya, maka mereka
berdosa. Demikian pula Allah ‘azza wa jalla telah mewajibkan
kepada rakyat untuk mendengar dan taat kepada mereka. Apabila mereka
telah menunaikan kewajiban itu, maka mereka akan mendapatkan pahala.
Kalau tidak melaksanakannya, maka mereka berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 66)
Adapun perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak boleh mendengar dan taat” bermakna pada perkara yang
diperintahkan dan perbuatan maksiat saja. Apabila dia memerintahkan
untuk menjalankan perekonomian dengan cara riba, agar membunuh seorang
muslim tanpa alasan yang benar, atau semisalnya, maka harus mendurhakai
perintah tersebut dan tidak boleh melaksanakannya.
Tidak boleh pula hadits itu dipahami
bahwa jika seorang pemimpin memerintahkan perbuatan maksiat berarti
tidak boleh ditaati secara mutlak pada seluruh perintahnya, tetap wajib
untuk didengar dan ditaati, selain dalam urusan maksiat, maka tidak
boleh mendengar dan taat. (Tahdzibur Riyasah, hlm. 113-114)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah
berkata, “Para penguasa, walaupun binatang tunggangan itu bisa
menari-nari dengan mereka dan rakyat berjalan di belakang mereka karena
kemaksiatan itu dianggap ringan di dalam hati mereka, syariat tetap
mengharuskan kita untuk menaatinya dan melarang kita untuk
memberontaknya. Kita diperintahkan untuk menepis kejahatan mereka dengan
tobat dan doa. Barang siapa yang menginginkan kebaikan, maka harus
berpegang teguh dengan kebenaran dan mengamalkannya serta tidak
menyelisihinya.” (Adab alhasanal-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 121)
Sabar Menghadapi Kesewenangwenangan Mereka
Allah Subhanahu wata’ala dengan keadilan yang sempurna telah menakdirkan bahwa kemaksiatan dan kedurhakaan terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah sumber kerusakan dan kehancuran di dunia serta kerugian dan kecelakaan di akhirat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
Dengan ayat ini kita yakin bahwa
berbagai kezaliman dan kesewenangwenangan yang dilakukan oleh sebagian
para penguasa itu semuanya terjadi dengan sebab dosa dan kesalahan kita.
Sungguh, al-Hasan al-Bashri menceritakan
bahwa Malik bin Dinar memberitakan bahwa al-Hajjaj berkata,
“Ketahuilah, tatkala kalian melakukan suatu dosa yang baru, Allah Subhanahu wata’ala
akan mengadakan perkara yang baru pula pada penguasa sebagai balasan.”
Sungguh telah sampai berita kepadaku bahwa ada seorang yang berkata
kepada al-Hajjaj, ‘Sungguh engkau telah melakukan perbuatan demikian dan
demikian kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,’
lantas dia menjawab, ‘Tentu, hanya saja aku adalah balasan bagi penduduk
Irak tatkala mereka mengada-adakan perkara yang baru dalam agama mereka
dan meninggalkan sebagian syariat yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam.’
Beliau rahimahullah juga berkata,
‘Sungguh telah sampai kepadaku berita bahwa ada seorang yang menulis
surat kepada sebagian orang-orang saleh mengadukan tentang
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat negara.’ Kemudian dia
menjawab, ‘Wahai saudaraku, telah sampai suratmu kepadaku yang kamu
sebutkan tentang kesewenang-wenangan yang menimpamu dan sebagian aparat
negara. Sudah sepantasnya orang yang telah melakukan suatu perbuatan
maksiat kemudian mengingkari balasan/hukumannya dan tidaklah aku
meyakini tentang perkara yang menimpamu itu kecuali kejelekan yang
ditimbulkan oleh dosa-dosa. Wassalam’.”(Adab al-Hasan al-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 119—120)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Kesewenang-wenangan dan kezaliman yang dilakukan oleh para
penguasa, yang bersumber dari takwil -yang dibolehkan ataupun yang
tidak- tidak boleh (menjadi alasan) untuk mengadakan kudeta, karena
sikap ini termasuk kezaliman dan kesewenangwenangan.
Seperti kebiasaan yang dilakukan oleh
mayoritas jiwa -berusaha menghilangkan keburukan dengan cara yang lebih
buruk dan berusaha menghilangkan permusuhan dengan cara permusuhan yang
lebih buruk- memberontak kepada penguasa akan menimbulkan kezaliman dan
kerusakan yang lebih besar daripada kezaliman yang mereka lakukan.
Sikapilah dengan sabar, sebagaimana
harus sabar tatkala memerintahkan perkara yang ma’ruf dan melarang yang
mungkar atas kezaliman yang dilakukan oleh orang diperintah dan dilarang
pada banyak tempat, seperti pada ayat al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpakamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (Luqman: 17)
Perintahkan yang ma’ruf dan laranglah yang mungkar, sabarlah atas segala sesuatu yang menimpamu. (Majmu’ Fatawa, 28/179)
Allah Subhanahu wata’ala
mengabarkan nikmat yang dilimpahkan kepada bani Israil dengan sebab
kesabaran mereka menghadapi Fir’aun dan tentaranya dengan bimbingan Nabi
Musa ‘alaihis sallam,
وَأَوْرَثْنَا
الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ
وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۖ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ
الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا ۖ وَدَمَّرْنَا مَا
كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang
telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya
yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan
Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran
mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan
apa yang telah dibangun mereka.” (al-Araf: 137)
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah taufik-Nya kepada kaum muslimin semuanya, sehingga termasuk orang-orang yang sabar. Amin.
Doa yang Mulia bagi Penguasa
Kebaikan dan keadilan para penguasa
adalah harapan setiap muslim yang cemburu terhadap agamanya. Sebab,
kebaikan dan keadilan mereka berarti kebaikan bagi para hamba dan
negerinegerinya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala menjelang meninggalnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Ketahuilah, bahwa umat manusia itu akan senantiasa berada dalam
kebaikan selama para penguasa dan para pemberi petunjuknya (ulama)
istiqamah memerhatikan mereka.”
Atsar di atas diriwayatkan oleh
al-Baihaqi di dalam Sunan-nya kitab Ahlul Baqi pada bab “Fadhlul Imamul
‘Adil” dengan sanad yang sahih.
Di dalam Sunan itu pula, ada atsar dari al-Qasim bin Mukhaimirah radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Kebaikan dan kerusakan zaman kalian tergantung pada penguasa
kalian. Apabila penguasa kalian baik, akan baik zaman kalian. Apabila
penguasa kalian rusak, rusak pula zaman kalian.”
Kebaikan para penguasa itu kembali kepada Allah Subhanahu wata’ala semata. Allah Subhanahu wata’ala
yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan
yang lurus. Maka dari itu, setiap mukmin yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan hari akhir wajib mendoakan kebaikan bagi para penguasa agar mendapatkan hidayah, taat kepada Allah Subhanahu wata’ala,
dan berjalan di jalan yang diridhai, karena manfaatnya akan kembali
kepada seluruh orang yang beriman di dunia dan di akhirat. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 131)
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Sesungguhnya saya mendoakan kebaikan bagi pemimpin itu agar senantiasa
lurus, mendapatkan hidayah, taufik, dan pertolongan pada waktu malam
dan siang. Aku berkeyakinan hal itu wajib bagiku.” (as-Sunnah lil Khallal, 14)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Kalau saja aku memiliki satu doa yang mustajab, maka aku tidak akan panjatkan kecuali untuk kebaikan imam (pemimpin).”
Beliau rahimahullah ditanya, “Bagaimana hal itu, wahai Abu Ali?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Apabila aku panjatkan doa itu untuk diriku, kebaikannya
hanya untukku. Namun, apabila aku panjatkan doa itu untuk kebaikan imam,
kebaikan imam akan mengakibatkan kebaikan hamba dan negara.” (Hilyatul
Auliya’, 8/91)
Setelah meriwayatkan hadits Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, “Agama itu nasihat,” Abu ‘Utsman Sa’id bin Ismail rahimahullah
berkata, “Nasihatilah penguasa, perbanyaklah doa kebaikan, dan
bimbingan dalam ucapan, perbuatan, dan keputusan hukum baginya. Sebab,
apabila mereka baik, menjadi baiklah hamba-hamba dengan sebab kebaikan
mereka. Takutlah kamu untuk mendoakan kejelekan bagi mereka dengan
laknat. Itu hanya akan menambah kejelekan dan musibah bagi kaum
muslimin. Akan tetapi, doakan kebaikan bagi mereka, agar bertobat
sehingga mereka akan meninggalkan keburukan. Akhirnya, terangkatlah
musibah itu dari kaum muslimin.” (Riwayat al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, 13/99)
Perhatian ulama terhadap masalah ini terbukti dengan :
1. Memasukkan anjuran doa kebaikan bagi
para penguasa dalam kitab-kitab akidah salaf yang ringkas, seorang
muslim dituntut untuk meyakininya. Sebab, hal itu dibangun di atas
hujah-hujah yang syar’i dari al-Kitab, as-Sunnah, dan ijma’ para imam
muslimin.
2. Sebagian ulama menulis dalam kitab
khusus membahas hal itu, seperti al-Imam al-‘Allamah Yahya bin Manshur
al-Harrani al-Hanbali, yang terkenal dengan sebutan Ibnul Hubasyi rahimahullah, mengarang kitab yang berjudul “Da’aimul Islam fi Wujubi ad-Du’ailil Imam”.
3. Sebagian ulama ahli tahqiq menjadikan
doa kebaikan bagi para penguasa sebagai salah satu ciri seorang sunni
salafi. Sebaliknya, mendoakan keburukan atas nama para penguasa menjadi
salah satu ciri ahlul bid’ah yang sesat.
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah
di dalam kitab SyarhusSunnah berkata,“Apabila engkau melihat seseorang
mendoakan kejelekan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengekor hawa
nafsu. Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi
penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut sunnah, insya Allah.” Wallahu a’lam.
Oleh : al Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Melintasi Laut Merah
Tentara Fir’aun semakin dekat. Bani Israil pun bertambah takut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّا
تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ ()
قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ () فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ
مُوسَىٰ أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ
فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
“Maka setelah kedua golongan itu saling
melihat, berkatalah pengikut pengikut Musa,‘ Sesungguhnya kita
benar-benar akan tersusul.’ Musa menjawab,‘Sekali-kali tidak akan
tersusul. Sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk
kepadaku.’ Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah
seperti gunung yang besar.” (asy-Syu’ara: 61—63)
Itulah jawaban tegas Nabi Musa ‘alaihis salam. Tidak mungkin akan terjadi sesuatu yang kalian takutkan karena Allah Subhanahu wata’ala lah yang memerintahkanku membawa kalian ke sini. Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyalahi janji-Nya.
Ibnu Katsir rahimahullah menukil
riwayat bahwa di barisan bani Israil itu ada Nabi Harun dan Yusya’ bin
Nun. Di bagian belakang, ada salah seorang pengikut Fir’aun yang sudah
beriman. Pengikut Fir’aun yang beriman itu bertanya, “Wahai Nabi Allah,
apakah ke sini Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan Anda membawa kami?”
“Ya,” jawab Nabi Musa ‘alaihis salam. Akhirnya, orang-orang yang beriman itu merasa tenang. Mereka yakin pertolongan Allah Subhanahu wata’ala akan segera tiba.
Fir’aun dan bala tentaranya semakin dekat. Pada saat itulah Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihis salam memukul laut itu dengan tongkatnya. Serta-merta, dengan izin Allah Subhanahu wata’ala,
laut itu terbelah menjadi dua belas jalanan yang kering. Air laut yang
terbelah itu masing-masing membentuk dinding setinggi gunung yang
menjulang.
Melihat dua belas jalan membentang di
hadapan mereka, sedangkan air laut membentuk dinding setinggi gunung
memisahkan masing-masing jalan itu, bani Israil di bawah pimpinan Nabi
Musa
dan Harun segera masuk ke celah-celah
dinding ‘kaca’ dan melintasi jalan tersebut. Dua belas jalan itu sesuai
dengan jumlah suku bani Israil, dan masing-masing sudah tahu jalan mana
yang dilewati oleh sukunya.
Dinding-dinding air itu seolah-olah kaca
tembus pandang, sehingga bani Israil dapat melihat saudaranya yang
sedang berjalan di bagian yang lain.
Di belakang mereka, di tepi pantai Laut Merah, Allah Subhanahu wata’ala
menggerakkan Fir’aun dan bala tentaranya mendekati laut yang masih
mengering membentuk jalan. Fir’aun dan pasukannya yang tetap mengejar,
segera menerobos masuk ke laut yang sudah membentuk jalan itu.
Sementara itu, Nabi Musa, Nabi Harun,
dan bani Israil sudah tiba di seberang laut tersebut. Begitu seluruh
bani Israil telah menapakkan kakinya di seberang -Fir’aun yang masih
berada di tengah, demikian pula pasukannya, tidak ada yang tertinggal-
muncullah rasa takut dalam hati Fir’aun dan pengikutnya. Tetapi,
terlambat, untuk kembali sudah tidak mungkin, maju juga tidak.
Dalam keadaan demikian, dengan izin Allah Subhanahu wata’ala,
laut itu pun bertaut kembali. Dinding-dinding ‘kaca’ yang tadi tegak
menjulang setinggi gunung, bergerak sambil mengeluarkan suara kematian,
mengempas dan membenamkan Fir’aun dan pasukannya ke dasarnya. Jerit
kematian bersama ringkik kuda yang ketakutan tenggelam dalam deru air
yang bergemuruh dahsyat. Tidak ada yang selamat. Semua tenggelam, mati.
Keadaan pun menjadi sunyi, sepi. Di sela-sela riak dan gelombang Laut
Merah itu….
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ
بَغْيًا وَعَدْوًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ () آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ
مِنَ الْمُفْسِدِينَ () فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ
لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا
لَغَافِلُونَ
“Dan Kami memungkinkan bani Israil
melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya,
karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). Hingga bila Fir’aun itu
telah hampir tenggelam berkatalah dia,‘Saya percaya bahwa tidak ada Ilah
melainkan (Ilah) yang dipercayai oleh bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Apakah sekarang (baru
kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan
kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari
manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (Yunus: 90-92)
Ternyata, dalam keadaan panik, napas
tinggal satu-satu, Fir’aun berusaha bertahan dan berkata, “Saya percaya
bahwa tidak ada Ilah melainkan (Ilah) yang dipercayai oleh bani Israil,”
tetapi ucapan itu tidak berguna, dia pun mati terbenam. Jasadnya
ditemukan dalam keadaan terdampar di wilayah Mesir, kemudian diawetkan
dan masih utuh hingga saat ini.
Demikianlah, bani Israil telah diselamatkan Allah Subhanahu wata’ala dari kehinaan dan kekejaman Fir’aun. Allah Subhanahu wata’ala
menghancurkan musuh mereka bahkan memperlihatkan kepada mereka
kebinasaan Fir’aun dan bala tentaranya yang tenggelam di Laut Merah.
Tidak hanya itu, jasad Fir’aun yang telah kehilangan nyawa, Allah Subhanahu wata’ala tunjukkan dan Allah Subhanahu wata’ala abadikan agar menjadi pelajaran dan peringatan bagi orangorang yang datang sesudahnya.
Setelah melihat sendiri kehancuran musuh mereka, bani Israil merasa puas dan lega. Dengan penuh rasa syukur, Nabi Musa ‘alaihis salam membawa mereka meninggalkan tempat tersebut.
Nabi Musa membawa bani Israil menjauh
dari tepi Laut Merah. Di depan, mulai tampak tanda-tanda kehidupan.
Atap-atap rumah penduduk daerah itu mulai terlihat.
Di sebuah tempat, masih dalam
perjalanan, mereka melihat penduduk negeri yang akan mereka lewati itu
sedang tirakat, beribadah kepada berhalaberhala mereka.
Melihat perbuatan penduduk negeri itu, bani Israil berkata kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya,
قَالُوا
يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ
إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ () إِنَّ هَٰؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ
فِيهِ وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ () قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ
أَبْغِيكُمْ إِلَٰهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Hai Musa, buatlah untuk kami satu
sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” Musa
menjawab,“Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya atas mereka itu, akan dihancurkan kepercayaan yang
dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” Musa
menjawab, “Patutkah aku mencari satu sesembahan (ilah) untuk kamu selain
Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat?”
(al-A’raf: 138-140)
Mendengar teguran keras Nabi Musa ‘alaihis salam
ini, mereka terdiam dan tidak jadi melanjutkan keinginan tersebut.
Seandainya mereka tetap melanjutkan keinginan itu, pasti mereka ditimpa
azab; dihancurkan, sebagaimana dalam ayat tersebut. Beliau mengingatkan
mereka akan karunia Allah Subhanahu wata’ala yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir’aun, bahkan memperlihatkan bagaimana Allah Subhanahu wata’ala membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya, serta melebihkan mereka dari seluruh manusia pada masa itu.
Ribuan tahun kemudian, sebagian sahabat yang baru masuk Islam, ada yang meminta hal yang sama kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Kami berangkat bersama Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menuju Hunain, sementara kami baru saja meninggalkan kekafiran (baru
masuk Islam) dan orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon sidr
(bidara) yang selalu mereka i’tikaf (tirakat) di dekatnya. Mereka biasa
menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon itu, yang namanya Dzatu
Anwath.
Kami pun melewati pohon seperti itu,
lalu kami berkata,‘YaRasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath
sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.”
Serta-merta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
‘Allahu Akbar, sungguh ini (ucapan kalian ini) adalah sunnah (jalan
hidup, kebiasaan), kalian telah berkata – demi yang jiwaku di
Tangan-Nya- sebagaimana yang dikatakan bani Israil (dalam ayat),
يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
‘Ya Musa, buatkanlah kami satu
sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.’ Musa
menjawab,‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.
Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti jalan hidup orang-orang
sebelum kalian’.”1
Benarlah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berita nubuwah yang tidak mungkin disanggah dengan akal secerdas apa
pun. Berita yang keluar dari manusia terbaik, yang tidak berbicara
dengan hawa nafsunya, bahwa dari kalangan umat ini pasti akan ada yang
mengikuti cara hidup orangorang sebelum mereka, baik itu Yahudi dan
Nasrani maupun Persia dan Romawi.
Akan tetapi, ada satu hal yang harus
dicermati, bahwa meskipun hadits tersebut sahih, ada pula hadits lain
yang juga sahih, yang menegaskan tidak semua umat beliau terjerumus
melakukan perbuatan yang meniru orang-orang Yahudi, Nasrani, Romawi, dan
Persia.
Itulah orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala; orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan Kitab Allah Subhanahu wata’ala dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Insya Allah bersambung)
Oleh : al Ustadz Abu Muhammad Harits
———————————————————————–
1 HR. at-Tirmidzi (2180) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah (Shahih Sunan at-Tirmidzi [1/235]).

Al-Aliim
Al-‘Alim الْعَلِيمُadalah salah satu
al-Asmaul Husna. Nama yang mulia ini tersebut dalam banyak ayat dan
hadits, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
ذَٰلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“(Allah menjadikan hal) itu agar kamu
tahu, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(al-Maidah: 97)
إِذْ
قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي
مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“(Ingatlah), ketika istri ‘Imran
berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak
dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di
BaitulMaqdis). Oleh karena itu, terimalah (nazar) itu dariku.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali
Imran: 35)
Adapun dalam hadits, di antaranya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ صل الله عليه وسلم يَقُولُ عِنْدَ الْكَرْبِ: لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ الْعَلِيمُ الْحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ
الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَرَبُّ الْأَرْضِ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيم
“Di saat kesusahan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengucapkan (yang artinya),“Tiada sesembahan yang benar selain Allah
Yang Maha Berilmu, Yang Maha Penyabar, tiada sesembahan yang benar
selain Allah, Rabb Arsy yang agung, tiada sesembahan yang benar selain
Allah, Rabb langit-langit, Rabb bumi, dan Rabb Arsy yang mulia.” (Sahih,
HR. al-Bukhari)
Ibnul Qayyim t berkata,
Dialah Yang Maha Berilmu, ilmu-Nya meliputi segala yang berada di alam baik yang tersembunyi maupun yang tampak
Dalam segala sesuatu ada ilmu-Nya, Yang Maha suci
Dialah yang meliputi segala sesuatu dan tidak memiliki sifat lupa
Dan Dia mengetahui apa yang akan terjadi besok, dan apa yang telah terjadi
Serta yang sedang terjadi pada waktu ini.
Juga, Ia mengetahui urusan yang belum terjadi
Seandainya terjadi, bagaimana terjadinya sesuatu yang mungkin tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras
menerangkan ucapan Ibnul Qayyim di atas, “Ini adalah penjelasan yang
paling bagus dan paling lengkap tentang asma Allah al-‘Alim. Beliau
menyebutkan cakupan ilmu Allah Subhanahu wata’ala atas segala hal
yang dapat diketahui, baik yang wajib (harus ada), yang mumtani’ (tidak
mungkin ada/terjadi), atau yang mumkinat (mungkin ada).
Adapun yang wajib ada, sesungguhnya Ia
mengetahui diri Dzat-Nya yang mulia, sifat-sifat-Nya yang suci, yang
menurutakal tidak mungkin tidak ada pada Zat Allah Subhanahu wata’ala, bahkan wajib ada dan tetap pada-Nya.
Adapun yang mumtani’ (tidak mungkin ada/terjadi), maka Allah Subhanahu wata’ala Maha Mengetahui saat tidak terjadinya. Allah Subhanahu wa ta’ala
juga mengetahui akibat dari adanya atau terjadinya seandainya hal itu
terjadi. Contohnya, Allah Subhanahuwata’ala mengabarkan akibat dari
adanya tuhan-tuhan yang lain bersama-Nya dalam firman-Nya,
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Sekiranya ada di langit dan di bumi
sesembahan-sesembahan selain Alah, tentulah keduanya itu telah rusak
binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka
sifatkan.” (al-Anbiya: 22)
Ini adalah kerusakan yang tidak terjadi.
Sebab, hal itu adalah akibat dari sesuatu yang mustahil, yaitu adanya
sesembahan lain bersama Allah Subhanahu wata’ala. Apabila hal yang mustahil ini terjadi, akan terjadi pula kerusakan tersebut, seperti firman Allah Subhanahu wata’ala yang lain,
مَا
اتَّخَذَ اللَّهُ مِن وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَٰهٍ ۚ إِذًا
لَّذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ
سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak,
dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada
tuhan beserta-Nya, setiap tuhan itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.”
(al-Mu’minun: 91)
Perginya setiap tuhan dengan ciptaannya
dan sebagian tuhan-tuhan itu akan mengalahkan yang lain adalah akibat
adanya sesembahan yang lain bersama Allah Subhanahu wata’ala. Dan ini adalah sebuah hal yang mustahil. Apabila hal ini terjadi, tentu akibatnya juga akan terjadi.
Ini adalah pemberitaan dari-Nya -dalam
bentuk pengandaian- tentang sesuatu yang muncul akibat dari adanya
sesembahan-sesembahan selain Allah Subhanahu wata’ala, seandainya hal itu terjadi.
Adapun hal-hal yang mungkin terjadi (mumkinat), yaitu yang mungkin menurut akal terjadinya atau tidak terjadinya, Allah Subhanahu wata’ala mengetahui apa yang ada dan apa yang tidak ada, yang terjadi dan yang tidak, dari hal-hal yang hikmah Allah Subhanahu wata’ala
menuntut tidak terjadinya. Ilmu-Nya mencakup seluruh alam semesta, yang
atas dan yang bawah. Tiada suatu tempat atau waktu pun yang lepas dari
ilmu Allah Subhanahu wata’ala. Ia mengetahui yang gaib dan yang tampak, yang lahir dan yang batin, serta yang jelas dan yang tersembunyi.
Ilmu-Nya tidak ditimpa oleh kelalaian atau kelupaan, sebagaimana firman-Nya yang menceritakan ucapan Musa ‘alaihis salam,
قَالَ عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَّا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنسَى
“Musa menjawab, “Pengetahuan tentang itu
ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah
dan tidak (pula) lupa.” (Thaha: 52)
Demikian pula, ilmu-Nya meliputi seluruh
alam semesta yang atas dan yang bawahnya berikut segala makhluk yang
ada beserta zatnya, sifatnya, perbuatannya, serta seluruh urusannya.
Allah Subhanahu wata’ala juga tahu apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, yang tiada ujungnya. Allah Subhanahu wata’ala
mengetahui apa yang tidak terjadi, pun seandainya terjadi -yakni
apabila hal itu ditakdirkan terjadi- Ia tahu bagaimana cara terjadinya.
Allah Subhanahu wata’ala juga
tahu keadaan para mukallaf sejak Dia menciptakan mereka, setelah
mewafatkan mereka, dan setelah menghidupkan mereka kembali. Ilmu-Nya
telah mencakup perbuatan mereka seluruhnya, yang baik dan yang buruk,
serta balasan atas amal-amal tersebut beserta perincian hal tersebut di
negeri kekal abadi.
Adapun dalil aqli atas ilmu Allah Subhanahu wata’ala ada beberapa hal.
1. Adalah mustahil untuk mengadakan/menciptakan sesuatu tanpa ilmu. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala
menciptakan sesuatu dengan kehendak-Nya, dan kehendak-Nya terhadap
sesuatu mengandung pengetahuan terhadap apa yang dikehendaki-Nya,
seperti firman Allah Subhanahu wata’ala,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui; dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui?” (al-Mulk: 14)
2. Kekokohan, kedetailan, keajaiban
ciptaan, dan kecermatan dalam penciptaan yang ada pada makhluk-makhluk,
ini menjadi bukti bahwa Penciptanya sangat berilmu, karena secara
kebiasaan tidak mungkin itu semua terjadi dari selain Dzat yang tidak
berilmu.
3. Di antara makhluk ada yang berilmu, dan ilmu adalah sifat kesempurnaan. Seandainya Allah Subhanahu wata’ala tidak berilmu, berarti ada di antara makhluk ada yang lebih sempurna dari-Nya.
4. Ilmu yang ada pada makhluk
sesungguhnya berasal dari Penciptanya. Dengan demikian, Pemberi
kesempurnaan itu lebih berhak menyandang kesempurnaan tersebut, karena
sesuatu yang tidak memiliki tidak mungkin bisa memberi. (Syarah Nuniyyah, 2/73-75)
Buah Mengimani Nama Allah al-Aliim
Di antara buahnya adalah mengetahui keagungan Allah Subhanahu wata’ala,
Dia mengetahui segala sesuatu sampai hal-hal yang terkecil, baik yang
di dasar lautan maupun yang di dalam bumi, juga yang ada dalam lubuk
hati. Bagaimanapun amal dan ucapan kita, Allah Maha Mengetahuinya. Tentu
hal ini menuntut kita semua untuk takut kepada-Nya dalam segala keadaan
dan di setiap tempat. Walaupun kita melakukannya di malam hari, di
tempat yang gelap dan sepi, Allah Subhanahu wata’ala sangat mengetahuinya.
Ingatlah bahwa balasan Allah Subhanahu wata’ala sudah menanti. Rahmat Allah Subhanahu wata’ala dan taufik-Nya selalu kita harapkan agar Dia selalu membimbing kita ke jalan yang lurus. Wallahul muwaffiq.
Oleh : al Ustadz Qomar Suadi, Lc.
Suami Taat Beribadah, Tidak Memperhatikan Istri
Pertanyaan :
Saya membaca majalah Asy-Syariah
dalam rubrik “Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah” tentang istri yang rajin
beribadah, namun enggan taat kepada suami. Yang saya ingin tanyakan,
bagaimana jika suami yang taat ibadah namun tak peduli dengan istri,
tiap malam istri tidur sendirian. Bagaimana jika istri juga tidak ridha,
diterimakah amal ibadah suami, sedangkan istri tersakiti batinnya?
Bukankah berumah tangga itu termasuk ibadah?
Jawab :
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Soal suami yang taat ibadah namun kurang
perhatian terhadap istri; tentang ibadahnya, apabila memang terpenuhi
syarat, rukun, dan kewajibannya, maka tetap diterima. Namun, sikapnya
yang
tidak memerhatikan istri juga tidak dibenarkan. Coba perhatikan riwayat berikut ini.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma
ia berkata, “Ayahku menikahkan aku dengan seorang wanita yang bernasab
mulia, maka ayah senantiasa mengontrol menantunya. Ayah menanyakan
tentang suaminya (yakni anaknya, -red). Menantunya pun menjawab, “Dia
sebaik-baik pria, tidak pernah meniduri kasur kami, dan tidak pernah
membuka-buka tutup sejak kami datang.” Maka setelah hal itu berlangsung
lama pada dirinya, ayah melaporkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka beliau berkata, “Pertemukan aku dengannya.” Setelah itu aku
bertemu dengan beliau. Beliau bertanya kepadaku, “Bagaimana kamu
berpuasa?” “Setiap hari,” jawabku. “Bagaimana kamu mengkhatamkan
al-Qur’an?” tanya beliau. “Tiap malam,” jawabku. “Kalau begitu puasalah
tiap bulan tiga hari dan khatamkan al-Qur’an tiap bulan.” Aku
menjawab,“Aku mampu lebih banyak dari itu.” “Puasalah tiga hari setiap
sepekan,” perintah beliau.“Aku mampu lebih banyak dari itu,” jawabku.
“Berbukalah dua hari dan berpuasalah satu hari,” jawabku. “Puasalah
dengan puasa yang paling utama, puasa Dawud, puasa satu hari dan tidak
puasa satu hari, dan khatamkanlah al-Qur’an tiap tujuh malam satu kali.”
Dalam riwayat yang lain beliau berkata,
أَلَمْ
أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلاَ تُفْطِرُ، وَتُصَلِّى وَلاَ تَنَامُ،
فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا،
وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
“Tidakkah disampaikan berita kepadaku
bahwa kamu puasa terus dan tidak pernah tidak puasa, shalat malam terus
dan tidak pernah tidur? Maka (sekarang) puasalah kamu dan juga tidak
puasa (dihari lain,-pen), shalat malamlah dan juga tidurlah.
Sesungguhnya matamu punya hak atas dirimu, tubuhmu dan keluargamu juga
punya hak atas dirimu.”
Dalam kejadian yang lain diriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhuma.
Suatu saat, Salman mengunjungi Abu Darda’. Maka Salman melihat Ummu
Darda’ berpakaian lusuh. Salman pun mengatakan kepadanya, “Mengapa kamu
demikian?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tiada hasrat kepada
dunia.” Maka Abu Darda’ datang lalu membuatkan makanan untuk Salman.
Salman mengatakan kepada Abu Darda’, “Makanlah!” “Aku berpuasa,”
jawabnya. Salman menukas, ”Aku tidak akan makan sampai engkau mau
makan.” Akhirnya dia makan. Maka ketika malam harinya, Abu Darda bangun,
Salman mengatakan kepadanya, “Tidurlah!” Maka Abu Darda’ tidur lagi,
lalu bangun lagi, maka Salman mengatakan lagi kepadanya, “Tidurlah.”
Maka ketika pada akhir malam Salman mengatakan, “Bangunlah sekarang”,
lalu keduanya melakukan shalat. Selanjutnya Salman mengatakan kepadanya,
إِنَّ
لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلأَهْلِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِىَّ صل
الله عليه وسلم فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِىُّ صل الله عليه
وسلم :صَدَقَ سَلْمَانُ
“Sesungguhnya Rabbmu punya hak atas
dirimu, dirimu sendiri punya hak atas dirimu, dan keluargamu punya hak
atas dirimu, maka berikan hak kepada tiap-tiap yang memilikinya.” Lantas
Abu Darda datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan hal itu kepadanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,“Salman benar.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat Daraquthni ada tambahan,
فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَلِّ وَنَمْ وَائْتِ أَهْلَكَ
“Puasalah dan juga jangan puasa (dihari lain, –pen.), shalatlah dan juga tidurlah, serta gauli istrimu’.”
Lalu Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa dalam kisah tersebut ada pelajaran:
- Disyariatkannya seorang wanita berhias untuk suaminya.
- Ada hak wanita atas suaminya yaitu kebaikan dalam hal bergaul.
- Bisa diambil pula dari kisah tersebut, adanya hak bagi istri untuk digauli. Sebab, Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Keluargamu juga punya hak atas dirimu.” Lalu Salman mengatakan, “gauli istrimu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyetujui penegasan Salman tersebut.
Dari kisah di atas berikut sejumlah
faedah yang dipetik, menunjukkan bahwa seorang suami punya kewajiban
untuk menunaikan hak istrinya dalam hal “mencampurinya”. Tidak
dibenarkan ia menyepelekan hak tersebut walaupun dengan alasan sibuk
dengan ibadah, apalagi dengan alasan yang lain.
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah
berpandangan, wajib atas suami untuk menggauli istrinya seukuran
kebutuhannya dan selama hal itu tidak memayahkan fisik suami, serta
tidak menyibukkannya dari mencari rezeki.
Beliau ditanya tentang seorang suami
yang tahan untuk tidak menggauli istrinya satu atau dua bulan, apakah ia
berdosa atau tidak? Apakah seorang suami dituntut untuk melakukannya?
Jawab beliau, “Wajib atas seorang suami
untuk menggauli istrinya dengan baik, dan itu termasuk hak istri yang
paling ditekankan atas suami, melebihi hak makannya. Dan menggauli itu
wajib. Ada pendapat yang mengatakan wajibnya adalah di tiap empat bulan
satu kali. Pendapat lain, ‘Sesuai dengan kebutuhan istrinya dan sesuai
dengan kemampuan suami’ dan ini yang lebih sahih dari dua pendapat ini.”
(Majmu’ Fatawa, 32/271)
Beliau juga mengatakan, “… Maka wajib
atas masing-masing suami dan istri untuk menunaikan haknya kepada pihak
lain dengan penuh kerelaan dan lapang dada. Karena sesungguhnya istri
punya hak atas suami dalam hartanya yaitu mahar dan nafkah yang baik,
serta hak pada tubuhnya yaitu percampuran dan kenikmatan, yang kalau
suami bersumpah untuk tidak menggaulinya, (istri) berhak untuk pisah
dengan kesepakatan muslimin. Demikian pula bila suami terputus “alatnya”
atau impoten, dan tidak mungkin menggaulinya, maka wanita boleh meminta
pisah. Dan menggaulinya itu wajib menurut mayoritas para ulama.
Ada juga pendapat lain, itu tidak wajib,
cukup hal itu sesuai dorongan nafsu manusiawinya saja. Yang benar,
menggauli adalah wajib sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an,
as-Sunnah, dan pokok-pokok agama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengatakan kepada Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma –ketika beliau memperbanyak puasa dan shalat-, “Sesungguhnya istrimu punya hak atas dirimu.”
Kemudian ada yang berpendapat, “Yang wajib atasnya untuk menggaulinya adalah satu kali dalam empat bulan.”
Pendapat lain mengatakan, “Wajib
menggaulinya dengan cara yang baik sesuai dengan kekuatan suami dan
kebutuhan istri, sebagaimana wajibnya menafkahi dengan cara yang baik
juga demikian.”
Pendapat ini yang lebih benar. Suami
boleh menikmatinya kapan suami mau selama tidak mencelakakannya dan
tidak menyibukkannya dari yang wajib, maka wajib bagi wanita untuk
mempersilakannya juga…. (Majmu’ Fatawa, 28/383—384)
Ada juga beberapa pendapat yang lain, tapi itu lemah.
Yang perlu diingat bahwa suatu perbuatan
yang wajib, bila kita mengamalkan sebagai ketundukan kita kepada
kewajiban tersebut, hal itu adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan tentu mendapatkan pahala. Sebaliknyabila kita meninggalkannya kita akan mendapatkan dosa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
…وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ الله؛ أَيَأْتِي
أَحَدُنا شَهوَتَهُ، وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟! قَالَ: أَرَأَيْتُمْ
لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ؛ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إذَا
وَضَعهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“..Dan pada ‘percampuran’ seseorang dari
kalian ada sedekahnya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
apakah seseorang dari kita yang mendatangi syahwatnya lalu dia dapat
pahala karenanya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan,“Bagaimana menurut kalian, bila ia meletakkannya pada tempat
yang haram, bukankah ia akan mendapatkan dosa? Maka demikian pula bila
ia meletakkannya pada yang halal maka ia akan mendapatkan pahala.”
(Sahih, HR. Muslim)
Semoga kita semua menjadi suami yang bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu wata’ala sebelum di hadapan manusia. Allah Subhanahu wata’ala sajalah yang memberi taufik.

Dunia Akan Berlalu Akherat Akan Menyongsong
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata dalam salah satu khutbahnya,
“Sesungguhnya, dunia bukanlah negeri
keabadian kalian. Allah Subhanahuwata’ala telah menetapkan kefanaannya.
Dia l juga menetapkan bahwa penghuninya akan meninggalkannya. Betapa
banyak tempat yang makmur dan dicatat oleh sejarah, hancur dalam waktu
sekejap. Betapa banyak orang yang tinggal dalam keadaan senang,
tiba-tiba harus beranjak pergi. Karena itu, siapkanlah sarana terbaik
yang ada pada kalian sekarang—semoga Allah Subhanahuwata’alamerahmati
kalian—untuk menempuh perjalanan (kelak). Siapkanlah bekal, dan bekal
terbaik adalah takwa.”
Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Aku
heran terhadap manusia yang akan ditinggalkan oleh dunia dan akan
disongsong oleh akhirat—, ia justru sibuk dengan hal yang akan
meninggalkannya dan lalai dari sesuatu yang akan menyongsongnya.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 516)

Islam Itu Kejam
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Qishash atas pembunuh, adalah salah satu
syariat Islam yang terus saja direcoki oleh para pegiat HAM. Hukuman
mati, oleh mereka, dianggap kejam, tidak sesuai dengan standar HAM. Dari
sini, kerancuan para “intelektual” itu dimulai. Mereka demikian getol
membela “HAM” pembunuh, tetapi justru melupakan hak-hak hidup manusia
yang telah dibunuh. Lebih-lebih jika vonis hukuman yang dijatuhkan
sangat ringan, tentu sangat melukai keluarga korban.
Bagaimana pula dengan hak-hak keluarga
korban, jika yang terbunuh adalah tulang punggung keluarga? Bagaimana
pula jika pelaku adalah pembunuh (bayaran) yang tak kunjung jera, berapa
banyak nyawa manusia terancam dengan keberadaannya?
Dari sisi pelaku kejahatan, bisa jadi
syariat Islam sangat menakutkan mereka. Namun, sejatinya syariat Islam
sangat mengayomi dan memberi rasa adil kepada manusia yang lain. Bahkan,
syariat Islam dengan ketegasannya terhadap pelaku kejahatan—mencegah
terjadinya kejahatankejahatan lain karena hukum Islam mampu memberi efek
jera bagi pelaku dan “caloncalon” pelaku.
Alhasil, syariat Islam mampu melakukan
pencegahan kolektif dengan memberikan rasa aman terhadap masyarakat luas
sebagai potensi korban. Di sisi lain, Islam juga amat ketat dalam
menerapkan hukuman. Misalnya, potong tangan atas pencuri, dibutuhkan
kesaksian yang meyakinkan dengan mempersyaratkan nilai nominal tertentu.
Tidak bisa hanya mencuri beberapa ribu rupiah misalnya atau
dilatarbelakangi rasa lapar, seorang pencuri lantas dipotong tangan.
Demikian juga dengan pelaku zina, hukum
rajam hanya diterapkan kepada pelaku zina yang sudah menikah, itu pun
jika bisa menghadirkan empat saksi. Dalam hal vonis atas pembunuh, Islam
juga memberi opsi lain, yakni diyat (tebusan) atau memaafkan—jika
disetujui oleh salah satu keluarga korban. Demikian juga pihak
eksekutor, bukanlah individu, melainkan pemerintah atau lembaga
berwenang yang mewakili negara.
Jelaslah, betapa minimnya yang akan
terkena hukum ini. Betapa indahnya hukum Islam, hukum yang ditetapkan
oleh Allah yang menciptakan manusia itu sendiri. Hukum yang mengandung
keadilan. Tidak seperti hukum buatan manusia yang bisa dibeli dengan
harga yang sangat murah. Tak hanya itu, Islam bahkan menjadi rahmat bagi
pelaku, karena hukuman di dunia itu bisa menggugurkan dosanya di
akhirat nanti.
Selain ranah pidana, dalam literatur sejarah, Islam juga menjadi bulan-bulanan penyesatan opini. Berbagai referensi sejarah mengisahkan perang demi perang dalam Islam secara tidak berimbang. Apa penyulutnya, pengkhianatan, dan pembatalan perjanjian damai oleh musuh, diabaikan begitu saja.
Selain ranah pidana, dalam literatur sejarah, Islam juga menjadi bulan-bulanan penyesatan opini. Berbagai referensi sejarah mengisahkan perang demi perang dalam Islam secara tidak berimbang. Apa penyulutnya, pengkhianatan, dan pembatalan perjanjian damai oleh musuh, diabaikan begitu saja.
Padahal perang dalam Islam juga tidak
membela suku atau bangsa tertentu, bukan soal perebutan takhta, wanita,
pengaruh, atau sekadar minyak bumi, melainkan demi membela agama Allah
l. Juga bukan perang barbar layaknya suku-suku primitif, melainkan
dipenuhi kasih sayang karena dipagari oleh banyak aturan, seperti
larangan membunuh wanita dan anak-anak, larangan membunuh pendeta yang
sedang beribadah di tempat ibadahnya, tidak memaksa tawanan untuk masuk
Islam, tidak pula memaksauntuk membayar jizyah yang tinggi, dsb.
Bandingkan ketika Eropa di bawah
cengkeraman Kepausan yang Katholik, betapa banyak penyesat (Protestan),
yang dibantai oleh Katholik yang konon katanya sangat mencintai kasih
dan perdamaian? Protestan pun setali tiga uang. Negara-negara Protestan
seperti Belanda dan Inggris berlomba dengan Katholik (Spanyol dan
Portugis) menyulut peperangan di seluruh dunia dengan menjajah
negara-negara lain. Berapa juta nyawa rakyat pribumi yang dibantai
mereka?
Negara-negara kafir, yang dipuja-puji
setinggi langit oleh para pegiat HAM, nyatanya juga menerapkan hukuman
mati,bahkan itu bukan sesuatu yang baru. Berabad abad silam di Eropa,
orang sudah mengenal beragam hukuman mati melalui pelbagai alat
penyiksaan yang sangat sadis. Sementara itu, cara hukuman mati dalam
Islam, yakni pancung (penggal kepala), justru jauh dari sifat menyiksa.
Pertanyaannya sekarang, agama mana yang penuh kasih dan sayang?
Oleh karena itu, mari kita pelajari
Islam lebih dalam, agar kita tidak menjadi corong propaganda nonmuslim,
yang dengan gegabah memvonis Islam itu kejam.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Surat Pembaca Edisi 83
Bahas Tuntas tentang Masjid
Saya mau usul, kalau bisa edisi Asy-
Syariah yang akan datang membahas tentang masjid: Bagaimana bentuk
masjid yang syar’i dan apa yang tidak boleh dilakukan di masjid.
Sekarang ini masjid, seperti masjid
kampus sudah jadi tempat main internet, pacaran, tempat memutar
film—misalnya masalah Palestina, campur baur lelaki dan perempuan saat
mentoring mata kuliah agama Islam.
Bahkan, sering masjid tertentu dijadikan
tempat kenduri orang meninggal dan peringatan-peringatan yang tidak
syar’i. Ada masjid yang dihiasi kaligrafi, dibuat mihrab padanya,
terkadang sampai tiga, mimbar dibuat sampai dua lantai yang tinggi.
Jadi, ana usul dibahas tuntas pada edisi mendatang. 081328xxxxxx
Jazakumullahu khairan atas masukannya, akankamipertimbangkan.
Bahas Kriteria Suami Idaman
Bismillah. Afwan, bagaimana kalau
Asy-Syariah juga membahas tentang sikap/kriteria suami yang saleh yang
seorang istri mendambakannya. 08789xxxxxx
Kapan Buat Jaket/Kaos?
Kapan majalah Asy-Syariah mengeluarkan kaos/jaket? Jangan kalah sama majalah-majalah yang lain, supaya majalah kita dikenal. 08179xxxxxx
Jazakumullahu khairan atas masukannya, akan kami pertimbangkan.
Pembahasan tentang Mahram
Saya mau tanya tentang dien Islam. Siapa saja mahram dan yang bukan termasuk mahram? Maaf, pertanyaan agak terlalu panjang. 085326xxxxxx
Pembahasan tentang mahram telah kamiangkat
pada rubrik Problema Anda, AsySyariahNo. 08, dan rubrik Wanita dalam
Sorotan,Asy Syariah No. 09—12. Silakan dilihat kembali.
Posting Komentar