
Bani Israil Menyembah Anak Sapi
Setelah berada di Bukit Thursina, Allah Subhanahu wata’ala menerangkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam bahwa Dia telah memberikan cobaan kepada bani Israil dan mereka pun disesatkan oleh Samiri. Nabi Musa ‘alaihis salam pun terkejut dan kecewa.
Begitu kembali dari Bukit Thur, beliau ‘alaihis salam
melihat sebagian besar (sekitar 70.000 orang) bani Israil benar-benar
melakukan kesyirikan, beribadah kepada patung anak sapi emas. Mereka
meratap dan menari-nari di sekeliling patung itu, sehingga kemarahan
beliau pun memuncak. Sambil melemparkan lembaran Taurat yang ada di
tangannya ke tanah, beliau berkata sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِن بَعْدِي ۖ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ
“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Rabbmu?” (al-A’raf: 150)
Tidak sampai di situ saja, beliau mengira bahwa saudaranya, Harun ‘alaihis salam, kurang maksimal dalam mengingatkan dan membimbing kaumnya, sehingga beliau mencari Nabi Harun ‘alaihis salam lalu menarik kepala dan janggut Nabi Harun ‘alaihis salam, seraya berkata sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا ( ) أَلَّا تَتَّبِعَنِ ۖ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
“Hai Harun, apa
yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga)
kamu tidak mengikuti aku? Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai
perintahku?” (Thaha: 92-93)
Nabi Harun ‘alaihis salam pun berkata kepada saudaranya, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wata’ala,
قَالَ
يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي ۖ إِنِّي
خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ
قَوْلِي
“Hai putra ibuku,
janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula) kepalaku.
Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamu
telah memecah antara bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.” (Thaha: 94)
Memang, Nabi Harun ‘alaihis salam
tidak diam begitu saja dan membiarkan mereka melakukan kesyirikan.
Namun, karena bani Israil yang menyembah patung anak sapi itu
menganggapnya lemah, mereka hampir membunuh beliau.
Di sisi lain, orang-orang Yahudi dan
Nasrani justru menganggap bahwa Nabi Harunlah yang membuatkan patung itu
untuk bani Israil. Alangkah kejinya tuduhan mereka ini.
Sangat disayangkan pula sikap sebagian kaum muslimin. Di manakah sentimen keagamaan mereka terhadap salah seorang Nabi Allah Subhanahu wata’ala yang mulia? Relakah mereka Nabi Harun ‘alaihis salam yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala dilecehkan begitu rupa dan dianggap sebagai pendukung kesyirikan?
Orang-orang Yahudi tidak pernah
memuliakan para nabi dan rasul yang datang kepada mereka. Jangankan
terhadap para nabi dan rasul, Allah Subhanahu wata’ala juga tidak lepas dari sikap pelecehan mereka.
Lebih menyedihkan lagi, adanya sebagian kaum muslimin yang ditokohkan, menganggap diamnya Nabi Harun ‘alaihis salam
adalah sikap toleran terhadap perbedaan pendapat meskipun dalam urusan
tauhid dan syirik. Tidakkah dia memerhatikan alasan Nabi Harun ‘alaihis salam Tidakkah dia membaca bahwa ketika itu Nabi Musa ‘alaihis salam sedang tidak ada bersama mereka? Tidakkah dia membayangkan seandainya Nabi Harun ‘alaihis salam menumpas orang-orang musyrik itu, lalu ditanya oleh Nabi Musa ‘alaihis salam
setelah tiba di tengah-tengah bani Israil, apa yang terjadi dengan bani
Israil? Ke mana 70.000 orang bani Israil lainnya? Apa jawaban yang akan
beliau berikan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam melihat bani Israil musnah?
Tidakkah dia memerhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberi peluang sedikit pun kepada kesyirikan? Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak mengizinkan penduduk Thaif masih menyimpan berhala pujaan mereka
meskipun hanya sehari? Tokoh itu pula yang menyatakan bahwa permusuhan
kita dengan Yahudi bukan dalam urusan agama, tetapi tanah/wilayah.
Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberinya petunjuk agar bertobat.
Kepada anak-anak kaum muslimin yang
tertipu oleh penampilan Yahudi dan Nasrani, masihkah mereka beriman
kepada al-Qur’anul Karim? Tidakkah mereka yakin bahwa al-Qur’an ini
menyempurnakan semua kitab agama yang terdahulu? Terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mereka berani menolaknya kalau tidak sesuai dengan al-Qur’an, meskipun
sanadnya sahih, tetapi mengapa terhadap kitab-kitab yang tidak jelas
kebenarannya, keasliannya, bahkan tidak mempunyai sanad yang sahih
sampai kepada nabi mereka, boleh diterima mentah-mentah, tidak
dihadapkan kepada al-Qur’an untuk dinilai benar atau tidaknya? Bahkan,
dijadikan acuan untuk menilai dan mengoreksi ajaran Islam?
Wallahul musta’an.
Bukankah dengan jelas Allah Subhanahu wata’ala berfirman, menceritakan upaya Nabi Harun ‘alaihis salam memberi peringatan agar bani Israil tidak berbuat syirik?
وَلَقَدْ
قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِن قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنتُم بِهِ ۖ
وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَٰنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي ()
قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا
مُوسَىٰ
“Dan sesungguhnya Harun telah berkata
kepada mereka sebelumnya,“Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi
cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang
Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” Mereka
menjawab,“Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa
kembali kepada kami.” (Thaha: 90—91)
Cukuplah Allah Subhanahu wata’ala menjadi saksi bahwa Nabi Harun ‘alaihis salam telah berusaha melarang dan mencegah mereka dengan sekeras-kerasnya.
Bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani, kalau mereka beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan memuliakan para nabi dari kalangan mereka, yang jelas-jelas penerus bapak moyang mereka -Ibrahim ‘alaihis salam– mereka semestinya mencabut tuduhan mereka terhadap Nabi Harun ‘alaihis salam. Sebab, bukan Nabi Harun ‘alaihis salam
yang membuatkan patung anak sapi emas itu, bahkan beliau tidak pernah
menyetujui perbuatan bani Israil yang menyembah patung anak sapi
tersebut. Yahudi dan Nasrani juga harus meyakini dan menerima bahwa
memang Samirilah yang menyesatkan bani Israil.
Hendaknya mereka lebih dahulu dapat
membuktikan keaslian dan kemurnian kitab yang ada di tangan mereka,
terutama dalam segi sanadnya. Rawi-rawinya harus bersih dari cacat
sampai kepada nabi mereka, dan ini tidak mungkin mereka lakukan kecuali
mengada-ada.
Sebab itu, kaum mukminin, baik dari
kalangan ahli kitab yang masuk Islam maupun bukan, mereka sangat yakin
bahwa kitab yang ada di tangan ahli kitab tidak lagi asli sebagaimana
diturunkan kepada Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam. Oleh sebab itu, tidak mungkin kitab yang mereka anggap dari Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengoreksi al-Qur’an.
Bahkan, seharusnya al-Qur’an-lah yang
mereka jadikan acuan untuk mengoreksi kitab-kitab tersebut. Dengan
kenyataan tidak aslinya kitab yang ada di tangan mereka sebagaimana
diterima oleh Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam, sudah tentu keraguan mereka tentang Samiri yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak beralasan sama sekali.
Selain itu, apakah pantas seorang nabi yang mulia seperti Nabi Harun ‘alaihis salam
menyetujui kesyirikan, bahkan mendukungnya dengan menyediakan
sarananya? Mahasuci Allah, sungguh itu adalah tuduhan yang sangat keji.
Siapa pun yang mengaku beriman, tentu memuliakan para nabi yang diutus
oleh Allah ‘azza wa jalla.
Kita kembali kepada kisah ini.
Setelah menerima jawaban Nabi Harun ‘alaihis salam, Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala memintakan ampunan untuk dirinya dan saudaranya yang mulia ini, ‘alaihimassalam. Orang-orang yang tergoda ikut menyembah patung anak sapi itu akhirnya sadar, mereka merasa berdosa,
وَلَمَّا
سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِن
لَّمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
“Dan setelah mereka sangat menyesali
perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun
berkata, “Sungguh, jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan
tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 149)
Mereka pun datang menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan menanyakan cara bertobat dari dosa tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ
قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُم
بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا
أَنفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata
kepada kaumnya, “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu
sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka
bertobatlah kepada Bari’ (Allah Yang Menjadikan) kamu dan bunuhlah
dirimu. Hal itu lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu;
maka Allah akan menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 54)
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala menerima tobat mereka setelah mereka membunuh diri mereka. Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan bahwa mereka yang bunuh diri itu hampir mencapai 70.000 orang. Kemudian, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
قَالَ
فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ ( ) قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا
بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِّنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا
وَكَذَٰلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي ( ) قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي
الْحَيَاةِ أَن تَقُولَ لَا مِسَاسَ ۖ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَّن
تُخْلَفَهُ ۖ وَانظُرْ إِلَىٰ إِلَٰهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۖ
لَّنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا ( )
إِنَّمَا إِلَٰهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ وَسِعَ
كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا ( ) كَذَٰلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ مَا
قَدْ سَبَقَ ۚ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِن لَّدُنَّا ذِكْرًا ( ) مَّنْ أَعْرَضَ
عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا
“Musa berkata, “Apakah yang
mendorongmu (berbuat demikian), hai Samiri?” Samiri menjawab, “Aku
mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil
segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah
nafsuku membujukku.” Musa berkata, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya
bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan,
‘Janganlah menyentuh (aku).’ Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di
akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah
sesembahanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan
membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke
dalam laut (berupa abu yang berserakan). Sesungguhnya sesembahanmu
hanyalah Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia.
Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (Thaha: 95-98)
Meskipun singkat, ternyata kecintaan
menyembah patung anak sapi itu benar-benar meresap ke dalam hati
sebagian besar bani Israil. Oleh sebab itu, Nabi Musa ‘alaihis salam
menghancurkan patung itu dengan membakarnya, lalu menghamburkannya ke
dalam laut sambil disaksikan oleh seluruh bani Israil. Semua itu agar
mereka melihat bahwa benda yang mereka sembah selain Allah Subhanahu wata’ala
itu tidak berdaya apa-apa. Tidak mampu menyelamatkan dirinya sedikit
pun, sehingga bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan orang-orang yang
menyembahnya? Dengan lenyapnya wujud patung itu, hilang pula rasa cinta
terhadap benda yang tidak memberi manfaat atau mudarat tersebut.
Ingat kembali kisah ‘Amr bin Jumuh radhiyallahu ‘anhu sebelum masuk Islam.
Alangkah lemah akal dan keyakinan orang-orang berbuat syirik, dan alangkah indahnya perumpamaan yang dibuat oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam al-Qur’anul Karim,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ
تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا
لَهُ ۖ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ
ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
“Hai manusia, telah dibuat
perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali
dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.” (al-Hajj: 73)
Jelaslah, semua yang diibadahi selain Allah ‘azza wa jalla,
baik itu dari kalangan malaikat yang didekatkan maupun nabi yang
diutus, tidak akan pernah mampu menciptakan sesuatu. Sudah tentu, selain
dua golongan makhluk yang mulia ini tidak pula berdaya apa-apa. Adakah
yang mau mengambil pelajaran?
Sekilas Tentang Samiri
Samiri ini, menurut sebagian ahli
tarikh, adalah salah seorang bani Israil yang terasing di antara mereka.
Ada pula yang berpendapat lain, dia termasuk penduduk Karman atau
Bajarma, dan nama aslinya adalah Mikha, atau Musa bin Zhafar. Samiri
adalah penisbatan kepada salah satu kabilah bani Israil.
Dahulu, Samiri bergaul dengan
orang-orang yang menyembah patung anak sapi, sehingga cintanya kepada
anak sapi benar-benar merasuk tulang. Setelah Fir’aun tenggelam dan bani
Israil menyeberangi Laut Merah dengan selamat, mereka melewati sebuah
negeri yang penduduknya menyembah anak sapi. Melihat keadaan penduduk
tersebut, mereka pun berkata kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ
“Hai Musa, buatlah untuk kami satu sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (al-A’raf: 138)
Dari sinilah muncul ambisi Samiri untuk
mengajak bani Israil menyembah patung anak sapi. Dia teringat ketika
Jibril berada di depan pasukan Fir’aun menggiring mereka memasuki laut
yang terbelah. Waktu itu Jibril berada di atas kendaraannya, dan Samiri
melihat jejak kaki kuda Jibril tersebut.
Kemudian Samiri mengambil segenggam
tanah bekas jejak kaki kuda itu dan menyimpannya dalam sebuah kantong.
Ketika bani Israil melemparkan emas dan perhiasan mereka ke dalam api
yang sedang berkobar melahap perhiasan tersebut hingga meleleh, Samiri
melemparkan tanah yang disimpannya ke tumpukan emas yang sudah meleleh
dalam kobaran api itu sambil berkata, “Jadilah anak sapi!”
Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala,
cairan emas dan perhiasan itu menjadi patung seekor anak sapi yang
mengeluarkan suara. Hal ini semakin membenamkan bani Israil ke dalam
fitnah (ujian) karena kebodohan mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, patung itu bersuara karena angin yang masuk dari dubur sapi itu dan keluar dari mulut. Wallahu a’lam.
Bagaimana Samiri mengenali Jibril? Wallahu a’lam,
sebagian orang menceritakan bahwa ketika Fir’aun membantai anak
laki-laki bani Israil, ibu Samiri juga berusaha menyelamatkan putranya,
seperti halnya ibu Nabi Musa ‘alaihis salam.
Samiri disembunyikan di dalam sebuah gua oleh ibunya lalu ditinggal pergi. Diceritakan mereka bahwa Allah Subhanahu wata’ala mengutus Jibril merawat bayi ini untuk satu urusan yang sudah ditentukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sejak saat itulah Samiri mengenal Jibril. Ketika bani Israil menyeberangi laut bersama Nabi Musa dan Harun alaihimassalam, Jibril berada di depan rombongan itu di atas kudanya.
Samiri mengenalinya, lalu mengambil bekas tapak kaki kuda Jibril yang membuat tanah yang diinjaknya menghijau.
Menurut sebagian ahli kitab, nama Samiri adalah penisbatan kepada kota Samirah yang dibangun seratus tahun sesudah Nabi Musa alaihis salam.
Jadi, tidak mungkin yang menyesatkan bani Israil sehingga menyembah
patung anak sapi salah seorang penduduk kota yang munculnya seratus
tahun kemudian.
Dari sinilah mereka menganggap al-Qur’an salah dan mengatakan bahwa Nabi Harun alaihis salam -lah yang membuat patung tersebut. Semoga Allah Subhanahu wata’ala membinasakan mereka.
Di dalam kitab-kitab Israiliyat sendiri, dia mempunyai nama yang sama dengan Nabi Harun bin ‘Imran, saudara Nabi Musa alaihis salam, yaitu Harun as-Samiri.
Dari sini pula, entah karena sengaja atau karena kebodohan, mereka menuduh Nabi Harun-lah yang menyesatkan bani Israil. Wallahul musta’an.
Yang jelas, al-Qur’anul Karim menyebut
nama ini, dan berarti tokoh ini ada, entah dengan nama sebagaimana yang
termaktub dalam al-Qur’anul Karim, atau dengan nama dalam bahasa Ibrani
lalu disesuaikan dengan dialek Arab.
Pelajaran dari Kisah Ini
Dari rangkaian kisah bani Israil bersama Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam sampai mereka disesatkan oleh Samiri ini, dapat kita petik beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut.
- Luasnya kasih sayang dan karunia Allah Subhanahu wata’ala kepada bani Israil, sehingga sudah sepantasnya mereka bersyukur dan semakin taat kepada-Nya.
- Kebenaran itu tidak diukur berdasarkan jumlah yang banyak.
- Orang yang lama terbenam dalam kebatilan dan baru sesaat meninggalkannya, sangat dikhawatirkan sisa-sisa kebatilan itu masih bersemayam di dalam hatinya.
Keadaan ini pernah dialami oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi, setelah mendapat teguran keras dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak lagi mempunyai keinginan untuk melakukan kesyirikan itu. Inilah salah satu keutamaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Orang-orang yang berbuat syirik sama sekali tidak memiliki hujah yang mendukung kesyirikan mereka.
- Syirik adalah pelanggaran terhadap hak asasi paling utama, yaitu hak Allah ‘azza wa jalla. Sebab itu, para nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala selalu mengingatkan bahaya syirik ini dan melarang umatnya melakukan syirik. Tidak mungkin mereka melegalkan apalagi mendukung atau menyiapkan sarana kesyirikan, meskipun sekejap.
- Rahmat Allah Subhanahu wata’ala terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak menetapkan syariat keharusan bunuh diri sebagai cara untuk bertobat.
Wallahu a’lam.
Ditulis Oleh : al Ustadz Abu Muhammad Harits

Persoalan-Persoalan Seputar Akikah
Banyak pertanyaan diajukan kepada
Redaksi seputar mengakikahi diri sendiri dan mengakikahi setelah hari
ke-7 kelahiran. Juga bila baru punya satu kambing untuk akikah anak
laki-laki bolehkah dengan satu kambing dahulu, dan yang lain menyusul?
Demikian juga apakah bayi yang meninggal diakikahi?
- Mengakikahi diri sendiri.
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yang terkuat dari pendapat yang ada adalah boleh. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa beliau mengakikahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.
Hadits ini sahih menurut pendapat yang paling kuat (rajih). Sebagian
ulama melemahkannya, namun pendapat mereka keliru. Oleh karena itu, kami
akan sedikit menyampaikan pembahasan hadits ini.
Sebenarnya hadits ini telah panjang lebar dibahas oleh asy-Syaikh
al-Albani dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2726.
Di sini saya hanya akan meringkas apa yang dijabarkan oleh beliau dan
sedikit menambahkan yang perlu. Adapun bunyi hadits itu. Anas berkata,
عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا بُعِثَ نَبِيًّا
“Nabi mengakikahi dirinya setelah diutus menjadi nabi.”
Hadits ini disampaikan oleh sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu. Ada tiga rantai sanad yang sampai kepada sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu.
- Al-Haitsam bin Jamil dari Abdullah bin al-Mutsanna, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik z. Jalur ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi, ath-Thabarani, Ibnu Hazm, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, Abu asy-Syaikh, dan Ibn A’yan.
- Isma’il bin Muslim, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh. - Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Jalur ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, al-Bazzar, dan Ibnu Adi.
Untuk rantai sanad yang pertama,
asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ini adalah sanad yang hasan, para
rawinya adalah orang-orang yang yang telah dijadikan hujah (para
periwayat tepercaya) dalam Shahih al-Bukhari, selain al-Haitsam bin
Jamil. Beliau (al-Haitsam bin Jamil) sendiri adalah seorang yang tsiqah
(tepercaya) dan hafizh (penghafal hadits), salah seorang guru al-Imam
Ahmad rahimahullah.
Selanjutnya, Abdullah bin al-Mutsanna, beliau adalah salah seorang periwayat dalam Shahih al-Bukhari, artinya al-Bukhari rahimahullah
menganggap bahwa Abdullah bin al-Mutsanna termasuk tepercaya. Namun,
ternyata ada ulama lain yang membicarakan Abdullah bin al-Mutsanna ini.
Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendudukkan perselisihan ini dengan kesimpulan bahwa al-Bukhari rahimahullah
hanya memercayai sepenuhnya Abdullah bin al-Mutsanna apabila dia
meriwayatkan dari pamannya. Jika tidak, al-Bukhari tidak bertumpu pada
riwayatnya. Alhamdulillah, ternyata hadits yang kita bahas ini beliau
riwayatkan dari pamannya, Tsumamah bin Anas, sehingga sesuai dengan
syarat al-Bukhari dalam hal ini.
- a) Mengenai rantai sanad yang kedua, terkhusus adanya perawi yang
bernama Ismail bin Muslim, maka asy-Syaikh al-Albani mengatakan,
“Semacam sanad tersebut bisa dijadikan pendukung sehingga hadits semakin
kuat dengannya.”
Tentang Ismail bin Muslim ini, Abu Hatim—beliau termasuk ulama yang keras dalam mencacat para rawi—mengatakan, “Ismail bin Muslim tidak ditinggalkan, haditsnya dapat ditulis,” yakni untuk dukungan.
Ibnu Sa’d rahimahullah
mengatakan, “Dia adalah orang yang diperhitungkan pendapat dan fatwanya,
memiliki pandangan dan hafalan terhadap hadits. Karena itu, aku dahulu
menulis hadits darinya karena kecerdasannya.”
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
Adapun Qatadah, maka jelas seorang ulama yang terkenal dan yang tepercaya.
- b) Mengenai rantai sanad yang ketiga, para ulama melemahkannya karena kelemahan perawinya, yaitu Abdullah bin al-Muharrar.
Dari pemaparan singkat tentang hadits ini, tampak bahwa hadits ini sahih
atau hasan. Di antara ulama yang menganggap kuatnya hadits ini dari
ulama terdahulu adalah adalah adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah
dalam kitabnya al-Mukhtarah, Abdul Haq al-Isybili dalam kitabnya
al-Ahkam, dan Abu Zur’ah al-Iraqi dalam kitabnya Tharhu Tatsrib.
Menurut asy-Syaikh al-Albani, bisa juga dikatakan bahwa Ibnu Hazm dan
ath-Thahawi termasuk yang menerima hadits ini karena mereka menyebutkan
sanadnya tanpa mengkritiknya.
Adapun para ulama yang menganggap lemah
hadits ini, di antaranya al-Imam Ahmad dan al-Baihaqi yang mengatakan
hadits ini mungkar, juga an-Nawawi yang mengatakan batil, sesungguhnya
mereka melemahkan hadits ini dari jalur rantai sanad yang ketiga. Dengan
demikian, pendapat yang membolehkan mengakikahi diri sendiri adalah
pendapat yang rajih (kuat).
Ini adalah pendapat Atha’, al-Hasan
al-Bashri, Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari al-Imam
Ahmad, dan asy-Syaukani menggantungkan pendapat ini dengan kesahihan
hadits. Alhamdulillah, hadits ini sahih. (lihat al-Mufashshal fi Ahkamil Aqiqah hlm. 96)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu belum
diakikahi, akikahilah dirimu walaupun kamu lelaki.” Kata beliau,
‘walaupun kamu lelaki’ karena ada yang mengkhususkan hukum ini bagi
wanita.
Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, tentu aku akan mengakikahi diriku.” (ash-Shahihah 6/506 qism 1)
Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)\
Pendapat yang kedua, yang melarang, adalah pendapat Malikiah. Al-Imam Malik sendiri ada beberapa riwayat yang berbeda dalam hal ini. (at-Tamhid , 4/312)\
Sebagian ulama yang cenderung kepada
pendapat ini mengatakan bahwa seandainya hadits ini sahih, bisa jadi ini
adalah kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, sanggahan seperti ini lemah karena kekhususan itu harus
berdasarkan dalil, sementara itu di sini tidak ada dalil yang
mengkhususkan hal ini untuk beliau.
- Mengakikahi selain hari ketujuh.
Dalam hal ini ada tiga pendapat
sebagaimana disebutkan oleh Abu Zurah al-Iraqi dalam kitab Tharhu
at-Tatsrib. Namun, dengan mengetahui persoalan pertama, yaitu bolehnya
seseorang mengakikahi dirinya, tampak jelas bahwa diperbolehkan
mengakikahi setelah hari ketujuh. Walaupun tentu sangat ditekankan untuk
melakukannya pada hari ketujuh saat ada kemampuan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“Tiap anak itu
tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh.” (Sahih,
HR. Abu Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Di antara yang berpendapat bolehnya setelah hari ke-7 adalah Ibnu Sirin, asy-Syafi’i, Ibnu Hazm, dan yang lain.
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Yang tampak, pengaitan akikah dengan hari ketujuh adalah
sunnah. Jadi, sah saja apabila menyembelih pada hari ke-4, ke-8, ke-10,
atau setelahnya. Penentuan waktu ini adalah untuk penyembelihannya,
bukan untuk memasak atau memakannya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 76)
Adapun Ibnu Hazm rahimahullah tidak membolehkan sebelum hari ketujuh.
Apakah penyembelihan itu pada hari kapan saja ataukah tiap kelipatan ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena riwayat yang menyebutkan kelipatan ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
Apakah penyembelihan itu pada hari kapan saja ataukah tiap kelipatan ketujuh?
Tampaknya, kapan saja boleh karena riwayat yang menyebutkan kelipatan ketujuh adalah lemah, sebagaimana telah diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab al-Irwa’ (4/395).
- Hanya memiliki satu ekor kambing untuk akikah anak lelaki.
Dalam hal ini hendaknya ia menunggu
sampai memiliki dua ekor kambing, dan tidak menyembelih terlebih dahulu
kambing yang dia miliki. Hal ini berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang
mukafi’ataan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan yang lain, dinyatakan sahih
oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan dengan beberapa penafsiran, di antaranya adalah mutaqaribatan, yakni seimbang.
Mukafi’atan dalam hadits ini ditafsirkan dengan beberapa penafsiran, di antaranya adalah mutaqaribatan, yakni seimbang.
Ada pula yang menafsirkan, ‘disembelih bersamaan’. Dawud bin Qais pernah
bertanya kepada Zaid bin Aslam, ia mengatakan, “Aku bertanya kepada
Zaid bin Aslam tentang makna mukafi’atan.” Beliau menjawab, “Dua kambing
yang mirip, yang disembelih bersama-sama.” (Musykilul Atsar karya
ath-Thahawi)
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah tentang Akikah Janin yang Gugur dan Bayi yang Meninggal
Pertanyaan :
Janin yang gugur dari kandungan yang telah jelas bahwa dia laki-laki atau perempuan, apakah diakikahi atau tidak? Demikian juga bayi yang terlahir apabila meninggal beberapa hari setelah kelahiran sementara belum diakikahi saat dia hidup, apakah diakikahi setelah kematiannya atau tidak? Apabila telah lewat satu bulan, dua bulan, setengah tahun, satu tahun, atau bahkan lebih dari saat lahirnya bayi dan ia belum diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?
Janin yang gugur dari kandungan yang telah jelas bahwa dia laki-laki atau perempuan, apakah diakikahi atau tidak? Demikian juga bayi yang terlahir apabila meninggal beberapa hari setelah kelahiran sementara belum diakikahi saat dia hidup, apakah diakikahi setelah kematiannya atau tidak? Apabila telah lewat satu bulan, dua bulan, setengah tahun, satu tahun, atau bahkan lebih dari saat lahirnya bayi dan ia belum diakikahi, apakah diakikahi atau tidak?
Jawab:
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa akikah adalah sunnah, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan dari Salman bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa akikah adalah sunnah, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Ashhabus Sunan dari Salman bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
مَعَ الْغُ مَالِ عَقِيْقَةٌ فَأُهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Bersama seorang anak itu akikahnya, maka tumpahkan darah untuk (akikahnya) dan hilangkan rambut (kepalanya).”
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ غُ مَالٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ، وَيُسَمَّى
“Tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digundul, dan diberi nama.” (HR. Ahmad dan Ashhabussunan, dan dinyatakan sahih oleh at-Tirmidzi)
Demikian pula hadits itu yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يُنْسِكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ، عَنِ الْغُ
مَالِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barang siapa di antara kalian ingin
mengakikahi anaknya, lakukanlah. Untuk anak laki-lakinya dua ekor
kambing yang seimbang dan untuk anak perempuannya satu ekor kambing.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dengan sanad yang hasan)
Tidak ada akikah untuk janin yang gugur
walaupun telah jelas apakah itu laki-laki atau perempuan, apabila gugur
sebelum ditiupkan ruh padanya, karena dia tidak disebut anak atau bayi.
Adapun akikah disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran, apabila janin
dilahirkan dalam keadaan hidup, lalu mati sebelum hari ketujuh, maka
disunnahkan untuk diakikahi pada hari ketujuh dan diberi nama. Apabila
lewat hari yang ketujuh dan belum diakikahi, Sebagian fuqaha berpendapat
bahwa tidak disunnahkan untuk diakikahi setelahnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan waktunya pada hari ketujuh.
Sementara itu, ulama mazhab Hanbali dan
sekelompok ahli fikih berpendapat bahwa disunnahkan untuk diakikahi
walaupun telah lewat satu bulan, satu tahun, atau lebih, dari
kelahirannya, berdasarkan keumuman hadits-hadits dan berdasarkan apa
yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi dirinya setelah kenabian, dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
Allah subhanahu wa ta’alalah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam n, keluarga, dan para sahabatnya.
Komisi Tetap untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil: Abdurrazzaq Afifi; Anggota: Abdullah Ghudayyan.
Dijawab oleh al Ustadz Qomar Suaidi
Mengingat Empat Kengerian
Hatim al-Asham rahimahullah
mengatakan, “Siapa yang kalbunya tidak pernah mengingat empat kengerian
ini, berarti dia adalah orang yang teperdaya dan tidak aman dari
kecelakaan.
(1) Saat yaumul mitsaq (hari saat diambilnya perjanjian terhadap ruh manusia) ketika Allah Subhanahu wata’ala
berfirman, ‘Mereka di surga dan Aku tidak peduli, sedangkan mereka
(yang lain) di neraka dan Aku tidak peduli’; dia tidak tahu, dirinya
termasuk golongan yang mana.
(2) Saat dia diciptakan dalam tiga
kegelapan (di dalam rahim), ketika malaikat diseru (untuk mencatat)
kebahagiaan atau kesengsaraan (seseorang); dia tidak tahu apakah dirinya
termasuk orang yang sengsara atau bahagia.
(3) Hari ditampakkannya amalan (saat sakaratul maut); dia tidak tahu, apakah dia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala atau kemurkaan- Nya.
(4) Hari ketika manusia dibangkitkan
dalam keadaan yang berbeda-beda; dia tidak tahu jalan mana yang akan ia
tempuh di antara dua jalan yang ada.”
(Jami’ al-‘Ulum wal Hikam hlm. 81)
Poligami Indah Sesuai Sunnah
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Banyak wanita mempertanyakan buruknya praktik ta’addud (poligami)
dalam Islam. Mereka kemudian menolak keras poligami dengan alasan
menyakiti wanita. Penolakan ini bahkan merembet hingga menggugat
syariat, menganggap syariat tak lagi memberikan keadilan. Dengan gelap
mata, penafsiran ajaran agama selama ini divonis hanya memihak kaum
laki-laki, serta dituduh dipahami secara tekstual dan parsial.
Alhasil, wanita boleh meradang ketika
suaminya menikah lagi. Lantas, kenapa banyak wanita yang dibiarkan jadi
selingkuhan pria beristri? Mengapa pula banyak wanita yang dengan
sukacita jadi “istri” simpanan demi seonggok materi? Dan mengapa tak
sedikit istri yang lebih senang suaminya “jajan” atau selingkuh
ketimbang kawin lagi, (lagi-lagi) dengan alasan materi—takut harta suami
direbut madunya, warisan suami akan terbagi, dsb? Alasan menyakiti
wanita pun kian abu-abu. Tanpa pernikahan resmi, biaya sosial yang
muncul jelas sangat besar. Jika seks bebas dan perselingkuhan dibiarkan,
siapa yang paling merasakan akibatnya? Siapa yang menanggung jika
terjadi penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS) akibat gonta-ganti
pasangan di luar nikah? Ujung-ujungnya, yang jadi korban atau setidaknya
objek seks adalah perempuan. Lantas, mengapa poligami yang merupakan
wujud tanggung jawab seorang pria untuk menikahi wanita secara terhormat
justru dikesankan demikian seram?
Memang, dalam praktiknya banyak orang
yang “mau cari enaknya” ketika berpoligami, mencari “daun muda” lantas
menelantarkan istri pertama. Alhasil, kebanyakan kita cenderung
memandang dari realitas yang ada bahwa mengamalkan poligami hanya akan
menciptakan kekerasan terhadap perempuan, dsb. Jika ditelisik, Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah soal poligaminya.
Di rumah tangga monogami sekarang, juga
marak KDRT. Apakah dengan itu kita lantas menyalahkan monogami, kemudian
dengan alasan kontekstual menganjurkan hidup membujang? Kalau begitu,
mengapa poligami yang dituding merusak hubungan rumah tangga? Bukankah
perselingkuhan dan perzinaan itu yang menyebabkan rusaknya rumah tangga?
Intinya memang bukan monogami atau poligaminya, tetapi lebih ke pelaku.
Analoginya, ada orang shalat namun masih bermaksiat, orang berjilbab
tetapi tidak beradab, dst. Apakah (lagi-lagi) dengan alasan kontekstual
kita lantas menggugat shalat, jilbab, dsb?
Maka dari itu, kita semestinya lebih
mendalami ajaran agama agar tidak salah memahami, bisa bersikap positif
terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala dan kepada mereka yang
telah mengamalkannya. Apalagi kesuksesan atau kegagalan berumah tangga
adalah hal lumrah. Monogami sekalipun, jika persiapannya asalasalan,
hasilnya juga tidak akan baik. Oleh karena itu, jika pada kehidupan
poligami terjadi “kegagalan”, kita bisa bersikap bijak dengan tidak
mudah menyalahkan poligaminya. Yang harus kita pupuk adalah kesiapan
ilmu dalam membina rumah tangga.
Ketika seorang pria hendak berpoligami, dia harus memahami syariat ta’addud (poligami)
secara benar agar bisa mempraktikkan secara benar pula. Dalam kehidupan
poligami, laki-laki tentu akan lebih “dipusingkan”. Ia dituntut menjadi
nakhoda yang baik bagi beberapa bahtera. Bagi lelaki yang bertanggung
jawab dan bagus dalam praktik poligami, waktu lebih yang ia luangkan,
materi lebih yang ia keluarkan, serta tenaga dan pikiran lebih yang ia
curahkan, sejatinya tak sebanding dengan “kenikmatan” yang ia dapatkan.
Lebih-lebih, jika ia benar-benar menikahi wanita-wanita yang secara
logika “tidak menguntungkan” untuk dijadikan istri, seperti janda miskin
beranak banyak.
Akhirnya, kebesaran jiwa seorang istri
juga dibutuhkan di sini. Wanita tidak perlu takut kebahagiaannya akan
berkurang kala suaminya menikah lagi. Bahkan, semestinya seorang wanita
salehah akan bertambah bahagia
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Surat Pembaca Edisi 85
Angkat Prinsip Al-Wala’ wal Bara’
Kami harapkan majalah Asy-Syariah membahas prinsip al-wala’ wal bara’ dalam menegakkan kebenaran di atas manhaj salaf. Juga tafsir awal surat Abasa, sebab kelompok sesat melunturkan makna surat ini ketika mereka diboikot.
085788xxxxxx
Jazakumullahu khairan atas masukannya, akan kami pertimbangkan.
Info Ringan
Saya mau usul, bagaimana kalau Asy-Syariah memuat
info-info praktis masalah thibbun nabawi, resep sehat, tips-tips
kesehatan, dan lain-lain setiap edisi. Biar kita tidak terlalu
mengerutkan dahi ketika membaca. Tetapi ada selingan artikel yang
menarik dan bermanfaat.
Rico-Klaten 085737xxxxxx
Sebagaimana pernah kami sampaikan,
kami masih terkendala dengan padatnya artikel yang masuk. Jadi, rubrik
“yang tidak bersifat selingan” saja masih sering naik turun karena tidak
mendapat ruang. Sementara itu, untuk penambahan halaman, juga butuh
pertimbangan mendalam. Rubrik yang Anda maksud sebenarnya juga tidak
hilang sama sekali, karena sesekali tetap muncul, hanya saja sifatnya
memang tidak rutin. Jazakumullahu khairan atas masukannya.
Tema tentang Riba
Bismillah. Asy Syariah sudah pernah bahas tuntas tentang riba belum ya? Kalau sudah pada edisi keberapa?
Jazakumullahu khairan.
085229xxxxxx
Pembahasan tentang riba pernah kami
angkat pada edisi 28 dan 29. Pembaca bisa melihat kembali di website
kami, www.asysyariah.com.
Ulangi Pembahasan
Bismillah. Saya baru saja mengenal manhaj salaf ini, alhamdulillah saya
menemukan majalah ini. Banyak faedah dari majalah ini. Akan tetapi,
banyak permasalahan yang diusulkan pembaca untuk diangkat, tetapi
redaksi sering mengatakan, “Sudah kami angkat pada edisi sekian.” Padahal tidak semua orang mempunyai edisi majalah ini lengkap dari edisi pertama sampai sekarang. Insya Allah tidak mengapa jika pembahasanpembahasan yang lalu diangkat atau disinggung lagi. Jazakumullah khairan.
Semoga Majalah Asy Syariah tetap istiqamah.
085643xxxxxx
Kami ucapkan jazakumullah khairan
atas apresiasi dan doa Anda untuk kami. Memang, menjadi sebuah dilema
tersendiri bagi kami ketika ada pembaca yang menanyakan sebuah
pembahasan yang ternyata pernah kami angkat. Semoga suatu saat kami bisa
mengangkatnya kembali dengan sisi pandang yang berbeda.
Alhamdulillah, sekarang semua artikel
yang pernah terbit hingga edisi 80 telah diunggah ke dunia maya. Pembaca
bisa merujuk ke www.asysyariah.com untuk mendapatkan artikel-artikel
edisi yang telah lalu.

Poligami dalam Ranah Sosial Kemasyarakatan
Fakta Unik Poligami
Poligami adalah sistem perkawinan yang
membolehkan seorang pria mempunyai istri lebih dari satu orang dalam
waktu yang bersamaan. Dalam bahasa Arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat. Bagi kaum pria, pembahasan tentang poligami acap kali menjadi bunga hati.
Cobalah amati saat mereka bergumul
membicarakan masalah yang satu ini. Bukankah mayoritas mereka
mengikutinya dengan antusias? Seakan jiwa mereka terfitnah (baca:
terfitrah) dengan poligami. Meskipun pada praktiknya, tidak semua pria
siap menjalaninya.
Berbeda halnya dengan kaum wanita,
khususnya para istri. Kata poligami tergolong sensitif bagi mereka.
Bahkan untuk mendengarnya saja berat, apalagi dipoligami. Mungkin karena
persepsi mereka bahwa poligami adalah monopoli kaum pria atau
diskriminasi terhadap hak-hak kaum wanita.
Tak heran, bila poligami sering dijadikan bahan curhat (curahan hati) di antara kaum hawa. Semakin runyam, manakala gerakan Para ulama Islam terkemuka menyatakan bahwa di antara keindahan Islam dan perhatiannya yang besar terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan serta penanganannya terhadap berbagai problematika umat adalah adanya syariat poligami. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/248)
emansipasi wanita dan hak asasi manusia
mulai merebak di tengah umat. Akibatnya, berbagai syubhat (kerancuan
berpikir) antipoligami pun menjadi konsumsi harian para istri. Karena
itu, tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut
emosi. Ibarat api dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun
pasti.
Luapan kemarahan akhirnya menjadi
solusi. Para suami dihujat dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang
tercemar nama baiknya bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah
melakukan dosa besar yang tak bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika
para suami itu berbuat serong, punya wanita idaman lain (WIL) yang tak
halal baginya alias selingkuh. Reaksi sebagian istri justru tak sehebat
ketika dipoligami.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang
diam seribu bahasa. Yang penting tidak dimadu! Itulah sekira letupan
hati mereka. Tak heran, bila di antara para suami “bermasalah” itu lebih
memilih berbuat selingkuh daripada poligami. Bisa jadi karena
pengalaman mereka bahwa selingkuh itu “lebih aman” daripada poligami.
Sampai-sampai ada sebuah pelesetan, selingkuh itu “selingan indah
keluarga utuh”.
Padahal selingkuh itu menjijikkan.
Selingkuh adalah zina. Selingkuh diharamkan dalam agama dan tak selaras
dengan fitrah suci manusia. Demikianlah di antara ragam fakta unik yang
terjadi dalam ranah sosial kemasyarakatan kita. Memang aneh, tapi nyata.
Sejarah Poligami
Menilik sejarahnya, poligami bukan
sesuatu yang baru dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala umat
manusia telah menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami.
Bahkan, di antara mereka adalah para nabi dan rasul yang mulia.
Cobalah ingat kembali sosok Nabi Ibrahim
‘Alaihissalam, bukankah beliau berpoligami?! Dari Sarah istri beliau
yang pertama, lahir Nabi Ishak ‘Alaihissalam yang menurunkan para nabi
dan rasul di kalangan bani Israil. Adapun dari Hajar istri beliau yang
kedua, lahir pula Nabi Isma’il ‘Alaihissalam yang menurunkan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sepenggal kisah dari kehidupan mereka yang mulia telah diabadikan dalam beberapa surat dari al-Qur’an.
Demikian pula Nabi Dawud ‘Alaihissalam
dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam serta sejumlah nabi yang lain, mereka
menjalani kehidupan rumah tangga dengan berpoligami. Ketika orang-orang
mulia dari kalangan nabi dan rasul telah menjalaninya, berarti poligami
itu tidaklah tercela. Kalaulah poligami itu tercela dan berefek negatif
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, pasti Allah Subhanahu wata’ala melarangnya.
Para pembaca yang mulia, dari sejarah poligami di atas dapat diambil pelajaran berharga bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
bukanlah rasul pertama yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan
berpoligami. Demikian pula agama Islam yang beliau bawa, bukan yang
mengawali syariat poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Bedanya, syariat poligami yang terdapat
dalam agama Islam tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Pada
zaman dahulu, jumlah istri dalam praktik poligami tidak dibatasi. Siapa
saja boleh memperbanyak istri tanpa ada batasan tertentu. Setelah
kedatangan Islam, jumlah itu dibatasi, maksimal empat orang istri saja.
Pada zaman dahulu, orang bebas
berpoligami sekehendak hatinya. Dengan hanya modal semangat pun bisa.
Setelah kedatangan Islam, orang yang berpoligami tidak cukup hanya
dengan modal semangat, tapi juga harus dengan pertimbangan yang matang.
Bila khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hakhak) para istri yang
dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkandiri dengan satu
istri saja.
Pada zaman dahulu, amalan poligami
dijalani berdasarkan “kebijakan” suami. Setelah kedatangan Islam, amalan
poligami harus dijalani berdasarkan aturan syariat. Yaitu, dengan
menegakkan prinsip keadilan dan kehati-hatian terkait dengan hak para
istri dalam hal; nafkah, tempat tinggal, waktu menginap (giliran
bermalam), dan kewajiban lainnya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi n telah berpoligami dengan sembilan orang istri. Allah Subhanahu wata’ala
menjadikan mereka bermanfaat bagi umat. Melalui merekalah sejumlah ilmu
yang bermanfaat, akhlak yang mulia, dan budi pekerti luhur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (terutama saat berada di tengah-tengah keluarganya, pen.)
dapat tersampaikan kepada umat. Nabi Dawud ‘Alaihissalam dan Nabi
Sulaiman ‘Alaihissalam juga telah berpoligami dengan para istri yang
banyak jumlahnya dengan seizin Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula tidak sedikit dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi setelah mereka yang berpoligami.
Sungguh, amalan poligami ini telah
dijalani oleh umat terdahulu yang telah mencapai kemajuannya,
sebagaimana pula telah dijalani oleh bangsa Arab jahiliah sebelum Islam.
Datanglah Islam dengan memberikan berbagai batasan padanya dan
menentukan jumlah maksimal untuk umat Islam dengan empat orang istri,
sedangkan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dibolehkan lebih dari empat orang istri sebagai kekhususan bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam karena hikmah, rahasia, dan maslahat di balik itu semua.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 21/239)
Ada Apa dengan Poligami?
Poligami tergolong topik yang
kontroversial di tengah umat. Tarik ulur bahkan perdebatan sengit sering
terjadi seputarnya. Setiap pihak berbicara sesuai dengan
strata/tingkatannya. Mulai kelas bawah yang “kampungan”, seperti “Satu
istri saja nggak habis, apalagi banyak.” Yang lain menimpali, “Satu
istri saja enak, apalagi banyak.” Hingga kelas atas yang pembicaraannya
bernuansa ilmiah, seperti poligami itu syariat ilahi yang telah
ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم
مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kalian takut tidak dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kalian menikahinya),
maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil maka
nikahilah seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki. Yang
demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3)
Rasulullah n selaku teladan terbaik umat
manusia, menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami,
sebagaimana yang dikisahkan dalam sirahnya. Demikian pula para sahabat
beliau n yang mulia, tidak sedikit dari mereka yang menjalani kehidupan
rumah tangga dengan berpoligami, sebagaimana dalam kitab-kitab tarikh.
Ini semua sebagai bukti bahwa poligami merupakan bagian dari syariat
Islam yang mulia.
Yang lain menimpali, “Memang benar poligami itu syariat ilahi, tapi ngono yo ngono ning ojo ngono (gitu
ya gitu tapi jangan gitu).” Artinya, walaupun poligami itu termasuk
dari syariat Islam yang mulia, tetapi perasaan kaum wanita juga harus
diperhatikan. Lebih dari itu, banyak rumah tangga yang berantakan karena
poligami! Perceraian tak dapat dihindari, anak-anak pun hidup
takmenentu. Wallahul musta’an.
Para pembaca sekalian, semoga hidayah dan taufik Allah Subhanahu wata’ala
selalu mengiringi kita, tak dimungkiri bahwa pandangan dan pembicaraan
tentang poligami sangat beragam di tengah umat ini. Namun, ada kaidah
penting yang harus diperhatikan oleh setiap insan yang beriman dalam
menyikapi berbagai permasalahan hidup, termasuk poligami. Yaitu,
menerima segala syariat dan ketetapan yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lapang dada dan berbaik sangka kepada syariat- Nya, tanpa ada ganjalan sedikit pun di dalam hati.
Atas dasar itu, setiap mukmin dan
mukminah yang menjunjung tinggi nilainilai keimanan tidak boleh menolak
syariat dan ketetapan yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’alal dan Rasul-Nya. Tidak boleh pula mendahulukan perasaan, logika, ataupun hawa nafsu atas segal ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Itulah di antara konsekuensi keimanan yang harus selalu dipegang erat-erat oleh setiap insan yang beriman. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan
yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Dengan menerima segala ketetapan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya n akan terwujud kehidupan yang berbahagia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا
دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ
الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sambutlah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan
sesungguhnya kepada- Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (al- Anfal: 24)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratul Basyar Ilaiha mengatakan, “Maka Allah Subhanahu wata’ala menjadikan sikap menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya sebagai kehidupan, dan sikap enggan menyambut seruan
tersebut sebagai kematian. Sehingga jelaslah bahwa syariat Islam
merupakan kehidupan bagi umat dan pangkal kebahagiaan mereka. Sungguh
tidak ada kehidupan dan kebahagiaan bagi mereka tanpa itu semua.”
Sungguh berbeda kondisi orangorang yang Allah Subhanahu wata’ala
lapangkan dadanya untuk menerima agama Islam dengan segala syariat dan
ketetapannya, dengan orang-orang yang telah membatu hatinya dan
berkesumat benci terhadapnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَفَمَن
شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ
ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ
فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Maka apakah orang-orang yang Allah
lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya
dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan
yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat
Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apakah sama orang yang Allah Subhanahu wata’ala
lapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima dan
menjalankan segala hukum syariat yang dikandungnya dengan penuh
kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna
firman Allah Subhanahu wata’ala, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan selainnya?!
Yaitu orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, dan berat hatinya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari ibadah kepada Rabbnya dan mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Merekalah orang-orang yang ditimpa kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668)
Para pembaca yang mulia, bila kita
perhatikan dengan saksama, sungguh ketetapan tentang poligami yang
sedang dipermasalahkan itu telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ketetapan tentang poligami dijelaskan dalam al- Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 3. Demikian pula dalam as-Sunnah, ketetapan tentang
poligami dijelaskan dengan praktik
poligami yang dilakukan oleh Rasulullah n dalam kehidupan rumah tangga
beliau dan sejumlah hadits yang berisi aturan penting bagi siapa saja
yang menjalani kehidupan rumah tangganya dengan berpoligami.
Dari sini terkandung pelajaran berharga
bahwa poligami tidak lain adalah syariat ilahi yang ditetapkan dalam
kitab suci al-Qur’an dan as- Sunnah. Setiap muslim dan muslimah harus
membenarkan syariat tersebut dan menerimanya dengan lapang dada tanpa
ada ganjalan sedikit pun di dalam hati. Terlepas apakah ada kemampuan
untuk menjalaninya ataukah tidak. Mengingat, poligami itu sendiri hukum
asalnya adalah sunnah atau mubah, bukan wajib.
Bahkan, bila khawatir tidak dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) para istri yang dipoligami, maka Islam
menuntunkan agar mencukupkan diri dengan satu istri saja, sebagaimana
yang dibimbingkan dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas.
Adapun kasus-kasus kelabu seputar
poligami; keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup merana,
maka itu bukan karena syariat poligaminya. Penyebab utamanya adalah
oknum yang menjalani poligami tersebut. Sama halnya dengan kasus-kasus
kelabu seputar pernikahan yang tidak poligami atau perselingkuhan
suami/istri; keluarga berantakan, perceraian, dan anak-anak hidup
merana. Penyebab utamanya adalah oknum yang bersangkutan, bukan syariat
pernikahannya.
Maka dari itu, pernikahan baik dengan
poligami maupun tidak poligami tetaplah sebagai syariat ilahi yang
mulia. Yang mencemarkannya adalah para oknum yang menjalaninya. Wallahul musta’an.
Di Balik Syariat Poligami
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya di
balik syariat poligami terdapat hikmah yang sangat besar dalam ranah
sosial kemasyarakatan. Di antara hikmah tersebut adalah,
1. Poligami adalah sebab terbesar populasi umat Islam.
Dengan jumlah yang besar, umat Islam
akan disegani oleh musuhmusuhnya. Lebih-lebih jika mereka berpegang
teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bimbingan para sahabat yang mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan bangga bila umat Islam banyak jumlahnya, sebagaimana dalam sabda beliau,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang penyayang dan
banyak keturunan (subur), karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah
kalian terhadap umat selain kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dan an- Nasa’i no. 3227. Asy-Syaikh al-Albani
menilainya hasan sahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 1789, Shahih Sunan an-Nasa’i no. 3227, dan al- Irwa’ no. 1784)
2. Seorang istri dalam kehidupan rumah tangga pasti mengalami sakit.
Setiap bulannya secara normal mengalami
haid, bahkan terkadang mengalami nifas di hari-hari melahirkan. Masih
tersisa berbagai kondisi yang menjadi penghalang baginya untuk melayani
kebutuhan biologis suaminya. Padahal lelaki (suami) selalu berhasrat dan
siap untuk memperbanyak keturunan sebagaimana yang dihasung oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas.
Jika istrinya hanya satu orang, maka mau
tidak mau harus menyesuaikan sang istri dalam segala kondisinya. Dengan
demikian, dia terhalang untuk sementara waktu dari maslahat
memperbanyak keturunan. Berbeda halnya jika mempunyai istri lebih dari
satu. Maslahat itu akan tetap didapat dari istrinya yang lain.
3. Di antara para istri ada yang
tak dikaruniai anak karena mandul atau yang lainnya, padahal kehidupan
rumah tangganya tergolong harmonis.
Ketika sang suami berkeinginan untuk
mempunyai anak lalu menikah dengan wanita yang lain, maka termasuk sikap
bijak mempertahankan istri pertama dengan dipoligami dan tidak
menceraikannya.
4. Di antara para istri ada yang
menderita sakit berat yang menahun, seperti stroke dan sejenisnya,
sehingga tidak mampu memenuhi mayoritas hak suami.
Termasuk sikap bijak dari sang suami,
bersabar dengan kondisi istrinya yang sakit tersebut dan tidak
menceraikannya. Sebagai solusinya adalah poligami. Dengan poligami,
kebutuhan vital rumah tangganya dapat terpenuhi, dalam hal ini dengan
adanya istri yang kedua. Di sisi lain, istri yang pertama tetap
mendapatkan perhatian dan tidak terabaikan begitu saja.
5. Di antara ketetapan Allah (sunnatullah) di muka bumi ini bahwa jumlah kaum lelaki lebih sedikit dibandingkan jumlah kaum wanita.
Lebih dari itu, jenis akivitas kaum
lelaki secara umum lebih berisiko daripada aktivitas kaum wanita. Dengan
itu, jumlah mereka bisa semakin berkurang. Jika seorang lelaki dibatasi
hanya satu orang istri, akan didapati banyak wanita yang hidup tanpa
suami. Hal ini pun akan menjadi problem tersendiri bila mereka tak kuasa
menjaga kesucian dirinya. Hubungan gelap, selingkuh, dan praktik
asusila lainnya pun sebagai jalan pintasnya. Kehormatannya dijual dengan
kenistaan, bahkan diberikan begitu saja kepada orang yang tak berhak
mendapatkannya. Wallahul musta’an.
6. Secara umum, kaum wanita lebih siap menikah dibandingkan kaum lelaki.
Bisa jadi, karena beban seorang istri
tak seberat beban suami, terkhusus dalam hal tanggung jawab pembinaan
dan nafkah keluarga. Karena itu, tak sedikit dari kaum lelaki yang
“takut” menikah. Sebabnya pun beragam, termasuk faktor finansial. Dari
sini dapat diketahui bahwa jumlah kaum lelaki yang siap menikah jauh
lebih sedikit dibandingkan kaum wanita.
Oleh karena itu, jika seorang lelaki
yang siap menikah dibatasi hanya satu orang istri saja, akan
tersia-siakan nasib kaum wanita yang sudah siap menikah itu. Akibatnya,
mereka akan hidup tanpa suami dan rawan menjadi sebab “kotornya”
lingkungan.
7. Bersih lingkungan dari praktik asusila (zina) adalah harapan bersama dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Di antara solusi terbaik untuk menjaga
kebersihan lingkungan tersebut adalah syariat poligami. Dengan poligami,
akan tersalurkan kebutuhan masing-masing pihak secara halal dan
terhormat. Dengan poligami pula, akan terjalin hubungan rumah tangga
yang sah dan menjadi sebab terjaganya nasab keturunan.
8. Umat Islam membutuhkan kader yang sangat banyak untuk mengemban misi dakwah Islam yang mulia.
Di antara sistem pengkadera yang alami
dan efektif adalah dengan berpoligami. Terkhusus bagi orang-orang saleh,
ulama, dan para tokoh muslim. Anak cucu mereka yang sekaligus sebagai
para kader itu biidznillah akan banyak berperan dalam menopang
perjuangan Islam. Semakin banyak jumlah mereka, tentu semakin diharapkan
oleh umat. Jika orang-orang saleh, ulama, dan para tokoh muslim itu
dibatasi menikah dengan satu orang istri saja, berjalannya kaderisasi di
tengah umat ini kurang efektif. Berapa banyak kader mulia yang muncul
dari keluarga yang berpoligami?! Masih ingatkah Nabi Ishak q dan Nabi
Ismail q serta para nabi keturunan mereka? Bukankah mereka muncul dari
keluarga yang berpoligami?
9. Syariat poligami dapat menjadi sebab terjalinnya hubungan kekerabatan dengan banyak pihak.
Dengan itu, akan diraih kemaslahatan
yang besar. Adapun anggapan bahwa poligami adalah penyebab permusuhan
dan kekacauan di tengah keluarga, maka tidak bisa dibenarkan secara
mutlak. Sebab, permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga itu bisa
terjadi kapan saja; antara orang tua dan anaknya, menantu dan mertuanya,
kakak dan adiknya, bahkan antara suami dan istrinya yang hanya satu
orang saja.
Jadi, jika dalam kehidupan berpoligami
muncul permusuhan dan kekacauan di tengah keluarga, hal itu tergolong
lumrah dan efeknya lebih kecil dibandingkan hikmah yang besar di balik
syariat poligami yang menjaga kehormatan kaum wanita, memudahkan proses
pernikahan untuk mereka semua, dan memperbanyak populasi umat Islam yang
dapat menggentarkan musuh-musuh Islam. (Disarikan dari Adhwaul Bayan karya asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi 3/22—23 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta’ seri 1, 19/175—178 fatwa no. 3166, dengan beberapa tambahan)
Para pembaca yang mulia, dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, di antaranya:
• Amalan poligami adalah syariat ilahi,
sehingga setiap muslim dan muslimah harus menerimanya dengan lapang dada
tanpa ada ganjalan sedikit pun di hati.
• Nabi Muhammad n bukanlah rasul pertama
yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan poligami. Demikian pula
agama Islam yang beliau bawa, bukan yang mengawali syariat poligami
dalam ranah sosial kemasyarakatan.
• Syariat poligami dalam agama Islam
tertata, adil, dan jauh dari perbuatan zalim. Oleh karena itu, apabila
seseorang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) para
istri yang dipoligami, maka Islam menuntunkan agar mencukupkan diri
dengan satu orang istri saja, sebagaimana yang dibimbingkan dalam surat
an-Nisa’ ayat 3.
• Di balik syariat poligami terdapat
hikmah yang sangat besar dalam ranah sosial kemasyarakatan. Dengan
poligami, berbagai permasalahan umat terkhusus problem rumah tangga
dapat dipecahkan. Akhir kata, demikianlah selayang pandang tentang
poligami dalam ranah sosial kemasyarakatan. Semoga bermanfaat bagi kita
semua. Amin, ya Rabbal Alamin…
Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Syariat Poligami Kasih Sayang Allah Subhanahu wata’ala
مُكْرَهٌ أَخَاكَ لاَ بَطَلٌ
“Saudaramu ini terpaksa, bukan karena berani.”
Hanya Allah Subhanahu wata’ala
sajalah tempat meminta tolong, dan Dia sajalah sandaran bertawakal.
Kalimat di atas, terus terang ingin kami ucapkan ketika kami ditunjuk
dan diberi amanat untuk menyusun materi kajian utama di majalah ini
dengan tema poligami. Bukan karena apa-apa, melainkan masih banyak
ustadz dan dai Ahlus Sunnah—yang memiliki ilmu dan amal yang melebihi
penyusun—yang lebih pantas dan lebih utama menulisnya. Selain itu, kalau
hanya berteori, semua orang bisa.
Tetapi, giliran pengamalan, inilah yang sulit. Penyusun sendiri khawatir terjatuh pada perkara menggurui dalam agama Allah Subhanahu wata’ala
tanpa ilmu dan amal. Lebih-lebih, dalam masalah yang mungkin masih
dianggap peka dan banyak yang menolaknya karena keawaman (kejahilan)
atau hawa nafsu. Ditambah lagi, masih banyak praktik yang salah dari
para pelakunya, jauh dari ilmu yang benar dan bimbingan para ulama
rabbani.
Akibatnya, syariat poligami yang mulia
ini dipandang buruk oleh manusia. Secara panjang lebar kita bisa
memaparkan tentang poligami karena kitab-kitab ulama telah
menerangkannya. Akan tetapi, yang menjadi masalah mungkin pengamalan
kita sendiri atau pasangan kita, istri-istri kita. Sudahkah kita dan
mereka benar-benar menerima, tunduk, dan mengamalkannya dengan benar dan
sesuai dengan tuntunan? Wallahul musta’an.
Namun, amanat tetaplah amanat. Ia harus
ditunaikan sesuai dengan kemampuan, terlepas dari pengamalan keseharian
kami sebagai hamba yang lemah, banyak kelalaian dan kealpaan. Wallahul musta’an wa waffaqaniyallahu ilash shawab wal ‘amal bihi.
Apa yang kami paparkan di sini bukanlah
hasil dan kesimpulan dari pikiran dan pengamalan kami pribadi, atau
hasil pengalaman seorang praktisi/ pakar ahli yang sudah berpengalaman
dalam masalah ini, nastaghfiruka ya Rabbi wa natubu ilaika. Kami semata-mata menukilkan dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menyusun kembali dari ilmu para ulama yang merupakan pewaris ilmu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari sini, kami mengajak diri kami,
keluarga kami, dan segenap kaum muslimin untuk becermin dari penjelasan
ilmu yang syar’i, guna mengamalkannya dan memperbaiki amalan. Kita
tengadahkan tangan, memohon taufik dari Allah Subhanahu wata’ala. La haula wa la quwwata illa billah.
Penyusun menyadari, apa yang tertuang dan
terangkum di sini masih terlalu banyak kekurangannya, bisa jadi terlalu
jauh dari apa yang diharapkan, dan belum memenuhi apa yang dibutuhkan
para pembaca. Karena itu, kami meminta uzur dan maaf kepada semuanya.
Hanya Allah Subhanahu wata’ala-lah yang memiliki kesempurnaan.
Poligami yang Ditentang
Serasa disambar petir di siang bolong,
ketika seorang istri—yang tidak bisa menerima syariat poligami,
seakan-akan tak sudi untuk diduakan—mendengar suaminya sudah punya istri
lagi selainnya, atau bahkan baru sekadar berencana menikah lagi.
Poligami memang masih menjadi hal yang mengganjal bagi para istri dan kaum hawa secara umum, selain yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu, tak heran apabila syariat ini mengundang protes dan
kritikan di mana-mana. Padahal, syariat poligami bukan buatan kaum
lelaki untuk menzalimi perempuan, melainkan Allah Subhanahu wata’ala—Dzat Yang Maha Mengetahui kemaslahatan para hamba—yang menetapkannya.
Bisa jadi, lubuk hati kita akan
bertanya, “Sekejam itukah aturan syariat yang diturunkan dari tujuh
lapis langit ini oleh Allah Subhanahu wata’ala, sehingga mengundang protes dari para hamba-Nya?” Jelas, jawabannya, “Tidak.” Sebab, Allah Subhanahu wata’ala
sendiri amat penyayang kepada para hamba-Nya dan tidak akan menzalimi
mereka sedikit pun. Kebencian kepada poligami ini diperparah dengan
propaganda dan slogan-slogan ‘merendahkan perempuan’, buku-buku,
lagu-lagu, dan film-film yang menggambarkan kelamnya poligami, ditambah
praktik yang salah dari pelakunya, dan sebagainya.
Kalau dirunut, sebenarnya ada otak yang
bermain di balik semua kebencian ini. Ya, ini sebenarnya ulah orangorang
kafir dan kaki tangannya yang memang ingin menjelekkan Islam dan tidak
akan pernah meridhainya. Salah satu yang mereka anggap sebagai celah
mencacati Islam adalah syariat poligaminya. Dikaranglah sekian igauan
untuk memperburuk perkara yang halal ini. Yang menyedihkan, kaum
muslimin juga mau mendengarkan igauan mereka tersebut, wallahul musta’an.
Bahkan, penyusun—afahullahu min kulli khatha’in wa zallatin/semoga
Allah menjaganya dari kesalahan dan ketergelinciran—pernah melihat
sebuah pelat kendaraan bermotor di negeri yang katanya mayoritas kaum
muslimin ini, bertuliskan: antipoligami. Islam dianggap kelam dengan
syariat poligaminya. Lantas bagaimana dengan orang-orang kafir di negeri
Barat, yang laki-laki dan perempuannya hidup bebas, tidak peduli istri
orang, perselingkuhan, perzinaan, kemudian dijiplak oleh sebagian artis
atau selebritas yang mengaku muslim di negeri kita; tidakkah itu
dianggap kelam, bahkan pekat dan sangat kotor? Mengapa orang mau
memaklumi sesuatu yang haram, menerima, dan memaafkannya, sedangkan
untuk sesuatu yang halal seolah-olah tidak ada maaf? Kenyataan yang
terjadi, ketika seorang istri mengetahui suaminya selingkuh, punya
kekasih gelap, ia masih bisa memaafkan suaminya, memaklumi, dan mau
berbaikan kembali. Tetapi, tidak ada maaf ketika suaminya menikahi
perempuan lain secara sah, ‘Pilih dia ceraikan aku, atau pilih aku
ceraikan dia!’ Wallahul musta’an.
Kasih Sayang-Nya yang Mahaluas
Suara protes jelas banyak datang dari
perempuan sebagai pihak yang merasa dirugikan dengan aturan ini.
Cemburu, merasa dizalimi, direndahkan, diduakan, takut kehilangan cinta,
dan sebagainya, menjadi alasan. Kalau bisa protes kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya, mereka akan protes (dan sudah mereka lakukan!). Padahal seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, Allah Subhanahu wata’ala
sebagai Pencipta, Pemberi segalanya, dan Pengatur alam semesta ini,
tentu lebih tahu kebutuhan para hamba dan yang menyebabkan kebaikan bagi
mereka. Allah Subhanahu wata’ala menyatakan,
وَعَسَىٰ
أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Bisa jadi kalian membenci sesuatu
padahal sesuatu itu baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian mencintai
sesuatu padahal sesuatu itu tidak baik bagi kalian. Allahlah yang
mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Dari nama-Nya yang agung, Ar- Rahman dan Ar-Rahim, kita juga tahu bahwa Allah Subhanahu wata’ala amat penyayang kepada para hamba-Nya. Sama sekali Dia tidak pernah menzalimi mereka.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
“Sesungguhnya Allah tidak pernah menzalimi walaupun sebesar zarrah2….” (an-Nisa: 40)
Bahkan, Dia adalah Dzat Yang Mahaadil,
yang keadilan-Nya ada pada puncak kesempurnaan. Dengan demikian, ketika
menetapkan syariat poligami, Dia Mahatahu bahwa hal itu memberikan
kemaslahatan kepada para hamba. Bisa kita katakan, Dia menetapkan
syariat poligami sebagai kasih sayang-Nya kepada para hamba- Nya, baik
lelaki maupun perempuan.
Banyaknya Jumlah Perempuan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang mulia, pernah menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَكْثُرَالْجَهْلُ
وَيَكْثُرَ الزِّنَا وَيَكْثُرَ شُرْبُ الْخَمْرِ وَيَقِلَّالرِّجَالُ
وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى يَكُوْنَ لِخَمْسِيْنَامْرَأَةٍ الْقَيِّمُ
الْوَاحِدُ.
“Termasuk tanda hari kiamat adalah
diangkatnya ilmu, banyaknya kebodohan, banyaknya perzinaan, dan
banyaknya diminum khamr (minuman memabukkan). Di samping itu, jumlah
para lelaki sedikit sedangkan jumlah perempuan banyak, sampai-sampai
untuk lima puluh orang perempuan hanya dipimpin oleh seorang lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 81 dan Muslim no. 2671)
Karena jumlah perempuan lebih banyak
dibanding lelaki, tentu banyak perempuan yang tidak memperoleh pasangan
yang akan memimpin hidupnya apabila seorang lelaki hanya boleh Sebesar
debu atau sesuatu yang paling kecil yang bertebaran di udara. menikahi
seorang perempuan. Seandainya tidak ada syariat poligami, niscaya akan
banyak perempuan menjadi perawan tua. Tentu kasihan sekali hidup para
perempuan yang tidak mendapat pasangan tersebut. Tidak terbayang
kejelekan yang mungkin bisa menimpa mereka, karena harus diakui bahwa
perempuan butuh hidup berdampingan dengan lelaki yang dicintai dan
mencintainya, seperti halnya lelaki membutuhkan perempuan.
Maka dari itu, alangkah egoisnya para
perempuan yang memprotes poligami! Di manakah kasih sayangnya kepada
sesama, padahal Dzat yang memberinya kehidupan amat sayang kepada para
hamba?
Seorang Istri Tidak Bisa Memenuhi Semua Keinginan Suami
Sebagai seorang istri, perempuan
memiliki keterbatasan. Tidak semua “keinginan” suaminya bisa dia penuhi.
Ada kalanya dia sakit, haid, nifas, repot mengurus anak, letih dengan
pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Ketika suami meminta
khidmat/pelayanannya, istri salehah yang ingin menyenangkan suami tidak
pantas menolaknya.
Lantas bagaimana kiranya jika ia
memiliki penghalang atau uzur untuk menjalankan khidmat tersebut? Kalau
itu berupa pekerjaan, bisa jadi istri masih bisa menyerahkannya kepada
orang yang membantunya di rumah. Namun, apabila terkait “hubungan
khusus”nya dengan suami, tentu tidak bisa diserahkan kepada siapa-siapa
saat ia haid atau nifas, misalnya. Andai tidak ada syariat poligami,
niscaya kebutuhan lelaki akan
tersia-siakan dan na’udzubillah, bisa jadi semakin banyak lelaki jatuh pada perzinaan.
Menutup Pintu Perzinaan
Apabila mau jujur, bisa dikatakan bahwa
lelaki tidak merasa cukup dengan satu wanita. Namun, apabila ia hanya
memiliki satu istri di rumahnya, ke mana gerangan ia palingkan
kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari seorang istri saja?
Apabila si lelaki tidak memiliki rasa
takut kepada Allah l, ia akan salurkan hasrat yang kurang itu kepada
yang tidak halal. Bisa jadi dengan memandang wanita yang bukan mahram,
mencari kekasih gelap, selingkuh, zina, …. Na’udzubillah, kita mohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wata’ala!
Tiga alasan di atas, cukuplah mewakili pernyataan kita bahwa syariat poligami adalah tanda rahmat dan kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba. Al-Allamah Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah,
seorang ulama besar dan ahli ilmu tafsir di zamannya, menyatakan dalam
tafsirnya, anggapan sebagian musuh-musuh Islam bahwa poligami akan
selalu menimbulkan pertikaian dan kegaduhan yang mengantarkan kepada
keruhnya kehidupan adalah salah besar. Menurut mereka, setiap kali suami
membuat senang salah satu istrinya, niscaya akan membuat marah istri
yang lain (madunya), sehingga suami selalu berada di antara dua
kemarahan.
Ucapan ini amat jelas batilnya bagi
setiap orang yang berakal. Sebab, pertikaian di antara individu dalam
keluarga, mau tidak mau, memang selalu ada. Pertikaian bisa terjadi
antara seseorang dan ibunya, ayahnya, anak-anaknya, bahkan dengan istri
satu-satunya. Sebab, pertikaian dan perselisihan itu sebenarnya perkara
biasa dalam kehidupan insan. Pertikaian yang dikhawatirkan akan muncul
karena poligami tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan kebaikan
besar yang diperoleh dari poligami,
yaitu penjagaan terhadap perempuan,
memudahkan seluruh perempuan untuk menikah/mendapat pasangan hidup, dan
memperbanyak jumlah umat yang akan terlahir dari pernikahan tersebut,
sehingga memberi kekuatan besar untuk
menghadapi musuh-musuh Islam. Kebaikan yang besar ini tentu lebih
dikedepankan daripada menolak mafsadat atau dampak negatif yang kecil.
Kalaupun kita anggap kericuhan yang terjadi karena poligami sebagai
mafsadat, atau dianggap menyakiti hati istri pertama dengan memberinya
‘madu’, niscaya sisi positif yang diperoleh dengan poligami lebih
dikedepankan karena lebih kuat apabila dibanding dengan mafsadat yang
mungkin terjadi. Kaidah dan prinsip seperti ini sudah dikenaldalam ilmu
ushul.
Al-Qur’an membolehkan poligami demi
kemaslahatan perempuan agar mereka tidak terhalang dari menikah dan
untuk kemaslahatan lelaki agar tidak tersia-siakan kemanfaatan mereka
saat istrinya yang satu sedang beruzur. Selain itu, tentu ada
kemaslahatan bagi umat dengan bertambah banyaknya jumlah mereka sehingga
mereka bisa menghadapi musuh-musuh agama.
Poligami adalah syariat dari Dzat Yang
Maha Memiliki hikmah, Maha Mengetahui lagi Memberitakan, sungguh tidak
ada yang mencela aturan-Nya ini selain orang yang dibutakan oleh Allah Subhanahu wata’ala
dengan gelapnya kekafiran. Pembatasan jumlah istri dengan bilangan
empat adalah ketentuan dari Dzat Yang Maha Memiliki hikmah, bersifat
pertengahan antara jumlah yang sedikit yang menyebabkan tersia-siakannya
kemanfaatan lelaki dan jumlah banyak yang menyebabkan seorang suami
tidak mampu menunaikan semua kebutuhan dan keperluan kehidupan berumah
tangga4. (Adhwa’ul Bayan, 3/416— 417, dengan sedikit perubahan) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari
Syariat Poligami
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, terbitan Balai Pustaka, istilah poligami tidak khusus untuk pihak lelaki, karena definisi poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Justru ada istilah lain yang khusus bagi lelaki, namun jarang kita pakai, yaitu poligini, yang bermakna sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya di waktu yang bersamaan. (hlm. 885—886)
Namun, karena ada istilah poliandri
untuk wanita yang bersuami lebih dari satu, jadilah poligami dipakai
untuk lelaki. Apa pun istilahnya, tidak menjadi masalah. Yang penting,
makna yang kita maksud adalah lelaki menikahi lebih dari satu wanita;
dua, tiga, atau paling banyak empat istri, yang dalam bahasa Arab
disebut ta’addud az-zaujat, atau dalam bahasa keseharian kita biasa disingkat dengan ta’addud.
Pensyariatan Poligami
Pensyariatan poligami ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. Dalil dari al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم
مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Jika kalian khawatir tidak bisa
berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya),
nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi;
(apakah) dua, tiga, atau empat. Namun, apabila kalian khawatir tidak
bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki
lebih dari satu istri), nikahilah satu istri saja atau mencukupkan
dengan budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa: 3)
Sisi pendalilan dari ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menyatakan,
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ
Maksudnya, nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang halal bagi kalian untuk dinikahi sejumlah yang disebutkan. (Fathul Qadir, asy-Syaukani, 1/561—562)
Hal ini memberikan faedah bolehnya beristri sampai empat orang. Allah Subhanahu wata’ala
sama sekali tidak membatasi istri itu harus satu, terkecuali bagi
mereka yang tidak dapat atau khawatir tidak bisa berbuat adil di antara
para istri. Adapun lafadz,
فَانكِحُوا
yang berupa fi’il amr (kata kerja
perintah) tidaklah menunjukkan wajibnya berbilang istri, tetapi
menunjukkan pembolehan. Jadi, perintah pada ayat di atas bukanlah lil wujub (untuk mewajibkan), melainkan lil ibahah (untuk membolehkan). Demikian pendapat mayoritas fuqaha, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir ath-Thabari (3/580), Badai’u ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ (al-Kasani, 1/597), al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (an-Nawawi, 17/202), dan selainnya. Adapun dalil dari as-Sunnah adalah sebagai berikut.
1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu
masuk Islam dalam keadaan ia memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di
masa jahiliah. Para istrinya juga masuk Islam bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintah Ghailan memilih empat dari mereka (dan menceraikan yang lain). (Sunan at-Tirmidzi no. 1128, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Setelah membawakan hadits di atas, al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah
berkata, “Yang diamalkan adalah hadits Ghailan ibnu Salamah ini,
menurut ulama hadits teman-teman kami, di antaranya asy- Syafi’i, Ahmad,
dan Ishaq.” (Sunan at-Tirmidzi, kitab an-Nikah, bab “Ma Ja’a fir Rajul Yuslim wa ‘Indahu ‘Asyru Niswah”)
2. Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Qais ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku masuk Islam, sementara aku beristri delapan. Aku pun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan kepada beliau tentang hal itu. Beliau pun bersabda,
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
‘Pilih empat dari mereka’.” (no. 1952, dinyatakan hasan dalam Shahih Ibnu Majah dan Irwa’ul Ghalil no. 1885)
Sisi pendalilan dari hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai orang yang tidak pernah berucap dari hawa nafsunya tetapi dari
wahyu, memerintah para sahabatnya yang berislam dalam keadaan memiliki
istri lebih dari empat untuk memilih empat dari para istrinya dan
mencerai yang lainnya. Sementara itu, asal perintah adalah wajib tentang
larangan beristri lebih dari empat dan bolehnya poligami sampai empat,
berdasar firman Allah Subhanahu wata’ala,
مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“(Apakah) dua, tiga, atau empat.”
Sunnah Taqririyah Penetapan dan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
terhadap poligami yang dilakukan oleh sebagian sahabat beliau, di
antaranya sahabat yang paling dekat dan paling dicintai oleh beliau,
Abu Bakr ash- Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang beristri lebih dari satu. Sementara itu, taqrir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga termasuk tasyri’ (berlaku sebagai syariat).
Adapun dalil dari ijma’ ahlul ilmi dari
kalangan sahabat, tabi’in, dan mazhab yang empat; al-Ahnaf (Hanafi),
Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Ibnu Hazm dari kalangan Zhahiri, sepakat
membolehkan poligami sampai empat istri, selama memenuhi syarat-syarat
pernikahan poligami yang akan disebutkan nanti, insya Allah.
Dari dalil-dalil pensyariatan poligami
di atas, para ulama ada yang menganggap hukum asalnya mubah dan ada pula
yang memandang sebagai suatu amalan sunnah/mustahab. Yang menganggapnya
mustahab berdalil dengan beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan
sunnahnya, seperti:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَزَّوَجُّوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang
Poligami, Problem atau Solusi? penyayang (cinta kepada suaminya) lagi
subur rahimnya, karena sungguh aku berbangga-bangga di hadapan umat-umat
yang lain dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari sahabat Ma’qil bin Yasar z, dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Salah satu cara memperbanyak keturunan adalah dengan menikahi banyak wanita sampai batasan empat.
2. Hadits yang berbunyi,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Pada kemaluan salah seorang kalian ada sedekah1.” (HR. Muslim no. 2326 dari Abu Dzar al-Ghifari z)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ
قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ
قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ
“Dicintakan kepadaku dari dunia
kalian adalah (cinta) kepada para wanita/ istri dan minyak wangi, serta
dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, 3/285, an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, dari
Anas bin Malik z, dinyatakan sahih dalam Shahihul Jami’ no. 3124 dan al-Misykat no. 5261)
4. Said bin Jubair rahimahullah pernah ditanya oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Apakah engkau sudah menikah?” “Belum,” jawabnya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu lalu berkata,
فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً
“Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.”2 ( HR. al-Bukhari no. 5069)
Semua dalil di atas dan beberapa dalil
lain yang tidak kita sebutkan di sini, dijadikan sandaran oleh mereka
yang berpendapat disunnahkannya memperbanyak istri, dengan syarat si
suami mampu berlaku adil di antara istriistrinya, karena Allah Subhanahu wata’ala menyatakan,
“Namun, bila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki lebih dari satu istri)….”
Pada poligami, dengan melihat pelakunya,
bisa diberlakukan juga hukum yang lima, yaitu wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram, sebagaimana hukum nikah yang pertama. Untuk
keterangan tentang hukum yang lima ini, silakan melihat kembali
pembahasan kajian utama di majalah Asy-Syariah Vol. IV/ no. 39/1429 H/2008, dengan judul Menikah dengan Aturan Islam, subjudul Hukum Nikah (hlm. 12—13), wallahu a’lam.
Poligami yang mubah dan sunnah telah
disebutkan di atas. Poligami menjadi wajib jika tidak berpoligami justru
menyebabkan seseorang terjatuh pada perkara yang haram atau membuatnya
terhalang dari melaksanakan kewajiban. Misalnya, ia memiliki seorang
istri, namun tidak mencukupinya (dari menginginkan wanita lain) sehingga
dikhawatirkan ia terjatuh pada perbuatan zina. Sementara itu, ia mampu
memenuhi syarat pernikahan poligami. Dalam keadaan ini, dikatakan
kepadanya, “Menikahlah lagi dengan wanita yang kedua!”
Poligami menjadi haram bagi seseorang
apabila berpoligami akan mengantarkannya pada perbuatan yang haram.
Misalnya, ia menikah lagi padahal telah memiliki empat orang istri
(sehingga menjadi lima), atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara
kandung dalam keadaan salah satunya belum dicerai/ belum meninggal.
Poligami menjadi makruh apabila
menyebabkan pelakunya terjatuh kepada perbuatan yang makruh, seperti
menceraikan istrinya karena pernikahan yang berikutnya, tanpa alasan
yang benar; atau seorang yang dikenal kasar dalam hubungan suami istri,
emosional, tidak memiliki rahmat dan sifat lapang dada terhadap
istrinya. Orang yang seperti ini makruh hukumnya berpoligami karena
kehidupan pernikahan membutuhkan dan menuntut kelemahlembutan dan sikap
berlapang dada terhadap para istri. (Sualat fi Ta’addudiz Zaujat, hlm. 43)
Hukum Asal Pernikahan adalah Poligami
Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum asal dalam hal pernikahan itu, ta’addud/poligami
atau hanya beristri satu?” Beliau t menjawab, “Hukum asal dalam
pernikahan adalah disyariatkannya poligami bagi yang mampu dan tidak
khawatir berlaku zalim.
Sebab, poligami mengandung maslahat/kebaikan yang besar untuk menjaga kemaluan si lelaki dan iffah (kehormatan
diri) para wanita yang dinikahi. Selain itu, poligami juga mengandung
perbuatan baik kepada para wanita serta memperbanyak keturunan sehingga
jumlah umat ini semakin besar dan memperbanyak orang yang beribadah
kepada Allah Subhanahu wata’ala saja. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم
مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Jika kalian khawatir tidak bisa
berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka
nikahilah wanita-wanita lain yang halal bagi kalian untuk dinikahi;
(apakah) dua, tiga, atau empat. Namun, bila kalian khawatir tidak bisa
berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki lebih
dari satu istri) maka nikahilah satu istri saja atau mencukupkan dengan
budak perempuan yang kalian miliki. Hal itu lebih dekat agar kalian
tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa: 3)
Di samping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi lebih dari satu wanita, padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Sungguh telah ada bagi kalian pada
diri Rasulullah suri teladan yang baik (uswah hasanah) yaitu bagi orang
yang mengharap Allah dan hari akhir lagi banyak menyebut Allah.” (al- Ahzab: 21)
Sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, “Aku tidak akan makan daging,” yang satunya lagi berkata, “Aku
akan shalat malam terus dan tidak akan pernah tidur,” yang lainnya
mengatakan, “Aku akan terus puasa, tidak pernah berbuka (di siang
hari),” dan ada pula yang mengatakan, “Aku tidak akan menikahi para
wanita.” Ketika berita mereka sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkhutbah di hadapan manusia, memuji, dan menyanjung Allah Subhanahu wata’ala, kemudian bersabda,
إِنَّهُ
بَلَغَنِي كَذَا وَكَذا وَلَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي
وَأَنَامُ، وَآكُلُ اللَّحْمَ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Sampai kepadaku berita ini dan itu…
Padahal aku sendiri berpuasa dan juga berbuka, aku shalat malam dan aku
juga tidur, aku makan daging, dan menikahi para wanita. Siapa yang
membenci sunnahku, dia bukanlah bagian (golongan)ku.”
Ini adalah lafadz yang agung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mencakup seorang istri dan lebih satu istri. Wallahu waliyyut taufiq. (al-Fatawa al-Ijtima’iyah, hlm. 94)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
Rukun dan Syarat Berpoligami
Berilmu Sebelum Beramal Rukun dan
syarat pernikahan berpoligami secara umum sama dengan rukun dan syarat
pernikahan pertama yang disyariatkan dalam Islam. Namun, ada beberapa
syarat yang ditambahkan yang wajib dipenuhi ketika ingin menunaikan
poligami.
Sebelum kita membicarakan syarat
tersebut lebih jauh, kami menasihati diri kami pribadi secara khusus dan
para pembaca secara umum bahwa agama Islam mewajibkan kita semua untuk
berilmu dahulu sebelum mengerjakan suatu amalan. Agama ini pun tegak dan
berdiri di atas prinsip yang agung tersebut: al-’ilmu qablal qauli wal ‘amal.
Inilah yang dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam satu bab dari “Kitab al-’Ilmi” pada kitab Shahih beliau.
Artinya, ilmu dahulu sebelum ucapan dan amalan. Karena itu, seseorang
tidak dianggap menunaikan amalan dengan benar dan di atas
petunjuk/syariat yang benar apabila dia mengamalkan sebuah amalan tanpa
mengetahui ilmunya terlebih dahulu.
Yang pertama kali dituntut dari orang
yang hendak menikah adalah berilmu sebelum dia melangsungkan
pernikahannya tersebut, sehingga dia dan istrinya bisa menjalaninya
dengan lurus. Sebab, pernikahan pertama saja memiliki banyak masalah
yang membutuhkan bimbingan ilmu, lebih- lebih bila hendak berpoligami.
Dalam poligami akan dijumpai lebih banyak masalah dibandingkan dengan
pernikahan dengan satu istri.
Maka dari itu, di dalam lubuk hati
seorang muslim yang bijak semestinya tertanam prinsip yang sangat
mendasar dan pokok ini, yang merupakan inti dan ushul dari manhaj yang
haq, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, yakni tidak mengerjakan sebuah amalan sebelum dia mengetahui ilmunya.
Pihak yang akan berpoligami hendaknya
benar-benar membekali diri dengan ilmu, baik sebelum maupun selama
menjalaninya. Dengan demikian, jalannya akan lurus dan terbimbing, tidak
serampangan dan tidak menjadi fitnah. Kenyataan yang kita saksikan,
banyak suami yang berpoligami hanya bermodal semangat tanpa berdasar
ilmu yang benar.
Akibatnya, rumah tangga yang lama hancur
atau rumah tangga yang baru bubar. Istri tua dan istri muda adu mulut
di depan orang banyak, pertengkaran antara dia dan istrinya tak
terelakkan sehingga ribut-ributnya terdengar oleh tetangga.
Ujung-ujungnya, orang menyalahkan poligami. “Itu semua akibat kawin
lagi,” kata mereka. Orang yang antipoligami bertambah antipati, dan
orang yang tadinya tidak tahu menjadi tidak suka dengan poligami. Ya,
urusannya menjadi fitnah. Aturan Allah l dibenci karenanya, wallahul musta’an.
Sekali lagi, walaupun poligami adalah
hak lelaki, namun tidak sepantasnya seorang suami melangkah serampangan
tanpa bimbingan ilmu. Jangan karena salah melangkah dan tanpa bersikap
hikmah, dia hancurkan semuanya: agama, rumah tangga, dan masa depan anak
anaknya. Wallahul musta’an.
Rukun dan Syarat Poligami
Sebagaimana telah disampaikan di atas,
rukun dan syarat pernikahan yang disyariatkan dan ditetapkan dalam Islam
pada pernikahan pertama juga menjadi rukun dan syarat yang disyariatkan
dalam pernikahan poligami. Sebab, keduanya sama-sama pernikahan yang
disyariatkan dalam Islam. Jadi, ketika seseorang berpoligami, dia wajib
memenuhi rukun dan syarat tersebut, ditambah beberapa syarat yang
disebutkan oleh para ulama yang akan kami sebutkan, insya Allah.
Para ulama menyebutkan dua syarat yang
Allah Subhanahu wata’ala sebut dalam al-Qur’an ketika seorang lelaki
hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih.
2. Dia bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri.
3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah
dalam bentuk harta. Syarat yang pertama: Allah Subhanahu wata’ala
membolehkan seorang lelaki yang hendak berpoligami untuk menikahi sampai
empat perempuan. Dalilnya bisa kita lihat berikut ini.
1. Dalil dari al-Qur’anul Karim
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Jika kalian khawatir tidak bisa
berbuat adil terhadap perempuan yatim (bila kalian menikahinya), maka
nikahilah perempuan-perempuan lain yang halal bagi kalian untuk
dinikahi; (apakah) dua, tiga, atau empat….” (an-Nisa: 3)
Ibnu al-Anbari rahimahullah berkata, “Huruf wawu ( الوَاوُ ) di sini2 maknanya tafarruq/
pemisahan, bukan pengumpulan. Dengan demikian, maknanya adalah
nikahilah oleh kalian (para lelaki) wanita-wanita yang kalian senangi
sebanyak dua orang, dan nikahi tiga wanita selain keadaan yang pertama,
dan nikahi empat orang wanita selain dua keadaan yang telah disebutkan.”
(Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/8)
Al-Hafizh Ibnu Katsir radhiyallahu ‘anhu
menyatakan, ayat ini tidaklah membolehkan pengumpulan bilangan tersebut
(yaitu jumlah 2, 3, dan 4). Kalau boleh, niscaya akan disebutkan.
Sebab, ayat ini berisi pemberitaan tentang anugerah yang diberikan oleh
Allah Subhanahu wata’ala dan kebolehan dari-Nya untuk menikahi lebih
dari seorang wanita. (Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/149)
Dengan demikian, yang dimaukan oleh ayat
adalah disuruh memilih di antara bilangan yang disebutkan, bukan
mengumpulkan jumlah tersebut. (al- Majmu, 17/212)
Mengapa hal ini perlu ditekankan? Karena ada yang berpendapat, wawu
tersebut menunjukkan pengumpulan, seperti anggapan al-Qasim bin Ibrahim
dan kelompoknya, al-Qasimiyah. Mereka menguatkan pendapat mereka dengan
perbuatan Nabi n mengumpulkan sembilan istri. Bahkan, ada satu sekte
dari kelompok Syiah Rafidhah yang membolehkan lelaki menikahi berapa pun
wanita yang diinginkannya. (al- Majmu, 17/212)
Selain itu, sebagian pengikut mazhab
Zhahiri berpendapat boleh menikahi delapan belas perempuan dengan
beralasan mengumpulkan bilangan 2, 3, 4 yang berulang sehingga menjadi 4
ditambah 6 ditambah 8. (lihat Tafsir al-Qurthubi, 5/13)
Al-Imam al-Qurthubi t menjawab pendapat
ini dengan menyatakan, semua itu adalah kebodohan terhadap bahasa Arab
dan as-Sunnah, serta menyelisihi kesepakatan umat. (Tafsir al-Qurthubi 5/13)
Demikian pula bantahan Ibnul Arabi rahimahullah dalam Ahkamul Qur’an (1/312—313). Adapun pembolehan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan sembilan istri, hal itu adalah kekhususan bagi beliau, tidak berlaku bagi umatnya.
2. Dalil dari as-Sunnah
Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu
masuk Islam dalam keadaan memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di
masa jahiliah, dan para istrinya ini masuk Islam bersamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
pun memerintahkan agar Ghailan memilih empat dari mereka (dan
menceraikan yang lain). (HR. at-Tirmidzi no. 1128, dinyatakan sahih
dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan Ghailan untuk memilih hanya empat dari sepuluh istrinya.
Artinya, tidak boleh mengumpulkan lebih dari empat istri berdasar
perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal asal perintah
dari Penetap syariat memberi faedah wajibnya perkara yang
diperintahkan, selama tidak ada perkara atau dalil lain yang
memalingkannya.Untuk masalah ini, tidak ada dalil yang memalingkannya
dari hukum wajib kepada hukum yang lain.
3. Dalil dari ijma’
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
adanya ijma’ atau kesepakatan ahlul ilmi tentang tidak bolehnya selain
Rasulullah n mengumpulkan lebih dari empat wanita/istri. (Tafsir al-Qur’anil Karim, 2/149)
Syarat yang kedua: bisa berbuat dan berlaku adil.
Secara bahasa, adil adalah inshaf, yaitu memberi seseorang apa yang menjadi haknya dan mengambil darinya apa yang menjadi kewajibannya. (al-Mu’jamul Wasith, 2/588)
Adapun adil di antara para istri dalam bahasa syariat adalah menyamakanpara istri dalam hal mabit (bermalam/ menginap), makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian. (Raddul Mukhtar, Ibnul ‘Abidin, 3/378)
Hukum berlaku adil dalam urusan yang disebutkan di atas adalah fardhu atau wajib (Ahkamul Qur’an,
1/313). Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Dalil
tentang syarat yang kedua ini jelas sekali dari firman Allah Subhanahu
wata’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Namun, bila kalian khawatir tidak
bisa berlaku adil (di antara para istri bila sampai kalian memiliki
lebih dari satu istri) maka nikahilah satu istri saja atau mencukupkan
dengan budak perempuan yang kalian miliki….” (an-Nisa: 3)
Ada dua pendapat tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ
Pendapat pertama mengartikannya
عَلِمْتُمْ , yakni kalian yakin (tidak bisa berbuat adil). Adapun
pendapat kedua memaknainya خَشِيتُمْ , yakni kalian khawatir (tidak bisa
berbuat adil). (Zadul Masir fit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/9)
Dengan demikian, apabila seorang lelaki
yakin atau khawatir tidak bisa berlaku adil, cukup baginya beristri
satu. Sebab, kebolehan memperistri lebih dari seorang wanita berporos
pada keadilan. Dengan demikian, ketika kalian bisa adil, lakukanlah!
Jika tidak, cukuplah satu atau budak perempuan yang kalian miliki. (Tafsir ath-Thabari, 3/579—580)
Berkaitan dengan ayat 129 dalam surat an-Nisa,
وَلَن
تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Kalian tidak akan mampu berbuat
adil di antara para istri, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil.
Maka janganlah kalian condong dengan sebenar-benarnya kepada istri yang
lebih kalian cintai sehingga kalian membiarkan istri yang lain
terkatung-katung.” (an-Nisa: 129)
Yang Allah Subhanahu wata’ala
maksudkan adalah adil yang tidak dimampui dan tidak disanggupi dilakukan
oleh seorang hamba karena bukan hamba yang mengusahakannya, namun
semata-mata pemberian Allah Subhanahu wata’ala, yaitu adil dalam masalah
cinta dan kecondongan hati. Karena itu, ahli tafsir mengatakan bahwa
makna ayat di atas adalah kalian tidak akan sanggup menyamakan rasa
cinta kalian di antara para istri, karena hal itu bukan hasil usaha
kalian walaupun kalian sangat ingin berbuat adil dalam hal itu. (Fathul Qadir, 1/695)
Karena ketidakmungkinan berbuat adil
dalam perasaan cinta, Allah Subhanahu wata’ala melarang seorang suami
mengistimewakan istri yang lebih dicintainya dalam hal nafkah dan
pembagian giliran sehingga istri yang lainnya terkatung-katung: tidak
menjanda, tidak pula seperti perempuan yang memiliki suami.
Allah Subhanahu wata’ala menutup ayat di atas dengan firman-Nya,
وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Dan bila kalian mengadakan perbaikan dan bertakwa maka sungguh Allah itu adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa: 129)
Firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَإِن تُصْلِحُوا
“Dan bila kalian mengadakan perbaikan,”
yakni dengan berlaku adil dalam hal pembagian giliran.
وَتَتَّقُوا
“dan bertakwa,”
maksudnya menjaga diri dari berbuat zalim.
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Maka sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”,
terhadap kecondongan hati tersebut apabila memang ada. (Zadul Masir fit Tafsir, Ibnul Jauzi, 2/220; Tafsir al-Qur’anil Azhim, 2/317)
Al – Imamath – Thabari t menyatakan
dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, kaum lelaki atau para suami tidak
akan mampu untuk menyamakan istri-istri mereka dalam hal cinta di kalbu
mereka, sehingga para suami
tidak bisa berlaku adil dalam hal ini.
Pasti ada istri yang lebih mereka cintai daripada yang lain karena
memang hal ini di luar kuasa mereka, walaupun mereka berusaha
sungguh-sungguh untuk menyamakan cinta di antara istri mereka. Meski
demikian, para suami tidak boleh mengikuti hawa nafsunya dengan
menampakkan kecenderungan kepada istri yang lebih mereka cintai lantas
meninggalkan yang lainnya, sehingga si suami jatuh pada perbuatan zalim
terhadap istri yang tidak/kurang dicintai, dengan tidak menunaikan hak
mereka berupa beroleh giliran, nafkah, dan pergaulan yang baik. Sebab,
kecondongan yang berlebihan kepada istri yang dicintai menyebabkan istri
yang lain layaknya perempuan yang tidak bersuami, namun tidak pula
menjanda (terkatung-katung). (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/312)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah
juga menyebutkan bahwa keadilan yang tidak dimampui adalah dalam hal
kecondongan secara tabiat, yaitu rasa cinta, jima’, dan tempat dalam
kalbu. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/261)
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah
juga menyebutkan demikian karena kecondongan secara tabiat tersebut di
luar kuasa manusia. Berbeda halnya dengan berlaku adil dalam hak-hak
syar’i, hal itu mampu dilakukan oleh para hamba. (Adhwaul Bayan, 1/425)
Haruskah Adil dalam Urusan Jima’
(Berhubungan Badan)? Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Kami tidak
mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak
wajibnya menyamakan di antara para istri dalam hal jima’. Ini adalah
mazhab Malik dan asy-Syafi’i.
Sebab, jima’ itu jalannya adalah syahwat
dan kecondongan, serta tidak ada jalan untuk menyamakan di antara para
istri dalam hal ini karena kalbu seseorang terkadang lebih condong
kepada salah seorang istrinya dan rasa itu tidak ada terhadap yang
lainnya.” (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, mas’alah “Walau wathi’a Zaujatahu wa lam yatha al-Ukhra, fa laisa bi’ashin”)
Demikian pula yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi t dalam al-Majmu’ (18/119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, suami tidak boleh melebihkan salah seorang dari dua
istrinya dalam hal bagian giliran. Namun, jika ia mencintai salah
satunya melebihi yang lain dan menggaulinya lebih banyak dari yang lain,
tidak ada dosa bagi si suami. (Majmu’ Fatawa, 32/269)
Lebih Baik Menyamakan
Walaupun menyamakan jima’ tidak wajib,
namun disenangi apabila mampu untuk menyamakannya/berlaku adil pula
dalam hal ini. Hal ini dinukilkan oleh sejumlah ulama, seperti al-Imam
Ibnu Qudamah t. Beliau menyatakan, apabila si suami bisa menyamakan
urusan jima’ di antara istrinya, itu lebih bagus dan lebih utama karena
lebih nyata dalam berbuat adil.
Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah, karena lebih sempurna dalam hal keadilan. (al- Majmu’ 18/119)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berbuat Adil
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sangat adil terhadap istri-istrinya dalam urusan yang memang dituntut
untuk adil. Adapun dalam urusan yang tidak dimampui oleh manusia, beliau
pun tidak bisa menyamakannya, seperti rasa cinta beliau terhadap Aisyah
x yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lain.
Namun, seperti yang telah disinggung di atas, dalam urusan yang dimampui hamba, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan dalam keadilan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
membagi dengan adil tanpa melebihkan satu dari yang lain dalam hal
giliran bermalam di antara istri-istri beliau, terkecuali Saudah bintu
Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang telah menghadiahkan gilirannya untuk Aisyah x, demi mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang semula hendak menceraikannya, namun urung dengan ishlah yang dilakukan oleh Saudah berupa menggugurkan sebagian haknya asal tetap menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya. Siapa yang
namanya keluar, dialah yang menemani beliau safar. Seandainya beliau
mau, niscaya beliau akan selalu membawa Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam safar beliau, karena Aisyah sangat beliau cintai melebihi yang lain. Kenyataannya, beliau tidak melakukannya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mempersaksikan hal ini dalam haditsnya yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
Saking inginnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
selalu berbuat adil, sampai-sampai saat sakit menjelang ajalnya, beliau
tetap menggilir istri-istrinya semalam-semalam. Beliau datang dan
menginap di rumah istri yang sedang mendapat giliran. Sampai di saat
sakit beliau bertambah parah sehingga beliau tidak sanggup lagi
berjalan, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat
di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha dan dirawat di sana.
Para istri beliau yang salehah lagi penuh
kelapangan hati pun mengizinkan. Ketika beliau yakin mereka ridha,
beliau pun tinggal di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha, tidak di tempat istri yang lain, sampai ajal menjemput beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan,
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي, مَاتَ فِيْهِ:
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ،
فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكاَنَ فِي بَيْتِ
عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Di saat sakit yang mengantarkan kepada wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau
menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun
mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan.
Lantas beliau tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. (HR. al-Bukhari no. 5217)
Tidak Disalahkan Apabila Suami Lebih Mencintai Salah Satu Istrinya
Kita telah mengetahui adil yang dituntut
dari seorang hamba dan adil yang tidak dimampui olehnya. Telah
diterangkan juga, adil yang tidak dimampui adalah dalam hal cinta atau
kecondongan/ kecenderungan hati. Sehingga tidaklah berdosa bila ada
seorang suami yang memiliki sekian istri, namun kadar cintanya kepada
istri-istrinya tidak sama, ada yang disenangi dan dicintaimelebihi yang
lain.
Kita pun tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia lebih mencintai Aisyah radhiyallahu ‘anha
daripada istri-istri beliau yang lain. Salah satu hadits yang
menunjukkan hal ini adalah hadits Amr ibnul Ash yang dikeluarkan dalam ash-Shahihain. ‘Amr mengabarkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk memimpin pasukan Dzatu as-Salasil. Amr mengatakan bahwa dirinya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aisyah.” Kataku, “Dari kalangan laki-laki?” “Ayahnya,” jawab beliau.
Namun, jangan sampai rasa cinta yang
lebih tersebut mendorong seorang suami untuk berlaku tidak adil—dalam
hal yang dimampui—di antara istri-istrinya. Jika jatuh dalam perbuatan
tersebut, ia terkena ancaman hadits yang akan disebutkan di bawah ini.
Ancaman bagi Suami yang Tidak Berbuat Adil
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ شِقُّه مَائِلٌ.
“Siapa yang memiliki dua istri lantas
condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil) maka ia
akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil no. 2017 ) Dalam Aunul Ma’bud (“Kitab an Nikah”, bab “Fi ‘al-Qasmi Baina an- Nisa’”)
dinyatakan hadits ini adalah dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dan haram ia condong/ melebihkan salah satunya. Diterangkan pula dalam penjelasan hadits di atas bahwa yang tampak, hukum yang berlaku tidak hanya dibatasi pada dua istri, tetapi juga untuk orang yang memiliki tiga atau empat istri. Ia condong kepada salah satunya dalam perbuatan yang zahir (tampak), bukan dalam bentuk kecondongan hati, sehingga melebihkan istri yang dicondonginya tersebut dalam hal pemberian makan (nafkah), tempat tinggal, atau pergaulan yang baik (husnul ‘usyrah).
Orang yang seperti ini akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak sama dua sisi tubuhnya sebagai balasan dari perbuatannya yang tidak adil dengan melebihkan satu istrinya daripada yang lain. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’i, 7/63)
Gambaran Keadilan Salaf
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah
meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirin , bahwa ia berkata tentang seorang
lelaki yang memiliki dua istri, “Dibenci ia berwudhu di rumah salah
seorang istrinya, sementara itu di rumah istri yang lain tidak
dilakukannya.” (al-Mushannaf, 4/387)
Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah
berkata tentang seorang lelaki yang mengumpulkan istri-istri (madu
dengan madu), “Para salaf menyamakan perlakuan di antara istri-istrinya,
sampai-sampai apabila tersisa sawiq (sejenis gandum) dan makanan
yang bisa ditakar, mereka tetap membagi-bagikan di antara istriistri
mereka; setelapak tangan demi setelapak tangan, jika memang sisa makanan
tersebut tidak mungkin lagi ditakar (karena sedikitnya).” (Mushannaf Ibni Abi Syaibah, 4/387)
Syarat yang ketiga: Adanya kemampuan
fisik dan materi atau nafkah, berupa makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, dan perabotan rumah yang memang harus ada. Syariat
mengisyaratkan ‘kemampuan’ ini kepada seseorang yang ingin menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki ba’ah maka hendaknya ia menikah.…” (HR. al- Bukhari no. 5065 dan Muslim no.3384, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Ada dua pendapat ulama tentang makna ba’ah dalam hadits di atas, kata an-Nawawi rahimahullah, namun keduanya sebenarnya kembali pada satu makna,
1. Berhubungan badan/jima’.
Dengan demikian, makna hadits adalah
siapa di antara kalian yang mampu melakukan jima’ karena punya
kesanggupan memenuhi keperluan nikah, hendaknya ia menikah.
2. Kebutuhan pernikahan.
Jadi, makna hadits adalah siapa di antara kalian yang punya kemampuan memenuhi kebutuhan pernikahan, hendaknya ia menikah. (al-Minhaj, 9/177)
Kebutuhan materi yang diperlukan dalam
pernikahan atau hidup berkeluarga mencakup makanan, minuman, dan tempat
tinggal. Semua ini adalah nafkah yang wajib ditunaikan oleh seorang
suami terhadap istrinya sesuai dengan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah,
dan kesepakatan ulama. (al-Mughni, “Kitab an-Nafaqat”)
Demikian pula halnya apabila diterapkan
dalam pernikahan poligami. Suami dituntut bertanggung jawab memberikan
kebutuhan hidup para istrinya. Karena itu, apabila seorang lelaki tidak
mampu menafkahi lebih dari satu istri, tidak halal baginya secara
syariat untuk menikah lagi (berpoligami). Kewajiban menafkahi ini
bertambah jelas dengan khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haji wada’. Beliau mengatakan kepada kaum muslimin,
فَاتَّقُوْا
اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ،
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ
أَلاَّ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإنْ فَعَلْنَ
ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kalian kepada Allah
dalam urusan para istri, karena kalian mengambil mereka dengan amanat
Allah dan kalian menjadikan halal kemaluan mereka dengan kalimat Allah.
Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak memperkenankan seseorang
yang kalian benci menginjak hamparan kalian. Kalau mereka lakukan apa
yang kalian benci, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras dan
mencederai. Hak mereka atas kalian adalah (memperoleh) rezeki dan
pakaian dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1216)
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hak istri kepada suaminya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ
تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Kamu beri dia (istrimu) makan jika
kamu makan dan memberinya pakaian bila kamu berpakaian. Jangan memukul
wajah, jangan menjelekkan, dan jangan memboikotnya selain di dalam
rumah.” )HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih, 86/3)
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha tentang wajibnya suami menunaikan kebutuhan primer seorang atau
beberapa istrinya, yaitu makanan yang sesuai, pakaian, dan tempat
tinggal yang layak, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang menyertainya. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
Warna -Warni di Balik Poligami
Poligami disyariatkan dalam Islam
bukan untuk menghancurkan rumah tangga yang sudah dibina sebelumnya atau
untuk menggagalkan rumah tangga kedua yang baru dibangun. Jadi,
sangatlah tidak diharapkan ketika seorang suami menikah lagi ternyata
berisiko perceraian dengan istri yang pertama atau berpisah dengan istri
yang baru.
Memang dibutuhkan kesiapan, keteguhan,
kesungguhan, dan kebesaran jiwa seorang lelaki untuk menjalankannya.
Sebagai lelaki, ia dituntut menjadi pemimpin dan pengatur bagi
perempuan, karena Allah l yang menetapkan demikian,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi
kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki)
di atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (lelaki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa: 34)
Bukan sebaliknya, ia diatur oleh
istrinya sehingga terkadang tidak berdaya dan tidak berkutik di hadapan
istrinya. Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi pada rumah tangga
yang dikepalai oleh suami yang nurut pada istri saat ia menjalani kehidupan berpoligami dalam keadaan istrinya tidak suka.
Tidak Ada Hak bagi Istri dalam Urusan Ini
Poligami adalah hak suami yang
dianugerahkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang dengan hikmah-Nya yang
agung. Dengan demikian, tidak ada hak sama sekali bagi istri untuk
mencegah suaminya menikah lagi, walaupun si istri beralasan bahwa
dirinya telah mencukupi semua yang diinginkan oleh suaminya dan tidak
ada yang kurang dari dirinya sehingga suami tidak butuh mencari istri
yang lain.
Mengapa? Bisa jadi, suaminya ingin
menikah lagi karena ingin memperbanyak keturunan, ingin menjaga
kemuliaan si perempuan dengan menikahinya, atau ia merasa tidak cukup
dengan seorang istri, dan hal ini sangat manusiawi. Allah Subhanahu wata’ala telah membolehkan pria untuk memperistri sampai empat wanita.
Tentu tidak pantas bagi seorang istri untuk marah, protes, dan tidak terima terhadap hukum Allah Subhanahu wata’ala
yang diridhai- Nya atas para hamba-Nya. Bahkan, ia seharusnya bersabar
dan mengharapkan pahala ketika menjalani semuanya. Sebab, bila ia
berketetapan hati untuk sabar, niscaya urusannya akan mudah baginya.
Demikian di antara nasihat yang disampaikan oleh al-Imam asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah dalam fatwa beliau di kitab ad-Da’wah (1/106) dan FatawaNurun ‘alad Darb (2/165—166).
Beliau rahimahullah juga menekankan,
apabila seorang lelaki mampu secara materi dan sanggup berbuat adil,
lebih afdal/utama baginya untuk menikah lagi baik yang kedua, ketiga,
maupun keempat. Sebab, semakin banyak istri akan memperbanyak lahirnya
generasi baru Islam dan lebih banyak memberikan penjagaan terhadap
kemaluan para perempuan, yang kalau tidak ada lelaki yang menikahinya,
mereka akan hidup membujang di rumah tanpa pasangan hidup dan
dikhawatirkan akan jatuh pada kejelekan.
Dimaklumi, dalam urusan ini memang
biasanya istri pertama akan menentang dan marah. Namun, lelaki yang
cerdas /bijak akan bisa menerangkan kepada si istri bahwa hal itu
dibolehkan baginya dan ia berusaha menyenangkan hati si istri dengan
segala yang mungkin dilakukannya. Demikian pula apabila ada penentangan
dari pihak keluarga, misalnya dari ibu, si lelaki hendaknya berusaha
menerangkan dengan cara yang baik tentang keputusannya berpoligami dan
sisi pandangannya. (Fatawa Nurun‘alad Darb, 2/163)
Lebih Utama Bermusyawarah dengan Istri
Seorang suami yang ingin menikah lagi
tidak diharuskan mengajak bicara istrinya dan meminta izin tentang
niatannya tersebut. Namun, apabila ia mengajak bicara, bermusyawarah,
dan meminta izin, hal itu tentu lebih baik dan terpandang dalam ‘urf (adat kebiasaan), khususnya di negeri kita. Agama pun memandang berlakunya ‘urf apabila tidak bertentangan dengan syariat.
Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah
menyatakan bahwa seandainya suami meminta izin kepada istrinya, biasanya
istri akan menolak. Dalam hal ini, suami tetap melangkah, sama saja
apakah ia telah minta izin atau belum kepada istri pertamanya, sama saja
apakah setelah minta izin ternyata si istri menolak memberi izin
(ataukah menerima).
Namun, menurut beliau, seharusnya suami
mengajak bicara istrinya, memberikan penjelasan sampai si istri merasa
cukup dengan penjelasannya dan merasa tenang. Ia terangkan kepada
istrinya hikmah poligami dan ia sampaikan alasan keinginan menikah lagi.
Apabila hal ini dilakukan suami, kemudian ia mendatangkan istri barunya
kepada istripertamanya, niscaya istri pertama akan bisa menerima dengan
lebih tenang, tanpa curiga istri yang baru ini akan merebut suaminya
karena ia telah mendapatkan penjelasan. Ia mengetahui pernikahan
suaminya dengan si madu dan telah rela (walau mungkin kerelaannya harus
dipaksakan).
Dengan cara seperti ini, diharapkan
kedua istri (istri pertama dan madunya) dapat hidup secara damai,
tenteram, tidak saling menjauh, dan saling membenci. Karena memerhatikan
kemaslahatan ini, sepantasnya suami meminta izin kepada istri
pertamanya dan memberitahukannya, walaupun tidak wajib. Andaipun si
suami menikah diam-diam dan merahasiakannya dari istrinya, tidak ada
dosa bagi si suami. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, 1/334— 335)
Tidak Dibenarkan Meminta Cerai Ketika Suami Menikah Lagi
Apabila suami menikah lagi sedangkan
istri pertamanya belum siap dimadu atau tidak bisa menerima kenyataan
dimadu, apakah tidak berdosa ia meminta cerai dari suaminya? Sebagaimana
si istri tidak boleh menuntut suaminya untuk menceraikan madunya, tidak
halal pula baginya menuntut cerai dari suaminya.
Sang suami tidak harus meluluskan permintaan cerai istrinya. Ada ancaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap istri yang bermudahmudah menuntut cerai dari suaminya, padahal suaminya telah “berbaik-baik” kepadanya. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, 2/165, 166) Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Istri mana saja yang menuntut cerai
dari suaminya padahal tidak ada kesulitan yang mendesak1, maka haram
baginya mencium wangi surga.” (HR. at-Tirmidzi no. 1187, Ibnu Majah no. 2055, dll, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
Tidak Ada Istilah “Habis Manis Sepah Dibuang”
Pepatah di atas mungkin terpikir di
benak istri saat suaminya menikah lagi. Padahal bila suaminya adalah
suami yang baik, saleh, dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala,
serta melangkah menuju poligami dengan memerhatikan syarat-syaratnya,
si istri tidak perlu mengkhawatirkan dirinya menjadi sepah yang
dicampakkan. Sebab, istri tetaplah istri, walau istri tua atau istri
lama, toh istri baru dengan berjalannya waktu akan menjadi istrilama pula.
Berbeda halnya apabila suaminya seorang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata’ala,
maka bisa saja ia menelantarkan istri pertamanya karena telah
mendapatkan istri muda. Apalagi ketika istri mudanya turut memprovokasi
dan terlalu banyak menuntut. Oleh karena itu, kita ingatkan suami yang
sampai berlaku demikian, hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan takut akan siksa-Nya. Telah datang ancaman Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada suami yang berlaku curang atau tidak adil di antara istri-istrinya;
orang itu akan datang pada hari kiamat dalamkeadaan sebelah tubuhnya miring.
Kepada istri muda pun kita ingatkan,
hendaklah bertakwa kepada Allah l dan takutlah akan siksa-Nya. Janganlah
merusak apa yang sudah dibina. Jika engkau memiliki perasaan sebagai
perempuan, istri tua pun punya perasaan yang sama. Jika engkau cemburu,
dia pun begitu. Jika engkau ingin disayang, dia pun demikian.
Terkadang istri pertama khawatir, cinta
suami akan beralih kepada istri yang baru. Padahal, sebenarnya cinta
adalah urusan Allah Subhanahu wata’ala. Hamba tidak mampu
menguasainya. Cinta suami bisa saja luntur kepada istrinya walaupun si
suami tidak memiliki istri yang lain. Bisa jadi sebaliknya, cinta suami
bertambahtambah kepada istrinya padahal si suami telah memiliki istri
selainnya. Jadi, urusan cinta adalah urusan hati, Allah Subhanahu wata’ala lah yang mengaturnya. Seorang istri sebatas berusaha mereguk cinta suami.
Sebenarnya, kerelaan seorang istri,
ketulusannya, pengertian, dan tidak banyak tuntutannya, justru menjadi
salah satu pendorong terbesar berseminya kasih sayang di hati suaminya.
Suami yang baik tentu pandai memberikan apresiasi. Suami menikah lagi
pun bukan tanda suami tidak cinta lagi. Lihatlah Ummul Mukminin, ibunda
orang-orang yang beriman, Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Betapa suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mencintainya lebih dari yang lain. Namun, cinta itu tidaklah menghalangi beliau n untuk menikahi sekian wanita setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Sebab, menikah lagi memang tidak berarti melupakan cinta yang lama.
Tentu kita masih ingat pula berita dalam sirah Alasan sangat mendesak
yang memaksanya untuk minta berpisah. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab ath-Thalaq, bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)
hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, betapa sering beliau menyebut-nyebut Khadijah radhiyallahu ‘anha—istri pertama beliau yang telah lama wafat—, memuji, menyanjung, dan mengenang kebaikannya sampai membuat Aisyah radhiyallahu ‘anha cemburu. Inilah kesetiaan kepada cinta yang lama, yang tidak luntur dengan datangnya cinta yang baru.
Terkadang juga para istri keberatan
suami menikah lagi karena merasa dihinakan serta dijatuhkan harkat dan
martabatnya. Dengan kata lain, gengsinya terusik.
Sebenarnya kekhawatiran seperti ini pun
mudah terjawab. Mengapa harus gengsi jika suami mempunyai istri yang
lain—yang jauh berlipat-lipat kali lebih mulia daripada ia memiliki
kekasih gelap atau selingkuh dengan wanita yang tidak halal, atau na’udzubillah, jatuh dalam zina—sementara wanita salehah ahlul jannah setingkat Aisyah2 yang kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Keutamaan
Aisyah dibanding wanita-wanita lain
seperti kelebihan tsarid (makanan yang istimewa dari campuran gandum
dengan daging) dibandingkan dengan makanan yang lain”,
juga ditinggal menikah oleh suaminya dan tidak merasa dihinakan atau dijatuhkan harkat martabatnya. Padahal yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan wanita sembarangan, melainkan para wanita berparas jelita, berbudi mulia, dari keturunan yang mulia, seperti Zainab bintu Jahsy, Juwairiyah bintu al-Harits, Shafiyah bintu Huyai, dan yang lainnya.
Menolak Tinggal Berdekatan dengan Madu
Apabila seorang suami menginginkan
istri-istrinya tinggal berdekatan di satu kompleks misalnya, yang setiap
istri memiliki rumah tersendiri, tidak ada hak bagi istri untuk menolak
keinginan suami tersebut. Misalnya, ia menuntut agar jangan didekatkan
dengan madunya, ia ingin tinggal berjauhan, dan sebagainya.
Walaupun cemburunya mencapai puncak, itu
bukanlah alasan penolakan terhadap keinginan suami. Justru yang wajib
baginya adalah mendahulukan syariat dan menaati suaminya daripada rasa
cemburunya. Tidak pantas seorang istri yang mukminah memperturutkan rasa
cemburunya dan membiarkan perasaan itu menguasainya. (Fatawa ManarulIslam, al-Imam Ibnu Utsaimin, 3/116)
Yang Terjadi di Antara Madu
Cemburu memang perasaan yang pasti
terselip di antara para madu. Ini adalah perasaan yang wajar selama
tidak melampaui batas sampai pada tingkat melakukan kedustaan atau
menuduh serampangan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-’Asqalani rahimahullah mengatakan, “Asal dari sifat cemburu bukanlah
hasil usaha wanita, sebab wanita memang diciptakan dengan sifat
tersebut. Namun, apabila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang
semestinya, jadilah tercela. Ketika seorang wanita cemburu terhadap
suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti
berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan
madunya, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal itu pasti dan ada
bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Jika cemburu itu hanya
didasari sangkaan tanpa bukti, tidak diperkenankan. Adapun bila suami
adalah orang yang adil dan telah menunaikan hak setiap istrinya, tetapi
masih tersulut juga kecemburuan, ada uzur bagi para istri tersebut
(yakni dibolehkan) apabila cemburunya sebatas tabiat perempuan yang
tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan
catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang
diharamkan baik ucapan maupun perbuatan.” (FathulBari, 9/404)
Ada di antara wanita yang sifat
cemburunya melampaui batas sehingga berangan-angan poligami tidak
dibolehkan dalam syariat ini. Bahkan, ada yang membenci syariat karena
menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian
suaminya apabila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian,
tetapi lisannya digunakan untuk mencaci maki madunya, meng-ghibah, dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadi’iyah, hlm. 158—159)
Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas
perempuan merasa mendapatkan musibah yang sangat besar ketika suaminya
menikah lagi. Semestinya, apa pun kenyataan yang dihadapi, seorang
mukminah semestinya sadar bahwa semua itu adalah ketentuan takdir Allah Subhanahu wata’ala. Segala musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatanagama yang diperolehnya.
Gejolak cemburu ini juga muncul dalam rumah tangga yang paling mulia dari manusia termulia Shallallahu ‘alaihi wasallam. Istri-istri beliau saling cemburu dan berusaha mengundang cinta beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak
menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. Sebagian
kisah-kisah cemburu dalam rumah tangga manusia terbaik tersebut di
antaranya sebagai berikut. Aisyah radhiyallahu ‘anha bertutur tentang cemburunya,
مَا
غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ
لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku kepada Khadijah, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebut dan menyanjungnya.” (HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha,
كَأَنَّهَ
لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ:
إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu3, dan aku mendapatkan anak darinya.” (HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sebab cemburu Aisyah adalah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebut Khadijah meskipun telah tiada. Aisyah sebenarnya aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebutnya, Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah, meletuplah emosi Aisyah dan mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya berkata kepada suaminya, “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.”
Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah, karena Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabia wanita.” (Fathul Bari, 9/405)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin
(istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau.
Melihat hal itu, istri yang Nabi n sedang berdiam di rumahnya memukul
tangan pelayan yang membawa makanan tersebut, hingga jatuhlah piring itu
dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan
belahan piring tersebut, kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan,
lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.”
Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti
berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara
piring yang pecah disimpan di tempatnya. (HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan, perempuan yang
sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan
tatkala api cemburu berkobar. Sebab, dalam keadaan demikian, akalnya
tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/403)
Namun, apabila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti ghibah, Rasulullah n tidak membiarkannya. Suatu saat Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukuplah bagimu Shafiyah,dia itu begini dan begitu.”
Salah seorang rawi hadits ini mengatakan
bahwa yang dimaksud Aisyah adalah Shafiyah itu pendek. Mendengar hal
tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Aisyah,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh, engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya.” (HR. Abu Dawud no. 4875, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Ada lagi kisah lainnya. Ketika sampai berita kepada Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha bahwa Hafshah bintu Umar radhiyallahu ‘anhuma mencelanya dengan mengatakan bahwa dirinya putri Yahudi, ia menangis. Bersamaan dengan itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Beliau pun bertanya,
“Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu
adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Bagaimana
bisa dia membanggakan dirinya di hadapanmu?” Kemudian beliau menasihati
Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, wahai Hafshah!” (HR. at-Tirmidzi no. 3894, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan al-Misykat no. 3894)
Suatu ketika, di malam giliran ‘Aisyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan selendangnya, melepas kedua sandalnya, dan meletakkannya di sisi kedua kakinya. Beliau lalu membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya. Setelah itu, beliau pun berbaring. Tidak berapa lama, beliau bangkit dan mengambil selendangnya dengan perlahan, lalu mengenakan sandalnya dengan perlahan agar tidak mengusik tidur ‘Aisyah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar ‘Aisyah. Setelah itu, pintu ditutup kembali dengan perlahan. ‘Aisyah yang ketika itu disangka telah lelap dalam tidurnya, ternyata melihat apa yang diperbuat oleh suaminya. Ia pun bangki mengenakan pakaian dan kerudungnya.
Untuk selanjutnya, kita dengar penuturan ‘Aisyah, “Kemudian
aku mengikuti beliau hingga beliau sampai di permakaman Baqi’. Beliau
berdiri lama, lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau berbalik, aku pun berbalik. Beliau bersegera, aku pun
bersegera. Beliau berlari kecil, aku pun berlari kecil. Beliau berlari
lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului
beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku membaringkan
tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau pun berkata, “Ada apa
dengan dirimu wahai’Aisyah, kulihat napasmu memburu?” Aku menjawab,
“Tidak ada apa-apa.” Beliau berkata, “Beri tahu aku, atau Allah Subhanahu wata’alayang
akan mengabarkan kepadaku.” Aku pun menceritakan apa yang baru
berlangsung. Mendengar ceritaku, beliau berkata, “Berarti engkau adalah
sosok yang akulihat di hadapanku tadi?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau
mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau
bersabda, “Apakah engkau menyangka Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu4?”
‘Aisyah berkata, “Bagaimana pun
manusia menyembunyikannya, niscaya Allah mengetahuinya. Memang, semula
aku menyangka demikian.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
“Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, aku pun
menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya. Jibril tidak mungkin
masuk ke kamar ini, sedangkan engkau telah membuka pakaianmu. Tadi aku
menyangka engkau sudah tidur sehingga aku tidak ingin membangunkan
tidurmu, karena khawatir engkau akan merasa sendirian (dalam sepi)
dalam kegelapan malam.
Jibril berkata kepadaku saat itu,
‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi permakaman Baqi’
guna memintakan ampun bagi penghuninya’….” (HR. Muslim no. 974)
Pernah juga suatu malam, Aisyah x merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ia pun kemudian meraba-raba mencari beliau. Ia menyangka beliau pergi
ke rumah istri yang lain. Ternyata ‘Aisyah mendapatkan beliau sedang
ruku’ atau sujud seraya berdoa,
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu.”
‘Aisyah pun berkata, “Sungguh, aku
berada dalam satu keadaan, sementara engkau berada dalam keadaan yang
lain.” (HR. Muslim no. 485)
Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
apabila hendak bepergian (safar) adalah mengundi di antara
istri-istrinya, siapa yang diajak dalam safar tersebut. Suatu ketika,
jatuhlah undian kepada ‘Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anha. Keduanya pun dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam safar tersebut, apabila malam telah menjelang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan bersisian dengan unta yang ditunggangi ‘Aisyah x (yang berada di dalam sekedup/semacam tandu yang
diletakkan di atas unta, sehingga tidak
terlihat orang-orang di sekitarnya) dan beliau berbincang bersamanya.
Suatu ketika, Hafshah radhiyallahu ‘anha berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Tidakkah engkau mau menaiki untaku malam ini dan aku menaiki untamu,
hingga engkau bisa melihat dan aku bisa melihat?” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Iya.” Lalu ia pun menaiki unta Hafshah dan Hafshah menaiki untanya.
Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju unta yang biasa dinaiki oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tanpa mengetahui bahwa yang ada di dalam sekedupnya adalah Hafshah, bukan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhs. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam, kemudian berjalan bersisian dengan unta tersebut hingga mereka singgah di suatu tempat.
‘Aisyah merasa kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pada malam itu. Ia pun cemburu, hingga ketika mereka berhenti dan
singgah di suatu tempat, ‘Aisyah memasukkan kakinya ke dalam
rumputrumputan seraya berkata, “Ya Rabbku, biarkanlah seekor
kalajengking atau ular menyengatku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa
kepada Rasul-Mu.” (HR. al- Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2445)
Cemburu Tidak Membuat Ibunda Kita Buta
Kisah-kisah cemburu di atas kitabawakan bukan untuk mencela istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah perempuanperempuan yang paling mulia. Cukuplah bagi mereka kemuliaan dengan Allah Subhanahu wata’ala memilih mereka menjadi pendamping hidup Rasul-Nya yang mulia.
Jangan pula kisah mereka dijadikan dalil
oleh para perempuan sekarang untuk membenarkan tindakan salah mereka
dengan dalih cemburu, atau untuk menolak ucapan baik dari suami mereka
yang menasihati mereka dalammasalah cemburu dengan mengatakan,
“Istri-istri Rasulullah juga cemburu dan berbuat ini dan itu karena
dorongan cemburunya.” Memang benar mereka (istri-istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam) cemburu dan engkau pun cemburu, namun kebaikan yang ada pada diri mereka tidak didapatkan pada dirimu….
Ketahuilah, bagaimanapun cemburu yang
ada di tengah mereka, tidaklah membuat mereka menutup mata dari kebaikan
yang ada pada madu mereka dan tidak mengantarkan mereka untuk membuat
kedustaan guna menjatuhkan madu mereka.
Satu contoh, ketika peristiwa Ifk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pendapat Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha salah seorang istri beliau, tentang diri ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Zainab radhiyallahu ‘anha, “Apa yang engkau ketahui tentang Aisyah dan apa pendapatmu?” Zainab radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai Rasulullah,aku menjaga pendengaranku danpenglihatanku. Demi Allah, aku tidakmengetahui darinya selain kebaikan.” (HR. al-Bukhari no. 4141)
Lihatlah kejujuran Zainab! Cemburunya
kepada ‘Aisyah tidak membuatnya lupa akan kebaikan dan keutamaan
‘Aisyah. Demikian pula sebaliknya pada diri ‘Aisyah, ia pernah memuji
Zainab, “Aku belum pernah melihat seorang perempuan pun yang paling baik
agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala,
paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi,
paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk
bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan dan digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Padahal, Zainab inilah yang menyamai kedudukannya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengarkan pula pujian ‘Aisyah terhadap Juwairiyah, salah seorang
ummahatul mukminin, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorang perempuan
yang lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah.” (al-Isti’ab, 4/1805)
Pujian ini dilontarkan oleh ‘Aisyah
ketika bani Mushthaliq, kaum Juwairiyah, dibebaskan oleh kaum muslimin
dari penawanan karena pernikahan Rasulullah n dengan Juwairiyah. Pujian
ini dengan jujur diucapkan ‘Aisyah. Padahal sebelumnya, ‘Aisyah cemburu
pada Juwairiyah. ‘Aisyah mengatakan, “Juwairiyah adalah perempuan yang
berparas elok dan manis. Setiap orang yang memandangnya pasti akan
terpikat. Aku melihatnya dari balik pintu saat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk meminta tolong dalam hal pembebasan dirinya dari status tawanan
perang. Ketika itu aku tidak menyukainya, karena aku tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melihat keelokannya sebagaimana yang aku lihat.” (al-Isti’ab, 4/1804)
Demikian sedikit contoh dari kehidupan rumah tangga para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang menunjukkan bahwa kecemburuan tidaklah membutakan mereka dari
kebenaran dan melihat kenyataan. Semoga shalawat, salam, dan berkah
Allah Subhanahu wata’ala tercurahkan selalu bagi panutan umat dan kekasih-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai istri-istri beliau yang mulia yang menjadi teladan terbaik bagi para wanita umat ini.
Sekarang, coba kita lihat apa yang ada
pada diri para perempuan yang cemburu pada hari ini—selain yang
dirahmati dan diselamatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala!
Sungguh, cemburu telah membuat mereka buta. Mereka menjatuhkan
kehormatan perempuan yang mereka cemburui di hadapan suami mereka dan
orang lain. Bahkan, mereka menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama
guna “menyingkirkan” perempuan yang membuat panas hatinya karena
cemburu. Wallahul musta’an.
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq

Aturan Dalam Poligami
Ada beberapa aturan atau hukum yang diatur oleh syariat dalam hal poligami, di antaranya:
1. Tidak boleh mengumpulkan dua perempuan bersaudara dalam ikatan pernikahan.
Artinya, seorang lelaki tidak boleh
menikahi seorang perempuan kemudian menikahi lagi saudara perempuan
istri, yakni iparnya. Sama saja, apakah itu adik atau kakak ipar,
sekandung, seayah, atau seibu dengan istri, lalu keduanya dikumpulkan
dalam pernikahan (dijadikan madu satu dengan yang lainnya).
Ketika Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi, termasuk yang haram dilakukan adalah,
وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
“Dan kalian mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, terkecuali apa yang telah lalu.” (an-Nisa: 23)
Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha,
seorang ummul mukminin, pernah berkata kepada suaminya, “Wahai
Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apakah kamu menyenangi hal itu1?” “Iya. Toh,
saya tidak sendirian sebagai istrimu, saya dapati saya punya madu
(istri-istrimu yang lain),” jawab Ummu Habibah. “Aku suka saudara
perempuanku ikut menyertaiku dalam kebaikan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sungguh hal itu tidak halal bagiku.” Ummu Habibah berkata
lagi, “Kami membicarakan bahwa Anda ingin menikahi putri Abu Salamah.”
“Putri Ummu Salamah?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkan. “Iya,” jawab Ummu Habibah. Rasulullah n menjelaskan, “Andainya pun ia bukan rabibahku
(putri istriku) yang dalam asuhanku, ia tetap tidak halal bagiku,
karena ia adalah putri dari saudara laki-lakiku sesusuan. Aku dan Abu
Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah (budak Abu Lahab). Janganlah
kalian (para istriku) menawarkan kepadaku (untuk kunikahi) putri-putri
kalian dan jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.” (HR.
al-Bukhari no. 5101 dan Muslim no. 3571)
2. Tidak boleh mengumpulkan istri dengan bibinya, dari pihak ayah ataupun ibu (‘ammah dan khalah) dalam pernikahan.
Berarti, tidak boleh setelah menikahi si
istri lalu menikahi bibinya, atau sebaliknya, menikah dulu dengan si
bibi lalu menikahi keponakannya. Demikian pendapat yang rajih, dan ini
adalah pendapat jumhur ulama (Fathul Bari, 9/202).
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang perempuan dinikahi setelah ‘ammahnya dan seorang perempuan dinikahi setelah memperistri khalahnya.” (HR. al- Bukhari no. 5110 dan Muslim no. 3429)
Yang haram hanyalah apabila mereka
disatukan dalam pernikahan, yakni dijadikan madu. Adapun apabila
istrinya sudah meninggal atau bercerai darinya, tidak apa-apa si suami
menikahi adik perempuan, kakak perempuan, atau bibi istrinya.
3. Boleh memberikan mahar yang berbeda antara satu istri dan istri yang lain, baik dalam hal jumlah atau macamnya.
Dalilnya apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hal pemberian mahar pernikahannya dengan istri-istri beliau.
Beliau tidaklah menyamakan satu istri dengan istri yang lain. Ketika
menikahi Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Raja Najasyi menyerahkan mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebesar empat ribu dirham5. (HR. Abu Dawud no. 2107, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberitakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha dari perbudakan dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. (HR. al-Bukhari no. 5086 dan Muslim no. 3482)
4. Boleh menyelenggarakan
walimah pernikahan dengan seorang istri lebih meriah daripada walimah
pernikahan dengan istri yang lain.
Tsabit al-Bunani, seorang tabi’in yang mulia dan murid Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, mengatakan, “Disebut-sebut tentang pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha di sisi Anas radhiyallahu ‘anhu,
maka ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi n menyelenggarakan
walimah pernikahan beliau dengan salah satu dari istri-istri beliau
melebihi walimah yang diadakannya saat menikahi Zainab’.” (HR.
al-Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 3489)
Al-Kirmani mengatakan, bisa jadi, sebab Zainab radhiyallahu ‘anha dilebihkan dalam walimah daripada istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wata’ala atas nikmat yang dilimpahkan kepada beliau, yaitu Allah Subhanahu wata’ala menikahkan Zainab dengan beliau lewat wahyu. (Fathul Bari, 9/296)
5. Setiap istri ditempatkan di rumah tersendiri karena demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wata’ala menyatakan dalam al- Qur’an,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Tetaplah kalian (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kalian.” (al-Ahzab: 33)
Demikian pula ayat,
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
“Dan ingatlah apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kalian dari ayatayat Allah dan hikmah….” (al-Ahzab: 34)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan lafadz buyut (bentuk jamak dari kata bait) yang bermakna rumah rumah, yang berarti rumah Nabi tidak hanya satu, tetapi berbilang.
Hadits – hadits juga banyak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan istri-istri beliau dalam rumah yang terpisah. Di antaranya hadits Aisyah berikut ini radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ ,كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتِ فِيْهِ:
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ،
فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكاَنَ فِي بَيْتِ
عَائِشَة حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Saat sakit yang mengantarkan kepada kematian Rasulullah n,
beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau
menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun
mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan.
Beliau pun tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. ( HR. al- Bukhari no. 5217)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berada di rumah salah seorang istrinya, istri beliau yang lain
mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang
Nabi sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa
makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
pun mengumpulkan belahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan
yang berserakan, lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah
seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan
tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh
milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di
tempatnya.” (HR. al-Bukhari no. 5225)]
Para istri sebaiknya ditempatkan di
rumah tersendiri karena berkumpulnya mereka rawan memunculkan
kecemburuan dan pertikaian. Dikhawatirkan saat suami menggauli salah
satu istrinya, istri yang lain akan melihatnya. Demikian kata al- Hasan
al-Bashri rahimahullah. (al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, 4/388)
6. Boleh menempatkan istri-istri dalam satu rumah apabila mereka ridha.
Al-Imam Ibnu Qudamah t menerangkan, “Tidak
boleh seorang suami mengumpulkan dua istri dalam satu tempat tinggal
tanpa keridhaan keduanya, baik istri muda maupun istri tua, karena
mudarat yang bisa muncul di antara keduanya, yaitu permusuhan dan
kecemburuan. Apabila keduanya
dikumpulkan akan mengobarkan pertikaian
dan permusuhan. Yang satu akan mendengar atau melihat ketika suaminya
“mendatangi” istri yang lain. Namun, jika kedua istri ridha, hal itu
dibolehkan.
Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan
mereka bisa menggugurkannya. Demikian pula, apabila keduanya ridha suami
tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Namun, apabila keduanya
ridha suami mencampuri salah satunya dan yang lainnya menyaksikan, hal
ini tidaklah diperbolehkan. Sebab, hal ini adalah perbuatan yang rendah,
tidak pantas, dan menjatuhkan kehormatan. Karena itu, walaupun keduanya
ridha, tetap tidak diperkenankan. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl an Yajma’a Baina Imra’ataihi fi Maskan Wahid”)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan bolehnya mengumpulkan istri dalam satu rumah apabila mereka ridha. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/140)
7 . Seorang istri boleh mengirimkan hadiah kepada suaminya saat si suami sedang berada di rumah istri yang lain.
Dalil kita adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan tentang seorang ummul mukminin yang mengirimkan hadiah sepiring makanan kepada Rasulullah n saat beliau berada di rumah istri beliau yang lain, dan beliau tidak mengingkari perbuatan tersebut.
8. Suami harus berlaku adil dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Demikian pula dalam urusan mabit (bermalam), dijatahnya istri-istrinya, malam dan siangnya dengan adil.
Suami bisa menggilir semalamsemalam, atau sesuai kesepakatan yang ada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri membagi giliran istri-istrinya sehari semalam, sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
وَكَانَ
يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ
أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا
وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ النَّبِيِّ, تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا
زَوْجِ رَسُوْلِ اللهِ
“Beliau membagi giliran setiap istrinya
sehari semalam, kecuali Saudah bintu Zam’ah, ia telah menghadiahkan hari
dan malamnya untuk Aisyah guna mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. al-Bukhari no. 2688)
Apabila seorang istri ditambah hari gilirannya, istri yang lain pun ditambah, berdasar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha saat pengantin barunya,
إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Apabila engkau mau, aku akan
mencukupkan tujuh hari bersamamu. Namun, kalau aku memberikan waktu
tujuh hari denganmu, berarti aku juga memberikan tujuh hari untuk
istri-istriku yang lain.” (HR. Muslim no. 3606)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ucapan al-Khiraqi, “Masalah: Sandaran pembagian giliran adalah malam hari”, “
Tidak ada perselisihan dalam hal ini,
karena waktu malam itu untuk istirahat/menenangkan diri dan berdiam.
Seseorang berdiam di rumahnya pada waktu malam, menenangkan diri dengan
keluarganya, dan biasanya tidur di tempat tidurnya bersama istrinya.
Adapun siang hari adalah waktu untuk mengurusi penghidupan, keluar
rumah, mencari rezeki, dan menyibukkan diri. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا
“Dan Dia menjadikan malam sebagai waktu ketenangan.” (al-An’am: 96)
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا () وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
“Kami menjadikan malam sebagai pakaian dan siang untuk mengurusi penghidupan.” (an-Naba: 10—11)
وَمِن رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Termasuk rahmat-Nya, Dia menjadikan
bagi kalian malam dan siang agar kalian mendapatkan ketenangan di
dalamnya (di waktu malam) dan agar kalian bisa mencari sebagian
keutamaan- Nya (pada siang hari).” (al-Qashash: 73)
Berdasarkan hal ini, seorang lelaki
membagi giliran di antara istrinya semalam demi semalam, sedangkan siang
harinya ia mengurusi pekerjaan, memenuhi hakhak manusia, dan melakukan
urusan mubah yang dia inginkan. Berbeda halnya apabila ia termasuk orang
yang bekerja di waktu malam, seperti penjaga keamanan (satpam) dan yang
semisalnya, ia menunaikan giliran istri-istrinya di siang hari,
sedangkan malam hari baginya seperti siang bagi orang lain.” (al- Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl at-Taswiyah baina an-Nisa fin Nafaqah wal Kiswah”)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, malam menjadi sandaran giliran di saat seseorang bermukim.
Adapun saat safar, patokan giliran adalah saat singgah di suatu tempat. (Fathul Bari, 9/386)
Namun, riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha
yang menyebutkan Saudah menghadiahkan malam dan siangnya untuk Aisyah,
menunjukkan siang juga masuk dalam pembagian mengikuti malam. Yang
dimaksud dengan siang hari adalah hari yang mengikuti malam yang sudah
lewat. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, fashl an-Nahar Yadkhulu fil Qism Taba’an Lil lail)
9. Istri yang sedang haid, nifas, atau sakit juga tetap mendapat pembagian giliran.
Demikian yang dinyatakan oleh ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur ra’yi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah ( al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Yuqsamu lil Maridhah…”).
Al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan demikian. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermalam di rumah istri beliau yang haid dan tidur bersamanya. Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila salah seorang dari kami haid dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
ingin bercampur (selain jima’) dengannya, beliau perintahkan si istri
untuk bersarung (menutupi tubuh bagian bawah), lalu beliau pun
mencampurinya. Kata Aisyah, “Siapa di antara kalian yang mampu menahan
nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu menguasainya?” (HR. al-Bukhari no. 302 dan Muslim no. 677)
Maimunah radhiyallahu ‘anha pun memberitakan sebagaimana yang dikabarkan oleh Aisyah x. (HR. al-Bukhari no. 303 dan Muslim no. 678)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah
berkata, “Wajib bagi suami berlaku adil di antara istri-istrinya. Setiap
istri berhak mendapatkan giliran sehari semalam. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama. Sebagian ulama berpendapat, giliran hanya wajib pada
malam hari, tidak pada siang hari. Hak istri tidak gugur pada saat sakit
dan haid. Suami harus berada di samping istrinya pada hari gilirannya
dan malamnya. Wajib bagi suami berlaku adil di antara para istri di saat
sakit (suami) sebagaimana yang ia lakukan di saat sehatnya. Lain halnya
jika ia tidak kuasa untuk bergerak, maka ia tinggal di rumah istrinya
tempat ia jatuh sakit (yang membuatnya tidak bisa bergerak/ sakit parah)
di situ. Apabila telah sehat, ia memulai lagi giliran yang baru. (al- Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
10. Bermalam di samping seorang istri tidak berarti harus jima’ dengannya.
Yang penting, si suami bermalam di rumah istri tersebut, maka hal tersebut sudah mencukupi. Namun, tentu disenangi apabila suami tidak menyia-nyiakan istrinya. (al-Minhaj, 9/288)
1 1 . Suami tidak wajib menyamakan istri-istrinya dalam hal cinta, kecondongan hati, dan jima’. Namun, apabila suami bisa menyamakan, hal itu baik dalam tinjauan keadilan. Kalaupun tidak, tidak ada dosa bagi suami.
12. Tidak boleh mendahulukan
satu istri selain dalam hal awal mendapatkan giliran sehingga dilakukan
undian, kecuali apabila para istri ridha mengikuti kehendak suami, siapa
istri yang digilirnya terlebih dahulu.
Disebutkan dalam al-Majmu’, (18/110), “Apabila suami hendak membagi giliran (di antara para istrinya) ia tidak boleh memulai dari salah seorang istri tanpa keridhaan istri-istri yang lain, kecuali dengan undian. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Siapa yang memiliki dua istri lalu
condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil), maka ia
akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil no. 2017)
Selain itu, memulai dari salah seorang istri tanpa melakukan undian akan mengundang perasaan tidak suka/iri. Apabila ia mengutamakan satu istrinya dalam hal giliran baik dengan undian maupun tidak, ia wajib mengqadha (menggantinya) untuk istri-istri yang lain. Sebab, kalau ia tidak qadha berarti ia telah condong/melebihkan salah seorang istrinya dari yang lain sehingga ia masuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits.”
13. Saat giliran seorang
istri, maka pada malam hari suami tidak boleh pergi ke rumah istrinya
yang lain kecuali karena suatu keperluan yang darurat. Apabila sampai
suami melakukannya, hal itu adalah pelanggaran terhadap sikap adil.
Dalilnya adalah kisah malam giliran Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
meninggalkan Aisyah untuk memenuhi ajakan Jibril ziarah ke Baqi’,
namun disangka oleh Aisyah hendak ke tempat istri yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu menyatakan, “Apakah engkau menyangka Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu7?” (HR. Muslim no. 974)
Darurat yang dimaksud contohnya sakit,
atau si madu dikhawatirkan meninggal, atau ia dipaksa oleh penguasa
untuk ke tempat madu istrinya. Apabila demikian, ia boleh keluar dan
wajib baginya mengqadha waktu yang terpotong dari istri yang punya hak giliran. (al- Majmu’, 18/119)
14. Boleh para istri
berkumpul di malam hari di rumah istri yang sedang mendapatkan giliran
untuk bercerita atau berbincang-bincang sampai datang waktu tidur,
kemudian masing-masing pulang ke rumah mereka. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Hal ini dilakukan oleh istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا
“Mereka (para istri Nabi) berkumpul setiap malam di rumah istri yang didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 3613)
15. Hukum asalnya dan yang
lebih utama, suami menggilir istriistrinya dengan mendatangi mereka di
rumah masing-masing, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini lebih bagus dari sisi pergaulan
suami istri, lebih menjaga istri, dan lebih menutupinya. Namun, apabila
suami memiliki tempat atau kamar khusus, kemudian memanggil istri yang
sedang memperoleh giliran ke tempatnya, hal itu dibolehkan. Sebab,
memindahkan istri ke mana saja yang ia inginkan adalah hak suami, dan
sudah menjadi kewajiban bagi istri untuk mengikuti suaminya. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Al-Aula an Yakuna li Kulli Wahidah min hunna Maskan”, dan al- Minhaj, 10/289)
16. Tidak boleh menggauli istri yang bukan gilirannya kecuali dengan keridhaan istri yang sedang memperoleh giliran.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan kepadakeponakannya, Urwah bin az-Zubair, “Wahai anak saudara perempuanku! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak mengutamakan sebagian kami dari yang lain dalam hal berdiamnya beliau di sisi kami saat pembagian giliran. Hampir setiap hari beliau berkeliling ke tempat kami seluruhnya, lalu beliau mendekati setiap istrinya tanpa melakukan jima’. Tatkala beliau sampai ke rumah istri yang mendapat giliran hari itu, beliau pun bermalam di rumahnya.” (HR. Abu Dawud no. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Shahih Abi Dawud)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menyatakan, boleh bagi suami untuk masuk menemui istri-istrinya
seluruhnya pada hari giliran salah seorang dari mereka, tetapi ia tidak
boleh menggauli istri yang bukan hari gilirannya. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah juga
menyatakan demikian. Jadi, suami dibolehkan bermesraan, menyentuh/
meraba, dan mencium istri yang bukan gilirannya (asal bukan jima’). (Subulus Salam, 6/145)
17. Seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada madunya.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang memberikan hari dan malamnya untuk Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. al-Bukhari no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
18. Mengundi para istri apabila ada yang hendak dibawa safar.
Walaupun dalam masalah ini adaperbedaan pendapat, antara yang mengatakan wajib diundi, seperti al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dan yang berpendapat tidak wajib (Subulus Salam 6/146)9, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya. Apabila ingin safar, beliau n mengundi di antara istri istrinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, beliau membawanya dalam safar. (HR. al- Bukhari no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Suami
tidak boleh mengkhususkan salah seorang istrinya untuk safar bersamanya
kecuali dengan undian.” (al-Muhalla, 10/63)
Setelah pulang dari safar yang
sebelumnya dilakukan undian untuk menentukan istri mana yang akan
diajak, si suami tidak mengqadha giliran untuk istri yang tidak diajak
safar.
Demikian pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan alasan seperti itu dalam Zadul Ma’ad.
Adapun kalau safarnya tanpa undian,
dibawa siapa saja dari istri yang diinginkan oleh suami, Ibnul
Qayyim rahimahullah membawakan tiga pendapat, apakah suami harus
mengqadha untuk istri yang tidak diajak safar ataukah tidak.
1. Tidak mengqadha, sama saja dilakukan undian atau tanpa undian. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan al-Imam Malik.
2. Diqadha untuk istri-istri yang
ditinggal dan tidak diajak safar, sama saja apakah dilakukan undian atau
tidak. Ini adalah mazhab Zhahiri.
3. Kalau dilakukan undian, suami tidak
mengqadha; apabila tanpa undian, suami harus mengqadha. Ini adalah
pendapat al-Imam Ahmad dan asy- Syafi’i. Wallahu a’lam. (Zadul Ma’ad, 4/20)
19. Seorang perempuan dibenci “memanas-manasi” madunya dengan apa yang tidak ada padanya.
Ketika ada seorang perempuan berkata,
“Wahai Rasulullah, saya memiliki madu. Apakah saya berdosa apabila saya
mengatakan kepadanya bahwa saya diberikan harta ini-itu dari suamiku,
padahal sebenarnya suamiku tidak memberikannya?” Rasulullah rahimahullah
menjawab,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Orang yang berhias-hias
(mengakungaku) dengan apa yang tidak diberikan kepadanya seperti orang
yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. al- Bukhari no. 5219 dan Muslim no. 5549 dari Asma radhiyallahu ‘anha)
Biasanya, perempuan melakukannya karena ingin membuat marah atau memanas-manasi madunya (Fathul Bari, 9/394 ).
Perbuatan seperti ini jelas tercela Ibnu
Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya membagi sama
rata di antara para istri dalam urusan jima’ (berhubungan badan).”
Mampu Bersikap Adil Adalah Nikmat
Menikah lebih dari satu istri bagi yang mampu adalah sebuah kelebihan.
Namun, hal itu haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu disertai
kewajiban menghindari sikap-sikap yang tercela. Ia harus mengedepankan
sikap adil dan menjauhi bentuk-bentuk kezaliman.
Al – Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Nikmat Allah Subhanahu wata’ala
terbesar kepada seorang hamba adalah dimudahkan untuk memiliki sikap
adil dan cinta kepada keadilan, serta dimudahkan untuk berada di atas
kebenaran dan cinta kepada kebenaran.” (Mudawatun Nufus hlm. 90) Semoga Allah Subhanahu wata’ala memudahkan setiap hamba yang berusaha menegakkan sunnah Nabi-Nya. Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al Ustadz Muslim Abu Ishaq al Atsari
Saat Suami Menikah Lagi
Para wanita calon penghuni surga,
wanita yang paling mulia dan utama, istri dari manusia yang paling mulia
dan utama. Merekalah ummahatul mukminin, teladan setiap wanita pecinta
akhirat. Gambaran akhlak mereka kala suami tercinta menjadi “pengantin
baru” bisa kita lihat dari hadits berikut ini. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أَوْلَمَ
رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ بَنَى بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ– فَأَشْبَعَ
النَّاسَ خُبْزاً وَلَحْمًا، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى حُجَرِ أُمَّهَاتِ
الْمُؤْمِنِيْنَ كَماَ كَانَتْ يَصْنَعُ صَبِيْحَةَ بِنَائِهِ، فَيُسَلِّمُ
عَلَيْهِنَّ وَيَدْعُوْ لَهُنَّ وَيُسْلِمْنَ عَلَيْهِ وَيَدْعُوْنَ لَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat pernikahannya dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha.
Beliau mengenyangkan orang-orang yang hadir dengan roti dan daging.
Kemudian beliau keluar menuju bilik-bilik ummahatul mukminin sebagaimana
kebiasaan beliau di pagi hari dari malam pengantin beliau. Beliau
mengucapkan salam kepada mereka dan mendoakan mereka. Para istri beliau
pun membalas salam beliau dan mendoakan kebaikan untuk beliau….” (HR. al-Bukhari no. 4794)
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari (no. 4793) disebutkan,
فَخَرَجَ
النَّبِيُّ فَانْطَلَقَ إلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ: السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَقَالَتْ: وَعَلَيْكَ
السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ، كَيْفَ وَجَدْتَ أَهْلَكَ؟ بَارَكَ اللهُ
لَكَ. فَتَقَرَّى حُجَرَ نِسَائِهِ كُلِّهِنَّ يَقُوْلُ لَهُنَّ كَمَا
يَقُوْلُ لِعَائِشَةَ، يَقُلْنَ لَهُ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat pengantinannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha menuju bilik Aisyah radhiyallahu ‘anha seraya
berkata, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, wahai istriku!” Aisyah
menjawab, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullah. Bagaimana istri Anda?
Semoga Allah memberkahi Anda.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi
satu persatu seluruh bilik istrinya, mengucapkan seperti yang beliau
ucapan kepada Aisyah dan semua mereka berucap sebagaimana ucapan Aisyah.
Betapa indah akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat beroleh istri yang baru dan menikmati bulan madunya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak melupakan istriistri yang lain. Di pagi hari dari malam
pengantinnya, beliau menyempatkan menjenguk istri-istrinya, mengucapkan
salam keberkahan, dan melantunkan doa kebaikan untuk mereka, sehingga
mereka merasakan bahwa suami mereka tetap memberikan perhatian dan tidak
melupakan mereka meski baru saja beroleh istri yang baru.
Kebagusan akhlak sang suami dibalas
dengan keindahan pula oleh para istri beliau. Tidak ada kemarahan yang
dimuntahkan dan kebencian yang ditumpahkan, yang ada hanya senyuman
manis dan kata-kata indah nan memikat, “Bagaimana istri barumu? Semoga
Allah Subhanahu wata’ala memberikan keberkahan kepadamu, wahai suamiku.” Benar-benar menyejukkan hati….
Lama Suami Berdiam Bersama Istri Barunya
Syariat Islam telah menetapkan jangka waktu suami menemani istri
barunya untuk tujuan pendekatan, mengenal lebih jauh, menghilangkan
kekakuan, merekatkan cinta, dan lain sebagainya, sehingga mendapatkan
istri baru tidak berarti si suami terus bersamanya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
السُّنَّةُ إِذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا، وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا.
“Yang (diajarkan dalam) sunnah, apabila seorang lelaki menikahi gadis sedangkan ia sudah memiliki istri, ia tinggal bersamanya selama tujuh hari/ malam. Apabila ia menikahi janda sedangkan ia punya istri yang lain, ia tinggal di sisi istri barunya yang janda tersebut selama tiga hari.” (HR. al- Bukhari no. 5213 dan Muslim no. 3611)
Setelah itu, dia membagi giliran (di antara istri-istrinya). (HR. al-Bukhari no. 5214)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
beliau tinggal di sisinya selama tiga hari. Ketika beliau hendak
meninggalkannya menuju istri beliau yang lain, Ummu Salamah memegang
pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan,
إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Apabila engkau mau, aku akan
menggenapkan tujuh hari bersamamu. Namun, kalau aku memberikan waktu
tujuh hari denganmu, berarti aku juga harus memberikan tujuh hari untuk
istri-istriku yang lain.”(HR. Muslim no. 3606)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (4/19) mengatakan, “Ketetapan ini mengandung beberapa hal, di antaranya adalah wajib membagi giliran dari awalnya, yaitu ketika seorang lelaki menikahi seorang gadis sementara dia sudah memiliki istri yang lain, ia tinggal di sisi istri barunya selama tujuh hari; setelah itu ia menyamakan giliran di antara kedua istrinya.
Apabila yang dinikahinya adalah seorang janda, ia memberikan pilihan kepada si istri: waktu tujuh hari berdiam bersamanya kemudian ia mengqadha waktu tersebut untuk istri-istri yang lain, atau ia tinggal selama tiga hari bersama si istri dan waktu tiga hari itu tidak dihitung (setelah tiga hari, baru perhitungan giliran dengan istri-istri yang lain dimulai). Ini adalah pendapatkebanyakan para ulama.”
Al – Imam an – Nawawi rahimahullah menyatakan, hadits ini menunjukkan bahwa istri yang baru dinikahi diutamakan daripada yang lainnya (istri lama). Apabila ia gadis, haknya adalah tujuh hari tujuh malam tanpa qadha. Apabila janda, ia diberi pilihan. Apabila ia menginginkan tujuh hari, berarti tujuh hari ini akan diqadha untuk istri-istri yang lain.
Namun, apabila ia mau, tiga hari tidak akan ada qadha. Ini adalah mazhab al-Imam asy- Syafi’i dan pendapat al-Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan jumhur ulama. Abu Hanifah, al-Hakam, dan Hammad mengatakan, “Wajib qadha untuk seluruhnya pada janda dan gadis, berdalil dengan zahir nash yang menyuruh berlaku adil di antara para istri.
Adapun argumen al-Imam asy- Syafi’i (dan yang lainnya dari kalangan jumhur, -pent.), hadits-hadits tersebut mengkhususkan zahir nash yang umum yang memerintahkan berlaku adil.” (al-Minhaj, 9/286)
Waktu tiga atau tujuh hari tersebut
harus berturut-turut, tidak boleh terpotong. Seandainya terpotong maka
waktu yang terpotong itu tidak terhitung2. (Fathul Bari, 9/392)
Tidak Boleh Mempersyaratkan Dicerainya Istri yang Lain
Ada wanita yang bersedia dinikahi oleh
seorang lelaki yang telah beristri dengan syarat si lelaki menceraikan
istrinya yang lama. Persyaratan seperti ini dilarang dalam syariat
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِامَرْأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا وَلْتَنْكِحْ فَإِنَّما لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
“Tidak boleh seorang wanita meminta
seorang lelaki agar menceraikan saudarinya4 agar ia bisa memenuhi
piringnya sendiri dan mengosongkan yang lain.5 Hendaknya ia menikah saja
karena ia hanya beroleh apa yang telah ditetapkan/ditakdirkan
untuknya.” (HR. al-Bukhari no. 5152 dan Muslim)
Ini adalah persyaratan yang tidak halal dalam pernikahan. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Tidak boleh seorang wanita mempersyaratkan (ketika ia hendak
dinikahi oleh seorang lelaki yang telah beristri) agar saudarinya
tersebut dicerai.” (Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq, “Kitab an-Nikah”, bab “asy-Syuruth al-Lati La Tahillu fin Nikah”)
Hadits ini berisi larangan bagi wanita
ajnabiyah untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya, baru
kemudian menikahinya sehingga beralihlah nafkah suami, pergaulannya, dan
hal-hal lainnya hanya kepadanya. (Fathul Bari, 9/274)
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah
menyatakan, “saudarinya” yang disebut dalam hadits adalah madunya. Jadi,
tidak pantas seorang istri meminta suaminya menceraikan madunya
sehingga tinggallah dia sendiri (tanpa pesaing). (Fathul Bari 9/275, Tuhfatul Ahwadzi, “Kitab ath-Thalaq wal Li’an”, bab “Ma Ja’a La Tas’alu al-Mar’ah Thalaqa Ukhtiha”) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al Ustadz Muslim Abu Ishaq al Atsari
Tanya Jawab Ringkas Edisi 85
Air Seni Sering Menetes
Bolehkah shalat memakai celana dalam
yang terkena kencing? Urat dan otot perut sering kontraksi hingga keluar
kencing setetes, sedangkan mencuci celana dalam tiap shalat membuat
risih, tetapi untuk mengganti celana sangat kerepotan. 085657XXXXXX
Tidak boleh, celana itu harus dicuci
atau diganti, kecuali jika air kencing Anda yang keluar bersifat
terus-menerus. Jika masuk waktu shalat, balut kemaluan Anda agar air
kencing itu tidak tercecer, lalu berwudhulah dan shalat. Apa yang keluar
saat shalat tidak membatalkan shalat. Jika ada waktu redanya,
laksanakan di waktu redanya walaupun harus tertunda asalkan tidak keluar
waktu. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Air Seni Tidak Tuntas
Bismillah. Jika seseorang menderita
kelainan: sulit tuntas dari najis, sehabis kencing tidak langsung
bersih, akan keluar beberapa titik air berkali-berkali, butuh waktu
belasan menit/lebih untuk bersih/tuntas. Jika hal ini terjadi pada waktu
didirikan shalat jamaah, apakah dibenarkan untuk tidak berangkat ke
masjid berjamaah? Karena menunggu tuntas dari najis yang cukup lama. 085747XXXXXX
Ya, hal itu adalah uzur untuk meninggalkan shalat jamaah. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Cara Berpisah bagi Nikah Syubhat
Bismillah. Pada edisi 77 rubrik “Tanya
Jawab Ringkas”, jawaban pertanyaan terakhir (tentang akad nikah),
keduanya harus bertobat dan berpisah sampai diperbarui lagi akad
nikahnya. Maksud berpisahnya itu (apakah harus bercerai) atau bagaimana,
dan berapa lama waktu berpisahnya? 081350XXXXXX
Maksudnya berpisah rumah tangga, tidak
boleh serumah, berkhalwat, dst. Karena pernikahan tersebut tidak sah,
keduanya bukan suami istri. Hal itu sampai keduanya menikah
kembalisecepat mungkin tanpa ada masa iddah. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Ragu Keabsahan Nikah
Bismillah. Pada edisi 77 rubrik “Tanya
Jawab Ringkas”, ada keterangan nikah yang diperbarui dengan cukup
dinikahkan oleh wali/wakil dan minimal dua saksi. Bolehkah sepasang
suami istri melakukannya atas dasar ragu-ragu pernikahannya sah atau
tidak dan atas dasar untuk ketenangan hati? 085327XXXXXX
Apa sebab keraguan dia akan sah tidaknya pernikahannya? al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Bukan karena zina kemudian hamil,
melainkan entah kenapa (perasaan takut kalau hubungannya tidak sah).
Sebab, waktu menikah dalam keadaan berat hati (pasca-PHK), pikiran kacau
balau, dalam hati ingin cerai waktu itu. Karena merasa beratnya beban
rumah tangga, orang-orang menganggap dia seperti sedang stres, sehingga
dia ingat gejolak hatinya saat itu. 085327XXXXXX
Tidak boleh mengikuti waswas setan yang
mempermainkan Anda dengan menimbulkan keraguan akan keabsahan pernikahan
yang telah berlangsung sah dengan syaratnya. Waswas setan yang
terlaknat tidak ada habisnya sampai bisa membuat seseorang menjadi
seperti orang gila. Berlindunglah kepada Allah Subhanahu wata’ala jika
mendapati waswas semacam itu. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Istri Menolak Dirujuk
Bismillah. Ketika masa iddah, hak rujuk
adalah milik suami. Jika suami ingin rujuk, tetapi istri menolak, apakah
si istri berdosa? 085740XXXXXX
Penolakan istri atas rujuk suaminya
tidak dianggap dan tidak ada efeknya. Semata-mata dengan rujuknya sang
suami, maka keduanya kembali menjadi suami istri seperti semula meskipun
sang istri menolak. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Sumpah Tidak Akan Berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala
Bismillah. Apa kafarat bagi orang yang
bersumpah bahwa dia tidak akan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala
lagi jika doanya tidak dikabulkan? 085747XXXXXX
Kafaratnya adalah bertobat disertai
membayar kafarat sumpah untuk pelanggaran sumpah tersebut yang tergolong
maksiat dan kebodohan berpaling dari berdoa kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Pengabul doa. Jika doa tidak terkabul, itu lebih
dikarenakan tidak terpenuhinya sebab terkabulnya doa atau terdapat
penghalang yang menghalangi terkabulnya doa. Tidak boleh kecewa kepada
Allah Subhanahu wata’ala lantas membodohi diri sendiri dengan tidak mau
berdoa meminta kepada- Nya, karena siapa pun tidak akan bisa melepaskan
diri dari ketergantungan kepada-Nya.
Tuduhlah diri sendiri yang penuh dengan
kesalahan dan kurang bersyukur atas sekian banyak nikmat Allah Subhanahu
wata’ala yang telah dan sedang dirasakan tanpa bisa dihitung jumlahnya.
Seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala atau tidak, tidak akan
memudaratkan Allah Subhanahu wata’ala sama sekali, tetapi diri hamba
itu sendirilah yang termudaratkan. Jika ingin doa dikabulkan, tempuh
faktorfaktornya dan jauhi penghalangnya. Bahkan, Allah Subhanahu
wata’ala murka dan mengancam orang yang menyombongkan diri dengan tidak
mau berdoa kepada-Nya dalam surat Ghafir ayat 60. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Mahar, Hak Pengantin Wanita
Apakah mas kawin / mahar merupakan hak pengantin wanita atau hak walinya, dan bagaimana pemanfaatannya? 081911XXXXXX
Mahar adalah hak pengantin wanita. Pemanfaatannya terserah penganti wanitanya, karena sudah jadi miliknya. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Mimpi Berzina
Bagaimana jika kita melakukan hubungan intim di dalam mimpi, apakah hukum berzina tidak berlaku pada saat kita bermimpi? 082188XXXXXX
Tidak, karena mimpi bukan kenyataan. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Qadha Shalat
Adakah qadha dalam shalat, karena saya lupa mengerjakannya, dan baru ingat setelah lewat dari waktunya? 02141XXXXXX
Ya, wajib atas Anda mengqadha shalat yang luput dari waktunya karena lupa, dilakukan begitu Anda tersadar dan ingat. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Uang Temuan
Anak kami menemukan uang di selokan/jalan umum, bagaimanakah hukumnya menggunakan uang tersebut? 085227XXXXXX
Berapa jumlah uang yang ditemukannya? al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Hanya lima ribu rupiah. 085227XXXXXX
Jika keumuman orang menganggap uang
senilai itu kecil dan tidak mempermasalahkan kehilangan uang senilai
itu, boleh dimanfaatkan oleh penemunya. Adapun jika di mata keumuman
orang dianggap bernilai dan pemiliknya merasa kehilangan, wajib
diumumkan selama setahun di tempat umum tanpa menyebutkan nilainya untuk
menguji orang yang datang mengaku sebagai pemiliknya. Jika sudah lewat
setahun dan pemiliknya tidak datang, ada beberapa pilihan:
1. Dimiliki dan dimanfaatkan semaunya. Jika setelah itu pemiliknya datang, diganti.
2. Disedekahkan atas nama pemiliknya. Jika pemiliknya tidak setuju, diganti dan pahalanya untuk yang bersedekah.
3. Disimpan sampai suatu saat pemiliknya datang. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Tanaman di Atas WC
Bismillah. Apakah pohon pepaya yang
ditanam di atas tanah tempat pembuangan(WC) termasuk najis? Sedangkan
akar pohon tersebut menyerap langsung pada kolam pembuangan. Apakah buah
pepaya tersebut boleh dikonsumsi/dimakan? 085246XXXXXX
Masalah ini telah kami bahas secara
lengkap dalam rubrik “Problema Anda” edisi 73 dengan judul Buah Tanaman
yang Dipupuk dengan Kotoran. Kesimpulannya, yang rajih (kuat) terdapat
rincian: jika najis yang diserapnya tampak efeknya pada pohon dan
buahnya berupa bau, rasa, atau warna, ternajisi dan haram dimakan. Jika
tidak tampak salah satu efek tersebut, tidak ternajisi dan halal. al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Bersikaplah Adil, Wahai Suami!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa saja orangnya yang memiliki
dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat
kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 2133), an-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213),
ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul
Jarud (no. 722), Ibnu Hibban (no. 1307), al-Hakim (2/186), al-Baihaqi
(7/297), ath-Thayalisi (no. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari an-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Di dalam Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas diriwayatkan dengan lafadz,
إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua
istri namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada hari kiamat
kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain
(al-Bukhari & Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat
dengan al-Hakim, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan beliau pun menyepakatinya.
Al-Hafizh menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi menghukumi hadits ini gharib padahal beliau sendiri menyatakannya sahih. Abdul Haq mengatakan, ‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu Hammam sendirian meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat
semacam ini tidak membuat hadits menjadi lemah. Oleh karena itu, para
ulama secara berturut-turut menyatakannya sahih.” (Silsilah ash- Shahihah no. 2017, al-Albani)
Islam Menjunjung Nilai-Nilai Keadilan
Islam sangat menjunjung nilai-nilai
keadilan. Bahkan, keadilan menjadi salah satu pilar penting bagi seorang
hamba untuk mewujudkan bangunan Islam. Sikap adil, menurut asy-Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, adalah menunaikan hak-hak yang wajib dan memenuhi hak bagi yang memilikinya.
Ada juga yang memaknai adil sebagai sikap menentukan hukum sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
bukan semata-mata berdasarkan akal pikiran. Dalam memutuskan perkara,
keadilan mesti menjadi landasan berpijak. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوْا
“Apabila kalian memutuskan hukum maka bersikaplah adil!” (Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [no. 469])
Bahkan, bagi orang tua, sikap adil haruslah mendasari setiap perhatian kepada anaknya. Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu
pernah bercerita, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku. ‘Amrah bintu
Rawahah (ibunya) lantas berkata (kepada ayahku), ‘Aku tidak rela (dengan
pemberian ini) sampai engkau meminta persaksian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,.’ Lantas ayahku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menyampaikan, ‘Sesungguhnya aku memberi sesuatu kepada salah seorang anakku, anak dari ‘Amrah bintu Rawahah.
Amrah menuntutku untuk meminta Anda
sebagai saksi, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau
memberi seluruh anakmu seperti yang engkau berikan kepada anak itu?’
Ayahku menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
فَاتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
‘Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikaplah adil di antara anakanak kalian!’
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Bukhari 5/2587)
Mengenai bentuk-bentuk keadilan, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya berkenaan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nahl, yaitu firman-Nya,
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat. Dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(an-Nahl: 90)
Beliau rahimahullah menerangkan ,
“Kewajiban hamba adalah bersikap adil terhadap diri sendiri, keluarga,
dan orangorang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bersikap adil
terhadap diri sendiri artinya tidak memaksakan diri untuk melakukan
hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Bahkan, ia pun harus memerhatikan diri
sendiri saat melakukan kebaikan, dengan cara tidak melakukannya melebihi
batas kemampuan. Oleh sebab itu, saat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma menyatakan, ‘Aku akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka. Aku akan shalat malam terus dan tidak akan tidur’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, memanggilnya dan melarang hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Sesungguhnya dirimu sendiri memiliki hak, Rabbmu juga memiliki hak, dan keluargamu pun memiliki hak. Maka dari itu, berikanlah hak masing-masing.’
Demikian juga seorang suami, ia harus
bersikap adil di tengah-tengah keluarga. Siapa saja yang memiliki lebih
dari satu istri, ia harus bersikap adil di antara para istrinya. Sebab,
seorang suami yang lebih cenderung kepada salah satu istri, ia akan
datang pada hari kiamat dalam keadaan miring sebelah tubuhnya.
Sikap adil juga wajib diwujudkan di
antara anak-anak. Jika Anda memberi satu real kepada salah seorang di
antara mereka, berikan juga senilai itu kepada yang lain. Jika engkau
memberi dua real kepada anak laki-laki, berikanlah satu real kepada anak
perempuan. Jika engkau memberikan satu real kepada anak laki-laki,
berikanlah setengah real kepada anak perempuan.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan sikap
adil di antara anak-anak dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang
masih kecil sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga.
Jadi, ia tidak membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman.
Demikian juga dalam hal berbicara,
Jangan sampai Anda berbicara dengan seorang anak dengan nada yang kasar,
sedangkan kepada anak yang lain dengan nada yang lembut. Sikap adil
harus juga dijunjung kepada orang-orang yang berhubungan dengan kita.
Jangan Anda berpihak kepada seseorang hanya karena ia adalah kerabat,
orang kaya, orang fakir, atau seorang teman. Jangan berpihak kepada
seseorang, semua orang sama kedudukannya.
Sesungguhnya para ulama rahimahumullah mengatakan,
‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru, jika
mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian,
pembicaraan, tempat duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang
kepada salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain
dengan pandangan senang.
Jangan engkau berbicara dengan nada
lembut kepada salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain
sebaliknya. Jangan sampai Anda bertanya kepada salah seorang di antara
mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar keluargamu? Bagaimana kabar
anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan tanpa pertanyaan.
Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini. Demikian juga
dalam hal tempat duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang darinya
duduk dekat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh darimu.
Namun, posisikan mereka berdua di
hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim
bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus
bersikap adil di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan
posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’
sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memberikan tempat
yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Bersikap Adil kepada Istri
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad
menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para
istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan
yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan
dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang
suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia
sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam,
nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang
mampu menentukannya selain Allah k. Akan tetapi, tidak sepantasnya
seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang
seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masingmasing tanpa menyakiti
istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan
sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah
seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu
wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau
mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari
hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami adalah bersikap adil dan
seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdu l Muhsin melanjutkan,
“Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah z di atas untuk menunjukkan
bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan
yang ia perbuat. Pada hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh
yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada salah seorang
istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu untuk
bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam
ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang
miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang
memiliki lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk
bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala
yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut
tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat diberlakukan
sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia
dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri
yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk
berbincangbincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak
hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri.
Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara
anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar payah.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah x bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟
“Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?”
Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara
ulama tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di
antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa
cinta dan ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar
kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya orang yangmmemakai dua potong
pakaian kedustaan.m(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memberikan permisalanmseperti dalam hadits di atas agar paramperempuan
menjauhi perbuatan tersebut,mkarena akibat yang ditimbulkannyamtidaklah
remeh. Perbuatan itu bisammerusak hubungan suami dengan simmadu yang
dipanas-panasi dan bisanmembuat kebencian di antara keduanya,nsehingga
perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan
istrinya. (Fathul Bari 9/394—395) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Mukhtar bin Rifai
Bahaya yang Mengancam Keharmonisan Rumah Tangga
Sesungguhnya di antara doa seorang mukmin yang diabadikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an adalah,
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Menurut penafsiran salaf, maksud
penyejuk mata di sini bukanlah bagusnya fisik, melainkan tumbuhnya
mereka dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang menyebabkan
mata sejuk memandangnya di dunia dan di akhirat. Al-Hasan al- Bashri rahimahullah
berkata tentang ayat ini, “Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala
memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim ketaatan istri, saudara, dan
temannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, demi Allah, tiada
sesuatu yang menyejukkan mata seorang muslim yang melebihi melihat anak,
cucu, saudara, atau temannya taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/342)
Kehidupan rumah tangga termasuk salah
satu sisi kehidupan terpenting yang dilalui oleh pria dan wanita karena
telah mengambil bagian yang terbesar dalam kehidupan mereka. Karena itu,
apabila rumah tangga ini dibangun di atas ketaatan kepada
Allah Subhanahu wata’ala dan cinta yang sejati, kecocokan yang sempurna
dan saling adanya pengertian, niscaya kehidupan mereka akan bahagia.
Ketenteraman dan cinta kasih akan
senantiasa menaungi kehidupan mereka. Ini artinya bahwa suami istri
sedang membangun sebuah generasi yang tahu tentang arti kehidupan.
Anak-anak mereka akan tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang kondusif
dan dipenuhi cinta kasih.
Rumah Tangga Bahagia
Pernikahan bukan sekadar bersenangsenang
menyalurkan kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan adalah
sebuah bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dengan pernikahan,
jenis manusia terus berlanjut keberadaannya untuk memakmurkan bumi ini
sampai batas waktu yang Dia tentukan.
Dengan pernikahan pula, seseorang akan
mendapatkan ketenteraman batin dan terhindar dari penyimpangan seksual,
dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Pernikahan sebagai tali ikatan cinta
yang suci antara pria dan wanita menuntut masing-masing pihak untuk
menunaikan kewajibannya terhadap yang lain. Setiap pihak menjalankan
tugasnya dan mampu memainkan perannya demi terwujudnya keharmonisan
rumah tangga yang didambakan.
Suami, sebagai kepala keluarga
berkewajiban memberikan bimbingan agama kepada istrinya serta mencukupi
nafkah lahir dan batin. Adapun istri, sebagai orang yang ditugasi
mengurusi rumah, diharuskan menjaga harta suami, menaatinya dalam
perkara kebaikan, serta mengurusi anak dan mendidiknya. Apabila suami
istri tulus menjalankan tugasnya, pahala dari Allah Subhanahu wata’ala
telah menunggunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberikan suatu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah Subhanahu
wata’ala kecuali engkau diberi pahala atasnya, sampaipun makanan dan
minuman yang engkau suapkan untuk mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda,
إِذَاصَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَاوَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang wanita shalat lima
waktu, puasa di bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati
suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari
pintu mana saja yang engkau inginkan’.” (HR. Ibnu Hibban dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
Di antara suami istri hendaknya ada
saling pengertian dan tidak bersikap egois. Ketika melihat ada
kekurangan dari pihak lain, janganlah hal ini dijadikan sebagai sebab
untuk menanam kebencian kepadanya yang nantinya akan mengganggu
keharmonisan. Ia hendaknya melihat banyak sisi kebaikannya dan kelebihan
yang disandangnya. Namun, tentu tak ada masalah apabila dia berusaha
memperbaiki kekurangannya dengan cara yang bijak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخِرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah. Apabila ia tidak menyukai suatu perangai pada dirinya,
ia akan suka darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Bimbingan
dari Nabi n bagi suami dalam hal bergaul dengan istrinya ini adalah
faktor terbesar untuk (mewujudkan) hubungan rumah tangga yang harmonis.
Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang mukmin (suami) dari pergaulan yang jelek terhadap istrinya.
Tentunya, larangan terhadap sesuatu
(mengandung) perintah untuk melakukan yang sebaliknya. Beliau memerintah
suami untuk memerhatikan apa yang dimiliki oleh istrinya, berupa
perangai yang indah dan hal yang sesuai dengan dirinya, lalu ia jadikan
hal ini sebagai pembanding terhadap perangai istrinya yang tidak dia
sukai….
Seorang yang adil akan menutup mata dari
kekurangan (istrinya) karena telah lebur dalam kebaikannya yang banyak.
Dengan demikian, hubungan akan tetap langgeng. Akan tertunaikan pula
hakhaknya yang wajib dan yang sunnah. Boleh jadi, (dengan sikap seperti
ini) seorang istri akan berusaha memperbaiki apa yang tidak disukai oleh
suaminya. Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan istrinya dan
(hanya) melihat kejelekannya walaupun kecil, hal ini tentu bukan sikap
yang adil. Orang seperti ini kecil kemungkinannya akan bisa hidup
harmonis bersama istrinya.” (Bahjah Qulubil Abrar hlm. 101)
Demikian pula sikap seorang istri ketika
melihat kekurangan yang ada pada suaminya. Adapun menuntut penampilan
yang selalu prima dan pelayanan yang selalu sempurna tentu sulit, bahkan
hampir-hampir mustahil.
Badai Rumah Tangga
Kadang ketenteraman rumah tangga terusik
dengan adanya problem yang berasal dari pribadi suami atau istri. Hal
ini membutuhkan perhatian serius dan penanganan yang tepat agar bahtera
rumah tangga tetap terkendali. Apabila kita telusuri, banyak sekali
faktor yang memicu munculnya problem.
Dari pihak suami, misalnya, terkadang ia
tidak perhatian terhadap istrinya dari sisi pemberian nafkah, pembagian
giliran bermalam yang tidak adil bagi yang beristri lebih dari satu,
hubungan ranjang yang tidak memuaskan (egois), kasar dan kakunya
perangai terhadap istri, anak, atau mertuanya, serta kurang memedulikan
kebutuhan istri dan anakanaknya berupa perasaan aman dan nyaman.
Adapun dari pihak istri, terkadang
seorang suami merasa tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari
istrinya. Terkadang seorang istri sibuk dengan aktivitas di luar rumah
sehingga kebutuhan suaminya kurang terpenuhi. Demikian pula pendidikan
terhadap anak kurang maksimal. Bisa juga karena perangai istri yang
buruk dan tidak tahu persis apa yang harus dia lakukan terhadap
suaminya.
Intinya, apa pun faktor pemicu
ketidakharmonisan tersebut sangat membutuhkan solusi yang cepat dan
tepat. Mereka yang sedang dilanda masalah keluarga harusnya menyadari
butuhnya mempelajari kembali kewajibankewajiban yang harus ditunaikan
terhadap yang lainnya. Mereka membutuhkan bimbingan agama dan nasihat
orang yang berilmu. Seorang suami hendaknya ingat firman Allah Subhanahu
wata’ala,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
“Cukup seseorang dikatakan berdosa manakala ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam Riyadhush Shalihin)
Seorang suami yang baik akan menyadari
kekurangannya dan berusaha memperbaikinya. Dia akan membuang sikap egois
dan siap menjadi suami yang perhatian terhadap istrinya, sekaligus
bapak yang sayang terhadap anakanaknya dan tahu kebutuhan mereka.
Seorang istri yang salehah akan selalu ingat besarnya hak suami atasnya
sebagaimana sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ يَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintah seorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dan selainnya)
Dia juga tidak melakukan suatu aktivitas
yang sifatnya tidak mendesak yang menyebabkan suaminya terhalangi
mengungkapkan gejolak cinta yang terpendam dalam hatinya atau setidaknya
mengurangi kenikmatannya. Istri salehah teringat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita
untuk berpuasa padahal suaminya hadir (ada di sisinya) kecuali dengan
seizinnya dan tidak boleh ia memberi izin (seorang memasuki) rumahnya
kecuali dengan seizin suami.” ( HR. al-Bukhari dari jalan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Istri yang salehah juga siap mengoreksi diri demi tergapainya kebahagiaan rumah tangga. Sudah saatnya bagi suami istri untuk mempelajari agama ini secara umum dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga secara khusus, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Suami istri juga perlu selalu membangun komunikasi yang baik. Dengan demikian, ketegangan dalam rumah tangga akan hilang, setidaknya bisa diminimalisir mudaratnya.
Mewaspadai Bahaya dari Luar
Keharmonisan hidup berumah tangga adalah
nikmat yang besar. Dan, setiap merasakan nikmat duniawi pasti akan
selalu ada orang yang tidak menyenanginya. Inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,. Kehidupan rumah tangga beliau yang harmonis sempat diguncang oleh dahsyatnya isu yang ditiupkan oleh orang-orang munafik.
Alkisah, Rasulullah n dan para sahabat
dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau waktu itu juga membawa
istrinya. Di tengah perjalanan, istri beliau, Aisyah, ingin buang hajat.
Rombongan pun berhenti menunggu Aisyah. Setelah selesai hajatnya,
Aisyah kembali ke tengah rombongan dan naik di atas sekedupnya.
Tetapi, ia ingat bahwa kalungnya
tertinggal. Dia pun turun kembali dan mencarinya. Setelah kembali lagi,
ia dapatkan rombongan telah pergi jauh tak terkejar. Aisyah memutuskan
untuk tetap di situ. Secara kebetulan, lewatlah sahabat Shafwan bin
Mu’aththal radhiyallahu ‘anhuma yang tertinggal di belakang rombongan karena suatu keperluan. Ia pun melihat seorang wanita yang tertinggal dari rombongan.
Setelah mendekat ia pun tahu bahwa ia adalah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Shafwan mendudukkan kendaraannya lalu Aisyah menaikinya. Shafwan lantas
menuntun kendaraannya hingga masuk kota Madinah tanpa ada pembicaraan
antara keduanya. Orang-orang munafik memanfaatkan kejadian ini untuk
menebarkan isu miring bahwa Aisyah berbuat yang tidak baik dengan
Shafwan. Keharmonisan rumah tangga Nabi n pun terguncang dalam beberapa
hari dan para sahabat pun ikut bersedih karenanya. Lalu Allah Subhanahu
wata’ala menurunkan ayat yang menegaskan kesucian Aisyah radhiyallahu ‘anha dari apa yang dituduhkan kepadanya. (Lihat Tahdzib Sirah Ibni Hisyam hlm. 109—195)
Dari kisah tersebut kita bisa mengambil
faedah, di antaranya bahwa keharmonisan rumah tangga bisa terancam
karena adanya faktor dari luar. Berikut di antara faktor tersebut:
1. Setan
Kedengkian setan terhadap manusia yang
sudah tertanam semenjak Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Adam di
hadapan para malaikat terus muncul dari waktu ke waktu. Di antara bukti
nyatanya sebagaimana tersebut dalam hadits (yang artinya),
“Setan telah berputus asa untuk
disembah oleh orang yang shalat di Jazirah Arab, tetapi ia (berusaha)
untuk mengadu domba di antara mereka.” (HR. Muslim)
Juga disebutkan dalam hadits riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda (yang artinya),
“Sesungguhnya iblis meletakkan
singgasananya di atas air lalu ia mengutus pasukannya. Yang paling dekat
kedudukannya dari iblis adalah yang paling besar upaya menggodanya.
Salah satu pasukannya datang (kepada iblis) lalu berkata, ‘Aku telah
melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kamu belum berbuat apa-apa.’
Datang (lagi) salah satu dari mereka lalu berkata, ‘Aku tidak tinggalkan
ia (manusia) hingga aku memisahkan antara ia dan istrinya.’ Iblis
mendekatkannya dan berkata, ‘Kamu bagus’.” ( HR. Ahmad 3/314 dan Muslim)
Tujuan Iblis terbesar adalah memutuskan
keturunan manusia sehingga lenyap keberadaannya dan menjatuhkan manusia
ke dalam perzinaan yang merupakan dosa besar yang paling jahat. (Faidhul Qadir 2/517)
Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wata’ala dari godaan setan.
2. Orang yang iri dan tidak suka melihat keharmonisan rumah tangga orang lain
Rasa iri orang semacam ini terkadang
semata-mata ingin agar suami istri itu ribut dan bercerai. Ada pula
orang yang sifat irinya diikuti keinginan untuk terjadinya perceraian
lalu ia akan menikah dengan salah satunya. Orang yang iri terkadang tega
melakukan cara-cara yang bengis dan keji, seperti pembunuhan atau
menyampaikan berita dusta kepada salah satu dari suami istri, sehingga
timbul percekcokan yang berujung perceraian padahal berita itu belum
ditelusuri kebenarannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa merusak istri seseorang atau budaknya, ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad, asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 325)
Semoga Allah Subhanahu wata’ala melindungi kita dari kejahatan orang yang hasad/iri dengki.
3. Bermudah-mudah dengan ipar
Tidak sedikit suami bermudah-mudah
dengan saudara perempuan istrinya, demikian pula seorang istri dengan
saudara laki-laki suaminya. Terkadang mereka masuk kepada yang lain
berduaan saja padahal bukan mahramnya. Dalam benak sebagian orang, hal
itu dianggap perkara lumrah dan tidak akan terjadi apa-apa, toh itu
hanya ipar. Kenyataannya, tidak sedikit keharmonisan keluarga menjadi
hancur berantakan karena sikap bermudah-mudah yang seperti ini.
Bahkan, dalam kondisi tertentu sampai
terjadi pertumpahan darah karenanya dan terputusnya tali silaturahmi.
Ini semua akibat melanggar tuntunan agama. Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang lelaki besepisepian dengan seorang wanita kecuali bersama wanita itu ada mahramnya.” (Muttafaqun ’alaihi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda (yang artinya),
“Hati-hatilah kalian dari masuk kepada para wanita!” Ada seorang lelaki dari Anshar bertanya, “Apa pendapat Anda tentang al-hamwu (ipar dan kerabat suami)?” Nabi bersabda, “Al-hamwu itu maut.” (Muttafaqun ’alaihi)
Maksudnya, masuknya ipar atau kerabat suami kepada wanita itu seperti maut, yaitu membinasakan.
Al – Munawi rahimahullah berkata
,“Diserupakan dengan maut dari sisi sama kejelekannya dan merusaknya
sehingga hal ini sangat diharamkan…. Masuknya ipar kepada wanita akan
mengantarkan kepada kematian agama atau kematian (berakhirnya) wanita
itu karena diceraikan saat suaminya cemburu atau dirajamnya ia apabila
berzina dengan ipar.” (Faidhul Qadir 3/160)
4. Mertua
Terkadang seorang mertua mendengar
problem anaknya dengan suami/istrinya. Tidak jarang, seorang mertua
memberikan pembelaan terhadap anaknya tanpa melihat yang benar. Karena
campur tangan mertua yang tidak mencarikan solusi yang terbaik,
permasalahan semakin melebar dan perselisihan semakin tajam. Padahal
yang seharusnya dilakukan oleh mertua adalah mencari jalan agar suasana
menjadi sejuk.
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada suatu hari marah kepada istrinya, Fathimah, putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Ali keluar menuju masjid dan berbaring dengan bersandar ke tembok
masjid. Nabi n datang menemui Ali yang saat itu punggungnya penuh dengan
debu. Rasulullah n mengusap debu dari punggung Ali dan memintanya untuk
duduk. (lihat Shahih al-Bukhari no. 6204)
Seperti inilah seorang mertua yang bijak, berusaha untuk memadamkan api kemarahan dan mendinginkan suasana.
5. Pergaulan yang tidak selektif
Tidak semua orang pantas untuk dijadikan
teman bergaul karena ada jenis manusia yang memiliki perangai jahat.
Sementara itu, agama seseorang sangat dipengaruhi oleh teman
sepergaulannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang mengikuti agama (perangai)
teman sepergaulannya, maka hendaknya seorang dari kalian melihat orang
yang ia jadikan teman.” ( HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Asy- Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Parahnya, seorang lelaki terkadang
menjalin pertemanan dengan perempuan yang bukan mahram, demikian pula
sebaliknya. Terkadang juga mereka bercerita/curhat tentang problem rumah
tangga masing-masing. Akibatnya, seorang wanita berani bersikap kasar
terhadap suaminya dan seorang suami sudah tidak peduli lagi dengan
istrinya. Bahkan, ada yang sampai terjadi perzinaan dengan teman
curhatnya. Wal ‘iyadzu billah.
Sungguh, ketika keimanan telah menipis
dan nyaris hilang serta sifat malu menjadi suatu yang langka, sudah
semestinya seseorang berhati-hati demi keselamatan agamanya dan
keharmonisan rumah tangganya. Jangan menjadi orang yang latah dan hanya
ikut-ikutan.
Waspadalah dari bahaya yang mengancam,
seperti bergabung dengan situs jejaring sosial yang kadang dimanfaatkan
untuk kejahatan. Akhirnya, semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi
taufik kepada seluruh muslimin baik rakyat maupun penguasanya untuk
kembali kepada jalan-Nya yang lurus demi tercapainya kebahagiaan dunia
dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan Doa.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Penaklukan Irak
Upaya Pembunuhan Terhadap Panglima Khalid
Setelah selesai berunding dengan
sisa-sisa pengikut Musailamah al-Kadzdzab dan mereka pun kembali kepada
Islam yang haq, selesailah peperangan di Yamamah. Korban yang berjatuhan
di kedua belah pihak cukup besar. Pengikut Musailamah al-Kadzdzab yang
tewas tidak kurang dari 14.000 orang, sedangkan pasukan muslimin yang
gugur sekitar enam ratus orang.
Situasi perang masih menyelimuti
Yamamah. Suatu hari setelah sisa-sisa bani Hanifah sepakat untuk
berbaiat, salah seorang pemuka mereka, Salamah bin ‘Umair meminta izin
kepada Majja’ah agar dapat menemui Panglima Khalid radhiyallahu ‘anhuma.
Majja’ah mengizinkan. Tanpa setahu mereka, Salamah menyelipkan pedang
di balik bajunya lalu berangkat menemui Khalid. “Siapa yang datang ini?”
tanya Khalid, naluri prajuritnya menggetarkan adanya bahaya. “Ia ingin
berbicara dengan Anda,” kata Majja’ah, “Dan sudah saya izinkan.”
“Keluarkanlah dia dari sini!” perintah Panglima, seakan-akan tahu maksud
kedatangan Salamah.
Dengan segera orang-orang yang
menemaninya membawa Salamah bin Al-Ustadz Abu Muhammad Harits ‘Umair
keluar sambil menggeledah tubuhnya, ternyata di balik bajunya terdapat
sebilah pedang. Mereka mencacinya bahkan mengutuknya, “Kau mau membantai
kaummu sendiri? Kalau Panglima Khalid tahu kau membawa senjata, pasti
sisa-sisa bani Hanifah ini akan dibantai, anak-anak dan kaum wanita akan
dijadikan tawanan? Kau senang dengan tindakanmu ini?” Akhirnya, mereka
mengikatnya dan memenjarakannya di dalam benteng.
Salamah berjanji tidak akan melakukan
yang membahayakan lagi, dan meminta agar mereka melepaskannya. Tetapi,
mereka belum mau percaya dengan katakatanya. Mereka masih
mengkhawatirkan kebodohannya akan mendorongnya melakukan tindakan nekat.
Ternyata benar. Malam harinya, Salamah melarikan diri dan menerobos
pasukan penjaga Panglima. Para pengawal pun ribut, dan tentu saja
orang-orang bani Hanifah menjadi geger. Mereka segera mengejar dan
menangkap Salamah. Begitu tertangkap, mereka segera membunuh Salamah
dengan pedang mereka sendiri.
Khalid Menikahi Putri Majja’ah
Telah diceritakan sebelumnya bahwa
Khalid menikahi Ummu Tamim, istri Malik bin Nuwairah, setelah membunuh
Malik. Khalid kemudian dipanggil oleh Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan mendapat teguran yang sangat keras. Sekarang, setelah kemenangan
kaum muslimin di Yamamah, Khalid melamar putri Majja’ah yang baru
berusia belasan tahun, “Nikahkan saya dengan putrimu.” Mulanya, Majja’ah
menolak. Panglima Khalid kembali mengulangi permintaannya, “Nikahkan
saya dengan putrimu.”
Akhirnya, Majja’ah menikahkan putrinya
dengan Panglima Khalid. Berita ini gaungnya sampai juga ke telinga
Khalifah ash-Shiddiq. Beberapa utusan yang dikirim oleh Panglima Khalid,
dipimpin oleh Abu Khaitsamah, termasuk sebagian bekas pengikut
Musailamah yang telah kembali kepada Islam, menceritakan keadaan di
Yamamah. Begitu mengetahui tindakan Panglima yang menikah dengan putri
Majja’ah dan perdamaian yang dilakukannya, Khalifah Abu Bakr segera
menulis surat teguran untuk Khalid: “Demi Allah, hai putra ibu Khalid,
kamu betul-betul telah berbuat siasia. Kamu menikahi seorang perawan
sementara di pelataran rumahmu masih tergenang darah 1.200 kaum
muslimin? Kemudian kamu berhasil dikelabui oleh Majja’ah sehingga ia
berdamai denganmu padahal Allah Subhanahu wata’ala telah mengalahkan
mereka?”
Segera saja Khalid mengirim surat
balasan di antaranya sebagai penjelasan terhadap tindakan yang
dilakukannya. Surat itu dititipkannya bersama Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma.
“… Amma ba’du;
Demi Allah, saya tidak menikahi seorang
wanita kecuali betul-betul dalam keadaan senang dan aman. Saya tidak
menikah kecuali dengan putri seseorang yang seandainya saya melamar di
Madinah, saya tidak dipedulikan. Biarkanlah saya melamarnya sendiri.
Kalau Anda tidak menyukai hal ini karena urusan agama atau dunia, saya
memaafkan Anda. Adapun kesedihan saya terhadap kaum muslimin yang gugur,
maka demi Allah, seandainya kesedihan saya dapat membuat yang hidup itu
tetap hidup atau dapat mengembalikan yang sudah mati, pasti kesedihan
itu sudah membuat yang hidup tetap hidup dan yang mati bangkit kembali.
Saya sudah berusaha mencari syahadah, hingga putus asa untuk tetap
hidup.
Kemudian, tindakan Majja’ah mengecoh
pendapat saya, sebetulnya tidak. Saya merasa yakin pendapat saya tidak
keliru. Saya juga tidak mengetahui perkara gaib. Di sisi lain,
Allah Subhanahu wata’ala telah memberi kebaikan bagi kaum muslimin. Dia
mewariskan tanah Yamamah kepada kaum muslimin, dan kesudahan itu adalah
untuk orang-orang yang bertakwa.”
Setelah membaca surat itu, hati Khalifah
ash-Shiddiq menjadi lembut, beliau pun menerima alasan Si Pedang Allah
itu . Mengetahui hal itu, beberapa tokoh Quraisy lain tergerak
memberikan alasan membela Khalid, termasuk Abu Barzah al-Aslami, kata
beliau, “Wahai Khalifah Rasulillah, Khalid itu bukanlah seorang pengecut
dan pengkhianat. Dia sudah mati-matian berusaha untuk mati sebagai
syahid, tetapi gagal. Dia tetap bertahan sampai akhirnya diberi
kemenangan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Khalid tidak berdamai dengan
mereka kecuali dengan sukarela dan pendapatnya tidak salah ketika
berdamai, karena dia mengira kaum wanita yang dilihatnya di atas benteng
adalah pasukan musuh.” “Kau benar,” kata ash-Shiddiq, “Alasanmu ini
lebih bagus daripada yang ditulis Khalid.”
Dari sini, jelaslah bahwa pembelaan
Khalid terhadap dirinya bukan tanpa alasan. Dapat pula ditambahkan
beberapa hal yang menunjukkan keutamaan Khalid, sebagai berikut.
1. Pernikahan Khalid ini terjadi setelah keadaan benar-benar aman dan tenang.
2. Dia menikah dengan putri seorang pemuka masyarakat.
3. Pernikahan itu tanpa ada upaya yang menyusahkan dirinya dan yang lain.
4. Pernikahan itu terjadi tanpa ada sesuatu yang menyelisihi agama ataupun dunia.
5. Jihad yang dilakukannya bukan karena urusan dunia, tetapi mencari syahadah karena Allah l.
6. Khalid mengikat hubungan keluarga dengan Majja’ah karena kagum melihat pembelaan Majja’ah terhadap kaumnya.
Keberanian Khalid tidak pernah
disangsikan. Dalam setiap pertempuran, dia selalu di barisan terdepan,
walaupun sebagai panglima. Pernah, dalam sebuah pertempuran, Khalid
menerjang musuh bersama kudanya. Beberapa prajurit muslim berteriak
mengingatkan, “(Ingatlah) Allah, (ingatlah) Allah. Anda adalah pemimpin
kaum muslimin. Tidak pantas Anda maju seperti ini!” Akan tetapi, Khalid
adalah Khalid, “Demi Allah, saya tahu apa yang kalian katakan, tetapi
saya tidak dapat menahan diri, khawatir kaum muslimin kalah.”
Bahkan seperti telah diceritakan, dalam
Perang Yamamah ini, Khalid sendiri maju menantang duel satu lawan satu
dengan pihak musuh. Begitu pula ketika terjadi pertempuran di kebun
“maut”, Khalid sempat bertarung dengan salah seorang pengikut Musailamah
al- Kadzdzab. Ternyata lawannya adalah seorang ahli berkuda juga.
Setelah bertarung beberapa saat, keduanya terjatuh dari kuda
masingmasing. Lawan Khalid segera menerkam. Keduanya bergumul di atas
pasir. Khalid segera mengeluarkan belatinya menikam lawannya. Tetapi
orang itu cukup tangkas, dia berhasil pula menusuk Khalid hingga luka
tujuh tusukan.
Akhirnya, Khalid tergeletak karena luka-lukanya sambil berusaha bangkit, sedangkan lawannya itu sudah mati lebih dahulu.
Persiapan
Setelah Islam semakin kuat di Yamamah,
keadaan pun aman dan tenang. Kabilah-kabilah Arab semakin yakin dengan
kekuatan kaum muslimin. Untuk sementara, Khalifah merasa tenang, karena
sudah tidak ada lagi kemungkinan serangan dari orang-orang Arab yang
ingin memberontak.
Khalifah mulai mengarahkan pandangannya jauh ke depan. Terkenang dengan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Dahulu, ketika bersama-sama memecah batu, menggali parit Khandaq, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
pernah mengatakan bahwa beliau melihat Kerajaan Persia, dan kekayaan
negeri itu akan jatuh ke tangan kaum muslimin lalu digunakan untuk jalan
Allah Subhanahu wata’alal. Khalifah ingin mewujudkannya, dan agaknya
saatnya telah tiba.
Khalifah segera mengirim surat kepada
Panglima Khalid memberi perintah agar membawa pasukan muslimin menuju
Irak, dimulai dari Ubullah yang terletak di tepi sungai Tigris (Dijlah).
Khalifah mengingatkan agar tetap mengajak manusia kembali kepada Allah
Subhanahu wata’ala, atau membayar jizyah, atau perang. Khalifah juga
mengingatkan agar tidak memaksa kaum muslimin untuk ikut dan tidak
meminta bantuan kepada mereka yang pernah murtad dari Islam walaupun
sudah kembali.
Sebagian ahli sejarah ada yang
mengatakan bahwa Khalid berangkat setelah pulang ke Madinah. Tetapi yang
masyhur adalah bahwa beliau berangkat langsung dari Yamamah.
Wallahu a’lam.
Khalifah juga mengirim surat kepada
‘Iyadh bin Ghunm yang telah berhasil menaklukkan Daumatil Jandal agar
bergerak menuju Irak. Kepada Khalid dan ‘Iyadh, Khalifah ash-Shiddiq
menegaskan bahwa siapa saja di antara mereka yang lebih dahulu sampai di
Irak, dialah yang memimpin seluruh pasukan. Dengan kekuasaan Allah
Subhanahu wata’ala, Khalid dan pasukannya lebih dahulu tiba di Irak.
Sementara itu, al-Mutsanna bin Haritsah yang memperoleh kemenangan dalam
peperangan di Bahrain meminta izin kepada Khalifah agar ikut memerangi
Irak.
Khalifah pun mengizinkan, maka
berangkatlah al-Mutsanna dengan kekuatan 8.000 orang menyusul pasukan
Khalid bin al-Walid. Setelah bertemu dengan seluruh pasukan, segera
Panglima memecah pasukannya menjadi tiga kelompok, masing-masing
menempuh jalan yang berbeda. Kelompok pertama, dipimpin oleh al-Mutsanna
dengan Zhufar sebagai penunjuk jalan, berangkat dua hari sebelum Khalid
bertolak. Kelompok kedua, ‘Adi bin Hatim dan ‘Isham bin ‘Amr, dengan
penunjuk jalan masingmasing Malik bin ‘Abbad dan Salim bin Nashr, salah
satu dari kedua kelompok ini mendahului yang lain satu hari sebelumnya.
Setelah itu, Khalid dan pasukannya mulai bergerak dengan penunjuk jalan
Rafi’. Khalid menjanjikan akan bertemu mereka di al-Hafir.
Memasuki Wilayah Persia
Farjul Hindi adalah tapal batas Persia
yang sangat kuat. Pemimpin mereka, Hurmuz selalu menyerang bangsa Arab
di daratan dan menyerang Hindia di lautan. Sesampainya di wilayah Persia
itu, Panglima memulai gerakan militernya dengan mengirim surat kepada
seluruh pembesar Kerajaan Persia, termasuk para gubernur di wilayah
Irak.
Isi surat itu tidak hanya seruan dakwah
kepada Islam, melainkan juga menampilkan sikap kepahlawanan barisan
muslimin, bahwa yang mereka cari hanya dua, kemenangan atau mati syahid.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid
Ibnu Walid kepada para pembesar Persia. Keselamatan bagi siapa saja yang
mengikuti petunjuk.
Amma ba’du;
Segala puji kepunyaan Allah Subhanahu wata’ala yang telah memorakporandakan kaki tangan kalian, merenggut kerajaan kalian, serta melemahkan tipu daya kalian. Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menghadap kiblat kami, jadilah ia seorang muslim. Ia akan mendapatkan hak seperti yang kami dapatkan, dan ia mempunyai kewajiban seperti kewajiban kami. Bila telah sampai kepada kalian surat ini, maka hendaklah kalian kirimkan kepadaku jaminan, dan terimalah perlindungan dariku. Kalau tidak, maka demi Allah Subhanahu wata’ala yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, akan kukirimkan kepada kalian satu kaum yang mencintai kematian, seperti kalian yang masih sangat mencintai hidup…!”
Para pembesar yang menerima surat tersebut
terheran-heran melihat keberanian dan seruan Khalid. Tetapi, kesombongan
telah menutupi mata dan__ hati mereka. Hurmuz yang menerima surat itu
segera mengirimkannya kepada Syira bin Kisra dan Azdasyir bin Syira.
Hurmuz segera mengumpulkan kekuatan dan segera bertolak menuju Kazhimah.
Masing-masing sayap pasukan itu dipimpin
oleh Qabbadz dan Anusyjan, dari keluarga kerajaan. Hurmuz sendiri
adalah seorang pembesar yang paling bengis dan cerdik, serta paling
kafir. Kedudukannya cukup tinggi, dan ini diketahui dari mahkota yang
dikenakannya. Semakin mahal perhiasan mahkota tersebut, semakin tinggi
pula kedudukan pemiliknya. Mahkota Hurmuz ditaksir seharga seratus ribu
(dinar). (insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al Ustadz Abu Muhammad Harist
Nabi Musa ‘Alaihissalam Menerima Taurat
Menuju Bukit Thursina
Setelah Allah Subhanahu wata’ala
menyempurnakan nikmat-Nya kepada bani Israil dengan menyelamatkan mereka
dari musuh mereka dan memberi kekuasaan kepada mereka, Allah Subhanahu
wata’ala hendak melengkapi kenikmatan tersebut dengan menurunkan sebuah
kitab yang berisi hukum-hukum syariat dan keyakinan yang diridhai.
Allah Subhanahu wata’ala pun menjanjikan
kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam tiga puluh malam dan menggenapinya
menjadi empat puluh malam. Semua itu agar Nabi Musa ‘Alaihissalam
menyiapkan diri untuk menerima janji Allah Subhanahu wata’ala dan supaya
turunnya kitab itu menimbulkan kesan dan kerinduan yang luar biasa
dalam hati mereka.
Sebelum berangkat, Nabi
Musa ‘Alaihissalam berpesan kepada Nabi Harun ‘Alaihissalam agar
menggantikannya membimbing bani Israil. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَوَاعَدْنَا
مُوسَىٰ ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ
رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَارُونَ
اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa
(memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami
sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), lalu
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam. Dan
berkata Musa kepada saudaranya, yaitu Harun, ‘Gantikanlah aku dalam
(memimpin) kaumku, perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan
orang-orang yang membuat kerusakan’.” (al-A’raf: 142)
Sempurnalah waktu yang dijanjikan itu
empat puluh hari, dan selama waktu tersebut Nabi Musa ‘Alaihissalam
berpuasa siang dan malam. Kemudian, beliau bergegas mendahului kaumnya
menuju Bukit Thur dan meninggalkan Nabi Harun ‘Alaihissalam memimpin
bani Israil, sementara di situ juga ada Samiri. Oleh sebab itulah, Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَعْجَلَكَ عَن قَوْمِكَ يَا مُوسَىٰ
“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?” (Thaha: 83)
Mengapa kamu tidak datang bersama kaummu? Nabi Musa berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
قَالَ هُمْ أُولَاءِ عَلَىٰ أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَىٰ
“Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Wahai Rabbku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Thaha: 84)
Sepeninggal Nabi Musa ‘Alaihissalam,
bani Israil masih sabar menunggu selama beberapa hari. Sudah hampir
sebulan, Nabi Musa ‘Alaihissalam belum juga kembali membawa Taurat yang
dijanjikan. Mereka mulai gelisah, kembali mereka menghitung hari. Nabi
Harun ‘Alaihissalam yang menggantikan saudaranya memimpin bani Israil
berkata kepada bani Israil, “Hai bani Israil, kalian tidak halal memakan
rampasan perang (ghanimah), sedangkan perhiasan bangsa Mesir yang
kalian bawa adalah ghanimah. Kumpulkanlah dan timbunlah dalam tanah.
Kalau Musa datang dan menghalalkannya, ambillah, tetapi kalau tidak, itu
adalah sesuatu yang tidak boleh kalian makan.”
Mereka mengumpulkan dan menimbunnya
dalam tanah. Datanglah Samiri membawa bekas jejak kaki kuda Jibril lalu
melemparkannya ke tumpukan perhiasan tersebut. Dengan izin Allah
Subhanahu wata’ala, tumpukan itu menjadi seekor anak lembu yang
bersuara. Beberapa hari kemudian, keluarlah anak lembu itu. Begitu
melihatnya, Samiri berkata kepada mereka, “Inilah ilah Musa dan kalian,
tetapi dia lupa.” Akhirnya, mereka tirakat di sekitar anak lembu itu dan
mulai beribadah kepadanya.
Nabi Harun ‘Alaihissalam dengan penuh
kasih sayang terus mengingatkan mereka, “Hai kaumku, kalian sedang diuji
dengan anak lembu itu. Ingatlah, Rabb kalian adalah Ar-Rahman. Ikutilah
aku!” Dengan gigih, tanpa henti, Nabi Harun ‘Alaihissalam bersama
mereka yang masih terjaga fitrahnya berusaha menyadarkan kaum mereka.
Tetapi, bukannya sadar, mereka bahkan hampir membunuh Nabi Harun
‘Alaihissalam. Mereka menegaskan kepada Nabi Harun (sebagaimana dalam
ayat),
قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ
“Mereka menjawab, ‘Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami’.” (Thaha: 91)
Akhirnya bani Israil terpecah. Sebagian
dari mereka mengingkari perbuatan tersebut, yaitu Nabi Harun dan 12.000
orang bani Israil, selebihnya mengikuti Samiri, menari-nari di
sekeliling anak lembu tersebut. Sementara itu, Nabi Musa ‘Alaihissalam
sudah tiba di tempat yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan.” (al-A’raf: 143)
untuk menurunkan kitab kepadanya,
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“dan Rabbnya mengajaknya berbicara (langsung),”
memberikan wahyu, perintah dan larangan. Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam diajak bicara oleh Allah Subhanahu wata’ala, sesampainya beliau di Thursina. Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengarnya dari Allah Subhanahu wata’ala, bahkan dalam ayat lain (an-Nisa’ ayat 164), Allah Subhanahu wata’ala mempertegasnya dengan mashdar muakkidah; . تَكْلِيماً Ayat ini membantah keyakinan mu’aththilah yang menolak adanya sifat-sifat Allah Subhanahu wata’ala. Sebagian mereka dengan berani mengubah harakat i’rab dalam firman Allah Subhanahu wata’ala (an-Nisa’ ayat 164) sehingga mengubah maknanya, yang mengajak bicara adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam. Bahkan, ada pula di antara mereka yang menemui Abu ‘Amr Ibnul ‘Ala’— salah seorang ahli qiraah sab’ah (tujuh bacaan al-Qur’an)—agar membacanya dengan memfathahkan lafzhul jalalah sehingga menjadi wa kallamallaha Musa takliima (maknanya, Musa mengajak bicara Allah).
Abu ‘Amr menjawab, “Baiklah, anggaplah saya
baca seperti yang kau inginkan, lalu bagaimana kau berbuat dengan
firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“Dan tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabbnya
mengajaknya berbicara (langsung),” (al-A’raf: 143)
Seketika, terdiamlah orang Mu’tazilah itu. Sama seperti itu juga, bagaimana pula dia memahami firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci, Lembah Thuwa.” (an- Nazi’at: 16)
Apakah dia akan menashabkan kata Rabb (memberi
harakat fathah) pada kedua ayat yang mulia ini? Ayat-ayat ini
menegaskan bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengar Kalam Allah Subhanahu
wata’ala langsung dari Allah Subhanahu wata’ala, bukan dari pohon,
batu, atau yang lainnya. Seandainya Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengar
dari selain Allah Subhanahu wata’ala; dari pohon atau batu, atau yang
lainnya, niscaya tidak ada kelebihan dan keutamaan beliau dari nabi yang
lain, bahkan dari bani Israil. Mengapa? Karena bani Israil mendengar
Kalam Allah Subhanahu wata’ala langsung dari Nabi Musa ‘Alaihissalam;
seutama-utama manusia yang mendengar dari Allah Subhanahu wata’ala pada
masa itu. Akan tetapi—menurut kaum Mu’tazilah—Nabi Musa ‘Alaihissalam
mendengarnya bukan dari Allah Subhanahu wata’ala, melainkan dari pohon!?
Ayat ini menunjukkan pula bahwa Kalam
Allah Subhanahu wata’ala itu adalah suara dan huruf, yang sesuai dengan
kemuliaan dan kesempurnaan-Nya, bukan makna atau pikiran yang ada di
dalam diri Allah Subhanahu wata’ala. Sebab, kalau Kalam Allah Subhanahu
wata’ala adalah buah pikiran atau sesuatu yang ada di dalam diri Allah
Subhanahu wata’ala, niscaya Nabi Musa ‘Alaihissalam tidak dapat
mendengarnya, dan tidak akan digelari Kalimur Rahman.
Ibnu Hajar asy-Syafi’i rahimahullah dalam Syarah Shahih al-Bukhari menegaskan
bahwa siapa yang menafikan suara dia harus menerima bahwa itu berarti
Allah Subhanahu wata’ala tidak memperdengarkan Kalam- Nya kepada siapa
saja, baik malaikat- Nya maupun para rasul-Nya, tetapi mengilhamkan
kepada mereka Kalam tersebut.
Dalam bagian lain di kitab itu juga, beliau
menegaskan bahwa suara adalah sifat Dzat-Nya, tidak serupa dengan suara
makhluk-Nya. Wallahu a’lam.
Kita kembali kepada kisah ini. Setelah
mendengar Kalam Allah Subhanahu wata’ala, menerima penghargaan yang
demikian tinggi, dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala, Nabiyullah
Musa ‘Alaihissalam semakin rindu kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Akhirnya, beliau berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ
“Wahai Rabbku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.”
Sebuah permintaan yang wajar dan bukan
terlarang. Akan tetapi, tentu saja tidak di dunia. Oleh sebab itulah,
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ لَن تَرَانِي وَلَٰكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
“Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali
tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu. Jika ia tetap di
tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku’.”
Dengan penuh ketundukan dan harap, Nabi
Musa ‘Alaihissalam memandang gunung besar yang ada di dekatnya, apa yang
terjadi? Ternyata gunung itu hancur luluh dan Nabi Musa ‘Alaihissalam
pingsan. Itulah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا
“Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah
orang yang pertama-tama beriman’.” (al-A’raf: 143)
Setelah itu Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ
يَا مُوسَىٰ إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي
وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ ()
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِن كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً
وَتَفْصِيلًا لِّكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ
يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا ۚ سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ
“Allah berfirman, ‘Hai Musa,
sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di
masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku,
sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang aku berikan kepadamu dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Dan telah Kami
tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai
pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu.” (al-A’raf: 144—145)
Allah Subhanahu wata’ala memilih dan
mengutamakan beliau dari sekalian manusia pada masa itu, tidak mencakup
masa sebelum atau sesudahnya. Hal itu karena sebelum beliau, yang paling
utama adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, sedangkan sesudah beliau
adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Dalam riwayat yang sahih disebutkan
bahwa salah satu keistimewaan Taurat adalah dia ditulis sendiri oleh
Allah Subhanahu wata’ala dengan kedua Tangan-Nya yang mulia.
Wallahu a’lam.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Duduk di antara Dua Sujud & Gerakan Setelahnya
1. Duduk dengan thuma’ninah
Ketika duduk di antara dua sujud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk thuma’ninah, duduk dengan tenang dan batasannya adalah gerakan sebelumnya tidak tampak lagi (Fathul Bari, 2/357).
Beliau melakukan duduk ini dengan lama hingga mendekati lama sujudnya sebagaimana ditunjukkan dalam hadits al-Barra ibnu ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كاَنَ
رُكُوْعُ رَسُوْلِ اللهِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ،
وَسُجُوْدُهُ، وَمَا بَيْنَ السَّجَدَتَيْنِ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.
“Adalah ruku’ Rasulullah n , mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’, sujud, dan duduk di antara dua sujudnya, hampir sama lamanya.” (HR . al-Bukhari no. 792, 820 dan Muslim no. 1057)
Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk sangat lama, sebagaimana dicontohkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang dikabarkan oleh Tsabit al-Bunani, murid Anas radhiyallahu ‘anhu.
Disebutkan bahwa Anas berkata, “Aku akan shalat di hadapan kalian
sebagaimana tata cara yang pernah aku lihat dari Rasulullah n saat
shalat di hadapan kami.”
Kata Tsabit, “Dalam shalat tersebut
(yang dicontohkan/diajarkan kepada kami) Anas melakukan sesuatu yang aku
tidak pernah melihat kalian melakukannya. Bila ia bangkit dari ruku’,
ia berdiri lurus (lama) hingga ada orang yang berkata, ‘Sungguh ia
lupa.’ Bila ia duduk di antara dua sujud (dalam riwayat Muslim: dan bila
ia mengangkat kepalanya dari sujud), ia diam lama, hingga ada yang
berkata, ‘Sungguh ia lupa’.” (HR . al-Bukhari no. 821 dan Muslim no.
1060)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mmengatakan, sunnah ini telah ditinggalkan banyak orang setelah
berlalunya masa sahabat, karena itulah Tsabit pernah berkata, “Anas
melakukan sesuatu yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya. Ia
duduk lama saat duduk di antara dua sujud hingga kami berkata, ‘Anas
lupa’.” (Zadul Ma’ad, 1/60—61)
Di saat duduk di antara dua sujud ini,
disenangi meletakkan kedua tangan di atas kedua paha dekat dengan kedua
lutut, siku berada di atas paha, sedangkan ujung jari di atas lutut
dalam keadaan jari-jemari ini agak direnggangkan dan dihadapkan ke arah
kiblat. (al-Majmu’, 3/415, Zadul Ma’ad, 1/60)
Amalan duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah dalam
pelaksanaannya hukumnya wajib menurut pendapat yang rajih (kuat) dan
ini merupakan pendapat kebanyakan/jumhur ulama, menyelisihi pendapat Abu
Hanifah yang mengatakan tidak wajib. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada orang yang salah shalatnya,
“Kemudian angkat kepalamu (dari sujud) hingga engkau duduk tenang.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sedangkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkannya dari Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. (al-Majmu’, 3/418)
2. Zikir-zikir
Di saat duduk di antara dua sujud ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah membaca zikir dan doa di bawah ini.
1. Bacaan:
اللَّهُمَّ (وَفِي لَفْظٍ: رَبِّ) اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي،
(وَاجْبُرْنِي)، (وَارْفَعْنِي)، وَاهْدِنِي، (وَعَافِنِي)
وَارْزُقْنِي
(وَاجْبُرْنِي)، (وَارْفَعْنِي)، وَاهْدِنِي، (وَعَافِنِي)
وَارْزُقْنِي
“Ya Allah (dalam satu lafadz: Wahai
Rabbku), ampunilah aku, rahmatilah aku, [perbaikilah aku]2, [angkatlah
derajatku]3, berilah petunjuk kepadaku, [hapuskanlah dosaku]4, dan
berilah rezeki kepadaku.”
Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
yang dikeluarkan Abu Dawud no. 850, at- Tirmidzi no. 284, Ibnu Majah
no. 898, al-Hakim 1/262, 271, al-Baihaq 2/122, Ahmad 1/315, 371, dll.
Hadits ini sahih sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Albani t dalam Shahih Kutubus Sunan.
Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (3/415), yang lebih hati-hati seluruh lafadznya diucapkan, yaitu ada tujuh kalimat sebagaimana disebutkan di atas.
2. Bacaan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي.
“Wahai Rabbku, ampunilah aku. Wahai Rabbku, ampunilah aku.”
Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 897, dan dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Ibni Majah serta Irwa’ul Ghalil no. 335.
Sujud yang Kedua
Setelah bertakbir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
kembali bersujud (sujud kedua dalam shalat) dengan tata cara,
ketentuan, dan bacaan yang telah disebutkan dalam pembahasan sujud
(sujud yang pertama). Ulama sepakat tentang wajibnya sujud yang kedua
ini, berdalil haditshadits yang sahih lagi masyhur dan ijma’/kesepakatan
kaum muslimin. (al- Majmu’, 3/418)
Bangkit dari Sujud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mengangkat kepala dari sujudnya dan bertakbir untuk melanjutkan ke
rakaat kedua. Apa saja yang dilakukan pada rakaat pertama juga diulang
lagi pada rakaat kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda kepada orang yang salah shalatnya,
ثُمَّ
اصْنَعْ ذلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ وَ سَجْدَةٍ. فَإِذَا فَعَلْتَ ذلِكَ,
فَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُكَ، وَإِنِ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا,
اِنْتَقَصْتَ مِنْ صَلاَتِكَ.
“Kemudian lakukanlah hal tersebut
pada setiap ruku’ dan sujud. Apabila kamu lakukan hal itu, sungguh telah
sempurna shalatmu. Jika ada sesuatu yang kamu kurangi, berarti kamu
mengurangi shalatmu.” (HR . at-Tirmidzi no. 302, 303, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Duduk Istirahat dan Bangkit Berdiri
Sebelum bangkit berdiri untuk melanjutkan ke rakaat berikutnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
duduk tegak sejenak di atas kaki kiri beliau, hingga setiap tulang
kembali pada posisinya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul
Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَلآ
أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ؟ فَصَلَّى فِي غَيْرِ وَقْتِ
صَلاَةٍ. فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فِي
أَوَّلِ رَكْعَةٍ، اسْتَوَى قَاعِدًا، ثُمَّ قَامَ فَاعْتَمَدَ عَلَى
الْأَرْضِ.
“Maukah aku gambarkan kepada kalian cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Lalu Malik shalat di luar waktu shalat6. Tatkala ia mengangkat
kepalanya dari sujud yang kedua pada rakaat yang awal, ia duduk tegak.
Kemudian baru bangkit dengan bertumpu di atas tanah. (HR . asy-Syafi’i dalam al-Umm no. 198, an-Nasa’i no. 1153, dan al-Baihaqi 2/124,125. Sanadnya sahih di atas syarat Syaikhani sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa 2/82)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 824) disebutkan Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu mencontohkan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang. Ketika Ayyub, salah seorang perawi hadits ini, bertanya kepada Abu Qilabah, syaikhnya yang menyampaikan hadits ini dari Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang bagaimana cara shalat yang dicontohkan Malik, maka kata Abu Qilabah seperti shalat yang dilakukan syaikh kita ‘Amr ibnu Salamah, dia menyempurnakan takbir, dan bila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk dan bertumpu di atas bumi/tanah, kemudian baru bangkit berdiri.
Dalam hadits yang sebelumnya (no. 823) disebutkan Abu Qilabah bahwa Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu memberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bangkit ke rakaat kedua hingga beliau duduk tegak (HR . Bukhari no. 823)
Diriwayatkan pula duduk istirahat ini dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu. Adapun penyebutan duduk ini sebagai duduk istirahat, asalnya dari para fuqaha. (al-Irwa, 2/82)
Perbedaan Pendapat dalam Masalah Ini
Memang ada silang pendapat dalam masalah duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu di atas kedua tangan ini.
Pertama: Sunnah secara mutlak. Ini adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i, Abu Dawud, dan Ahmad rahimahumullah. (al-Muhalla, 3/40)
Al-Imam Syafi’i rahimahullah
menyatakan, orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam shalat untuk
bertumpu dengan kedua tangannya secara bersama-sama dalam rangka
mengikuti sunnah, karena hal ini lebih mendekati sikap tawadhu dan lebih
membantu orang yang shalat. (al-Umm, kitab ash-Shalah, bab “al- Qiyam minal Julus”)
Ibnu Hani dalam Masailnya dari al- Imam Ahmad t mengatakan (1/57),
“Aku melihat Abu Abdillah (yakni al-
Imam Ahmad) kerap kali bertumpu di atas kedua tangannya ketika bangkit
ke rakaat berikutnya. Kerap kali beliau duduk tegak, kemudian
bangkit.”Ibnu Hazm rahimahullah menganggap duduk istirahat ini mustahab dilakukan sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat. (al-Muhalla, 3/39)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah
setelah membawakan hadits dalam bab “Kaifa an-Nuhudh minas Sujud”
(artinya: bagaimana tata cara bangkit/berdiri dari sujud) pada kitab Sunannya
mengatakan, “Hal ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi. Teman-teman
kami, para ulama hadits, juga berpendapat seperti ini.” Setelah
membawakan hadits riwayat al-Bukhari dalam bab “Man Istawa Qa’idan fi
Witrin min Shalatihi Tsumma Nahadha” (no. 823 yang telah dibawakan di
atas), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam
penjelasannya menyatakan bahwa duduk istirahat ini disyariatkan, bukan
karena hajat/ada kebutuhan. Tidak ada zikir khusus yang dibaca saat
duduk ini, karena duduknya hanya sebentar sehingga ucapan takbir yang
disyariatkan saat berdiri sudah cukup. (Fathul Bari 2/391)
Kedua: Tidak sunnah secara mutlak. Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya:
• Hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan saat bangkit ke rakaat berikutnya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
bangkit di atas kedua lutut beliau dan bersandar di atas paha beliau.”
(HR . Abu Dawud no. 839, namun riwayat ini dhaif/lemah. Dinyatakan dhaif
oleh al-Imam an- Nawawi t dalam al-Majmu’ 3/422. Demikian pula dalam al-Irwa no. 363)
• Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit dalam shalat (bertumpu) di atas bagian dalam kedua telapak kaki beliau.” (HR . at- Tirmidzi no. 288, namun haditsnya dhaif sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa no. 362)
Ketiga: Pendapat yang
merinci. Jika duduk ini dibutuhkan karena fisik yang lemah, usia senja,
sakit, dan yang semisalnya, dia duduk dahulu lalu bangkit. Namun,
apabila tidak dibutuhkan, ia tidak duduk. Alasannya, dalam duduk ini
tidak ada doa/zikir yang dibaca dan tidak ada takbir perpindahan, yang
ada hanya satu takbir, yaitu takbir dari sujud ke berdiri. Karena
sebelum dan sesudahnya tidak ada takbir, dan tidak ada pula zikir yang
diucapkan, hal ini menunjukkan duduk ini tidaklah dimaksudkan sebagai
bentuk amalan/gerakan yang disyariatkan dalam shalat sebagaimana gerakan
lainnya. Tentang hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu
yang menyebutkan Nabi n bersandar di atas kedua tangan beliau saat
bangkit berdiri, mereka menyatakan bersandar pada kedua tangan umumnya
karena ada kebutuhan dan karena tubuh yang berat sehingga tidak bisa
bangkit terkecuali harus ada tumpuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh
Ibnu Qudamah radhiyallahu ‘anhu sebagai wujud pengumpulan dalil
yang menetapkan dan dalil yang meniadakan duduk ini. Pendapat yang
merinci seperti ini memiliki kekuatan argumen daripada pendapat yang
kedua, wallahu ‘alam.
Menurut pendapat yang ketiga ini,
apabila orang yang shalat butuh duduk sebelum bangkit ke posisi berdiri,
ia duduk dan apabila ia butuh tumpuan ia bisa bertumpu dengan kedua
tangannya, bagaimana pun caranya, apakah bertumpunya di atas punggung
jarijemari, seluruh jari-jemari, atau yang lain, tanpa ada tata cara
tertentu. Yang penting, dilakukan apabila dibutuhkan. Apabila tidak
dibutuhkan, tidak dilakukan.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, 13/182)
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan, dalam masalah ini didapatkan tiga tingkatan kekuatan argumen (yang awal lebih kuat dari yang setelahnya. –pen.):
1. Apabila ada kebutuhan, disyariatkan melakukan duduk seperti ini. Tentang hal ini, tidak ada permasalahan.
2. Disyariatkan duduk seperti ini secara
mutlak, ada kebutuhan ataupun tidak. Pendapat ini memiliki kekuatan
argumen atau bisa dianggap kuat.
3. Tidak disyariatkan secara mutlak, maka
ini pendapat yang lemah, karena hadits yang menyebutkan duduk ini
tsabit/kokoh, akan tetapi yang jadi permasalahan apakah tsabitnya karena
ada kebutuhan ataukah secara mutlak? Inilah yang menjadi pembahasan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 13/383—385)
Dari tiga pendapat di atas, sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya dalam subjudul Duduk Istirahat dan Bangkit Berdiri, pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama karena tidak ada berita yang tsabit/kuat
yang menentang sunnah ini, meskipun orang yang tidak mengerjakannya
dalam shalatnya juga tidak diingkari. Adapun menjawab pendapat bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya karena ada
kebutuhan, dijawab bahwa anggapan seperti ini tidak boleh dipakai untuk
menolak sunnah yang sahih. Apalagi duduk istirahat ini telah
diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang mencapai lebih dari sepuluh
orang. Kalau memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukannya karena ada kebutuhan, bukan karena sunnah, bagaimana bisa
hal tersebut tersembunyi bagi para sahabat yang mulia tersebut.
Lebih-lebih lagi, di antara mereka ada Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun hadits Wail ibnu Hujr radhiyallahu ‘anhu
(yang telah dibawakan di atas), kalaupun sahih, wajib dipahami (kepada
makna yang) menyepakati hadits lain yang menetapkan duduk istirahat.
Sebab, dalam hadits Wail tidak disebutkan secara nyata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
meninggalkan duduk istirahat. Kalau pun ada secara nyata, niscaya
hadits Malik ibnul Huwairits, Abu Humaid, dan para sahabat lebih
didahulukan daripada hadits Wail radhiyallahu ‘anhu, dari dua sisi:
a. Sanad-sanadnya sahih.
b. Banyak perawinya. Bisa jadi, Wail radhiyallahu ‘anhu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam satu waktu atau beberapa
waktu untuk menerangkan bolehnya hal
tersebut. Namun, yang sering beliau lakukan adalah apa yang diriwayatkan
oleh orang-orang yang lebih banyak. Yang lebih memperkuat adalah sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu setelah ia shalat bersama beliau dan menghafal ilmu dari beliau selama dua puluh hari lantas ingin pulang kepada keluarganya,
اذْهَبُوا إِلَى أَهْلِيْكُمْ، وَمُرُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Pulanglah kalian kepada keluarga
kalian, perintahlah dan ajarilah mereka. Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat!”
Semua ini ada dalam Shahih al-Bukhari dari beberapa jalan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan demikian kepada Malik sedangkan Malik telah menyaksikan Nabi
n duduk istirahat. Seandainya duduk istirahat ini tidak termasuk amalan
yang disunnahkan bagi setiap orang, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memutlakkan ucapan beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (al-Majmu’, 3/422)
Beliau menyatakan, “Perlu diketahui,
sepantasnya bagi setiap orang untuk terus melakukan duduk ini (dalam
shalatnya) karena sahihnya hadits-hadits tentang duduk ini dan tidak ada
riwayat sahih yang menentangnya. Janganlah tertipu dengan banyaknya
orang yang bermudah-mudah meninggalkannya (mutasahilin). Allah Subhanahu wata’ala sungguh berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
ڃ ڃڃ
‘Katakanlah, jika memang kalian
mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian
dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ (Ali Imran: 31)
Firman-Nya,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
‘Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah….’ ( al-Hasyr: 7).” (al-Majmu’, 3/420—421)
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang masalah duduk istirahat. Mereka berfatwa sebagai berikut. Ulama sepakat bahwa duduk setelah mengangkat kepala dan tubuh dari sujud yang kedua pada rakaat pertama dan ketiga serta sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat, bukanlah amalan yang termasuk kewajiban shalat, bukan pula sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) dalam shalat. Ulama berbeda pendapat setelah itu, apakah duduk ini sunnah saja, atau bukan termasuk gerakan shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh orang yang membutuhkannya karena tubuh yang lemah karena usia, sakit, atau kegemukan?
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan sekelompok ahlul hadits berpandangan sunnah. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah. Dasar mereka adalah hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Namun, banyak ulama, di antaranya Abu Hanifah rahimahullah dan Malik rahimahullah, tidak memandang adanya duduk ini, demikian pula satu riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah.Alasannya, hadits-hadits lain tidak ada yang menyebutkan duduk ini.
Bisa jadi, duduk yang disebutkan oleh Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu tersebut dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
di akhir umur beliau tatkala tubuh beliau sudah berat atau karena sebab
lain. Maka dari itu, ada kelompok ketiga yang berpendapat bahwa duduk
ini disyariatkan saat ada kebutuhan, dan tidak disyariatkan apabila
tidak tidak dibutuhkan. Namun, yang tampak adalah duduk ini disunnahkan
secara mutlak. Adapun alasan bahwa duduk ini tidak disebutkan dalam
hadits-hadits yang lain tidaklah menunjukkan duduk ini tidak ada. Yang
memperkuat pendapat ini adalah:
1. Hukum asal dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah beliau melakukannya untuk ditiru oleh umatnya.
2. Duduk ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (bagus). Abu Humaid radhiyallahu ‘anhumenjelaskan tata cara shalat Nabi n di tengah-tengah sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448, Ketua: asy- Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, dan Anggota: Abdullah bin Ghudayyan) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsari
Al-Azhim
Al-Azhim adalah salah satu asma Allah subhanahu wa ta’ala yang agung. Al-Azhim, Yang Mahaagung, berulang kali Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan nama ini dalambeberapa ayat, di antaranya,
اللَّهُ
لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ
وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَن ذَا
الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ
إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ
وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak
disembah) kecuali Dia Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus
(makhluk- Nya), tidak mengantuk, dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang
di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah
tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan
apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar.” (al-Baqarah: 255)
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Mahabesar.” (al-Waqi’ah: 96)
إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ
“Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar.” (al-Haqqah: 33)
Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut nama itu dalam doanya di saat datang kesusahan, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan,
كَانَ
يَقُولُ عِنْدَ الْكَرْبِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ ا رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ ا
رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ
الْكَرِيمِ وَرَبُّ الْعَرْشِ
الْكَرِيمِ وَرَبُّ الْعَرْشِ
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa
saat ditimpa kesusahan, (artinya), ‘Tiada sesembahan yang benar selain
Allah Yang Mahaagung,Yang Maha Penyabar, tiada sesembahan yang benar
selain Allah Rabb Arsy yang agung, tiada sesembahan yang benar selain
Allah, Rabb langit-langit dan Rabb bumi, dan Rabb Arsy yang mulia’.” (Sahih, HR . al-Bukhari dan Muslim)
Al-Azhim, Allah Mahaagung. Dia
memiliki tiap sifat yang mengharuskan untuk diagungkan. Tidak ada
satupun makhluk yang mampu menyanjung- Nya sebagaimana mestinya. Bahkan,
Allah Subhanahu wata’ala adalah seperti yang Ia sifati diri-Nya dengannya dan di atas segala pujian hamba-Nya.
Perlu diketahui bahwa makna Al-Ustadz Qomar Suaidi keagungan AllahSubhanahu wata’ala yang hanya merupakan hak-Nya adalah dua macam.
1. Allah l disifati dengan segala sifat kesempurnaan, dan kesempurnaan yang Allah Subhanahu wata’ala
miliki adalah kesempurnaan yang paling puncak, paling agung, dan paling
luas. Milik-Nyalah ilmu yang meliputi segala sesuatu, kemampuan yang
tidak bisa dihalangi, kesombongan dan keagungan.
Di antara keagungan Allah Subhanahu wata’ala adalah bahwa langit-langit dan bumi di tangan Allah Subhanahu wata’ala lebih kecil daripada biji sawi, sebagaimana diucapkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan yang lainnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا
قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah
dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (az-Zumar: 67)
إِنَّ
اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا ۚ وَلَئِن
زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِّن بَعْدِهِ ۚ إِنَّهُ كَانَ
حَلِيمًا غَفُورًا
“Sesungguhnya Allah menahan langit
dan bumi supaya tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap,
tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 41)
Dia Mahatinggi lagi Mahaagung,
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Kepunyaan-Nya lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.” (asy-Syura: 4)
Dalam kitab Shahih disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَقُولُ: الْكِبْرِياَءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِداً مِنْهُمَا عَذَّبْتُهُ
“Allah berfirman, ‘Kesombongan adalah
selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Orang yang merebut dari-Ku
salah satunya, maka Aku akan meyiksanya’.”
2. Allah Subhanahu wata’alal lah
yang berhak terhadap segala macam pengagungan yang dengannya seorang
hamba mengagungkan dan tidak seorang pun dari mahluk berhak untuk
diagungkan sebagaimana Allah Subhanahu wata’alal diagungkan. Allah Subhanahu wata’ala
berhak atas hamba-Nya untuk mereka agungkan, dengan kalbu, lisan, dan
anggota badan mereka. Hal itu diwujudkan dengan cara mengerahkan segala
kemampuan untuk mengenal-Nya, mencintai-Nya, dan menghinakan diri di
hadapan-Nya.
Inkisar (luluh, remuk redam) di
hadapan-Nya, tunduk di hadapan kesombongan-Nya, takut kepada-Nya,
menggunakan lisan untuk memuji-Nya, menggunakan anggota badan untuk
mensyukuri-Nya dan melaksanakan peribadatan kepada-Nya. Di antara bentuk
pengagungan kepada-Nya adalah dengan bertakwa kepada-Nya, sehingga Dia
ditaati tidak dimaksiati, diingat tidak dilupakan, disyukuri tidak
dikufuri. Di antara bentuk pengagungan kepada-Nya adalah mengagungkan
apa yang disyariatkan-Nya dan apa yang diharamkan-Nya baik berupa waktu,
tempat, maupun perbuatan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ ۗ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu
adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya.” (al-Hajj: 30)
Di antara bentuk pengagungan kepada-Nya
adalah tidak menentang apa yang disyariatkan-Nya dan apa yang
diciptakan-Nya. (Penjelasan as-Sa’di dan Muhammad Khalil Harras, Tafsir Asmaillah dan Syarah Nuniyyah)
Buah Mengimani Nama Allah Subhanahu wata’ala al-Azhim
Buahnya, kita lebih mengenal keagungan dan kebesaran-Nya, serta menyadari segala kekurangan kita. Kita hanyalah hamba Allah Subhanahu wata’ala yang kecil, yang hina, yang lemah, dan yang serbaterbatas dari segala sisinya. Ini menuntut kita untuk lebih banyak mengagungkan-Nya dengan berbagai ucapan, amalan, dan keyakinan.
Menuntut kita untuk menjauhi sifat sombong, takabur, bangga diri, serta lupa akan pertolongan Allah Subhanahu wata’ala dan keagungan-Nya. Sebanyak apa pun yang kita miliki berupa harta, kedudukan, kehormatan, pangkat, atau kekuasaan, itu tidak berarti apa-apa di hadapan keagungan-Nya.
Di samping itu, mengimaninya juga membuahkan pengetahuan lebih dalam tentang batilnya segala sesembahan selain Allah Subhanahu wata’ala.
Ternyata, apa pun sesembahan itu, tidak berarti apa-apa di hadapan
keagungan-Nya. Lantas atas dasar apa tuhan-tuhan palsu itu disembah?
Manfaat apa yang diperoleh darinya? Apa
yang dijanjikan oleh tuhan-tuhan palsu tersebut? Bahkan, semua itu hanya
kepalsuan dan penipuan setan. Karena itu, setan ‘menertawakan’ para
penyembah selain Allah Subhanahu wata’ala tersebut. Kelak, setan pun akan cuci tangan dari perbuatan mereka itu.
Ditulis oleh Al Ustadz Qomar Suadi
Buah Keimanan (6)
Sesungguhnya keimanan akan
menghilangkan keragu-raguan yang menghinggapi kebanyakan manusia
sehingga merusak agama mereka. Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang
sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (al-Hujurat: 15)
Maknanya, keimanan yang benar akan
menolak keragu-raguan yang ada pada mereka, menghilangkan seluruhnya,
mengobati keragu-raguan yang dibisikbisikkan setan-setan dari kalangan
manusia dan jin, serta menolak jiwa yang mengajak kepada kejelekan.
Karena itu, tidak ada obat bagi penyakit yang membinasakan ini selain
keimanan yang benar.
Oleh karena itu, telah datang dalam ash-Shahihain sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda (yang artinya),
“Manusia akan terus-menerus saling bertanya sampai-sampai akan dikatakan, ‘Allah Subhanahu wata’ala telah menciptakan makhluk- Nya, lantas siapa yang menciptakan Allah Subhanahu wata’ala?’ Barang siapa yang mendapatkan demikian itu, hendaklah mengucapkan, ‘Aku beriman kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berhenti dan berlindung kepada Allah dari godaan setan’.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan penyakit yang berbahaya ini beserta obat yang bermanfaat
untuknya berupa tiga perkara,
a. berhenti/meninggalkan waswas setan ini,
b. berlindung (kepada Allah Subhanahu wata’ala) dari (setan) yang membisikkannya dan yang membuat kerancuan padanya untuk menyurutkan hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala,
c. berpegang teguh dengan keimanan yang
benar, karena barang siapa yang berpegang teguh dengannya, maka ia
termasuk orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Sebab, kebatilan
akan tampak jelas dengan banyak perkara. Di antaranya yang paling besar
adalah dengan ilmu, sedangkan semua perkara yang bertentangan dengan
kebenaran (al- Haq) adalah kebatilan.
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ ۖ
“Tidak ada setelah kebenaran itu selain kesesatan.” (Yunus: 32)
(Diambil dari at-Taudhih wal Bayan lisy Syajaratil Iman hlm. 56—57 karya asy-Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Nashir as-Sa’di)
Ditulis oleh Al Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
Posting Komentar