
Sikap Terhadap Sesema Muslim
Seseorang berkata kepada Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,
اجْعَلْ
كَبِيرَ الْمُسْلِمِينَ عِنْدَكَ أَبًا، وَصَغِيرَهُمُ ابْنًا،
وَأَوْسَطَهَمْ أَخًا، فَأَيُّ أُولَئِكَ تُحِبُّ أَنْ تُسِيءَ إِلَيْهِ؟
“Anggaplah orang tua dari kalangan
muslimin di sisi Anda sebagai bapak; jadikanlah yang masih muda di
antara mereka sebagai anak; dan yang pertengahan umurnya sebagai
saudara; maka siapakah di antara mereka yang Anda ingin berbuat buruk
kepadanya?”
Di antara ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah,
لِيَكُنْ
حَظُّ الْمُؤْمِنِ مِنْكَ ثَ ثَالَةً: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَ تَضُرَّهُ،
وَإِنْ لَمْ تُفَرِّحْهُ فَلاَ تُغَمِّهِ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ
تَذُمَّهُ
“Hendaknya seorang mukmin mendapati
tiga hal ini dari Anda. Jika Anda tidak bisa memberi manfaat kepadanya,
janganlah memberinya mudarat; jika Anda tidak mampu membuatnya gembira,
janganlah membuatnya sedih; dan jika Anda tidak memberi pujian
kepadanya, janganlah mencelanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, hlm. 456)

Surat Pembaca Edisi 87
Tema “Bombastis” Poligami
Selamat atas termuatnya tema bombatis
khususnya bagi ibu-ibu, POLIGAMI, dan menjadi senyuman renyah para
suami. Jangankan menjalaninya, mendengar dan membacanya sudah membuat
remuk seluruh rasa. Tetapi kami tidak membenci, walhamdulillahi, meski betapapun beratnya pasti layukallifullahu nafsan illa wus’aha. UA-081329xxxxxx
Tema poligami kami angkat, mohon
untuk tidak dipahami secara sempit sebagai kampanye poligami. Namun,
kami justru hendak mengurai secara panjang lebar bahwa ternyata
ramburambu poligami itu banyak, poligami itu tidak semudah yang
dibayangkan orang, poligami butuh ini dan itu yang mungkin bagi keumuman
orang nyaris “mustahil” bisa melaksanakannya secara baik. Di sisi lain,
kami juga ingin memberi pencerahan bahwa poligami itu tidak seseram
yang dibayangkan, sehingga kita tidak perlu apriori, justru bisa
mengapresiasi, tidak lantas berprasangka buruk terhadap agama kita
sendiri atau terjatuh dalam sikap menghujat syariat.
Apa yang dipaparkan sekaligus sebagai
bantahan terhadap tuduhan musuh-musuh Islam yang menjadikan poligami
sebagai amunisi andalan untuk menyerang Islam. Kami berharap, dengan
tema poligami ini, ada nasihat yang bisa dipetik. Suami tidak lagi
bersikap seenaknya terhadap istri-istrinya—biasanya terhadap istri tua—,
bisa memenej waktu untuk memerhatikan seluruh istri dan anaknya, bisa
melaksanakan poligami dengan penuh tanggung jawab, serta kuat memegang
aturan syariat, tidak mudah terpengaruh oleh pihak lain yang hendak
menzalimi salah satu istrinya. Kepada para istri yang “lebih berkuasa”
atas suami—biasanya istri muda—, perlu menyadari bahwa ada wanita lain
yang mempunyai hak yang sama.
Bagi wanita secara umum, diharapkan
tumbuh kelapangan hati jika suami menikah lagi. Bagi laki-laki yang
hendak berpoligami agar tidak hanya bermodal nekat, namun benar-benar
memupuk kesiapan lahir dan batin serta menyiapkan segala tanggung jawab,
sehingga kehidupan berpoligami yang dijalaninya bisa berjalan baik di
bawah bimbingan syariat, dan sebagainya, wallahu a’lam. Jazakumullahu khairan.
Penulisan Huruf Singkatan
Sering saya jumpai penulisan singkatan
seperti Rasulullah n, Nabi n, Allah k, Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz t. Mohon penjelasannya, adakah singkatan yang lainnya?
dienz_xxx@yahoo.co.id
Huruf-huruf yang Anda maksud
sebenarnya bukan singkatan, namun merupakan simbol font untuk doa. Dalam
font Islamic, huruf l=subhanahu wata’ala=l; k=‘azza wajalla=k; n=shallallahu ‘alaihi wasallam=n; q=‘alaihis salam=q; w=‘alaihas salam=w, e=‘alaihimas salam=e; r=‘alaihimus salam=r; z=radhiyallahu ‘anhu=z; x=radhiyallahu ‘anha=x; c = radhiyallahu ‘ anhum a =c , g=radhiyallahu ‘anhum=g; dan t=rahimahullah=t.
Kami mohon maaf, jika masih dijumpai penulisan seperti yang Anda
tanyakan, berarti itu luput dari editan kami. Jazakumullahu khairan atas
masukannya.

Shalat Berjamaah Menuai Banyak Keutamaan
Suatu hari, seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kata lelaki buta itu, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seorang
penuntun guna pergi ke masjid.” Pernyataannya ini disampaikan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam demi memohon keringanan untuk tidak menghadiri shalat berjamaah di masjid.
Saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberi keringanan kepada lelaki buta itu untuk shalat di rumahnya. Namun, saat lelaki buta itu berbalik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memanggilnya lalu bertanya, “Apakah engkau mendengar seruan untuk
shalat (azan)?” Jawab lelaki buta itu, “Ya, saya mendengarnya.” “Kalau
begitu, penuhilah seruan tersebut!” kata beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR . Muslim, no. 255)
Kisah di atas memberi gambaran betapa
menegakkan shalat berjamaah di masjid adalah kewajiban bagi seorang
muslim. Menurut asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, kisah yang dikeluarkan oleh al-Imam Muslimrahimahullah dalam Shahih-nya,
menunjukkan hukum wajib shalat berjamaah bagi penyandang kebutaan
manakala tak memiliki uzur. Riwayat itu pun mengandung sisi pendalilan
bahwa shalat berjamaah tersebut wajib ditunaikan di masjid.
Sebab, hadits tersebut tidak memaksudkan
semata-mata shalat berjamaah, tetapi menekankan pula pelaksanaannya di
masjid. Dalam riwayat lain yang semakna disebutkan dari Abdullah bin Amr
bin Qais radhiyallahu ‘anhu, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Ummi Maktum Sang Muadzin, ia berucap,
يَا
رَسُولَ اللهِ، إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ
وَالسِّبَاعِ.فَقَالَ النَّبِيُّ أَتَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ
: عَلَى الْفَلَاحِ، فَحَيَّ هَل
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah banyak binatang berbisa dan binatang buas.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Kalau engkau mendengar seruan ‘hayya ‘ala ash-shalah, hayya alal falah’, segeralah penuhi seruan tersebut!” (HR . Abu Dawud no. 553)
Telah menjadi kesepakatan para ulama
bahwa shalat berjamaah adalah seutama-utama ibadah dan bentuk ketaatan
yang termulia. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
hukumnya, apakah shalat berjamaah ini sunnah, wajib, atau termasuk
salah satu dari syarat sah shalat. Seperti dijelaskan asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, ada tiga pendapat ulama dalam menghukumi shalat berjamaah ini, yaitu:
1. Ada yang berpendapat hukumnya sunnah.
Seseorang yang menegakkan shalat berjamaah ini akan mendapat pahala dan
yang meninggalkannya tiada berdosa.
2. Pendapat yang menetapkan hukumnya
wajib. Seseorang berkewajiban menunaikan shalat berjamaah, apabila tak
menunaikannya maka ia berdosa. Adapun shalatnya tetap sah (bila
ditunaikan sendiri).
3. Sesungguhnya shalat berjamaah adalah
salah satu syarat untuk keabsahan sebuah shalat. Bagi yang berpendapat
demikian, shalatnya akan dinyatakan batal manakala tidak ditunaikan
secara berjamaah. Shalatnya tidak diterima. Ini adalah pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. (Pendapat pertama di atas
adalah pendapat ulama kalangan mazhab Maliki, pendapat kedua adalah
pendapat ulama mazhab Hanbali dan Zhahiri). Adapun yang diriwayatkan
dari al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa seseorang yang menunaikan
shalat sendirian tanpa uzur syar’i (halangan yang bersifat syar’i), maka
shalatnya tidak diterima, seperti halnya orang yang shalat tanpa
berwudhu. Karena itu, shalat berjamaah itu hukumnya wajib.
Dari ketiga pendapat tersebut, asy- Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menilai bahwa yang rajih (kuat)
adalah pendapat yang kedua, yaitu hukum shalat berjamaah adalah wajib.
Siapa yang meninggalkannya, ia berdosa dan jika ditunaikan sendirian
(tanpa berjamaah) shalatnya tetap diterima. Berjamaah bukanlah syarat
sahnya shalat. Adapun dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dibanding shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” (HR . al-Bukhari no. 645 dan Muslim no. 249)
Sisi pendalilan dari hadits ini, jika
shalat sendirian tidak mengandung pahala, tentu tidak sah menyebutkan
keutamaan (shalat berjamaah). Karena itu, seseorang yang meninggalkan
shalat berjamaah berarti telah melakukan perbuatan dosa (meskipun
shalatnya sah). (Syarhu Riyadhu ash-Shalihin, 2/1297—1298)
Allah Subhanahu wata’ala
menetapkan syariat kepada hamba-hamba-Nya tidak bermaksud menjadikannya
sebagai sesuatu yang menyusahkan, tidak sama sekali. Justru segenap
ketentuan yang Allah Subhanahu wata’ala tetapkan akan memberi kebaikan bagi mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
طه () مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ () إِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَىٰ
“Thaha, Kami tidak menurunkan
al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai
peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3)
Termasuk syariat-Nya ialah ketentuan
untuk menunaikan shalat secara berjamaah di masjid. Di antara hikmah
yang bisa dipetik dari ketentuan shalat berjamaah ini, sebagaimana
dijelaskan para ulama, di antaranya,
1. Jam’u al-kalimah (persatuan kaum muslimin).
Sungguh Islam datang dengan membawa
rahmat dan kasih sayang. Islam datang untuk menyatukan segenap manusia
di atas cahaya tauhid, di bawah kemilau cahaya as-Sunnah. Islam datang
memupus perseteruan, meluruhkan perpecahan, dan menyatukan hati. Sebab,
sesungguhnya berukhuwah (bersaudara) didasari cahaya nubuwah adalah
nikmat. Adapun perselisihan dan perseteruan adalah sebuah perbuatan nan
buruk. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ
مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan
ingatlah kamu akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadikan kamu bersaudara dan berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
الْخِلَافُ شَرٌّ
“Berselisih itu jelek.” (sebagaimana diriwayatkan al-Imam Ahmad rahimahullah)
Dalam shalat berjamaah tampak syiar
persatuan dan kesatuan kaum muslimin. Berdiri sama tinggi, duduk sama
rendah. Tampak satu kata dalam barisan. Tak menyisakan satu celah pun
dalam shaf (barisan) shalat. Tak membiarkan setan menyelinap di
tengah-tengah kaum muslimin. Shaf dalam shalat lurus, rapat antara satu
dengan lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskan (shaf-shaf) kalian! Jangan berselisih sehingga berselisih hati-hati kalian.” (HR . Muslim no. 122)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula,
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, atau sungguh Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.” (HR . al- Bukhari no. 719 dan HR . Muslim, no. 125, hadits dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Terkait dengan hadits di atas, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin rahimahullah
menyebutkan, sebagaimana dimaklumi, perselisihan yang bersifat lahiriah
bisa mengarah pada perselisihan yang bersifat batin. Apabila telah
timbul perbedaan-perbedaan yang bersifat lahir, akan terjadi
perselisihan di antara hati-hati mereka. Jika perselisihan itu telah
menancap dalam hati-hati mereka, tentu menjadi sesuatu yang jelek dan
rusak. Wal ‘iyadzubillah. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 2/1318)
Karena itu, menunaikan shalat berjamaah
selain selaras dengan tuntunan sunnah nabi-Nya, juga akan memberi dampak
yang sangat positif bagi tegaknya syiar persatuan umat. Jam’u al-kalimah (satu kata) dalam diri umat akan terpatri seiring tertunaikannya amalan-amalan yang selaras tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melalui shalat berjamaah, tumbuh kelemahlembutan dan kasih sayang di antara orang-orang yang berjamaah.
2. Menjauhkan pelakunya dari setan.
Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah,menunaikan
shalat berjamaah akan menjauhkan seseorang dari setan. Apabila kaum
muslimin berkumpul lalu mereka shalat berjamaah, yang demikian ini akan
menjauhkan mereka dari setan. Adapun apabila seseorang sendirian, maka
setan akan menyelinap padanya. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Sesungguhnya serigala akan memakan kambing yang terpisah dari kelompoknya.” (Hasan, HR . Ahmad no. 13022)
Karena itu, shaf wajib dirapatkan dan
jangan sampai ada celah di antara jamaah shalat. Ini dalam rangka
menutup celah agar setan tak masuk di antara celah-celah shaf (barisan)
orang-orang yang shalat berjamaah. Apabila mereka saling meluruskan,
merapatkan, dan menutup celah, setan tak akan mendapat peluang untuk
membisiki mereka demi merusak apa yang ada pada mereka. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُصُّوا
صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ، فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ
الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Rapatkanlah shaf
kalian, dekatkanlah di antara shaf-shaf, dan sejajarkan tengkuk-tengkuk
kalian. Demi Dzat yang diriku di tangan-Nya, sungguh aku benar-benar
melihat setan masuk ke sela-sela shaf seperti domba kecil.” (HR . Abu Dawud no. 667)
3. Pembelajaran bagi yang jahil.
Shalat berjamaah bisa menjadi wahana pembelajaran bagi orang yang mengerti Islam dengan baik dan benar. Bisa jadi, seseorang selama umurnya belum paham bagaimana shalat yang benar, tak paham tentang rukun, syarat, hal-hal yang wajib, atau tata caranya. Bahkan, kadang ada yang belum paham bagaimana rukuk dan sujud yang benar.
Maka dari itu, dengan menghadiri shalat
berjamaah seseorang akan bisa mengambil pelajaran, terutama dalam hal
shalat. Sungguh, belajar dengan metode praktik terkadang lebih mengena
daripada dengan ucapan.
4. Menumbuhkan kasih sayang.
Melalui shalat berjamaah, kaum muslimin
dibimbing untuk saling memerhatikan. Melalui shalat berjamaah yang
terus-menerus berkesinambungan, akan tumbuh sikap rahmah, lemah lembut,
dan perhatian terhadap sesama mukmin. Apabila seseorang tak tampak di
masjid, jamaah yang lain akan mempertanyakan ketidakhadirannya. Yang
lain akan merasa kehilangan lantaran ketidakhadirannya. Jika
ketidakhadirannya itu karena sakit, jamaah akan mengunjungi dan
menjenguknya. Apabila ketidakhadirannya karena meremehkan, malas, atau
selain itu, jamaah yang lain bisa menasihatinya.
Dengan demikian, akan tumbuh sikap
perhatian, kasih sayang, dan sifat kelemahlembutan di antara kaum
muslimin. Amal yang bisa mengarahkan kepada demikian di antaranya adalah
shalat berjamaah. (Tashilu al-Imam bi Fiqhi al-Ahadits min Bulughi al-Maram, 2/401—402)
Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala
telah menetapkan syariat bagi manusia dalam beberapa hal yang dilakukan
secara berjamaah atau berkelompok. Di antara yang dilakukan secara
berkelompok (dalam kurun setahun sekali) adalah haji. Yang dilakukan
dalam setahun dua kali adalah Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun yang
dilakukan secara berjamaah sepekan sekali adalah shalat Jumat. Yang
dilakukan setiap hari, siang dan malam, adalah shalat lima waktu. (Ta’liqat ‘ala Umdati al-Ahkam, karya asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, hlm. 202)
Hendaknya seorang muslim tidak
meremehkan pelaksanaan shalat berjamaah ini di masjid. Selain hikmah
hikmah di atas, shalat berjamaah di masjid memberi keutamaan yang begitu
tinggi bagi seorang hamba. Di antara keutamaan itu digambarkan oleh
hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ
الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ
وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ
أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ
لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فَلَمْ
يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا
خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ
فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ
يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى
فِيهِ يَقُولُونَ: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ،
اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ؛ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalat seseorang
(lelaki) secara berjamaah lebih banyak pahalanya dua puluh sekian
derajat dibanding shalatnya seseorang di rumah atau di pasarnya. Hal ini
(bisa diraih) manakala salah seorang dari mereka membaguskan wudhunya
kemudian datang ke masjid. Tidaklah ia menggerakkan (anggota tubuhnya)
kecuali untuk shalat, tiada pula yang ia inginkan kecuali selain
menunaikan shalat. Tiadalah satu langkah kaki yang ia ayunkan kecuali
akan meninggikan derajatnya dan ayunan langkah kaki lainnya akan
menghapus dosa-dosanya hingga ia memasuki masjid. Apabila telah masuk
masjid, selama ia di dalam masjid maka dihitung shalat terus-menerus dan
para malaikat mendoakannya selama ia duduk menanti shalat. Para
malaikat berdoa, ‘Ya Allah, rahmati dia, ampuni dia, terimalah tobatnya’
(hal itu terusmenerus berlangsung) selama dia tak berbuat aniaya
(kejelekan) dan tidak batal dari hadats’.” (HR . al-Bukhari 647 dan Muslim no. 272)
Tampak, betapa banyak keutamaan bisa
dituai manakala shalat berjamaah ditunaikan dengan tuntunan yang benar.
Hadits di atas memberi kabar gembira kepada hamba Allah Subhanahu wata’ala yang mencintai sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara keutamaan itu adalah:
1. Besarnya pahala dan keutamaan shalat berjamaah dibanding dengan shalat yang dilakukan secara menyendiri.
2. Allah Subhanahu wata’ala meninggikan derajat orang yang shalat berjamaah.
3. Allah Subhanahu wata’ala
memupus dosa melalui langkah kaki seseorang yang menuju masjid dalam
rangka shalat berjamaah. Ini tentu keutamaan yang teramat agung dan
luhur.
4. Keutamaan berwudhu sebelum berangkat ke masjid.
5. Seseorang yang
menanti shalat ditegakkan di dalam masjid terhitung menunaikan shalat
terus-menerus. Ini menunjukkan ladang untuk meraih ganjaran
sebesar-besarnya.
6. Para malaikat
turut mendoakan orang yang menanti shalat berjamaah ditegakkan. Seorang
mukmin tentu tak akan melewatkan saat-saat emas untuk merengkuh kebaikan
dan keutamaan di atas. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi kekuatan dan kemudahan untuk bisa menunaikan kewajiban kewajiban yang diembankan. Amin.Wallahu a’lam
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

Shalat Berjamaah Adalah Syariat Islam
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata dalam bab “Shalatil Jama’ati min Sunanil Huda (Shalat Berjamaah
termasuk Jalan Petunjuk [Syariat Islam])”, “Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkandalam Shahih-nya, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى
هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ
لِنَبِيِّكُمْ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى، وَلَوْ
أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا
الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ
تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ
يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ
هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا
حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً،
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ
مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى
بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
‘Barang siapa merasa senang apabila bertemu Allah Subhanahu wata’ala besok
(pada hari kiamat) dalam keadaan muslim, hendaknya ia memelihara shalat
lima waktu (berjamaah pada waktunya), di mana pun disuarakan azan.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kalian
jalan petunjuk, sedangkan shalat lima waktu (dengan berjamaah) termasuk
jalan petunjuk. Kalau saja kalian melakukan shalat itu di rumah
sebagaimana kebiasaan shalatnya orang yang tidak mau berjamaah, niscaya
kalian telah meninggalkan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
jika demikian pasti kalian tersesat. Tidaklah salah seorang di antara
kalian bersuci dengan sempurna lalu pergi menuju ke masjid dari
masjid-masjid ini, kecuali Allah Subhanahu wata’ala catat
dengan setiap langkah baginya kebaikan, mengangkat derajat baginya dan
menghapus darinya kesalahan. Aku benar-benar melihat di antara kami,
tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang munafik yang
sesungguhnya. Sungguh pernah terjadi seorang lelaki diantar ke masjid,
dipapah di antara dua orang, sampai diberdirikan dalam shaf’.”
Pada riwayat yang lain beliau berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengajarkan kepada kami jalan petunjuk. Sesungguhnya termasuk jalan
petunjuk adalah shalat (berjamaah) di masjid yang dikumandangkan azan
padanya.” (Syarh an-Nawawi, 3/168—169)
Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan bagi kaum muslimin untuk berkumpul (berjamaah) dalam melakukan ibadah. Shalat Berjamaah, Menyatukan Umat Berikut ini beberapa jenis ibadah yang pelaksanaannya disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah.
Ibadah Haji
Perkumpulan terbesar yang terjadi pada
kaum muslimin dalam rangka melaksanakan ibadah adalah saat melaksanakan
ibadah haji. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, berkumpul di
satu tempat yaitu di Padang Arafah, pada hari Arafah. Bulan-bulan haji
hanya pada bulan tertentu, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
حَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (al-Baqarah: 197)
Shalat ‘Ied
Disyariatkan bagi kaum muslimin untuk
berkumpul setiap tahun, dalam rangka melakukan shalat ‘ied secara
berjamaah, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Pelaksanaannya disyariatkan
di tanah lapang (mushalla).
Shalat Jumat
Demikian pula halnya dengan shalat
Jumat, kaum muslimin disyariatkan menegakkannya pada setiap pekan
sekali. Jika di suatu daerah (kampung) terdapat beberapa masjid yang
ditegakkan shalat berjamaah di tempat itu, yang lebih utama pelaksanaan
shalat Jumat di satu masjid saja, yaitu masjid jami’. Namun, jika dalam
keadaan darurat, seperti semakin banyaknya jumlah kaum muslimin,
sehingga apabila dilaksanakan di satu masjid tidak cukup (sempit),
diperbolehkan untuk dilaksanakan di beberapa masjid, karena keadaan yang
mengharuskan.
Shalat Fardhu (Lima Waktu)
Islam mensyariatkan shalat lima waktu untuk dilaksanakan secara berjamaah. Sehingga pertama kali yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
ketika tiba di Madinah adalah membangun masjid. Supaya kaum muslimin
berkumpul di tempat itu, melakukan shalat dengan berjamaah. Di samping
itu, masjid juga bisa dipakai sebagai tempat berkumpul untuk
memusyawarahkan urusan-urusan yang penting atau untuk mempelajari ilmu
agama. Karena itu, apabila setiap muslim memilih (melaksanakan shalat
fardhu,-pen.) di rumah, tidak akan terwujud sikap saling menolong
antarsesama, proses belajar ilmu\ agama tidak ia peroleh, dan kedekatan
(saling mengenal) satu sama lain tidak pula tercapai.
Jadi, masjid adalah tempat berkumpulnya
kaum muslimin. Di samping mereka akan menggapai pahala dengan shalat
berjamaah, terwujud pula tolong-menolong, persatuan, dan saling
mengenal.
Disyariatkannya shalat fardhu secara
berjamaah adalah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia adalah bagian
dari ibadah yang paling utama dan bagian dari ketaatan yang paling
mulia. Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini selain kaum Rafidhah
(salah satu sekte Syiah). Mereka berpendapat, tidak boleh ditegakkan
shalat berjamaah kecuali jika imamnya adalah seorang yang maksum. Karena
itulah, mereka tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata (tentang mereka), “Mereka
adalah orang-orang yang meninggalkan dan menjauhi masjid, namun (lebih
memilih) untuk memakmurkan masyhad (kuburan).” Kaum Rafidhah
menganggap tidak disyariatkannya shalat berjamaah, meskipun kaum
muslimin seluruhnya berpendapat tentang disyariatkannya.
Tidak ada satu pun (dari kaum muslimin)
yang berpendapat tidak disyariatkan. Hanya saja mereka berbeda pendapat
dalam hal hukumnya. Apakah fardhu ‘ain (diwajibkan atas setiap individu muslim) atau fardhu kifayah (diwajibkan atas sebagian saja), ataukah sunnah muakkadah (sunnah yang mendekati wajib). Pendapat yang menyatakan fardhu ‘ain terbagi lagi, apakah berjamaah menjadi syarat sahnya shalat atau tidak?
Di antara kelompok yang menyelisihi
kesepakatan kaum muslimin dalam masalah ini adalah kaum Khawarij. Mereka
berpendapat, shalat berjamaah tidak boleh ditegakkan kecuali apabila
imamnya adalah seorang nabi atau shiddiq. Sebagaimana disyariatkan pada
shalat fardhu, berjamaah juga disyariatkan pada shalat-shalat sunnah.
Seperti shalat istisqa’ (meminta hujan), shalat kusuf (gerhana), dan shalat tarawih. Tidak mengapa pula shalat malam/tahajud dan shalat dhuha dilakukan secara berjamaah.
Namun, hal ini tidak boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan dilakukan terus-menerus. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat berjamaah (bukan shalat fardhu) di rumah seorang sahabat yang bernama ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Demikian pula Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah bermakmum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat malam, saat beliau bermalam di rumah bibinya yang menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Maimunah radhiyallahu ‘anha. Yang disunnahkan untuk terus-menerus tetap berjamaah dalam shalat sunnah adalah shalat tarawih, shalat istisqa’, dan shalat kusuf. (Tashil al-Ilmam 2/401—403, asy-Syarh al-Mumti’, 2/365)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
Hikmah Di Balik Shalat Berjamaah
Disyariatkan bagi kaum muslimin untuk
melaksanakan shalat berjamaah karena di balik itu ada kemaslahatan dan
kebaikan yang sangat agung. Selain yang telah disebutkan pada Rubrik
Manhaji edisi ini, berikut ini beberapa hikmah lain shalat berjamaah.
1. Munculnya sikap saling menyayangi, mengasihi, dan saling mencari tahu keadaan sebagian mereka atas yang lain.
Di antara faedah shalat berjamaah, jika
salah satu dari jamaah tidak hadir, yang lain akan menanyakan tentang
dirinya. Apabila sakit atau ada uzur syar’i, mereka pun akan mengunjungi
dan menjenguknya, dengan itu tenteramlah mereka. Namun, jika yang
menyebabkan tidak hadirnya adalah karena sikap meremehkan,
bermalas-malas, dan yang lain, mereka pun akan menasihati dan
memperingatkan dengan tegas tentang bahaya dari meninggalkan shalat
berjamaah.
Jadi, shalat berjamaah memiliki
kemaslahatan yang sangat agung. Kalau saja orang lebih memilih untuk
shalat sendirian, kemungkinan yang terjadi ialah ia akan shalat dengan
rasa malas atau menunda dan mengakhirkan dari waktunya. Kemudian setahap
demi setahap, ia akan meninggalkan shalat. Begitulah sesungguhnya setan
bertahap pula dalam menggoda manusia. Namun, jika senantiasa menjaga
shalat secara berjamaah, ia akan tergolong orangorang yang senantiasa
menjaga shalatnya.
2. Menumbuhkan cinta kasih dan persahabatan.
Bertemunya manusia satu dengan yang lain dan saling berjabat tangan, menjadi sebab timbulnya cinta kasih dan persahabatan.
3. Saling mengenal.
Menjadi suatu kebiasaan dan kewajaran, apabila kaum muslimin shalat berjamaah di masjid, lantas ketika di sisi mereka ada orang baru, mereka akan bertanya, siapa dia? Siapa orang baru yang shalat bersama kita? Dari sinilah terjadinya saling mengenal. Faedahnya, bisa jadi orang baru tersebut adalah kerabat Anda, sehingga mengharuskan Anda untuk menyambung persaudaraan sebatas kekerabatannya. Bisa jadi pula, dia orang asing dari suatu negeri, yang mengharuskan Anda untuk menunaikan haknya.
4. Menampakkan salah satu syiar Islam.
Termasuk salah satu syiar Islam yang
sangat agung adalah shalat. Dengan demikian, apabila manusia shalat di
rumah, tidak akan diketahui bahwa dalam Islam ada shalat.
5. Menampakkan kemuliaan kaum muslimin.
Hal ini terlihat tatkala kaum muslimin dalam jumlah yang banyak memasuki masjid lantas keluar darinya.
6. Menahan/menguasai diri.
Dengan shalat berjamaah, seseorang
membiasakan diri untuk mengikuti gerakan imam dengan saksama. Jika imam
takbir, ia pun harus takbir. Ia tidak boleh mendahului, tidak boleh
tertinggal jauh dengan imam, dan tidak boleh bersamaan, tetapi
mengikuti. Hal ini akan membiasakan seseorang untuk dapat menahan dan
menguasai diri.
7. Menumbuhkan perasaan
berada dalam barisan jihad (perang di jalan Allah Subhanahu wata’ala). Ketika berada dalam shalat berjamaah terwujud barisan shaf yang lurus, rapat, dan teratur, mengesankan bahwa seseorang sedang berada dalam barisan jihad. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan- Nya dalam barisan yang teratur.” (ash- Shaf: 4)
Kaum muslimin yang berada dalam barisan
jihad menjadi tidak diragukan, apabila terbiasa berada dalam barisan
yang teratur di saat melaksanakan shalat lima waktu. Kebiasaan seperti
ini akan menjadi perantara bagi mereka untuk mengikuti pemimpinnya saat
berada di barisan perang sehingga tidak akan mendahului ataupun
terlambat menjalankan perintahnya.
8. Mengingatkan orang yang shalat berjamaah terhadap shaf para malaikat di sisi Allah Subhanahu wata’ala.
Dengan demikian , bentuk pengagungan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan kecintaannya kepada malaikatmalaikat Allah Subhanahu wata’ala akan bertambah.
9. Memupuk persamaan.
Ketika shalat berjamaah di masjid, akan
berkumpul dan bertemu orang yang paling kaya dengan orang yang paling
miskin. Pemimpin berdiri di samping bawahannya, penguasa berdiri di
samping rakyatnya, dan yang muda berdiri di samping yang tua. Dengan
kondisi ini, manusia akan merasakan persamaan (tingkat dan kedudukan).
Oleh sebab itu, kita diperintahkan untuk merapikan dan meluruskan shaf,
seperti dalam hadits
10. Perkara paling utama dalam menjalani shalat berjamaah adalah beribadah semata-mata karena Allah Subhanahu wata’ala.
11. Mengingatkan umat atas keadaan di masa lalu.
Maksudnya, mengingatkan keadaan para
sahabat, seolah-olah imam yang memimpin shalat adalah Rasulullah n dan
yang menjadi makmum adalah para sahabat. Tidak diragukan, keadaan= ini
menumbuhkan adanya keterikatan generasi akhir umat dengan generasi
awalnya, memberikan dorongan yang kuat kepada umat Islam untuk mengikuti
jejak salaf dan meneladani kehidupan mereka.
Andaikata setiap kali kita beramal
timbul perasaan bahwa kita sedang mencontoh perbuatan Rasulullah n dan
para sahabatnya yang mulia, akan tumbuh dorongan yang kuat dalam hati
yang menyebabkan seseorang merasa menyatu dengan perbuatan salafush
shalih. Selain itu, perasaan ini akan mendorong dirinya menjadi orang
yang benar-benar salafi, baik dalam hal akidah, amal perbuatan, tingkah
laku, maupun metode agama (manhaj)nya. (Tashil al-Ilmam, 2/401—403, al-Mumti’, 2/366—368)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Hukum Shalat Berjamaah
Seperti pada pemaparan sebelumnya, shalat berjamaah adalah syariat Allah Subhanahu wata’ala
dan perkara yang disepakati oleh kaum muslimin. Hanya saja para ulama
berbeda pendapat dalam hal hukumnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan
sisi pandang terhadap dalil – dalil yang ada.
Pendapat pertama menyatakan hukumnya fardhu ‘ain.
Maknanya, wajib bagi setiap individu
muslim lelaki yang sudah baligh dan mampu untuk menghadirinya. Barang
siapa meninggalkan berjamaah tanpa uzur, sah shalatnya namun ia berdosa.
Inilah pendapat yang benar. Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan
tentang wajibnya shalat berjamaah.
1. Dalil dari al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)
Kata “bersama” menunjukkan makna
menemani, menyertai. Jadi, ayat ini bermakna “dirikanlah shalat bersama
yang lain secara berjamaah!” Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Kebanyakan para ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjamaah.”
2. Dalil lain dari ayat al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ
“Dan apabila kamu berada di
tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
bersamamu.” (an-Nisa: 102)
Pada kalimat پ huruf lam di sini menunjukkan perintah, sedangkan asal suatu perintah adalah wajib. Yang menguatkan bahwa perintah dalam hal ini bermakna wajib ialah, Allah Subhanahu wata’ala memerintah para sahabat untuk melaksanakan shalat berjamaah, meskipun dalam kondisi takut (dalam peperangan). Sementara itu, pada umumnya, apabila manusia dalam kondisi takut (perang) dan kekacauan, berat bagi mereka untuk berkumpul. Dalam situasi kacau, umumnya orang lebih suka untuk tetap berada pada posisi masing-masing dalam rangka memantau musuh. Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan,
وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ
“ Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (an- Nisa: 102)
Yang tampak dalam hal ini adalah tidak
ada perbedaan antara senjata ringan dan berat, dalam keadaan suci atau
najis. Para ulama berpendapat, pada saat seperti ini—karena keadaan
darurat—diperbolehkan menyandang senjata meskipun dalam kondisi najis.
Selanjutnya, setelah kelompok pertama menyelesaikan shalat, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ
“Kemudian apabila mereka (yang shalat
bersamamu) telah sujud (telah menyempurnakan serakaat) maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh).” (an-Nisa: 102)
Sujud di sini bermakna mereka telah menyelesaikan shalatnya. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memerintah (kelompok lain yang belum shalat bersama kelompok pertama) untuk shalat berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.”
Perintah ini menunjukkan shalat
berjamaah hukumnya fardhu ‘ain. Kalau saja hukumnya fardhu kifayah, akan
gugurlah kewajiban kelompok yang kedua karena telah ditunaikan oleh
kelompok yang pertama.
3. Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا
فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ
حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Sungguh, aku berkeinginan untuk
memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang untuk
mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil
membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri
shalat berjamaah, lalu aku bakar rumahrumah mereka dengan api.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah berkeinginan namun tidak melakukannya. Hal ini tidak berarti
shalat berjamaah bukanlah perkara yang wajib. Kalau bukan suatu yang
wajib, tidak tepat untuk dikatakan dengan ungkapan seperti itu. Ungkapan
ini akan dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Adapun yang
menghalangi beliau melakukannya (membakar rumah)] dan ilmunya ada di
sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah tidak ada yang berhak menyiksa manusia dengan api selain Rabb-nya api, yaitu Allah Subhanahu wata’ala.
4. Dalil yang lain dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hadits yang memberitakan adanya seorang laki-laki buta yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak ikut shalat berjamaah di masjid.
أَتَى
النَّبِيَّ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ
لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ أَنْ
يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى
دَعَاهُ فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ.
قَالَ: فَأَجِبْ
Beliau bertanya, “Apakah kamu
mendengar suara azan?” Ia pun menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata,
“Kalau begitu penuhilah (panggilan azan itu).”
Demikian pula hadits yang lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barang siapa mendengar azan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak sah shalatnya kecuali karena uzur.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun praktik perbuatan sahabat,
seperti riwayat dari Ibnu Mas’ud z beliau berkata, “Sungguh aku telah
menyaksikan para sahabat, tidak ada seseorang yang tidak ikut shalat
berjamaah selain munafik yang jelas kemunafikannya.”
Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat
perhatian terhadap shalat berjamaah serta berpandangan akan wajibnya dan
tidak ingin menyelisihinya. Yang lebih menguatkan hukum shalat
berjamaah itu wajib adalah kebaikan dan manfaat yang ada padanya. Di
antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Atha’, al-Auza’i,
Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abul
Abbas, mazhab Zhahiri, mazhab Hanbali, serta salah satu pendapat dalam
mazhab Syafi’i dan Hanafi.
Pendapat kedua, hukumnya fardhu kifayah.
Yang menguatkan pendapat ini adalah
mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki. Mereka berdalil
dengan dalil-dalil yang dinyatakan oleh para ulama yang berpendapat
tentang fardhu ‘ain. Hanya saja dalil-dalil tersebut dipalingkan kepada makna fardhu kifayah.
Ketiga, hukumnya sunnah.
Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi. Hujah mereka adalah hadits,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“ Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelipatan 27 derajat.”
Mereka memahami kalimat “lebih utama” bermakna hanya lebih utama dan bukan wajib. Namun, pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah. Sebab, hadits ini menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah lebih utama dan lebih banyak, bukan menjelaskan hukum shalat (berjamaah). Pun penyebutan kalimat ”lebih utama” tidak meniadakan hukum wajibnya. Kita katakan pula, apakah beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala itu wajib? Jawabannya, pasti wajib. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم
مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat meyelamatkan kamu
dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul- Nya
serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih
baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (ash-Shaf: 10—11)
Maksudnya, yang lebih baik dan lebih utama. Apakah akan dikatakan bahwa beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan berjihad di jalan-Nya hukumnya sunnah (dengan alasan kalimat ”itulah yang lebih baik bagimu”)?
Sungguh, tidak seorang pun yang berpendapat demikian. Kita katakan
pula, apakah shalat Jumat hukumnya sunnah karena firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Pasti tidak seorang pun yang mengatakan bahwa shalat Jumat hukumnya sunnah (berdalil dengan kalimat “hal itu lebih baik bagimu”).
Demikian pula hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk membakar rumahrumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah. Mereka beralasan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak mewujudkan keinginannya sehingga hal itu hanya sebagai peringatan
keras, tidak sampai pada kenyataan. Jawabannya bisa dilihat pada
pembahasan sebelumnya.
Dengan demikian, berdasarkan al-Qur’an,
sunnah, ijma’ sahabat, pencermatan dan pemahaman terhadap masalah,
disimpulkan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib. (Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/57—58, asy-Syarhul al-Mumti’, 2/369—370, at-Tashil, 2/406—407) Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Keutamaan Shalat Berjamaah
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah
kaidah syar’i, melaksanakan hal yang wajib lebih utama daripada
melaksanakan hal yang sunnah. Di antara dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala dalam hadits qudsi,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Tidaklah hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada
perkara yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullahdalam Shahih-nya mengatakan, bab
“Fadhli Shalatil Jamaah” (“Keutamaan Shalat Berjamaah”). Lalu beliau
menyebutkan riwayat seorang tabi’in dan seorang sahabat, sebelum
menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adalah al-Aswad bin Yazid an- Nakha’i rahimahullah (salah seorang tabi’in senior) jika luput dari berjamaah, beliau pergi menuju ke masjid yang lain. Apabila Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
datang ke sebuah masjid yang telah selesai ditegakkan shalat padanya,
beliau mengumandangkan azan dan iqamat lalu shalat berjamaah.
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, maksud al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan riwayat al-Aswad dan Anas radhiyallahu ‘anhuma
adalah sebagai isyarat bahwa keutamaan shalat berjamaah yang tersebut
dalam beberapa hadits, hanya berlaku bagi mereka yang berjamaah di
masjid, bukan di rumah. Sebab, jika berjamaah tidak dikhususkan di
masjid, al-Aswad radhiyallahu ‘anhu akan menegakkan shalat berjamaah di tempatnya dan tidak akan pergi ke masjid lain untuk mendapatkan jamaah.
Demikian pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak akan datang ke masjid bani Rifa’ah (untuk melaksanakan shalat berjamaah, -pen.). Kemudian al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah. Di antaranya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan lafadz,
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ سَبْعًا وَعِشْرِينَ
“Shalat seseorang dengan berjamaah lebih banyak daripada shalatnya sendirian 27 kali.”
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ
الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ
خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ
فَأَحْسَنَ وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَمْ يَخْطُ
خَطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً
حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، وَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي
صَلَاةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ وَتُصَلي يَعْنِي عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ
مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ
اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ؛ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalat seseorang
dengan berjamaah itu dilipatgandakan pahalanya 25 kali atas shalat
sendirian yang dia kerjakan di rumah dan di pasar. Hal itu apabila ia
berwudhu dengan sempurna, lalu ia keluar menuju ke masjid dan tidak ada
yang mendorongnya keluar (menuju ke masjid) selain shalat. Tidaklah
setiap langkahnya kecuali akan mengangkatnya satu derajat dan
menghapuskan darinya satu kesalahan. Apabila ia shalat, malaikat akan
senantiasa mendoakannya selama ia berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah,
ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara
kalian tetap dianggap berada dalam shalat selamaia menanti shalat.”
Sebagian ulama mengompromikan riwayat yang menyebutkan 25 derajat dengan riwayat yang menyebutkan 27 derajat sebagai berikut:
• Penyebutan jumlah yang sedikit tidak meniadakan penyebutan jumlah yang
banyak. Pendapat ini dianut oleh mereka yang tidak menganggap mafhum
adad (jumlah bilangan tersebut tidak mengandung sebuah hukum).
• Bisa jadi, di awal waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan bilangan 25, kemudian ditambahkan keutamaan padanya, lalu beliau menyampaikan dengan bilangan 27.
• Perbedaan jumlah berdasarkan pembedanya yaitu lafadz “darajah” dan
“juz’an.” Dengan demikian, kata “derajat” lebih kecil daripada “juz
(bagian).”
• Perbedaan jumlah berdasarkan dekat dan jauhnya masjid.
• Perbedaan keadaan orang yang shalat, seperti seorang yang keadaannya lebih berilmu atau lebih khusyuk.
• Perbedaan antara seseorang yang menunggu shalat berikutnya dan yang tidak menunggu.
• Perbedaan antara seseorang yang mendapati keseluruhan shalat dan yang hanya mendapatkan sebagiannya.
• Perbedaan jumlah orang yang berjamaah.
• Riwayat bilangan 27 khusus untuk shalat subuh dan isya, atau subuh dan ashar. Adapun yang 25 untuk selainnya.
• Riwayat 27 untuk shalat jahriyah, sedangkan yang 25 untuk shalat sirriyah.
Berikut ini beberapa keutamaan shalat berjamaah di masjid.
1. Memenuhi panggilan azan dengan niat untuk melaksanakan shalat berjamaah.
2. Bersegera untuk shalat di awal waktu.
3. Berjalan menuju ke masjid dengan tenang (tidak tergesa-gesa).
4. Masuk ke masjid sambil berdoa.
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan shalat berjamaah.
6. Menunggu jamaah (yang lain).
7. Doa malaikat dan permohonan ampun untuknya.
8. Persaksian malaikat untuknya.
9. Memenuhi panggilan iqamat.
10. Terjaga dari gangguan setan karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
11. Berdiri menunggu takbirnya imam.
12. Mendapati takbiratul ihram.
13. Merapikan shaf dan menutup celah (bagi setan).
1 4 . Menjawab imam saat mengucapkan sami’allah.
15. Secara umum terjaga dari kelupaan.
16. Akan memperoleh kekhusyukan dan selamat dari kelalaian.
17. Memosisikan keadaan yang bagus.
18. Mendapatkan naungan malaikat.
19. Melatih untuk memperbaiki bacaan al-Qur’an.
20. Menampakkan syiar Islam.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling ta’awun di atas ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
22. Terjaga dari sifat munafik.
23. Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang mulia kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan “amiin” saat imam membaca “amiin”, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat. An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarh Shahih Muslim, bab “Keutamaan Shalat Isya dan Subuh dengan Berjamaah”, dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
1. Memenuhi panggilan azan dengan niat untuk melaksanakan shalat berjamaah.
2. Bersegera untuk shalat di awal waktu.
3. Berjalan menuju ke masjid dengan tenang (tidak tergesa-gesa).
4. Masuk ke masjid sambil berdoa.
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan shalat berjamaah.
6. Menunggu jamaah (yang lain).
7. Doa malaikat dan permohonan ampun untuknya.
8. Persaksian malaikat untuknya.
9. Memenuhi panggilan iqamat.
10. Terjaga dari gangguan setan karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
11. Berdiri menunggu takbirnya imam.
12. Mendapati takbiratul ihram.
13. Merapikan shaf dan menutup celah (bagi setan).
1 4 . Menjawab imam saat mengucapkan sami’allah.
15. Secara umum terjaga dari kelupaan.
16. Akan memperoleh kekhusyukan dan selamat dari kelalaian.
17. Memosisikan keadaan yang bagus.
18. Mendapatkan naungan malaikat.
19. Melatih untuk memperbaiki bacaan al-Qur’an.
20. Menampakkan syiar Islam.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling ta’awun di atas ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
22. Terjaga dari sifat munafik.
23. Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang mulia kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan “amiin” saat imam membaca “amiin”, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat. An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarh Shahih Muslim, bab “Keutamaan Shalat Isya dan Subuh dengan Berjamaah”, dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ
صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ
“Barang siapa shalat isya dengan
berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa shalat
isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam
penuh.” (Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/62, Fathul Bari, 2/154—157)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Kepada Siapa Shalat Berjamaah Diwajibkan
Diwajibkan shalat berjamaah hanya bagi
kaum lelaki yang sudah baligh, terbebas dari halangan seperti sakit dan
alasan lain yang dibenarkan oleh syariat seperti terdorong oleh hadats.
Termasuk dalam hal ini adalah budak, menurut pendapat sebagian ulama.
Hal ini berdasarkan keumuman dalil dan tidak ada pengecualian bagi para
budak. Di samping itu, hak Allah k lebih dikedepankan ketimbang hak
manusia.
Namun, sebagian ulama berpendapat, budak
wajib shalat berjamaah dengan izin tuannya. Pendapat inilah yang
dikuatkan oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Adapun anak laki-laki yang belum baligh belum diwajibkan atasnya. Al- Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam syarah Shahih Muslim, pada bab “Bolehnya Berjamaah dalam Shalat Sunnah”, jika seorang anak yang sudah mumayyiz ikut berjamaah, shalatnya sah. Dibenarkan baginya untuk berdiri dalam barisan shaf menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Demikian pula khuntsa (ambiguous genetalia atau pseudohermaphrodite), yaitu yang tidak diketahui apakah dia lelaki atau perempuan, tidak diwajibkan atasnya berjamaah. Termasuk yang tidak diwajibkan shalat berjamaah adalah kaum wanita. Sebab, mereka bukan orang-orang yang dianjurkan berkumpul dan menampakkan syiar Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud)
Namun, para ulama berselisih pendapat saat para wanita mendirikan shalat berjamaah tidak bersama kaum lelaki.
1. Sunnah.
Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ummu Rauqah radhiyallahu ‘anha untuk mengimami keluarganya.
2. Makruh.
Mereka menganggap hadits Ummu Rauqah radhiyallahu ‘anha
lemah. Wanita bukan kaum yang dituntut untuk berkumpul dan menampakkan
syiar Islam sehingga tidak disukai bagi wanita untuk mendirikan shalat
berjamaah di rumahnya. Selain itu, hal ini tidak dikenal di kalangan
ummul mukminin (para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) ataupun dari selain mereka (para istri sahabat dan yang lain).
3. Mubah.
Mereka berpendapat, secara umum wanita
termasuk yang diperbolehkan untuk berkumpul. Oleh karena itu, mereka
boleh hadir di masjid dalam rangka melaksanakan shalat berjamaah, dengan
tetap menjaga diri, aurat, dan suara.
Pendapat ini tidak mengapa untuk diambil, dan jika terkadang dilakukan tidak mengapa. An-Nawawi rahimahullah
berkata, bab “Khurujin Nisa ilal Masjid Idza Lam Yatarattab Alaihi
Fitnah wa Annaha La Takhruj Muthayyabah” (“Keluarnya Wanita ke Masjid
Apabila Tidak Menimbulkan Fitnah dan Tidak Boleh Keluar Menggunakan
Wewangian”).
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
‘Janganlah kalian menghalangi wanita pergi ke masjid, jika mereka telah meminta izin kepada kalian.’ (HR. Muslim)
Pada riwayat yang lain,
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba (wanita) Allah Subhanahu wata’ala dari masjid Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. Muslim)
Dari Zainab ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلَا تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat isya, janganlah menggunakan wewangian pada malam itu.” (HR. Muslim)
Para ulama berpendapat bolehnya wanita
menghadiri shalat berjamaah di masjid dengan syarat tidak menggunakan
wewangian, tidak bersolek, tidak bergelang kaki hingga terdengar
gemerincing suaranya, tidak berpakaian mewah, tidak bercampur laki-laki
dan perempuan, bukan wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan godaan
bagi lawan jenis, serta tidak ada suatu sebab kerusakan dan kejelekan
yang membahayakan di jalan. (asy-Syarh al-Mumti’, 2/369—371, Syarh an-Nawawi, 2/396—399)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Shalat Berjamah, Syarat Sahnya Shalat?
Meskipun yang kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat berjamaah lima waktu hukumnya fardhu ‘ain,
namun shalat berjamaah bukan syarat sahnya shalat. Andaikata seorang
shalat sendirian— tanpa ada uzur untuk tidak menghadiri shalat
berjamaah—shalatnya sah, hanya saja ia berdosa. Inilah pendapat yang
kuat dalam masalah ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Sebagian ulama berpendapat, shalat
berjamaah menjadi syarat sahnya shalat. Pendapat ini dianut oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Aqil, yang keduanya bermazhab
Hanbali, serta sebuah riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahumullah.
Menurut pendapat ini, jika seseorang shalat sendirian tanpa uzur yang
syar’i (untuk tidak menghadiri shalat berjamaah), shalatnya tidak
sahm(batal). Keadaan ini dimisalkan seperti seorang yang shalat tanpa
wudhu. Pendapat ini lemah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan perbandingan 27 derajat.”
Adanya unsur pengutamaan (antara shalat
berjamaah dengan shalat sendirian), menunjukkan adanya keutamaan pada
sesuatu yang diutamakan (shalat sendirian). Hal ini menjadi suatu
keharusan bahwa shalatnya sah. Sebab, sesuatu yang tidak sah tentu tidak
memiliki keutamaan, dan yang ada adalah dosa. (asy-Syarhu al-Mumti’, 2/373—374)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Haruskah Berjamaah Di masjid
Para ulama berselisih dalam hal ini.
1 . Sebagian ulama berpendapat, shalat berjamaah di masjid hukumnya fardhu kifayah.
Maknanya, apabila ada sebagian orang
yang dianggap cukup telah menunaikannya, gugurlah kewajiban tersebut
atas yang lain. Selain mereka (yang tidak hadir berjamaah di masjid)
boleh shalat berjamaah di rumahnya. Mereka berpendapat, shalat berjamaah
di masjid adalah salah satu syiar Islam. Sementara itu, kaum muslimin
masih tetap menjalankannya di sekian banyak masjid. Kalau saja
masjid-masjid yang ada (di suatu negeri) tidak dipakai untuk shalat
berjamaah, tidak akan tampak bahwa negeri tersebut adalah negeri Islam.
Jawaban atas pendapat ini, untuk
mencapai kesempurnaan, setiap individu wajib ikut shalat di masjid.
Sebab, dengan pendapat di atas, setiap orang akan memilih tinggal di
rumahnya dan ia berprasangka barangkali di masjid sudah ada yang shalat
berjamaah.
2. Pendapat kedua mengatakan,
shalat berjamaah boleh di rumah masing – masing dan boleh meninggalkan
masjid, sekalipun jaraknya dekat, meskipun masjid lebih utama.
Menurut pendapat ini, apabila seorang
berpendapat bahwa mengadakan shalat berjamaah bisa dengan dua orang,
meskipun salah satunya adalah wanita, seorang suami bisa shalat
berjamaah bersama istrinya di rumah dan tidak harus ke masjid. Mereka
berdalil dengan hadits,
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
“Dijadikan untukku bumi, semuanya sebagai tempat shalat dan suci.” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini dipahami bahwa bumi semuanya
sebagai tempat shalat, sehingga meskipun di rumah sudah teranggap
berjamaah meskipun di masjid lebih utama. Jawaban atas pendapat ini,
hadits ini sama sekali tidak bisa menjadi dalil atas pendapat mereka.
Sebab, hadits ini berisi penjelasan bahwa bumi semuanya adalah tempat
ibadah. Ini adalah kekhususan bagi umat ini, berbeda halnya dengan umat
yang lain. Mereka tidak beribadah selain di gereja, kuil, atau tempat
peribadahan yang khusus.
Dengan demikian, hadits ini hanya
menjelaskan bolehnya mengerjakan shalat di mana pun, dan tidak
menjelaskan shalat berjamaah sah dikerjakan di mana pun. Selain itu,
hadits di atas bersifat umum yang telah dikhususkan dengan beberapa
dalil yang mewajibkan shalat berjamaah di masjid.
3. Ulama yang lain berpendapat,
kewajiban shalat berjamaah di masjid hanya bagi yang diwajibkan.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا
فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ
حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Sungguh aku berkeinginan kuat untuk
memerintahkan supaya ditegakkan shalat, lalu aku perintahkan seorang
untuk mengimami manusia, kemudian aku akan mendatangi kaum yang tidak
menghadiri shalat berjamaah, kemudian aku bakar rumah mereka dengan api.”
Kata “kaum” pada hadits ini berarti
sejumlah orang yang memenuhi syarat untuk dikatakan berjamaah. Kalau
saja diperbolehkan bagi mereka untuk shalat berjamaah di rumah, beliau
tentu akan mengecualikan orang yang shalat di rumahnya. Dari sini
diketahui, berjamaah di masjid menjadi sebuah keharusan. Inilah pendapat
yang benar. Jika dilaksanakan selain di masjid, mereka berdosa meskipun
sah shalatnya. (asy-Syarhul Mumti’ 2/374—378)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Masjid Yang Di Utamakan
Yang paling utama, seseorang hendaknya
shalat berjamaah di masjid yang ada di sekitar tempat tinggalnya, baik
jamaahnya banyak maupun sedikit. Hal ini berdasarkan kebaikan dan
kemaslahatan yang ditimbulkan. Di antaranya, ia telah ikut memakmurkan
masjid tersebut, menumbuhkan kedekatan dengan imam, menjauhkan prasangka
buruk yang ada pada hati seorang imam, lebih-lebih jika dirinya
termasuk seorang yang dianggap oleh imam.
Berbeda halnya apabila terdapat sebuah
masjid yang memiliki keutamaan daripada masjid yang lain. Misalnya,
seseorang yang tinggal di Madinah atau di Makkah. Yang utama baginya
adalah shalat di Masjidil Haram jika ia tinggal di Makkah; atau di
Masjid Nabawi jika ia tinggal di Madinah. Berikutnya adalah masjid yang
lebih banyak jamaahnya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَإِنَّ
صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ،
وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ،
وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى
“Shalat seseorang bersama satu orang
lebih baik daripada shalat sendirian. Shalatnya bersama dua orang lebih
baik daripada shalatnya bersama satu orang, dan apabila yang bersamanya
lebih banyak, lebih Allah Subhanahu wata’ala cintai.” (HR. Abu Dawud, Shahih al-Jami no. 2242)
Selanjutnya, masjid yang semakin jauh, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
“Tidaklah dia mengayunkan satu langkahnya kecuali dengannya Allah Subhanahu wata’ala mengangkatnya satu derajat dan menghapus satu kesalahannya.”
Demikian pula hadits,
أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى
“Sesungguhnya manusia yang paling agung pahalanya dalam shalat adalah orang yang paling jauh berjalan menuju padanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu)
Semakin jauh jarak masjid, semakin utama baginya karena lebih melelahkan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma,
إِنَّ لَكِ مِنَ الْأَجْرِ عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ
“Sesungguhnya pahalamu sesuai dengan kelelahanmu.” Urutan berikutnya adalah masjid yang lebih dahulu didirikan karena ketaatan lebih dahulu dikerjakan padanya. (asy-Syarh al-Mumti’ 2/377—378)

Dua Orang Terhitung Berjamaah
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bab Itsnaani Fama
Fauqahuma Jamaah (Dua Orang atau Lebih Itu Berjamaah).” Kemudian beliau
menyebutkan hadits Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, datang dua orang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukan safar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,
Kata ini berasal dari al-jam’u yaitu adh-dham, artinya menghimpun atau mengumpulkan. Hal ini tercapai dengan seseorang yang bersama orang yang kedua. Masalah ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau menetapkan Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman, dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma melakukan shalat bersama beliau di malam hari, supaya berjamaah. Di dalam bab shalat, kata “berjamaah” dipakai untuk menunjukkan jumlah dua atau lebih, demikian pula dalam bab faraidh. Adapun selain dari dua bab ini, “berjamaah” menunjukkan jumlah tiga atau lebih. (Syarh al-Bukhari 3/77— 78)
Makmum yang sendirian (hanya satu orang) berdiri sejajar dengan imam di samping kanannya, bukan di belakangnya sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami shalat serta makmumnya adalah Anas dan ibu atau bibinya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
Al-Hafizh rahimahullah (al-Fath 2/223) berkata, “Menukil ucapan Zain bin Munayyir, kata ‘bihidzaihi’ artinya memindahkan posisi makmum yang berdiri di belakang atau tidak sejajar dengan imam. Adapun kata ‘sawa’ memindahkan posisi makmum yang berdiri di sebelah imam, namun tidak merapat. Kemudian beliau menjelaskan, kata ‘sawa’ bermakna seorang makmum tidak boleh berada di depan atau di belakang imam. Menurut ulama mazhab Syafi’i, disunnahkan bagi seorang makmum berdiri tidak sejajar dengan imam (mundur sedikit).”
Beliau juga menyebutkan riwayat Ibnu Juraij rahimahullah, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Jika seorang shalat bersama satu orang yang lain, di mana posisinya?’ Beliau menjawab, ‘Di sebelah kanannya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah berdirisama sejajar, tidak bersela dan berselisih antara satu?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Kemudian aku bertanya lagi, ‘Apakah engkau menyukai bahwa seorang makmum berdiri sama persis hingga tidak ada celah (jarak) antara keduanya.’
Beliau menjawab, ‘Ya’.”
Adapun jika makmumnya dua orang, mayoritas ulama berpendapat, posisim mereka berdua berada di belakang imam. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Anas radhiyallahu ‘anhu,
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
“Apabila telah datang waktu shalat,
kumandangkanlah azan dan iqamat, lalu salah seorang dari kalian yang
lebih tua menjadi imam.”
Al-Hafizh t (al-Fath 2/163) berkata, “Penamaan shalat dua orang itu
berjamaah, diambil dari pendalilan perintah adanya imam. Sebab, apabila
shalat mereka berdua (berjamaah) sama kedudukannya dengan shalat mereka
secara sendiri-sendiri, tentu cukup diperintahkan kepada mereka berdua
untuk shalat saja (tanpa menyebut adanya imam)… Hadits ini juga
menunjukkan bahwa paling sedikitnya jamaah terdiri dari imam dan makmum,
mencakup keumuman apakah makmumnya seorang lelaki, anak lelaki, atau
seorang wanita.” Pendalilan bahwa dua orang itu berjamaah, diambil dari
kata berjamaah.Kata ini berasal dari al-jam’u yaitu adh-dham, artinya menghimpun atau mengumpulkan. Hal ini tercapai dengan seseorang yang bersama orang yang kedua. Masalah ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau menetapkan Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman, dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma melakukan shalat bersama beliau di malam hari, supaya berjamaah. Di dalam bab shalat, kata “berjamaah” dipakai untuk menunjukkan jumlah dua atau lebih, demikian pula dalam bab faraidh. Adapun selain dari dua bab ini, “berjamaah” menunjukkan jumlah tiga atau lebih. (Syarh al-Bukhari 3/77— 78)
Makmum yang sendirian (hanya satu orang) berdiri sejajar dengan imam di samping kanannya, bukan di belakangnya sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengimami shalat serta makmumnya adalah Anas dan ibu atau bibinya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberdirikan aku di samping kanannya, dan wanita di belakang kami (shaf wanita di belakang dan bukan di samping).”
Demikian pula hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
بِتُّ
عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَقُمْتُ
أُصَلِّي مَعَهُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي
عَنْ يَمِينِهِ
“Aku pernah bermalam di tempat bibiku (Maimunah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam). Nabi n mengerjakan shalat malam dan aku ikut shalat, berdiri di samping kiri beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memegang kepalaku dan memosisikan aku di sebelah kanannya.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bab Yaqumu
an-Yamiinil Imam bihidzaihi Sawa’ Idza Kanats Nain (Seorang [Makmum]
Berdiri di Sebelah Kanan Imam Persis di Sampingnya jika Mereka Hanya
Berdua).”Al-Hafizh rahimahullah (al-Fath 2/223) berkata, “Menukil ucapan Zain bin Munayyir, kata ‘bihidzaihi’ artinya memindahkan posisi makmum yang berdiri di belakang atau tidak sejajar dengan imam. Adapun kata ‘sawa’ memindahkan posisi makmum yang berdiri di sebelah imam, namun tidak merapat. Kemudian beliau menjelaskan, kata ‘sawa’ bermakna seorang makmum tidak boleh berada di depan atau di belakang imam. Menurut ulama mazhab Syafi’i, disunnahkan bagi seorang makmum berdiri tidak sejajar dengan imam (mundur sedikit).”
Beliau juga menyebutkan riwayat Ibnu Juraij rahimahullah, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Jika seorang shalat bersama satu orang yang lain, di mana posisinya?’ Beliau menjawab, ‘Di sebelah kanannya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah berdirisama sejajar, tidak bersela dan berselisih antara satu?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Kemudian aku bertanya lagi, ‘Apakah engkau menyukai bahwa seorang makmum berdiri sama persis hingga tidak ada celah (jarak) antara keduanya.’
Beliau menjawab, ‘Ya’.”
Adapun jika makmumnya dua orang, mayoritas ulama berpendapat, posisim mereka berdua berada di belakang imam. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh hadits Anas radhiyallahu ‘anhu,
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku dan seorang anak yatim yang tinggal
di rumah kami shalat di belakang Nabi; dan ibuku, Ummu Sulaim, di
belakang kami.” (HR. al-Bukhari)
Namun, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan yang lain berpendapat, masing-masing berdiri di samping imam, satu di sebelah kanan dan yang satu di sebelah kiri.Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Uzur Tidak Shalat Berjamah
An-Nawawi rahimahullah memberi judul hadits ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dengan bab “Rukhshati fi Takhallufi ‘Anil Jama’ati li ‘Udzrin” (“Keringanan Tidak Ikut Shalat Berjamaah karena Uzur”).
‘Itban z adalah seorang sahabatAnshar yang ikut Perang Badr. Beliau datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, aku sudah tidak
bisa melihat dan aku mengimami shalatmkaumku. Jika hujan, terjadi banjir
dilembah yang menjadi penghalang antara aku dan mereka. Aku pun tidak
bisa mendatangi masjid untuk shalat bersama mereka. Aku berharap, wahai
Rasulullah, engkau datang dan shalat di rumahku, di tempat yang biasa
aku jadikan untuk shalat.”
Beliau berkata, “Saya akan datangmdan melakukannya, insya Allah.” Berangkatlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu di
siang hari ke rumahku. Sesampainya di tempat, beliau meminta izin untuk
masuk. Aku pun mengizinkannya. Beliau pun masuk tanpa duduk terlebih
dahulu lalu bertanya, “Manakah tempat yang engkau sukai untuk aku shalat
padanya?”
Aku pun menunjuk ke satu sisi bagian
rumah. Beliau berdiri di sana dan bertakbir. Kami pun berdiri di
belakangnya (berjamaah). Setelah menyelesaikan dua rakaat beliau pun
salam. An-Nawawi t berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil tentang gugurnya kewajiban shalat berjamaah (di masjid) karena adanya uzur.” (Syarh an-Nawawi 3/171—174)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah juga menyebutkan dalam Shahih-nya
bab “Rukhshati fil Mathari wal ‘Illati an- Yushallia fi Rahlihi
(“Rukhshah ketika Hujan dan Sebab Seseorang Shalat di Rumah”). Pada bab
itu, beliau menyebutkan riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa di suatu malam yang cukup dingin dan angin bertiup kencang, beliau azan dengan menyuarakan,
صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
“Hendaklah kalian shalat di rumah kalian.”
Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya, apabila malam itu dingin sekali dan hujan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan muazin untuk menyuarakan, ‘Hendaklah kalian shalat di rumah’.” Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Judul yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah
menunjukkan keumuman sebab seseorang shalat di rumah (tidak ikut
berjamaah di masjid), baik karena hujan maupun sebab yang lain. Demikian
pula, rukhshah shalat di rumah bersifat umum, apakah berjamaah atau
sendirian.” Di tempat yang lain pada penjelasan bab “Apakah Seorang Imam
Shalat Bersama yang Hadir”, beliau berkata, “Meskipun didapati adanya
sebab rukhshah bagi seseorang untuk tidak hadir berjamaah (karena
hujan), andaikata ada orang yang memaksakan diri datang ke masjid, lalu
seorang imam shalat bersama mereka, hal ini tidak dibenci (boleh).
Perintah untuk shalat di rumah dalam
kondisi semacam ini hukumnya mubah (diperbolehkan), bukan sunnah. Hal
ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, saat
beliau khutbah di hari yang bertepatan dengan turun hujan. Ketika azan
sampai pada kalimat “hayya ‘alash shalah”, beliau memerintah muazin
untuk menyuarakan,
الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ
“Shalatlah di tempat (masing-masing).”
Sebagian mereka memandang sebagian yang lain, seolah-olah mereka mengingkari hal tersebut. Lalu beliau radhiyallahu ‘anhuma
berkata, “Seolah-olah kalian mengingkari hal ini. Sungguh, perkara ini
telah dilakukan oleh orang yang lebih mulia dariku, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya shalat Jumat itu satu keharusan dan aku tidak ingin menyusahkan kalian.”
Sebab lain yang diperbolehkan bagi
seorang untuk tidak hadir shalat berjamaah ialah sakit yang tidak
memungkinkan dirinya untuk keluar menuju ke masjid. Dalam penjelasan
terhadap Shahih al-Bukhari, bab “Hadhdhil Maridhi an
Yasyhadal Jama’ati” (“Anjuran bagi Orang yang Sakit Agar Menghadiri
Shalat Berjamaah”), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil ucapan Ibnu Tin rahimahullah, maksud bab ini adalah dorongan dan anjuran bagi orang yang sakit agar menghadiri shalat berjamaah. Ibnu Rasyid rahimahullah
mengatakan, makn bab ini ialah menjelaskan kadar yang membatasi orang
yang sakit agar dapat menyaksikan shalat berjamaah. Jika telah melampaui
batas, tidak disunnahkan untuk menghadirinya.
Hal ini berdasarkan kisah keluarnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menuju ke masjid dalam keadaan beliau sakit, dipapah oleh dua orang
sahabat dan bersandar pada yang lain. Hal ini sebagai isyarat, kalau
kondisi seorang yang sakit sampai pada tingkatan ini, tidak dianjurkan
memaksakan diri untuk shalat berjamaah, kecuali jika didapati orang yang
memapahnya. Demikian pula firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Setiap perkara yang menyusahkan dan
membuat kepayahan membuat seseorang diberi keringanan. Jika seseorang
terbebani dengan sangat berat atau tidak berat namun ia tidak mampu
menahan derita, dia diberi uzur untuk tidak shalat berjamaah. (al-Fath 2/178, 184—185)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
Apabila Imam Adalah Ahli Bid’ah Atau Beda Mazhab
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah menyebutkan bab “Imamatil Maftun wal Mubtadi’” (“Imam dari Seorang yang Terkena Fitnah dan Mubtadi’) lalu menyebutkan ucapan al-Hasan al-Bashri rahimahullah, “Shalatlah kalian (berjamaah dengannya) dan dia yang menanggung dosa kebid’ahannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mubtadi’ adalah seorang yang meyakini suatu perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Menurut asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Mubtadi’ terbagi menjadi dua:
1. Mubtadi’ yang kebid’ahannya sampai
membuat pelakunya kafir keluar dari Islam. Jika demikian, dalam keadaan
apa pun, seseorang tidak boleh shalat di belakangnya meskipun
orang-orang mengatakan bahwa dia muslim, karena bid’ahnya mukaffirah (sampai
tingkatan kufur). Bagaimana mungkin shalat di belakang seorang yang
diyakini bahwa dia adalah kafir, padahal orang kafir tidak sah
shalatnya.
2. Mubtadi’ yang tidak sampai taraf
kekafiran, meskipun bid’ahnya dipandang besar (berat).Seseorang boleh
shalat di belakangnya(menjadi makmum). Hal ini selama tidakmengandung
mafsadah di kemudianhari. Misalnya, manusia atau dia yang bermakmum
teperdaya oleh ahli bid’ah tersebut. Terkadang, manusia mengira bahwa
dia (imam tersebut) bukan mubtadi’ ketika mereka melihat ada si
Fulan dan si Fulan shalat di belakangnya. Demikian pula seseorang yang
shalat di belakangnya bisa jadi tertipu dan menganggap mubtadi’ itu berada di atas kebenaran. (al-Fath 2/220, Syarh al- Bukhari Ibnu ‘Utsaimin 3/156)
Mengenai shalat di belakang seorang yang beda mazhab, Syaikhul Islam rahimahullah
pernah ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab, “Sah shalat sebagian
mereka di belakang sebagian yang lain walau berbeda mazhab, sebagaimana
yang dilakukan salaf dan imam mazhab yang empat. Meskipun terjadi
perbedaan pendapat, tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat
tidak bolehnya sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain
(yang berbeda mazhab). Barang siapa mengingkari hal ini, berarti dia
adalah seorang mubtadi’ yang tersesat, menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, serta kesepakatan salaf umat ini dan para pemimpinnya.
Yang menyelisihi pendapat ini hanyalah
kalangan orang-orang belakangan yang sangat fanatik terhadap mazhabnya.
Sebagian mereka menganggap bahwa shalat di belakang orang yang bermazhab
Hanafi tidak sah, meskipun dia telah melaksanakan shalat berikut
kewajiban-kewajibannya.” (Majmu’ Fatawa 23/373)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Shalat Berjamaah Yang Kedua Di Satu Masjid
Ulama berselisih pendapat dalam
masalah ini, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Di antara ulama
yang berpendapat tidak bolehnya menegakkan jamaah yang kedua di satu
masjid adalah Abdullah bin Mas’ud, ‘Alqamah, Salim bin Abdillah,
al-Hasan al-Bashri, Abdullah bin al- Mubarak, ats-Tsauri, Abu
Hanifah,asy-Syafi’i, al-Laits bin Sa’d, al- Auza’i, dan Abdurrazzaq
ash-Shan’ani rahimahullah.
Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya, al-Umm (1/181), berkata, “Apabila di satu masjid terdapat imam rawatib
(tetap), lalu seorang atau beberapa orang luput dari shalat berjamaah,
hendaknya mereka shalat sendiri-sendiri. Aku tidak menyukai mereka
shalat berjamaah (mendirikan jamaah yang kedua). Jika mereka lakukan hal
itu, tetap sah shalat berjamaahnya. Akan tetapi, aku tidak menyukainya
karena hal itu termasuk perkara yang tidak dilakukan oleh salaf sebelum
kami, bahkan sebagian mereka mencelanya.”
Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (2/293) meriwayatkan ucapan al-Hasan al-Bashri rahimahullah,
“Adalah para sahabat Nabi n jika masuk ke masjid dan telah ditunaikan
shalat padanya, mereka shalat sendiri-sendiri.” Az-Zaila’i rahimahullah berkata dalam Nashbur Rayah (2/57), “Ada beberapa hadits yang menyebutkan ditegakkannya shalat jamaah dua kali di satu masjid.
Tentang hal ini, al-Imam Malik rahimahullah
melarangnya, namun ulama lain membolehkan. Yang benar, sekian banyak
ulama fikih berpendapat tidak boleh.” Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pelaksanaan shalat jamaah yang dilakukan oleh Anas bin Malik rahimahullah
di masjid yang telah ditunaikan shalat menunjukkan bahwa melakukan
shalat jamaah dengan bentuk seperti ini tidakmengapa (diperbolehkan),
meskipun ada yang berpendapat bahwa perkara ini adalah bid’ah. (Mereka
mengatakan,) apabila manusia masuk masjid dan mendapati shalat sudah
selesai, hendaknya mereka shalat sendiri-sendiri. Hal ini tidaklah
benar, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَإِنَّ
صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ،
وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ،
وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى
“Shalat seseorang
bersama satu orang lebih utama daripada shalat sendiri, shalat
(berjamaah) bersama dua orang lebih utama daripada shalat bersama satu
orang, semakin banyak yang berjamaah semakin dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala.” Hadits ini berlaku umum (berlaku pula bagi jamaah yang kedua). Demikian pula hadits yang mengisahkan seseorang yang tertinggal shalat berjamaah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang mau bersedekah kepada orang ini (yakni menemani untuk berjamaah)?”
Pada hadits di atas terdapat dalil pula
atas boleh terulangnya shalat berjamaah.” Para ulama menyebutkan, dalam
masalah ini terdapat tiga keadaan:
1. Masjid yang tidak
memilki imam tetap, seperti masjid-masjid di tepi jalan (untuk
persinggahan shalat). Pada masjid yang semacam ini boleh terulang-ulang
shalat berjamaah padanya dan tidak ada problem. Setiap orang yang masuk
boleh shalat berjamaah dan begitu seterusnya.
2. Masjid yang menjadikan
pengulangan shalat berjamaah sebagai
sunnah yang ditetapkan. Misalnya, sebagian jamaah ada yang berpendapat
sunnah untuk mengakhirkan shalat. Sebagian yang lain berpendapat sunnah
untuk mengerjakan shalat di awal waktu. Pihak yang berpendapat sunnah
untuk mengerjakan shalat di awal waktu datang lebih awal lalu melakukan
shalat berjamaah. Kemudian datang pihak yang berpendapat sunnah untuk
mengakhirkan shalat, lalu ditegakkanlah shalat berjamaah yang kedua.
Tidak diragukan, cara ini adalah bid’ah. Wajib bagi kaum muslimin untuk
bersepakat.
3. Masjid yang sesekali ditegakkan jamaah kedua padanya.
Maknanya, beberapa orang masuk masjid
dan menjumpai shalat sudah selesai. Hendaknya mereka shalat berjamaah
dan tidak ada masalah dalam hal ini. Hanya saja, apakah mereka (yang
mendirikan jamaah kedua) mendapatkan keutamaan seperti shalat jamaah
yang pertama atau tidak? Yang tampak, mereka tidak mendapatkan pahala
seperti jamaah yang pertama. Namun, shalat berjamaah mereka lebih utama
daripada shalat sendirian.
Para ulama menyebutkan riwayat bahwa
sebagian sahabat menghindari shalat berjamaah kedua di satu masjid,
supaya manusia tidak bermudah-mudah dan menyepelekan urusan ini.
Demikian pula jika seorang yang bermudah-mudah, bisa menjadi sebab
munculnya anggapan buruk pada hati seorang imam. Mengapa senantiasa
terlambat, apakah tidak mau shalat di belakangnya?! (Syarh al-Bukhari 3/64—66)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Fatwa – Fatwa Seputar Shalat Berjamaah
Masbuk Menyempurnakan Shalat, Ada yang Bermakmum
Ketika memasuki masjid, qadarullah (sebagaimana yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wata’ala),
saya mendapati imam telah shalat. Saya pun shalat bersama jamaah.
Setelah imam salam, saya berdiri untuk menyempurnakan apa yang terluput.
Tiba-tiba, seseorang masuk dan menjadikan saya sebagai imam. Bolehkah
orang tersebut menjadikan saya sebagai imam?
Jawab:
Apabila seorang makmum mendapatkan
sebagian shalat bersama imam lantas ia berdiri menyempurnakannya setelah
imam salam, siapa pun yang ingin shalat bersamanya boleh menjadikannya
sebagai imam menurut pendapat yang benar di antara beberapa pendapat
ahli fikih. Sebagian mereka—ulama mazhab Hanafi dan Maliki—berpendapat,
orang yang sedang menyempurnakan shalat setelah imam salam tidak boleh
dijadikan sebagai imam. Perkara ini bersifat ijtihadiah karena tidak ada
dalil yang tegas dalam hal ini.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani’. (Fatawa al-Lajnah, 7/399—400)
Shalat Fardhu Bermakmum Kepada yang Shalat Sunnah
Apabila saya sedang shalat tahiyatul masjid atau shalat sunnah, lalu seseorang masuk dan menyangka saya sedang shalat fardhu lantas langsung bermakmum kepada saya, bagaimana hukumnya? Apa yang harus saya lakukan?
Jawab:
Menurut pendapat yang paling benar di
antara dua pendapat ulama, seorang yang shalat fardhu boleh bermakmum
kepada orang yang sedang shalat sunnah atau bermakmum kepada orang yang
shalat sendirian. Seseorang tidak boleh menolak orang yang hendak
bermakmum kepadanya. Telah sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau sedang shalat malam sendirian, lantas ia berdiri ikut shalat di samping kiri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memindahnya ke sebelah kanan beliau dan shalat bersamanya.
Telah sahih pula bahwa dahulu Mu’adz radhiyallahu ‘anhu shalat isya berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian pulang dan mengimami kaumnya shalat isya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya.Demikian pula, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengimami shalat khauf dua rakaat bersama sekelompok sahabat kemudian salam. Setelah itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat mengimami kelompok yang lain kemudian salam. (HR. Abu Dawud)
Pada shalat yang kedua, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sunnah.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/405—406)
Musafir Bermakmum Kepada Orang yang Mukim
Saya menanyakan tentang shalat seorang musafir yang bermakmum kepada orang yang mukim/bukan musafir, apakah dia shalat secara sempurna (tidak qashar) bersama imam atau tidak?
Jawab:
Sah hukumnya shalat seorang musafir yang
bermakmum kepada imam yang mukim. Dia harus shalat secara sempurna
(tidak mengqashar) dan tidak boleh salam kecuali setelah imam salam.
Sebab, terdapat dalil yang sahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan hal tersebut.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/422—423)
Mendapatkan Rukuk Bersama Imam
Kami melihat banyak orang memasuki masjid ketika imam sedang rukuk. Bersamaan dengan ia melakukan takbiratul ihram, imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Orang ini tidak mungkin membaca tasbih dalam rukuknya. Apakah dia teranggap mendapatkan satu rakaat meskipun tidak sempat membaca tasbih, atau dia harus menambah satu rakaat lagi setelah imam salam?
Jawab:
Siapa yang melakukan takbiratul ihram
ketika imam bangkit dari rukuk, rakaat tersebut tidak teranggap.
Demikian pula orang yang takbiratul ihram lalu bertakbir untuk rukuk
kemudian turun ke rukuk dalam keadaan imam bangkit dari rukuk, rakaatnya
tidak teranggap. Sebab, dia tidak dapat menyertai imam saat rukuk
dengan kadar yang cukup agar rakaat itu teranggap. Dia harus menambah
satu rakaat sebagai penggantinya setelah imam salam.
Siapa yang melakukan takbiratul ihram
dan mendapatkan imam sedang rukuk, lantas ia pun rukuk dengan kadar yang
cukup untuk melakukannya secara thuma’ninah, dia teranggap mendapatkan
rakaat tersebut, menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan
hadits,
إِذّا
جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلاَ
تَعُدُّوهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ
الصَّلَاةَ
“Jika kalian mendatangi shalat dan
kami sedang sujud, sujudlah, namun hal itu janganlah dihitung. Barang
siapa mendapati rakaat tersebut berarti ia mendapatkan shalat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim dalam No.87/VIII/1433 H/2012 36 al-Mustadrak)
Demikian pula hadits,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَة فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barang siapa mendapati satu rakaat, berarti ia telah mendapatkan shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan. (Fatawa al-Lajnah, 7/316—317)
Terlambat Shalat Berjamaah
Bagaimana hukumnya seorang masbuk yang tertinggal dari shalat maghrib?
Jawab:
Masbuk yang tidak mendapati shalat
jamaah sama sekali hendaknya mencari shalat jamaah yang lain apabila
mampu. Jika tidak mendapatkan, dia shalat sendirian.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/327)
Sedang Shalat Sunnah, Iqamat Dikumandangkan
Apabila iqamat dikumandangkan dan
seseorang sedang melakukan shalat sunnah dua rakaat atau tahiyatul
masjid, apakah dia menghentikan shalatnya agar bisa shalat wajib
berjamaah? Apabila jawabannya ya, apakah dia harus salam dua kali ketika
menghentikan shalatnya atau dia hentikan tanpa salam?
Jawab:
Yang benar di antara dua pendapat ulama,
hendaknya dia menghentikan shalat tersebut dan tidak perlu salam untuk
keluar dari shalat tersebut. Dia langsung bergabung dengan imam.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/315)
Tidak Shalat Berjamaah Karena Ada Kemungkaran
Bagaimana hukumnya dalam agama,
seseorang melihat shalat jamaah di masjid tetapi tidak ikut shalat
karena melihat dan mendengar amalan-amalan yang tidak ada syariatnya
dalam agama, seperti azan di dalam masjid, tambahan dalam azan, adanya
halaqah zikir di dalam masjid padahal orang-orang sedang rukuk dan
sujud. Apakah perbuatan saya tidak ikut shalat berjamaah ini menyebabkan
saya berdosa? Lantas bagaimana yang benar?
Jawab:
Anda tidak boleh meninggalkan shalat
berjamaah di masjid karena hal-hal yang Anda sebutkan. Azan di dalam
masjid diperbolehkan; tambahan dalam azan tidak Anda jelaskan;
mengadakan halaqah di masjid secara umum diperbolehkan apabila halaqah
itu mempelajari ilmu syariat. Adapun halaqah zikir model sufi dan
halaqah bid’ah yang semisalnya, wajib diingkari, namun tidak menghalangi
Anda untuk menunaikan shalat berjamaah.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/306)
Shalat di Jalan Sebelah Masjid Ketika Masjid Penuh
Bagaimanakah batasan masjid menurut
syariat? Apakah jalan yang bersebelahan dengan masjid termasuk masjid
sehingga boleh shalat Jumat padanya ketika masjid penuh karena banyaknya
jamaah, padahal masih ada masjid lain yang tidak dipenuhi oleh jamaah?
Jawab:
Batasan masjid yang menjadi tempat
shalat wajib lima waktu bagi kaum muslimin adalah apa yang dilingkupi
oleh bangunan, kayu, pelepah kurma, bambu, atau lainnya. Inilah masjid
yang berlaku atasnya hukum-hukum masjid, semisal tidak bolehnya wanita
haid, nifas, dan junub menetap di dalamnya. Orang yang datang ke masjid
yang sudah penuh, boleh melakukan shalat Jumat atau shalat lainnya—baik
yang wajib maupun sunnah—di luar masjid, di jalan yang terdekat dengan
masjid, dan selama dia bisa mengikuti gerakan imam. Sebab, hal ini
memang dibutuhkan; dengan syarat tidak di depan imam. Hanya saja tidak
berlaku hukum-hukum masjid di tempat itu. Wallahu a’lam.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani’. (Fatawa al-Lajnah, 6/223)
Mendahului Gerakan Imam
Apa hukumnya seseorang mendahului gerakan imam? Sahkah shalatnya?
Jawab:
Haram hukumnya makmum mendahului imam,
bahkan hal ini termasuk dosa besar karena adanya ancaman bagi pelakunya.
Adalah sahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَمَا
يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ
يُحَوِّلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ أَنْ يَجْعَلَ اللهُ
صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ
“Tidakkah salah seorang dari kalian
takut apabila mengangkat kepalanya mendahului imam bahwa Allah akan
mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau mengubah wujudnya menjadi
wujud keledai?” (HR. al-Bukhari)
Adapun tentang sah tidaknya shalatnya,
ada perbedaan pendapat. Yang lebih kuat dalam hal ini ialah apabila
seseorang mendahului imam dengan sengaja, shalatnya batal. Apabila
mendahului imam secara tidak sengaja, ia kembali ke posisi sebelumnya
lantas mengikuti imam.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/328—329)
Imam Sujud Sahwi, Makmum Mengikuti?
Imam melakukan kesalahan yang
menyebabkannya melakukan sujud sahwi, sedangkan saya yakin shalat saya
(sebagai makmum) sempurna. Imam melakukan sujud sahwi sebelum salam.
Saya tidak ikut melakukan sujud sahwi kecuali setelah imam salam.
Bagaimana hukum masalah ini?
Jawab:
Imam adalah teladan yang diikuti oleh para makmum. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan mengikuti imam,
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
“Imam diadakan tidak lain untuk diikuti. Apabila dia bertakbir, bertakbirlah kalian. Apabila dia rukuk, rukuklah kalian.”
Tindakan Anda yang sengaja tidak mengikuti imam dalam hal sujud sahwi, tidak diperbolehkan. Anda harus mengulangi shalat Anda tersebut.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan. (Fatawa al- Lajnah, 7/329)
Qiraah Imam Tidak Bagus
Saya shalat di rumah bersama keluarga
saya. Sebab, imam di masjid melakukan lahn (kesalahan dalam qiraah)
al-Qur’an hingga jelas-jelas mengubah maknanya. Hafalan saya lebih
banyak dan lebih sesuai dengan kaidah-kaidah qiraah. Selain itu, pada
diri saya tidak ada kemaksiatan sebagaimana yang ada pada imam
tersebut—dan Allah Subhanahu wata’ala sajalah yang
menyucikan hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dia dan jamaahnya bersikeras
atas keimamannya karena mereka fanatik kepadanya dan tidak menyukai
saya. Sebab, mereka berbeda kabilah dengan saya.
Di samping itu juga karena
pengingkaran saya terhadap kesalahan mereka. Saya sendiri sebenarnya
seorang yang ditugaskan menjadi imam sebuah masjid jami’ di desa lain,
hanya saja saya tidak bisa hadir setiap waktu shalat bersama jamaah
saya. Bolehkah saya shalat menjadi makmum di belakang imam tersebut?
Bolehkah saya mengajukan keberatan (kepada pemerintah) tentang mereka?
Jawab:
Menunaikan shalat lima waktu secara
berjamaah hukumnya wajib kecuali apabila ada uzur yang menghalanginya,
seperti sakit dan lainnya. Oleh karena itu, hendaknya Anda menunaikannya
secara berjamaah di masjid yang Anda ditugaskan menjadi imamnya. Hal
ini lebih pantas karena dengan demikian berarti Anda menunaikan dua
kewajiban:
kewajiban sebagai imam yang menjadi
tugas Anda dan kewajiban menunaikan shalat berjamaah. Apabila berat bagi
Anda, biarkanlah tugas menjadi imam ini diemban oleh orang lain yang
bisa menunaikannya sesuai dengan yang dituntut. Shalatlah di masjid yang
dekat dengan rumah Anda sebagai makmum, selama imamnya tidak melakukan lahn yang mengubah makna (ayat). Jika lahn yang
dilakukannya mengubah makna, hendaknya dia dinasihati. Jika tidak mau
menerima dan tetap bersikeras menjadi imam bersamaan dengan adanya lahn yang
mengubah makna, hendaknya dilaporkan kepada pejabat yang bertanggung
jawab mengurusi keimaman masjid pada Kementerian Agama agar diperiksa.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan. (Fatawa al- Lajnah, 7/351—352)
Anak-Anak Menjadi Imam
Seseorang memasuki masjid dan
mendapati sejumlah anak-anak. Yang terbesar di antara mereka berusia dua
belas tahun. Sahkah keimaman anak yang berusia dua belas tahun
tersebut?
Jawab:
Sah hukumnya seorang anak yang sudah berakal menjadi imam shalat berdasarkan sabda Nabi Subhanahu wata’ala,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ – الْحَدِيثَ
“Yang menjadi imam adalah yang paling banyak bacaannya terhadap Kitabullah ….”
Demikian pula hadits dalam Shahih al-Bukhari dari Umar bin Salamah al- Jarmi radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Ayahku kembali dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan bahwa dirinya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا
‘Apabila datang waktu shalat, hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling banyak bacaan al-Qur’annya di antara kalian.’
Mereka melihat-lihat dan tidak
mendapatkan seseorang yang lebih banyak bacaan al-Qur’annya daripada
diriku. Mereka pun menyuruhku maju padahal usiaku masih enam belas atau
tujuh belas tahun.”
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan. (Fatawa al- Lajnah, 7/393—394)
Apabila Imam Berhadats
Imam berhadats pada rakaat yang kedua
dalam shalat ashar. Dia pun keluar dari shalat dan menunjuk orang lain
menggantikannya. Apakah orang tersebut menyempurnakan (meneruskan)
shalat atau mengulanginya dari awal?
Jawab:
Jika imam berhadats di tengahtengah
shalat, disyariatkan baginya untuk menunjuk pengganti yang meneruskan
shalat yang tersisa. Dengan demikian, tetap sah shalatnya dan shalat
para makmum. Hal ini berdasarkan kisah Umar z ketika beliau menjadi imam
dan ditusuk, beliau menunjuk Abdurrahman bin Auf sebagai imam yang
menggantikannya. Abdurrahman pun menyempurnakan shalat bersama jamaah.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan. (Fatawa al-Lajnah, 7/399)
Memperlama Bacaan Shalat
Saya shalat di masjid kampung. Ketika
saya shalat dan menjadi imam, mereka mengatakan, “Ringankanlah
shalatnya.” …Apakah saya harus memperingan shalat atau tidak? Padahal
mereka masih muda, tidak ada yang lanjut usia ataupun orang tua yang
lemah. Saya shalat hanya membaca kurang dari sepuluh ayat. Bagaimana
solusinya? Apa hukum hal ini dalam Islam?
Jawab:
Ketika seseorang mengimami manusia,
disunnahkan agar ia memerhatikan keadaan mereka dan mengambil yang
paling lemah di antara mereka sebagai ukuran. Inilah patokan yang
disebutkan dalam sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam yang suci. Shalat dengan membaca sepuluh ayat tidak tergolong memperpanjang. Biasanya, pada shalat subuh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat-surat mufashshal yang panjang; pada shalat maghrib membaca surat-surat mufashshal yang pendek, meski terkadang membaca yang panjang; pada shalat isya, zuhur, dan ashar, beliau n membaca yang suratsurat mufashshal yang pertengahan. Terkadang beliau memperpanjang shalat zuhur. Surat-surat mufashshal dimulai dari surat Qaf hingga akhir surat an-Nas.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/412—413)
Orang yang Paling Pantas di Belakang Imam
Bolehkah imam memilihkan tempat di
belakangnya bagi ulama agar ketika dia lupa ada yang mengingatkannya?
Apakah hal ini dibolehkan oleh syariat?
Jawab:
Disyariatkan agar makmum yang berada di
belakang imam adalah orang yang berilmu, memiliki keutamaan, serta orang
yang baligh dan berilmu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Hendaknya yang di belakangku adalah
orang yang baligh dan berilmu, kemudian yang di bawah mereka, kemudian
yang di bawah mereka.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)
Makna hadits di atas adalah disyariatkan
bagi orang yang baligh dan berilmu untuk bersegera menuju shalat
sehingga mereka berada di belakang imam. Jadi, tidak bermakna bahwa
disediakan tempat bagi mereka (di belakang imam) sampai mereka hadir.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 8/16—17)
Posisi Anak-Anak Dalam Shaf
Apakah anak-anak yang belum baligh bisa dianggap menjadi shaf yang sempurna?
Jawab:
Apabila seorang anak lelaki mencapai usia tujuh tahun, dia terhitung dalam shalat berjamaah dan shafnya sempurna.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 8/21)

Sikap Muslimin Terhadap Film Yang Menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin
Muhammad Alusy Syaikh, kepada segenap kaum muslimin yang membacanya,
semoga Allah menyelamatkan mereka. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Amma ba’du; Kita memuji Allah Subhanahu wata’ala
yang telah melimpahkan nikmat kepada kita dengan menjadikan kita
sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, yang memerintahkan
yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, serta beriman kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala
juga telah menganugerahkan nikmat dan keutamaan dengan menurunkan
kitab-Nya yang termulia, al-Qur’an, al- Furqan, kepada kita. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ
هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ
الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا
كَبِيرًا
“Sesungguhnya al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.” (al-Isra: 9)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan
al-Furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam.” (al-Furqan:1)
Allah Subhanahu wata’ala juga
memberi anugerah kepada kita—dan Dia adalah Dzat Pemilik keutamaan dan
anugerah—dengan mengutus Rasul-Nya yang termulia, penutup para nabi-Nya,
Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang nabi dari keturunan Bani Hasyim, dari suku Quraisy. Menjadi teranglah cahaya kenabian atas beliau. Allah Subhanahu wata’ala memuliakan beliau dengan menjadikan beliau sebagai rasul dan mengutusnya kepada makhluk-Nya. Allah Subhanahu wata’ala
pun mengistimewakan beliau dengan berbagai karamah, sekaligus menjadi
perantara (penyampai risalah) yang tepercaya antara Dia dan para
hamba-Nya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan dan mengajari mereka al-Kitab dan hikmah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ
أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh, Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka
seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (Ali Imran: 164)
Dengan mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Subhanahu wata’ala mewujudkan tauhid yang dengannya Dia menghapus kesyirikan. Allah Subhanahu wata’ala pun menjadikan cahaya yang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bawa sebagai penerang kehidupan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَوَمَن
كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي
النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ
كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam
gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka
kerjakan.” (al-An’am: 122)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman pula,
وَكَذَٰلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا
الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ
مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan
kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya,
yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
Diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rahmat bagi alam semesta ini, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya: 107)
Dengan pengutusan beliau, terwujudlah
rahmat yang sempurna yang memperbaiki kehidupan mereka di dunia dan
keadaan mereka di hari kiamat,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at- Taubah: 128)
Di samping memerintahkan pengagungan
terhadap perintah Allah, syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
juga membawa kasih sayang bagi seluruh hamba-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ () وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ () فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
“Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala
yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah.” (al-Lail: 5—7)
Para ulama mengatakan bahwa dua pokok
ini—mengagungkan perintah Allah dan membawa kasih sayang bagi para
hamba-Nya—adalah sifat umum agama ini. Seiring dengan kesempurnaan agama
Islam yang agung ini, yang dasar tujuannya sesuai dengan fitrah yang
lurus, penuh toleransi dan kemudahan dalam hal pensyariatan, penuh
keadilan dan keseimbangan dalam memenuhi hak, penuh kebaikan dalam hal
bantuan dan pemberian; sungguh urusan dan keadaannya telah mencapai apa
yang diliputi oleh malam dan siang. Manusia pun masuk ke dalam agama
Islam secara berbondong-bondong. Dengan hikmah-Nya, Allah Subhanahu wata’ala
menentukan terjadinya pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Di
antara ketentuan- Nya tersebut adalah adanya orang-orang yang benci dan
tidak menyukai para nabi dan rasul serta kebenaran yang jelas yang
mereka ajarkan. Hal ini disebabkan buruknya hati mereka dan rusaknya
fitrah mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan
(dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Rabbmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah
mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am: 112)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami
adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang orang yang berdosa. Dan
cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (al-Furqan: 31)
Yang mereka inginkan adalah,
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin hendak memadamkan
cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah
tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaf: 8)
Jadi, di antara para setan itu adalah
setan dari kalangan manusia dan jin. Sejarah mengungkapkan berbagai
tipu daya, metode, ucapan, dan perbuatan yang merupakan makar dan
muslihat yang mereka usahakan dalam rangka mencela hamba dan Rasul-Nya,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala telah
melindungi beliau dari makar mereka dan mengembalikannya ke leher
mereka. Demikianlah. Di antara upaya sesat dan putus asa mereka yang
terakhir adalah apa yang menjadi berita pada hari-hari ini, yaitu
penyebaran sebuah film yang berupaya menghina Nabi n. Kami ikuti pula
perkembangan penolakan lembagalembaga Islam dan Negara terhadap upaya
kotor yang tidak direstui oleh akal sehat dan agama tersebut. Oleh
karena itu, kami ingin menjelaskan beberapa poin penting berikut kepada
segenap pihak.
1. Tindakan kriminal yang buruk ini, yaitu penyebaran film yang jelek tersebut, sama sekali tidak memadaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia dan agama Islam. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala telah mengangkat kedudukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus menjadikan kerendahan dan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintah beliau. Allah telah menganugerahi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kemenangan yang nyata. Allah Subhanahu wata’ala juga melindungi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari seluruh manusia dan memberi kecukupan kepada beliau dari orang-orang yang mengolok-olok beliau. Selain itu, Allah Subhanahu wata’ala
menganugerahkan al-Kautsar kepada beliau dan menjadikan orang yang
membenci beliau sebagai orang yang terputus (kebaikannya). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ () وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ () الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ () وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang
memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama) mu?” (al-Insyirah: 1—4)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
إِنَّا
فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا () لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا
تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا () وَيَنصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا
عَزِيزًا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu
terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang
lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat
(banyak).” (al-Fath: 1—3)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman pula,
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
“Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (al-Maidah: 67)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya?” (az-Zumar: 36)
Firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
“Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (al-Hijr: 95)
Firman-Nya yang lain,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ () فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ () إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan
berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang
terputus.” (al-Kautsar: 1—3)
Semakin besar upaya jelek orang-orang jahat tersebut, akan semakin tersebar pula keutamaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketinggian agama Islam. Ini adalah bukti atas kebenaran ayat ayat mulia di atas.
2. Seorang muslim diperintah dan
dituntut—dalam setiap hal yang dilakukannya atau ditinggalkannya—untuk
selalu mengikuti petunjuk dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai pengamalan terhadap firman Allah Subhanahu wata’ala,
لَّقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Dengan demikian, pengingkaran seorang
muslim terhadap tindakan kriminal ini juga wajib disesuaikan dengan apa
yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Kitab- Nya
dan oleh Rasulullah dalam sunnah beliau. Kemurkaan dan kemarahan mereka
hendaknya tidak melampaui syariat hingga menyebabkannya melakukan hal
yang dilarang. Sebab, jika demikian, berarti kaum muslimin tanpa sadar
benar-benar telah masuk perangkap yang menjadi tujuan film yang jelek
tersebut. Haram hukumnya melibatkan orang yang tidak bersalah ke dalam
kejahatan seorang kriminal dan pendosa. Haram pula hukumnya melampaui
batas terhadap orang orang yang dilindungi darah dan hartanya, atau
memprovokasi massa untuk membakar dan menghancurkan (bangunan).
Tindakan tindakan tersebut justru memperburuk citra agama Islam. Tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala dan sama sekali tidak termasuk sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah telah mencela orang-orang yang membakar rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri, dan kita harus mengambil pelajaran dari keadaan
mereka tersebut. Pada kesempatan ini, hendaknya kita juga mengingat
bahwa tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam— yang berhak
kita tebus dengan diri dan keluarga kita—diolok-olok kecuali semakin
menekuni akhlak yang utama dan perangai yang mulia, sebagai pengamalan
terhadap firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَقَدْ
نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ () فَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ () وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ
يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui,
dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang
yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu
yang diyakini (ajal).” (al-Hijr: 97—99)
Sungguh, Allah Subhanahu wata’alatelah menyebutkan sifat beliau dalam firman-Nya,
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Dalam Shahih al-Bukhari dan lainnya, dari hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dia ditanya, “Ceritakanlah kepada kami tentang sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang disebutkan di dalam Taurat.” Abdullah bin Amr menjawab, “Sungguh,
sifat beliau yang disebutkan dalam Taurat adalah seperti yang
disebutkan dalam al-Qur’an, ‘Wahai Nabi, Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pelindung kaum yang ummi. Engkau adalah hamba dan utusan-Ku. Aku namai engkau al-Mutawakkil. Engkau bukan orang yang kasar tutur katanya, keras perangainya, dan suka berteriak di pasar. Engkau juga tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tetapi dengan kebaikan. Engkau justru memaafkan dan mengampuni. Aku tidak akan mewafatkannya hingga Aku tegakkan agama yang telah bengkok itu. Melalui dia, Aku buka mata-mata yang buta, telingatelinga yang tuli, dan hati-hati yang lalai, dengan mereka mengucapkan La ilaha illallah’.”
Apabila pengingkaran yang luas di dunia
Islam tidak menimbulkan tindakantindakan positif dan konstruktif, tentu
hal itu tidak akan bertahan lama dan segera berakhir pengaruhnya,
seakan-akan tidak terjadi apa pun sebelumnya. Oleh karena itu, bentuk
pembelaan terbesar terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah meneladani petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, menyebarkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, mempelajari sejarah kehidupan beliau, dan menyebarkan kebenaran Islam serta ajaran-ajarannya.
3. Kaum muslimin harus sadar sepenuhnya bahwa perbuatan dosa dan kriminal tersebut tidaklah ditujukan untuk menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka (yang melakukannya) tahu bahwa mereka sama sekali tidak bisa memberi madarat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, yang kami ketahui dengan pasti—bukan hanya sangkaan—
dengan membaca sejarah hingga saat ini,
musuh-musuh (agama) yang menyalakan gejolak ini atau provokasi lainnya,
menyelipkan banyak tujuan. Di antara ambisi mereka adalah memalingkan
kaum muslimin dari pekerjaan besar yang sedang mereka lakukan: membangun
negara, mewujudkan persatuan, dan menggapai kemodernan serta kemajuan.
Karena itu, bantahan yang gamblang terhadap penghinaan tersebut adalah
kaum muslimin hendaknya terus melaju, giat, dan bertekad kuat untuk
membangun dan mengembangkan negeri mereka, hingga mereka mampu
menunaikan tanggung jawab dan amanah sebagai umat terbaik yang
dikeluarkan untuk manusia.
4. Pada kesempatan ini, kami mendorong
dan menuntut agar negara-negara serta organisasi multilateral di dunia
bergerak mengajukan tuntutan pidana terhadap tindakan penghinaan kepada
para nabi dan rasul, seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad,
Alaihissalam, yang dihormati, diagungkan dan dimuliakan oleh nurani
kemanusiaan. Sungguh, negeri dua tanah suci, Kerajaan Arab Saudi,
memiliki tuntutan yang lebih dalam hal ini. Kami memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala
agar meliputi seluruh penjuru dunia ini dengan kebaikan, memberi taufik
kepada kaum muslimin agar menyatukan langkah mereka, dan memperbaiki
keadaan mereka. Sesungguhnya Dia Mahakuasa untuk mewujudkannya. Semoga
shalawat dan salam selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabat beliau seluruhnya.
Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi, Ketua Dewan Ulama Besar & Komite Penelitian Ilmiah dan Fatwa
(Sumber http://www.sahab.net/ home/?p=975)

Tanya Jawab Ringkas Edisi 87
Beda Najis & Hadats
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Apakah perbedaan antara najis dengan hadats? +6285647XXXXXX
Najis itu bendanya seperti air kencing, kotoran manusia, bangkai, dsb. Hadats itu keluarnya yang membatalkan kesucian, seperti buang air kecil (BAK), buang angin, buang air besar (BAB), dsb.
Bolehkah Meruqyah Orang Lain?
Apakah boleh membacakan ayat ayat al-Qur’an (ruqyah) kepada saudara kita yang sedang sakit parah? +6285648XXXXXX
Boleh.
Kedutan di Mata
Apakah memercayai kedutan (aliran darah yang berdenyut) di mata sebagai suatu pertanda termasuk perbuatan tathayur? +6285257XXXXXX
Ya, tathayur.
Mandi Jum’at
Saya seorang buruh yang setiap hari
Jumat sebelum berangkat kerja sudah mandi. Apakah saya harus mandi lagi
ketika hendak shalat jumat atau sudah cukup dengan mandi pagi sebelum
berangkat kerja? +6285725XXXXXX
Mandi tersebut sudah cukup apabila
diniatkan juga sebagai mandi jumat, namun apabila Anda berkeringat atau
tubuh Anda menjadi berbau, lebih baik mandi lagi walaupun mandi yang ini
tidak wajib.
Istri Ayah, Mahram bagi Anak
Bagaimana hukumnya anak laki laki suami dari istri sebelumnya, apakah anak laki-laki itu bisa mahram dengan istri sekarang? +6289693XXXXXX
Ya, mahram.
Zikir Setelah Shalat Atau Menjawab Azan?
Misal kita sedang berzikir setelah shalat fardhu bersamaan terdengar azan dari masjid lain, apa yang kita lakukan? +6285797XXXXXX
Zikir lebih diutamakan.
Anak Kencing di Halaman
Apakah jika ada anak kecil kencing di
halaman/tanah lalu orang tua tidak menceboki dan menyiram air kencing
tadi termasuk tidak menjaga dari kencing? +6285292XXXXXX
Sudah benar, yang tidak menjaga ialah apabila tidak cebok, atau membiarkan percikan kencing tanpa mencucinya.
Sunnah Membaca Surat al-Kahfi
Adakah sunnah membaca surat al-Kahfi setiap Jumat? +6281370XXXXXX
Ya, dianjurkan membaca surat al- Kahfi pada hari Jumat.
Qadariyah & Jabriyah
Mengapa ada aliran sesat yang disebut qadariyah dan jabriyah? +6285290XXXXXX
Disebut Qadariyah karena menyimpang
dalam masalah takdir, yakni tidak beriman kepada takdir. Adapun aliran
Jabriyah maksudnya paksaan, karena mereka meyakini bahwa manusia
terpaksa dengan takdir dan tidak punya kehendak.
Bersepeda Motor Tanpa Helm
Bolehkah seorang ustadz mengendarai sepeda motor tanpa memakai helm?
+6281803XXXXXX
Di daerah wajib helm, hendaknya menaatinya, siapa pun dia.
Hukum Sedekah Bumi
Apa hukumnya kendurian sedekah bumi? +6285292XXXXXX
Kenduri dan sedekah bumi tidak boleh, minimalnya bid’ah dan ada yang sampai pada tingkat syirik.
Perempuan Haid Memegang Mushaf
Bagaimana hukumnya apabila seorang perempuan yang sedang haid memegang al-Qur’an?
+6287837XXXXXX
Boleh memegang mushaf al-Qur’an
menurut pendapat yang kuat, apabila dibutuhkan untuk mengingat hafalan/
menghafal atau membaca sementara dia tidak hafal.
Membantu Acara Bid’ah
Bolehkah seseorang membantu acara bid’ah seperti pengajian maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagainya? Karena dia diberi amanat sebagai marbot (penjaga masjid). +628121XXXXXX
Tidak boleh, karena hal itu termasuk tolong-menolong dalam bid’ah, sehingga dia berdosa.
Hukum Memakai Peci Nasional
Bagaimana hukum memakai peci nasional (songkok)? Apakah itu termasuk tasyabuh? +6285642XXXXXX
Boleh memakai peci tersebut, itu ciri khas muslimin di negeri kita, bukan tasyabbuh.
Niat Infak yang Berubah
Saya memiliki sejumlah uang untuk
diinfakkan ke masjid, tetapi saya gunakan untuk disumbangkan ke Dammaj
(Yaman, -red.). Bolehkah hal demikian? +6283830XXXXXX
Kalau baru niat, boleh. Kalau sudah diikrarkan untuk masjid, maka tidak boleh untuk yang lain.
Status “Almarhum”
Apakah istilah almarhum (alm.) kepada orang yang sudah mati ada dalam ajaran agama Islam?
+6285649XXXXXX
Tidak ada, yang tepat hendaknya berupa doa: rahimahullah, Allah yarhamhu, atau alaihi rahmatullah (semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmatinya). Penggunaan istilah “almarhum” cenderung mengacu pada kepastian (orang tersebut pasti dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala).
Zikir Pagi setelah Matahari Terbit
Bolehkah seseorang membaca zikir pagi sedangkan matahari telah terbit? +6281578XXXXXX
Zikir pagi waktunya sebelum terbit matahari.
Makna Fasik
Apa arti orang fasik, apa contohnya? +622470XXXXXX
Fasik artinya pelaku dosa besar, misalnya pelaku zina, mencuri, berbohong, mabuk, dsb.
Makna Ghulul
Apa yang dimaksud dengan ghulul? +6285359XXXXXX
Ghulul adalah mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Haid Lama Karena Suntik KB
Saya haid lebih dari 15 hari karena
suntik KB. Bagaimana dengan kewajiban shalat? Apakah tetap shalat meski
masih keluar darah atau tidak shalat sampai darah benar-benar berhenti? +6285642XXXXXX
Tidak ada batas minimal atau maksimal
waktu haid. Yang dianggap adalah wujudnya darah. Selama belum suci,
maka tidak boleh shalat, puasa, dan bercampur dengan suami.
Waffaqakumullah.
Zina Tangan
Apakah saling mengirim SMS dengan ajnabi (nonmahram) termasuk zina tangan? +6282137XXXXXX
Zina tangan adalah semua maksiat yang dilakukan oleh tangan, SMS kepada lain jenis termasuk salah satunya. Wallahul musta’an.

Mendulang Pahala Dengan Shalat Berjamah
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al Baqarah: 43)
Tafsir Ayat
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dan dirikanlah shalat.”
Berasal dari kata ) قَامَ ( yang
bermakna tetap dan kokoh. Jadi, yang dimaksud ) أَقَامَ ( adalah
menetapkan dan mengokohkan. Dengan demikian, menegakkan shalat maknanya
adalah menunaikannya dengan melakukan rukunrukunnya, sunnah-sunnahnya,
dan tata caranya yang dilakukan pada waktunya. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Menegakkan shalat adalah menyempurnakan rukuk dan sujud, bacaan, kekhusyukan, dan konsentrasi.”
Qatadah rahimahullah berkata, “Makna menegakkan shalat adalah menjaga waktu-waktunya, wudhu, rukuk, dan sujudnya.”
Makna ini pula yang dipakai oleh Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala menulis surat kepada para pegawainya,
إِنَّ
أَهَمَّ أَمْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ، فَمَنْ حَفِظَهَا وَحَافَظَ
عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا
أَضْيَعُ
“Sesungguhnya
urusan kalian yang terpenting bagiku adalah shalat. Barang siapa menjaga
dan memeliharanya, berarti dia memelihara agamanya, dan siapa yang
menelantarkannya, berarti dia lebih menelantarkan yang lainnya.” (Riwayat al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’, no. 6, al-Baihaqi, 1/445) (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 1/253, Fathul Qadir, 1/114, Tafsir ath-Thabari, 1/248)
Adapun shalat secara bahasa bermakna doa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka, serta mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Jika salah seorang kalian diundang, hendaklah ia menjawabnya (memenuhi undangannya). Jika dia berpuasa, hendaklah ia mendoakannya, dan jika ia tidak berpuasa, hendaknya ia makan.” (HR. Muslim no. 1431)
Adapun secara istilah syariat, shalat
adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Para ulama berbeda
pendapat tentang shalat yang dimaksud dalam ayat ini, apakah shalat
wajib atau mencakup seluruh shalat, yang wajib dan yang sunnah. Pendapat
kedua dikuatkan oleh al-Qurthubi rahimahullah. Beliau
berkata setelah menyebutkan pendapat kedua, “Inilah pendapat yang benar
karena lafadznya umum, dan orang yang bertakwa mengamalkan kedua jenis
shalat tersebut.” (Tafsir al-Qurthubi, 1/261)
وَآتُوا
“Aatuu” berasal dari kata “aliitaa” )
الْإِيْتَاءُ (, maknanya memberikan dan menunaikan. Adapun “zakaah”
berasal dari kata “zaka–yazku” ) زَكَا – يَزْكُو ( yang bermakna
bertambah dan berkembang. Dinamakan zakat karena mengeluarkan zakat akan
menyebabkan harta semakin berkah atau orang yang menunaikannya akan
semakin bertambah pahala dan keutamaannya. Ada pula yang berkata bahwa
zakat berasal dari “zaka” yang bermakna suci dan bersih. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (at-Taubah: 103)
Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang zakat yang dimaksud dalam ayat ini:
1. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat mal yang wajib. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat fithr. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Imam Malik rahimahullah.
Yang kuat dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama, dengan beberapa alasan:
• Perintah menunaikan zakat di sini digandengkan dengan perintah menegakkan shalat, yaitu shalat lima waktu.
• Zakat fithr biasanya dihubungkan dengan Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ayat ini menyebutkan zakat secara mutlak. (lihat Tafsir al-Qurtubi, 2/24, Fathul Qadir, 1/178)
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”
Rukuk secara bahasa bermakna membungkuk.
Setiap orang yang membungkuk kepada yang lain maka ia disebut melakukan
rukuk kepada orang tersebut. Rukuk adalah salah satu perbuatan yang
tidak boleh dilakukan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, sebab hal itu termasuk jenis ibadah, seperti halnya sujud. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Rabb kalian,
dan perbuatlah kebajikan supaya kalian mendapat kemenangan.” (al-Hajj: 77)
Ada beberapa faedah dikhususkannya penyebutan rukuk di dalam ayat ini:
1. Untuk membedakan antara shalat kaum muslimin dan shalat kaum Yahudi (yang menyimpang) yang tidak ada rukuk di dalamnya.
2. Untuk menjelaskan bahwa rukuk adalah salah satu rukun shalat yang tidak sah ibadah seseorang
kecuali dengan melakukan rukuk dan
menyempurnakannya. Mengungkapkan sebuah ibadah dengan menyebut salah
satu amalannya, menunjukkan wajibnya amalan yang disebutkan tersebut.
Seperti halnya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji itu adalah wukuf di Arafah.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, al-Hakim, dan yang lainnya dari Abdurrahman bin Ya’mar radhiyallahu ‘anhu) (Lihat Fathul Qadir, asy-Syaukani; Taisir al-Karim ar-Rahman, al-Allamah as-Sa’di)
Adapun cara melakukan rukuk yang syar’i
adalah membungkukkan tulang punggung, membentangkan punggung dan
lehernya, serta membuka jari-jemari kedua tangannya sambil menggenggam
kedua lututnya. Kemudian melakukannya dengan thuma’ninah dan membaca zikir zikir yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Silakan lihat hadits-hadits tentang sifat rukuk Nabi n dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karya al-Allamah al-Albani rahimahullah) Ayat di atas dijadikan dalil oleh para ulama tentang disyariatkannya shalat berjamaah. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Banyak dari kalangan ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang wajibnya shalat berjamaah.”
Terdapat perselisihan tentang hukum shalat berjamaah.
1. Pendapat pertama, tidak boleh ditegakkan shalat berjamaah kecuali jika imamnya seorang nabi atau shiddiq. Ibnu Abdil Bar rahimahullah menyebutkan pendapat ini dalam kitabnya, at-Tamhid, dan beliau berkata bahwa ini pendapat bid’ah yang berasal dari kaum Khawarij yang menyelisihi jamaah kaum muslimin. (at-Tamhid, 14/140)
2. Shalat berjamaah adalah syarat sahnya shalat wajib, hukumnya fardhu ‘ain,
dan tidak sah shalat seseorang jika ia mengerjakannya sendirian tanpa
uzur. Pendapat ini dikuatkan oleh Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm rahimahumallah.
3. Shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain, wajib bagi yang tidak mempunyai uzur, namun bukan syarat sahnya shalat. Jika seseorang mengerjakannya sendirian tanpa uzur, shalatnya sah, namun dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma. Ini juga merupakan pendapat Atha’, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ahmad, dan sekelompok ulama dari mazhab Syafi’i, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hibban rahimahumullah.
4. Shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Ini adalah pendapat al-Imam asy- Syafi’i rahimahullah dan mayoritas pengikut mazhabnya, serta pendapat ulama mazhab Maliki dan Hanafi. An-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat ini dalam al Majmu’.
5. Shalat berjamaah hukumnya sunnah
mu’akkadah, tidak sepantasnya ditinggalkan tanpa uzur syar’i. Ini adalah
pendapat mayoritas fuqaha Hijaz, Irak, dan Syam, serta dikuatkan oleh
asy-Syaukani dan Ibnu Abdil Bar. (Lihat perbedaan pendapat ulama tentang
masalah ini dalam at-Tamhid, 14/140; al-Majmu’ karya an-Nawawi, 4/160; al-Mughni, 2/3, Nailul Authar, asy- Syaukani, 3/151, dan yang lainnya)
Selain pendapat pertama, setiap pendapat
yang disebutkan di atas memiliki hujah dan argumen yang kuat, namun
yang tampak lebih kuat—wallahu a’lam— adalah pendapat yang ketiga, berdasarkan dalil-dalil berikut.
1. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا
كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ
مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا
فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ
وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ
أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً
وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ
أَوْ كُنتُم مَّرْضَىٰ أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ
ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
“Dan apabila kamu
berada di tengah tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang
shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh).
Hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah
mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang
senjata. Orang orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjata dan
harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak
ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah
kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir itu.” (an-Nisa: 102)
Al-Allamah as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Ayat ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain, dari dua sisi:
a. Allah Subhanahu wata’ala
memerintahkannya dalam kondisi sulit seperti ini, di waktu yang sangat
dikhawatirkan akan kedatangan musuh dan serangan mereka. Jika Allah Subhanahu wata’ala mewajibkannya dalam kondisi sulit ini, tentu diwajibkannya shalat dalam kondisi tenang dan aman, lebih utama.
b. Orang yang mengerjakan shalat khauf
meninggalkan banyak syarat dan kewajiban shalat, dan dimaafkan padanya
kebanyakan perbuatan (gerakan) yang hakikatnya membatalkan shalat jika
dikerjakan tidak dalam kondisi khauf (takut). Tentu tidaklah hal
ini diperbolehkan kecuali untuk lebih menguatkan kewajiban berjamaah.
Sebab, tidak bertentangan antara yang wajib dan yang mustahab, kalaulah
tidak ada kewajiban berjamaah, tidak boleh ditinggalkan hal-hal yang
wajib ini karenanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ
آمُرَ بِالصَّ ةَالِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُ فَيَؤُمَّ
النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
“ Demi Allah yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan untuk
memerintahkan dikumpulkannya kayu bakar, kemudian aku perintahkan untuk
ditegakkan shalat, lalu dikumandangkan azan untuknya. Lantas aku
perintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku akan
mendatangi beberapa orang dan membakar rumah-rumah mereka.” Dalam riwayat lain, “Yaitu mereka tidak menghadiri shalat, maka aku akan membakar mereka.” (Muttafaq ‘alaihi)
3. Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa ada seorang buta datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntun aku datang ke masjid.” Ia pun meminta keringanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumahnya. Awalnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya. Tatkala dia hendak pulang, Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat (azan)?” Ia menjawab, “Ya.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penuhilah (panggilan tersebut)!” (HR. Muslim no. 653)
4. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى
هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ
لِنَبِيِّكُمْ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى ،
وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا
الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ
تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ
يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ
هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا
حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً،
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ
مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى
بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Barang siapa yang senang bertemu Allah Subhanahu wata’ala kelak
dalam keadaan muslim, hendaklah ia memelihara shalat-shalat ini dengan
menunaikannya di tempat dipanggilnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah
mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Dan
sesungguhnya shalat-shalat ini termasuk sunnah-sunnah petunjuk.
Seandainya kalian shalat di rumah rumah kalian sebagaimana orang yang
tidak ke masjid ini shalat di rumahnya, berarti kalian telah
meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi
kalian, berarti kalian telah tersesat. Tidaklah seorang lelaki bersuci
dan menyempurnakan bersucinya, lalu dia berangkat ke sebuah masjid
kecuali Allah Subhanahu wata’ala mencatat baginya setiap
langkah yang ia langkahkan dengan satu kebaikan, mengangkat satu derajat
baginya, dan menghapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh kami melihat
bahwa tidak ada yang meninggalkannya selain seorang munafik yang jelas
kemunafikannya. Dahulu seseorang didatangkan untuk menghadiri jamaah,
hingga dipapah oleh dua orang untuk didirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654)
Dalil-dalil ini zahirnya menunjukkan wajibnya menegakkan shalat jamaah di masjid. Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal al-Bugisi

Shalat, Antara Diterima Dan Tidak
Tidak ada jalan menuju kebahagiaan setiap hamba, baik di dunia maupun di akhirat melainkan Allah Subhanahu wata’ala
telah membentangkan jalan untuk mencapainya dan membimbing ke arah
jalan tersebut. Sebaliknya, tidak ada sesuatu yang membahayakan dan
memudaratkan mereka, melainkan Allah Subhanahu wata’ala telah
menurunkan wahyu-Nya serta mengutus utusan-Nya untuk menjelaskan dan
memperingatkan darinya. Salah satu jalan kebaikan yang sangat besar dan
bernilai tinggi dalam hidup mereka adalah ketaatan dalam bentuk
penghambaan dan penghinaan diri yang tinggi, serta bentuk kedekatan
hamba yang paling dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala yaitu shalat lima waktu sehari semalam. Ini semua sebagai bukti bahwa Allah Subhanahu wata’ala memuliakan setiap hamba dan tidak menciptakan mereka secara sia-sia, tanpa arti.
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)
Ketaatan dengan Pertolongan Allah Subhanahu wata’ala
Setiap hamba semestinya mengetahui
dengan diperintahkannya mereka untuk melaksanakan sesuatu atau
dilarangnya mereka dari sesuatu semata-mata untuk hamba itu sendiri dan
tidak ada kepentingannya bagi Allah Subhanahu wata’ala sedikit
pun. Hamba itu pun harus mengetahui bahwa kemampuan dia untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya serta kemampuan dia untuk menjauh
dari segala larangan, sesungguhnya itu merupakan bantuan dari Allah Subhanahu wata’ala semata. Tanpa hal itu, manusia tidak akan sanggup untuk melaksanakannya karena,
Pertama: Adanya hawa
nafsu yang sangat berlawanan dengan niatan niatan baik setiap manusia
serta selalu mendorong untuk menyelisihi segala perintah dan larangan
Allah Subhanahu wata’ala. Dia akan mengundang siapa pun untuk
menjadi orang yang berani meninggalkan perintah dan menjadi orang yang
tidak punya malu melanggar larangan. Jika perintah dan larangan itu
diserahkan pelaksanaannya semata mata pada kemampuan manusia dan tidak
ada bantuan dari Allah Subhanahu wata’ala, niscaya semuanya akan menjadi tersesat. Tentu saja Allah Subhanahu wata’ala menolong hamba-hamba yang dikehendaki-Nya karena karunia- Nya, dan tidak menolong yang lain karena keadilan.
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم
مُّعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa
nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan
(al-Qur’an) tetapi mereka berpaling darinya.” (al-Mu’minun: 71)
فَإِن
لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak memenuhi
seruanmu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang
yang zalim.” (al-Qashash: 50)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hawa nafsu menghalangi dari kebenaran.” (al- Ibanah ash-Shugra hlm. 122)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada sebuah penyakit yang lebih dahsyat daripada penyakit hawa
nafsu yang mengenai hati.” (al-Ibanah ash-Shugra hlm. 124)
Abdullah bin ‘Aun al-Bashri rahimahullah
berkata, “Bila hawa nafsu telah berkuasa di dalam hati, niscaya dia
akan menganggap baik segala apa yang dahulunya dipandang jelek.”
(al-Ibanah as-Shugra 131) (Lihat kitab Sallus Suyuf wal Asinnah secara
ringkas hlm. 24—26)
Kedua: Setan dari luar
manusia yang setiap saat mengintai mereka untuk kemudian menyerunya
menuju penyelisihan terhadap perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Setan telah menjadikan diri sebagai lawan atas siapa saja yang menaati Allah Subhanahu wata’ala, serta kawan bagi siapa yang melanggar perintah dan larangan Allah Subhanahu wata’ala. Dialah yang mengatakan di hadapan Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya,
قَالَ
فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ()
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah
menghukum aku tersesat, aku benar benar akan (menghalang-halangi) mereka
dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
(al-A’raf: 16—17)
Firman-Nya pula,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Iblis berkata, “Ya Rabbku, karena Engkau
telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya.” (al- Hijr: 39)
Dengan semuanya ini, sudah sepantasnya
bagi seorang hamba bila dia menemukan dirinya menjadi orang yang
mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan ketaatan dan ringan dalam
menjauhi larangan agar selalu bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala, karena semuanya dengan bantuan-Nya. Bila seorang hamba menemukan dirinya sangat mudah untuk melanggar ketentuan Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya, hendaklah dia mencela dirinya sendiri. Setelah itu, dia
harus berjuang untuk menundukkan hawa nafsunya di atas syariat Allah Subhanahu wata’ala dan melawan setan sebagai teman yang mengajak dia bermaksiat.
Setiap hamba semestinya mengetahui bahwa jalan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat adalah dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta menjalankan segala aturan Allah Subhanahu wata’ala
di dalam wahyu-Nya. Karena tanpa itu semua, jangan bermimpi akan menang
dalam setiap perjuangan, jangan berkhayal kejayaan, kemuliaan,
kewibawaan Islam dan kaum muslimin akan kembali, serta jangan berharap
akan meraih kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Yang ada adalah
kegagalan, kekalahan, kerendahan dan kehinaan, serta kehancuran dan
kebinasaan. Cukuplah berita ilahi di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang
sahih sebagai berita yang akurat yang tidak ada kedustaan di dalamnya.
Jalan-Jalan Ketaatan dan Keikhlasan
Pintu-pintu kebaikan yang begitu banyak sungguh telah dijelaskan secara rinci dalam syariat Allah Subhanahu wata’ala dan tidak ada sesuatu yang masih tersisa. Kesempurnaan syariat-Nya juga membuktikan bahwa Allah Subhanahu wata’ala menginginkan
kemuliaan atas setiap hamba-Nya. Sebuah kebajikan yang besar tentunya
untuk meraih nilai yang besar pula di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Nilai nilai yang besar tersebut tidak akan didapatkan melainkan pelaksanaannya harus berada di atas koridor agama.
Dengan kata lain, harus berada di atas
syarat-syarat diterimanya amal. Di antara ketentuan yang harus ada dalam
pengabdian setiap hamba kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah dua hal yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam).
Barang siapa yang tidak ada pada amalnya kedua syarat tersebut atau
salah satu di antaranya, maka jelas ditolak dan masuk dalam firman Allah
Subhanahu wata’ala,
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا
“Dan Kami sodorkan segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
beterbangan.” (al-Furqan: 23)
Kedua sifat tersebut, ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah dihimpun oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya
daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan
dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.” (an-Nisa: 125)
بَلَىٰ
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ
رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa
yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka
baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 112) (Lihat
kitab Bahjatu Qulubul Abrar hlm. 14 karya al-Imam as-Sa’di rahimahullah)
Shalat, Amalan Besar yang Butuh Keikhlasan dan Mutaba’ah
Di antara sederetan kewajiban yang besar
serta bernilai agung dan tinggi adalah shalat lima waktu sehari
semalam. Amal besar yang tidak ada seorang muslim pun meragukannya
karena dalil yang menjelaskannya sangat terang layaknya matahari di
siang bolong. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku muslim
mengingkari dan tidak mengerjakan shalat berarti dia telah menanggalkan
pakaian keislamannya, dia sadari atau tidak. Sebab, dia telah menentang
hujah yang sangat terang dan jelas. Contoh perintahnya,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)
Adakah dari kaum muslimin yang memahami
perintah shalat di dalam ayat ini dengan makna bukan sebenarnya yaitu
shalat yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?
Jika ada, berarti jelas bahwa dia adalah orang yang sesat dan jika dia
tidak melaksanakannya akan bisa menjadikan dia kafir, keluar dari Islam.
Karena shalat adalah amal ibadah besar kepada Allah Subhanahu wata’ala, seharusnya tidak dicari di baliknya selain wajah Allah Subhanahu wata’ala dan ridha-Nya. Itulah keikhlasan, sebab:
1. Jika melaksanakannya dan ingin
semata-mata pujian dari manusia, ingin terpandang, atau ingin memiliki
kedudukan di hati banyak orang, ini adalah sebuah kesyirikan, walaupun
dia mengerjakannya dengan penuh ketaatan. Allah Subhanahu wata’ala bercerita tentang ibadah shalat orang-orang munafik yaitu nifak akbar (besar),
إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا
إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا
يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka
berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya
(dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.” (an-Nisa: 142)
2. Jika melaksanakannya karena Allah Subhanahu wata’ala dan ingin mendapatkan sanjungan dari manusia, ini adalah bentuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (Allah Subhanahu wata’ala berfirman,)
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku tidak butuh kepada sekutu sekutu
dalam kesyirikan. Barang siapa yang melakukan amalan dan dia
menyekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya Aku akan biarkan dia bersama
sekutunya.” (HR. Muslim) Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ
الدَّجَّالِ؟ قَالُوا : بَلَى. قَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، يَقُومُ
الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيَزِينُ صَلَاتَهُ لَمَّا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku beri tahukan kepada kalian
sesuatu yang lebih aku khawatirkan daripada fitnah Dajjal?” Mereka
berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Syirik tersembunyi, yaitu seseorang melaksanakan shalat dan memperindahnya karena ada yang melihatnya.” (HR. Ahmad)
Keikhlasan adalah dia tidak mengharapkan dalam segala jenis ibadahnya, termasuk shalat, selain ridha dan wajah Allah Subhanahu wata’ala semata. Jika seseorang telah mengerjakannya dengan landasan keikhlasan, Allah Subhanahu wata’ala akan
mengganjarnya di dunia sebelum di akhirat, mengangkat namanya,
berkedudukan di hadapan manusia tanpa dia mencari dan mengejarnya.
Itulah ganjaran setiap kebaikan di dunia sebelum akhirat. Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak akan merugi, baik dunia maupun
akhirat, seseorang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan landasan keikhlasan.
Banyak amal kecil dan ringan karena
niatnya yang baik menjadi amalan yang bernilai besar dan berat. Amalan
yang besar menjadi ringan bahkan nihil dari nilai, karena niatnya.
Sungguh ini adalah kerugian yang nyata dan kesia-siaan yang besar. Perlu
diketahui pula bahwa kebenaran niat seseorang dalam sebuah ibadahnya
tidak menjamin amalnya tersebut diterima. Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan hal ini dalam sebuah sabda beliau,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan amalan dan tidak ada perintahnya dari kami, niscaya amal tersebut tertolak.”
Manthuq (makna lahiriah) hadits ini
adalah setiap perkara bid’ah yang dibuat-buat dalam urusan agama yang
tidak memiliki landasan di dalam al- Qur’an dan as-Sunnah—baik bid’ah
ucapan dan keyakinan, seperti bid’ah Jahmiyah, Rafidhah, Mu’tazilah,
serta selainnya, maupun bid’ah perbuatan, seperti beribadah kepada
Allah Subhanahu wata’ala dengan ibadah-ibadah yang tidak ada syariatnya dari Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya— maka semua amalan tersebut tertolak. Pelakunya tercela
dan ketercelaannya sesuai dengan tingkat kebid’ahan dan jauhnya dia dari
agama.
Barang siapa memberitakan tidak seperti berita Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya atau dia beribadah dengan sesuatu yang tidak ada izin dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
maka dia adalah seorang mubtadi’. Barang siapa mengharamkan
perkara-perkara yang dibolehkan atau beribadah tanpa ada syariatnya,
maka dia juga seorang mubtadi’. Mafhum hadits ini, barang siapa
melaksanakan sebuah amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya, yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala
dengan keyakinan yang benar dan amal saleh, baik yang bersifat wajib
maupun mustahab (sunnah), maka segala pengabdiannya diterima dan
usahanya patut disyukuri.
Hadits ini menjelaskan pula bahwa setiap
ibadah yang dikerjakan dalam bentuk yang dilarang maka ibadah tersebut
menjadi rusak karena tidak ada perintah dari Allah Subhanahu wata’ala
dan adanya larangan tersebut. Konsekuensinya adalah rusak, dan setiap
bentuk muamalah yang syariat melarangnya adalah ibadah yang sia-sia dan
tidak tergolong dalam kategori ibadah. (Lihat Bahjatul Qulubul Abrar
hlm. 17)
Mereguk Nilai di Balik Keikhlasan
Tidak ada satu bentuk pengorbanan dalam sebuah peribadahan kepada Allah Subhanahu wata’ala melainkan telah dipersiapkan ganjaran yang lebih besar dari apa yang telah dia korbankan. Itulah janji Allah Subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan secara umum jaminan nilai yang akan didapatkan pada semua bentuk peribadahan kepada Allah Subhanahu wata’ala seperti dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang orang yang sebelummu, agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 21)
Dari sinilah, orang yang beriman
mengetahui bahwa siapa saja mengharapkan urusannya yang sulit segera
terselesaikan, problem hidupnya yang berat diringankan, dimudahkan
urusan rezekinya, mulia dan bahagia, hendaklah dia mencarinya melalui
jalur ibadah. Adapun tentang ibadah shalat, Allah Subhanahu wata’ala telah menyebutkan nilai khusus padanya yaitu di samping akan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, juga akan menjadi benteng dari bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan dari perbuatan-perbuatan yang keji. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran.” (al-‘Ankabut: 45)
As-Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Shalat itu tidak cukup bila mendatanginya hanya dalam
bentuk pelaksanaan lahiriah semata. Namun, shalat itu adalah
menegakkannya baik secara lahiriah dengan menyempurnakan rukun-rukunnya,
wajib-wajibnya, dan menegakkan syarat-syarat-Nya. Menegakkan secara
batin artinya menegakkan ruhnya, yaitu hadirnya hati di dalam shalat
tersebut, memahami apa yang diucapkan dan dilakukannya. Inilah shalat
yang dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran.” (al-‘Ankabut: 45) (Tafsir as-Sa’di hlm. 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya, apabila dikerjakan sesuai dengan perintah,
niscaya shalat akan mencegah dari kejelekan dan kemungkaran. Jika shalat
tersebut tidak mencegah dia dari kejelekan dan kemungkaran, ini
pertanda bahwa dia telah menyia-nyiakan hak-hak shalat itu kendatipun
dia dalam kondisi taat.”
Beliau rahimahullah juga
menjelaskan, “Sesungguhnya shalat itu akan menolak adanya perkara yang
dibenci yaitu kejelekan dan kemungkaran, dan sekaligus karenanya, juga
akan meraih kecintaan yaitu zikrullah; dan terwujudnya kecintaan melalui
(shalat) itu lebih besar dibandingkan dengan tertolaknya kejelekan. Hal
ini karena zikir kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah ibadah,
dan ibadah hati sebagai tujuan dari semua bentuk peribadatan tersebut.
Adapun tertahannya dia dari kejelekan sebagai tujuan yang lain.”
Beliau rahimahullah berkata,
“Yang benar, makna ayat itu adalah shalat memiliki dua tujuan dan satu
tujuan dari keduanya itu lebih besar daripada yang lain. Sesungguhnya
shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran. Shalat itu sendiri
mengandung makna zikir, dan shalat berikut zikir-zikirnya itu lebih
besar dibandingkan keberadaannya yang dapat mencegah dari kekejian dan
kemungkaran.
Ibnu Abi Dunia rahimahullah telah menyebutkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang amalan yang paling utama. Beliau rahimahullah berkata, ‘Berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala.’ Di dalam as-Sunan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
‘Dan dijadikannya thawaf di baitullah, sa’i antara Shafa’ dan Marwa, serta melempar jumrah, semuanya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala’.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan dan sahih). (Lihat Majmu’ Fatawa 10/188)
Adapun hadits yang mengatakan,
كُلُّ صَلَاةٍ لَمْ تَنْهَ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ صَاحِبُهَا مِنَ اللهِ إلَّا بُعْدًا
“Setiap shalat yang tidak mencegah
pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, tidak akan menambah bagi
pelakunya selain kejauhan dari Allah Subhanahu wata’ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lihat penjelasan tentang kelemahan haditsnya di dalam kitab Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah jilid 1 hadits ke-2. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Posting Komentar