Langsung ke isi

‘Id Jatuh Pada Hari Jumat
Apabila shalat ‘id jatuh pada hari Jumat, apakah kita harus tetap shalat jumat atau hanya shalat zuhur saja?
Masalah ini diperselisihkan oleh ulama.
Pendapat pertama,
shalat jumat tetap wajib atas seluruh kaum muslimin, baik yang melakukan
shalat ‘id maupun yang tidak. Dalilnya adalah keumuman makna
dalil-dalil yang mewajibkan shalat jumat. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah dan Malik. Pendapat ini lemah dan terbantah oleh hadits-hadits
yang akan kami sebutkan.
Pendapat kedua, shalat
jumat tetap wajib bagi kaum muslimin di perkotaan dan ada keringanan
bagi penduduk perdesaan untuk tidak menghadirinya, tetapi wajib shalat
zuhur di rumah masingmasing. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i rahimahullah yang berdalil dengan atsar ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar yang
meriwayatkan bahwa dirinya pernah menghadiri shalat ‘id bersama Khalifah
‘Umar radhiyallahu ‘anhu, kemudian Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, kemudian Khalifah ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Kata Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu,,
ุซُู
َّ
ุดَِูุฏْุชُ ุงْูุนِูุฏَ ู
َุนَ ุนُุซْู
َุงَู ุจِْู ุนََّูุงَู، ََููุงَู ุฐََِูู َْููู
َ
ุงْูุฌُู
ُุนَุฉِ َูุตََّูู َูุจَْู ุงْูุฎُุทْุจَุฉِ، ุซُู
َّ ุฎَุทَุจَ ََููุงَู: َูุง
ุฃََُّููุง ุงَّููุงุณُ، ุฅَِّู َูุฐَุง َْููู
ٌ َูุฏِ ุงุฌْุชَู
َุนَ َُููู
ْ ِِููู
ุนِูุฏَุงِู، َูู
َْู ุฃَุญَุจَّ ุฃَْู َْููุชَุธِุฑَ ุงْูุฌُู
ُุนَุฉَ ู
ِْู ุฃَِْูู
ุงْูุนََูุงِูู ََْْููููุชَุธِุฑْ َูู
َْู ุฃَุญَุจَّ ุฃَْู َูุฑْุฌِุนَ ََููุฏْ ุฃَุฐِْูุชُ
َُูู.
Kemudian aku menghadiri shalat ‘id bersama ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu,
yang ketika itu jatuh pada hari Jumat. Beliau shalat sebelum
berkhutbah. Kemudian beliau berkhutbah dan berkata (dalam khutbahnya),
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ini adalah hari yang terkumpul
padanya dua ‘id bagi kalian. Maka dari itu, barang siapa dari penduduk
‘Awali1 yang suka menanti shalat Jumat, silakan menanti. Barang siapa
ingin pulang, sesungguhnya aku telah mengizinkannya.” (HR. al-Bukhari)
Pendapat ini juga lemah meskipun lebih baik daripada pendapat pertama, dan terbantah oleh hadits-hadits yang akan disebutkan.
Pendapat ketiga, wajib
bagi imam (penguasa) kaum muslimin untuk menyelenggarakan shalat jumat
di hari itu, agar dihadiri oleh kaum muslimin yang ingin
melaksanakannya. Adapun keumuman kaum muslimin yang telah hadir shalat
‘id, ada keringanan untuk tidak hadir shalat Jumat, tetapi wajib shalat
zuhur di rumah masing-masing. Ini adalah riwayat yang paling masyhur
dari al-Imam Ahmad rahimahullah yang menjadi mazhab fuqaha
Hanbali. Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin. Dalilnya adalah:
1. Hadits an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu,, ia berkata,
َูุงَู
ุฑَุณُُูู ุงِููู َْููุฑَุฃُ ِْูู ุงْูุนِูุฏَِْูู َِْููู ุงْูุฌُู
ُุนَุฉِ ุจِ{ุณَุจِّุญِ
ุงุณْู
َ ุฑَุจَِّู ุงْูุฃَุนَْูู} َู{َْูู ุฃَุชَุงَู ุญَุฏِูุซُ ุงْูุบَุงุดَِูุฉِ } َูุฅِุฐَุง
ุงุฌْุชَู
َุนَ ุงْูุนِูุฏُ َูุงْูุฌُู
ُุนَุฉُ ِْูู َْููู
ٍ َูุงุญِุฏٍ َْููุฑَุฃُ ุจِِูู
َุง
ุฃَْูุถًุง ِْูู ุงูุตَّูุงَุชَِْูู
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pada dua shalat ‘Id (Idul Fitri dan ‘Idul Adha) dan shalat Jumat
membaca surat al-A’la dan surat al-Ghasyiah. Jika ‘Id dan jumat
berkumpul di hari yang sama, beliau membaca dua surat tersebut pada
shalat ‘id dan shalat Jumat.” (HR. Muslim)
Hadits ini secara gamblang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin yang suka menghadirinya.
2. Beberapa sabda Rasulullah n: Hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu bahwasanya telah berkumpul dua hari raya (‘id dan jumat) pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau shalat ‘id dan memberi rukhshah (keringanan) untuk tidak menghadiri shalat jumat, beliau bersabda,
ู
َْู ุดَุงุกَ ุฃَْู ُูุตََِّูู َُْูููุตَِّู.
“Barang siapa ingin shalat Jumat, shalatlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh ‘Ali
bin al-Madini, al-Hakim, adz-Dzahabi, dan an-Nawawi rahimahumullah.
Namun, pada sanadnya ada Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami yang majhul ‘ain
(tidak dikenal). Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َูุฏِ ุงุฌْุชَู
َุนَ ِูู َْููู
ُِูู
ْ َูุฐَุง ุนِูุฏَุงِู َูู
َْู ุดَุงุกَ ุฃَุฌْุฒَุฃَُู ู
َِู ุงْูุฌُู
ُุนَุฉِ َูุฅَِّูุง ู
ُุฌَู
ِّุนَُูู.
“Sungguh, telah berkumpul pada hari
kalian ini dua hari raya. Oleh karena itu, barang siapa hendak
mencukupkan diri dengan shalat ‘id, hal itu telah mewakili shalat jumat.
Adapun kami, akan tetap mengadakan shalat jumat.” (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah)
Dalam sanadnya ada Baqiyyah bin
al-Walid, pelaku tadlis taswiyah dari Syu’bah dan selainnya, sedangkan
dalam sanad ini dia meriwayatkannya dari Syu’bah tanpa mempertegas bahwa
dirinya telah mendengarnya dari syaikhnya dan bahwa syaikhnya telah
mendengarnya dari syaikhnya. Oleh karena itu, sanad ini dianggap dha’if
(lemah). Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
َูุตََّูู
ุงุฌْุชَู
َุนَ ุนِْูุฏَุงِู ุนََูู ุนَْูุฏِ ุฑَุณُِْูู ุงِููู ุจِุงَّููุงุณِ ุซُู
َّ َูุงَู:
ู
َْู ุดَุงุกَ ุฃَْู َูุฃْุชَِู ุงْูุฌُู
ُุนَุฉَ ََْูููุฃْุชَِูุง َูู
َْู ุดَุงุกَ ุฃَْู
َูุชَุฎَََّูู ََْูููุชَุฎََّْูู.
Telah berkumpul dua hari raya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
lantas beliau shalat ‘id bersama kaum muslimin. Lalu beliau bersabda,
“Barang siapa ingin hadir shalat jumat, hendaklah dia hadir. Barang
siapa tidak ingin, silakan tidak hadir.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam sanadnya ada Jabbarah bin al-
Mughallis dan Mandal bin ‘Ali, keduanya dha’if (lemah). Alhasil, sanad
hadits-hadits ini memiliki kelemahan, tetapi kelemahannya ringan dan
bisa saling menguatkan. Bahkan, hadits yang pertama telah dinyatakan
sahih oleh sebagian ahli hadits. Oleh karena itu, al-Imam al- Albani
menyatakan bahwa hadits-hadits ini sahih. Hadits-hadits ini menunjukkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selaku imam kaum muslimin
tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum muslimin yang suka
menghadirinya, tetapi memberi keringanan bagi mereka yang tidak ingin
hadir lantaran mencukupkan dengan shalat ‘id yang telah dihadirinya.
Pendapat inilah yang terkuat seandainya tidak datang atsar ‘Abdullah bin
Zubair radhiyallahu ‘anhuma dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang akan kami sebutkan pada keterangan pendapat keempat.
Pendapat keempat,
terdapat keringanan bagi imam dan seluruh kaum muslimin yang telah
melaksanakan shalat ‘id untuk tidak menyelenggarakan shalat Jumat,
karena telah terwakili dengan shalat ‘id. Namun, wajib shalat zuhur di
rumah masing-masing. Ini adalah salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah.
Pendapat ini yang dipilih oleh ash-Shan’ani, al-Albani, dan guru besar
kami, Muqbil al-Wadi’i rahimahumullah. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menguatkan pendapat ini. Dalilnya adalah atsar ‘Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dengan sanad sahih dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata,
ุตََّูู
ุจَِูุง ุงุจُْู ุงูุฒُّุจَْูุฑِ ِْูู َْููู
ِ ุนِْูุฏٍ ِْูู َْููู
ِ ุฌُู
ُุนَุฉٍ ุฃَََّูู
ุงََّูููุงุฑِ، ุซُู
َّ ุฑُุญَْูุง ุฅَِูู ุงْูุฌُู
ُุนَุฉِ، ََููู
ْ َูุฎْุฑُุฌْ ุฅََِْูููุง،
َูุตَََّْูููุง ُูุญْุฏَุงًูุง، ََููุงَู ุงุจُْู َُูู، ุนَุจَّุงุณٍ ุจِุงูุทَّุงุฆِِู،
ََููู
َّุง َูุฏِู
َ ุฐََูุฑَْูุง ุฐََِูู ََููุงَู: ุฃَุตَุงุจَ ุงูุณَُّّูุฉَ .
Ibnu Zubair shalat ‘Id bersama kami pada
hari ‘id yang bertepatan dengan hari Jumat di awal siang, kemudian kami
berangkat untuk menghadiri shalat jumat. Tetapi, beliau tidak keluar
untuk shalat Jumat bersama kami. Akhirnya kami shalat zuhur
sendiri-sendiri. Ketika itu Ibnu ‘Abbas sedang berada di Tha’if. Tatkala
dia pulang, kami menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ibnu ‘Abbas
lantas berkata, “Ibnu Zubair telah menepati sunnah.”
Hadits ini dinyatakan hasan atau sahih menurut syarat Muslim oleh an- Nawawi rahimahullah
pada al-Majmu’ (4/359). Al-Albani menyatakan sahih pada Shahih Sunan
Abi Dawud (no. 1071) dan al-Wadi’i menyatakan sahih menurut syarat
Muslim pada al-Jami’ ash-Shahih (2/168).
Atsar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma
menunjukkan secara jelas bahwa tidak wajib bagi imam dan seluruh kaum
muslimin untuk mengadakan shalat Jumat setelah melaksanakan shalat ‘id.
Sebab, Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma adalah amirul mukminin
(penguasa tertinggi) pada masa itu, dan para sahabat yang masih hidup di
masa itu tidak ada yang mengingkarinya. Justru, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membenarkannya dengan meriwayatkan hal itu sebagai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini semakin kuat ditinjau dari segi makna mengingat shalat Jumat
secara makna adalah ‘id (hari raya) ditinjau dari dua sisi:
1. Tujuan berkumpul untuk perayaan ‘id
(hari raya) Islam telah tercapai dengan shalat ‘id yang dianggap telah
mewakili shalat Jumat.
2. Syariat ini biasa menyatukan dua
ibadah yang jenisnya sama dalam satu amalan yang mewakili yang lainnya.
Contoh lainnya: • Disatukannya wudhu dalam mandi sehingga mandi sudah
mewakili wudhu. • Disatukannya dua mandi dalam satu mandi sehingga satu
kali mandi sudah mewakili mandi lainnya. Inilah pendapat yang terbaik
dalam masalah ini. Namun, tentu saja mengadakan shalat Jumat lebih
utama, berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan bahwa Nabi n
selaku imam kaum muslimin tetap mengadakan shalat Jumat bersama kaum
muslimin yang suka menghadirinya, tetapi memberi keringanan bagi mereka
yang tidak ingin hadir lantaran mencukupkan dengan shalat ‘id yang telah
dihadirinya.
Pendapat kelima, gugur
kewajiban shalat Jumat dan shalat zuhur sekaligus bagi imam dan seluruh
kaum muslimin yang telah menghadiri shalat ‘id. Ini pendapat yang
dipilih oleh asy- Syaukani. Pendapat ini jelas keliru. Sebab, telah
terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara ulama bahwa jika shalat Jumat
luput, wajib shalat zuhur. Ijma’ tersebut bersama ucapan ‘Atha’—pada
atsar Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma di atas—“Akhirnya kami
shalat zuhur sendiri-sendiri” sangat jelas menunjukkan gugurnya pendapat
ini. Berdasarkan inilah, al-Imam ash- Shan’ani rahimahullah dan
para ulama lainnya menegaskan diwajibkannya shalat zuhur bagi mereka
yang tidak melaksanakan shalat Jumat di hari itu. Adapun mengenai tidak
keluarnya Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma ke masjid untuk shalat
Jumat, hal itu tidak berarti ia tidak shalat zuhur. Sebab, bisa
dipastikan bahwa ia shalat zuhur di rumahnya, seperti halnya kaum
muslimin lainnya. Alhasil, pendapat terbaik adalah pendapat keempat yang
telah berhasil memadukan seluruh dalil yang ada dan tsabit
(tetap/sahih) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang dapat kami jabarkan sebagai jawaban masalah ini, wal ’ilmu ‘indallah.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

Ilmu Bukan Banyaknya Riwayat & Ucapan
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, orang-orang terdahulu (para ulama salaf, -red.)
diam karena ilmu. Mereka pun menahan diri (dari sesuatu) karena mata
hati yang tajam. Sungguh, mereka lebih mampu meneliti (sebuah masalah)
kalau mereka mau melakukannya.”
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Sungguh, banyak orang belakangan yang tertipu dengan hal
ini. Mereka menyangka bahwa siapa yang banyak bicara, debat, dan
perbantahannya dalam masalah agama, berarti dia lebih berilmu. Ini
adalah murni kebodohan. Lihatlah para sahabat yang senior dan ulama
mereka, seperti Abu Bakr, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin
Tsabit radhiyallahu anhu.
Betapa sedikit ucapan mereka dibandingkan dengan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ,
padahal mereka lebih berilmu. Demikian pula ucapan generasi tabi’in
lebih banyak daripada ucapan generasi sahabat, padahal generasi sahabat
lebih berilmu. Ucapan generasi setelah tabi’in pun lebih banyak daripada
ucapan generasi tabi’in, padahal generasi tabi’in lebih berilmu. Jadi,
ilmu itu bukan karena banyaknya riwayat dan ucapan, melainkan cahaya
yang diletakkan di kalbu. Dengan cahaya itu, seorang hamba akan mengenal
kebenaran dan bisa membedakannya dengan kebatilan….” (Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, hlm. 82—83)
ูุงูุณูุงู
ุนูููู
ูุฑุญู
ุฉ ุงููู ู ุจุฑูุงุชู ุงูุณูุงู
ุนูููู
ูุฑุญู
ุฉ ุงููู ู ุจุฑูุงุชู

Ulama Kita Bukan Berhala
ุงูุณูุงู ุนูููู ูุฑุญู ุฉ ุงููู ู ุจุฑูุงุชู
Ada saja tuduhan dari orang-orang yang
asal bunyi (asbun) dalam menentang dakwah tauhid ini. Caci-maki,
hujatan, hingga fitnah sudah menjadi menu keseharian bagi “Ahlul Asbun”.
Yang paling asbun adalah tuduhan bahwa sejumlah ulama dituding sebagai
berhala kaum Wahabi. Na’udzubillah.
Memahami apa itu Wahabi saja masih
belepotan, bisa-bisanya tudingan keji itu terlontar oleh mereka yang
mengaku sebagai “Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Sebagai “Ahlus Sunnah”,
semestinya mereka mengagungkan sunnah. Tetapi, alih-alih mengagungkan
sunnah, mereka acap berada di barisan terdepan dalam mengolok-olok
sunnah dan gandrung dengan ritual-ritual bid’ah (dan syirik), termasuk
ritual-ritual yang bersumber dari agama Hindu, na’udzubillah.
Dalam menyikapi ulama, Ahlus Sunnah bukanlah orang yang membabi buta,
bukan orang yang membebek alias taklid seperti orang-orang “asbun” tadi.
Berfatwa nyeleneh— bahkan menjurus kufur—justru diikuti, dibela
mati-matian, dianggap wali, dan kuburannya dikeramatkan.
Kalau begitu, siapa yang lebih pantas
disebut memberhalakan? Ahlus Sunnah juga bukan orang yang gemar
mengultuskan. Percaya diri menggelari tokoh tertentu dengan
“asy-Syahid”, menganggap imam seorang tokoh hanya karena tokoh itu
meletup-letup kebenciannya terhadap Amerika Serikat dan mengampanyekan
terorisme, atau menyematkan gelar ahli fatwa terhadap tokoh yang hanya
tahu soal “politik”. Kapasitas keilmuan, seperti ilmu hadits, akidah,
tafsir, fikih, dll., menjadi tidak penting lagi. Yang dipegangi Ahlus
Sunnah sejatinya adalah kebenaran, bukan individunya. Jadi ia bersikap
dengan tarjih, memilih dalil mana yang paling sahih. Jadi sangat
mungkin dalam amaliah tertentu—seperti gerakan shalat—, ia mengikuti
pendapat ulama A, namun dalam gerakan shalat yang lain, ia memegangi
pendapat ulama B.
Sikap ini juga yang dipegangi asy-
Syaikh bin Baz, salah satu ulama masa kini yang dimiliki umat ini.
Walaupun dalam memahami fikih beliau memakai thariqah (mazhab) Ahmad bin Hanbal rahimahullah (mazhab secara istilah, bukan mazhab syakhshi, yaitu mengambil semua pendapatnya), namun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, beliau tetap memakai metodologi tarjih,
dengan mengambil pendapat yang didukung oleh dalil yang paling sahih.
Demikian pula ketika mengeluarkan fatwa, karena sebagaimana kata beliau,
al-haq itulah yang pantas diikuti. Kebutaan total yang dialami
beliau sejak usia dua puluh tahun, tak menyurutkan semangat beliau dalam
menggali banyak ilmu. Alhasil, kealiman ulama yang bernama lengkap
Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Muhammad bin Abdillah Ali Baz ini tidak
diragukan lagi.
Penjelasan dan fatwa beliau sangat
dicari dan dibutuhkan oleh umat. Semangat ibadah, kesungguhan,
kedermawanan, dan kasih sayang beliau menjadi teladan bagi kaum
muslimin. Akidah dan manhaj dakwah beliau tecermin dari tulisan atau
karya-karyanya. Aqidah Shahihah dan at-Tahdzir minal Bida’ adalah
di antara karya beliau yang menunjukkan pembelaan beliau kepada sunnah
dan kebenciannya terhadap kebid’ahan, serta komitmennya yang kuat dalam
menegakkan tauhid dan membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan
pelakunya. Jabatan Rektor Universitas Islam Madinah, Ketua Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Majelis Ulama Besar), Ketua al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi
Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia, dan pimpinan
Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami yang pernah disandangnya,
setidaknya menunjukkan kapasitas beliau, sekaligus kepercayaan dan
keridhaan umat terhadapnya.
Maka dari itu, kala menyikapi ulama,
yang terpenting, kita tidak terperangkap dalam jeruji taklid. Menutup
seluruh dinding hati dari menerima kebenaran, hanya karena ulama
tersebut berfatwa yang tidak sesuai dengan hawa nafsu kita. Hanya karena
dia berasal dari Arab Saudi kemudian aroma kebencian kita tersulut,
sedikit-sedikit langsung berkomentar, “Ini ajaran Wahabi,” tanpa melihat
bahwa dalil yang beliau bawa demikian gamblang dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Jangan sampai fanatisme melilit mati hati kita, sehingga kita
justru memberhalakan kesesatan.
ูุงูุณูุงู ุนูููู ูุฑุญู ุฉ ุงููู ู ุจุฑูุงุชู

Surat Pembaca Edisi 88
Jejak Rasul atau Jejak Kuda Jibril?
Pada Asy-Syariah no. 86/1433 H/2012,
bani Israil menyembah anak sapi, ayat 96 surah Thaha, Samiri mengatakan,
mengambil dari jejak rasul. Tetapi penjelasan dari penulis bekas tapak
kuda kaki kuda Jibril. Yang manakah yang benar? Mohon penjelasannya. 085730xxxxxx
jawaban redaksi
Rasul yang dimaksud adalah Jibril yang naik kuda membawa rombongan Nabi Musa q dan bani Israil. Wallahu a’lam.
Rasul yang dimaksud adalah Jibril yang naik kuda membawa rombongan Nabi Musa q dan bani Israil. Wallahu a’lam.
Pajak dan Pungutan Pemerintah
Saya sangat senang sekali dengan majalah Asy-Syariah. Saya ingin sekali majalah ini membahas tentang pajak dan pungutan pemerintah lainnya dalam tinjauan Islam secara lengkap. Rizki M 085292xxxxx
Saya sangat senang sekali dengan majalah Asy-Syariah. Saya ingin sekali majalah ini membahas tentang pajak dan pungutan pemerintah lainnya dalam tinjauan Islam secara lengkap. Rizki M 085292xxxxx
jawaban redaksi
Jazakumullahu khairan atas masukannya. Akan kami pertimbangkan.
Jazakumullahu khairan atas masukannya. Akan kami pertimbangkan.
Rubrik “Kaidah Fikih”
Mohon Asy-Syariah menambah rubrik “Kaidah Fikih”. Abu Ibrahim 085728xxxxxx
Mohon Asy-Syariah menambah rubrik “Kaidah Fikih”. Abu Ibrahim 085728xxxxxx
jawaban redaksi
Jazakumullahu khairan atas masukannya. Akan kami pertimbangkan.
Jazakumullahu khairan atas masukannya. Akan kami pertimbangkan.
Cuplikan Ayat Sama?
Mohon diteliti kembali pada Asy- Syariah edisi 86 pada artikel pandai bersyukur pada cuplikan ayat Ibrahim: 34 dan an-Nahl: 18, apakah memang sama seperti itu? Mohon untuk ke depannya lebih teliti lagi. 085326xxxxx
Mohon diteliti kembali pada Asy- Syariah edisi 86 pada artikel pandai bersyukur pada cuplikan ayat Ibrahim: 34 dan an-Nahl: 18, apakah memang sama seperti itu? Mohon untuk ke depannya lebih teliti lagi. 085326xxxxx
jawaban redaksi
Memang sama, silakan dilihat di mushaf pada ayat terkait. Barakallahu fikum.
Memang sama, silakan dilihat di mushaf pada ayat terkait. Barakallahu fikum.
Istilah “Kader”
Afwan, mau usul, di Asy-Syariah no. 85 hlm. 11 poin no. 8, terdapat istilah “kader”, mohon agar tidak digunakan lagi sebab istilah ini sering dipakai/dikenal untuk hal berbau politis, mungkin bisa diganti “insan”, dsb. Ummu Abdirrahman-Sebaung 085331xxxxxx
Afwan, mau usul, di Asy-Syariah no. 85 hlm. 11 poin no. 8, terdapat istilah “kader”, mohon agar tidak digunakan lagi sebab istilah ini sering dipakai/dikenal untuk hal berbau politis, mungkin bisa diganti “insan”, dsb. Ummu Abdirrahman-Sebaung 085331xxxxxx
jawaban redaksi
Jazakumullahu khairan atas masukannya.
Jazakumullahu khairan atas masukannya.
Tema Mukjizat Rasul
Bismillah. Maaf, apakah majalah Asy Syariah pernah mengangkat permasalahan tentang mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Karena akhir-akhir ini tersebar di tengah-tengah kita buku yang menyatakan tentang ramalan beliau. Padahal itu sebenarnya bukanlah ramalan, melainkan mukjizat. Kalau sudah pernah diangkat di dalam majalah, pada edisi berapa? Kalau belum ada, bagusnya diangkat, guna meluruskan pemahaman umat. 08985xxxxxx
Bismillah. Maaf, apakah majalah Asy Syariah pernah mengangkat permasalahan tentang mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Karena akhir-akhir ini tersebar di tengah-tengah kita buku yang menyatakan tentang ramalan beliau. Padahal itu sebenarnya bukanlah ramalan, melainkan mukjizat. Kalau sudah pernah diangkat di dalam majalah, pada edisi berapa? Kalau belum ada, bagusnya diangkat, guna meluruskan pemahaman umat. 08985xxxxxx
jawaban redaksi
Tema tersebut memang belum pernah kami angkat secara khusus. Alhamdulillah, tema tersebut sudah kami rencanakan untuk diangkat pada edisi 93. Tunggu kehadirannya, insya Allah.
Tema tersebut memang belum pernah kami angkat secara khusus. Alhamdulillah, tema tersebut sudah kami rencanakan untuk diangkat pada edisi 93. Tunggu kehadirannya, insya Allah.

Saat Ujian Menerpa
Ketika iman bersemayam di hati,
menetap, tumbuh, dan mewarnai setiap perilaku seorang hamba, ujian pun
sejenak menghampiri. Keimanan yang menyembul di dada akan diuji,
seberapa kokoh keimanan itu ada. Demikianlah ketentuan yang ada. Setiap
manusia akan mendapatkan ujian sesuai dengan kadar kemampuan dirinya.
Allah Subhanahu wata’ala telah menggambarkan perihal ujian keimanan itu melalui firman-Nya,
ุฃَุญَุณِุจَ
ุงَّููุงุณُ ุฃَู ُูุชْุฑَُููุง ุฃَู َُُูููููุง ุขู
ََّูุง َُููู
ْ َูุง ُْููุชََُููู {}
َََูููุฏْ َูุชََّูุง ุงَّูุฐَِูู ู
ِู َูุจِِْููู
ْ ۖ َََูููุนَْูู
ََّู ุงَُّููู
ุงَّูุฐَِูู ุตَุฏَُููุง َََูููุนَْูู
ََّู ุงَْููุงุฐِุจَِูู
“Apakah manusia mengira bahwa mereka
dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedangkan mereka tidak
diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orangorang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)
Ingatkah kisah ashhabul-ukhdud?
Saat para pembesar Najran (saat itu masuk wilayah Yaman) membuat parit.
Di dalam parit tersebut diletakkan kayu bakar yang kemudian disulut api.
Parit itu pun diliputi bara api. Para pembesar Najran itu duduk-duduk
di sekitar parit dengan jilatan api yang menyala-nyala. Mereka berada di
sekitar parit guna menyaksikan penyiksaan terhadap orangorang yang
beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. Allah Subhanahu wata’ala abadikan kisah ini dalam firman-Nya,
ُูุชَِู
ุฃَุตْุญَุงุจُ ุงْูุฃُุฎْุฏُูุฏِ {}ุงَّููุงุฑِ ุฐَุงุชِ ุงَُْููููุฏِ {} ุฅِุฐْ ُูู
ْ
ุนَََْูููุง ُูุนُูุฏٌ {} َُููู
ْ ุนََٰูู ู
َุง َْููุนََُููู ุจِุงْูู
ُุคْู
َِِููู
ุดُُููุฏٌ {} َูู
َุง ََููู
ُูุง ู
ُِْููู
ْ ุฅَِّูุง ุฃَู ُูุคْู
ُِููุง ุจِุงَِّููู
ุงْูุนَุฒِูุฒِ ุงْูุญَู
ِูุฏِ
“Binasa dan terlaknatlah orangorang
yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika
mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka
perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa
orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman
kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (al-Buruj: 4—8)
Mereka dilahapkan ke dalam parit dengan
api yang menyala tiada lain karena iman yang ada pada mereka. Mereka
diuji dengan hal tersebut. Hal ini juga menimpa para sahabat saat awal
kemunculan Islam di Makkah. Keluarga Yasir radhiyallahu ‘anhu,
seorang sahabat yang mulia pun tak luput menghadapi kesadisan kaum
musyrikin Quraisy. Penyiksaan demi penyiksaan terus mendera keluarga
Yasir radhiyallahu ‘anhu. Selain diri Yasir radhiyallahu ‘anhu, istri pun tak luput mendapat siksaan.
Begitu pula putranya, Ammar radhiyallahu ‘anhu.
Ayah, ibu, dan anak mendapat perlakuan tidak manusiawi. Mengapa mereka
mengalami hal yang demikian? Tak lain karena iman telah singgah di lubuk
hati mereka nun dalam. Walau tubuh mereka disakiti, jasad mereka
dicabik tiada henti, namun iman yang teguh kukuh memaksanya bertahan
dalam keislaman. Keluarga Yasir tetap menyimpan itu di dalamnya. Sekali
layar terkembang, pantang surut ke belakang. Sekali lagi, karena iman
mereka disiksa, disakiti, dan dizalimi tiada henti. Bilal bin Rabah z
juga mengalami hal serupa. Sahabat yang mulia ini mengalami penyiksaan
fisik nan teramat sadis.
Walau demikian, imannya terus
menyuarakan, “Ahad… ahad….” sebuah ucapan yang menerangkan secara nyata
bahwa al-Khaliqur ar-Rahman, Allah ksebagai satu-satu-Nya yang
diibadahi. Tubuhnya kerap menerima deraan yang menyedihkan karena iman
yang ada padanya. Ia disiksa, disakiti. Namun, semua itu tak memadamkan
cahaya di hatinya. Tentu saja, masih banyak para sahabat lainnya yang
pada awal kemunculan Islam mengalami tindak kekerasan. Semakin tekanan
menguat, iman yang ada pada mereka pun semakin kokoh. Mereka tergolong as-sabiqunal awwalun. Mereka itulah yang telah mendapat pujian dari AllahSubhanahu wata’ala. Hal ini tergambar dalam firman-Nya,
َูุงูุณَّุงุจَُِููู
ุงْูุฃَََُّูููู ู
َِู ุงْูู
َُูุงุฌِุฑَِูู َูุงْูุฃَูุตَุงุฑِ َูุงَّูุฐَِูู
ุงุชَّุจَุนُُููู
ุจِุฅِุญْุณَุงٍู ุฑَّุถَِู ุงَُّููู ุนَُْููู
ْ َูุฑَุถُูุง ุนَُْูู
َูุฃَุนَุฏَّ َُููู
ْ ุฌََّูุงุชٍ ุชَุฌْุฑِู ุชَุญْุชََูุง ุงْูุฃََْููุงุฑُ ุฎَุงِูุฏَِูู
َِูููุง ุฃَุจَุฏًุง ۚ ุฐََِٰูู ุงَْْูููุฒُ ุงْูุนَุธِูู
ُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Lantaran keimanan mereka, kaum musyrikin
pun menggasak libas mereka. Namun, mereka justru makin kokoh
keimanannya. Mereka senantiasa terus diingatkan untuk senantiasa
bersabar menghadapi kekerasan kaum tak beriman. Mereka terus dibimbing
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi penindasan kaum yang memusuhi Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya. Mereka sabar dan terus bersabar. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ุฃَู
ْ
ุญَุณِุจْุชُู
ْ ุฃَู ุชَุฏْุฎُُููุง ุงْูุฌََّูุฉَ ََููู
َّุง َูุฃْุชُِูู
ู
َّุซَُู
ุงَّูุฐَِูู ุฎََْููุง ู
ِู َูุจُِْููู
ۖ ู
َّุณَّุชُْูู
ُ ุงْูุจَุฃْุณَุงุกُ
َูุงูุถَّุฑَّุงุกُ َูุฒُْูุฒُِููุง ุญَุชَّٰู ََُูููู ุงูุฑَّุณُُูู َูุงَّูุฐَِูู
ุขู
َُููุง ู
َุนَُู ู
َุชَٰู َูุตْุฑُ ุงَِّููู ۗ ุฃََูุง ุฅَِّู َูุตْุฑَ ุงَِّููู
َูุฑِูุจٌ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian
akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana
halnya orang-orang yang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat.” (al-Baqarah: 214)
Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Beragam ujian pun menimpa para nabi dan rasul. Orang-orang yang shiddiq (jujur keimanannya), para syuhada
(yang mati syahid), hamba-Nya yang saleh, dan yang beriman, mereka
bersabar. Demikianlah apa yang digambarkan dalam hadits sahih berikut,
َู
ุฃَُّู ุงَّููุงุณِ ุฃَุดَุฏُّ ุจََูุงุกً؟ َูุงَู: ุงْูุฃَْูุจَِูุงุกُ ุซُู َّ ุงْูุฃَู ْุซَُู َูุงْูุฃَู ْุซَُู، َُููุจْุชََูู ุงูุฑَّุฌُُู ุนََูู ุญَุณَุจِ ุฏِِِููู َูุฅِْู َูุงَู ุฏُُِููู ุตُْูุจًุง ุงุดْุชَุฏَّ ุจََูุงุคُُู، َูุฅِْู َูุงَู ِูู ุฏِِِููู ุฑَِّูุฉٌ ุงุจْุชَُِูู ุนََูู ุญَุณَุจِ ุฏِِِููู، َูู َุง َูุจْุฑَุญُ ุงْูุจََูุงุกُ ุจِุงْูุนَุจْุฏِ ุญَุชَّู َูุชْุฑَُُูู َูู ْุดِู ุนََูู ุงْูุฃَุฑْุถِ ู َุง ุนََِْููู ุฎَุทِูุฆَุฉٌ
ุฃَُّู ุงَّููุงุณِ ุฃَุดَุฏُّ ุจََูุงุกً؟ َูุงَู: ุงْูุฃَْูุจَِูุงุกُ ุซُู َّ ุงْูุฃَู ْุซَُู َูุงْูุฃَู ْุซَُู، َُููุจْุชََูู ุงูุฑَّุฌُُู ุนََูู ุญَุณَุจِ ุฏِِِููู َูุฅِْู َูุงَู ุฏُُِููู ุตُْูุจًุง ุงุดْุชَุฏَّ ุจََูุงุคُُู، َูุฅِْู َูุงَู ِูู ุฏِِِููู ุฑَِّูุฉٌ ุงุจْุชَُِูู ุนََูู ุญَุณَุจِ ุฏِِِููู، َูู َุง َูุจْุฑَุญُ ุงْูุจََูุงุกُ ุจِุงْูุนَุจْุฏِ ุญَุชَّู َูุชْุฑَُُูู َูู ْุดِู ุนََูู ุงْูุฃَุฑْุถِ ู َุง ุนََِْููู ุฎَุทِูุฆَุฉٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang
semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan
keadaan agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika
agamanya masih lemah, ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah
cobaan itu senantiasa menimpa seorang hamba sampai ia meninggalkan si
hamba berjalan di muka bumi tanpa ada dosa padanya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2398, hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya)
Para ulama yang teguh memegang syariat pun tak lepas dari cobaan. Sebut saja al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama yang diliputi kesabaran luar biasa kala cobaan menimpanya. Selain itu, al-Imam al- Barbahari rahimahullah juga
termasuk salah seorang ulama yang diuji dengan sikap keras masyarakat
pada waktu itu. Beliau dikucilkan di tengah masyarakat. Beliau hidup
menyendiri hingga akhir hayat. Demikianlah cobaan hidup yang
bisa menimpa siapa pun dan di mana pun. Hanya orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wata’ala dan diberi kesabaran yang akan berhasil melewati masa-masa ujian tersebut. Mereka akan tetap kokoh di atas agama Allah Subhanahu wata’ala
dan teguh memegang as-Sunnah. Berbeda halnya dengan orang-orang yang
munafik. Ketika ujian menerpa, mereka akan lari meninggalkan prinsip
agamanya. Ia berbalik kembali kepada kekafiran. Wal ‘iyadzubillah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูู
َِู
ุงَّููุงุณِ ู
َู َูุนْุจُุฏُ ุงََّููู ุนََٰูู ุญَุฑٍْู ۖ َูุฅِْู ุฃَุตَุงุจَُู ุฎَْูุฑٌ
ุงุทْู
َุฃََّู ุจِِู ۖ َูุฅِْู ุฃَุตَุงุจَุชُْู ِูุชَْูุฉٌ ุงََูููุจَ ุนََٰูู َูุฌِِْูู
ุฎَุณِุฑَ ุงูุฏَُّْููุง َูุงْูุขุฎِุฑَุฉَ ۚ ุฐََِٰูู َُูู ุงْูุฎُุณْุฑَุงُู ุงْูู
ُุจُِูู
“Dan di antara manusia ada orang yang
menyembah Allah dengan berada di tepi (tanpa keyakinan). Jika ia
memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Jika ia ditimpa oleh
suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di
akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (al-Hajj: 11)
Melalui cobaan itulah akan terbukti
keimanan seseorang. Jika ia seorang hamba yang jujur dan benar
keimanannya, ia akan tetap memegang teguh agamanya. Sebaliknya, jika ia
lemah, maka prinsip agamanya akan dicampakkan dan ia berpaling untuk
meraup kepentingan dunia. Ia menjadi manusia yang terfitnah oleh keadaan
dunia. Rasulullah n telah mengingatkan hal itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ุจَุงุฏِุฑُูุง
ุจِุงْูุฃَุนْู
َุงِู ِูุชًَูุง َِููุทَุนِ ุงَِّْูููู ุงْูู
ُุธِْูู
ِ ُูุตْุจِุญُ
ุงูุฑَّุฌُُู ู
ُุคْู
ًِูุง َُููู
ْุณِู َูุงِูุฑًุง ุฃَْู ُูู
ْุณِู ู
ُุคْู
ًِูุง َُููุตْุจِุญُ
َูุงِูุฑًุง َูุจِูุนُ ุฏَُِููู ุจِุนَุฑَุถٍ ู
ِْู ุงูุฏَُّْููุง
“Bersegeralah kalian melakukan
berbagai macam amal sebelum tiba beragam fitnah yang seperti
potonganpotongan malam yang gelap gulita. Yang seseorang pada pagi hari
dia beriman, sore harinya ia menjadi kafir. Pada sore hari beriman dan
pagi hari ia menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan barang
keduniawian.” (HR. at- Tirmidzi no. 2195 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullah)
Para ulama di masa sekarang pun tak
lepas dari beragam ujian. Mereka dicerca, dihujat, dan diolok-olok.
Kalangan hizbiyyun mengumbar tuduhan keji terhadap para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sebut saja misalnya para tokoh FIS di Aljazair, mereka menyebut asy-
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
sebagai antek-antek Amerika. Hujatan yang mereka lontarkan terkait
Krisis Teluk yang saat itu sedang menghangat. Demikian pula Muhammad
Surur Zainal Abidin, para pengikutnya lebih dikenal dengan sebutan sururiyyun menghujat para ulama di Saudi Arabia.
Muhammad Surur Zainal Abidin yang lebih senang hidup di negara kafir Inggris ini menyebut para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai
budak Amerika. Cercaan Muhammad Surur Zainal Abidin ini
dilatarbelakangi fatwa para ulama yang memperkenankan meminta bantuan
(pasukan) asing dalam upaya menghadapi agresi Sadam Husain kala itu. Tak
ketinggalan Abdurrahman Abdul Khaliq, ia menyebut para ulama Ahlus Sunnah dengan pelecehan, “… hanya mengerti qusyur (kulit) Islam yang setingkat masa lalu….”
Para ulama dituduh tidak memahami
perkembangan kekinian. Sebuah tuduhan gegabah dalam menyikapi para ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menyatakan
bahwa hal itu (mencaci maki ulama) dalam rangka memisahkan umat ini
dari ulamanya. Apabila berhasil, akan memudahkan bagi mereka (kalangan
ahlul bid’ah) untuk menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran (syubhat)
dan kesesatan yang menyesatkan umat dan memecah belah kekuatan umat.
Kata beliau, “Tak seorang pun yang melanggar kehormatan para ulama yang
istiqamah di atas jalan yang haq, kecuali satu di antara tiga keadaan
berikut ini.
Pertama, bisa jadi ia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya.
Kedua, ia seorang fasik yang membenci ulama karena mereka (para ulama) telah mencegahnya dari kefasikan/ tindakan fasik.
Ketiga, dia seorang hizbi, sesat,
membenci ulama karena ulama tersebut tidak mencocoki selera hizbiyah
mereka dan pemikiran-pemikirannya yang menyimpang.” (al-Ajwibah al-Mufidah, hlm. 51)1 Ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ini sebagaimana
disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya,
ۗ ุฅَِّู ุงََّููู ุนَุฒِูุฒٌ ุบَُููุฑٌ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)
Begitulah para ulama. Amalnya senantiasa dilandasi karena Allah Subhanahu wata’ala. Niat dan perilakunya senantisa bersendikan pada apa yang telah dituntunkan oleh Allah Subhanahu wata’aladan
Rasul-Nya. Bagaimana tidak? Para ulamalah yang mewarisi ilmu yang
dibawa oleh para nabi. Para ulamalah yang menjabarkan ilmu tersebut
dengan perbuatan. Nabi n bersabda,
ุฅَِّู
ุงْูุนَُูู
َุงุกَ َูุฑَุซَุฉُ ุงْูุฃَْูุจَِูุงุกِ ุฅَِّู ุงْูุฃَْูุจَِูุงุกَ َูู
ْ
َُููุฑِّุซُูุง ุฏَِููุงุฑًุง ََููุง ุฏِุฑَْูู
ًุง، ุฅَِّูู
َุง َูุฑَّุซُูุง ุงْูุนِْูู
َ
َูู
َْู ุฃَุฎَุฐَ ุจِِู ุฃَุฎَุฐَ ุจِุญَุธٍّ َูุงِูุฑٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris
para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak
pula dirham. Sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mampu
mendapatkannya, (berarti) ia telah mendapatkan keberuntungan yang
banyak.” (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, no. 6297)
Karena itu, sungguh tercela orang yang meremehkan dan mencela seorang alim atau para ulama yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala,
ulama yang istiqamah di atas al-haq. Berikut sejumlah kisah dari
kehidupan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t. Seorang ulama yang masyhur
lantaran keluasan ilmu dan kedermawanannya. Selain tentu saja
sifat-sifat terpuji lainnya yang tak bisa disebut satu demi satu dalam
lembaran ini.
Suatu hari, asy-Syaikh Muhammad Hamid,
ketua perhimpunan Ashabul Yaman di Eritria tiba di Riyadh. Malam itu
begitu dingin, padahal dirinya tak memiliki bekal untuk bisa menyewa
kamar hotel. Saat itu timbul pikiran untuk bertamu ke rumah asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Malam itu waktu menunjukkan
pukul 03.00 dini hari. Awalnya, beliau ragu untuk bertamu ke rumah
asy-Syaikh Abdul Aziz. Namun, akhirnya diputuskan tetap berkunjung. Kata
asy-Syaikh Muhammad Hamid, “Saya tiba di rumah beliau yang sederhana
dan bertemu dengan seseorang yang sedang tidur di pintu pagar. Setelah
terbangun, ia bukakan pintu untuk saya.
Saya memberi salam kepadanya secara
pelan agar tak ada orang lain mendengar lantaran malam yang masih larut.
Tak berapa lama, saya melihat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berjalan
menuruni tangga seraya membawa semangkuk makanan. Beliau ucapkan salam
dan memberikan makanan itu kepada saya.” Beliau katakan, “Saya mendengar
suara Anda kemudian saya mengambil makanan itu karena saya berpikir
Anda belum makan malam ini.” “Demi Allah, saya tidak bisa tidur malam
itu. Saya menangis karena telah mendapat perlakuan yang sedemikian
baik.” (Mawaqif Madhiyah fi Hayati al- Imam Abdul Aziz bin Baz, hlm. 223, lihat Mereka Adalah Teroris, al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh, hlm. 312)
Cermatilah betapa kehidupan beliau yang
demikian sederhana. Tak tampak gemerlap kemewahan padanya. Betapa beliau
begitu peduli, begitu peka terhadap sesama. Sungguh, contoh akhlak
terpuji dan menjadikan hati terasa sejuk karenanya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ุจ
َูุงَّูุฐَِูู
ُูุคْุฐَُูู ุงْูู
ُุคْู
َِِููู َูุงْูู
ُุคْู
َِูุงุชِ ุจِุบَْูุฑِ ู
َุง ุงْูุชَุณَุจُูุง
ََููุฏِ َูุฑَْูุนِ ุงَُّููู ุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุง ู
ُِููู
ْ َูุงَّูุฐَِูู ุฃُูุชُูุง
ุงْูุนِْูู
َ ุฏَุฑَุฌَุงุชٍ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ََููุถُْู ุงْูุนَุงِูู
ِ ุนََูู ุงْูุนَุงุจِุฏِ ََููุถِْู ุงَْููู
َุฑِ ุนََูู ุณَุงุฆِุฑِ ุงََْูููุงِูุจِ
“Sungguh, keutamaan seorang alim
(yang berilmu) dibandingkan dengan seorang abid (ahli ibadah) seperti
keutamaan bulan di malam purnama dibandingkan atas segenap bintang
kemintang.” (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash- Shagir no. 6297)
Hanya orang-orang yang rendahan yang akan merendahkan para ulama yang senantiasa berpegang pada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Biografi Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah” “
Ulama adalah pewaris para nabi.
Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan
bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya
pun selalu dikenang oleh umat sepanjang zaman. Maka dengan segala hikmah
dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wata’ala yang Maharahman
lagi Mahahakim tak membiarkan umat Islam—dalam setiap
generasinya—lengang dari para ulama yang membimbing mereka kepada jalan
kebenaran. Diawali oleh para pendahulu terbaik umat ini (as-salafush shalih)
dari kalangan sahabat Nabi n, tabi’in (murid-murid para sahabat), dan
tabi’ut tabi’in (muridmurid para tabi’in), kemudian secara estafet
dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka generasi demi generasi.
Orang orang mulia yang dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagai pewaris para nabi yang selalu sigap membela agama Allah Subhanahu wata’ala
dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para
ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan
penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara
para ulama yang mulia tersebut adalah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Seorang ulama besar abad ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, dan berkedudukan mulia.
Nama dan Kelahiran Beliau
Pada tanggal 12 Dzulhijjah 1330 H (1912
M), di Riyadh, ibu kota Kerajaan Saudi Arabia, lahirlah bayi laki-laki
dari Alu Baz (keluarga Baz). Tunas mulia yang menjalani tahapan demi
tahapan hidupnya dengan titian ilmu, pupukan amal saleh, dan mutiara
hikmah, hingga tercatat dalam sejarah sebagai al-Imam (seorang tokoh
agama), al-‘Allamah (yang sangat luas ilmunya), al-Muhaddits (pakar
hadits), al-Faqih (pakar fikih), Syaikhul Islam (syaikh yang kesohor
dalam Islam), Mufti al- Anam (ahli fatwa untuk segenap umat manusia),
al-Mujaddid (pembaru agama), dan asy-Syaikh (yang dituakan dalam hal
ilmu agama). Beliau adalah Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Abdullah Alu Baz (keluarga Baz).
Alu Baz (keluarga Baz) adalah sebuah
keluarga yang berasal dari kota Madinah. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, sebagian mereka pindah ke Dir’iyyah, Huthah Bani
Tamim dan Riyadh. Asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan keluarga besar
beliau termasuk dari mereka yang berdomisili di kota Riyadh. Di Kerajaan
Saudi Arabia, Alu Baz (keluarga Baz) termasuk keluarga yang mempunyai
andil besar di bidang ilmu agama, perdagangan, dan pertanian. Lebih dari
itu, mereka kesohor akan kemuliaan dan budi pekerti yang luhur.
Masa Kecil dan Tumbuh-Kembang Beliau
Di Riyadh, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
menjalani masa kecilnya. Sejak usia balita sang ayah telah meninggal
dunia. Layaknya seorang anak yatim, beliau pun tumbuh dan berkembang di
bawah asuhan ibu dan keluarga terdekat. Puji syukur hanya milik Allah Subhanahu wata’ala semata manakala para pengasuhnya itu adalah orangorang yang baik dan mulia.
Bahkan, di antara mereka adalah orang-orang yang berilmu. Berkat taufik dan inayah Allah Subhanahu wata’alakemudian
para pengasuh yang baik lagi mulia tersebut, Abdul Aziz bin Baz kecil
tumbuh di atas ketaatan, cinta kepada ilmu dan hormat kepada ulama.
Hariharinya dipenuhi dengan kesungguhan dalam menuntut ilmu. Derap
langkahnya laju menuju kebaikan. Sanubarinya kokoh di atas keimanan dan
ketakwaan. Dengan itu turunlah berbagai kemudahan dan pertolongan dari
Rabbul ‘Alamin, sehingga sebelum memasuki usia baligh beliau telah
berhasil menghafalkan al-Qur’an 30 juz. Semakin lengkap keutamaan itu
manakala beliau rajin membaca dan menulis, bahkan mencatat berbagai
faedah ilmiah dari para guru (masyayikh) beliau. Pada tahun 1346 H,
penyakit menyerang indra penglihatan beliau. Saat itu beliau berusia 16
tahun. Penyakit mata itu ternyata sangat berefek terhadap daya
penglihatan beliau. Secara berangsur-angsur daya penglihatan beliau pun
melemah hingga berakhir dengan kebutaan.
Peristiwa itu terjadi pada Bulan
Muharram 1350 H, saat usia beliau menginjak 20 tahun. Semuanya beliau
hadapi dengan penuh kesabaran, seraya memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala
agar mendapatkan ganti yang lebih baik darinya. Demikianlah asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz. Ketika indra penglihatan tak lagi beliau miliki,
Allah Subhanahu wata’ala mengaruniakan kepada beliau penglihatan
hati yang tajam dan pancaran iman yang terangbenderang sebagai
penggantinya. Karena itu, ketiadaan indra penglihatan yang vital itu
tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan yang beliau jalani. Termasuk
dalam hal kesungguhan menuntut ilmu, beramal dengan ilmu yang telah
dipelajari, dan berhias dengan akhlak yang mulia. Bahkan, ketika usia
beliau semakin bertambah, semakin bertambah pula ketegaran beliau di
atas ilmu dan ketaatan. Tak mengherankan apabila beliau selalu tampak
menonjol di antara anak-anak yang sebaya dengan beliau.
Bentuk Fisik Beliau
Ketika tumbuh dewasa, asy-Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berperawakan sedang, tidak gemuk dan tidak kurus, tidak tinggi sekali
dan tidak pula pendek. Dada beliau tampak bidang, antara bahu satu dan
bahu lainnya tampak lebar. Wajah tampak berwibawa, agak condong ke
bulat. Kulit sawo matang, hidung mancung, dan mulut berukuran sedang.
Berjambang tipis dan berjenggot. Ketika jenggot tersebut mulai beruban,
beliau menyemirnya dengan inai (pacar). Ketika tersenyum, tampak
menawan.
Guru-guru (Masyayikh) Beliau
Seorang yang mencintai ilmu, tumbuh
kembangnya di atas ilmu, dan mempelajarinya dengan penuh kesungguhan
tentu mempunyai banyak guru (masyayikh). Demikianlah dengan asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz. Lebihlebih tempat berdomisili beliau adalah kota
Riyadh, ibu kota Kerajaan Saudi Arabia yang dipenuhi oleh para ulama
besar (kibar). Peluang emas itu tak beliau sia-siakan. Beliau berhasil
menimba berbagai disiplin ilmu agama dan bahasa Arab dari banyak ulama
di kota tersebut. Di antara guru-guru (masyayikh) beliau yang paling
kesohor adalah:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
2. Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, Qadhi (Hakim Agama) kota Riyadh.
3. Asy-Syaikh Sa’ad bin Hamd bin Atiq rahimahullah, Qadhi (Hakim Agama) kota Riyadh.
4. Asy-Syaikh Hamd bin Faris rahimahullah, wakil baitul mal (badan keuangan) kota Riyadh.
5. Asy-Syaikh Sa’ad Waqqash al- Bukhari rahimahullah (seorang ulama Makkah), guru beliau di bidang ilmu tajwid.
6. Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Beliau adalah seorang ulama besar yang sangat luas ilmunya, lurus
agamanya, dan mulia akhlaknya. Beliau adalah Mufti Kerajaan Saudi Arabia
di masanya yang membimbing umat dengan ilmu dan takwa.
Beliaulah guru besar asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz dalam berbagai disiplin ilmu agama. Kurang lebih 10 tahun
lamanya dari tahun 1347 H s.d 1357 H, beliau selalu menghadiri
majelis-majelis ilmu sang guru yang mulia ini. Dari para ulama yang
mulia itulah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menguasai al-Qur’anul Karim
dan Sunnah Rasulullah n dengan pemahaman generasi terbaik umat ini
(salaful ummah). Dari mereka pula, beliau mendapatkan bimbingan untuk
selalu mengikuti jejak Rasulullah n dan meninggalkan semua yang
diada-adakan dalam agama ini (bid’ah). Beliau juga dididik untuk selalu
bersikap ilmiah dalam beragama dengan memilih pendapat yang kuat (rajih)
dan tegak di atas dalil dari al-Qur’anul Karim ataupun Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun bertentangan
dengan mazhab yang dianut. Dengan demikian, sikap fanatik terhadap
mazhab tertentu tidak didapati dalam kehidupan beragama beliau.
Terjun Ke Masyarakat
Perjalanan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
yang panjang dalam menuntut ilmu dan penguasaan beliau yang bagus atas
berbagai disiplin ilmu agama mendapatkan nilai penghormatan dari guru
beliau, Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah yang
saat itu menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Beliau
diproyeksikan menjadi qadhi (hakim agama) yang menangani berbagai
problem sosial kemasyarakatan dan dakwah. Saat itu beliau baru berusia
27 tahun. Pada Jumadal Akhir 1357 H, keluarlah surat penunjukan beliau
sebagai qadhi (hakim agama) untuk kota Kharj dan seluruh wilayah
cakupannya.
Tugas baru sebagai qadhi (hakim agama)
diterima oleh beliau dengan penuh tawadhu’ (rendah hati). Beliau
menyakini bahwa jabatan itu adalah amanat yang harus dijalankan dengan
sebaik-baiknya dan kelak akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah l.
Tidak lama kemudian beliau meninggalkan kota Riyadh dan pindah ke kota
Kharj, tepatnya di daerah Dalm yang merupakan pusat pemerintahan kota
Kharj. Satu hal yang menarik bahwa tugas sebagai qadhi (hakim agama)
yang diemban oleh beliau tidak menghalangi beliau dari kegiatan dakwah
dan penyebaran ilmu agama. Bahkan, beliau sangat antusias memberikan
yang terbaik untuk masyarakat kota Kharj dengan mencurahkan segenap
kemampuan yang dimiliki.
Setelah tiba di tempat penugasan, gayung
pun bersambut. Tugas beliau di kota Kharj ternyata tak sebatas sebagai
qadhi (hakim agama). Beliau juga diberi amanat sebagai imam Masjid
Jami’, khatib jum’at, nazhir wakaf, penanggung jawab anak-anak yatim,
da’i (pegiat dakwah), penanggung jawab di bidang pertanian dan pelayanan
umum. Karena itu, semangat beliau untuk memberikan yang terbaik untuk
masyarakat kota Kharj dapat terealisasi melalui berbagai media tersebut.
Pada saat jam kerja, beliau aktif di Kantor Pengadilan Agama (Mahkamah
Syar’iyah) menangani beragam kasus yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam hal ini, beliau dikenal sebagai
seorang hakim yang adil dan bijak. Di luar jam kerja, sejak usai shalat
subuh hingga waktu isya. beliau sibuk membina umat dengan mengajarkan
berbagai disiplin ilmu agama di Masjid Jami’. Bahkan, di hari-hari
berpasarnya masyarakat, yaitu Senin dan Kamis tepatnya pukul 08.00 pagi,
beliau melakukan ceramah agama di pasar yang dihadiri oleh khalayak
ramai terkhusus kalangan pedagang. Dengan khidmat mereka mengikuti acara
pengajian tersebut. Kota Kharj bercahayakan ilmu, sehingga ramai
dikunjungi oleh para penuntut ilmu (thullabul ilmi) dari berbagai
kota. Dalam hal ini pun, beliau dikenal sebagai da’i (pegiat dakwah),
guru agama, dan pendidik yang sukses dalam membina masyarakatnya. Di
bidang pelayanan umum, kinerja beliau diakui oleh masyarakat Kharj.
Ketika kendaraan roda empat alias mobil semakin banyak, sedangkan
jalanan umum masih tergolong sempit maka beliau mencanangkan proyek
pelebaran jalan. Ketika datang musim penghujan dan jalan-jalan tergenang
oleh air hujan, beliau mencanangkan pembuatan sanitasi air yang
sekiranya bisa mengatasi problem tersebut. Ketika banjir mengancam
daerah Dalm yang letak geografisnya di dataran rendah, beliau
menggalakkan kerja bakti massal untuk pembuatan tanggul, sebagai langkah
antisipasi.
Di bidang pertanian, beliau pun berupaya
untuk menyatu dengan para petani. Berbagai program beliau canangkan
untuk kemajuan pertanian di kota Kharj. Termasuk program pemberantasan
hama, beliau langsung terjun di lapangan bersama para petani. Selain
itu, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah seorang yang mempunyai
kepedulian tinggi terhadap masyarakat. Rumah beliau selalu terbuka bagi
para tamu dan siapa saja yang membutuhkan bantuan. Selama 14 tahun (1357
H—1371 H) berkiprah di kota Kharj, beliau telah memberikan yang terbaik
untuk masyarakatnya. Tak mengherankan apabila masyarakat kota Kharj
dari berbagai strata sosial sangat menghormati dan mencintai beliau.
Perjalanan Hidup Penuh Ilmu dan Takwa
Setelah 14 tahun berkiprah di kota Kharj (1357—1371 H), asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
ditarik ke kota Riyadh untuk memperkuat lini pendidikan di sana. Pada
1372 H, beliau ditetapkan sebagai pengajar di Ma’had Ilmi. Setahun
setelahnya, 1373 H, beliau ditunjuk sebagai dosen di Fakultas Syari’ah
untuk mata kuliah fikih, tauhid, dan hadits. Tugas mulia ini beliau
jalani hingga tahun 1380 H. Sekitar sembilan tahun beliau berkecimpung
dalam dunia pendidikan dan dakwah di kota Riyadh. Tidak sedikit dari
alumnus Fakultas Syari’ah didikan beliau itu yang menjadi ulama besar
(kibar) di kemudian hari. Pada 10 Rabi’ul Awal 1381 H, tugas baru
menghampiri beliau. Beliau ditunjuk sebagai Wakil Rektor al-Jami’ah
al-Islamiyyah (Universitas Islam Madinah). Setelah berlalu 9 tahun,
tepatnya tahun 1390 H, beliau diangkat menjadi rektor universitas
tersebut. Jabatan rektorat beliau emban selama 5 tahun, yaitu hingga
tahun 1395 H.
Dalam menjalankan roda pendidikan di
kota Madinah itu, beliau dibantu oleh para ulama terkemuka di masa itu,
di antaranya asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani, asy-Syaikh
Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, asy-Syaikh Hammad bin Muhammad
al-Anshari, asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jami, asy-Syaikh Abdul Muhsin
bin Hamd al-Abbad, dll. Di luar kegiatan kampus, beliau aktif mengajar
di Masjid Nabawi dan berdakwah di tengah masyarakat. Pada tanggal 14
Syawwal 1395 H, beliau ditunjuk sebagai ketua umum al-Lajnah ad-Daimah
lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad (Komite Riset
Ilmiah, Fatwa, Dakwah, dan Bimbingan) Kerajaan Saudi Arabia yang
bermarkas di Kota Riyadh. Setelah berlalu 19 tahun, tepatnya tahun 1414
H, beliau dikukuhkan sebagai Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia,
sekaligus sebagai Ketua Hai’ah Kibar Ulama (Komite Ulama Besar) Kerajaan
Saudi Arabia. Jabatan di atas dan berbagai jabatan penting lainnya
beliau sandang hingga wafat.
Murid-Murid Beliau
Perjalanan panjang di dunia dakwah dan
pendidikan yang beliau jalani dengan penuh kesungguhan dan kesabaran, di
samping mengantarkan beliau pada posisi imamah (kepemimpinan umat) juga
melahirkan murid-murid yang banyak jumlahnya. Baik dari dakwah dan
pendidikan yang beliau lakukan di masjid-masjid, di ma’had, maupun di
aljami’ah (universitas). Tidak sedikit dari murid-murid tersebut yang
berpotensi dan berguna bagi umat, bahkan menjadi referensi utama bagi
kehidupan beragama mereka dalam skala internasional. Di antara
murid-murid tersebut adalah para ulama yang tergabung dalam lembaga
Hai’ah Kibar Ulama (Komite Ulama Besar) Kerajaan Saudi Arabia, seperti
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan, asy-Syaikh al- Luhaidan, asy-Syaikh al-Ghudayyan, dll.
Murid-murid beliau yang lain adalah para alumni Universitas Islam
Madinah baik yang diajar oleh beliau di bangku kuliah maupun yang
mengikuti kajian beliau di Masjid Nabawi, seperti asy- Syaikh Rabi’ bin
Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Zaid bin Muhammad al- Madkhali, asy-Syaikh
Ali bin Nashir Faqihi, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al- Wadi’i, asy-Syaikh
Ubaid bin Abdullah al-Jabiri, dll.
Karya Ilmiah Beliau
Karya ilmiah beliau sangat banyak, baik
dalam bentuk tulisan murni maupun hasil transkrip dari rekaman suara.
Sebagian karya ilmiah beliau itu telah disusun dan didokumentasikan
dalam beberapa bentuk media cetak ataupun elektronik. Di antaranya
terdapat dalam program komputer al-Maktabah asy- Syamilah. Adapula yang terkoleksi dalam bentuk kumpulan fatwa, seperti Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (30 juz), dan Fatawa Nur Alad Darb (14 juz). Ada juga yang terkoleksi dalam bentuk transkrip ceramah, wawancara, dan yang semisalnya, seperti Durus lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz.
Adapula yang terkoleksi secara terpisah dalam bentuk satuan buku.
Karya-karya ilmiah beliau mempunyai ciri khas tersendiri. Ilmiah,
ringkas, padat, berbobot, dan mudah dipahami. Oleh karena itu,
karya-karya ilmiah beliau itu selalu diminati oleh umat, bahkan menjadi
rujukan utama terutama dalam menyibak hal-hal kekinian yang bersifat
musykil. Hampir-hampir pada setiap sendi kehidupan beragama ada karya
ilmiah beliau, di samping untaian-untaian fatwa berharga tentunya.
• Dalam masalah akidah; al-Aqidah
ash-Shahihah wama Yudhadduha, Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah, Syarh al-
Aqidah al-Wasithiyyah, Iqamatul Barahin ala Hukmi Man Istaghatsa
Bighairillah au Shaddaqal Kahanah wal Arrafin, dll.
• Dalam masalah rukun iman; Ushulul Iman.
• Dalam masalah rukun Islam; Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata’allaqu bi Arkanil Islam, Nawaqidhul Islam, Kaifiyah Shalatin Nabi, Fatawa fiz Zakati wash Shiyam, at-Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil Hajji wal Umrah waz Ziyarah, Fatawa Tata’allqu bi Ahkamil Hajji wal Umrah waz Ziyarah, dll.
• Dalam masalah berpegang teguh dengan Sunnah Nabi n; Wujub Luzumis Sunnah wal Hadzar Minal Bid’ah, at- Tahdzir Minal Bida’, Wujubul Amal bi Sunnatir Rasul wa Kufru Man Ankaraha, dll.
• Dalam masalah ilmu waris; al- Fawaid al-Jaliyyah fil Mabahits al- Faradhiyyah.
• Dalam masalah keagungan al- Quran dan Rasulullah n; Hukmul Islam fi Man Tha’ana fil Quran au fi Rasulillah.
• Dalam masalah dakwah dan para da’inya; ad-Da’watu Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah, dll.
• Dalam masalah realitas kekinian; Naqdul Qaumiyyah al-Arabiyyah ala Dhau’il Islam wal Waqi’, al-Ghazwul Fikri, al-Adillah an-Naqliyyah wal Hissiyyah ala Jarayanisy Syamsi wa Sukunil Ardhi wa Imkanish Shu’ud ilal Kawakib, dll.
• Dalam masalah bimbingan kemasyarakatan; ad-Durus al-Muhimmah li Ammatil Ummah, ‘Awamil Ishlahil Mujtama’, dll.
• Dalam masalah jihad; al-Jihad fi Sabilillah dan beberapa risalah yang mengimbau umat Islam untuk berpartisispasi dalam jihad Afghnistan melawan Uni Soviet, dll.
• Dalam bidang hadits; Hasyiyah Mufidah ala Fathil Bari sampai Kitabul Hajji.
• Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Wujubut Tahkim ala Syar’illah, Fi Zhilli asy-Syari’ah Yatahaqqaqul Amnu wal Hayah lil Muslimin, berbagai
risalah dan nasihat tentang sikap yang syar’i terhadap pemerintah, dll.
Masih banyak karya ilmiah beliau yang tak mungkin disebutkan semuanya
dalam kajian ini. Untuk mengetahui lebih rinci silakan melihat situs
resmi beliau.
Ketika Ajal Menjemput
Pada Kamis dini hari menjelang azan
shubuh, 27 Muharram 1420 H (1999 M) beliau mengembuskan napas
penghabisan. Pada usia yang ke-90 tahun itulah lembar kehidupan beliau
dilipat dengan datangnya ajal yang menjemput. Beliau pergi meninggalkan
dunia yang fana ini dengan mewariskan ilmu, nasihat, bimbingan, dan
kenangan yang indah untuk umat. Para pembesar Kerajaan Saudi Arabia
kehilangan seorang pembimbing yang sangat mereka segani. Para ulama dan
penuntut ilmu (thullabul ilmi) kehilangan salah seorang rujukan utama dalam kehidupan beragama.
Para janda dan anak-anak yatim
kehilangan seorang yang selalu memerhatikan dan menyantuni mereka.
Golongan lemah dan fakir miskin kehilangan seorang penderma yang selalu
membantu dan memperjuangan nasib mereka. Umat Islam di dunia kehilangan
seorang ulama, da’i, mufti, dan teladan mulia yang menghabiskan umurnya
di jalan Allah l. Jenazah beliau dibawa ke Kota Suci Makkah guna
dishalatkan di Masjidil Haram. Jenazah dishalatkan ba’da shalat jum’at.
Sekitar sejuta orang menyalatkan jenazah beliau dengan penuh khidmat.
Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari luar Kota Makkah, bahkan
luar negeri. Mereka ingin turut menyalati jenazah orang yang mulia itu,
termasuk Raja Fahd bin Abdul Aziz, putra mahkota Abdullah bin Abdul
Aziz, dan jajaran pejabat penting Kerajaan Saudi Arabia. Demikian pula
para pejabat dan tokoh muslim dari negara-negara Teluk dan dunia Islam.
Usai dishalatkan, jenazah langsung dibawa ke permakaman al-Adl di timur
Makkah.
Iring-iringan pelayat yang menyertai
jenazah beliau sangat banyak jumlahnya. Kota Makkah diselimuti suasana
duka. Demikian pula Kerajaan Saudi Arabia, bahkan dunia Islam secara
keseluruhan. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz telah pergi untuk selamanya.
Tunai sudah amanat suci yang beliau emban. Pahlawan Islam yang sangat
berjasa dalam memperbarui Islam yang pelitanya mulai redup dalam
kehidupan. Seorang imam yang selalu sigap membela agama Allah Subhanahu wata’ala
dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para
ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan
penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orangorang jahil. Seorang
penderma yang selalu berderma dengan ilmu, amal, nasihat, kedudukan,
harta, dan segala yang dimilikinya.
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah wa askanahu fi fasihi jannatih…
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Sumber Bacaan:
• Majmu’ Fatawa Ibn Baz, program al-Maktabah asy-Syamilah.
• Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Namudzaj Minar Ra’ilil Awwal, karya asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, program al-Maktabah asy-Syamilah.
• Al-Mauqi’ ar-Rasmi lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz (Situs Resmi asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
• Durus lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz, program al-Maktabah asy-Syamilah.
• Al-Kitab al-Watsaiqi ‘Anil Jami’ah al-Islamiyyah bil Madinah al- Munawwarah.
• Majmu’ Kutub wa Rasail wa Fatawa asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi bin Umair al-Madkhali jilid 3.

Mengenal Lebih Dekat Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah “
Akidah (Prinsip Keyakinan) Beliau
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah adalah seorang yang berakidah lurus. Akidah beliau tegak di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta bimbingan generasi terbaik umat ini (as-salafush shalih). Di antara akidah yang mulia itu adalah sebagai berikut:
1. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wata’ala
Rabb semesta alam, Maha Esa (tunggal) dan Mahakuasa. Tiada yang berhak
diibadahi selain Dia semata. Dialah satu-satunya tempat bergantung.
Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada sesuatu pun
yang sebanding dengan- Nya. Barang siapa mempersembahkan sebuah ibadah
kepada selain-Nya, ia telah musyrik dan kafir.
2. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang mulia bagi Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana yang terdapat dalam al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua nama Allah Subhanahu wata’ala mengandung sifat yang dikandung oleh nama itu. Demikian pula semua sifat Allah Subhanahu wata’ala
menunjukkan makna zahir (yang tampak) yang dikandungnya tanpa
dipalingkan dari makna zahirnya (takwil), atau dianalogikan dengan
sesuatu (takyif). Semua itu dinilai sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah Subhanahu wata’ala, tanpa menyerupakannya sedikit pun dengan makhluk-Nya.
3. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wata’ala
berada di atas Arsy-Nya, dan terpisah dengan makhluk sesuai dengan
kemuliaan dan keagungan-Nya. Dia berbicara dengan sifat bicara yang azali (tidak berawal) dan berbicara kapan saja sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana akidah salaf.
4. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah Subhanahu wata’ala) bukan makhluk. Dari Allah-lah Subhanahu wata’ala
al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya ia kembali. Barang siapa meyakini
bahwa al-Qur’an itu makhluk, ia telah kafir dan keluar dari Islam.
5. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wata’ala
mempunyai sifat cinta dan ridha, suka dan tidak suka, menghidupkan dan
mematikan, marah dan senang, turun setiap malam ke langit dunia dengan
sifat turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak serupa
dengan makhluk-Nya.
6. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wata’ala
dapat dilihat oleh orang-orang yang beriman pada hari kiamat dengan
pandangan mata mereka, sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits
sahih.
7. Meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba Allah Subhanahu wata’ala dan rasul-Nya yang diutus kepada seluruh manusia dan jin (tsaqalain). Risalah Islam telah beliau sampaikan seutuhnya, amanat pun telah beliau tunaikan dengan sebaik-baiknya.
8. Meyakini bahwa para malaikat benar
adanya, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para rasul pilihan benar
adanya, para nabi dan rasul benar adanya, hari kebangkitan setelah
kematian benar adanya, surga dan neraka benar adanya, timbangan amal di
hari kiamat benar adanya, dan telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di hari kiamat benar adanya.
9. Meyakini bahwa syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi, dan orang-orang saleh di hari kiamat benar adanya. Namun, semua itu bergantung pada izin Allah Subhanahu wata’ala terhadap yang memberi syafaat dan keridhaan-Nya kepada yang diberi syafaat.
10. Meyakini bahwa sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah Subhanahu wata’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
11. Meyakini bahwa sejelek-jelek perkara dalam agama ini adalah yang diada-adakan (tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam). Setiap perkara dalam agama ini yang diada-adakan (tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka.
12. Meyakini bahwa iman adalah keyakinan
di dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan.
Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
13. Meyakini bahwa takdir Allah Subhanahu wata’ala yang baik ataupun yang buruk benar adanya.
14. Meyakini bahwa shalat, zakat, puasa
di bulan Ramadhan, dan haji bagi yang mampu ialah bagian dari rukun
Islam yang melengkapi dua kalimat syahadat. Semua itu harus diimani dan
diamalkan sesuai dengan bimbingan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
15.Tidak boleh mengafirkan seorang pun
dari kaum muslimin kecuali jika melakukan salah satu dari pembatal
keislaman. Adapun pelaku dosa besar di bawah dosa syirik, seperti zina,
mencuri, memakan harta riba, meminum minuman keras, durhaka kepada kedua
orang tua, dll, tidaklah dikafirkan selama tidak menghalalkan
kemaksiatan tersebut. Jika meninggal dunia dan belum bertobat dari
dosanya, dia di bawah kehendak (masyi’ah) Allah Subhanahu wata’ala. Jika Allah Subhanahu wata’ala
berkehendak untuk mengampuninya— secara langsung—, ia akan mendapatkan
ampunan dan masuk ke dalam surga tanpa disiksa; dan jika Allah Subhanahu wata’ala
berkehendak untuk menyiksanya, dia akan disiksa terlebih dahulu, namun
tempat kembalinya adalah surga. Tidak seperti Khawarij yang
mengkafirkannya, dan tidak pula seperti Murji’ah yang meyakini bahwa
pelaku dosa besar—di bawah dosa syirik itu—adalah mukmin yang sempurna
keimanannya.
16. Wajib menaati pemerintah kaum
muslimin yang adil atau yang jahat sekalipun, selama tidak memerintahkan
kepada kemaksiatan. Jika memerintahkan kepada kemaksiatan, pemerintah
tidak boleh ditaati (dalam urusan tersebut) namun masih wajib ditaati
dalam hal lain yang bukan kemaksiatan. Disyariatkan jihad bersamanya,
walaupun dia seorang yang jahat. Boleh menyalurkan harta sedekah
kepadanya (untuk dibagikan kepada yang berhak). Demikian pula, boleh
shalat Jum’at dan shalat berjamaah di belakangnya, tanpa harus
mengulanginya. Barang siapa mengulanginya, dia tergolong mubtadi’ (pelaku bid’ah).
17. Tidak boleh memberontak kepada
penguasa kaum muslimin walaupun dia seorang yang jahat. Berbeda halnya
dengan prinsip sesat Khawarij yang mengafirkannya dan mewajibkan
memberontak kepadanya. Berbeda pula halnya dengan prinsip sesat
Mu’tazilah yang mewajibkan memberontak, walaupun tidak mengafirkannya.
Barang siapa memberontak, dia telah menghancurkan tongkat kesatuan kaum
muslimin.
18. Seseorang yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wata’ala maka tidak keluar dari empat keadaan:
a. Seseorang yang
mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari
syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
b. Seseorang yang
mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat)
dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga
berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang
besar.
c. Seseorang yang
mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, namun berhukum dengan
syariat Islam lebih utama, tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan
selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
d. Seseorang yang
mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan
yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l tidak diperbolehkan.
Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan
tidak boleh berhukum dengan selainnya. Tetapi, dia seorang yang
bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia mengerjakannya karena
perintah dari atasan, maka dia kafir dengan kekafiran kecil yang tidak
mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar.
19. Wajibnya menjaga hati dan lisan dari
membenci, mencela, atau melecehkan para sahabat Rasulullah n. Sebab,
mereka adalah generasi terbaik umat ini, bahkan manusia terbaik setelah
para nabi dan rasul. Barang siapa membenci, mencela, atau melecehkan
salah seorang dari mereka, dia adalah mubtadi’, hingga benar-benar bertobat dan mendoakan kebaikan untuk sahabat tersebut.
20. Sahabat terbaik adalah Abu Bakr
ash-Shiddiq, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab, kemudian ‘Utsman bin
‘Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian yang tersisa dari sepuluh
orang yang diberitakan oleh Rasulullah n sebagai penduduk jannah (yaitu
Sa’d bin Abi Waqqash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, Zubair bin al-Awwam, dan Sa’id bin Zaid bin
‘Amr bin Nufail), kemudian para sahabat lainnya.
21. Menahan hati dan lisan terhadap perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan meyakini bahwa pihak yang benar mendapatkan dua pahala dan pihak
yang salah mendapatkan satu pahala. Sebab, mereka semua adalah ahli
ijtihad (orang-orang yang berhak berijtihad dalam urusan agama dan
umat).
22. Mencintai semua ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang beriman, baik dari generasi sahabat maupun yang setelah mereka. Selain itu juga memuliakan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka adalah para ibu kaum mukminin (ummahatul mukminin) dan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam). Berbeda halnya dengan kelompok Syi’ah yang membenci, bahkan mengafirkan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ummahatul mukminin,
di sisi lain memuliakan ahlul bait (orangorang tertentu yang mereka
kehendaki) dan berlebihan memuliakan mereka. Tidak pula seperti kelompok
Nawashib yang beragama dengan menyakiti ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) baik dengan perkataan maupun perbuatan. (Lihat Situs Resmi asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz seputar akidah beliau dan berbagai kitab, risalah, ta’liq, atau fatwa tentang akidah yang terdapat dalam Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
Akhlak dan Perangai Beliau
Asy-Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
kesohor akan akhlak dan perangainya yang mulia. Pertemuan dengan beliau
selalu menghadirkan pesan dan meninggalkan kesan. Hal itu karena
banyaknya akhlak dan perangai mulia yang terkumpul pada diri beliau.
Suatu keistimewaan yang sulit didapati pada diri seorang ulama di zaman
ini. Di antara akhlak dan perangai beliau yang mulia itu adalah:
1. Ikhlas dalam beramal karena Allah Subhanahu wata’ala.
2. Sangat tawadhu’ (rendah hati), walaupun berkedudukan mulia dan berilmu tinggi.
3. Berpikiran jernih.
4. Tegar, tabah, dan mempunyai etos kerja yang tinggi hingga di usianya yang lanjut.
5. Berbudi pekerti luhur dan penuh pengertian.
6. Dermawan dalam segala hal yang dimiliki; harta, waktu, kesempatan, ilmu, kebaikan, mediator untuk kebaikan, kemurahan, dll.
7. Berkepribadian tenang dan mempunyai daya ingat yang kuat.
8. Stabil dalam hal semangat dan kemauan, tidak goyah dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi.
9. Adil dalam memberikan keputusan.
10. Teguh di atas kebenaran dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.
11. Berwawasan luas, berpandangan jauh, dan selalu mengikuti berbagai perkembangan peristiwa di dunia internasional.
12. Keyakinan yang kuat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
13. Zuhud terhadap dunia; harta, pangkat, kedudukan, pujian, dll.
14. Semangat yang tinggi dalam merealisasikan Sunnah (bimbingan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
15. Berjiwa sabar.
16. Murah senyum dan selalu tampak ceria.
17. Sangat menjaga adab dalam berbicara, bermajelis, dll.
18. Setia terhadap guru, kawan, dan orang yang beliau kenal.
19. Menjalin hubungan silaturahmi dengan segenap keluarga.
20. Memerhatikan hak-hak tetangga.
21. Bertutur kata mulia.
22. Jauh dari sikap bangga diri, merendahkan orang lain, atau mencela makanan.
23. Tidak menerima berita kecuali dari orang yang dapat dipercaya.
24. Selalu berbaik sangka terhadap orang lain.
25. Sedikit bicara dan banyak diam.
26. Banyak berzikir dan berdoa.
27. Tidak mengangkat suara ketika tertawa.
28. Sering menangis ketika mendengar
bacaan al-Qur’an, dibacakan kepada beliau sejarah para ulama, atau
hal-hal yang berkaitan dengan keagungan al-Qur’an dan as-Sunnah.
29. Menerima hadiah dari orang lain dan berusaha untuk membalasnya.
30. Mencintai orang-orang miskin, dekat dengan mereka, dan kerap kali makan bersama-sama mereka.
31. Sangat menjaga efesiensi waktu.
32. Selalu bersemangat mengajak orang lain kepada kebaikan.
33. Jauh dari sifat iri/dengki kepada orang yang mendapatkan nikmat dari Allah Subhanahu wata’ala.
34. Membalas kejelekan dengan kebaikan.
35. Tidak berlebihan dalam hal menu makanan dan minuman.
36. Memerhatikan janji dan selalu menjaganya.
37. Penuh harap, jauh dari sifat putus asa.
Sepenggal Kisah Cerminan Akhlak Beliau
• Kira-kira 30 tahun sebelum wafat,
beliau pernah mendatangi sebuah masjid untuk menyampaikan ceramah. Alas
masjid tersebut menggunakan tikar, sedangkan khusus untuk beliau
disediakan alas berupa sajadah (permadani). Ketika beliau merasa bahwa
alas beliau berbeda dengan keumuman alas di masjid tersebut, digulunglah
sajadah itu oleh beliau. Hal itu karena karakter beliau yang tidak suka
diistimewakan atas orang lain.
• Pada suatu hari ada seorang pemuda
yang menghubungi beliau via telepon seraya berkata, “Wahai Samahatusy
Syaikh, umat Islam sangat membutuhkan para ulama yang mempunyai
kemampuan berfatwa (mufti). Untuk itu saya mengusulkan kepada Anda agar
menempatkan seorang mufti di setiap kota.” Beliau berkata, “Masya Allah,
semoga Allah Subhanahu wata’ala memperbaikimu. Berapa umurmu?”
Pemuda itu menjawab, “13 tahun.” Beliau pun berkata, “Ini usulan yang
bagus, berhak untuk mendapat perhatian.” Kemudian beliau menyuruh sang
sekretaris pribadi untuk menulis surat kepada penanggung jawab di Hai’ah
Kibar Ulama yang isinya, “Amma ba’du, ada masukan dari seorang
penasihat bahwa sudah saatnya ada seorang mufti di setiap kota. Kami
memandang, usulan ini perlu diteruskan ke al-Lajnah ad- Daimah (Komite
Tetap Fatwa) agar bisa kita diskusikan.”
• Ketika asy-Syaikh Dr. Muhammad Taqiyuddin al-Hilali rahimahullah menulis bait-bait syair yang secara berlebihan memuji beliau dan dimuat di Majalah al-Jami’ah as-Salafiyyah India edisi
09/Sya’ban 1397 H, beliau mengirim surat
kepada redaksi majalah tersebut, menyampaikan ketidakrelaan beliau
terhadap pujian itu dan meminta redaksi memuat ketidakrelaan beliau itu
pada edisi berikutnya.
• Pada musim haji tahun 1418 H, saat
beliau duduk di sebuah mushalla di Padang Arafah dan dikitari oleh
ratusan orang, dihidangkanlah di hadapan beliau buah-buahan yang sudah
dipotongpotong. Mengingat, kebiasaan beliau di hari-hari itu
(mayoritasnya) tidak makan
selain buah-buahan, kurma, dan yoghurt.
Ketika buah-buahan telah terhidang di hadapan beliau, beliau pun
bertanya, “Apakah semua yang hadir di sini juga mendapatkan hidangan
seperti ini?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau marah seraya berkata,
“Jauhkanlah hidangan ini!”
• Suatu hari (30 tahun sebelum wafat)
beliau hendak menjual rumah karena utang yang menumpuk. Hal ini tercium
oleh salah seorang pejabat kerajaan dan dia pun segera mengirimkan uang
kepada beliau. Sang pejabat berkata, “Telah sampai kepada saya berita
bahwa Anda hendak menjual rumah karena kesempitan yang sedang mengimpit.
Sungguh, berita itu membuat saya gelisah, kumohon Anda berkenan
menerima hadiah dari saya ini3 dan izinkan saya untuk menyampaikan hal
ini kepada Raja.” Beliau balas ucapan pejabat itu
dengan banyak-banyak terima kasih dan
doa kebaikan untuknya lalu berkata, “Berita yang sampai kepada Anda itu
benar, karena banyaknya tamu yang berdatangan dan orang-orang yang
membutuhkan bantuan baik di kota Riyadh maupun di kota Madinah, namun
saya
tidak ingin hal ini sampai kepada Raja.”
• Asy-Syaikh Ahmad bin Abdul Aziz bin
Baz berkata, “Aku adalah salah seorang putra Samahatusy Syaikh Abdul
Aziz bin Baz. Aku dilahirkan saat ayahku telah berusia di atas 60 tahun.
Usia beliau yang sudah lanjut itu, ditambah dengan aktivitas kantor,
dakwah, dan fatwa yang sangat padat tidaklah menjadi penghalang bagi
beliau untuk menjadi seorang ayah bagiku dan saudara-saudaraku, bahkan
untuk umat Islam. Beliau sangat memerhatikan kami selaku anak. Layaknya
seorang ayah terhadap anaknya, beliau mencurahkan segenap kasih sayang,
pengawasan, nasihat, bimbingan, arahan, bahkan dakwah. Dengan segala
cara beliau berupaya untuk menjadi seorang ayah yang dekat dengan
anak-anaknya di tengah kesibukan beliau yang sangat padat.” Untuk
melengkapi berbagai kisah cerminan akhlak beliau yang mulia, silakan
membaca rubrik “Akhlak” dan “Manhaji” pada edisi ini.
Agenda Harian Beliau
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mempunyai agenda harian yang sangat ketat dan bagus. Dengan taufik dari Allah Subhanahu wata’ala,
kemudian berkat agenda harian yang tertata itulah berbagai amanat yang
berada di pundak beliau dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Berikut
ini agenda harian beliau, semoga menjadi teladan bagi kita semua.
1. Beliau bangun pagi kurang lebih 1 jam
sebelum shubuh. Kemudian shalat tahajjud 11 rakaat dengan khusyu’ dan
rendah diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. Beliau pun banyak
berdoa, di antaranya mendoakan umat Islam dan kebaikan para penguasa
mereka, berzikir, membaca al-Qur’an, dan beristighfar.
2. Setelah azan subuh (terkadang sebelumnya), beliau pergi ke masjid dengan tenang dan penuh penghambaan kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan membaca doa keluar rumah (dan doa menuju masjid, –pen.)
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah n. Sesampainya di masjid,
beliau masuk dengan mendahulukan kaki kanan seraya membaca doa masuk
masjid dan shalat sunnah qabliyah. Beliau kemudian memperbanyak doa
hingga iqamat. Setelah itu, beliau menunaikan shalat shubuh berjamaah.
Selepas shalat, beliau membaca zikir-zikir yang khusus dibaca setelah
shalat, kemudian membaca wirid-wirid doa dan zikir yang dituntunkan
untuk dibaca di setiap pagi.
3. Setelah dirasa cukup membaca
wirid-wirid pagi, beliau memulai taklim (kajian) rutin di masjid
tersebut dari beberapa kitab yang dibacakan kepada beliau. Taklim
(kajian) rutin itu menghabiskan waktu sekitar 3 jam, bahkan terkadang
lebih. Setelah itu, beliau menjawab berbagai pertanyaan agama yang
diajukan kepada beliau dengan penuh perhatian dan ketelitian, kemudian
pulang ke rumah. Jika berhalangan
3 Permohonan tersebut disampaikan oleh
sang pejabat karena asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dikenal tidak mudah
menerima bantuan. Dia khawatir jika bantuannya itu ditolak. mengajar,
beliau langsung pulang ke rumah seusai membaca wirid doa dan zikir pagi.
4. Beliau duduk di rumah sekitar dua
jam. Beliau manfaatkan kesempatan itu untuk menjawab berbagai persoalan
yang membutuhkan jawaban dari beliau, atau dibacakan kepada beliau
beberapa kitab dan karya ilmiah. Setelah itu beliau masuk ke bagian
dalam rumah guna beristirahat. Tepat pukul 08.00 pagi, beliau keluar
dari tempat peristirahatan dan bersiap-siap untuk makan pagi. Setelah
makan pagi, beliau berwudhu lalu shalat dua rakaat, kemudian berangkat
ke kantor dengan tenang dan kemauan yang kuat. Begitu naik mobil,
diajukan kepada beliau beberapa persoalan yang membutuhkan jawaban dari
beliau, atau dibacakan kepada beliau beberapa kitab. Setibanya di
kantor, beliau turun dari mobil dan berjalan kaki menuju ruangan pribadi
beliau. Berbagai tulisan dan persoalan pun diajukan kepada beliau
hingga memasuki ruangan tersebut.
5. Di ruangan pribadi tersebut, beliau
mengerjakan berbagai tugas harian yang berat dengan penuh semangat,
seperti menyelesaikan berbagai kasus dan persoalan yang diajukan kepada
beliau, menyambut para delegasi/tamu, mengeluarkan fatwa terkait
pertanyaanpertanyaan yang berdatangan dari para penanya, melayani para
pengunjung yang sedang mengalami kasus talak, dan sebagainya. Hal ini
berlangsung hingga pukul 14.30 siang atau lebih sedikit. Dengan
demikian, seringkali beliau menjadi orang yang terakhir keluar dari
kantor. Setelah itu beliau pulang ke rumah.
6. Dalam perjalanan menuju rumah (di
atas mobil), diajukan kembali kepada beliau berbagai persoalan, atau
dibacakan kitab. Jika tidak ada yang membacakan, beliau manfaatkan untuk
berzikir dan membaca al-Qur’an. Dalam kesempatan itu pula terkadang
beliau manfaatkan untuk mendengarkan siaran berita radio pukul 14.30.
7. Setiba di rumah, beliau langsung
disambut oleh banyak orang. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai
keperluan dengan beliau. Ada yang meminta fatwa, ada yang sekadar
mengucapkan salam, ada yang mempunyai kasus talak, ada yang meminta
bantuan, orang fakir, pejabat, dan pengunjung dari daerah yang dekat
ataupun jauh. Beliau ucapkan salam kepada mereka, kemudian mempersilakan
para tamu tersebut untuk menyantap hidangan makan siang yang telah
disediakan di rumah beliau. Beliau makan siang sembari berbincang dengan
mereka, menanyakan keadaan mereka, dan menjawab berbagai pertanyaan
mereka.
Setelah dirasa cukup, beliau berhenti
dan masih menemani mereka beberapa saat agar mereka tidak terburu-buru
menyelesaikan makan. Kemudian beliau berdiri untuk mencuci tangan seraya
mengatakan, “Tidak usah terburu-buru, masing-masing hendaknya
melanjutkan makannya.” Ketika beliau berdiri menuju tempat cuci tangan,
mulailah diajukan berbagai pertanyaan kepada beliau. Setelah mencuci
tangan, beliau kembali ke tempat yang semula. Jika waktu agak sempit dan
masuk waktu ashar, maka beliau mengambil air wudhu, menjawab azan lalu
berangkat ke masjid. Namun, jika masih tersisa banyak waktu, beliau
meluangkan waktu untuk duduk-duduk
bersama para tamu sambil minum teh dan memakai minyak wangi, kemudian
masuk ke dalam rumah sejenak. Beliau keluar saat dikumandangkan azan
ashar guna berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat ashar.
8. Seusai shalat ashar, imam masjid membacakan beberapa poin dari kitab Riyadhush Shalihin, al-Wabilush Shayyib, atau Kitabut Tauhid,
atau yang lainnya, lalu beliau menerangkannya kepada para jamaah.
Berikutnya, beliau menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan di majelis
tersebut. Kemudian beliau pulang ke rumah untuk beristirahat. Dalam
perjalanan menuju rumah pun, beliau masih menjawab banyak pertanyaan
yang diajukan oleh orang-orang yang berjalan mengiringi beliau.
9. Menjelang maghrib, beliau mengambil
air wudhu lalu pergi ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Seusai
shalat, beliau pulang ke rumah dan melakukan shalat ba’diyah maghrib.
Kemudian beliau duduk bersama orangorang yang mengunjungi beliau dengan
problemnya masing-masing. Hal itu jika tidak ada jadwal mengajar atau
memberikan catatan penting dalam acara seminar.
10. Saat azan isya dikumandangkan,
beliau menjawabnya, lalu beranjak menuju masjid untuk menunaikan shalat
isya. Ketika tiba di masjid, beliau menunaikan shalat tahiyatul masjid.
Seusai shalat sunnah tersebut, imam masjid segera membacakan beberapa
hadits untuk diterangkan kepada para jamaah oleh beliau. Setelah itu
beliau menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Kemudian
ditnuaikanlah shalat isya.
11. Seusai shalat isya, jika tidak ada
janji di luar rumah, ceramah, undangan khusus, undangan walimah nikah,
mengunjungi orang sakit, atau agenda yang semisalnya, beliau langsung
pulang ke rumah. Beliau manfaatkan waktu tersebut untuk membaca beberapa
persoalan yang membutuhkan solusi, atau memuraja’ah beberapa
kitab. Terkadang ada acara rapat di rumah beliau, terkadang pula
kedatangan para tamu, atau ada rekaman untuk siaran radio, atau ceramah
via telepon untuk kaum muslimin di luar negeri.
12. Setelah itu, beliau makan malam
bersama para tamu, para pegawai di kantor pribadi (di rumah) beliau, dan
siapa saja yang hadir saat itu. Selepas makan malam, beliau melanjutkan
pekerjaan yang dilakukan sebelum makan malam, atau melanjutkan
perbincangan dengan para tamu beliau, atau duduk untuk membaca beberapa
kitab, atau menyelesaikan beberapa persoalan yang membutuhkan solusi
dari beliau hingga larut malam. Terkadang hingga pukul 23.00 atau pukul
24.00 malam. Kemudian beliau masuk ke bagian dalam rumah, lalu
berjalan-jalan sekitar 30 menit, setelah itu beranjak tidur. Demikianlah
agenda harian asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang
penuh ilmu, hikmah, derma, dan berbagai kegiatan bermanfaat lainnya.
Semoga menjadi teladan dan pelajaran berharga bagi kita semua. Amin.
Sumber Bacaan:
• Majmu’ Fatawa Ibn Baz, program al-Maktabah asy-Syamilah.
• Asy-Abdul Aziz bin Baz Namudzaj Minar Ra’ilil Awwal, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, program al- Maktabah asy-Syamilah.
• Al-Mauqi’ ar-Rasmi lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz (Situs Resmi asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
• Durus lisy Syaikh Abdil Aziz bin Baz, program al-Maktabah asy-Syamilah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah Tonggak Perjuangan Umat Islam
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah seorang tokoh umat Islam yang berilmu tinggi, berakhlak mulia,
dan berakidah lurus. Pengalaman beliau sebagai qadhi (hakim agama) dan
da’i (pegiat dakwah) selama 14 tahun di kota Kharj membuahkan wawasan
yang luas tentang kehidupan sosial kemasyarakatan dan seluk-beluknya.
Pengalaman beliau yang cukup lama di dunia pendidikan, diawali sebagai
dosen di Fakultas Syari’ah Riyadh selama 9 tahun, kemudian sebagai wakil
rektor Universitas Islam Madinah selama 9 tahun pula, hingga menjabat
sebagai rektor Universitas Islam Madinah selama 5 tahun, memosisikan
beliau sebagai seorang pakar di dunia ilmu pendidikan, baik tentang
keilmuannya, teknis pembelajarannya, sekaligus manajemen pengelolaan
institusinya dengan taraf internasional.
Pengalaman beliau sebagai ketua umum
al-Lajnah ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ wad Da’wah wal
Irsyad (Komite Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah, dan Bimbingan) Kerajaan
Saudi Arabia yang setingkat menteri selama 19 tahun, kemudian dilengkapi
dengan jabatan Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia dan sekaligus Ketua
Hai’ah Kibar Ulama (Komite Ulama Besar) Kerajaan Saudi Arabia, semakin
memperkaya wawasan global beliau tentang dunia Islam dengan berbagai
problematikanya. Karena keluasan ilmu agama dan segudang pengalaman yang
dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wata’ala itulah, beliau
terposisikan sebagai imam (tokoh terkemuka) di tengah-tengah umat Islam.
Tak heran, bila nasihat dan bimbingan beliau selalu ditunggu
kehadirannya oleh umat. Lebih dari itu, beliau terposisikan sebagai
tonggak perjuangan umat dalam menghadapi berbagai pergolakan yang
terjadi di dunia internasional. Semua itu karena besarnya perhatian
beliau terhadap eksistensi umat.
Upaya beliau dalam menjaga persatuan
umat sangat luar biasa. Pembelaan beliau terhadap umat dan kehormatan
mereka tak pernah pupus. Demikian pula pembentengan beliau terhadap
hal-hal yang membahayakan umat, senantiasa lekat dengan derap langkah
kehidupan beliau. Itulah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, tonggak perjuangan umat Islam yang menerangi mereka dengan lentera hikmah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala membalas jasa dan perjuangan beliau dengan surga-Nya yang bertaburkan kenikmatan abadi. Amiin.…
Perhatian Beliau Terhadap Eksistensi Umat
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah seorang ulama yang sangat memerhatikan eksistensi umat. Kejayaan
Islam dan umat Islam seringkali menjadi topik bahasan beliau pada
acara-acara sentral berskala internasional. Berbagai nasihat dan
bimbingan berharga selalu beliau sampaikan demi kejayaan Islam dan umat
Islam. Di antara nasihat dan bimbingan berharga itu adalah apa yang
pernah beliau sampaikan pada Muktamar Islam Tingkat Tinggi bahwa
kejayaan Islam dan umat Islam tidak akan bisa diraih kecuali dengan dua
hal penting:
Pertama: Keimanan yang kokoh kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang meliputi:
a. Mengikhlaskan setiap amalan hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala semata.
b. Menjalankan segala perintah Allah Subhanahu wata’ala dan menjauhi segala larangan-Nya.
c. Berhukum dengan syari’at Allah Subhanahu wata’ala dalam segenap sendi kehidupan.
d. Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.1
e . Mengembalikan semua permasalahan yang diperselisihkan di tengah umat kepada Kitabullah (al- Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
f. Menyiapkan kekuatan yang maksimal untuk membela agama Allah Subhanahu wata’ala dan kehormatannya, serta menegur pihak yang menyimpang agar kembali kepada kebenaran.
Kedua: Jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala
dengan penuh kesungguhan, yang hakikatnya termasuk dari konsekuensi
keimanan. Beliau menegaskan, apabila dua hal penting itu ada pada suatu
umat atau negara, pasti kemenangan akan mengiringinya dan kejayaan di
muka bumi akan diraihnya. Demikianlah janji Allah Subhanahu wata’ala yang tak akan terselisihi dan ketetapan-Nya (sunnatullah) yang tak akan berubah. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
2/167) Dalam kesempatan lain, beliau memperingatkan bahwa sebab utama
kehancuran umat adalah menjamurnya kesyirikan, kebid’ahan (perkara baru
yang diada-adakan dalam agama), dan kemaksiatan di tengah masyarakat.
Semua itu harus diatasi bersama dengan cara:
a. Saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan.
b. Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. (Lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 3/243)
Upaya Beliau dalam Menjaga Persatuan Umat
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah seorang ulama yang sangat peduli terhadap persatuan umat Islam.
Berbagai upaya untuk mempersatukan umat Islam dan menjauhkan mereka dari
perpecahan telah dicurahkan oleh beliau. Bahkan, beliau termasuk ulama
yang paling getol menyerukan proyek at-Tadhamun al-Islami di
dunia Islam, yaitu sikap saling membantu, bekerja sama, bahu-membahu,
tolong-menolong, serta berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran dengan
sesama umat Islam di seluruh dunia. Di antara cakupan at-Tadhamun al-Islami itu adalah:
• Amar ma’ruf nahi mungkar.
• Dakwah di jalan Allah Subhanahu wata’ala dan memberikan pembelajaran kepada orangorang yang tidak berilmu.
• Mengarahkan umat kepada sebabsebab kebahagiaan, keselamatan, dan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat.
• Membantu orang yang lemah, menolong orang yang teraniaya, dan mencegah perbuatan aniaya dari pelakunya.
• Menegakkan hukum had (pidana Islam),
menjaga stabilitas keamanan, menindak para perusak, mengontrol keamanan
jalur-jalur lalu lintas baik dalam lingkup nasional maupun
internasional.
• Memperbanyak sarana transportasi yang
memudahkan umat Islam di seluruh dunia untuk saling berhubungan baik via
darat, laut, maupun udara. Demikian pula memperbanyak sarana komunikasi
dengan membuka seluruh jaringan komunikasi yang memungkinkan. Semua itu
demi lebih memudahkan koordinasi antarumat Islam di seluruh dunia dan
diraihnya kebaikan bersama secara lebih maksimal, baik dalam urusan
agama maupun dunia.
• Menegakkan keadilan, menebarkan ketenteraman, dan memelopori perdamaian dunia.
• Menjalin kebersamaan yang solid
antarumat Islam, menyelesaikan pertikaian bersenjata di antara mereka,
dan memerangi kelompok yang membangkang di tengah-tengah mereka hingga
kembali kepada kebenaran. Menurut beliau, dengan at-Tadhamun al-Islami inilah
kebersamaan umat Islam di seluruh dunia akan semakin kokoh,
kemaslahatan di tengah-tengah mereka akan semakin tertata, persatuan
mereka akan semakin kuat, sehingga semakin berwibawa di hadapan
musuh-musuhnya. (Disarikan dari at-Tadhamun al-Islami. Lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 2/192—193)
Ketika ditanya tentang persatuan, beliau
menjawab, “Konsep yang saya tawarkan dalam permasalahan ini adalah
mengajak umat secara keseluruhan kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah
hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala semata, berpegang teguh
dengan syariat-Nya, dan berupaya untuk tidak menyelisihinya. Inilah yang
dapat menyatukan umat di atas kebenaran, memangkas perpecahan, dan
menghilangkan sikap fanatik terhadap mazhab tertentu. Dengan kata lain,
mengajak umat Islam untuk istiqamah di atas agama Allah Subhanahu wata’ala, menjaga syariat-Nya, serta tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan.
Dengan inilah barisan umat Islam dan
kekuatan mereka akan bersatu, dan menjadi satu kesatuan laksana satu
tubuh, satu bangunan, dan satu pasukan dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Adapun jika setiap pribadi muslim berfanatik terhadap mazhabnya,
gurunya, atau ideologi yang menyelisihi salaful ummah (pendahulu terbaik
umat ini), sungguh akan terjadi perpecahan di tubuh umat. Oleh karena
itu, wajib bagi para ulama, para da’i, dan para penguasa umat Islam
untuk bahu-membahu mengajak umat kepada kebenaran, berpegang teguh
dengannya, dan istiqamah di atasnya. Hendaknya target utama semua pihak
adalah menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya n, berjalan di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam,
serta berupaya tidak menyelisihinya. Inilah satu-satunya jalan untuk
mempersatukan kesatuan umat Islam, merapatkan barisan mereka, dan meraih
kemenangan atas musuh mereka. Wallahu waliyyut taufiq (Majalah al-Buhuts al- Islamiyah edisi 18, tahun 1407 H. Lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 2/448—449)
Pembelaan Beliau Terhadap Umat Islam dan Kehormatan Mereka
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah sosok ulama yang menyatu jiwanya dengan umat Islam di seluruh
dunia. Bagi beliau, problem umat Islam di suatu negeri adalah problem
bersama umat Islam di seluruh dunia. Tidak dibatasi oleh bangsa, warna
kulit, ataupun bahasa. Tak jarang, ketika umat Islam di suatu negeri
dihinakan, diperangi, disiksa, atau dianiaya beliau tergolong orang yang
terdepan dalam membangkitkan semangat kebersamaan umat, agar segera
terwujud sebuah pembelaan terhadap mereka. Di antara yang terkoleksi
dari kiprah beliau dalam hal yang mulia ini adalah surat terbuka yang
beliau tujukan kepada para penguasa muslim dan segenap umat Islam di
seluruh dunia sebagaimana berikut ini,
“Wahai para penguasa muslim dan segenap
umat Islam di seluruh dunia, saya mengajak kalian semua untuk
merealisasikan kandungan firman Allah Subhanahu wata’ala, {Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara},
merajut persaudaraan yang hakiki antarpribadi muslim walaupun berbeda
bangsa, warna kulit, dan bahasa. Sudah seharusnya umat Islam satu kata
dalam menghadapi umat-umat selain mereka… Sungguh pada hari ini umat
Islam telah mendengar atau menyaksikan musibah yang menimpa
saudara-saudara mereka di Filipina, Afghanistan, Eriteria, Ethopia,
Palestina, dan di banyak negeri lainnya termasuk minoritas muslim yang
hidup di bawah cengkeraman kekuatan negara-negara komunis yang kafir.
Namun sayang, umat Islam tidak memerhatikan hak-hak mereka. Tidak pula
berupaya memberikan pertolongan, pembelaan, dan bantuan….
Padahal para ulama telah menetapkan,
jika ada seorang wanita muslimah yang dizalimi atau dihinakan di belahan
bumi bagian barat, wajib bagi umat Islam yang berada di belahan bumi
bagian timur untuk membelanya. Lalu bagaimanakah jika yang terjadi
adalah pembunuhan, pengusiran, penganiayaan, permusuhan, dan
penangkapan-penangkapan tanpa bukti?! Semua itu sungguh telah menimpa
ratusan umat Islam, sementara saudarasaudara mereka seislam hanya
berpangkutangan, tak ada yang mau peduli dan membela mereka kecuali
hanya segelintir orang saja. Maka dari itu, wajib bagi negara-negara
muslim dan semua pihak yang mempunyai kemampuan untuk memberikan
perhatian kepada mereka yang lemah….
Jika umat Nasrani, Yahudi, komunis, dan
yang lainnya dari kalangan orang kafir sangat memerhatikan hak-hak
anggotanya walaupun berada di luar negeri yang jauh dari mereka,
mengirimkan segala bantuan yang dibutuhkan, bahkan mengancam pihak-pihak
yang menyakitinya walaupun anggota tersebut adalah seorang penjahat di
negerinya; mengapa umat Islam hanya berpangku tangan terhadap
pembantaian,
penyiksaan, dan gangguan yang menimpa saudara-saudara mereka di banyak negeri?!
Ketahuilah, barang siapa dari umat ini
yang tidak mau peduli terhadap penderitaan saudaranya seislam dan tidak
tergerak hatinya untuk membela mereka maka sangat dikhawatirkan musibah
itu berbalik kepadanya. Yaitu ketika ia ditimpa musibah yang sama maka
tidak ada seorang pun yang membelanya, atau menghentikan penganiayaan
dan penyiksaan tersebut….” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 2/162—163)
Ketika Masjid Babri di kota Ayodhya
India diserang dan dihancurkan oleh kelompok militan Hindu, beliau
mengeluarkan pernyataan keras terhadap para pelaku dan terhadap
Pemerintah India sebagai berikut, “Kami meyakini bahwa penyerangan dan
penghancuran Masjid Babri adalah kejahatan besar yang tak termaafkan,
karena termasuk penghinaan terhadap Islam, umat Islam, dan tempat-tempat
suci mereka. Pemerintah India harus bertanggung jawab atas kejadian
itu, dengan cara menghukum para pelaku kejahatan yang menyakitkan itu,
membangun kembali masjid tersebut, dan menghentikan segala kejahatan
dari pihak Hindu yang ditujukan kepada Islam, umat Islam, dan
tempat-tempat suci mereka….
Pemerintah India juga harus menghormati
Islam dan umat Islam di India, memilihkan tempat yang tepat untuk
mereka, menghormati tempat-tempat suci mereka, serta mengayomi mereka
dari gangguan orang-orang jahat dengan penuh kekuatan dan kesungguhan….”
(Diringkas dari Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 7/349—351)
Upaya Beliau dalam Pembentengan Umat
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah seorang ulama yang sangat menyayangi umat Islam. Dengan gigih
beliau berjuang membentengi mereka dari hal-hal yang membahayakan, baik
yang bersifat fisik sebagaimana keterangan di atas maupun yang bersifat
nonfisik sebagaimana yang akan disebutkan. Adapun pembentengan yang
bersifat nonfisik adalah dalam bentuk pembentengan umat dari ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan
oleh musuh-musuh Islam dan para kaki tangannya. Pembentengan tersebut meliputi:
1. Pembentengan akidah umat dari pemurtadan yang dewasa ini gencar dilakukan oleh kaum Nasrani, Yahudi, dan komunis.
2. Pembentengan manhaj (metode mengamalkan agama) umat dari bid’ah dan kesesatan, termasuk ideologi teroris.
3. Pembentengan akhlak umat dari
dekadensi moral dan kemaksiatan. Rincian konsep dan bimbingan beliau
seputar pembentengan umat tersebut dapat dilihat pada beberapa jilid
dari kitab Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz terkhusus 3/338.
Meraih Penghargaan Internasional Raja Faisal (King Faisal International Prize) atas Pengabdian untuk Islam
Pengabdian yang dilakukan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
sangat dirasakan oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, kecuali
orangorang yang menutup mata karena kesumat benci yang menyelimuti
hatinya. Demikianlah perjuangan beliau yang tiada henti. Tak
mengherankan apabila Penghargaan Internasional Raja Faisal
menganugerahkan penghargaan kepada beliau atas segala pengabdian yang
beliau lakukan untuk Islam dan umat Islam.
Penghargaan yang tidak diberikan kepada
sembarang orang itu dikeluarkan di Riyadh pada 6 Jumadal Ula 1402 H,
bertepatan dengan 1 Maret 1982 M. Disebutkan padanya beberapa contoh
dari pengabdian yang telah beliau lakukan sebagaimana berikut ini,
• Ragam aktivitas beliau yang banyak di medan dakwah ilallah dan ketegaran beliau di atas jihad, perjuangan, dan amal saleh di zaman ini.
• Militansi beliau dalam merealisasikan Islam yang tercermin pada pemikiran, perilaku, pedoman hidup, dan dakwah beliau.
• Peran aktif beliau yang bagus di
bidang riset dan studi keilmuan Islam, di bidang pendidikan Islam,
penyebaran ragam buku Islam dan pembagiannya secara gratis di berbagai
penjuru dunia, hingga tercatat sebagai salah satu tokoh kebudayaan Islam
yang terkemuka.
• Semangat beliau yang besar dalam
memberikan berbagai solusi yang tepat untuk problematika Islam dan umat
Islam di seluruh penjuru dunia.
• Bantuan beliau terhadap berbagai gerakan jihad (syar’i, bukan terorisme, –pen.) di berbagai belahan bumi ini.
• Dukungan beliau terhadap proyekproyek
Islami dan dorongan beliau terhadap para ulama, pribadi-pribadi, dan
lembaga-lembaga agar membantu proyek-proyek tersebut. (Lihat al-Kitab al-Watsaiqi ‘Anil Jami’ah al-Islamiyyah bil Madinah al-Munawwarah hlm. 221)
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Pembelaa Terhadap Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Para pembaca yang mulia, predikat sebagai ulama yang menguasai urusan agama merupakan anugerah agung dari Allah Subhanahu wata’ala, Dzat Yang Mahaalim. Titian jalan yang ditempuhnya senantiasa diiringi barakah Ilahi. Kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wata’ala pun berada pada tingkatan yang tinggi lagi mulia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุฑَْูุนِ ุงَُّููู ุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุง ู
ُِููู
ْ َูุงَّูุฐَِูู ุฃُูุชُูุง ุงْูุนِْูู
َ ุฏَุฑَุฌَุงุชٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Oleh karena itu, kita mendapati orang-orang yang berilmu
selalu menyandang pujian. Setiap disebut (nama mereka), pujian pun
tertuju untuk mereka. Ini merupakan bentuk diangkatnya derajat mereka di
dunia. Adapun di akhirat akan meraih derajat yang tinggi lagi mulia
sesuai dengan dakwah yang mereka lakukan di jalan Allah Subhanahu wata’ala dan realisasi ilmu yang mereka miliki.” (Kitabul Ilmi, hlm.14) Ulama adalah referensi utama dalam menyibak berbagai problem musykil yang terjadi di tengah umat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุงุณْุฃَُููุง ุฃََْูู ุงูุฐِّْูุฑِ ุฅِู ُููุชُู
ْ َูุง ุชَุนَْูู
َُูู
“Maka bertanyalah kepada orangorang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Oleh karena itu, keberadaan mereka di
tengah umat sangatlah berarti, sedangkan ketiadaan mereka adalah musibah
tersendiri. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Selama para ulama masih ada, umat pun masih berada dalam kebaikan.
Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk
menyesatkan mereka. Karena para ulama tidak akan tinggal diam untuk
menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana mereka selalu
memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7)
Namun, menjadi ketetapan Allah Subhanahu wata’ala
(sunnatullah) bahwa setiap orang yang baik, taat, dan istiqamah di atas
kebenaran pasti mendapatkan ujian dan cobaan. Di antara bentuk ujian
dan cobaan itu adalah adanya orang-orang jahat yang memusuhinya.
Demikianlah yang telah dialami oleh para nabi dan rasul yang mulia,
sebagaimana pula yang dialami oleh orang-orang yang mengikuti jejak
mereka dengan sebaikbaiknya (terkhusus para ulama) hingga hari kiamat
kelak. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ََููุฐََِٰูู ุฌَุนََْููุง ُِِّููู َูุจٍِّู ุนَุฏًُّูุง ู
َِّู ุงْูู
ُุฌْุฑِู
َِูู ۗ َََٰูููู ุจِุฑَุจَِّู َูุงุฏًِูุง ََููุตِูุฑًุง
“Dan demikianlah Kami jadikan untuk
setiap nabi para musuh dari kalangan orang-orang yang jahat. Dan
cukuplah Rabb-mu sebagai pemberi petunjuk dan pembela.” (al-Furqan: 31)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Mata Orang-Orang yang Memusuhinya
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
seorang ulama besar yang kesohor akan kealiman dan ketokohannya di
kalangan umat tak luput pula dari orang-orang jahat yang memusuhinya.
Padahal memusuhi beliau itu tiada berguna. Berbagai permusuhan yang
ditujukan kepada beliau itu justru semakin mengangkat derajat beliau dan
membuat harum nama beliau. Laksana kayu gaharu yang sudah harum, akan
semakin semerbak aroma harumnya ketika terkena panasnya api. Para
pembaca yang mulia, bila mencermati ragam orang yang memusuhi asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dapatlah disimpulkan bahwa
mereka tidak keluar dari dua jenis manusia; orang bodoh yang tidak
berilmu dan pengikut hawa nafsu. Jenis manusia yang pertama seringkali
terjebak pada kasus menuduh tanpa bukti atau menyalahkan tanpa dasar.
Sedangkan jenis manusia yang kedua seringkali terjatuh pada kasus
memutarbalikkan fakta atau memotong perkataan sesuai yang dimaukan untuk
memaksakan kesan buruk atau sesat tentang diri beliau. Di antara contoh
kasus-kasus itu adalah pernyataan yang dimuat dalam blog Abu Syafiq
al-Asy’ari (Malaysia), sebagai berikut:
– Menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
– Mengharamkan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
– Menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai autsan yaitu patung berhala.
Tanggapan
1. Pernyataan Abu Syafiq al-Asy’ari di
atas adalah tuduhan tanpa bukti bahkan kedustaan yang keji terhadap
asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Sebab, berbagai karya tulis dan ceramah beliau sangat bertolak belakang dengan pernyataan tersebut.
2. Dengan demikian bisa jadi Abu Syafiq
al-Asy’ari itu termasuk dari jenis manusia yang pertama yaitu orang
bodoh yang tidak berilmu yang seringkali terjebak pada kasus menuduh
tanpa bukti atau menyalahkan tanpa dasar. Bisa jadi juga termasuk jenis
manusia yang kedua yaitu pengikut hawa nafsu yang seringkali terjatuh
pada perbuatan memutarbalikkan fakta atau memotong perkataan sesuai yang
dimaukan untuk memaksakan kesan buruk atau sesat tentang diri beliau rahimahullah.
3. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah termasuk ulama yang getol mengajak umat untuk memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan tertinggi dalam segenap sendi kehidupan ini. Menurut asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam akan diraih petunjuk Allah Subhanahu wata’ala dan rahmat-Nya, kebahagiaan, serta kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat. Simaklah perkataan beliau berikut ini,
“Beberapa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semakna semuanya menunjukkan tentang kewajiban mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menaatinya. Demikian pula petunjuk Allah Subhanahu wata’ala dan rahmat-Nya, kebahagiaan, serta kesudahan yang baik, akan diraih dengan mengikuti dan menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Barang siapa mengingkari hal ini berarti telah mengingkari Kitabullah.
Barang siapa mengklaim bahwa dirinya hanya mengikuti al-Qur’an tanpa
mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam maka telah berdusta, keliru, dan kafir, karena al-Qur’an memerintahkan untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Barang siapa tidak mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
berarti tidak beramal dengan al- Qur’an, tidak beriman dengannya, dan
tidak patuh terhadap bimbingannya, karena di dalam al-Qur’an itu
terdapat perintah untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdapat pula ancaman bagi siapa saja yang menyelisihi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 25/14)
Lebih dari itu, beliau memperingatkan umat dari semua perbuatan yang menyelisihi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
bahkan menegaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan sebab kebinasaan
di dunia dan di akhirat. Simaklah perkataan beliau berikut ini, “Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
berada dalam bahaya yang sangat besar, yaitu akan ditimpa fitnah berupa
penyimpangan, kesyirikan, kesesatan, atau azab yang pedih. Na’udzu billah min dzalik.” (Majmu’ Fatawa asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz 25/13—14)
4. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah adalah seorang ulama yang sangat besar pembelaannya terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lisan beliau selalu basah dengan sanjungan shalawat. Hampirhampir semua
karya ilmiah atau ceramah beliau selalu didahului dengan memuji Allah Subhanahu wata’ala dan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sikap beliau pun sangat tegas terhadap orang yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Simaklah perkataan beliau berikut ini:
“Saya telah melihat apa yang dimuat oleh surat kabar Shautul Islam Mesir yang menukil dari surat kabar al-Masa’ al-Mishriyah yang
terbit pada tanggal 29 Januari lalu. Isinya adalah sikap lancang
terhadap sosok yang mulia nan berkedudukan agung, yaitu sayyiduna wa
imamuna Muhammad bin Abdillah semoga shalawat dan salam yang tak terhingga tercurahkan kepada beliau, keluarga, dan para sahabat beliau. Sikap lancang itu adalah menyerupakan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan seekor binatang yaitu ayam jantan. Seorang muslim tidak akan
ragu bahwa perbuatan itu jelas-jelas kekafiran, penyimpangan yang nyata,
dan penghinaan secara terang-terangan terhadap sosok pemimpin seluruh
umat manusia, utusan Rabb alam semesta, dan pemuka orang-orang yang
bercahaya di hari kiamat. Sungguh, ini merupakan sikap lancang yang
meresahkan setiap muslim, melukai hati setiap mukmin.
Sikap lancang yang mengharuskan laknat, kehinaan, kekal di neraka, mendapatkan kemarahan dari Allah Subhanahu wata’ala
Dzat yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa, keluar dari lingkaran Islam dan
iman menuju kesyirikan, kemunafikan, dan kekafiran bagi orang yang
melakukannya atau yang menyetujuinya. Di dalam al-Qur’anul Karim telah
ditegaskan kafirnya orang yang menghina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sesuatu dari al-Qur’an, atau syariat-Nya yang bijak. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ุฃَุจِุงَِّููู َูุขَูุงุชِِู َูุฑَุณُِِููู ُููุชُู
ْ ุชَุณْุชَْูุฒِุฆَُูู {} َูุง ุชَุนْุชَุฐِุฑُูุง َูุฏْ ََููุฑْุชُู
ุจَุนْุฏَ ุฅِูู
َุงُِููู
ْ
“Mengapa kepada Allah, ayatayat- Nya,
dan Rasul-Nya kalian (selalu) berolok-olok? Tidak perlu kalian meminta
maaf, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (at-Taubah: 66—65)
Maka ayat ini sebagai pernyataan yang jelas dan bukti yang kuat atas kafirnya orang yang menghina Allah Subhanahu wata’ala
Dzat yang Mahaagung, Rasul-Nya yang mulia, atau kitab-Nya yang
gamblang. Sungguh para ulama telah sepakat (ijma’) di setiap masa dan
tempat tentang
kafirnya orang yang menghina Allah Subhanahu wata’ala,
Rasul-Nya, kitab-Nya, atau sesuatu dari agama ini. Mereka juga sepakat
bahwa seseorang yang asalnya muslim lalu melakukan perbuatan tersebut
maka dengan itu dia menjadi kafir keluar dari Islam dan wajib dibunuh…—kemudian
beliau menukilkan perkataan para ulama seputar permasalahan ini.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/253)
5. Bagi orang yang berakal, perkataan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
di atas cukuplah sebagai bukti bahwa pernyataan Abu Syafiq al-Asy’ari
tersebut adalah tuduhan tanpa bukti dan kedustaan yang keji. Bagaimana
tidak?! Ketika beliau dinyatakan sebagai orang yang menghina Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, justru beliaulah orang yang sangat tegas terhadap siapa saja yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau dinyatakan sebagai orang yang mengharamkan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
justru beliaulah orang yang sangat memperhatikan shalawat dalam setiap
karya tulis dan ceramahnya, termasuk pada perkataan beliau di atas “semoga shalawat dan salam yang tak terhingga tercurahkan kepada beliau, keluarga, dan para sahabat beliau”. Ketika dinyatakan bahwa beliau menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai autsan yaitu patung berhala, justru sikap tegas beliau di atas terkait dengan penyerupaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang hina. Wallahul musta’an
Para pembaca yang mulia, masih di blog Abu Syafiq al-Asy’ari, dia menyatakan bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengharuskan pakai lambang salib kristen.
Tanggapan
1. Dalam pandangan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Kristen dan semua agama selain Islam adalah batil. Hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Hal ini banyak didapati pada berbagai karya tulis dan ceramah beliau.
Simaklah perkataan beliau berikut ini, “Sesungguhnya agama selain Islam:
Yahudi atau Nasrani (Kristen) semuanya batil, tidak ada agama yang
benar kecuali hanya agama Islam.” (Fatawa Nur alad Darb 1/295)
2. Pernyataan Abu Syafiq al-Asy’ari bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengharuskan memakai
lambang salib Kristen hanyalah tuduhan tanpa bukti dan kedustaan yang
keji. Sebab, sikap beliau tentang salib sangat jelas dan gamblang.
Dengan tegas beliau melarang sesuatu yang ada lambang salibnya, apalagi
memakainya. Simaklah perkataan beliau berikut ini, “Demikian pula salib,
tidak boleh memakai jam tangan yang ada lambang salibnya kecuali setelah dihapus atau dihilangkan lambang salib tersebut darinya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melihat lambang salib kecuali menghapusnya.” (Majmu’ Fatawa asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz 10/417) “Demikian pula tidak boleh baginya memakai salib. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah melihat lambang salib kecuali menghapusnya, karena hal itu menyerupai orang Kristen.” (Fatawa Nur alad Darb 7/288)
3. Jika demikian, dari manakah klaim Abu Syafiq al-Asy’ari bahwa beliau mengharuskan (tidak sekadar membolehkan, –pen.) pakai lambang salib Kristen?! Usut punya usut ternyata sumbernya adalah berita dusta yang disandarkan kepada beliau rahimahullah.
Bagaimana kisahnya? Kisahnya adalah sebagai berikut. Pada pertengahan
tahun 1417 H beredar sebuah kaset di Yordania yang menyebutkan bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz membolehkan (bukan mengharuskan, –pen.)
memakai lambang salib. Ternyata hal ini mengganjal di hati salah
seorang warga negara Yordania yang berinisial J.A.A, sehingga
mendorongnya untuk menulis surat mengklarifikasi tentang kebenaran isi
kaset tersebut. Ketika disampaikan isi surat tersebut kepada beliau,
dengan serta-merta terucap dari lisan beliau inna lillahi wainna ilaihi raji’un, la haula wala quwwata illa billah, hasbunallah wa ni’mal wakil.
Kemudian beliau membalas surat tersebut dengan berikut ini, “Dari Abdul
Aziz bin Baz, untuk saudara yang mulia J.A.A semoga Allah Subhanahu wata’ala mencurahkan taufik kepadanya dalam semua hal yang diridhai-Nya dan mengokohkannya di atas agama-Nya. Amiin….
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wa ba’du. Telah sampai kepada saya surat Anda tertanggal 14 Rabi’ul Awal 1417 H yang ditujukan kepada Dr. Muhammad bin Sa’ad asy- Syuwai’ir seputar kaset yang disandarkan kepada
saya, yang memuat keterangan bahwa saya membolehkan memakai lambang
salib. Perlu Anda ketahui bahwa fatwa tersebut belum pernah keluar dari
saya. Sungguh ini adalah sebuah kedustaan terhadap saya yang tak
berdasar sama sekali. Semoga Allah Subhanahu wata’ala membalas
pelakunya dengan balasan yang setimpal. Kejadian semacam ini bukanlah
hal baru bagi saya dan para ulama selain saya. Sudah berlalu sekian
kedustaan yang diluncurkan oleh orang-orang yang tak suka dengan
mengatasnamakan kami.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 28/242—243)
Demikianlah model Abu Syafiq al- Asy’ari yang asal comot dalam menukil berita. Wallahul musta’an.
Para pembaca yang mulia, kelompok
teroris Khawarij tak ketinggalan pula dalam memusuhi asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz. Mereka memusuhi karena merasa gerah dengan berbagai fatwa
beliau yang memorak-porandakan eksistensi terorisme yang mereka lakukan.
Simaklah pernyataan mereka berikut ini. Usamah bin Laden saat
memperingatkan umat dari fatwa-fatwa beliau rahimahullah berkata, “Oleh karena itu kami mengingatkan umat dari fatwa-fatwa batil seperti ini yang tidak memenuhi syarat.” (Surat Usamah bin Laden, tanggal 28-8-1415, MAT hlm. 264) Imam Samudra berkata, “Ia (yakni Raja Fahd) dan gerombolan pembisiknya
mengelabui Dewan Fatwa Saudi Arabia yang—dengan segala hormat—kurang mengerti trik-trik politik….” (Aku Melawan Teroris, hlm. 92)
Tanggapan
1. Terkait penyimpangan Usamah bin Laden
dan Imam Samudra, silakan membaca Majalah Asy-Syari’ah edisi 13
Terorisme Berkedok Jihad dan edisi 86 Mengapa Teroris Tak Pernah Habis.
2. Pernyataan Imam Samudra bahwa Dewan Fatwa Saudi Arabia (yang ketika itu diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
kurang mengerti trik-trik politik sangat tidak mendasar. Karena siapa
pun yang mengkaji perjalanan hidup asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
terkhusus kiprah beliau dalam perjuangan Islam dan berbagai pergolakan
yang terjadi di banyak negeri pasti mengakui keandalan beliau di bidang
politik, tentunya politik syar’i bukan politik ala teroris khawarij.
Sepenggal darinya dapat dibaca pada sub kajian utama pada edisi ini yang
berjudul asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Tonggak Perjuangan Umat Islam.
3. Tampaknya arah pembicaraan Imam
Samudra tersebut berkaitan dengan kasus meminta bantuan kepada pasukan
multinasional asing yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) untuk
membendung agresi pasukan Saddam Husain yang berpaham sosialis komunis
terhadap Kuwait dan Saudi Arabia. Hal itu diketahui dari pernyataan Imam
Samudra berikut ini,
“Pada saat mana ulama-ulama kian asyik
tenggelam dalam tumpukan kitabkitab dan gema pengeras suara. Mereka
tidak lagi peduli dengan penodaan, penistaan, dan penjajahan terhadap
kiblat dan tanah suci mereka….” (Aku Melawan Teroris, hlm. 93)
4. Permasalahan meminta bantuan kepada
orang kafir dalam hal ini adalah pasukan multinasional asing (walaupun
hakikatnya ada yang dari negara-negara muslim) yang dipimpin oleh AS
untuk membendung pendudukan pasukan Saddam Husain yang berpaham sosialis
komunis merupakan masalah yang mempunyai porsi untuk didudukkan secara
cermat dan ilmiah. Oleh karena itu, para ulama yang tergabung dalam
Hai’ah Kibar Ulama dan diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mendudukkannya dalam konteks pembahasan ilmiah yang kesimpulannya boleh. Terkhusus asy- Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau membahas permasalahan ini secara ilmiah beserta dalil-dalilnya sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
– (6/76—80) dengan judul Mauqif asy-Syari’ah minal Ghazwil Iraqi lil Kuwait.
– (6/183—186) dengan judul al-Isti’anah bil Kuffar fi Qitalil Kuffar.
– (6/142) dengan judul al-Ghazwul Iraqi Jarimah ‘Azhimah.
– (18/343) dengan judul Liqa’ ajrahu Mandub Majallah al-Mujtama’ Haula al-Ghazwil Iraqi lil Kuwait.
5. Tentunya fatwa beliau ini tidak hanya
didukung oleh 16 ulama dari Hai’ah Kibar Ulama (Komite Ulama besar) dan
para ulama Saudi Arabia yang tidak tergabung dalam Komite tersebut.
Tokoh-tokoh muslim dunia pun banyak yang mendukungnya. Untuk lebih
rincinya, silakan membaca kitab Fatawa wa Ara’ Ulama al-Alam al- Islami fi al-Ghazwil Iraqi lil Kuwait wa Atsaruhu al-Mudmirah. Berikutnya, dengan dikeluarkannya fatwa tersebut alhamdulillah kiblat
dan tanah suci umat Islam hingga hari ini terlindungi dari penodaan,
penistaan, dan penjajahan pasukan sosial komunis Saddam Husain atau
pasukan kafir asing, tidak sebagaimana prediksi Imam Samudra.
Para pembaca yang mulia, di antara celaan yang ditujukan kepada asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah bahwa beliau seorang ulama yang tidak mengerti waqi’ (realita
kekinian) dan antijihad. Padahal beliau adalah seorang ulama yang sangat
mengerti waqi’ (realita kekinian) dan sangat mendukung jihad di
berbagai penjuru dunia. Berbagi karya tulis dan ceramah beliau sebagai
saksi atas itu semua. Di antaranya perkataan beliau berikut ini, “Jihad
Afghanistan adalah jihad yang syar’i untuk melawan negara kafir (Uni
Soviet, –pen.), maka wajib untuk dibantu dengan berbagai
bantuan yang ada. Bagi saudara kita penduduk Afghanistan hukumnya fardhu
ain membela agama, tanah air, dan saudara muslim setanah air. Sedangkan
bagi selain mereka, hukumnya fardhu kifayah.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 5/151)
Tentu masih banyak perkataan dan
perbuatan beliau yang menunjukkan bahwa sangat mengerti waqi’ (realita
kekinian) dan sangat mendukung jihad di berbagai penjuru dunia. Tak
heran, bila di antara poin yang dimuat dalam piagam Penghargaan
Internasional Raja Faisal atas pengabdian Islam adalah Semangat beliau
yang besar dalam memberikan berbagai solusi yang tepat untuk
problematika Islam dan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Bantuan
beliau terhadap berbagai gerakan jihad (syar’i, bukan terorisme,
-pen.) di berbagai belahan bumi ini. Para pembaca yang mulia, tentu
masih ada (bahkan banyak) celaan, tuduhan, dan kedustaan yang
disandarkan kepada sosok mulia asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah oleh ahlul batil yang memusuhi beliau.
Nama beliau tetap harum, sedangkan nama
baik orangorang yang memusuhi beliau menjadi hancur. Laksana kambing
bertanduk yang menghantamkan tanduknya ke batu besar dengan keyakinan
dapat menghancurkannya. Bukannya batu besar itu yang hancur, justru
tanduk kambing itulah yang menjadi hancur. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menggunjing ulama, melecehkan
dan menjelek-jelekkan mereka merupakan jenis ghibah dan namimah yang
paling berat, karena dapat memisahkan umat dari ulamanya dan terkikisnya
kepercayaan umat terhadap mereka. Jika ini terjadi, maka akan terjadi
kejelekan yang besar.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 17)
Teladan as-Salafush Shalih dalam Memuliakan Ulama
Berikut ini beberapa contoh tentang
keteladanan as-salafush shalih dalam memuliakan ulama. Kami
meletakkannya sebagai khatimah yang mengakhiri kajian ini. Semoga
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
• Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, suatu hari menuntun hewan tunggangan yang dinaiki oleh sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, seraya beliau berkata, “Seperti inilah kita diperintah untuk memuliakan ulama.”
• Ketika al-Imam al-Auza’i rahimahullah menunaikan ibadah haji dan masuk ke kota Makkah, maka al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah yang menuntun tali kekang untanya seraya mengatakan, “Berilah jalan untuk Syaikh!”. Sedangkan al-Imam Malik bin Anas rahimahullah yang menggiring unta tersebut (dari belakang) hingga mereka mempersilakan al-Imam al-Auza’i rahimahullah untuk duduk di sekitaran Ka’bah. Kemudian mereka berdua duduk di hadapan al-Imam al-Auza’i rahimahullah untuk menimba ilmu darinya.
• Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Dahulu aku membuka lembaranlembaran kitab di hadapan al-Imam Malik rahimahullah dengan perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh beliau, karena rasa hormatku yang sangat tinggi kepada beliau.” (Dinukil dari Kitab Ad-Diin Wal ‘Ilm, hlm. 27)
Demikianlah seharusnya yang terpatri dalam hati sanubari setiap insan muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Wajib bagi seluruh kaum muslimin—setelah mencintai Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya—untuk mencintai orangorang yang beriman sebagaimana yang
telah disebutkan di dalam al-Qur’an, terkhusus para ulama pewaris para
nabi yang diposisikan oleh Allah Subhanahu wata’ala seperti
bintang-bintang di angkasa yang menjadi penunjuk arah di tengah gelapnya
daratan maupun lautan. Kaum muslimin pun sepakat bahwa para ulama
merupakan orang-orang yang berilmu dan dapat menunjuki mereka kepada
jalan yang lurus.” (Raf’ul Malam ‘Anil Aimmatil A’lam, hlm.3)
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi

Tanya Jawab Ringkas Edisi 88
Cara Duduk Shalat Witir Satu Rakaat
Bagaimana duduknya orang yang shalat witir satu rakaat? 085329XXXXXX
Pendapat yang rajih (kuat), shalat yang hanya punya satu tasyahud, duduknya iftirasy, baik satu rakaat maupun lebih.
—————————————————————————————————————————————
Batasan Amalan bagi Yang Tidak Mampu
Sejauh mana kriteria mengamalkan agama
sesuai dengan kemampuan? Apakah tidak mengamalkan agama karena takut
pada celaan orang lain/ anggapan buruk lainnya dari orang lain bisa
disebut tidak mampu? 085740XXXXXX
Sesuai dengan kemampuan adalah kita
mengerahkan segenap daya dan upaya secara maksimal untuk beramal. Jika
sudah sampai pada batas di luar kemampuan kita, hal itu dimaafkan.
Adapun tidak beramal karena sematamata takut celaan orang, ini tidak
termasuk masalah di atas. Hal ini justru menunjukkan kelemahan iman.
Yang benar, terus beramal dan tidak menghiraukan celaan siapa pun,
dengan cara hikmah yang sesuai dengan sunnah.
—————————————————————————————————————————————-
Bendera Tanda Kematian
Apakah hukumnya memberi tanda kain putih/bendera kuning jika ada orang yang meninggal?
085394XXXXXX
Fungsi bendera dalam Islam adalah
untuk jihad fi sabilillah, dipegang oleh panglima atau pimpinan
mujahidin yang ditunjuk. Bendera untuk jenazah tidak ada contohnya, dan
bila ada keyakinan tertentu bisa saja terjatuh dalam bid’ah.
Waffaqakumullah.
—————————————————————————————————————————————–
Tata Cara Shalat Orang Lumpuh
Bagaimana tata cara shalat orang yang lumpuh dan hanya bisa berbaring di tempat tidurnya?
082194XXXXXX
Kaidahnya adalah melakukan sesuai
dengan kemampuan. Untuk kasus orang lumpuh, maka ia shalat sambil
berbaring dengan isyarat kepala. Jika tidak mampu, dengan isyarat mata,
apabila mungkin kepala ke arah kiblat. Jika tidak, ke arah mana pun.
Yassarallahu umurakum.
—————————————————————————————————————————————–
Keringanan Mandi Junub bagi Orang Sakit
Adakah keringanan untuk orang yang
sedang sakit panas yang setelah bangun tidur ia junub padahal harus
menjalankan shalat subuh? Bolehkah jika dia hanya membersihkan
kemaluannya saja dari air mani? Sebab, dikhawatirkan sakitnya akan
bertambah parah jika ia membasahi seluruh tubuhnya. 085742XXXXXX
Apabila seseorang memang tidak
mungkin menggunakan air untuk mandi janabah, gantinya adalah tayamum,
sampai mampu menggunakan air. Ketika itu, wajib mandi janabah.
Waffaqakumullah.
—————————————————————————————————————————————–
Lele yang Mati Dipukul
Dalam surat al-Maidah ayat 3 disebutkan
bahwa binatang yang dipukul hukumnya haram. Bagaimana dengan lele yang
cara membunuhnya dengan dipukul-pukul? Bagaimana hukum lele yang
makanannya adalah kotoran (manusia)? 085643XXXXXX
Hewan yang mati karena dipukul adalah
haram, kecuali jenis ikan— termasuk lele—semuanya halal, bahkan
bangkainya pun halal. Lele yang hanya diberi makan kotoran termasuk
kategori jallalah, haram dimakan. Solusinya, taruh di air yang
bersih sampai diperkirakan hilang kotoran dalam tubuh lele tersebut,
baru boleh dimakan. Namun, kalau makanannya campuran dan beragam, tidak
masalah.
——————————————————————————————————————————————-
Ghibah yang Diperbolehkan
Apakah termasuk ghibah , membicarakan orang yang ucapannya kadang membuat sakit hati? +6285XXXXXXXXX
Ghibah adalah menyebut seseorang
dengan apa yang dia benci. Hukumnya haram, kecuali beberapa kondisi yang
diperbolehkan oleh ulama karena maslahat syar’i, seperti ketika meminta
fatwa, tahdzir kepada ahli bid’ah dan orang yang terang-terangan
berbuat fasik. Waffaqakumullah.
——————————————————————————————————————————————-
Hukum Kredit
Bagaimana hukumnya seseorang yang
memberikan kredit barang tetapi direalisasikan berupa pinjaman uang
sebesar 1,5 juta yang kemudian dilunasi dengan cara dicicil sebesar 2
juta?
081386XXXXXX
Sistem kredit yang Anda sebutkan
adalah riba. Hakikatnya adalah pinjam 1,5 juta dengan melunasi 2 juta.
Yang benar, orang tersebut kulakan dahulu barang yang diinginkan,
setelah itu baru mengadakan akad jual beli, walau dengan harga lebih.
Perlu diingat, sistem ini tidak mengikat, penjual bisa menjual ke orang
lain dan pembeli bisa membatalkan niat beli.
—————————————————————————————————————————————–
Hukum Musik Barat dan Rock
Apakah diperbolehkan jika seorang muslim bernyanyi lagu Barat yang beraliran rock?
087812XXXXXX
Nyanyian hukumnya haram, baik Barat maupun Timur; rock, pop, dangdut, atau yang lain. Lihat pembahasan musik pada Asy-Syariah edisi 40. Waffaqakumullah.
——————————————————————————————————————————————-
Hidayah
Apakah setiap orang yang beragama Islam berarti telah mendapatkan hidayah? 081572XXXXXX
Setiap muslim telah mendapat hidayah
taufik untuk masuk Islam dan selamat dari kekufuran. Tetapi, ada hidayah
yang lebih agung, yaitu hidayah taufik mengenal sunnah, mempelajari,
dan mengamalkannya. Hidayah ini menyelamatkan seseorang dari
penyimpangan dan kemungkaran. Waffaqallahu lil jami’.
——————————————————————————————————————————————-
Toko Hasil Pinjaman Bank
Suami saya mendapat hibah sebuah toko
yang dahulu dibangun oleh orang tuanya dengan bantuan bank, sedangkan
toko itulah satu-satunya sumber penghidupan kami sekeluarga. Bagaimana
hukumnya? 085299XXXXXX
Apa yang terjadi pada masa lalu
dimaafkan selama karena tidak mengetahui ilmunya. Toko tersebut bisa
digunakan disertai banyak infak untuk membersihkan harta.
—————————————————————————————————————————————
Uang Muka
Bagaimana hukumnya jika uang muka yang
dibayarkan kepada penjual menjadi hak penjual karena pemesan
barang/pembeli membatalkan pesanannya? 085740XXXXXX
Boleh, itu yang disebut dengan istilah akad ‘urbun. Zadakallahu ‘ilman.
——————————————————————————————————————————————
Bedug yang Terbuat dari Kulit Hewan Kurban
Bagaimana hukum kulit hewan kurban yang dijadikan bedug? 081910XXXXXX
Jelas tidak boleh, karena:
1. Hewan kurban beserta kulitnya harus dibagikan kepada fakir miskin dan mustahiq lainnya.
2. Bedug tidak ada sunnahnya, justru termasuk bid’ah yang dimasukkan ke dalam masjid. Waffaqakumullah.
—————————————————————————————————————————————–
Imam Shalat yang Beramal Syirik dan Bid’ah
Bagaimana hukum menjadi makmum yang imamnya berbuat syirik dan bid’ah? 081903XXXXXX
Kalau imam tersebut sudah dihukumi
kafir, tidak sah shalat di belakangnya. Kalau masih muslim, tetap sah,
hanya saja yang afdal adalah shalat di belakang orang yang saleh.
—————————————————————————————————————————————-
Shalat di Masjid Hasil Uang Riba
Bagaimana hukumnya shalat di masjid yang dibangun dari hasil uang riba? 085242XXXXXX
Shalat di masjid tersebut sah, tidak
ada kaitannya antara ibadah shalat dan sumber pembangunan masjid. Ini
adalah pendapat jumhur ulama. Namun, yang afdal adalah shalat di tempat
lain.
——————————————————————————————————————————————-
Bagi Hasil Usaha yang Sebagian Dimodali oleh Bank
Saya mempunyai sebidang tanah yang
digunakan orang tua berusaha. Bolehkah saya mengambil bagi hasilnya
karena usaha itu dimodali sebagian oleh bank? 085256XXXXXX
Boleh, karena harta bagi hasil
tersebut bercampur antara yang halal dan haram. Namun, lebih dominan
yang halal, apalagi saat pinjam bank dalam keadaan tidak tahu ilmunya.
Segera lunasi tanggungan kepada bank dan perbanyak sedekah untuk
membersihkan harta yang ada. Waffaqakumullah.
Tiup Lilin Ulang Tahun
Apakah boleh jika ada orang tua yang
merayakan acara syukuran (ulang tahun) dengan meniup lilin di atas kue
sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala atas berkah (umur panjang) yang diberikan kepada anaknya? 087841XXXXXX
Acara ulang tahun tidak ada sunnahnya
dan termasuk tasyabuh dengan orang kafir. Tidak boleh mengadakan
syukuran dengan niat tersebut walau detail acaranya tidak seperti acara
orang kafir. Waffaqakumullah.
Membeli Beras dari Dukun
Bolehkah membeli beras/kebutuhan lain
dari dukun? Padahal kita ketahui bahwa dukun tersebut mendapatkan uang
dari praktik kesyirikan. 085315XXXXXX
Harta hasil perdukunan adalah haram.
Kaidahnya, harta yang haram tidak boleh bagi pemiliknya, tetapi boleh
bagi orang lain. Membeli beras atau yang lain dari dukun tersebut
hukumnya boleh, walau yang afdal adalah tidak. Pada zaman Rasul n, para sahabat bertransaksi dengan kaum musyrikin yang sumber hartanya banyak dari hal yang haram.
Tidak Membaca Basmalah untuk Permainkan Setan
Bolehkah seseorang yang memulai makan
tanpa membaca basmalah secara sengaja sehingga setan turut serta makan
bersama, kemudian ketika sedang makan dia membaca basmalah sehingga
setan memuntahkan makanan tadi? Hal ini hanya bertujuan untuk
mempermainkan setan. 085261XXXXXX
Tindakan tersebut jelas salah, sebab
dia sengaja melakukan tindakan menyelisihi sunnah, bahkan sengaja
meninggalkan yang wajib. Menghinakan setan tidak dengan cara seperti
itu. Yang benar, dengan cara mengamalkan sunnah. Waffaqakumullah.
Tata Cara Haji yang Paling Mulia
Mana yang paling mulia dan banyak pahalanya; haji ifrad atau tamattu’? 08124XXXXXX
Haji tamattu’ lebih afdal, bahkan sebagian ulama berpendapat wajib.
Sunnah Berdoa setelah Shalat
Apakah ada sunnah berdoa mengangkat tangan setelah selesai shalat? 082167XXXXXX
Yang sunnah setelah shalat adalah
berzikir, bukan berdoa. Namun, bila dia lakukan sekali waktu, maka tidak
masalah dan adabnya dengan angkat tangan.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin

Akibat Mencela Ulama
َูุงَّูุฐَِูู ُูุคْุฐَُูู ุงْูู
ُุคْู
َِِููู َูุงْูู
ُุคْู
َِูุงุชِ ุจِุบَْูุฑِ ู
َุง ุงْูุชَุณَุจُูุง ََููุฏِ ุงุญْุชَู
َُููุง ุจُْูุชَุงًูุง َูุฅِุซْู
ًุง ู
ُّุจًِููุง
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 58)
Sebab Turunnya Ayat
Sebagian ulama tafsir, seperti al-
Baghawi, al-Alusi, al-Baidhawi, dan yang lain, menyebutkan dalam kitab
tafsirnya, beberapa pendapat terkait dengan sebab turunnya ayat ini. Ada
yang menyatakan bahwa ayat ini turun sehubungan dengan tindakan kaum
munafikin terhadap sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
seperti pada riwayat Muqatil. Pendapat lain menyatakan, ayat ini turun
kepada Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang bersamanya yang mereka
melontarkan tuduhan palsu terhadap Aisyah x, seperti pada riwayat
adh-Dhahhak. (al-Maktabah asy-Syamilah)
Makna Ayat
ุนَْู ุฃَุจِู ُูุฑَْูุฑَุฉَ ุฑَุถَِู ุงُููู ุนَُْูู
“Dan orang-orang yang menyakiti.”
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa makna al-adza adalah menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala dan berbuat maksiat kepada-Nya. Lalu beliau menukil ucapan Mujahid rahimahullah, menyakiti bermakna mereka yang mencela, memfitnah, dan menuduh kaum mukminin tanpa dosa dan kesalahan. Adapun ath-Thabari rahimahullah menyatakan, makna ucapan Mujahid rahimahullah dengan tafsir seperti ini adalah orangorang yang
mencela kaum mukminin dan mukminat, serta menjelek-jelekkannya, dengan
harapan kejelekan dan keburukan itu ada pada mereka (kaum mukminin).
Al-Alusi rahimahullah berkata
bahwa maknanya adalah mereka yang melakukan tindakan yang menyakiti kaum
mukminin, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Ibnu Katsir rahimahullah
(3/496) menjelaskan, maknanya adalah mereka yang menisbatkan (menuduh)
kaum mukminin suatu perkara, yang kaum mukminin sendiri berlepas diri
darinya, yaitu perkara yang tidak mereka lakukan dan tidak mereka
perbuat.
ุจِุบَْูุฑِ ู
َุง ุงْูุชَุณَุจُูุง
“Tanpa kesalahan yang mereka perbuat.”
Artinya, tanpa dosa dan kesalahan yang mengharuskan mereka (kaum mukminin) disakiti. Mujahid rahimahullah berkata, “Dengan perkara yang tidak mereka lakukan.”
ََููุฏِ ุงุญْุชَู
َُููุง
“Maka sesungguhnya mereka telah memikul.”
Maksudnya, di atas punggungpunggung mereka.
ุจُْูุชَุงًูุง
“Kebohongan dan dosa yang nyata.”
Al-Alusi rahimahullah menerangkan, kata buhtan bermakna perbuatan jelek, keji. Ada pula yang memaknai dengan kebohongan, berupa kebohongan yang sangat jelek. Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, maknanya adalah kebohongan, kedustaan, fitnah, laporan yang jahat, dan keji (palsu). “Buhtan” adalah kebohongan yang paling buruk, keji, dan jelek. (asy- Syamilah) Disebutkan oleh asy-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya, Fathul Qadir (1/814), al-buhtan diambil dari kata al-buht. Artinya, kebohongan yang dituduhkan kepada orang yang bersih (dari tuduhan) dengan sesuatu yang diada-adakan. Dikatakan, bahata buhtan wa buhtaanan, jika seseorang mengatakan terhadap orang lain yang tidak ia ucapkan (yang tidak ada padanya). Kata buhita bisa dibaca dengan mengkasrah ha’ atau mendhammahnya, bahuta, bermakna tercengang, heran, diam dalam kebingungan. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
َูุจُِูุชَ ุงَّูุฐِู ََููุฑَ
“Lalu heran terdiamlah orang kafir itu.” (al-Baqarah: 258)
َูุฅِุซْู
ًุง ู
ُّุจًِููุง
“Dosa yang nyata,” yaitu yang tampak dan jelas.
Tafsir Ayat
Ibnul Jauzi t dalam kitabnya Zadul Masir berkata,
“Ulama tafsir sepakat bahwa makna ayat ini adalah menjelaskan adanya
orang-orang yang menuduh kaum mukminin dan mukminat dengan perkara yang
tidak ada pada mereka.” Ibnu Katsir rahimahullah (3/496—497)
berkata, “Kebohongan terbesar adalah menceritakan dan menukil dari
orangorang mukmin laki-laki ataupun perempuan, perkara yang tidak mereka
perbuat, dengan tujuan mengaibkan, mencemarkan, dan mencela mereka.
Kebanyakan orang yang masuk dalam ancaman ayat ini adalah orang yang
kufur kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya.
Kemudian kaum Rafidhah, yang mencela dan menjelek-jelekkan para sahabat dengan perkara yang Allah Subhanahu wata’ala
telah menyucikan mereka darinya. Mereka (Rafidhah) juga menyifati para
sahabat dengan hal-hal yang bertentangan dengan yang Allah Subhanahu wata’ala beritakan tentang mereka. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala
telah memberitakan bahwa Ia telah ridha kepada kaum Muhajirin dan
Anshar serta memuji mereka. Adapun mereka adalah orang-orang yang bodoh
dan dungu, yang selalu mencaci maki dan mencela para sahabat, selalu
menyebutkan perkara yang tidak ada pada mereka dan yang sama sekali
tidak mereka lakukan. Maka dari itu, mereka (kaum Rafidhah) pada
hakikatnya adalah orangorang yang terbalik hatinya karena mencela
orang-orang yang terpuji dan memuji orang-orang yang tercela.” Kemudian
beliau memaparkan riwayat dengan sanadnya dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Wahai Rasulullah, apa itu ghibah?” Beliau menjawab, “Ghibah adalah engkau
menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Lalu beliau
ditanya, “Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku sebut itu memang ada
pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau sebut itu ada pada
dirinya, engkau telah mengghibah dia. Namun, jika yang engkau sebut itu
tidak ada padanya, engkau telah berbuat buhtan (berdusta) terhadap dia.”
(HR. at-Tirmidzi)
Beliau juga memaparkan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabatnya,
“Apakah perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wata’ala?” Mereka menjawab, “Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wata’alaadalah orang yang menghalalkan kehormatan/harga diri seorang muslim.” Kemudian beliau membaca ayat,
َูุงَّูุฐَِูู ُูุคْุฐَُูู ุงْูู
ُุคْู
َِِููู َูุงْูู
ُุคْู
َِูุงุชِ ุจِุบَْูุฑِ ู
َุง ุงْูุชَุณَุจُูุง ََููุฏِ ุงุญْุชَู
َُููุง ุจُْูุชَุงًูุง َูุฅِุซْู
ًุง ู
ُّุจًِููุง
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al- Ahzab: 58)
As-Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Oleh karena itu, mencela atau memaki salah seorang dari
kaum mukminin mengharuskan dia diberi hukuman, sebatas keadaan dan
kedudukan orang yang dicelanya. Jadi, hukuman bagi orang yang mencela
sahabat lebih berat. Hukuman bagi orang yang mencela para ulama dan
orang-orang yang beragama Islam dengan baik, lebih besar daripada yang
selain mereka.” Ulama yang sesungguhnya adalah mereka yang disifati oleh
Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana tersebut dalam ayat,
ุฅَِّูู
َุง َูุฎْุดَู ุงََّููู ู
ِْู ุนِุจَุงุฏِِู ุงْูุนَُูู
َุงุกُ ۗ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Asy-Syaikh bin Baz pernah ditanya tentang tafsir ayat ini, (Majmu’ Fatawa, 24/268—270). Beliau menjawab, “Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa ulama itu adalah orang yang tahu tentang Allah Subhanahu wata’ala,
agama, kitab (al-Qur’an) yang agung, dan sunnah Rasul-Nya yang mulia.
Mereka adalah manusia yang sempurna takutnya kepada Allah Subhanahu wata’ala, sempurna takwanya kepada Allah Subhanahu wata’ala,
dan sempurna ketaatannya kepada-Nya. Yang terdepan dari mereka adalah
para rasul dan nabi.” Maka dari itu, yang dimaksud dengan “sesungguhnya yang takut kepada Allah”
adalah rasa takut yang sempurna dari hamba-Nya, yaitu para ulama.
Mereka adalah orang-orang yang mengenal Rabbnya dengan nama dan
sifat-Nya serta keagungan hak-Nya. Mereka memahami syariat-Nya, mengimani apa yang ada di sisi-Nya, yaitu kenikmatan bagi yang bertakwa kepada-Nya serta azab bagi yang durhaka dan menyelisihi perintah-Nya.
Karena kesempurnaan ilmu tentang Allah Subhanahu wata’ala dan kesempurnaan pemahaman tentang kebenaran, mereka menjadi manusia yang paling takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Manusia yang banyak rasa takutnya dan pengagungannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ayat ini tidaklah bermakna bahwa tidak ada yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala
selain para ulama. Sebab, setiap muslim laki-laki dan perempuan serta
setiap mukmin laki-laki dan perempuan memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Namun, rasa takut tersebut berbeda, tidak sama. Setiap orang mukmin yang lebih mengenal Allah Subhanahu wata’ala, lebih paham terhadap agama, tentu ia akan memiliki lebih banyak rasa takut dan lebih sempurna khasyahnya.
Demikian pula halnya dengan seorang wanita yang beriman, jika keadaannya seperti itu. Setiap orang yang berkurang ilmu dan bashirahnya, akan berkurang pula rasa takut dan khasyahnya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Manusia tidak sama dalam hal ini. Bahkan, keadaan para ulama pun demikian. Setiap alim yang lebih mengenal Allah Subhanahu wata’ala,
lebih menjalankan hak dan agama-Nya, lebih berilmu tentang nama dan
sifat-Nya, rasa takutnya kepada Allah l tentu lebih sempurna daripada
alim yang lain. Semakin sedikit ilmunya, semakin sedikit pula rasa
takutnya. Namun, setiap mukmin laki-laki dan perempuan memiliki rasa
takut kepada Allah l, sebatas ilmu dan derajat mereka dalam hal iman.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ุฅَِّู
ุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุง َูุนَู
ُِููุง ุงูุตَّุงِูุญَุงุชِ ุฃَُٰููุฆَِู ُูู
ْ ุฎَْูุฑُ
ุงْูุจَุฑَِّูุฉِ {} ุฌَุฒَุงุคُُูู
ْ ุนِูุฏَ ุฑَุจِِّูู
ْ ุฌََّูุงุชُ ุนَุฏٍْู ุชَุฌْุฑِู ู
ِู
ุชَุญْุชَِูุง ุงْูุฃََْููุงุฑُ ุฎَุงِูุฏَِูู َِูููุง ุฃَุจَุฏًุง ۖ ุฑَّุถَِู ุงَُّููู
ุนَُْููู
ْ َูุฑَุถُูุง ุนَُْูู ۚ ุฐََِٰูู ِูู
َْู ุฎَุดَِู ุฑَุจَُّู
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik
makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-
Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Rabbnya.” (al-Bayyinah: 7—8)
ุฅَِّู ุงَّูุฐَِูู َูุฎْุดََْูู ุฑَุจَُّูู
ุจِุงْูุบَْูุจِ َُููู
ู
َّุบِْูุฑَุฉٌ َูุฃَุฌْุฑٌ َูุจِูุฑٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang takut
kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh
ampunan dan pahala yang besar.” (al- Mulk: 12)
َِููู
َْู ุฎَุงَู ู
ََูุงู
َ ุฑَุจِِّู ุฌََّูุชَุงِู
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua surga.” (ar-Rahman: 46)
Jadi, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan balasan sebatas rasa takut mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala,
meskipun mereka bukan para ulama, melainkan kalangan orang biasa. Akan
tetapi, kesempurnaan rasa takut hanya ada pada ulama karena kesempurnaan
pengetahuan dan ilmu mereka terhadap Allah Subhanahu wata’ala. Dengan demikian, rasa takut mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala lebih agung.
Wallahu waliyyu at-taufiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

Pembelaan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Terhadap Hadits-Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Pada tahun 1420 H, umat kehilangan dua alim rabbani:
asy- Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani dan asy-Syaikh
al-Walid Abdul Aziz bin Baz. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, nama yang
tidak asing di tengah kaum muslimin. Harum nama beliau. Dunia Islam
menyaksikan perjuangan beliau dalam membela Islam dan kaum muslimin.
Adapun celaan yang tertuju kepada beliau hanyalah riak-riak di tengah
luasnya samudra. Cukuplah biografi beliau dan sanjungan alam Islam
sebagai bantahan bagi mereka yang dengan lancang mencela orang yang
telah menghabiskan waktunya untuk membela Islam.
Meninggal pada usia 90 tahun, pada hari
Kamis, Muharram 1420 H. Seusai shalat Jum’at, jenazah dishalati di
Masjidil Haram bersama duka yang mendalam dan awan kelabu yang
menyelimuti kalbu kaum muslimin. Shalat gaib juga ditegakkan di Masjid
Nabawi dan masjid-masjid jami’ di Kerajaan Arab Saudi, hari itu. Umat
kehilangan lagi sosok ulama mujaddid. Demikianlah zaman berlalu. Satu
demi satu ulama meninggalkan dunia hingga kejahilan semakin merebak.
Manusia pun akan menjadikan pemimpinpemimpin dan tokoh-tokoh mereka dari
kalangan orang-orang yang jahil sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits,
ุฅَِّู
ุงَููู ูุงَ َْููุจِุถُ ุงْูุนِْูู
َ ุงْูุชِุฒَุงุนًุง َْููุชَุฒِุนُُู ู
ِْู ุตُุฏُูุฑِ
ุงูุฑِّุฌَุงِู، ََِْูููู َْููุจِุถُ ุงْูุนِْูู
َ ุจِู
َْูุชِ ุงْูุนَُูู
َุงุกِ ุญَุชَّู
ุฅِุฐَุง َูู
ْ َูุจَْู ุนَุงِูู
ٌ، ุงุชَّุฎَุฐَ ุงَّููุงุณُ ุฑُุกُูุณًุง ุฌَُّูุงูุงً،
َูุณُุฆُِููุง َูุฃَْูุชَْูุง ุจِุบَْูุฑِ ุนِْูู
ٍ َูุถَُّููุง َูุฃَุถَُّููุง
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak mencabut ilmu dengan serta-merta dari dada-dada manusia, namun Allah Subhanahu wata’ala mencabut
ilmu dengan wafatnya ulama. Karena itu, ketika tidak ada lagi seorang
yang ‘alim, manusia lantas mengangkat pemimpin mereka dari kalangan
orang-orang jahil, mereka ditanya dan memberikan fatwa (di atas
kejahilan), mereka pun sesat dan menyesatkan.”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
termasuk pemuka ulama yang sangat gigih menyebarkan akidah Islam dan
membela dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini tampak dalam amaliah
beliau, ceramah-ceramah dan fatwa fatwa beliau, serta kitab-kitab yang
beliau tinggalkan. Beliau gigih membela tauhid dan memerangi syirik.
Hidup beliau penuh dengan pembelaan kepada Allah l dan Rasul-Nya, Islam,
sahabat, dan pembelaan terhadap akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Ilmu Hadits
Keilmuan beliau sangat mendalam. Hafal
al-Qur’an sebelum baligh, kemudian beliau tekun duduk di hadapan para
pembesar ulama di zaman itu. Kebutaan total yang menimpa di usia 20
tahun tidak membuatnya surut dalam menimba ilmu, bahkan mendorong beliau
untuk menambah semangat. Allah Subhanahu wata’ala membukakan pintu-pintu ilmu untuknya. Jadilah beliau—dengan izin Allah Subhanahu wata’ala—seorang
ulama. Semua menyaksikan keluasan ilmu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Di samping ilmu akidah, tafsir, fikih, dan cabang-cabang lain, perhatian
beliau kepada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam demikian kuat. Disebutkan dalam biografinya, beliau menghafal haditshadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Semangat beliau dalam menyebarkan hadits Nabi n dan bertafaqquh dalam
cabang ilmu ini juga tampak kental dalam banyak pelajaran yang beliau
sampaikan kepada para penuntut ilmu. Beliau mengajarkan Kutubus Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah).
Beliau juga mengajarkan Musnad al- Imam Ahmad, Muwaththa’ al-Imam Malik, Sunan ad-Darimi, Shahih Ibnu Hibban, as-Sunan al-Kubra lin Nasai, Bulughul Maram, Muntaqal Akhbar, bersama dengan pelajaran-pelajaran lain yang tekun beliau ajarkan kepada para penuntut ilmu dalam akidah, tafsir, faraidh (ilmu waris), fikih, dan cabang ilmu lainnya. Semua orang yang adil dalam menilai akan berdecak kagum mengucapkan masya Allah la quwwata illa billah,
ketika melihat bagaimana ketajaman beliau menjelaskan makna
hadits-hadits sahih sesuai dengan pemahaman salafush saleh, dengan
ungkapan yang mudah, ringkas, dan padat.
At-Tuhfatul Karimah fi Bayani Ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah
Di samping bersemangat menyebarkan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih dengan pemahaman salaful ummah, perhatian beliau juga tertuju kepada hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu)
yang banyak tersebar di tengah muslimin. Beliau tidak tinggal diam.
Lengan baju beliau singsingkan untuk menjelaskan kepada umat apa yang
tidak sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atau
bahkan dipalsukan atas nama beliau. Di antara karya beliau yang
menunjukkan semangat mengikuti jejak salaful ummah dan imam-imam Ahlus
Sunnah dalam membersihkan haditshadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kedustaan kaum pendusta dan tercampurnya sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan riwayat-riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, adalah risalah berjudul at-Tuhfatul Karimah fi Bayan Ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah2 berisi kumpulan hadits maudhu’ (palsu)
dan lemah. Di awal risalah, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah,
Dzat yang telah memuliakan kita dengan agama Islam, Dzat yang telah
menjadikan Islam sebagai agama yang paling sempurna, Dzat yang telah
menjaga kitab-Nya yang mulia,
ุฅَِّูุง َูุญُْู َูุฒََّْููุง ุงูุฐِّْูุฑَ َูุฅَِّูุง َُูู َูุญَุงِูุธَُูู
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Hijr: 9)
Allah Subhanahu wata’ala
memudahkan untuk agama ini keberadaan ulama yang kokoh dalam ilmu, para
pembela yang membersihkan agama ini dari penyimpangan orang yang
melampaui batas, takwil orang-orang jahil, dan makar orang-orang yang
berpenyakit lagi memiliki permusuhan. Allah Subhanahu wata’ala menjaga pula sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan kegigihan ahlul ilmi dan iman, orang-orang yang jujur lagi
tepercaya. Mereka jelaskan kepada umat mana hadits-hadits yang sahih dan
cacat, mana pula hadits-hadits yang hasan dan lemah.
Mereka terjun dalam medan (jihad ini), meneliti keadaan para perawi yang menukil hadits. Tampaklah mana perawi yang tsiqah (tepercaya),
jujur, memiliki hafalan, amanah, dan bagus dalam periwayatan serta kuat
dalam pemahaman. Tampak pula siapakah perawi yang muttaham (tertuduh
berdusta) atau memang pendusta, yang jelek hafalannya, atau sangat
banyak salahnya karena hafalannya yang menjadi kacau, atau sebab
lainnya. Itu semua mereka jelaskan sebagai bentuk nasihat kepada umat….
Inilah sebuah risalah sederhana, berisi keterangan sebagian haditshadits maudhu’ dan dha’if,
sengaja saya kumpulkan agar saya benar-benar berada di atas ilmu
tentang hadits-hadits tersebut. Saya bisa mengambil manfaatnya pertama
kali, dan semoga saudara saya juga dapat mengambil manfaatnya.” (Majmu’ Fatawa)
Asy-Syaikh kemudian mulai menyebutkan hadits-hadits lemah dan palsu
yang beliau urutkan sesuai huruf hijaiyah untuk memudahkan para pencari
hadits mengambil manfaatnya.
Beberapa Hadits Dha’if & Maudhu’ yang Diterangkan asy-Syaikh Abdul Aziz Bin Baz
Untuk menyempurnakan faedah, berikut ini dua buah hadits, maudhu’ dan dha’if beserta keterangan asy- Syaikh Ibnu Baz dari risalah at-Tuhfatul Karimah dan fatwa beliau.
1. Hadits maudhu’ tentang anjuran berdoa kepada penghuni kubur.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ุฅِุฐَุง ุชَุญََّูุฑْุชُู
ْ ِูู ุงْูุฃُู
ُูุฑِ َูุงุณْุชَุนُِูููุง ุจِุฃَِْูู ุงُْููุจُูุฑِ
“Jika kalian mendapat kesusahan dalam urusan-urusan kalian, mintalah pertolongan kepada penghuni-penghuni kubur.”
Riwayat ini adalah salah satu syubhat
kaum sufi quburi (pengagung kuburan). Mereka gembar-gemborkan hadits ini
untuk melegalisasi praktik-praktik kesyirikan yang sering mereka
lakukan di kuburan-kuburan yang mereka anggap mulia.3 Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Baz pernah ditanya, “(Wahai Syaikh) sebagian manusia berkata,
memohon kepada mayit di kubur mereka adalah perkara yang boleh dengan
dalil hadits, ‘Jika kalian mendapat kesusahan dalam perkaraperkara kalian, mintalah pertolongan kepada penghuni-penghuni kubur.’ Sahihkah hadits ini atau tidak?” Beliau menjawab bahwa hadits ini termasuk hadits-hadits yang dipalsukan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diperingatkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa (1/356), setelah menyebutkan hadits ini, “Hadits ini dusta, dibuat-buat atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini adalah kesepakatan ulama yang mengerti hadits-hadits beliau. Tidak
ada seorang ulama pun meriwayatkan hadits ini, bahkan hadits ini tidak
ada dalam kitab-kitab hadits yang dijadikan sandaran.”
Hadits yang dipalsukan atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini bertentangan dengan kandungan al-Kitab dan as-Sunnah tentang kewajiban memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala dan diharamkannya mempersekutukan Allah Subhanahu wata’ala. Tidaklah diragukan bahwasanya berdoa (memohon) kepada orang-orang yang telah mati, beristighatsah (memohon
pertolongan di kala kesempitan) kepada mereka, serta berbondong
mengharap kepada mereka dalam kesempitan dan kesusahan termasuk
kesyirikan terbesar, sebagaimana berdoa kepada mereka di masa lapang
juga termasuk kesyirikan.4
Di saat tertimpa kesempitan, kaum musyrikin terdahulu mengikhlaskan doa untuk Allah Subhanahu wata’ala (mereka lupa ilah-ilah yang lain, seperti al-Latt, al-‘Uzza, dst, mereka hanya ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala, -pen.). Namun, ketika kesempitan itu telah tersingkap, mereka kembali lagi melakukan kesyirikan, sebagaimana dalam firman-Nya,
َูุฅِุฐَุง
ุฑَِูุจُูุง ِูู ุงُِْْูููู ุฏَุนَُูุง ุงََّููู ู
ُุฎِْูุตَِูู َُูู ุงูุฏَِّูู
ََููู
َّุง َูุฌَّุงُูู
ْ ุฅَِูู ุงْูุจَุฑِّ ุฅِุฐَุง ُูู
ْ ُูุดْุฑَُِููู
“Apabila mereka naik kapal, mereka
mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah).” (al-Ankabut: 65)
Ayat-ayat al-Qur’an yang semisal dengan
ini sangatlah banyak. (Semuanya menunjukkan bahwa kaum musyrikin
terdahulu memurnikan doa kepada Allah Subhanahu wata’ala di saat kesempitan, setelah mendapatkan kelapangan mereka kembali kepada ilah selain Allah Subhanahu wata’ala, -pen.)
Adapun kaum musyrikin saat ini (seperti mereka yang mendatangi
makam-makam para wali, memohon kepadanya, atau menjadikannya sebagai
perantara -pen.), kesyirikan mereka tidak kenal waktu, baik di
masa lapang maupun di masa sempit. Bahkan, di masa sempit, kesyirikan
itu semakin bertambah (yakni ketergantungan mereka kepada para penghuni
kubur menjadi berlipat, -pen.). Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala. …
(Mereka berdoa kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, padahal doa hanyalah hak Allah Subhanahu wata’ala, -pen.) Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูู
َุง ุฃُู
ِุฑُูุง ุฅَِّูุง َِููุนْุจُุฏُูุง ุงََّููู ู
ُุฎِْูุตَِูู َُูู ุงูุฏَِّูู ุญََُููุงุกَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus….” (al-Bayyinah: 5)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
َูุงุฏْุนُูุง ุงََّููู ู
ُุฎِْูุตَِูู َُูู ุงูุฏَِّูู ََْููู َูุฑَِู ุงَْููุงِูุฑَُูู
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (al-Mukmin: 14)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุงَّูุฐَِูู
ุชَุฏْุนَُูู ู
ِู ุฏُِِููู ู
َุง َูู
َُِْูููู ู
ِู ِูุทْู
ِูุฑٍ {} ุฅِู ุชَุฏْุนُُููู
ْ
َูุง َูุณْู
َุนُูุง ุฏُุนَุงุกَُูู
ْ ََْููู ุณَู
ِุนُูุง ู
َุง ุงุณْุชَุฌَุงุจُูุง َُููู
ْ ۖ
ََْูููู
َ ุงَِْูููุงู
َุฉِ َُْูููุฑَُูู ุจِุดِุฑُِْููู
ْ ۚ ََููุง َُููุจِّุฆَُู
ู
ِุซُْู ุฎَุจِูุฑٍ
“… Dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit
ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan
kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.
Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada
yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan
oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13—14)
Ayat ini sifatnya umum, mencakup semua yang diibadahi selain Allah Subhanahu wata’ala,
baik para nabi, orang-orang saleh, maupun yang lainnya. Allah l telah
menjelaskan bahwa doa kaum musyrikin yang ditujukan kepada mereka
(orang-orang yang telah mati) adalah kesyirikan. Allah l juga
menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah kekufuran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูู
َู
َูุฏْุนُ ู
َุนَ ุงَِّููู ุฅًَِٰููุง ุขุฎَุฑَ َูุง ุจُุฑَْูุงَู َُูู ุจِِู َูุฅَِّูู
َุง
ุญِุณَุงุจُُู ุนِูุฏَ ุฑَุจِِّู ۚ ุฅَُِّูู َูุง ُِْูููุญُ ุงَْููุงِูุฑَُูู
“Dan barang siapa berdoa (menyembah
ilah yang lain) di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun
baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mukminun: 117)
Ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala
semata, kewajiban mengarahkan doa hanya kepada-Nya dan bukan pada yang
lainnya, sangatlah banyak dan pasti diketahui oleh orangorang yang
mentadabburi al-Qur’an dan membacanya untuk mencari petunjuk. Demikian
pula ayat yang menunjukkan diharamkannya beribadah kepada selain Allah Subhanahu wata’ala berupa orang yang sudah mati, patung-patung, berhala, pepohonan, bebatuan, dan lainnya. Hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala lah tempat memohon pertolongan, la haula wa la quwwata illa billah. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh bin Baz dan Fatawa Nurun ‘Ala ad-Darb)
2. Hadits dhaif tentang tidak diterimanya shalat orang yang pakaiannya musbil.
َูุฅَِّู ุงَููู ุชَุนَุงَูู ูุงَ َْููุจَُู ุตََูุงุฉَ ุฑَุฌُِู ู
ُุณْุจٍِู ุฅِุฒَุงุฑَُู
“Dan Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang musbil (menjulurkan kainnya di bawah mata kaki).” Menjulurkan kain di bawah mata kaki bagi kaum lelaki adalah hal yang dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits-hadits dengan tegas melarangnya secara umum, baik menjulurkan karena sombong maupun tidak. Bahkan, al-Imam adz-Dzahabi asy- Syafi’i rahimahullah memasukkannya dalam kitab al-Kabair (dosa-dosa besar). Di kalangan ulama terja i perbincangan tentang hukum shalat orang yang memakai kain di bawah mata kaki, apakah sah shalatnya? Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 638 (1/172) dan no. 4086 (4/ 57)
dari Musa bin Ismail, dari Aban, dari Yahya, dari Abu Ja’far, dari
‘Atha’, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Suatu saat ada orang shalat dalam keadaan musbil (menjulurkan sirwalnya di bawah mata kaki). Ketika itu Rasul n berkata,
‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Ia pergi lalu datang kembali. Rasul
mengulangi lagi sabdanya, ‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Bertanyalah
seseorang, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau perintahkan dia berwudhu
kemudian engkau diam?’ Rasul n pun bersabda,
ุฅَُِّูู َูุงَู ُูุตَِّูู ََُููู ู
ُุณْุจٌِู ุฅِุฒَุงุฑَُู ، َูุฅَِّู ุงَููู ุชَุนَุงَูู ูุงَ َْููุจَُู ุตََูุงุฉَ ุฑَุฌٍُู ู
ُุณْุจٍِู ุฅِุฒَุงุฑَُู
‘Sungguh, ia tadi shalat dalam keadaan musbil, dan Allah Subhanahu wata’alatidak akan menerima shalat seseorang yang menjulurkan kainnya di bawah mata kaki.’ Tentang hadits ini, al-Imam an- Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud sesuai dengan syarat al- Imam Muslim’.” Saya (asy-Syaikh Ibnu Baz) katakan, “Ini adalah wahm (kekeliruan) al-Imam an-Nawawi rahimahullah. Sanad ini sebenarnya tidak sesuai dengan syarat al-Imam Muslim. Sanad ini justru dha’if (lemah) karena ada dua illat (cacat) di dalamnya.
1. Hadits ini datang dari riwayat Abu Ja’far—tanpa menyebut nasabnya—dan ia majhul (tidak dikenal).
2. Hadits ini adalah riwayat Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dengan ‘an’anah, padahal Yahya adalah seorang yang mudallis, dan jika seorang mudallis tidak terang-terangan mendengar haditsnya (dari sang guru), haditsnya tidak bisa dijadikan hujah, kecuali jika
berada dalam Shahihain.
Seandainya hadits ini sahih, makna yang terkandung adalah ancaman keras
agar seorang tidak lagi melakukan isbal. Adapun shalatnya tetaplah sah
karena Rasul n tidak memerintahkannya mengulangi shalat. Yang beliau
perintahkan adalah mengulangi wudhunya. Tidak diterimanya shalat dalam
hadits, tidak mesti berkonsekuensi batalnya shalat. Contohnya adalah
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ู
َْู ุฃَุชَู ุนَุฑَّุงًูุง َูุณَุฃََُูู ุนَْู ุดَْูุกٍ َูู
ْ ุชُْูุจَْู َُูู ุตََูุงุฉٌ ุฃَุฑْุจَุนَِูู ََْูููุฉً
“Barang siapa mendatangi dukun lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, sungguh tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR . Muslim dalam Shahih-nya)
(Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menafikan diterimanya shalat orang yang datang kepada dukun dan
bertanya walaupun tidak memercayainya). Tentang hadits ini, al-Imam
an-Nawawi rahimahullah menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan
ulama) bahwa dia tidak diperintahkan mengulangi shalatnya, namun
pahalanya hilang (yakni shalat yang dilakukan tidak berpahala selama 40
hari). Ini sebagai hukuman sekaligus peringatan. Yang serupa dengan ini
ada dalam banyak hadits. Ini semua menunjukkan bahwa tidak diterimanya
shalat orang yang musbil maksudnya adalah (hilang pahalanya) dan tidak
mengharuskan batalnya shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahnya untuk mengulangi shalat. Demikian pula dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahnya mengulangi (shalat). Yang beliau perintahkan untuk diulangi adalah wudhunya…
Bisa jadi, wudhu itu akan meringankan
dosa. Semua makna ini tentu saja jika hadits di atas sahih. Bisa jadi,
hadits di atas dijadikan dalil tidak sahnya shalat (orang yang musbil)
karena tidak adanya perkara yang memalingkan makna ini, seperti sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
َْููุจَُู ุงُููู ุตََูุงَู ุฃَุญَุฏُِูู
ْ ุฅِุฐَุง ุฃَุญْุฏَุซَ ุญَุชَّู َูุชََูุถَّุฃَ
“Allah tidak menerima shalat di antara kalian jika berhadats hingga dia berwudhu.” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang kita isyaratkan sebelum ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan no. 637 (1/172) dengan sanad yang sahih. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ู
َْู ุฃَุณْุจََู ุฅِุฒَุงุฑَُู ِูู ุตََูุงุชِِู ุฎََُููุงุกَ ََْูููุณَ ู
َِู ุงِููู ِูู ุญٍِّู َููุงَ ุญَุฑَุงู
ٍ
‘Barang siapa menjulurkan kainnya (di bawah mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak mengurusinya baik di tanah halal atau haram’.”
Setelah meriwayatkan hadits ini, Abu Dawud rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah secara mauquf dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh Ibnu Baz mengatakan,
“Mauquf yang seperti ini memiliki hukum marfu’ karena kandungannya adalah perkara yang tidak mungkin berasal dari ra’yu (pendapat seseorang), sebagaimana diketahui dari perkataan ulama ushul fiqih dan musthalah hadits. Wa billahit taufiq.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz)
Khatimah
Pembaca rahimakumullah, demikian
sepenggal penjelasan asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz di antara
peninggalanpeninggalan beliau yang sangat banyak. Selebihnya, pembaca
dipersilakan merujuk kepada risalah at-Tuhfatul Karimah fi Baya ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah, dan
karya beliau lainnya. Apa yang sedikit ini semoga memberikan manfaat
kepada kita, dan mengingatkan kepada para pencela asy- Syaikh Abdul Aziz
yang telah beruban dalam membela Islam dan akidah Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati dan mengampuni kita semua dan beliau, kemudian mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya.
Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai

Fatawa Akidah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
adalah seorang alim Ahlus Sunnah yang tidak asing bagi kaum muslimin.
Beliau adalah seorang alim yang sangat menginginkan kebaikan bagi kaum
muslimin. Di antara buktinya adalah surat-surat yang beliau kirim kepada
tokoh-tokoh penguasa di pelbagai negeri, sebagaimana bisa kita lihat di
dalam Majmu’ Fatawa beliau. Di antara yang menunjukkan
semangat beliau untuk kebaikan muslimin adalah nasihat, arahan, dan
fatwa-fatwa beliau dalam menjawab pertanyaan kaum muslimin dari berbagai
penjuru dunia.
Dalam tulisan ini, kami ingin membawakan
beberapa fatwa beliau yang terkait dengan akidah. Semoga bisa menjadi
jawaban pertanyaan kita selama ini dan membimbing kita beramal.
Syarat Islam
Pertanyaan: Apakah syarat Islam?
Jawaban: Syarat Islam ada dua. Syarat yang pertama: Ikhlas. Anda meniatkan keislaman Anda dan semua amal Anda untuk mengharapkan wajah Allah Subhanahu wata’ala semata. Ini syarat yang harus ada. Sebab, semua amalan yang Anda lakukan bukan demi wajah Allah Subhanahu wata’ala, baik shalat, sedekah, puasa, maupun yang lainnya, tidak akan bermanfaat dan tidak diterima. Sampaipun dua kalimat syahadat, jika Anda melakukannya karena riya
(ingin dilihat) dan kemunafikan, tidak akan bermanfaat dan tidak
diterima, bahkan Anda termasuk kaum munafik. Ucapan dua kalimat syahadat
yang Anda lafalkan, haruslah jujur dari kalbu Anda. Anda beriman kepada
Allah Subhanahu wata’ala saja, Dia adalah sesembahan yang haq, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah benar serta diutus kepada seluruh jin dan manusia, sebagai
penutup para nabi. Jika syahadat Anda dilakukan dengan jujur dan ikhlas,
niscaya bermanfaat bagi Anda.
Demikian juga shalat Anda. Anda hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam shalat Anda. Pun sedekah, bacaan al- Qur’an, ucapan tahlil (La ilaha illallah), puasa, dan ibadah haji Anda, semuanya untuk Allah Subhanahu wata’ala
semata. Syarat kedua: Sesuai dengan syariat. Amalan-amalan haruslah
sesuai dengan syariat, bukan dari hasil pikiran dan ijtihad Anda. Anda
harus berusaha mencocoki syariat dalam beramal. Anda melakukan shalat
sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala syariatkan, Anda puasa sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala syariatkan, Anda berzakat juga harus sebagaimana tuntunan syariat Allah Subhanahu wata’ala. (Nurun ‘ala Darb)
Banyaknya Kelompok yang Mengaku sebagai Thaifah Manshurah
Pertanyaan: Banyak golongan
dan kelompok yang mengaku sebagai aththaifah al-manshurah sehingga
masalah ini menjadi samar bagi manusia. Apa yang mesti kami lakukan,
terkhusus di sana ada banyak kelompok Islam, seperti Sufi, salafiyah,
dan kelompok lainnya, bagaimana kami membedakannya?
Jawaban: Telah ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata, “Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, semuanya masuk neraka kecuali kelompok yang mengikuti Nabi Musa ‘Alahissalam. Nasrani juga terpecah menjadi 72 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu mereka yang mengikuti Nabi Isa ‘Alaihissalam. Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah firqatun najiyah (golongan yang selamat)?” Beliau menjawab, “Al-Jamaah.” Dalam lafadz lain, “Orang-orang yang menempuh jalanku dan jalan para sahabatku.” Inilah al-firqah an-najiyah, golongan yang selamat. Mereka adalah orang orang yang bersatu di atas kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka istiqamah di atasnya, berjalan mengikuti manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits yang mulia, salafiyun yang mengikuti salafus shalih serta berjalan dengan beramal berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semua kelompok yang menyelisihi mereka diancam dengan neraka.
Maka dari itu, wajib atas Anda—wahai penanya— untuk meneliti setiap kelompok yang mengaku sebagai al-firqah an-najiyah. Anda lihat amalannya, kalau sesuai dengan syariat, merekalah kelompok yang selamat. Maksudnya, yang dijadikan mizan
(timbangan/tolok ukur) untuk menilai setiap kelompok adalah al-Qur’anul
‘Azhim dan as-Sunnah yang suci. Barang siapa amalannya di atas
kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia termasuk alfirqah an-najiyah. Barang siapa tidak demikian, seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah, Murjiah, dan selainnya, juga mayoritas kelompok sufi—yang mengadaadakan dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wata’ala—semua termasuk dalam kelompok yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan neraka, sampai mereka bertobat dari penyelisihan terhadap
syariat. Semua kelompok yang terjatuh pada penyelisihan syariat yang
suci wajib bertobat dari penyelisihannya dan kembali kepada kebenaran
yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, dia selamat dari ancaman.
Adapun jika mereka terus berada dalam
kebid’ahan dalam agama yang mereka ada-adakan dan tidak istiqamah di
atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia termasuk
dalam kelompok yang diancam dengan neraka. Tidak semuanya kafir, namun
semua terancam dengan neraka. Ada yang kafir karena melakukan satu
kekufuran. Ada juga yang tidak kafir, namun terancam neraka karena
perbuatan bid’ahnya dalam agama dan menetapkan sesuatu yang tidak
diizinkan Allah Subhanahu wata’ala dalam syariat. (Nurun ‘ala Darb)
Penjelasan tentang Kesesatan Syiah
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, kepada saudara yang mulia…. Mudah – mudahan Allah Subhanahu wata’ala
memberikan taufik kepada semua kebaikan. Saya telah menerima surat Anda
dan memahami kandungan surat tersebut. Saya akan memberikan faedah
untuk Anda bahwa Syiah itu banyak sektenya. Setiap sekte ada
kebid’ahannya. Sekte Syiah yang paling berbahaya adalah Syiah Rafidhah Khumainiyah Itsna Atsariyah, karena mereka melakukan kesyirikan berupa syirik besar; seperti istighatsah kepada
ahlul bait, meyakini bahwa ahlul bait mengetahui ilmu gaib, terkhusus
dua belas imam yang mereka yakini. Mereka juga mengafirkan dan mencela
mayoritas sahabat, seperti Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhu.
Mudah mudahan Allah Subhanahu wata’ala
menyelamatkan kita dari kesesatan yang ada pada mereka. Namun, hal ini
tidak menghalangi kita untuk mendakwahi dan membimbing mereka ke jalan
yang benar serta memperingatkan mereka dari kesesatan mereka. Tentu saja
semua itu dilakukan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk Anda dan teman
Anda tambahan taufik kepada yang diridhai-Nya dan dorongan kepada semua
kebaikan. Saya wasiatkan kepada Anda untuk ikhlas, jujur, sabar, dan tatsabut dalam
seluruh urusan, serta memerhatikan hikmah dan metode yang baik di medan
dakwah, memperbanyak membaca al- Qur’an dan mentadaburi maknanya,
mempelajari serta merujuk kepada kitab tafsir para ulama dalam ayat-ayat
yang sulit Anda pahami, seperti kitab Tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, dan al-Baghawi.
Saya juga mewasiatkan untuk menghafal yang mudah dari hadits Rasulullah n, seperti kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dan Umdatul Ahkam karya asy- Syaikh Abdul Ghani rahimahullah. Seseorang wajib bertanya masalah agama yang sulit baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
َูุงุณْุฃَُููุง ุฃََْูู ุงูุฐِّْูุฑِ ุฅِู ُููุชُู
ْ َูุง ุชَุนَْูู
َُูู
“Tanyalah oleh kalian ahlu dzikr apabila kalian tidak mengetahui.” (an- Nahl: 43)
Bersama surat ini, saya kirimkan pula beberapa kitab. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala memberi manfaat dengan kitab tersebut dan memberi manfaat kepada temanteman kalian. Saya juga meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala
untuk saya dan kalian kekokohan di atas al-haq, serta menjadikan kita
sebagai pembela agama-Nya, penjaga syariat-Nya, yang berdakwah kepada-
Nya di atas bashirah. Allah Mahakuasa atas itu semua. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Jawaban dikeluarkan dari ruang kerja beliau pada 22/1/1409 dengan no. 1/136.
Hukum Zikir dengan Membaca ูู ูู atau ุงููู ุงููู
Pertanyaan: Di tempat kami ada
orang-orang tarekat Tijaniyah. Mereka berkumpul setiap Jumat dan Senin
dengan berzikir. Mereka berkata di akhir zikir, ุงููู ุงููู dengan suara yang keras. Apa hukum syariat terhadap amalan mereka?
Jawaban: Tarekat tijaniyah adalah
tarekat yang bid’ah dan tarekat yang batil. Pada tarekat tersebut
banyak kekufuran yang tidak boleh diikuti, bahkan wajib ditinggalkan. Kami wasiatkan kepada para pengikut tarekat ini untuk meninggalkannya dan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu jalan yang telah dilalui oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang mereka terima dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam; kemudian diterima dari para sahabat oleh imam imam agama ini, seperti al-Imam Malik, al-Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, ats-Tsauri, dan ulama selain mereka rahimahumullah. Mereka menerimanya dan berjalan di atasnya, dan Ahlus Sunnah berjalan di atasnya pula; yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala dalam ibadah kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, haji ke baitullah, serta menaati perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan larangannya. Inilah jalan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun tarekat sufi, wajib untuk ditinggalkan…. (Nurun ‘Ala Darb)
Apakah Nabi n Diciptakan dari Cahaya?
Pertanyaan: Kami mendengar pada sebuah khutbah di tempat kami bahwa Rasulullah n diciptakan dari nur, bukan dari tanah seperti manusia yang lain. Kami bertanya tentang kebenaran ucapan ini.
Jawaban: Ini adalah ucapan yang batil, tidak ada asalnya. Allah Subhanahu wata’ala menciptakan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana halnya seperti menciptakan manusia yang lain, dari air yang hina, dari air bapaknya, Abdullah, dan ibundanya, Aminah. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
ุซُู
َّ ุฌَุนََู َูุณَُْูู ู
ِู ุณَُูุงَูุฉٍ ู
ِّู ู
َّุงุกٍ ู
ٍَِّููู
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.” (as-Sajdah: 8)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah keturunan Nabi Adam’Alaihisslam, dan seluruh keturunan Adam
diciptakan dari air yang hina. Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa
beliau diciptakan dari nur, tidak ada asalnya. Itu adalah hadits maudhu’ (palsu), dusta, batil, dan tidak ada asalnya. Sebagian orang menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, padahal tidak ada. Sebagian lagi menyatakan ada dalam Mushanaf Abdurrazaq, padahal juga tidak ada. Maksudnya, itu adalah hadits batil, tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau diciptakan seperti halnya anak keturunan Adam lainnya. Seluruh
nabi pun diciptakan darinya, yaitu air pria dan wanita. Ini adalah hal
yang diketahui. Apa yang disangka oleh sebagian sufi ekstrem dan
sebagian orang bodoh bahwa beliau diciptakan dari cahaya adalah sangkaan
yang batil, tidak ada asalnya dalam syariat. Memang, beliau adalah
cahaya. Allah Subhanahu wata’ala menjadikannya sebagai cahaya bagi manusia dengan petunjuk yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepadanya berupa al- Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
َูุฏْ ุฌَุงุกَُูู
ู
َِّู ุงَِّููู ُููุฑٌ َِููุชَุงุจٌ ู
ُّุจٌِูู
“Telah datang kepada kalian cahaya dan kitab yang jelas.”(al-Maidah:15)
Nur (cahaya) yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena nur yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepadanya. Allah Subhanahu wata’ala menamakannya nur karena beliau menjadi cahaya dengan sebab cahaya yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepadanya, sebagaimana dalam ayat lain,
َูุง
ุฃََُّููุง ุงَّููุจُِّู ุฅَِّูุง ุฃَุฑْุณََْููุงَู ุดَุงِูุฏًุง َูู
ُุจَุดِّุฑًุง
ََููุฐِูุฑًุง {} َูุฏَุงุนًِูุง ุฅَِูู ุงَِّููู ุจِุฅِุฐِِْูู َูุณِุฑَุงุฌًุง ู
ُِّููุฑًุง
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk jadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi
peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya
dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (al-Ahzab: 45—46)
Beliau adalah cahaya yang menerangi. Beliau menjadi nur karena wahyu agung yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepadanya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah Subhanahu wata’ala menerangi jalan dengan keduanya, menjelaskan ash-shirath al-mustaqim dengan keduanya, memberikan hidayah kepada umat manusia dengan keduanya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nur, namun bukan maknanya beliau diciptakan dari cahaya, melainkan beliau adalah nur karena hidayah yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepadanya dan ilmu yang Allah Subhanahu wata’ala
berikan yang kemudian beliau ajarkan kepada manusia. Dengan demikian,
para rasul adalah nur, para ulama juga adalah nur, yakni ulama al-haq yang
Allah l beri hidayah. Mereka adalah cahaya bagi alam semesta dengan
sebab apa yang mereka ambil dari wahyu yang dibawa oleh para rasul alaihum ash-shalatu was salam. (Nur ‘ala Darb)
Peringatan untuk Menjauhi Buku- Buku Sihir dan Perdukunan
Pertanyaan: Saya berharap Anda
menjelaskan tentang haramnya menggunakan dan membaca buku-buku sihir
dan ilmu nujum, karena buku-buku seperti ini banyak. Sebagian teman saya
ingin membelinya. Mereka berkata, “Jika tidak digunakan untuk yang
bermudarat, tidaklah diharamkan.” Kami berharap faedah dari Anda.
Jawaban:
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah washalatu wasalamu ala rasulillah waala alihi waashabihi waman walah; amma ba’du: Apa yang disampaikan penanya adalah kebenaran. Kaum muslimin wajib menjauhi buku-buku sihir dan ilmu nujum. Orang yang menemukannya wajib memusnahkannya. Sebab, bukubuku seperti itu bermudarat bagi seorang muslim dan menjatuhkannya kepada kesyirikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
ู
َْู ุงْูุชَุจَุณَ ุนِْูู
ًุง ู
َِู ุงُّููุฌُูู
ِ ุงْูุชَุจَุณَ ุดُุนْุจَุฉً ู
َِู ุงูุณِّุญْุฑِ ุฒَุงุฏَ ู
َุง ุฒَุงุฏَ
“Barang siapa mengambil satu cabang
ilmu nujum berarti telah mengambil satu cabang ilmu sihir. Semakin dia
menambah ilmu nujum berarti semakin menambah ilmu sihir.” (HR . Abu Dawud)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang dua malaikat,
َูู
َุง ُูุนَِّูู
َุงِู ู
ِْู ุฃَุญَุฏٍ ุญَุชَّٰู ََُููููุง ุฅَِّูู
َุง َูุญُْู ِูุชَْูุฉٌ ََููุง ุชَُْููุฑْ
“Tidaklah keduanya mengajari sihir kepada seseorang kecuali keduanya berkata, ‘Kami adalah ujian, janganlah Anda kafir!’.” (al-Baqarah: 102)
Ini menunjukkan bahwa belajar dan
melakukan sihir adalah kekafiran. Kaum muslimin wajib memerangi
buku-buku yang mengajarkan sihir dan ilmu nujum serta memusnahkannya, di
mana pun ditemukan; dan ini hukumnya wajib. Seorang penuntut ilmu atau
bukan, tidak boleh membaca atau mempelajari buku-buku seperti itu,
karena buku-buku tersebut menggiring kepada kekufuran. Ia wajib
memusnahkannya. Demikian juga halnya dengan buku-buku yang
mengagung-agungkan sihir dan ilmu nujum, wajib dimusnahkan. (Nurun ‘ala Darb)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Akhlak Orang Berilmu
Para ulama adalah orang-orang yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala karena ilmu mereka, yaitu ilmu tentang kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala
memuliakan mereka di kehidupan dunia yang fana ini dan kelak di
akhirat. Mereka adalah orang-orang yang paling beruntung karena menjadi
pewaris para nabi. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ุฅَِّู
ุงْูุนَُูู
َุงุกَ َูุฑَุซَุฉُ ุงْูุฃَْูุจَِูุงุกِ َูุฅَِّู ุงْูุฃَْูุจَِูุงุกَ َูู
ْ
َُููุฑِّุซُูุง ุฏَِْููุงุฑًุง َููุงَ ุฏِุฑَْูู
ًุง َูุฅَِّูู
َุง َูุฑَّุซُูุง ุงْูุนِْูู
َ
َูู
َْู ุฃَุฎَุฐَُู ุฃَุฎَุฐَ ุจِุญَุธٍّ َูุงِูุฑٍ
“Sesungguhnya para ulama itu pewaris
para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham (harta),
tetapi mewariskan ilmu. Barang siapa berhasil mengambilnya berarti dia
telah berhasil mendapatkan keuntungan yang banyak.” (HR . Abu Dawud dan at- Tirmidzi dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu)
Sebagaimana telah diketahui, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mewariskan selain apa yang telah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya selama hidupnya, yaitu kitabullah al-Qur’an al-Karim dan sunnah-Nya yang suci. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َُูู
ุงَّูุฐِู ุจَุนَุซَ ِูู ุงْูุฃُู
َِِّّููู ุฑَุณًُููุง ู
ُِّْููู
ْ َูุชُْูู ุนََِْูููู
ْ
ุขَูุงุชِِู َُููุฒَِِّูููู
ْ َُููุนَِّูู
ُُูู
ُ ุงِْููุชَุงุจَ َูุงْูุญِْูู
َุฉَ َูุฅِู
َูุงُููุง ู
ِู َูุจُْู َِููู ุถََูุงٍู ู
ُّุจٍِูู
“Dialah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan
ayatayat- Nya kepada mereka, menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ุชَุฑَْูุชُ ُِูููู
ْ ุฃَู
ْุฑَِْูู ู
َุง ุฅِْู ุชَู
َุณَّْูุชُู
ْ ุจِِูู
َุง َْูู ุชَุถُِّููุง ุจَุนْุฏِู: ِูุชَุงุจَ ุงِููู َูุณَُّูุชِู
“ Aku telah meninggalkan (mewariskan)
dua hal bagi kalian. Apabila berpegang teguh dengan keduanya, niscaya
kalian tidak akan tersesat selamalamanya sepeninggalku. (Dua hal itu)
adalah kitabullah dan sunnahku.”
Di antara hal-hal termulia yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para ulama adalah akhlak dan kepribadian yang terpuji. Allah Subhanahu wata’ala memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena sifat tersebut dalam firman-Nya,
ู
ۚ َูุงََْูููู
ِ َูู
َุง َูุณْุทُุฑَُูู {} ู
َุง ุฃَูุชَ ุจِِูุนْู
َุฉِ ุฑَุจَِّู
ุจِู
َุฌٍُْููู {} َูุฅَِّู ََูู َูุฃَุฌْุฑًุง ุบَْูุฑَ ู
َู
ٍُْููู {} َูุฅََِّูู
َูุนََٰูู ุฎٍُُูู ุนَุธِูู
ٍ
“Dan sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 1—4)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha
menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, sebagaimana
disebutkan oleh sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh al-Imam
Muslim rahimahullah di dalam Shahih-nya. Al-Imam al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,
“Apa yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ini adalah sebuah kalimat yang agung. Beliau membimbing kita untuk berakhlak seperti akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu mengikuti al-Qur’an, istiqamah di atas (ajaran) al-Qur’an pada
seluruh urusan yang diperintahkan dan yang dilarang. Di samping itu,
menjauhi seluruh akhlak jelek yang dicela oleh al-Qur’an dan dicela pula
pemiliknya. Ini adalah akhlak yang dipuji dan disanjung oleh al-Qur’an.
Orang-orang berilmu, seperti para dai, pendidik, dan penuntut ilmu,
seyogianya benar-benar memerhatikan kitabullah dan menerimanya dengan
sepenuh hati. Dengan demikian, mereka akan berhasil mengambil
akhlak-akhlak yang dicintai oleh Allah l dari al-Qur’an itu. Setelah
itu, mereka beristiqamah di atasnya. Akhirnya, mereka menjadi
orang-orang yang memiliki akhlak dan manhaj (metodologi) di atasnya (al-
Qur’an) di mana pun berada.” (Akhlaqu Ahlil ‘Ilmi, hlm. 1)
Melalui rubrik “Akhlak” edisi kali ini,
penulis ingin menukilkan sebagian persaksian seorang ulama besar,
asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah, tentang akhlak
al-Mujaddid al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz.
Pemaparan beliau ini disampaikan dalam ceramah pada malam Jumat, 6 Safar
1420 H, di masjid Universitas Islam di Madinah. Diharapkan penjelasan
ini bisa menjadi pelajaran dan teladan yang baik bagi kita semua. Inti
pembahasan yang beliau sampaikan pada kesempatan tersebut adalah sebagai
berikut.
Kesabaran dan Kesungguh-Sungguhan dalam Menuntut Ilmu
Asy-Syaikh Abdul Mushin al-‘Abbad berkata, “Beliau, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
dilahirkan di kota Riyadh pada 12 Dzulhijjah1330 H. Beliau dibesarkan
di dalam lingkungan keluarga yang mulia. Di dalamnya ada orang-orang
yang berilmu dan mulia. Sejak kecil beliau memiliki cita-cita yang
tinggi, rajin, dan bersemangat mendapatkan ilmu. Bahkan, beliau telah
hafal al-Qur’an sebelum baligh. Beliau dahulu memiliki penglihatan yang
sempurna. Sakit yang beliau derita pada umur 16 tahun mengakibatkan
penglihatan beliau melemah. Indra penglihatan beliau bertambah lemah
sampai tidak mampu melihat sama sekali pada umur 20 tahun. Akan tetapi,
Allah Subhanahu wata’ala mengaruniai beliau pandangan, cahaya,
dan iman di dalam hatinya sehingga beliau tumbuh di atas ilmu,
keutamaan, semangat, dan kesungguhsungguhan untuk mencari ilmu.
Mengamalkan Ilmu
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad
melanjutkan, “Beliau adalah alim yang besar. Hal ini diketahui oleh
orang-orang khusus dan orang-orang umum. Beliau adalah seorang yang alim
lagi pendidik. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menulis di dalam kitabnya, Fathul Bari, dari Ibnu A’rabi rahimahullah bahwa dia berkata, ‘Seorang alim tidak disebut sebagai rabbani
(pendidik) hingga dia mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya.’ Sungguh,
asy-Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang seperti itu. Beliau berilmu,
beramal, dan mengajarkan ilmunya sekaligus mengajak kepada mentauhidkan
Allah Subhanahu wata’ala dengan bashirah (ilmu dan keyakinan).”
Khasyah (Rasa Takut) dan Ibadah
Asy-Syaikh Abdul Muhsin berkata,
“Asy-Syaikh Ibnu Baz adalah seorang yang senantiasa mengamalkan ilmunya
karena buah ilmu adalah amal. Beliau sering berzikir, berdoa, dan
senantiasa berusaha untuk menunaikan ibadah haji hingga 47 kali. Saya
(asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad) mengetahui hal itu tatkala beliau
berkunjung ke daerah al-Bahah pada Sya’ban 1400 H. Ketika itu beliau
ditanya tentang hal tersebut. Di antara jawabannya, beliau menyebutkan
bahwa umurnya saat itu 70 tahun dan telah menunaikan haji 28 kali. Salah
seorang hadirin mengabarkan hal itu kepada saya.
Setelah itu beliau setiap tahun
menunaikan ibadah haji hingga terhenti pada 1418 H. Jadi, beliau berhaji
28 kali ditambah 19 kali, jumlahnya 47 kali. Termasuk bukti perhatian
beliau yang sangat besar terhadap ibadah dan menyibukkan diri dengannya
adalah sebuah peristiwa pada 1397 H akhir bulan Dzul Qa’dah. Ketika itu,
saya pergi dari Madinah ke Makkah karena sebuah urusan yang terkait
dengan pekerjaan saya. Saat itu saya menjadi wakil beliau (beliau
menjabat rektor, -red.) di Universitas Islam Madinah. Saya
bermalam di rumah beliau. Di rumah beliau ada sebuah tempat yang luas.
Di tempat itu beliau berjamjam mondar-mandir sambil membaca al-Qur’an.
Beliau ingin menggerakkan badan (sambil membaca al-Qur’an).
Saya juga mengingat sebuah kejadian pada
saat beliau masih memimpin Universitas Islam Madinah. Saya bersama
beliau masuk ke Masjid Nabawi setelah azan zuhur. Saya berada di samping
beliau. Beliau lantas shalat empat rakaat, sedangkan saya shalat dua
rakaat. Sudah dimaklumi jumlah shalat rawatib ada 10 rakaat menurut
sebuah riwayat, dan menurut riwayat lainnya 12 rakaat. Namun, yang lebih
utama dan sempurna adalah 12 rakaat. Tatkala selesai shalat, beliau
menoleh kepada saya sambil berkata, ‘Engkau tidak shalat selain dua
rakaat saja.’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya yang
dua belas rakaat itu lebih utama dan lebih sempurna.’ Beliau senantiasa
memilih yang lebih utama dan lebih sempurna. Beliau senantiasa memberi
peringatan, bimbingan, dan arahan untuk meraih yang paling mulia dan
paling sempurna.”
Ketegaran dan Keberanian Berdakwah
Beliau senantiasa berusaha memberi
manfaat kepada umat baik dengan ilmu maupun nasihatnya, baik dengan amar
ma’ruf maupun nahi munkar, dengan ajakan maupun dakwah ke jalan yang
baik, serta membantu mereka dengan harta dan kedudukan beliau. Beliau
berdakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik, melalui ceramah, nasihat,
dan tulisan. Ketika beliau mendapatkan kesalahan-kesalahan yang
terdapat di koran atau majalah, beliau akan memperingatkannya.
Peringatan beliau itu disebarkan melalui koran-koran ataupun
risalah-risalah yang ditulis dan dicetak oleh beliau sendiri.
Ketawadhuan dan Kepedulian
Rumah beliau senantiasa didatangi oleh
orang-orang fakir dan orang-orang yang punya berbagai keperluan. Ada
yang datang meminta fatwa, ada pula yang meminta bantuan. Mereka semua
makan siang atau makan malam bersama beliau. Beliau telah menyiapkan
makanan setiap hari dengan jumlah yang cukup bagi tamunya. Musim haji
tahun 1419 H. Beliau berhalangan menunaikan ibadah haji karena sakit
yang menyebabkan beliau meninggal. Para dokter menyarankan beliau untuk
tidak pergi haji. Karena itu, beliau menugaskan beberapa orang untuk
membuka pintu rumahnya di Makkah dan tempat kemahnya di Mina. Beliau
perintahkan pula untuk membuatkan jamuan guna diberikan kepada
orang-orang yang biasa datang untuk mendapatkan faedah dari ilmu beliau
dan makan bersama beliau. Beliau pun senantiasa menelepon orang-orang
yang diberi tugas tersebut supaya tenang.
Beliau sangat bersemangat membantu
orang-orang yang membutuhkan dan membangun masjid-masjid, baik di dalam
maupun di luar negeri. Di atas meja khusus beliau di rumahnya, tertumpuk
daftar orang-orang dan proposalproposal yang mengharapkan bantuan, baik
orang-orang yang fakir maupun para dai, baik dari dalam maupun dari
luar negeri. Bukan hanya ini usaha beliau untuk memberi manfaat kepada
umat dan semangat beliau membantu mereka. Beliau menulis surat kepada
seorang syaikh besar pada tanggal 8-3-1418 H. Beliau tuliskan di dalam
surat itu, “Saya senang memberi kabar kepadamu yang sudah sekian tahun
saya berusaha banyak membantu orang-orang berhajat, baik di dalam maupun
di luar Kerajaan Saudi, membangun masjid-masjid baik di dalam maupun di
luar Kerajaan Saudi, menunjuk para dai di luar Kerajaan Saudi, yang itu
semua dengan biaya Raja Saudi, para pembantunya, beberapa pejabat,
orang-orang yang dermawan, dan pengusaha.” Beliau lalu berkata,
“Kekekalan itu hanya milik Allah Subhanahu wata’ala…. Jika saya
meninggal, saya berharap engkaulah yang akan menggantikan saya mengurusi
tugas-tugas ini dan hendaknya engkau mengharap pahalanya di sisi Allah Subhanahu wata’ala.”
Kasih Sayang terhadap Umat
Beliau sangat penyayang, dermawan, dan
menghormati tamu. Tatkala datang kepada beliau tamu yang berasal dari
berbagai daerah atau negara, beliau segera mengundangnya untuk makan
siang atau makan malam. Beliau juga akan bertanya tentang kabarnya dan
kabar ayah ibunya, bertanya tentang sebagian kerabatnya, serta tentang
orang-orang yang dikenal sebagai ulama di negeri asal sang tamu.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah mengisahkan kunjungannya kepada gurunya, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah,
“Pada tahun terakhir sebelum beliau meninggal, saya pergi ke Makkah,
dua hari sebelum pergi ke Thaif bertepatan dengan hari Kamis, 29
Dzulhijah. Saya dan beberapa anak saya pergi untuk mengunjungi beliau
secara khusus. Tatkala kami sampai dan mengucapkan salam, sebagaimana
biasanya beliau rahimahullah segera bertanya kepada kami tentang
kabar kami dan kabar kedua orang tua kami, sekaligus mengundang makan
siang. Saya katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya kami datang dari
Madinah dengan tujuan khusus untuk mengunjungi Anda dan makan siang
bersama Anda. Setelah itu, kami kembali ke Madinah.” Beliau menjawab,
‘Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits qudsi,
َูุฌَุจَุชْ ู
َุญَุจَّุชِู ِْููู
ُุชَุญَุงุจَِْูู َูุงْูู
ُุชَุฒَุงِูุฑَِูู َِّูู
‘Kecintaan-Ku wajib didapatkan oleh orang-orang yang saling mencintai dan mengunjungi karena Aku’.”
Adab Terhadap Para Ulama
“Beliau rahimahullah sangat
memerhatikan permasalahan fikih. Beliau sendiri adalah rujukan dalam hal
fatwa, baik di dalam maupun di luar Kerajaan Saudi. Beliau adalah
seorang mufti (ahli fatwa) dunia. Sebagaimana yang telah saya sebutkan,
umat manusia atau kaum muslimin bahkan merujuk kepada beliau dalam
berbagai masalah yang diperselisihkan. Beliau rahimahullah sangat
teliti menyebutkan sebuah pendapat atau hukum dengan disertai dalilnya
dan menjelaskan sisi pendalilannya, baik dalil-dalil wahyu maupun dalil
secara logika. Ketika mengkritisi sebuah pendapat yang menurut keyakinan
beliau menyelisihi kebenaran, beliau sangat beradab terhadap para ulama
rahimahumullah. Beliau berkata, ‘Pendapat ini perlu diteliti,
dan yang benar adalah demikian dan demikian.’ Barang siapa menelaah
catatan kaki beliau dalam kitab Fathul Bari jilid ketiga, niscaya dia akan mendapatkan hal itu dengan jelas dan terang.
Tatkala beliau mengkritisi al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
atau para ulama yang beliau nukil pendapatnya, beliau mengawali
kritikannya dengan ucapan, ‘Pendapat ini butuh diteliti, dan yang benar
adalah demikian dan demikian,’ sambil menyebutkan dalilnya. Adapun
pendapat yang jelas-jelas salah atau batil yang menyelisihi alhaq
dan dalil, beliau akan berkata, ‘Pendapat ini sangat jelas
kebatilannya’, ‘Pendapat ini tidak benar’, atau ‘Ini adalah pendapat
yang batil’, atau ungkapan yang semisalnya.” Demikianlah sedikit
gambaran yang menakjubkan tentang akhlak dan kepribadian sebuah pribadi
yang menjadi suri teladan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala
senantiasa melimpahkan hidayah dan taufik kepada kita semua untuk
terus-menerus berusaha memperbaiki akhlak dan kepribadian kita sehingga
termasuk golongan para hamba-Nya yang beruntung dengan mendapatkan
bagian warisan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Amin ya Rabbal-alamin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Wasiat Khalifah Ash-Shiddiq radhiyallahu‘anhu
Penulis Kanzul ‘Ummal menukil
dari Abu Bakr bin Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, yang meriwayatkan bahwa
menjelang wafatnya, Abu Bakr menulis wasiat yang isinya antara lain. Bismillahirrahmanirrahim,
Ini adalah keputusan Abu Bakr saat terakhirnya di dunia dan akan
meninggalkannya, serta awal perjalanannya menuju akhirat dan
memasukinya. Saat saat ketika orang yang kafir beriman, orang yang jahat
pun bertakwa, dan pendusta berbuat jujur. Sungguh, saya telah menunjuk
‘Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu ‘anhu) sebagai pengganti
saya. Kalau dia berbuat adil, itulah yang saya yakini tentang dia. Kalau
dia berbuat zalim dan mengubah (aturan), perkara baiklah yang saya
harapkan dan saya tidak mengetahui perkara gaib. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุณََูุนَْูู
ُ ุงَّูุฐَِูู ุธََูู
ُูุง ุฃََّู ู
ََُูููุจٍ ََِููููุจَُูู
“Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (asy-Syu’ara: 227)
Setelah itu, beliau menujukan wasiatnya kepada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dinukil Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. “Sungguh, saya menyampaikan satu wasiat kepadamu, kalau kamu mau menerimanya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala mempunyai hak di malam hari yang tidak diterima- Nya kalau ditunaikan pada siang hari. Allah Subhanahu wata’ala juga mempunyai hak di siang hari, yang tidak diterima-Nya jika ditunaikan pada malam hari.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala
tidak menerima amalan sunnah sampai yang wajib ditunaikan lebih dahulu.
Sesungguhnya, beratnya timbangan amalan orang-orang yang berat
timbangannya di akhirat adalah karena sikap ittiba’ (meneladani) mereka terhadap al-haq selama di dunia, sehingga hal itu berat atas mereka. Sangatlah pantas timbangan itu diletakkan padanya alhaq lalu
menjadi berat. Ringannya timbangan mereka yang ringan timbangannya di
akhirat adalah karena mereka mengikuti yang batil, dan diringankan
(dimudahkan kebatilan itu) atas mereka di dunia. Pantaslah timbangan
yang diletakkan di dalamnya kebatilan itu menjadi ringan.
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah Subhanahu wata’ala menurunkan ayat tentang raja’ (harapan) bersama ayat tentang syiddah (kesulitan, kekerasan), dan menurunkan ayat tentang syiddah bersama ayat tentang raja’.
Hal itu agar manusia tetap dalam keadaan berharap dan cemas, tidak
sampai melemparkan mereka ke jurang kebinasaan dan mengangankan terhadap
Allah Subhanahu wata’ala sesuatu yang tidak benar. Kalau kamu
telah mengingat wasiatku ini, tidak ada lagi perkara gaib yang lebih
kamu cintai melebihi kematian, padahal itu mesti kamu hadapi. Dan kalau
kalian menyia-nyiakan wasiatku ini, tidak ada sesuatu yang lebih kamu
benci melebihi kematian, padahal kamu mesti merasakannya dan tidak mampu
menolaknya.” Di saat terakhir, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat ayahandanya sedang menanti ajal, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata, Demi Allah, tiadalah guna kekayaan bagi pemuda Jika napasnya tersengal menjemput ajal dan dada terasa sesak Tiba-tiba Abu Bakr menyingkap kain dari mukanya dan berkata, “Bukan begitu, tetapi bacalah,
َูุฌَุงุกَุชْ ุณَْูุฑَุฉُ ุงْูู
َْูุชِ ุจِุงْูุญَِّู ۖ ุฐََِٰูู ู
َุง ُููุชَ ู
ُِْูู ุชَุญِูุฏُ
‘Dan datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.’ (Qaf: 19)
Perhatikan dua pakaianku ini, basuhlah
keduanya dan jadikan sebagai kafanku, karena orang yang masih hidup
lebih pantas mengenakan yang baru daripada orang mati.” Kemudian, beliau
berwasiat agar yang memandikan jenazahnya adalah istrinya, Asma’ bintu
‘Umais radhiyallahu ‘anha.
Madinah Kembali Duka
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah,
beliau berkata bahwa Aisyah pernah bermimpi seolaholah ada tiga buah
bulan yang jatuh di rumahnya. Beliau pun menceritakannya kepada Abu Bakr
yang memang dikenal pandai menakwilkan mimpi. Kata Abu Bakr, “Kalau
benar mimpimu, pasti akan dikebumikan di dalam rumahmu tiga manusia
terbaik di muka bumi.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan dimakamkan di situ, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hai ‘Aisyah, inilah salah satu bulanmu yang terbaik itu.”1
Keadaan Abu Bakr bertambah berat. Putrinya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
merawatnya dengan telaten. Saat-saat terakhir itu, Abu Bakr berpesan
lagi, “Periksalah berapa sisa hartaku sejak aku jadi khalifah dan
serahkanlah kepada khalifah sesudahku.” Sepeninggal beliau, mereka
menghitungnya. Ternyata yang ada hanya seorang budak dan seekor unta
untuk menyirami kebun. Harta itu kemudian diserahkan kepada ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Melihat hal ini, ‘Umar menangis dan berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala
merahmati Abu Bakr. Sungguh, beliau membuat payah orang yang sesudahnya
(untuk bisa berbuat hal yang sama).” Senin malam, 22 Jumadil Akhir 13
H, atau 22 Agustus 634 M, dalam usia 63 tahun, seusia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika wafat, berangkatlah jiwa yang tenang itu ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala, terdengar bisikannya yang terakhir dengan suara yang lirih membaca,
ุชَََِّูููู ู
ُุณِْูู
ًุง َูุฃَْูุญِِْููู ุจِุงูุตَّุงِูุญَِูู
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
Madinah kembali diguncang oleh tangis
dan kesedihan. Sekali lagi kaum muslimin kehilangan pemimpin yang mereka
cintai dan hormati, manusia terbaik setelah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan beberapa wanita yang ada di dalamnya menangis, tetapi mereka segera dilarang oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dengan memerintahkan Hisyam bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu mengeluarkan mereka. Jenazah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dibawa ke Masjid Nabawi dan dishalati di antara mimbar dan makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian, beliau dibawa ke rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan dikuburkan di sebelah makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan posisi kepala di dekat pundak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika masih hidup mereka bersahabat dekat, setelah wafat kubur mereka
berdampingan, dan di akhirat— sebagaimana diriwayatkan—mereka juga
berdekatan. Inilah bulan kedua yang jatuh dalam rumah ‘Aisyah
sebagaimana mimpi beliau yang ditakwil oleh ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Setelah beliau wafat, datanglah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sambil menangis dan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau segera menuju rumah duka dan berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala
merahmatimu, wahai Abu Bakr. Demi Allah, engkau adalah yang orang
pertama masuk Islam, paling dalam imannya, paling kuat keyakinannya,
paling besar kekayaannya, paling menjaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, paling cemburu terhadap Islam dan sangat membela pemeluknya, serta paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal akhlak, keutamaan, bimbingan, dan kepribadian. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberimu balasan yang baik atas jasamu terhadap Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kaum muslimin. Engkau membenarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
di saat manusia mendustakan beliau, menyantuni beliau ketika mereka
kikir terhadap beliau, engkau berdiri bersama beliau ketika mereka
duduk, dan Allah Subhanahu wata’ala menamakanmu Shiddiq di dalam Kitab-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุงَّูุฐِู ุฌَุงุกَ ุจِุงูุตِّุฏِْู َูุตَุฏََّู ุจِِู ۙ
‘Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya.’ (az-Zumar: 33)
yang dimaksud adalah Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wasallam)
dan dirimu. Engkau, demi Allah, benar-benar benteng bagi kaum muslimin
dan bencana bagi orang-orang yang kafir. Argumenmu tidak salah, bashirah (mata
hatimu) tidak lemah, dan jiwamu tidak pernah gentar, seperti gunung
yang tidak bergerak diterpa oleh angin kencang dan tidak runtuh dihantam
oleh badai. Engkau seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lemah fisikmu, tetapi kuat agamamu. Rendah hatimu, agung jiwamu di sisi Allah Subhanahu wata’ala, mulia di muka bumi, besar di kalangan orang-orang yang beriman.
Tidak ada seorang pun mempunyai ambisi
dan hawa nafsu di hadapanmu. Yang lemah bagimu adalah kuat, dan yang
kuat itu lemah, sampai engkau mengambil hak orang lemah dari yang kuat
lalu dikembalikan kepada si lemah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
tidak mengharamkan kami memperoleh pahalamu, dan tidak menyesatkan kami
sepeninggal engkau.” Inilah salah satu pujian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
terhadap Abu Bakr ash- Shiddiq. Adapun orang-orang yang sesat dari
kalangan Syiah Rafidhah selalu menyimpan dendam dan kebencian terhadap
beliau radhiyallahu ‘anhu. Wallahu a’lam. (Selanjutnya insya Allah: Amirul Mukminin ‘Umar al-Faruq radhiallahu ‘anhu)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Kisah Sapi Betina (2)
Bani Israil telah merasakan kepahitan akibat banyak bertanya dan menyalahi perintah nabi mereka yang mulia, Musa ‘alaihissalam. Setelah bersusah payah mencarinya, mereka menemukan juga sapi yang mereka ‘inginkan’. Tetapi, apa yang terjadi setelah kasus itu terbongkar?
Akhir Peristiwa
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุฅِุฐْ َูุชَْูุชُู
ْ َْููุณًุง َูุงุฏَّุงุฑَุฃْุชُู
ْ َِูููุง ۖ َูุงَُّููู ู
ُุฎْุฑِุฌٌ ู
َّุง ُููุชُู
ْ ุชَْูุชُู
َُูู
“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh
seorang manusia lalu kamu saling menuduh tentang itu. Allah hendak
menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.” (al-Baqarah: 72)
Ayat ini, meskipun dibaca pada bagian
akhir kisah, sebetulnya secara makna lebih dahulu dari semua yang telah
lalu tentang urusan sapi betina ini. Sebab, perintah menyembelih sapi
ini adalah karena adanya pembunuhan.1 Sebagian ahli tafsir menerangkan
bahwa firman Allah Subhanahu wata’ala َูุงَُّููู ู
ُุฎْุฑِุฌٌ (Dan Allah hendak menyingkapkan) adalah jumlah i’tiradhiyah, faedahnya
ialah menekankan bahwa pertikaian bani Israil tentang pembunuhan itu
tidak ada gunanya. Sama saja bagi mereka, apakah akan menutup-nutupi
atau menyembunyikannya dan saling menuduh satu sama lain, karena Allah Subhanahu wata’ala akan menampakkannya.2 Kemudian Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ََُْููููุง ุงุถْุฑِุจُُูู ุจِุจَุนْุถَِูุง ۚ َูุฐََِٰูู ُูุญِْูู ุงَُّููู ุงْูู
َْูุชَٰู َُููุฑُِููู
ْ ุขَูุงุชِِู َูุนََُّููู
ْ ุชَุนَُِْูููู
Lalu Kami berfirman, “Pukullah mayat
itu dengan sebagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (al-Baqarah: 73)
Bagian mana saja yang dipukulkan ke
mayat itu, maka keajaiban atau mukjizat pasti terjadi. Seandainya ada
manfaatnya bagi dunia dan akhirat kita dengan menyebutkan bagian yang
mana dari tubuh sapi itu yang dipukulkan ke mayat tersebut, Allah Subhanahu wata’ala tentu menerangkannya kepada kita di dalam al-Qur’an atau sunnah yang sahih dari Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah sapi itu disembelih, salah satu bagian tubuhnya dipukulkan ke mayat itu. Dengan izin Allah Subhanahu wata’ala, orang itu hidup kembali,
َูุฐََِٰูู ُูุญِْูู ุงَُّููู ุงْูู
َْูุชَٰู َُููุฑُِููู
ْ ุขَูุงุชِِู َูุนََُّููู
ْ ุชَุนَُِْูููู
“Demikianlah Allah menghidupkan
kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu
tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.”
Kembali Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kekuasaan-Nya kepada bani Israil secara khusus, dan kepada seluruh manusia. Sebagaimana Dia telah menghidupkan kembali orang yang mati itu, Dia juga akan menghidupkan kembali semua yang telah diwafatkan-Nya. Semua itu adalah perkara yang sangat mudah bagi Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ู
َّุง ุฎَُُْูููู
ْ ََููุง ุจَุนْุซُُูู
ْ ุฅَِّูุง ََْูููุณٍ َูุงุญِุฏَุฉٍ ۗ ุฅَِّู ุงََّููู ุณَู
ِูุนٌ ุจَุตِูุฑٌ
“Tidaklah Allah menciptakan dan
membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti
(menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Luqman: 28)
Diceritakan oleh ulama bahwa Nabi Musa
‘Alaihissalam menanyai orang tersebut, “Siapa yang telah membunuhmu?”
“Kerabatku,” katanya, kemudian orang itu kembali menjadi mayat. Bani
Israil kaget. Ternyata orangorang yang menuduh serta ingin menuntut
balas dan diyat atas kematian saudara mereka, ternyata adalah
orang-orang yang membunuhnya. Tetapi, sekali lagi mereka bertikai.
Orang-orang yang tertuduh itu mengingkari perbuatan mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ุซُู
َّ
َูุณَุชْ ُُูููุจُُูู
ู
ِّู ุจَุนْุฏِ ุฐََِٰูู ََِููู َูุงْูุญِุฌَุงุฑَุฉِ ุฃَْู
ุฃَุดَุฏُّ َูุณَْูุฉً ۚ َูุฅَِّู ู
َِู ุงْูุญِุฌَุงุฑَุฉِ َูู
َุง َูุชََูุฌَّุฑُ ู
ُِْูู
ุงْูุฃََْููุงุฑُ ۚ َูุฅَِّู ู
َِْููุง َูู
َุง َูุดََُّّูู ََููุฎْุฑُุฌُ ู
ُِْูู
ุงْูู
َุงุกُ ۚ َูุฅَِّู ู
َِْููุง َูู
َุง َْููุจِุทُ ู
ِْู ุฎَุดَْูุฉِ ุงَِّููู ۗ َูู
َุง
ุงَُّููู ุจِุบَุงٍِูู ุนَู
َّุง ุชَุนْู
ََُููู
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi
keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu
itu sungguh ada yang mengalir sungaisungai darinya, dan di antaranya
sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, dan di
antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 74)
Setelah melihat kejadian yang luar biasa
itu, orang yang terbunuh hidup kembali dan menerangkan siapa yang
membunuhnya, semestinya hati mereka menjadi lembut dan semakin takut
kepada Allah Subhanahu wata’ala, tunduk serta menerima
keputusan-Nya. Tetapi, tidak demikian halnya dengan mereka. Bani Israil
bukannya semakin bertambah rasa takut di hati mereka, bahkan hati itu
menjadi kaku dan keras. Sudah jelas siapa yang melakukan kejahatan
tersebut, tetapi mereka menyangkal, bahkan bersumpah bahwa mereka tidak
membunuhnya.
Wallahu a’lam. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menerangkan tingkat kekerasan hati mereka yang jauh lebih keras dari sebuah batu. Tetapi, Allah Subhanahu wata’ala
menyucikan batu itu dari sifat dan watak bani Israil. Di antara batu
itu ada yang memancarkan air, ada yang terbelah sehingga dilewati oleh
air, dan ada yang jatuh karena takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َْูู
ุฃَูุฒََْููุง َٰูุฐَุง ุงُْููุฑْุขَู ุนََٰูู ุฌَุจٍَู َّูุฑَุฃَْูุชَُู ุฎَุงุดِุนًุง
ู
ُّุชَุตَุฏِّุนًุง ู
ِّْู ุฎَุดَْูุฉِ ุงَِّููู ۚ َูุชَِْูู ุงْูุฃَู
ْุซَุงُู َูุถْุฑِุจَُูุง
َِّูููุงุณِ َูุนََُّููู
ْ َูุชَََّููุฑَُูู
“Kalau sekiranya Kami menurunkan
al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk
terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka
berpikir.” (al-Hasyr: 21)
Oleh sebab itu, alangkah celakanya hati
yang kaku dan keras, bahkan melebihi batu. Padahal, sebuah gunung yang
besar dan tinggi menjulang, akan lebur apabila al-Qur’an ini diturunkan
kepadanya. Sebab, hati yang qasi (kaku, keras, dan beku) tidak
akan mau menerima kebenaran, meskipun banyak bukti dan dalilnya. Inilah
keadaan mereka, setelah melihat bukti nyata di depan mata, mereka tetap
mengingkari, membantah, dan tidak mau tunduk. Sampai saat ini, sejak di
masa wahyu ini turun, mereka selalu mengingkari kebenaran, padahal sudah
jelas di depan mata mereka. Menurut az-Zajaj, kata “qasat” sama dengan “ghalizha” (kasar), “yabisat” (kering), dan “asiyat” (kaku, keras, beku).
Jadi, qasawatul qalbi artinya
ialah hati yang telah kehilangan kelembutan, kasih sayang, dan
ketundukan. Sifat keras ini bukanlah sifat keras yang terpuji, karena
hati itu seharusnya adalah kuat tetapi bukan kasar, lembut tetapi bukan
lemah. Seperti tangan yang memiliki kekuatan sekaligus kelembutan,bukan
seperti tumit yang kering, tidak ada kelembutannya, meskipun memiliki
kekuatan. Demikian menurut Ibnu Qutaibah rahimahullah yang dinukil oleh Syaikhul Islam rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (7/28—30). Ini adalah musibah yang sangat besar yang menimpa seorang manusia, sebagaimana kata Malik bin Dinar rahimahullah, “Tidak ada hukuman paling berat yang menimpa seseorang daripada qasawah (kaku, keras, kasar, dan beku) hatinya.” Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala mengancam orangorang yang qasi hatinya, sebagaimana firman-Nya,
ٌََْูููู َِّْูููุงุณَِูุฉِ ُُูููุจُُูู
ู
ِّู ุฐِْูุฑِ ุงَِّููู ۚ ุฃَُٰููุฆَِู ِูู ุถََูุงٍู ู
ُّุจٍِูู
‘Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu
dalam kesesatan yang nyata.’ (az-Zumar: 22)
Orang yang celaka ini adalah orangorang yang tidak menjadi lembut hatinya karena mengingat Allah Subhanahu wata’ala,
tidak pula tunduk, menjaga dan memahami. Tidak pula mau mengingat
ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang mengingat-Nya. Bahkan, berpaling
kepada yang lain, dan memilih yang lain.”
Beberapa Faedah dan Hikmah
Di dalam kisah ini terkandung banyak
pelajaran yang berharga bagi orangorang yang beriman. Merekalah Ulul
Albab yang dapat memetik hikmah dan pelajaran yang terdapat dalam
ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala, baik yang ada di alam
semesta dan diri mereka sendiri, maupun ayatayat yang terdapat dalam
Kitab-Nya yang mulia, al-Qur’anul Karim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ََููุฏْ َูุงَู ِูู َูุตَุตِِูู
ْ ุนِุจْุฑَุฉٌ ِّูุฃُِููู ุงْูุฃَْูุจَุงุจِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)
Kisah yang — sepertinya — menampakkan
kejelekan orang-orang yang menyertai Nabi Musa ‘Alaihissalam ini, adalah
tamparan keras bagi orangorang Yahudi yang hidup di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan yang bersama kita saat ini. Orang-orang Yahudi yang sangat
membanggakan nenek moyang mereka serta ingin mengembalikan kemegahan dan
kejayaan mereka, hendaklah bercermin dengan sejarah masa lalu mereka.
Seandainya dikatakan bahwa mereka yang bersama Nabi Musa ‘Alaihissalam
sudah bertobat dan dimaafkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka itulah kemuliaan dan kelebihan mereka. Tetapi, tidak demikian halnya anak cucu mereka yang kufur kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa turunnya wahyu, lebih-lebih Yahudi di zaman ini. Wallahul musta’an. Di antara pelajaran berharga dari kisah ini ialah sebagai berikut.
1. Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sekaligus bukti kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menerangkan berita yang benar dan pasti tentang bani Israil.
2. Tidak boleh menyikapi perintah Allah Subhanahu wata’ala dengan cara banyak tanya, tetapi hendaklah segera melaksanakannya sebisa dan sesegera mungkin.
3. Orang yang zalim dan jahat itu
dibalas dengan menerima kebalikan dari apa yang diinginkannya. Seperti
pelaku pembunuhan ini, dia terhalang dari warisan yang diperolehnya,
malahan dihukum karena perbuatannya. Wallahu a’lam.
4. Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa kita pasti dibangkitkan, bahkan inilah yang disepakati oleh para nabi dan rasul ‘alaihimushshalatu wassalam.
5 . Suka meremehkan dan mempermainkan
orang lain adalah sikap dan perbuatan orang-orang yang jahil, bahkan
hendaknya kita berlindung dari kebodohan tersebut.
6. Tidak adanya adab bani Israil terhadap para nabi Allah, ‘alaihimush shalatu wassalam, bahkan tidak pula kepada Allah Subhanahu wata’ala.
7. Allah Maha Mengetahui apa yang
ditampakkan dan disembunyikan oleh siapa pun, baik perkara yang umum
maupun hal-hal yang sekecil apa pun.
8. Akal manusia, secerdas apa pun tidak
berhak mengoreksi wahyu yang datang dari langit (termasuk di sini
al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih). Lebih-lebih lagi jika pemikiran itu
bersumber dari orang-orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
9. Seorang muslim wajib menghadapi ketetapan syariat itu dengan sikap menerima dan berserah diri serta tunduk kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sukarela. Inilah tanda dan bukti keimanan.
10. Keutamaan umat (para sahabat) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak bersikap lancang dan ingkar sebagaimana sikap bani Israil terhadap para nabi mereka.
11. Tidak boleh bersikap tasyaddud karena akan menyusahkan diri mereka sendiri. Renungkan kembali kisah di atas, dan lihatlah bagaimana bani Israil dipersulit akibat bersikap memberatberatkan diri dan banyak bertanya.
12. Agama ini mudah, siapa mempersulit dirinya, pasti kalah.
13. Semua yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala kepada kita pasti mengandung kebaikan, baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak.
14. Melaksanakan perintah sejak pertama
kali dikeluarkan adalah perbuatan yang terpuji. Hal inilah yang pernah
ditanyakan oleh sahabat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ุงูุตَّูุงَุฉُ ุนََูู َْููุชَِูุง
“Shalat pada waktunya.”
15. Banyak tanya dan menyelisihi aturan para nabi Allah ‘alaihimush shalatu wassalam adalah
sebagian sebab kebinasaan umat-umat terdahulu. Kebinasaan itu bisa
terjadi berupa ditindas oleh musuh, kesempitan hidup, atau mendapat
murka dan hukuman Allah Subhanahu wata’ala. Oleh sebab itu, kaum muslimin janganlah tertipu oleh keadaan lahiriah musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala,
baik Yahudi, Nasrani, maupun orang-orang musyrik. Kemewahan, kesehatan,
dan kekuatan mereka bukanlah bukti bahwa mereka dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala.
16. Bani Israil diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala
dengan sapi dua kali. Yang pertama ketika mereka diuji sehingga
menyembah patung anak sapi; dan kedua, diuji dengan perintah untuk
menyembelihnya. Sapi sendiri dikenal sebagai salah satu di antara
hewan-hewan yang sangat bodoh, sehingga sering menjadi tamsil. Kisah
ini, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, terjadi setelah peristiwa
patung anak sapi. Seakan-akan, perintah menyembelih sapi ini
menyadarkan mereka bahwa makhluk yang bodoh ini tidak layak menjadi
sesuatu yang disembah (diibadahi) bersama Allah Subhanahu wata’ala.
Seekor sapi hanya pantas untuk membajak tanah. Faedah lainnya dari
rangkaian kisah ini, menerangkan kepada kita betapa buruknya akhlak
orang-orang Yahudi. Mereka mempunyai watak selalu berbuat curang,
melanggar janji, dan khianat. Mereka juga selalu mendurhakai para nabi
dan rasul yang diutus kepada mereka, tidak menghargai para rasul
tersebut. Sebab itulah, Allah Subhanahu wata’ala murka kepada mereka.
Penutup
Untuk kaum muslimin yang terpesona
dengan gelar akademik yang diperolehnya dalam mempelajari Islam di
negeri kafir, apakah orang-orang sejenis ini yang pantas diikuti dan
dijadikan acuan untuk mengoreksi al-Qur’anul Karim dan ajaran Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam? Semoga Allah Subhanahu wata’ala
memberi hidayah dan taufik kepada mereka. Karena itu pula, tidak
selayaknya kaum muslimin menaruh kepercayaan kepada mereka, lebih-lebih
dalam urusan agama, seperti yang dilakukan sebagian anak-anak kaum
muslimin yang mempelajari agama Islam dari orangorang Yahudi dan
Nasrani. Wallahul musta’an.
Apa yang menjadi sandaran mereka
mempelajari Islam? Kitab yang ada di tangan mereka? Atau al-Qur’anul
Karim yang ada di tangan kaum muslimin? Kalau al-Qur’anul Karim yang
menjadi pegangan mereka dalam mempelajari Islam, apakah mereka lebih
mengerti isi al-Qur’an daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerima langsung al-Qur’an sebagai wahyu Allah Subhanahu wata’ala? Atau apakah mereka lebih mengenal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada para sahabat yang melihat langsung bagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mempraktikkan isi al- Qur’an dalam kehidupan sehari-hari?
Asy-Syaikh Rahmatullah al-Hindi rahimahullah dalam Izh-harul Haq (1/61)
menyebutkan bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak mempunyai sanad
yang bersambung untuk Kitab Perjanjian Lama ataupun Baru yang ada pada
mereka. Beliau melanjutkan, sebuah kitab samawi wajib diterima apabila
lebih dahulu jelas pasti keasliannya dengan bukti yang sempurna dan
lengkap bahwa kitab ini memang ditulis oleh seorang nabi tertentu,
kemudian sampai ke tangan kita dengan sanad bersambung, tanpa perubahan
apa pun. Penyandaran kepada sosok yang diberi ilham sematamata
berdasarkan dugaan, tidak cukup memastikan bahwa kitab tersebut ditulis
oleh nabi itu. Demikian pula sekadar pengakuan satu golongan tertentu
bahwa itu ditulis oleh nabi tersebut, tidak dapat dijadikan dasar
memastikan bahwa itu adalah kitab samawi. Beliau menyebutkan beberapa
contoh kitab yang dinisbatkan kepada Nabi Musa, ‘Isa, Sulaiman, Ezra,
dan lain-lain, yang justru diperselisihkan oleh golongan Katolik dan
Protestan keabsahannya. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Buah keimanan (7)
Iman adalah sandaran kaum mukminin di
setiap keadaan mereka, baik suka maupun duka, takut maupun aman, ketika
mengerjakan ketaatan maupun jatuh ke dalam kemaksiatan, dan setiap
urusan yang dilalui oleh setiap manusia. Saat mendapat kebahagiaan dan
kesenangan, mereka bersandar kepada keimanan sehingga mereka memuji
Allah Subhanahu wata’ala, menyanjung-Nya, dan menggunakan kenikmatan tersebut dalam hal yang dicintai oleh Dzat yang memberikannya.
Saat ditimpa kesusahan dan kesedihan,
mereka bersandar kepada keimanan dari berbagai sisi. Mereka menghibur
diri dengan iman dan kemanisannya. Mereka menghibur diri dengan
mengharap pahala yang akan diperoleh dari musibah itu. Mereka menghadapi
kesedihan dan kegoncangan dengan hati yang lapang. Kehidupan bahagia
pun menjadi penangkal segala kesedihan dan duka. Ketika datang rasa
takut, mereka bersandar pada keimanan sehingga merasa tenang dengannya.
Saat datang rasa takut, justru bertambah keimanan, kekokohan, kekuatan,
dan keberanian mereka. Sirnalah ketakutan yang menimpa. Hal ini
sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala tentang para manusia pilihan, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhuma,
ุงَّูุฐَِูู
َูุงَู َُููู
ُ ุงَّููุงุณُ ุฅَِّู ุงَّููุงุณَ َูุฏْ ุฌَู
َุนُูุง َُููู
ْ َูุงุฎْุดَُْููู
ْ
َูุฒَุงุฏَُูู
ْ ุฅِูู
َุงًูุง ََููุงُููุง ุญَุณْุจَُูุง ุงَُّููู َِููุนْู
َ ุงَُِْููููู
{}َูุงََูููุจُูุง ุจِِูุนْู
َุฉٍ ู
َِّู ุงَِّููู ََููุถٍْู َّูู
ْ َูู
ْุณَุณُْูู
ْ
ุณُูุกٌ َูุงุชَّุจَุนُูุง ุฑِุถَْูุงَู ุงَِّููู ۗ َูุงَُّููู ุฐُู َูุถٍْู ุนَุธِูู
ٍ
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati
Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan,
‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian,
karena itu takutlah kepada mereka.’ Perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan
Allah adalah sebaik-baik Pelindung.’ Mereka pun kembali dengan nikmat
dan karunia (yang besar) dari Allah. Mereka tidak mendapat bencana
apaapa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Allah mempunyai karunia yang
besar.” (Ali ‘Imran: 173—174)
Telah sirna rasa takut dari hati
orang-orang pilihan itu. Kekuatan dan kemanisan iman, kuatnya tawakal,
serta keyakinan terhadap janji-Nya telah menggantikan rasa takut yang
hinggap di hati mereka. Ketika mendapat rasa aman, mereka kembali kepada
keimanan sehingga rasa aman tersebut tidak membuat mereka angkuh dan
sombong. Mereka justru bertawadhu’, bersikap rendah hati. Mereka
menyadari bahwa rasa aman itu adalah pemberian Allah Subhanahu wata’ala,
karunia dan kemudahan dari-Nya. Mereka bersyukur kepada Dzat yang telah
memberi kenikmatan kepada mereka berupa keamanan dan sebab-sebabnya.
Mereka sadar, apabila mereka mampu mengalahkan musuh-musuh, itu hanyalah
daya, upaya, dan karunia dari Allah Subhanahu wata’ala
semata, bukan daya dan upaya mereka. Ketika mendapatkan taufik untuk
berbuat ketaatan dan mengerjakan amalan saleh, mereka bersandar kepada
keimanan. Mereka menyadari bahwa amalan saleh tersebut adalah nikmat
Allah Subhanahu wata’ala atas mereka.
Mereka meyakini bahwa nikmat berupa amal
saleh itu lebih besar daripada nikmat yang berupa rezeki dan kesehatan.
Demikian pula, mereka bersemangat untuk menyempurnakan amalan dan
menjalani segala sebab agar amalan diterima, tidak tertolak, dan tidak
terdapat kekurangan di dalamnya. Mereka memohon kepada Dzat yang telah
mengaruniakan taufik kepada mereka agar menyempurnakan nikmat tersebut
dengan menerima amalan mereka. Mereka memohon kepada Dzat yang telah
mengaruniakan taufik kepada mereka untuk menjalankan pokok sebuah amalan
agar menyempurnakan berbagai kekurangan amalan mereka. Mereka bersandar
kepada keimanan saat mereka tertimpa musibah, terjatuh dalam perbuatan
maksiat. Mereka bersegera bertobat darinya, sekaligus berjuang sekuat
tenaga menjalankan amalan kebaikan untuk menutupi segala kekurangan yang
disebabkan oleh kemaksiatannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ุฅَِّู ุงَّูุฐَِูู ุงุชََّْููุง ุฅِุฐَุง ู
َุณَُّูู
ْ ุทَุงุฆٌِู ู
َِّู ุงูุดَّْูุทَุงِู ุชَุฐََّูุฑُูุง َูุฅِุฐَุง ُูู
ู
ُّุจْุตِุฑَُูู
“Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada
Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” ( al-A’raf: 201)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ู
َุซَُู
ุงْูู
ُุคْู
ِِู َูู
َุซَُู ุงْูุฅِูู
َุงِู َูู
َุซَِู ุงَْููุฑَุณِ ุงْูู
َุฑْุจُูุทِ ِูู
ุขุฎَِูุชِِู، َูุฌُُูู ู
َุง َูุฌُُูู ุซُู
َّ َูุฑْุฌِุนُ ุฅَِูู ุขุฎَِูุชِِู
“Permisalan mukmin dan permisalan
iman bagaikan kuda yang terikat di tali pancangnya. Ia pergi ke mana ia
pergi, kemudian kembali ke tali pancangnya.” (HR. Ahmad, Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dll, dinyatakan dhaif oleh al-Albani dalam Silsilah adh-Dha’ifah no. 6637)
Demikianlah keadaan orang yang beriman. Ia pergi sekehendaknya dalam kelalaian dan kelancangan, mengerjakan sebagian dosa, kemudian segera kembali dengan cepat menuju keimanan yang seluruh
urusannya dibangun di atasnya. Seorang mukmin hendaknya senantiasa
bersandar kepada iman dalam kondisi apa pun. Keinginan mereka hanyalah
merealisasikan iman dan menolak segala hal yang bertentangan dengan
keimanan. Itulah keutamaan dan karunia dari Allah Subhanahu wata’ala untuk mereka. (Diambil dari at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman karya asy-Syaikh as- Sa’di, hlm. 57-59)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar

Al-Ghani
Al-Ghani adalah salah satu dari al-Asma’ul Husna. Sebuah nama yang menunjukkan kesempurnaan-Nya dan keagungan- Nya. Dialah al-Ghani,
Yang Mahakaya, Maha cukup, dan tidak membutuhkan siapa pun dan apa pun.
Nama ini tercantum dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุง
ุฃََُّููุง ุงَّููุงุณُ ุฃَูุชُู
ُ ุงَُْูููุฑَุงุกُ ุฅَِูู ุงَِّููู ۖ َูุงَُّููู َُูู
ุงْูุบَُِّูู ุงْูุญَู
ِูุฏُ {} ุฅِู َูุดَุฃْ ُูุฐِْูุจُْูู
ْ ََููุฃْุชِ ุจِุฎٍَْูู
ุฌَุฏِูุฏٍ {} َูู
َุง ุฐََِٰูู ุนََูู ุงَِّููู ุจِุนَุฒِูุฒٍ
“Hai manusia, kamulah yang
membutuhkan kepada Allah dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia
memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan
kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.” (Fathir: 15—17)
َُّูู ู
َุง ِูู ุงูุณَّู
َุงَูุงุชِ َูู
َุง ِูู ุงْูุฃَุฑْุถِ ۗ َูุฅَِّู ุงََّููู ََُููู ุงْูุบَُِّูู ุงْูุญَู
ِูุฏُ
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada
di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar
benar Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (al-Hajj: 64)
َูุงُููุง ุงุชَّุฎَุฐَ ุงَُّููู ََููุฏًุง ۗ ุณُุจْุญَุงَُูู ۖ َُูู ุงْูุบَُِّูู ۖ َُูู ู
َุง ِูู ุงูุณَّู
َุงَูุงุชِ َูู
َุง ِูู ุงْูุฃَุฑْุถِ
Mereka (orang-orang Yahudi dan
Nasrani) berkata, “Allah mempuyai anak.” Mahasuci Allah. Dia-lah Yang
Mahakaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. (Yunus: 68)
Di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam istisqa’ (meminta hujan) adalah,
ุงَُّูููู
َّ ุฃَْูุชَ ุงُููู ูุงَ ุฅََِูู ุฅِูุงَّ ุฃَْูุชَ ุงْูุบَُِّูู ََููุญُْู ุงَُْูููุฑَุงุกُ، ุฃَْูุฒِْู ุนَََْูููุง ุงْูุบَْูุซَ
“Ya Allah, Engkaulah Allah, tiada
sesembahan yang benar selain Engkau, Engkaulah yang Mahakaya sedangkan
kami orang-orang miskin yang membutuhkan. Turunkanlah kepada kami
hujan….” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras menerangkan, “Di antara nama-nama Allah Subhanahu wata’ala adalah al-Ghani. Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala memiliki kecukupan yang sempurna dan mutlak dari segala
sisinya. Kecukupan-Nya sama sekali tidak
ternodai oleh sifat miskin dan membutuhkan. Sifat kecukupan dan
kekayaan-Nya tidak mungkin lepas dari- Nya, karena sifat ini adalah
konsekuensi dari Dzat-Nya, dan sifat yang terkait dengan Dzat-Nya tidak
mungkin hilang.
Maka dari itu, tidak mungkin bagi Allah Subhanahu wata’ala
kecuali sebagai Dzat Yang Mahacukup dan Mahakaya. Demikian pula, tidak
mungkin bagi-Nya kecuali bersifat Dermawan, Pengasih, Baik, Penyayang,
dan Pemurah. Sebagaimana kekayaan Allah Subhanahu wata’ala itu
tidak terlepas dari Dzat-Nya, tidak mungkin pula menimpa-Nya sesuatu
yang berlawanan dengannya baik kehinaan maupun rasa membutuhkan.
Demikian pula kebutuhan para makhluk kepada-Nya, itu adalah kebutuhan
yang bersifat dzati yang tidak mungkin sifat kebutuhannya hilang
darinya walaupun sesaat saja. Makhluk senantiasa butuh kepada-Nya dalam
hal keberadaan dan
eksistensinya, juga dalam segala hal
kebutuhannya. Di antara luasnya kekayaan-Nya, bahwa perbendaharaan
langit dan bumi semuanya berada di tangan-Nya, Allah Subhanahu wata’ala
salurkan darinya sekehendak-Nya dan bahwa pemberian nikmat-Nya
senantiasa berkesinambungan terus mengalir, tidak terputus walau sesaat
sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits,
َูู
ُِูู
ุงِููู ู
َْูุฃَู ูุงَ َูุบِูุถَُูุง َََูููุฉٌ ุณَุญَّุงุกُ ุงََّْูููู َูุงََّูููุงุฑَ،
ุฃَุฑَุฃَْูุชُู
ْ ู
َุง ุฃَََْููู ู
ُْูุฐُ ุฎَََูู ุงูุณَّู
ََูุงุชِ َูุงْูุฃَุฑْุถَ
َูุฅَُِّูู َูู
ْ َُْูููุตْ ู
َุง ِูู َูู
ِِِููู
“Sesungguhnya tangan kanan Allah Subhanahu wata’ala penuh, selalu memberi, malam dan siang, tidak menguranginya pemberian apa pun. Tidakkah engkau mengetahui apa yang Allah Subhanahu wata’ala berikan sejak Dia ciptakan langit-langit dan bumi? Sungguh, itu tidak mengurangi sedikit pun apa yang ada di tangan-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Di antara kesempurnaan kekayaan dan kemurahan-Nya, Allah Subhanahu wata’ala bentangkan tangan-Nya untuk mengijabahi doadoa bagi mereka yang berdoa, Allah Subhanahu wata’ala penuhi kebutuhannya, Allah Subhanahu wata’ala angkat kesulitannya, tidak pernah kesal dengan rengekan makhluk-makhluk yang meminta. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala
murka kepada siapa yang tidak meminta kepada- Nya. Dia berikan kepada
hamba-Nya apa yang mereka minta dan yang tidak mereka minta. Dalam
hadits qudsi, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
َูุง
ุนِุจَุงุฏِู َْูู ุฃََّู ุฃَََُّูููู
ْ َูุขุฎِุฑَُูู
ْ َูุฅِْูุณَُูู
ْ َูุฌَُِّููู
ْ
َูุงู
ُูุง ِูู ุตَุนِูุฏٍ َูุงุญِุฏٍ َูุณَุฃَُِูููู َูุฃَุนْุทَْูุชُ َُّูู ุฅِْูุณَุงٍู
ู
َุณْุฃََูุชَُู ู
َุง ََููุตَ ุฐََِูู ู
ِู
َّุง ุนِْูุฏِู ุฅِูุงَّ َูู
َุง َُْูููุตُ
ุงْูู
ِุฎَْูุทُ ุฅِุฐَุง ุฃُุฏْุฎَِู ุงْูุจَุญْุฑَ
“Wahai hamba-Ku, andai yang pertama
hingga yang terakhir di antara kalian, bangsa manusia dan bangsa jin
dari kalian, mereka berdiri pada satu hamparan lalu semuanya berdoa dan
meminta kepada-Ku lalu Ku-kabulkan permintaan masing-masing, hal itu
tidak mengurangi dari apa yang di sisi-Ku kecuali seperti jarum yang
dicelupkan ke dalam lautan.” (Sahih, HR. Muslim)
Di antara kecukupan-Nya sehingga tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, bahwa Allah Subhanahu wata’ala
tidak menjadikan bagi diri-Nya istri ataupun anak. Tiada serikat
bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, tidak pula memerlukan penolong karena
terhina, karena Dia Mahakaya, Mahacukup, Maha Tidak Membutuhkan, yang
telah sempurna segala sifat-sifat-Nya. Bahkan Dia pula yang mencukupi
segala makhluk-Nya. (Syarah Nuniyyah) Di antara kesempurnaan
kekayaan- Nya, serta keluasan pemberian-Nya adalah apa yang Ia hamparkan
untuk penghuni rumah kemuliaan-Nya (surga), berupa kenikmatan,
kelezatan yang terus-menerus, kebaikan yang berkesinambungan, serta
nikmat-nikmat yang tidak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar
oleh telinga, dan tidak pernah tebersit dalam kalbu seseorang.
(as-Sa’di, Tafsir Aasma’illah Al-Husna)
Al-Halimi rahimahullah juga
menjelaskan, “Dialah Yang Mahasempurna dengan apa yang dimiliki-Nya dan
yang ada pada-Nya, dengan itu ia tidak butuh kepada yang lain. Allah
Rabb kita yang Mahaagung pujian-Nya dengan sifat-Nya yang seperti ini,
karena sifat ‘memerlukan’ merupakan suatu kekurangan, dan sesuatu yang
membutuhkan berarti lemah disebabkan apa yang dia butuhkan sampai ia
mendapatkan apa yang dibutuhkan. Sementara itu, sesuatu yang dibutuhkan
memiliki jasa baginya dengan adanya sesuatu yang tidak dimiliki oleh
yang membutuhkan. Kekurangan semacam ini tidak ada pada-Nya Yang Maha
Terdahulu dalam keadaan bagaimana pun, kelemahan juga tidak mungkin ada
pada-Nya.
Tidak mungkin juga bagi siapa pun akan
memiliki jasa terhadap-Nya, karena semua selain-Nya adalah makhluk-Nya,
ciptaan yang Ia ciptakan, tidak memiliki urusan Allah rahimahullah
sedikit pun. Bahkan, makhluk-Nyalah yang tercipta seperti kehendak-Nya.
Dia yang mengaturnya. Dengan demikian, tidak terbayang bahwa
makhluk-Nya akan memiliki jasa terhadap-Nya.” (al-Baihaqi, dalam kitab al-Asma’ was Shifat)
Buah Mengimani Nama Allah al-Ghani
Betapa bahagianya kita, saat Allah Subhanahu wata’ala
memberikan kepada kita taufik-Nya untuk hanya beribadah kepada-Nya,
karena sesembahan kita Mahakaya, takkan merugi seseorang yang Tuhannya
Maha kaya. Hal ini membuat kita sebagai hamba-Nya tidak berputus asa
dalam meminta dan berdoa. Allah Subhanahu wata’ala bahkan
memerintahkan kita untuk meminta-Nya dan menjanjikan untuk
mengijabahinya, baik permintaan duniawi maupun ukhrawi. Saat kita
bersalah lalu meminta ampunan-Nya, dengan kemurahan-Nya, Dia akan
memberikan maaf-Nya. Saat kita terdesak kebutuhan, Dialah tujuan kita
dalam meminta, niscaya Dia akan berikan. Dia tidak meminta sesuatu
kepada kita berupa imbalan apa pun, hanya saja merupakan kewajiban kita
untuk menunaikan hak-Nya, dengan beribadah hanya kepada-Nya. Namun,
perlu diingat, tentu tidak semua doa akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Hanya doa-doa yang baik dan terpenuhi syaratnya serta selamat dari segala penghalang terkabulnya. Terkadang Allah Subhanahu wata’ala
mengabulkannya nanti di akhirat, atau dengan menghindarkan kejelekan
yang senilai dengan apa yang dia minta. Dengan mengimani nama ini, kita
juga menyadari kelemahan sesembahansesembahan selain Allah Subhanahu wata’ala yang tidak memiliki apa pun. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ُِูููุฌُ
ุงََّْูููู ِูู ุงََّูููุงุฑِ َُِููููุฌُ ุงََّูููุงุฑَ ِูู ุงَِّْูููู َูุณَุฎَّุฑَ
ุงูุดَّู
ْุณَ َูุงَْููู
َุฑَ ٌُّูู َูุฌْุฑِู ِูุฃَุฌٍَู ู
ُّุณَู
ًّู ۚ ุฐَُِٰููู
ُ
ุงَُّููู ุฑَุจُُّูู
ْ َُูู ุงْูู
ُُْูู ۚ َูุงَّูุฐَِูู ุชَุฏْุนَُูู ู
ِู ุฏُِِููู ู
َุง
َูู
َُِْูููู ู
ِู ِูุทْู
ِูุฑٍ {} ุฅِู ุชَุฏْุนُُููู
ْ َูุง َูุณْู
َุนُูุง ุฏُุนَุงุกَُูู
ْ
ََْููู ุณَู
ِุนُูุง ู
َุง ุงุณْุชَุฌَุงุจُูุง َُููู
ْ ۖ ََْูููู
َ ุงَِْูููุงู
َุฉِ
َُْูููุฑَُูู ุจِุดِุฑُِْููู
ْ ۚ ََููุง َُููุจِّุฆَُู ู
ِุซُْู ุฎَุจِูุฑٍ {} َูุง
ุฃََُّููุง ุงَّููุงุณُ ุฃَูุชُู
ُ ุงَُْูููุฑَุงุกُ ุฅَِูู ุงَِّููู ۖ َูุงَُّููู َُูู
ุงْูุบَُِّูู ุงْูุญَู
ِูุฏُ
“Yang (berbuat) demikian itulah Allah
Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari
pada biji kurma. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar
seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu
dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. Hai manusia, kamulah yang butuh
kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu)
lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 13—15)
Jika demikian keadaan sesembahan selain Allah Subhanahu wata’ala,
lantas atas dasar apa mereka diibadahi? Ia tidak memiliki apaapa, maka
tidak berhak diibadahi sama sekali. Sungguh merugi seseorang yang
tuhannya semacam ini. Ya, rugi dunia akhirat dan itulah kerugian yang
nyata.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi

Hukum Qunut Subuh
Apa hukumnya qunut subuh?
Syukran. j_syarif@….com
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Pembahasan qunut subuh yang dimaksud di
sini adalah yang dilakukan secara terus-menerus, dengan doa yang khusus,
seperti ( ุงَُّูููู
َّ ุงْูุฏِِูู ِููู
َْู َูุฏَْูุชَ )… dst.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama
dalam hal ini. Sebagian ulama mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat
disyariatkannya qunut subuh. Sementara itu, ulama dari mazhab yang lain
berpendapat bahwa qunut tersebut tidak disyariatkan. Mereka yang
berpendapat disyariatkannya qunut tersebut berdalil dengan beberapa
riwayat, yang paling inti adalah hadits berikut ini.
ู
َุง ุฒَุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ََْูููุชُ ِูู ุงَْููุฌْุฑِ ุญَุชَّู َูุงุฑََู ุงูุฏَُّْููุง
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melakukan qunut pada shalat subuh sampai berpisah dengan dunia.”
Untuk mengetahui manakah pendapat yang
terkuat dalam hal ini, tentu kita harus mempelajari derajat hadits ini,
apakah sahih atau dha’if. Beberapa ulama, seperti az-Zaila’i, Ibnu
Hajar, dan asy-Syaikh al-Albani telah membahas hadits tersebut dalam
buku-buku takhrij mereka. Demikian pula Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul
Ma’ad. Berikut ini rangkuman pembahasan mereka. Hadits ini diriwayatkan
melalui jalan Abu Ja’far ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu. Rabi’ rahimahullah bercerita, “Aku duduk di sisi Anas bin Malik. Ada yang mengatakan kepada beliau, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut selama satu bulan.’ Beliau pun mengatakan seperti yang tersebut di atas.”
Mari kita pelajari sanad hadits ini.
1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal, termasuk salah seorang sahabat yang meriwayatkan banyak hadits.
1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal, termasuk salah seorang sahabat yang meriwayatkan banyak hadits.
2. Rabi’ bin Anas rahimahullah
Beliau adalah seorang tabi’in. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Taqribut Tahdzib, “Shaduq lahu auham (Jujur namun memiliki kekeliruankekeliruan).” Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kasyif, menukil ucapan Abu Hatim tentangnya, “Shaduq.”
Beliau adalah seorang tabi’in. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Taqribut Tahdzib, “Shaduq lahu auham (Jujur namun memiliki kekeliruankekeliruan).” Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kasyif, menukil ucapan Abu Hatim tentangnya, “Shaduq.”
3. Abu Ja’far ar-Razi
Namanya ialah Isa bin Abi Isa Abdullah bin Mahan. Ibnu Hajar t menilainya, “Shaduq sayyi’ul hifzh (jujur tetapi hafalannya lemah), terkhusus kalau meriwayatkan dari Mughirah.” (Taqrib at-Tahdzib 8077)
Namanya ialah Isa bin Abi Isa Abdullah bin Mahan. Ibnu Hajar t menilainya, “Shaduq sayyi’ul hifzh (jujur tetapi hafalannya lemah), terkhusus kalau meriwayatkan dari Mughirah.” (Taqrib at-Tahdzib 8077)
Adz-Dzahabi rahimahullah menukilkan penilaian Abu Zur’ah rahimahullah
terhadapnya, “Yahimu katsiran (sering keliru).” Adapun penilaian
an-Nasa’i terhadapnya, “Laisa bil qawi (tidak kuat betul).” Sementara
itu, Abu Hatim rahimahullah menganggapnya tsiqah (tepercaya). (al-Kasyif 6563)
Alhasil, para ulama hadits dalam bidang
jarh wa ta’dil berbeda pendapat tentang keadaannya. Nukilan penilaian
para ulama terhadapnya bisa dilihat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib pada
biografi beliau. Bisa disimpulkan bahwa di antara mereka ada yang
menyebutnya sebagai tsiqah, shaduq, ada kelemahan, melakukan kekeliruan,
jelek hafalannya, tidak kuat, dan seputar itu. Maknanya, ada sisi
kebaikan pada kepribadian dan keagamaannya, serta punya kemampuan dalam
hal hafalan, namun bukan pada derajat orang-orang yang tsiqah atau
shaduq secara mutlak. Ini terbukti dengan adanya
kekeliruan-kekeliruannya ketika meriwayatkan. Kesimpulan rawi yang
seperti ini adalah apabila meriwayatkan sesuatu tanpa ada dukungan,
riwayatnya tertolak. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hibban Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Dia bersendiri dalam meriwayatkan dari orang orang yang terkenal
dengan sesuatu yang diingkari oleh para ulama. Tidak mengagumkan saya
untuk berhujah dengan haditsnya kecuali apabila sesuai dengan hadits
orang-orang yang tsiqah. Riwayatnya tidak boleh dianggap kecuali yang
tidak menyelisihi para perawi yang tsiqah.” (al-Majruhin 2/120)
Dengan demikian, kita tidak boleh
menyatakan haditsnya sahih kecuali apabila sesuai dengan riwayat perawi
lain yang tsiqah, atau didukung oleh para perawi lain yang tsiqah. Dan
dalam hal ini, keduanya tidak ada. Dukungan dari perawi lain, yang
diistilahkan dengan mutaba’ah dan syawahid, tidak terwujud sebagaimana
telah dikaji oleh Ibnu Hajar Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitabnya, at-Talkhishul Habir, dan asy- Syaikh al-Albani Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Silsilah adh- Dha’ifah.
Demikian pula kesesuaiannya dengan
hadits tsiqah yang lain juga tidak terwujud, justru yang terjadi adalah
bertentangan dengan hadits yang lain, di antaranya:
Pertama, hadits dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu sendiri.
Pertama, hadits dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu sendiri.
ََููุชَ ุฑَุณُُูู ุงِููู ุดَْูุฑًุง ุจَุนْุฏَ ุงูุฑُُّููุนِ َูุฏْุนُู ุนََูู ุฃَุญَْูุงุกٍ ู
َِู ุงْูุนَุฑَุจِ
“Selama satu bulan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut setelah ruku’, mendoakan kecelakaan terhadap beberapa kabilah Arab.” (Muttafaqun alaihi)
Dalam riwayat Muslim rahimahullah terdapat tambahan, “Lalu beliau tidak melakukannya lagi.”
ุฃََّู ุงَّููุจَِّู َูุงَู َُْูููุชُ ุฅّูุงَ ุฅุฐَุง ุฏَุนَู َِْูููู
ٍ ุฃَْู ุฏَุนَู ุนََูู َْููู
ٍ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi)
Kedua, hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู َูุง ََْูููุชُ ِูู ุตَ ุฉَุงِู ุงูุตُّุจْุญِ ุฅِّูุงَ ุฃَْู َูุฏْุนَُู َِْูููู
ٍ ุฃَْู ุนََูู َْููู
ٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan qunut pada shalat subuh kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kejelekan atas suatu kaum.” (HR. Ibnu Hibban)
Sanad kedua hadits tersebut dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar al- Asqalani rahimahullah dan penulis kitab at- Tanqih, Ibnu Abdil Hadi rahimahullah.
Dengan demikian, hadits yang kita bahas di atas memiliki sisi kelemahan
dan bertentangan dengan kandungan hadits yang sahih. Dalam ilmu
mushthalah hadits, hadits yang semacam ini disebut sebagai hadits
mungkar. Di antara ulama yang menghukumi lemahnya hadits ini adalah Ibnu
Hajar al- Asqalani rahimahullah. Beliau adalah salah seorang
ahli hadits dari kalangan mazhab Syafi’i. Beliau mengatakan dalam
kitabnya, at-Talkhishul Habir (hadits no. 370),
“Riwayat-riwayat hadits berbeda-beda dalam periwayatannya dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu dan telah goncang. Maka dari itu, hujah tidak tegak dengan hadits yang semacam ini.” Sebelumnya, Ibnul Jauzi rahimahullah juga melemahkannya dalam kitab at-Tahqiq dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Demikian pula asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar dalam kitab Silsilah al-Ahadits adh- Dha’ifah (no. 1238).
Setelah kita mengetahui kedudukan hadits
di atas, kita bahkan mendapati adanya pengingkaran dari sebagian
sahabat terhadap qunut subuh. Dalam kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar al-
Asqalani t menyampaikan hadits berikut.
ุนَْู
ุณَุนْุฏِ ุจِْู ุทَุงุฑٍِู َูุงَู: ُْููุชُ ِูุฃَุจِู: َูุง ุฃَุจَุชِ، ุฅََِّูู َูุฏْ
ุตََّْููุชَ ุฎََْูู ุฑَุณُِูู ุงِููู َูุฃَุจِู ุจَْูุฑٍ َูุนُู
َุฑَ َูุนُุซْู
َุงَู
َูุนٍَِّูู ََููุงُููุง َُْูููุชَُูู ِูู ุงَْููุฌْุฑِ؟ ََููุงَู: ุฃَْู ุจََُّูู،
ู
ُุญْุฏَุซٌ.
Dari Sa’d bin Thariq al-Asyja’i, ia
mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya
engkau telah shalat di belakang Rasulullah n, Abu Bakr, Umar, Utsman,
dan Ali g. Apakah mereka melakukan qunut pada shalat subuh?’ Ia
menjawab, “Wahai anakku, itu sesuatu yang baru.” (HR. al-Khamsah selain
Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani) Dalam kitab
Ithaful Kiram (hlm. 90), sebuah syarah ringkas terhadap Bulughul Maram,
disebutkan, “Maksudnya adalah bid’ah, sesuatu yang diada-adakan, dan
tidak ada di zaman mereka. Yang ada adalah qunut nazilah yang terkadang
dilakukan dan tidak terus-menerus.”
Tinjauan Makna Qunut
Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti yang lazim dilakukan sekarang oleh orang-orang. Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian, bahkan dalam riwayat itu disebutkan, “Beliau tetap melakukan qunut pada shalat fajar….”
Apabila ditinjau dari sisi makna, hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tentang qunut subuh di atas juga tidak secara tegas menunjukkan disyariatkannya pelaksanaan qunut subuh dengan doa seperti yang lazim dilakukan sekarang oleh orang-orang. Sebab, dalam riwayat tersebut tidak disebutkan demikian, bahkan dalam riwayat itu disebutkan, “Beliau tetap melakukan qunut pada shalat fajar….”
Di manakah keterangan bahwa maksud dari
qunut tersebut adalah doa seperti yang dilakukan oleh orangorang? Doa
yang biasa dibaca tersebut justru merupakan doa qunut witir yang
diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada cucunya, al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, bukan doa qunut subuh. Riwayat berikut ini menjelaskannya.
َูุงَู
ุงْูุญَุณَُู ุจُْู ุนٍَِّูู ุนََّูู
َِูู ุฑَุณُُูู ุงِููู :َِููู
َุงุชٍ ุฃََُُُّููููู
ِูู ุงِْููุชْุฑِ-َูุงَู ุงุจُْู ุฌََّูุงุณٍ: ِูู ُُูููุชِ ุงِْููุชْุฑِ-: ุงَُّูููู
َّ
ุงْูุฏِِูู ِููู
َْู
َูุฏَْูุชَ، َูุนَุงِِููู ِููู َْู ุนَุงَْููุชَ، َูุชَََِّูููู ِููู َْู ุชَََّْูููุชَ، َูุจَุงุฑِْู ِูู ِููู َุง ุฃَุนْุทَْูุชَ، َِِูููู ุดَุฑَّ ู َุง َูุถَْูุชَ، ุฅََِّูู ุชَْูุถِู َููุงَ ُْููุถَู ุนَََْููู، َูุฅَُِّูู ูุงَ َูุฐُِّู ู َْู َูุงَْููุชَ، َููุงَ َูุนِุฒُّ ู َْู ุนَุงุฏَْูุชَ، ุชَุจَุงุฑَْูุชَ ุฑَุจََّูุง َูุชَุนَุงَْููุชَ
َูุฏَْูุชَ، َูุนَุงِِููู ِููู َْู ุนَุงَْููุชَ، َูุชَََِّูููู ِููู َْู ุชَََّْูููุชَ، َูุจَุงุฑِْู ِูู ِููู َุง ุฃَุนْุทَْูุชَ، َِِูููู ุดَุฑَّ ู َุง َูุถَْูุชَ، ุฅََِّูู ุชَْูุถِู َููุงَ ُْููุถَู ุนَََْููู، َูุฅَُِّูู ูุงَ َูุฐُِّู ู َْู َูุงَْููุชَ، َููุงَ َูุนِุฒُّ ู َْู ุนَุงุฏَْูุชَ، ุชَุจَุงุฑَْูุชَ ุฑَุจََّูุง َูุชَุนَุงَْููุชَ
Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir,—Ibnu
Jawwas mengatakan, “Dalam qunut witir”—, ‘Allahummah-dina fiman
hadait…’.” dst. (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu
Majah, Ahmad, ad-Darimi, dan Ibnu Hibban, dinyatakan sahih oleh
asy-Syaikh al- Albani)
Demikian pula kata qunut dalam ungkapan
ayat ataupun hadits, terkadang memiliki makna lain selain bacaan doa,
yaitu taat, berdiri, khusyuk, diam, selalu dalam ibadah, dan tasbih.
Makna-makna tersebut bisa dikaji dalam ayat-ayat berikut ini, ar-Rum:
26, az-Zumar: 9, at-Tahrim: 12, al- Baqarah: 328, an-Nahl: 16, al-Ahzab:
31, dan Ali Imran: 43. Selain itu makna tersebut juga terdapat dalam
hadits,
ุฃَْูุถَُู ุงูุตَّูุงَุฉِ ุทُُูู ุงُُْููููุชِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang qunutnya panjang.” (Sahih, HR. Muslim)
Maksudnya, yang lama berdirinya. Inilah maknanya berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul Ma’ad, 1/267—268)
Maksudnya, yang lama berdirinya. Inilah maknanya berdasarkan kesepakatan ulama, sebagaimana kata an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. (lihat Nashbur Rayah, 2/132, dan Zadul Ma’ad, 1/267—268)
Dengan demikian, bisa jadi makna hadits di atas—apabila dikatakan sahih— ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tetap melakukan qunut, yakni berdiri lama, dalam shalat subuh sampai
beliau meninggal dunia. Sebab, memang shalat subuh yang beliau lakukan
selalu panjang/lama. Ayat yang beliau baca sekitar 60—100 ayat. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan (Zadul Ma’ad, 1/262),“Di antara hal yang sangat diketahui, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukan qunut setiap subuh dan berdoa dengan doa ini (Allahummah-dina
fiman hadait) serta para sahabat mengaminkannya, tentu penukilan umat
semuanya pada perbuatan tersebut sama dengan penukilan mereka dalam hal
mengeraskan bacaan dalam shalat.”
Beliau juga mengatakan, “Selalu
melakukan qunut pada shalat subuh bukan petunjuk beliau n. Termasuk hal
yang mustahil apabila setiap subuh, setelah i’tidal dari ruku
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,
‘Allahummah-dina… dst.’, dan mengeraskan suaranya lantas para sahabat
selalu mengaminkannya sampai beliau meninggal, kemudian hal tersebut
kurang diketahui oleh umat, lalu mayoritas umatnya tidak melakukannya,
demikian pula mayoritas para sahabatnya, bahkan semuanya. Justru
sebagian sahabat menyebutnya sebagai bid’ah, seperti yang dikatakan oleh
Sa’ad bin Thariq al-Asyja’i (dari ayahnya).” (Zadul Ma’ad, 1/262— 263,
bisa dilihat pembahasannya secara luas pada kitab tersebut)
Telah difatwakan pula oleh al-Lajnah ad-Daimah dan Ibnu Utsaimin bahwa hal itu termasuk bid’ah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
memberikan taufik-Nya kepada kita semua dan kaum muslimin untuk semakin
menyesuaikan cara ibadah kita dengan cara ibadah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahu a’lam.

Ayo Shalat Berjamaah!
ุงูุณูุงู ุนูููู ูุฑุญู ุฉ ุงููู ู ุจุฑูุงุชู
“Yang penting shalat!” begitu kata
sebagian orang kala diingatkan untuk shalat berjamaah. Banyak dari umat
Islam yang memang meremehkan perkara shalat berjamaah ini. Perilaku abai
terhadap shalat berjamaah ini lantas berimbas pada budaya keseharian.
Bertamu, belanja, resepsi pernikahan, acaraacara pertemuan atau
rapat-rapat instansi, acara olah raga, bahkan pengajian, demikian sering
menabrak waktu shalat. Tak urung acara-acara bid’ah. Banyak orang yang
sedang “yasin tahlil”, mauludan (peringatan Maulud Nabi),
rejeban(peringatan Isra’ Mi’raj), “shalawatan”, hadrah, atau pentas
nasyid, tak jua bergeming kala azan berkumandang, padahal mereka
senantiasa mengklaim, apa yang dilakukan adalah amalan Islam, amalan
kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, demi mengenang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, dll.
Kondisi nahas ini bahkan menimpa
sebagian kelompok dakwah. Ada yang nyaring meneriakkan ukhuwah
Islamiyah, di sanasini berteriak khilafah, yang berteriak pun menyandang
gelar aktivis dakwah, namun banyak dari mereka yang enggan bergegas
kala hendak ditegakkan shalat berjamaah.
Padahal, Islam mesti direalisasikan
secara kaffah. Tidak hanya memerhatikan satu sisi, lantas mengabaikan
yang lainnya. Memprioritaskan sesuatu yang kurang penting, namun hal
yang justru diprioritaskan oleh Rasulullah n terabaikan. Mengedepankan
angan-angan, namun tidak diiringi implementasi keagamaan. Alhasil,
muncul sikap-sikap meremehkan akidah, apalagi “hanya” soal shalat
berjamaah. Shalat berjamaah sejatinya adalah perekat ukhuwah yang paling
nyata kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kala kita disibukkan
dengan berbagai aktivitas sehari-hari, sehingga untuk mengenal atau
bertemu tetangga saja terasa sulit, shalat berjamaah lima waktu ataupun
shalat Jumat menjadi media efektif untuk saling mengenal dan menjalin
silaturahmi antarsesama. Diharapkan dengan seringnya bertemu, akan
tumbuh dalam diri umat Islam perasaan saling menyayangi dan akan saling
mengetahui keadaan sesamanya. Yang sakit dijenguk, yang meningga
ldiantarkan jenazahnya, dan yang kesusahan akan cepat dibantu.
Sayangnya, masjid sekarang hanya ramai
ketika shalat Jumat atau shalat tarawih. Saat salat lima waktu, masjid
hanya terisi dua tiga shaf. Inilah sifat manusia, kala mendatangi dunia,
mereka rela antri berjam-jam: mendapatkan tiket konser musik, tiket
sepakbola tim kesayangan, pesta diskon, dsb. Mereka rela begadang hanya
demi menonton sepak bola, main game, atau internetan, lantas
meninggalkan shalat subuh berjamaah karena ketiduran.
Padahal, shalat berjamaah senantiasa
dipelihara oleh Rasulullah n dan para sahabatnya. Dalam keadaan genting
sekalipun, seperti perang, shalat berjamaah tetap ditegakkan. Rasulullah
n, dalam hadits, bahkan tidak memberi keringanan kepada orang yang buta
untuk meninggalkan shalat berjamaah selama dirinya mendengar panggilan
azan. Sebagai salah satu syiar Islam, tentu shalat berjamaah harus
tampak di masyarakat, sehingga tidak sekadar dikerjakan di rumah atau di
kamar.
Jadi, shalat berjamaah tidak sekadar
merujuk pada aktivitas shalat yang dilakukan secara bersama sama, tetapi
ada penekanan: dilakukannya di masjid. Bukan pula soal beda pahala
dengan shalat sendirian, melainkan karena hikmah dan keutamaan. Shalat
berjamaah demikian sarat akan nilai sosial. Di dalam shalat berjamaah,
segala status sosial atau atribut keduniaan ditanggalkan. Yang kaya bisa
berdampingan dengan si miskin, yang profesor bisa sejajar dengan orang
yang hanya berpendidikan formal rendah, yang rakyat pun bisa berbaur
dengan pejabat. Ukhuwah yang terbentuk juga bukan karena satu partai,
melainkan benar-benar karena bersatunya hatihati kaum muslimin. Dengan
shalat berjamaah juga akan mendisiplinkan individu muslim untuk mengatur
atau memenej waktunya. Tuntutan jam kerja tidaklah bisa dijadikan dalih
bahwa kita telah menjadi manusia supersibuk untuk kemudian meninggalkan
shalat berjamaah.
Perlu diingat, masjid didirikan bukan
untuk bemegah-megahan atau tujuan wisata, melainkan untuk dimakmurkan.
Karena pentingnya shalat berjamaah, Allah Subhanahu wata’ala menjanjikan pahala yang besar, dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam
senantiasa memotivasi untuk mengerjakannya. Apalagi shalat adalah rukun
kedua dan tiangnya agama. Secara umum, kemalasan untuk shalat akan
mendorong kemalasan yang lainnya. Berani meninggalkan shalat berarti
lebih berani meninggalkan yang lainnya. Selanjutnya, terputuslah
hubungannya dengan Allah Subhanahu wata’ala, na’udzubillah.
Oleh karena itu, ayo shalat berjamaah!
Posting Komentar