Langsung ke isi

Manfaat Rasa Lapar
Ibnu Abi ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi’ rahimahullah
bahwa dia berkata, “Siapa yang sedikit makannya dia akan bisa memahami,
membuat orang lain paham, bersih, dan lembut. Sungguh, banyak makan
akan memberati seseorang dari hal-hal yang dia inginkan.”
Diriwayatkan dari Utsman bin Zaidah rahimahullah, dia berkata bahwa Sufyan ats- Tsauri rahimahullah mengirim surat kepadanya (di antara isinya), “Apabila engkau ingin tubuhmu sehat dan tidurmu sedikit, kurangilah makan.”
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham rahimahullah,
“Siapa yang menjaga perutnya, dia bisa menjaga agamanya. Siapa yang
bisa menguasai rasa laparnya, dia akan menguasai akhlak yang terpuji.
Sungguh, kemaksiatan akan jauh dari orang yang lapar, dekat dengan orang
yang kenyang. Rasa kenyang akan mematikan hati. Akan muncul pula
darinya rasa senang, sombong, dan tawa.”
Diriwayatkan dari Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah,
“Jika jiwa merasakan lapar dan dahaga, kalbu akan bersih dan lembut.
Jika jiwa merasakan kenyang dan puas minum, kalbu menjadi buta.”
Diriwayatkan pula dari asy-Syafi’i rahimahullah,
“… Rasa kenyang akan memberati badan, menghilangkan kewaspadaan,
mendatangkan rasa kantuk, dan melemahkan pemiliknya dari beribadah.”
(Jami’ al-Ulum wal Hikam, hlm. 576—577)

Syiah Berlumuran Darah
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Hingga kini, Syiah masih dipahami oleh
masyarakat awam sebagai “mazhab kelima” dalam Islam. Artinya, Syiah
dianggap sekadar beda fikih dengan keumuman masyarakat muslim lainnya.
Apalagi, Syiah acap menampilkan diri sebagai pembela ahlul bait, sebuah
wajah yang terlihat “mulia”. Muncullah anggapan bahwa perbedaan Syiah
dan Sunni (Ahlus Sunnah) adalah “sekadar” pembela dan bukan pembela Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
jika masih saja muncul pembelaan yang dilakukan sebagian masyarakat
terhadap Syiah. Di kalangan elite Islam, malah gencar ajakan untuk
menyatukan Sunni (baca: Islam) dengan Syiah. Jika orang-orang yang masih
punya semangat terhadap Islam mau lebih dalam menyelami agama bentukan
Yahudi ini, niscaya dia akan menentang keras Syiah. Membincangkan Syiah
bukanlah semata soal kekhalifahan Ali. Bukan pula sesederhana bahwa
Syiah melakukan kultus individu kepada Ali. Terlalu dangkal jika kita
beranggapan seperti itu.
Syiah demikian sarat dengan ajaran menyimpang. Agama ini mengafirkan hampir seluruh sahabat, menganggap istri-istri Rasulullah Subhanahu wata’ala
sebagai pelacur, menganggap imam-imam punya kedudukan tertinggi yang
tidak dicapai nabi/rasul dan malaikat yang terdekat, menganggap
imam-imam mereka sebagai pemilik dunia dan isinya, menganggap kenabian
Muhammad salah alamat karena Jibril berkhianat dan tidak memberikannya
kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, serta sederet kesesatan
lainnya. Itu semua baru dari satu sisi. Jika mau berkaca dari sisi
sejarah, Syiahlah yang menjadi biang keladi pertumpahan darah di dalam
Islam. Pembunuh Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah pemeluk agama Majusi yang merupakan akar agama Syiah.
Pembantaian Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu,
adalah hasil provokasi tokoh Yahudi pendiri Syiah, Abdullah bin Saba’.
Jatuhnya Daulah Abbasiah adalah hasil pengkhianatan perdana menterinya
yang Syiah, dan sebagainya. Demikian juga sekarang ini, pembantaian
muslimin di Yaman, Syria, bergolaknya suhu politik di Timur Tengah,
pembantaian minoritas Ahwaz di Iran yang Sunni, juga tak lepas dari
tangan Syiah yang berlumur darah.
Tidak cukupkah sejarah menyuguhkan
episode demi episode berdarah Syiah, untuk kemudian kita “melek”
terhadap Syiah? Orang-orang bisa tertipu dengan “heroisme” Syiah (baca:
Iran) dalam “melawan” hegemoni AS di panggung politik dunia, tapi kami,
Ahlus Sunnah tidak. Orang-orang bisa kagum dengan pasukan Hizbullah
(baca: Syiah) yang “melawan” tentara pendudukan Israel, tapi kami tidak.
Semua berita politik itu tak lebih hasil goreng-menggoreng penguasa
opini dunia, Yahudi. Bagaimana pun, Syiah satu rahim dengan Yahudi.
Yahudi akan sangat senang ada tangan (yang dianggap) Islam yang selalu
menjadi duri dalam daging dalam tubuh Islam.
Walau Syiah terpecah menjadi beberapa
sekte, namun mayoritasnya adalah sekte Imamiyah atau Rafidhah, yang
sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan
kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok ini terusmenerus menebarkan
berbagai macam kesesatannya—termasuk nikah mut’ah yang dijadikan daya
tarik. Lebih-lebih kini didukung Iran, Irak, dan Syria yang kendali
politiknya berada di tangan mereka—Syiah Rafidhah. Oleh karena itu,
jangan teriak-teriak toleransi jika tidak tahu Syiah sama sekali, jangan
teriak-teriak kebebasan beragama dan berkeyakinan jika kita tidak paham
agama “made in Yahudi” ini, jangan sok teriak persatuan dan ukhuwah
jika itu hanya demi simpati berbuah kursi. Toleransi ada tempatnya.
Namun, faktanya, tidak ada tempat untuk toleransi dengan Syiah.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Surat Pembaca Edisi 92
Koreksi
Bismillah.
Pada edisi 91 hlm. 11 tertulis tahun
kelahiran asy-Syaikh ‘Utsaimin 1247 H? Mohon dicek lagi, setahu saya
beliau lahir tahun 1347 H. 08538xxxxxxx
Jawaban redaksi
Anda benar, ada
salah cetak. Redaksi juga menerima beberapa SMS senada. Jazakumullah
khairan atas koreksi Anda. Ini sekaligus sebagai ralat.
Kovernya Bagus
Asy Syariah edisi 91 kovernya tampak menawan sekali, menambah minat baca. Jazakumullahu khairan
kepada para ustadz semua yang berkenan berbagi ilmu kepada kami yang
bodoh ini dan bersemangat untuk memperbaiki umat. Asy Syariah semoga
tetap istiqamah. Amin. Semoga Allah tetap menjaga kita semua di atas
istiqamah.
Pertanyaan Tidak Dijawab
Syarat/kriteria yang bagaimanakah
pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh Asy Syariah? Saya beberapa kali
bertanya via SMS atau email tentang masalah yang memang kami belum paham
ragu, berdasarkan rubrik yang disediakan Asy Syariah, tetapi tidak
pernah ada jawaban. Jazakumullah khairan.
Jawaban redaksi
Pada dasarnya,
tidak ada kriteria khusus tentang pertanyaan yang masuk. Terkait dengan
SMS dan email pertanyaan ke rubrik “Tanya Jawab Ringkas” atau “Problema
Anda” yang telah mencapai ribuan, kami memohon kesabaran para Pembaca.
Kami tidak bisa menjanjikan bahwa SMS tersebut akan dibalas pada hari
itu juga, dalam sekian hari, atau dalam sekian minggu. Kami harap para
Pembaca lebih mencermati pertanyaan dan jawaban yang dimuat di edisi
cetak, agar pertanyaan sejenis tidak sering terulang.
Demikian juga
dengan pertanyaan yang jawabannya sebenarnya telah termuat di artikel
edisi-edisi lama. Bagaimana pun kami terus berupaya maksimal untuk tidak
mengecewakan seluruh Pembaca. Namun, dengan banyaknya pertanyaan yang
masuk dan keterbatasan kami, kami memprioritaskan pertanyaan “ringan”
yang langsung bisa dijawab; bersifat mendesak; atau muatannya sering
ditanyakan karena hal itu sering dijumpai di masyarakat, walau
pertanyaan semacam ini juga ratusan kami terima.
Kami juga mohon
pengertian dari Pembaca, menjawab pertanyaan yang bersifat keagamaan
jelas butuh kehatihatian, butuh waktu untuk membuka referensi, sehingga
tidak bisa dilakukan secepat kilat dan serampangan. Oleh karena itu,
sekali lagi, kami mohon pengertian dari para Pembaca, dan kami memohon
maaf kepada para Pembaca yang hingga saat ini pertanyaannya belum kami
jawab.
Bundel Terbit Lagi
Kapan Asy Syariah menerbitkan lanjutan
bundelnya? Saya punya saran, bagaimana bila bundel majalah Asy Syariah
diterbitkan setahun sekali? Jazakumullahu khairan. Herry Setiawan –
Bogor
Jawaban redaksi
Insya Allah bundel Asy Syariah ketiga (edisi 07–12) akan segera terbit. Semoga Allah memudahkan kami memenuhi harapan Anda.

Mewaspadai Bahaya Gerakan Syiah
Permasalahan Syiah, sungguh tak bisa
dipisahkan dari agama. Bahkan, sangat bersentuhan dengan akidah yang
merupakan fondasi agama. Maka dari itu, cara menilainya pun harus dengan
timbangan agama. Hal-hal lain terkait dengan hukum, keamanan, dan
ketertiban masyarakat harus disesuaikan dengannya. Lantas, bagaimanakah
penilaian agama tentang Syiah?
Penilaian agama tentang Syiah sebenarnya
sudah final. Para ulama yang mulia, sejak dahulu sudah melakukan kajian
yang panjang dan cermat tentang Syiah. Hasilnya, Syiah adalah kelompok
sesat yang telah menyimpang dari kebenaran. Mereka berambisi untuk
menghancurkan Islam dengan cara menghujat al-Qur’an, menjatuhkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengafirkan para sahabat beliau yang mulia. Mereka beragama dengan perkataan dusta dan persaksian palsu (taqiyah). Simaklah keterangan para ulama berikut ini.
1. Al-Imam Amir asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syiah.” (as-Sunnah karya Abdullah bin al-Imam Ahmad 2/549)
2. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakr dan Umar (yakni Syiah, pen.) berkata, “Ia telah kafir kepada Allah Subhanahu wata’ala.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala karya al-Imam adz-Dzahabi 7/253)
3. Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menjatuhkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak mampu. Akhirnya, mereka mencela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orangorang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 580)
4. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah (Syiah) dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal karya al-Imam adz-Dzahabi 2/27—28)
5. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah ) itu orang Islam.” (as- Sunnah karya al-Khallal 1/493)
6. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah
berkata, “Bagiku sama saja shalat di belakang Jahmi (seorang penganut
akidah Jahmiyah) dan Rafidhi (Syiah) atau di belakang Yahudi dan
Kristen. Mereka tidak boleh diberi salam, tidak boleh pula dikunjungi
ketika sakit, dinikahkan, dijadikan saksi, dan dimakan sembelihannya.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)
Bisa jadi, Anda berkata, “Itu kan versi
ulama Sunni! Bagaimanakah keterangan ulama ahlul bait tentang mereka?”
Baiklah, kalau begitu simaklah keterangan berikut ini.
1. Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
berdoa, “Ya Allah, aku telah bosan dengan mereka (Syiah) dan mereka pun
telah bosan denganku. Maka dari itu, gantikanlah untukku orang-orang
yang lebih baik dari mereka, dan gantikan untuk mereka seorang yang
lebih jelek dariku…” (Nahjul Balaghah, hlm. 66—67, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 300)
2. Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma
berkata, “Demi Allah! Menurutku, Mu’awiyah lebih baik daripada
orang-orang yang mengaku sebagai Syiah-ku, mereka berupaya untuk
membunuhku dan mengambil hartaku.” (al-Ihtijaj, karya ath-Thabrisi hlm. 148, dinukil dari asy-Syiah Wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 300)
3. Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu
berdoa, “Ya Allah, jika Engkau memberi mereka (Syiah) kehidupan hingga
saat ini, porakporandakan mereka dan jadikan mereka berkeping-keping.
Janganlah Engkau jadikan para pemimpin (yang ada) ridha kepada mereka
(Syiah) selama-lamanya. Sebab, kami diminta untuk membantu mereka, namun
akhirnya mereka justru memusuhi kami dan menjadi sebab terbunuhnya
kami.” (al-Irsyad, karya al-Mufid hlm. 341, dinukil dari asy- Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 302)
4. Al-Imam Ali bin Husain Zainal Abidin rahimahullahberkata, “Mereka (Syiah) bukan dari kami, dan kami pun bukan dari mereka.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 111, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 303)
5. Al-Imam Muhammad al-Baqir rahimahullah
berkata, “Seandainya semua manusia ini Syiah, niscaya tiga perempatnya
adalah orang-orang yang ragu dengan kami, dan seperempatnya adalah
orang-orang dungu.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 179, dinukil dari asy-Syiah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 303)
6. Al-Imam Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala berlepas diri dari orang-orang yang membenci Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala’
karya al-Imam adz-Dzahabi 6/260) Bisa jadi, Anda heran terhadap
kesimpulan para ulama terkemuka di atas. Sejauh itukah kesimpulan
mereka? Apa yang melandasi berbagai kesimpulan itu? Mengapa Syiah bisa
seperti itu? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang menggelitik di hati
Anda. Jawaban ringkasnya, karena Syiah adalah sekte (baca: agama)
tersendiri yang sangat bertolak belakang dengan Islam. Mengapa demikian?
Untuk lebih jelasnya ikutilah pembahasan berikut ini.
Kedekatan Syiah dengan Yahudi
Syiah sangat dekat dengan Yahudi. Kedekatan itu setidaknya dalam dua hal yang sangat prinsip:
1. Pendirinya
2. Prinsip keyakinannya (akidahnya).
Pendiri agama Syiah adalah seorang
peranakan Yahudi kota Shan’a, Yaman. Dia bernama Abdullah bin Saba’ al-
Yahudi al-Himyari.2 Ibunya seorang wanita yang berkulit hitam, sehingga
dikenal pula dengan sebutan Ibnu Sauda’ (putra seorang wanita yang
berkulit hitam). Layaknya keumuman bangsa Yahudi, Abdullah bin Saba’
berkarakter buruk, licik, dan penuh makar terhadap Islam dan umat Islam.
Dia menyusup di tengah-tengah umat Islam untuk merusak tatanan agama
dan masyarakat. Awal kemunculannya di akhir masa Khalifah Utsman bin
Affan radhiyallahu ‘anhu. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk
(giat beribadah) dia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya akidah
sesat yang dia tebarkan di tengah umat, gerakan provokasi massa pun
dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu hingga terbunuhlah beliau.
Di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
dia menampakkan kecintaan dan loyalitas yang tinggi terhadap sang
Khalifah dan ahlul bait. Dia dan komplotannya menamakan diri sebagai syi’atu Ali (para pengikut Ali). Dengan kedok kecintaan dan loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan ahlul bait itulah agama Syiah terus menggurita di tengah umat. (Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 8/479, Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam Ibnu Abil ‘Iz, hlm. 490, dan Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 123)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menegaskan, “Para ulama menyebutkan bahwa latar belakang Rafdh (Syiah)
adalah dari seorang zindiq (Abdullah bin Saba’) yang menampakkan
keislaman dan menyembunyikan identitas Yahudinya. Dia berupaya merusak
Islam sebagaimana Paulus (seorang Yahudi, -pen.) yang menampakkan diri
sebagai seorang kristiani untuk merusak agama Kristen.” (Majmu’ Fatawa 28/483)
Adapun prinsip keyakinan (akidah) Syiah,
banyak kesamaannya dengan prinsip keyakinan (akidah) Yahudi. Hal ini
tentu tidak aneh, sebab pendirinya adalah seorang Yahudi. Di antara
prinsip keyakinan (akidah) mereka yang sama dengan Yahudi adalah sebagai
berikut.
1. Tentang washiy
Washiy adalah seseorang yang mendapat wasiat untuk melanjutkan tugas atau misi si pemberi wasiat. Dalam agama Yahudi, adanya washiy adalah satu keharusan. Demikian pula dalam agama Syiah. Kalau washiy dalam agama Yahudi adalah Yusya’ bin Nun yang didaulat sebagai pengganti Nabi Musa ‘Alaihissalam, maka washiy dalam agama Syiah adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai pengganti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi, dalam prinsip keyakinan (akidah) Syiah, para khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib rahimahullah, yaitu Abu Bakr, Umar, dan Utsman g adalah perampas kekuasaan dan mereka telah kafir. (Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/169—197)
2. Tentang kepemimpinan umat
Dalam agama Yahudi, kepemimpinan umat
hanya berada pada keturunan Nabi Dawud q. Dalam agama Syiah,
kepemimpinan umat hanya berada pada keturunan Husain bin Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu. Demikianlah kondisi 12 imam mereka yang diyakini ma’shum
(terlindungi dari dosa), termasuk Imam Mahdi yang akan muncul di akhir
zaman. Dalam pandangan Islam, Imam Mahdi adalah keturunan Hasan bin Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, bukan keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. (Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/201—224)
3. Tentang raj’ah
Raj’ah adalah hidup kembali
setelah mati sebelum hari kiamat. Dalam agama Yahudi, orang yang sudah
mati dapat hidup kembali. Demikian pula menurut agama Syiah. Mereka
meyakini bahwa orang-orang yang sudah mati dan tinggi keimanannya akan
dihidupkan kembali di masa Imam Mahdi (akhir zaman) untuk dimuliakan.
Demikian pula orang-orang yang sudah mati dan tinggi tingkat
kejahatannya akan dihidupkan kembali untuk dihinakan. (Untuk lebih
rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/275—312)
4. Tentang al-bada’
Al-bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Dalam agama Yahudi, al-bada’ terjadi pada Allah Subhanahu wata’ala.
Demikian pula menurut agama Syiah. Bahkan, mereka menjadikannya bagian
dari tauhid. Berbeda halnya dengan agama Islam, ilmu Allah Subhanahu wata’ala sangat luas, tak dibatasi oleh sesuatu pun. Ilmu Allah Subhanahu wata’ala
bersifat azali (tak bermula dan berakhir). Tidak ada sesuatu pun yang
terluput dari ilmu- Nya. (Untuk lebih rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al- Jumaili 1/317—352)
5. Tentang mengubah Kitab Suci
Mengubah Kitab Suci adalah sifat tercela
yang melekat pada ulama Yahudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah l
dalam banyak ayat-Nya. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka
mengubah al-Qur’an hingga berlipat jumlah ayatnya. Anehnya, mereka
mengklaim bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islamlah yang telah
mengalami pengubahan. Wallahul musta’an. (Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 1/355—438)
6. Tentang kecintaan dan kebencian
Kaum Yahudi berlebihan dalam hal
mencintai sebagian nabi mereka dan membenci sebagian yang lainnya.
Demikian pula sikap mereka terhadap para ulama yang membimbing mereka.
Kaum Syiah tak jauh berbeda. Mereka berlebihan mencintai para imam
mereka, bahkan memosisikan mereka di atas para malaikat dan para nabi.
Di sisi lain, mereka membenci para sahabat , bahkan mengafirkan mereka.
(Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/443—513)
7. Tentang pengagungan diri mereka
Kaum Yahudi meyakini bahwa mereka adalah manusia terbaik, bahkan mereka mengklaim sebagai anak-anak Allah Subhanahu wata’ala dan lebih mulia dari para malaikat. Demikian pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka mengklaim sebagai orang-orang pilihan Allah Subhanahu wata’ala
dan lebih mulia dari para malaikat. Kaum Yahudi mengklaim bahwa
merekalah manusia yang seutuhnya, sedangkan selain mereka hina dina.
Demikian pula halnya dengan kaum Syiah,
mereka mengklaim sebagai manusia yang seutuhnya, sedangkan selain mereka
hina dina. (Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/517—554)
8. Tentang pengafiran selain mereka
Kaum Yahudi memvonis selain mereka
sebagai orang kafir, halal darah dan hartanya. Demikian pula halnya kaum
Syiah, memvonis selain mereka sebagai orang kafir, halal darah dan
hartanya. (Lebih lanjut, lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al-Jumaili 2/559—597)
9. Tentang kedustaan yang ada pada mereka
Sifat dusta sudah menjadi karakter kaum
Yahudi, baik dalam kehidupan beragama maupun keseharian. Tak beda jauh
dengan kaum Syiah, mereka menjalankan kehidupan beragama dengan
kedustaan yang mereka sebut dengan taqiyah. Oleh karena itu, al-Imam
asy-Syafi’I rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang
melebihi Rafidhah (Syiah) dalam hal persaksian palsu.” (Untuk lebih
rincinya, silakan lihat Badzlul Majhud fi Itsbat Musyabahatir Rafidhah lil Yahudi karya Abdullah al Jumaili 2/631—669)
Patut dicatat di sini bahwa semua yang
telah disebutkan tentang kesamaan agama Syiah dengan agama Yahudi di
atas, tak didapati pada umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebab,
mereka meyakini kewajiban menyelisihi kaum Yahudi dalam kehidupan ini,
baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah. Anehnya,
seiring dengan banyaknya kesamaan antara agama Syiah dengan agama
Yahudi, sebanyak itu pula perbedaannya dengan agama Islam. Perbedaan itu
bukan dalam hal yang kecil, melainkan dalam hal mendasar yang merupakan
prinsip dalam kehidupan beragama. Cobalah perhatikan! Al-Qur’an mereka
berbeda dengan al-Qur’an umat Islam, azan dan iqamat mereka berbeda
dengan azan dan iqamat umat Islam, tata cara berwudhu mereka berbeda
dengan tata cara berwudhu umat Islam, kaifiyah shalat mereka berbeda
dengan kaifiyah shalat umat Islam, dan hari wukuf mereka di Arafah
(ketika berhaji) pun berbeda dengan hari wukuf umat Islam. (Lihat VCD Bahaya Kesesatan Syiah dan VCD Ada Syiah di Indonesia)
Syiah Merobohkan Tiga Pilar Utama Umat Islam
Ada tiga pilar utama dalam agama Islam.
Tanpa ketiganya agama seseorang menjadi rapuh dan sekejap akan runtuh.
Tiga pilar utama itu adalah al-Qur’an, Sunnah Rasulullah n, dan
pemahaman para sahabat (salaful ummah). Bagaimanakah upaya
Syiah merobohkan tiga pilar itu? Al-Qur’an yang merupakan Kitab Suci
umat Islam tak lagi dianggap suci oleh mereka, bahkan tidak sah dan
kurang dari yang aslinya. Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di
sisi kaum muslimin) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini
(2/634) dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata,
“Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu (ada) 17.000 ayat.”
Disebutkan juga dari Abu Abdillah ( 1 / 2 3 9 — 2 4 0 ) , dia berkata , “Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fatimah ‘alaihas salam,
mereka tidak tahu apa mushaf Fatimah itu.” Abu Bashir bertanya, “Apa
mushaf Fatimah itu?” Dia (Abu Abdillah) berkata, “Mushaf yang isinya
tiga kali lipat dari yang ada di mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada
padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian.” (Dinukil dari kitab asy-Syiah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi zhahir, hlm. 31—32)
Bahkan, salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath- Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab mengumpulkan berbagai riwayat dari para imam mereka yang diyakini ma’shum
(terjaga dari dosa), bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam itu
telah terjadi pengubahan dan penyimpangan. Adapun terhadap Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mereka merobohkannya dengan berbagai cara. Di antaranya:
1. Mengklaim bahwa para istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pelacur, agar timbul kesan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang tidak baik, sehingga sunnahnya tak bisa diamalkan. Disebutkan dalam kitab mereka, Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal, karya ath-Thusi (hlm. 57—60), dinukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma
terhadap Ummul Mukminin Aisyah, “Kamu tidak lain adalah seorang pelacur
dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, hlm. 11)
2. Mengafirkan para sahabat kecuali
beberapa orang saja dari mereka. Tentu saja, dengan dikafirkannya para
sahabat berarti gugur pula semua Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan melalui mereka. Disebutkan dalam kitab mereka Rijalul Kisysyi (hlm. 12—13) dari Abu Ja’far Muhammad al-Baqir, dia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam keadaan murtad kecuali tiga orang.” Aku (perawi) berkata, “Siapa
tiga orang itu?” Dia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu
Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi….” kemudian dia menyebutkan surat
Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari asy- Syiah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil Islam, hlm. 89)
Adapun sahabat Abu Bakr ash- Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mereka cela dan laknat. Bahkan, mereka berlepas diri dari keduanya
adalah bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam
kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ
قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu
tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala
Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua
putri mereka…. (yang dimaksud adalah Ummul Mukminin Aisyah dan
Hafshah).” (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al- ‘Aridhah karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib, hlm. 18)
Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menjatuhkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mmampu. Akhirnya, mereka
mencela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa beliau (Nabi
Muhammad) adalah seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang
saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 580)
Dengan robohnya pilar kepercayaan kepada
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan roboh pula pilar
kepercayaan kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah bahwa ia zindiq (seorang
yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran). Sebab, Rasul
bagi kita adalah haq dan al-Qur’an adalah haq. Sesungguhnya yang
menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk
meniadakan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka (Syiah) lebih pantas untuk
dicela dan mereka adalah orang-orang zindiq.” (al-Kifayah karya al-Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)
Lebih dari itu, dengan robohnya pilar kepercayaan kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, siapa pun akan kesulitan untuk memahami agama Islam dengan baik dan benar. Sebab, melalui merekalah ilmu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
diwariskan dan melalui mereka pula pemahaman yang benar tentang agama
ini didapatkan. Tanpa itu, kesesatanlah kesudahannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barang siapa menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang
beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al- Andalusi rahimahullah berkata, “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah Subhanahu wata’ala (di atas) bahwa yang dimaksud orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi pertama dari umat ini.” (al-Marqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hlm. 36—37)
Pengkhianatan Syiah Terhadap Umat Islam
Syiah tercatat kerap melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam. Mereka telah berkhianat terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Khalifah Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, dan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. (Lihat ungkapan kekecewaan mereka pada pembahasan sebelumnya)
Sejarah pun mencatat bahwa runtuhnya
Daulah Abbasiyah (tahun 656 H) yang mengendalikan kepemimpinan umat
Islam dalam skala internasional, adalah karena pengkhianatan sang
Perdana Menteri, Muhammad Ibnul Alqami, yang beragama Syiah. Akibatnya,
Khalifah Abdullah bin Manshur yang bergelar al-Musta’shim Billah dan
para pejabat pentingnya tewas mengenaskan dibantai oleh pasukan Tartar
yang dipimpin oleh Hulaghu Khan.
Kota Baghdad (ibu kota Daulah Abbasiyah)
porak-poranda. Kebakaran terjadi di mana-mana. Umat Islam yang tinggal
di Kota Baghdad dibantai secara massal; tua, muda, anak-anak, laki-laki,
perempuan, orang awam, dan ulama. Selama 40 hari pembantaian terus
menerus terjadi. Kota Baghdad bersimbah darah. Tumpukan mayat umat Islam
berserakan di mana-mana. Bau mayat yang sudah membusuk semakin menambah
duka nestapa. Nyaris sungai Tigris menjadi merah karena simbahan darah
umat Islam. Sementara itu, sungai Dajlah nyaris menjadi hitam karena
lunturan tinta kitab-kitab berharga umat Islam yang mereka buang ke
dalamnya. Wallahul musta’an. (Untuk lebih rincinya, silakan membaca al- Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir, 13/200—211, Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam karya al-Imam adz-Dzahabi 48/33—40, dan Tarikhul Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi, hlm. 325—335)
Demikianlah sekelumit tentang agama
Syiah, kesesatan, kejahatan, dan bahayanya terhadap umat Islam. Semoga
menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari
kebenaran. Amin….
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Syirik Kaum Syiah
Mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah adalah inti ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Setiap nabi yang diutus Allah Subhanahu wata’ala mendapat perintah dari Allah Subhanahu wata’ala agar menyerukan dakwah tauhid kepada umatnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja)
dan jauhilah thaghut itu.” (an- Nahl: 36)
Firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul
pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada
Rabb (yang berhak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.” (al-Anbiya: 25)
Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana firman-Nya,
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ
إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa
sesungguhnya Rabbmu itu adalah Rabb Yang Esa.’ Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)
Tauhid adalah fondasi keselamatan hidup.
Tidak akan selamat seorang yang menyekutukan Allah k dalam beribadah
kepada-Nya. Seorang hamba yang mati dalam keadaan tidak bertobat dari
perbuatan syirik yang dilakukannya, ia tidak akan mendapat ampunan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ
لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
(an-Nisa’: 48)
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ
لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang
selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 116)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga,
dan tempatnya ialah neraka.” (al-Maidah: 72)
Namun, berbeda halnya dengan agama Syiah. Ayat-ayat yang menjelaskan perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala
dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada-Nya, mereka palingkan
maknanya dan membawanya kepada makna ke-imamah-an. Menurut mereka,
meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai penerus kepemimpinan setelah Rasulullah n adalah prinsip utama yang harus diyakini. Sebagai contoh, firman Alah Subhanahu wata’ala,
وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu
mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)
Disebutkan dalam kitab paling sahih
menurut kalangan Syiah, al-Kafi, dan kitab mereka lainnya, menjelaskan
tafsir dari ayat ini sebagai berikut. “Jika engkau menyekutukan
selainnya (selain Ali, -pen.) dalam kepemimpinan”, pada lafadz yang
lain, ”Jika engkau memerintahkan kepemimpinan seseorang bersama
kepemimpinan Ali setelahmu, niscaya terhapus amalanmu.” (Ushul al-Kafi,
427/1, Tafsir al-Qummi, 251/2)
Penulis kitab al-Burhan fi Tafsir
al-Qur’an juga menyebutkan empat riwayat yang menafsirkan ayat tersebut
dengan yang semakna dengan tafsir ini. (al-Burhan, 4/83; Ushul Madzhab
Syiah, 427)
Contoh lain, firman Allah Subhanahu wata’ala,
أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (an-Naml: 61)
Ayat ini sangat jelas menunjukkan pengingkaran Allah Subhanahu wata’ala
terhadap kaum musyrikin yang berbuat syirik dalam beribadah kepada-Nya.
Namun, disebutkan dalam tafsir ayat ini, dari Abu Abdillah berkata,
“Yang dimaksud adalah Imam hidayah dan imam sesat pada satu masa.”
(Biharul Anwar, 23/391; Ushul Madzhab Syiah, 431)
Masih banyak lagi model penafsiran kaum
Syiah yang seperti ini. Jadi, adalah hal yang wajar jika agama Syiah
tidak bisa membedakan antara tauhid dan syirik, antara amalan yang saleh
dan amalan yang batil karena metode penafsiran kaum Syiah yang sangat
menyimpang dari kebenaran.
Para Imam sebagai Perantara Seorang Hamba dengan Rabbnya
Dalam agama Islam, ibadah dilakukan langsung kepada Allah Subhanahu wata’ala tanpa melalui perantara. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
(al-Baqarah: 186)
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ
عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah- Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Barang siapa menjadikan sesuatu sebagai
perantara antara dia dan Allah k, dia memohon dan meminta kepada mereka,
sungguh dia telah kafir berdasarkan kesepakatan para ulama. Hal itu
seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana yang disebut
dalam firman-Nya,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekatdekatnya.” (az-Zumar: 3)
Berbeda halnya dengan agama Syiah, berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala
melalui perantara para imam adalah sebuah kewajiban. Mereka berkata
tentang imam-imam mereka, “Barang siapa berdoa kepada Allah melalui kami
maka dia beruntung, dan siapa yang berdoa tanpa melalui kami maka dia
binasa.” (Biharul Anwar, 23/103, Wasail asy-Syiah, 4/1142)
Bahkan , mereka berkata , “Sesungguhnya
doa para nabi itu terkabulkan dengan cara bertawassul dan meminta
syafaat mereka (para imam,m -pen.).” (Ini adalah judul salah satu bab
dalam kitab Biharul Anwar, 26/319)
Mereka juga menyebutkan bahwa tatkala
Allah k menempatkan Nabi Adam ‘Alaihissalam di dalam surga, ditampakkan
di hadapannya permisalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali,
Hasan, dan Husain, maka Adam melihat mereka dengan pandangan hasad. Lalu
diperlihatkan kepadanya wilayah (kepemimpinan para imam Syiah, -pen.)
dan Adam ‘Alaihissalam mengingkarinya sehingga ia pun dilempar dari
surga dengan dedaunannya. Tatkala ia telah bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dari penyakit hasadnya dan mengakui wilayah para imam, serta berdoa dengan bertawassul dengan kedudukan lima hamba: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, maka Allah Subhanahu wata’ala pun mengampuninya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya,
فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat
dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 37)
Beristighatsah Kepada Para Imam
Agama Syiah menjelaskan tentang
keutamaan dan tugas setiap imam mereka, “Adapun Ali bin al-Husain, itu
untuk keselamatan dari para penguasa dan bisikan setan. Adapun Muhammad
bin Ali dan Ja’far bin Muhammad, itu untuk akhirat dan apa yang dicari
berupa ketaatan kepada Allah k. Adapun Musa bin Ja’far, mintalah darinya
kesehatan dari Allah Subhanahu wata’ala. Adapun Ali bin
Musa mintalah darinya keselamatan, baik di darat maupun di lautan.
Adapun Muhammad bin Ali, mintalah rezeki dari Allah Subhanahu wata’ala
melalui dia. Adapun Ali bin Muhammad, untuk amalan-amalan sunnah,
berbuat baik kepada sesama saudara dan apa yang dituntut berupa ketaatan
kepada Allah Subhanahu wata’ala. Adapun Hasan bin Ali,
itu untuk akhirat. Adapun pemilik zaman (Imam Mahdi, -pen.), jika pedang
telah sampai ke sembelihannya maka mintalah tolong kepadanya, ia akan
segera menolongmu.” (Biharul Anwar, 33/94)
Padahal Islam mengajarkan kita untuk
meminta pertolongan untuk meraih sebuah manfaat atau menolak kemudaratan
hanyalah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai hari pembalasan.” (al-Fatihah: 4)
Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. at-Tirmidzi no. 2516, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Ziarah Kubur Para Imam dan Keutamaannya Menurut Syiah Benar apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Orang-orang yang tepercaya telah memberitakan kepadaku, di antara kaum
Syiah ada yang berpandangan bahwa berhaji ke kuburan yang dimuliakan
itu lebih utama daripada berhaji ke Baitul ‘Atiq (Ka’bah). Mereka
memandang bahwa menyekutukan Allah k lebih mulia daripada beribadah
hanya kepada Allah k semata. Ini adalah perkara terbesar dalam beriman
kepada thagut.” (Minhajus Sunnah, 2/124)
Benar apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Hal ini dibuktikan oleh riwayat-riwayat yang disebutkan dalam
kitab-kitab kaum Syiah yang berlebihlebihan dalam hal memuliakan
kuburan. Disebutkan dalam kitab al-Kafi bahwa berziarah ke kuburan
Husain menyamai haji dua puluh kali dan lebih utama dari dua puluh kali
haji dan umrah.” (Furu’ al-Kafi, 1/324)
Tatkala salah seorang Syiah berkata
kepada imamnya, “Sesungguhnya aku telah berhaji sembilan belas kali dan
umrah sembilan belas kali.” Imamnya menjawab seakan-akan mengejek,
“Berhajilah sekali lagi dan umrahlah sekali lagi, dan itu semua akan
dicatat bagimu sama dengan berziarah ke kuburan al- Husain.” (Wasail
asy-Syiah, 10/348, Biharul Anwar, 38/101, Ushul Madzhab asy-Syiah, 454)
Bahkan, mereka juga meriwayatkan,
“Barang siapa mendatangi kuburan Husain dalam keadaan dia mengetahui
haknya, maka keutamaannya seperti orang yang berhaji bersama Rasulullah n
seratus kali.” (Tsawabul A’mal, 52, Wasail asy-Syiah, 10/350. Ushul
Madzhabi Syiah, 455)
Lebih dari itu, mereka menganggap bahwa
berziarah ke kuburan Husain pada hari Arafah lebih utama daripada amalan
haji berlipat-lipat kali. Mereka meriwayatkan, “Barang siapa
mendatanginya (kuburan Husain, -pen.) pada hari Arafah dalam keadaan dia
mengetahui haknya, maka Allah Subhanahu wata’ala mencatat
baginya seribu kali haji, seribu kali umrah mabrur yang diterima, dan
seribu kali berperang bersama nabi yang diutus atau imam yang adil.”
(Furu’ al-Kafi, al-Kulaini, 1/324, Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu
Babawaih al- Qummi, 1/182)
Mereka juga meriwayatkan dari Ja’far
ash-Shadiq bahwa ia berkata, “Seandainya aku beritakan kepada kalian
keutamaan ziarah ke kuburannya dan keutamaan kuburannya, niscaya kalian
meninggalkan amalan haji. Tidak seorang pun dari kalian yang akan
menunaikan haji. Celaka engkau, tidakkah engkau tahu bahwa Allah k telah
menjadikan tanah Karbala sebagai tanah haram yang aman dan penuh berkah
sebelum Makkah dijadikan sebagai tanah haram?!” (Biharul Anwar, 33/101)
Shalat di Kuburan
Bahkan, tingkat kesyirikan yang mereka
lakukan hingga menyebutkan keutamaan shalat di sisi kuburan imam mereka.
Di antara riwayat yang mereka sebutkan, “Shalat di tanah haram kuburan
Husain bagimu, pada setiap rakaat yang kamu lakukan mendapatkan pahala
di sisi-Nya seperti pahala seribu kali haji, seribu kali umrah,
membebaskan seribu budak, dan seakan-akan dia berwakaf di jalan Allah Subhanahu wata’ala sejuta kali bersama nabi yang diutus.” (al-Wafi, 8/234; Ushul Madzhab Syiah, hlm. 469)
Bagaimana mungkin Islam membenarkan hal ini padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya shalat di pekuburan dan shalat menghadapnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Jangan kalian shalat menghadap kuburan dan jangan kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim no. 972, dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Permukaan bumi seluruhnya adalah tempat
shalat kecuali pekuburan dan kamar mandi.” (HR. at-Tirmidzi no. 317,
Ibnu Majah no. 745, dan yang lainnya, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu) Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Syiah dan Al Quran Al Karim
Telah disepakati oleh kaum muslimin bahwa Allah Subhanahu wata’ala
senantiasa menjaga al-Qur’an al-Karim dari berbagai upaya yang hendak
mengubah dan menyusupkan ke dalam al-Qur’an sesuatu yang tidak termasuk
dari al- Qur’an al-Karim tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala menantang seluruh manusia untuk mendatangkan satu surat seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an,
وَإِن
كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن
كُنتُمْ صَادِقِينَ () فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا
النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ
لِلْكَافِرِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
datangkanlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika
kamu tidak dapat mendatangkan(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat mendatangkan(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (al-Baqarah: 23—24)
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ وَادْعُوا
مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapasiapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Yunus: 38)
Maka dari itu, siapa yang berusaha
meragu-ragukan keotentikan al-Qur’an al-Karim, sungguh ia telah keluar
jauh dari Islam meskipun masih mengaku sebagai seorang muslim. Sebab,
tidak mungkin ada seorang yang masih menjadi muslim sementara dia ragu
terhadap kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah Subhanahu wata’ala
yang terpelihara dan terjaga. Namun, pemeluk agama Syiah berusaha
memadamkan cahaya Islam dengan lisan dan tulisan mereka yang
meragu-ragukan keotentikan al-Qur’an al-Karim. Mereka melemparkan
tuduhan dusta dan penuh fitnah terhadap pedoman utama Islam, al-Qur’an
al-Karim. Mereka anggap telah terjadi perubahan dan pengurangan di
dalamnya. Mereka mengatakan pula bahwa al-Qur’an yang sempurna berada di
tangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, lalu
diwariskan kepada para imam setelahnya, yang menurut mereka sekarang ini
ada di tangan Imam Mahdi yang selalu mereka tunggu. Hal ini sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh pembesar-pembesar Syiah Rafidhah dalam
kitab-kitab mereka. Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah:
• Dalam kitab al-Kafi karya Muhammad Ya’qub al-Kulaini—yang bagi kaum Syiah kedudukannya seperti kitab Shahih al-Bukhari bagi kaum muslimin—, al-Kulaini meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Salim, dari Abu Abdillah Ja’far as-Shadiq, ia berkata,
أَنَّ
الْقُرْآنَ الَّذِي جَاءَ بِهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَبْعَةَ عَشَرَ أَلْفِ
آَيَةٍ
“Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril ‘Alaihisslam kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam berjumlah 17.000 ayat.” (Ushul al-Kafi, karya al-Kulaini, Kitab Fadhlul Qur’an, bab “an-Nawadir”, 2/134)
Para ulama Syiah menyatakan riwayat mereka ini sahih. Al-Majlisi berkata, “Berita ini sahih.” (Mir’atul Uqul Syarah al-Ushul wal Furu’, 2/536) Pengarang kitab asy-Syafi Syarah Ushul al-Kafi berkata,
“Berita ini dibenarkan seperti sahih.” (7/227) Sementara itu, kita
mengetahui bahwa jumlah ayat al-Qur’an hanya enam ribu lebih. Artinya,
hampir dua pertiga bagian yang hilang dari al-Qur’an, menurut ajaran
kaum Syiah. Keyakinan adanya perubahan al- Qur’an tersebut dikuatkan
lagi oleh riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi (1/457),
dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq, -red.) ia
berkata, “Sesungguhnya kami memiliki mushaf Fatimah. Tahukah mereka, apa
itu mushaf Fatimah?” Aku bertanya, “Apa itu mushaf Fatimah?” Ia
menjawab, “Mushaf Fatimah dibandingkan Qur’an kalian ini lebih banyak
tiga kali lipat. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun seperti yang
terdapat dalam Qur’an kalian.” Aku menjawab, “Demi Allah, ini adalah
ilmu.”
• Muhammad Shalih al-Mazindarani
berkata, “Sesungguhnya ayat-ayat al- Qur’an yang berjumlah enam ribu
lima ratus, dan selebihnya telah hilang karena terjadinya tahrif (perubahan).” (Syarah Jami’ alal Kafi, 11/76)
• Al-Majlisi berkata setelah menyebutkan
riwayat diatas , “Sesungguhnya berita ini, dan masih banyak lagi berita
yang sahih, dengan jelas menyebutkan terjadi kekurangan dan perubahan
pada al-Qur’an. Menurut saya, berita-berita dalam bab ini mutawatir
secara makna.” (Mir’atul ‘Uqul, 12/525)
• Syaikh al-Mufid berkata, “Sesungguhnya
terdapat berita-berita yang masyhur, diriwayatkan dari para imamul huda
dari keluarga Muhammad n, tentang adanya perubahan al-Qur’an dan apa
yang dilakukan oleh beberapa orang zalim yang menghapus dan mengurangi
al-Qur’an.” (Awa’il al-Maqalat, hlm. 91)
• Abul Hasan al-Amili berkata,
“Ketahuilah, kebenaran yang tidak dimungkiri berdasarkan berita
mutawatir yang akan disebutkan dan berita lainnya, bahwa telah terjadi
perubahan pada al- Qur’an yang ada di tangan-tangan kita sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang yang mengumpulkannya setelah wafat beliau, menghilangkan banyak kata dan ayatnya.” (Muqaddimah kedua dalam tafsir Mir’atul Anwar wa Misykatul Asrar hlm. 36)
• Ni’matullah al-Jazairi berkata,
“Sesungguhnya menerima pernyataan mutawatir-nya wahyu ilahi dan
menetapkan bahwa seluruhnya telah turun dibawa oleh Ruh al-Amin (Jibril,
-pen.) akan menyebabkan ditolaknya berbagai riwayat yang masyhur,
bahkan mutawatir, yang menunjukkan dengan jelas tentang terjadinya
perubahan dalam al-Qur’an, baik ucapan, kata-kata, maupun i’rabnya. Sementara itu, para sahabat kami telah sepakat akan keabsahan dan kebenaran riwayat-riwayat tersebut.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, 2/357)
• Mulla Muhsin al-Kasyi Muhammad bin Murtadha mengatakan dalam mukadimah tafsirnya, ash-Shafi (1/32),
setelah menyebutkan beberapa riwayat yang menerangkan adanya perubahan
dan kekurangan al-Qur’an, “Kesimpulan dari seluruh berita ini dan yang
lainnya dari berbagai riwayat yang berasal dari jalur keluarga Nabi alaihimus salam, al- Qur’an tidak lagi sempurna sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya justru ada yang menyelisihi apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala,
ada pula yang telah diubah, dan banyak yang dihapus. Di antara yang
dihapus ialah penyebutan nama Ali dalam banyak tempat, lafadz ‘keluarga
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam’ tidak hanya sekali, dan
nama-nama orang munafik di beberapa tempat, dan lainnya. Selain itu,
susunannya tidak sesuai dengan susunan yang diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Ini pula pendapat Ali bin Ibrahim al-Qummi.”
• Menurut kaum Syiah, tidak ada yang dapat mengumpulkan seluruh al- Qur’an selain Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan dalam kitab al-Kafi
karya al-Kulaini (1/441), dari Jabir berkata, “Aku mendengar Abu Ja’far
berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang mengaku bahwa dia telah
mengumpulkan seluruh al-Qur’an sebagaimana turunnya kecuali pendusta
besar. Tidak ada yang bisa mengumpulkan dan menjaganya sebagaimana yang
diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, selain Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya’.”
• Bahkan, pada masa ini, salah seorang
tokoh Rafidhah yang bernama Husain ath-Thabarsi menulis sebuah risalah
yang ia beri judul Fashlul Khithab fi Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Seluruhnya
membahas tentang bukti-bukti—menurut versi kaum Syiah—yang menunjukkan
perubahan al-Qur’an. Berikut ini beberapa contoh yang disebutkan dalam
kitab-kitab kaum Syiah yang menuduh adanya perubahan dalam
al-Qur’an—yang justru itu adalah ayat-ayat palsu Syiah.
• Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitabnya, al-Kafi (2/372), dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ketika menyebut firman Allah Subhanahu wata’ala (al-Ahzab: 71),
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فِي وِ يَالَةِ عَلِيٍّ وَوِ يَالَةِ الْأَئِمَّةِ مِنْ بَعْدِهِ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hal kekuasaan Ali dan kekuasaan para imam setelahnya, sungguh dia telah menang dengan kemenangan yang besar.”
Ia berkata, “Demikianlah ayat ini diturunkan.”
• Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/379), dari Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdillah q ketika menyebut firman Allah Subhanahu wata’ala (Thaha: 115),
وَلَقَدْ
عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ كَلِمَاتٍ فِي مُحَمَّدٍ وَعَلِيٍّ
وَفَاطِمَةَ وَالْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَالْأَئِمَّةِ مِنْ ذُرِّيَّتِهِم
فَنَسِيَ
“Sungguh Kami telah menetapkan janji
kepada Adam dari sebelumnya beberapa kalimat untuk Muhammad, Ali,
Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam dari keturunannya, lalu dia lupa.”
Abu Abdillah berkata, “Demi Allah, demikianlah ayat ini turun kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
• Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/383), dari Muhammad bin Sinan, dari ar-Ridha dalam menyebut firman Allah Subhanahu wata’ala (asy-Syura: 13),
كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ بِوِ يَالَةِ عَلِيٍّ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ يَا مُحَمَّدُ مِنْ وِ يَالَةِ عَلِيٍّ
“Alangkah beratnya bagi kaum
musyrikin terhadap kepemimpinan Ali, apa yang engkau ajak mereka, wahai
Muhammad, yaitu kepemimpinan Ali.”
Ia berkata, “Demikianlah yang terpelihara dalam al-Kitab.” Sungguh, masih banyak lagi tuduhan yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah bahwa al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin sekarang ini telah berubah. Memang benar, di antara ulama Syiah ada yang mengingkari terjadinya perubahan dan pengurangan di dalam al-Qur’an al-Karim. Di antara yang mengingkari adanya perubahan al- Qur’an adalah salah satu tokoh Syiah yang hidup di abad ke-4, seorang ahli hadits Syiah yang digelari ash-Shaduq. Ia bernama Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummi. Kaum Syiah menyebutnya sebagai “pemimpin para ahli hadits” (wafat 381 H). Ia berkata, “Keyakinan kami terhadap al-Qur’an bahwa apa yang ada di antara dua sisinya, itulah yang ada di tangan manusia dan tidak lebih dari itu. Barang siapa menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan al-Qur’an lebih dari yang ada, dia telah berdusta.” (al- I’tiqadat li ash-Shaduq, dari Kitab Muhsin al-Amin, hlm. 161. Lihat Mas’alatu at-Taqrib Baina Ahlis Sunnah wa asy- Syiah, hlm. 183)
Ucapan ash-Shaduq ini telah menggugurkan
tuduhan sekian banyak tokoh Syiah yang menetapkan adanya perubahan di
dalam al-Qur’an, seperti al-Kulaini, Ibrahim al-Qummi, al- ‘Ayyasyi, dan
lainnya. Ucapan ini memang mengandung salah satu dari tiga kemungkinan:
1 . Riwayat – riwayat yang menyebutkan
adanya perubahan al- Qur’an adalah riwayat-riwayat palsu yang disusupkan
ke dalam kitab-kitab Syiah tersebut oleh kaum zindiq (munafik) untuk
merusak keyakinan mereka. Jika demikian, ini berarti bahwa kitab-kitab
kaum Syiah tidak bisa dijadikan sebagai rujukan karena telah disusupi
banyak riwayat palsu sehingga tidak lagi terpelihara. Anehnya, mereka
justru menganggap kitab-kitab tersebut sebagai kitab-kitab yang sahih.
Kedudukannya seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari
kitabkitab hadits kaum muslimin. Anehnya lagi, mayoritas kitab Syiah
yang menjadi rujukan mereka menyebutkan berita tentang adanya perubahan
pada al- Qur’an.
2. Ucapan ash-Shaduq ini hanyalah taqiyah untuk
menyembunyikan keyakinannya di hadapan kaum muslimin. Inilah yang
dijelaskan oleh Syaikh Rafidhah, Ni’matullah al-Jazairi. Ia berkata,
“Ya, pendapat ini diselisihi oleh al-Murtadha, ash-Shaduq, dan Syaikh
Thabarsi. Mereka menghukumi bahwa apa yang ada di antara dua sisi
mushaf, itulah al-Qur’an yang diturunkan, tidak ada yang lainnya, dan
tidak terjadi perubahan dan pengurangan…. Yang tampak, ini mereka
ucapkan dengan tujuan mendapat kemaslahatan yang banyak. Di antaranya,
menutup pintu celaan terhadapnya, bahwa jika hal ini bisa terjadi pada
al-Qur’an, lantas bagaimana mungkin kaidah dan hukum al-Qur’an diamalkan
padahal telah terjadi perubahan di dalamnya…. Sebab, jika tidak (dibawa
kepada pemahaman seperti ini), para tokoh ini telah meriwayatkan
sedemikian banyak riwayat dalam karya mereka tentang terjadinya
perubahan di dalam al-Qur’an dan bahwa ayat ini diturunkan demikian lalu
diubah.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, 2/357—358)
3. Ash-Shaduq telah nyeleneh karena berpendapat menyelisihi ijma’ kaum Syiah yang menetapkan adanya perubahan dalam al-Qur’an. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh mereka, Ni’matullah al-Jazairi. Ia berkata, “Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an terjaga dan terpelihara akan menyebabkan dibuangnya berita-berita yang masyhur, bahkan mutawatir, yang dengan jelas menunjukkan terjadinya perubahan pada al-Qur’an…. Padahal para sahabat kami—semoga Allah k meridhai mereka—telah sepakat tentang keabsahan dan kebenarannya.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, Ni’matullah al-Jazairi, 2/357—358)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Syiah dan Imamah
Keimaman dalam agama Syiah adalah
prinsip yang paling utama. Seluruh keyakinan dan seluruh riwayat mereka
kembali kepada masalah keimamahan ini. Masalah imamah (kepemimpinan)
inilah yang menjadi inti ajaran dan asal muasal lahirnya pemikiran Syiah
yang dibawa oleh Abdullah bin Saba’. Kitab-kitab Syiah mengakui bahwa
Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama memopulerkan keyakinan
wajibnya meyakini kepemimpinan (keimamahan) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, menampakkan sikap berlepas diri dari musuh-musuhnya, dan menyingkap para penentangnya, serta mengafirkan mereka. (Rijal al-Kisysyi, hlm.108—109, al- Maqalat wal Firaq, hlm. 20 karya an Nubakhti, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 654)
Itu pula yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang memunculkan pendapat tentang keimamahan Ali radhiyallahu ‘anhu. (al-Milal wa an-Nihal,1/174)
Menurut kaum Syiah, pengangkatan imam adalah janji yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka satu per satu. Dalam kitab al-Kafi disebutkan sebuah bab dengan judul “Imamah Adalah Janji dari Allah Subhanahu wata’ala yang Telah Ditetapkan dari Seseorang kepada yang Lain”. Ada juga bab “Nash yang Disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Terhadap Para Imam Satu Persatu”. (al-Kafi, 1/227 dan 1/286)
Salah seorang tokoh rujukan Syiah,
Muhammad Husain Alu Kasyifil Ghitha, berkata, “Imamah adalah kedudukan
ilahiah seperti halnya kenabian. Sebagaimana halnya Allah Subhanahu wata’ala
memilih siapa yang Dia kehendaki dari parahamba-Nya menjadi nabi dan
rasul, lalu menguatkannya dengan mukjizat sebagai pembuktian nash dari
Allah Subhanahu wata’ala…, demikian pula Dia memilih siapa
yang dikehendaki-Nya menjadi imam dan memerintah Nabi-Nya untuk
menyebutkannya secara tegas, dan mengangkatnya sebagai pemimpin bagi
umat manusia setelahnya.” (Ashlus Syiah wa Ushuluha, hlm. 58, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 655)
Kedudukan Imamah dalam Agama Syiah
Di dalam agama Syiah, kedudukan imamah jauh lebih mulia dari kedudukan seorang nabi utusan Allah Subhanahu wata’ala.
Inilah yang dijelaskan oleh para tokoh Syiah. Ni’matullah al-Jazairi
berkata, “Keimamahan yang bersifat umum yang merupakan kedudukan di atas
tingkatan kenabian dan kerasulan….” (Zahrur Rabi’, hlm. 12)
Hadi at-Taharani berkata, “Keimaman lebih agung daripada kenabian. Sebab, keimamahan adalah kedudukan ketiga yang Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Ibrahim dengannya setelah kedudukan nabi dan khalil.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 114)
Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya yang paling agung dalam agama yang Allah Subhanahu wata’ala mengutus Nabi-Nya ini adalah masalah imamah.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 115)
Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya
dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima hal: shalat,
zakat, puasa, haji, dan keimaman (kepemimpinan). Tidak ada sesuatu yang
lebih penting untuk didakwahkan selain kepemimpinan. Namun, manusia
mengambil yang empat dan meninggalkan yang satu ini.” (Ushul al-Kafi, 2/18)
Perhatikanlah riwayat yang mereka
sebutkan di atas… Mereka menjadikan masalah imamah sebagai pengganti dua
kalimat syahadat!! Di samping itu, menjadikannya sebagai rukun Islam
yang terpenting. Adakah kesesatan yang melebihi kesesatan mereka ini?
Berapa Jumlah Imam?
Kaum Syiah berselisih pendapat dalam menyebutkan jumlah imam mereka. Disebutkan dalam Mukhtashar at-Tuhfah,
“Ketahuilah bahwa Imamiyah berpendapat bahwa jumlah imam itu terbatas,
namun mereka berselisih tentang jumlahnya. Sebagian mengatakan lima,
sebagian lagi mengatakan tujuh, sebagian lagi mengatakan delapan,
sebagian lagi mengatakan dua belas, dan sebagian mengatakan tiga belas.”
(Mukhtashar Tuhfah, hlm.193, Ushul Madzhab asy- Syiah, hlm. 666)
Kemudian terjadi kesepakatan bahwa
jumlah imam terbatas menjadi dua belas, setelah meninggalnya al-Hasan
al-Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah t berkata, “Tidak ada seorang pun dari keturunan keluarga Nabi
dari bani Hasyim,’baik di masa Rasulullah n, Abu Bakr, Umar, Utsman, maupun Ali g, yang berpendapat bahwa imam itu berjumlah dua belas.” (Minhajus Sunnah,
2/111) Beliau juga berkata, “Sebelum wafatnya al-Hasan (yakni al-Hasan
bin Ali al-‘Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas kaum Syiah),
tidak seorang pun yang berpendapat imam muntazhar sebagai imam
mereka yang kedua belas. Tidak ada seorang pun di zaman Ali dan zaman
bani Umayyah yang menetapkan jumlah imam dua belas.” (Minhajus Sunnah, 4/209) Dua belas imam yang ditetapkan oleh kaum Syiah Imamiyah adalah:
1. Ali bin Abi Thalib, Abul Hasan al-Murtadha
2. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad az-Zaki
3. Al-Husain bin Ali, Abu Abdillah asy-Syahid
4. Ali bin al-Husain Abu Muhammad, Zainul Abidin
5. Muhammad bin Ali Abu Ja’far al-Baqir
6. Ja’far bin Muhammad, Abu Abdillah ash-Shadiq
7. Musa bin Ja’far Abu Ibrahim al-Kazhim
8. Ali bin Musa Abul Hasan ar-Ridha
9. Muhammad bin Ali, Abu Ja’far al-Jawad
10. Ali bin Muhammad Abul Hasan al-Hadi
11. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad al-Askari
12. Muhammad bin al-Hasan Abul Qasim al-Mahdi
Namun, disebutkan dalam kitab yang
paling pertama yang tampak dari kalangan Syiah, yaitu kitab Salim bin
Qais, dia justru menetapkan bahwa jumlah imam itu ada tiga belas.
Bahkan, dalam sebagian riwayat kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
tidak masuk dalam daftar sebagai imam yang berjumlah dua belas. Dalam
kitab yang paling sahih menurut versi Syiah, terdapat riwayat
yang menerangkan bahwa imam mereka
berjumlah tiga belas. Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu
Ja’far, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
aku dan dua belas imam dari keturunanku. Adapun engkau, wahai Ali,
adalah kancingnya bumi, yaitu sebagai pancang dan bukitnya. Dengan kami, Allah Subhanahu wata’ala mengokohkan bumi agar tidak lenyap bersama penghuninya. Jika dua belas dari keturunanku telah pergi, bumi ini akan lenyap beserta penghuninya dan mereka tidak memerhatikannya.” (Ushul al-Kafi, 1/534)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu
Ja’far, dari Jabir, ia berkata, “Aku masuk bertemu Fatimah. Di
hadapannya ada lempengan yang di dalamnya bertuliskan nama-nama (imam)
yang diberi wasiat dari keturunannya. Fatimah menghitungnya berjumlah
dua belas. Yang terakhir adalah al-Qaim. Tiga di antara mereka bernama
Muhammad, dan tiga di antara mereka bernama Ali.” (Ushul al-Kafi, 1/532)
Lihatlah, riwayat ini menyebutkan bahwa
imam dua belas itu berasal dari keturunan Fatimah. Jadi, Ali bin Abi
Thalib tidak termasuk dari kalangan imam mereka karena beliau adalah
suami Fatimah, bukan anaknya. Adanya perselisihan penentuan jumlah imam,
menunjukkan bahwa pembatasan dua belas imam tersebut sama sekali tidak
dibangun di atas landasan yang jelas dari kitabullah atau sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas bagaimana bisa hal ini dianggap sebagai bagian rukun Islam, bahkan menggantikan posisi dua kalimat syahadat?
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Syiah dan Kemaksuman Para Imam
Kaum Syiah Rafidhah meyakini bahwa 12 imam mereka memiliki sifat ishmah (maksum).
Menurut mereka, maksum adalah tidak pernah berbuat dosa besar ataupun
kecil, bahkan tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali, baik ucapan
maupun perbuatan. Disebutkan oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar,
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Syiah Imamiyah (Rafidhah, -pen.)
bersepakat atas kemaksuman para imam—‘alaihimus salam—dari dosa-dosa,
yang kecil dan yang besar. Mereka sama sekali tidak memiliki dosa, baik
secara sengaja, lupa, keliru dalam penakwilan, maupun Allah Subhanahu wata’ala yang menjadikannya lalai.” (Biharul Anwar, 25/211, Ushul Madzhab asy-Syiah, 775)
Demikian pula yang ditegaskan oleh
seorang tokoh Syiah yang hidup di abad keempat, Ibnu Babawaih. Ia
berkata, “Agama Syiah Imamiyah menyatakan, ‘Keyakinan kami tentang para
imam, mereka adalah maksum, disucikan dari setiap kotoran, tidak pernah
berbuat dosa kecil ataupun besar, dan tidak pernah bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wata’ala dalam hal yang Allah l
perintahkan, serta senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan.
Siapa yang mengingkari kemaksuman mereka dalam keadaan apa pun, sungguh
ia telah menuduh mereka jahil. Siapa yang menuduh mereka jahil, sungguh
ia telah kafir. Keyakinan kami terhadap mereka bahwa mereka maksum,
memiliki sifat yang sempurna dan ilmu yang sempurna dari awal urusan
mereka hingga akhirnya. Setiap keadaan mereka tidak memiliki sifat
kekurangan, maksiat, dan tidak pula kejahilan’.” (al-I’tiqadat, hlm. 108—109, Ushul Madzhab Syiah, 780)
Mereka juga berkata, “Sesungguhnya para
sahabat kami dari kalangan Syiah Imamiyah telah bersepakat bahwa para
imam itu maksum dari berbagai dosa kecil ataupun besar, secara sengaja,
keliru, ataupun lupa, sejak mereka lahir hingga bertemu Allah Subhanahu wata’ala.” (Biharul Anwar, 25/350—351)
Kesimpulan dari apa yang disebutkan di atas, bahwa:
1. Yang dimaksud maksum menurut versi
Syiah adalah tidak pernah berbuat dosa apa pun, kecil atau besar, bahkan
tidak pernah keliru, lalai, dan lupa.
2. Kemaksuman para imam adalah hal yang telah disepakati/ijma’ ulama.
3. Siapa yang mengingkari kemaksuman para imam, dia kafir dan keluar dari Islam.
Anehnya, tatkala menafikan adanya sifat sahwu (lupa)
dari para imam, mereka menetapkan bahwa Nabi n mengalami kelupaan.
Mereka anggap pendapat yang mengingkari adanya sifat lupa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai mazhab yang ghuluw dan melampaui batas. Al-Majlisi berkata dalam kitabnya, Man La Yahdhuruhul Faqih, “Sesungguhnya para ghulat (kelompok yang berlebihlebihan) dan ahli tafwidh—semoga Allah Subhanahu wata’ala melaknat mereka—mengingkari sifat lupa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka berkata, ‘Seandainya bisa terjadi
kelupaan di dalam shalat, bisa pula terjadi kelupaan dalam menyampaikan
agama. Sebab, shalat adalah kewajiban sebagaimana halnya meyampaikan
agama juga kewajiban… Lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sama dengan lupanya kita karena lupa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mberasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala
yang menjadikannya lupa dalam rangka mengabarkan bahwa beliau adalah
manusia biasa dan seorang makhluk, sehingga tidak dijadikan sebagai Rabb
yang disembah selain-Nya.
Selain itu untuk menerangkan kepada
manusia hukum sujud sahwi saat terjadi kelupaan. Adalah Syaikh kami,
Muhammad bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Walid berkata, ‘Tingkatan ghuluw yang pertama adalah mengingkari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lupa. Aku mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wata’ala untuk menulis sebuah kitab khusus yang menetapkan sifat lupa bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bantahan terhadap para pengingkarnya’.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/234)
Bahkan, ar-Ridha menetapkan bahwa sifat
lupa dapat dialami oleh siapa saja, bahkan para imam mereka sekalipun.
Ia berkata, “Sesungguhnya yang tidak pernah lupa hanyalah Allah Subhanahu wata’ala. Kitabkitab Syiah banyak meriwayatkan berita tentang lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/233)
Oleh karena itu, dalam kitab-kitab Syiah
sendiri banyak sekali dinukil bahwa para imam mereka mengalami
kesalahan dan kelupaan.Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah
yang disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghah—salah satu kitab kebanggaan kaum Syiah—tentang doa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي فَإِنْ عُدْتُ فَعُدْ
عَلَيَّ باِلْمَغْفِرَةِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا وَأَيْتُ مِنْ
نَفْسِي وَلَمْ تَجِدْ لَهُ وَفَاءً عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا
تَقَرَّبْتُ بِهِ إِلَيْكَ بِلِسَانِي ثُمَّ خَالَفَ قَلْبِي، اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي رَمَزَاتِ الْأَلْحَاظِ وَسَقَطَاتِ الْأَلْفَاظِ وَشَهَوَاتِ
الْجِنَانِ وَهَفَوَاتِ اللِّسَان
“Ya Allah, ampunilah aku sesuatu yang
Engkau lebih mengetahui dariku, dan jika aku mengulanginya, kembalilah
kepadaku dengan ampunan-Mu. Ya Allah, ampunilah aku terhadap apa yang
aku janjikan pada diriku lalu Engkau mendapatiku tidak menepatinya. Ya
Allah, ampunilah aku terhadap sesuatu yang aku mendekatkan diri
kepada-Mu dengan lisanku, tetapi hatiku menyelisihinya. Ya Allah,
ampunilah aku dari cibiran mata (merendahkan atau mengolok–olok, –pen.), dan ketergelinciran lafadz ucapan, syahwat hati, dan kekeliruan lisan.” (Nahjul Balaghah, hlm. 104)
Seandainya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai imam yang maksum, lantas mengapa beliau berdoa memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wata’ala
dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana yang disebutkan oleh
riwayat ini? Demikian pula, mereka meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far
ash-Shadiq bahwa beliau berkata,
إِنَّا لَنُذْنِبُ وَنَسِيءُ ثُمَّ نَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا
“Sesungguhnya kami berbuat dosa dan keburukan, lalu kami bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)
Kaum Syiah juga meriwayatkan dari salah
seorang imam mereka, Abul Hasan Musa al-Kazhim, ia berkata, “Wahai
Rabbku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan lisanku. Seandainya Engkau
berkehendak, tentu Engkau telah menjadikanku bisu. Aku bermaksiat
kepada-Mu dengan pandanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah
menjadikanku buta. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan
pendengaranku,jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku tuli.
Aku bermaksiat kepadamu dengan tanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau
telah menjadikanku buntung. Aku telah bermaksiat kepada- Mu dengan
kemaluanku, jika Engkau ingin, Engkau telah menjadikanku mandul. Aku
bermaksiat kepada-Mu dengan kakiku, jika Engkau ingin, tentu Engkau
telah menjadikanku lumpuh. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan seluruh
anggota tubuhku yang telah Engkau berikan kepadaku sebagai kenikmatan,
dalam keadaan aku tidak mampu membalas-Mu.” (Biharul Anwar, 25/203)
Masih banyak riwayat yang terdapat dalam
kitab-kitab kaum Syiah sendiri yang menetapkan bahwa para imam pun
tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, al-Majlisi
bingung menyikapi masalah kemaksuman para imam ini karena banyak riwayat
yang menunjukkan bahwa para imam mereka pun mengalami kelupaan dan
kesalahan. Sementara itu, di sisi lain dia harus berhadapan dengan
pernyataan para tokoh Syiah lainnya yang menganggap hal ini sebagai
ijma’ dan mengafirkan orang yang mengingkari kemaksuman para imam. Ia
berkata, “Masalah ini memang sangat rumit. Sebab, banyak riwayat dan
ayat yang menunjukkan adanya kelupaan yang mereka (para imam, -pen.)
alami, padahal para sahabat kami bersepakat—kecuali yang ganjil
pendapatnya—tidak bolehnya hal tersebut terjadi pada mereka.” (Biharul Anwar, 25/351, Ushul Madzhab Syiah, 782)
Maksum Versi Ahlus Sunnah
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallamterpelihara dan terjaga dalam menyampaikan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala
kepada umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Kaum muslimin
sepakat bahwa mereka (para Nabi) adalah maksum (terpelihara) dalam hal
yang mereka sampaikan dari Allah l. Tidak mungkin Allah Subhanahu wata’ala
membiarkan mereka salah menyampaikan risalah dari-Nya. Dengan ini,
tercapailah tujuan diutusnya (par rasul). Adapun sebelum diutus sebagai
nabi tidak pernah bersalah atau berbuat dosa, tidak ada keharusan
seperti itu dalam sifat kenabian.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 2/395)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Syiah dan Sahabat Nabi
Kaum muslimin meyakini dengan sebenar-benar keyakinan bahwa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia pilihan dari kalangan umat ini. Mereka adalah generasi terbaik yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk mendampingi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Keutamaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak dijelaskan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Adapun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz “Sebaik-baik umatku”, Muttafaqun ‘alaihi)
Allah Subhanahu wata’ala
melarang hamba-hamba- Nya untuk menyakiti kaum mukminin secara umum,
baik dengan cara mencela, mengghibah, mengolok-olok, dan yang
semisalnya. Lebih buruk lagi jika yang dicela adalah para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pembawa warisan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al- Ahzab: 58)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan ayat ini, “Betapa banyak manusia yang masuk ke dalam ancaman ini: orang-orang yang kafir kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, kaum Rafidhah yang selalu mendiskreditkan para sahabat, mencela mereka dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wata’ala telah membebaskan mereka darinya, dan melabeli mereka dengan sifat yang bertolak belakang dengan penjelasan Allah Subhanahu wata’ala tentang mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 11/241)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wata’ala,
مُّحَمَّدٌ
رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا
مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ
السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي
الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Fath: 29)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan ayat tersebut, “Dari ayat ini, al-Imam Malik t—dalam sebuah
riwayat—mengambil kesimpulan hukum tentang kafirnya kaum Syiah Rafidhah
yang membenci para sahabat. Beliau berkata, ‘Sebab, para sahabat
membuat mereka (Syiah) jengkel, dan siapa yang mengghibah para sahabat,
dia kafir berdasarkan ayat ini.’ Sebagian ulama menyepakati beliau dalam
hal ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 12/135) Larangan mencela sahabat Nabi lebih ditegaskan lagi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ما بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
“Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian berinfak emas sebesar Bukit Uhud, tidak akan menyamai infak satu mud yang mereka keluarkan, bahkan tidak pula setengahnya.” (HR. al-Bukhari no. 3470, Muslim no. 2541, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Dalam riwayat Muslim disebut dengan lafadz, “Jangan kalian mencela seorang pun dari sahabatku”. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2540, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Namun, seluruh dalil yang menjelaskan
keutamaan sahabat ini dibuang sejauh-jauhnya oleh kaum Syiah Rafidhah.
Mereka sama sekali tidak memandang seluruh perjuangan yang telah
dilakukan oleh para sahabat Nabi n untuk membela Islam. Menurut mereka,
seluruh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
orang-orang yang murtad dari Islam, kecuali segelintir dari mereka.
Riwayat yang menyebutkan murtadnya para sahabat dalam kitabkitab Syiah
sangat banyak. Di antara yang menjelaskan hal tersebut:
• Kaum Syiah meriwayatkan dari Abu Ja’far bahwa ia berkata, “Manusia telah murtad setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
kecuali tiga orang.” Ia ditanya, “Siapakah ketiga orang itu?” Ia
menjawab, “Miqdad bin Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al- Farisi,
semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati dan memberkahi mereka.” (al-Kafi, karya al-Kulaini, kitab “ar-Raudhah”, 12/321—322, bersama Syarah Jami’, karya al-Mazindarani)
• Disebutkan pula dalam Rijal al- Kisysyi dari Abu Ja’far, ia berkata, “Manusia telah murtad kecuali tiga orang: Salman, Abu Dzar, dan Miqdad.” Ia ditanya, “Bagaimana dengan Ammar?” Ia menjawab, “Sebelumnya ia berbuat adil, namun dia kembali lagi.” (Rijal al- Kisysyi, hlm. 11—12)
Bahkan, tiga orang yang mereka bebaskan dari tuduhan murtad pun tidak selamat dari pembicaraan dan celaan mereka. Disebutkan dalam kitab Rijal al-Kisysyi (hlm. 15) bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Abu Dzar, jika Salman memberitakan sesuatu yang dia ketahui, niscaya aku akan berkata, ‘Semoga Allah merahmati pembunuh Salman’.” Disebutkan pula dari Ja’far, dari ayahnya , ia berkata, “Suatu hari mdisebut taqiyah di sisi Ali . Ali lantas berkata, “Seandainya Abu Dzar mengetahui isi hati Salman, niscaya ia akan membunuhnya.” (Rijal al-Kisysi, hlm. 17)
Disebutkan pula dari Abu Bashir bahwa ia berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah ‘Alaihissalam berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Wahai Salman, kalau ilmumu diberikan kepada Miqdad, niscaya
ia menjadi kafir. Wahai Miqdad, kalau ilmumu diberikan kepada Salman,
niscaya ia menjadi kafir’.” (Rijal al-Kisysyi, 11)
Disebutkan pula dalam riwayat lain
adanya tambahan nama Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat yang tidak
dihukumi murtad oleh kaum Rafidhah. Disebutkan dari Fudhail bin Yasar
dari Abu Ja’far ‘Alaihissalam berkata, “Sesungguhnya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
wafat, manusia seluruhnya menjadi kaum jahiliah kecuali Ali, Miqdad,
Salman, dan Abu Dzar.” Aku bertanya, “Bagaimana dengan Salman?” Ia
menjawab, “Jika engkau memaksudkan orang yang tidak memiliki cela apa
pun, mereka bertiga inilah orangnya.” (Tafsir al-‘Iyyasyi, 1/199, ash-Shafi,1/305)
Bahkan, sebagian riwayat-riwayat kaum Syiah menyebutkan secara ta’yin (definitif/penyebutan nama secara eksplisit) beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya dalam kitab al-Kafi karya al-Kulaini, “Tiga macam manusia yang Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat mereka, tidak menyucikan mereka, dan mereka mendapat siksaan yang pedih:
(1) orang yang mengakui kepemimpinan dari Allah Subhanahu wata’ala yang bukan miliknya,
(2) orang yang mengingkari imamah yang berasal dari Allah Subhanahu wata’ala, dan
(3) orang yang menyangka bahwa keduanya—Abu Bakr dan Umar c—memiliki kedudukan di dalam Islam.” (al-Kafi, Kitabul Hujjah, 1/373, Tafsir al-Iyyasyi, 1/178)
Disebutkan pula dalam Raudhatul Kafi, “Kedua Syaikh tersebut—yakni Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhu—meninggal
dunia tanpa bertobat. Keduanya tidak mengingat apa yang telah mereka
perbuat terhadap Amirul Mukminin. Mereka mendapat laknat Allah Subhanahu wata’alal, para malaikat, dan seluruh manusia.” (Raudhatul Kafi, 12/323, bersama Syarah Jami’ oleh al-Mazindarani)
Syaikh kaum Rafidhah yang bernama
Ni’matullah al-Jazairi berkata, “Telah datang beberapa riwayat khusus
yang menerangkan bahwa setan dibelenggu dengan 70 belenggu dari besi
neraka Jahannam, lalu digiring ke Padang Mahsyar. Di sana setan melihat
seorang lelaki di hadapannya yang sedang digiring oleh malaikat penyiksa
dan di lehernya terdapat 120 belenggu dari neraka Jahannam. Setan pun
mendekat kepadanya dan bertanya, ‘Apa yang dilakukan oleh orang sengsara
ini sehingga siksaannya lebih berat dariku, padahal akulah yang
menyimpangkan seluruh makhluk dan menjerumuskan mereka ke dalam
kebinasaan?’ Umar berkata kepada setan, ‘Aku tidak melakukan sesuatu pun
selain merampas khilafah Ali bin Abi Thalib’.” (al-Anwar an- Nu’maniyah, 1/81—82)
Subhanallah. Perhatikanlah kedengkian dan kebencian pemeluk agama Syiah terhadap para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini menyebabkan mereka lancang membuat riwayat-riwayat palsu dan
dusta lantas berusaha menyandarkannya kepada Islam. Hal ini mereka
lakukan tidak lain untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Sebab,
para sahabat adalah para pembawa dan penyambung lidah warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk disampaikan kepada umat ini. Jika para sahabat yang dicerca,
berarti al-Qur’an dan sunnah pun akan ditolak dan diragukan karena
seluruhnya berasal dari jalur para sahabat .
Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah hati seseorang dengki terhadap salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali menunjukkan bahwa kedengkiannya terhadap kaum muslimin lebih kuat lagi.” (al-Ibanah hlm. 41, karya Ibnu Baththah)
Abu Zur’ah ar-Razi radhiyallahu ‘anhu juga berkata,
إِذَا
رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ
فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ عِنْدَنَا حَقٌّ
وَالْقُرْآنَ حَقٌّ وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ
وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَنْ
يَجْرَحُوا شُهُودَنَا اللهِ لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ
وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ زَنَادِقَةُ
“Jika engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah bahwa dia adalah zindiq (munafik). Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menurut
kami adalah benar, al-Qur’an juga kebenaran, serta yang menyampaikan
al-Qur’an dan Sunnah kepada kita adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya mereka ingin mencerca saksi-saksi agama kita agar mereka dapat membatalkan al- Kitab dan as-Sunnah. Celaan justru lebih pantas untuk mereka, dan mereka adalah orang-orang zindiq.” (al-Kifayah, Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Syiah dan Taqiyah
Taqiyah adalah sikap kehati-hatian dengan tidak menampakkan keyakinan yang terdapat di dalam hati di hadapan orang lain. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 12/314)
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Taqiyah dengan
lisan, sedangkan hati tetap tenang dengan keimanannya.” Ini pula yang
dikuatkan oleh Abu Aliyah, Abu Sya’tsa’, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas,
dan yang lainnya. (Fathul Bari, 12/314, Tafsir Ibnu Katsir, 1/358) Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَن
كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa kafir kepada Allah
sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (an-Nahl: 106)
لَّا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “Taqiyah yang disebut oleh Allah k dalam ayat ini adalah taqiyah terhadap orang-orang kafir, bukan kepada selain mereka.” (Tafsir at-Thabari, 6/316, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 806)
Ibnul Mundzir rahimahullah
berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan
kekafiran dan takut dirinya akan dibunuh (jika tidak melakukannya),
sementara hatinya tetap tenang dengan keimanan, ia tidak dihukumi
kafir.” Namun, jika ia memilih dibunuh dan bersabar di atas siksaan
tanpa melakukan taqiyah, hal tersebut lebih utama. Ibnu Baththal rahimahullah
berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan
kekafiran dan lebih memilih dibunuh, ia mendapatkan pahala yang lebih
besar di sisi Allah Subhanahu wata’ala.” (Fathul Bari, 12/314)
Adapun versi agama Syiah, Syaikh Mufid menyebutkan definisi taqiyah adalah
‘menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta
menyembunyikannya di hadapan orang-orang yang menyelisihinya dan tidak
menampakkan sesuatu di hadapan mereka yang dapat menyebabkan bahaya bagi
agama atau dunianya.’ (Syarah Aqa’idis Shaduq, al-Mufid, hlm. 261)
Sebagian lagi mengatakan bahwa taqiyah adalah
seseorang mengatakan atau mengucapkan selain apa yang diyakini agar
diri dan hartanya tidak ditimpa kemudaratan, atau agar kehormatannya
tetap terjaga. (Muhammad Jawad, asy- Syiah fil Mizan, hlm. 48. Lihat pula Mas’alatut Taqrib, hlm. 330)
Menurut agama Syiah, melakukan taqiyah adalah salah satu rukun agama yang harus diamalkan. Ibnu Babawaih berkata, “Keyakinan kami tentang taqiyah, ia adalah kewajiban. Siapa yang meninggalkannya, kedudukannya seperti orang yang meninggalkan shalat.” (al-I’tiqadat, 114) Ash-Shadiq berkata, “Seandainya aku katakan bahwa meninggalkan taqiyah seperti meninggalkan shalat, aku benar.”
(as-Sarair, Ibnu Idris, 479; Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu Babawaih, 2/80; Ushul Madzhabis Syiah, hlm. 807) (al-Kafi, 2/219)
Bahkan, mereka menganggap orang yang tidak melakukan taqiyah
adalah orang yang tidak beragama. Al-Kulaini meriwayatkan bahwa Ja’far
bin Muhammad berkata, “Sesungguhnya sembilan persepuluh agama ini dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi yang tidak melakukan taqiyah.” (Ushul al- Kafi, 2/217)
Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Abu Ja’far bahwa ia berkata, “Taqiyyah itu termasuk agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak bertaqiyyah.” Ibnu Babawaih juga mengatakan, “Taqiyyah itu wajib dan tidak boleh dihapus (hukumnya) sampai al-Qaim (Imam Mahdi, -pen.)
keluar. Barang siapa meninggalkannya sebelum keluarnya al- Qaim,
sungguh ia telah keluar dari agama Allah l dan agama Imamiyah (Syiah
Rafidhah, -pen.). Dan ia menyelisihi Allah Subhanahu wata’ala, Rasul-Nya, dan para imam.” (al-I’tiqadat, hlm. 114—115)
Mereka juga meriwayatkan dari Ali bin Musa ar-Ridha bahwa ia berkata, “Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling banyak melakukan taqiyah.”
Ada yang bertanya kepadanya, “Wahai anak Rasulullah, sampai kapan?” Ia
menjawab, “Sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu keluarnya al- Qaim.
Barang siapa meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya al-Qaim, dia bukan dari kami.” (Ikmalu ad-Din, Ibnu Babawaih, hlm. 355; A’lam al-Wara, ath-Thabarsi, hlm. 408; Kifayatul Atsar, Abul Qasim ar-Razi, hlm. 323. Lihat Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 808)
Jadi, wajar jika mayoritas kaum Syiah
Rafidhah adalah para pendusta yang sangat mudah bersaksi palsu, berdusta
atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih lagi atas nama selain beliau. Benar apa yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak melihat seseorang yang lebih berani bersaksi palsu daripada kaum Syiah Rafidhah.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/208; Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 9/114; al-Kifayah, al-Khatib al-Baghdadi, hlm. 126)
UCAPAN ULAMA TENTANG KEDUSTAAN SYIAH RAFIDHAH
Diriwayatkan dari Yunus bin Abdil A’la bahwa al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku membolehkan seluruh persaksian ahli bid’ah, kecuali kaum Rafidhah.” (al- Kubra, al-Baihaqi, 10/208)
Al-Imam Malik rahimahullah
ditanya tentang kaum Rafidhah. Beliau menjawab, “Jangan engkau berbicara
dengan mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka, karena sesungguhnya
mereka suka berdusta.” Yazid bin Harun t juga berkata, “Hadits setiap
pelaku bid’ah (bisa) dicatat selama ia tidak mengajak kepada bid’ahnya,
kecuali Rafidhah, karena mereka suka berdusta.” Diriwayatkan dari
Muhammad bin Sa’id al-Asbahani bahwa Syarik berkata, “Aku mengambil ilmu
(hadits, -pen.)
dari setiap yang aku temui kecuali
Rafidhah, karena mereka memalsukan hadits dan menjadikan perbuatan itu
sebagai bagian dari agama.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ulama riwayat dan pembawa sanad telah bersepakat bahwa kaum
Rafidhah adalah kelompok yang paling pendusta. Dusta pada mereka adalah
hal yang klasik. Oleh karena itu, para imam Islam mengetahui ciri khas
kelompok ini adalah banyak berdusta.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 1/60—61)
Jelaslah bagi kita, bahwa ajaran taqiyah (baca:
dusta) kaum Syiah Rafidhah adalah ajaran yang turun-temurun, diwariskan
oleh para pendusta mereka melalui kitab-kitab hadits karya tokoh
Rafidhah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Benarkah Syiah Mencintai Keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam?
Agama Syiah menganggap dirinya sebagai pecinta keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka menampakkan diri seolah-olah hanya merekalah yang cinta kepada
ahlul bait. Setelah itu, mereka menuduh Ahlus Sunnah (Islam) sebagai
kelompok nawashib, yang bermakna membenci Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan membenci keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebenarnya, kalau menilai secara adil, kita akan mengetahui bahwa Ahlus Sunnah sangat mencintai keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak membenci seorang pun dari mereka yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalil-dalil tentang keutamaan ahlul bait sangat banyak disebutkan dalam
riwayat-riwayat Ahlus Sunnah, baik al- Qur’an maupun hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Al-Qurthubi rahimahullah
menjelaskan ayat ini, “Yang tampak, ayat ini bersifat umum, mencakup
seluruh keluarga Nabi n, dari kalangan istri-istrinya dan yang lainnya.”
(Tafsir al-Qurtubi, 14/183)
Ahlus Sunnah juga meriwayatkan dari jalur Adi bin Tsabit, dari Zir, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Demi Allah yang membelah biji-bijian dan yang menciptakan makhluk. Sesungguhnya janji Nabi yang ummi n kepadaku, bahwa tidak ada yang mencintaiku selain seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku selain seorang munafik.” (HR. Muslim no. 78)
Seandainya Ahlus Sunnah membenci Ali radhiyallahu ‘anhu, sudah tentu mereka tidak akan meriwayatkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan beliau radhiyallahu ‘anhu.
Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Hampir setiap kitab-kitab
hadits yang menjadi rujukan Ahlus Sunnah menyebutkan keutamaan keluarga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
secara khusus. Lantas bagaimana halnya dengan kaum Syiah? Jika kita
memerhatikan riwayatriwayat dalam versi agama Syiah, kita akan mendapati
sekian banyak riwayat yang justru melecehkan dan mendiskreditkan
keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah celaan mereka terhadap istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Telah disebutkan dalam Tafsir al-Qummi tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wata’ala,
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ
كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا
“Allah membuat istri Nuh dan istri
Luth sebagai perumpamaan bagi orangorang kafir. Keduanya berada di bawah
pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu
kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya.” (at-Tahrim: 10)
Ali bin Ibrahim menjelaskan ayat ini, makna ‘Allah memberi perumpamaan’ yaitu perumpamaan terhadap keduanya— Aisyah dan Hafshah, dua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Demi Allah, tidaklah yang dimaksud dengan ucapan ‘Keduanya telah berkhianat’ kecuali
perbuatan keji (zina). Pasti akan ditegakkan hukum had terhadap si
Fulanah ketika ia datang melalui jalan Bashrah, dan si Fulan
menyukainya….” tanpa ia menjelaskan siapa yang dimaksud ‘Fulan dan Fulanah’. Namun, perbuatan taqiyah ini disingkap oleh salah seorang Syaikh Syiah yang bernama al-Majlisi. Ia berkata, “Ucapannya ‘akan ditegakkan hukum had’, yang menegakkannya adalah al- Qaim saat raj’ah.” Dengan jelas Al-Majlisi menyebutkan dalam pasal tentang ghibah bahwa yang dimaksud adalah Aisyah Ummul Mukminin…. (Biharul Anwar, 22/241)
Yang dimaksud Raj’ah adalah
keyakinan kaum Syiah tentang kembalinya Ali ke dunia setelah kematian.
Syaikh al-Mufid berkata tentang keyakinan ini, “Siapa yang tinggi
tingkat keimanannya dan yang paling besar membuat kerusakan, mereka
semua akan kembali (ke dunia) setelah matinya.” (Awa’il al-Maqalat, hlm. 95)
Ibnul Atsir rahimahullah menyebutkan bahwa keyakinan ini berasal dari sebagian kaum Arab jahiliah. (an-Nihayah, 3/202) Bahkan, mereka mengafirkan sebagian kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (al-Isra: 72)
Kata mereka, ayat ini turun tentang Abbas radhiyallahu ‘anhu. (Rijal al-Kisysyi, hlm. 53) Demikian pula anak beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kitab al- Kafi mengisyaratkan tuduhan kekafiran terhadapnya dan menudingnya sebagai orang yang bodoh dan kurang akal. (Ushul al-Kafi, 1/247)
Disebutkan dalam kitab Rijal al- Kisysyi sebuah
doa, “Ya Allah, laknatlah dua anak fulan, dan butakanlah penglihatan
keduanya, sebagaimana Engkau telah membutakan hati keduanya. Butakanlah
matanya sebagai tanda akan kebutaan hatinya.” Syaikh mereka yang bernama
Husain al-Mushthafawi menerangkan doa ini, “Keduanya adalah Abdullah
dan Ubaidullah bin Abbas.” (Rijal al-Kisysyi, hlm. 53)
Bahkan, dengan tegas disebutkan oleh pengarang kitab al-Kafi beberapa
riwayat yang menerangkan bahwa barang siapa tidak beriman kepada imam
dua belas, dia kafir, meskipun dia berasal dari keturunan Ali dan
Fatimah. (al- Kafi, 1/372—374)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Perkataan Ulama Ahlussunnah Tentang Agama Syiah
Al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marrudzi, dari Abu Abdillah bahwa al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki bagian di dalam Islam.” (as-Sunnah, al-Khallal, 2/557)
Ibnu Katsir rahimahullah juga menyebutkan pendapat al-Imam Malik rahimahullah tatkala menerangkan tafsir surat al-Fath ayat 29, “Dari ayat ini, al-Imam Malik rahimahullah—dalam sebuah riwayat—mengambil hukum tentang kafirnya Rafidhah yang membenci para sahabat.
Sebab, para sahabat membuat mereka
marah. Siapa yang marah terhadap para sahabat, dia kafir berdasarkan
ayat ini. Ada sebagian ulama yang menyetujui pendapat beliau tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/362)
Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
“Ucapan al-Imam Malik baik dan penakwilannya benar. Barang siapa
mendiskreditkan salah seorang dari mereka (para sahabat) atau mencela
riwayatnya, sungguh dia telah membantah Allah Subhanahu wata’ala dan membatalkan syariat kaum muslimin.” (Tafsir al- Qurtubi, 297/16)
Al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marrudzi yang mengatakan bahwa dirinya bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad rahimahullah) tentang seseorang yang mencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah ? Al-Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Aku tidak memandangnya berada di atas Islam.” Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Barang siapa mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak merasa aman bahwa dia telah keluar dari agama.” (as-Sunnah, al-Khallal, 3/493)
Ali bin Abdush Shamad berkata, “Aku
bertanya kepada Abu Abdillah (yakni al-Imam Ahmad) tentang seorang
Syiah Rafidhah tetangga kami yang mengucapkan salam kepada kami, apakah
boleh aku membalasnya?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” (as-Sunnah, al-Khallal, 3/493-494) Musa bin Harun bin Ziyad rahimahullah berkata, “Aku mendengar al-Firyabi ditanya seseorang tentang orang yang mencela Abu Bakr, dan beliau menjawab, ‘Kafir’.” (as-Sunnah, al- Khallal, 35/499)
Ahmad bin Yunus rahimahullah
berkata, ”Seandainya seorang Yahudi menyembelih seekor kambing dan
seorang Rafidhi juga menyembelih, aku pasti memakan sembelihan Yahudi
dan tidak memakan sembelihan Rafidhi karena dia telah murtad dari
Islam.” (ash-Sharimul Maslul, Ibnu Taimiyah, 3/1062)
Abdul Qahir al-Baghdadi rahimahullah
berkata, “Adapun para pengikut hawa nafsu seperti al-Jawardiyah,
al-Hisyamiyah, al-Jahmiyah, dan al-Imamiyah yang telah mengafirkan
manusia pilihan dari kalangan para sahabat…, sesungguhnya kami
mengafirkan mereka. Menurut kami, jenazahnya tidak boleh dishalati dan
tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya.” (al-Farqu Baina al-Firaq, 357)
Abu Said Abdul Karim as- Sam’ani rahimahullah
berkata, “Kelompok Imamiyah (Rafidhah, -pen.) bersepakat menganggap
sesat para sahabat karena mereka menyerahkan keimamahan kepada selain
Ali radhiyallahu ‘anhu. Umat ini pun bersepakat
mengafirkan kelompok Imamiyah karena meyakini sesatnya para sahabat,
mengingkari ijma’ mereka, dan menisbatkan hal-hal yang tidak sepantasnya
kepada mereka.” (al-Ansab, as-Sam’ani, 3/188)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Tanya Jawab Ringkas Edisi 92
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al- Ustadz Muhammad as-Sarbini.
Tata Cara Mengganti Kekurangan Rakaat Shalat
Bagaimana cara mengganti kekurangan
rakaat shalat? Apakah rakaat yang didapat sebagai rakaat pertama atau
sesuai rakaatnya? Apa yang dibaca pada tiap rakaat? 081392XXXXXX
Rakaat yang Anda dapatkan bersama
imam adalah rakaat pertama Anda, kemudian rakaat berikutnya adalah
rakaat kedua Anda. Demikian seterusnya hingga imam salam lalu Anda menyempurnakan rakaat yang tersisa.
Meminta Cerai Lantaran Suami Tidak Bekerja
Jika suami tidak bekerja atau berusaha untuk memenuhi kebutuhan, bolehkah meminta cerai? 0813XXXXXXXX
Jika suami tidak menjalankan
kewajiban mencari nafkah untuk mencukupi istrinya, padahal dia mampu
bekerja, boleh bagi istri meminta fasakh (pembatalan akad) dengan cara
khulu’.
Menikah Setelah Ditalak Tiga
Apakah wanita yang sudah 3 kali ditalak (ba’in kubra) boleh langsung meminta dicarikan suami baru, lewat perantara, dan tidak menunggu masa iddah? Jazakumullahu khairan. 08586XXXXXXX
Harus menunggu sampai masa iddah berakhir.
Keringanan Mandi Wajib
Bagaimana mandi wajibnya seseorang yang tidak memungkinkan untuk mandi (misal karena sakit yang tidak boleh terkena air)? 08562XXXXXX
Wajib bersuci dari hadats besar dengan mandi menggunakan air hangat jika tidak khawatir memudaratkan dirinya (menambah parah sakit atau memperlambat kesembuhan). Jika khawatir termudaratkan oleh air hangat sekalipun, wajib bersuci dengan tayamum sebagai pengganti mandi. Begitu pula halnya dengan wudhu, jika termudaratkan oleh penggunaan air.
Bagaimana cara mandi junub orang yang terluka dan tidak boleh terkena air?
08587XXXXXXX
Dalam mandi janabah, wajib membasuh
seluruh tubuh dengan air selain luka tersebut, tetapi luka itu wajib
diusap selama tidak termudaratkan oleh usapan. Jika usapan pun akan
memperparah/ memperlambat kesembuhan luka itu, bagian luka tersebut disucikan dengan tayammum.
Alhasil, bagian tubuh yang tidak luka wajib dibasuh, sedangkan yang
luka wajib disucikan dengan diusap (jika tidak termudaratkan) atau
ditayammumkan (jika termudaratkan oleh usapan). Wallahu a’lam.
Jamak Qashar Shalat Saat Safar
Berapa hari rukhsah musafir untuk menjamak dan mengqashar shalatnya karena waktu safar yang tidak dapat dia tentukan? 089604XXXXXX
Orang yang safar untuk suatu hajat dalam jangka waktu yang tidak jelas adalah musafir yang mendapat rukshah mengqashar dan menjamak shalat selama dalam safarnya itu.
Qadha Shalat Isya Saat Shubuh
Bagaimana cara mengqadha shalat isya karena ketiduran pada waktu subuh? 08990XXXXXX
Yang benar, wajib mengqadha shalat isya’ tersebut langsung ketika bangun, kemudian melaksanakan shalat subuh. Barakallahu fik.
Bersetubuh di Luar Nikah
Apa yang harus dilakukan untuk menghapus dosanya jika seseorang
berzina dengan pacarnya? 628572XXXXXXX
Zina adalah dosa besar dan kenistaan. Bertobatlah kepada Allah l disertai meninggalkan pergaulan bebas dan pacaran yang merupakan wasilah yang telah menyeret Anda kepada zina. Perbanyaklah beribadah dan beramal saleh untuk mengimbangi kesalahan besar itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun. Wallahul musta’an.
Hak Waris
Budhe (kakak perempuan ibu atau bapak)
meninggal. Dia tidak mempunyai anak dan suami. Hanya ibu saya masih
hidup sebagai ahli waris, hak waris kepada siapa? 08213XXXXXXX
Harta seluruhnya untuk saudara perempuan mayat (ibu Anda).
Apakah keponakan (kami) mendapat bagian, berapa jatahnya? 08213XXXXXXX
Yang kami pahami dari pertanyaan, Budhe Anda hanya meninggalkan saudara perempuannya sekandung (ibu Anda). Jadi, dialah satu-satunya ahli waris. Bagiannya adalah setengah harta, sisanya juga diberikan kepadanya secara
radd (pengembalian harta waris yang tersisa kepada ahli waris yang ada dari kalangan kerabat). Adapun Anda selaku keponakannya, bukan ahli waris yang
berhak, istilahnya adalah dzawul arham. Adapun jika ada keponakan lainnya,
terangkan kepada kami hubungan kekerabatannya dengan mayat secara lengkap agar kami terangkan hukumnya.
Makanan dari Acara Bid’ah
Bolehkah memakan makanan (daging sembelihan) dari acara 40 hari orang yang meninggal? 08529XXXXXXX
Ingkari/tolak hal itu dengan hikmah (bijak) semampunya dan jangan dimakan.
Zakat Harta Curian
Apakah harta hasil dari korupsi atau mencuri juga wajib dizakati bila telah mencapai nishab dan haulnya? 08574XXXXXXX
Harta hasil curian atau korupsi tidak terkena zakat, karena harta itu bukan milik koruptor atau pencurinya. Kewajibannya adalah mengembalikan harta itu kepada pemiliknya yang berhak.
Rokok
Apakah merokok itu haram bagi seorang
muslim? Karena saya bimbang tentang masalah rokok ini. Ada yang
mengatakan halal, tetapi ada yang mengatakan haram? 0898XXXXXXX
Jangan bimbang lagi, ketahuilah bahwa rokok haram menurut pendapat yang benar berdasarkan dalil-dalil dengan sisi pendalilan yang benar. Lihat secara lengkap pada rubrik Problema Anda, majalah Asy-Syariah edisi 48.
Zakat Padi
Bagaimana cara penghitungan zakat padi? 08526XXXXXXX
Zakat padi diperselisihkan ulama, karena
tidak ada dalil khusus. Kami condong pada pendapat yang tidak
mewajibkan zakat padi. Bagi yang meyakini wajibnya, nishabnya sebesar
300 sha’ nabawi = 300 x 3 kg bersih (tanpa kulit) dengan rincian zakat:
a) 10 %, jika tadah hujan dan semisalnya. b) 5 %, jika diairi dengan
biaya besar berupa mesin, kincir air, atau semisalnya. Jika sawah disewakan, maka yang terkena kewajiban adalah pemilik hasil panen (penyewa), bukan pemilik sawah. Zakat dikeluarkan saat panen setelah pembersihan dari keseluruhan hasil panen tanpa dikurangi untuk bayar sewanya. Pada asalnya wajib dibayarkan dengan beras, bukan dengan uang. Untuk lebih rinci dan lengkap, lihat Kajian Utama pada Majalah Asy-Syari’ah edisi 54.
Rukun Shalat Jenazah
Rukun shalat jenazah apa saja dan berapa? 08583XXXXXXX
Rukun shalat jenazah adalah:
1. Niat
2. Berdiri
3. Empat kali takbir (takbiratul ihram dan 3 takbir setelahnya)
4. Membaca al-Fatihah pada takbir pertama.
5. Mendoakan mayat.
6. Mengucapkan salam. Adapun bershalawat setelah takbir ketiga hanya sunnah menurut pendapat yang rajih. Disunnahkan pula mendoakan
mayat pada takbir keempat menurut pendapat yang rajih. Simak secara lengkap nukilan mazhab dan dalil-dalilnya pada buku kami Panduan Mudah Mengurus Jenazah.

Beberapa Contoh Tafsir Ala Syiah
Salah satu keutamaan yang sepantasnya
seorang muslim berhias dengannya ialah kejujuran. Sebaliknya, di antara
seburuk-buruk perilaku yang seharusnya dijauhi oleh seorang muslim ialah
berdusta. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ البِّرَّ
يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً، وَإِيَّاكُمْ
وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّاباً
“Wajib atas kalian untuk berlaku
jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan akan
menuntun (masuk ke dalam) surga. Seorang yang selalu jujur dan berusaha
untuk berlaku jujur, akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang
sangat jujur. Hati-hatilah kalian dari berdusa, karena dusta akan
menuntun kepada kefasikan, dan kefasikan akan menuntun (masuk ke dalam)
neraka. Senantiasa seseorang berdusta dan bermaksud untuk selalu dusta,
hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Ketahuilah, kedustaan yang paling besar dan paling buruk adalah berdusta atas nama Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,
وَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا ۚ أُولَٰئِكَ
يُعْرَضُونَ عَلَىٰ رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ
كَذَبُوا عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan
dihadapkan kepada Rabb mereka, dan para saksi akan berkata, “Orang-orang
inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka.” Ingatlah, laknat
Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim. (Hud: 18)
Ghuluw Syiah Terhadap Ahlul Bait
Di antara manusia yang paling besar kedustaannya terhadap Allah dan Rasul- Nya adalah orang-orang yang ghuluw (melampaui
batas) dari kalangan Syiah, terutama dalam hal keutamaan ahlul bait.
Mereka menisbatkan kepada ahlul bait hal-hal yang justru yang menurunkan
kedudukannya, sampai pada tingkat menyekutukan Allah. Ini bukanlah hal
yang aneh. Sebab, mereka meyakini bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu memiliki sifat rububiyah, dalam keadaan beliau z masih hidup. Ketika berkali-kali beliau radhiyallahu ‘anhu melarang
mereka (dari sikap ghuluw ini) dan ternyata tidak mau berhenti, beliau
memerintahkan untuk membuat parit dan dinyalakan api padanya, lalu
mereka dibakar (di parit tersebut). Beliau berkata,
لَمَّا رَأَيْتُ الْأَمْرَ أَمْرًا مُنْكَرًا أَجَّجْتُ نَارِي وَدَعَوْتُ قُنْبُرًا
Tatkala aku melihat suatu perkara adalah kemungkaran Aku nyalakan api dan aku memanggil Qunbur
Maksudnya, tatkala sikap ghuluw dalam
hal ini adalah perkara yang mungkar, beliau memerintahkan untuk membuat
parit dan dinyalakan api padanya, lalu meminta pembantu beliau yang
bernama Qunbur menyeret mereka untuk diceburkan ke dalam parit tersebut.
Wallahu a’lam.
Dalam hal ini para sahabat sepakat,
kecuali Ibnu Abbas. Beliau berpandangan, hukuman yang pantas bagi mereka
adalah dibunuh, bukan dibakar. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
لاَ يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ
“Tidak boleh mengazab dengan api, kecuali Rabb pencipta api.”
Semua ini dilakukan karena sikap
melampaui batas yang dilarang oleh syariat (agama). Mereka berupaya
kedustaan ke dalam bidang ilmu tafsir (ayat-ayat al-Qur’an). Mereka
susupkan hadits-hadits palsu ke dalam bidang ilmu hadits (periwayatan).
Pada dasarnya orang-orang Syiah Rafidhah tidak memiliki perhatian
terhadap menghafal al-Qur’an, memahami makna dan tafsirnya, serta upaya
untuk menjadikannya sebagai dalil sesuai dengan makna yang terkandung.
Apabila ada dari mereka yang kitab tafsir, mereka mengambil ilmunya
dari selain mereka, sebagaimanamhalnya yang dilakukan oleh ath-Thusi dan
yang lainnya.
Karena itu, dalam kitab tafsir mereka
dimuat ucapan atau pendapat menurut versi Mu’tazilah. Demikian pula
pembahasan-pembahasan yang bersifat pendapat. Hal yang paling menonjol
dari kitab tafsir mereka adalah ucapan mereka yang mencerca sahabat,
menolak pendapat mereka dan pendapat jumhur ulama,lantas mengaku-aku
bahwa ucapan merekalah yang sesuai dengan teks al-Qur’an.
Tatkala tidak memungkinkan bagi seorang
pun untuk menyusupkan ke dalam al-Qur’an sesuatu pun, sebagian orang
berinisiatif untuk menyebutkan ayat bersama sebab-sebab turunnya. Perlu
diketahui, tidak semua ayat yang ada pada al-Quran harus ada asbab nuzulnya.
Tidak ada sebuah kelompok yang sedemikian rupa menyusupkan ke dalam
Islam hal-hal yang bukan darinya dan memalingkan hukum syariat,
sebagaimana yang dilakukan oleh Syiah Rafidhah. Mereka memasukkan ke
dalam agama ini kedustaan terhadap Rasulullah, menolak kebenaran, dan
memalingkan makna ayat, tidak seperti kedustaan, penolakan, dan
penyimpangan yang dilakukan oleh sekte lainnya.
Asy-Syaukani mengatakan dalam al-Fawaid al-Majmu’ah, sebagaimana yang dinukil oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau, Riyadhul Jannah,
“Demikianlah. Di antara kedustaan yang disebutkan oleh orang-orang
(Syiah) Rafidhah dalam tafsir mereka, adalah ketika mereka menyebutkan
firman Allah,
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya, dan orangorang yang beriman yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (al- Maidah: 55)
Kata mereka, ayat ini turun berkenaan
dengan Ali, ketika beliau bersedekah dengan cincinnya di waktu shalat.
Demikian pula firman Allah,
وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
“Dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (ar-Ra’d: 7)
dan firman Allah,
وَتَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ
“Dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (al-Haqqah:12)
Menurut mereka, semua ayat di atas sebab
turunnya terkait dengan Ali. Asy-Syaukani mengatakan bahwa ini adalah
riwayat yang palsu, tanpa ada keraguan dan perselisihan. Dalam tafsir
mereka juga disebutkan, tatkala Allah menurunkan ayat,
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu.” (ar-Rahman: 19)
Menurut mereka, maksudnya adalah Ali dan Fatimah.
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ
“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (ar-Rahman: 22)
Menurut mereka, maksudnya adalah Hasan dan Husain.
وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Yasin: 12)
Kata mereka, sebab turunnya adalah pada
Ali. Penafsiran ala mereka ini hampir mirip dengan penafsiran sebagian
ahli tafsir yang menyimpang dari metode penafsiran yang benar pada ayat,
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang
benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) dan
yang memohon ampun di waktu sahur.” (Ali Imran: 17)
Menurut sebagian ahli tafsir tersebut, yang dimaksud orang yang sabar adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang benar adalah Abu Bakr, orang yang tetap taat adalahUmar, orang yang menafkahkan hartanya adalah Utsman, dan orang yang meminta ampun di waktu sahur adalah Ali. Demikian pula firman Allah dalam surat al-Fath ayat 29,
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamadengannya,” yaitu Abu Bakr, “adalah keras terhadap orang-orang kafir” yaitu Umar, “tetapi berkasih sayang sesama mereka” yaitu Utsman, “kalian lihat mereka rukuk” yaitu Ali. Firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih
Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di
masa mereka masing-masing).” (Ali ‘Imran: 33)
Menurut mereka, yang dimaksud dengan
keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib karena nama Abu Thalib adalah
Imran. Masih banyak contoh kedustaan yang mereka perbuat dalam bidang
ilmu tafsir. Menurut Syiah, Ibnu Abbas mengatakan bahwa tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dimi’rajkan sampai langit yang ketujuh, di setiap langit Allah
memperlihatkan kepada beliau keanehan-keanehan. Keesokan harinya beliau
bercerita kepada manusia tentang keajaiban tersebut. Sebagian penduduk
Makkah mendustakannya dan ada pula yang membenarkan. Saat itulah ada
bintang yang jatuh dari langit. Nabi bertanya, “Di rumah siapakah
bintang itu jatuh? Dialah yang akan menjadi khalifah setelahku.”
Mereka pun mencari di mana bintang itu
jatuh. Ternyata mereka mendapatkannya di rumah Ali bin Abi Thalib.
Penduduk Makkah lantas berkata, “Muhammad telah sesat dan keliru,
terbenam kepada ahli baitnya, condong kepada putra pamannya.” Saat
itulah turun surat an-Najm ayat 1—4,
وَالنَّجْمِ
إِذَا هَوَىٰ () مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ () وَمَا يَنطِقُ
عَنِ الْهَوَىٰ () إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Tidaklah yang
diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits
(riwayat) ini tidak diragukan kepalsuannya. Dalam sanadnya terdapat
seorang yang bernama Kalbi, kata Abu Hatim ibnu Hibban, “Kalbi termasuk
yang mengatakan bahwa Ali masih hidup dan akan muncul lagi di dunia.” Di
antara yang menjadi bukti kepalsuan hadits ini adalah tidak masuk akal
jika bintang jatuh ke dalam rumah. Demikian pula Ibnu Abbas, waktu itu
beliau baru berumur dua tahun, bagaimana bisa menyaksikan kejadian
al-Mi’raj dan menceritakannya?
Asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah
mengatakan, “Cukuplah sikap ghuluw orang-orang Syiah menjadikan mereka
rendah, hina, dan tersesat. Periwayatan mereka terhadap hadits seperti
ini akan menjauhkan tabiat yang baik darinya, pendengaran pun tidak akan
menghiraukannya. Kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
disibukkan dengan urusan dakwah, sedangkan mereka menyibukkan diri
dengan masalah khilafah (kepemimpinan). Seolah-olah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki cita-cita selain menanamkan secara mendasar tentang khilafah kepada Ali dan keturunannya.
Cercaan Terhadap Para Sahabat
Berikut beberapa ayat yang mereka
tafsirkan, dengan anggapan bahwa hal itu sesuai dengan tekstual ayat,
tetapi hakikatnya adalah pemalingan makna dan kedustaan. Firman Allah,
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
“Maka perangilah pemimpinpeminpin orang-orang kafir itu.” (at- Taubah: 12)
Mereka tafsirkan, Thalhah dan Zubair.
وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ
“Dan (begitu pula) pohon yang terlaknat dalam al-Quran.” (al-Isra’: 60)
Mereka katakan, maksudnya adalah Bani Umayyah.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” (al-Baqarah: 67)
Kata mereka, maksudnya adalah ‘Aisyah.
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalanmu.” (az- Zumar: 65)
Kata mereka, maksudnya ialah mempersekutukan antara Abu Bakr dan Ali dalam hal kekuasaan. (Lihat Minhajus Sunnah an- Nabawiyyah, Ibnu Taimiyah; Riyadhul Jannah, Muqbil al-Wadi’i; Mauqif Ahlis Sunnah wa Syiah, Muhammad bin Abdirahman bin Qasim)
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

Membantah Hujah Praktik Mut’ah
عَنْ
عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ
فَقَالَ: مَهْلًا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ, نَهَى
عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu Membolehkan Mut’ah?
Awalnya, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
memang memperbolehkan nikah mut’ah (HR. al-Bukhari no. 5116 dan Muslim
no. 1407). Namun, beliau diingkari oleh para sahabat, seperti Abdullah
bin Umar, Abdullah bin az- Zubair, dan tentu saja Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
sebagaimana halnya riwayat di atas. Dalam beberapa riwayat diterangkan
bahwa pendapat Ibnu Abbas itu pun hanya dalam keadaan darurat,
sebagaimana halnya hukum darah, bangkai, dan daging babi. Hanya saja,
sebagian orang bermudah-mudah dengan fatwa tersebut. Akhirnya, Ibnu
Abbas pun rujuk dan mencabut fatwa tersebut.
Abu ‘Awanah (al-Mustakhraj, no. 4057)
meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah, beliau
berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa
tersebut.” Lalu, apakah termasuk sikap adil, menisbatkan satu pendapat
kepada seseorang, sementara ia sendiri telah rujuk dan mencabut pendapat
tersebut?
Satu dari Dosa Syiah
Na’udzu billah minal hawa wal bida’!
Benar-benar sebuah kejahatan dan kekejian besar! Agama diperalat sebagai
alat pembenaran untuk melakukan sebuah dosa nista. Dengan iming-iming
praktik mut’ah, sudah sekian banyak kaum muda menjadi korban paham
Syiah yang menyesatkan. Setumpuk hadits palsu tentang pahala dan derajat
tinggi bagi pelaku mut’ah tanpa malu dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala
disodorkan kepada kaum muda. Kejahilan akan hakikat Islam semakin
memperparah kondisi mereka. Akhirnya? “Saya benar-benar menyesal! Lebih
baik mati daripada hidup seperti ini. Saya menyangka praktik mut’ah
adalah bagian dari syariat Islam. Ternyata, dusta kaum Syiah belaka!”
sesal seorang pemuda.
Mut’ah sendiri artinya bentuk akad
dengan seorang wanita untuk berhubungan suami istri, baik dalam jangka
waktu tertentu maupun tidak, asalkan tidak lebih dari empat puluh lima
hari, tanpa ada keharusan menafkahi, tidak menyebabkan saling mewarisi,
tidak mengharuskan nasab, dan tanpa masa iddah. Bahkan, kalangan Syiah
tidak mensyaratkan adanya wali dan saksi.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-
Imam al-Bukhari (no. 1407), al-Imam Muslim (no. 4216), Ahmad (1/79),
an-Nasa’i (6/125), at-Tirmidzi (no. 1121), dan Ibnu Majah (1961), lafadz
hadits di atas adalah lafadz al-Imam Muslim rahimahumullah. Hadits di
atas diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
sahabat yang dihormati, dimuliakan, dan dijunjung tinggi oleh seluruh
kaum muslimin, termasuk oleh kaum Syiah. Bahkan, menurut Syiah, Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai junjungan tertinggi mereka. Lantas mengapa mereka tidak meneladani Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang menegaskan bahwa praktik mut’ah telah diharamkan sampai hari kiamat?
Kemudian, siapakah perawi yang menyambung mata rantai sanad hadits di atas? Tidak lain putra kandung Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
sendiri yang bernama Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, yang lebih
dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiyyah. Siapakah perawi yang
berikutnya? Dua orang perawi. Kedua-duanya adalah putra kandung Muhammad
bin al- Hanafiyyah, cucu Ali bin Abi Thalib. Pertama, Al-Hasan bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib; yang kedua adalah Abdullah bin Muhammad
bin Ali bin Abi Thalib. Bagi kaum Syiah yang mengaku cinta kepada Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, buktikan kecintaan itu dengan meneladani beliau dan anak cucu beliau g yang telah melarang praktik mut’ah!
Hadits-Hadits tentang Mut’ah
Riwayat dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang praktik mut’ah memang berbeda-beda. Ada sebagian riwayat
menunjukkan tentang haramnya praktik mut’ah, namun ada juga riwayat yang
secara jelas menerangkan bolehnya praktik mut’ah. Di sini salah satu
letak keanehan kaum Syiah! Mereka berargumen dengan hadits-hadits yang
membolehkan praktik mut’ah, padahal mereka sendiri mencela dan menolak
kitab-kitab hadits yang meriwayatkan tentang bolehnya praktik mut’ah.
Bagi mereka dan yang sependapat, hanya hadits-hadits yang membolehkan
praktik mut’ah saja yang diterima. Sementara itu, seorang muslim yang
berusaha memahami hadits dengan bimbingan ulama, dengan mudahnya
memahami riwayat-riwayat tersebut.
Jika riwayat-riwayat tersebut
direkonstruksi dengan sejarah, kesimpulan akhirnya akan sejalan dengan
keterangan al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih
Muslim. Beliau mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman
dan pembolehan nikah mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali.
Sebelum peristiwa Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar
diharamkan. Lalu ketika terjadi Fathu Makkah—termasuk Perang Authas
karena bersambung—, nikah mut’ah diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga
hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat.” Sahabat Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ،
ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota
Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali
dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)
Pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي ا
سْالِْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ
سَبِيلَهُ وَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
“Wahai manusia, sesungguhnya dahulu aku
pernah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah atas kaum wanita.
Sesungguhnya Allah telah Subhanahu wata’ala mengharamkan
mut’ah sampai hari kiamat. Barang siapa masih terikat mut’ah dengan
wanita, tinggalkanlah dia dan janganlah kalian mengambil kembali barang
yang telah diberikan.”
Ijma’ Ulama
Selain itu, seluruh ulama kaum muslimin
telah sepakat tentang haramnya praktik mut’ah. Jadi, siapa pun yang
berpendirian bolehnya praktik mut’ah, sama artinya dengan menyelisihi
ijma’ kaum muslimin. Ibnu Hubairah rahimahullah menegaskan, “Alim
ulama telah berijma’ bahwa nikah mut’ah hukumnya batil. Tidak ada
sedikit pun perselisihan di antara mereka.” Al-Qurthubi rahimahullah
menyatakan, “Seluruh riwayat bersepakat bahwa masa diperbolehkannya
nikah mut’ah tidaklah terlalu lama. Kemudian, setelah itu nikah mut’ah
diharamkan. Berikutnya, ulama salaf dan khalaf telah berijma’ tentang
diharamkannya nikah mut’ah, kecuali kaum Rafidhah yang tidak perlu
dianggap.” (Taudhihul Ahkam, karya Alu Bassam 5/294)
Selain beliau berdua, masih banyak lagi
ulama yang menyatakan bahwa praktik mut’ah diharamkan secara ijma’,
antara lain al-Jashash rahimahullah (Tafsir 2/153), Ibnul Mundzir rahimahullah (Majmu’ Syarhil Muhadzab, 16/254), Ibnu Abdil Barr rahimahullah (al-Istidzkar, 16/294), al-Maziri rahimahullah (al-Mu’lim, 2/131), al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah (Syarah Muslim 9/181), dan al-Hamadzani rahimahullah (al- I’tibar, hlm. 177).
Apakah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang Melarang Mut’ah?
Sebuah riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (no. 1405).
Beliau mengatakan,
فَعَلْنَاهُمَا مَعَ رَسُولِ اللهِ, ثُمَّ نَهَانَا عَنْهُمَا عُمَرُ فَلَمْ نَعُدْ لَهُمَا
“Kami melakukan keduanya (mut’ah dan
haji tamattu’) di masa Rasulullah. Kemudian Umar melarang kami untuk
melakukannya. Sejak itu, kami tidak mengulanginya lagi.”
Kaum Syiah bersandar kepada riwayat Jabir di atas untuk mempertahankan praktik mut’ah. Alasan mereka, bukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang, melainkan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Lihatlah bagaimana mereka memaksakan pendapat! Padahal ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai Amirul Mukminin (Ibnu Majah, 1963), beliau menyampaikan khutbah, “Sesungguhnya, dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang mengizinkan kita selama tiga hari untuk melakukan mut’ah, tetapi setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengharamkannya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahui ada seseorang yang
melakukan mut’ah dalam keadaan dia muhshan kecuali pasti akan aku rajam
dia dengan batu.
Kecuali jika dia mampu mendatangkan empat saksi yang memberikan kesaksian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghalalkannya setelah diharamkan.” Ath-Thahawi rahimahullah
(Ma’anis Sunan, 2/258) mengatakan, “Inilah Umar yang telah melarang
mut’ah untuk kaum wanita di hadapan para sahabat yang lain dan beliau
tidak diingkari. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sepakat dengan
beliau untuk melarang mut’ah. Kesepakatan mereka ini—untuk melarang
mut’ah—adalah dalil bahwa hukum diperbolehkannya mut’ah telah dihapus,
sekaligus sebagai hujah.” Sebagian Ulama Membolehkan?
Di dalam beberapa referensi, memang
disebutkan beberapa nama sahabat dan tabi’in yang memperbolehkan praktik
mut’ah. Sebut saja Abdullah bin Mas’ud, Mu’awiyah, Abu Sa’id, Salamah
dari kalangan sahabat, Amr bin Huraits, Thawus, dan Sa’id bin Jubair
rahimahumullah dari kalangan tabi’in. Hanya saja, semua riwayat dari
mereka tidak terlepas dari dua kemungkinan:
1. Mereka telah rujuk dan mencabut pendapat tersebut, atau
2. Diriwayatkan melalui sanad yang lemah. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membahas riwayat-riwayat tersebut secara rinci dalam kitab beliau Fathul Bari (10/216—218) dengan keterangan yang memuaskan. Walhamdulillah.
Ayat Mut’ah dalam Al-Qur’an?
Syiah masih juga memperjuangkan praktik mut’ah dengan menukil firman Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nisa’ ayat 24,
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ
“Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mut’ahnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”
Mayoritas ahli tafsir menerangkan bahwa
ayat di atas berkenaan dengan akad nikah yang biasa dikenal, bukan
praktik mut’ah. Maksudnya, jika salah seorang di antara kalian menikahi
seorang wanita, hendaknya ia menyerahkan mahar untuknya. Memang ada
beberapa ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan
praktik mut’ah. Akan tetapi, mereka sendiri menegaskan bahwa hukum
mut’ah telah mansukh (gugur) dengan hadits-hadits yang sahih. Wallahu
a’lam.
Selain ayat di atas, kalangan Syiah juga
menyebutkan beberapa ayat al- Qur’an yang diklaim sebagai landasan dari
praktik mut’ah. Ayat-ayat tersebut antara lain; al-Baqarah: 236, al-
Baqarah: 241, al-Ahzab: 28, dan al-Ahzab: 49.
Cukuplah sebagai jawaban untuk mereka,
pernyataan tegas az-Zujjaj (Syarah an-Nasa’i karya al-Atyubi 28/),
“Sesungguhnya, sebagian kalangan telah terjatuh dalam kesalahan fatal
berkenaan ayat ini karena kebodohan mereka terhadap lughah (bahasa
Arab).”
Seorang Pemuda dan Rasulullah
Sebagai bukti lain kejahatan kaum Syiah
dalam praktik mut’ah, mereka sendiri—terutama kalangan tokoh dan
pimpinan Syiah—akan merasa keberatan jika praktik mut’ah itu dilakukan
terhadap keluarga mereka, baik ibu, istri, putri, saudara perempuan,
maupun bibi mereka. Semakin jelaslah bahwa praktik mut’ah adalah praktik
zina yang dilakukan atas nama agama. Na’udzu billah min dzalik.
Simaklah hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, yang dikeluarkan oleh al- Imam Ahmad rahimahullah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani. Seorang pemuda datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta izin agar diperbolehkan melakukan perbuatan zina.
Dengan penuh kasih sayang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengarahkan cara berpikir pemuda tersebut. Beliau bertanya, “Relakah
engkau jika hal itu terjadi pada ibumu? Relakah engkau jika hal itu
terjadi pada putrimu? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara
perempuanmu? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (dari jalur
ayah)? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (dari jalur
ibu)?” Setiap kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, pemuda itu pasti menjawab, “Tentu tidak! Demi Allah! Allah Subhanahu wata’ala menjadikanku sebagai tebusan Anda.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Kalau begitu, orang-orang pun tidak rela jika hal itu
terjadi pada ibu, putri, saudara perempuan, dan bibi mereka!” Oleh
karena itu, siapa pun yang berpendapat tentang bolehnya praktik mut’ah,
apakah ia bisa menerima jika praktik mut’ah dilakukan kepada ibu, putri,
atau saudara perempuannya??? Masih banyak lagi sisi-sisi buruk dan
jahat dari praktik mut’ah yang tidak dapat diuraikan dalam pembahasan
ringkas ini, baik secara sosial kemasyarakatan, kesehatan, tatanan
keluarga, ekonomi, pelecehan kaum wanita, dan lain-lain. Namun, sedikit
keterangan di atas sebenarnya telah lebih dari cukup untuk menegaskan
haramnya praktik mut’ah. Bagi orang yang berakal, tentunya! Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai

Kepalsuan Doktrin Imamah Syiah
Jika kita mencermati perjalanan dakwah
al-haq sejak diutusnya para nabi dan rasul, akan kita temukan berbagai
bentuk penentangan dan penyelisihan terhadap al-haq. Ini menjadi bukti
bahwa kebanyakan hamba- Nya tidak menginginkan kelurusan hidup. Mereka
memberontak, menyerukan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan
slogan-slogan kekufuran. Di antara slogan itu ialah menghidupkan budaya
dan peninggalan nenek moyang, serta menjaga eksistensi ajaran mereka.
Dalam pandangan mereka, agama yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala itu universal dan fleksibel. Ia bisa diotakatik dan ditarik ulur sesuai dengan kondisi dan zaman yang berlangsung.
Alhasil, yang ada adalah menghakimi
ajaran agama, sebagaimana halnya perbuatan orang-orang kafir terhadap
agama mereka. Akibatnya, muncullah dalam tubuh kaum muslimin istilah
para “pembaru”, aliran-aliran modern di dalam Islam, pemikiran dan
gerakan pembaruan, periode modern dalam sejarah Islam, dan berbagai
istilah lain, yang notabene semuanya mempertanyakan (menggugat)
sakralisasi Islam sebagai agama wahyu. Jika kita tarik benang merah,
secara jujur, akan kita dapati bahwa penolakan mereka terhadap al-haq
adalah titipan Iblis la’natullah alaih.
Dakwah para nabi dan rasul yang menebar
rahmat kepada segenap manusia dianggap sebagai aturan yang mengekang
kebebasan, membunuh karakteristik berpikir yang hidup dan luas, serta
menumpulkan ketajaman akal. Dalam anggapan mereka, wahyu menjerat semua
kehendak dan keinginan. Mengapa mereka tidak berpikir ringan dan mudah,
yaitu bukankah Allah Subhanahu wata’ala yang menciptakan kita? Bukankah Allah yang mengatur urusan hidup ini? Bukankah Allah Subhanahu wata’ala yang telah memenuhi segala kebutuhan mereka?
Bukankah Allah Yang Maha Mengetahui
kemaslahatan hidup setiap hamba? Dzat yang seperti ini tentu Mahaadil,
Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui akan seluk-beluk maslahat dan
mafsadah bagi kehidupan manusia. Sungguh, Iblis la’natullah alaih bergembira
melihat perilaku hambahamba Allah itu. Sebab, memperoleh banyak sahabat
untuk memenuhi isi jahannam bersama dirinya. Ia mendapat banyak teman
yang akan mendapatkan murka Allah Subhanahu wata’ala, dan banyak pengikut yang merasakan azab-Nya.
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan bagi kalian
adalah musuh, maka jadikanlah dia sebagai musuh kalian, dan sesungguhnya
setan menyeru pengikutnya menjadi penghuni neraka Sa’ir (yang
menyala-nyala).” (Fathir: 6)
Syiah Salah Satunya
Munculnya ajaran dan aliran Syiah
sesungguhnya menjadi bukti nyata akan hal itu. Dengan kedok mengangkat
eksistensi “ahlul bait” dan memperjuangkan hakhak mereka, agama ini
dicetuskan oleh Abdullah bin Saba’, si Yahudi. Syiah pun menyasar kaum
muslimin yang jahil tentang agama dengan menggugah sifat dasar pada
setiap bani Adam, yaitu kerakusan hidup dan tidak pernah puas. Cukuplah
untuk membuktikan hal itu adalah ajaran kebinatangan melalui hubungan
seks bebas yang diseting oleh mereka sebagai bagian dari ajarannya.
Kemudian perbuatan keji dan kotor itu mereka istilahkan dengan nikah
mut’ah, sebuah bentuk pernikahan yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kebebasan hubungan seks ala Syiah itu
telah memunculkan berbagai penyakit kelamin yang mengerikan dan kotor:
GO (kencing nanah), AIDS, dan sebagainya. Tidak mengherankan jika
kelakuan binatang itu akan menyusup di pelosokpelosok daerah kaum
muslimin yang Syiah berkembang di situ. Oleh karena itu, segenap kaum
muslimin mesti mewaspadai ajaran tersebut. Cukuplah kitab suci al-Qur’an
dan wahyu yang kedua, yaitu Sunnah Rasul, sebagai dasar menghukumi
bahwa ajaran mereka itu sesat dan menyesatkan. Mewaspadai mereka berikut
ajaran mereka termasuk pelaksanaan terhadap perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah berhati-hati orangorang yang menyelisihi perintahnya untuk tertimpa fitnah (musibah) dan azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Syiah Memorak-porandakan Umat Islam
Kaum Syiah telah terang-terangan
memorak-porandakan ajaran Islam dan umat Islam. Hal itu terjadi sejak
ada anggapan mereka bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali bin Abu Thalib
dan 12 keturunannya yang dianggap sebagai imam-imam yang maksum
(terbebas dari dosa dan kesalahan). Mereka menganggap bahwa yang berhak
menjadi khalifah adalah Ali. Ini pun tidak sekadar anggapan, tetapi ada
konsekuensi di belakangnya, yaitu mereka mengafirkan dan memvonis para
sahabat sebagai orang-orang munafik. Menurut pandangan mereka Abu Bakr,
Umar, dan Utsman, serta para sahabat yang bersama mereka, tak ubahnya
komplotan penjegal, perampok, pencuri, dan perampas.
Mulla Baqir al-Majlisi berkata di dalam kitabnya, Hayatul Qulub, “Rasulullah memproklamirkan pada hari Ghadir, ‘Sesungguhnya Ali adalah waliku, wasiatku, dan pengganti setelahku.’ Namun,
teman-temannya telah berbuat kepadanya seperti perbuatan kaum Musa.
Mereka mengikuti anak sapi umat ini dan Samiri-nya. Yang aku maksudkan
adalah Abu Bakr dan Umar….
Kaum munafik murka atas kekhilafahan Ali sebagai pengganti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sepeninggal beliau. Mereka melakukan kezaliman terhadap kitabullah.
Mereka selewengkan, rombak, dan berbuat sesuai dengan kehendak mereka.” (Baina asy-Syiah wa Ahlis Sunnah karya Ihsan Ilahi Zhahir hlm. 71)
Mereka mengafirkan Abu Bakr dan Umar
dengan mengatakan, “Sesungguhnya keduanya tidak memilki nilai atau
kebaikan dalam Islam, walaupun hanya sebesar biji sawi.” Tentang Utsman,
mereka berkata, “Sesungguhnya dia telah berhukum dengan hukum yang
tidak diturunkan oleh Allah.”
Tentang Muawiyah, mereka berkata,
“Sesungguhnya dia telah memikul kedengkian yang memuncak dan kekafiran
yang tersembunyi.” Tentang Aisyah, mereka berkata, “Rasulullah
berkhutbah. Beliau mengisyaratkan ke arah kamar Aisyah dan mengatakan,
‘Dari sinilah fitnah muncul.’ Beliau mengulanginya tiga kali.”
Kata mereka pula, “Rasulullah keluar dari rumah Aisyah lalu bersabda,
‘Dari ini munculnya otak kekafiran’.” Mereka mengatakan, “Sunnah
Nabi diriwayatkan dari para sahabat Rasulullah, padahal mereka telah
murtad semuanya, termasuk tokoh-tokoh bani Hasyim dan selainnya dari
kalangan Muhajirin dan Anshar, kecuali tiga orang, yaitu Miqdad, Abu
Dzar, dan Salman. Orang yang meriwayatkan dari mereka sedikit sekali.
Adapun perawi-perawi dari selain mereka bertiga tidak menenteramkan
hati, karena mereka kembali kafir.” (Baina asy-Syiah wa Ahlis Sunnah karya Ihsan Ilahi Zhahir hlm. 104 )
Perselisihan Syiah dalam Menetapkan Hak Imamah
Syiah telah berselisih pendapat dalam
hal penetapan imamah di kalangan mereka. Perselisihannya cukup banyak
dan sengit. Ini menjadi bukti goncang/ rapuhnya ajaran mereka. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa imamah tetap di tangan Ja’far bin
Muhammad. Ada pula yang mengatakan bahwa imamah itu di tangan anaknya,
yaitu Musa. Ada yang mengatakan bahwa imamah di tangan Abdullah bin
Mu’awiyah. Ada juga yang mengatakan dengan jelas bahwa Ali telah
menunjuk Hasan dan Husain.
Ada yang mengatakan, yang dimaksud ialah
Muhammad bin Hanafiyyah. Ada yang berpendapat, Ali bin Husain telah
berwasiat kepada putranya, Abu Ja’far. Masih banyak lagi perselisihan
pendapat di kalangan mereka tentang hal ini. (Lihat Aujaz al-Khithab fi Bayan Mauqif asy-Syiah minal Ashhab 1/10 )
Saudaraku, dari perselisihan yang sangat
pelik tersebut, orang yang memiliki dasar ilmu yang paling rendah pun
akan bisa menyimpulkan, betapa bingungnya mereka meletakkan prinsip
beragama dan betapa jauhnya mereka dari kebenaran.
Tujuan Menghalalkan Segala Cara
Syiah telah melakukan banyak manuver
untuk melariskan dagangan kesesatan mereka. Intinya, bagaimana tujuan
mereka bisa tercapai. Manuver-manuver sesat yang mereka lakukan di
antaranya adalah menodai keabsahan al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala,
meragukan penukilan riwayat dari para sahabat selain tiga orang, yaitu
Miqdad, Abu Dzar, dan Salman, karena mayoritas sahabat murtad dan
menjadi munafik sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tanpa rasa malu, mereka menjadikan
amalan kekafiran tersebut sebagai sarana menggapai tujuan. Sungguh,
sangat mengherankan. Di mana mereka letakkan akal mereka? Seharusnya,
mereka meragukan kebenaran ajaran mereka karena banyaknya dosa dan
kemaksiatan mereka. Mereka melakukan berbagai kesyirikan dan ribuan
kebid’ahan. Bukankah mereka itu yang semestinya menyandang tuduhan yang
mereka sematkan kepada para sahabat yang mulia dan agung? Padahal para
sahabat telah mendapatkan predikat tinggi dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Apalagi ajaran mereka membolehkan
berdusta untuk kepentingan dakwah. Tidak hanya boleh, bahkan mereka
menjadikan dusta sebagai salah satu prinsip beragama. Mereka menyebutnya
taqiyah. Al-ghayah tubarrirul wasilah (Tujuan menghalalkan segala cara). Inilah kaidah Iblis dalam menentang perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala.
Benarkah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Mewasiatkan Khilafah Untuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu?
Kaum Syiah tidak akan habishabisnya menunggangi syariat Allah Subhanahu wata’ala dan mengotorinya, sampai keputusan Allah Subhanahu wata’ala
datang atas mereka. Mereka akan melakukan segala cara, yang penting
tujuan mereka bisa tercapai. Salah satunya adalah menukilkan
riwayat-riwayat dusta dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Syiah adalah kelompok yang paling pendusta.” Kaum Syiah
menganggap, hadits Ghadir Khum menjelaskan bahwa Rasulullah hallallahu ‘alaihi wasallam langsung menobatkan Ali radhiyallahu ‘anhu
sebagai khalifah sepeninggal beliau. Mereka mengatakan, penobatan
tersebut di hadapan 120 ribu kaum muslimin. Ghadir Khum adalah
persimpangan jalan menuju kota Madinah, Irak, Mesir, dan Yaman. Versi
mereka, Malaikat Jibril ‘Alaihissalam turun membawa wahyu kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang isinya,
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن
لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ
النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika tidak kamu kerjakan apa yang
diperintahkan itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memeliharamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 67)
Selain itu, Jibril ‘Alaihissalam menyampaikan kepada Rasulullah n bahwa Allah Subhanahu wata’ala memerintah beliau agar menjadikan Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai pemimpin umatnya dan sebagai pemegang wasiat beliau setelah beliau wafat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
lantas menghentikan perjalanan dan memerintah orang-orang yang berada
di barisan belakang untuk segera menyusul dan yang telah mendahului
untuk kembali. Mereka semuanya pun berkumpul di sekeliling beliau.
Saat waktu zuhur tiba, beliau mengimami shalat dan menyampaikan pidato yang isinya adalah bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan bahwa keimamahan itu kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Yang hadir diminta untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir. Di antara ucapan beliau dalam pidato tersebut, “Taatilah dan patuhilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala adalah pelindung kalian, Ali adalah pemimpin kalian.
Kemudian kepemimpinan ada di tangan anak cucuku dari keturunannya hingga hari kiamat. Sabdaku dari Jibril, dari Allah Subhanahu wata’ala. Hendaknya setiap jiwa melihat apa yang telah dipersiapkan untuk hari esoknya.”
Tinjauan Ulama Sunnah Tentang Hadits Ghadir Khum Ala Syiah
a. Sahihkah riwayat hadits Ghadir Khum?
Saudaraku, kita memiliki ulamaulama
sunnah yang akan menjelaskan kepada kita tentang kebenaran riwayat
tersebut. Dengan demikian, kita bisa berada di atas bashirah dan
mengetahui kejahatan, kerusakan, dan kesesatan agama Syiah. Hadits
Ghadir Khum benar datangnya dari Rasulullah n. Sepulang beliau dari haji
wada’, pada 18 Dzulhijjah, di sebuah tempat yang dikenal dengan nama
Ghadir Khum, antara kota Makkah dan Madinah, beliau berwasiat,
كَأَنِّي
دُعِيتُ فَأَجَبْتُ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ أَحَدِهِمَا
أَكْبرُ مِنَ الْآخَرِ: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلِ بَيْتِي،
فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا فَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا
حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللهَ مَوْ يَالَ
وَأَنَا وَلِيُّ كَلِّ مُؤْمِنٍ. ثُمَّ إِنَّهُ أَخَذَ بِيَدِ عَلِيٍّ
فَقَالَ: مَنْ كُنْتُ وَلِيَّهُ فَهَذَا وَلِيُّهُ اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ
وَا هَالُ وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ
“Seolah-olah aku dipanggil lalu aku
menyambutnya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua hal
yang berat, yang satu lebih besar dari yang lain. Itulah kitabullah dan
‘itrati (keluargaku). Perhatikanlah apa yang kalian perbuat
sepeninggalku terhadap keduanya. Sesungguhnya keduanya tidak akan
berpisah hingga keduanya mendatangiku di telaga kelak.” Lalu
beliau berkata, “SesungguhnyaAllah adalah waliku, dan aku adalah wali
setiap orang yang beriman.” Kemudian beliau memegang tangan Ali seraya
berkata, “Barang siapa menjadi waliku, Ali pun menjadi walinya. Ya Allah, lindungilah orang yang melindunginya, dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Hadits di atas dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash- Shahihah no. 1750. Beliau bawakan pula syawahid (penguat-penguat)
yang sangat banyak. Riwayat serupa datang dari banyak sahabat, seperti
sahabat Zaid bin Arqam, Sa’d bin Abi Waqqash, Buraidah bin Hushaib, Ali
bin Abu Thalib, Abu Ayyub al-Anshari, al-Bara’ bin ‘Azib, Abdulah bin
Abbas, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah g.
b. Riwayat hadits Ghadir Khum ala Syiah
Ingat, Syiah adalah kelompok yang paling
pendusta, sebagaimana ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas.
Tentu saja gambaran yang melekat di benak kita, mereka akan menguatkan
segala prinsip agamanya di atas standar dusta. Kedustaan adalah simbol
agama dan syiar ajaran mereka. Pantaslah apabila mereka mencoba
memanipulasi hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
mengokohkan ajaran mereka sehingga bisa mudah diterima oleh banyak
pihak. Contoh konkret adalah hadits Ghadir Khum yang mereka
tambah-tambahi, seperti firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak melakukannya,
kamu tidak menyampaikan risalah-Nya.” (al-Maidah: 67)
Kata mereka, ayat ini turun pada peristiwa Ghadir Khum saat pengokohan Ali radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah pengganti beliau. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, “Ini adalah satu bentuk kedustaan. Ayat di atas sudah
turun lama sebelum haji wada’. Sementara itu, peristiwa Ghadir Khum
terjadi pada haji wada’, tanggal 18 Dzulhijjah, sekembalinya beliau dari
menunaikan haji. Setelah itu, beliau menjalani hidup selama dua bulan.
Adapun ayat yang terakhir turun adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
“ Pada hari ini , Aku telah menyempurnakan agama kalian dan telah mencukupkan atas kalian nikmat- Ku.” (al-Maidah: 3)
Ayat ini turun pada 9 Dzulhijjah, dalam
rentetan amalan haji wada’. Ayat ini turun saat beliau wukuf di Arafah,
sebagaimana termaktub di dalam kitabkitab Shahih dan Sunan. Seluruh
ahli tafsir dan ulama hadits selain mereka pun menyatakan demikian.
Sementara itu, peristiwa Ghadir Khum terjadi setelah beliau kembali ke
Madinah pada 18 Dzulhijjah, sembilan hari setelah haji wada’. Bagaimana
bisa dikatakan bahwa ayat al-Maidah: 67 turun pada waktu itu? Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ayat di atas turun sebelum
itu. Ayat di atas termasuk ayat-ayat pertama kali turun di kota Madinah,
walaupun terdapat dalam surat al-Maidah. Di samping itu, kaum Syiah
juga menambahkan riwayat pada peristiwa Ghadir Khum,
هَذَا أَخِي وَوَصِيِّي وَخَلِيفَتِي فِيكُمْ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا-يَعْنِي عَلِيًّ
“Ini adalah saudaraku, wasiatku, dan
penggantiku di tengah-tengah kalian. Karena itu, dengarlah dan taatlah
kepadanya, yaitu Ali.” Dengan demikian, jelaslah kepalsuan hadits
ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama Sunnah. Lihat keterangan
lebih lanjut pada Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah no. 4932.
Wilayah Imamah Ala Syiah, Angan- Angan Belaka
Dengan keterangan ini, jelaslah bahwa
apa pun yang mereka serukan, akui, serta yakini, semuanya hanyalah
kamuflase kesesatan. Tujuannya adalah menggiring umat kepada ideologi
Abdullah bin Saba’, sebuah ajaran untuk memerangi orang-orang Islam
secara umum dan Ahlus Sunnah secara khusus. Semoga Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkan kaum muslimin dari kesesatan mereka. Amin.
Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
Taqiyah=Dusta
Makna Taqiyah
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
berkata, “Taqiyah menurut mereka (Syiah) adalah menampakkan sesuatu
dengan menyelisihi yang mereka sembunyikan atau menyatakan sesuatu yang
berlawanan dengan apa yang mereka rahasiakan.” (asy-Syiah was- Sunnah, hlm. 100)
Taqiyah adalah perlindungan dengan
maksud seseorang melindungi keselamatan dan kehormatan diri dan harta
dari bahaya musuh dengan menyembunyikan sesuatu serta melahirkan apa
yang berlainan dengan hakikat (yang benar) yang tersembunyi di dalam
hati. Dengan kata lain, taqiyah ialah tindakan berpura-pura atau
hipokrit karena terpaksa. (Wikipedia)
Taqiyah dan Keyakinan Syiah
Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih
al-Qumi (salah seorang ahli hadits Syiah) berkata, “Taqiyah adalah
suatu kewajiban. Barang siapa meninggalkannya, kedudukannya seperti
orang yang meninggalkan shalat.” Dia juga berkata, “Taqiyah adalah suatu
kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan sampai keluar penegak keadilan
(Imam Mahdi versi mereka). Barang siapa meninggalkannya sebelum penegak
keadilan tersebut keluar, berarti dia keluar dari agama Allah Subhanahu wata’ala dan dari ajaran Imamiyah serta menyelisihi Allah Subhanahu wata’ala, Rasul-Nya, dan imam-imam (mereka). (al-I’tiqad, pasal at-Taqiyah terbitan Iran tahun 1374 H)
Muhibbuddin al-Khathib rahimahullah
berkata, “Sebab utama yang menghalangi terjadinya tanya jawab yang
jujur dan ikhlas di antara kita dan mereka (Syiah) adalah taqiyah.
Sebab, taqiyah adalah keyakinan agama yang menghalalkan mereka untuk
menampakkan kepada kita segala sesuatu yang menyelisihi apa yang mereka
sembunyikan di dalam hati. Karena itu, ada sebagian kita (Ahlus Sunnah)
yang pada dasarnya hatinya selamat (baik) bisa tertipu oleh zahir yang
mereka tampakkan karena ambisi mereka supaya dipahami dan dimengerti.
Padahal mereka sendiri tidak ingin dan tidak ridha melakukannya. (al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 8—9)
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata (asy-Syiah wa as-Sunnah,
hlm. 100), “Taqiyah adalah ajaran dan keyakinan mereka. Hakikatnya
adalah menyembunyikan kebenaran dan menampakkan kebatilan. Sampai-sampai
mereka membuat hadits palsu untuk melegalkannya. Mereka meriwayatkan
dari Sulaiman bin Khalid, ia berkata, “Abu Abdillah (Jafar bin al-Baqir
yang mereka gelari dengan ash-Shadiq), mengatakan, “Wahai Salman,
sesungguhnya engkau berada di atas suatu ajaran agama yang barang siapa
menyembunyikannya, niscaya Allah akan memuliakannya; dan barang siapa
menampakkannya niscaya Allah akan menghinakannya’.” (al-Kafi fi al-Ushul, hlm. 222 terbitan Iran)
Selanjutnya asy-Syaikh Ihsan Ilahi
Zhahir menjelaskan, “Setelah penjelasan ini, apakah mungkin seseorang
memercayai dan membenarkan ucapan mereka, berjalan bersama dan membuat
kesepakatan dengan mereka?” Sungguh benar pengakuan seorang ulama Syiah,
“Sesungguhnya, mazhab Imamiyah dan mazhab Ahlus Sunnah ibarat dua mata
air yang mengalir berlawanan arah. Sampai hari kiamat, dua mata air
tersebut demikianlah berjauhan sehingga tidak mungkin bertemu
selamalamanya.” (Mishbahu azh-Zhulam, hlm. 41—42)
Mengapa dan Sampai Kapan Bertaqiyah?
Syiah melakukan taqiyah untuk menjaga jiwa, harta, dan yang lainnya. Mereka menukil dari ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata, “Taqiyah termasuk amalan-amalan yang paling mulia.
Dengan taqiyah, seseorang menjaga diri dan saudara-saudaranya dari
orang-orang jahat.” (Tafsir al-Askari, hlm. 163)
Al-Kulaini meriwayatkan dari Zurarah,
dari Abu Jafar, dia berkata, “Taqiyah (dilakukan) pada kondisi
darurat.Pelakunya lebih paham, kapan harus melakukannya.” (al-Kafi fi al-Ushul,
bab at-Taqiyah) Dalam riwayat lain, Abu Jafar berkata, “Ada tiga
perkara yang aku tidak akan bertaqiyah terhadapa seorang pun: minum arak
(khamr), mengusap bagian atas kedua khuf, dan haji tamattu’.
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir (seorang
ulama Sunni) berkomentar, “Yang benar adalah mereka berkeyakinan bahwa
taqiyah itu wajib dalam seluruh perkara apakah untuk menjaga
(melindungi) jiwa atau yang lainnya. Mereka membiasakan dusta, kemudian
melegalisasikannya dan menyebutnya dengan nama yang lain (baca:
taqiyah). Setelah itu, mereka membuat hadits-hadits palsu yang
menunjukkan keutamaannya.” (asy-Syiah wa as-Sunnah, hlm. 117)
Mereka melakukan taqiyah ini sampai mati
atau keluarnya imam Mahdi versi mereka. Ali bin Musa bin Jafar (imam
ke-8 versi Syiah) berkata, “Tidak ada agama bagi orang yang memiliki
sikap wara’ dan tidak ada iman bagi orang yang tidak bertaqiyah karena
yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah Subhanahu wata’ala
adalah yang paling bertakwa (baca: bertaqiyah).” Lalu dia ditanya
sampai kapan? Dia menjawab, “Sampai waktu yang sudah ditentukan, yaitu
hari keluarnya (Imam Mahdi) yang menegakkan keadilan. Barang siapa yang
meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi, berarti dia bukan
golongan kita.” (Kasyful Ghummah [sebuah buku Syiah], hlm. 241)
Dusta, Ajaran Agama Syiah
Dalam rangka melegalisasikan
ajaranajarannya yang sesat dan menyesatkan, Syiah menghalalkan dusta
demi agama (baca: agama Syiah) Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir menjelaskan
di dalam kitabnya, asy- Syiah was-Sunnah (hlm. 100), “Tidaklah terucap
kata-kata Syiah kecuali akan tergambarkan kedustaan senantiasa
bersamanya, seakan-akan dua kata yang sinonim (semakna) yang tidak ada
perbedaannya. Dua perkara tersebut saling menuntut dari sejak awal
munculnya mazhab ini (baca: agama ini). Syiah sejak awal munculnya
berasal dari kedustaan dan diiringi dengan kedustaan pula.” Tatkala
Syiah adalah induknya kedustaan, maka mereka memberi label kedustaan
tersebut dengan bungkus pengultusan dan pengagungan yang mereka
menamainya (at-Taqiyah) yaitu nama yang bukan aslinya. Mereka
menginginkan dengan taqiyah supaya bisa menampakkan segala sesuatu yang
menyelisihi dengan apa yang mereka sembunyikan dan menyatakan (segala
sesuatu) yang berlawanan dengan apa yang mereka rahasiakan,
sampai-sampai mereka berlebih-lebihan dengan taqiyah ini sehingga mereka
menjadikannya sebagai keyakinan agama mereka dan salah satu prinsip
dari prinsip-prinsip ajaran agama mereka. Lalu mereka menisbatkan
prinsip ini kepada salah seorang imam mereka yang ma’shum menurut mereka
yaitu Abu Jafar bin Yaqub al-Kulaini, “At-Taqiyah itu termasuk agamaku
(keyakinanku) dan keyakinannya bapak-bapakku. Tidak ada iman bagi orang
yang tidak bertaqiyah.” (al-Kafi fi al-Ushul, hlm. 217 terbitan Iran)
Macam-Macam Kedustaan Syiah
1. Dusta atas Nama Allah Subhanahu wata’ala Rabb kita Subhanahu wata’ala mengharamkan kedustaan atas nama-Nya di dalam firman-Nya,
ۚ
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِّيُضِلَّ
النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
Maka siapakah yang lebih zalim
daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk
menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al-An’am: 144)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (al- Baqarah: 169)
Namun dengan larangan Allah Subhanahu wata’ala itu yang sangat keras, mereka orangorang Syiah berarti mengada-ngadakan kedustaan atas nama Rabb kita Subhanahu wata’ala
dalam rangka membenarkan prinsip taqiyah yang jahat dengan tujuan
menyesatkan hamba-hamba-Nya. Mereka menukilkan ucapan Abu Abdillah
al-Baqir, imam ke-6 versi Syiah, yang mereka gelari ash-Shadiq, Maka
siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. tatkala ditanya tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (al-Hujurat: 13)
Lalu dia menjawab, “Yang beramal dengan taqiyah di antara kalian.” (al- I’tiqad,
pasal at-Taqiyah terbitan Iran tahun 1347 H) Demikian juga “Imam
Bukhari” mereka yang bernama Muhammad bin Yaqub al-Kulaini meriwayatkan
di dalam Shahih-nya (al-Kafi fi al-Ushul, hlm. 217 yang diterbitkan di Iran) dari Abi Bashir, dari Abu Abdillah berkata, “Taqiyah itu bagian dari agama Allah Subhanahu wata’ala.” Maka aku (Abu Bashir) bertanya, “Termasuk dari agama Allah Subhanahu wata’ala?” Lalu dia menjawab, “Ya, demi Allah, termasuk bagian dari agama Allah Subhanahu wata’ala.”
2. Dusta atas Nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam umatnya yang berani berdusta atas namanya dengan sabdanya,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, “Golongan manusia yang paling banyak berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syiah Rafidhah. Sebab, tidak ditemukan kelompok-kelompok ahli bid’ah yang lebih sering berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
daripada mereka. Hal ini ditegaskan oleh para ulama ahli hadits tatkala
membahas tentang hadits palsu. Merekaberkata, ‘Sesungguhnya yang paling
banyak berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syiah Rafidhah.’ Ini adalah realitas yang dapat diketahui oleh orang yang meneliti kitab-kitab mereka.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 4/70)
Adapun bukti kedustaan mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah sebagai berikut. Mereka menukil dari Abu Abdillah, dia berkata
bahwa ketika Abdullah bin Ubai bin Salul (pemimpin munafikin)meninggal,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadiri jenazahnya. Umar berkata kepada Rasulullah, “Bukankah Allah Subhanahu wata’ala
telah melarangmu dari menyalatinya?” Beliau diam. Umar bertanya lagi,
“Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah melarangmu dari menshalatinya?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya,
“Celaka kamu! Apa yang kamu ketahui tentang apa yang aku ucapkan (pada
doaku)? Sesungguhnya aku telah berdoa, ‘Ya Allah, penuhilah rongga perutnya dengan api neraka dan masukkanlah dia ke dalam neraka’.” Abu Abdillah berkomentar, “Dia (Umar) mendapat kejelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah (yang mulanya) dia membencinya.” (al-Kafi fi al-Furu’, Kitab al-Janaiz hlm. 188 terbitan Iran)
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir mengomentarinya, “Inilah akidah Syiah dalam masalah taqiyah. Menurut mereka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdaya para sahabat, wal-‘iyadzubillah. Beliau tampakkan seolah-olah memohon ampun kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk si munafik padahal Allah Subhanahu wata’ala telah melarangnya. Demikian pula, beliau tampakkan bahwa beliau menyelisihi perintah dan larangan Allah Subhanahu wata’ala dengan melakukan sebuah amalan yang tidak dilakukan oleh para sahabat sesuai dengan apa yang mereka lihat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Sebab, mereka tidak mengetahui apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan kebaikan ataukejelekan bagi si munafik. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam menampilkan
diri sebagai hamba yang belas kasih terhadapnya, padahal yang beliau
rahasiakan adalah menyelisihi yang beliau tampakkan. Jadi, lahiriah
beliau menyelisihi batinnya (berdasarkan riwayat mereka).”
Beliau berkata pula, “Anda boleh
bertanya kepada mereka, apa yang menyebabkan beliau takut sehingga
memaksa beliau menyalatkan jenazah Abdullah bin Ubai bin Salul si
munafik, padahal waktu itu Islam dalam posisi yang sangat kuat. Demikian
pula, tidaklah si munafik ini menyembunyikan kekafirannya kecuali
karena takut terhadap Islam dan kekuatan Islam serta ambisi mendapatkan
keuntungan pribadi dari Islam. Syiah tidaklah mengada-adakan kedustaan
ini kecuali untuk melegalkan akidah mereka yang najis ini, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan taqiyah atau
dusta sebagaimana halnya yang dilakukan oleh imam-imam mereka. Inilah
taqiyah menurut Syiah. Taqiyah yang mereka nyatakan, ‘Tidak dilakukan kecuali dengan menyembunyikan suatu perkara untuk menyelamatkan jiwa dan menjaga diri dari kejahatan.’ Adakah seorang muslim yang bimbang bahwa ini adalah kemunafikan dan kedustaan?” (asy-Syiah wa as- Sunnah, hlm. 106—107)
Ash-Shadiq meriwayatkan dari Jabir, aku
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang berkata bahwa Abu
Thalib mati dalam keadaan kafir.” Beliau menjawab, “Wahai Jabir, Rabbmu
lebih mengetahui yang gaib. Tatkala aku isra mi’raj ke langit dan
sampai di Arsy, aku melihat empat cahaya. Dikatakan kepadaku, ‘Ini
Abdul Muthalib, ini pamanmu Abu Thalib, ini bapakmu Abdullah, dan ini
anak laki-laki pamanmu, Ja’far bin Abu Thalib.’ Aku bertanya,
‘Sembahanku, mengapa mereka bisa mendapatkan kedudukan yang mulia ini?’
Dia menjawab, ‘Mereka menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekafiran,
sampai mereka mati dalam keadaan seperti itu’.” (Jami’ al-Akhbar, hlm. 140)
Mereka membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Permisalan seorang muslim yang tidak bertaqiyah seperti tubuh yang tidak berkepala.” (Tafsir al-‘Askari, hlm. 162)
Taqiyah dan Tauriyah
Taqiyah berbeda dengan tauriyah. Tauriyah, menurut an-Nawawi radhiyallahu ‘anhu dalam Riyadhus Shalihin, adalah
memaksudkan perkataannya dengan maksud yang benar, bukan maksud dusta
kalau dilihat niatnya; walaupun perkataan itu kalau dilihat zahirnya
adalah dusta kalau dilihat dari apa yang dipahami oleh orang yang diajak
bicara’. (Sebagai contoh) apabila seorang muslim bersembunyi dari orang
zalim yang ingin membunuhnya atau mengambil hartanya dan dia
menyembunyikan harta itu. Jika seorang ditanya tentang orang muslim itu,
wajib dia berdusta dengan cara menyembunyikannya. Demikian pula apabila
dirinya dititipi sebuah barang yang ingin dirampas oleh orang zalim, ia
harus berdusta dengan menyembunyikan titipan itu. Yang lebih hati-hati
dalam hal ini semuanya adalah melakukan tauriyah. (Riyadhus Shalihin, bab “Bayanu ma Yajuzu minal Kadzib”)
Dusta Atas Nama Ahlul Bait
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang tanda-tanda orang munafik yang salah satu tandanya adalah,
إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
“Apabila berbicara, dia berdusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullan bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu)
Syiah menukilkan bahwa Ali bin Abi
Thalib z berkata, “Taqiyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling
mulia. Dengan taqiyah itu dia menjaga/ melindungi diri dan
saudara-saudaranya dari orang-orang yang jahat.” (Tafsir al-Askari, hlm. 162)
Husain bin Ali berkata, “Kalau tidak ada taqiyah, tidak bisa dibedakan antara wali/saudara kita dengan musuh kita.” (Tafsir al-Askari, hlm. 162)
Ali bin Husain bin Ali berkata, “Allah Subhanahu wata’ala
akan mengampuni dosa-dosa orang yang beriman dan akan menyucikannya
dari dosa di dunia dan di akhirat, kecuali dua macam dosa, yaitu
meninggalkan taqiyah dan meninggalkan hak-hak saudara.” (Tafsir al-‘Askari, hlm. 164)
Semua ini adalah nukilan dusta dari ahlul bait, padahal mereka lebih suci dari mengatakan hal tersebut.
Islam Mengajarkan Kejujuran dan Melarang Dusta
Agama Islam membawa syariat yang mulia
dan sempurna. Ia senantiasa memerintah para hamba-Nya untuk berlaku
jujur dan menjauhi dusta. Sebagian bukti yang menunjukkannya adalah
Allah Subhanahu wata’ala memerintah hamba-hamba-Nya agar berjalan bersama dengan orang-orang jujur setelah perintah untuk bertakwa,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (at-Taubah: 119)
Orang-orang yang jujur adalah salah satu golongan yang Allah Subhanahu wata’ala janjikan bagi mereka ampunan dan pahala yang agung,
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.” (al- Ahzab: 35)
Demikianlah karena kejujuran akan
mendatangkan ketenangan, keselamatan serta kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib berkata,
دَعْ
مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا :n حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ لاَ يَرِيبُكَ،
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رَيْبَةٌ
“Aku hafal dari Rasulullah, ‘Tinggalkanlah
segala sesuatu yang membingungkanmu kepada yang tidak membingungkanmu,
karena kejujuran itu menimbulkan ketenangan, sedangkan dusta menimbulkan
kegundahan/ ketidaktenangan’.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau menyatakan, “Ini hadits yang sahih)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya
kejujuran itu akan menuntun kepada kebaikan, sedangkan kebaikan akan
menuntun untuk masukke dalam jannah. Sungguh seseorang berbuat jujur
sehingga ditetapkan di sisi Allah Subhanahu wata’ala sebagai
orang yang sangat jujur. Sesungguhnya kedustaan itu akan menyeret
pelakunya ke dalam kejahatan dan kejahatan akan menyeret pelaku ke dalam
neraka. Sesungguhnya seseorang berbuat dusta sehingga ditetapkan di
sisi Allah Subhanahu wata’ala sebagai pendusta.”
Adapun dusta adalah ciri khas orang-orang munafik sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya,
إِذَا
جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
orangorang munafik itu benar-benar orang pendusta. (al-Munafiqun: 1)
Ciri khas mereka yang lain adalah nifaq (kemunafikan), yaitu menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan.
وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ
شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan apabila mereka berjumpa dengan
orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan
bila mereka kembali kepada setansetan mereka, mereka mengatakan,
“Sesungguhnya kami sependirian denganmu, kami hanyalah berolokolok.” (al-Baqarah: 14)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ
خَصْلُةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا
خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat hal; barang siapa yang ada
pada dirinya empat hal itu, berarti dia adalah orang yang munafik; dan
barang siapa yang ada pada dirinya salah satu darinya, berarti ada pada
dirinya perangai nifaq sehingga dia meninggalkannya. (Empat perkara
tersebut adalah) apabila dia dipercaya dia khianat, apabila dia
berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkarinya, dan apabila
dia berbantah-bantahan maka dia curang.” (Muttafaqun alaih)
Pembahasan ini kita akhiri dengan sebuah
pertanyaan, “Apakah mungkin mempertemukan dan menyatukan antara Islam
dengan Syiah atau antara Sunnah dengan Syiah?” Pertanyaan tersebut
dijawab oleh seorang alim yang sangat paham dengan kesesatan dan
kebobrokan Syiah, yaitu asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir. Beliau katakan,
“Bagaimana mungkin menyatukan orang yang jujur dengan pendusta?
Perbuatan dustanya bukan karena keadaan darurat yang mengharuskan dusta,
melainkan keyakinan bahwa dusta adalah kewajiban. Terlebih lagi dusta
itu diyakini sebagai amalan ibadah yang agung yang dapat mendekatkan
diri mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Al-Faruq ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu (3)
Bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Dalam edisi yang lalu telah diceritakan sebagian sikap tegas ‘Umar
terhadap orang-orang yang kafir. Begitu dalam rasa bencinya terhadap
kekafiran dan segala bentuknya berikut para pengusungnya, sampaisampai
beliau siap menebas leher sebagian kerabatnya sendiri yang masih kafir.
Dalam edisi ini akan kami lanjutkan dengan beberapa kejadian yang
menunjukkan kedudukan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua itu didasari atas keilmuan dan ketakwaannya serta kejujuran iman dan persahabatannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Permulaan Azan
Mulailah kehidupan baru masyarakat muslim dengan hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah ke Madinah. Hal pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah membangun masjid yang tidak hanya sebagai tempat untuk mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, tetapi juga sebagai markas pembinaan dan pendidikan masyarakat saat itu. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, seperti saudara
sekandung, saling menyayangi, saling menolong, bahkan saling mewarisi.
Setelah Masjid Nabawi berdiri, setiap waktu shalat tiba, kaum muslimin berkumpul untuk shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Belum ada tanda khusus untuk mengingatkan mereka agar segera mendatangi
masjid. Beberapa sahabat berbincang-bincang membahas masalah ini.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka bermusyawarah apa yang harus mereka lakukan untuk mengingatkan kaum muslimin bahwa waktu shalat sudah tiba.
Di antara sahabat, ada yang mengemukakan
pendapat agar menancapkan bendera di puncak masjid setiap waktu shalat
tiba, agar apabila bendera itu terlihat, sebagian akan memanggil yang
lain untuk segera ke masjid. Akan tetapi, pendapat ini tidak mengagumkan
beliau n. Yang lain berpendapat agar menyalakan api setiap waktu
shalattiba. Yang lain menyarankan agar menggunakan lonceng seperti
perbuatan orang-orang Nasrani, dan yang lain mengusulkan agar
menggunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Semua saran tersebut
tidak disetujui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam karena menyerupai kebiasaan khusus orang-orang kafir.
Kata ‘Abdullah bin Zaid al-Anshari radhiyallahu ‘anhu,
“Malam itu saya bermimpi melihat seseorang berpakaian hijau membawa
genta, saya pun berkata kepadanya, ‘Hai hamba Allah, juallah genta itu
kepadaku.’ Orang itu bertanya, ‘Mau kamu gunakan untuk apa?’ Saya
berkata, ‘Agar kami bisa memanggil orang banyak untuk shalat.’ Dia pun
berkata, ‘Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih baik daripada itu?’
‘Tentu,’ kata saya, kemudian dia mengajarkan beberapa kalimat azan yang
dikenal sekarang ini. Setelah itu dia mundur tidak begitu jauh dan
berkata, ‘Kalau hendak iqamat ucapkanlah Allahu Akbar, (dan
seterusnya)’.”
“Begitu terjaga dari tidur, aku segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan menceritakannya kepada beliau. Beliau pun berkata, ‘Sungguh, itu
adalah mimpi yang benar, insya Allah. Ajarkanlah kepada Bilal karena
suaranya lebih nyaring daripada kamu’.” Kami pun menuju masjid dan saya
mengajarkannya kepada Bilal.
Sementara itu, ‘Umar yang masih di
rumahnya tersentak mendengarnazan tersebut. Dengan bergegas sambil
menyeret kainnya, dia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Demi yang mengutus Anda membawa yang haq, wahai Rasulullah. Aku bermimpi seperti yang dilihatnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semakin senang dengan keterangan itu dan berkata, “Alhamdulillah.”
Sejak itu , suara Bilal mengumandangkan
azan menggema memenuhi angkasa Madinah, lima kali sehari semalam. Bilal
tetap sebagai muazin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Adapun kalimat yang tertera dalam azan tersebut masih terus berkumandang hingga saat ini.
Kejujuran, Kekuatan Imannya
Adalah ‘Umar termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang dekat dan dipersaksikan oleh beliau mempunyai berbagai keutamaan
dan kemuliaan. Di antara bukti kejujuran dan keimanannya ialah ucapannya
ketika menyentuh dan mencium Hajar Aswad, “Demi Allah, aku benar-benar
mengetahui bahwa kamu hanya sebuah batu yang tidak bisa memberi manfaat
dan mudarat. Seandainya aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Perkataan ini menegaskan sikap bara’-nya
(berlepas diri dan benci serta menjauh) dari meminta berkah kepada
sebuah batu, sekaligus menampakkan ketaatannya kepada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Umar juga berada pada barisan depan bersama sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang banyak melakukan ketaatan. Beliau banyak berpuasa, berdoa,
bersedekah, dan shalat malam yang merupakan sebagian sifat orang-orang
yang didekatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, “Kapan engkau mengerjakan witir?” “Saya shalat witir di awal malam,” kata Abu Bakr. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada ‘Umar, “Kapan engkau mengerjakan witir?” “Saya tidur kemudian witir di akhir malam,” jawab ‘Umar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang Abu Bakr, “Dia berpegang dengan hazm (kehati-hatian).”
Adapun tentang ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan, “Adapun dia ini, berpegang dengan kekuatan,” karena yakin
akan terbangun malam hari menunjukkan kekuatan. Pernah pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi, kata beliau,
بَيْنَا
أَنَا نَائِمٌ إِذْ رَأَيْتُ قَدَحًا أُتِيتُ بِهِ فِيهِ لَبَنٌ
فَشَرِبْتُ مِنْهُ حَتَّى إِنِّى لأَرَى الرِّىَّ يَجْرِى فِى أَظْفَارِى
ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالُوا : فَمَا
أَوَّلْتَ يَا رَسُولَ ا ؟َّهللِ قَالَ: الْعِلْمَ
“Ketika saya sedang tidur, saya
melihat sebuah tempat minum diberikan kepada saya, di dalamnya ada susu.
Kemudian saya meminumnya sampai saya melihat alirannya mengalir sampai
di kuku-kuku saya, lalu saya memberikan sisanya kepada ‘Umar bin
al-Khaththab.” Kata para sahabat, “Apa yang Anda takwilkan, ya
Rasulullah?” “Ilmu,” kata beliau.
Al-Hafizh rahimahullah
menyebutkan bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang mengatur
manusia berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Diistimewakannya ‘Umar
dengan keadaan ini karena lamanya masa pemerintahannya dibandingkan
dengan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu serta kesepakatan kaum muslimin untuk menaatinya.
Bahkan, dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Allah Subhanahu wata’ala
meletakkan al-haq itu di lisan ‘Umar.” Oleh sebab itu, adalah perkara
yang sangat jauh kalau yang benar itu ada pada mereka yang menyelisihi
perkataan ‘Umar dalam berfatwa, memutuskan hukum, padahal tidak ada satu
sahabat pun yang menggugatnya. Pernah pula Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam menceritakan mimpinya,
بَيْنَا
أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فِي الْجَنَّةِ فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ
إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ فَقَالُوا لِعُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا فَبَكَى
عُمَرُ وَقَالَ أَعَلَيْكَ أَغَارُ يَا رَسُولَ اَّهللِ
“Ketika saya bermimpi, saya melihat
seakan-akan di dalam surga. Tiba-tiba ada seorang wanita sedang berwudhu
disamping sebuah istana. Saya bertanya, ‘Milik siapa istana ini?’ Kata
mereka, ‘Milik ‘Umar bin al-Khaththab.’ Saya teringat kecemburuannya,
maka saya berbalik ke belakang.”
Kata rawi, “‘Umar pun menangis sambil berkata, ‘Apakah terhadap engkau saya cemburu, wahai Rasulullah?’.” Inilah berita gembira buat ‘Umar, berupa istana miliknya yang sudah ada di surga, dan mimpi para nabi adalah wahyu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,“Seandainya ada nabi sepeninggalku, maka itu adalah ‘Umar.”
Antara ‘Umar dan Wahyu
Semangatnya beramal dengan didasari keikhlasan dan kejujuran dalam mencintai Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta mencintai semua yang dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala, membenci apa saja yang dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala menempatkannya sebagai sahabat yang dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Cintanya yang jujur kepada Islam dan kaum muslimin mendorongnya sering memberikan masukan penting kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Bahkan banyak persoalan yang beliau sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam disetujui pula oleh Allah Subhanahu wata’ala
dengan menurunkan wahyu menguatkannya. Inilah beberapa hal yang
mengusik pikiran ‘Umar kemudian menyampaikannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Allah Subhanahu wata’ala pun menurunkan wahyu menyetujuinya.
a. Tentang tawanan Perang Badrdan rampasan perangnya. Peristiwa ini telah diceritakan dalam edisi lalu. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih memilih saran Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang juga terdorong kasih sayang beliau yang besar kepada sesama, Allah Subhanahu wata’ala menurunkan firman-Nya,
مَا
كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي
الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ () لَّوْلَا كِتَابٌ مِّنَ اللَّهِ سَبَقَ
لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ () فَكُلُوا مِمَّا
غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Tidak patut, bagi seorang nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.
Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki
(pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah,
niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu,
sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Anfal: 67—69)
Kisah sebab turunnya ayat ini dinyatakan sahih oleh guru kami asy- Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul.
b. Menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Suatu ketika, ‘Umar pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah seandainya Anda menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat,” maka turunlah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (al-Baqarah: 125)
c. Turunnya ayat hijab dan kecemburuan beliau terhadap istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
‘Umar pernah pula menyarankan, “Wahai Rasulullah, seandainya Anda
memerintahkan para istri Anda berhijab, karena yang berbicara dengan
mereka itu, ada yang baik, ada pula yang jahat.”
Kemudian turunlah ayat hijab. Demikian pula ketika para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menampakkan kecemburuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau merasa susah, ‘Umar berkata kepada mereka, “Boleh jadi, kalau beliau menceraikan kalian, pasti Allah Subhanahu wata’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada kalian,”
maka turunlah ayat 5 surat at-Tahrim.5
Itulah beberapa kejadian di mana wahyu turun menguatkan pendapat ‘Umar.
Tentunya ini—setelah taufik dari Allah Subhanahu wata’ala—didorong oleh keimanan dan keikhlasan serta kejujurannya dalam mencintai Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Buah Keikhlasan
Dalam sebagian riwayat, dari ibunda
orang-orang yang beriman, ash-Shiddiqah (wanita yang banyak membenarkan)
putri ash-Shiddiq, Habibatu (Kekasih) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita, “Pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk-duduk (bersama kami), tiba tiba kami mendengar suara riuh dan suara anak-anak, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri. Ternyata orang-orang Habasyah sedang bersilat ditonton oleh anak-anak di sekeliling mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, ‘Hai ‘Aisyah, kemarilah dan lihatlah!’ Aku pun mendekat dan
meletakkan dagu di pundak Rasulullah n lalu mulai menonton dari dekat
kepala beliau.
Kemudian beliau berkata kepadaku,
‘Apakah engkau sudah puas? Apakah engkau sudah puas?’ Aku pun berkata,
‘Belum, karena ingin mengetahui kedudukanku di sisi beliau.’ Tiba-tiba
‘Umar muncul. Orangorang yang ada di situ bubar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي نَألَْظُرُ إِلَى شَيَاطِينِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ قَدْ فَرُّوا مِنْ عُمَرَ. قَالَتْ: فَرَجَعْتُ
‘Sungguh, aku benar-benar melihat setan dari kalangan jin dan manusia lari dari ‘Umar.’
Aku pun pulang.”
Di dalam Shahih al-Bukhari, dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Umar,
“Demi yang jiwaku di tangan-Nya,
tidaklah setan menjumpaimu ketika menempuh satu jalan, kecuali pasti
mengambil jalan lain yang tidak engkau lalui.”
Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebab, apabila hati
itu bersih dari semua yang disenangi oleh setan, tentu akan terisi
dengan keagungan sifat-sifat ilahiyah, sehingga tidak mungkin unsurunsur
syaitani mampu menghadapi apalagi mengalahkannya, yang akhirnya siapa
pun yang melihatnya akan merasa takut dan segan. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
pernah mengatakan, “Tongkat kecil di tangan ‘Umar lebih menakutkan
manusia daripada pedang di tangan orang selain beliau. Jika mereka ingin
menyampaikan sesuatu kepadanya, mereka menemui putrinya, Hafshah,
karena segan kepada beliau.”
Hal ini menegaskan keteguhan ‘Umar di dalam beragama, dan selalu dalam keadaan konsisten, hingga di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
‘Umar diumpamakan seperti pedang tajam, yang jika diayunkan dia akan
membelah apa yang dikenainya, dan jika tidak, dia akan diam. Namun
disayangkan, setan dari kalangan manusia, yaitu orang-orang yang
beragama Syiah, tidak henti-henti menghujat dan mencaci bahkan melaknat
beliau. Itu semua karena watak mereka yang pengecut, selama hidup
beliau, mereka tidak mampu berhadap-hadapan, padahal mereka tidak akan
memperoleh apa-apa selain kebinasaan. Wallahu a’lam. (insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Hukum Membaca al-fatihah bagi makmum
Apa hukum membaca al-Fatihah dan bagaimana dengan makmum?
Secara global membaca al-Fatihah
hukumnya wajib pada setiap rakaat sebagai rukun yang menentukan sahnya
shalat. Ini mazhab jumhur ulama. Dalilnya adalah:
1. Hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni dengan lafadz,
لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يَقْرَأُ الرَّجُلُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat yang pelakunya tidak membaca al-Fatihah padanya.” Kata ad-Daraquthni, “Ini adalah sanad yang sahih.” Al-Albani juga menyatakannya sahih.
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ
صَلَّى صَ ةَالً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ
خِدَاجٌ-ثَ ثَالًا-غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ بِألَِي هُرَيْرَة:َ إِنَّا
نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ ؟ فَقَالَ: اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ
“Barang siapa melaksanakan shalat tanpa membaca ummul Qur’an, shalatnya batal—tiga kali—, tidak sempurna.”
Lantas dikatakan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya kami biasa shalat di belakang imam (apa yang kami lakukan)?”
Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Bacalah ummul Qur’an pada dirimu sendiri (secara berbisik).” (HR. Muslim)
Adapun dalil bahwa hal itu wajib sebagai rukun pada setiap rakaat shalat adalah,
1. Amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang secara kontinu membaca al-Fatihah pada seluruh rakaat shalatnya
tanpa pernah meninggalkannya sama sekali, bersama sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu)
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
di atas tentang lelaki yang tidak tahu shalat yang benar lantas Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarinya tata cara shalat yang benar
termasuk membaca surat (al-Fatihah) dan bersabda kepadanya,
ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا.
“Kemudian kerjakanlah hal itu semuanya pada seluruh rakaat shalatmu.” (Muttafaq ‘alaih)
Secara detail, jumhur ulama berpendapat
membaca al-Fatihah wajib sebagai rukun shalat bagi orang yang shalat
sendiri dan imam. Adapun bagi makmum, mereka berselisih pendapat. Yang
terbaik dari seluruh mazhab yang ada adalah:
1. Disyariatkan bagi makmum membaca
al-Fatihah pada saat imam membaca secara sirr; shalat sirriyyah secara
mutlak dan shalat jahriyyah rakaat ketiga dan keempat. Begitu pula pada
shalat jahriyyah rakaat pertama dan kedua jika makmum tidak bisa
menyimak bacaan imam karena jauh dan jika imam sengaja diam untuk
memberi kesempatan makmum membacanya. Akan tetapi, terdapat perbedaan
pendapat di antara penganut mazhab ini apakah hal itu hukumnya hanya
sunnah atau wajib.
a. Hal itu disunnahkan.
Ini yang masyhur dari Ahmad yang dipilih
oleh al-Khiraqi dan Ibnu Qudamah. Pendapat ini berhujah bahwa bacaan
imam telah mewakili bacaan makmum secara hukum berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ.
“Barang siapa diimami oleh seorang imam, bacaan imamnya adalah bacaan untuknya juga.” (HR. Ahmad, an- Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dengan penguat-penguatnya)
Namun, membaca al-Fatihah lebih baik
baginya daripada diam saja, karena shalat itu terdiri dari gerakan dan
bacaan. Adapun mengatakan makmum diam saja tanpa membaca padahal tidak
pula ada bacaan imam yang disimak, hal itu nyata-nyata keliru.
b. Hal itu diwajibkan.
Ini pendapat lama asy-Syafi’i dan
riwayat lain dari Ahmad yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan al-Albani.
Pendapat ini berhujah bahwa bacaan imam hanyalah mewakili bacaan makmum
secara hukum apabila makmum menyimak bacaan imamnya. Adapun tidak ada
bacaan imam yang disimak karena imam membaca secara sirr atau imam
menjaharkannya tetapi tidak tersimak dengan baik olehnya karena jauh,
maka bacaan imam tidak dapat mewakilinya.
Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu
di atas dengan asumsi bahwa bacaan imam mewakili bacaan makmum secara
hukum jika makmum menyimak bacaan imamnya dengan baik. Hal ini sesuai
dengan perintah Allah Subhanahu wata’ala pada firman-Nya,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan al-Quran, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.” (al-A’raf: 204)
Al-Imam Ahmad—pada riwayat Abu
Dawud—menukil ijma’ ulama bahwa maksud ayat ini adalah dalam shalat.
Yakni, wajib bagi makmum diam untuk menyimak bacaan imamnya pada shalat
jamaah. Adapun selain itu, tidak wajib. Diriwayatkan pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا.
“Dan jika imam membaca al-Qur’an, diamlah (untuk menyimaknya).”
Dengan demikian, ayat dan hadits ini
menunjukkan bahwa seorang makmum pada shalat jahriyyah (rakaat pertama
dan kedua) berkewajiban diam untuk menyimak bacaan imamnya secara umum
baik itu al-Fatihah maupun surat setelahnya. Dengan itu makmum telah
terwakili secara hukum. Lagi pula, apa gunanya imam membaca dengan jahar
jika imam tidak menyimaknya melainkan sibuk dengan bacaannya sendiri?
Menurut pendapat ini, pada mulanya ada izin membaca di belakang imam kemudian hukum itu mansukh (dihapus) berdasarkan hadits Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam usai
melaksanakan satu shalat yang beliau jahrkan bacaannya kemudian beliau
bersabda, ‘Apakah ada di antaara kalian yang membaca bersamaku tadi?’
Seorang laki-laki menjawab, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Aku katakan, ‘Kenapa aku dibarengi (hingga terganggu) dalam membaca
al-Qur’an?’ Ia berkata, ‘Akhirnya orang-orang berhenti membaca di
belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat yang beliau jaharkan bacaannya ketika mereka telah mendengar larangan itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah,
dan lainnya. Dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh
Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, Ibnul Qayyim, al-Albani, dan al-Wadi’i)
Tampak sekali bahwa pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang pertama.
2. Diwajibkan bagi makmum membaca al-Fatihah secara mutlak baik pada shalat sirriyyah maupun pada shalat jahriyyah.
Ini mazhab Syafi’i—sesuai pendapat
asy-Syafi’i yang baru—, Ibnu Hazm, dan al-Bukhari yang dirajihkan asy-
Syaukani, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, dan Muqbil al-Wadi’i.
Pendapat ini berdalil dengan keumuman
makna hadits-hadits yang mewajibkan membaca al-Fatihah bahwa hal itu
mencakup pula makmum pada setiap shalat termasuk shalat jahriyyah tanpa
ada dalil kuat yang mengeluarkan makmum dari keumuman maknanya.
Sebaiknya makmum membacanya saat imam diam sebelum membaca atau setelah
membaca jika hal itu mungkin. Jika tidak, wajib membacanya meskipun pada
saat imam membaca al-Fatihah dan surat setelahnya. Setelah membaca
al-Fatihah, wajib diam untuk menyimak bacaan imamnya dan ini adalah
ijma’ ulama.
Adapun pendapat bahwa bacaan imam yang
disimak dengan baik oleh makmum telah mewakilinya berdasarkan hadits
Jabir z, hal itu keliru. Sebab, hadits Jabir z telah dihukumi dha’if
(lemah) oleh para imam ahli hadits terdahulu. Kata al-Bukhari dalam
kitab “al- Qira’ah Khalfa al-Imam”, “Hadits ini tidak benar
periwayatannya dari Nabi n menurut pakar ilmu hadits dari kalangan
penduduk Hijaz, ‘Iraq, dan lainnya karena sanadnya mursal dan terputus
dari riwayat Ibnu Syaddad dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya dan al-Baihaqi dalam al-Qira’ah Khalfa al-Imam telah menyatakan hal yang sama. Kata Ibnu Hajar dalam Talkhish al- Habir (1/420,
Muassasah Qurthubah), “Masyhur dari hadits Jabir, dan memiliki
jalan-jalan riwayat yang lain dari sekelompok sahabat lainnya, tetapi
semuanya memiliki cacat/kelemahan.” Guru besar kami, Muqbil bin Hadi
al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il juga menghukuminya dha’if.
Seandainya sahih , harus dikompromikan
dengan hadits-hadits yang mewajibkan al-Fatihah secara umum termasuk
makmum, bahwa hal itu untuk bacaan setelah al-Fatihah. Buktinya, Nabi n
telah melarang makmum membaca di belakang imam pada shalat jahriyyah
kecuali al-Fatihah yang harus tetap dibaca, yaitu:
• Hadits seorang laki-laki sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّكُمْ
تَقْرَءُونَ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَ ثَالًا؟ قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا لَنَفْعَلُ. قَالَ: فَ تَفْعَلُوا إِ أَنْ
يَقْرَأَ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Barangkali kalian membaca dalam keadaan imam membaca—dua kali atau tiga kali?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami memang melakukannya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu kecuali membaca al-Fatihah.” (HR. Ahmad, al-Bukhari dalam kitab al-Qira’ah, dan al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan al- Kubra dari jalan Abu Qilabah dari pria sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Baihaqi menyatakan sanadnya jayyid/bagus serta dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi’i)
Terdapat jalan riwayat lain dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang semakna dengannya dan lafadz terakhirnya adalah:
فَلاَ تَفْعَلُوا، لِيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فيِ نَفْسِهِ
“Jika begitu, jangan kalian lakukan hal itu, hendaknya salah seorang dari kalian membaca al-Fatihah pada dirinya
sendiri (berbisik).” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Hibban)
Menurut Ibnu Hibban kedua riwayat ini sahih dan mahfuzh (benar/terjaga). Guru besar kami, al-Wadi’i dalam al- Jami ash-Shahih memiliki
penilaian yang sama seperti Ibnu Hibban, karena hadits ini juga
dinyatakan hasan oleh beliau. Sementara itu, al-Baihaqi menilai riwayat
ini syadz (ganjil/keliru).7
• Hadits ‘Ubadah bin Shamith radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
“Adalah kami shalat fajar di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dan merasa kesulitan membaca. Seusai shalat beliau n bersabda,
‘Barangkali kalian membaca di belakang imam kalian ?’ Kami menjawab,
‘Ya, kami membaca secara cepat, wahai Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya kecuali membaca al-Fatihah, karena tidak sah shalat orang yang tidak membacanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari pada kitab al-Qira’ah, Abu Dawud, at-Tirmidzi—dengan menghasankannya—, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al- Baihaqi)
Ibnu Baz menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sahih. Al-Abani dalam kitab Ashlu Shifati Shalati an-Nabi menghukumi
sanadnya hasan dan menukil bahwa hadits ini dinyatakan hasan oleh Ibnu
Hajar dan an-Nawawi. Bahkan ia mengangkat derajatnya menjadi sahih
lighairih dengan penguat-penguatnya— di antaranya adalah hadits yang
telah disebutkan di atas. Sementara itu, pada kitab adh-Dha’ifah dan Dha’if Sunan Abi Dawud, beliau menegaskan bahwa hadits ini dha’if (lemah) dengan tiga cacat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa hadits ini memiliki cacat menurut penilaian para imam pakar
hadits, dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya dengan banyak kelemahan.
Adapun klaim bahwa hukum ini telah mansukh (terhapus) tidaklah benar.
Sebab, hal itu adalah ucapan az-Zuhri rahimahullah—seorang tabi’in—yang tersisip dalam matan hadits (mudraj), bukan ucapan Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini dinyatakan oleh al-Auza’i, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli (guru al-Bukhari), al-Bukhari dalam kitab at- Tarikh, Abu Dawud dalam Sunan-nya,
Ya’qub bin Sufyan, al-Baihaqi, al-Khatib, al-Kaththabi, dan lainnya.
Ini dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih. Dengan demikian, riwayat tersebut mursal (terputus antara az-Zuhri dan Nabi n). Hal ini semakin jelas mengingat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai wajibnya membaca al-Fatihah dan berfatwa agar makmum membacanya secara sirr (berbisik). Bagaimana mungkin Abu Hurairah z menyuruh makmum membaca al- Fatihah secara sirr jika memang benar ia telah meriwayatkan bahwa hal itu telah mansukh?
Tampaknya, pendapat ini lebih kuat daripada pendapat-pendapat
sebelumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara penganut
mazhab ini apakah hukumnya sebagai rukun atau hanya wajib?
a. Menurut Ibnu Hazm, asy-Syaukani, al-Wadi’i: rukun tanpa perkecualian sama sekali.
b. Menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu
‘Utsaimin: rukun dengan perkecualian masbuq yang ketinggalan bacaan al-
Fatihah demi mengikuti imam yang telah rukuk atau sempat membaca
sebagiannya bersama imam tetapi tidak selesai demi mengikuti imam yang
melakukan rukuk sebelum ia menuntaskan bacaannya.
Kewajiban membaca al-Fatihah gugur
atasnya dan dianggap mendapat rakaat tersebut bersama imam. Dalilnya
adalah hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya ia sampai kepada Nabi n dalam keadaan Nabi n sedang rukuk, kemudian ia rukuk sebelum masuk shaf, kemudian ia menyampaikan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah Subhanahu wata’ala menambahkan semangat beribadah bagimu, tetapi jangan kamu ulangi (tergesa-gesa masuk shaf)’.” (HR. al-Bukhari)
Lahiriah hadits ini menunjukkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidak mengganti rakaat tersebut dan tidak pula diperintah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk menggantinya. Berarti, sama halnya makmum yang masbuq mendapati
imam masih berdiri dan sempat membaca al-Fatihah di belakangnya, tetapi
tidak selesai demi mengikuti imam yang melakukan rukuk. Pendapat bahwa
ia dianggap mendapatkan rakaat tersebut adalah pendapat jumhur ulama.
c. Pendapat yang dipilih Ibnu Baz bahwa membaca al-Fatihah bagi makmum hukumnya hanya wajib, bukan rukun.
Alasannya, ketika Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dianggap mendapatkan rakaat yang ia tidak membaca al-Fatihah karena uzurkeharusan mengikuti imam (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam)
yang sedang rukuk, hal itu menunjukkan pada asalnya al-Fatihah bukan
rukun bagi makmum. Sebab, seandainya rukun, tidak akan gugur dengan uzur
apa pun dan rakaat itu harus diganti.
Jika alasan mengikuti imam yang rukuk
dianggap sebagai uzur yang menggugurkan kewajiban membaca al- Fatihah
bagi makmum, begitu pula halnya makmum yang lupa membaca al-Fatihah atau
tidak membacanya karena tidak tahu hukum (jahil). Bahkan, keduanya
lebih berhak diberi uzur daripada masbuq yang tidak sempat lagi membaca
al-Fatihah untuk mengikuti rukuknya imam.
Berdasarkan hal ini, makmum yang lupa
baca al-Fatihah pada sebagian rakaat shalatnya sedangkan ia bukan
masbuq, ia tidak wajib sujud sahwi. Adapun jika ia masbuq satu rakaat
atau lebih, ia menambah kekurangannya setelah imam salam dan wajib sujud
sahwi. Lebih utama sujud sahwi sebelum salam. Pendapat terakhir inilah
yang paling menakjubkan kami dan kami pilih dalam masalah ini.Wallahu a’lam.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Salafy Menilai Seorang Dari Temannya
Musa bin Uqbah ash-Shuri datang ke Baghdad. Hal ini disampaikan kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kata beliau,
انْظُرُوا عَلَى مَنْ نَزَلَ وَإِلَى مَنْ يَأْوِي
“Perhatikan, kepada siapa dia singgah dan kepada siapa dia berlindung.” (al- Ibanah, 2/479—480 no. 511)
Al-Imam al-Auza’i rahimahullah mengatakan,
مَنْ سَتَرَ عَنَّا بِدْعََتَهُ لَمْ تَخْفَ عَلَيْنَا أُلْفَتُهُ
“Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita, tidak akan tersembunyi dari kita pertemanannya.” (al-Ibanah, 2/476, no. 498)
Yahya bin Sa’id al-Qaththan menceritakan, tatkala Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
mengunjungi Bashrah, beliau memerhatikan keadaan ar-Rabi’ bin Shubaih
dan kedudukannya di mata manusia. Beliau pun bertanya, “Apa mazhabnya?”
Mereka menjawab, “Mazhabnya tidak lain adalah as-Sunnah.” Beliau rahimahullah
bertanya lebih lanjut, “Siapa teman dekatnya?” Mereka menjawab, “Para
pengingkar takdir.” “Jika demikian, dia adalah pengingkar takdir juga,”
tukas beliau rahimahullah. (al- Ibanah, 2/453 no. 421) (Dinukil dari Lammud Durril Mantsur, Jamal bin Furaihan al-Haritsi, hlm. 53—55)
Posting Komentar