
Ceramah Setelah Penguburan Jenazah
Apakah disyariatkan memberi ceramah di perkuburan seusai penguburan jenazah?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Masalah ini dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
• Duduk bersama para hadirin untuk
mengingatkan tentang kematian dan halhal setelahnya, tidak dengan cara
berdiri berceramah seperti orang berkhutbah. Hal ini pernah dilakukan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
• Berdiri setelah penguburan untuk
memberi ceramah layaknya penceramah/ khatib di mimbar-mimbar dan
masjidmasjid. Hal ini tidak disyariatkan dan tidak pernah dicontohkan
sama sekali oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai bid’ah tercela. Berikut kami nukilkan beberapa fatwa ulama besar zaman ini.
1. Fatwa al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahumallah.
Kata al-Imam al-Albani rahimahumallah dalam Ahkam al-Jana’iz (hlm.198—
202), “Boleh duduk di sisi kuburan saat pemakaman berlangsung dengan
maksud mengingatkan para hadirin tentang kematian dan hal-hal yang akan
dihadapi setelahnya di alam kubur. Dalilnya adalah hadits al-Bara’ bin
‘Azib radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُولِ اللهِ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ،
فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ,فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ
وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ وَفِي يَدِهِ
عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ:
اسْتَعِيذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ -مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا-…. الْحَدِيْثَ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada acara mengantar jenazah seorang pria dari kaum Anshar. Kami sampai ke kuburan sementara lahadnya belum siap. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk
dan kami pun duduk di sekeliling beliau seakan-akan di atas
kepala-kepala kami ada burung. Di tangan beliau ada kayu untuk mencocok
cocok di tanah saat berpikir. Kemudian beliau mengangkat kepala dan
bersabda, ‘Berlindunglah kepada Allah dari azab kubur—dua kali atau tiga
kali’ …. dst.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim. Al-Hakim
menyatakannya sahih menurut syarat al-Bukhari-Muslim, dibenarkan oleh
adz-Dzahabi dan al-Albani. Hadits ini dinyatakan sahih pula oleh Ibnul
Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in dan Tahdzib as-Sunan)
Guru besar kami al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i juga menyatakan hadits ini hasan dalam kitab al-Jami’ ash-Shahih (2/271—275).
2. Fatwa al-Imam Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah.
Kata al-Imam al-‘Utsamin rahimahumallah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il (17/232—233),
“Pendapat yang menyatakan tidak ada dalil dalam masalah ini adalah
pendapat yang salah. Pendapat yang mengatakan disunnahkan berceramah di
sisi kuburan juga tidak benar. Sebab, tidak ada hadits yang menyebutkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri di sisi
kuburan atau di perkuburan saat ada jenazah yang dikuburkan lantas
berceramah dan memberi wejangan seakan-akan khatib shalat jum’at. Kami
tidak pernah mendengar bahwa hal itu ada dalilnya. Bahkan, hal itu
adalah bid’ah yang bisa jadi pada waktu yang akan datang menyeret kepada
hal yang lebih berbahaya.”
Kemudian al-‘Utsaimin rahimahumallah
berkata, “Oleh karena itu, kami berpendapat tidak boleh seseorang
berdiri berceramah di perkuburan bagaikan khatib yang berkhutbah karena
hal itu bukan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah sama sekali berdiri berceramah seusai pemakaman atau saat
menanti pemakaman. Kami juga tidak pernah mendapati hal semacam itu
dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, sedangkan mereka lebih dekat
kepada as- Sunnah daripada kita. Tidak pula hal itu kami ketahui pernah
dilakukan oleh para al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Tidak pernah ada yang
melakukan hal itu pada masa kekhalifahan Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, dan
‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk kaum salaf jika sesuai dengan kebenaran.
Adapun wejangan yang sifatnya
penyampaian nasihat di majelis bersama hadirin (sambil duduk bersama),
hal itu tidak mengapa. Sebab, telah tsabit (tetap/ sahih) dalam kitab-kitab Sunan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah keluar ke perkuburan Baqi’ (al-Gharqad) untuk mengantar jenazah
seorang pria dari kaum Anshar sedangkan lahadnya belum siap. Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan para sahabat ikut duduk bersama beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepada mereka tentang keadaan yang akan dialami manusia
setelah kematiannya dan pemakamannya, tidak dalam bentuk ceramah
(khutbah). Telah tetap pula dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Shahih al-Bukhari dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
مَا
مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ
وَمَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ
نَتَّكِلُ؟ قَالَ: لاَ، اعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Tidak seorang pun dari kalian
kecuali telah dituliskan tempat duduknya di dalam surga dan tempat
duduknya di dalam neraka. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah
kami bersandar dengan hal itu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak boleh. Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya.” Alhasil,
wejangan yang disampaikan dengan berdiri seperti berkhutbah ketika atau
setelah pemakaman berlangsung bukan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun wejangan yang tidak bersifat khutbah/ceramah, seperti halnya
seorang yang duduk dikitari oleh rekan-rekannya lantas ia berbicara
dengan topik pembicaraan yang sesuai dengan keadaan, hal itu bagus demi
mencontoh Rasulullah n.”
Al-Imam al-‘Utsaimin rahimahumallah juga berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa war Rasa’il (17/233—234), “Aku berpendapat bahwa kebiasaan berdiri memberi ceramah di sisi kuburan adalah menyelisihi sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu. Sebab, hal itu tidak pernah diamalkan di masa hidup Nabi radhiyallahu ‘anhu, padahal beliau adalah manusia yang paling menasihati hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala dan paling bersemangat/perhatian menyampaikan kebenaran. Kami sama sekali tidak mengetahui bahwa Rasulullah radhiyallahu ‘anhu pernah memberi wejangan sambil berdiri layaknya khatib yang berkhutbah. Hanyalah Nabi radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan nasihat (sambil duduk ketika menanti pemakaman).”
Al-‘Utsaimin rahimahumallah lalu menyebutkan hadits al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu dan hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu
di atas. Selanjutnya beliau berkata, “Adapun menjadikan hal ini sebagai
kebiasaan,setiap kali ada mayat yang dikuburkan lantas ada yang tampil
berdiri memberi ceramah, hal ini mutlak bukan kebiasaan salaf. Hendaknya
masalah ini dikembalikan kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Saya khawatir hal ini tergolong ekstrem (berdalam dalam lebih dari yang
diinginkan). Sebab, pada hakikatnya kesempatan ini adalah waktu untuk
khusyuk dan tenang (untuk merenung), bukan untuk menggugah perasaan.
Tempat untuk berkhutbah adalah mimbar-mimbar dan masjid-masjid,
sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak mungkin kita berdalil dengan
sesuatu yang lebih khusus atas sesuatu yang lebih umum. Jika ada yang
mengatakan, ‘Kami ingin menjadikan hal itu (yakni khutbah-khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
di mimbar dan masjid) sebagai dasar masalah ini’; kami jawab,
‘Pendalilan itu tidak benar. Sebab, seandainya hal itu adalah dalil
dalam masalah ini, tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya semasa hidupnya. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya, berarti itulah yang menjadi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
3. Fatwa al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahumallah.
Kata al-Imam Ibnu Baz rahimahumallah dalam Majmu’ al-Fatawa (13/209—210)
ketika ditanya tentang hukum memberi wejangan di perkuburan, “Tidak
mengapa memberikan wejangan di sisi kuburan sebelum pemakaman dan hal
itu tidak tergolong bid’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukannya sebagaimana disebutkan oleh hadits ‘Ali dan al-Bara’ bin ‘Azib.” Beliau juga berfatwa pada Majmu’ al- Fatawa (13/210), “Sungguh, telah tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau pernah lebih dari satu kali memberi wejangan di perkuburan
saat para sahabat menanti dilangsungkannya pemakaman. Dari situ
diketahui bahwa memberi wejangan di sisi kuburan adalah hal yang
disyariatkan.
Hal itu telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
demi mengingatkan temtang kematian, surga, dan neraka, urusan-urusan
akhirat lainnya, serta persiapan untuk berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi taufik.” Pada kedua fatwa Ibnu Baz rahimahumallah
yang kami nukil ini terdapat penegasan bahwa wejangan itu dilakukan
sebelum pemakaman (yakni saat menanti pemakaman). Namun, tidak ada sama
sekali pada ucapan beliau yang mengatakan bahwa wejangan itu bersifat
ceramah yang disampaikan sambil berdiri di hadapan jamaah yang hadir dan
dilakukan seusai pemakaman. Wallahu a’lam.
4. Terakhir, apa yang kami
dapati secara pribadi ketika berguru di Darul Hadits Dammaj bersama
Ayahanda tercinta, al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahumallah.
Kami tidak pernah menyaksikan praktik
ceramah sambil berdiri seusai pemakaman yang sebagiannya dihadiri
langsung oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahumallah. Ini yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala bagi kami dalam menjawab masalah yang banyak dipraktikkan oleh kaum muslimin ini seusai pemakaman jenazah. Wallahu a’lam.

Berlomba dalam Kebaikan
Al-Hasan al-Bashri rahimahumallah mengatakan,
“Wahai anak Adam, jika engkau melihat
manusia berada dalam sebuah kebaikan, saingilah mereka. Namun, jika
engkau melihatnya berada padasebuah kebinasaan, janganlah engkau
menyaingi mereka dan pilihan mereka.”
“Sungguh, kami telah melihat beberapa
kaum lebih memilih bagian mereka yang disegerakan (di dunia) daripada
yang diakhirkan (di akhirat). Akhirnya, mereka menjadi hina, binasa, dan
terkenal (keburukannya).”
Beliau mengatakan rahimahumallah pula,
“Barang siapa yang berlomba denganmu
dalam hal agama, saingilah dia. Adapun orang yang menyaingimu dalam hal
duniamu, lemparkanlah urusan dunia itu ke lehernya.”
Beliau mengatakan rahimahumallah pula,
“Apabila engkau melihat manusia
menyaingimu dalam hal dunia, saingilah mereka dalam hal akhirat.
Sungguh, dunia mereka akan hilang dan akhirat akan kekal.”
(Mawa’izh al-Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 57—58)

Salah Kaprah Mukjizat dan Karamah
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Masih banyak salah kaprah dalam
keberagamaan masyarakat kita. Salah satunya adalah soal karamah. Karamah
selama ini identik dengan “kesaktian” seorang wali. Definisi wali
sendiri juga tergolong salah kaprah. Selama ini dikesankan, wali adalah
orang yang punya keluarbiasaan, titik. Wali pun menjelma menjadi gelar
yang bisa disematkan pada seseorang. Muncullah khurafat-khurafat yang
tumbuh di atas salah kaprah ini. Ada “wali” yang fisiknya berada di
Indonesia, namun diyakini juga mempunyai jasad lain yang tengah
beribadah di Makkah, ada “wali” yang bisa bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
baik dalam keadaan terjaga maupun mimpi, “wali” yang kuat
“bermujahadah”, tidak tidur selama 33 tahun, bisa mengkhatamkan
al-Qur’an dalam sehari sebanyak 8 kali, dan sebagainya.
Berangkat dari pemahaman yang keliru
tentang wali ini, muncul beragam cerita dan tontonan menyesatkan: ada
tokoh—yang direpresentasikan sebagai kyai atau orang beserban
putih—tasbihnya bisa berubah jadi pisau, biji tasbihnya menjadi ular,
dan lain sebagainya. Kekeliruan demi kekeliruan yang muncul ini
bersambung terus menjadi mata rantai kesesatan. Muncul sikap-sikap yang
berlebihan dalam menyikapi “wali” ini. Ada yang menjadikan “wali”
tersebut sebagai wasilah (perantara) dalam doa mereka, dengan keyakinan
bahwa doa seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, kecuali dengan perantaraannya.
Bahkan, ada yang melambungkan
kedudukannya layaknya ilah. Ada pula yang meninggininggikan derajat
seorang wali—dalam anggapannya—di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, atau setidaknya melebihi para sahabat . Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rasul paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh manusia mana pun. Juga para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
yang mereka adalah manusia-manusia terbaik sesudah para nabi dan rasul.
Demikian juga dengan mukjizat. Istilah ini juga ikut-ikutan tereduksi.
Mukjizat yang sejatinya lebih sempit maknanya dari ayat, bayyinat, atau
burhan—istilah yang seharusnya dipakai—mengalami bias. Mukjizat jamak
dipakai sebagai nama lain (sinonim) dari keajaiban. Alhasil, mukjizat
bisa terjadi atas manusia, siapa pun dia. Kecelakaan tragis yang
menewaskan seluruh penumpang mobil misalnya, namun ada balita selamat.
Maka orang-orang menyebutnya dengan mukjizat.
Perlu digarisbawahi, salah kaprah ini
bukan sekadar soal penggunaan istilah, namun sudah merembet pada
persoalan akidah. Yang jelas, kesaktian dan keluarbiasaan yang terjadi
pada seseorang bukanlah ukuran untuk menentukan karamah atau kewalian,
namun harus dilihat ketaatan dan kesesuaian pelakunya dengan ajaran
Islam. Karena itu, tidak semua peristiwa luar biasa atau aneh yang
terjadi dinamakan karamah. Bisa jadi, itu adalah tipu daya setan berupa
sihir. Bagi setan, amat mudah untuk mewujudkan keanehan atau keajaiban
dalam pandangam manusia.
Setan bisa membantu manusia menghilang
dari pandangan orang lain. Inilah yang sering dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak beriman untuk menipu dan menyesatkan manusia.
Oleh karena itu, mari kita kaji lebih dalam perkara mukjizat dan karamah
ini, agar kita mendudukkan perkara mukjizat dan karamah ini dengan
semestinya. Karamah bukanlah sesuatu yang kita cari, bukan pula tujuan
kita. Kita berbeda dengan kalangan sufi. Yang harus kita yakini,
keanehan atau keluarbiasaan bukanlah syarat wali Allah Subhanahu wata’ala dan bukan syarat kesempurnaan iman. Wallahu a’lam.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Surat Pembaca Edisi 93
Mengapa Tidak Sunni-Syiah, Benarkah?
Tolong saya mau tanya, Asy-Syariah no. 92 tahun 2013 kover depan tertera Islam Sama Dengan Syiah, Benarkah? Saya heran kenapa kok tidak Suny Sama Dengan Syiah, Benarkah? Itu baru klop, bukan Islam. Tolong jangan mencaricari. Mengadu domba justru paham yang menghambat Islam. Mohon dikaji ulang kalau menulis di media. 081249xxxxxx
Jawaban redaksi
Kami mohon Anda membaca isi majalah, bukan hanya kovernya. Hal ini agar tidak terjadi justifikasi yang tidak pada tempatnya. Tema Syiah diangkat, di antaranya karena dilatarbelakangi masih banyaknya anggapan sederhana sebagaimana yang Anda ungkapkan. Jika Anda bisa memahami secara bijak kajian demi kajian dalam edisi 92, insya Allah Anda akan bisa menyimpulkan, pantas ataukah tidak, Syiah (Rafidhah) disebut bagian dari Islam. Kewajiban kami hanyalah menyampaikan kebenaran walaupun itu bertentangan dengan opini yang telanjur tertanam di benak banyak orang. Sebab, kebenaran itu datang dari al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan opini yang berkembang di masyarakat. Apakah memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjerumus dalam kesesatan, disebut mengadu domba, memecah belah, atau antiukhuwah? Renungkanlah, wahai orang-orang yang berakal.
Gelar ‘Alaihissalam
Afwan, di Asy-Syariah edisi 92 hlm. 19 tertulis Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq q? Benarkah demikian? 02718xxxxxx
Jawaban redaksi
Dalam edisi 92,
kami memang banyak menukil dari kitab-kitab agama Syiah, jadi gelar itu
memang nukilan aslinya. Gelar tersebut memang sudah lazim mereka sematkan kepada orangorang yang mereka anggap imam. Sengaja kami nukilkan apa adanya untuk menunjukkan sikap ghuluw (melampaui batas) yang ada pada Syiah terhadap imam-imam mereka. Namun, perlu digarisbawahi, tidak berarti tokoh yang mereka gelari itu sepaham dengan mereka (Syiah). Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali g, Ali bin Husain Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, dan Ja’far ash-Shadiq rahimahumullah adalah para pemuka Islam yang justru menentang Syiah. Silakan lihat kembali rubrik “Manhaji” hlm. 6—7.
Catatan Kaki Sama?
Pada Asy-Syariah edisi 92 hlm. 90, catatan kaki no. 9 dan 10 kok sama. Apakah memang demikian? 085643xxxxxx
Jawaban redaksi
Anda benar. Catatan kaki no. 10 seharusnya: Yakni Abu Zar’in memenuhi kedua telinga Ummu Zar’in dengan berbagai perhiasan dari emas, mutiara, dan semisalnya.
Kesalahan
Pada Asy-Syariah edisi 92 rubrik
“Problema Anda” hlm. 79 tertulis “Lagi pula, apa gunanya imam membaca
dengan jahar jika imam tidak menyimaknya melainkan sibuk dengan
bacaannya sendiri?” Mungkin yang dimaksud dengan kata “imam” kedua
adalah makmum? 089605xxxxxx
Jawaban redaksi
Anda benar, seharusnya “makmum”. Jazakumullahu khairan atas koreksi Anda.

Mukjizat sebagai Tanda Kenabian
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا
وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ
لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Apabila lalat hinggap (menjilat)
pada minuman salah seorang kalian, tenggelamkanlah lalat itu lantas
angkat (buang) lalat tersebut. Sesungguhnya salah satu sayapnya mengandung racun dan sayap lainnya mengandung penawar.” (HR. al-Bukhari, no. 3320, Abu Dawud no. 3844)
Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah, hadits ini menjelaskan tentang salah satu dari sekian banyak mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan sebagai mukjizat dari sisi kabar yang disampaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam perihal keburukan yang telah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan pada seekor lalat, dan kebaikan (penawar) yang Allah Subhanahu wata’ala lekatkan pula pada lalat tersebut. Hal ini tidaklah bisa dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali melalui wahyu. Sebab, urusan ini bersifat gaib, tak satu pun makhluk mengetahuinya. Ini termasuk mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Tashil al-Ilmam bi Fiqh lil Ahadits min Bulughil al-Maram, I/63)
Dalam kisah lain, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bepergian bersama para sahabat , di tengah-tengah perjalanan mereka kehabisan air. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengutus Ali dan seorang sahabat lainnya guna mencari air. Ketika
mencari air, Ali dan seorang sahabat ini bertemu dengan seorang wanita
bersama untanya. Pada unta milik si wanita terdapat dua tempat air yang
tergantung. Lantas keduanya bertanya kepada wanita tersebut letak sumber
mata air. Keduanya menyangka bahwa sumber mata air dekat. Wanita itu
menjelaskan bahwa untuk memperoleh air itu ia harus berjalan sejak
kemarin. Ini menunjukkan bahwa lokasi sumber air sangatlah jauh. Wanita
itu pun lantas diminta menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wanita itu pun memenuhi permintaan keduanya dan berangkat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah berada di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta untuk mengambil tempat air wanita itu yang tinggal sedikit airnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil para sahabat seraya bersabda, “Tuangkan, tuangkan!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan beliau pada air tersebut. Allah Subhanahu wata’ala pun menjadikan air yang sedikit itu menjadi berkah. Seluruh prajurit muslim yang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mendapatkan air itu dan berwudhu. Tak hanya itu, mereka pun bisa
mengambil air itu dan menyimpannya untuk bekal di perjalanan. Inilah
mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kisah lain terjadi saat Perang Tabuk.
Pasukan kaum muslimin kehabisan perbekalan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta para sahabat untuk menyembelih sebagian unta yang mereka bawa untuk dimakan. Melihat hal itu, Umar bin al- Khaththab radhiyallahu ‘anhu menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
engkau memperkenankan para sahabat menyembelih untanya. Saya khawatir
bakal kehabisan bekal lagi (yaitu, jika unta-unta itu disembelih, mereka
hendak berkendara apa, padahal jarak ke tempat yang dituju masih
jauh).” Kata Umar, “Saya usul, bagaimana jika engkau meminta para
sahabat untuk mengumpulkan perbekalan mereka yang tersisa lalu engkau
doakan agar mendapat berkah?” Jawab beliau, “Ya, baik.”
Kemudian diserulah para sahabat agar
mengumpulkan bekal yang tersisa. “Barang siapa masih memiliki sedikit
bekal, datanglah kemari seraya membawa bekalnya!” seruan itu menggema.
Dibentangkanlah permadani. Ada yang menyerahkan sisa kurmanya. Ada pula
yang menyerahkan tepung. Terkumpullah segala bentuk bekal yang ada pada
mereka. Lantas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi
tempat dikumpulkannya perbekalan. Beliau pun mendoakan keberkahannya.
Setelah itu, para sahabat diperintah untuk mengambilnya. Mereka
mengambil dalam keadaan penuh. Mereka membawa bekal yang tak sedikit
lagi. Inilah mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pernah disajikan susu kepada Rasulullah. Saat itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di Madinah. Setelah ada suguhan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar ahlu shuffah dipanggil. Ahlu shuffah adalah orang-orang yang menetap di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena ingin menuntut ilmu. Saat itu jumlah mereka tujuh puluh orang. Ahlu shuffah itu pun berdatangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan susu itu agar diberkahi. Selanjutnya, beliau memerintahkan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
untuk membagikan susu tersebut. Orang-orang pun lantas meminum susu
hingga kenyang. Begitu pun Abu Hurairah z turut meminumnya hingga
kenyang pula. Setelah semua orang minum, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam minum. Ini termasuk mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Tashil al-Ilmam, I/81—82)
Beragam mukjizat telah dijelaskan oleh as-Sunnah, di antaranya kisah memancarnya air dari jari-jemari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagainya. Termasuk mukjizat adalah al-Qur’an al-Aziz sendiri, yang merupakan kalamullah.
Ragam Khawariqul ’Adah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mukjizat para nabi adalah tandatanda dan bukti-bukti kenabian mereka.
Karena itu, mendasarkan pada beberapa petunjuk, untuk membedakan status
kenabian yang melekat pada seseorang di antaranya bisa dilihat dari
peristiwaperistiwa di luar kebiasaan yang terjadi padanya. Adapun ragam khawariqul ’adah (hal-hal di luar kebiasaan) di antaranya sebagai berikut.
1. Hal-hal di luar kebiasaan tersebut bisa terjadi lantaran kebaikan dan takwa yang ada pada dirinya. Macam khawariqul ’adah seperti ini melingkupi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya. Beberapa peristiwa di luar kebiasaan yang terjadi dilatari oleh faktor agama dan kebutuhan kaum muslimin.
2. Hal-hal di luar kebiasaan itu terjadi
karena faktor yang bersifat mubah. Misalnya, orang yang dibantu oleh
jin untuk menyelesaikan kebutuhankebutuhannya yang bersifat mubah. Khawariqul ’adah semacam
ini bersifat pertengahan. Bukan tingkatan yang tinggi atau rendah. Ini
serupa dengan bentuk memperkerjakan jin yang dilakukan oleh Nabi
Sulaiman ‘Alaihissalam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَعْمَلُونَ
لَهُ مَا يَشَاءُ مِن مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ
وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ
عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman
apa yang dikehendakinya dari gedunggedung yang tinggi, patung-patung,
serta piring-piring (yang besar) seperti kolam dan periuk yang tetap
(berada di atas tungkunya). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk
bersyukur (kepada Allah), dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
bersyukur.” (Saba: 13)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus kepada kalangan jin, mendakwahi mereka agar beriman dan beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada kalangan manusia.
3. Hal-hal yang di luar kebiasaan itu
disebabkan oleh faktor yang haram, seperti kemaksiatan, kezaliman, dan
kesyirikan, atau melalui perkataan batil. Jenis ini merupakan macam khawariqul ’adah para
tukang sihir, dukun, kafir, dan para pendurhaka. Contohnya, ahlul
bid’ah dari kalangan tarekat (sufi) Rifaiyah dan selainnya. Mereka
meminta bantuan melalui cara-cara yang berselubung kesyirikan, membunuh
jiwa tanpa hak, dan maksiat. Padahal Allah Subhanahu wata’ala telah mengharamkan tiga macam perbuatan tersebut. Firman-Nya,
وَالَّذِينَ
لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَن
يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah
tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar dan tidak berzina.
Barang siapa melakukan hal itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” ( al-Furqan: 68) ( an- Nubuwat, hlm. 27—28)
Salah satu tanda kenabian diiringi
dengan kejadian di luar kebiasaan. Namun, maknanya bukan hal-hal di luar
kebiasaan yang diperuntukkan bagi kalangan manusia biasa. Inilah
hakikat mukjizat. Sebab, bisa saja kejadiankejadian yang di luar
kebiasaan itu terjadi melalui cara-cara sihir dan perdukunan. Jika khawariqul ’adah itu terjadi melalui cara-cara perdukunan atau sihir, hal seperti itu bukan termasuk khawariqul adah yang
menjadi tanda kenabian. Ilustrasi peristiwa ini bisa dicermati dari
kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam melawan para tukang sihir Fir’aun. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَأَجْمِعُوا
كَيْدَكُمْ ثُمَّ ائْتُوا صَفًّا ۚ وَقَدْ أَفْلَحَ الْيَوْمَ مَنِ
اسْتَعْلَىٰ () قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِمَّا أَن تُلْقِيَ وَإِمَّا أَن
نَّكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَلْقَىٰ () قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا
حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا
تَسْعَىٰ () فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَىٰ () قُلْنَا لَا
تَخَفْ إِنَّكَ أَنتَ الْأَعْلَىٰ () وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ
مَا صَنَعُوا ۖ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ ۖ وَلَا يُفْلِحُ
السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ
Maka himpunkan segala macam daya
(sihir) kamu sekalian, kemudian datanglah dengan berbaris, dan
sesungguhnya beruntunglah orang yang menang pada hari ini. (Setelah
mereka berkumpul) berkata, “Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah orang yang mula-mula melemparkan?” Musa menjawab, “Silakan kamu sekalian melemparkan.” Tiba-tiba tali dan tongkat mereka, terbayang pada Musa seakan-akan merayap cepat lantaran sihir mereka. Musa pun merasa takut dalam hatinya. Kami berkata, “Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang)! Lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Tidak akan menang tukang sihir itu dari mana pun dia datang.” (Thaha: 64—69)
Kisah di atas menggambarkan dua fenomena
yang bersifat di luar kebiasaan. Satu dalam bentuk mukjizat, sedangkan
yang lain dalam bentuk sihir. Karena itu, segala bentuk keanehan,
keluarbiasaan, dan keajaiban yang terjadi lantaran sihir dan perdukunan
tidak memiliki kesamaan dengan ma’unah, karamah wali, apalagi mukjizat. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Subhanahu wata’ala,
hal-hal yang di luar kebiasaan yang ditimbulkan oleh sihir atau
perdukunan terjadi melalui bantuan jin. Sebelumnya, kalangan jin membuat
kesepakatan dengan para penyihir dan dukun (tukang ramal dan
paranormal) dalam halhal yang melanggar syariat, seperti membunuh atau
menyakiti orang lain (sebagai tumbal). Kesepakatan (sebagai syarat) itu
bisa dalam bentuk kesyirikan dan bid’ah.
Banyak manusia teperdaya dan tertipu
lantaran hal ini. Keanehan, keajaiban, dan peristiwa-peristiwa di luar
kebiasaan tersebut dikira merupakan karamah. Padahal, itu berasal dari
kalangan setan (jin). Kisah-kisah pengultusan terhadap kiai atau
rohaniawan yang terbiasa melakukan bid’ah, khurafat, dan maksiat, selalu
dibumbui dengan bentuk-bentuk khawariqul ’adah (kejadian-kejadian
di luar kebiasaan) ini. Contoh yang masyhur dan klasik yang beredar di
masyarakat adalah Kiai Fulan yang tidak menunaikan shalat Jumat di
Indonesia, tetapi di Makkah, atau kisah-kisah semisal yang sengaja atau
tidak, telah diedarkan di masyarakat. Kisah-kisah itu akan menimbulkan
pelabelan sebagai kiai yang memiliki karamah. Dalam bahasa yang dikemas
lebih anggun, “kiai karismatik”.
Siapakah Yang Berhak Mendapat Karamah?
Al-Imam al-Allamah Muhammad bin Ali asy-Syaukani rahimahumallah menjelaskan bahwa orang-orang yang tergolong para wali Allah Subhanahu wata’ala adalah mereka yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala,
para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, serta beriman
kepada takdir-Nya yang baik atau buruk. Mereka harus menegakkan apa yang
telah diwajibkan Allah Subhanahu wata’ala atasnya, meninggalkan apa yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala dan senantiasa memperbanyak ketaatan kepada-Nya. Orang yang seperti inilah yang termasuk para wali Allah Subhanahu wata’ala. Mereka berhak menyandang karamah yang tidak menyelisihi syariat.
Karamah ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wata’ala,
dan tidak halal bagi seorang muslim mengingkarinya. Barang siapa
memiliki sifatsifat yang berlawanan dengan yang disebutkan di atas, dia
bukan wali Allah Subhanahu wata’ala melainkan bala tentara
setan. Adapun “karamah”nya adalah bentuk kesamaran yang dilemparkan
oleh setan terhadap dirinya dan umat manusia. Yang seperti ini bukanlah
hal yang aneh dan tak bisa diingkari, karena kebanyakan mereka
menjadikan jin sebagai pembantunya. Para setan dari kalangan jin
membantunya berbuat kejelekan, bahkan melakukan halhal yang diharamkan. (Qathru al-Wali ‘ala al-Hadits al-Wali, hlm. 64—65)
Kisah Para Wali Allah Subhanahu wata’ala
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِذْ
يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ
السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ
الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ
الْأَقْدَامَ
“Ingatlah ketika Allah menjadikan
kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk menyucikanmu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguangangguan setan dan untuk menguatkan
hatimu dan dan memperteguh denganmu telapak kakimu.” (al-Anfal: 11)
Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Saya saat itu ditimpa kantuk pada Hari Uhud. Pedang pun jatuh
dari tangan saya berkali-kali. Saat jatuh, saya ambil. Jatuh lagi, saya
ambil lagi. Saya melihat mereka (para sahabat), mereka pun dalam
keadaan terkantuk-kantuk di bawah perisai kulit.” Menurut Ibnu Katsir rahimahumallah
, “Kantuk memang menimpa kalangan para sahabat pada Hari (Perang) Uhud.
Adapun ayat ini terkait kisah (Perang) Badar. Ini menunjukkan peristiwa
yang sama. Saat itu orang-orang beriman mengalami kegoncangan jiwa yang
luar biasa. Kejadian (mengantuk) itu menyebabkan hati mereka aman dan
tenang dengan pertolongan Allah Subhanahu wata’ala. Ini adalah karunia dan rahmat dari Allah Subhanahu wata’ala serta nikmat atas mereka.” (Mukhtashar Tafsir al- Qur’an al-Azhim, 2/108)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku akan umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Senantiasa hamba- Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (amalan) sunnah hingga Aku mencintai- Nya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dengan penglihatan itu dia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengan tangan itu dia bertindak, dan menjadi kakinya yang dengan itu dia melangkah. Jika dia meminta, sungguh akan Aku beri. Jika dia minta perlindungan kepada- Ku, niscaya Aku lindungi dia.” ( HR. al-Bukhari, no. 2502)
Mukjizat adalah tanda dan bukti kenabian. Mengimaninya merupakan bentuk keimanan terhadap para rasul Allah Subhanahu wata’ala.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengingkarinya dan menganggapnya
bagian dari mimpi. Al-Farabi dan filosof yang semisalnya memiliki
anggapan demikian. Tentu saja, ini adalah pemahaman yang salah. Hanya
orang-orang berimanlah yang tunduk hatinya kepada apa yang dibawa oleh
para rasul Allah Subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Berita-Berita Mukjizat Nabi dan Rasul
Di antara perkara yang wajib diyakini,
setiap nabi dan rasul pasti membawa bukti-bukti kebenaran dakwah
mereka, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
مَا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ قَدْ أُعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ
“Tidak ada seorang nabi pun, kecuali diberi bukti-bukti (mukjizat) yang dengan semisal itu manusia beriman.” ( HR. Muslim)
Bukti-bukti inilah yang disebut sebagai ayat, bayyinat, atau burhan,
yang kemudian lebih masyhur dengan sebutan mukjizat, meskipun kata
terakhir ini lebih sempit maknanya. Mukjizat nabi dan rasul, secara
global bukanlah pembahasan yang asing bagi kaum muslimin. Namun,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
sabdakan, Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi
asing, demikian pula pemahaman yang benar tentang mukjizat pada
kebanyakan manusia.
Sebagai contoh, sebagian kelompok Islam
sempalan tidak meyakini adanya mukjizat, bahkan tidak meyakini
keberadaannya. Mereka meniru kaum yang tidak memercayai adanya Rabbul
‘Alamin, yakni kelompok atheis. Sebagian lagi meyakini keberadaan
mukjizat namun memandangnya dengan tinjauan yang menyimpang. Di antara
mereka melampaui batas dalam menetapkan mukjizat sehingga menetapkan
mukjizat-mukjizat yang tidak ditetapkan oleh syariat dan tidak disahkan
oleh dalil yang sahih. Mereka menetapkan mukjizat melalui berita-berita maudhu’ (palsu),
bahkan bertentangan dengan pokok-pokok Islam. Kaum Sufi ekstrem
misalnya. Mereka menetapkan ilmu gaib bagi Rasulullah n. Beliau diyakini
mengetahui segala yang ada di Lauhul Mahfuzh.
Padahal hanya di sisi Allah Subhanahu wata’ala sajalah ilmu gaib. Sebagian mereka menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
mampu mengatur alam setelah wafatnya. Sungguh, keyakinan ini
bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bahkan termasuk bentuk
kekufuran kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Sayyid Quthub Bicara Soal Mukjizat
Pemikiran-pemikiran yang salah mengenai
mukjizat ternyata memengaruhi sebagian tokoh yang dipuja dan disanjung,
semisal Sayyid Quthub. Tokoh Ikhwanul Muslimin ini memiliki cara pandang
yang salah terhadap masalah mukjizat para rasul secara umum. Katanya, “Sesungguhnya Islam (yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam)
tidak menghendaki paksaan dan tekanan sebagai metode agar manusia
memeluk Islam, dengan segala bentuknya. Sampai pun bentuk pemaksaan akal
dalam kemasan mukjizat juga tidak. (Mukjizat) bukan salah satu dari
jalan-jalan keislaman. Berbeda halnya dengan agamaagama sebelumnya
(yakni nabi dan rasul sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam),
seperti sembilan ayat (mukjizat) yang dibawa oleh Nabi Musa
‘Alaihissalam, demikian pula mukjizat Nabi Isa q yang bisa berbicara di
masa bayinya, menghidupkan orang mati, serta menyembuhkan kebutaan dan
peyakit sopak….
Islam menghendaki berkomunikasi dengan
kemampuan akal yang dimiliki oleh manusia dan bersandar padanya untuk
meyakinkan mereka tentang kebenaran syariat Islam dan akidah (kemudian
menerimanya tanpa adanya paksaan), (bukan dengan menampakkan mukjizat
yang merupakan bentuk pemaksaan akal, -pen.). Itu semua sesuai dengan
landasan umum (Islam) berupa penghormatan dan pemuliaan manusia.”
Perhatikan bagaimana Sayyid Qutub memandang mukjizat dengan keliru. Di
satu sisi dia menetapkan mukjizat para nabi sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
namun menganggapnya sebagai bentuk pemaksaan beragama. Alhasil, pokok
pemikiran dia dalam masalah mukjizat yang bisa kita pahami dari
ucapannya adalah sebagai berikut.
1. Dia menganggap mukjizat adalah cara meyakinkan kebenaran yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu pemaksaan akal.
2. Hanya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sajalah yang mendakwahkan Islam tanpa paksaan dan tekanan, baik fisik maupun akal.
3. Menurutnya, mukjizat mengandung
paksaan terhadap akal sehingga tidak sesuai dengan dasar pijakan Islam
berupa penghormatan kepada manusia.
Atas dasar itulah , Sayyid berkesimpulan bahwa mukjizat hanya ada pada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak memiliki mukjizat. Perkataan Sayyid ini sangat berbahaya, di
samping pemikiranpemikiran lain yang banyak tertera dalam
tulisan-tulisannya yang banyak meracuni kepala para pengagum dan
pecintanya, seperti dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an.
Dalam salah satu bantahan terhadap
pemikiran Sayyid, asy-Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali menanggapi
pemikiran Sayyid dalam hal mukjizat, “Sesungguhnya mukjizat yang Allah Subhanahu wata’ala
tampakkan melalui tangan para rasul-Nya sama sekali tidak mengandung
bentuk tekanan dan paksaan, tidak pula bertentangan dengan pandangan
Islam yang menghormati manusia. Mukjizat justru memuliakan para nabi
Allah Subhanahu wata’ala dan rasul-Nya, menguatkan mereka,
dan membuktikan kebenaran (dakwah mereka). Mukjizat juga memuliakan
pengikut para nabi, di samping mengokohkan dan menguatkan iman mereka.
Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala telah memuliakan Nabi
kita, penutup para nabi, rasul yang paling tinggi derajatnya, dengan
mukjizat yang tidak terhitung. Banyak disusun karya-karya ulama secara
khusus dalam hal ini. Banyak pula kitab hadits yang menukilkan
mukjizat-mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini.”
Pengertian Mukjizat
Secara bahasa, mukjizat berasal dari
kata ( أَعْجَزَ ) yang berarti melemahkan, dari kata dasar ( عَجَزَ )
yang artinya lemah. Adapun secara istilah, mukjizat dimaknakan sebagai
suatu peristiwa atau kejadian menakjubkan yang terjadi di luar
kebiasaan. Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kejadian
tersebut melalui tangan para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti kebenaran
dakwah mereka. Kejadian itu tidak mungkin dikalahkan. Selain itu,
mukjizat selalu diiringi dengan pengakuan kenabian. Diistilahkan dengan
mukjizat karena apa yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala itu membuat manusia lemah untuk mendatangkan yang semisal, apalagi mengalahkannya.
Berita Mukjizat dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an tidak ada penyebutan
kalimat mukjizat. Buktibukti kebenaran nabi dan rasul disebutkan dalam
al-Qur’an dengan kata-kata yang lebih luas maknanya. Bukti-bukti
kenabian disebut dengan al-ayat, al-bayyinah, al-burhan, as-sulthan, dan al-basha’ir.
Istilah-istilah dalam al-Qur’an inilah yang semestinya digunakan.
Namun, yang masyhur di kalangan kaum muslimin adalah penggunaan kata
‘mukjizat’ untuk menyebut bukti-bukti kenabian dan kerasulan. Pembaca
yang budiman… Marilah kita tadabburi beberapa ayat yang berisi mukjizat
para nabi dan rasul dengan ungkapan-ungkapan al-Qur’an.
وَقَالَ
رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ
رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُم بِالْبَيِّنَاتِ مِن
رَّبِّكُمْ ۖ وَإِن يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِن يَكُ
صَادِقًا يُصِبْكُم بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
Seorang laki-laki yang beriman di
antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata,
“Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan,
‘Rabbku ialah Allah,’ padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa
bayyinat (keterangan-keterangan) dari Rabbmu. Jika ia seorang pendusta,
dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (al- Mu’min: 28)
وَرَسُولًا
إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ
ۖ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنفُخُ
فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ ۖ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ
وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ اللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم
بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Dan (sebagai) rasul kepada bani
Israil (yang berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang
kepadamu dengan membawa ayat (sesuatu tanda) dari Rabbmu, yaitu aku
membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya,
maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku juga menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak. Aku juga menghidupkan orang mati dengan izin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada hal itu ada suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Ali ‘Imran: 49)
فَلَمَّا
أَتَاهَا نُودِيَ مِن شَاطِئِ الْوَادِ الْأَيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ
الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَن يَا مُوسَىٰ إِنِّي أَنَا اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ () وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ
كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ
أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ () اسْلُكْ يَدَكَ فِي
جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ وَاضْمُمْ إِلَيْكَ
جَنَاحَكَ مِنَ الرَّهْبِ ۖ فَذَانِكَ بُرْهَانَانِ مِن رَّبِّكَ إِلَىٰ
فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Maka tatkala Musa sampai ke (tempat)
api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari
sebatang pohon kayu, yaitu, “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah,
Rabb semesta alam, dan lemparkanlah tongkatmu.” Tatkala (tongkat itu
menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerakgerak seolah-olah seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru), “Hai Musa, datanglah kepada-Ku dan janganlah
kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.
Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak
bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)
mu bila ketakutan. Itulah dua burhan (mukjizat) dari Rabbmu (yang akan kamu hadapkan) kepada Firaun dan para pembesarnya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al- Qashash: 30—32)
وَلَقَدْ
آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِن بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ
الْأُولَىٰ بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَّعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya telah Kami berikan
kepada Musa al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi
yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan
rahmat, agar mereka ingat.” (al-Qashash: 43)
Mukjizat Sesuai dengan Zaman Diturunkannya
Mukjizat sering berisi tantangan
terhadap hal-hal yang sedang menjadi kebanggaan kaum kafir pada zaman
diturunkannya mukjizat. Hal ini sesungguhnya salah satu bentuk rahmat
Allah Subhanahu wata’ala. Tatkala manusia bangga dengan sesuatu yang menyebabkan mereka berpaling dari Allah Subhanahu wata’ala, Allah Subhanahu wata’ala
mengutus rasul-Nya dengan mukjizat yang mengalahkan dan mematahkan apa
yang mereka banggakan. Dengan demikian, diharapkan mereka lebih memahami
mukjizat dan mengakui bahwa mukjizat datang dari sisi Allah Subhanahu wata’ala.
Di zaman Nabi Musa ‘Alaihissalam, sihir menempati kedudukan yang tinggi dalam peradaban Mesir. Allah Subhanahu wata’ala
pun mengutus Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan mukjizat yang sesuai dengan
keadaan kaumnya yang bangga dengan ilmu sihir. Tongkat Nabi
Musa ‘Alaihissalam berubah menjadi ular mengalahkan tukang sihirtukang
sihir Fir’aun. Saat itu tukangtukang sihir Fir’aun sujud kepada Allah Subhanahu wata’ala karena menyaksikan kebesaran-Nya dan meyakini bahwa apa yang mereka lihat bukanlah sihir.
وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ () قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ () رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ
Ahli-ahli sihir itu serta-merta
meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata, “Kami beriman kepada
Rabb semesta alam, (yaitu) Rabb Musa dan Harun.” (al-A’raf: 120—122)
Lebih dari itu, tongkat Nabi Musa ‘Alaihissalam membelah Laut Merah menjadi jalan-jalan kering bagi bani Israil. Subhanallah,
sihir mana yang mampu membelah samudra? Jangankan samudra, membelah air
dalam panci pun tak ada seorang pun mampu melakukannya.
فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu!” Maka terbelahlah lautan itu dan tiaptiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (asy-Syu’ara: 63)
Seharusnya Fir’aun dan bala tentaranya
berhenti mengejar Musa dan bersegera beriman ketika menyaksikan tanda
yang luar biasa. Namun, hati mereka telah keras sehingga mereka terus
memasuki Laut Merah menuju kebinasaan. Ilmu pengobatan. Tabib dan ahli
pengobatan mendapatkan kedudukan penting di masa Nabi Isa ‘Alaihissalam.
Maka dari itu, di antara mukjizat Isa ‘Alaihissalam adalah menyembuhkan
orang buta, menyembuhkan penyakit sopak, bahkan menghidupkan burung dan
menghidupkan orang yang sudah mati. Adakah ilmu kedokteran yang mampu
menghidupkan orang yang telah mati?
Pada zaman Nabi Shalih ‘Alaihissalam,
kaum Tsamud bangga dengan kemampuan mereka menjadikan batu-batu gunung
menjadi rumah-rumah tempat tinggal. Allah Subhanahu wata’ala tampakkan mukjizat berupa unta yang keluar dari bebatuan. Allahu Akbar, batu melahirkan unta.
قَالُوا
إِنَّمَا أَنتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ () مَا أَنتَ إِلَّا بَشَرٌ
مِّثْلُنَا فَأْتِ بِآيَةٍ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ () قَالَ هَٰذِهِ
نَاقَةٌ لَّهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ () وَلَا
تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَظِيمٍ
() فَعَقَرُوهَا فَأَصْبَحُوا نَادِمِينَ () فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ ۗ
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً ۖ وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُم مُّؤْمِنِينَ
Mereka berkata, “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orangorang yang kena sihir. Kamu tidak lain seorang manusia seperti kami; maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar.” Shalih menjawab, “Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu. Janganlah kamu sentuh unta betina itu dengan sesuatu kejahatan, yang menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab hari yang besar.” Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal, maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat bukti yang Mukjizat dan Karamah, di Tengah Penyimpangan Akidah nyata. Adalah kebanyakan mereka tidak beriman. (asy-Syu’ara: 153—158)
Demikian pula pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Manusia sangat bangga dengan sastra, maka saat itulah diturunkan al-Qur’an sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan yang terbesar dan kekal, di samping sekian banyak bukti lain yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi yang pada saat itu tidak bisa membaca dan menulis bisa menunjukkan
al-Qur’an yang diyakini oleh umat muslim memiliki nilai sastra tinggi.
Tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata, tetapi juga kedalaman makna
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, al-Qur’an dapat terus digunakan
sebagai rujukan hukum yang tertinggi sejak masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai akhir zaman nanti. Kemukjizatan al-Qur’an akan kita bahas secara khusus, insya Allah.
Karya-Karya Ulama tentang Mukjizat
Meyakini mukjizat nabi dan rasul termasuk bagian iman kepada Allah Subhanahu wata’alal
dan iman kepada rasul-rasul-Nya. Mengingat pentingnya masalah ini,
ulama Ahlus Sunnah mencurahkan perhatian yang sangat besar untuk
menyebarkan berita-berita mukjizat kepada umat. Muncullah karya-karya
yang memuat berita-berita tersebut, seperti kitab-kitab sirah,
kitab-kitab Syamail, demikian pula kitab-kitab hadits yang banyak menukilkan riwayat-riwayat mengenai mukjizat. Dalam Shahih Muslim misalnya, al-Imam Muslim Subhanahu wata’ala membuat sebuah pembahasan khusus berjudul Kitab Fadhail, yang memuat beberapa pembahasan mukjizat dan keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan, secara khusus telah dikumpulkan riwayat-riwayat tentang
mukjizat rasul dalam karya-karya ilmiah. Di antara tulisan ulama baik
yang terbit atau masih dalam bentuk manuskrip adalah:
• Ayatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali bin Muhammad al-Madaini (210 H)
• Amarat an-Nubuwwah, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajani (259 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Razi Abu Zur’ah (264 H)
• A’lamun Nubuwwah, al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy-’ats (275 H)
• A’lamur Rasul al-Munazzalah ‘ala Rusulihi, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (276 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin al-Haitsam al-Baladi (277 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abdullah bin Muhammad bin Abid Dunya (281 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin Ishaq al-Harby (285 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ja’far bin Muhammad bin al-Hasan al-Firyabi (301 H)
• Dalail an-Nubuwah, Tsabit bin Hazm as-Sarqasthi (313 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan an-Naqqasy, al-Muqri (351 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abu asy- Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Hayyan al-Ashbahani (369 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani (430 H)
• Dalail an-Nubuwah, Sulaiman bin Ahmad ath-Thabarani (430 H)
• al-Arba’una Haditsan ad-Dalah ‘ala Nubuwatihi ‘Alahissalam, Ali bin al-Hasan bin Hibatullah, Ibnu ‘Asakir (571 H)
• Dalail an-Nubuwah, al-Hafizh Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi. Masih banyak karya ulama lainnya tentang masalah ini. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.

Perbedaan Mukjizat, Karamah, dan Sihir
Tukang-tukang sihir, dukun, dan
manusia semodel mereka seringkali memamerkan “kehebatan” mereka, kebal
api atau kebal bacokan pedang. Sebagian mereka tidur di atas paku-paku
tajam atau dengan bangganya memakan pecahan-pecahan kaca. Aneh memang.
Televisi pun tak ketinggalan menayangkan acara-acara tersebut. Anehnya,
perbuatan syirik tersebut dianggap kesenian, budaya yang mendatangkan
devisa, dan lebih menyedihkan manakala seorang yang menyatakan dirinya
muslim berdecak kagum menyaksikan “kehebatan” mereka. Allahul Musta’an.
Sepintas, fenomena aneh di hadapan kita itu mirip dengan mukjizat Nabi
Ibrahim ‘Alaihissalam yang utuh tidak terbakar tatkala dilempar kaumnya
di tengah kobaran api. Karena kemiripan antara mukjizat dan sihir dari
sisi keduanya menyelisihi adat kebiasaan dan hukum alam, maka kita perlu
memahami perbedaan mendasar antara mukjizat dan sihir.
Di antara hal penting yang menjadi kaidah membedakan antara mukjizat dan sihir:
1. Mukjizat berasal dari Allah Subhanahu wata’ala sebagai bentuk pemuliaan terhadap nabi dan rasul-Nya. Adapun sihir adalah amalan-amalan setan.
Bagaimana sihir terwujud? Tukang sihir
dan dukun tidak mungkin melakukan perkara-perkara aneh tersebut
melainkan jika mau memberikan persembahan kepada setan-setan, seperti
menyembelih untuk jin, memberikan sesaji, atau yang semisalnya. Oleh
karena itu, sihir adalah bentuk kekufuran kepada Allah Subhanahu wata’ala dan pelakunya kafir sebagaimana firman-Nya,
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ
سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ
السِّحْرَ
“Mereka mengikuti apa yang dibaca
oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (al-Baqarah: 102)
2. Di antara perbedaan
mendasar antara mukjizat dan sihir, mukjizat mengandung tantangan yang
bersifat umum bagi penentang dakwah rasul untuk menghadapi mukjizat itu,
kalau memang mereka mampu.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang mukjizat al-Qur’an,
قُل
لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ
هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah, “Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini,
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-Isra’: 88)
Berbeda halnya dengan sihir, tidak ada
seorang penyihir pun berani membuka tantangan secara umum. Sebab, mereka
tahu, banyak pula manusia yang seprofesi yang mungkin mendatangkan
sihir yang lebih kuat, dan ini merugikan mereka sendiri. Apalagi saat
sihir dihadapkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan zikir, niscaya mereka
akan menuai kekalahan dan kebinasaan.
3. Mukjizat diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada nabi dan rasul-Nya tanpa laku/latihan tertentu, belajar, atau kaidah-kaidah yang harus senantiasa diterapkan.
Tidak pernah Nabi Musa ‘Alaihissalam
mempelajari bagaimana tongkatnya berubah menjadi ular atau membelah
lautan. Demikian pula semua mukjizat nabi dan rasul. Adapun sihir, ilmu
ini memiliki kaidah-kaidah yang bisa dipelajari setiap orang, dengan
syarat dia mau menjual agamanya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَٰكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ
عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ
مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ
وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ
اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ
Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan
kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut,
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir.” Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. (al-Baqarah: 102)
4. Sihir selalu bisa
dikalahkan, baik dengan sihir yang lebih kuat maupun dengan zikir dan
bacaan al-Qur’an. Berbeda halnya dengan mukjizat, tidak mungkin
dikalahkan.
Allah Subhanahu wata’ala
mengisahkan kekalahan sihir-sihir terhebat di zaman Musa ‘Alaihissalam.
Sihir tidak mampu berhadapan dengan mukjizat Nabi Musa ‘Alaihissalam.
وَأَوْحَيْنَا
إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا
يَأْفِكُونَ () فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ()
فَغُلِبُوا هُنَالِكَ وَانقَلَبُوا صَاغِرِينَ
Dan kami wahyukan kepada Musa,
“Lemparkanlah tongkatmu!” Sekonyongkonyong tongkat itu menelan apa yang
mereka sihirkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. (al-A’raf: 117—119)
Demikian empat hal di antara pokok-pokok
perbedaan antara sihir dan mukjizat. Lantas bagaimana halnya dengan
karamah, yaitu kejadian menakjubkan di luar kebiasaan yang mungkin
terjadi pada wali-wali Allah Subhanahu wata’ala sebagai karamah (pemuliaan) bagi mereka, apakah sama dengan mukjizat? Karamah diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada wali-wali-Nya, seperti apa yang Dia Subhanahu wata’ala
berikan kepada Ashabul Kahfi berupa penjagaan dari kejelekan kaumnya
dengan cara yang luar biasa. Mereka tidur selama 309 tahun dalam goa,
seperti dikisahkan oleh al-Qur’an,
لَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
“Mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (al-Kahfi: 25)
Karamah hampir sama dengan mukjizat. Keduanya dari Allah Subhanahu wata’ala, hanya saja karamah tidak diiringi dengan pengakuan kenabian. Pembahasan tentang karamah insya Allah akan kita khususkan pada rubrik “Hadits.”
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Mengenal Beberapa Faedah Mukjizat
Ketetapan Allah Subhanahu wata’ala baik yang kauni maupun syar’i selalu dipenuhi hikmah. Tidak ada satu perkara pun yang Allah Subhanahu wata’ala takdirkan melainkan penuh dengan hikmah yang sangat mendalam. Demikian pula mukjizat yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada nabi dan rasul-Nya, bukanlah perkara sia-sia. Berbagai hikmah dan faedah mengitari mukjizat nabi dan rasul. Di antara faedahnya adalah:
1. Sebagai bukti kebenaran dakwah para nabi dan rasul.
Dalam perjalanan dakwah, tidak jarang
orang-orang kafir menantang agar nabi dan rasul mendatangkan bukti akan
kebenaran dakwah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَالُوا لَوْلَا يَأْتِينَا بِآيَةٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ أَوَلَمْ تَأْتِهِم بَيِّنَةُ مَا فِي الصُّحُفِ الْأُولَىٰ
Mereka berkata, “Mengapa ia tidak
membawa bukti kepada kami dari Rabbnya?” Apakah belum datang kepada
mereka bukti yang nyata dari apa yang tersebut di dalam kitab-kitab yang
dahulu? (Thaha: 133)
Kaum Nabi Shalih ‘Alaihissalam berkata kepada beliau ‘Alaihissalam,
مَا أَنتَ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا فَأْتِ بِآيَةٍ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Kamu tidak lain seorang manusia seperti kami; maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar.” (asy-Syu’ara: 154)
Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, orangorang musyrikin Quraisy pernah meminta agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangkan bukti kebenaran dakwah beliau. Ditampakkanlah salah satu mukjizat dari Allah Subhanahu wata’ala , yaitu terbelahnya bulan, sebagai jawaban atas tantangan mereka. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,
أَنْ
يُرِيَهُمْ آيَةً أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ سَأَلُوا رَسُولَ اللهِ
فَأَرَاهُمُ الْقَمَرَ شِقَّتَيْنِ حَتَّى رَأَوْا حِرَاءَ بَيْنَهُمَا
“Penduduk kota Makkah menantang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
menunjukkan kepada mereka ayat (bukti kebenaran dakwahnya), maka beliau
menunjukkan kepada mereka bulan yang terbelah menjadi dua, hingga
mereka melihat Gunung Hira’ berada di antara kedua belahan bulan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun, tidak semua permintaan dan tantangan mereka ditanggapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Menguatkan iman para nabi.
Allah Subhanahu wata’ala mengisahkan mukjizat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ
أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ
فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ
عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ
سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
berkata, “Wahai Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?”
Ibrahim menjawab, “Aku telah meyakininya, tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah berfirman, “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu.” (Allah berfirman), “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (al-Baqarah: 260)
Ketika para nabi dan rasul menyaksikan mukjizat, keimanan mereka semakin kokoh dan semakin kokoh pula mereka berdakwah.
3. Menghibur nabi dan rasul dalam menghadapi beban dakwah dan gangguan kaumnya.
Dakwah di Makkah dilalui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan penuh kesabaran. Tidak samar bagi pembaca betapa berat
perjalanan dakwah beliau. Permusuhan Quraisy semakin gencar dengan
kematian Abu Thalib, kesedihan pun semakin mendera dengan wafatnya
Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri yang selalu menemani beliau dalam suka dan duka. Sesaat kemudian, Allah Subhanahu wata’ala
memberikan kepada Nabi-Nya mukjizat Isra’. Perjalanan dari Makkah ke
Baitul Maqdis dan dilanjutkan ke langit ketujuh hanya dalam satu malam.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Mahasuci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Isra’: 1)
Dalam perjalanan tersebut, Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kebesaran-Nya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala berbicara langsung dengan Nabi dan Kekasih-Nya. Perjalanan yang penuh dengan ibrah semakin mengokohkan jiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengemban dakwah yang lebih berat. Termasuk hiburan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah berita-berita gaib tentang kisah nabi-nabi sebelum beliau yang sebelumnya tidak beliau ketahui. Allah Subhanahu wata’ala
mengisahkan beban yang menimpa Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan
Nabi Isa , yang di antara faedahnya ialah menghibur Nabi dan Khalil-Nya.
4. Menambah keimanan orangorang yang beriman.
Ini seperti permintaan pengikut Isa ‘Alaihissalam agar diturunkan makanan dari langit. Allah Subhanahu wata’ala mengisahkan mukjizat tersebut dalam surat al-Maidah,
إِذْ
قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ
رَبُّكَ أَن يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ
اتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ () قَالُوا نُرِيدُ أَن
نَّأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَن قَدْ
صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ () قَالَ عِيسَى ابْنُ
مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ
السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِّنكَ ۖ
وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut
Isa berkata, “Hai Isa putra Maryam, bersediakah Rabbmu menurunkan
hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” Mereka berkata, “Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang
menyaksikan hidangan itu.” Isa putra Maryam berdoa, “Wahai Rabb kami,
turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari
turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi
kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah sebaikbaik pemberi
rezeki.” (al-Maidah: 112—114)
Demikian pula mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang terjadi di hadapan para sahabat, seperti bertambahnya makanan dan
air pada saat para sahabat kekurangan bekal. Semua itu menambah keimanan
dan ketenteraman jiwa kaum mukminin. Mereka sedikit pun tidak ragu akan
kebenaran dakwah Rasul. Namun, Allah Subhanahu wata’ala menampakkan mukjizat-mukjizat tersebut agar iman mereka semakin bertambah.
5. Menjadi jalan keluar bagi nabi dan orang-orang yang beriman ketika mendapatkan ujian.
Hal ini seperti saat Nabi Ibrahim ‘Alaihisslam dibakar oleh kaumnya. Allah Subhanahu wata’ala
menampakkan mukjizat, di samping sebagai bukti kebenaran dakwah Ibrahim
‘Alaihissalam, juga sebagai jalan keluar bagi beliau. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ
أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا
يَضُرُّكُمْ () أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ
أَفَلَا تَعْقِلُونَ () قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِن
كُنتُمْ فَاعِلِينَ () قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ
إِبْرَاهِيمَ () وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ
Ibrahim berkata, “Mengapakah kalian
menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit
pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kalian? Ah (celakalah)
kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami?” Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman, “Hai api dinginlah, dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim.” Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi. (al- Anbiya: 66—70)
Demikian pula saat Musa ‘Alaihissalam dan kaum mukminin terimpit tentara Fir’aun, datanglah pertolongan Allah Subhanahu wata’ala berupa mukjizat Musa ‘Alaihissalam. Tentang hal ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّا
تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَىٰ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ ()
قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ () فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ
مُوسَىٰ أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ
فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” Musa menjawab, “Sekalikali tidak
akan tersusul. Sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.” Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan seperti gunung yang besar. (asy-Syu’ara: 61—63)
6. Untuk mengalahkan sihir,
sehingga para pengikut setan menyadari bahwa sihir tidak ada sedikit pun
kekuatannya di hadapan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala.
Hal ini seperti kisah Musa ‘Alaihissalam
ketika Fir’aun mendatangkan seluruh tokoh sihir untuk mengalahkan
beliau ‘Alaihissalam. Namun, makar mereka tidak mungkin mengalahkan
mukjizat Musa ‘Alaihissalam. Sihir memiliki kemiripan dengan mukjizat
dari sisi bahwa keduanya adalah perkara di luar kebiasaan, walaupun
tentu saja perbedaannya sangat jauh dan kentara. Namun, boleh jadi
seseorang tertipu dengan sihir dan menganggapnya sebagai mukjizat atau
karamah.
7. Sebagai ujian bagi manusia.
Apakah mereka mau menerima dan
membenarkan bukti-bukti yang dibawa rasul, ataukah mereka mendustakannya
setelah datangnya tanda. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَإِن كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ جَاءُوا بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ
“Jika mereka mendustakan kamu, sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali ‘Imran: 184)
Seperti halnya Yahudi, mereka yakin betul bahwa Muhammad bin Abdillah adalah nabi dan rasul Allah Subhanahu wata’aladengan bukti-bukti yang mereka saksikan. Akan tetapi, mereka tidak mau beriman karena hasad.
8. Sebagai peringatan dan ancaman bagi penentang Rasul.
Allah Subhanahu wata’ala
mengingatkan tenggelamnya Fir’aun agar selalu menjadi peringatan bagi
orang yang beriman dan orangorang kafir, para penentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
إِنَّا
أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا
إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًا () فَعَصَىٰ فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ
فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا
“Sesungguhnya Kami telah mengutus
kepada kamu (hai orang kafir Makkah) seorang rasul, yang menjadi saksi
terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul
kepada Fir’aun. Fir’aun mendurhakai rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (al-Muzzammil: 15—16)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Mukjizat-Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bukti-bukti kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sangat banyak, tidak mampu kita batasi dengan angka atau jumlah
tertentu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata,
“Ayat-ayat dan burhan yang menunjukkan kenabian Nabi kita Muhammad n sangat banyak dan beragam, lebih banyak dan lebih agung daripada ayat-ayat nabi sebelum beliau.” (al-Jawab ash-Shahih) Semakna dengan Syaikhul Islam, al-Qadhi ‘Iyadh rahimahumallah
berkata, “Beliau adalah rasul yang paling banyak membawa mukjizat,
paling menakjubkan tanda (kerasulannya), dan paling tampak bukti
(kerasulannya), sebagaimana akan kita jelaskan. Tidak ada tulisan yang
mengumpulkan semua mukjizat beliau yang sangat banyak itu. Bahkan, satu
saja dari mukjizat beliau, yaitu al-Qur’an, tidak ada yang bisa
menyebutkan jumlah mukjizat yang terkandung (di dalamnya) dengan angka
seribu, dua ribu, atau lebih….” (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa)
Sebagian ulama berkata, “Beliau telah
diberi tiga ribu mukjizat, selain al-Qur’an. Adapun al-Qur’an sendiri,
di dalamnya kurang lebih ada enam puluh atau tujuh puluh ribu mukjizat.”
Apa yang dikatakan oleh para ulama memang demikianlah keadaannya.
Sebab, setiap gerak-gerik, ucapan, perbuatan dan sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bukti kebenaran dakwah beliau. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
sesungguhnya termasuk tanda kenabian. Demikian pula akhlak, sabda,
perbuatan, syariat, umatnya, dan karamah-karamah orang-orang saleh dari
umat beliau, semua itu termasuk ayat (tanda kenabian) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Lebih Banyak dan Lebih Menakjubkan dari Mukjizat Nabi Sebelumnya
Jika dibandingkan dengan mukjizat nabi-nabi sebelum beliau, kita dapatkan mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih banyak dan lebih menakjubkan. Nabi Isa ‘Alaihissalam menyembuhkan kebutaan—dengan izin Allah Subhanahu wata’ala—dengan cara mengusap mata dalam keadaan mata berada di tempatnya. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau menyembuhkan—dengan izin Allah Subhanahu wata’ala—mata yang telah keluar dari lubangnya. Beliau masukkan kembali pada tempatnya, seperti terjadi pada sahabat Qatadah radhiyallahu ‘anhu.
Matanya tercongkel dalam Perang Uhud. Bola matanya keluar bersama
urat-uratnya, menjulur ke wajah beserta darah yang mengalir, buta,
diiringi sakit tiada tara. Keluarga Qatadah hampir saja memotong dan
membuang mata Qatadah radhiyallahu ‘anhu yang buta, karena sakit semacam ini mustahil untuk disembuhkan.
Namun, sebelum hal itu dilakukan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar kabar apa yang akan dilakukan oleh keluarga Qatadah. Segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Qatadah. Dengan telapak tangan beliau yang mulia, bola mata Qatadah didorong masuk ke dalam lubang mata kepalanya. Subhanallah!
Seketika itu pula sembuh mata Qatadah seperti tidak pernah terluka.
Sungguh, mukjizat yang sangat menakjubkan. Mahasuci Allah, mukjizat itu
tidak mungkin dikalahkan atau dicapai oleh kehebatan ilmu kedokteran
mana pun. Mukjizat ini lebih menakjubkan daripada mukjizat Nabi Isa
‘Alaihissalam. Kisah ini diriwayatkan Abu Ya’la al-Maushili dalam al-Musnad melalui jalan ‘Ashim bin Umar bin Qatadah dari bapaknya dari kakeknya. Al- Albani menguatkan hadits ini dengan syawahidnya dalam takhrij beliau terhadap risalah Bidayatus Sul fi Tafdhili ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam hlm. 42.
Muhammad bin Sa’ad dalam ath- Thabaqat juga meriwayatkan dari Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu, bahwa mata Qatadah bin an-Nu’man terluka sehingga biji matanya keluar sampai ke pipi.Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengembalikan mata itu hingga sembuh kembali. Ath-Thabarani dan Abu
Nu’aim al- Ashbahani meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, “Pada waktu
Perang Uhud, aku menjaga wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dari serangan anak panah, tiba-tiba sebuah anak panah melesat mengenai
biji mataku. Aku mengambilnya dengan tangan dan berusaha mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika beliau melihat apa yang ada di
telapak tanganku, dua mata beliau berlinangan seraya bersabda, ‘Ya
Allah, peliharalah mata Qatadah sebagaimana dia telah memelihara wajah
nabinya dengan wajahnya. Jadikanlah kedua matanya lebih baik dan lebih
elok serta tajam penglihatannya.’ Sembuhlah mata Qatadah, dan
terkabullah doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allahu Akbar.
Contoh lain, mukjizat Nabi Musa ‘Alaihissalam. Nabi Musa ‘Alaihissalam
memukulkan tongkat ke batu, air pun memancar deras dari 12 mata air.
Allah Subhanahu wata’alaberfirman,
وَإِذِ
اسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِب بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ
فَانفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ
أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلَا
تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah darinya dua belas mata
air. Sungguh, tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya
(masingmasing) makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan
janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (al-Baqarah: 60)
Keluarnya mata air dari batu setelah
dipukulkan tongkat sungguh menakjubkan. Namun, lebih menakjubkan lagi
ketika air keluar dari sela-sela jari-jemari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jabir bin Abdillah z berkata, “Kehausan menimpa para sahabat pada
Perang Hudaibiyah. Ketika itu di hadapan Nabi ada bejana (berisi air),
beliau pun berwudhu. Manusia menghampiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah-wajah yang tampak kesusahan dan kesedihan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Ada apa dengan kalian?’ ‘Wahai Rasulullah, Kami tidak
memiliki air untuk berwudhu, tidak pula untuk minum selain air yang ada
di hadapanmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
meletakkan tangan beliau ke dalam bejana, seketika itu air memancar
deras dari sela-sela jari jemari beliau seperti mata air, kami segera
minum dan berwudhu dengan air itu.” Jabir ditanya, “Berapa jumlah
sahabat ketika itu?” Jabir menjawab, “Seandainya jumlah kami seratus
ribu, niscaya air itu mencukupi kami. Ketika itu jumlah kami seribu lima
ratus orang.” (HR. al-Bukhari)
Dua Jenis Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang banyak dan beragam itu mungkin dikelompokkan dalam dua bagian.
1. Mukjizat-mukjizat yang terjadi semasa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berakhir dengan wafatnya beliau.
Contohnya, keluarnya air dari jarijemari beliau yang mulia, bertambahnya makanan dari sedikit menjadi banyak.
2. Mukjizat-mukjizat yang terus berlangsung setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga hari kiamat.
Contohnya, berita-berita gaib, kejadian-kejadian sepeninggal beliau, yang beliau kabarkan berdasarkan wahyu Allah Subhanahu wata’ala kemudian terjadi sesuai dengan apa yang beliau kabarkan. Termasuk mukjizat yang kekal adalah al-Qur’an al-Karim.
Dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wata’ala, akan kita kaji beberapa mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang tentu sangatlah sedikit jika dibanding dengan samudra mukjizat
beliau yang luas dan dalam. Kita nukilkan dari kitab-kitab hadits, kitab
dalail an-nubuwah, dan kitab-kitab dan sirah nabawiyah.
Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berupa Berita- Berita Gaib
Sebelumnya perlu diingat, Allah Subhanahu wata’ala sajalah yang mengetahui perkara gaib. Allah Subhanahu wata’ala menyingkap sebagian tabir gaib kepada nabi dan rasul sebagai bukti kebenaran dakwah mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا () إِلَّا مَنِ
ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui
yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang
gaib itu kecuali kepada rasul yang diridhai- Nya. Sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي
أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ وَأَسْمَعُ مَا لاَ تَسْمَعُونَ، أَطَّتِ
السَّمَاءُ وَحَقٌّ لَهَا أَنْ تَئِطَّ؛ مَا فِيهَا مَوْضِعُ أَرْبَعِ
أَصَابِعَ إِلاَّ وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا عَزَّ وَجَلَّ،
وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً
وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا، وَمَا تَلَذَّذْتُمْ بِالنِّسَاءِ عَلَى
الْفُرُشِ، وَلَخَرَجْتُمْ إِلَى الصُّعُدَاتِ تَجْأَرُونَ إِلَى اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّي شَجَرَةٌ تُعْضَدُ
“Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat, dan aku mendengar apa yang tidak kalian dengar, langit-langit bergoncang, dan pantas jika langitlangit bergoncang. Tidak ada ruang lebih dari empat jari di langit kecuali ada malaikat yang meletakkan dahinya bersujud kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis, serta kalian juga
akan sedikit bermesraan dengan istri-istri di atas ranjang. Sungguh, kalian pasti akan keluar ke jalan-jalan untuk meminta kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan berteriak-teriak. Aku berharap kalaulah aku hanya sebuah pohon yang terpotong.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Dzar al- Ghifari radhiyallahu ‘anhu)
Di antara berita gaib, ketika Perang Badr, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengabarkan kepada para sahabat tentang beberapa pembesar pasukan kafir
Quraisy yang akan menemui ajalnya di Badr, bahkan beliau tunjukkan
tempat-tempat kematian mereka. Apa yang beliau kabarkan benar-benar
terjadi. Nama-nama para tokoh musyrikin Quraisy yang beliau sebut mati
terhina di tempat-tempat yang beliau tunjukkan. Di antara berita gaib,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan bahwa Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhu wafat dalam keadaan syahid. Berita ini pun terwujud.
Al-Imam al-Bukhari rahimahumallah dalam Shahih-nya meriwayatkan bahwa suatu hari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam naik ke atas Gunung Uhud bersama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Tiba-tiba gunung bergoncang, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اسْكُنْ أُحُدُ، مَا عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ، وَصِدِّيقٌ، وَشَهِيدَانِ
“Tenanglah, wahai Uhud, karena sungguh di atasmu ada seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid (yakni Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhu).”
Pada 23 H, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal syahid, dibunuh oleh Abu Lu’lu’ al-Majusi. Pada 35 H Utsman radhiyallahu ‘anhu juga terbunuh syahid dalam sebuah tragedi berdarah yang didalangi oleh Abdullah bin Saba’ al-Yahudi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengabarkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh syahid, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَشْقَى الْأَوَّلِينَ عَاقِرُ النَّاقَةِ وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ-وَأَشَارَ حَيْثُ يُطْعَنُ
“Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (dari kaum Nabi Shalih ‘Alaihissalam), dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu wahai ‘Ali!” seraya menunjuk letak tikaman di tubuh Ali radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqatul Kubra (35/3) dengan sanad mursal, tetapi memiliki syawahid (penguat-penguat) dari hadits lain. (Lihat ash-Shahihah 78/3 no 1088)
Di antara berita gaib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan wafatnya para panglima perang muslimin dalam Perang Mu’tah. Pada Jumadal Ula tahun kedelapan Hijriah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus tiga ribu tentara Islam menuju Syam. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebagai pemimpin pasukan. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ، فَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Jika Zaid terbunuh, penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.” (HR. al-Bukhari [16/98] no. 4261)
Ibnu Sa’d rahimahumallah dalam ath-Thabaqat al-Kubra menambahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Apabila Abdullah terbunuh, hendaknya kaum muslimin memilih salah seorang mereka sebagai penggantinya.” (ath-Thabaqat [2/128] namun sanadnya mu’allaq)
Subhanallah, nama-nama panglima perang Rasul meninggal sesuai urutan yang beliau sebutkan, Zaid bin Haritsah, Ja’far, kemudian Abdullah bin Rawahah. Setelah itu Khalid bin al-Walid memimpin pasukan dan melanjutkan pertempuran. Di antara saksi hidup Perang Mu’tah adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata tentang wafatnya Ja’far,
فَكُنْتُ
مَعَهُمْ فِي تِلْكَ الْغَزْوَةِ، فَالْتَمَسْنَا جَعْفَرَ بْنَ أَبِي
طَالِبٍ فَوَجَدْنَا بِمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ بِضْعًا وَتِسْعِينَ مَا
بَيْنَ رَمْيَةٍ وَطَعْنَةٍ
“Ketika itu aku bersama mereka dalam Perang Mu’tah. Kami mencari Ja’far bin Abi Thalib. Kami mendapati di bagian depan jasadnya ada sembilan puluh sekian luka bekas anak panah atau tikaman.”
Di antara berita gaib adalah berita
angin topan yang beliau kabarkan dalam Perang Tabuk, perang terakhir
yang beliau ikuti. Mukjizat ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Sahabat Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk Perang Tabuk. Dengan mengharap ridha-Nya, sahara kami lalui.
Dalam perjalanan itu, kami pun tiba di Wadi al- Qura dan singgah di
sebuah perkebunan kurma milik seorang wanita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, ‘Coba
kalian taksir (berapa kirakira kebun ini menghasilkan panennya)!’ Kita
pun mengira-ira berapa kurma yang dihasilkan dari kebun itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menaksirnya sebanyak sepuluh wasaq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai pemilik kebun, hitunglah hasil kebunmu, sampai nanti kita kembali kepadamu insya Allah.’
Tentara – tentara Allah Subhanahu wata’ala kembali melanjutkan perjalanan. Kami meninggalkan Wadi al-Qura. Setiba di Tabuk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Angin besar akan menimpa kalian malam ini. Maka dari itu,
jangan sekali-kali salah seorang dari kalian berdiri. Siapa yang
memiliki unta hendaknya dia ikat erat-erat untanya.” Kabar Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi, angin yang sangat besar menerpa. Semua yang mengiringi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Tabuk menyaksikan kebenaran berita beliau, sebagai mukjizat dari Allah Subhanahu wata’ala.
Badai angin datang mengempaskan apa saja yang dilaluinya. Saat angin
bertiup kencang, seorang laki-laki berdiri. Angin pun mengempas dan
membawanya hingga terlempar di Gunung Thayyi’….
Itulah sebagian kejadian di Tabuk. Waktu berlalu hingga datanglah saat kembali ke Madinah. Seperti dijanjikan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kembali singgah di Wadi al-Qura, di kebun wanita tempat dahulu mereka
singgah. Rasulullah n bertanya pada wanita pemilik kebun, “Berapa
kurma-kurma yang dihasilkan dari kebunmu?” Wanita itu berkata, “Sepuluh
wasaq.”—sesuai taksiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan hingga sampai ke Thaibah. Di antara
berita gaib, saat sakit menjelang Rasulullah n wafat, beliau mengabarkan
kepada Fathimah bahwa sakit yang beliau derita berakhir dengan wafatnya
beliau. Beliau kabarkan pula kepada Fathimah bahwa dialah orang pertama
dari keluarga Rasulullah n yang akan menyusul beliau. Kabar itu pun
terjadi.
Di waktu dhuha saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sakit, beliau memanggil Fathimah radhiyallahu ‘anha dan membisikkan sesuatu kepada sang putri. Tiba-tiba Fathimah radhiyallahu ‘anha menangis berlinangan air mata. Lalu beliau membisikkan sesuatu lagi, tibatiba Fathimah radhiyallahu ‘anha tertawa. Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang apa yang dibisikkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang membuat Fathimah menangis dan tertawa. Fathimah menjawab,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepadaku bahwa beliau akan wafat karena sakit beliau, aku pun menangis mendengarnya. Lalu beliau membisikkan bahwa aku adalah keluarga beliau yang pertama segera menyusul mengikuti beliau, aku pun tertawa.” ( HR. al- Bukhari no. 4433, 4434 dan Muslim [4/1904 no. 2450])
Dalam sebagian riwayat, yang menyebabkan Fathimah radhiyallahu ‘anha tertawa adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Fathimah, tidakkah engkau ridha engkau menjadi pemuka wanitawanita kaum mukminin, pemuka wanitawanita umat ini….” (HR. al-Bukhari no. 3623 dan Muslim [4/1905 no. 2450])
Berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar terjadi, beliau wafat. Kurang lebih enam bulan sepeninggal beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anhu menyusul, meraih janji surga yang telah dikabarkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Enam berita gaib di atas telah terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
juga mengabarkan banyak hal gaib yang sampai saat ini belum terjadi dan
pasti akan terjadi. Di antara berita tersebut adalah pertempuran akhir
zaman antara kaum muslimin dan Yahudi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
لاَ تَقُومُ
السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمُ
الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ
وَالشَّجَرِ فَيَقُولُالْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ : يَا مُسْلِمُ، يَا عَبْدَ
اللهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ. إِ الْغَرْقَدَ
فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ
“Tidak akan terjadi kiamat hingga
kaum muslimin memerangi Yahudi, membunuhi mereka. Sampai ketika Yahudi
bersembunyi di balik batu atau pohon, batu dan pohon berkata, ‘Wahai
muslim, wahai Abdullah, Yahudi ada di belakangku. Kemari dan bunuhlah dia.’ Kecuali pohon gharqad, (dia tidak berbicara) karena dia dari pohon Yahudi.”
Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Berupa Penjagaan Allah Subhanahu wata’ala atas Beliau
Bukan hal yang asing bagi seluruh manusia, baik kaum mukminin maupun orang-orang kafir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memulai dakwah di kota Makkah saat tidak ada seorang pun beriman kepada
beliau. Penentangan kaumnya bahkan muncul dari kerabat dekat beliau,
seperti Abu Lahab. Berbagai makar dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk
memadamkan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, beberapa kali mereka berupaya membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perencanaan yang sangat matang. Kita tidak lupa upaya Quraisy membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang hijrah, tidak lupa pula upaya bani Nadhir membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau berkunjung, termasuk upaya Yahudi meracuni beliau seusai Perang Khaibar.
Adakah makar mereka yang mampu memadamkan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhasil? Tidak ada satu makar pun berhasil menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
tidak pula makar mereka memudaratkan dakwah Islam…. Cukuplah semua ini
sebagai bukti atau mukjizat yang menunjukkan kebenaran dakwah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupa penjagaan Allah Subhanahu wata’ala ini ditunjukkan firman-Nya,
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن
لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ
النَّاسِ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (al-Maidah: 67)
Tentang turunnya ayat ini, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,
سَهَرَ
رَسُولُ اللهِ رَسُولَ اللهِ، ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُلْتُ: يَا مَا
شَأْنُكَ؟ قَالَ: أَ رَجُلٌ صَالِحٌ يَحْرُسُنَا اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَتْ:
بَيْنَمَا نَحْنُ فِي ذَلِكَ قَالَ سَمِعْتُ صَوْتَ السِّلاَحِ، فَقَالَ:
مَنْ هَذَا؟ سَعْدٌ وَحُذَيْفَةُ، جِئْنَا نَحْرُسُكَ. فَنَامَ رَسُولُ
اللهِ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ، وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ,فَأَخْرَجَ
رَسُولُ اللهِ رَأْسَهُ مِنْ قُبَّةِ أُدْمٍ، وَقَالَ: انْصَرِفُوا يَا
أَيُّهَا النَّاسُ فَقَدْ عَصَمَنِيَ اللَّهُ
Suatu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak tidur hingga larut. Berkatalah Aisyah, “Wahai Rasulullah, apa yang terjadi kepadamu?” Beliau menjawab, “Adakah seorang lelaki saleh menjaga kita malam ini?” Tiba-tiba kami mendengar suara senjata (mendekat). Rasulullah bertanya, “Siapa itu?” “Sa’d dan Hudzaifah, kami datang untuk menjagamu.” Tidurlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga aku mendengar beliau mendengkur. Kemudian turunlah ayat ini. Seketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan kepala beliau dari tenda yang terbuat dari kulit dan bersabda, “Pulanglah kalian, wahai manusia, sungguh Allah Subhanahu wata’ala menjagaku.”
Mukjizat Berupa Doa-Doa yang Terkabulkan
Inilah salah satu tanda kenabian, mukjizat yang disaksikan kaum mukminin, bahkan musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala. Doadoa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terkabul. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Kekeringan pernah melanda di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Suatu saat, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkhutbah di hari Jumat, datang seorang Arab gunung dari arah yang
menghadap mimbar, dari pintu yang menghadap ke arah Darul Qadha (rumah
pelunasan).”
Dia berkata, “Wahai Rasulullah, harta
benda binasa, keluarga kelaparan, kuda-kuda, kambing-kambing,
ternakternak binasa, jalan-jalan pun terputus, berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk kami agar Dia menurunkan hujan.” (Anas radhiyallahu ‘anhu berkata), “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau berdoa, hingga saya bisa melihat putih ketiaknya,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
‘Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.’
Orang-orang pun mengangkat tangan
mereka, berdoa bersama beliau’.” “Demi Allah, kami sama sekali tidak
melihat segumpal awan pun di langit, tidak pula pelangi. Sungguh, langit
ketika itu bersih seperti kaca.” Anas berkata, “Lalu dari balik Gungung
Sala’ muncul awan seperti perisai. Ketika sampai ke tengah-tengah
langit, awan itu menyebar, kemudian turun hujan. Demi Dzat yang jiwaku
ada di Tangan-Nya, belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menurunkan kedua tangannya—saat berdoa—datanglah awan berbondong
seperti gunung. Tidaklah beliau turun dari mimbar kecuali hujan telah
turun dengan lebat hingga air hujan berjatuhan dari jenggot Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Dalam satu riwayat: … lalu kami keluar, berjalan dalam genangan air
hingga kami tiba di rumah (karena begitu lebatnya hujan). Hampir-hampir
seseorang tidak dapat sampai ke rumahnya.” (Kota Madinah) dituruni hujan
di hari itu, esoknya, esok lusa, dan hari-hari selanjutnya sampai hari
Jumat berikutnya tanpa henti. Jalan-jalan kota Madinah pun penuh air.”
Anas radhiyallahu ‘anhu
selanjutnya berkata, “Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama
enam hari.” Jumat berikutnya, seorang badui yang dahulu atau badui
lainnya datang ke masjid dari pintu yang sama. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
juga sedang berkhutbah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, rumahrumah
roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak binasa, para
musafir tidak dapat bepergian, jalan-jalan terhalang, harta benda pun
tenggelam. Berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala agar menahan hujan itu untuk kami.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tersenyum, kemudian mengangkat kedua tangan beliau dan berdoa, ‘Ya
Allah, (hujanilah) sekeliling kami, namun jangan atas kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan di atas puncak-puncak gunung dan dataran tinggi, di
perut-perut lembah dan tempattempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan.’
Tidaklah beliau menunjukkan kedua tangan
beliau ke suatu awan kecuali awan tersebut terbelah seperti lubang
bulat yang luas, terbelah seperti terbelahnya kain.” Anas berkata, “Saya
lihat awan menyingkir di sekitar Madinah ke kanan dan ke kiri seperti
kumpulan kambing. Turunlah hujan di sekeliling kami, tetapi tidak
diturunkan sedikit pun di dalam kota Madinah. Akhirnya, kami dapat
keluar dan berjalan di bawah sinar matahari.” Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kepada manusia mukjizat Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan mengabulkan doanya. Lembah Qanah mengalir selama sebulan. Tidak ada
seorang pun dari suatu daerah kecuali ia menceritakan hujan lebat (di
kota Madinah tahun itu.)
Pohon Kurma Berbuah Seketika
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sewaktu ayahku meninggal, ia masih mempunyai utang yang banyak. Kemudian, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk melaporkan kepada beliau mengenai utang ayahku. Aku berkata
kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, ayahku telah meninggalkan banyak
utang. Aku sendiri sudah tidak mempunyai apa-apa lagi selain yang keluar
dari pohon kurma. Akan tetapi, pohon kurma itu sudah dua tahun tidak
berbuah.’ Hal ini sengaja aku sampaikan kepada Rasulullah agar orang
yang memiliki piutang tersebut tidak berbuat buruk kepadaku.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajakku pergi ke kebun kurma. Sesampainya di sana beliau mengitari
pohon kurmaku yang dilanjutkan dengan berdoa. Setelah itu beliau duduk
seraya berkata kepadaku, ‘Ambillah buahnya.’ Mendengar perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, aku langsung
memanjat pohon kurma untuk memetik buahnya yang tiba-tiba berbuah. Buah
kurma itu kupetik sampai cukup jumlahnya untuk menutupi utang ayahku,
bahkan lebih.” (HR. al-Bukhari juz 4 no. 780)
Kambing Muda Mengeluarkan Air Susu
Inilah kisah masuk Islamnya Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali radhiyallahu ‘anhu.
Beliau menyaksikan sebuah mukjizat. Berikut ini kisah beliau. Ketika
itu aku masih muda belia. Aku sedang menggembalakan kambingkambing milik
‘Uqbah bin Abi Mu’aith di Makkah. Ketika itu datang kepadaku
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Keduanya menghindar dari kaum musyrikin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya, “Wahai anak muda, adakah susu segar untuk kami minum?” Aku
menjawab, “Aku orang yang mendapatkan amanat. Aku tidak mungkin memberi
minum kamu berdua.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda, “Adakah di antara kambing-kambing ini jadza’ah,
yang belum dikawini pejantan?” Aku katakan, “Ya, ada.” Aku pun membawa
kambing betina yang dimaksud. Abu Bakr memeganginya sementara Rasulullah
n memegang perut kambing dan berdoa. Tiba-tiba besarlah kantung susu
kambing tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerahnya dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
menampung susu pada sebuah piring batu. Beliau pun minum, disusul oleh
Abu Bakr. Keduanya lalu memberiku minum susu segar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kantung susu, “Kempislah!” Kembalilah ia seperti semula. Beberapa waktu kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku meminta kepada beliau, ‘Ajarilah aku bacaan yang indah itu—yakni al-Qur’an.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Sungguh, engkau orang yang terpelajar.’ Aku pun mengambil
dari mulut beliau tujuh puluh surat….” (HR. Ahmad dan Abu Dawud
ath-Thayalisi)
Mukjizat Berupa Makanan dan Minuman yang Bertambah Banyak
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuberkata,
“Semasa parit Khandaq digali, aku melihat Rasulullah n dalam keadaan
sangat lapar—bahkan disebutkan dalam riwayat, beliau mengganjal perut
beliau dengan batu. Aku segera kembali ke rumahku dan bertanya kepada
istriku, ‘Apakah engkau memiliki sesuatu untuk disuguhkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sangat lapar.’ Istriku mengeluarkan sebuah wadah yang berisi satu cupak
gandum. Kami juga mempunyai seekor anak kambing dan beberapa ekor ayam.
Aku lalu menyembelihnya, sementara istriku menumbuk gandum. Kami
sama-sama selesai, kemudian aku memotong-motong anak kambing itu dan
memasukkannya ke dalam kuali.
Setelah dirasa cukup, aku bersiap pergi memberi tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Istriku berpesan, ‘Jangan engkau permalukan aku di hadapan Rasulullah
dan orangorang yang bersamanya.’ Aku menghampiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan berbisik kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, kami telah menyembelih anak
kambing kami. Istriku juga telah menumbuk satu cupak gandum yang ada
pada kami. Karena itu, kami menjemput Anda dan beberapa orang
bersamamu.’ Demikian Jabir berbisik. Undangan hanya tertuju untuk
Rasulullah n dan beberapa sahabat, mengingat sedikitnya makanan yang
dipersiapkan. Tiba-tiba—di luar dugaan Jabir— RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallamn berseru, ‘Wahai penggali Khandaq! Jabir telah membuat makanan untuk kalian.
Kalian semua dipersilakan ke rumahnya.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian berkata kepadaku, ‘Jangan engkau turunkan kualimu dan jangan
engkau buat roti adonanmu sebelum aku datang.’ Aku pun datang bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendahului orang lain.
Aku menemui istriku. Dia marah kepadaku dan berkata, ‘Ini semua
karenamu.’ Aku berkata, ‘Aku telah sampaikan semua pesanmu itu.’ Istriku
mengeluarkan adonan roti tersebut, Rasulullah n meludahinya dan
mendoakan keberkahannya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju ke kuali kami lalu meludahinya dan mendoakan keberkahannya. Setelah itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Sekarang panggillah pembuat roti untuk membantumu dan
cedoklah dari kualimu, tetapi jangan engkau turunkan.’ Ternyata kaum
muslimin yang datang sebanyak seribu orang. Aku bersumpah, demi Allah,
mereka semua dapat memakannya hingga kenyang dan pulang. Sementara itu,
kuali kami masih mendidih seperti sediakala. Demikian juga adonan roti
itu masih tetap seperti asalnya.” (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kitab Minuman)
Menyembuhkan Penyakit dengan Izin Allah Subhanahu wata’ala
Telah kita lalui kisah mata Qatadah bin an-Nu’man radhiyallahu ‘anhu yang tercongkel di Perang Uhud. Allah Subhanahu wata’ala menyembuhkan matanya dengan mukjizat yang DiaS ubhanahu wata’ala
tampakkan bagi Rasul dan kekasih- Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Yazid bin Abu Ubaid, ia berkata, “Aku
melihat bekas luka tersayat di betis Salamah bin al-Akwa.” Aku bertanya,
“Luka apa ini?” “Aku terluka pada Perang Khaibar,” jawabnya.
Selanjutnya ia pergi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau lalu meniup luka tiga kali tiupan dan aku tidak lagi merasakan
sakit. Di antara penyakit yang sembuh melalui mukjizat yang Allah
Subhanahu wata’ala tampakkan kepada Rasul dan Kekasih-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah luka bakar yang menimpa sahabat kecil, Muhammad bin Hathib
radhiyallahu ‘anhu. Al-Imam adz-Dzahabi rahimahumallah meriwayatkan
dalam Siyar A’lamun Nubala, dari Simak bin Harb dari Muhammad bin Hathib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
تَنَاوَلْتُ
قِدْرًا، فَاحْتَرَقَتْ يَدِي ، فَانْطَلَقَتْ بِي أُمِّي إِلَى رَجُلٍ
جَالِسٍ، فَقَالَتْ لَهُ: يَا رَسُول اللهِ، وَأَدْنَتْنِي مِنْهُ،
فَجَعَلَ يَنْفُثُ، وَيَتَكَلَّمُ بِكَ مَالٍ أَدْرِي مَا هُوَ، فَسَأَلْتُ
أُمِّي بَعْدَ ذَلِكَ مَا كَانَ يَقُولُ. قَالَتْ: كَانَ يَقُولُ:
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شَافِيَ
إِلاَّ أَنْتَ
Pernah aku mengambil periuk hingga
terbakarlah tanganku. (Aku teringat), ibuku kemudian membawaku kepada
seorang yang sedang duduk. Ibu berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah,”
dan mendekatkanku kepada beliau. Lalu beliau meniup lukaku dengan
mengucapkan kalimat yang aku tidak tahu (saat itu). Aku lalu bertanya pada ibu, apa yang dahulu Rasulullah n baca? Ibuku menjawab, “Dahulu beliau membaca,
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ
‘Jauhkan (hilangkanlah) lah penyakit
ini, wahai Rabb sekalian manusia, sembuhkanlah karena Engkaulah yang
mampu menyembuhkan, tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau’.”
Dalam riwayat an-Nasai, Muhammad bin Hathib berkata, “Aku pun menjadi sehat, tidak merasakan apa-apa.” (HR. an-Nasai)
Kisah lain diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu
Abi Syaibah, al-Baihaqi, ath- Thabarani, dan Abu Nuaim dari jalan
Sulaiman bin Amru bin al-Ash, dari ibunya, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Jamrah Aqabah. Beliau melempar batu dan orang-orang pun melakukannya. Setelah selesai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali, tiba-tiba ada seorang perempuan membawa anaknya yang bisu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini anakku yang sedang mendapat bala. Ia tidak bisa berbicara.’ Baginda n meminta sebuah bejana yang dibuat dari batu yang berisi air. Setelah itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memegangnya, meludahinya, dan berdoa. Beliau ulangi sekali lagi dan menyuruh agar air itu diminumkan kepada anak perempuan itu. Akhirnya anak itu sembuh, malah menjadi lebih baik daripada yang lainnya.”
Hewan dan Pepohonan Memberikan Persaksian Kerasulan
Suatu hari seorang penggembala Yahudi
menggembalakan kambingkambingnya. Di tengah kesibukannya, datang
serigala memangsa seekor kambing. Penggembala mengejar serigala hingga
berhasil merebut kambing yang dimangsanya. Setelah gagal memangsa, sang
serigala duduk di atas ekornya. Sambil menatap penggembala, tiba-tiba ia
berkata seperti layaknya manusia, “Wahai penggembala, tidakkah kamu
takut kepada Allah Subhanahu wata’ala? Kamu telah merebut rezekiku yang Allah Subhanahu wata’ala berikan untukku?” Penggembala berkata, “Menakjubkan, serigala berbicara seperti manusia!”
Sang serigala berkata, “Maukah kukabarkan kepadamu yang lebih menakjubkan dari ini? Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang tinggal di Yatsrib (Madinah), ia mengabarkan kepada manusia
beritaberita (gaib) dari umat-umat terdahulu.” Sambil menggiring
kambingkambingnya, bergegas sang penggembala menuju Madinah untuk bersua
dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang dikabarkan oleh serigala. Setibanya di Madinah ia ceritakan semua kejadian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Waktu itu para sahabat tengah berkumpul. Mendengar cerita penggembala, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun membenarkannya lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari tanda-tanda kiamat….”
Kisah menakjubkan ini diceritakan Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan Ahmad dalam al-Musnad (3/83—84).
Ibnu Katsir rahimahumallah berkata, “Sanad hadits ini sesuai dengan syarat al- Imam Muslim rahimahumallah dan al-Baihaqi rahimahumallah menyatakannya sahih.” Sanadnya juga dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (1/241—242 no. 122). Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam Musnad Imam Ahmad (no. 8049 dengan tahqiq beliau).
Allah Mahakuasa menjadikan hewan
berbicara, sebagaimana halnya Mahakuasa menjadikan kita semua berbicara.
Di hari kiamat, kulit-kulit manusia akan berbicara sebagai saksi atas
perbuatan mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَالُوا
لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدتُّمْ عَلَيْنَا ۖ قَالُوا أَنطَقَنَا اللَّهُ
الَّذِي أَنطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ () وَمَا كُنتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَن يَشْهَدَ
عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِن
ظَنَنتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Mereka berkata kepada kulit mereka,
“Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab,
“Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan
kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali
yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali
tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan, dan
kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui
kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (al- Fushshilat: 21—22)
Demikianlah persaksian seekor serigala. Adapun persaksian pepohonan ada beberapa kejadian, di antaranya sebagai berikut.
Suatu saat seorang Arab badui mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Hai orang Arab dusun, engkau akan pergi ke mana?” Dia menjawab, “Pulang ke rumah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau ingin kebaikan?” Orang Arab dusun tersebut berkata, “Kebaikan apa?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
selain Allah dan aku adalah Rasul-Nya.” Orang Arab dusun tersebut
berkata, “Siapa yang menjadi saksi atas apa yang engkau katakan?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pohon ini.”
Beliau bersabda begitu sambil menunjuk ke arah salah satu pohon di tepi
lembah. Kemudian pohon tersebut berjalan hingga berdiri di depan beliau.
Beliau meminta pohon tersebut bersaksi hingga tiga kali, dan pohon tersebut pun bersaksi seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dikisahkan pula oleh Ibnu Abbas bahwa seorang Arab Badui datang kepada
Muhammad dan berkata, “Bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau seorang
nabi?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Dengan
kesaksian pohon kurma itu bahwa saya adalah Rasul Allah.” Sang Badui
menyetujuinya. Rasul kemudian memanggil pohon kurma itu, spontan pohon
itu bergerak menghampiri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
merunduk di hadapannya. Setelah itu, Rasul menyuruh pohon tersebut untuk
kembali lalu ia pun kembali ke tempatnya. Si Arab Badui memeluk Islam
saat itu, di tempat itu juga. Demikian diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.
Mukjizat Dibelahnya Dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Dibelahnya dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi di masa kecil beliau dan setelah beliau diangkat menjadi rasul. Apa yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam Shahih Muslim terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
berusia sekitar empat tahun. Saat itu beliau berada di perkampungan
bani Sa’d ketika masa susuan kepada Halimah as-Sa’diyah. Peristiwa ini
menjadi sebab beliau dikembalikan kepada Aminah. Peristiwa pembelahan
dada beliau terulang kembali 50 tahun kemudian saat beliau di-isra’-kan, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang sahih.
Beberapa berita tentang mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah kita lalui. Kewajiban kita adalah meyakini berita-berita yang
sahih tentang mukjizat walaupun segala kejadian tersebut menyelisihi
kebiasaan hukum alam yang berlaku. Termasuk mukjizat terakhir yang baru
kita baca, dibelahnya dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumallah
berkata, “Semua berita tentang dibelahnya dada dan dikeluarkannya
jantung serta berita-berita (mukjizat lain) yang menakjubkan dan di luar
kebiasaan, wajib kita terima (yakini) tanpa mencoba-coba
(mengingkarinya) dengan memalingkannya dari hakikatnya. (Kita wajib
mengimaninya) karena semua itu mungkin dan tidak mustahil di hadapan
kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala.”
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Al-Qur’an, Bukti Abadi Kenabian
Sebagai penutup para nabi, Allah Subhanahu wata’ala
menguatkan dakwah beliau dengan berbagai mukjizat dan bukti-bukti
kenabian. Sebagian bukti kenabian berupa mukjizat telah kita baca
bersama. Sebagai penyempurna pembahasan, mari kita menyelami mukjizat
terbesar dan bukti teragung dari kenabian beliau. Al- Qur’an, itulah
mukjizat yang kekal hingga hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا
مِنَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ قَدْ أُعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ
مَا مِثْلُهُ آمَنَ عِلَيْهِ الْبَشَرُ. وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي
أُوْتِيْتُ وَحْيًا أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ. فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ
أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada seorang nabi pun, kecuali
diberi bukti-bukti (mukjizat) yang dengan semisal itu manusia beriman,
dan (di antara bukti kenabian/mukjizat yang aku dianugerahi adalah wahyu
yang Allah Subhanahu wata’ala wahyukan kepadaku, dan aku berharap menjadi nabi yang terbanyak pengikutnya di hari kiamat.” (HR. Muslim no. 152 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini menegaskan bahwa wahyu yang diturunan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepada beliau adalah bukti kebenaran dakwah. Banyak sisi kemukjizatan
al-Qur’an, bahkan seluruh ayat al-Qur’an adalah bukti kebenaran dakwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Qur’an, Kitab Hidayah Al-Qur’an adalah jalan yang terang, petunjuk Allah Subhanahu wata’ala yang membimbing manusia di atas hidayah. Inilah sesungguhnya sisi terbesar dari keagungan al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab hidayah.
Ia menunjukkan manusia ke jalan kebenaran, membedakan antara yang haq dan yang batil, menjelaskan jalan ahlul jannah dan jalan-jalan kesesatan. Melalui ayat-ayat al-Qur’an, hamba mengenal Allah Subhanahu wata’ala, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya. Melalui ayat-ayat al- Qur’an jugalah hamba mengenal segala jalan yang mengantarkan ke jannah (surga) dan menyelamatkan dari neraka.
إِنَّ
هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ
الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا
كَبِيرًا
“Sesungguhnya
al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (al-Isra’: 9)
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (al-Baqarah: 2)
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ
عِوَجًا ۜ () قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ
وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ
لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
“Segala puji bagi
Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Qur’an) dan
Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang
lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah
dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang
mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.” (al-Kahfi: 1—2)
Al-Qur’an Terpelihara Keotentikannya
Di antara sisi kemukjizatan al- Qur’an,
ia adalah kitab yang senantiasa terjaga keasliannya. Tidak ada satu
huruf, bahkan satu harakat pun, yang berubah dari apa yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Betapa lemahnya manusia di hadapan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala. Seribu empat ratus tiga puluh tiga tahun sejak hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
tidak ada seorang kafir pun mampu mengubahnya walaupun satu harakat,
padahal orang kafir demikian banyak, bahkan tidak sedikit dari mereka
yang jenius. Mereka juga sangat bersemangat memerangi Islam… Manakah
kemampuan mereka di hadapan kekuasaan penjagaan Allah Subhanahu wata’ala? Allah Subhanahu wata’ala berjanji dalam sebuah ayat,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Wahai manusia yang masih meragukan kebenaran dakwah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, jika kalian mau merenungkan satu sisi ini saja, sudah seharusnya kalian segera memeluk Islam, agama para nabi dan rasul.
Tantangan Kepada Seluruh Manusia dan Jin untuk Mendatangkan yang Serupa dengan al-Qur’an
Di antara sisi kemukjizatan al- Qur’an,
tidak ada seorang pun, bahkan gabungan seluruh manusia dan jin, yang
mampu membuat yang semisal dengan al-Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala
memberikan tantangan kepada seluruh jin dan manusia untuk mendatangkan
yang serupa dengan al- Qur’an secara utuh, atau beberapa surat, atau
satu surat, jika mereka mampu. Tahapan tantangan Allah Subhanahu wata’ala kepada manusia dan jin untuk mendatangkan yang serupa dengan kalam-Nya tersebut dalam beberapa ayat berikut.
1. Allah Subhanahu wata’ala menantang jin dan manusia untuk membuat yang seperti al-Qur’an.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَل لَّا يُؤْمِنُونَ () فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِ إِن كَانُوا صَادِقِينَ
Ataukah mereka
mengatakan, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya.” Sebenarnya mereka tidak
beriman. Hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an
itu jika mereka orang-orang yang benar. (ath-Thur: 33—34)
2. Allah Subhanahu wata’ala meringankan tantangan-Nya, jika tidak mampu mendatangkan semisal al-Qur’an, datangkanlah yang menandinginya beberapa surat saja.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ
مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ
صَادِقِينَ
Bahkan, mereka
mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu.” Katakanlah,
“(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya)
selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Hud: 13)
3. Allah Subhanahu wata’ala menantang yang ketiga kalinya, yang lebih ringan dari sebelumnya.
Dengan hanya membuat satu surat saja. Hal ini tertera dalam firman-Nya,
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ وَادْعُوا
مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah, “(Kalau benar yang kamu katakan itu), cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapasiapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Yunus: 38)
Tantangan Allah Subhanahu wata’ala kepada seluruh manusia dan jin telah berlalu 14 abad. Adakah yang mampu mendatangkan yang semisal dengan al-Qur’an?
Terbongkarnya Semua Upaya Pemalsuan dan Tandingan Al-Qur’an
Upaya pemalsuan dan usaha menandingi
al-Qur’an sebenarnya sudah ada sejak awal Islam. Makar yang ditujukan
kepada al-Qur’an mungkin akan berlanjut dari generasi ke generasi, namun
semua makar tersebut terbongkar dan menemui kegagalan. Musailamah
al-Kadzdzab, sosok nabi palsu yang muncul di akhir hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kebusukan kalbunya, ingin menandingi Rasulullah Subhanahu wata’ala dengan mengaku dirinya sebagai nabi. Diriwayatkan, Musailamah al- Kadzdzab berjumpa dengan ‘Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu.
Musailamah bertanya, “Surat apa yang
turun kepada sahabatmu di Makkah itu?” ‘Amr bin Ash menjawab, “Turun
surat dengan tiga ayat yang sangat ringkas, namun sangat luas maknanya.”
“Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat al-‘Ashr dibacakan
oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Kepadaku
juga turun surat persisi seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi
surat itu?” Musailamah menjawab, “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sairuka hafrun naqr. (Hai marmut, hai marmut. Engkau hanyalah dua daun telinga dan dada. Adapun selebihnya adalah hina dan berpenyakit.)”
Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang saat
itu masih kafir, tertawa terbahakbahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa
aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.” Makar
serupa juga diupayakan kaum Syiah Rafidhah. Mereka mengubah-ubah ayat.
Mereka tambahi dan kurangi sesuai dengan kebutuhan agama mereka. Namun,
seluruh ulama bangkit memperingatkan kekafiran Rafidhah ini. Di era
modern, upaya pemalsuan al-Qur’an rupa-rupanya masih terus dilakukan
oleh kaum kafir, seperti pembuatan al-Qur’an palsu pada tahun 2009 yang
dilakukan oleh Penerbit Amerika, Omega 2001 dan One Press dengan judul
“Furqanul Haq” dalam huruf Arab dan “True Furqan” dalam huruf Latin.
Semua usaha di atas gagal. Justru semua kejadian itu semakin membuktikan
bahwa al-Qur’an tidak tertandingi.Semua kejadian itu semakin menambah
keimanan kaum muslimin terhadap janji Allah Subhanahu wata’ala.
Dihafalkan Banyak Manusia
Al-Qur’an dijaga oleh Allah Subhanahu wata’ala dari perubahan lafadz dan makna. Di antara bentuk penjagaan al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala
memudahkan al-Qur’an untuk dihafalkan. Al-Qur’an adalah satu-satunya
kitab suci yang dihafalkan oleh banyak manusia. Firman Allah Subhanahu wata’ala
yang terdiri dari enam ribu sekian ayat dihafal oleh banyak kaum
muslimin di seluruh belahan bumi dengan tepat, sampai huruf per huruf,
bahkan panjang pendeknya bacaan. Kaum muslimin terus mempelajari dan
menghafalkan al-Qur’an dari mulut ke mulut dengan sanad yang bersambung
hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan malaikat Jibril, sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Jangan Anda anggap penghafal al-Qur’an hanya orang-orang Arab. Yang
sangat menakjubkan, al-Qur’an dihafalkan oleh orang yang sama sekali
tidak mengerti bahasa Arab. Demi Allah, hal ini tidak mungkin terjadi
pada kitabkitab lainnya. Bukan hanya orang dewasa yang menghafalkannya,
bahkan al-Qur’an dihafalkan oleh anak-anak yang masih sangat belia
sebelum masa balig mereka. Subhanallah, benarlah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk diingat, apakah ada yang mau mengingatnya?” (al-Qamar: 17)
Banyak Fakta Ilmiah Disebutkan atau Diisyaratkan oleh Al-Qur’an
Banyak fakta ilmiah yang baru terbongkar
pada era modern ini dan ternyata telah disebutkan oleh al-Qur’an,
demikian pula oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua ini menunjukkan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah datang dari Allah Subhanahu wata’ala,
dan ini pula salah satu sisi kemukjizatan al-Qur’an. Sebagai contoh,
al-Qur’an al-Karim menggambarkan secara detail proses pembentukan embrio
dengan sangat tepat, di saat teknologi masa itu sama sekali belum
menjangkaunya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ثُمَّ
خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً
فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ
أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (al-Mukminun: 14)
Dipertegas oleh hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu jangka waktu setiap fase perkembangan embrio hingga jabang bayi memiliki ruh. Allahu Akbar! Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan, ‘Sesungguhnya setiap orang di antara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya….” (Muttafaqun ‘alaih)
Proses terjadinya hujan juga digambarkan secara detail oleh al- Qur’an. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اللَّهُ
الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي
السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ
يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ ۖ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dialah Allah yang mengirimkan angin,
lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu
kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu
turun mengenai para hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka
menjadi gembira.” (ar-Rum: 48)
Gaya Bahasa yang Sangat Tinggi
Sebagaimana telah berlalu pembahasannya,
banyak mukjizat para nabi dan rasul sesuai dengan keadaan zaman nabi
tersebut. Ketika sihir mendapatkan posisi di masa Musa, Allah Subhanahu wata’ala
pun memberikan mukjizat untuk mengalahkan sihir. Pada masa jahiliah,
syair mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam peradaban mereka. Syair di
masa itu mencapai puncak-puncak kehebatan. Pada setiap musim haji, di
pasar Ukaz sering diadakan perayaan sastra dan perlombaan membuat serta
membaca syair. Makkah benar-benar menjadi pusat perdagangan dan
kebudayaan kala itu. Karya-karya sastra terbaik dan monumental yang
layak ditulis dengan tinta emas digantungkan di Ka’bah. Terkenallah Mu’allaqat as-Sab’ah, syair tujuh penyair terbaik yang digantungkan di Ka’bah. Syair ini dinamakan mu’allaqat karena indahnya syair-syair tersebut menyerupai perhiasan yang dikalungkan di leher seorang wanita.
Dikatakan assab’ah karena sesuai
dengan jumlah penyairnya yang tujuh, Umru’ul Qais, Zuhair, Tarfah,
Antarah, Labid, Amru ibn Kultsum, dan al-Haris ibn Hilza. Ya, manusia
saat itu memuja syair dan memberikan apresiasi yang sangat tinggi. Maka
dari itu salah satu bentuk rahmat Allah l dan hikmah-Nya yang mendalam,
Dia Subhanahu wata’ala anugerahkan kepada Rasul-Nya bukti
kenabian dan mukjizat yang mengagumkan, yaitu al-Qur’an yang turun
dengan gaya bahasa yang tinggi dan tidak mampu ditandingi oleh siapa
pun. Semua ahli sastra mengakui ketinggian bahasa al-Qur’an. Mereka pun
mengakui kelemahan manusia untuk mendatangkan yang semisal dengan
al-Qur’an. Mereka yakin sepenuhnya bahwa al-Qur’an bukan buatan manusia.
Allah Subhanahu wata’ala pun menakdirkan bahwa kekasih-Nya Rasulullah n adalah seorang ummi,
tidak bisa membaca dan tidak menulis, sehingga semakin mengokohkan
bahwa al-Qur’an bukan karya manusia. Keindahan dan kesempurnaan bahasa
al-Qur’an benar-benar diakui, bukan hanya kaum muslimin, bahkan
musuhmusuh Islam saat itu pun mengakuinya. Al-Walid bin Mughirah,
seorang tokoh pembesar musyrikin Quraisy, berkata, “Demi Allah, ini
bukanlah syair, bukan sihir, bukan pula igauan orang gila. Sesungguhnya
ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Sesungguhnya
ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak ada yang melebihinya.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Qur’an Mempunyai Pengaruh yang Kuat Terhadap Jiwa Manusia dan Jin
Salah satu sisi kemukjizatan al- Qur’an
adalah memiliki pengaruh yang kuat terhadap jiwa manusia dan jin.
Bahkan, seandainya al-Qur’an diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan
luluh lantak dan hancur. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لَوْ
أَنزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا
مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan
al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk
terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr: 21)
Banyak riwayat di masa lalu atau
berita-berita masa ini yang semuanya membuktikan betapa kuat pengaruh
al-Qur’an pada jiwa manusia dan jin. Suatu hari di bulan Ramadhan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Masjidil Haram. Saat itu kaum muslimin dan musyrikin sedang berkumpul. Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan surat an-Najm. Semuanya mendengarkan dengan saksama. Ketika sampai firman Allah Subhanahu wata’ala di akhir surat,
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (an-Najm: 62)
Seluruh yang mendengarnya serempak bersujud pada Allah Subhanahu wata’ala.
Tidak ada satu pun yang mampu menahan dirinya untuk tidak bersujud,
muslim ataupun kafir. Begitu juga kisah Utbah bin Rabi’ah yang diutus
oleh kaumnya untuk meminta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menghentikan dakwahnya. Ketika dia berjumpa dengan Rasulullah dan
kemudian beliau bacakan surat Fushshilat 1—5, tersentuhlah jiwanya.
Ketika kembali ke kaumnya dia berkata, “(Berita) yang aku bawa, aku
telah mendengar suatu perkataan yang— demi Allah—belum pernah sama
sekali aku dengar semisalnya.
Demi Allah, ia bukan syair, bukan sihir,
dan bukan pula perkataan dukun.…” Riwayat lain yang menunjukkan betapa
besar pengaruh al-Qur’an terhadap jiwa adalah kisah masuk Islamnya
sahabat Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah tawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di saat shalat maghrib beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
membaca surat ath-Thur. Begitu mendengar bacaan kalamullah,
hampir-hampir kalbu Jubair terbang. Itulah awal kali Islam masuk ke
dalam relung kalbunya. Bukan hanya jiwa manusia, al- Qur’an juga
memberikan pengaruh kepada jin, hingga mereka beriman dan mendakwahkan
Islam kepada kaumnya. Kisah menakjubkan tentang alam jin diberitakan
oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam firman- Nya,
وَإِذْ
صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ
فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ
قَوْمِهِم مُّنذِرِينَ () قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا
أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي
إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ () يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا
دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ
وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan
serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur’an, maka tatkala
mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu
(untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitabkitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.
Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan
berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan
melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (al-Ahqaf: 29—31)
قُلْ
أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا
إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا () يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا
بِهِ ۖ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
Katakanlah (Wahai Nabi), “Telah
diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan
(al-Qur’an), lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan
al-Qur’an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang
benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorang pun dengan Rabb kami’.” (al-Jin: 1—2)
Bahkan, dengan penuh semangat, sekawanan jin meminta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadiri alam mereka untuk membacakan al-Qur’an. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu malam kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tiba-tiba kami kehilangan beliau. Kita pun segera mencari beliau di
lembahlembah dan jalan-jalan di celah bukit. Kami berkata,
‘Jangan-jangan jin telah membawa beliau terbang atau beliau dibunuh
dengan licik (oleh musyrikin Makkah). Sungguh, malam itu kami merasakan
sejelek-jelek malam bagi suatu kaum. Di pagi hari kami dikejutkan dengan
kedatangan beliau dari arah Harra’.
Kami berseru, “Wahai Rasulullah, kami
kehilangan engkau. Kami cari engkau namun tidak ada hasil. Kami pun
bermalam dalam keadaan yang paling menyedihkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Seorang penyeru dari kalangan jin mendatangiku. Aku pergi
bersamanya dan membacakan al-Qur’an kepada mereka.’ Beliau lalu mengajak
kami dan menunjukkan bekas-bekas jin dan api mereka. (HR. Muslim,
at-Tirmidzi, dan Ahmad)
Demikian hebat pengaruh al-Qur’an pada
jiwa-jiwa jin dan manusia, namun kebanyakan manusia dan jin mencari
jalan lain selain al-Qur’an, mengambil nyanyian dan alat musik sebagai
penghibur jiwa. Demi Allah, bukan ketenangan yang diperoleh, justru
kerugian dan kesempitan dadalah yang didapat.
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُّهِينٌ () وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّىٰ مُسْتَكْبِرًا
كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا ۖ فَبَشِّرْهُ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Apabila
dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan
diri, seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di
kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang
pedih.” (Luqman: 6—7)
Al-Qur’an, Obat Segala Penyakit
Ini sisi lain kemukjizatan al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah obat segala penyakit jasmani maupun rohani, penyakit
jiwa atau badan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an
sesuatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman, dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang
zalim selain kerugian.” (al-Isra’: 82)
وَلَوْ
جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ
ۖ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى
وَشِفَاءٌ ۖ
Dan jika Kami jadikan al-Qur’an itu
suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan,
“Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar (obat) bagi orangorang yang beriman. (Fushshilat: 44)
Ibnul Qayyim rahimahumallah
berkata, “Al- Qur’an adalah obat yang sempurna dari seluruh penyakit
kalbu dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat.… Jika
seorang yang sakit terusmenerus berobat dengannya dan meletakkan (obat
ini) pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang
sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya
penyakit apa pun tidak mampu menghadapinya selamalamanya. Bagaimana
mungkin penyakit mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan
bumi; yang jika diturunkan kepada gunung, ia akan menghancurkannya? …
Jadi, tidak ada satu pun penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani,
kecuali dalam al-Qur’an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab
(kesembuhan)nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)
Sebuah kisah tentang pengobatan dengan
al-Qur’an perlu kita renungkan sebagai bukti sekaligus contoh bahwa
al-Qur’an bukan hanya obat penyakit kalbu berupa kekafiran, kemunafikan,
hasad, riya, atau semisalnya, melainkan juga obat bagi penyakit
jasmani. Al-Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah keluar menempuh suatu perjalanan. Singgahlah mereka di sebuah
kampung dari kampung-kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu
sebagai tamu, namun penduduk kampung enggan menjamu mereka. Selang
beberapa waktu, kepala kampung tersebut terkena sengatan hewan berbisa.
Penduduk kampung telah berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun
sedikit pun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka berkata, ‘Sekiranya
kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para sahabat), mungkin
sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’ Mereka pun mendatanginya,
lalu berkata, ‘Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat
hewan berbisa.
Kami telah mengupayakan segala sesuatu
untuk pemimpin kami, namun belum ada hasilnya. Apakah salah seorang di
antara kalian memiliki sesuatu (untuk mengobati pemimpin kami)?’
Sebagian sahabat menjawab, ‘Ya. Demi Allah, aku bisa meruqyah
(pengobatan dengan cara bacaan)1. Namun, demi Allah, kami telah meminta
jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Aku tidak akan
meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’ Mereka
pun setuju untuk memberi sekawanan kambing. Salah seorang sahabat pun
meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu surat al-Fatihah.
Pemimpin kampung tersebut pun merasa seolah-olah terlepas dari ikatan,
lalu berjalan tanpa ada gangguan. Mereka lalu memberikan upah
sebagaimana telah disepakati. (Selepas kambing-kambing upah diterima)
sebagian sahabat berkata, “Bagilah!” Yang meruqyah berkata, “Jangan
kalian lakukan hingga kita menghadap Rasulullah n lalu kita kabarkan apa
yang telah terjadi kepada beliau. Kemudian kita tunggu apa yang beliau
perintahkan kepada kita.” Mereka pun menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟
‘Dari mana engkau tahu bahwa al-Fatihah itu ruqyah?’ Lalu beliau berkata sembari tertawa,
لَقَدْ أَصَبْتُمْ، اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا
‘Sungguh kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian.’
Tentang hadits ini, Ibnul Qayyim rahimahumallah
berkata, “Obat berupa (bacaan al- Qur’an ini) telah memberikan pengaruh
kepada penyakit (lumpuh akibat sengatan berbisa) ini, bahkan
menghilangkannya (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala)
seakan-akan penyakit itu tidak pernah menimpa. Pengobatan (dengan bacaan
al-Qur’an) adalah pengobatan termudah. Seandainya seorang hamba
menggunakan bacaan al- Fatihah dengan baik dalam pengobatan, sungguh ia
akan melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku sendiri pernah
tinggal di kota Makkah beberapa waktu. Penyakitpenyakit menimpaku,
sementara aku tidak dapatkan tabib atau obat. Aku berobat (meruqyah)
diriku dengan al-Fatihah dan melihat pengaruh menakjubkan dalam
al-Fatihah….” (ad-Da’u wad Dawa hlm. 8)
Al-Qur’an Membawa Berita-Berita Gaib
Di antara sisi keagungan dan
kemukjizatan al-Qur’an, ia mengabarkan berita-berita gaib. Al-Qur’an
mengabarkan awal penciptaan alam, penciptaan Adam dan Hawa, dan
berita-berita tentang para nabi, rasul, dan orang-orang terdahulu.
Sekelompok Yahudi meminta musyrikin Quraisy untuk menanyakan tiga hal
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tentang Ashabul
Kahfi, ruh, dan Dzul Qarnain. Pertanyaan ini tidak mungkin dijawab
kecuali oleh seorang nabi, demikian kata ahlul kitab kepada musyrikin
Quraisy. Datangkah ayat-ayat al-Qur’an menjawab tantangan-tantangan
musyrikin dengan membawa berita-berita gaib.
وَيَسْأَلُونَكَ
عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا ()
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ
سَبَبًا () فَأَتْبَعَ سَبَبًا
Mereka akan bertanya
kepadamu(Muhammad) tentang Dzul Qarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan
kepadamu cerita tentangnya.” Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan
(untuk mencapai) segala sesuatu, maka dia pun menempuh suatu jalan. (al-Kahfi: 83—85)
Al-Qur’an juga mengabarkan banyak hal
gaib yang akan datang, seperti berita kemenangan Romawi yang sebelumnya
mengalami kekalahan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الم
() غُلِبَتِ الرُّومُ () فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُم مِّن بَعْدِ
غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ () فِي بِضْعِ سِنِينَ ۗ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِن
قَبْلُ وَمِن بَعْدُ ۚ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ
“Alif, Lam, Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).” (ar Rum: 1—4)
Apa yang diberitakan al-Qur’an
benar-benar terjadi. Kurang lebih tujuh tahun setelah diturunkannya ayat
di atas, terjadilah perang sengit antara kekaisaran Romawi dan Persia
pada Desember 627 M. Secara mengejutkan, pasukan Romawi mengalahkan
kekuatan Persia. Persia pun harus membuat perjanjian dengan Romawi untuk
mengembalikan wilayah yang mereka ambil dari Romawi. Akhirnya,
kemenangan bangsa Romawi yang diumumkan oleh Allah Subhanahu wata’ala
dalam al-Qur’an menjadi kenyataan. Termasuk berita gaib yang
disampaikan oleh al-Qur’an adalah hari kiamat, tanda-tandanya,
kebangkitan, surga, dan neraka. Semua itu pasti terjadi sesuai dengan
yang dikabarkan, sebagaimana halnya beberapa peristiwa di atas.
Al-Qur’an, Benteng dari Kejelekan
Di antara sisi lain kemukjizatan al-Qur’an, al-Qur’an adalah benteng segala kejelekan di dunia atau akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, setan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan, barang siapa membaca ayat Kursi ketika hendak tidur Allah Subhanahu wata’ala akan memberikan penjagaan dan keselamatan dari gangguan setan. Al-Imam Ibnu Hibban rahimahumallah dalam Shahih-nya meriwayatkan bahwa sahabat Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu
memiliki wadah besar berisi kurma. Suatu saat beliau heran dengan kurma
yang selalu berkurang tanpa kejelasan ke mana hilangnya. Suatu malam
beliau menjaganya hingga datang sesosok makhluk menyerupai anak. Ubai
mendekatinya dan mengucapkan salam. Beliau dapati tangan dan kulit anak
ini seperti tangan anjing dan bulu-bulu anjing. Ternyata ia bukan
manusia, melainkan dari bangsa jin.
Terjadilah percakapan antara keduanya.
Ubai bertanya, “Apa yang bisa membentengi kami dari kalian?” Jin
berkata, “Ayat kursi.” Ubai melepaskan makhluk ini. Pagi harinya beliau
menjumpai Rasulullah Subhanahu wata’ala dam menceritakan kejadian itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Makhluk yang buruk itu telah jujur.” Sungguh, sangat banyak
sisi keagungan al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Membacanya bernilai ibadah. Mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan
al-Qur’an adalah sebab tercapainya kemuliaan. Malaikat-malaikat akan
bersama orang yang membacanya. Rasulullah Subhanahu wata’ala bersabda,
مَنْ
قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ
بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ
وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, dia mendapat satu kebaikan, dan setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الم satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. al- Bukhari)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari)
الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir
membaca al- Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedangkan orang yang
membaca al- Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat
(bersungguh-sungguh), ia mendapat dua pahala.” (HR. al- Bukhari dan Muslim)
Saudaraku fillah, marilah kita bersyukur atas nikmat Allah Subhanahu wata’ala menjadikan kita beriman kepada Kalam Allah Subhanahu wata’ala
dan dimudahkan menyelami sebagian kecil dari samudra keagungan dan
kemukjizatannya. Sungguh, segala puji adalah milik- Nya, shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal

Tanya Jawab Ringkas Edisi 93
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al- Ustadz Muhammad Afifuddin.
Bagi Hasil dalam Usaha
Pemilik modal memberi pinjaman 1 juta
dengan syarat penerima modal memberikan bagi hasil 100 ribu per bulan
dan penerima modal menyanggupi. Apakah kerjasama ini sesuai syariat? 083878XXXXXX
Kerjasama seperti itu tidak sesuai syariat karena ada unsur spekulasi dan judi. Pemodal bisa merugi karena keuntungan yang didapat ternyata sangat berlipat atau sebaliknya. Yang benar keuntungan dibagi menggunakan persentase sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sebagai tambahan, hakikat kerjasama tersebut adalah pinjaman berbunga, karena status modal adalah pinjaman yang harus dikembalikan.
Ziarah Kubur bagi Wanita
Bolehkah seorang wanita menziarahi makam
orang tuanya? Jika wanita tersebut tidak berziarah kubur sekali pun,
bagaimana hubungan wanita itu dengan orang tuanya di akhirat kelak? 085383XXXXXX
Ziarah kubur dahulu terlarang kemudian disyariatkan oleh Islam dalam rangka ingat mati dan akhirat. Dalam Islam, ziarah kubur dianjurkan untuk laki-laki. Adapun wanita, sebagian ulama ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang mengharamkan jika terlalu sering. Namun, jika aman dari fitnah (gangguan) dan tidak ada pelanggaran syariat, boleh sesekali wanita berziarah. Berbakti kepada orang tua yang wafat bagi wanita dengan cara mendoakan.
Bekerja di Pabrik Wig
Apa hukum bekerja di tempat pembuatan wig (rambut palsu)? 085729XXXXXX
Bekerja di tempat pembuatan wig hukumnya haram karena merupakan ta’awun di atas dosa. Sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu sangat keras mengingkari wig karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan wig.
Hukum Uang Pungli
Bagaimana tindakan yang seharusnya jika kita menerima uang dari pungutan liar (pungli)? 085740XXXXXX
Harta yang haram tidak boleh untuk sesuatu yang berhubungan dengan ibadah seperti masjid, pondok pesantren, kitab agama, dan semisalnya. Namun, untuk yang sifatnya umum, seperti jalan dan WC umum, sebagian ulama membolehkan untuk fakir miskin.
Jualan di Kantor Ribawi
Bolehkah titip jual makanan ke kantin kantor yang terdapat perniagaan yang mengandung riba? 081945XXXXXX
Hukum asal jualan adalah halal selama tidak ada akad yang diharamkan. Namun, berjualan/titip jual di tempat yang sudah dikenal dengan kemungkaran atau kemaksiatan tidak diperbolehkan karena ada unsur ridha, mendukung, dan memperbanyak jumlah ahli maksiat.
Gadai Riba
Bagaimana hukum menggadaikan barang yang
pelunasan uang dari gadai tersebut harus melebihi jumlah uang yang
dipinjamkan sebelumnya? Apakah hal ini sama seperti riba? 085747XXXXXX
Gadai dengan pinjaman seperti itu jelas riba.
Riba Koperasi
Saya saat ini sedang terjerat riba
(pinjam uang di koperasi), sudah setengah setoran. Apakah saya wajib
melunasi seluruh setoran atau pokoknya saja? Sebab, kemungkinan besar
pihak koperasi tidak mau menerima pinjaman pokoknya saja. 087830XXXXXX
Segera selesaikan tanggungan Anda kepada koperasi. Jika Anda bisa melobi supaya hanya membayar utang pokok, itu lebih baik. Namun, jika tidak mungkin, selesaikan seluruhnya dan yang menanggung dosa adalah mereka. Perbanyak istighfar dan tobat untuk tidak mengulangi lagi.
Asuransi Syariah
Apakah asuransi syariah pada masa kini sesuai dengan syariat Islam? 0819XXXXXX
Hukum asal suatu akad adalah mubah sampai ada bukti yang menunjukkan keharamannya, termasuk asuransi. Namun, secara umum asuransi bisnis tidak ada yang syar’i sampai saat ini.
Pahala Berbakti kepada Mertua
Apakah berbakti kepada kedua orang tua
pahalanya senilai dengan pahala berbakti kepada mertua? Terutama jika
kedua orang tua telah meninggal. 085796XXXXXX
Berbakti kepada orang tua dibandingkan dengan mertua jelas lebih wajib dan lebih utama. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan berbuat baik kepada mertua. Berbakti kepada orang tua yang sudah wafat adalah dengan mendoakan, berbuat baik kepada keluarga, handai taulan orang tua, dan teman dekat orang tua.
Berdoa saat Sujud
Apa boleh kita berdoa saat sujud dalam shalat dengan bacaan doa yang ada di dalam al-Qur’an? 085385XXXXXX
Boleh, namun dengan niat berdoa, bukan tilawatul Qur’an.
Uang Hasil Usaha dari Pinjaman Bank
Jika suatu usaha didirikan dengan meminjam uang dari bank, apakah uang hasil dari usaha tersebut halal? 081347XXXXXX
Usaha dari pinjaman bank riba hukumnya haram, hasilnya tidak berkah. Hartanya tercampur dengan yang haram. Selesaikan segera utang kepada bank, selebihnya gunakan untuk usaha.
Makanan Pemberian Orang Kafir
Bolehkah kita memakan makanan pemberian orang kafir hasil syukuran? 081575XXXXXX
Makanan orang kafir dalam rangka hari besar atau syukuran mereka tidak boleh dimakan.
Masbuk Tanpa Baca Iftitah
Apakah sah ketika seorang makmum masbuk dan mengikuti imam yang sedang sujud tetapi tidak membaca iftitah lebih dahulu? 085729XXXXXX
Shalatnya sah, karena saat itu makmum diperintahkan untuk mengikuti imam dalam kondisi apa pun. Di sisi lain, bacaan iftitah adalah sunnah.
Zikir Sambil Memejamkan Mata
Bolehkah zikir sesudah shalat sambil memejamkan mata? 085640XXXXXX
Zikir setelah shalat sambil memejamkan mata dalam rangka kekhusyukan dan konsentrasi tidak masalah, walau bukan suatu keharusan. Yang tidak ada sunnahnya adalah shalat sambil memejamkan mata, kecuali apabila tempat shalatnya terdapat banyak hal yang mengganggu kekhusyukan.
Mazhab Hanafi
Apakah mazhab Hanafi itu sesat? Karena pendapatnya selalu berbeda dengan mazhab yang lain. 085318XXXXXX
Mazhab Hanafi tidak dikatakan sesat. Mereka disebut ashabu ar-ra’yi (mazhab yang mengutamakan logika) karena kurang dalam bidang hadits. Tidak semua pendapat mereka salah. Banyak juga yang rajih atau sesuai dengan pendapat jumhur.
Shalat Memakai Celana Panjang
Bolehkah kita shalat dengan memakai kemeja dan celana panjang? 085646XXXXXX
Kalau celana tersebut adalah sirwal yang lebar sehingga tidak membentuk aurat, diperbolehkan. Jika celana tersebut semacam pantalon, tidak boleh. Afdalnya ketika shalat seseorang menggunakan pakaian yang syar’i, suci, bersih, dan rapi; bisa jubah, gamis, atau sarung.
Perbedaan Mandi Haid dan Janabah
Apakah perbedaan mandi haid dengan mandi janabah dan bagaimana caranya? 085642XXXXXX
Mandi haid caranya dengan me mbersihkan seluruh badan menggunakan air, sebersih dan sewangi mungkin, lalu membersihkan bekas darah pada kemaluan dengan kapas yang sudah diberi minyak wangi. Adapun mandi janabah ada dua cara:
1) Cara yang mencukupi, yaitu dengan mengguyurkan air merata ke seluruh tubuh tiga kali disertai kumurkumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
2) Cara yang sempurna. Lihat riwayatnya dalam kitab Bulughul Maram bab mandi janabah.

Karamah Wali Bagian dari Mukjizat Nabi
وَعَنْ
أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ الرَحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِدِّيقِ أَنَّ
أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوا أُنَاسًا فُقَرَاءَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ
قَالَ مَرَّةً: مَنْ كَانَ عِنْدَهُ طَعَامُ اثْنَيْنِ فَلْيَذْهَبْ
بِثَالِثٍ، وَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ طَعَامُ أَرْبَعَةٍ فَلْيَذْهَبْ
بِخَامِسٍ بِسَادِسٍ-أَوْ كَمَا قَالَ. وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ جَاءَ
بِثَلَاثَةٍ، وَانْطَلَقَ النَّبِيُّ بِعَشْرَةٍ، وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ
تَعَشَّى عِنْدَ النَّبِيِّ ثُمَّ لَبِثَ حَتَّى صَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ
رَجَعَ، فَجَاءَ بَعْدَ مَا مَضَى مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللهُ. قَالَتْ
لَهُ امْرَأَتُهُ: مَا حَبَسَكَ عَنْ أَضْيَافِكَ؟ قَالَ: أَوَ مَا
عَشَيْتِهِمْ؟ قَالَتْ: أَبَوْا حَتَّى تَجِيءَ وَقَدْ عُرِضُوا
عَلَيْهِمْ. قَالَ: فَذَهَبْتُُ أَنَا فَاخْتَبَأْتُ، فَقَالَ: يَا
غُنْثَرُ، فَجَدَعَ وَسَبَّ، وَقَالَ: كُلُوْا لاَ هَنِيئًا، وَاللهِ لاَ
أَطْعَمُهُ أَبَدًا. قَالَ: وَاَيْمُ اللهِ مَا كُنَّا نَأْخُذُ مِنْ
لُقْمَةٍ إِلاَّ رَبَا مِنْ أَسْفَلِهَا أَكْثَرُ مِنْهَا حَتَّى شَبِعُوا،
وَصَارَتْ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَتْ قَبْلَ ذَلِكَ. فَنَظَرَ إِلَيْهَا
أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ مِالْرَأَتِهِ: يَا أُخْتَ بَنِي فِرَاسٍ مَا هَذَا؟
قَالَتْ: لاَ وَقُرَّةِ عَيْنِي لَهِيَ الْآنَ أَكْثَرُ مِنْهَا قَبْلَ
ذَلِكَ بِثَلَاثِ مَرَّاتٍ! فَأَكَلَ مِنْهَا أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ:
إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ,يَعْنِي يَمِيْنَهُ.ثُمَّ أَكَلَ
مِنْهَا لُقْمَةً، ثُمَّ حَمَلَهَا إِلَى النَّبِيِّ فَأَصْبَحْتُ
عِنْدَهُ، وَكَانَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ، فَمَضَى الْأَجَلُ،
فَتَفَرَّقْنَا اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلًا، مَعَ كُلِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ
أُنَاسٌ، اللهُ أَعْلَمُ كَمْ مَعَ كُلِّ رَجُلٍ، فَأَكَلُوا مِنْهَا
أَجْمَعُونَ
Dari Abu Muhammad Abdurrahman bin Abu
Bakr ash-Shiddiq, ia berkata bahwa sesungguhnya ahli Shuffah adalah
kaum yang fakir. Suatu saat Nabi n bersabda, “Siapa yang memiliki makanan untuk dua orang hendaknya membawa orang yang ketiga. Dan siapa yang memiliki makanan untuk empat orang hendaknya membawa orang kelima atau keenam—demikian kurang lebih sabda be liau.” Selanjutnya Abdurrahman berkata bahwa Abu Bakr (ketika itu) membawa tiga orang, sedangkan Nabi membawa sepuluh orang. Abu Bakr makan malam bersama Rasulullah n kemudian tetap tinggal hingga shalat isya, dan kembali setelah berlalu malam sesuai yang Allah kehendaki. Istri Abu Bakr bertanya, “Apa yang menahanmu pulang untuk makan bersama tamu-tamumu?” Abu Bakr berkata, “Bukankah kalian sudah memberi mereka makan malam?” Istrinya menjawab, “Mereka menolak makan sampai engkau datang, padahal makanan sudah dihidangkan.” Abdurrahman berkata, “Aku pun pergi dan bersembunyi. Ayahku (Abu Bakr) berkata kepadaku, ‘Wahai bodoh!’ Abu Bakr mencela dan memaki. Kemudian ia berkata kepada keluarganya, ‘Makanlah kalian dengan tidak nikmat!
Demi Allah, aku tidak akan memakannya selamanya’.” Abdurrahman berkata,
“Demi Allah, tidaklah kami mengambil sesuap hidangan kecuali muncul
dari bawah makanan lebih banyak dari sesuap yang diambil, hingga semua
kenyang sementara hidangan lebih banyak dari sebelumnya. Abu Bakr pun melihat hidangan. Lalu berkata kepada istrinya, ‘Wahai saudara perempuan bani Firas,
apa ini?’ Istri Abu Bakr berkata, ‘Betapa sejuknya mataku (yakni demi
Allah), sungguh makanan ini tiga kali lipat lebih banyak.’ Abu Bakr pun
makan, (padahal sebelumnya telah bersumpah untuk tidak makan, –pen.), kemudian berkata, ‘Sesungguhnya hal itu—yakni sumpahnya—dari setan.’ Lalu Abu Bakr memakannya satu suapan dan dibawanya kepada Nabi n, hingga hidangan itu pada pagi harinya di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Abdurrahman berkata, “Sebelumnya kami memiliki janji dengan sebuah kaum. Tibalah waktu bertemu. Kami pun berpencar menjadi dua belas orang, masing-masing bersama serombongan—Allah Yang Mahatahu berapa orang bersama mereka. Semua makan dari hidangan Abu Bakr.
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Shahih-nya, Kitab Mawaqit ash-Shalah (Waktu-Waktu Shalat) bab “Begadang Bersama Tamu”, dari gurunya, Abu an- Nu’man, dari Mu’tamir bin Sulaiman, dari ayahnya, Sulaiman, dari Abu Utsman, dari Abdurrahman bin Abu Bakr. Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, Kitab al-Asyribah (3/1627 no. 2057) dari tiga guru beliau, Ubaidullah bin Muadz al-Anbari, Hamid bin Umar al- Bakrawi, dan Muhammad bin Abdul A’la al-Qaisi, dari Mu’tamir, dari Sulaiman, dari Abdurrahman bin Abi Bakr. Dalam sebagian riwayat al-Bukhari (10/443) disebutkan, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata kepada putranya,
دُونَكَ
أَضْيَافَكَ فَإِنِّي مُنْطَلِقٌ إِلَى النَّبِيِّ فَافْرَغْ مِنْ
قُرَاهُمْ قَبْلَ أَنْ أَجِيءَ. فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
فَأَتَاهُمْ بِمَا عِنْدَهُ، فَقَالَ: اطْعَمُوا. فَقَالُوا : أَيْنَ
رَبُّ مَنْزِلِنَا؟ قَالَ: اطْعَمُوا.قَالُوا: مَا نَحْنُ بِآكِلِينَ
حَتَّى يَجِيءَ رُبُّ مَنْزِلِنَا. قَالَ: اقْبَلُوا عَنَّا قُرَاكُمْ
فَإِنَّهُ إِنْ جَاءَ وَلَمْ تَطْعَمُوا لَنَلْقِيَنَّ مِنْهُ. فَأَبَوْا
فَعَرَفْتُ أَنَّهُ يَجِدُ عَلَيَّ، فَلَمَّا جَاءَ تَنَحَّيْتُ عَنْهَ،
فَقَالَ: مَا صَنَعْتُمْ فَأَخْبِرُوهُ. فَقاَلَ: يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ.
فَسَكَتُّ، ثُمَّ قَالَ: يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ. فَسَكَتُّ، فَقَالَ: يَا
غُثَرُ، أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ إِنْ كُنْتَ تَسْمَعُ صَوْتِي لَمَا جِئْتَ.
فَخَرَجْتُ فَقُلْتُ: سَلْ أَضْيَافَكَ. فَقَالُوا: صَدَقَ، أَتَانَا بِهِ.
فَقَال: إِنَّمَا انْتَظَرْتُمُونِي، وَاللهِ لاَ أَطْعَمُهُ اللَّيْلَة.
فَقَالَ : الْآخَرُونَ: وَاللهِ، لاَ نَطْعَمُهُ حَتَّى تَطْعَمَ قَالَ:
وَيْلَكُمْ مَا لَكُمْ تَقْبَلُونَ عَنَّا قُرَاكُمْ, هَاتِ طَعَامَكَ.
فَجَاءَ بِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فَقَالَ: بِسْم اللهِ، الْأُوْلَى مِنَ
الشَّيْطَانِ، فَأَكَلَ وَأَكَلُو
Abu Bakr berkata kepada Abdurrahman, “Muliakan tamumu, karena aku akan pergi ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Suguhkanlah jamuan untuk mereka sebelum aku pulang.” Abdurrahman bergegas menyuguhkan makanan yang ia miliki dan berkata, “Silakan kalian memakannya.” Mereka berkata, “Di mana tuan rumah kita?” Abdurrahman berkata, “Ayolah kalian makan!” Mereka menjawab, “Kami tidak akan memakannya sampai tuan rumah kita datang.” Abdurrahman berkata, “Terimalah jamuan kami. Jika ia pulang dan kalian belum memakannya, ia akan marah kepada kami.” Mereka tetap enggan memakannya. Saya tahu bahwa Abu Bakr akan marah kepadaku. Ketika Abu Bakr datang, aku bersembunyi. Abu Bakr berkata, “Apa yang kalian perbuat?” Para tamu pun memberi tahu Abu Bakr. (Tahulah Abu Bakr bahwa tamunya belum makan malam, -pen.) Abu Bakr berkata, “Wahai Abdurrahman!” Abdurrahman diam (ketakutan). Abu Bakr mengulangi, “Wahai Abdurrahman!” Abdurrahman tetap diam. Abu Bakr lalu berkata, “Wahai orang bodoh! Aku bersumpah, jika kamu mendengar suaraku ketika aku datang, kamu harus keluar.” Aku (Abdurrahman) keluar dan berkata, “Tanyakan kepada tamumu (apa yang terjadi).” Mereka berkata, “Ia benar. Ia telah menghidangkan kepada kami jamuan (namun kami menolaknya hingga engkau datang, –pen.). Abu Bakr berkata, “Kalian hanya menungguku? Demi Allah, aku tidak akan memakannya malam ini.” Para tamu mengatakan, “Demi Allah, kami tidak akan memakannya sampai engkau (wahai Abu Bakr) memakannya.” Abu Bakr berkata, “Betapa terlalu kalian ini. Mengapa kalian tidak mau menerima jamuan kami? Hidangkan segera jamuannya!” Kemudian dibawalah makanan, lalu Abu Bakr letakkan tangannya pada makanan lantas berkata, “Bismillah. Yang pertama tadi (yakni sumpah untuk tidak makan, -pen.) dari setan.” Abu Bakr memakannya dan mereka pun memakannya.
Dalam riwayat lain dalam Shahih Bukhari (6/442) dikatakan: Abu Bakr bersumpah tidak akan memakan
jamuan. Istrinya juga bersumpah tidak memakannya. Salah seorang tamu
atau para tamu bersumpah mereka tidak akan makan kecuali jika Abu Bakr
memakan hidangan. (Karena dihadapkan kepada sumpah para tamu) berkatalah Abu Bakr, “(Sumpahku) ini dari setan.” Abu Bakr meminta hidangan dikeluarkan lalu memakannya. Para tamu
juga memakannya. Ketika mereka makan, tidaklah satu suap yang diangkat
kecuali muncul dari bawahnya makanan yang lebih banyak dari yang
diambil. Abu Bakr berseru kepada istrinya, “Wahai saudari bani Faras, apa ini?” Istrinya menjawab, “Betapa sejuknya mataku, hidangan itu sekarang sungguh lebih banyak daripada sebelum kita memakannya.” Kemudian mereka memakannya. Dibawalah makanan (yang bertambah banyak tersebut keesokan hari) kepada Nabi n. Ia sebutkan bahwa Nabi n pun ikut memakannya.
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, Wali Allah Termulia setelah Para Nabi & Rasul
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
adalah manusia paling mulia setelah nabi dan rasul. Al-Imam Ahmad bin
Hanbal t (241 H) berkata, “Sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakr ash-Shiddiq z, (kemudian) Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, lalu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketiganya didahulukan sebagaimana para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendahulukan mereka, tanpa berselisih tentangnya.” (Ushul as-Sunnah,
al-Imam Ahmad) Berbeda halnya dengan agama Syiah (Rafidhah). Agama yang
satu ini justru menyelisihi kesepakatan umat. Mereka merendahkan Abu
Bakr radhiyallahu ‘anhu, bahkan mengafirkannya. Abu Bakr
lahir di tengah keluarga terhormat di kota Makkah pada 573 M, dua tahun
enam bulan setelah tahun gajah. Namanya Abdullah bin Utsman bin ‘Amir
al-Qurasyi at-Taimi. Lebih terkenal dengan kuniahnya, Abu Bakr, meskipun
tidak memiliki putra bernama Bakr.
Di masa jahiliah, beliau adalah orang
yang sangat terpandang di tengah kaumnya. Sebelum kenabian, beliau telah
bersahabat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala, beliaulah laki-laki dewasa pertama yang beriman. Beliau mendapat gelar ash- Shiddiq karena keimanannya yang sangat tinggi dan kepercayaan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tercampuri oleh keraguan. Di antara kemuliaan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, ia selalu menyertai kekasih Allah Subhanahu wata’ala dalam suka dan duka, baik di Makkah maupun sesudahnya. Dalam perjalanan hijrah, Allah Subhanahu wata’ala
memilihnya menyertai Nabi dan kekasih-Nya. Semua peperangan bersama
Rasul dia ikuti, termasuk Perang Badar, hingga akhir peperangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Perang Tabuk. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat yang paling beliau cintai, sebagaimana halnya Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, putri Abu Bakr ash-Shiddiq adalah wanita yang paling beliau cintai.
Saat sakit menjelang wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyerahkan keimaman shalat kepada Abu Bakr, sebagai isyarat bahwa
beliaulah sahabat termulia. Demikianlah sahabat memahaminya. Sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kaum muslimin bersepakat membaiat beliau sebagai khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kehidupan beliau dihiasi dengan perjuangan, pengorbanan, dan pembelaan terhadap Islam hingga wafat pada 13 H. Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Abu Bakr dengan dimakamkan di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan akan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta para nabi di jannah-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih.
Karamah Wali
Kisah hidangan Abu Bakr yang bertambah
banyak adalah salah satu dalil yang menetapkan adanya karamah para wali.
Makanan Abu Bakr bertambah setiap kali diambil, bahkan lebih banyak
dari suapan yang diangkat. Allahu Akbar! Karamah adalah kejadian luar biasa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepada para wali-Nya, seperti mukjizat. Hanya saja, karamah tidak
diiringi oleh pengakuan kenabian, tidak pula diiringi tantangan kepada
manusia. Karamah wali-wali Allah Subhanahu wata’ala
ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, as Sunnah, dan ijma’. Kisah Ashabul
Kahfi adalah salah satu dalil al-Qur’an tentang adanya karamah. Ashabul
Kahfi adalah tujuh pemuda beriman yang berjuang untuk selalu istiqamah
di atas iman. Ketika mereka jujur dalam keimanan, Allah Subhanahu wata’ala memberikan sekian banyak kemuliaan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)
Allah Subhanahu wata’ala
menjaga mereka dengan kejadian yang sungguh luar biasa. Inilah karamah
Ashabul Kahfi. Mereka tidur di dalam gua selama 309 tahun. Tidak makan,
tidak minum, rambut dan kuku tidak bertambah panjang, tubuh segar sehat
wal afiat. Allah Subhanahu wata’ala menjaga mata mereka dengan selalu berkedip sehingga orang yang melihatnya menyangka mereka terjaga padahal tidur. Allah Subhanahu wata’ala menjaga pula tubuh mereka dari kerusakan.
Allah Subhanahu wata’ala
membolak-balikkan ke kanan dan kiri. Tubuh mereka utuh seperti sedia
kala, sehingga ketika mereka bangun—setelah tidur panjang selama tiga
abad—tidak melihat ada satu keanehan dan kejanggalan pun pada tubuh
mereka. Mereka menyangka hanya tidur sesaat. Kisah Dzulqarnain juga
menjadi dalil lain adanya karamah. Hamba Allah Subhanahu wata’ala
yang saleh ini diberi karamah, di antaranya dimudahkan membuat benteng
yang menghalangi Ya’juj dan Ma’juj hingga menjelang hari kiamat. Adapun
dalil adanya karamah dalam hadits bisa kita baca dalam banyak riwayat
sahih, termasuk kisah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu yang baru kita lalui. Karamah, Bagian dari Mukjizat Ketika membahas mukjizat para nabi dalam kitab-kitab Dalail an-Nubuwah, para ulama tidak lupa menyebutkan hadits-hadits tentang karamah waliwali Allah Subhanahu wata’ala.
Al-Imam Abu Bakr Ja’far bin Muhammad al-Firyabi t (301 H) misalnya,
memasukkan kisah hidangan Abu Bakr yang sedang kita bahas ini dalam
kitabnya, Dalail an-Nubuwah.
Para ulama memasukkan karamah dalam kitab Dalail an-Nubuwah karena karamah wali-wali Allah Subhanahu wata’ala adalah bagian dari mukjizat nabi, yakni bukti kenabian. Mengapa demikian? Sebab, seseorang tidaklah mungkin menjadi wali Allah Subhanahu wata’ala dan mendapatkan karamah serta kemuliaan-kemuliaan di sisi-Nya, kecuali jika mengikuti jejak nabi dan rasul. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang hal ini dalam al-Qur’an? Perhatikan firman Allah Subhanahu wata’ala berikut,
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah, “Jika kamu (benarbenar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)
Ayat ini tegas menunjukkan bahwasanya kecintaan Allah Subhanahu wata’ala, tidaklah diperoleh kecuali dengan mengikuti jalan Rasulullah n. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Barang siapa memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba- Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya. Senantiasa hamba-Ku itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi.” (HR . al-Bukhari)
Pelajaran dari Kisah Hidangan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
1. Hadits ini memuat dalil tentang keutamaan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan bahwasanya beliau termasuk wali Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, beliau adalah wali Allah Subhanahu wata’ala yang paling afdal setelah para nabi, sebagaimana yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.
2. Anjuran untuk memberi makan kepada
fuqara, walaupun dengan menyertakan mereka untuk makan bersama. Memberi
makan fuqara adalah salah satu amalan ahlul jannah ketika mereka di
dunia. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (al-Insan: 8)
3. Seorang yang mengajak kepada kebaikan
hendaknya bersemangat untuk menerapkan lebih dahulu pada dirinya,
sebagai teladan yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membawa sepuluh ahli shuffah untuk menghadiri hidangan beliau.
4. Hadits ini memberikan gambaran keadaan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan ahli shuffah yang sangat bersahaja dan sabar dalam kemiskinan mereka.
5. Anjuran untuk memerhatikan keadaan orang-orang miskin.
6. Abu Bakr memiliki hidangan di rumah, namun beliau lebih memilih makan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukkan kebersamaan beliau dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam dan semangatnya untuk menghadiri hidangan orang-orang yang mulia dan memiliki keutamaan.
7. Bolehnya mengundang orang miskin
untuk makan walaupun tidak menyertai makan bersama mereka, dengan syarat
ada orang yang menggantikan kedudukannya sebagai pengundang untuk
berkhidmat kepada tamu undangan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Abu
Bakr ash-Shiddiq yang mewakilkan kepada putranya, Abdurrahman dan
keluarganya.
8. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang makan malam selepas shalat isya.
9. Bolehnya begadang bersama keluarga atau tamu jika ada keperluan, seperti membahas ilmu.
10. Di balik kelembutan Abu Bakr, beliau
seorang yang sangat berwibawa dan tegas memimpin keluarga serta
mendidik putra-putrinya.
11. Di antara sebab berkah Allah Subhanahu wata’ala dalam makanan adalah berjamaah ketika makan dan mengucapkan basmalah sebelumnya.
12. Seorang anak menceritakan kisah
ayahnya dengan hanya menyebut nama atau kuniah, seperti yang dilakukan
oleh Abdurrahman bin Abu Bakr saat mengisahkan ayahnya, bukanlah bentuk
kedurhakaan.
13. Bolehnya makan hingga kenyang.
14. Bolehnya menyimpan hidangan malam hingga pagi hari. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal

Akidah Salaf tentang Al-Qur’an
Al-Qur’anul Karim adalah kitab Allah yang paling mulia. Allah Subhanahu wata’ala menguatkan Rasul-Nya yang mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan mukjizat teragung, yakni al-Qur’anul Karim. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam —yang merupakan tanda/bukti bahwa beliau adalah Rasul Allah yang haq—banyak sekali. Mukjizat teragung yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah al-Qur’anul Karim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَالُوا
لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ ۖ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ
عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ () أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ
أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan orang-orang kafir Makkah berkata,
“Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Rabbnya?”
Katakanlah, “Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah.
Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.”
Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu
al-Kitab (al-Qur’an) yang sedang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya
dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (al- Ankabut: 50—51)
Al-Qur’anul Azhim adalah mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang terbesar dan paling bermanfaat bagi orang yang mau mentadaburi dan
mengikutinya, karena al-Qur’an adalah mukjizat yang akan terus ada
sampai hari kiamat.” (al-Muntaqa) Allah Subhanahu wata’ala
telah menantang bangsa Arab—padahal mereka adalah orang yang paling
fasih berbahasa—untuk mendatangkan yang semisal al-Qur’an dan mereka
tidak mampu melakukannya. Allah Subhanahu wata’ala mengabadikan tantangan-Nya dalam firman-Nya,
قُل
لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ
هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah, “Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini,
niscaya mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengan dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-Isra’: 88)
Ada beberapa masalah akidah yang penting
dan harus diyakini seorang muslim terkait dengan al-Qur’an. Seorang
muslim haruslah mengetahui masalah-masalah tersebut sehingga memiliki
keyakinan yang benar dalam keimanannya kepada al-Qur’an. Di antara
masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut.
Kedudukan Al-Qur’an di Antara Kitab- Kitab Lain yang Allah Subhanahu wata’ala Turunkan
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seluruh kitab-kitab yang terdahulu mansukh (terhapus hukumnya) oleh al-Qur’anul Azhim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
‘Kami turunkan kepadamu kitab (yakni al-Qur’an) dengan haq membenarkan kitab-kitab yang mendahuluinya dan sebagai hakim atasnya.’ (al-Maidah: 48)
Maksudnya, sebagai hakim atasnya. Oleh
karena itu, tidak boleh mengamalkan hukum apa pun yang ada dalam kitab
terdahulu kecuali yang sahih dan dibenarkan oleh al-Qur’an.” (Syarah Tsalatsatil Ushul)
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah
berkata, “Al-Qur’an adalah kitab samawi yang paling akhir, penutup
kitab-kitab yang diturunkan, kitab yang paling panjang, paling mencakup,
dan sebagai hakim bagi kitab-kitab lainnya.
وَمَا
كَانَ هَٰذَا الْقُرْآنُ أَن يُفْتَرَىٰ مِن دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِن
تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ
فِيهِ مِن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
‘Tidaklah mungkin al-Qur’an ini
dibuat oleh selain Allah; tetapi (al-Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya dan menjelaskan hukumhukum yang telah
ditetapkannya.Tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Rabb
semesta alam.’ (Yunus: 37)
مَا
كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ
وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
‘Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, melainkan sebagai pembenar (kitab-kitab) yang sebelumnya
dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman’ (Yusuf: 111).”
Kemudian beliau berkata, “Al-Qur’an adalah risalah Allah Subhanahu wata’ala kepada seluruh makhluk. Allah Subhanahu wata’ala telah menjamin penjagaannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
‘Kamilah yang menurunkan al- Qur’an dan Kami yang akan menjaganya.’ (al-Hijr: 9)
Allah Subhanahu wata’ala tak akan menerima dari siapa pun agama selain yang dibawa oleh al-Qur’an.”
Allah Subhanahu wata’ala Menjaga Al-Qur’an
Allah Subhanahu wata’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini. Allah Subhanahu wata’ala menjaganya dari perubahan, penambahan, pengurangan, dan penggantian. Allah Subhanahu wata’ala telah menjamin penjagaannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Kamilah yang menurunkan al- Qur’an dan Kami yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Penjagaan Allah Subhanahu wata’ala mencakup penjagaan terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala menjaga al-Qur’an lafadz dan maknanya, sedangkan makna al- Qur’an dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan al-Qur’an kepadamu agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl: 44)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Al-Qur’an dijaga ketika diturunkan dan setelahnya. Ketika
diturunkan, ia dijaga dari pencurian semua setan yang terkutuk. Setelah
turun, dijaga dengan cara Allah Subhanahu wata’ala masukkan ke dalam kalbu Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga terjaga di dalam kalbu Rasul-Nya dan umatnya. Allah Subhanahu wata’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, penambahan, dan pengurangan. Allah Subhanahu wata’ala
menjaga maknamaknanya dari penggantian. Tidak ada orang yang mencoba
menyelewengkan maknanya dari makna yang benar kecuali Allah Subhanahu wata’ala akan memunculkan orang yang menjelaskan kebenaran yang jelas.
Ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala yang agung dan nikmat-Nya yang terbesar bagi hamba-Nya yang beriman. Di antara bentuk penjagaan-Nya kepada al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala menjaga ahlul Qur’an dari musuh-musuh mereka. Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menguasakan musuh mereka untuk menguasai mereka.” (Taisir al-Karimirrahman) Isi Al-Qur’an Semua Tentang Tauhid Ibnul Qayim rahimahullah
berkata, “Mayoritas surat dalam al-Qur’an, bahkan semuanya, mengandung
dua macam tauhid ini, mempersaksikan dan menyeru kepadanya. Sebab,
al-Qur’an bisa jadi:
• Berupa berita tentang Allah Subhanahu wata’ala, tentang nama, sifat, perbuatan, dan ucapan Allah Subhanahu wata’ala. Itu adalah tauhid ilmi khabari.
• Berupa seruan untuk beribadah
kepada-Nya saja, tidak ada sekutu bagi- Nya, dan berlepas diri dari
sesuatu yang dijadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wata’ala. Ini adalah tauhid iradi thalabi.
• Berupa perintah dan larangan,
mengharuskan untuk taat kepada-Nya, mengikuti perintah dan larangan-Nya.
Ini adalah penyempurna tauhid.
• Berupa berita tentang kemuliaan bagi
orang bertauhid, bagaimana mereka diperlakukan di dunia dan di akhirat
kelak. Ini adalah balasan bagi orang yang mentauhidkan-Nya.
• Berupa berita tentang orang yang
berbuat syirik dan bagaimana mereka diperlakukan di dunia dengan bencana
dan di akhirat kelak dengan azab. Ini adalah balasan bagi orang yang
keluar dari mentauhidkan-Nya. Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang
tauhid, hak serta balasannya, tentang syirik, dan pelakunya serta
balasan bagi mereka.” (Madariju as-Salikin)
Al-Qur’an Akan Diangkat di Akhir Zaman
Menjelang terjadinya hari kiamat, Allah Subhanahu wata’ala mengangkat al-Qur’an dari dada-dada manusia. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Perkara pertama yang akan hilang dari agama kalian adalah
amanat dan yang paling akhir adalah shalat. Akan ada satu kaum yang
shalat dalam keadaan mereka tidak memiliki agama. Al-Qur’an yang ada di
antara kalian sebentar lagi akan diangkat.” Seorang muridnya berkata,
“Wahai Abu Abdirahman, bagaimana diangkatnya? Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkannya di hatiNo. hati kami dan dalam mushaf kami.” Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Akan diangkat dalam satu malam, tidak akan ada lagi yang tertinggal di dada ataupun mushaf.” Di dalam Sunan ad-Darimi juga, dari Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu,
“Al-Qur’an akan diangkat pada suatu malam. Tidak ada lagi satu ayat pun
di mushaf atau dada manusia kecuali akan diangkat.” Al-Qur’an adalah
Firman Allah Subhanahu wata’ala, Bukan Makhluk Di antara
prinsip akidah Ahlus Sunnah yang terpenting dalam masalah ini adalah
keyakinan bahwa al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala, bukan makhluk. Allah Subhanahu wata’alaberfirman,
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orangorang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (at-Taubah: 6)
Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam firman Allah Subhanahu wata’ala ini, ada hujah yang kokoh bagi mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menegaskan bahwasanya al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala, bukan makhluk.” Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Al- Qur’an adalah kalamullah dan bukanlah makhluk. Janganlah kamu lemah untuk menyatakan, ‘Al-Qur’an bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah (al-Qur’an) itu datang dari Allah Subhanahu wata’ala.
Sesuatu yang berasal dari Dzat-Nya itu bukanlah makhluk. Jauhilah
berdebat dengan orang rendahan dalam masalah ini dan dengan orang lafdziyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan orang lainnya; atau dengan orang yang tawaquf (abstain)
dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu, al- Qur’an itu makhluk
atau bukan, yang jelas al-Qur’an itu adalah kalamullah.’ Ketahuilah
(bahwasanya keyakinan Ahlus Sunnah adalah), al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” Jaminan Bagi yang Berpegang Teguh dengan Al-Qur’an Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah Subhanahu wata’ala
menjamin seorang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya tidak akan
tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu membaca,
وَمَنْ
أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ() قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ
كُنتُ بَصِيرًا () قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ
وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنسَىٰ
Barang siapa berpaling dari
peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia,
“Ya Rabbku, mengapa Engkau mengumpulkanku dalam keadaan buta, padahal
aku dahulu adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah,
telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, kamu melupakannya, dan begitu
(pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 124—126)
Demikian sebagian masalah akidah yang
terkait dengan al-Qur’anul Karim. Mudah-mudahan kita senantiasa bisa
memahami perkara agama ini sesuai dengan pemahaman salafus shalih dan mendapatkan taufik dari Allah Subhanahu wata’ala untuk beramal sebagaimana salafus shalih beramal. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari Empat Hal
Mengenal kebaikan lalu mengamalkannya
dan mengetahui kejelekan kemudian waspada darinya adalah jalan yang
terang menuju keridhaan Allah Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, sebagai makhluk yang lemah tentu kita sangat membutuhkan bantuan dari Allah Subhanahu wata’ala, Dzat Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Tanpa bimbingan dari Allah Subhanahu wata’ala
niscaya kita tidak tahu hal-hal yang bermanfaat untuk kemudian
diambilnya serta tidak akan tahu kejelekan lalu menghindar darinya.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala
dari empat hal yang berdampak sangat jelek baik dalam kehidupan di
dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti. Empat kejelekan itu seperti
tersebut dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
اَللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ
وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak
khusyuk, jiwa yang tidak merasa kenyang (puas), dan dari doa yang tidak
dikabulkan.” (HR . Muslim no. 2722 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu)
Dalam hadits ini ada empat kejelekan yang harus kita waspadai.
1. Ilmu yang Tidak Bermanfaat
Ketahuilah, yang diinginkan dari ilmu
adalah untuk diyakini dan diamalkan. Apabila ilmu sebatas kliping
pengetahuan yang menumpuk di benak seseorang dan tidak keluar sebagai
amal nyata dalam kehidupan sehari-hari, ini jenis ilmu yang membawa
petaka bagi pemiliknya. Kelak pada hari kiamat kaki seorang hamba tidak
akan bergeser dari sisi Rabbnya sampai ditanyai tentang beberapa
perkara, di antaranya tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan.
Mengamalkan ilmu juga menjadi perkara terbaik untuk menjaga ilmu
tersebut agar mengakar pada kalbu.
Ada beberapa hal yang termasuk ilmu yang tidak bermanfaat, di antaranya:
a. Ilmu yang dicari untuk mendebati para
ulama dan untuk menyombongkan diri di hadapan orang-orang bodoh. Orang
yang seperti ini tergolong orang yang bodoh karena dia tidak tahu tujuan
menimba ilmu ialah untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan
beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala di atas petunjuk.
b. Menimba ilmu untuk mendapatkan kegemerlapan duniawi dan mencari popularitas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
يَتَعَلَّمَهُ إِ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ
عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mempelajari ilmu yang (seharusnya) dicari dengannya wajah Allah Subhanahu wata’ala,
(namun) ia tidaklah mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta
benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (HR . Abu Dawud dan dinyatakan sahih sanadnya oleh an-Nawawi)
c. Ilmu yang tidak ditebarkan kepada
orang lain, apalagi sampai menyembunyikan ilmu dari orang yang sangat
membutuhkan. Apabila ia menebarkannya lalu diamalkan oleh orang lain,
niscaya akan menjadi amal jariyah baginya. Pahalanya terus mengalir
kepadanya sekalipun ia telah mati.
d. Ilmu yang menjurus kepada kemaksiatan
dan kekufuran seperti ilmu sihir. Ilmu seperti ini haram untuk
dipelajari dan dipraktikkan.
2. Hati yang Tidak Khusyuk
Ini adalah jenis hati yang tidak tenteram dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Padahal hati hanyalah dicipta untuk tunduk kepada yang menciptakannya (Allah Subhanahu wata’ala)
sehingga dada menjadi lapang karenanya dan siap diberi cahaya petunjuk.
Jika kondisi hati tidak seperti itu, berarti ia adalah hati yang kaku
dan gersang. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala darinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)
Kekhusyukan hati sumbernya adalah pengetahuan yang mendalam tentang Allah Subhanahu wata’ala dan kebesaran-Nya. Oleh karena itu, ada yang khusyuk hatinya karena mengetahui bahwa Allah Subhanahu wata’ala dekat dengan hamba-Nya dan mengetahui gerak-geriknya sehingga ia malu jika Allah Subhanahu wata’ala melihatnya dalamipenentangan terhadap aturan-Nya. Ada juga yang khusyuk karena memandang dahsyatnya hukuman Allah Subhanahu wata’ala kepada orang yang bermaksiat kepada-Nya. Ada pula yang khusyuk karena melihat kepada sempurnanya kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala dan besarnya anugerah dari- Nya yang tidak bisa dihitung. Allah Subhanahu wata’ala
telah memuji orang-orang yang khusyuk dan mempersiapkan surga bagi
mereka. Ketika meyebutkan para lelaki dan perempuan yang khusyuk, Allah Subhanahu wata’ala menyatakan,
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab: 35)
Seorang yang khusyuk saat melaksanakan
ibadah, niscaya akan merasakan lezatnya berbisik-bisik dan memohon
kepada Sang Khalik. Hatinya menjadi damai dan selalu tenteram
mengingat-Nya. Khusyuk dalam shalat menjadi ruh shalat tersebut, dan
shalat seorang hamba dinilai dengannya. Ada beberapa hal yang bisa
membantu hamba untuk mewujudkan kekhusyukan dalam shalat, di antaranya:
a. Mendatangi shalat dengan tenang dan
tidak terburu-buru meskipun iqamat telah dikumandangkan dan shalat
sebentar lagi akan ditegakkan.
b. Mendahulukan menyantap hidangan
apabila hidangan makanan telah disuguhkan. Hal ini bukan berarti
mendahulukan hak diri sendiri di atas hak Allah Subhanahu wata’ala. Sebab, kekhusyukan adalah hak Allah Subhanahu wata’ala yang akan terwujud dengan segera menyantap hidangan makanan yang telah disuguhkan. Nabi n bersabda,“Apabila makan malam telah dihidangkan, mulailah makan malam sebelum shalat maghrib.” (HR . al-Bukhari dan Muslim)
c. Berusaha memahami apa yang dibaca
dalam shalatnya. Dahulu apabila melewati ayat yang menyebutkan azab,
Rasulullah n berlindung kepada AllahSubhanahu wata’ala darinya; apabila melewati ayat yang menyebutkan rahmat Allah Subhanahu wata’ala, beliau memohon rahmat; dan apabila melewati ayat yang mengandung bentuk penyucian kepada Allah Subhanahu wata’ala, beliau pun bertasbih.” (HR . Ahmad, Muslim dan Sunan yang empat dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu)
d. Tidak menahan buang air besar dan buang air kecil.
e. Menyingkirkan segala yang bisa mengganggu kekhusyukan dalam shalat.
f. Pandangan diarahkan ke tempat sujud dan tidak menoleh, apalagi mengangkat pandangan ke atas. Sebab, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menundukkan kepala dan mengarahkan pandangannya ke tanah ketika shalat.
Demikian di antara kiat-kiat untuk
khusyuk di dalam shalat. Apabila seorang menjalankan shalat dengan
khusyuk, niscaya shalat yang dilakukannya akan bisa mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Sesuai dengan tenteramnya hati hamba dengan
Allah Subhanahu wata’ala, setingkat itulah manusia sejuk memandangnya. Khusyuk dalam shalat menjadi sebab diampuninya dosa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَا
مِنِ امْرِئٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا
وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ
الذُّنُوْبِ مَا لَمْ يُؤْتَ كَبِيْرَةٌ
“Tiada seseorang yang telah sampai
kepadanya (waktu) shalat wajib lalu dia membaguskan wudhunya, khusyuk,
dan rukuknya, kecuali shalat itu akan menghapus dosa yang dilakukan
sebelum shalat itu, selama dosa besar tidak dilakukan.” (HR . Muslim)
3. Jiwa yang Tidak Pernah Puas
Tenteram dan puasnya jiwa adalah
kebahagiaan hidup yang tak ternilai. Namun, sayangnya tidak semua orang
mendapatkan kepuasan jiwa dan kehidupan yang bahagia. Harta yang
melimpah ruah\ dan jabatan yang terpandang terkadang tidak mampu
mengantarkan seorang kepada kebahagiaan hidup. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan hakikat kaya dan tenteramnya jiwa dalam sabdanya,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kayanya jiwa.” (Muttafaqun ‘alaih)
Andaikata seorang ingin menuruti nafsu
serakahnya terhadap dunia, niscaya habis umurnya untuk sesuatu yang
siasia. Kematian akan datang kepadanya padahal keinginan nafsunya belum
tercapai seluruhnya. Ketidakpuasan terhadap pemberian Allah Subhanahu wata’ala
akan melahirkan beberapa problem hidup yang berdampak serius bagi
kelangsungan hidup di dunia ini. Seorang yang rakus terhadap harta akan
berusaha mengumpulkan harta tanpa peduli dari jalan apa ia
mendapatkannya. Dia akan berani menabrak norma-norma agama dan
melepaskan adab-adab kesopanan di tengah-tengah masyarakat. Dia juga
akan bakhil terhadap harta yang telah didapat sehingga tidak mau
berderma dan menyantuni orang yang papa dan menderita. Orang yang
seperti ini dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala dan
tidak disukai oleh manusia. Di antara bentuk ketidakpuasan jiwa adalah
tidak ada kepuasan dalam hal makan, minum, dan berpakaian. Untuk
mengejar kepuasan semu tersebut, terkadang seorang melampaui batas
menggunakannya. Ia berusaha memenuhi kepuasan jiwanya meski harus
melanggar aturan agama dan menyelisihi akal sehat. Sikap menerima
pemberian Allah Subhanahu wata’ala dan merasa cukup dengan anugerahnya adalah ladang kesuksesan. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Telah sukses orang yang masuk Islam dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas dengan pemberian Allah l.” (HR . Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)
Agar seorang bisa merasa puas dengan pemberian Allah Subhanahu wata’ala, ada beberapa faktor yang melandasinya.
a. Melihat dari sisi takdir. Tatkala
seorang telah berusaha menggapai cita-cita dengan sepenuh semangat,
dibarengi tawakal, kemudian mendapatkan hasil tidak seperti yang
dicita-citakan, hendaklah ia yakin bahwa itu adalah suratan takdir
sehingga dia ridha dengan keputusan Allah Subhanahu wata’ala. Dia hendaknya berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wata’ala bahwa itulah yang terbaik baginya. Sebab, bisa jadi jika Allah Subhanahu wata’ala melimpahkan rezeki kepadanya sesuai dengan cita-citanya, dia akan lupa kepada Allah Subhanahu wata’ala, sombong, dan menggunakan nikmat itu untuk bermaksiat.
b. Melihat besarnya tanggung jawab.
Besarnya nikmat menuntut banyaknya rasa syukur. Jika diberi rezeki
melimpah, belum tentu dia bisa mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala sehingga nikmat itu justru menjadi beban baginya.
c. Melihat orang-orang yang di bawahnya dalam hal harta dan yang semisalnya.
Dengan demikian, dia akan mensyukuri
pemberian Allah. Sebab, ternyata masih banyak orang-orang yang lebih
mengenaskan kondisinya dibandingkan dengan dirinya. Nabi n bersabda, “Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan melihat yang lebih tinggi dari kalian. Sebab, hal itu lebih pantas untuk kalian agar tidak meremehkan nikmat Allah Subhanahu wata’ala yang diberikan kepada kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)
Maksud “melihat yang lebih rendah” adalah dari sisi harta dan kondisi keduniaan.
4. Doa yang Tidak Didengar dan Tidak Dikabulkan oleh Allah Subhanahu wata’ala
Ini tentu suatu kerugian besar. Sebab, hamba tidaklah mampu mendatangkan maslahat bagi dirinya tanpa bantuan Allah Subhanahu wata’ala. Bagaimana tidak merugi, padahal Allah Subhanahu wata’ala telah menjanjikan akan mengabulkan permohonan hamba-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir: 60)
Tidak dikabulkannya doa tidak berarti
Allah l ingkar janji, tetapi hamba itu sendiri yang belum memenuhi
persyaratan diterimanya doa. Ibrahim bin Adham rahimahullah pernah ditanya tentang ayat di atas, bahwa seseorang telah berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala tetapi belum dikabulkan. Beliau menjawab, “Engkau kenal Allah Subhanahu wata’ala,
tetapi tidak mau menaati-Nya. Engkau membaca al-Qur’an, tetapi tidak
mengamalkannya. Engkau mengetahui setan, tetapi justru mencocokinya.
Engkau mengaku cinta kepada Rasul, namun meninggalkan sunnahnya. Kau
mengaku cinta kepada surga, tetapi tidak beramal untuknya. Kau mengaku
takut neraka, tetapi tidak berhenti dari dosa. Kau mengatakan bahwa
kematian itu benar adanya, tetapi tidak bersiap-siap menghadapinya.
Engkau sibuk dengan kesalahan orang dan tidak melihat kesalahan sendiri.
Engkau memakan rezeki Allah Subhanahu wata’ala, tetapi tidak bersyukur. Engkau pun mengubur orang yang mati, tetapi tidak mau mengambil pelajaran.” (al-Khusyu’ fi ash-Shalah hlm. 39 karya Ibnu Rajab rahimahullah)
Tiada yang lebih bermanfaat bagi kita
dari bermuhasabah (introspeksi diri). Barangkali kita belum tulus ketika
memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bisa jadi, kita
memohon dengan hati yang lalai dan bermain-main, jauh dari keseriusan,
atau tergesa-gesa ingin dikabulkan. Karena tidak kunjung dikabulkan,
kemudian kita meninggalkan doa. Hal-hal di atas adalah faktor utama
tertundanya jawaban atas permohonan kita. Jangan lupa pula, makanan,
minuman, dan pakaian yang haram juga menjadi faktor utama ditolaknya
doa. Oleh karena itu, koreksilah diri kita dan ajaklah untuk memenuhi
persyaratan doa. Semoga jawaban dari Allah Subhanahu wata’ala
atas doa kita menjadi kenyataan. Jangan pernah kecewa ketika berdoa dan
tidak kunjung dikabulkan. Sebab, doa itu sendiri adalah ibadah yang
tentu ada nilainya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Bisa jadi, karena Allah Subhanahu wata’ala
suka dengan rintihan hamba kepada-Nya. Seandainya segera dikabulkan
doanya, bisa jadi dia tidak lagi merintih di hadapan Rabbnya. Akhirulkalam, semoga Allah Subhanahu wata’ala
senantiasa membimbing kita kepada hal yang bermanfaat untuk dunia dan
akhirat kita, dan selalu menjauhkan kita dari segala kejelekan.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Al-Faruq Umar bin al-Khaththab (4) : Menjadi Penasehat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
Mendampingi Abu Bakr
Berita wafatnya Rasulullah n benarbenar
menggoncang Madinah. Kota itu seakan berubah demikian gelap kehilangan
cahayanya. Rintihan pilu terdengar dari setiap rumah kaum muslimin.
Mereka benar-benar kehilangan seorang ayah, pemimpin, guru, sekaligus
sahabat dan saudara yang lebih mereka cintai daripada jiwa raga mereka.
Kaum muslimin seakan tidak percaya menerima kenyataan itu. Bahkan, salah
seorang dari mereka yang dikenal tegar dan tegas serta berani, yaitu
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, juga terpukul
akibat rasa kehilangan ini. Dengan pedang terhunus, ‘Umar memasuki
Masjid Nabawi, berdiri di sisi mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berseru lantang, “Beberapa orang munafik mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat.
Beliau tidak mati, tetapi menemui
Rabbnya seperti Nabi Musa, yang meninggalkan kaumnya empat puluh malam
lalu kembali kepada mereka. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pasti kembali sebagaimana Nabi Musa kembali dan pasti akan memotongmotong tangan dan kaki mereka yang mengatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal dunia.” Itulah yang sempat dicatat sebagian ahli sejarah. Tiba-tiba, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu memasuki masjid. Di wajahnya yang keriput tetapi bercahaya, masih tersisa tetes air mata.
Abu Bakr memang baru saja dari rumah putrinya, ‘Aisyah, tempat jasad suci manusia agung Shallallahu ‘alaihi wasallam terbaring. Dia masih sempat mencium Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang telah diselimuti sehelai kain. “Alangkah harumnya engkau ketika
hidup dan setelah meninggal dunia,” katanya. “Bapak ibuku tebusanmu.
Demi Allah, Allah tidak mengumpulkan untukmu dua kematian. Adapun
kematian yang sudah ditetapkan bagimu telah engkau alami.” Setelah itu,
Abu Bakr keluar rumah dan berjalan mendekati ‘Umar lalu menegurnya,
“Duduklah, hai ‘Umar.” ‘Umar seperti tuli.
Dia enggan duduk dan masih mengangkat pedangnya di hadapan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat sikap ‘Umar, Abu Bakr tidak memaksanya lebih lanjut, tetapi terus melangkah menaiki mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat Abu Bakr berdiri di atas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kaum muslimin segera meninggalkan ‘Umar yang tetap berdiri gagah. Abu Bakr memulai pujian dan sanjungan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan berpidato, yang di antara ucapannya yang terkenal ialah, “Siapa yang menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat. Akan tetapi, siapa yang menyembah Rabb (Yang Mencipta, Menguasai, Memberi Rezeki dan Mengatur) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak akan mati. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن
مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ
عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ
‘Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?
Barang siapa berbalik ke belakang, ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.’1 (Ali ‘Imran: 144)
Begitu mendengar Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
membacakan ayat tersebut, pedang di tangan ‘Umar terlepas dan dia pun
jatuh terduduk. Seketika itu juga terdengarlah isak tangis para sahabat
yang ada di masjid. Mereka benar-benar yakin bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
sang junjungan telah pergi mendahului mereka menemui Rabbnya. Mereka
pun kembali ke rumah masingmasing sambil tetap menangis, lebih dari
sekadar kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang
mereka sedihkan adalah terhentinya wahyu dari langit. Kesedihan itu
tidak berlangsung lama. Para sahabat Anshar mulai membicarakan siapa
yang akan memegang kendali urusan Islam dan kaum muslimin sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka berkumpul di Saqifah bani
Sa’idah. ‘Umar segera mengajak Abu Bakr agar segera menemui
sahabat-sahabat Anshar di Saqifah tersebut. Ternyata beberapa Muhajirin
juga sudah ada di sana, tetapi majelis itu didominasi oleh Aus dan
Khazraj. Terjadi dialog yang cukup seru, setiap pihak mengemukakan
pendapatnya. Ada yang berpendapat bahwa kendali urusan ini dipegang oleh
Anshar karena Madinah adalah tanah air mereka. Yang lain mengusulkan
agar Muhajirinlah yang menjadi pemimpin. Keributan sempat terjadi di
antara mereka, namun setelah Abu Bakr menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa pemimpin itu dari Quraisy, para sahabat lain menerimanya.
Setelah mereka menerima, Abu Bakr menggenggam tangan ‘Umar mencalonkannya sebagai pengganti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
tetapi dengan sigap ‘Umar membalikkan tangan dan berkata, “Demi Allah,
andaikata leherku dipenggal tanpa dosa, lebih aku sukai daripada menjadi
pemimpin rakyat yang di situ ada Abu Bakr.” Kemudian, ‘Umar meminta Abu
Bakr membentangkan tangannya. Tanpa curiga Abu Bakr membentangkan
tangannya. Dengan segera ‘Umar menggenggam tangan itu lalu membaiatnya.
Orang-orang Muhajirin yang ada segera mengikuti ‘Umar, demikian pula
orang-orang Anshar.
Semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai mereka. Sejak saat itu, Abu Bakr telah resmi menjadi khalifah menggantikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memimpin kaum muslimin. Beliau lebih suka dipanggil sebagai Khalifah
Rasulullah n. Selama kepemimpinan Abu Bakr, ‘Umar adalah penasihat
andalannya di samping beberapa sahabat senior lainnya, seperti ‘Utsman,
‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah . Pada awal
kepemimpinannya, kaum muslimin disentakkan oleh berita murtadnya
sebagian saudara mereka di beberapa tempat di Jazirah Arab. Beberapa
kabilah dengan lantang menyatakan lepas dari Madinah. Mereka menolak
zakat yang dahulu pernah mereka serahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Menurut mereka, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
tidak ada yang berhak menarik zakat dari mereka. Lebih mengerikan lagi,
orangorang bani Hanifah dengan berani mengangkat Musailamah al-Kadzdzab
sebagai nabi sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sementara itu, beberapa kabilah di sekeliling Madinah, juga sudah mulai
bergabung dengan Musailamah al- Kadzdzab. Jauh di sana, di sebelah
utara Jazirah Arab, imperium Romawi dan beberapa jajahannya yang ada di
wilayah Syam, seperti raja-raja Ghassan telah pula merencanakan serangan
besar-besaran untuk memadamkan cahaya Allah Subhanahu wata’ala.
Menurut mereka, pemimpin kaum muslimin
sudah meninggal dunia, tentu mereka masih dalam keadaan lemah dan belum
memikirkan siapa yang diangkat sebagai pengganti. Kalaupun ada, belum
tentu seperti nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka melakukan tipu daya, tetapi Allah Subhanahu wata’ala sebaik-baik yang membalas tipu daya. Iman yang ada di hati orang-orang yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam keadaan beliau ridha, bukan iman yang mentah, karena ikut-ikutan
atau karena terpaksa. Iman mereka adalah iman yang telah matang dengan
berbagai ujian dan tempaan. Seperti kata pepatah Arab yang menyebutkan
bahwa ujian itu menampakkan kecemerlangan seseorang. Ibarat emas, yang
semakin berkilau dengan ditempa. Iman mereka lebih tegar dari sebuah
gunung batu yang tinggi menjulang. Iman, yang bagi sebagian mereka,
memindahkan sebuah gunung dari tempatnya lebih mudah daripada
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan atau dicontohkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Subhanallah. Ya Allah, hati
seperti apa yang Engkau letakkan di dadadada mereka sehingga mereka
memiliki keyakinan demikian kuat. Iman seperti apa yang Engkau tanamkan
di hatihati mereka hingga ketika mereka tidak mempunyai perahu
menyeberangi sebuah sungai, mereka shalat dan berdoa kepada Allah l,
kemudian mereka bawa untaunta dan kuda-kuda perang mereka menyeberangi
sungai yang dalam itu. Ternyata kaki-kaki kuda mereka tidak basah,
bahkan tidak tenggelam. Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah mendahului kami dalam beriman. Janganlah Engkau letakkan
dendam dan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau menyiapkan sebuah pasukan di bawah pemuda yang disayang oleh beliau, putra orang yang disayang oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Belum ada 20 tahun usia anak muda itu. Kulitnya hitam, mungkin karena
ibunya berkulit hitam. Dia adalah putra maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Zaid bin Haritsah dari istrinya yang pernah menjadi inang pengasuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ummu Aiman . Pemuda gagah berkulit hitam itu adalah Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma.
Sama seperti ketika ayahnya diangkat sebagai panglima kaum muslimin,
mengundang tanda tanya dari beberapa sahabat, mengapa bukan dari Quraisy
atau yang sederajat? Kepemimpinan Usamah juga demikian.
Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
hanya mengatakan bahwa Usamah sangat layak menjadi panglima,
sebagaimana ayahnya juga layak menjadi panglima. Jawaban ini sudah cukup
menenteramkan hati para sahabat. Tepat di hari-hari menjelang sakit
beliau n, pasukan Usamah sudah siap meninggalkan Madinah. Di dalam
pasukan tersebut terdapat sejumlah sahabat senior dari Muhajirin dan
Anshar. Berbaris pula di dalamnya para tokoh pemuka masyarakat sejumlah
kabilah di Tanah Arab. Itulah mungkin yang jadi tanda tanya para
sahabat. Akan tetapi, iman yang ada di dalam hati mereka yang jujur dan
lurus, langsung berhadapan dengan jawaban Rasulullah n yang tidak
mungkin mengucapkan sesuatu yang batil.
Mendengar jawaban Rasulullah n, keraguan
dalam hati mereka segera lenyap bagai debu yang menempel di batu cadas
yang licin lalu disiram oleh hujan yang deras. Mereka yakin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin salah pilih, lebih-lebih dalam keadaan seperti ini. Mereka pun berangkat. Tepat ketika sakit Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertambah parah, pasukan ini sudah berada di perbatasan Madinah. Begitu mendengar keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam cukup parah, pasukan itu berhenti dan berkemah sambil menunggu perkembangan. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat menemui Allah Subhanahu wata’ala, pasukan itu tidak jadi berangkat, bahkan kembali ke Madinah. Kini, kekhalifahan ada di tangan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Kaum muslimin telah sepakat menerima dan mengakui kekhalifahannya.
Begitu pula keluarga bani Hasyim yang
sempat tertunda memberikan baiat. Abu Bakr bukan tidak mendengar berita
tentang kabilah Arab yang murtad di sekeliling Madinah. Abu Bakr bukan
tidak mengerti bahwa pihak Romawi tidak akan tinggal diam dan pasti
mengambil kesempatan seperti keadaan genting saat ini. Beberapa sahabat
dimintai pendapat, termasuk ‘Umar al-Faruq. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
sudah bertekad tetap akan melepas pasukan Usamah menghadapi Romawi di
tempat gugurnya Zaid bin Haritsah ayah Usamah. Tetapi, para sahabat lain
memberi pertimbangan lain. “Lebih baik pasukan Usamah tetap di
Madinah,” kata sebagian di antara mereka. Mungkin mereka bermaksud agar
pasukan itu dapat dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas keamanan di kota
Madinah. Yang lain ada yang memberi saran, jangan Usamah yang dijadikan
panglima.
Hampir semua sahabat yang dimintai pendapat berusaha menahan tekad kuat sang Khalifah radhiyallahu ‘anhu.
Pertimbangan yang mereka ajukan sangat manusiawi dan masuk akal.
Tetapi, tidak demikian menurut Abu Bakr yang pandangannya sering
bersesuaian dengan pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketajaman firasat beliau yang sering menerima taufik dari Allah Subhanahu wata’ala
mementahkan semua pendapat yang disodorkan kepadanya. Dengan tegas Abu
Bakr menyatakan, “Demi Yang jiwaku di tangan-Nya (Allah), seandainya aku
yakin bahwa binatang buas pasti menyergapku, niscaya aku tetap akan
melepaskan pasukan Usamah, sebagaimana yang diperintahkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya tidak ada
yang tersisa di negeri ini selainku, maka pasti aku tetap melepasnya.”
Usamah sendiri pernah meminta ‘Umar agar memintakan izin kepada Khalifah
agar dia kembali ke Madinah.
Akan tetapi, Abu Bakr berkata,
“Seandainya anjing-anjing dan serigala menerkamku, aku tidak akan
membantah keputusan yang telah dibuat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
‘Umar juga pernah diminta oleh sebagian pemuka Anshar agar memberi
pertimbangan kepada Khalifah tentang kepemimpinan Usamah. Kata beliau,
“Beberapa tokoh Anshar memintaku menyampaikan bahwa mereka meminta Anda
mengangkat panglima yang lebih senior daripada Usamah.” Abu Bakr yang
sedang duduk segera melompat ke arah ‘Umar dan menarik janggutnya,
“Sedihnya ibumu, hai putra al-Khaththab. Usamah itu diangkat oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara engkau
menyuruhku mencopotnya?” Setelah mendengar ketegasan Abu Bakr, ‘Umar
menemui orang-orang yang mengutusnya. Kata mereka, “Apa yang engkau
lakukan?” “Sedihnya ibu kalian, pergilah.
Disebabkan oleh kalian, aku tidak menerima sesuatu yang baik dari Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Pasukan Usamah mulai berangkat diiringi oleh Khalifah yang berjalan
kaki mengantar ke gerbang kota. Sebelum berpisah, Khalifah meminta izin
Panglima muda itu agar ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
tinggal di Madinah menemaninya. Panglima muda Usamah memberi izin.
Akhirnya, ‘Umar tidak jadi berangkat dan tetap di Madinah sebagai
pembantu dan teman diskusi Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
Ketajaman berpikir ‘Umar telah terlihat sejak beliau diminta
mendampingi Khalifah. Suatu ketika, datang dua orang dari sebuah desa,
mengadu kepada Khalifah bahwa di desa mereka ada sebidang tanah yang
berair, tidak ada rumput dan manfaatnya.
Mereka ingin Khalifah memberi mereka tanah itu untuk ditanami dan diolah, dengan harapan semoga sesudah hari itu Allah Subhanahu wata’ala
memberikan keuntungan dengan tanah itu. Abu Bakr meminta pendapat
sahabat yang ada ketika itu, sementara ‘Umar sedang mengurus untanya.
Para sahabat menyarankan agar tanah itu diserahkan kepada mereka dengan
harapan Allah Subhanahu wata’ala memberi mereka manfaat
sesudah itu. Abu Bakr menerima saran mereka dan menuliskan sebuah surat
lalu menyuruh mereka menemui ‘Umar untuk menjadi saksi. Kedua orang itu
segera menemui ‘Umar dan membacakan isi surat tersebut.
Setelah selesai dibacakan, ‘Umar meminta
surat itu lalu menghapus isinya dan mengembalikannya kepada mereka.
Kedua orang itu segera kembali sambil menahan jengkel. Begitu berhadapan
dengan Khalifah, mereka berkata, “Yang jadi Khalifah itu Anda atau
‘Umar?” “Sebetulnya dia, kalau dia mau.” ‘Umar datang sambil menahan
marah lalu berdiri di depan Khalifah, “Terangkan kepadaku tentang tanah
yang Anda serahkan kepada dua orang ini, apakah tanah itu milik Anda
sendiri, ataukah milik seluruh kaum muslimin?” “Milik kaum muslimin.”
‘Umar mencecar, “Apa yang mendorong Anda mengistimewakan dua orang ini
di luar kaum muslimin lain?” “Saya sudah meminta pendapat mereka yang
ada di sini dan mereka menyarankan hal itu kepada saya.” “Kalau Anda
sudah bermusyawarah dengan mereka yang ada di sekeliling Anda ini, maka
seluruh kaum muslimin harus menerima dan meridhainya.”
Kata ‘Abu Bakr, “Saya sudah pernah
mengatakan bahwa dalam urusan ini engkau lebih kuat/pantas daripada
saya, tetapi engkau mengalahkan saya.” Terakhir, tentu kita masih ingat
saat terjadinya Perang Yamamah. Prajurit muslimin banyak yang gugur,
khususnya para penghafal al-Qur’an. ‘Umar melihat keadaan ini
membahayakan. Untuk itu, ‘Umar segera menemui Khalifah dan memberi saran
agar segera diadakan pengumpulan ayat-ayat suci al-Qur’anul Karim.
Jangan sampai kaum muslimin tidak mempunyai pegangan di dalam
mempelajari dan mengamalkan agama mereka. Sebab, jika semakin banyak
prajurit muslim yang gugur, khususnya para penghafal al-Qur’an,
dikhawatirkan al-Qur’an akan ikut lenyap.
Mulanya Khalifah menolak, bahkan mengingkari saran ‘Umar dengan alasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah berbuat demikian. Namun, Abu Bakr menerima juga saran
‘Umar dan menyerahkan pengerjaan proyek ini kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu.
Zaid yang pada awalnya menolak, akhirnya menerima tugas berat tetapi
mulia ini. Itulah salah satu jasa besar ‘Umar bagi Islam dan kaum
muslimin. Benarlah kata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Islamnya ‘Umar adalah kemuliaan, hijrahnya adalah kemenangan, dan kepemimpinannya adalah rahmat.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Nikmat Berganti Petaka
Asal Usul Saba’
Ribuan tahun sebelum Masehi, berdiri
sebuah kerajaan Arab kuno di bagian selatan Semenanjung Arab. Kerajaan
yang makmur, aman, dan sentosa itu adalah Saba’. Saba’ adalah nama gelar
salah seorang raja Yaman kuno, yaitu Saba’ bin Yasyjub. Dia digelari
Saba’ karena dialah orang Arab yang pertama kali menjadikan musuh-musuh
yang telah ditaklukkannya sebagai sabaya (tawanan). Dia dijuluki juga
ar-Raisy, karena dialah yang pertama mengambil rampasan perang
(ghanimah) lalu membagi-bagikannya kepada bangsanya. Bangsawan-bangsawan
Tubba’ juga berasal dari keturunan Saba’, demikian pula Ratu Saba’ yang
terkenal dan diceritakan bertemu dengan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam,
yaitu Bilqis.
Nama asli Saba’ sendiri ialah ‘Abd Syams
bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Tetapi, ahli sejarah dan nasab
berselisih tentang Qahthan ini, keturunan siapakah dia? Ada yang
berpendapat bahwa dia adalah anak cucu Iram bin Sam bin Nuh. Yang lain
mengatakan dia keturunan ‘Abir, yaitu Hud ‘Alaihissalam, dan ada pula
yang berpendapat dia adalah keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim
‘Alaihissalam. Yang terakhir ini, disimpulkan dari riwayat yang ada di
dalam Shahih al- Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati salah satu suku Anshar, yaitu Aslam, yang sedang berlomba memanah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ارْمُوا يَا بَنِي إِسْمَاعِيلَ، ارْمُوا فَإِنَّ أَبَاكُمْ كَانَ رَامِيًا
“Panahlah, hai bani Isma’il, karena bapak kalian dahulu seorang pemanah.”
Hal ini karena orang-orang Anshar, baik
Aus maupun Khazraj, berasal dari suku Azdi. Suku Azdi ini adalah
keturunan Saba’ yang dahulu melakukan migrasi dari Yaman ke daerah
sekitarnya, bahkan sampai ke Syam, Irak, dan Hijaz. Wallahu a’lam.
Kebanyakan peneliti menyebutkan bahwa
kerajaan Saba’ adalah kerajaan tertua di Semenanjung Arab, dan telah
berdiri di tanah Arab sejak 1300 SM. Ada juga yang berpendapat lebih tua
dari itu (sekitar 2500 SM). Ibu kota pertama negeri ini adalah Shirwah,
kemudian pindah ke Ma’rib yang akhirnya menjadi pusat perdagangan
penting saat itu. Kerajaan Saba’ sudah dikenal di kalangan umat-umat
terdahulu sebelum Islam. Di dalam Taurat, demikian pula dalam prasasti
di zaman Raja Asyiria (720—705 SM), termaktub cerita yang menerangkan
bahwa Kerajaan Saba’ pernah mengirimkan hadiah berupa emas,
wangi-wangian, dan kayu a’syab kepada Raja Asyiria. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Saba’, nama apakah itu, apakah seorang laki-laki ataukah perempuan, ataukah sebuah negeri?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَلْ
هُوَ رَجُلٌ وَلَدَ عَشَرَةً فَسَكَنَ الْيَمَنَ مِنْهُمْ سِتَّةٌ
وَبِالشَّامِ مِنْهُمْ أَرْبَعَةٌ فَأَمَّا الْيَمَانِيُّونَ فَمَذْحِجٌ
وَكِنْدَةُ وَالْأَزْدُ وَالْأَشْعَرِيُّونَ وَأَنْمَارٌ وَحِمْيَرُ،
عَرَبًا كُلَّهَا، وَأَمَّا الشَّامِيَّةُ فَلَخْمٌ وَجُذَامُ وَعَامِلَةُ
وَغَسَّانُ
“Dia adalah (nama) seorang lakilaki
yang mempunyai sepuluh orang anak. Enam di antara mereka menetap di
Yaman, sedangkan yang empat lagi bermukim di Syam. Yang menetap di Yaman
ialah Madzhij, Kindah, Azdi, Asy’ari, Anmar, dan Himyar. Semua adalah bangsa Arab. Adapun yang menetap di Syam ialah Lakhm, Judzam, ‘Amilah, dan Ghassan.”
Jadi, Saba’ adalah nama orang yang
kemudian diabadikan sebagai nama sebuah kerajaan besar masa itu. Dialah
yang pertama kali membangun kota Ma’rib (tiga marhalah5 dari ibu
kota Shan’a). Sebagian ulama mengatakan bahwa dia seorang muslim. Dia
mempunyai beberapa bait syair yang menerangkan berita gembira tentang
kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Akan menguasai kerajaan besar sepeninggal kami Seorang nabi yang tidak memberi keringanan terhadap yang haram
Penduduk Saba’ bertempat tinggal di Yaman, sebagian mereka mendiami
kota-kota besar dengan bentengbentengnya yang kokoh. Sisa-sisa
peninggalan bangunan tersebut masih dapat kita lihat di zaman kita ini,
meskipun kebanyakannya berupa puing-puing. Bekas-bekas tersebut menjadi
bukti ‘kemajuan’ mereka saat itu dalam bidang arsitektur. Sebagaimana di
atas, Saba’ di zaman itu adalah negeri yang subur dan makmur. Curah
hujan yang tinggi adalah salah satu sebabnya, dan itu semua adalah
anugerah Allah Subhanahu wata’ala bagi mereka. Kebun kurma dan anggur tumbuh dengan subur. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada
tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun
di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (Saba’: 15)
Kebun-kebun itu berada di kanan kiri
wadi yang luas (biasanya dilalui air jika hujan turun). Begitu luasnya,
diceritakan bahwa siapa saja yang berjalan di kebun-kebun itu tidak akan
keluar dari naungan pepohonannya, karena subur dan lebatnya. Bahkan,
para wanita yang ingin memetik hasil kebun mereka, cukup hanya membawa
sebuah keranjang yang dijunjung di atas kepalanya dan berjalan di bawah
rimbunan pohon di kebun mereka. Begitu mereka keluar, keranjang itu
sudah penuh dengan buah-buahan. Sistem pemerintahan mereka juga lebih
maju, angkatan perang negeri itu terkenal kuat. Seperti diceritakan di
dalam al-Qur’an, betapa besar percaya diri para pembesar istana Ratu
Saba’ ketika dimintai pendapat mereka oleh sang Ratu sebagaimana firman
Allah Subhanahu wata’ala
نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ
“Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan).” (an-Naml: 33)
Allah Subhanahu wata’ala benar-benar melimpahkan berbagai kesenangan hidup kepada mereka. Ibnu Katsir rahimahullah
menukil cerita sebagian ahli bahwa di negeri itu dahulunya tidak
terdapat serangga berbisa, nyamuk, dan kutu, karena iklim yang stabil.
Semua itu adalah agar mereka beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala
satu-satu-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Penduduk
Saba’ benar-benar menikmati kesenangan yang berlimpah di negeri mereka.
Kemudian, Allah Subhanahu wata’ala mengutus para rasul yang memerintahkan mereka memakan sebagian rezeki yang Allah Subhanahu wata’ala berikan dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
لُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun.” (Saba’: 15)
Ibnu Ishaq menukilkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala
mengutus tiga belas orang nabi kepada penduduk Saba’, sementara
as-Suddi mengatakan ada sekitar 12.000 nabi yang diutus kepada mereka.
Demikian dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya tentang surat ini.
Bendungan (Sadd) Ma’rib
Mulanya, air sungai mengalir begitu saja
dari tempat yang sangat jauh tanpa mereka manfaatkan. Ada yang
menyebutkan hampir tujuh puluh cabang anak sungai yang mengalir di
sekeliling mereka. Penguasa Himyar yang memerintah saat itu menawarkan
kepada rakyatnya untuk membuat bendungan sebagai tempat yang menampung
dan mengatur sirkulasi air tersebut. Rakyat menerima dan mulai bekerja
sama membuat bendungan tersebut dengan batu dan besi.
Di beberapa tempat mereka membuat
saluran untuk mengatur sirkulasi air ke sawah ladang mereka, sehingga
air itu benar-benar tersebar merata. Tinggi bendungan ini ada yang
mengatakan 16 meter, sedangkan lebarnya 60 meter dan panjangnya 620
meter. Tetapi, melihat keadaan yang senantiasa menyenangkan itu,
tumbuhlah dalam hati mereka keyakinan seakanakan kerajaan mereka tidak
mungkin ada yang dapat menghancurkannya. Sedikit demi sedikit, mereka
mulai menyembah matahari. Mereka merasa, mataharilah yang memberi
kehidupan bagi mereka. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَأَعْرَضُوا
“Tetapi mereka berpaling,” (Saba’: 16)
dari beribadah dan mensyukuri Allah Subhanahu wata’ala
atas nikmat yang telah dilimpahkan- Nya kepada mereka. Setan menggiring
mereka agar beribadah kepada matahari. Kebiasaan baru yang buruk dan
keji ini terus berlanjut turun-temurun, bahkan sampai pada masa
pemerintahan Ratu Saba’, yang merupakan penguasa generasi ke-17 di
kerajaan itu. Mereka merasa aman, yakin bahwa apa yang mereka lakukan
adalah budaya leluhur dan adat-istiadat yang baik. Para rasul yang
diutus kepada mereka justru diingkari dan dimusuhi. Setelah Ratu Saba’
beriman kepada Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, rakyatnya ikut pula beriman.
Sampai beberapa kurun, mereka tetap beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala
satu-satunya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Namun, lama
kelamaan, semakin jauh dari masa nubuwah, kehidupan yang serbanyaman,
membuat mereka sombong.
Kesenangan yang mereka rasakan diakui
sebagai milik mereka dan diperoleh karena usaha keras mereka. Sedikit
demi sedikit, mereka kembali kepada budaya leluhur mereka yang salah
jalan, menyembah matahari. Keadaan itu berlanjut sampai memasuki abad
setelah masehi. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan yang lain menyebutkan, ketika Allah Subhanahu wata’ala
hendak menimpakan hukuman-Nya atas kekafiran mereka, dengan mengirimkan
banjir besar kepada mereka, Dia mengirimkan seekor binatang sebangsa
tikus yang menggerogoti bendungan itu. Menurut Ibnu Munabbih rahimahullah,
penduduk Saba’ telah mendapati dalam kitab mereka bahwa bendungan itu
akan dihancurkan oleh binatang sebangsa tikus, maka mereka menyiapkan
kucing untuk menangkap tikus tersebut.
Tetapi, ketika waktu datangnya bencana
itu sudah tiba, kucing yang mereka persiapkan tidak mampu menangkap
tikus yang lari memasuki celah bendungan lalu menggerogoti bendungan
itu. Tidak lama setelah itu, air pun menjebol dinding bendungan lalu
menelan semua yang dilaluinya. Kebun-kebun yang hijau dengan buah-buahan
yang rimbun hancur luluh. Pohon-pohon di kiri kanan wadi itu menjadi
kering, mati. Kebun-kebun itu akhirnya ditumbuhi pohon atsl yang rasanya pahit dan sedikit pohon sidr (bidara). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَأَعْرَضُوا
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم
بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ
مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ () ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُم بِمَا كَفَرُوا ۖ وَهَلْ
نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ
“Maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan
duakebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl,
dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka, dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang
demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 16—17)
Negeri Saba’ hancur. Bendungan itu pun
akhirnya tinggal puing-puing yang tidak berguna. Sawah, ladang, manusia,
dan ternak binasa. Ayah kehilangan anaknya, atau sebaliknya, dan istri
kehilangan suaminya, demikian sebaliknya. Penduduk Saba’ pun pindah
mencari tempat tinggal yang lain. Mereka menyebar ke negeri-negeri lain.
Kebanyakan mereka pindah ke utara semenanjung Arab dan pantai timurnya
serta wilayah Syam dan Irak. Termasuk yang eksodus ialah Aus dan Khazraj
yang menetap di Yatsrib (sekarang Madinah), Ghassan yang mendirikan
kerajaan di Syam, juga Lakhm yang mendirikan kerajaan di Irak, dan bani
‘Abd Qais yang mendirikan daulah ‘Amman.Menurut sebagian ahli sejarah,
penyebaran itu terjadi 400 tahun sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus. Kini, Yaman termasuk negara paling miskin di Semenanjung Arab. Wallahu a’lam.
Beberapa Faedah Kisah
Dari kisah yang ringkas ini, ada beberapa faedah yang dapat dipetik, antara lain:
1. Kesenangan yang diberikan Allah Subhanahu wata’ala
kepada penduduk Saba’ tidak hanya bersifat jasmani berupa kesuburan
tanah atau hasil panen yang berlimpah dan berkualitas, tetapi juga janji
ampunan dan maaf atas kekurangan dan kesalahan. Tetapi Saba’ berpaling
dari syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala, tidak pula mengerjakan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala.
2. Kemaksiatan menjadi sebab turunnya
azab dan hilangnya kenikmatan. Kehancuran umat-umat sebelum kita adalah
karena mereka mengingkari nikmat yang dilimpahkan kepada mereka, kufur
kepada Allah Subhanahu wata’ala dan jauh dari agama.
3. Semua kesenangan yang dirasakan oleh manusia adalah pemberian Allah Subhanahu wata’ala.
Manusia tidak memiliki apa-apa ketika keluar dari rahim ibunya. Mata,
telinga, dan akalnya belum berfungsi. Beranjak dewasa, Allah Subhanahu wata’ala
memberikan fungsi bagi alat-alat tersebut sehingga seorang manusia
dapat mengupayakan manfaat untuk dirinya, atau menolak mudarat dari
dirinya.
4. Tidak ada yang melepaskan seseorang atau masyarakat dari kehancuran dan murka Allah Subhanahu wata’ala selain kembali bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan mmemperbaiki dirinya di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Al-Qahir
Di antara al-Asma’ul Husna adalah al-Qahir ( الْقَاهِرُ ) dan al-Qahhar ( الْقَهّ) ).Nama Allah Subhanahu wata’ala al-Qahir tersebut dalam firman-Nya,
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 18)
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ ۖ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً حَتَّىٰ
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا
يُفَرِّطُونَ
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas semua hamba- Nya, dan diutus-Nya kepadamu
malaikatmalaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikatmalaikat Kami, dan
malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (al-An’am: 61)
Adapun al-Qahhar disebutkan pada enam tempat di dalam al-Qur’anul Karim, di antaranya,
قُلْ
مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ ۚ قُلْ
أَفَاتَّخَذْتُم مِّن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ
نَفْعًا وَلَا ضَرًّا ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ أَمْ
هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ ۗ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ
شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ ۚ قُلِ
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Katakanlah, “Siapakah Rabb langit
dan bumi?” Jawabnya, “Allah.” Katakanlah, “Maka patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudaratan atas diri mereka sendiri?”
Katakanlah, “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa
sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga
kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah, “Allah
adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.” (ar-Ra’d: 16)
Jadi, Allah Subhanahu wata’ala memiliki sifat al- Qahr yang berarti menundukkan, mengalahkan, dan punya makna mengazab dari atas. Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, “Hanyalah Allah Subhanahu wata’ala mengatakan dalam ayat ( فَوْقَ عِبَادِهِ ) ‘di atas hamba-hamba- Nya’ karena Allah Subhanahu wata’ala menyifati diri-Nya bahwa Ia menundukkan mereka. Di antara sifat sesuatu yang menundukkan yang lain adalah dia berada di atasnya. Karena itu, makna firman-Nya adalah ‘Dan Allah-lah yang mengalahkan hamba-hamba-Nya dan menundukkan mereka’.”
Adapun al – Qahhar adalah bentuk mubalaghah dari kata al-Qahir, bentuk kata yang memberi arti yang lebih dalam pada sifat tersebut. As-Sa’di t menjelaskan, “Al-mQahhar, Yang Maha Menundukkan seluruh alam semesta baik yang atas maupun yang bawah, yang menundukkan segala sesuatu, yang tunduk kepada- Nya seluruh makhluk. Hal itu karena keperkasaan-Nya dan kesempurnaan kemampuan-Nya. Tidaklah sesuatu terjadi, dan tidaklah msesuatu tergerak selain dengan seizin- Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan yang tidak Dia kehendaki maka tidak terjadi. Semua makhluk membutuhkan-Nya. Semuanya lemah, tidak memiliki kekuasaan untuk memberi dirinya manfaat ataupun mudharat, kebaikan ataupun kejelekan.
Sifat qahr pada-Nya menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala memiliki sifat hidup, perkasa, dan mampu. Tidak sempurna penundukan-Nya terhadap semua makhluk, kecuali dengan kesempurnaan sifat hidup-Nya, keperkasaan-Nya, dan kemampuan-Nya.” Nama Allah Subhanahu wata’ala al-Qahhar yang terdapat dalam al-Qur’an selalu beriringan dengan nama Allah al-Wahid, Yang Maha Esa. As-Sa’di rahimahullah menjelaskan mhikmahnya, “Sesungguhnya tidak terdapat keesaan bersama dengan sifat menundukkan kecuali hanya milik Allah Subhanahu wata’ala satu-satu-Nya. Sebab, setiap makhluk pasti di atasnya ada makhluk lain yang menundukkannya. Di atas makhluk yang menundukkan itu ada makhluk lain lagi yang menundukkannya dan lebih tinggi darinya.
Penundukan itu berakhir pada Yang Maha Esa lagi Maha Menundukkan. Maha Menundukkan dan Maha Esa adalah dua sifat yang saling terkait dan mesti ada pada Allah Subhanahu wata’ala satu-satu-Nya. Jelaslah dengan dalil aqli bahwa semua yang disembah selain Allah Subhanahu wata’ala tidak punya kemampuan untuk menciptakan makhluk sedikit pun. Karena itu, tidak benar dia diibadahi. (Tafsir Surat ar-Ra’d: 16)
Ibnul Qayyim t juga mengatakan, “Al-Qahhar tidak mungkin melainkan hanya satu. Sebab, apabila Dia memiliki tandingan yang sepadan lantas tidak mampu menundukkannya, dia tidak disebut Qahhar (yang menundukkan) secara mutlak. Apabila Dia bisa menundukkannya, tidak ada yang sepadan dengan-Nya, berarti al-Qahhar tidak lain kecuali hanya satu.” (ash-Shawa’iq al-Mursalah, 3/1032 dinukil dari Fiqh al-Asma’ul Husna)
Buah Mengimani Nama al-Qahir dan al-Qahhar
Di antara buahnya adalah ketundukan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Kita harus menyadari kelemahan kita di hadapan- Nya. Hilangkan
kesombongan, sifat congkak, dan takabbur, yang akan membuahkan
penentangan terhadap syariat Allah Subhanahu wata’ala dan
menolak aturan agama-Nya. Sadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan
kita, lalu tundukkan diri kita di hadapan-Nya dengan mematuhi segala
aturan-Nya. Haturkan penghambaan diri kita kepada-Nya penuh ketundukan
dengan menjalankan syariat-Nya. Sifat ini juga menunjukkan bahwa segala
sembahan selain Allah Subhanahu wata’ala tidak berhak
diibadahi. Sebab, semuanya tunduk di hadapan Allah Yang Mahaperkasa,
Yang Mahamulia, dan Yang Maha Menundukkan. Mahatinggi Allah, al- Qahhar.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Saat Anda Dalam Kebatilan : 10 Bahan Renungan
Renungan Kelima
Renungkan, anggaplah bahwa Anda tumbuh dalam kebatilan. Itu tidak lepas dari (dua keadaan): didahului oleh sikap menyepelekan dan tidak. Pada kondisi yang pertama, apabila dia terus melakukan kekurangan tersebut dan tidak meninggalkannya, itu berarti kehancurannya. Jika ia kemudian belajar dan kebenaran menjadi jelas baginya, lalu kembali kepada kebenaran, berarti ia memperoleh kesempurnaan. Hilanglah darinya kekurangan yang ada sebelumnya. Sebab, tobat menghilangkan kekurangan yang sebelumnya. Orang yang bertobat dari dosa seperti halnya orang yang tidak pernah berdosa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Renungkan, anggaplah bahwa Anda tumbuh dalam kebatilan. Itu tidak lepas dari (dua keadaan): didahului oleh sikap menyepelekan dan tidak. Pada kondisi yang pertama, apabila dia terus melakukan kekurangan tersebut dan tidak meninggalkannya, itu berarti kehancurannya. Jika ia kemudian belajar dan kebenaran menjadi jelas baginya, lalu kembali kepada kebenaran, berarti ia memperoleh kesempurnaan. Hilanglah darinya kekurangan yang ada sebelumnya. Sebab, tobat menghilangkan kekurangan yang sebelumnya. Orang yang bertobat dari dosa seperti halnya orang yang tidak pernah berdosa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Semua anak Adam sering salah dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang senantiasa bertobat.” (HR .
at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, dan Ahmad)
Kondisi kedua, seseorang tumbuh dalam kebatilan tanpa didahului oleh
sikap menyepelekan. Pada kondisi ini, ia tidak tercela sama sekali
dengan sebab kekurangan yang lalu. Penilaian itu berlaku terhadap
kondisinya setelah dia diingatkan. Kalau setelah diingatkan, ia berpikir
dan sadar, lalu mengetahui yang benar dan mengikutinya, ia beruntung.
Demikian pula jika dia mengalami ketidakjelasan, lalu bersikap hati-hati
(ia juga termasuk yang beruntung). Namun, apabila saat diingatkan dia
berpaling dan menjauh, itulah kebinasaannya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Posisi Kedua Tangan Saat Tasyahud
Di saat duduk dalam tasyahud ini,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan
kanannya di atas paha kanan dan telapak tangan kiri di atas paha kiri.
Ini sebagaimana disbutkan oleh hadits Abdullah ibnu az-Zubair
radhiyallahu ‘anhuma,
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanan dan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR . Muslim no. 1308)
Demikian pula disebutkan oleh hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (HR . Muslim no. 1311) Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
meletakkan lengan bawahnya di atas pahanya dan tidak menjauhkannya,
hingga ujung siku beliau berada di akhir pahanya. Adapun lengan kiri
dalam keadaan jari-jemarinya dibentangkan di atas paha kiri.” (Zadul
Ma’ad, 1/256) Atau telapak tangan tersebut diletakkan di atas lutut,
sebagaimana dalam riwayat yang lain,
وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى
“Beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kiri dan tangan kanannya di atas lutut kanan.” (HR . Muslim no. 1310)
Ujung siku kanan beliau letakkan di atas
paha kanan, sementara jari telunjuk kanan beliau berisyarat dengan
menunjuk. Adapun jari kelingking kanan dan jari manis dilipat. Ibu jari
dan jari tengah beliau membuat lingkaran, sebagaimana dalam hadits Wail
bin Hujr radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan sifat duduk tasyahud ini,
di antaranya,
وَحَدَّ مِرْفَقَهُ الْأَيْمَنَ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَقَبَضَ ثِنْتَيْنِ وَحَلَقَ، وَرَأَيْتُهُ يَقُوْلُ هَكَذَا
“Beliau meletakkan ujung siku beliau
yang kanan di atas paha kanan. Dua jari beliau lipat/genggam
(kelingking dan jari manis) dan beliau membentuk lingkaran (dengan dua
jari beliau). Aku melihat beliau melakukan seperti ini.” Bisyr ibnul
Mufadhdhal (seorang rawi yang meriwayatkan hadits ini mencontohkan)
mengisyaratkan jari telunjuk (meluruskannya seperti menunjuk), sedangkan
jari tengah dan ibu jari membentuk lingkaran. (HR . Abu Daud no. 726,
957, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Berisyarat dengan Telunjuk Saat Tasyahud
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
memberitakan bahwa ketika duduk untuk tasyahud, Rasulullah n meletakkan
telapak tangan kirinya terbentang di atas lutut kirinya, sedangkan
telapak tangan kanan yang berada di atas lutut kanan beliau genggam
seluruh jari-jemarinya dan memberi isyarat ke kiblat dengan jari
telunjuknya dan pandangan beliau diarahkan ke telunjuk tersebut. (HR .
Malik 1/111—112, Muslim no. 1311)
Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad t (2/119)
dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ
“Jari telunjuk itu lebih keras bagi setan daripada besi.”
Al-Imam al-Albani rahimahullah
menerangkan tentang hadits ini, “Sanadnya hasan atau mendekati hasan,
karena rijalnya semua tsiqah, perawi kutubus sittah, selain Katsir ibnu
Zaid, dia shaduq yukhthi’, seperti dalam at-Taqrib.” (al-Ashl, 3/839)
Al-Imam at-Tirmidzi t berkata, “Berisyarat dengan jari telunjuk dalam
tasyahud ini merupakan perkara yang diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi
dari kalangan sahabat Nabi n dan tabi’in. Ini pula pendapat yang
dipegangi oleh teman-teman kami (ahlul hadits).” (Sunan at-Tirmidzi,
kitab ash-Shalah, bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit Tasyahud”)
Al-Imam Muhammad ibnul
Hasan rahimahullah berkata dalam Muwaththa’nya, “Kami berqudwah dengan
perbuatan Rasulullah n dan ini adalah pendapat Abu Hanifah1.”
(sebagaimana dalam al-Ashl, 3/841) Al-Imam ‘Ali al-Qari al-Hanafi t
mengatakan, “Demikian pendapat Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad, dan tidak
diketahui ada perselisihan dari ulama salaf dalam masalah ini. Yang ada
hanyalah penyelisihan sebagian fuqaha khalaf dari kalangan mazhab kami.”
(sebagaimana dalam Tuhfah al-Ahwadzi, bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit
Tasyahud”)
Setelah membawakan sejumlah hadits
tentang isyarat dengan jari telunjuk, al-Imam Ali al-Qari al-Hanafi
rahimahullah dalam risalah Tazyin al-Ibarah li Tahsin al-Isyarah
menyatakan, “Ini adalah hadits-hadits yang banyak, dengan jalur-jalur
yang banyak, yang masyhur, dan tidak diragukan karenanya, yang
menunjukkan sahihnya asal isyarat, karena sebagian sanad hadits-hadits
ini ada dalam Shahih Muslim. Amalan yang satu ini bisa dikatakan
mencapai mutawatir secara makna.
Karena itu, tidak boleh bagi orang yang
beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya enggan
mengamalkannya. Adapun ucapan mereka yang menolak berisyarat dengan
telunjuk beralasan bahwa mengangkat telunjuk adalah perbuatan yang tidak
dibutuhkan sehingga meninggalkannya lebih utama karena shalat dibangun
di atas ketenangan, alasan ini tertolak. Sebab, andai meninggalkannya
lebih utama, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan
melakukannya, karena beliau memiliki sifat kewibawaan dan ketenangan
yang paling tinggi, tidak ada yang menyamai.” (Sebagaimana dinukil dalam
al-Ashl, 3/842)
Tata Cara Isyarah dalam Tasyahud
Tata cara isyarah dalam tasyahud ada dua, sebagaimana yang datang dalam riwayat yang kuat.
1. Jari kelingking dan jari manis
dilipat ke bagian dalam telapak tangan, demikian pula jari tengah dan
ibu jari. Hanya saja, ibu jari diletakkan di atas jari tengah, sedangkan
jari telunjuk diluruskan (menunjuk), sebagaimana riwayat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu yang telah lalu.
2. Terkadang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam membuat lingkaran dengan jari tengah dan ibu jari,
sebagaimana riwayat Wail ibnu Hujr z yang juga telah disebutkan di atas.
Kedua cara di atas adaakeragaman beribadah dalam hal tata cara isyarah.
Para ulama menyatakannya dengan istilah tanawwu’at fil ibadah, sehingga
bisa diamalkan salah satu di antara keduanya. Terkadang mengamalkan
yang ini, di waktu lain yang itu. Al-Imam Ali al-Qari t berkata, “Hal
ini memberikan faedah bahwa kita diberi pilihan dua cara berisyarat,
yang kedua-duanya sama-sama datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ini adalah pendapat dan pengumpulan yang bagus. Karena itu,
orang yang berjalan di atas sunnah sepantasnya terkadang melakukan yang
satu dan di lain waktu yang lainnya.” (al-Ashl, 3/851—852)
Kapan Mulai Isyarah?
Penulis Tuhfah al-Ahwadzi, al-
Mubarakfuri berkata, “Secara zahir (yang tampak), hadits-hadits isyarah
semuanya menunjukkan bahwa isyarah dengan jari telunjuk dimulai dari
awal duduk tasyahud. Saya tidak melihat satu pun dalil yang sahih yang
menunjukkan apa yang dikatakan oleh para ulama mazhab Syafi’i dan
Hanafi2.”
Duduk yang Dilarang saat Tasyahud
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang seseorang duduk dalam keadaan bersandar di atas tangan kirinya
saat duduk dalam shalat. Beliau katakan, “Itu merupakan shalatnya
Yahudi.” Dalam satu lafadz,
لاَ تَجْلِسْ هَكَذَا: إِنَّمَا هَذِهِ جِلْسَةُ الَّذِيْنَ يُعَذَّبُوْنَ
“Jangan kamu duduk seperti itu,
karena hal itu hanyalah duduknya orangorang yang diazab.” ( HR .
al-Hakim 1/272, dinyatakan sahih dalam al-Irwa no. 380)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
Menghilangkan Jari Yang Berlebih
Telah sampai sebuah surat dari seorang anak muda dari Republik Arab Mesir, Amin Taufik, yang bekerja di Kerajaan Saudi Arabia di kota
Zulfi. Ia mengatakan bahwa dirinya telah dikaruniai seorang
anak—walhamdulillah—tetapi di tangan kanannya ada jari yang lebih.
Apakah dosa apabila dia hilangkan jari ini? Apakah terkandung dosa dalam pandangan Anda menurut syariat ini?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
menjawab sebagai berikut. Tidak ada dosa menghilangkan jari yang lebih
tersebut karena hal itu tergolong menghilangkan aib (cacat), dan yang
tergolong menghilangkan aib itu tidak mengapa. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
membolehkan seseorang yang terpotong hidungnya untuk membuat hidung
palsu dari perak. Namun, ketika ternyata menimbulkan bau, beliau
mengganti dengan bahan dari emas dan Nabi membolehkan hal itu. Di sini
wajib kita ketahui perbedaan antara operasi yang tujuannya menghilangkan
aib dan operasi yang tujuannya adalah menambah keindahan (kecantikan
atau ketampanan).
Kami katakan, operasi yang tujuannya
untuk menghilangkan aib diperbolehkan karena maksudnya adalah
membebaskan dari sesuatu yang membuat jelek, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh riwayat yang lalu. Adapun operasi yang tujuannya
memperindah hukumnya haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang pencabutan bulu/rambut wajah, bahkan melaknat orang yang
melakukannya, melarang membuat tato, dan melarang mengikir gigi demi
memperindah. Nabi n juga melarang menyambung rambut karena dengan itu
akan menambah kecantikan bagi wanita.
Oleh karena itu, semua operasi yang
tujuannya adalah memperindah maka itu haram karena dikiaskan
(dianalogikan) dengan larangan mencabut bulu wajah, membuat tato. Semua
operasi yang tujuannya menghilangkan aib diperbolehkan karena dikiaskan
dengan perbuatan sahabat tersebut yang membuat hidung palsu dari emas
dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujuinya. Atas dasar ini, menghilangkan jari yang lebih, menghilangkan tsalul
(semacam benjolan di kulit) dan sejenisnya yang tergolong aib serta
membuat jelek hukumnya tidak mengapa. Akan tetapi, disyaratkan
berkonsultasi dengan dokter spesialis sehingga seseorang tidak
menjerumuskan dirinya ke dalam bahaya. (Fatawa Nurun ‘Alad-Darb)
Allah Subhanahu wata’ala mengaruniakan kepadaku dua anak. Setiap anak memiliki 24 jari, lebih dari umumnya. Apa pendapat Anda kalau saya hilangkan dengan bantuan dokter?
Jawab:
Para ulama (dahulu) menyebutkan dalam
masalah ini bahwa tidak boleh memotong jari yang lebih. Namun, yang
tampak, hal ini tidak diperbolehkan karena berbahaya bagi orang tersebut
apabila jari itu dipotong. Di zaman sekarang ini, bahayanya—walhamdulillah—kecil,
dan jauh dari mudarat. Maka dari itu, menurut kami dalam kondisi
semacam ini tidak mengapa memotong jari yang lebih yang membuat jelek
anggota tub uh. Adapun jika jari yang lebih tadi tidak membuat jelek
anggota tu buh, yang semestinya dibiarkan apa adanya. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
Saya punya sepupu dan menikahi saudara perempuan saya, lalu melahirkan satu anak laki laki dan satu anak perempuan. Anak perempuan tersebut memiliki enam jari, dan jari yang keenam kecil. Apakah boleh dihilangkan dengan cara operasi?
Jawab:
Ya, diperbolehkan menghilangkan jari
dari tangan atau kaki deng an operasi dengan syarat aman dari risiko
pada orang tersebut, dem ikian juga bila ada yang lebih pada selain
jari. Terkadang tambahan itu pada te linga, keluar sedikit darinya.
Terkadang di kepala ada sesuatu yang turun dari kepalanya. Yang penting,
segala yang menjadi aib dan membuat jelek bagian tubuh, tidak mengapa
dihilangkan dengan operasi dan diperbagus tempat tersebut dengan syarat
aman dari mudarat. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
Saya dikaruniai seorang anak perempuan, dan pada telapak tangan kirinya ada yang seperti jari keenam. Sebagian orang menyarankan agar jari yang lebih itu dihilangkan, karena hanya tergantung. Jari tersebut bergerak setiap kali tangannya bergerak. Kami mengharapkan penjelasan tentang hukum Islam terhadap operasi ini. Kami mohon kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Anda mendapatkan taufik.
Jawab:
Tidak mengapa menghilangkan jari yang
lebih dari telapak tangan anak wanita tersebut, apabila tidak mengandung
risiko (bahaya). Allah Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. (Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz; Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi; Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan)
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Posting Komentar