
Hukuman yang Mendidik
Acapkali seorang pendidik -baik orang tua maupun guru- harus menghadapi anak didiknya dengan menjatuhkan hukuman. Tentu saja disertai harapan, tindakannya ini bisa menghentikan kesalahan sang anak. Alangkah baiknya bila setiap pendidik memerhatikan metode pengajaran yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekarang, kembali kita telaah nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah.

Ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik,
yang bisa diharapkan keberhasilannya. Seyogianya setiap pendidik
menerapkan hukuman seperti ini terhadap anak yang kurang beradab dalam
mengikuti pelajaran atau memandang remeh gurunya. Ini merupakan metode
pendidikan yang aman dari dampak negatif dan bisa diharap
keberhasilannya—dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla tentunya.
Nasihat dan Arahan
Ini adalah metode yang amat mendasar
dalam pendidikan dan pengajaran. Kalaupun tanpa disertai metode lain,
metode ini pun sudah cukup. Metode inilah yang diterapkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak-anak dan orang dewasa.
- Nasihat kepada anak-anak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatseorang anak yang tangannya berkeliling mengambil makanan. Beliau pun mengajarinya cara makan yang benar,
“Nak, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jangan ada seorang pun yang menyatakan
bahwa metode seperti ini hanya sedikit memberikan pengaruh terhadap
anak-anak. Saya sendiri (asy-Syaikh bin Jamil Zainu –pen.) pernah
mengalaminya berkali-kali. Ternyata metode seperti ini memberikan
pengaruh yang paling baik.
Pernah ada seorang anak yang mencela
agama temannya. Saya pun mendekatinya dan bertanya kepadanya, “Siapa
namamu, nak? Kelas berapa dan dari sekolah mana?”
Setelah dia menjawab, saya pun bertanya, “Siapa yang menciptakanmu?”
“Allah,” jawabnya.
“Siapa yang memberimu pendengaran dan
penglihatan? Siapa pula yang memberimu makanan berbagai buah-buahan dan
sayur-sayuran?” tanya saya lagi.
“Allah,” jawabnya.
Saya tanya lagi, “Lalu apa kewajibanmu terhadap yang memberimu semua nikmat ini tadi?”
“Bersyukur kepada-Nya,” jawab anak itu lagi.
“Apa yang tadi baru saja kaukatakan kepada temanmu?” tanya saya.
Dia pun merasa malu. “Tadi temanku itu yang nakal kepadaku!”
Saya jelaskan kepadanya, “Memang, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan menerima perbuatan zalim, bahkan melarangnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
‘… dan janganlah kalian berbuat melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas.’ (al-Baqarah: 190).”
“Tetapi, sebenarnya siapa yang membisiki temanmu itu hingga memukulmu?”
Dia menjawab, “Setan.”
“Kalau begitu, seharusnya kau mencela setannya!” kata saya.
Dia pun mengatakan kepada temannya, “Semoga setanmu itu
dilaknat!”
Kemudian saya menasihatinya, “Sekarang
kau harus bertobat kepada Allah dan memohon ampun pada-Nya, karena
mencela agama itu perbuatan kufur.”
Dia segera mengatakan, “Saya memohon
ampun kepada Allah Yang Mahaagung, dan aku bersaksi bahwa tidak ada ilah
yang layak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah!”
Saya pun mengucapkan terima kasih
kepadanya dan memintanya tidak mengulangi perbuatannya itu serta
menasihati teman-temannya apabila ada di antara mereka yang mencela
agama.
Suatu kali, saya sedang berjalan bersama
seorang guru. Tiba-tiba kami melihat seorang anak kecil buang air kecil
di tengah jalan. Guru itu pun berteriak, “Celaka kamu! Celaka kamu!
Jangan kaulakukan!”
Anak kecil itu ketakutan. Dia segera memutus kencingnya dan lari.
Melihat itu, kukatakan kepada guru tadi, “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan kita untuk memberikan nasihat kepada anak itu.”
“Apa boleh kubiarkan anak itu kencing di tengah jalan di depan orang banyak?” katanya.
“Apakah engkau mau melakukan sesuatu
yang tidak seperti apa yang kaulakukan tadi?” kata saya, “Biarkan anak
itu sampai selesai buang air, lalu panggil dia kemari. Aku akan
memperkenalkan diri, lalu akan kukatakan padanya, ‘Nak, jalanan ini
tempat orang lalu lalang. Jadi, tidak boleh buang air kecil di sini. Di
dekat sini ada tempat buang air. Jangan pernah kau ulangi lagi perbuatan
seperti ini, supaya kau jadi anak yang baik. Semoga engkau mendapatkan
petunjuk dan taufik’.”
Mendengar penjelasan itu, guru tadi menyatakan, “Ini metode yang bijaksana dan amat berfaedah.”
Kujelaskan padanya, “Ini metode pendidik seluruh manusia, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu saya sebutkan kepadanya kisah seorang Arab gunung yang amat masyhur itu.
- Nasihat kepada yang telah baligh
Contoh nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang teramat besar pengaruhnya bagi orang yang menerimanya adalah kisah
A’rabi (Arab gunung) yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Suatu ketika, kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tiba-tiba datang seorang A’rabi, lalu buang air kecil sambil berdiri di
masjid. Para sahabat pun berteriak menegur, “Jangan! Jangan!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian putuskan dia! Biarkan dia!”
Para sahabat membiarkan orang itu hingga selesai buang air kecil. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggil A’rabi itu dan menasihatinya, “Sesungguhnya masjid-masjid itu
tidak sepantasnya untuk buang air kecil ataupun buang air besar. Masjid
itu hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-
Qur’an.”
Beliau mengatakan kepada para
sahabatnya, “Sesungguhnya aku diutus sebagai pemberi kemudahan dan tidak
diutus untuk memberi kesulitan. Guyurlah bekas air kencing itu dengan
seember air!”
Mendengar ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, A’rabi itu berdoa, “Ya Allah, kasihilah diriku dan Muhammad, dan jangan Engkau kasihi seorang pun selain kami berdua!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Engkau telah menyempitkan yang luas.” (Muttafaqun ‘alaih)
Menunjukkan Wajah Masam
Kadangkala, bisa pula seorang pendidik
menunjukkan muka masam terhadap muridnya saat mereka gaduh, untuk
menjaga jalannya pelajaran dan menjaga wibawanya. Ini lebih baik
daripada menggampangkan perbuatan mereka yang seperti itu, namun
akhirnya langsung menghukum mereka.
Memberi Peringatan Keras
Banyak guru yang mengambil jalan dengan
memberi peringatan keras terhadap muridnya yang banyak tanya untuk
mengulur waktu pelajaran, bermaksud meremehkan gurunya, atau melakukan
kesalahan lainnya. Ketika guru telah memberi peringatan keras dan
bersuara lantang, murid itu pun akan terdiam dan duduk dengan santun.
Metode ini dilakukan oleh Rasulullah ketika melihat seseorang menggiring badanah1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur, “Tunggangi unta itu!” [1]
“Sesungguhnya unta ini badanah,” jawab orang itu.
Rasulullah menegur lagi, “Tunggangi!”
Akhirnya orang itu menunggangi badanahnya, berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara sandalnya dia letakkan di leher untanya. (HR. al-Bukhari)
Menyuruh Murid Menghentikan Perbuatannya
Ketika melihat ada murid-muridnya yang
bercakap-cakap saat pelajaran berlangsung, guru bisa menyuruh mereka
untuk diam dengan suara yang lantang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh seseorang yang bersendawa di hadapan beliau,
“Tahanlah sendawamu di hadapan kami!” (Hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ no. 4367)
Berpaling
Bisa pula seorang pendidik berpaling
dari anaknya atau muridnya jika melihatnya berkata bohong, memaksa
meminta sesuatu yang tidak semestinya diberikan, atau kesalahankesalahan
yang lain. Si anak akan merasakan sikap tidak peduli dari sang guru
atau sang ayah, sehingga akan tersadar dari kesalahannya.
Hajr (Mendiamkan)
Seorang pendidik bisa mendiamkan anak
atau muridnya jika mereka meninggalkan shalat, menonton film, atau
melakukan perbuatan yang menyelisihi adab belajar. Hajr ini paling lama tiga hari, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (Sahih, lihat Shahihul Jami’ no. 753)
Tindakan hajr ini mengandung pendidikan adab, baik bagi anak maupun murid. Seorang penyair pernah mengatakan,
Wahai kalbu, bersabarlah dengan hajr dari orang yang kau cinta
jangan kau putus asa karenanya, karena pendidikan kesantunan ada padanya
Teguran Keras
Jika nasihat dan arahan tidak memberikan
hasil, pendidik boleh menegur anak atau muridnya dengan keras ketika
melakukan suatu kesalahan besar.
Duduk Qurfusha’
Apabila seorang guru kewalahan mengatasi
murid yang malas, tebal muka, atau yang semisalnya, sang guru bisa
memerintahnya untuk bangkit dari tempat duduknya dan menyuruhnya duduk qurfusha’ di
depan kelas, di atas kedua telapak kakinya sambil mengangkat kedua
tangannya ke atas. Ini bisa membuat lelah si murid dan menjadi hukuman
baginya. Di samping itu, lebih utama daripada menghukumnya dengan tangan
atau tongkat.
Hukuman dari Ayah
Apabila seorang murid terus menerus
mengulangi kesalahannya, hendaknya guru menulis surat kepada wali murid
tersebut dan menyerahkan hukumannya kepada sang wali terhadap si murid
setelah menasihatinya. Dengan demikian, lengkaplah kerjasama antara
sekolah dan rumah tangga dalam mendidik anak.
Menggantungkan Tongkat
Disenangi apabila seorang pendidik—baik
guru maupun ayah— menggantungkan cambuk yang bisa digunakan untuk
memukul dinding agar anak-anak bisa menyaksikannya dan merasa takut
terhadap hukuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang
bisa dilihat oleh anggota keluarga kalian, karena hal itu merupakan
pendidikan adab bagi mereka.” (Dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 4022)
Ucapan beliau, “bisa dilihat oleh
anggota keluarga”, maksudnya agar menjadi rintangan bagi mereka
melakukan berbagai kejelekan, karena takut tertimpa hukuman sebagai
akibatnya.
Ucapan beliau, “karena hal itu merupakan
pendidikan adab bagi mereka”, maksudnya bisa membuat mereka bersikap
santun, berakhlak dengan akhlak yang mulia dan menyandang berbagai
keutamaan yang sempurna. (Faidhul Qadir, al-Munawi, 4/325)
Pukulan Ringan
Seorang pendidik boleh memukul dengan
ringan, jika segala cara di atas tidak memberi manfaat. Lebih-lebih lagi
dalam hal penunaian shalat bagi seorang anak yang telah berusia sepuluh
tahun, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ajari anak-anak kalian shalat
ketika telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena
meninggalkan shalat ketika telah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah
tempat tidur mereka.” (Sahih, HR. al-Bazzar dan yang lainnya)
Tentu amat indah pengajaran apabila
disertai metode yang sesuai syariat. Karena itu, bekal berharga seperti
ini sudah semestinya dimiliki oleh seorang pendidik sejati.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Nida’ ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat karya asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
[1] Badanah adalah unta yang hendak dijadikan sebagai hadyu dalam ibadah haji.

Menikah, Memperbanyak Umat Rasul
Pernikahan dalam Islam sebagai satu sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia memiliki banyak tujuan yang bermanfaat bagi insan. Di antara
tujuannya yang paling agung adalah mendapatkan keturunan.
Mengapa dikatakan paling agung? Karena
anak-anak yang terlahir dari pernikahan yang syar’i akan melanggengkan
keberadaan manusia di muka bumi, selama umur bumi masih ada. Selain itu,
anak-anak tersebut akan memperbanyak umat manusia, terkhusus umat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dorongan untuk hal tersebut dalam titahnya yang agung,
“Nikahilah perempuan yang wadud, yang walud karena aku membanggakan banyaknya kalian[1].” (HR. an-Nasa’i, al- Imam al-Albani rahimahullah menyatakan derajat hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1784 dan Adab az-Zifaf hlm. 61)
Wadud adalah sangat mencintai suami[2]. Adapun walud adalah banyak melahirkan atau subur rahimnya[3]. Lalu apa hubungannya sifat wadud dengan walud? Karena rasa cinta adalah perantara menuju hubungan yang menjadi sebab terciptanya keturunan. (Sunan an-Nasa’i dengan Hasyiyah al- Imam as-Sindi, 6/66)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian karena kata Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu, “Datang seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu dia berkata, ‘Aku menyenangi seorang wanita yang punya nasab yang
mulia dan punya kedudukan (di mata manusia), hanya saja dia mandul[4]. Apakah boleh saya menikahinya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang si lelaki untuk menikahi wanita tersebut. Sampai-sampai dia
datang meminta izin untuk ketiga kalinya, namun tetap saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dan justru mengucapkan titah di atas.”
Di kali lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia mendorong para sahabatnya untuk “mencampuri” istri-istri
mereka sepulang dari safar, dengan tujuan salah satunya adalah akan
didapatkan anak dari hubungan tersebut. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Janganlah kalian terburu-buru
menemui keluarga kalian sampai kalian tiba di waktu malam, yakni isya
(awal malam), agar para istri (yang mendengar kepulangan kalian) sempat
merapikan/menyisiri rambutnya yang acak-acakan dan yang belum mencukur
rambut kemaluannya sempat pula melakukannya[5]. Kemudian (setelah bertemu istri kalian) al-kais, al-kais.” (HR. al-Bukhari no. 5245 dan Muslim no. 3625)
Al-Kais yang dimaksud di sini adalah mencampuri istri, demikian kata al- Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dan selainnya. (Fathul Bari, 9/424)
Maknanya adalah dorongan untuk mendapatkan keturunan (dari hubungan tersebut). (al-Minhaj, 10/296)
Apabila Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghendaki umat beliau menjadi umat yang terbanyak dibanding umat
nabi-nabi selain beliau, tentu keinginan yang menyelisihinya berupa
‘pembatasan keturunan’ tidaklah pantas. Menetapkan jumlah anak harus
sekian dan sekian adalah aturan yang menyimpang dari syariat.
Kalau alasan ekonomi yang dikemukakan,
‘zaman semakin sulit, susah memberi makan’, ‘takut tidak bisa memberi
makan’, ‘sekarang lagi krisis moneter’, atau ‘sedang masa krisis
ekonomi’, telah dijawab oleh firman Allah ‘azza wa jalla,
“Janganlah kalian membunuh anakanak
kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberikan rezeki kepada
kalian dan kepada mereka.” (al-An’am: 151)
Allah ‘azza wa jalla yang memiliki nama ar-Razzaq (Dzat
Yang Maha Memberikan rezeki)-lah yang menanggung rezeki
hamba-hamba-Nya, baik di langit maupun di bumi, dan apa yang ada di
antara keduanya.
“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya.” (Hud: 6)
“Dan berapa banyak binatang yang
tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi
rezeki kepadanya dan juga kepada kalian.” (al-Ankabut: 60)
Bukankah sejak janin berusia empat bulan
dalam kandungan ibunya telah ditetapkan rezekinya sebagaimana
disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu?
Karena itu, harus diyakini tanpa
keraguan bahwa setiap anak lahir membawa rezekinya masing-masing. Orang
tuanya tidak perlu mengkhawatirkan rezeki mereka. Berbeda halnya kalau
pengaturan jarak untuk ‘punya anak lagi’ atau pembatasan ‘tidak bisa
punya anak lagi’ karena alasan yang dibolehkan oleh syariat, sebagaimana
akan dijelaskan.
Hukum Pemutusan Keturunan
Memutus keturunan sama sekali hukumnya haram sebagaimana pernyataan para ulama karena menentang apa yang diinginkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari umat beliau. Selain itu, perbuatan tersebut termasuk sebab
kelemahan dan kehinaan kaum muslimin. Apabila kaum muslimin jumlahnya
banyak, itu adalah kemuliaan dan ketinggian bagi mereka.
Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan anugerah-Nya kepada bani Israil ketika Dia ‘azza wa jalla memperbanyak jumlah mereka,
“Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar.” (al-Isra: 6)
Nabi Syu’aib q mengingatkan kaumnya tentang nikmat Allah ‘azza wa jalla atas mereka dengan banyaknya jumlah mereka,
“Ingatlah waktu dahulu kalian berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kalian.” (al-A’raf: 86)
Kenyataan membuktikan hal ini. Umat yang
banyak tidak akan tergantung dan membutuhkan yang selain mereka. Karena
itu, mereka berwibawa di hadapan musuh-musuhnya.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh
melakukan sesuatu yang mengarah pada memutus keturunan sama sekali,
kecuali karena alasan darurat, mau tidak mau harus
dilakukan. Misalnya, jika seorang wanita
berisiko kematian apabila sampai hamil, menurut keterangan dokter
muslim yang tepercaya. Keadaan seperti ini adalah darurat, tidak apa-apa
dilakukan terhadap si ibu. Inilah uzur yang membolehkan pemutusan
keturunan (tidak punya anak lagi).
Demikian pula apabila rahim ibu
mengalami gangguan/penyakit yang apabila hamil dikhawatirkan akan
memudaratkan dirinya dan rahimnya terpaksa diangkat, yang seperti ini
tidak apa-apa. (Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/836)
Hukum Pembatasan Keturunan
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya tentang pembatasan jumlah anak. Beliau menegaskan, “Membatasi keturunan karena khawatir rezeki yang sempit tidaklah dibolehkan, karena rezeki itu di tangan Allah ‘azza wa jalla,
Dialah yang menentukan ajal dan rezeki hambahamba- Nya. Tidak ada satu
anak pun yang lahir melainkan telah ditentukan rezekinya sebagaimana
telah ditentukan ajalnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Janganlah kalian membunuh
anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberikan rezeki
kepada kalian dan kepada mereka.” (al-An’am: 151)
Perbuatan membatasi keturunan serupa
dengan perbuatan orang-orang jahiliah yang membunuh anak-anak mereka
karena takut fakir. Hanya saja, perbuatan orang-orang belakangan dalam
bentuk mencegah punya anak karena takut miskin, sedangkan orangorang
jahiliah benar-benar membunuh anak mereka yang sudah lahir karena takut
miskin.
Bagaimana pun keadaannya, alasannya sama dan tentu hal semisal ini tidak dibolehkan. Yakinlah rezeki itu di tangan Allah ‘azza wa jalla. Perbuatan membatasi keturunan karena takut miskin adalah sikap berburuk sangka kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang wajib bagi kita, orang tua, adalah bertawakal kepada Allah ‘azza wa jalla. Percayalah bahwa Allah ‘azza wa jalla
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batasan. Karena
itu, berbaik sangkalah kepada Rabbmu. Jangan sampai berbagai bisikan dan
kekhawatiran yang tidak sepantasnya mengusikmu, sedangkan engkau tidak
tahu mana yang baik dan bermaslahat bagimu. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Bisa jadi kalian membenci sesuatu,
padahal sesuatu itu amat baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian menyukai
sesuatu padahal dia amat buruk bagi kalian. Allah-lah Yang Maha
Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Di kesempatan lain, Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menginginkan anak dan keturunan adalah hal yang disyariatkan. Hal itu akan memperbanyak jumlah umat Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memberikan anjuran agar seorang lelaki menikahi perempuan yang subur rahimnya. Kata beliau, ‘Aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain dengan banyaknya kalian pada hari kiamat’.”
Jadi, menginginkan anak adalah hal yang
disyariatkan bagi kaum muslimin dan sepantasnya menjadi perhatian dan
semangat (orang-orang didorong untuk memperbanyak keturunan).
Adapun membatasi keturunan, ini adalah
pemikiran buruk yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam yang ingin
melemahkah kaum muslimin dan meminimalkan jumlah mereka.
Membatasi keturunan tidak dibolehkan
oleh Islam karena bertentangan dengan tujuan syar’i, yaitu memperbanyak
individu umat Islam dan memperbanyak orang-orang yang beramal di tengah
masyarakat.
Membatasi keturunan berarti juga mengurangi kemampuan manusia yang telah Allah ‘azza wa jalla
ciptakan mereka untuk memakmurkan alam ini. Dengan banyaknya keturunan
anak manusia, akan tercapai kemaslahatan bagi individu, masyarakat, dan
umat.
Pemikiran untuk membatasi keturunan yang
disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin berhasil memengaruhi sebagian
orang yang lalai atau lemah iman. Mereka terpengaruh dan mengikutinya
(bahkan turut mempropagandakannya dan menjadi pendukungnya di garis
depan). Padahal yang wajib atas mereka adalah menghapus pemikiran ini
dari benak mereka (dan dari orang lain). Semestinya mereka justru
bersemangat punya keturunan yang banyak. Rezeki anak-anak itu di tangan
Allah ‘azza wa jalla.
Banyaknya keturunan akan mendatangkan kebaikan, karena Allah ‘azza wa jalla
tidaklah menciptakan satu jiwa kecuali telah menciptakan rezekinya.
Selain itu, Dia memudahkan kemaslahatan bagi jiwa tersebut. Adapun
keluhan atau ancaman dengan krisis ekonomi dan (teori bahwa) banyaknya
penduduk akan berdampak kurangnya pangan dan rezeki, adalah wahyu dari
setan dan pengikutnya yang tidak beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan takdir-Nya.
Orang-orang yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla bersandar dan bertawakal kepada-Nya. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla menyatakan,
“Siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar. Dan Dia
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (ath-Thalaq: 2-3)
Kebiasaan orang-orang musyrikin dahulu mereka membunuh anak-anak mereka karena takut miskin maka Allah ‘azza wa jalla melarang dengan firman-Nya,
“Dan janganlah kalian membunuh
anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki
kepada mereka dan juga kepada kalian.” (al-Isra: 31)
Hal ini menunjukkan rezeki itu di tangan Allah ‘azza wa jalla dan setiap jiwa telah Dia ‘azza wa jalla
tentukan rezekinya. Memperbanyak keturunan akan memperbanyak rezeki,
meningkatkan produksi/hasil, dan memperbanyak orang-orang yang bekerja
(untuk memakmurkan alam ini), atau orang-orang yang beramal. (al- Muntaqa, 4/172—173)
Hukum Pengaturan Jarak Kehamilan
Apabila pengaturan ‘punya anak’ atau
menunda kehamilan karena faktor kesehatan istri, seperti tidak bisa
menanggung kehamilan atau tidak boleh melahirkan karena sakit yang
dideritanya, tidak apa-apa dia menggunakan ‘sesuatu’ yang bisa mencegah
kehamilan dalam jangka waktu tertentu (tidak selamanya) hingga hilang
kondisi yang memberatkannya untuk menanggung kehamilan dan persalinan.
Perbuatan seperti ini termasuk penjagaan
dan pengobatan, bukan pembatasan keturunan atau tidak ingin punya
keturunan (lagi) karena takut miskin. (al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 3/157)
Al-Imam al-Albani rahimahullah
berfatwa tentang pengaturan keturunan bahwa hal tersebut termasuk
problem yang menimpa kaum muslimin pada hari ini di negeri-negeri Islam.
Apabila pengaturan tersebut dilakukan karena mengikuti saran dokter
muslim yang pakar dalam bidangnya, yang benar-benar ingin memberikan
nasihat yang baik, untuk menjaga kesehatan istri yang terganggu karena
sering melahirkan, banyak anaknya, hal ini adalah uzur yang membolehkan.
Namun, apabila pendorong untuk melakukan
pengaturan tersebut adalah karena takut miskin, perhitungan materi yang
layaknya dilakukan oleh orang-orang kafir, tentu tidak dibolehkan.
Sampai-sampai salah seorang yang melakukan pengaturan keturunan ini
menyatakan, “Aku dan istriku sudah berdua. Aku cukup punya dua anak.”
Masing-masing melakukan perhitungan
jumlah penghasilannya, berapa anggota keluarga yang bisa dihidupi dengan
penghasilan sejumlah itu? Hal ini tidak dibolehkan oleh Islam karena
faktor melakukan pengaturan keturunan muncul dari perbuatan orang
jahiliah yang telah dinasihatkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,
“Janganlah kalian membunuh anak-anak
kalian karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada
mereka dan kepada kalian.” (al-Isra: 31)
Lebih-lebih lagi kaum muslimin,
seharusnya mengimani bahwa anak itu datang (lahir ke dunia) dalam
keadaan rezekinya bersamanya, karena sebelum si anak lahir ke alam
dunia, saat dia masih berada dalam perut ibunya telah dicatat rezekinya.
Pembatasan anak karena alasan materi tidaklah diperkenankan
selama-lamanya. (al-Hawi min Fatawa asy-Syaikh al-Albani, hlm. 332-333)
Obat Pencegah Kehamilan
Samahatul Walid al-Imam Ibnu Baz rahimahullah menyatakan, seorang wanita tidak boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan. Sebab, Allah ‘azza wa jalla
justru mensyariatkan sebaliknya, yaitu berupaya mendapatkan keturunan
dan memperbanyak umat Islam. Umat sangat membutuhkan jumlah yang banyak
untuk bisa menegakkan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla, berjihad fi sabilillah, dan melindungi eksistensi muslimin, dengan izin dan taufik Allah ‘azza wa jalla.
Demikian pula apabila seseorang memiliki
anak yang banyak, dengan jarak kelahiran yang dekat dan menyusahkan ibu
apabila hamil lagi, tidak apa-apa si ibu memakai obat-obatan pencegah kehamilan dalam masa tertentu,
seperti setahun atau dua tahun selama masa penyusuan. Dengan demikian,
urusannya menjadi ringan dan dia bisa mendidik anak-anaknya dengan
semestinya.
Adapun seorang wanita menggunakan
obat-obatan pencegah kehamilan karena ingin berkonsentrasi pada
profesi/pekerjaannya, mengejar karir, atau yang semisalnya, sebagaimana
yang dilakukan oleh para wanita pada hari ini, tidaklah dibolehkan. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 285-286)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Di hadapan para nabi pada hari kiamat, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat Ibnu Hibban.
[2]
Hal ini tercapai dengan menikahi wanita yang masih gadis/perawan.
Karena sebelumnya si gadis tidak mengenal selain lelaki yang
menikahinya, sehingga cintanya kepada suaminya adalah cinta yang awal;
atau dia baru mengenal cinta dengan pernikahannya tersebut sehingga
benar-benar mencintai suaminya. Berbeda halnya apabila yang dinikahi
adalah janda, bisa jadi cintanya sudah atau masih terpaut pada suami
yang sebelumnya.
[3]
Hal ini bisa diketahui dengan melihat ibu si wanita atau saudara
perempuannya, atau karib kerabatnya yang perempuan, apakah mereka punya
banyak anak atau tidak.
Untuk melihat apakah seorang wanita bersifat wadud—memiliki
rasa cinta yang lebih kepada suami—bisa pula diketahui dengan melihat
karib kerabatnya, ibunya misalnya, bagaimana cinta ibunya kepada
ayahnya.
[4]
Bisa jadi, si lelaki mengetahui wanita tersebut mandul karena tidak
mengalami haid, atau si wanita pernahmenikah dengan lelaki lain dan
tidak punya keturunan. (Hasyiyah as-Sindi)
[5]
Istri sempat berdandan menata dirinya dan menghilangkan apa yang tidak
pantas terlihat oleh suami dalam rangka menyambut kedatangan sang suami,
sehingga suami tidak kecewa ketika melihatnya.
Dikisahkan bahwa mereka hendak datang tiba-tiba di awal siang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencegah mereka dan memerintahkan agar mereka menundanya hingga akhir
siang. Dengan demikian, berita kedatangan mereka telah sampai kepada
istri-istri mereka sehingga para istri telah bersiap untuk menyambut
suaminya. (Tuhfatul Ahwadzi)
Dalam Fathul Bari (9/391)
dijelaskan, perintah untuk masuk menemui keluarga di waktu malam ketika
pulang bepergian yang ada pada hadits ini dan larangan masuk menemui
keluarga di waktu malam pada hadits yang lain, bisa dikompromikan
Perintah dalam hadits ini yang dimaksud adalah masuk pada awal malam,
sedangkan larangan dalam hadits yang lain ialah masuk pada tengah malam.
Bisa juga dikompromikan bahwa perintah
masuk menemui keluarga di malam hari ini bagi orang yang telah mengabari
keluarganya tentang kepulangannya, sedangkan larangan dalam hadits lain
berlaku bagi orang yang belum memberitahu keluarganya tentang
kepulangannya.

Bani Israil Terdampar di Padang Tiih (1)
Kisah ini terjadi setelah Bani Israil
menyeberang lautan dan dihancurkannya patung anak sapi dari emas yang
disembah oleh sebagian besar mereka. Kemudian, Bani Israil dibawa oleh
Nabi Musa ‘alaihissalam menuju Tanah Air mereka yang telah dijanjikan
oleh Allah ‘azza wa jalla untuk mereka, yaitu Palestina.
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata
kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia
mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang
merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya
kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke
tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan
janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu
menjadi orang-orang yang merugi.”
Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya
dalam negeri itu ada orangorang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami
sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya.
Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.”
Berkatalah dua orang di antara
orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat
atas keduanya, “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu.
Apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada
Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.”
Mereka berkata, “Hai Musa, kami
sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada
di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah
kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.”
Berkatalah Musa, “Wahai Rabbku, aku
tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu,
pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.”
Allah berfirman, “(Jika demikian),
sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun.
(Selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang
Tiih) itu. Maka dari itu, janganlah kamu bersedih hati (memikirkan
nasib) orang-orang yang fasik itu.” (al-Maidah: 20—26)
Allah ‘azza wa jalla mengingatkan Bani
Israil akan nikmat-Nya yang sangat besar, Dia menyelamatkan mereka dari
musuh mereka, yaitu Fir’aun, bahkan menyenangkan hati mereka dengan
melihat sendiri kebinasaan Fir’aun dan bala tentaranya dalam satu hari.
Tidak ada satupun musuh mereka itu yang selamat.
Tidak hanya itu, jenazah Fir’aun yang
sudah mati diperlihatkan pula oleh Allah ‘azza wa jalla, hingga saat
ini, sebagai hiburan bagi Bani Israil, sekaligus peringatan bagi para
penguasa di seluruh dunia sesudahnya. Kemudian, Nabi Musa ‘alaihissalam
membawa mereka menuju tanah air mereka, Baitul Maqdis. Tanah suci yang
ditinggalkan oleh bapak moyang mereka, Ya’qub (Israil) ‘alaihissalam.
Belum berapa lama, setelah melewati sebuah negeri, Bani Israil melihat
penduduknya sedang tirakat di sekitar berhala. Menyaksikan hal itu,
terbit keinginan mereka, dan segera mereka utarakan kepada Nabi Musa
‘alaihissalam.
Nabi Musa ‘alaihissalam menegur mereka
dengan keras. Bani Israil tidak lagi meminta hal itu kepada Nabi Musa
‘alaihissalam. Akan tetapi, dalam empat puluh hari, ketika mereka
ditinggal oleh Nabi Musa ‘alaihissalam yang memenuhi panggilan dari
Allah ‘azza wa jalla untuk bertemu dengan-Nya di bukit Thursina, tujuh
puluh ribu orang ikut teperdaya oleh Samiri dan terjerumus dalam
perbuatan syirik akbar tersebut.
Allah ‘azza wa jalla yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang mengilhamkan tobat kepada mereka dan menerima tobat
tersebut. Dikisahkan, tujuh puluh ribu orang yang dihukum mati oleh
saudara mereka sendiri dihidupkan kembali oleh Allah ‘azza wa jalla.
Wallahu a’lam.
Sesudah itu, patung anak sapi yang
disembah oleh sebagian besar Bani Israil itu dibakar musnah dan abunya
dibuang ke laut. Bani Israil sekali lagi dihadapkan kepada kenyataan
bahwa memang tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Patung anak
sapi yang selama ini mereka puja-puja tidak lebih dari sebuah benda
mati, tidak bisa menjawab perkataan mereka, tidak pula mampu bersuara
sedikit pun.
Kemarahan Nabi Musa ‘alaihissalam sudah
pupus, beliau mengambil Taurat yang sempat dilemparkannya. Beberapa
lembaran yang berukuran besar. Ada yang menyebutkan asalnya adalah
permata surga. Di dalam tulisannya terdapat hidayah yang menerangkan
mana yang hak mana yang batil, mana amalan yang baik, mana pula yang
buruk, serta petunjuk kepada semua kebaikan. Lembaran itu juga sarat
dengan akhlak dan adab yang luhur dan berisi pula rahmat serta
kebahagiaan bagi yang mengamalkannya, memahami hukum dan makna-maknanya.
Akan tetapi, tidak semuanya siap dan mau
menerima hidayah dan rahmat Allah tersebut. Sebab, yang hanya mau
menerimanya ialah orang-orang yang takut dan tunduk merendahkan dirinya
kepada Rabb (Yang Mencipta, Menguasai, Memberi rezeki, Mengatur, dan
Memelihara)nya.
Nabi Musa ‘alaihissalam mulai
menerangkan kepada mereka kandungan Taurat yang beliau terima. Mulanya
mereka menolak dan merasa perintah atau larangan tersebut sangat berat.
Dengan sabar Nabi Musa ‘alaihissalam mengingatkan mereka bahwa itu semua
ketetapan Allah ‘azza wa jalla, tetapi mereka tidak peduli dan masih
menyanggah Nabi Musa ‘alaihissalam. Tiba-tiba, gunung yang ada di dekat
mereka melayang tinggi di atas mereka seperti payung.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat
bukit ke atas mereka seakanakan bukit itu naungan awan dan mereka yakin
bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada
mereka), “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu,
serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya
kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.” (al-A’raf: 171)
Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa
dalam ayat ini seakan-akan dikatakan kepada mereka,”Kalau kamu tidak
menerima Taurat dan kandungannya, gunung ini akan dihempaskan kepada
kamu.”
Melihat bayangan hitam bukit Thursina di
atas kepala mereka, Bani Israil ketakutan dan segera menjatuhkan diri
bersujud sambil mengintip ke arah gunung itu. Mereka sangat khawatir
gunung itu menimpa mereka. Akhirnya, mereka menerima ketetapan Taurat
yang disampaikan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam.
Cara sujud sambil mengintip ke langit,
menjadi kebiasaan mereka turuntemurun. Kata mereka, “Tidak ada sujud
yang lebih agung daripada sujud yang karenanya azab itu terangkat dari
kami.”
Demikianlah keadaan mereka. Akan tetapi,
hal itu tidak bertahan lama, karena dalam ayat lain, Allah ‘azza wa
jalla berfirman menerangkan,
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil
janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya
Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu
dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.”
Kemudian kamu berpaling setelah (adanya
perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya
atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.” (al-Baqarah: 63—64)
Ingatlah; (ketika Kami mengambil janji
dari kamu), yaitu janji yang berat dan diperkuat dengan ancaman yang
menakut-nakuti mereka, yaitu terangkatnya bukit Thursina di atas kepala
mereka, lalu diperintahkan kepada mereka: (Peganglah apa yang Kami
berikan kepadamu), yaitu Taurat, (teguh-teguh), yakni dengan
bersungguh-sungguh dan bersabar melaksanakan perintah Allah, (dan
ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya), yaitu apa yang ada di dalam
Kitabmu, dengan membaca dan mempelajarinya, (agar kamu bertakwa);
menjaga diri dari azab dan murka Allah, atau menjadi orang yang
bertakwa.
Akan tetapi, sesudah penekanan yang luar
biasa ini, (Kemudian kamu berpaling), sehingga kamu pantas merasakan
hukuman yang sangat berat. Akan tetapi, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.”
Sampailah mereka di sebuah desa yang
dekat dengan Baitul Maqdis. Nabi Musa ‘alaihissalam memberikan wejangan
kepada mereka dan mengingatkan agar mereka maju untuk berjihad. Kata
beliau, “Ingatlah nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada
kalian.” Sebab, mengingat-ingat nikmat itu menjadi pendorong untuk
mencintai Allah ‘azza wa jalla Yang telah melimpahkan kenikmatan itu,
sekaligus menumbuhkan semangat beribadah kepada-Nya.
Beliau melanjutkan, “Ingatlah pula
ketika Allah mengangkat nabi-nabi di antaramu, yang mengajak kamu kepada
hidayah (petunjuk), memperingatkan kamu agar menjauhi hal-hal yang
rendah, mendorong kamu kepada kebahagiaanmu yang abadi dan mengajari
kalian hal-hal yang belum kalian ketahui.”
“Dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka,
yang mampu mengatur diri sendiri, lepas dari penindasan musuh kamu,
sehingga kamu dapat menjalankan agama kamu dengan leluasa.”
“Dia memberikan kepadamu berbagai
kenikmatan agama dan dunia yang belum pernah diberikan-Nya kepada
seorangpun di antara umat-umat yang lain.”
Mereka dilebihkan dari bangsa lain yang
ada pada zaman itu, karena pada masa itu, Bani Israil adalah orang-orang
yang beriman. Sebab itu pula ditetapkan bagi mereka kemenangan atas
musuh-musuh mereka dari bangsa ‘Amaliqah.
Kemudian, beliau mengatakan kepada mereka, “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu.”
Nabi Musa ‘alaihissalam menerangkan
kepada mereka berita yang menenteramkan hati mereka, kalau mereka
betul-betul beriman dan meyakini kebenaran berita dari Allah, bahwa
Allah telah menentukan mereka memasukinya dan pasti menang melawan
musuh-musuh mereka.
Nabi Musa mengingatkan mereka agar tidak
berbalik, mundur sehingga menjadi orang-orang yang merugi. Rugi dunia
karena kehilangan kesempatan meraih kemenangan yang sudah pasti dan rugi
akhirat, karena tidak memperoleh pahala, bahkan justru menerima azab
dan hukuman karena mendurhakai perintah.
Apa yang terjadi? Apa jawaban mereka?
Mereka memberikan jawaban yang
menampakkan betapa lemahnya hati mereka, rapuhnya jiwa mereka, dan tidak
adanya perhatian serta antusias mereka memenuhi perintah Allah dan
Rasul-Nya ‘alaihissalam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman menerangkan jawaban mereka,
Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa.” (al-Maidah: 22)
Ternyata mereka menolak dan memberikan
alasan. Seakan-akan mereka hendak mengatakan, “Negeri yang engkau
perintahkan kami memasukinya ini, di dalamnya ada orang-orang yang
berperawakan mengerikan dan memiliki kekuatan yang dahsyat. Kami tidak
sanggup menghadapi mereka. Tidak mungkin pula kami memasukinya selama
mereka ada di sana. Kalau mereka sudah keluar, barulah kami
memasukinya.”
Perkataan mereka sebagaimana dalam ayat
ini, semakin menegaskan sifat dasar mereka, yaitu pengecut dan kurangnya
keyakinan mereka terhadap Allah. Sebab, kalau mereka memiliki akal,
tentu mereka mengerti bahwa mereka dan musuh mereka sama-sama manusia,
anak-anak Adam ‘alaihissalam. Yang kuat adalah orang yang diberi
kekuatan dari sisi Allah, karena memang tidak ada daya dan upaya kecuali
dengan pertolongan Allah. Andaikata mereka memiliki keyakinan seperti
ini, pasti mereka ditolong dan menang melawan musuh mereka, sebab Allah k
sudah menjanjikan hal itu secara khusus kepada mereka.
Melihat keengganan Bani Israil untuk
menaati Allah dan Rasul-Nya, bangkitlah dua orang yang telah diberi
nikmat oleh Allah, termasuk orang-orang yang takut kepada ketetapan dan
siksa Allah. Ada yang menyebutkan bahwa keduanya adalah Yusya’ bin Nun
‘alaihissalam dan Kalib bin Yufana.
Mereka berkata mengingatkan kaum mereka,
“Serbulah mereka melalui gerbang kota itu, dengan tiba-tiba. Desaklah
mereka dan jangan beri mereka kesempatan. Sebab, apabila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang, tanpa harus bersusah payah
bertempur dengan mereka. Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal,
setelah menjalankan sebab-sebabnya. Akan tetapi, jangan kalian bertumpu
kepada sebab-sebab itu, karena semua itu tidak ada artinya jika tidak
diizinkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Itupun kalau kamu benarbenar orang
yang beriman, karena kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah,
mengakui kebenaran janji-Nya, hal itu pasti menumbuhkan tawakal
kepada-Nya.”
Akan tetapi, rasa takut agaknya sudah
menguasai hati sebagian mereka, kecuali yang dirahmati oleh Allah ‘azza
wa jalla. Mereka tetap tidak peduli dengan nasihat kedua orang yang
mulia itu. Kata mereka, sebagaimana dalam ayat,
Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali
sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada di
dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini.”
Di saat-saat genting seperti ini, dalam
situasi yang seharusnya mereka membela dan menolong Nabi mereka, mereka
justru menghina dan mengolok-olok Allah k dan Rasul-Nya ‘alaihissalam.
Dari sini jelaslah perbedaan antara umat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat-umat yang lain. Maha
Benarlah Allah ‘azza wa jalla dengan firman-Nya,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Mereka adalah sebaik-baik manusia yang
dilahirkan untuk seluruh umat manusia dan paling bermanfaat bagi sesama
manusia. Alangkah indahnya ucapan mereka, ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta pendapat mereka dalam peristiwa Badr Kubra.
Kafilah dagang Quraisy yang mereka kejar telah lolos, sekarang harus
menghadapi pasukan Quraisy yang datang lengkap bersama para pemuka
mereka. Silih berganti para sahabat mengemukakan pendapatnya, tetapi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menawarkan kepada mereka.
Seakan-akan ingin menyelami kesiapan sahabat-sahabat Anshar, apakah
baiat mereka di ‘Aqabah (I dan II) hanya terbukti bila beliau berada di
perkampungan mereka, sedangkan jika di luar Madinah, mereka tidak
menjalankannya?
Sahabat-sahabat Anshar tanggap terhadap
apa yang diinginkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Agaknya kami yang Anda maksud, wahai Rasulullah?”
“Betul.”
“Kami telah beriman dan membenarkan
Anda, dan telah kami saksikan bahwa apa yang Anda bawa adalah hak.
Karena itu, kami telah menyerahkan janji dan sumpah setia kami kepada
Anda agar tetap mendengar dan menaati Anda. Sebab itu, berangkatlah,
wahai Rasulullah, menuju apa yang Anda mau, niscaya kami tetap bersama
Anda. Demi Dzat Yang mengutus Anda membawa al-haq, andaikata Anda
membawa kami menyelami lautan, niscaya kami akan menyelam bersama Anda
dan tidak akan ada seorang pun tertinggal di antara kami. Kami tidak
benci andaikata bertemu musuh esok hari. Kami adalah orang-orang yang
jujur dan tabah dalam peperangan. Semoga Allah memperlihatkan kepada
Anda apa yang menyenangkan hati Anda dari kami. Berangkatlah dengan
berkah Allah, wahai Rasulullah.”
“Kami tidak akan berkata seperti ucapan
Bani Israil kepada Nabi mereka, Musa ‘alaihissalam, ‘Pergilah kamu
bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya
duduk menanti di sini.’ Akan tetapi, berperanglah Anda, dan kami akan
berperang pula bersama Anda, di kanan dan kiri Anda, juga di depan dan
di belakang Anda.”
Wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berseri-seri, sangat senang mendengar ucapan tersebut dan
memberikan kabar gembira kepada mereka akan janji kemenangan dari Allah
‘azza wa jalla.
Berbeda jauh dengan ucapan Bani Israil
ini. Mendengar ucapan buruk mereka, Nabi Musa ‘alaihissalam marah.
Beliau bersujud bersama Nabi Harun memohon ampunan kepada Allah. Yusya’
dan Kalib juga sedih dan marah melihat perilaku buruk saudara-saudara
mereka. Akhirnya, Nabi Musa ‘alaihissalam mendoakan mereka, sebagaimana
ayat,
“Wahai Rabbku, aku tidak menguasai
kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami
dengan orang-orang yang fasik itu.”
Seakan-akan beliau berkata,”Wahai
Rabbku, tidak ada yang menaatiku dalam melaksanakan perintah Allah dan
menyambut seruanku di antara mereka selain aku dan saudaraku Harun. Aku
bukan penindas atau pemaksa mereka, maka putuskanlah persoalan antara
kami dan mereka, dengan menurunkan hukuman yang sesuai dengan hikmah-Mu
terhadap orang-orang fasik itu.”
Dari sini, jelaslah bahwa ucapan mereka adalah dosa besar yang menyebabkan mereka dihukumi sebagai orang-orang yang fasik.
Allah ‘azza wa jalla mengabulkan doa Rasul-Nya ‘alaihissalam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“(Jika demikian), sesungguhnya negeri
itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka
akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu.”
Itulah hukuman yang mereka rasakan di
dunia. Allah mengharamkan mereka memasuki Tanah Suci yang telah
ditetapkan-Nya bagi mereka, selama empat puluh tahun. Akhirnya, selama
empat puluh tahun itu, mereka hanya berputar-putar di padang Tiih, tidak
menemukan jalan dan tidak pernah merasa tenang. Mudah-mudahan itu
menjadi kaffarah (penghapus) dosa-dosa mereka, sekaligus menjauhkan
mereka dari hukuman yang lebih berat.
Bisa jadi, salah satu hikmahnya adalah
agar mayoritas mereka yang mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya serta
menolak jihad itu lenyap dan digantikan oleh orang-orang yang masih baik
dan lurus hatinya. Sebab, munculnya ucapan bernada ejekan itu hanya
muncul dari hati yang lemah dan tidak ada kesabaran serta keteguhan di
dalamnya. Tidak ada kemauan dan cita-cita yang tinggi serta tekad yang
kuat untuk meraih kemenangan.
Bisa jadi pula, dalam rentang waktu
sekian lama, akan lahir dan muncul generasi baru yang akal dan jiwa
mereka terbina serta terasah untuk mengalahkan musuh-musuh mereka.
Wallahu a’lam.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab (6)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Islamnya ‘Umar adalah pembukaan, hijrahnya adalah
kemenangan, dan kepemimpinannya adalah rahmat.” Pada edisi yang lalu
telah dinukil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
tidaklah meninggal dunia kecuali setelah dia meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya. Pada edisi ini, kita akan menelusuri sebagian
liku-liku kehidupan beliau yang sarat dengan keteladanan, terkhusus
bagi para penguasa sepeninggal beliau.
Sungguh, apabila dikenang sikap tegas
dalam memegang kebenaran, ‘Umar pasti disebut-sebut. Jika diingat
keadilan dalam memutuskan dan bersikap, nama ‘Umar pasti diingat. Setiap
kali kita menyebut kasih sayang kepada orangorang yang lemah dan
miskin, beliaulah contoh nyata dalam tindakan. Kalau kita bangga dengan
berbagai penaklukan dan pembebasan, beliaulah pahlawan.
Semua kebaikan ada padanya. Pria yang
tidak pernah duduk di madrasah atau kursus ilmu-ilmu sosial, politik,
dan pemerintahan ini, ternyata mampu menjadi penguasa sepertiga belahan
dunia. Sepuluh tahun memegang kendali urusan kaum muslimin, baik bangsa
Arab maupun ajamnya, tidak menyisakan celah untuk menjadi sasaran
cemoohan dan kritikan.
Jenius yang sangat berhati-hati memegang
amanah yang dipikulkan di pundaknya. Sampai-sampai sebagian sahabat
besar berkata, “Demi Allah, hai Amirul Mukminin, Anda memberi beban
berat kepada khalifah sepeninggal Anda.”
Benar. Mereka yang melihat kesungguhan
‘Umar mengurusi kepentingan kaum muslimin secara khusus atau rakyat
secara umum, akan merasa takut dan enggan untuk memikul amanah ini.
Betapa tidak, hampir tidak ada dalam benak beliau mengambil keuntungan
dunia ketika menjalankan pemerintahannya, mengurusi kepentingan rakyat,
khususnya kaum muslimin. Bahkan, beliau tidak rela keluarga beliau
menanggung beban seperti yang dirasakannya. Cukup satu ‘Umar memikulnya.
Pernah suatu ketika, beliau terlihat mengantuk. Sebagian sahabatnya
menegur beliau agar menjaga istirahat yang cukup. Apa jawab pria jenius
berhati lembut ini?
“Kalau malam hari aku tidur, pasti aku
kehilangan bagianku dari Rabbku. Dan kalau aku tidur di siang hari,
pasti aku tidak bisa menjalankan tugasku mengurusi kepentingan orang
banyak.”
Subhanallah. Adakah penguasa
atau pemimpin yang memikirkan ucapan ini? Semoga Allah memberi hidayah
dan taufik kepada mereka yang mengurusi kepentingan kaum muslimin serta
memperbaiki kekeliruan mereka.
Wallahul Muwaffiq.
Kekuasaan yang Membawa Rahmat
Setelah selesai dibai’at, ‘Umar duduk di mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum muslimin duduk rapi di hadapan beliau. Beliaupun berdiri, membuka dengan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘azza wa jalla, shalawat dan salam untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertasyahud (mengucapkan syahadat).
Ternyata, yang pertama diucapkan oleh
beliau adalah doa, “Ya Allah, sesungguhnya aku orang yang keras, maka
lembutkanlah aku. Aku lemah, maka kuatkanlah aku. Aku kikir, maka
jadikanlah aku dermawan.”1[1]
Melalui jalur asy-Sya’bi, disebutkan
bahwa setelah dibai’at sebagai khalifah, ‘Umar naik mimbar, lalu
berkata, “Jangan sampai Allah melihatku merasa pantas menempati posisi
Abu Bakr.” Lalu dia turun satu tingkat dari tempat yang biasa diduduki
oleh Abu Bakr.
Setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau berpidato,
“Bacalah al-Quran, niscaya kalian
dikenal dengannya. Amalkanlah al-Qur’an, niscaya kalian menjadi ahlinya.
Timbanglah diri-diri kalian sebelum kalian ditimbang. Berhiaslah
menghadapi hari
‘ardhul akbar (kiamat), ketika
kalian dihadapkan kepada Allah, tidak ada satupun yang tersembunyi dari
kalian sedikit pun. Sungguh, tidak akan sampai hak orang-orang yang
mempunyai hak, untuk ditaati dalam bermaksiat kepada Allah. Ketahuilah,
sesungguhnya aku menempatkan diriku dalam urusan harta Allah ini seperti
wali anak yatim. Kalau aku merasa cukup, aku menahan diri, dan kalau
aku mempunyai keperluan, aku memakannya dengan cara yang baik.”2[2]
Pernyataan sederhana tetapi tegas, dan beliau telah menepati kata-katanya, hingga akhir hayatnya. Semoga Allahmeridhai beliau.
Sebagian ahli sejarah menerangkan bahwa
perbedaan isi khutbah beliau adalah karena beberapa kemungkinan, di
antaranya adalah perbedaan dalam penyampaian dari sebagian orang yang
meriwayatkannya, sesuai dengan yang diingat oleh mereka.
Wallahu a’lam.
Ada pula yang menyebutkan bahwa banyak
kaum muslimin merasa khawatir dengan ketegasan dan kekerasan watak
‘Umar, sebagaimana yang diungkapkan oleh Thalhah bin ‘Ubaidillah kepada
Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika riwayat
itu sahih. Ketika sampai berita ini kepada ‘Umar, beliau segera
berpidato menyampaikan keadaan dirinya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu meninggalkan dunia dalam keadaan ridha kepadanya.
Kemudian beliau mengatakan, “Sikap tegas
dan keras itu hanya tertuju kepada mereka yang zalim dan melanggar hak
orang lain. Aku tidak akan membiarkan siapapun menzalimi orang lain,
atau melanggar haknya sampai aku letakkan pipinya di tanah dan
menginjaknya sampai dia tunduk kepada yang hak. Dengan kekerasanku itu,
aku akan menyerahkan pipiku kepada mereka yang menjaga kehormatan dan
menahan dirinya. Kalian semua punya hak yang harus aku tunaikan;
pertama, aku tidak akan menyembunyikan hak kalian sedikitpun, begitu
pula rampasan perang yang diberikan oleh Allah untuk kalian, tidak aku
tahan. Aku akan mengeluarkannya dengan cara yang benar, dan andaikata
jatuh ke tanganku, niscaya aku salurkan pada haknya. Aku juga akan
menambah jatah pemberian untuk kalian insya Allah dan menutupi
kebutuhan kalian. Hak kalian yang harus aku tunaikan juga ialah bahwa
aku tidak akan menggiring kalian kepada kebinasaan.
Kalau kalian tidak ada di tempat, akulah
yang menjaga keluarga kalian sampai kalian kembali kepada mereka. Maka
dari itu, bertakwalah wahai hambahamba Allah, dan bantulah aku menahan
diri kalian terhadapku. Bantulah aku menghadapi diriku dengan amar
ma’ruf nahi mungkar, memberikan nasihat dalam urusan yang Allah tugaskan
aku mengatur urusan kalian.
Aku ucapkan perkataan ini dan aku mohon ampunan kepada Allah untukku dan untuk kamu sekalian.”
Melalui khutbah ini, beliau menyadarkan
kita bahwa kekuasaan yang diberikan kepadanya adalah amanat yang berat
dan beliau merasa yakin pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.
Beliau merasa yakin pula bahwa ini semua adalah ujian, bukan sebuah
kehormatan dan kemuliaan.
Kerendahan hati beliau terlihat dengan
merelakan diri melayani dan memuliakan orang-orang yang menahan diri dan
memelihara kehormatan mereka. Akan tetapi, terhadap orang-orang yang
zalim dan melanggar hak orang lain, beliau tidak akan memberikan apapun
selain hukuman.
Melalui khutbah ini pula beliau
mengisyaratkan dan memperingatkan para pejabatnya bahwa dia akan selalu
mengawasi mereka dalam menjalankan tugas, meskipun jauh dari pandangan
mata beliau. Dalam khutbah ini pula beliau menuntut kepada rakyatnya,
agar tidak segan-segan menyampaikan nasihat dan meluruskan beliau jika
terlihat menyimpang dari tugasnya. Beliau juga menuntut mereka agar
menahan diri dari kekurangan yang mungkin muncul dari beliau, dengan
tetap mendengar dan taat kepada beliau.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Al-Muhib ath-Thabari dalam Riyadhun Nadhrah (1/190).
[2] Al-Muhib ath-Thabari dalam Riyadhun Nadhrah (1/190).

Perbedaan Hukum Bersuci dari Hadats & dari Najis
Bismillah. Pada Asy-Syariah edisi 94 halaman 42 dinyatakan,apabila lupa terkena najis, dimaafkan dan shalatnya sah. Akantetapi, apabila lupa berwudhu, tidak dimaafkan dan shalat wajibdiulang. Apa yang membedakan kedua hukum ini padahalpenyebabnya sama, yaitu lupa syarat shalat? Apakah ada lupayang dimaafkan dan yang tidak? Mohon penjelasan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Bersuci dari hadats besar dan kecil adalah syarat sahnya shalat. Ibnul Mundzir rahimahullah telah menukil ijma’ ulama mengenai hal ini selama ada jalan untuk bersuci dari hadats. Begitu pula an-Nawawi rahimahullah telah menukil ijma’ dalam masalah ini. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dengan lafadz,
“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci dari hadats.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan lafadz,
“Shalat orang yang berhadats tidak akan diterima hingga dia berwudhu.” (Muttafaq ‘alaih)
Pada riwayat al-Bukhari rahimahullah ada tambahan lafadz,
Seorang pria dari Hadramaut berkata, “Wahai Abu Hurairah, apakah hadats itu?” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Buang angin tanpa bunyi atau buang angin dengan bunyi.”
Apa yang disebutkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu hanya contoh, karena hadats kecil tidak terbatas dengan buang angin saja.
Ini adalah nash yang sangat gamblang
bahwa bersuci dari hadats adalah syarat sahnya shalat. Oleh karena itu,
tidak dimaafkan karena tidak tahu atau lupa. Apabila seseorang lupa
mandi atau wudhu lantas shalat, ia wajib mengulang shalat-shalat yang
telah dilaksanakan tanpa bersuci itu. Apabila shalat tanpa mandi atau
wudhu karena tidak tahu hukum, seseorang wajib mengulang shalat yang
masih tersisa waktunya saat itu, tidak meliputi shalat-shalat sebelumnya
yang telah lewat waktunya.
Adapun hukum bersuci dari najis yang
mengenai tubuh, pakaian, dan tempat shalat, terdapat silang pendapat
yang cukup kuat di antara ulama. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat
wajib sebagai syarat sahnya shalat, tetapi mereka berbeda pendapat
apakah shalatnya diulang atau tidak apabila terjadi karena lupa atau
tidak tahu. Yang benar, pendapat yang mengatakan dimaafkan jika lupa
atau tidak tahu.
Ini adalah riwayat yang terkuat dan
termasyhur dari Malik, pendapat lama asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat
dari Ahmad. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnul Mundzir dan
an-Nawawi dari kalangan fuqaha mazhab Syafi’i, serta Ibnu Taimiyah,
as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin dari kalangan fuqaha mazhab Hanbali.
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban bersuci dari najis adalah:
- Seluruh hadits yang mewajibkan istinja (cebok dengan air) dan istijmar (bersuci dengan batu atau semisalnya) dari najis yang keluar melalui qubul (lubang kemaluan depan) dan dubur (lubang kemaluan belakang), yang hal itu bertujuan untuk membersihkan tempat keluarnya najis. Hadits-hadits tersebut dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengenai dua penghuni kubur yang disiksa dalam kuburnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Adapun salah satunya, ia disiksa
karena tidak memerhatikan kesucian dirinya dari air kencingnya (tidak
peduli terkena air kencingnya dan tidak membersihkan air kencing yang
mengenainya).” (Muttafaq ‘alaih)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
bersama para sahabat, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sendal yang
dikenakannya dan meletakkannya di samping kirinya. Ketika para sahabat
melihat hal itu, serta-merta mereka ikut melepaskan sendal-sendal
mereka. Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian melepaskan sendal-sendal kalian?”
Mereka berkata, “Kami melihat Anda melepaskan sendal, lantas kami pun melepaskannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada
kedua telapak sandalku ada najis yang menempel,” lalu beliau bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia
memeriksa kedua telapak sendalnya. Apabila dia melihat ada najis yang
menempel, hendaklah dia menggosokkannya (pada riwayat Ahmad: hendaklah
dia menggosokkannya ke tanah), kemudian shalat dengannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, dan lainnya, dinyatakan sahih oleh al-Hakim menurut syarat Muslim, disetujui oleh adz-Dzahabi, al-Albani, dan al-Wadi’i)1[1]
- Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang seorang a’rabi (Arab badui) yang buang air kecil dalam masjid Nabawi dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Biarkan dia dan guyurkan di atas
kencingnya setimba air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi
kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesulitan.” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu (Muttafaq ‘alaih).
Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya
membersihkan tubuh, pakaian, dan tempat shalat dari najis, yaitu tempat
diletakkannya anggota tubuh dan yang bersentuhan dengan pakaian dalam
shalat.
Barang siapa sengaja melaksanakan shalat
dalam keadaan ada najis di tubuh, pakaian, atau tempat shalatnya,
shalatnya tidak sah. Sebab, hal itu adalah perintah khusus dalam shalat,
dan melalaikannya berarti melaksanakan shalat dengan sifat yang
menyelisihi apa yang diperintahkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, hal itu tertolak.” (HR. Muslim)
Akan tetapi, jika terjadi tanpa sengaja
karena lupa atau tidak tahu, hal itu adalah uzur yang dimaafkan dan
shalatnya sah. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhuma di atas yang menunjukkan bahwa hal itu dimaafkan jika terjadi karena tidak tahu lantaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tetap melanjutkan shalatnya, tidak mengulanginya dari awal. Begitu pula
halnya jika terjadi karena lupa berdasarkan kesamaan makna antara tidak
tahu dan lupa secara metode qiyas (analogi).
Perbedaan masalah ini dengan bersuci
dari hadats dari segi makna adalah karena bersuci dari hadats sifatnya
perintah melakukan sesuatu, yaitu kewajiban bersuci dari hadats. Adapun
bersuci dari najis sifatnya perintah menghindari sesuatu yang terlarang,
yaitu haramnya shalat dengan terkena najis pada tubuh, pakaian, ataupun
tempat shalat. Dengan demikian, keduanya tidak dapat disamakan
hukumnya.
Adapun pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar dan ad-Darari bahwa
hukumnya wajib tetapi shalat tetap sah dengan melalaikannya—meskipun
pelakunya berdosa—ini adalah pendapat yang lemah. Sebab, hal itu adalah
perintah khusus dalam shalat, dan melalaikannya berarti melaksanakan
shalat dengan sifat yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih-lebih lagi riwayat ketiga dari
Malik bahwa hukumnya hanya sunnah, ini jelas-jelas lemah dan
bertentangan dengan perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersuci dari najis dalam shalat.[2]
Wallahu a’lam
[1] Lihat kitab Irwa’ al-Ghalil (no. 284) dan al-Jami’ ash-Shahih (1/459—460)
[2] Lihat kitab al-Ijma’ (no. 1), al-Muhalla (no. 343 & 344), Bidayah al-Mujtahid (1/116—117), al-Majmu’ (3/139—140, 163), al-Mughni (2/464—466), al-Ikhtiyarat (hlm. 66—67), Nailul Authar (“Kitab ash-Shalah”, Bab “Ijtinab an-Najasat fi ash-Shalah”), ad-Darari (hlm. 57), al-Mukhtarat al-Jaliyyah (hlm. 34), dan asy-Syarh al-Mumti’ (2/90—91, 219—221, 228—230).

Al-Qayyum
Al-Qayyum adalah salah satu
dari al-Asma’ul Husna. Bahkan nama ini adalah salah satu Asma’ul Husna
yang teragung dari nama-nama-Nya, yaitu ketika nama ini bergabung dengan
nama Allah al-Hayyu. As-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Sebagian ulama peneliti menerangkan bahwa sesungguhnya keduanya adalah al-ismul a’zham yang bila Allah ‘azza wa jalla diseru dengan menyebutnya Dia akan mengijabahi, bila dimohon dengan menyebut nama itu, maka Ia akan memberi.”
Allah ‘azza wa jalla telah menyebut nama-Nya ini dalam tiga ayat dalam al-Qur’an, ketiganya bergandengan dengan nama Allah al-Hayyu. Nama tersebut juga ada dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana akan kami sebutkan.
Asy-Syaikh al-Harras menjelaskan bahwa di antara al-Asma’ul Husna itu adalah al-Qayyum, itu adalah bentuk mubalaghah dari kata Qa’im (bentuk kata yang memberi arti yang lebih dalam sifat tersebut). Al-Qayyum memiliki dua makna:
Pertama, Dia yang
berdiri sendiri dan tidak membutuhkan seluruh makhluk, sehingga tidak
butuh sesuatu pun, baik dalam hal adanya maupun dalam hal eksistensinya.
Demikian pula dalam sifat kesempurnaan-Nya dan perbuatan yang muncul
dari-Nya. Karena ketidakbutuhan-Nya bersifat dzati (terkait langsung dengan Dzat Allah ‘azza wa jalla) sebagaimana kami telah terangkan, maka Dia tidak akan ditimpa kekurangan ataupun rasa butuh.
Kedua, Dialah yang selalu mengatur mahluk-Nya. Seluruh yang ada di alam ini membutuhkan-Nya, dengan rasa butuh yang dzati (terkait langsung dengan dzat makhluk tersebut), tidak mungkin tidak, walau sesaat saja.
Maka dari itu, makhluk butuh kepada-Nya dalam hal keberadaannya, Allah ‘azza wa jalla
lah yang memberikan kepadanya sebab-sebab eksistensinya tidak ada
sesuatu pun dalam alam ini seluruhnya kecuali dalam bantuan-Nya.
Dengan demikian, Dia selalu mengatur dan
memerhatikan urusan makhluk-Nya, tidak mungkin Dia lalai sesaat pun
dari mengawasi mereka, kalau tidak demikian maka akan kacau aturan alam
dan akan hancur tonggak-tonggaknya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Katakanlah, “Siapakah yang dapat
memelihara kamu di waktu malam dan siang hari selain (Allah) Yang Maha
Pemurah?” Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari
mengingati Rabb mereka. (al-Anbiya:42)
kemudian berfirman,
“Sesungguhnya Allah menahan langit
dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap
tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 41)
Jadi sifat Allah ‘azza wa jalla
yang satu ini, di antara sifat-sifat-Nya yang lain yaitu sebagai
al-Qayyum, memiliki urusan yang besar sebagaimana besar-Nya Pemilik
sifat ini, yang sifat ini dengan maknanya yang pertama mengandung
kesempurnaan ketidakbutuhan-Nya dan kebesaran-Nya. Dengan makna yang
kedua, mengandung seluruh sifat kesempurnaan dalam perbuatan-Nya yang
tidak ada kesempurnaan bagi-Nya kecuali dengan sifat Al-Qayyum.
Di antara asma-Nya yang Mahaindah juga
adalah al-Hayyu, Yang Mahahidup, dan nama al-Hayyu telah beriringan
dengan nama-Nya al-Qayyum di tiga tempat dalam al-Qur’an:
- Ayat kursi dalam surat al-Baqarah ayat 255,
“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) kecuali Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).”
- Awal surat Ali Imran ayat 1-2,
“Alif lam mim. Allah, tidak ada Rabb
(yang berhak disembah) kecuali Dia. Yang hidup kekal lagi terus-menerus
mengurus makhluk-Nya.”
- Surat Thaha ayat 111,
“Dan tunduklah semua muka (dengan
berendah diri) kepada Rabb yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus
(makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan
kezaliman.”
Makna al-Hayyu adalah yang memiliki
kehidupan yang sempurna, yang kekal abadi, yang tidak mengenai-Nya
kematian ataupun fana, karena ini adalah sifat yang terkait dengan
Dzat-Nya Yang Mahasuci. Sebagaimana sifat qayyum-Nya berkonsekuensi
kesempurnaan seluruh perbuatan-Nya. Demikian pula sifat kehidupan-Nya
yang sempurna berkonsekuensi seluruh sifat dzat-Nya yang sempurna, baik
ilmu, kamampuan, kemauan, pendengaran, penglihatan, kemuliaan,
kesombongan, kebesaran, dan sebagainya.
Sifat al-Hayyu dan al-Qayyum mengandung
sifat kesempurnaan seluruhnya. Keduanya ibarat dua kutub bagi seluruh
langit sifat-sifat-Nya, sehingga tidak ada satu sifat pun yang keluar
dari kedua sifat itu sama sekali.
Oleh karena itu, telah terdapat sebuah riwayat bahwa keduanya merupakan al-ismul a’zham, yaitu nama Allah Yang Mahaagung, yang apabila diminta dengan menyebut nama-Nya tersebut, Allah ‘azza wa jalla akan memberi; apabila dimohon dengan menyebut nama-Nya, Ia akan mengijabahi.
Kedua nama yang agung ini mengandung
seluruh sifat kesempurnaan karena kehidupan merupakan syarat untuk
memiliki segala kesempurnaan dalam Dzat-Nya baik itu ilmu, kemampuan,
kemauan, pendengaran, penglihatan, kalam, dan seterusnya. Karena selain
yang hidup tidak memiliki sifat-sifat; siapa saja yang sempurna
kehidupannya, maka dia akan lebih sempurna pada tiap sifat yang
kehidupan merupakan syarat bagi sifat tersebut. Adapun al-Qayyum, yang
salah satu maknanya adalah yang banyak mengatur urusan makhluk-Nya yang
tidak lalai dari mereka walaupun sesaat, hal itu berkonsekuensi
kesempurnaan dan kelanggengan seluruh perbuatan-Nya. (Syarh Nuniyyah, 1/111—113)
Ar-Rabi rahimahullah mengatakan, “Al-Qayyum artinya Yang mengatur segala sesuatu, menjaganya, dan memberinya rezeki.”
Mujahid rahimahullah menafsirkannya dengan tafsir yang semakna.
Ibnu Jarir rahimahullah
mengatakan, “Al-Qayyum adalah Yang melakukan penjagaan terhadap segala
sesuatu, pemberian rezeki, pengaturannya, pada apa yang dia kehendaki
dan Dia sukai, baik perubahan, penggantian, penambahan, maupun
pengurangan.” (Tafsir ath-Thabari)
Telah disebutkan bahwa kedua nama Allah, yaitu al-Hayyu dan al-Qayyum merupakan al-ismul a’zham, nama Allah ‘azza wa jalla yang teragung. Hal itu sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Dikisahkan bahwa dahulu dia duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ada seseorang yang shalat lalu berdoa,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
dengan mengimani bahwa milik-Mu segala pujian tiada sesembahan yang
benar selain engkau al-Mannan, pencipta langit dan bumi, wahai yang
memiliki keagungan dan kemurahan, wahai al-Hayyu, wahai al-Qayyum.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh
dia telah berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla dengan menyebut nama-Nya
yang terbesar yang bila diminta dengannya, Dia akan mengijabahi; dan
bila dimohon dengannya, Dia akan memberi.” (Sahih, HR. Abu Dawud dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari putrinya untuk berdoa dengan menyebut nama itu. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah,
“Apa yang menghalangimu untuk
mendengar apa yang kuwasiatkan kepadamu? Hendaknya kamu ucapkan bila
masuk waktu pagi dan masuk waktu sore, ‘Wahai al-Hayyu, wahai al-Qayyum,
dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah seluruh urusanku …
Janganlah Engkau serahkan diriku padaku walaupun sekejap mata
selamanya’.” (Hasan, HR. Ibnu Sunni dalam kitab Amal Yaum wal lailah dan al-Baihaqi dalam Asma’ wash-Shifat. Lihat ash-Shahihah no. 227 dan Shahihul Jami’ no. 10759)
Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mempraktikkannya sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga,
Apabila tertimpa suatu urusan yang sulit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wahai al-Hayyu dan al-Qayyum, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Sunni lihat Shahilul Jami’ no. 8908 dan ash-Shahihah no. 3182)
Buah Mengimani Nama Allah Al-Qayyum
Di antara buah mengimani nama Allah al-Qayyum adalah mengetahui kebesaran Allah ‘azza wa jalla
dan keagungan-Nya, segala perbuatan-Nya dalam puncak kesempurnaan,
segala sifat-Nya dalam puncak keindahan dan ketinggian. Allah ‘azza wa jalla
tak penah lemah, tak pernah letih, tak pernah butuh, tak pernah
istirahat, tak pernah lalai walau sesaat, tak penah kantuk, dan tak
pernah tidur.
“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak
disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang
di langit dan di bumi.” (al-Baqarah: 255)
“Dan sesungguhnya telah Kami
ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam
masa, dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahman: 29)
Dia Maha Mencipta, Maha Memiliki, Maha
Mengatur, Mahatahu, Mahamampu atas segala sesuatu, Mahaperkasa, Maha
Mengawasi, Maha Memberi, dan sifat kesempurnaan lainnya.
Takkan rugi dan takkan tersia-siakan
siapa pun yang Rabbnya adalah Dia, yang selalu ia puja, ibadahi, mohon,
tauhidkan, dan pasrahi segala urusannya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Merenungi Akibat Amal Saleh dan Akibat Maksiat (7)

Renungan Ketujuh
Tak jarang, seseorang berpikir pendek ketika akan melakukan suatu perbuatan. Apalagi terdorong hawa nafsu, seolah ia menjadi buta karenanya. Yang penting tujuannya tersampaikan, meski kenikmatan sesaat. Ternyata perbuatan itu berbuntut panjang, penderitaan, kegelisahan, dan tanggung jawab di dunia ataupun akhirat.
Asy-Syaikh Abdurahman al-Mu’allimi mengatakan, “Seseorang hendaknya merenungi apa yang menjadi harapan bagi orang yang lebih mengutamakan kebenaran, yaitu keridhaan Rabb sekalian alam, bantuan-Nya yang bagus di dunia, dan kemenangan yang langgeng di akhirat.
Selain itu, renungi apa yang bakal diperoleh oleh seorang pengekor hawa nafsu, yaitu kemurkaan Allah ‘azza wa jalla, dan kemarahan-Nya di dunia, serta azab yang pedih di akhirat.”
Apakah orang yang berakal akan ridha dirinya membeli kelezatan mengikuti hawa nafsunya dengan (membayarkan) kebaikan bantuan Rabb sekalian alam, keridhaan-Nya, kedekatan kepada-Nya, serta kenikmatan yang besar di sisi-Nya? Siapkah ia menerima kemurkaan dan siksa-Nya yang pedih?
Tidak sepantasnya seseorang terjatuh pada keadaan seperti ini, walau orang yang paling dangkal akalnya sekalipun. Sama saja, apakah dia seorang yang beriman dan sangat yakin dengan akibat ini, atau yang menduga bahwa akibatnya akan begini, atau bahkan yang ragu sekalipun pada akibat tersebut dan keberadaannya.
Dua orang yang terakhir ini (saja) akan bersikap hati-hati.
Sebagaimana halnya jual beli tersebut pasti dilakukan oleh orang yang dikenal sebagai pengikut hawa nafsu, demikian pula akan dilakukan oleh orang yang lunak terhadap dirinya, tidak menegur dirinya, dan tidak berhati-hati.
Wallahul Muwaffiq.
Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Tradisi Seputar Kelahiran
Di antara tradisi yang masih tersisa di
tengah-tengah masyarakat Jawa ialah tradisi terkait kelahiran. Semenjak
jabang bayi masih dalam kandungan, kaum tradisionalis Jawa telah
melakukan sebuah prosesi yang disebut dengan tingkeban. Prosesi
ini dilakukan saat janin berada dalam kandungan berusia tujuh bulan.
Setelah janin yang masih di dalam perut sang ibu mendekati kelahiran,
ditunaikanlah upacara procotan. Tentunya, penunaian upacara ini
diiringi maksud agar kelahiran bayi dilimpahi keselamatan. Selamat bagi
sang ibu, juga selamat bagi sang bayi.
Bahkan, berkembang sebuah keyakinan
pada sebagian masyarakat, apabila seseorang menghendaki keturunan
laki-laki yang tampan rupawan, sang ibu didorong untuk senantiasa
membaca Surat Yusuf. Apabila ia menghendaki keturunan perempuan yang
cantik, dianjurkan membaca Surat Maryam. Entah, berawal dari mana
keyakinan menyesatkan seperti ini mencuat pada sebagian masyarakat.
Pada tatanan masyarakat Jawa,
peristiwa kelahiran adalah momentum yang sangat bernilai. Kehadiran
seorang anak menjadi anugerah tiada terkira.Karena itu, perlakuan saat
prosesi
kelahiran itu pun sangat penting bagi sebagian masyarakat Jawa. Brokohan, satu di antara tradisi kelahiran di seputar masyarakat Jawa. Brokohan,
yang konon berasal dari kata berkah, adalah sebuah tradisi yang
diselenggarakan saat jabang bayi telah hadir. Para tetangga diundang
untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi.
Bentuk tradisi lainnya, prosesi mengebumikan ari-ari. Tradisi ini disebut pula dengan aruman atau embing-embing (mbing-mbing).
Bagi kaum tradisionalis Jawa, prosesi ini dilatari tumbuhnya keyakinan
bahwa ari-ari adalah saudara bayi yang lahir. Karena itu, ia harus
dirawat dan dijaga sebaik mungkin. Wujud perawatannya ialah ari-ari
dimasukkan ke dalam kendil yang ditutup rapat bagian atasnya, lalu
dibungkus dengan kain mori. Setelah itu, ari-ari beserta kendil yang
telah terbungkus kain mori dikebumikan.
Menguburkan ari-ari ini pun tidak
sembarangan. Pengebumian ari-ari diletakkan di sebelah kanan depan pintu
masuk (rumah). Setelah ari-ari ditanam, di atasnya diletakkan lampu
sebagai simbol pepadhang (penerang) bagi bayi, lalu dipagari dan ditutup
agar ari-ari merasa terlindungi. Hal ini berlangsung hingga 35 hari.
Seiring dengan itu, upacara
sepasaran dilangsungkan di rumah yang baru dikaruniai bayi. Sepasaran
berarti: pon, wage, kliwon, legi dan pahing, yaitu nama hari-hari
berdasar kalender Jawa. Acara sepasaran ditunaikan pada hari kelima
dengan acara njagongan.
Prosesi berikutnya adalah puputan atau dhautan,
yaitu saat terlepasnya tali pusar sang bayi. Saat usia bayi memasuki 35
hari diadakan upacara selapanan. Acara kenduri selapanan ini biasanya
dengan mengundang para tetangga sebagai wujud syukur atas hadirnya sang
jabang bayi.
Tak hanya sampai di sini. Ketika
bayi ini mulai menapak tanah, di kalangan sebagian masyarakat Jawa
diadakan lagi prosesi upacara yang disebut tedak siten. Tedak berarti turun, sedang siten
berasal dari kata ‘siti’ yang berarti tanah. Inilah di antara ritual
yang masih mengental di sebagian masyarakat Jawa, terutama kaum
tradisionalis yang masih bersikukuh dengan prosesi-prosesi tersebut.
Kembali Kepada Islam
Seorang muslim dituntut untuk mengamalkan ajaran Islam yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang hamba Allah—manakala telah
meyakini nilai-nilai Islam sebagai ajaran yang benar—ialah mewujudkannya
dalam kehidupan seharihari. Keyakinan yang tidak diajarkan dan
bertentangan dengan Islam harus ditinggalkan. Sebab, pada diri seorang
muslim harus terpateri sikap berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Seorang muslim harus menegakkan tauhid dan memberantas
kesyirikan, menghidupkan sunnah dan meninggalkan kebid’ahan. Segenap
tradisi peninggalan nenek moyang yang bertentangan dengan nilai-nilai
syariat harus dikubur. Tak selayaknya seorang muslim masih berkutat
dengan nilainilai tradisi yang akan memudaratkan diri dan masyarakat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50)
Demikianlah Allah memerintah hamba-Nya untuk meninggalkan segala ketentuan yang bertentangan dengan syariat-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula,
“Kami telah menurunkan kepadamu
al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai hakim
terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (al-Maidah: 48)
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sosok yang wajib diteladani dalam hal mengamalkan syariat. Saat
Islam mulai didakwahkan, banyak tradisi nenek moyang yang berkembang di
kalangan masyarakat Arab pada masa itu. Satu di antara tradisi itu,
tradisi minum arak. Setelah ayat yang mengharamkan minum khamr turun,
maka secara massal minuman khamr dimusnahkan. Di jalanan minuman itu
ditumpahkan. Setiap diri melakukan perubahan. Mengubah kebiasaan lama
yang akrab dengan minuman memabukkan, kepada kebiasaan baru yang bebas
khamr. Mereka tak merasa berat untuk meninggalkan kebiasaan yang telah
mendarah daging. Semua ini karena taufik dari Allah.
Ketaatan para sahabat inilah yang patut diteladani. Mereka senantiasa menaati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.”
(al-Hasyr:7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap umatku akan masuk surga
kecuali yang enggan.” Sahabat bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu,
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barang siapa menaatiku, ia masuk
surga. Dan barang siapa bermaksiat kepadaku, sungguh ia telah enggan.” ( HR . al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Demikian pula tentunya dalam
menyikapi berbagai tradisi yang berkembang di masyarakat, terkhusus
tradisi yang menyangkut kelahiran. Semuanya tentu harus dikembalikan
kepada ajaran Islam. Apakah pelaksanaan kenduri, upacara, dan prosesi
lainnya yang telah turun temurun itu tidak bertentangan dengan Islam?
Sudah bebaskah segenap tradisi tadi dari keyakinan-keyakinan kesyirikan,
kebid’ahan, dan hal yang bisa memudaratkan?
Islam adalah agama yang sempurna.
Ajaran Islam meliputi semua sisi kehidupan masyarakat. Islam mengatur
masalah kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, membina anak,
mengatur kehidupan rumah tangga, jual-beli, hingga urusan pemerintahan.
Ajaran Islam meliputi semuanya. Dalam masalah kelahiran seorang bayi,
Islam menuntun umatnya agar meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sifat syariat Islam adalah
mudah untuk ditunaikan oleh pemeluknya. Tidak mempersulit dan membuat
ribet. Simpel, praktis, dan terasa meringankan, tidak memberatkan. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar engkau menjadi susah.” (Thaha: 2)
Firman-Nya,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dihadapkan pada dua perkara, beliau memilih yang paling ringan untuk
ditunaikan, selama (yang ringan itu) tidak menimbulkan dosa. Apabila
bakal menimbulkan dosa, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umat dari perkara tersebut. Dalam sebuah hadits dari Aisyah x disebutkan,
“Tiadalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan
pada pilihan antara dua perkara kecuali beliau ambil yang lebih ringan
(lebih mudah) selama tidak menimbulkan dosa. Apabila mengandung unsur
dosa, beliau menjauhkan manusia darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Permudahlah, jangan kalian persulit. Senangkanlah, jangan kalian (menjadikannya) lari menjauh.” ( HR . al-Bukhari no. 69)
Demikianlah sifat ajaran Islam.
Begitu mudah. Begitu ringan. Di antara tuntunan Islam ketika menyambut
kelahiran sang bayi ialah mengakikahinya, yaitu menyembelih kambing pada
hari ketujuh, menggundul rambut kepada sang bayi, dan memberinya nama.
Ini tergambar dari hadits sahabat mulia Samurah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak tergadai dengan
akikahnya. Disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh, dicukur
gundul (rambutnya kepalanya) dan dinamai (bayi itu dengan nama yang
baik).” (HR . Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan selainnya. Lihat al- Irwa’ no. 1165)
Menyambut Kelahiran, MenyambutAmanat
Tentu, sebuah suka cita yang tiada
terkira saat anak yang dinanti hadir di depan pelupuk mata. Kebahagiaan
menggunung di hamparan kalbu, menyambut sang buah hati nan dinanti.
Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang tak boleh dilalaikan.
Kehadiran anggota baru dalam keluarga berarti memikulkan satu amanat
besar pada pundak orang tuanya. Amanah untuk senantiasa menjaga fitrah
sang anak yang telah disematkan padanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah .
(Itulah) agama yang lurus.” (ar-Rum: 30)
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang anak yang
dilahirkan melainkan (dilahirkan) dalam keadaan fitrah. Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR . al-Bukhari)
Jumhur ulama menyebutkan, yang dimaksud al-fitrah pada hadits di atas adalah Islam. Karena itu, keadaan agama pada diri seorang anak sangat dipengaruhi kedua orangtuanya.
Kata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah,
hak anak-anak itu banyak. Salah satu yang terpenting yang harus
diberikan kepada seorang anak ialah pendidikan. Pendidikan yang dimaksud
adalah pendidikan yang menumbuhkan agama dan akhlak pada jiwa anak
hingga mereka tumbuh dewasa. Beliau rahimahullah menukil sebuah ayat,
“Wahai orang-orang yang beriman,
jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari siksa api neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu.” (at-Tahrim: 6)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap diri kalian adalah
penggembala (pemimpin) dan setiap pemimpin kelak akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah
pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpinnya. Seorang lelaki (ayah) adalah pemimpin bagi keluarganya dan
kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR . al-Bukhari)
Maka dari itu, anak adalah amanat
yang terpikul pada pundak kedua orang tua. Amanat itu kelak akan
dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat. Ketika kedua orang tua
memberikan pendidikan agama dan akhlak kepada anak-anaknya, maka kedua
orang tua tersebut telah menunaikan amanatnya. Anak pun menjadi baik dan
menjadi penyejuk mata bagi kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat
kelak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang beriman,
beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
pertemukan mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit
pun pahala amal (kebajikan mereka). Setiap orang terikat dengan apa yang
telah dikerjakannya.” (ath-Thur: 21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah segenap amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya, dan anak salih yang mendoakan orang tuanya.” (HR . Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Terkait dengan hal itu, asy-Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin rahimahullah mengungkapkan, “Inilah buah dari mendidik anak (ta’dibul walad).
Jika mendidik dengan pendidikan yang baik niscaya (anak) akan memberi
manfaat bagi kedua orang tuanya walaupun keduanya telah meninggal
dunia.”
Akan tetapi, setan tentu tak akan
tinggal diam. Dia selalu berusaha menggelincirkan anak keturunan Adam di
mana pun mereka berada. Hal ini disebutkan oleh hadits ‘Iyadh bin Himar
radhiallahu ‘anhu, “ Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus, lantas para setan menggelincirkan mereka.” (HR . Muslim)
Setan beserta bala tentaranya terus
menggempur keimanan hamba-hamba Allah. Dengan berbagai tipu daya, mereka
senantiasa berupaya menggelincirkan manusia dari jalan yang benar.
Mereka membisiki hati manusia untuk menolak tuntunan Allah dan
Rasul-Nya. Mereka teguhkan hati sebagian manusia untuk membela dan
mempertahankan tradisi-tradisi nenek moyang yang kental dengan aroma
kesyirikan, kebid’ahan, dan kisahkisah khurafat. Kejahilan mereka
menjadi salah satu perekat makin kokohnya cengkeraman setan.
Karena itu, marilah kita merujuk
pada nilai-nilai Islam. Jangan berpaling dan mengambil nilai-nilai
selain Islam. Kaum Yahudi dan Nasrani pun tak kalah sengitnya untuk
menyusupkan ajaran-ajarannya ke dalam tubuh kaum muslimin. Dengan
berbagai media yang mereka miliki, kaum muslimin dijejali dengan nilai
kekufuran. Mereka berusaha memengaruhi kaum muslimin agar sebagian
mereka merasa bangga apabila mengikuti cara pandang dan gaya hidup kaum
Yahudi dan Nasrani. Wal ’iyadzu billah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, kalian akan mengikuti
jejak orang-orang sebelum kalian (seperti) sejajarnya bulu anak panah
dengan bulu anak panah (lainnya), hingga seandainya mereka masuk lubang
dhab (binatang spesies reptil), niscaya kalian akan masuk juga
(mengikutinya).” Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka
itu Yahudi dan Nasrani?” Jawab beliau, “Siapa lagi (kalau
bukan mereka).” (HR . al-Bukhari dan Muslim)
Di antara yang disusupkan ke dalam
tubuh kaum muslimin terkait dengan kelahiran anak ialah membudayakan
tradisi peringatan hari ulang tahun. Peringatan natal, yang maknanya
memperingati hari kelahiran (dalam bahasa Arab: maulud), adalah termasuk
kebiasaaan orang di luar Islam. Bahkan, hal itu dianggap sebagai sebuah
tradisi yang bernilai ibadah. Peringatan semacam inilah yang
dikembangkan di tengahtengah masyarakat. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Barang siapa menyerupai satu kaum, dia termasuk dari mereka (kaum tersebut).” (HR . Abu Dawud)
Saat menyambut kelahiran sang buah
hati, seorang muslim yang baik tentu akan merujuk kepada apa yang telah
dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia akan berupaya menjauhkan segala
bentuk tradisi peninggalan nenek moyang yang telah turun temurun yang
tak selaras dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita selalu. Amin.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Hukum Mengumandangkan Adzan di Telinga Bayi Saat Lahir
Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu berkisah,“Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan seperti azan untuk shalat di telinga al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fathimah.”
Seputar Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Imam
Ahmad (6/9), Abu Dawud (5105), at-Tirmidzi, (1/286), al- Hakim (3/179),
al-Baihaqi (9/305), dan Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (1/121/2). Seluruh jalur riwayat, madar-nya (pusat perputaran hadits) kembali kepada jalur Sufyan dari ‘Ashim dari Ubaidullah dari Abu Rafi’. (Irwa’ul Ghalil, 1173)
Artinya, masing-masing ulama di atas
meriwayatkan hadits Abu Rafi’ ini di dalam kitab-kitab mereka dengan
jalur berbeda-beda. Akan tetapi, jalur periwayatan tersebut kembalinya
kepada Sufyan juga.
Siapakah Sufyan yang dimaksud? Sufyan
ats-Tsauri dan Sufyan bin ‘Uyainah sama-sama meriwayatkan hadits dari
‘Ashim bin Ubaidillah. Akan tetapi, di dalam sanad ini yang dimaksud
adalah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri.
Seputar Perawi Hadits
Dengan demikian, sanad hadits di atas
yang perlu dibahas lebih mendetail adalah jalur Sufyan dari ‘Ashim dari
Ubaidullah dari Abu Rafi’.
- Abu Rafi’, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas. Nama beliau diperselisihkan oleh ulama hadits. Ada yang mengatakan nama beliau Ibrahim, Aslam, Tsabit, dan ada pula yang berpendapat namanya Hurmuz. Abu Rafi’ termasuk maula (budak yang dimerdekakan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ubaidullah adalah putra Abu Rafi’. Beliau terhitung tabi’in yang meriwayatkan hadits dari para sahabat, di antaranya adalah ayahnya, Abu Hurairah, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum. Bahkan, beliau termasuk juru tulis Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau dinilai tsiqah oleh para ulama semisal Abu Hatim, al-Khathib, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sa’d.
- ‘Ashim bin Ubaidullah bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab al-‘Adawi al- Madani.
Sejumlah ulama menilai ‘Ashim sebagai perawi dha’if (lemah). Bahkan, al-Imam al-Bukhari dan Abu Hatim rahimahumallah menilai beliau munkarul hadits. Al-Imam an-Nasa’i rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui al-Imam Malik rahimahullah meriwayatkan hadits dari seorang perawi dha’if yang masyhur kedha’ifannya selain dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Al-Imam Malik rahimahullah meriwayatkan satu buah hadits darinya.”
- Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu Abdillah al-Kufi.
Beliau digelari Amirul Mukminin dalam
bidang hadits. Sebuah gelar kelas tinggi yang menunjukkan derajat dan
kedudukan beliau di kalangan ahli hadits. Gelar tersebut disematkan
untuk beliau oleh sekian banyak ulama, semacam Syu’bah, Sufyan bin
Uyainah, Abu ‘Ashim, Yahya bin Ma’in, dan beberapa yang lain. (Tahdzibut Tahdzib, pada biografi masing-masing)
Derajat Hadits Abu Rafi’
Al-Imam Tirmidzi rahimahullah setelah membawakan hadits Abu Rafi’ di atas mengatakan, ”Hadits ini hasan sahih.”
Asy-Syaikh al-Albani (Irwa’ul Ghalil 1173) berkomentar, “Demikianlah pendapat beliau. Padahal, para ulama sepakat menghukumi ‘Ashim bin Ubaidillah dha’if. Penilaian tertinggi untuk ‘Ashim adalah la ba’sa bihi (tidak mengapa). Itu pun yang mengucapkannya al-‘Ijli, sementara beliau termasuk ulama mutasahilin (mudah menilai tsiqah).”
Oleh sebab itu , al-Hafizh menegaskan di dalam at-Taqrib tentang kedha’ifan ‘Ashim ini. Adz-Dzahabi juga menyebutkan ‘Ashim di dalam adh-Dhu’afa. Beliau mengatakan, “Al- Imam Malik rahimahullah dan yang lainnya mendha’ifkannya.”
Adz-Dzahabi rahimahullah juga mengomentari penilaian al-Hakim terhadap hadits ini “Sanadnya sahih”, dengan mengatakan, “Ashim adalah perawi dha’if.”
Asy-Syaikh al-Albani sendiri semula menyatakan hadits Abu Rafi’ ini hasan (Irwa’ul Ghalil no. 1173). Akan tetapi, di kemudian hari beliau rujuk dan menyatakan hadits ini dha’if (Shahih al-Kalimit Thayyib hlm. 162 dan Silsilah Dha’ifah 6121)
Beliau mengatakan, “… Dahulu saya menyatakan hasan hadits Abu Rafi’ di dalam al-Irwa’ (4/400/1173). Sekarang—walhamdulillah—kitab as- Syu’ab karya
al-Baihaqi telah dicetak. Di sana saya menemukan sanadnya dan telah
jelas bagi saya kedudukannya yang sangat lemah. Oleh sebab itu, saya
menyatakan rujuk dari menilai hadits tersebut hasan.
Hadits Abu Rafi’ pun kembali dha’if sebagaimana
seharusnya dari sanad hadits. Hal ini hanyalah salah satu dari puluhan
contoh yang membuat saya berpendapat bahwa ilmu itu tidak bersifat jumud
(kaku). Saya akan tetap terus membahas dan melakukan penelitian sampai
kematian mendatangi saya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.”
Apakah sebelum asy-Syaikh al-Albani ada ulama hadits yang menyatakan hadits ini dha’if?
Ada. Al-Imam Ibnul Mulaqqin (al- Badrul Munir 9/348)
menjelaskan, “Ibnu Hibban mengkritik ‘Ashim yang meriwayatkan hadits
ini (hadits Abu Rafi’) dan hadits lainnya. Ibnul Qaththan juga
menghukumi hadits ini mu’all (memiliki cacat) karena ‘Ashim. Bahkan, beliau mengatakan, ‘Sungguh, dia adalah dha’iful hadits, munkar, dan mudhtarib’.”
Hadits ini juga disebutkan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah sebagai salah satu hadits munkar yang diriwayatkan oleh ‘Ashim. (Mizanul I’tidal 4/274)
Wallahu a’lam, kesimpulannya, hadits Abu Rafi’ adalah dha’if.
Pendapat Ulama dalam Masalah Ini
Sebagian kaum muslimin memang melakukan
amalan azan di telinga bayi saat baru dilahirkan. Bahkan, ada anggapan
jika bayi tidak diazani, setan akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan.
Namun, seperti apakah pendapat para ulama dalam hal ini?
Fuqaha mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
dianjurkan azan di telinga bayi ketika lahir. Fuqaha mazhab Hanafi dan
Hanbali juga berpendapat demikian.
Al-Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah (seorang ulama Hanafi) mengomentari pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
“Sebab, riwayat sahih (hadits Abu Rafi’) yang tidak bertabrakan dengan
dalil lain menjadi sebuah mazhab bagi seorang mujtahid, meskipun ia
sendiri tidak menyatakan dengan tegas.”
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (seorang ulama Hanbali) mengatakan,
“Sebagian ulama mengatakan disunnahkan
bagi orang tua untuk mengumandangkan azan di telinga anaknya ketika baru
lahir.” Setelah itu Ibnu Qudamah membawakan hadits Abu Rafi’. (al-Mughni 13/401, Mausu’ah Kuwaitiyah 2/373)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan hadits Abu Rafi’ di atas di dalam kitab beliau al-Adzkar.
Setelah itu beliau mengatakan, “Sejumlah ulama dari mazhab kami
(Syafi’i) berpendapat disunnahkan azan di telinga kanan bayi dan iqamat
di telinga kirinya.”
Hadits Abu Rafi’ di atas juga disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Kalimuth Thayyib dan Ibnul Qayyim di dalam kitab Tuhfatul Maudud. Bahkan, Ibnul
Qayyim rahimahullah membuat judul untuk hadits ini, “Disunnahkan azan di telinga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya.”
Jika kita memerhatikan lebih cermat dan
teliti, setiap ulama yang berpendapat azan di telinga bayi ketika lahir
hukumnya sunnah pasti berdalil dan beralasan dengan hadits Abu Rafi’ di
atas. Padahal, kita telah membaca bersama kesimpulan bahwa hadits Abu
Rafi’ adalah hadits yang dha’if.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad (Syarah Sunan Abi Dawud
5105) menyimpulkan, “Jika di dalam pembahasan atau bab ini (azan di
telinga bayi) tidak ada hadits kecuali hadits Abu Rafi’ ini—sementara di
dalam sanadnya terdapat seorang perawi dha’if yaitu ‘Ashim bin Ubaidillah—tidak ada satu pun dalil yang bisa digunakan sebagai hujah dalam masalah ini.”
Apakah beliau memiliki salaf dalam pendapat ini?
Al-Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa azan di telinga bayi ketika lahir hukumnya makruh. Bahkan, beliau menilainya sebagai perbuatan bid’ah. (Mausu’ah Kuwaitiyah 2/373)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (Liqa Bab Maftuh) juga menilai hadits Abu Rafi’ dhaif.
Mungkinkah Ulama Berpendapat dengan Hadits Dha’if?
Terkadang muncul pertanyaan, “Jika memang hadits Abu Rafi’ dha’if, mengapa bisa ulama sebanyak itu berpendapat sunnahnya azan di telinga bayi dan berhujah dengan hadits Abu Rafi’?”
Hal semacam ini sangat mungkin terjadi.
Orang yang mempelajari dan mendalami disiplin ilmu fikih pasti sering
menemukan contoh semacam ini. Terkadang seorang ulama memegang pendapat
yang bertentangan dengan hadits sahih karena hadits sahih itu belum
sampai kepadanya. Ada pula seorang ulama berpendapat dengan hadits dha’if disebabkan tidak mengetahui sisi dha’ifnya. Jelasnya, ilmu Allah radhiallahu ‘anhuma yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita sangatlah luas, sementara yang kita ketahui hanya sedikit.
Setelah menjelaskan kelemahan hadits Abu Rafi’, al-Mubarakfuri (Tuhfatul Ahwadzi 1514) mengatakan, “Bagaimana mungkin amalan ulama berdasarkan hadits ini, sementara hadits ini dha’if? Saya menjawab, benar. Hadits ini memang dha’if. Akan tetapi, menjadi kuat dengan hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Maushili dan Ibnu as-Sunni.”
Barangkali, inilah sebabnya mengapa para
ulama berdalil dengan hadits Abu Rafi’. Sebab, ada beberapa riwayat
yang dianggap bisa mendukung dan memperkuat hadits Abu Rafi’.
Adakah Hadits Lain yang Menguatkan Hadits Abu Rafi’?
Sebagian ulama yang berhujah dengan
hadits Abu Rafi’ menyebutkan dua hadits lain untuk menguatkan dan
mendukung hadits Abu Rafi’. Bagaimanakah derajat kedua hadits tersebut?
- Hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma, dikeluarkan oleh Abu Ya’la di dalam al-Musnad (4/1602), Ibnus Sunni di dalam ‘Amalul Yaum (200/617), dan Ibnu ‘Asakir (16/182/2). Semuanya melalui jalur Yahya bin al-‘Ala ar-Razi, dari Marwan bin Salim, dari Thalhah bin Ubaidillah al-‘Uqaili, dari al-Husain bin Ali. Lafadz hadits al-Husain radhiallahu ‘anhu,
“Barang siapa lahir anaknya lalu ia
mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, Ummu
as-Shibyan (setan) tidak akan memudaratkannya.”
Asy-Syaikh al-Albani menilai, “Sanad hadits ini maudhu’ (palsu). Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim adalah pemalsu hadits.”
- Hadits Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman (no. 8620) melalui jalur Muhammad bin Yunus, dari al-Hasan bin ‘Amr bin Saif as-Sadusi, dari al-Qasim bin Muthayyib, dari Manshur bin Shafiyyah, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan untuk al-Hasan bin Ali saat lahir. Beliau azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”
Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini
pun terdapat dua perawi pemalsu hadits, yaitu al-Hasan bin ‘Amr dan
Muhammad bin Yunus. Jadi, hadits ini pun derajatnya maudhu’ (palsu). (Silsilah adh-Dha’ifah no. 312 dan 6121)
Jelaslah sudah bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dihukumi dha’if. Sebab, dua hadits yang disebutkan sebagai penguat malah lebih parah lagi derajatnya. Kedua hadits tersebut sama-sama palsu.
Wallahu a’lam.
Bagaimanakah Seharusnya?
Sebagian kalangan bersikukuh melakukan
amalan ini. Alasannya, setan akan lari terbirit-birit ketika mendengar
azan. Memang benar, ada sebuah hadits yang menunjukkan hal itu (hadits
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat al-Bukhari no. 608 dan
Muslim no. 389). Hanya saja, azan yang dimaksud adalah azan syar’i yang
berlandaskan hadits sahih. Padahal, kita telah membaca bersama bahwa
hadits azan untuk bayi lahir adalah dha’if.
Ada juga yang beralasan ingin
memperdengarkan kalimat-kalimat baik untuk pertama kali di pendengaran
bayi. Hanya saja, Islam mendidik dan membimbing kita untuk beramal dan
beribadah berdasarkan hujah dan dalil yang kuat. Adakah hujah yang kuat
untuk mengumandangkan azan di telinga bayi? Lagi pula, apakah bayi
tersebut memang benar-benar bisa mendengar azan?
Bahkan, ada yang beralasan dengan tindakan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang melakukan amalan ini. Jawabannya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (at-Talkhis al-Habir) menyatakan, “(Pertama) saya tidak melihatnya musnad (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kedua, seandainya pun benar Umar bin Abdul Aziz rahimahullah melakukannya, tidaklah bisa diterima sebagai hujah. Sebab, ibadah harus berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.”
Berdasarkan sedikit keterangan di atas,
kita menyatakan bahwa azan di telinga bayi ketika lahir tidaklah
dituntunkan oleh Islam. Sebab, tidak ditemukan dalil dan hujah yang bisa
dijadikan sebagai landasan beramal.
Kita masih bisa memaklumi sebagian kaum
muslimin yang masih melakukan amalan ini. Barangkali mereka belum
mengetahui bahwa hadits yang dijadikan landasan adalah hadits lemah.
Maka dari itu, tugas kita ialah menjelaskannya. Masalahnya, setelah
seorang muslim mengetahui hadits dalam hal ini lemah, atas dasar apa ia
tetap melakukannya?
Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai
Kabar Gembira bagi Orang Tua
Ar-Rahmah adalah salah satu sifat Allah ‘azza wa jalla
yang mulia, sempurna, dan terkandung dua nama dari nama-nama-Nya yang
husna, yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim. Sifat rahmah-Nya sangat luas,
meliputi seluruh makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi. Allah ‘azza wa jalla mengabarkan kepada para hamba-Nya,
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156)
Para malaikat yang bertugas memikul
Arsy-Nya dan yang ada di sekitarnya senantiasa pun memohon kepada-Nya
agar senantiasa meluaskan rahmat-Nya.
(Malaikat-malaikat) yang memikul
Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya
dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan), “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu
meliputi segala sesuatu.” (Ghafir: 7)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa ‘Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu’ maksudnya
meliputi alam yang tinggi dan yang rendah, yang baik dan yang jahat,
yang beriman dan yang kafir, Jadi, tidak ada satu makhluk pun kecuali
benar-benar telah mendapatkan rahmat, karunia, keutamaan, dan
kebaikan-Nya.
Namun, rahmat (kasih sayang) yang
khusus, yang membuat seorang hamba mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
di akhirat, belum pasti didapatkan oleh setiap makhluk. Oleh karena itu,
Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang siapa yang berhak mendapatkan rahmat yang khusus itu dalam firman-Nya, ‘… maka Aku tetapkan rahmat (yang khusus itu) bagi hamba-hamba yang bertakwa.’
Yaitu orang-orang yang bertakwa, yang takut terhadap berbagai kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar. (Tafsir as-Sa’di)
Itulah rahasia yang terkandung dalam firman-Nya,
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu
dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan
kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (al-Ahzab:43)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan firman Allah, “Dia Maha Penyayang hanya kepada orang-orang yang beriman,” yaitu di dunia dan di akhirat. Kasih sayang-Nya di dunia terwujud dengan Dia ‘azza wa jalla menunjuki mereka kepada al-haq (kebenaran)
yang tidak diketahui oleh selain mereka. Dia menjadikan mereka melihat
jalan yang lurus dengan mata hati mereka. Adapun orang-orang selain
mereka menyimpang dan tersesat, baik kalangan dai yang mengajak kepada
kekafiran atau kebid’ahan maupun para pengikutnya.
Adapun kasih sayang-Nya bagi mereka di akhirat, Allah ‘azza wa jalla
akan melimpahkan keamanan dari rasa takut yang dahsyat sekaligus
memerintah para malaikat-Nya untuk memberi kabar gembira kepada mereka
dengan kesuksesan mendapatkan surga dan selamat dari api neraka. Namun,
hal itu tidak mungkin didapatkan kecuali karena kecintaan dan kasih
sayang Allah ‘azza wa jalla terhadap mereka. (Tafsir Ibnu Katsir)
Kabar Gembira bagi Mereka
Di antara bukti kasih sayang Allah ‘azza wa jalla
terhadap para hamba-Nya yang bertakwa dan bersabar menghadapi berbagai
problem kehidupan mereka di dunia adalah kabar gembira bagi mereka dalam
rangka membesarkan hati mereka.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Rabb mereka menggembirakan mereka
dengan memberikan rahmat dari-Nya, keridhaan, dan surga. Mereka
memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya.” (at-Taubah: 21)
Allah mengutus para malaikat-Nya untuk memberi kabar gembira kepada para hamba-Nya yang istiqamah di atas jalan-Nya.
“Dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Fushshilat: 30)
Dzat Yang Maha Penyayang memerintah
Rasul-Nya untuk memberikan kabar gembira kepada para hamba-Nya yang
senantiasa sabar dengan berbagai macam musibah yang menimpanya.
“Wahai orang-orang yang beriman,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)
shalat, sesungguhnya Allah bersama orangorang yang sabar.” (al-Baqarah: 153)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Kesimpulannya, kabar gembira itu bisa terjadi pada urusan
dunia dan akhirat. Maka dari itu, selayaknya seseorang senantiasa
optimis dan senang dengan kebaikan, serta tidak melihat dunia yang ada
di hadapannya dengan pandangan masam dan gelap hingga patah semangat dan
putus asa.
Apabila dia berhasil mendapatkan
kebaikan, dia mendapat ucapan selamat. Adapun kabar gembira dengan
kebaikan yang dia akan dapatkan, maka berilah kabar gembira suadaramu!
Jadikanlah senang hatinya! Kalau engkau melihat seseorang sedang
berduka, seakan-akan dunia sempit baginya karena berbagai ujian dan
cobaan yang menimpanya, sampaikanlah kepadanya untuk berbahagia dengan
jalan keluar (yang sudah dekat).
Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yakinilah, pertolongan itu (akan
didapat) bersama kesabaran, jalan keluar itu bersama kesusahan, dan
kemudahan itu (akan datang) bersama kesulitan.” (HR. Ahmad)
Tiga Golongan yang Diuji dengan Anak
- Orang yang Belum/Tidak Dikaruniai Anak dari Perkawinannya
Allah ‘azza wa jalla lah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Dia pula yang berkuasa menjadikan apa saja yang Dia kehendaki. Dia berfirman,
“Dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (asy-Syura: 50)
Pasangan suami istri yang belum dikaruniai atau tidak mendapatkan anak dari perkawinannya, kami nasihatkan untuk:
- Bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengembalikan hal itu kepada-Nya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barang siapa bertawakal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (ath-Thalaq: 2-3)
- Boleh melakukan usaha-usaha medis, terapi, dan yang lainnya, sebagai upaya mendapatkan keturunan selama cara-cara tersebut tidak dilarang oleh agama dan disertai doa, karena Dia adalah Maha Pencipta. Allah ‘azza wa jalla menceritakan upaya Nabi Zakaria ‘alaihissalam mendapatkan keturunan di awal surat Maryam.
(Yang dibacakan ini adalah)
penjelasan tentang rahmat Rabbmu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu
tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut. Ia berkata,
“Ya Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah
ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau,
wahai Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku
sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul, maka
anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra.” (Maryam: 2-5)
- Kasih sayang pasangan suami istri yang belum atau tidak dikaruniai keturunan bisa dicurahkan kepada anak yatim yang dipeliharanya atau anak asuh yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, mereka tidak boleh mengadopsi dengan menisbatkan nasab anak itu kepada mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan keutamaan memelihara anak-anak yatim baik dari kerabat dekat maupun bukan, dalam sabdanya,
“Penanggung jawab anak yatim— yang memiliki hubungan kekerabatan atau tidak—kedudukannya di surga antara aku dan dia sangat dekat, seperti jari telunjuk dengan jari tengah.” Perawi hadits ini, yaitu Malik bin Anas rahimahullah, mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menisbatkan nasab kepada selain bapak kandungnya dalam sabdanya,
“Barang siapa mengaku-aku nasab
kepada orang yang bukan bapaknya padahal dia tahu bahwa orang tersebut
bukan bapaknya, haram baginya surga.” (Muttafaqun alaih)
2 . Orang-orang yang
mendapatkan keturunan sedikit/banyak dari perkawinannya, baik laki-laki
saja, perempuan saja, maupun keduanya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan
anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang
dikehendaki-Nya).” (asy-Syura: 49—50)
Lahirnya keturunan adalah salah satu tujuan mulia di dalam pernikahan. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi motivasi kepada kaum pria untuk menikahi wanita subur yang memiliki potensi mempunyai anak. Beliau bersabda,
“Nikahilah wanita yang penyayang,
yang berpotensi punya anak (subur), karena aku sungguh berbangga-bangga
dengan banyaknya kalian di antara para nabi nanti pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Adab az-Zifaf hlm. 16)
Dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu, seorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintai seorang wanita yang memiliki
nasab dan cantik, hanya saja dia tidak bisa punya anak. Apakah aku boleh
menikahinya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan!”
Dia datang lagi untuk kedua kalinya dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya. Kemudian dia datang lagi ketiga kalinya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang semakna dengan hadits di atas. (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Nasihat bagi orang tua yang dikaruniai anak, sedikit atau banyak, adalah sebagai berikut.
- Bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sebab, takwa adalah modal utama untuk
menghadapi berbagai problem kehidupan, terutama dalam hal menunaikan
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Dengan takwa, semua urusan
menjadi mudah sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (ath-Thalaq: 4)
- Sabar dan ikhlas menunaikan tanggung jawabnya terhadap mereka, terutama tanggung jawab tarbiyah (mendidik) dan memberikan nafkah, karena hal itu termasuk cobaan baginya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya hartamu dan anakanakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)
Allah ‘azza wa jalla memerintah para hamba-Nya yang beriman untuk mentarbiyah diri, keluarga, dan anak-anaknya.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepada siapa saja yang senantiasa memerhatikan dan menunaikan kewajiban ini di dalam sabdanya,
“Terus-menerus ujian dan cobaan akan
dihadapi orang mukmin ataupun mukminah baik yang berkaitan dengan
dirinya, anaknya, maupun hartanya sampai dia bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan tidak ada dosa pada dirinya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5815)
Terlebih lagi mendidik anak-anak
perempuan, karena lemahnya mereka dan susahnya menjaga agama maupun
kehormatan mereka di zaman sekarang ini . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira di dalam sabda-Nya,
“Barang siapa diuji dengan anak-anak
perempuan dan dia berbuat baik kepada mereka, pada hari kiamat nanti
mereka akan menjadi tameng baginya dari api neraka.” (Muttafaqun alaih dari Aisyah radhiallahu ‘anha)
- Senantiasa memohon pertolongan Allah ‘azza wa jalla dalam menunaikan tanggung jawab yang berat ini.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (an-Nahl: 127)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semangatlah kamu untuk mendapatkan segala sesuatu yang akan bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah ‘azza wa jalla, dan jangan malas.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
- Orang-orang yang dikaruniai anak, tetapi sebagian atau seluruhnya meninggal, khususnya sebelum baligh.
Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang kekuasaan-Nya yang sempurna,
“Kami tetapkan dalam rahim apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami
keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur)
sampailah kamu kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan
dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,
supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah dia
ketahui.” (al-Hajj: 5)
Nasihat dan kabar gembira bagi mereka adalah sebagai berikut.
- Bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sebab, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan barang siapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan
melipatgandakan pahala baginya.” (ath-Thalaq: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati seorang wanita yang anaknya meninggal,
“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” (Muttafaqun alaih dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
- Bersabar dan mengharapkan pahala Allah ‘azza wa jalla dari musibah itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku
tidak memiliki balasan bagi hamba-Ku yang mukmin apabila Aku mengambil
kekasihnya (orang yang dicintai) dari penduduk dunia lalu dia
mengharapkan balasan dengannya kecuali surga’.” (HR. al-Bukhari)
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita (muslimah) mana saja yang
tiga anaknya mati, maka mereka akan menjadi tameng bagi orang tuanya
dari api neraka.” Ada seorang wanita bertanya, “Kalau dua anak?” Beliau
menjawab, “Dua anak juga.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah dua orang muslim (suami
istri) yang meninggal tiga anak yang lahir dari tulang sulbinya dan
mereka belum baligh kecuali Allah ‘azza wa jalla akan memasukkan mereka dan kedua orang tuanya ke dalam surga dengan sebab keutamaan rahmat-Nya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mereka
(anak-anak itu) masih menunggu di salah satu pintu surga kemudian
mereka diperintah, ‘Masuklah kalian ke surga.’ Mereka berkata, ‘(Kami
akan menunggu) sampai bapak ibu kami datang.’ Kemudian dikatakan kepada
mereka, ‘Masuklah kalian dan kedua orang tua kalian ke dalam surga
dengan sebab keutamaan rahmat Allah ‘azza wa jalla’.” (HR. an-Nasa’i dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hlm. 34)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa bersabar menghadapi
berbagai ujian dan cobaan dalam kehidupan dunia ini, terkhusus dalam
rumah tangga. Semoga Allah menjadikan semuanya sebagai penghapus
dosa-dosa kita sehingga kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan
mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Manusia Berharap, Allah yang Menentukan
Manusia Hamba yang Terhormat
Manusia adalah makhluk Allah ‘azza wa jalla yang paling terhormat di muka bumi ini karena Allah ‘azza wa jalla
mengangkat martabat mereka serta memosisikan pada tempat yang tinggi
dan terhormat di hadapan makhluk yang lain, memuji dan menyanjung mereka
dalam banyak kesempatan. Merekalah yang telah dinobatkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk mengurus urusan dunia ini di hadapan para malaikat.
“Dan ingatlah di saat Rabbmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi’.” (al-Baqarah: 30)
Para malaikat dengan keterbatasan ilmunya tentang manusia seraya berkata,
“Apakah Engkau akan menjadikan di atasnya orang yang akan melakukan perusakan dan melakukan pertumpahan darah?” (al-Baqarah: 30)
Ini adalah batas ilmu para malaikat tentang manusia yang akan diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla di muka bumi, dan mereka bermaksud menyucikan dan mengagungkan Allah ‘azza wa jalla dari hal seperti itu. Mereka memberitakan bahwa mereka adalah makhluk yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla dan bebas dari perbuatan merusak, dan mereka mengatakan,
“Dan kami menyucikan dengan memuji Engkau dan membersihkan Engkau.” (al-Baqarah: 30)
Allah ‘azza wa jalla
menjelaskan bahwa Dia Maha Mengetahui makhluk manusia, lahiriah dan
batiniah mereka. Allah Maha Mengetahui kebaikan yang berlipat ganda
dalam penciptaan manusia dibanding dengan kekhawatiran para malaikat
atas kejelekan yang akan muncul dari mereka.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (al-Baqarah: 30)
Menjadi makhluk yang terhormat tidak otomatis menjadi yang termulia di sisi Allah ‘azza wa jalla karena jati dirinya sebagai manusia. Akan tetapi, kemuliaan itu akan diperoleh di saat manusia itu beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan beramal saleh.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (al-Bayyinah: 7)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan al-Qur’an ini suatu kaum dan merendahkan dengannya kaum yang lain.” (HR. Muslim no. 1353 dari sahabat Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla mengangkat derajat seorang hamba sesuai dengan berpegang teguhnya dia dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kebanyakan Manusia Memilih Kerendahan dan Kehinaan
Itulah realita yang dijelaskan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam as-Sunnah, mayoritas manusia memilih kerendahan dan kehinaan di dalam hidup. Firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba- Ku yang berterima kasih.” (Saba’: 13)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka,
dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shad: 24)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, dan semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-Jamaah.” (HR. Ibnu Majah no. 3993)
Maka dari itu, jangan heran bila kita
sulit untuk mendapatkan yang satu tersebut di tengah umat ini. Jangan
heran apabila seseorang dengan gampang dan mudah tersesat jalannya di
dalam beragama. Kalaulah bukan karena taufik dan hidayah dari Allah ‘azza wa jalla, niscaya seseorang tidak akan bertemu dan berjumpa dengan satu golongan yang selamat tersebut.
Urusan Manusia Segalanya di Tangan Allah ‘azza wa jalla
Sering sekali manusia ini mengungkapkan
penolakan atas segala yang berlangsung di dalam hidup mereka,
lebih-lebih bila terjadi apa yang tidak sesuai dengan harapannya. Banyak
yang akan dijadikan kambing hitam, dijadikan tumpuan kesalahan,
tentunya dengan mengangkat dan membersihkan dirinya bahwa bukan dia yang
salah dan keliru.
Manusia seringnya berangan-angan dan
bercita-cita bahkan menggantungnya setinggi langit, angan-angan pada
sesuatu yang dia tidak berilmu tentangnya dan setelah itu memastikan
dirinya untuk bisa menggapai segala yang dicita-citakan.
Dengan menutup mata bahwa semua
perjalanan hidup yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan
terjadi, ada dalam ilmu dan pengaturan Allah ‘azza wa jalla.
Dia menyadari bahwa banyak peristiwa di luar dugaan dan di luar batas
daya pikirnya, terjadi dengan spontan dan tanpa pendahuluan. Tentu saja,
orang yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla akan menerima segala peristiwa di dalam hidupnya dengan lapang dada dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam,
Musa menjawab, “Pengetahuan tentang
itu ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan
salah dan tidak (pula) lupa.” (Thaha: 52)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan
Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(al-An’am: 59)
“Dia mengetahui apa yang masuk ke
dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit, dan apa
yang naik kepadanya. Dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha
Pengampun. Dan orang-orang yang kafir berkata, “Hari berbangkit itu
tidak akan datang kepada kami.” Katakanlah, “Pasti datang, demi Rabbku
yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang
kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya sebesar zarrah pun yang
ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil
dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).” (Saba’: 2—3)
Manusia Memiliki Kehendak, Allah ‘azza wa jalla Berkehendak
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah adalah manusia memiliki kehendak dan kehendak mereka di bawah kehendak Allah ‘azza wa jalla. Prinsip ini membantah dua bentuk keyakinan sesat dan paham berbahaya:
- Keyakinan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak, sanggup mewujudkan semua kehendaknya tanpa terkait dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla. Paham dan keyakinan ini diusung dan diproklamirkan oleh kaum Qadariyah.
- Keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kehendak sedikit pun dan mereka berada dalam keterpaksaan untuk berbuat segala-galanya di dalam hidup ini dan semuanya karena kehendak Allah ‘azza wa jalla. Apabila Allah ‘azza wa jalla menyiksa manusia karena dipaksa—dalam pandangan mereka—Allah ‘azza wa jalla telah berbuat zalim atas mereka. Paham ini diusung dan disuarakan oleh kaum Jabriyah.
Mari kita menyimak apa kata Rabb kita di dalam masalah ini.
“Dan kamu tidak mampu (menempuh
jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (al- Insan: 30)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (at-Takwir: 29)
“Kalau sekiranya Kami turunkan
malaikat kepada mereka, dan orangorang yang telah mati berbicara dengan
mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka,
niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah
menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (al-An’am: 111)
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa, segala apa yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla
pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak mungkin
terjadi, dan bagaimana mungkin terjadi dalam kekuasaan-Nya apa yang
tidak dikehendaki. Kalau demikian siapa lagi yang paling sesat dan
paling kufur dari seseorang yang menganggap Allah ‘azza wa jalla
menghendaki keimanan dari seorang kafir sementara si kafir menginginkan
kekufuran, lalu kehendak sang kafir mengalahkan kehendak Allah ‘azza wa jalla, Mahatinggi Allah ‘azza wa jalla dari apa yang mereka katakan.” (Syarah Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izzi hlm. 161)
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah al-Azdi al- Hajari al-Mishri ath-Thahawi al-Hanafi dalam Aqidah Thahawiyyah berkata,
“Segala sesuatu terjadi dalam ketentuan takdir dan kehendak Allah ‘azza wa jalla, dan kehendak-Nya pasti terlaksana, dan tidaklah terlaksana kehendak hamba kecuali apa yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki buat mereka, sehingga apa yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla buat mereka pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.”
Jujur dalam Menggantungkan Harapan kepada Allah ‘azza wa jalla
Seringkali manusia berharap akan sebuah karunia Allah ‘azza wa jalla, namun sangat sedikit dari mereka yang mau menyambut panggilan Allah ‘azza wa jalla.
Manusia juga sangat gampang dan mudah melupakan Dzat yang telah
memberinya nikmat. Mudah berkeluh kesah di dalam hidup. Apabila Allah ‘azza wa jalla tidak memberikannya atau belum menganugerahkan kepadanya apa yang diharapkan, ia tampakkan kekufuran dan kekafiran.
Sebaliknya, bila Allah ‘azza wa jalla
memberikan apa yang dimintanya dia justru menyombongkan diri, sehingga
tidak sedikit dari mereka melontarkan ungkapan-ungkapan keangkuhan
seperti; ‘Ini karena ilmu dan keahlian saya’, ‘Ini karena keturunan
saya’, ‘Ini memang kesuksesan yang sudah turun-temurun’, ‘Ini karena
strategi-strategi saya yang tepat dan jitu’, ‘Ini karena anak buah saya
yang handal dan berpengalaman’, ‘Ini karena kemuliaan saya, maka pantas
saya mendapatkannya’, dan sebagainya.
Dia tidak merasa jika semuanya ini datang dari Allah ‘azza wa jalla yang menuntutnya untuk bersyukur bila menyenangkan dan sabar bila tidak sesuai dengan harapan.
“Sesungguhnya apabila Kami merasakan
kepada manusia suatu rahmat dari Kami Dia bergembira ria karena rahmat
itu. Jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka
sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat
ingkar (kepada nikmat).” (asy-Syura: 48)
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan bahwa apabila dia mendapatkan nikmat, dia menjadi jahat dan
sombong dan bila dia diuji, dia berputus asa, sebagaimana ucapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita,
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian! Sebab, aku benar-benar melihat kebanyakan kalian penghuni neraka.”
Seorang wanita bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya
kalian itu banyak mengeluh dan jelek pergaulan (bersama suami kalian)
dan jika kamu (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka
sepanjang tahun, lalu suatu hari kamu meninggalkan kebaikan itu, wanita
itu berkata, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu sama sekali’.” (HR. Muslim no. 79, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma dan pada no. 80 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah kondisi kebanyakan orang, kecuali yang telah mendapatkan hidayah dari Allah ‘azza wa jalla dan mendapatkan bimbingan-Nya, serta termasuk golongan orangorang yang beriman dan beramal saleh.
Orang yang beriman itu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Bila dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur dan bila menimpanya sesuatu yang menyedihkan, dia bersabar. Itu adalah kebaikan baginya, dan hal itu tidak didapatkan selain oleh orang yang beriman’.” (HR. Muslim no. 299 dari sahabat Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/121.
Berharap Keturunan, Allah ‘azza wa jalla yang Menentukan dan Memutuskan
Allah ‘azza wa jalla bercerita
tentang para nabi dan rasul serta orang-orang saleh di dalam al-Qur’an
bahwa mereka sangat berharap untuk mendapatkan keturunan yang baik dan
beberkah. Seperti di dalam firman-Nya,
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada
Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang
anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali ‘Imran: 38)
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang saleh.” (ash-Shaffat: 100)
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa para
nabi dan rasul serta orangorang saleh mengharapkan keturunan yang baik
di dalam hidup. Mereka menggantungkan harapannya kepada Allah ‘azza wa jalla. Karena tidak ada sesuatu yang sulit bagi Allah ‘azza wa jalla jika mengatakan kun (jadilah) maka akan terjadi apa yang diinginkan-Nya. Walaupun hal itu dalam catatan ilmu manusia tidak mungkin terjadi.
Allah ‘azza wa jalla yang
memberi siapa yang dikehendaki-Nya dan tidak memberi siapa yang
diinginkan-Nya, tidak ada yang sanggup menghalangi bila Dia akan memberi
dan tidak ada yang akan sanggup untuk memberi, bila Allah ‘azza wa jalla menghalanginya. Allah ‘azza wa jalla-lah yang akan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, berkuasa atas mereka serta Dia Allah ‘azza wa jalla memutuskan di atas ilmu dan keadilan-Nya.
Dia Allah ‘azza wa jalla yang akan memberi keturunan kepada seseorang dan tidak memberinya kepada yang lain. Menjadikan seseorang wanita itu subur dan tidak subur bahkan menjadikan seseorang itu mandul. Menganugerahkan hanya anak-anak wanita kepada seseorang, seperti anugerah-Nya kepada Nabi Luth ‘alaihissalam, atau semuanya lelaki seperti anugerah-Nya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, atau memberinya keturunan laki-laki dan wanita seperti anugerah-Nya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia Allah ‘azza wa jalla yang akan memberi keturunan kepada seseorang dan tidak memberinya kepada yang lain. Menjadikan seseorang wanita itu subur dan tidak subur bahkan menjadikan seseorang itu mandul. Menganugerahkan hanya anak-anak wanita kepada seseorang, seperti anugerah-Nya kepada Nabi Luth ‘alaihissalam, atau semuanya lelaki seperti anugerah-Nya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, atau memberinya keturunan laki-laki dan wanita seperti anugerah-Nya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ‘azza wa jalla pula yang tidak menganugerahkan keturunan seperti kepada Nabi Yahya dan Nabi Isa ‘alaihimassalam.
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam firman-Nya,
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan
anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan
anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang
dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (asy-Syura: 49-50)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Melaksanakan Akikah
Akikah secara bahasa berasal
dari kata yang berarti memotong. Adapun secara istilah agama, akikah
adalah binatang yang disembelih karena lahirnya anak, baik laki-laki
maupun perempuan. (asy-Syarhul Mumti’ 7/317 cet. al-Maktabah at-Taufiqiyyah)
Akikah punya sebutan lain, yaitu nasikah
atau dzabihah yang berarti sembelihan. Tiga sebutan ini ditetapkan oleh
syariat sehingga tidak pantas hanya dimasyhurkan (memakai) salah
satunya dan yang lain ditinggalkan. (Tuhfatul Maudud hlm. 37)
Hukum Mengakikahi Bayi
Berdasarkan dalil-dalil yang kuat,
akikah disyariatkan. Hanya saja telah terjadi perbedaan pendapat di
antara ulama tentang wajib dan tidaknya.
- Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa akikah hukumnya sunnah.
Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa suka / ingin
menasikahi/mengakikahi anaknya, hendaklah menasikahinya. Untuk anak
laki-laki dua kambing yang sepadan dan untuk anak perempuan satu
kambing.” (Hasan, HR. Abu Dawud, an-Nasai, dan selain keduanya)
Segi pendalilan dari hadits ini, masalah
mengakikahi bayi diserahkan kepada keinginan orang tuanya sehingga
menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib. Mereka juga berdalil dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan kepada Fatimah radhiallahu ‘anha ketika melahirkan al-Hasan radhiallahu ‘anhu,
“Jangan kamu mengakikahinya, tetapi gundullah rambut kepalanya….” (Hasan, HR. Ibnu Abi Syaibah, Ahmad 6/390—392, al-Baihaqi dalam al- Kubra 9/299, dan ath-Thabarani dalam al-Kabir)
- Ulama yang lain mengatakan bahwa akikah itu wajib. Di antara mereka adalah Buraidah al-Aslami, al-Hasan al-Bashri, al-Laits bin Sa’d, Dawud azh- Zhahiri, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Landasan pendapat ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakikahi anak, dan perintah pada dasarnya menunjukkan wajib.
Di antara dalil pendapat ini adalah:
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka untuk (mengakikahi) anak laki-laki dengan dua kambing yang sepadan dan untuk anak perempuan satu kambing. (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1513)
- Hadits Salman bin ‘Amr adh- Dhabbi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersama anak laki-laki ada akikahnya,
maka alirkanlah darah (sembelihan binatang) baginya dan singkirkanlah
darinya kotoran (yakni dengan menggundul rambut kepala bayi).” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1515 dan Shahih Ibnu Majah no. 3164)
Para ulama yang mengatakan wajib telah menjawab argumentasi para ulama yang mengatakan sunnah. Di antara sanggahan mereka:
- Hadits yang menyebutkan,
“Barang siapa ingin/suka menasikahi/
mengakikahi anaknya….” bukanlah dalil yang memalingkan hukum wajibnya
akikah menjadi sunnah. Sebab, lafadz ini serupa dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (at-Takwir: 28)
Apakah mencari jalan yang lurus
(istiqamah) hukumnya hanya sunnah? Tentu tidak demikian, hukumnya wajib
sebagaimana diketahui dari dalil-dalil yang lain.
- Adapun hadits Fathimah radhiallahu ‘anha
yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Fathimah radhiallahu ‘anha mengakikahi anaknya, sebabnya ialah karena anaknya telah diakikahi oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah disebutkan oleh hadits yang lain, sehingga tidak perlu diakikahi lagi.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mengakikahi (bayi) adalah wajib, seperti telah kami sebutkan.
Tidak halal bagi seorang untuk menafsirkan suatu perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa hal itu boleh ditinggalkan, kecuali dengan adanya nash (dalil) yang lain tentang hal itu….” (al-Muhalla 7/526)
Argumentasi kedua pendapat di atas masih
banyak dan tidak mungkin ditampilkan secara panjang lebar di ruang yang
terbatas ini. Pembaca kami persilakan melihat kitab Tuhfatul Maudud
karya Ibnul Qayyim dan Ahkamul Maulud fis-Sunnah al-Muthahharah karya
Salim asy-Syibli dan Muhammad ar-Rabah.
Pendapat yang mengatakan akikah hukumnya
wajib itu lebih kuat. Oleh karena itu, seorang muslim—meskipun
mengikuti pendapat yang mengatakan sunnah—tidak pantas meninggalkan
perintah akikah ini selagi ia mampu. Hal ini demi mewujudkan sikap
ittiba’ (mengikut) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.
Namun, apabila seseorang tidak mampu
mengakikahi anaknya karena keterbatasan dana misalnya, tidak mengapa dia
tidak mengakikahi anaknya. Hal ini berlandaskan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
Ketentuan Binatang yang Disembelih Untuk Nasikah
Akikah tidak sah kecuali dengan kambing,
baik kambing domba atau kambing kacang. Hal ini berlandaskan beberapa
riwayat, di antaranya hadits,
“Bagi anak laki-laki (akikah) dua kambing yang sepadan dan bagi anak perempuan satu kambing.” (HR. at- Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Maksud “yang sepadan” adalah sepadan dari sisi umur dan bagusnya. (Faidhul Qadir dan Nailul Authar 5/158)
Terdapat atsar bahwa ketika lahir anak laki-laki Abdurrahman bin Abi Bakr ash-Shiddiq maka dikatakan kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ummul mukminin, “Akikahilah ia dengan (menyembelih) unta!” Aisyah berkata, “Aku berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, (seperti) apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan (yaitu) dua kambing yang sepadan.” (HR. ath- Thahawi dan al-Baihaqi. Asy-Syaikhal-Albani berkata dalam al-Irwa’ bahwa sanadnya hasan 4/390)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Menurut saya, tidak sah akikah selain dengan kambing.” (Fathul Bari 9/593)
Adapun atsar yang datang dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
bahwa ia mengakikahi anaknya dengan unta, atsar ini memang sahih,
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dan ath-Thabarani dalam
al-Kabir. Akan tetapi, sahabat Anas radhiallahu ‘anhu di sini tidak menyebutkan apakah itu adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapannya atau bukan. Jika demikian, kita mengambil yang jelas dari ucapan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu akikah dengan menyembelih kambing.
Adapun hadits riwayat ath- Thabarani
(yang artinya), “Barang siapa dianugerahi anak laki-laki hendaklah ia
mengakikahinya dengan unta, sapi, dan kambing.” (al-Mu’jam ash-Shaghir:
45) dinyatakan maudhu’ (palsu) oleh ulama. Hadits di atas mengandung
banyak cacat pada sanadnya, dan yang paling menonjol adalah adanya rawi
bernama Mas’ud bin al-Yasa. Al-Hafizh al-Haitsami rahimahullah berkata, “Dia pendusta.” (lihat Irwa’ul Ghalil 4/393—394)
Menurut sebagian ulama, kambing untuk
akikah memiliki kriteria seperti kambing yang sah untuk kurban, yaitu
telah berumur setahun, tidak buta, tidak kurus kering, tidak pincang,
tidak sakit, tidak boleh dijual sedikit pun dari daging dan kulitnya,
serta boleh (namun makruh) dipatahkan tulangnya. Orang yang mengakikahi
boleh makan darinya dan menyedekahkannya. (Tuhfatul Maudud hlm. 53)
Jumlah Kambing yang Disembelih
Seperti telah disebutkan bahwa untuk
anak laki-laki dua kambing dan untuk anak perempuan satu kambing. Tidak
ada masalah, apakah kambing yang disembelih itu jantan atau betina
sebagaimana telah disebutkan yang demikian dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/164—165 no. 1517)
Apabila seseorang hanya mampu
mengakikahi anak laki-lakinya dengan seekor kambing, sebagian ulama
mengatakan itu telah sah dan tujuan akikah telah tercapai. Akan tetapi,
apabila suatu saat nanti Allah ‘azza wa jalla memberi kecukupan kepadanya, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi sehingga menjadi dua kambing. Ini yang utama. (asy-Syarhul Mumti’, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 7/318)
Waktu Akikah
Waktu penyembelihannya adalah pada hari ketujuh dihitung dari hari kelahirannya. Ini berlandaskan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih baginya pada hari ketujuhnya.” ( HR. Abu Dawud no. 2838 dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1522)
Berlandaskan hadits ini dan selainnya,
waktu penyembelihannya adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh
dilakukan sebelum hari ketujuh. Apabila tidak mampu menyembelih pada
hari ketujuh, dia menyembelih kapan saja ia mampu sebagai sesuatu yang
wajib. (al-Muhalla 7/523)
Apabila dia baru mampu menyembelih
setelah hari ketujuh, ia melakukannya kapan saja ia mampu tanpa
menentukan hari tertentu. Adapun yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda (yang artinya), “Disembelih pada hari ketujuh,
hari keempat belas, dan hari kedua puluh satu,” hadits ini lemah
sehingga tidak bisa menjadi landasan hukum. Hadits ini diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dalam as-Sunan (9/303) dan ath-Thabarani dalam Mu’jam ash-Shaghir dari hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu. Dalam sanadnya ada rawi bernama Ismail bin Muslim al-Makki, ia dhaif (lemah). (lihat Irwaul Ghalil 4/395)
Apabila Bayi Meninggal Sebelum Hari Ketujuh, Apakah Diakikahi?
Sebagian ulama berpendapat bahwa akikah
tidaklah gugur. Alasannya, dalil-dalil syariat yang ada hanyalah
menunjukkan waktu penyembelihannya (yaitu hari ketujuh). Jadi, akikah
tidak gugur apabila bayi itu mati sebelum hari ketujuh. Sebab,
dalil-dalil tersebut secara garis besarnya menunjukkan bahwa akikah
disyariatkan dengan sebab kelahiran anak dan akikah disembelih pada hari
ketujuh. (lihat Fatawa al- Lajnah ad-Daimah 11/445)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
merinci tentang bayi yang (disyariatkan untuk) diakikahi, apakah
disyaratkan ia lahir dalam keadaan hidup? Apakah disyaratkan juga
terhadap janin yang gugur sesudah ditiup padanya ruh?
Beliau menyebutkan empat tingkatan:
- Janin yang gugur sebelum ditiup ruh atasnya tidak diakikahi.
- Janin yang keluar sudah mati dalam keadaan telah ditiup ruh atasnya, maka ada dua pendapat ulama.
- Janin yang lahir dalam keadaan hidup dan meninggal sebelum hari ketujuh. Dalam hal ini juga ada dua pendapat ulama. Namun, pendapat yang menyatakan diakikahi lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan diakikahi pada tingkatan kedua.
- Ia lahir hidup sampai hari ketujuh dan meninggal di hari kedelapan (sebelum diakikahi), tetap diakikahi. (asy-Syarhul Mumti’ 7/320)
Siapa yang Mengakikahi Anak?
Asalnya, yang dibebani melakukan akikah
adalah ayah sang bayi. Akan tetapi, apabila ayahnya sudah meninggal,
sang ibu menggantikan kedudukannya. (asy-Syarhul Mumti’ 7/318)
Boleh pula bayi tersebut diakikahi oleh selain ayah dan ibunya, sebagaimana halnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi al-Hasan dan al-Husain radhiallahu ‘anhuma. (Sunan Abu Dawud no. 2841)
Boleh Mengakikahi Diri Sendiri
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi nabi. Jalan periwayatan hadits ini dari Anas radhiallahu ‘anhu ada dua.
Jalur pertama: Dari Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas radhiallahu ‘anhu.
Melalui jalan inilah Abdurrazzaq
meriwayatkannya dalam al-Mushannaf (4/329/7960), al-Bazzar dalam
Musnad-nya (2/74/1237), dan yang lainnya.
Al-Bazzar berkata, “Abdullah bin al- Muharrar menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini dan dia dhaif jiddan (lemah sekali)….”
Jalan kedua: Dari al-Haitsam bin Jamil,
ia berkata, “Abdullah bin al-Mutsanna bin Anas telah bercerita kepada
kami dari Tsumamah bin Anas, dari Anas.”
Melalui jalan inilah ath-Thahawi rahimahullah
meriwayatkan dalam Musykilul Atsar (1/471), ath-Thabarani dalam al-
Mu’jam al-Ausath, dan lainnya. Sanad hadits ini dinyatakan hasan (bagus)
oleh asy-Syaikh al-Albani dan dinyatakan kuat oleh al-Imam al-Isybili rahimahullah dalam al-Ahkam.
Sebagian salaf berpendapat bahwa hadits ini diamalkan. Di antara mereka adalah Ibnu Sirin rahimahullah. Ia berkata, “Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
“Jika engkau belum diakikahi, akikahilah dirimu, meskipun engkau sudah menjadi seorang lelaki (dewasa).”
Kedua atsar di atas dinyatakan kuat oleh asy-Syaikh al-Albani (lihat as- Silsilah ash-Shahihah 6/502—506).
Membagikan Daging Akikah
Daging akikah diberikan kepada para
tetangga dan orang-orang miskin. Orang yang mengakikahi dan keluarganya
diperbolehkan memakan sebagian daging tersebut. Daging akikah boleh
dibagikan dalam keadaan masih mentah atau sudah matang. Bahkan, boleh
juga dimasak dengan dicampur sesuatu selain daging akikah. Hanya saja,
dibagikan dalam keadaan matang tentu lebih baik karena tidak merepotkan
para tetangga dan orang-orang miskin untuk memasaknya. Dengan demikian,
diharapkan mereka lebih senang karena tidak perlu repot memasaknya.
(lihat Tuhfatul Maudud hlm. 50 dan 55 cet. al-Mu’ayyad)
Dibolehkan juga dia mengundang orang
untuk memakan daging akikah. Hal ini berlandaskan atsar Mu’awiyah bin
Qurrah, ia berkata, “Ketika lahir anakku, Iyas, aku mengundang beberapa
orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku memberi mereka makan….” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 950)
Disebutkan dalam fatwa al-Lajnah
ad-Daimah (Komite Fatwa Ulama Arab Saudi), “Orang yang mengakikahi boleh
membagikan dagingnya dalam keadaan masih mentah atau sudah dimasak.
(Daging itu diberikan) kepada orangorang fakir, tetangga, kerabat, dan
rekan-rekan. Dia dan keluarganya boleh memakan sebagiannya. Boleh pula
dia mengundang manusia, yang fakir dan yang kaya, lalu memberi mereka
makanan dari daging akikah, di rumahnya atau yang semisalnya.” (Fatawa al-Lajnah, 11/443—444)
Hikmah Akikah
Akikah adalah ibadah yang sarat makna dan hikmah, di antaranya:
- Menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau lakukan dan beliau perintahkan umatnya untuk melakukannya.
- Bentuk berkurban bagi anak untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla di saat awal ia terlahir di dunia.
- Akikah akan melepaskan anak dari statusnya yang tergadaikan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Semua anak tergadaikan dengan akikahnya.” (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah)
Ulama berbeda pendapat tentang maksud
“tergadaikan” pada hadits di atas. Ada yang mengatakan bahwa anak tidak
bisa memberi syafaat orang tuanya apabila tidak diakikahi. Ini adalah
pendapat ‘Atha rahimahullah dan diikuti oleh al-Imam Ahmad rahimahullah. Akan tetapi, al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
tidak sependapat dengan penafsiran ini dengan beberapa alasan. Di
antaranya, syafaat di hari kiamat tidak terjadi kecuali apabila yang
memberi syafaat diberi izin oleh Allah ‘azza wa jalla dan yang diberi syafaat adalah orang yang diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla karena tauhid dan ikhlasnya. Selain itu, lafadz hadits di atas tidak menunjukkan kepada penafsiran ‘Atha rahimahullah. Ibnul Qayyim rahimahullah
lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud
tergadaikan adalah terhalangi dari hal yang sedang ia usahakan untuk
mendapatkannya.
Dengan diakikahi, Allah ‘azza wa jalla melepaskan anak itu dari kekangan setan yang selalu menempel pada bayi sejak lahir di dunia ini dan menusuk pinggang bayi. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hlm. 46—49)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Mencukur Rambut Bayi
Pada hari ketujuh diperintahkan untuk menggundul rambut bayi. Hal ini berlandaskan beberapa hadits di antaranya,
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, akikah disembelih untuknya pada hari ketujuh, digundul kepalanya, dan diberi nama.” (Sahih, HR. Ahmad dan Ahlus Sunan yang empat dari Samurah radhiallahu ‘anhu).
Demikian pula hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi al-Hasan dengan kambing dan beliau bersabda, “Wahai Fathimah, gundullah kepalanya!” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1519)
Yang dimaksud menggundul kepala bayi
adalah mencukur seluruh rambut kepalanya, bukan sebagiannya. Sebab,
menggundul sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian lainnya telah
dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Shahih al-Bukhari dari hadits Ibnu Umar no. 5921)
Akan tetapi, apabila ada kebutuhan mendesak untuk menggundul sebagian kepala, seperti untuk pengobatan, hal ini tidak mengapa. (Fathul Bari 10/360)
Apakah Perintah Menggundul Rambut Bayi Hanya Untuk Bayi Laki-Laki?
Dalam hal ini ada dua pendapat ulama.
1 . Ada yang mengatakan dimakruhkan untuk bayi perempuan, dan ini adalah pendapat al-Mawardi.
- Ada juga ulama yang mengatakan sama seperti bayi laki-laki. Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanbali. (lihat Fathul Bari 9/595)
Pendapat yang mengatakan digundul lebih kuat berlandaskan hadits,
“Hanyalah wanita itu sama seperti laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan at-Tirmidzi dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 333)
Dengan demikian, tidak dibedakan antara
laki-laki dan perempuan kecuali jika memang ada dalil yang
membedakannya. Misalnya, untuk tahallul (keluar) dari amalan
haji dan umrah serta beberapa kondisi yang lain, wanita tidak boleh
menggundul kepalanya berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wanita tidak ada keharusan menggundul, hanyalah bagi mereka memendekkan (rambut).” ( HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al- Jami’)
Hikmah Menggundul Rambut
Perintah agama pasti mengandung hikmah
dan maslahat yang mendalam. Apa yang kita ketahui baru sekelumit dari
mendalamnya hikmah Allah ‘azza wa jalla di balik perintah ini.
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan,
“Menggundul adalah untuk menghilangkan
(rambut) yang kotor dari kepala bayi. Menggundul juga berarti membuang
rambut yang lemah agar diganti dengan yang lebih kuat dan lebih kokoh.
Selain itu, menggundul bisa meringankan (beban) bayi dan membuka
pori-pori kepala agar uap keluar dengan mudah. Hal ini akan menguatkan
penglihatan, penciuman, dan pendengarannya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 48)
Bersedekah dengan Perak Seberat Rambut Bayi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah putrinya, Fatimah radhiallahu ‘anha, untuk menyedekahkan perak atas nama anaknya seberat rambut bayi yang digundul. Ini disebutkan oleh hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi al-Hasan radhiallahu ‘anhu dengan seekor kambing, lalu bersabda, “Wahai Fatimah, gundullah kepalanya dan bersedekahlah seberat rambutnya berupa perak.”
Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami menimbang (rambut)nya. Beratnya satu dirham atau beberapa dirham.” (Shahih Sunan at- Tirmidzi no. 1519)
Maka dari itu, menjadi keharusan bagi
yang memiliki keluasan untuk menyedekahkan perak seberat rambutnya. Jika
tidak mampu, Allah ‘azza wa jalla tidak membebani suatu jiwa lebih dari kemampuannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhis (4/148), seluruh riwayat sepakat menyebutkan (sedekah dengan) perak. Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan emas.
Bersedekah dengan perak ini dilakukan
pada hari ketujuh, sebagaimana yang dipahami dari hadits. Ini adalah
pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah. (Ahkamul Maulud fis-Sunnah al-Muthahharah 79—80)
Sebagian ulama berpendapat, jika pada
hari ketujuh tidak ada tukang cukur yang bisa menggundul kepalanya,
berat perak yang disedekahkan bisa ditentukan dengan perkiraan. (asy-Syarhul Mumti’ 7/321)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc

Memberi Nama Anak
Pada hari ketujuh dari kelahiran bayi ia sudah harus diberi nama. Hal ini demi menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menamai anak pada hari ketujuh. (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2832 cet. al-Ma’arif)
Namun, dibolehkan memberi nama anak sebelum hari ketujuh. Landasannya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tadi malam terlahir bagiku anak laki-laki lalu aku memberinya nama (seperti nama) bapakku, (Nabi) Ibrahim ‘alaihissalam.” (Shahih Muslim no. 2310)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Boleh menamai anak pada hari kelahirannya.” (Syarh Shahih Muslim 14/100)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya, hakikat penamaan adalah
memperkenalkan sesuatu yang diberi nama. Sebab, jika sesuatu itu ada dan
tidak diketahui namanya, tentu tidak ada sesuatu yang menyebabkannya
dikenal.
Maka dari itu, boleh untuk memberi nama
pada hari kelahirannya, dan boleh mengakhirkannya sampai tiga hari dan
sampai hari diakikahi (hari ketujuh) dan boleh (juga) sebelum itu dan
setelahnya, perkaranya di sini lapang.”
Di sini, Ibnul Qayyim rahimahullah membolehkan memberi nama anak setelah hari akikah (setelah hari ketujuh), namun demi mengamalkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seharusnya dihari ketujuh sudah diberi nama, atau kalau seorang mau maka boleh memberi nama sebelum hari ketujuh. (Tuhfatul Maudud hlm. 71)
Siapa yang Berhak Memberi Nama?
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan,
“Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam hal ini bahwa jika terjadi perselisihan antara ayah
dan ibu dalam hal penamaan anak, ayahlah yang memiliki hak.” (Tuhfatul Maudud hlm. 85)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Pada dasarnya (masalah) penamaan dikembalikan kepada (hak)
ayah, karena dia yang memiliki hak kewalian. Akan tetapi, seyogianya
sang ayah bermusyawarah dengan ibu dan saudara-saudara si bayi dalam hal
ini… Telah dimaklumi, apabila seseorang bersikap lapang terhadap
keluarganya dan bermusyawarah dalam urusan seperti ini, tentu itu
termasuk kebaikan.
Terkadang ibu berbeda pendapat dengan
ayah dalam hal pemberian nama. Jika demikian, yang dijadikan pegangan
adalah pendapat ayahnya. Namun, apabila mampu memadukan dua pendapat
tersebut dengan memilih nama lain yang bisa disepakati kedua belah
pihak, tentu ini lebih baik. Sebab, apabila terjadi kecocokan tentu
lebih baik dan enak di hati.” (asy-Syarhul Mumti’, 7/322)
Memberi Nama yang Bagus
Hendaknya orang tua atau yang
berkedudukan sebagai orang tua memberi nama anaknya dengan nama-nama
yang bagus, yaitu bagus secara makna dan tidak bertentangan dengan
aturan agama.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
menerangkan, “Dalam kesempatan ini hendaknya seorang memilihkan untuk
anaknya nama yang nantinya anak tidak akan menanggung celaan di saat
dewasa dan tidak merasa tersakiti dengan nama itu, karena terkadang
seorang ayah menyukai suatu nama tertentu akan tetapi di kemudian hari
sang anak merasa tersakiti dengan nama tersebut sehingga menjadi sebab
anak itu terganggu. Suatu hal yang maklum bahwa menyakiti seorang mukmin
itu haram, maka seseorang (hendaknya) memilihkan nama yang terbagus dan
paling dicintai Allah ‘azza wa jalla….” (asy-Syarhul Mumti’ 7/320—321)
Secara fitrah, orang senang dengan
sebutan yang baik serta suka mendengarkan dan melihat sesuatu yang indah
sehingga sangat tidak tepat bila ada yang mengatakan, “Apa arti sebuah
nama.”
Bila kita melihat sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan dapati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyukai nama yang baik dengan bukti ketika ada seorang sahabat
memiliki nama yang tidak baik beliau menggantinya. Dahulu sahabat ‘Umar
bin Khaththab radhiallahu ‘anhu memiliki anak perempuan yang diberi nama ‘Ashiyah ( عَاصِيَةُ ) maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi nama ia dengan Jamilah جَمِيْلة) ). ‘Ashiyah artinya wanita
yang bermaksiat sedangkan Jamilah artinya wanita yang cantik.
Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah meriwayatkan dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi bertanya, “Siapa namamu?” Ia (kakeknya Sa’id) menjawab, “Hazn.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau Sahl.” Hazn berkata, “Aku tidak akan mengubah nama yang diberikan oleh bapakku.” (Shahih al-Bukhari no. 6190)
Hazn artinya keras, kaku, dan kasar.
Adapun Sahl artinya mudah dan lunak.
Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn rahimahullah berkata,
“Perangai kaku/keras setelah itu selalu ada di tengah-tengah (keluarga) kami.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengubah nama yang jelek dengan nama yang baik. Sebab, nama yang baik
mengandung pengharapan kebaikan, sedangkan nama yang jelek menjadikan
seseorang beranggapan ada kesialan pada dirinya.
Memang, nama punya pengaruh dan sarat akan makna. Coba Anda perhatikan hadits Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah di atas, bagaimana pengaruh nama yang jelek dirasakan keluarganya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah menyarankan kakeknya untuk mengubah namanya (Hazn) menjadi yang
baik, yaitu Sahl. Ia menolaknya dengan alasan tidak mau mengubah nama
yang telah diberikan kepadanya oleh orang tuanya. Karena bersikukuh
dengan nama jelek yang diberikan oleh orang tuanya, pengaruh nama jelek
itu dirasakan hingga oleh anak cucunya.
Dahulu ketika terjadi Perjanjian
Hudaibiyah antara pihak muslimin dan kafir, delegasi kafir Quraisy
datang untuk berunding dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ada yang berhasil. Sampai datang utusan dari mereka yang bernama Suhail bin ‘Amr. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Suhail datang, beliau menyatakan,
“Perkara kalian telah mudah.” (Shahih al-Bukhari no. 2732)
Suhail artinya mudah.
Nama yang Paling Bagus
Disunnahkan bagi keluarga yang dianugerahi anak untuk memilihkan nama dari nama-nama yang dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla dan nama-nama yang baik yang mendekatinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya nama-nama kalian yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah ‘Abdullah dan Abdurrahman.” (Shahih Muslim no. 2132 dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Nama-nama yang paling dicintai oleh Allah k adalah
‘Abdullah dan ‘Abdurrahman. Nama yang paling jujur/cocok adalah Harits
dan Hammam, dan yang paling jelek adalah Harb dan Murrah.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dan dinyatakan sahiholeh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adab no. 625)
Hammam artinya adalah orang yang punya tekad/kehendak, sedangkan Harits artinya adalah orang yang berusaha.
Dikatakan nama yang paling jujur karena
nama tersebut sesuai dengan maknanya. Sebab, tekad adalah permulaan
suatu keinginan, dan dari keinginan ini akan muncul adanya usaha. Orang
yang diberi nama dengan dua nama tersebut tidak terlepas dari hakikat
maknanya. Berbeda halnya dengan orang yang diberi nama selain dua nama
ini. (Faidhul Qadir 1/219)
Harb artinya adalah perang dan Murrah artinya pahit.
Adapun hadits yang berbunyi,
“Nama yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah yang menunjukkan kepada (arti) penghambaan (kepada Allah ‘azza wa jalla) dan (arti) pujian.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, tidak ada asal-usulnya. Hal ini telah ditegaskan oleh as-Suyuthi dan selainnya. (as-Silsilah adh-Dhaifah no. 411)
Alangkah bagusnya jika bayi diberi nama dengan nama-nama para nabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ambillah nama (seperti) namaku.” (Shahih Muslim no. 2134)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi nama sebagian anak sahabatnya dengan nama para nabi, seperti dalam Shahih al-Bukhari (no. 6198).
Nama-Nama yang Diharamkan
Ada penamaan anak yang diharamkan agama, di antaranya:
- Seluruh nama yang mengandung bentuk penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla, semisal Abdu Husain (hamba Husain) dan Abdur Rasul (hamba Rasul).
Nama yang mengandung bentuk penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla wajib diganti. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Mereka (ulama) sepakat tentang haramnya setiap nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfatul Maudud hlm. 72)
Apabila kita memiliki ayah atau kakek yang namanya mengandung bentuk penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla, sedangkan mereka telah meninggal, nama tersebut tidak harus diubah. Hal ini berlandaskan hadits,
“Saya putra Abdul Muththalib.” (Shahih al-Bukhari no. 2864)
Hal ini (tidak mengganti nama yang sudah meninggal) diperbolehkan karena bersifat pengabaran, bukan memulai membuat nama. (asy-Syarhul Mumti’ 7/320)
- Nama مَلِكُ الْمُلُكِ (rajanya seluruh raja), سُلْطَانُ السَّلَاطَيْن (penguasanya para penguasa), dan شَاهٍ شَاه (raja diraja) Landasannya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang paling dimurkai dan paling jelek di sisi Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat adalah seorang yang diberi nama مَلِكَ الْأَمْلَاكِ (raja seluruh makhluk), (padahal) tiada raja yang sesungguhnya selain Allah ‘azza wa jalla.” (Muttafaqun ‘alaih)
- Nama سَيِّدُ النَّاسِ ( sayyidun nas/ pemimpin manusia) dan سَيِّدُ الْكُلِّ (sayyidul kulli/pemimpin seluruhnya) karena nama ini hanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Nama yang khusus untuk Allah ‘azza wa jalla, seperti اَلْاَحَدُ (Yang Maha Esa) dan اَلرَّزَّاقُ (Sang Pemberi Rezeki). (lihat Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim rahimahullah)
Nama-Nama yang Dimakruhkan
Yang dimaksud di sini adalah namanama
yang dilarang namun tidak sampai tingkatan haram, seperti Yasar (mudah),
Rabah (orang yang untung), Najah (sukses), dan Aflah (beruntung). Hal
ini berlandaskan hadits Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menamai budak kami dengan empat nama: (yaitu) Aflah, Rabah, Yasar, dan Nafi’.” (Shahih Muslim no. 2136)
Nama-nama di atas pada dasarnya memiliki
arti yang bagus, tetapi mengandung hal lain. Misalnya, ada yang mencari
seseorang yang bernama Rabah (orang yang beruntung) lalu dikatakan
bahwa Rabah tidak ada. Orang yang mendengarnya bisa jadi tidak suka
dengan jawaban itu, yaitu Rabah tidak ada, yang apabila diartikan
menunjukkan tidak ada orang yang beruntung di sana. Hal ini
dikhawatirkan akan memunculkan anggapan sial.
Al- Imam an-Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa larangan di sini adalah makruh, bukan haram. (Syarh Shahih Muslim 14/96)
Berikut ini beberapa penamaan yang dilarang:
- Memberi nama anak dengan nama para setan, seperti Khinzab.
- Nama para thaghut dan diktator zalim, semisal Fir’aun dan Qarun.
- Nama yang memiliki arti yang tidak disukai oleh jiwa dan sulit diterima oleh hati orang yang mendengarnya, seperti Harb (perang), Murrah (pahit), Kalb (anjing), dan Hayyah (ular).
- Nama-nama malaikat.
Hal ini diperselisihkan tentang kebolehannya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah lebih condong bahwa hal itu makruh. (asy-Syarhul Mumti’ 7/322)
- Memberi nama anak dengan nama al-Qur’an dan surat al-Qur’an (selain nama-nama nabi dan rasul) seperti طَهَ (Thaha), يَس (Yasin), dan حَم (Hamim).
As-Suhaili menyebutkan bahwa al-Imam Malik rahimahullah memakruhkan memberi nama Yasin. Adapun apa yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwa Thaha dan Yasin termasuk nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ini tidak benar. Sebab, hal ini tidak disebutkan oleh hadits yang
sahih, hasan, atau mursal, dan tidak ada pula penukilan dari sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini hanyalah huruf-huruf hijaiyah yang berada di awal beberapa surat al-Qur’an. (Tuhfatul Maudud hlm. 75—80)
- Penamaan yang mengandung unsur tazkiyah.
Demikian pula , dilarang memberi nama anak dengan nama yang mengandung bentuk tazkiyah
(menganggap dirinya baik), seperti Mubarak (orang yang diberkahi),
Muflih (orang yang sukses), dan Barrah (wanita yang baik), karena bisa
jadi kenyataannya tidak seperti itu. (Tuhfatul Maudud hlm. 74)
Telah disebutkan dalam ShahihMuslim pada kitab “al-Adab” bahwa
Zainab bintu Abi Salamah dahulu bernaman Barrah (wanita yang baik) lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dengan mengatakan,
“Janganlah kamu menganggap baik dirimu, (karena) Allah ‘azza wa jalla lebih tahu tentang orang yang baik di antara kalian.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan untuk menggantinya dengan nama Zainab.
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata,
“Tidak sepantasnya seorang memberi nama
yang jelek maknanya, mengarah pada anggapan baik terhadap diri, atau
nama yang artinya celaan. Meski nama hanyalah tanda bagi seseorang yang
tidak dimaksudkan artinya, tetapi sisi tidak disukainya adalah jika ada
orang yang mendengarnya akan menganggap bahwa nama itu adalah sifat bagi
orang tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama dengan nama lain yang jika pemilik nama itu dipanggil, nama itu benar (sesuai dengan sifatnya).” (Fathul Bari 10/577, cet. as-Salafiyah)
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata setelah menukil ucapan ath-Thabari rahimahullah di atas, “Berdasarkan hal ini, tidak boleh bayi diberi nama عِزُّالدِّيْنِ (‘izzuddin/ pemulia agama), مُحْيِ الدِّيْن (muhyiddin/ orang yang menghidupkan agama), نَاصِرُالدِّيْن (nashiruddin/penolong agama), dan yang semisalnya.” (ash-Shahihah 1/427 cet. Maktabah al-Ma’arif)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Yang Dilakukan Pada Hari Pertama Kelahiran
Mentahnik Bayi
Tahnik adalah mengunyah sesuatu
kemudian meletakkannya pada bagian atas mulut bayi. Mentahnik bayi
adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan
oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (14/ 99). Di antara landasannya ialah hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Telah lahir anak laki-lakiku kemudian aku bawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun memberinya nama Ibrahim, lalu mentahniknya dengan kurma dan mendoakan berkah untuknya.” (Shahih al-Bukhari no. 5467 dan Muslim no. 2145)
Sunnah mentahnik bayi tidak khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lakukan pada dasarnya umatnya juga diperintah untuk mengikutinya,
kecuali ada dalil kuat yang menyatakan bahwa hal itu khusus berlaku bagi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud (hlm. 25), Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan riwayat al-Khallal bahwa ketika budak perempuan al-Imam Ahmad rahimahullah melahirkan anaknya, al-Imam Ahmad rahimahullah memberinya kurma dan mengatakan kepadanya, “Kunyahlah kurma ini dan tahniklah dia.”
Tentang hikmah mentahnik bayi, sebagian
ulama mengatakan bahwa hal itu sebagai bentuk harapan agar si anak
nantinya beriman. Sebab, kurma adalah buah dari pohon yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
serupakan dengan seorang mukmin. Beliau juga menyerupakan seorang
mukmin dengan buah kurma dari segi manisnya. Selain itu, ilmu kedokteran
telah membuktikan manfaat yang besar dari tahnik, yaitu memindahkan
sebagian mikroba ke dalam usus untuk membantu pencernaan makanan.
Terlepas dari benar atau tidaknya, yang jelas tahnik adalah sunnah yang
mustahab (disenangi) secara pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pegangan kita, bukan yang lainnya. Sebab, tidak ada nash (dalil) yang menerangkan hikmahnya, maka hanya Allah ‘azza wa jalla yang mengetahuinya. (lihat Ahkamul Maulud fis Sunnah al-Muthahharah karya Salim Ali asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabah hlm. 33—34)
Yang digunakan untuk mentahnik adalah buah kurma sebagaimana disebutkan oleh riwayat.
Apakah Dikumandangkan Azan dan Iqamat pada Telinga Bayi Ketika Lahir?
Dalam hal ini ada tiga riwayat:
- Riwayat Abu Rafi’ maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan shalat di telinga al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma ketika Fathimah radhiallahu ‘anha melahirkannya.” (HR. Abu Dawud [no. 5105], at-Tirmidzi [no. 514], dan Ahmad [6/9])
Semuanya dari jalur periwayatan Sufyan
ats-Tsauri, dari ‘ Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abi Rafi’,
dari bapaknya (Abu Rafi’).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang ‘Ashim bin Ubaidillah, “Dia dhaif (lemah).”
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang disebutkan dalam Syu’abul Iman karya al-Baihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan pada telinga al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma ketika dilahirkan. Beliau azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya.
Dalam hadits ini ada perawi bernama Hasan bin ‘ Amr. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya dalam al-Mizan, “Ia dinyatakan dusta oleh Ibnul Madini.” Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Ia kadzdzab (pendusta).” Ar-Razi rahimahullah berkata, “Matruk (riwayatnya ditinggalkan).” Kesimpulannya, hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ini maudhu’ (palsu).
- Hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa diberi anak lalu
mengumandangkan azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga
kirinya, anaknya tidak akan tertimpa oleh Ummu Shibyan (pengikut dari
kalangan jin).”
Hadits ini diriwayatkan oleh al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnu as-Sunni.
Akan tetapi, dalam sanadnya ada rawi bernama Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim. Keduanya dikenal suka memalsukan hadits.
Akan tetapi, dalam sanadnya ada rawi bernama Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim. Keduanya dikenal suka memalsukan hadits.
Kesimpulannya, hadits-hadits tentang
mengazankan bayi tidak kuat. Asy- Syaikh al-Albani pada beberapa
kitabnya sempat menguatkan hadits Abu Rafi’ yang lemah di atas (riwayat
pertama), karena menganggap ada jalan lain yang memperkuatnya, yaitu
hadits Ibnu ‘Abbas (riwayat kedua). Namun, setelah beliau melakukan
penelitian lagi (setelah kitab Syu’abul Iman karya al-Baihaqi tercetak) ternyata hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tidak bisa memperkuat hadits Abu Rafi’ karena pada sanadnya ada rawi yang matruk. Dengan demikian, akhir pembahasan beliau adalah bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dhaif (lemah) seperti disebutkan dalam as-Silsilah adh-Dhaifah (cet. Maktabatul Ma’arif 1/494 no. 321)
(Disarikan dari kitab Ahkamul Maulud fis Sunnah al-Muthahharah hlm. 34—39)
Apabila riwayatnya lemah, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan beramal. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Ritual Munkar Seputar Kehamilan dan Kelahiran
Selamatnya kandungan dan sehatnya
bayi yang dilahirkan adalah dambaan setiap orang yang ingin memiliki
keturunan. Untuk mewujudkan harapan tersebut, umumnya manusia menempuh
beragam cara, dari upaya-upaya medis (bahkan) hingga mistis. Seorang
muslim yang taat beragama tidak mau asal-asalan melakukan sebuah upaya
karena sikap, keyakinan, dan perbuatannya akan selalu ia cocokkan dengan
nilai-nilai agamanya yang luhur dan yang selaras dengan akal sehat.
Ritual Mungkar Seputar Kehamilan
Sesuatu dikatakan mungkar apabila
dihukumi tidak baik, tidak boleh, atau dinyatakan keharamannya oleh
syariat, meskipun menurut pandangan sebagian orang itu baik dan sah-sah
saja.
Di setiap daerah atau suku biasanya ada
ritual-ritual khusus terkait kehamilan yang sulit bagi kita untuk
menyebutkan jumlahnya, karena saking banyaknya.
Bagi sebagian orang, ritual-ritual
tersebut menjadi budaya leluhur yang harus dilestarikan. Orang yang
tidak mau melakukannya akan dicibir di tengah-tengah keluarga dan
masyarakat, bahkan bisa jadi akan mendapatkan teror. Bagi mereka,
ritual-ritual warisan leluhur adalah menu wajib yang terkadang lebih
wajib daripada shalat berjamaah, bahkan shalat lima waktu.
Yang amat disayangkan, masih ada
sebagian kaum muslimin yang ikut-ikutan menghidupkan ritual-ritual
tersebut. Padahal tidak sedikit dari ritual-ritual itu yang hanya mitos
tanpa bukti nyata dan sebagiannya diadopsi dari budaya non-Islam.
Di antara bentuk ritual tersebut adalah adat mitoni (adat
Jawa). Upacara mitoni ini dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan
pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan
ibu yang mengandungnya senantiasa memperoleh keselamatan.
Upacara-upacara yang dilakukan dalam
masa kehamilan yaitu siraman, memasukkan telur ayam kampung ke dalam
kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading
muda, memutus lilitan benang/janur, memecah periuk dan gayung, dan
seterusnya. Upacara ini tidak bisa dilangsungkan di sembarang hari dan
tempat. Di antara maksud ritual ini adalah agar sang ibu kelak diberi
kemudahan ketika melahirkan.
Ritual mitoni ini tidak hanya dilakukan
oleh wanita yang baru pertama kali mengandung. Cara-caranya terkadang
berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain. Bagi seorang muslim,
ritual tersebut dan semisalnya, sangat sulit diterima oleh akal yang
sehat, lebih-lebih apabila dilihat dari kacamata agama.
Apabila ada yang mengatakan bahwa ritual
tersebut hanya sebuah ikhtiar/ usaha, kita jawab bahwa suatu usaha akan
dibenarkan apabila memang menjadi sebab tercapainya tujuan dan tidak
bertentangan dengan agama.
Pernyataan bahwa upacara seperti ini
adalah ikhtiar, berarti mengaitkan sesuatu dengan hal yang tidak menjadi
sebab terjadinya. Selain itu, tindakan ini mengandung bentuk
ketergantungan kepada selain Allah ‘azza wa jalla yang akan menodai akidah seorang.
Bisa jadi, ada yang mengatakan bahwa ini
hanyalah sebuah tradisi leluhur yang menunjukkan kepada kita bahwa
negeri ini kaya akan budaya dan peradaban. Kita katakan, benar bahwa
hukum asal adat kebiasaan manusia yang biasa mereka lakukan di tengah
masyarakat adalah boleh (mubah) selama tidak berseberangan dengan
kaidah-kaidah agama. Adapun dalam upacara ini, tidak demikian
keadaannya.
Karena itu, mengapa kita tidak mengubah
tradisi yang keliru, yang mengandung bentuk penyia-nyiaan waktu, harta,
tenaga, dan justru mencederai akidah; dengan upaya-upaya yang sesuai
dengan syariat, semisal memohon kemudahan dan kebaikan kepada Allah ‘azza wa jalla serta upaya-upaya lain yang dibenarkan secara medis dan nalar yang sehat.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (al-Baqarah: 186)
Ada pula tradisi neloni atau ngupati (ngapati),
yaitu tradisi membuat makanan tertentu untuk disedekahkan kepada para
tetangga ketika kandungan menginjak usia tiga atau empat bulan dengan
tujuan yang tidak jauh dari yang disebut di atas.
Amal sedekah memang salah satu sebab yang bisa menjaga seorang dari kejelekan dengan seizin Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi, yang jadi masalah, mengapa jenis makanan yang disedekahkan
harus ditentukan, misalnya nasi ketan yang dibungkus, buah pekarangan,
jenis umbiumbian, labu/waluh, dan lainnya? Lagi pula, mengapa harus
dilakukan pada usia kehamilan tertentu?
Ada pula yang ketika hamil membaca surat
tertentu al-Qur’an, seperti surat Yusuf dan surat Maryam agar ketika
lahir kelak menjadi anak saleh atau salihah, ganteng atau cantik, dan
semisalnya.
Sebatas yang kami ketahui, hal ini tidak datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sehingga termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa membuat-buat perkara baru dalam agama kami yang tidak ada padanya, ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Seandainya orang yang hamil membaca
al-Qur’an kemudian berdoa semisal, “Ya Allah, dengan bacaan al-Qur’an
ini, mudahkanlah aku saat melahirkan, atau jadikanlah anakku anak yang
saleh,” yang seperti ini adalah tawassul yang dibolehkan.
Di antara perkara mungkar yang acap
dilakukan/diyakini oleh sebagian orang, orang hamil tidak boleh duduk di
tengah pintu, tidak boleh makan dengan piring nasi diletakkan di atas
telapak tangan, dan tidak boleh membunuh binatang. Demikian pula
suaminya memiliki pantangan-pantangan tertentu. Apabila dicermati, semua
itu hanyalah takhayul.
Ada pula yang sampai pada tingkat
kesyirikan, seperti membuat rajah-rajah agar mudah melahirkan.
Rajah-rajah ini semacam jimat yang nasib seseorang digantungkan
kepadanya. Pada rajahrajah itu ada huruf/kalimat-kalimat serta
angka-angka yang tidak dipahami.
Di antara hal lain yang termasuk
kesyirikan ialah orang hamil mendatangi kuburan tertentu lalu meminta
keselamatan dan kemudahan kepada orang yang dikubur di dalamnya.
Kemungkaran di Hari Kelahiran
Di antara kemungkaran di hari melahirkan adalah perawat/bidan lelaki menangani proses kelahiran padahal ada bidan perempuan.
Demikian pula keyakinan sebagian orang
bahwa apabila bayi laki-laki terlahir saat bulan purnama, kuncup
kemaluannya akan melebar hingga seperti sudah terkhitan. (Ahkamul Maulud fis Sunnah al-Muthahharah hlm. 139)
Ritual Setelah Kelahiran
Seperti yang sudah disebutkan bahwa
setiap daerah atau suku memiliki budaya dan ritual yang berbeda-beda
yang tidak mungkin sebagian besarnya ditampilkan di sini.
Di antara tradisi yang mungkar adalah upacara mendhem (mengubur)
ari-ari atau plasenta. Dalam praktiknya, upacara adat ini terkadang
berbeda-beda caranya. Ada yang dengan cara plasenta dicuci lalu
dimasukkan ke dalam periuk/kendi yang terbuat dari tanah. Ada beberapa
barang yang ikut dimasukkan ke dalam kendi sebagai persyaratan, semisal
minyak wangi, jarum, beras merah, kunyit, garam, pensil, buku, bawang
merah, dan lainlain. Setelah itu, plasenta dikuburkan di samping rumah
dan diberi lampu.
Ada yang melabuh plasenta di sungai atau
melarungnya (dihanyutkan) di laut. Mereka berharap supaya bayinya
pintar, banyak rezeki, jalannya terang, apabila bepergian tahan lama,
suka merantau, dan semisalnya.
Sebagian orang meyakini bahwa plasenta adalah saudara kembar bayi yang harus dirawat.
Ritual-ritual di atas tentu bukan dari
Islam. Seandainya pun ari-ari harus di kubur, mengapa harus ada
ritual-ritual seperti itu?! Lebih parah lagi ketika ritual tersebut
diiringi zikir-zikir dan lantunan ayat suci, karena termasuk kebid’ahan.
Kaidah untuk Mengenal Bid’ah
Sesungguhnya, kebid’ahan yang telah ditegaskan oleh syariat tentang kesesatannya adalah:
- Semua ucapan, perbuatan, atau keyakinan yang menyelisihi sunnah walaupun sumbernya adalah ijtihad.
- Setiap perkara yang dijadikan bentuk pendekatan kepada Allah ‘azza wa jalla padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya.
- Semua perkara yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan adanya nash atau penjelasan dari syariat, padahal tidak ada, maka itu adalah bid’ah.
Berbeda halnya jika sebuah amalan ada sumbernya dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dilakukan oleh sahabat tersebut secara berulang-ulang tanpa ada pengingkaran.
- Segala adat-istiadat orang kafir yang dimasukkan ke dalam ritual ibadah.
- Penegasan sebagian ulama, lebih-lebih ulama belakangan, tentang sunnahnya (sesuatu) padahal tidak ada dalilnya.
- Semua bentuk ibadah yang tidak disebutkan tata caranya kecuali oleh hadits dhaif (lemah) atau maudhu’ (palsu).
- Berlebih-lebihan dalam ibadah.
- Semua ibadah yang tidak diberi batasan oleh syariat lantas manusia memberikan batasan-batasan (persyaratan-persyaratan) seperti tempat, waktu, bentuk, dan jumlah tertentu. (Ahkamul Janaiz hlm. 306)
Penutup
Sebagai penutup, kami akan menyebutkan hukum membatasi keturunan.
Sesungguhnya nash-nash (dalildalil)
syariat dari al-Qur’an dan Sunnah, demikian pula ijma’ dan qiyas telah
menetapkan bahwasanya tidak boleh secara mutlak membatasi keturunan dan
tidak boleh mencegah kehamilan apabila alasannya takut fakir (miskin).
Sebab, Allah ‘azza wa jalla adalah Dzat Pemberi Rezeki lagi
Mahakuat. Membatasi kehamilan bertentangan dari tujuan syariat (yaitu
perintah) memperbanyak umat Islam.
Adapun melakukan upaya pencegahan
kehamilan yang bersifat sementara dalam kondisi personal karena adanya
mudarat yang nyata, seperti seorang wanita tidak bisa melahirkan secara
normal dan perlu operasi cesar untuk mengeluarkan janinnya, atau wanita
tesebut mudah hamil sementara kehamilan menjadikannya sangat letih
(repot) sehingga ia ingin mengatur kehamilannya, umpamanya setiap dua
tahun dan semisalnya; maka yang seperti ini dibolehkan, dengan syarat
mendapat izin dari suami dan tidak berisiko bagi wanita tersebut.
Dalilnya, para sahabat dahulu melakukan ‘azl (mengeluarkan sperma di luar kemaluan istri) di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar istri-istri mereka tidak hamil, dan mereka tidak dilarang dari hal tersebut.
Bisa jadi, mencegah kehamilan menjadi sesuatu yang harus dilakukan, yakni ketika ada mudarat yang jelas (baginya). (Al-Fiqhu wa Ushuluhu lish Shaffi ats-Tsalits ats-Tsanawi hlm. 62. Lihat juga ketetapan Hai’ah Kibar ‘Ulama no. 42 pada tanggal 13/4/1396 H)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.ajian Utama
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Menyambut Kelahiran si Buah Hati
Lahirnya si mungil memang saat yang
dinanti. Oleh karena itu, apabila dianugerahi anak, baik laki-laki
maupun perempuan, hendaknya kita bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla.
Selain itu, setiap muslim dianjurkan
memberi tahu saudaranya sesama muslim yang dikaruniai anak ketika dia
belum tahu bahwa anaknya telah lahir. Hal ini termasuk bentuk
menyusupkan kebahagiaan ke dalam hati seorang muslim. Tentu saja, hal
yang seperti ini akan mempererat tali kecintaan di antara mereka.
Al-Qur’an telah menyebutkan tentang kabar gembira bagi yang dikaruniai anak. Allah ‘azza wa jalla berfirman menyebutkan ucapan para malaikat yang singgah di rumah Ibrahim ‘alaihissalam sebelum mereka sampai ke tempat tujuan mereka diutus, yaitu kaum Nabi Luth ‘alaihissalam,
(Tetapi mereka tidak mau makan), karena
itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah
kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan
(kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq). (adz-Dzariyat: 28)
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang Nabi Zakaria ‘alaihissalam,
“Hai Zakaria, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya.” (Maryam: 7)
Dianjurkan juga bagi orang yang diberi
kabar gembira oleh saudaranya untuk memberi hadiah kepada yang
mengabarkannya. Sebagaimana halnya dahulu Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu memberi hadiah kepada orang yang memberi tahu tentang turunnya ayat yang menjelaskan diterimanya tobat beliau radhiallahu ‘anhu.
Seperti inilah bimbingan Islam yang
mulia. Seorang muslim ikut berbahagia dengan kebahagiaan yang dirasakan
oleh saudaranya. Akan tetapi, karena ketidaktahuan mayoritas masyarakat
muslimin di zaman sekarang tentang bimbingan yang mulia ini, ruh
kecintaan nyaris hilang di tengah-tengah mereka. Sebagai gantinya,
muncul sikap acuh tak acuh, bahkan kedengkian.
Di samping dianjurkan memberitakan
kelahiran anak, alangkah bagusnya disertai dengan memberi tahni’ah
(ucapan selamat). Perbedaan antara memberi kabar gembira dan ucapan
selamat; memberi kabar gembira ialah memberitakan kepada teman yang
dikaruniai anak bahwa anaknya telah terlahir dalam keadaan ia belum
tahu. Adapun tahni’ah (ucapan selamat) adalah mendoakan kebaikan bagi
anak saudaranya setelah dia mengetahui kelahiran anaknya. (Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim hlm. 21)
Sebatas pengetahuan kami, tidak ada satu hadits pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menyebutkan tentang tahni’ah ini. Yang ada adalah atsar (ucapan
dan perbuatan) sebagian tabi’in. Misalnya, atsar dari al-Hasan al-Bashri
t bahwa ia ditanya tentang tahni’ah, apa yang semestinya diucapkan?
Al-Hasan berkata, “Ucapkanlah,
‘Semoga Allah ‘azza wa jalla menjadikan anak ini diberkahi bagimu dan bagi umat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam’.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam ad-Du’a 2/1243 dengan sanad yang bagus)
Akan tetapi, tahni’ah ini bukan sesuatu
yang sunnah apalagi keharusan, karena landasannya adalah atsar dari
sebagian tabi’in, bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak pantas pula apabila tahni’ah hanya diucapkan kepada yang
dikaruniai anak laki-laki dan tidak diucapkan kepada yang dikaruniai
anak perempuan. Hendaklah tahni’ah diberikan kepada yang dianugerahi
bayi laki-laki atau perempuan, atau ia sama sekali tidak mengucapkan
tahni’ah kepada yang dikaruniai anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini dilakukan untuk menjauhi
kebiasaan orang jahiliah yang kebanyakan mereka memberikan tahni’ah
terhadap kelahiran anak laki-laki dan mengucapkan tahni’ah terhadap
kematian anak perempuan, bukan ketika kelahirannya. (Tuhfatul Maudud hlm. 21, cet. al-Muayyad)
Sebab Menjeritnya Bayi Ketika Lahir
Perlu diketahui, sebab seorang bayi menjerit ketika dilahirkan adalah karena ditusuk oleh setan. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jeritan bayi ketika terlahir adalah (karena) tusukan setan.” (HR . Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Tiada terlahir seorang anak Adam
kecuali disentuh oleh setan saat lahirnya hingga ia menjerit karena
sentuhannya, kecuali Maryam dan putranya (Nabi ‘Isa ‘alaihissalam).” (Shahih al-Bukhari no. 3431)
Maksud disentuh oleh setan dijelaskan oleh riwayat lain, yaitu setan menusuk dua sisi perut bayi dengan kedua jarinya. (Shahih al-Bukhari no. 3286)
Coba Anda perhatikan! Saat manusia masih
bayi, setan telah menampakkan permusuhannya, bagaimana kiranya setelah
dewasa, bahkan menjelang ajalnya? Seperti apa kiranya usaha setan untuk
menyesatkan manusia yang telah tergerak syahwatnya untuk mencari dunia
dan semisalnya?!
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Bimbingan Islam untuk Mendapat Keturunan yang Saleh
Di antara tujuan pernikahan adalah
mengharapkan munculnya keturunan yang akan meneruskan kehidupan manusia
di muka bumi ini sampai batas waktu yang Allah ‘azza wa jalla tentukan.
Demi tercapainya kemaslahatan hidup
manusia, baik di dunia maupun di akhirat, Islam telah memberikan
perhatian yang serius sejak seorang manusia terlahir di bumi ini hingga
dewasa dan masa tuanya. Bahkan, sebelum bayi terlahir, Islam telah
membimbing kedua orang tua untuk mempersiapkan generasi penerus yang
baik dan jauh dari gangguan makhluk yang jahat semisal setan.
Di antara bimbingan yang mulia tersebut adalah:
- Memilih pasangan hidup yang baik dari sisi agamanya.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya; hendaklah kamu
pilih yang beragama (bagus agamanya) niscaya kamu akan bahagia.” (HR .
al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kesalehan orang tua merupakan faktor
utama lahirnya anak-anak yang baik, sebagaimana juga menjadi sebab
dijaganya anak keturunannya oleh Allah ‘azza wa jalla.
- Mencari istri yang penyayang dan banyak anaknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak, karena saya
berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan para umat.” (Sahih, HR .
Abu Dawud, an-Nasai, al-Hakim, dan Ibnu Hibban)
- Berdoa saat berhubungan badan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Jika salah seorang kalian menggauli istrinya ucapkanlah, ‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari yang Kau anugerahkan kepada kami.’ Lalu ia ditakdirkan memiliki anak dari hubungannya itu, anak itu tidak termudarati oleh setan selama-lamanya.” (HR . al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Ulama berbeda pendapat tentang maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Anak itu tidak termudarati oleh setan.” Ada yang menafsirkan bahwa anak tersebut tidak akan dirasuki oleh setan. Ad-Dawud rahimahullah menerangkan, “Maksud dari ‘tidak termudarati oleh setan’ ialah
setan tidak menyesatkannya dari agama menuju kekafiran. Bukanlah yang
dimaksud di sini bahwa anak itu terjaga dari berbuat maksiat.” (‘Aunul Ma’bud 6/198).
Hadits di atas memberikan bimbingan
kepada para ayah untuk melakukan faktor-faktor yang bisa menjaga dan
melindungi anak dari godaan setan saat anak tersebut masih di rahim
ibunya. Sebab, setan selalu menempel kepada manusia dan tidak lepas
darinya kecuali ketika ia berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla
dan berlindung kepada-Nya dari setan. Seperti inilah syariat Islam yang
cemerlang. Ia telah meletakkan kaidah untuk menjaga janin sejak tercipta
di rahim ibunya hingga lahir ke dunia dalam keadaan kuat dan sempurna
fisiknya.
- Memohon kepada Allah ‘azza wa jalla untuk dikaruniai keturunan yang baik.
Al-Qur’an telah mengabadikan doa sebagian rasul Allah ‘azza wa jalla seperti doa Nabi Zakariya ‘alaihissalam,
Di sanalah Zakariya berdoa kepada
Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang
anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali Imran: 38)
Kesalehan anak akan membawa keberkahan
bagi orang tuanya secara khusus serta bagi masyarakat dan umatnya secara
umum. Orang tua akan tenteram hatinya dan sejuk matanya memandang
anaknya yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Saat orang tuanya masih hidup, anak yang saleh akan menyuguhkan beragam
kebaikan bagi orang tuanya sebagai bentuk balas budi atas kebaikan
keduanya yang selama ini mereka curahkan. Saat orang tuanya meninggal di
atas Islam, ia tidak kikir untuk mendoakan ampunan dan rahmat untuk
keduanya. Jika orang tuanya masuk surga kelak, akan diangkat derajatnya
lantaran kesalehan anaknya.
- Menghindari hal-hal yang bisa berefek buruk pada janin, semisal melihat ular jenis tertentu yang bisa menggugurkan kandungan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bunuhlah ular-ular itu, serta
bunuhlah ular yang di atas punggungnya ada dua garis putih dan ular yang
ekornya terputus. Sebab, kedua jenis ular ini bisa membutakan mata dan
menggugurkan kandungan.” ( Shahih al-Bukhari dari Ibnu Umar c no. 3297)
An-Nadhr bin Syumail rahimahullah
menerangkan tentang ular yang ekornyaterputus, yang dimaksud adalah ula
berwarna biru yang jika orang hamil melihatnya, kandungannya akan
gugur.
(Ahkam at-Thifl, Ahmad al-‘Isawi hlm. 57)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Surat Pembaca Edisi 96
Bahasan Takfir
Tolong masalah takfir mutlak dan takfir
mu’ayyan yang pernah disinggung di no. 8/I/1425 hlm. 9 dibahas kembali
dengan lebih rinci, luas, dan jelas.
085227xxxxxx
Insya Allah, semoga di edisi-edisi mendatang kami bisa mengangkattema tersebut secara lebih mendalam.
Jazakumullahu khairan atas masukanAnda.
Bantuan Dana untuk Kampung Laut
Saya membaca di Asy-Syariah tentang kisah mualaf Kampung Laut.
Saya ingin membantu dana. Bisa diberi tahu caranya?
087737xxxxxx
Untuk mendapatkan informasidan menyalurkan bantuan bagi mualafKampung Laut, Anda bisa menghubungial-Ustadz Fauzan di no.081219209841
Jazakumullahu khairan.
Salut dengan Tim Asy-Syariah
Masya Allah saya salut dengan
kinerja seluruh Tim Redaksi Asy-Syariah yang sabar dan legowo dalam
menghadapi segala bentuk saran dan kritikan yang tidak hanya karena
kesalahan teknis dari
Redaksi tetapi bisa juga karena
kejahilan dari Pembaca sendiri karena pembaca adalah dari berbagai
kalangan. Semoga tetap istiqamah.
081556xxxxxx
Kesalahan dan kekhilafan tentumengiringi langkah kami sebagai manusiabiasa. Betapa pun kami berupayamengeliminir kesalahan, kelalaian niscayaakan tetap dan selalu ada.Di sisi lain, Majalah Asy-Syariahadalah bagian dari dakwah. Setiapdakwah tentu akan menghadapi beragampermasalahan bahkan ujian di dalamnya.Semoga kami bisa sabar dan istiqamahdalam menghadapinya.
Jazakumullahukhairan.
Menulis Ulang Artikel
Saya sering menulis ulang artikel dalam
majalah ini kemudian mempostingnya di blog tanpa izin redaksi terlebih
dahulu. Saya baru baca persyaratannya ternyata tidak boleh. Mohon
kemaklumannya
karena saya tetap menuliskan sumberdari majalah Asy-Syariah beserta nomer halamannya juga.
Ummu Tsubaitah
085740xxxxxx
Pada prinsipnya, siapa pundiperkenankan mengutip artikel–artikelAsy-Syariah selama tidak untukkepentingan komersial, dikutip utuhtanpa pengurangan dan penambahan,serta syarat lainnyasebagaimana terteradi halaman 3.
Bagi-Bagi Stiker
Bismillah. Saya mau mengusulkan agar membagikan stiker berisi hadits-hadits atau nasihat-nasihat sehingga bisa kami tempel, insya Allah akan memperluas syiar-syiar Sunnah.
085782xxxxxx
Insya Allah, semoga di waktu mendatang kami bisa merealisasikannya.

Budaya Islami untuk Si Buah Hati
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Kehadirannya senantiasa didamba.
Betapa anak telah menjadi bagian jiwa setiap orang tua. Wajar jika
segala upaya dicurahkan demi si anak. Sejak janin mengisi rahim sang
ibu, beragam upaya bahkan ritual demi keselamatan sang calon bayi, sudah
mengiringi perjalanan hidupnya. Sayangnya, kita demikian lekat dengan
tradisi atau adat kebiasaan yang diwarisi dari agama selain Islam,
sementara terhadap ajaran Islam kita justru masih demikian asing. Contoh
sederhana, banyak orang yang dengan segala cara – termasuk berutang –
menyelenggarakan beragam ritual pada masa kehamilan, selamatan
kelahiran, selapanan (35 hari), dan sebagainya, namun meninggalkan
akikah dengan alasan ketiadaan biaya. Banyak juga di antara kita yang
mencukupkan diri dengan membagi-bagikan roti/cake dengan alasan
kepraktisan, kemewahan, atau adu gengsi – yang tentunya dengan biaya
yang tidak sedikit – kemudian meninggalkan akikah sama sekali.
Yang lebih parah, ada yang getol
menyelipkan ritual tertentu dengan dalih “ikhtiar”, namun faktanya
justru mencemari akidah. Padahal yang namanya ikhtiar, harus nyambung dengan tujuan yang ingin dicapai, bukan mewujud pada ritual kesyirikan atau keyakinan/takhayul tertentu.
Belum lagi perayaan ulang tahun yang
mengiringi setiap tahunnya. Acara-acara itu walaupun dinamai “syukuran”
tetapi tetaplah bukan tradisi Islam, setidaknya menghambur-hamburkan
uang. Syukuran bertambahnya usia tidaklah diwujudkan dengan seremoni
tertentu, tapi rasa syukur itu tertuang dalam kalbu, ucapan, dan
perbuatan kita. Bagaimana acara itu dimaknai sebagai syukuran, jika kita
malah memaksa diri menyelenggarkannya di restoran (mewah), ditambah
lagi, di dalam pesta ulang tahun sendiri terangkum banyak kemungkaran
dan kemaksiatan. Kemudian setelah acara itu, kita tidak menjadi pribadi
yang bersyukur, malah mudah mengeluh, selalu berburuk sangka kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, tambah bermaksiat, dan sebagainya.
Bersyukur terhadap karunia dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala
semestinya dilakukan setiap saat, bukan hanya pada momen-momen
tertentu. Tidak hanya ketika usia kandungan menginjak bulan tertentu,
tidak hanya setiap ulang tahun, dan sebagainya. Namun, kita benar-benar
menghabiskan seluruh lembaran sisa hidup untuk melukis rasa syukur kita.

Karena itu, mari kita gunting lembar
kejahilan dari buku hidup kita, jangan kita terus terperangkap dalam
jeruji tradisi yang tidak islami. Jangan sampai buah hati kita terdidik
sejak kecil untuk melakukan amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya
dalam agama kita. Sudah semestinya kita mentradisikan Islam, bukan
“mengislamkan” tradisi lebih-lebih memberhalakan tradisi yang tidak
islami.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar