Langsung ke isi
Bolehkah wanita haid melaksanakan shalat sunnah?
0899xxxxxxx
Menutup Telinga Saat Iqamat
Apakah sewaktu iqamat untuk shalat disyariatkan menutup telinga seperti saat adzan?
08214xxxxxxx
Gadai Sawah
Ada orang punya utang 4 juta dengan menggadaikan sawah, tenggang waktu 4 musim penghujan atau biasanya 4 tahun. Akan tetapi, sawah itu sekarang diolah dan hasil panennya diambil si pemberi utang.
Pertanyaannya:
1) Apakah boleh utang dibayar sekarang, walaupun belum 4 tahun, takut dilaknat karena memberi riba karena baru tahu hukumnya setelah baca Asy Syariah?
2) Apakah dia dikatakan menyalahi janji, karena yang berlaku di desa kami seperti itu. Kalau belum mencapai waktu yang disepakati, belum mau dibayar, karena belum dapat untung?
081392xxxxxx35
Imunisasi
Apa hukumnya pemberian imunisasi pada bayi?
08774xxxxxxx
Shalat di Belakang Shaf Sendirian
Dalam shalat berjamaah ketika shaf depan sudah penuh dan kita berada pada shaf kedua sendirian, apakah yang harus kita lakukan? Apakah tetap saja shalat meskipun sendirian dalam shaf kedua?
08524xxxxxxx
Shalat Sunnah Rawatib Empat Rakaat
Apakah boleh shalat 4 rakaat sekaligus tanpa salam sebelum zuhur? Siapakah ulama yang berpendapat demikian?
08575xxxxxxx
Ibu Mengimami Anak Perempuan
Bolehkah ibu mengimami anak perempuannya yang berusia 7 tahun yang masih sering bercanda dalam shalat? Apakah sebaiknya shalat sendiri-sendiri atau bagaimana?
081227xxxxxx
Bacaan Saat Sujud Syahwi
Apa yang bisa dibaca seseorang ketika sujud sahwi? Apa perlu bertakbir ketika hendak sujud sahwi?
08386xxxxxxx
Kapan Allah subhanahu wa ta’ala Mengampuni Dosa?
Sejak kapan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa hambanya, apakah setelah tobat ataukah setelah disiksa di neraka?
08536xxxxxxx
Doa Khusus Bagi Ayah yang Sudah Meninggal
Apa doa yang dibacakan untuk ayah yang sudah meninggal? Apakah ada doa khusus yang dibacakan supaya dikabulkan?
0898xxxxxxx
Doa Antara Azan dan Iqamat
Ada hadits yang menyatakan bahwa waktu berdoa yang afdal adalah setelah dikumandangkan azan. Yang saya tanyakan, apakah kita berdoa dengan menengadahkan kedua tangan?
08524xxxxxxx
Hukum Karma dalam Islam
Apakah benar di dalam Islam ada istilah “hukum karma”?
08214xxxxxxx
Menyentuh Istri Membatalkan Wudhu?
Apakah bersentuhan kulit dengan istri itu membatalkan wudhu?
08538xxxxxxx
Membaca al-Qur’an Saat Haid
Bolehkah wanita membaca/menulis al-Qur’an saat haid?
08564xxxxxxx
Keluar Rumah Tanpa Izin Suami
Bolehkah wanita keluar rumah (bukan safar) tanpa seizin suami, karena suami merantau di Arab?
081327xxxxxx
Tempat Afdal untuk Akikah
Seorang wanita saat lahirnya belum diakikahi dan sekarang dia ikut suaminya. Jika dia ingin mengakikahi dirinya, di mana tempat yang afdal?
0899xxxxxxx
Membaca al – Qur ’an Tanpa Berkerudung
Bolehkah seorang perempuan membaca al-Qur’an tidak berkerudung?
08525xxxxxxx
Cairan Coklat setelah Haid
Seorang wanita yang tidak mempunyai kebiasaan (adat haid) melihat cairan kecoklatan setelah terputusnya darah. Apa yang seharusnya dia lakukan?
08534xxxxxxx
Kapur Ajaib
Bagaimana hukumnya menggunakan kapur ajaib untuk mengusir serangga?
085227xxxxxx
Celana di Atas Mata Kaki
Mengapa celana kita harus dipotong di atas mata kaki?
02195xxxxxx
Nisbat Wahabi
Mau tanya. Apa boleh menisbahkan diri sebagai wahabi, soalnya itu kan penisbahan kepada seseorang?
08384xxxxxxx
Menahan Buang Angin Saat Shalat
Apa boleh menahan kentut pada saat shalat?
08564xxxxxxx
Waktu Larangan Shalat Sunnah
Apa hukum shalat sunnah pada saat matahari terbit di ufuk timur dan pada saat matahari terbenam di ufuk barat?
08539xxxxxxx
Waktu Sepertiga Malam
Kapan waktu sepertiga malam terakhir itu?
08521xxxxxxx
Membersihkan Bulu Ketiak
Apakah membersihkan bulu ketiak itu sunnah? Bagaimana cara membersihkannya agar tidak tumbuh lagi?
08963xxxxxxx
Maulid Nabi
Mengapa kita dilarang memperingati Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan Nuzulul Qur’an?
08524xxxxxxx
Shalat Sunnah Qabliyah Maghrib
Apakah ada shalat sunnah qabliyah maghrib?
08233xxxxxxx
Apakah kita boleh memberikan daging akikah kepada saudara kita yang bukan muslim?
08522xxxxxxx

Semir Rambut Hitam Kecoklatan
Bolehkah menyemir rambut dengan warna coklat kehitaman karena rambut sudah mulai memutih? Ini atas permintaan suami agar terlihat lebih muda.
081327xxxxxx

Wanita Shalat Memakai Sendal
Apakah shalat memakai sendal hukumnya sunnah? Jika wanita sesekali tidak memakai sendal, apakah bisa dihukumi seperti Yahudi?
08539xxxxxxx
Derajat Hadits Tentang Talak
Bagaimana kedudukan hadits, “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”?
08781xxxxxxx
Berlepas Diri dari Hizbiyah
Apakah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya berkonsekuensi bahwa saya juga harus berlepas diri dari mereka yang berdakwah tentang agama, namun dalam wadah atau kelompok baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Abu Abdillah—Lampung
08574xxxxxxx

Shalat Memakai Pakaian Bermotif
Bagaimana hukumnya memakai pakaian, seperti sarung, songkok, jubah, gamis yang bermotif/tidak polos dalam shalat?
08524xxxxxxx
Partai Politik = Ashabiyah?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Bukan dari golongan kami, orang yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan).” (HR. Abu Dawud)
Apakah orang-orang yang masuk ke partai politik tertentu dan mengampanyekan partainya termasuk dalam hadits ini?
08524xxxxxxx

Kaos Kaki Tinggi = Musbil?
Jika seseorang memakai celana sampai setengah betis kemudian memakai kaos kaki tinggi, apakah termasuk musbil?
08154xxxxxxx
Antara Umrah & Membantu Orang Miskin
Saya pelanggan Majalah Asy Syariah ingin bertanya. Sekarang ada fenomena adanya ibadah umrah. Yang saya tanyakan, lebih penting mana antara menjalankan ibadah umrah sementara di sekitar kita, bahkan mungkin saudara di sekitar kita, masih banyak yang hidup miskin?
08564xxxxxxx
Perempuan Mendakwahi Lelaki
Bolehkah seorang perempuan mendakwahi laki-laki? Sebab, wanita tersebut lebih berilmu dan tidak tahan dengan kemungkaran yang dilakukan oleh si lelaki.
08967xxxxxxx
Orang Tua Ingin Anak Belajar ke Luar Negeri
Orang tua saya menyuruh saya untuk belajar di Yaman bersama para ulama. Namun, saya merasa belum pantas untuk pergi ke sana karena ilmu saya yang masih sedikit dan umur saya masih 17 tahun. Saya masih merasa takut apabila pergi terlalu jauh. Apa nasihat ustadz, sikap terbaik yang harus saya lakukan?
08237xxxxxxx
Di Yaman juga sudah ada teman-teman dari Indonesia yang akan membagikan pengalaman kepada kita. Kuatkan hati, azamkan tekad, ambil kesempatan ini sebelum hilang.
Wanita Memakai Sendal Lelaki
Wanita memakai sendal seperti laki-laki, apakah itu termasuk tasyabuh?
08579xxxxxxx
Suami Merantau, Istri Menyuruh Pulang
Apakah seorang istri berdosa menyuruh suaminya pulang apabila suami tersebut tidak bekerja di rantau. Suami masih menunggu mendapatkan pekerjaan.
08575xxxxxxx
Menasihati Murid di Depan Umum
Apakah boleh seorang pengajar menasihati murid di hadapan orang banyak, seperti di majlis taklim umum? Padahal murid itu tidak senang dengan yang seperti itu, walaupun memang dia bersalah.
08236xxxxxxx
Makanan Orang Kafir
Tiap daerah ada makanan khasnya, gudeg khasnya Yogya; empek-empek khasnya Palembang; rujak cingur khasnya Surabaya, dst. Demikian pula di negara kafir Eropa dan Amerika ada makanan khas masing-masing, spaghetti, makaroni, dan pizza khas Italia; hotdog, hamburger, dan fried chicken khas USA, dst. Demikian halnya di negara kafir Asia punya kekhasan, misalnya sukiyaki dan tenpura hana adalah khas Jepang.
Pertanyaan:
Mengaji di Tempat Kematian
Kami pelanggan Asy Syariah mau tanya, mengaji di tempat orang meninggal itu boleh atau tidak? Katanya untuk “sangu” orang yang meninggal. Apa pula hukumnya peringatan 7 hari sampai 1000 harinya orang yang meninggal.
08783xxxxxxx
Zikir Khusus Setelah Witir
Apakah ada zikir khusus setelah shalat sunnah witir?
08232xxxxxxx
Makna Hadits Roh Ibarat Pasukan
Apa maksud hadits, “Roh-roh ibarat sebuah pasukan kokoh. Jika saling kenal, akan bertemu. Jika tidak mengenal, akan berpisah”? (HR. al-Bukhari)
08525xxxxxxx
Menabung Untuk Kurban
Bolehkah menabung untuk kurban? Bagaimana jika ada orang yang berkata, “Daripada menabung untuk kurban, lebih baik menabung untuk thalabul ilmi.”
08570xxxxxxx
Suara Manusia Menyerupai Musik
Tidak diragukan lagi bahwa alat musik hukumnya haram. Bagaimana hukumnya suara manusia yang menyerupai suara alat musik (misal acapella atau beatbox)?
08574xxxxxxx
Masbuk Satu Rakaat
Bagaimana cara shalat makmum yang masbuk satu rakaat saat shalat Isya?
08526xxxxxxx
Tobat Pemelihara Tuyul
Apa dosa seseorang yang memelihara tuyul masih bisa diampuni?
08773xxxxxxx
Cara Berjamaah Dua Orang
Bagaimana tatacara shalat berjamaah dengan dua orang? Saya pernah membaca buku tuntunan shalat, jika berjamaah hanya dua orang, imam dan makmum berdiri berjajar. Akan tetapi, yang ada di masyarakat luas sekarang, imam berdiri di depan, makmum di belakangnya. Kalau seperti itu shalatnya mendapat pahala jamaah atau tidak?
08771xxxxxxx
Definisi Ahlul Bait
Apa makna ahlul bait? Apa saja ketentuan-ketentuan ahlul bait? Apa yang harus dilakukan jika dia diberi suatu barang atau makanan?
08525xxxxxxx
(1) di atas sunnah, dan
(2) keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka termasuk ahli bid’ah, tidak dimuliakan. Ahlul bait tidak boleh memakan barang sedekah, tetapi boleh menerima dan memakan hadiah.
Tata Cara Azan
Apakah gugur syariat menengok ke arah kanan dan kiri ketika muazin mengucapkan, “Hayya ‘ala….” karena sekarang menggunakan pengeras suara?
08572xxxxxxx
Lafadz Azan Subuh
Apakah azan subuh hanya 1 kali, menggunakan lafadz ash-shalatu khairun min an-naum?
08125xxxxxxx
Antara Infak dan Sedekah
Mohon penjelasan antara infak dan sedekah, manakah yang lebih utama?
08xxxxxxxxx
Tobat dari Dusta
Ustadz, bagaimana cara bertobat dari dosa dusta?
08586xxxxxxx
Meminjam Uang di Bank
Apa hukum meminjam uang di bank untuk modal usaha?
08536xxxxxxx
Jam Warna Kuning
Apa boleh laki-laki memakai jam berwarna kuning tanpa mengandung emas?
08575xxxxxxx
Syahwat Terhadap Wanita
Bagaimana cara menjaga diri dari syahwat terhadap wanita?
08xxxxxxxxx

Bani Israil Terdampar di Padang Tiih (2)
Allah subhanahu wa ta’ala
mengetahui kasih sayang Nabi-Nya kepada sesama manusia, terutama kepada
kaumnya, Bani Israil. Atas dasar itu, mungkin Nabi Musa akan terbawa
kesedihan melihat keadaan Bani Israil yang telah didoakannya, sehingga
mendorong beliau meminta agar dibatalkan hukuman itu, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah menentukan demikian. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (al-Maidah: 26)
Seakan-akan, beliau diingatkan agar
jangan merasa menyesal dan sedih terhadap keadaan mereka, karena
sesungguhnya mereka telah fasik; keluar dari sikap menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan kefasikan itu menyebabkan jatuhnya hukuman atas mereka, bukan kezaliman dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikianlah keadaan Bani Israil yang hidup di sahara yang sunyi dan terpencil. Semua itu berlangsung selama empat puluh tahun.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pemurah selalu merahmati mereka. Allah subhanahu wa ta’ala
menaungi mereka dari sengatan matahari dengan awan tipis yang
senantiasa berarak di atas kepala mereka. Dia juga menurunkan manna dan
salwa sebagai makanan terbaik mereka tanpa mereka harus bersusah payah.
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan pula untuk mereka pakaian yang tidak mudah rusak dan kotor. Setiap kali mereka ingin minum, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam
agar memukul sebuah batu yang ada di tengah-tengah mereka dengan
tongkatnya. Akibatnya, memancarlah dua belas mata air untuk minum
masing-masing kabilah yang ada.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu al-manna dan as-salwa.” (al-Baqarah: 57)
Al-Manna ialah nama bagi semua
rezeki yang baik dan diperoleh tanpa susah payah. Di antaranya adalah
jahe, jamur, roti, dan sebagainya. Adapun as-salwa ialah burung kecil yang dinamakan juga as-sammani, dagingnya lezat. Turun kepada mereka dari manna dan salwa itu sesuatu yang mencukupi mereka dan menjadi makanan pokok mereka.
Akan tetapi, Bani Israil ketika itu
kebanyakan tidak memelihara nikmat itu dengan sebaik-baiknya. Mereka
tidak mensyukuri kesenangan dan kemudahan yang mereka rasakan dalam
kondisi yang sebetulnya mereka sedang menerima hukuman. Muncullah rasa
bosan dalam hati mereka melihat yang mereka santap setiap hari adalah
itu-itu saja.
Mereka datang menemui Nabi Musa ‘alaihissalam mengeluhkan keadaan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata,
“Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan
saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang
merahnya.”
Musa berkata, “Maukah kamu mengambil
sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke
suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.”
Lalu ditimpakanlah kepada mereka
nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu
(terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
para nabi yang memang tidak dibenarkan.
Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (al-Baqarah: 61)
Mendengar perkataan mereka itu, Nabi Musa ‘alaihissalam menegur mereka dengan keras, bahkan mencela mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah,” yaitu makanan yang kamu sebutkan (bawang merah, bawang putih, dan adasnya),
“Sebagai pengganti dari yang lebih baik?” yaitu al-manna dan as-salwa.
Ini tidak layak bagimu, karena makanan yang kamu minta ini, kota mana
pun yang kamu datangi, tentu kamu mendapatkannya. Adapun makanan kamu
diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada kamu, adalah sebaik-baik makanan dan paling mulia, mengapa kamu meminta ganti yang lain?
Seakan-akan Nabi Musa ‘alaihissalam
mengatakan, “Aku tidak akan memenuhi permintaan kalian yang sangat
tidak layak bagi kalian. Aku tidak akan menyampaikan permohonan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala agar mengabulkan keinginan kalian.”
Kejadian ini adalah bukti terbesar kurangnya kesabaran mereka dan adanya sikap meremehkan perintah dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala, karena itu Dia membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista,” yang mereka saksikan terlihat pada penampilan tubuh mereka.
“dan kehinaan,” di hati mereka,
sehingga Anda tidak akan melihat diri mereka dalam keadaan mulia, tidak
pula mempunyai cita-cita yang tinggi. Bahkan sebaliknya, jiwa mereka
begitu hina dan cita-cita mereka adalah cita-cita yang sangat rendah.
“Serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah,”
yakni tidak ada keuntungan yang mereka bawa kembali melainkan
kemurkaan-Nya terhadap mereka. Itulah seburuk-buruk ghanimah yang mereka
peroleh dan seburuk-buruk keadaan yang mereka rasakan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Hal itu (terjadi),” yaitu orang-orang yang berhak menerima kemurkaan-Nya.
“Karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah,” yang
menunjukkan kebenaran yang jelas bagi mereka. Akan tetapi, ketika
mereka kufur kepadanya, Dia timpakan kepada mereka kemurkaan-Nya. Selain
itu juga karena mereka dahulu
“Membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala , “yang memang tidak dibenarkan,’ menegaskan
betapa buruknya perbuatan itu. Kalau tidak, seperti diketahui bahwa
membunuh seorang nabi tidak mungkin dibenarkan, tetapi agar tidak ada
yang menduga bahwa hal itu boleh karena kejahilan dan ketiadaan ilmu
mereka.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka,” yakni berbuat maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan melampaui batas,” terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya, kemaksiatan itu tarik-menarik satu sama lain. Adapun
kelalaian akan memunculkan dosa yang kecil, lalu berkembang darinya dosa
yang besar, dan dari situ muncullah berbagai kebid’ahan, kekafiran, dan
sebagainya. Kita mohon keselamatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dari berbagai petaka.
Perlu diketahui bahwa dialog dalam ayat
ini diarahkan kepada satu golongan Bani Israil yang ada pada masa-masa
turunnya al-Qur’an. Adapun perbuatan-perbuatan yang diceritakan itu
tertuju kepada para pendahulu mereka. Dihubungkannya hal itu kepada
mereka karena beberapa faedah, di antaranya sebagai berikut.
- Mereka dahulu sangat membanggakan dan menganggap suci diri mereka serta memiliki keutamaan yang lebih dari Muhammad n dan orang-orang yang beriman kepadanya. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan keadaan para pendahulu mereka yang telah mereka ketahui, yang menampakkan kepada siapa pun di antara mereka bahwa mereka bukan orang-orang yang sabar dan memiliki akhlak mulia serta amalan yang tinggi.
Maka dari itu, setelah diketahui
demikianlah keadaan pendahulu mereka, padahal dianggap mereka itu lebih
utama dan lebih mulia keadaannya daripada orang-orang yang datang
setelahnya, bagaimana pula halnya dengan orang-orang yang ditujukan
dialog ini kepadanya?
- Nikmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang terdahulu di antara mereka adalah nikmat yang dirasakan pula oleh orang yang datang belakangan. Nikmat yang dirasakan oleh bapak, nikmat pula bagi anak-anaknya.
Karena itulah, mereka diajak bicara
dengan kalimat-kalimat ini. Sebab, semua itu adalah nikmat yang bersifat
umum, meliputi mereka juga.
- Pembicaraan perbuatan orang lain dengan mereka menunjukkan bahwa sebuah bangsa yang bersatu di atas satu agama, saling membantu dan menjamin kemaslahatannya, hingga seolah-olah orang-orang yang datang lebih dahulu berada pada satu masa dengan yang belakangan, dan peristiwa yang menimpa sebagian mereka adalah kejadian yang dialami oleh mereka seluruhnya.
Di samping itu, kebaikan yang dikerjakan
sebagian dari mereka kemaslahatannya juga kembali kepada seluruhnya.
Demikian pula mudarat akibat kejahatan yang dikerjakan oleh sebagian
dari bangsa itu, kembali kepada seluruhnya.
- Perbuatan jelek mereka itu sebagian besarnya tidak mereka ingkari. Padahal, orang-orang yang meridhai sebuah kemaksiatan adalah rekan bagi orang yang bermaksiat.
Tentu saja masih ada hikmah lain yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Di saat mereka hidup di Padang Tiih itulah Nabi Harun ‘alaihissalam wafat, yang disusul meninggalnya Nabi Musa ‘alaihissalam beberapa waktu kemudian. Sepeninggal kedua Nabiyullah ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihissalam sebagai nabi Bani Israil. Melalui beliaulah Palestina berhasil dibebaskan dari tangan penjajah. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab (7) : Tindakan Pertama
Tindakan Pertama
Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ash- Shiddiq radhiallahu ‘anhu telah berangkat menyusul kekasihnya yang sangat dicintainya, Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak lama setelah itu, ‘Umar bin al-Khaththab dibai’at sebagai pengganti beliau.
Nun di seberang sahara yang membara, di
balik bukit-bukit cadas dan lembah berbatu, pasukan muslimin yang
dipimpin Khalid bin al-Walid, Si Pedang Allah itu sedang menyabung nyawa
menyebarkan dan membela agama Allah. Satu demi satu tanah Arab yang
menjadi jajahan Romawi telah dibebaskan. Sampai akhirnya mereka berhasil
dengan gemilang meluluhlantakkan pasukan salibis di Yarmuk.
Yarmuk, menjadi saksi bisu sejarah
kepahlawanan orang-orang yang jujur dalam ber-Islam. Meskipun mereka
baru saja meninggalkan kejahiliahan, ternyata tidak rela tertinggal
menuju surga.
Salah seorang dari mereka berkata,
“Di dunia kita dikalahkan oleh mereka (yang terlebih dahulu masuk Islam, –ed.). Di akhirat kita berdesakan dengan mereka di surga.”
Allahu Akbar.
Dan itu, telah mereka buktikan. Inilah murid-murid sejati Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Manusia Agung yang mengemban risalah Pencipta dan Penguasa langit dan bumi untuk seluruh manusia dan jin.
Hampir dua ratus ribu tentara salibis
yang terkenal dengan keahlian mereka dalam berperang, bertubuh tegap dan
lengkap dengan persenjataan serta perbekalannya, tanpa ampun harus
merasakan sakitnya dicabik-cabik pedang-pedang tentara Allah subhanahu wa ta’ala. Kekalahan tragis itu hanya menyisakan dendam berkarat di dada anak cucu Nasrani, kecuali yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak ada gunanya latihan militer yang
mereka jalankan selama ini. Semua tumpul di hadapan hati-hati yang
membaja dengan keimanan sempurna kepada Penguasa langit dan bumi.
Mari, kita kenang kembali, bagaimana
pemuda Bani Makhzum yang belum lama masuk Islam. Dahulu, di masa
remajanya, dia beranjak dewasa bahu membahu bersama bapaknya menjadi
petaka bagi kaum muslimin. Penentang nomor satu dakwah yang disampaikan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, bapaknya harus puas menerima gelar Fir’aun umat ini.
Betul, dia adalah ‘Ikrimah bin Abi Jahl ‘Amr bin Hisyam al-Makhzumi radhiallahu ‘anhu.
Di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran yang tidak sebanding jumlah
kedua kubu yang berhadapan itu, ‘Ikrimah menarik kekang kudanya ke depan
dan berseru, “Siapa yang mau berbai’at untuk mati syahid, hari ini?!!”
Dua ratus lebih prajurit muslim yang meyakini angin surga sedang bertiup di bumi Yarmuk menyambut tantangan satria tersebut.
Derap ratusan kuda yang dipimpin
‘Ikrimah menerjang ke tengah musuh yang berjumlah dua ratus ribuan orang
itu. Pekik Allahu Akbar menggema diiringi ringkik kuda dan dentingan
pedang yang beradu.
Satu demi satu mereka jatuh ke bumi, setelah membuat pasukan musuh benar-benar harus menelan pil pahit di hari itu.
Nun, di kota suci, Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat setelah mengukuhkan ‘Umar sebagai penggantinya. ‘Umar tidak
menunda-nunda menjalankan tugasnya. Setelah menjadi khalifah, yang
pertama dikerjakan beliau adalah memberhentikan Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu dari jabatan panglima kaum muslimin dan mengangkat Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya.
Ada yang berpendapat bahwa langkah ini
sangat tepat. Alasan mereka, ‘Umar dan Khalid sama-sama memiliki sifat
keras dan tegas, sedangkan Abu ‘Ubaidah berwatak lembut dan mudah.
Karena itu, ‘Umar melihat, watak kerasnya harus ada yang mengimbangi dan
menahannya. Beliau melihat Abu ‘Ubaidah radhiallahu ‘anhu adalah yang tepat untuk itu.
Ada pula yang menceritakan bahwa
pemecatan Khalid dari kedudukannya sebagai panglima adalah upaya Amirul
Mukmin memangkas akar-akar fanatisme jahiliah di hati kaum muslimin.
Beliau khawatir, kaum muslimin terfitnah karena mereka selalu berhasil
mengalahkan musuh jika dipimpin oleh Khalid. Oleh karena itu, demi
menjaga keutuhan tauhid dan tawakal mereka kepada Allah, Amirul Mukminin
memecat Khalid untuk menanamkan keyakinan kepada kaum muslimin, bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberi kemenangan itu, sama sekali bukan karena kelihaian dan kejeniusan Khalid dalam menjalankan taktik perang.
Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin
menegaskan, “Aku memecat Khalid bukan karena dia lemah atau khianat,
melainkan karena khawatir kaum muslimin terfitnah. Karena itu, aku ingin
mereka menyadari bahwa semua (kemenangan) ini adalah Allah yang
mengaturnya.”
Ada beberapa versi yang menerangkan
peristiwa tersebut. Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa kurir dari
Madinah menyerahkan surat Amirul Mukminin langsung kepada Abu ‘Ubaidah,
tetapi oleh Abu ‘Ubaidah dia disuruh diam dan menunggu sampai keadaan
tenang. Setelah keadaan agak tenang, pasukan beristirahat, Abu ‘Ubaidah
menemui kurir tersebut dan membaca surat yang dibawanya.
Abu ‘Ubaidah meminta kepada kurir itu
agar tidak menceritakan isi surat tersebut kepada siapapun sampai
keadaan benar-benar tenang, agar pencopotan Khalid tidak membuat goyah
semangat tempur kaum muslimin.
Yang lain berpendapat bahwa surat itu
sampai ke tangan Khalid, kemudian beliau mendoakan kebaikan untuk Amirul
Mukminin. Kata Khalid, “Aku tidak berperang karena ‘Umar, tetapi karena
Allah.” Kemudian, dia menemui Abu ‘Ubaidah untuk menyerahkan surat
tersebut.
Begitu bertemu, beliau langsung memberi
salam penghormatan sebagai prajurit biasa kepada panglima. Abu ‘Ubaidah
tentu saja kaget menerima penghormatan itu, kemudian dia membaca surat
yang diserahkan oleh Khalid.
Keadaan tetap tenang, seakan-akan tidak ada kejadian apapun dalam barisan kaum muslimin.
Khalid tetap bertempur dengan penuh
semangat untuk mencari syahid. Dia merasa yakin, apapun kedudukannya, di
manapun posisinya dia adalah tentara Allah. Sebelum itu, dia sebagai
panglima, tetapi juga prajurit, bertempur sengit menerjang musuh untuk
meraih syahid. Adapun sekarang, dia adalah prajurit biasa tetapi juga
panglima.
Ya, dia panglima meskipun statusnya
adalah prajurit biasa, karena dia tetap memimpin pasukan muslimin dengan
memberikan saran dan arahan serta taktik yang jitu kepada panglima
baru. Bahkan, diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Segala puji milik
Allah yang menetapkan aku mencintai Amirul Mukminin.”
Ketika dalam keadaan terbaring menjemput maut, Khalid ditanya, “Siapa yang engkau wasiatkan mengurusi anak-anakmu?”
“Amirul Mukminin ‘Umar bin al- Khathathab,” jawab beliau. Wallahu a’lam.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Tanya Jawab Ringkas Edisi 97 (2)
Pertanyaan-pertanyaan berikut dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Shalat Sunnah bagi Wanita HaidBolehkah wanita haid melaksanakan shalat sunnah?
0899xxxxxxx
- Jawaban:
Menutup Telinga Saat Iqamat
Apakah sewaktu iqamat untuk shalat disyariatkan menutup telinga seperti saat adzan?
08214xxxxxxx
- Jawaban:
Gadai Sawah
Ada orang punya utang 4 juta dengan menggadaikan sawah, tenggang waktu 4 musim penghujan atau biasanya 4 tahun. Akan tetapi, sawah itu sekarang diolah dan hasil panennya diambil si pemberi utang.
Pertanyaannya:
1) Apakah boleh utang dibayar sekarang, walaupun belum 4 tahun, takut dilaknat karena memberi riba karena baru tahu hukumnya setelah baca Asy Syariah?
2) Apakah dia dikatakan menyalahi janji, karena yang berlaku di desa kami seperti itu. Kalau belum mencapai waktu yang disepakati, belum mau dibayar, karena belum dapat untung?
081392xxxxxx35
- Jawaban:
Imunisasi
Apa hukumnya pemberian imunisasi pada bayi?
08774xxxxxxx
- Jawaban:
Shalat di Belakang Shaf Sendirian
Dalam shalat berjamaah ketika shaf depan sudah penuh dan kita berada pada shaf kedua sendirian, apakah yang harus kita lakukan? Apakah tetap saja shalat meskipun sendirian dalam shaf kedua?
08524xxxxxxx
- Jawaban:
Shalat Sunnah Rawatib Empat Rakaat
Apakah boleh shalat 4 rakaat sekaligus tanpa salam sebelum zuhur? Siapakah ulama yang berpendapat demikian?
08575xxxxxxx
- Jawaban:
Ibu Mengimami Anak Perempuan
Bolehkah ibu mengimami anak perempuannya yang berusia 7 tahun yang masih sering bercanda dalam shalat? Apakah sebaiknya shalat sendiri-sendiri atau bagaimana?
081227xxxxxx
- Jawaban:
Bacaan Saat Sujud Syahwi
Apa yang bisa dibaca seseorang ketika sujud sahwi? Apa perlu bertakbir ketika hendak sujud sahwi?
08386xxxxxxx
- Jawaban:
Kapan Allah subhanahu wa ta’ala Mengampuni Dosa?
Sejak kapan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa hambanya, apakah setelah tobat ataukah setelah disiksa di neraka?
08536xxxxxxx
- Jawaban:
Doa Khusus Bagi Ayah yang Sudah Meninggal
Apa doa yang dibacakan untuk ayah yang sudah meninggal? Apakah ada doa khusus yang dibacakan supaya dikabulkan?
0898xxxxxxx
- Jawaban:
Doa Antara Azan dan Iqamat
Ada hadits yang menyatakan bahwa waktu berdoa yang afdal adalah setelah dikumandangkan azan. Yang saya tanyakan, apakah kita berdoa dengan menengadahkan kedua tangan?
08524xxxxxxx
- Jawaban:
Hukum Karma dalam Islam
Apakah benar di dalam Islam ada istilah “hukum karma”?
08214xxxxxxx
- Jawaban:
Menyentuh Istri Membatalkan Wudhu?
Apakah bersentuhan kulit dengan istri itu membatalkan wudhu?
08538xxxxxxx
- Jawaban:
Membaca al-Qur’an Saat Haid
Bolehkah wanita membaca/menulis al-Qur’an saat haid?
08564xxxxxxx
- Jawaban:
Keluar Rumah Tanpa Izin Suami
Bolehkah wanita keluar rumah (bukan safar) tanpa seizin suami, karena suami merantau di Arab?
081327xxxxxx
- Jawaban:
Tempat Afdal untuk Akikah
Seorang wanita saat lahirnya belum diakikahi dan sekarang dia ikut suaminya. Jika dia ingin mengakikahi dirinya, di mana tempat yang afdal?
0899xxxxxxx
- Jawaban:
Di tempat dia berada sekarang.
Membaca al – Qur ’an Tanpa Berkerudung
Bolehkah seorang perempuan membaca al-Qur’an tidak berkerudung?
08525xxxxxxx
- Jawaban:
Cairan Coklat setelah Haid
Seorang wanita yang tidak mempunyai kebiasaan (adat haid) melihat cairan kecoklatan setelah terputusnya darah. Apa yang seharusnya dia lakukan?
08534xxxxxxx
- Jawaban:
Kapur Ajaib
Bagaimana hukumnya menggunakan kapur ajaib untuk mengusir serangga?
085227xxxxxx
- Jawaban:
Celana di Atas Mata Kaki
Mengapa celana kita harus dipotong di atas mata kaki?
02195xxxxxx
- Jawaban:
Nisbat Wahabi
Mau tanya. Apa boleh menisbahkan diri sebagai wahabi, soalnya itu kan penisbahan kepada seseorang?
08384xxxxxxx
- Jawaban:
Menahan Buang Angin Saat Shalat
Apa boleh menahan kentut pada saat shalat?
08564xxxxxxx
- Jawaban:
Waktu Larangan Shalat Sunnah
Apa hukum shalat sunnah pada saat matahari terbit di ufuk timur dan pada saat matahari terbenam di ufuk barat?
08539xxxxxxx
- Jawaban:
Waktu Sepertiga Malam
Kapan waktu sepertiga malam terakhir itu?
08521xxxxxxx
- Jawaban:
Membersihkan Bulu Ketiak
Apakah membersihkan bulu ketiak itu sunnah? Bagaimana cara membersihkannya agar tidak tumbuh lagi?
08963xxxxxxx
- Jawaban:
Maulid Nabi
Mengapa kita dilarang memperingati Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan Nuzulul Qur’an?
08524xxxxxxx
- Jawaban:
Shalat Sunnah Qabliyah Maghrib
Apakah ada shalat sunnah qabliyah maghrib?
08233xxxxxxx
- Jawaban:

Tanya Jawab Ringkas Edisi 97 (1)
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Daging Akikah untuk Orang KafirApakah kita boleh memberikan daging akikah kepada saudara kita yang bukan muslim?
08522xxxxxxx
- Jawaban:

Semir Rambut Hitam Kecoklatan
Bolehkah menyemir rambut dengan warna coklat kehitaman karena rambut sudah mulai memutih? Ini atas permintaan suami agar terlihat lebih muda.
081327xxxxxx
- Jawaban:

Wanita Shalat Memakai Sendal
Apakah shalat memakai sendal hukumnya sunnah? Jika wanita sesekali tidak memakai sendal, apakah bisa dihukumi seperti Yahudi?
08539xxxxxxx
- Jawaban:
Derajat Hadits Tentang Talak
Bagaimana kedudukan hadits, “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”?
08781xxxxxxx
- Jawaban:
Berlepas Diri dari Hizbiyah
Apakah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya berkonsekuensi bahwa saya juga harus berlepas diri dari mereka yang berdakwah tentang agama, namun dalam wadah atau kelompok baru yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Abu Abdillah—Lampung
08574xxxxxxx
- Jawaban:

Shalat Memakai Pakaian Bermotif
Bagaimana hukumnya memakai pakaian, seperti sarung, songkok, jubah, gamis yang bermotif/tidak polos dalam shalat?
08524xxxxxxx
- Jawaban:
Partai Politik = Ashabiyah?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Bukan dari golongan kami, orang yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan).” (HR. Abu Dawud)
Apakah orang-orang yang masuk ke partai politik tertentu dan mengampanyekan partainya termasuk dalam hadits ini?
08524xxxxxxx
- Jawaban:

Kaos Kaki Tinggi = Musbil?
Jika seseorang memakai celana sampai setengah betis kemudian memakai kaos kaki tinggi, apakah termasuk musbil?
08154xxxxxxx
- Jawaban:
Antara Umrah & Membantu Orang Miskin
Saya pelanggan Majalah Asy Syariah ingin bertanya. Sekarang ada fenomena adanya ibadah umrah. Yang saya tanyakan, lebih penting mana antara menjalankan ibadah umrah sementara di sekitar kita, bahkan mungkin saudara di sekitar kita, masih banyak yang hidup miskin?
08564xxxxxxx
- Jawaban:
Perempuan Mendakwahi Lelaki
Bolehkah seorang perempuan mendakwahi laki-laki? Sebab, wanita tersebut lebih berilmu dan tidak tahan dengan kemungkaran yang dilakukan oleh si lelaki.
08967xxxxxxx
- Jawaban:
Orang Tua Ingin Anak Belajar ke Luar Negeri
Orang tua saya menyuruh saya untuk belajar di Yaman bersama para ulama. Namun, saya merasa belum pantas untuk pergi ke sana karena ilmu saya yang masih sedikit dan umur saya masih 17 tahun. Saya masih merasa takut apabila pergi terlalu jauh. Apa nasihat ustadz, sikap terbaik yang harus saya lakukan?
08237xxxxxxx
- Jawaban:
Di Yaman juga sudah ada teman-teman dari Indonesia yang akan membagikan pengalaman kepada kita. Kuatkan hati, azamkan tekad, ambil kesempatan ini sebelum hilang.
Wanita Memakai Sendal Lelaki
Wanita memakai sendal seperti laki-laki, apakah itu termasuk tasyabuh?
08579xxxxxxx
- Jawaban:
Suami Merantau, Istri Menyuruh Pulang
Apakah seorang istri berdosa menyuruh suaminya pulang apabila suami tersebut tidak bekerja di rantau. Suami masih menunggu mendapatkan pekerjaan.
08575xxxxxxx
- Jawaban:
Menasihati Murid di Depan Umum
Apakah boleh seorang pengajar menasihati murid di hadapan orang banyak, seperti di majlis taklim umum? Padahal murid itu tidak senang dengan yang seperti itu, walaupun memang dia bersalah.
08236xxxxxxx
- Jawaban:
Makanan Orang Kafir
Tiap daerah ada makanan khasnya, gudeg khasnya Yogya; empek-empek khasnya Palembang; rujak cingur khasnya Surabaya, dst. Demikian pula di negara kafir Eropa dan Amerika ada makanan khas masing-masing, spaghetti, makaroni, dan pizza khas Italia; hotdog, hamburger, dan fried chicken khas USA, dst. Demikian halnya di negara kafir Asia punya kekhasan, misalnya sukiyaki dan tenpura hana adalah khas Jepang.
Pertanyaan:
- Apakah memasak, membeli, dan mengonsumsi makanan khas negeri kafir tersebut adalah bentuk tasyabuh dan mendukung syiar mereka?
- Bagaimana dengan makan di restoran Pizza Hut, McDonald, KFC, dan semacamnya?
- Jawaban:
Mengaji di Tempat Kematian
Kami pelanggan Asy Syariah mau tanya, mengaji di tempat orang meninggal itu boleh atau tidak? Katanya untuk “sangu” orang yang meninggal. Apa pula hukumnya peringatan 7 hari sampai 1000 harinya orang yang meninggal.
08783xxxxxxx
- Jawaban:
Zikir Khusus Setelah Witir
Apakah ada zikir khusus setelah shalat sunnah witir?
08232xxxxxxx
- Jawaban:
Makna Hadits Roh Ibarat Pasukan
Apa maksud hadits, “Roh-roh ibarat sebuah pasukan kokoh. Jika saling kenal, akan bertemu. Jika tidak mengenal, akan berpisah”? (HR. al-Bukhari)
08525xxxxxxx
- Jawaban:
Menabung Untuk Kurban
Bolehkah menabung untuk kurban? Bagaimana jika ada orang yang berkata, “Daripada menabung untuk kurban, lebih baik menabung untuk thalabul ilmi.”
08570xxxxxxx
- Jawaban:
Suara Manusia Menyerupai Musik
Tidak diragukan lagi bahwa alat musik hukumnya haram. Bagaimana hukumnya suara manusia yang menyerupai suara alat musik (misal acapella atau beatbox)?
08574xxxxxxx
- Jawaban:
Masbuk Satu Rakaat
Bagaimana cara shalat makmum yang masbuk satu rakaat saat shalat Isya?
08526xxxxxxx
- Jawaban:
Tobat Pemelihara Tuyul
Apa dosa seseorang yang memelihara tuyul masih bisa diampuni?
08773xxxxxxx
- Jawaban:
Cara Berjamaah Dua Orang
Bagaimana tatacara shalat berjamaah dengan dua orang? Saya pernah membaca buku tuntunan shalat, jika berjamaah hanya dua orang, imam dan makmum berdiri berjajar. Akan tetapi, yang ada di masyarakat luas sekarang, imam berdiri di depan, makmum di belakangnya. Kalau seperti itu shalatnya mendapat pahala jamaah atau tidak?
08771xxxxxxx
- Jawaban:
Definisi Ahlul Bait
Apa makna ahlul bait? Apa saja ketentuan-ketentuan ahlul bait? Apa yang harus dilakukan jika dia diberi suatu barang atau makanan?
08525xxxxxxx
- Jawaban:
(1) di atas sunnah, dan
(2) keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka termasuk ahli bid’ah, tidak dimuliakan. Ahlul bait tidak boleh memakan barang sedekah, tetapi boleh menerima dan memakan hadiah.
Tata Cara Azan
Apakah gugur syariat menengok ke arah kanan dan kiri ketika muazin mengucapkan, “Hayya ‘ala….” karena sekarang menggunakan pengeras suara?
08572xxxxxxx
- Jawaban:
Lafadz Azan Subuh
Apakah azan subuh hanya 1 kali, menggunakan lafadz ash-shalatu khairun min an-naum?
08125xxxxxxx
- Jawaban:
Antara Infak dan Sedekah
Mohon penjelasan antara infak dan sedekah, manakah yang lebih utama?
08xxxxxxxxx
- Jawaban:
Tobat dari Dusta
Ustadz, bagaimana cara bertobat dari dosa dusta?
08586xxxxxxx
- Jawaban:
Meminjam Uang di Bank
Apa hukum meminjam uang di bank untuk modal usaha?
08536xxxxxxx
- Jawaban:
Jam Warna Kuning
Apa boleh laki-laki memakai jam berwarna kuning tanpa mengandung emas?
08575xxxxxxx
- Jawaban:
Syahwat Terhadap Wanita
Bagaimana cara menjaga diri dari syahwat terhadap wanita?
08xxxxxxxxx
- Jawaban:
- Tundukkan pandangan.
- Cepat-cepat menikah, karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.

Ibadah yang Paling Utama
Dalam hal memandang amalan ibadah yang
paling afdal, paling bermanfaat, dan paling tepat untuk diprioritaskan
oleh seorang hamba, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok. Al-Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan pandangan tersebut dalam kitab Madarij as-Salikin dan menguatkan salah satunya. Pendapat yang dipilih oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ini juga disebutkan oleh al- Imam al-Miqrizi dalam kitab beliau, Tajrid at-Tauhid al-Mufid. Berikut ringkasan yang mereka berdua sampaikan dengan sedikit perubahan dari kami sebagai penjelasan makna. Wallahu a’lam bish-shawab.
Ibadah yang paling afdal ialah beramal sesuai dengan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala di setiap waktu, dengan amalan yang paling dituntut dan paling sesuai dengan kondisi saat itu.
Ibadah yang paling afdal saat
dikumandangkan seruan jihad ialah memenuhinya dan berjihad di jalan
Allah dengan jiwa dan harta, walaupun membuatnya terhalangi mengerjakan
shalat malam dan puasa yang biasa dia lakukan. Bahkan, walaupun hal ini
membuatnya terhalang dari menyempurnakan rukun-rukun shalat wajib.
Contoh lain, saat seorang tamu datang,
maka ibadah yang paling afdal adalah menyambut dan melayaninya, walaupun
hal ini menyibukkannya dari mengerjakan ibadah-ibadah sunnah yang lain.
Ibadah yang paling afdal di sepertiga
malam terakhir adalah menyibukkan diri dengan shalat, membaca al-Qur’an,
berzikir, beristighfar, dan memanjatkan doa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibadah yang paling afdal saat ada orang
yang membutuhkan pengarahan tentang masalah agama dari Anda adalah
memfokuskan diri untuk membimbing dan mengajarkan ilmu kepadanya.
Ibadah yang paling afdal saat datangnya
waktu shalat fardhu lima waktu adalah bersemangat dan bersungguhsungguh
mengerjakannya sesempurna mungkin, bersegera mengerjakannya di awal
waktu, keluar menuju masjid untuk mengerjakannya secara berjamaah.
Semakin jauh masjid yang dituju, maka semakin afdal.
Ibadah yang paling afdal saat ada orang
yang membutuhkan bantuan adalah membantunya semaksimal mungkin dengan
tenaga, harta, atau kedudukan. Anda memfokuskan kegiatan untuk
mencurahkan bantuan dan lebih memprioritaskan hal itu daripada amalan
sunnah yang lain.
Ketika sedang membaca al-Qur’an, yang
paling afdal adalah memusatkan hati dan pikiran untuk mentadabburi dan
memahami kandungan maknanya hingga seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala
sendiri yang langsung berfirman kepada Anda dengan al-Qur’an tersebut.
Anda pusatkan hati dan pikiran untuk mentadabburi dan memahami maknanya
serta membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah yang ada di
dalamnya. Anda lakukan semua itu melebihi seorang yang sedang memusatkan
hati dan pikirannya ketika sedang membaca surat perintah dari seorang
kepala negara.
Saat wukuf di padang Arafah, ibadah yang paling afdal adalah bersungguh-sungguh merendah, berdoa, dan berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini lebih utama daripada berpuasa yang menyebabkan diri lemah untuk berdoa dan berzikir pada hari itu.
Pada sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah, yang paling afdal adalah memperbanyak ibadah, terkhusus
bertakbir, bertahlil, dan bertahmid. Ini semua lebih afdal pada hari itu
daripada berjihad yang bukan wajib ‘ain.
Pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, yang paling afdal adalah menetap di masjid, menyendiri
beribadah, dan beriktikaf. Ini semua lebih baik daripada berbaur dan
bercengkerama bersama manusia pada saat itu. Bahkan, hal ini lebih afdal
daripada menyampaikan ilmu agama dan mengajarkan al-Qur’an pada sepuluh
hari tersebut, menurut pendapat jumhur ulama.
Ibadah yang paling afdal saat ada
saudara muslim tertimpa sakit atau meninggal adalah menjenguk atau
melayat dan mengantarkan jenazahnya. Ini hendaknya lebih diprioritaskan
daripada Anda berkonsentrasi beribadah seorang diri.
Ibadah yang paling afdal saat Anda
ditimpa ujian dan gangguan dari manusia adalah melaksanakan kewajiban
bersabar atas gangguan mereka. Anda tetap berbaur dan tidak lari
meninggalkan mereka. Sebab, seorang mukmin yang berbaur dengan manusia
dan bersabar atas gangguan mereka lebih afdal daripada seorang mukmin
yang tidak mengalami ujian berupa gangguan dari manusia.
Berbaur dengan manusia dalam urusan
kebaikan lebih afdal daripada mengasingkan diri dari mereka.
Mengasingkan diri dari manusia dalam urusan kejelekan lebih afdal
daripada berbaur dengan mereka saat itu. Akan tetapi, apabila dia tahu
bahwa jika berbaur dengan mereka dirinya mampu menghilangkan kejelekan
tersebut atau meminimalkannya, berbaur dengan mereka lebih afdal.
Ibadah yang paling afdal di setiap waktu dan kondisi adalah memprioritaskan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala
pada setiap waktu dan kondisi tersebut. Anda menyibukkan diri dengan
kewajiban yang dituntut untuk dilaksanakan pada waktu tersebut,
melaksanakan tugas dan keharusan yang sesuai dengan waktu serta kondisi.
Mereka inilah hamba-hamba yang bebas dan
fleksibel, sedangkan selain mereka adalah hamba yang kaku dan terikat;
hamba yang fleksibel dan tidak terikat dengan suatu ibadah tertentu.
Kesibukan utamanya hanyalah mencari keridhaan Rabbnya, di manapun
keridhaan-Nya berada. Di situlah poros peredaran ibadah mereka, mencari
ridha Rabb semata.
Dia terus-menerus berpindah dari satu
amalan ibadah ke amalan ibadah lainnya. Setiap tampak baginya tingkatan
ibadah yang paling afdal, dia segera menyibukkan diri untuk
mengamalkannya hingga tampak baginya tingkatan lain yang lebih afdal
untuk dikerjakan saat itu. Demikianlah kegiatan kesehariannya hingga
akhir perjalanan hidupnya.
Jika memerhatikan orang-orang yang ilmu keagamaannya mendalam, Anda akan melihat dirinya bersama mereka.
Ketika memerhatikan orang-orang yang gemar beribadah, Anda akan melihat dirinya bersama mereka pula.
Ketika memerhatikan pasukan mujahidin, Anda pun akan melihatnya di antara mereka.
Saat memerhatikan orang-orang yang gemar berzikir, Anda juga akan melihatnya bersama mereka.
Jika memerhatikan orang-orang yang gemar bersedekah dan berbuat baik, Anda melihatnya lagi di tengah-tengah mereka.
Jika memerhatikan orang-orang yang selalu memusatkan hatinya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, Anda pun akan melihatnya bersama mereka.
Setiap orang yang baik akan merasa nyaman jika dia ada. Sebaliknya, orang yang jelek akan merasa sesak dengan keberadaannya.
Dia bagaikan hujan, di manapun singgah akan memberikan manfaat.
Bagaikan pohon kurma, seluruh bagian dirinya bermanfaat hingga durinya.
Dia begitu keras terhadap setiap orang yang menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala, begitu marah ketika larangan Allah subhanahu wa ta’ala dilanggar.
Dia mempersembahkan amalannya hanya untuk Allah, dengan selalu meminta pertolongan kepada-Nya dan senantiasa membela agama-Nya.
Dia bermuamalah dengan Allah subhanahu wa ta’ala tanpa memedulikan pujian dan cercaan manusia.
Dia bermuamalah dengan manusia tanpa menghiraukan kepentingan pribadinya. (Madarij as-Salikin, hlm. 58, dan Tajrid at-Tauhid al-Mufid, hlm. 84)
Subhanallah, betapa menakjubkan keadaan hamba yang seperti ini. Sampai-sampai, al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah melabeli hamba yang seperti ini sebagai hamba yang telah menegakkan kalimat,
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (al-Fatihah: 5)
dengan sebenar-benarnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu membimbing kita semua untuk meraih keridhaan-Nya di setiap waktu yang kita lalui. Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
Pemimpin Rumah Tangga yang Dirahmati
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Allah subhanahu wa ta’ala merahmati seorang suami
yang bangun malam menegakkan shalat malam, lalu ia membangunkan istrinya
hingga sang istri shalat. Apabila sang istri enggan, ia percikkan
(usapkan) air ke wajahnya. Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala juga
merahmati seorang istri yang bangun malam untuk mengerjakan shalat malam
lalu ia membangunkan suaminya. Apabila sang suami enggan, ia usapkan
air ke wajah suaminya.”
Takhrij Hadits
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini diriwayatkan Abu Dawud, di dua tempat dalam kitabnya as-Sunan.
Al-Mundziri rahimahullah berkata, “… Dalam sanadnya ada Muhammad bin ‘Ajlan, ia dinyatakan tsiqah (tepercaya) oleh al-Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, al-Bukhari menjadikannya sebagai syahid (penguat), al-Imam Muslim mengeluarkan haditsnya dalam mutaba’at (sebagai penguat), dan sebagian ulama lain membicarakannya.”[1]
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no. 1181).
Di Antara Sifat Suami Dambaan
Setiap insan berharap akan hadirnya pendamping hidup. Bagi seorang muslimah, sebelum datangnya peminang, pasti di benaknya terbayang pertanyaan sekaligus harapan tentang sifat-sifat suami ideal yang akan menjadi penyejuk hatinya.
Hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang taat selalu memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala pendamping yang menyejukkan hati itu, sebagaimana dalam doa yang selalu mereka panjatkan,
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri (pasangan hidup) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan: Bagaimanakah suami ideal yang diharapkan menjadi pendamping yang menyejukkan hati?
Dia adalah suami yang selalu mengajak istrinya menaati Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana sebaliknya, istri yang ideal dan menyejukkan pandangan mata adalah istri yang terus membantu dan mengajak sang suami menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Suasana bantu-membantu di atas ketakwaan menjadi salah satu asas bagi suami dalam membangun rumah tangganya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Apa yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah contoh dari figur pendamping yang baik. Setiap yang membaca hadits ini tentu tertegun dan berdecak kagum menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Betapa indahnya seandainya suasana ini terwujud dalam rumah tangga kita semua. Semoga.
Lihat apa yang dilakukan sang suami! Di tengah gulitanya malam ia terjaga. Tangannya segera meraih air wudhu, berdiri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, membaca ayat demi ayat al-Qur’an. Setelah tenggelam dalam lautan munajat di tengah keheningan, suami yang saleh itu tidak mencukupkan kebaikan hanya untuk dirinya, dia bangunkan sang istri hingga menyusulnya beribadah. Saat sang istri enggan, usapan air kasih sayang mengenai wajahnya, hingga sang istri pun terbangun mengikuti jejak suaminya.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bila sang istri enggan, ia percikkan air ke wajahnya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnad (2/247) menukilkan ucapan Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah tentang makna hadits. Sufyan rahimahullah berkata,
“Bukan (tidak harus) dipercikkan air ke wajahnya, namun diusapkan.”
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menerangkan, “Maksud perkataan Sufyan adalah menafsirkan kata النَّضْØُ dalam hadits ini. Pada asalnya kata النَّضْØُ bermakna memercikkan air, namun Sufyan ingin menjelaskan bahwa dalam konteks hadits ini bukan itu yang dimaksud. Sebab, percikan mungkin saja akan mengganggu seorang yang tidur dan membangunkannya dalam keadaan terkejut. Akan tetapi, maksudnya ialah mengusap dengan air, sebagai bentuk kelembutan bagi orang yang tidur dan penyemangat dari rasa malas.” Allahu a’lam.
Suami yang demikian sungguh besar pahala yang dia raih. Banyak sisi kebaikan untuknya sebagaimana ditunjukkan oleh hadits tersebut.
“Apabila seorang bangun di waktu malam lalu ia bangunkan istrinya kemudian keduanya shalat dua rakaat, niscaya keduanya akan dicatat sebagai orang yang banyak berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Jagalah Diri Kalian dan Keluarga Kalian dari Api Neraka
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang demikian agung ini juga mengingatkan kita akan sebuah tugas yang Allah subhanahu wa ta’ala embankan atas orang-orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Jika shalat sunnah saja sang suami demikian bersemangat membangunkan sang istri, tentu dalam perkara yang wajib suami yang saleh lebih bersemangat dalam membimbing keluarganya.
Suami yang menyejukkan hati tidak kenal putus asa dalam mengajari keluarganya tauhid, dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, terus membimbing mereka untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat-Nya, serta membimbing keluarganya untuk mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak-hak beliau.
Semua itu dia lakukan dengan penuh kesabaran dan semangat sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, serta nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)
Rumah dalam Pandangan Suami Ideal
Pelajaran lain yang dapat kita ambil dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sebagai sebuah faedah besar yang tidak boleh luput dari perhatian: Suami yang saleh adalah yang memiliki pandangan bahwa rumah bukan sekadar tempat menunaikan hajat makan, minum, beristirahat, bersenang-senang dengan keluarga, atau memenuhi kebutuhan biologis.
Bukan ini tujuan utama seorang suami saleh membangun keluarga dan menempati sebuah rumah tempat tinggal dan memimpin rumah tangga. Suami yang saleh adalah sosok yang memimpin keluarganya untuk bersama-sama memandang bahwa rumah ialah tempat menabur benih-benih kebaikan guna menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Suami yang ideal selalu berupaya menjadikan rumahnya penuh dengan suasana ibadah, tarbiyah (pendidikan) di atas manhaj nubuwwah untuk keluarganya, sebagaimana tampak dalam hadits di atas. Sang suami dengan penuh kasih sayang membangunkan sang istri untuk bangun malam, shalat tahajud, bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika sang istri enggan usapan kasih pun mengusap wajah sang istri dengan air sejuk, hingga terbangun untuk berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin.
Banyak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan akan hal ini, yakni seorang suami harus memandang rumah bukan sekadar tempat berteduh dan menunaikan beragam hajat, namun di antara yang terpenting bagaimana mewujudkan suasana ibadah dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam rumah dan keluarganya.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan-kuburan, sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat al-Baqarah.” ( HR. Muslim [1/539] no. 780)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bacalah surat al-Baqarah karena sungguh mengambilnya adalah berkah dan meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang-tukang sihir tidak mampu menghadapinya.” (HR. Muslim no. 804)
Dua hadits di atas adalah bimbingan kepada kita agar tidak menjadikan rumah seperti pekuburan, tidak ada shalat[2], tidak ada bacaan al-Qur’an dan zikir. Namun, hendaknya rumah dimakmurkan dengan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Di samping memakmurkan rumah dengan zikir dan shalat sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan agar para suami membersihkan rumah-rumahnya dari perkara yang memalingkan dari zikir dan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti patung dan gambar-gambar makhluk bernyawa, juga alat-alat musik serta media-media yang menjadi sebab kerusakan dan berpalingnya seorang dan keluarganya dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala.agi kaum lelaki, memakmurkan
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Ummul Mukminin, beliau pernah membeli numraqah berhiaskan gambar-gambar, maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya beliau berdiri di depan pintu dan tidak berkenan masuk ke dalam rumah. Aisyah menangkap ketidaksukaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tampak dalam wajahnya.
Aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku bertobat kepada Allah dan Rasul- Nya, dosa apa yang aku lakukan?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Mengapa ada numraqah (bergambar) ini, apa yang dimaukan?’
Aku berkata, ‘Aku membelinya agar engkau duduk di atasnya.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya para pembuat gambar-gambar ini pada hari kiamat akan disiksa, dikatakan padanya: Hidupkanlah apa yang dahulu kalian buat (berupa patung dan gambar makhluk bernyawa, -pen.).’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar tidak akan dimasuki malaikat’.” (HR. al-Bukhari no. 2105)
Suasana Ibadah di Rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan tentang sepasang suami istri yang Allah subhanahu wa ta’ala rahmati, beliau amalkan pula bersama ummahatul mukminin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukupkan ibadah untuk diri beliau sendiri, namun beliau bangunkan keluarganya agar beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bercerita tentang kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat malam sementara Aisyah tidur melintang di hadapan beliau. Apabila tersisa shalat witir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan Aisyah, hingga Aisyah menunaikan witir.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam sebagian riwayat Muslim dikatakan,
“Dan apabila tersisa shalat witir beliau bersabda, ‘Bangunlah engkau dan shalat witirlah, wahai Aisyah’.”
Aisyah radhiallahu ‘anha juga bercerita tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan beliau kencangkan ikat pinggang, beliau hidupkan malamnya dan beliau bangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Suatu malam Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha, salah seorang ummahatul mukminin shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun telah berumur, gemuk serta berat badannya, beliau terus bersemangat beribadah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di pagi harinya Saudah berkata,
“Wahai Rasulullah, semalam aku shalat di belakangmu, aku rukuk bersama rukukmu (yang cukup panjang, -pen.) hingga aku pegang hidungku, khawatir seandainya darah menetes dari hidungku!” (karena beratnya tubuh Saudah, -pen.).
Mendengar perkataan Saudah, sang istri, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa. Kisah ini diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat al-Kubra (8/54), perawi-perawinya tsiqah, hanya saja hadits ini mursal.
Allahu Akbar, suasana ibadah dan kasih sayang demikian tampak dalam kisah ini. Tawa Rasul pun memecah keheningan, menghangatkan suasana keluarga beliau yang penuh dengan berkah.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang husna (Mahaindah), dan sifat-sifat-Mu yang Mahaagung, mudahkanlah kami meneladani Nabi-Mu. Mudahkanlah kami menapakkan kedua kaki yang penuh dengan dosa ini ke dalam jannah-Mu, menatap Wajah-Mu yang mulia, dan berjumpa dengan khalil-Mu, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Faedah-Faedah Hadits
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
[1] Seperti perkataan al-‘Uqaili, “Yadhtharibu fi Haditsi Nafi’ (Dia goncang dalam hadits Nafi’).”
[2] Bagi kaum lelaki, memakmurkan rumah dengan shalat tentulah yang dimaksud shalat sunnah. Adapun shalat lima waktu, kaum lelaki wajib menunaikannya berjamaah di masjid. Allahu a’lam.
Takhrij Hadits
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini diriwayatkan Abu Dawud, di dua tempat dalam kitabnya as-Sunan.
- Dalam kitab at-Tathawwu’ bab “Qiyamul Lail” (Kitab Shalat Sunnah bab “Shalat Malam”) no. 1308.
- Dalam kitab al-Witr bab “al-Hats ‘ala Qiyamil Lail” (Kitab Shalat Witir bab “Anjuran Shalat Malam”) no. 1450, melalui jalan gurunya Muhammad bin Basyar dari Yahya bin Sa’id al-Qaththan dari Ibnu ‘Ajlan dari al-Qa’qa’ bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
Al-Mundziri rahimahullah berkata, “… Dalam sanadnya ada Muhammad bin ‘Ajlan, ia dinyatakan tsiqah (tepercaya) oleh al-Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, al-Bukhari menjadikannya sebagai syahid (penguat), al-Imam Muslim mengeluarkan haditsnya dalam mutaba’at (sebagai penguat), dan sebagian ulama lain membicarakannya.”[1]
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no. 1181).
Di Antara Sifat Suami Dambaan
Setiap insan berharap akan hadirnya pendamping hidup. Bagi seorang muslimah, sebelum datangnya peminang, pasti di benaknya terbayang pertanyaan sekaligus harapan tentang sifat-sifat suami ideal yang akan menjadi penyejuk hatinya.
Hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang taat selalu memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala pendamping yang menyejukkan hati itu, sebagaimana dalam doa yang selalu mereka panjatkan,
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri (pasangan hidup) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan: Bagaimanakah suami ideal yang diharapkan menjadi pendamping yang menyejukkan hati?
Dia adalah suami yang selalu mengajak istrinya menaati Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana sebaliknya, istri yang ideal dan menyejukkan pandangan mata adalah istri yang terus membantu dan mengajak sang suami menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Suasana bantu-membantu di atas ketakwaan menjadi salah satu asas bagi suami dalam membangun rumah tangganya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Apa yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah contoh dari figur pendamping yang baik. Setiap yang membaca hadits ini tentu tertegun dan berdecak kagum menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Betapa indahnya seandainya suasana ini terwujud dalam rumah tangga kita semua. Semoga.
Lihat apa yang dilakukan sang suami! Di tengah gulitanya malam ia terjaga. Tangannya segera meraih air wudhu, berdiri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, membaca ayat demi ayat al-Qur’an. Setelah tenggelam dalam lautan munajat di tengah keheningan, suami yang saleh itu tidak mencukupkan kebaikan hanya untuk dirinya, dia bangunkan sang istri hingga menyusulnya beribadah. Saat sang istri enggan, usapan air kasih sayang mengenai wajahnya, hingga sang istri pun terbangun mengikuti jejak suaminya.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bila sang istri enggan, ia percikkan air ke wajahnya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnad (2/247) menukilkan ucapan Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah tentang makna hadits. Sufyan rahimahullah berkata,
“Bukan (tidak harus) dipercikkan air ke wajahnya, namun diusapkan.”
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menerangkan, “Maksud perkataan Sufyan adalah menafsirkan kata النَّضْØُ dalam hadits ini. Pada asalnya kata النَّضْØُ bermakna memercikkan air, namun Sufyan ingin menjelaskan bahwa dalam konteks hadits ini bukan itu yang dimaksud. Sebab, percikan mungkin saja akan mengganggu seorang yang tidur dan membangunkannya dalam keadaan terkejut. Akan tetapi, maksudnya ialah mengusap dengan air, sebagai bentuk kelembutan bagi orang yang tidur dan penyemangat dari rasa malas.” Allahu a’lam.
Suami yang demikian sungguh besar pahala yang dia raih. Banyak sisi kebaikan untuknya sebagaimana ditunjukkan oleh hadits tersebut.
- Allah subhanahu wa ta’ala merahmati dirinya sebagaimana dalam hadits ini,
- Ketika dia mengajak sang istri berbuat taat, ia pun akan memperoleh pahala istri yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala istrinya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
- Allah subhanahu wa ta’ala akan mencatat mereka berdua, suami dan istri, sebagai hamba-hamba- Nya yang banyak berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
“Apabila seorang bangun di waktu malam lalu ia bangunkan istrinya kemudian keduanya shalat dua rakaat, niscaya keduanya akan dicatat sebagai orang yang banyak berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Jagalah Diri Kalian dan Keluarga Kalian dari Api Neraka
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang demikian agung ini juga mengingatkan kita akan sebuah tugas yang Allah subhanahu wa ta’ala embankan atas orang-orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Jika shalat sunnah saja sang suami demikian bersemangat membangunkan sang istri, tentu dalam perkara yang wajib suami yang saleh lebih bersemangat dalam membimbing keluarganya.
Suami yang menyejukkan hati tidak kenal putus asa dalam mengajari keluarganya tauhid, dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, terus membimbing mereka untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat-Nya, serta membimbing keluarganya untuk mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak-hak beliau.
Semua itu dia lakukan dengan penuh kesabaran dan semangat sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, serta nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)
Rumah dalam Pandangan Suami Ideal
Pelajaran lain yang dapat kita ambil dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sebagai sebuah faedah besar yang tidak boleh luput dari perhatian: Suami yang saleh adalah yang memiliki pandangan bahwa rumah bukan sekadar tempat menunaikan hajat makan, minum, beristirahat, bersenang-senang dengan keluarga, atau memenuhi kebutuhan biologis.
Bukan ini tujuan utama seorang suami saleh membangun keluarga dan menempati sebuah rumah tempat tinggal dan memimpin rumah tangga. Suami yang saleh adalah sosok yang memimpin keluarganya untuk bersama-sama memandang bahwa rumah ialah tempat menabur benih-benih kebaikan guna menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Suami yang ideal selalu berupaya menjadikan rumahnya penuh dengan suasana ibadah, tarbiyah (pendidikan) di atas manhaj nubuwwah untuk keluarganya, sebagaimana tampak dalam hadits di atas. Sang suami dengan penuh kasih sayang membangunkan sang istri untuk bangun malam, shalat tahajud, bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika sang istri enggan usapan kasih pun mengusap wajah sang istri dengan air sejuk, hingga terbangun untuk berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin.
Banyak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan akan hal ini, yakni seorang suami harus memandang rumah bukan sekadar tempat berteduh dan menunaikan beragam hajat, namun di antara yang terpenting bagaimana mewujudkan suasana ibadah dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam rumah dan keluarganya.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan-kuburan, sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat al-Baqarah.” ( HR. Muslim [1/539] no. 780)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bacalah surat al-Baqarah karena sungguh mengambilnya adalah berkah dan meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang-tukang sihir tidak mampu menghadapinya.” (HR. Muslim no. 804)
Dua hadits di atas adalah bimbingan kepada kita agar tidak menjadikan rumah seperti pekuburan, tidak ada shalat[2], tidak ada bacaan al-Qur’an dan zikir. Namun, hendaknya rumah dimakmurkan dengan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Di samping memakmurkan rumah dengan zikir dan shalat sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan agar para suami membersihkan rumah-rumahnya dari perkara yang memalingkan dari zikir dan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti patung dan gambar-gambar makhluk bernyawa, juga alat-alat musik serta media-media yang menjadi sebab kerusakan dan berpalingnya seorang dan keluarganya dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala.agi kaum lelaki, memakmurkan
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Ummul Mukminin, beliau pernah membeli numraqah berhiaskan gambar-gambar, maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya beliau berdiri di depan pintu dan tidak berkenan masuk ke dalam rumah. Aisyah menangkap ketidaksukaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tampak dalam wajahnya.
Aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku bertobat kepada Allah dan Rasul- Nya, dosa apa yang aku lakukan?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Mengapa ada numraqah (bergambar) ini, apa yang dimaukan?’
Aku berkata, ‘Aku membelinya agar engkau duduk di atasnya.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya para pembuat gambar-gambar ini pada hari kiamat akan disiksa, dikatakan padanya: Hidupkanlah apa yang dahulu kalian buat (berupa patung dan gambar makhluk bernyawa, -pen.).’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar tidak akan dimasuki malaikat’.” (HR. al-Bukhari no. 2105)
Suasana Ibadah di Rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan tentang sepasang suami istri yang Allah subhanahu wa ta’ala rahmati, beliau amalkan pula bersama ummahatul mukminin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukupkan ibadah untuk diri beliau sendiri, namun beliau bangunkan keluarganya agar beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bercerita tentang kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat malam sementara Aisyah tidur melintang di hadapan beliau. Apabila tersisa shalat witir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan Aisyah, hingga Aisyah menunaikan witir.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam sebagian riwayat Muslim dikatakan,
“Dan apabila tersisa shalat witir beliau bersabda, ‘Bangunlah engkau dan shalat witirlah, wahai Aisyah’.”
Aisyah radhiallahu ‘anha juga bercerita tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan beliau kencangkan ikat pinggang, beliau hidupkan malamnya dan beliau bangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Suatu malam Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha, salah seorang ummahatul mukminin shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun telah berumur, gemuk serta berat badannya, beliau terus bersemangat beribadah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di pagi harinya Saudah berkata,
“Wahai Rasulullah, semalam aku shalat di belakangmu, aku rukuk bersama rukukmu (yang cukup panjang, -pen.) hingga aku pegang hidungku, khawatir seandainya darah menetes dari hidungku!” (karena beratnya tubuh Saudah, -pen.).
Mendengar perkataan Saudah, sang istri, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa. Kisah ini diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat al-Kubra (8/54), perawi-perawinya tsiqah, hanya saja hadits ini mursal.
Allahu Akbar, suasana ibadah dan kasih sayang demikian tampak dalam kisah ini. Tawa Rasul pun memecah keheningan, menghangatkan suasana keluarga beliau yang penuh dengan berkah.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang husna (Mahaindah), dan sifat-sifat-Mu yang Mahaagung, mudahkanlah kami meneladani Nabi-Mu. Mudahkanlah kami menapakkan kedua kaki yang penuh dengan dosa ini ke dalam jannah-Mu, menatap Wajah-Mu yang mulia, dan berjumpa dengan khalil-Mu, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Faedah-Faedah Hadits
- Siapa pun yang mendapatkan kebaikan hendaknya senang apabila kebaikan itu juga diperoleh saudaranya, lebih-lebih orang yang sangat dekat dengannya, seperti istri dan anakanaknya.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing umatnya untuk mengerjakan shalat malam.
- Anjuran agar suami istri saling membantu dalam mengerjakan shalat malam. Sampai-sampai sang istri boleh menggunakan cara terbaik untuk itu, yaitu dengan mengusapkan air ke wajah suaminya, demikian pula sebaliknya.
- Dikhususkan penyebutan wajah, karena wajahlah bagian yang sangat peka sehingga lebih mudah untuk terbangun.
- Disebutkannya air dalam hadits dalam membangunkan tidak berarti harus dengan air, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan perkataan beliau,
- “Bangunlah engkau dan shalat witirlah, wahai Aisyah!”
- Intinya, baik suami maupun istri berupaya membangunkan pasangan hidupnya dengan penuh kelembutan, dengan cara yang baik dan diridhai.
- Hadits ini menetapkan sifat rahmat bagi Allah subhanahu wa ta’ala, dan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala merahmati hamba-Nya.
- Keutamaan shalat malam sebagai sebab rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
- Disyariatkan mewujudkan suasana ibadah dalam rumah tangga, lebihlebih atas seorang suami yang memiliki tanggung jawab lebih atas istrinya
- Hadits ini menunjukkan bahwa syariat untuk kaum laki-laki pada asalnya juga berlaku untuk kaum wanita selama tidak ada dalil yang membedakan keduanya.
- Islam tidak mengajari umatnya untuk shalat semalam suntuk, tetapi mengajarkan keseimbangan.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
[1] Seperti perkataan al-‘Uqaili, “Yadhtharibu fi Haditsi Nafi’ (Dia goncang dalam hadits Nafi’).”
[2] Bagi kaum lelaki, memakmurkan rumah dengan shalat tentulah yang dimaksud shalat sunnah. Adapun shalat lima waktu, kaum lelaki wajib menunaikannya berjamaah di masjid. Allahu a’lam.

Jagalah Akidah Keluarga
Seorang muslim yang telah menikah
tentunya menginginkan keluarga yang bahagia. Mendambakan rumah tangga
yang sakinah penuh dengan mawaddah warahmah seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala
janjikan. Mendapatkan anak keturunan yang saleh, yang dapat menjadi
pelipur lara orang tuanya, serta bermanfaat bagi orang tuanya di dunia
dan akhirat.
Namun, hanya sebagian mereka yang
mendapatkan kebahagiaan yang mereka cita-citakan. Adapun yang lainnya
telah gagal atau belum mendapatkan apa yang mereka cita-citakan. Untuk
meraih kebahagiaan tersebut tentunya butuh keistiqamahan dalam Islam,
banyak beramal saleh dalam kehidupannya.
“Barang siapa yang beramal saleh
dari kalangan pria ataupun wanita dalam keadaan dia beriman, Kami akan
hidupkan dia dalam kehidupan yang baik…. ”
Senantiasa berusaha pula dalam menjauhi
penyimpangan syariat Islam baik besar maupun kecil, apalagi penyimpangan
yang terjadi dalam masalah akidah. Karena perbuatan dosa dan
penyimpangan sangatlah besar pengaruhnya bagi pribadi dan keluarga
seorang hamba. Silakan pembaca melihat dan membaca kitab Ibnul Qayyim rahimahullah yang berjudul ad-Da’u wa Dawa, akan didapati di sana betapa banyak akibat jelek perbuatan maksiat hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Berikut adalah sebagian kecil dari
penyimpangan yang ada dalam rumah tangga. Seorang muslim hendaknya
menjauhi perkara-perkara berikut ini ketika mereka hendak berumah tangga
atau ketika telah berumah tangga. Di antara penyimpangan dalam masalah
akidah yang terkait dengan rumah tangga adalah sebagai berikut.
- Memilih pasangan suami/istri yang tidak baik agamanya, bahkan menikahi seorang musyrik atau kafir (nikah beda agama).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Wanita dinikahi karena
kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Utamakanlah yang
bagus agamanya. (Jika kamu tidak mengutamakan agamanya) merugilah kamu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Disebutkan oleh para ulama kita bahwa
hadits ini walaupun teksnya ditujukan untuk kaum pria, namun wanita pun
harus demikian. Mereka harus mendahulukan agama calon suaminya.
Namun disayangkan, banyak orang tidak
memerhatikan hal ini. Sebagian mereka lebih mengutamakan materi,
wajah/penampilan, dan nasab tanpa memperhitungkan agama calon pasangan
hidupnya, sehingga rusaklah rumah tangga mereka.
Hukum Menikah dengan Orang Kafir
Sebagian mereka bahkan lancang dengan
memilih pasangan yang kafir. Para ulama kita menjelaskan bahwa seorang
muslimah diharamkan menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik dari
kalangan ahlul kitab, musyrikin, maupun orang yang murtad.
Adapun muslim, tidak boleh menikahi
wanita musyrikah atau kafir kecuali ahlul kitab. Namun, para ulama kita
menasihati untuk tidak melakukannya, karena berbahaya bagi diri dan anak
keturunannya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Walaupun diperbolehkan, namun yang lebih utama tidak
menikahi wanita ahlul kitab. Karena perempuan tersebut akan memengaruhi
anak-anaknya atau bahkan memengaruhi suaminya yang muslim tadi, jika dia
mengagumi kecantikan atau kecerdasannya, ilmu atau akhlaknya, hingga
menghilangkan akalnya atau bahkan menyeretnya kepada kekufuran.” (Tafsir Surat al-Baqarah, 2/79)
- Mencari “hari baik” untuk akad nikah
Di antara penyimpangan yang terjadi
adalah mencari “hari baik untuk hari pernikahan”. Hal seperti ini adalah
satu perbuatan syirik, karena masuk ke dalam makna tathayur. Tathayur
adalah beranggapan sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar, waktu
atau tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Thiyarah adalah syirik.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
- Akad nikah yang mengandung kesyirikan
Di sebagian tempat ada yang melakukan
kesyirikan di hari pernikahan. Pengantin baru yang hendak masuk rumah
diharuskan menginjakkan kaki mereka ke darah hewan sembelihan tersebut.
Para ulama kita menyatakan ini adalah kesyirikan. Ini termasuk
penyembelihan untuk jin. (al-Qaulul Mufid)
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi
menyebutkan beberapa bentuk penyembelihan untuk jin, yang ini tentunya
adalah perbuatan syirik. Di antaranya:
- Penyembelihan untuk sumur baru atau ketika kering air sumur tersebut.
- Ketika selesai membangun rumah baru sebelum ditinggali agar terjaga dari jin.
- Sembelihan untuk seorang yang sedang kemasukan jin agar jin keluar darinya.
- Menyembelih untuk jin ketika menemukan harta di satu tempat.
Selain bentuk kesyirikan, ada pula perbuatan mungkar yang biasa terjadi di acara pernikahan. Di antaranya:
- Di beberapa tempat bahkan membuat sesajen di hari pesta pernikahan, sesajen untuk “karuhun” katanya. Ini adalah satu kesyirikan yang harus dijauhi dan dingkari seorang muslim.
- Datang ke dukun minta agar menahan hujan di hari pesta pernikahan.
- Tukar cincin di antara kedua mempelai.
Disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
bahwa kalau sampai seseorang memiliki keyakinan pernikahan akan utuh
selama kedua mempelai memakai cincin, ini dihukumi sebagai tamimah (yang
merupakan syirik kecil). Terlebih lagi jika cincin tersebut terbuat
dari emas, terdapat larangan bagi kaum lelaki memakai emas.
- Tidak mendidik istri dengan agama
Seorang suami diwajibkan untuk mengajari istri-istri tentang agamanya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Para ulama tafsir menyatakan bahwa
maknanya adalah “ajarilah mereka perkara agama, perintahlah mereka
kepada yang ma’ruf dan laranglah mereka dari yang mungkar.”
Mengajari istri tentang agama dan menyuruhnya untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah hak yang paling besar yang harus ditunaikan seorang suami.
“Perintahlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah di atasnya.…” (Thaha: 132)
Tentu, urusan pertama dan utama yang harus disampaikan adalah perintah untuk bertauhid dan menjauhi kesyirikan.
- Tidak mendidik anak dengan akidah yang sahih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Tidak ada bayi yang dilahirkan
kecuali dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa besarnya
peran orang tua dalam menjaga akidah putra-putri mereka. Namun sangat
disayangkan, sebagian orang tua terkesan “membiarkan” anak mereka
melakukan perkara-perkara yang akan menjadi sebab penyimpangan mereka.
Mereka lalai dari pendidikan agama mereka. Padahal disebutkan oleh para
ulama kita, di antaranya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Hak anak yang paling besar adalah hak tarbiyah diniyah, pendidikan agama mereka.” (Huquq Da’at Ilaiha Fitrah)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan di antara sebab menyimpangnya seorang pemuda adalah:
- Memiliki teman yang jelek.
- Membaca bacaan atau mendengar sesuatu yang merusak agama dan akhlaknya.
- Tidak memiliki wawasan yang benar tentang Islam.
(Musykilatus Syabab)
Kewajiban orang tua selain mengajari
mereka perkara tauhid, shalat, dan ibadah lainnya; adalah memilihkan
teman yang baik bagi anak-anak mereka, mengawasi, dan mengontrol
bacaanbacaan mereka. Yang lebih penting dari itu, adalah menanamkan
kepada mereka akan keindahan Islam. Islam adalah agama yang menghargai
hak-hak hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Islam adalah agama yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengingatkan kita dalam kitabnya Tuhfatul Maudud,
“Kebanyakan anak, kerusakan mereka adalah karena bapak mereka
menelantarkan mereka, tidak mengajari mereka perkara agama ini, yang
wajib dan yang sunnahnya….”
- Menyekolahkan putra dan putrinya ke sekolah atau lembaga pendidikan yang menyimpang manhaj dan akidahnya.
Di antara bentuknya ialah sekolah dengan
kurikulum yang mengandung penyimpangan akidah dan akhlak, mengajarkan
akidah Asy’ariyah Maturidiyah, ilmu kalam, tasyabuh dengan orang kafir, demokrasi, dan kemungkaran lainnya.
Demikian juga pengajar-pengajar yang
tidak paham akidah Ahlus Sunnah atau memiliki manhaj yang tidak jelas.
Padahal guru adalah panutan murid-muridnya, ia akan berpengaruh besar
pada akidah, manhaj, dan akhlak murid-muridnya. Ini adalah musibah yang
besar.
- Menamai anak dengan nama-nama orang kafir
Di antara hak anak kita adalah
mendapatkan nama yang baik. Di antara amalan di hari ketujuh hari
kelahiran anak kita adalah memberinya nama. Nama yang terbaik adalah
Abdullah dan Abdurahman.
Sangat disayangkan, banyak muslimin yang memberi nama anak mereka dengan nama orang-orang kafir.
- Pembantu rumah tangga/ pengasuh anak yang tidak bagus agamanya
Di antara kesalahan sebuah rumah tangga
muslim adalah mendatangkan orang-orang kafir atau yang jelek agamanya
sebagai pembantu rumah tangga. Para ulama kita telah menjelaskan
bahayanya hal tersebut.
- Tinggal di lingkungan yang mengancam agamanya
Lingkungan tempat tinggal adalah di
antara faktor yang penting dalam keistiqamahan seorang hamba di atas
akidah yang sahih. Para ulama kita menjelaskan tentang haramnya tinggal
di negeri kafir dan haramnya bepergian untuk tamasya ke negeri kafir.
Bahkan wajib hukumnya hijrah dari negeri kafir bila seorang tidak bisa
menampakkan syiar Islam di negeri tersebut.
- Lalai memanjatkan doa yang baik untuk anak dan istri
Doa adalah perkara penting yang harus
senantiasa kita lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam rumah
tangga. Kita mestinya senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala meminta kebaikan untuk istri dan anak-anak. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah memberikan contoh kepada kita,
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
berkata, “Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini menjadi negeri yang aman,
dan jauhkanlah diriku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada
patung.
Wahai Rabbku, patung-patung tersebut telah menyesatkan banyak manusia.…” (Ibrahim: 35—36)
Dalam ayat lain,
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku
seorang yang senantiasa menegakkan shalat dan demikian juga anak
keturunanku. Wahai Rabb, kabulkanlah doa kami.” (Ibrahim: 40)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan taufik kepada kita untuk istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya
dan menjauhkan kita dari segala bentuk penyimpangan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan rumah tangga kita rumah tangga yang sakinah penuh dengan mawaddah dan rahmah.
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri (pasangan hidup) kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
Bila Suami Membiarkan Istrinya Bermaksiat
Tali pernikahan menuntut seorang suami
sebagai kepala keluarga untuk memikul tanggung jawab yang tidak ringan
dalam mengurusi istri dan anak-anaknya. Tanggung jawab ini tidak hanya
berupa pemberian nafkah dan kebutuhan lahiriah saja. Namun lebih dari
itu, yaitu memerhatikan perkara agama dengan membimbing mereka kepada
ketaatan serta mencegah mereka dari kemaksiatan dan penyimpangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Dahulu sahabat Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu bercerita bahwa dia dan beberapa orang dari kaumnya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu dan tinggal di sisi beliau selama dua puluh hari dua puluh malam. Malik bin al-Huwairits z mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang penyayang. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang
bahwa kami telah merindukan keluarga, beliau menanyai kami tentang
orang-orang yang kami tinggalkan. Kami pun memberi tahu beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Kembalilah kalian kepada keluarga kalian. Tinggallah di tengah-tengah
mereka dan ajarilah serta perintahlah mereka…’.” ( Shahih al-Bukhari, no. 631)
Orang yang terdekat dengan suami adalah
anak-anak dan istrinya. Merekalah orang yang paling berhak mendapatkan
arahan dan bimbingan kepada kebaikan. Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
apabila masuk sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan beliau
mengencangkan ikat pinggangnya (semangat beribadah) dan membangunkan
keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
Di antara sifat kemuliaan Nabi Ismail ‘alaihissalam yang diabadikan oleh al-Qur’an,
“Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 55)
Apabila seorang suami memberi perhatian penuh terhadap istri dari sisi bimbingan agama, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala,
istrinya akan menjadi penyejuk mata baginya. Wanita yang seperti ini
diharapkan mampu memberikan bimbingan yang baik terhadap putra-putrinya.
Dengan demikian, ia memiliki andil
mencetak generasi masa depan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang
tua, masyarakat, dan agamanya.
Suami yang Jelek
Suami yang mencintai istrinya tidak akan
membiarkannya terjerumus dalam perilaku yang menyimpang. Sebab, cinta
yang sejati menuntut seseorang untuk membentengi kekasihnya dari jurang
kehancuran.
Suami yang tidak peduli dengan kondisi
istrinya dan membiarkannya larut dalam kenistaan kelak akan dimintai
pertanggungjawaban atas kewajibannya dalam membimbing istrinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap kalian adalah penanggung
jawab dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang penguasa
adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang tanggung
jawabnya, dan seorang lelaki adalah penanggung jawab terhadap
keluarganya dan ia akan ditanyai tentang tugasnya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar c)
Lelaki yang tidak peduli terhadap
istrinya yang melanggar batasan-batasan agama adalah lelaki yang jelek.
Ia berhak mendapatkan murka dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan mereka dari (memasuki) surga: orang yang kecanduan khamr, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan ad-dayyuts, yaitu yang membiarkan istrinya berbuat zina.” (HR. Ahmad dalam Musnad dari Ibnu Umar c dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami no. 3052)
Al-Munawi rahimahullah
menerangkan, “Tiga golongan ini dihukumi kafir jika mereka menganggap
halal perbuatannya. Surga itu haram atas orang-orang kafir
selama-lamanya.
Apabila mereka menganggap perbuatan itu haram, yang dimaksud dengan surga itu haram atas mereka
ialah mereka terhalangi dari memasukinya sebelum dibersihkan dengan api
neraka. Apabila mereka sudah bersih, baru dimasukkan ke dalam surga.” (Faidhul Qadir 3/420)
Kecemburuan yang Nyaris Hilang
Cemburu ada yang terpuji dan ada yang
tercela. Adapun yang terpuji dalah kecemburuan seseorang ketika melihat
kekasihnya berbuat yang tidak baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya cemburu ada yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan ada yang dibenci Allah…. Adapun cemburu yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah cemburu dalam perkara yang mencurigakan, sedang cemburu yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala adalah cemburu pada perkara yang tidak mencurigakan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2221)
Disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud (7/320)
bahwa cemburu dalam perkara yang mencurigakan, seperti seorang lelaki
cemburu terhadap para mahramnya bila melihat mereka melakukan perbuatan
yang diharamkan, termasuk yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun cemburu pada perkara yang tidak mencurigakan, seperti seorang
cemburu kepada ibunya jika ia dinikahi oleh ayah tiri, demikian pula
kecemburuan para mahramnya, yang seperti ini termasuk yang dibenci Allah
subhanahu wa ta’ala. Sebab, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan bagi kita, kita wajib meridhainya.
Allah subhanahu wa ta’ala juga cemburu bila hamba-Nya berbuat maksiat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala cemburu dan sesungguhnya seorang mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah subhanahu wa ta’ala adalah jika seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ibnul Arabi rahimahullah menerangkan, “Orang mukmin yang paling kuat cemburunya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau tegas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan melakukan pembalasan hukuman karena Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tidak peduli dalam hal ini pada celaan orang yang mencela.” (Faidhul Qadir 2/387)
Al-Munawi rahimahullah berkata,
“Orang yang paling mulia dan paling tinggi tekadnya adalah orang yang
paling cemburu. Seorang mukmin yang cemburu pada tempatnya telah
mencocoki Allah subhanahu wa ta’ala pada salah satu sifat-Nya. Barang siapa mencocoki Allah subhanahu wa ta’ala pada salah satu sifat-Nya, sifat itu akan menjadi kendalinya dan akan memasukkannya ke (hadapan) Allah subhanahu wa ta’ala serta mendekatnya kepada rahmat-Nya.” (Tuhfatul Arus, Istambuli, hlm. 387)
Seperti inilah bimbingan Islam yang
sangat mulia. Masih adakah kiranya arahan seperti ini pada hati-hati
para lelaki di zaman sekarang?! Sungguh, sulit didapatkan. Justru
kebanyakan mereka membawa istri atau anak-anak perempuannya ke
jalan-jalan umum untuk dipamerkan dan membiarkan mereka membuka aurat di
jalan-jalan hingga menjadi umpan para perampok kehormatan dan kesucian.
Fenomena Pembiaran Maksiat pada Istri
Entah karena takut istri atau bersikap
masa bodoh, dan yang pasti karena lemahnya iman, kita dapatkan tidak
sedikit lelaki yang membiarkan istrinya terpaparkan pada kemudaratan.
Hal ini bisa dilihat dalam banyak hal, di antaranya:
- Istri dibiarkan bepergian tanpa mahram.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah wanita bepergian kecuali dengan mahramnya.” ( HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Telah banyak korban berjatuhan karena
melanggar aturan agama ini. Ada yang menjadi korban penipuan,
perampokan, hingga pelecehan seksual.
Hukum larangan bepergian bagi wanita
tanpa mahram berlaku umum, apakah bepergian dalam rangka ketaatan atau
perkara yang mubah. Sesungguhnya syariat sangat sayang kepada manusia,
namun amat disesalkan bahwa aturan yang mulia ini dianggap mengekang
kebebasan mereka. Kadang kondisi suami lebih parah, ia justru menyuruh
istrinya bekerja di luar negeri mencarikan nafkah untuknya dengan
mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya.
- Berbaurnya laki-laki dan perempuan sudah menjadi pemandangan yang dianggap lumrah.
- Padahal ini merupakan pintu yang lebar untuk terjadinya kekejian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra: 32)
- Membiarkan istrinya berpenampilan seperti wanita-wanita yang fasik dan kafir, baik bentuk rambutnya, pakaiannya, gaya bicaranya, maupun yang semisalnya.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
- “Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk bagian mereka.” ( Abu Dawud dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Lihat Shahih al-Jami’ no. 6149)
Lebih parah lagi, dia bangga ketika istrinya tampil di hadapan manusia dengan penampilan ala barat (kafir).
- Tidak menasihati istrinya ketika berpakaian seperti para lelaki.
Padahal wanita yang seperti ini diancam dengan laknat,
“Allah subhanahu wa ta’ala melaknat wanita yang menyerupai lelaki dan para lelaki yang menyerupai wanita.” ( HR. Ahmad dan lain-lain, serta dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’)
- Membiarkan istrinya melakukan perbuatan mungkar dan ucapan yang maksiat.
Pembiaran seperti ini terjadi terkadang
dilandasi oleh keyakinan suaminya yang sesat, yaitu bahwa setiap orang
punya hak untuk bersuara dan mengekspresikan kemauannya. Orang seperti
ini sangat bodoh karena dia tidak tahu bahwa setiap gerak-gerik dan
ucapan manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan
Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
- Membiarkan istri digoda oleh lelaki lain dan dicandai hingga sudah kelewat batas.
Misalnya, dicium oleh lelaki lain,
dicolek, dan dipegang-pegang tubuh atau bajunya. Lelaki seperti ini
masih bercokol pada otaknya kebiasaan jahiliah yang memandang bahwa
haknya suami dari istrinya adalah bagian setengah istrinya sampai bawah,
adapun setengah tubuh istri ke atas maka siapa suka dan menaruh benih
cinta. (Raudlatul Muhibbin 116, cetakan Dar ash-Shuma’i)
- Mendiamkan istrinya berkhalwat (berdua-duaan) dengan lelaki yang bukan mahram.
Padahal ini termasuk jalan pintas untuk terjadinya perzinaan.
- Membiarkan istrinya dibonceng oleh lelaki yang bukan mahram dan terkadang oleh saudara laki-laki suami (ipar istri).
Padahal bermudah-mudah dalam hal ini
bisa mengantarkan kepada penyimpangan istri dan tidak mustahil terjadi
perselingkuhan dengan iparnya.
Masih banyak lagi bentuk ketidakberesan
tingkah laku dan ucapan yang dilakukan oleh wanita yang disikapi dingin
oleh suaminya. Sudah hilang darinya sifat kecemburuan dan telah lenyap
jiwa kelaki-lakiannya. Yang paling mengerikan, suami yang seperti ini
diancam dengan azab yang abadi, apabila ia meyakini bahwa hal tersbut
halal/boleh, sebagaimana keterangan al-Munawi rahimahullah di atas.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan bimbingannya kepada kita untuk bisa menempuh jalan keselamatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Suami, Jauhi Perangai Ini!
Amarah bis suu’ adalah salah satu predikat yang nyata tersematkan pada jiwa manusia. Ammarah bis suu’ dimaknakan
dengan sifat yang selalu mengajak, mendorong, dan menggoda untuk
bertindak jelek, melakukan dosa, dan “menikmati” hawa nafsu. Seperti
itulah watak asli seorang manusia! Seperti itulah Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan tentang jiwa kita! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ucapan Nabi Yusuf ‘alaihissalam,
“Dan aku tidak membebaskan diriku
(dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya
Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Dalam konteks sederhana hidup Al-Ustadz
Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai berumah tangga, ditemukan banyak kesalahan
dan keburukan dalam perangai seorang suami. Menurut syariat, hal-hal
tersebut dilarang karena akan merusak keharmonisan rumah tangga yang
berujung pada ketidaknyamanan dalam realisasi ibadah.
Nah, sebagai seorang suami yang
ideal, ada baiknya Anda mengenali perilaku-perilaku “terlarang” berikut
ini lalu menjauhinya agar Anda menjadi sosok yang dicintai, selalu
dirindukan dan disayang oleh istri.
Barangkali saja, istri Anda terlihat
kurang mengasihi dan mencintai Anda karena ada perilaku “terlarang” yang
ada pada diri Anda. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut).
- Kurang Memerhatikan Hak-Hak Istri
Inilah dosa terbesar seorang suami
kepada istrinya! Amanat pernikahan yang dititipkan di pundaknya
diabaikan begitu saja. Seringkali seorang suami melupakan hak-hak istri
karena ia hanya mengejar istrinya agar menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Tidak jarang konflik keluarga, bahkan
perceraian, terjadi karena sang istri tidak tertunaikan hak-haknya
dengan baik.
Padahal secara tegas Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kaum suami tentang hal ini dalam firman-Nya,
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Kenyataannya, tidak semua suami mengerti
dan memahami tentang hak-hak istrinya. Jika Anda ditanya, “Apa saja
hak-hak istri yang harus Anda berikan?” kira-kira apa jawaban Anda?
Tidak usah malu, tidak perlu sungkan untuk bertanya. Pelajarilah
hukum-hukum agama tentang hak-hak istri. Janganlah rasa malu dan gengsi
membuat kita terjatuh dalam sebuah dosa; kurang memerhatikan hak-hak
istri.
Lihat saja semangat para sahabat dalam bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Al-Imam Abu Dawud rahimahullah (no. 2141) meriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apa saja hak-hak seorang istri yang mesti dipenuhi oleh suaminya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Engkau beri makan istrimu jika
engkau makan. Engkau beri pakaian istrimu jika engkau berpakaian. Jangan
pukul wajahnya. Jangan menjelek-jelekkannya. Jangan engkau diamkan
istrimu kecuali di dalam rumah.”
Apakah sebatas ini saja hak-hak istri? Tidak. Masih banyak lagi hak-hak istri yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam hadits-hadits yang lain. Apakah Anda telah memahami hak-hak
istri secara lengkap dan utuh? Jika belum, mengapa tidak bersegera
mempelajarinya? Bukankah rumah tangga yang harmonis adalah cita-cita
kita semua? Jika memang demikian, tunaikanlah hak-hak istri Anda! Barakallahu fikum.
- Pemarah
Pasti Anda pernah marah kepada istri,
bukan? Sejatinya, marah kepada istri sah-sah saja asalkan memiliki
alasan yang tepat, cara yang benar, dan waktu yang pas. Maksudnya, marah
janganlah dijadikan sebagai karakter sehari-hari ketika bersama istri.
Anda belum bisa dikategorikan suami
ideal jika sering marah tanpa sebab yang jelas, melontarkan kata-kata
kasar ketika marah, atau marah di sembarang waktu. Ingat, seorang wanita
cenderung menyimpan luka di hati dibanding harus membalas kemarahan
suami. Sudah berapa banyak luka yang Anda goreskan di hati istri?
Di mata seorang istri, suami yang mampu
mengendalikan amarah sangatlah spesial. Sikap lembut dan kasih jauh
lebih menghunjam dan menyentuh hati istri dibandingkan dengan dimarahi
dengan kata-kata kasar, walaupun istri memang merasa bersalah.
Cobalah Anda merenungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Orang yang disebut kuat itu bukan
karena mampu mengalahkan lawannya (dengan kekuatan fisik). Orang kuat
itu sejatinya adalah yang mampu mengendalikan diri ketika marah.” (HR. al-Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Alangkah banyak problem rumah tangga
yang berawal dari marah yang tak terkendali. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), anak-anak yang broken home, bahkan
kasus perceraian, seringnya disebabkan marah yang tak terkendali. Betapa
sering seorang suami mengancam istrinya untuk dicerai dengan kata dan
nada yang kasar!
Memang, benar sekali kalimat bijak dari
seorang sahabat Nabi, ”Aku renungkan hadits ini. Ternyata sikap marah
itu menghimpun seluruh bentuk keburukan!”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
saat itu sedang istirahat di rumah salah seorang istri beliau.
Tiba-tiba seorang pelayan suruhan dari istri beliau yang lain datang
sambil membawa talam berisi makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Langsung saja istri beliau yang berada di samping Nabi memukul tangan
pelayan tersebut sehingga talam yang dibawanya jatuh dan pecah. Apakah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam marah?
Beliau ternyata malah mengumpulkan
pecahan-pecahan talam tersebut. Beliau juga mengumpulkan makanan yang
jatuh berserakan sambil bersabda,
“Ibunda kalian cemburu rupanya.” (HR. al-Bukhari no. 5225 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu menahan si pelayan tersebut kemudian memberikan talam yang masih
utuh milik istri beliau yang sedang cemburu sebagai pengganti. Adapun
talam yang pecah disimpan di rumah istri beliau yang memecahkannya.
Subhanallah! Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneladankan untuk kita, wahai kaum suami. Masih berniat marah kepada istri?
- Egois
Egois artinya selalu mementingkan diri
sendiri. Egois adalah penyakit yang sering dialami oleh kaum suami di
dalam lingkup sebuah rumah tangga. Barangkali faktor penyebab yang
terbesar adalah kesan bahwa suami harus serbabisa, serba lebih baik, dan
serba powerful. Padahal, rumah tangga semestinya dibangun di
atas asas saling pengertian, saling memaklumi, saling mengisi, dan
saling menyempurnakan.
Masih ingat dengan Perjanjian Hudaibiyah? Setelah gagal melaksanakan umrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan sekitar 1.400 orang sahabat membuat kesepakatan dengan kaum kafir
Quraisy di daerah Hudaibiyah. Seusai perjanjian tersebut ditulis,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan hadyu dan mencukur rambut. Namun, saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang bangkit melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun perintah itu diulang sampai tiga kali, tetap saja para sahabat diam.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu masuk ke dalam tenda Ibunda Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Kepadanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Apa saran dan gagasan Ibunda Ummu Salamah?
“Wahai Nabiyullah, apakah Anda
menginginkan hal itu? Silahkan Anda keluar kembali. Jangan Anda
berbicara sepatah kata pun kepada seorang pun. Anda lakukan itu sampai
Anda menyembelih sendiri unta Anda dan Anda memanggil tukang cukur agar
ia mencukur Anda.” (HR. al-Bukhari no. 2731)
Inilah sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Seorang suami yang tidak sungkan untuk bermusyawarah, berbagi cerita
dengan istrinya. Adakah suami yang lebih baik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Lihatlah sosok suami seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mau bermusyawarah dengan istrinya.
Setelah itu apa yang terjadi? Melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dan mencukur rambut, langsung saja para sahabat bergegas untuk menyembelih dan mencukur rambut mereka.
Wahai suami ideal, buanglah jauh-jauh
sifat egois dari diri kita! Istri kita pun memiliki harapan yang sama
dengan harapan kita. Kebaikan dan “kesempurnaan” apa pun yang kita
impikan dari istri, ingat-ingatlah bahwa istri pun mendambakan yang
sama.
Cukuplah sebagai pelajaran penting untuk kita, sentuhan penuh kasih dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di dalam pernyataan beliau,
“Sungguh, aku semangat sekali
berhias untuk istriku, sebagaimana halnya aku pun ingin istriku
berdandan untukku. Sebab, Allah Yang Mahatinggi sebutan-Nya berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf’.” (al-Baqarah: 228) (Tafsir ath-Thabari)
Nasihat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas bukan hanya dalam hal berpakaian! Nasihat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
di atas hanyalah salah satu bentuk realisasi ayat yang beliau baca.
Maknanya, janganlah bersikap egois! Berikanlah hak-hak istri Anda
sebagaimana Anda ingin hak-hak Anda dipenuhi oleh istri Anda.
Andai saja perangai “terlarang” ini
mampu kita jauhkan sejauh-jauhnya dari rumah tangga, berharaplah dan
tersenyumlah sebab sakinah, mawaddah, dan rahmah akan bertaburan di setiap sentimeter rumah Anda, insya Allah.
Semoga doa-doa penuh harap dari seluruh
istri di atas muka bumi agar suaminya menjadi suami ideal, selaras, dan
serasi dengan doa-doa para suami,
“Ya Allah, bantulah aku dan mudahkanlah aku untuk menjadi seorang suami yang saleh, ideal, dan istimewa untuk istriku.”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
Peran Istri Mewujudkan Suami Ideal
Percaya atau tidak, kenyataannya memang
demikian. Istri salihah adalah unsur penting dan salah satu komponen
utama untuk menjadi suami ideal. Ibarat dua sisi mata uang, suami ideal
dan istri salihah memang tidak dapat dipisahkan. Walhasil, hidup berumah
tangga adalah wujud dari interaksi sederhana namun mengandung
berjuta-juta warna.
Pernahkah mendengar tentang cemburu yang dirasakan oleh Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha? Biarlah kita mendengar sendiri pengakuan jujur Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana rasa cemburuku kepada Khadijah. Padahal aku belum pernah melihatnya sama sekali. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sering sekali mengenang Khadijah. Kadang-kadang beliau menyembelih
seekor kambing lalu memotong-motongnya. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirimnya untuk sahabat-sahabat dekat Khadijah. Terkadang aku
mengatakan, ‘Seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi wanita selain
Khadijah!’.”
Bagaimanakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menanggapi Ibunda ‘Aisyah? Beliau justru mengenang Ibunda Khadijah
dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan Ibunda Khadijah. Bahkan, di dalam
sebuah riwayat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibunda ‘Aisyah,
“Sungguh, aku telah diberi rezeki berupa mencintai Khadijah!” ( HR. al-Bukhari no. 3818 dan Muslim no. 2435)
Sejarah telah mengabadikan peran, jasa, dan pengorbanan Ibunda Khadijah demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak terhitung lagi peristiwa-peristiwa penting yang telah dilewati oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sementara itu istri beliau—Ibunda Khadijah—berdiri di sisinya dengan
tegar dan tabah. Masih ingatkah kita dengan hiburan indah dalam
kata-kata penuh semangat yang diucapkan Ibunda Khadijah kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ya, saat itu beliau baru pulang ke rumah dari Gua Hira. Masih dalam suasana kekhawatiran di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibunda Khadijah dengan pandainya menenangkan hati sang suami, “Tidak, demi Allah. Allah subhanahu wa ta’ala
tidak akan mungkin menghinakan Anda selamanya. Anda selama ini selalu
menyambung tali silaturahmi, membantu orang yang kesusahan, memberi
orang yang tak punya, memuliakan tamu, dan Anda selalu menolong
orang-orang yang sedang membutuhkan.”
Pantas saja jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu terkenang dengan Ibunda Khadijah walaupun beliau telah meninggal dunia. Pantas saja apabila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih terus menjalin hubungan baik dengan sahabat-sahabat dekat Ibunda
Khadijah. Pantas saja demikian, sebab beliau telah menyatakan, “Sungguh,
aku telah diberi rezeki berupa mencintai Khadijah!”
Jika seorang istri mendambakan suaminya
menjadi ideal, bantulah dirinya untuk menemukan titik tepat guna
memulai. Tebarkanlah kenyamanan dan doronglah dirinya dengan cara-cara
hikmah penuh sensasi. Kirimkanlah pesan kepada suami Anda dengan tatapan
mata, bukan hanya dengan kata-kata. Seolah-olah Anda tengah berpesan,
”Wahai suamiku, jadikanlah dirimu sungguh-sungguh ideal dan spesial
untukku.”
Tentu berbeda rasanya bagi seorang suami
ketika sang istri mengatakan, “Mengapa Abah selalu tampil tidak rapi?!”
atau “Abah itu dari dulu tidak berubah-ubah, selalu asal-asalan kalau
berpakaian!”
Sungguh, amat berbeda dengan pesan penuh
cinta, “Sebaiknya Abah memakai pakaian yang telah saya setrika. Jadi,
Abah selalu merasa saya ada di samping Abah.”
Jika Anda seorang laki-laki yang belum
menikah, berusahalah untuk menemukan wanita salihah agar Anda pun
terbantu untuk menjadi ideal baginya. Jika Anda telah menjadi seorang
suami, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Kesempatan
menjadi suami ideal selalu terbuka. Apalagi istri Anda tidak pernah
berhenti untuk berdoa dan berharap, “Ya Allah, bimbinglah suamiku untuk
menjadi suami yang saleh.”
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai
Tujuh Kriteria Suami Ideal
Jika kita menyampaikan sebuah
pertanyaan sederhana, “Seperti apakah kriteria seorang suami ideal itu?”
bisa jadi jawabannya akan beragam. Setiap orang akan menjawab sesuai
dengan impian dan dambaannya. Tidak mudah memang untuk menyempitkan
makna ideal pada pribadi seorang suami, sebab seluruh kriteria yang
baik-baik akan coba disematkan pada pribadinya. Menjadi suami ideal
memang tidaklah mudah.
Walaupun demikian, ibarat sedang
menempuh sebuah perjalanan menuju satu titik tertentu, seorang suami
mesti mempunyai peta yang representatif, rute yang jelas, dan estimasi
waktu yang tepat. Bagaimanapun juga, menjadi suami ideal adalah
realisasi dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagi seorang istri pun, suami yang nyata
beritikad untuk menjadi ideal tentu sangat spesial di hatinya. Berbeda
halnya dengan seorang suami yang tidak bersungguh-sungguh dalam
berusaha, pasti kurang bernilai di hadapan istrinya.
Berikut ini, penulis mencoba untuk
menyusun beberapa kriteria suami ideal yang didambakan oleh seorang
istri. Usaha ini tentu terbilang sederhana. Membandingkan dengan
pengalaman sebagian pembaca yang telah sekian lama menjalani kehidupan
rumah tangga, kajian ini hanyalah ibarat menggarami lautan.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan taufik-Nya. Amin.
- Gemar Beribadah
Inilah kriteria terpenting untuk menjadi suami ideal! Rumus lugasnya; jika seorang suami giat dan gemar beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
tentu ia pun akan menjadi suami yang sangat memerhatikan hak-hak
istrinya. Suasana rumah pasti menjadi tenteram, sejuk, dan nyaman ketika
ibadah menjadi sumber kekuatannya.
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegakkan qiyamul lail sampai telapak kaki beliau bengkak dan
pecah-pecah! Lihat pula bagaimana semangat beliau untuk berpuasa!
Bayangkanlah kedermawanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang senang bersedekah! Semua itu beliau lakukan dengan sepengetahuan
istri-istri beliau. Istri-istri beliau pun semakin cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan indahnya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan seorang suami yang gemar beribadah di tengah malam dalam sabdanya,
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang suami yang bangun malam untuk
shalat. Ia pun tak lupa membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, ia
memercikkan air (dengan penuh cinta) di wajah istrinya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Indah sekali, bukan?
Seorang istri tentu rela dan ikhlas
ditinggalkan oleh suaminya hingga larut malam. Ia rela untuk tidak makan
malam bersama sang suami. Ia rela memulai malamnya tanpa suami di
sisinya. Sebab, sang suami bersama warga desa—misalnya—tengah beribadah
dengan menggali sebuah kuburan untuk tetangganya yang meninggal dunia di
sore harinya.
Namun, alangkah merana dan sedihnya hati
seorang istri ketika harus menanti kedatangan sang suami sampai
tertidur dengan menempelkan pipi di tangan, di atas meja makan.
Harapannya tidak lebih hanyalah agar bisa makan malam bersama. Ternyata
sang suami malah bercanda ria bersama teman-temannya di sebuah warung di
ujung desa, tanpa memberi tahu sang istri. Nas’alullah as-salamah (Kita memohon keselamatan kepada Allah).
Tentu berbeda perasaan seorang istri
yang menyaksikan sang suami memulai hari dengan melantunkan ayat-ayat
suci al-Qur’an, dengan perasaannya ketika menyaksikan sang suami
mengawali hari dengan membaca koran.
Ringkasnya, seorang suami yang gemar beribadah tentu membuahkan sensasi yang menyejukkan hati sang istri.
- Lembut
Karakter kedua yang banyak diharapkan
kaum istri adalah suami dengan perangai yang lembut. Lembut dalam
bertutur kata, lembut dalam bersikap, ataupun lembut dalam suasana
tegang sekalipun.
Seorang suami yang ideal tentu tidak
akan “berlindung” di balik alasan-alasan umum semacam, “Memang watakku
seperti ini!”, “Aku kan berasal dari daerah ini”, atau alasan-alasan
lain. Sebab, syariat Islam berlaku untuk setiap waktu dan di seluruh
tempat.
Semestinya seorang suami ideal memahami bahwa wanita diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
dengan perangai yang halus, sensitif, penuh perasaan, dan mudah
terluka. Dengan demikian, ia akan berusaha menyikapi istrinya dengan
penuh kelembutan dan cinta.
Suatu saat, Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha bersama beberapa istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang berada di atas kendaraan. Seorang pengendali kendaraan berada di
depan untuk mengatur arah gerak kendaraan tersebut. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan kepada kita tentang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu kepada si pengendali,
“Wahai Anjasyah, pelan-pelanlah terhadap kaca-kaca tersebut dalam mengendalikan.” (HR. Muslim no. 2323)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
menerangkan, “Para ulama mengatakan, kaum wanita disebut kaca karena
perasaan mereka yang lemah. Mereka disamakan dengan kaca yang lemah dan
mudah pecah.” (Syarah Shahih Muslim)
Jika istri Anda sedang marah atau dalam
keadaan emosi, janganlah membalas dengan sikap marah juga. Berikan
senyum tulus untuknya, dekati, peluk, belai rambutnya, dan bisikkanlah
kata-kata mesra. Sekeras apa pun hati seorang istri—walau seperti
karang—ia pasti akan luluh dan menangis bahagia jika Anda mencurahkan
sentuhan kelembutan untuknya.
- Penuh Perhatian
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
memiliki banyak istri. Seperti apakah bentuk perhatian yang diberikan
oleh beliau untuk para ibunda kaum muslimin? Hampir setiap hari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui seluruh istri
beliau di rumahnya masing-masing. Beliau mengucapkan salam, menanyakan
kabar, membelai, dan mencium, namun tidak sampai berhubungan badan.
Beliau melakukannya kepada seluruh istrinya, sampai beliau tiba di rumah
istri yang memperoleh giliran menginap. (Lihat Aunul Ma’bud hadits no. 2135)
Setiap istri pasti selalu ingin
diperhatikan secara penuh oleh suaminya. Oleh karena itu, penuh
perhatian menjadi kriteria ideal seorang suami di mata seluruh istri.
Untuk itu, langkah penting yang mesti dilakukan oleh seorang suami
adalah mempelajari dan memahami kebiasaan-kebiasaan istrinya. Dengan
demikian, seorang suami dapat menyesuaikan diri sehingga mampu bersikap
secara tepat kepada istrinya.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan kepada ‘Aisyah, “Sungguh, aku bisa membedakan saat engkau sedang senang kepadaku atau sedang marah.”
“Dari mana Anda bisa mengetahuinya?” tanya ‘Aisyah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Jika
sedang senang kepadaku, engkau selalu mengatakan, ‘Tidak, demi Rabb
Muhammad!’. Namun, dalam keadaan marah, engkau akan mengucapkan, ‘Tidak,
demi Rabb Ibrahim’.”
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mengatakan, “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tidak akan meninggalkan kecuali nama Anda saja.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menerangkan, “Dari hadits ini, dapatlah dipahami bahwa seorang suami
harus mempelajari perbuatan dan ucapan istrinya. Hal ini terkait dengan
sikap senang dan marah seorang istri kepada suaminya. Setelah itu, suami
bisa memilih sikap sesuai dengan qarinah (tandatandanya).” (Fathul Bari)
Dalam keadaan haid (menstruasi), psikis
seorang istri tengah dalam kondisi labil. Pembawaannya selalu ingin
marah meski ia sendiri pun tidak mengerti, apa sebabnya ia marah?
Pekerjaan rumah malas diselesaikan. Mungkin makanan dan minuman yang
telah dipersiapkan oleh istri pun berubah rasa. Wajah cemberut dan masam
adalah ciri khas seorang istri ketika sedang menstruasi. Oleh sebab
itu, sebagai suami ideal, ia harus memerhatikan siklus haid istrinya.
Harapannya, saat menstruasi tiba, ia tidak akan kaget dengan muka masam
sang istri.
- Adil ketika Menimbang
Setiap istri pasti mengakui kekurangan
yang ada pada dirinya. Tidak ada istri yang sempurna tanpa cacat. Setiap
istri pun ingin selalu dibimbing dan diarahkan oleh suaminya. Hal ini
termasuk yang banyak diidamkan oleh kaum istri.
Seorang suami yang mampu adil di dalam
menimbang kelebihan dan kekurangan istrinya. Seorang suami yang selalu
menyebutkan kelebihan sang istri. Seorang suami yang mudah melupakan dan
memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh istri. Suami yang selalu
mengungkit-ungkit “dosa masa lalu” istri adalah suami yang dibenci oleh
istri. Na’udzu billah.
Cobalah Anda, wahai suami, meresapi sepenuh hati sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
“(Laksanakanlah wasiat dariku)
dengan bersikap baik kepada kaum istri. Sesungguhnya wanita itu
diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang
rusuk adalah atasnya. Jika ingin meluruskannya, engkau pasti akan
mematahkannya. Jika engkau biarkan, ia tetap bengkok. (Laksanakanlah
wasiat dariku) dengan bersikap baik kepada kaum istri!” (HR. Muslim no. 1468)
Sebagai manusia biasa, seorang istri pun
bisa saja melakukan kesalahan. Bahkan, mungkin bagi Anda kesalahan itu
amatlah besar. Namun, selama kesalahan itu masih bisa dimaklumi untuk
kemudian diperbaiki, mengapa Anda tidak mencoba untuk mengingat-ingat
kembali jasa, pengorbanan, dan pelayanan yang telah diberikan oleh istri
selama ini?
Ingat-ingatlah ketika istri Anda
bersabar melayani ketika Anda sedang terbaring sakit! Ingat-ingatlah
bagaimana ia berjuang untuk mengandung, melahirkan, menyusui, dan
merawat anak-anak Anda! Bayangkanlah kembali pengorbanan istri untuk
bisa menerima Anda sebagai suami! Bayangkanlah kepayahan istri yang
setia mempersiapkan makanan, minuman, pakaian, dan segala keperluan
Anda!
Bukankah baginda dan junjungan Anda pernah bersabda,
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia membenci sebuah perangainya, tentu ia senang dengan perangai yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu no. 1469)
- Tipe Pekerja Ketika di Rumah
Karakter seorang suami yang banyak
diidam-idamkan oleh kaum istri! Walaupun kaum istri menyadari betapa
berat tugas suami di luar rumah untuk mencari nafkah, namun pasti akan
terasa spesial jika sang suami tidak segan dan sungkan melakukan
pekerjaan rumah. Kaum istri tidak menuntut hal semacam ini di setiap
waktu. Jika dilakukan tepat pada momentumnya, kebanggaan akan memenuhi
hati seorang istri.
Ibunda ‘Aisyah pernah ditanya oleh seorang tabi’in bernama al-Aswad bin Yazid an-Nakha’i tentang rutinitas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang berada di rumah. Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab,
“Beliau selalu membantu istri-istrinya. Jika telah mendengar kumandang azan, beliau segera menyambutnya.” (HR. al-Bukhari no. 5363)
Alangkah berbunga-bunga hati seorang
istri jika menyaksikan suaminya memperbaiki genteng rumah yang pecah,
mengganti lampu, memperbaiki pagar rumah, mengecat dinding kamar,
mencuci kendaraan, membersihkan selokan, atau aktivitas semisalnya.
Istri akan memerhatikan dengan penuh kasih saat suami sedang mengerjakan
hal-hal tersebut.
Apakah hal ini diperintahkan oleh
syariat? Tentu! Di dalam Musnad al- Imam Ahmad (6/121) disebutkan,
ketika ditanya tentang aktivitas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah, Ibunda ‘Aisyah menjawab,
“Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendal, dan melakukan pekerjaan sebagaimana kaum laki-laki bekerja di rumah.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani di dalam ash-Shahihah no. 671 dan asy-Syaikh Muqbil di dalam ash-Shahihul Musnad 2/476)
Bahkan, di dalam riwayat lain (HR. Ahmad 6/256) ditambahkan, “Beliau juga memerah susu kambing dan melayani dirinya sendiri.”
Subhanallah! Beginilah wujud tawadhu’ Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami.
Memang, tidak semua pekerjaan rumah
harus dilakukan oleh seorang suami. Namun, pilihlah momentum dengan
cerdik agar istri selalu merasa diperhatikan oleh suami.
Al-Hafizh Abul Fadhl al-‘Iraqi rahimahullah
menerangkan, “Adapun membantu istri dalam tugas khusus mereka—secara
zahir—tidaklah masuk dalam pengertian hadits di atas. Tidak mungkin
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan diam dan membiarkan beliau melakukannya.” (Tharhu at-Tatsrib 8/181)
- Pemberani
Sebagai makhluk yang lemah, seorang
wanita sangat memerlukan rasa aman. Suami dengan tipe pemberani tentu
menjadi pilihan setiap wanita. Wanita memang mengharapkan seorang suami
yang mampu memberikan rasa nyaman, mengayomi, melindungi, dan menjaganya
sepenuh hati. Setiap kali berada di samping suami, hatinya selalu
merasakan ketenteraman.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah figur seorang suami yang gagah berani. Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
(riwayat al-Bukhari dan Muslim), dikisahkan bahwa suatu malam penduduk
kota Madinah dikejutkan oleh suara gaduh yang berasal dari luar kota
Madinah. Sejumlah sahabat bergegas berangkat menuju arah suara untuk
memastikan, apa yang sedang terjadi? Di dalam perjalanan, mereka bertemu
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kembali dari arah suara seorang diri. Dengan menunggang kuda dan membawa pedang tajam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan,
“Tidak ada yang perlu kalian takutkan! Tidak ada yang perlu kalian takutkan!”
Bayangkan saja! Saat larut malam,
seorang istri membangunkan sang suami yang sedang tidur di sampingnya.
Istrinya menyampaikan, ”Ada suara aneh dari arah dapur, Mas.” Bukannya
bangun, suami justru mengatakan, “Nggak ada apa-apa.”Atau suami malah
deg-degan dan kecemasan tampak di wajahnya. Bukan seperti ini yang
diharapkan oleh istri!
Bukankah lebih baik lagi jika sang suami
segera bangun kemudian menuju ke dapur, sehingga ia kembali menemui
istrinya dan menyampaikan, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya
beberapa ekor tikus saja yang menjatuhkan sebuah piring melamin.”
Alangkah bangganya seorang istri dengan
suami yang demikian! Jika kepada seekor tikus saja seorang suami
“takut”, bagaimana mungkin sang istri bisa merasakan kenyamanan dan
perlindungan?
Ada lagi satu hal yang perlu dibudayakan
oleh suami di hadapan istri; berani mengaku salah. Kebenaran tentu
lebih dijunjung tinggi dibandingkan “harga diri”. Mengapa kita sebagai
seorang suami terus disandera oleh gengsi, hingga sulit untuk
mengucapkan maaf di hadapan istri?
Sungguh, semakin tawadhu’ seorang hamba di hadapan kebenaran, akan semakin mulia derajatnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Berani mengaku salah tidak akan menurunkan wibawa sama sekali. Justru
istri akan semakin sayang ketika suaminya berani mengaku salah.
Renungkanlah pelajaran berharga dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut! Pada saat istri beliau—Ibunda ‘Aisyah—menjadi bahan berita dusta kaum munafikin, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami sangat bersedih. Wahyu dari langit belum juga turun. Hingga suatu saat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ibunda ‘Aisyah dan membimbing,
“Wahai ‘Aisyah, sungguh aku telah
mendengar kabar demikian dan demikian. Jika dirimu memang bersih dari
tuduhan itu, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan menyucikan dirimu.
Jika dirimu memang terjatuh dalam kesalahan, beristighfar dan
bertobatlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya seorang hamba
yang mengakui kesalahannya kemudian bertobat, niscaya Allah subhanahu
wa ta’ala akan menerima tobatnya.” ( HR. Al-Bukhari no. 2661 dan Muslim no. 2770)
Apakah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini berlaku pada kaum istri saja? Jawabannya tentu tidak! Apa beratnya
meminta maaf kepada istri yang telah lama menanti sejak pagi karena
suami telah berjanji akan mengantarnya ke rumah salah seorang
kerabatnya? Apa susahnya untuk mengatakan, ”Maafkanlah aku, istriku. Aku
memang telah berbuat salah karena melupakan janjiku padamu.”
Meminta maaf tentu lebih ringan daripada harus mencari-cari seribu alasan. Wallahul muwaffiq.
- Si Pecanda
Canda adalah bumbu penyedap dalam rumah
tangga. Sebagian ulama menyatakan, canda itu ibarat garam dalam makanan.
Jika kurang, makanan akan menjadi kurang sedap. Namun, jika berlebihan,
rasa makanan pun akan menjadi rusak.
Yang dimaksud dengan canda di sini
adalah canda yang secukupnya, canda yang tidak mengandung unsur dusta,
canda yang berkualitas. Seorang istri sangat ingin dicandai dan diguraui
oleh suaminya untuk sekadar menghilangkan penat dan beban di hati.
Andakah suami si pecanda itu?
Dalam sebuah perjalanan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada seluruh sahabat untuk berjalan lebih dahulu. Apa yang beliau lakukan? Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajak Ibunda ‘Aisyah untuk berlomba lari. Saat itu Ibunda ‘Aisyah
yang menjadi pemenangnya. Namun, beberapa waktu kemudian setelah
bertambah berat badan Ibunda ‘Aisyah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengajak Ibunda ‘Aisyah untuk berlomba lari. Kali ini Nabi Muhammad yang tampil sebagai pemenang dan beliau bersabda,
“Kemenangan ini untuk menebus kekalahan yang dahulu.” (HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Subhanallah! Inilah rumah tangga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rumah tangga yang dipimpin oleh suami terbaik di atas muka bumi ini.
Beliau bercanda dan bergurau bersama istri-istrinya. Bahkan, terkadang
beliau hanya ikut tertawa ketika menyaksikan canda tawa istri-istri
beliau.
Ibunda ‘Aisyah pernah membuat makanan harirah (sejenis sup). Ketika itu Ibunda Saudah sedang berada bersama di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunda ‘Aisyah mempersilakan Ibunda Saudah untuk menyantap hidangan tersebut, namun ditolak dengan halus.
“Kalau tidak berkenan untuk menyantapnya, aku akan mengoleskannya di wajah Anda,” kata Ibunda ‘Aisyah kepada Ibunda Saudah.
Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mengoleskan sup itu di wajah Ibunda Saudah. Posisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sedang duduk di antara keduanya. Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Beliau hanya tertawa menyaksikan kedua istrinya bercanda dengan saling
membalas, mengoleskan sup di wajah yang lain. Sampai akhirnya terdengar
suara Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, barulah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pergilah dan bersihkanlah badan kalian. Sesungguhnya Umar akan masuk.” (HR. al-Qathi’i dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil di dalam ash-Shahihul Musnad 2/487)
Di tengah kesibukan seorang wanita
sebagai istri dan ibu, Anda sebagai suami semestinya mampu menghadirkan
kejutan-kejutan kecil yang menyejukkan hati. Anda dituntut untuk bisa
menawarkan hiburan-hiburan dalam bentuk canda yang mencairkan suasana.
Buatlah istri Anda tertawa bahagia!
Buatlah istri Anda tersenyum ceria! Kado kecil berisi sepasang sendok
garpu mungil dengan tulisan tangan “Aku Sayang Kamu” barangkali bisa
Anda coba. Besar kemungkinan istri Anda akan tertawa.
Suami Adalah Qawwam
Tulisan ini memang terbilang sederhana.
Tulisan seringkas ini tentu belum bisa mewakili kajian tentang kriteria
suami ideal. Yang perlu digarisbawahi dan dicetak tebal adalah tidak
perlu saling menyalahkan. Toh, setiap pasangan juga punya kesalahan.
Apakah ada di antara kita yang selamat dari kesalahan?
Tulisan ini bukanlah alat untuk
menyanjung atau menjatuhkan seseorang. Tulisan ini hanyalah secarik
pembelajaran bahwa tugas seorang suami memang tidaklah mudah.
Rumah tangga sering diibaratkan sebagai
biduk atau bahtera yang berlayar di atas samudra luas. Siapakah yang
bertanggung jawab sepenuhnya?
Suami adalah nakhoda, istri dan
anak-anak harus selalu membantu dan mendukung. Setiap orang mempunyai
hak dan tanggung jawab. Seorang suami adalah qawwam. Ia harus mengingat sabda Rasulullah di dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
“Seorang suami adalah pemimpin untuk seluruh anggota keluarganya dan dia akan dituntut pertanggungjawabannya tentang keluarganya.” (HR. al-Bukhari no. 893 dan Muslim no.1829)
Karena itu, kita berharap bahwa menjadi suami ideal bukanlah sekadar angan yang berkepanjangan. Amin ya Mujibas Sa’ilin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai
Suami Ideal, Sebuah Proses
Tema ini terhitung sensitif. Cermat
adalah bekal wajib untuk melangkah demi menelusuri jejak-jejak seorang
suami yang disebut ideal. Tidak mudah memang untuk menghimpun
kepingan-kepingan yang terserak guna menyusunnya menjadi gambaran
pribadi suami yang ideal. Sekalipun bisa dihimpun, belum tentu setiap
laki-laki yang telah berstatus suami mampu mewujudkannya. Apalagi pada
masa-masa sulit di akhir zaman. Zaman yang telah terpisahkan lebar dari
masa-masa kenabian. Allahumma yassir (Semoga Allah memberikan kemudahan).
Suami ideal sendiri tidak hanya menjadi
impian dan idaman kaum hawa. Setiap laki-laki pun bertekad untuk menjadi
suami yang ideal bagi pasangan hidupnya. Hal semacam ini bisa dikatakan
sebagai satu hal yang lazim dirasakan, meski tidak sempat diungkapkan
secara lisan.
Hanya saja, pribadi suami seperti apakah
yang bisa disebut ideal? Apakah suami ideal itu memang benar-benar ada
wujudnya? Apakah mungkin seorang wanita dapat memiliki suami yang ideal?
Sebuah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu (ash-Shahihah no. 284) secara ringkas namun berbobot, telah melukiskan dengan indah tentang dorongan menjadi suami yang ideal. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang
terbaik dalam bersikap kepada istrinya.”
Dengan demikian, setiap suami dituntut
untuk menjadi yang terbaik dalam bersikap kepada istrinya. Akan tetapi,
terbaik menurut definisi siapa? Apakah berlandaskan keinginan seorang
wanita yang galibnya bertumpu pada perasaan? Ataukah harus mengikuti
gaya seorang laki-laki yang cenderung ingin selalu “menang” di hadapan
seorang wanita?
Sekali lagi, tema ini sangat sensitif. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan taufik untuk mengulas tema ini secara adil dan proporsional.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sosok Suami Ideal
Banyak pujian dan sanjungan yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kitab suci al-Qur’an. Pribadi beliau adalah pribadi yang lengkap dan utuh. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan yang membangkitkan rasa rindu untuk berjumpa dengannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang utusan Allah subhanahu wa ta’ala,
seorang pemimpin besar, seorang sahabat yang mengesankan, seorang ayah
yang baik, serta seorang imam agung, juga seorang suami yang ideal.
Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan di dalam al-Qur’an sebagai bentuk perintah,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Sebagai seorang suami, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik dan sempurna. Cobalah telusuri kehidupan rumah tangga beliau!
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suami dari seorang wanita yang berstatus janda, dan beliau pun menikahi seorang gadis remaja. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi seorang wanita yang berasal dari satu daerah, bahkan satu suku, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi wanita yang berasal dari luar daerahnya. Bukankah hal ini mengagumkan?
Beliau menjadi seorang suami sekaligus
ayah dari anak-anak yang dilahirkan oleh istrinya. Istri beliau pun ada
yang tidak memberikan keturunan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi seorang suami dari janda yang telah dikaruniai anak. Selain wanita-wanita yang merdeka, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjadi suami dari seorang wanita yang berstatus budak. Bukankah fakta ini sangat menakjubkan?
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjalani kehidupan selama puluhan tahun bersama seorang istri, yakni Ibunda Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Kemudian setelah Ibunda Khadijah wafat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati hari-harinya dengan pernikahan ta’addud (poligami).
Beliau pernah mengalami kehidupan rumah tangga yang berkecukupan, namun
pernah pula merasakan hidup kekurangan. Tentu, kenyataan ini merupakan
bukti bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik dan sempurna bagi setiap suami.
Lantas apa rahasia di balik ini semua?
Apa pun warna-warni sebagai seorang suami dalam kehidupan rumah tangga, semuanya pernah dirasakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mulai dari kondisi air yang tenang, riak-riak kecil hingga gelombang
dahsyat dalam mengarungi bahtera rumah tangga, semua ada tuntunan dan
jawabannya dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu, untuk menjadi suami yang ideal, contohlah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Teladanilah beliau yang pernah bersabda,
“Orang yang terbaik di antara kalian
adalah dia yang terbaik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik
kepada keluargaku.” (HR. at-Tirmidzi dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dinyatakan sahih oleh al-Albani di dalam ash-Shahihah no. 285)
Ideal ≠ Sempurna
Satu persepsi tentang suami ideal yang
mesti dihilangkan adalah gambaran suami ideal sebagai pribadi yang
sempurna tanpa cacat. Ini tidak mungkin! Tidak ada seorang suami pun
yang bisa 100% bersih dari kesalahan dan kekurangan, kecuali para nabi
dan rasul yang memang maksum.
Jika Anda adalah seorang wanita,
buanglah jauh-jauh impian untuk memiliki seorang suami yang sempurna
tanpa cacat! Jika Anda seorang laki-laki, bersiap-siaplah untuk menjadi
suami yang pada saatnya nanti akan tersingkap juga kekurangan dan
cacatnya!
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an,
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (an-Nisa: 28)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Karimir Rahman menjelaskan, “Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala
ingin memberikan kemudahan untuk kalian, baik dalam hal perintah maupun
larangan. Jika muncul semacam kesulitan dalam beberapa bentuk syariat,
Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan untuk kalian (sesuatu
yang mulanya dilarang) sesuai dengan keperluan. Seperti bangkai, darah,
dan yang semisalnya jika dalam keadaan darurat. Demikian juga seperti
menikahi budak bagi seseorang yang merdeka, dengan syarat-syarat yang
telah disebutkan sebelumnya.
Semua itu adalah bentuk rahmat- Nya yang
sempurna, kebaikan-Nya yang menyeluruh, ilmu, dan hikmah-Nya terhadap
kelemahan manusia dari berbagai sisi. Manusia itu lemah fisiknya, lemah
keinginannya, lemah tekadnya, lemah imannya, dan lemah kesabarannya.
Oleh sebab itu, sangatlah tepat jika Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keringanan karena kelemahan dan ketidakmampuannya dalam hal iman, sabar, dan kekuatan.”
Harus Ada Masa Berproses
Tidak ada seorang pun terlahir di dunia
membawa status sebagai suami ideal. Untuk menjadi suami ideal harus
melewati sebuah proses. Ya, suami ideal adalah sebuah proses! Jangan
pernah membayangkan bahwa suami ideal itu terbentuk seketika setelah
ijab kabul diikrarkan! Jangan bermimpi bahwa suami ideal itu segera
terwujud dalam hitungan setahun dua tahun setelah pernikahan! Untuk
menjadi suami ideal harus melewati sebuah proses.
Lukisan umum seorang suami ideal adalah
seorang suami yang mampu memahami, mengerti, menerima, lalu membimbing
istrinya. Suami ideal adalah suami yang bisa semaksimal mungkin
menyenangkan dan membahagiakan istrinya, tanpa keinginan untuk
menyakitinya.
Untuk mewujudkannya harus melewati
sebuah proses panjang. Semakin langgeng usia pernikahan, seorang suami
tentu akan semakin matang untuk menjadi ideal. Hanya saja, jangan
jadikan masa proses sebagai alasan untuk berleha-leha!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai
Suami Ideal, Antara Kenyataan & Harapan
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan kehidupan rumah tangga sebagai kehidupan yang penuh hikmah,
menyimpan segudang asa, dan menyisipkan banyak rahasia. Ada suka, ada
pula duka. Walau jeram-jeram kehidupan selalu ada di hadapan, namun
bunga-bunga kasih sayang dan cintalah yang kerap menjadi auranya. Dari
kehidupan rumah tangga ini, lahirlah cikal bakal orang-orang besar yang
mengantarkan umat menuju kejayaannya.
Itulah salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala di alam semesta. Namun, hanya kaum yang berpikirlah yang dapat mencerna dan memahaminya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis
kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” (ar-Rum: 21)
Berumah Tangga, Kebutuhan Manusia yang Sangat Vital
Hidup berumah tangga merupakan kebutuhan
manusia yang sangat vital. Tak heran, bila setiap pemuda dan pemudi
yang memasuki usia dewasa terfitrah untuk menjalaninya. Secara
manusiawi, jiwanya mendambakan seorang pendamping dalam hidupnya,
membangun mahligai rumah tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang).
Walaupun seseorang telah mencapai puncak
keimanan yang tertinggi semisal rasul yang mulia, fitrah suci itu pun
selalu bersemayam dalam kalbunya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (ar-Ra’d: 38)
Pintu Gerbang Kehidupan Rumah Tangga
Dalam pandangan Islam, hidup berumah
tangga tak bisa dijalani begitu saja. Semuanya harus melalui proses
nikah yang merupakan pintu gerbang kehidupan rumah tangga. Sebuah
pernikahan yang dibangun di atas keridhaan keduanya (mempelai laki-laki
dan wanita), diketahui/disetujui oleh wali dari pihak wanita, dengan
maskawin (mahar) yang ditentukan, disaksikan minimalnya oleh dua orang
saksi, dan pernikahannya tidak dibatasi dengan batasan tertentu dari
masa (bukan kawin mut’ah).
Dengan itulah, hubungan sepasang insan
dinyatakan sah sebagai suami-istri dalam pandangan syariat Islam dan
berhak menjalani hidup bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Demikian
selektifnya Islam dalam mengesahkan hubungan sepasang insan. Semua itu
menunjukkan perhatian Islam terhadap moral, kehormatan, harkat, dan
martabat manusia beserta keturunannya (masa depan mereka).
Dengan nikah, akan terjaga agama dan
kehormatan seseorang. Dengan nikah akan terjaga pula nasab anak
keturunannya. Jiwa pun menjadi tenteram, masyarakat pun menjadi nyaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian pemuda, barang siapa
di antara kalian yang mampu berumah tangga hendaknya menikah, karena
sesungguhnya nikah (itu) lebih menundukkan pandangan (dari sesuatu yang
haram dipandang, –pen.) dan lebih menjaga
kemaluan. Bagi siapa belum mampu hendaknya berpuasa, karena sesungguhnya
puasa (itu) sebagai perisai baginya (dari sesuatu yang haram, –pen.).” (HR. al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Manakala kehidupan rumah tangga dijalani
tanpa proses nikah (kumpul kebo, selingkuh, dll.) maka ia adalah zina.
Islam mengharamkan zina dengan segala jenisnya. Karena ia termasuk
perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. Bahkan Islam mengharamkan
segala sesuatu yang bisa mengantarkan kepada zina seperti; pacaran,
berjabat tangan dengan selain mahram, berduaan dengan selain mahram
(khalwat), dll. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra’: 32)
Dengan zina, moral dan kehormatan
seseorang akan hancur. Dengan zina, nasab anak keturunan akan rusak.
Dengan zina pula, penyakit kelamin yang mematikan semisal AIDS menjalar
di tengah-tengah masyarakat. Sehingga jiwa tak lagi tenteram, masyarakat
pun tak lagi nyaman. Wallahul musta’an.
Memilih Pasangan Hidup
Memilih pasangan hidup termasuk masalah
prinsip dalam kehidupan rumah tangga. Dalam Islam, setiap orang berhak
memilih pasangan hidupnya masing-masing tanpa ada paksaan dari siapa
pun. Di sisi yang lain, Islam juga memberikan batasan-batasan dan aturan
yang sesuai dengan fitrah suci dan kehormatan insan yang beriman.
Islam mengharamkan nikah dengan sesama jenis; laki-laki dengan laki-laki, atau wanita dengan wanita. Allah subhanahu wa ta’ala
mengutuk perbuatan tersebut dan murka terhadap pelakunya. Fitrah suci
pun menolak dan membencinya. Hanya orang-orang yang jahat dan
terbelenggu hawa nafsulah yang melakukannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth
(kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka,
‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang keji itu (homoseksual), yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?
Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsu kalian
(kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang
melampaui batas.’ Jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Usirlah
mereka (Luth dan pengikutpengikutnya) dari kota kalian ini;
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan
diri.’ Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali
istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan
Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang jahat itu.” (al-A’raf: 80—84)
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami
jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami
jungkir-balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang
terbakar dengan bertubi-tubi.” (Hud: 77—82)
Islam mengharamkan wanita mukmin menikah
dengan laki-laki musyrik atau nonmuslim secara keseluruhan (termasuk
ahli kitab; Yahudi dan Nashrani) walaupun dia rupawan lagi menawan.
Sebagaimana pula Islam mengharamkan laki-laki mukmin menikah dengan
wanita musyrik walaupun dia cantik jelita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menawan hati
kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menawan hati kalian.
Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah: 221)
Namun, Islam menghalalkan laki-laki
mukmin menikahi wanita dari kalangan ahli kitab baik Yahudi maupun
Nasrani yang menjaga kehormatannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Pada hari ini dihalalkan bagi
kalian yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kalian,
bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.” (al-Maidah: 5)
Dalam memilih pasangan hidup ideal, Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita dinikahi karena empat
kriteria; hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah
wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan meraih keberuntungan.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna yang benar untuk hadits ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang kebiasaan yang terjadi di tengah masyarakat (dalam hal memilih pasangan hidup, –pen.).
Mereka menjadikan empat kriteria tersebut sebagi acuan dalam memilih.
Kriteria agama biasanya kurang diperhitungkan oleh mereka, maka pilihlah
wanita yang kuat agamanya—wahai seorang yang meminta bimbingan— niscaya
akan meraih keberuntungan. Ini adalah arahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sebagai perintah.” (Syarah Shahih Muslim 10/51)
Tak terlewatkan pula kaum wanita, karena
hadits di atas juga sebagai acuan bagi mereka dalam mendapatkan
pasangan hidup yang ideal.
Mengidentifikasi Suami Ideal
Setiap wanita pasti mendambakan suami
yang ideal. Seorang yang berfungsi sebagai pemimpin, pengayom, dan
pembina keluarga. Keberadaannya di tengah keluarga sebagai pelita dalam
kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan. Sosoknya sebagai figur
keteladanan bagi istri dan anak-anaknya.
Setiap wanita pasti mendambakan suami
yang penuh pengertian, bijak, bergaul dengan istrinya secara patut, dan
bersabar atas berbagai kekurangan yang ada padanya. Suami yang selalu
membimbingnya menuju al-Jannah dan membentenginya dari azab an-Nar. Dengan itulah akan tergapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui dambaan hamba-hamba-Nya dari kalangan wanita itu. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyeru kaum laki-laki terkhusus para suami untuk mewujudkan dambaan kaum wanita tersebut dengan firman-Nya,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(lakilaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa’: 34)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Dari semua ini, maka dapat diketahui bahwa seorang suami
layaknya pemimpin dan tuan bagi istrinya, sedangkan sang istri layaknya
bawahan, pembantu dan budaknya. Tugas suami adalah menjalankan segenap
tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga yang Allah bebankan kepadanya,
sedangkan istri berkewajiban menaati Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menaati suaminya.” (Taisirul Karimirrahman, hlm. 177)
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
“Dan bergaullah dengan mereka (para
istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa’: 19)
Distorsi Makna Suami Ideal
Apa yang telah disebutkan di atas
merupakan rincian dari sosok suami ideal yang istiqamah di atas agamanya
dan berhias dengan akhlak yang mulia. Tentu akan lebih sempurna lagi
bila dia seorang yang rupawan, hartawan, atau terhormat di tengah-tengah
masyarakatnya. Namun, manakala semua itu tak bisa berkumpul pada
seseorang, tentu yang menjadi barometernya adalah agama dan kemuliaan
akhlaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika datang meminang kepada kalian
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia
(terimalah pinangannya). Jika kalian tidak melakukannya niscaya akan
terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi.” (HR. at-Tirmidzi no. 1084, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al- Albani dalam al-Irwa’ no. 1668 dan ash-Shahihah no. 1022)
Apabila seorang wanita hidup bersanding dengan suami ideal sebagaimana keterangan di atas niscaya akan terbantu bi’aunillah untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Walaupun dengan latar belakang yang berbeda, karakter yang berbeda, dan kekurangan masing-masing.
Demikianlah gambaran tentang suami ideal
menurut pandangan Islam dan fitrah yang suci. Namun dalam kehidupan
sosial masyarakat ada beberapa versi tentang suami ideal yang hakikatnya
adalah penyimpangan atau pemutarbalikan fakta (distorsi). Dengan kata lain, salah kaprah dalam mengidentifikasikan suami ideal.
Ada yang mengidentifikasikan suami ideal
sebagai lelaki yang memiliki banyak uang, walaupun jauh dari agama.
Dalam angan-angannya, uang adalah segala-galanya. Dengan uang, semuanya
menjadi mudah, hidup pun akan serba berkecukupan.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak.
Berapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya karena uang akhirnya
berantakan dan kesudahannya adalah cerai. Cinta dan kasih sayangnya
mengalami pasang surut seiring dengan pasang surutnya uang. Tak heran
bila ada celetukan, “Ada uang abang disayang, tak ada uang abang
dibuang.” Wallahul Musta’an.
Kalau sekiranya angan-angan itu dapat
terwujud dalam kenyataan, sehingga hidup pun serba berkecukupan, maka
keberadan sang suami yang jauh dari agama akan membawa istri dan
anakanaknya— dengan harta yang dimilikinya itu—kepada pola hidup mewah
yang dapat melalaikan akhirat. Target hidupnya hanyalah dunia dan dunia.
Kehidupannya nyaris hampa dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Padahal kebahagiaan yang hakiki adalah di akhirat kelak.
Ada yang mengidentifikasikan suami ideal
sebagai sosok yang senantiasa memanjakan istri. Dalam angan-angannya,
dengan mempunyai suami yang seperti itu niscaya semua keinginannya akan
diperhatikan dan segala permintaannya akan dikabulkan. Dengan itu,
diraihlah kebahagiaan. Laksana seorang ratu yang bebas berekspresi dan
berinovasi.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak.
Betapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah sikap memanjakan
dari suami, akhirnya menjadi berantakan dan kesudahannya adalah cerai.
Secara realitas, sikap memanjakan dari suami seringkali merusak mental
dan akhlak sang istri. Peluang demi peluang yang diberikan kepadanya
akan semakin membuatnya lupa daratan. Jiwanya sulit dikendalikan. Ingin
lepas dari kewajiban ibu rumah tangga dan cenderung untuk hidup bebas.
Akhirnya ketenteraman dan kenyamanan hidup berumah tangga tak lagi
dirasakan. Bila demikian, cepat atau lambat suami akan kecewa. Rumah
tangga pun dalam problema.
Ada yang mengidentifikasikan bahwa suami
ideal adalah sosok yang rupawan, walaupun bukan orang yang taat
beragama. Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang rupawan
niscaya rumah tangganya akan selalu bahagia dan diliputi bunga-bunga
cinta.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak.
Betapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah ketampanan suami
semata akhirnya menjadi berantakan. Secara realitas, kehidupan rumah
tangga tidak cukup hanya dengan modal ketampanan. Kehidupan rumah tangga
membutuhkan ilmu dan akhlak mulia. Kehidupan rumah tangga membutuhkan
kesejukan hati sang suami di samping kesejukan wajahnya. Tak heran,
telah terjadi kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh istri, padahal
suaminya jauh lebih tampan daripada laki-laki selingkuhannya. Di antara
sebabnya adalah karena sang suami tidak dapat memberikan kepuasan batin
kepadanya, dan itu bisa diperoleh dari laki-laki selainnya. Lebih dari
itu, ketampanan seseorang tidaklah abadi. Ia akan berangsur pudar
seiring dengan bertambahnya usia.
Ada yang mengidentifikasikan bahwa suami
ideal adalah seorang yang berpangkat dan berkedudukan. Menyandang gelar
dan mempunyai jabatan. Walaupun jauh dari agama dan akhlak yang mulia.
Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang seperti ini niscaya
rumah tangganya akan terhormat. Kebahagiaan pun akan selalu mengiringi.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak.
Berapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah pangkat dan
kedudukan suami lantas berakhir dengan nestapa. Secara realitas, pangkat
dan kedudukan suami bukanlah jaminan kebahagiaan rumah tangga. Apalagi
jika jauh dari agama dan akhlak yang mulia. Jabatan yang disandangnya
pun bukanlah selamanya. Manakala masih aktif menjabat, tampak gagah dan
berwibawa. Namun, semua itu akan berubah manakala pamornya menurun, atau
mulai memasuki masa purna (pensiun). Kala itu sang istri akan merasakan
ujian berat. Jika tak diimbangi dengan iman yang kuat dan akhlak yang
mulia niscaya rumah tangga akan berantakan.
Ada yang mengidentifikasikan bahwa suami
ideal adalah sosok yang sangat pengertian terhadap istri. Berjiwa
besar, toleran, dan lapang dada, walaupun bukan orang yang taat
beragama. Dalam angan-angannya, dengan mempunyai suami yang seperti ini
niscaya rumah tangganya akan tenang dan sepi dari masalah. Kebahagiaan
pun akan selalu mengiringi.
Apakah demikian kenyataannya? Tidak.
Berapa banyak rumah tangga yang motivasi awalnya adalah toleransi dan
kelonggaran suami, berakhir dengan berantakan. Secara realitas,
kehidupan rumah tangga yang seperti ini sangat rawan masalah.
Pelanggaran syar’i pun kerapkali terjadi. Istri sering keluar malam,
hidup royal, dan berhubungan dengan banyak laki-laki tak jadi soal.
Alhasil, apapun yang dilakukan oleh istri, tak akan dipermasalahkan.
Betapa sepah kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. Jauh dari
bimbingan syar’i dan fitrah yang suci. Jauh dari manisnya cinta kasih
dan kerja sama suami istri yang harmoni. Cepat atau lambat, hidup mereka
akan didominasi oleh kepentingan individu dan ego pribadi. Anak-anak
pun akhirnya sebagai korbannya.
Demikianlah sajian kami tentang kehidupan rumah tangga dan identifikasi suami ideal. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Surat Pembaca Edisi 97
Bantuan Dana untuk Kampung Laut
Saya membaca di Asy-Syariah tentang kisah mualaf Kampung Laut. Saya ingin membantu dana. Bisa diberi tahu caranya?
087737xxxxxx
Zakat ke Kampung Laut
Bismillah, saya baca di majalah Asy Syariah. Saya mau zakat untuk Bapak Suparjo, dkk, di Kampung Laut,Cilacap. Saya harus menghubungi ustadz siapa, no HP nya berapa? Syukran informasinya.
08115xxxxxx
Bismillah. Afwan, judulnya Mengapa Rakyat Harus Taat? Mengapa bukan Mari Taat Kepada Pemerintah dalam Hal Kebaikan atau judul yang lain yang langsung bisa dipahami dan diambil faedahnya. Bukankah jika berdakwah sebaiknya menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami? Barakallahu fikum.
085240xxxxx
Rubrik Resensi Buku
Afwan, ana mau saran. Gimana kalau rubriknya ditambah satu lagi, yaitu rubrik resensi buku. Karena ana kalau ingin membeli buku, ana bingung buku apa yang mau dibeli dan apakah buku tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salafush shalih atau tidak? Syukran.
085756xxxxxx
Kitab-Kitab Rujukan
Bismillah, bagaimana jika Asy Syariah dalam mencantumkan kitab-kitab rujukan dibedakan dengan kode atau lainnya antara kitab karya ulama Ahlus Sunnah dengan kitab-kitab karya ahlul bid’ah, supaya kami yang masih awam paham mana kitab yang lurus dan yang sesat.
Ummu Rusydah
087747xxxxxx
Saya membaca di Asy-Syariah tentang kisah mualaf Kampung Laut. Saya ingin membantu dana. Bisa diberi tahu caranya?
087737xxxxxx
Zakat ke Kampung Laut
Bismillah, saya baca di majalah Asy Syariah. Saya mau zakat untuk Bapak Suparjo, dkk, di Kampung Laut,Cilacap. Saya harus menghubungi ustadz siapa, no HP nya berapa? Syukran informasinya.
08115xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Untuk mendapatkan informasi dan menyalurkan bantuan bagi mualaf Kampung Laut, Anda bisa menghubungi al-Ustadz Fauzan di Ma’had an-Nur al-Islamy, Ciamis, di no. kontak 081219209841. Barakallahu fikum.
Bismillah. Afwan, judulnya Mengapa Rakyat Harus Taat? Mengapa bukan Mari Taat Kepada Pemerintah dalam Hal Kebaikan atau judul yang lain yang langsung bisa dipahami dan diambil faedahnya. Bukankah jika berdakwah sebaiknya menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami? Barakallahu fikum.
085240xxxxx
- Jawaban Redaksi:
Kami insya Allah berupaya maksimal memilih judul yang bisa mewakili isi secara keseluruhan. Perlu diketahui, tema kewajiban taat kepada pemerintah sebenarnya sudah pernah diangkat di edisi 5 dengan judul Menyikapi Kejahatan Penguasa dan edisi 84 dengan judul Ibadah Bersama Pemerintah. Tema ini kami angkat kembali pada edisi 95—tentunya dengan sudut yang berbeda—sebagai nasihat untuk umat agar selalu menaati pemerintahnya, serta mengingatkan bahaya menjelek-jelekkan pemerintah yang masih muslim lebih-lebih melakukan perlawanan/pemberontakan terhadap mereka. Judul Mengapa Rakyat Harus Taat, menurut kami, wallahu a’lam, sudah cukup mewakili isi kajian dan juga bisa mengundang minat pembaca untuk membuka isi majalah. Jazakumullahu khairan atas masukan Anda. Barakallahu fikum.
Rubrik Resensi Buku
Afwan, ana mau saran. Gimana kalau rubriknya ditambah satu lagi, yaitu rubrik resensi buku. Karena ana kalau ingin membeli buku, ana bingung buku apa yang mau dibeli dan apakah buku tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salafush shalih atau tidak? Syukran.
085756xxxxxx
Kitab-Kitab Rujukan
Bismillah, bagaimana jika Asy Syariah dalam mencantumkan kitab-kitab rujukan dibedakan dengan kode atau lainnya antara kitab karya ulama Ahlus Sunnah dengan kitab-kitab karya ahlul bid’ah, supaya kami yang masih awam paham mana kitab yang lurus dan yang sesat.
Ummu Rusydah
087747xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Jazakumullahu khairan atas masukan Anda.

DICARI: Suami Ideal
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Banyak suami yang merasa telah berperan
besar dengan mencari nafkah, lalu merasa mendapat pembenaran untuk tidak
mau tahu dengan urusan rumah. Mengurus anak, pekerjaan rumah tangga,
hingga hal-hal yang lebih kecil dari itu, seperti “wajib” dibebankan
pada istri semata.
Itulah salah satu “egoisme” suami yang
banyak kita jumpai dalam kehidupan rumah tangga saat ini. Terlihat
sepele, namun sejatinya cukup menggerogoti harmonisasi dalam keluarga.
Apalagi bara egoisme itu terus disulut dengan sikap suami yang lebih
senang menuruti kesenangan pribadi: menonton sepak bola, memancing,
main game, internetan, nongkrong bersama teman-temannya, atau malah
terlampau asyik dengan pekerjaan kantornya. Alih-alih bicara kepedulian,
waktu pun seperti tiada untuk keluarga.
Patut disadari, suami dengan segala
karakternya, jelas dominan memberi warna dalam rumah tangganya, karena
ia adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya kepemimpinan itu berada,
pada dirinya keteladanan harus ditampakkan, dan di pundaknya tugas
mencari nafkah itu dibebankan. Dengan sederet tanggung jawab yang besar
itu, rumah tangga jelas membutuhkan karakter suami yang bisa memimpin,
membimbing, tegas, cepat dan tepat dalam mengambil keputusan, bisa
memberi teladan, tidak pantang menyerah, ulet dalam bekerja dan mencari
nafkah, dan sebagainya. Sudahkah ini semua dimiliki seorang suami?
Pada kenyataannya, kita justru menjumpai
yang sebaliknya. Banyak suami yang tidak punya visi dalam berumah
tangga, hingga terkesan nekat ketika memasuki gerbang pernikahan.
Usaha/pekerjaan apa yang akan ditekuni, akan tinggal di mana setelah
berumah tangga, seperti jauh dari rencana. Ada suami yang masih
tinggal jadi satu dengan orang tua dalam keadaan belum punya pekerjaan,
justru merasa nyaman-nyaman saja padahal segala kebutuhan rumah
tangganya masih di-support orang tuanya. Galibnya, sebagai kepala rumah
tangga, ia dituntut untuk menafkahi keluarganya, tidak berlindung di
balik kata tawakal untuk menutupi kemalasan dan keputusasaannya.
Parahnya, dalam keadaan yang serba
kekurangan ini banyak suami yang justru emosional. Menuruti emosi,
ancaman cerai sedikit-sedikit ditebar. Seolah-olah cerai itu adalah
perkara remeh yang tidak punya konsekuensi apa pun. Seakan-akan dengan
ancaman cerai dia telah menjadi laki-laki sejati, superior, dan membuat
wanita tak berdaya. Bahkan, ada yang menjadi ringan tangan demi
menutupi “kegagalannya”.
Ada pula yang sebaliknya. Suami
dikaruniai rezeki yang luas, namun dia justru pelit memberi nafkah
kepada keluarganya. Bahkan, dia menyalahgunakan kepercayaan istri untuk
bermaksiat di luar rumah, berfoya-foya hingga selingkuh. Ada juga tipe
suami yang tertutup, tidak mau terbuka kepada istrinya, dari soal
pekerjaan atau penghasilannya, lebih-lebih uangnya ke mana saja
dibelanjakan.
Padahal istri butuh tipe suami yang
terbuka, mau mendengarkan dan mengajaknya bermusyawarah, perhatian,
tidak otoriter, dan tidak selalu merasa benar sendiri. Akan tetapi,
alih-alih penuh pengertian, sabar, dan pemaaf, banyak suami yang justru
tidak mau menganggap, bahkan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali.
Itu baru soal karakter. Pertengkaran
rumah tangga yang bisa berujung perceraian juga tidak jarang dipicu dari
kebiasaan sepele. Seperti suami yang jorok, kurang memerhatikan
penampilan, kerapian rambut atau pakaian, dsb.
Sederet sifat atau kebiasaan jelek suami
bisa jadi akan panjang dibeberkan di sini. Intinya, sebisa mungkin
kita menghindari hal-hal yang bisa menyuntikkan kebencian dalam rumah
tangga. Menjadi ideal tidak berarti menjadi pribadi yang sempurna,
tetapi ini tetap bisa diupayakan selama kita mau berusaha, insya Allah.
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Sebab Penyimpangan
Lanjutkan membaca Sebab PenyimpanganAl-Imam Ibnu Baththah rahimahullah mengatakan,
“Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, saya telah merenungkan sebab yang mengeluarkan sekelompok orang dari as-Sunnah dan al-Jamaah, memaksa mereka menuju kebid’ahan dan keburukan, membuka pintu bencana yang menimpa hati mereka, dan menutupi cahaya kebenaran dari pandangan mereka.
Saya temukan sebabnya dari dua sisi:
Mencari-cari, berdalam-dalam, dan banyak bertanya yang tidak perlu (tentang masalah tertentu), yang tidak membahayakan seorang muslim kalau ia tidak tahu, serta tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin seandainya ia tahu.
Duduk bersama dan bergaul dengan orang yang tidak dirasa aman dari kejelekannya, yang berteman dengannya akan merusak kalbu.”
(al-Ibanah, karya Ibnu Baththah rahimahullah, 1/390)

Sepuluh Hak yang Harus Dipenuhi (2)
Telah kita bicarakan dari ayatul huquq al-’asyrah ini
hak Allah dan hak kedua orang tua. Masih tersisa delapan hak yang akan
kita bawakan semuanya secara ringkas dalam pembahasan kali ini.
Hak Karib Kerabat
Karib kerabat adalah orang yang memiliki
hubungan nasab dengan kita, baik dari pihak ayah maupun ibu. Mereka
adalah kakek dan nenek, saudara sekandung, saudara seayah atau seibu dan
anak-anak mereka (keponakan), paman, bibi dan anak-anak mereka.
Silaturahim dengan mereka harus dijaga, tidak diperkenankan untuk diputus. Allah ‘azza wa jalla akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambung hubungan rahimnya. Sebaliknya, Allah ‘azza wa jalla
akan memutus orang yang memutus hubungan rahimnya. Hal ini disebutkam
dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahihnya,
Allah berfirman kepada rahim, “Siapa yang menyambungmu, Aku akan menyambungnya. Siapa yang memutusmu, Aku akan memutusnya.”
Abdullah ibnu ‘Amr c menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang yang menyambung hubungan
(silaturahim) bukanlah yang membalas dengan yang setimpal. Akan tetapi,
orang yang menyambung hubungan adalah orang yang bila terputus hubungan
rahimnya, dia menyambungnya.” (HR. al-Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bahwa menyambung hubungan dengan kerabat yang menyambung hubungan dengan kita disebut sebagai mukafaah, bukan silaturahim. Sebab, silaturahim hakikatnya adalah menyambung hubungan rahim dengan kerabat yang semula terputus.
Yang disebut silaturahim adalah apa yang menurut ‘urf atau
kebiasaan masyarakat muslimin setempat sebagai silaturahim, karena
al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menerangkan macam, jenis, dan kadarnya.
Ahlul ilmi menyebutkan bahwa di antara
bentuk silaturahim tersebut ialah berbuat baik kepada karib kerabat,
misalnya dengan memberi nafkah kepada mereka yang membutuhkan sesuai
dengan kemampuan dan kelapangan si pemberi, mengunjungi mereka,
memberikan kebahagiaan kepada mereka, menghormati dan menunjukkan
penghargaan kepada mereka.
Hak Anak Yatim & Orang Miskin
Anak yatim adalah anak kecil yang
ayahnya meninggal sebelum dia baligh. Berbuat baik kepada anak yatim
ialah dengan menjadi pengganti ayah mereka dalam hal memberikan
perhatian dan menutupi kebutuhannya. Adapun orang miskin adalah orang
yang tidak mendapati nafkah yang bisa mencukupinya. Berbuat baik
kepadanya orang miskin diwujudkan dengan memberikan apa yang bisa
mencukupinya.
Terpenuhinya hak keduanya akan
meringankan derita dan kesusahan dua golongan yang lemah ini di
tengahtengah masyarakat muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri diperintah oleh Allah untuk berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Adapun anak yatim janganlah engkau memberatkannya. Dan adapun seorang peminta maka janganlah engkau menghardiknya.” (adh-Dhuha: 9-10)
Di antara sifat orang yang mendustakan
agama adalah orang yang tidak menghiraukan anak yatim dan tidak mengajak
orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin, sebagaimana
firman-Nya,
“Tahukah kamu, (orang) yang
mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin.” (al-Ma’un: 1-3)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sekali-kali tidak, bahkan kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang-orang miskin.” (al-Fajr: 17-18)
Ayat di atas menunjukkan bahwa hak orang
miskin adalah diberi makanan dan dipenuhi kebutuhannya, sedangkan anak
yatim diberikan pemuliaan. Orang yang memelihara anak yatim akan beroleh
janji berikut ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk dan ibu jari beliau,
“Aku dan orang yang memelihara/menanggung anak yatim[1] di surga (dekatnya) seperti ini[2].” (HR. al-Bukhari)
Berbuat baik kepada golongan yang lemah
ini akan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam kalbu, kelunakan dan
kelembutan hati, serta perasaan inabah/kembali dengan bertobat
kepada Allah. Hal ini tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang telah
mencobanya. Dengan mengasihi mereka yang lemah, tentu kasih Allah pun
akan diperoleh, sebagaimana dalam hadits,
“Orang-orang yang penyayang akan
disayang/dirahmati oleh ar-Rahman (Dzat Yang Maha Penyayang). Sayangilah
makhluk yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan menyayangi
kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. Derajatnya sahih sebagaimana dalam Shahih al-Jami’, no. 3522)
Hak Tetangga yang Ada Hubungan Dekat / Kerabat dan Tetangga yang Jauh / Bukan Kerabat
Tetangga adalah orang yang tinggal
bersebelahan atau dekat dengan tempat tinggal kita. Tetangga itu, kata
ahlul ilmi, terbagi tiga,
- Tetangga beragama Islam yang ada hubungan kerabat. Dia memiliki tiga hak: hak sebagai tetangga, sebagai kerabat, dan hak sebagai muslim.
- Tetangga muslim yang bukan kerabat. Dia memiliki dua hak: hak sebagai tetangga dan hak sebagai muslim.
- Tetangga yang kafir Dia memiliki hak sebagai tetangga. Apabila ada hubungan kerabat dengannya, dia memiliki hak tambahan sebagai kerabat.
Jibril terus-menerus berpesan kepada
Rasulullah tentang hak tetangga sampai-sampai beliau menyangka akan
turun wahyu yang menyebutkan hak tetangga untuk turut mendapat warisan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Di antara bentuk memenuhi hak tetangga
adalah berbuat baik kepada mereka dengan menghadiahkan apa yang mungkin
dihadiahkan, walaupun hanya mengirimkan kuah masakan daging atau
selainnya, sebagaimana pesan Rasulullah kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
“Wahai Abu Dzar, apabila engkau
memasak makanan berkuah, perbanyaklah airnya, dan jangan lupa untuk
mengirimkannya kepada tetanggamu.” (HR. Muslim)
Diharamkan bagi kita menyakiti tetangga,
baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dengan ucapan, misalnya
membuat suara gaduh yang mengganggu ketenangan tetangga, atau memutar
radio/tape recorder dengan keras, walaupun yang diputar adalah
kaset kajian/ceramah Islam atau tilawah al-Qur’an. Apalagi jika yang
diputar adalah musik. Adapun dengan perbuatan, seperti melempar kotoran
atau sampah di halaman tetangga, mengetuk pintu rumah mereka dengan
keras, membiarkan dahan pohon kita merusak genting/atap rumah tetangga,
dan sebagainya.
Barangsiapa mengganggu tetangganya, dia tidak memiliki sifat orang-orang beriman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Demi Allah, tidaklah seseorang itu
beriman. Demi Allah, tidaklah seseorang itu beriman. Demi Allah,
tidaklah seseorang itu beriman.”
Ada yang bertanya, “Siapa orang itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim, “Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Hak Teman Sejawat
Hak berikutnya yang tersebut dalam ayat al-huquq al-’asyrah adalah hak shahib bil janbi. Ahli
tafsir menyebutkan maknanya adalah istri. Ada pula yang mengatakan
kawan dalam safar dan ada pula yang berpendapat teman yang salih. Kata
ahli tafsir yang lain, maknanya adalah teman dudukmu saat mukim dan
kawanmu ketika safar.
Seorang teman memiliki hak tambahan
selain hak Islam (hak sebagai seorang muslim), berupa hak untuk dibantu
dalam urusan agama dan dunianya, mendapat nasihat, setia kepadanya
(tidak berkhianat) dalam keadaan lapang atau sempit, ketika senang atau
susah, menyenangi untuknya apa yang disenangi untuk dirinya, dan
membenci untuknya apa yang dibenci oleh dirinya. Semakin dekat
pertemanan atau persahabatan, maka semakin ditekankan hak tersebut dan
semakin bertambah.
Hak Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah tamu atau musafir yang
melintas melewati tempat Anda. Apabila si musafir kehabisan bekal dalam
safarnya, berbuat baik kepadanya dilakukan dengan memberinya zakat atau
sedekah yang cukup untuk menyampaikannya ke tujuan, walaupun dia adalah
orang yang berharta di negeri tempat tinggalnya.
Ibnu sabil memiliki hak terhadap kaum
muslimin karena musafir biasanya memiliki kebutuhan/keperluankeperluan.
Selain itu, dia adalah orang asing yang perlu dibantu untuk menunaikan
maksud/tujuannya, atau sebagian dari tujuannya. Dia pantas dimuliakan
dan dibuat tidak merasa asing di negeri yang sebenarnya asing (bukan
negerinya sendiri).
Hak Hamba Sahaya
Perbudakan dalam Islam memang ada, namun
jangan dibayangkan di benak kita gambaran yang kelam penuh kelaliman.
Sungguh, semua itu tidak didapatkan dalam Islam. Perbudakan tidak
manusiawi yang sarat kezaliman itu hanyalah ada di luar Islam, agama
kekafiran yang memperbudak manusia dan memperlakukannya layaknya
binatang.
Islam sebagai agama yang dipenuhi
keadilan memberikan hak kepada budak atau hamba sahaya dan menanggungkan
kewajiban kepada tuan pemiliknya untuk berbuat baik kepadanya. Banyak
nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan keharusan
memperhatikan hak hamba sahaya ini. Satu bukti Islam tidak mengabaikan
hak hamba sahaya adalah adanya dorongan untuk memerdekakannya. Bahkan,
dalam Islam, banyak perkara pelanggaran yang ditebus dengan memerdekakan
budak, seperti melanggar sumpah, tidak memenuhi nazar, dan bersetubuh
di siang hari Ramadhan.
Ketika Rasulullah memberi Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
seorang hamba sahaya, beliau berpesan, “Terimalah wasiatku dalam urusan
budak ini agar engkau berbuat baik dan bermuamalah kepadanya dengan
baik pula.”
Ternyata Abu Dzar radhiallahu ‘anhu memerdekakan hamba sahaya tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang engkau perbuat terhadap hamba sahayamu?”
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menjawab, “Anda memerintahku berbuat baik kepadanya, maka saya memerdekakannya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Adab al-Mufrad no. 121)
Rasulullah pernah bersabda kepada pemilik hamba sahaya tentang urusan hamba sahaya mereka, “Berilah para hamba sahaya makanan yang biasa kalian makan. Berilah mereka pakaian yang kalian pakai.” (HR. Muslim)
Pemilik hamba sahaya diperintah untuk
tidak membebani hamba sahayanya pekerjaan yang di luar kemampuan mereka.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba sahaya memiliki hak untuk beroleh makanan dan pakaian. Dia tidak boleh dibebani pekerjaan yang tidak dia sanggupi.” (HR. Muslim)
Cukuplah ayat-ayat berikut ini menunjukkan mahasinul Islam
(kebaikan Islam) kepada hamba sahaya dengan memberi dorongan untuk
memerdekakannya, di samping menyebut tentang berbuat baik kepada anak
yatim dan orang miskin,
“Maka tidakkah sebaiknya (dengan
hartanya itu) dia menempuh ‹aqabah (jalan yang mendaki lagi sukar)?
Tahukah kamu , apakah ‹aqabah itu? (Yaitu) melepaskan (memerdekakan)
budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada)
anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat
fakir.” (al-Balad: 11-16)
Allah menawarkan, tidakkah kita ingin
menempuh jalan menuju kesuksesan dan kebaikan? Kemudian Allah
menerangkan jalan tersebut, yaitu membebaskan atau memerdekakan hamba
sahaya dari perbudakan.
Banyak pula hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan memerdekakan budak. Satu di antaranya ialah hadits berikut ini.
“Siapa yang memerdekakan hamba sahaya yang beriman (dari perbudakan), maka itu menjadi tebusannya dari api neraka.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa’i. Derajatnya sahih sebagaimana dalam Shahih al-Jami’ no. 6050)
Jalan kebaikan lain yang Allah tawarkan
dalam ayat di atas ialah memberi makan anak yatim yang ada hubungan
kerabat dan orang miskin yang tidak memiliki apa-apa pada hari terjadi
kelaparan.
Satu lagi yang menunjukkan keluhuran
ajaran Islam, Islam menjadikan hamba sahaya sebagai saudara pemiliknya.
Karena itu, layaknya saudara, ia harus diperlakukan dengan baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya, “Mereka adalah saudara-saudara kalian yang Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Sumber:
- al-Qur’an al-Karim
- Muhadharat fil ‘Aqidah wad Da’wah, asy-Syaikh
Shalih Fauzan
- Shahih al-Adab al-Mufrad
- Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, al-Albani
- Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin
- Taisir al-Karim ar-Rahman, as-Sa’di
- Tafsir Ibnu Katsir
[1]
Memelihara dan menanggung anak yatim adalah dengan menunaikan segala
sesuatu yang dapat memberikan kemaslahatan dan kebaikan bagi agama dan
dunia si yatim. Untuk urusan agamanya adalah dengan memberikan
pendidikan, bimbingan, pengajaran, dan semisalnya. Adapun untuk urusan
dunianya, dengan memberinya makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
dan semisalnya.
[2] Seperti dekatnya ibu jari dan jari telunjuk.

Tidak Ada Pertentangan di Antara Ayat Al-Qur’an
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)
Dia juga berfirman,
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami….” (at-Taubah: 51)
Apa makna kedua ayat ini? Bagaimana menggabungkan keduanya, karena seakan-akan bertentangan?
Jawab [1]:
Tidak ada pertentangan di antara dua ayat ini, wahai saudaraku. Allah ‘azza wa jalla menerangkan kepada kita bahwa musibah yang menimpa kita karena sebab perbuatan kita dan Dia menerangkan pula bahwa apa yang terjadi itu adalah dengan ketetapan dan takdir-Nya.
Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami….” (at-Taubah: 51)
Ilmu Allah, ketetapan, dan kitabah-Nya
(penulisan takdir di Lauh Mahfuzh sebagaimana yang diperintahkan kepada
qalam/pena) telah mendahului segala sesuatu. Namun Allah ‘azza wa jalla
mengaitkan perkara yang memudaratkan kita karena sebab maksiat-maksiat
yang kita lakukan, walaupun semua itu juga sudah tertulis dan sudah
ditakdirkan. Sebab, kita memiliki upaya, kita yang berbuat, dan kita
sendiri yang memilih.
Segala sesuatu terjadi dengan
takdir-Nya, sama saja apakah berupa ketaatan ataupun kemaksiatan. Namun,
maksiat yang terjadi pada kita itu adalah usaha kita dan amalan kita,
karenanya kita akan dihukum. Kita memiliki akal, keinginan, kemampuan,
dan amalan. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)
Dalam ayat yang lain,
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
kesalahan/ulah dirimu sendiri.” (an-Nisa: 79)
Takdir dan amal usaha tidaklah saling bertentangan. Takdir itu telah terdahulu dan Allah ‘azza wa jalla
memiliki hikmah yang tinggi dalam apa yang ditetapkan-Nya. Perbuatan
yang terjadi adalah amal usaha kita, seperti maksiat berupa zina, minum
khamr, meninggalkan shalat, berbuat durhaka, dan memutus hubungan rahim.
Semuanya kita yang berbuat, bukan siapa-siapa, sehingga kita pantas
mendapatkan hukuman karena sikap kita yang meremehkan. Kita sadar bahwa
kita bisa memilih tanpa paksaan dalam berbuat, sehingga perbuatan yang
ada pantas bila disandarkan kepada kita walaupun memang ilmu Allah ‘azza wa jalla, penulisan, dan ketetapan-Nya telah jauh mendahului.
Takdir tidak boleh menjadi alasan atas perbuatan tercela dan kemungkaran yang dilakukan seorang hamba. Allah ‘azza wa jalla
memiliki hikmah yang tinggi dalam apa yang telah lewat pada takdir-Nya,
ilmu, dan kitabah-Nya. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan kita dan sikap kita yang menggampangkan berbuat dosa. Kita
bisa disiksa karena perbuatan tersebut terkecuali bila Allah ‘azza wa jalla mengampuni.
Dengan demikian, Anda sekarang telah
mengetahui tidak adanya pertentangan antara kedua ayat yang ditanyakan.
Yang satu menunjukkan bahwa amalan itu merupakan hasil usaha kita,
sehingga kita pantas mendapatkan hukuman bila perbuatan yang dilakukan
bukan amalan yang salih. Semua itu adalah amalan kita dengan pilihan
kita sendiri.
Ayat yang lain menunjukkan musibah yang terjadi itu telah terdahulu dalam ilmu Allah ‘azza wa jalla, kitabah, dan takdir-Nya. Ada hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya,
“Sungguh, Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan takdir-takdir makhluk sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi 50 ribu tahun dan arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)
Allah Yang Maha Memiliki hikmah lagi
Maha Mengetahui, Dia mengetahui segala sesuatu, ilmu-Nya telah
mendahului segala sesuatu, dan Dia telah mencatat segala sesuatu. Dalam
satu ayat, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Tidak ada satu bencana pun yang
menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)
Penulisan takdir Allah ‘azza wa jalla
telah terdahulu, ilmu-Nya pun telah terdahulu, demikian pula
ketetapan-Nya. Amal kita dihitung untuk kita, disandarkan kepada kita,
dicatat untuk kita, karena amal tersebut adalah hasil usaha kita, yang
kita lakukan dengan pilihan kita, tanpa ada pemaksaan. Karena itu,
perbuatan kita yang baik, berupa ketaatan, macam-macam kebaikan dan
zikir, dibalas dengan balasan yang baik pula. Sebaliknya kita pantas
mendapatkan hukuman atas amalan buruk yang kita lakukan, apakah berupa
kedurhakaan, zina, mencuri, seluruh maksiat, dan perbuatan penyelisihan.
Wallahul musta’an. (hlm. 128-130)
[1] Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.

Allah ‘azza wa jalla Menghalangi Antara Seseorang & Kalbunya
Apa makna firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan ketahuilah sesungguhnya Allah menghalangi antara seseorang dan kalbunya.” (al-Anfal: 24)

Jawab [1]:
Makna ayat ini sesuai dengan zahirnya. Allah ‘azza wa jalla berbuat apa saja terhadap hamba-hamba-Nya. Ada yang diberi taufik dan dilapangkan kalbunya untuk menerima keimanan dan diberi hidayah kepada Islam. Terkadang ada yang Allah ‘azza wa jalla jadikan rasa berat dalam kalbunya dan sulit menerima agama Allah ‘azza wa jalla, yang jelas menjadi penghalang baginya untuk menerima Islam.
Allah ‘azza wa jalla memang menghalangi antara seseorang dan kalbunya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberikan petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya kepada Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.” (al-An’am: 125)
Allah ‘azza wa jalla lah yang berbuat sekehendaknya terhadap hamba-hamba- Nya sebagaimana yang diinginkan-Nya. Ada yang dilapangkan kalbunya menerima iman dan petunjuk. Ada pula yang tidak mendapatkan taufik. (hlm. 131)
Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.
“Dan ketahuilah sesungguhnya Allah menghalangi antara seseorang dan kalbunya.” (al-Anfal: 24)

Jawab [1]:
Makna ayat ini sesuai dengan zahirnya. Allah ‘azza wa jalla berbuat apa saja terhadap hamba-hamba-Nya. Ada yang diberi taufik dan dilapangkan kalbunya untuk menerima keimanan dan diberi hidayah kepada Islam. Terkadang ada yang Allah ‘azza wa jalla jadikan rasa berat dalam kalbunya dan sulit menerima agama Allah ‘azza wa jalla, yang jelas menjadi penghalang baginya untuk menerima Islam.
Allah ‘azza wa jalla memang menghalangi antara seseorang dan kalbunya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberikan petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya kepada Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.” (al-An’am: 125)
Allah ‘azza wa jalla lah yang berbuat sekehendaknya terhadap hamba-hamba- Nya sebagaimana yang diinginkan-Nya. Ada yang dilapangkan kalbunya menerima iman dan petunjuk. Ada pula yang tidak mendapatkan taufik. (hlm. 131)
Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.

Menghilangkan Pengaruh Sihir
Pertanyaan:
Saya seorang istri yang telah menikah sejak 17 tahun silam. Saya memiliki enam anak. Kehidupan bahagia dalam masa pernikahan ini hanya saya rasakan selama lima tahun awal, sedangkan sisanya saya jalani dengan perasaan benci terhadap suami. Saya tidak suka dia mempergauli saya sebagaimana pergaulan suami istri. Saya tidak sanggup tidur bersamanya. Saya menyangka apa yang saya alami ini karena pengaruh sihir. Saya pun pergi ke tukang sihir dan ‘orang pintar’ untuk melepaskan pengaruh sihir tersebut. Mereka memberi saya beberapa ramuan. Namun, saya tidak mendapatkan manfaat apa pun dan tidak lagi percaya dengan seorang pun dari mereka. Lalu saya pergi ke dokter jiwa, namun juga tidak ada perkembangan. Saya ingin suami saya dan tidak menginginkan seorang pun selainnya. Hampir-hampir rumah tangga saya mengalami kehancuran. Apabila seperti ini keadaan saya, apa yang harus saya lakukan? Barakallahu fikum.

Jawab:
Penyakit seperti yang Anda ceritakan yang terjadi waktu-waktu terakhir kehidupan pernikahan Anda, bisa jadi memang karena pengaruh sihir, karena ‘ain (penyakit karena pandangan mata hasad ataupun kagum), atau sebab penyakit lain. Anda tidak boleh mendatangi tukang sihir dan dukun untuk bertanya kepada mereka. Karena itu, kepergian Anda ke tukang sihir dan dukun adalah perkara yang tidak dibolehkan dalam agama ini. Anda telah berbuat kesalahan sehingga harus bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla. sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang mendatangi ‘arraf lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)
‘Arraf adalah orang yang mengaku-aku tahu urusan gaib dengan bantuan jin atau perantara lain yang tersembunyi atau samar. Bertanya kepadanya tentang yang demikian tidak boleh, demikian pula membenarkannya; berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapa yang mendatangi ‘arraf atau dukun, lalu membenarkan apa yang diucapkannya maka sungguh dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Untuk berobat, Anda bisa datang ke dokter yang dikenal tahu cara mengobati penyakit/masalah yang sedang Anda hadapi dengan memakai obat-obat yang memang diketahui sebagai obat, baik dengan suntikan, tablet/kapsul, atau yang lainnya.
Anda bisa pula berobat kepada seorang pembaca al-Qur’an atau wanita salehah yang bisa membacakan al-Qur’an untuk Anda (meruqyah). Apabila ada wanita yang bisa mengobati Anda, dia didahulukan daripada berobat kepada lelaki. Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla menghilangkan sakit/masalah Anda lewat bantuan si peruqyah. Kalau tidak ada wanita yang bisa meruqyah Anda, tidak apa-apa berobat kepada lelaki yang membacakan al-Qur’an untuk Anda tanpa khalwat (berdua-duaan dengan si peruqyah). Harus ada yang menemani Anda, apakah ibu, saudara lelaki, ayah, atau semisal mereka. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan kemanfaatan dengannya.
Adapun meruqyah sakit yang diderita bisa dengan membacakan surat al-Fatihah, ayat kursi, ayat penangkal sihir yang dikenali dalam surat al-A’raf, Yunus, Thaha, al-Kafirun, al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Nas. Surat-surat dan ayat-ayat tersebut dibacakan di air (yang diletakkan dalam wadah), setelahnya dibacakan doa, seperti
“Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah gangguan ini, sembuhkanlah, Engkau-lah Dzat Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.”
“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakiti/mengganggumu, dan dari kejelekan seluruh jiwa atau mata yang hasad, Allah akan menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.”
Doa-doa ini diulang sebanyak tiga kali. Doa ini tsabit (pasti kabarnya) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu sebagian air yang sudah diruqyah diminum oleh si penderita dan sisanya untuk mandi. Cara seperti ini sudah terbukti mujarab—dengan izin Allah ‘azza wa jalla—dalam pengobatan sihir.
Cara ini juga bisa untuk mengobati suami yang “tertahan” dari menggauli istrinya dan pengobatan ‘ain. ‘Ain juga diobati dengan cara ruqyah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada ruqyah (yang paling tampak pengaruh/manfaatnya) daripada ruqyah terhadap penyakit ‘ain atau hummah.”
Pengobatan bisa juga dilakukan dengan campuran air dengan tujuh lembar daun bidara hijau yang sudah ditumbuk/dihaluskan. Kami telah melakukan hal ini pada banyak orang dan Allah ‘azza wa jalla memberikan manfaat dengannya. Ulama telah menyebutkan cara pengobatan seperti ini, di antaranya ialah al-Allamah Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah, penulis kitab Fathul Majid, Syarhu Kitab at-Tauhid. Beliau menyebutkan hal ini dalam bab Ma Ja’a fi an-Nusyrah. Apabila Anda memiliki kitabnya, silakan melihat dan membacanya.
Anda tidak boleh bertanya atau meminta obat kepada tukang sihir, dukun, dan tukang ramal. Anda tidak boleh membenarkan omongan mereka. Bertanyalah kepada ulama yang sebenarnya dan para pembaca al-Qur’an yang dikenal dengan kebaikan. Mereka bisa membacakan untuk Anda bacaan-bacaan yang telah disebutkan. Anda bisa juga bertanya kepada wanita-wanita salihah dari kalangan pengajar/guru dan selain mereka yang dikenal dengan kebaikan hingga mereka bisa melakukannya pada Anda. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan anugerah berupa kesembuhan dengan sebab-sebab ini.
Di antara yang sepantasnya Anda amalkan adalah berdoa. Anda mohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar Dia menghilangkan apa yang menimpa Anda, karena Allah ‘azza wa jalla itu harus dimintai. Dia ‘azza wa jalla berfirman,
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi permintaan/doa kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdoa) kepada-Ku, akan Aku masukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Dia ‘azza wa jalla berfirman pula,
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, jawablah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi semua perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
Anda harus memohon kesembuhan hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Demikian pula suami Anda memohon kesembuhan Anda kepada Allah ‘azza wa jalla, karena seorang mukmin seharusnya mendoakan kebaikan untuk saudaranya. Demikian pula ayah dan ibu Anda. Doa adalah senjata orang yang beriman. Allah ‘azza wa jalla telah mejanjikan pengabulan doa, maka Anda harus berdoa dan bersungguhsungguh dalam berdoa. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan kesembuhan.
Saya nasihatkan pula kepada Anda agar meniup pada dua telapak tangan Anda yang dibentangkan (seperti posisi mengangkat tangan saat berdoa) ketika hendak tidur dan membaca al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, masing-masing 3 kali. Lalu Anda usapkan kedua telapak tangan tersebut ke kepala, wajah, dan dada (serta anggota tubuh yang lain yang dapat dijangkau) sebanyak 3 kali (pada setiap bacaan/tiupan). Cara ini juga termasuk sebab kesembuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengamalkannya. Di saat sakit2 beliau melakukannya ketika hendak tidur, sebagaimana berita yang sahih dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
(Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.)
Wallahu a’lam.
Saya seorang istri yang telah menikah sejak 17 tahun silam. Saya memiliki enam anak. Kehidupan bahagia dalam masa pernikahan ini hanya saya rasakan selama lima tahun awal, sedangkan sisanya saya jalani dengan perasaan benci terhadap suami. Saya tidak suka dia mempergauli saya sebagaimana pergaulan suami istri. Saya tidak sanggup tidur bersamanya. Saya menyangka apa yang saya alami ini karena pengaruh sihir. Saya pun pergi ke tukang sihir dan ‘orang pintar’ untuk melepaskan pengaruh sihir tersebut. Mereka memberi saya beberapa ramuan. Namun, saya tidak mendapatkan manfaat apa pun dan tidak lagi percaya dengan seorang pun dari mereka. Lalu saya pergi ke dokter jiwa, namun juga tidak ada perkembangan. Saya ingin suami saya dan tidak menginginkan seorang pun selainnya. Hampir-hampir rumah tangga saya mengalami kehancuran. Apabila seperti ini keadaan saya, apa yang harus saya lakukan? Barakallahu fikum.

Jawab:
Penyakit seperti yang Anda ceritakan yang terjadi waktu-waktu terakhir kehidupan pernikahan Anda, bisa jadi memang karena pengaruh sihir, karena ‘ain (penyakit karena pandangan mata hasad ataupun kagum), atau sebab penyakit lain. Anda tidak boleh mendatangi tukang sihir dan dukun untuk bertanya kepada mereka. Karena itu, kepergian Anda ke tukang sihir dan dukun adalah perkara yang tidak dibolehkan dalam agama ini. Anda telah berbuat kesalahan sehingga harus bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla. sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang mendatangi ‘arraf lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)
‘Arraf adalah orang yang mengaku-aku tahu urusan gaib dengan bantuan jin atau perantara lain yang tersembunyi atau samar. Bertanya kepadanya tentang yang demikian tidak boleh, demikian pula membenarkannya; berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapa yang mendatangi ‘arraf atau dukun, lalu membenarkan apa yang diucapkannya maka sungguh dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Untuk berobat, Anda bisa datang ke dokter yang dikenal tahu cara mengobati penyakit/masalah yang sedang Anda hadapi dengan memakai obat-obat yang memang diketahui sebagai obat, baik dengan suntikan, tablet/kapsul, atau yang lainnya.
Anda bisa pula berobat kepada seorang pembaca al-Qur’an atau wanita salehah yang bisa membacakan al-Qur’an untuk Anda (meruqyah). Apabila ada wanita yang bisa mengobati Anda, dia didahulukan daripada berobat kepada lelaki. Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla menghilangkan sakit/masalah Anda lewat bantuan si peruqyah. Kalau tidak ada wanita yang bisa meruqyah Anda, tidak apa-apa berobat kepada lelaki yang membacakan al-Qur’an untuk Anda tanpa khalwat (berdua-duaan dengan si peruqyah). Harus ada yang menemani Anda, apakah ibu, saudara lelaki, ayah, atau semisal mereka. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan kemanfaatan dengannya.
Adapun meruqyah sakit yang diderita bisa dengan membacakan surat al-Fatihah, ayat kursi, ayat penangkal sihir yang dikenali dalam surat al-A’raf, Yunus, Thaha, al-Kafirun, al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Nas. Surat-surat dan ayat-ayat tersebut dibacakan di air (yang diletakkan dalam wadah), setelahnya dibacakan doa, seperti
“Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah gangguan ini, sembuhkanlah, Engkau-lah Dzat Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.”
“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakiti/mengganggumu, dan dari kejelekan seluruh jiwa atau mata yang hasad, Allah akan menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.”
Doa-doa ini diulang sebanyak tiga kali. Doa ini tsabit (pasti kabarnya) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu sebagian air yang sudah diruqyah diminum oleh si penderita dan sisanya untuk mandi. Cara seperti ini sudah terbukti mujarab—dengan izin Allah ‘azza wa jalla—dalam pengobatan sihir.
Cara ini juga bisa untuk mengobati suami yang “tertahan” dari menggauli istrinya dan pengobatan ‘ain. ‘Ain juga diobati dengan cara ruqyah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak ada ruqyah (yang paling tampak pengaruh/manfaatnya) daripada ruqyah terhadap penyakit ‘ain atau hummah.”
Pengobatan bisa juga dilakukan dengan campuran air dengan tujuh lembar daun bidara hijau yang sudah ditumbuk/dihaluskan. Kami telah melakukan hal ini pada banyak orang dan Allah ‘azza wa jalla memberikan manfaat dengannya. Ulama telah menyebutkan cara pengobatan seperti ini, di antaranya ialah al-Allamah Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah, penulis kitab Fathul Majid, Syarhu Kitab at-Tauhid. Beliau menyebutkan hal ini dalam bab Ma Ja’a fi an-Nusyrah. Apabila Anda memiliki kitabnya, silakan melihat dan membacanya.
Anda tidak boleh bertanya atau meminta obat kepada tukang sihir, dukun, dan tukang ramal. Anda tidak boleh membenarkan omongan mereka. Bertanyalah kepada ulama yang sebenarnya dan para pembaca al-Qur’an yang dikenal dengan kebaikan. Mereka bisa membacakan untuk Anda bacaan-bacaan yang telah disebutkan. Anda bisa juga bertanya kepada wanita-wanita salihah dari kalangan pengajar/guru dan selain mereka yang dikenal dengan kebaikan hingga mereka bisa melakukannya pada Anda. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan anugerah berupa kesembuhan dengan sebab-sebab ini.
Di antara yang sepantasnya Anda amalkan adalah berdoa. Anda mohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar Dia menghilangkan apa yang menimpa Anda, karena Allah ‘azza wa jalla itu harus dimintai. Dia ‘azza wa jalla berfirman,
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi permintaan/doa kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdoa) kepada-Ku, akan Aku masukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Dia ‘azza wa jalla berfirman pula,
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, jawablah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi semua perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
Anda harus memohon kesembuhan hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Demikian pula suami Anda memohon kesembuhan Anda kepada Allah ‘azza wa jalla, karena seorang mukmin seharusnya mendoakan kebaikan untuk saudaranya. Demikian pula ayah dan ibu Anda. Doa adalah senjata orang yang beriman. Allah ‘azza wa jalla telah mejanjikan pengabulan doa, maka Anda harus berdoa dan bersungguhsungguh dalam berdoa. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan kesembuhan.
Saya nasihatkan pula kepada Anda agar meniup pada dua telapak tangan Anda yang dibentangkan (seperti posisi mengangkat tangan saat berdoa) ketika hendak tidur dan membaca al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, masing-masing 3 kali. Lalu Anda usapkan kedua telapak tangan tersebut ke kepala, wajah, dan dada (serta anggota tubuh yang lain yang dapat dijangkau) sebanyak 3 kali (pada setiap bacaan/tiupan). Cara ini juga termasuk sebab kesembuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengamalkannya. Di saat sakit2 beliau melakukannya ketika hendak tidur, sebagaimana berita yang sahih dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
(Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.)
Wallahu a’lam.

Untukmu Muslimah, Nasihat Penuh Hikmah dari ‘Alim Rabbani (2)
Wanita adalah bagian penting dari masyarakat manusia. Baiknya wanita akan membaikkan masyarakat dan sebaliknya. Bila wanita rusak, maka masyarakatnya pun akan menemui kehancuran. Karena itulah wanita harus terus beroleh bimbingan dan arahan sepanjang perjalanan kehidupan. Upaya ulama yang dahulu dan belakangan tidak kurang-kurang dalam hal ini, termasuk salah seorang alim rabbani yang walhamdulillah masih ada di tengah kita, Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan, semoga Allah ‘azza wa jalla memanjangkan umur beliau dalam kebaikan dan memberkahinya. Berikut ini kelanjutan dari wejangan beliau.
Islam mengharamkan terjadinya khalwat/bersepi-sepi
atau berduaannya lelaki dengan wanita yang bukan mahramnya. Sebab, hal
itu akan mendorong keduanya jatuh ke dalam perbuatan keji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,
“Hati-hati kalian dari masuk ke
tempat para wanita (ajnabiyah).” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana menurut Anda dengan alhamwu[1]?”
Rasulullah menjawb, “Al-Hamwu adalah maut.”( HR. al-Bukhari dan Muslim dari Uqbah ibnu Amir radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutnya dengan kematian karena bahayanya lebih besar. Mengapa
demikian? Karena karib kerabat suami dengan mudah keluar masuk ke rumah
kita tanpa ada pengingkaran. Berbeda halnya apabila yang keluar masuk
itu lelaki lain yang bukan kerabat.
Dengan demikian, kebiasaan membebaskan
saudara dan paman suami serta kerabat suami untuk berduaan, bersalaman,
dan berjabat tangan dengan istri adalah perbuatan yang batil dan
mungkar.
Yang diajarkan oleh syariat justru lelaki ajnabi tidak
boleh masuk ke dalam rumah yang di situ hanya ada seorang wanita, tidak
ada bersamanya orang lain yang bisa menghilangkan makna berkhalwat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah memperingatkan,
“Tidakkah seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita (ajnabiyah) terkecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. at-Tirmidzi dari Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu. Dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi.)
Termasuk khalwat yang
diharamkan yang terjadi di zaman kita ini adalah wanita bepergian dalam
mobil hanya berduaan dengan sopirnya yang duduk di belakang setir,
apakah si wanita diantar ke pasar, ke sekolah, ataupun untuk ibadah ke
masjid.
Khalwat yang diharamkan ini,
sama saja apakah yang terjadi di rumah, di dalam mobil atau di mana
saja, harus diperingatkan kepada para wanita muslimah secara khusus di
masa kita sekarang ini di mana banyak didapatkan wanita keluar dari
rumahnya untuk bekerja, untuk belanja, ziarah ke tempat karib
kerabatnya, atau kepentingan yang selainnya.
Wanita muslimah memang tidak sepantasnya
sering keluar rumah kecuali karena ada kebutuhan yang mengharuskannya
keluar rumah. Kalaupun dia keluar maka harus mengenakan hijabnya yang
sempurna dan tidak memakai wangi-wangian.
Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kepada wanita-wanita terbaik, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan qudwah hasanah dengan perintah berikut ini,
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (al-Ahzab: 33)
Tinggal di rumah akan lebih menjaga si
wanita. Sampai-sampai wanita lebih disenangi mengerjakan shalat di
rumahnya, tidak keluar ke masjid, padahal masjid merupakan rumah ibadah
dan tempat yang suci, tetapi keluar menujunya memperhadapkan si wanita
kepada keburukan. Karena itulah, shalatnya wanita di rumahnya lebih
utama daripada shalatnya di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah ‘azza wa jalla dari masjid-masjid Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu.)
Dalam riwayat Abu Dawud ada tambahan, “… namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan al-Misykat no. 1062.)
Maksudnya shalat mereka di rumah mereka
lebih baik daripada shalat di masjid. Kalaupun mereka hendak keluar ke
masjid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan,
“Akan tetapi hendaknya mereka keluar dalam keadaan nafilat.” (HR. Ahmad (2/438), Abu Dawud, dll., dinyatakan hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud.)
Nafilat maksudnya tidak berhias
dan tidak memakai wangi-wangian. Banyak wanita pada hari ini suka
keluar rumah tanpa ada kebutuhan kecuali sekadar jalan-jalan di pasar
dengan berdandan, harum semerbak, dan memamerkan kecantikan wajahnya.
Yang ngobrol bebas dengan lelaki, bergurau, dan tertawa. Entah
di mana rasa malumu, wahai wanita muslimah? Tidakkah Anda bertakwa
kepada Allah ‘azza wa jalla?
Bila wanita hendak keluar dari rumahnya,
dia harus mengenakan pakaian yang menutupi auratnya, lebar dan lapang,
tanpa ada hiasan padanya, tidak membentuk lekuk tubuhnya atau
menampakkan apa yang ada di balik pakaiannya.
Wanita muslimah hendaknya berhati-hati dari apa yang diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dua golongan dari penduduk neraka,
yang aku belum melihat keduanya (sekarang), yaitu satu kaum yang bersama
mereka ada cemeti seperti ekor-ekor sapi yang dengannya mereka memukul
manusia. (Yang kedua) para wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya
telanjang, mumilat, mailat[2].
Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan
masuk surga, dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga
didapatkan dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang,” maksudnya
mereka memakai pakaian namun tidak menutupi tubuh. Bisa jadi karena
pendeknya sehingga tubuhnya ada yang terbuka, atau pakaian itu panjang
namun tipis sehingga tidak menutupi apa yang ada di baliknya. Hal ini
bisa disaksikan di negeri-negeri yang tidak berpegang dengan adab Islam.
Ini merupakan kebiasaan jahiliah yang jauh dari bimbingan Islam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Janganlah kalian bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliah yang terdahulu.” (al-Ahzab: 33)
Tabarruj adalah wanita menampakkan perhiasannya di hadapan lelaki ajnabi. Yang dituntut dari wanita saat keluar rumah adalah tidak tabarruj, walaupun dia wanita yang sudah tua. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan wanita-wanita tua yang telah
terhenti dari haid dan mengandung (menopause) yang tidak ada lagi
keinginan untuk menikah, maka tidak ada dosa atas mereka untuk
menanggalkan pakaian luar mereka[3] tanpa bermasud tabarruj/ mempertontonkan perhiasan.” (an-Nur: 60)
Bila wanita tua yang sudah tidak memiliki keinginan untuk menikah saja dilarang bertabarruj,
lantas bagaimana halnya dengan wanita yang masih muda? Bagaimana pula
dengan wanita yang berparas rupawan, yang lelaki pasti tertarik bila
melihatnya? Bagaimana kiranya kalau wanita-wanita ini yang bertabarruj?
Karena itu, wanita yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla
dan berharap negeri akhirat hendaknya tidak bermudah-mudah dalam
masalah hijab dan bergampang-gampang mengenakan pakaian yang ada
hiasannya saat keluar rumah, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak
wanita pada hari ini. Demikian pula memakai wangi-wangian, bercampur
baur dengan lelaki, dan bersenda gurau dengan mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada istri-istri Nabi-Nya,
“Janganlah kalian melembutkan suara
ketika berbicara (dengan ajnabi) sehingga berkeinginan buruklah orang
yang di hatinya ada penyakit.” (al-Ahzab: 32)
Bila wanita terpaksa harus berbicara
dengan lelaki yang bukan mahramnya, hendaknya dia berkata dengan ucapan
yang biasa, tidak mendayu-dayu, dengan bergurau, dan tertawa.
Yang keluar dari lisannya hanya suara
yang datar, ucapan sebatas keperluan, baik bertanya maupun menjawab,
tidak bertele-tele, dengan suara yang dilemahlembutkan, berirama, dan
dimerdukan, hingga orang yang di hatinya ada penyakit syahwat punya
keinginan jelek padanya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
Wanita muslimah pada hari ini harus bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam urusan diri mereka dan urusan masyarakat mereka. Mereka wajib memberikan perhatian terhadap tarbiyah anak-anak mereka, putra ataupun putri, karena merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah ‘azza wa jalla untuk memberikan perhatian kepada anak-anak.
Mereka harus mendidik putri-putri mereka agar berakhlak mulia, beradab yang baik, menutup aurat, dan menjaga kehormatan diri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanyai tentang apa
yang dipimpinnya.”( HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Sebagaimana yang kita maklumi, dalam
syariat Islam ini selain ada perintah juga ada larangan. Termasuk
perkara yang dilarang oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengubah-ubah ciptaan Allah ‘azza wa jalla. Hal ini memang diinginkan oleh setan sebagaimana yang diikrarkannya di hadapan Rabbul ‘Alamin,
“Dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, lalu benar-benar mereka akan mengubahnya.” (an-Nisa:119)
Dalam tafsir ayat di atas disebutkan bahwa yang dimaukan dengan merubah ciptaan Allah ‘azza wa jalla di antaranya adalah perbuatan namsh[4], wasym[5], wasyr[6], dan washl[7].
Dalam hadits dinyatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
perempuan yang menyambung rambut dan perempuan yang minta disambungkan
rambutnya, serta melaknat perempuan yang membuat tato dan perempuan yang
minta dibuatkan tato.” (HR. al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma)
Alqamah rahimahullah berkata,
‘“Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu melaknat
perempuan yang mentato dan minta ditato, perempuan yang mencabut rambut
pada wajahnya (alisnya), perempuan yang minta dicabut rambut pada
wajahnya (alisnya), dan perempuan yang mengikir giginya[8] agar terlihat bagus; para perempuan yang mengubah ciptaan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu memberitakan bahwa wanita-wanita tersebut dilaknatnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat mereka yang melakukannya untuk dirinya sendiri dan mereka yang melakukannya terhadap wanita lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat wanita yang melakukan niyahah/meratapi mayat dengan ucapan ataupun perbuatan dan orang yang sengaja mendengarkannya[9]. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang berteriak-teriak ketika ditimpa musibah (shaliqah), merobek bajunya (syaqah), dan memotong rambutnya (haliqah) sebagai tanda berdukacita[10].
Perbuatan seperti ini termasuk dosa besar. Buktinya ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan azab yang akan diterima oleh wanita yang berbuat demikian, bila dia tidak bertobat. Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wanita yang melakukan niyahah bila
tidak bertobat sebelum matinya, akan dibangkitkan pada hari kiamat
dengan mengenakan gamis dari ter dan pakaian dari kudis.”( HR. Muslim dari Abu Malik al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu)
Dahulu orang-orang jahiliah ketika ada musibah kematian biasa mengupah wanita-wanita yang melakukan niyahah
ini. Yang seperti ini jelas keharamannya. Lalu, apakah tidak boleh
menangis saat ditimpa musibah? Jawabannya, boleh asalkan menangis biasa
tidak dengan suara keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menangis ketika mendapat musibah kematian dan beliau mengatakan,
“Ini adalah kasih sayang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan di kalbu para hamba-Nya.”( HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu)
Adapun berkeluh kesah, marah, menyesali, dan meratap, justru memudaratkan mayat di dalam kuburnya, sebagaimana dalam hadits,
“Mayat itu diazab di kuburnya karena niyahah yang dilakukan kepadanya.[11]”( HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu.)
Yang dituntut kala ada musibah justru sabar dan mengharapkan pahala. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang
beroleh shalawat dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk. (al-Baqarah: 155-157)
Sebagai akhir, kita simpulkan bahwa
wanita memiliki tanggung jawab dan tuntutan dalam kehidupan di dunia
ini. Dia diberi beban, diperintah, dilarang, diberi pahala, dan diberi
hukuman. Di pundaknya ada tanggung jawab yang besar. Tidaklah umat
terdahulu ataupun yang belakangan binasa kecuali karena sebab para
wanita secara umum (ketika mereka melanggar syariat).
Wanita menjadi perantara paling
berbahaya yang dimanfaatkan oleh setan untuk merusak umat manusia,
apabila ia tidak menjaga dirinya baik-baik dan tidak dijaga oleh
masyarakatnya. Pembicaraan tentang wanita sebenarnya masih panjang,
namun cukuplah apa yang telah kami sampaikan di sini.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil Ummu Ishaq al-Atsariyah dari kitab Muhadharat fil Aqidah wad Da’wah, 3/290-299, dengan ringkasan dan sedikit perubahan)
[1] Al-Laits ibnu Sa’d mengatakan al-hamwu adalah
saudara ipar/adik ataupun kakak laki-laki suami, dan yang serupa mereka
dari kalangan kerabat suami (yang bukan mahram istri) seperti sepupu
(anak paman suami) dan semisalnya. (Ucapan ini dibawakan al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya)
Adapun ayah-ayah suami dan anak-anak suami tidak termasuk di dalamnya sehingga mereka boleh berduaan dengan istri. (al-Minhaj, 14/378)
[2] Mailat maknanya wanita-wanita yang meninggalkan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan apa yang semestinya mereka jaga. Mumilat adalah mengajarkan orang lain perbuatan mereka yang tercela. Ada pula yang mengatakan makna mailat adalah wanita-wanita yang berjalan dengan congkak, mumilat adalah memiringkan/menggerak-gerakkan pundak mereka (ketika berjalan).
Makna yang lain, mailat adalah
wanita-wanita yang menyisir rambut mereka dengan model sisiran
miring/belah samping sebagaimana model sisiran wanita pelacur (pada
zaman dahulu, -ed.). Mumilat adalah wanita-wanita yang menyisiri orang lain dengan model sisiran demikian. (al-Minhaj, 14/336)
[3] Pakaian luar yang kalau dibuka tidak sampai menampakkan aurat.
[4] Namsh adalah
menghilangkan rambut pada wajah/alis apakah dengan gunting, dicukur
atau dengan cara apa pun yang dengannya bisa menghilangkan rambut
tersebut.
[5] Wasym adalah membuat tato.
[6] Wasyr adalah mengikir gigi agar terlihat bagus padahal sebenarnya tidak bermasalah, tidak ada cacat padanya, dan tidak ada penyakit.
[7] Washl adalah menyambung rambut dengan rambut palsu sehingga orang menyangka itu rambut aslinya.
[8]
Adapun memperbaiki gigi yang penampakannya buruk tidak apa-apa karena
termasuk pengobatan atau menghilangkan cacat, bukan untuk menambah
kecantikan.
[9] HR. Ahmad (3/65) dan Abu Dawud, dari hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu. Namun, hadits ini dinyatakan lemah sanadnya dalam Dhaif Abi Dawud.
[10] Dalam hadits disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaliqah, haliqah, dan syaqah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu)
[11] Tentang makna hadits ini ada beberapa pendapat, namun yang paling dekat kepada kebenaran ada dua:
Pertama: pendapat
jumhur ulama, yaitu hadits ini dibawa pemahamannya kepada orang yang
memang berpesan agar nantinya bila dia mati mayatnya diratapi. Atau dia
tidak berpesan kepada karib kerabatnya untuk tidak diratapi saat mati
padahal dia tahu kebiasaan manusia di tempatnya melakukan niyahah ketika
ada musibah kematian. Adapun bila dia sudah berpesan namun tetap
dilakukan niyahah maka dia tidak menanggung hukuman apa-apa.
Kedua: Makna diazab di
dalam kubur adalah dia merasa sakit mendengarkan tangisan keluarganya,
merasa kasihan dan sedih. Ini terjadi di alam barzakh, bukan pada hari
kiamat. Demikian pendapat yang dipegangi ath-Thabari dan selainnya.
Pendapat ini yang didukung oleh Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Ibnul
Qayyim. Kata al-Imam al-Albani, yang rajih/lebih kuat adalah pendapat
jumhur. (lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 41—42)
Posting Komentar