
Mengenal Ulama Dakwah Salafiyah
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Konsekuensi dari pilar kedua adalah
seorang salafi yang sesungguhnya harus mengenal para ulama dakwah
salafiyah, terutama yang dikenal kegigihannya membela manhaj salaf dan
kokoh keilmuannya dalam meruntuhkan paham hizbiyin ahli bid’ah.
Seorang salafi pasti mencintai, memuliakan, dan menghormati ulama dakwah salafiyah, serta menjadikan mereka sebagai marja’iyah (tempat rujukan) dalam segala persoalan. Ini sekaligus menjadi ciri dan tanda-tanda Ahlus Sunnah salafiyin.
Al-Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah
menyatakan, “Apabila engkau melihat seseorang mencintai Abu Hurairah,
Anas bin Malik, dan Usaid bin Hudhair g, ketahuilah bahwa dia adalah
Ahlus Sunnah, insya Allah.
Dan apabila engkau melihat seseorang
mencintai Ayyub bin ‘Aun, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Idris al- Audi,
asy-Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin Zurai’, Muadz bin Muadz, Wahb
bin Jarir, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas,
al-Auza’i, dan Zaidah bin Qudamah, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus
Sunnah.
Apabila engkau melihat seseorang
mencintai Ahmad bin Hanbal, al-Hajjaj bin Minhal, dan Ahmad bin Nashr,
menyebut mereka dengan kebaikan dan mengambil pendapat mereka,
ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah hlm. 117—118)
Al-Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah dalam kitabnya, Aqidah Salaf wa Ashhabil Hadits
(hlm. 112—113) menjabarkan, “Salah satu ciri Ahlus Sunnah adalah
mencintai imam-imam sunnah, ulama sunnah, pembela-pembela dan
pecinta-pecinta sunnah, serta membenci tokoh-tokoh bid’ah yang menyeru
kepada neraka dan menunjukkan para pengikutnya ke negeri kehancuran.
Allah ‘azza wa jalla telah menghiasi dan menyinari hati-hati Ahlus Sunnah dengan kecintaan kepada ulama sunnah sebagai bentuk keutamaan dari-Nya ‘azza wa jalla.”
Dengan sanadnya, beliau meriwayatkan dari Abu Raja Qutaibah bin Sa’id dalam Kitab al-Iman karya
beliau, disebutkan di bagian akhirnya, “Apabila engkau melihat
seseorang mencintai Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-Auza’i,
Syu’bah, Ibnul Mubarak, Abul Ahwash, Syarik, Waki’, Yahya bin Sa’id,
Abdurrahman bin Mahdi, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.”
Ahmad bin Salamah rahimahullah berkata, “Saya sertakan di bawahnya dengan tulisan tanganku: Yahya bin Yahya, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahawaih.”
Tatkala kami sampai pada pembahasan ini,
orang Naisabur memandang ke arah kami seraya berkata, ‘Kaum itu fanatik
kepada Yahya bin Yahya.’
Kami pun bertanya kepadanya (Qutaibah), ‘Wahai Abu Raja, siapa Yahya bin Yahya?’
Beliau menjawab, ‘Seorang lelaki saleh,
imam kaum muslimin, Ishaq bin Rahawaih juga imam, sedangkan Ahmad bin
Hanbal menurutku adalah orang yang paling besar dari semua yang telah
aku sebutkan namanya.’
Saya (ash-Shabuni, -pen.) sertakan pula dengan tokoh-tokoh yang telah disebutkan Qutaibah rahimahullah (nama-nama berikut) yang barang siapa mencintai mereka berarti dia adalah Ahlus Sunnah.
Mereka adalah tokoh-tokoh ahli hadits
yang dijadikan suri teladan oleh orang-orang yang dimasukkan dalam
kelompok (ahli hadits), pengikut dan pembela mereka, dan banyak orang
yang didapati meniti jejak langkah mereka. Di antara tokoh-tokoh itu
adalah:
- Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muthallibi, sang imam yang dikedepankan, tokoh yang diagungkan, orang yang sangat besar jasanya untuk pemeluk Islam dan Ahlus Sunnah, orang yang diberi taufik, ilham, dan diluruskan langkahnya, orang yang berbuat pada agama Allah ‘azza wa jalla dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk pembelaan dan pertolongan yang tidak bisa diperbuat oleh seorang pun dari ulama masanya dan ulama setelahnya.
- Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah orang-orang yang sebelum masa asy-Syafi’i, seperti Said bin Jubair, az-Zuhri, asy-Sya’bi, dan at-Taimi,
- Dan tokoh-tokoh setelah mereka, seperti Laits bin Sa’ad al-Mishri, al-Auza’i, ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah al-Hilali, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Ayyub as-Sikhtiyani, Ibnu ‘Aun, dan yang semisal mereka.
- Dan tokoh-tokoh setelah mereka seperti, Yazid bin Harun al-Wasithi, Abdur Razzaq bin Hammam ash-Shan’ani, dan Jarir bin Abdul Hamid adh-Dhabbi.
- Dan tokoh-tokoh setelah mereka, seperti Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Abu Dawud as-Sijistani, Abu Zur’ah ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi dan putranya (yaitu Abdur Rahman, -pen.), Muhammad bin Muslim bin Warah ar-Razi, Muhammad bin Aslam ath-Thusi, Abu Said Utsman bin Said ad-Darimiy as-Sijzi, al-Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah an-Naisaburi—yang dikenal dengan sebutan ‘imamnya para imam’ dan sungguh beliau adalah imamnya para imam pada masanya—, Abu Ya’qub Ishaq bin Ismail al-Busti, al-Hasan bin Sufyan al-Fasawi, kakekku dari pihak kedua orang tuaku, yaitu Abu Said Yahya bin Manshur az-Zahid al-Harawi, Abu Hatim Adi bin Hamdawaih ash-Shabuni, dan kedua putranya, yaitu Saifus Sunnah Abu Abdillah ash-Shabuni dan Saifus Sunnah Abu Abdir Rahman ash-Shabuni.
- Dan tokoh-tokoh sunnah yang selain mereka yang gigih berpegang teguh dengannya, membelanya, mendakwahkannya, dan berwala di atasnya….”
Asy-Syaikh Abdullah bin Shalfiq al-Qasimi hafizhahullah dalam kitabnya, Sallus Suyuf Wal Asinnah ‘Ala Ahlil Hawa wa Ad’iyais Sunnah (hlm.
76—79) lebih jauh menguraikan tentang ulama sunnah, ulama dakwah
salafiyah, “… Seseorang yang mencermati sejarah umat Islam sejak
terbitnya fajar Islam, akan mengetahui dengan jelas bagaimana Allah ‘azza wa jalla sepeninggal Nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga agamanya dengan para ulama, ulama Ahlus Sunnah, ahlu hadits. Merekalah yang melakukan rihlah (perjalanan) dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatukannya dalam lembaranlembaran (karya tulis) dengan beragam metode, seperti kitab musnad, majma’,mushannaf, sunan, muwaththa’, serta kitab-kitab zawaid dan mu’jam.
Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan para pemalsu hadits dan tadlis para mudallisin.
Mereka memisahkan antara yang sahih dan yang dhaif. Mereka menyusun
kaidah-kaidah ilmu hadits untuk dapat memilah hadits-hadits yang
diterima dan yang ditolak. Mereka juga mengklasifikasi para rawi. Mereka
pun menulis (kitabkitab) tentang rawi-rawi tsiqah, rawi-rawi dhaif, dan para pemalsu hadits, lalu menukilkan penjelasan imam al-jarh wat ta’dil tentang
rawi-rawi tersebut. Bahkan, mereka mengklasifikasi riwayat-riwayat satu
orang rawi, (dijelaskan) mana yang dia riwayatkan dari penduduk Syam,
mana pula yang dia riwayatkan dari penduduk Irak dan penduduk Hijaz,
atau yang dia riwayatkan sebelum pikun dan yang setelah pikun kalau
memang dia mengalami kepikunan. Demikian seterusnya….
Sungguh, orang yang mencermati ilmu
hadits ini, berbagai bidangnya, macam dan jenisnya, dan kitab-kitab yang
ditulis tentangnya, dia akan sangat tercengang dengan khidmat yang
begitu jauh yang dilakukan oleh ulama hadits terhadap hadits Nabi
mereka.
Mereka (ulama sunnah) pula yang tampil
menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah pada semua bab sekaligus
membantah ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang.
Ulama sunnah mentahdzir (memperingatkan umat) dari ahlul hawa wal bida’,
melarang bermajelis dan berbicara dengan mereka, tidak menjawab salam
mereka, bahkan tidak menikah/menikahkan (putrinya) dengan mereka, dalam
rangka menegur serta meredam mereka dan yang semisal mereka. (Ulama
sunnah) juga menulis kitab-kitab bantahan yang sangat banyak….”
Mereka (ulama sunnah) juga yang tampil mengumpulkan hadits dan atsar dalam tafsir al-Qur’an, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir ash-Shan’ani, dan Tafsir an-Nasai. Di antara mereka juga ada yang menafsirkan al-Qur’an secara sempurna, seperti Tafsir ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lainnya.
Selain itu, mereka pun menyusun
kaidah-kaidah dan ushul tentang tafsir al-Qur’an al-Karim sekaligus
memilah antara tafsir dengan atsar dan tafsir dengan ra’yu (akal).
Merekalah juga yang menulis karyakarya
dalam bidang fikih. Mereka menulis semua babnya, membahas
masalahmasalahnya, menjelaskan hukum syar’i amali dengan dalil-dalilnya
yang rinci dari al-Kitab, sunnah, ijma’, dan qiyas. Mereka menyusun
kaidah-kaidah fikih yang mengumpulkan berbagai cabang permasalahan yang
disatukan oleh sebuah illat (sebab hukum).
Mereka juga menyusun ushul fikih, yaitu kaidah-kaidah untuk mengambil istinbath hukum-hukum syar’i. Tidak lupa, mereka juga menulis karya yang sangat banyak dalam bidang ini.
Mereka pula yang menulis tentang sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq, lughah, nahwu, dan beragam bidang ilmu.
Ulama adalah pewaris nabi. Para nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi hanya mewariskan ilmu.
Sungguh, para ulama sunnah telah mengambil bagian yang sangat banyak
dari ilmu tersebut. Mereka mengumpulkan ilmu tersebut, menjelaskan agama
kepada umat, dan membela sunnah serta akidah umat.
Ulama tersebut semisal Ahmad bin Hanbal,
ad-Darimi, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Malik
bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, Ali bin al-Madini, Yahya bin Said al-
Qaththan, asy-Syafi’i, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu
Khuzaimah, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnu Mandah,
al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, al-Khallal, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Ibnu
Abdil Barr, al-Khatib al-Baghdadi, dan banyak lagi selain mereka.
Begitu pula ulama yang berjalan di atas
manhaj mereka, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya
semisal Ibnul Qayyim, adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil Hadi. Merekalah para
ulama yang telah menulis karya ilmiah yang berharga dan sangat banyak.
Mereka membela akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, menerangkan agama yang
sahih dengan dalil-dalil yang tegas dan bukti-bukti yang cukup. Para
pencari ilmu senantiasa mengambil fikih (pemahaman) dari karya-karya
ilmiah mereka dan berdalil dengannya. Bahkan, di berbagai perguruan
tinggi Islam, karya-karya di atas dijadikan sebagai kurikulum resmi
untuk para mahasiswanya.
Begitu pula ulama yang berjalan di atas manhaj mereka, seperti mujaddid
(pembaru) dakwah tauhid, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab,
putra-putranya dan murid-muridnya dari kalangan ulama Najd dan ulama
dunia Islam yang sejalan dengan mereka, semisal asy-Syaukani,
ash-Shan’ani, ulama India, ulama Mesir seperti Muhibbuddin al-Khatib
Ahmad Syakir, Muhammad Hamid al-Faqi, ulama Sudan, ulama Maroko
al-‘Arabi, dan ulama Syam yang tampil menyebarkan hadits dan akidah
salafiyah di negerinya dan membelanya.
Mereka semua (ulama sunnah), walhamdulillah, terus tegak di atas manhaj ini. Inilah pembenaran yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersabda,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang tampil hingga datang urusan Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan mereka tampil (di atas kebenaran).” (al-Fath, 13/293)
Dalam riwayat yang lain,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرَةً عَلَى الدِّينِ عَزِيزَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang tampil di atas agama lagi mulia hingga bangkit hari kiamat.” (al-Ibanah, 1/200)
Di antara ulama kita di masa
kini—sekadar contoh, bukan pembatasan—adalah asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz, mufti Saudi Arabia, asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin al-Albani, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh,
asy-Syaikh Shalih al-Atsram, dan para pembesar dari kalangan qadhi,
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan,
asy-Syaikh Abdullah al-Ghudayyan, asy-Syaikh Shalih al-Luhaidan,
asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri,
asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, asy-Syaikh Hammad al-Anshari,
asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jami,
asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin
Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Shalih as-Suhaimi, asy-Syaikh Shalih
al-Abud, dan ulama dunia Islam selain mereka.
Kami memohon kepada Allah ‘azza wa jalla, al-Hayyu al-Qayyum, agar menjaga mereka yang masih hidup dan merahmati yang telah wafat. Semoga Allah ‘azza wa jalla
menganugerahkan taufik kepada kami agar dapat meniti jejak langkah
mereka dan menggabungkan kami dengan mereka semua bersama Nabi dan
teladan kami, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga al-Firdaus al-A’la.
Saya sertakan pula dalam risalah ini
para ulama dakwah salafiyah masa ini yang dikenal keteguhan, kegigihan,
dan ketabahannya membela sunnah dan manhaj salaf, selain juga dikenal
tegas menyikapi hizbiyin yang menebar ragam syubhat, sabar, dan secara
ilmiah meruntuhkan syubhat mereka. Di antara mereka adalah:
- Al-Muhaddits Syaikh Muqbil Bin Hadiy al-Wadi’i Abu ‘Abdir Rahman rahimahullah . Beliau adalah seorang ahli hadits tersohor di negeri Yaman yang memiliki ribuan murid dari penjuru negeri, bahkan dari penjuru dunia Islam, bahkan dari negeri kafir, semisal Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Beliau adalah pendiri darul hadits di desanya, Dammaj, Provinsi Sha’dah, sekaligus tokoh dakwah salafiyah di negeri Yaman. Dakwahnya tersebar hampir ke pelosok dan bebukitan batu negeri Yaman, bahkan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-muridnya. Yaman yang dahulu gelap gulita dengan Syi’ah dan Sufi kini terang benderang dengan sunnah.
Keteguhan beliau bermanhaj dan membela
sunnah serta meruntuhkan “singgasana” ahli bid’ah menyebabkan beliau
disegani dan ditakuti musuhmusuh sunnah.
Kearifan, kelembutan, perhatian, dan
kasih sayang beliau kepada murid-muridnya dan salafiyin pada umumnya
menjadikan beliau sebagai sosok yang dikagumi, dimuliakan, dicontoh, dan
sudah dianggap sebagai “ayah” yang penyayang bagi dakwah salafiyah yang
mulia ini. Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati beliau dan menempatkannya di dalam surga Firdaus al-A’la.
- Di antara ulama dakwah salafiyah masa kini adalah Syaikh al-‘Allamah ‘Ubaid bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah
Beliau adalah sosok alim besar kota
Madinah, tokoh dakwah salafiyah yang masyhur dengan uraian-uraian yang
jelas, padat, singkat, dengan klasifikasi penggambaran masalah yang
menyeluruh dan tepat.
Orang yang duduk dengan beliau akan
merasakan nyaman, senang, dan betah walaupun masih seorang pemula dalam
mencari ilmu, bahkan awam sekalipun. Sebab, majelisnya penuh dengan
faedah-faedah ilmiah dan amaliah, diselingi oleh candaan ringan yang
menyegarkan suasana.
Beliau menjadi momok yang menghantui hizbiyin karena bantahan-bantahan beliau yang tegas dan ilmiah terhadap syubhat mereka.
Beliau bersama ulama dakwah salafiyah lainnya, semisal pembawa bendera al-jarh wat ta’dil masa ini al-’Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, dan Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari hafizhahullah, serta Samahatus Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah,
dan yang lainnya, tampil dengan gagah perkasa, gigih, dan tabah
menyuarakan al-haq di tengah-tengah gelombang penyimpangan dan kesesatan
yang sedang digelembungkan oleh hizbiyun dan para pengaku salaf.
Satu persatu fitnah yang dimunculkan dapat dipatahkan, diredam, dan dibantah oleh mereka, dengan taufik serta pertolongan Allah ‘azza wa jalla.
Dimulai dari fitnah ‘Adnan ‘Ar’ur, lalu Muhammad al-Maghrawi, kemudian
Abul Hasan al-Mishri al-Ma’ribi, diteruskan oleh fitnah al-Halabi, dan
disambung oleh gemuruh fitnah Hajawirah (pengikut Hajuri).
Fitnah-fitnah yang menerjang dakwah salafiyah ini, walhamdulillah, dihadapi oleh ulama besar dengan sabar, hikmah, tegar, tabah, dan kokoh, bagaikan gunung tinggi menjulang tak tergoyahkan.
Mereka dan ulama dakwah salafiyah lain
di seluruh penjuru dunia menjadi rujukan umat, terkhusus salafiyin dalam
segala problem yang ada.
Barang siapa mencintai, menghormati, dan
memuliakan mereka secara tulus dan syar’i, dia adalah Ahlus Sunnah.
Sebaliknya, siapa mencela, membenci, dan merendahkan mereka, berarti dia
adalah pengikut hawa nafsu. Wallahul Muwaffiq.
Ulama Salaf, Rujukan Umat
Secara syar’i, para ulama salaf, ulama dakwah salafiyah pada tiap generasi adalah tempat rujukan bagi umat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Maka bertanyalah kepada orang yang punya ilmu bila kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43 dan al-Anbiya: 7)
Mereka adalah tempat meminta fatwa,
bimbingan, dan arahan. Umat mengambil ilmu dan pemahaman agama dari
mereka. Di meja merekalah diletakkan semua persoalan dan problem umat.
Inilah pelajaran adab yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam firman-Nya,
“Dan apabila datang kepada mereka
suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya,
jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat
mengetahuinya dari mereka (rasul & ulil amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepadamu tentulah kamu mengikuti setan kecuali
sebagian kecil saja (di antaramu).” (an-Nisa’: 83)
Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullah menasihatkan dalam risalahnya, Mudawatun Nufus, sebagaimana dalam Majmu’ Rasail Ibnu
Hazm (hlm. 411), “Apabila engkau menghadiri majelis ilmu, engkau harus
hadir sebagai orang yang ingin menambah ilmu dan pahala, bukan orang
yang merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, orang yang mencari
ketergelinciran (alim) yang hendak engkau jelekkan atau keganjilan
(pendapat alim) yang hendak engkau sebar luaskan. Sebab, ini adalah
perbuatan orang-orang rendah, yang selamanya tidak akan beruntung, pada
seorang alim.”
Ibrahim bin Abi ‘Ablah rahimahullah menyatakan, “Barang siapa membawa ilmu-ilmu yang syadz (ganjil), dia telahmemikul kejelekan yang sangat banyak.” (Siyar ‘Alamin Nubala, 6/324)
Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah juga menegaskan, “Barang siapa mencari-cari rukhshah (keringanan) dari beragam mazhab dan ketergelinciran ahli ijtihad, berarti telah tipis/rapuh agamanya.” (as-Siyar 8/90)
Termasuk talbis (upaya pengaburan) yang
dilakukan hizbiyin adalah mereka berdalil dengan ucapan para ulama untuk
membenarkan kaidah-kaidah mereka yang batil.
Syaikhul Islam rahimahullah tatkala menjelaskan ahlu bid’ah berkata, “Mereka terkadang mendapati kalimat-kalimat mujmal (yang
global/tidak jelas) dari ucapan sebagian ulama, lalu mereka bawa pada
makna yang rusak. Ini seperti yang dilakukan oleh Nasrani tentang yang
dinukil kepada mereka dari para nabi, akhirnya mereka mengikuti yang
samar (mutasyabih).” (Majmu’ Fatawa 2/374)
Di antara trik yang dilakukan hizbiyin
dalam melegalkan dan menguatkan penyimpangan mereka adalah menggambarkan
kebenaran manhaj mereka yang menyimpang kepada alim yang tidak atau
kurang mengetahui keadaan mereka sesungguhnya. Setelah mendapatkan
tazkiyah atau ucapan-ucapan yang sekiranya memihak mereka dari alim
tersebut, mereka pun menggunakannya untuk menghadapi ulama yang tahu
keadaan mereka dan telah membongkar penyimpangan-penyimpangan mereka.
Dengan cara seperti ini, banyak kalangan muslimin bahkan salafiyin
tertipu oleh mereka.
Wallahul Musta’an wa ’alaihit tiklan.

Pilar-pilar Dakwah Salafiyah
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Dakwah salafiyah adalah dakwah Islam yang eksis sepanjang masa. Dimulai dari dakwah yang diemban oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada masanya hingga mencapai puncak kejayaan dan era keemasan. Jazirah
Arab dipenuhi oleh cahaya tauhid dan sunnah yang sebelumnya gelap dengan
beragam syirik dan bid’ah.
Dakwah salafiyah kemudian dilanjutkan
oleh para sahabatnya di era al-Khulafa ar-Rasyidin. Dakwah ini
berkembang dan tersebar luas di seantero jagat raya, membentang dari
timur ke barat, menaklukkan dua kekuatan kekufuran terbesar masa itu,
Romawi dan Persia.
Dakwah salafiyah terus menerangi bumi
dengan sunnah dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi. Sejarah
telah mencatat dengan tinta emas sepak terjang para ulama dakwah
salafiyah yang dengan sabar, tegar, tekun, dan bersungguh-sungguh
menyebarkan Islam dan sunnah melalui karya-karya besar mereka dalam
berbagai bidang ilmu agama. Dengan gagah berani mereka membela Islam dan
sunnah dengan jiwa raga, harta, dan benda melawan rongrongan kaum
kafir. Dengan kedalaman ilmu dan ketajaman argumentasi, mereka
meruntuhkan beragam paham sesat yang dikampanyekan oleh ahlul bid’ah dan
syubhat.
Dakwah salafiyah ini akan terus eksis,
tidak akan pernah sirna sepanjang masa selama masih ada ath-Thaifah
al-Manshurah, hingga generasi terakhir mereka nanti akan bergabung
dengan Nabi Isa ‘alaihissalam dan Imam Mahdi, berperang melawan
Dajjal dan pengikutnya. Satu hal yang menakjubkan—dan ini salah satu
bukti bahwa mereka di atas al-haq—adalah dakwah salafiyah sejak zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kelak di masa Imam Mahdi tidak pernah berubah manhaj dan akidahnya.
Sebab, dakwah salafiyah yang datang dari Allah ‘azza wa jalla dan diemban oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dibangun di atas pilar-pilar baku yang kokoh, tak goyah, apalagi berubah, sepanjang masa.
Pilar-pilar tersebut seolah menjadi keistimewaan dakwah salafiyah yang membedakannya dengan dakwah bid’ah yang ada.
Barang siapa berdakwah berdasarkan
pilar-pilar tersebut, dia akan lurus dan selamat. Sebaliknya, barang
siapa menyimpang darinya, dia akan tersesat.
Pilar Pertama: Berpegang Teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah
Allah ‘azza wa jalla memerintahkan segenap kaum muslimin kembali kepada pilar ini. . . . . . .
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai….” (Ali Imran: 103)
Tali Allah ‘azza wa jalla dalam ayat ini adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
“Dan bahwasanya ini adalah jalan-Ku
yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
yang lain karena akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….” (al-An’am: 153)
Dalam ayat ini disebutkan dua jalan:
- Jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim)
Ini adalah jalan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Jalan ini dipandu oleh bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah, berujung kepada jannah.
- Subul (jalan-jalan kecil lagi banyak) yang berseberangan dengan ash-shirathal mustaqim. Yang dimaksud dengan subul adalah jalan-jalan bid’ah dan syubhat, sebagaimana penafsiran Mujahid rahimahullah. Jalan ini dipandu oleh setan dari kalangan manusia, yaitu ahli bid’ah, berujung kepada neraka.
Kita diperintah mengikuti jalan yang
lurus, yang dijamin dengan persatuan dan keselamatan di dunia dari
perpecahan dan penyimpangan, serta keselamatan di akhirat dari api
neraka.
Dalam ayat yang lain, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah….” (al-Hasyr: 7)
“Perintah ini umum mencakup
prinsip-prinsip agama dan hukum-hukumnya, lahir dan batinnya. Apa saja
yang didatangkan oleh Rasul, maka semua hamba wajib mengambil dan
mengikutinya, haram menyelisihinya. (Ayat ini juga menunjukkan) bahwa nash Rasul dalam menghukumi sesuatu sama seperti nash Allah ‘azza wa jalla.
Tidak ada rukhshah (keringanan) dan alasan bagi siapa pun untuk
meninggalkannya. Tidak boleh pula ada pendapat yang didahulukan di atas
sabda (Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), siapa pun dia,” ulas asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya.
Dalam ayat yang lain, Allah ‘azza wa jalla menjamin keselamatan dari kesesatan dan kesengsaraan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk-Nya,
“Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Yang dimaksud dengan ‘petunjuk’ di sini adalah kitab suci dan Rasul.
Barang siapa mengikuti al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sunnah), ia diberi dua jaminan:
- Tidak tersesat ( فَلَا يَضِل ) baik di dunia maupun di akhirat.
Lafadz ini umum mencakup keselamatan dari semua jenis dan bentuk kesesatan.
- Tidak sengsara/celaka ( و لا يشقى ). baik di dunia maupun di akhirat.
Lafadz ini juga umum mencakup keselamatan dari segala bentuk kesengsaraan dan kecelakaan di dunia dan di akhirat.
Kedua jaminan di atas menunjukkan bahwa
orangnya terbimbing ke jalan yang lurus di dunia dan akhirat, serta
meraih kebahagiaan dan rasa aman di dunia dan akhirat. (Tafsir as-Sa’di)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menegaskan, mayoritas kesesatan yang ada ini terjadi pada seseorang
yang tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana
halnya al-Imam az-Zuhri rahimahullah berkata bahwa dahulu ulama kita menyatakan,
الْاِعْتِصَامُ بِالسَّنَّةِ هُوَ النَّجَاةُ
“Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.”
Al-Imam Malik rahimahullah juga berkata,
السُّنَّةُ كَسَفِينَةِ نُوحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، مَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ وَهَوَى
“Sunnah diumpamakan seperti kapal Nabi Nuh ‘alaihissalam. Siapa saja yang menaikinya, dia selamat; dan siapa saja yang tertinggal darinya, dia tenggelam dan jatuh.” (Majmu’ Fatawa 4/56—57)
Allah ‘azza wa jalla memerintahkan kaum muslimin kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkara dan masalah yang mereka perselisihkan.
“Jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, apabila kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)
Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bukti Cinta kepada Allah ‘azza wa jalla
Mengikuti sunnah adalah bukti kejujuran cinta kita kepada Allah ‘azza wa jalla dan sebab mendapat ampunan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benarbenar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian…’.” (Ali Imran: 31)
Cinta kepada Allah ‘azza wa jalla
tidak cukup semata pengakuan, tetapi harus ada pembuktian. Ayat di atas
menegaskan bahwa bukti kejujuran cinta seseorang kepada Allah ‘azza wa jalla
adalah mengikuti sunnah Rasul-Nya dalam semua hal, baik yang terkait
dengan prinsip-prinsip agama maupun hukum-hukumnya, secara lahir maupun
batin. Barang siapa mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala kondisi, ucapan, dan perbuatan; dia telah jujur dalam mencintai Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla pun mencintainya, mengampuni dosanya, merahmatinya, dan meluruskan langkahnya dalam semua tindak-tanduknya. (Tafsir as-Sa’di)
Allah ‘azza wa jalla menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah (teladan) yang wajib kita contoh dalam hal beragama dan dalam segala aspek kehidupan kita
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang
yang mengharap Allah dan hari akhir, dan dia banyak berzikir kepada
Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Ayat yang mulia ini adalah kaidah besar dalam mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perkataan, perbuatan, dan semua keadaannya,” kata Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini.
Dalam ayat yang lain Allah ‘azza wa jalla melarang kaum muslimin bertindak mendahului Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya,
“Wahai orang-orang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)
Ayat ini mengandung pelajaran adab kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengagungkan, menghormati, dan memuliakan beliau.
Dalam ayat yang lain, Allah ‘azza wa jalla
meniadakan keimanan dari siapa saja yang tidak mau kembali kepada hukum
sunnah atau merasa keberatan dengan ketetapan hukum sunnah. Bahkan,
Allah ‘azza wa jalla menguatkan masalah ini dengan sumpah,
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Bahkan, dalam beberapa ayat Allah ‘azza wa jalla mengecam dan mengancam dengan keras di dunia dan di akhirat siapa saja yang menyelisihi dan menentang sunnah.
“Maka hendaklah orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Lafadz أَمْرِهِ di sini maknanya adalah jalan yang ditempuh oleh Rasul: manhaj, metode, dan sunnah beliau.
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
“Dan barang siapa menentang Allah dan Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Musyaqqah (menentang) Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
meliputi semua bentuk penentangan, di antaranya menyelisihi sunnah,
mendustakan, menolak sebagian atau seluruh sunnah, mengingkari sebagian
atau seluruhnya, tidak mengamalkannya dan tidak bertahkim kepadanya,
serta meniti jalan selain jalan sunnah yang diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengikuti selain jalan kaum mukminin
meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menentang ijma’ sahabat dan
tidak mau kembali kepada pemahaman salaf. Tindakan ini diancam oleh
Allah ‘azza wa jalla dengan dua ancaman keras di dunia dan akhirat:
- Ancaman di dunia, yaitu نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى. Allah ‘azza wa jalla membiarkan dia bergelimang dalam penyimpangannya dan kesesatan yang dia pilih, tanpa dia sadari bahwa dirinya telah menyimpang.
“Tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) maka Allah pun memalingkan hati mereka….” (ash-Shaff: 5)
Oleh sebab itu, jarang ada ahli bid’ah
yang diberi taufik untuk bertobat dari ragam kebid’ahannya. Dia justru
akan semakin jauh dari kebenaran, terbenam dalam lumpur penyimpangan. Na’udzu billah min dzalik.
- Ancaman di akhirat yaitu dimasukkan ke dalam neraka jahannam. Sebab, siapa saja yang keluar dari petunjuk, maka dia tidak punya jalan selain menuju neraka.
Ini menjadi pertanda mengerikan bahwa
menentang Rasul dan menyelisihi jalan sahabat dapat mengantarkan
pelakunya kepada kekufuran. Kita memohon perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ancaman di atas ditujukan kepada
seseorang yang telah jelas baginya petunjuk dan ilmu, namun dengan
sengaja melakukan tindakan di atas. Adapun seseorang yang prinsip
dasarnya adalah ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla dan berupaya
keras mengikuti sunnah Rasul serta menetapi jalan para sahabat lantas
terjatuh dalam tindakan dosa dan penyimpangan, Allah ‘azza wa jalla tidak akan membiarkannya dalam dosa dan kesalahannya. Akan tetapi, Allah ‘azza wa jalla memberi dia taufik segera bertobat dari dosanya. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla akan menjaganya dan menyelamatkannya dari beragam kejelekan. (Tafsir as-Sa’di)
Al-Imam Abu Muhammad Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah dalam Syarhus Sunnah
(no. 69 hlm. 87) menyatakan, “Apabila engkau mendengar seseorang
menikam atsar, tidak menerimanya atau mengingkari sesuatu dari hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, curigailah
keislamannya. Sebab, dia adalah seseorang yang jelek pendapat dan
mazhabnya, karena dia hakikatnya menikam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kita mengenal Allah ‘azza wa jalla, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Qur’an, kebaikan, kejelekan, dunia dan akhirat hanyalah dengan atsar.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menegaskan, “Barang siapa menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia di tepi jurang kebinasaan.” (al-Ibanah al-Kubra 1/97, Ibnu Baththah)
Dari uraian panjang di atas, menjadi
jelas bahwa dakwah salafiyah adalah dakwah yang dibangun di atas
al-Qur’an dan as-Sunnah dalam semua sisi dakwahnya.
Dakwah salafiyah adalah dakwah yang
mengajak segenap umat manusia kembali kepada bimbingan al-Qur’an dan
as-Sunnah dalam berakidah, beribadah, bermuamalah, beradab dan berakhlak
mulia, dan beragama secara total.
Pilar Ke-2: Kembali kepada Pemahaman Salaf
Pilar kedua inilah yang membedakan
dakwah salafiyah dengan dakwah-dakwah lain yang berbaju Islam. Dakwah
salafiyah mengajak umat kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
pemahaman salafush shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in. Sementara itu, dakwah-dakwah lainnya mengaku mengajak umat
kepada al-Qur’an dan sunnah, namun dipahami sesuai dengan pemahaman
tokoh bid’ahnya atau AD/ART dakwahnya.
Ikhwanul Muslimin (IM) pada hakikatnya
mengajak umat kepada pemahaman Hasan al-Banna, Said Hawa, Sayyid Quthb,
dan tokoh-tokoh mereka lainnya.
Firqah Tabligh pada hakikatnya mengajak
umat kepada pemahaman Muhammad Ilyas dan kitab Fadhail A’mal yang memuat
banyak hadits palsu dan dhaif.
Sururiyah pada kenyataannya mengajak
umat kepada pemahaman dan gerakan hizbiyah yang dilancarkan oleh
Muhammad Surur Zaenal Abidin dengan Yayasan al-Muntada al-Islami serta
majalah al-Bayan dan as-Sunnah nya, selain juga pemikiran-pemikiran
Salman al-‘Audah, Safar Hawali, ‘Aidh al-Qarni, Nashir al-Umar, dan
kawan-kawannya.
Sururiyah juga mengajak umat untuk
berwala dan bara di atas yayasan-yayasan penyandang dana yang mereka
jadikan sebagai corong dakwah mereka. Sebut saja semisal Ihyaut Turats
Kuwait yang bencananya sudah mendunia, mencabik-cabik persatuan dakwah
salafiyah di seluruh dunia, menelan korban para da’i yang lemah manhaj
sehingga bergabung menjadi para pembela mereka.
Haddadiyah juga demikian, pada
hakikatnya mengajak semua pihak untuk fanatik kepada Abu Abdillah
al-Haddad dan istrinya, Ummu Abdillah, serta tokoh-tokoh paham
Haddadiyah lainnya, semisal Abdul Lathif Basymeel.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan, “Syiar sekte-sekte (sesat) ini adalah memisahkan diri dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’.” (Majmu’ Fatawa 3/346)
Beliau juga mengatakan, “Dengan
demikian, diketahui bahwa syiar ahli bid’ah adalah tidak mau kembali
kepada paham salaf. Oleh sebab itu, al-Imam Ahmad dalam Risalah Abdus
bin Malik berkata, ‘Prinsip-prinsip sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah)
adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam….” (Majmu’ Fatawa 4/155).
Al-Imam Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah menyatakan, “Syiar Ahlus Sunnah adalah mengukuti salafus shalih dan meninggalkan segala bentuk kebid’ahan.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/364)
Cukup banyak argumentasi yang disebutkan oleh para ulama tentang pilar kedua ini. Di antaranya:
- Doa yang dipanjatkan oleh setiap muslim dalam shalatnya tatkala membaca al-Fatihah,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Ash-Shirathal mustaqim adalah jalan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka….” (al-Fatihah: 7)
Dalam ayat yang lain, Allah ‘azza wa jalla menjelaskan siapa saja yang mendapatkan anugerah nikmat.
“Dan barang siapa menaati Allah dan
Rasulnya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh; mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.” (an-Nisa: 69)
Pihak yang paling berhak mendapatkan sifat shiddiqiyah, syahadah, dan kesalehan adalah salafus shalih.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya Madarijus Salikin (1/72—73) menjelaskan, “Setiap orang yang lebih mengenal dan mengikuti al-haq adalah orang yang lebih berhak dengan ash-shirathal mustaqim. Tidak ada keraguan lagi bahwasanya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebih berhak dengan kriteria ini daripada Rafidhah….”
Oleh karena itulah, para ulama salaf[1] menafsirkan ash-shirathal mustaqim dan pemeluknya sebagai “Abu Bakr, Umar, dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….”
Dengan uraian di atas, menjadi jelas
bahwa makna doa yang dipanjatkan oleh setiap orang yang membaca
al-Fatihah ini adalah memohon kepada Allah ‘azza wa jalla hidayah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Inilah hakikat ash-shirathal mustaqim dan puncak hidayah. Wallahul muwaffiq.
- Hadits yang mengabarkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan, semua diancam dengan neraka kecuali satu golongan yang selamat (al-Firqah an-Najiyah).
Pada riwayat yang lain dijelaskan tentang golongan yang selamat itu adalah
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Apa yang aku dan para sahabatku ada di atasnya.”
Lafadz di atas sangat tegas menunjukkan bahwa jalan keselamatan yang ditempuh al-Firqah an-Najiyah adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sunnah) dan para sahabatnya (pemahaman salafush shalih).
- Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hayatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu,
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي،
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Aku wasiatkan kalian agar bertakwa
kepada Allah k dan mendengar serta taat walaupun (dipimpin oleh) budak
Habasyah. Siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti
niscaya akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah
kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin
yang terbimbing sepeninggalku. Berpegang teguhlah dengannya dan
gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian….” (HR. Ahmad no. 41126 dll., hadits ini sahih dengan banyaknya penguat)
Al-Imam Abu Ishaq asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan, “Dalam hadits ini—sebagaimana yang engkau lihat—Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggandengkan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin dengan sunnah beliau. (Ini
menunjukkan) bahwa termasuk mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti
sunnah mereka.” (al-I’tisham 1/104)
Selain itu, hadits di atas tegas
menunjukkan bahwa sebab keselamatan dari berbagai perpecahan,
perselisihan, dan penyimpangan bid’ah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah berpegang teguh dengan sunnah dan kembali kepada pemahaman salafush shalih.
Lafadz عَلَيْكُمْ juga menjadi dalil
yang menunjukkan kewajiban berpegang teguh dengan sunnah dan kewajiban
kembali kepada pemahaman salaf. Kewajiban ini diperkuat oleh beberapa
hal, di antaranya:
- Perintah ini disebutkan dalam konteks wasiat yang menunjukkan perkara tersebut sangatlah urgen.
- Wasiat ini disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hayatnya.
- Perintah ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai solusi umatnya dari fenomena perpecahan yang ada.
- Beliau menegaskan perintah ini dengan sabdanya,
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian.”
- Keutamaan yang ada pada generasi salafush shalih, terutama sahabat, tercantum dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan penjelasan ulama.
Ini adalah sebuah keistimewaan yang
tidak dimiliki oleh siapa pun dan generasi mana pun, kecuali orang-orang
yang meniti jejak langkah mereka dengan baik.
Di antara keutamaan tersebut adalah:- Mendapatkan predikat ‘khairul ummah’ (umat terbaik).
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah….” (Ali Imran: 110)
Yang pertama kali mendapat pujian ini
adalah para sahabat. Sebab, mereka adalah muslimin generasi pertama dan
ayat ini turun di masa mereka. Termasuk di dalam ayat ini ialah siapa
saja yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh para sahabat.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan,
“Pendapat yang sahih adalah ayat ini umum pada tiap umat. Setiap
generasi sesuai dengan kondisinya masing-masing. Generasi yang terbaik
adalah generasi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah-tengah mereka (para sahabat), kemudian generasi setelahnya, lalu yang berikutnya….”- Salafus shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in adalah tiga generasi terbaik umat ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik orang adalah generasiku (sahabat), kemudian yang setelahnya (tabi’in), lalu yang berikutnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533/212 dari Abdullah bin Mas’ud z)
Terbaik yang dimaksud di sini bersifat umum, meliputi iman, amal, dan pemahaman agamanya.- Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Orang-orang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar,
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ‘azza wa jalla
ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah ‘azza wa jalla, dan
Allah ‘azza wa jalla menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Ayat ini tegas menjelaskan keutamaan dan pujian Allah ‘azza wa jalla terhadap sahabat Muhajirin dan Anshar dari beberapa sisi:
- Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Ini jelas menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla meridhai iman, akidah, manhaj, ibadah, amalan, dan pemahaman mereka dalam beragama.
- Allah ‘azza wa jalla telah menjamin mereka dengan surga yang abadi.
- Mereka adalah orang-orang yang meraih kemenangan besar di dunia dan akhirat dengan keutamaan yang Allah ‘azza wa jalla berikan kepada mereka.
Keutamaan di atas dianugerahkan kepada
para sahabat, dan telah berlalu masanya. Adapun orang-orang yang tidak
termasuk sahabat Nabi, mereka hanya dapat meraih keutamaan di atas
dengan sebuah persyaratan yang sangat prinsip, yaitu,
وَ الذِّينَ اْتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
“Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”- Keutamaan khusus yang dimiliki oleh para sahabat.
Allah ‘azza wa jalla telah memilih mereka untuk menemani dan membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berkata, “Barang siapa di antara kalian yang hendak mengikuti sunnah
(jalan hidup), hendaklah mengikuti sunnah orang yang telah mati (Rasul
dan para sahabat). Sebab, orang yang masih hidup belum aman dari fitnah
(godaan).
Merekalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang yang paling afdal pada umat ini, yang terbaik hatinya, yang
paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit memberat-beratkan diri.
Mereka adalah suatu kaum yang Allah ‘azza wa jalla
pilih untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka dari itu,
ketahuilah keutamaan mereka. Ikutilah jejak langkah mereka. Berpegang
teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian. Sebab, mereka
adalah orang-orang yang di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, 2/97, Ibnu Abdil Barr)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,
“Kekhususan ini tidak ditetapkan untuk siapa pun selain para sahabat,
walau amalannya lebih banyak daripada amalan salah seorang sahabat.” (Majmu’ Fatawa 4/465)- Para sahabat adalah pintu yang mengamankan umat dari beragam fitnah dan kesesatan.
Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2531) meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا
ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ، وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ
لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
“Aku adalah pengaman bagi para
sahabatku. Apabila aku pergi (wafat), akan datang kepada sahabatku apa
yang dijanjikan. Dan para sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila
mereka telah pergi, akan datang kepada umatku apa yang dijanjikan….”
“Para sahabat sebagai pengaman bagi umat Islam dari munculnya bid’ah,
aneka peristiwa dalam agama, berbagai fitnah pada agama, terbitnya
tanduk setan, penguasaan Romawi dan yang lainnya atas muslimin,
kehormatan Madinah dan Makkah yang ternodai, dan lain-lainnya. Ini semua
adalah mukjizat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarah an-Nawawi terhadap hadits ini)- Manhaj salaf senantiasa dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla.
Firman Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Adz-Dzikr adalah al-Qur’an.
Di antara konsekuensi pasti terjaganya al-Qur’an adalah terjaganya sunnah, karena sunnah adalah penjelas isi al-Qur’an.
Di antara konsekuensi pasti terjaganya al-Qur’an dan as-Sunnah adalah
terjaganya pemahaman dan manhaj salaf, karena al-Qur’an dan as-Sunnah
harus dipahami dengan pemahaman mereka.- Ijma’ (kesepakatan) sahabat adalah hujah yang baku.
- Amalan (meliputi ucapan dan perbuatan) seorang sahabat adalah hujah, selama tidak bertentangan dengan al- Qur’an dan as-Sunnah serta tidak ada sahabat yang lain yang menyelisihinya.
Apabila ada khilaf, yang sesuai dengan
dalil adalah pendapat rajih (kuat) yang diamalkan. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama, di antaranya Abu Hanifah, Malik, pendapat yang masyhur
dari Ahmad, dan salah satu pendapat asy-Syafi’i. (Majmu’ Fatawa 20/14)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya, A’lamul Muwaqqi’in, bahkan menyebutkan 46 sisi argumentasi yang menegaskan bahwa amalan sahabat adalah hujah.- Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah panjang lebar menjelaskan dan kemudian menyimpulkan, “Ilmu yang paling afdal tentang tafsir al-Qur’an dan makna hadits serta pembicaraan tentang halal dan haram adalah apa yang ma’tsur (diriwayatkan) dari sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in hingga sampai pada masa imam-imam (ulama) Islam yang tersohor yang dijadikan teladan, seperti yang telah kita sebutkan namanya.” (Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘Ala Khalaf 41)
Beliau rahimahullah juga
menegaskan (hlm. 45), “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu yang ada
adalah menghafal nash-nash al-Qur’an dan sunnah, memahami maknanya dan
terkait dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in, dalam memahami makna al-Qur’an dan hadits.”
[1] Yang menafsirkan ash-shirathal mustaqim dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar adalah Abul Aliyah dan al-Hasan al-Bashri. Lihat Tafsir ath-Thabari.

Mengenal Dakwah Salafiyah
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Makna Salaf
Kata ‘salaf’ ( سلف ) sesungguhnya adalah lafadz Qur’ani dan lafadz nabawi, bukan lafadz baru yang muncul di era belakangan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Maka kami jadikan mereka sebagai salaf dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (az-Zukhruf: 56)
Maksudnya, sebagai salaf (pendahulu) untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang yang datang setelah mereka.
Al-Imam al-Bukhari (no. 6285—6286) dan Muslim (2450/98) rahimahumallah meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Fathimah radhiallahu ‘anha berkata bahwa ketika memberitakan tentang ajalnya yang sudah dekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati putrinya,
فَاتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Maka bertakwalah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla dan bersabarlah sesungguhnya sebaik-baik ‘salaf’ bagimu adalah aku.”
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim menjelaskan, “Salaf adalah yang mendahului. Makna (hadits) ini adalah aku mendahului di depanmu, nanti engkau akan menyusulku.”
Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti berlalu/terdahulu. (al-Mishbahul Munir hlm. 285) Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab (6/330) menjelaskan, “Kata السلف والسليف والسلفة adalah sekelompok orang yang mendahului.”
Salaf bisa juga diartikan orang yang mati mendahului orang lain, baik orang tua, nenek moyangnya, maupun kerabatnya. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits 2/390)
Adapun ‘salaf’ menurut istilah syariat memiliki dua makna dari sudut pandang yang berbeda, namun kembali kepada satu pengertian.
- Makna ‘salaf’ secara waktu.
Mereka adalah generasi terdahulu umat
ini. Yang dimaksud adalah generasi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in, tiga generasi pertama umat ini yang tersebut dalam hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka.” (HR. al-Bukhari no. 2651 dan Muslim no. 2535 dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu)[1]
- Makna ‘salaf’ secara manhaj/metodologi.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah (2/240) pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 6149 disebutkan bahwa salaf adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari kalangan sahabat g dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka hingga hari kiamat….
Jadi, makna ‘salaf’ secara metodologi
tidak terbatas waktu pada tiga generasi pertama umat ini, tetapi masuk
di dalamnya siapa saja yang meniti manhaj dan jejak langkah para sahabat
dari masa ke masa hingga akhir masa dan dari generasi ke generasi
hingga akhir generasi.
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya Hukmul Intima Ilal Firaq (hlm.
46—47) menjelaskan, ‘Apabila lafadz ini (salaf) disebutkan secara
mutlak, yang dimaksud adalah setiap orang yang meneladani para sahabat
walaupun di masa kini…’.”
Ucapan para ulama semuanya demikian.
Jadi, lafadz ini adalah penisbatan yang tidak memiliki tanda/atribut
yang keluar dari kandungan al- Kitab dan as-Sunnah. Selain itu, lafadz
ini adalah penisbatan yang sekejap pun tidak akan terpisah dari generasi
awal. Bahkan, lafadz ini dari mereka dan kembali kepada mereka….”
Sementara itu, kata السلفية adalah nisbat kepada سلف. Maknanya adalah mengikuti thariqah (jalan yang ditempuh) oleh salaf ash-shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam beragama secara lahir dan batin, yaitu berpegang teguh dengan kitab dan sunnah. (Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab as-Salafiyah hlm. 195 dengan penambahan dan perubahan)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Salafiyah adalah berjalan di atas manhaj salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, serta generasi-generasi yang utama dalam hal akidah, pemahaman, dan suluk. Setiap muslim wajib menempuh manhaj ini.…” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 103—104)
Adapun “mazhab salaf“ dijelaskan maknanya oleh al-Imam as-Safarini rahimahullah, “Yang dimaksud mazhab salaf adalah apa yang ada di atasnya para sahabat yang mulia radhiallahu ‘anhum,
tokoh-tokoh tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, para pengikut
mereka, dan para imam agama (ulama) yang dipersaksikan keimamannya,
dikenali keagungan martabat mereka dalam agama, diakui oleh generasi
setelahnya, bukan orang yang tertuduh dengan suatu (paham) bid’ah atau
masyhur dengan gelar yang tidak diridhai, semisal Khawarij, Rafidhah,
Qadariyah, Murji’ah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah, dan
yang semisalnya.” (Lawami’ul Anwar 1/20)
Asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri menjelaskan tentang manhaj salaf, “Mengikuti (ittiba’) semua yang datang dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang teguh dengannya secara ucapan dan amalan. Inilah manhaj salafi dan thariqah salafi, metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Ushul wa Qawaid fil Manhaj as-Salafi hlm. 7)
Dakwah salafiyah adalah dakwah Islam
yang sahih, yang dibangun di atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
pemahaman salafus shalih.
Al-Muhaddits al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Prinsip-prinsip dakwah salafiyah, seperti yang telah diketahui oleh semua pihak, berdiri di atas tiga tonggak:
- Al-Qur’anul Karim
- As-Sunnah yang sahihah.
Salafiyun di seluruh dunia fokus pada
sisi ini, yaitu sunnah yang sahihah. Sebab, dengan kesepakatan ulama,
sunnah telah disisipi sesuatu yang bukan darinya sejak sepuluh abad
silam….
- Inilah yang membedakan dakwah salafiyah dengan dakwah-dakwah yang lain yang ada di permukaan bumi. Dakwah salafiyah berbeda karena tonggak ketiga ini, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah wajib dipahami dengan manhaj salaf as-shalih dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, yakni tiga generasi yang dipersaksikan kebaikannya oleh hadits yang banyak dan ma’ruf.
Poin ini yang sering kita bicarakan
dalam banyak kesempatan. Telah kita sertakan pula argumentasi yang cukup
sehingga kita dapat memastikan bahwa siapa saja yang ingin memahami
Islam dari al-Kitab dan as-Sunnah tanpa tonggak ketiga ini, sungguh dia
akan mendatangkan Islam yang baru (baca: bid’ah, –pen.)….” (As’ilah Haula ad-Da’wah as-Salafiyah hlm. 22)
Salafiyyun, bentuk jamak dari
kalimat سلفي (salafi), adalah setiap orang yang berpegang teguh dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah (2/243
soal ke-2 dari fatwa no. 1361) disebutkan, “Salafiyun adalah bentuk
jamak dari salafi, nisbat kepada salaf yang telah berlalu penjelasan
maknanya. Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj salaf,
yaitu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah, mendakwahkan dan
mengamalkannya. Dengan demikian, mereka pun menjadi Ahlus Sunnah wal
Jamaah.”
Samahatul ‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya salaf adalah orang-orang yang ada pada
generasi-generasi utama. Siapa saja yang meniti langkah mereka dan
berjalan di atas manhaj mereka, dia adalah salafi. Siapa saja yang
menyelisihi mereka pada prinsip tersebut, dia termasuk khalaf.” (Ta’liq
asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri atas al-Aqidah Hamawiyah hlm. 203)
Ahli hadits negeri Yaman, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah,
menyatakan, “Yang terpenting adalah terealisasinya nama yang mulia ini
pada orang yang menisbatkan diri kepadanya. Jadi, dia tidak boleh
menjadi seorang pengikut demokrasi, Sufi, atau Syi’ah. Sebab, salafi dan
sunni, dua nama yang sama, disematkan pada setiap orang yang berpegang
teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pemahaman salafus shalih. Atas dasar itu, kedua nama di atas tidak bisa disematkan pada hizbiyin atau ahli bid’ah.
“Bukanlah menurut angan-anganmu yang
kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab barang siapa
yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi balasan dengan kejahatan
itu.” (an-Nisa: 123) (Muqaddimah Irsyadul Bariyah hlm. 78)
Salafiyyun juga dikenal dengan sejumlah nama, semuanya kembali kepada satu manhaj.
- Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dinamakan Ahlus Sunnah karena mereka
mengamalkan sunnah dan teguh menetapi sunnah. Disebut ahlul jamaah
karena mereka bersatu, tidak berpecah belah. Manhaj mereka satu, yaitu
al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka bersatu di atas al-haq dan pada satu
pemimpin. Demikian uraian asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. (al-Ajwibah al-Mufidah, hlm. 127)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan definisi Ahlus Sunnah, “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan apa yang disepakati oleh generasi pertama (umat ini) dari kalangan
Muhajirin dan Anshar; serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik.” (Majmu’ Fatawa 3/375)
- Al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).
Nama ini diambil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tatkala memberitakan perpecahan yang terjadi pada umatnya. Beliau
menyebutkan bahwa yang selamat hanya satu. Maka dari itu, golongan ini
dikenal dengan sebutan al-Firqah an-Najiyah (kelompok yang selamat). Najiyah (selamat)
maknanya selamat di dunia dari beragam bid’ah dan selamat di akhirat
dari api neraka. Demikian penjelasan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarah ‘Aqidah al-Wasithiyah (hlm. 31 cet. Maktabah Thabariyah).
Dalam beberapa riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kriteria al-Firqah an- Najiyah, di antaranya:
- Al-Jamaah, dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma riwayat Abu Dawud dll. Lihat Silsilah Shahihah 204.
- Apa-apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di atasnya. Ini diambil dari hadits Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma riwayat at-Tirmidzi (no. 2650) dll. Lihat Shahihul Jami’ 5343.
- As-Sawad al-A’zham (jumlah mayoritas pada masa nabi). Ini diambil dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dll, riwayat al-Ajurri dalam asy- Syariah 29. Lihat Silsilah Shahihah pada penjelasan hadits no. 204.
Semua lafadz di atas maknanya satu, demikian penjelasan al-Imam al-Ajurri rahimahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Apabila sifat al-Firqah an-Najiyah adalah mengikuti para sahabat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah syiar Ahlus Sunnah, berarti al-Firqah an-Najiyah adalah Ahlus Sunnah.” (Minhajus Sunnah 3/457)
Dalam Majmu’ Fatawa (3/345) beliau mengatakan, “Oleh sebab itu, (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyebut al-Firqah an-Najiyah sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah dan merekalah al-Jumhur al-Akbar dan as-Sawadul A’zham.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang al-firqah an-najiyah, dan beliau menjawab, “Mereka adalah salafiyun dan setiap orang yang berjalan di atas metode salafus shalih, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (al-Firqah an-Najiyah, Muhammad Jamil Zainu)
- Ath-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang ditolong).
Nama ini juga diambil dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي مَنْصُورِينَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّىتَقُومَ السَّاعَةُ.
“Akan senantiasa ada suatu kelompok
dari umatku yang ditolong. Tidak membahayakan mereka orang yang
merendahkan mereka, hingga (menjelang) bangkit kiamat.” (HR. Ahmad 4/436, dll., dari Qurrah bin Iyas al-Muzani radhiallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Shahihah no. 403)
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Apabila mereka bukan ahlul hadits, aku tidak tahu siapa mereka?!”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud oleh (al-Imam) Ahmad adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan yang meyakini akidah ahli hadits.” (Syarah Muslim lin-Nawawi 13/66—67)
Termasuk pemahaman aneh yang dimunculkan oleh Salman al-Audah—salah satu gembong Sururiyah—adalah membedakan antara al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah, lantas memasukkan sekte-sekte tak dikenal ke dalam barisan al-Firqah an-Najiyah sekaligus menyifati ahlul hadits dengan kriteria-kriteria yang mengeluarkan mereka dari al-Firqah an-Najiyah.
Pemahaman aneh ini—bihamdillah wa ‘inayatih— telah diuraikan penyimpangannya oleh pembawa bendera al-jarh wat ta’dil masa
ini, al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali. Beliau bawakan
penjelasan 45 ulama terdahulu hingga sekarang yang menyatakan tidak ada
perbedaan antara al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah. Semuanya satu, yaitu ahli hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, salafiyun. Lihat kitab beliau Ahlul Hadits Hum ath-Thaifah al-Manshurah an-Najiyah Hiwar Ma’a Salman al-Audah.
Fadhilatus Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah pernah ditanya tentang seseorang yang membedakan antara al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah. Beliau menjawab, “Pernyataan ini tidak benar, ath-Thaifah al-Manshurah adalah al-Firqah an-Najiyah—walillahil hamd. Tidak akan ditolong (manshurah) kecuali apabila dia selamat (najiyah). Sebaliknya, tidak mungkin selamat (najiyah) kecuali apabila dia ditolong (manshurah).
Kedua sifat ini saling berkaitan untuk sesuatu yang sama. Pembedaan ini
bisa jadi dari seorang yang jahil (bodoh) atau dari seorang yang punya
tujuan jelek, yaitu membuat para pemuda muslim ragu tentang ath-Thaifah al-Manshurah an-Najiyah.” (Ajwibah Mufidah hlm. 73—74)
Perlu dipahami, pada dasarnya kaum
muslimin yang di atas as-Sunnah tidak mempunyai nama dan gelar khusus
selain muslimin, mukminin, dan hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla. Tanda pengenal mereka hanyalah Islam dan sunnah. Tidak ada atribut lain yang keluar dari kandungan Islam dan sunnah.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (4/130) meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dari al-Harits al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, di dalamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ سَمَّاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Maka panggillah kaum muslimin dengan nama-nama mereka, nama yang Allah ‘azza wa jalla berikan kepada mereka: al-Muslimun, al-Mukminun, hamba-hamba Allah.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini.” (al-Hajj: 78)
Al-Imam Malik rahimahullah
menyatakan, “Ahlus Sunnah tidak memiliki gelar (khusus) yang mereka
dikenal dengannya, bukan Jahmiyah, bukan pula Qadariyah atau Rafidhah.” (Tartibul Madarik al-Qadhi ‘Iyadh 172/1)
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang
yang berjalan di atas manhaj nubuwah. Sekejap pun mereka tidak pernah
terlepas darinya, baik dengan nama maupun simbol tertentu. Mereka tidak
memiliki seseorang untuk menisbatkan diri kepadanya selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang meniti jejak beliau.
Mereka juga tidak mempunyai simbol dan
manhaj selain manhaj nubuwah (al-Kitab dan as-Sunnah),” ujar asy-Syaikh
Bakr Abu Zaid dalam Hukmul Intima (hlm. 28).
Bahkan, para ulama mengecam siapa saja
yang terikat dengan nama-nama selain Islam dan sunnah atau dengan
seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata,
“Mu’awiyah berkata kapadaku, apakah engkau di atas millah (agama) ‘Ali?” Aku jawab, “Tidak, tidak pula di atas millah Utsman. Aku di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah 1/355)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma
juga berkata, “Barang siapa berikrar dengan salah satu nama dari
nama-nama yang baru (baca: bid’ah, pen.) ini, sungguh dia telah
melepaskan ikatan Islam dari lehernya.” (al-Ibanah as-Shughra hlm. 137, Ibnu Baththah)
Malik bin Mighwal rahimahullah
menyatakan, “Apabila ada seseorang yang bernama dengan selain Islam dan
sunnah, gabungkanlah ia dengan agama apa pun yang engkau kehendaki.” (al-Ibanah as-Shughra hlm. 137, Ibnu Batthah)
Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits, ahlul atsar, salafi/salafiyun, al-Firqah an-Najiyah, dan ath-Thaifah al-Manshurah dimunculkan oleh para ulama kita dengan menimbang beberapa hal.
- Munculnya ragam sekte sesat dalam kubu umat Islam yang semuanya mengaku sebagai muslimin dan mendakwahkan Islam.
- Terjadinya pengaburan tentang hakikat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tumbuh suburnya aneka paham menyimpang berwajah Islam.
- Upaya kelompok sesat tersebut untuk meruntuhkan pilar-pilar akidah Islam dan menebarkan opini di tengah kaum muslimin bahwa apa yang mereka dakwahkan adalah haq.
Nama-nama syar’i di atas dimunculkan dan disebarluaskan oleh para ulama dahulu hingga sekarang dengan tujuan:
- Menjelaskan kepada umat Islam hakikat Islam yang sahih sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang senantiasa istiqamah meniti jejak langkah beliau.
- Membedakan diri dari ragam kelompok sesat dengan aneka nama dan atribut yang mereka miliki sehingga umat Islam tahu siapa ahlul haq dan siapa pula ahlul batil.
Gelar-gelar yang mulia ini berbeda dengan gelar apa pun yang ada pada kelompok manapun dari beberapa sisi:
- Gelar-gelar tersebut adalah penisbatan yang tidak terpisah—sekejap pun—dari umat Islam semenjak terbentuk di atas manhaj nubuwah. Gelar-gelar ini meliputi seluruh kaum muslimin di atas jalan generasi pertama dan yang mengikuti mereka dalam hal menerima ilmu, cara memahaminya, dan mendakwahkannya.
- Gelar-gelar tersebut mencakup Islam secara keseluruhan: al-Kitab dan as-Sunnah, tidak khusus untuk sebuah metode yang bertentangan dengan kitab dan sunnah baik secara penambahan maupun pengurangan.
- Gelar-gelar tersebut di antaranya ada yang ditetapkan dengan sunnah shahihah, ada pula yang tidak ditampilkan kecuali untuk menghadapi manhaj ahlul bid’ah dan sekte-sekte sesat dalam rangka membantah bid’ah mereka, membedakan diri dari mereka, tidak tercampur dengan mereka, dan memutuskan hubungan dengan mereka.
Tatkala muncul bid’ah, mereka (Ahlus
Sunnah) membedakan diri dengan sunnah. Tatkala ra’yu (akal) dijadikan
hakim, mereka membedakan diri dengan hadits dan atsar.
- Ikatan wala dan bara, cinta dan benci di kalangan mereka (Ahlus sunnah) adalah di atas Islam, bukan yang lain. Tidak di atas sebuah simbol tertentu, tidak pula di atas simbol terbatas. Yang ada hanya al-Kitab dan sunnah.
- Gelar-gelar tersebut tidak mengundang mereka untuk fanatik kepada seseorang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Gelar-gelar tersebut tidak menjerumuskan kepada bid’ah, maksiat, atau pun fanatik kepada orang atau sekte tertentu.
Tatkala dikatakan “Ahlus Sunnah wal Jamaah” gelar ini akan mengandung/ merangkum semua keistimewaan di atas.
Demikian penjelasan panjang dari asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Hukmul Intima (hlm. 41—45).
Adapun gelar dan nama yang ada pada sekte-sekte sesat, ada beberapa sebab, di antaranya:
- Penisbatan kepada tokoh pencetus bid’ah[2] tersebut seperti:
- Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shafwan.
- Zaidiyah, nisbat kepada Zaid bin ‘Ali bin Husain.
- Asy’ariyyah, nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari pada periode ke-2 kehidupannya.[3]
- Gelar yang diambil dari asal-muasal bid’ah mereka. Contohnya:
- Rafidhah, dinamakan demikian karena mereka me-rafdh (meninggalkan) Zaid bin ‘Ali atau karena merafdh( menolak) kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma.
- Qadariyyah, dinamakan demikian karena mereka berbicara tentang takdir dan mengingkarinya.
- Murji’ah, karena mereka mengirja (menangguhkan/mengeluarkan) amalan dari iman.
- Disebabkan karena mereka keluar dari prinsip akidah Islam atau keluar dari ulama Islam. Contohnya:
- Khawarij, karena mereka khuruj (memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan penguasa-penguasa setelah beliau) dan karena khuruj dari prinsip akidah Islam, yaitu mendengar dan menaati penguasa muslim.
- Mu’tazilah, karena tokoh mereka, Wasil bin ‘Atha i’tizal (meninggalkan) majelis al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah.
Walhasil, dari penjabaran panjang ini
kita dapat memetik satu kesimpulan penting, yaitu salafiyah dan dakwah
salafiyah bukanlah agama baru. Ia bukan pula mazhab ke-5 seperti yang
dinyatakan oleh sebagian pihak. Ia bukan sekte sesat sebagaimana
kelompok-kelompok sesat lainnya, bukan pula ajaran dan pemahaman baru
yang dimunculkan oleh al-Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, atau
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi rahimahullah seperti yang diopinikan oleh Gerakan Anti Wahabiyah (GAW).
Salafiyah adalah Islam itu sendiri. Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf as-shalih yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau amalkan beserta para sahabatnya.
Al-‘Allamah Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah pernah dengan tegas menyatakan,
مُؤَسِّسُ الدَّعْوَةِ السَّلَفِيَّةِ هُوَ رَسُولُ اللهِ
“Perintis dakwah salafiyah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Burkan li Nasfi Jami’atil Iman, hlm. 36)
Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merintis dakwah yang mulia ini dengan wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Beliau pula yang menyampaikan dan menjalankannya.
“Salafiyah itu datangnya dari Allah ‘azza wa jalla, para nabi, dan rasul yang menyampaikan dari Allah ‘azza wa jalla syariat yang dikehendaki-Nya. Begitu pula para da’i kebenaran setelah mereka, menyampaikan sesuai dengan syariat ini….” (Ushul wa Qawaid fi Manhaj as-Salafi hlm. 6)
Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dailami al-Madani rahimahullah,
salah seorang ulama India, menyatakan, “Sesungguhnya telah tetap dengan
dalil-dalil yang pasti, jelas, dan gamblang, bahwa ahli hadits adalah
kelompok yang sudah lama ada sejak zaman kenabian. Generasi pertama
mereka adalah para sahabat.…” Kemudian beliau menyebutkan sepuluh bukti
dalam kitabnya, Tarikh Ahlil Hadits (hlm. 22—56).
Setelah ini semua, apakah ada seseorang
yang ragu atau tidak berani menisbatkan diri kepada salafiyah?! Tentu
saja bukan pengakuan semata, melainkan harus disertai dengan pembuktian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Tidak ada aib atas seseorang yang menampilkan mazhab salaf
dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan, hal itu wajib diterima menurut
kesepakatan (ulama). Sebab, mazhab salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmu’ Fatawa 4/149)
Asy-Syaikh al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang seseorang yang bernama dengan salafi dan atsari, apakah termasuk tazkiyah?”
Beliau menjawab, “Apabila dia jujur (benar) sebagai atsari atau salafi, tidak mengapa. Sebagaimana halnya dahulu salaf mengatakan, ‘Fulan salafi, Fulan atsari.’ Ini adalah tazkiyah yang harus, tazkiyah yang wajib!” (Ceramah dengan tema “Hak Muslim” di Thaif, lihat catatan kaki Ajwibah Mufidah hlm. 17)
“Wahai para pemuda Islam (secara khusus)
dan kaum muslimin (secara umum)! Sungguh, jangan sampai ada rasa berat
di hati Anda semua untuk menisbatkan diri kepada salafiyah. Angkatlah
kepala kalian dengan (salafiyah) ini! Suarakan kebenaran dengannya!
Jangan Anda merasa kecil hati karena celaan orang (ketika
memperjuangkannya)!” ujar asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri dalam kitabnya, Ushul Wa Qawaid fi Manhaj as-Salafi (hlm. 8).
Wallahul Muwaffiq.
[1] Adapun dengan lafadz خير الناس datang dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533/212).
[2] Atau yang mereka tokohkan, meski tokoh tersebut berlepas diri dari paham tersebut atau telah rujuk kepada kebenaran.
[3]
Semisal Sururiyah, nisbat kepada Muhammad Surur bin Nayif Zaenal
Abidin; atau Haddadiyah, nisbat kepada Abu Abdillah Mahmud al-Haddad
al-Mishri.

Apa Itu Salafiyah?
Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Pernahkah Anda mendengar nama asy-Syaikh Ubaid bin Abdullah bin Sulaiman al-Jabiri hafizhahullah?
Sosok ulama Ahlus Sunnah yang pernah berkunjung ke Indonesia dua tahun
silam. Penampilannya sederhana, namun memendam ilmu nan melimpah.
Alkisah, suatu pagi ada seseorang yang
menawarkan diri untuk membacakan kitab yang akan dikaji di majelis
asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah. Mendengar permohonan tersebut, beliau hafizhahullah menjawab, “Saya adalah orang yang diperintah.”
Beliau mengatakan demikian karena beliau
bukan orang yang memiliki kekuasaan untuk menentukan dan mengatur acara
kajian tersebut. Beliau adalah pihak yang diundang. Jadi, segala
sesuatu beliau serahkan kepada pihak penyelenggara. Demikianlah akhlak
dan adab yang bisa dipetik dari kehadiran seorang ulama Ahlus Sunnah.
Begitu tawadhu’. Begitu menghargai dan menghormati keberadaan pihak
lain.
Berinteraksi dengan ulama tak semata
meraih ilmu yang diajarkannya. Lebih dari itu, interaksi itu menjadi
media pembelajaran yang sangat berguna dari sisi bentuk amalan.
Seseorang akan langsung melihat contoh perilaku kebaikan pada diri ulama
tersebut.
Berinteraksi dengan ulama tak semata
belajar mengambil ilmu, namun mengambil pula nilai aplikatif ilmu yang
diajarkan. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bertutur,
كُنَّا لَا نَتَجَاوَزُ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ فَمِ رَسُولِ اللهِ حَتَّى نَتَعَلَّمَ مَعْنَاهَا وَالْعَمَلَ بِهَا. فَقَالَ :كُنَّا نَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ
“Kami mempelajari tak lebih dari sepuluh ayat dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami mempelajari makna ayat-ayat tersebut dan mengamalkannya.” “Kami mempelajari ilmu dan amal,” kata Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Demikian salafu ash-shalih mengajarkan
kepada kita. Sebab, sebagaimana disebutkan para ulama, sesungguhnya
buah dari ilmu adalah amal. Maka dari itu, ilmu tanpa amal bagaikan
pohon yang tiada berbuah. Karena itu, tak mengherankan apabila ada dari
kalangan salafu ash-shalih yang hidup bersama al-Imam Ahmad rahimahullah
sekadar mempelajari akhlak beliau. Tidak menulis hadits sekian tahun,
hanya mempelajari bagaimana al-Imam Ahmad berperilaku dalam keseharian.
Demikian pula yang dilakukan Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang menghabiskan waktunya sekitar 30 tahun hanya untuk mempelajari adab.
Demikian penting masalah aplikasi
nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang muslim.
Keislaman seseorang tak sekadar dinilai dari kepiawaiannya bercakap dan
memaparkan kajian. Sebab, Islam tak cukup semata dengan retorika.
Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah mengungkapkan bahwa Yahudi disebut maghdhub ‘alaihim (mereka
dimurkai) lantaran mereka tak mau mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
Sebaliknya, kaum Nasrani beramal, namun tidak dilandasi oleh ilmu.
Mereka beribadah didasari kejahilan dan kesesatan. (Ithafu al-‘Uqul bi asy-Syarhi ats-Tsalati al-Ushul, hlm. 10)
Allah ‘azza wa jalla berfirman.
“Mengapa kamu menyuruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri,
padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?” (Al-Baqarah: 44)
Firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Wahai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan.” (ash-Shaff: 2—3)
Kelekatan antara ilmu dan amal tiada
bisa dipisahkan. Keduanya bagai keping mata uang, tak bisa pupus salah
satunya. Ketiadaan salah satuya akan membawa konsekuensi yang amat berat
bagi seorang muslim. Ia bisa terjatuh menyerupai Yahudi atau Nasrani.
Semoga Allah ‘azza wa jalla melindungi dan menjaga kita semua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan bahwa kebaikan, kebahagiaan, kesalehan, dan kesempurnaan
disimpul dalam dua hal, yaitu pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang
saleh. (Majmu’ Fatawa 19/169. Lihat Ma Hiya as- Salafiyyah, asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari, hlm. 51).
Prinsip berilmu dan beramal adalah prinsip yang diajarkan oleh salafu ash-shalih. Siapakah salafu ash-shalih itu? Sebagaimana disebutkan oleh hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang setelahnya, kemudian orang-orang yang berikutnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha mengungkapkan,
أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ قَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ، ثُمَّ الثَّانِي، ثُمَّ الثَّالِثُ
“Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah manusia terbaik?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kurun di mana aku berada di dalamnya. Kemudian (generasi) yang kedua. Lantas (generasi) yang ketiga’.”
Arti Salaf
Salaf secara bahasa bermakna orang yang terdahulu. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
“Maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.” (az-Zukhruf: 56)
Al-Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya (7/218) menyebutkan bahwa kata as-salaf dalam
ayat di atas bermakna orang terdahulu dari kalangan bapak-bapak
(mereka). Maknanya, Kami jadikan mereka orang-orang yang terdahulu agar
bisa memberi pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.
“… dan (diharamkan) mengumpulkan
dalam pernikahan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau (terdahulu).” (an-Nisa’: 23)
Dalam sebuah hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara kepada putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha,
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarhu Shahih Muslim (16/7) bahwa as-salaf ialah orang yang terdahulu. Makna dari pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ialah aku adalah orang yang mendahuluimu. Maka dari itu, dalam urusan
agama lihatlah aku. Secara istilah, salaf bisa dilihat melalui firman
Allah ‘azza wa jalla,
“Orang-orang terdahulu lagi
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah:100)
Kemudian sebagaimana disebut dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang setelahnya, kemudian orang-orang yang berikutnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha diungkapkan,
أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ قَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ، ثُمَّ الثَّانِي، ثُمَّ الثَّالِثُ
“Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah manusia terbaik?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ’Kurun di mana aku berada di dalamnya. Kemudian (generasi) yang kedua. Lantas (generasi) yang ketiga.”
Dengan pemaparan di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud salafu ash-shalih adalah
orang-orang terdahulu yang saleh dari generasi utama (dalam hal) ilmu
dan iman, yaitu para sahabat dan dua generasi berikutnya. (Lihat Ma Hiya as-Salafiyyah, asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari, hlm. 11—15)
Beragama Mengikuti Tuntunan Salaf
Saat seorang muslim shalat, salah satu yang dibaca dalam shalatnya ialah surat al-Fatihah. Ia ucapkan,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah
menyebutkan dalam tafsirnya (1/75) dengan sanad yang hasan,
sesungguhnya Hamzah bin al-Mughirah berkata, “Aku bertanya kepada Abul
‘Aliyah tentang firman Allah ‘azza wa jalla,
‘Tunjukillah kami jalan yang lurus.’
Abul ‘Aliyah menjawab, ‘Itu adalah (jalan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabat sepeninggal beliau, Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma.’
Lantas, Hamzah bin al-Mughirah mendatangi (dan menyampaikan hal itu) kepada al-Hasan. Jawab al-Hasan, ‘Benar’.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)
setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah
dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam,
dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Wajib bagi kalian berpegang teguh
kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat
petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi gerahammu. Hendaklah
kalian berhatihati dari perkara yang diada-adakan dalam agama. Sebab,
sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya dari ‘Irbadh bin Sariyyah radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Dzammi at-Ta’wil (hlm.
7) menyebutkan, barang siapa suka menetap bersama salaf di akhirat dan
menempati kedudukan yang telah dijanjikan, yaitu surga, hendaklah
mengikuti mereka (salafu ash-shalih) dengan baik. Barang siapa mengikuti selain jalannya, berarti ia masuk dalam keumuman firman Allah ‘azza wa jalla di atas.”
Disebutkan lebih lanjut, “Telah ada perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah al-Khulafa (para pengganti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana halnya perintah untuk memegang teguh sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Telah dikabarkan pula bahwa mengada-adakan satu perkara dalam agama
adalah bid’ah dan kesesatan, sesuatu yang tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tak ada sunnah para sahabatnya.” (Lihat Ma Hiya as-Salafiyyah, hlm. 29—31)
Seorang muslim yang menginginkan keselamatan hendaklah mengikuti apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh salafu ash-shalih.
Sebab, banyak orang dan kelompok menawarkan pemahaman agama dengan
mengenakan baju Islam, tetapi bukan pemahaman agama yang lurus. Mereka
menawarkan pemahaman agama berdasar hawa nafsu mereka.
Di antara mereka ada yang berusaha
memahami agama hanya berdasar mengikuti orang yang ditokohkan. Sebagian
lagi menawarkan agama dalam rangka mengikuti tradisi semata, mengikuti
nenek moyangnya yang menyelisihi syariat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab,
‘(Tidak), kami mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang
kami.’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan
tidak mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 170)
Sebagian mereka mengemas agamanya dengan
warna akal. Segala sesuatu yang berasal dari agama mereka selaraskan
dengan akal. Sesuatu yang tak sesuai dengan akal ditolak, walaupun itu
berasal dari hadits yang sahih. Akal dijadikan sebagai sandaran untuk
menentukan sesuatu itu sah atau tidak. Padahal Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاهُ
“Seandainya agama itu dengan akal,
maka mengusap khuf (sepatu atau yang sejenis) lebih utama diusap bagian
bawah daripada (mengusap) bagian atasnya.” (HR. Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Terkait dengan hadits di atas, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan,
penetapan satu hukum dalam agama tidaklah dengan akal. Sebuah hukum
agama ditetapkan berlandaskan kepada syariat. Adapun akal tidak termasuk
dalam unsur yang digunakan untuk menetapkan sebuah hukum agama. (Tashil al-Ilmam, 1/159)
Karena itu, hendaklah seseorang senantiasa mengikuti tuntunan yang telah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sebagaimana disebutkan oleh firman Allah ‘azza wa jalla,
“Katakanlah, jika kamu mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni
dosadosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Mengikuti pemahaman salafu ash-shalih dalam
beragama menjadikan seorang muslim terbebas dari pemahaman yang
berdasar hawa nafsu. Ia akan mengamalkan agamanya sesuai dengan tuntunan
Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya dengan pemahaman yang
benar. Ia akan terjauhkan dari pengikut hawa nafsu dan kalangan ahlu
bid’ah, seperti kelompok sempalan Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, Islam
liberal, dan yang lainnya.
Adab Para Penyeru Dakwah Salafiyah
Di antara adab yang harus dijunjung tinggi oleh setiap da’i Ahlus Sunnah, selain memancangkan keikhlasan dan ittiba’ pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ialah memiliki semangat untuk menabur hidayah dan menyampaikan agama Allah ‘azza wa jalla
kepada segenap manusia. Seorang da’i hendaklah pula senantiasa
mengedepankan sikap lemah lembut. Sebab, tiadalah kelemahlembutan itu
ada pada sesuatu kecuali akan menjadikannya indah. Sebaliknya, apabila
kelemahlembutan itu tercerabut dari sesuatu, tiada lain akan
menjadikannya buruk.
Bagi yang berdakwah, bekalilah diri
dengan sikap hikmah, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Lalu sampaikanlah nasihat dalam bentuk memotivasi mengamalkan kebaikan
dan memberikan peringatan untuk menjauhi hal-hal yang dilarang oleh
Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Apabila harus berdiskusi,
hendaklah dengan cara yang baik. Demikian beberapa arahan dari
asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah. (Ithafu al-‘Uqul hlm. 12)
Dakwah salafiyah adalah dakwah yang
mulia. Dakwah yang menyeru manusia untuk senantiasa berjalan di atas
tauhid dan memberantas kesyirikan serta menjauhi para pelaku kesyirikan.
Dakwah yang senantiasa berupaya menghidupkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menjauhi bid’ah dan para pelakunya. Dakwah ini merujuk kepada
kalamullah dan Rasul-Nya, bukan merujuk pada pemikiran manusia, apalagi
bersikap taklid dan ta’ashub (fanatik buta) pada seseorang.
Namun, dalam dakwah ini, seorang muslim dididik untuk senantiasa
menghormati para ulama sebagai pewaris para nabi, yang menyampaikan
nilai-nilai kebenaran sesuai dengan pemahaman salafu ash-shalih.
Barang siapa meniti hidup ini dengan pemahaman agama yang benar, yang selaras dengan salafu ash-shalih,
ia telah menempuh jalan kebenaran. Ia menempuh jalan keselamatan.
Karena itu, orang-orang yang mengusung manhaj salaf ini disebut pula
dengan al-Firqatu an-Najiyah (kelompok yang selamat). Kata al-Imam Muhammad bin Muslim az-Zuhri rahimahullah,
الْاِعْتِصَامُ بِالسُّنَّةِ نَجَاةٌ
“Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.” (Dikeluarkan oleh ad-Darimi dalam as-Sunan 1/44 dengan sanad yang sahih. Lihat Ma Hiya as-Salafiyyah hlm. 61).
Allahu a’lam.

Surat Pembaca Edisi 98
Suami Ideal?
Bismillah. Selesai membaca tema suami ideal, masya Allah, terkhusus tulisan al-Ustadz Mukhtar, persis seperti masa ketika masih taraf pilih-pilih. Punya suami berjenggot dan berjubah. Betapa hati dan angan terbang melayang. Setelah tersadar, ternyata, “Ah teori, jauh api dari panggang.”
Inilah dunia yang memang tak pantas kita jadikan tujuan. Satu nasihat bagi ummahat yang belum berezeki suami ideal, tunaikan kewajibanmu, dan mintalah hakmu kepada Allah l, demi suami ideal dan sempurna di akhirat kelak. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
081329xxxxxx
Ayat atau Riwayat?
Bismillah, afwan pada majalah Asy Syariah edisi 95 hlm. 90 bahasan Masih Tentang Wanita Bekerja, tertulis Allah subhanahu wa ta’ala berfirman… tetapi setelah terjemahan sumbernya dari HR. Bukhari dan Muslim semestinya QS apa?
Abu Ridlo-Majalengka
085324xxxxxx
Koreksi
Bismillah, saya membaca Asy- Syariah edisi 97 pada hlm. 49 poin 9 tertulis, “Bahkan hukum hijrah ke negeri kafir bila seorang tidak bisa menampakkan syiar Islam di negeri tersebut.” Apakah ada kata yang kurang dari kalimat tersebut?
085797xxxxxx
Pemilu dan Demokrasi
Bismillah, mohon diangkat kembali pembahasan tentang kebobrokan sistem pemilu dan demokrasi (jual agama demi kursi), untuk mematahkan syubhat kaum hizbi di negeri ini.
Rohmadi-Banjarnegara
085328xxxxxx
Bahas Filsafat
Asy-Syariah bisa tidak kapan-kapan bahas tuntas tentang filsafat, atau jika sudah pernah edisi berapa ya?
085258xxxxxx
Bismillah. Selesai membaca tema suami ideal, masya Allah, terkhusus tulisan al-Ustadz Mukhtar, persis seperti masa ketika masih taraf pilih-pilih. Punya suami berjenggot dan berjubah. Betapa hati dan angan terbang melayang. Setelah tersadar, ternyata, “Ah teori, jauh api dari panggang.”
Inilah dunia yang memang tak pantas kita jadikan tujuan. Satu nasihat bagi ummahat yang belum berezeki suami ideal, tunaikan kewajibanmu, dan mintalah hakmu kepada Allah l, demi suami ideal dan sempurna di akhirat kelak. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
081329xxxxxx
Ayat atau Riwayat?
Bismillah, afwan pada majalah Asy Syariah edisi 95 hlm. 90 bahasan Masih Tentang Wanita Bekerja, tertulis Allah subhanahu wa ta’ala berfirman… tetapi setelah terjemahan sumbernya dari HR. Bukhari dan Muslim semestinya QS apa?
Abu Ridlo-Majalengka
085324xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Apa yang tertulis sebenarnya adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang dialog sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
dengan seorang wanita bernama Ummu Ya’qub. Di akhir dialog, Ibnu Mas’ud
kemudian mengutip surat al-Hasyr: 7 untuk membantah ucapan wanita
tersebut. Bisa jadi, ketiadaan sumber ayat, menjadikan sejumlah pembaca
rancu dalam memahaminya. Kami mohon maaf.
Koreksi
Bismillah, saya membaca Asy- Syariah edisi 97 pada hlm. 49 poin 9 tertulis, “Bahkan hukum hijrah ke negeri kafir bila seorang tidak bisa menampakkan syiar Islam di negeri tersebut.” Apakah ada kata yang kurang dari kalimat tersebut?
085797xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Anda benar, kalimat yang benar adalah
“Bahkan, haram hukum hijrah ke negeri kafir bila seorang tidak bisa
menampakkan syiar Islam di negeri tersebut.” Jawaban ini sekaligus
sebagai ralat.
Pemilu dan Demokrasi
Bismillah, mohon diangkat kembali pembahasan tentang kebobrokan sistem pemilu dan demokrasi (jual agama demi kursi), untuk mematahkan syubhat kaum hizbi di negeri ini.
Rohmadi-Banjarnegara
085328xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Jazakumullahu khairan atas masukan Anda.
Bahas Filsafat
Asy-Syariah bisa tidak kapan-kapan bahas tuntas tentang filsafat, atau jika sudah pernah edisi berapa ya?
085258xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Jazakumullahu khairan atas masukan Anda.

SALAFI: Tujuan atau Penyucian Diri?
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Dakwah salaf bukanlah ruang di dalam
sebuah bangunan bernama Islam. Akan tetapi, dakwah salaf adalah bangunan
itu sendiri. Peletak batu pertamanya adalah Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa sallam, bukan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sebagaimana sering dikicaukan oleh para penentang dakwah tauhid wa sunnah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
hanyalah mengembalikan gerbong Islam pada relnya, saat kereta bernama
Islam itu disesaki para penumpang gelap berwajah Islam, para pedagang
asongan sufi dan kuburanisme (baca: kesyirikan), para penjaja “makanan”
yang menaburi racun-racun Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan sebagainya
pada “jualan”-nya.
Apa yang beliau usung sejatinya adalah
gerakan pemurnian, kembali kepada ajaran yang dibawa Rasulullah n dan
generasi salaf (sahabat, tabi’in, dan seterusnya). Jadi, salafiyah dan
dakwah salaf bukanlah agama baru. Salafiyah adalah Islam itu sendiri.
Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman
salafush shalih yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa sallam dan beliau amalkan beserta para sahabatnya.
Ikatan wala dan bara, cinta dan benci di
kalangan Ahlus Sunnah adalah di atas Islam, bukan yang lain. Tidak di
atas sebuah simbol tertentu, tidak pula karena partai tertentu. Yang ada
hanya al-Kitab dan sunnah. Juga tidak mengundang mereka untuk fanatik
kepada orang tertentu selain Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa sallam.
Seseorang yang mengaku bermanhaj salaf
tidak akan membabi buta membela syaikhnya, karena semua ada
timbangannya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Di sisi lain, seorang
muslim juga tidak akan menghujat ulama hanya karena tidak sejalan
dengan“pemikiran”-nya yang hanya dibangun di atas fanatisme atau
semangat buta, tidak di atas dalil apa pun.
Seorang muslim bukanlah orang rendah
yang mau menukar agamanya dengan mi instan, mengaburkan manhajnya demi
dunia. Ahlus Sunnah lebih rela disebut tidak“cerdas”, namun tidak akan
rela melunturkan agamanya demi segepok dana yang tidak seberapa. Salafi
tidak akan memelintir agamanya demi dunia atau memelintir kata-kata di
dunia maya demi mengaburkan manhajnya. Juga jauh dari sikap
membenturbenturkan fatwa antarulama demi mendapat pembenaran atas
pemikirannya.
Saat sekte sesat dalam kubu umat Islam
kian menjamur, yang semua mengaku mendakwahkan Islam, serta menjadikan
hakikat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa sallam
kian kabur, tentu menjadi sikap yang tidak cerdas jika orang yang
mengaku Ahlus Sunnah justru merangkul pihak-pihak yang bermudah-mudah
terhadap kesesatan mereka.
Oleh karena itu, sudah semestinya kita
menisbatkan diri kepada manhaj salaf yang sebenarnya. Ia adalah stasiun
terakhir yang setiap muslim semestinya menuju ke sana. Tatkala muncul
bid’ah, Ahlus Sunnah membedakan diri dengan sunnah. Tatkala ra’yu (akal)
dijadikan hakim, Ahlus Sunnah membedakan diri dengan hadits dan atsar.
Istilah Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah, dan al-Firqatun
an-Najiyah sendiri dimunculkan dan disebarluaskan oleh para ulama dahulu
hingga sekarang untuk menjelaskan kepada umat Islam tentang hakikat
Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa sallam dan orang-orang yang senantiasa istiqamah meniti jejak langkah beliau.
Tinggal bagaimana kejujuran kita
terhadap penisbatan tersebut. Salafi bukanlah tazkiyah (penyucian),
melainkan sebuah upaya, tujuan dari keislaman kita. Semoga!
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Sifat-sifat Sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah ditanya, “Kabarkanlah kepada kami tentang sifat-sifat para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”
Beliau rahimahullah menangis lalu berkata,
“Tampak tanda-tanda kebaikan pada tampilan luar dan perilaku mereka. Terlihat pula petunjuk dan kejujuran mereka. Mereka berpakaian kasar karena sederhana. Cara berjalan mereka menunjukkan kerendahan hati. Ucapan mereka sesuai dengan amalan. Makanan dan minuman mereka berasal dari rezeki yang baik. Tampak pula ketundukan mereka dengan melakukan amalan ketaatan kepada Rabb mereka. Mereka patuh terhadap kebenaran, baik dalam hal yang mereka sukai maupun tidak. Mereka juga menunaikan hak orang lain yang ada pada mereka.
“Tampak tanda-tanda kebaikan pada tampilan luar dan perilaku mereka. Terlihat pula petunjuk dan kejujuran mereka. Mereka berpakaian kasar karena sederhana. Cara berjalan mereka menunjukkan kerendahan hati. Ucapan mereka sesuai dengan amalan. Makanan dan minuman mereka berasal dari rezeki yang baik. Tampak pula ketundukan mereka dengan melakukan amalan ketaatan kepada Rabb mereka. Mereka patuh terhadap kebenaran, baik dalam hal yang mereka sukai maupun tidak. Mereka juga menunaikan hak orang lain yang ada pada mereka.
Siang hari mereka lalui dalam keadaan haus (karena berpuasa). Tubuh mereka pun kurus.
Demi meraih ridha al-Khaliq, kemarahan
makhluk mereka anggap ringan. Kemarahan tidak menyebabkan mereka
melampaui batas. Kezaliman pun tidak membuat mereka sewenang-wenang
(membalas). Mereka tidak pernah melampaui batasan hukum Allah ‘azza wa jalla dalam al-Qur’an.
Mereka korbankan darah ketika Allah ‘azza wa jalla meminta mereka membela (agama-Nya, -red.). Mereka serahkan harta ketika Allah ‘azza wa jalla meminjamnya (yakni berinfak fi sabilillah, -red.). Mereka tidak terhalangi oleh rasa takut kepada para makhluk.
Akhlak mereka bagus. Bahan makanan
mereka dari kualitas yang rendah. Mereka merasa cukup dengan sedikit
dari dunia demi akhirat mereka.”
(Hilyatul Auliya 2/150, dan Tahdzib al-Hilyah 1/336, dari Mawa’izh
al-Hasan al-Bashri, hlm. 42—44)

Batasan Khalwat
Apakah yang disebut khalwat
hanyalah ketika seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita dalam
sebuah rumah, jauh dari pandangan manusia? Ataukah khalwat adalah di
mana saja seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita, walaupun di
hadapan pandangan manusia (yakni orang-orang bisa melihat mereka dan
apa yang mereka lakukan)?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’[1] memfatwakan, “Khalwat yang diharamkan secara syar’i tidak hanya sebatas seorang lelaki bersendiri dengan seorang wanita ajnabiyah (bukan mahram) di dalam rumah, jauh dari pandangan mata manusia. Khalwat mencakup
bersendirinya lelaki dengan wanita di suatu tempat, dalam keadaan si
wanita berbicara perlahan dengan si lelaki dan si lelaki pun berbicara
dengan berbisik-bisik, dan di antara keduanya berlangsung percakapan.
Walaupun orang-orang bisa melihat keduanya, namun mereka tidak mendengar
percakapan yang tengah berlangsung, sama saja apakah hal itu terjadi di
tempat yang terbuka, di dalam mobil, di teras rumah, atau di tempat
lainnya. Khalwat dilarang karena menjadi sarana dan perantara yang mengantarkan kepada zina.
Wa billahi at-taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.” (Fatwa no. 7584, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lilBuhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, 17/57)
PEREMPUAN MENOLONG LELAKI
Ketika berjalan di sebuah jalanan,
seorang muslimah melihat seorang lelaki yang terlempar di tengah jalan
karena kecelakaan dan membutuhkan pertolongan pertama sebelum datang
mobil ambulance. Di antara yang hadir di tempat kejadian, tidak ada yang
mengetahui cara memberikan pertolongan pertama kepada si korban selain
si muslimah. Apakah dibolehkan baginya memberikan pertolongan pertama
kepada si korban, ataukah dia berdosa apabila ia melakukannya karena
harus menyentuh tubuh si korban?
Jawab:
Apabila keadaannya benar-benar seperti
yang dinyatakan, si muslimah tidaklah berdosa memberikan pertolongan
kepada lelaki korban kecelakaan tersebut. Sebab, apa yang dilakukannya
termasuk ihsan/berbuat baik kepada sesama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orangorang yang berbuat baik.” (at-Taubah: 91)
Wa billahi at-taufiq. (Fatwa no. 10424, Fatawa al-Lajnah, 17/73)
PAKAIAN WANITA HARUS HITAM?
Apakah wanita harus mengenakan
pakaian berwarna hitam saat keluar rumah atau bisa memakai warna-warna
lain selama bukan warna-warna yang menyolok?
Jawab:
Memakai hijab/pakaian berwarna hitam
bagi wanita tidaklah diharuskan. Mereka boleh memakai warna-warna lain
yang memang warna khusus bagi wanita, dengan ketentuan tidak menarik
perhatian karena keindahannya dan tidak pula menimbulkan godaan. (Fatwa
no. 5363)
Al-Lajnah juga memberikan jawaban
terhadap pertanyaan senada, “Pakaian keluar wanita muslimah tidaklah
khusus warna hitam. Dia boleh memakai pakaian warna apa saja, dengan
syarat menutup aurat, tidak tasyabbuh (menyerupai) dengan lelaki, tidak
ketat hingga menggambarkan bentuk tubuhnya, dan tidak pula tipis
menerawang hingga tampak bagian tubuhnya dari balik pakaian, ditambah
lagi tidak menimbulkan fitnah (godaan syahwat).” (Fatwa no. 5089,
17/108)
WEWANGIAN UNTUK HILANGKAN BAU BADAN
Dalam hadits yang mulia disebutkan
larangan bagi wanita memakai wangi-wangian dan harum-haruman yang
semerbak (saat keluar rumah), khususnya (disebutkan dalam hadits) saat
keluar menuju ke masjid. Apakah dibolehkan wanita memakai wangi-wangian
untuk mengurangi aroma tidak sedap dari tubuhnya yang tidak bisa hilang
dengan sekedar memakai sabun?
Jawab:
Hukum asalnya, wanita tidak boleh
memakai minyak wangi yang menebarkan aroma semerbak ketika hendak keluar
dari rumahnya. Sama saja, apakah keluarnya menuju ke masjid atau selain
ke masjid. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوْا رِيْحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ وَكُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
“Wanita mana saja yang
memakai wangi-wangian, kemudian keluar (dari rumahnya) dan melewati
suatu kaum (lelaki) agar mereka mencium wanginya, maka wanita tersebut
adalah pezina, dan seluruh mata (yang memandang) itu adalah mata yang
berzina.” (HR. Ahmad [4/394], an-Nasa’i, dan al-Hakim dari Abu Musa radhiallahu ‘anhu)
Selain itu, sepanjang yang kami ketahui,
tidak ada bau pada tubuh yang tidak bisa dihilangkan dengan sabun
sehingga harus memakai wangi-wangian setelah membasuh tubuh. Di sisi
lain, wanita tidaklah dituntut untuk pergi ke masjid, justru shalatnya
di rumahnya lebih baik baginya daripada shalatnya di masjid.” (Fatwa no.
2036, 17/124—125)
PARFUM, CAT KUKU, & KUKU PANJANG
Apakah hal-hal berikut ini diharamkan oleh Islam: aroma wewangian, parfum, kuteks, dan memanjangkan kuku?
Jawab:
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
suka memakai wewangian. Bahkan, minyak wangi termasuk sesuatu yang
beliau cintai. Beliau sendiri mendorong umatnya memakai wangi-wangian
saat keluar shalat Jum’at. Jadi, memakai minyak wangi adalah perkara
yang disenangi bagi semuanya (lelaki dan wanita). Hanya saja, tidak
sepantasnya wanita memakai minyak wangi yang aromanya semerbak, nyata
tercium ketika dia keluar ke masjid atau ke pasar, karena adanya
larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, wanita boleh
memakai cat kuku, namun meninggalkannya lebih utama. Ia wajib
menghilangkannya ketika hendak berwudhu dan mandi janabah/mandi haid
karena cat kuku tersebut menghalangi tersampaikannya air ke kulit.
Ketiga, memanjangkan kuku tidak dibolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan memotong kuku dan menetapkan bagi kaum muslimin waktunya
tidak boleh lebih dari 40 malam untuk memotong kuku, menggunting kumis,
mencabut rambut ketiak, dan mencukur rambut kemaluan.” (Fatwa no. 3377,
17/126)
PISAH RUMAH DENGAN SUAMI
Saya seorang perempuan berusia 60
tahun dengan sembilan anak. Lima tahun lalu, terjadi masalah antara saya
dan suami saya hingga saya keluar dari tempat tinggal saya. Salah
seorang anak saya menyewa rumah lain untuk tempat tinggal saya. Saya pun
tinggal di rumah tersebut bersama anak-anak saya. Suami saya lalu
menikah lagi dengan perempuan lain dan memiliki beberapa anak darinya.
Saya tidak meminta dia menjatuhkan talak kepada saya. Dia pun tidak
berusaha membuat saya kembali ke rumahnya. Apakah saya berdosa apabila
hidup seperti itu, jauh dari rumah suami tanpa ada talak darinya? Apakah
aku berdosa apabila keluar untuk umrah tanpa izinnya? Atau dosa apakah
yang saya tanggung?
Jawab:
Apabila Anda yang salah, Anda berdosa
dan teranggap melakukan nusyuz terhadap suami Anda. Hendaknya Anda
bertobat dan meminta keridhaan suami Anda. Apabila suami Anda yang
salah, Anda tidak berdosa.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa al-Lajnah 19/391, pertanyaan ke-5 dari fatwa no. 18767)
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Abdul Aziz alu asy-Syaikh
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih al-Fauzan, Bakr bin Abdillah Abu Zaid
[1] 1 Saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau.

Mencintai Allah
Hidup di dunia hanyalah untuk beribadah menghamba kepada Sang Khaliq, untuk itulah kita diciptakan.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Dia Yang Mahasuci diibadahi dengan rasa takut (khauf), berharap (raja’) dan cinta (mahabbah). Tiga rasa ini tidak boleh ada yang hilang salah satunya, ketiganya harus komplet ada pada diri si penghamba.
Untuk khauf dan raja’ akan ada pembicaraan tersendiri di waktu-waktu mendatang, insya Allah. Adapun kali ini, secara ringkas kita akan berbicara tentang mahabbah.
Mencintai Allah subhanahu wa ta’ala yang selanjutnya kita sebut dengan mahabbatullah,
bagaimanakah hakikatnya? Apakah diri kita sudah mencinta-Nya dengan
semestinya? Ataukah diri kita malah tenggelam dalam mengejar cinta
makhluk atau kalbu kita disesaki dengan mabuk cinta kepada makhluk
sehingga tidak tersisa tempat untuk-Nya?
Jujur kita akui, kebanyakan dari umur
kita telah kita lalui dengan pembicaraan tentang cinta kepada makhluk
dan ambisi untuk beroleh cinta makhluk. Ketika cinta kita kepada si
makhluk bertepuk sebelah tangan, gayung tiada bersambut, patahlah hati
kita, serasa sesak dada kita. Demikianlah cinta dan mencinta makhluk,
kita bisa “sakit” karenanya.
Adapun cinta yang selama ini sering kita
abaikan dan terluputkan dari pikiran kita, padahal dia merupakan cinta
teragung, sungguh tiada membekaskan sakit yang melukai kalbu. Itulah
cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak akan patah arang
seorang hamba yang mencintai-Nya ketika mengejar cinta-Nya. Karena siapa
yang jujur dalam cintanya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti
akan membalas. Sebuah cinta yang berbuah kemanisan, kelapangan, dan
kebahagiaan di dunia dan terlebih lagi di akhirat kelak.
Mahabatullah adalah sebuah
kelaziman bagi yang mengaku beriman kepada-Nya, baik dia lelaki maupun
perempuan. Bahkan cinta ini termasuk syarat Laa ilaaha illlallah[1] dan merupakan asas atau landasan dalam beramal. (ad-Da’u wa ad-Dawa’,
Ibnul Qayyim, hlm. 303) Yang namanya mencinta-Nya bukanlah sekadar
pengakuan lisan atau ucapan di bibir saja, namun harus sebagaimana yang
dinyatakan-Nya dalam tanzil-Nya,
Katakanlah (ya Muhammad), “Jika
benar-benar kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian….” (Ali Imran: 31)
Kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim pemutus (yang memberikan penghukuman) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, sementara orang itu tidak di atas thariqah muhammadiyah (yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Orang itu dusta dalam pengakuan cintanya sampai dia mau mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tunduk pada ajaran nabawiyah dalam seluruh ucapan, perbuatan dan keadaannya, sebagaimana berita yang datang dalam kitab Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak di atas perintah/perkara kami maka amalan itu tertolak.”[2]
Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“… niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Dengan mencintai-Nya, yang dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kalian akan mendapatkan lebih daripada apa yang kalian upayakan yaitu
kalian akan mendapatkan cinta- Nya, dan ini lebih agung daripada yang
pertama (cinta kalian kepada-Nya), sebagaimana kata sebagian ulama ahli
hikmah,
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ
“Tidaklah penting bagaimana kamu mencinta, yang penting hanyalah bagaimana kamu dicinta.”
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan selainnya dari pendahulu umat ini yang salih berkata, “Ada orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala uji mereka dengan ayat ini (ayat 31 dari surat Ali Imran). “
Karena itulah, ayat ini dinamakan ayat mihnah/ujian, kata al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Tafsir Ibni Katsir, 2/24—25)
Bila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai kalian maka itu merupakan bukti cinta kalian jujur kepada-Nya. Adapun bukti cinta kalian kepada-Nya adalah ittiba’ (mengikuti) kepada sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ittiba’ tersebut, kalian beroleh buahnya yaitu cintanya Dzat yang mengutus sang Rasul. Bila kalian tidak mau ittiba’ kepada
sang Rasul, lalu kalian mengaku cinta kepada-Nya maka cinta kalian
tidaklah benar sehingga Dia pun tidak mencintai kalian. (Madarij as-Salikin, 3/20)
Ada sepuluh sebab yang dengannya seorang hamba akan beroleh cintanya Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah,
- Membaca al-Qur’an dengan tadabbur, memahami maknanya dan apa yang diinginkan dengannya.
- Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan nawafil setelah mengerjakan yang fardhu, karena ini akan mengantarkan kepada derajat dicintai setelah mencintai[3].
- Terus-menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan dengan lisan, kalbu, dan amalan. Bagian yang diperoleh seorang hamba dari cinta-Nya sesuai dengan bagiannya dalam mengingat Dzat yang dicinta.
- Mengutamakan apa yang dicintai-Nya daripada apa yang kamu cintai tatkala hawa nafsu sedang bergejolak.
- Kalbu berusaha mempersaksikan dan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta berbolak-balik dalam taman pengetahuan ini.
Siapa yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, dia pasti akan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, karena itulah kelompok sesat al-mua’thilah dan fir’auniyah serta jahmiyah[4] merupakan perampok atau pembegal jalanan bagi kalbu untuk sampai kepada Dzat yang dicintai.[5]
- Menyaksikan dan mengakui kebaikan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang zahir maupun batin.
- Ini yang paling mengagumkan, yaitu hancur luluhnya kalbu secara total di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, merasa tidak berdaya sama sekali di hadapan-Nya. Tiada tersisa kesombongan sedikit pun karena menyadari diri ini tidak ada apa-apanya sama sekali di hadapan kebesaran dan kekuasaan Sang Khaliq.
- Bersepi-sepi (khalwat) dengan-Nya di waktu turun-Nya[6] untuk bermunajat kepada-Nya dan membaca kalam-Nya, kemudian menutupnya dengan istighfar dan tobat.
- Duduk-duduk (bermajelis) dengan para pecinta-Nya, orang-orang yang jujur dalam keimanan mereka, dan memetik buah yang indah dari ucapan mereka sebagaimana buah yang bagus dipilih dari yang selainnya.
- Menjauhi segala sebab yang dapat memisahkan kalbu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18)
Sebagai penutup, sama kita ingat agar
saya, Anda, dan siapa saja dari para hamba janganlah sibuk mencinta dan
mencari cinta makhluk, namun mengabaikan untuk mencintai-Nya dan beroleh
cinta-Nya.
Sungguh, siapa yang mencintai-Nya dengan
jujur, Dia pun akan mencintai si hamba dan menjadikan penduduk langit
dan bumi mencintai si hamba, sebagaimana dalam hadits,
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ. قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ. ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ…
Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai
seorang hamba, Allah memanggil Jibril, lalu berkata, “Wahai Jibril,
sungguh, Aku mencintai Fulan maka cintailah dia.” Jibril pun mencintai
si Fulan. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sungguh,
Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Penduduk langit pun
mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan (rasa cinta) penghuni
bumi kepada si Fulan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Tidak diterima dan tidak bermanfaat ucapan Laa ilaaha illlallah seseorang sampai dia mencintai kalimat ini berikut makna yang dikandungnya.
[2] HR. Muslim, dan al-Bukhari membawakannya secara mu’allaq.
[3] Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ
بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتُرِضَ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ
عَبْدِيْ بَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan
yang diwajibkan kepadanya. Dan terus
menerus hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nawafil
(sunnah) hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari)
[4] Kelompok yang menolak sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, seluruhnya atau sebagiannya, bahkan ada yang sampai menolak nama-nama-Nya yang husna (mencapai puncak kebaikan).
[5] Mereka yang menolak nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, bagaimana bisa mencintai-Nya dengan sebenar-benarnya?
[6] Pada sepertiga malam yang akhir, sebagaimana diberitakan dalam hadits yang sahih.

Perhiasan yang Sempurna
Sudah menjadi tabiat wanita senang
berperhiasan sebagaimana halnya ini dinyatakan dalam al-Qur’an. Namun,
tahukah Anda, hampir-hampir tidak ada wanita yang tahu bentuk perhiasan
yang paling sempurna, selain orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi ilmu dan pemahaman tentangnya.
Yang jamak, kaum wanita berlomba-lomba
menghiasi dirinya dengan berbagai bentuk, model, dan macam perhiasan
yang lazim kita ketahui. Adapun perhiasan yang paling sempurna dan
paling bernilai, jumlah wanita yang memerhatikannya bisa dihitung dengan
jari.
Bagaimana halnya dengan diri Anda?
Apakah Anda termasuk wanita yang memiliki pengetahuan tentangnya?
Sukakah Anda mengenakan perhiasan yang paling sempurna sehingga setiap
orang yang melihat akan menyenangi dan mengagumimu?
Sudah pasti jawaban Anda, ya.
Jika demikian, Anda harus berpegang dengan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus).
Herankah Anda dengan pernyataan ini? “Lho, apa hubungannya perhiasan dengan ash-shirath al-mustaqim?” Bisajadi, itu pertanyaan yang terucap.
Ketahuilah, sungguh tidak ada di dunia ini yang lebih indah daripada seseorang berjalan di atas ash-shirath al-mustaqim, yaitu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengannya, seseorang akan meraih cinta Allah subhanahu wa ta’ala,
cinta Jibril q, cinta penduduk langit dan penduduk bumi, termasuk di
antara mereka adalah karib kerabat dan suami. Inilah yang dipahami dari
firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menjadikan
rasa cinta untuk mereka.” (Maryam: 96)
Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, hamba-hamba yang beriman dan mengerjakan amal saleh yang diridhai dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala
akan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang untuk mereka dalam kalbu
para hamba-Nya yang saleh. Hal ini pasti, tidak mungkin tidak,
sebagaimana ditekankan oleh sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ. قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ
Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Allah subhanahu wa ta’ala memanggil
Jibril lalu berkata, “Wahai Jibril, sungguh aku mencintai Fulan, maka
cintailah dia.” Jibril pun mencintai si Fulan. Kemudian Jibril menyeru
penduduk langit, “Sungguh Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.”
Penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan
(rasa cinta) penghuni bumi terhadap si Fulan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan si hamba dicintai oleh manusia di muka bumi. Said bin Jubair, adh-Dhahak, dan selainnya rahimahumullah juga mengatakan yang senada, yakni si hamba mencintai mereka dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan para hamba-Nya yang beriman mencintainya.
Harram bin Hayyan rahimahullah menerangkan, “Tidaklah seorang hamba menghadapkan kalbunya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali Allah subhanahu wa ta’ala akan menghadapkan kalbu orang-orang beriman kepadanya, hingga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan rezeki berupa rasa cinta dan kasih sayang mereka kepadanya.” (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 5/198—199)
Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan orang-orang yang mengumpulkan keimanan dan amal saleh ini
mendapatkan cinta karena mereka mencintai-Nya, maka balasannya Dia
jadikan mereka dicintai oleh para wali-Nya dan kekasih-kekasih-Nya. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 501)
Jadi, tidaklah berlebihan apabila kita katakan bahwa ketaatan seorang wanita kepada Allah subhanahu wa ta’ala
—dengan menjalankan apa yang diperintahkan dan menahan diri dari apa
yang dilarang dan diperingatkan-Nya— merupakan kecantikan, kebagusan,
dan perhiasan bagi si wanita. Hal ini akan menarik kecintaan orang lain
kepadanya. Bukankah tujuan berhias, mempercantik, dan memperindah diri
adalah agar orang lain cinta kepada kita, tertarik, memberi perhatian
dan senang ketika melihat kita? Demikian pula keinginan agar mereka
senang duduk-duduk atau berdekatan dengan kita.
Semua tujuan ini bisa didapatkan apabila kita dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala berdasarkan hadits di atas. Karena itulah, kita perlu mengetahui bagaimana cara mendapatkan cinta Alah subhanahu wa ta’ala, selanjutnya cinta Jibril ‘alaihissalam dan para malaikat lainnya di atas langit sana, serta seluruh orang yang kita inginkan cintanya.
Ya, tidak perlu merogoh saku dalam-dalam
alias mengeluarkan banyak duit. Tidak perlu bercapek-capek keluar masuk
mall untuk mencarinya. Caranya mudah bagi orang yang dimudahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, dan tentu saja sulit bagi orang yang Allah subhanahu wa ta’ala tidak ingin memberinya hidayah-Nya. Mari kita simak caranya berikut ini.
- Berperilaku dengan sifat-sifat orang yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai
Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang muhsin (berbuat
baik), yang bertobat, dan yang menyucikan diri. Mereka adalah yang
bertakwa, yang bersabar, yang bertawakal, yang adil, yang berlaku lembut
terhadap orangorang beriman dan penuh kasih kepada mereka, serta banyak
melakukan ibadah sunnah.
Inilah sifat-sifat wali Allah subhanahu wa ta’ala yang dinyatakan dalam hadits qudsi,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتُرِضَ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Siapa yang memusuhi wali-Ku,
sungguh Aku telah mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai
daripada amalan yang diwajibkan kepadanya. Terus menerus hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari)
Termasuk sifat yang pemiliknya dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah malu dan menutup aib (cacat dan cela) diri sendiri dan aib orang lain yang memang tidak pantas dibeberkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسِّتْرَ
“Sesungguhnya Allah Mahamalu lagi Maha Menutup. Dia menyukai sifat malu dan menutup[1].” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
- Menjauhi perangai yang pelakunya dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala
Termasuk yang dibenci adalah orang-orang
yang melampaui batas, suka ingkar lagi pendosa, orangorang zalim,
sombong, suka berbuat fajir, berkhianat, gemar melakukan kejahatan, suka
merusak, menghamburhamburkan uang, takabur, dan sifat-sifat buruk
lainnya yang diperingatkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karena itu, wahai saudariku seiman, berpeganglah Anda dengan sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Menjauhlah dari seluruh sifat yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dengan demikian, Anda akan meraih ridha Rabb, kemudian mendapatkan cinta semua orang baik yang Anda harapkan.
Malu, Perhiasan yang Paling Bercahaya
Malu adalah salah satu cabang iman sebagaimana dalam hadits,
الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِِ
“Iman itu ada tujuh puluh lebih cabangnya, dan malu adalah satu cabang dari keimanan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Malu merupakan perhiasan dan keindahan, sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا كَانَ الْفُحشُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ، وَ كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ
“Tidaklah kekejian (tidak punya malu
dalam hal ucapan dan perbuatan) ada pada sesuatu kecuali akan
membuatnya jelek, dan tidaklah sifat malu ada pada sesuatu kecuali akan
membuatnya indah.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibnu Majah)
Apabila benda mati bisa memiliki rasa
malu, niscaya rasa malu akan memperindahnya. Lebih-lebih lagi ketika
anak Adam (manusia) yang berhias dengannya. Bagaimana pula halnya
apabila putri Hawa (wanita) yang berhias dengannya?
Apabila lelaki saja membutuhkan bersifat
malu, tentu para wanita lebih membutuhkan dan lebih pantas memiliki
rasa malu karena sesuai dengan tabiatnya. Ketika para sahabat
menyebutkan sifat malu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka membandingkannya dengan sifat malu wanita. Kata Abu Said al- Khudri radhiallahu ‘anhu,
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih kuat rasa malunya daripada gadis perawan dalam pingitannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Malu dan kecantikan wanita adalah dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Alangkah manisnya ‘rona merah’ malu pada
seorang wanita yang menghindar dari bercampur baur dengan lelaki ajnabi,
tidak mau bersenda gurau dengan lelaki yang bukan mahramnya, enggan
pula mengucapkan atau mendengarkan ucapan-ucapan yang menghilangkanrasa
malunya.
Tidaklah mungkin Anda beroleh kecantikan
dan keindahan yang sejati tanpa menyandang sifat malu yang merupakan
perhiasan paling bersinar bagi wanita. Andai rasa malu ini telah
tercabut dari seorang wanita, apa lagi yang tersisa pada dirinya? Betapa
banyak wanita yang cantik rupawan, namun kecantikannya tiada bermakna
dan tanpa ruh tatkala telah tercabut darinya sifat malu. Sebaliknya,
betapa banyak wanita yang bertambah-tambah kecantikannya karena sifat
malunya.
Wanita yang paling cantik sekalipun,
andai hilang darinya rasa malu, sungguh Anda tidak dapati ada orang yang
menoleh kepadanya, kecuali wanita yang juga sedikit rasa malunya.
Lelaki baik-baik yang ingin menikah untuk membantu dirinya taat kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, pastilah akan mengamalkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) dirimu merugi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Semakin bertambah rasa malu seorang wanita, semakin bertambah pula bagiannya dari sifat yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘memiliki agama’, karena malu itu bagian dari iman. Selain itu, malu adalah akhlak Islam sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ لِكُلِّ الدِّينِ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak agama Islam adalah malu.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibnu Majah)
Wanita yang menjaga rasa malu ketika berucap dan berbuat berarti telah menempuh salah satu sebab mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala,
kemudian kecintaan manusia. Wanita yang malu menampakkan perhiasannya
kepada selain mahramnya dan menutup dirinya dari pandangan ajnabi, dia telah menempuh salah satu sebab mendapatkan mahabbah sang Khaliq, kemudian cinta makhluk.
Sementara itu, wanita yang tidak tahu
malu ketika berucap dan berbuat, suka memamerkan perhiasannya kepada
selain mahramnya, dan tidak menutup dirinya dari pandangan ajnabi, dia telah menjauh dari sifat malu, dan paling jauh dari perhiasan yang sempurna.
Ketahuilah, malu itu ada dua macam. Ada
yang merupakan sifat bawaan dan ada pula yang diupayakan. Orang yang
tidak dianugerahi sifat malu bawaan, dia masih berkesempatan
menyempurnakan dirinya dan imannya dengan malu yang diupayakan.
Apakah malu bisa diupayakan? Jawabannya
pasti ya. Sebab, apabila malu tidak bisa diupayakan, bagaimana kita
dituntut untuk memiliki sifat malu? Bagaimana bisa malu menjadi salah
satu cabang keimanan?
Cara mengupayakannya adalah dengan
latihan dan usaha berperangai dengannya dalam keadaan-keadaan yang
memang menuntut, tanpa berputus asa mengupayakannya. Termasuk cara
mengupayakannya adalah bermajelis dengan orang-orang yang memiliki sifat
yang indah ini dan sering bergaul dengan mereka. Sebaliknya, harus
dihindari sejauh-jauhnya orang yang tidak punya rasa malu, suka berbuat
keji, tidak malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh.
Hal lain yang bisa kita lakukan adalah
membaca kisah perjalanan hidup orangorang yang punya sifat malu,
menelisik berita mereka, dan mempelajari perilaku mereka. Selain itu,
tentu saja membaca atau mendengarkan keutamaan sifat malu, kedudukannya,
faedahnya dan maknanya yang hakiki, serta agungnya pahala yang
didapatkan pemiliknya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Sumber: Asrar al- Jamal wa az- Zinah li al -Mar ’ah al -Muslimah, penyusun Ummu Nurani dan lainnya)
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Maksudnya adalah menutupi aurat. Sebab, hadits ini diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkaitan dengan seseorang yang mandi tanpa menutup auratnya dari
pandangan orang lain yang tidak halal melihatnya. Termasuk dalam hal ini
ialah menutupi kesalahan orang yang tidak sepantasnya dibeberkan
kesalahan atau kealpaannya karena dia adalah seorang mukmin yang menjaga
kehormatan dirinya, bukan orang yang terangterangan berbuat dosa dan
maksiat. (Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud)

Pentingnya Pendidikan Anak
Di antara hak seorang anak yang wajib ditunaikan oleh orang tua adalah mendapatkan pengajaran akhlak mulia dan diperingatkan dari akhlak yang buruk. Hal ini termasuk ilmu yang bermanfaat.
Akhlak memiliki kedudukan yang tinggi dalam syariat Islam yang suci. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan ucapan Luqman kepada anaknya,
“Hai anakku, dirikanlah salat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 17—19)
Jadi, di antara bentuk perbuatan baik
kepada anak adalah mendidik mereka dengan tarbiyah yang baik lagi
bermanfaat, berupa ilmu terbaik yang dipelajari oleh anak, lelaki atau
perempuan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim: 6)
Al-Hafizh asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir[1]
berkata ketika menerangkan ayat ini, “Abdur Razzaq, al-Firyabi, Said
bin Manshur, Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, dan al-Hakim
meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim, tentang makna firman Allah,
قُواْ أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيكُمْ نَارًا
Beliau radhiallahu ‘anhu mengatakan, ‘Ajarkanlah kebaikan kepada diri dan keluarga kalian, serta berilah pendidikan adab.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma
mengatakan, “Wahai engkau, perbaiki adab anakmu, karena kelak engkau
akan ditanya tentang hal ini. Adapun anakmu, ia akan ditanya tentang
sikap berbaktinya kepadamu.”[2]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata menafsirkan ayat at-Tahrim di atas, “Didiklah adab mereka dan ajarilah mereka.”[3]
Di antara hal yang tidak diragukan lagi
ialah apabila menanam kebaikan, Anda akan mendapati kebaikan pula.
Sebaliknya, apabila menanam keburukan, Anda pun akan menuai keburukan.
Ini sesuatu yang pasti. Maka dari itu, tarbiyah yang buruk akan
menimbulkan efek yang merusak terhadap anak, terhadap orang tua, bahkan
terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Sebagaimana halnya Anda akan ditanya
tentang tarbiyahnya, anak juga akan ditanya tentang sikap berbaktinya
kepada Anda. Jadi, mengajari anak lelaki dan perempuan dengan berbagai
akhlak yang baik ini: menjaga kehormatan, jujur, berbakti, menjaga
lisan, menjaga waktu, menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat,
dengan izin Allah akan menjauhkan anak dari terjerumus dalam kesalahan
dan hal-hal yang tidak disukai. Apabila yang dilakukan adalah
sebaliknya, hasilnya juga akan sebaliknya. Kita berlindung kepada Allah
dari hal tersebut.
وَيَنْشَأُ نَاشِئُ الْفِتْيَانِ مِنَّا
عَلَى مَا كَانَ عَوَّدَهُ أَبُوهُ
Seorang anak muda di antara kita tumbuh
menurut apa yang dibiasakan oleh ayahnya
Jadi, tarbiyah yang baik —yaitu di atas
akhlak mulia dan memperingatkan mereka dari perangai yang jelek— adalah
urusan yang agung. Apalagi dalil-dalil syariat memerintah (kita) untuk
memerhatikan urusan ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ وَيُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidak ada anak yang terlahir kecuali di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana halnya binatang ternak melahirkan binatang ternak yang sempurna, apakah kalian melihat ada yang terpotong anggota badannya?” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kita diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala
untuk memiliki akhlak yang baik. Menjadi kewajiban bagi para ayah untuk
mengajarkannya kepada anak-anak mereka dan mentarbiyah mereka di atas
adab-adab yang agung tersebut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90)
Sang ayah mengajari anaknya akhlak yang agung: menepati janji, mengasihi orang lemah, jujur ketika berucap, ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bersemangat menjaga waktu, menunaikan amanat, berbakti kepada orang
tua, memerhatikan hakhak tetangga, menjaga sifat malu, suka memaafkan
dan santun, serta berbagai akhlak yang tinggi dan mulia.
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Di antara hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak
adalah perhatian terhadap urusan akhlak. Sebab, sesungguhnya dia akan
tumbuh di atas kebiasaan yang ditanamkan oleh pembimbingnya semasa
kecil: murka dan marah, keras kepala, gampang mengikuti hawa nafsu,
gegabah, tajam lidahnya, serta tamak.
Apabila demikian, akan susah diperbaiki
ketika ia sudah dewasa. Berbagai akhlak yang buruk ini akan menjadi
sifat dan bentuk yang mengakar pada dirinya. Meski dia sudah berusaha
sekuat tenaga untuk menjaga agar tidak tampak, suatu saat akhlak yang
buruk itu pasti akan mempermalukan dirinya. Karena itu, Anda dapati
mayoritas orang yang akhlaknya menyimpang disebabkan tarbiyah (yang
salah) di masa pertumbuhannya.
Maka dari itu, ketika sudah mulai bisa
menggunakan akalnya, seorang anak kecil wajib dijauhkan dari majelis
yang sia-sia dan penuh kebatilan, nyanyian, mendengarkan ucapan yang
kotor, bid’ah, dan perkataan yang buruk. Sebab, apabila pendengarannya
sudah terjerat, akan sulit baginya untuk berpisah dengan hal-hal
tersebut ketika dewasa. Akan sulit pula bagi walinya untuk
menyelamatkannya dari semua itu. Mengubah kebiasaan adalah salah satu
hal yang paling susah dilakukan. Orang yang seperti ini harus
memperbarui tabiatnya untuk kedua kalinya, sedangkan keluar dari tabiat
yang sudah mapan sangatlah sulit….
Selain itu, anak kecil tersebut juga
dijauhkan dari sifat dusta dan khianat lebih kuat daripada dijauhkan
dari racun yang mematikan. Sebab, apabila dimudahkan jalan baginya untuk
berdusta dan berkhianat, hal ini akan merusak kebahagiaannya di dunia
dan di akhirat. Ia pun akan terhalangi dari setiap kebaikan.
Di samping itu, ia dijauhkan pula dari
sifat malas, menganggur tanpa kegiatan, hidup sekadar bersenang-senang,
dan berleha-leha. Seharusnya sang ayah membiasakan hal yang sebaliknya….
Ayah hendaknya membiasakan anak untuk
terjaga di akhir malam, karena itu adalah waktu pembagian ghanimah dan
pemberian hadiah. Manusia terbagi, antara yang mendapatkannya sedikit,
ada yang banyak, ada pula yang sama sekali tidak mendapatkan apa-apa.
Apabila sudah dibiasakan sejak kecil, akan mudah baginya ketika dewasa
kelak.”[4]
Al-Allamah Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Orang yang paling utama mendapatkan perbuatan baikmu dan
paling berhak mendapat kebaikanmu adalah anak-anakmu. Sebab, mereka
adalah amanat yang Allah subhanahu wa ta’ala bebankan kepadamu. Allah subhanahu wa ta’ala berwasiat kepadamu untuk mentarbiyah tubuh dan hati mereka dengan baik.
Semua hal yang engkau lakukan bersama
mereka terkait urusan (tarbiyah) ini, baik yang kecil maupun besar,
terhitung sebagai penunaian kewajibanmu dan sarana terbaik yang
mendekatkan dirimu kepada Allah. Karena itu, bersungguh-sungguhlah
melakukannya dan harapkanlah pahala di sisi Allah.
Sebagaimana halnya memberi mereka makan
dan pakaian serta mentarbiyah badan mereka berarti engkau menunaikan hak
dan mendapat pahala, demikian pula ketika engkau mentarbiyah hati dan
roh mereka dengan ilmu yang bermanfaat, pengetahuan yang benar,
bimbingan kepada akhlak yang terpuji, dan peringatan dari kebalikannya….
Adab yang mulia lebih baik bagi diri
anak-anak, untuk masa sekarang dan yang akan datang, daripada memberi
mereka emas, perak, dan berbagai perhiasan dunia lainnya. Sebab, adab
yang baik dan akhlak yang bagus akan mengangkat derajat mereka. Mereka
akan mendapatkan kebahagiaan karenanya.
Selain itu, dengan sebab adab dan akhlak
yang baik, mereka akan menunaikan semua hak Allah dan hak hamba yang
menjadi kewajiban mereka. Dengan keduanya pula, mereka akan menjauhi
berbagai madarat. Mereka bisa menunaikan kewajiban berbakti kepada kedua
orang tua mereka secara sempurna, juga dengan sebab adab dan akhlak
yang baik.”[5]
(diterjemahkan dari Huququl Aulad ‘alal Aba wal Ummahat hlm. 36—40, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah)
[1] 5/355. Lihat pula Kitabul ‘Iyal karya Ibnu Abi ad-Dunya (1/ no. 323) dan Tuhfatul Maudud hlm. 328.
[2] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 8662) dan dalam al-Kubra (3/84).
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Kitabul ‘Iyal (1/ no. 324). Lihat pula Tuhfatul Maudud hlm. 328.
[4] Tuhfatul Maudud (hlm. 349—351).
[5] Bahjatu Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Ahyar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar (hlm. 125, hadits ke-67).

Hukum Menggugurkan Kandungan
Anak termasuk anugerah terindah yang dkaruniakan oleh al-Wahhab[1]
dalam kehidupan sepasang suami istri. Tidak terbayang ada suatu
pernikahan syar’i yang dilangsungkan sepasang insan yang tidak
mengharapkan lahirnya anak di tengah mereka.
Apatah lagi sudah kita maklumi keinginan sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk memperbanyak umat beliau sebagai kebanggaan beliau di hari kiamat
nanti. Karena itu pula, beliau melarang lelaki untuk menikah kecuali
dengan wanita yang subur rahimnya. Semua ini cukuplah memberi gambaran
kepada kita pentingnya mengharapkan keturunan dalam pernikahan.
Suatu kegembiraan bagi sepasang suami istri ketika Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan kehidupan dalam rahim si istri, apatah lagi kehamilan itu
adalah sesuatu yang diharap-harap karena kerinduan akan hadirnya anak di
tengah mereka. Namun, terkadang sebelum sempurna kehidupan terbentuk,
janin tersebut harus dikeluarkan karena suatu alasan. Bisa jadi, janin
tidak berkembang dengan semestinya, atau si ibu menderita sakit
tertentu. Ini satu sisi.
Di sisi lain, ada pula orang-orang yang
tidak berharap tumbuhnya janin di dalam rahim sang bunda sehingga secara
paksa dikeluarkan, baik dengan alasan tidak ingin punya anak lagi
maupun si janin tumbuh akibat hubungan di luar nikah, naudzu billah min dzalik.
Bagaimana sebenarnya tinjauan syariat dalam hal ini, yaitu janin dikeluarkan sebelum waktunya atau dengan kata lain digugurkan?
Hukum Menggugurkan Kandungan
Ulama berselisih pandang tentang hukum
menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh. Di antara mereka ada
yang melarang secara mutlak, sama sekali tidak boleh. Mereka berkata,
“Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan nuthfah (setetes mani) dalam tempat berdiam yang kokoh[2],
maka tidak boleh dia dikeluarkan dari tempatnya kecuali dengan satu
sebab yang syar’i.” Demikian pelarangan mutlak ini datang dalam mazhab
Maliki.
Di antara ulama , ada yang membolehkan
menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari. Ini satu pendapat dalam
mazhab Syafi’i. Pendapat lainnya menyatakan janin memiliki kehormatan
sehingga tidak boleh dirusak. Sebagian Syafi’i memandang boleh
menggugurkan janin dalam dua tahapan, yaitu saat masih berupa nuthfah dan ‘alaqah, sebelum berubah ke tahapan mudhghah.
Di antaranya ada pula yang berpendapat boleh sebelum berbentuk, karena ketika belum terbentuk, baru berupa nuthfah (setetes mani) atau ‘alaqah (segumpal darah) atau mudhghah (segumpal daging) belum dipastikan apakah akan berlanjut menjadi seorang anak atau tidak[3].
Ada pula yang berpendapat dibolehkan
sebelum janin berusia empat bulan (sebelum ditiupkan ruh), sebagaimana
pendapat fuqaha mazhab Hanafi yang dinukilkan oleh Ibnu ‘Abidin dari
an-Nahr.
Apabila janin sudah memiliki ruh, ulama sepakat menyatakan haramnya tindakan pengguguran tersebut. (Ahkam ath-Thifl, hlm. 70—71, fatwa Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Nurun ‘alad Darb, 2/632)
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berpandangan, kapan saja dipastikan seorang wanita hamil maka tidak
boleh kandungannya digugurkan kecuali karena sebab yang syar’i.
Misalnya, dokter menganalisis janin tersebut memiliki cacat yang
menyebabkan dia tidak bisa hidup dengan semestinya[4], maka ketika itu boleh dilakukan pengguguran karena adanya kebutuhan.
Hal ini hanya bisa dilakukan sebelum
ditiupkannya ruh pada si janin, yaitu sebelum sempurna berusia empat
bulan. Apabila ruh telah ditiup sehingga hidup dan bergeraklah si janin,
saat itu haram menggugurkannya walaupun para dokter memvonis si ibu
akan meninggal apabila janinnya tidak digugurkan. Sebab, kita tidak
boleh mengorbankan satu jiwa untuk jiwa yang lain.
Apabila ada yang berkata, “Kalau janin
dibiarkan saja dalam rahim ibunya sehingga ibunya meninggal karenanya,
janin juga akan mati, yang berarti hilang dua jiwa. Namun, apabila
janinnya kita keluarkan/gugurkan, bisa jadi ibunya selamat.”
Jawabannya, “Apabila kita biarkan saja
janin dalam rahim ibunya, tidak digugurkan, yang berakibat si ibu
meninggal, kemudian selang waktu berikutnya setelah kematian ibunya
janin pun menyusul meninggal; kematian ibunya bukanlah karena perbuatan
kita melainkan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia-lah yang
menetapkan kematian pada sang ibu dengan sebab menanggung kehamilan
tersebut. Adapun apabila kita paksa janin keluar atau kita gugurkan,
yang semula hidup kemudian meninggal karena pengguguran yang dilakukan;
kematian janin adalah karena perbuatan kita, dan hal itu tidak halal
kita lakukan.”
Demikian yang difatwakan oleh Fadhilatusy Syaikh rahimahullah dalam Fatawa Nurun ‘alad Darb (2/632—633).
Ketika mensyarah hadits keempat dari 50
hadits yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, al-Hafizh
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menyatakan, ada sekelompok
fuqaha memberi rukhshah/keringanan atau kelapangan bagi wanita untuk
menggugurkan kandungannya selama belum ditiupkan ruh dan
menganalogikannya dengan ‘azl[5].
Namun, menurut Ibnu Rajab rahimahullah,
penyamaan ini adalah pendapat yang lemah. Sebab, janin adalah anak yang
sudah ada (dalam rahim) dan terkadang sudah berbentuk. Sementara itu,
dalam perbuatan ‘azl belumlah didapati anak sama sekali dan ‘azl
hanyalah sebab untuk mencegah adanya anak dalam rahim. Terkadang ‘azl
yang dilakukan tidak bermanfaat karena si wanita tetap saja hamil
apabila Allah subhanahu wa ta’ala memang menghendaki penciptaannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya tentang ‘azl,
وَإِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ،
وَإِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ، وَإِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ، مَا مِنْ
نَسْمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة إِلاَّ هِيَ كَائِنَةٌ
“Kalian sungguh melakukannya, kalian
sungguh melakukannya, kalian sungguh melakukannya? Padahal tidak ada
satu jiwa pun sampai hari kiamat yang harus ada/tercipta (dengan
ketetapan, kehendak dan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala) melainkan
jiwa itu pasti ada.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan, “Teman-teman kami (ulama mazhab Hanbali) secara jelas menyatakan, apabila bakal janin telah berubah menjadi ‘alaqah, tidak boleh digugurkan karena sudah menjadi calon anak. Berbeda halnya apabila masih berbentuk nuthfah, belum dipastikan apakah akan menjadi anak ataukah tidak.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/156—157)
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
menyatakan, menggugurkan kandungan tidak boleh dilakukan karena
perbuatan tersebut bermudarat, apalagi alasannya tidak syar’i, misal si
ibu tidak ingin meneruskan kehamilannya karena khawatir menghalangi
karirnya.
Janin yang dikandung itu memiliki hak
untuk dibiarkan terus berkembang dan hidup, punya hak untuk dijaga dan
dihargai, karena dia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Seharusnya si ibu yang mengandungnya menjaganya, berlaku lembut
kepadanya. Bisa jadi, janin itu kelak akan lahir sebagai anak yang saleh
dan bermanfaat bagi si ibu. Alllah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu
padahal sesuatu itu lebih baik bagi kalian. Bisa jadi pula, kalian
mencintai sesuatu padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Allah-lah Yang
Mengetahui, dan kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Apabila si ibu yang mengandungnya
memaksakan untuk menggugurkannya, berarti si ibu telah melakukan sebuah
kejahatan. Dia harus bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas perbuatan tersebut dan tidak mengulanginya.
Orang yang memberikan bantuan, saran,
dan semisalnya untuk kelanjutan tindakan pengguguran tersebut, semuanya
berdosa, karena telah membantu terlaksananya suatu perbuatan dosa. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyatakan,
sebagian fuqaha memandang bolehnya menggugurkan kandungan sebelum
berusia 40 hari dengan obat-obatan yang diperkenankan/tidak berbahaya.
Akan tetapi, sebenarnya ini tidak sepantasnya dilakukan, karena
kehamilan itu diinginkan oleh syariat guna mendapat keturunan yang
banyak.
Jika Kehamilan Menyusahkan Ibu
Bagaimana halnya apabila kehamilan
tersebut memadaratkan kesehatan si ibu atau si ibu menderita sakit yang
berat akibat menanggung kehamilan?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullahu
menyatakan tidak bolehnya menggugurkan kandungan walaupun menyusahkan
si ibu, karena kehamilan—tanpa diragukan—memang menimbulkan kesulitan.
Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kami wasiatkan kepada manusia agar
berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan berat dan melahirkannya dalam keadaan berat pula .
Mengandungnya dan (pada akhirnya) menyapihnya adalah selama tiga puluh
bulan[6].” (al-Ahqaf: 15)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan dalam tafsirnya, ibu harus menanggung kesulitan, kepenatan,
ketidaknyamanan, keberatan, dan sebagainya karena kehamilannya.
Demikian pula saat melahirkan, ibu menanggung rasa sakit dan kepayahan. (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 7/215)
Saat kehamilan memang saat yang sulit.
Ada berbagai keluhan sakit dan kelelahan demi kelelahan. Karena itulah,
hak seorang ibu begitu besar terhadap anaknya. Ibu didahulukan haknya
tiga kali, sebagaimana berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu baru hak ayah[7].
Sebab, seorang ibu harus menanggung sendirian kehamilan, kelahiran, dan
menyusui, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Ahqaf di atas. (Tuhfah al- Ahwadzi, “Kitab al-Birr wa ash-Shilah”, bab “Ma Ja’a fi Birr al-Walidain”)
Ketika seorang ibu bersabar dengan
kehamilannya dan siap menanggung semua kesulitan, tentu dia akan beroleh
pahala. Bisa jadi, dengan sebab si anak kelak dia akan beroleh
kebaikan, demikian pula masyarakatnya.
Apabila ada ibu yang disarankan oleh
dokter untuk menggugurkan kandungannya karena menurut diagnosa dokter
kelak janin tersebut tidak mungkin lahir kecuali dengan cara operasi,
saran ini tetap tidak boleh dituruti. Sebab, janin adalah amanat yang
diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam rahim
sehingga tidak boleh diperlakukan dengan buruk atau dihadapkan kepada
kebinasaan. Ucapan seseorang dalam hal ini tidak boleh dijadikan sebagai
sandaran karena permasalahan yang ada berkaitan dengan hukum syar’i.
Hukum syar’i tentu dikedepankan daripada ucapan siapa pun.
Adapun kelak kelahiran si janin harus
dengan cara operasi, urusannya di zaman sekarang mudah, tidak berbahaya.
Banyak wanita telah menjalaninya karena mereka tidak bisa melahirkan
kandungannya selain dengan cara operasi. Dengan demikian, menjalani
kelahiran dengan cara operasi bukanlah alasan yang diperkenankan oleh
syariat untuk menggugurkan kandungan. Seorang wanita tidak boleh
bermain-main dalam urusan kandungannya, dia hamil lantas dia gugurkan
begitu saja.
Kafarat Pengguguran Janin
Apakah ada kafarat apabila janin digugurkan?
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah
berkata, “Apabila janin telah ditiupi ruh dan telah bergerak, lantas
digugurkan, perbuatan tersebut teranggap membunuh jiwa yang tidak halal
untuk dibunuh. Karena itu, pelakunya harus membayar kafarat yang berupa
memerdekakan seorang budak. Apabila ia tidak mendapatkan budak,
penggantinya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai bentuk
tobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.[8]” (Majmu’ Fatawa, hlm. 564—568)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Dzat Yang Maha Memberi dan Melimpahkan anugerah.
[2] Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kemudian Kami menjadikannya nuthfah (setetes mani) dalam tempat berdiam yang kokoh.” (al-Mu’minun: 13)
Yaitu rahim yang memang telah tersedia dan telah disiapkan untuk menerimanya. (al-Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, asy-Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri)
Di dalam rahim, nuthfah itu akan terjaga dari kerusakan, dari angin, dan selainnya. (Taisir al-Karim ar-Rahman, al-Allamah as-Sa’di, hlm. 548)
[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka sesungguhnya Kami telah
menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya
(berbentuk) dan yang tidak sempurna….” (al-Hajj: 5)
Awalnya segumpal daging itu tidak ada bentuknya. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala
menghendaki untuk menyempurnakan penciptaan/kejadiannya, mulailah
segumpal daging itu berbentuk, menjadi bentuk kepala, dua tangan, dada,
perut, dua paha, dua kaki, dan anggota tubuh lainnya. Namun, apabila
Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki segumpal daging itu berkembang menjadi manusia, rahim pun mengeluarkannya (keguguran).
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hatim
dan Ibnu Jarir dari hadits Dawud ibnu Abi Hindun, dari asy-Sya’bi, dari
Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila nuthfah
telah menetap dalam rahim, malaikat yang menjaga rahim/janin
mengambilnya dengan telapak tangannya, lalu bertanya, ‘Wahai Rabbku,
apakah akan disempurnakan kejadiannya atau tidak?’ Kalau dijawab tidak
disempurnakan kejadiannya, nuthfah tersebut tidak akan menjadi satu jiwa
dan akan dikeluarkan oleh rahim dalam bentuk darah. Apabila dijawab
disempurnakan kejadiannya, malaikat akan bertanya lebih lanjut, ‘Wahai
Rabbku, apakah jenisnya laki-laki ataukah perempuan? Apakah dia golongan
yang sengsara ataukah yang bahagia? Kapan ajalnya? Apa yang
diperbuatnya? Di bumi manakah dia akan meninggal?’.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/292, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/160)
[4]
Bisa jadi, si ibu terinfeksi virus atau kuman penyakit yang menyebabkan
kerusakan pada janin atau terganggunya perkembangan janin.
[5] Dalam Fathul Bari disebutkan, ‘azl adalah menarik zakar setelah masuk agar sperma/mani tumpah di luar kemaluan istri.
[6]
Masa 30 bulan tersebut dengan perincian sebagai berikut. Minimal masa
kehamilan adalah 6 bulan, karena apabila janin lahir ke dunia saat
berusia 6 bulan dalam kandungan, dia masih berpeluang hidup. Berbeda
halnya apabila lahir kurang dari 6 bulan, janin tidak bisa hidup.
Waktu 6 bulan dalam kandungan ini
ditambah dengan 24 bulan (2 tahun) masa penyusuan yang sempurna seperti
yang tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 233,
“Dan para ibu hendaknya menyusui
anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna, bagi siapa yang ingin
menyempurnakan masa penyusuan.”
Jadilah semuanya 30 bulan seperti tersebut dalam ayat.
[7] Ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi dengan
pertanyaan yang sama, “Siapakah orang (berikutnya) yang paling berhak
untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan ucapan yang sama, “Ibumu.”
Untuk ketiga kalinya orang itu bertanya,
“Siapakah orang (berikutnya) yang paling berhak untuk aku berbuat baik
kepadanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menjawab, “Ibumu.”
Setelah bertanya untuk keempat kalinya dengan pertanyaan yang sama, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ayahmu.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan dalam al-Irwa’ no. 2232)
[8] Dalil untuk kafarat berupa memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 92.

Dana Sedekah Tidak Jadi Dipakai
DIBERI DANA UNTUK BEROBAT, TIDAK JADI DIGUNAKAN
Seseorang mengurusi orang
sakit yang harus berobat ke luar negeri. Dia diberi dana 9.000 real
untuk transportasi, biaya berobat, dan ongkos bagi pendampingnya. Akan
tetapi, si sakit sudah meninggal sebelum sempat pergi berobat.
Pertanyaannya, apa yang harus dia perbuat terhadap dana tersebut?
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Apabila urusannya seperti yang
disebutkan oleh penanya dalam pertanyaan bahwa dana tersebut diberikan
kepada si sakit untuk berobat ke luar negeri, namun dia meninggal
sebelum sempat pergi berobat; orang tersebut harus mengembalikannya
kepada pihak yang memberi.
Sebab, dana itu sudah tidak mungkin
digunakan sebagaimana tujuan semula.Dia tidak boleh mengambil dana itu
sedikit pun karena sama sekali tidak berhak atasnya.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Sulaiman bin Mani’
(Fatawa al-Lajnah 25/100, fatwa no. 505)

Tidak Bisa Melayani Suami Karena Gangguan Jin
Saya seorang perempuan yang menderita
penyakit jiwa sejak berusia sebelas tahun yang tampaknya disebabkan oleh
gangguan jin. Perlu diketahui, saya—berkat keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala —bersemangat dalam hal agama.
Saya telah menikah dan memiliki beberapa
anak. Kemudian saya menyingkir dari suami dan tidak mau didekati ketika
akan digauli. Saya merasa seakan-akan ada seorang lelaki yang menggauli
saya sebagaimana digaulinya seorang istri oleh suaminya.
Seseorang menuliskan beberapa ayat
al-Qur’an untuk saya letakkan di atas mushaf lalu saya letakkan di bawah
kepala. Akan tetapi, tindakan ini tidak berpengaruh apa pun terhadap
saya. (Perasaan telah digauli) ini saya alami ketika tidur. Ketika malam
hari pun, dikhayalkan bahwa saya telah digauli. Ini sebuah kesulitan
besar yang tidak bisa diketahui kadarnya selain oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
- Apakah saya berdosa kepada Allah subhanahu wa ta’ala?
- Apakah ada cara menyembuhkan penyakit ini? Berilah saya faedah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalasi Anda dengan yang lebih baik.
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
- Apa yang Anda rasakan ketika tidur—yaitu perasaan bahwa ada lelaki yang menggauli Anda sebagaimana seorang suami menggauli istrinya—tidak ada dosa bagi Anda. Sebab, menurut syariat, dosa terangkat dari orang yang tidur. Hanya saja, apabila mengeluarkan air mani sebagaimana yang dikenal, Anda harus mandi (junub).
Anda juga hendaknya memberikan
kesempatan kepada suami Anda untuk menunaikan kebutuhan biologisnya
melalui diri Anda, semampu Anda. Apabila Anda tidak mampu, atau suami
mengalah dan merelakan haknya, tidak ada dosa pula bagi Anda.
- Penyakit ini diobati dengan hal-hal berikut ini.
- Tawakal, menyandarkan diri, berdoa, dan beristighatsah kepada Allah k, disertai keikhlasan dan perendahan diri agar Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan penyakit tersebut.
Penyakit ini juga bisa diobati dengan ruqyah menggunakan al-Qur’an, zikir-zikir, dan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Misalnya, dengan membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas (tiga
kali), diikuti meludah sedikit di kedua telapak tangan setiap kali
selesai membaca tiga surat tersebut lantas diusapkan ke bagian tubuh
yang bisa dijangkau. Misalnya pula, ruqyah dengan membaca surat
al-Fatihah, membaca Ayat Kursi ketika berbaring hendak tidur.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membimbing orang yang hendak tidur untuk berwudhu sebagaimana wudhu
untuk shalat, kemudian berbaring di sisi kanan tubuhnya dan berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، مَلْجَأَ وَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
“Ya Allah, aku menyerahkan wajahku
kepada-Mu, memasrahkan urusanku kepada-Mu, aku menyandarkan punggungku
kepada-Mu, dengan berharap kepada-Mu dan cemas terhadap-Mu. Tidak ada
tempat bersandar dan tempat melarikan diri dari-Mu kecuali hanya
kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan
kepada Nabi-Mu yang telah engkau utus.”
Di antara doa yang dengannya diharapkan Allah subhanahu wa ta’ala akan melindungi hamba-Nya dari bahaya ialah doa ketika pagi dan petang,
بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dengan nama Allah yang bersama
nama-Nya tidak ada yang bisa memberi mudarat sesuatu pun di bumi dan di
langit, dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (tiga kali)
Demikian pula doa yang diucapkan setiap singgah di sebuah tempat,
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, dari kejelekan segala sesuatu yang Dia ciptakan.”
Masih banyak lagi doa dan zikir yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua ini mengandung pengobatan terhadap jiwa, roh, dan badan, serta
menjaganya dari gangguan setan dari kalangan manusia dan jin.
- Berkonsultasi dengan dokter penyakit jiwa dan memeriksakan diri di poliklinik syaraf di rumah sakit jiwa. Semoga mereka bisa memberikan solusi pengobatan terhadap penyakit Anda.
Kami memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala
untuk memberikan kesehatan dan keselamatan bagi Anda. Sekali lagi, kami
wasiatkan kepada Anda untuk memperbanyak berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dengan merendahkan diri di hadapan-Nya, dan meminta kesembuhan
kepada-Nya dari penyakit yang menimpa diri Anda. Sebab, Dialah yang
berfirman,
“Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan.” (Ghafir: 60)
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;
Wakil: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah 19/232, fatwa no. 1533)

Muamalah dengan Orangtua
IBU MARAH KETIKA DINASIHATI
Ayahku sudah meninggal dua tahun lalu.
Kebiasaan penduduk negeriku, mereka mengeluarkan para perempuan dan
lelaki ke pekuburan, membuat kue, dan mengundang para penghafal
al-Qur’an untuk membaca bagi ruh si mayit. Aku sama sekali tidak
mengikuti acara tersebut. Aku katakan kepada ibuku bahwa hal ini haram.
Aku juga berusaha menunjuki dan membimbingnya kepada kebenaran dan hal
yang lebih utama. Akan tetapi, ibuku tidak senang terhadap tindakanku.
Pada malam perayaan (masuk) bulan Ramadhan dia mengatakan kepadaku, “Mari kita pergi ke pekuburan.”
Aku jawab, “Perbuatan ini haram.”
Dia pun beranjak dari sisiku dengan
marah. Ia juga mendoakan kejelekan untukku dengan ucapan yang
membangkitkan amarahku. Namun, aku tidak membalas ucapan ibuku. Ia lalu
memutus hubungan denganku.
Aku pergi mengunjunginya di rumahnya,
namun ia tidak menjawab ucapanku. Sampai sekarang, ia masih marah
terhadapku. Berikanlah faedah kepadaku. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalasi Anda dengan yang lebih baik.
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Teruslah menasihati ibu Anda dengan baik
dan lemah lembut. Teruslah mengunjunginya dan berbakti kepadanya.
Jadilah Anda orang yang terlebih dahulu mengucapkan salam kepadanya,
meski dia tidak mau menjawabnya. Jangan patuhi ibu Anda dalam hal
kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Apabila dia menerima nasihat, alhamdulillah. Jika dia terus-menerus melakukan hal yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bergaullah dengannya dengan baik di dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik.” (Luqman: 14—15)
Nasihat Anda kepadanya tidak teranggap
sebagai kedurhakaan, meskipun membuatnya marah, selama hal itu dalam hal
yang baik dan wejangan yang baik.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;
Wakil: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah 25/183—184, fatwa no. 9449)
BERSEDEKAH ATAS NAMA ORANG TUA
Kedua orang tuaku sudah meninggal.
Apabila aku menyembelih kambing lalu aku sedekahkan kepada orang-orang
fakir, apakah bermanfaat kepada ayah dan ibuku yang sudah meninggal?
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Jika Anda menyedekahkan daging, makanan,
atau lainnya, atas nama kedua orang tua Anda, hal ini disyariatkan.
Diharapkan pahalanya sampai kepada keduanya. Hal ini berdasarkan hadits
Sa’d radhiallahu ‘anhu ketika bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apakah aku bersedekah atas nama ibuku yang sudah meninggal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahnya untuk bersedekah atas nama ibunya. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;
Anggota: Abdul Aziz alusy Syaikh, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Bakr bin Abdillah Abu Zaid
(Fatawa al-Lajnah 25/237—238, pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 15918)

Muamalah dengan Nonmuslim
Memiliki Kerabat Nonmuslim
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki saudara lelaki, saudara perempuan, atau anak yang nonmuslim?
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Hendaknya dia mendakwahi kerabatnya yang
bukan muslim atau lainnya kepada Islam. Ia terangkan kepada mereka
tentang berbagai keistimewaan agama ini, syariat dan hukum-hukumnya yang
penuh toleransi. Ia sampaikan pula bahwa pada hari kiamat tidak ada
agama yang diterima dari seorang pun selain Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberinya hidayah melalui tangan Anda. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya yang jelas,
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik; dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Demikian pula firman-Nya,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (asy-Syu’ara: 214)
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa menunjuki (orang lain) kepada kebaikan, dia mendapat pahalasemisal pahala orang yang melakukan kebaikan tersebut.”
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kami dan Anda kepada keridhaan-Nya.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh;
Wakil: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Mani’
(Fatawa al-Lajnah 25/378—379, pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 6872)
MENOLONG ORANG KAFIR YANG KELAPARAN
Jika seorang muslim sedang menempuh
perjalanan dan mendapatkan seorang kafir yang keadaannya sangat
mengenaskan karena kelaparan dan kehausan, bolehkah ia menyelamatkan
orang kafir tersebut? Apakah dia mendapat pahala karena perbuatan itu?
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Ya, dia boleh menyelamatkannya. Bahkan, sudah seharusnya ia melakukannya. Ia akan mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Pada setiap hati yang basah ada pahala.” (Muttafaqun ‘alaih)
Selain itu, amal saleh ini seringkali
membuahkan efek yang positif. Bisa jadi, orang kafir tersebut
mendapatkan hidayah ketika dia tahu bahwa agama Islam memerintahkan
perbuatan baik secara umum.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh;
Wakil: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Mani’
(Fatawa al-Lajnah 25/380, pertanyaan ke-6 dari fatwa no. 264)

Metode Mendidik Anak
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Metode yang baik dalam hal mendidik anak
ialah yang pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
meremehkan. Tidak boleh ada sikap kaku dan keras, namun juga tidak boleh
ada sikap pembiaran.
Seorang ayah mentarbiyah anakanaknya,
mengajari mereka, mengarahkan dan membimbing mereka kepada akhlak yang
utama dan adab yang bagus. Di samping itu, ia juga melarang anaknya dari
setiap perangai dan akhlak yang tercela.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;
Wakil: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah 25/290—291, pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 14755)
MELAMPIASKAN EMOSI DENGAN MEMUKUL ANAK
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:
Anda seharusnya melatih jiwa Anda untuk
bersabar saat ditimpa oleh kesempitan dan musibah. Hendaknya dia mengisi
waktunya dengan shalat, zikrullah, dan berdoa kepada-Nya. Tidak
sepantasnya Anda memukul anak-anak tanpa tujuan memberinya pelajaran.
Wabillahi at-taufiq wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;
Wakil: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa al-Lajnah 25/290, pertanyaan ke-1 dari fatwa no. 10447)

Kotoran di Bawah Kuku, Wudhu Tidak Sah?
Ada silang pendapat di antara ulama dalam masalah ini. Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata dalam al-Mughni (1/174 terbitan Darul ‘Alam al-Kutub) setelah
menukilkan pendapat yang mengatakan wudhunya tidak sah, “Ada kemungkinan
dia tidak diharuskan menghilangkan kotoran yang menutup itu. Sebab,
biasanya memang ada kotoran yang menutup di bawah kuku. Maka dari itu,
seandainya bagian yang tertutup itu wajib dibasuh, tentulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkannya kepada umat, karena tidak boleh menunda penjelasan suatu perkara dari waktu dibutuhkannya penjelasan itu.”
Ini adalah salah satu pendapat yang kuat
di kalangan fuqaha (ahli fiqih) mazhab Hanbali dan dipilih oleh Ibnu
Taimiyah sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat al-’Ilmiyyah (hlm. 21).
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang kotoran di bawah kuku yang panjang dan menghalangi air untuk membasuh bagian itu dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram (pada
syarah hadits Anas tentang lelaki yang pada kakinya ada bagian sebesar
potongan kuku/ sebesar kuku yang tidak terbasuh air wudhu). Beliau
berkata, “Syaikhul Islam memilih pendapat bahwa hal itu dimaafkan dan
fuqaha mazhab Hanbali menyetujuinya, karena sulit untuk menjaga diri dan
menghindar darinya. Kalau kita mengatakan wajib untuk mencungkilnya
setiap kali hendak berwudhu, tentu hal itu memberatkan.”
Pendapat ini pula yang difatwakan oleh al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ al-Fatawa (10/50).
Beliau berkata, “Wudhunya sah. Kotoran yang mungkin saja ada di bawah
kuku tidak menghalangi sahnya wudhu, karena hal itu ringan dan
dimaafkan.”
Wallahu a’lam.
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini.

Mengalami Haid, Tapi Belum Sempat Shalat
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini
Wanita mendapati haid sesudah masuk waktu shalat, tetapi belum mengerjakannya, apa wajib qadha? Jika shalat maghrib, apakah waktu qadha ketika suci juga waktu maghrib, misal suci di siang hari?
Terdapat silang pendapat di antara ulama mengenai wanita yang mendapati waktu shalat lantas datang bulan (haid) sebelum sempat mengerjakannya.
Ini pendapat Malik dan Zufar. Zufar juga meriwayatkan pendapat ini dari Abu Hanifah. Pendapat ini yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana dalam kitab al-Ikhtiyarat. Al-‘Utsaimin mengakui dalam kitab asy-Syarh al-Mumti bahwa alasan pendapat ini sangat kuat.
“Barang siapa mendapati satu rakaat dari suatu shalat berarti dia telah mendapati shalat tersebut.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ini pendapat sebagian fuqaha mazhab Syafi’i. Al-‘Utsaimin menyatakan dalam kitab asy-Syarh al-Mumti’ dan Fath Dzil Jalal wal Ikram bahwa pendapat ini lebih hati-hati. Bahkan, beliau memfatwakan pendapat ini dengan tegas dalam kitab Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il.
Ini adalah mazhab Syafi’i yang dipegang oleh jumhur fuqaha Syafi’iyah dan riwayat kedua dari Ahmad. An-Nawawi rahimahullah menukil silang pendapat yang ada pada mazhab Syafi’i mengenai diperhitungkan tidaknya kadar waktu untuk bersuci selain waktu untuk pelaksanaan shalat itu secara utuh. Ada yang memperhitungkan hal itu, ada pula yang tidak. Yang tidak memperhitungkan kadar waktu untuk bersuci berhujah bahwa memungkinkan baginya bersuci sebelum masuk waktu shalat, kecuali pada orang yang tidak sah bersuci sebelum masuk waktu shalat, seperti wanita yang istihadhah (keluar darah terus-menerus)[2], hal itu diperhitungkan. Inilah yang terkuat dari kedua pendapat tersebut.
Terus terang, pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah (pendapat pertama) dan pendapat terakhir tergolong kuat, tetapi sulit untuk menyelisihi keumuman makna hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, apalagi mengingat bahwa hal itu lebih hati-hati—seperti kata Ibnu ‘Utsaimin. Jika demikian, yang terbaik adalah mengikuti apa yang difatwakan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam hal ini.
Jadi, jika seorang wanita mendapati kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan satu rakaat lantas haid, ia wajib mengqadhanya. Berdasarkan pendapat ini, yang diperhitungkan adalah kadar waktu untuk pelaksanaan satu rakaat semata tanpa memperhitungkan kadar waktu untuk bersuci, sesuai zahir (makna yang tampak dari) hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Wallahu a’lam.[3]
Adapun mengenai waktu mengqadhanya, wajib mengqadhanya kapan saja ia suci dari haid setelah bersuci terlebih dahulu. Jika yang harus diqadha adalah shalat maghrib (misalnya) dan ia suci di siang hari, ia tidak perlu menunggu sampai maghrib, tetapi saat itu juga harus mengqadhanya kemudian menunaikan shalat fardhu yang tiba waktu itu.
Berbeda halnya jika ia suci di ujung waktu shalat fardhu yang hadir waktunya dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untuk pelaksanaan shalat fardhu yang hadir atau satu rakaat darinya[4], ia harus mendahulukan pelaksanaan shalat fardhu yang hadir/tiba itu kemudian mengqadha shalat maghribnya.
Misalnya, ia suci di pertengahan waktu shalat zuhur. Ia segera bersuci, kemudian mengqadha shalat maghrib, kemudian menunaikan shalat zuhur. Jika ia suci menjelang masuknya waktu shalat ashar dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untuk menuaikan shalat zuhur atau hanya cukup untuk menunaikan satu rakaat darinya, hendaknya ia segera bersuci, kemudian menunaikan shalat zuhur, kemudian mengqadha shalat maghrib, kemudian menunaikan shalat ashar.
Contoh lain, seorang wanita suci di pengujung waktu dengan kadar waktu yang hanya cukup untuk pelaksanaan shalat ashar sebelum matahari menguning yang merupakan waktu darurat. Hendaknya ia mendahulukan shalat ashar agar tertunaikan sebelum waktu darurat mengingat tidak boleh menunda pelaksanaan shalat ashar hingga masuk waktu darurat kecuali bagi yang beruzur, baru kemudian mengqadha shalat maghrib.[5]
Wallahul muwaffiq.
[1] Satu rakaat yang dimaksud berupa takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, rukuk, i’tidal (bangkit dari rukuk), sujud dua kali yang diselingi oleh duduk di antara dua sujud. Lihat jawaban “Problema Anda” bertajuk Wanita Suci Dari Haid Setelah Waktu Shalat, Majalah Asy Syariah edisi 6.
[2] Lihat tata cara bersuci wanita istihadhah pada buku kami yang bertajuk Panduan Syar’i Cara Bersuci (hlm. 235 dst.). Adapun tayammum tidak dipersyaratkan harus setelah masuk waktu shalat, tetapi sah kapan saja hendak tayammum. Lihat pula buku kami tersebut pada (hlm. 157).
[3] Lihat kitab al-Mughni (2/47, Dar ‘Alam al-Kutub), al-Inshaf (2/441), al-Majmu’ (3/71—72), Majmu’ al-Fatawa (23/334—335), al-Ikhtiyarat (hlm. 53), asy-Syarh al-Mumti’ (2/128—132, Dar Ibnul Jauzi), Fath Dzil Jalal wal Ikram (1/Kitab ash-Shalah, Bab “Al-Mawaqith” syarah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu “Man Adraka Rak’atan min ash-Shubhi….”, dan Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il (12/218).
[4] Sebab, suci dari haid di pengujung waktu shalat dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untukpelaksanaan satu rakaat, terhitung mendapatkan shalat secara utuh, sehingga terkena kewajiban menunaikan shalat tersebut. Lihat kembali “Problema Anda” dengan tajuk Wanita Suci Dari Haid Setelah Waktu Shalat, Majalah Asy Syariah edisi 6.
[5] Lihat kitab al-Mughni (2/340—344) dan asy-Syarh al-Mumti’ (2/144—145).
Wanita mendapati haid sesudah masuk waktu shalat, tetapi belum mengerjakannya, apa wajib qadha? Jika shalat maghrib, apakah waktu qadha ketika suci juga waktu maghrib, misal suci di siang hari?
Terdapat silang pendapat di antara ulama mengenai wanita yang mendapati waktu shalat lantas datang bulan (haid) sebelum sempat mengerjakannya.
- Tidak wajib mengqadhanya, kecuali jika menundanya hingga sempit waktunya lantas datang bulan (haid), ia wajib mengqadhanya.
Ini pendapat Malik dan Zufar. Zufar juga meriwayatkan pendapat ini dari Abu Hanifah. Pendapat ini yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana dalam kitab al-Ikhtiyarat. Al-‘Utsaimin mengakui dalam kitab asy-Syarh al-Mumti bahwa alasan pendapat ini sangat kuat.
- Wajib mengqadhanya.
- Kadar waktu yang cukup untuk takbiratul ihram.
- Kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan satu rakaat.
“Barang siapa mendapati satu rakaat dari suatu shalat berarti dia telah mendapati shalat tersebut.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ini pendapat sebagian fuqaha mazhab Syafi’i. Al-‘Utsaimin menyatakan dalam kitab asy-Syarh al-Mumti’ dan Fath Dzil Jalal wal Ikram bahwa pendapat ini lebih hati-hati. Bahkan, beliau memfatwakan pendapat ini dengan tegas dalam kitab Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il.
- Kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan shalat wajib waktu itu secara utuh dari awal sampai akhir.
Ini adalah mazhab Syafi’i yang dipegang oleh jumhur fuqaha Syafi’iyah dan riwayat kedua dari Ahmad. An-Nawawi rahimahullah menukil silang pendapat yang ada pada mazhab Syafi’i mengenai diperhitungkan tidaknya kadar waktu untuk bersuci selain waktu untuk pelaksanaan shalat itu secara utuh. Ada yang memperhitungkan hal itu, ada pula yang tidak. Yang tidak memperhitungkan kadar waktu untuk bersuci berhujah bahwa memungkinkan baginya bersuci sebelum masuk waktu shalat, kecuali pada orang yang tidak sah bersuci sebelum masuk waktu shalat, seperti wanita yang istihadhah (keluar darah terus-menerus)[2], hal itu diperhitungkan. Inilah yang terkuat dari kedua pendapat tersebut.
Terus terang, pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah (pendapat pertama) dan pendapat terakhir tergolong kuat, tetapi sulit untuk menyelisihi keumuman makna hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, apalagi mengingat bahwa hal itu lebih hati-hati—seperti kata Ibnu ‘Utsaimin. Jika demikian, yang terbaik adalah mengikuti apa yang difatwakan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam hal ini.
Jadi, jika seorang wanita mendapati kadar waktu yang cukup untuk pelaksanaan satu rakaat lantas haid, ia wajib mengqadhanya. Berdasarkan pendapat ini, yang diperhitungkan adalah kadar waktu untuk pelaksanaan satu rakaat semata tanpa memperhitungkan kadar waktu untuk bersuci, sesuai zahir (makna yang tampak dari) hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Wallahu a’lam.[3]
Adapun mengenai waktu mengqadhanya, wajib mengqadhanya kapan saja ia suci dari haid setelah bersuci terlebih dahulu. Jika yang harus diqadha adalah shalat maghrib (misalnya) dan ia suci di siang hari, ia tidak perlu menunggu sampai maghrib, tetapi saat itu juga harus mengqadhanya kemudian menunaikan shalat fardhu yang tiba waktu itu.
Berbeda halnya jika ia suci di ujung waktu shalat fardhu yang hadir waktunya dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untuk pelaksanaan shalat fardhu yang hadir atau satu rakaat darinya[4], ia harus mendahulukan pelaksanaan shalat fardhu yang hadir/tiba itu kemudian mengqadha shalat maghribnya.
Misalnya, ia suci di pertengahan waktu shalat zuhur. Ia segera bersuci, kemudian mengqadha shalat maghrib, kemudian menunaikan shalat zuhur. Jika ia suci menjelang masuknya waktu shalat ashar dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untuk menuaikan shalat zuhur atau hanya cukup untuk menunaikan satu rakaat darinya, hendaknya ia segera bersuci, kemudian menunaikan shalat zuhur, kemudian mengqadha shalat maghrib, kemudian menunaikan shalat ashar.
Contoh lain, seorang wanita suci di pengujung waktu dengan kadar waktu yang hanya cukup untuk pelaksanaan shalat ashar sebelum matahari menguning yang merupakan waktu darurat. Hendaknya ia mendahulukan shalat ashar agar tertunaikan sebelum waktu darurat mengingat tidak boleh menunda pelaksanaan shalat ashar hingga masuk waktu darurat kecuali bagi yang beruzur, baru kemudian mengqadha shalat maghrib.[5]
Wallahul muwaffiq.
[1] Satu rakaat yang dimaksud berupa takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, rukuk, i’tidal (bangkit dari rukuk), sujud dua kali yang diselingi oleh duduk di antara dua sujud. Lihat jawaban “Problema Anda” bertajuk Wanita Suci Dari Haid Setelah Waktu Shalat, Majalah Asy Syariah edisi 6.
[2] Lihat tata cara bersuci wanita istihadhah pada buku kami yang bertajuk Panduan Syar’i Cara Bersuci (hlm. 235 dst.). Adapun tayammum tidak dipersyaratkan harus setelah masuk waktu shalat, tetapi sah kapan saja hendak tayammum. Lihat pula buku kami tersebut pada (hlm. 157).
[3] Lihat kitab al-Mughni (2/47, Dar ‘Alam al-Kutub), al-Inshaf (2/441), al-Majmu’ (3/71—72), Majmu’ al-Fatawa (23/334—335), al-Ikhtiyarat (hlm. 53), asy-Syarh al-Mumti’ (2/128—132, Dar Ibnul Jauzi), Fath Dzil Jalal wal Ikram (1/Kitab ash-Shalah, Bab “Al-Mawaqith” syarah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu “Man Adraka Rak’atan min ash-Shubhi….”, dan Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il (12/218).
[4] Sebab, suci dari haid di pengujung waktu shalat dengan kadar waktu yang tersisa hanya cukup untukpelaksanaan satu rakaat, terhitung mendapatkan shalat secara utuh, sehingga terkena kewajiban menunaikan shalat tersebut. Lihat kembali “Problema Anda” dengan tajuk Wanita Suci Dari Haid Setelah Waktu Shalat, Majalah Asy Syariah edisi 6.
[5] Lihat kitab al-Mughni (2/340—344) dan asy-Syarh al-Mumti’ (2/144—145).

Al-Lathif
Mahalembut terhadap hamba-Nya, Maha Mengetahui hal-hal yang lembut, itulah al-Lathif, salah satu asma’ul husna yang Dia subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
“Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan
Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” (al-An’am: 103)
“Apakah Allah Yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); sedangkan Dia
Mahalembut lagi Maha Mengetahui?” (al-Mulk: 14)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyebutkan nama Allah al-Lathif dalam sebuah hadits,
“Wahai Aisyah, ada apa denganmu? Nafasmu tampak terengah-engah.”
Aisyah menjawab, “Tidak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, “Engkau harus mengabarkan kepadaku atau Allah akan
mengabariku, Yang Maha Mengetahui hal-hal yang lembut dan Maha Berilmu.”
(Sahih, HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Penulis kitab an-Nihayah berkata, “Pada nama Allah اللَّطِيفُ ( al-Lathif)
terkumpul makna kelembutan dalam bab perbuatan, dan dalam bab ilmu
terhadap maslahat-maslahat yang lembut, serta menyampaikannya kepada
makhluk-Nya yang Allah takdirkan untuk memperolehnya.
Ungkapan,
لَطَفَ بِهِ وَلَهُ
Maknanya ialah berbuat lembut padanya.
Adapun ungkapan لَطُفَ dengan harokat dhammah pada huruf tha’ maknanya kecil atau lembut.”
Ar-Raghib rahimahullah berkata, “(Dalam bahasa Arab) sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan indra terkadang diungkapkan dengan kata al-Latha’if. Bisa jadi, dari sisi inilah Allah subhanahu wa ta’ala disifati dengan nama al-Lathif, yakni bermakna bahwa Allah subhanahu wa ta’ala
Maha Mengetahui hal-hal yang lembut. Bisa jadi pula, maknanya ialah
Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya dalam hal memberikan hidayah
kepada mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya.” (asy-Syura: 19)
“Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Yusuf: 100)
Dengan demikian, Allah Mahalembut
terhadap hamba-Nya dalam urusanurusan yang ada dalam diri hamba
tersebut, yakni yang terkait langsung dengan dirinya, dan lembut
terhadapnya pada urusan-urusan yang di luar dirinya. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala
menggiring hamba- Nya kepada apa yang menjadi maslahat baginya, dari
arah yang hamba itu sendiri tidak merasa. Ini adalah buah dari
pengetahuan Allah, rahmat-Nya dan kemurahan-Nya.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa nama ini memiliki dua makna.
- Bermakna al-Khabir, yang berarti ilmu-Nya meliputi hal-hal yang rahasia, yang tersembunyi, yang tersimpan dalam dada, dan segala sesuatu yang lembut. Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu yang mungkin bagi-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terlewat dari ilmu Allah subhanahu wa ta’ala dan pengetahuan-Nya.
- Kelembutan-Nya terhadap hamba-Nya dan wali-Nya yang ingin Dia beri karunia, meliputinya dengan kelembutan-Nya dan kemurahan-Nya, mengangkatnya ke derajat yang tinggi, memberikan kemudahan untuknya, dan menjauhkan-Nya dari kesulitan.
Karena itu, mengalirlah pada dirinya berbagai ujian dan berbagai ragam cobaan—yang Allah subhanahu wa ta’ala ketahui mengandung maslahat, kebahagiaan, dan akibat yang baik baginya, di dunia dan akhirat. Misalnya, Allah subhanahu wa ta’ala
menguji para nabi dengan gangguan dari kaumnya kepada mereka dan dengan
jihad di jalan-Nya. Allah menguji para walinya dengan sesuatu yang
mereka benci agar Dia memberi mereka apa yang mereka sukai.
Inilah makna ucapan Ibnul Qayyim, “Maka
dari itu, Allah memperlihatkan kepadamu kemuliaan-Nya,” yakni dengan
mengujimu melalui sesuatu yang tidak engkau sukai; serta “Dia tampakkan
kelembutan-Nya,” yakni pada akibat yang terpuji dan akhir yang
membahagiakan.
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Betapa banyak hamba yang memperoleh berbagai keinginan dunia
yang dia cari, baik berupa wilayah, kepemimpinan, atau suatu sebab yang
disukai, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memalingkannya dari hal tersebut karena kasih sayang-Nya kepadanya, agar hal tersebut tidak membahayakan urusan agamanya.
(Ketika itu) seorang hamba akan bersedih
karena ketidaktahuannya dan karena tidak mengenal Rabbnya. Padahal
apabila dia tahu apa yang disembunyikan untuknya di alam gaib dan apa
yang dikehendaki sebagai kebaikan untuknya, tentu dia akan memuji Allah
dan mensyukuri-Nya karena itu. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya serta Mahalembut terhadap para wali-Nya.” (Dinukil dari Syarah Nuniyyah karya Muhammad Khalil Harras)
Buah Mengimani Nama Allah al-Lathif
Dengan mengimani nama Allah al-Lathif,
seseorang akan memahami betapa besar kelembutan-Nya terhadap dirinya,
berbagai kenikmatan Allah berikan dari arah yang dia ketahui maupun yang
tidak. Ketika seseorang mengimani nama Allah al-Lathif, dia
akan lebih merasaskan betapa besarnya kelembutan Allah terhadapnya.
Berbeda halnya ketika seseorang belum mengetahui nama Allah al-Lathif, barangkali ia tak begitu berpikir tentang berbagai kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut pada dirinya.
Di samping itu, keimanan terhadap nama Allah al-Lathif ini
akan membuahkan kehati-hatian seseorang ketika bertindak dengan
lahiriah dan batiniahnya. Sebab, semuanya diketahui oleh Allah. Selembut
apa pun, Allah mengetahuinya. Mahabesar Allah dan Mahaluas ilmu-Nya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita agar selalu melakukan hal-hal yang diridhai-Nya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Posting Komentar