
Di Balik Keagungan Kitab Suci Al-Qur’an
Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
Al-Qur’an adalah wahyu ilahi, bukan produk budaya.[1] Keberadaannya sebagai kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) memosisikannya sebagai kitab suci yang mulia. Ia bukan makhluk, bukan perkataan Malaikat Jibril ‘alaihissallam, bukan perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula perkataan makhluk manapun. Allah ‘azza wa jalla telah menulisnya secara sempurna dalam Lauh Mahfuzh sejak langit dan bumi belum tercipta.
Demikianlah yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas c dan selain beliau dari as-Salaf (pendahulu umat ini) yang mulia.[2] Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Haa Miim. Demi kitab (al-Qur’an)
yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa
arab supaya kalian memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam
induk al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi
(nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (az-Zukhruf: 1—4)
“Bahkan, yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (al-Buruj: 21—22)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini
adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh
Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan,
diturunkan dari Rabbil ‘alamin.” (al-Waqi’ah: 77—80)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Al-Qur’an telah ditulis oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Lauh Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi.” (Syifa’ul ‘Alil, hlm. 41)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menegaskan bahwa ini adalah perkataan as-Salaf dan Ahlus Sunnah tentang al-Qur’an. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hlm. 225 dan Syarh al-Aqidah as-Safariniyah 1/215, catatan kaki no. 1)
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkannya ke Baitul ‘Izzah di langit dunia secara sekaligus pada malam Lailatul Qadar yang penuh berkah di Bulan Suci Ramadhan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadr.” (al-Qadr: 1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (ad-Dukhan: 3)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (al-Baqarah: 185)
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkannya ke dunia kepada Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril ‘alaihissallam
selama 23 tahun secara berangsur-angsur. Dengan sebuah hikmah, agar
lebih mudah dalam proses penyampaian dan pengajarannya kepada umat, dan
lebih mengokohkan jiwa beliau dalam menghadapi berbagai ujian dan
tantangan yang ada. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini
benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dia dibawa turun oleh
ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi
salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (asy-Syu’ara’: 192—194)
“Dan al-Qur’an itu telah Kami
turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan
kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (al-Isra’: 106)
“Berkatalah orang-orang yang kafir,
‘Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya secara sekaligus
saja?’; demikianlah supaya Kami mengokohkan jiwamu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (al-Furqan: 32)
Abdullah bin Abbas c berkata, “Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian menurunkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara terperinci selama 23 tahun, sesuai dengan kasus dan peristiwa yang ada.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Dalam kurun waktu 23 tahun itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada para sahabatnya,mengajarkan
tafsir (rincian makna)-nya, dan mencontohkan berbagai bentuk
pengamalannya dalam kehidupan sebagai pembelajaran dan keteladanan
terbaik untuk mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi
anugerah kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara
mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, dan sesungguhnya
sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan bahwa al-Qur’an mempunyai dua keadaan; tertulis (maktub) dan didengar (masmu’). Adapun yang tertulis (maktub) maka ada pada tiga hal:
1) Lauh Mahfuzh, ditulis padanya al-Qur’an secara sempurna dari awal hingga akhir.
2) Baitul Izzah di langit dunia. Allah ‘azza wa jalla menurunkan al-Qur’an (dari Lauh Mahfuzh) secara sekaligus dalam bentuk tulisan dan menempatkannya di Baitul Izzah.
3) Mushaf al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin.
Dalam tiga hal ini, tidak ada peran dari Malaikat Jibril sama sekali. Berikutnya, al-Qur’an yang tertulis di Lauh Mahfuzh, Baitul Izzah, dan Mushaf al-Qur’an semuanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) bukan makhluk. Adapun yang didengar (masmu’) maka terjadi saat al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla menyampaikannya kepada Malaikat Jibril ‘alaihissallam dengan huruf (lafadz) dan maknanya yang didengar, kemudian Malaikat Jibril ‘alaihissallam menyampaikannya secara langsung apa yang didengarnya dari Allah ‘azza wa jalla tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan dengan cara seperti itu. (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 382 dan Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah 1/363)
Kedudukan Al-Qur’an dalam Kehidupan Umat Manusia
Al-Qur’an merupakan pedoman dan lentera
kehidupan bagi umat manusia. Kedudukannya sangat tinggi dan hikmah yang
dikandungnya pun sangat berharga. Di dalamnya terdapat lautan ilmu,
petunjuk kepada jalan yang lurus, cahaya kebenaran, rahmat, dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab
(al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada
kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari al-Kitab yang
kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah
datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan
(al-Qur’an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu
pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya
yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk
dicurahkan kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk
dikerahkan kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena, karena ia
sumber segala ilmu dan hikmah, tempat semua petunjuk dan rahmat.
Al-Qur’an merupakan bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat
bagi orang-orang yang berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa
berpegang teguh dengannya maka sungguh telah berpegang dengan tali yang
kuat. Barang siapa yang berjalan di atasnya maka sungguh telah berjalan
di atas jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal mustaqim.” (Al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)
Tak heran, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghasung umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.
Dengannya, predikat terbaik akan diraih dan dengannya pula berbagai
kebaikan akan selalu mengiringi perjalanan hidup mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari no. 5027, dari sahabat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)
Al-Qur’an, Kitab Suci yang Sangat Terpelihara
Al-Qur’an kitab suci yang sangat
terpelihara. Tidak akan datang kepadanya kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya. Karena yang menurunkannya ialah Allah ‘azza wa jalla Dzat yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Dia ‘azza wa jalla telah berjanji memeliharanya untuk selama-lamanya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Yang tidak datang kepadanya
(Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Rabb yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Lebih dari itu, al-Qur’an berkedudukan sebagai tolok ukur kebenaran terhadap kandungan kitab-kitab sebelumnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu
al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan tolok ukur kebenaran
terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (al-Maidah: 48)
Demikian agung dan terpeliharanya Kitab
Suci al-Qur’an. Namun, di mata kaum Syi’ah yang sesat ternyata tidak
demikian adanya. Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam tak lagi
dianggap suci oleh mereka, bahkan tidak sah dan kurang dari yang
aslinya.
Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di
sisi kaum muslimin) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini
2/634 dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya
al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu (ada) 17.000 ayat.”
Pada 1/239—240 disebutkan dari Abu Abdillah, dia berkata, “Sesungguhnya di sisi kami ada Mushaf Fatimah ‘alaihas salam,
mereka tidak tahu apa Mushaf Fatimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa
mushaf Fatimah itu?’ Dia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf yang isinya 3
kali lipat dari yang ada di mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya
satu huruf pun dari al-Qur’an kalian’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 31—32)
“Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (al-Kahfi: 5)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an
ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (al-Isra’: 88)
Al-Qur’an Kalamullah, Bukan Makhluk
Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang paling mendasar adalah keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), bukan makhluk. Allah ‘azza wa jalla berfirman dengannya secara hakiki, dengan huruf (lafadz) dan maknanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk dari keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla dan kitab-kitab-Nya adalah beriman bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) yang diturunkan dari Allah ‘azza wa jalla, bukan makhluk. Dari Allah ‘azza wa jalla al-Qur’an itu berasal dan kepada-Nya pula ia akan kembali. Allah ‘azza wa jalla berfirman (berkata) dengannya secara hakiki. Al-Qur’an yang Allah ‘azza wa jalla turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) secara hakiki, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh menyatakan bahwa al-Qur’an hikayat tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) atau ungkapan tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla).
Bahkan, jika al-Qur’an itu dibaca oleh manusia atau ditulis dalam
mushaf-mushaf, tidaklah mengeluarkan dia dari kedudukannya sebagai
kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) yang sebenarnya.
Sebab, sebuah perkataan disandarkan hanya kepada yang pertama kali
mengatakannya, tidak kepada pihak (kedua, -pen.) yang berstatus sebagai
penyampainya. Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), huruf (lafadz) dan maknanya. Kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) itu bukanlah huruf (lafadz) semata tanpa makna, dan bukan pula makna semata tanpa huruf (lafadz).” (al-Aqidah al-Wasithiyah)
Prinsip Ahlus Sunnah tersebut sungguh berbeda dengan prinsip kelompok sesat Mu’tazilah[3] dan Jahmiyah[4] yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Berawal dari niatan ingin menyucikan Allah ‘azza wa jalla
dari sifat-sifat makhluk-Nya—dengan mengandalkan akal tanpa bimbingan
ilmu—akhirnya terjatuh dalam sikap yang lebih ekstrem, yaitu ta’thil
(meniadakan) sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla secara total, termasuk sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla. Dengan itu, mereka menetapkan bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak mempunyai sifat berbicara alias bisu. Mahasuci Allah ‘azza wa jalla
dari pernyataan keji mereka itu. Karenanya, para ulama Ahlus Sunnah
menyatakan, “Barang siapa mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk maka
dia kafir.”
Allah ‘azza wa jalla telah
menetapkan sifat kalam (berbicara) untuk diri-Nya yang Mahamulia
sebagaimana yang terdapat dalam banyak ayat dari al-Qur’an, demikian
pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya. Tentunya, sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla
tersebut sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak serupa sama
sekali dengan sifat makhluk-Nya. Adapun al-Qur’an, dengan tegas Allah ‘azza wa jalla menyatakan bahwa ia adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla) sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya sempat mendengar kalamullah (Al-Qur’an), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (at-Taubah: 6)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Padanya terdapat hujah (argumen) yang gamblang bagi mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa al-Qur’an kalamullah
bukan makhluk, karena Dia ‘azza wa jalla yang berfirman dengannya (al-Qur’an). Allah ‘azza wa jalla
menyandarkan (mengidhafahkan) al-Qur’an kepada diri-Nya sebagai bentuk
penyandaran sifat kepada Dzat yang disifati (yakni Allah ‘azza wa jalla).
Padanya pula terdapat bukti kebatilan mazhab Mu’tazilah dan yang
mengikuti mereka yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Betapa
banyak dalil yang menunjukkan batilnya pernyataan tersebut, namun bukan
di sini tempat untuk membahasnya.” (Taisir al-Karimirrahman 1/329)
Kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah yang
membantah syubhat-syubhat Mu’tazilah dan Jahmiyah cukup banyak,
terkhusus dalam permasalahan al-Qur’an. Di antaranya; ar-Rad ‘ala az-Zanadiqah wal Jahmiyah karya al- Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ar-Rad ‘ala al-Jahmiyah karya al-Imam Muhammad bin Ishaq bin Mandah rahimahullah, ar-Rad ‘ala al-Jahmiyah karya al-Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi rahimahullah, al-Haidah wa al-I’tidzar firraddi ‘ala Man Qala Bikhalqi al-Qur’an karya al-Imam Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani rahimahullah, dan yang lainnya.
Prinsip Ahlus Sunnah tersebut juga sangat berbeda dengan prinsip kelompok sesat Kullabiyah[5] yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah hikayat tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla), atau kelompok sesat Asya’irah[6] yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah ungkapan tentang kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla).[7]
Dasar mereka adalah bahwa sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla adalah qadim (azali), sama dengan sifat ilmu (mengetahui) bagi Allah ‘azza wa jalla, sehingga tidak berbilang karena adanya suatu kehendak atau kejadian. Maka dari itu, al-Qur’an adalah kalam nafsi bagi Allah ‘azza wa jalla bukan kalam hakiki. Maksudnya, Allah ‘azza wa jalla berbicara dalam jiwanya (tidak terdengar), lantas menjadikan Malaikat Jibril ‘alaihissallam paham tentangnya, kemudian Malaikat Jibril–lah yang mengungkapkannya dalam bentuk firman yang mempunyai huruf dan lafadz (suara). Jadi, maknanya berasal dari Allah ‘azza wa jalla sedangkan lafadznya dari Malaikat Jibril ‘alaihissallam. (Ajwibah Mufidah ‘an As’ilah ‘Adidah, asy-Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hlm. 26 dan Syarh al- Aqidah ath-Thahawiyah karya asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh hlm. 113)
Menurut asy-Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah,
prinsip Asya’irah tentang al-Qur’an ini sama dengan prinsip orang
Kristen tentang Isa al-Masih. Menurut orang Kristen, Isa al-Masih
merupakan gabungan dari Dzat Allah ‘azza wa jalla dan Maryam (makhluk). Demikian pula menurut Asya’irah, al-Qur’an merupakan gabungan dari Dzat Allah ‘azza wa jalla dan makhluk. Yakni maknanya dari Allah ‘azza wa jalla (kalam nafsi), sedangkan huruf dan lafadznya dari Malaikat Jibril ‘alaihissallam atau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 98)
Para ulama Ahlus Sunnah dalam kitab-kitab mereka menjelaskan bahwa sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla “qadimun nau’ wa haditsul ahad”. Qadimun nau’ maksudnya, sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla itu qadim (azali), selalu ada dan melekat pada Dzat Allah ‘azza wa jalla. Haditsul ahad maksudnya, Allah ‘azza wa jalla Maha Berbicara kapan saja Dia ‘azza wa jalla
berkendak untuk berbicara, sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran-Nya.
Dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla
berbicara secara hakiki, dengan huruf (lafadz) dan maknanya. Tidak
dengan huruf (lafadz)-nya semata tanpa maknanya sebagaimana klaim
Mu’tazilah dan Jahmiyah, dan tidak pula dengan maknanya semata tanpa
huruf (lafadz) sebagaimana klaim Kullabiyah dan Asya’irah. Dengan
itulah, pemahaman tentang sifat kalam (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla menjadi benar, dan dengan itu pula pemahaman tentang hakikat al-Qur’an menjadi lurus.[8]
Kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah yang
membantah secara detail kelompok sesat Asya’irah dan yang semisalnya
cukup banyak, di antaranya Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (di beberapa tempat darinya), kitab at-Tis’iniyah karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang disebutkan padanya sembilan puluh
sisi bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, karena itu disebut dengan
at-Tis’iniyah, karya-karya al-Imam Ibnul Qayyim terutama kitab Mukhtashar ash-Shawaiq al-Mursalah, dan selainnya dari kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah yang mulia.
Demikianlah yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah (hlm. 113), dan asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah dalam Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah (hlm. 119) dan Syarh al-Aqidah al- Wasithiyah (1/354).
Ya Allah, jadikanlah al-Qur’an itu
sebagai penyejuk hati kami, cahaya jiwa kami, pelipur lara kesedihan
kami, dan penyirna kegundahan kami.
[1]
Belakangan ini muncul statemen sesat bahwa al-Qur’an adalah produk
budaya, dalam hal ini budaya masyarakat Arab yang al-Qur’an turun di
tengah-tengah mereka. Statemen ini datang dari antek-antek para
orientalis barat, semisal Nasr Hamid Abu Zaid asal Mesir. Ujungnya,
al-Qur’an bukan kitab suci yang sakral sehingga layak dikritisi secara
teks apalagi maknanya karena ia hanyalah produk budaya. Betapa bahayanya
statemen tersebut. Fakta membuktikan bahwa al-Qur’an adalah wahyu ilahi
yang justru banyak membongkar berbagai kesesatan budaya Arab ketika
itu, bahkan memaparkan jalan-jalan kebenaran yang sebelumnya tidak
mereka ketahui. Lebih dari itu, al-Qur’an meluruskan makna kosa kata
Arab yang lekat dengan budaya mereka kepada makna yang islami. Misalnya
kosa kata ikhwah, dalam budaya Arab ketika itu berkonotasi pada
kekuatan dan fanatik kesukuan, lantas diubah maknanya dengan
memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun di atas dasar iman,
yang lebih tinggi dari sebatas hubungan darah dan kesukuan.
[2] Lihat Tafsir Ibnu Abbas (2/135), Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (15/223—224), Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (1/225), dan Adhwa’ul Bayan karya asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, tafsir QS. Fushshilat: 2 dan QS. al-Qadr: 1
[3] Pengikut Abu Hudzaifah Washil bin Atha’ al-Ghazzal al-Bashri, mantan murid al-Imam Hasan al-Bashri yang
menyimpang dari kebenaran.
[4]
Pengikut Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang merupakan murid dari Ja’ad
bin Dirham. Ja’ad bin Dirham sendiri tergolong orang pertama dari umat
ini yang meniadakan sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
[5] Pengikut Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri.
[6]
Pengikut Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang berpegang dengan
prinsip-prinsip beliau pada fase ketika bersama Kullabiyah. Adapun
beliau sendiri, telah menyatakan rujuk dari berbagai penyimpangan
tersebut dan berupaya berpijak di atas prinsip Ahlus Sunnah (fase
ketiga), walaupun masih ada beberapa hal yang terluput dari beliau.
Lihat Majalah asy-Syari’ah edisi Mengupas Paham Asy’ariyah.
[7] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (12/160—161).
[8] Lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala Matni al-Aqidah ath-Thahawiyah karya asy-Syaikh Shalih al-Fauzan (hlm. 66—71), Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah karya asy-Syaikh Muhammad Khalil al-Harras (hlm. 181—187), Syarh Lum’atul I’tiqad karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (hlm. 19—20), dll.

Surat Pembaca Edisi 99
Catatan Kaki dan Sambungan
Afwan pada edisi 98 hlm. 78, catatan
kaki no. 1 tidak ada. Kemudian pada halaman 69 dikatakan bersambung ke
hlm. 103, setelah dicek ternyata tidak ada.
Wahidin-Jakarta Selatan
- Jawaban Redaksi
Anda benar,
sambungan dari halaman 69 seharusnya ke halaman 107 bukan 103. Adapun
catatan kaki no. 1 hlm. 78 seharusnya tertulis, “HR. al-Bukhari no. 1339
dan Muslim no. 2372 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.” Jazakumullahu khairan. Jawaban ini sekaligus sebagai ralat.
Zikir Setelah Shalat Witir
Saya baru baca majalah Asy-Syari’ah edisi
97/1435 hlm. 32 rubrik “Tanya Jawab Ringkas” ada menemui kejanggalan.
Disebutkan bahwa zikir khusus setelah witir tidak ada. Jadi, subhaanal malikil qudduus …dst apa bukan zikir?
Drs. Sudarno-Medan
08126xxxxxx
- Jawaban Redaksi
Benar, zikir
tersebut disunnahkan setelah witir dan hanya itu yang disunnahkan. Yang
kami maksud tidak ada sunnahnya adalah membaca zikir setelah witir
sebagaimana zikir setelah shalat fardhu. Mohon maaf atas kesalahan ini.
Jazakumullahu khairan atas koreksi Anda.
Bahasan Tentang Bersuci
Isi dari majalah Asy-Syariah benar-benar
ilmiah, ana ada usul pembahasan tentang bersuci (dari alif hingga ya)
dibuat bersambung seperti pembahasan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ahmad Fikri al-Bali
- Jawaban Redaksi
Pembahasan tentang bersuci telah kami angkat secara berseri pada rubrik yang sama sebelum pembahasan tentang Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun tentang usulan agar dibukukan, Anda bisa membaca buku terbitan
kami, Panduan Syar’i Cara Bersuci. Jazakumullahu khairan.
Nama-Nama Islami
Terima kasih sudah mengangkat tema
tentang menyambut kelahiran buah hati pada Vol. VIII/No. 96/1434 H/2013.
Kalau boleh saya usul, agar majalah Asy-Syariah mengangkat
kembali tema tersebut namun dengan lebih fokus lagi ke nama-nama yang
baik bagi muslim dan muslimah. Edisi yang saya pikir dapat menjadi
inspirasi bagi orang tua yang sedang menyambut kelahiran buah hati.
Edisi yang menulis nama-nama yang indah beserta makna dan tokoh dengan
nama tersebut baik dari kalangan muslim atau muslimah, rasul atau
sahabat, ulama atau tokoh, baik dalam al-Qur’an.
081328xxxxxx
- Jawaban Redaksi
Tentang
nama-nama Islami memang kami hanya menyinggung sedikit, terutama
kaidah-kaidah dalam memberi nama. Mungkin ke depan usulan Anda akan
menjadi pertimbangan kami. Jazakumullahu khairan.

Pengantar Redaksi Edisi 99
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Di antara rahmat Allah ‘azza wa jalla, Dia mengutus para nabi dan rasul agar memberi peringatan dan kabar gembira kepada manusia. Allah ‘azza wa jalla
juga menurunkan kitab-kitab-Nya bersama mereka sebagai petunjuk jalan
bagi manusia di tengah kegelapan. Ini tentu menjadi nikmat yang sangat
besar. Namun, sadarkah kita akan nikmat ini? Sadarkah manusia bahwasanya
sebelum diutusnya nabi dan diturunkannya kitab, mereka dalam kesesatan
yang nyata?
Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mengimani semua kitab yang Allah
‘azza wa jalla turunkan, baik yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan namanya maupun tidak, sebagai kalam Allah ‘azza wa jalla
yang wajib dipegang teguh oleh setiap nabi dan kaumnya. Hingga datang
syariat al-Qur’an yang wajib dipegang oleh seluruh manusia di sepanjang
masa dan tempat, membenarkan apa yang sudah dijelaskan pada kitab-kitab
sebelumnya, memperbarui serta mengoreksi ajaran-ajaran sebelumnya yang
telah diubah dan dirusak oleh kaumnya.
Maka, mengimani kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla adalah perkara yang sangat pokok dalam kehidupan. Dalam banyak ayat al-Qur’an Allah ‘azza wa jalla menyebutkan azab dan kebinasaan yang menimpa umat terdahulu sebagai akibat pendustaan mereka terhadap kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla. Demikian pula azab akhirat. Allah ‘azza wa jalla
kabarkan bahwa orangorang yang kufur terhadap al-Qur’an dan
merendahkannya dengan perkataan, “Al- Qur’an hanyalah ucapan manusia”
akan Allah ‘azza wa jalla campakkan ia ke dalam neraka Saqar, setelah kehinaan yang dia sandang di kehidupan dunia.
Namun, keimanan terhadap kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla
tentu bukan sekadar mengatakan, “Saya telah mengimani kitab-kitab-Nya.”
Ada beberapa perkara yang harus kita imani dan amalkan sebagai bukti
keimanan kepada kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla, di antaranya: meyakini dengan pasti tanpa sedikit pun keraguan bahwa kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla semuanya turun dari sisi Allah ‘azza wa jalla. Juga meyakini bahwa kitab-kitab tersebut, adalah kalam (firman) Allah ‘azza wa jalla, bukan makhluk. Allah ‘azza wa jalla
berbicara (berfirman) secara hakiki sesuai dengan kehendak-Nya. Jadi,
apa yang tertulis dalam mushaf, dihafalkan dalam dada, dilafadzkan
dengan lisan, direkam dalam kaset-kaset, ataupun diperdengarkan dalam
siaran-siaran radio, semua itu kalam Allah ‘azza wa jalla bukan
perkataan Jibril bukan pula perkataan Nabi Muhammad n. Masih banyak
lagi konsekuensi dari keimanan kita terhadap al-Qur’an.
Al-Qur’an juga bersifat universal, berlaku untuk jin dan manusia, dari segala ras dan suku bangsa. Al-Qur’an juga Allah ‘azza wa jalla tetapkan sebagai kitab yang berlaku dan menjadi pedoman hingga akhir zaman. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla menjamin penjagaannya dari segala macam perubahan hingga akhir zaman, baik perubahan lafadz maupun makna.
Kini, dari masa ke masa al-Qur’an terus dihafal jutaan umat Islam, al-Qur’an masih diambil dengan cara talaqqi dan ‘ardh sehingga
sanadnya masih bersambung hingga kepada Rasulullah n. Tidak ada satu
pun kesalahan pasti diluruskan, dan tidak ada satu pun upaya mengubah
al-Qur’an pasti terbongkar makarnya.
Inilah yang menjadikan teolog kristiani
dan Yahudi merasa geram dan hasad menyaksikan penjagaan al-Qur’an yang
luar biasa, yang tidak mereka dapatkan pada Taurat dan Injil. Kedua
“kitab” yang bertabur kontradiksi itu menjadi salah satu bukti nyata
bahwa di dalamnya terdapat banyak perubahan. Mungkin ini adalah salah
satu alasan mengapa kalangan awam Nasrani dilarang mempelajari kitab
mereka dengan serius. Pembacaan al-Kitab dibatasi pada para penginjil.
Demikianlah al-Qur’an yang begitu
istimewa, yang akan terus dijaga Allah lhingga hari akhir. Maka dari
itu, di tengah maraknya kitab-kitab palsu, masihkah kita ragu akan
kebenaran al-Qur’an?
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Umar bin al-Khaththab dan Shabigh
Nafi’ rahimahullah, maula Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma mengisahkan,
Shabigh bin ‘Asal al-‘Iraqi suka
mempertanyakan beberapa hal (yang mutasyabih) tentang al-Qur’an di
kota-kota kaum muslimin, hingga dia sampai di Mesir. ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu (Gubernur Mesir saat itu) kemudian (menangkap dan) mengirimnya kepada Khalifah Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu (di Madinah).
Ketika sang utusan menemui ‘Umar radhiallahu ‘anhu membawa surat (dari ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu), beliau membacanya kemudian bertanya, “Mana orangnya?” Sang utusan menjawab, “Di kendaraan.”
Umar mengatakan, “Periksalah, jangan
sampai dia melarikan diri sehingga engkau akan mendapatkan hukuman yang
menyakitkan dariku.” Sang utusan pun membawanya kepada Umar radhiallahu ‘anhu.
Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepada Shabigh, “Engkau menanyakan sesuatu yang muhdats (bid’ah).”
Beliau lantas meminta diambilkan pelepah
kurma yang masih basah, lalu memukul punggung Shabigh dengannya. Beliau
membiarkannya hingga sembuh. Kemudian beliau mengulanginya dan
membiarkannya hingga sembuh.
Kemudian Umar radhiallahu ‘anhu
meminta Shabigh didatangkan untuk beliau pukul kembali. Shabigh
berkata, “Jika Anda ingin membunuhku, bunuhlah dengan cara yang baik.
Namun, jika Anda ingin mengobatiku (dari bid’ah), sungguh aku telah
sembuh.”
Shabigh pun diizinkan pulang ke negerinya. Umar radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu
(gubernur negeri tempat tinggal Shabigh) agar melarang kaum muslimin
duduk bermajelis dengan Shabigh. Hal ini sangat berat dirasa oleh
Shabigh.
Abu Musa radhiallahu ‘anhu kemudian menulis surat kepada kepada Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Shabigh telah bertobat dengan baik. Setelah itu, barulah Umar radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada Abu Musa radhiallahu ‘anhu agar mengizinkan kaum muslimin bermajelis dengan Shabigh.
(Riwayat ad-Darimi no. 148, Ibnu Wadhdhah no. 63, al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/194, diambil dari Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur hlm. 146)

Tempatkan Manusia Sesuai Kedudukannya
Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْزِلُوْا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
“Tempatkan manusia pada posisi mereka.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud rahimahullah dalam Sunannya no. 4842, dari hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha. Namun sayang sekali hadits ini dhaif, kata Abu Dawud sendiri, “Maimun Ibnu Abi Syubaib yang membawakan hadits ini dari Aisyah radhiallahu ‘anha, tidak bertemu dengan Aisyah.”
“Jadi, riwayat Maimun dari Aisyah radhiallahu ‘anha tidak muttashil (tidak bersambung sanadnya),” kata Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam al-Marasil (hlm. 214).
Karena hadits di atas lemah, kita tidak dapat berhujah dengannya. Namun, dalam nash-nash syariat
yang lain, kita memang disyariatkan untuk bersikap hikmah, yaitu
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memosisikan sesuatu pada
posisinya. Bukankah Allah ‘azza wa jalla, Rabb kita, adalah
Dzat yang Mahahakim (memiliki hikmah) dalam penciptaan dan takdir-Nya,
Mahahakim dalam syariat-Nya, Hakim dalam perintah dan larangan-Nya?
Dia ‘azza wa jalla memerintah
hamba-Nya untuk bersikap hikmah dan memerhatikan sikap ini dalam segala
sesuatu. Demikian pula perintah dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seluruhnya beredar di atas hikmah.
Kita juga diperintah untuk bersikap hikmah dalam menghadapi manusia, dalam seluruh muamalah.
Perlu kita ketahui, manusia itu terbagi dua:
- Yang memiliki hak khusus, seperti kedua orang tua, anak-anak, karib kerabat, tetangga, teman-teman, ulama, dan lain-lain.
Mereka ditempatkan pada kedudukannya,
dengan menunaikan hak-hak mereka yang diakui oleh syariat dan kebiasaan
manusia, yaitu berbuat baik, menyambung hubungan rahim, memuliakan,
memberi kelapangan, dan hak lainnya. Mereka yang masuk bagian pertama
ini memiliki keisitimewaan dari manusia yang lain dalam sisi hak mereka
yang khusus.
- Kelompok yang tidak memiliki kelebihan yang berupa hak khusus.
Yang ada hanyalah hak Islam dan hak insaniyah (hak
sebagai manusia). Mereka yang masuk ke dalam kelompok ini haknya sama
atau berserikat. Mereka tidak diganggu dan tidak dimadarati; baik dengan
ucapan maupun perbuatan, kita sukai untuk mereka apa yang kita sukai
untuk diri kita, dan sebaliknya membenci untuk mereka apa yang kita
benci untuk diri kita.
Termasuk sikap hikmah adalah bergaul
dengan manusia sesuai dengan kedudukan dan posisi mereka. Orang yang
lebih tua dihormati, yang lebih muda dikasihi.
Berbicara kepada para pemimpin, apakah
raja atau orang yang memegang tampuk kekuasaan, haruslah dengan ucapan
yang lembut sesuai dengan martabat mereka. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam saat diperintah untuk mendakwahi Fir’aun, raja yang durjana,
“Pergilah kalian berdua (Musa
bersama Harun) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.
Berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut,
mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (Thaha: 43—44)
Adapun kepada ulama, orang-orang yang
berilmu tentang syariat ini, muamalah dengan mereka dalam bentuk
memuliakan mereka, bersikap tawadhu kepada mereka, menampakkan kebutuhan
kita terhadap ilmu mereka yang bermanfaat, dan mendoakan kebaikan untuk
mereka; terlebih lagi saat mereka sedang memberikan taklim dan fatwa.
Termasuk sikap hikmah adalah memerintah
anak kecil kepada kebaikan dan melarangnya dari keburukan dengan cara
yang lembut. Di samping itu, kita melakukan cara-cara yang diperkenankan
guna mendorong mereka kepada kebaikan. Kita menjauhi cara kasar dan
keras, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk
shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila
tidak mengerjakan shalat) saat usia mereka sepuluh tahun.” (HR Abu Dawud dan Ahmad 2/187, dari riwayat ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya dan sanad ini hasan. Hadits ini memiliki syawahid/pendukung. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 247)
Ketika bergaul dengan mualaf, orang yang dibujuk hatinya kepada Islam agar senang dengan Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sifat hikmah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memberikan kepada mereka harta yang banyak. Dengan itu,
diharapkan mereka bertambah senang dalam berislam sehingga akan
diperoleh kemaslahatan. Sementara itu, untuk para sahabat beliau yang
sudah dikenal kejujuran imannya justru tidak beliau berikan.
Hal ini dikisahkan dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membagi-bagikan harta untuk beberapa orang, sementara saat itu Sa’d
sedang duduk di majelis tersebut. Ada seseorang yang lebih baik dari
mereka yang mendapat bagian, ternyata tidak diberi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bertanyalah Sa’d karena heran, “Mengapa
Anda tidak memberi si Fulan? Padahal demi Allah, saya memandangnya
adalah seorang mukmin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah seharusnya engkau mengatakan bahwa dia seorang muslim[1]?”
Sa’d pun terdiam sejenak. Akan tetapi,
apa yang diketahuinya tentang orang yang tidak diberi tersebut
mendorongnya untuk mengulangi ucapannya, “Mengapa Anda tidak memberi si
Fulan? Padahal demi Allah, saya memandangnya adalah seorang mukmin.”
Tiga kali Sa’d mengulanginya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memberikan jawaban yang sama, “Tidakkah seharusnya engkau mengatakan bahwa dia seorang muslim?”
Setelah itu, baru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
يَا سَعْدُ، إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ، وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ فِي النَّارِ
“Wahai Sa’’d! Aku memberi seseorang
padahal orang yang selainnya lebih aku cintai, karena khawatir (apabila
orang tersebut tidak aku beri) Allah akan menelungkupkannya dalam api
neraka.” (HR. al-Bukhari no. 27 dan Muslim no. 150)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melapangkan pemberiannya kepada orang yang menampakkan keislaman dalam
rangka membujuk hatinya. Suatu ketika, saat memberikan harta kepada
mualaf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan bagian kepada seorang lelaki dari kalangan Muhajirin. Sa’d mengajak bicara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang urusan orang tersebut karena Sa’d memandang justru orang itu
lebih berhak mendapat bagian daripada yang lain. Karena yakin akan apa
yang dipandangnya, Sa’d sampai mengulang-ulangi pernyataannya.
Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing Sa’d kepada dua hal:
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu Sa’d tentang hikmah pemberian beliau kepada mereka yang diberi dan alasan orang yang lebih beliau cintai tidak diberi; yaitu apabila seorang mualaf tidak diberi bagian, dikhawatirkan dia akan murtad dari Islam sehingga temasuk penghuni neraka.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing Sa’d untuk tidak menyanjung seseorang dalam urusan batin. Adapun untuk perkara zahir, tidak terlarang. (Fathul Bari, 1/109—110)
Kembali kepada masalah hikmah. Ketika
mengajak bicara istri dan anak-anak yang masih kecil, gunakanlah hikmah,
yaitu ucapan yang layak untuk mereka dan bisa menyisipkan kebahagiaan
pada diri mereka.
Di antara sikap hikmah dalam hal sedekah
dan hadiah ialah tidak menyamakan pemberian kepada pengemis yang
berkeliling meminta-minta kepada manusia dan cukup diberi satu-dua butir
kurma atau satu-dua suapan, dengan pemberian kepada seorang fakir yang
menjaga diri dari meminta-minta.
Termasuk sikap hikmah pula, membedakan
pemberian kepada seseorang yang berjasa bagi kaum muslimin dan sering
memberi kemanfaatan kepada orang banyak, dengan orang yang keadaannya
tidak seperti itu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Faedah dari Bahjah Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar fi Syarhi Jawami’ al-Akhbar, karya al-Allamah as-Sa’di, hlm. 40—43)
[1]
Bukan memastikan dia seorang mukmin, karena kalimat demikian merupakan
tazkiyah yang memastikan bahwa iman telah benar-benar menghujam dalam
kalbu orang tersebut, yang dengan itu dia pasti masuk surga. Padahal,
urusan kalbu siapa yang tahu selain Allah ‘azza wa jalla ?

Fatwa Seputar Talak
SOLUSI SEBELUM JATUH TALAK
Islam tidaklah menetapkan talak atau
perceraian selain sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan pertikaian
antara suami istri. Sebelumnya Islam pasti memberikan jalan agar
pasangan yang bertikai bisa berbaikan kembali. Mohon dijelaskan kepada
kami solusi tersebut.
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah menjawab sebagai berikut.
Allah ‘azza wa jalla mensyariatkan ishlah atau
menyelesaikan problem yang ada di antara suami istri dengan menempuh
cara-cara yang dapat merukunkan kembali hubungan di antara keduanya
sehingga perceraian bisa dihindarkan. Cara-cara yang dimaksud (apabila
yang bermasalah pihak istri, misalnya si istri berbuat durhaka) adalah
nasihat, pemboikotan, dan pukulan yang ringan, ketika dua cara yang
pertama tidak bermanfaat.
Hal ini berdasar firman Allah ‘azza wa jalla,
“Istri-istri yang kalian khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka.” (an-Nisa’: 34)
Apabila masalahnya datang dari kedua belah pihak, suami dan istri, caranya adalah mengirim dua hakam (yang
bertindak sebagai pemutus perkara di antara kedua suami istri). Satu
dari keluarga suami dan satu dari keluarga istri. Dua hakam ini akan membicarakan bagaimana cara menyelesaikan pertikaian yang ada di antara suami istri tersebut.
Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kalian khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang hakam (juru pendamai)
dari keluarga laki-laki (suami) dan hakam dari keluarga istri. Jika
kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami istri tersebut.” (an-Nisa: 35)
Apabila usaha-usaha yang dilakukan tidak
bermanfaat dan tidak membawa perbaikan, justru pertikaian terus
berlanjut, disyariatkan kepada suami untuk menjatuhkan talak dan
diizinkan kepada istri untuk meminta khulu’ atau menebus dirinya dengan harta, jika suaminya tidak mau melepaskannya selain dengan cara si istri menebus dirinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya.” (al-Baqarah: 229)
Berpisah dengan cara baik-baik tentu
lebih disenangi daripada pertikaian dan perselisihan yang berkelanjutan
dan tiada berujung, yang berarti maksud dan tujuan disyariatkannya
pernikahan tidak tercapai. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.” (an-Nisa: 130)
Ada hadits sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Tsabit bin Qais al-Anshari radhiallahu ‘anhu
melepas istrinya yang tidak sanggup hidup bersamanya. Si istri tidak
bisa mencintainya dan bersedia mengembalikan kebun yang dahulu menjadi
mahar pernikahannya dengan Tsabit. (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya)
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil ‘Aqaid wal ‘Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hlm. 951—952)
KAPAN TALAK ITU SAH & HIKMAHNYA
Kapan seorang istri sah ditalak oleh suaminya? Apakah hikmah dari pembolehan talak?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah menjawab sebagai berikut.
Seorang istri dianggap telah ditalak
ketika suaminya menjatuhkan talak kepadanya, dalam keadaan si suami
adalah seorang yang berakal. Dia sadar melakukannya tanpa ada paksaan.
Tidak ada pada dirinya penghalang yang menghalangi jatuhnya talak,
seperti penyakit gila, mabuk, dan semisalnya. Sementara itu, ketika
talak dijatuhkan, si istri dalam keadaan suci, tidak sedang haid, yang
dalam masa suci tersebut suaminya belum pernah menggaulinya, ataupun
dalam keadaan si istri hamil atau telah berhenti haid. Apabila istri
yang ditalak dalam keadaan haid, nifas, atau sedang suci namun suaminya
pernah menggaulinya dalam masa suci tersebut, tidaklah jatuh talak
menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat ulama. Berbeda
halnya apabila qadhi/ hakim syar’i menghukumi talak tersebut sah atau
teranggap. Sebab, keputusan hakim akan menghilangkan perselisihan yang
terjadi dalam masalah-masalah ijtihadiah.
Demikian pula apabila suami berpenyakit
gila, dipaksa, atau sedang mabuk, talak yang dijatuhkannya tidak
teranggap, menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat yang
ada.
Demikian pula ketika suami sedang marah
besar yang membuatnya kehilangan akal, tidak memikirkan madarat yang
akan muncul dari perceraian tersebut, talak tidak teranggap. Sebab
kemarahannya jelas, disertai dengan pembenaran dari si istri yang
ditalak bahwa suaminya memang mengucapkan talak karena sangat marah,
atau adanya saksi yang jelas yang diterima persaksiannya tentang hal
tersebut.
Dalam keadaan-keadaan seperti ini. talak yang diucapkan tidaklah jatuh. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: الصَّغِيْرُ حَتَّى بَيْلُغَ، وَالنَّائِمُ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالْمَجْنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ
“Pena diangkat dari tiga orang: anak
kecil hingga dia baligh, orang yang tidur sampai dia terbangun, dan
orang gila sampai dia sadar dari gilanya/waras kembali.”[1]
Firman Allah ‘azza wa jalla,
Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia akan beroleh kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal kalbunya tetap tenang dalam keimanan (maka dia tidaklah berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya kepada kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan untuknya azab yang besar.” (an-Nahl: 106)
Apabila orang yang dipaksa berbuat
kekafiran saja tidak kafir apabila kalbunya tetap tenang dalam keimanan,
orang yang dipaksa untuk menalak istrinya tentu lebih utama dinyatakan
talaknya tidak teranggap, apabila tidak ada faktor lain yang
mendorongnya untuk mentalak istrinya selain paksaan tersebut.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ طَلاَقَ وَلاَ عِتَاقَ فِي إِغْلاَقٍ
“Tidak ada talak, tidak pula pemerdekaan budak dalam keadaan pikiran tertutup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh al-Hakim)[2]
Sekumpulan ulama, di antaranya al-Imam Ahmad rahimahullah, menafsirkan kata al-ighlaq (dalam hadits di atas) dengan al-ikrah (pemaksaan) dan kemarahan yang sangat.
Utsman ibnu Affan radhiallahu ‘anhu
dan sekumpulan ulama lainnya memfatwakan tidak jatuhnya talak orang
yang mabuk (yang pikirannya berubah karena mabuk), walaupun di sisi lain
dia berdosa (karena telah menghilangkan akalnya dengan mabukmabukan).
Adapun hikmah dibolehkannya talak, jelas
sekali. Sebab, seorang suami terkadang tidak ada kecocokan dengan
istrinya atau si istri sering membuatnya marah karena sebab tertentu.
Bisa jadi, si istri lemah akalnya, kurang agamanya, jelek adabnya, atau
semisalnya. Allah ‘azza wa jalla memberikan jalan keluar bagi si suami dengan menalak istri tesebut dan mengeluarkannya dari tanggung jawabnya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.” (an-Nisa: 130)
(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil ‘Aqaid wal ‘Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hlm. 952—953)
[1] HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih dalam Irwau’’azza wa jalla Ghalil no. 297.
[2] Dinyatakan hasan dalam Shahih Ibni Majah.

Belajar Tanpa Campur Baur
Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Serombongan wanita sahabiyah pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kabar Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Mereka datang untuk mengadu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohon jalan keluarnya.
غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ. فَكاَنَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ: مَا مِنْكُمُ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ: وَاثْنَيْنِ
“Kaum lelaki mengalahkan kami untuk
mendapatkan ilmu darimu (karena banyaknya lelaki di majelismu). Oleh
karena itu, mohon tentukanlah untuk kami satu hari yang engkau khususkan
untuk kami belajar darimu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut
baik keinginan dan harapan mereka dengan menjanjikan satu hari yang
khusus. Beliau akan menemui mereka di hari tersebut guna menasihati dan
memberi perintah kepada mereka (dari urusan agama ini). Di antara yang
beliau sampaikan kepada mereka di majelis khusus tersebut adalah, “Tidak
ada satu wanita pun yang meninggal tiga anaknya[1]
(lalu dia bersabar dan mengharapkan pahala atas musibah tersebut),
melainkan anak itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.”
Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini,
berkatalah seorang wanita di antara mereka, “Bagaimana kalau yang
meninggal itu dua anak?” Beliau menjawab, “Ya, dua anak juga.”
Dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan tempat taklim mereka,
مَوْعِدُكُنَّ بَيْتُ فُلاَنَةَ. فَأَتَاهُنَّ فَحَدَّثَهُنَّ
“Tempat pertemuan dengan kalian
adalah rumah Fulanah.” Beliau lalu mendatangi mereka di rumah tersebut
dan menyampaikan ilmu kepada mereka.
Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-‘Ilmi, bab “Hal Yuj’al Lin-Nisa’ Yaumun ‘ala Hiddah fil ‘Ilm” (no. 101 dan 102).
Pembaca yang mulia, semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Anda…
Dalam hal kewajiban mencari ilmu syar’i
dan mengamalkannya, wanita memang sama dengan pria. Jadi, seorang wanita
dituntut sebagaimana yang dituntut dari seorang pria terkait dengan
ilmu yang wajib dia amalkan dalam kesehariannya[2].
Majelis ilmu di kota Madinah, di mana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu dari langit, disesaki oleh kaum pria. Mereka ini—para sahabat yang mulia radhiallahu ‘anhum—sangat bersemangat mendapatkan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka berlomba-lomba mendatangi majelis beliau dan duduk dekat dengan beliau.
Mereka menyadari bahwa yang mereka cari
adalah ilmu yang merupakan kebahagiaan, keselamatan, dan kesuksesan
mereka di dunia, lebih-lebih lagi di akhirat kelak. Karena banyaknya
lelaki yang hadir, kaum wanita dari kalangan sahabiyah tidak mungkin
menembus kerumunan tersebut karena rasa malu bercampur baur dengan
lelaki. Apalagi telah datang larangan ikhtilath (campur baur) dengan lawan jenis. Para wanita terpaksa harus puas mendengarkan sedikit ilmu karena mayoritas majelis Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam didominasi oleh kaum lelaki.
Namun, sebagian mereka tidak
menginginkan hal itu terus berlarut. Sebab, mereka juga haus akan ilmu
dan ingin meminumnya dari sumbernya yang asli. Permintaan majelis khusus
mereka utarakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disambut baik oleh beliau. Terjadilah kesepakatan waktu dan tempat antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka. Berlangsunglah majelis khusus tersebut….
Pesan yang tersampaikan lewat hadits di
atas demikian jelas, yaitu tidak boleh wanita bercampur baur dengan
lelaki, walaupun untuk belajar ilmu agama yang menjadi kewajiban setiap
muslim—sebagaimana hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan beberapa sahabat yang lain,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu (agama) wajib bagi setiap muslim.”[3]
Apabila belajar agama saja tidak boleh ikhtilath,
lantas bagaimana gerangan jika yang dipelajari itu bukan ilmu agama?
Tentu lebih tidak boleh! Seandainya bercampur baur dalam taklim
dibolehkan, niscaya para wanita sahabiyah akan memaksakan diri hadir di
majelis umum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus menembus kumpulan lelaki yang banyak. Bukankah ilmu agama wajib dipelajari?! Akan tetapi, karena ikhtilath tidak diperbolehkan, mereka pun tidak melakukannya.
Namun, bukan berarti ketidakbolehan ikhtilath dijadikan
dalil untuk meninggalkan belajar agama di majelis taklim. Sebab, ada
solusi yang diberikan oleh hadits di atas, yaitu disiapkan waktu dan
tempat yang khusus bagi para wanita yang ingin belajar. Dengan demikian,
diharapkan akan diperoleh maslahat yang murni, tidak bercampur dengan
mafsadat.
Apabila sulit atau tidak memungkinkan
pengkhususan waktu bagi wanita, maka bisa dengan cara memisahkan tempat
belajar antara kedua jenis. Lelaki di tempat tersendiri, terpisah dari
wanita, demikian pula sebaliknya.
Hal ini dicontohkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat pelaksanaan shalat Id. Setelah menyampaikan khutbah umum di hadapan jamaah laki-laki, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani oleh Bilal radhiallahu ‘anhu
menuju tempat kaum wanita dan menyampaikan nasihat khusus untuk mereka
karena khawatir nasihat umum yang telah beliau sampaikan sebelumnya
tidak terdengar disebabkan tempat mereka yang terpisah. Di antara yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam nasihatkan adalah agar mereka banyak bersedekah karena mayoritas penghuni neraka adalah kalangan wanita. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
menyebutkan beberapa faedah dari hadits tentang shalat Id ini. Di
antaranya ialah disenangi memberikan nasihat kepada kaum wanita,
mengajari mereka hukum-hukum Islam, dan mengingatkan kewajiban mereka.
Disenangi pula mendorong mereka untuk bersedekah dan mengkhususkan pemberian taklim bagi mereka di majelis yang terpisah. Hal itu dilakukan apabila aman dari godaan dan mafsadat[4]. (Fathul Bari, 2/603)
Kembali kepada hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menjadi pokok pembicaraan kita. Hadits ini adalah dalil larangan belajar dalam keadaan ikhtilath,
yaitu pelajar putri berada dalam satu ruangan dengan pelajar putra
tanpa pemisah di antara keduanya. Apalagi bila pelajar putri tidak
memakai hijab yang syar’i, dan justru ber-tabarruj (bersolek
menampakkan kecantikannya), hal ini adalah kerusakan tersendiri. Jadilah
kerusakan di atas kerusakan. Kita bisa mengambil beberapa poin yang
dipahami dari hadits ini[5]:
- Larangan bercampur baur antara pria dan wanita walaupun dalam belajar ilmu agama.
- Seorang lelaki atau seorang ustadz yang bersifat amanah[6] boleh memberikan taklim kepada sekelompok wanita, tetapi tidak boleh berdua-duaan dengan salah seorang dari mereka.
- Apabila lelaki/ustadz yang memberikan pengajaran tersebut bersamanya ada satu atau dua orang lelaki yang lain (yang bukan sebagai pengajar), hendaknya yang hadir itu memang dibutuhkan. Apabila tidak diperlukan, tidak sepantasnya dia hadir di majelis khusus wanita.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang menjadi pembicaraan kita. Abu Said radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bisa menyebutkan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita di tempat taklim mereka yang khusus dan bisa menyebutkan pertanyaan si wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Secara zahir, ini menunjukkan bahwa keduanya hadir di situ hingga bisa menceritakan apa yang berlangsung di majelis tersebut.
Contoh lainnya adalah saat mendatangi tempat para wanita dalam shalat Id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditemani oleh Bilal radhiallahu ‘anhu
yang bertugas mengumpulkan sedekah dari para wanita dengan
membentangkan bajunya hingga mereka melemparkan perhiasan yang mereka
kenakan ke baju tersebut.
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, “Di dalamnya ada adab mengajak bicara para wanita untuk
memberikan nasihat atau hukum, yaitu hendaknya tidak ada lelaki yang
hadir selain orang yang memang dibutuhkan kehadirannya, baik sebagai
saksi maupun yang semisalnya.” (Fathul Bari, 2/600)
- Keberadaan seorang lelaki di tempat yang di situ ada sekumpulan wanita tidaklah dianggap khalwat (besepi-sepi/berduaan), karena khalwat adalah berdua-duaannya seorang pria dengan seorang wanita.
- Ketakwaan para wanita sahabiyah dan jauhnya mereka dari bercampur baur dengan para lelaki dalam keadaan mereka sangat ingin beroleh ilmu.
- Anak-anak kaum muslimin yang meninggal saat masih kecil adalah penghuni surga.
- Orang tua yang kehilangan tiga atau dua anaknya yang masih kecil, dalam keadaan dia bersabar dan mengharapkan pahala, akan dijauhkan dari api neraka serta dimasukkan ke dalam surga, setelah dia beriman dan bertauhid tentunya. Terlebih lagi apabila anaknya yang meninggal lebih dari tiga.
- Musibah yang menimpa seorang mukmin akan menghapuskan dosanya dan mengangkat derajatnya.
- Wanita boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu agama dan memenuhi kebutuhannya yang lain dengan memerhatikan adab ketika keluar rumah.
fsadat.
- Wanita boleh berbicara dengan pria untuk menyampaikan kebutuhannya—tentu saja bicara seperlunya tanpa berpanjang kata—atau bertanya tentang masalah agamanya, dengan memerhatikan adab berbicara dengan lawan jenis, di antaranya berbicara dengan baik, tidak mendayu-dayu atau bersuara manja dan tidak melembutkan suara sebagaimana ucapan seorang istri kepada suaminya.
- Dengan adanya perintah hijab, maka pengajaran yang disampaikan seorang lelaki kepada sekelompok wanita dianjurkan dari balik tabir dalam rangka menjaga kesucian hati masing-masing. Dan tidak boleh bermudah-mudah dalam hal ini dengan memasang tabir yang pendek sehingga kepala sang ustadz bisa terlihat ketika dia berdiri, atau tipis transparan sehingga gerak-gerik jamaah wanita yang hadir bisa terlihat oleh sang ustadz.
Jangan pula hijab hanya saat taklim.
Adapun setelah bubar taklim, saat jamuan makan yang disediakan tuan
rumah, misalnya, sang ustadz tiba-tiba saja sudah berada di
tengah-tengah para wanita.
Dari negeri Yaman, putri al-’Allamah asy-Syaikh al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah hafizhahallah pernah mengirim surat kepada kami sebagai balasan surat yang dikirimkan kepada beliau. Beliau adalah seorang mustafidah (seorang yang memberikan faedah ilmu kepada sesamanya) yang dipuji oleh sang ayah[7].
Di antara isi suratnya, beliau
memberikan arahan kepada wanita yang menuntut ilmu agama untuk belajar
dari seorang guru (tidak belajar sendiri/otodidak). Beliau juga
menyebutkan, tidak mengapa belajar ilmu agama melalui tangan seorang
syaikh (guru laki-laki atau ustadz), dengan syarat aman dari godaan dan
dilakukan dari belakang hijab/tabir pemisah, karena selamatnya kalbu tidak bisa diimbangi oleh apa pun.[8]
Beliau juga mengatakan bahwa apabila ada guru/pengajar wanita yang berpegang dengan sunnah (sunni) yang mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, belajar kepada mereka lebih baik….
Demikian penggalan surat yang bertanggal Sabtu, 20 Ramadhan 1418 H, 16 tahun yang lalu….
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pembatasan,
ثَلاَثَةً لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ
“Tiga anak yang belum mencapai usia baligh.”
[2] Al-Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang ilmu agama yang seperti apa yang wajib dipelajari. Beliau menjawab,
“Ilmu yang seseorang tidak boleh tidak tahu tentangnya, terkait dengan urusan shalatnya, puasanya, dan semisalnya. “ (Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hlm. 10)
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qasim al-Hambali an-Najdi rahimahullah—seorang alim yang hidup dalam rentang 1312—1392 H, dalam penjelasannya terhadap kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah—mengatakan,
“Apa yang wajib diamalkan oleh seseorang, seperti pokok-pokok keimanan,
syariat-syariat Islam, perkara-perkara haram yang wajib dihindari,
perkara yang dibutuhkan dalam muamalah dan semisalnya yang sebuah
kewajiban tidak akan sempurna terkecuali dengannya, maka semua itu wajib
dipelajari.” (Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hlm. 10)
[3] Hadits hasan dengan syawahidnya. Lihat tahqiq Abu al-Asybal az-Zuhairi terhadap kitab Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/69 dst.
[4] Sebab, yang mengajari mereka adalah lelaki, sehingga dikaitkan dengan aman dari godaan.
[5] Ditambahkan dari kitab Lin Nisa’ Ahkam wa Adab, Syarhu al-Arba’in an-Nisa’iyah, Muhammad ibnu Syakir asy-Syarif, hlm. 118—119.
[6]
Seorang lelaki yang amanah dan menjaga agamanya tentu tidak akan
bermudah-mudah berhubungan dengan wanita, walaupun dia adalah orang yang
didakwahi atau muridnya, baik dalam bentuk menggampangkan berbicara via
telepon, SMS, maupun sarana lainnya. Wallahul musta’an.
[7] Di antara ucapan asy-Syaikh Muqbil rahimahullah tentang putrinya, “Allah ‘azza wa jalla
lah yang memberi taufik kepada Ummu Abdillah untuk menuntut ilmu,
kemudian menjadikannya cinta untuk meneliti permasalahan ilmu dan
menulis.
Dia—semoga Allah ‘azza wa jalla menjaganya—memberikan pengajaran kepada saudari-saudarinya fillah dalam bidang hadits, tajwid, mushthalah, dan nahwu. Allah ‘azza wa jalla menjadikannya berfaedah bagi sesama, dalam bentuk pengajaran kepada saudari-saudarinya fillah dan penelitiannya yang berkesinambungan terhadap kitab-kitab ulama.
Aku pernah berkata kepadanya (karena
melihatnya terus menyibukkan diri dengan penelitian ilmiahnya),
‘Kasihanilah dirimu wahai putriku!’
Dia menjawab, ‘Sungguh, jika kami
melihat perjalanan hidup para ulama kita, kami dapati diri kami bukanlah
apa-apa (belum berbuat apa-apa terhadap agama Allah ‘azza wa jalla yang agung).’
Ucapannya ini membuatku terdiam. Ummu Abdillah tidak pernah belajar di bangku sekolah, apakah ibtidaiyah (SD), terlebih lagi mutawassithah (SMP) dan tsanawiyah (SMU).
Dia tidak pernah duduk di bangku kuliah, tidak bergelar magister
ataupun doktor. Namun, saya memandang penelitiannya lebih bagus daripada
penelitian yang dilakukan oleh para peneliti. Ini adalah keutamaan yang
diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Mukaddimah kitab ash-Shahih al-Musnad min asy-Syamail al-Muhammadiyyah, 1/9, karya Ummu Abdillah)
[8]
Selamatnya kalbu itu penting, wahai saudariku! Maka dari itu, janganlah
Anda semua bermudah-mudah berhubungan dengan ajnabi, walaupun itu
ustadz Anda!

Sebuah Asa dari Rasul Pertama
Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran
Harapan akan anak yang saleh—yang baik dan selamat dunia akhirat—bukan semata-mata milik kita. Harapan ini bahkan dimiliki oleh para nabi dan rasul yang menjadi teladan kita. Ini menunjukkan bahwa harapan seperti ini adalah harapan yang mulia. Inilah yang kita lihat dalam diri Rasul yang pertama, Nuh ‘alaihissalam.
Rentang waktu perjalanan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam
bukanlah waktu yang pendek. Sembilan ratus lima puluh tahun beliau
menyeru umat dengan berbagai cara, disertai kesabaran dan ketelatenan,
untuk meninggalkan kehinaan paganisme, kembali mulia dengan berpegang
teguh kepada tauhidullah. Termasuk pula keluarga beliau yang menjadi
sasaran dakwah mulia ini. Akan tetapi, tidak ada yang menerima dakwah
beliau selain sedikit.
Allah ‘azza wa jalla mewahyukan kepada beliau bahwa kaumnya yang mendustakan beliau itu akan dibinasakan. Diperintahkanlah Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk membuat sebuah bahtera guna menyelamatkan orangorang yang berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla.
Beliau pun melaksanakan perintah itu dengan penuh ketundukan dan
ketaatan, di tengah-tengah gencarnya olokan, hinaan, cercaan, dan
seluruh bentuk pendustaan kaumnya yang durhaka.
Allah ‘azza wa jalla mengabadikan kisah kebinasaan kaum Nuh—termasuk anak beliau sendiri—dalam Kitab-Nya yang mulia,
“Hingga apabila perintah Kami datang
dan permukaan bumi telah memancarkan air, Kami berfirman, ‘Muatkanlah
ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang, dan
keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya, dan
muatkanlah pula orang-orang yang beriman’. Dan tidak beriman bersama
dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian
ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan
berlabuhnya. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang’.” (Hud: 40—41)
Berlayarlah bahtera itu mengarungi air
bah yang bakal membinasakan orang-orang yang kafir dengan izin Allah. Di
tengah terpaan gelombang air bah yang laksana gunung itu, Nabi Nuh ‘alaihissalam
melihat anaknya, darah dagingnya, berada di tempat yang jauh dan
terpencil, berusaha menyelamatkan diri dari kebinasaan. Nabi Nuh ‘alaihissalam mengetahui, pada hari itu tidak akan ada orang kafir yang selamat dari azab dan kemurkaan Allah ‘azza wa jalla. Begitu pula anak beliau ini. Masih tebersit asa dalam hati Nabi Nuh ‘alaihissalam agar anaknya selamat dari kemurkaan Rabbul ‘alamin yang menimpa orangorang kafir. Beliau memanggil dan menyeru anaknya agar mau mendekat dan turut ke dalam bahtera.
“Dan bahtera itu berlayar membawa
mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang
anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku! Naiklah
bersama kami, dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir!’.” (Hud: 42)
Namun, malang tak dapat ditolak, untung
tak dapat diraih, ternyata anak yang diseru dengan penuh kesabaran ini
memilih sebagaimana pilihan kaum yang ingkar. Masih dengan
kesombongannya, dia tetap mendustakan seruan sang ayah. Allah ‘azza wa jalla menetapkan anak Nabi yang mulia ini termasuk orang yang celaka.
Dengan pongah dia katakan, dia akan mendaki gunung yang bisa melindunginya dari amukan gelombang pasang yang dahsyat melanda.
Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” (Hud: 43)
Nabi Nuh ‘alaihissalam masih
belum berhenti menyadarkan anaknya yang durhaka ini. Beliau ingatkan,
tak ada satu pun—baik gunung maupun selainnya—yang dapat menyelamatkan
apabila Allah ‘azza wa jalla telah murka, walaupun segala upaya yang mungkin telah dia lakukan. Dirinya tidak akan selamat jika Allah ‘azza wa jalla tidak menyelamatkannya.
Nuh berkata, “Hari ini tidak ada yang dapat melindungi dari azab Allah, kecuali orang yang dirahmati-Nya.” (Hud: 43)
Namun, ketetapan Allah ‘azza wa jalla tetaplah berlaku.
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang- orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya ditelan gelombang air bah, Nabi Nuh ‘alaihissalam merasa sedih. Didorong oleh rasa sayang kepada sang anak, Nabi Nuh ‘alaihissalam memohon kepada Allah ‘azza wa jalla apa yang telah Dia janjikan ketika memerintahkan agar Nabi Nuh ‘alaihissalam mengangkut dalam bahteranya setiap binatang sepasang, serta keluarga beliau. Allah ‘azza wa jalla menjanjikan akan menyelamatkan keluarga beliau.
Dan Nuh menyeru Rabbnya sembari
berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang
seadiladilnya.” (Hud: 45)
Nabi Nuh ‘alaihissalam menyangka, janji itu berlaku untuk seluruh keluarga beliau. Karena itulah, beliau berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla dengan permohonan seperti itu. Namun, di sisi lain, Nabi Nuh ‘alaihissalam tetap mengembalikan urusan ini sepenuhnya kepada hikmah Allah ‘azza wa jalla yang Mahasempurna. Kemudian Allah ‘azza wa jalla menerangkan bahwa anak Nabi Nuh termasuk orang-orang yang ingkar, enggan beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, sehingga tidak layak untuk diselamatkan. Allah ‘azza wa jalla menegur Nabi Nuh ‘alaihissalam pula agar tidak memohon kepada-Nya sesuatu yang tidak beliau ketahui kesudahannya, apakah kebaikan atau keburukan.
Allah berfirman, “Wahai Nuh,
sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik.
Karena itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak
mengetahui (kesudahan)nya. Sesungguhnya Aku memberikan peringatan
kepadamu agar kamu tidak termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 46)
Nabi Nuh ‘alaihissalam amat menyesali perbuatannya itu. Beliau pun memohon ampun kepada Rabbnya.
Nuh berkata, “Wahai Rabbku,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu sesuatu
yang aku tidak mengetahui (kesudahan)nya. Dan sekiranya Engkau tidak
memberi ampunan kepadaku, serta tidak menaruh belas kasihan kepadaku,
niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hud: 47)
Kisah kesabaran beliau yang diabadikan
di dalam al-Qur’an ini membuahkan sebuah keteladanan betapa beliau
sangat bersemangat memberikan bimbingan dan arahan kepada anaknya.
Semoga Allah ‘azza wa jalla mudahkan kita untuk mengambil pelajaran dari ini semua.
Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
Sumber Bacaan:
Al-Huda an-Nabawi fi Tarbiyatil Aulad, asy-Syaikh Dr. Sa ’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 6—7

Makelar dalam Jual Beli
Bismilah. Saya mau bertanya tentang permasalahan seputar jual beli.
- Jual beli yang dikenal dengan istilah “belantik”, caranya menjualkan barang dari pemilik barang kepada pembeli.
Contohnya, A berniat menjual sepeda
seharga Rp50.000, lalu saya menjualkan sepeda A kepada B sebagai pembeli
dengan penawaran harga Rp100.000. Si B membayar sepeda tersebut
Rp100.000 kepada saya. Lalu saya bayarkan Rp50.000 kepada A dan saya
mendapat keuntungan Rp50.000 dari hasil menjualkan sepeda A tersebut.
Pertanyaannya, apakah jual beli yang saya lakukan tersebut sesuai dengan
syariat?
- Saya menitipkan dagangan kepada pemilik toko untuk dijualkan.
Caranya, saya titip barang ke toko
dengan harga Rp.1.000, lalu terserah toko, barang tersebut akan dijual
dengan harga berapa. Yang penting, jika barang terjual, toko membayar
Rp.1.000 kepada saya, sesuai dengan harga yang saya tetapkan.
Bolehkah jual beli seperti ini? Saya
mohon penjelasannya, karena saya berdagang dengan cara seperti ini. Saya
khawatir terjatuh ke dalam jual beli yang diharamkan.
Abu Abdul Aziz—Lampung
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Sistem jual beli yang ditanyakan hukumnya boleh. Hal ini dikenal dalam syariat dengan istilah samsarah atau
makelaran. Akan tetapi, pada contoh yang pertama, makelar harus
mendapat izin dari pemilik barang untuk mengambil keuntungan
sekehendaknya (tentunya dalam batas kewajaran).
Makelaran disebut dalam bahasa Arab samsarah atau dallalah. Pelakunya atau makelar disebut simsar atau dallal. Upahnya dinamai ujratu samsarah atau as-sa’yu, atau al-ju’’azza wa jalla atau ad-dallalah.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang dimaksud makelar adalah perantara antara penjual dan pembeli. Disebut pula broker, makelar, cengkau, dan pialang.
Kriteria Seorang Makelar
Seorang makelar harus memiliki kriteria sebagai berikut.
- Berpengalaman menjual barang dagangan tersebut dan tentang barangnya.
Hal ini supaya dia tidak membuat kecewa atau merugikan penjual atau pembeli.
- Jujur dan amanah.
- Tidak berbasa-basi dengan salah satu pihak, sehingga dia menerangkan kelebihan dan kekurangan barang tersebut apa adanya.
- Tidak menipu pihak manapun.
Upah Makelar
Para ulama membolehkan upah makelar. Al-Imam Malik pernah ditanya tentang upah makelar, beliau menjawab tidak mengapa.
Al-Imam al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam kitab Shahih al-Bukhari, “Bab Upah Makelar”.
Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim (an-Nakha’i), dan al-Hasan (al-Bashri) memandang bolehnya upah bagi makelar.
Ibnu Abbas mengatakan, “Seseorang boleh
mengatakan, ‘Juallah pakaian ini. Apa yang lebih dari (harga) sekian dan
sekian, itu untukmu’.”
Ibnu Sirin mengatakan, “Jika seseorang
mengatakan, ‘Juallah barang ini dengan harga sekian, dan keuntungan
selebihnya untukmu—atau kita bagi dua,’ hal ini boleh saja. Sebab,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ…
”Kaum muslimin itu sesuai dengan syarat-syarat mereka.”
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَهَى رَسُولُ اللهِ ، أَنْ يُتَلَقَّى الرُّكْبَانُ، وَلاَ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ. قُلْتُ: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ. قَالَ: لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menghadang rombongan pedagang (yakni sebelum sampai pasar) dan melarang orang yang di kota menjualkan barang milik orang yang datang dari pedesaan.”
Aku (perawi) mengatakan, “Wahai Ibnu
Abbas, apa maksudnya ‘orang yang di kota tidak boleh menjualkan barang
orang yang datang dari pedesaan’?”
Beliau menjawab, “Tidak menjadi makelar bagi mereka.”
Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang orang kota menjualkan (barang) orang desa yang datang ke kota,
berarti selain itu adalah boleh. Orang kota menjualkan (barang) orang
kota, orang desa menjualkan (barang) orang desa, atau orang desa
menjualkan (barang) orang kota. Lihat keterangan yang semakna dengan ini
pada Fathul Bari karya Ibnu Hajar.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Seseorang
boleh menyewa makelar untuk membeli pakaian. Ibnu Sirin, Atha’, dan
an-Nakha’i membolehkan hal itu…
(Makelar) boleh diberi waktu tertentu,
seperti sepuluh hari, selama itu dia membelikan barang, karena waktu dan
pekerjaannya diketahui…
Apabila pekerjaannya saja yang
ditentukan, tetapi waktunya tidak, dan ditetapkan bahwa dari setiap
1.000 dirham dia mendapat nominal tertentu, ini juga sah saja. Apabila
seseorang menyewa (makelar) untuk menjualkan pakaian, itu juga sah.
Pendapat ini yang dipegang oleh al-Imam
asy-Syafi’i, karena itu adalah pekerjaan mubah yang boleh diwakilkan dan
sesuatu yang telah diketahui. Maka dari itu, diperbolehkan pula akad
sewamenyewa padanya, seperti pembelian baju.”
- Al-Lajnah ad-Daimah ditanya tentang masalah berikut. Seorang pemilik kantor perdagangan bertindak sebagai perantara bagi perusahaan tertentu untuk memasarkan produknya. Perusahaan tersebut mengirimkan sampel kepadanya untuk dia tawarkan kepada para pedagang di pasar. Dia kemudian menjual produk tersebut kepada konsumen dengan harga yang ditetapkan perusahaan tersebut. Dia mendapatkan upah yang telah dia sepakati dengan perusahaan tersebut. Apakah dia berdosa dengan pekerjaan ini?
Al-Lajnah ad-Daimah menjawab bahwa
apabila kenyataannya seperti yang disebutkan, ia boleh mengambil upah
tersebut dan tidak ada dosa padanya.
- Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang hukum seseorang mencarikan toko atau apartemen (untuk orang lain) dan mendapatkan imbalan untuk itu.
Beliau menjawab bahwa hal itu tidak mengapa. Ini adalah imbalan yang disebut as-sa’yu.
Hendaknya orang itu bersungguh-sungguh mencarikan tempat yang sesuai
dengan permintaan orang yang hendak menyewanya. Apabila dia membantunya
dan mencarikan tempat yang sesuai dengan permintaannya, lalu dia
membantu mewujudkan kesepakatan antara penyewa dan pemiliknya, dan
disepakati pula upahnya, semua ini tidak mengapa, insya Allah.
Akan tetapi, hal ini dengan syarat tidak
ada pengkhianatan dan penipuan, tetapi yang ada adalah amanah dan
kejujuran. Apabila dia jujur dan amanah ketika mencarikan apa yang
diminta (calon penyewa), tanpa menipu dan menzalimi (calon penyewa) atau
pemilik toko/apartemen, dia berada dalam kebaikan, insya Allah.
- Ibnu Qudamah mengatakan, “Perwakilan diperbolehkan, baik dengan upah maupun tidak. Sebab, Nabi mewakilkan kepada sahabat Unais untuk melaksanakan hukuman had, dan mewakilkan kepada sahabat Urwah dalam hal pembelian kambing, tanpa upah. Beliau juga pernah mengutus para pegawai untuk mengambil zakat lalu memberi upah kepada mereka. Oleh karena itu, kedua anak paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya saja Anda mengutus kami untuk mengambil zakat sehingga kami tunaikan kepada Anda sebagaimana manusia menunaikannya kepada Anda, dan kami mendapatkan sesuatu sebagaimana orang juga mendapatkannya—yakni mendapat upah’.” (HR . Muslim)
Maka dari itu, jika seseorang dijadikan wakil dalam penjualan dan pembelian, dia berhak mendapatkan upah jika melakukannya.
- Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Tidak mengapa menjadi makelar untuk penjual atau pedagang. Persyaratan upah tersebut boleh.” (Fatawa Ibni Baz)
- Al-Lajnah ad-Daimah pernah ditanya, “Banyak perdebatan tentang rasio upah yang diperoleh oleh makelar. Ada yang mengatakan 2,5%, ada yang mengatakan 5%. Berapakah sebenarnya upah yang syar’i bagi makelar? Ataukah hal itu tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli?”
Berikut ini jawaban al-Lajnah ad- Daimah.
Apabila terjadi kesepakatan antara
makelar, penjual, dan pembeli, apakah makelar mengambil upah dari
pembeli, atau dari penjual, atau dari keduanya, upah yang diketahui
ukurannya maka hal itu boleh saja. Tidak ada batasan atau prosentase
upah tertentu.
Kesepakatan yang terjadi dan saling
ridha tentang siapakah yang akan memberikan upah, hal itu boleh. Akan
tetapi, semestinya itu semua sesuai dengan batasan kebiasaan yang
berjalan di tengah masyarakat tentang upah yang didapatkan oleh makelar
dapat imbalan pekerjaannya yang menjadi perantara antara penjual dan
pembeli. Selain itu, tidak boleh ada mudarat atas penjual maupun pembeli
dengan upah yang melebihi kebiasaan. (Fatawa al-Lajnah)
Apabila prosentase upah itu dari laba,
bukan dari harga penjualan, para fuqaha mazhab Hanbali membolehkannya,
dan itu menyerupai mudharabah. (Kasysyaful Qana’ [3/615], Mathalib Ulin Nuha [3/542], sebagian kutipan diambil dari Fatawa Islam Sual wa Jawab)

Al-Mukmin
Al-Ustadz Qomar Suaidi
Al-Mukmin ( الْمُؤْمِنُ ) adalah salah satu dari asmaul husna. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan nama ini dalam satu ayat dalam al- Qur’an, yaitu firman-Nya,
“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang
berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera,
Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa,
Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Mahasuci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.” (al-Hasyr: 23)
Az-Zajjaji mengatakan bahwa al-Mukmin dalam sifat Allah ada dua macam:
- Diambil dari kata al-aman (keamanan)
Dengan demikian, maknanya ialah
mengamankan hamba-hamba-Nya yang beriman dari siksa-Nya sehingga mereka
merasa aman darinya. Hal ini seperti dikatakan (dalam bahasa Arab),
آمَنَ فُلَانٌ فُلَاناً
Artinya, Fulan mengamankan Fulan, yakni memberikan kepadanya pengamanan sehingga dia merasa tenteram dan merasa aman.
Demikian juga dikatakan bahwa Allah adalah al-Mukmin (Allah
yang Maha Mengamankan), yakni memberikan pengamanan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman. Maka dari itu, tidak ada yang aman selain
yang diberi pengamanan oleh-Nya.
- Diambil dari kata al-iman yang berarti pembenaran.
Berdasarkan kata ini, al-Mukmin mempunyai dua pengertian:
- Allah adalah al-Mukmin, yakni Maha Membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman. Maksudnya, Allah ‘azza wa jalla membenarkan/ memercayai keimanan mereka. Jadi, pembenaran Allah terhadap mereka adalah penerimaan kejujuran mereka dan keimanan mereka serta pemberianpahala atas hal itu.
- Allah adalah al-Mukmin, yakni membenarkan atau membuktikan kebenaran apa yang telah Dia janjikan kepada para hamba-Nya.
Hal ini seperti ungkapan bahasa Arab,
صَدَقَ فُلانٌ فِي قَوْلِهِ وَصَدَّقَ
“Fulan jujur dalam ucapannya dan membuktikan kejujurannya.”
Kalimat di atas diungkapkan apabila dia
mengulang-ulang ucapannya dan menekankannya…. Jadi, berdasarkan
pengertian kedua ini, Allah ‘azza wa jalla membenarkan apa yang Dia janjikan kepada hamba-hamba-Nya dan membuktikannya.
Tiga makna al-Mukmin di atas boleh disandarkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Di antara sifat Allah adalah al-Mukmin, (dari kata al-iman, -red.).
Asal makna iman adalah pembenaran. Jadi, seorang hamba yang mukmin
ialah yang membenarkan dan membuktikan (keimanannya). Adapun Allah al-Mukmin artinya membenarkan apa yang Dia janjikan dan membuktikannya atau Allah menerima keimanannya. Bisa jadi pula, al-Mukmin diambil dari kata alaman, yakni tidak ada yang aman selain yang diamankan oleh Allah.”
Ibnu Manzhur mengatakan bahwa al-Mukmin adalah salah satu nama Allah ‘azza wa jalla, Dzat yang mengesakan diri-Nya dengan firman-Nya,
“Dan Ilah kalian adalah Ilah Yang Esa.” (al-Baqarah: 163)
dan firman-Nya,
“Allah bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar selain Dia.” (Ali Imran: 18)
Dikatakan pula bahwa maknanya ialah yang memberi keamanan kepada para wali-Nya dari siksa-Nya.
Ada pula yang mengatakan, bahwa al-Mukmin dalam sifat Allah artinya yang makhluk merasa aman dari kezaliman-Nya.
Dikatakan pula bahwa maknanya ialah yang membuktikan janji-Nya kepada para hamba-Nya.
Semua hal di atas termasuk sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla. Sebab, Allah ‘azza wa jalla
telah membenarkan dengan firman-Nya dakwah tauhid yang diserukan oleh
hamba-hamba-Nya, seolah-olah Dia mengamankan makhluk dari kezaliman-Nya.
Demikian pula apa yang Allah ‘azza wa jalla janjikan, berupa
kebangkitan, surga bagi yang beriman kepada-Nya, serta ancaman neraka
bagi yang kafir terhadap-Nya, maka Allah ‘azza wa jalla pasti akan membuktikannya. Tiada serikat bagi Allah ‘azza wa jalla. (dikutip dari kitab Shifatullah al-Waridah fil Kitab was Sunnah)
Adapun Ibnul Qayyim menjelaskan nama Allah al-Mukmin sebagai berikut. Di antara nama-Nya adalah al-Mukmin. Nama itu, menurut salah satu dari dua penafsirannya, bermakna Yang Membenarkan. Dia mendukung kebenaran orang-orang yang jujur dengan bukti-bukti yang Dia tegakkan guna mendukung kejujuran mereka. Allah ‘azza wa jalla pula yang mendukung kebenaran para rasul dan nabi-Nya dalam hal apa yang mereka sampaikan dari-Nya. Allah ‘azza wa jalla pun bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur.(Allah ‘azza wa jalla membuktikannya) dengan berbagai mukjizat yang menunjukkan kejujuran mereka, baik dengan takdir- Nya maupun dengan ciptaan-Nya.
Sebab, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla mengabarkan—dan kabar-Nya adalah benar, ucapan-Nya pun benar—bahwa manusia mesti melihat tanda-tanda al-ufuqiyah (kauniyah) dan an-nafsiyah (yang ada pada jiwa manusia), yang menerangkan kepada mereka bahwa wahyu yang disampaikan oleh para rasul mereka adalah benar. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri
mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah
benar.” (Fushshilat: 53)
Maksudnya, kebenaran al-Qur’an, karena al-Qur’anlah yang disebutkan terlebih dahulu dalam firmannya,
Katakanlah, “Bagaimana pendapatmu jika (al-Qur’an) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya?” (Fushshilat: 51)
Lantas Dia mengatakan,
“Tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Rabbmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fushshilat: 53)
Maka dari itu, Allah ‘azza wa jalla bersaksi untuk rasul-Nya dengan firman-Nya bahwa yang dibawa oleh rasul adalah benar. Allah ‘azza wa jalla menjanjikan pula bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia sebagian ayat-ayat-Nya, baik yang fi’liyah maupun khalqiyah, yang mendukung hal tersebut…. (Madarijus Salikin, 3/466)
Buah Mengimani Nama Allah al-Mukmin
Berdasarkan makna yang pertama bahwa
Allah yang memberikan keamanan, mengimani nama ini membuat seseorang
tidak putus asa dari rahmat Allah. Ia sadar, begitu pemurahnya Allah dan
begitu sayang-Nya terhadap hamba-Nya. Jiwa pun menjadi tenteram saat
dekat dengan-Nya. Ia yakin bahwa Allah akan melindunginya dari
kedahysatan azab-Nya, mengamankan dirinya darinya, dan menenteramkannya.
Semua itu dengan mudah didapatkan oleh seorang hamba dari-Nya, hanya
dengan beriman secara benar dia akan memperoleh pengamanan itu.
Berdasarkan makna kedua bahwa Allah
membenarkan hamba-Nya, baik hamba-Nya yang berkedudukan tinggi—yaitu
para rasul dan nabi—dengan memberikan mukjizat atau bukti yang lain
sebagai bukti kebenaran, maupun hamba-Nya yang kedudukannya lebih rendah
dengan Allah menerima pernyataan iman mereka lantas membalasi mereka
atas pernyataan iman mereka tersebut.
Jadi, mengimani nama tersebut membuahkan suatu keyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya atau menelantarkan mereka. Allah ‘azza wa jalla pasti membantu dan mendukung mereka serta memberikan bukti kebenaran mereka yang beriman.
Adapun menurut makna yang ketiga bahwa
Allah akan membuktikan kebenaran janji-janji-Nya, mengimani hal ini akan
memberi kita harapan yang besar kepada janji-janji Allah. Kita juga
yakin bahwa Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Mahabenar Allah ‘azza wa jalla atas apa yang Dia janjikan dan Mahapemurah Allah dengan karunia yang Dia berikan.
Hanya saja, harapan berbeda dengan
angan-angan. Harapan harus disertai oleh usaha untuk mendapatkan apa
yang diharapkan. Kalau sekadar mengharap tanpa berbuat, itu hanyalah
angan-angan.
Wallahu a’lam.

Lawan Hawa Nafsumu, Kenali Sumber Keyakinanmu!
Al-Ustadz Qomar Suaidi
10 Bahan Renungan
Renungan Kedelapan: Lawan Hawa Nafsumu
Seseorang semestinya melakukan hal yang
bertentangan dengan hawa nafsunya dalam hal yang hawa nafsunya jelas
salah. Ia tidak boleh memberinya toleransi dalam hal meninggalkan yang
wajib, atau yang mendekatkannya untuk meninggalkan yang wajib, demikian
pula dalam hal melakukan maksiat, atau mendekatkan kepada maksiat,
demikian pula dalam menerjang perkara yang syubhat.
Setelah itu, hendaknya ia melatih
jiwanya untuk selalu kokoh di atas kebenaran dan tunduk kepadanya.
Hendaknya ia juga menekankan hal tersebut. Dengan demikian, sikap selalu
tunduk kepada kebenaran dan menyelisihi hawa nafsu akan menjadi
kebiasaannya.
Renungan Kesembilan: Kenali Sumber Keyakinanmu
Berusahalah membedakan antara sumber hujah (keterangan yang pasti benar) dan sumber syubhat (yakni
segala sesuatu yang tidak jelas kebenarannya. Sumber hujah yang
dimaksud adalah fitrah yang masih suci dan syariat, sedangkan sumber
syubhat adalah selain itu).
Apabila seseorang sudah menyadari dengan
sempurna perbedaan dua sumber tersebut, jalan akan mudah baginya.
Sebab, tidaklah datang kepadanya sesuatu pun yang berasal dari sumber
yang benar selain kebenaran juga. Jadi, kalau memang menginginkan
kebenaran dan puas dengannya, ia tidak perlu mengelak sedikit pun dari
segala yang datang dari sumber kebenaran tersebut. Ia pun tidak perlu
sama sekali mendekat kepada segala sesuatu yang datang dari sumber
syubhat.
Akan tetapi, ahli bid’ah berusaha
menyamarkan dan mengaburkan kebenaran. Maka dari itu, yang wajib
dilakukan oleh seseorang yang menginginkan kebenaran ialah tidak melihat
sesuatu yang datang kepadanya dari sumber kebenaran dengan kacamata
ahli bid’ah yang berwarna warni. Ia seharusnya melihatnya sebagaimana
halnya pemeluk kebenaran memandangnya (secara langsung).
Wallahu a’lam.

Nabi Musa dan Nabi Harun Wafat
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Di Padang Tih, bertahun-tahun hidup di
sana, usia Nabi Musa dan Harun bertambah lanjut. Bani Israil benar-benar
dibersihkan dari orang-orang yang fasik, yang disebutkan dalam doa Nabi
Musa. Kemudian lahirlah generasi baru yang insya Allah lebih baik dari orang-orang yang fasik tersebut.
Tak berapa lama sampailah ajal Nabi Harun ‘alaihissalam. Bersama Nabi Musa, beliau dipanggil ke Bukit Thursina. Di sanalah Nabi Harun berpulang ke rahmat Allah ‘azza wa jalla.
Sepeninggal saudaranya Harun ‘alaihissalam,
Nabi Musa masih melanjutkan tugas membimbing Bani Israil. Beliau dengan
penuh semangat tetap mengajari mereka agar taat dan tunduk kepada
aturan Allah ‘azza wa jalla Yang telah menyelamatkan dan memuliakan mereka.
Menjelang dekatnya ajal beliau, Allah ‘azza wa jalla
mengutus salah seorang hamba-Nya yang mulia di kalangan para malaikat.
Seorang malaikat yang menghancurkan semua kelezatan dan memutuskan semua
kesenangan hidup, Malaikat Maut. Makhluk suci yang diciptakan Allah ‘azza wa jalla dari cahaya.
Peristiwa ini diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat (bahkan umatnya),
أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِمَا السَّلَام فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ. فَرَدَّ اللهُ عَلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ فَقُلْ لَهُ يَضَعُ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَلَهُ بِكُلِّ مَا غَطَّتْ بِهِ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ. قَالَ: أَيْ رَبِّ، ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ. قَالَ: فَالْآنَ. فَسَأَلَ اللهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنَ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ فَلَوْ كُنْتُ ثَمَّ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ
Malaikat Maut diutus kepada Musa ‘alaihissalam. Ketika dia mendatanginya, beliau menamparnya. Malaikat itu kembali kepada Rabbnya, lalu berkata, “Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menyukai maut.”
Kemudian, Allah mengembalikan matanya dan berkata, “Kembalilah
dan katakan kepadanya, supaya meletakkan tangannya di lambung seekor
sapi jantan, lalu dia berhak pada setiap bulu yang ditutupi tangannya
adalah satu tahun.”
Musa berkata, “Wahai Rabbku, kemudian apa lagi?”
“Kemudian adalah maut.”
Kata Musa, “Maka sekaranglah,” beliau pun memohon kepada Allah agar mendekatkannya ke Tanah Suci sejauh lemparan batu.
Kata rawi, “Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya aku di sana, sungguh, pasti akan aku perlihatkan kepada kamu kuburannya di samping jalan dekat bukit merah.’.” (H.R. al-Bukhari no. 1339 dan Muslim no. 2372 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Begitulah kisahnya. Sebuah berita gaib yang diceritakan oleh ash-Shadiqul Mashduq shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sudah tentu menjadi berita dan kisah yang tidak disangsikan lagi
kebenarannya. Orang-orang yang beriman pasti menerima berita ini
sebagaimana adanya. Sebab, mereka yakin terhadap apa yang diterangkan
oleh Allah ‘azza wa jalla, bahwa Rasul-Nya tidak berbicara
dengan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan tidak lain adalah wahyu
yang diturunkan kepadanya.
Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan kedatangan Malakul Maut kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan secara jelas bahwa malaikat tersebut menemui Nabi Musa dalam wujud aslinya.
Di dalam al-Qur’an, disebutkan pula
peristiwa yang tidak jauh berbeda dengan kisah ini. Beberapa malaikat
pernah menemui Nabi Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalam. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
yang sangat memuliakan tamu, segera menyuguhkan hidangan lezat, daging
anak sapi yang sudah matang. Akan tetapi, kemudian, muncul rasa takut
beliau tatkala para tamu itu tidak menyentuh daging itu sama sekali.
Begitu pula Nabi Luth ‘alaihissalam.
Beliau sangat cemas akan keselamatan tamu-tamunya yang berwujud pemuda
gagah dan tampan ini. Beliau khawatir, kaumnya yang terbelenggu oleh
nafsu akan menyerbu rumahnya dan menangkap para pemuda ini.
Akan tetapi, setelah para tamu itu menerangkan bahwa mereka adalah utusan Allah ‘azza wa jalla, barulah kedua nabi yang mulia ini tenang. Kemudian, mengalirlah dialog di antara mereka, sebagaimana diceritakan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya, yang tidak didatangi kebatilan baik dari depan maupun belakang.
Nabi Musa ‘alaihissalam juga
demikian. Saat sedang menyendiri, beliau didatangi seseorang yang
meminta nyawanya. Tentu saja beliau marah dan menampar orang tersebut.
Dengan kekuatan beliau yang luar biasa, pukulan itu menyebabkan mata
malaikat yang sedang berwujud manusia itu lepas dari rongganya.
Malaikat itu segera kembali menemui Rabb (Allah ‘azza wa jalla) yang mengutusnya. Allah ‘azza wa jalla mengembalikan mata itu ke tempatnya semula.
Kemudian, malaikat itu kembali lagi menemui Nabi Musa ‘alaihissalam. Kali ini, Nabi Musa ‘alaihissalam mengenalinya. Setelah dialog singkat, malaikat itu menyampaikan perintah Allah ‘azza wa jalla agar Nabi Musa ‘alaihissalam
meletakkan tangannya di atas tubuh seekor sapi jantan. Untuk beliau
adalah semua yang tertutup tangan beliau dihitung satu tahun.
Nabi Musa ‘alaihissalam bertanya, “Sesudah itu apa lagi, duhai Rabbku?”
“Al-Maut,” kata Allah ‘azza wa jalla.
Nabi Musa ‘alaihissalam langsung menyambut dan memilih bertemu dengan Rabbnya, “Kalau begitu, sekaranglah.”
Beliau pun memohon agar Allah ‘azza wa jalla mendekatkan jasad beliau ke Baitil Maqdis sejauh lemparan batu.
Wallahu a’lam.
Beberapa Faedah
Hadits ini termasuk hadits-hadits yang
diingkari oleh Jahmiyah dan orang-orang yang sesat lainnya. Menurut
mereka, bisa jadi Nabi Musa sudah mengenal Malaikat Maut, bisa jadi pula
tidak mengenalnya. Kalau beliau mengenalnya, dengan memukulnya berarti
beliau telah menzalimi Malaikat Maut tersebut. Seandainya belum, riwayat
yang menyebutkan bahwa Malaikat Maut itu menemui Nabi Musa dalam
keadaan terang-terangan tidak ada artinya.
Sanggahan ini tidak lain berasal dari orang-orang yang telah dibutakan oleh Allah ‘azza wa jalla mata hatinya. Pengertian hadits ini sahih, tidak seperti dugaan kaum Jahmiyah. Sebab, Allah ‘azza wa jalla
tidak mengutus kepada beliau sosok Malaikat Maut yang ketika itu ingin
mencabut ruhnya, tetapi untuk menguji beliau, seperti Allah ‘azza wa jalla memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih Ismail bin Ibrahim ‘alaihissalam. Andaikata Allah ‘azza wa jalla ingin mencabut ruh beliau ketika mengilhamkan Malaikat Maut untuk itu, pastilah terjadi apa yang dikehendaki Allah ‘azza wa jalla.
Mustahil Nabi Musa mengenali Malaikat Maut lalu menamparnya hingga lepas matanya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga pernah didatangi para malaikat dalam keadaan beliau tidak mengenali mereka pada awalnya. Seandainya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
mengenali mereka, tentu tidak akan menyuguhkan hidangan lezat agar
mereka memakannya dan tidak merasa takut ketika mereka tidak menyentuh
makanan itu. Lantas, mengapa harus heran kalau Nabi Musa tidak mengenali
Malaikat Maut?
Pendapat mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla
tidak mengkisas Nabi Musa, menunjukkan kebodohan mereka. Siapa yang
menerangkan kepada mereka bahwa antara malaikat dan Bani Adam ada hukum
kisas? Siapa pula yang mengabarkan kepada mereka bahwa Malaikat Maut
menuntut kisas lalu Allah ‘azza wa jalla tidak mengabulkannya? Bahkan, Allah ‘azza wa jalla mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam pernah memukul seorang Qibti hingga Qibti itu mati tetapi tidak mengkisas beliau.
Alhasil, kisah ini bukanlah dongeng yang dibuat-buat, karena beritanya sahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang sudah mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah ‘azza wa jalla dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allah ‘azza wa jalla
serta utusan (Rasul)-Nya, tidak ada alasan lain kecuali tunduk menerima
berita ini. Sebab, ketundukan dan kelapangan hatinya membenarkan dan
menerima berita ini adalah salah satu bukti kejujurannya bersyahadat.
Selain itu, berita ini adalah perkara gaib yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan hak kita untuk menanyakan bagaimana dan mengapa-nya? Lebih-lebih lagi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang jujur lagi dibenarkan. Beliau tidak berbicara kecuali
dengan wahyu yang diturunkan kepada beliau. Adakah seorang yang beriman
akan mengingkari berita yang sahih dari beliau? Tentu tidak ada.
Faedah lainnya, bahwa syariat para Nabi
sebelum kita adalah syariat kita juga, selama tidak ada yang
menghapusnya. Nabi Musa meminta didekatkan ke Tanah Suci agar dikuburkan
di sana, bahkan membawa serta jasad Nabi Yusuf ketika mereka
meninggalkan Mesir. Akan tetapi, semua ini dihapus berdasarkan larangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keinginan beberapa sahabat yang hendak menguburkan syuhada Uhud di Madinah, wallahu a’lam.
Mengapa makam Nabi Musa berada di luar Baitul Maqdis?
Ibnu Hajar rahimahullah, salah
seorang ulama besar mazhab Syafi’i, hakim negeri Mesir, menukilkan
pendapat Ibnu Baththal dari ulama sebelumnya, bahwa hikmah makam Nabi
Musa ‘alaihissalam tidak berada di dalam Baitul Maqdis adalah
agar menyamarkan letaknya, sehingga tidak dijadikan berhala (sesuatu
yang disembah dan dipuja-puja selain Allah ‘azza wa jalla) oleh orang-orang yang jahil di kalangan pengikut beliau.
Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bolehnya memindahkan jenazah dari satu daerah ke daerah yang lain. Mengapa?
Ada beberapa alasan. Di antaranya ialah
bahwa syariat umat terdahulu adalah syariat kita juga, selama tidak ada
yang menghapusnya di dalam syariat kita. Ternyata, hal ini ada
penjelasannya dalam syariat kita, yaitu larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memindahkan syuhada perang Uhud dan memerintahkan para sahabat
menguburkan mereka di tempat mereka terbunuh. Jadi, yang sesuai dengan
sunnah ialah menguburkan seorang muslim di mana dia meninggal dunia,
selama tidak ada penghalang yang syar’i.
Hadits ini dicantumkan dalam masalah
akidah karena adanya segolongan ahli bid’ah yang mengingkari berita yang
disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Mereka menganggap mustahil. Alasannya, karena tidak mungkin Nabi Musa ‘alaihissalam yang mulia akan menampar seorang malaikat. Bantahan atas keraguan dan pengingkaran mereka, telah disebutkan di atas.
Wallahul Muwaffiq.

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab (8)
Memilih Para Pejabat
Kita masih ingat dengan khutbah pertama beliau dibai’at menjadi khalifah. Selama ini, di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Umar merasa dirinya adalah sebilah pedang tajam yang setiap saat dapat
dihunus atau disimpan dalam sarungnya. Di masa itu, juga pada masa
khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umar hanya menjalankan perintah, memberi saran yang dipandangnya bermanfaat.
Kini, setelah menjadi khalifah, dia
merasakan betapa berat sebenarnya beban yang dipikulnya. Betapa besar
tanggung jawabnya di hadapan umat dan di hadapan Allah ‘azza wa jalla kelak. Tanggung jawab yang tidak terbayangkan oleh para pemegang kekuasaan sesudah beliau, kecuali yang dirahmati Allah ‘azza wa jalla.
Karena itulah, beliau mulai memikirkan
untuk menunjuk para pejabat yang mewakilinya mengurus kepentingan kaum
muslimin di wilayah muslimin, yang jauh dari Madinah. Beliau tidak rela
bila ada sebagian petugasnya yang menyimpang dari keadilan yang telah
diajarkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau sering mengingatkan bahwa beliau menugaskan para pejabat itu,
bukan untuk menzalimi rakyatnya, melainkan mengajari mereka agama dan
mengurus kepentingan mereka.
Bahkan, beberapa tokoh yang dianggap sebagai anutan umat, yaitu sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka, menerima perhatian yang sangat ketat dari beliau.
Pernah dikisahkan, dalam sebuah
perjalanan haji, Umar melihat pakaian Thalhah bin ‘Ubaidillah ada bekas
za’faran, padahal sedang ihram. Amirul mukminin segera mendekati dan
bertanya,mengapa ada bekas za’faran di pakaian beliau. Thalhah
menerangkan bahwa itu tidak sengaja terkena, belum bisa hilang. Namun,
Amirul Mukminin Umar mengingatkan Thalhah.
“Wahai Thalhah, Anda adalah salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang senior. Anda adalah salah seorang tokoh anutan kaum muslimin. Yang
hadir di sini tidak semuanya berpikiran panjang, bisa jadi ada orang
yang kurang paham, melihat bahwa salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenakan pakaian yang terkena za’faran, lalu mengira, berarti boleh
memakainya ketika ihram. Oleh karena itu, hendaklah Anda melepasnya dan
mengganti dengan yang lain.”
Karena itu pula, beliau tidak
segan-segan memberikan teguran keras atau mencopot mereka yang tidak
bertugas sebagaimana yang diinginkan beliau.
Sebagian penulis sejarah, khususnya
tentang pribadi sahabat jenius ini, menerangkan bahwa dalam memilih
pejabat di wilayah yang jauh tersebut, Umar mempunyai kriteria
tersendiri, di antaranya;
- Yang menjadi pucuk pimpinan di sana harus sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik lebih dahulu masuk Islam, maupun tidak setelah Hudaibiyah, atau Fath Makkah.
Beliau menyebutkan, “Sungguh demi Allah,
aku tahu kapan bangsa Arab itu binasa. (Yaitu) apabila mereka dipimpin
oleh orang-orang yang bukan sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah menangani atau merasakan jahiliah.”[1]
- Yang menjadi pucuk pimpinan tidak boleh dari kerabat beliau (dari Bani ‘Adi, kabilah Umar bin al-Khaththab). Bahkan, meskipun beberapa sahabat mencalonkan putranya, ‘Abdullah yang dikenal hampir menyerupai bapaknya. Akan tetapi, Umar menolaknya.
Menjelang wafatnya, Amirul Mukminin juga
berwasiat agar tidak menempatkan kerabatnya dalam pemerintahan, sebagai
apa pun. Itu juga yang dipesankan oleh beliau kepada ahli syura yang
beliau tunjuk untuk memilih khalifah sepeninggal beliau.
- Beliau menetapkan bahwa pejabatnya haruslah orang yang istiqamah di atas kebenaran dan kesalehan.
Beliau berpandangan baiknya penguasa
akan mendorong baiknya rakyat yang dipimpinnya, “Manusia akan selalu
dalam kebaikan selama para pemimpin dan pembimbing mereka lurus di atas
al-haq.”
Kata beliau pula, “Orang fajir itu tidak
mengangkat pekerja kecuali orang yang fajir (jahat) juga. Kalau ada
orang yang memanfaatkan orang fajir dalam keadaan dia tahu pegawainya
fajir, dia adalah fajir seperti pegawainya.”
- Pejabat yang ditunjuk adalah orang yang ahli dalam memimpin dan mengatur urusan orang banyak.
Oleh sebab itulah, tidak semua sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tunjuk sebagai pejabat di beberapa wilayah.
Bahkan, beliau juga mencopot sebagian
mereka bila ada pengaduan dari rakyat di mana mereka tinggal sebagai
pejabat, atau karena alasan tertentu. Beliau mencopot jabatan Khalid
sebagai panglima demi menghindari mafsadah yang lebih besar, sebagaimana
telah diceritakan.
Seperti itu juga yang pernah diperbuat oleh junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau tidak mengangkat orang yang meminta jabatan, tetapi menunjuk
orang-orang yang beliau pandang ahli dalam bidang tersebut.
Abu Dzar pernah memintanya, tetapi dinasihati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun menerima.
Umar juga pernah mencopot ‘Ammar bin Yasir dan menggantinya dengan al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhum.
- Pejabat yang ditunjuk adalah orang yang cerdik dan pintar.
Suatu ketika, beliau pernah bertemu satu rombongan yang sedang menuju Baitul Haram. Beliau pun bertanya, “Siapa kalian?”
Orang termuda di kalangan mereka berkata, “Kami hamba-hamba Allah, muslimin.”
“Dari mana kalian?”
“Dari pelosok yang jauh.”
“Hendak ke mana kalian?” tanya beliau.
“Baitil ‘Atiq (Ka’bah),” jawab pemuda itu.
“Takwilkanlah, demi Allah,” kata beliau, lalu melanjutkan, “Siapa amir (pemimpin) kalian?”
Dia memberi isyarat kepada seorang
syaikh (yang sudah tua) di antara mereka, maka Umar berkata, “Yang
benar, kamulah amir mereka,” sambil menunjuk pemuda yang menjawab dengan
baik itu.
- Pejabat itu memiliki perasaan penyayang dan belas kasih, sebab akan membuat hubungannya dengan rakyat menjadi baik, sehingga mereka mudah menyampaikan keluhan mereka kepada penguasa mereka.
- Zuhud dan tidak berambisi terhadap kekuasaan.
Penguasa atau pemimpin yang memiliki sifat ini akan lebih ikhlas dalam bekerja, dan lebih jauh dari ambisi terhadap dunia.
Malik ad-Dar rahimahullah
bercerita, “Suatu hari Umar mengambil 400 dinar dan membungkusnya lalu
berkata kepada seorang pelayan, ‘Pergilah, antarkan kepada Abu ‘Ubaidah
Ibnul Jarrah. Kemudian, tunggulah di rumah itu dan lihat apa yang
dilakukannya.’
Pelayan itu segera berangkat dan setelah
bertemu, dia berkata, ‘Amirul Mukminin menitip salam untukmu dan
memerintahkan agar ini digunakan untuk sebagian keperluanmu.’
‘Semoga Allah menyambung dan merahmati
beliau,’ kata Abu ‘Ubaidah, lalu, ‘Hai jariyah, kemarilah. Bawa 7 dinar
ini untuk si Fulan, 5 dinar untuk si Fulan lainnya,’ sampai habis.
Pelayan itu pulang menemui Umar dan
menceritakan kejadian yang dilihatnya. Ternyata Umar telah menyiapkan
yang serupa untuk dibawa kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu. ‘Bawakan ini untuk Mu’adz dan tunggulah apa yang dilakukannya.’
Pelayan itu segera berangkat dan berkata, ‘Amirul Mukminin menyuruh agar menggunakan harta ini untuk keperluanmu.’
‘Semoga Allah menyambung dan merahmati
beliau,’ kata Mu’adz, lalu, ‘Hai jariyah, pergilah. Bawakan untuk si
Fulan sekian, rumah si Fulan lain sekian, dan rumah lainnya sekian.”
Tiba-tiba istri Mu’adz melihat dan
berkata, ‘Demi Allah, kita juga miskin. berilah kami.’ Tidak ada yang
tersisa kecuali dua dinar, lalu beliau memberikannya kepada sang istri.
Pelayan itu segera pulang dan bercerita.
Betapa senangnya Umar, maka beliau berkata, ‘Sungguh, mereka
benar-benar bersaudara. Yang satu adalah bagian dari yang lainnya’.”[2]
Semua itu tidak berarti beliau
menghalangi mereka dari hal-hal yang mubah, tetapi tidak senang jika
mereka terjerumus dalam sikap berlebihan atau boros.
Oleh sebab itulah, para pejabat yang
ditunjuk oleh Umar selama kekhalifahannya adalah teladan mulia dalam
takwa, kesalehan, dan kezuhudan serta pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan. Wallahu a’lam.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Atsar sahih, dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d (Thabaqat 6/129).
[2] Az-Zuhd karya Ibnul Mubarak (178).

Tanya Jawab Ringkas Edisi 98
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini.
Kotoran Ayam Najis?
Apakah kotoran ayam najis?
085287XXXXXX
- Jawaban:
Kotoran ayam tidak najis, karena ayam
halal dikonsumsi dan hukum asalnya suci hingga datang dalil yang
menajiskannya. Justru terdapat hadits yang menunjukkan bahwa hewan yang
halal dikonsumsi kotorannya suci.
Wanita Ditalak Raj’i
Apa yang harus dilakukan oleh wanita
yang sedang dalam masa iddah yang diceraikan/talak raj’i oleh suaminya?
Apakah masih boleh hidup serumah dengan suaminya? Apakah istri harus
menutup aurat keseluruhan termasuk wajahnya? Ketika istri ada keperluan
keluar rumah baik berbelanja maupun silaturahmi kepada orang tuanya,
apakah mesti izin terlebih dahulu?
085222XXXXXX
- Jawaban:
Ya, tetap tinggal serumah. Keduanya
boleh berkhalwat, saling melihat aurat, si istri berdandan untuknya, dan
semisalnya, karena keduanya masih suami istri. Namun, tidak boleh jima’
(senggama) tanpa disertai niat rujuk. Jika hendak keluar rumah, harus
minta izin kepadanya, karena masih suami istri.
Darah Nifas Lebih dari 40 Hari?
Apakah darah yang keluar lebih dari 40 hari setelah melahirkan masih termasuk darah nifas?
082135XXXXXX
- Jawaban:
Yang rajih, nifas hanya 40 hari berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.
Selebihnya ada rincian: jika bertepatan dengan adat haid, berarti darah
setelahnya adalah haid sesuai adatnya; jika tidak bertepatan dengan
haid, berarti darah fasad yang tidak menghalangi dari shalat. Hukumnya
seperti darah istihadhah.
Bulan Sya’ban Bulan Utama?
Benarkah bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang utama sehingga harus memperbanyak berpuasa?
085295XXXXXX
- Jawaban:
Benar, dianjurkan memperbanyak berpuasa sunnah di bulan Sya’ban, tetapi tidak wajib.
Mengumumkan Acara Bid’ah
Bolehkah mengumumkan perayaan Isra’
Mi’raj lewat speaker masjid, sedangkan saya adalah imam masjid dan tahu
bahwa acara tersebut adalah bid’ah?
085396XXXXXX
- Jawaban:
Tidak boleh mengumumkan acara isra’ mi’raj dan maulid, karena hal itu termasuk kerjasama untuk acara bid’ah yang tercela.
Nama Anak, Akikah, Tahnik dengan Sari Kurma, dan Makna Nama
- Bolehkah mempersiapkan nama sebelum anak lahir?
- Bolehkah akikah setelah lewat 7 hari?
- Bolehkah mentahnik anak yang baru lahir dengar sari kurma, tanpa dikunyah?
- Azka Mawaddah, maksudnya ‘cinta yang lebih suci’, benarkah susunan kalimat bahasa Arab ini?
085746XXXXXX
- Jawaban:
- Boleh menyiapkan nama anak sebelum lahir.
- Boleh akikah setelah lewat tujuh hari, tetapi afdal pada hari ketujuh.
- Yang dituntunkan Nabi n adalah kurma dikunyah sampai benar-benar halus dan cair sehingga dapat dihisap oleh bayi. Jika tidak ada kurma, boleh mentahnik dengan sari kurma.
- Benar, Azka Mawaddah artinya ‘cinta yang lebih suci’. Akan tetapi, ketahuilah bahwa nama yang majemuk (gabungan dua kata) seperti itu tidak dikenal pada masa Nabi dan para sahabat. Yang terbaik adalah memilih salah satu nama dari nama wanita istri/sahabat Nabi atau wanita salihah seperti Maryam dan Asiyah. Tidak mengapa nama selainnya yang bermakna baik, seperti Mawaddah (cinta), Zahrah (bunga), atau lainnya tanpa bentuk majemuk.
Pakaian Terkena Madzi
Jika madzi mengenai pakaian, apakah harus diganti ketika hendak shalat?
085696XXXXXX
- Jawaban:
Madzi adalah najis yang harus
dibersihkan dari pakaian jika terkena sebelum shalat dengan cara dicuci
atau disirami air yang cukup. Jika tidak, pakaian itu harus diganti.
Lihat buku kami, Panduan Syar’i Cara Bersuci.
Wudhu dengan Air Hangat
Bolehkah berwudhu atau mandi junub bagi manula dengan air hangat jika udara dingin?
085327XXXXXX
- Jawaban:
Boleh, hal itu tidak ada larangannya dalam syariat.
Suami Mengucapkan Cerai Ketika Marah
Apabila suami dalam keadaan marah dan mengucapkan cerai kepada istri, apakah sudah termasuk talak tiga?
085643XXXXXX
- Jawaban:
Jika marahnya masih terkontrol dan
sengaja mengucapkan cerai, padahal dia mampu menahan dirinya jika memang
tidak berniat mencerai, talak jatuh. Jika belum pernah dicerai
sebelumnya, berarti itu adalah talak satu walaupun diucapkan sebagai
talak tiga atau diulangi sampai tiga kali.
Nisfu Sya’ban
Apakah ada acara nisfu Sya’ban seperti orang-orang ramai dengan membaca surat Yasin?
085236XXXXXX
- Jawaban:
Hal demikian adalah bid’ah, karena amalan tersebut secara khusus pada malam nisfu Sya’ban tidak ada dalilnya.
Mandi Junub Saat Sakit
Ketika seseorang sedang sakit dan berhadats besar, sementara dia belum mampu untuk mandi, bagaimana dengan shalatnya?
081914XXXXXX
- Jawaban:
Jika belum mampu mandi dengan air
dingin, wajib mandi dengan air hangat. Jika dengan air hangat juga
khawatir termudaratkan, tayammum. Jika sudah sembuh, wajib mandi. Lihat
buku kami Panduan Syar’i Cara Bersuci.
Takjil Buka Puasa Sekaligus Fidyah
Bagaimana bila saat memberikan takjil buka bersama di masjid diniatkan pula untuk membayar fidyah?
087738XXXXXX
- Jawaban:
Fidyah hanya diberikan kepada fakir
miskin. Dengan demikian, tidak mengapa memberikan fidyah itu kepada
fakir miskin untuk makanan buka puasanya. Satu fidyah untuk satu fakir
miskin. Adapun diberikan untuk takjil buka puasa di masjid, artinya akan
dimakan secara umum oleh yang hadir yang boleh jadi porsi satu fakir
miskin dimakan oleh dua orang atau lebih, apalagi yang hadir takjil di
masjid ada yang tidak tergolong fakir miskin, maka tidak terhitung
fidyah.
Zakat Fitrah dalam Bentuk Uang
Apakah zakat fitrah dengan uang itu diperbolehkan? Mana yang lebih baik, dengan beras atau uang?
085758XXXXXX
- Jawaban:
Zakat fitrah wajib dengan beras, tidak boleh diganti dengan uang.
Mengembalikan Barang Hilang Orang Kafir
Apakah kita berkewajiban untuk
mengembalikan barang milik orang kafir (misal: dompet) padahal di dompet
tersebut hanya ada alamatnya dan berada di luar kota sehingga kita
kesulitan untuk mengembalikannya?
085758XXXXXX
- Jawaban:
Jika Anda bisa memastikan pemilik dan
alamatnya, kirim dompet itu lewat pos atau semacamnya dengan biaya
pengiriman diambil dari uang yang ada di dompet itu. Jika pemiliknya
tidak dapat Anda pastikan, umumkan di tempat umum atau lewat media yang
diduga kuat akan sampai beritanya kepada yang bersangkutan selama
setahun, tetapi tidak membeberkan secara lengkap barang temuan itu agar
yang datang mengaku bisa Anda uji kebenarannya. Setelah setahun
pemiliknya tidak datang juga, ada tiga pilihan:
- Anda manfaatkan secara pribadi. Namun, jika suatu saat pemiliknya datang, Anda ganti.
- Disedekahkan kepada fakir miskin. Namun, jika suatu saat pemiliknya datang, Anda ganti dan pahalanya untuk Anda.
- Tetap Anda simpan sampai pemiliknya datang.
Mandi Ketika Masuk Islam
Adakah mandi khusus bagi seorang nonmuslim jika hendak masuk Islam?
08992XXXXXX
- Jawaban:
Langkah-langkah jika seseorang hendak memeluk agama Islam:
- Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan terpenuhi syaratnya yang diterangkan padanya. Lalu disuruh mandi.
- Disaksikan oleh seorang muslim yang istiqamah agamanya, bisa di rumah atau tempat lainnya. Sebaiknya dipersaksikan hal itu kepada pihak KUA atau lembaga pemerintah yang mengurusi masalah ini agar diakui keislamannya untuk dapat mengurus KTP dengan status agama Islam.
Numpang Mahram
Bagaimana hukum “numpang mahram”?
Contohnya, seorang wanita pergi ke sebuah pondok pesantren dalam keadaan
jauh dari mahramnya, dia ikut temannya yang bersama mahramnya.
087858XXXXXX
- Jawaban:
Hal itu haram. Wanita yang safar harus didampingi mahram yang telah baligh dan mampu melindunginya.
Pakaian Ihram Wanita
Pada Majalah Asy Syariah edisi 79 rubrik
“Problema Anda” dijelaskan bahwa wanita yang sedang ihram tidak boleh
memakai cadar dan kaos tangan. Apakah hukum itu mutlak tanpa melihat ada
tidaknya fitnah membuka wajah mengingat di sana berkumpul pria dan
wanita dari seluruh penjuru dunia?
085869XXXXXX
- Jawaban:
Hal itu mutlak. Akan tetapi, jika
seorang wanita yang berihram berpapasan lelaki ajnabi (bukan mahram),
wajib menutup wajahnya dengan selain cadar dan yang semakna dengan cadar
(mengikat sapu tangan di wajahnya), tetapi dengan cara menutupnya
dengan ujung jilbab. Adapun kedua telapak tangan, wajib terhijab di
balik jilbab tanpa kaos tangan.
Shalat dengan Celana yang Menutup Mata Kaki
Sebagian orang mengatakan bahwa kalau shalat tidak kelihatan mata kaki, maka tidak sah. Apa benar demikian?
082192XXXXXX
- Jawaban:
Shalat dengan pakaian isbal (menutup
mata kaki) sah, tetapi pelakunya berdosa. Sebab, ada hadits sahih yang
mengharamkan isbal secara umum di luar dan di dalam shalat. Adapun
hadits bahwa shalat dengan isbal tidak diterima oleh Allah ‘azza wa jalla, hadits yang lemah.
Hewan Buruan Mati Tertembak
Apakah halal hewan buruan yang mati ditembak yang sebelumnya diucapkan basmalah tanpa disembelih?
081996XXXXXX
- Jawaban:
Jika kena bagian vital yang mematikan
seperti jantung, halal tanpa disembelih. Jika hanya melukai bagian yang
tidak vital (tidak mematikan) lantas mendapatinya masih hidup, tidak
halal tanpa disembelih (wajib disembelih).
Kecuali jika kehilangan jejak lantas ditemukan dalam keadaan telah mati karena luka itu, maka halal.

Siapakah ath-Thaifah al-Manshurah?
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah (no.
7311) meriwayatkan sebuah hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah
radhiallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda,
لا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ ا وَهُمْ ظَاهِرُونَ
“Pasti akan selalu ada sekelompok orang
dari umatku yang senantiasa meraih kemenangan, sampai ketetapan dari
Allah ‘azza wa jalla datang menghampiri mereka. Dan mereka pun tetap di
atas kemenangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah (no. 1921) dengan lafadz yang sedikit berbeda. Sebagian ulama hadits (Fathul Bari hadits no. 7311) menilai riwayat di atas termasuk tsulatsiyat (hanya dipisahkan oleh tiga perawi sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di dalam Shahih al-Imam al-Bukhari. Mengapa dinilai tsulatsiyat, sementara jumlah perawi antara al-Bukhari dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada empat?
Hadits ini didengar oleh al-Bukhari dari guru beliau yang bernama Ubaidullah bin Musa al-‘Absi al-Kufi rahimahullah. Ternyata beliau terhitung sebagai guru al-Bukhari yang telah berusia lanjut dan termasuk dalam generasi tabi’ut tabi’in.
Ubaidullah bin Musa mendengar hadits di atas dari seorang ulama tabi’in yang bernama Ismail bin Abi Khalid rahimahullah. Guru Ismail pun seorang kibar tabi’in bernama Qais bin Abi Hazim. Qais sendiri dinyatakan oleh ulama hadits sebagai seorang mukhadram, karena pernah merasakan masa jahiliah. Ketika beliau berangkat ke Madinah untuk berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di tengah perjalanan beliau mendengar berita wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu,
sahabat yang meriwayatkan hadits ini, adalah salah seorang guru Qais
bin Abi Hazim. Karena faktor kedekatan sanad inilah, sebagian ulama
hadits menilai riwayat ini sebanding dan sejajar dengan riwayat tingkat tsulatsiyat.
Uniknya, seluruh perawi di dalam sanad al-Bukhari seluruhnya berasal dari kota Kufah. Wallahu a’lam.
Kedudukan Hadits
Hadits Thaifah di atas tidak hanya diriwayatkan oleh al-Mughirah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain beliau, sejumlah sahabat juga meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani rahimahullah (as-Silsilah ash-Shahihah nomer 270) menyebutkannya secara ringkas,
- Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu (ar-Ramahurmuzi dalam al-Muhaddits al-Fashil 1/6)
- Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma (al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
- Tsauban radhiallahu ‘anhu Maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan al-Hakim)
- Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu (Muslim)
- Qurrah al-Muzani radhiallahu ‘anhu (Ahmad)
- Abu Umamah radhiallahu ‘anhu (Ahmad)
- Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu (al-Hakim)
Walaupun ditemukan beberapa perbedaan
lafadz, hadits di atas tetaplah mempunyai satu makna. Beberapa tambahan
lafadz juga sangat membantu untuk memahami hadits tersebut secara lebih
sempurna. Mudah-mudahan dengan memadukan seluruh lafadz dan beberapa
hadits yang terkait, kita akan memperoleh gambaran nyata, siapakah yang
layak disebut sebagai Thaifah Manshurah?
Makna Hadits
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas adalah jaminan, kabar gembira, sekaligus hiburan. Kata-kata
beliau adalah jaminan pasti bahwa siapa pun orangnya yang bertekad,
bercita-cita, dan memiliki kesungguhan untuk memperjuangkan agama Allah ‘azza wa jalla, pertolongan-Nya akan selalu menyertai.
Hal ini sekaligus kabar gembira dan
hiburan bagi mereka yang terkadang merasa terasing, dianggap aneh,
bahkan merasa “sedikit” dalam jumlah, bahwa pengikut kebenaran memanglah
demikian. Mereka pun selalu optimis, sebagai ath-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang ditolong Allah ‘azza wa jalla) sekaligus al-Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat).
Ya, ath-Thaifah al-Manshurah
memang hanya segelintir orang, komunitasnya sedikit, dan sangat kecil
apabila dibandingkan dengan jumlah kaum muslimin secara keseluruhan.
Namun, kenyataan ini tentu tidak perlu membuat mereka bersedih, apalagi
putus asa. Ingat-ingatlah selalu, janji Allah ‘azza wa jalla adalah benar. Dia akan selalu menolong dan membela. Lebih-lebih lagi, ath-Thaifah al-Manshurah akan tetap eksis sampai hari kiamat!
Ada pertanyaan yang terselip ketika
membahas hadits ini. Beberapa riwayat sahih menyebutkan bahwa hari
kiamat tidak akan terjadi sampai kondisi orang-orang yang tersisa adalah
orang-orang yang jahat. Bahkan, sebuah riwayat mengatakan pada saat
itu, tidak ada lagi orang yang menyebut-sebut nama Allah ‘azza wa jalla. Padahal di dalam hadits ini, ath-Thaifah al-Manshurah keberadaannya akan tetap bertahan sampai hari kiamat. Bagaimana ini?
Para ulama hadits, di antaranya adalah al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim, mencoba memadukan riwayat-riwayat tersebut. Hasilnya?
Ath-Thaifah al-Manshurah sebagai
sekelompok orang yang memperjuangkan kebenaran akan terus eksis di
setiap masa. Namun, mendekati kebangkitan kiamat, Allah ‘azza wa jalla
akan mengirimkan angin lembut yang bertiup melewati ketiak setiap
orang. Angin itu akan mencabut ruh mukmin dan mukminah sehingga tidak
ada lagi yang tersisa hidup kecuali orang-orang jahat. Ringkasnya,
keberadaan ath-Thaifah al-Manshurah yang disebut sampai hari kiamat berbangkit maksudnya adalah sampai menjelang datangnya kiamat.
Keterangan ini didukung oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Muslim (no. 2937) dari sahabat an-Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ بَعَثَ اللهُ رِيحًا طَيِّبَةً، فَتَأْخُذُهُمْ تَحْتَ آبَاطِهِمْ، فَتَقْبِضُ رُوحَ كُلِّ مُؤْمِنٍ وَكُلِّ مُسْلِمٍ، وَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ، يَتَهَارَجُونَ فِيهَا تَهَارُجَ الْحُمُرِ، فَعَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ.
“Ketika manusia dalam kondisi semacam itu, Allah ‘azza wa jalla mengirimkan
angin lembut yang bertiup di bawah ketiak mereka. Lalu angin tersebut
mencabut ruh setiap mukmin dan mukminah. Kemudian yang tersisa hidup
hanyalah orang-orang jahat. Mereka melakukan hubungan badan di hadapan
orang lain, persis yang dilakukan keledai. Kepada orang-orang semacam
itulah, hari kiamat akan dibangkitkan.”
Ath-Thaifah Al-Manshurah adalah Ahlul Hadits
Siapakah yang lebih mengerti dan memahami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawabannya secara pasti dan tegas adalah para ulama hadits. Bukankah
merekalah yang meriwayatkannya untuk kita? Bukankah merekalah yang
menjadi mata rantai antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai kepada kita? Apakah kita akan menyerahkan kepada orang-orang
yang tidak berkompeten dan berwenang sama sekali, untuk memahami hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Marilah kita membaca dan merenungkan pernyataan para ulama besar di bawah ini tentang siapakah ath-Thaifah al-Manshurah itu.
Al-Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah menyebutkan beberapa keterangan ulama tentang mereka di dalam kitab beliau, Syaraf Ashabil Hadits (hlm. 59—62).
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menjelaskan, “Mereka adalah para ulama!”
Di lain kesempatan beliau menyatakan, “Mereka adalah Ashabul Hadits.”
Al-Imam Yazid bin Harun, Abdullah bin al-Mubarak, Ali bin Abdillah al-Madini, Ahmad bin Sinan, dan sejumlah ulama lainnya rahimahumullah mengatakan, “Mereka adalah Ashabul Hadits.”
Bahkan, secara tegas al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Seandainya yang dimaksud dengan ath-Thaifah al-Manshurah bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu lagi, siapakah mereka sesungguhnya?”
Kemudian, siapakah Ashabul Hadits itu?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah (Syarah Shahih Muslim)
menerangkan bahwa mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada
yang gagah berani berperang, kaum fuqaha, orang-orang yang menekuni
bidang hadits, ahli-ahli zuhud, penegak amar ma’ruf nahi munkar, atau
pelaku-pelaku kebaikan lainnya. Bisa saja mereka berada di dalam satu
wilayah atau menyebar di berbagai penjuru bumi.
Barangkali kita bisa menyimpulkannya dengan mengutip ucapan al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, “Yang dimaksud oleh al-Imam Ahmad rahimahullah di atas, ath-Thaifah al-Manshurah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah serta orang-orang yang berakidah dengan akidah ahlul hadits.”
Dengan demikian, apakah bisa diterima,
jika orang yang mengejek dan menghina para ulama yang menekuni bidang
hadits, mengaku sebagai bagian dari ath-Thaifah al-Manshurah? Apakah pantas seseorang mengaku sebagai ath-Thaifah al-Manshurah sementara
ia menyebut ulama Ahlus Sunnah dengan “ulama buatan pemerintah”, “ulama
haid dan nifas”, “ilama yang tidak mengerti fiqhul waqi (fikih
kekinian)”, “ulama yang kerjaannya hanya di masjid dengan haddatsana (telah menyampaikan kepada kami) dan akhbarana (telah mengabarkan kepada kami)”, dan “ulama yang tidak menghargai dan tidak peduli dengan darah kaum muslimin”?
Apakah pantas orang yang mencela ulama seperti ini untuk disebut sebagai ath-Thaifah al-Manshurah, kelompok yang ditolong Allah ‘azza wa jalla?
Ath-Thaifah Al-Manshurah dan Jihad Fi Sabilillah
Hadits-hadits ath-Thaifah al-Manshurah diangkat sebagai isu panas oleh kaum jihadiyin takfiriyin (sejumlah orang yang melakukan aksi kekerasan, anarki, brutal, dan membabi buta dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah) untuk melegitimasi dan membenarkan aksi-aksi “jihad”. Mereka menukil hadits-hadits tentang ath-Thaifah al-Manshurah.
Namun, apakah mereka benar-benar mengamalkan hadits-hadits tersebut secara kaffah? Ataukah hanya sepenggalsepenggal saja?
Memang benar! Beberapa lafadz dan riwayat hadits menyebutkan bahwa salah satu ciri ath-Thaifah al-Manshurah adalah berperang dan berjihad di jalan Allah ‘azza wa jalla. Hal ini memang benar. Salah satunya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu
riwayat Muslim (no. 156). Akan tetapi, kita perlu secara tenang,
cermat, dan jujur, mengajukan beberapa pertanyaan sederhana berikut ini.
Salah satu ciri ath-Thaifah al-Manshurah adalah
berperang dan berjihad. Namun, jihad dengan pemahaman siapa? Jihad di
bawah bendera siapa? Di setiap saat ataukah pada kondisi-kondisi
tertentu? Siapakah yang menjadi objek atau sasaran perang dan jihad? Di
setiap tempat ataukah di lokasi-lokasi tertentu saja? Masih banyak lagi
pertanyaan-pertanyaan yang mesti terjawab sebelum berteriak-teriak
“jihad”.
Jihad fi sabilillah adalah ibadah suci. Maka dari itu, pantas saja jika ciri ini disematkan untuk ath-Thaifah al-Manshurah. Namun, ingatlah kembali arahan dan bimbingan para ulama. Jihad fi sabilillah pun
mesti dilandasi dengan ilmu, berdasarkan pemahaman Ahlus Sunnah dan
Ahlul Hadits. Lihat saja sejarah Ahlul Hadits! Mereka pun tercatat
sebagai kaum mujahidin. Mereka mengalirkan tinta dan darah demi agama
Islam.
Jihad fi sabilillah tidak dilakukan dengan sembarangan, serampangan, asal-asalan, emosional, dan ngawur. Jihad fi sabilillah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Wallahi wa billahi wa tallahi,
seandainya jihad syar’i ditegakkan, engkau wahai para pencela
Salafiyyin, akan menyaksikan betapa kecil dan kerdilnya dirimu. Engkau
akan melihat singa-singa Allah ‘azza wa jalla berada di barisan
terdepan. Engkau baru akan tersadar, ternyata dirimu tak bisa
dibandingkan sedikit pun dengan Salafiyyin. Sebab, mereka tegak berdiri
di atas ilmu. (Tentang jihad fi sabilillah, silahkan Anda membaca kembali Asy-Syari’ah pada edisi-edisi sebelumnya)
Pembuktian, Bukan Pengakuan!
Pasukan Panji Hitam, kelompok al-Jihad,
organisasi al-Qaeda, atau apa pun namanya, bisa saja mereka menganggap
dirinya sebagai bagian dari ath-Thaifah al-Manshurah.
Untuk urusan mengaku-aku, siapa pun bisa melakukannya. Klaim dan
mengklaim juga dapat dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi, apakah
cukup sampai di situ saja?
Tidak! Semuanya menuntut pembuktian!
Kaum Yahudi dan Nasrani juga mengklaim bahwa merekalah penduduk surga. Benarkah demikian? Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani)
berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi dan Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka
yang kosong belaka. Katakanlah, “Tunjukkan kebenaranmu jika kamu adalah
orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
riwayat al-Bukhari dan Muslim, “Seandainya setiap orang diiyakan sesuai
dengan pengakuannya, tentu setiap orang akan mengklaim darah dan harta
orang lain. Akan tetapi, sumpah merupakan hak orang yang diklaim.”
“Hadits ini adalah kaidah besar di dalam
kaidah-kaidah hukum syar’i. Kaidah ini menyebutkan bahwa klaim
seseorang tidak bisa diterima begitu saja. Akan tetapi, butuh pembuktian
atau pembenaran dari pihak yang diklaim.”
Bagi siapa saja yang mengaku dirinya sebagai bagian dari ath-Thaifah al-Manshurah, marilah mengukur dan menakar dirinya dengan sebuah jawaban dari asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berikut ini (Irsyadul Bariyyah hlm. 34—35), “As-Salafiyyah adalah al-Firqatun Najiyah.
Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka bukanlah hizb seperti
yang sekarang ini terjadi dan disebut dengan hizb. Mereka adalah jamaah.
Bersama-sama di atas as-Sunnah dan agama. Mereka adalah Ahlus Sunnah
wal Jamaah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pasti
akan selalu ada, sekelompok orang dari umatku yang senantiasa meraih
kemenangan di atas kebenaran. Tidak akan bermudarat atas mereka setiap
usaha dari orang-orang yang menghina dan menyelisihi mereka.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di dalam neraka kecuali satu.’ Para sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku seperti saat ini’.”
Asy-Syaikh al-Fauzan melanjutkan,
“As-Salafiyyah adalah sejumlah orang yang berada di atas mazhab Salaf,
sebagaimana ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat. Jadi, as-Salafiyyah bukanlah hizb seperti hizb-hizb zaman
ini. As-Salafiyyah adalah jamaah yang telah ada sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
turun-temurun dan akan selalu hidup. Mereka akan terus berada di atas
alhaq, meraih kemenangan sampai hari kiamat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Benarkah Anda telah mencontoh dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat beliau dalam segala hal? Buktikanlah!
Wallahul Muwaffiq.

Membenci Sahabat Nabi, Tanda Kekafiran
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
مُحَمَّد رَسُولُ اللهُ وَ الذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَينَهُمْ. تَرَىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَ رِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرٍ السُجُودِ. ذَلِكَ
مَثَلُهُمْ فِى التَورَىةِ. وَ مَثَلُهُمْ فِى الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
يُعْجِبُ الزُرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الكُفَّارَ. وَعَدَ اللهُ الذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَ أَجْرً عَظِيمًا.
“Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka kamu lihat
mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
besar.” (al-Fath: 29)
Penjelasan Makna Ayat
مُحَمَّد رَسُولُ اللهُ
Muhammad adalah nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling masyhur. Tatkala orang-orang kafir mencela beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengubah nama Muhammad menjadi “mudzammam” yang berarti orang yang tercela, beliau bersabda,
أَلَا تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَلَعْنَهُمْ؟ يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ
Tafsir“Tidakkah kalian heran melihat bagaimana Allah ‘azza wa jalla memalingkan
dariku cercaan kaum Quraisy dan laknat mereka? Mereka mencerca dan
melaknat (dengan sebutan) Mudzammam, sedangkan aku adalah Muhammad.” (HR. al-Bukhari no. 3340, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ayat ini menjadi saksi atas kedudukan beliau sebagai rasulullah yang diutus oleh Allah ‘azza wa jalla
kepada umat yang hidup di akhir zaman, yang diutus kepada seluruh
makhluk dari kalangan jin dan manusia hingga akhir zaman. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Katakanlah, “Wahai manusia,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Rabb (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-A’raf: 158)
Firman-Nya,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, melainkan Rasulullah dan
penutup nabi-nabi. Adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Firman Allah ‘azza wa jalla ini adalah persaksian Allah ‘azza wa jalla
kepada Rasul-Nya, dengan menjelaskan, menerangkan, dan memaparkan
kebenarannya dengan pemaparan yang jelas. Penjelasan ini memutus alasan
antara Allah ‘azza wa jalla dan hamba-Nya, serta menegakkan hujah atas mereka. Allah ‘azza wa jalla
yang menjadi saksi atas kebenaran Rasul-Nya, merupakan hal yang telah
diketahui melalui berbagai jenis penjelasan, baik secara dalil aqli,
dalil naqli, secara fitrah, ilmu pasti, maupun penalaran.” (Bada’i’ at-Tafsir, 2/460)
وَ الذِينَ مَعَهُ
“Dan orang-orang yang bersamanya….”
Ada tiga penafsiran para ulama dalam menjelaskan tentang siapa yang dimaksud orang-orang yang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam ayat ini:
- Yang dimaksud adalah sahabat yang hadir dalam peristiwa Hudaibiyah.
- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Yang menghadiri peristiwa Hudaibiyah adalah yang keras terhadap orang-orang kafir, yaitu mereka keras seperti singa-singa terhadap mangsanya.” (Tafsir al-Qurthubi 19/341)
- Para sahabat secara umum, baik yang menghadiri peristiwa Hudaibiyah maupun tidak.
- Seluruh kaum mukminin.
Yang tampak, ayat ini adalah sifat para sahabat secara umum, meskipun berkaitan dengan peristiwa Hudaibiyah. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yang utama adalah memahami ayat ini secara umum (yakni para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Fathul Qadir 5/74)
أَشِدَّآءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَينَهُمْ
“Keras terhadap orang-orang kafir dan saling mengasihi di antara mereka….”
Ayat ini sama seperti firman Allah ‘azza wa jalla,
“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir….” (al-Maidah: 54)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan, “Ini adalah sifat kaum mukminin yang salah satu dari
mereka memiliki sifat yang keras terhadap orang-orang kafir, menyayangi
dan berbuat baik kepada orang-orang yang mulia, bersikap marah dan ketus
di hadapan wajah orang kafir, tersenyum dan berseri-seri di hadapan
wajah saudaranya mukmin, seperti halnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan darimu.” (at-Taubah: 123)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah seperti satu jasad. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh tubuh turut merasakan dengan bergadang dan demam.” (HR. Muslim no. 2586, dari Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا–وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya,” lalu beliau menyela di antara jari-jemarinya. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu) (Tafsir Ibnu Katsir 13/133)
تَرَىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَ رِضْوَانًا
“Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya….”
Ini menerangkan tentang banyaknya shalat yang mereka lakukan, dengan mengharapkan keutamaan dari Allah ‘azza wa jalla dan keridhaan-Nya dengan meraih surga-Nya.
Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Allah ‘azza wa jalla
menyebutkan sifat mereka, yakni banyak amalan dan shalat, yang
merupakan sebaik-baik amalan, keikhlasan beramal hanya untuk Allah ‘azza wa jalla, mengharapkan ridha dan pahala yang berlipat ganda di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa surga yang merupakan anugerah Allah ‘azza wa jalla, kelapangan rezeki kepada mereka, dan ridha-Nya kepada mereka. Ridha Allah ‘azza wa jalla sendiri lebih besar daripada kenikmatan yang awal (yaitu surga-Nya,-pen.), sebagaimana firman-Nya,
‘dan keridhaan Allah adalah lebih besar…’ (at-Taubah: 72).” (Tafsir Ibnu Katsir 13/133)
Ayat ini menunjukkan bahwa memperbanyak
shalat termasuk amalan yang paling mulia, yang mengantarkan seorang
hamba untuk meraih surga dan keridhaan-Nya.
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang paling dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla yang memasukkan seorang hamba ke dalam surga. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ فَإِنَّكَ لَا تَسْجُدُ سَجْدَةً إلا رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Hendaklah engkau memperbanyak sujud (shalat) kepada Allah ‘azza wa jalla, karena sesungguhnya tidaklah engkau melakukan satu sujud kepada Allah ‘azza wa jalla melainkan Allah ‘azza wa jalla mengangkat satu derajat dan menghapuskan darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim, no. 488)
Al-Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Mintalah sesuatu kepadaku.”
Rabi’ah menjawab, “Aku memohon untuk menjadi pendampingmu di surga.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mungkin permintaan yang lain?”
Ia menjawab, “Itulah permintaanku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku untuk mencapai keinginanmu dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim, no. 489)
سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرٍ السُجُودِ
“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.”
Terdapat beberapa penafsiran ulama dalam menjelaskan tentang tanda sujud yang dimaksud di dalam ayat ini.
- Ada yang mengatakan, “Perilaku yang baik.” Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
- Sebagian ulama berkata, “Yang dimaksud adalah sifat khusyuk dan tawadhu’,” sebagaimana yang diriwayatkan dari Mujahid dan yang lainnya.
- Sebagian lagi mengatakan,
- “Dengan memperbanyak shalat akan membaguskan wajah, seperti perkataan sebagian salaf, barang siapa banyak melakukan shalat di malam hari, akan menjadi baik wajahnya di siang hari.”
- Sebagian lagi berkata, “Sesungguhnya amalan kebaikan memunculkan cahaya di dalam hati, sinar pada wajah, kelapangan rezeki, dan rasa cinta di dalam hati-hati manusia.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan, “Yang dimaksud ialah bahwa sesuatu yang tersimpan dalam
jiwa akan tampak pada raut wajahnya. Apabila seorang mukmin memiliki isi
hati yang baik dan benar bersama Allah ‘azza wa jalla, Allah ‘azza wa jalla akan memperbaiki penampilan lahirnya di hadapan manusia, sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Barang siapa memperbaiki isi hatinya, Allah ‘azza wa jalla akan memperbaiki penampilan lahiriahnya’.”
Beliau kemudian berkata, “Tatkala para sahabat radhiallahu ‘anhum ikhlas dan amalan mereka saleh, setiap orang yang memandang mereka merasa takjub melihat perangai dan perilakunya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 13/134)
ذَلِكَ
مَثَلُهُمْ فِى التَورَىةِ. وَ مَثَلُهُمْ فِى الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
يُعْجِبُ الزُرَّاعَ
“Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman
yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya.”
Sifat yang Allah ‘azza wa jalla
sebutkan ini ada dalam Taurat. Adapun sifat mereka yang Injil
disebutkan dengan perumpamaan yang lain, yaitu tentang kesempurnaan
mereka dan sikap mereka yang saling menolong, bagaikan tanaman yang
mengeluarkan tunasnya lalu tumbuh berkembang menjadi muda, dan kemudian
menjadi kuat dan keras, dan berdiri kokoh di atas batangnya, yang
membuat kagum para penanamnya karena kesempurnaan tanaman dan
keindahannya.
Demikian pula para sahabat radhiallahu ‘anhum,
mereka ibarat tanaman yang selalu memberi manfaat kepada makhluk dan
manusia selalu membutuhkan mereka. Kekuatan iman dan amalan yang mereka
miliki bagaikan kuatnya akar dan batang pada sebuah tanaman.
Yang lebih dahulu masuk Islam menolong dan membimbing orang yang masuk Islam belakangan dalam hal menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla dan menyeru kepadanya, bagaikan tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu menolongnya hingga menjadi kuat.
Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla menyatakan setelahnya,
لِيَغِيظَ بِهِمُ الكُفَّارَ
“Karena Allah ‘azza wa jalla hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).”
Yaitu, tatkala mereka melihat persatuan para sahabat radhiallahu ‘anhum dan kokohnya mereka di atas agama, demikian pula tatkala terjadi pertempuran dalam medan perang. (Taisir al-Karim ar-Rahman, al-Allamah as-Sa’di)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Berdasarkan ayat ini, al-Imam Malik rahimahullah berpendapat kafirnya kaum Rafidhah yang membenci para sahabat radhiallahu ‘anhum.
Sebab, para sahabat telah membuat mereka marah. Padahal, siapa yang
marah kepada para sahabat, maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.
Hal ini disetujui oleh sekelompok ulama.
Hadits-hadits tentang keutamaan para
sahabat dan larangan mendiskreditkan mereka sangat banyak. Cukuplah
pujian dan keridhaan Allah ‘azza wa jalla kepada mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 13/135. Lihat pula Tafsir al-Qurthubi 19/347)
وَعَدَ اللهُ الذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَ أَجْرً عَظِيمًا
“Allah ‘azza wa jalla telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh ampunan dan pahala yang besar.”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah orang-orang yang mengumpulkan iman dengan amalan saleh, sehingga Allah ‘azza wa jalla
mengumpulkan pula untuk mereka ampunan yang konsekuensinya adalah
dijaga dari berbagai keburukan di dunia dan akhirat, serta pahala yang
besar di dunia dan akhirat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Siapakah yang Berhak Diambil Ilmunya?
Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Berbagai kerusakan dan kehancuran
terjadi dalam urusan dunia, lebih-lebih lagi urusan agama. Penyebab
utamanya adalah jauhnya umat ini dari ilmu kitabullah, sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jauhnya mereka dari para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhuma,
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak
akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi,
Dia akan mencabut dengan mematikan para ulama (ahlinya). Sampai apabila
Dia tidak menyisakan seorang alim, umat manusia akan menjadikan
orang-orang yang bodoh sebagai pimpinanpimpinan mereka. Mereka ditanya
(oleh umatnya) lantas menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan
menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam hadits yang lainnya tentang akibat dicabutnya ilmu.
يُقْبَضُ الْعِلْمُ وَيَظْهَرُ الْجَهْلُ وَالْفِتَنُ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ
“Ilmu akan dicabut, (akibatnya) akan merebak kebodohan, berbagai fitnah,dan akan timbul banyak pembunuhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
berkata, “Amalan-amalan jelek ibarat penyakit, sedangkan para ulama
ibarat obatnya. Apabila para ulama rusak, siapa yang akan mengobati
penyakit?” (al-Hilyah, 6/361)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah
berkata, “Kalau tidak ada para ulama, niscaya umat manusia akan menjadi
seperti binatang-binatang ternak (tidak tahu halal dan haram).” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm.167)
Siapakah Para Ulama?
Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang keutamaan mereka dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Mereka itulah pewaris para nabi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَلَكِنْ وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama itu adalah
pewaris para nabi, sedangkan para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya
(warisan para nabi), berarti dia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
“Sifat-sifat para ulama yang pantas dijadikan sebagai ikutan dan suri
teladan ialah orang-orang yang berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla, memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengikuti diri dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang saleh.
Orang-orang yang pantas dijadikan suri
teladan adalah orang-orang yang mengumpulkan ilmu yang bermanfaat dan
amalan yang saleh (pada dirinya). Orang yang berilmu, namun tidak
mengamalkan ilmunya, tidak boleh diikuti. Demikian pula orang jahil yang
tidak berilmu, tidak boleh diikuti.
Tidak boleh diikuti dan diteladani
kecuali orang yang mengumpulkan dua hal, yaitu ilmu yang bermanfaat dan
amalan yang saleh. Adapun orang yang berilmu dan tidak sengaja berbuat
salah atau menyimpang dalam perjalanan atau pemikirannya, maka pantas
diambil ilmunya.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 251)
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah berkata, “Orang alim adalah orang yang ada pada dirinya sifat-sifat berikut ini,
- Mengikuti segala sesuatu yang ada di dalam al-Kitab dan as-Sunnah,
- Mengaitkan pemahamannya terhadap al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf ash-shalih,
- Komitmen dengan ketaatan dan jauh dari kefasikan, maksiat, dan dosadosa,
- Menjauhkan dirinya dari bid’ah, kesesatan, kebodohan, dan mentahdzir (umat) darinya,
- Mengembalikan (dalil-dalil) yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas pengertiannya) dan tidak mengikuti (dalil-dalil) yang mutasyabih itu,
- Khusyuk dan tunduk terhadap perintah Allah,
- Ahli istinbath (mengambil kesimpulan hukum dari dalil) dan memahaminya. (Syarh Qaul Ibni Sirin, 116—117)
Perintah Menimba Ilmu dari Mereka, Bukan dari Pihak Lain
Allah ‘azza wa jalla memerintah para hamba-Nya dalam firman-Nya,
“Maka bertanyalah kepada ahlul dzikr jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Terjadi pada generasi sebelum
kalian, ada seorang yang telah membunuh 99 jiwa. Dia bertanya-tanya
tentang seorang yang paling berilmu di penduduk bumi. Ditunjukkanlah dia
kepada seorang ahli ibadah.
Dia lantas menemuinya dan berkata,
‘Sesungguhnya aku telah membunuh 99 jiwa. Apakah aku masih memiliki
kesempatan untuk bertobat?’
Ahli ibadah itu menjawab, ‘Tidak.’
Akhirnya, orang itu membunuhnya
sehingga genap 100 jiwa yang telah dibunuhnya. Kemudian dia bertanya
lagi tentang orang yang paling berilmu. Ditunjukkanlah dia kepada
seorang alim.
Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku telah membunuh seratus jiwa, apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertobat?’
Dia (si alim) berkata, ‘Ya, siapa
yang menghalangi antara dirimu dan tobat? Pergilah engkau ke sebuah
negeri yang cirinya demikian dan demikian, karena masyarakat negeri itu
beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Beribadahlah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang jelek’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Perhatikanlah kisah yang mulia ini.
Kisah tentang akibat dari salah mengambil rujukan ilmu. Ujungnya
menjadikan dia sesat (putus asa dari rahmat-Nya) dan zalim (membunuh).
Sebaliknya, orang yang menuntut ilmu dari ahlinya, maka dirinya akan
selamat, orang lain juga selamat dari kejelekan dan kejahatannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, “Hadits ini mengandung penjelasan bahwa seorang muslim hanya
akan bertanya kepada seorang alim yang terpercaya di dalam agama dan
keilmuannya, lantas mengambil ilmu darinya. Seorang muslim tidak akan
bertanya kepada sembarang orang.” (Fathul Bari, 6/517)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Di dalamnya ada penjelasan bahwa kembali kepada para ulama adalah sebab keselamatan dan kebahagiaan.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Seorang murid membutuhkan ustadz dari sisi ilmu dan dari sisi
amal. Oleh karena itulah, wajib bagi dia untuk betul-betul bersemangat
memilih ustadz-ustadz (yang akan dia ambil ilmunya). Hendaknya dia
memilih ustadz yang sudah dikenal keilmuannya, dikenal amanah dan
agamanya, serta dikenal keselamatan manhaj dan pengarahannya yang benar.
Dengan demikian, dia bisa menimba ilmu dari mereka sekaligus belajar
dari manhajnya.” (Washaya wa Taujih li Thullabil Ilmi, hlm. 100)
Cara Mengenali Ahli Ilmu
Ada tiga cara untuk mengenali ahlul ilmu yang berhak diambil ilmunya.
- Orang-orang yang berilmu dan terkenal akan keilmuannya.
- Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syu’bah rahimahullah, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang masyhur/terkenal.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab al-Jarh wa Ta’dil, 2/28)
Sebagai permisalan di masa kita adalah
seperti asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, dll.
- Bertanya pada ahlul ilmi pada zaman tersebut.
- Orang-orang yang masyhur bahwa dia menuntut ilmu di majelis-majelis para ulama.
Syu’bah berkata, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang terkenal (keilmuannya).” (Diriwayatkan oleh al-Khatib di dalam al-Kifayah, hlm. 161)
Ibnu Aun rahimahullah berkata, “Tidak boleh diambil ilmu ini kecuali dari orang-orang yang dipersaksikan dengan menuntut ilmu.”
Orang-Orang yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah berkata,
“Memerhatikan keadaan orang-orang yang berbicara di majelis untuk
memberi faedah kepada orang lain akan membuahkan pembeda yang akan
memilah antara orang-orang yang berhak diambil ilmunya dan yang tidak
berhak.”
Ibnu Sirin berkata rahimahullah,
“(Salaf) dahulu tidak bertanya tentang sanad. Tatkala terjadi fitnah,
mereka berkata, ‘Sebutkanlah kepada kami para perawi kalian.’ Setelah
itu diteliti, perawi-perawi dari Ahlus Sunnah diambil haditsnya. Adapun
perawi-perawi dari kalangan ahli bid’ah tidak diambil haditsnya.”
Sungguh, sebagian orang asing telah
mengaku-aku berilmu. Sebagian ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu juga
telah berbicara di majelis-majelis untuk memberi faedah kepada umat
(dengan bid’ahnya). Orang yang sebenarnya lebih membutuhkan ilmu dan
dakwah daripada orang-orang yang bodoh, sudah berani naik mimbar.
Sungguh, salaf ash-shalih telah memperingatkan umat dari mereka.
Ahlul ilmi dan iman yang mengikuti salaf
ash-shalih dengan baik senantiasa mentahdzir umat dari orang yang
semacam ini dan melarang mengambil ilmu darinya disebabkan bahaya mereka
terhadap masyarakat dan kesesatan serta penyimpangan yang muncul
darinya.
Selanjutnya, asy-Syaikh Ahmad Bazmul
menjelaskan bahwa kita bisa menyimpulkan tentang sebab-sebab pokok orang
yang tidak berhak diambil ilmunya.
- Jahil (orang bodoh)
- Menyelisihi kebenaran karena syahwat dan syubhat
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah menggolongkan ulama menjadi tiga.
- Orang yang berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla (nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia), tetapi tidak berilmu tentang perintah (syariat) Allah ‘azza wa jalla.
- Orang yang berilmu tentang perintah Allah ‘azza wa jalla dan berilmu tentang syariat-Nya. Orang ini adalah yang takut terhadap Allah ‘azza wa jalla dan itulah orang alim yang sempurna
- Orang berilmu tentang syariat Allah ‘azza wa jalla, namun tidak berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla. Ini adalah orang yang tidak takut terhadap Allah ‘azza wa jalla, dan dialah alim yang jahat. (Syarh Qaul Ibni Sirin, hlm. 121—122)
Syaikhul Islam berkata, “Setiap muslim wajib memerhatikan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lantas mengamalkannya. Dia juga wajib memerhatikan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lantas meninggalkannya. Inilah jalan Allah ‘azza wa jalla dan agama-Nya, yaitu ash-shirath al-mustaqim. Jalan orang-orang yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah ‘azza wa jalla, dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.
Ash-shirath al-mustaqim adalah
jalan yang menggabungkan antara ilmu dan amal. Ilmu yang syar’i dan amal
yang syar’i. Barang siapa telah berilmu, namun tidak mengamalkan
ilmunya, berarti dia adalah orang yang jahat. Barang siapa beramal tanpa
ilmu, berarti dia sesat.” (Majmu’ Fatawa, 11/26)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
senantiasa melimpahkan hidayah taufik kepada kita sehingga terkumpul
pada diri kita semua dua hal yang mulia, yaitu ilmu dan amal.
Amin.

Islam, Jalan dan Akidahnya
Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Islam adalah solusi hidup sekaligus
solusi mutlak untuk membebaskan diri dari kungkungan kerendahan dan
kehinaan. Bahkan, Islam adalah asas yang sangat kokoh untuk meraih
kesuksesan dalam hidup ini. Meniti jalan Islam adalah sebuah jaminan
yang akan menyampaikan seorang hamba kepada Allah ‘azza wa jalla
dan surga-Nya, sekaligus langkah yang menjamin dari berbagai kesesatan
dan penyimpangan hidup dalam beragama, serta memelihara dari kecelakaan
dan kebinasaan kelak di akhirat.
Manhaj dan akidahnya merupakan solusi
dari berbagai bentuk krisis yang menimpa umat ini. Krisis dalam segala
lini kehidupan, bahkan sampai menyentuh persoalan yang paling
fundamental di dalam beragama yaitu krisis bermanhaj dan berakidah.
Para pakar, para cendekiawan dunia dan
agama—menurut pandangan kaum muslimin—telah melakukan usaha yang
maksimal untuk memberikan jawaban dan solusi dari beragam krisis
tersebut. Mereka pun menemukan jalan buntu yang penuh dengan kerikil dan
duri-duri, seakan-akan membuka benteng yang kokoh dan alot. Bagaimana
bisa kaum muslimin menjawab krisis hidup, sementara mereka sendiri
ditimpa oleh krisis yang lebih fatal?
Krisis akidah; Ia
adalah sebuah krisis yang sangat besar dan berbahaya baik dalam
eksistensi hidup di dunia maupun akhirat. Sebuah krisis yang telah
menggoyahkan segala bangunan syariat yang dibangun di atasnya. Banyak
syiar kemuliaan agama tumbang karena krisis ini. Sebaliknya, panji-panji
iblis dan bala tentaranya semakin berkibar. Terdengar seruan-seruan
kekafiran dan kesyirikan dengan lantang dan penuh keberanian.
Dengan krisis ini, seruan tauhid yang merupakan intisari dakwah para nabi dan rasul terkubur dalam reruntuhan zaman.
Krisis ini pula yang telah menyulap dan
membalik barometer penilaian sehingga yang haq menjadi batil, tauhid
menjadi syirik, sunnah menjadi bid’ah, halal menjadi haram, dan petunjuk
menjadi kesesatan.
Betapa mengerikan akibat krisis besar
ini yang telah menjerat banyak lapisan; menjerat banyak pemimpin kaum
muslimin di dunia ini. Yang lebih mengherankan lagi, krisis ini bahkan
menjerat orang yang dianggap tokoh agama.
Bukti nyata hal itu adalah banyaknya
kuburan yang diagungkan dan dipertuhankan di negeri kaum muslimin.
Tempat-tempat bertuah dan dikeramatkan, manusia yang dikultuskan dan
disetarakan dengan Allah ‘azza wa jalla, para dukun, tukang
ramal dan ahli nujum dipuja serta diangkat ilmunya setinggi ilmu Rabb.
Tersebarlah ilmu perdukunan, ilmu sihir, ilmu nujum, dan ilmu ramal.
Berbagai jimat diperdagangkan. Seruan mengembalikan ajaran-ajaran nenek
moyang sebagai landasan berkeyakinan, pengambilan hukum, muamalah, pun
naik ke permukaan. Dan masih banyak lagi bentuk kerusakan akidah
lainnya.
Krisis manhaj; Sebuah
krisis yang menumbuhkembangkan manhaj-manhaj batil di tengah kaum
muslimin sehingga mereka jauh dari manhaj yang haq. Berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan adanya perpecahan umat ini menjadi 73 golongan dan yang selamat
hanya satu merupakan bukti wahyu akan adanya krisis besar ini. Setiap
golongan yang tersesat itu mengibarkan bendera masingmasing dengan
lambang dan manhaj yang beragam.
Karena seruan 72 golongan inilah,
mayoritas kaum muslimin meninggalkan jalan pendahulu yang saleh, yaitu
jalan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Allah ‘azza wa jalla
telah menjadikan jalan mereka sebagai barometer keselamatan di dunia
dari berbagai kesesatan dan keselamatan di akhirat dari ancaman neraka.
Krisis amal; dengan menghidupkan syiar-syiar yang bukan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu dimasukkan ke dalam Islam, sampai pada klimaksnya, membela dan
membangun jihad di atasnya. Tidak mengherankan jika tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
justru dimusuhi dan diperangi. Krisis ini sangat menyenangkan iblis dan
bala tentaranya. Krisis ini juga memunculkan sikap mengadopsi
sistem-sistem muamalah yang bukan dari Islam atau yang telah diharamkan
oleh Islam, seperti praktik ribawi dengan segala bentuk dan cabangnya,
menipu dengan segala jenisnya, berbuat curang dalam menakar dan
menimbang, berdusta dengan segala bagiannya, dan sebagainya.
Krisis akhlak dan adab; yaitu
meniru serta menjiplak akhlak dan adab orang-orang kafir dalam banyak
hal. Mulai dari yang ringan sampai kepada yang berat, dan dari yang
mudah hingga yang sulit.
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri telah menyinyalir, penjiplakan tersebut menyebabkan tampilan
mereka sama dan serupa. Hal itu tidak hanya terjadi dalam masalah akhlak
dan adab, namun dalam semua urusan agama.
Saudaraku, segala bentuk krisis dalam
beragama ini butuh solusi yang tepat dan jalan keluar yang akan
menyelesaikannya. Mungkinkah tergambar dalam benak Anda, ada jalan
keluar lagi selain Islam, akidah, dan manhajnya?
Apabila tergambar ada selain Islam
sebagai solusi, selain akidah dan manhajnya, berarti Anda telah terjerat
perangkap dan jaring setan.
“Dan janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang
nyata bagi kalian. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat
jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian
ketahui.” (al-Baqarah: 168—169)
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang.” (al-Maidah: 48)
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (al-A’raf: 142)
Meraba dan Berkhayal
Saudaraku, kita seringkali menganggap
bahwa apa yang kita lakukan dan ide yang kita munculkan bisa menjawab
krisis yang menimpa. Di sisi lain, kita tidak melihat dan mengkaji
langkah-langkah pasti yang telah dilakukan oleh pendahulu kita yang
saleh.
Seringkali kita mengukur sebuah
keberhasilan itu dengan titel yang tinggi atau popularitas kita. Kita
membangun berbagai bentuk pendidikan, formal atau informal, dengan
berbagai jenjangnya mulai tingkat TK sampai perguruan tinggi. Sementara
itu, kita tidak memerhatikan langkah pendahulu kita yang saleh.
Seringkali kita mengentengkan dan meremehkan serta berbasa-basi di
hadapan kesalahan yang besar menurut pandangan agama dan manhaj kita.
Kita beralasan Allah Maha Pengampun, atau ini kesalahan ringan yang akan
dihapuskan dengan istighfar dan kebaikan yang besar, atau yang penting
akidahnya benar, dan semuanya akan terhapuskan dengan akidah yang benar,
serta berbagai alasan yang menyenangkan dan menggembirakan setan.
Bahkan, dengan kesalahan dan dosa tersebut, terkadang kita berbesar hati
bisa mengenalkan dakwah yang benar kepada umat dan menghentikan
permusuhan serta kebencian mereka terhadapnya.
Sungguh, ini adalah alasan yang tidak
pernah kita dengar dari lisan pendahulu kita yang saleh. Yang mereka
bimbingkan kepada kita adalah mengejar ridha, cinta, dan kasih sayang
Allah ‘azza wa jalla semata. Mereka membimbing kita untuk mengejar keberkahan hidup dari Allah ‘azza wa jalla. Adapun dosa dan kesalahan tidak akan mendatangkan sesuatu selain kebencian dari Allah ‘azza wa jalla.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahih-nya
menulis bab “Ketakutan Seorang Mukmin untuk Terhapus Amalnya dan Dia
Tidak Menyangka,” lalu membawakan ucapan-ucapan pendahulu kita yang
saleh.
Ibrahim at-Taimi rahimahullah menerangkan, “Saya tidaklah melakukan koreksi terhadap ucapanku dengan amalku melainkan karena ketakutan saya menjadi munafik.”
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah
berkata, “Sungguh, saya telah bertemu dengan tiga puluh sahabat nabi.
Semuanya takut kemunafikan akan menimpa diri mereka. Tidak ada seorang
pun dari mereka yang berkata bahwa imannya di atas iman Jibril dan
Mikail.”
Disebutkan juga sebuah riwayat dari
al-Hasan, “Tiadalah yang takut darinya (kemunafikan) selain orang yang
beriman. Tidaklah ada yang merasa aman darinya selain seorang munafik.
Tidaklah diperingatkan dari kemunafikan dan kemaksiatan melainkan
terus-menerus tanpa taubat darinya, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla, “Dan mereka tidak terus-menerus atas apa yang mereka kerjakan dan mereka mengetahui.”
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam Shahih-nya
(no. 6011) mengatakan, “Telah bercerita kepadaku Abu al-Walid, dan
telah menyampaikan kepadaku al-Mahdi, dari Ghailan, dari Anas, beliau
berkata, ‘Sesungguhnya kalian melakukan satu perbuatan (dosa), dalam pandangan kalian lebih kecil dari rambut, sementara kami menganggapnya di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dari perkara yang membinasakan’.”
Di mana kita dengan para pendahulu kita
yang saleh, yang kita menggabungkan diri di atas jalan mereka? Apa yang
kita akan katakan di hadapan Rabb, jika kita digolongkan dalam barisan
kaum munafik?
Pengakuan yang tidak sesuai dengan
perbuatan, dan ucapan yang tidak sama dengan praktik. Apa yang kita akan
perbuat, jika amal yang kita lakukan terhapuskan dalam keadan kita
tidak menduga? Semoga Allah ‘azza wa jalla melindungi kita semuanya.
Wahyu, Solusi Mutlak dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya
Jalan keluar yang aman, lurus, dan pasti dari semua krisis adalah wahyu Allah ‘azza wa jalla. Mari kita dengarkan bimbingan Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian
turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir ayat ini menerangkan, “Allah ‘azza wa jalla
berfirman memerintah kaum mukminin yang membenarkan pengutusan
Rasul-Nya, agar mereka mengambil ikatan Islam dan semua syariatnya,
serta mengamalkan semua perintah-Nya sesuai dengan kemampuannya, serta
meninggalkan semua yang dilarang-Nya.”
As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ini adalah perintah Allah ‘azza wa jalla
kepada kaum mukminin untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan,
tidak meninggalkannya sedikit pun, sekaligus larangan menjadikan hawa
nafsu sebagai tuhan. Apabila aturan syariat sesuai dengan hawa nafsunya,
dia mengambilnya. Apabila tidak sesuai, dia menolaknya. Padahal, hawa
nafsu wajib tunduk kepada agama.
Dan melakukan segala amal kebajikan yang
sanggup dia lakukan. Adapun amalan yang belum sanggup dia laksanakan,
dia berniat untuknya sehingga mendapatkan apa yang dia niatkan. Masuk ke
dalam Islam secara menyeluruh tidak mungkin dan tidak tergambar kecuali
dengan menyelisihi jalan setan.
Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Dan janganlah kalian mengikuti langkahlangkah setan’.”
“Jika datang kepadamu
petunjukdari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak
akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Solusi dari Rabb kita untuk tidak terjatuh di dalam kesesatan di dunia dan kecelakaan di akhirat ialah mengikuti petunjuk Allah ‘azza wa jalla.
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Allah ‘azza wa jalla
telah menjamin, siapa yang membaca al-Qur’an lalu mengamalkan
kandungannya, tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di
akhirat.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Hendaklah diketahui bahwa kebanyakan orang tersesat pada
masalah ini atau lemah untuk mengetahui kebenaran, karena tidak mau
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
mendalami dan mengkaji jalan yang akan menyampaikan kepadanya. Tatkala
berpaling dari kitabullah, mereka pun tersesat.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللهِ
“Sungguh, aku telah meninggalkan di
tengah kalian sesuatu dan kalian tidak akan tesesat setelahnya jika
kalian berpegang teguh dengannya, yaitu kitabullah.” (HR. Muslim no. 2137 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma)
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ
“Saya telah tinggalkan pada kalian
dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika kalian berpegang teguh
dengan keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Asy-Syaikh al-Albani di dalam kitab at-Tawassul mengatakan, “Diriwayatkan oleh al-Imam Malik rahimahullah secara mursal dan al-Hakim secara bersambung dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan sanadnya hasan. Ia memiliki syahid dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dan saya bawakan di dalam kitab ash-Shahihah no. 1761.”)
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Sungguh, saya telah meninggalkan
kalian di atas (hujah) yang putih, malamnya bagaikan siangnya, dan tidak
seorang pun menyimpang darinya melainkan akan binasa.” ( HR. Ibnu Majah dari Abud Darda’ radhiallahu ‘anhu dan dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, lihat ash- Shahihah no. 937)
Mencari Solusi Keselamatan Butuh Pengorbanan
Allah ‘azza wa jalla telah
memberitakan bahwa Dia pasti akan menurunkan ujian dan cobaan kepada
setiap hamba-Nya tanpa pandang bulu. Itu adalah kepastian hidup yang
mengiringi hamba di dunia ini. Surga dan neraka yang menjadi akhir dan
pengujung kehidupan manusia ini diliputi oleh berbagai ujian dan cobaan.
Dua tempat yang tidak ada ketiganya di akhirat kelak, akan menjadi
lambang keberhasilan hidup di dunia atau lambang kegagalan dan
kecelakaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga diliputi oleh segala yang tidak disukai, sedangkan neraka diliputi oleh segala yang menggiurkan.” (HR. al-Bukhari no. 6006 dan Muslim no. 5049, dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Apakah kalian mengira bahwa kalian
akan masuk surga, sementara belum datang kepada kalian (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah,
‘Sesungguhnya pertolongan Allah ‘azza wa jalla itu amat dekat’.” (al-Baqarah: 214)
Adakah keselamatan dan jaminan hidup
yang paling berharga selain masuk surga? Adakah kesengsaraan yang lebih
besar daripada ancaman dengan neraka?
Diperlukan pengorbanan dan perjuangan
untuk meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat, serta
menghilangkan kenistaan dan kerendahan yang abadi. Belilah kemuliaan
yang abadi itu dengan pengorbanan jiwa dan harta.
“Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga
untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam
Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah
kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 111)
“Hai orang-orang yang beriman,
sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan
kalian dari azab yang pedih? (Yaitu) kalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian.
Itulah yang lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (ash-Shaf: 10—11)
Salaf ash-Shalih, Meniti Jalan Keselamatan & Menjawab Krisis Hidup
Kaum salaf yang saleh umat ini telah
membuktikan bahwa agama, akidah, dan manhajnya adalah solusi mutlak dari
semua krisis hidup. Tidak ada seorang pun meragukan krisis hidup yang
menyelimuti kaum jahiliah. Akan tetapi, krisis besar tersebut sirna
dengan agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Idris al-Khaulani rahimahullah telah mendengar Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Adapun saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir hal itu akan menimpaku.
Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita berada di dalam masa jahiliah dan kejelekan, lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?’
Beliau bersabda, ‘Ya.’
‘Apakah setelah kejelekan ini akan ada kebaikan lagi?’
Beliau berkata, ‘Ya, namun ada asapnya.’
Saya bertanya, ‘Apakah asapnya itu?’
Beliau bersabda, ‘Kaum yang berjalan di atas selain jalan dan petunjukku. Kamu mengenali mereka dan kamu mengingkarinya.’
Saya berkata, ‘Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan lagi?
Beliau bersabda, ‘Ya, para dai yang
berada di pintu neraka Jahannam dan barang siapa memenuhi ajakan mereka
niscaya mereka akan melemparkannya ke dalam neraka.’
Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebutkan sifatnya kepada kami, siapa mereka?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka adalah satu kulit dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita.’
‘Apa perintahmu jika aku menjumpai hal itu?’
Beliau bersabda, ‘Konsekuenlah engkau bersama jamah kaum muslimin dan imam mereka.’
Saya berkata, ‘Jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam?’
Beliau bersabda, ‘Menyingkirlah dari
kelompok-kelompok itu semuanya, meski engkau harus menggigit (makan)
akar kayu sampai kematian menjemput, sementara engkau tetap di atas
kondisi itu’.” (HR. al-Bukhari no. 6557 dan Muslim no. 3434)
Ini adalah contoh yang sangat singkat,
menggambarkan semangat mereka untuk mendapatkan jalan keluar dari krisis
besar yang akan menimpa diri mereka dan orang lain. Dan masih banyak
contoh lain yang tidak mungkin dibawakan dalam pembahasan yang singkat
ini.
Wallahu a’lam.

Yang Berguguran dari Dakwah Salafiyah
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Allah ‘azza wa jalla telah menjamin untuk menjaga agama-Nya hingga bangkitnya kiamat. Tanda dan cirinya adalah Allah ‘azza wa jalla
menjadikan dan membangkitkan dari umat ini sekelompok orang di atas
al-haq. Mereka tidak termudarati oleh orang yang menyelisihi dan
merendahkan mereka hingga hari kiamat.
Sekelompok orang ini yang tampil
menghadapi dai-dai penyesat umat di sepanjang masa, tidak ada satu
bid’ah pun yang muncul melainkan Allah ‘azza wa jalla
memunculkan dari tokoh Ahlu Sunnah seseorang yang membantahnya,
membongkar aibnya, membela sunnah dan menjaganya. Alangkah mulianya
mereka.
Di antara tokoh-tokoh hizbiyin masa kini
yang dengan gigihnya terus melancarkan serangan-serangan tajam terhadap
dakwah salafiyah dan ulamanya dengan slogan membela sunnah dan dakwah
salafiyah—secara dusta—adalah:
- Adnan ‘Ar’ur
Dia begitu getol membela kesesatan dan penyimpangan Sayyid Quthb, seperti wihdatul wujud, melecehkan Nabi Musa ‘alaihissalam mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla, al-Qur’an adalah makhluk, mencela sahabat terutama Utsman radhiallahu ‘anhu, memuji Abdullah bin Saba yang berhasil menghasut umat meruntuhkan kekhilafahan Utsman radhiallahu ‘anhu, dan lainnya.
- Muhammad al-Maghrawi
Dia dengan getol membela sahabat
dekatnya, Adnan ‘Ar’ur, ditambah lagi pemahaman takfir yang ada pada
dirinya, menikam ulama Ahlus Sunnah, bahkan para nabi.
- Abul Hasan al-Mishri Musthafa bin Sulaiman al-Ma’ribi
Dia membela Sayyid Quthb, Ikhwanul
Muslimin, Firqah Tabligh, melecehkan salafiyin dan ulamanya, mencela
sahabat bahkan mengkritik tarbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang menyatakan bahwa manhaj Ahlus Sunnah adalah manhaj afyah (luas), mencakup umat dan Ahlus Sunnah. Dengan kaidah ini, dia hendak memasukkan semua sekte-sekte sesat ke dalam Ahlus Sunnah.
- Ali Hasan Abdul Hamid al-Halabi
Dialah yang sekarang menjadi motor
pergerakan fitnah yang disebut fitnah al-Halabi, menyatukan, dan
merangkul hizbiyin di atas bersatu menyerang salafiyin dan ulamanya.
Dia membuat situs السلفيين كل yang
justru mengumpulkan seluruh fitnah hizbiyin. Selain itu, ia menulis
banyak kitab dan makalah yang dipenuhi oleh makar, talbis (pengaburan)
dan pemutarbalikan fakta, kaidah-kaidah yang batil, menerapkan kembali
kaidah-kaidah Abul Hasan al-Mishri, membuat keraguan terhadap
kaidah-kaidah al-jarh wat ta’dil, mengintimidasi siapa
saja yang menerapkan kaidah-kaidah tersebut terhadap ahli bid’ah, dan
membela dai-dai penyeru fitnah. Bahkan, ia membela risalah yang
mengandung ajakan kepada wihdatul adyan (penyatuan agama) dengan cara-cara terselubung dan makar-makar yang jahat, dan lainnya.
Lihat lebih lengkap kesesatan orang ini dalam tulisan asy-Syaikh Rabi’, Bayan Man Hum Asbabul Fitan,
halaqah ke-1. Para ulama kibar masa ini tampil membongkar makar dan
kesesatan mereka. Di antara mereka adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi,
masyaikh Yaman murid-murid asy-Syaikh Muqbil bin Hadi, asy-Syaikh Ubaid
al-Jabiri, asy-Syaikh Muhammad Bazmul, asy-Syaikh Muhammad bin Hadi, dan
lainnya. Ahlus Sunnah salafiyin dari masa ke masa menjadikan para
ulamanya sebagai rujukan ketika menghadapi ragam fitnah yang terjadi.
Barang siapa sejalan dengan ulama salaf
dari masa ke masa dalam hal membela sunnah dan menyikapi ahli bid’ah,
dia adalah salafi sunni.
Barang siapa membenci mereka dan membela dai-dai fitnah, bahkan bergabung dengan hizbiyin, dia adalah pengikut hawa nafsu.
Perlu diingat, perseteruan antara Ahlus
Sunnah dan ahli bid’ah akan terus berlanjut hingga hari akhir dan akan
semakin dahsyat dan samar.
Sudah menjadi sunnatullah pada
para hamba-Nya, akan ada para pembela sunnah sebagaimana halnya ada pula
para pembela bid’ah. Akan muncul pula orang-orang yang gugur dari
manhaj salaf karena tidak istiqamah.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menjadikan kita sebagai para pembela sunnah dan manhaj dengan jujur dan tulus serta kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla keistiqamahan di atasnya.
Amin, Ya Mujibas Sailin.

Rukun Dakwah Salafiyah
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Manhaj salaf, dakwah salafiyah, dibangun di atas dua rukun yang tidak mungkin terpisahkan, yaitu:

A. At-Ta’shil
Maksudnya, menjelaskan prisip-prinsip
dan pilar-pilar manhaj serta dakwah di atas dasar al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Termasuk dalam rukun ini
adalah hal-hal berikut.
- Penjelasan tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar akidah Islamiah salafiyah yang terangkum dalam rukun iman yang enam.
- Penjelasan tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar ibadah yang disarikan dari syarat ikhlas dan mutaba’ah, serta yang terangkum dalam rukun Islam yang lima.
- Memerintahkan segala yang ma’ruf baik akidah, ibadah, adab, muamalah, maupun aspek kehidupan lainnya. Hal ini disebut dengan amar ma’ruf.
- Al-Wala, yaitu berloyalitas dan mencintai secara syar’i pihak-pihak yang Allah ‘azza wa jalla perintahkan untuk dicintai, yaitu para nabi dan rasul, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama sunnah, ulama salaf, dan kaum mukminin yang dikenal berpegang dengan sunah dan dikenal kesalehannya, serta tidak dikenal kebid’ahan, kefasikan, dan kejahatannya.
- At-ta’dil, yaitu memuji dan menyebutkan kebaikan dan keadilan pihak-pihak yang secara syar’i layak untuk di-ta’dil, baik kalangan para saksi, para rawi, maupun para pelaku dakwah dan kaum muslimin secara umum.
B. At-Tahdzir
Maksudnya, memperingatkan umat dari
bahaya orang, golongan (sekte), pemahaman, kitab, dan semisalnya yang
bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman
salaful ummah. Termasuk dalam rukun ini adalah:
- Menjabarkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada dasar-dasar akidah salafiyah secara detail pada setiap masalah, bab, dan sekte.
- Membongkar praktik-praktik dan ragam bentuk kesyirikan yang ada di tengah masyarakat.
- Menyingkap tabir kebid’ahan dan ragam kesesatan yang menyimpang dari sunnah.
- Mencegah dari segala bentuk kemungkaran, disebut nahi munkar.
- Al-Bara’, yaitu berlepas diri dari pihak yang diperintah oleh syariat untuk di-bara’, seperti iblis, orang kafir, zionis-salibis dan ragam sekte kafir lain, kaum zindiq (munafik), ahli bid’ah dengan beragam paham dan sektenya, serta orang-orang yang dikenal dengan kebid’ahan, kefasikan, dan kejahatannya.
- Al-Jarh, yaitu mengkritik atau memaparkan kejelekan, cacat, dan penyimpangan pihak-pihak yang secara syar’i layak di-jarh, baik kalangan saksi, para rawi, pelaku dakwah, maupun muslimin secara umum.
Kedua rukun di atas sering disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah secara bergandengan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa ingkar kepada thaghut
dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang teguh dengan
tali yang amat kuat dan tidak akan putus.” (al-Baqarah: 256)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali keimanan yang terkuat adalah berloyalitas karena Allah ‘azza wa jalla dan memusuhi karena Allah ‘azza wa jalla, cinta karena Allah ‘azza wa jalla dan benci karena Allah ‘azza wa jalla.” (HR. ath-Thabarani no. 11537 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan sanad hasan li ghairihi)
Demikian pula hadits Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu yang telah lalu,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّواعَلَيْهَا بِالنَّواجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“(Ketika itu) berpeganglah kalian
dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang terbimbing
sepeninggalku. Pegangilah ia dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.
Dan hati-hati kalian dari perkara baru dalam agama karena setiap yang
bid’ah adalah sesat.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (5/253)
menegaskan, “Memerintahkan yang sunnah dan melarang dari bid’ah adalah
amar ma’ruf nahi munkar. Itu termasuk amal saleh yang paling afdal. Maka
dari itu, seharusnya dia mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla (ikhlas) dan sesuai dengan perintah (ittiba’).” (Ta’ammulat fi Mas’alatil Hajr hlm. 36, asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari hafizhahullah)
Al-‘Allamah Sulaiman bin Sahman rahimahullah dalam Minhaj Ahlil Haq (hlm. 98) mengatakan,
وَمَا الدِّينُ إِلاَّ الْحُبُّ وَالْوَلاَءُ كَذَاكَ الْبَرَا مِنْ كُلِّ غَاوٍ وَآثِمُ
“Dan tidaklah agama ini melainkan cinta dan wala’, begitu pula bara’ dari setiap orang yang menyimpang dan berdosa.” (Ta’ammulat hlm. 28).
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah dalam risalahnya Ta’ammulat Fi Masalatil Hajr
(hlm. 28) menyimpulkan: “Kalau begitu, nash-nash dua wahyu (al-Qur’an
dan sunnah), semuanya menunjukkan kewajiban menerapkan kaidah yang
agung, yaitu kaidah al-wala wal bara’. Wala’ kepada keimanan dan kaum
mukminin, dan bara’ dari kekufuran dan orang-orang kafir, kebid’ahan,
serta ahli bid’ah.
Seseorang yang mencermati pemahaman dan
amalan salaful ummah yang shalih akan mendapati adanya pernyataan tegas
(nash) dari mereka tentang perkara yang penting ini, disertai praktik
amalannya.”
Secara umum, hampir tidak ada pihak yang
merasa gelisah, terhantui, bahkan mengingkari rukun yang pertama.
Sebab, sifatnya adalah pemaparan prinsip dan dasar-dasar kebaikan dan
kebenaran disertai dengan dalil-dalil yang sahih dari al-Qur’an dan
as-Sunnah berikut penjelasan para ulama.
Di kancah dakwah, banyak dijumpai kaum
hizbiyin yang ikut tampil menerangkannya walau hakikatnya hanya
kamuflase untuk menipu umat. Mereka mengajarkan Kitab at-Tauhid karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, bahkan mengajarkan Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan merambah kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Apalagi para GPS (Golongan Pengaku
Salaf), kajian-kajian mereka nyaris mirip dengan kajian-kajian Ahlus
Sunnah salafiyin, dari sisi kitab yang dikaji dan tampilan lahirnya.
Yang merasa gelisah dan terhantui adalah
kaum Sufi dan saudara kembarnya, Rafidhah, yang tergabung dalam GAW
(Gerakan Anti Wahhabi).
Akan tetapi, tatkala rukun yang kedua
disuarakan dan diamalkan, atau yang pertama disertai dengan yang kedua
(secara bersamaan), terjadilah ‘kegaduhan’ seolah-olah ‘kiamat’ hendak
terjadi. Suara-suara sumbang dan lontaran-lontaran syubhat terdengar
sangat nyaring dan bertubi-tubi. Anehnya, ini tidak hanya muncul dari
mulut para GAW, tetapi muncul lebih deras dan ganas dari para GPS.
Berikut ini cuplikan syubhat dan suara-suara sumbang yang menggambarkan kegelisahan dan ketakutan mereka.
- “Mengapa harus dengan kalimat Manhaj? Apa tidak cukup dengan kalimat al-Haq?”
- “Bantah saja bid’ahnya, tidak usah menyebut orangnya!”
- “Cukup dibetulkan kesalahannya, tidak perlu menghukumi orangnya!”
- “Tidak ada hajr (pemboikotan) selain pada lima macam kebid’ahan!” Maksud mereka ialah Jahmiyah, Murji’ah, Rafidhah, Qadariyah, dan Khawarij.
- “Hajr tidak mungkin dipraktikkan di zaman sekarang karena Ahlus Sunnah minoritas!”
- “Kalau tidak ada kemaslahatannya, hajr menjadi gugur dan tidak disyariatkan, kita harus memakai cara ta’lif (lembut)!”
- “Tidak boleh divonis bid’ah kecuali sekte-sekte dari masa lalu.”
- “Membicarakan yayasan-yayasan bid’ah tidak akan ditanya di alam kubur!”
- “Menerima dana dari yayasan bid’ah adalah kecerdasan!”
- “Adillah wahai, akhi! Sebutkan juga kebaikan-kebaikannya, jangan hanya menyebutkan kejelekannya! Antum zalim!”
- “Mereka (Ahlus Sunnah) hanya sibuk dengan tahdzir! Pekerjaannya hanya men-tahdzir.”
- “Tinggalkan sebab-sebab perpecahan!” Yang dimaksud adalah tidak boleh membicarakan penyimpangan dan kesesesatan hizbiyin karena akan menimbulkan perpecahan di tengah-tengah muslimin.
- “Kita tidak boleh taklid dengan Syaikh Fulan dan Syaikh Allan!” Maksudnya ialah menolak fatwa dan tahdzir ulama sunnah terhadap kesesatan dan penyimpangan tokoh-tokoh bid’ah.
- “Mereka (hizbiyin) juga mendakwahkan tauhid! Radio mereka menyerukan dakwah tauhid! Ustadz-ustadz mereka juga mengajarkan Kitab at-Tauhid!”
- “Tahdzir itu cukup 5-10 menit saja!” Maksudnya adalah meremehkan amalan tahdzir dan mengingkari kemungkaran terhadap bid’ah dan ahli bid’ah.
Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu tersentuh api neraka.” (Hud: 113)
Yang dimaksud orang zalim dalam ayat ini meliputi:
- Orang-orang yang menzalimi harta, darah, dan kehormatan orang lain dengan tindakan lalim dan semena-mena.
- Orang-orang yang menzalimi agama dan akidah umat, yakni para pengusung kebatilan dan ahlul bid’ah dengan berbagai kesesatan, penyimpangan, dan kebid’ahan mereka.
Al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
menjelaskan, “Ayat ini mencakup semua ragam (kezaliman) di atas. Setiap
pengusung kebatilan adalah zalim. Setiap ahli bid’ah adalah zalim.
Setiap orang yang menghancurkan kehormatan muslimin adalah zalim. Maka
dari itu, janganlah engkau condong kepada siapa pun dari mereka karena
engkau akan disentuh api neraka….” (ats-Tsabat ‘ala as-Sunnah, hlm. 16)
Yang dimaksud dengan ركون dalam ayat ini adalah kecenderungan, kecondongan, menyepakati, dan meridhai kezaliman mereka. (Tafsir as-Sadi)
Ancaman yang disebutkan dalam ayat di atas ditujukan kepada orang-orang
yang hanya condong dan ridha. Lantas bagaimana halnya dengan
orang-orang yang memuji, membela, menyanjung, ta’awun dakwah di bawah
naungan ta’awun dana, majelis bercengkrama, belajar mengambil ilmu,
bermusyawarah, mendengarkan radio, membaca karya tulis, majalah, dan
yang lainnya!? Bukankah ancamannya semakin keras?!
Lantas bagaimana kiranya dengan
orang-orang yang melompat ke arah mereka dan menjadi bagian dari
mereka?! Bagaimana kiranya dengan orangorang zalim itu sendiri?! Na’udzubillah min iqabih wa ‘adzabih (Kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari hukuman dan azab-Nya).
Ayat di atas tidak hanya mentahdzir umat
dari kezaliman dengan beragam jenisnya dan menghukuminya sebagai orang
zalim; dan hal itu tidak disebut sebagai ‘pembunuhan karakter’ atau
‘penghancuran profil’ seperti yang mereka dengungkan.[1]
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir-nya mengatakan, “Di dalam ayat ini terdapat tahdzir terhadap sikap condong kepada setiap orang yang zalim.” Dalam manhaj nabawi, manhaj salaf, yang ditahdzir meliputi:
- Perbuatannya, baik itu kekufuran, kebid’ahan, penyimpangan, kemungkaran, maupun kezaliman. Dalilnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sangatlah banyak.
- Pelakunya, baik itu orang kafir, orang munafik, ahlu bid’ah, orang zalim, maupun yang lain.
- terkadang yang di-tahdzir adalah pelaku secara umum tanpa vonis personal.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari
ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam
mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (al-Bayyinah: 6)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (an-Nisa: 145)
- terkadang yang di-tahdzir adalah sekte dan kelompok sesatnya, sebagaimana hadits tentang perpecahan umat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan,
كُلُّهَا فِي النَّارِ
“Semuanya di dalam neraka.”
- terkadang pula yang di-tahdzir adalah person dan tokoh-tokoh kesesatan dan penyimpangan, apabila terdapat maslahat syar’i dan sesuai dengan persyaratan yang termaktub dalam kitab-kitab ulama. Contohnya, tahdzir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Dzul Khuwaisirah at-Tamimi, tokoh Khawarij. Contoh lain adalah kitab-kitab salaf yang secara khusus membongkar kesesatan tokoh bid’ah tertentu, seperti “Bantahan terhadap Bisyr al-Marrisi” karya ad-Darimi, dan bantahan ulama yang lainnya sampai hari ini.
- terkadang pula yang di-tahdzir adalah kitab-kitab, majalah, radio, majelis, dan aktivitas lainnya. Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah menjelaskan prinsip ahlul hadits, “Mereka membenci ahli bid’ah yang mengada-adakan dalam agama apa-apa yang bukan darinya, tidak mencintai mereka, tidak bersahabat dengan mereka, tidak mendengarkan ucapan mereka, tidak bermajelis dengan mereka, tidak berdebat dengan mereka dalam masalah agama, tidak berdialog dengan mereka, menjaga telinga dari mendengarkan kebatilan-kebatilan mereka yang apabila lewat di pendengaran dan bersemi di hati niscaya akan membahayakan dan mendatangkan beragam was-was dan pemikiran yang rusak. Tentang masalah ini Allah ‘azza wa jalla menurunkan firman-Nya,
“Dan apabila kamu melihat
orang-orang yang memperolok-olok ayat kami maka tinggalkanlah mereka
hingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain ….” (al-An’am: 68) (Aqidah Salaf hlm. 107—108)
Sikap yang ditunjukkan Ahlus Sunnah ini adalah perwujudan dari konsekuensi cinta karena Allah ‘azza wa jalla dan benci karena Allah ‘azza wa jalla.
Al-Imam Sufyan bin Said ats-Tsauri rahimahullah menegaskan, “Apabila engkau mencintai seseorang karena Allah ‘azza wa jalla,
lantas dia melakukan kebid’ahan dalam Islam dan ternyata engkau tidak
membencinya karena (bid’ahnya itu); sesungguhnya engkau tidak
mencintainya karena Allah ‘azza wa jalla.” (Hilyatul ‘Auliya 7/34, Abu Nuaim al-Asbahaniy rahimahullah)
Dalam as-Siyar karya
adz-Dzahabi (6/344) disebutkan, Abu Taubah al-Halabi berkata,
“Teman-teman kami menceritakan kepada kami bahwasanya Tsaur (bin Yazid
al-Himshi) pernah bertemu al-Auza’i lalu mengulurkan tangannya kepada
beliau (untuk berjabat tangan). Namun, al-Auza’i tidak mau mengulurkan
tangan kepadanya seraya berkata, ‘Wahai Tsaur, seandainya urusannya
adalah dunia niscaya bisa saling mendekat. Akan tetapi, ini urusannya
adalah agama!’.” (Ta’ammulat Fi Mas’alatil Hajr hlm. 30)
Tsaur bin Yazid memiliki pemahaman Qadariyah.
Manhaj, Terkait dengan Surga Neraka
Ayat di atas (Hud: 113) tegas
menunjukkan bahwa masalah ini sangat erat kaitannya dengan surga dan
neraka. Barang siapa menerapkan kaidah dan prinsip Ahlus Sunnah salafus
shalih dalam hal membantah dan menyikapi ahli bid’ah, ia akan selamat
dari neraka. Sebaliknya, barang siapa condong, bahkan membela mereka, ia
terancam dengan neraka.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya, “Apakah surga dan neraka terkait dengan keabsahan manhaj?”
Beliau menjawab, “Betul. Apabila manhajnya sahih, orang tersebut termasuk ahlul jannah. Apabila di atas manhaj Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj salafus shalih—bi idznillah—dia
termasuk ahlul jannah. Namun, apabila di atas manhaj orangorang sesat,
dia terancam dengan neraka. Jadi, keabsahan dan tidaknya sebuah manhaj
sangat erat kaitannya dengan surga dan neraka.” (al-Ajwibah al- Mufidah hlm. 77—78)
Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah pada
majelis di tempat peristirahatan beliau saat datang ke Tanah Air untuk
acara Daurah Nasional Asatidzah di Jogja pada 1433 H (2012 M), ditanya
tentang pernyataan bahwa masalah Ihya at-Turats tidak akan ditanyakan di
alam kubur. Beliau dengan tegas menyatakan, “Pernyataan semacam ini
tidak diucapkan selain oleh seorang ahli bid’ah!”
Tidak Terpaku dengan Penampilan Luar
Ketika menyikapi, membantah, dan mentahdzir hizbiyin
dan ahli bid’ah, Ahlus Sunnah tidak terpana dengan penampilan zahir
sebagian mereka yang sesuai dengan sunnah, ibadahnya, bacaan
al-Qur’annya yang merdu, kezuhudannya atau taklim-taklimnya yang
mengajarkan tauhid dan sunnah. Yang dinilai adalah hakikat keadaannya,
yaitu manhaj dan akidahnya yang menyimpang.
Khawarij salah satu sekte sesat yang masih eksis dari masa lalu hingga zaman sekarang, disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan ibadah, shalat, puasa, bacaan al-Qur’an, kezuhudan, dan tampilan
zahir yang sesuai dengan sunnah. Akan teapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat keras mentahdzir mereka. Mereka dikatakan sebagai ‘anjing-anjing jahannam’, ’sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit’, dan ‘keluar dari agama seperti keluarnya panah dari buruannya’.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata tentang al-Harits al-Muhasibi, “Jangan engkau tertipu oleh
kekhusyukan dan kelembutannya… Jangan engkau tertipu dengan kepala orang
yang tertunduk (tawadhu’) karena dia adalah orang yang jelek. Jangan
engkau berbicara dengannya! Tidak ada kemuliaan baginya! Apakah setiap
orang yang menyampaikan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia ahlu bid’ah engkau bermajelis dengannya?! Tidak! Tidak ada kemuliaan, tidak pula penyejuk mata!” (Thabaqat al-Hanabilah hlm. 325. Lihat Lammud Durril Mantsur hlm. 166)
Abu Zur’ah rahimahullah pernah
ditanya tentang al-Muhasibi dan kitab-kitabnya. Beliau menjawab,
“Hati-hatilah kalian dari kitab-kitab ini! Ini adalah kitab-kitab bid’ah
lagi sesat. Hendaklah engkau kembali kepada atsar, karena engkau akan
mendapati padanya sesuatu yang mencukupi (sehingga) tidak memerlukan
kitab-kitab ini.”
Beliau ditanya lagi, “(Akan tetapi,) dalam kitab-kitab ini ada ibrah (pelajaran yang dapat diambil).”
Jawab beliau, “Barang siapa tidak dapat mengambil ibrah dari kitabullah, dia tidak akan mendapat ibrah dari kitab-kitab ini!”
Kemudian beliau berkata, “Alangkah cepatnya orang-orang terjatuh pada kebid’ahan.” (as-Siyar 12/112, lihat Lammud Durr hlm. 149)
Tidak Harus Menyebut Kebaikannya
Ketika membantah dan menjelaskan
penyimpangan hizbiyin, Ahlus Sunnah hanya menjabarkan sisi kesesatannya.
Sebab, posisinya adalah sedang membantah dan mentahdzirnya
sehingga tidak ada keharusan menyebutkan sisi kebaikan yang ada pada
hizbiyin sebagaimana contoh-contoh dan dalil-dalil di atas.
Adapun muwazanah (menyebut
kebaikan dan kejelekan secara berimbang) ketika membantah ahli bidah,
ini adalah ciri khas kebid’ahan Sururiyin yang tidak dimiliki oleh
sekte-sekte sesat lainnya. Sebuah kebid’ahan dan makar untuk mengayomi
serta menghalangi tokoh-tokoh sesat dari hunjaman deras bantahan Ahlus
Sunnah terhadap mereka, sekaligus meruntuhkan rukun kedua dakwah
Islamiah nabawiah salafiyah, yaitu tahdzir.
Bid’ah ini telah diruntuhkan—walhamdulillah—oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah dalam kitab beliau Manhaju Ahlis Sunnah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath-Thawaif.
Tahdzir Sampai Kapan?
Membantah, mentahdzir dan menghajr (memboikot) ahli bid’ah hizbiyin terus berlanjut selama masih terjadi kemungkaran dan kebid’ahan, dan selama masih ada ath-Thaifah al-Manshurah, salafiyun.
Terkadang hal ini dilakukan dengan
perbuatan, ucapan, dan hati. Adakalanya bahkan dengan hati saja. Apabila
memungkinkan diterapkan hajr secara total dengan ragam bentuk hajr, hal itu dilakukan. Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan karena pertimbangan maslahat-mafsadat, yang diterapkan adalah hajr pada beberapa hal yang mungkin, sementara hal yang lain tidak. Ini disebut hajr juz’i (secara parsial).
Ringkasnya, prinsip hajr dan tahdzir tidak
akan pernah gugur walaupun Ahlus Sunnah lemah dan minoritas. Sebab, hal
ini masih mungkin dilakukan dengan hati dalam bentuk hajr juz’i, dengan tujuan utama menjaga dan menyelamatkan diri dari kesesatan (disebut dengan hajr wiqayah).
Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa di antara kalian
melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu,
dengan lisannya. Apabila tidak mampu, dengan hatinya; dan itu adalah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Ini semua membantah paham bid’ah baru yang diluncurkan oleh GPS, yaitu إسقاط الهجر (menggugurkan prinsip hajr) apabila dinilai tidak bermaslahat.
Lihat rincian masalah hajr sekaligus sanggahan atas pemahaman di atas dalam kitab Ta’ammulat Fil Hajr, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahim al-Bukhari hafizhahullah.
Tahdzir=Memecah Belah Umat?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya, “Apakah mentahdzir manhajmanhaj yang menyimpang dan para dainya dianggap memecah belah kaum muslimin dan merenggangkan barisan mereka?”
Beliau menjawab, “Mentahdzir
manhaj-manhaj yang menyimpang dari manhaj salaf termasuk upaya
menyatukan kalimat kaum muslimin, bukan memecah belah barisan mereka.
Sebab, yang memecah belah barisan muslimin (justru) manhaj-manhaj yang
menyimpang dari manhaj salaf itu.
Sejak munculnya mazhab-mazhab yang
menyelisihi manhaj salaf setelah tiga generasi utama, para ulama
senantiasamentahdzir dan menjelaskan kebatilannya. Lihatlah kitab-kitab
mereka.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 106—107)
Allah ‘azza wa jalla dan
Rasul-Nya yang memerintahkan bersatu di atas al-haq, tidak berpecah
belah, dan mempererat ukhuwah Islamiyah di atas sunnah, Namun, Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya pula yang memerintahkan untuk mengingkari kemungkaran, membongkar kesesatan dan para pelakunya.
Tidak mungkin terjadi kontradiksi antara dua hal yang disyariatkan, tetapi justru saling melengkapi dan menguatkan.
Termasuk konsekuensi dan bukti kebenaran dan kejujuran sebuah persatuan dan ukhuwah di atas Sunnah adalah ditegakkannya prinsip al-wala’ wal bara’, mengingkari kemungkaran, tahdzir dan hajr, sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i. (lihat al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 142)
Jihad yang Paling Afdal
Menegakkan rukun ke-2 dakwah salafiyah
adalah amalan jihad yang paling afdal. Yang melakukannya adalah orang
besar lagi mulia seperti para nabi dan rasul, para sahabat, salafus
shalih dan para ulama salaf dari masa lalu hingga masa kini, sampai hari
kiamat.
Mereka mengorbankan waktu, ilmu, tenaga, pikiran, harta benda, jiwa raga dan nyawa untuk Allah ‘azza wa jalla semata dalam rangka menegakkan dan membela rukun ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menyatakan, “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid.
Sampai-sampai Yahya bin Yahya menyatakan, ‘Membela sunnah lebih afdal
daripada jihad’.” (Majmu’ Fatawa 4/13)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah
juga menegaskan, “Membongkar aurat mereka (ahli bid’ah) dan menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan dan kerusakan kaidah-kaidah mereka termasuk
jihad fi sabilillah yang paling afdal.” (Shawa’iq al-Mursalah 1/301)
Dalam kitabnya Syifa’ul ‘Alil (hlm. 60) Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma adalah orang yang sangat tegas terhadap Qadariyah. Demikian pula para sahabat.” (lihat Ijma’ Ulama ‘alal Hajr hlm. 38, asy- Syaikh Khalid azh-Zhafiri)
Salafiyin Sibuk dengan Tahdzir?
Di antara tuduhan dusta dan keji
terhadap dakwah salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa salafiyin
tidak punya kesibukan selain tahdzir, bantahan, dan hajr.
Subhanallah! Karya-karya ilmiah
dalam berbagai bidang ilmu yang ditulis oleh ulama salaf dari zaman
dahulu hingga sekarang, apakah itu bukan sibuk dengan ilmu?!
Bantahan-bantahan terhadap ahli bid’ah
yang mereka tuliskan dalam karya-karya besar ilmiah bukan disebut ilmu?!
Lantas disebut apa?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah menasihatkan, “Wahai saudara-saudaraku, belajarlah ilmu, yakni kitab-kitab rudud (bantahan
terhadap ahli bid’ah) adalah salah satu sisi dari sisi-sisi ilmu yang
penting. Bacalah bab shalat, bab zakat, bab haji, bab akidah, bab
muamalah, dan bab bantahan terhadap ahli bid’ah….” (Majmu’ Kutub wa Rasail 14/266)
Tuduhan-tuduhan semacam ini, baik dahulu
maupun sekarang, hanya terlontar dari mulut ahli bid’ah atau orang yang
hatinya memiliki syubhat.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah pernah
ditanya, “Apakah salafiyin disalahkan karena sibuk dengan bantahan,
dengan anggapan bahwa mereka tidak perhatian dengan ilmu?”
Beliau menjawab panjang lebar. Di antara
pernyataan beliau adalah, “Apa yang dikatakan ahlul bid’ah tentang
Ahlus Sunnah bahwa kesibukan mereka hanyalah membantah, (sangat) tidak
benar. Mereka (Ahlus Sunnah) justru sibuk dengan ilmu yang
bermanfaat.Tatkala diperlukan, mereka pun membantah ahlu ahwa wa bid’ah. Ini (justru) kemuliaan bagi mereka, karena membantah ahli bid’ah) termasuk nasihat untuk Allah ‘azza wa jalla, kitab-Nya, pemimpin muslimin, dan kaum muslimin secara umum. Ini juga termasuk upaya mereka berjalan di atas thariqah (metode) salaf dalam menjaga agama Allah ‘azza wa jalla.
Sejak dini, kaum muslimin wajib
mengetahui jalan petunjuk dan jalan kesesatan. Dia harus tahu bagaimana
harus berjalan di awal perjalanannya. Apabila dia (hanya) mempelajari
(ilmu), namun tidak mengetahui syubhat (ahli bid’ah) dan tidak
mengetahui bantahan (terhadap ahli bid’ah), dia akan sia-sia.
Bisa jadi, ada sejumlah orang yang duduk
bermajelis dan belajar kepada seorang ulama, namun dia tidak tahu
bid’ah dan bantahannya serta penjelasan tentangnya. Dia pun menyimpang
dari manhaj ulama salaf. Maksudnya, seseorang yang hanya mengajarkan
kebaikan kepada orang lain dan tidak menjelaskan tentang kejelekan,
kebid’ahan, dan kesesatan, dia (seperti) orang yang bercocok tanam,
kemudian datanglah hewan-hewan dan serangga-serangga yang memakan
tanamannya (karena) tidak ada penjagaan.
Bantahan-bantahan terhadap ahli bid’ah
adalah penjagaan, persis seperti penjagaan-penjagaan dalam bab lainnya,
semisal imunisasi untuk penyakit dan vaksin-vaksin medis dari
penyakit-penyakit badan. Akan tetapi, penyakit-penyakit hati dan jiwa
lebih memerlukan penjagaan.
Kami tujukan ucapan ini kepada para
pencari ilmu dan ulama, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah k,
mengamalkan ilmu, dan beramar maruf nahi mungkar sesuai dengan
kesanggupan masing-masing. Harus ada inkarul munkar….
Pelajarilah ilmu dan amalkan. Termasuk
tujuan Islam dalam bab (ilmu dan amal) adalah beramar maruf nahi munkar
dan menasihati kaum muslimin,setelah itu berjihad untuk meninggikan
kalimat Allah ‘azza wa jalla hingga engkau menghunuskan pedang fi sabilillah, (memerangi) musuhmusuh Allah ‘azza wa jalla manakala ada (penguasa) yang mengangkat bendera jihad untuk meninggikan kalimat Allah ‘azza wa jalla.” (Majmu’ Kutub wa Rasail 14/266—268, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah)
Antara Tahdzir dan Menasihati
Ada sebagian pihak yang menuduh
salafiyin mencari-cari kesalahan dan tidak melakukan upaya nasihat
terhadap orang-orang yang terjatuh dalam kesalahan dan penyimpangan,
padahal penyimpangan tersebut mereka sebarkan di dunia maya.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah juga pernah ditanya tentang permasalahan ini.
Beliau menjawab, “Kita sedang diuji
dengan tipe orang seperti ini. Engkau dapati seseorang menyebarluaskan
kebatilan, kedustaan, dan tuduhan terhadap orang lain. Terkadang dia
lakukan secara khusus dan terkadang secara umum. Apabila engkau menegur
atau mengkritiknya, dia menyatakan, ‘Mengapa mereka mentahdzir saya?
Mengapa mereka tidak menasihati saya? Mengapa mereka tidak menjelaskan
kepada saya?’
(Ini semua) adalah alasan-alasan yang rusak. Kami menuntut mereka bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla dan kembali kepada kebenaran dengan penuh adab dan tawadhu’ serta meninggalkan alasanalasan semacam ini.
Anggaplah orang tersebut salah, tidak
berbicara dan menasihatimu. Akan tetapi, engkau kembalilah (terlebih
dahulu) kepada kebenaran lalu tegurlah kesalahannya.
Akan tetapi jika engkau sebar luaskan
kepada semua orang sementara engkau tetap di atas kebatilan dan
kesalahanmu lantas engkau berkata, ‘Mereka belum berbuat begini, mereka
telah berbuat begitu,’ ini omong kosong.
Seorang mukmin harus kembali kepada
Allah k dan menerima nasihat yang tersembunyi ataupun yang
terangterangan. Adapun engkau menyebarkan kesalahan-kesalahanmu di dalam
kitab-kitab, kaset-kaset dan… dan… kalau seandainya engkau sembunyikan
kesalahan-kesalahanmu dan engkau lakukan dalam kegelapan antara kamu dan
Allah ‘azza wa jalla (yang tahu), lantas ada orang yang tahu, dia harus menasihatimu secara tersembunyi (antara engkau dan dia saja).
Adapun engkau menyebarkan ucapan-ucapan
dan perbuatanmu di seluruh dunia, kemudian ada seorang muslim
menyebarkan bantahan terhadapmu, tindakan seperti ini tidak masalah.
Tinggalkan alasan-alasan seperti itu yang (muncul) dari kebanyakan
pengusung kebatilan yang bersikukuh di atas kebatilan dan
penentangannya.” (Majmu’ Kutub wa Rasail 14/271—272)
Asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri hafizhahullah dalam risalahnya Ijma’ul Ulama ‘Alal Hajr wat Tahdzir min Ahlil Ahwa (hlm.
56—57) menyatakan, “Setelah penukilan-penukilan dari ulama salaf ini
yang menjelaskan dengan gamblang cara muamalah Ahlus Sunnah terhadap
ahlu bid’ah, dan bahwasanya sikap tegas ketika bermuamalah dengan mereka
adalah sikap terpuji, bahkan termasuk keutamaan yang mulia;
Apakah setelah semua (penjelasan) ini
diperbolehkan bagi seorang Ahlus Sunnah karena perangai/akhlak salafiyah
ini?! Kalau dia melakukannya, orang yang hina ini tidak tahu kalau
dengan perbuatannya tersebut berarti dia telah mencela salafus shalih,
yang tokohnya adalah para sahabat seperti yang telah kami nukilkan dari
mereka!
Hendaklah bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla,
suatu kaum yang mengaku (di atas) sunnah (namun) mereka merendahkan
Ahlus Sunnah dan pihak-pihak yang membelanya di atas kebenaran dan ilmu;
lantas mereka mengayomi ahli bid’ah (dari bantahan Ahlus Sunnah), dan
menegakkan al-wala wal-bara’ atas mereka (ahli bid’ah)!
Sebab, dengan berbagai trik dan sikap
seperti ini, mereka telah merusak (manhaj) banyak pemuda dan
menghalanginya dari jalan Allah ‘azza wa jalla dan manhaj
salaf. Sikap yang Islam dan pemeluknya dari kalangan sahabat, tabi’in,
Ahlus Sunnah dan ulamanya, berlepas diri darinya.
Dengan sikap ini, mereka telah melakukan
tindakan kriminalitas (pelanggaran) besar terhadap Islam. Maka dari
itu, menempuh jalan salafus shalih dalam hal bermuamalah dengan ahli
bid’ah adalah jalan menuju keselamatan dari beragam fitnah. Kita memohon
kepada Allah ‘azza wa jalla agar mengukuhkan kita di atas Islam dan sunnah.
Namun, ada (satu) hal yang harus
diperhatikan, yaitu sikap tegas terhadap orang yang menyimpang—yang
merupakan keistimewaan para ulama (sunnah)—tidak berarti mereka memiliki
akhlak yang jelek atau rendah. Mereka justru menghiasi diri dengan
akhlak mulia dan perangai-perangai utama seperti sabar, hilm (kelembutan
perangai), penuh pertimbangan (tidak tergesa-gesa), jujur, wara’, dan
lainnya. Hanya saja, mereka memandang bahwa posisi ini membutuhkan sikap
yang tegas untuk mematahkan ahli bid’ah, terutama para dainya, dan
memalingkan bid’ah mereka dari umat.
Tidaklah mereka (melakukan) hal tersebut
kecuali karena mengetahui bahaya bid’ah-bid’ah ini, yang terkadang
menjerumuskan manusia ke dalam kekufuran dan kezindikan.
Ini semua kembali kepada hikmah seorang dai dan fikihnya dalam bermuamalah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Namun, disebut sebagai nasihat bagi umat karena agama adalah nasihat.
Posting Komentar