Langsung ke isi

Fatwa Seputar Shalatnya Wanita (1)
Wanita Sering Shalat Jamaah di Masjid
Pertanyaan:
Apakah wanita dibolehkan terus menerus shalat berjamaah di masjid dan apakah suaminya berhak untuk melarangnya?
Jawab[1]:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,
“Wanita dibolehkan keluar rumah untuk mengerjakan shalat di masjid.
Akan tetapi, shalatnya di rumahnya lebih utama karena lebih tertutup
baginya dan lebih aman dari gangguan yang bisa menimpa dirinya atau
menimpa orang lain karena dirinya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mengerjakan shalat di masjid-masjid Allah[2], namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”[3]
Apabila seorang wanita hendak keluar
untuk shalat di masjid, tidak boleh dilarang, walaupun sebenarnya dia
tetap tinggal dan shalat di rumahnya lebih utama daripada keluar untuk
shalat di masjid. Namun, apabila keluar ke masjid, dia haruslah menjaga
adab-adab syariat, di antaranya tidak memakai wewangian,menghindari
pakaian perhiasan (pakaian yang cantik dan indah untuk berhias), tidak
memakai perhiasan dan memamerkannya, tidak menampakkan sedikit pun dari
anggota tubuhnya, dengan menutup wajah, dua telapak tangan dan dua
telapak kaki[4]. Dan dia harus menutup dirinya dari lelaki.
Apabila semua adab-adab ini dia
laksanakan, ia boleh keluar untuk shalat di masjid. Selain itu,
tempatnya di dalam masjid terpisah dari lelaki, sehingga dia tidak
bergabung dalam shaf lelaki dan tidak ikhtilath. Dia shalat di
bagian paling belakang dari masjid. Apabila ada wanita lain bersamanya,
hendaknya dia bergabung dalam shaf mereka. Jika tidak ada, dia bershaf
sendiri di belakang shaf lelaki.
Jika si wanita keluar rumah tidak memerhatikan adab-adab syariat ini, suaminya boleh melarangnya keluar rumah.”
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih ibn Fauzan, 1/349)
Shalat Memakai Pakaian Ketat & Tipis
Pertanyaan:
Apakah wanita boleh shalat dengan
mengenakan celana panjang ketat (pantalon) dan bagaimana pula dengan
lelaki? Apa pula hukumnya bila wanita mengenakan pakaian tipis di saat
shalat namun tidak sampai menggambarkan auratnya? Berilah kami fatwa,
jazakumullah khairan.
Jawab:
Pakaian yang sempit atau ketat, yang
membentuk anggota tubuh, menampakkan bagian-bagian tubuh wanita dan
lekukan-lekukannya, tidak boleh dikenakan. Lelaki pun tidak boleh
memakai pakaian seperti itu, tetapi keharamannya bagi wanita lebih
sangat, karena godaan yang diakibatkannya lebih besar.
Adapun tentang shalat, bila seseorang
shalat dalam keadaan auratnya tertutup maka shalatnya sah, akan tetapi
berdosa seseorang shalat dengan pakaian yang ketat, karena bisa jadi ada
amalan shalat yang tidak dikerjakannya dengan semestinya disebabkan
sempitnya pakaiannya. Ini satu sisi.
Ada sisi lain lagi sebagaimana yang
telah kami sebutkan, yaitu pakaian yang ketat akan menggambarkan bentuk
tubuh sehingga mengundang godaan, membuat pandangan mata tertuju/menoleh
kepada si pemakai, terlebih lagi apabila dia seorang wanita. Maka dari
itu, wanita wajib mengenakan pakaian yang longgar, luas lapang, yang
dapat menutupi tubuhnya dan tidak membentuk tubuhnya sedikit pun, dan
pandangan mata yang terfitnah tidak tertuju kepadanya[5].
Pakaiannya tidak boleh tipis atau transparan, tetapi harus pakaian yang
dapat menutupi tubuhnya dengan sempurna, tidak terlihat sama sekali.
Tidak boleh pula pakaian keluarnya itu pendek menampakkan betisnya, atau
lengan bawahnya ataupun telapak tangannya. Tidak boleh pula dia membuka
wajahnya, tapi harus menutupi seluruh tubuhnya.
Sekali lagi, pakaiannya tidak boleh
tipis hingga tampak tubuh di baliknya atau warna kulitnya karena pakaian
yang demikian tidak teranggap menutupi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan dalam hadits yang sahih,
صِنْفَانِ
مِنْ أُمَّتِي لَمْ أَرَهُمَا: رِجَالٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهِ النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كاَسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ لاَ يَجِدْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Ada dua golongan dari umatku yang
belum pernah aku lihat, yaitu para lelaki yang membawa cemeti seperti
ekor-ekor sapi yang dengan itu mereka memukul manusia. Dan para wanita
yang berpakaian (kasiyat) tetapi telanjang, mereka miring dan
memiringkan orang lain. Mereka tidak akan mendapati wanginya surga.” (HR. Muslim.)
Atau sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Makna kasiyat dalam hadits
adalah para wanita itu mengenakan pakaian tetapi hakikatnya mereka
telanjang. Sebab, pakaian mereka tidak menutupi aurat, hanya sekadar
pakaian bermodel saja tidak menutupi tubuh yang ada di baliknya, entah
karena tipis atau pendek, tidak lebar sehingga tidak cukup untuk
menutupi tubuh. Para muslimah wajib memerhatikan hal ini. (1/349—350)
Wanita Shalat Jumat di Rumah
Pertanyaan:
Aku biasa shalat jumat sebagaimana
lelaki, dengan bilangan 2 rakaat wajib dan 2 rakaat sunnah setelahnya.
Akan tetapi, aku pernah membaca bahwa wanita tidak wajib shalat jumat.
Apakah yang aku lakukan salah?
Jawab:
Apa yang Anda lakukan salah, karena
tidak sah seorang wanita jumatan terkecuali apabila dia mengerjakannya
di masjid berjamaah dengan para lelaki. Apabila si wanita hadir di
masjid dan shalat bersama lelaki, shalatnya sah. (1/354)
[1] Semua pertanyaan dan jawaban diambil dari fatwa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dari kitab kumpulan fatwa beliau.
[2] HR. al-Bukhari dan Muslim.
[3] Tambahan ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih Abi Dawud.
[4]
Karena asy-Syaikh Shalih Fauzan termasuk ulama yang berpendapat
wajibnya wanita menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali saat keluar rumah
atau di hadapan ajnabi.
[5]
Pandangan mata menoleh kepadanya karena pakaian yang dikenakannya
membentuk lekuk-lekuk tubuhnya disebabkan ketatnya, pandangan syahwat
pun tertuju kepadanya.

Melepas Ikatan Rambut Saat Mandi
Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Mandi menjadi rutinitas kita
sehari-hari. Paling tidak dua kali sehari kita melakukannya, pagi dan
sore. Mandi seperti ini tidak ditentukan oleh syariat. Artinya,
urusannya mubah saja, mau dikerjakan, ‘silakan’; ditinggalkan pun tidak
berdosa, walau sebenarnya mengerjakan yang mubah bisa mendatangkan
pahala kalau disertai niat kebaikan.
Ada mandi yang diatur oleh syariat
karena mengiringi urusan ibadah. Apabila mandi itu tidak dilakukan,
seseorang tidak bisa menjalankan ibadah shalat dan beberapa ibadah
lainnya. Mandi yang dimaksud adalah mandi selesai dari haid, nifas, dan
mandi janabah.
Di sini kita tidak membicarakan secara
lengkap tata cara mandi yang disebutkan. Kita membatasi satu
permasalahan terkait dengan mandi-mandi tersebut, yaitu apa hukumnya
wanita melepas ikatan atau gelungan rambutnya saat mandi suci dari haid,
nifas, dan janabah?
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada suaminya yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضُفْرَ رَأْسِي، أَفَأَنْقُضُهُ
لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ، إِنَّماَ يَكْفِيْكِ أَنْ تَحِثِّي
عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ،
فَتَطْهُرِيْنَ
“Wahai Rasulullah, saya adalah
wanita yang menjalin rambut dengan kuat. Apakah saya harus melepaskan
jalinan rambut tersebut saat mandi janabah?”
Rasulullah menjawab, “Tidak. Cukuplah bagimu menuangkan (air) di atas kepalamu tiga tuangan[1], lalu engkau siramkan air di atas tubuhmu, maka engkau pun suci.” (HR. Muslim no. 742)
Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan bahwa Asma bintu Syakal[2] radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara mandi suci dari haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَأْخُذُ
إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُوْرَ،
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهَا دَلْكًا شَدِيْدًا حَتَّى
تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا
“Hendaknya salah seorang dari kalian mengambil air mandi dan sidr[3], lalu bersuci dengan sebaik-baiknya[4], kemudian dia tuangkan air di atas kepalanya, lalu digosok-gosoknya dengan kuat hingga mencapai pokok rambutnya[5]….” (HR. Muslim no. 748)
Pembaca yang mulia, perhatikanlah dua hadits di atas, hadits dua ibunda kita Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dan Aisyah radhiallahu ‘anha. Yang satu berbicara tentang mandi janabah seorang wanita dan yang satu lagi tentang mandi haid.
Dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menggerai rambutnya saat mandi. Artinya, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha boleh mandi dalam keadaan rambutnya tetap terjalin, terkepang, atau terikat.
Adapun dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, saat menyiram air ke kepala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintah wanita yang mandi haid untuk menggosok-gosokkan air tersebut
dengan sangat ke kepalanya agar air sampai ke pangkal rambut.
Dari sinilah muncul perbedaan pendapat
tentang hukum melepas ikatan atau jalinan rambut saat mandi janabah dan
mandi haid/nifas, apakah wajib atau tidak?
Perbedaan Pendapat Ulama
Penulis kitab asy-Syarhul Kabir (1/189—190), al-Imam ar-Rafi’ rahimahullah,
menyatakan bahwa wanita tidak wajib melepas ikatan rambutnya saat mandi
janabah, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini, kecuali dari Ibnu
Umar radhiallahu ‘anhuma dan an-Nakha’i rahimahullah. Tidak ada yang menyepakati keduanya menurut pengetahuan beliau. Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha di atas.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, menyatakan adanya kesepakatan imam yang empat tentang tidak wajibnya hal ini. (al-Mughni, “Kitab ath-Thaharah”)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha,
“Yang diamalkan oleh para ulama ialah apabila seorang wanita mandi
janabah tanpa melepaskan ikatan rambutnya, maka hal itu mencukupinya
setelah dia mencurahkan air ke atas kepalanya.“ (Jami’ at-Tirmidzi, 1/71)
Adapun untuk mandi haid dan nifas, ulama berselisih pendapat, apakah wajib atau tidak melepas ikatan rambut saat mandi suci.
- Wajib melepas ikatan rambut.
Demikian pendapat yang masyhur dari ulama mazhab Hanbali (al-Mughni), Zhahiri (al-Muhalla, 2/53) dan sebagian ulama Maliki (al-Muntaqa, 1/96). Pendapat ini dipegangi oleh al-Hasan, Thawus, dan an-Nakha’i.
- Mustahab, tidak wajib.
Demikian pendapat jumhur ulama, di antara mereka ialah ulama mazhab Hanafi (Fath al-Qadir, 1/59I), ulama mazhab Maliki (al-Maunah, 1/132), ulama mazhab Syafi’i ( al-Majmu, 2/187), dan satu pendapat dalam mazhab Hanbali (satu riwayat dari al-Imam Ahmad rahimahullah
yang dipilih oleh al-Muwaffaq, al-Majd, pensyarahnya, dan asy-Syaikh
Taqiyuddin, serta selain mereka). Demikian pendapat yang dipegangi oleh
Atha, al-Hakam, dan az-Zuhri. (al-Mughni, Fathul Bari, 1/542)
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada masanya, berpendapat (sebagaimana dinukil dalam Taudhihul Ahkam)
bahwa yang kuat secara dalil adalah pendapat yang menyatakan tidak
wajib melepas ikatan rambut saat mandi haid, sebagaimana tidak wajib
dalam mandi janabah. Hanya saja, saat mandi haid disunnahkan
melepaskannya berdasarkan dalil-dalil yang ada, namun hal ini tidak
wajib, dengan dalil hadits Ummu Sa lamah radhiallahu ‘anha . Pendapat ini yang dipilih oleh penulis kitab al-Inshaf. Adapun dalam mandi janabah, maka melepas ikatan rambut tidak disunnahkan sebagaimana disunnahkan dalam mandi haid.
Dalil mereka yang tidak mewajibkan adalah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan haid dan janabah[6]. Namun, kata al-Imam Ibnu Qayyim al- Jauziyah rahimahullah, yang sahih dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha
hanyalah penyebutan janabah tanpa ada penyebutan haid, sedangkan
melepas ikatan rambut untuk wanita yang mandi haid, maka tidak ada
riwayat yang mahfuzh.
Al-Imam al-Albani rahimahullah berkata bahwa riwayatnya syadz. Dengan demikian, kata asy-Syaikh Alu Bassam, penulis Taudhihul Ahkam, mazhab al-Imam Ahmad rahimahullah dalam masalah ini kuat, dan memaknai dua hadits di atas dengan istihbab (hukumnya disunnahkan) adalah bagus. (Taudhihul Ahkam, 1/400—401)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
menyatakan, mazhab jumhur tentang ikatan rambut wanita yang mandi adalah
jika memungkinkan sampainya air ke seluruh rambut, baik bagian luar
maupun bagian dalam, tanpa harus melepas ikatan rambut tersebut
(mengurai rambut) maka mengurainya tidaklah wajib.
Namun, ketika tidak memungkinkan
menyampaikan air ke seluruh rambut kecuali dengan mengurai, maka
mengurainya wajib, tanpa membedakan mandi janabah dengan mandi haid dan
nifas.
Adapun hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha
dipahami bahwa air bisa sampai ke seluruh bagian kepala dan rambut
tanpa harus mengurai rambut tersebut. An-Nakha’i berpendapat wajibnya
melepas ikatan rambut dalam seluruh keadaan. Al-Hasan dan Thawus
berpendapat wajib ketika mandi haid dan tidak wajib saat mandi janabah
dengan dalil hadits Ummu Salamahradhiallahu ‘anha. (al-Minhaj, 4/237)
Al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya, Tamamul Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah (hlm.
125), menyebutkan adanya perbedaan mandi janabah seorang wanita dengan
mandi haidnya. Ketika mandi haid, si wanita harus menggosok-gosokkan air
dengan kuat ke kepalanya, sedangkan saat mandi janabah tidak diharuskan
demikian, sebagaimana hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menunjukkan tidak wajib mengurai rambut yang terikat saat mandi janabah.
Itulah sebabnya Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan pengingkaran terhadap Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma ketika sampai kabar kepada Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma menyuruh kaum wanita agar melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
يَا
عَجَبًا بِالْنِ عَمْرٍو هَذَا! يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ
أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوسَهُنَّ، أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ
رُؤُوسَهُنَّ؟ لَقَدْ أَغْتَسِلُ أَناَ وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ
وَاحِدٍ، فَمَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ
إِفْرَغَاتٍ
“Aneh sekali Ibnu Amr itu! Dia
memerintah para wanita melepaskan ikatan rambut mereka saat mandi.
Mengapa dia tidak menyuruh mereka mencukur rambut sekalian? Dahulu aku
pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana[7], dan aku tidak lebih dari sekadar menuangkan ke atas kepalaku tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 745)
Dengan demikian kata al-Imam rahimahullah,
tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits tersebut berdasarkan
perincian ini, yaitu saat mandi haid diwajibkan melepas ikatan rambut,
sedangkan ketika mandi janabah tidak wajib. Di antara yang berpendapat
dengan perincian ini adalah al-Imam Ahmad rahimahullah dan pendapat ini dinyatakan benar oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzib as-Sunan (91/165—168). Ini juga pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (2/37—40).
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah dalam syarahnya terhadap Bulughul Maram, yaitu Tashil al-Ilmam (1/282—284)
menyatakan tidak wajib melepas ikatan rambut saat mandi janabah karena
hal itu akan menyulitkan. Sebab, mandi ini bisa berulang-ulang dilakukan
sehingga apabila si wanita harus mengurai rambutnya setiap kali mandi
tentu akan menyulitkannya. Sementara itu, agama ini datang memberikan
keringanan dan menghilangkan segala kesulitan dari pemeluknya. Adapun
untuk mandi haid ada tiga pendapat ulama:
- Rambut harus diurai karena mandi haid dan nifas tidak berulang-ulang dilakukan sehingga tidak mendatangkan kesulitan apabila harus melepas ikatan rambut.
Selain itu, ada perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Aisyah radhiallahu ‘anha melepas ikatan rambutnya saat mandi haid[8]. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan al-Imam Malik. (al-Mughni dan al-Mudawwanah 1/28)
- Tidak wajib mengurai rambut saat mandi janabah, demikian pula mandi haid dan nifas, tetapi cukup menuangkan air tiga tuangan sebagaimana disebutkan dalam hadits[9].
Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i dan Hanafi[10] (lihat al-Umm dan al-Bahru ar-Raiq 1/54)
- Melepas ikatan rambut saat mandi haid dan nifas hukumnya sunnah, tidak wajib.
Pendapat ini diriwayatkan dari al- Imam Ahmad dan sekelompok ulama. (Kasysyaf al-Qana’ 1/367)
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa bernomor no. 1191 menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
- Apakah ada perbedaan antara mandi janabah lelaki dan wanita?
- Apakah wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali berdasar hadits yang ada?
- Apa perbedaan mandi janabah dengan mandi haid?
Al-Lajnah menjawab, tidak ada perbedaan
tata cara mandi janabah lelaki dan wanita. Masing-masing tidak wajib
melepas ikatan rambut saat mandi. Dia cukup menuangkan air di atas
kepalanya sebanyak tiga kali, kemudian menuangkan air di atas seluruh
tubuhnya, berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.
Apabila rambut lelaki atau wanita itu
dilumuri daun bidara, daun inai, atau semisalnya yang dapat menghalangi
sampainya air ke kulit kepala, wajib dihilangkan. Akan tetap, apabila
lumuran tersebut tipis sehingga tidak menghalangi sampainya air ke kulit
kepala, tidak wajib dihilangkan[11].
Adapun tentang mandi haid wanita, ada
perselisihan masalah wajib tidaknya ikatan rambut dilepas saat mandi.
Pendapat yang benar ialah tidak wajib, berdasarkan sebagian riwayat
hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha[12]. Namun, afdalnya dilepas dalam rangka kehatihatian dan keluar dari perselisihan serta mengumpulkan dalil-dalil yang ada.
Kesimpulan masalah ini, untuk mandi
janabah tidak ada kewajiban ikatan rambut dilepas sebagaimana dipahami
dengan jelas dari hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Yang menjadi pembahasan panjang adalah mandi haid dan nifas, antara yang mengatakan wajib dan mustahab/sunnah[13]. Wallahu a’lam.
Faedah Hadits Ummu Salamah
Sebelum menutup pembicaraan, kami ingin berbagi dengan pembaca yang mulia beberapa faedah hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang disebutkan oleh dua syaikh yang mulia, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah berikut ini.
- Rasa malu tidak menghalangi para wanita sahabiyah untuk bertanya tentang masalah agama mereka.
- Merujuk kepada ulama dan bertanya kepada mereka ketika ada urusan agama yang tidak dipahami. Sebab, seseorang tidak boleh diam dalam kebodohannya, tidak boleh pula sekadar menebak-nebak dan menduga-duga. Dia harus bertanya, namun tidak kepada orang-orang bodoh, tetapi kepada ulama. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Bertanyalah kepada ahlu adz-dzikr jika memang kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 42)
Yang dimaksud ahlu adz-dzikr adalah ulama.
- Wanita boleh mengikat rambut, mengepang, atau mengurainya.
Yang terlarang ialah mengumpulkan rambut
di atas kepala karena bisa menjadi sebab dia menjadikan kepalanya
seperti punuk unta yang miring. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ
كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كاَسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ
رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan penduduk neraka yang belum pernah aku lihat keduanya:
(1) orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia, dan
(2) para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mereka miring dan memiringkan orang lain. Kepala mereka seperti punuk unta al-bukht yang miring.
Mereka tidak akan masuk surga dan
tidak mencium wanginya, padahal wanginya surga bisa dicium dari jarak
perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)
Al-Bukht dalam hadits di atas
ialah unta-unta dari timur yang memiliki dua punuk. Jadi, wanita yang
mengumpulkan rambutnya di atas kepala lantas mengikatnya hingga
rambutnya tampak besar, seakan-akan dia memiliki dua kepala, yaitu
kepalanya yang sebenarnya dan kepala palsu dari rambutnya.
- Hadits ini menunjukkan bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan rambut sehingga bisa diikat atau dijalin. Sebab, rambut yang panjang ialah perhiasan keindahan bagi wanita sebagaimana jenggot menjadi ketampanan bagi lelaki. Maka dari itu, biarkanlah rambut itu tumbuh panjang terkecuali karena suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan.
- Hadits ini menjadi dalil kaidah raf’ul haraj (dihilangkannya keberatan atau kesulitan) dalam syariat Islam. Ini tersirat dari tidak diwajibkannya melepas ikatan rambut saat mandi karena adanya kesulitan sebagaimana disinggung di atas. Cukup menuangkan air ke rambut kepala sebanyak tiga kali.
Bisa jadi, akan timbul pertanyaan, apakah boleh kurang dari tiga tuangan? Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan boleh, tetapi kepala yang memiliki rambut tentu perlu dibersihkan dengan sungguh-sungguh sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menuntunkan agar dituangkan air tiga kali ke atasnya. Akan tetapi,
apabila satu tuangan kita yakini dapat mencapai pokok rambut, maka tidak
harus menambah lebih darinya, karena Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Jika kalian junub maka bersucilah (mandilah)….” (al-Maidah: 6)
(Fathu Dzil Jalal wal Ikram bi Syarhi Bulughil Maram, hlm. 612—613; Tashil al-Ilmam, 1/282—284)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Sepenuh dua telapak tangan.
[2] Demikian kabar yang masyhur, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah. Adapun menurut al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya, al-Asma’ al-Mubhamah, dan ulama yang lain, si penanya adalah Asma bintu Yazid ibnus Sakan radhiallahu ‘anha yang digelari khathibah an-nisa’, artinya kurang lebih juru bicara para wanita. Wallahu a’lam.
[3] Daun bidara dalam bahasa kita. Fungsinya sebagai pembersih seperti sabun.
[4] Menurut al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, bersuci
di sini maksudnya adalah membersihkan diri dari darah haid dan bagian
tubuh yang terkena darah tersebut. Namun, yang tampak, kata al-Imam
an-Nawawi rahimahullah, yang dimaksud dengan bersuci di sini
adalah berwudhu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang tentang tata
cara mandi janabah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara itu, tata cara mandi janabah sama dengan mandi haid dan nifas.
Yang membedakan hanyalah ketika mandi haid dan nifas disunnahkan
mengusap bagian sekitar kemaluan yang terkena darah dengan kain atau
kapas yang telah diberi misik, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits
Aisyah radhiallahu ‘anha (HR. al-Bukhari no. 314 dan Muslim no. 746)
Makna membaguskan atau membaikkan wudhu ialah menyempurnakan tata caranya. (al-Minhaj, 4/238—240)
[5] Bagian rambut yang paling bawah.
[6] Dari jalur Abdur Razzaq disebutkan dengan lafadz,
أَفَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ؟
(HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 743)
Namun, tambahan lafadz لِلْحَيْضَةِ ini bermasalah, sebagaimana akan disebutkan.
[7] Yang tampak, mandi Aisyah bersama Rasulullah adalah mandi janabah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits berikut ini. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، كِلاَنَا جُنُبٌ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana. Kami berdua dalam keadaan junub.” (HR. a-Bukhari no. 299)
[8] Namun, ada yang mengatakan bahwa mandi Aisyah radhiallahu ‘anha
di saat itu bukanlah mandi suci dari haid, melainkan mandi untuk ihram.
Sebab, semula Aisyah ingin melaksanakan haji dan berihram untuk umrah,
kemudian beliau ditimpa haid sebelum sampai ke Baitullah sehingga hal
tersebut menyedihkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya, “Lakukanlah semua yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain thawaf, sampai engkau suci dari haid.” (HR. al-Bukhari no. 294 dan Muslim no. 1411)
Ketika datang hari Arafah, Aisyah radhiallahu ‘anha masih dalam keadaan haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahnya berihram untuk haji dan memasukkan amalan haji ke umrah, sehingga hajinya adalah haji qiran sebagai pengganti haji tamattu’.
Dengan demikian, tujuan dari perintah
melepas ikatan rambut saat itu ialah membersihkan diri dalam rangka
ihram, bukan bersuci dari haid karena Aisyah radhiallahu ‘anha belum selesai dari haidnya. (Tashil al-Ilmam, 1/282—284)
[9] Berdalil dengan tambahan lafadz haid dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha.
[10] Pendapat ini dipegangi oleh ash-Shan’ani dan asy-Syaukani (Subulus Salam dan Nailul Authar).
[11] Ada hadits yang menyebutkan masalah ini. Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam Sunannya dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menyatakan, “Kami mandi dalam keadaan di kepala kami ada balutan, dalam keadaan kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kami halal (tidak berihram) dan saat kami muhrim (berihram). “ (dinyatakan sahih oleh al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam al-Jami’ ash-Shahih, 1/547—548)
Diterangkan dalam Aunul Ma’bud yang dinukil oleh al-Imam al-Wadi`i dalam al-Jami’ ash-Shahih di
atas, makna hadits ini ialah kami melumuri jalinan-jalinan rambut kami
dengan wewangian, daun-daun yang berbau wangi dan selainnya, setelah itu
kami mandi dalam keadaan apa yang kami lumurkan di atas rambut kami
tidak hilang, tetap ada sebagaimana semula karena ikatan/jalinan rambut
tersebut tidak dilepas.
[12] Namun, sudah diterangkan bahwa riwayat dengan tambahan ini adalah syadz.
[13] Kami (penyusun) sendiri lebih condong kepada pendapat jumhur yang mengatakan mustahab. Wallahu a’lam wal ‘ilmu ‘indallah. Namun,
untuk keluar dari perselisihan serta kehati-hatian, ikatan/jalinan
rambut dilepas agar bisa dipastikan air sampai ke kulit kepala,
sebagaimana dinyatakan oleh fatwa al-Lajnah ad-Daimah di atas.

Membantu Anak Menghadapi Masalah
Sebagai orang tua, terkadang kita bertanya-tanya ketika anak kita tiba-tiba melakukan sebuah tindakan menyimpang, apa sebabnya? Ketika anak yang memasuki usia remaja mengalami problem, apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua? Berikut ini pemaparan asy-Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari hafizhahullah tentang hak anak dalam masalah tersebut. Kami bawakan dari kitab beliau, Huquq al-Aulad ‘alal Aba wal Ummahat.
Memerhatikan Kebutuhan Anak dan Duduk Bersama Mereka untuk Menyelesaikan Problem yang Mereka Hadapi
Tidak diragukan lagi, di antara sifat
seorang manusia—terkhusus anak-anak kita, yang lelaki dan
perempuan—adalah selalu menghadapi masalah dan kesulitan hidup. Apalagi
jika mereka sudah beranjak dewasa. Perhatian yang mereka dapatkan tidak
lagi sebagaimana ketika masih pada fase kanak-kanak.
Benar bahwa mereka memiliki hak-hak yang
bahkan harus sudah ditunaikan oleh orang tua sejak sebelum dilahirkan
ke dunia, ketika masih berada dalam perut sang ibu, ketika menjadi bayi
yang menyusu, memasuki masa kanak-kanak, fase setelahnya, kemudian
memasuki masa remaja dan pemuda, lalu masa dewasa. Pada setiap fase
tersebut, mereka memiliki hak yang harus dipenuhi. Hak itu pun tidak
lantas berhenti ditunaikan ketika mereka memasuki fase berikutnya.
Setiap fase memiliki hal-hal spesifik yang terkait dengannya. Selain
itu, setiap fase juga memiliki penanganan dan metode tersendiri.
Penumbuhan yang baik sejak kecil akan
bermanfaat bagi seseorang ketika dewasa. Barang siapa yang melalaikan
sisi ini—yakni tarbiyah anak semasa kecil—, perilaku anak menjadi jelek
ketika dewasa. Jelek pula sikapnya terhadap ayah ibunya, dan akan muncul
sejenis pembangkangan. Bisa jadi, saat itu orang tua akan
bertanya-tanya, apa sebabnya? Padahal, sebabnya bisa jadi terletak pada
diri orang tua: mereka melalaikan tarbiyah anaknya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya, belahan
jiwanya, di dunia dan di akhirat, dengan sebab tidak memberi anak
pendidikan adab. Ia justru membantu anak mewujudkan segala keinginan
syahwatnya. Dia menyangka bahwa dengan demikian berarti dia telah
memuliakan si anak, padahal justru menghinakannya. Dia sangka bahwa dia
telah memberi kasih sayang kepada anak, padahal justru menzaliminya.
Akibatnya, dia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anak.
Dia pun menyebabkan sang anak tidak mendapat bagian di dunia dan di
akhirat. Apabila memerhatikan kerusakan yang terjadi pada anak-anak,
engkau akan melihat bahwa mayoritas penyebabnya berasal dari orang
tuanya.” (Tuhfatul Maudud biAhkamil Maulud, hlm. 351)
Oleh karena itu, saya (asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari, -pent.)
katakan, di antara hak anak yang wajib ditunaikan oleh ayah dan ibunya
ialah memberi perhatian terhadap masalah yang dihadapi oleh anak,
mencari solusinya dengan akal yang bagus dan mencermatinya dengan hikmah
yang sempurna.
Sebagian masalah perlu diperketat,
sebagian lain perlu dibiarkan, sesuai dengan kadar masalah dan kesulitan
yang dihadapi. Bisa jadi, sebenarnya tidak ada masalah, tetapi bagi si
remaja hal itu menjadi urusan mengkhawatirkan yang perlu
dimusyawarahkan. Dan orang terbaik yang bisa dia ajak bermusyawarah
ialah kedua orang tua.
Apabila hubungan dengan orang tua telah
terjalin dengan baik dan “jembatan” telah terbentang, di atas rasa
percaya penuh kepada Allah ‘azza wa jalla dan kejujuran
kepada-Nya ketika mendidik anak dengan baik, tentu hal ini akan sangat
meringankan masalah yang dihadapi oleh anak dan membantu dirinya untuk
melaluinya—dengan izin Allah. Berbeda halnya jika ternyata ada dinding
penghalang dan penolakan, tentu orang tua tidak bisa ikut menyelesaikan
masalah seperti itu.
Walhasil, pada masa kita ini banyak
sekali hal-hal yang memalingkan dari kebenaran. Demikian pula hal-hal
yang menyibukkan, lebih banyak. Hal-hal yang melalaikan pun sangat
banyak. Anak-anak kita—yang lelaki dan perempuan—membutuhkan bantuan dan
perhatian penuh. Mereka perlu dibiasakan merasa takut, berharap, cinta
kepada Allah ‘azza wa jalla, memasrahkan diri di hadapan-Nya,
dan menanamkan hal itu dalam jiwa mereka. Semua ini adalah hal penting
yang wajib ditanamkan kepada anak-anak.
Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
beberapa hari dan malam yang akan terhenti. Barang siapa mempersiapkan
kebaikan, dia pun akan mendapat kebaikan. Sebaliknya, siapa yang
mempersiapkan keburukan, dia pun akan mendapatkan keburukan. Hendaknya
seseorang tidak mencela selain dirinya sendiri.
Apabila dia telah menunaikan kewajibannya dan melakukan tanggung jawabnya di hadapan Allah ‘azza wa jalla,
sungguh dia telah terbebas dari beban yang menjadi tanggung jawabnya.
Allah tidak membebani sebuah jiwa selain apa yang telah Dia berikan
kepadanya.
Menyibukkan Waktu Luang Mereka dengan Hal yang Bermanfaat
Tidak tersembunyi bagi orang yang berakal dan cerdik tentang pentingnya waktu dalam kehidupan manusia. Al–Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Menyia-nyiakan waktu lebih dahsyat daripada kematian.
Sebab, menyia-nyiakan waktu akan memutus Anda dari Allah dan negeri
akhirat, sedangkan kematian hanya memutus Anda dari dunia dan
penghuninya.” (al-Fawaid hlm. 33)
Oleh karena itu, apabila tidak diisi
dengan hal yang bermanfaat, waktu akan terisi dengan hal-hal yang
berbahaya dan buruk. Kita memohon perlindungan kepada Allah. Orang yang
memerhatikan perjalanan hidup para salaf—semoga Allah meridhai mereka
dan membuat mereka ridha—akan mendapati bahwa mereka tidak
menyia-nyiakan waktu atau hari mereka dengan sesuatu yang berbahaya atau
buruk.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang banyak manusia teperdaya padanya, kesehatan dan waktu luang.” (HR. al-Bukhari no. 6412 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku pernah mendapati beberapa kaum, yang semuanya sangat pelit terhadap umur mereka daripada dirham mereka.” (Syarhus Sunnah, al-Baghawi, 14/225)
Al-‘Allamah Muhammad bin Abdil Baqi as-Sulami rahimahullah, “Aku tidak pernah mengetahui bahwa aku menyia-nyiakan sepotong waktu dari umurku dalam hal yang sia-sia dan main-main.” (Siyar A’lam an-Nubala, adz-Dzahabi, 20/26; al-Adab asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih, 3/467)
Disebutkan dalam biografi Abdul Wahhab bin Abdil Wahhab bin al-Amin dalam Ma’rifat al-Qurra’ al-Kibar (2/283)
karya adz-Dzahabi bahwa seluruh waktunya terjaga. Tidak berlalu sesaat
pun kecuali beliau dalam keadaan membaca, berzikir, tahajud, atau tasmi’
(memperdengarkan hafalan al-Qur’an).
Dahulu, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi,
seorang ulama bahasa Arab yang masyhur mengatakan, “Waktu yang paling
berat aku lalui ialah waktu untuk makan.” (al-Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilmi, Abu Hilal al-‘Askari hlm. 87)
Intinya, hendaknya waktu sang anak diisi
dengan hal yang bermanfaat yang faedahnya akan kembali kepada kebaikan
diri mereka di dunia dan di akhirat; berupa ilmu yang bermanfaat dan
mengajari mereka urusan yang agama dan akhirat.
Tidak mengapa orang tua memberi waktu
khusus dan mengaturnya. Dia bisa membuat waktu-waktu—atau bisa Anda
sebut jadwal—yang mengatur kegiatan mereka: kegiatan yang terkait dengan
ilmu (baca: belajar), hiburan, wawasan, makan, dan seterusnya.
Kegiatan-kegiatan yang mengisi waktu mereka akan bermanfaat bagi mereka,
mereka pun bisa bermanfaat kelak bagi masyarakatnya. Mereka bisa
menjadi batu bata yang baik dalam bangunan masyarakat ini.
Demikian pula, berbagai metode yang beragam bisa dipakai untuk mengisi waktu anak dengan hal yang bermanfaat.
Apabila kita memandang sebagian anak
kita yang pikirannya menyeleweng, baik pikiran syahwat dan kebebasan
maupun pikiran syubhat dan penyimpangan (dalam hal agama), kita dapati
sebab terbesarnya ialah tidak adanya perhatian keluarga dari kedua orang
tua dan tidak ditunaikannya hak-hak anak.
Penjelasannya mudah. Sebabnya ialah
tidak adanya kesibukan untuk mengisi waktu mereka dengan sesuatu yang
bermanfaat bagi mereka. Atau bisa jadi, justru orang tualah yang berada
dalam penyimpangan sehingga anak-anak tumbuh sebagaimana keadaan orang
tuanya.
وَيَنْشَأُ نَاشِئُ الْفِتْيَانِ مِنَّا
عَلَى مَا كَانَ عَوَّدَهُ أَبُوهُ
Pemuda yang baru tumbuh di antara kami
Tumbuh di atas apa yang dibiasakan oleh ayahnya
Karena teladan yang baik tidak ada, dia
pun menyimpang, baik ke arah syahwat maupun syubhat. Karena itu, kita
dapati sebagian ahli bid’ah mencuri waktu luang para penuntut ilmu dan
pemuda di antara anak-anak kita, lalu dia mengumpulkan dan memalingkan
mereka dari jalan yang lurus. Ini terjadi ketika kedua orang tua tidak
menemukan atau tidak mengetahui metode untuk mengisi waktu anak-anak
mereka.
Setelah beberapa waktu, tiba-tiba dia
dapati anaknya menentangnya dan mendurhakainya dari sisi yang lain.
Anaknya, misalnya, terpengaruh oleh pemikiran dari luar yang menyimpang
dan sesat atau satu bentuk penyimpangan dalam hal akidah dan manhaj.
Bisa jadi pula, si remaja menyimpang dalam hal perilaku (akhlak).
Ketika itu, sang ayah pun menjerit. Akan
tetapi, (sudah terlambat), itu bukan saatnya menyesal! Jeritan ini
tidak lagi bermanfaat. Tidak pula ratapan ini (bermanfaat) setelah lewat
waktunya! Bisa jadi, sebabnya ada pada kedua orang tua, yaitu mereka
berdua memang menyimpang. Atau bisa jadi pula tidak seperti itu, yaitu
hal itu memang semata-mata ujian, namun keduanya tidak menyempatkan diri
untuk berdoa secara sembunyi-sembunyi dan tidak jujur mengembalikan
urusan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya, belahan
jiwanya, di dunia dan di akhirat, dengan sebab tidak memberi anak
pendidikan adab. Ia justru membantu anak mewujudkan segala keinginan
syahwatnya. Dia menyangka bahwa dengan demikian berarti dia telah
memuliakan si anak, padahal justru menghinakannya. Dia sangka bahwa dia
telah memberi kasih sayang kepada anak, padahal justru menzaliminya.
Akibatnya, dia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anak.
Dia pun menyebabkan sang anak tidak mendapat bagian di dunia dan di
akhirat. Apabila engkau memerhatikan kerusakan yang terjadi pada
anak-anak, engkau akan melihat bahwa mayoritas penyebabnya berasal dari
orang tuanya.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 351)
Beliau mengatakan pula, “Kerusakan
mayoritas anak disebabkan oleh orang tua dan kelalaian mereka terhadap
anak. Mereka tidak mengajari urusan agama yang wajib dan yang sunnah.
Mereka menyia-nyiakan anak semasa kecilnya. Anak pun tidak bermanfaat
bagi diri sendiri dan tidak bermanfaat bagi orang tuanya ketika lanjut
usia. Sebagaimana ketika sebagian mereka mencela anaknya karena durhaka,
anaknya menjawab, ‘Wahai ayahku, engkau telah mendurhakaiku semasa aku
kecil. Maka, sekarang aku mendurhakaimu ketika engkau lanjut usia.
Engkau menyia-nyiakanku sewaktu anak-anak, sekarang aku menyia-nyiakanmu
saat engkau tua renta’.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 337)
Oleh karena itu, teladan yang baik
adalah sangat penting dalam hal mendidik anak. Hal ini wajib
diperhatikan oleh orang tua. Orang tua hendaknya selalu berhias dengan
akhlak yang baik dan perilaku yang lurus. Seseorang tidak boleh menyuruh
anak lelaki atau perempuannya melakukan sesuatu sementara ia sendiri
meremehkannya. Hal ini diketahui secara teori dan akal.
وَغَيرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ باِلتُّقَى
طَبِيْبٌ يُدَاوِي وَالطَّبِيبُ عَلِيلُ
Orang yang tidak bertakwa menyuruh manusia untuk bertakwa
(layaknya) dokter yang mengobati, namun dia sendiri berpenyakit
Hal ini tidak mungkin. Sebab, anak-anak
memiliki tabiat meniru orang tua, baik dia ingin maupun tidak. Karena
itu, kita dapati bahwa penyimpangan terkadang disebabkan (pergaulan) di
rumah. Si pemuda atau pemudi melihat ayah atau ibunya melakukan sesuatu,
maka dia menyerapnya, baik dia tahu maupun tidak, sadar maupun tidak.
Setelah itu, dia meniru perkara yang dilakukan kedua orang tuanya
tersebut.
Jadi, perhatian terhadap hal ini
(teladan yang baik) sangat besar pengaruhnya. Teladan yang baik
merupakan suatu hal yang dituntut dan dianjurkan oleh agama kita. Agama
kita memosisikan keteladanan yang baik sebagai sebab kebahagiaan bagi
yang menginginkan keselamatan.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Jadi, barang siapa menginginkan
keselamatan bagi anak-anaknya, hendaknya dia menjadi teladan yang baik,
mengadakan perbaikan, lurus, menegakkan perintah Allah ‘azza wa jalla, tidak melanggar batasan-batasan Allah dan melampauinya.
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.” (al-Baqarah: 229)
“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (al-Baqarah: 187)
“Dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri.” (ath-Thalaq: 1)
Ringkasnya, pendidikan anak adalah
urusan yang penting, agung, besar, dan berat. Akan tetapi, hal itu
menjadi mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Karena itu,
sepantasnya seorang hamba berdoa kepada Allah di awal dan di akhir,
serta memohon pertolongan kepada-Nya agar memberinya petunjuk ke jalan
yang lurus, memberinya karunia berupa keturunan yang baik, dan
memperbaiki keadaan dirinya dan semuanya, sekarang dan masa yang akan
datang.
Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla
agar memberikan karunia kepada kita dan Anda berupa keturunan yang
baik, memberi manfaat, dan mengadakan perbaikan. Sesungguhnya Dia Maha
Memberi dan Mahadermawan.
(diterjemahkan dari Huququl Aulad ‘alal Aba wal Ummahat, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari hafizhahullah, hlm. 44—50)

Kulit Bangkai yang Tersucikan dengan Disamak
Pertanyaan:
Mau tanya, kulit binatang haram apakah menjadi suci setelah disamak? Hujahnya? Syukran.
Ika—Pekalongan
Dijawab oleh al-ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Masalah kulit bangkai yang disamak diperselisihkan oleh ulama.
Di antara pendapat itu, pendapat yang
mengatakan kulit bangkai secara umum tidak tersucikan dengan penyamakan.
Ini riwayat yang paling masyhur dari Malik dan Ahmad yang menjadi
mazhab bagi fuqaha Hanbali. Namun, keduanya membolehkan pemanfaatannya
untuk sesuatu yang kering, tidak yang basah/lembab. Pendapat ini
berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim,
كَتَبَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِشَهْرٍ :أَنْ لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada kami sebulan sebelum wafat, ‘Jangalah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat syarafnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Mereka mengatakan bahwa hadits ini
menghapus hadits-hadits pemanfaatan kulit bangkai setelah disamak. Akan
tetapi, hadits ini diperselisihkan keabsahannya. Kebanyakan pakar hadits
dari kalangan para hafizh (penghafal hadits), seperti Ibnu Ma’in, Abu Hatim ar-Razi, al-Baihaqi, al-Khaththabi,dan Ibnu Hajar, menghukuminya dha’if (lemah).
Ibnu Ma’in mengatakan, “Hadits tersebut bukan sesuatu (hujah).”
Abu Hatim ar-Razi, al-Khaththabi, dan al-Baihaqi menyatakannya mursal (putus antara Ibnu ‘Ukaim dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena Ibnu ‘Ukaim bukan sahabat.
At-Tirmidzi menukil bahwa pada mulanya al-Imam Ahmad berpendapat dengan hadits ini karena merupakan hukum terakhir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi akhirnya beliau meninggalkan hadits ini tatkala mendapati kegoncangan (idhthirab)
pada sanadnya dengan sebagian mereka meriwayatkannya dari Ibnu ‘Ukaim,
dari sekelompok syaikh dari Juhainah yang datang kepada mereka kitab
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisi hadits tersebut. Al-Khallal juga meriwayatkan hal yang sama dari Ahmad.
Sementara itu, al-Albani menghukuminya
sebagai hadits sahih. Alasannya, perselisihan riwayat itu bukan
kegoncangan yang mencacati hadits, sedangkan klaim mursal itu pun tidak tepat. Sekelompok syaikh dari Juhainah tersebut adalah sahabat yang datang kepada mereka kitab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas dibacakan kepada mereka, dan boleh jadi Ibnu ‘Ukaim hadir saat
pembacaan kitab itu kepada mereka mengingat dia mendapati zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kendati tidak mendengar darinya—sebagaimana kata al-Bukhari dan lainnya.
Hal ini telah diakui sendiri oleh Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib at-Tahdzib pada biografi Ibnu ‘Ukaim, ia berkata, “Abdullah bin ‘Ukaim al-Juhani, Abu Ma’bad al-Kufi, mukhadhram[1], dia telah mendengar kitab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditulis kepada (kabilah) Juhainah.”
Alhasil, seandainya hadits itu sahih,
tidak bisa dijadikan sebagai penghapus hadits-hadits yang menunjukkan
bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai. Sebab, tidak bisa
dipastikan bahwa hadits ‘Ukaim datang belakangan setelah hadits-hadits
tersebut.
Seandainya benar bahwa hadits ‘Ukaim yang terakhir datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tetap tidak bisa dijadikan sebagai penghapus hadits-hadits sebelumnya,
karena kedua dalil yang seakan bertentangan tersebut masih bisa
dipadukan dengan metode al-jam’u baina ad-dalilain,
yaitu dengan mengatakan bahwa hadits ‘Ukaim pada dasarnya tidak
mengandung larangan pemanfaatan kulit bangkai setelah disamak, tetapi
larangan pemanfaatannya sebelum disamak. Menurut sebagian ahli bahasa,
kata ‘ihab’ ( إِهَابٌ ) digunakan untuk kulit yang belum disamak, sedangkan kulit yang sudah disamak dinamakan ‘adim’ (أَدِيمٌ).
Jika sistem pemaduan tersebut enggan diterima, harus ditempuh metode tarjih (memilih
yang terkuat). Jika begitu, tentu saja hadits-hadits sahih yang
menunjukkan kesucian kulit bangkai yang telah disamak lebih kuat dan
lebih pantas diamalkan daripada hadits ‘Ukaim yang diperselisihkan
keabsahannya.
Ada sebuah diskusi ilmiah yang menarik antara al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ishaq bin Rahawaih. Kata Ibnul Mulaqqin dalam al-Badru al-Munir,
“Al-Hazimi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu asy-Syaikh al-Hafizh
bahwa ia berkata, ‘Telah dihikayatkan bahwasanya Ishaq bin Rahawaih
berdebat ilmiah dengan asy-Syafi’i—sedangkan Ahmad bin Hanbal
hadir—mengenai kesucian kulit bangkai apabila disamak.
Kata asy-Syafi’i, ‘Penyamakannya menjadikannya suci.’
Kata Ishaq, ‘Apa dalilnya?’
Kata asy-Syafi’i, ‘Hadits az-Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Maimunah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulit bangkai itu?’[2]
Lantas Ishaq berkata kepadanya, ‘Bagaimana dengan hadits Ibnu ‘Ukaim, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis kepada kami sebulan sebelum wafat, ‘Janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai dan urat syarafnya’.” Hadits ini semacam hukum baru yang menghapuskan hadits Maimunah radhiallahu ‘anha, karena datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebulan sebelum wafatnya.’
Kata asy-Syaifi’i, ‘Ini adalah kitab (ditulis oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan itu adalah sama’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didengar langsung darinya).’[3]
Kata Ishaq lagi, ‘Jika demikian, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menulis surat kepada Kisra dan Kaisar, lantas itu menjadi hujah di kalangan ahli hadits di sisi Allah.’
Akhirnya asy-Syafi’i terdiam.
Tatkala Ahmad mendengar hasil perdebatan
keduanya, ia lantas berpendapat mengikuti hadits Ibnu ‘Ukaim dan
berfatwa dengannya, sedangkan Ishaq sendiri justru rujuk kepada hadits
(hujah) asy-Syafi’i.”
Wallahu a’lam.[4]
Jika telah jelas kelemahan mazhab ini,
tampaklah bahwa yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa kulit
bangkai akan tersucikan dari kenajisannya dengan penyamakan sehingga
bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk sesuatu yang
kering maupun basah.[5]
Ini adalah mazhab Abu Hanifah, asy-Syafi’i, riwayat lain dari Malik dan
Ahmad, serta pendapat jumhur ulama. Pendapat ini yang dirajihkan oleh
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, Ibnu Baz,
al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalilnya adalah hadits-hadits berikut:
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.
“Jika kulit bangkai disamak, sungguh menjadi suci.” (HR. Muslim)
Pada riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan lafadz,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Kulit bangkai apa saja yang disamak maka sungguh menjadi suci.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2711)
- Hadits Maimunah radhiallahu ‘anha:
مَرَّ
عَلَى رَسُولِ اللهِ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَجُرُّونَ شَاةً لَهُمْ
مِثْلَ الْحِمَارِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ :لَوْ أَخَذْتُمْ
إِهَابَهَا؟ قَالُوا :إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ :
يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ.
“Beberapa pria Quraisy yang sedang menarik (bangkai) kambing sebesar keledai melintas di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada mereka, ‘Sekiranya kalian memanfaatkan kulitnya?’ Mereka
berkata, ‘Sesungguhnya kambing ini adalah bangkai.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kulitnya dapat disucikan dengan air dan qarazh[6].” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan lainnya. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dengan penguatnya dalam ash-Shahihah)[7]
- Hadits Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban dari jalan riwayat Qatadah, dari al-Hasan, dari Jaun bin Qatadah, dari Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu. Riwayat Abu Dawud dengan lafadz,
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ
مُعَلَّقَةٌ، فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا
مَيْتَةٌ. فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُورُهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Tabuk mendatangi sebuah rumah, ternyata ada geriba yang digantung. Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minta air. Mereka menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya geriba itu dari bangkai.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penyamakannya adalah kesuciannya’.”
Riwayat Ahmad lainnya dengan lafadz,
دِبَاغُهَا طُهُورُهَا أَوْ ذَكَاتُهَا.
“Penyamakannya adalah kesuciannya atau penyembelihannya.”
Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i dengan lafadz,
دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا.
“Penyamakannnya adalah penyembelihannya.”
Riwayat Ibnu Hibban dengan lafadz:
ذَكَاةُ الْأَدِيْمِ دِبَاغُهَ.
“Penyembelihan kulit bangkai adalah penyamakannya.”
Pada sanadnya terdapat Jaun bin Qatadah yang diperselisihkan keadaannya. Kata an-Nawawi dalam al-Majmu’, “Sanadnya sahih, hanya saja Jaun diperselisihkan. Ahmad mengatakan bahwa dia majhul (tidak dikenal), sedangkan Ibnul Madini mengatakan bahwa dia ma’ruf (dikenal).”
Ibnul Mulaqqin juga telah berbicara panjang lebar tentang Jaun lebih dari keterangan an-Nawawi dalam kitab al-Badru al-Munir, dan ia menyatakan hadits ini sahih.[8]
Kata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib, “Maqbul (diterima)”, yakni diterima jika riwayatnya diikuti oleh rawi lain.
Kata al-Albani dalam al-Misykat (no.
511), “Sanadnya hasan untuk penguat.” Terdapat hadits-hadits lain yang
saling menguatkan dengannya sehingga dinyatakan sahih oleh al-Albani
dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud (no. 4125), Shahih Sunan an-Nasa’i (no. 4254), dan Ghayatul Maram (no. 26).
Di antara penguatnya adalah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang juga datang dengan dua lafadz seperti di atas. Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban[9]:
سُئِلَ النَّبِيُّ عَنْ جُلُودِ الْمَيْتَةِ فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُورُهَا.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kulit bangkai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penyamakan adalah kesuciannya.”
Riwayat an-Nasa’i lainnya dengan lafadz:
ذَكَاةُ الْمَيْتَةِ دِبَاغُهَ.
“Penyembelihan bangkai adalah penyamakannya.”
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no. 3432) dan Shahih an-Nasa’i (no. 4255, 4256, 4257, 4258).
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat di
antara jumhur ulama mengenai rincian kulit bangkai binatang apa saja
yang dapat tersucikan dengan penyamakan.
- Kulit bangkai seluruh jenis binatang, termasuk kulit anjing dan babi.
Ini adalah mazhab Dawud azh-Zhahiri dan
Ibnu Hazm azh-Zhahiri yang dirajihkan oleh ash-Shan’ani dan
asy-Syaukani. Dalilnya adalah keumuman makna hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Kulit bangkai apa saja yang disamak maka sungguh menjadi suci.”
- Kulit bangkai binatang yang pada asalnya suci di masa hidupnya, termasuk hewan yang tergolong haram dimakan melalui penyembelihan, seperti kulit bangkai macan, ular, dan semacamnya.
Dalilnya adalah keumuman makna
hadits-hadits tersebut di atas, kecuali hewan yang memang najis semasa
hidupnya tidak bisa disucikan kulitnya dengan penyamakan selamanya.
Pendapat ini adalah mazhab Abu Hanifah, salah satu riwayat dari
asy-Syafi’i yang menjadi mazhab bagi ahli fikih mazhab Syafi’i, dan
salah satu riwayat dari Ahmad. Ini salah satu pendapat Ibnu
Taimiyah—sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat dan al-Inshaf.
Dalam hal ini asy-Syafi’i dan Ahmad memperkecualikan babi dan anjing
karena meyakini keduanya najis, sedangkan Abu Hanifah hanya
memperkecualikan babi karena meyakini anjing adalah suci kecuali air
liurnya najis.
- Kulit bangkai binatang yang tergolong hewan yang halal dimakan melalui penyembelihan, seperti kulit bangkai sapi, kambing, buaya, dan semisalnya. Adapun kulit bangkai macan, ular, dan semisalnya tidak tersucikan dengan penyamakan, karena hewan-hewan tersebut tergolong haram dimakan melalui penyembelihan.
Ini adalah riwayat lain dari asy-Syafi’i
dan Ahmad. Ini pendapat kedua Ibnu Taimiyah yang menurutnya berhasil
memadukan seluruh hadits-hadits dalam masalah ini—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa. Ini pula yang dipilih oleh as-Sa’di dan Ibnu ‘Utsaimin.
Dalilnya adalah hadits Salamah bin al-Muhabbiq radhiallahu ‘anhu dan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
di atas yang menyebutkan bahwa penyamakan kulit bangkai berkedudukan
seperti penyembelihan hewan itu. Artinya, penyamakan dapat menyucikan
kulit bangkai hewan yang tergolong halal dimakan melalui penyembelihan.
Adapun yang haram dimakan meskipun disembelih secara syar’i, kulitnya
tidak bisa disucikan dengan penyamakan. Apalagi anjing dan babi yang
pada asalnya memang najis, lebih jelas lagi tidak bisa disucikan dengan
penyamakan selamanya.
Hal ini semakin kuat dengan hadits al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu ‘anhu yang berkata kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
نَهَى shallallahu ‘alaihi wa sallam فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.
“Aku menyumpahmu demi Allah, apakah engkau tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari memakai kulit hewan buas dan menjadikannya sebagai pelana?”
Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dan memiliki penguat)[10]
Ibnu Baz rahimahullah berfatwa agar berhati-hati dalam permasalahan ini dengan memilih pendapat ini.
Alhasil, yang terbaik adalah pendapat ketiga demi kehati-hatian.
Wallahu a’lam.[11]
[1] Mukhadhram adalah orang yang hidup mendapati masa jahiliah dan masa kenabian tetapi tidak sempat berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia beriman dan mati di atas Islam.
[2] Hadits ini akan kami sebutkan nanti secara lengkap insya Allah.
[3] Maksudnya, hadits Maimunah radhiallahu ‘anha lebih kuat daripada hadits ‘Ukaim.
[4] Lihat kitab Talkhish al-Habir (1/76—78), al-Badru al-Munir (1/587—600), dan al-Irwa’ (1/76—79, no. 38).
[5] Seperti pada hadits ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya berwudhu dari mazadah (kantong
air yang terbuat dari kulit bangkai yang telah disamak) milik wanita
musyrik, padahal sembelihan orang musyrik adalah bangkai.
[6]
Sejenis tumbuhan. An-Nawawi menegaskan bolehnya penyamakan dengan apa
saja yang dapat menyerap keluar kotoran yang ada dalam kulit bangkai,
membersihkannya, dan mencegahnya dari kerusakan (mengawetkannya).
Contohnya, qarazh, kulit delima, syabb (batu
tawas), dan obat-obatan yang suci semacamnya. Ibnu Qudamah juga
menyatakan hal yang semakna dengan ini. Setelah itu, wajib dicuci dengan
air untuk menyucikannya, menurut pendapat yang terkuat. Ini yang
dirajihkan oleh Ibnu Qudamah.Wallahu a’lam.
Lihat kitab al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/Kitab ath-Thaharah, pada Bab “Thaharah Julud al-Maitah bi ad-Dibagh”), al-Majmu’ (1/276—281), dan al-Mughni (1/95—96).
[7] Pada sanadnya terdapat dua rawi yang tidak dikenal, tetapi memiliki penguat (syahid) dari hadits Ibnu ‘Abbas rahimahullah
riwayat ad-Daraquthni dan al-Baihaqi dengan sanad yang dihukumi oleh
al-Albani sebagai hadits sahih menurut syarat al-Bukhari-Muslim.
Lengkapnya lihat ash-Shahihah (5/no. 2163).
[8] Lihat kitab al-Badru al-Munir (1/608—612, Darul Hijrah, program Maktabah Syamilah).
[9] Pada Kitab ath-Thaharah, Bab “Julud al-Maitah” , no. 1290.
[10] Lihat kitab ash-Shahihah (3/no. 1011).
[11] Lihat kitab al-Muhalla (1/no. 129), Bidayah al-Mujtahid (1/78—79), al-Mughni (1/89—95), al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim (4/Kitab ath-Thaharah, pada Bab “Thaharah Julud al-Maitah bi ad-Dibagh”), al-Majmu’ (1/268, 270—276), Majmu’ al-Fatawa (21/90—96), al-Ikhtiyarat (hlm. 42), Zadul Ma’ad (5/757—758), al-Inshaf (1/86—87), Nailul Authar (1/Bab “Ma Ja’a fi Tathhir ad-Dibagh”), Subulus Salam (Kitabath-Thaharah, Bab “al-Aniyah”, syarah hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Salamah, dan haditsMaimunah), al-Mukhtarat al-Jaliyyah (hlm. 42—43), ats-Tsamar al-Mustathab (hlm. 6—7), Majmu’ Fatawa Ibni Baz (6/354), asy-Syarh al-Mumti’ (1/85—92), dan Fath Dzil Jalal wal Ikram.

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab (9)
Memberhentikan Pejabat
Di antara bukti kezuhudan para pejabat yang sangat diperhatikan oleh beliau radhiallahu ‘anhu ketika menugaskannya adalah sikap zuhud mereka terhadap jabatan itu sendiri. ‘Umar radhiallahu ‘anhu
menganggap orang-orang yang memiliki keinginan terhadap jabatan
tertentu adalah orang-orang yang tidak mampu menjalankan tugas, apalagi
ikhlas dalam melaksanakannya.
Dalam beberapa kesempatan, ‘Umar radhiallahu ‘anhu menegaskan, “Siapa saja yang berambisi terhadap kepemimpinan, niscaya dia tidak akan bisa berlaku adil di dalamnya.”
Dalam benaknya, urusan kaum muslimin adalah persoalan yang sangat penting dan berat. Beliau radhiallahu ‘anhu pernah berandai-andai, jika saja tokoh utama di antara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di tengah-tengah mereka, tentu merekalah yang akan ditugaskan memimpin kaum muslimin di daerah mereka.
“Berangan-anganlah kalian,” katanya suatu ketika kepada para sahabat dekatnya.
“Aku ingin, seandainya rumah ini penuh dengan emas, lalu aku infakkan di jalan Allah ‘azza wa jalla dan aku sedekahkan,” kata sebagian mereka.
“Aku ingin, seandainya rumah ini penuh dengan intan permata, lalu aku infakkan dan sedekahkan di jalan Allah ‘azza wa jalla,” kata yang lain.
“Berangan-anganlah kalian,” lanjut ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
“Kami tidak mengerti, wahai Amirul Mukminin,” sahut mereka.
“Aku ingin, seandainya negeri ini
dipenuhi oleh orang-orang yang keadaannya seperti Abu ‘Ubaidah ibnul
Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Salim maula Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah ibnul
Yaman radhiallahu ‘anhum, lalu aku angkat mereka menjadi pejabat di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.”
Nama-nama sahabat g yang disebutkan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini adalah orang-orang yang utama di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang yang mula-mula masuk Islam, dikenal takwa, wara’, zuhud, berilmu, ahli fikih, pemberani, dan sifat terpuji lainnya.
Karena itulah, dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan kaum muslimin, ‘Umar radhiallahu ‘anhu
benar-benar meneliti secara cermat orang-orang yang akan ditugaskannya
di sebagian wilayah Islam. Sudah tentu, ketika melihat sebagian
pejabatnya ternyata kurang baik menjalankan tugasnya, ‘Umar radhiallahu ‘anhu segera menggantinya dengan yang lain.
Dari sejarah hidup beliau radhiallahu ‘anhu, disimpulkan oleh sebagian ulama bahwa ada beberapa alasan beliau radhiallahu ‘anhu
mencopot pejabat yang pernah ditunjuknya. Hal ini memberikan gambaran
bahwa ‘Umar betul-betul cermat dalam memilih dan menggeser kedudukan
seseorang, bukan karena sentimen pribadi.
Beberapa alasan itu antara lain sebagai berikut.
- Ketidakmampuan pejabat itu dalam bertugas atau kurang sempurna dalam menjalankannya.
Siapapun tidak meragukan keutamaan ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, sahabat yang diberitakan diselamatkan oleh Allah ‘azza wa jalla dari neraka. Akan tetapi, ketika sebagian sahabat lain menjadi saksi akan kelemahannya dalam sebagian kewajibannya, ‘Umar radhiallahu ‘anhu mencopot ‘Ammar radhiallahu ‘anhu dari kedudukannya sebagai pemimpin.
Demikian pula yang dialami oleh Syurahbil bin Hasanah radhiallahu ‘anhu. Panglima ini dicopot oleh ‘Umar dan digantikan dengan orang yang lebih ahli daripadanya.
- Adanya pengaduan rakyat tentang pejabat tersebut
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat yang dijamin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga. Beliau radhiallahu ‘anhu pernah diberi tugas sebagai gubernur di Kufah. Akan tetapi, sebagian penduduk Kufah mencelanya dan menuduh bahwa Sa’ad radhiallahu ‘anhu tidak shalat dengan benar ketika mengimami mereka. Sa’ad radhiallahu ‘anhu juga dituduh tidak membagi dengan adil.
Meskipun yakin bahwa tuduhan itu tidak benar, ‘Umar radhiallahu ‘anhu tetap mencopot Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari kedudukannya sebagai gubernur. Semua itu beliau radhiallahu ‘anhu
lakukan untuk menutup celah timbulnya kejelekan, yaitu tidak senangnya
rakyat kepada penguasa mereka lalu tidak mau menaatinya dalam kebaikan.
Dalam sebagian kesempatan, beliau radhiallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Sa’ad radhiallahu ‘anhu dicopot bukan karena dia khianat atau ketidakmampuannya menjalankan tugas.
radhiallahu ‘anhuma. Pejabat melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu
Seperti yang beliau radhiallahu ‘anhu lakukan terhadap Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang pulang membawa harta yang cukup banyak dari Bahrain. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
ditanya dari mana kekayaan tersebut. Abu Hurairah menjelaskan dengan
jujur. Akan tetapi, tabiat ‘Umar yang tidak ingin pejabatnya dicurigai
oleh rakyatnya menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri, mencopot
Abu Hurairah dari jabatannya. Setelah diteliti dengan saksama, ternyata
harta itu memang sebagaimana yang diterangkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. ‘Umar radhiallahu ‘anhu memanggilnya untuk ditugaskan kembali.
Akan tetapi, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menolak, karena khawatir kehormatannya rusak dan punggungnya dicambuk, apabila salah melangkah.
Bahkan, seringan apapun kesalahan
seorang pejabatnya, tetapi tidak layak dilakukannya karena dia adalah
orang yang menjadi ikutan, beliau radhiallahu ‘anhu tidak segan-segan mencopotnya dari kedudukannya. Seperti yang beliau radhiallahu ‘anhu lakukan terhadap seorang sahabat yang menyenandungkan syair berisi pujian terhadap khamr. Meskipun hanya sekadar bersyair dan alasan itu diterima oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu, namun ‘Umar tetap menurunkan sahabat tersebut dari jabatannya.
- Pejabat mengajukan uzur syar’i untuk menolak tugas.
Seperti yang terjadi pada Nu’man bin Muqarrin radhiallahu ‘anhu.
Wallahu a’lam.
Penyayang terhadap Rakyatnya
Kita mengenang kembali ‘Umar radhiallahu ‘anhu
sebelum masuk Islam. Betapa ganas dan tanpa belas kasihan dia menyiksa
seorang budak wanita yang beriman. Siksaan itu berhenti setelah ‘Umar radhiallahu ‘anhu kepayahan, sedangkan budak itu tetap tegar dalam keimanannya.
Hampir tidak kita dapati dalam riwayat bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu
pernah merasa iba melihat penderitaan orang lain, lebih-lebih kaum
muslimin. Kecuali saat itu, ketika dia melihat Ummu ‘Abdillah bintu Abi
Hatsmah radhiallahu ‘anha yang menyiapkan bekal untuk hijrah ke Habasyah. Ummu ‘Abdillah radhiallahu ‘anha melihat seolah-olah ‘Umar radhiallahu ‘anhu merasa kasihan kepada mereka. Akan tetapi, ‘Amir radhiallahu ‘anhu sang suami mengingkari, “Dia tidak akan masuk Islam sampai keledai al-Khahthab masuk Islam.” Abu ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu merasa putus asa melihat kekejaman dan kekasaran ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap kaum muslimin.
Itulah ‘Umar radhiallahu ‘anhu sebelum masuk Islam.
Setelah masuk Islam, hampir sepanjang
kehidupannya yang sampai kepada kita, banyak menceritakan betapa pilu
hatinya ketika mengetahui kesengsaraan dan kepedihan yang dirasakan oleh
sebagian kaum muslimin.
Beliau radhiallahu ‘anhu juga tidak rela apabila kesulitan yang dirasakan oleh rakyat itu diperparah oleh kelakuan sebagian pejabat yang ditugaskannya.
Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu selalu meminta para pejabatnya bertemu dengannya di setiap musim haji. Di situ, Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu
selalu mengingatkan mereka, “Hai kaum muslimin, saya tidak mengangkat
petugas kalian atau pejabatku itu untuk memukul kalian atau merampas
harta kalian. Tidak pula meruntuhkan kehormatan kalian. Akan tetapi,
saya mengangkat seorang pejabat untuk menjadi pelindung kalian dan
membagi ghanimah di antara kalian. Karena itu, siapa saja di antara
kalian yang terzalimi oleh mereka, hendaklah dia berdiri.”
Namun, tidak ada yang berdiri kecuali
seorang laki-laki yang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seorang
petugasmu memukulku seratus kali cambukan.”
Kata beliau radhiallahu ‘anhu, “Bangkitlah dan balaslah.”
Tiba-tiba ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu
berdiri dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya Anda membuka
masalah ini terhadap para pejabatmu, tentu akan menjadi sunnah yang
tetap diberlakukan oleh orang-orang yang datang sesudahmu.”
Beliaupun berkata, “Saya tidak mengkisasnya, tetapi saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan dirinya untuk dikisas.”
Kata ‘Amr radhiallahu ‘anhu, “Biarkan kami meminta kerelaannya.”
“Buatlah dia rela,” kata ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Akhirnya, mereka membuat orang itu rela dengan menerima tebusan sebanyak duaratus dinar. Setiap cambukan dihargai dua dinar.[1]
Itulah ‘Umar al-Faruq putra al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.
Dia juga tidak senang keluarganya menerima fasilitas negara karena
hubungan mereka dengan pribadinya. Oleh sebab itu, ketika dibuat sensus
penduduk untuk menerima jatah subsidi dari pemerintah, ada beberapa
orang menyarankan agar memasukkan keluarga ‘Umar (Bani ‘Adi) di deretan
atas. Akan tetapi, dengan tegas beliau menolak dan justru menempatkannya
di bagian paling akhir.
“Jangan sampai orang mengatakan bahwa mereka menerima fasilitas atau jatah itu karena keluarga Amirul Mukminin.”
Pernah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunannya, al-Kubra, dari Salim, bahwa ayahnya, ‘Abdullah bin ‘Umar bercerita,
Dahulu kami pernah tinggal di Mesir, pada masa ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu menjadi gubernur. Saudaraku, ‘Abdurrahman bin ‘Umar dan Abu Sirwa’ah ‘Uqbah bin al-Harits radhiallahu ‘anhuma minum khamr sampai mabuk. Setelah keduanya sadar, mereka menemui ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu dan berkata, “Sucikan kami, karena kami mabuk oleh minuman yang kami minum.”
Kata ‘Abdullah, “Saya tidak tahu kalau mereka ternyata sudah menemui ‘Amr bin ‘Ash.”
Saudaraku itu mengatakan bahwa dia mabuk.
Kata ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, “Masuklah ke rumah, aku akan menghukummu.”
Dia mengatakan bahwa dia telah menyampaikan kepada gubernur.
Kata ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, “Demi Allah, kamu tidak akan dicukur di hadapan orang banyak. Masuklah, aku akan mencukur kepalamu.”
Dahulu, mereka mencukur rambut orang yang mabuk ditambah dengan hukuman had (cambukan). Diapun masuk bersamaku, lalu aku mencukur saudaraku dengan tanganku sendiri, kemudian dicambuk oleh ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
Ternyata, peristiwa ini didengar oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, maka beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat memerintahkan ‘Amr radhiallahu ‘anhu mengirim ‘Abdurrahman radhiallahu ‘anhu pulang ke Madinah.
Setelah sampai di Madinah, ‘Umar
zmencambuk putranya dan menghukumnya karena kedudukannya sebagai putra
Amirul Mukminin. Setelah itu, beliau melepaskan putranya. Beberapa bulan
kemudian, dalam keadaan sudah sehat, takdir Allah ‘azza wa jalla harus dijalaninya, ‘Abdurrahman radhiallahu ‘anhu meninggal dunia. Orang banyak mengira dia meninggal karena dicambuk oleh ayahnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, padahal tidak demikian.
Sesungguhnya demikianlah, ‘Abdurrahman radhiallahu ‘anhu dicambuk oleh ayahnya sendiri bukan sebagai hukuman had, melainkan ta’zir (hukuman ringan), karena hukuman had itu tidak diulangjika sudah dijatuhkan.
Wallahu a’lam.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (al-Kubra) secara maushul dan mursal.

Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman; bagian ke-1
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Pertempuran antara Thalut dan Jalut
berakhir dengan kemenangan kaum muslimin yang dipimpin Thalut (Saul).
Jalut yang terkenal lalim dan ahli dalam peperangan tewas di tangan
seorang prajurit muda, yaitu Dawud.
Sebagian ahli sejarah mengisahkan,
ketika menghasung Bani Israil berperang dan menghadapi pasukan Jalut,
Raja Thalut menjanjikan, siapa saja yang berhasil membunuh Jalut akan
dinikahkannya dengan putrinya dan akan diberi separuh dari kerajaannya.
Setelah perang selesai, Raja Thalut menepati janji dan menikahkan Dawud
dengan putrinya serta membagi dua kerajaan Bani Israil.
Para ahli sejarah berbeda-beda dalam
menguraikan kisah yang terjadi sejak Bani Israil yang dipimpin oleh
Thalut menyeberangi sungai sampai berkecamuknya pertempuran hingga
terbunuhnya Jalut yang lalim dan berkuasanya Dawud sebagai Raja Bani
Israil. Kisah tersebut telah dipaparkan pada beberapa edisi yang lalu.
Yang jelas, Nabi Dawud ‘alaihissalam akhirnya menjadi raja Bani Israil dan memimpin serta membimbing mereka di jalan Allah.
Sebelum menjadi raja, Nabi Dawud ‘alaihissalam
hanya seseorang di antara rakyat jelata di kalangan Bani Israil. Di
masa kecil dan remajanya, beliau bekerja menggembala kambing, tetapi
Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan kekuatan yang sangat besar pada tubuh beliau.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan nasab
beliau adalah Dawud bin Isya bin ‘Uwaid bin ‘Abir bin Salmun bin Nahsyun
bin ‘Uwainadib bin Iram bin Hashrun bin Faridh bin Yahuda bin Ya’qub
bin Ishaq bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam.
Beliau diberi suara yang merdu oleh Allah ‘azza wa jalla, hingga burung-burung berhenti terbang untuk mengiringi beliau bertasbih memuji Allah ‘azza wa jalla. Beliaulah yang pertama kali membuat perisai dan pakaian perang dari besi.
Beliau diberi karunia usia yang panjang, sampai seratus tahun, yang diambil dari usia bapaknya, Adam ‘alaihissalam, sebagaimana diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَمَّا
خَلَقَ اللهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ
نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ جَعَلَ بَيْنَ
عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصاً مِنْ نُورٍ ثُمَّ عَرَضَهُمْ
عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هؤُلاَءِ؟ قالَ: هؤُلاَءِ
ذُرِّيَّتُكَ. فَرَأَى رَجُلاً مِنْهُمْ أَعْجَبَهُ نُورُ مَا بَيْنَ
عَيْنَيْهِ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَذَا؟ قَالَ: رَجُلٌ مِنْ
ذُرِّيَّتِكَ فِي آخِرِ الْأُمَمِ يُقَالُ لَهُ دَاوُدُ. قاَلَ: أَيْ
رَبِّ، كَمْ عُمْرُهُ؟ قَالَ: سِتُّونَ سَنَةً. قالَ: فَزِدْهُ مِنْ
عُمْرِي أَرْبَعِينَ سَنَةً. قَالَ: إِذَنْ يُكْتَبُ وَيُخْتَمُ وَلاَ
يُبَدَّلُ. فَلَمَّا انْقَضَى عُمْرُ آدَمَ جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ
فَقَالَ: أَوَلَمْ يَبْقَ مِنْ عُمْرِي أَرْبَعُونَ سَنَةً؟ قَالَ:
أَوَلَمْ تُعْطِهَا ابْنَكَ دَاوُدَ؟ فَجَحَدَ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ
وَنَسِيَ آدَمُ فَنَسِيَتْ ذُرِّيَّتُهُ وَخَطِىءَ آدَمَ فَخَطِئَتْ
ذُرِّيَّتُهُ
Setelah Allah menciptakan Adam, Dia
mengusap punggung Adam, maka bertaburanlah semua ruh yang Allahlah Yang
menciptakannya sampai hari kiamat. Kemudian Dia letakkan di antara kedua
mata masing-masing mereka itu seberkas cahaya, lalu Dia tunjukkan
kepada Adam.
Adam pun bertanya, “Duhai Rabbku, siapakah mereka ini?”
Kata Allah, “Mereka ini adalah anak cucumu.”
Lalu dia melihat salah seorang dari mereka yang cahaya orang itu menakjubkannya, katanya, “Duhai Rabbku, siapakah dia ini?”
Kata Allah, “Dia salah seorang anak cucumu di kalangan umat belakangan, namanya Dawud.”
“Duhai Rabbku, berapakah panjang umurnya?”
“Enam puluh tahun.”
“Tambahkanlah untuk dia dari umurku sebanyak empat puluh tahun.”
“Kalau begitu, akan ditulis dan ditetapkan serta tidak akan diubah lagi.”
Ketika habis usia Adam, datanglah Malakul Maut. Beliau pun berkata, “Bukankah masih tersisa usiaku ini empat puluh tahun?”
“Bukankah telah engkau berikan untuk putramu Dawud?” jawab Malakul Maut.
Adam mengingkari, anak cucunya juga
demikian. Adam lupa, maka lupa pula anak cucunya. Adam bersalah, maka
anak cucunya juga bersalah.[1]
Demikianlah, Nabi Dawud ‘alaihissalam
hidup di dunia selama seratus tahun. Sebagian besarnya adalah sebagai
seorang nabi sekaligus raja Bani Israil dengan kekuasaan yang sangat
luas.
Akan tetapi, kehidupan sebagai seorang
raja, bahkan nabi sekalipun, tidak membuat beliau berbeda dengan
kebanyakan manusia. Beliau tetap sebagai manusia biasa, yang kadang
sedih, marah, dan gembira. Beliau juga bisa lupa dan keliru. Begitulah sunnatullah dalam hidup manusia.
Tidak ada satupun yang lolos dari sunnatullah. Itulah kebaikan dan keburukan yang diberikan Allah ‘azza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya, sebagai ujian bagi mereka.
Memang demikianlah. Tiada satupun
makhluk yang lepas dari ujian. Namun, ujian itu berbeda-beda
tingkatannya, sesuai dengan keadaan iman dalam diri masing-masing.
Itulah yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, ketika ditanya, “Siapakah yang sangat berat cobaan yang menimpanya?”
الْأَنْبِيَاءُ
ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ
دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ
فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ
الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا
عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“(Yang paling berat ujiannya ialah)
para nabi, kemudian yang lebih mulia setelah mereka, lalu yang lebih
utama di bawahnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya.
Apabila agamanya kokoh, beratlah ujian yang dirasakannya. Kalau dalam
agamanya ada kelemahan, dia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Tidak
henti-hentinya ujian itu menimpa seorang hamba sampai meninggalkannya
berjalan di muka bumi dalam keadaan (hamba itu) tidak lagi mempunyai
kesalahan.”[2]
Ada beberapa kejadian di masa
pemerintahan beliau, seperti kisah petani dan penggembala kambing, juga
tentang dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi. Semua ini
telah dikisahkan dalam edisi-edisi yang lalu bersama putranya Sulaiman ‘alaihissalam.
Karena itu, dalam edisi kali ini, kami paparkan sebuah kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tentang ujian yang beliau terima.
Dua Orang yang Bertikai
Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya,
Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar?
Ketika mereka masuk (menemui) Dawud
lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah
kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah
seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan
antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran
dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
“Sesungguhnya saudaraku ini
mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai
seekor saja. Maka dia berkata, ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku,’ dan
dia mengalahkan aku dalam perdebatan.”
Dawud berkata, “Sesungguhnya dia
telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk
ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.”
Dan Dawud mengetahui bahwa Kami
mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud
dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan
sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat
kembali yang baik.
Hai Dawud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 21—26)
Demikianlah kisah yang diceritakan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya. Memang benarlah sebuah berita yang menakjubkan.
Seperti biasa, Nabi Dawud ‘alaihissalam
tidak lupa beribadah kepada Rabbnya. Pada waktu itu, tidak ada
seorangpun boleh mengganggu. Namun, di luar istana, dua orang dengan
tenang memanjat pagar tembok istana tanpa diketahui oleh siapapun.
Dengan cepat keduanya menuju ruangan tempat Nabi Dawud ‘alaihissalam biasa beribadah.
Nabi Dawud yang sedang khusyuk beribadah
tersentak kaget. Rasa takut mulai merayapi hati beliau, karena
tiba-tiba melihat dua orang telah berada di mihrab tempat beliau
beribadah.
Melihat kekagetan dan rasa takut Nabi Dawud ‘alaihissalam,
dua orang ini berkata, “Jangan takut, kami adalah dua orang yang sedang
bertikai. Salah satu dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka
berilah keputusan antara kami dengan adil tanpa berpihak kepada salah
satu dari kami. Jangan pula menyimpang dan tunjukilah kami kepada jalan
yang lurus.”
Mendengar keterangan mereka, bahwa
mereka menginginkan kebenaran, Nabi Dawud tidak lagi marah dan takut.
Kemudian salah satu dari mereka berkata (sebagaimana dalam ayat),
“Sesungguhnya saudaraku ini,” yang
seiman dan satu manhaj, bukan senasab, sehingga apabila muncul sikap
bermusuhan dari saudara tentu lebih besar urusannya. Dia melanjutkan
(sebagaimana dalam ayat),
“Mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina,” yakni
istri, sebagaimana kebiasaan orang Arab. Tentu saja keadaan itu
merupakan kebaikan dan mengharuskan dia merasa cukup serta bersyukur
dengan apa yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla kepadanya.
Orang itu melanjutkan, “Sedangkan aku hanya mempunyai seekor kambing betina,” yakni hanya seorang istri.
Lalu dia menginginkannya dan mengatakan, “Serahkanlah kambing itu (istrimu) untukku agar menjadi tanggunganku dan dia mengalahkan alasan-alasanku,” bahkan kalaupun aku memukul, dia lebih keras memukulku sampai dia berhasil memperolehnya.
Sebelum mendengarkan dari pihak yang lain, Nabi Dawud sudah mendahului berkata, “Sungguh,
dia telah berbuat zalim kepadamu, ketika memaksa meminta kambingmu
untuk menjadi milik dan tanggungannya. Sungguh, kebanyakan orang yang
bekerja sama itu sebagin mereka berbuat zalim kepada yang lain. Kecuali,
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, karena iman dan amal saleh
itu akan mencegah mereka berbuat zalim. Akan tetapi, alangkah sedikitnya
jumlah mereka di tengah-tengah manusia.”
Namun, seketika itu juga Nabi Dawud
memahami, ketika memutuskan perkara di antara kedua orang tersebut,
bahwa itu adalah ujian dari Allah. Segera saja, Nabi Dawud meminta
ampunan dan tobat dengan sebenar-benarnya kepada Rabbnya dan menyungkur
sujud sambil menangis.
Allah ‘azza wa jalla mengampuni dan menerima tobat Nabi Dawud. Sungguh, beliau memiliki kedudukan sangat dekat lagi mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla serta tempat kembali yang baik.
Kata asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah
dalam tafsirnya, Allah tidak memaparkan dosa apa yang diperbuat oleh
Nabi Dawud sehingga mendorong beliau meminta ampun dan bertobat, karena
memang tidak ada gunanya diterangkan. Mencoba menguraikan hanya
memberat-beratkan diri.
Yang jelas, faedah kisah ini ialah apa
yang diterangkan Allah kepada kita ini, yaitu kelembutan-Nya kepada Nabi
Dawud, tobat dan inabah (sikap kembali) beliau, serta
terangkatnya kedudukan beliau. Bahkan, setelah bertobat, keadaan beliau
lebih baik daripada sebelumnya. Kemudian, Allah ‘azza wa jalla mewahyukan kepada beliau,
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,” memberlakukan padanya ketetapan agama dan dunia,
“Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq,” yakni
adil. Tentu saja, hal ini tidak mungkin beliau mampu melaksanakannya
kecuali dengan mempunyai ilmu yang wajib dan ilmu-ilmu tentang persoalan
kekinian (di masa itu), serta kemampuan untuk memberlakukan yang haq;
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.” Janganlah
berjalan di belakang hawa nafsu dalam hal memberi keputusan, lalu
berpihak kepada salah satu pihak, apakah karena dia kerabat, teman,
orang yang dicintai, atau karena membenci pihak lain, karena hal itu
akan membuatmu menyimpang dari jalan Allah dan menyebabkanmu tersesat
dari jalan yang lurus.
Kemudian Allah ‘azza wa jalla memperingatkan, “Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah,” terutama orang-orang yang sengaja di antara mereka;
“Akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Sebab, andaikata mereka mengingatnya,
lalu tumbuh rasa takut dalam hati mereka, niscaya mereka tidak akan
menyimpang bersama hawa nafsu yang menyesatkan.
Begitu hebat tobat Nabi Dawud, hingga
dalam sebagian riwayat yang sampai kepada Wahb bin Munabbih disebutkan,
akibat tangis beliau begitu pilu dan panjangnya sujud beliau sambil
menangis, tumbuhlah lumut di tempat sujud itu.
Demikianlah, seorang Nabi dan raja
besar, yang tentu saja maksum, merasakan betapa dia memiliki kesalahan
yang sangat besar, hingga mendorongnya menjatuhkan diri sujud kepada
Rabbnya.
(insya Allah bersambung)
[1] HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 5208).
[2] HR. Ahmad (no. 1607), at-Tirmidzi (no. 2400) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 992).

Al-Mutakabbir
Al-Ustadz Qomar Suaidi
Al-Mutakabbir adalah salah satu nama Allah ‘azza wa jalla yang agung dan mulia. Al-Mutakabbir artinya yang memiliki sifat kibriya’. Sifat kibriya’ biasa
diterjemahkan dengan kesombongan sehingga mungkin ketika terdengar,
pertama kali ada kesan tidak baik, karena sombong diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla sendiri.
Akan tetapi, pada hakikatnya terjemahan sombong terhadap kata kibriya’ belum mewakili makna kibriya’.
Hanya saja, keterbatasan bahasa kita menyebabkan kita menerjemahkan
dengan sebagian maknanya. Padahal apabila merujuk kepada penjelasan
ulama, kita akan dapati bahwa makna kibriya’ mengandung makna-makna lain yang sangat mulia dan agung, sebagaimana nanti kami akan sebutkan insya Allah.
Di samping itu, apabila sifat sombong disandarkan pada Allah ‘azza wa jalla, sama sekali tidak mengandung sifat negatif karena Allah Mahabaik, Mahamulia, Mahabijaksana.
Pantaslah bagi Allah ‘azza wa jalla untuk sombong, karena Allah ‘azza wa jalla
Mahakuasa tak tertandingi, Mahabesar, Maha memiliki, Mahakaya, Pencipta
alam semesta, Pemilik dan Pengaturnya. Segala urusan ada di tangan-Nya
dan akan kembali kepada-Nya. Demikian pula berbagai sifat kebesaran dan
keagungan yang lain yang dimilikinya, membuat sifat kesombongan yang
dimiliki-Nya pada tempatnya.
Adapun makhluk, tidak pantas baginya
untuk memiliki sifat sombong. Dia hendak sombong dengan apa? Dengan
harta kekayaan yang dimilikinya? Dengan pangkat dan jabatan yang
disandangnya? Dengan nasab nenek moyangnya? Dengan kekuatan yang dia
miliki? Dengan banyaknya pengikut yang menuruti titahnya?
Semua itu hanyalah pemberian Allah ‘azza wa jalla
kepadanya. Jadi, pantaskah dia sombong dengan sesuatu yang hakikatnya
tidak dia miliki?! Sepantasnya seorang hamba justru merendahkan diri dan
tawadhu’.
Lagipula kesombongan pada makhluk
identik dengan sifat-sifat negatif lainnya. Seringkali kesombongan
manusia mengantaran kepada kediktatoran, kezaliman, merendahkan orang
lain, tidak mensyukuri nikmat Allah ‘azza wa jalla, menggunakan apa yang Allah ‘azza wa jalla berikan pada sesuatu yang bukan pada tempatnya, lupa diri, dan berbagai sifat negatif lain.
Beda halnya dengan kesombongan Allah ‘azza wa jalla,
kesombongan yang beriring dengan sifat bijaksana-Nya, keadilan-Nya,
syukur-Nya kepada hamba-Nya, menerima taubat mereka, pemuliaannya
terhadap hamba-Nya, kasih sayang-Nya, kelembutan-Nya, dan berbagai sifat
mulia yang lain.
Lebih dari itu, ternyata al-Mutakkabir bukan hanya bermakna sombong.
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan bahwa tentang makna nama Allah ‘azza wa jalla, al-Mutakabbir, di dalamnya ada lima pendapat:
- Yang Mahatinggi dari segala yang jelek. Ini penafsiran Qatadah.
- Yang Mahatinggi untuk berbuat zalim terhadap hamba-Nya. Ini penafsiran az-Zajjaj.
- Yang memiliki sifat kibriya’ yang berarti kerajaan. Ini penafsiran Ibnul Anbari.
- Yang Mahatinggi untuk menyerupai sifat-sifat makhluk.
- Yang Mahasombong terhadap hamba-Nya yang membangkang.
Demikian penafsiran para ulama. Semuanya adalah makna yang baik dan mulia.
Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan nama ini dalam beberapa ayat, di antaranya,
Dia-lah Allah Yang tiada Rabb (yang
berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera,
Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa,
Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Mahasuci, Allah dari apa
yang mereka persekutukan. (al-Hasyr: 23)
Dan bagi-Nya lah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al-Jatsiyah: 37)
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ :الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
“Allah ‘azza wa jalla berfirman,
‘Al-Kibriya’ adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barang
siapa merebut salah satunya dari-Ku, maka Aku akan melemparkannya dalam
neraka.” (Sahih, HR. Abu Dawud, diriwayatkan juga oleh Muslim dengan lafadz yang semakna)
Buah Mengimani Nama Allah ‘azza wa jalla, al-Mutakabbir
Dengan mengimani nama Allah ‘azza wa jalla
tersebut, kita semakin mengetahui kelemahan kita selaku makhluk,
sehingga tidak pantas bagi kita untuk bersikap sombong. Akan tetapi,
justru sikap merendahkan diri dan tawadhu’ itulah yang pantas bagi kita.
Kita juga mengetahui kebesaran Allah ‘azza wa jalla dengan segala sifat mulia-Nya. Dialah ‘azza wa jalla yang berhak memiliki sifat sombong dengan makna yang positif sebagaimana dijelaskan di atas.
Wallahu a’lam.

Kejujuran
Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
Dalam syariat Islam yang penuh keindahan
ini, kejujuran adalah akhlak mulia yang sangat dijunjung tinggi,
sedangkan kedustaan adalah dosa besar yang sangat dicela. Sebaliknya,
dalam agama Syiah Rafidhah, taqiyyah (baca: dusta) adalah salah
satu kewajiban bahkan rukun agama. Oleh karena itu, kaum Rafidah begitu
dikenal sebagai kaum yang paling pendusta. Dusta adalah ciri khas bagi
kaum Rafidhah.
Wajib bagi seorang muslim, seorang yang
berakidah dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk berhias dengan
kejujuran dan meninggalkan dusta sejauh-jauhnya. Lebih-lebih lagi jika
Anda adalah seorang da’i yangmenyeru ke jalan Allah ‘azza wa jalla. Sebab, kedustaan dapat merusak pemahaman Anda dan pemahaman orang-orang yang Anda dakwahi.
Simaklah peringatan al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah akan bahaya dusta dalam kitab beliau, al-Fawaid,
“Berhati-hatilah dari dusta! Sebab, perbuatan dusta akan merusak
pemahaman Anda terhadap suatu perkara sehingga Anda tidak bisa
memahaminya sebagaimana hakikatnya. Selanjutnya, dusta akan membuat Anda
tidak bisa menggambarkan perkara tersebut dan menjelaskannya kepada
manusia sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sebab, seseorang yang berdusta
menggambarkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan sesuatu yang ada
menjadi tidak ada. Dusta juga menggambarkan suatu kebenaranmenjadi
kebatilan dan suatu kebatilan menjadi suatu kebenaran. Dusta dapat pula
menggambarkan kebaikan sebagai suatu kejelekan dan kejelekan menjadi
suatu kebaikan.
Sebagai hukuman atas perbuatan dusta
tersebut, pemahaman dan ilmu seorang pendusta akan rusak. Kemudian dia
akan menyampaikan pemahaman dan ilmu yang rusak kepada si pendengar yang
telah teperdaya dan condong kepadanya, hingga pemahaman dan ilmu si
pendengar itu juga ikut rusak. Jiwa seorang pendusta selalu berpaling
dari hakikat yang ada, cenderung kepada hal yang tidak hakiki dan
mengedepankan kebatilan.
Apabila pemahaman dan ilmu—yang
merupakan sumber segala perbuatan—telah rusak, akan rusak pula amal
perbuatannya. Sifat dusta akan menjangkiti amalan-amalannya. Munculnya
amalan-amalan dari dirinya bagaikan munculnya dusta dari lisannya
sehingga dia tidak mendapat manfaat dari amalan dan lisannya. Oleh
karena itu, kedustaan merupakan asas perbuatan dosa, sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Sesungguhnya dusta mengantarkan kepada perbuatan dosa, dan sesungguhnya perbuatan dosa akan mengantarkan kepada neraka.”
Awalnya, kedustaan akan menjalar dari
jiwa menuju lisan kemudian merusaknya. Setelah itu, ia menjalar menuju
anggota badan dan merusak amalan anggota badannya sebagaimana dusta
membuat rusak ucapan-ucapan yang keluar dari lisannya. Akhirnya,
kedustaan akan meliputi ucapan, amalan, dan segala kondisinya, yang akan
mengantarkan pada kerusakan.
Penyakitnya ini akan melemparkannya kepada kebinasaan jika Allah ‘azza wa jalla tidak menyelamatkannya dengan obat berupa kejujuran yang akan mencabut penyakit itu hingga akarnya.
Oleh karena itu, sumber segala amalan
hati adalah kejujuran, sedangkan lawannya, seperti riya’, ujub, sombong,
bangga diri, angkuh, semena-mena, lemah, malas, pengecut, rendahan, dan
lainnya, bersumber dari kedustaan. Setiap amalan saleh yang tampak
maupun tidak tampak bersumber dari kejujuran, sedangkan setiap amalan
jelek yang tampak maupun tidak tampak bersumber dari kedustaan.
Allah ‘azza wa jalla menghukum pendusta dengan membuatnya malas dan lamban dari hal-hal yang bermanfaat dan bermaslahat untuknya. Allah ‘azza wa jalla memberi ganjaran bagi orang yang jujur dengan memberinya taufik untuk mengerjakan hal yang bermanfaat untuk agama dan dunianya.
Tidak ada suatu perangai yang bisa
mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat semisal kejujuran. Tidak ada
suatu perangai yang bisa mendatangkan kerusakan dunia dan akhirat
semisal kedustaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)
“Ini (hari pembalasan) adalah hari yang kejujuran orang-orang jujur akan bermanfaat bagi mereka.” (al-Maidah: 119)
“Apabila telah tetap sebuah
perintah, kalau seandainya mereka jujur kepada Allah (dalam
melaksanakannya), maka itu akan lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)
“Dan datang (kepada Nabi)
orang-orang yang mengemukakan uzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar
diberi izin bagi mereka (untuk tidak pergi berjihad), sedang orang-orang
yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak
orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang
pedih.” (at-Taubah: 90) (al-Fawaid, hlm. 166)
Demikian peringatan keras beliau akan
bahaya dusta dan akibat-akibatnya. Betapa berbahayanya sifat dusta bagi
seorang muslim, lebih-lebih lagi seorang da’i. Sungguh, setiap dari kita
adalah da’i bagi keluarganya.
Semoga Allah ‘azza wa jalla mengaruniakan kejujuran dalam setiap ucapan dan amal perbuatan kita semua. Wallahu a’lam.

Adab Para Pembawa Al-Qur’an
Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc
Sepanjang sejarah manusia, belum pernah
terdengar ada sebuah kitab yang seagung kitab suci al-Qur’an. Di
dalamnya termuat beragam ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh
manusia dan terkandung ajakan kepada segala kebaikan yang dengan
mengamalkannya manusia akan menjadi sebaik-baik makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla. Padanya ada kisah-kisah umat terdahulu yang dijadikan pelajaran bagi orang yang datang setelahnya.
Barang siapa berhukum dengan al-Qur’an
niscaya ia akan menemukan keadilan yang sesungguhnya. Ayat-ayatnya
bagaikan lampu dan rambu-rambu jalan yang menyinari dan menunjuki
manusia dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini untuk menuju alam
yang hakiki nan abadi.
Al-Qur’an memiliki keutamaan yang banyak, yang terbesarnya adalah al-Qur’an merupakan kalam Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla telah memuji al-Qur’an dalam ayat-ayat-Nya yang banyak, seperti firman-Nya,
“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi.” (al-An’am: 92)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (al-Isra’: 9)
Di antara keistimewaan al-Qur’an, ia telah mendapatkan jaminan penjagaan dari Allah ‘azza wa jalla sehingga ia selalu terjaga kemurniannya dari ulah tangan-tangan yang jahat. Hal ini tentu berbeda denganat-Taurat dan al-Injil.
Al-Qur’an telah disifati dengan sifat-sifat kemuliaan, seperti petunjuk, rahmat, cahaya, obat, diberkahi, dan mulia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Katakanlah, ‘Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin’.” (Fushshilat: 44)
Sifat-sifat kemuliaan yang ada pada
al-Qur’an juga akan didapat pada orang yang membacanya, memahaminya, dan
yang mengamalkannya.
Berita Gembira
Bagi seorang mukmin, mengimani al-Qur’an
adalah suatu keharusan karena meyakininya merupakan salah satu dari
rukun iman yang enam. Bentuk mengimaninya adalah dengan meyakini
al-Qur’an adalah kalam Allah ‘azza wa jalla dan bukan makhluk,
memercayai seluruh berita yang ada padanya, menjalankan segala perintah
yang termuat di dalamnya dan meninggalkan semua larangan yang tertera
pada ayat-ayatnya.
Jika seperti ini keyakinan seseorang terhadap al-Qur’an, ia berhak mendapat berita gembira dari Allah ‘azza wa jalla berupa kesejahteraan hidup di dunia yang berlanjut dengan kehidupan yang serba menyenangkan di akhirat kelak. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Petunjuk Allah ‘azza wa jalla di sini adalah al-Qur’an.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, Allah ‘azza wa jalla
telah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengikuti apa
yang ada padanya bahwa ia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan
celaka di akhirat. (Tafsir ath-Thabari, 16/225)
Dengan mengikuti al-Qur’an seseorang akan terangkat harkat dan martabatnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla mengangkat dengan al-Qur’an ini suatu kaum dan Allah ‘azza wa jalla rendahkan dengan al-Qur’an ini kaum yang lain.” (HR. Muslim dari sahabat Umar radhiallahu ‘anhu)
Diangkat kedudukan orang yang mengikuti
al-Qur’an pada posisi yang terpandang yang tak terbayang sebelumnya dan
dihinakan orang yang menentangnya meskipun ia berangkat dari keluarga
yang terpandang.
Tiada bukti yang lebih jelas untuk hal ini melebihi kondisi bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka sebelumnya telah berada di tepi jurang kehancuran di mana telah
berlaku di tengah-tengah mereka hukum rimba, yang kuat mencaplok yang
lemah, kejahatan sosial merupakan pemandangan yang lumrah, sehingga
bangsa-bangsa lain menganggapnya remeh dan rendah.
Namun, ketika cahaya kenabian menyinari Jazirah Arab, kemudian mereka mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mengimani kitab yang dibawanya, berubahlah mereka menjadi bangsa
yang disegani dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Dalam waktu yang singkat
mereka mampu mematahkan kecongkakan dua negeri adikuasa di masa itu
yaitu Persia dan Romawi, ketika dua bangsa ini menentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kitab suci yang dibawanya.
Sungguh, telah datang dalil yang banyak tentang keutamaan ahli al-Qur’an. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan orang-orang yang berpegang
teguh dengan al-Kitab serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala)
karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengadakan perbaikan.” (al-A’raf: 170)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga mengabarkan bahwa al-Qur’an nanti datang di hari kiamat memberi
syafaat (pembelaan) kepada orang yang membacanya. Bagi yang membacanya,
setiap satu huruf yang ia baca akan memperoleh satu kebaikan dan satu
kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Bahkan, orang
yang mahir (pandai) dalam membaca al-Qur’an di akhirat kelak akan
bersama para utusan yang mulia dari kalangan malaikat, sedangkan yang
membacanya terbata-bata maka mendapat dua pahala.
Macam-Macam Pembawa al-Qur’an
Membaca al-Qur’an termasuk sebaik-baik zikir dan para pembawanya tergolong manusia yang terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari dari sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu)
Akan tetapi untuk mendapatkan predikat
sebaik-baik manusia tidak cukup hanya membaca dan mempelajarinya, tentu
di sana ada persyaratan yang lain seperti ikhlas dan mengamalkan isi
kandungannya.
Berikut ini macam-macam pembawa al-Qur’an.
- Orang yang membacanya sesuai dengan kaidah-kaidah membaca al-Qur’an dengan memahami ayat-ayatnya serta mengamalkannya. Berita-beritanya ia percayai, segala perintahnya ia laksanakan dan semua larangannya ia tinggalkan. Ia lakukan semua ini karena mengharap ridha Allah ‘azza wa jalla. Orang seperti ini tergolong manusia terbaik. Ia mulia di hadapan Allah ‘azza wa jalla dan terhormat di tengah-tengah manusia.
- Orang yang menegakkan hurufhurufnya, yakni ia membaca al-Qur’an sesuai dengan kaidah bacaannya namun tidak menegakkan hukum-hukum al-Qur’an.
Ini jenis orang yang merugi, kelak al-Qur’an akan menjadi penghujat atasnya.
- Orang yang menjadikan al-Qur’an sebagai jembatan untuk meraih pengakuan di mata manusia dan untuk menggapai posisi duniawi.
Ia tidak memuliakan al-Qur’an
sebagaimana mestinya. Yang halal tidak dihalalkan dan yang haram tidak
diharamkan. Orang seperti ini tak ada bedanya dengan orang yang bodoh.
- Orang yang menjadikan al-Qur’an sebagai tangga untuk mendapatkan pekerjaan yang rendah, seperti seorang menghafal al-Qur’an agar kelak disewa pada banyak kesempatan. Tujuannya, ia bisa mendapatkan uang/materi darinya.
Misalnya, ia disewa untuk membaca
al-Qur’an pada acara-acara kematian dan di sisi kuburan. Seperti inilah
bagiannya dari menghafal al-Qur’an. Apabila kita lihat akhlak
kesehariannya, sangat bertolak belakang dari petunjuk al-Qur’an.
Etika-Etika Pembawa al-Qur’an
Karena mulianya al-Qur’an dan tingginya
kedudukan orang yang membawanya maka sudah sepantasnya bagi para pembawa
al-Qur’an untuk mengetahui adab-adab yang sesuai dengan kedudukannya.
Di antara adab-adab tersebut adalah:
- Selalu menjaga keikhlasan hati dan hanya mengharap ridha Allah ‘azza wa jalla ketika ia membaca al-Qur’an atau menghafalnya. Tiada ambisi keduniawian di saat membacanya baik berupa pujian, harta, kepemimpinan, kedudukan di mata manusia, atau merasa tinggi di sisi rekan-rekannya.
- Hendaknya waspada dari sikap sombong dan bangga diri di saat banyak manusia yang belajar kepadanya. Demikian pula waspada dari sikap iri dan tidak suka jika ada orang belajar al-Qur’an dari selain dia.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
menjelaskan, “Aku ingin bila manusia itu mempelajari ilmu ini—yakni
ilmu dan kitab-kitabnya—lalu tidak disandarkan kepadaku satu huruf pun
darinya.”
- Menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan perangai yang diridhai, seperti sifat zuhud (tidak ada ketergantungan) terhadap dunia, dermawan, wajah yang murah senyum, sabar, tidak terburu-buru dalam menyikapi sesuatu, menjaga diri dari menggeluti usaha yang tidak mulia, khusyuk dan rendah hati, serta menjauhkan diri dari (banyak) tertawa dan sering bercanda.
- Menjaga kebersihan badan dengan menghilangkan kotoran yang melekat dan hal-hal yang diperintahkan oleh syariat untuk dibersihkan dari tubuh seperti memangkas kumis, memotong kuku, dan menghilangkan bau-bau yang tidak sedap.
- Waspada dari sifat iri dengki, riya, bangga diri, dan dari sikap merendahkan orang lain meskipun orang tersebut kedudukannya di bawahnya.
- Mempraktikkan hadits-hadits yang datang tentang (keutamaan) bertasbih, bertahlil, dan yang lainnya dari wirid-wirid dan doa.
- Selalu merasa diawasi oleh Allah ‘azza wa jalla baik di saat sepi maupun di hadapan orang lain, serta selalu bersandar (bertawakal) kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap urusannya. (lihat Adab Hamatil Qur’an, al-Imam an-Nawawi hlm. 50—54)
- Tidak pantas pembawa al-Qur’an untuk memiliki perangai yang kaku, sikap masa bodoh, suka berteriak-teriak, dan gampang marah.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berkata, “Seyogianya orang yang membawa al-Qur’an dikenal (ketaatannya)
di malam hari saat manusia tidur, dan dikenal (puasanya) di siang hari
saat manusia tidak berpuasa, dikenal kesedihannya (karena memikirkan
dirinya) saat manusia bersuka ria, diketahui sedang menangis saat
manusia sedang tertawa-tawa, diketahui bersikap diam (berbicara
seperlunya) saat manusia tenggelam dalam pembicaraan, dan dikenal
khusyuk saat manusia memiliki sikap angkuh.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
berkata, “Pembawa al-Qur’an adalah pembawa panji-panji Islam. Ia tidak
pantas berkatakata yang sia-sia dan tidak pantas untuk lalai dan
bermain-main bersama orang yang lalai dan bermain-main karena
mengagungkan Allah ‘azza wa jalla.”
- Tidak pantas bagi pembawa al-Qur’an untuk meletakkan kebutuhannya kepada orang lain. Semestinya, manusialah yang menaruh kebutuhan mereka kepadanya. (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin 66)
Beberapa Adab Saat Membaca Al-Qur’an
- Bila seorang ingin membaca al-Qur’an seyogianya untuk membersihkan mulutnya dengan siwak atau semisalnya.
- Disunnahkan untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan suci dan seandainya seorang membaca dalam keadaan berhadats maka boleh menurut kesepakatan (ulama) kaum muslimin.
- Disunnahkan untuk membaca al-Qur’an di tempat yang bersih seperti masjid.
- Bagus kiranya orang yang membaca al-Qur’an selain dalam shalat untuk menghadap kiblat dan duduk dengan tenang. Akan tetapi, boleh juga membaca dengan berdiri ataupun berbaring karena dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca al-Qur’an dan kepala beliau pada pangkuan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. ( al-Bukhari)
- Ketika akan membaca al-Qur’an membaca ta’awudz.
- Ketika membaca hendaklah ia tenang dan memahami isi kandungannya, karena seperti inilah tujuan al-Qur’an diturunkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memahami (isi kandungan) al-Qur’an?!” (Muhammad: 24)
- Disunnahkan bila melewati ayat tentang rahmat (kasih sayang Allah ‘azza wa jalla) untuk meminta rahmat dan bila melewati ayat azab ia meminta perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Shahih Muslim dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, lihat at-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, karya an-Nawawi)
Wallahu a’lam.

Meraih Kemuliaan dengan Al-Qur’an
Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
Pembaca yang budiman, ketahuilah Allah ‘azza wa jalla telah menjamin jika seorang berpegang dengan al-Qur’an, dia tidak akan tersesat di dunia dan akhirat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Apabila datang petunjuk dari-Ku,
maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tak akan tersesat
dan tak akan celaka.” (Thaha: 123)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Allah ‘azza wa jalla
menjamin bagi orang yang membaca al-Qur’an dan mengikuti apa yang ada
padanya, tak akan tersesat di dunia dan tak akan celaka di akhirat.” (Tafsir at-Thabari)
Adapun orang yang berpaling darinya akan mendapatkan kehidupan yang sempit,
“Dan barang siapa yang berpaling
dari peringatan-Ku (dari al-Qur’an), maka dia akan mendapatkan kehidupan
yang sempit dan kami akan kumpulkan dia pada hari kiamat nanti dalam
keadaan buta.” (Thaha:124)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan mengangkat derajat satu kaum dengan al-Qur’an dan merendahkan sebagian kaum dengannya.” (HR. Muslim)
Dengan ini kita tahu bahwasanya
al-Qur’an adalah sumber kebahagiaan jika seorang muslim senantiasa
berpegang teguh dengannya dan beramal dengannya. Namun, jika seorang
berpaling dari al-Qur’an, dia terancam dengan kehinaan dan kecelakaan.
Lebih-lebih lagi jika melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan
al-Qur’anul Karim.
Sebelas Perkara yang Menyelisihi Tuntunan al-Qur’an
Pembaca yang budiman, dalam tulisan ini
penulis ingin menyebutkan beberapa perbuatan sebagian muslimin yang jauh
bahkan bertentangan dengan tuntunan al-Qur’an.
Perkara-perkara ini terjadi ketika
seorang muslim tidak mempelajari al-Qur’an sebagaimana mestinya dan
tidak mengamalkan al-Qur’an sebagaimana amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia.
Hal ini kita paparkan untuk kita bisa menjauhi dan meninggalkannya, sebagaimana sahabat yang mulia Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan. Adapun aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan khawatir akan mengenai diriku.”
Di antara perkara yang harus kita jauhi adalah:
- Mengingkari keyakinan al-Qur’an kalamullah
Telah kita singgung dalam edisi sebelumnya[1]
bahwa akidah kita Ahlus Sunnah adalah meyakini al-Qur’an adalah
kalamullah bukan makhluk. Kemudian muncullah bid’ah jahmiyah yang
menyuarakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Bahkan, pada masa al-Imam
Ahmad hidup, penguasa ketika itu memaksakan kepada rakyatnya untuk
menyatakan demikian.
Bid’ah Mu’tazilah ini terus bergulir di
zaman kita ini seiring menyebarnya tokoh-tokoh mereka. Demikian juga di
Indonesia, sebagai contoh tokoh-tokoh JIL terus menyerukan dan
mempropagandakan pemikiran Mu’tazilah tersebut.[2]
- Istihza’ (memperolok) ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla
Al-Qur’an adalah kalamullah yang harus diagungkan. Melecehkan dan memperolok al-Qur’an adalah satu bentuk kekufuran. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Katakanlah (wahai Muhamad), “Apakah
kepada Allah, kepada ayat-ayat dan rasul-Nya kalian mengolok-olok? Tidak
ada uzur bagi kalian. Kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (at-Taubah: 66—65)
Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya mengolok-olok Allah ‘azza wa jalla, ayat, dan Rasul-Nya adalah kekufuran yang mengeluarkan dari Islam.…” (Tafsir as-Sa’di)
Di antara bentuk istihza’ kepada al-Qur’an,
- Menyebut satu ayat tertentu untuk bahan tertawaan atau membuat tertawa orang lain,
- Membawakan ayat Allah k dalam lagu-lagu dan semisalnya.
- Menggantungkan ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla sebagai hiasan termasuk bentuk istihza’ (Liqa’ Bab al-Maftuh).
Di antara bentuk istihza adalah apa yang dilakukan Muhammad al-‘Arifi ketika dia mengucapkan beberapa kalimat kemudian dengan lancang dia sebut sebagai surat tuffah (apel). Alhamdulillah, ucapan kufurnya tersebut telah dibantah oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah.
- Tabarruk dengan al-Qur’an
Al-Qur’anul Karim diturunkan untuk
dibaca, dipahami, dan diamalkan apa yang terkandung padanya; bukan untuk
dicari berkah dengan lembaran kertas mushafnya.
Di antara kesalahan sebagian kaum muslimin adalah mencari berkah dengan lembaran-lembaran mushaf semata seperti:
- Mencelupkan beberapa lembaran mushaf ke dalam wadah air untuk mencari berkah dengan meminum airnya.
- Mencelupkan beberapa lembaran mushaf ke dalam wadah berisi air kemudian meminum airnya supaya bisa hafal al-Qur’an.
Di sebagian daerah Jawa Barat terdapat
hari “Rebo wekasan” yang biasa dilakukan pada hari Rabu terakhir bulan
Shafar. Mereka melakukan acara pada hari tersebut dengan mengaji
meletakkan lembaran-lembaran ayat Kursi di wadah yang telah berisi air.
Kemudian mereka membagikan air ini dengan keyakinan bisa menolak
penyakit yang menyebar pada waktu tersebut.
Cara mencari berkah al-Qur’an yang benar dari Allah ialah dengan membacanya dan mengamalkannya.
- Menjadikan al-Qur’an sebagai tamimah
Tamimah adalah sesuatu yang digantungkan
atau dipakaikan seseorang pada tubuhnya, anaknya, hewan tunggangannya,
atau rumahnya dengan keyakinan untuk menolak bala. Rasulullah berkata, “Sesungguhnya ruqyah[3], tamimah[4], dan thiyarah[5] adalah perbuatan syirik.” (HR. Abu Dawud, sahih)
Apakah boleh membuat tamimah dari al-Qur’an?
Inilah pembahasan kita. Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh telah menjawab bahwa tidak bolehnya
membuat tamimah dari al-Qur’an dengan tiga alasan,
- Keumuman larangan menggantungkan tamimah dan tidak ada dalil khusus yang membolehkan.
- Dalam rangka menutup pintu kesyirikan.
- Jika dibolehkan tamimah dari al-Qur’an, tentu akan mengantarkan kepada perbuatan menghinakan al-Qur’an. (Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid)
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi rahimahullah menyampaikan bahwa tamimah yang terbuat dari al-Qur’an adalah bid’ah. (al-Qaulul Mufid fi Adilati at-Tauhid)
- Tathayur dengan al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas dalam
edisi-edisi sebelumnya, tathayur adalah satu perbuatan syirik yang harus
dijauhi oleh seorang muslim.
Sangat disayangkan, karena jauhnya
sebagian muslimin hingga mereka mencari sebab kebaikan dengan cara apa
pun. Salah satu yang mereka lakukan adalah bertatahyur dengan mushaf
al-Qur’an. Di antara bentuk tathayur yang mereka lakukan adalah saat
membuka lembaran mushaf dan terbuka ayat tentang surga, maka mereka
menganggap ini tanda kebaikan. Namun, bila yang terbuka tentang neraka,
maka ini adalah tanda kejelekan
- Mentahrif al-Qur’an
Di antara perkara yang dilakukan ahlul batil adalah men-tahrif kitabullah; yakni menyelewengkan makna ayat dari makna yang sebenarnya. Tahrif ada dua; tahrif lafdzi dan tahrif maknawi.
Tahrif lafdzi adalah mengubah makna ayat dari makna yang benar kepada makna yang batil disertai mengubah lafadznya. Sebagai contohnya adalah tahrif yang dilakukan pada ayat Allah ‘azza wa jalla,
“Ar-Rahman berada di atas arsy.” (Thaha: 5)
Inilah makna yang haq dari ayat ini. Muncullah ahlul ahwa memaknakan ayat ini dengan mengartikannya ‘menguasai Arsy’.
Ini adalah tahrif yang batil,
menyelewengkan makna ayat dari makna sebenarnya. Kalau kita perhatikan,
mereka mengartikan seperti ini setelah mengubah lafadz اسْتَوَى menjadi .اسْتَوْلَى
Adapun tahrif maknawi adalah mengubah makna ayat tanpa mengubah lafadznya. Misalnya, memaknai yad (tangan) sebagai kekuasaan.
- Membaca al-Qur’an di kuburan
Di antara perkara bid’ah yang banyak dilakukan kaum muslimin adalah membaca al-Qur’an di kuburan. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Membaca al-Qur’an di sisi kubur adalah bid’ah, baik yang
dibaca itu al-Fatihah, al-Ikhlas, maupun Yasin. Seorang tidak sepatutnya
membaca al-Qur’an di pekuburan. Dia cukup mengucapkan apa yang ada
dalam sunnah,
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ،
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ، يَرْحَمُ اللهُ
الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، نَسْأَلُ اللهَ لَنَا
وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ، اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ، وَ
تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُمْ
“Semoga keselamatan atas kalian
wahai para penghuni negeri (kubur) ini dari kalangan orang mukmin dan
muslim. Kami insya Allah akan menyusul kalian. Semoga Allah merahmati
yang terdahulu di antara kalian dan yang kemudian. Kami memohon kepada
Allah keselamatan untuk diri kami dan kalian. Ya Allah, janganlah engkau
haramkan pahala mereka bagi kami, janganlah engkau meimpakan musibah
kepada kami sepeninggal mereka, ampunilah kami dan mereka.”
Kemudian pergi tanpa menambahnya dengan membaca surat tersebut ataupun yang lainnya. (Liqa’ Bab al-Maftuh)
- Menghinakan al-Qur’an
Di antara perkara yang harus dijauhi
seorang muslim adalah menghinakan al-Qur’an. Kadang seorang muslim tidak
tahu kalau perkara yang dilakukannya adalah bentuk menghinakan
al-Qur’an.
Di bawah ini adalah perkara-perkara yang dihukumi oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah sebagai bentuk menghinakan al-Qur’an,
- Memutar murotal di mobil, padahal speaker ada di bawah telapak kaki.
- Memutar murotal tetapi tersibukkan dengan yang lain.
- Menulis ayat kursi dan semisalnya di meja tempat bertelekan atau lembaran alas makanan. (Liqa’ Bab al-Maftuh)
- Menggantungkan mushaf atau lembaran mushaf di rumah
Ada pertanyaan kepada asy-Syaikh Muhamad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Apa hukum menggantungkan al-Qur’an atau ayat al-Qur’an di rumah? Apakah termasuk tiwalah?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Menggantungkan ayat al-Qur’an di rumah, kalau diniatkan mencari berkah,
maka ini adalah bid’ah. Demikian pula kalau berniat ibadah dengannya,
maka itu adalah bid’ah. Adapun kalau niatnya untuk mengingatkan, maka
itu pun tak ada faedahnya, karena kadang ditulis di majelis dan orang
yang duduk tahu ada tulisan di atas kepala mereka
“Janganlah sebagian kalian menggibahi yang lain.” (al-Hujurat: 12)
Namun, keadaan perbincangan mereka
semuanya adalah ghibah. Ini adalah bentuk penghinaan kepada al-Qur’an,
bahkan bisa masuk ke dalam memperolok ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla.
Demikian salafus shalih adalah orang
lebih semangat dari kita dalam memberikan peringatan dan mengingatkan.
Namun mereka tidak melakukan hal yang demikian. (Liqa’ Bab al-Maftuh)
- Membakar al Qur’an
Membakar mushaf al-Qur’an kalau didasari
kebencian kepadanya adalah satu bentuk kekufuran. Pernah dilontarkan
satu pertanyaan kepada syaikh Ibnu Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
“Apa balasan bagi seorang yang pernah membakar al-Qur’anul karim karena
lupa dan tidak mengetahuinya kecuali setelah beberapa lama?”
Asy-Syaikh rahimahullah
menjawab, “Tidak ada kewajiban apa pun atas dia jika melakukan karena
lupa, seperti dia membakarnya dalam keadaan tidak tahu itu adalah
al-Qur’an. Dia juga tidak berdosa jika membakar potongan (lembaran)
mushaf yang tidak dimanfaatkan lagi agar tidak dihinakan. Sebab,
al-Qur’an yang tercecer, robek, dan tidak dimanfaaatkan lagi, dibakar
atau ditimbun di tempat yang baik hingga tidak dihinakan. Adapun jika
membakar al-Qur’an karena ketidaksenangan, mencerca, dan membencinya,
ini kemungkaran yang besar dan kemurtadan dari Islam.
Demikian pula kalau dia menduduki mushaf
al-Qur’an, menginjaknya dengan kaki dalam rangka menghinakannya,
melumurinya dengan najis, atau mencercanya dan mencerca orang yang
berbicara dengannya, ini semua adalah kufur akbar dan kemurtadan dari Islam—kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla darinya.” (Fatawa Nur Ala Darb asy-Syaikh Ibn Baz)
- Meninggalkan al-Qur’an
Di antara masalah yang ingin penulis
ingatkan adalah jauhnya sebagian muslimin dari al-Qur’an; dari membaca,
menelaah makna, dan mengamalkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Wahai Rabku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan.” (al-Furqan: 30)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa perkara yang dimasukkan sebagai bentuk hajr al-Qur’an.
- Meninggalkan iman kepada-Nya, tidak mendengar, dan memerhatikannya
- Meninggalkan amal dengannya serta tidak mengikuti apa yang dihalalkan dan diharamkannya, walaupun membacadan mengimaninya.
- Tidak berhukum dengannya dalam perkara ushuluddin dan furu’-nya.
- Tidak mentadaburinya untuk mengetahui maksud yang mengucapkannya.
- Tidak berobat dengannya untuk mengobati seluruh penyakit hati. Dia justru mencari obat selain al-Qur’an dan tidak berobat dengannya.
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan bahwa semua hal ini termasuk makna surat al-Furqan ayat 30
(yang telah kami sebutkan di atas, -ed) walaupun sebagiannya lebih
ringan dibandingkan dengan yang lain. (al-Fawaid)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla memberikan taufik kepada kita untuk membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’anul Karim.
Wallahul Muwaffiq.
[1] Lihat rubrik “Akidah” Majalah Asy Syariah edisi 93.
[2]
Tentang kelompok JIL dan faham sesat mereka silahkan lihat Majalah Asy
Syariah edisi 09. Bisa dibaca pula di www.asysyariah.com.
[3]
Ruqyah adalah doa dan bacaan-bacaan yang mengandung permintaan tolong
dan perlindungan kepada Allahluntuk mencegah atau mengangkat
bala/penyakit. (-red.)
[4] Tamimah adalah sesuatu yang digantungkan pada seorang anak untuk menolak ‘ain atau musibah. (-red.)
[5] Thiyarah atau tathayur ialah beranggapan sial dengan waktu tertentu, tempat tertentu, atau sesuatu yang dilihat, didengar, atau diketahui. (-red.)

Hukum Menelaah Taurat dan Injil
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الَّله أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى
النَّبِيَّ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ
النَّبِيُّ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ
الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا
بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ
بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ
يَتَّبِعَنِي
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu
‘anhuma, Suatu saat ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menghadap
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang ia
dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membacanya. Beliau kemudian marah dan bersabda, “Apakah engkau
termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang
jiwaku berada di Tangan-Nya sungguh aku telah datang kepada kalian
dengan membawa agama yang putih bersih. Jangan kalian bertanya sesuatu
kepada mereka (Ahlul Kitab) karena (boleh jadi) mereka mengabarkan
al-haq kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut, atau
mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan
tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa
‘alaihissalam masih hidup niscaya tidak diperkenan baginya melainkan dia
harus mengikutiku.”
Takhrij Hadits
Hadits yang mulia ini hasan. Diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (3/387 no. 14623), melalui jalan guru beliau Suraij bin an-Nu’man dari Husyaim dari Mujalid dari asy-Sya’bi dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (10/27), ad-Darimi (1/115), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilm hlm. 339, al-Baghawi dalam Tafsir-nya, Ma’alim at-Tanzil (1/197), dan dalam Syarhus Sunnah (1/270).
Dalam riwayat al-Baghawi, Umar radhiallahu ‘anhu berkata,
إِنَّا نَسْمَعُ أَحَادِيثَ مِنْ يَهُودٍ تَعَجَّبْنَا، أَفَتَرَى أَنْ نَكْتُبَ بَعْضَهَا؟
“Sesungguhnya kami mendengar
beberapa ucapan orang Yahudi yang kami kagum padanya, apakah menurutmu
boleh kami mencatat sebagiannya?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَمُتَهَوِّكُونَ
أَنْتُمْ كَمَا تَهَوَّكَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ لَقَدْ جِئْتُكُمْ
بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، وَلَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ
إِلاَّ اتِّبَاعِي
“Apakah kalian adalah orang-orang
yang bingung seperti bingungnya Yahudi dan Nasrani? Sungguh, aku telah
membawa untuk kalian syariat yang putih dan bersih. Seandainya Musa ‘alaihissalam hidup sekarang ini, maka tidak diperkenankan baginya kecuali harus mengikutiku.”
Sanad hadits Jabir radhiallahu ‘anhu di atas dha’if (lemah)
dengan sebab Mujalid. Al-Haitsami berkata, “Dalam hadits ini ada
Mujalid bin Sa’id, dia dilemahkan oleh Ahmad, Yahya bin Sa’id, dan
selainnya.” (Majma’ Zawaid, 1/174)
Hadits ini memiliki banyak syawahid (penguat) di antaranya riwayat dalam Musnad Abu Ya’la al-Mushili (2/426—427), dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil (6/338—340 no. 1589; 6/34—38 no. 1589).
Makna Hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semulia-mulianya pendidik, sebagaimana sahabatsahabat beliau adalah seutama-utamanya generasi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
demikian bersemangat dalam menanamkan akidah kepada umatnya. Beliau
dorong mereka untuk memusatkan perhatian dan mencurahkan segala upaya
dalam mempelajari al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai rujukan utama
agama.
Beliau juga memberikan peringatan keras
dari perkara-perkara yang bisa memalingkan manusia dari al-Qur’an.
Termasuk apa yang ada dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma.
Inilah salah satu pilar terjaganya syariat Islam, terjaganya al-Qur’an dan as-Sunnah; semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebarkan risalah dan semangat para sahabat dalam mempelajari juga
menyebarkan al-Qur’an dan as-Sunnah ke seluruh penjuru dunia.
Hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma
juga mengandung larangan bagi seorang muslim untuk membaca, menelaah,
atau mencatat berita-berita Ahlul Kitab, Yahudi, dan Nasrani.
Ya, hadits di atas lahiriahnya larangan
dari membaca dan mempelajari Taurat dan Injil, agar seseorang tidak
dipalingkan dari mempelajari al-Qur’an dan agar selamat dari kebatilan
yang telah disisipkan dalam Injil dan Taurat, yang sudah tidak murni
lagi seperti di zaman Nabi Musa dan Isa ‘alihima assalam.[1]
Tarbiyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
benar-benar membekas pada diri-diri sahabat. Segenap waktu dan tenaga
mereka curahkan untuk mempelajari al-Qur’an dari segala sisinya, dan
mereka tidak disibukkan oleh membaca kitab-kitab dan berita Ahlul Kitab.
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diajarkan sahabat kepada murid-murid mereka, para tabiin. Dalam sebuah atsar disebutkan,
أَنَّ
أَباَ قُرَّةٍ الْكِنْدِي أَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ بِكِتَابٍ، فَقَالَ:
إِنِّي قَرَأْتُ هَذَا بِالشَّامِ فَأَعْجَبَنِي، فَإِذَا هُوَ كِتَابٌ
مِنْ كُتُبِ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: إِنَّمَا
أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاتِّبَاعِهِمْ الْكُتُبَ وَتَرْكِهِمْ
كِتَابَ اللهِ. فَدَعاَ بِطَسْتٍ وَمَاءٍ فَوَضَعَهُ فِيهِ وَأَمَاثَهُ
بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْتُ سَوَادَ الْمِدَادِ
Abu Qurrah al-Kindi menjumpai Ibnu
Mas’ud dengan membawa sebuah kitab. Abu Qurrah berkata, “Aku membaca
kitab ini di Syam, aku pun terkagum, ternyata ini salah satu kitab dari
kitabkitab Yahudi dan Nasrani!”
Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh
umat-umat sebelum kalian binasa karena sibuk dengan kitab-kitab (yang
telah bercampur dengan kebatilan, -pen.) dan meninggalkan Kitab Allah!”
Kemudian Ibnu Mas’ud minta
didatangkan baskom berisi air dan beliau rendam kitab itu di dalamnya,
beliau remas-remas hingga aku lihat air menghitam karena tinta.
Bukan Berarti Semua yang datang dari Ahlul Kitab Batil
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Umar radhiallahu ‘anhu dan umatnya membaca atau menukil sebagian dari isi kitab yang datang dari ahli kitab tersebut, bukan karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari kebenaran yang kadang mereka sampaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang karena beliau telah membawa syariat yang sempurna yang telah
cukup bagi umatnya sehingga tidak perlu mengambil alternatif lainnya.
Sebagai penutup para rasul, Allah ‘azza wa jalla menjadikan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh syariat. Sudah menjadi sebuah kepastian bahwasanya Allah ‘azza wa jalla
menurunkan al-Qur’an sebagai kitab yang sempurna, menerangkan segala
yang dibutuhkan, cocok di setiap zaman dan keadaan, dan dijaga
kemurniannya hingga kiamat kelak.
Segala sesuatu dalam syariat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah Allah ‘azza wa jalla terangkan dengan jelas dan terang seperti yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam hadits di atas,
لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً
“Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih.”
Demikianlah al-Qur’an, tidak ada satu
kebaikan pun kecuali al-Qur’an telah menyebutkannya, menjelaskannya, dan
mendorong manusia untuk mencapainya. Tidak pula ada kejelekan kecuali
al-Qur’an telah memperingatkan darinya dan menjelaskan tentang
kejelekannya.
Semua kebaikan yang ada dalam
kitab-kitab atau syariat yang telah lalu pun telah termuat dalam
al-Qur’an sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan Kami telah turunkan kepadamu
al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang….” (al-Maidah: 48)
Alasan lain beliau melarang umat membaca
buku-buku ahlul kitab, kekhawatiran beliau akan terjatuhnya umat ini
dalam penyimpangan, menganggap kebenaran yang mereka bawa sebagai
kebatilan, dan menganggap kebatilan yang mereka bawa sebagai kebenaran.
Pembaca rahimakumullah, hadits Jabir radhiallahu ‘anhu
dalam majelis kali ini adalah salah satu dalil yang menunjukkan tidak
diperbolehkanmya seorang membaca kitab Taurat dan Injil yang saat ini
telah berubah jauh dari aslinya dan memuat kebatilan yang bersumber dari
tangantangan manusia.
Secara lebih rinci, dalam masalah ini
sesungguhnya ada dalil lain yang secara lahiriah menunjukkan bolehnya
membaca Taurat dan Injil. Tentu saja sepintas dalil tersebut bertolak
belakang dengan hadits Jabir. Oleh karena itu, ada baiknya kita
ketengahkan dua kelompok dalil tersebut kemudian kita melihat cara
mengompromikannya, wa billahit taufiq.
Dalil-Dalil yang Secara Lahiriah berisi Larangan Membaca Taurat dan Injil
Dalil pertama adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma tentang kisah Umar radhiallahu ‘anhu yang telah kita jelaskan takhrij haditsnya.
Dalil kedua,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ
التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ
لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَا تُصِدِّقُوا أَهْلَ
الْكِتَابَ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا
أُنْزِلَ الْآيَةُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma beliau
berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan
mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka jangan pula kalian dustakan namun katakanlah (seperti dalam ayat):
Katakanlah (hai orang-orang mukmin),
‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa
yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, dan anak
cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidakmembeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’ (al-Baqarah: 136)”
Hadits ini sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui jalan Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. (Fathul Bari 5/291 dan 8/170) Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (10/163).
Dalil ketiga,
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، كَيْفَ
تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى
نَبِيِّهِ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ باِللهِ تَقْرَءُونَهُ لَمْ يشب وَقَدْ
حَدَّثَكُمُ اللهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللهُ
وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ، فَقَالُوا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ،
لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا؛ أَفَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ
مِنَ الْعِلْم عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ وَلاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ
رَجُلًا قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau
berkata, “Wahai sekalian kaum muslimin, mengapa kalian bertanya kepada
Ahlul Kitab sementara Kitab kalian (al-Qur’an) yang Allah turunkan
kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
kitab yang terbaru (terakhir turun) dari sisi Allah, dan kalian
membacanya, bukankah Allah telah mengabarkan bahwa Ahlul Kitab telah
mengubahrubah syariat yang Allah wajibkan atas mereka, dan mereka ubah
kitab Allah dengan tangan-tangan mereka kemudian mereka berkata (seperti
yang Allah ‘azza wa jalla kabarkan). Apakah tidak ada
ilmu yang datang kepada kalian yang melarang kalian dari bertanya-tanya
kepada Ahlul Kitab? Tidak! Demi Allah, aku tidak pernah melihat salah
satu dari mereka (Ahlul Kitab) bertanya kepada kalian tentang al-Qur’an!
(Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka? –pen)
Atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ini diriwayatkan al-Bukhari (Fathul Bari 5/291), dari guru beliau Yahya bin Bukair, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayan al-‘Ilm (2/41).
Dalil keempat,
لَا تَسْأَلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوكُمْ وَقَدْ ضَلُّوا
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata, “Jangan kalian bertanya kepada Ahlul Kitab karena
mereka tidak akan membimbing kalian bahkan mereka telah sesat.”
Atsar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayan al-Ilm (2/41).
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani, “Diriwayatkan oleh Abdur Razaq melalui
jalan Huraits bin Dhahir, dan diriwayatkan pula oleh Sufyan ats-Tsauri
melalui jalan ini dan sanad haditsnya hasan.” (Fathul Bari 6/334)
Atsar Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ini sebenarnya diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun yang benar riwayatnya mauquf, Allahu a’lam.
Dalil-Dalil yang Secara Lahiriah Menunjukkan Bolehnya Membaca Taurat dan Injil
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya
telah datang kebenaran kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.” (Yunus: 94)
Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu
bukan seorang yang dijadikan Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah
menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu
al-Kitab.” (ar-Ra’d: 43)
عَنْ
أَبِي كَبْشَةَ السَّلُولِي، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَال: قَالَ
رَسُولُ اللهِ : بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آَيَةً، وَحَدِّثُوا عَن بَنِي
إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dari Abu Kabsyah as-Saluli dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikan dariku walaupun satu ayat, sampaikan berita dari Bani Israil, tidak mengapa. Barang siapa berdusta atasku dengan sengaja, hendaknya dia menempatkan dirinya dalam neraka.” (HR. at-Tirmidzi, beliau katakan, “Hadits hasan sahih.”)
عَنْ
عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: لَقِيتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرِو بْنَ
الْعَاصِ قُلْتُ: أَخْبِرْنِي عَنْ صِفَةِ رَسُولِ اللهِ فِي التَّوْرَاةِ.
قَالَ: أَجَلْ، وَاللهِ، إِنَّهُ لَمَوصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ
صِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ
شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا، وَحِرْزًا لِلْأُمِّيِّيْنَ، أَنْتَ
عَبْدِي وَرَسُولِي، سَمَّيْتُكَ الْمُتَوَكِّلَ، لَيْسَ بِفَظٍّ وَلَا
غَلِيظٍ وَلاَ صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَدْفَعُ بِالسَّيِّئَةِ
السَّيِّئَةَ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ، وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى
يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا: لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَأَذَانًا صُمًّا
وَقُلُوبًا غُلْفًا.
Dari Atha’ bin Yasar, Aku bertemu dengan Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhuma, aku bertanya, “Kabarkan kepadaku tentang sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Taurat.”
Kata Abdullah bin Amr, “Baiklah, demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut
sifatnya dalam at-Taurat dengan sebagian sifat yang telah tersebut
dalam al-Qur’an, ‘Wahai nabi, sesungguhnya kami utus engkau sebagai
saksi, pemberi kabar gembira, dan peringatan.’ (al- Ahzab: 45)
‘Juga sebagai pelindung bagi kaum
yang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Aku beri nama engkau
al-Mutawakkil, bukan seorang yang keras dan kasar, tidak pula berkata
kotor di pasar-pasar, tidak membalas kejelekan dengan kejelekan tetapi
memaafkan, dan Allah ‘azza wa jalla tidak mewafatkannya hingga Allah ‘azza wa jalla tegakkan dengan beliau agama dan manusia mengucapkan kalimat: Laa ilaahailallah… dengan diutusnya ia, Allah ‘azza wa jalla bukakan mata-mata yang buta, telinga telinga yang tuli dan hati-hati yang terkunci…’.”
Atsar ini diriwayatkan al-Bukhari di dua tempat dalam Shahih-nya, pertama dalam Kitab al-Buyu’ (Perdagangan) Bab “Dibencinya Sakhab/Membuat Kegaduhan/Berteriak dalam Pasar”; kedua dalam kitab at-Tafsir no. 4838 no. 2125. Lihat Fathul Bari (4/343), beliau keluarkan pula dalam al-Adabul Mufrad. Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/174 no. 6622).
Bagaimana Memahami Dalil-Dalil yang Sepertinya Berlawanan?
Dalil-dalil di atas secara lahiriah
mengandung kontradiksi, walaupun pada hakikatnya tidak. Sebagian dalil
menunjukkan dilarangnya membaca, mendengar berita-berita dari Bani
Israil, dan apa yang ada dalam kitab mereka; sementara dalil-dalil
lainnya secara lahiriah menunjukkan boleh.
Sebaik-baik jalan dalam memahami
dalil-dalil di atas adalah menjamak (menggabungkan) semua dalil yang ada
sehingga dengan demikian akan terkumpullah semua dalil.
Hukum membaca kitab yang ada pada ahlul
kitab sangat tergantung dengan tiga perkara: kondisi sang pembaca,
maksud dan tujuan sang pembaca, serta jenis berita yang ada pada ahlul
kitab.
Ditinjau dari keadaan orang yang
membaca, hukumnya berbeda antara orang yang memiliki ilmu yang kokoh dan
orang yang jahil atau penuntut ilmu biasa.
Orang-orang yang rasikh (kokoh)
dalam ilmunya, sangat mendalam dalam ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah,
serta mengerti syubhat (kerancuan) yang ada pada ahlul kitab; golongan
inilah yang dikatakan boleh bagi mereka untuk menelaah Taurat dan Injil
dari tinjauan pembacanya. Itu pun masih harus melihat tujuan dari dia
membaca. Adapun mereka yang tidak tergolong sebagai ulama tidak
diperbolehkan untuk membaca Taurat dan Injil.
Adapun ditinjau dari maksud atau tujuan
membaca Taurat dan Injil, bagi mereka yang membacanya dengan tujuan
mengagungkan apa yang ada dalam Taurat dan Injil (padahal di dalamnya
mengandung kebatilan yang disisipkan manusia), atau hanya sekadar
mengisi waktu sehingga menyibukkannya dari mempelajari al-Kitab dan
as-Sunnah yang seperti ini haram atasnya membaca Taurat dan Injil.
Adapun mereka yang membaca dari kalangan
ulama dengan maksud mengetahui kebatilan yang ada dalam kitab Taurat
dan Injil yang telah diubah, memberikan peringatan kepada manusia dari
kebatilan yang ada di dalamnya, atau untuk membantah Ahlul Kitab dalam
rangka mendakwahi mereka untuk beriman kepada al-Qur’an, maka yang
seperti ini diperbolehkan insya Allah, sebagaimana dilakukan sebagian
ulama Islam seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lainnya.
Adapun dari sisi berita yang ada pada ahlul kitab, sesungguhnya berita Ahlul Kitab ada tiga jenis.
- Berita yang boleh dibenarkan dan boleh diriwayatkan, yaitu berita-berita yang ada pada kitab-kitab mereka dan sesuai dengan apa yang ada dalam syariat kita.
- Berita yang haram diriwayatkan kecuali dengan syarat penjelasan kebatilan dan kedustaannya, yaitu apa yang menyelisihi syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ayat-ayat Taurat dan Injil yang berisi pelecehan dan celaan kepada para nabi dan rasul, serta semua berita yang didustakan al-Qur’an.
- Berita yang kita tawaqquf, yaitu berita yang didiamkan oleh syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jenis ketiga ini tidak dibenarkan dan tidak didustakan, boleh diriwayatkan dan disebut, hanya saja tidak untuk diyakini, tetapi sekadar sebagai pelengkap.
Dengan rincian tersebut tidak lagi ada pertentangan antara dalil-dalil dalam masalah ini. Walhamdulillah.
Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Utsaimin tentang Hukum Membaca Injil
Asy-Syaikh Utsaimin ditanya, “Bolehkah seorang muslim menekuni (mempelajari) Injil agar dia bisa mengetahui firman Allah ‘azza wa jalla kepada hamba dan Rasul-Nya Isa alaihis sholatu wassalam?”
Beliau menjawab, “Tidak boleh menekuni
(mempelajari) sesuatu pun dari kitab-kitab yang mendahului al-Qur’an,
berupa Injil atau Taurat atau selain keduanya karena dua sebab:
- Sesungguhnya semua hal yang bermanfaat dalam (kitab-kitab terdahulu) telah Allah ‘azza wa jalla jelaskan dalam al-Qur’anul Karim.
- Sesungguhnya di dalam al-Qur’an telah terdapat perkara yang mencukupi dari semua kitab ini, berdasarkan firman-Nya,
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya.” (Ali ‘Imran: 3)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamual-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (al-Ma’idah: 48)
Karena sesungguhnya semua yang ada dalam
kitab-kitab terdahulu berupa kebaikan pasti ada dalam al-Qur’an. Adapun
perkataan penanya bahwa dia ingin untuk mengetahui firman Allah ‘azza wa jalla kepada hamba dan Rasul-Nya ‘Isa, maka yang bermanfaat bagi kita darinya telah dikisahkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam al-Qur’an sehingga tidak perlu lagi untuk mencari selainnya.
Lebih-lebih Injil yang ada sekarang
telah berubah, dan di antara bukti akan perubahan itu adalah bahwa dia
(sekarang) ada empat Injil yang satu dengan yang lainnya saling
bertentangan, bukan satu Injil sehingga tidak dapat dijadikan sandaran.
Adapun seorang penuntut ilmu yang
memiliki ilmu yang dengannya dia bisa mengetahui yang benar dari
kebatilan, maka tidak ada larangan (baginya) untuk mengetahuinya (Injil)
untuk membantah apa yang terdapat di dalamnya berupa kebatilan dan
untuk menegakkan hujah atas para penganutnya. (Majmu’ al-Fatawa)
Beberapa Faedah Hadits
- Hadits di atas menunjukkan kesempurnaan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu al-Qur’an sebagai kitab terakhir dan Sunnah beliau, semua kebaikan telah ada dalam syariat yang beliau bawa.
- Bantahan sekaligus peringatan kepada mereka yang suka merujuk atau meneaah kitab-kitab ahlul bid’ah dan berpaling dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
- Kewajiban bagi seluruh manusia beriman dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan seandainya Nabi Musa ‘alaihissalam masih hidup beliau harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ahlul kitab tidak beriman (kafir) hingga mau mengikuti Kitab al-Qur’an dan as-Sunnah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seandainya Nabi Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya beliau mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits lain beliau bersabda,
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada
di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun dari umat ini yang telah mendengar
keberadaanku, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mereka meninggal namun
tidak beriman dengan apa yang aku sampaikan dengannya kecuali ia
termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
- Bantahan bagi agama Syiah Rafidhah yang mengatakan adanya kitab baru selain al-Qur’an yang akan diterapkan di akhir zaman. Secara tegas Syi’ah Rafidhah meyakini bahwa Mahdi versi mereka akan berhukum dengan hukum baru bukan hukum Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan kitab yang baru.
Dalam kitab Biharul Anwar—salah satu referensi Rafidhah karya al-Majlisi (52/354) diriwayatkan sebuah berita palsu,
عَنْ
أَبِي بَصِيرٍ قَالَ: قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ: يَقُومُ الْقَّائِمُ بِأَمْرٍ
جَدِيدٍ وَكِتَابٍ جَدِيدٍ وَقَضَاءٍ جَدِيدٍ عَلَى الْعَرَبِ ….
Dari Abu Bashir, telah berkata Abu Ja’far ‘alaihissalam,
“Al-Qaaim (al-Mahdi) akan muncul dengan perkara yang baru, dengan kitab
baru, dan dengan hukum/keputusan yang baru atas orang-orang ‘Arab….” (Biharul Anwar)
Tidak diragukan bahwa keyakinan Syiah seperti ini adalah keyakinan yang kufur. Jangankan Imam Mahdi, Nabi Musa ‘alaihissalam saja seandainya beliau masih hidup harus mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Nabi Isa yang turun di akhir zaman akan menegakkan hukum al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Hadits ini menunjukkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena semua nabi dan rasul harus mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membela beliau.
- Menegaskan salah satu kaidah dalam menerima berita israiliat (berita yang berasal dari ahlul kitab) untuk tawaqquf dalam berita yang tidak ada kejelasan dalam syariat ini kedustaan atau kebenarannya.
Jika seorang dengan mudah menerima
berita kemudian membenarkan atau menyalahkan, bisa jadi dia membenarkan
yang salah atau mendustakan yang benar.
- Hadits ini mengandung perintah agar kita berhati-hati dari teman duduk yang tidak baik, demikian pula dalam memilih bacaan dan referensi-referensi ilmu syariat mengajarkan untuk kita selektif, lebih-lebih di zaman ini.
- Di antara bahaya membaca kitab-kitab terdahulu, Taurat dan Injil: bisa jadi di sana ada kebenaran kemudian kita dustakan atau sebaliknya ada kedustaan lalu kita benarkan, yang demikian itu karena kitab terdahulu telah terjadi banyak perubahan oleh tangan-tangan manusia sebagaimana Allah ‘azza wa jalla
- Peringatan bagi orang-orang yang bermudah-mudah melakukan studi perbandingan agama dengan menelaah kitab-kitab terdahulu yang sudah banyak penyimpangan, padahal dia tidak memiliki bekal ilmu yang cukup.
- Niat yang baik tidak cukup untuk menjadikan suatu amalan menjadi baik. Di samping niat yang baik, harus disertai dengan kesesuaian dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bersumpah dalam menyampaikan ilmu, memberikan fatwa atau nasihat-nasihat penting.
- Amar ma’ruf nahi munkar.
- Marah karena Allah ‘azza wa jalla dalam menyampaikan peringatan.
- Menggabungkan shalawat dan salam untuk selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan shalawat dan salam untuk Nabi Musa ‘alaihissalam.
- Kaidah saddu adz-dzarai’, menutup celah-celah yang bisa mengantarkan kepada kejelekan.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari bahwa ahli kitab terkadang menyampaikan sesuatu yang benar sebagaimana dalam sabda beliau,
فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ
“Mereka mengabarkan kepada kalian berupa kebenaran.”
Jadi, tidak ada persangkaan sama sekali bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak kebenaran yang dibawa oleh ahli kitab, hanya karena beliau melarang Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu
menukil sebagian yang datang dari mereka. Harus dibedakan antara
masalah “menerima kebenaran”, dan masalah “dari siapa ilmu itu diambil
atau dinukil.”
Sejelek apa pun ahlul bid’ah, masih
mungkin ada kebaikan padanya. Namun, apakah kemudian kita duduk
bermajelis dengan mereka untuk mencari kebenaran yang ada pada mereka?
Tentu tidak!
Semua kebaikan telah ada pada Ahlus
Sunnah wal Jamaah, dan kita diperintahkan untuk tidak duduk dengan ahlul
bid’ah karena mafsadahnya lebih besar dari manfaatnya. Sahabat Abdullah
bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
لاَ تُجَالِسْ أَهْلَ الْأَهْوَاءِ فَإِنَّ مُجَالَسَتَهُمْ مُمْرِضَةٌ لِلْقَلْبِ
“Janganlah kalian bermajelis,
bergaul dengan ahli bid’ah (para pengikut hawa nafsu) karena bermajelis
dengan mereka membuat hati berpenyakit.”[2]
وَصَلّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
[1] Sebagaimana telah kita bahas dalam “Kajian Utama” tentang perubahan yang terjadi dalam Taurat dan Injil.
[2] al-Ibanah al-Kubra, karya Ibnu Baththah (2/438 no. 371)

Akibat Mengimani Sebagian Kitab dan Mengingkari Sebagian Lainnya
Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
“Apakah kamu beriman kepada sebagian
al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian di antaramu melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(al-Baqarah: 85)
Makna خِزْيٌ dalam ayat di atas adalah kerendahan dan kenistaan.
Tafsir Ayat
Berikut ini pernyataan Ibnu Katsir tentang tafsir ayat di atas.
Allah berfirman (pada ayat ini)
mengingkari tindakan orang-orang Yahudi Madinah yang hidup di zaman
Rasulullah karena mereka membantu peperangan yang terjadi antara Aus dan
Khazraj. Aus dan Khazraj (orang-orang Anshar) di masa jahiliah adalah
para penyembah berhala dan sering terjadi peperangan di antara mereka.
Beliau juga menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa mereka adalah
pelaku kesyirikan,penyembah berhala, tidak mengenal surga dan neraka,
tidak mengenal hari kebangkitan, kiamat, tidak mengenal al-Kitab, dan
halal-haram. Sementara itu, orang-orang Yahudi Madinah terbagi menjadi
tiga suku, yaitu Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang bersekutu dengan
Khazraj, serta Bani Quraizhah yang bersekutu dengan Aus.
Beliau juga memaparkan riwayat dari
Asbath dari as-Suddi bahwa Bani Quraizhah bersekutu dengan Aus,
sedangkan Bani Nadhir bersekutu dengan Khazraj.
Apabila perang berkecamuk (antara Aus
dan Khazraj), masing-masing pihak (dari kabilah Yahudi) membantu
sekutunya memerangi lawan. Akibatnya,ketika kabilah Yahudi membunuh
lawan, terkadang yang mereka bunuh adalah Yahudi lain yang berpihak
kepada lawan (artinya, mereka membunuh saudara sebangsa). Padahal
tindakan itu diharamkan atas mereka berdasarkan tuntunan agama dan kitab
mereka: mengusir sebagian Yahudi dari kampung halamannya dan merampas
perkakas rumah, perhiasan, serta harta.
Jika peperangan telah berhenti, pihak
yang kalah menebus tawanan. Hal ini berdasarkan hukum yang terdapat di
dalam Taurat. Oleh karena itu, Allah berfirman,
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?”
Berdasarkan bimbingan dan konteks ayat
ini, terdapat celaan terhadap orang Yahudi ketika mereka menjalani apa
yang diperintahkan dalam kitab Taurat yang mereka yakini kebenarannya,
yaitu penentangan terhadap syariat dalam keadaan mereka mengetahui dan
mempersaksikannya.
Asy-Syinqithi rahimahullah
mengatakan bahwa berdasarkan lafadz sebelumnya (dalam ayat ini) tampak
dengan jelas bahwa sebagian perkara yang diimani oleh mereka (Bani
Israil) yang ada dalam al-Kitab adalah penebusan tawanan. Adapun
sebagian perkara yang mereka ingkari adalah pengusiran, pembunuhan, dan
bantu-membantu dalam hal dosa dan permusuhan. (Hal ini tersebut dalam
ayat sebelumnya,
”Dan (ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu
(membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu
sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan
memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. Kemudian kamu (Bani
Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan
darimu dari kampung halamannya, kamu bantu-membantu terhadap mereka
dengan membuat dosa dan permusuhan kepadamu; tetapi jika mereka datang
kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu
(juga) terlarang bagimu.” (al-Baqarah: 84—85, -pen.)
As-Sa’di rahimahullah
mengatakan bahwa beberapa perbuatan yang disebutkan dalam ayat ini
adalah tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup di zaman
(turunnya) wahyu di Madinah (orang-orang Yahudi, -pen.).
Sebelum diutusnya Nabi Muhammad, orang-orang dari suku Aus dan
Khazraj—mereka adalah kaum Anshar—menyekutukan Allah (musyrik). Ketika
berperang, mereka berada di atas kebiasaan jahiliah.
Kemudian turunlah kepada mereka tiga
kelompok dari kelompok Yahudi, yaitu Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan
Bani Qainuqa’. Setiap kelompok Yahudi tersebut mengadakan perjanjian
persahabatan (bersekutu) dengan kelompok penduduk Madinah (suku Aus dan
suku Khazraj, -pen.). Ketika terjadi perang saudara di antara
mereka (Aus dan Khazraj), sebagian Yahudi berpihak kepada sekutunya
melawan (musuhnya) yang juga dibantu oleh pihak Yahudi yang lain (Bani
Quraizhah membantu suku Aus dan Bani Nadhir membantu suku Khazraj, -pen.).
Akhirnya, terjadilah Yahudi membunuh Yahudi. Jika terjadi pengusiran,
mereka pun mengusir pihak lain dari kampung halamannya atau menerima
tebusan sampai perang berhenti. Antara kedua belah pihak terjadi
tawan-menawan. Jika ada orang Yahudi yang tertawan, kedua belah pihak
bersepakat menebusnya, meskipun sebelumnya mereka saling berperang.
Tiga hal di atas (tidak boleh membunuh,
tidak mengusir, dan tidak menawan sesama Yahudi) seluruhnya diwajibkan
atas mereka. Diwajibkan atas mereka untuk tidak menumpahkah darah, tidak
mengusir sebagian yang lain, dan apabila mereka mendapati tawanan,
hendaknya mereka menebusnya.
Dari ketiga hal tersebut hanya satu yang
mereka tunaikan, yaitu yang terakhir (menebus tawanan). Akan tetapi,
dua hal lain mereka ingkari, yaitu dua yang pertama (untuk tidak
membunuh dan tidak mengusir).
Hal ini diingkari oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya,
“Apakah kamu mengimani sebahagian al-Kitab,” yaitu dengan menebus tawanan;
“dan ingkar terhadap sebahagian yang lain,” yaitu dengan membunuh dan mengusir.
Dalam ayat ini terdapat dalil terbesar
bahwa iman menuntut adanya mengerjakan perintah dan menjauhi larangan,
dan bahwa segala hal yang diperintahkan adalah perkara keimanan.
Firman Allah, “Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.”
Kenistaan hidup telah menimpa mereka. Allah ‘azza wa jalla menghinakan mereka dan menguasakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
atas mereka ketika di dunia. Sebagian mereka pun terbunuh, sebagian
mereka tertawan dan sebagian yang lain terusir. Adapun pada hari kiamat
nanti, mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Alasan Mereka Mengimani dan Mengingkari Sebagian Al-Kitab
As-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Pada ayat berikutnya Allah memberitakan tentang sebab
pengingkaran mereka terhadap sebagian al-Kitab dan mengimani
sebagiannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat.” (al-Baqarah: 86)
Mereka (orang Yahudi) mengira bahwa
apabila tidak membantu sekutunya (dalam peperangan), hal itu menjadi
sebuah cacat dan aib bagi mereka. Dengan demikian, mereka lebih memilih
neraka daripada harus menanggung keaiban. Oleh karena itu, Allah
berfirman,
“Maka tidak akan diringankan siksa mereka.” (al-Baqarah: 86)
Siksa itu justru tetap ada dan sangat keras serta sedikit pun mereka tidak pernah mengalami kesenangan (keadaan lega).
“Dan mereka tidak akan ditolong.” (al-Baqarah: 86)
Maksudnya, tidak akan dijauhkan dari keburukan.
Beberapa Faedah Ayat
- Disyariatkan untuk memberi peringatan dan nasihat kepada manusia dengan hal-hal yang dapat menjadi sebab hidayah bagi mereka.
- Umat Islam juga akan menghadapi bahaya berupa kenistaan dalam kehidupan dunia dengan sebab menerapkan sebagian hukum syariat dan meninggalkan sebagian yang lain.
- Kekufuran bagi orang yang memilih sebagian hukum syariat lantas mengamalkan apa yang sesuai dengan hawa nafsunya, kemudian meninggalkan perkara syariat yang tidak cocok dengan hawa nafsunya.
- Kekufuran bagi orang yang tidak menjalankan agama Allah karena berpaling dan tidak perhatian kepadanya.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tanya Jawab Ringkas – Seputar Shalat dan Hukum Karma
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini.
Hukum Karma
Saya mau tanya tentang fatwa adanya hukum karma dalam Islam. Bagaimana menurut Islam sebenarnya?
08522XXXXXXX
Selanjutnya, kita tidak butuh pembahasan filsafat dalam mengait-ngaitkan hukum karma dengan ajaran Islam yang telah sempurna dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Islam mengajarkan bahwa seorang yang mati dengan berpisahnya ruh dari jasad, beralih ke kehidupan alam barzakh (kubur) hingga dibangkitkan kembali di hari kiamat untuk menjalani kehidupan akhirat yang kekal abadi dalam neraka atau surga—rincian hal ini ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah ‘azza wa jalla mengabarkan bahwa musibah yang menimpa manusia di dunia ini adalah akibat dari dosanya sendiri agar dia bertobat dan berbenah diri. Wallahu a’lam.
Keutamaan Shalat Sendiri bagi Wanita dan Cara Membaca Surat Al-Fatihah pada Shalat
Apakah wanita dalam mengerjakan shalat
tarawih lebih utama dengan shalat berjamaah dibandingkan sendiri di
rumah? Bagaimana cara membaca surat al-Fatihah pada shalat berjamaah?
08126XXXXXXX
- Jawaban:
Kaum pria dan wanita tidak wajib
tarawih, hukumnya hanya sunnah. Lebih utama bagi wanita shalat di
rumahnya daripada di masjid. Membaca al-Fatihah wajib bagi makmum, boleh
membacanya sebelum imam, bersamaan dengan imam, maupun setelah imam
secara sirr.
Tidur sebelum Shalat Malam
Apakah ketika ingin shalat malam diharuskan untuk tidur sebelumnya?
08227XXXXXXX
- Jawaban:
Tidak, tetapi sebaiknya tidur dahulu
agar bangun pada akhir malam dengan tubuh yang segar dan siap
bertahajjud dengan khusyuk. Jangan sampai shalat dalam kondisi mengantuk
sehingga tidak khusyuk dan pahala yang diraihnya sedikit atau bahkan
tidak ada, karena pahala shalat itu sesuai kadar kekhusyukan.
Shalat Tahajud setelah Witir dan Wirid yang Dianjurkan
Bolehkah ikut shalat witir berjamaah
setelah tarawih dan kemudian bangun lagi tahajud (tanpa witir)? Apa
wirid yang dianjurkan setiap selesai 2 rakaat tarawih?
08525XXXXXXX
- Jawaban:
- Cukup bagi Anda tarawih dan witir bersama imam, semoga ditulis bagi Anda shalat malam sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits Abu Dzar, “Barang siapa shalat malam (tarawih) bersama imam hingga selesai, ditulis baginya sebagai shalat malam.”
- Tidak ada zikir khusus setiap kali usai dari dua rakaat, tetapi setelah salam dari rakaat terakhir witir yang menutup shalat malam (tahajjud atau tarwih) disunnahkan membaca, “Subhanal Malikil Quddus,” 3X dan yang ketiga dipanjangkan dengan suara keras. Wallahu a’lam.
45
Cara Jamak Qashar Shalat Maghrib dan Isya
Bagaimana cara mengerjakan shalat
maghrib dan isya bagi yang sedang safar? Safar dimulai setelah ashar dan
sampai tujuan kira-kira subuh.
08213XXXXXXX
- Jawaban:
Laksanakan shalat maghrib 3 rakaat
dan isya’ 2 rakaat (qashar) dengan cara dijamak pada waktu maghrib atau
isya, tergantung pada kondisi dan tuntutan maslahat safar Anda.
Saya mau tanya tentang fatwa adanya hukum karma dalam Islam. Bagaimana menurut Islam sebenarnya?
08522XXXXXXX
- Jawaban:
Selanjutnya, kita tidak butuh pembahasan filsafat dalam mengait-ngaitkan hukum karma dengan ajaran Islam yang telah sempurna dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Islam mengajarkan bahwa seorang yang mati dengan berpisahnya ruh dari jasad, beralih ke kehidupan alam barzakh (kubur) hingga dibangkitkan kembali di hari kiamat untuk menjalani kehidupan akhirat yang kekal abadi dalam neraka atau surga—rincian hal ini ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah ‘azza wa jalla mengabarkan bahwa musibah yang menimpa manusia di dunia ini adalah akibat dari dosanya sendiri agar dia bertobat dan berbenah diri. Wallahu a’lam.
Kirim SMS Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Tanya Jawab Ringkas – Seputar Pernikahan
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini.
Mahram
Apakah istri dari kakak angkat adalah mahram?
082XXXXXXXXX
- Jawaban:
Istri kakak angkat bukan mahram. Begitu pula istri kakak nasab, bukan mahram.
Istri yang Tidak Bisa Mencintai Suami
Apakah seorang istri yang tidak bisa mencintai suaminya lagi termasuk istri yang durhaka?
0853XXXXXXXX
- Jawaban:
Cinta suami adalah masalah kalbu
(hati) yang di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya. Dengan
demikian, istri yang tidak bisa mencintai suaminya tidak tercela dan
durhaka. Akan tetapi, jika hal itu menyeretnya berbuat nusyuz, yaitu
durhaka kepada suami dengan tidak memberi hak suami yang wajib, itulah
yang tercela. Oleh karena itu, istri yang tidak mencintai suaminya dan
tidak mampu bersabar bersamanya lantas khawatir hal itu akan
menjadikannya berbuat nusyuz, boleh minta khulu’. Namun, jika suaminya
menyayanginya dan dia sendiri mampu bersabar, lebih baik tetap
bersamanya.
Nikah Siri, Wali Hakim
Apakah seorang wanita boleh nikah siri dengan wali hakim meskipun ayahnya masih ada?
08965XXXXXXX
- Jawaban:
Tidak boleh, kecuali dengan alasan yang syar’i yang menjadikan gugur perwalian sang ayah.
Harta Gonogini
Saya menikah dengan istri (janda) yang
tidak membawa harta apa-apa. Kami berjuang keras sampai bisa memiliki
rumah. Jadi, harta kami harta gono gini. Bagaimana cara pembagiannya?
08574XXXXXXX
- Jawaban:
Jika demikian, persentase pembagian harta antara Anda dengan istri Anda sesuai kesepakatan kalian berdua saat bekerja.
Status Nikah Pasca Cerai
Saya baru menikah beberapa bulan. Saya
menjalani poligami sebagai istri ke-2 dan sedang hamil. Sebelumnya, saya
berstatus janda yang ditalak 1 selama 3 tahun. Saat masa iddah, saya
tidak dinafkahi dan menggantung status saya selama 3 tahun. Pada saya
pribadi, mantan mengatakan sudah tak ada minat untuk kembali lagi dalam 3
waktu:
- ketika belum cerai, saya minta tolong jangan dicerai,
- Ketika masa idah, saya minta dirujuk, dan
- setelah setahun cerai, saya minta dinikahi lagi.
Bagaimana status pernikahan saya yang sekarang dengan status cerainya demikian? Bagaimana status anak yang saya kandung?
- Jawaban:
Kami simpulkan bahwa Anda ditalak 1
oleh mantan suami dan telah berlalu 3 tahun tanpa dirujuk, lantas
menikah dengan suami baru sebagai istri kedua dan sedang hamil. Ini
sebatas pertanyaan dalam SMS yang sampai kepada kami. Kami katakan bahwa
pernikahan Anda yang sekarang sebagai istri kedua sah dan bayi yang
Anda kandung sah sebagai anak kalian berdua; karena Anda menikah setelah
keluar dari masa iddah. Masa iddah Anda dari talak tersebut telah habis
dengan melewati haid 3 kali. Adapun dia tidak merujuk Anda pada masa
iddah, itu haknya. Adapun dia tidak menafkahi, itu kezaliman. Wallahu
a’lam.
Kirim SMS Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Tanya Jawab Ringkas – Seputar Puasa dan Hari Raya
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini.
Hari Berpuasa
“Hari berpuasa adalah hari ketika
kalian semua berpuasa (bersama pemerintah), hari Idul Fitri adalah hari
ketika kalian semua beridul fitri (bersama pemerintah), dan hari Idul
Adha adalah hari ketika kalian semua ber-Idul Adha (bersama
pemerintah).” (HR. at-Tirmidzi 697)
Apakah hadits ini sahih? Siapa yang dimaksud pemerintah?
08562XXXXXXX
- Jawaban:
Ya, hadits tersebut sahih dan
merupakan dalil yang menguatkan berpuasa dan berhari raya bersama
pemerintah, sebagaimana telah kami terangkan pada buku kami Fikih Puasa
Lengkap.
Pemerintah yang berijtihad
menetapkan masuk-keluarnya Ramadhan serta hari raya berdasarkan ru’yah
hilal atau menggenapkan bulan menjadi 30 tatkala hilal tidak terlihat.
Alhamdulillah, pemerintah kita termasuk dalam jenis ini.
Sirine Tanda Berbuka Puasa
Di sebagian tempat, tanda ifthar
biasanya dengan sirine atau dentuman meriam, apakah tanda ini dihukumi
seperti azan maghrib sehingga kita boleh berbuka?
08180XXXXXXX
- Jawaban:
Jika tanda itu bertepatan dengan
terbenamnya matahari yang diketahui secara yakin atau dengan dugaan kuat
berdasarkan jadwal jam buka puasa hasil ijtihad ahli hisab, boleh
berbuka saat itu.
Berbuka dengan Yang Manis
Apakah ada dalil tentang saat berbuka puasa harus dengan makanan yang manis terlebih dahulu?
08527XXXXXXX
- Jawaban:
Tidak ada dalil yang mengharuskan
(mewajibkan) hal itu, tetapi ada dalil yang menganjurkan berbuka dengan
kurma segar; jika tidak ada, dengan kurma kering; jika tidak ada, dengan
air. Hukumnya hanya sunnah sebagaimana kata jumhur ulama.
Puasa Ikut Pemerintah, Id Ikut Muhamadiyah
Bolehkah puasa ikut pemerintah, tetapi
shalat id ikut Muhamadiyah di lapangan (mendahului pemerintah)? Karena
jika ikut pemerintah shalat Idnya dilaksanakan di masjid yang merupakan
perbuatan bid’ah.
08585XXXXXXX
- Jawaban:
Yang benar adalah puasa dan ‘Id
bersama pemerintah walaupun pemerintah shalat ‘Id di masjid. Shalat ‘Id
di masjid tidak mutlak bid’ah. Menurut guru kami yang mulia, al-Imam
Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah, “Shalat ‘Id di
masjid padahal ada mushalla (tanah lapang) menyelisihi sunnah. Adapun
berkeyakinan shalat ‘Id di masjid lebih utama, itu adalah bid’ah.”
Namun, shalat ‘Id bersama Muhammadiyah berarti bergabung shalat dengan
hizbiyun yang membangun amalannya berdasarkan bid’ah hisab dan mengajak
kaum muslimin untuk keluar dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—yakni bahwa penetapan puasa dan ‘Id adalah wewenang pemerintah, bukan pribadi dan golongan.
Sunnah Puasa Syawal
Apakah disunnahkan puasa pada hari kedua setelah idul fitri?
08528XXXXXXX
- Jawaban:
Yang disunnahkan adalah puasa 6 hari
pada bulan Syawal mulai tanggal 2 Syawal hingga akhir Syawal, terserah
dimulai puasa pada hari ke berapa.
Wanita Hamil Berpuasa
Apa boleh wanita hamil (dua bulan kehamilan) berpuasa?
08532XXXXXXX
- Jawaban:
Wanita hamil wajib berpuasa, kecuali
jika kondisinya lemah sehingga puasa berat baginya dan ia
mengkhawatirkan dirinya atau risiko pada janin; boleh berbuka dan wajib
mengqadha di luar bulan Ramadhan.
Mencium Parfum Saat Berpuasa
Apa hukumnya mencium parfum saat berpuasa?
08234XXXXXXX
- Jawaban:
Boleh mencium dan mengenakan parfum
saat puasa, karena tidak ada zat berwujud yang dihirup melalui hidung,
tetapi hanya sebatas bau harum. Untuk lebih lengkapnya, silakan membaca
buku kami “Fikih Puasa Lengkap”.
Jualan Kue Saat Ramadhan
Bagaimana jika kita berjualan kue basah
pada pagi hari bulan Ramadhan dengan keliling rumah warga, apakah
termasuk perbuatan ta’awun dalam perbuatan dosa?
08775XXXXXXX
- Jawaban:
Insya Allah tidak mengapa, kecuali
jika Anda mengetahui atau menduga kuat (tanpa bertanya kepada yang
bersangkutan) bahwa keluarga atau orang itu tidak berpuasa tanpa uzur,
maka tidak boleh menjual kepadanya.
Kafarat Jima’
Apa kafarat jima’ saat berpuasa pada bulan Ramadhan?
08572XXXXXXX
- Jawaban:
Kafaratnya adalah berpuasa dua bulan
berturut-turut. Jika tidak mampu, memberi makan 60 fakir miskin dengan
makanan pokok (beras) mentah atau yang sudah dimasak seukuran yang
mengenyangkan sekali makan.
Kirim SMS Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Golongan yang Menyimpang dalam Iman Kepada Kitab
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
Iblis tidak pernah menghentikan makarnya, menyesatkan manusia dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Segala upaya dia lakukan agar manusia berpaling dari agama Allah ‘azza wa jalla, berpaling dari kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla.
Terjatuhlah manusia dalam kesesatan. Sungguh, tidak sedikit manusia mendustakan firman Allah ‘azza wa jalla
secara keseluruhan atau parsial, bukan hanya dari kalangan non-Islam,
kelompok-kelompok yang menisbatkan dirinya kepada Islam pun banyak di
antara mereka terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan dalam masalah
iman kepada kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla.
Ahlul Kitab, Yahudi, dan Nasrani
Mereka adalah kaum yang mendustakan kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla
yang ada di tengah mereka. Taurat dan Injil mereka ubah, mereka
tambahi, mereka kurangi dan mereka sembunyikan al-haq atau mereka campur
antara yang haq dan yang batil.
Demikian perlakuan ahlul kitab terhadap
Taurat dan Injil sebagaimana telah kita baca ayat-ayat al-Qur’an yang
mengabarkan sifat mereka yang sangat tercela, menodai kehormatan Taurat
dan Injil dengan mengubah keduanya.
Adapun terhadap al-Qur’an, mereka mendustakannya walaupun sesungguhnya mereka dalam keadaan yakin akan kebenaran a-Qur’an.
Dahulu, sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ahlu kitab selalu menyebut-nyebut kedatangan rasul yang terakhir,
bahkan mereka mengatakan itu di hadapan Aus dan Khazraj. Namun, setelah datang kepada mereka al-Qur’an, mereka kafir sebagaimana Allah ‘azza wa jalla kabarkan dalam firman-Nya,
“Dan setelah datang kepada mereka al-Qur’an dari Allah ‘azza wa jalla yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa
memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang
yangingkar itu.” (al-Baqarah: 89)
Tarekat Tijaniyyah
Tijaniyyah adalah salah satu tarekat
sufi yang dinisbatkan kepada pendirinya; Ahmad al-Tijani yang dilahirkan
tahun 1150 H (1737 M) di salah satu perkampungan di Aljazair. Tarekat
Tijaniyyah sebagai salah satu dari ratusan tarekat sufi sesungguhnya
memiliki penyimpangan baik dalam masalah, akidah, ibadah, maupun
muamalah. Di antaranya penyimpangan dalam keyakinan mereka terhadap
al-Qur’an.
Tijaniyah meyakini bahwa di antara
zikir-zikir atau wirid-wirid mereka lebih utama dari al-Qur’an.
Tijaniyah memiliki shalawat khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka sebut sebagai shalawat Fatih.
Shalawat Fatih cukup populer pula diamalkan di sebagian kalangan di tanah air. Lafadz shalawat ini adalah sbb:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ
لِمَا سَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلى صِرَاطِك
الْمُسْتَقِيْم وَعَلى الِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat, keselamatan, dan keberkahan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang membuka segala sesuatu yang tertutup, yang menutup sesuatu yang
terdahulu, yang menolong kebenaran dengan kebenaran, yang memberikan
petunjuk pada jalan-Mu yang lurus. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan rahmat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya dengan kekuasaan dan ukuran Allah Yang Mahaagung
Sang pendiri, Ahmad at-Tijani berkata, “Barang siapa membaca shalawat Fatih sekali lebih afdal daripada mengkhatamkan al-Qur’an 6.000 kali.”
Dengan nama Allah, adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan shalawat ini? Dari mana kalian mengetahui shalawat bid’ah
ini memiliki keutamaan seperti seorang khatam al-Qur’an 6.000 kali?
Ucapan at-Tijani tidak lain adalah kedustaan, mensyariatkan apa yang
tidak rasul syariatkan.
Coba bandingkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah mengabarkan bahwa surat al-Ikhlas setara dengan sepertiga al-Qur’an. Beliau bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Demi Dzat Yang Jiwaku di Tangan-Nya, sungguh surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu no. 5014)
Surat al-Ikhlas adalah kalam Allah ‘azza wa jalla, dan dalam hadits di atas beliau bersumpah bahwa al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Qur’an.
Bandingkan sabda Rasulullah dengan
ucapan mereka bahwa shalawat Fatih senilai dengan 6.000 khatam
al-Qur’an. Luar biasa! Betapa “hebat” sang pendiri tarekat! Dengan mudah
membuat kalimat-kalimat yang lebih besar pahalanya dibanding surat
al-Ikhlas yang merupakan kalam Allah ‘azza wa jalla, yang nabi saja tidak mengucapkannya dan tidak diamalkan para sahabat nabi.
Betapa beraninya Ahmad at-Tijani berbicara perkara gaib, berbicara tentang pahala di sisi Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu dan sandaran.
Demikianlah ketika seorang sudah
berkeyakinan adanya bid’ah hasanah, setiap orang bebas membuat dan
berkreasi dalam syariat ini semaunya yang penting baik menurut akalnya,
otaknya, kelompoknya, akibatnya: Islam akan berubah! Allahul musta’an.
Kaum Sufi Ekstrem
Orang-orang sufi ekstrem adalah model kesekian dari manusia-manusia yang mengingkari kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla. Sisi penyimpangan mereka, mereka mengaku memiliki ilmu yang dikatakan dengan “ilmu Laduni”.
Ilmu Laduni di kalangan sufi adalah
sumber syariat. Ilmu Laduni menurut mereka adalah wahyu yang mereka
dapatkan langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Dengan dalih ilmu laduni itulah kaum sufi dengan seenaknya membuat syariat, dan mereka sandarkan kepada Allah ‘azza wa jalla, yakni mereka menerima langsung dari Allah ‘azza wa jalla.
Sungguh para sahabat, bersepakat bahwa wahyu Allah ‘azza wa jalla telah terputus dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahyu terputus dan Islam telah sempurna.
Kaum sufi ekstrem tidak menjadikan
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya sumber pengambilan ilmu,
sumber akidah. Mereka juga menjadikan ilmu Laduni sebagai sumber
syariat, demikian pula mimpi-mimpi. Bahkan, menurut mereka seorang bisa
bebas dari ikatan syariat, tidak lagi terikat dengan al-Kitab dan
as-Sunnah.
Syiah Rafidhah
Penyimpangan Syiah Rafidhah dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
demikian banyak, sehingga siapa saja yang mau melihat penyimpangan
Syiah Rafidhah dengan timbangan al-Qur’an dan as-Sunnah akan tampak
dengan terang bahwa mereka bukanlah bagian dari kaum muslimin.
Ya, Syiah Rafidhah pada hakikatnya adalah agama tersendiri yang dibangun di atas kekufuran kepada Allah ‘azza wa jalla.
Mereka telah menghancurkan segala sendi-sendi Islam termasuk dalam
masalah iman kepada kitab, mereka telah menyimpang dari jalan kaum
muslimin.
Di antara penyimpangan tersebut: Mereka
meyakini bahwa al-Qur’an yang berada di tengah kaum muslimin, yang
dibaca dan dihafalkan selama ini, bukan al-Qur’an yang Allah ‘azza wa jalla turunkan, tidak sesuai dengan aslinya dan telah diubah oleh para sahabat.
Al-Qur’an yang sesungguhnya akan
dikeluarkan nanti di akhir zaman, dan saat ini dibawa Imam Mahdi mereka
yang bersembunyi di dalam Sirdab Samura’.
Dengan lancangnya mereka meyakini bahwa
para sahabat telah mengubah al-Qur’an. Al-Qur’an yang ada sekarang ini
bukan lagi wahyu Allah ‘azza wa jalla yang diturunkan, namun
ayat-ayat yang telah didustakan, ditambah dan dikurangi. Di sisi mereka
al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai hujah dan pegangan, al-Qur’an
bukan lagi kitab hidayah, mereka pun dengan seenaknya mempermainkan
al-Qur’an.
Menurut mereka, al-Qur’an yang benar adalah al-Qur’an Fathimah yang disimpan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
padahal sahabat Ali sendiri tidak pernah mengatakan beliau
menyimpannya. Keyakinan ini bukan sekadar tuduhan kepada Syiah Rafidhah.
Namun keyakinan ini tertulis jelas dalam kitab-kitab induk syiah
Rafidhah.
Dalam kitab al-Kafi, Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan bahwasanya Abu Abdullah Ja’far ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.” (al-Kafi [2/634])
Dari Abu Abdillah ia berkata, “…
Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka
tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf
Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari
apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya
satu huruf pun dari al-Qur’an kalian…’.” ( al-Kafi [1/239—240] dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal-Qur’an, hlm. 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Bahkan orang yang mereka anggap sebagai
ahli hadits, Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi
menyempurnakan kekafiran kaum syiah Rafidhah dengan menulis sebuah kitab
berjudul Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab.
Kitab yang dikarangnya pada tahun 1292 H mengumpulkan sekian banyak
riwayat dari para imam mereka yang maksum (menurut mereka), yang
menetapkan bahwa al-Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan
penyimpangan.
Betapa kafir dan dungunya mereka,
sungguh seorang yang masih memiliki sedikit akal, akan menyimpulkan
bahwa apa yang mereka ucapkan ini sesungguhnya justru celaan dan tikaman
kepada Ali bin Abi Thalib, ahlul bait, dan bahkan celaan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Celaan kepada Ali karena secara langsung
atau tidak langsung mereka telah menuduh Ali telah berkhianat kepada
umat dengan menyembunyikan al-Qur’an yang benar.
Wahai Syiah Rafidhah, bukankah Ali bin
Abi Thalib ketika itu menjadi khalifah? Kenapa Ali takut kepada manusia
untuk menampakkan al-haq? Demikian pula al-Hasan, al-Husain tidak
menampakkan al-Qur’an yang benar menurut versi kalian?
Kalian juga telah mencela Allah ‘azza wa jalla karena makna ucapan kalian bahwa al- Qur’an yang ada sekarang bukan wahyu yang Allah ‘azza wa jalla turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seakan-akan kalian berkata bahwa Allah berdusta, tidak memenuhi
janjinya untuk menjaga al- Qur’an, lemah tidak bisa menghadapi manusia
yang mengubah-ubah al-Qur’an, dan membiarkan manusia selama 1.435 tahun
dalam kesesatan tidak mengerti kitab mereka. Wahai Syiah Rafidhah,
tidakkah kalian berakal?
Wahai Rafidhah, di mana al-Qur’an
Fathimah yang kalian sangkakan itu? Empat belas abad berlalu
disembunyikan oleh ahlul bait? Bukankah mereka maksum (terbebas dari
dosa) menurut kalian? Apakah menyembunyikan al-Qur’an bukan kesalahan
mereka yang sangat besar? Menyembunyikan al-Qur’an artinya membiarkan
manusia dalam kesesatan, tidak punya pegangan hidup.
Mana Imam Mahdi kalian yang bersembunyi
di Sirdab, apakah ia tidak berani keluar untuk segera menyampaikan
al-Qur’an Fathimah itu setelah berabadabad manusia dalam ketidaktahuan
terhadap kitab Rabb mereka? Bukankah sekarang kalian sudah punya Negara
Iran dengan nuklirnya yang bisa melindungi al-Mahdi kalian? Sungguh, ini
celaan kalian kepada sahabat Ali bin Abi Thalib, al-Hasan, al-Husain,
serta ahlul bait! Bahkan celaan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Mereka, orang-orang Syiah juga tersesat
dalam metode penafsiran al-Qur’an Mereka tafsirkan seenak mereka dengan
penafsiran Bathiniyyah.
Demikian beberapa kelompok yang tersesat dalam masalah iman kepada kitab. Semoga Allah ‘azza wa jalla tampakkan kepada kita yang benar sebagai perkara yang benar dan Allah ‘azza wa jalla beri kita kemampuan untuk mengikutinya, dan semoga Allah ‘azza wa jalla tampakkan kepada kita yang batil sebagai perkara yang batil dan Allah ‘azza wa jalla mudahkan kita meninggalkannya. Amin.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Antara al-Qur’an, Taurat, dan Injil
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
Al-Qur’an di tengah kitab-kitab yang telah Allah ‘azza wa jalla turunkan sebelumnya memiliki banyak keistimewaan.
Al-Qur’an adalah hakim yang akan menilai
kemurnian kitab-kitab sebelumnya, dan memilah antara yang haq dan batil
yang telah disisipkan dalam kitab-kitab tersebut. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah ‘azza wa jalla turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu merekadengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….” (al-Maidah: 48)
Keistimewaan berikutnya, al-Qur’an
adalah kitab yang sempurna, menerangkan segala sesuatu: akidah, ibadah,
muamalah, akhlak, aturan yang terkait dengan individu, keluarga,
masyarakat, atau tatanan kenegaraan.
Sebagaimana al-Qur’an juga bersifat
universal, berlaku untuk jin dan manusia, dari segala ras dan suku
bangsa. Al-Qur’an juga Allah ‘azza wa jalla tetapkan sebagai kitab yang kekal dan menjadi pedoman hingga akhir zaman. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla menjamin penjagaannya dari segala macam perubahan hingga akhir zaman, baik perubahan lafadz maupun makna. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan adz-Dzikra (al-Qur’an) dan Kami pula yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Siapa pun yang adil dari kalangan
non-Islam akan mengakui keotentikan al-Qur’an, suatu kenyataan yang
mengagumkan dan tidak terbayangkan dalam benak-benak manusia.
Sejak zaman diturunkannya al-Qur’an, Allah ‘azza wa jalla telah menyiapkan berbagai bentuk penjagaan hingga saat ini hingga hari kiamat kelak, di saat Allah ‘azza wa jalla
mengizinkan ayat-ayat al-Qur’an terangkat dan tidak lagi tertulis dalam
mushaf, tidak pula tersisa dalam dada, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْرُسُ
الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لَا يُدْرَى مَا
صِيَامٌ وَلَا صَلَاةٌ وَلَا نُسُكٌ وَلَا صَدَقَةٌ، وَلَيُسْرَى عَلَى
كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ
مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ
وَالْعَجُوزُ يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَنَحْنُ نَقُولُهَا
“Islam akan hilang sebagaimana
hilangnya hiasan (bordir) pada baju, ketika itu tidak dikenal lagi
puasa, shalat, haji, dan zakat. Sungguh akan diangkat al-Qur’an di satu
malam hingga tidak tersisa satu ayat pun di muka bumi. Di muka bumi
masih ada sekelompok manusia tua renta, mereka berkata, ‘Kita pernah
dapati nenek moyang kita berada di atas kalimat: Laa ilaa ha illa llah,
kita pun mengatakannya’.”
Hadits ini dikeluarkan Ibnu Majah dalam as-Sunan (2/1344—1345 no. 4049) Kitab al-Fitan (Fitnah-Fitnah) bab “Diangkatnya al-Qur’an dan ilmu.” Dikeluarkan pula oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/473,
545) dari Hudzaifah bin al-Yaman. Al-Hakim berkata, “Hadits ini sahih
menurut syarat Muslim.” Al-Bushiri berkata dalam kitabnya Mishbah az-Zujajah (2/307), “Sanad hadits ini sahih dan rawi-rawinya tsiqat.”[1]
Pada masa turunnya al-Qur’an, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat bersemangat mengajarkan al-Qur’an kepada manusia. Jangankan
kepada para sahabat, kepada orang-orang kafir dan munafik pun Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat menyampaikan risalah Allah ‘azza wa jalla kepada mereka, agar mereka mendapatkan hidayah. Inilah awal fondasi penjagaan al-Qur’an, semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan al-Qur’an dengan pengorbanan harta, jiwa, dan raga.
Di setiap tahunnya, di bulan Ramadhan, Jibril ‘alaihissalam selalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengkhatamkan al-Qur’an yang telah diturunkan kepada beliau.
Di sisi lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk mencurahkan segenap perhatian kepada al-Qur’an seraya mengingatkan janji Allah ‘azza wa jalla
akan pahala besar di sisi-Nya bagi mereka yang mempelajari dan
mengajarkan al-Qur’an. Generasi terbaik umat ini pun segera menyambut
seruan Rasul, siang dan malam mereka mempelajari al-Qur’an,
menghafalkan, mentadabburi maknanya, sekaligus mengamalkannya.
Penjagaan al-Qur’an juga telah tampak di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam bentuk upaya penulisan wahyu yang diturunkan walaupun dengan
media yang sangat sederhana, tulang, kulit, batu tulis, pelepah pohon.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk beberapa sahabat
melaksanakan tugas penulisan wahyu ini, seperti Ubai bin Ka’b, Zaid bin
Tsabit, Abu Darda, Muadz bin Jabal, dan lainnya g.[2]
Penulisan al-Qur’an dilakukan dengan sangat ketat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan upaya agar tidak tercampur antara kalam Allah ‘azza wa jalla dan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا إِلَّا الْقُرْآنَ، فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
“Janganlah kalian menulis apapun dariku. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaknya dia menghapusnya.” (HR . ad-Darimi)
Di masa kekhilafahan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu
dengan ijma’ (kesepakatan) sahabat dilakukanlah penyalinan ayat-ayat
al-Qur’an yang telah tertulis di berbagai media pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
disalin dalam bentuk lembaran-lembaran, dalam keadaan al-Qur’an telah
dihafal oleh para sahabat dalam dada-dada mereka. Dengan upaya ini,
tidak ada satu pun yang tertinggaldari ayat kecuali telah tersalin
dalamlembaran-lembaran tersebut.
Di masa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu,
lembaran-lembaran yang telah dikumpulkan di masa Abu Bakr dibukukan
sebagai mushaf dan dikenal dengan Mushaf Utsmani sebagai kitab induk,
kemudian disebarkan ke seluruh penjuru negeri Islam.
Meskipun telah dibukukan, para sahabat dan para tabi’in terus sibuk mengajarkan al-Qur’an dengan cara Talaqqi dan ‘Ardh (mengambil
al-Qur’an langsung dari lisan-lisan guru) sehingga al-Qur’an
benar-benar dibaca sesuai dengan apa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahu Akbar! Lembaran-lembaran ini tidak cukup menceritakan sebab-sebab yang telah Allah ‘azza wa jalla
mudahkan sebagai bukti janji-Nya untuk menjaga al-Qur’an. Sungguh,
manusia dari masa ke masa hingga saat ini menyaksikan bagaimana
al-Qur’an dihafal jutaan umat Islam, al-Qur’an masih diambil dengan cara
Talaqqi dan Ardh hingga sanad masih bersambung hingga saat ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada satu pun kesalahan kecuali pasti diluruskan, dan tidak ada
satu pun upaya mengubah al-Qur’an kecuali pasti terbongkar makarnya.
Inilah yang menjadikan teolog Kristiani
dan Yahudi merasa geram dan hasad menyaksikan penjagaan al-Qur’an yang
luar biasa, yang itu tidak mereka dapatkan dalam at-Taurat dan Injil.
Wahai Ahlul Kitab, tidakkah kalian berpikir dan bersegera beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan al-Qur’an?
Taurat dan Injil Telah Diubah
Berbeda dengan al-Qur’an, Taurat dan Injil serta kitab-kitab sebelum al-Qur’an, Allah ‘azza wa jalla tidak menjamin keotentikannya. Tidak ada jaminan dari Allah ‘azza wa jalla bahwa Dia akan menjaganya. Allah ‘azza wa jalla bebankan penjagaan itu kepada manusia, sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),
yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka
dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (al-Maidah: 44)
Sudah barang tentu manusia tidak mampu menjaga kitab-kitab Allah ‘azza wa jalla, bahkan Allah ‘azza wa jalla telah kabarkan dalam al-Qur’an bahwa kitab-kitab tersebut telah banyak diubah oleh tangan-tangan manusia.
Mungkin di antara hikmah, ketika Allah ‘azza wa jalla tidak menghendaki Taurat dan Injil sebagai kitab yang terakhir, Allah ‘azza wa jalla tidak menjamin keotentikan keduanya. Berbeda dengan al-Qur’an, karena Allah ‘azza wa jalla tetapkan sebagai kitab pegangan sepanjang zaman, tentu Allah ‘azza wa jalla menjamin kemurniannya hingga akhir zaman.
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin bahwasanya kitab-kitab sebelum al-Qur’an telah mengalami
perubahan-perubahan baik dalam bentuk pengurangan, penambahan,
penyimpangan makna, maupun bentuk perubahan lainnya.
Taurat dan Injil saat ini adalah kitab
yang sudah tidak sesuai dengan aslinya, bukan lagi murni Taurat yang
diturunkan kepada Musa ‘alaihissalam atau Injil yang diturunkan kepada Isa ‘alaihissalam. Telah bercampur di dalamnya antara kebenaran dan kebatilan yang dikerjakan tangan-tangan manusia.
Nash-Nash Al-Qur’an yang Menunjukkan Perubahan Taurat dan Injil
Sejenak kita telaah beberapa dalil
al-Qur’an yang menunjukkan adanya perubahan dan penyimpangan yang
dilakukan oleh ahlul kitab dalam dua kitab suci: Taurat dan Injil. Di
antara firman Allah ‘azza wa jalla yang menunjukkan adanya perubahan tersebut adalah:
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (an-Nisa: 46)
“Celakalah bagi orang-orang yang menuliskan al-Kitab dengan tangan-tangan mereka kemudian mengatakan ini semua dari sisiAllah.” (al-Baqarah: 79)
Dan mereka tidak menghormati Allah ‘azza wa jalla dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata, “Allah ‘azza wa jalla tidak
menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” Katakanlah, “Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan
petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal
telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak
mengetahui (nya)?” Katakanlah, “Allah-lah (yang menurunkannya)”,
kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur’an kepada mereka), biarkanlah
mereka bermain-main dalam kesesatannya. (al-An’am: 91)
“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?” (Ali Imran: 71)
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya,
dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka
kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka
maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Maidah: 13)
Ayat-ayat di atas adalah sebagian dari
al-Qur’an yang membongkar makar Ahlul Kitab terhadap kitab Taurat dan
Injil. Mereka mencampur aduk antara yang haq dan batil, menyembunyikan
al-haq, mengubah-ubah ayat, bahkan mereka membuat-buat ayat dan berdusta
atas nama Allah ‘azza wa jalla lalu mereka katakan ini adalah dari Allah ‘azza wa jalla.
Bahkan dengan berani mereka berusaha menyembunyikan al-haq di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara yang mereka sembunyikan adalah apa yang mereka yakini tentang kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berita tentang kerasulan beliau tertera
dalam kitab terdahulu seperti at-Taurat dan Injil hingga mereka mengenal
nabi yang terakhir sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka
sebagaimana Allah ‘azza wa jalla firmankan,
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad
seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian
di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (al- Baqarah: 146)
Nabi Isa ‘alaihissalam telah mengabarkan diutusnya nabi yang terakhir, dijelaskan nama dan sifat-sifatnya seperti Allah lsebutkan dalam al-Qur’an,
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah ‘azza wa jalla kepadamu,
membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi
kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata,
“Ini adalah sihir yang nyata.” (Shaff: 6)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa di
antara kandungan Taurat dan Injil adalah kabar gembira akan kemunculan
nabi terakhir dan penyebutan sifat-sifatnya. Namun, karena kebencian dan
hasad, mereka sembunyikan berita tersebut. Mereka ubah kitab-kitab
Allah ‘azza wa jalla dengan tangan mereka.
Cukuplah ayat ayat al-Qur’an dan hadits di atas menunjukkan banyaknya perubahan yang terjadi pada Taurat dan Injil.[3]
Bukti-Bukti Lain Perubahan dalam Taurat dan Injil
Selain dalil dari al-Qur’an ada beberapa
bukti lain yang sangat kuat dan tidak bisa dimungkiri akan adanya
perubahan-perubahan yang terjadi dalam Taurat dan Injil. Di antara bukti
tersebut adalah:
Pertama: Naskah-naskah
Taurat dan Injil yang berada di tangan ahli kitab sekarang ini
dipastikan bukan naskah asli, karena tidak tertulis dengan bahasa yang
digunakan Nabi Isa atau Musa ‘alaihima assalam.
Yang ada saat ini adalah bahasa
terjemah. Dan sudah menjadi suatu kemestian bahwa bahasa terjemah akan
mengubah keaslian bahasa kitab tersebut, dan pasti akan terjadi sekian
banyak versi penerjemahan bersama berjalannya waktu dan berkembangnya
bahasa.
Hal ini tidak terjadi dengan al-Qur’an.
Kitab suci al-Qur’an terjaga dengan tetap tertulisnya dalam bahasa asli
diturunkan dengan huruf-hurufnya yaitu bahasa Arab.
Kedua: Injil atau
Taurat yang ada saat ini terdapat dalam keduanya banyak ucapan manusia,
sehingga tidak lagi dapat dipastikan mana yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla.
Ahlul kitab adalah kaum yang gemar menulis dari tangan lalu mereka katakan, “Ini adalah dari sisi Allah ‘azza wa jalla.” Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla kabarkan dalam firman-Nya,
“Celakalah bagi orang-orang yang menuliskan al-Kitab dengan tangan-tangan mereka kemudian mengatakan ini semua dari sisi Allah.” (al-Baqarah: 79)
Ketiga: Tidak ada sanad yang menyambungkan kitab Taurat atau Injil kepada Nabi Musa atau Isa ‘alaihima assalam. Penulisan Taurat dan Injil yang beredar saat ini terputus jauh masanya dengan masa Musa dan Isa ‘alaihima assalam.
At-Taurat ditulis ulang beberapa abad setelah wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam hingga dipastikan tidak bersambung kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.
Demikian pula Injil, injil-injil yang ada tidak disandarkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam. Injil yang ada sekarang bukan hasil pendiktean Nabi Isa ‘alaihissalam
kepada mereka, namun tulisan yang disandarkan kepada setiap penulis
atau pengarangnya, seperti Matius, Markus, Lukas, Yohanes, dan telah
bercampur dengan ucapan-ucapan ahli tafsir dan ahli tarikh mereka.
Asal mulanya jumlah Injil sangat banyak,
puluhan naskah Injil. Kaum Nasrani pun tidak mengambil semua Injil yang
ada. Yang dipilih dan dicetak dalam Bibel hanya empat: Markus, Matius,
Lukas, Yohanes.
Keempat: Banyak perbedaan dan kontradiksi yang terjadi dalam naskah Injil dan Taurat.
Kontradiksi antara satu ayat dan ayat
lain baik dalam Taurat atau Injil adalah bukti jelas bahwa di dalamnya
memang terdapat banyak perubahan. Dalam Injil misalnya, tentang Yesus,
apakah datang membawa kedamaian atau kerusakan? Injil Matius (5:9) dan
Yohanes (3:17) menyebutkan bahwa Yesus menyelamatkan dunia, sementara
dalam Matius (10:34—36) Yesus dikatakan membawa onar, pedang, dan
kekacauan keluarga.
Tentang disalibnya Yesus, terjadi
kontradiksi dalam Injil mengenai saat disalibnya Yesus. Dalam Injil
Markus (15:25) dikatakan Yesus disalib jam sembilan. Sementara itu,
dalam Injil Yohanes (19:14) jam 12 Yesus belum lagi disalib.[4]
Tentang hukum bersunat (khitan) pun terjadi kontradiksi yang luar biasa
Posting Komentar