Langsung ke isi

Surat Pembaca Edisi 101
Donasi Dakwah Muallaf Lauje
Saya sudah membaca majalah Asy-Syariah no. 100 rubrik “Potret”. Bisa minta nomor HP ustadz atau ikhwan yang koordinasi untuk dakwah muallaf Lauje?
085358xxxxxx
Setelah membaca Asy-Syariah no.100/lX/1435H/2014
kisah muallaf suku Lauje, saya ingin berpartisipasi untuk dakwah di
sana dalam bentuk dana. Bagaimana caranya?
085640xxxxxx
Jawaban Redaksi:
Anda yang hendak berpartisipasi untuk kegiatan dakwah kepada suku Lauje bisa mengirimkan dana ke rekening berikut.
- Bank BRI Poso No. Rek. 0072-01-006008-53-0 a.n. Sarmin Paroso
ATAU
- Bank Syariah Mandiri Poso No. Rek. 70-699-3950-8 a.n. Atjo Ishak Andi Mapatoba
Untuk mengetahui informasi dakwah muallaf suku Lauje, silakan menghubungi al-Ustadz Abu Hafsh Umar 081383314075.
Koreksi Arti Hadits
Pada Asy-Syariah vol. IX no.
100 halaman 62, pada arti hadits tertulis, “Rasa malu itu akan
mendatangkan kecuali kebaikan”. Bukankah seharusnya, “Rasa malu itu
tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan”?
082231xxxxxx
Jawaban Redaksi:
Ya, Anda benar. Jazakumullahu khairan atas masukan Anda.
Terjemahan Hadits Kurang
Pada Asy-Syariah vol. IX/No. 100/1435 H/2014 pada halaman 10 pada bagian pojok atas kanan
sepertinya ada lafadz hadits yang kurang.
085290xxxxxx
Jawaban Redaksi:
Lafadz hadits selengkapnya adalah sebagai berikut.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Jazakumullahu khairan atas koreksi Anda.
Permata Salaf Kurang Jelas?
Saya sulit memahami Permata Salaf edisi 100. Siapa imam Ahlus Sunnah dan siapa yang berpaham Asy’ariyah?
085646xxxxxx
Jawaban Redaksi:
Ad-Daraquthni adalah imam pada
masanya. Di hadapan al-Harawi, beliau memuji al-Qadhi Abu Bakr
al-Baqillani, yang memiliki pemahaman Asy’ariyah, dengan menyebutnya sebagai imam kaum muslimin dan pembela agama.
Pujian ad-Daraquthni terhadap
al-Baqillani membuat al-Harawi (dan ayahnya) berguru kepada
al-Baqillani. Akhirnya, al-Harawi mengikuti mazhab Asy’ariyah yang dianut oleh al-Baqillani.
Semoga keterangan ini bisa memperjelas kisah tersebut. Barakallahu fikum.

Syiah Berlumur Darah
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Kebencian Nasrani dan Yahudi
telah mengitari tembok-tembok sejarah Islam. Sebagaimana dinyatakan
al-Qur’an, denyut kebencian ini tak akan pernah berhenti, hingga kita
mau mengikuti agama mereka. Di antara makar mereka, adalah menciptakan
pelbagai agama atau isme-isme baru yang sekilas mirip Islam namun
sejatinya teramat menyimpang. Muaranya jelas, merusak Islam dari dalam
dan memecah barisan muslimin.
Salah satu agama imitasi itu
adalah Syiah Rafidhah. Agama ini sebenarnya tidak berbeda dengan
agama-agama yang muncul belakangan seperti Ahmadiyah, Baha’i, dan
Kristen Ortodoks Syria yang sudah mengglobal atau al-Qiyadah
al-Islamiyah dalam lingkup lokal. Namun, karena sejarahnya yang
tua—sudah muncul di zaman sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak heran jika agama ini telah berakar di sebagian orang dan mempunyai jutaan pengikut.
Syiah sendiri berakar dari
akidah Majusi, agama resmi Kerajaan Persia yang pernah berdiri di
wilayah Iran dan Irak sekarang—yang warga negaranya mayoritas Syiah.
Rafidhah juga berakar dari kepercayaan Yahudi. Jika kebanyakan
agama-agama palsu adalah gabungan Islam dengan Kristen, Syiah Rafidhah
adalah gabungan tiga agama sekaligus yakni: Islam, Yahudi, dan Majusi.
Jadi, dendam Persia dan kebencian Yahudi bahu-membahu melahirkan “musuh
dalam selimut” bernama Syiah ini.
Karena itu, perbedaan-perbedaan
mendasar antara Islam dan Syiah mesti dipahami oleh setiap muslim, agar
kita tidak terbutakan dari kesesatan mereka. Syiah bukanlah mazhab di
dalam Islam tetapi agama yang berdiri sendiri. Masih kurangkah fatwa
sahabat Nabi dan ulama yang menyatakan kekafiran mereka?
Atau lupakah kita dengan sejarah? Siapa dalang di balik terbunuhnya Utsman bin Affan dan Husain bin Ali radhiallahu ‘anhum?
Siapakah yang membantu tentara Nasrani dalam merebut al-Quds? Siapakah
pengkhianat Daulah Bani Abbasiyah, yang memberi kemudahan invasi bangsa
Tartar ke Baghdad hingga menyebabkan runtuhnya daulah tersebut yang
diikuti pembantaian besarbesaran terhadap umat Islam? Siapakah rezim
Suriah dan Iran sekarang yang membantai umat Islam yang minoritas?
Didasari keyakinan bahwa di luar
Syiah Rafidhah adalah kafir; Ahlus Sunnah itu najis sehingga harus
dilenyapkan; harta kaum muslimin dianggap harta rampasan perang; dan
vonis Ahlus Sunnah sebagai penghuni neraka, menyebabkan mereka memenuhi
lembaran sejarah dengan menumpahkan darah kaum muslimin yang tidak
sejalan dengan kesesatan dan penyimpangan mereka.
Keyakinan berdarah-darah Syiah
tak berhenti hingga di sini. Syiah meyakini bahwa saat Imam Mahdi mereka
muncul, yang pertama kali ia lakukan adalah mengeluarkan dua khalifah
Rasul, Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma dari kuburnya lalu
menyiksa keduanya. Imam Mahdi ala mereka juga akan membantai bangsa
Arab dan kaum Quraisy, serta akan menghancurkan Ka’bah dan Masjidil
Haram.
Di panggung media, Syiah seolah
berseberangan politik dengan Yahudi. Bahkan menjadi simbol perlawanan
“Islam” terhadap hegemoni Barat di Timur Tengah. Tak heran jika banyak
yang mengelu-elukan Syiah (baca: Iran) dan tokoh-tokohnya seperti
Khomeini, Ahmadinejad, dan sebagainya. Namun, soal goreng-menggoreng
opini, Yahudi memang jagonya. Demonstrasi besarbesaran dan krisis
politik dalam beberapa tahun terakhir yang berhasil menumbangkan
sejumlah penguasa di Afrika dan Timur Tengah—diistilahkan media sebagai
Arab Spring—tak lepas dari campur tangan dan kolaborasi Yahudi dan
Syiah.
Itulah Syiah, bersenyawa dengan Yahudi, mereka akan terus melukis sejarah dengan tinta darah. Waspadalah!
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Kekayaan dan Kefakiran
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Seandainya Allah ‘azza wa jalla menghendaki, Dia menjadikan kalian semua sebagai orang kaya, tiada seorang fakir pun di antara kalian. Seandainya Allah ‘azza wa jalla menghendaki pula, Dia menjadikan kalian semua sebagai orang fakir, tiada seorang kaya pun di antara kalian. Akan tetapi, Allah ‘azza wa jalla hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain, agar Dia melihat apa yang kalian perbuat. Kemudian Allah ‘azza wa jalla menunjuki para hamba-Nya kepada akhlak yang mulia.
Dia ‘azza wa jalla berfirman,
‘Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung’.” (al-Hasyr: 9)
Beliau rahimahullah juga mengatakan,
“Dahulu kami menganggap bahwa orang yang bakhil di antara kami ialah orang yang meminjamkan dirham kepada saudaranya. Sebab, dahulu kami bermuamalah dengan kebersamaan dan mendahulukan kepentingan orang lain. Demi Allah, sungguh, salah seorang yang pernah aku lihat dan aku bersahabat dengannya, membelah izar (pakaian bagian bawah, semacam sarung, -pent.)nya lantas memberikannya kepada saudaranya….”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 65—66)

Fatwa Seputar Rumah Tangga dan Shalat
Ukuran Nafkah yang Diberikan Kepada Istri
Banyak istri yang membebani suami dengan
sekian banyak tuntutan. Bahkan, terkadang suami harus berutang untuk
memenuhinya. Istri mengira bahwa itu adalah hak mereka. Apakah ini
benar?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
Ini termasuk bentuk pergaulan yang buruk. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman,
“Hendaklah orang yang mampu memberi
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang
Allah berikan kepadanya.” (ath-Thalaq: 7)
Seorang istri tidak boleh meminta nafkah
melebihi kemampuan suami. Tidak boleh pula ia meminta nafkah melebihi
kebiasaan masyarakat setempat, meski suami mampu memenuhinya. Hal ini
berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)
Sebaliknya, tidak boleh enggan memberi
nafkah yang wajib. Sebab, memang ada suami yang tidak mau memberikan
nafkah yang wajib kepada istrinya karena kekikirannya. Dalam keadaan
seperti ini, seorang istri boleh mengambil harta suaminya guna memenuhi
kebutuhannya meski tanpa sepengetahuan suami. Sungguh, Hindun bintu
Utbah pernah mengeluhkan kepelitan Abu Sufyan (suaminya) kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Sufyan tidak memberi nafkah yang mencukupi kebutuhan Hindun dan anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
خُذِي مَا يَكْفِيكِ مِنْ مَالِهِ وَيَكْفِي بَيْتَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dengan cara yang baik dari hartanya seukuran yang mencukupi kebutuhanmu dan rumah tanggamu dengan.”
(Durus wa Fatawa al-Haramil Makki, 4/249; dinukil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah 2/542—543)
Warisan Bagi Istri yang Ditalak
Seorang istri ditalak dan masih dalam masa ‘iddah. Suaminya meninggal. Apakah istri mendapatkan harta warisan?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Jika talaknya adalah talak raj’i dan suami meninggal sebelum istri keluar dari masa iddah, istri mendapatkan warisan sesuai dengan bagiannya menurut syariat.
Akan tetapi, apabila suami meninggal ketika istri sudah keluar dari masa ‘iddah, istri tidak mendapatkan warisan. Demikian pula jika talaknya adalah talak ba’in yang tidak bisa dirujuk, seperti wanita yang ditalak dengan imbalan harta (khulu’, -red.), atau yang ditalak ketiga kalinya, atau yang semisalnya yang menghasilkan talak ba’in; istri tidak mendapatkan warisan dari suami yang menalaknya. Sebab, ketika suami meninggal, statusnya tidak lagi sebagai istri.
Yang dikecualikan adalah seorang istri
yang ditalak oleh suami yang sedang sakit yang mengantarkannya kepada
kematian, dan diduga suami menalak istri tersebut karena ingin
menghalangi istri mendapatkan warisan; istri yang ditalak seperti ini
tetap mendapatkan warisan—meski talaknya adalah talak ba’in—baik suami meninggal saat masa ‘iddah atau
setelahnya, selama istri belum menikah lagi. Ini adalah pendapat yang
lebih tepat di antara dua pendapat ulama karena (kaidah) “memperlakukan
seseorang berlawanan dengan niatnya”.
(Fatawa ad-Da’wah, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, 2/205; dinukil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah, 2/548)
Warisan Bagi Istri yang Belum Digauli
Seorang lelaki meminang seorang gadis
dan telah sempurna akad nikahnya. Sebelum digauli, si lelaki meninggal
dunia. Dia meninggalkan sejumlah harta dalam keadaan tidak memiliki
anak, kerabat, dan ahli waris seorang pun, selain istri tersebut yang
baru dinikahinya. Apakah istri tersebut mendapatkan warisan meski belum
digauli?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
Ya, si istri mendapatkan warisan meski belum digauli. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ‘azza wa jalla,
“Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu.” (an-Nisa: 12)
Dengan semata-mata akad nikah, seorang
perempuan telah menjadi istri. Apabila akad nikah telah sempurna dan
suami meninggal dunia, dia mendapat warisan. Selain itu, dia terkena
hukum ‘iddah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, meski belum digauli. Istri juga berhak mendapatkan mahar secara penuh.
Adapun sisa harta setelah dikurangi
bagian warisan untuk istri diberikan kepada lelaki yang paling dekat
kekerabatannya. Terkait dengan pertanyaan yang diajukan bahwa suami
tidak memiliki ahli waris seorang pun, baik ashabul furudh maupun ‘ashabah,
sisa harta yang lebih dari bagian warisan istri diberikan ke baitul
mal. Sebab, baitul mal menjadi tempat kembali bagi setiap harta yang
tidak berpemilik.
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 28; dinukil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah 2/548—549)
Suami Meninggalkan Istri dalam Jangka Waktu Lama
Al-Qur ’an membatasi waktu seorang suami
pergi meninggalkan istrinya maksimal empat bulan. Akan tetapi, saya
terikat di sini dan tidak mendapatkan izin (pulang) kecuali setelah
setahun atau lebih sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
Ucapan penanya bahwa al-Qur’an membatasi
waktu maksimal seorang suami meninggalkan istrinya adalah empat bulan,
ini pendapat yang salah. Hal ini tidak disebutkan oleh al-Qur’an.
Yang ada dalam al-Qur’an adalah batasan waktu bagi seseorang yang meng-ila’ istrinya—yakni seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya. Allah ‘azza wa jalla membatasinya empat bulan sebagaimana firman-Nya,
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).” (al-Baqarah: 226)
Adapun suami meninggalkan istri dalam
keadaan istri merelakannya, tidak mengapa dia pergi selama empat bulan,
enam bulan, setahun, atau dua tahun, dengan syarat istri tinggal di
negeri yang aman. Jadi, jika istri ditinggalkan di negeri yang aman dan
rela ditinggal oleh suaminya mencari rezeki, tidak mengapa bagi suaminya
meninggalkannya.
Apabila istri ditinggalkan di negeri yang tidak aman, suami tidak boleh safar dan meninggalkan istrinya di sana.
Apabila istri ditinggal di negeri yang
aman, namun istri tidak rela ditinggalkan lebih dari empat bulan atau
enam bulan—sesuai dengan keputusan hakim—, suami tidak boleh
meninggalkan istrinya. Dia wajib bergaul dengan istrinya secara baik.
(Majmu’ah Durus wa Fatawa al-Haramil Makki, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 3/270, lihat pula Fatawa Nur ‘ala ad-Darb hlm. 17 dan Majalah al-Buhuts al-Islamiyah 9/60; dinukil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah 2/549—550)
Hak dan Kewajiban Istri
Apa saja hak dan kewajiban istri?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
Hak istri yang wajib (ditunaikan oleh
suami) dan kewajiban istri (yang harus dia tunaikan terhadap suami)
tidak disebutkan secara tertentu dalam syariat. Hal ini kembali kepada
kebiasaan (masyarakat setempat) berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Jadi, apa yang menurut kebiasaan
setempat adalah hak istri, maka wajib (ditunaikan oleh suami).
Sebaliknya, sesuatu yang tidak dianggap wajib oleh kebiasaan masyarakat
setempat, maka tidak wajib pula (ditunaikan).
Hanya saja, ketika kebiasaan setempat
menyelisihi syariat, maka syariatlah yang diambil. Misalnya, menurut
kebiasaan setempat, seorang suami tidak memerintah keluarganya
mendirikan shalat dan berakhlak yang baik. Ini adalah kebiasaan yang
batil. Adapun kebiasaan masyarakat setempat yang tidak menyelisihi
syariat, Allah ‘azza wa jalla mengembalikan (hukum) kepadanya, sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas.
Para pemegang kekuasaan dalam rumah
tangga wajib bertakwa kepada Allah dalam hal orang-orang yang berada di
bawah kekuasaan mereka, baik laki-laki maupun perempuan, dan memberi
perhatian kepada mereka. Terkadang kita dapati seorang ayah tidak
memerhatikan anak-anaknya, baik yang lelaki maupun yang perempuan. Dia
tidak pernah menanyakan keadaan anaknya, baik yang ada di rumah maupun
yang pergi. Tidak pernah pula ia duduk bercengkerama bersama
anak-anaknya. Terkadang pula seorang ayah tidak berkumpul bersama
anak-anak atau istrinya selama satu-dua bulan. Ini adalah kesalahan yang
besar.
Kami menasihati saudara-saudara kami
agar bersemangat menyatukan kembali (anggota keluarga). Hendaknya
semuanya bisa menghadiri makan siang dan makan malam bersama. Hanya
saja, kaum perempuan dari lelaki yang bukan mahram harus dipisah. Hal
ini telah menjadi kebiasaan yang mungkar dan menyelisihi syariat, mereka
mengumpulkan lelaki dan perempuan yang bukan mahram ketika jamuan
makan.
(Durus wa Fatawa al-Haramil Makki, 3/245, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin; diambil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah, 2/544—545)
Tetap Menaati Suami Meski dengan Wajah Cemberut
Saya seorang istri yang menaati suami
dan tunduk terhadap perintah-perintah Allah. Akan tetapi, aku tidak
menemuinya dengan rasa senang dan wajah berseri-seri. Sebabnya, suami
saya tidak menunaikan hak-hak saya yang wajib dia penuhi dalam hal
pakaian. Aku memboikotnya di tempat tidur. Apakah aku berdosa berbuat
demikian?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjawab:
Allah ‘azza wa jalla mewajibkan pergaulan yang baik antara suami dan istri. Allah ‘azza wa jalla
juga mewajibkan setiap pihak menunaikan hak pasangannya. Dengan
demikian, akan sempurnalah manfaat dan maslahat pernikahan. Suami dan
istri wajib bersabar terhadap kekurangan dan jeleknya pergaulan yang dia
dapati dari pasangannya. Hendaknya ia tetap menunaikan hak pasangannya
kemudian meminta haknya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ini termasuk sebab langgengnya keluarga, tolong-menolong di dalamnya, dan lestarinya rumah tangganya.
Kami menasihati Anda, wahai penanya,
agar bersabar menghadapi kekurangan yang terjadi dari suami Anda. Selain
itu, hendaknya Anda menunaikan sepenuhnya hak-hak suami. Sebab,
sungguh, akhir urusannya akan menjadi baik. Bisa jadi, penunaian
kewajiban istri terhadap suami menjadi sebab dia malu dan sadar.
(al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 3/242—243; diambil dari al-Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah, 2/555)
Menghindari Semua yang Menyibukkan dalam Shalat
Apakah boleh seorang wanita muslimah
shalat sambil memasang kalung di lehernya atau memakai cincin pada
jarinya? Atau dia shalat sementara di hadapannya ada gambar atau cermin?
Berikanlah kami fatwa tentang hal ini, barakallahu fikum.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menjawab:
Wajib bagi setiap muslim untuk menjauh
dari semua yang menyibukkannya dari amalan shalat dan mengganggu
shalatnya. Jadi, tidak sepantasnya dia shalat menghadap cermin,
menghadap pintu yang terbuka, atau hal lainnya yang menyibukkan atau
mengganggu shalatnya.
Demikian pula gambar (makhluk bernyawa),
tidak sepantasnya seseorang shalat di tempat yang ada gambar yang
digantung atau dipajang, karena perbuatan tersebut menyerupai
orang-orang yang beribadah kepada gambar-gambar. Sisi lainnya, apabila
gambar berada di hadapannya tentu akan mengganggu shalatnya dan
menyibukkan pandangannya.
Tentang memasang perhiasan saat shalat,
ini pun termasuk hal yang menyibukkan orang yang shalat. Tidak
sepantasnya dia melakukan pekerjaan yang menyibukkan dari shalatnya. Dia
bisa menunda memakai perhiasan atau lainnya sampai selesai dari
shalatnya.
Akan tetapi, kalau pun dilakukan dan
tidak membutuhkan waktu yang lama serta tidak membutuhkan gerakan yang
banyak, shalatnya sah. Gerakan yang ringan yang tidak memengaruhi
shalat, seperti meluruskan pakaian dan serban, memakai jam tangan, dan
semisalnya. Yang seperti ini tidak apa-apa dilakukan, walaupun
sepantasnya seorang muslim berkonsentrasi dalam shalatnya dan tidak
melakukan apa pun selain amalan shalatnya.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail 1/351)

Janji Surga untuk Perempuan yang Sabar
Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Demikianlah standar kemuliaan di sisi Allah ‘azza wa jalla,
Sang Pencipta manusia, menyelisihi pandangan mayoritas manusia yang
melihat seseorang karena statusnya, kekayaan, kedudukan, dan
keturunannya. Bisa jadi, seseorang yang “berkantong tebal”,
berkedudukan, dari kelas bangsawan, demikian mulia di mata mereka,
walaupun dari sisi agama si orang “mulia” tersebut kosong melompong,
jauh dari kesalehan dan ketakwaan.
Sebaliknya, bisa jadi ada seseorang yang
tidak bernilai di mata mereka, ibarat manusia buangan atau pinggiran,
karena kemiskinannya atau karena fisiknya yang mengundang cela. Padahal
karena takwa yang ada dalam kalbunya sebenarnya berderajat mulia di
langit sana.
Ada satu kisah di masa nubuwwah tentang
seorang perempuan hitam yang mungkin di mata manusia dia tidak
‘berharga’ karena fisiknya dan sakitnya.
Atha bin Abi Rabah rahimahullah berkisah sebagai berikut. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang perempuan yang termasuk penduduk surga?”
“Tentu,” jawabku.
Kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Perempuan yang berkulit hitam itu. Dia pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
mengeluh, ‘Saya menderita kesurupan (ash-shar’), kalau sedang kambuh
tersingkap auratku. Karena itu, doakanlah kepada Allah ‘azza wa jalla agar menyembuhkanku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
memberi pilihan kepadanya, “Apabila mau, engkau bersabar dan ganjaranmu
adalah surga. Namun, apabila engkau tetap ingin sembuh dari sakitmu,
aku akan memohon kepada Allah ‘azza wa jalla untuk menyembuhkanmu.”
Si perempuan menjawab, “Aku pilih
bersabar.” Kemudian dia melanjutkan ucapannya, “Namun, auratku
tersingkap saat kambuh. Karena itu, doakanlah kepada Allah ‘azza wa jalla agar auratku tidak terbuka.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendoakannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Subhanallah! Sebuah pilihan
yang luar biasa, memilih bersabar dalam derita di dunia demi meraih
kebahagiaan di negeri sana. Betapa besarnya keyakinan si perempuan atas
janji yang diberikan,
“Apabila mau, engkau bersabar dan ganjaranmu adalah surga.” Dengan pilihannya untuk bersabar menunjukkan si perempuan termasuk orang yang beroleh syahadah atau dipersaksikan dan diberi kabar gembira oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga.
Terkait dengan hadits di atas, perlulah kita ketahui bahwa syahadah sebagai penghuni surga itu ada dua macam:
- Syahadah ‘ammah atau persaksian yang umum, yaitu orang yang dipersaksikan masuk surga dengan menyebut sifat-sifat mereka.
Siapakah mereka? Mereka adalah semua orang yang beriman dan bertakwa. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang surga,
“(Surga itu) telah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
Jadi, setiap mukmin yang bertakwa dan
beramal saleh kita persaksikan termasuk penduduk surga. Namun, kita
tidak menyebut nama-nama tertentu, “Si A”, atau “Si B”, karena kita
tidak tahu akhir keadaan seseorang ketika menutup umurnya dan kita tidak
tahu apakah batinnya sama dengan lahiriahnya. Karena itu, apabila ada
seorang yang baik meninggal dunia, kita katakan, “Kita berharap dia termasuk penghuni surga.” Adapun memastikan dengan mempersaksikan, “Dia pasti masuk surga,” ini tidak diperbolehkan.
- Syahadah khashah atau persaksian yang khusus, yaitu mereka yang dipersaksikan dengan ta’yin (menyebut namanya).
Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghuni surga dengan menyebut namanya atau menunjuk orangnya, seperti para sahabat yang digelari al-Asyrah al-Mubasysyarina bil Jannah,
yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Said bin Zaid, Sa’d ibnu Abi Waqqash, Abdurrahman bin
Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah Amir ibnul Jarrah, dan
az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhum.
Contoh yang lain, Tsabit bin Qais bin Syammas, Sa’d bin Mu’adz, Abdullah bin Salam, Bilal bin Rabah, dan selain mereka radhiallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memastikan bahwa mereka penghuni surga, maka tanpa ragu kita mengatakan, “Abu Bakr radhiallahu ‘anhu masuk surga”, “Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu masuk surga”, dan seterusnya.
Termasuk pula perempuan hitam yang disebutkan dalam hadits di atas, kita yakin dia pasti termasuk penduduk surga.
Perempuan berkulit hitam mungkin tidak
bernilai dalam pandangan manusia. Apalagi ia memiliki penyakit dan
tersingkap auratnya saat penyakitnya kambuh. Karena itu, dia
menginginkan kesembuhan dengan meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kesembuhannya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sesuatu yang jauh lebih nikmat apabila bisa bersabar, yaitu ‘masuk surga’.
Siapakah yang tidak ingin masuk surga?
Si perempuan hitam itu pun memilih bersabar walau harus menanggung derita di dunia dengan penyakit shar’nya[1].
Demikianlah hadits ini berbicara tentang
seorang wanita yang di mata manusia bisa jadi tidak bernilai, dipandang
hina dan direndahkan, apatah lagi dengan saki rahimahullah yang dideritanya. Namun, ternyata menurut pandangan syariat dia begitu bernilai, karena kuatnya keyakinannya kepada Allah ‘azza wa jalla,
keimanannya akan janji surga dan kesabarannya menanggung derita di
dunia demi sebuah asa yang paling tinggi; masuk surga. Bagaimana dengan
kita? Tentunya kita harus yakin bahwa kesabaran itu pasti berbuah
kebaikan di dunia dan terlebih lagi di akhirat.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
(Faedah dari penjelasan Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah terhadap hadits ini dalam kumpulan hadits pada kitab Riyadhush Shalihin, 1/131—134)
[1] Penyakit ash-shar’ (mengamuk seperti yang dialami orang yang kesurupan atau gila) ada dua macam:
Karena gangguan saraf. Penyakit ini bisa diobati, dengan izin Allah ‘azza wa jalla,
oleh para dokter dengan memberikan obat kepada penderitanya sehingga
bisa menenangkannya atau membuat sakitnya hilang sama sekali.
Karena gangguan jin/setan. Setan merasuki tubuh si penderita sehingga dia kesurupan dan kehilangan kesadarannya.
Untuk macam yang kedua (kesurupan karena
gangguan jin) ini, apabila belum menimpa seseorang, perlu dilakukan
pencegahan; dan apabila sudah telanjur terkena, perlu dilakukan
pengobatan untuk menghilangkannya.
Pencegahan dilakukan
dengan senantiasa mengamalkan wirid-wirid harian: pagi dan petang.
Demikian pula membaca ayat kursi pada malam hari sebelum tidur, karena
siapa yang mengamalkannya niscaya Allah ‘azza wa jalla terus
memberikan penjagaan kepadanya dan setan pun tidak dapat mendekatinya
hingga pagi hari. Termasuk pula membaca surah al-Ikhlash dan
al-Mu`awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas).
Pengobatan dilakukan dengan meruqyah penderita, yaitu membacakan padanya al-Qur’an dan doa-doa yang ma’tsur (ada atsarnya).

Mempersiapkan Masa Depan Anak
Orang tua memang harus memiliki kesadaran bahwa melalui tangannyalah masa depan anak-anak akan terbentuk. Bagaimana kondisi generasi harapan itu, tergantung upaya dan arahan yang sekarang dikerahkan. Karena itulah, kita harus memiliki perhatian dan upaya penuh untuk membekali anak-anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat untuk mereka, di dunia dan di akhirat. Inilah bimbingan yang sarat faedah bagi kita, dari Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah.
Salah satu hal penting yang bermanfaat
bagi agama dan dunia seorang anak adalah penanaman keyakinan yang lurus
dalam diri mereka. Diiringi dorongan untuk berbuat baik dan bergaul
dengan orang-orang yang baik, serta memperingatkan mereka dari perbuatan
dan pergaulan yang buruk. Di samping itu, membiasakan mereka untuk
menegakkan shalat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan perintahkanlah keluargamu untuk
menegakkan shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya. Kami tidaklah
meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberimu rezeki. Dan kesudahan
baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Bersabda pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّ ةَالِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الَمضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian
untuk menegakkan shalat ketika mencapai usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka karena meninggalkan shalat ketika mencapai usia sepuluh tahun,
dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud,
menjelaskan, “Dalam hadits ini, terkandung tiga macam pendidikan adab:
memerintahkan anak-anak untuk menegakkan shalat, memukul mereka jika
meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun, dan memisahkan tempat tidur
mereka.”
Pada tempat yang lain, beliau menerangkan pula, “Seorang anak walaupun belum mukallaf,
namun walinya adalah seorang mukallaf. Seorang wali tidak boleh
membiarkan anaknya melakukan sesuatu yang haram. Sebab, dia nanti akan
terbiasa dan amat sulit memisahkannya dari perbuatan itu. Ini pendapat
yang paling sahih di antara dua pendapat ulama.
Orang yang berpendapat anak-anak tidak haram melakukan perbuatan haram beralasan bahwa mereka itu belum mukallaf sehingga
belum diharamkan bagi mereka (anak laki-laki) mengenakan pakaian sutra
misalnya, sebagaimana halnya hewan boleh melakukan sesuatu yang haram.
Ini adalah kias yang paling rusak! Seorang anak—walaupun belum mukallaf—
dia dipersiapkan untuk menerima beban syariat. Oleh karena itu, tidak
boleh ia dibiarkan shalat tanpa wudhu, shalat tanpa menutup aurat dan
dalam keadaan bernajis, tidak boleh pula minum khamr, berjudi, dan
berbuat homoseks.”
Selanjutnya, beliau menjelaskan pula,
“Tatkala anak telah berumur sepuluh tahun, kekuatan, akal, dan
kemampuannya untuk menunaikan berbagai ibadah semakin bertambah. Karena
itu, pada usia ini dia harus dipukul jika meninggalkan shalat,
sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pukulan ini adalah pukulan untuk mendidik dan melatih si anak.
Pada usia sepuluh tahun ini, anak-anak
juga memiliki kondisi lain, yaitu kemampuannya untuk membedakan yang
benar dan yang salah (tamyiz) ataupun kemampuan pemahamannya
telah semakin kuat. Oleh karena itu, kebanyakan fuqaha berpendapat
wajibnya anak yang seperti ini untuk beriman dan dihukum jika enggan
untuk beriman. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Khaththab
danyang lainnya. Ini adalah pendapat yang sangat kuat. Walaupun anak ini
belum dicatat amalannya dalam perkara-perkara cabang (selain perkara
keimanan, -pen.), sesungguhnya dia telah dianugerahi alat untuk
mengenali Sang Pencipta, mengakui keesaan-Nya, membenarkan
rasul-rasul-Nya, dan mampu memahami hal semisal ini serta mengambil
kesimpulan darinya. Dia juga telah mampu memahami berbagai pengetahuan,
pekerjaan, dan segala sesuatu yang baik dalam kehidupan dunianya. Karena
itulah, tidak ada lagi uzur baginya jika dia kufur kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, sedangkan dalil-dalil tentang keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla ini lebih jelas daripada setiap pengetahuan dan bidang kerja yang dia pelajari.”
Berpijak dengan hal ini, maka keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla
wajib ditanamkan dalam hati anak. Keimanan ini adalah suatu hal yang
paling baik, paling sempurna, dan paling agung pahalanya di sisi Allah ‘azza wa jalla
dari segala hal yang ditanamkan oleh ayah dan ibu dalam hati si anak.
Keimanan ini menjadi pembuka bagi segala kebaikan, fondasi segala
ketaatan dan kebaktian, serta prinsip paling pokok agar dapat
beristiqamah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memberikan penerangan kepada Ibnu ‘Abbas kecil yang kala itu sedangmembonceng di belakang beliau,
يَا
غُلَامُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ
اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ
اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ
يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ
عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.
“Nak, sesungguhnya aku akan
mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Allah ada di hadapanmu.
Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau minta
pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, jikalau
seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, sungguh
mereka tidak akan bisa memberi manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah
Allah tetapkan bagimu. Jika mereka semua berkumpul untuk
membahayakanmu, sungguh mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Telah diangkat
pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir).”
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menjelaskan hadits ini, “Barang siapa menjaga Allah ‘azza wa jalla ketika masa kecil dan di saat kuatnya, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan menjaganya di masa tua dan di saat lemah kekuatannya, dan Allah ‘azza wa jalla akan menganugerahinya pendengaran, penglihatan, kemampuan, kekuatan, dan akalnya.”
Memenuhi hati dengan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla, mewujudkan tauhid kepada- Nya, dan menanamkan itu semua dalam hati anak merupakan salah satu bentuk pengagungan kepada Allah ‘azza wa jalla
dalam jiwa mereka, dan bimbingan terhadap mereka untuk menuju kebaikan.
Dalam hal ini, terkandung manfaat bagi seluruh hamba, baik dia seorang
ayah maupun seorang anak, di dunia dan di akhirat.
Kemudian, ketika si anak telah mencapai
usia baligh, dia diajari perkara agama yang penting. Anak mulai diajari
perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban agamanya, karena
kini dia telah mukallaf. Dia diajari perkara mandi dan semisalnya,
diajari berhijab jika dia seorang wanita.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menerangkan, “Mayoritas kerusakan anak justru disebabkan oleh orang tua
dan kurangnya perhatian orang tua terhadap anak. Anak tidak diajari
kewajiban ataupun sunnah dalam agama. Mereka sia-siakan si anak semasa
kecilnya, sehingga tidak bisa memberi manfaat bagi dirinya sendiri,
maupun bagi orang tuanya di saat orang tuanya telah renta. Ada orang tua
yang mencelai anaknya karena kedurhakaannya. Si anak pun menukas,
‘Wahai, Ayah! Dahulu engkau berbuat durhaka padaku sewaktu aku masih
kecil, maka sekarang aku mendurhakaimu saat engkau telah tua!’.”
Ringkasnya, pada tahapan ini, orang tua wajib mengajari anak-anaknya segala sesuatu yang harus dimengerti oleh seorang mukallaf,
yaitu perkara syar’i yang seorang muslim tidak boleh tidak
mengetahuinya. Ini adalah salah satu dari sekian banyak hak anak yang
harus ditunaikan oleh orang tua.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil dan diterjemahkan oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran dari kitab Huququl Aulad ‘alal Aba’ wal Ummahat, karya Fadhilatusy Syaikh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah, hlm. 33—36 dan 42)

Jangan Mudah Minta Cerai!
Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Ikatan suami istri merupakan pertalian
yang tidak ada duanya dan tidak ada yang menyamainya. Karena kedua belah
pihak masing-masing leluasa tanpa batas melihat diri pasangannya.
Ibarat mereka adalah dua jiwa yang seolah melebur jadi satu, yang hal
ini tidak didapatkan dalam hubungan yang lain. Karenanya memang tepat
bila dikatakan, tidak ada hubungan yang dapat menandingi hubungan
pernikahan.
Dalam jalinan pernikahan, terlihat
dengan jelas fisik dan akhlak kedua belah pihak oleh pasangannya tanpa
bisa ditutup-tutupi. Semua ini pada akhirnya dapat mengantarkan kepada
rasa cinta atau bahkan sebaliknya muncul rasa tidak suka. Keduanya pada
akhirnya semakin lekat atau justru menjauh. Berdasar rasa tersebut,
timbul keinginan kuat untuk tetap menjaga kelanggengan hubungan nikah
atau sebaliknya, terbetik keinginan untuk mengakhirinya.
Namun perlu dicamkan, mempertahankan
sebuah pernikahan merupakan perkara yang diharapkan oleh syariat. Karena
menguraikannya bisa berdampak banyak madarat.
Hanya saja kebersamaan suami istri
memang tidak bisa lepas dari satu atau sekian hal yang mengeruhkan
kemurniannya. Sebab, kecocokan dan kesesuaian tidak bisa sempurna dalam
banyak sisi, hanya di surgalah didapatkan Ikatan suami istri merupakan
pertalian yang tidak ada duanya dan tidak ada yang menyamainya. Karena
kedua belah pihak masing-masing leluasa tanpa batas melihat diri
pasangannya. Ibarat mereka adalah dua jiwa yang seolah melebur jadi
satu, yang hal ini tidak didapatkan dalam hubungan yang lain. Karenanya
memang tepat bila dikatakan, tidak ada hubungan yang dapat menandingi
hubungan pernikahan. tersebut dijadikan alasan, niscaya tidak tersisa
satu pun ikatan nikah di dunia ini kecuali semuanya akan terurai.
Syariat membolehkan perpisahan manakala
hidup bersama menjadi suatu kemustahilan dikarenakan adanya pertikaian
yang tidak mungkin terselesaikan atau adanya kezalimanyang
mengkhawatirkan tidak tertunaikannya hak dengan semestinya.
Mengakhiri Pernikahan
Kita ketahui bahwa ikatan pernikahan bisa terurai dengan dua cara.
- Dengan talak atau cerai
Suami menalak istrinya dengan
mengucapkan perkataan yang dipahami sebagai talak. Saat dibolehkan talak
adalah pada masa suci istri, tanpa pernah digauli sewaktu itu; atau
pada saat istri sedang mengandung janinnya. Selama masa iddah (untuk talak raj’i), istri tetap tinggal serumah dengan suaminya karena statusnya tetap sebagai istri sampai selesainya masa iddah.
- Dengan khulu’
Istri melepaskan diri dari suaminya karena keinginan si istri, dengan memberi iwadh, semacam tebusan, kepada suaminya.
Khulu’ ini diperbolehkan dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah ketika ada sebab. Dalam al-Qur’an, kita dapati
penyebutannya dalam ayat berikut.
“Jika kalian khawatir keduanya
(suami istri tersebut) tidak dapat menegakkan batasan-batasan atau
hukum-hukum Allah, tidak ada dosa bagi keduanya terhadap tebusan yang diberikan istri kepada suaminya.” (al-Baqarah: 229)
Adapun dalam as-Sunnah, pada hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
جَاءَتِ
امْرَأَةُ ثَابِتٍ بْنِ قَيْسٍ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا أنْقَمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقٍ،
إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ فَتَرِدِّيْنَ
عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ : فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَردَّتْ عَلَيْهِ،
وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا..
Istri Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anha datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah mencela Tsabit pada agama dan tidak pula pada akhlaknya. Akan tetapi, aku khawatir jatuh dalam kekufuran.”[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya kepadanya?”
Si wanita menjawab, “Ya.”
Dia pun mengembalikan kebun yang dimaksud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Tsabit radhiallahu ‘anhu untuk melepaskannya. (HR. al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab ath-Thalaq)
Dalam satu riwayat, istri Tsabit radhiallahu ‘anha mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلَكِنِّي لاَ أُطِيْقُهُ
Maknanya, ‘Aku tidak sanggup hidup bersamanya’.
Dalam kasus khulu’, tebusan yang
diberikan oleh si istri boleh diterima oleh si suami. Hanya saja dengan
syarat khulu’ terjadi karena keinginan istri, bukan karena ada tindakan
suami yang menyakiti dan memudaratkannya hingga dia terpaksa menebus
dirinya agar terlepas dari suaminya yang zalim dan tidak mencintainya.
Bila seperti ini, khulu’ tidak sah. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/320)
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah
berkata, “Bila suami menyusahkan istrinya dan memudaratkannya dengan
pukulan, menyempitkannya, menahan hak-haknya berupa nafkah, pembagian
giliran (bila suami punya istri yang lain), dan semisalnya; dengan
tujuan agar si istri menebus dirinya dan si istri memang melakukannya,
maka khulu’seperti ini batil dan tebusan yang diberikan tertolak.” (al-Mughni)
Pensyariatan iwadh/tebusan dari
istri memiliki hikmah yang agung. Di antaranya menjaga hak-hak para
lelaki, menjaga keutuhan keluarga; karena istri tidak bermudah-mudah
minta khulu’disebabkan ada konsekuensinya, yaitu mengembalikan pemberian
suami. Seandainya khulu’ diperbolehkan tanpa iwadh, niscaya banyak wanita bersegera melakukannya walau karena permasalahan yang kecil yang terjadi antara dia dengan suami.
Istri Minta Cerai
Memutuskan perceraian atau menjatuhkan
talak merupakan hak suami. Adapun istri tidak bisa mencerai suaminya.
Namun, istri menuntut cerai biasa kita dengar. Bagaimanakah hukum
masalah ini?
Datang ancaman yang keras dari penetap
syariat terhadap istri yang menuntut lepas dari ikatan nikah tanpa
alasan yang diperbolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الَجنَّةِ.
“Perempuan (istri) mana saja yang
meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperkenankan, maka haram
baginya mencium wangi surga.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2226, at-Tirmidzi no. 1187, dan selain keduanya, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi.)
Haram mencium wanginya surga di akhirat
kelak, itulah sangsi yang diancamkan penetap syariat. Apakah si istri
yang minta cerai tersebut tidak bisa mencium wangi surga pada waktu
tertentu, atau dia tidak dapat mencium wangi surga pada awal pertama
kali orang-orang yang berbuat baik dapat menciumnya, atau bahkan dia
tidak dapat mencium wangi surga sama sekali. (Aunul Ma’bud, Kitab ath-Thalaq, Bab “Fil Khulu’”)
Tahukah Anda, surga itu sangat harum dan
wanginya dapat tercium dari jarak yang sangat jauh? Bila demikian, amat
merugi orang yang diharamkan mencium aroma wangi surga nan semerbak, wallahul musta’an.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kedatangan berita yang berisi tarhib (menakut-nakuti
atau mengancam) istri yang minta cerai dari suaminya, dibawa kepada
keadaan yang si istri minta cerai tanpa ada sebab yang menuntut hal
tersebut.” (Fathul Bari, 9/314)
Lalu apakah yang dimaksud dengan ‘alasan
yang tidak diperkenankan’ seperti tersebut dalam hadits, مَا بَأْسٍ
غَيْرِ مِنْ? Yaitu, si istri meminta cerai bukan karena dia berada dalam
suatu kesempitan atau kesulitan yang sangat yang memaksanya untuk
meminta berpisah. (Tuhfah al-Ahwazi, Kitab ath-Thalaq, Bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)
Misalnya, dia tidak sanggup hidup dan bersabar bersama suaminya karena sifat fisik atau akhlak suami.
Seorang istri yang salihah tentunya
tidak akan bermudah-mudah meminta cerai hanya karena suatu alasan yang
sepele atau mengada-ada. Dalam berumah tangga dengan suaminya, dia
berada di antara sifat syukur dan sabar. Kebaikan dan kelebihan suaminya
dia syukuri. Adapun kekurangan yang diterimanya dalam berumah tangga,
dia sabari. Tidaklah dia jadikan setiap permasalahan dengan suaminya
sebagai alasan untuk minta cerai.
Bagaimana halnya dengan minta khulu’?
Ada hadits yang memperingatkan dari meminta khulu’, di antaranya hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Al-Mukhtali’at adalah munafik.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1186, dinyatakan sahihdalam ash-Shahih al-Jami’, 2/1133)
Yang dimaksud al-mukhtali’at adalah
istri yang minta khulu’ dan minta cerai dari suami tanpa alasan yang
diperkenankan. Mereka dikatakan munafik, yakni bermaksiat secara batin
dan menampakkan ketaatan secara zahir.
Ath-Thibi rahimahullah mengatakan bahwa ucapan ini adalah bentuk mubalaghah, yang sangat ditekankan dari berbuat demikian. (Tuhfatul Ahwadzi)
Ibnu Qudamah rahimahullah
mengomentari, “Hal ini menunjukkan haramnya meminta khulu’ tanpa ada
kebutuhan, karena akan memudaratkan dan suaminya, serta menghilangkan
maslahat nikah tanpa ada kebutuhan.” (al-Mughni)
Kata Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah,
“Khulu’ hukumnya mubah (dibolehkan) bila terkumpul sebab-sebabnya yang
diisyaratkan dalam ayat yang mulia2. Yaitu kekhawatiran sepasang suami
istri bila keduanya mempertahankan pernikahan, niscaya keduanya tidak
dapat menegakkan hudud/batasan yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan. Bila tidak ada kebutuhan untuk khulu’, maka dibenci, bahkan haram menurut sebagian ulama berdasar hadits,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الَجنَّةِ
“Perempuan (istri) mana saja yang
meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperkenankan, maka haram
baginya mencium wangi surga.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/320)
Antara Khulu’ dan Talak
Syariat memerhatikan keseimbangan hak
dan kewajiban antara pria dan wanita dalam akad nikah. Tidak ada pihak
yang bersikap semena-mena dan melampaui batas terhadap yang lain.
Syariat memberikan hak bagi lelaki untuk
mencerai istrinya bila dibutuhkan, sebagaimana memberikan hak kepada
istri untuk meminta khulu’ dari suaminya di saat ada kebutuhan.
Dengan demikian, salah satunya tidak
berkuasa untuk menahan yang lain agar tetap hidup bersama dalam keadaan
pihak lain benci akan hal tersebut. Sebab, hubungan suami-istri dibangun
dan tegak di atas cinta, kasih sayang, dan as-sakan (ketenangan
dan ketentraman). Apabila salah satu pihak tidak bisa memenuhi hak yang
lain dan melampaui batasan yang disyariatkan, ada kesempatan bagi pihak
lain untuk menghentikan hubungan tersebut menurut cara yang sesuai
dengan hukum syariat.
Akan tetapi, tentu tiap pihak harus bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan jangan menjadikan ayat Allah ‘azza wa jalla
sebagai permainan. Tidak sepantasnya seseorang menjadikan talak dan
khulu’ sebagai sesuatu yang harus segera dituju kecuali ketika hubungan
burukdi antara keduanya sampai pada taraf yang tidak mungkin diatasi
denganmempertahankan kebersamaan keduanya.
Sebelum menutup pembahasan, ada beberapa faedah dan hukum yang ditunjukkan dalam hadits Tsauban radhiallahu ‘anhu tentang larangan istri meminta cerai sebagaimana telah dibawakan di atas. Di antaranya,
- Besarnya hak suami terhadap istrinya.
- Tidak halal minta talak dan khulu’ tanpa ada sebab.
- Keinginan syariat untuk melanggengkan kebersamaan suami istri.
- Talak berada di tangan suami sehingga seorang istri tidak dapat memutuskannya.
- Surga itu memiliki aroma yang wangi.
- Tidak mesti orang yang haram mencium wanginya surga itu divonis kafir. (Lin Nisa’, Ahkam wa Adab, Syarh al-Arba’in an-Nisaiyah, hlm. 232)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Yang dimaksud oleh istri Tsabit radhiallahu ‘anha,
dia khawatir jatuh dalam perbuatan mengufuri kebaikan suami padahal hal
ini terlarang dan dia khawatir tidak bisa menunaikan hak suaminya dan
kewajibannya sebagai istri dengan semestinya karena kebenciannya yang
sangat kepada suaminya. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/321)

Ruqyah Adalah Kesyirikan?
RUQYAH ADALAH KESYIRIKAN?
Pada edisi 99 hlm. 62, poin 4 tertulis,
“Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan thiyarah adalah perbuatan syirik.”
(HR. Abu Dawud, sahih) Pertanyaan saya, apakah ruqyah termasuk syirik?
08238XXXXXXX
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Menjawab pertanyaan Saudara, kami katakan bahwa ruqyah ada dua macam. Ada yang mengandung kesyirikan dan ada yang tidak.
Sebab, pengobatan dengan ruqyah telah
dilakukan juga oleh orang-orang jahiliah, yaitu pengobatan dengan bacaan
atau mantra. Dengan datangnya Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ruqyah ala jahiliah, yaitu yang dengan mantra atau bacaan yang mengandung kesyirikan.
Pada saat yang sama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
membolehkan ruqyah dengan bacaan yang syar’i, misalnya dengan al-Qur’an
atau doa yang diajarkan oleh Islam. Hal itu sebagaimana yang
ditunjukkan oleh riwayat berikut ini.
عَنْ
عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأ شْجَعِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرْقِي فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ: اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ،لا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Kami dahulu meruqyah pada masa jahiliah. Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, apa pandanganmu dalam hal itu?’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Perlihatkan kepadaku ruqyah kalian. Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan’.” (HR. Muslim)
Yang mengandung kesyirikan artinya adalah ruqyah yang terdapat permintaan pertolongan kepada selain Allah ‘azza wa jalla. (Fathul Majid hlm. 147)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ruqyah, sebagaimana riwayat berikut ini.
نَهَى
رَسُولُ اللهِ عَنِ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى
رَسُولِ اللهِ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا
رُقْيَةٌ نَرْقِي بِهَاذ مِنَ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنِ
الرُّقَى. قَالَ: فَعَرَضُوهَا عَلَيْهِ فَقَالَ: مَا أَرَى بَأْسًا، مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
ruqyah dan adalah keluarga Amr bin Hazm memiliki bacaan ruqyah yang
mereka pakai untuk meruqyah dari sengatan kalajengking. Mereka datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melarang dari ruqyah dan
kami memiliki bacaan ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah dari
sengatan kalajengking.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perlihatkan kepadaku bacaan ruqyah kalian.”
Mereka pun memerlihatkannya (membacakannya) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku lihat tidak apa-apa. Barang siapa di antara kalian yang mampu memberi manfaat kepada saudaranya, lakukanlah.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan yang lain. Lihat secara rinci dalam Silsilah ash-Shahihah, 472)
Tampak pula dalam riwayat di atas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ruqyah jenis tertentu dan pada saat yang sama membolehkan jenis yang lain.
Jenis Ruqyah yang Dilarang
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarah Muslim.
- (Ada sebuah pendapat) bahwa ruqyah dilarang kemudian beliau membolehkan bahkan melakukan dan ditetapkan dalam syariat bahwa itu boleh.
- Yang dilarang adalah ruqyah yang tidak diketahui maknanya.
- Larangan itu bagi mereka yang meyakini bahwa ruqyah itu dengan sendirinya memberi manfaat (tanpa kehendak Allah ‘azza wa jalla), seperti halnya yang diyakini oleh orang-orang jahiliah.
Di samping larangan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membolehkannya. Atas dasar itu al-Khaththabi mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri telah meruqyah dan pernah diruqyah, pernah memerintahkan dan
pernah membolehkannya. Jika dengan al-Qur’an dan dengan menyebut-nyebut
nama Allah ‘azza wa jalla, ini boleh atau bahkan diperintahkan.
Dilarang atau dibencinya ruqyah hanyalah jika tidak menggunakan bahasa
Arab. Sebab, bisa jadi lafadz yang dipakai ialah kata-kata kufur atau
yang mengandung kesyirikan.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
mengatakan, “Termasuk hal yang terlarang adalah yang dilakukan
orang-orang jahiliah yang meyakini bahwa ruqyah tersebut dapat
menghilangkan penyakit. Mereka meyakini hal tersebut adalah bantuan dari
jin (makhluk halus).”
Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan bahwa seseorang tidak boleh meruqyah dengan menyebut semua
nama yang tidak dikenal, lebih-lebih lagi berdoa dengannya. Sebab,
berdoa dengan selain bahasa Arab hukumnya dimakruhkan. Itu hanya
diperbolehkan bagi orang yang kurang bisa berbahasa Arab.
As-Suyuthi rahimahullah menyimpulkan bahwa ulama sepakat tentang bolehnya ruqyah selama memenuhi tiga syarat berikut.
- Menggunakan kalamullah atau dengan menyebut nama Allah ‘azza wa jalla dan sifat-Nya.
- Menggunakan bahasa Arab dan diketahui maknanya.
- Meyakini bahwa ruqyah tidak memberi manfaat dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah ‘azza wa jalla. (Fathul Majid, 147—148)
MENGHUKUMI SEBAGIAN IMAM AHLUS SUNNAH SEBAGAI AHLI BID’AH
Apa hukum menganggap sejumlah imam Ahlus
Sunnah sebagai ahli bid’ah dengan alasan mereka terjatuh dalam
kesalahan pada urusan akidah, seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan selain
keduanya?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab sebagai berikut.
Barang siapa melakukan
kesalahan, kesalahannya tersebut tidak boleh diambil. Kesalahan tetap
tertolak, sebagaimana ucapan al-Imam Malik rahimahullah, “Tidak ada dari kita kecuali bisa diterima dan bisa ditolak, selain penghuni kubur ini.” Maksud beliau ialah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap ulama bisa salah dan bisa benar.
Maka dari itu, kebenarannya diambil dan kesalahannya ditinggalkan.
Apabila dia termasuk pemeluk akidah salafiyah namun terjatuh pada
beberapa kesalahan, kesalahan itu ditinggalkan. Kesalahan tersebut tidak
mengeluarkannya dari lingkup salafiyah selama dia dikenal mengikuti
generasi salaf. Hanya saja, dia salah dalam menjelaskan beberapa hadits
atau mengucapkan beberapa kalimat yang keliru. Ketika demikian,
kesalahannya tidak diterima dan tidak diikuti.
Demikian pula halnya seluruh imam-imam
agama—semisal asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, ats-Tsauri,
al-Auza’i, atau yang selain mereka—ketika terjatuh dalam kesalahan. Kita
ambil kebenaran yang ada pada mereka dan kita tinggalkan kesalahannya.
Kesalahan (yang dimaksud di sini) ialah segala sesuatu yang menyelisihi
dalil syariat, yaitu ucapan Allah ‘azza wa jalla dan ucapan Rasul-Nya. Tidak ada seorang pun yang boleh diambil kesalahannya yang menyelisihi dalil syariat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Apa saja harta rampasan yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Para ulama telah bersepakat bahwa ucapan setiap manusia bisa diambil dan bisa ditolak, selain ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, yang wajib ialah mengikuti syariat yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menerimanya, dan tidak membantah sesuatu pun darinya. Hal ini
berdasarkan ayat di atas dan yang semakna dengannya. Demikian pula
berdasarkan firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (an-Nisa: 59)
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/254—255)
HUKUM BERMUAMALAH DENGAN PENGANUT SYIAH
Saya seorang pengajar. Bersama kami juga
ada beberapa pengajar penganut Syiah. Saya bekerja bersama mereka. Saya
memohon nasihat Anda tentang bermuamalah dengan mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin menjawab sebagai berikut.
Anda hendaknya menasihati dan
mengarahkan mereka kepada kebaikan. Anda ajari mereka bahwa menganut
agama Rafidhah itu tidak diperbolehkan; memang kita wajib mencintai dan
meridhai Ali radhiallahu ‘anhu, tetapi kita tidak boleh ghuluw
(melampaui batas). Tidak boleh dikatakan bahwa Ali mengetahui perkara
gaib dan maksum. Tidak boleh pula Ali dijadikan tujuan dipanjatkannya
doa—bersama Allah—dan tidak boleh beristighatsah dengannya atau dengan Fathimah radhiallahu ‘anha, al-Hasan, al-Husain, Ja’far ash-Shadiq, dan selainnya.
Anda ajari mereka bahwa inilah yang
wajib dilakukan. Anda nasihati mereka. Jika mereka bersikeras di atas
bid’ah tersebut, Anda wajib meng-hajr (memboikot) mereka, meski mereka
bekerja bersama dengan Anda. Anda meng-hajr mereka dengan tidak menjawab
salam, tidak pula memulai mengucapkan salam kepada mereka.
Akan tetapi, apabila mereka tidak
menampakkan bid’ah mereka dan secara lahiriah menampakkan kesamaan
dengan Anda, mereka dihukumi sebagai munafik. Anda bermuamalah dengan
mereka sebagaimana muamalah dengan orang munafik, tidak mengapa. Hal ini
seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuamalah dengan kaum munafik di Madinah yang menampakkan keislaman dan tidak berbuat jahat (kepada kaum muslimin); Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan mereka layaknya kaum muslimin sedangkan urusan batin mereka diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/265)
HUKUM BERMAJELIS DENGAN AHLI BID’AH
Bolehkah kita duduk bermajelis dan belajar kepada ahli bid’ah serta berserikat dengan mereka?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab sebagai berikut.
Tidak diperbolehkan duduk bermajelis
dengan mereka. Tidak boleh pula menjadikan mereka sebagai teman.
Mengingkari kebid’ahan mereka hukumnya wajib, demikian pula
memperingatkan mereka dari kebid’ahan. Kita memohon keselamatan kepada
Allah ‘azza wa jalla.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/266)
PERIBADATAN BERHALA DALAM ISLAM?
Kaum orientalis menuduh bahwa Islam
masih menyisakan sebagian bentuk paganisme (peribadatan kepada berhala).
Contohnya ialah mencium Hajar Aswad. Bagaimana cara membantah mereka?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab sebagai berikut.
Contoh yang disebutkan ini bukanlah paganisme. Hal itu adalah perintah yang Allah ‘azza wa jalla
tetapkan bagi kita demi sebuah hikmah yang terang. Hal tersebut sama
sekali berbeda dengan kebiasaan jahiliah, bukan pula bentuk peribadatan
jahiliah.
Allah ‘azza wa jalla menghadapkan perintah-Nya kepada para hamba-Nya sesuai apa yang Dia kehendaki. Apabila Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan sesuatu, hal itu pun menjadi syariat tersendiri, tidak ada hubungannya dengan kebiasaan jahiliah.
Ada beberapa kebiasaan jahiliah yang termasuk perkara yang baik dan ditetapkan oleh Islam. Di antara kebiasaan jahiliah adalah diyat (tebusan) berupa seratus ekor unta, dan ini dikokohkan oleh Islam. Di antara kebiasaan jahiliah adalah al-qasamah (sumpah 50 orang untuk menolak tuduhan pembunuhan atas mereka, -ed.), yang juga dikokohkan oleh Islam.
Demikian pula mencium Hajar Aswad dan menyentuhnya, hal ini termasuk mengagungkan Allah ‘azza wa jalla
dan mencari keridhaan-Nya, bukan mencari berkah atau keridhaan dari
Hajar Aswad. Hal ini adalah semata-mata menaati perintah Allah ‘azza wa jalla untuk menyentuh Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Allah ‘azza wa jalla menguji para hamba-Nya dengan perintah ini, apakah mereka taat atau bermaksiat. Apabila Allah ‘azza wa jalla memerintahkan sesuatu, mereka melaksanakannya.
Allah ‘azza wa jalla menetapkan
perintah agar mereka menyentuh Hajar Aswad dan Rukun Yamani, sebagai
bentuk cobaan dan ujian, apakah mereka mendengar dan menaatinya? Apakah
mereka melaksanakan perintah yang disyariatkan oleh Allah kepada mereka
atau tidak?
Oleh karena itu, ketika Umar radhiallahu ‘anhu
mencium Hajar Aswad, beliau mengatakan, “Sungguh, aku tahu bahwa engkau
hanyalah sebongkah batu, tidak bisa memberi madharat dan tidak bisa
memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu.”
Di antara kebiasaan jahiliah adalah
memuliakan tamu. Memuliakan tamu masih ada dalam syariat Islam. Semua
hal ini, dan akhlak mulia semisalnya yang dicintai oleh Allah dan
dianjurkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta semua perkara terpuji lainnya, adalah kebiasaan jahiliah yang masih ada, bahkan ditetapkan oleh Islam.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/275—276)
BERSEDEKAH ATAS NAMA ORANG YANG PERNAH MENYEMBELIH UNTUK SELAIN ALLAH
Seseorang bertanya kasus berikut.
Ayahnya dahulu menyembelih untuk selain Allah, menurut kabar yang
disampaikan kepadanya. Dia sekarang ingin bersedekah dan berhaji atas
namanya. Dia menganggap, sebab ayahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut
ialah karena tidak adanya ulama, orang yang membimbing, atau orang yang
menasihati ayahnya. Bagaimana hukum dari semua hal ini?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab sebagai berikut.
Apabila ayahnya dahulu dikenal dengan kebaikan, keislaman, dan kesalehan, dia tidak boleh membenarkan orang—yang tidak dikenal ‘adalah (kebaikan dan kejujuran)nya—yang menukilkan kabar tentang perbuatan ayahnya itu kepadanya.
Disunnahkan baginya untuk mendoakan
ayahnya dan bersedekah atas namanya, hingga dia tahu dengan yakin bahwa
ayahnya meninggal di atas kesyirikan. Hal ini terwujud dengan adanya
persaksian dua orang—atau lebih—yang baik dan tepercaya bahwa mereka
melihat ayahnya menyembelih untuk selain Allah ‘azza wa jalla, yakni untuk para penghuni kubur atau lainnya; atau mereka mendengar ayahnya berdoa kepada selain Allah ‘azza wa jalla.
Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta izin kepada Rabbnya agar diperbolehkan memintakan ampunan bagi ibunya, namun tidak diizinkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Ibu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal pada masa jahiliah di atas agama kekafiran. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
meminta izin agar dibolehkan menziarahi kuburnya. Ini menunjukkan bahwa
orang yang meninggal di atas kesyirikan meski dia tidak tahu, maka
tidak boleh didoakan, tidak boleh dimintakan ampunan, tidak boleh
bersedekah dan berhaji atas namanya.
Adapun orang yang meninggal dalam keadaan dakwah belum sampai kepadanya, ini termasuk urusan Allah ‘azza wa jalla.
Pendapat yang benar di kalangan ulama tentang orang yang seperti ini,
dia akan diuji pada hari kiamat kelak. Jika taat, dia akan masuk surga;
jika bermaksiat, dia akan masuk neraka. Hal ini berdasarkan
hadits-hadits sahih yang menerangkan hal tersebut.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, 28/289—290)

Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman; bagian ke-2
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Beberapa Faedah
Sebelum menguraikan faedah kisah Nabi
Dawud yang diceritakan dalam surat Shad, kami uraikan sedikit alur kisah
itu menurut sebagian ahli tafsir yang mencantumkannya dalam kitab
mereka.
Nabi Dawud ‘alaihissalaam
adalah seorang nabi sekaligus raja yang sangat luas kekuasaannya.
Diceritakan bahwa beliau membagi waktunya untuk mengurus kerajaan,
memutuskan perkara di antara rakyatnya, dan sebagian lagi untuk
beribadah, bertasbih memuji Allah ‘azza wa jalla di dalam mihrabnya.
Adalah beliau, apabila sudah berada di
dalam mihrab, tidak ada seorang pun yang masuk menemui beliau sampai
beliau sendiri yang keluar kepada rakyatnya.
Pada suatu hari, beliau dikagetkan oleh
kedatangan dua orang yang memanjat tembok istana dan masuk ke dalam
mihrabnya yang terkunci. Beliau sempat merasa takut.
Kedua orang itu berkata, “Jangan takut.
Kami adalah dua orang yang sedang berselisih. Sebagian dari kami berbuat
zalim, melanggar hak yang lain. Kami datang menemui Anda untuk
menyelesaikan perkara ini di hadapan Anda. Kami memohon agar Anda
memutuskan persoalan ini dengan benar dan adil, jauh dari kecurangan dan
mau menunjuki kami ke jalan yang benar.”
Setelah itu, salah seorang dari mereka
mulai menerangkan duduk perkaranya, dia berkata, “Saudaraku ini
mempunyai 99 ekor kambing, sedangkan aku mempunyai seekor. Lalu dia
memaksaku agar menyerahkan kambing yang satu itu untuk digabungkan
dengan kambing-kambingnya. Dia mengalahkan dan menekanku.”
Begitu selesai dia bicara, Nabi Dawud ‘alaihissalaam
segera memutuskan, “Dia memang telah menzalimi kamu, dengan memaksamu
menyerahkan kambingmu yang hanya seekor agar digabungkan bersama
kambing-kambingnya yang banyak. Memang, kebanyakan orang yang bekerja
sama itu, suka menzalimi yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal saleh. Tetapi, alangkah sedikitnya mereka ini.”
Itulah sekilas kisah yang disebutkan
dalam al-Qur’an. Adapun yang dinukil oleh sebagian ahli tafsir, tidak
ada yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan, riwayatnya lemah dan kebanyakannya dusta, serta tidak layak
dinisbahkan kepada seorang raja besar apalagi nabi yang maksum.
Kisah yang beredar dalam kitab-kitab
yang ada di tangan ahli kitab penuh dengan pelecehan dan penodaan
terhadap kemuliaan seorang nabi dan raja. Karena itu, kami tidak
menukilkannya dalam ibrah ini.
Adapun faedah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah sebagai berikut. Peristiwa yang dialami oleh Nabi Dawud ‘alaihissalaam adalah pelajaran berharga sekaligus peringatan bagi para kepala negara, di mana saja mereka berada dan di zaman apa pun.
Hendaknya mereka memutuskan semua
persoalan rakyatnya dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah k
yang menciptakan dia dan rakyatnya. Para penguasa hendaknya ingat bahwa
mereka pasti akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat yang
dipimpinnya. Mereka juga akan dihisab, bahkan lebih berat dari yang
lain.
Dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah
dalam tafsirnya dari Ibnu Abi Hatim dari Ibrahim Abu Zur’ah yang pernah
mempelajari kitab-kitab terdahulu dan mendalami al-Qur’an. Dia ditanya
oleh al-Walid bin ‘Abdul Malik, “Apakah para khalifah (penguasa) itu
juga akan dihisab? Bukankah engkau telah mempelajari kitab-kitab
terdahulu, mendalami pula al-Qur’an dan menjadi fakih?”
Ibrahim berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah saya harus mengatakannya?”
“Katakanlah, dengan jaminan keamanan dari Allah ‘azza wa jalla.”
“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang lebih mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla, Anda ataukah Nabi Allah Dawud ‘alaihissalaam? Sungguh, Allah ‘azza wa jalla telah mengumpulkan untuk beliau kenabian dan kekuasaan, kemudian memperingatkan beliau dalam Kitab-Nya yang mulia.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Hai
Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Oleh karena itu, apabila seorang nabi yang juga raja dan penguasa besar dihisab bahkan diperingatkan oleh Allah ‘azza wa jalla, sudah tentu yang selain beliau pasti juga dihisab. Kalau Nabi Dawud ‘alaihissalaam sudah jelas perhitungan dan kepastian kedudukan beliau di sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat Shad ayat 25,
“Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik,” bagaimana dengan orang-orang yang selain beliau yang bukan nabi?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan pula dalam sabdanya,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،
“Masing-masing kamu adalah pemimpin
dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang amir (penguasa) yang
berkuasa atas orang banyak adalah pemimpin dan dia akan ditanya tentang
mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tiada seorang pun hamba yang Allah
jadikan dia sebagai pemimpin rakyat, lalu tidak menuntun rakyatnya
dengan nasihat, melainkan dia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu)
Nasihat untuk mereka adalah dengan
menjalankan semua upaya yang mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia
dan akhirat, menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang menjerumuskan
mereka ke dalam kerusakan, dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam.
Seseorang yang bertaubat dengan taubat
yang benar dan jujur (nashuha), keadaannya lebih baik daripada keadaan
sebelum dia terjatuh dalam kesalahan yang mendorongnya bertaubat.
Sebagaimana keadaan Nabi Dawud ‘alaihissalaam dalam kisah ini.
Karena itu, dikatakan oleh sebagian
ulama, taubat itu seperti kir yang membersihkan kotoran emas sehingga
emas menjadi lebih murni dan cemerlang. Karena itu pula, orang yang
terjatuh ke dalam dosa, janganlah berputus asa, sehingga enggan
bertaubat dan memperbaiki dirinya.
Dalam surat Shaad ini, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi Dawud ‘alaihissalaam
sebelum menerangkan berita tentang dua orang yang bertikai, sehingga
itu saja sudah cukup untuk menepis semua tuduhan yang ditujukan kepada
beliau melalui kisah palsu yang dibuat-buat oleh kaum Yahudi.
Watak Yahudi yang suka merendahkan
seorang nabi, menurun kepada sebagian kelompok orang yang mengaku
muslim. Syi’ah (Rafidhah, Itsna ‘Asyariah), termasuk golongan yang
rendah dan menghinakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sekeluarga. Mereka bersembunyi di balik topeng ‘mencintai ahli bait’,
padahal mereka sangat dendam kepada ahli bait yang telah meruntuhkan
dinasti Sasanid mereka.
Wallahu a’lam.

Demokrasi Merusak Moral Generasi
Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Allah mengabarkan dalam kitab-Nya,
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab
dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan
kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya
(untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian).” (al-Baqarah: 105)
Yahudi dan Nasrani terus berupaya memurtadkan kaum muslimin dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan.
“Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu
(kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (al-Baqarah: 217)
Bahkan, mereka rela mengorbankan materi yang banyak demi kepentingan ini. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (al-Anfal: 36)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Kemudian Allah memberitakan bahwa orang-orang kafir
terus-menerus akan memerangi orangorang yang beriman. Tujuan mereka
bukan semata-mata harta dan jiwa kaum muslimin. Ada yang memurtadkan
kaum muslimin dari agamanya hanya bertujuan agar kaum muslimin menjadi
calon penghuni neraka yang menyala-nyala.
Mereka mengerahkan segala kemampuan
untuk merealisasikan tujuan itu. Berbagai cara akan mereka lakukan.
Terkhusus ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), mereka menggunakan beragam
lembaga guna menebarkan dakwahnya, mengirim para dokter, dan membangun
sekolah-sekolah untuk menarik umat ini ke dalam agama mereka. Mereka
juga memasukkan berbagai syubhat (kerancuan-kerancuan) kepada kaum
muslimin agar ragu terhadap agamanya.” (Taisir al-Karimir Rahman)
Di antara makar mereka untuk mewujudkan
ambisi busuk tersebut adalah pemaksaan ideologi demokrasi ke
negaranegara yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Indonesia,
Yaman, Mesir, dan sebagainya. Berikut ini bukti-bukti kebobrokan pemilu,
salah satu bagian dari demokrasi yang telah dan terus akan merusak
moral generasi kaum muslimin.
Godaan Wanita dan Pemilu
Yahudi dan Nasrani menjadikan demokrasi
dan pemilunya sebagai senjata yang ampuh untuk merusak moral kaum
muslimin, terutama kaum hawa, dengan berbagai cara. Di antaranya ialah
isu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hak
pilih/suara maupun hak jabatan atau kedudukan.
Bahkan, demi membangkitkan semangat para
wanita untuk tutut berlomba-lomba mendapatkan kedudukan/jabatan itu,
dibuatlah perundang-undangan secara khusus dengan argumentasi yang rusak
bagi kaum hawa agar suara mereka terwakili di parlemen atau DPR,
demikian juga di KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dalam pemilu ini,
ditargetkan minimal 305 (30%) anggota dewan atau anggota KPU diduduki
oleh kaum hawa. Hal ini temaktub di dalam UU no. 15 tahun 2011 tentang
penyelenggaraan pemilihan umum pasal 6 ayat 5 bahwa, “Komposisi KPU, KPU
propinsi, dan KPU kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).”
Dengan demokrasi dan pemilunya ini,
rusaklah fitrah wanita pada khususnya dan hancurlah moral kaum muslimin
pada umumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya tentang akan hancurnya umat dengan sebab wanita, sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرَّ عَلَى رِجَالٍ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan suatu cobaan yang lebih membahayakan kaum laki-laki daripada godaan para wanita.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dalam hadits sahih yang lain,
إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا
فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis
(rasanya) hijau (di pandangan mata) dan sesungguhnya Allah yang
menjadikan kalian silih berganti untuk mendapatkan dunia (dari
orang-orang) sebelum kalian. Dia akan melihat bagaimana kalian akan
beramal. Karena itu, takutlah kalian dengan (ujian) dunia dan (godaan)
wanita karena ujian yang pertama kali menimpa bani Israil adalah ujian
wanita.” (HR. Muslim)
Di antara keburukan yang terjadi pada masa pemilu adalah,
- Hilangnya rasa malu para wanita pada khususnya dan kaum laki-laki pada umumnya, tatkala mereka bercampur baur tempat kampanye, TPS (Tempat Pemungutan Suara), dan yang sejenisnya. Ditambah lagi penampilan sebagian mereka yang membangkitkan syahwat. Padahal, rasa malu adalah sumber keselamatan dan kebaikan, sebagaimana sabda Nabi,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa rasa malu adalah ajaran nabi sebelumnya,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَ مَالِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Di antara ucapan kenabian terdahulu yang masih didapati oleh manusia ialah apabila engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. al-Bukhari no. 5769)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Perintah ini bermakna ancaman. Jadi, makna hadits di atas
ialah, apabila engkau sudah tidak memiliki rasa malu, perbuatlah
sesukamu dan Allah ‘azza wa jalla akan membalas perbuatanmu itu, sebagaimana firman-Nya,
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Fushshilat: 40)
- Terpampangnya foto-foto wanita yang mencalonkan diri dengan berbagai gaya, seperti jilbab gaul dan bermacam dandanan yang menimbulkan godaan. Bahkan, tidak sedikit foto itu dijejerkan dengan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya. Innalillahi wainna ilaihi raji’un.
Allah ‘azza wa jalla memerintah para wanita muslimah,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مُمِي تَالٌ مَائِ تَالٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ
مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan penghuni neraka
yang aku belum pernah melihatnya; (pertama) suatu kaum yang membawa
cemeti seperti ekor sapi yang mereka pakai untuk memukul orang lain, dan
(kedua) para wanita yang berpakaian namun telanjang (tipis dan tidak
menutup aurat). (Kalau berjalan) melekuk-lekukkan tubuhnya, dan kepala
mereka seperti punuk-punuk unta (disambung dan dibesarkan ikatan
rambutnya). Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau
wanginya, padahal bau wanginya dapat tercium dari jarak sekian dan
sekian.”
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan gambar makhluk hidup, lebih-lebih foto wanita yang menimbulkan godaan syahwat. Sabda beliau,
لا تَدَعَنَّ صُورَةً إِ طَمَسْتَهَا
“Sungguh, janganlah engkau meninggalkan sebuah gambar (makhluk bernyawa) kecuali engkau menghapusnya.” (HR. Muslim no. 969 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain telah menjelaskan hikmahnya,
لا تَدْخُلُ الْملائَكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَ صُورَةٌ
“Malaikat rahmat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang ada anjing dan gambar (makhluk hidup) di dalamnya.” (Muttafaqun alaih dari Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu)
- Upaya menjadikan sebagian para wanita sebagai pemimpin atau wakil rakyat
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(lakilaki) atas sebagian yang lain (wanita).” (an-Nisa’: 34)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan lainnya,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ
“Tidak akan mendapatkan kebahagiaan, suatu kaum yang menjadikan wanita mereka sebagai pemimpin.”
Penghamburan Harta
Pesta demokrasi yang mungkar tentu
membutuhkan dana yang amat besar. Betapa banyak harta yang
dihamburhamburkan demi suksesnya megaproyekini, padahal ini perkara yang
haram. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah
sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra’: 26-27)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang salah satu yang dimurkai Allah ‘azza wa jalla,
وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Dia membenci (perbuatan) kalian
(tiga perkara): memberitakan segala sesuatu yang dia dengar (tanpa
memerhatikan terlebih dahulu kebenaran dan kemanfaatannya), banyak
bertanya yang tidak ada kepentingannya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Betapa banyak harta yang harus
dialokasikan untuk pemilu oleh negara sejak persiapan, pelaksanaan, dan
setelahnya. Akhirnya, kemiskinan dan keterpurukan ekonomi menjadi risiko
yang harus ditanggung oleh bangsa dan negara.
Sebagai bukti hal ini termaktub di dalam
UU. Pemilu no. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Bab
VI tentang Keuangan Pasal 116 ayat 2, “Pendanaan penyelenggaraan dan
pengawasan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden wajib dianggarkan dalam APBN.” Pasal 5,“Pendanaan
penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota wajib
dianggarkan dalam APBD.”
Timbul pertanyaan, apakah dengan
demokrasi dan pemilu, rakyat akan menjadi makmur ataukah sebaliknya?
Demikian pula partai peserta pemilu dan calon anggota dewan, bupati,
gubernur maupun presiden; mereka mengeluarkan dana yang sangat besar
untuk mendapatkan simpati masyarakat dan memenangi pemilu.
Mereka menghalalkan berbagai cara demi
satu tujuan saja, yaitu menang. Senjata utamanya adalah harta. Betapa
banyak harta yang mereka keluarkan untuk kampanye, pemasangan gambar
atau bendera, upah anggota tim sukses/kader di daerah, amplop-amplop
untuk serangan fajar pada hari pelaksanaan pemilu, dan sebagainya.
Sampai terucap oleh sebagian orang,
“Barang siapa mau memberi uang yang paling banyak, aku akan
memilihnya.”Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka orang yang diperbudak oleh
dinar, dirham, pakaian sutra, pakaian kemegahan. Apabila dia diberi apa
yang menjadi keinginannya, dia akan senang (rela). Apabila dia tidak
diberi, dia akan marah.” (HR. al-Bukhari no. 2730)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan terjadinya hal ini dalam hadits yang sahih,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبَالِي الرَّجُلُ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَ مَالَهُ أَمِنْ حَرَامٍ أَمْ مِنْ حَلَالٍ
“Sungguh, akan datang suatu zaman
kepada umat manusia yang setiap orang tidak peduli darimana dia akan
mendapatkan harta, dari jalan yang haram atau yang halal.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Apakah partai-partai atau calon-calon yang melakukan hal ini masih diharapkan akan membela agama, bangsa, dan negara?
Boleh jadi, berbagai problem bangsa dan
negara ini, seperti kasus-kasus korupsi, terjadi karena sistem demokrasi
yang bobrok ini. Oleh karena itu, seorang ulama besar seperti
asy-Syaikh Muqbil mengatakan, “Pemilu tidak akan mendatangkan kebaikan
dunia ataupun akhirat.” (Tuhfatul Mujib, hlm. 306)
Tidak ada jalan untuk menyelamatkan
bangsa dan negara ini kecuali kembali kepada syariat yang mulia dan
sempurna berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para
sahabat.
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
melimpahkan hidayah taufik kepada masyarakat Indonesia pada khususnya
untuk kembali kepada agama Islam yang mulia dan sempurna, baik secara
lahir maupun batin, baik secara ilmu maupun amal.
Wallahu a’lam.

Mengejar Impian dengan Klenik
Al-Ustadz Abdurrahman Abu Usamah
Setiap orang tentu mengidamkan
kebahagiaan, kesenangan, ketenteraman, dan ketenangan dalam hidup.
Namun, banyak yang beranggapan bahwa kebahagiaan terletak pada harta
benda yang berlimpah, kedudukan yang tinggi, atau nama yang tersohor dan
menjadi buah bibir banyak orang.
Tentu, ini adalah anggapan yang sangat
dangkal dan keliru. Anggapan ini sering kali menyeret orang terjatuh ke
jurang keputusasaan. Bunuh diri, menjadi gila, terjadinya pembunuhan,
pelacuran, perampokan, pencurian, penjambretan, perjudian, dan berbagai
macam kejahatan lainnya dipicu oleh keputusasaan ini.
Tidak cukup sampai di situ, seseorang
akan terbawa untuk melakukan tindakan-tindakan yang menghancurkan
keyakinannya sampai ke tingkatan kufur kepada Allah ‘azza wa jalla, seperti murtad, memelihara jin alias tuyul, dan melakukan praktik-praktik perdukunan.
Anggapan yang salah tersebut seringkali
menjadikan orang lupa daratan, mengkhayal kalau dirinya sedang terbang
ke angkasa dan bisa meraih segala apa yang diimpikannya, padahal dia
berada dalam kerendahan dan kehinaan karena menjadi budak dunia.
Tidak sedikit pula yang kemudian
menjadikan agama sebagai barang dagangan yang menjanjikan. Sudah
masyhur, di tengah kita sederetan nama penyanyi, pelawak, bintang film,
tiba-tiba menjadi dai kondang yang menyampaikan ilmu agama, menukar
serta melelang ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dengan harga yang sangat murah dan rendah sebagaimana yang telah diceritakan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam al-Qur’an.
Dengan anggapan ini pula, tidak jarang
seseorang yang sebelumnya berjalan di atas kebenaran menjadi goncang,
lalu sedikit demi sedikit meninggalkan kebenaran, dan akhirnya menjual
kekokohannya di atas al-haq dengan harga murah.
Sungguh, betapa meruginya mereka. Itulah ucapan yang keluar dari lisan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَم وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Telah celaka budak dinar, telah
celaka budak dirham, telah celaka budak pakaian yang polos, dan telah
celaka budak pakaian yang bermotif, jika diberi, dia ridha; apabila
tidak diberi dia tidak ridha.” ( HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu no. 5955)
فَوَاللهِ،
الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ
عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم
“Demi Allah, bukan kefakiran yang
aku khawatirkan menimpa kalian, namun yang mengkhawatirkanku adalah
dibentangkannya atas kalian dunia sebagaimana telah dibentangkan atas
orang-orag sebelum kalian sehingga kalian berlomba-lomba (mengejarnya)
sebagaimana mereka dan akhirnya membinasakan kalian sebagaimana telah
membinasakan mereka.” (HR. al-Bukhari no. 2924 dan Muslim no. 5261 dari ‘Amr bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu)
Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu berkata,
خَرَجَ
عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ وَنَحْنُ نَذْكُرُ الْفَقْرَ وَنَتَخَوَّفُهُ
فَقَالَ: أَالْفَقْرَ تَخَافُونَ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
لَتُصَبَّنَّ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا صَبًّا حَتَّى يُزِيغَ قَلْبَ
أَحَدِكُمْ إِزَاغَةً إِ هِيَهْ
“Telah keluar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
kami dan kami sedang mengingat kefakiran yang mengkhawatirkan kami.
Beliau bersabda, ‘Kefakirankah yang kalian khawatirkan? Demi Allah, yang
jiwaku berada di tangannya, benar-benar akan dituangkan kepada kalian
dunia sehingga tidak akan tersesat hati salah seorang kalian kecuali
dengannya (dunia)’.” (HR. Ibnu Majah no. 5 dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 9 dan Silsilah ash-Shahihah no. 688)
Orang-orang miskin dan fakir berlomba
mengejar dunia kemudian menjadi orang yang kaya dan bisa berbuat apa
saja, sesungguhnya merupakan salah satu tanda hari kiamat yang telah
diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits sahih,
وَإِذَا كَانَتِ الْعُرَاةُ الْحُفَاةُ
رُءُوسَ النَّاسِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا، وَإِذَا تَطَاوَلَ رِعَاءُ
الْبَهْمِ فِي الْبُنْيَانِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا، فِي خَمْسٍ
يَعْلَمُهُنَّ إِ اللهُ
“Jika seseorang yang dahulunya
telanjang (tidak berpakaian) dan tidak beralas kaki menjadi pemimpin
maka itulah sebagai tanda hari kiamat, dan bila para penggembala kambing
berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan maka itu pula menjadi
tanda-tandanya dalam lima perkara yang tidak ada mengetahuinya kecuali
Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim no. 9 dari Umar ibnul Khaththab dan no. 10 dari Abu Hurairah, dan ini lafadz Abu Hurairah)
Dunia Memang Memikat
Dunia itu indah dan memikat, menjanjikan kepuasan jiwa. Itulah ungkapan yang pas buatnya dan itulah ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، مَنْ أَصَابَهُ بِحَقِّهِ بُورِكَ لَهُ
فِيهِ، وَرُبَّ مُتَخَوِّضٍ فِيمَا شَاءَتْ بِهِ نَفْسُهُ مِنْ مَالِ
اللهِ وَرَسُولِهِ لَيْسَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِ النَّارُ
“Sesungguhnya harta ini adalah hijau
dan manis. Barang siapa memperolehnya dengan cara yang benar, niscaya
akan diberkahi. Bisa jadi, ada orang berbuat sesuai dengan hawa nafsunya
terhadap harta Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, karena itu tidak ada balasan baginya kecuali neraka.” (HR. at-Tirmidzi 2296 dari Khaulah bintu Qais x, asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 2251)
Datang pula riwayat yang sama dari ‘Amrah bintu al-Harits bin Abu Dhirar x dengan lafadz, “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Barang siapa mendapatkannya dengan cara yang benar, itulah yang akan beberkah….”
Datang riwayat yang semisal hadits ‘Amrah dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma dan Maimunah x, dan semua riwayatnya sahih. Lihat Shahih al-Jami’ no. 1608, 3410, dan 3411.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih beliau no. 4925 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya perkara yang sangat mengkhawatirkanku atas kalian adalah apa yang akan dikeluarkan oleh Allah ‘azza wa jalla dari barokaat dunia ini.’
Beliau ditanya, ‘Apa yang dimaksud dengan barokaat dunia?’
Beliau bersabda, ‘Perhiasan dunia.’
Seseorang berkata kepada beliau, ‘Apakah kebaikan itu datang dengan kejelekan?’
Beliau terdiam dan kami menduga wahyu sedang turun, dan beliau mengusap keringat dari keningnya dan berkata, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’
Orang itu menjawab, ‘Saya’.”
Abu Sa’id berkata, “Kami berterima kasih dengan munculnya pertanyaan tersebut. Rasulullah bersabda, ‘Tidak akan datang kebaikan itu kecuali dengan kebaikan, sesungguhnya harta benda itu hijau dan manis…’.”
Kita juga masih mengingat sabda oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahullah no. 4925 dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا
فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan indah, dan sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan
menjadikan kalian silih berganti di dunia untuk melihat apa yang kalian
kerjakan. Maka dari itu, takutlah kalian kepada dunia dan takutlah
kepada wanita, karena sesungguhnya musibah yang pertama kali menimpa
bani Israil adalah ujian kaum wanita.”
Dunia memang tempat keangkuhan, ujub,
kesombongan dan kecongkakan, tempat hasad, iri hati dan dengki, tempat
pertumpahan darah, tempat saling injak, jatuh-menjatuhkan,
jegal-menjegal, tempat saling curiga-mencurigai, tempat melelang
kehormatan, tempat saling menuduh, tempat kezaliman, dan sebagainya.
Semua ini akan berakhir pada pintu kegagalan, kerugian, kehancuran, dan
kebinasaan.
Allah ‘azza wa jalla menjelaskan dalam firman-Nya,
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla adalah kekal.” (an-Nahl: 96)
“Apakah kamu tidak memerhatikan
bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diatur-Nya
menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air
itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu
kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur
berderai-derai. Sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (az-Zumar: 21)
“Seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu
lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” (al-Hadid: 20)
Al-Imam al-Alusi rahimahullah
berkata, “Yang tidak tergoda oleh dunia adalah orang-orang yang berakal.
Bagaimana mungkin dunia akan mendatangkan ketenangan dan ketenteraman?
Semuanya adalah main-main. Tidak ada buah yang akan dipetik selain
kelelahan.” (Lihat Tafsir al-Alusi tafsir surat al-Hadid ayat 20)
Dalam tafsir ayat yang sama, as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah ‘azza wa jalla
telah memberitahukan tentang hakikat dunia dan segala yang ada di
atasnya. Allah juga menjelaskan akhir kehidupan dunia dan ahli dunia.
Kehidupan dunia adalah main-main dan sia-sia. Badan akan kepayahan
dengan permainan dunia dan hati menjadi lalai. Inilah hakikat anak-anak
dunia. Engkau dapati mereka telah menghabiskan umur dalam kelalaian hati
dan lalai dari berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, lalai
dari mengejar janji-janji, dan lalai dari ancaman. Engkau menjumpai
mereka telah menjadikan agama sebagai mainan dan kesia-siaan belaka.
Berbeda halnya dengan orang yang berakal dan pekerja-pekerja akhirat.
Sungguh, hati mereka diramaikan oleh zikir kepada Allah ‘azza wa jalla, berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla, dan mencintai-Nya. Mereka mengisi umur mereka dengan amalan-amalan yang akan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla, baik dengan manfaat terbatas (hanya untuk dirinya) maupun meluas (mencakup orang lain).”
Bagi orang beriman, semua urusan dunia
adalah kebahagiaan yang semu dan senda gurau. Berlomba-lomba mengejarnya
adalah kerugian, kegagalan, dan sia-sia belaka. Dengarkan permisalan
indah dari Rabb kita,
“Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkan
lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).
Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (al-A’raf: 176)
Pesta demokrasi menjadi bukti yang
sangat jelas akan hal ini. Semua orang tampil mengusung jargon-jargon
kosong pejuang demokrasi dan pembelanya. Semua orang berjejal, saling
sikut dan sikat, lawan jadi kawan, dan kawan jadi lawan. Semua orang
siap mengobankan apa pun yang dimiliki, hanya demi meraih impian semu.
Jadi, tidak aneh lagi jika mereka rela meski harus mengorbankan
akhiratnya.
Di panggung politik ini, cela-mencela,
jatuh-menjatuhkan, dan membongkar aib saudara bukan lagi sesuatu yang
tabu dan berdosa besar. Semuanya hanya demi mengejar impian belaka.
Obral janji pun mengetuk pintu setiap rumah, meminta dukungan guna
mengejar impian. Rumah “angker” milik sang dukun bagaikan pasar malam
yang banyak dikunjungi para kandidat/caleg.
Sungguh, betapa lucunya. Sang dukun yang
tidak mengerti nasibnya sendiri, meramal nasib orang lain. Lebih lucu
lagi ketika sang dukun bodoh tersebut meramal nasib mujur bagi sang
calon, lalu menggantungkan sejuta harapan lolos dalam pesta demokrasi
demi mengejar impian itu. Aduhai, betapa malang nasib orang bodoh,
dibodohi oleh orangorang bodoh.
Huru-Hara dan Perdukunan
Seribu macam masalah dan problem muncul
akibat dunia. Berbagai kejahatan mencuat di permukaan karena dunia.
Hancurnya persaudaraan karena dunia, runtuhnya pertemanan dan
persahabatan pun dengan dunia. Hancurnya dunia dan akhirat seseorang
adalah karena persoalan dunia.
Karena dunia, seseorang mau menyudahi
kehidupannya di tiang gantungan, menyudahinya dengan minum racun,
melempar dirinya ke jurang kematian dan kebinasaan.
Karena dunia, seseorang menjadi gila dan melakukan tindakan-tindakan nekat.
Karena dunia, seorang anak menikam
bapaknya dan sebaliknya. Karena dunia, seseorang melakukan tindakan
keji, yaitu membunuh ibu kandungnya sendiri.
Karena dunia pula, seseorang melelang agama dan akhiratnya, serta menjatuhkan diri pada kubangan dosa-dosa besar.
Allah ‘azza wa jalla bercerita dalam al-Qur’an tentang kesudahan Qarun dan orang-orang yang bersamanya. Allah ‘azza wa jalla
telah bercerita pula tentang para penguasa dunia yang angkuh, sombong,
dan congkak. Ternyata mereka adalah manusia biasa yang tidak bisa
berbuat dan menolak keputusan Allah ‘azza wa jalla tenang hidup mereka. Apakah Anda masih belum bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah mereka atau menentang keputusan itu?
Huru-hara kehidupan dunia ini seringkali
bermuara di tangan paranormal alias dukun. Mereka dianggap penguasa
besar kehidupan, yang mengerti nasib mujur dan rugi setiap orang. Saat
akan membangun rumah, dia mendatangi sang dukun untuk bertanya hari apa
yang tepat untuk meletakkan batu pertama. Ketika akan membuka toko, dia
tidak luput meminta petuah sang dukun. Apabila akan melakukan perjalanan
jauh, dia harus mencari penjelasan hari baik dan hari sial. Saat akan
menikah, kembali dia meminta saran ke dukun. Berbagai kondisi hidupnya,
mayoritas tertumpu kepada para dukun.
Era globalisasi, kemajuan dalam segala
bidang, media informasi yang demikian pesat dan tingkat kecerdasan yang
tinggi, ternyata tidak cukup untuk menghukumi paranormal sebagai
pendusta.
Lebih aneh lagi, sekarang masih ada
orang-orang yang diperbudak oleh legenda-legenda jahiliah, yaitu meratap
nasib di tempat-tempat yang dianggap punya mitos tinggi, yaitu nilai
kekeramatan, kuburan-kuburan yang konon penghuninya adalah para wali
yang bisa memberi wangsit untuk membimbing semua sepak terjang yang akan
menguntungkan.
Semua bentuk penampilan hidup ini adalah
sikap perbudakan terhadap akal, pelecehan terhadap kerasulan, dan
penghancuran masa depan di dunia dan akhirat.
Lantas bagaimana pandangan agama tentang hukum mendatangi dukun atau yang semisalnya untuk mengundi nasib?
Agama sebagai aturan yang telah
disempurnakan, tidak hanya menyisakan kebaikan untuk kehidupan, tetapi
juga menjelaskannya. Begitu pula semua yang membahayakan hidup, agama
telah memperingatkan agar dijauhi. Termasuk dalam hal ini ialah
mendatangi dukun.
Agama kita mengharamkan mendatangi dukun berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya, dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 2006)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
Syaikh berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa dukun dan
tukang sihir itu kafir karena mengaku mengetahui ilmu gaib, dan itu
adalah sebuah kekafiran. Membenarkan keduanya dan meyakini serta
menerima hal itu adalah kekafiran pula.” (Fathul Majid hlm. 356)
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَ ةَالٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barang siapa mendatangi tukang ramal lalu bertanya kepadanya, niscaya tidak akan diterima shalatnya empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 2230 dari Hafshah bintu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ مِنَّا رِجَا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ؟ فَقَالَ: فَلا تَأْتِهِمْ
“Sesungguhnya di antara kami ada yang mendatangi dukun?” Beliau bersabda, “Janganlah kalian mendatangi mereka.” (HR. Muslim no. 836)
Bagi orang yang beriman, peringatan
agama sudah cukup menjadi lampu merah dalam hidupnya. Mereka tidak
mungkin percaya kepada dukun yang notabene adalah pendusta, orang yang
jauh dari Allah ‘azza wa jalla dan dekat dengan musuh-Nya ‘azza wa jalla, yaitu setan.
Asy-Syaikh al-Albani dalam takhrij beliau terhadap syarah Aqidah Thahawiyyah berkata,
“Kita tidak boleh percaya kepada para dukun dan para tukang ramal,
tidak pula kepada siapa pun yang mengaku sesuatu yang menyelisihi
al-Qur’an dan as-Sunnah, serta ijma’ umat.”
Wallahu a’lam.

Perjalanan Panjang Meraih Ilmu
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil, dia mendengar Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata,
بَلَغَنِي
حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِفَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا
ثُمَّ شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ
عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ
لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ
اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي
وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ
مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ
قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ
النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا
بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ،
ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍيَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا
الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ
النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى
أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ
يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ
حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ
وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟
قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ
“Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sedangkan aku tidak mendengar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, –pen).”
Jabir berkata, “Aku pun bersegera
membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh
perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam.
Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.”
Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.”
Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?”
Aku menjawab, “Ya, benar!”
(Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.”
Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat, –pen.).
Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih
dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.”
Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’
Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’
Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menyeru
mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah al-Malik
(Maharaja)! Aku adalah ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)!
Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk
ke dalam neraka sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya
hingga Aku mengqishashnya (yakni diselesaikan hak penghuni surga itu
darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga
untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada
dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun
hanya sebuah tamparan.”
Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka sedangkan kita menemui Allah k dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?”
Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.”
Takhrij Hadits
Kisah perjalanan Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dari Madinah menuju Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu di negeri Syam, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam al-Musnad (3/495), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (No. 970), al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/574), demikian pula al-Baihaqi dalam al-Asma hlm. 78—79.
Semua meriwayatkan kisah ini melalui jalan Hammam bin Yahya, dari al-Qasim bin Abdul Wahid al-Makki, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu.
Ibnu ‘Aqil seorang yang hasan haditsnya.
Al-Qasim bin Abdul Wahid dihukumi tsiqah hanya oleh Ibnu Hibban. Sementara itu, Abu Hatim ar-Razi mengatakan tentangnya, “Yuktabu haditsuhu.”
Al-Hakim berkata tentang hadits ini, “Shahihul isnad (sanadnya sahih),” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Al-Hafizh al-Mundziri berkata tentang hadits ini, “Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad hasan.”
Hadits perjalanan Jabir mengunjungi Abdullah bin Unais diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq[1] dalam Shahih-nya dengan jazm. Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari dalam al-Fath (1/159), “(Diriwayatkan dengan shigat jazm, -pen) karena hadits ini hasan, dan hadits ini dikuatkan).”
Ibnu Hajar rahimahullah kemudian menyebutkan jalan-jalan hadits ini, “Hadits ini memiliki jalan lain yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani dalam Musnad Syamiyyin, dan (diriwayatkan pula oleh) Tamam dalam Fawaid-nya melalui jalan al-Hajjaj bin Dinar, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir…, sanadnya shalih.
Hadits ini memiliki jalan ketiga yang dikeluarkan oleh al-Khathib dalam kitabnya, ar-Rihlah, dari jalan al-Jarud al-’Ansi dari Jabir, namun dalam sanadnya ada kelemahan.
Hadits di atas dengan semua jalannya sahih insya Allah, sebagaimana disimpulkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalil Jannah fi Takhrij as-Sunnah, hlm. 237. Wallahu a’lam.
Perjalanan yang Menakjubkan
Perjalanan panjang yang sangat
menakjubkan! Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadits
yang bisa dibaca tidak lebih dari lima menit. Subhanallah.
Demi mendengarkan hadits ini secara lengkap dan utuh melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panas sahara meninggalkan
kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu, sang pemilik hadits.
Demikian agung nilai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mata generasi terbaik umat ini. Para sahabat benar-benar memandang bahwa satu kalimat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih baik dari dunia dan seisinya, bahkan tidak bisa dibandingkan.
Demikian pula seharusnya cara pandang seorang muslim terhadap
sabda-sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena besarnya nilai ilmu itulah, sudah sepantasnya jalan-jalan yang panjang ditempuh demi meraihnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang keutamaan menempuh jalan menuntut ilmu,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh jalan meraih ilmu (al-Kitab dan as-Sunnah) niscaya akan Allah ‘azza wa jalla mudahkan jalan baginya menuju jannah.” (HR. Muslim no. 1390)
Melakukan rihlah (perjalanan
jauh) menuntut ilmu telah menjadi kebiasaan ulama pendahulu umat ini
baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya. Salaf (pendahulu) umat ini
memahami benar bahwa ilmu itu harus dicari dan didatangi, tidak datang
dengan sendirinya! Ilmu dicapai dengan upaya, bukan ditunggu dengan
berleha-leha. Perjalanan panjang menuntut ilmu telah dicontohkan oleh
Nabi Musa ‘alaihissalaam dalam perjalanan panjangnya bersama Khidhir yang diabadikan dalam surat al-Kahfi. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata
kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke
pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun.” (al-Kahfi: 60)
Dalam riwayat-riwayat sirah (sejarah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun kita dapatkan contoh yang sangat banyak. Para sahabat yang
berdatangan dari segala penjuru menuju kota Madinah untuk belajar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menanyakan
problem yang mereka hadapi, kemudian kembali ke kampung halaman
masing-masing mendakwahkan ilmu yang telah ditimba.
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabat terus bersemangat melakukan perjalanan menimba ilmu,
sebagaimana semangat mereka menyebarkannya kepada umat. Hal ini bisa
dilihat pada kisah Jabir bin Abdullah bersama Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhuma di atas.
Jejak generasi terbaik diikuti oleh para
tabi’in, atbaut tabi’in, dan ulama setelah mereka. Tidak sedikit dari
mereka yang menempuh perjalanan yang begitu jauh untuk menuntut ilmu.
Al-Imam Abu Hatim ar-Razi rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah berjalan kaki lebih dari 1.000 farsakh. Padahal satu farsakh lebih dari 5 km, belum lagi perjalanan beliau menaiki kendaraan.
Setiap kali membaca biografi ulama, kita
dapatkan sejarah perjalanan mereka menuntut ilmu, baik berjalan kaki
maupun berkendaraan, menuju Makkah, Madinah, Baghdad, Yaman, Mesir,
Damaskus, dan negeri-negeri lain yang menjadi pusat ilmu kala itu.
Baqi bin Makhlad al-Andalusi rahimahullah melakukan perjalanan dari Andalusia ke Afrika lalu menuju Baghdad untuk belajar kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sendiri telah melakukan perjalanan yang begitu jauh. Ibnu Jauzi rahimahullah mengatakan, “Al-Imam Ahmad pernah mengelilingi dunia dua kali sampai ia menyusun kitab al-Musnad.”
Ilmu al-Kitab dan as-Sunnah memang
demikian mahal. Sungguh, untuk meraihnya harus ditempuh jalanjalannya,
baik jalan yang bersifat indrawi seperti berjalan menuju masjid dan
menghadiri majelis-majelis ilmu, maupun jalan yang sifatnya maknawi
seperti duduk membaca kitab-kitab ulama dan berusaha memahaminya.
Barang siapa menempuh jalan tersebut, Allah ‘azza wa jalla akan mudahkan baginya jalan menuju jannah. Sebab, hanya dengan ilmu syar’i itulah seorang mengenal hak-hak Allah ‘azza wa jalla, mengenal nama-nama Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, serta mengerti tauhid dan kesyirikan.
Dengan ilmu syar’i itu pula Anda akan mengerti hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla
yang terkait dengan diri Anda atau orang lain. Anda akan mengetahui
cara bersuci, shalat, dan seterusnya. Anda akan mengerti pula apa yang
diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Anda akan mampu membedakan antara
yang haq dan yang batil.
Dengan menuntut ilmu syariat, jalan pun
menjadi terang dan segala kebaikan akan diraih. Hal ini dijanjikan oleh
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Siapa yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki kebaikan atasnya, Allah ‘azza wa jalla akan pahamkan dia dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jika seorang telah mengetahui betapa
agungnya ilmu syar’i, sudah sepantasnya ia bersegera mempergunakan
kesempatan. Lebih-lebih masa muda, saat segala kemampuan dimiliki dan
belum datang kesibukan serta masa tua.
Rihlah untuk Membela Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Kedustaan
Bukan hanya rihlah menuntut
hadits yang sahih, para ulama pun rela menempuh perjalanan jauh untuk
meneliti keabsahan suatu hadits. Makar-makar musuh Islam pun terbongkar,
pintalanpintalannya terurai.
Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dalam kitabnya, al-Maudhu’at, tentang terbongkarnya kepalsuan hadits Ubai bin Ka’b tentang fadhail al-Qur’an. Beliau berkata, “… Dari Mahmud bin Ghailan[2] dia berkata, Aku mendengar Muammal berkata, Seorang syaikh menyampaikan kepadaku (hadits) fadhail surat-surat al-Qur’an yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu. Aku bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menyampaikan kepadamu?’ Dia berkata, ‘Seorang syaikh di negeri Mada’in, dia masih hidup.’
(Muammal berkata,) aku pun pergi kepadanya dan bertanya, ‘Siapa yang menyampaikan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Seorang syaikh di negeri Wasith dan dia masih hidup.’
Aku pun pergi kepadanya dan bertanya, ‘Siapa yang menyampaikan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Seorang syaikh di negeri Bashrah.’
Aku pergi kepadanya. Dia berkata, ‘Yang menyampaikan kepadaku adalah seorang syaikh dari negeri Ba’adan.’
Aku pun menjumpai syaikh tersebut.
(Ketika aku telah bertemu dengannya di Ba’adan, aku tanyakan, siapa yang
menyampaikan hadits ini?) Dia pun meraih tanganku dan membawaku masuk
ke dalam sebuah rumah yang ternyata terdapat sejumlah penganut sufi
beserta seorang syaikh. Dia berkata, ‘Syaikh inilah yang menyampaikan
hadits (Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu kepadaku).’
Aku (Muammal) bertanya pada syaikh
(sufi), ‘Siapa yang menyampaikan hadits ini?’ Dia berkata, ‘Tidak ada
seorang pun menyampaikannya kepadaku. Akan tetapi, kami menyaksikan
manusia lari darial-Qur’an, maka kami membuat (baca: memalsukan) hadits
untuk (kebaikan) manusia agar mereka mau kembali pada al-Qur’an’.” (al-Maudhu’at [1/239—241])
Perhatikanlah kesungguhan ahlul hadits memperjuangkan agama Allah ‘azza wa jalla dan membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara membersihkan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari kepalsuan. Seorang dari mereka bersedia berjalan jauh, berkeliling
ke berbagai negeri, hanya untuk meneliti kebenaran sebuah hadits.
Semoga Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita bersama mereka dalam jannah-Nya yang penuh kenikmatan.
Keadaan Umat yang Menyedihkan
Apa yang kita kisahkan di atas demikian
indah. Namun, keadaannya terbalik dengan kebanyakan kaum muslimin di
akhir zaman, termasuk di negeri kita.
Saat ini, jarang terlihat sosok muslim duduk bersimpuh di hadapan Allah ‘azza wa jalla membaca kalam-Nya. Sangat sukar didapatkan pemandangan seorang muslim membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghafalkannya, dan mentadaburi makna yang terkandung di dalamnya.
Lihatlah para pemuda generasi Islam di sekitar kita. Apakah mereka menekuni shalat lima waktu yang Allah ‘azza wa jalla
wajibkan atas manusia? Betapa banyak pemudapemudi menyia-nyiakan
shalat. Jarang ada pemuda yang mengisi shaf-shaf shalat lima waktu di
masjid.
Lihat pula generasi muda umat ini,
kesibukan apa yang sering mereka tekuni? Ternyata banyak di antara
mereka disibukkan dengan pergaulan bebas dan dunia maya. Bukan
masjid-masjid Allah ‘azza wa jalla yang didatangi, melainkan
tempat hiburan, keramaian, dan kemaksiatan yang mereka gandrungi.
Pemandangan yang sangat menyesakkan dan berat untuk diceritakan. Nasalullah as-salamah wal ‘afiyah.
Di sisi lain, kaum muslimin
bercerai-berai. Umat dikotak-kotakkan dalam banyak partai politik
setelah terpecah-pecah dalam aliran dan sekte-sekte Islam.
Mendengar ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits, mereka menghindar atau pura-pura tidak tahu. Duduk menuntut ilmu
seakan-akan tidak mendatangkan apa yang mereka inginkan! Dalam kancah
politik, yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana mengumpulkan suara
sebanyak-banyaknya dan menggapai kursi kedudukan.
Walhasil, banyak kaum muslimin menjadi
korban pesta demokrasi. Harta, pikiran, dan tenaga, terkuras habis.
Waktu pun terbuang sia-sia tanpa satu ayat atau satu hadits pun dibaca
dan ditadaburi.
Wahai kaum muslimin, tidakkah kita
sadar, berpaling dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta menjauh dari jalan
generasi terbaik umat ini (yakni sahabat), adalah salah satu target
makar musuh-musuh Islam?
Akibat Berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah
Berpaling dari al-Qur’an dan as-Sunnah
bukan urusan yang sepele. Masalah ini sangat besar. Akibat yang buruk
benar-benar akan dituai oleh mereka yang berpaling dari peringatan Allah
‘azza wa jalla.
Di antara akibat buruknya ialah apa yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan,
Barang siapa berpaling dari
pengajaran Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya setan
(yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benarbenar menghalangi
mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat
petunjuk. Apabila orang-orang yang berpaling itu datang kepada Kami (di
hari kiamat), dia berkata, “Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu
seperti jarak antara timur dan barat, maka setan itu adalah
sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” (Harapanmu itu)
sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu
telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam
azab itu. (az-Zukhruf: 36—39)
Ya, Allah ‘azza wa jalla menguasakan setan atas orang yang berpaling dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ‘azza wa jalla menjadikan setan sebagai teman dekatnya yang selalu mengiringinya. Dalam ayat lain,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan barang siapa berpaling dari
peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah
ia, “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta,
padahal aku dahulu adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman,
“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu(pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 124—126)
Jangan engkau sangka mereka yang sibuk
dengan dunia, sibuk memburu kursi dalam ajang pesta demokrasi merasakan
kebahagiaan. Tidak, demi Allah! Perjalanan pencari dunia akan terputus,
diakhiri dengan kekecewaan dan kebinasaan.
Layaknya seorang yang berjudi, para pencari kekuasaan mempertaruhkan seluruh sumber daya yang dimiliki hanya demi sebuah kursi.
Segala cara ditempuh: berdusta,
mengumbar janji, praktik suap, menghidupkan premanisme, mencela dan
menjatuhkan lawan politik, menebarkan kecurigaan dan kebencian kepada
saudara seiman, dan akibat-akibat buruk lain yang tidak samar bagi
setiap yang berakal. Lebih menyedihkan lagi ketika praktik-praktik
perdukunan juga makin merebak seiring trend mencalonkan diri sebagai
calon anggota legislatif. Agama tidak lagi dijaga, bahkan kini dijual
semurah-murahnya demi sebuah kata: Kursi!
Oleh-Oleh Perjalanan Sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu
Berbeda halnya dengan perjalanan Jabir radhiallahu ‘anhu
menuntut ilmu. Perjuangan beliau dikenang sepanjang masa. Ilmu yang
beliau cari di negeri Syam dengan perjalanan panjangnya sungguh tidak
sia-sia, sebagaimana sia-sianya harta para pencari dunia dan
kekuasaan.Setiap langkah menuju ilmu dicatat sebagai amalan kebaikan.
Hadits yang diperoleh Jabir radhiallahu ‘anhu dalam perjalanan
itu pun terus dikenang dan dibaca kaum muslimin yang tidak terhingga
jumlahnya hingga hari kiamat, terus diambil manfaatnya, diriwayatkan
para ulama…
Pahala pun terus mengalir kepada sahabat Jabir bin Abdillah dan Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhuma, insya Allah. Hal ini sebagaimana janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
إِذَا
مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Jika anak Adam mati maka
terputuslah semua amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1389 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Berkatalah ia, “Ya Rabbku, mengapa
Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu adalah
seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami, maka
kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada
hari ini kamu pun dilupakan.”
Sungguh, keadaan kaum muslimin secara
umum dan negeri ini secara khusus akan terus menyedihkan jika tidak
bersegera kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah, serta meniti jejak
sahabat dalam memahami keduanya.
Wahai kaum muslimin, marilah kita
kembali kepada kejayaan Islam dengan kembali mempelajari al-Kitab dan
as-Sunnah. Kembali meniti jalan para sahabat dalam memahami dan
mengamalkan Islam.
Kaum muslimin harus segera bangun dari
tidur yang lelap. Mereka harus menyadari betapa besar makar musuh-musuh
Islam menjauhkan kaum muslimin dari agamanya.
Di akhir majelis, kita ingatkan sebuah sabda yang sangat agung tentang jalan kejayaan bagi umat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian telah berjual beli
dengan cara al-’inah (jenis jual beli riba, -pen), telah mengambil
ekor-ekor sapi, telah ridha dengan perkebunan, dan meninggalkan jihad,
Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah ‘azza wa jalla tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dan lain-lainnya dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 11)
Itulah jalan kejayaan. Menempuh jalan-jalan meraih ilmu al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana halnya Jabir radhiallahu ‘anhu menempuhnya.
Beberapa Faedah
- 1. Hadits ini menunjukkan keutamaan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kaum yang sangat bersemangat menuntut ilmu, menyebarkannya, dan sangat mengagungkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
- 2. Di antara adab menuntut ilmu adalah mencurahkan segala potensi dan kemampuan, harta, tenaga, dan waktu untuk menimba ilmu, seperti halnya yang dicontohkan oleh Jabir bin Abdilah radhiallahu ‘anhu.
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya ucapan indah dari Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
لاَ يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu tidak akan dicapai dengan santainya badan.” (HR. Muslim)
- Pentingnya tatsabbut (meneliti) berita-berita yang datang, lebih-lebih jika berita tersebut terkait dengan agama, terkait dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Hadits ini menerangkan salah satu adab bertamu, yaitu al-isti’dzan (meminta izin).
Di antara hikmah disyariatkannya meminta
izin sebelum masuk ke rumah orang lain adalah menjaga pandangan mata
dari hal-hal yang tidak baik atau tidak pantas untuk dilihat.
- 5. Hadits di atas merupakan salah satu contoh riwayat sahabat dari sahabat yang lain.
- 6. Mengingat kematian menjadi penyemangat seorang muslim untuk bersegera melakukan amalan saleh dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Dalam kisah di atas, Jabir radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu,
فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ
“Saya khawatir engkau meninggal
terlebih dahulu atau aku yang lebih dulu meninggal, sementara itu aku
belum sempat mendengarnya.”
- Hadits ini menetapkan nama Allah ‘azza wa jalla al-Malik dan ad-Dayyan. Al-Malik artinya adalah Yang Maha Menguasai (Maharaja) dan ad-Dayyan artinya adalah Yang Maha memberikan balasan.
- Hadits ini menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah ‘azza wa jalla.
- Penduduk mahsyar mendengar firman Allah ‘azza wa jalla.
- Hadits di atas menetapkan adanya qishash di hari kiamat yang menunjukkan kemahaadilan Allah ‘azza wa jalla. Tidak ada sedikit pun perkara kezaliman kecuali akan diselesaikan oleh Allah ‘azza wa jalla di hari kiamat walaupun kezaliman tersebut dilakukan seorang penduduk jannah kepada seorang penduduk neraka, Allah ‘azza wa jalla akan menyelesaikannya.
- Haramnya segala bentuk kezaliman terhadap siapa pun, termasuk kepada orang-orang kafir.
- Kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, akan dibayar pada hari kiamat dengan pahala yang dia miliki, diberikan kepada orang yang terzalimi.
Apabila tidak ada pahala padanya
sementara kezaliman belum terbayar, dosa dari orang yang terzalimi
ditimpakan kepada orang yang menzalimi.
Bisa jadi pada awalnya seseorang membawa
sekian banyak amalan kebaikan. Namun, karena kezaliman-kezalimannya,
kebaikannya habis, kemudian ditimpakan atasnya dosa-dosa orang yang ia
zalimi. Ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَدْرُونَ
مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَ
مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا
وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا،
فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ
فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ
خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?”
Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang
pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun,
ia juga datang membawa dosa kezaliman. Ia pernah mencerca si fulan,
menuduh (zina dan lainnya, -pen) tanpa bukti terhadap si fulan, memakan
harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul fulan. Sebagai
tebusan atas kezalimannya, diberikanlah sebagian kebaikannya kepada
fulan, demikian pula kepada fulan dan fulan. Apabila kebaikannya telah
habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizaliminya sementara belum
semua kezalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang
dimiliki oleh orang yang dizaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian
ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 6522)
- Manusia kelak akan dibangkitkan lalu dikumpulkan di Padang Mahsyar dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak membawa apa pun.
- Pertanyaan murid kepada sang guru mengenai perkara yang belum dipahami dari pembicaraan.
Dalam hadits ini, sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna buhma.
- Bolehnya menyambut tamu yang datang dari safar dengan merangkul atau memeluknya.
Al-Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad memberi judul kisah Jabir radhiallahu ‘anhu di atas dengan bab “Mu’anaqah”.
[1] Hadits mu’allaq adalah hadits yang dibuang satu orang perawi atau lebih pada bagian awal sanadnya. Dalam Shahih al-Bukhari, banyak hadits mu’allaq yang disebutkan dalam judul-judul bab yang dibuat al-Bukhari.
[2] Dia adalah Abu Ahmad Mahmud bin Ghailan al-‘Adawi al-Marwazi, tsiqah, meninggal 239 H.

Mencalonkan Diri Jadi Pemimpin
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Tafsir Ayat
Ayat ini menerangkan permintaan Yusuf ‘alaihissalaam
kepada penguasa di zaman itu untuk mengangkatnya sebagai bendahara yang
menjaga gudang perbendaharaan harta negeri, agar keadilan merata dan
kezaliman disirnakan. Yusuf ‘alaihissalaam akan menjadikan hal itu sebagai sarana mengajak penduduk negeri tersebut agar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala.
Yusuf ‘alaihissalaam berkata, “Jadikanlah aku untuk mengawasi khazainul ardh.”
Ungkapan خَزَائِنُ الْأَرْضِ , kata خَزَائِنُ adalah bentuk jamak dari kata .خَزَانَةٌ
Asalnya adalah sebuah tempat yang digunakan untuk menyimpan sesuatu.
Yang dimaksud di sini adalah tempattempat yang dijadikan sebagai gudang
harta. (Fathul Qadir, asy-Syaukani)
Yusuf ‘alaihissalaam menawarkan hal ini kepada sang raja ketika dia benar-benar telah mengetahui bahwa Yusuf ‘alaihissalaam
terbebas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepada beliau sehingga
masuk penjara karenanya. Sang raja telah mengetahui keutamaan yang
dimiliki oleh Yusuf ‘alaihissalaam, yaitu ilmu, kemuliaan akhlak, kepandaian menakwil mimpi, dan keutamaan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf
kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka
tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya
kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai
pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Ibnu Abi Hatim rahimahullah
meriwayatkan dari Syaibah bin Na’amah, dia mengatakan bahwa kata حَفِيظٌ
maknanya ialah menjaga apa yang engkau titipkan untuk disimpan, عَلِيمٌ
artinya yang mengetahui akan datangnya tahun-tahun paceklik. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 8, hlm. 51)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan, “Beliau meminta jabatan itu karena tahu kemampuan beliau
untuk menunaikan tugas tersebut. Selain itu, beliau juga ingin
memberikan kemaslahatan bagi manusia. Beliau hanya meminta untuk menjaga
perbendaharaan bumi, berupa piramida-piramida yang menyimpan kumpulan
hasil bumi bangsa Mesir, karena mereka akan menyambut tahun-tahun
(paceklik) yang diberitakan oleh Yusuf.
Dengan demikian, Yusuf ‘alaihissalaam
dapat bertindak dengan cara yang lebih efisien, lebih maslahat, dan
lebih terbimbing untuk kepentingan mereka. Maka dari itu, permintaan
beliau dikabulkan dengan penuh rasa senang dan pemuliaan terhadap
beliau.
Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan demikianlah Kami memberi
kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi
menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami
melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 56)
Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Yusuf ‘alaihissalaam berkata demi kemaslahatan umum, ‘Jadikanlah aku sebagai bendaharawan negara’, yaitu sebagai bendaharawan yang menjaga hasil bumi, sebagai perwakilan, penjaga, dan yang mengurusi.
‘Sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’ Maksudnya,
aku mampu menjaga apa yang ditugaskan kepadaku, sehingga tidak sedikit
pun yang telantar bukan pada tempatnya. Aku mampu mengatur dengan baik
barang yang masuk dan yang keluar, mengetahui cara mengatur, memberi,
mencegah, dan bertindak dengan segala macam cara.
Ini bukanlah sikap ketamakan Yusuf ‘alaihissalaam
untuk mendapatkan kepemimpinan, melainkan tekad beliau yang kuat untuk
memberi manfaat secara umum. Beliau sendiri tahu bahwa beliau memiliki
kecukupan, amanah, dan kepandaian menjaga, yang mereka tidak mengetahui
hal itu dari beliau. Oleh karena itu, beliau meminta dari sang raja
untuk mengangkatnya sebagai bendaharawan gudang harta negeri itu. Sang
raja pun mengangkatnya sebagai bendaharawan negara dan memberi kedudukan
itu kepadanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Hukum Mencalonkan Diri Menjadi Pemimpin
Ayat ini lahiriahnya menunjukkan
diperbolehkannya seseorang menawarkan diri untuk mengambil sebuah
kedudukan yang memang dia memiliki keahlian dalam bidang tersebut.
Al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Ayat ini menunjukkan
pula tentang bolehnya seseorang melamar sebuah pekerjaan yang dia
memiliki keahlian dalam bidang tersebut.” (Tafsir al-Qurthubi, 11/385)
Asy-Syaukani rahimahullah juga
menjelaskan, “Di dalamnya terdapat dalil bagi seseorang yang meyakini
jika dirinya masuk ke salah satu urusan pemerintahan akan bisa
mengangkat cahaya kebenaran dan menghancurkan kebatilan yang mampu dia
lakukan, diperbolehkan meminta hal itu untuk dirinya. Di samping itu,
dia boleh menyebutkan sifat-sifat (kelebihan) yang dia miliki yang
mendukung tercapainya kemauan, mengundang ketertarikan para penguasa
yang akan menyerahkan kendali urusan kepadanya, dan menjadikannya
sebagai dasar agar lamarannya diterima.” (Fathul Qadir juz 3, hlm. 49)
Akan tetapi, telah diriwayatkan beberapa
hadits yang menunjukkan tercelanya seseorang meminta kedudukan untuk
menjadi seorang pemimpin.
Di antaranya adalah hadits Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ
إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah,
jangan engkau meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau diberi
kepemimpinan karena memintanya, sungguh akan diserahkan kepadamu (yakni
Allah ‘azza wa jalla tidak akan menolongmu). Namun, jika engkau diberi bukan karena memintanya, engkau akan ditolong (oleh Allah ‘azza wa jalla) untuk mengembannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua orang dari kabilah Asy’ari. Salah satunya di sebelah kananku dan yang lain di sebelah kiriku. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersiwak, keduanya meminta jabatan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Wahai Abu Musa,” atau beliau berkata, “Wahai Abdullah bin
Qais.” Aku menjawab, “Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran,
keduanya tidak memberitahuku tentang apa yang ada pada dirinya. Aku
tidak menyangka kalau keduanya meminta pekerjaan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ
“Kami tidak meyerahkan jabatan kami kepada orang yang memintanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, “Aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama dua orang lelaki dari kaumku, salah satunya berkata, ‘Angkatlah
kami menjadi pemimpin, wahai Rasulullah.’ Yang lainnya juga mengucapkan
hal yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا لَا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
‘Sesungguhnya kami tidak menyerahkan hal ini kepada orang yang memintanya dan yang sangat berharap mendapatkannya’.” (HR. al-Bukhari, no. 6730)
Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكُمْ
سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian berkeinginan
kuat untuk mendapatkan kepemimpinan, dan akan menjadi penyesalan pada
hari kiamat kelak, nikmat di dunia, namun sengsara di akhirat.” (HR. al-Bukhari, no. 6729)
Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku kedudukan?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk pundakku dengan tangannya, lalu berkata, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Sesungguhnya ini adalah amanat dan sesungguhnya akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan menunaikan haknya dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya’.” (HR. Muslim, no. 1825)
Hal ini telah dijawab oleh al-Imam al-Qurthubi rahimahullah dari beberapa sisi.
- Yusuf ‘alaihissalaam meminta kedudukan karena beliau mengetahui bahwa tidak seorang pun yang mampu menduduki jabatan tersebut dalam hal keadilan, perbaikan, dan pemberian hak-hak orang miskin.
Jadi, ia melihat bahwa hal itu menjadi fardhu ‘ain
baginya karena tidak ada orang lain yang mampu melakukannya. Demikian
pula hukumnya sekarang, jika seseorang mengetahui bahwa dia mampu
menegakkan kebenaran dalam hal menetapkan hukum dan menegakkan
kebenaran, serta tidak ada orang lain yang layak dan bisa mengganti
kedudukannya, hal ini menjadi wajib baginya. Dia pun wajib menduduki
jabatan itu dan memintanya. Dia juga wajib memberitakan tentang
sifat-sifat (kelebihan) yang dimilikinya, berupa ilmu, kemampuan, dan
lainnya, yang dengannya dia berhak berada pada posisi tersebut, seperti
halnya yang dikatakan oleh Yusuf ‘alaihissalaam.
Adapun jika orang lain yang mampu
menegakkan dan memperbaikinya, dan dia mengetahui hal tersebut,
sebaiknya dia tidak memintanya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan engkau meminta kepemimpinan.”
Jika dia memintanya dan bersemangat
untuk mendapatkannya—padahal dia tahu bahwa dirinya memiliki banyak
kekurangan dan sulit berlepas diri darinya—ini merupakan tanda bahwa dia
meminta jabatan itu untuk dirinya dan kepentingan pribadinya. Barang
siapa yang demikian keadaannya, tidak lama kemudian hawa nafsu akan
menguasainya sehingga dia binasa. Inilah makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh Allah ‘azza wa jalla, -pen.).”
Barang siapa enggan mendapatkan
kedudukan itu karena mengetahui kekurangan dirinya dan khawatir tidak
mampu menegakkan hak-haknya, atau dia berlari meninggalkannya, kemudian
dia diberi ujian untuk menanganinya, diharapkan dia mampu keluar dari
berbagai problemnya. Inilah makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia akan ditolong.’
- Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku orang yang mampu menjaga lagi berilmu.”
Jadi, beliau tidak memintanya karena faktor keturunan dan ketampanannya.
- Beliau mengucapkan itu saat tidak ada orang yang mengenalnya sehingga merasa perlu untuk memperkenalkan dirinya. Ini adalah pengecualian dari firman Allah ‘azza wa jalla,
“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm: 32)
- Beliau menganggap bahwa hal itu adalah fardhu ‘ain baginya, karena tidak ada orang lain yang mampu. Ini adalah jawaban yang paling tampak kebenarannya.” (Tafsir al-Qurthubi, jilid 11, hlm. 385—386)
Kerusakan Pemilu dalam Demokrasi
Ayat yang kita bahas ini bukanlah dalil
yang membenarkan seseorang untuk ikut terjun ke dalam pentas politik
demokrasi dan mencalonkan diri untuk mendapat bagian dari jabatan
tersebut. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya:
- Pemilu merupakan bagian dari menyekutukan[1] Allah ‘azza wa jalla, sebab pemilu merupakan bagian dari demokrasi, yang aturannya berasal dari musuh-musuh Islam untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya.
- Menuhankan suara terbanyak dan menjadikannya sebagai standar kebenaran meskipun Islam menganggapnya sebagai kebatilan; di sisi lain menolak suara minoritas meskipun itu adalah hal yang pasti kebenarannya menurut agama.
- Menganggap syariat Islam itu kurang dalam menetapkan peraturan di tengah-tengah manusia, sehingga merasa butuh dengan sistem demokrasi yang jelas-jelas bukan berasal dari Islam.
- Menyebabkan pudarnya sikap al-wala wal-bara (loyalitas dan kebencian) berdasarkan Islam.
- Tunduk kepada undang-undang sekuler.
- Hanya memberi kemaslahatan kepada musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
- Menyebabkan semakin terpecah belahnya kaum muslimin dengan terbentuknya partai-partai yang sering kali berupaya saling menjatuhkan.
Masih banyak lagi kerusakan-kerusakan pemilu yang merupakan bagian penting dari sistem demokrasi tersebut.
Al-Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah ditanya, “Apakah mengikuti pemilu/masuk parlemen merupakan wasilah yang disyariatkan untuk menolong agama atau tidak?”
Beliau menjawab, “Tidak.” (al-Fatawa al-Jaliyyah ‘anil Manahij ad-Da’wiyah, hlm. 25)
Selain itu, beliau mengatakan bahwa
termasuk di antara bentuk penipuan dengan suara terbanyak adalah yang
disebut pemilu, pencalonan diri, atau yang semisalnya. Siapa yang
berhasil meraih suara terbanyak, dia yang diutamakan untuk diangkat,
meskipun dia termasuk manusia yang paling buruk. Ini adalah metode
orang-orang kafir yang mereka gunakan untuk menetapkan pemimpin negara,
menteri, atau yang lainnya. (al-Amali an-Najmiyah ‘ala Masail al-Jahiliyah, no. 12)
Wallahul Muwaffiq.
[1] Lihat perincian hal ini pada catatan kaki no. 1 pada artikel Kerusakan-kerusakan Pemilu. (-ed.)H

Tanya Jawab Ringkas Edisi 100
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Potong Rambut Model Pemain Bola
Saya mencari nafkah dengan jasa potong
rambut. Apa hukumnya jika diminta untuk memotong model rambut seperti
pemain bola orang-orang kafir?
085262XXXXXX
Jawaban:
Tidak boleh bagi Anda memotong
rambut dengan gaya orang kafir, karena termasuk ta’awun di atas dosa.
Kaum muslimin tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) dengan orang kafir.
Menerima Hadiah dari Pekerja Bank
Bagaimana sebaiknya apabila kita diberi hadiah dari orang yang bekerja di bank?
02470XXXXXX
Jawaban:
Jika diketahui bahwa penghasilan dia murni dari yang haram, sikap wara’ kita ialah tidak menerima hadiahnya.
Mengambil Keuntungan dari Akikah
Bolehkah mengambil keuntungan dari acara
akikah? Misalnya, saya diberi sejumlah uang untuk membeli domba,
kemudian memasak dan membagikannya. Keuntungan saya dapat dari uang yang
diberikan dengan biaya pembuatan.
085793XXXXXX
Jawaban:
Jika profesi Anda adalah penjual
kambing, boleh mengambil untung. Jika hanya ditunjuk sebagai wakil,
hukum asalnya tidak boleh mengambil keuntungan kecuali apabila ada
kesepakatan sebelumnya atau ada komisi dari orang yang menyuruh Anda.
Melamar Pekerjaan
Apakah melamar pekerjaan masuk dalam kategori meminta-minta?
085649XXXXXX
Jawaban:
Tidak termasuk meminta-minta selama
pekerjaan tersebut halal dan dia ahli dalam bidangnya. Lebih-lebih lagi
jika murni urusan duniawi.
Mengucapkan Hamdalah saat Shalat
Bagaimana ketika kita shalat kemudian bersin dan mengucapkan, “Alhamdulillah,” apakah yang mendengar harus menjawabnya?
081281XXXXXX
Jawaban:
Pendapat sebagian ulama boleh dengan
dasar hadits tentang kisah Muawiyah bin Hakam as-Sulami. Akan tetapi,
yang mendengar tidak (boleh) mendoakan yang bersin.
Cara Masuk Islam
Apabila si fulan mengajak temannya untuk
masuk Islam kemudian ia mau masuk Islam, apakah cukup baginya untuk
bersyahadat di hadapan fulan saja atau ada ketentuan dan syarat lain?
08960XXXXXXX
Jawaban:
Seseorang yang hendak masuk Islam
harus mengucapkan syahadatain di hadapan banyak muslimin dan lebih afdal
di depan instansi pemerintah terkait, seperti KUA, agar keislamannya
diketahui khalayak ramai.
Jas Hujan yang Isbal
Haruskah jas hujan dipotong agar tidak isbal?
085810XXXXXX
Jawaban:
Jika kita sebagai penjual jas hujan,
tidak perlu memotongnya karena tinggi badan konsumen bervariasi. Jika
kita adalah pembeli dan ukurannya terlalu panjang, dipotong agar tidak
isbal.
Antara Akikah & Qurban
Mana yang didahulukan, akikah atau kurban jika waktunya bersamaan?
081386XXXXXX
Jawaban:
Jika akikahnya pada hari ke-7, dahulukan akikah karena waktunya terbatas. Namun, jika di luar hari ke-7, dahulukan kurban.
Tata Cara Takbir Idul Adha
Bagaimana tata cara takbiran yang benar menurut syariat?
08237XXXXXXX
Jawaban:
Takbir Idul Adha boleh dilakukan setelah selesai shalat dengan dibaca sendirian, tidak boleh dipimpin oleh imam.
Dana Haji di Bank Konvensional
Bolehkah berhaji dengan biaya dikelola oleh pemerintah melalui bank konvensional?
081392XXXXXX
Jawaban:
Diperbolehkan berhaji dengan cara tersebut karena kondisi yang tidak mungkin dihindari.
Kredit Motor
Bolehkah kredit sepeda motor di showroom seperti yang dilakukan kebanyakan masyarakat?
081360XXXXXX
Jawaban:
Kredit motor yang dilakukan
kebanyakan masyarakat sekarang melalui dealer/sistem leasing adalah hal
yang dilarang karena mengandung unsur riba.
Konsekuensi Bersyariat
Apakah setiap orang yang berusaha
menempuh, menjalani, menegakkan syariat agama ini dalam kehidupannya
mesti akan menghadapi hal yang tidak mengenakkan dan merisaukan hati
dari orang-orang di sekitarnya?
08574XXXXXXX
Jawaban:
Ya, itu sebuah kepastian sebagai
ujian keimanan dan keistiqamahan. Semakin tebal dan tinggi iman dan
takwa seseorang, semakin berat dan banyak ujiannya.
Puasa 10 Hari Awal Muharram
Apakah boleh puasa pada bulan Muharram dari tanggal 1 sampai dengan 10?
08233XXXXXXX
Jawaban:
Tidak ada dalil khusus puasa tanggal 1—10 Muharram. Yang ada adalah puasa Muharram secara umum dan tanggal 9—10 secara khusus.
Komisi Tambahan bagi Pekerja
Saya bekerja di pabrik (bagian produksi)
dan diberi tugas tambahan. Jika ada mobil bahan baku datang, saya
bertugas untuk mengeceknya. Jika sudah selesai dicek, saya mendapatkan
uang dari sopir. Apakah uang tersebut halal untuk saya ambil?
08777XXXXXXX
Jawaban:
Komisi seperti itu hukum asalnya
kembali kepada kebijakan perusahaan. Jika ada aturan yang membolehkan
diambil oleh karyawan, diperbolehkan.
Wasiat Warisan
Apa boleh wasiat dalam bentuk harta/tanah diberikan kepada salah satu ahli waris saja (dalam kasus ini diberikan kepada cucu)?
081386XXXXXX
Jawaban:
Jika yang diberi termasuk ahli waris
yang mendapat warisan, wasiat tersebut tidak sah. Sebab, tidak boleh
berwasiat untuk ahli waris. Begitu pula jika wasiatnya lebih dari 1/3
harta waris, tidak sah walau yang diberi bukan ahli waris.
Amalan untuk Orang Tua yang Telah Meninggal
Amalan apa saja yang pahalanya bisa kita niatkan untuk kedua orang tua yang telah meninggal?
087737XXXXXX
Jawaban:
Amalan yang pahalanya bisa sampai
kepada orang tua yang telah wafat di antaranya, doa kebaikan untuk
mereka, ini yang paling dianjurkan; sedekah dan sejenisnya; qadha puasa
wajib yang ditanggung oleh orang tua; haji badal; dan amal saleh secara
umum. Sebab, anak adalah hasil usaha orang tua.
Mandi dengan Air Sisa Mandi Wanita
Bolehkah kita mandi dari sisa air yang dipakai mandi oleh seorang wanita (mahram ataupun bukan)?
085256XXXXXX
Jawaban:
Justru haditsnya menegaskan bahwa airnya tidak menjadi najis. Silakan lihat di Bulughul Maram pada Kitab Thaharah.
Upah yang Belum Ditentukan
Saya ditugaskan untuk menjaga gedung
sarang walet dan tidak ada kejelasan berapa upahnya dan kapan akan
digaji. Apakah perbuatan orang tersebut termasuk menzalimi saya?
085658XXXXXX
Jawaban:
Jika sifatnya ta’awun (menolong),
tidak ada gaji. Jika sifatnya kerja, harus digaji. Jika tidak ada
kesepakatan sebelumnya, nilai gaji disamakan dengan gaji keumuman
penjaga walet atau semisalnya. Jika orang tersebut tidak menggaji, dia
berbuat zalim.
Rindu Orang Tua yang Telah Wafat
Apakah boleh kita merindukan orang tua kita yang sudah lama meninggal?
08564XXXXXXX
Jawaban:
Boleh saja dan itu menunjukkan
adanya hubungan baik dengan orang tua walau sudah wafat. Namun, jangan
sampai terjatuh kepad hal yang haram. Kita gunakan untuk mendoakan
kebaikan orang tua dan hal syar’i lainnya.
Jual-Beli pada Acara Bid’ah
Bolehkah jual-beli pada acara bid’ah (malam suro, maulid) di pasar malamnya?
083830XXXXXX
Jawaban:
Jika sebagai pedagang dadakan, tidak boleh. Sebab, hal itu termasuk ta’awun di atas dosa.
Qunut Nazilah
Apakah disyariatkan kita qunut nazilah saat ini (November 2012) mengingat agresi Israel (baca: Yahudi) kepada kaum muslimin?
081234XXXXXX
Jawaban:
Qunut nazilah adalah wewenang
penguasa berdasarkan fatwa para ulama. Tidak boleh bagi masyarakat
melakukan qunut nazilah tanpa izin pemerintah.
Pebisnis Hewan Kurban, Wajib Kurban?
Apakah penjual hewan kurban yang jelas berniat untuk berbisnis memiliki kewajiban untuk berkurban?
081386XXXXXX
Jawaban:
Pendapat yang rajih, berkurban tidak wajib, tetapi sunnah muakkadah. Walaupun dia juragan kambing atau pebisnis kambing.
Wasiat
Sahkah pemberian kakek berupa sawah (senilai sepuluh juta rupiah) khusus bagi semua cucu pertama?
081386XXXXXX
Jawaban:
Jika kakek masih hidup, pemberian
tersebut bukan waris, melainkan hibah. Beliau berhak menghibahkan
hartanya kepada siapa pun. Namun, jika diberikan kepada anak-anaknya,
syaratnya wajib rata. Jika kakek sudah wafat dan mempunyai anak
laki-laki, cucu-cucunya bukan ahli waris sehingga mereka bisa menerima
hibah (istilah yang tepat adalah wasiat) dengan syarat tidak lebih dari
1/3 harta peninggalan.
Utang Uang Dihargai Emas
Suatu hari adik saya meminjam uang
sebesar dua juta rupiah kepada saya. Dia nilai uang tersebut dengan emas
seberat 10 gram. Lalu sekarang dia mengembalikannya sebesar lima juta
rupiah, karena harga emas seberat 10 gram senilai uang tersebut. Apakah
selisih 3 juta rupiah termasuk riba yang diharamkan?
082190XXXXXX
Jawaban:
Termasuk riba fadhl. Yang benar,
utang uang dibayar uang dan utang emas dibayar emas sesuai dengan
nominal dan beratnya walaupun nilainya berbeda seiring dengan
berjalannya waktu.
Ayah Tiri Bercerai dengan Ibu, Mahram?
Mantan ayah tiri (sudah bercerai dengan ibu) apakah masih mahram?
085227XXXXXX
Jawaban:
Apabila ayah tiri sudah ‘berkumpul’
dengan ibunda Saudari, Anda adalah mahramnya untuk selamanya walaupun
beliau sudah cerai dengan ibunda. Ini yang disebut mahram muabbad (selamanya).
Kesalahan terhadap Orang Lain
Kita pernah berbuat salah terhadap orang
lain, sedangkan orang tersebut tidak mengetahuinya. Apakah kita boleh
memberi tahu dia, padahal kejadiannya sudah berlalu? Mohon
penjelasannya.
085336XXXXXX
Jawaban:
Kalau kesalahan kita terkait dengan
kehormatan dia, tidak perlu disampaikn karena dia tidak akan mendapat
manfaat. Dia justru mendapat hal yang tidak menyenangkan, karena dahulu
dia tidak tahu, sekarang menjadi tahu. Cukup Anda ganti dengan menyebut
kebaikan-kebaikannya di tempat yang dahulu Anda menjelekkannya. Berbeda
halnya kalau kesalahan kita terkait dengan harta, harus diberitahukan
dan dikembalikan karena dia mendapat faedah, dahulu hartanya hilang,
sekarang kembali. Ini penjelasan Ibnul Qayyim dalam Madarij as-Salikin.
Akikah dengan Kambing Betina
Apakah sah akikah dengan menggunakan kambing betina?
082177XXXXXX
Jawaban:
Akikah menggunakan kambing betina
hukumnya sah. Tidak ada dalil yang melarang; sebagaimana kurban dengan
kambing betina juga sah, walaupun yang afdal adalah dengan kambing
jantan.
Kehalalan Larva Lebah
Apakah larva lebah halal dimakan? Apakah
sahih hadits yang melarang untuk membunuh lebah? Jika sahih, apakah
larangan tersebut mencakup larva lebah?
085237XXXXXX
Jawaban:
Hadits yang melarang membunuh lebah
adalah sahih. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa hewan yang dilarang untuk
dibunuh, haram dimakan. Larva lebih baik tidak dimakan karena termasuk
lebah.
Syariat Ibadah Kurban
Apakah ibadah kurban hanya disyariatkan untuk laki-laki? Apakah orang tua yang sudah pikun masih dianjurkan untuk berkurban?
085XXXXXXX
Jawaban:
Kurban tidak khusus bagi laki-laki.
Wanita, anak-anak, ataupun lansia juga bisa melakukannya. Yang penting
memiliki kemampuan, karena ibadah ini terkait dengan kemampuan
finansial.
Menyantuni Anak Yatim
Apakah ada dalil menyantuni anak yatim yang dikhususkan pada tanggal 10 Muharam dan keutamaan mengusap rambut anak yatim?
085624XXXXXX
Jawaban:
Tidak ada dalil khusus memuliakan
dan mengusap kepala anak yatim pada 10 Muharam. Memuliakan anak yatim
dan menyayangi mereka adalah tindakan mulia, tetapi tidak ada waktu
khusus untuk melakukannya.
Menyingkat Salam
Bolehkah menyingkat ucapan salam misal menjadi “ass.wr.wb” dalam surat atau sms?
085747XXXXXX
Jawaban:
Pendapat yang rajih bahwa ucapan
seperti salam, shalawat, dan semisal harus ditulis lengkap dan tidak
cukup dengan simbol. Kita cari keberkahannya walau panjang tulisannya.
Meminta Hajat ke Kuburan
Bagaimana dengan orang yang sering ke kuburan untuk meminta hajat? Apa itu merupakan kesyirikan?
081241XXXXXX
Jawaban:
Menjadikan makhluk yang sudah mati
sebagai wasilah dalam berdoa adalah syirik akbar. Itulah bentuk
kesyirikan orang kafir Quraisy yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat g.
Mendatangi Pilihan Lurah
Bagaimana sebaiknya sikap kami untuk memenuhi undangan pilihan lurah, apakah jika kami datang termasuk bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla? Sebagian ikhwan ada yang datang dengan alasan menutup fitnah dan takut dipersulit dalam birokrasi.
085227XXXXXX
Jawaban:
Yang pertama dilakukan adalah
memberi penjelasan kepada lurah tentang prinsip yang benar dalam masalah
ini. Semoga mereka paham sehingga Anda tidak datang tanpa ada fitnah.
Jika mereka tidak diterima dan akan timbul fitnah besar, kita datang
tetapi dalam rangka meredam mafsadah. Berikan pula penjelasan sampai
mereka maklum.
Berzikir dalam Hati di Kamar Mandi
Bolehkah berzikir dalam hati di dalam kamar mandi? Bolehkah berzikir dalam keadaan junub?
085327XXXXXX
Jawaban:
Tidak diperbolehkan zikir atau menyebut nama Allah ‘azza wa jalla di
tempat yang kotor atau WC. Jika harus berbuat, di dalam hati dan tidak
boleh dilafalkan. Pendapat yang rajih, orang junub boleh berzikir dan
membaca al-Qur’an. Namun, yang afdal adalah mandi janabah dahulu (zikir
dalam keadaan suci).
Waktu Shalat Sunnah Qabliyah
Apakah shalat sunnah qabliyah dilakukan
setelah azan dan sebelum iqamah? Bagaimana jika shalatnya sendirian di
rumah, apakah juga berlaku seperti shalat sunnah qabliyah yang
dilaksanakan di masjid?
087719XXXXXX
Jawaban:
Shalat sunnah qabliyah dilakukan
setelah azan sebagai tanda telah masuk waktu dan sebelum iqamah. Sebab,
shalat sunnah apapun harus dibatalkan apabila iqamat sudah
dikumandangkan. Jika shalatnya munfarid (sendirian) karena sakit,
ketiduran, atau uzur lain, as-Sunnah mencontohkan tetap melakukan shalat
sunnah qabliyah dan ba’diyah seperti biasa. Jadi, shalat sunnahnya
tidak terikat dengan iqamah masjid setempat.
Kirim SMS Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Kerusakan-kerusakan Pemilu
Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Sunnatullah yang pasti terjadi
adalah bahwa segala sesuatu yang dibangun di atas fondasi yang benar
akan membuahkan kebenaran pula. Sebaliknya, segala sesuatu yang dibangun
di atas fondasi yang salah akan membuahkan berbagai kesalahan. Firman
Allah ‘azza wa jalla,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.
Pohon itu memberikan buahnya pada
setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Perumpamaan kalimat yang buruk
seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Ibrahim: 24—26)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa di dalam setiap
jasad itu ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, akan
menjadi baiklah seluruh tubuhnya. Apabila rusak, akan rusaklah seluruh
tubuhnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan makna ayat di atas dalam tafsirnya, “Demikianlah pohon
iman. Pangkalnya kuat di dalam hati seorang mukmin, baik secara ilmu,
keyakinan, maupun cabang-cabangnya; berupa ucapan-ucapan yang baik,
amalan yang saleh, akhlak yang diridhai, dan adab yang baik; naik terus
ke langit kepada Allah ‘azza wa jalla. Muncul darinya
amalan-amalan dan ucapan-ucapan yang bersumber daro iman (dalam
hatinya). Dengannya, seorang mukmin akan mendapatkan manfaat sekaligus
bisa memberi manfaat kepada orang lain.”
Sampai ucapan beliau, “Demikian pula
kalimat kekafiran dan kemaksiatan. Ia tidak kokoh dan tidak bermanfaat
di dalam hati. Ia tidak menumbuhkan selain seluruh ucapan kotor dan
amalan jelek yang akan merugikan pemiliknya, sehingga tidak akan naik
kepada Allah ‘azza wa jalla. Amalan saleh yang bersumber
darinya tidak akan memberi manfaat kepada dirinya dan orang lain.
Orangnya pun tidak akan bermanfaat.”
Demikianlah permisalan iman berikut
cabang-cabangnya dan permisalan demokrasi berikut cabang-cabangnya pula.
Pemilu (pemungutan suara) untuk memilih kepala daerah, presiden dan
wakil presiden, atau anggota legislatif (baik tingkat daerah maupun
tingkat pusat). Semua itu adalah konsekuensi dari demokrasi sehingga
membuahkan berbagai hal yang batil.
Kerusakan yang Ditimbulkan Demokrasi
Kerusakan yang timbul akibat demokrasi
dan pemungutan suara ini bukan hanya dalam urusan dunia. Agama pun
menjadi taruhan demi mendapatkan kedudukan dan jabatan. Lebih buruk
lagi, kerusakan dan kerugian itu tidak hanya ditanggung oleh partai dan
calonnya, tetapi juga oleh bangsa dan negara ini.
Asy-Syaikh Muqbil berkata, “Dalam pemungutan suara, tidak ada urusan dunia yang didapatkan, lebih-lebih lagi urusan akhirat.” (Tuhfatul Mujib, hlm. 306)
Dengan memohon pertolongan kepada Allah ‘azza wa jalla akan kita sebutkan beberapa di antaranya karena keterbatasan tempat di majalah ini.
Kita niatkan hal ini sebagai nasihat karena Allah ‘azza wa jalla kepada kaum muslimin pada umumnya dan kepada pemerintah pada khususnya.
- Mempersekutukan Allah ‘azza wa jalla
Pemungutan suara (pemilu) termasuk mempersekutukan Allah ‘azza wa jalla dalam hal ketaatan. Pemungutan suara akan memberi peluang bagi musuh Islam untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya.
Barang siapa menerimanya dalam keadaan
rela dan mempromosikannya karena meyakini kebenaran sistem
demokrasi—yakni dibenarkan dalam Islam, bahkan sama atau lebih baik dari
Islam—sungguh dia telah menaati musuh Islam dalam hal menghalalkan apa
yang Allah ‘azza wa jalla haramkan.[1]
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (asy-Syura: 21)
Hal itu karena sesungguhnya mereka
(orang-orang munafik) berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa
yang diturunkan oleh Allah (yakni orang-orang Yahudi), “Kami akan
mematuhi kamu dalam beberapa urusan,” sedangkan Allah mengetahui rahasia
mereka. (Muhammad: 26)
“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 121)
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa yang
menjadi hakim dalam rapat-rapat di parlemen adalah manusia yang
terkadang menolak dan menghujat hukum Allah ‘azza wa jalla.
Dalam keadaan seperti ini, tidak diragukan lagi, ini adalah syirik
besar. Adakah dosa yang lebih besar daripada syirik akbar atau kafir
akbar? Dosa yang Allah ‘azza wa jalla firmankan dalam kitab-Nya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa
mempersekutukan Allah, sungguh ia telah tersesat sejauhjauhnya.” (an-Nisa’: 112)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya dosa apa yang paling besar? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah ‘azza wa jalla padahal Dialah yang menciptakanmu.” (Muttafaqun ‘alaih)
- Menuduh syariat Islam masih kurang dan lemah
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang kesempurnaan syariat Islam yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, “Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang paling besar terhadap umat ini. Sebab, Allah ‘azza wa jalla telah menyempurnakan agama mereka sehingga tidak membutuhkan agama dan nabi yang lain. Oleh karena itulah, Allah ‘azza wa jalla
menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin
dan manusia. Maka dari itu, bagi kita, tidak ada suatu pun perkara yang
halal selain apa yang beliau halalkan, dan tidak ada suatu perkara yang
haram pun selain apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. Tidak ada agama selain yang telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan adalah benar dan jujur,
yang tidak ada kedustaan dan kekeliruan, sebagaimana firman-Nya,
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu sebagai kalimat yang benar dan adil.” (al-An’am: 115)
Maknanya, yang benar/jujur beritanya dan adil perintah serta larangannya. Setelah Allah ‘azza wa jalla
menyempurnakan agama mereka, berarti nikmat telah sempurna atas mereka.
Oleh karena itu, ridhailah Islam sebagai agama kalian karena agama
Islam adalah agama yang dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla. Dia mengutus Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling mulia untuk membawanya. Dia pun menurunkan kitab yang paling mulia (al-Qur’an) karenanya.
- Hilangnya prinsip al-wala’ (loyalitas) dan al-bara’ (kebencian dan permusuhan) yang haq
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kamu tidak akan mendapati suatu
kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orangorang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga
mereka.” (al-Mujadilah: 22)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tidak ada seorang hamba yang benar-benar beriman kepada Allah ‘azza wa jalla
dan hari akhir, kecuali akan beramal sesuai dengan konsekuensi imannya;
di antaranya mencintai siapa saja yang beriman dan loyal terhadap
keimanannya, serta membenci siapa saja yang tidak beriman dan
memusuhinya, walaupun orang tersebut paling dekat kekerabatannya
dengannya.”
Inilah iman yang hakiki, yaitu iman yang
buah dan tujuannya akan betul-betul didapatkan. Apabila demokrasi dan
pemungutan suara diterima, prinsip yang agung ini harus ditanggalkan.
Firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang
siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.” (al-Maidah: 55—56)
- Fanatisme buta terhadap partai atau calon tertentu
Fanatisme terhadap pendapat, mazhab,
tokoh, pimpinan, organisasi, thariqah, atau partai diharamkan dan
dilarang oleh agama Islam yang mulia.Sebab, fanatisme akan menyebabkan
perselisihan dan perpecahan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan berpegangteguhlah kalian dengan tali Allah dan jangan berpecah-belah.” (Ali ‘Imran: 103)
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“… Dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah
belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 31—32)
Allah ‘azza wa jalla menyucikan Nabi-Nya dari perbuatan yang hina ini dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang
memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan,
tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahu mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al-An’am: 159)
Mengapa Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya mengharamkan hizbiyah dan ta’ashub?
Sebab, keduanya akan menghancurkan prinsip-prinsip agama yang mulia dan
menimbulkan berbagai kerusakan. Di antara kerusakan yang terjadi karena
fenomena ini ialah sebagai berikut.
- Menghancurkan prinsip ukhuwah islamiyah
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (al-Hujurat: 10)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. al-Bukhari)
Sebagai bukti ukhuwah yang mulia ini
adalah tegaknya ta’awun/saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan,
amar ma’ruf nahi munkar, dan berbagai urusan mulia lainnya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah
dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta mereka
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Kita tidak berhak mendapat kasih sayang Allah ‘azza wa jalla kecuali dengan menjaga ukhuwah ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Rabb kita ‘azza wa jalla.
- Tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Saling menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Berbagai kemungkaran terjadi sebelum,
saat, dan setelah pemilu. Terlebih lagi bagi partai atau calon yang
terpilih, berbagai kemungkaran dilakukan, di antaranya ketika merayakan
pesta kemenangan dengan beragam kemaksiatan dan penghamburan harta.
Apalagi kemungkaran yang mereka lakukan setelah mendapatkan kedudukan.
Apakah para pemilih sikap berlepas diri
dari partai atau calon yang menjadi pilihannya tatkala berbuat
kemungkaran? Apabila para pemilih itu tidak berlepas diri dari
kemungkaran yang mereka lakukan, berarti mereka terus-menerus akan
mendapatkan dosa. Sebab, mereka termasuk orang yang menyebabkan partai
atau wakil pilihannya berbuat zalim, jahat, dan membela demokrasi. Lebih
parah lagi apabila mereka menutup-nutupi kemungkaran yang dilakukan
oleh anggota parlemen atau pemimpin yang menjadi pilihannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
ada para pemimpin atas kalian yang kalian mengetahui perbuatan baik
mereka dan perbuatan jelek mereka. Barang siapa mengingkari perbuatan
jelek mereka, berarti dia telah berlepas diri. Barang siapa membenci
perbuatan jelek mereka, berarti dia selamat. Akan tetapi, masalahnya
ialah orang yang meridhai dan mengikuti.” (HR. Muslim dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha)
[1]
Syirik dalam hal ketaatan adalah menaati seseorang secara lahir dan
batin (keyakinan) dalam hal menghalalkan apa yang Allah haramkan atau
sebaliknya.
Adapun menaati secara lahiriah saja
(praktik amalan), sementara secara batin (keyakinan) tetap meyakini
haramnya apa yang Allah haramkan dan halalnya apa yang Allah halalkan,
maka hal ini bukan kesyirikan kepada Allah, melainkan termasuk maksiat
terhadap-Nya.
Contohnya, seseorang yang meyakini bahwa
demokrasi halal menurut Islam, dia terjatuh dalam kesyirikan. Sementara
itu, orang yang tetap meyakini haramnya demokrasi tetapi jatuh dalam
praktik amalan lahiriah, dia berarti berbuat maksiat, bukan kesyirikan. (-ed.)

Taat dengan Dasar Syariat
Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Salah satu prinsip yang menjadi konsekuensi kalimat tauhid adalah kewajiban hamba untuk menjadikan kecintaan terhadap Allah ‘azza wa jalla sebagai kecintaan tertinggi di dalam lubuk hatinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Berbeda halnya dengan orang kafir dan musyrik. Kecintaan mereka terbagi sebanyak sembahan yang mereka sembah selain Allah ‘azza wa jalla, padahal Allah ‘azza wa jalla yang menciptakan kita. Firman-Nya,
“Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (al-Baqarah: 165)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Orang yang beriman sangat mencintai Allah ‘azza wa jalla
dibandingkan dengan kecintaan orang musyrik terhadap sembahan mereka.
Sebab, orang yang beriman memurnikan kecintaannya kepada Allah ‘azza wa jalla,
sedangkan orang musyrik mempersekutukan-Nya dalam hal kecintaan. Selain
itu, orang yang beriman mencintai Dzat yang berhak untuk dicintai
secara hakiki (yaitu Allah ‘azza wa jalla), yang kecintaan terhadap-Nya ‘azza wa jalla
adalah sumber kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatannya. Adapun orang
musyrik mencintai sesuatu yang tidak berhak dicintai, sehingga kecintaan
itu menjadi sumber kesengsaraan, kerusakan, dan kekacauan urusannya.
Sebagaimana dimaklumi, kecintaan hamba
terhadap sesuatu memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan sebagai
bukti kebenaran dan kejujuran cintanya itu. Maka dari itu, kecintaan
tertinggi seorang mukmin terhadap Allah ‘azza wa jalla
menuntutnya untuk mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh Rabb-Nya,
walaupun tidak sejalan dengan logika, perasaan, adat-istiadat, atau hawa
nafsunya. Di samping itu, dia harus membenci segala yang dibenci oleh
Penciptanya, walaupun seleranya sangat menyenanginya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan makna ayat di atas dalam tafsirnya, “Tidak pantas dan tidak
selayaknya bagi orang beriman kecuali bersegera menerima perkara yang
diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, serta menjauhi (berbagai hal yang) dimurkai oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya; dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan berbagai larangan-Nya.
Tidak sepantasnya bagi orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, apabila Allah ‘azza wa jalla
dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, yaitu mewajibkan atau
mengharuskannya, mereka masih memiliki pilihan lain, apakah akan
melakukannya atau tidak. Seorang mukmin justru harus yakin bahwa pilihan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas daripada pilihannya. Tidak pantas hawa nafsunya menjadi penghalang antara dirinya dan keputusan Allah ‘azza wa jalla serta Rasul-Nya.”
Mencintai, Menaati, dan Mengikuti Sunnah Rasul, Bukti Benarnya Kecintaan terhadap Allah ‘azza wa jalla
Sebagaimana yang dipaparkan di atas, kecintaan seorang hamba kepada Allah ‘azza wa jalla memiliki beberapa konsekuensi. Di antaranya ialah mencintai, menaati, dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla mengabarkan hal ini di dalam firman-Nya,
Katakanlah, “Jika kamu (benarbenar) mencintai Allah ‘azza wa jalla, ikutilah aku, niscaya Allah ‘azza wa jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya, “Ayat yang mulia ini menjadi hakim terhadap orang yang mengaku cinta kepada Allah ‘azza wa jalla dan berada di atas jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengakuannya adalah dusta, sampai dia mengikuti agama dan syariat yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang di
antara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada
orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari no. 14)
Al-Qur’an al-Karim mengiringkan perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perintah menaati Allah ‘azza wa jalla di banyak tempat. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa menaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari
ketaatan itu), Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.” (an-Nisa: 80)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan rahasia ayat ini, “Setiap orang yang menaati perintah dan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti benar-benar menaati Allah ‘azza wa jalla. Sebab, beliau tidak memerintah dan tidak melarang kecuali dengan perintah, syariat, dan wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, firman Allah ‘azza wa jalla ini mengandung (dalil yang menunjukkan) kemaksuman Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah ‘azza wa jalla
memerintahkan (kepada para hamba- Nya) untuk menaati beliau secara
mutlak. Seandainya beliau tidak maksum (terjaga dari kesalahan dan
kekeliruan) pada seluruh perkara yang beliau sampaikan dari Allah ‘azza wa jalla, niscaya Allah ‘azza wa jalla tidak akan memerintahkan untuk menaati beliau secara mutlak dan tidak memuji hal itu.”
Keselamatan & Kebahagiaan di Dunia & di Akhirat dengan Mengikuti Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang Rasul-Nya,
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
Barang siapa menaati beliau dan mengikuti sunnahnya, niscaya akan mendapatkan petunjuk di dunia dan di akhirat. Firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “… Maknanya adalah engkau menerangkan, menjelaskan, menerangi, dan menolong mereka ke jalan yang lurus (ash-shirathal mustaqim) serta melarang dan menakut-nakuti mereka dari hal yang bertentangan dengan ash-shirathal mustaqim.”
Beliau rahimahullah juga menerangkan, “Apabila kalian menaati beliau, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk menuju ash-shirathal mustaqim, baik
dalam ucapan maupun perbuatan. Jadi, tidak ada jalan untuk mendapatkan
hidayah kecuali dengan menaati beliau. Tanpa ketaatan terhadap beliau,
tidak mungkin (hidayah itu didapatkan), bahkan mustahil.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk ke dalam
jannah kecuali orang yang menolak (masuk surga).” Beliau ditanya,
“Siapakah yang menolak, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barang
siapa menaatiku, niscaya dia akan masuk ke dalam jannah; dan barang
siapa mendurhakaiku, sungguh dia telah menolak masuk jannah.” (HR. al-Bukhari no. 6851)
Di dalam banyak ayat, Allah ‘azza wa jalla menegaskan perintah untuk taat kepada Rasul-Nya dalam bentuk ancaman. Di antaranya,
“Dan barang siapa menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Firman-Nya,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Makna ayat ini, kata asy-Syaikh Sa’di rahimahullah, di dalam tafsirnya, “Barang siapa menyelisihi Rasul dan menentang syariat yang beliau bawa (dari sisi Allah ‘azza wa jalla)
setelah mendapatkan kejelasan dengan dalil al-Qur’an atau sunnah,
lantas dia mengikuti selain jalan orang yang beriman dalam hal akidah,
keyakinan, maupun amalan; niscaya Kami akan membiarkannya dan apa yang
menjadi pilihannya. Setelah itu, Kami akan menghinakannya sehingga Kami
tidak akan memberinya hidayah taufik kepada kebaikan karena
perbuatannya, yaitu mengetahui kebenaran lantas meninggalkannya. Jadi,
balasan Allah ‘azza wa jalla terhadapnya adalah keadilan. Dia
membiarkannya dalam kesesatan dan kebingungan, dan terus bertambah
kesesatan itu pada dirinya. Na’udzubillah min dzalik.”
Ketaatan terhadap Pemerintah adalah Ibadah
Di antara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang wajib kita pegang teguh dan dakwahkan ialah perintah untuk taat
kepada pemerintah walaupun bukan sosok yang suci dari kesalahan. Telah
dibahas panjang lebar pada edisi 95 Mengapa Rakyat Harus Taat?
tentang kewajiban rakyat untuk taat kepada pemerintah atau penguasa yang
muslim dalam hal yang ma’ruf dan sesuai dengan kemampuan.
Namun, ada hal penting yang harus kita
sampaikan dan ingatkan kepada umat: Ketaatan kita terhadap pemerintah
yang muslim adalah ibadah yang agung. Oleh karena itu, ketaatan tersebut
dibangun di atas dua syarat yang menjadi penentu diterima atau tidaknya
ibadah, yaitu ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Allah ‘azza wa jalla memerintah hamba-Nya untuk menaati para penguasa,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah ‘azza wa jalla, taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisa’: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ
وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ
عَصَانِي
“Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah ‘azza wa jalla. Barang siapa mendurhakaiku, sungguh dia telah mendurhakai Allah ‘azza wa jalla.
Barang siapa menaati pemimpinku (penguasa muslim), sungguh dia telah
menaatiku. Barang siapa mendurhakai pemimpinku (penguasa muslim),
sungguh dia telah mendurhakaiku.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Makna ketaatan terhadap pemerintah ini tidak mutlak. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا
سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas setiap muslim untuk
mendengar dan taat (terhadap pemerintah), baik pada urusan yang disukai
maupun dibenci, kecuali apabila diperintah untuk bermaksiat. Apabila dia
diperintah berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan taat (dalam hal
itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Demokrasi Merusak Moral Generasi
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Setiap muslim wajib dengan sebab konsekuensi agamanya
untuk mendengar dan taat terhadap pemerintahnya, baik pada urusan yang
dia sukai maupun yang dia benci. Sampai-sampai, kalau diperintah untuk
melakukan sesuatu yang dia benci, dia wajib melakukannya, walaupun dia
memiliki pendapat yang lain. Walaupun tidak suka melakukannya, dia wajib
melakukannya, kecuali apabila diperintah untuk berbuat maksiat kepada
Allah ‘azza wa jalla. Apabila diperintah untuk berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla, ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla harus didahulukan di atas segala bentuk ketaatan; tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada al-Khaliq.
Hadits di atas memuat dalil yang
menunjukkan kesalahan pendapat, “Kita tidak menaati pemerintah kecuali
dalam hal yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla.” Makna
ucapan tersebut, apabila mereka memerintah kita untuk shalat, kita
shalat. Apabila mereka memerintahkan untuk membayar zakat, kita membayar
zakat. Adapun apabila mereka memerintahkan urusan yang tidak
adaperintahnya secara syar’i, kita tidak wajib menaati mereka. Sebab,
mereka (dalam hal ini) berarti pembuat syariat. Sungguh, ini adalah
pendapat batil yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab, kalau
kita berpendapat tidak akan menaati penguasa kecuali pada urusan yang
Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada kita, berarti tidak ada
perbedaan antara penguasa dan pihak lain yang memerintahkan yang ma’ruf
dan melarang yang mungkar, maka wajib ditaati.
Kita mengatakan, “Bahkan, kita diperintahkan menaati mereka pada urusan yang tidak Allah ‘azza wa jalla
perintahkan kepada kita. Jika hal tersebut tidak dilarang atau
diharamkan, kita wajib menaati mereka, sampai pun dalam hal tata tertib
(misal: peraturan lalu lintas). Apabila mereka (pemerintah) telah
membuat tata tertib (yang terkait dengan) pekerjaan, kita wajib
menaatinya. Sebab, menaati mereka berarti melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
serta merupakan upaya menjaga stabilitas keamanan, menjauhkan diri dari
sikap mendurhakai pemerintah, dan menjauhkan diri dari sikap berpecah
belah. Kalau kita berpendapat tidak menaati mereka kecuali pada urusan
yang telah Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada kita, berarti tidak ada ketaatan kepada para penguasa.
Ada sebagian peraturan—sebagai
contoh—yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menyelisihi syariat.
Akan tetapi, syariat tidak menentukan hal itu secara pasti. Jika ada
orang yang mengatakan, “Kami tidak akan menaatinya,” kita jawab, ‘Anda
tetap wajib menaatinya. Apabila melanggarnya, berarti Anda berdosa dan
berhak mendapatkan hukuman dari Allah ‘azza wa jalla dan hukuman dari pemerintah’.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/321)
Hikmah Perintah Taat kepada pemerintah
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada yang mampu mengatur umat manusia kecuali pemimpin/penguasa, baik penguasa yang baik maupun yang jahat.”
Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin,
tentang pemimpin yang baik (tentu kita maklumi). Bagaimana halnya
dengan pemimpin yang jahat?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya, dengan perantaraan adanya pemimpin meski jahat, Allah ‘azza wa jalla akan menjadikan jalan itu aman, kaum muslimin bisa berjihad melawan musuh, mendapatkan fai’ (harta rampasan), hukum ditegakkan, dan ibadah haji ke baitullah ditunaikan. Seorang muslim bisa beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan aman sampai datang ajalnya.” (Diriwayatkan oleh Waki’ di dalam kitab Akhbar al-Qudhat, 1/21)
Al-‘Allamah Shadrudin as-Sulami rahimahullah menjelaskan tentang hikmah Allah ‘azza wa jalla
dan Rasul-Nya yang memerintah hamba-Nya menaati pemerintahnya dan
melarang keras sikap menyelisihi perintah-Nya. Berikut ini ucapan
beliau. “Sungguh, telah diriwayatkan kepada kita hadits sahih yang
sampai pada derajat mutawatir atau mendekatinya, tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat kepada waliyul ‘amr (penguasa),
menasihati dan mencintai mereka, serta mendoakan kebaikan bagi mereka.
Kalau kita mau menyebutkannya, pembicaraannya akan menjadi panjang. Akan
tetapi, ketahuilah–semoga Allah ‘azza wa jalla membimbing kita
untuk mengikuti sunnah serta menjauhkan kita dari penyimpangan dan
kebid’ahan—termasuk kaidah syariat agama yang hanif ini ialah ketaatan
terhadap penguasa hukumnya wajib atas setiap rakyat. Apalagi ketaatan
terhadap penguasa itu akan menyatukan urusan agama yang terpisah-pisah
dan menyebabkan teraturnya seluruh urusan kaum muslimin.
Mendurhakai penguasa akan meruntuhkan
pilar agama, padahal kebahagiaan tertinggi akan didapatkan dengan
menaati penguasa ialah terjaga seluruh keburukan dan terselamatkan dari
seluruh syubhat. (Maknanya), ketaatan kepada penguasa menjadi penjagaan
dan perlindungan (dari berbagai keburukan) bagi siapa saja. Dengan
ketaatan itu, akan tegak berbagai hukum, tertunaikan kewajiban,
terlindungi darah (kaum muslimin), dan terjamin keamanan di jalan-jalan.
Oleh karena itu, alangkah bagusnya ucapan para ulama, “Sesungguhnya
ketaatan kepada penguasa adalah penerang bagi siapa saja yang
menggunakan cahayanya dan perlindungan bagi siapa saja yang senantiasa
menjaganya.” (Tha’atu as-Sulthan, hlm. 45)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini dan hadits sebelumnya yang tidak disebutkan secara keseluruhan oleh pengarang (an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadh ash-Shalihin), menunjukkan wajibnya menaati para penguasa kecuali pada urusan maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sebab, hikmah dari menaati mereka adalah kebaikan, keamanan, dan
ketertiban; demikian juga tidak akan timbul kekacauan dan perbuatan
mengikuti hawa nafsu.
Apabila penguasa didurhakai dalam urusan
yang semestinya ditaati, akan timbul kekacauan. Setiap orang merasa
bahwa pendapatnyalah yang benar, sehingga akan menghilangkan keamanan,
mengacaukan berbagai urusan, dan akan menimbulkan berbagai keburukan.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 2/329)
Wajib Ditaati Walaupun Mendapat Kekuasaan dengan Cara yang Batil
Karena hikmah atau tujuan yang mulia inilah, Allah ‘azza wa jalla
dan Rasul-Nya memerintah kaum muslimin untuk menaati penguasanya dalam
hal yang ma’ruf; walaupun penguasa tersebut mendapatkan kekuasaan dengan
cara yang batil, seperti kudeta/penggulingan kekuasaan, pemilu
(demokrasi), dan sebagainya; atau tidak memenuhi syarat yang syar’i
sebagai penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengar dan taatlah, walaupun yang
menjadi penguasa atas kalian adalah seorang budak Habasyah yang rambut
kepalanya seperti kismis.” (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dalam Manaqib asy-Syafi’i (91/448) dari Harmalah, dia berkata, “Aku mendengar al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata (1/448), ‘Setiap orang yang berhasil menggulingkan penguasa
dengan pedang/senjata hingga disebut khalifah (penguasa) dan manusia
(rakyat) bersatu atasnya, dia adalah khalifah (penguasa)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, “Sungguh, para ahli fikih telah sepakat tentang wajibnya taat
kepada orang yang berhasil menjadi penguasa dengan jalan kudeta. Selain
itu, wajib pula berjihad bersamanya. Sebab, ketaatan kepadanya lebih
baik daripada memberontak/mendurhakai perintahnya. Sikap tersebut akan
menghalangi tertumpahnya darah (kaum muslimin) dan meredam berbagai
kekacauan.” (Fathul Bari, 7/13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Kalau ada seseorang menjadi penguasa dengan cara
memberontak, lalu berhasil mengalahkan, dan berkuasa, padahal dia bukan
dari bangsa Arab, dia adalah budak Habsyi, tetap wajib atas kita untuk
mendengar dan taat. Sebab, alasan (perintah mendengar dan taat kepada
penguasa) hanya satu; yaitu kalau kita tidak mau mendengar dan taat,
akan terjadi kekacauan aturan, hilangnya rasa aman, dan timbul suasana
mencekam. Yang jelas, kita wajib mendengar dantaat kepada para pemimpin
kita, kecuali apabila mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 2/223)
Adapun sikap Ahlus Sunnah yang tidak
ikut demokrasi dan pemilu, tidak berarti Ahlus Sunnah merencanakan dan
mempersiapkan penggulingan kekuasaan (kudeta). Sikap tersebut dibangun
berdasarkan keyakinan bahwa demokrasi dan pemilu adalah mungkar dan
batil, bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga kita tidak
boleh taat dalam urusan yang seperti ini.
Lebih-lebih lagi pemilu adalah hak dan
bukan kewajiban warga negara, sebagaimana termaktub di dalam UU No. 3
Tahun 1999 Bab V Pasal 28, “Warga negara Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk
Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
kawin mempunyai hak pilih.”
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al- Wadi’i rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah, alhamdulillah,
senantiasa menuntut adanya pemimpin/presiden muslim yang tidak percaya
dengan demokrasi dan yang menjaga shalat. Kita tidak menginginkan
pemimpin yang lain (kafir). Kita menginginkan pemimpin yang muslim. Kita
katakan kepada para pemimpin, ‘Perbaikilah urusan kalian dan
istiqamahlah. Kami tidak menginginkan kedudukan kalian, tetapi
istiqamahlah kalian di atas al-Kitab dan as-Sunnah’.” (Tuhfatul Mujib, hlm. 246)
Beliau rahimahullah juga mengatakan bahwa Ahlus Sunnah beramal ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla, bukan karena kursi. Lantas beliau membaca firman Allah ‘azza wa jalla,
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla senantiasa melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita dan para pemimpin kita untuk istiqamah di jalan-Nya yang mulia. Amin.

Kedaulatan Negara Berada di Tangan Partai
Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Masa orde baru, pemilihan umum (pemilu)
sering didengungkan sebagai pesta demokrasi. Sebagian masyarakat
menyambut gegap gempita. Walau tak sedikit yang lantas menjadi korban
kebrutalan massa, namun semangat untuk membela partai tetap menyala.
Pesta demokrasi pada masa orde baru
pernah ditetapkan hanya diikuti oleh tiga partai politik. Keberadaan
tiga kontestan dalam pemilu tersebut lebih disebabkan kebijakan
pemerintah orde baru yang melebur beberapa partai bercorak “Islam” ke
dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Begitu pula dengan partai
berbau nasionalis-marhaen yang dicelup dalam bingkai Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Adapun Partai Golkar merupakan partai penguasa yang
didukung segenap onderbouw, seperti KNPI (Komite Nasional
Pemuda Indonesia) serta dukungan kebijakan pemerintah yang menetapkan
peraturan monoloyalitas PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kebijakan-kebijakan
penguasa kala itu menjadikan Golkar selalu menjadi pemenang pemilu mulai
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Bagi PPP dan PDI,
keikutsertaannya dalam pemilu seakan sebagai pemanis pesta demokrasi.
Sebagai catatan sejarah, proses
penyelenggaraan pemilu saat itu seringkali memakan korban. Entah itu
kerusuhan yang sifatnya massif atau hanya bersifat individual. Pemilu
itu sendiri mencuatkan pertarungan yang kompetitif. Satu pendukung
dengan pendukung partai lainnya bisa saling berbenturan, adu jotos,
bahkan saling membunuh.
Lebih dari itu, pemilu yang merupakan
produk paham demokrasi tidak pernah memberi kebaikan kepada kaum
muslimin. Di belahan bumi mana pun, pemilu dan demokrasi selalu
menimbulkan mudarat. Keburukan demi keburukan selalu dipanen oleh
sebagian kaum muslimin yang masih berkeyakinan bahwa jungkir balik dalam
pesta demokrasi termasuk perjuangan mulia.
Becerminlah dari sejarah. Saat masa
pemerintahan orde lama, pernah naik ke pentas politik nasional Partai
Masyumi. Inilah satu-satunya partai berasas Islam yang memperjuangkan
tegaknya hukum Islam di Indonesia. Walau dengan tingkat soliditas yang
luar biasa, Partai Masyumi akhirnya dijegal oleh kalangan nasionalis
sekuler dan kalangan komunis. Melalui Surat Keputusan Presiden (Kepres)
No. 200/1960, Presiden Ir. Soekarno saat itu menekan agar Partai Masyumi
membubarkan diri. Apabila tidak, akan dinyatakan sebagai partai
terlarang. Dengan tekanan politik seperti itu, akhirnya Partai Masyumi
membubarkan diri (Asy-Syariah, No. 49/V/1430 H/2009 hlm.17).
Kandas sudah perjuangan menegakkan syariat Islam melalui jalur
demokrasi. Sejarah telah mencatat tragedi memilukan ini.
Tidak hanya itu, di era reformasi
sekarang pun, masih ada sebagian kaum muslimin yang coba-coba
menceburkan diri ke kubangan demokrasi. Kata mereka, ingin
memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran bagi masyarakat.
Namun, apa yang terjadi dengan para pemeran di panggung politik ini?
Sebagian terjungkal karena korupsi.
Mengapa sampai harus korupsi? Jawabannya bisa beragam. Namun,
membesarkan partai, menggemukkan perolehan suara dalam pemilu, dan
mempertahankan kursi di partai dan legislatif perlu biaya banyak. Karena
itulah, dana pun harus didapat walau dengan cara tidak terpuji. Nas’alullaha as-salamah.
Partai yang dahulu dilabeli dengan
bersih dan peduli pun kini tak lagi bisa dipercaya. Sebagian masyarakat
bahkan merasa jijik. Tangan penggede partai berlumuran maksiat. Masihkah yang seperti ini dipercaya memperjuangkan Islam?
Pangkal dari musibah ini ialah karena
jalan yang ditempuh telah menyelisihi syariat. Demokrasi dan pemilu
telah mendorong orang-orang partai politik bergelut dengan
ketidakjujuran. Demokrasi dan pemilu telah membentuk jiwa-jiwa kerdil
yang dirasuki mimpi-mimpi keduniaan nan menggiurkan dan penuh tipuan.
Jadi, masih belum jerakah hidup
mengusung demokrasi? Belum jerakah berpesta pora lagi mabuk kepayang
dengan pemilu? Masihkah bersemangat merajut impian-impian tak pasti?
Betapa kasihan, apabila demi satu kursi, dirimu terjatuh dalam beragam
pelanggaran syariat. Duhai, bilakah kesadaran itu bangkit menyelimuti
dirimu?
Kini, apa yang terjadi di dunia luar
setelah mereka bersorak sorai menyambut pesta demokrasi? Mesir,
Palestina, Turki, dan Aljazair telah menjadi saksi. Betapa demokrasi dan
pemilu tiada menjanjikan apa pun selain penistaan terhadap kaum
muslimin. Ya, nista, hina, dina.
Berdemokrasi Bakal Menuai Bencana
Di Mesir, saat pemilu dilaksanakan, partai politik Ikhwanul Muslimin berhasil
memenangkan pemilu. Muhammad Mursi pun lantas menjadi presiden
terpilih. Tak berapa lama setelah menduduki kursi kepresidenan yang
diraih melalui pemilu, kekuatan militer menggulingkan kekuasaannya.
Mursi pun dimakzulkan, lengser. Dampaknya, terjadi kericuhan di Bumi
Piramid itu. Darah tertumpah. Tak sedikit nyawa melayang. Harta benda
hancur begitu saja. Entah berapa besar kerugian yang diderita. Sungguh,
mengikuti langgam orang kafir dalam berdemokrasi hanya menyisakan
kepiluan. Demokrasi tiada memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Di Turki, nyaris sama. Erbakan memenangi
pemilu dan sempat duduk di kursi perdana menteri selama dua tahun.
Namun, ia akhirnya harus menghadapi laras senjata militer. Erbakan
diturunkan secara paksa. Sekali lagi, demokrasi dan pemilu tak
menjanjikan kebaikan apapun selain mudarat.
Di Aljazair, karena demokrasi dan
pemilu, rakyat menjadi korban pembantaian. Saat Partai FIS memperoleh
kemenangan dalam pemilu, pihak militer lantas mengambil alih kekuasaan.
Militer membatalkan hasil pemilu. Abbas Madani dan Ali Belhaj sebagai
petinggi partai dijebloskan ke penjara. Kekacauan terjadi di mana-mana.
Tak semata atribut partai yang dilarang, bahkan syiar-syiar keislaman
pun dilarang oleh penguasa. Segala yang berbau Islam dienyahkan. Musibah
nan teramat mengerikan. Ternyata, berdemokrasi hanya bakal menuai
bencana.
Asy-Syaikh Dr. Muhammad Aman bin Ali al-Jami rahimahullah
mengatakan, pemilu merupakan ujian yang merusak hati dan menimbulkan
dendam permusuhan, lalu bisa menjerumuskan pada pertumpahan darah. (Haqiqatu ad-Dimuqrathiyyah wa Annaha Laisat min al-Islam, hlm. 30)
Karena itu, sungguh sangat sulit
dipercaya apabila jalur demokrasi bisa memperbaiki keadaan kaum
muslimin. Demokrasi tidak akan memberikan kebaikan kepada kaum muslimin.
Bahkan, jalur demokrasi dan pemilu menyebabkan kaum muslimin lemah
memegang prinsip agamanya. Bagaimana tidak, saat seorang muslim larut
dalam pesta demokrasi, senyatanya ia tengah luntur sikap loyalitasnya
kepada al-haq dan ahlul haq. Di sisi lain, ia justru menyokong teman berbeda agama hanya karena sang teman tergabung dalam satu partai dengannya.
Bagaimana kaum muslimin tidak menuai
bencana, ketika yang menentukan seseorang ditampilkan sebagai figur
dalam pemilu adalah rekomendasi partai. Seorang Nasrani pun bisa tampil
menjadi kandidat dari partainya selama pihak partai merekomendasi sang
Nasrani. Lantas, bagaimana halnya dengan seorang muslim yang ada dalam
satu partai tersebut? Apabila menolak dan tidak mendukung, berarti
melawan keputusan partai. Memberi dukungan berarti telah luntur sikap al-wala’ wa albara’. Sungguh, apabila terjadi demikian, tentu merupakan bencana bagi diri dan agamanya. Nas’alullaha as-salamah.
Itulah sisi buruk sistem demokrasi bagi
kaum muslimin. Sistem demokrasi hanya berlaku bagi partai politik
berlabel “Islam” yang sekiranya tidak membahayakan kepentingan Barat dan
tidak mematikan keberlangsungan sistem sekuler. Manakala membahayakan,
maka sistem demokrasi akan menampakkan wajah aslinya sebagai monster
yang haus darah. Siap memangsa dan membantai lawan. Sejarah di belahan
bumi kaum muslimin telah menorehkan kesaksiannya.
Kedaulatan Berada di Tangan Partai
Asy-Syaikh Dr. Muhammad Aman bin Ali al-Jami rahimahullah mengemukakan, tidak diragukan lagi bahwa sistem (nizham)
demokrasi merupakan sistem menyimpangdan jahil. Tidak dibenarkan bagi
kita di negara Saudi Arabia, bahkan di segenap negeri Islam yang beriman
dengan sistem Islam, menerapkan sistem demokrasi ini. (Haqiqatu ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 14)
Menerapkan sistem demokrasi dapat
menimbulkan dampak negatif, yaitu tercerabutnya tradisi keislaman di
negaranegara kaum muslimin. Di Yaman, Abdul Majid az-Zindani meniupkan
sistem demokrasi hingga mendorong para muslimah melenggang di dunia
politik. Ini dilakukan tanpa memedulikan lagi ketentuan syariat. (Tuhfatu al-Mujib ‘ala As’ilati al-Hadhiri wa al-Gharib, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, hlm. 417)
Di Sudan, melalui sistem demokrasi yang
diterapkan, hasil pemilu di negara tersebut memunculkan wakil presiden
beragama Kristen. Hasan at-Turabi menjadi pelopor gerakan penerapan
sistem menyimpang dan jahil ini.
Apa yang digembar-gemborkan sistem
demokrasi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat nyatanya masih
dipertanyakan. Walaupun rakyat melakukan pemilihan langsung wakil atau
pemimpin mereka, kenyataannya justru pemimpin atau wakil rakyat tersebut
ditetapkan oleh partai. Rakyat memilih setelah pilihan itu disodorkan
partai. Melalui mekanisme partai inilah wakil/pemimpin dipilih.
Karena itu, tak mengherankan apabila
setelah lolos dan terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin, komitmen
memperjuangkan partai lebih menonjol dibanding dengan komitmen untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat. Bisa jadi, meski dirinya
memperjuangkan nasib rakyat, diharapkan juga bisa mendongkrak pamor
partai di tengah masyarakat. Ujung-ujungnya, semua yang dilakukannya
merupakan politik pencitraan terhadap partai yang menjadi kendaraan para
politikus tersebut.
Lebih aneh lagi, seorang yang dicalonkan
pada dapil (daerah pemilihan) tertentu, ternyata sang calon ini tidak
berdomisili di daerah dapil itu. Bahkan, ia tidak berasal dari daerah
pemilihan tersebut. Dengan kondisi semacam itu, apakah mungkin sang
calon akan benar-benar memperjuangkan nasib rakyat yang memilihnya?
Padahal dirinya bukan berasal dari daerah itu dan tidak mengenal secara
dekat denyut kehidupan masyarakatnya.
Berapa banyak sang wakil rakyat yang
tidak memiliki ikatan batin dengan rakyat yang memilihnya? Rakyat cukup
disodori gambar dengan segala akting manis sang calon wakil rakyat saat
menjelang pemilu. Setelah terpilih, ia pun melupakan rakyat yang
memilihnya. Jangankan datang berkunjung untuk melihat langsung keadaan
rakyat yang memilihnya, namanya saja sudah dilupakan orang. Kedaulatan
ada di tangan partai; seperti itulah buahnya.
Kata asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah,
“Demokrasi bermakna rakyat menghukumi dirinya dengan dirinya sendiri.
Seandainya (melalui pemilu) menghasilkan suara (terbanyak) bahwa
homoseksual itu halal, niscaya hasil pemilu itu lebih didahulukan
daripada al-Kitab dan as-Sunnah.” (Tuhfatu al- Mujib, hlm. 431)
Karena itu, orang yang cerdas dan
berakal normal akan melihat sistem demokrasi sebagai sistem yang rusak
dan tidak menjanjikan kebaikan. Sungguh naif sekali apabila menentukan
baik-buruk, halal-haram, ataupun benar-salah melalui pemungutan suara.
Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kebenaran itu dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (al-Baqarah: 147)
“Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa
yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah diturunkan Allah), ketahuilah bahwa Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah
hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 49—50)
Kedaulatan berada di tangan partai.
Rakyat tinggal memilih wakilnya berdasar apa yang disodorkan oleh
partai. Di dalam partai, tentu ada mekanisme yang mengatur sehingga Mr.
Fulan yang disodorkan ke publik memiliki komitmen, loyal, dan terikat
kepada partai. Jika tidak, Mr. Fulan tentu akan dicutik hingga tak berkutik.
Di sebuah negeri bersendi demokrasi,
partai memegang kedaulatan. Partai memiliki kekuasaan dan pengaruh.
Karena itu, banyak orang tergiur menjadi pengurus partai. Ramai-ramai
mendirikan partai. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberi hidayah.
Dampak Buruk Sistem Demokrasi
Di antara kerusakan yang ditimbulkan
sistem demokrasi terhadap masyarakat, seseorang didorong untuk
mewujudkan ambisinya menjadi pejabat publik. Padahal jabatan adalah
amanat yang kelak harus dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.
Lebih tragis lagi, upaya untuk meraup
jabatan itu disertai janji-janji kosong yang tidak ada realitasnya. Demi
meraih apa yang diinginkannya, ia tak memedulikan lagi nilai kejujuran,
praktik suap, dan menyia-nyiakan harta demi memasyhurkan dirinya.
Selanjutnya, kebohongan akan menjadi watak jahat yang muncul mengiringi
keberhasilannya menampuk kursi jabatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati sahabat yang mulia, Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu,
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ
إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا
عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah engkau meminta kepemimpinan. Sebab, sungguh, jika engkau
diberi kedudukan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (Allah ‘azza wa jalla)
atas jabatan (yang engkau emban). Adapun jika jabatan itu diperoleh
dari hasil meminta, engkau bakal dibebani jabatan tersebut (tidak akan
ditolong Allah ‘azza wa jalla).” (HR. al-Bukhari no. 7146 dan Muslim no. 1652)
Demokrasi telah turut andil mengobarkan
ambisi merebut jabatan, meruntuhkan moral, dan menyianyiakan nikmat yang
diberikan Allah ‘azza wa jalla. Padahal, kelak Allah ‘azza wa jalla akan meminta pertanggungjawaban atas nikmat-nikmat tersebut. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang telah diberikan padamu).” (at-Takatsur: 8)
Asy-Syaikh Muhammad Aman bin Ali al-Jami
menyebutkan beberapa kerusakan yang bisa ditimbulkan lantaran
melaksanakan sistem demokrasi di negeri kaum muslimin. Di antara
kerusakan tersebut adalah sebagai berikut.
- Muncul kebebasan berakidah. Maksudnya adalah bebas untuk memilih agama (murtad dari Islam). Sistem demokrasi membuka peluang setiap individu untuk mengubah keyakinan dan agamanya. Kebebasan ini bahkan dilindungi undang-undang.
- Kebebasan dalam berperilaku, kebebasan menampilkan nilai-nilai kaum kafir, dan kebebasan berekspresi.
- Kebebasan berpikir dan berpendapat, kebebasan mengeluarkan pemikiran dan pendapat tanpa dibatasi ketentuan yang ada; tanpa menimbang baik-buruk.
Khusus di Indonesia, kebebasan ini
mencakup kebebasan “mengkritik” dan mencela pemerintah di depan publik;
baik dengan cara demonstrasi, membeberkan melalui media masa, atau
ceramah umum. Kebebasan berpikir dan berpendapat dalam Islam diatur
sedemikian rupa.
Kebebasan berpikir dan berpendapat dalam
Islam dibatasi oleh ketentuan syariat; baik dalam bentuk amar ma’ruf
nahi munkar, nasihat, maupun saling mengingatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, hendaklah berbicara yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِطَعَّانٍ وَلَا لَعَّانٍ وَلَا فَاحِشٍ وَلَا بَذِيءٍ
“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berbuat keji, dan kotor.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim, beliau menyatakan sahih)
Inilah perbedaan nilai kebebasan
demokrasi dan Islam. Kebebasan yang diberikan oleh Islam dibingkai
dengan nilai syariat, tidak sebagaimana kebebasan yang ditentukan oleh
sistem demokrasi yang bersifat mutlak tanpa ada kaidahyang
melingkupinya. (Haqiqatu ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 20—25 dinukil secara ringkas)
Menanam sistem demokrasi sama dengan
menanam kebebasan tanpa batas. Sebab, demokrasi itu sendiri bermakna
liberalisasi; yaitu sebuah sistem yang meniupkan hawa buruk yang bernama
kebebasan mutlak tanpa batas. Buah dari itu semua, moral masyarakat
akan tercabik-cabik, keimanan akan melemah dan hancur, cara berpikir
masyarakat tidak terbangun secara sehat, dan ambisi untuk menekuk rival
politik akan semakin liar. Demokrasi hanya menjanjikan kerusakan demi
kerusakan.
Kalau mau jujur, keluhan yang tampak
sekarang, senyatanya menggambarkan betapa kebejatan demokrasi telah
menggerogoti sistem bermasyarakat bangsa Indonesia ini. Adapun yang bisa
melihat semua kebobrokan itu hanya orang-orang yang mau berpikir secara
jernih dan sehat dengan bimbingan Islam.
Wallahu a’lam.

Surat Pembaca Edisi 100
Nabi Seorang yang Ummi?
Bismillah. Pada rubrik “Hadits” Asy-Syariah no. 99 ada yang saya tidak mengerti.
Pada hadits tersebut diartikan “Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya. Beliau kemudian marah….”
Pertanyaan saya:
- Bukankah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Mengapa dalam hadits ini beliau bisa membaca?
- Apa iya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sendiri kitab itu lalu beliau marah dengan bentuk kemarahan yang ditujukan pada ‘Umar radhiallahu ‘anhu? Atau mungkin ‘Umar yang membaca dan ia perdengarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau marah dan mencela ‘Umar? Konteks yang seperti ini pernah saya baca dan dengarkan di taklim-taklim para ustadz.
Abu ‘Abdillah
085258xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Berikut ini kami nukilkan jawaban dari penulis.
Hadits-hadits serupa ini banyak, seperti hadits yang menyebutkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat-surat kepada para raja dan pembesar. Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
membaca dan menulis. Yang seperti ini biasa dalam bahasa, yakni
perbuatan dinisbatkan pada yang memerintah. Contoh lain, Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun Masjid Nabawi; apakah
maknanya semua dibangun rasul? Misal yang lain, perluasan Masjid Haram
dilakukan oleh Raja Fahd, apakah berarti beliau yang membangunnya
sendirian?
Barakallahu fikum.
Penomeran Hadits
Bismillah. Untuk redaksi Majalah Asy-Syariah,
mau usul kalau bisa semua hadits yang dimuat dalam majalah ini diberi
nomer hadits supaya ana lebih mudah untuk tambahan ilmunya. Contoh di
edisi vol. VII/No. 80/1433H/2012 hlm. 51 (Mengharap Berkah….), itu
hadits-haditsnya tidak ada nomer kitab yang bersangkutan.
081322xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Walaupun tidak mudah, kami akan terus berupaya memenuhi usulan Anda. Jazakumullahu khairan atas masukannya.
SMS Tak Pernah Dibalas
Kami sering SMS tanya lewat redaksi, tapi sering tidak dibalas, kan kita bukan orang pondok, dangkal ilmunya. Kita kan ingin solusi agar tidak terjerumus pada hal yang dilarang. Maka dari itu, mohon bagi para asatidz yang berilmu, memberi ta’awun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan bagi yang masih jahil, semoga Allah ‘azza wa jalla membalas kebaikan yang banyak.
085728xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Kami mohon maaf
jika banyak SMS masuk ke redaksi yang belum dibalas hingga kini. Hal ini
dikarenakan SMS yang masuk jumlahnya ribuan. Selain itu, pertanyaan
agama membutuhkan penelaahan yang tentu tidak semudah menjawab
pertanyaan nonagama. Lebih-lebih tidak sedikit pertanyaan yang
mengandung tingkat kesulitan yang tinggi, yang untuk menjawabnya, harus
membuka kitab hadits dan perlu pengkajian mendalam. Mohon dimaklumi
karena ustadz-ustadz yang mengasuh rubrik di Majalah Asy-Syariah juga
memiliki kesibukan di pondok pesantren dan berdakwah baik di dalam
maupun luar kota.

Menungu Hancurnya Demokrasi
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Hajatan politik bernama Pemilu
benar-benar menguras energi bangsa ini. Tak hanya soal anggaran
pemerintah atau dana yang dirogoh dari kantong pribadi partisipan,
tetapi Juga hampir seluruh sumber daya yang ada all out dikerahkan.
Semuanya demi sebuah prestise kekuasaan mengatasnamakan rakyat.
Lebih-lebih persiapannya sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya.
Pileg dan pilpres berakhir, pemilukada di depan mata. Belum pemilihan
dalam lingkup lokal seperti pilkades. Ini terus berlangsung dalam siklus
lima tahunan. Jadi dari tahun ke tahun, kekuasaan selalu menjadi fokus
dan tema panas.
Jika sudah pernah duduk di legislatif
sebelumnya, periode berikutnya pun berupaya “eksis” lagi. Demikian juga
dengan jabatan kepala daerah, andaikan tidak dibatasi aturan, sangat
mungkin sampai seumur hidup jabatan itu akan terus dikejar. Dahulu
pernah jadi menteri, “turun pangkat” jadi gubernur/wakil gubernur atau
walikota pun tak masalah, yang penting kekuasaan itu dalam genggaman.
Alhasil, kutu loncat politik pun bermunculan. Idealisme atau garis
ideologi partai menjadi omong kosong. Yang penting terpilih, yang
penting bisa kembali duduk di lingkaran kekuasaan. Membela rakyat yang
acap jadi jargon pun terbang entah ke mana.
Demokrasi menjadi kian tidak jelas, kala
demi menjaring suara sebanyak-banyaknya, artis-artis dengan akhlak yang
juga tidak jelas malah dimunculkan. Tidak sedikit pula caleg dengan
latar belakang ekonomi lemah, nekat “maju” dengan terlilit utang besar.
Tidak heran, jika segala cara kemudian dilakukan: politik uang, kampanye
hitam, obral janji, hingga mendatangi dukun. Maka menjadi aneh, jika
kita banyak berharap dengan orang-orang aneh semacam ini.
Itulah politik yang penuh intrik. “Wakil
rakyat” akhirnya tak lebih jadi jembatan untuk memperkaya diri. Padahal
ada anomali demokrasi yang jauh lebih besar dari semua itu. Demokrasi
yang berakar dari filosofi Yunani, telah menuhankan suara terbanyak
sebagai standar untuk mengambil keputusan “terbaik”. Suara mayoritas dan
minoritas seakan-akan menjadi Rabb yang membuat syariat atau menakar
sebuah kebenaran.
Prinsip-prinsip demokrasi juga memberi celah yang lebar kepada kalangan non-Islam untuk duduk di kursi pemerintahan, karena al-wala’ wal bara’ yang menjadi dasar akidah setiap muslim, dikaburkan. Tak heran, deal-deal
politik atau koalisi antara partai (yang mengaku) Islam dan
partai/tokoh sekular atau non-Islam menjadi biasa. Partai (yang mengaku)
Islam yang memiliki caleg nonmuslim justru merasa bangga, partainya
adalah partai terbuka, inklusif, dan berwawasan kebangsaan. Akhirnya,
umat lagi yang jadi korban. Selain terkotak-kotak pada partai dan arus
politik, sebagian umat Islam “dipaksa” menyumbang suara demi kandidat
nonmuslim. Na’udzubillah.
Jangan pernah berasumsi bahwa demokrasi
adalah satu-satunya sistem yang paling bisa diterima dan paling dekat
dengan Islam. Jauh sekali. Kita semestinya meyakini, tujuan dan hasil
yang baik harus ditempuh dengan cara/sistem yang baik pula.
Betapa banyak sistem di dunia yang
akhirnya hancur luluh tertepikan zaman, gagal eksis, karena dianggap
tidak bisa memberikan sesuatu yang baik. Seperti itulah nasib yang akan
dialami sistem-sistem buatan manusia. Jadi, jangan pernah berharap
kebaikan dari sistem yang rusak. Sembari kita terus berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla, agar Ia memberikan jalan yang terbaik, yakinlah demokrasi pun sebentar lagi akan terlumat oleh waktu.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Bahaya Memuji Ahli Bid’ah & Mendiamkan Kebid’ahan
Dalam kitabnya, Mukhtashar Firaqil Fuqaha, Abul Walid Sulaiman al-Baji menyebutkan tentang al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani sebagai berikut.
Abu Dzar ‘Abd bin Ahmad al-Anshari
al-Harawi cenderung kepada mazhab Asy’ariyah. Aku pun bertanya
kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkan (mazhab) ini?”
Abu Dzar al-Harawi menjawab, “Dahulu aku
pernah berada di Baghdad bersama dengan al-Hafizh Abul Hasan Ali bin
Umar ad-Daraquthni. Kami berjumpa dengan al-Qadhi Abu Bakr Muhammad bin
Thayyib (al-Baqillani). Ad-Daraquthni kemudian memeluk dan mencium wajah
serta kedua mata orang tersebut. Setelah kami berpisah dengannya, aku
bertanya kepada ad-Daraquthni, ‘Siapa orang tadi, yang aku sangka engkau
tidak akan memperlakukannya demikian rupa padahal engkau adalah imam di
masamu?’
Ad-Daraquthni menjawab, ‘Dia adalah imam kaum muslimin, pembela agama. Dialah al-Qadhi Abu Bakr bin ath-Thayyib’.”
Abu Dzar al-Harawi mengatakan kepada
al-Baji, “Sejak saat itulah aku bolak-balik mendatanginya bersama
ayahku. Aku pun mengikuti mazhabnya.” (as-Siyar, 17/558—559; Tadzkiratul Huffazh, hlm. 997; Nafhu ath-Thayyib, 2/70)
Penulis Lammud Durril Mantsur mengatakan,
“Sikap diam terhadap ahli bid’ah dan tidak menjelaskan keadaan mereka
akan memerdaya orang yang tidak tahu sehingga mereka jatuh dalam bid’ah
tersebut. Akan lebih parah dan lebih pahit lagi apabila ahli bid’ah
dipuji oleh orang yang lahiriahnya baik dan bertakwa.” (Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, Jamal bin Furaihan al-Haritsi, hlm. 187)
Posting Komentar