
Mendidik Anak Perempuan
asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri
Tidak ada seorang pun kecuali akan dibangkitkan oleh Allah nanti setelah meninggal dunia. Allah ‘azza wa jalla akan menanyai dan menghisabnya tentang apa yang telah ia lakukan di dunia, baik dalam urusan agama maupun dunia.
Di antara yang akan ditanyakan kepada
seorang hamba kelak ialah tentang keluarga dan anak-anaknya. Dia akan
ditanya tentang caranya dahulu dia memimpin dan mendidik mereka. Tentang
hal inilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Seorang lelaki adalah pemimpin
terhadap anggota keluarganya, dan dia akan ditanya tentang yang
dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dia
pun akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari)
Di antara hal yang penting untuk
diperhatikan terkait dengan masalah pendidikan anak ialah yang terkait
secara khusus dengan tarbiyah anak perempuan. Hal ini karena besarnya
urusan mereka, dan begitu jelasnya pengaruh mereka membentuk akhlak dan
perilaku masyarakat. Sebab, ketika telah dewasa, seorang anak perempuan
akan menjadi istri, ibu, pengajar, dan selainnya. Ini semua adalah
peran-peran yang akan menunggu mereka dalam berbagai aspek kehidupan.
Oleh karena itu, apabila anak-anak
perempuan itu baik, akan baik pula sekian banyak urusan. Sebaliknya,
apabila rusak, akan rusak pula sekian banyak urusan. Apabila melihat
Kitabullah, kita akan dapatkan celaan terhadap masyarakat jahiliah
terdahulu. Apabila salah seorang dari mereka dikabari tentang kelahiran
anak perempuannya, menjadi hitamlah wajahnya sembari menahan amarah.
Karena sangat malu terhadap kaumnya, ia pun bersembunyi. Saat itulah,
perasaannya berkecamuk, apakah ia akan mengubur bayi perempuannya itu
hidup-hidup ataukah akan ia pelihara meski menanggung kehinaan dan
kerendahan. Allah ‘azza wa jalla pun mencela perbuatan mereka.
Syiar-syiar jahiliah ini ternyata masih
ada pada hati sebagian orang. Terlebih lagi ketika istrinya melahirkan
banyak anak perempuan. Padahal istri hanyalah seperti ladang, tergantung
benih apa yang ditanam padanya. Sampai-sampai sebagian orang
menceraikan istrinya hanya karena melahirkan seorang anak perempuan.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahilan dan sikap kaku.
Sesungguhnya, keturunan yang dilahirkan
seorang wanita adalah urusan takdir Allah. Urusannya di Tangan Allah.
Dia menganugerahkan anak perempuan saja kepada siapa yang Dia kehendaki.
Dia pula yang menganugerahkan anak lelaki saja kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dia pula yang memberikan anugerah berupa anak lelaki dan
perempuan kepada orang yang Dia kehendaki. Allah ‘azza wa jalla pula yang menguji sebagaian yang lain dengan menjadikan mereka mandul, tidak memiliki keturunan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.” (asy-Syura: 49—50)
Perhatikanlah, Allah mendahulukan
penyebutan anak perempuan sebagai bantahan terhadap orang-orang yang
menganggap hina, remeh, bahkan menganggap mereka tidak berharga sedikit
pun. Karena itu, hendaknya Anda rela dengan bagian yang Allah berikan
kepada Anda. Sebab, Anda tidak mengetahui, di mana letak kebaikan untuk
Anda.
Betapa banyak ayah yang gembira saat
diberitahu tentang lahirnya anak lelakinya. Akan tetapi, anak tersebut
justru menjadi kecelakaan baginya, sebab kesusahan hidupnya, dan sebab
kesedihan serta kegundahgulanaan yang berkepanjangan.
Betapa banyak pula ayah yang murka
ketika diberitahu tentang kelahiran anak perempuannya padahal dia
mengharapkan kehadiran anak lelaki. Akan tetapi, ternyata anak
perempuannya tersebut menjadi tangan yang penuh kasih sayang dan
membantu mengatur urusan rumah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُكْرِهُوا الْبَنَاتِ فَإِنَّهُنَّ الْمُؤْنِسَاتُ الْغَالِيَاتُ
“Janganlah engkau membenci anak-anak perempuan. Sesungguhnya mereka adalah sumber kegembiraan yang mahal.” (HR. Ahmad no. 16922 dari Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu)
Dari sini kita mengetahui bahwa penyejuk
mata yang sejati bukanlah ketika anak yang lahir itu lelaki atau
perempuan. Penyejuk hati yang sejati akan terwujud ketika mereka menjadi
keturunan yang saleh dan baik, lelaki ataupun perempuan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman menyebutkan sifat para hamba ar-Rahman,
Dan orang-orang yang berkata, “Ya
Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Jadi, ketika Allah ‘azza wa jalla
memberikan rezeki kepada kita berupa anak perempuan, berbuat baiklah
dengan mendidik, menafkahi, dan bergaul dengan mereka. Lakukanlah semua
itu karena mengharap pahala dari Allah ‘azza wa jalla. Tahukah Anda, pahala apa yang ada di sisi Allah apabila Anda melakukan semua itu?
Jika Anda melakukannya, Anda akan bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَن عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبلُغَا جَاءَ يَومَ القِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
“Barang siapa merawat dua anak perempuan hingga balig, dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan seperti ini.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,
مَنِ ابتُلِيَ مِن هَذِهِ البَنَاتِ بِشَيءٍ فَأَحسَنَ إِلَيهِنَّ كُنَّ سِ ر تًا لَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa diuji dengan anak-anak
perempuan ini, lantas dia berbuat baik kepada mereka, niscara mereka
akan menjadi penghalang dirinya dari api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berbuat baik kepada mereka bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Di antaranya,
- Memilihkan ibu yang baik bagi mereka. Ini adalah perbuatan baik yang pertama kali dilakukan terhadap anak keturunan. Sebab, kesalehan seorang ibu akan menjadi sebab kesalehan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla dengan sebab kesalehan orang tuanya.
- Memilihkan nama yang baik.
- Memenuhi kebutuhan fisik anak, baik dalam bentuk makanan, pakaian, dan obat-obatan.
Semua hal yang mengantarkan kepada tujuan di atas merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
Suatu saat, seorang wanita bersama dua anak perempuannya masuk menemui Aisyah radhiallahu ‘anha. Wanita tersebut fakir dan tidak memiliki apa-apa. Kata Aisyah radhiallahu ‘anha, wanita tersebut meminta sesuatu kepada beliau. Namun, beliau radhiallahu ‘anha tidak memiliki apa-apa selain sebutir kurma. Beliau radhiallahu ‘anha
pun memberikan sebutir kurma tersebut kepada si wanita. Wanita itu
mengambilnya lalu membaginya untuk kedua anak perempuannya. Dia sendiri
sama sekali tidak memakan kurma itu. Setelah itu, wanita itu pun bangkit
dan keluar bersama kedua anak perempuannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian masuk ke rumah Aisyah radhiallahu ‘anha. Aisyah radhiallahu ‘anha lantas menceritakan kisah wanita tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ قَد أَوجَبَ لها بِهَا الَجنَّةَ – أَو أَعتَقَهَا بِهَا مِن النَّارِ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga untuk wanita tersebut—atau memerdekakannya dari api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
- Sudah sepantasnya anak perempuan dimuliakan, dikasihi, dan disayangi.
Dahulu, apabila Fathimah radhiallahu ‘anha masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
مَرحَبًا بِابْنَت
“Selamat datang, anak perempuanku.”
Pernah pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat sambil menggendong cucu perempuannya , Umamah anak perempuan Zainab radhiallahu ‘anha, anak perempuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila rukuk, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkannya. Ketika berdiri, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendongnya kembali.
- Semakin besar, anak perempuan butuh semakin dihargai dan dihormati.
Apabila Anda penuhi kebutuhan ini dan
dia merasa bahwa dirinya dihargai dan memiliki kedudukan dalam rumah
kedua orang tuanya, hal ini akan melahirkan kemantapan jiwa, ketenangan,
dan keistiqamahan keadaan dirinya.
Sebaliknya, ketika dia melihat dirinya
direndahkan dan tidak diurusi, tidak diajak berkomunikasi selain dengan
kalimat perintah dan larangan, tuntutan, dan melayani, hal ini akan
mewariskan rasa benci terhadap rumah dan keluarganya.
Bisa jadi, setan membisikkan waswas
kepadanya sehingga dia berusaha mencari kasih sayang dan keramahan yang
tidak dia dapatkan di rumahnya, dengan cara dan sarana yang diharamkan.
Hal ini akan mengantarkan dirinya ke dalam kebinasaan. Jika sudah
demikian, hanya Allah ‘azza wa jalla yang yang tahu di mana dia berada.
Oleh karena itu, Anda wajib mentarbiyah
anak-anak perempuan Anda secara islami dan melakukannya sejak tingkatan
umur yang terendah. Mereka dididik untuk meminta izin, adab makan dan
minum, berpakaian, dituntun membaca al-Qur’an dan zikir yang mudah bagi
mereka. Mereka diajari wudhu dan shalat. Mereka diperintah menunaikan
shalat ketika sudah berumur tujuh tahun. Setelah berusia sepuluh tahun,
mereka diharuskan menunaikannya. Sebab, apabila tumbuh di atas kebaikan,
dia akan terbiasa, mencintai, dan selalu melakukannya.
Termasuk urusan terpenting yang tidak
boleh dilupakan terkait dengan anak-anak perempuan adalah segera
menikahkannya ketika sudah dewasa; saat datang seorang lelaki yang
diridhai agama, amanah, dan akhlaknya, sementara anak perempuan kita pun
ridha terhadapnya. Sebab, menunda pernikahannya akan sangat merusak.
Menunda pernikahan seorang anak
perempuan termasuk sebab terbesar yang memalingkan dirinya dari jalan
yang lurus. Terlebih lagi di masa ini, godaan dan ujian banyak sekali.
Wali hendaknya meringankan urusan
pernikahan anak perempuannya, dalam hal mahar dan tuntutan lainnya.
Sebab, hal ini akan mendorong pemuda untuk menikahinya. Hal ini juga
akan membuat para saudarinya setelahnya mudah mendapatkan suami.
Ketika anak perempuan sudah menikah,
usahakan untuk selalu menjaga hubungan dengannya, mencari tahu berbagai
kebutuhan hidupnya, dan membantunya menyelesaikan beragam problem yang
dihadapinya. Usahakan selalu untuk menyertainya dalam kegembiraan dan
kesedihannya.
Akan tetapi, keluarga besar—terutama
ibu—hendaknya menghindari turut campur secara langsung dalam
kehidupannya. Sebab, terlalu banyak mencampuri urusannya—padahal tidak
diperlukan—sering kali mengganggu kehidupan rumah tangganya.
Suami hendaknya bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla
dalam hal pergaulannya dengan istrinya. Ia telah meninggalkan rumah dan
keluarganya, meninggalkan kemuliaan yang ada dalam rumahnya. Sekarang
dia berada di bawah kekuasaan suami dan tanggung jawabnya.
Karena itu, suami hendaknya beramar
ma’ruf dan nahi mungkar terhadap istrinya, bergaul dengannya secara
baik, menemaninya dengan baik pula. Suami tidak boleh menzalimi dan
merendahkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاستَوصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِندَكُمْ
“Berwasiatlah kepada perempuan dengan kebaikan karena mereka hanyalah tawanan di sisi kalian.” (HR. at-Tirmidzi)
خَيْرُكُم خَيْرُكُم لِأَهْلِهِ
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terbaik terhadap keluarga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Waspadalah dalam hal berbuat adil
terhadap para istri. Apabila seseorang diberi rezeki dua orang istri
atau lebih, dia wajib berbuat adil dalam hal pembagian (bermalam) dan
nafkah yang mereka butuhkan. Barang siapa menyelisihi syariat dalam hal
pembagian (bermalam) dan keadilan, sungguh dia telah melakukan dosa
besar.
Ada suami yang tidak melihat dan
mengajak berbicara dengan istrinya kecuali ketika hari gilirannya saja.
Ini termasuk kezaliman yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
Hendaknya suami senantiasa menyambung
hubungan dengan istrinya dengan menelepon, mengunjungi, dan memeriksa
keadaannya. Sebab, sang istri telah relakan dirinya menjadi yang kedua,
ketiga, atau keempat.
Maka dari itu, janganlah Anda membuat
istri Anda sendirian dan bersedih di rumahnya ketika selain hari
gilirannya; tidak pernah ditanyai, diperiksa keadaannya, dan tidak
dijaga. Sang istri dipermainkan oleh waswas, kesedihan, dan penyesalan.
Padahal berbagai fitnah dan pintu kejelekan mengepungnya.
Karena itu, wahai para suami,
bertakwalah kepada Allah dalam hal istri-istri kalian. Anda akan diminta
pertanggungjawaban dan akan dihisab tentang urusan mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَومَ القِيَامَةِ وَشِقُهُ مَائِلٌ
“Barang siapa memiliki dua orang
istri lantas ia condong kepada salah satunya, dia akan datang ada hari
kiamat dalam keadaan tubuhnya condong ke samping.”
Tidak samar lagi bahwa kita hidup pada
masa yang banyak kejelekan. Berbagai sarana menuju kerusakan dan
kesesatan tersedia sedemikian rupa. Belum pernah hal ini ada pada masa
dahulu. Tentu hal ini lebih mendorong kita untuk menunaikan tanggung
jawab. Kita wajib melipatgandakan upaya dalam hal mendidik, membimbing,
menasihati, dan menempuh sebab-sebab keselamatan.
Secara ringkas, di antara faktor perlindungan dan kebaikan anak perempuan adalah:
- Keistiqamahan dan kesalehan ayah dan ibu.
- Berdoa kepada Allah, karena doa memiliki pengaruh yang besar.
- Mengajari dan mendikte anak-anak dengan doa yang bermanfaat.
- Senantiasa menasihati dan memberi peringatan kepada mereka, dengan metode yang tepat, baik secara langsung maupun dengan isyarat, sesuai dengan keadaan.
- Terkhusus bagi ibu, hendaknya mengarahkan mereka untuk memilih teman yang baik.
Sebab, pertemanan memiliki pengaruh besar dalam hal perilaku, pemikiran, dan sebagainya.
- Menjauhkan rumah dari segala sarana yang merusak dan menghancurkan anak, seperti TV satelit dan situs-situs internet.
Hal-hal ini lebih besar kerusakannya
daripada sisi positifnya. Betapa banyak hal mulia yang tersia-siakan
akibat sarana ini. Betapa banyak pula kehormatan yang ternodai gara-gara
hal tersebut. Jalan keselamatan hanyalah dengan menjauh darinya.
Apabila ada sarana ini di rumah,
hendaknya kepala keluarga benar-benar menjaganya agar sarana tersebut
tidak dibuka secara mutlak bagi anggota keluarganya. Jangan sampai
anggota keluarganya mengikuti (saluran) sekehendak mereka. Jangan sampai
mereka bisa membuka situs-situs kapan pun mereka inginkan. Sebab, hal
ini akan sangat membahayakan anggota keluarganya.
Demikian pula yang terkait dengan HP,
sungguh HP yang ada sekarang ini bukan sekadar sarana telepon. Karena
itu, berilah peringatan dan awasilah mereka. Janganlah Anda lalai
menjaga anak keturunan Anda.
Ya Allah, perbaikilah untuk kami anak
keturunan kami. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbagai ujian
dan cobaan, yang tampak maupun tidak.
(diterjemahkan dengan penyesuaian
dari khotbah Jum’at yang disampaikan oleh asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi
azh-Zhafiri, 11 Jumadal Akhirah 1435 H/ 11 April 2014 M)

Tidak Mau Menikah Setelah Suami Meninggal
Semula tak saling kenal. Tak pernah bersua apatah lagi bertegur sapa. Namun, tatkala ikatan sah telah dijalin kuat, pandangan halal saling bertaut, dua hati pun bertemu dan menyatu. Timbullah sebuah rasa yang sebelumnya tak pernah ada. Itulah mawaddah, mahabbah, dan ithmi’nan (tenang dan tenteram) anugerah Ilahi.Seolah keduanya telah saling kenal sejak lama.
Demikianlah pengaruh rahmat Allah ‘azza wa jalla terhadap hamba-hamba-Nya dan sebagian tanda kekuasaan-Nya, penunjuk rububiyah-Nya yang sempurna, sebagaimana firman-Nya,
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari
diri-diri kalian, agar kalian merasakan ketenangan kepadanya dan Dia
menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah.” (ar-Rum: 21)
Mawaddah dan mahabbah—yang
secara bebas kita artikan ‘rasa cinta’—di antara keduanya terkadang
demikian mendalam. Sampai-sampai ketika ajal harus memisahkan keduanya,
yang ditinggal enggan untuk menikah lagi selamanya sebagai pembuktian
kesetiaan kepada pasangannya dan tak ingin membuka hati untuk cinta yang
baru.
Perlu kita ketahui, agama Islam tidak
menghendaki pemeluknya memilih hidup sendiri selama-lamanya tanpa
pasangan. Islam justru mendorong terjadinya pernikahan guna menjaga
kehormatan lelaki dan perempuan. Dengan banyaknya pernikahan, akan
langgenglah kehidupan di muka bumi karena keturunan anak manusia
seharusnya hanya terlahir lewat akad sah yang bernama pernikahan.
Semestinya, ketika seseorang menduda
atau menjanda lantas merasa perlu untuk menikah, dia tidak menahan
dirinya. Seorang istri yang “ditinggal” suaminya dan telah mengakhiri
masa iddah dan ihdadnya, tidak perlu disalahkan dengan
keputusannya untuk ‘melangkah ke pelaminan’, apabila memang lelaki yang
datang melamar dipandang cocok dan sesuai untuknya. Ini bukanlah bentuk
pengkhianatan kepada suami yang telah meninggal.
Sebab, seorang istri yang ditinggal mati
oleh suaminya lantas menahan diri untuk menikah karena ingin mengurus
anak-anak yatimnya, bukan sebuah persyaratan yang diharuskan. Ketika di
belakang hari dia merasa butuh menikah atau menganggap sudah saatnya
untuk menikah sehingga dia pun menikah, keputusan menikah ini tidaklah
dicela. Tidaklah dikatakan dia telah melakukan sesuatu yang terlarang.
Dengan demikian, seorang istri yang
menjanda bisa melakukan apa yang dipandangnya ada kebaikan dan
kemaslahatan baginya. Kalau yang lebih maslahat baginya adalah menikah,
hendaknya dia menikah. Apalagi ketika dia membutuhkannya, tidak boleh
ada seorang pun yang menahannya, walaupun ada anak-anak yatim dari
suaminya yang telah meninggal dunia.
Namun, kalau dia memandang yang maslahat
adalah tidak menikah agar bisa konsentrasi penuh memberikan perhatian,
pendidikan, dan pengajaran kepada anak-anaknya, itu adalah haknya.
Apalagi dia ingin beroleh keutamaan memelihara anak yatim sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْم فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ يَعْنِي السَّبَابَة وَالْوُسْطى.
“Aku dan orang yang memelihara anak
yatim di surga nanti seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan dua
jari: telunjuk dan jari tengah. (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi dan ash-Shahihah no. 800)
Apabila dia memandang bahwa menikah lagi
akan menghalangi dirinya dari keutamaan yang besar tersebut, lalu dia
memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah haknya pula.
Demikian pula ketika dia tidak ingin
menikah lagi karena berharap bisa berkumpul bersama suaminya kelak di
surga. Sebab, seorang muslimah yang memiliki beberapa suami saat di
dunia, apabila dia dan semua suaminya masuk surga di akhirat kelak,
Allah ‘azza wa jalla mengumpulkannya bersama suaminya yang terakhir.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu meminang Ummud Darda setelah wafat Abud Darda radhiallahu ‘anhu, berkatalah Ummud Darda radhiallahu ‘anha, “Aku pernah mendengar Abud Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا, فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا.
‘Istri mana saja yang wafat suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, dia bersama suaminya yang terakhir.’
“Dalam hal ini, aku tidak ingin mengutamakanmu dari Abud Darda[1].”
Muawiyah lalu mengirim surat kepada
Ummud Darda berisi pesan, “Hendaknya engkau banyak puasa karena puasa
adalah pemutus (syahwat).” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 3/275, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1281)
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada istrinya, “Apabila engkau suka menjadi istriku di surga jika kelak Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita di sana, janganlah engkau menikah sepeninggalku[2]. Sebab, perempuan itu di surga adalah milik suaminya yang terakhir di dunia. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga kelak.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan, 7/69—70. Perawinya tsiqah seandainya tidak ada ‘an’anah dan ikhtilathnya Abu Ishaq as-Sabi’i, demikian kata al-Imam al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, 3/277)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disarikan oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah dari Lin Nisa’ Ahkam wa Adab Syarh al-Arba’in an-Nisa’iyah, Muhammad Syakir asy-Syarif, hlm. 215—223, Dar Thaybah, Riyadh, cet. pertama)
[1] Ummud Darda memilih untuk tetap menjadi istri Abud Darda di surga nanti.
[2]
Hudzaifah tidaklah mempersyaratkan kepada istrinya untuk tidak menikah
sepeninggalnya, namun dia memberikan pilihan, sebagaimana tampak dalam
kalimatnya, “Bila kamu suka menjadi istriku di surga….”

Mengawetkan Hewan untuk Dipajang
Apa hukum mengawetkan hewan mati dengan tengkoraknya (muhannath) untuk dipajang sebagai hiasan?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Pengawetan (tahnith) hewan
mati dengan tujuan untuk dipajang sebagai hiasan telah difatwakan oleh
ulama kibar masa ini. Berikut fatwa-fatwa yang dapat kami nukil di sini.
Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz rahimahullah) dalam Fatawa al-Lajnah (1/715,
716) dan (13/35- 36). Mereka berfatwa bahwa hal itu tidak tergolong
menggambar sesuatu yang terlarang (yaitu menggambar makhluk hidup),
tidak pula tergolong menandingi ciptaan Allah ‘azza wa jalla,
dan tidak tergolong menyimpan gambar makhluk hidup yang telah dilarang
dalam hadits-hadits yang sahih. Namun, hal itu haram dengan alasan
sebagai berikut.
- Membuang harta dengan sia-sia jika hewan itu tergolong hewan yang halal dimakan. Jika tergolong hewan yang bisa difungsikan untuk suatu manfaat, hal itu tergolong membinasakan hewan yang bermanfaat tanpa ada tujuan yang berguna.
- Biaya pemeliharaannya tergolong israf (pemborosan) dan mubazir yang tercela.
- Wasilah/faktor yang akan menyeret untuk menyimpan dan memelihara gambar/patung makhluk bernyawa yang merupakan perkara haram dan wasilah/faktor kesyirikan.
Ibnu ‘Utsaimin berfatwa pada Liqa’ Bab al-Maftuh (juz 147) bahwa hal itu bukan tergolong gambar makhluk hidup yang terlarang, melainkan makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla yang diawetkan.
Adapun hukumnya, Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan rincian. Beliau rahimahullah
berkata, “Mengambil hewan mati yang diawetkan tidak termasuk menggambar
sesuatu yang terlarang, karena sesungguhnya Anda hanyalah mengambil
suatu makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla. Bukankah itu salah satu makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla?
Akan tetapi, tersisa peninjauan dari
segi lain. Apabila termasuk hewan yang haram dimakan, itu tergolong
najis yang tidak boleh disimpan.
Apabila termasuk hewan yang halal
dimakan tetapi tidak disembelih secara syar’i, itu juga tergolong najis
yang tidak boleh disimpan.
Jika termasuk hewan yang halal dimakan
dan disembelih secara syar’i lalu diawetkan, itu tidak mengapa. Namun,
jika hal itu menghabiskan biaya yang besar, tergolong membuang harta
Cuma-cuma (haram).”
Lebih detail lagi dari rincian ini adalah fatwa beliau rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa wa ar-Rasa’il (12/358—359):
- Mengawetkan tengkorak hewan yang haram dimakan, seperti anjing, singa, dan serigala haram diperjualbelikan, karena tergolong bangkai (najis). Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penjualan najis. Lagi pula tidak ada manfaatnya sehingga biaya yang digunakan tergolong membuang harta secara sia-sia, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari perbuatan membuang harta secara sia-sia.
- Mengawetkan tengkorak hewan yang halal dimakan jika mati tidak dengan cara penyembelihan syar’i, haram memperjualbelikannya karena tergolong bangkai (najis). Jika mati dengan cara penyembelihan syar’i, halal diperjualbelikan. Hanya saja, saya khawatir hal itu (dengan tujuan untuk hiasan) termasuk membuang harta secara sia-sia terkhusus jika menghabiskan biaya yang besar.
Alhasil, hal itu tidak boleh. Wallahu a’lam.
Ada tujuan lain yang diperbolehkan, yaitu untuk praktikum di laboratorium dalam rangka pelajaran anatomi dan lainnya.
Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (Kitab
al-‘Ilmi) berfatwa, “Boleh mengawetkan hewan untuk tujuan belajar dan
menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, karena Allah ‘azza wa jalla menciptakan semua yang ada di muka bumi untuk kepentingan/maslahat kita.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dialah yang menciptakan seluruh yang di muka bumi untuk kepentingan kalian.” (al-Baqarah: 29)
Namun, wajib ditempuh cara termudah dalam membunuhnya untuk mencapai tujuan tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ.
“Maka dari itu, jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik.” (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu.)
Jika dibuat pingsan dengan dibius untuk
praktik operasi/pembedahan, hal itu juga tidak mengapa, karena
mengandung maslahat untuk para pelajar. Sementara itu, tidak ada mudarat
besar terhadap hewan itu mengingat dibedah dalam keadaan sudah
pingsan.”
Wallahu a’lam.

Harta dari Penghasilan Haram
HARTA DARI PENGHASILAN HARAM
Apa hukum memanfaatkan harta yang didapatkan dari penghasilan yang haram sedangkan pelakunya/pemiliknya telah bertobat?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Orang yang pemasukannya bersumber dari penghasilan yang haram berupa riba dan lainnya lantas bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla, ada beberapa rincian tentang hukum memanfaatkan harta penghasilannya tersebut.
- Jika selama ini dia jahil (tidak tahu) bahwa pemasukan/penghasilan itu haram karena kebodohannya, hasil ijtihad keliru atau taklid mengikuti fatwa keliru yang membolehkan, kemudian ia mengetahuinya dan bertobat, dia boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya, seperti untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menghadiahkannya, mewakafkannya, dan lainnya.
Dalilnya ialah firman Allah ‘azza wa jalla, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah.” (al-Baqarah: 275)
Hal ini telah difatwakan oleh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu al-Fatawa (19/274), “Adapun jika engkau jahil (tidak tahu hukum) kemudian mengetahuinya, halal bagimu apa yang telah lalu.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulanginya setelah itu, mereka adalah penghuni neraka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Jika demikian, apabila Anda punya pemasukan dari hasil riba dalam keadaan tidak tahu hukum, kemudian Allah ‘azza wa jalla memberimu petunjuk, halal bagimu apa yang telah lalu.”
Al-Lajnah ad-Da’imah (Ketua: Ibnu Baz, Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaikh, Anggota: Shalih al-Fauzan dan lainnya) dalam Fatawa al-Lajnah
(14/485) berfatwa kepada seorang wanita muslimah dari Somalia yang
pernah menjadi pembantu rumah tangga keluarga Nasrani di Swedia. Di
antara tugasnya adalah menghidangkan khamr (minuman keras) untuk mereka.
Kata al-Lajnah, “Adapun jika Anda tidak
mengetahui haramnya hal itu kemudian Anda bertobat dan meninggalkan
pekerjaan itu tatkala mengetahui hukumnya, tidak ada kewajiban apapun
atasmu mengenai harta penghasilanmu yang telah lalu. Hal itu berdasarkan
firman Allah ‘azza wa jalla tentang para pelaku riba,
“Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya
wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang
telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah. Barang
siapa mengulanginya setelah itu, mereka adalah penghuni neraka kekal di
dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Kata Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Tafsir al-Qur’an (Program
Maktabah Syamilah) ketika memetik faedah dari penafsiran ayat tersebut,
“Faedah kedelapan, harta yang didapatkan oleh seseorang dari hasil riba
sebelum mengetahui hukumnya adalah halal untuknya, dengan syarat ia
bertobat dan berhenti.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (29/412)
berfatwa tentang harta yang dihasilkan dengan akad jual beli yang
hakikat hukumnya haram, tetapi dilakukan oleh orang yang menyangkanya
halal.
Kata beliau, “Demikian pula setiap akad
yang diyakini oleh muslim pelakunya sebagai akad yang sah dengan
penakwilan yang bersumber dari hasil ijtihad atau taklid (membebek),
seperti muamalah ribawi yang diperbolehkan oleh para penghalal rekayasa
riba secara halus—Ibnu Taimiyah menyebutkan contoh-contoh lainnya,
seperti jual beli yang mengandung gharar (spekulasi terlarang).
Jika pada akad-akad tersebut telanjur terjadi taqabudh antara
kedua belah pihak yang bertransaksi (sama-sama telah
menggenggam/mengambil harta yang ditransaksikan) disertai keyakinan
sahnya muamalah itu, tidak dituntut untuk dibatalkan setelahnya, baik
dengan hukum maupun dengan rujuk dari ijtihad itu. Artinya, harta itu
menjadi miliknya yang sah dan halal untuknya. Wallahu a’lam.
- Jika dia menghasilkan harta yang haram itu dalam keadaan tahu hukum kemudian bertobat, ia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan pribadi, baik untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menghadiahkannya, menghibahkannya, maupun yang semacamnya.
Tuntutan sempurnanya tobat Mengharuskannya membersihkan/mengeluarkan harta haram itu dari dirinya dengan cara:
- Diberikan kepada fakir miskin atau orang yang terlilit/tidak mampu membayar utang. Hal ini bukan sebagai sedekah, melainkan pembersihan diri dari harta haram.
- Disalurkan untuk program kepentingan/maslahat umum (masyari’ khairiyyah ‘ammah), seperti madrasah, pembangunan/perbaikan jalan, selokan, kamar mandi, kakus/WC, pagar kuburan, dan semisalnya. Hal ini bukanlah amal ibadah, melainkan pembersihan diri dari harta haram.
Ini rangkuman fatwa ulama terkemuka pada abad ini, yaitu al-Imam Ibnu Baz, al-Lajnah ad-Da’imah (yang
diketuai al-Imam Ibnu Baz dan salah satu anggotanya al-‘Allamah Shalih
al-Fauzan), dan Ibnu ‘Utsaimin. Secara lengkap dapat dilihat dalam kitab
Fatawa al-Lajnah (13/431, 14/57, 60—63, 413—414), Majmu’ al-Fatawa libni Baz (19/267, 268, 273—274), Liqa’ Bab al-Maftuh libni ‘Utsaimin (6/18, 24/32, 221/17), dan Majmu’ Fatawa war Rasa’il (12/384—385).
Untuk Pembangunan Masjid?
Adapun untuk pembangunan masjid, terdapat perbedaan pendapat di antara mereka.
- Ada yang berpendapat tidak boleh. Al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz) berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (13/431), “Diinfakkan untuk maslahat umum, yaitu di jalan-jalan kebaikan, selain masjid. Masjid tidak boleh dibangun darinya, demi menjaga kesucian masjid dari harta penghasilan yang haram.”
- Ada yang berpendapat boleh. Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam kitab Liqa’ Bab al-Maftuh (6/18), “Harta apa saja yang dihasilkan oleh seseorang dengan cara yang haram kemudian bertobat darinya, ia berlepas diri dari harta itu dengan menyalurkannya untuk jalan kebaikan, termasuk pembangunan masjid dan sedekah kepada fakir miskin.”
Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam kitab Majmu’ Fatawa war Rasa’il (12/384—
385) mengenai hukum shalat di masjid yang dibangun dari harta haram,
“Boleh shalat di dalamnya dan tidak mengapa, karena yang membangunnya
dari harta yang haram, boleh jadi ia melakukannya demi membersihkan
dirinya dari harta penghasilannya yang haram.
Membangun masjid dari harta penghasilan
yang haram hukumnya halal, apabila dimaksudkan untuk membersihkan diri
dari harta penghasilan yang haram, tetapi hal itu tidak terbatas dengan
membangun masjid saja. Berlepas diri dari harta yang haram juga dapat
dilakukan dengan menyalurkannya pada program kebaikan lainnya.” Wallahu a’lam.
Jika Tercampur dengan yang Halal
Tersisa sebuah masalah, apabila harta
itu telah tercampur dengan harta penghasilan lainnya yang halal,
sedangkan pelakunya tidak mampu menentukan mana yang haram dan tidak
mampu berijtihad (menganalisa) untuk memisahnya dengan dugaan kuat
sekalipun.
Dalam hal ini al-Lajnah ad-Da’imah (Ketua: Ibnu Baz, Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaikh, Anggota: Shalih al-Fauzan dan lainnya) dalam Fatawa al-Lajnah (14/484—485)
berfatwa kepada seorang wanita muslimah dari Somalia yang pernah
menjadi pembantu rumah tangga keluarga Nasrani di Swedia. Di antara
tugasnya adalah menghidangkan khamr (minuman keras) untuk mereka. Al-Lajnah menyatakan bahwa wajib atasnya membersihkan diri dari penghasilan yang haram itu.
Kemudian mereka berkata, “Apabila harta
haram tersebut telah bercampur dengan harta yang halal; jika bisa
diketahui kadar/nilai harta yang haram dari yang halal, keluarkan yang
haram dan sedekahkan untuk membersihkan diri darinya serta membebaskan
diri dari tanggung jawab.
Jika tidak dapat diketahui kadar yang
haram dari yang halal, seluruh harta yang ada dibagi dua; setengahnya
disedekahkan (untuk membersihkan diri darinya) dan setengahnya lagi Anda
boleh manfaatkan dalam perkara yang halal. Hal ini jika Anda sudah tahu
hukum ketika bekerja bahwa pekerjaan itu haram.”
Wallahu a’lam.

Al-Majid
Al-Ustadz Qomar Suaidi
Al-Majid adalah salah satu nama dari nama-nama Allah, asma’ul husna. Nama ini disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Yang mempunyai Arsy lagi Mahamulia.” (al-Buruj: 15)
Para malaikat itu berkata, “Apakah
kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan
keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah
Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Hud: 73)
Dalam bacaan tasyahud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
“Ya Allah, berikan shalawat-Mu
kepada Muhammad, dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau berikan
shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau
Mahaterpuji, Mahaagung dan Mulia.
Berkahilah Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana engkau Berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Sesungghnya Engkau Mahaterpuji, Mahaagung dan Mulia.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Abu Ya’la. Lihat Sifat Shalat Nabi karya asy-Syaikh al-Albani)
Makna al-Majid
“Al-Majid” adalah yang memiliki sifat “al-Majd”. Kata
ini berkonsekuensi makna kebesaran, kelapangan, dan keagungan.
Sebagaimana kandungan maknanya dari sisi bahasa. Nama ini menunjukan
adanya sifat-sifat kebesaran dan keagungan (bagi Allah ‘azza wa jalla).
“Al-hamdu” (yang sering beriringan dengan sifat al-Majd, -ed.) menunjukkan sifat kemuliaan, sedangkan Allah ‘azza wa jalla memiliki keagungan dan kemuliaan. Inilah makna ucapan seorang hamba,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
“Tiada sesembahan yang benar selain Allah dan Allah Mahabesar.”
Kalimat “Tiada sesembahan yang benar
selain Allah” menunjukkan ketuhanan-Nya dan kesendirian-Nya dalam sifat
ketuhanan tersebut. Ketuhanan-Nya mengharuskan kecintaan terhadap-Nya
secara sempurna. Kalimat “Allah Mahabesar” menunjukkan keagungannya. (Jala’ul Afham, karya Ibnul Qayyim)
Dengan demikian, makna al-Majid adalah
Zat yang memiliki banyak sifat yang agung lagi mulia. Nama ini maknanya
kembali kepada kebesaran sifat-sifat-Nya, banyaknya, serta luasnya
sifat tersebut, keagungan kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya, keesaan-Nya
dalam kesempurnaan yang mutlak, keagungan yang mutlak, dan keindahan
yang mutlak; di mana tidak mungkin bagi hamba-hambanya untuk meliputi
walau sedikit saja darinya. Dia lebih besar dari segala sesuatu, lebih
agung dari segala sesuatu, lebih mulia, dan lebih tinggi. (Fiqhul Asma’ al-Husna, 202)
Buah Mengimani Nama Allah ‘azza wa jalla, al-Majid
Dengan mengimani nama Allah, al-Majid, kita mengetahui keagungan Allah ‘azza wa jalla dan kemuliaan-Nya, karena Dialah pemilik sifat yang banyak nan mulia dan agung.
Itulah Rabb kita, Sesembahan kita,
kepada-Nya kita tunduk. Kepada-Nya kita bungkukkan tubuh kita dalam
rukuk, kepada-Nya kita letakkan dahi kita dalam sujud. Kepada-Nya kita
tengadahkan dua telapak tangan kita dalam doa, memohon segala hajat kita
dan mengadukan segala urusan kita.
Demi-Nya kita jalankan syariat ini
dengan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Demi-Nya kita tinggalkan segala
maksiat dengan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Dia Mahaagung lagi Mulia.
Semua yang kita lakukan karena-Nya takkan sia-sia.
Sungguh, mereka yang enggan untuk
tunduk, rukuk, dan sujud kepada-Nya, enggan untuk taat kepada-Nya, dan
tetap bermaksiat kepadanya; mereka tidak menghormati Allah ‘azza wa jalla dengan semestinya.
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah
dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Mahasuci Rabb dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (az-Zumar: 67)

Ujian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Sunnatullah Pada Hamba-Nya
Silih berganti cobaan yang dialami oleh
manusia, mukmin atau kafir. Kehidupan mereka bagai putaran roda yang
tiada henti. Itulah kehidupan dunia. Cobaan-cobaan itu, bisa jadi dalam
bentuk hal-hal yang menyenangkan, tetapi tidak jarang pula yang
menyusahkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Setiap manusia, siapapun adanya dan
apapun kedudukannya, pasti diberi bala/ujian. Ujian-ujian itu bisa saja
berupa kebaikan untuk mengetahui apakah dia bersyukur ataukah dia
mengingkari (kufur terhadap) kebaikan tersebut. Bisa jadi pula bala itu
adalah sesuatu yang berwujud kejelekan, untuk menguji apakah dia akan
bersabar ataukah berputus asa.
Demikianlah keadaan manusia. Makhluk terakhir yang diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla
sesudah langit, bumi dan segala isinya ini adalah makhluk yang paling
mulia. Dengan segenap kelemahan dan kekurangannya, ternyata
keberadaannya di alam semesta ini bukanlah untuk suatu hal yang sia-sia.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)
Dalam ayat lain, Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mukminun: 115)
Subhanallah. Manusia, makhluk yang mulia ini, jelas tidak sama dengan makhluk lain yang telah diciptakan Allah ‘azza wa jalla.
Karena itu pula, manusia ada di dunia ini bukan untuk sekadar makan,
minum, berketurunan, dan bertempat tinggal, lalu mati dan selesailah
semua urusan.
Tidak, manusia terlalu mulia untuk sekadar hidup dengan cara seperti itu.
Alangkah ruginya seorang manusia yang
diberi kecerdasan dan kemampuan berpikir. Ditambah pula semua yang ada
di alam ini boleh dimanfaatkannya untuk tujuan utama dia diciptakan,
yaitu beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, hidupnya hanya untuk memuaskan seleranya, makan, minum, berkembang biak dan bertempat tinggal.
Alangkah ruginya, manusia yang dalam
pikirannya hanya terisi bagaimana caranya dia makan, minum, bertempat
tinggal, dan berketurunan.
Betapa tidak? Hanya untuk meraih tujuan
yang ada dalam pikirannya itu, dia harus belajar pagi dan petang,
bekerja siang malam, mengumpulkan harta, mengembangkannya, menjaganya
lalu membelanjakannya untuk kepentingan seleranya.
Alangkah ruginya dia, karena waktu
hidupnya yang berharga habis untuk memuaskan dirinya dengan makan,
minum, bertempat tinggal, dan berketurunan.
Tidak sedikit dari mereka yang sudah
berusaha dan bekerja siang malam, tetapi hanya mendapatkan sekadar
kebutuhan perutnya satu atau dua jam. Tidak jarang pula yang rajin
bekerja sekuat tubuhnya dan secerdas akalnya, tetapi tidak sempat
merasakan hasilnya, apakah karena hasil itu dirampas, atau ajal
menjemputnya.
Subhanallahi.
Alangkah bahagianya seekor ayam. Tanpa
harus belajar pagi dan petang, atau bekerja siang malam, ke mana dia
melangkah, di situ dia tentu mendapatkan makanannya. Di mana dia tinggal
tentu ada pasangannya, anaknya dan tempatnya berteduh. Kemudian, jika
dia mati, bangkainya jadi makanan; apabila sempat disembelih, halal bagi
manusia, kalau tidak, binatang lain yang menyantapnya. Sesudah itu,
selesailah urusannya. Di akhirat, tidak ada surga dan neraka baginya.
Tuntas, lalu sirna menjadi debu.
Bagaimana dengan manusia? Apakah sesudah
dia mati, terkubur di mana saja di bumi ini, akan selesai begitu saja
semua urusannya? Selesaikah urusannya, ketika dia yang berjuang sekuat
tenaganya, berusaha mencari pasangan, makanan dan minuman serta tempat
tinggal lalu mati dalam keadaan belum merasakan hasil usahanya?
Berhentikah langkahnya dengan kematian itu? Atau, selesaikan urusannya
dengan kematian itu, setelah dia merasakan semua hasil usahanya di
dunia, memanfaatkan fasilitas yang tersedia?
Tidak. Masih ada sekian rute perjalanan
sesudah kematian menuju akhirat yang harus dia tempuh, mau atau tidak.
Setelah itu, di akhirat dia pasti melihat hanya ada dua pilihan, surga
atau neraka. Manakah yang akan dipilihnya?
Sayangnya, pilihan itu bukan saat itu
waktunya. Pilihan itu, di sini. Di dunia, negeri ujian. Tempat dia
bercocok tanam berupa amalan, yang panennya akan dia petik di akhirat,
berupa dua pilihan tersebut, surga atau neraka.
Itulah hikmah Allah ‘azza wa jalla
menciptakan manusia dengan kedua Tangan-Nya yang mulia. Menjadikan
mereka sebagai khalifah di muka bumi, diizinkan memanfaatkan semua
fasilitas yang ada.
Karena itu, keberadaannya di dunia ini
dengan semua fasilitas yang tersedia menuntut adanya sebuah tanggung
jawab yang harus diembannya.
Seakan-akan ada sebuah ketentuan di balik itu, yang harus diselesaikan oleh setiap manusia. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengingatkan kita:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفنَاهُ؟ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ فِيهِ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ؟ وَفيمَ أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai dia ditanya tentang empat perkara;
- Tentang umurnya (waktunya), untuk apa dia habiskan?
- Tentang ilmunya, apa yang diperbuatnya dengan ilmu itu?
- Tentang hartanya, dari mana dia usahakan dan untuk apa dia belanjakan?
- Tentang tubuh/jasadnya, untuk apa dia gunakan?”
(HR. at-Tirmdizi (no. 2417), dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Sudahkah manusia itu menyiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan ini? Hanya Allah ‘azza wa jalla tempat kita meminta pertolongan dan kemudahan. Itulah sebagian ketetapan Allah ‘azza wa jalla yang berlaku bagi hamba-Nya.
Ternyata, ujian itu tidak sama untuk
masing-masing manusia. Sebagaimana keadaan mereka yang
bertingkat-tingkat, begitu pula ujian yang mereka terima.
Kedudukan yang berbeda-beda ini, bukan diukur berdasarkan penampilan duniawi yang terlihat pada manusia. Tidak.
Kita harus ingat kembali, bahwa tujuan utama manusia itu diciptakan Allah ‘azza wa jalla sebagai makhluk yang terakhir, setelah jagat raya dan seisinya tercipta adalah untuk beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Inilah yang difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Manusia yang paling tinggi
kedudukannya—dan itulah sesungguhnya kemuliaan yang sejati—adalah orang
yang berhasil merealisasikan hikmah dan tujuan penciptaan ini secara
sempurna, dan dialah yang dikatakan sebagai Insan Kamil.
Sebaliknya, orang yang paling hina dan
rendah kedudukannya, walaupun dia memiliki harta lebih banyak dari
Qarun, atau kekuasaan lebih besar daripada Fir’aun, atau kedudukan yang
lebih tinggi dari Haman, adalah mereka yang gagal dalam merealisasikan
tujuan tersebut. Kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari kehinaan dan kegagalan ini.
Sudah tentu, para nabi dan rasul berada
pada jajaran yang paling tinggi ini. Dengan kata lain, kedudukan mereka
yang agung itu mengandung konsekuensi bahwa mereka mau atau tidak mau,
harus menerima ujian yang sesuai dengan kemuliaan mereka.
Demikianlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya, “Siapakah yang paling berat ujiannya?”
الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ.
“(Yang paling berat ujiannya ialah)
para nabi, kemudian yang lebih utama dan yang berikutnya. Seseorang akan
diuji sesuai dengan agamanya. Apabila agamanya kokoh, semakin beratlah
ujiannya, dan jika dalam agamanya ada kelembekan, dia diuji sesuai
dengan agamanya. Tiada henti-hentinya ujian itu menimpa seorang hamba
sampai melepaskannya berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak ada dosa
padanya.” (HR. at-Tirmidzi (no. 2398) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.)
Bentuk-Bentuk Ujian
Sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Anbiya’ ayat 35 di atas, manusia itu diuji dengan kebaikan dan
keburukan. Yang dimaksud dengan kebaikan di sini ditinjau dari sisi
manusianya, yaitu hal-hal yang sesuai dengan nafsunya, menyenangkan dan
menggembirakannya. Adapun keburukan adalah semua yang tidak cocok dengan
nafsunya, tidak membuatnya gembira dan senang.
Kita katakan ditinjau dari sisi manusia
yang menerima ujian tersebut, karena dari sisi yang menurunkan ujian,
sudah tentu sesuai dengan keadaan-Nya Yang Mahabaik, sehingga
perbuatan-Nya tentu juga pasti baik, tidak ada yang buruk.
Dengan tabiat aslinya yang serba lemah,
kurang dan selalu tergesa-gesa, bahkan sangat zalim dan jahil, manusia
tidak pernah sepi dari dua keadaan yang merupakan ujian dari Allah ‘azza wa jalla ini.
Di antara mereka, ketika diuji dengan kesenangan atau kebaikan, dia merasa bahwa Allah ‘azza wa jalla
sedang memuliakannya. Dia berani berkata, “Semua ini karena kepandaian
saya,” “Saya memang berhak memperolehnya,” atau “Semua ini karena
kedudukan saya di sisi Allah,” dan sebagainya.
Sebaliknya, ketika dia ditimpa kejelekan
atau hal yang tidak disukainya, seperti: sakit, sedikitnya harta,
jabatan yang rendah, dan popularitas yang rendah, dia merasa bahwa semua
ini karena Allah ‘azza wa jalla menghinakannya atau Allah ‘azza wa jalla tidak suka kepadanya, sampai menuduh bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak adil.
Tentu saja, dua gambaran keadaan manusia ini, tidak berlaku mutlak bagi seluruh manusia, tanpa terkecuali. Tidak.
Di tengah-tengah mereka, ada segelintir manusia yang dimuliakan oleh Allah ‘azza wa jalla. Kemuliaan itu, bukan karena dia diberi dunia semata, melainkan karena iman dan cahaya yang Allah ‘azza wa jalla letakkan di dalam hati mereka.
Ujian-ujian itu, apakah berupa kebaikan
atau kejelekan, juga menimpa mereka, bahkan lebih berat dari orang
biasa. Hal itu tentu saja karena kedudukan istimewa mereka di sisi Allah
‘azza wa jalla.
Di antara mereka yang sedikit ini adalah
Raja Besar yang diberi kekuasaan dengan bala tentara paling kuat di
dunia. Belum pernah ada di dunia ini, kerajaan yang sehebat kerajaan
beliau. Prajuritnya terdiri dari manusia, jin dan binatang. Semua
berbaris rapi menerima titah beliau ‘alaihissalam. Semua bekerja sesuai perintah dan menjalankan tugas mereka masing-masing.
Sudah tentu, sebagai hamba Allah ‘azza wa jalla, beliau tidak lepas dari ujian, sama seperti yang lainnya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya),
(Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore,
Maka ia berkata, “Sesungguhnya aku
menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai
mengingat Rabbku sampai kuda itu hilang dari pandangan,”
“Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku.” Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.
Dan sesungguhnya Kami telah menguji
Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai
tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertobat.
Ia berkata, “Wahai Rabbku, ampunilah
aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh
seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
Kemudian Kami tundukkan kepadanya
angin yang berembus dengan baik menurut ke mana saja yang
dikehendaki-Nya, Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan
semuanya ahli bangunan dan penyelam,
Dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu.
Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.
Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik. (Shad: 30—40)
Demikianlah berita yang diterangkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi-Nya ‘azza wa jalla dan umatnya.
Lantas, apakah sesungguhnya ujian yang dialami oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam?
Sebagian ahli tafsir menguraikan kisah seekor jin yang mencuri cincin Nabi Sulaiman ‘alaihissalam lalu menguasai kerajaan beliau selama beberapa waktu. Adapun Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sendiri, terusir dari kerajaan dan hidup terlunta-lunta.
Akan tetapi, beberapa kandungan kisahnya banyak yang tidak sesuai dengan status beliau sebagai nabi.
Insya Allah ‘azza wa jalla, ujian beliau akan kami paparkan berdasarkan keterangan ahli tahqiq di kalangan ulama kaum muslimin.
(insya Allah bersambung)

Al Faruq ‘Umar bin al-Khaththab (10)

Futuhat Islamiyah Di Masa ‘Umar
Bermula dari sumpah setia para sahabat Anshar di bukit ‘Aqabah, dekat kota Makkah. Beberapa bulan sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diperintah hijrah ke Madinah. Selesai menunaikan ibadah haji,
orang-orang Anshar membuat kesepakatan untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bukit ‘Aqabah.
Dalam pertemuan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan, “Aku membai’at kalian semua untuk membelaku seperti kalian membela anak istri kalian.”
Barra’ bin Ma’rur segera menggenggam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berkata, “Siap. Demi Yang mengutus Anda membawa yang haq, pasti
kami betul-betul membela Anda seperti kami membela keluarga kami.
Bai’atlah kami, ya Rasulullah. Kami ahli perang dan ahli pertahanan yang
kami warisi turun-temurun….”
Tiba-tiba Abul Haitsam bin at-Taihan
memotong sambil bertanya, “Sebetulnya, antara kami dan mereka (Yahudi)
ada ikatan perjanjian dan kami akan memutuskannya. Apakah kalau kami
melakukannya, kemudian Allah ‘azza wa jalla memenangkan Anda, lalu Anda akan kembali kepada kerabat Anda dan meninggalkan kami?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersenyum dan berkata, “Bahkan, darah darah (sama-sama luka), hancur
hancur (sama-sama binasa). Aku bagian dari kalian dan kalian bagian
dariku. Aku memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan
siapa saja kalian berdamai.”
Setelah itu beliau meminta dua belas
orang ditunjuk sebagai pemuka bagi dua masyarakat Anshar. Mereka
menunjuk tiga dari Aus dan sembilan dari Khazraj.
Inilah peristiwa bersejarah yang
dianggap sebagai mata rantai pertama dari Futuhat Islamiyah hingga
terjadinya peristiwa Badr, sampai jatuhnya kota Makkah ke dalam pangkuan
Islam. Dan kemenangan itu tidak berhenti hanya sampai di situ….
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu mengirim Pedang Allah ‘azza wa jalla
menembus batas negeri Irak, setelah menundukkan orang-orang yang
murtad. Kemudian, beliau mengarahkannya ke Syam untuk menghadang ambisi
Romawi.
Kemudian, diteruskan oleh al-Faruq radhiallahu ‘anhu.
Sesungguhnya, Futuhat yang terjadi di
beberapa wilayah yang berdekatan dengan negara Islam, ataupun yang lebih
jauh, tidak lain adalah gerakan hidayah kepada manusia yang terbesar
dalam sejarah peradaban manusia. Gerakan besar untuk mengeluarkan
manusia dari kegelapan kesyirikan, kekafiran, kebodohan, dan kamaksiatan
menuju cahaya tauhid, keimanan, ilmu, dan ketaatan.
Kaum muslimin yang meninggalkan kampung
halaman mereka, menembus padang sahara adalah untuk meninggikan Kalam
Allah, menyampaikan berita gembira kepada manusia dengan agama-Nya,
serta rela mengorbankan jiwa raga dan harta mereka, bukan untuk berbuat
kerusakan di muka bumi.
Tujuan utama mereka adalah agar manusia
terangkat derajatnya sebagai manusia, beribadah hanya kepada Rabb yang
telah menciptakan manusia dan memberi mereka rezeki, bukan kepada sesama
makhluk yang sarat dengan kekurangan.
Ketika negeri yang mereka datangi
menolak semua pilihan yang ditawarkan, mereka mulai menyerang. Itu pun
tanpa melakukan penganiayaan atau penyiksaan terhadap yang luka, dan
tidak mengganggu wanita dan anak-anak serta orang-orang yang sudah
renta. Tidak pula menghancurkan rumah ibadah penduduk setempat, apalagi
membakar rumah penduduk.
Bukan harta rampasan yang mereka cari, bukan pula kemuliaan, ketenaran sebagai penakluk. Mereka lakukan semua hanya untuk Allah ‘azza wa jalla,
meninggikan Kalimat-Nya (al-Islam). Senantiasa terbayang di depan mata
mereka ketika seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berkata, “Seseorang berperang demi memperoleh rampasan perang,
seseorang berperang agar dikenang (sebagai pahlawan) dan seseorang
berperang agar diketahui kedudukannya, maka siapakah yang dikatakan
(berperang) di jalan Allah ‘azza wa jalla?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Siapa yang berperang agar Kalimat Allah itulah yang tinggi, dialah yang (dikatakan) berperang di jalan Allah.” (HR. al-Bukhari (2810) dan Muslim (1904) dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu)
Itulah tujuan utama mereka. Kekayaan
negeri yang mereka taklukan, tidak menyilaukan mata mereka, hingga
melalaikan mereka dari tujuan tersebut. Secantik apa pun wanita yang ada
di negeri itu, tidak pula memabukkan mereka sehingga lupa dengan tujuan
mulia ini.
Setelah mengalahkan semua prajurit lawan
dan menembus ibu kota mereka, pasukan muslimin tidak menjadi sombong
dan merendahkan orang-orang yang telah mereka taklukkan. Lebih-lebih
lagi, ketika di antara penduduk pribumi ada yang menerima Islam. Kaum
muslimin menyambutnya gembira, menjadikannya salah seorang saudara
mereka, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Memang, pasukan muslimin di negeri
taklukan tidak hanya menampakkan Islam dari ritual ibadah, tetapi juga
dari akhlak dan kepribadian mereka. Karena itulah, dengan mudah penduduk
setempat menerima Islam.
Itu pula sebabnya, Futuhat Islamiyah
menjadi monumen abadi dalam sejarah peradaban manusia. Sudah seharusnya
dunia berterima kasih kepada Islam dan kaum muslimin yang melebarkan
sayapnya sampai ke negeri-negeri yang jauh, mulai dari Granada, Spanyol,
Belanda, terus ke Rusia, atau ke pedalaman Afrika dan ujung timur
India.
Akan tetapi, kebanyakan manusia itu
ingkar kepada kebaikan. Yang mereka tonjolkan adalah dendam jahiliah.
Tidak menerima kenyataan bahwa mereka dikalahkan oleh orang-orang yang
menurut mereka selama ini bukan apa-apa.
Bandingkan dengan penaklukan yang
dilakukan imperium Romawi dan Persia. Demikian pula yang dilakukan oleh
negeri-negeri kafir ke mana saja mereka meluaskan wilayah. Apa yang
terjadi di negeri taklukan?
Para pemimpin negeri-negeri yang mereka
taklukan menjadi tawanan, atau budak-budak hina yang melayani dan
memuaskan hawa nafsu dan keserakahan mereka. Tanah yang subur dan kaya
dengan sumber alamnya, mereka kuras lalu dibawa ke negeri mereka, bukan
untuk memakmurkan penduduk yang mereka taklukan.
Belum lagi perilaku dan kepribadian
penduduk yang mereka datangi. Mereka merusaknya dengan akhlak dan akidah
mereka yang sudah rusak. Semua itu adalah bukti yang tidak mungkin
terbantah oleh mereka yang masih hidup hatinya dan sehat akalnya.
Kemenangan demi kemenangan diraih kaum
muslimin, hingga akhir tiga generasi terbaik umat ini. Dan sudah menjadi
sunnah (ketetapan) Allah ‘azza wa jalla, bahwa setiap
kenikmatan tentu ada yang dengki terhadap mereka yang merasakannya.
Begitulah sampai semesta ini diwarisi oleh Allah ‘azza wa jalla.
Orang-orang yang menekuni sejarah dari
kalangan Nasrani dan orientalis berusaha menampilkan kemenangan Islam
ini dengan rupa yang sangat buruk. Mereka menuduh bahwa kemenangan
(Futuhat) Islam tidak lain adalah perang agama, yang kaum muslimin
memaksakan Islam kepada penduduk wilayah yang mereka taklukkan. Mereka
gambarkan seakan-akan, di tangan kanannya seorang muslim memegang Kitab
Suci al-Quran, sedang yang lain menggenggam senjata.
Mereka menutup mata dengan kenyataan yang menjadi sebab mereka ditaklukkan oleh tentara Allah ‘azza wa jalla.
Mereka lupa, kekalahan mereka yang
sangat tragis sekalipun tidak lain adalah karena dosa yang mereka
lakukan. Kedurhakaan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla dan
Rasul-Nya adalah sumber kelemahan dan kemunduran serta kehancuran
mereka. Ditambah pula kezaliman penguasa mereka terhadap rakyat,
mempercepat jatuhnya kekuasaan raja-raja mereka.
Lagi pula, dengan persenjataan dan
perbekalan yang serba lengkap dan terlatih, jumlah prajurit yang jauh
lebih banyak daripada tentara muslimin, bagaimana mereka bisa
dihancurkan? Dari mana kekalahan itu?
Alhasil, jelas tidak sama antara Futuhat
dan penjajahan. Itulah realita yang ditorehkan sejarah dengan tinta
emas, walaupun orangorang yang buta hatinya tidak menyukai.
Namun, di balik itu semua, kita juga
tidak boleh lupa siapa tokoh yang berperan dalam berbagai Futuhat
tersebut. Mulai dari panglimanya, hingga pucuk pimpinan tertinggi yang
mengirim mereka ke wilayah-wilayah tersebut.
Tentu, setelah Abu Bakr ash-Shiddiq, tidak ada nama lain yang kedua kecuali ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu.
Meski tidak pernah mengenyam pendidikan
olah keprajuritan seperti yang dilakukan di negara maju, Byzantium dan
Persia, pasukan yang beliau kirim mampu meruntuhkan kesombongan kedua
kekaisaran besar dunia saat itu.
Sebagaimana ketatnya sikap ‘Umar dalam
memilih gubernur wilayah yang dikuasai kaum muslimin, begitu pula dalam
memilih panglima perang untuk memimpin pasukan muslimin.
Panglima harus dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya beliau terpaksa mengangkat seseorang yang bukan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menekankan agar panglima tidak bertindak sebelum bermusyawarah dengan sahabat.
Di antara mereka, yang didahulukan oleh
‘Umar adalah para sahabat yang terdahulu dan mula-mula masuk Islam,
kecuali jika dia kurang mampu dalam bidangnya.
Bagi ‘Umar, seorang panglima adalah
orang yang tenang dan tidak ceroboh, sehingga mampu memanfaatkan setiap
peluang, kapan dia menyerang, kapan pula dia berhenti menyerang.
Seorang panglima harus memiliki kekuatan
dan pengaruh, juga harus memiliki keberanian dan ahli tempur, apakah
memanah, melempar tombak, bermain pedang atau senjata lainnya.
Adalah ‘Umar, jika pasukan sudah berkumpul, beliau mengangkat seorang amir yang memiliki ilmu dan ahli fikih.
Ringkasnya, seorang panglima perang
dalam kriteria ‘Umar adalah laki-laki yang ahli dalam bertempur, besar
khidmatnya terhadap Islam, tenang dan cermat, memiliki kepribadian yang
berpengaruh, dan pemberani.
(insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits 
Dusta, Prinsip Agama Rafidhah (Syiah)
Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Fitrah manusia mencintai kejujuran dan
membenci kedustaan. Namun, apabila hawa nafsu telah menguasai seorang
dan fanatik buta telah merasuki dirinya, fitrah kesuciannya menjadi
rusak dan berubah. Kedustaan yang sebelumnya ia benci akan menjadi
sesuatu yang lumrah. Bahkan, ada yang lebih parah dari itu, kedustaan
dijadikan sebagai salah satu prinsip beragama, seperti agama Rafidhah
(Syiah).
Kedustaan, Ciri Khas Munafik
Orang-orang munafik yang tinggal bersama
masyarakat muslimin ibarat duri dalam daging. Di satu sisi, orang-orang
munafik secara lahiriah menampakkan seolah-olah bagian muslimin. Akan
tetapi, di sisi lain mereka memendam kebencian kepada Islam dan
muslimin. Kapan pun ada peluang untuk menjelek-jelekkan Islam, akan
mereka lakukan. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan tentang mereka, di antaranya,
Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, sesungguhnya kamu benarbenar
Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik
itu benar-benar pendusta. (al-Munafiqun: 1)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tanda-tanda orang munafik,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga:
apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, memungkirinya; dan
apabila diamanahi, ia berkhianat.” ( HR. al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kemunafikan Yahudi dan Syiah
Kemunafikan merupakan sifat Yahudi yang menonjol. Watak jahat ini sudah muncul sejak awal munculnya bangsa Yahudi. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan di antara bentuk kemunafikan mereka,
Apabila mereka menjumpai kamu,
mereka berkata, “Kami beriman”; dan apabila menyendiri, mereka menggigit
ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. (Ali Imran: 119)
Dan apabila orang-orang (Yahudi atau
munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan, “Kami telah beriman,”
padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi
(darimu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang
mereka sembunyikan. (al-Maidah: 61)
Bisa jadi, seseorang akan heran,
bagaimana bisa orang-orang Yahudi suka bermunafik padahal mereka
memiliki kitab agama? Bahkan, bermunafik merupakan sifat yang selalu
melekat pada mereka?
Apabila seseorang menelaah kitab-kitab
Yahudi, terkhusus kitab Talmud, niscaya akan didapatkan jawaban bahwa
sifat jelek tersebut ada pada mereka karena para penulis kitab Talmud
telah menanamkan kemunafikan pada jiwa mereka. Mereka memoles kedustaan
sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan sebuah cara untuk mencapai
tujuan-tujuan mereka yang berkaitan dengan agama atau pribadi mereka.
Di antara yang disebutkan dari mereka
ialah seorang Yahudi boleh berbasa-basi dengan non-Yahudi secara
lahiriah demi menghindari kejelekannya, dengan syarat ia tetap memendam
kebencian kepadanya.
Salah seorang penulis Talmud mengatakan,
“Bermunafik dibolehkan. Seorang—Yahudi—memungkinkan untuk berlaku sopan
dengan orang kafir dan mengatakan kecintaan kepadanya secara dusta,
apabila dikhawatirkan ia akan tertimpa mudarat.”
Selain itu, mereka menampakkan
seolah-olah mengucapkan salam kepada muslimin padahal mereka
menyembunyikan pada diri mereka apa yang tidak mereka tampakkan. Oleh
karena itu, setelah penjelasan ini seorang muslim tidak pantas tertipu
oleh trik-trik Yahudi dalam bermunafik, seperti apa pun mereka
menampakkan kecintaan.
Allah ‘azza wa jalla telah membeberkan trik-trik jahat mereka dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman-Nya,
“Dan apabila mereka datang kepadamu,
mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan
sebagai yang ditentukan Allah untukmu.” (al-Mujadalah: 8)
Di antara bentuk kemunafikan mereka
ialah menampakkan kecintaan kepada orang-orang yang berseberangan dengan
mereka, dengan cara ikut serta dalam perayaannya, bahkan berpura-pura
memeluk agama orang lain.
Hal ini seperti tertera dalam kitab
Talmud, “Apabila seorang Yahudi bisa menipu para penyembah berhala
dengan mengaku-ngaku bahwa ia termasuk penyembah bintang (berhala),
boleh ia lakukan.”
Sengaja kami menyebutkan trik-trik
kemunafikan Yahudi agak panjang, karena ada sisi kesamaan dengan
orang-orang Rafidhah (Syiah). Bagaimana tidak?! Bahkan, yang memunculkan
agama Syiah adalah seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah bin
Saba’. Ia berpura-pura masuk Islam demi merusak kaum muslimin dari
dalam. Hal ini juga diakui oleh orang-orang Syiah sendiri, sebagaimana
yang dinukil oleh al-Mamiqani dalam kitab mereka, yaitu Tanqihul Maqal (2/184), dari al-Kisysyi—pimpinan ulama Syiah dalam bidang al-jarh wat ta’dil.
Berikut ini teks terjemahannya, “Ulama
telah menyebutkan bahwa dahulu Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi,
lalu masuk Islam dan menyatakan kecintaannya kepada Ali radhiallahu ‘anhu.
Ketika masih beragama Yahudi, Abdullah bin Saba’ mengatakan tentang
Yusya bin Nun bahwa ia adalah orang yang diwasiati oleh Nabi Musa (untuk
memimpin Bani Israil sepeninggal Musa). Ketika masuk Islam, dia pun
mengatakan seperti itu tentang Ali (yaitu yang paling berhak menjadi
khalifah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang memasyhurkan keyakinan
tentang keimaman Ali dan menampakkan sikap benci kepada lawan-lawan Ali[1].” (lihat mukadimah Muhibbuddin al-Khathib terhadap kitab Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsnai al-‘Asyariyah)
Dari penjelasan di atas, teranglah bahwa
memang ada benang merah antara Yahudi dan Syiah. Karena itu, didapatkan
banyak titik kesamaan antara dua agama tersebut, tak terkecuali dalam
masalah tipu-menipu dan berdusta.
Orang-orang Syiah membolehkan berdusta terhadap orang yang bukan kelompoknya, terlebih lagi terhadap Ahlus Sunnah.
Orang-orang Syiah punya trik untuk
menyembunyikan keyakinan dan agamanya di sisi orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka, bahkan sampai pada tingkatan berpura-pura
mengikuti agama atau kelompok selain mereka. Mereka mengatakan bahwa ini
adalah bentuk taqiyyah ( تَقِيَّةٌ ), yang sebenarnya merupakan bentuk kemunafikan.
Akan tetapi, apabila mereka merasa
memiliki kekuatan, mereka berterus terang tentang agamanya (Syiahnya)
dan menampakkan permusuhan serta kebencian kepada selain kelompok
mereka, lebih-lebih terhadap Ahlus Sunnah. Mereka akan membuka agama
yang selama ini mereka sembunyikan.
Hakekat Taqiyyah Menurut Syiah
Yusuf al-Bahrani—salah seorang pembesar Syiah di abad ke-12 H—, “Yang dimaksud dengan taqiyyah adalah menampakkan kecocokan kepada orang yang tidak sepaham pada apa yang mereka yakini karena takut.”
Al-Khumaini berkata, “Taqiyah artinya
seseorang mengatakan suatu perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan
atau melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan timbangan
syariat. Hal itu dilakukan demi menjaga darah, kehormatan, atau
hartanya.”
Dari pemaparan para tokoh Syiah di atas, bisa diambil empat kesimpulan, yaitu:
- Makna taqiyah adalah menampakkan kepada orang lain sesuatu yang menyelisihi batinnya.
- Taqiyyah digunakan terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, sehingga seluruh muslimin masuk dalam keumuman (orang yang tak sepaham dengan mereka).[2]
- Taqiyyah digunakan pada perkara agama yang diyakini oleh orang-orang yang tidak sepaham.
- Taqiyyah dilakukan ketika dia mengkhawatirkan agama, jiwa, atau hartanya.
Kedudukan Taqiyyah Menurut Syiah
Taqiyyah dalam agama Rafidhah (Syiah) memiliki posisi yang tinggi, seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab induk mereka.
Al-Kulaini dan yang lainnya meriwayatkan dari Ja’far ash-Shadiq bahwa ia berkata, “Taqiyyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyyah.”
Ali bin Muhammad berkata kepada Dawud ash-Sharmi, “Wahai Dawud, kalau aku katakan kepadamu bahwa orang yang meninggalkan taqiyyah seperti orang yang meninggalkan shalat, niscaya aku benar (ucapannya).”
Diriwayatkan juga dari al-Baqir bahwa ia
berkata, “Akhlak termulia dari para imam dan orang mulia kalangan Syiah
kita adalah menggunakan taqiyyah.”
Orang-orang Syiah melakukan taqiyyah berdalilkan dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. Dan kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran: 28)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Orang-orang Rafidhah mengaku mengamalkan ayat ini (Ali Imran
ayat 28), padahal ayat ini merupakan bantahan atas mereka. Sebab, yang
pertama kali diajak bicara dengan ayat ini adalah orang-orang mukmin
yang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan
kepada mereka, ‘Orang-orang yang beriman tidak (boleh) menjadikan
orang-orang kafir sebagai penolong/teman dekat selain orang-orang yang
beriman…’
Dan telah maklum bahwa tidak ada dari
kaum mukminin yang ada di Madinah pada zaman Nabi yang menyembunyikan
keimanannya dan tidak menampakkannya kepada orang-orang kafir, seperti
yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah terhadap mayoritas (kaum
muslimin)…
Orang Rafidhah adalah orang yang paling
besar menampakkan “kecintaan” kepada Ahlus Sunnah, kala mereka tidak mau
menampakkan agamanya. Mereka justru menghafal (dalil-dalil) tentang
keutamaan sahabat Nabi dan syair-syair yang memuji sahabat dan mencela
Rafidhah. Suatu hal yang dengan itu mereka mengharapkan kecintaan dari
Ahlus Sunnah.
Salah seorang mereka tidak mau
menampakkan agama (Syiah)nya sebagaimana halnya orang-orang beriman
menampakkan agamanya kepada orangorang musyrikin dan ahli kitab.
Dari penjelasan ini, diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang paling jauh pengamalan ayat ini. Adapun firman Allah ‘azza wa jalla,
“Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali Imran: 28)
Mujahid rahimahullah berkata,
“Kecuali karena siasat. Siasat (di sini) bukan dengan (mengatakan), ‘Aku
berdusta dan mengatakan dengan lisanku apa yang tidak ada pada hatiku.’
Sebab, yang seperti ini adalah bentuk kemunafikan.
Akan tetapi, yang dimaksud dengan siasat adalah aku melakukan (agama) sesuai kemampuanku….
Apabila seorang mukmin berada di antara
orang-orang kafir dan jahat, tidak bisa menjihadi mereka dengan tangan
karena tidak mampu, jika mampu ia lakukan dengan lisannya; apabila tidak
mampu, dengan hatinya. Namun, dia tidak melakukan kedustaan dan
mengatakan dengan lisannya apa-apa yang tidak ada pada hatinya.
Adakalanya seorang mukmin yang tinggal
di tengah-tengah mereka menampakkan agamanya, adakalanya
menyembunyikannya, namun bersamaan dengan itu ia tidak mencocoki agama
orang-orang kafir….
Adapun orang Rafidhah tidaklah bergaul
dengan seorang pun kecuali menggunakan cara-cara kemunafikan. Sebab,
agama yang ada pada hatinya adalah agama rusak yang mendorongnya untuk
berdusta, berkhianat, menipu manusia, dan menghendaki kejelekan kepada
manusia.” (Minhajus Sunnah 6/421—425)
Rafidhah Berkolaborasi dengan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah (1/20)
tentang mereka, ‘Sesungguhnya, mereka adalah para pengekor hawa nafsu
yang paling bodoh dan zalim. Mereka memusuhi waliwali Allah ‘azza wa jalla
yang terbaik setelah para nabi, dari orang-orang yang pertama-tama
masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti
mereka dengan baik yang Allah ‘azza wa jalla ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah ‘azza wa jalla.
Mereka (Rafidhah) loyal kepada orang-orang kafir dan munafik dari
Yahudi, Nasrani, dan musyrikin, serta segenap orang-orang atheis seperti
kelompok Nushairiyah, Isma’iliyah, dan orang-orang sesat selain
mereka.” (al-Watsaiq at-Ta’amuriyyah hlm. 133)
Husain bin Ali Hasyimi mengatakan, “Kerjasama militer antara Israel dan Iran terus berlanjut dan tidak terputus.”
Menteri Luar Negeri Israel (negeri
Yahudi) di masa pemerintahan Netayahu, David Levi, mengatakan,
“Sesungguhnya Israel tidak pernah mengatakan pada suatu hari bahwa Iran
(negeri Syiah) adalah musuh.”
Mantan Perdana Menteri Yahudi, Ariel Sharon, mengatakan, “Aku tidak memandang bahwa Syiah adalah musuh Israel lebih lanjut.” (al-Watsaiq at-Ta’amuriyyah hlm. 134)
Dari sini, jelas bahwa apa yang sering
diberitakan di beberapa media bahwa negeri Syiah akan menyerang Israel
hanyalah sandiwara politik guna menarik simpati dunia Islam kepada
negeri Syiah, Iran.
Orang-Orang Rafidhah (Syiah) di Mata Ulama
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Jangan ajak bicara mereka dan jangan ambil riwayat dari mereka. Sebab, mereka biasa berdusta.”
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Belum pernah aku melihat seorang lebih berani bersaksi palsu daripada orang Rafidhah.”
Yazid bin Harun rahimahullah
berkata, “(Riwayat) ditulis dari setiap ahli bidah—apabila ia bukan
penyeru kebid’ahan—selain orang-orang Rafidhah, karena mereka biasa
berdusta.” (al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, adz-Dzahabi hlm. 23)
Setelah pemaparan di atas, bisa jadi ada yang bertanya, mengapa Syiah menjadikan taqiyyah sebagai bagian agama mereka?
Jawabannya, di antara sebabnya adalah
bobroknya keyakinan-keyakinan mereka. Mereka sadar, jika manusia sampai
mengetahui hakikat agama Syiah, akan membahayakan orang-orang Syiah dan
agamanya. Sebab, dalam agama Syiah terdapat kebatilan besar yang tidak
bisa diterima oleh syariat yang benar, fitrah, dan akal sehat.
Semoga Allah ‘azza wa jalla melindungi kita dari makar-makar jahat mereka. Wallahu a’lam.
[1] Yang dimaksud “lawan-lawan Ali” oleh al-Kisysyi ini sebenarnya adalah teman-teman Ali radhiallahu ‘anhu, yaitu para sahabat Nabi g.
[2] Bahkan, terkadang mereka bertaqiyah dengan sesama mereka sendiri. (-ed.)

Ternyata Syiah Juga Penyembah Kubur
Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
Allah ‘azza wa jalla telah mewajibkan hamba-Nya untuk bertauhid dan melarang mereka berbuat syirik. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan hendaknya kalian beribadah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (an-Nisa: 36)
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah berdoa kepada Allah diserta berdoa kepada selain-Nya.” (al-Jin: 18)
Sangat banyak nash dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang memerintahkan untuk beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla dan menjauhi perbuatan syirik. Namun, masih banyak hamba Allah ‘azza wa jalla
yang terus melakukan berbagai kesyirikan, kekufuran, dan kebid’ahan. Di
antara mereka yang banyak melakukan kesyirikan dan kebid’ahan adalah
orang-orang Syiah Rafidhah.
Siapakah Rafidhah?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Rafidhah adalah orang-orang yang ghuluw (berlebihan dalam mengagungkan) terhadap ahlul bait, mengafirkan para sahabat yang lainnya, dan menyatakan bahwa para sahabat adalah orang fasik (bahkan kafir, -ed.). Mereka terdiri dari banyak kelompok. Di antara mereka ada golongan ekstrem yang menyatakan Ali adalah ilah, ada pula yang kesesatannya di bawah itu.
Awal mula kemunculan mereka adalah di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ketika Abdullah bin Saba berkata kepada Ali radhiallahu ‘anhu, “Engkau adalah ilah.” Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pun memerintahkan mereka dibakar, sementara tokoh mereka Abdullah bin Saba melarikan diri ke Madain.
Mazhab mereka dalam masalah sifat Allah ‘azza wa jalla berbeda-beda: di antara mereka ada musyabbihah, ada yang mu’athilah, dan di antara mereka ada yang tidak demikian.
Mereka dinamakan Rafidhah karena menolak
(meninggalkan) Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Hal
ini terjadi ketika mereka minta beliau berlepas diri dari Abu Bakr dan
Umar radhiallahu ‘anhuma, namun beliau justru mendoakan rahmat bagi keduanya. Maka dari itu, mereka pun menolak dan menjauhkan diri dari beliau.
Mereka menamakan diri mereka dengan
Syiah karena mengklaim sebagai orang yang membela dan menolong ahlul
bait dan menuntut hak mereka menjadi imam. (Syarah Lum’atul Itiqad, Ibnu Utsaimin)
Rafidhah Adalah Syiah
Sebuah pertanyaan pernah disampaikan kepada asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah, “Apakah benar menamakan Syiah dengan Rafidhah, jika benar mengapa mereka dinamakan demikian?”
Rafidhah asalnya adalah Syiah. Tasyayu’ asalnya
adalah menolong. Namun, keadaan mereka sebagaimana kelompok-kelompok
sesat lainnya, mengklaim menolong Ali dan ahlul bait, mengaku sebagai
kelompok Ali dan pembela Ali radhiallahu ‘anhu—padahal itu hanyalah pengakuan belaka, -pen.
Sebagaimana telah maklum mereka terpecah karena mereka menuntut Zaid bin Ali untuk berbara’ dari Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Maka beliau berkata, “Ma’adzallah,
keduanya adalah orang dekat kakekku.” Mereka pun menjauhkan Zaid bin
Ali hingga mereka disebut Rafidhah, dan terbagilah Syiah menjadi
Zaidiyah dan Rafidhah.
Para ulama yang menulis tentang
firqah-firqah seperti al-Asy’ari, as-Syihristani, dan al-Baghdadi
menyebutkan kelompok-kelompok Syiah, bahwa mereka terbagi sekian
kelompok, namun mereka lebih senang dinamakan Syiah padahal kenyataannya
mereka adalah Rafidhah, Kisaniyah, Qaramithah, Ismailiyah, Nashiriyah, atau (sekte Syiah) lainnya (Fatwa asy-Syaikh Hamud at- Tuwaijiri).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Asal ucapan sesat Rafidhah adalah (pernyataan mereka) bahwa nabi telah menetapkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah dengan nash yang memutuskan adanya uzur dan menegaskan bahwasanya Ali radhiallahu ‘anhu
adalah imam yang maksum. Karena itu, barang siapa menyelisihinya
berarti telah kafir. Mereka berpandangan bahwa Muhajirin dan Anshar
telah menyembunyikan nash tersebut dan mengingkari imam maksum dengan
mengikuti hawa nafsu mereka. Menurut mereka, Muhajirin dan Anshar telah
mengubah agama dan syariat, berbuat zalim dan melampaui batas, bahkan
telah kafir kecuali segelintir orang yang berjumlah sedikit….” (Majmu’ Fatawa, 3/356)
Syiah, Kelompok yang Paling Mirip dengan Yahudi
Sebelum kita menyebutkan bentuk
kesyirikan Syiah Rafidhah, kita akan mengingat kembali kemiripan
Rafidhah dengan Yahudi. Jika kita membaca dalam al-Qur’an dan hadits
tentang celaan Allah ‘azza wa jalla kepada Yahudi dan Nasrani,
kemudian kita melihat keadaan Rafidhah, niscaya akan didapati bahwasanya
perbuatan Yahudi telah banyak ditiru oleh Syiah Rafidhah.
Imam ‘Amir bin Syarahil asy-Sya’bi
pernah berkata kepada Malik bin Muawiyah, “Wahai Malik, aku peringatkan
engkau dari kebid’ahan-kebid’ahan yang menyesatkan. Yang paling jeleknya
adalah Rafidhah, karena Rafidhah adalah Yahudinya umat ini. Mereka membenci Islam sebagaimana Yahudi membenci Nasrani….”
Di antara contoh persamaan mereka:
- Yahudi paling benci kaum muslimin. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sungguh kamu akan dapati orang yang paling keras kebenciannya kepada orang beriman adalah orang-orang Yahudi….” (al-Maidah: 82)
Demikian juga Syiah Rafidhah, demikian membenci kaum muslimin khususnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
- Yahudi membenci dan memusuhi Malaikat Jibril.
Demikian juga Syiah, mereka membenci dan memusuhi Malaikat Jibril karena menurut mereka telah salah dalam menyampaikan wahyu.
- Ahlul kitab membenci, bahkan membunuh nabi-nabi mereka. Demikian juga Syiah sangat membenci Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ahlul kitab meninggalkan kitab-kitab mereka. Demikian juga Syiah, meninggalkan al-Qur’anul Karim.
- Di antara perbuatan syirik Yahudi adalah:
- Menyembah rahib dan ahbar Yahudi mengultuskan orang-orang saleh mereka hingga menjadikannya sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Mereka menjadikan rahib dan ahbar mereka sebagai Rabb selain Allah.” (at- Taubah: 31)
- Menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah ‘azza wa jalla melaknat Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid.” (HR. al-Bukhari)
Demikian juga Syiah, mereka adalah orang-orang yang sangat mengultuskan imam-imam mereka dan mengagungkan kubur mereka.
Bukti Syiah Mengultuskan Tokoh-Tokoh Mereka
Di antara bukti bahwa Syiah mengultuskan tokoh-tokoh mereka adalah:
- 1. Seorang Rafidhi, yakni al-Kulaini penulis kitab al-Kafi, kitab yang merupakan kitab terbesar di sisi mereka seperti kedudukan Shahih Bukhari bagi Ahlus Sunnah.
Dia telah membuat beberapa bab dalam kitabnya yang berjudul Ushulul Kafi kemudian menyebutkan beberapa hadits yang semuanya menunjukkan ghuluw mereka dalam hal mengultuskan tokoh-tokoh mereka.
Kita cukupkan dengan menyebutkan beberapa bab yang menunjukkan rendahnya Rafidhah karena ghuluw yang telah menyebabkan binasanya orang-orang terdahulu. Di antara bab yang dia sebutkan:
- BAB PARA IMAM ADALAH WULATU AMRILLAH DAN PENJAGA ILMUNYA
- BAB PARA IMAM MENGETAHUI ILMU YANG DIKELUARKAN KEPADA PARA MALAIKAT, NABI, DAN RASUL
- BAB PARA IMAM TAHU KAPAN AKAN MATI DAN MEREKA TIDAK MATI KECUALI DENGAN PILIHAN MEREKA
- BAB PARA IMAM TAHU APA YANG TELAH TERJADI DAN YANG AKAN TERJADI
Dan beberapa bab lainnya yang
menunjukkan betapa Syiah mengultuskan tokoh-tokoh mereka hingga terjatuh
dalam syirik dalam hal rububiyah dengan meyakini bahwa tokoh mereka
tahu perkara gaib, kapan akan meninggal, dan kekufuran lainnya.
Ternyata, Syiah Penyembah Kubur
Bentuk praktik amalan syirik sangatlah
beragam. Kalau kita mau menelaah keadaan orang-orang Rafidhah maka akan
kita dapati mereka banyak melakukan bentuk kesyirikan di atas dan
perbuatan kesyirikan lainnya. Di antara bukti akan hal tersebut adalah:
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dengan sebab Rafidhahlah dibangunnya kubah-kubah di atas kubur dan disembahnya orang-orang yang telah mati.” (Lihat Syarah Wasithiyah, Alu Syaikh)
Yang dimaksud oleh beliau adalah
Rafidhah yang telah mendirikan Daulah Fatimiyah di Maroko yang banyak
melakukan kesyirikan dan kekufuran.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa tokoh Rafidhah yang bernama Ibnu Nu’man membuat satu kitab dia beri judul Manasikul Masyahid (Amalan- Amalan ketika Menziarahi Bangunan-Bangunan Kubur), di dalam kitab tersebut dia membolehkan menjadikan kuburan sebagai tempat haji sebagaimana Makkah. (Minhajus Sunnah)
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Kesyirikan dan seluruh kebid’ahan dibangun di atas kedustaan
dan mengada-ada. Oleh karena itu, orang yang paling jauh dari tauhid dan
sunnah adalah orang yang paling dekat kepada kesyirikan, kebid’ahan,
dan mengada-ada, seperti halnya Rafidhah yang merupakan kelompok ahlul bid’ah yang paling pendusta dan paling besar kesyirikannya.”
Tidak ada ahlul bid’ah yang paling
pendusta dan paling jauh dari tauhid dibandingkan Rafidhah. Oleh karena
itu, mereka merobohkan masjid-masjid Allah ‘azza wa jalla yang disebut di situ nama Allah ‘azza wa jalla, mengosongkannya dari shalat jamaah dan Jumat, serta memakmurkan tempat-tempat berbuat syirik yang ada di atas kubur, padahal Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya melarang berbuat demikian.” (Iqtidha Shiratal Mustaqim)
Ada Apa dengan Karbala?
Rafidhah sangat mengagungkan Karbala,
mereka menganggapnya sebagai salah satu tanah suci, bahkan sebagian
mereka meyakininya lebih utama dan lebih suci dari Makkah al-Mukaramah.
Karbala adalah satu tempat berjarak 100 km dari kota Baghdad. Mereka
menganggapnya suci karena di sanalah al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma, syahid dalam keadaan terzalimi, padahal mereka sendiri yang menyebabkan terbunuhnya beliau.
Setiap tanggal 10 Muharam diadakan ritual berdarah di sana sebagai bentuk perayaan meninggalnya al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
berkata, “Di antara keburukan Rafidhah adalah menjadikan hari
meninggalnya al-Husain sebagai hari berkabung. Di hari tersebut mereka
tidak berhias dan menampakkan kesedihan, mengumpulkan orang-orang yang
mau meratap untuk menangis, kemudian mereka menggambar kubur al-Husain
menghias dan mengaraknya di ganggang seraya menyeru: Ya Husain….
Adapun meninggalkan berhias adalah termasuk ihdad yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih. Adapun niyahah adalah
di antara kemungkaran jahiliah yang paling besar dan terjadilah dari
perbuatan tersebut berbagai kemungkaran dan keharaman yang tidak bisa
terhitung.
Semua perbuatan tersebut adalah bid’ah.
Pelakunya, orang yang ridha dengannya, yang membantunya dan
pekerjaannya, semua mereka bersekutu dalam kebid’ahan…. (ar-Rudud ‘ala Rafidhah, dengan sedikit perubahan redaksi)
Ternyata Merekalah Pembunuh al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma
Mereka rayakan tanggal sepuluh ‘Asyura sebagai hari berkabung, karena itu adalah hari meninggalnya al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma.
Muncul pertanyaan: Siapa sebenarnya yang telah membunuh al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma?
Disebutkan dalam tarikh, al-Husain datang ke Kufah karena panggilan penduduk Kufah yang hendak membaiatnya.
Ketika beliau hendak berangkat beliau
dinasihati oleh beberapa orang sahabat, di antaranya oleh saudara beliau
Muhamad bin al-Hanafiyah rahimahullah, putra Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Beliau berkata, “Wahai saudaraku, engkau telah tahu pengkhianatan
mereka kepada ayah dan saudaramu, aku khawatir keadaanmu seperti keadaan
orang yang terdahulu.”
Diriwayatkan juga dalam tarikh,
al-Husain sendiri pernah berkata di hadapan mereka, “… Apabila kalian
tidak melakukannya dan kalian membatalkan perjanjian kalian dan
melepaskan baiat kepadaku, itu bukanlah sesuatu yang aneh, kalian telah
melakukannya kepada ayahku, saudaraku, dan anak pamanku muslim.…”
Demikianlah yang terjadi, mereka ahlul
Kufah yang mengundang beliau untuk berbaiat kepadanya. Kemudian mereka
berkhianat dan memerangi beliau radhiallahu ‘anhu hingga terbunuh. Hal ini diakui oleh tokoh-tokoh Syiah sendiri.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Minhajus Sunnah, “Allah Mahatahu, dan cukuplah Allah ‘azza wa jalla
yang tahu bahwasanya tidak ada pada kelompok yang menisbatkan diri
kepada Islam—dengan kebid’ahan dan kesesatan yang ada pada mereka—yang
lebih jahat, lebih bodoh, lebih dusta, lebih zalim, dan lebih dekat
kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan dan paling jauh dari
hakikat iman dibandingkan Rafidhah.” (Minhajus Sunnah)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
menyelamatkan kita semua dari kesesatan Syiah dan memberikan taufik
kepada penguasa negeri ini kepada al-haq dan membimbing mereka dalam
menyikapi Rafidhah sesuai dengan bimbingan syariat Allah ‘azza wa jalla. Amin.

Tanya Jawab Ringkas Edisi 101
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Tanya Jawab Ringkas
Zikir Pagi dan Petang
Kapan zikir pagi dan petang? Apakah shalat subuh ketika duduk tahiyat seperti duduk tahiyat pertama/terakhir?
082155XXXXXX
Jawaban:
Zikir pagi dibaca setelah selesai
zikir ba’da shalat subuh sampai terbit matahari. Zikir petang yang rajih
dilakukan setelah Ashar. Pendapat yang rajih, shalat yang hanya ada
satu tasyahud duduk iftirasy seperti tasyahud awal.
Melihat Petasan Tahun Baru
Apakah kita melihat petasan saat tahun baru berarti kita ikut merayakannya?
081360XXXXXX
Jawaban:
Jika perbuatan tersebut diiringi
dengan perasaan suka, ridha, dan dukungan; maka jelas tidak boleh.
Namun, jika melihat karena kita lewat atau tampak dari kejauhan tanpa
rasa ridha, maka tidak masalah.
Membeli Barang Saat Diskon Tahun Baru
Bolehkah memanfaatkan waktu tahun baru untuk membeli barang yang mendapat potongan harga karena momen tersebut?
085646XXXXXX
Jawaban:
Jika beli barang karena diskon,
tidak masalah. Namun, jika karena momen tahun baru, natal, atau ulang
tahun sebuah kota; tidak boleh.
Yang saya tanyakan jika barang
tersebut didiskon karena tahun baru? Jadi, hari biasa tidak didiskon,
sedangkan saat tahun baru didiskon 25%.
085646XXXXXX
Jawaban:
Pihak penjual biasa melakukan promo
barang pada momen tertentu: musim liburan, tahun baru, natal, hari besar
Islam, dan awal pemasaran. Semua terkait dengan penjual.
Pihak pembeli dikaitkan dengan
niatnya. Jika beli dengan niat mencari harga murah tanpa mementingkan
momen diskon, tidak masalah. Jika membeli karena menyemarakkan momen
yang melanggar syar’i, tidak boleh.
Rentang Waktu Haid
Beberapa hari usai nifas, saya haid.
Setelah itu, saya pasang KB susuk. Beberapa hari kemudian keluar darah
lagi. Bidan menyatakan bahwa itu haid yang disebabkan gejala normal efek
awal dari hormon yang dimasukkan. Apakah darah tersebut termasuk haid?
085229XXXXXX
Jawaban:
Haid tidak ada batas waktu minimal
maupun maksimal. Yang dianggap adalah wujud darah. Jika memang darah
yang keluar bersifat haid, maka dihukumi haid.
Berjualan di Area Kemaksiatan
Bagaimana hukum berjualan
makanan/minuman di tepi jalan menuju ke tempat lokalisasi atau makam
yang dianggap para wali. Apakah hal ini tidak sama seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil uang dari sesajen orang musyrikin?
081231XXXXXX
Jawaban:
Jika tempat berjualan itu sudah kita
gunakan sebelum adanya kemungkaran tersebut, boleh; meski diutamakan
untuk pindah. Namun, jika tempat berjualan kita baru ada setelah ada
kemungkaran tersebut, tidak boleh; karena termasuk meramaikan tempat
tersebut.
Bayar Utang dengan Uang Riba
Apakah uang riba bisa dimanfaatkan untuk
membayar utang? Misal si A memberi si B sejumlah uang riba, kemudian si
B melunasi utangnya kepada si C dengan uang riba tersebut.
085250XXXXXX
Jawaban:
Jika uang riba sudah diberikan
kepada pihak lain yang miskin (sebagian ulama membolehkan alokasi uang
riba untuk fakir-miskin), penggunaan sudah menjadi hak mereka. Jika
diberikan kepada orang yang tidak miskin untuk membayar utang secara
khusus, tidak boleh; karena termasuk mukil ar-riba (memberi makan orang lain dengan riba).
Barang Bermerek Termasuk Tasyabuh?
Apakah dengan membeli produk bermerk
terkenal (Sh*pi* M*rt*, H*rm*s, dll) yang dipilih karena kualitasnya
termasuk perbuatan tasyabuh?
085747XXXXXX
Jawaban:
Membeli barang yang sifatnya mubah
dengan merek terkenal di kalangan orang kafir karena kualitas, tidak
termasuk tasyabuh, selama barang tersebut bukan ciri khas/ikon
orang-orang kafir.
MLM Bersertifikat MUI
Apa hukum MLM yang sudah mendapatkan sertifikat MUI?
089660XXXXXX
Jawaban:
Sejauh yang kami ketahui, sampai saat ini belum ada sistem MLM yang sesuai syariat.
Memutihkan Gigi Kuning
Bolehkah memutihkan gigi yang kuning?
081392XXXXXX
Jawaban:
Memutihkan gigi yang kuning
diperbolehkan karena mengembalikan sesuatu pada asal ciptaannya; bisa
dengan menyikat gigi yang teratur atau periksa ke dokter gigi.
Merasa Durhaka kepada Orang Tua
Saya telah melakukzn dosa besar, yaitu
durhaka kepada orang tua. Mereka sudah meninggal dan sekarang saya
menyesal. Apa yang harus saya lakukan?
085330XXXXXX
Jawaban:
Alhamdulillah jika sudah insyaf dan
menyesal dari tindakan durhaka kepada orang tua. Sekarang, berbaktilah
kepada beliau yang telah wafat dengan cara: perbanyak doa kebaikan untuk
beliau, menyambung hubungan baik dengan karib kerabat orang tua, dan
menyambung hubungan baik dengan teman akrab orang tua.
Hukum Berdoa setelah Shalat
Bagaimana hukum berdoa setelah shalat?
085261XXXXXX
Jawaban:
Yang disyariatkan setelah shalat adalah berzikir seperti yang dicontohkan dalam sunnah. Tidak ada syariat doa secara khusus setelah shalat. Namun, jika seseorang ingin berdoa tanpa niat mengkhususkan waktu setelah shalat, tidak masalah.
Suap
Apa boleh jika seseorang untuk memperoleh pekerjaan harus membayar uang kepada oknum di instansi tertentu?
081542XXXXXX
Jawaban:
Membayar sejumlah uang kepada oknum
di perusahaan atau semisal agar diterima sebagai karyawan merupakan
risywah (suap) yang diharamkan.
Cara Shalat Musafir
Bagaimana hukum safar pada hari Jumat? Bagaimana cara shalat seorang musafir yang tidak berniat mukim?
085XXXXXX
Jawaban:
Safar diperbolehkan pada hari apa pun walau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa safar pada hari Kamis pagi. Jenis musafir ada dua.
- Sa’ir (yang sudah menempuh perjalanan), shalatnya qashar dan jamak; bisa taqdim atau ta’khir.
- Nazil (yang singgah di sebuah tempat), shalatnya qashar pada waktunya masing-masing; ini lebih afdal. Diperbolehkan juga dijamak; kecuali jika shalat berjamaah di belakang imam yang mukim, dia shalat sempurna seperti orang yang mukim.
Gadai Riba
Si A memiliki kebun cengkeh yang
digadaikan kepada si B seharga tiga puluh juta rupiah dalam jangka waktu
sepuluh tahun. Hasil cengkeh selama masa gadai diambil oleh si B.
Setelah sepuluh tahun, uang sejumlah tiga puluh juta rupiah dikembalikan
utuh kepada si B. Apakah gadai semacam ini diperbolehkan?
081936XXXXXX
Jawaban:
Termasuk gadai yang riba.
Hakikatnya, Si A meminjam uang 30 juta kemudian mengembalikannya
sejumlah 30 juta ditambah hasil panen selama sepuluh tahun.
Antara Memberi Utang dan Kurban
Mana yang lebih didahulukan antara
meminjamkan uang kepada kakak yang sedang membutuhkan uang (melanjutkan
pendidikan yang bukan agama) atau berkurban?
085260XXXXXX
Jawaban:
Selama pembayaran utangnya masih
bisa ditangguhkan dan ada dana lain yang diupayakan untuk membantu
saudara, lebih utama untuk berkurban.
Penyakit Tiba-Tiba Muncul
Misal ada bagian tubuh tiba-tiba cacat
yang diduga karena penyakit ‘ain atau rasa sombong (merasa memiliki
kelebihan dibandingkan dengan yang lain) lalu tersadar bahwa bisa jadi
akibat kesombongan yang dia lakukan. Apakah ada obat untuk penyakit
semacam ini?
085233XXXXXX
Jawaban:
Perubahan kulit umumnya karena
masalah medis atau sebab lain. Jika ternyata sebab tersebut tidak ada
dan ada indikasi seperti dalam pertanyaan, harus memperbanyak istighfar
dan mencoba diruqyah.
Hikmah Amalan
Apakah ada dalil yang menjelaskan tentang: 1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan shalat Subuh dua rakaat, maghrib tiga rakaat, dst. 2. Pada shalat Subuh, Maghrib, Isya’ berjamaah suara imam dijahrkan (dilantangkan)?
081331XXXXXX
Jawaban:
Jumlah rakaat shalat lima waktu
sudah dinashkan dalam banyak riwayat sahih. Itu adalah syariat yang
harus dijalankan dan tidak dijelaskan apa hikmahnya. Begitu banyak
bimbingan Islam yang belum kita ketahui hikmahnya, karena hanya Allah ‘azza wa jalla yang tahu. Hal itu menunjukkan dangkalnya ilmu kita sekaligus sebagai ujian ketaatan bagi kita.
Jual Beli Tanah
Jika si A hendak membeli tanah milik si B
melalui perantara si C. Kemudian si C mengambil keuntungan dari jual
beli tersebut. Akan tetapi, dalam hal ini si A telah ridha jika si C
mengambil keuntungan tersebut. Apa hal ini diperbolehkan?
085780XXXXXX
Jawaban:
Si C dalam kasus ini adalah makelar.
Dia boleh minta upah kepada si A yang menjadikannya perantara atau
ambil keuntungan dari pembelian bila sudah ada kesepakatan sebelumnya
dengan si A.
Ruqyah Diri Sendiri
Bisakah kita meruqyah diri sendiri? Bagaimana caranya?
082393XXXXXX
Jawaban:
Kita bisa meruqyah diri sendiri.
Caranya dengan membaca ayat ruqyah atau doa yang disyariatkan dengan
memegang bagian tubuh yang sakit atau mengusapkannya ke sekujur tubuh.
Pelaku Syirik
Apakah orang Islam yang berbuat syirik besar dengan orang kafir yang tidak mengenal Allah ‘azza wa jalla dan tidak pernah berbuat syirik besar kekal berada di neraka Jahanam?
085747XXXXXX
Jawaban:
Orang kafir umumnya jatuh ke dalam
syirik besar. Jika mati di atas kekufurannya, kekal di dalam neraka.
Muslim yang jatuh ke dalam syirik besar tidak bisa langsung divonis
kafir. Harus terpenuhi syarat pengkafiran dan telah hilang faktor
penghalang. Jika ulama sudah memvonis kafir dan dia mati di atasnya,
juga kekal dalam neraka.
Menafkahi Orang Tua
Apakah menafkahi kedua orang tua yang
masih mampu bekerja termasuk sedekah? Sementara dia tidak mampu untuk
bersedekah selain jalan itu.
085866XXXXXX
Jawaban:
Nafkah dia untuk orang tua adalah sedekah; dan birrul walidain adalah hal yang utama. Namun, dia juga berusaha sebisa mungkin ta’awun fi sabilillah walau tidak banyak jumlahnya.
Alokasi Sedekah
Bagaimana dan ke mana arah sedekah yang syar’i? Sebab, selama ini kita hanya fokus kepada pengemis.
085641XXXXXX
Jawaban:
Sedekah ada yang bersifat jariyah (manfaatnya untuk muslimin dan berlangsung lama) seperti membangun masjid, pondok pesantren, sumur, dll. Adapula sedekah yang mu’aqqat seperti: bantuan kepada fakir miskin, dhuafa, yatim, dll.
Mendiamkan Pelaku Bid’ah
Apakah perbuatan tidak tegur sapa dengan pelaku bid’ah/hizbi termasuk memutuskan tali persaudaraan seorang muslim?
085242XXXXXX
Jawaban:
Tidak berbicara atau memberi salam kepada seorang hizbi adalah prinsip salaf. Hal ini termasuk sikap berlepas diri karena Allah ‘azza wa jalla, bukan memutus persaudaraan atau merusak ukhuwah. Justru yang merusak ukhuwah adalah kehizbiyahan pelaku bid’ah/hizbi tersebut.
Mengikuti Acara Bid’ah di Sekolah
Bagaimana sikap kita jika kita bersekolah di sekolah umum yang mengajarkan sesuatu yang dilarang (misalkan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika kita tidak mengikuti acara tersebut, maka kita tidak mendapatkan nilai?
082331XXXXXX
Jawaban:
Hal itu sedikit dari sekian banyak
mudarat sekolah umum. Jelas tidak boleh dilakukan dan bukan termasuk
kondisi darurat. Nilai jelek adalah risiko kita jika lebih mementingkan
akidah dan prinsip. Lebih baik lagi bila kita berusaha keluar dari
sekolah umum.
Mendiamkan Saudara Muslim
Bagaimana hukumnya jika kita tidak
berbicara dengan seorang muslim lebih dari tiga hari? Sebab, jika
berbicara dikhawatirkan mendapat masalah lagi.
087840XXXXXX
Jawaban:
Tidak mau berbicara dengan muslim
karena masalah pribadi atau duniawi lebih dari tiga hari hukumnya haram
dengan nash hadits. Yang terbaik adalah yang lebih dahulu memberi salam.
Boleh pula mendiamkan selamanya karena alasan masalah prinsip agama dan
manhaj, apabila seseorang menyimpang tidak kunjung bertobat.
Jual Beli Lewat Toko Online
Bagaimana hukum jual beli lewat toko online? Karena praktik ini bisa menjerumuskan pada jual beli yang tidak jelas akadnya.
085747XXXXXX
Jawaban:
Pada dasarnya boleh, dengan syarat
umum: akadnya sesuai syariat dan tidak ada hal yang melanggar syariat.
Karena itu, bagi yang terjun dalam dunia usaha terutama dengan cara masa
kini harus belajar hukum-hukum syariat tentang jual beli.
Wanita yang Bekerja dengan Ikhtilath
Apa hukum wanita yang memiliki pekerjaan
yang mengharuskan berkomunikasi dengan laki-laki, meski jabat tangan
sudah dihindari, sedangkan suami ridha?
085293XXXXXX
Jawaban:
Wanita boleh bekerja dengan syarat:
- Tidak ada yang memberi nafkah atau untuk menambah penghasilan,
- Tempat bekerja di rumah atau di tempat khusus wanita,
- Pekerjaan halal,
- Aman dari fitnah/gangguan,
- Jika sampai jarak safar, harus dengan mahram,
- Tidak mengganggu tugas rumah.
Adapun kasus yang ditanyakan, jelas tidak boleh, karena ada ikhtilat dan pelanggaran syariat lain.
Biaya Walimah
Apakah wali/orang tua berdosa jika tidak
mau membiayai pernikahan putrinya dan hanya cukup mengharapkan uang
lamaran dari calon suami?
085799XXXXXX
Jawaban:
Kewajiban walimah sesungguhnya
dibebankan kepada pihak laki-laki sebagaimana nash hadits. Namun,
alangkah baiknya orang tua turut membantu acara pernikahan putrinya,
karena hal itu termasuk perbuatan ihsan kepadanya. Selain itu, menurut
kebiasaan masyarakat juga termasuk kebaikan. Seandainya orang tua
mencukupkan dengan biaya dari pihak laki-laki, insya Allah bukan
termasuk tindakan dosa.
Syafaat bagi Ibu Sang Anak
Apakah wanita yang keguguran sampai empat kali kelak anak-anaknya bisa memberinya syafaat?
08217XXXXXXX
Jawaban:
Jika keguguran sebelum ditiupkan
ruh, tidak termasuk pembahasan karena belum bernyawa. Namun, jika
keguguran setelah ditiupkan ruh, hal itu seperti bayi yang wafat. Mereka
bisa memberi syafaat dan menjadi hijab (penghalang) dari neraka. Dalam
riwayat disebutkan dua atau tiga anak.
Lomba dengan Uang Pendaftaran
Jika mengikuti pertandingan olah raga
dengan dipungut uang pendaftaran yang digunakan konsumsi peserta,
sedangkan hadiah uang sudah disiapkan oleh panitia, apakah diperbolehkan
ikut?
089693XXXXXX
Jawaban:
Perlombaan ada beberapa keadaan.
- Perlombaan dalam hal haram. Hukumnya haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa membayar, berhadiah atau tidak.
- Perlombaan dalam hal mubah tanpa membayar. Hukumnya boleh selama tidak melupakan yang wajib atau menerjang yang haram.
- Perlombaan dalam hal mubah dengan yang membayar dari kedua pihak atau salah satunya. Hukumnya haram, karena termasuk judi, kecuali dalam tiga hal berdasarkan nash hadits: memanah, balap kuda, dan balap unta (lihat an-Nihayah, -ed.); karena bermanfaat dalam jihad.
- Perlombaan dalam hal mubah dengan hadiah dari pihak ketiga, baik pemerintah atau swasta. Jenis ini diperbolehkan pada tiga hal di atas dengan dalil nash hadits. Diperbolehkan pula dalam hal lain dengan ketentuan seperti poin pertama.
Kasus yang ditanyakan kondisinya sama dengan poin terakhir. Wallahu a’lam.
Kasus Waris
Ada harta warisan yang ditinggal ayah
sebesar 150 juta rupiah. Ahli waris yang ditinggal: ibu, tiga anak
perempuan, dan satu anak laki-laki. Berapa hak masing-masing?
085206XXXXXX
Jawaban:
Ibu mendapat 1/6 bagian. Sisanya dibagi untuk anak-anaknya, laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian.
43
Mengucapkan Hamdalah untuk Anak Kecil
Bolehkan saat anak kecil bersin, orang tua mengucapkan hamdalah?
085230XXXXXX
Jawaban:
Kita ucapkan hamdalah dalam rangka mengajari si kecil.
Zikir Setelah Shalat Witir
Saya membaca Majalah Asy Syariah edisi
97/1435 hlm. 32 rubrik “Tanya Jawab Ringkas” dan menemui kejanggalan.
Disebutkan bahwa zikir khusus setelah witir tidak ada. Jadi zikir,
“Subhanal malikil quddus…dst, apakah bukan zikir?
08126XXXXXX
Jawaban:
Benar, zikir tersebut disunnahkan
setelah witir dan hanya itu yang disunnahkan. Adapun membaca zikir
setelah witir seperti zikir setelah shalat fardhu, tidak ada sunnahnya.
Pertanyaan Anda sebagai tambahan penjelasan dari jawaban yang tampil
sebelumnya. Jawaban yang lengkap, “Yang disunnahkan adalah zikir khusus
setelah shalat fardhu. Adapun shalat sunnah, tidak ada zikir khusus
kecuali setelah shalat witir.” Jazakumullah khairan atas koreksi Anda.
Beda Infak dengan Sedekah
Apa perbedaan antara infak dan sedekah?
085246XXXXXX
Jawaban:
Infak dan sedekah sunnah sama
mustahiqnya. Sedekah wajib adalah zakat mal dan zakat fitrah telah
diatur mustahiq, nishab, dan haulnya dalam Kitab az-Zakat dari
karya-karya para ulama.
Infak wajib adalah nafkah yang wajib
dikeluarkan untuk orang/pihak yang kita tanggung, seperti anak, istri,
orang tua, pembantu, kendaraan, dll., tanpa ada ketentuan nishab dan
haul; namun sesuai dengan kemampuan.
Niqab Model Butterfly
Apakah boleh menggunakan niqab model
butterfly? Apakah tidak termasuk tasyabuh dengan biarawati, karena niqab
tersebut mirip dengan penutup kepala yang biasa digunakan oleh
biarawati?
083863XXXXXX
Jawaban:
Niqab butterfly insya Allah tidak mengapa karena:
- Tertutup, lebih panjang dan lebih bagus supaya tidak mudah tersingkap,
- Tidak ada unsur tasyabbuh dengan biarawati dari beberapa sisi:
- model tersebut diaplikasikan pada niqob, sementara biarawati pada kerudung tanpa niqob (umumnya),
- tasyabbuh hanya pada hal khusus dan ciri khas orang kafir, sementara pada kasus ini tidak ada kekhususan. Artinya, bila ada muslimah yang memakai niqab model tersebut, kita tidak bisa secara spontan mengatakan bahwa dia biarawati.
Wallahu a’lam.
Kirim SMS Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Dusta Syiah Dalam Riwayat
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifa’i
لاَ تَكْذِبُوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّار
“Jangan berdusta atas namaku. Sungguh, siapa saja berdusta atas namaku, silakan masuk dalam neraka!”
Ucapan di atas adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 106), Muslim di dalam Muqaddimah Shahih-nya (Bab “Taghlizhul Kadzib” no. 1), at-Tirmidzi (no. 2660), dan Ibnu Majah (no. 31).
Tentang Hadits
Madar (sumber) inti hadits di atas terletak pada perawi bernama Manshur bin al-Mu’tamir, dari Rib’i bin Hirasy, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Tentang Ali radhiallahu ‘anhu,
lembaran kertas dalam tulisan ini tidak akan cukup untuk berkisah
tentang kelebihan, keistimewaan, dan keutamaan beliau. Perlu karya
tersendiri untuk bercerita tentang figur Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama, jazahumullahu khairan.
Murid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah Rib’i bin Hirasy.
Siapakah beliau? Ahli hadits dari Kufah ini tercatat sebagai seorang
tabi’in mulia yang tidak pernah berdusta walau sekali dalam hidupnya.
Beliau pernah bersumpah untuk tidak tertawa sebelum mengetahui, di surga
atau neraka tempatnya kelak?
Salah seorang yang memandikan jenazah
Rib’i mengatakan, “Rib’i terus terlihat dalam senyum di atas ranjangnya,
sampai kami selesai memandikannya.”
Beliau wafat pada 101 H di masa kekuasaan al-Hajjaj bin Yusuf. Sebagai madar hadits, Manshur bin al-Mu’tamir memang termasuk perawi di dalam kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Banyak ulama menyebut beliau sebagai atsbatu ahli Kufah,
perawi paling kuat di kota Kufah. Karena sering menangis, beliau
mengalami gangguan penglihatan. Manshur wafat pada 132 H, semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati beliau.
Dalam kalangan Syiah tidak dikenal
istilah yang cukup populer di bidang ilmu hadits. Tidak ada pembahasan
hadits sahih, hasan, ataupun dha’if, menurut keyakinan mereka. Jika pun
ditemukan dalam beberapa kitab rujukan mereka, hal itu dilakukan demi
prinsip taqiyyah (dusta demi keyakinan).
Makna Hadits
Sebagian ulama pensyarah hadits (Syarah Shahih Muslim karya
an-Nawawi) menyatakan bahwa riwayat di atas termasuk dalam kategori
mutawatir. Artinya, pada setiap tingkatan sanad hadits, ada banyak
perawi yang meriwayatkan hadits ini.
Abu Bakr al-Bazzar menyebutkan ada sekitar 40 orang sahabat yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, ada yang mengatakan 62 sahabat, termasuk sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hadits (النَّار فَلْيَلِجِ) diterangkan oleh ulama menyimpan dua makna.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dimaknai, “Semoga kelak ia masuk ke dalam neraka.”
- Khabar bi lafdzi amr (kalimat berita dalam konteks perintah).
Dengan demikian, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas berarti, “Kelak ia akan masuk neraka, maka bersiap-siaplah.”
Makna mana pun dari kedua kemungkinan
tersebut, seharusnya hal tersebut menjadi sebuah rambu hidup untuk tidak
bermain-main ketika berbicara atas nama Islam, agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdusta adalah menyampaikan sesuatu
yang bertolak belakang dengan fakta. Hal ini bisa terjadi secara
disengaja maupun tidak, lupa atau karena tidak tahu. Akan tetapi, di
dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan ancaman siksa bagi mereka yang secara sengaja melakukan
tindak dusta atas nama beliau. Apa pun alasan dan tujuannya!
Apakah pelakunya dapat dikafirkan?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan bahwa dusta termasuk perbuatan dosa yang keji dan kesalahan
yang membinasakan. Akan tetapi, dikafirkan atau tidak, menurut pendapat
yang masyhur dari mayoritas ulama di berbagai mazhab, pelakunya tidak
dikafirkan, kecuali jika ia meyakini hal tersebut halal dilakukan.
Bagaimana pun, ancaman yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas harusnya menjadi garis pengingat untuk kita agar berhati-hati
jika berbicara atas nama agama. Tanpa ilmu syar’i sebagai landasan dan
sikap ilmiah dalam bertindak, seorang muslim dilarang berucap atau
berpendapat lantas mengatasnamakannya sebagai ajaran Islam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam al-Qur’an, Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (mengharamkan) mengadaadakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” (al-A’raf: 33)
Putar Balik Fakta Ala Syiah
Kalangan Syiah dengan berbagai sektenya,
sangat tepat untuk dijadikan contoh nyata dalam pembahasan kita.
Sengaja kami memilih riwayat hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu—bukan dari sahabat lain—, karena pengakuan kalangan Syiah yang menghormati dan mengagungkan beliau.
Adapun kenyataannya? Silakan Anda menelaah tulisan ringkas ini.
Dalam kalangan Syiah tidak dikenal
istilah yang cukup populer di bidang ilmu hadits. Tidak ada pembahasan
hadits sahih, hasan, ataupun dha’if, menurut keyakinan mereka. Jika pun ditemukan dalam beberapa kitab rujukan mereka, hal itu dilakukan demi prinsip taqiyyah (dusta demi keyakinan).
Hal ini dinyatakan sendiri oleh salah
satu tokoh besar mereka yang bernama al-Faidh al-Kasyani. Selain itu,
al-Faidh menyebut pembagian hadits menjadi sahih, hasan, dan dhaif, hanyalah mustahdats. Artinya, sesuatu yang dibuatbuat oleh Ahlus Sunnah. Pernyataannya ini dimuat di dalam kitab al-Wafi pada mukadimah keduanya (1/11).
Bukankah hal ini menyelisihi prinsip
utama kaum muslimin? Bukankah hal ini akan membuka lebar pintu berbicara
dan bersikap tanpa dasar ilmiah? Bukankah hal ini secara tidak langsung
telah membuktikan bahwa kalangan Syiah tidak peduli dengan sahih atau
tidaknya riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Buku-buku referensi utama mereka penuh
dengan riwayat palsu dan dusta. Bagaimana tidak, para perawi andalan
kaum Syiah adalah kumpulan para pendusta. Sebut saja Zurarah bin A’yan,
Jabir al-Ju’fi, Abu Bashir al-Laits, Barid al-‘Ijli, Humran bin A’yan,
dan yang semisalnya.
Zurarah bin A’yan disebut ulama sebagai tokoh ekstrem kaum Syiah, terutama sebagai tokoh pendiri sekte Zurariyah (al-A’lam karya az-Zirikli 3/43).
Akan tetapi, apa pendapat Abu Abdillah,
seorang ulama yang ditokohkan oleh kaum Syiah tentangnya? Kata Abu
Abdillah Ja’far ash-Shadiq (Rijalul Kusysyi hlm. 149—151), “Zurarah lebih jahat dibandingkan dengan kaum Yahudi dan Nasrani!”
Seorang perawi yang telah dicacat oleh
tokohnya sendiri, mengapa kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber
utama riwayat kaum Syiah?
Tidak perlu kaget atau heran! Kaum Syiah pada dasarnya memang tidak mengakui disiplin ilmu hadits, apalagi ilmu al-jarh wat ta’dil!
Sekalipun ditemukan sejenis ilmu al-jarh wat ta’dil di kalangan Syiah, pasti diiringi oleh kontradiksi, pertentangan, dan pendapat yang saling berlawanan.
Buktinya?
Adalah pengakuan dari seorang tokoh mereka yang dikenal dengan sebutan al-Kasyani. Dalam mukadimah kedua dari kitab al-Wafi (1/11/12), ia mengatakan, “Di dalam al-jarh wat ta’dil serta
syarat yang berlaku, terdapat kontradiksi, pertentangan, dan pendapat
yang saling berlawanan. Hampir-hampir hal ini membuat hati tidak tenang,
sebagaimana hal ini tidak tersembunyi bagi orang yang mengetahuinya.”
Sikap Syiah Terhadap Referensi Islam
Kejahatan kaum Syiah ternyata tidak
cukup sampai di situ. Selain membuat dan bersandar pada riwayat palsu
dan dusta, mereka tidak menerima kitab hadits yang telah disepakati oleh
kaum muslimin sebagai rujukan utama di dalam riwayat hadits.
Apa sikap mereka terhadap Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim?
Dua referensi hadits yang disepakati ulama, bahkan kaum muslimin secara
umum, sebagai dua kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan dalam Syarah Shahih Muslim, “Para ulama rahimahumullah telah bersepakat bahwa kitab paling sahih setelah al-Qur’an al-Aziz adalah ash-Shahihain; al-Bukhari dan Muslim. Bahkan, seluruh umat dapat menerimanya.”
Namun, bagaimanakah sikap Syiah? Mereka
tidak dapat menerima riwayat hadits di dalam kedua kitab tersebut.
Sebab, mereka meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali tiga orang, yaitu Abu Dzar, al-Miqdad, dan Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhum.
Bukankah ini bentuk pelecehan terhadap
sahabat? Bukankah hal ini bentuk cela mereka terhadap sahabat? Jika
demikian, dari mana ajaran Islam dapat sampai kepada umat jika para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dicerca?
Mereka menuduh para sahabat masuk Islam
karena paksaan, faktor ekonomi, penuh keraguan, munafik, dan celaan
lainnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh tokoh mereka, Husain bin
Abdus Shamad dalam Musthalah Hadits-nya. Lihatlah pernyataan tokoh besar mereka, Alu Kasyif al-Ghitha’ (Ushulus Syiah, hlm.
79) yang berkata, “Kaum Syiah tidak menganggap sunnah kecuali riwayat
dari ahlu bait yang dinilai sahih. Adapun seperti riwayat Abu Hurairah
dan Samurah bin Jundub, tidak berharga bagi kalangan Imamiyah walau
senilai sayap nyamuk.”
Pantas saja apabila Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
dicela dan dijatuhkan kredibilitasnya! Sebab, riwayat Abu Hurairah
banyak membongkar kesesatan dan kedustaan kaum Syiah. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu riwayat al-Bukhari dan Muslim,
لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ نَصِيفَه
“Janganlah kalian mencela seorang
pun dari sahabat-sahabatku! Sungguh, jika salah salah seorang di antara
kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan bisa menyamai infak
satu mud mereka, bahkan setengahnya.”
Parahnya lagi, kaum Syiah mencela imam kaum muslimin yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Bahkan, dalam kitab asy-Syiah Hum Ahlus Sunnah (hlm.
109), sang penulis mengatakan, “… Empat mazhab yang diakui oleh Ahlus
Sunnah hanyalah mazhab yang direkayasa oleh kaum politikus.”
Astaghfirullah! Sungguh keji
dan dusta tuduhan mereka! Akidah Syiah semacam itu, apakah seorang
muslim memakai perasaan dan empati untuk menganggap Syiah sebagai
saudaranya?
Apakah ia ingin memaksakan kehendak, dengan pura-pura buta dari fakta, untuk menyatukan antara Sunnah dan Syiah?!
Kontradiksi Riwayat-Riwayat Syiah
Setelah membaca keterangan ringkas di
atas, kita dapat mengukur keakuratan dan kevalidan sistem riwayat di
kalangan Syiah. Oleh sebab itu, jangan heran apabila riwayat-riwayat
kaum Syiah memiliki banyak kontradiksi dan pertentangan. Tidak ada satu
pun riwayat kecuali pasti ditemukan riwayat lain yang bertentangan.
Fakta ini diakui sendiri oleh mereka, seperti oleh as-Sayyid Dildar as-Syi’i dalam kitab Asasul Ushul (hlm. 5), Husain bin Syihabudin al-Kurki dalam kitab Hidayatul Abrar (hlm. 264), dan as-Sayyid Hasyim Ma’ruf al-Husaini dalam kitab al-Maudhu’at (hlm. 165 cetakan pertama).
Simak saja pernyataan seorang tokoh terkemuka Syiah di dalam sebuah referensi utama mereka. Di dalam mukadimah kitab Tahdzibul Ahkam,
Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan at-Thusi mengatakan, “… Sampai-sampai
setiap kabar yang ada, pasti di sana ada yang bertentangan dengannya.
Tidak ada satu pun hadits yang selamat kecuali di sisi lain ada yang
menafikannya. Hal ini menjadi salah satu kritikan terbesar dari orang
yang menyelisihi mazhab kita.”
Jangan Mudah Tertipu oleh Syiah!
Setelah sedikit mengenal metode
periwayatan hadits yang berlaku di kalangan Syiah, semestinya kita
berhatihati dan tidak mudah terpengaruh oleh riwayat-riwayat mereka.
Kita justru harus mengubur rasa penasaran atau rasa ingin tahu tentang
riwayat-riwayat Syiah. Khawatirnya, riwayat mereka yang kita baca
kemudian menimbulkan syak dan syubhat (kerancuan pemikiran) di hati.
Nukilan tentang Syiah di atas kiranya cukup. Nukilan tersebut penulis ambil dari dua buah kitab, yaitu Haqiqatus Syiah karya Abdullah al-Maushili, dan Aqa’idus Syiah karya Abdurrahman as-Syatsri.
Mudah-mudahan kaum muslimin memperoleh pencerahan dan hidayah dari Allah ‘azza wa jalla sehingga semakin memahami tentang hakikat gerakan Syiah.
Amin ya Arham ar-Rahimin.

Ternyata Syiah Juga Mu’tazilah
Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Tafsir
إنّ جعلنه قرءنا عربيّا
“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab.” (az- Zukhruf: 3)
Sa’id bin Jubair rahimahullah menjelaskan bahwa makna جعلنه (Kami menjadikan) ialah أَنْزَلْنَاهُ (Kami turunkan). (Zadul Masir, Ibnul Jauzi)
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maknanya adalah Kami turunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab.”
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, “Kami menjadikan, yaitu Kami turunkan dalam bahasa Arab yang fasih lagi jelas.”
As-Suyuthi dalam tafsirnya, ad-Durrul Mantsur,
menyebutkan sebuah riwayat Ibnu Mardawaih dari Atha’, beliau mengatakan
bahwa seorang yang berasal dari Hadramaut datang kepada Ibnu Abbas lalu
bertanya, “Wahai Ibnu Abbas, beritakan kepadaku tentang al-Qur’an,
apakah al-Qur’an itu kalam (firman) dari kalam Allah ‘azza wa jalla atau makhluk dari ciptaan Allah ‘azza wa jalla?”
Beliau menjawab, “Al-Qur’an adalah kalam dari kalam Allah ‘azza wa jalla.”
Beliau bertanya kepada orang tersebut, “Apakah kamu tidak mendengar firman Allah ‘azza wa jalla,
‘Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah’ (at-Taubah: 6).
Orang itu balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
‘Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab’?”
Beliau menjawab, “Allah ‘azza wa jalla mengabadikannya di Lauh Mahfuzh dengan bahasa Arab. Tidakkah kamu mendengar firman Allah ‘azza wa jalla,
‘Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.’ (al-Buruj: 21—22)
Makna al-Majid adalah al-‘Aziz, yaitu Allah ‘azza wa jalla mengabadikannya di Lauh Mahfuzh.”
Sebagian kita mungkin mengira, penyimpangan yang ada pada ajaran Syiah hanya Mut’ah dan mencela sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perlu diketahui bahwa dari sekian penyimpangan ajaran Syiah yang sesat,
salah satunya adalah kebencian mereka terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berapa banyak ayat mereka tafsirkan menurut versinya, kandungan atau
muatan tafsir tersebut berupa celaan, cercaan, bahkan pengafiran
terhadap sebagian sahabat yang mulia, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman,
maupun yang lainya radhiallahu ‘anhum.
Sementara itu, salah satu prinsip dari sekian prinsip-prinsip Ahlus Sunnah adalah memuliakan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengenal hak-hak mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ نَصِيفَه
“Janganlah kalian mencela sahabatku.
Kalau saja ada salah seorang dari kalian yang menginfakkan harta berupa
emas seberat Gunung Uhud, sungguh (hal itu) belum dapat menyamai apa
yang telah mereka infakkan, meskipun hanya dua genggam atau satu
genggaman tangan mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Zamanin dalam kitabnya, Ushulus Sunnah,
darial-Imam Ayyub bin Abi Tamimah as-Sakhtiyani, beliau berkata,
“Barang siapa mencintai Abu Bakr, ia telah menegakkan agama. Barang
siapa mencintai Umar, ia telah memperjelas jalan agama. Dan Barang siapa
mencintai Ali, ia telah berpegang dengan tali yang kuat.
Barang siapa memuji para sahabat
Rasulullah, ia telah membersihkan dirinya dari kemunafikan. Barang siapa
mencela salah seorang dari sahabat dan membenci salah satu perkara yang
ada pada mereka, ia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), serta telah
menyelisihi sunnah dan salafush shalih. Dikhawatirkan amal baik yang
telah ia lakukan tidak diangkat ke langit (tidak diterima), sampai ia
mencintai seluruh sahabat dan hatinya selamat (dari mencela dan
mengkritik mereka).”
Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa dia adalah zindiq. Sebab, di sisi kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah hak, dan al-Qur’an adalah hak. Hanya para sahabatlah yang
menjadi penyampai al-Qur’an dan sunnah kepada kami. Adapun mereka (para
pencela sahabat) menghendaki persaksian sahabat ditolak, dengan tujuan
agar al-Qur’an dan sunnah ditolak juga. Maka dari itu, mengkritik mereka
(para pencela) lebih utama dan mereka adalah kaum zindiq.”
Ternyata Syiah tidak hanya memiliki
paham sesat dalam hal kehormatan dan kemuliaan para sahabat—walaupun hal
ini sudah cukup sebagai catatan buruk bagi mereka—namun mereka juga
memiliki penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak ringan bahaya dan
akibatnya bagi pengikut kaum muslimin dan agama Islam.
Asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i dalam kitabnya Sa’qatul Zilzal (2/486)
menerangkan, “Kaum Rafidhah juga teranggap Khawarij, karena mereka
mengafirkan siapa saja yang menyelisihi mereka—dan cukup banyak (bukti)
tentang hal ini bagi Anda.
Mereka teranggap Mu’tazilah dalam urusan
akidah. Mereka juga memusuhi para penyeru tauhid dan sunnah. Mereka
senantiasa menjauhkan manusia dari Ahlus Sunnah dan para penyeru tauhid.
Bahkan, hal ini menjadi proyek terbesar bagi mereka.
Mereka juga membangun kubah di atas kuburan, berdoa (meminta) kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti berdoa kepada yang sudah meninggal.
Mereka pun membenci para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang membuat mereka menyerupai perbuatan orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
‘Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orangorang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka
tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman
yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min).’ (al-Fath: 29)
Mereka membantu orang-orang kafir guna
memerangi orang-orang muslim. Di Yaman mereka telah membantu partai
komunis dalam memerangi kaum muslimin.”
Sebagaimana telah dijabarkan di atas,
Syiah ikut menyebarkan akidah sesat Mu’tazilah. Hal ini bukanlah tuduhan
tanpa bukti atau tidak beralasan. Bukan para ulama sunni salafi atau
Ahlus Sunnah saja yang berbicara tentang hal ini sehingga mereka (kaum
Syiah) dengan gampangnya mengatakan bahwa itu hanyalah pendapat Sunni
Salafi, sedangkan mereka (kaum Syiah) punya tokoh ulama tersendiri.
Jika benar demikian, kalau ada tokoh
ulama mereka yang mengakui adanya keyakinan sesat tersebut, apakah
mereka akan mengakuinya?!
Jika hal itu benar adanya, apakah
keyakinan yang sesat itu harus dipertahankan dan dibela?! Lantas apa
yang menjadi pijakan seorang dalam beragama?
Tidak ada jawaban yang lain kecuali al-Qur’an dan sunnah menurut pemahaman salafush shalih.
Al-Hadi (salah satu tokoh Syiah, yang darinya muncul sekte Syiah Hadawiyyah) dalam Majmu’ Rasailnya, tatkala menjabarkan kesesatannya bahwa al-Qur’an ialah makhluk, berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an.
Di antaranya ialah firman Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya Kami menjadikan[1] al-Qur’an dalam bahasa Arab.” (az-Zukhruf: 3)
Firman Allah ‘azza wa jalla, “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya.” (al-A’raf: 189)
Demikianlah Allah ‘azza wa jalla
menciptakan al-Qur’an. Tatkala Ia menjadikannya (menciptakan al-Qur’an)
dalam bahasa Arab, sebagaimana Ia menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya, karena keduanya juga diciptakan oleh Allah ‘azza wa jalla.
Demikian pula firman Allah ‘azza wa jalla, “Atau (agar) al-Qur’an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (Thaha: 113)
Pada ayat ini Allah ‘azza wa jalla memberitakan bahwa al-Qur’an adalah perkara yang muhdats (sesuatu yang diadakan), bukan qadim (sesuatu yang dahulu dan tidak diawali oleh apa pun). Apabila al-Qur’an adalah sesuatu yang muhdats, berarti Allah ‘azza wa jalla yang mengadakannya. Dengan demikian, (al-Qur’an) adalah makhluk, dan Allah ‘azza wa jalla yang menciptakannya.
Demikian pula, Allah ‘azza wa jalla
menamai kalam-Nya sebagai wahyu dengan perintah-Nya. Ini maknanya,
al-Qur’an adalah makhluk dari ciptaan-Nya, sebuah aturan dari pengaturan
dan perintah-Nya.
Dengan ayat-ayat ini dan yang lainnya,
telah menyelisihi orang yang berpendapat bahwa al-Qur’an bukan makhluk
telah menyelisihi pendapat kami. Kami meyakini bahwa al-Qur’an adalah
makhluk, sesuatu yang diadakan dan Allah ‘azza wa jalla yang menciptakannya.
-selesai nukilan ucapan al-Hadi-
Keyakinan Syiah bahwa al-Qur’an
adalah makhluk membawa mereka sampai pada tingkatan menjadikan hal ini
sebagai salah satu perkara yang prinsip. Hingga sekarang mereka masih
berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Dengan keyakinan ini, mereka telah
keluar dari al-Qur’an dan as-Sunnah, keyakinan para ulama salaf secara
umum, dan keyakinan ahlul bait secara khusus.
‘Amr bin Dinar berkata, “Aku berjumpa dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang hidup setelah mereka sejak tujuh puluh tahun yang lalu. Mereka berpendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Pencipta; Apa saja selain Allah ‘azza wa jalla adalah makhluk; Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni bukan makhluk, -ed.), dari-Nya keluar dan kepada-Nya kembali.”
Telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dari
jalan Muhammad bin Ishaq bin Rahawaih, dari ayahnya, yang berkata, “Amr
bin Dinar telah berjumpa dengan para sahabat Rasul yang mulia dari
kalangan ahli Badar, para Muhajirin dan Anshar, seperti Jabir bin
Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Zubair—semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka—dan para tabiin yang mulia—semoga Allah ‘azza wa jalla
merahmati mereka—dan di atas keyakinan inilah (al-Qur’an kalamullah)
generasi awal umat ini berlalu. Mereka tidak berselisih dalam hal
tersebut.”
Al-Humaidi berkata, “Al-Qur’an adalah
kalamullah. Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata bahwa al-Qur’an
adalah kalamullah, barang siapa berkata bahwa al-Qur’an adalah makhluk,
dia mubtadi’. Kami belum pernah mendengar seorang pun berkata demikian.”
Al-Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk. Para imam ‘itrah (keturunan
ahli bait): Zaid bin Ali, Ja’far ash Shadiq, Abdullah bin Musa, Hasan
bin Yahya, dan yang lainnya, berpendapat demikian.
Kaum muslimin yang hanya melihat
tampilan lahiriah kaum Syiah, bisa jadi akan menyangka bahwa ajaran
mereka mengandung sesuatu yang membahayakan. Ketahuilah, sekian banyak
sekte dalam Islam yang memiliki ajaran sesat, namun karena dibungkus
dengan kebaikan, ibadah, dan perbuatan yang banyak memberi manfaat,
membuat banyak pihak yang tertipu.
Asy-Syaikh Shalih al-Luhaidan
menerangkan, “Dampak buruk dari sebuah pemikiran (yang menyimpang) lebih
membahayakan dan lebih besar, apabila pemikiran tersebut dibungkus
dengan pakaian (tampilan) ketakwaan, menampakkan cinta kepada kebaikan
dan hal yang bermanfaat. Sebab, manusia—alhamdulillah—memiliki tabiat senang kepada kebaikan.”
Oleh karena itu, apabila kita melihat
para penyeru kebid’ahan di zaman dahulu, kita dapati mereka seluruhnya
tidaklah mengibarkan bendera dakwahnya kecuali berada di bawah naungan
tampilan lahiriah yang agamis dan ahli ibadah.
Wallahul muwaffiq.
Sumber Bacaan
- Tamamul Minnah fi Syarh Ushulis Sunnah, asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari
- Syarh Qauli Ibni Sirin, asy-Syaikh Ahmad bin ‘Umar Bazmul
[1] Dalam bahasa Arab, fi’il (kata kerja) ja’ala ada yang muta’addi (membutuhkan) satu maf’ul bih (objek), ada yang membutuhkan dua maf’ul bih.
Yang membutuhkan satu objek memang berarti menciptakan. Akan tetapi,
yang membutuhkan dua objek artinya bukanlah menciptakan. Oleh karena
itu, para ulama tafsir menafsirkan ayat di atas dengan “menurunkan”.
Jadi, tidak ada dalil pada ayat di atas bagi kaum Syiah untuk menyatakan
bahwa al-Qur’an adalah makhluk. (-ed.)

Kekejaman Syiah Hutsi di Yaman
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Hutsiyah merupakan kelompok Syiah
pecahan dari Syiah Zaidiyah yang berkembang di Yaman. Pemimpinnya adalah
Badruddin al-Hutsi, lahir pada tanggal 17 Jumadal Ula 1345 H di kota
Dhahiyan dan dibesarkan di Sha’dah, Yaman Utara. Pada asalnya dia
berpemikiran Zaidiyah, yang kemudian lebih condong kepada pemikiran
Syiah Rafidhah yang berpusat di Iran. Dia pindah ke Iran setelah
berselisih paham dengan sebagian ulama yang bermazhab Zaidiyah.
Pada tahun 1986 M, terbentuk lembaga
“Persatuan Para Pemuda” di Sha’dah. Lembaga ini bertujuan untuk
mengajarkan mazhab Zaidi bagi para penganutnya. Badruddin al-Hutsi yang
termasuk ulama besar mazhab Zaidi ketika itu menjadi pengajar di lembaga
tersebut.
Pada tahun 1990 M, terjadi persatuan
antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dibuka kesempatan untuk membuat
partai. Lembaga ini berubah haluan menjadi Hizbul Haq (Partai
Kebenaran) yang menjadi perwakilan partai Zaidiyah di Yaman. Husain
Badruddin al-Hutsi—anak Badruddin—merupakan tokoh politik yang sangat
populer ketika itu. Dia masuk ke dalam Majelis Perwakilan Rakyat pada
tahun 1993 dan 1997 M.
Sempat terjadi perselisihan yang sengit
antara Badruddin dengan ulama Syiah Zaidiyah di Yaman terkait seputar
fatwa sejarah yang didukung oleh para ulama Zaidiyah yang dipimpin oleh
Majduddin al-Mu’ayyidi. Mereka menyatakan bahwa persyaratan pemimpin
harus dari al-Hasyimi (ahlul bait Nabi n) sudah tidak relevan lagi pada
masa sekarang ini, karena kondisi sejarah mengharuskan hal itu.
Sekarang, rakyat diberikan pilihan untuk menetapkan pemimpinnya tanpa
harus ada syarat dari keturunan Hasan atau Husain c. Badruddin menentang
keras fatwa tersebut. Terlebih lagi, Badruddin berasal dari Syiah
Zaidiyah al-Jarudiyah yang memiliki kedekatan dengan Syiah Rafidhah
Itsna ‘Asyariyah.
Masalahnya semakin berkembang hingga Badruddin membela pemikiran Syiah Rafidhah. Bahkan, dia menulis sebuah kitab yang berjudul “az-Zaidiyah fil Yaman”.
Isinya menjelaskan adanya kedekatan antara pemikiran Zaidiyah dan Itsna
Asyariyah. Namun, karena penentangan yang kuat terhadap pemikirannya
yang menyelisihi mazhab Zaidiyah, dia pindah ke Iran dan tinggal di sana
beberapa tahun.
Kepergian Badruddin dari Yaman tidak
berarti pemikirannya mandek. Pemikirannya yang dibangun di atas
pemahaman Syiah Rafidhah justru semakin berkembang, terkhusus di daerah
Sha’dah dan sekitarnya sejak 1997 M. Pada masa itu pula, anaknya yang
bernama Husain Badruddin keluar dari partai Hizbul Haq sekaligus keluar dari parlemen. Ia kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama “asy-Syabab al-Mukmin”,
artinya Pemuda Beriman. Ayahnya, Badruddin, menjadi rujukan utama dalam
pergerakan ini. Pada awalnya, kelompok ini hanya dianggap fokus
memerhatikan masalah agama. Namun, ternyata kelompok Pemuda Beriman ini
semakin menampakkan sikap perlawanannya terhadap pemerintah Yaman pada
2002 M.
Saat pergerakan kelompok ini mulai
tampak, sebagian ulama Zaidiyah meminta Presiden Yaman ketika itu, Ali
Abdullah Saleh, untuk memulangkan Badruddin ke Yaman guna mempelajari
kembali pemikiran-pemikiran yang diajarkan kepada para murid dan
pengikutnya. Badruddin menyetujui hal itu dan kembali ke Yaman. Ketika
itu, pemerintah Yaman tidak menyangka bahwa kelompok ini akan memiliki
kekuatan besar yang dapat melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Yaman.
Pada tahun 2004, tatkala pengikut Hutsi
semakin berkembang dan kuat, mereka melakukan demonstrasi besar-besaran
di jalanan negeri Yaman. Mereka menyebutkan bahwa al-Hutsi mengaku
sebagai Imam Mahdi yang harus ditaati. Bahkan, sebagian menyebutkan
bahwa dia mengaku sebagai nabi.
Pemerintah Yaman menentang keras hal ini
sehingga menyebabkan terjadinya perang terbuka melawan kelompok Hutsi.
Pemerintah mengerahkan lebih dari 30.000 tentara dan menggunakan pesawat
serta senjata berat. Ketika itu, pemerintah berhasil membunuh pemimpin
Hutsi, Husain Badruddin, menahan ratusan pemberontak, dan merebut
senjata mereka dalam jumlah besar.
Setelah kematian Husain Badruddin,
kelompok ini dipimpin langsung oleh ayahnya, Badruddin al-Hutsi. Dia
menjelaskan, kelompoknya mempersenjatai diri secara diam-diam dengan
sangat rapi hingga mampu melakukan perlawanan terhadap pemerintah Yaman.
Pada tahun 2008, Pemerintah Qatar
berusaha menjadi penengah antara kelompok Hutsi dan Pemerintah Yaman.
Akhirnya, disepakati adanya perjanjian damai. Dengan kesepakatan ini,
senjata milik Hutsi diserahkan kepada pemerintah Yaman. Namun, tidak
lama berlangsung kesepakatan tersebut, kelompok Hutsi melanggarnya
sehingga peperangan kembali meletus. Bahkan, Hutsi berhasil memperluas
daerah kekuasaannya dengan menguasai beberapa daerah yang ada di sekitar
Sha’dah. Mereka juga berusaha menguasai tepi Laut Merah dengan
menguasai salah satu pelabuhan agar leluasa menerima bantuan yang
berasal dari luar negeri, khususnya dari Iran.
Hutsi tidak hanya melakukan perlawanan
terhadap Pemerintah Yaman. Mereka juga benar-benar ingin mendirikan
negara Syiah Rafidhah dengan membunuh dan mengusir siapa saja yang
menyelisihi pemikiran mereka. Hal ini menyebabkan terjadi pengungsian
penduduk besar-besaran dari kampung halaman mereka yang dikuasai oleh
kelompok Hutsi. Diberitakan bahwa hingga hari Kamis tanggal 22 Sya’ban
1430 H, bertepatan dengan tanggal 13 Agustus 2009 M, jumlah para
pengungsi dari Kabupaten Sha’dah mencapai 130.000 orang dalam waktu dua
pekan terakhir. Mereka seluruhnya dari kalangan Ahlus Sunnah yang enggan
mengikuti keyakinan Hutsi.
Mereka tidak membiarkan adanya pondok
pesantren Ahlus Sunnah yang dibangun oleh ahli hadits dari negeri Yaman,
Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah. Padahal isinya
hanyalah para penuntut ilmu yang menjauhkan diri dari berbagai
permasalahan politik. Mereka hanya fokus mendalami kitabullah dan
sunnah Rasulullah dengan pemahaman salafus saleh. Meski demikian,
kelompok Hutsi tidak henti-hentinya mengusik ketenangan mereka.
Mereka berusaha meratakan pondok
pesantren Ahlus Sunnah dengan senjata berat berupa tank, basoka, mortir,
dan lainnya. Selama lebih dari dua bulan, kelompok Hutsi berhasil
mengepung ma’had (pondok pesantren) tersebut dari berbagai arah
dan melarang masuknya bantuan berupa makanan, obat-obatan, dan lainnya.
Hal ini menyebabkan banyak wanita, anak-anak, dan orang yang terluka
mati karena kelaparan dan kedinginan; tanpa mendapatkan pertolongan sama
sekali.
Ini semua akibat perbuatan bejat
kelompok Hutsi yang sangat berkeinginan untuk membasmi Ahlus Sunnah dan
melenyapkannya dari negeri Yaman, khususnya di daerah yang telah menjadi
kekuasaan mereka.
Anehnya, tatkala menghancurkan bangunan ma’had Ahlus
Sunnah yang terletak di daerah Kitaf dengan bahan peledak yang dahsyat,
mereka meneriakkan slogan palsu, “Kematian untuk Amerika, laknat untuk
Israel, kemuliaan untuk Islam.”
Sungguh, teriakan yang sangat aneh lagi
palsu. Mereka tidak sedang menghancurkan Gedung Putih kebanggaan Amerika
atau meledakkan fasilitas milik Amerika dan Yahudi. Namun, yang mereka
hancurkan adalah markaz Ahlus Sunnah, tempat para penuntut ilmu mengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sungguh, ini bukanlah kebohongan pertama yang dilakukan oleh para penjahat Syiah yang tidak memiliki kasih sayang.
Wallahul Musta’an.

Imam Mahdi Versi Syi’ah
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Telah diterangkan dalam berbagai riwayat
kaum Syiah tentang apa yang akan dilakukan oleh Imam Mahdi mereka
ketika menampakkan dirinya setelah sekian abad lamanya bersembunyi di
lubang Sirdab. Beberapa keterangan dari riwayat tersebut menjelaskan
sebagai berikut.
Kaum Syiah dari Seluruh Penjuru Negeri Berkumpul di Sekeliling Mahdi
Telah disebutkan oleh seorang tokoh
Syiah, al-Majlisi, dari salah seorang maula Abul Hasan, “Aku bertanya
kepada Abul Hasan tentang makna firman-Nya,
“Di mana pun kalian berada, niscaya Allah akan mendatangkan kalian semuanya.” (al-Baqarah: 148)”
Ia menjawab, “Demi Allah, hal itu terjadi jika al-Qaim (Imam Mahdi) kami telah muncul. Allah akan mengumpulkan Syiah kami kepadanya dari seluruh penjuru negeri.” (Biharul Anwar, 52/291)
Kaum Syiah yang berkumpul dengan Imam
Mahdi-nya tidak hanya orang yang masih hidup, bahkan yang telah mati pun
akan bangkit kembali untuk mendatanginya.
Ini sebagaimana yang mereka riwayatkan dari al-Mufadhdhal bin Umar, ia berkata, “Kami menyebut tentang al-Qaim (Mahdi), yang dinanti oleh sahabat kami yang telah mati.
Abu Abdillah berkata kepada kami, ‘Jika
ia (Imam Mahdi -pen.) telah muncul, seorang mukmin didatangi kuburannya
lalu dikatakan kepadanya, ‘Wahai Fulan, sungguh telah muncul sahabatmu.
Jika engkau ingin, engkau boleh menyusulnya. Jika engkau ingin tetap
tinggal dalam kemuliaan Rabbmu, tetaplah tinggal’.” (al-Iqazh minal Haj’ah, hlm. 271)
Mahdi Versi Syiah Menyiksa Sahabat Rasul radhiallahu ‘anhum
Kaum Syiah menyangka bahwa saat Imam
Mahdi mereka muncul, yang pertama kali ia lakukan adalah mengeluarkan
dua khalifah Rasul, Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma dari kuburnya lalu menyiksa keduanya.
Telah diriwayatkan oleh al-Majlisi, dari
Basyir an-Nabbal, dari Abu Abdillah, ia berkata, “Tahukah engkau,
perbuatan pertama yang akan dilakukan oleh al-Qaim ‘alaihissalam?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Ia berkata, “Dia akan mengeluarkan keduanya (Abu Bakr dan Umar, pent.)
dalam keadaan tubuh keduanya segar bugar. Kemudian ia membakar
keduanya, menebarkan abu keduanya ke udara, dan menghancurkan masjid.” (Biharul Anwar, 52/386)
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan
oleh al-Mufadhdhal, dari Ja’far ash-Shadiq, disebutkan di dalamnya bahwa
Mufadhdhal berkata, “Wahai tuanku, lalu kemana perginya al-Mahdi?”
Ja’far ash-Shadiq menjawab, “Menuju kota kakekku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … Lalu dia berkata, ‘Wahai sekalian manusia, ini adalah kuburan kakekku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Mereka menjawab, ‘Ya, wahai Mahdi keluarga Muhammad.’
Lalu dia (Mahdi) bertanya, ‘Siapa yang bersamanya dalam kubur?’
Mereka menjawab, ‘Dua sahabatnya dan dua pendamping tidurnya, Abu Bakr dan Umar.’
Mahdi berkata, ‘Keluarkan keduanya dari kuburnya.’
Keduanya dikeluarkan dalam keadaan segar
bugar, tidak berubah penciptaannya, dan tidak pucat kulit keduanya…
Lalu dia menyingkap kain kafan keduanya dan memerintahkan untuk
mengangkat keduanya di atas pohon besar yang telah rusak dan kering.
Keduanya disalib di atas pohon tersebut….” (ar-Raj’ah, karya al-Ahsai, hlm. 186—187)
Inilah yang dilakukan oleh Imam Mahdi
versi Syiah terhadap dua sahabat yang merupakan manusia terbaik umat ini
setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun yang dia lakukan terhadap Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, mereka telah meriwayatkan dari Abdurrahman al-Qashir dari Abu Ja’far ‘alaihissalam berkata, “Ketahuilah bahwa apabila al-Qaim kami telah keluar, akan dihidupkan kembali al-Humaira (Aisyah radhiallahu ‘anha-pen.) lantas dia mencambuknya agar mampu membalas dendam ibunya, Fathimah.”
Aku bertanya, “Mengapa dia mencambuknya?”
Ia menjawab, “Karena fitnah yang dia lakukan terhadap ibu Ibrahim (Mariyah al-Qibthiyah, pent.).”
Aku bertanya lagi, “Mengapa Allah mengakhirkan hukumannya hingga keluarnya al-Qaim?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kasih sayang. Dia ‘azza wa jalla mengutus al-Qaim untuk membalas dendam.” (al-Iqazh minal Haj’ah, al-Hur al-Amili, hlm. 244)
Mahdi Syiah Membunuh Bangsa Arab dan Suku Quraisy
Mahdi versi Syiah adalah seorang yang
fanatik terhadap suku. Dia tidak berperang karena agama atau akidah,
tetapi karena suku dan bangsa. Dia akan membunuh bangsa Arab dan kaum
Quraisy. Telah diriwayatkan oleh al-Majlisi, dari Abu Abdillah bahwa dia
berkata, “Apabila al-Qaim telah keluar, tidak ada hubungan antara dia dan bangsa Arab dan Quraisy selain pedang.” (Biharul Anwar, 52/355)
Diriwayatkan dari Abu Ja’far bahwa dia berkata, “Seandainya manusia mengetahui apa yang akan dilakukan oleh al-Qaim ketika
dia keluar, tentu kebanyakan mereka tidak ingin melihatnya karena
perbuatannya membunuh manusia. Ketahuilah, dia tidak memulai kecuali
dari bangsa Quraisy. Dia tidak mengambil darinya selain pedang dan
memberikan sesuatu kepadanya selain pedang. Banyak manusia mengatakan,
‘Orang ini bukan dari keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya dia dari keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sudah tentu dia akan bersifat kasih sayang’.” (al-Ghaibah, an-Nu’mani, hlm. 154 dan Biharul Anwar, 52/354)
Bahkan, orang yang telah mati tidak
selamat dari siksaan Imam Mahdi yang jahat ini. Diriwayatkan oleh
al-Mufid dari Abu Abdillah bahwa dia berkata, “Apabila al-Qaim dari keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah muncul, dia akan menghidupkan lima ratus orang dari kaum Quraisy
lalu memenggal leher mereka. Kemudian dia menghidupkan lima ratus
lainnya, hingga melakukan hal itu sebanyak enam kali.” (Biharul Anwar, 52/338)
Dalam sebuah riwayat dari Abu Ja’far, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di tengah-tengah umat dengan kelembutan dan mengambil hati manusia, sedangkan al-Qaim berjalan
dengan pembunuhan. Demikianlah ia diperintahkan dalam al-Kitab yang ada
padanya; bahwa dia berjalan dengan pembunuhan dan tidak diperintahkan
kepadanya untuk bertobat. Celakalah bagi orang yang menentangnya. (Biharul Anwar, 52/353)
Imam Mahdi versi Syiah Rafidhah Menghancurkan Ka’bah, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Lainnya
Ketika Imam Mahdi Syiah muncul, dia akan
menghancurkan masjid kaum muslimin. Dimulai dari Ka’bah yang menjadi
kiblat kaum muslimin dan Masjidil Haram.
Telah disebutkan riwayat dari Mufadhdhal
bin Umar bahwa dia menanyakan beberapa masalah kepada Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq. Di antaranya, “Wahai tuanku, apa yang akan dia
lakukan terhadap Baitullah?”
Dia menjawab, “Dia akan merobohkannya
sampai dia menyisakan empat tiang yang merupakan rumah pertama yang
dibuat untuk manusia di Makkah pada masa Adam ‘alaihissalam dan yang ditinggikan oleh Ibrahim ‘alaihissalam dan Ismail ‘alaihissalam.” (ar-Raj’ah, al-Ahsai, hlm. 184)
Diriwayatkan dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah, ia berkata, “Apabila al- Qaim muncul, dia akan mengembalikan Baitullah al-Haram menjadi fondasi, Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi fondasi, dan Masjid Kufah menjadi fondasi.” (ar-Raj’ah, al-Ahsai, hlm. 162)
Diriwayatkan pula dari Abu Ja’far bahwa ia berkata, “Apabila al-Qaim
telah muncul, dia akan berjalan menuju Kufah lalu menghancurkan empat
masjid. Tidak tersisa satu masjid pun di muka bumi yang memiliki
keutamaan kecuali ia menghancurkan dan meratakannya.” (al-Isyad, al-Mufid, hlm. 365)
Demikianlah mereka menyebut sifat Imam
Mahdi mereka ketika muncul. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Imam
Mahdi versi Ahlus Sunnah yang diriwayatkan oleh hadits-hadits yang
sahih. Imam Mahdi versi Ahlus Sunnah akan menegakkan keadilan, mengikuti
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyayangi manusia, dan mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara yang menunjukkan hal tersebut
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ ، حَتَّى يَمْلِكَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي، يَمْلأُ الأَرْضَ عَدْلاً وَقِسْطاً ، كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْراً
“Dunia tidak akan kiamat hingga
bangsa Arab dikuasai oleh seseorang yang berasal dari keturunanku,
namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama
ayahku. Dia akan mengisi dunia dengan keadilan sebagaimana sebelumnya
telah diisi dengan kezaliman dan tindak aniaya.” (HR. Abu Dawud no. 473, at-Tirmidzi no. 505, dinyatakan hasan oleh al-Albani)
Dari sini kita melihat perbandingan yang
sangat jauh antara Imam Mahdi Ahlus Sunnah dan Imam Mahdi versi Syiah
Rafidhah. Perbuatan dan kelakuan Imam Mahdi versi Syiah lebih mirip
dengan sifat Dajjal yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya tentang bahayanya.
Semoga Allah ‘azza wa jalla memelihara kita semua dari kejahatannya.

Lagi, Kasus Pembunuhan Oleh Syiah
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Terbunuhnya Ratusan Ahlus Sunnah Dalam Penjara
Diceritakan oleh Ni’matullah al-Jazairi
bahwa Ali bin Yaqthin, seorang menteri ar-Rasyid, telah memenjarakan
sekelompok orang yang menyelisihinya. Dia lalu menyuruh anak-anaknya
untuk merobohkan atap penjara hingga menimpa para tawanan tersebut.
Mereka semua mati. Jumlahnya sekitar 500 orang.
Setelah itu, ia ingin terbebas dari
hukuman akibat menumpahkan darah mereka. Dia mengirim berita kepada Imam
Maulana al-Kazhim. Al-Kazhim membalas suratnya dengan mengatakan, “Jika
engkau memberi tahu aku sebelum membunuh mereka, tidak ada hukuman apa
pun dari tertumpahnya darah mereka. Namun, karena engkau tidak
memberitahuku, tebuslah kesalahan itu dengan perhitungan satu orang yang
terbunuh diganti dengan satu ekor kambing, sedangkan kambing lebih baik
darinya.”
(al-Anwar an-Nu’maniyah, 3/308; lihat Lillahi Tsumma li at-Tarikh hlm. 90)
Pembunuhan Ahmad Al-Kasrawi
Ahmad Mir Qasim bin Mir Ahmad al-Kasrawi
dilahirkan di Tibriz, ibukota Azerbaijan. Dia adalah seorang profesor
di Universitas Teheran dan menduduki sejumlah jabatan di kejaksaan.
Selain itu, ia juga beberapa kali menjabat sebagai kepala kantor
kehakiman di beberapa kota di Iran, hingga di Teheran. Dia termasuk
salah seorang pengawas di empat departemen kehakiman, kemudian menjabat
jaksa penuntut umum di Teheran. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai
redaktur Majalah Burjum Iran. Beliau menguasai bahasa Arab, Turki,
Inggris, Armenia, Persia, dan bahasa Persia lama, Pahlevi.
Dia memiliki banyak tulisan dan makalah
yang tersebar di Iran. Makalah-makalah tersebut memiliki kekuatan ilmiah
yang menyerang prinsip ajaran mazhab Syiah. Makalahnya menarik
perhatian banyak kalangan terdidik dan beberapa organisasi yang bekerja
di negeri tersebut. Makalah-makalahnya juga diterima oleh berbagai
kalangan masyarakat dengan beragam pemikiran dan keyakinan, khususnya
kalangan pemuda lulusan madrasah. Ribuan orang pun mendukung dan
membelanya. Mereka pula turut menyebarkan banyak pemikiran dan kitabnya.
Pemikirannya menyebar hingga sebagian
negara Arab, seperti Kuwait. Sebagian orang Kuwait meminta al-Kasrawi
menulis beberapa kitab dalam bahasa Arab agar mereka dapat mengambil
faedah darinya. Beliau pun menulis buku untuk mereka dengan judul at-Tasyayyu’ wa asy-Syiah,
yang menjelaskan batilnya mazhab Syiah dan bahwa penyelisihan kaum
Syiah terhadap kaum muslimin hanya bersandar kepada sikap fanatik dan
keras hati.
Namun, belum sempat menyelesaikan kitab
ini, beliau ditembak dengan pistol oleh sekelompok Syiah di Iran. Beliau
pun masuk rumah sakit dan menjalani operasi hingga sembuh. Kajian Utama
Kalangan Syiah menuduh beliau
menyelisihi Islam. Mereka mengangkat masalahnya kepada departemen
kehakiman. Akhirnya dia dipanggil untuk diinterogasi. Pada akhir
pertemuan dalam interogasi yang terjadi pada 1324 H (sekitar 1906 M)
tersebut, beliau ditembak sekali lagi, ditambah tusukan sebilah pisau.
Beliau pun meninggal setelah kejadian itu dalam keadaan di tubuhnya
terdapat 29 luka.
Yang membunuh al-Kasrawi dan melakukan
tindakan kejahatan ini secara langsung adalah seorang Syiah fanatik,
pemimpin kelompok tentara “Islam” yang bernama Nawab Shafawi. Seorang
wartawan Mesir, Musa Shabri, menyingkap hal ini melalui wawancara yang
ia adakan bersama si pembunuh tersebut dan disebarkan melalui koran al-Anba’ al-Kuwaitiyah, terbit tanggal 16/6/1990 M. Berikut ini teksnya.
Nawab Shafawi, pimpinan kelompok tentara
Islam, mengatakan bahwa dia—al-Kasrawi—adalah orang yang merusak Islam
dan kaum muslimin dengan tulisannya. Oleh karena itu, aku (Nawab
Shafawi) ingin membunuhnya dengan tanganku karena membela syariat,
agama, dan rasa cemburu terhadapnya.
Suatu
hari aku menghadangnya di sebuah jalan umum bersama seorang saudaraku.
Dia bersama 14 orang pendampingnya yang disebut Jama’ah Harbiyah. Aku
memiliki pistol kecil ketika itu. Aku pun menembaknya dengan pistol.
Namun, ternyata pistol tersebut tidak membuatnya terluka parah.
Peperangan berlanjut antara kami di jalan tersebut selama 3 jam, namun
dia tidak mati.
Sementara
itu, aku ingin segera menyelesaikan pembunuhan terhadapnya hingga aku
membunuhnya di hadapan pemerintah di jalan Allah. Aku pun membunuhnya
dengan pistol yang ada di tanganku, sementara jama’ahnya melarikan diri.
Al-Kasrawi sendiri di antara kami dan manusia yang berkumpul di
sekitarnya. Setelah aku sangka dia telah mati atau akan mati dalam waktu
dekat, aku berdiri di sisi jasadnya sambil kusampaikan beberapa kalimat
di tengah manusia. Kami ditahan di penjara Teheran. Kejadian ini
diekspos di berbagai koran. Aku berdoa kepada Allah di dalam penjara
agar segera mematikannya dengan hasil tembakanku. Semoga kami diberi
mati syahid di jalan-Nya dengan ganjaran pahala.
Al-Kasrawi
ternyata mengalami sakit parah di rumah sakit dan belum mati. Aku tidak
mengetahui, apa pengaturan Allah dalam hal ini.
Kemudian
aku dikeluarkan dari penjara. Aku membuat kelompok yang telah bersiap
untuk menumpahkan darah mereka di jalan Islam dan aku mengumumkan hal
ini. Tersingkaplah beberapa koran yang seringkali membela slogan
al-Kasrawi yang menyesatkan. Mereka takut kepada kami. Mereka tidak
berani menulis apa pun karena kejelekan yang terdapat dalam diri mereka.
Sementara itu, jamaah yang menjadi pengikutnya yang berjumlah sedikit
berdiam diri.
Setelah
tiga bulan, al-Kasrawi keluar dari rumah sakit. Suatu hari aku
menghadangnya di pengadilan militer tempat kasus kami disidangkan.
Ketika itu aku tidak membawa senjata untuk membunuhnya. Akan tetapi, ada
seorang tentara yang sedang membawa senjata. Aku ingin mengambil
senjata itu dari tangannya untuk membunuh al-Kasrawi di pengadilan
tersebut.
Saat
aku berhasil mengambilnya, semua yang ada di hadapanku ketakutan.
Tentara, para hakim, demikian pula al-Kasrawi juga ketakutan. Setiap
orang yang berada di pengadilan panik berlarian. Sidang pengadilan
akhirnya kacau. Aku keluar dari pengadilan dan tidak lagi memenuhi
panggilan hukum setelah itu. Aku tidak akan kembali ke pengadilan itu
lagi.
Aku
mengirim pesan kepada pengadilan dan berkata, “Saya tidak berpendapat
harus berhukum kepada kalian sehingga harus memenuhi panggilan kalian.
Sebab, kalian jauh dari agama Allah dan Islam. Pemerintah kalian justru
marah. Menurut pendapatku, al-Kasrawi lah yang wajib dihukum, bukan
kami. Sebab, dia melampaui batas terhadap agama. Oleh karena itu, aku
telah mengumpulkan tanda tangan ribuan orang yang menyatakan bahwa
pemerintah wajib menyeret al-Kasrawi ke kantor pengadilan syariat, lalu
dia dihukum karena kafirnya dia terhadap agama Allah.”
Akhirnya,
pemerintah mengabulkan permintaanku. Pemerintah menetapkan waktu
perjanjiannya, sementara hari itu aku telah bertekad untuk membunuhnya.
Sebab, inilah satu-satunya balasan untuk dirinya.
Bangkitlah
sembilan orang saudaraku untuk membunuhnya di pengadilan. Akhirnya,
mereka berhasil membunuhnya, pengikut, dan penjaganya. Para tentara
berlarian, demikian pula para hakim, dan lainnya. Mereka ketika itu
berjumlah tiga ribu orang yang datang untuk menyaksikan jalannya
pengadilan, dan utusan kami kembali tanpa ada yang melakukan perlawanan
terhadapnya.
(Haqiqatu asy-Syiah Hatta La Nankhadi’, Abdullah al-Mushili, hlm. 198—200)

Runtuhnya Khilafah Bani Abbasiyah
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Pada 656 H, terjadi tragedi pembunuhan
besar-besaran terhadap Ahlus Sunnah. Hal ini disebabkan oleh
pengkhianatan Syiah Rafidhah yang menyusup dalam pemerintahan Ahlus
Sunnah. Kitab-kitab sejarah menyebutkan bahwa tragedi tersebut terjadi
ketika masuknya bangsa Tartar ke Baghdad kemudian membunuh mayoritas
penduduk, termasuk Khalifah. Runtuhlah Daulah ‘Abbasiyah melalui tangan
mereka.
Semua ini terjadi karena ulah seorang
Syiah Rafidhah yang bernama Muhammad bin al-‘Alqami ar-Rafidhi. Ketika
itu, pertikaian antara Ahlus Sunnah dengan Syiah sangat kuat. Ibnu
al-‘Alqami dan Nashiruddin at-Thusi ar-Rafidhi yang berhasil masuk dalam
pemerintahan Bani Abbasiyah dan menjadi menteri kepercayaan, menyimpan
dendam terhadap Ahlus Sunnah.
Ketika itu, pemerintahan dipimpin oleh
Khalifah al-Musta’shim Billah. Sebelum terjadinya tragedi tersebut,
Ibnul ‘Alqami berusaha memperkecil jumlah pasukan pemerintahan
kekhilafahan Abbasiyah. Sebelumnya pada masa al-Muntashir, tentara di
Baghdad berjumlah seratus ribu orang prajurit perang, di antaranya ada
para panglima perang. Ibnul ‘Alqami terus melakukan pengurangan hingga
berjumlah kurang lebih sepuluh ribu orang prajurit.
Setelah itu, dia mengirim surat kepada
Tartar dan memberi kemudahan kepada mereka untuk menguasai Baghdad
sambil mebeberkan kondisi sebenarnya pemerintahan Abbasiyah. Semua ini
ia lakukan dengan tujuan melenyapkan Sunnah secara menyeluruh,
menghidupkan bid’ah Rafidhah, mengangkat khalifah dari kalangan
Fathimiyah, dan membunuh para ulama serta ahli fatwa.
Masuklah bangsa Tartar dari Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu Khan bersama pasukan yang berjumlah kurang lebih
dua ratus ribu orang prajurit. Berdasarkan arahan Ibnul ‘Alqami dan
Nashiruddin ath-Thusi ar-Rafidhi, pada 10 Muharram, mereka mengepung
kota Baghdad dari arah barat dan timur.
Pasukan Baghdad sendiri sangat sedikit
jumlahnya dan sangat lemah kekuatan persenjataannya. Khalifah yang sudah
semakin terjepit kekuasaannya berusaha melakukan genjatan senjata
dengan Hulagu Khan dengan memberikan berbagai jenis harta yang melimpah,
berupa emas, perhiasan, mutiara, dan barang-barang berharga lainnya.
Namun, Ibnul Alqami, Nashiruddin
at-Thusi, dan yang bersamanya, menyarankan agar Hulagu Khan tidak
menerima tawaran perdamaian tersebut. Bahkan, mereka menganjurkannya
untuk membunuh Khalifah.
Tatkala Khalifah menghadap Hulagu,
Hulagu pun memerintahkan untuk membunuhnya. Lalu pasukan Tartar memasuki
Baghdad dan membunuh semua yang mereka temui: lelaki, wanita,
anak-anak, orang tua, dan para pemuda. Banyak manusia yang dilemparkan
ke sumur dan tempat sampah. Sebagian orang berkumpul di kedai sambil
menutup pintu mereka. Bangsa Tartar mendatangi dan membuka paksa atau
membakarnya dengan api. Mereka kemudian masuk ke dalamnya. Penduduk yang
ada di dalam, naik ke atap sehingga mudah dibunuh. Akibatnya, darah
bercucuran di lorong. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Demikian pula yang terjadi di masjid dan semua tempat berkumpul. Tidak ada seorang pun yang keluar selain ahli dzimmah dari
kalangan Yahudi dan Nasrani. Beberapa pedagang mencoba berlindung di
rumah Ibnul ‘Alqami, ath-Thusi, dan pengikutnya dengan membayar upeti
agar selamat.
Warna air sungai Dajlah berubah menjadi
merah disebabkan banyaknya Ahlus Sunnah yang terbunuh. Sungai-sungai
bercampur dengan darah hingga mengubah warnanya. Setelah itu, sungai
berubah menjadi warna biru karena banyaknya kitab para ulama yang
dilempar ke dalam sungai tersebut.
Para ahli sejarah berselisih tentang
jumlah kaum muslimin yang terbunuh di Baghdad ketika itu. Ada yang
mengatakan bahwa jumlahnya 800.000 orang, ada yang berkata 1.800.000
orang, ada pula yang berkata 2.000.000 jiwa.
Bangsa Tartar memasuki Baghdad pada
akhir bulan Muharram. Pedang-pedang mereka terus mencari mangsa selama
empat puluh hari. Khalifah al-Musta’shim Billah terbunuh pada hari Rabu,
tanggal 14 Shafar, pada usia empat puluh enam tahun, setelah
khilafahnya bertahan selama lima belas tahun delapan bulan.
(Secara ringkas dinukil dari al- Bidayah wa an-Niyahah jilid 1, hlm. 356—364, Ibnu Katsir. Lihat pula Tarikh al-Khulafa, karya Jalaluddin as- Suyuthi, hlm. 366—373, dan Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 91)

Terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Saat Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma pada tahun 60 H meninggal, anaknya yang bernama Yazid dibai’at sebagai khalifah. Adapun Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma
dan Abdullah bin Zubair termasuk yang enggan berbai’at kepada Yazid.
Mereka berdua berangkat menuju Makkah dan menetap di sana. Kaum muslimin
banyak yang mendatangi Husain radhiallahu ‘anhu untuk mendengar ilmu dan wejangan dari beliau. Adapun Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu menetap di tempat ibadahnya di sisi Ka’bah.
Tidak berapa lama kemudian, berdatanganlah surat-surat yang berasal dari penduduk Kufah yang menghendaki kedatangan Husain radhiallahu ‘anhu ke negeri mereka agar mereka segera membaiatnya sebagai pengganti Yazid bin Muawiyah.
Yang pertama kali mendatangi Husain radhiallahu ‘anhu
adalah Abdullah bin Saba’, al-Hamdani, dan Abdullah bin Wal. Mereka
membawa surat yang berisi ucapan selamat atas kematian Muawiyah radhiallahu ‘anhu. Setelah itu, disusul oleh ratusan surat yang meminta Husain radhiallahu ‘anhu untuk segera datang ke Kufah.
Akhirnya Husain radhiallahu ‘anhu
mengutus anak pamannya yang bernama Muslim bin Aqil bin Abi Thalib ke
Irak untuk meneliti duduk permasalahan sebenarnya dan kesepakatan
mereka. Apabila hal ini sesuatu yang jelas dan mesti, Husain akan
berangkat bersama keluarga dan kerabatnya.
Tatkala Muslim bin Aqil tiba di Kufah,
beliau singgah di rumah Muslim bin Ausajah al-Asadi. Ada pula yang
berkata bahwa beliau singgah di rumah Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi.
Wallahu a’lam.
Penduduk Kufah berbondong-bondong mendatangi Muslim untuk membaiatnya atas nama kepemimpinan Husain radhiallahu ‘anhu. Jumlah mereka mencapai 18.000 orang. Akhirnya, Muslim mengirim surat kepada Husain radhiallahu ‘anhu agar segera datang ke Kufah karena pembaiatan telah siap. Husain radhiallahu ‘anhu bersiap berangkat dari Makkah menuju Kufah.
Berita kedatangan Husain radhiallahu ‘anhu kian tersiar dan sampai kepada an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma
yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah bagi pemerintahan Yazid. Beliau
seakan-akan tidak peduli dengan semakin gencarnya isu pembaiatan
terhadap Husain radhiallahu ‘anhu.
Berita ketidakpedulian Nu’man radhiallahu ‘anhuma sampai kepada Yazid. Yazid melengserkan Nu’man radhiallahu ‘anhuma
dari kedudukannya dan memerintah Ubaidullah bin Ziyad untuk menguasai
Kufah dan Basrah sekaligus. Yazid berpesan kepada Ibnu Ziyad, “Jika
engkau datang ke Kufah, carilah Muslim bin Aqil. Jika engkau mampu
membunuhnya, bunuhlah.”
Ibnu Ziyad berangkat dari Basrah menuju
Kufah. Tatkala memasuki Kufah, ia menutup wajahnya dengan sorban hitam.
Setiap kali dia melewati sekumpulan manusia, ia berkata,
“Assalamu’alaikum.”
Mereka menjawab, “Wa‘alaikassalam, selamat datang wahai anak Rasulullah.”
Mereka menyangka bahwa dia adalah Husain radhiallahu ‘anhu, karena memang telah menunggu kedatangannya sampai akhirnya banyak penduduk mengerumuninya.
Muslim bin Amr berkata, “Mundurlah kalian, ini adalah Gubernur Ubaidullah bin Ziyad.”
Tatkala mereka mengetahui bahwa itu bukan Husain, mereka bersedih. Ubaidullah akhirnya yakin bahwa hal ini adalah kesungguhan.
Dia kemudian memasuki istana Gubernur
Kufah dan mengutus Ma’qil, maula Ubaidullah bin Ziyad, untuk meneliti
keadaan dan melacak siapa dalang utama yang mengatur pembaiatan terhadap
Husain radhiallahu ‘anhu.
Ma’qil berangkat dengan membawa uang
3.000 dirham sambil menyamar sebagai orang yang berasal dari Hims yang
datang untuk membaiat Husain radhiallahu ‘anhu. Dia terus
berlemah lembut hingga ditunjukkan kepadanya tempat Muslim bin Aqil
dibaiat; yaitu rumah milik Hani bin Urwah. Akhirnya, dia mengetahui
bahwa Muslim bin Aqil merupakan otaknya. Dia pun kembali dan mengabarkan
hal ini kepada Ubaidullah.
Setelah Muslim bin Aqil merasa bahwa segala sesuatu telah siap, dia mengirim berita kepada Husain radhiallahu ‘anhu
untuk segera datang ke Kufah. Husain akhirnya berangkat menuju Kufah,
sementara Ubaidullah mengetahui apa yang dilakukan oleh Muslim bin Aqil.
Keberangkatan Husain radhiallahu ‘anhu bertepatan pada hari tarwiyah.
Tatkala Husain radhiallahu ‘anhu hendak berangkat, para sahabat Rasulullah g yang masih hidup ketika itu berusaha mencegah keberangkatan beliau.
Di antara yang berusaha mencegahnya adalah Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma. Ketika itu Ibnu ‘Umar sedang berada di Makkah. Tatkala mendengar Husain radhiallahu ‘anhu menuju Irak, ia menyusulnya dalam perjalanan selama 3 malam.
Setelah bertemu Husain, Ibnu ‘Umar bertanya, “Hendak kemana engkau?”
Husain menjawab, “Menuju Irak.” Sambil
memperlihatkan surat-surat yang dikirim dari Irak kepadanya, “Ini
surat-surat dan bai’at mereka.”
Ibnu Umar berkata, “Jangan engkau datangi mereka.”
Husain bersikeras berangkat sehingga
Ibnu ‘Umar berpesan, “Aku memberitakan kepadamu satu hadits, bahwa
Jibril q mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memberi pilihan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam antara dunia dan akhirat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memilih akhirat dan tidak menghendaki dunia. Sesungguhnya engkau adalah
bagian dari diri beliau. Demi Allah, jangan sekali-kali ada di antara
kalian yang memilih dunia. Tidaklah Allah ‘azza wa jalla palingkan kalian darinya kecuali kepada sesuatu yang jauh lebih baik.”
Namun, Husain enggan untuk kembali. Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menangis dan berkata, “Aku titipkan dirimu kepada Allah ‘azza wa jalla agar tidak menjadi orang yang terbunuh.”
Selain Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, yang berusaha mencegah beliau adalah Abdullah bin ‘Abbas, Abu Sa’id al-Khudri, dan Abdullah bin Zubair g.
Di Kufah, Ubaidullah yang telah
mengetahui bahwa Muslim bin Aqil bersembunyi di balik Hani bin Urwah,
memanggil Hani ke istananya. Ubaidullah bertanya, “Di manakah Muslim bin
Aqil berada?”
Hani menjawab, “Saya tidak tahu.”
Ubaidullah bin Ziyad memanggil Ma’qil yang pernah menyamar menjadi seorang dari Hims untuk membaiat Husain radhiallahu ‘anhu. Ubaidullah bertanya, “Apakah engkau mengenal orang ini?”
Hani menjawab, “Ya.”
Hani pun kebingungan. Akhirnya ia mengetahui bahwa hal ini ternyata makar dari Ubaidullah bin Ziyad.
Ubaidullah bertanya, “Di mana Muslim bin Aqil?”
Hani menjawab, “Demi Allah, seandainya dia berada di bawah kakiku, aku tidak akan mengangkatnya.”
Ubaidullah memukul wajah Hani dengan
tongkat hingga melukai bagian keningnya dan mematahkan hidungnya. Dia
lalu memerintahkan agar Hani dipenjara.
Muslim bin Aqil mendengar berita Hani
ditahan. Ia mengerahkan para pendukungnya sejumlah 4.000 orang penduduk
Kufah. Di antara mereka ialah Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi yang
memegang bendera hijau, dan Abdullah bin Harits bin Naufal yang memegang
bendera merah. Keduanya diatur menjadi pasukan sayap kanan dan kiri.
Mendengar Muslim bin Aqil datang,
Ubaidullah dan yang bersamanya segera memasuki istana dan menutup
gerbangnya. Sebagian pemimpin kabilah yang berada di pihak Ubaidullah
menasihati kaumnya agar meninggalkan Muslim bin Aqil. Sebagian lagi
diperintahkan oleh Ubaidullah untuk mengelilingi Kufah untuk menghalangi
bantuan kepada pasukan Muslim bin Aqil. Mereka pun melakukannya.
Sampai-sampai, seorang wanita berkata kepada anak dan saudaranya, “Kembalilah, yang lain telah mencukupimu.”
Seorang lelaki berkata, kepada anak dan
saudaranya, “Sepertinya besok pasukan dari negeri Syam akan tiba. Apa
yang dapat engkau perbuat menghadapi mereka?”
Akhirnya mereka yang berkumpul bersama
Muslim meninggalkannya satu per satu. Belum tiba sore hari, jumlah
pasukan Muslim tersisa 500 orang, lalu menjadi 300 orang, kemudian
menjadi 30 orang.
Beliau shalat Maghrib bersama jamaahnya
yang tersisa 10 orang. Setelah selesai shalat, Muslim pun tinggal
sendirian, beliau bingung hendak pergi ke mana.
Ia pun mengetuk salah satu rumah,
keluarlah seorang wanita. Muslim berkata, “Berilah aku air.” Wanita itu
memberikan air kepadanya. Muslim menceritakan tentang jati dirinya,
“Penduduk Kufah telah berdusta dan menipuku,” ujarnya.
Wanita itu memasukkan Muslim ke dalam
rumah yang berdampingan dengan rumahnya. Anak wanita tersebut, Bilal bin
Asid, mengetahui keberadaan Muslim. Ia segera memberitakan hal ini
kepada Ubaidullah bin Ziyad.
Abdurrahman bin Muhammad bin al-Asy’ats
memberitakan kepada ayahnya, Muhammad bin Asy’ats yang sedang berada di
sisi Ibnu Ziyad. Ibnu Ziyad mengutus 70 orang tentara berkuda untuk
mengepung rumah tempat Muslim berdiam. Muslim sempat melakukan
perlawanan, meski akhirnya menyerahkan diri dan dibawa ke istana Ibnu
Ziyad.
Ibnu Ziyad berkata kepada Muslim, “Aku akan membunuhmu.”
Muslim berkata, “Beri aku kesempatan untuk memberi wasiat.”
Ibnu Ziyad berkata, “Silakan beri wasiat.”
Muslim melihat di sekelilingnya lalu
menatap Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Muslim berkata, “Engkau orang
yang paling dekat hubungan kerabatnya denganku. Kemarilah, aku ingin
memberi wasiat kepadamu.”
Muslim berpesan kepadanya agar menyampaikan kepada Husain radhiallahu ‘anhu,
“Kembalilah engkau bersama keluargamu. Jangan engkau tertipu oleh
penduduk Kufah. Sesungguhnya mereka telah berdusta kepadamu dan
kepadaku. Dan pendusta tidak pantas memiliki pendapat.”
Setelah itu, dipenggallah kepala Muslim radhiallahu ‘anhu oleh Bukair bin Humran. Ini terjadi pada hari ‘Arafah bulan Dzulhijjah. Sementara itu, Husain telah berangkat dari Makkah pada hari tarwiyah.
Setiba Husain radhiallahu ‘anhu di Qadisiah, beliau mendengar berita terbunuhnya Muslim bin Aqil melalui utusan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Husain radhiallahu ‘anhu
ingin kembali dan berdiskusi dengan anak-anak Muslim bin Aqil.
Anak-anaknya menjawab, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan kembali
hingga kami membalas kematian ayah kami.”
Akhirnya, Husain radhiallahu ‘anhu mengikuti kemauan mereka.
Setelah Ubaidullah bin Ziyad mengetahui
bahwa Husain tetap berangkat menuju Irak, ia memerintahkan al-Hur bin
Yazid at-Tamimi keluar membawa 1.000 tentara sebagai pasukan pembuka
yang akan menemui Husain radhiallahu ‘anhu di tengah perjalanan.
Al-Hur menemui Husain di Qadisiah dan bertanya, “Hendak kemana wahai anak dari anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Beliau menjawab, “Menuju Irak.”
Al-Hur memerintahkan Husain untuk kembali atau menuju Syam dan tidak memasuki Kufah. Namun, Husain tidak mengindahkannya.
Tatkala Husain radhiallahu ‘anhu tiba di Karbala, beliau bertanya, “Tempat apakah ini?”
Dijawab, “Karbala.”
Husain berkata, “Karbun wa bala (kesulitan dan bencana).”
Setelah itu, tibalah pasukan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dengan 4.000 tentara yang berusaha membujuk Husain radhiallahu ‘anhu
agar mendatangi Irak untuk bertemu dengan Ubaidullah bin Ziyad. Tatkala
Husain melihat bahwa urusannya semakin genting, Husain berkata kepada
Umar bin Sa’ad, “Aku memberimu tiga pilihan, silahkan engkau pilih. (1)
Engkau membiarkan aku kembali, (2) Aku pergi ke salah satu tempat
berjihad kaum muslimin, atau (3) Aku mendatangi Yazid agar aku dapat
meletakkan tanganku di bawah tangannya di Syam.”
Umar menjawab, “Ya. Silakan engkau kirim
utusan kepada Yazid, dan aku mengirim utusan kepada Ubaidullah untuk
melihat keputusannya.”
Namun, Husain tidak mengirim utusan
kepada Yazid, sementara Umar telah mengirim utusan kepada Ubaidullah.
Setibanya utusan Umar di hadapan Ubaidullah dan menceritakan apa yang
dikatakan Husain radhiallahu ‘anhu, pada awalnya Ubaidullah
menyetujui pilihan mana saja. Namun, di sisi Ubaidullah ada seorang yang
bernama Syamir bin Dzil Jausyan, termasuk orang yang sangat dekat
dengan Ubaidullah. Ia berkata, “Tidak demi Allah, hingga dia tunduk
kepada hukum yang engkau tetapkan.”
Ubaidullah akhirnya menyetujui usulan Syamir dan berkata, “Ya, hingga ia tunduk kepada hukumku.”
Ubaidullah kemudian mengutus Syamir dan mengambil alih kepemimpinan Umar bin Sa’ad. Setelah Husain radhiallahu ‘anhu
mengetahui berita bahwa dia harus tunduk kepada hukum Ubaidullah,
beliau berkata, “Tidak demi Allah, Aku tidak akan tunduk kepada hukum
Ubaidullah sama sekali.”
Jumlah pasukan berkuda yang bersama Husain radhiallahu ‘anhu
ada 70 orang, sementara pasukan yang berasal dari Kufah berjumlah 5.000
orang. Pada hari Jumat, pertumpahan darah tak terelakkan tatkala Husain
radhiallahu ‘anhu enggan menjadi tahanan bagi Ubaidullah bin Ziyad.
Dua kekuatan yang tidak seimbang. Satu-satunya keinginan pasukan Husain radhiallahu ‘anhu adalah meninggal sebagai pembela Husain radhiallahu ‘anhu. Satu per satu mereka gugur hingga tidak tinggal seorang pun selain Husain radhiallahu ‘anhu dan anaknya, Ali bin Husain radhiallahu ‘anhuma, yang ketika itu dalam keadaan sakit.
Sepanjang hari Husain radhiallahu ‘anhu sendirian, tidak seorang pun berani mendekatinya. Mereka tidak ingin menjadi pembunuh Husain radhiallahu ‘anhu. Hingga datanglah Syamir bin Dzil Jausyan yang dengan lantang, “Celaka kalian, kepung dia dan bunuhlah dia.”
Mereka mengepung Husain hingga beliau
berkeliling dengan pedangnya sambil membunuh siapa saja yang
mendekatinya. Namun, jumlah yang banyak tetap saja mengalahkan sikap
kepahlawanan beliau.
Syamir pun berteriak, “Apa yang kalian tunggu? Majulah kalian.”
Mereka pun merangsek maju mendekati Husain. Syamir termasuk yang membunuh Husain radhiallahu ‘anhu dengan tangannya. Sinan bin Anas an-Nakha’i adalah orang yang memenggal kepala beliau.
Jadi, Siapa yang Membunuh Husain?
Telah sepakat referensi Syiah dan Ahlus Sunnah bahwa yang membunuh Husain radhiallahu ‘anhu adalah kaum Syiah sendiri.
Dalam kitab-kitab Syiah, diriwayatkan
bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan sebutan “Zainul Abidin”,
berkata mencela kaum Syiah yang telah menipu dan membunuh ayahnya,
Husain radhiallahu ‘anhu, “Wahai sekalian manusia, aku menuntut
kalian karena Allah. Apakah kalian mengetahui bahwa kalian menulis
surat kepada ayahku dan kalian telah menipunya? Kalian berikan kepadanya
janji dan bai’at, lantas kalian membunuh dan menelantarkannya. Sungguh,
celaka apa yang dilakukan oleh diri kalian dan buruknya sikap kalian.
Dengan pandangan apa kalian melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
saat beliau berkata kepada kalian, ‘Kalian telah membunuh keluargaku.
Kalian telah merusak kehormatanku. Kalian bukanlah dari umatku’.”
Terangkatlah suara tangisan para wanita
tangisan dari setiap sudut diselingi ucapan mereka kepada yang lain,
“Kalian telah binasa dengan apa yang kalian ketahui.”
Ali bin Husain lalu berkata, “Semoga
Allah merahmati orang yang menerima nasihatku, dan memelihara wasiatku
tentang Allah, Rasul-Nya, serta keluargaku. Sesungguhnya pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada suri teladan yang baik bagi kita.” (ath-Thabrasi dalam kitab al-Ihtijaj, 2/32; Ibnu Thawus dalam al-Malhuf, hlm. 92)
Ketika al-Imam Zainul Abidin melihat
penduduk Kufah meratap dan menangis, beliau menghardik mereka sambil
berkata, “Kalian meratap dan menangis karena kami?! Siapa yang membunuh
kami?!” (al-Malhuf, hlm. 357, Maqtal al-Husain, Murtadha ‘Iyadh, hlm. 83)
Ummu Kultsum bintu Ali radhiallahu ‘anhuma
berkata, “Wahai penduduk Kufah, aib bagi kalian. Mengapa kalian tidak
menolong Husain, namun justru membunuhnya. Kalian merampas hartanya lalu
kalian warisi. Kalian menahan para wanitanya dan membuatnya binasa.
Celaka kalian! Keanehan apa yang kalian lakukan? Dosa apa yang kalian
pikul di atas punggung kalian? Darah apa yang telah kalian tumpahkan?
Kemuliaan apa yang telah kalian raih? Anak wanita siapa yang telah
kalian hilangkan kehormatannya? Harta apa yang telah kalian rampas?
Kalian telah membunuh orang-orang terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Telah dicabut rasa kasih sayang dari hati-hati kalian.” (al-Malhuf, hlm. 91, Maqtal al-Husain, Murtadha Iyadh, hlm. 86)
Demikian pula yang diucapkan oleh Zainab bintu Ali radhiallahu ‘anhuma,
“Wahai penduduk Kufah, kaum lelaki kalian membunuh kami, tetapi para
wanita kalian menangisi kami. Yang menjadi hakim antara kami dan kalian
adalah Allah ‘azza wa jalla, pada hari ditetapkannya segala keputusan.” (Ridha bin Nabi al-Qazwini dalam Tazhallumu az-Zahra, hlm. 264)
Kazhim al-Ahsa’i berkata, “Sesungguhnya, pasukan yang keluar untuk memerangi Imam Husain radhiallahu ‘anhu
berjumlah 3.000 orang. Seluruhnya adalah penduduk Kufah. Tidak ada
seorang pun yang berasal dari Syam, Hijaz, India, Pakistan, Sudan,
Mesir, dan Afrika. Bahkan, mereka seluruhnya adalah penduduk Kufah, yang
berkumpul dari berbagai kabilah.” (Asyura, hlm. 89)
Husain bin Ahmad al-Baraqi an-Najafi
mengatakan, “Termasuk yang dicerca dari penduduk Kufah ialah tindakan
mereka menusuk Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma dan membunuh Husain radhiallahu ‘anhuma setelah mereka memanggilnya.” (Tarikh al-Kufah, hlm. 113)
Muhsin al-Amin berkata, “Dua puluh ribu
penduduk Irak yang telah membai’at Husain, menipu dan melakukan
perlawanan terhadapnya. Bai’at berada di pundak mereka, sementara mereka
membunuhnya.” (A’yanu asy-Syiah, 1/26)
Murtadha Muthahhari, salah seorang tokoh
Syiah Rafidhah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa Penduduk Kufah
adalah termasuk Syiah (pengikut) Ali radhiallahu ‘anhu. Yang membunuh Husain radhiallahu ‘anhu adalah Syiah sendiri.” (al-Malhamah al-Husainiyah, 1/129)
Ia berkata pula, “Kami juga mengatakan bahwa terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu di tangan kaum muslimin, tetapi di tangan kaum Syiah setelah 50 tahun kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini membingungkan dan tanda tanya mengherankan yang sangat menarik perhatian.” (al-Malhamah al-Husainiyah, 3/95)

Terbunuhnya Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Abdullah bin Saba’ Bukan Tokoh Fiktif
Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi
dari Shan’a, Yaman, yang berpura-pura masuk Islam dan menampakkan rasa
cinta kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Dialah yang menjadi penyebab utama terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Meskipun ada di antara kaum Syiah yang
berusaha menutupi keberadaan Abdullah bin Saba’ dan mengopinikan bahwa
dia hanyalah seorang tokoh fiktif yang tidak pernah ada, namun riwayat
sejarah—bahkan yang diriwayatkan oleh kaum Syiah sendiri—menetapkan
adanya Abdullah bin Saba’ ini.
Di antara bukti riwayat yang menetapkan
adanya Abdullah bin Saba’ adalah riwayat Syiah dari Abu Ja’far bahwa
Abdullah bin Saba’ mengaku sebagai nabi dan meyakini bahwa Amirul
Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu adalah Allah ‘azza wa jalla. Berita itu sampai kepada Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu
memanggilnya dan bertanya kepadanya. Abdullah bin Saba mengakuinya dan
berkata, “Ya, engkaulah Dia. Telah dibisikkan ke dalam sanubariku bahwa
engkau adalah Allah ‘azza wa jalla, sedangkan aku adalah seorang nabi.”
Amirul Mukminin berkata radhiallahu ‘anhu, “Celaka kamu, sungguh setan telah menguasaimu. Tarik ucapanmu ini dan bertobatlah.”
Dia enggan bertobat sehingga Ali radhiallahu ‘anhu
menahannya selama tiga hari dan menyuruhnya bertobat. Namun, dia enggan
bertobat sehingga beliau membakarnya dengan api dan berkata,
“Sesungguhnya setan menguasainya, datang kepadanya, dan membisikkan hal
itu ke dalam hatinya.”
Diriwayatkan oleh Syiah dari Abu Abdillah bahwa ia berkata, “Semoga Allah ‘azza wa jalla melaknat Abdullah bin Saba. Sesungguhnya dia menganggap diri Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu sebagai Rabb, padahal Amirul Mukminin adalah seorang hamba yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla.
Celaka bagi orang yang dusta atas nama kami. Sesungguhnya ada sebagian
kaum yang berkata tentang kami yang kami sendiri tidak mengucapkan hal
itu tentang diri kami. Kami berlepas diri kepada Allah ‘azza wa jalla dari mereka; kami berlepas diri kepada Allah ‘azza wa jalla dari mereka.” (Ma’rifat Akhbar ar-Rijal, karya al-Kisysyi, hlm. 70—71)
Al-Mamaqani berkata, “Abdullah bin Saba’
kembali kafir dan menampakkan sikap berlebih-lebihan.” Ia juga berkata,
“Dia seorang yang ekstrem, terlaknat, dan dibakar oleh Amirul Mukminin
dengan api. Dia menyangka bahwa Ali radhiallahu ‘anhu adalah ilah, sedangkan dirinya seorang nabi.” (Tanqihul Maqal fi Ma’rifat ar-Rijal, 2/183—184)
Dalam riwayat Syiah dari Ibnu Abil Hadid
berkata, “Orang pertama yang menampakkan sikap ekstrem pada masa
pemerintahannya (yaitu Ali radhiallahu ‘anhu -pen.) adalah Abdullah bin Saba’. Sambil berdiri tatkala Ali radhiallahu ‘anhu sedang berkhutbah, Ibnu Saba berkata, ‘Engkaulah, engkaulah…’ Dia terus mengulangnya.
Ali radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya, ‘Celaka kamu, siapa aku?’
Ibnu Saba’ menjawab, ‘Engkaulah Allah.’
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian memerintahkan untuk menangkapnya, sedangkan sebagian kaum ada yang sejalan dengan pendapatnya .” (Syarah Nahjul Balaghah, 2/234)
Dari Ni’matullah al-Jazairi, Abdulah bin Saba berkata kepada Ali radhiallahu ‘anhu, “Engkaulah ilah yang sebenarnya.”
Ali radhiallahu ‘anhu kemudian
mengucilkannya ke daerah Madain. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah
seorang Yahudi lalu masuk Islam. Di kalangan Yahudi ada yang berkata
tentang Yusya’ bin Nun dan Musa e seperti apa yang dia katakan tentang
Ali radhiallahu ‘anhu. (al-Anwar an-Nu’maniyah, 2/234)
Adapun dari kalangan Ahlus Sunnah,
seluruh ulama sunnah menetapkan adanya Abdullah bin Saba’ sebagai salah
satu tokoh fitnah dalam sejarah Islam. Di antara yang menetapkan adanya
Ibnu Saba’ adalah Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhnya, Ibnu Abdi Rabbihi dalam al-‘Aqdul Farid, Ibnu Hibban dalam al-Majruhin, al-Baghdadi dalam al-Farqu Bainal Firaq, Ibnu Hazm al-Andalusi dalam al-Fashl fil Milal, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, as-Sam’ani dalam al-Ansab, dan yang lainnya.
Abdullah bin Saba’, Pencetus Pemikiran Rafidhah
Telah masyhur bahwa Abdullah bin Saba’
adalah orang yang mencetuskan pemikiran Rafidhah, dan asal pemikiran
Rafidhah ialah dari Yahudi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama telah menyebutkan bahwa asal mula pemikiran Rafidhah berasal dari seorang zindiq (Abdullah
bin Saba’). Dia menampakkan diri sebagai muslim dan menyembunyikan
pemikiran Yahudinya. Dia berkeinginan untuk merusak Islam seperti yang
telah dilakukan oleh Paulus Si Nasrani yang sebelumnya adalah seorang
Yahudi untuk merusak agama Nasrani.” (Majmu’ al-Fatawa, 28/483)
Beliau juga berkata, “Asal pemikiran Rafidhah dari kaum munafik zindiq yang dimunculkan oleh Ibnu Saba’ az-Zindiq. Dia menampakkan sikap ekstrem terhadap Ali radhiallahu ‘anhu dengan alasan bahwa beliaulah yang berhak menjadi imam dan telah disebutkan nash tentang hal tersebut. Bahkan, ia menganggap Ali radhiallahu ‘anhu
sebagai orang yang maksum. Karena asal mula pemikiran ini dari
kemunafikan, sebagian salaf berkata, ‘Mencintai Abu Bakr dan Umar
merupakan iman, sedangkan membenci keduanya merupakan kemunafikan. Cinta
Bani Hasyim merupakan keimanan, sedangkan membenci mereka adalah
kemunafikan’.” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Demikian pula yang diterangkan oleh Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah, “Sesungguhnya asal Rafidhah dimunculkan oleh munafik zindiq yang bertujuan membatalkan agama Islam dan mencerca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
sebagaimana yang telah diterangkan oleh para ulama. Tatkala Abdullah
bin Saba’ menampakkan keislaman, dia ingin merusak agama Islam dengan
makar dan kejahatannya, sebagaimana halnya Paulus yang berpura-pura
sebagai ahli ibadah dalam agama Nasrani. Dia menyebabkan munculnya
fitnah terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu dan terbunuhnya beliau.” (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 578)
Keterlibatan Abdullah bin Saba dalam Peristiwa Terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu
Abdullah bin Saba’ berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Dia mengelilingi berbagai negeri untuk menyesatkan umat. Dimulai dari Hijaz, Kufah, lalu ke Syam.
Akan tetapi, dia tidak mendapatkan hasil
yang memuaskan. Dia pun menuju Mesir dan menanamkan beberapa keyakinan
Saba’iyah kepada penduduk Mesir.
Di antaranya adalah keyakinan alwashiyah. Ia berkata, “Sesungguhnya, dahulu ada seribu nabi dan setiap nabi memiliki washi (yang diserahi wasiat). Ali radhiallahu ‘anhu adalah penerima wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia berkata bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, sedangkan Ali radhiallahu ‘anhu adalah penutup para penerima wasiat. Siapakah yang paling zalim dari orang yang tidak menjalankan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melangkahi Ali radhiallahu ‘anhu yang diangkat sebagai penerima wasiat, dan mengambil alih kekuasaan?
Selanjutnya dia berkata, “Sesungguhnya Utsman radhiallahu ‘anhu telah mengambil kekuasaan tanpa hak, sementara Ali radhiallahu ‘anhu
adalah penerima wasiat Nabi. Bangkitlah kalian, lakukanlah gerakan, dan
mulailah celaan terhadap penguasa kalian. Tampakkan diri sebagai orang
yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar agar kalian dapat menarik hati
manusia. Ajaklah mereka melakukan hal ini.”
Akhirnya, dia berhasil menyebarkan
berita ini di tengah-tengah umat Islam. Sekelompok orang yang berasal
dari Basrah, Kufah, dan Mesir terhasut. Mereka berangkat menuju Madinah
pada 35 H, seolah-olah pergi untuk menunaikan ibadah haji. Mereka
merahasiakan tujuan sebenarny untuk memberontak terhadap Utsman radhiallahu ‘anhu.
Jumlah mereka diperselisihkan. Ada yang mengatakan 2.000 orang dari
Basrah, 2.000 orang dari Kufah, dan 2.000 orang dari Mesir. Adapula yang
mengatakan bahwa seluruhnya berjumlah 2.000 orang.
Mereka memasuki Madinah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengepung rumah Utsman radhiallahu ‘anhu pada akhir Dzulqa’dah dan memerintahkan agar Utsman radhiallahu ‘anhu
lengser dari jabatan khalifah. Pengepungan tersebut dimulai dari akhir
Dzulqa’dah hingga hari Jum’at 18 Dzulhijjah yang merupakan hari
terbunuhnya Utsman.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa pengepungan itu berlangsung selama empat puluh hari, sementara Utsman radhiallahu ‘anhu
hanya berada di rumahnya, bahkan dilarang untuk mengambil air.
Sementara itu, yang memimpin shalat jamaah adalah seseorang yang
terlibat dalam fitnah.
Ubaidullah bin Adi bin al-Khiyar kemudian mendatangi Utsman radhiallahu ‘anhu dan bertanya, “Yang memimpin shalat kami adalah seorang imam fitnah. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Utsman radhiallahu ‘anhu
menjawab, “Shalat adalah amalan terbaik yang diamalkan oleh manusia.
Jika manusia berbuat baik, berbuat baiklah bersama mereka. Jika mereka
berbuat keburukan, jauhilah kejelekan mereka.”
Sebagian sahabat g mengutarakan keinginan mereka kepada Utsman radhiallahu ‘anhu
untuk membela beliau. Di antara mereka adalah Abu Hurairah, al-Hasan
bin Ali, al-Husain bin Ali, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan
Abdullah bin Zubair, g.
Namun, Utsman radhiallahu ‘anhu
memerintah mereka agar tidak melakukan perlawanan yang dapat
menyebabkan terjadinya pertumpahan darah. Sebab lainnya, beliau bermimpi
yang menunjukkan telah dekatnya ajal beliau. Beliau radhiallahu ‘anhu berserah diri menerima keputusan Allah ‘azza wa jalla.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu mendatangi Utsman radhiallahu ‘anhu dan berkata, “Para penolongmu telah ada di dekat pintu ini. Mereka berkata, ‘Jika engkau mau, kami akan menjadi ansharullah sebagaimana kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami akan melakukan perlawanan bersamamu’.”
Utsman radhiallahu ‘anhu menjawab, “Jika (yang dimaksud -pen.) peperangan, tidak.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mendatangi Utsman radhiallahu ‘anhu. Lalu Utsman radhiallahu ‘anhu
berkata, “Wahai Ibnu Umar, perhatikanlah apa yang mereka ucapkan.
Mereka berkata, ‘Tinggalkan kekuasaan itu dan jangan engkau membunuh
dirimu’.”
Ibnu Umar berkata, “Jika engkau melepaskannya, apakah engkau akan dikekalkan hidup di dunia?”
Utsman menjawab, “Tidak.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Aku sarankan agar engkau tidak melepaskan sebuah pakaian yang telah Allah ‘azza wa jalla
pakaikan kepadamu sehingga nantinya akan menjadi contoh. Setiap kali
ada kaum yang membenci khalifah atau imamnya, mereka segera mencopot
penguasanya dari jabatannya.”
Setelah sekian lama mengepung rumah Utsman radhiallahu ‘anhu, mereka masuk dan membunuh Utsman radhiallahu ‘anhu dalam keadaan beliau meletakkan mushaf di hadapannya. Tetesan darah Utsman radhiallahu ‘anhu tepat mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
“Jika mereka beriman kepada apa yang
kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk;
dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan .
Maka dari itu, Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 137)
Mereka yang diketahui sebagai tokoh pergerakan yang menyebabkan terbunuhnya Utsman radhiallahu ‘anhu
adalah Ruman al-Yamani, Kinanah bin Bisyr, Sudan bin Hamran, dan Malik
bin al-Asytar an-Nakha’i. Adapun yang terlibat langsung dalam pembunuhan
Utsman radhiallahu ‘anhu adalah seseorang yang berasal dari Mesir yang bernama Jabalah.
Demikianlah akhir dari makar dan tipu daya Yahudi ini: terbunuhnya Utsman radhiallahu ‘anhu,
khalifah rasyid yang ketiga, dengan cara yang zalim melalui tangan
seorang Yahudi. Pembuat makar yang masuk Islam dalam rangka melakukan
tipu daya terhadap kaum muslimin dan menghancurkan persatuan mereka. (Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, 10/ 277—344)

Syiah Menghalalkan Darah Ahlussunnah
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari
Sejarah Kaum Syiah Rafidhah tidak
terlepas dari perbuatan mereka yang menumpahkan darah kaum muslimin
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mulai dari zaman Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu hingga berita yang mereka riwayatkan tentang perbuatan Imam Mahdi mereka saat menampakkan diri ke permukaan bumi.
Sikap kaum Syiah yang menghalalkan darah kaum muslimin disebabkan dasar keyakinan Syiah terhadap Ahlus Sunnah bahwa:
- Ahlus Sunnah kafir
Mereka menganggap bahwa yang muslim hanyalah kaum Syiah Rafidhah, sedangkan yang lain dianggap kafir.
Dalam salah satu referensi Syiah, diriwayatkan oleh al-Barqi bahwa Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak seorang pun yang berada di atas millah Ibrahim q kecuali kami dan Syiah kami, sedangkan manusia lainnya berlepas diri dari millah tersebut.” (al-Mahasin, 147)
Mereka meriwayatkan bahwa Ali bin Husain radhiallahu ‘anhuma
berkata, “Tidak satu pun yang berada di atas fitrah Islam selain kami
dan Syiah kami, sedangkan manusia lainnya berlepas diri darinya.” (al-Mufid, al-Ikhtishah, hlm. 107)
- Ahlus Sunnah najis
Mereka juga menganggap bahwa Ahlus Sunnah itu najis sehingga harus dilenyapkan karena status mereka sebagai najis.
Ni’matullah al-Jazairi berkata tentang hukum Nawashib (yang
dimaksud oleh mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah), “Mereka adalah
orang kafir yang najis berdasarkan kesepakatan ulama Syiah imamiyah,
lebih jahat dari Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya di antara tanda
seorang nashibi adalah mendahulukan selain Ali radhiallahu ‘anhu dalam hal kepemimpinan.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, hlm. 206—207)
Karena menganggap Ahlus Sunnah kafir,
mereka pun menghalalkan darah Ahlus Sunnah. Mereka meriwayatkan dari
Dawud bin Farqad, ia berkata kepada Abu Abdillah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang membunuh seorang Nashibi?”
Ia menjawab, “Halal darahnya, namun aku
mengkhawatirkan dirimu. Jika engkau mampu merobohkan dinding hingga
menimpanya atau menenggelamkannya ke dalam air agar tidak seorang pun
menjadi saksi atas perbuatanmu, lakukanlah!”
Lalu Dawud bertanya, “Apa pendapatmu tentang hartanya?”
Ia menjawab, “Habiskan semampumu.” (Diriwayatkan oleh al-Hur al-Amili dalam Wasail asy-Syiah, 18/463; dalam Biharul Anwar, 27/231)
- Ahlus Sunnah itu anak zina
Hal ini sebagaimana anggapan mereka bahwa siapa saja selain kaum Syiah dianggap sebagai anak zina.
Al-Kulaini meriwayatkan, “Seluruh manusia adalah anak zina (atau berkata, ‘anak-anak pelacur’) kecuali Syiah kami.” (Raudhatul Kafi, 8/135)
Berdasarkan hal ini, mereka menghalalkan
ditumpahkannya darah Ahlus Sunnah dan harta mereka, yang dianggap
sebagai harta rampasan perang.
Khomeini berkata tentang harta Ahlus
Sunnah, “Jika engkau mampu mengambil hartanya, ambillah dan kirimkan
kepada kami seperlimanya.” (Lillahi Tsumma Li at-Tarikh, hlm. 89)
Bahkan, mereka memvonis Ahlus Sunnah adalah penghuni neraka.
Diriwayatkan oleh ash-Shaduq dalam Tsawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal,
dari ash-Shadiq berkata, “Seorang nashibi yang membenci kami—ahlul
bait—, tidak peduli apakah dia berpuasa atau shalat, berzina atau
mencuri; sesungguhnya ia dalam neraka; sesungguhnya dia dalam neraka.” (Tsawabul A’mal, 215. Riwayat ini disebutkan oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar, 27/235)
Diriwayatkan dari Aban bin Taghlib, Abu
Abdillah berkata, “Setiap nashibi, meskipun beribadah dan
bersungguh-sungguh, pada akhirnya akan terjatuh ke dalam ayat ini,
“Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas.” (al-Ghasyiyah: 3—4) (Tsawabul A’mal, hlm. 247)
Keyakinan rusak Syiah inilah yang
menyebabkan mereka memenuhi lembaran sejarah dengan menumpahkan darah
kaum muslimin yang tidak sejalan dengan kesesatan dan penyimpangan
mereka. Dimulai dari awal munculnya pencetus pemikiran Rafidhah,
Abdullah bin Saba’ al-Yahudi, hingga munculnya Imam Mahdi versi kaum
Syiah.

Rapor Merah Akidah Syiah
Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.
“Kaum Syiah berambisi menjatuhkan (harga diri) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka mencela para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesankan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang jahat. …”
Sejak dahulu, kelompok sesat Syiah
sangat agresif melakukan makar terselubung terhadap Islam dan umat
Islam. Ambisi mereka untuk merobohkan pilar-pilar Islam pun sangat
besar.
Kitab Suci al-Qur’an mereka klaim telah mengalami banyak perubahan bahkan pemalsuan.[1] Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummahatul Mukminin (ibunda kaum mukminin) yang suci, mereka tuduh berbuat zina.[2] Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mereka vonis kafir.[3]
Sungguh, ini adalah penyimpangan besar dalam kehidupan beragama kaum Syiah, terutama dalam hal akidah.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Kaum Syiah berambisi menjatuhkan (harga diri) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka mencela para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesankan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang jahat. Sebab, jika beliau orang baik-baik, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang yang baik pula.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 580)
Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata, “Jika engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa ia zindiq (seorang yang menyembunyikan kekafiran). Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kita adalah haq dan al-Qur’an adalah haq. Yang menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah (kepada kita) adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka mencela para saksi kita (para sahabat) demi mengenyahkan
al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka lebih pantas untuk dicela. Mereka adalah
orang-orang yang menyembunyikan kekafiran.” (al-Kifayah, al-Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)
Akidah Syiah penuh dengan “catatan merah”. Beberapa poin akidah mereka pernah dimuat dalam edisi Asy-Syari’ah yang telah lalu.[4]
Di antara akidah Syiah yang menarik
untuk dikaji dan dicermati lebih saksama adalah sikap mereka yang
sebenarnya terhadap umat Islam (Sunni) yang kerap mereka sebut dengan
Nashibi.[5]
Hal ini sering luput dari pembahasan atau sengaja dikaburkan, bahkan
dikubur, oleh pihak yang getol mengampanyekan persatuan antara Sunni dan
Syiah.
Sebagai pendahuluan tentang potret nyata
kehidupan kaum Syiah, marilah menyimak persaksian salah seorang
(mantan) tokoh besar Syiah, Sayyid Husain al-Musawi berikut ini.
“Masih segar dalam ingatanku, ayahku
pernah berjumpa dengan orang asing di salah satu pasar Kota Najef, Irak.
Ayahku menyukai kebaikan, sehingga diajaklah orang tersebut ke rumah
kami sebagai tamu keluarga malam itu. Kami pun memuliakannya.
Selepas isya, kami duduk begadang menjamunya. Ketika itu, aku seorang pemuda yang baru mengawali belajar di al-Hauzah (pusat
pendidikan ilmu agama kaum Syiah). Dari perbincangannya bersama kami,
nyatalah bahwa dia seorang Sunni (sebutan untuk selain Syiah) dari Kota
Samira yang datang ke Najef karena sebuah keperluan.
Malam itu, dia bermalam di rumah kami.
Ketika datang waktu pagi, kami menyajikan makan pagi untuknya dan dia
menyantapnya. Seusai makan pagi, dia berpamitan kepada kami. Ayahku
menghadiahinya sejumlah uang untuk tambahan bekal dalam perjalanannya.
Orang itu sangat berterima kasih atas penghormatan yang kami berikan
kepadanya.
Selepas kepergiannya, ayahku
memerintahkan agar kasur yang digunakan tidur oleh tamu tersebut dibakar
dan peralatan makan yang digunakannya dicuci sebersih-bersihnya.” (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 66)
Mengapa sang ayah memerintahnya demikian?
Sayyid Husain al-Musawi menjelaskan,
“Sebab, menurut akidah beliau, Sunni itu najis. Ini adalah akidah orang
Syiah secara keseluruhan. Semua ahli fikih kami menyejajarkan Sunni
dengan orang kafir, orang musyrik, babi, dan menggolongkannya sebagai
jenis benda najis.” (Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 66)
SYIAH MENGAFIRKAN DAN MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM (SUNNI)
Mengafirkan umat Islam (Sunni) dan menghalalkan darah mereka termasuk prinsip dalam agama Syiah.
Penulis Awailul Maqalat berkata,
“Aku katakan bahwa kekafiran Nashibi (baca: Sunni) sungguh termasuk hal
prinsip dalam mazhab Syiah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
al-Mufid dalam kitab al-Muqni’ah dan lainnya. Tidak ada seorang faqih (ahli fikih) pun yang menyelisihi hal ini.” (Awailul Maqalat, hlm. 285)[6]
Dalam kitab al-Hadaiq an-Nadhirah (10/42), disebutkan, “Tidak ada perselisihan di kalangan kawan-kawan kami ridhwanullah ‘alaihim tentang vonis kafir terhadap Nashibi (baca: Sunni), najis, halal darah dan hartanya, dan sama dengan kafir harbi.”[7]
Al-Khau’i, salah seorang rujukan mereka, menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara orang murtad, kafir harbi, kafir dzimmi, dan Nashibi (baca: Sunni). (Minhajus Shalihin 1/116)[8]
Para pembaca yang mulia, prinsip di atas
bukanlah hasil kajian dari para tokoh Syiah semata. Akan tetapi, itulah
akidah mereka yang dibangun di atas riwayat-riwayat para imam Syiah
yang sangat banyak. Hal ini disebutkan oleh al-Jawahiri dalam kitabnya Jawahirul Kalam (41/436) dalam bab “Halalnya Darah Nashibi (baca: Sunni)”.
Di antaranya adalah riwayat dari Dawud bin Farqad, ia berkata, “Aku katakan kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) ‘alaihissalam, ‘Apa pendapatmu tentang membunuh Nashibi (baca: Sunni)?’
Beliau menjawab, ‘Halal darahnya, namun
aku mengkhawatirkan dirimu. Jika kamu berkesempatan merobohkan dinding
hingga menimpanya atau menenggelamkannya ke dalam air, lakukanlah! Semua
itu agar tidak ada bukti kuat bahwa kamu membunuhnya.’
Aku pun berkata, ‘Bagaimana dengan hartanya?’
Beliau menjawab, ‘Silakan ambil, selama kamu mampu’.”
Dalam kitab mereka Tahdzibul Ahkam (10/213),
disebutkan kisah orang yang mengingkari Abu Bujair—seorang Syiah—karena
telah membunuh tujuh orang Sunni. Akhirnya keduanya berhukum kepada Abu
Abdillah, imam mereka.
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Bagaimana caramu membunuh mereka, hai Abu Bujair?”
Dia berkata, “Di antara mereka ada yang
aku panjat loteng rumahnya dengan menggunakan tangga, kemudian aku
membunuhnya. Sebagian ada yang berpapasan denganku di sebuah jalan,
lantas aku membunuhnya. Sebagian lagi ada yang aku masuki rumahnya
kemudian aku membunuhnya. Semua itu aku lakukan secara senyap, tak ada
orang yang mengetahui jejakku.”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata,
“Hai Abu Bujair, wajib bagimu (membayar denda). Untuk setiap orang yang
kamu bunuh, (dendanya) satu ekor kambing dan disembelih di Kota Mina,
karena kamu melakukannya tanpa izin dari imam (Syiah). Sekiranya kamu
membunuh mereka dengan seizin imam, niscaya kamu tidak dikenai denda
sama sekali.”
Ni’matullah al-Jazairi—salah seorang
ulama mereka—berkomentar tentang riwayat di atas, “Lihatlah denda yang
sangat ringan tersebut. Sebuah denda yang lebih rendah daripada denda
membunuh ‘adik laki-laki mereka’, yaitu anjing buruan, 25 dirham. Tidak
pula menyamai denda membunuh ‘kakak laki-laki mereka’, yaitu Yahudi atau
Majusi, 800 dirham. Sungguh, keadaan mereka (Sunni) di dunia ini lebih
hina dan rendah.” (al-Anwar an- Nu’maniyyah 2/308)[9]
Betapa murahnya nyawa seorang Sunni di
mata kaum Syiah. Dia lebih rendah daripada Yahudi atau Majusi, bahkan
lebih rendah daripada seekor anjing buruan.
Demikianlah kaum Syiah. Makar
terselubung terus mereka lakukan. Dengan semangat gerilya yang tinggi
mereka tebarkan racun-racun akidah di tengah umat. Tampilan bersahaja
dan bersahabat, mereka tonjolkan untuk menipu umat. Manakala ada peluang
untuk menghabisi Sunni, secepat kilat akan mereka lakukan. Runtuhnya
Daulah Abbasiyah di tangan Tartar, hancurnya Kota Baghdad, dan
melayangnya jutaan nyawa umat Islam, termasuk sang khalifah kala itu,
merupakan salah satu bukti sejarah atas kejahatan dan kesadisan kaum
Syiah.[10]
Wallahul Musta’an.
MENGHALALKAN HARTA UMAT ISLAM
Tak hanya vonis kafir dan halalnya darah
yang dijatuhkan oleh kaum Syiah terhadap umat Islam. Harta mereka pun
halal diambil dan dimiliki.
Dalam beberapa kitab Syiah[11], diriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihissalam, dia berkata, “Ambillah harta seorang Nashibi (baca: Sunni) di mana saja kamu mendapatinya dan serahkan kepada kami al-khumus (seperlima).”
Dalam kitab Syiah Bihar al-Anwar (93/194—195), disebutkan[12]
bahwa Alba’ al-Asadi, seorang Syiah, menjadi pegawai di pemerintahan
Bani Umayyah. Dia mendapati uang sebesar tujuh ratus ribu dinar, hewan
tunggangan, dan budak (milik pemerintah). Lantas dia membawanya ke
hadapan Abu Abdillah ‘alaihissalam dan menyerahkan semua harta
itu kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya aku dipercaya oleh Bani
Umayyah untuk memegang wilayah Bahrain. Aku berkesempatan mengambil
kekayaannya sekian dan sekian, yang sekarang ini kubawa semuanya ke
hadapan Anda. Aku meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikan harta itu untuk mereka, dan sungguh, semua itu untuk Anda.”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Bawalah harta itu kemari!”
Harta itu diletakkan di hadapan Abu Abdillah ‘alaihissalam. Dia
berkata, “Kami telah menerima harta ini darimu dan sekarang kami
memberikannya kepadamu. Kami menghalalkannya untukmu dan kami menjaminmu
di hadapan Allah ‘azza wa jalla masuk surga.”
HUKUM MENIKAHI UMAT ISLAM
Diriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad
al-Baqir), disebutkan kepadanya tentang orang-orang Nashibi (baca:
Sunni), dia lalu berkata, “Jangan kamu menikahi mereka, jangan memakan
sembelihan mereka, jangan pula tinggal bersama mereka.”[13]
Salah seorang Syiah bertanya kepada Abu
Ja’far tentang wanita Syiah Imamiyyah, apakah boleh dinikahi oleh
seorang Nashibi (baca: Sunni)?
Dia menjawab, “Tidak boleh, karena Nashibi (baca: Sunni) itu kafir.”[14]
HUKUM SHALAT DI BELAKANG UMAT ISLAM
Ath-Thusi—salah seorang tokoh mereka—berkata dalam ringkasan fikihnya[15], “Jangan shalat di belakang orang Nashibi (baca: Sunni) dan orang yang mencintai Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib – pen.) namun tidak berlepas diri dari musuh beliau kecuali dalam keadaan bertaqiyah.”
Muhammad al-Baqir ditanya tentang shalat
di belakang selain Syiah. Dia menjawab, “Tidaklah mereka di sisiku
kecuali seperti dinding.”[16]
Para pembaca yang mulia, dalam akidah
Syiah tidak diperbolehkan shalat di belakang selain Syiah kecuali
terpaksa sebagai bentuk taqiyah (berpura-pura). Itu pun dengan
menganggap si imam tak ubahnya seperti dinding. Wallahul Musta’an.
HUKUM MENYALATI UMAT ISLAM
Bisa jadi, di antara pembaca ada yang
pernah melihat seorang Syiah turut menyalati jenazah seorang muslim
(Sunni). Tentu, kesan yang ditangkap adalah masya Allah, alias
bagus. Namun, perlu pembaca ketahui bahwa dia tidak melakukannya kecuali
karena bertaqiyah (berpura-pura). Yang lebih mencengangkan, ternyata
doa yang dibaca dalam shalat jenazah itu adalah doa kebinasaan untuk si
mayit.
Al-Mufid dalam kitab al-Muqni’ah (hlm.
229—230) berkata, “Jika si mayit seorang Nashibi (baca: Sunni),
shalatkanlah sebagai bentuk taqiyah (berpura-pura). Kemudian ucapkanlah
setelah takbir keempat, ‘Ya Allah, hamba-Mu putra hamba-Mu ini, tidaklah
kami mengetahuinya kecuali kejelekan. Hinakanlah dia di kalangan para
hamba-Mu dan di negeri-negeri-Mu, masukkanlah dia ke dalam neraka-Mu
yang paling dahsyat. Ya Allah, sesungguhnya dia mencintai para musuh-Mu,
memerangi para wali-Mu, dan membenci keluarga Nabi-Mu. Penuhilah
kuburnya dengan api; dari arah depan, kanan, dan kirinya. Kuasakanlah
ular dan kalajengking untuk membinasakannya di kuburnya’.”
Dalam riwayat lain, “Ya Allah,
sesungguhnya si fulan ini, tidaklah kami mengetahuinya kecuali sebagai
musuh-Mu dan musuh Rasul-Mu. Ya Allah, penuhilah kuburnya dengan api,
penuhi pula perutnya dengan api, dan segerakanlah dia masuk ke dalam
neraka, karena dia mencintai para musuh-Mu, memerangi para wali-Mu, dan
membenci keluarga Nabi-Mu. Ya Allah, sempitkanlah kuburnya.”
Ketika jenazahnya diangkat, ucapkanlah, “Ya Allah, jangan Engkau angkat derajatnya dan jangan pula Engkau sucikan dia.”[17]
VONIS NAJIS TERHADAP UMAT ISLAM
Sayyid Husain al-Musawi sebagaimana
disebutkan dalam pendahuluan di atas menjelaskan bahwa semua ahli fikih
Syiah menyejajarkan Sunni dengan orang kafir, orang musyrik, babi, dan
menggolongkannya sebagai jenis benda najis.
Sayyid Ni’matullah al-Jazairi berkata,
“Sesungguhnya mereka—Ahlus Sunnah— adalah orang kafir dan najis, menurut
kesepakatan ulama Syiah Imamiyah. Sesungguhnya mereka lebih jelek
daripada Yahudi dan Nasrani. Di antara ciri-ciri Nashibi (baca: Sunni)
adalah mendahulukan selain Ali bin Abi Thalib dalam hal imamah (khilafah).” (al-Anwar an-Nu’maniyyah 2/206—207; dinukil dari Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 71)
Satu hal yang sangat mencengangkan
adalah keyakinan mereka bahwa seorang Sunni itu lebih najis dari makhluk
yang paling najis sekalipun.
Dalam kitab Bihar al-Anwar (73/72), disebutkan bahwa Allah ‘azza wa jalla
belum pernah menciptakan makhluk yang lebih najis daripada anjing.
Adapun seorang Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami, ahlul bait,
lebih najis darinya.
Bejana seorang Sunni hukumnya najis,
tanpa diragukan. Yang lebih berhati-hati dalam membersihkannya adalah
dengan debu dan air, sebagaimana yang dilakukan terhadap bejana yang
terkena jilatan anjing.
Sayyid Musthafa al-Khomaeni dalam kitab Tahrir al-‘Urwah al-Wutsqa (1/89)
berkata, “Bahkan, tidak diragukan lagi tentang najisnya seorang Nashibi
(baca: Sunni)… dan yang lebih berhati-hati adalah membersihkan bejana
Nashibi (baca: Sunni) dengan debu dan air sebagaimana yang dilakukan
terhadap bejana yang terkena jilatan anjing.”
Diriwayatkan dari Abu Abdillah
bahwasanya dia membenci bekas minum anak zina, Yahudi, Nasrani, musyrik,
dan semua yang menyelisihi Islam. Yang paling dia benci adalah bekas
minum seorang Nashibi (baca: Sunni).[18]
Bagaimanakah berjabat tangan dengan seorang Sunni?
Dalam akidah mereka, seusai berjabat tangan dengan seorang kafir dzimmi, cukup diusapkan ke tanah atau dinding. Namun, seusai berjabat tangan dengan seorang Sunni, harus dicuci dengan air. Wallahul Musta’an
Dalam kitab al-Kafi (2/650), disebutkan bahwa seseorang berkata kepada Abu Abdillah ‘alaihissalam, “Aku bertemu dengan seorang kafir dzimmi lalu dia mengajakku berjabat tangan.”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Usapkanlah tanganmu itu ke tanah atau dinding.”
Orang itu pun berkata, “Bagaimanakah (usai berjabat tangan) dengan seorang Nashibi (baca: Sunni)?”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Cucilah tanganmu!”[19]
VONIS KEKAL DI NEREKA
Dalam kitab Bihar al-Anwar (27/234), disebutkan bahwa Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata,
“Sekiranya semua malaikat yang diciptakan oleh Allah, semua nabi yang
diutus oleh Allah, dan semua syahid memberikan syafaat kepada seorang
Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami, ahlul bait—maksudnya adalah
Syiah—agar Allah mengeluarkannya dari neraka; Allah tidak akan
mengeluarkannya dari neraka selama-lamanya. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman dalam Kitab-Nya, ‘Mereka berada di dalamnya untuk selama-lamanya’.”
Dalam kitab yang sama disebutkan bahwa
Ja’far ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya seorang Nashibi (baca: Sunni)
yang menyelisihi kami ahlul bait—maksudnya adalah Syiah—tidak perlu
dihiraukan, entah dia berpuasa atau shalat, berzina atau mencuri; karena
sesungguhnya dia di neraka! Sesungguhnya dia di neraka!”[20]
Dari pemaparan di atas dapatlah diambil
kesimpulan bahwa umat Islam (Sunni) di mata kaum Syiah adalah kafir,
halal darah dan hartanya, tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya
kecuali jika bertaqiyah (berpura-pura), tidak boleh menyalati jenazahnya
kecuali ketika bertaqiyah (berpura-pura) dan mendoakan kebinasaan
atasnya, najis bahkan lebih najis dari anjing, dan kekal di dalam neraka
selama-lamanya. Wallahul Musta’an.
Perlu diketahui, kesimpulan di atas
bukanlah kesimpulan di atas kertas semata, melainkan sebuah prinsip
keyakinan (akidah) yang terhunjam dalam sanubari setiap penganut Syiah,
yang akan direalisasikan dalam bentuk nyata manakala ada peluang dan
kesempatan.
Marilah kita simak bersama persaksian Sayyid Husain al-Musawi berikut ini.
“Ketika pemerintahan Pahlevi di Iran
tumbang pascarevolusi Islam (baca: Syiah) dan Imam Khomaeni dikukuhkan
sebagai pemimpin bangsa, menjadi kewajiban bagi ulama Syiah untuk
berkunjung dan memberi ucapan selamat kepadanya atas kemenangan yang
agung ini; yaitu berdirinya Negara Syiah pertama di era modern ini yang
dipimpin oleh para fuqaha (ahli fikih). Kewajiban ini secara lebih khusus tertuju kepada diriku, karena hubunganku yang sangat dekat dengan Imam Khomaeni.
Berangkatlah aku ke Iran satu setengah
bulan atau lebih setelah kedatangannya di Teheran, sepulang beliau dari
tempat pengasingannya di Paris, Perancis. Beliau benar-benar menyambut
hangat kunjunganku itu. Kebetulan, kunjungan kali ini tidak bersama para
ulama Syiah Irak lainnya. Dalam pertemuan khusus itu, beliau berkata
kepadaku, “Sayyid Husain, tibalah saatnya menerapkan wasiat para imam shalawatullah ‘alaihim.
Kita akan tumpahkan darah orang-orang Nashibi (baca: Sunni). Kita akan
membunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Takkan kita biarkan seorang pun dari mereka lolos dari
penyiksaan. Harta mereka akan menjadi hak milik para pembela Ahlul
Bait.
Kita akan enyahkan Makkah dan Madinah
dari muka bumi ini karena telah menjadi markas Wahabi. Sudah seharusnya
Kota Karbala menjadi bumi Allah yang diberkahi lagi suci, kiblat manusia
dalam shalat. Dengan demikian, kita akan wujudkan impian para imam ‘alaihissalam.
Sungguh, telah berdiri sebuah negara
yang sejak sekian tahun lamanya kita perjuangkan. Tidaklah tersisa bagi
kita selain mewujudkan itu semua!!” (Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 73)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang agama Syiah, kesesatan, kejahatan, dan bahayanya terhadap umat Islam.
Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.
Amin….
[1] Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi umat Islam) karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini 2/634.
Dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu (ada) 17.000 ayat.”
Pada 1/239—240 disebutkan dari Abu Abdillah, dia berkata, “Sesungguhnya di sisi kami ada Mushaf Fatimah ‘alaihassalam, mereka tidak tahu apa Mushaf Fatimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa Mushaf Fatimah itu?’
Dia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf yang
isinya 3 kali lipat dari yang ada di Mushaf kalian. Demi Allah, tidak
ada padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian’.” (Dinukil dari kitab asy-Syiah wal Qur’an karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 31—32)
Bahkan, salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab mengumpulkan berbagai riwayat dari para imam mereka yang diyakini ma’shum (terjaga dari dosa), bahwa al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam itu telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
[2] Dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal karya ath-Thusi, hlm. 57—60, menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
terhadap Ummul Mukminin Aisyah, “Kamu tidak lain adalah seorang pelacur
dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, hlm. 11)
[3] Dalam kitab mereka Rijalul Kisysyi, hlm. 12—13 dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir), dia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan murtad kecuali tiga orang.”
Aku (perawi) berkata, “Siapa tiga orang itu?”
Dia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi….”
Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu
tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala
Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua
putri mereka (yang dimaksud adalah Ummul Mukminin Aisyah dan Hafshah)….”
(Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib, hlm. 18)
[4] Di antaranya pada Majalah Asy-Syari’ah edisi 05, 18, dan 92.
[5] Dalam literatur Islam, sebutan Nashibi digunakan untuk seseorang yang membenci dan memusuhi ahlul bait (keluarga/keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beriman).
Berbeda halnya dalam literatur Syiah, sebutan Nashibi digunakan
untuk semua orang yang menyelisihi Syiah dan mengingkari sistem
keimamahan yang ada pada mereka. Demikianlah yang ditegaskan oleh
al-Bahrani, seorang tokoh Syiah yang bergelar “al-Muhaqqiq” dalam
kitabnya al-Hadaiq an-Nadhirah 14/159.
Bahkan, sekadar mendahulukan Abu Bakr
ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab atas Ali bin Abi Thalib dalam hal
kekhilafahan, sudah masuk dalam kategori Nashibi, sebagaimana dalam kitab Wasail as-Syiah (Alu al-Bait) karya al-Hur al-‘Amili 9/490—491. Tatkala seseorang divonis Nashibi, berarti dia telah kafir, musyrik, najis, serta halal harta dan darahnya.
[6] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 133.
[7] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 133.
[8] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 134.
[9] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 136.
[10] Anda bisa membaca Kajian Utama edisi ini. Untuk lebih rinci, silakan baca al-Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir (13/200—211), Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam karya al-Imam adz-Dzahabi (48/33—40), dan Tarikhul Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi (hlm. 325—335).
[11] Wasail asy-Syiah 9/487, al-Hadaiq an-Nadhirah 10/361, Tahdzib al-Ahkam 4/121, dan Bihar al-Anwar 93/191. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 137.
[12] al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 138.
[13] al-Istibshar 3/184, Tahdzib al-Ahkam 7/303, dan Wasail asy-Syiah 20/554. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 138.
[14] Tahdzib al-Ahkam 7/303
[15] an-Nihayah, hlm. 112.
[16] Jawahir al-Kalam 13/196.
[17] al-Kafi 3/189, Bihar al-Anwar 44/202, Wasail asy-Syiah 3/70, dan Tahdzib al-Ahkam 3/197. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 141.
[18] al-Kafi 3/11, dan Wasail asy-Syiah 1/229. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 143.
[19] Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 143.
[20] Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 144.
Posting Komentar