
Al-Matin
Al-Matin adalah salah satu nama Allah al-Husna. Nama ini disebutkan di salah satu ayat pada surat adz-Dzariyat.
إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (adz-Dzariyat: 58)
Al-Matin dalam bahasa bermakna syiddah wal quwwah (kekuatan yang sangat dahsyat). Disebutkan oleh Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagaimana dalam riwayat ath-Thabari dalam tafsirnya bahwa al-Matin bermakna asy-Syadid, yakni Yang Sangat Kuat.
Al-Azhari dalam kitabnya, Tahdzibul Lughah, ketika menafsirkan firman Allah di atas, Dzul Quwwah bermakna Yang Memiliki Kemampuan yang Sangat Kuat. Al-Matin yang merupakan sifat Allah bermakna al-Qawi (Yang Mahakuat).
Semakna dengan itu disebutkan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab.
Buah Mengimani Nama Allah Al-Matin
Dengan mengimani nama Allah ‘azza wa jalla, al-Matin, kita akan sangat tunduk kepada Allah ‘azza wa jalla, karena mengimani betapa besar kekuatan Allah ‘azza wa jalla dan betapa lemahnya seluruh makhluk, termasuk kita semua. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨
“Dan manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (an-Nisa: 28)
Lihatlah bagaimana kekuatan Allah yang
sedikit digambarkan. Dia-lah yang menahan langit-langit dan bumi
sehingga keduanya tidak hancur dan bergeser. Allah berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يُمۡسِكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ أَن تَزُولَاۚ وَلَئِن زَالَتَآ إِنۡ أَمۡسَكَهُمَا مِنۡ أَحَدٖ مِّنۢ بَعۡدِهِۦٓۚ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورٗا ٤١
“Sesungguhnya Allah menahan langit
dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap
tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 41)
Allah ‘azza wa jalla pula yang
menciptakan langit dan bumi. Sungguh, penciptaan keduanya merupakan
penciptaan yang luar biasa dengan bukti yang dapat kita lihat, langit
yang begitu luas lagi kokoh, bahkan terdapat tujuh lapis. Begitu pula
bumi yang kita pijak, yang terhampar luas dengan berbagai kandungan yang
ada di dalamnya. Ini semua menunjukkan kebesaran dan kekuatan
Penciptanya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ وَأَلۡقَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ رَوَٰسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمۡ وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٖۚ وَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوۡجٖ كَرِيمٍ ١٠
هَٰذَا خَلۡقُ ٱللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ ٱلَّذِينَ مِن دُونِهِۦۚ بَلِ ٱلظَّٰلِمُونَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ١١
“Dia menciptakan langit tanpa tiang
yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan)
bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan
padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari
langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang
baik.
Inilah ciptaan Allah, maka
perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh
sembahan-sembahan (mu) selain Allah, sebenarnya orang-orang yang lalim
itu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (Luqman: 10-11)
لَخَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ أَكۡبَرُ مِنۡ خَلۡقِ ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٥٧
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ghafir: 57)
Namun, disayangkan, manusia tidak mengagungkan Allah ‘azza wa jalla
dengan pengagungan yang sebenar-benarnya. Banyak manusia yang secara
tidak langsung—dengan perbuatannya—seolah-olah menganggap ketidakmampuan
Allah ‘azza wa jalla. Dia banyak bermaksiat dan menganggap seolah-olah Allah ‘azza wa jalla
tidak mampu mengazabnya. Berbagai maksiat mereka lakukan, sampai mereka
melakukan kemaksiatan terbesar, syirik kepada Allah dan berbagai jenis
kekafiran. Tidak sedikit di antara mereka yang menantang kekuatan Allah ‘azza wa jalla.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦ وَٱلۡأَرۡضُ جَمِيعٗا قَبۡضَتُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٦٧
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah
dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Mahasuci Rabb dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (az-Zumar: 67)
Terkait dengan ayat ini, tersebut pula dalam hadits yang menggambarkan kekuatan Allah ‘azza wa jalla, dalam riwayat al-Bukhari hadits ke-4437 Program Maktabah Syamilah. Dari Abdullah radhiallahu ‘anhu,
جَاءَ حَبْرٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْأَرْضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْجِبَالَ وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ، وَسَائِرَ الْخَلْقِ عَلَى إِصْبَعٍ، ثُمَّ يَهُزُّهُنَّ فَيَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ. قَالَ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ.
Seorang ulama Yahudi datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah k
pada hari kiamat menjadikan langit-langit pada satu jari-Nya; bumi-bumi
pada satu jari-Nya; gunung dan pohon pada satu jari-Nya; air dan tanah
pada satu jari-Nya; serta seluruh makhluk pada satu jari-Nya, lalu Dia
menggoyangkan mereka semua. Lalu Allah ‘azza wa jalla berkata, ‘Akulah Sang Raja’.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi geraham beliau dalam rangka membenarkan ucapan ulama Yahudi tersebut.
Beliau lalu membacakan ayat di atas.
Wallahu a’lam.
Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi

Kenalilah Teman Pergaulanmu
Sebuah nasehat dari al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah
Sudah semestinya seorang hamba bergaul
sebatas kebutuhan. Ia kelompokkan manusia dalam pergaulannya menjadi
empat golongan. Jika golongan tersebut dicampurkan dan tidak
dibeda-bedakan, dia akan dimasuki berbagai kejelekan.
Golongan pertama adalah
seseorang yang bergaul dengan kita ibarat nutrisi yang masuk dalam
tubuh kita. Kita senantiasa membutuhkannya siang dan malam. Jika dia
sudah mengambil kebutuhan pergaulan tersebut, ia tinggalkan. Apabila ia
butuhkan kembali, dia bergaul lagi; dan seterusnya.
Golongan yang seperti ini adalah
golongan yang sangat bernilai. Mereka adalah para ulama yang berilmu
tentang Allah, perintah-Nya, tipu daya musuh-musuh-Nya, serta penyakit
kalbu dan obatnya. Mereka benar-benar orang yang mempunyai keyakinan
yang baik terhadap Allah ‘azza wa jalla, kitab-kitab, para rasul, dan terhadap makhluk-Nya. Berbaur denganmereka adalah keuntungan yang murni.
Golongan kedua adalah
orang yang bergaul dengan kita ibarat obat. Dia membutuhkannya saat
sakit. Ketika kita dalam keadaan sehat, kita tidak membutuhkan bergaul
dengannya. Yang dimaksud adalah orang yang kita butuhkan dalam hal
maslahat duniawi dan menegakkan urusan yang kita perlukan (muamalah,
serikat kerja, atau saran duniawi). Jika telah selesai kebutuhan bergaul
dengan mereka, namun kita tetap bergaul dengan mereka, pergaulan ini
termasuk golongan ketiga.
Golongan ketiga adalah
orang yang bergaul dengan kita ibarat penyakit dengan berbagai
tingkatan keparahannya. Ada di antara orang yang bergaul dengan kita
ibarat penyakit yang ganas dan tidak bisa disembuhkan. Mereka ini adalah
orang yang tidak mendatangkan keuntungan agama maupun dunia bagi kita
apabila kita bergaul dengannya. Bergaul dengan orang seperti ini hanya
akan mendatangkan kerugian, baik agama maupun dunia, atau bahkan
keduanya. Apabila pergaulan kita dengan golongan ini semakin kuat dan
lekat, akan menyebabkan kematian yang menakutkan bagi kita, yakni
kematian kalbu. Pergaulan dengan mereka ibarat sakit gigi; akan menjadi
sangat sakitdalam keadaan tertentu. Ketika gigi tersebut lepas, hati
kita akan menjadi tenang dari sakit gigi itu. Ada pula di antara mereka
yang bergaul dengan kita ibarat penyakit demam.
Golongan keempat adalah
orang yang bergaul dengan kita dan mengakibatkan kebinasaan. Pergaulan
dengan mereka ibarat memakan racun. Jika racun tersebut bertepatan
dengan adanya penawar dalam tubuh kita, kita akan selamat. Namun, jika
tidak, saatnya kita ditakziahi. Betapa banyak golongan ini di tengah
manusia. Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak memperbanyak mereka.
Yang dimaksud dengan golongan ini adalah
ahli bid’ah, orang yang mengikuti jalan kesesatan, menghambat sunnah
Rasulullah, dan mengajak pada amalan serta keyakinan yang berbeda dengan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah orang yang menghalangi dari jalan Allah ‘azza wa jalla
dan menginginkan jalan yang bengkok. Mereka menjadikan sunnah sebagai
bid’ah, bid’ah sebagai sunnah. Mereka menganggap hal yang ma’ruf sebagai
yang mungkar, dan sebaliknya. Jika kita memurnikan tauhid di
tengah-tengah mereka, mereka akan mengatakan bahwa kita tidak
menghormati para wali dan orang-orang saleh. Jika kita memurnikan mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka akan mengatakan bahwa kita menyia-nyiakan dan tidak mengikuti para imam dan tidak mengikuti mereka.
(Diringkas dari Badai’ul Fawaid hlm. 498-499, jilid ke-2, oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

Tanya Jawab Ringkas Edisi 103
Pada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Jual-Beli Dropship
Apa hukumnya jual beli dengan skema dropship?
Jawaban:
Dalam soal di atas, ada dua masalah:
Pertama, jual-beli sistem sampling barang. Pendapat yang rajih adalah boleh dengan syarat sampling harus sesuai dengan keadaan riil barang, sesuai dengan yang diminta pembeli. Jika ada yang berbeda, pembeli mempunyai hak khiyar, yaitu melanjutkan atau membatalkan akad. Jika barang tersebut termasuk ashnaf ribawiyah seperti emas dan perak, harus ada taqabudh. Jika tidak, termasuk riba nasiah. Akad yang mudah dan syar’i dalam hal ini ada dua cara.
Kedua, pengiriman barang. Yang syar’i, penjual harus menerima terlebih dahulu barang yang dia pesan dari suplier kemudian dia kirim ke pembelinya. Jika dikirim langsung dari suplier ke pembeli, hukumnya haram berdasarkan hadits,
Dalam soal di atas, transaksi tersebut termasuk dalam larangan hadits di atas kecuali kalau penjual posisinya hanya sebagai makelar bagi supplier, maka tidak ada masalah.
Solusi untuk kasus di atas adalah penjual menunjuk seorang untuk menerima barang dari supplier lalu dia serahkan kepada sang pembeli.
Memelihara Burung dalam Sangkar
Bagaimana hukum memelihara burung di dalam sangkar?
Jawaban:
Memelihara burung di dalam sangkar diperbolehkan dengan syarat
Harta Anak Yatim
Saya mempunyai anak yatim mendapat sumbangan dari dermawan hingga terkumpul 25 juta rupiah. Kemudian uang tersebut digunakan untuk membeli tanah dan dijual. Uang penjualan tanah akan digunakan untuk membeli rumah dan tanah. Bolehkah hal yang demikian?
Jawaban:
Harta yang dimiliki anak yatim pada prinsipnya diatur oleh walinya untuk kemaslahatan yatim. Segala upaya yang membawa kemaslahatannya diperbolehkan bahkan dianjurkan termasuk upaya yang disebutkan di atas.
Perlindungan Nonmuslim di Negara Indonesia
Apakah jaminan keselamatan dari pemerintah muslim kepada orang kafir yang masuk dari luar negeri atau yang sudah bersama kita dalam satu negara termasuk jaminan keamanan dalam melaksananakan prosesi peribadatan mereka?
Jawaban:
Secara hukum fikih terkait ahlu dzimmah (kafir yang satu negara dengan muslim), ibadah mereka harus dilakukan secara tersembunyi dan tidak boleh menampilkan petinggi mereka.
Namun, kondisi NKRI tidak sepenuhnya islami. Tindakan pemerintah mengamankan ibadah mereka karena adanya oknum yang mengganggu dengan pengeboman atau semisalnya yang secara syariat tindakan oknum tersebut juga tidak dibenarkan.
Adapun aparatnya, jika penyebabnya karena bertugas, tidak masalah. Namun, jika mendukung acara tersebut, jelas tidak boleh; tetapi bukan berarti disikapi dengan tindakan yang melanggar agama.
Judi Terselubung
Kami biasa melakukan pertandingan olahraga dengan menyewa lapangan. Tim yang kalah akan membayar sewa lapangan tersebut. Apakah ini termasuk perjudian?
Jawaban:
Pertandingan dengan sistem seperti ini termasuk judi. lbnul Qayyim menjelaskan masalah ini dalam al-Furusiyyah.
Menepuk Pundak Imam
Ketika seorang mendapati imam sendirian dan ada makmum yang ingin bergabung, apakah disyariatkan untuk menepuk pundaknya?
Jawaban:
Tidak masalah bagi makmum untuk menepuk pundak imam apalagi imam tidak tahu ada yang makmum di belakangnya.
Hukum Akikah
Bagaimana hukum akikah?
Jawaban:
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah muakkadah. Yang terakhir adalah pendapat jumhur ulama.
Hukum Lomba Kontes Binatang
Bagaimana hukum melombakan binatang seperti lomba burung berkicau atau ayam ketawa yang hadiahnya diambil dari uang pendaftaran?
Jawaban:
Perlombaan semacam itu jelas termasuk judi yang haram, di sisi lain tidak ada kemanfaatan yang didapat.
44
Harta Waris Pasangan yang Tidak Memiliki Keturunan
Sepasang suami-istri tidak memiliki keturunan. Mereka sama-sama bekerja hingga mempunyai harta dalam rumah tangganya. Kesepakatan berdua bahwa harta yang dimiliki adalah milik bersama. Bagaimana pembagian waris bila suami yang meninggal dan pembagian waris bila istri yang meninggal?
Jawaban:
Harta dibagi dua terlebih dahulu baru setelah itu harta yang mati yang dibagi. Suami/istri yang masih hidup mendapat bagian harta warisan tersebut.
Shalawat dan Doa setelah Shalat
Apakah duduk setelah shalat membaca shalawat wirid dan doa termasuk bid’ah?
Jawaban:
Kalau yang dibaca adalah zikir/wirid yang dicontohkan dalam sunnah, maka hal itu sangat dianjurkan. Namun bila yang dibaca adalah wirid yang tidak ada sunnahnya, maka termasuk bid’ah. Adapun doa setelah shalat, jika dijadikan sebagai kebiasaan, maka tidak ada sunnahnya; tetapi bila sesekali, maka diperbolehkan.
Hukum Mempelajari Tafsir Jalalain
Apa hukum mempelajari tafsir Jalalain?
Jawaban:
Sebagian ulama mengajarkannya, seperti asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Akan tetapi, dipersyaratkan bagi yang mempelajari adalah orang yang memahami tafsir, mengetahui penyimpangan Jalalain untuk diluruskan.
Waktu Tepat untuk Berdoa
Jika kita punya hajat tertentu, kapan waktu yang tepat untuk berdoa?
Jawaban:
Bisa saat sujud atau pada waktu mustajab seperti waktu sahur; atau tempat mustajab seperti raudhah di Masjid Nabawi.
Karyawan Berjualan di dalam Perusahaan
Perusahaan tempat saya bekerja melarang karyawannya berjualan di dalam perusahaan tersebut, tetapi ada saja karyawan yang tetap berjualan, apakah boleh hal yang demikian?
Jawaban:
Tidak boleh, karena kaum muslimin berjalan sesuai kesepakatan di antara mereka.
Memberi Makan Hewan dengan Semut
Bagaimana hukum memberi makan burung piaraan dengan anakan semut rangrang (kroto)? Padahal dalam riwayat hadits terdapat larangan untuk membunuh semut.
Jawaban:
Benar, sebaiknya tidak memberi makan burung dengan kroto karena larangan dalam hadits.
Jual-Beli Dropship
Apa hukumnya jual beli dengan skema dropship?
Jawaban:
Dalam soal di atas, ada dua masalah:
Pertama, jual-beli sistem sampling barang. Pendapat yang rajih adalah boleh dengan syarat sampling harus sesuai dengan keadaan riil barang, sesuai dengan yang diminta pembeli. Jika ada yang berbeda, pembeli mempunyai hak khiyar, yaitu melanjutkan atau membatalkan akad. Jika barang tersebut termasuk ashnaf ribawiyah seperti emas dan perak, harus ada taqabudh. Jika tidak, termasuk riba nasiah. Akad yang mudah dan syar’i dalam hal ini ada dua cara.
- Sistem salam, yaitu menyerahkan uang sesuai dengan harga yang disepakati di muka. Akad untuk barang yang disepakati sesuai dengan sifat, jumlah/takaran, dan waktu pengiriman terima yang disepakati. Jika ketentuan di atas tidak terpenuhi, pembeli punya hak khiyar. Untuk itu kedua pihak harus saling percaya, karena rawan manipulasi.
- Sistem ‘urbun, yaitu pembeli menyerahkan DP untuk barang dengan sifat yang disepakati. Jika barang sudah ada, baru dilunasi pembayarannya. Jika pembeli menggagalkan akad, DP menjadi hak penjual. Jika penjual tidak bisa mendatangkan barang, DP harus kembali.
Kedua, pengiriman barang. Yang syar’i, penjual harus menerima terlebih dahulu barang yang dia pesan dari suplier kemudian dia kirim ke pembelinya. Jika dikirim langsung dari suplier ke pembeli, hukumnya haram berdasarkan hadits,
نَهَى رَسُولُ اللهِ عَنْ بَيْعِ مَا لَمْ يُقْبَضْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sesuatu yang belum dimiliki.”Dalam soal di atas, transaksi tersebut termasuk dalam larangan hadits di atas kecuali kalau penjual posisinya hanya sebagai makelar bagi supplier, maka tidak ada masalah.
Solusi untuk kasus di atas adalah penjual menunjuk seorang untuk menerima barang dari supplier lalu dia serahkan kepada sang pembeli.
Memelihara Burung dalam Sangkar
Bagaimana hukum memelihara burung di dalam sangkar?
Jawaban:
Memelihara burung di dalam sangkar diperbolehkan dengan syarat
- harga burung tidak sangat mahal. Sebab, hal ini termasuk membuang harta (israf);
- memberi makan-minum burung tersebut, serta
- merawatnya dengan baik. Dalilnya adalah kisah Abu Umair radhiallahu ‘anhu yang memelihara burung.
Harta Anak Yatim
Saya mempunyai anak yatim mendapat sumbangan dari dermawan hingga terkumpul 25 juta rupiah. Kemudian uang tersebut digunakan untuk membeli tanah dan dijual. Uang penjualan tanah akan digunakan untuk membeli rumah dan tanah. Bolehkah hal yang demikian?
Jawaban:
Harta yang dimiliki anak yatim pada prinsipnya diatur oleh walinya untuk kemaslahatan yatim. Segala upaya yang membawa kemaslahatannya diperbolehkan bahkan dianjurkan termasuk upaya yang disebutkan di atas.
Perlindungan Nonmuslim di Negara Indonesia
Apakah jaminan keselamatan dari pemerintah muslim kepada orang kafir yang masuk dari luar negeri atau yang sudah bersama kita dalam satu negara termasuk jaminan keamanan dalam melaksananakan prosesi peribadatan mereka?
Jawaban:
Secara hukum fikih terkait ahlu dzimmah (kafir yang satu negara dengan muslim), ibadah mereka harus dilakukan secara tersembunyi dan tidak boleh menampilkan petinggi mereka.
Namun, kondisi NKRI tidak sepenuhnya islami. Tindakan pemerintah mengamankan ibadah mereka karena adanya oknum yang mengganggu dengan pengeboman atau semisalnya yang secara syariat tindakan oknum tersebut juga tidak dibenarkan.
Adapun aparatnya, jika penyebabnya karena bertugas, tidak masalah. Namun, jika mendukung acara tersebut, jelas tidak boleh; tetapi bukan berarti disikapi dengan tindakan yang melanggar agama.
Judi Terselubung
Kami biasa melakukan pertandingan olahraga dengan menyewa lapangan. Tim yang kalah akan membayar sewa lapangan tersebut. Apakah ini termasuk perjudian?
Jawaban:
Pertandingan dengan sistem seperti ini termasuk judi. lbnul Qayyim menjelaskan masalah ini dalam al-Furusiyyah.
Menepuk Pundak Imam
Ketika seorang mendapati imam sendirian dan ada makmum yang ingin bergabung, apakah disyariatkan untuk menepuk pundaknya?
Jawaban:
Tidak masalah bagi makmum untuk menepuk pundak imam apalagi imam tidak tahu ada yang makmum di belakangnya.
Hukum Akikah
Bagaimana hukum akikah?
Jawaban:
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah muakkadah. Yang terakhir adalah pendapat jumhur ulama.
Hukum Lomba Kontes Binatang
Bagaimana hukum melombakan binatang seperti lomba burung berkicau atau ayam ketawa yang hadiahnya diambil dari uang pendaftaran?
Jawaban:
Perlombaan semacam itu jelas termasuk judi yang haram, di sisi lain tidak ada kemanfaatan yang didapat.
44
Harta Waris Pasangan yang Tidak Memiliki Keturunan
Sepasang suami-istri tidak memiliki keturunan. Mereka sama-sama bekerja hingga mempunyai harta dalam rumah tangganya. Kesepakatan berdua bahwa harta yang dimiliki adalah milik bersama. Bagaimana pembagian waris bila suami yang meninggal dan pembagian waris bila istri yang meninggal?
Jawaban:
Harta dibagi dua terlebih dahulu baru setelah itu harta yang mati yang dibagi. Suami/istri yang masih hidup mendapat bagian harta warisan tersebut.
Shalawat dan Doa setelah Shalat
Apakah duduk setelah shalat membaca shalawat wirid dan doa termasuk bid’ah?
Jawaban:
Kalau yang dibaca adalah zikir/wirid yang dicontohkan dalam sunnah, maka hal itu sangat dianjurkan. Namun bila yang dibaca adalah wirid yang tidak ada sunnahnya, maka termasuk bid’ah. Adapun doa setelah shalat, jika dijadikan sebagai kebiasaan, maka tidak ada sunnahnya; tetapi bila sesekali, maka diperbolehkan.
Hukum Mempelajari Tafsir Jalalain
Apa hukum mempelajari tafsir Jalalain?
Jawaban:
Sebagian ulama mengajarkannya, seperti asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Akan tetapi, dipersyaratkan bagi yang mempelajari adalah orang yang memahami tafsir, mengetahui penyimpangan Jalalain untuk diluruskan.
Waktu Tepat untuk Berdoa
Jika kita punya hajat tertentu, kapan waktu yang tepat untuk berdoa?
Jawaban:
Bisa saat sujud atau pada waktu mustajab seperti waktu sahur; atau tempat mustajab seperti raudhah di Masjid Nabawi.
Karyawan Berjualan di dalam Perusahaan
Perusahaan tempat saya bekerja melarang karyawannya berjualan di dalam perusahaan tersebut, tetapi ada saja karyawan yang tetap berjualan, apakah boleh hal yang demikian?
Jawaban:
Tidak boleh, karena kaum muslimin berjalan sesuai kesepakatan di antara mereka.
Memberi Makan Hewan dengan Semut
Bagaimana hukum memberi makan burung piaraan dengan anakan semut rangrang (kroto)? Padahal dalam riwayat hadits terdapat larangan untuk membunuh semut.
Jawaban:
Benar, sebaiknya tidak memberi makan burung dengan kroto karena larangan dalam hadits.
Kirim SMS/WA Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Tiga Hal yang Menyelamatkan
Ketika Iblis dikutuk oleh Allah ‘azza wa jalla dan dikeluarkan dari jannah (surga) karena membangkang terhadap perintah-Nya, ia bersumpah di hadapan Allah ‘azza wa jalla untuk menyesatkan bani Adam dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Tujuannya agar mereka menjadi teman-temannya dalam api neraka.
Ancaman Iblis ini tidak hanya isapan
jempol, tetapi ia buktikan dengan mengirim bala tentaranya ke seluruh
penjuru bumi. Disesatkannya bani Adam dengan beragam bujuk rayu dan
janji-janji yang menipu. Tiada yang selamat dari kejahatan Iblis beserta
kroni-kroninya kecuali orang yang mendapat perlindungan dari Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi, Allah Maha Pengasih
terhadap hamba-Nya. Tidak dibiarkan para hamba menjadi santapan empuk
makhluk jahat tersebut. Melalui lisan Rasul-Nya, Allah ‘azza wa jalla telah menjelaskan jalan-jalan keselamatan dari kejelekan Iblis, bahkan kejelekan dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِي السِّرِّوَالْعَلَانِيَّةِ، وَالْعَدْلُ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ، وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى
“Tiga hal yang menyelamatkan: takut kepada Allah ‘azza wa jalla saat sendirian dan di hadapan orang,bersikap adil saat senang dan marah dan bersikap pertengahan di saat fakir dan kaya.” (HR. Abu asy-Syaikh dalam at-Taubikh dan ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Anas radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan dengan banyaknya jalan periwayatan. Lihat ash-Shahihah no. 1082)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Empat perkara yang siapa memilikinya akan dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla
dari setan dan dicegah dari api neraka, yaitu mampu mengendalikan
dirinya di saat senang, pada saat takut, saat dorongan syahwat, dan saat
marah.” (al-Wafi fi Syarhil Arba’in hlm. 103)
Takut kepada Allah
Seperti telah disebutkan di atas bahwa manusia menjadi target setan untuk disesatkan dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Apabila seseorang tidak memiliki perisai yang tangguh, akan sangat mudah bagi setan untuk mencelakakannya.
Di antara perisai yang kuat adalah sikap takut kepada Allah ‘azza wa jalla dalam segala keadaan. Ketika seorang memiliki sikap takut kepada Allah ‘azza wa jalla
dan merasa selalu diawasi oleh-Nya, dia akan menjalankan
perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan
demikian, dia akan selamat dan sukses dunia serta akhiratnya.
Akan tetapi, rasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla tidak akan muncul kecuali dari orang yang mengenal keagungan Allah ‘azza wa jalla, kerasnya siksa dan kemampuan-Nya untuk membalas perbuatan hamba- Nya. Tanpa mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenar-benar pengenalan, maka rasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla mustahil akan muncul, sebagaimana dikatakan, “Tak kenal maka tak sayang.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman.
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ٢٨
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kenal dengan Allah ‘azza wa jalla, maka beliau adalah orang yang paling takut kepada-Nya. Orang yang membaca sirah/perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan menemukan buktinya. Apabila dalam shalat beliau membaca ayat yang
berkaitan dengan azab, beliau memohon perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla dari azab. Bahkan, beliau terkadang menangis dalam shalatnya.
Orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla
dengan sepenuh pengenalan akan merasa ucapan dan perbuatannya selalu
dipantau, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang. Inilah rasa
takut yang benar, bukan seperti umumnya orang yang menampakkan
seolah-olah takut dan taat kepada Allah ‘azza wa jalla ketika di hadapan banyak orang, namun saat sendiri berani bermaksiat kapada Allah ‘azza wa jalla.
Allah ‘azza wa jalla memuji orang yang takut kepada-Nya saat sendirian, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٞ كَبِيرٞ ١٢
“Sesungguhnya orang-orang yang takut
kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh
ampunan dan pahala yang besar.” (al-Mulk: 12)
Rasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla merupakan faktor pendorong yang kuat untuk meninggalkan larangan Allah ‘azza wa jalla.
Sebagian salaf berkata, “Orang yang
takut bukan (hanya) yang menangis dan menitikan air mata. Orang yang
takut (sesungguhnya) ialah orang yang meninggalkan apa yang perkara
haram yang ia sukai padahal dia mampu untuk menjalankannya.”
Dari penjelasan ini, kita mengetahui sangat besar pula pahala orang yang melakukan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan sembunyi-sembunyi, hanya antara ia dan Allah ‘azza wa jalla.
Demikian pula orang yang meninggalkan yang haram dalam kondisi sunyi
padahal ia mampu melakukannya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang tujuh golongan yang dinaungi dengan naungan Allah ‘azza wa jalla pada hari yang tiada naungan selainnaungan-Nya.
Di antara mereka ialah seorang yang berzikir mengingat Allah ‘azza wa jalla
saat sendirian lalu meneteskan air matanya, dan seseorang yang
bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak tahu apa
yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dalam hadits tersebut juga
disebutkan tentang seorang lelaki yang diajak berbuat zina oleh seorang
wanita yang cantik dan bangsawan lantas ia berkata, “Aku takut kepada
Allah ‘azza wa jalla, Rabb alam semesta.”
Bersikap Adil Saat Senang dan Marah
Hal ini tidak mudah tentunya, karena
umumnya manusia menjadi buta dan tuli apabila mencintai sesuatu.
Maksudnya, ia tidak memandang kejelekan yang ada pada yang dicintainya
sebagai suatu kejelekan, sebagaimana ia tuli dan tidak bisa mendengarkan
nasihat tentangbahayanya apa yang ia cintai. Berbeda halnya dengan
seseorang yang membenci sesuatu (walaupun menurut timbangan syariat
bukan sesuatu yang harus dibenci), ia akan mencari-cari kelemahan yang
dibencinya.
Karena itu, sikap yang adil dan berucap
yang benar menjadi sesuatu yang sangat langka kita jumpai di
tengahtengah masyarakat. Bagaimana tidak?! Tidak jarang kita dapati di
tengah-tengah masyarakat, orang yang berlaku zalim terhadap orang lain
karena cintanya terhadap orang tersebut. Segala kritikan membangun yang
diarahkan kepada orang yang dicintainya akan dia tolak mentah-mentah.
Terkadang dia justru melakukan perlawanan secara fisik demi membela
orang yang dicintainya, meskipun ia salah secara timbangan agama. Inilah
yang dinamakan fanatik buta.
Misal yang sangat nyata adalah para
pengagum Sayid Quthub. Mereka membela Sayid Quthub mati-matian,
seolah-olah ia seorang nabi yang maksum. Namun, di sisi lain mereka
menjelek-jelekkan para ulama, semisal asy-Syaikh Rabi’, yang membeberkan
kekeliruan Sayid Quthub dalam kitab-kitabnya, terutama kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an,
yang lebih memiliki corak tafsir secara sastra. Asy-Syaikh Rabi’
melakukan kritikan terhadap kesalahan-kesalahan Sayid Quthub seperti ini
sebagai wujud membentengi umat dari kebatilan dan agar
kesalahan-kesalahan Sayid Quthub tidak diikuti.
Demikian pula, kadang ada orang tua yang
melebihkan pemberian kepada anak yang dicintainya daripada anak-anaknya
yang lain hingga timbul keretakan di tengah-tengah keluarga. Ini
sebabnya karena tidak mengikuti bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperturuti nafsu yang sesat.
Seperti itu pula halnya, sulit bagi
seseorang untuk bersikap adil di kala ia marah. Sebab, saat marah,
biasanya orang lebih suka memperturuti hawa nafsunya dan sulit
mengendalikan dirinya. Orang yang marah fisiknya goncang dan benaknya
kacau. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah,
sebagaimana hadits riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasai dari Abu
Bakrah radhiallahu ‘anhu.
Sikap adil dan ucapan yang benar
hendaknya selalu dipegang erat oleh seorang muslim, baik terhadap kawan
maupun lawan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla.
Hal ini tentu menjadi salah satu di antara sekian banyak keindahan
agama Islam ini. Sejarah menjadi saksi tentang indahnya Islam yang bisa
dirasakan oleh kaum muslimin, bahkan oleh orang kafir sekalipun.
Disebutkan dalam hadits sahih riwayat
al-Bukhari dan Muslim bahwa dahulu ada seorang wanita dari kabilah
Makhzum mencuri dan akan dipotong tangannya. Keluarga wanita tersebut
tidak ingin tangan wanita itu dipotong. Mereka pun mencari seorang
sahabat agar menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya wanita itu tidak dipotong tangannya. Mereka menemukan sahabat yangdicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, dan meminta kepadanya untuk menyampaikan pesan mereka kepadaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usamah menyampaikan pesan mereka. Nabi pun menegurnya seraya mengatakan, “Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.”
Di kala seorang marah, sulit baginya
untuk mengontrol ucapan dan perbuatannya. Karena itu, dahulu dikatakan,
“Kemarahan awal timbulnya seperti kegilaan, dan ujungnya hanyalah
penyesalan.”
Allah ‘azza wa jalla memuji orang yang menahan amarahnya dan mempersiapkan bagi mereka surga yang penuh kenikmatan. Firman Allah ‘azza wa jalla,
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang
yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, serta
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 133—134)
Syariat memandang bahwa orang yang
memperturuti nafsu amarahnya dan tidak mampu mengendalikan dirinya
adalah orang lemah yang telah dikuasai oleh kejelekan.
Apabila dirunut, marah itu timbulnya dari setan. Maka dari itu, ketika marah seseorang dianjurkan berta’awudz (berlindung) kepada Allah ‘azza wa jalla dari setan.
Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa dahulu ada dua orang sahabat bertengkar di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya mencela temannya dalam kondisi marah dan wajahnya memerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu suatu kalimat yang apabila ia ucapkan niscaya akan hilang darinya apa yang ia alami. Seandainya ia membaca,
أَعُوذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla dari setan yang terkutuk.”
Malik bin Dinar berkata, “Sejak aku
mengenal orang, aku tidak memedulikan pujian mereka dan tidak pula
celaan mereka. Sebab, aku tidak melihat kecuali orang yang
berlebih-lebihan ketika memuji atau mencela.” (Syarh Hadits “Allahumma bi’ilmikal ghaib” karya Ibnu Rajab hlm. 47)
Bersikap Sederhana Saat Miskin dan Kaya
Sikap seperti ini juga tidak semudah
yang dibayangkan. Saat miskin, terkadang seorang berbuat sesuatu yang
melanggar aturan agama, misalnya mencari penghasilan dengan cara-cara
yang dilarang. Demikian pula terkadang ia menjadi kikir untuk beramal
dan berinfak karena takut hartanya habis. Sebaliknya ketika seorang
kondisinya kaya, ia cenderung berfoya-foya dan melampaui batas, bahkan
menggunakan nikmat untuk bermaksiat.
Seorang muslim dibimbing untuk bersikap
lurus dalam dua keadaan tersebut. Dia memandang bahwa nikmat adalah
ujian, sebagaimana penyakit dan kefakiran adalah cobaan.
Seorang mukmin sejati akan selalu meniru kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang terkumpul padanya sikap syukur dan sabar. Apabila punya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak kikir barang sedikit pun. Bahkan, orang yang meminta kepadanya
tidak akan pulang dengan tangan hampa. Di kala punya, beliau memberi
dengan pemberian orang yang tidak takut fakir karena percaya kepada
Allah ‘azza wa jalla. Ketika haji wada’ beliau berkurban dengan seratus ekor unta.
Sikap yang pertengahan seperti ini pula
yang beliau contohkan. Di saat sulit dan sempit beliau bersabar dan
tidak mengeluh. Beliau tinggal beserta keluarganya sekian hari lamanya
tanpa ada yang dimakan selain kurma dan yang diminum hanya air biasa.
Ketika beliau mendatangi sebagian istrinya pada suatu hari dan
menanyakan adakah makanan pada mereka, lalu dijawab bahwa tidak ada,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu, aku berpuasa.”
Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Apabila seseorang itu fakir, (hendaknya) ia tidak kikir karena
takut hartanya habis, namun juga tidak boros sehingga terbebani dengan
sesuatu yang sulit baginya.”
Hal ini sebagaimana bimbingan Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi-Nya dalam firman-Nya,
وَلَا تَجۡعَلۡ يَدَكَ مَغۡلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبۡسُطۡهَا كُلَّ ٱلۡبَسۡطِ فَتَقۡعُدَ مَلُومٗا مَّحۡسُورًا ٢٩
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya (berlebihan dalam membelanjakan) karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal.” (al-Isra’: 29)
Apabila seorang itu kaya, janganlah
kekayaannya mendorongnya bersikap boros dan melampaui batas. Hendaknya
ia tetap bersikap pertengahan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا ٦٧
“Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (al-Furqan: 67)
Meskipun saat kaya seorang muslim
melebihkan pembelanjaan hartanya dibandingkan ketika fakir, tetapi ia
sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Tidak seperti kebanyakan orang
kaya yang kekayaannya menyeretnya kepada sikap melampaui batas…
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah ditegur oleh (orang) pada masa kekhalifahannya karena berpakaian sederhana. Ali radhiallahu ‘anhu menjawab bahwa hal ini lebih jauh dari sikap sombong dan lebih tepat agar beliau dicontoh oleh muslim yang lain.
Demikian pula Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
pernah ditegur di masa kepemimpinannya tentang sikap membatasi (nafkah)
atas dirinya (sederhana). Beliau berkata, “Sungguh, kesederhanaan yang
paling utama adalah ketika seorang itu kaya, dan pemberian maaf yang
paling utama adalah ketika seorang mampu membalas.” (Syarh hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib hlm. 46—47)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis Oleh: Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Bahaya Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
Alangkah banyak sekarang ini orang-orang yang lancang, tanpa rasa takut mereka berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla atau atas nama agama, tanpa ilmu. Padahal Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu adalah perkara yang lebih besar dari kesyirikan. Berikut ini kami bawakan nukilan penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah terkait hal di atas.
Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla
tanpa ilmu dalam fatwa dan memutuskan hukum, serta menjadikannya
sebagai perkara haram yang paling besar, bahkan pada tingkatan
tertinggi. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ
بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ
سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah (wahai Muhamad),
sesungguhnya Rabbku telah mengharamkan perbuatan keji yang yang tampak
ataupun tidak, (juga mengharamkan) dosa, berbuat zalim tanpa sebab yang
haq, mensekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak pernah ada dalil dari
Allah dan kalian berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian tahu
ilmunya.” (al-A’raf: 33)
Allah ‘azza wa jalla menyebutkan urutan perkara yang diharamkannya menjadi empat tingkatan. Allah ‘azza wa jalla memulai dengan yang paling ringan, yaitu fawahisy
(perbuatan keji). Urutan kedua ialah yang lebih keras keharamannya,
yaitu dosa dan perbuatan zalim. Urutan ketiga, yang lebih besar
keharamannya dari dua hal sebelumnya, yaitu perbuatan syirik. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan pada urutan keempat, sesuatu yang lebih besar keharamannya dari semua hal di atas, yaitu berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu. Hal ini mencakup berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu dalam hal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan dalam agama serta syariat-Nya. (I’lamul Muwaqqi’in)
Setan Memerintah Manusia Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
Perlu diingat, setan terus berupaya
menyesatkan bani Adam. Di antara langkah mereka menyesatkan bani Adam
adalah membisikkan dan memerintahkan seseorang untuk berkata atas nama
Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨
إِنَّمَا يَأۡمُرُكُم بِٱلسُّوٓءِ وَٱلۡفَحۡشَآءِ وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ١٦٩
“Wahai manusia, makanlah oleh kalian
apa yang di bumi yang halal dan baik, janganlah kalian mengikuti
langkah-langkah setan, karena dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.
Dia hanyalah memerintahkan kalian
untuk berbuat jelek dan kekejian dan agar kalian berkata atas nama Allah
sesuatu yang tidak kalian tahu ilmunya.” (al-Baqarah: 169)
Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla
tanpa ilmu termasuk perkara haram yang paling besar. Ini merupakan
jalan setan yang dia serukan. Ini adalah jalan setan dan bala tentaranya
yang mereka serukan. Mereka mengerahkan makar dan tipu muslihat mereka.
Hal tersebut (mereka lakukan) untuk menyesatkan makhluk dengan cara apa
pun yang mereka bisa.” (Tafsir as-Sa’di)
Barang siapa berfatwa tanpa ilmu,
berarti telah berdusta atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu dan
terjatuh ke dalam hal yang Allah ‘azza wa jalla haramkan.
Bentuk Nyata Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
Banyak bentuk amaliah yang menunjukkan seorang terjatuh dalam perbuatan berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu. Di antaranya:
- Seseorang berkata bahwa ini halal dan itu haram, tanpa didasari ilmu.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا حَرَامٞ لِّتَفۡتَرُواْ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ ١١٦
“Jangan katakan atas sesuatu yang
disipati oleh lisan kalian yang dusta; ini halal dan ini haram, untuk
mengadakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya orang yang berdusta
atas nama Allah tidak akan mendapatkan kemenangan.” (an-Nahl: 116)
- Berbagai bentuk kebid’ahan
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Masuk dalam bab ini ialah semua yang melakukan kebid’ahan yang
tidak ada sandaran syar’i padanya, atau menghalalkan sesuatu yang Allah
‘azza wa jalla haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah ‘azza wa jalla bolehkan, dengan berlandaskan ra’yu (akal pikiran) dan keinginannya semata.” (Tafsir Ibnu Katsir)
- Menafikan apa yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan, melakukan tahrif dan takwil batil terhadap ayat-ayat tentang nama dan sifat Allah ‘azza wa jalla
Asy-Syaikh Khalil Harras rahimahullah berkata, “Berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu adalah bab yang luas. Masuk padanya semua pemberitaan (mengatasnamakan) tentang Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan tanpa dalil dan hujah. Misalnya, menafikan apa yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan dan menetapkan apa yang Allah ‘azza wa jalla nafikan, atau berbuat ilhad terhadap ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla dengan men-tahrif dan menakwilnya.” (Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyah hlm. 146)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Masuk ke dalam bab ini ialah berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tentang syariat dan takdir-Nya. Barang siapa menyifati Allah ‘azza wa jalla dengan sesuatu yang tidak disifati oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya untuk Diri-Nya, atau menafikan sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, berarti dia telah berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu.
Barang siapa menyangka bahwa Allah ‘azza wa jalla memiliki tandingan berupa berhala, yang mampu mendekatkan orang yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla, berarti dia telah berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu. Barang siapa berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla menghalalkan itu, mengharamkan ini, memerintahkan itu, dan melarang ini tanpa bashirah, berarti telah berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu….” (Tafsir as-Sa’di surat al-Baqarah: 169)
- Berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla terkait Dzat, nama, sifat, dan perbuatan Allah ‘azza wa jalla, serta hukum-hukum-Nya
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla
tanpa ilmu terkait Dzat-Nya, namanama-Nya, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan, dan hukum-hukum-Nya adalah termasuk
perintah-perintah setan.” (Tafsir surat al-Baqarah: 169, 2/240)
- Berfatwa tanpa ilmu
Al-Imam asy-Sya’bi rahimahullah
berkata, “Sungguh, ada di antara kalian yang berfatwa tentang sebuah
masalah, yang apabila masalah itu ditanyakan kepada Umar bin
al-Khaththab radhiallahu ‘anhu niscaya beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat yang ikut Perang Badr.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin berkata, “Saya ingin memberikan peringatan kepada seluruh
saudaraku kaum muslimin agar tidak berfatwa tanpa ilmu. Sebab, berfatwa
tanpa ilmu adalah pelanggaran besar yang telah Allah ‘azza wa jalla gandengkan dengan kesyirikan dalam firman-Nya,
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣
“Katakanlah (wahai Muhamad),
sesungguhnya Rabbku telah mengharamkan perbuatan keji yang yang tampak
ataupun tidak, (juga mengharamkan) dosa, berbuat zalim tanpa sebab yang
haq, menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak pernah ada dalil dari
Allah dan kalian berkata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian tahu
ilmunya.” (al-A’raf: 33)
Sebab, firman Allah ‘azza wa jalla,
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
itu mencakup berkata tentang nama-nama Allah ‘azza wa jalla, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukumhukum-Nya, tanpa ilmu.”
Barang siapa berfatwa tanpa ilmu, berarti telah berdusta atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu dan terjatuh ke dalam hal yang Allah ‘azza wa jalla haramkan.
Maka dari itu, dia harus bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla dan menahan diri. Hendaknya dia berhenti dari perbuatan menghalangi manusia dari jalan Allah ‘azza wa jalla.
Upaya Agar Terhindar dari Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
Banyak upaya yang bisa kita lakukan agar terhindar dari perbuatan di atas. Di antara sebab yang terpenting adalah:
- Terus memperdalam ilmu agama
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu sangatlah besar bahaya dan kerusakannya. Sebab, seorang yang berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla
tanpa ilmu akan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
akan melarang yang haq dan memerintahkan yang batil, karena
kebodohannya.
Maka dari itu, para ulama dan penuntut ilmu wajib menjauhkan diri dari berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla
tanpa ilmu. Hendaknya mereka memiliki perhatian penuh pada dalil-dalil
syar’i. Dengan demikian, mereka berlandaskan ilmu ketika menyeru dan
melarang sesuatu, serta tidak terjatuh dalam perbuatan berkata atas nama
Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu.” (Fatawa Ibn Baz, 4/82)
- Menjauhkan diri dari rasa cinta ketenaran, senang ditokohkan, dan senang kedudukan
Di antara usaha yang bisa kita lakukan
adalah menghiasi diri dengan akhlak terpuji, seperti tawadhu, disertai
dengan menjauhkan diri dari akhlak-akhlak yang jelek. Sebab, ada
beberapa akhlak yang jelek menyeret pada perbuatan yang haram ini.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Mayoritas sebab yang membawa seorang berbuat demikian (berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu) adalah senang kemuliaan, ditokohkan, dan ingin kedudukan.” (Tafsir surat al-Baqarah: 169)
- Berani menyatakan “Wallahu a’lam (Allah lebih tahu), saya tidak tahu”
Di antara upaya untuk menghindarkan diri dari berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu ialah menghiasi diri dengan ucapan, “Allahu a’lam, saya tidak tahu.”
Itulah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat beliau, dan para ulama kita.
Ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapankah hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” (HR. Muslim)
Demikian juga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Umar bin al-Khaththab menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” (HR. Muslim)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, “Tahukah engkau, apa hak Allah ‘azza wa jalla atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah ‘azza wa jalla?”
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu menjawab, “Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Dengan membiasakan diri berterus terang
menyatakan tidak tahu dalam masalah yang memang dirinya tidak mengetahui
ilmunya, seseorang akan terjaga dari berkata atas nama Allah ‘azza wa jalla tanpa ilmu.
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
memberikan kepada kita taufik untuk mengamalkan ilmu yang telah kita
ketahui serta menjadikannya bermanfaat di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdur Rahman Mubarak

Menjadi Ahli Hadits – Sebuah Doa Untuk Anak
Dikisahkan bahwa Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma di masa kecilnya pernah menginap di rumah Maimunah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha, bibinya. Maimunah sendiri adalah salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibunda kaum muslimin. Saat itu Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menyiapkan air untuk wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mendengar jawaban Maimunah bahwa Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma lah yang melakukannya, beliau pun berdoa untuk Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“Ya Allah, buatlah dia menjadi faqih di dalam agama ini, dan ajarilah dia ilmu ta’wil (ilmu tafsir al-Qur’an).”
Takhrij Hadits
Apabila dicermati, doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
ada dalam dua permohonan; menjadi faqih di dalam agama Islam dan
menguasai ilmu tafsir. Sebagian orang menyangka bahwa kedua doa
Rasulullah di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.
Apakah memang demikian?
Hadits dengan lafadz di atas, dengan
menyebutkan dua permohoan doa sekaligus, diriwayatkan oleh at-Thabarani
(3/164/2), Abu Ali ash-Shawwaf dalam kitab al-Fawaid (3/166—167), ad-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (2/226) dengan dua sanad, dari Syibl bin Abbad, dari Sulaiman al-Ahwal, dari Said bin Jubair, dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Sementara itu, al-Imam al-Bukhari (no.
75) dan Muslim (no. 2477) hanya meriwayatkan lafadz pertama, yakni
permohonan menjadi faqih di dalam agama. Adh-Dhiya’ menyatakan,
“Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan lafadz wa ‘allimhu at ta’wiil. Tambahan lafadz ini adalah tambahan yang hasan.”
Al-Albani menambahkan, “Al-Hakim menyatakan sahih (3/534) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.”
Setelah menyebutkan beberapa bentuk lafadz lain, asy-Syaikh al-Albani menyimpulkan (Silsilah ash-Shahihah no. 2589), “Secara umum, dengan lafadz demikian hadits ini sahih. Di dalam syarah ath-Thahawiyah hlm. 234, penulis menyandarkan lafadz ini kepada al-Bukhari. Ini adalah wahm (kekeliruan), sebagaimana telah saya ingatkan dalam takhrij hadits di sana.”
Mendoakan Anak
Satu hal penting yang sering dilupakan
oleh orang tua adalah mendoakan kebaikan untuk anaknya. Sekian banyak
dalil menyebutkan pentingnya orang tua sering mendoakan kebaikan untuk
anak. Selain sebagai tanda kasih orang tua dan hak seorang anak, doa
kebaikan menjadi salah satu sebab kebahagiaan anak di dunia dan akhirat
kelak.
Selain itu, Islam juga melarang orang
tua mendoakan kejelekan untuk anaknya. Apapun alasannya hal tersebut
tidak boleh dilakukan. Senyatanya, dalam kehidupan sehari-hari, tidak
jarang kita menemui orang tua yang saat emosi dan marah melaknat atau
mendoakan kejelekan untuk anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لَا تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ، فَيَسْتَجِيبُ لَكُم
“Janganlah kalian mendoakan
kejelekan untuk diri sendiri! Janganlah mendoakan kejelekan untuk
anak-anak kalian! Janganlah mendoakan kejelekan untuk harta milik
kalian! Jangan sampai kalian (berdoa) dan tepat pada waktu yang
ditentukan Allah ‘azza wa jalla untuk dikabulkan doa padanya, lantas doa kalian diwujudkan.” (HR . Muslim no. 3009, dari Jabir bin Abdillah)
Di dalam syarah Riyadhus Shalihin,
asy-Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin menyatakan, “Seandainya engkau
menegur anakmu dengan mengatakan, ‘Kemari! Mengapa engkau melakukan
perbuatan ini?! Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak melimpahkan taufik untukmu! Semoga Satu hal penting yang sering dilupakan oleh orang tua adalah mendoakan kebaikan untuk anaknya.
Allah ‘azza wa jalla tidak membuatmu beruntung! Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikanmu baik!’, dikhawatirkan bertepatan dengan waktu istijabah (dikabulkannya doa). Semua hal ini haram, tidak boleh!”
Alangkah lebih baiknya jika orang tua,
pengajar atau siapa pun, ketika melihat dan bergaul dengan anak-anak
untuk sering-sering mendoakan kebaikan. Barangkali saja tepat pada waktu
istijabah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri sering mendoakan kebaikan untuk anak-anak kecil semasa hidupnya.
Salah satu contohnya adalah doa beliau untuk Abdullah bin Abbas di
dalam hadits kita ini.
Doa Rasulullah Terkabul?
Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pada waktunya benar-benar terkabul. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
dikenal dan diakui sebagai ahli tafsir terkemuka di kalangan sahabat.
Referensi-referensi Islam dipenuhi dengan riwayat, pendapat, dan fatwa
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Untuk menggambarkan profil Ibnu
Abbas, kami akan menukilkan sedikit biografi beliau dari karya
monumental al-Imam adz-Dzahabi yang berjudul Siyar A’lam an-Nubala.
Nama lengkap beliau adalah Abul Abbas Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al-Hasyimi. Adz-Dzahabi menyebutnya dengan Habrul Ummah (Tinta Umat)[1], Faqiihul ‘Ashr (Tokoh Fiqih di Masanya), dan Imam at-Tafsir (Pemuka Utama dalam Tafsir). Secara garis nasab, Ibnu Abbas merupakan sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas dilahirkan di sebuah lembah
bernama Syi’b Abu Yusuf, sebuah daerah milik bani Hasyim. Syi’ib adalah
lembah yang pernah digunakan oleh Rasulullah dan bani Hasyim untuk
menetap ketika kaum kafir Quraisy melakukan blokade. Menurut pendapat
yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Barr dan al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Abbas
lahir tiga tahun sebelum hijrah. Oleh sebab itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Ibnu Abbas telah berusia 13 tahun.
Secara fisik, Ibnu Abbas memiliki
perawakan yang tegap, dada bidang, berwibawa, gagah rupawan, cerdas ,
berkulit putih, dan berpostur tinggi. Apabila Ibnu Abbas berjalan dan
melewati rumah-rumah, orang dapat mengenalnya hanya dengan mencium harum
wangi yang berasal dari tubuhnya.
Walaupun hanya sekitar tiga puluh bulan bermulazamah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, riwayat hadits Ibnu Abbas menyentuh bilangan 1.660 hadits. Di dalam ash-Shahihain ada
75 hadits; 120 hadits hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari, sementara
al-Imam Muslim ada 9 hadits yang hanya beliau yang meriwayatkan.
Selain meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ibnu Abbas juga berguru dari Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib,
Muadz bin Jabal, al-Abbas ayahnya, Abdurrahman bin Auf, Abu Sufyan, Abu
Dzar, dan sahabat-sahabat lainnya g. Secara lebih khusus, Ibnu Abbas
belajar al-Qur’an beserta ilmu-ilmu terapannya dari sahabat Ubai bin
Ka’b dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma.
Melihat nama-nama besar sahabat tempat Ibnu Abbas berguru dan menimba ilmu, maka tidaklah heran jika sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
menyanjung, “Andai Ibnu Abbas berusia seperti kami (sezaman sahabat
senior), tentu tidak ada seorang pun yang mampu menyainginya.” Dalam
kesempatan lain, Ibnu Mas’ud memuji, “Sebaik-baik penafsir al-Qur’an
adalah Ibnu Abbas.”
Siapakah sahabat yang paling mengerti
dan memahami tentang al-Qur’an berikut kandungan maknanya? Di antara
mereka adalah Ibnu Abbas. Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
mengakuinya dengan mengatakan, “Ibnu Abbas adalah orang yang paling
mengerti tentang ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk Nabi Muhammad.”
Pengakuan akan keilmuan Ibnu Abbas juga datang dari gurunya sendiri, Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu.
Ubai pernah berkata, “Anak muda ini kelak akan menjadi tinta umat ini.
Aku menyaksikan kecerdasan dan kepintaran terpancar dari dirinya.
Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar menjadikannya faqih di dalam agama.”
Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma juga mengakui taraf keilmuan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang amat tinggi. Suatu saat Mu’awiyah berbicara kepada Ikrimah rahimahullah, mantan budak milik Ibnu Abbas sekaligus muridnya, “Demi Allah! Maula-mu
(mantan majikanmu) adalah orang yang paling faqih di antara orang-orang
yang telah meninggal, juga dibandingkan dengan orang-orang yang masih
hidup.”
Demikianlah para sahabat memuji, menyanjung, dan mengakui keilmuan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Kemampuannya di dalam bidang tafsir, kefaqihannya dalam banyak masalah
agama telah menempatkan beliau pada posisi istimewa di kalangan sahabat.
Hal ini merupakan bukti bahwa doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beliau sungguh-sungguh dikabulkan oleh Allah ‘azza wa jalla.
Sebagai salah satu indikator keluasan ilmu Ibnu Abbas adalah sebuah keterangan dari Ibnu Hazm di dalam kitabnya, al-Ihkam.
Di sana Ibnu Hazm mengatakan, “Abu Bakr Muhammad bin Musa bin Ya’qub
bin al-Makmun, seorang ulama besar Islam, mengumpulkan fatwa-fatwa Ibnu
Abbas dalam dua puluh jilid kitab.”
Subhanallah! Fatwa Ibnu Abbas terhimpun dalam dua puluh jilid kitab? Sungguh, telah dikabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Fatwa-fatwa Ibnu Abbas yang dibangun di atas ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bukti kuat akan keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai beliau.
Menuju Ahli Tafsir
Usia Ibnu Abbas masih 13 tahun ketika
Rasulullah wafat. Akan tetapi, semangat juangnya untuk menimba dan
mencari ilmu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ibnu Abbas sempat
mengajak seorang kawannya dari kaum Anshar untuk berkeliling belajar
dari seorang sahabat ke sahabat lainnya. Namun, ajakan itu ditolak.
Katanya, buat apa belajar sementara sahabat-sahabat Nabi g masih banyak
yang hidup. Apakah orang-orang akan bertanya kepada kita?
Namun, semangat Ibnu Abbas selalu
bergelora. Digambarkan oleh beliau sendiri, untuk bisa memperoleh sebuah
riwayat, beliau terkadang harus rela menunggu sampai tertidur di depan
rumah sahabat yang dituju. Usia muda, semangat tinggi, kecerdasan yang
luar biasa ditambah lisan yang selalu bertanya, pada akhirnya membuat
Ibnu Abbas menjadi salah satu sumber rujukan utama dalam masalah agama.
Bagaimana tidak menjadi seorang pemuka
agama yang mumpuni, ilmu yang dihimpun dan dikumpulkan oleh Ibnu Abbas
benar-benar berkualitas. Buktinya? Ibnu Abbas pernah menyatakan,
“Sungguh! Untuk satu masalah saja, terkadang saya menanyakan jawabannya
kepada tiga puluh orang sahabat Nabi.”
Kawannya yang sempat menolak ajakan Ibnu Abbas lalu berkomentar, “Anak muda yang satu ini memang lebih cerdas daripada saya.”
Dari beberapa hal di atas, seharusnya
membuka harapan baru untuk anak-anak kita kelak. Kesempatan untuk
menjadi seorang ahli tafsir, seseorang yang memahami makna dan kandungan
al-Qur’an secara luas masih selalu ada. Asalkan kita sebagai orangtua
atau pengajar selalu menanamkan semangat dan menaburkan benih motivasi
dalam dada mereka. Menjadi seorang ahli tafsir? Mengapa tidak?
Warisan Ahli Tafsir, Murid-Murid Ahli Tafsir
Keilmuan Ibnu Abbas dalam hal
menafsirkan al-Qur’an kemudian diwarisi oleh murid-muridnya. Oleh sebab
itu, mayoritas tokoh dan pemuka ahli tafsir di kalangan tabi’in adalah
murid-murid Ibnu Abbas. Tidak ada satu pun ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan lalu dituliskan di dalam karya-karya tafsir kecuali pasti
tersebut salah satu dari nama murid-murid Ibnu Abbas.
Siapa yang tidak mengenal Mujahid bin
Jabr? Seorang ahli tafsir yang disebut oleh ats-Tsauri, “Jika datang
tafsir dari Mujahid, peganglah kuat-kuat!”
Siapa yang tidak mengenal Sa’id bin
Jubair? Muhammad bin Sirin, Ikrimah, Thawus, Atha’ bin Yasar,
asy-Sya’bi, Amr bin Dinar, Urwah bin az-Zubair, dan Arbadah at-Tamimi
Shahibut Tafsir? Mereka semua adalah murid-murid utama Ibnu Abbas yang
dikenal sebagai ahli tafsir juga.
Bagaimanakah Ibnu Abbas dalam pandangan
murid-muridnya? Abu Wa’il bercerita, “Ibnu Abbas pernah menyampaikan
khutbah untuk kami. Saat itu, beliau menjadi Amirul Hajj. Beliau
membacakan surat an-Nur dan menafsirkannya. Sampai-sampai aku berkata,
‘Aku tidak pernah mendengar khutbah seindah ini. Andai khutbah ini
didengar oleh orang-orang Persia, Romawi, dan Turki, niscaya mereka akan
masuk Islam’.”
Mujahid memuji, “Aku tidak pernah
melihat orang semacam Ibnu Abbas. Beliau adalah tinta umat ini.” Di
waktu lain Mujahid menjelaskan, “Ibnu Abbas digelari dengan al-Bahr (Samudra) karena banyaknya ilmu yang dimiliki.”
Pujian yang sama juga dilayangkan oleh Ikrimah, murid beliau yang lain. Katanya, “Ibnu Abbas benar-benar samudra ilmu.”
Thawus menggambarkan untuk kita tentang
keilmuan Ibnu Abbas di tengahtengah para sahabat. Kata Thawus, “Aku
pernah bertemu sekitar lima ratus orang sahabat Nabi. Jika mereka
berbeda pendapat, Ibnu Abbas selalu berusaha untuk meyakinkan mereka
pada satu pendapat sampai akhirnya mereka pun sepakat dengan pendapat
Ibnu Abbas.”
Ibnu Abbas di Mata Khalifah Umar bin al-Khaththab
Kefaqihan dan keluasan ilmu tafsir yang
dimiliki Ibnu Abbas adalah alasan yang membuat Khalifah Umar bin
al-Khaththab menunjuk beliau sebagai salah satu anggota Syura. Semula,
sebagian sahabat kurang bisa menerima keputusan Umar. “Kalau anak muda
ini bisa masuk dalam Syura, anak-anak kita yang seumur dengannya pun
seharusnya bisa,” kata mereka.
Suatu saat, Khalifah Umar hendak
menunjukkan bukti di hadapan seluruh anggota Syura bahwa Ibnu Abbas
memang layak berada di sana. Umar lalu bertanya tentang makna firman
Allah ‘azza wa jalla dalam surat an-Nashr. Sebagian sahabat diam, meski ada juga yang berusaha menjawab.
Di akhir diskusi, Umar bin al-Khaththab
mempersilakan Ibnu Abbas untuk menjawab. Kata Ibnu Abbas, “Yang dimaksud
adalah ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah mendengar jawaban Ibnu Abbas, Umar menanggapi, “Aku pun tidak
memahami ayat tersebut kecuali seperti yang engkau pahami!”
Dalam waktu yang berbeda, seorang utusan
dari daerah datang bertemu dengan Khalifah Umar. Di dalam laporannya,
utusan tersebut menceritakan semangat kaum muslimin di daerahnya yang
begitu cepat mempelajari dan menghafal al-Qur’an. Ibnu Abbas secara
terus terang menyatakan tidak senang dengan fenomena tersebut. Namun,
Umar tidak menerima keberatan yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas kemudian pulang ke rumah
dalam keadaan sedih atas sikap Umar. Beliau berbaring sampai disangka
jatuh sakit oleh sebagian anggota keluarganya. Akhirnya datang panggilan
dari Umar untuk Ibnu Abbas agar datang menghadap. Berbicara berdua,
Umar menanyakan tentang pernyataan Ibnu Abbas di hadapan utusan
tersebut. Apa alasannya?
Ibnu Abbas lalu menjelaskan, “Jika
orang-orang terlalu cepat mempelajari dan menghafal al-Qur’an, mereka
akan mengklaim saling benar. Apabila hal itu terjadi, mereka akan
berdebat. Setelah itu mereka akan berselisih. Pada akhirnya mereka akan
saling membunuh.”
Kata Umar menilai keterangan Ibnu Abbas,
“Sungguh menakjubkan pikiranmu! Sungguh, selama ini aku menyembunyikan
perasaan semacam itu dari orang-orang, sampai akhirnya engkau pun
mengutarakannya.”
Doakanlah Kebaikan!
Kekhawatiran Ibnu Abbas akhirnya
benar-benar nyata terjadi. Akibat dari berbicara tentang al-Qur’an tanpa
landasan ilmiah hanya akan menimbulkan kekacauan dalam beragama.
Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsu, kepentingan kelompok,
atau kesenangan pribadi terlihat jelas pada kelompok-kelompok sempalan
Islam. Serahkan
tafsir al-Qur’an pada ahlinya!
Sungguh benar ucapan sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang pernah menggambarkan semacam ini. Sebagian muridnya bertanya, kapankah hal itu terjadi?
Ibnu Mas’ud menjawab,
إِذَا كَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّ فُقَهَاؤُكُمْ، وَكَثُرَ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّ أُمَنَاؤُكُمْ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ، وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّينِ
“Apabila ahli membaca al-Qur’an
banyak jumlahnya, tetapi yang mengerti tentang fiqihnya hanya sedikit.
Banyak pemimpin bermunculan, namun yang bersikap amanah amat jarang.
Dunia dicari dengan mengorbankan agama, dan orang belajar tetapi tidak
tulus demi agama.” (Riwayat al-Hakim 4/514 dan ad-Darimi 1/64)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
memberikan taufik dan hidayah-Nya agar kaum muslimin kembali kepada
paham Salafus Shalih dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Semoga kita dan
anak-anak kita kelak selalu istiqamah mempelajari al-Qur’an, mencintai,
mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya.
Seperti Ibnu Abbas! Walaupun telah buta
di masa tuanya, Ibnu Abbas tetap mengajarkan al-Qur’an beserta
tafsirnya. Ibnu Abbas adalah figur panutan kita dalam ilmu tafsir.
Semoga Allah meridhai beliau dan orang tuanya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai
[1] Kata hibr dengan meng-kasrah huruf ha, maknanya tinta atau ulama. Adapun dengan habr maknanya ialah ulama. (Mishbahul Munir, al-Fayyumi)

Bahasa Arab Semata Tidaklah Cukup
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ ٨٢
Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)
Sebab Turunnya Ayat
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
para sahabat merasa berat ketika ayat ini turun. Mereka lalu
menyampaikan (apa yang mereka pahami tentang makna ayat tersebut) kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat zalim (menganiaya) terhadap diri sendiri?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya
(penafsirannya) bukanlah seperti yang kalian maksud. Tidakkah kalian
mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh pada firman
Allah ‘azza wa jalla,
إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣
‘Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) benar-benar kezaliman yang besar.’ (Luqman: 13)”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kezaliman (dalam ayat ini) adalah syirik.
Al-Khaththabi rahimahullah
mengatakan bahwa para sahabat g memahami kesyirikan (memiliki makna)
yang lebih besar daripada sekadar kezaliman. Mereka memahami makna ‘zhulm’
(kezaliman) dalam ayat ini ialah selain syirik, yaitu kemaksiatan.
Kemudian mereka menanyakan hal tersebut sehingga turunlah ayat ini.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Pendapat al-Khaththabi ini perlu ditinjau ulang. Yang tampak bagi saya, mereka (para sahabat) memahami kata ‘zhulm’ dengan makna yang umum, baik syirik maupun yang lainnya (kemaksiatan). Sebab, kata ‘zhulm’ berbentuk nakirah (tidak tertentu) dalam konteks nafi (kalimat peniadaan, sehingga bermakna umum). Akan tetapi, makna yang umum di sini ditinjau dari sisi zahirnya.
Ternyata, (keumuman makna yang) dipahami
sebatas yang tampak dari ayat (mencakup syirik dan kemaksiatan) bukan
itu yang dikehendaki dalam ayat ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata tersebut tergolong
dalam bab ‘sesuatu yang umum, namun dimaksudkan untuk hal yang khusus’.
Dengan demikian, maksud kezaliman di sini ialah jenis yang tertinggi
darinya, yaitu syirik.” (Fathul Bari, 1/109—111)
Penjelasan Mufradat Ayat
وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ
“Tidak mencampuradukkan.”
Maknanya adalah لَمْ يَخْلِطُوا , yaitu tidak mencampurkan.
Muhammad bin Ismail at-Taimi berkata,
“(Ada kemungkinan maknanya) ialah mencampurkan antara keimanan dan
kesyirikan, meskipun ini makna yang tidak bisa dibayangkan. Yang
dimaksud ialah tidak terkumpul pada mereka dua sifat, yakni kekufuran
setelah keimanan; tidak akan terjadi kemurtadan. Bisa jadi pula,
maknanya ialah mereka tidak mengumpulkan antara keimanan dan kekufuran
secara lahir dan batin, yaitu tidak terdapat kemunafikan.”
بِظُلۡمٍ
“Dengan kezaliman.”
Maknanya adalah ‘dengan syirik’. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh hadits di atas. Pada riwayat yang lain,
para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang
tidak menzalimi dirinya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Maknanya)
bukan seperti yang kalian katakan. Makna ayat ‘mereka tidak
mencampuradukkan keimanan dengan kezaliman’, ialah dengan kesyirikan.
Tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan Luqman?”
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ayat, “Sesungguhnya kesyirikan itu benar-benar kezaliman yang besar.”
Penafsiran ini juga diriwayatkan dari
Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar, Ubay bin Ka’b, Salman, Hudzaifah, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, ‘Amr bin Syarahbil, Abu Abdurrahman as-Sulami,
Mujahid, ‘Ikrimah, an-Nakha’i, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi, dan
selain mereka. (Fathul Bari, 1/111; Ibnu Katsir, 2/145)
Sebab, kezaliman mutlak yang sempurna adalah syirik. Syirik adalah menempatkan peribadahan tidak pada tempatnya.
Kandungan Ayat
Seperti yang terdapat dalam riwayat di atas, ketika ayat itu turun, para sahabat radhiallahu ‘anhum merasa berat.
Syaikhul Islam rahimahullah
berkata, “Yang menyebabkan mereka merasa berat adalah sangkaan mereka
bahwa kezaliman yang harus ditiadakan adalah kezaliman seorang hamba
terhadap dirinya. (Maknanya,) tidak ada yang mendapatkan jaminan
keamanan dan petunjuk kecuali orang yang sama sekali tidak melakukan
kezaliman terhadap dirinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa makna (yang benar) ialah sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Kitabullah, yaitu syirik merupakan kezaliman. Barang siapa tidak
mencampuradukkan keimanannya dengan kezaliman (yakni syirik), ia
termasuk golongan yang mendapatkan jaminan keamanan dan petunjuk,
sebagaimana yang terjadi pada orang-orang pilihan, seperti firman Allah,
ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَيۡرَٰتِ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِيرُ ٣٢
“Kemudian kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di
antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara
mereka ada yang pertengahan ada di antara mereka ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Hal itu sudah karunia yang
amat besar.” (Fathir: 32)
Hal ini tidaklah bertentangan dengan
ayat lain yang menerangkan bahwa seseorang yang meninggal dunia dalam
keadaan belum bertobat dari kezaliman dirinya sendiri—yakni berbuat
dosa—akan dihukum. Firman Allah,
(فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ (٧) وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُ (٨
“Barang siapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa
mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasannya) pula.” (az-Zalzalah: 7—8)
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, siapa di antara kita yang tidak pernah melakukan kejelekan?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Abu Bakr, bukankah kamu pernah ditimpa letih (sakit), sedih, dan cobaan? Dengan itulah kalian mendapatkan balasan.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, seorang mukmin yang jika meninggal masuk ke dalam jannah (surga),
terkadang kejelekannya dibalas sewaktu di dunia dengan ditimpa berbagai
musibah. Barang siapa selamat dari tiga jenis kezaliman: syirik,
menzalimi orang, dan menzalimi diri sendiri selain kesyirikan, ia akan
mendapatkan jaminan keamanan dan petunjuk yang sempurna.
Barang siapa tidak selamat dari berbuat
kezaliman, ia akan mendapatkan jaminan dan petunjuk yang tidak sempurna.
Maknanya, ia pasti akan masuk ke dalam jannah, sebagaimana yang dijanjikan dalam ayat lain. Allah ‘azza wa jalla memberikan hidayah kepada jalan yang lurus, yang kesudahannya berakhir masuk ke jannah.
Akan tetapi, jaminan keamanan dan petunjuk yang didapatnya tidak
sempurna, sesuai dengan kadar berkurangnya keimanannya akibat kezaliman
yang dia lakukan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang menafsirkan makna kezaliman) dengan syirik tidaklah bermakna
bahwa siapa yang tidak melakukan syirik akbar lantas mendapat jaminan
keamanan dan petunjuk yang sempurna. Sebab, sekian banyak hadits dan
dalil yang ada dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa para pelaku dosa besar
(muslim yang tidak berbuat syirik) akan menghadapi keadaan yang
menakutkan (mencemaskan). Mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan dan
petunjuk yang sempurna.
Dengan sebab keduanya (jaminan keamanan dan petunjuk yang sempurna), seseorang mendapatkan petunjuk menuju ash-shirath al-mustaqim, yaitu jalan orang-orang yang telah Allah ‘azza wa jalla anugerahkan nikmat kepada mereka, tanpa harus mengalami proses azab terlebih dahulu.
Namun, pada diri mereka (yang melakukan
kezaliman selain syirik akbar) ada pokok hidayah dan pokok kenikmatan
sehingga mereka akan dimasukkan ke dalam jannah.
Jadi, jika makna syirik dalam pembahasan
ini diartikan dengan syirik besar, maksudnya adalah orang yang tidak
berbuat syirik (besar) akan aman dari ancaman yang ditimpakan kepada
kaum musyrikin, yaitu azab di dunia dan di akhirat.
Adapun jika yang dimaksud syirik di sini
adalah jenisnya (semua jenis syirik), maknanya adalah seseorang
menzalimi diri sendiri. Contohnya, kekikiran karena cinta harta akan
mendorong seseorang membenci hal yang wajib (semisal menunaikan zakat, -ed.), ini tergolong dalam syirik ashghar. Seseorang mencintai sesuatu yang Allah ‘azza wa jalla benci sehingga hawa nafsu lebih dia kedepankan daripada cintanya kepada Allah, ini syirik ashghar, dan yang semisalnya.
Orang yang semacam ini akan kehilangan
jaminan keamanan dan hidayah sesuai dengan kadar kezaliman yang
dilakukannya. Oleh karena itu, dari tinjauan dan sisi inilah para ulama
salaf memasukkan perbuatan dosa sebagai bentuk syirik.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “(Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat radhiallahu ‘anhum atas
tafsir ayat di atas) merupakan jawaban yang menenteramkan dan
melegakan. Sebab, kezaliman mutlak yang sempurna adalah syirik. Syirik
adalah menempatkan peribadahan tidak pada tempatnya.” (Fathul Majid, hlm. 48—50)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, hadits yang menerangkan asbabun nuzul ayat ini mengandung beberapa faidah sebagai berikut:
- Suatu kalimat dimaknai umum hingga datang dalil yang mengkhususkannya.
- Bentuk kalimat nakirah dalam konteks nafi, mengandung makna umum.
- Pengkhususan menerangkan hal yang umum, dan yang rinci menerangkan hal yang global.
- Sebuah lafadz (kata) dapat dibawa kepada makna yang berbeda dengan makna yang tampak secara zahir, untuk sebuah kemaslahatan dalam rangka menolak pendapat yang bertentangan (keliru).
- Kezaliman itu bertingkat-tingkat, terjadi perbedaan (antara satu dan yang lain).
- Kemaksiatan tidak disebut sebagai kesyirikan.
- Seorang yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun mendapat jaminan keamanan dan mendapat petunjuk.
Jika muncul pertanyaan, seorang pelaku
dosa kadang harus diazab, jaminan keamanan dan petunjuk apakan yang
diperoleh? Jawabannya adalah dia akan mendapatkan jaminan untuk tidak
kekal di dalam api neraka. Dia akan masuk ke dalam jannah. (Fathul Bari, 1/111)
Wallahu a’lam. Wal ‘ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

Kitab-kitab Tafsir Ahlussunnah dan Keistimewaannya
Dari uraian sebelumnya, jelas bagi kita bahwa secara umum, manhaj tafsir al-Qur’an terbagi dua; tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi
(dirayah, ijtihad). Kedua manhaj tafsir ini mempunyai tokoh dengan
kitab tafsir mereka masing-masing. Akan tetapi, yang akan dikemukakan di
sini hanya tafsir yang disusun oleh ulama ahlis sunnah yang dikenal
keilmuan dan ketakwaan mereka serta keteguhan mereka dalam mengamalkan
ilmu yang mereka miliki.
Adapun kitab tafsir di luar ahlis
sunnah, baik yang dibuat para pengikut hawa nafsu maupun kebid’ahan,
tidak dipaparkan di sini. Sebab, ahli bid’ah dan para pengikut hawa
nafsu tidak ada tujuan mereka selain menyelewengkan makna ayat dari yang
haq untuk membela keyakinan mereka yang rusak.
Telah pula dijelaskan bahwa yang menjadi
patokan benar tidaknya tafsir yang ada adalah sesuai atau tidaknya
tafsir tersebut dengan manhaj salafus saleh g. Sebab, salaf kita yang
saleh, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling tahu, sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kandungan al-Qur’an dan paling semangat mengamalkannya. Wallahu a’lam.
Kitab-kitab Tafsir Ahlis Sunnah
- Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, yang diberi judul Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran.
Tafsir ini ditulis oleh Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari yang
lahir tahun 224 H di Thabristan.
Beliau adalah salah seorang imam kaum
muslimin yang dijadikan rujukan karena keilmuannya. Dalam bidang tafsir,
beliau dikatakan sebagai Bapak Tafsir al-Qur’an, demikian pula di
bidang sejarah (tarikh).
Tafsir Ibnu Jarir adalah tafsir yang paling kokoh dan terkenal, bahkan menjadi rujukan pertama bagi mufasir yang menekuni tafsir bir riwayah. Namun, pada saat yang sama, tafsir ini juga merupakan rujukan bagi tafsir ‘aqli karena adanya upaya ijtihad di dalamnya.
Para ulama sepakat menilai tinggi kedudukan tafsir Ibnu Jarir ini.
As-Suyuthi menyebutkan bahwa Kitab Tafsir ath-Thabari adalah
kitab tafsir yang paling besar dan paling utama. Sebab, Ibnu Jarir
memberikan arahan bagi setiap pendapat, melakukan pentarjihan,
menerangkan segi-segi i’rab (kedudukan kata dalam tata bahasa Arab), dan melakukan istinbath (pengambilan hukum dari dalil).
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa umat ini sepakat bahwa belum ada yang menyusun tafsir sehebat Tafsir ath-Thabari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memuji, “Adapun kitab tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling sahih adalah Tafsir ath-Thabari.
Beliau menyebutkan pendapat para salaf dengan sanad yang jelas dan
tidak ada kebid’ahan di dalamnya; serta tidak menukil dari orangorang
yang tertuduh seperti Muqatil bin Sulaiman dan al-Kalbi.”
Manhaj yang diikuti Ibnu Jarir dalam
tafsirnya ialah, jika hendak menafsirkan ayat, beliau menyebutkan,
“Pendapat mengenai takwil firman Allah ‘azza wa jalla ini adalah demikian dan demikian.”
Kemudian, beliau menafsirkan ayat itu
dengan berpegang pada pendapat sahabat dan tabi’in dengan sanadnya.
Beliau memaparkan sejumlah riwayat mengenai ayat yang dibahas, sekaligus
membandingkannya satu sama lain dan mentarjih salah satunya.
Tidak jarang pula beliau mengoreksi
beberapa sanad dari periwayatan tersebut. Rawi yang dipandang tsiqah,
beliau nyatakan tsiqah, yang dha’if, beliau tolak riwayatnya.
Meskipun dalam tafsir ini tercantum juga berita Israiliyat, beliau sering menyusulkan pembahasan dan kritikan.
Dalam masalah akidah, beliau menyanggah pendapat ahli kalam dan menguatkan mazhab ahlis sunnah wal jama’ah.
Wallahu a’lam.
- Tafsir al-Qurthubi
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi
Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang
imam yang menguasai berbagai disiplin ilmu.
Dikenal dengan Jami’ Ahkamil Quran. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab ini jauh lebih baik dari Tafsir az-Zamakhsyari, lebih dekat kepada jalan ahlil kitab was sunnah serta lebih jauh dari kebid’ahan.
Tafsir beliau boleh dikatakan sebagai sebuah ensiklopedi dengan berbagai disiplin ilmu di dalamnya.
Di antara keistimewaannya ialah tafsir
dengan pembahasan fikih yang sangat luas, menyandarkan hadits kepada
yang mengeluarkannya.
Di dalam tafsir ini, beliau sedikit menukil kisah Israiliyat dan hadits palsu tanpa mengomentarinya.
Akan tetapi, ketika riwayat seperti ini
menodai kesucian malaikat dan kemaksuman seorang nabi, beliau
menyanggahnya dan menyatakan kebatilannya atau kelemahan riwayat
tersebut. Sebagaimana yang beliau terangkan tentang kisah Harut dan
Marut.
Meskipun judul kitab beliau
menitikberatkan pembahasan fikih, beliau juga menafsirkan al-Qur’an
secara menyeluruh. Beliau menerangkan kata yang asing (gharib) dan menjelaskan macam-macam qira’at dan i’rab. Beliau juga mengutip pendapat ulama terdahulu yang tsiqah, khususnya para penulis kitab tentang hukum.
Dalam masalah akidah dan manhaj, beliau
juga menyerang pemikiran Mu’tazilah, Qadariyah, Rafidhah, ahli filsafat,
dan kaum tarekat sufiyah yang keterlaluan (melampaui batas). Akan
tetapi, semua itu beliau tulis dengan bahasa yang halus, walaupun
bernada kritik terhadap tokoh tertentu.
Di antara kekurangannya ialah menukil
riwayat Israiliyat tanpa mengomentarinya, kemudian menukil dari beberapa
sumber lain tanpa menyebutkan namanya.
Demikian pula riwayat yang lemah dan palsu, masih mengisi halaman kitab besar ini.
- Tafsir Ibnu Katsir
Beliau adalah ‘Imaduddin Abul Fida’
Isma’il bin ‘Umar bin Katsir. Seorang hafizh dan imam kaum muslimin.
Belajar dari Ibnu Taimiyah dan banyak mengadopsi pemikirannya.
Para ulama mengakui keluasan ilmu beliau baik dalam hadits, sejarah dan tafsir.
Kitab beliau al-Bidayah wan Nihayah adalah rujukan utama tentang sejarah Islam. Kitab tafsirnya, Tafsirul Quranil ‘Azhim adalah tafsir yang paling terkenal dari sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur yang
menjadi rujukan. Sebab, Ibnu Katsir sangat menguasai berbagai disiplin
ilmu, seperti tentang sunnah, sejarah orang-orang terdahulu dan yang
kemudian.
Dalam tafsirnya ini, beliau selalu
mencantumkan hadits yang marfu’, mengemukakan perkataan salafussaleh,
baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in dan imam-imam sesudah mereka
yang mumpuni dalam bidang tafsir.
Di antara keistimewaannya ialah beliau sering memperingatkan akan riwayat Israiliyat yang munkar yang ada dalam sejumlah kitab tafsir bil ma’tsur. Kadang beliau juga mendiskusikan beberapa pendapat mazhab fikih dengan dalil masing-masing mazhab.
Di samping menyandarkan pendapat tentang
tafsir yang beliau pilih kepada yang mengucapkannya, beliau juga
melakukan kritik terhadap rawi yang menyampaikan. Karena itu, beliau
menyatakan sahih yang beliau anggap kuat dan melemahkan yang cacat.
Termasuk keistimewaannya yang menonjol
ialah perhatiannya terhadap apa yang dikenal sebagai tafsir al-Qur’an
dengan al-Qur’an. Selain itu, beliau menjauhi pembahasan tentang i’rab
dan ilmu lain yang tidak begitu diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an.
- Tafsir asy-Syinqithi
Yang dikenal dengan Adhwaul Bayan fi Idhahil Quran bil Qur’an. Penulisnya adalah asy-Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakni asy-Syinqithi.
Dia menguasai ilmu-ilmu alat yang
diperlukan seorang mufasir, seorang ahli usul fikih dari kalangan mazhab
Maliki. Akan tetapi, beliau tidak terbelenggu oleh taklid buta.
Tafsir ini adalah kitab tafsir yang
cukup lengkap, tidak hanya membahas tentang tafsir ayat al-Qur’an
semata, tetapi juga sejumlah ilmu syariat lainnya, seperti ilmu usul
fikih, hadits, akidah, bahasa Arab, dan balaghah.
Keistimewaannya, beliau menerangkan
metode istinbath hukum fikih melalui suatu ayat kemudian menjelaskan
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beliau kemukakan dalil mereka dan
mendiskusikannya lalu merajihkan pendapat yang paling kuat dalilnya
tanpa fanatik terhadap mazhab tertentu.
Inilah yang beliau terangkan dalam mukadimah kitab beliau Adhwaul Bayan,
yaitu memaparkan hukum yang terkait dengan ayat tertentu berikut
dalilnya dari as-Sunnah dan pendapat para ulama. Kemudian merajihkan
mana yang menurut beliau paling kuat dalilnya.
Hampir tidak ada satu pun ayat yang
dilewati beliau kecuali beliau keluarkan dari ayat tersebut sebagian
hukum fikihnya yang bermacam-macam.
Misalnya, dari firman Allah ‘azza wa jalla, Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30)
Beliau mengeluarkan imamah dan hukumnya.
Ketika mendiskusikan beberapa masalah
fikih, beliau sebutkan pendapatnya dan menerangkan apa yang beliau pilih
dengan menyebut, “Yang tampak menurut saya adalah….” atau, “Inilah yang
tampak, yang tidak boleh beralih kepada yang lain….” atau, “Yang benar
dalam masalah ini ialah….” dsb.
Kitab ini tidak termasuk kitab tafsir bir ra’yi, tetapi merupakan istinbath dari al-Qur’an dengan berpegang pada kitab ulama terdahulu dan merajihkan yang beliau pandang kuat.
Hampir sebagian besar beliau mengambilnya dari tafsir al-Qurthubi.
Wallahu a’lam.
- Tafsir as-Sa’di
Beliau adalah asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashr Alu Sa’di, ulama dari ‘Unaizah.
Tafsir beliau yang berjudul Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalimil Mannan adalah kitab tafsir yang ringkas.
Meskipun kecil, kitab ini mencakup
sebagian pembahasan yang pernah diterangkan ulama dalam tafsir mereka.
Kitab ini sesuai dengan judulnya, ringkas dan mudah. Beliau
memaparkannya dengan bahasa yang memikat dan jelas yang mencakup semua
yang dimaksud oleh ayat yang sedang ditafsirkan baik makna maupun hukum,
melalui teks (manthuq) maupun hal-hal yang tersirat (mafhum), tanpa memperluas atau istithrad (membakukan), menyebutkan kisah dan dongeng Israiliyat, serta hikayat sebuah perkataan, sehingga keluar dari tujuan sebenarnya.
Dalam tafsir ini, beliau hanya
memfokuskan diri pada makna yang dimaksud oleh suatu ayat dengan
ungkapan yang mudah dipahami oleh semua yang membacanya bagaimanapun
status keilmuannya.
Beliau lebih memerhatikan pemantapan akidah salaf, mengarahkan kepada Allah ‘azza wa jalla,
memetik kesimpulan hukum syar’i, kaidah usul fikih, faedah fikih dan
faedah lainnya, yang tidak ditemukan pada tafsir lainnya. Di samping
itu, beliau juga memerhatikan penafsiran ayat sifat sesuai dengan
tuntutan akidah salaf, berbeda dengan penakwilan sebagian ahli tafsir.
Jauh dari keterangan yang bertele-tele
dan panjang lebar yang tidak ada faedahnya, serta membuang-buang waktu
dan mengeruhkan pikiran.
Menjauhi pemaparan tentang perselisihan
kecuali yang sangat kuat dan perlu disebutkan. Keistimewaan ini penting
bagi pembaca sehingga kokoh pemahamannya terhadap sesuatu.
Berjalan di atas manhaj salaf dalam ayat-ayat sifat, tanpa tahrif (menyelewengkan makna) dan takwil yang menyelisihi apa yang dikehendaki Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya, dan ini adalah pilar dalam membina akidah.
Tajamnya penarikan faedah, hukum, hikmah
yang ditunjukkan oleh suatu ayat. Hal ini terlihat jelas dalam sebagian
ayat, seperti ayat tentang wudhu pada surat al-Maidah, dengan
menguraikan lima puluh hikmah, juga sebagaimana dalam kisah Nabi Dawud ‘alaihissalam dan Sulaiman pada surat Shad.
Kitab ini adalah kitab tafsir dan
tarbiyah (pendidikan, pembinaan) akhlak yang mulia, sebagaimana terlihat
ketika beliau menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat al-A’raf ayat 199,
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Masih banyak tafsir lainnya yang menjadi rujukan kaum muslimin.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Madzhab Tafsir dan Konsekuensinya
Setelah berakhirnya masa sahabat dan
kemenangan kaum muslimin dalam membebaskan beberapa kota besar di
sekitar Jazirah Arab, datanglah murid-murid mereka yang mengambil ilmu
tentang Kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mereka. Masing-masing tingkatan tabi’in itu mempelajari ilmu dari sahabat yang ada di tengah-tengah mereka.
Akhirnya, muncul beberapa madrasah
tafsir sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ketiga madrasah tersebut
(Makkah, Madinah, dan Irak) mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan tafsir, khususnya tafsir bil ma’tsur. Hal ini
sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Adapun
tafsir, maka yang paling tahu adalah penduduk Makkah, karena mereka
adalah murid-murid Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”
Pada akhir dinasti Umayyah, awal munculnya dinasti ‘Abbasiyah, tafsir masih dalam bentuk riwayat (bil ma’tsur).
Baru pada pertengahan masa ‘Abbasiyah, setelah berkembangnya mazhab
fikih, akidah, dan spesialisasi keilmuan, muncul berbagai penafsiran
dengan ra’yu.
Sebagian mereka berusaha menarik makna ayat untuk mendukung mazhab yang dianutnya, baik dalam masalah akidah maupun fikih.
Alhasil, setiap kelompok menafsirkan
al-Qur’anul Karim dengan penafsiran yang berbeda satu sama lain. Tidak
jarang penafsiran itu tidak diterima oleh kelompok lainnya yang berbeda
mazhab dan akidah.
Semua itu adalah sebuah keniscayaan
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ketika seorang mufasir menggunakan manhaj
yang berbeda dengan mufasir lain, maka akan melahirkan tafsir yang
berbeda pula. Sebagai contoh, menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan
filsafat akan lahir produk yang bercorak filosofis. Demikian juga ketika
upaya penafsiran terhadap ayat al-Qur’an tersebut menggunakan
pendekatan fikih atau sufistik, maka akan menghasilkan tafsir fikih dan
sufistik.
Wallahu a’lam.
Sebab Kesalahan dan Contohnya
Kita tidak meragukan bahwa semua yang
terkait dengan tafsir telah cukup lengkap dipaparkan oleh ulama kaum
muslimin pada masa awal pembukuan berbagai khazanah ilmu Islam. Jasa
mereka cukup besar, hingga patut dihargai, karena orang yang datang
sesudah mereka tidak perlu menempuh kesulitan yang berarti untuk
meneliti dan menyingkap makna al-Qur’anul Karim.
Meskipun besar jasa dan pengorbanan
serta khidmat mereka terhadap Kitab Allah, kita tetap yakin bahwa
kesempurnaan hanya milik Allah ‘azza wa jalla.
Semoga Allah ‘azza wa jalla
merahmati al-Imam Malik yang pernah menyebutkan, “Semua orang bisa
diterima dan ditolak perkataannya, kecuali pemilik kubur ini (beliau
menunjuk ke arah kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Sebab itu, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum,
bisa diterima perkataan mereka jika sesuai dengan yang haq dan ditolak
apabila bertentangan dengan yang haq. Asas dan kaidah ilmu pengetahuan
seperti akar atau fondasi bagi bangunan ilmu yang berdiri di atasnya.
Berpegang kepada kaidah dan asas ini akan menguatkan ilmu tersebut dan
mengembangkannya secara baku sehingga jelas perbedaan mana yang benar
dari yang salah.
Secara ringkas, salah adalah lawan dari
benar, atau menyelisihi manhaj yang selamat dan jalan yang lurus, atau
menyelisihi hakikat yang sesungguhnya.
Sebuah kesalahan bisa karena sengaja,
bisa pula tidak; apakah karena lupa, ataupun tidak mengetahui. Akan
tetapi, yang paling baik adalah mereka yang menyadari kesalahannya lalu
bertaubat dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi kesalahan
tersebut.
Dari hasil penelitian, munculnya kesalahan banyak terjadi pada tafsir bir ra’yi yang
menyimpang dari manhaj salafussaleh dalam menafsirkan al-Qur’anul
Karim. Kesalahan tersebut adalah karena mereka menafsirkan nash
al-Qur’anul Karim dengan penalaran (logika) semata dan hawa nafsu tanpa
bersandar kepada pokok dan syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang
mufasir.
Akhirnya, penafsiran dan penakwilan
mereka terhadap ayat al-Qur’an berlawanan dengan hakikat risalah
al-Qur’an, tidak sesuai dengan petunjuk (hidayah)-nya, tidak pula
mencapai tujuannya yang mulia, dan tidak sesuai pula dengan tujuan utama
diturunkannya kitab yang mulia ini.
Tidak ada satu pun kelompok bid’ah dan
pengikut hawa nafsu kecuali melakukan kesalahan dengan membawakan ayat
al-Qur’an kepada makna yang mendukung kesesatan mereka dan membela
mazhab mereka. Fakta paling jelas adalah tafsir mereka yang tersebar dan
disusun berdasarkan keyakinan yang palsu dan mazhab yang menyimpang.
Tidak pula satu pun di antara mereka
yang menjadikan nash al-Qur’an sebagai pendukung kesesatan mereka,
kecuali di dalam al-Qur’an pula terdapat bantahannya.
Tentang mereka ini, Syaikhul Islam
mengatakan, “Mereka menggunakan istilah al-Qur’an dan as-Sunnah, lantas
memberinya makna yang sesuai dengan keyakinan mereka. Kemudian mereka
berdialog dengan istilah tersebut dan menjadikan apa yang dikehendaki
oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya sejenis dengan kehendak mereka.”[1]
Mereka menuntut ilmu agama tetapi tidak
melalui jalannya yang benar. Sebab, mereka kembali bersandar kepada akal
dan pikiran serta penalaran mereka. Apabila mendengar sebagian ayat
atau hadits, mereka membenturkannya dengan penilaian akal mereka. Jika
sesuai dan menguatkan mereka, tentu mereka menerimanya, kalau tidak
sesuai dengan akal mereka, ayat atau hadits itu mereka tolak. Seandainya
harus mereka terima juga (hadits atau ayat), mereka akan berusaha
menakwilkannya dengan penakwilan yang jauh dan makna yang tidak disukai.
Akhirnya mereka menyimpang dari al-haq, menyeleweng, dan membuang yang
haq itu ke belakang punggung mereka; serta menempatkan sunnah di bawah
tapak kaki mereka.[2]
Intinya, golongan seperti mereka ini
lebih dahulu mempunyai sebuah keyakinan atau ideologi. Kemudian mereka
membawa lafadz al-Qur’an kepada keyakinan itu, dalam keadaan tidak ada
yang mendahului mereka (yang mereka ikuti) sebelum itu di kalangan
salaf, baik sahabat, tabi’in yang mengikuti para sahabat dengan baik,
maupun para imam kaum muslimin….[3]
Ada beberapa sebab yang memicu terjadinya kesalahan dalam menafsirkan.Secara ringkas, sebagai berikut.
- Melakukan ijtihad padahal ada nash yang menafsirkan ayat yang dibahas
Seperti ditegaskan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, bahwa semua makna yang menyelisihi al-Kitab (al-Qur’anul
Karim) dan as-Sunnah adalah batil dan hujah yang mentah.[4]
Sebagai contoh, mereka yang mengingkari ru’yah (melihat Allah ‘azza wa jalla) yang disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26)
Tambahan ini adalah ru’yah (melihat Wajah Allah ‘azza wa jalla). Inilah prinsip akidah yang diyakini oleh salafus saleh (sahabat dan tabi’in).[5]
Adapun al-Jubbai, pimpinan Mu’tazilah, menafsirkannya sebagai tambahan pahala.
- Berpegang kepada hadits lemah dan palsu
Telah dijelaskan bahwa jalan kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud adalah dengan hadits-hadits yang maqbul (hasan
dan sahih). Artinya, mufasir hendaknya memastikan atau menguatkan
dugaan bahwa tafsir tersebut memang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang jelas, al-Qur’anul Karim tidak
memerlukan kedustaan dan hal yang dibuat-buat untuk menerangkan
keutamaannya, apalagi penjelasan maknanya. Sebagai contoh di sini ialah
tafsir firman Allah ‘azza wa jalla,
Dialah (Allah) yang menciptakan kamu
dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia
merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu
mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan
(beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-istri) bermohon kepada Allah, Rabbnya seraya berkata,
“Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami
termasuk orang-orang yang bersyukur.” Tatkala Allah memberi kepada
keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu
bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya
itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (al-A’raf: 189-190)
Yang dimaksud adalah Adam dan Hawa.[6]
Al-Imam at-Tirmidzi yang meriwayatkannya
menyebutkan bahwa hadits hasan gharib (3077). Asy-Syaikh al-Albani
menyatakannya lemah (Shahih Dha’if Sunan at-Tirmidzi).
- Bersandar kepada kisah Israiliyat
Telah dijelaskan pengertian Israiliyat dan pembagiannya. Sebagai contoh ialah ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla
surat al-Maidah ayat 21—22, sebagian ahli tafsir mengisahkan pertemuan
beberapa utusan Nabi Musa q dengan orang-orang Jabbarin yang ada di
negeri yang diperintahkan untuk dimasuki Bani Israil. Ternyata tinggi
orang-orang tersebut lebih dari tiga ribu hasta.[7]
- Berpedoman kepada prasangka dan cerita hikayat
Kisah al-‘Utbi tentang istighatsah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tawasul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinukil oleh al-Qurthubi, an-Nasafi, dan Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsir mereka tentang firman Allah ‘azza wa jalla surat an-Nisa’ ayat 64.
Sanad kisah ini tidak sahih, matannya menyelisihi riwayat yang sahih yang menunjukkan kepada tawasul yang terlarang.
- Hanya bertumpu kepada bahasa dan meninggalkan atsar yang sahih
Asy-Syaikh Muhammad Bazmul dalam Syarah Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyebutkan bahwa tidak semua yang berlaku secara bahasa, boleh untuk dijadikan tafsir.
Berpegang dengan atsar salaf yang saleh
dalam tafsir adalah perkara yang jelas dan tidak terbantah, karena hal
yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, penafsiran terhadap firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat Ali ‘Imran ayat 39,
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil
Zakaria, ketika ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya),
“Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang
putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah,
menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk
keturunan orang-orang saleh.”
bahwa kalimat dari Allah ‘azza wa jalla
ini adalah Kitab Allah, karena hanya berpegang kepada bahasa, tidak
melihat susunan dan sebab turunnya ayat. Sebab itu, para ulama
menyebutkan bahwa menguasai bahasa Arab saja tidak cukup untuk menjadi
bekal dalam menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla.
- Bertumpu pada simbol atau kiasan (majaz) dan tamsil
Para ulama berbeda pendapat ada tidaknya
majaz (kiasan) dalam al-Qur’anul Karim dan as-Sunnah. Syaikhul Islam
merajihkan tidak adanya majaz dalam bahasa al-Qur’an secara mutlak.
Mereka yang berpegang dengan majaz ini menjadikannya jalan untuk membelokkan makna ayat tentang sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla ketika mereka tidak mampu untuk mengingkarinya.
- Bersandar kepada ilmu kalam dan filsafat
Seperti Ibnu Sina yang menafsirkan ‘Arsy
sebagai falak yang sembilan sedangkan malaikat yang memikulnya adalah
falak yang delapan.[8]
Atau, tafsir mereka tentang malaikat
sebagai kekuatan kebaikan dalam diri seseorang, sedangkan setan adalah
kekuatan dorongan kejelekan dalam dirinya.
- Bersandar hanya kepada logika dan mendahulukannya dari atsar yang sahih
Seperti yang dilakukan orang-orang yang
menolak tafsir al-Qur’anul Karim dengan hadits yang sahih. Ketika mereka
tidak mampu menolaknya, mereka menakwilkannya.
Misalnya, mereka yang membatasi makanan
yang diharamkan hanya empat yang disebutkan dalam al-Qur’an. Sebetulnya,
selain berpegang dengan akal, mereka mengacu pada pengertian lahiriah
bahasa. Tidak melihat dalil lain yang menerangkan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai orang yang tidak hanya menafsirkan makna ayat al-Qur’an, tetapi
juga menetapkan hukum yang tidak ada di dalam al-Qur’an. Dan itu semua
adalah ketetapan dan izin dari Allah ‘azza wa jalla.
Prinsip mereka, apabil akal bertentangan dengan wahyu, dahulukan akal daripada wahyu. Wallahul Musta’an. Lihat pembahasan yang telah lewat tentang manhaj tafsir yang benar.
- Mengambil tafsir dari ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu
Semua yang menyelisihi petunjuk Allah ‘azza wa jalla, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jalan orang yang beriman (yang pertama adalah para sahabat radhiallahu ‘anhum –red.) adalah ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu.
Pengertian ini tidak hanya mencakup ahli
bid’ah seperti Syi’ah, Khawarij, atau sufi, tetapi juga orang yang
berjalan di atas pemahaman sekuler, liberalis, sosialis komunis, dsb. Wallahu a’lam.
Selain itu, termasuk salah satu bentuk kesalahan tafsir adalah adanya pendapat yang syadz (nyeleneh) di dalam menafsirkan al-Qur’an. Ibnu Hazm mendefinisikan syadz ini
sebagai sebuah pendapat yang menyelisihi al-haq. Semua yang
bertentangan dengan hal yang sudah benar dalam satu masalah, dikatakan syadz. Karena tidak mungkin al-haq itu disebut syadz, maka yang ada hanya al-haq dan yang batil, sehingga sah dikatakan bahwa syadz itu batil.[9]
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
[1] Bughyatul Murtad, hlm. 235 dalam Asbabul Khatha’ fit Tafsir (1/17)
[2] Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah (2/492) dalam Asbabul Khatha’ fit Tafsir (1/17)
[3] Syarah Muqaddimah fi Ushulit Tafsir, hlm. 184
[4] Asbabul Khatha’, hlm. 96
[5] Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah al-Lalikai (2/455) dalam Asbabul Khatha’, hlm. 96
[6] Asbabul Khatha’, hlm. 143
[7] Lihat Tafsir ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baghawi
[8] Risalah Ibnu Sina dalam Asbabul Khatha’, hlm. 276
[9] Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam

Menyikapi Riwayat Israiliyat
Sejak zaman Ibnu Jarir sampai masa
belakangan ini, hampir tidak pernah sepi buku-buku tafsir dari penukilan
riwayat Israiliyat. Meskipun berbeda-beda dalam hal banyak dan
sedikitnya, atau tujuan menukilkannya.
Ada yang mencantumkannya begitu saja
tanpa memberikan komentar, seakan menyutujui kisah yang dipaparkan dalam
riwayat tersebut. Ada pula yang memberikan komentar bahkan kritikan,
dan ada yang mencantumkannya sebagai pembanding.
Apakah Israiliyat itu? Bagaimana para ahli tafsir menyikapinya?
Ada yang menyebutkan bahwa Israiliyat
adalah kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Bani Israil,
mencakup periwayatan dari Yahudi dan Nasrani.
Al-Qur’an memaparkan kisah-kisah umat
terdahulu, baik mereka yang bertauhid dan menjalankan konsekuensinya
berupa amalan atau ketaatan, maupun mereka yang musyrik dengan hukuman
yang mereka terima. Dalam mengisahkan keadaan mereka, yang menonjol
tentu saja nasihat dan peringatan yang berharga bagi orangorang yang
datang sesudah umat-umat tersebut.
Tidak dimungkiri bahwa jiwa kita sering
cenderung ingin mengetahui sesuatu lebih lengkap. Oleh sebab itu, ada
sebagian kaum muslimin yang bertanya tentang rincian ihwal umat-umat
terdahulu kepada saudaranya yang sebelumnya berasal dari kalangan ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani), yang mungkin dipaparkan lebih lengkap dalam
Taurat dan Injil.
Namun, belum tentu mufasir yang
memasukkan berita Israiliyat ke dalam tulisan mereka menjadikannya
sumber pemahaman, arahan, dan pedoman hukum. Alasan mereka umumnya
adalah untuk menutupi celah sejarah yang diyakini kaum muslimin bahwa
itu pernah ada, sedangkan al-Qur’an dan sunnah, tidak menguraikan secara
rinci sejarah awal penciptaan alam semesta dan berita umat-umat
terdahulu. Al-Qur’an dan as-Sunnah menguraikan kejadian tersebut dengan
sesuatu yang bisa merealisasikan tujuan hidayah dan penetapan syariat.
Jadi, ketika pada sebagian kaum muslimin
ada keinginan mendapat tambahan untuk lebih dalam mengenal rincian
kisah ini, mereka bertanya kepada ahli kitab dan mendengarkan berita
mereka, yang mungkin saja ada yang sahih, tetapi kebanyakannya belum
jelas statusnya atau palsu.
Akan tetapi, sebagian berita tersebut
pada keadaan tertentu, tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama yang
mulia ini, sehingga tidak merugikan kaum muslimin apakah mereka
menerima kebenarannya ataukah sebaliknya (menolaknya red.), selama tidak
bersentuhan dengan prinsip keyakinan dan hukum syariat.
Inilah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
yang mengatakan, “Dahulu, ahli kitab itu membaca Taurat dengan bahasa
Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada kaum muslimin. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَ تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
“Janganlah kamu menganggap benar
ahli kitab. Jangan pula menganggap mereka dusta. Katakanlah, ‘Kami
beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang
diturunkan kepada kamu’.” [1]
Pengertian Israiliyat
Israiliyat adalah kisah atau peristiwa
yang riwayatnya bersumber dari Bani Israil (anak cucu Nabi Ya’qub bin
Ishaq bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam), meliputi semua yang dinukil dari Yahudi dan Nasrani.
Namun, perlu dipertegas lagi apakah yang
dimaksud Israiliyat ini adalah riwayat yang bersumber dari mereka
sendiri, ataukah berasal dari riwayat yang berbicara tentang mereka.
Dengan kata lain, jika yang dimaksud adalah yang kedua, termasuk di
dalamnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memaparkan kisah tentang Bani Israil.
Adapun penamaan riwayat yang dinukil
dari ahli kitab sebagai Israiliyat adalah karena pada hukum asalnya
bahwa orang-orang Nasrani adalah keturunan Israil (Nabi Ya’qub). Alasan
kedua ialah memandang pada keadaan yang lebih dominan. Artinya,
mayoritas berita yang ada pada umat terdahulu dinukil dari orang-orang
Yahudi, keturunan Israil.
Ada juga yang berpendapat bahwa
Israiliyat meliputi semua yang disisipkan dalam tafsir, khususnya
hal-hal yang berlebihan, palsu, dusta, atau bersifat menakut-nakuti;
meskipun tidak berasal dari Israiliyin atau tidak berkaitan dengan kisah
Israili. Sebab, banyak di dalam tafsir hal yang bersifat khayal dan
berlebihan, seperti perihal tokoh yang tidak ada dalam kitab-kitab ahli
kitab, misalnya kisah Nabi Hud dan bangsa ‘Ad, Nabi Saleh dan Tsamud,
Syu’aib, Luqman dsb.
Wallahu a’lam.
Pembagian Israiliyat
Berita Israiliyat terbagi menjadi
beberapa bagian dalam beberapa kategori. Akan tetapi, adanya perubahan
dan penyelewengan yang menimpa Taurat dan Injil, menyebabkan syariat ini
melarang kitab-kitab tersebut dibaca. Oleh sebab itu, yang diperhatikan
dalam kisah tersebut ialah sesuai atau tidaknya berita itu dengan
syariat yang mulia ini.
Yang pertama adalah
berita yang sesuai dengan syariat kita, yaitu berita yang kita ketahui
kesahihannya melalui keterangan yang ada pada kita, maka berita
Israiliyat itu sahih.
Yang kedua, yang kita ketahui kedustaannya, dengan apa yang ada pada kita, yang menyelisihinya.
Yang ketiga, berita yang tidak ada penegasan tentang kebenaran atau kedustaannya. Inilah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, ketika ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk orang-orang Islam,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ. قُولُوا: آمَنَّا بِا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ.
“Janganlah kamu membenarkan ahli
kitab dan jangan pula mendustakan mereka, ucapkanlah, ‘Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepada kamu’.”[2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Sampaikanlah dariku walaupun satu
ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil, dan tidak apa-apa. Siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatilah tempat duduknya di
neraka.”[3]
Jenis yang ketiga ini, seringnya berisi
hal yang tidak ada faedahnya, seperti: nama pemuda yang tertidur di
dalam gua, warna anjing yang menyertai mereka, burung yang dihidupkan
oleh Allah ‘azza wa jalla untuk Nabi Ibrahim, serta penentuan
bagian tubuh sapi yang mana yang dipukulkan kepada korban pembunuhan di
tengah-tengah Bani Israil dahulu.
Karena itu, terhadap berita yang ketiga
ini, kita tidak boleh mengakui kebenarannya, tidak pula boleh
mendustakannya sama sekali. Sebab, bisa jadi, kita mengakui
kebenarannya, ternyata hal itu adalah sebuah kebatilan, atau kita
mendustakannya, ternyata itu adalah sebuah kebenaran.
Dengan demikian, yang ketiga inilah yang
diizinkan meriwayatkannya, sebagaimana dalam hadits di atas. Akan
tetapi, hadits di atas tidaklah menunjukkan bolehnya mengada-adakan
dusta terhadap Bani Israil, tetapi sekadar sebuah keringanan (rukhshah) akan bolehnya menceritakan sesuatu tentang mereka, meskipun sanadnya tidak sahih, karena sulit melacaknya.[4]
Wallahu a’lam
Sikap Para Ulama
- Pandangan Para Sahabat radhiallahu ‘anhum
Ada yang aneh pada sebagian kaum
muslimin, apabila mereka melihat pendapat sahabat tentang satu kasus
yang tidak ditemukannya dalam al-Qur’an ataupun sunnah, mereka
menganggap bahwa sahabat tersebut menukilnya dari Bani Israil. Padahal,
belum tentu demikian.
Yang harus kita yakini, bahwa para
sahabat tidak mungkin menukil dari ahli kitab sesuatu yang bertentangan
dengan apa yang ada dalam syariat kita yang mulia ini. Inilah yang harus
kita sepakati lebih dahulu. Ketakwaan, kejujuran, dan kecintaan mereka
terhadap syariat ini adalah hal-hal yang sangat kuat menghalangi mereka
untuk melakukannya.
Seandainya kita melihat ada juga yang
menukil dari ahli kitab, itu berarti nukilan tersebut tidak bertentangan
dengan syariat kita, atau bisa jadi termasuk dalam hal-hal yang
disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حَدِّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَج
“Ceritakanlah tentang Bani Israil, tidak ada salahnya.”
Artinya, tidak apa-apa kamu menyampaikan
tentang Bani Israil. Oleh sebab itu, menolak keterangan dari sahabat
dengan anggapan bahwa uraian tersebut dinukil dari ahli kitab, tidak
sesuai dengan keilmuan dan keutamaan mereka, g.
Artinya, jika seorang sahabat
menguraikannya sebagai tafsiran satu ayat, hal itu sangat besar
kemungkinannya berasal dari ilmu yang mereka terima dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Atau, berasal dari keterangan yang dikuatkan oleh dalil lain. Tidak
mungkin mereka menafsirkan satu ayat, dalam keadaan memahami bahwa hal
itu termasuk berita yang tidak bisa dibenarkan begitu saja, tidak pula
dapat didustakan sama sekali.
Kata Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Hai kaum muslimin, bagaimana kamu bertanya kepada ahli kitab, sementara Kitab kamu yang diturunkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berita terbaru dari Allah ‘azza wa jalla, kamu membacanya dalam keadaan murni, tidak bercampur (dengan sesuatu apa pun). Allah ‘azza wa jalla telah menerangkan kepada kamu bahwa ahli kitab itu telah menukar apa yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan dan mengubah kitab mereka dengan tangan-tangan mereka lalu mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah ‘azza wa jalla,’
untuk menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah ilmu yang datang
kepada kamu melarang kamu menanyai mereka? Padahal, demi Allah, kami
tidak pernah sama sekali melihat salah seorang dari mereka, bertanya
kepadamu tentang apa yang diturunkan kepadamu.”[5]
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
menyebutkan, “Dahulu, ahli kitab biasa membacakan Taurat dengan bahasa
Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk kaum muslimin, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu membenarkan ahli kitab, jangan pula mendustakan mereka, dan katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan-Nya kepada kami’.”
Menurut asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani rahimahullah, yang dilarang dalam hadits ini adalah sikap membenarkan yang didasari oleh baik sangka (husnuzhan)
terhadap kitab mereka, dan (larangan) untuk mendustakannya tanpa hujah,
sehingga jika tegak hujah yang benar, wajib mengikutinya.[6]
Di antara hal yang dituduhkan kepada sebagian sahabat bahwa mereka menukil dari ahli kitab adalah perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Al-Qur’anul Karim dipisahkan dari Lauh Mahfuzh dan diturunkan ke
Baitul ‘Izzah di langit dunia. Kemudian turun kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur selama 23 tahun.”[7]
Sebagian ulama yang datang belakangan
mengklaim bahwa ucapan ini berasal dari dongeng Israiliyat dan diadopsi
oleh Ibnu ‘Abbas dari mereka. Bahkan, di dalam berita itu sendiri ada
hal-hal yang menegaskan bahwa hal itu tidak benar, seperti: ketegasan
Ibnu ‘Abbas dalam menguraikannya, tidak ada kaitannya dengan Taurat dan
Injil, karena beliau berbicara tentang al-Qur’an, beliau menerangkan
tentang turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada yang menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam masalah ini di kalangan sahabat.
Inilah beberapa hal yang meskipun
sanadnya mauquf sampai pada Ibnu ‘Abbas, tetapi dihukumi marfu’
(disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –red.).
Bahkan, Ibnu ‘Abbas sendiri melarang mengambil ilmu dari ahli kitab, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya. Sebab itu, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa uraian beliau ini termasuk berita Israiliyat?
Demikian pula ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma.
Meskipun beliau memperoleh dua buah kantong besar berisi berita tentang
ahli kitab, bahkan sering menyampaikannya. Akan tetapi, sangat mustahil
bahwa sahabat sekelas beliau dalam menafsirkan satu ayat dengan mengacu
kepada sebagian dari berita tersebut.
Oleh sebab itu, seharusnya seorang
muslim memahami kedudukan para sahabat dalam agama ini. Ingatlah bahwa
mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Islam, paling
tinggi dan lurus pemahamannya, paling dalam dan besar cintanya terhadap
Islam, paling takwa dan paling takut (khasyyah) kepada Allah ‘azza wa jalla daripada orang-orang yang datang sesudah mereka.
Wallahu a’lam.
- Pandangan Ahli Tafsir Selain Sahabat
Dari sisi sedikitnya penukilan riwayat Israiliyat, sebagian ulama meletakkan tafsir Fathul Qadir al-Imam
asy-Syaukani pada tempat yang lebih menonjol. Bahkan, menurut mereka
hampir tidak ada riwayat ini, kecuali sedikit dan itu pun untuk dibantah
secara ilmiah.
Sebagai contoh, kisah Harut dan Marut
dalam surat al-Baqarah. Menurut asy-Syaukani, rincian kisah ini kembali
kepada riwayat Israiliyat, karena tidak ada hadits yang sahih dan sampai
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak
berbicara dengan hawa nafsunya. al-Qur’an memaparkannya secara global
tanpa merinci kejadian dan sebabnya, maka kita beriman kepada apa yang
dikehendaki Allah ‘azza wa jalla dan Dia Maha Mengetahui hakikatnya.
Beliau mengomentari pendapat Sa’id bin Jubair yang menerangkan alwah (lembaran yang diterima Nabi Musa ‘alaihissalam),
“Menurut mereka berasal dari permata yaqut, sedangkan aku (Sa’id)
berpendapat bahwa alwah ini dari zamrud dan tulisannya dari emas. Allah ‘azza wa jalla menuliskannya dengan Tangan-Nya dan penduduk langit mendengar goresan pena tersebut.”
Kata asy-Syaukani, “Saya berkata,
‘Semoga Allah merahmati Sa’id, dia tidak perlu mengatakan yang seperti
ini dari dirinya. Sebab, hal semisal ini tidak mungkin diuraikan melalui
akal semata. Besar dugaan bahwa banyak di antara salaf yang bertanya
kepada orang Yahudi tentang hal seperti ini. Karena itulah pendapat
mereka berbeda-beda dan goncang. Yang satu mengatakan dari kayu,
sedangkan yang lain mengatakan berasal dari batu. Kita beriman akan
adanya alwah ini sebagaimana disebutkan al-Qur’an tanpa menyusahkan diri
membahas sesuatu yang tidak ada dalilnya. Wallahu a’lam’.”
Ringkasnya, pandangan asy-Syaukani terhadap Israiliyat adalah sebagai berikut.
- Beliau tidak menukil riwayat Israiliyat kecuali dalam jumlah yang sedikit.
- Beliau tidak membiarkan riwayat itu tanpa memberikan kritikan secara ilmiah.
- Beliau berpandangan riwayat ini sebagai sebab terjadinya kontradiksi dalam tafsir.
- Kisah yang aneh dari umat terdahulu dalam tafsir adalah berasal dari Bani Israil, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Menurut beliau, keringanan (rukhshah) bolehnya meriwayatkan dari mereka adalah dalam kejadian-kejadian yang menimpa mereka, bukan yang terkait dengan tafsir. Pandangan ini disetujui oleh asy-Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya.
- Yang dinukil dari mereka sering bertentangan dan mengandung hal-hal yang umumnya tidak masuk akal.
- Tujuan sebagian orang yang memaparkan hal-hal yang bertentangan ini adalah untuk menumbuhkan keraguan dalam hati kaum muslimin dan mempermainkan mereka.
- Menguraikan rincian kisah-kisah itu termasuk tindakan menyusahkan atau memberat-beratkan diri.
Wallahu a’lam.
- Pandangan asy-Syaikh as-Sa’di terhadap kisah Israiliyat
Beliau termasuk yang sangat sedikit menukil kisah Israiliyat, bahkan hampir tidak ditemukan.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz in ‘Uqail dalam pengantarnya untuk Tafsir as-Sa’di (Taisir Karimir Rahman)
menyebutkan bahwa beliau (as-Sa’di) memaparkannya (tafsirnya) dengan
bahasa yang indah, dekat, dan tidak tersembunyi atau samar. Jadi,
as-Sa’di memerhatikan penjelasan makna yang dituju oleh suatu ayat
dengan kalimat yang ringkas dan bernas, tetapi mencakup semua yang
dikandung oleh ayat tersebut, baik makna maupun hukum, melalui teks (manthuq) atau pengertian balik (mafhum), tanpa memperluas atau istithrad (membakukan),
atau menyebutkan kisah-kisah dan dongeng Israiliyat, serta hikayat
sebuah perkataan, sehingga keluar dari tujuan sebenarnya.
As-Sa’di rahimahullah berpandangan tidak boleh menjadikan kisah Israiliyat sebagai tafsir bagi Kalam Allah ‘azza wa jalla. Kata as-Sa’di dalam tafsirnya, “Ketahuilah bahwa kebanyakan ahli tafsir rahimahumullah
acapkali memenuhi tafsir mereka dengan kisah-kisah Bani Israil dan
menjadikan al-Qur’an itu turun dengan sebab mereka serta membuatnya
sebagai tafsir Kitab Allah, berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حَدِّثُوْا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَلاَ حَرَجَ
“Ceritakanlah tentang Bani Israil, tidak mengapa (tidak berdosa).”[8]
Aku berpendapat bahwa meskipun boleh
menukil cerita mereka secara terpisah, dan tidak diposisikan sebagai
sebab turunnya ayat-ayat Allah, karena tidak boleh menjadikannya sebagai
tafsir bagi Kitab Allah sama sekali, apabila tidak sahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu karena kedudukan kisah itu adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ
‘Janganlah kamu membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka.’[9]
Sebagaimana sudah dimaklumi dalam ajaran
Islam bahwa al-Qur’an wajib diimani, lafadz dan maknanya adalah pasti.
Maka dari itu, kisah/berita yang diriwayatkan oleh orang yang tidak
diketahui kebenarannya—yang diduga kuat semua atau sebagian besarnya
adalah dusta—tidak boleh dijadikan sebagai tafsir bagi Kitab Allah yang
pasti kebenarannya dan tidak boleh diragukan oleh siapa pun. Akan
tetapi, karena kelalaian terhadap hal ini, terjadilah apa yang kita
lihat sekarang ini.”[10]
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
[1] HR. al-Bukhari (7362)
[2] HR. al-Bukhari (4485) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
[3] HR. al-Bukhari (3461)
[4] Tuhfatul Ahwadzi (8/370)
[5] Al-Anwar al-Kasyifah, hlm.131
[6] Al-Anwar al-Kasyifah, hlm.131
[7] ath-Thabarani (al-Kabir no. 12243), al-Hakim (2932), dan al-Bazzar (2/210)
[8] HR. Ahmad (2/474) dan Abu Dawud (3662), dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
[9] HR. al-Imam al-Bukhari (2684)
[10] Tafsir surat al-Baqarah ayat 74

Metode Tafsir Al-Qur’an
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran.” (Shad: 29)
Ibnu Jarir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, “(Yaitu) agar mereka mentadaburi hujah-hujah Allah ‘azza wa jalla yang ada di dalamnya dan syariat yang ditetapkan-Nya, sehingga mereka memetik pelajaran dan mengamalkannya.”
Dari sinilah pentingnya ilmu tafsir, yaitu untuk mengenal makna-makna Kalam Allah ‘azza wa jalla,
memahami sasarannya, serta menggali hukum dan hikmahnya. Namun, tidak
setiap orang bisa dan berhak menafsirkan al-Qur’an. Sebab, di dalam
makna-makna dan hukumhukum al-Qur’an terkandung hikmah dan rahasia yang
dalam.
Semoga Allah ‘azza wa jalla
merahmati Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari yang pernah mengatakan,
“Seandainya seorang hamba diberi seribu pemahaman terhadap masing-masing
huruf al-Qur’an, belum tentu dia dapat mencapai batas akhir apa yang
Allah ‘azza wa jalla letakkan di dalam satu ayat dari Kitab-Nya. Sebab, al-Qur’an adalah Kalam Allah ‘azza wa jalla, sedangkan Kalam-Nya adalah sifat-Nya. Dan sebagaimana tidak adanya batas bagi Allah ‘azza wa jalla, demikian pula tidak ada batas akhir untuk memahami Kalam-Nya….
Akan tetapi, Kalam Allah ‘azza wa jalla dapat dipahami sesuai dengan apa yang dibukakan oleh Allah ‘azza wa jalla bagi hati hamba tersebut, dan Kalam Allah ‘azza wa jalla bukanlah makhluk, sehingga tidak mungkin pemahaman makhluk yang muhdats ini dapat mencapai batas akhir memahami Kalam-Nya.”
Ungkapan beliau adalah fakta yang juga
dapat diperoleh dari pengalaman. Sebab, tingkatan pemahaman setiap
manusia berbeda-beda, demikian pula daya tangkapnya terhadap ayat-ayat
al-Qur’anul Karim, dan kemampuannya mengaplikasikan ayat-ayat itu dalam
semua aspek kehidupannya. Selain itu, masing-masing orang bisa jadi saat
itu diberi pemahaman terhadap sebagian ayat dan memperoleh kesan yang
sangat mendalam, namun pada kesempatan lain dia terpaku di hadapan
beberapa ayat tanpa bisa memahaminya, ke mana hilangnya pemahaman dan
kesan tersebut?
Manhaj Tafsir yang Benar
Tujuan utama mempelajari ilmu tafsir adalah mengenal makna-makna Kalam Allah ‘azza wa jalla, memahami sasarannya, serta menggali hukum dan hikmahnya. Adapun penafsiran yang paling utama untuk memahami hal ini adalah tafsir bil ma’tsur atau tafsir bir riwayah ash-shahihah.
Sebab, kedudukannya yang sangat penting dalam memahami al-Qur’anul
Karim dengan pemahaman yang benar serta selamat dari kesalahan dan
penyimpangan.
Dari segi sumber dan asalnya, tafsir terbagi dua:
- Tafsir bil ma’tsur atau tafsir bir riwayah
Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menukil riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
atau dari para sahabat, dari tabi’in, tanpa tambahan apa pun kecuali
dari segi bahasa, atau penggabungan beberapa pendapat yang ma’tsur yang
datang tentang suatu ayat.
Para ahli yang menggunakan manhaj ini
berusaha untuk tidak melakukan istinbath selama mereka merasa cukup
dengan riwayat yang mereka terima dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menerima al-Qur’an, atau dari orang-orang yang semasa dengan
beliau dan mendengar dari beliau. Inilah manhaj penafsiran yang lebih
dahulu diterapkan, lebih tepat, dan lebih selamat, serta menjadi dasar
semua penafsiran, sehingga wajib merujuk kepada manhaj ini apabila sudah
jelas kesahihan sanadnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang dinukil dari tabi’in. Sebagian ulama memasukkan tafsir tabi’in ke dalam tafsir bil ma’tsur dengan pertimbangan mereka hidup sezaman dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengambil ilmu dari mereka.
Yang jelas, tafsir bil ma’tsur adalah
manhaj penafsiran yang paling baik secara mutlak dan wajib diikuti
serta dijadikan pedoman. Inilah jalan yang paling aman untuk terjaga
dari kesalahan dan penyimpangan dari Kitab Allah.
Ada empat bentuk tafsir bil ma’tsur:
- Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Inilah cara menafsirkan al-Qur’an yang paling baik dan paling sahih. Hal yang mujmal (global)
di satu ayat, akan diuraikan pada tempat yang lain. Hal-hal yang
ringkas di satu tempat akan dijelaskan panjang lebar pada tempat yang
lain.[1]
Demikian pula mengembalikan ayat-ayat mutasyabihnya kepada yang muhkamnya.[2]
Asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah
menyebutkan bahwa ulama sepakat (ijma) bahwa jenis tafsir yang paling
utama dan mulia adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.[3]
Ada banyak bentuk tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, antara lain:
Yang pertama, penjelasannya tersembunyi di dalam ayat itu sendiri, seperti firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan sekiranya ada suatu bacaan
(kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan
atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati
dapat berbicara.” (ar-Ra’d: 31)
Kalimat dalam ayat di atas belum lengkap
meski telah dipahami kelengkapannya, ‘tentu al-Qur’an itulah dia’.
Artinya, seandainya ada bacaan yang membuat gunung-gunung digoncangkan,
bumi menjadi terbelah, dan orang-orang yang sudah mati dapat berbicara,
maka al-Qur’an inilah yang dimaksud. Wallahu a’lam.
Yang kedua,
suatu ayat mengisyaratkan kepada makna yang dikhususkan dari
tengah-tengah ayat itu meskipun tidak secara tegas menerangkannya.
Misalnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Maka apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat
cahaya dari Rabbnya? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang
telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan
yang nyata.” (az-Zumar 22)
Syarat yang terdapat dalam ayat ini, tidak ada jawabnya, tetapi diisyaratkan pada bagian akhir ayat, yaitu firman Allah ‘azza wa jalla,
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.”
Maka dari itu, diperkirakan bahwa makna ayat ini ialah “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam sama dengan orang yang membatu hatinya?” Wallahu a’lam.
Yang ketiga, penjelasannya sudah terang bagi siapa saja yang memerhatikan Kitab Allah ‘azza wa jalla dan kadang-kadang ada juga keterangannya langsung sesudah memaparkan yang mubham (belum jelas), seperti firman Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (al-Ma’arij: 19—21)
Kalimat halu’a (keluh kesah lagi kikir) pada ayat pertama masih belum jelas dari sisi apa, lalu diterangkan oleh ayat berikutnya. Wallahu a’lam.
Bisa jadi pula penjelasannya terpisah pada bagian lain, seperti tafsir firman Allah ‘azza wa jalla,
“(Yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 7)
Allah ‘azza wa jalla menerangkan siapa orang-orang yang telah diberi nikmat ini dalam firman-Nya,
“Dan barang siapa yang menaati Allah
dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisa: 69)
Masih banyak contoh lainnya di dalam al-Qur’an.[4] Wallahu a’lam.
- Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah
Allah ‘azza wa jalla mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa petunjuk dan agama yang haq. Allah ‘azza wa jalla
memberi beliau mukjizat yang paling agung dan kekal serta memerintahkan
beliau agar menyampaikannya kepada seluruh manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (al-Maidah: 67)
Beliau pun menyampaikannya dengan sempurna dan sejelas-jelasnya sebagaimana yang diperintahkan Allah ‘azza wa jalla.
Tidak ada yang beliau sembunyikan atau beliau kurangi. Menyampaikan
(wahyu -red.) adalah sebuah keharusan dari sebuah penjelasan. Selain
itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang menerima al-Qur’an dan ditugaskan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk menjelaskan al-Qur’an ini dari Allah ‘azza wa jalla. Beliaulah orang pertama yang berhak menafsirkan Kitab Suci ini.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl: 44)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ
أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا
وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (al-Qur’an) dan
yang serupa dengannya bersamanya. Ingatlah, hampir-hampir seseorang yang
kekenyangan di atas dipannya berkata, ‘Tetaplah kamu berpegang dengan
al-Qur’an ini. Apa yang kamu dapatkan di dalamnya tentang yang halal,
maka halalkanlah dia, dan apa saja yang kamu dapati tentang yang haram
di dalamnya, maka haramkanlah dia.’
Ketahuilah, tidak halal bagi kamu
daging keledai jinak, dan tidak halal pula semua yang bertaring dari
sebagian binatang buas, tidak pula halal bagi kamu temuan milik orang
kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin –red.),
kecuali jika pemiliknya tidak memerlukannya lagi.
Siapa yang singgah pada suatu kaum,
maka mereka wajib menjamunya, kalau mereka tidak mau menerimanya, maka
dia berhak mengambil ganti sebanding dengan haknya yang mereka halangi
sebagai tamu.”[5]
Karena itu, Allah ‘azza wa jalla menjadikan sunnah beliau sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua jenisnya (ucapan, perbuatan, atau persetujuannya/taqrir
-red.) adalah tafsiran bagi al-Qur’an, bahkan menentukannya;
mengecualikan yang umum, membatasi yang mutlak, dan menjelaskan apa yang
dikehendaki dalam ayat tersebut.[6]
Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah
adalah urutan kedua setelah al-Qur’an, baik dari segi sanad maupun
matan. Adapun wajibnya beramal dengan yang sahih dari sunnah tersebut
adalah dasar atau landasan pokok ketetapan syariat, sebagaimana halnya
al-Qur’anul Karim.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 1—4)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini ialah antara lain menunjukkan bahwa sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu dari Allah kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu.” (an-Nisa’: 113)
Demikian pula bahwa beliau terjaga (ma’shum) dalam semua hal yang beliau beritakan tentang Allah ‘azza wa jalla dan syariat-Nya. Sebab, perkataan beliau itu tidaklah bersumber dari hawa nafsu, tetapi dari wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Bahkan, Allah ‘azza wa jalla menegaskan, “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami
pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat
tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang
dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Haqqah: 44-47)
Seandainya ditakdirkan—dan Mahasuci Allah, sekali-kali tidak mungkin—Rasul ini mengada-adakan satu perkataan atas nama Allah ‘azza wa jalla,
dengan menambah atau mengurangi risalah ini, atau mengatakan sesuatu
dari pikirannya sendiri, lalu menyandarkannya kepada Kami, padahal tidak
demikian, tentulah Allah ‘azza wa jalla menyegerakan hukuman baginya dan Allah ‘azza wa jalla akan menyiksanya dengan siksaan Zat Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa.
Sesuai dengan hikmah-Nya, Allah ‘azza wa jalla tidak akan membiarkan orang yang berdusta atas nama-Nya, yang menganggap bahwa Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya menumpahkan darah dan harta orang menyelisihinya.
Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Semua yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagian yang beliau pahami dari al-Qur’an.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalah beliau Muqaddimah fi Ushulit Tafsir pada halaman 50 menyebutkan bahwa kita wajib mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan makna-makna al-Qur’an ini kepada para sahabatnya, sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan lafadz-lafadznya kepada mereka.
Asy-Syaikh Dr. Muhammad Bazmul hafizhahullah memerinci pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam syarah beliau terhadap risalah tersebut sebagai berikut.
Apabila dikatakan bahwa buku-buku kumpulan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
ada di tangan kita, tidak ada yang menyebutkan tafsir al-Qur’an ayat
demi ayat, maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat kecuali telah menerangkan kepada para sahabat semua isi al-Qur’an?
Jawabnya: Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat kecuali telah menerangkan kepada para sahabat semua isi
al-Qur’an. Akan tetapi, keterangan tersebut adalah melalui beberapa
cara, sebagai berikut.
Yang pertama, menerangkan secara langsung, misalnya penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang arti al-Kautsar,
الْكَوْثَرُ نَهْرٌ أَعْطَانِيْهِ اللهُ
“Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla untukku.”[7]
Demikian pula penjelasan beliau tentang makna zalim yang disebutkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang
mendapat keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)
Beliau menerangkan kepada para sahabat
bahwa zalim yang dimaksud adalah syirik. Makna ayat ini ialah bahwa
orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka
dengan kesyirikan….
Inilah bentuk pertama penjelasan beliau dan sangat sedikit ditemukan dalam hadits.
Yang kedua, penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap makna ayat al-Qur’an melalui praktik amaliah dalam kehidupan kaum muslimin di masa beliau.
Ketika beliau mengajari mereka shalat, itu adalah penjelasan beliau tentang makna firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
Begitu pula ketika menerangkan waktu-waktunya, menjelaskan ukuran dan batas minimal (nishab) zakat, serta pelaksanaan hukuman zina dan mencuri.
Bentuk yang kedua ini lebih banyak
daripada yang pertama. Jika hanya membatasi pada yang pertama, seseorang
akan kehilangan banyak hal (terkait dengan makna ayat al-Qur’an).
Yang ketiga, perilaku dan akhlak beliau yang sesuai al-Qur’an, hingga dikatakan oleh Bunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika ditanyakan bagaimana akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau radhiallahu ‘anha
mengatakan, “Akhlak beliau adalah al-Qur’an.” Budi pekerti, adab, dan
sikap beliau sehari-hari, tidak lain adalah penjelasan sekaligus
penerapan makna-makna al-Qur’an.
Ringkasnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan seluruh al-Qur’an ini kepada para sahabat, dengan
cara langsung, akhlak beliau sehari-hari, atau dengan persetujuan beliau
terhadap suatu makna yang sudah dipahami oleh para sahabat sesuai
dengan ‘urf (pengertian) di antara mereka; atau taqrir (persetujuan) beliau terhadap suatu makna yang sesuai dengan bahasa Arab.[8] Wallahu a’lam.
radhiallahu ‘anhuma. Tafsir al-Qur’an dengan Penjelasan Para Sahabat
Para sahabat juga memahami al-Qur’an.
Sebab, selain al-Qur’an turun dalam bahasa mereka sekaligus karena
mereka menerima tafsir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana halnya hadits. Akan tetapi, kemampuan antara satu sahabat
dan yang lainnya berbeda-beda, sehingga terkadang menimbulkan perbedaan
pula dalam memahami sebagian makna al-Qur’an. Meskipun perbedaan
tersebut, lebih sedikit dibandingkan perbedaan yang muncul di kalangan
tabi’in dan sesudahnya.
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagian sahabat merasa enggan menafsirkan al-Qur’an. Sebab, mereka
khawatir jika keliru, kekeliruan itu akan dinukil dari mereka dan
tersebar. Namun, pada masa mereka, dalam menafsirkan Al-Qur’an, tidak
lepas dari tiga urutan ini:
- Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
- Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah
- Ijtihad dan istinbat
Telah dijelaskan bagaimana metode menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika para sahabat tidak menemukan tafsir ayat dengan ayat lainnya, atau dengan hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka merujuk kepada ijtihad dengan mengerahkan segenap ra’yu mereka. Itu pun dalam hal-hal yang memang memerlukan ijtihad dan pemikiran.
Adapun yang mungkin dipahami sesuai
dengan bahasa, mereka tidak perlu berijtihad, karena mereka orang-orang
Arab asli dan menguasai seluk-beluk bahasa Arab.
Para ulama berpendapat bahwa tafsir para sahabat statusnya marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
–red.) jika terkait dengan sebab nuzul (sebab turunnya ayat) dan
hal-hal yang tidak mungkin dimasuki oleh nalar. Adapun yang bisa
dimasuki ra’yu hanya sampai pada sahabat (mauquf). Namun,
sebagian ulama mengharuskan untuk menerima tafsir yang mauquf ini,
karena mereka lebih memahami seluruh aspek bahasa Arab, menyaksikan
langsung konteks ayat dan realitas yang hanya diketahui oleh mereka.
Karena itu pula, manhaj atau metode
paling tepat dalam memahami al-Qur’an adalah metode para sahabat g. Ada
tiga alasan pokok, mengapa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan
penting dalam tafsir bil ma’tsur, yaitu:
- Siapa pun di antara para sahabat tersebut tidak ada yang berani menyanggah atau menentang al-Qur’an dan sunnah yang sahih dengan logika akal mereka, atau membantahnya dengan perasaan dan intuisi.
Mereka justru menjadikan al-Qur’an sebagai imam yang diikuti dan berjalan di belakangnya dalam setiap keadaan.
Mereka tidak berbicara sebelum al-Qur’an dan sunnah yang sahih berbicara, sebagai pengamalan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)
- Tidak seorang pun dari mereka menggagas ajaran baru selain yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka tidak mempunyai buah pikiran atau
pendapat yang menyalahi al- Qur’an. Bahkan, ketika ‘Umar membawa
beberapa lembaran catatan milik ahli kitab dan berkata, “Ini adalah
naskah Taurat, bagus juga.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، فَوَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لاَ تَسْأَلُوهُمْ، عَن شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إلاَ أَنْ يَتَّبِعَني
“Apakah kamu merasa ragu-ragu, wahai
putra al-Khaththab? Demi yang jiwaku di Tangan-Nya, sungguh aku telah
membawakan kepada kamu sesuatu yang putih bersih. Janganlah kamu
menanyai mereka tentang sesuatu lalu mengabari kamu dengan yang benar
tapi kamu mendustakan mereka, atau (mengabari) yang batil lalu kamu
membenarkan mereka. Demi yang jiwaku di Tangan- Nya, seandainya Musa
masih hidup, tidak boleh baginya kecuali mengikutiku.”[9]
Mereka tidak mempunyai pemahaman yang dianut sebagai keyakinan, lalu mencari pembenarannya dalam al-Qur’an.
- Apabila salah seorang dari sahabat ingin memahami masalah agama atau berbicara tentang urusan agama, dia melihat apa yang dikatakan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lebih dahulu.
Jadi, mereka belajar dari al-Qur’an dan
sunnah yang sahih, berbicara dengan al-Qur’an dan sunnah, serta
menjadikan keduanya sebagai dalil dan selalu memikirkan kandungannya. Wallahu a’lam.
- Tafsir Al-Qur’an dengan Penjelasan Tabi’in
Tabi’in ialah orang-orang yang bertemu dengan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepada beliau dan mati di atas Islam.
Adanya perpindahan beberapa sahabat di
sejumlah kota besar, mendorong munculnya beberapa madrasah tafsir di
kota-kota besar tersebut.
Di Makkah dengan pengajarnya adalah Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Para tabi’in yang menimba ilmu dari beliau seperti: Mujahid, Sa’id bin
Jubair, ‘Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Thawus bin
Kaysan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilai
bahwa yang paling tahu tentang tafsir adalah penduduk Makkah karena
mereka adalah murid-murid Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Di Madinah, dengan pengajarnya adalah Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu.
Para tabi’in yang dikenal menimba ilmu dari beliau dalam bidang tafsir
seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi rahimahumullah.
Di Irak, pengajarnya ialah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, meskipun ada beberapa sahabat lain. Akan tetapi, beliau ditunjuk oleh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
sebagai pembimbing bagi penduduk Kufah (Irak). Adapun tabi’in yang
dikenal mempelajari tafsir dari beliau adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq,
al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamadani, asy- Sya’bi, al-Hasan
al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan tafsir dari kalangan tabi’in. Ada yang berpandangan boleh
mengambil perkataan tabi’in dalam bidang tafsir, karena para tabi’in
umumnya mengambil ilmu mereka dari para sahabat. Itu pun jika diyakini
aman dari kemungkinan mereka mengambilnya dari ahli kitab dan bukan
dalam hal-hal yang tidak ada tempat bagi ijtihad di dalamnya (seperti
perkara gaib dsb –red.).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah setelah menukil perkataan Syu’bah bin al-Hajjaj yang mengatakan bahwa perkataan tabi’in bukan hujah, bagaimana mungkin berlaku sebagai hujah pula dalam tafsir? kemudian
berpendapat, “Ini benar. Akan tetapi, jika mereka (tabi’in) sepakat
atas satu masalah, tidak diragukan bahwa itu adalah hujah. Apabila
mereka berselisih, maka pendapat sebagian mereka tidak bisa menjadi
hujah terhadap yang lain ataupun yang sesudah mereka. Dalam masalah
tersebut mereka merujuk kepada bahasa al-Qur’an, sunnah atau keumuman
bahasa Arab atau pendapat sahabat tentang hal itu.[10]
Pada bagian lain, beliau menganggap salah, bahkan bid’ah jika seseorang menyimpang dari tafsir para sahabat dan tabi’in.[11]
Beliau mengisyaratkan pula, bahwa
terjerumusnya ahli bid’ah ke dalam takwil yang batil terhadap nash
syariat (al-Qur’an dan hadits) adalah karena tidak memahami Kitab Allah ‘azza wa jalla
sebagaimana yang dipahami oleh sahabat dan tabi’in dan menentang apa
yang ditunjukkannya dengan sesuatu yang berlawanan dengannya.[12]
Wallahu a’lam.
Pada masa ini, tafsir masih dalam bentuk
periwayatan. Akan tetapi, setelah banyak ahli kitab yang masuk Islam,
para tabi’in pun mulai banyak menukil dari mereka dan memasukkannya
dalam tafsir mereka. Misalnya, yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin
Salam, Wahb bin Munabbih, dan Ka’b al-Ahbar.
Pada akhir masa tabi’in, pembukuan mulai berkembang. Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dikumpulkan dalam satu buku meliputi sejumlah bab, sedangkan tafsir termasuk salah satu babnya.
Di samping memfokuskan diri pada pengumpulan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para ulama di masa pembukuan hadits ini, juga memberikan perhatian
sangat besar terhadap tafsir yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat dan tabi’in.
Tokoh yang terkenal di antara mereka
ialah Syu’bah bin al-Hajjaj, Waki’ bin al-Jarrah, Ibnu ‘Uyainah, Rauh
bin ‘Ubadah, ‘Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan’ani, dan ‘Abdul ‘Aziz bin
Juraij. Akan tetapi, tafsir mereka hanya sampai kepada kita berupa
nukilan yang disandarkan kepada mereka dalam kitab tafsir bil ma’tsur.
Setelah itu muncul generasi berikutnya,
yang menyusun tafsir secara khusus sebagai ilmu tersendiri. Yang paling
masyhur pada masa ini adalah Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah.
Tafsir generasi ini selain memuat riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, juga berisi ijtihad mereka dalam
memilih yang rajih dari beberapa pendapat yang mereka riwayatkan.
Wallahu a’lam.
- Tafsir Bir Ra’yi
Disebut juga tafsir bil ijtihad, yaitu
penjelasan terhadap suatu ayat menurut pandangan mufasir dari sisi
bahasa, ijtihad, dan persoalan yang umum.
Di sini, mufasir tidak membatasi diri dengan hanya menerangkan makna ayat melalui penukilan dari ulama salaf.
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir dengan cara ini, antara yang membolehkan dan yang melarang.
Tafsir bir ra’yi terbagi dua; yaitu tafsir bir ra’yil mahmud dan tafsir bir ra’yil madzmum.
- Tafsir bir ra’yil mahmud (tafsir dengan akal yang terpuji)
Adalah tafsir yang bersandar kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah, ditopang pula oleh pengetahuan tentang bahasa
Arab dengan semua uslubnya dan tentang kaidah syariat serta
dasar-dasarnya.
Di sini, seorang mufasir harus
bersungguh-sungguh memahami nash al-Qur’an, menangkap maknanya dengan
bersandar kepada bahasa, nash-nash lain, dan dalil syariat.
- Tafsir bir ra’yil madzmum (tafsir dengan akal yang tercela)
Adapun tafsir bir ra’yil madzmum ialah
menafsirkan al-Qur’an dengan logika dan hawa nafsu, tanpa dasar ilmu,
ditambah tidak adanya penguasaan terhadap kaidah bahasa dan syariat.
Tidak dibenarkan siapa pun menempuh cara
yang kedua ini dalam menafsirkan al-Qur’an. Terhadap merekalah berlaku
atsar yang menyebutkan larangan untuk berbicara tentang al-Qur’an tanpa
ilmu,
مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللهِ بِرَأْيِهِ ، فَأَصَابَ ، فَقَدْ أَخْطَأَ
“Barang siapa berbicara tentang Kitab Allah k dengan akalnya, lalu benar, sungguh dia telah salah.”[13]
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Barang siapa berbicara tentang al-Qur’an tanpa ilmu, hendaklah siap menempati tempat duduknya dari neraka.”
Kedua riwayat ini dianggap lemah oleh asy-Syaikh al-Albani.[14]
Sebagian orang berpendapat bahwa tafsir al-Qur’an itu wajib bersandar kepada riwayat (ma’tsur).
Akan tetapi, mereka tidak merinci patokan terhadap apa yang mereka
inginkan dengan ma’tsur ini. Kalau yang dimaksud dengan ma’tsur adalah
tafsir yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sanad yang maqbul (sahih
atau hasan), kemudian mereka berpegang teguh dengan kaidah ini, berarti
mereka mempersempit makna al-Qur’an yang luas, bahkan bertentangan
dengan tafsir yang mereka susun sendiri. Mereka menuduh para pendahulu
mereka salah dalam menafsirkan. Sebab, tidak ada jalan lain kecuali
mengakui bahwa imam-imam kaum muslimin, sejak sahabat sampai yang datang
belakangan, tidak membatasi diri mereka hanya meriwayatkan tafsir dari
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu pernah menanyai beberapa ahli ilmu tentang makna sejumlah ayat dan tidak mensyaratkan mereka harus menukil dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau yang dimaksud oleh mereka dengan ma’tsur adalah tafsir yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat secara khusus, seperti yang terlihat dari tulisan Suyuthi dalam ad-Dur al-Mantsur,
tetap tidak memberi kelapangan kecuali sedikit. Sebab, tidak dinukil
dari mayoritas sahabat tentang tafsir ini kecuali sedikit, selain yang
dinukil dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, meski ada yang sahih, dhaif, dan palsu.
Telah sahih dari ‘Ali bahwa beliau
menyatakan, “Tidak ada padaku sesuatu yang bukan berada dalam Kitab
Allah, selain pemahaman yang dikaruniai oleh Allah ‘azza wa jalla.”
Demikian pula dari Ibnu Mas’ud, Ibnu
‘Umar, dan Anas serta Abu Hurairah g. Oleh karena itu, para ulama
menetapkan syarat untuk diterimanya tafsir bir ra’yi ini, sebagai berikut.
- Tidak boleh bertentangan dengan tafsir bil ma’tsur
- Harus bersesuaian dengan susunan
- Tidak saling menafikan dengan kandungan lafadz dari segi bahasa
- Tidak bertentangan dengan landasan syariat
- Tidak mengarah kepada upaya membela dan mendukung ahli bid’ah
Adapun atsar yang memperingatkan
manusia agar tidak menafsirkan al-Qur’an dengan akal semata, seperti dua
riwayat di atas, merujuk kepada salah satu dari lima hal berikut.
Yang pertama, ra’yu
yang dimaksud adalah pendapat yang berasal dari rasio semata tanpa
merujuk kepada dalil kebahasaan dan tujuan syariat serta semua
aturannya. Demikian pula, tidak merujuk kepada sesuatu yang seharusnya
dipedomani, seperti nasikh dan mansukh serta sebab nuzul ayat.
Karena itu, meskipun dia kebetulan
benar, tetap dikatakan salah, karena penggambarannya (penjelasan atau
penafsirannya) tidak didasari oleh ilmu pengetahuan.
Ada yang mencontohkan seperti orang yang menafsirkan alif laam miim, bahwa artinya ialah Allah ‘azza wa jalla menurunkan Jibril kepada Muhammad membawa al-Qur’an. Penafsiran seperti ini, tidak ada sandarannya.
Adapun yang diriwayatkan dari Abu Bakr radhiallahu ‘anhu
tentang tafsir sebuah ayat, tidak lain adalah karena ketakwaan dan rasa
takut beliau jatuh dalam kesalahan terkait dengan hal yang tidak ada
dalilnya atau masalah-masalah yang tidak ada kepentingannya untuk
ditafsirkan.
Mengapa demikian? Sebab, beliau sendiri pernah ditanya tentang kalalah, lalu mengatakan, “Ini menurut pendapat saya. Kalau benar, itu dari Allah ‘azza wa jalla. Kalau salah, itu dari saya dan syaitan….”
Yang kedua,
tidak mentadabur al-Qur’an dengan benar lalu menafsirkannya dengan
penalaran yang lemah tanpa memahami lingkup ayat dan materi tafsir.
Misalnya, menyandarkan diri kepada pemahaman sisi bahasa Arab semata.
Seperti orang yang menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Apa saja yang menimpamu dari kebaikan, maka itu dari Allah….” (an-Nisa: 79)
Secara lahiriah, bahwa kebaikan itu dari Allah ‘azza wa jalla,
tetapi kejelekan itu adalah perbuatan manusia, tanpa memerhatikan dalil
syara’ yang menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi
kecuali adalah apa yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki, dan tanpa menoleh kepada firman Allah ‘azza wa jalla yang sebelumnya,
Katakanlah, “Semua itu berasal dari sisi Allah.” (an-Nisa: 78)
Penafsirkan dengan pengertian lahiriah bahasa padahal tidak pernah digunakan orang Arab, di antaranya menafsirkan kata مُبْصِرَةً dalam ayat,
وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً
“Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat,” bahwa unta itu mempunyai penglihatan, tidak buta. Inilah penafsiran yang termasuk tafsir bir ra’yi yang tercela (madzmum).
Yang ketiga,
mempunyai kecenderungan kepada salah satu mazhab atau aliran agama, lalu
menakwilkan al-Qur’an sesuai dengan ra’yunya dan membelokkannya dari
makna yang diinginkan, meskipun tidak didukung makna yang sudah dikenal.
Akhirnya, dia menyeret al-Qur’an untuk
mendukung ra’yunya dan menghalanginya dari memahami al-Qur’an secara
benar, selama dia terbelenggu oleh sikap fanatik terhadap mazhab atau
golongannya.
Sikap fanatik ini menutup mata hatinya
untuk menerima kebenaran, meskipun dia telah melihat bukti nyata
kesalahan pemahamannya. Karena itu, kalau dia tidak berani mengingkari
ayat tersebut, dia akan menakwilkan dan menyeretnya kepada analogi yang
mendukung keyakinannya.
Contoh seperti ini ialah penafsiran kaum Muktazilah tentang firman Allah ‘azza wa jalla pada surat al-Qiyamah ayat 23,
“Kepada Rabbnyalah mereka melihat.”
Yaitu, menunggu nikmat Rabbnya.
Atau seperti pendapat kaum Bayaniyah terhadap firman Allah ‘azza wa jalla pada surat Ali ‘Imran ayat 138,
“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia.”
Yaitu, Bayan bin Sam’an, tokoh besar mazhab mereka.
Demikian pula seperti penafsiran pengikut Abu Manshur al-Kasf bahwa kasf dalam firman Allah ‘azza wa jalla pada surat ath-Thur ayat 44,
Jika mereka melihat sebagian dari langit gugur, mereka akan mengatakan, “Itu adalah awan yang bertindih-tindih.”
Yang dimaksud kisaf adalah imam
mereka yang akan turun dari langit. Itu pun, andaikata benar dinukil
demikian dari mereka, bukan sisipan dari lawan-lawan mereka, adalah
upaya mengubah al-Qur’an dan keluar dari agama.
Yang keempat,
menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu yang bersandar kepada kandungan
lafadznya, lantas meyakini bahwa hanya itulah makna yang dimaksud, bukan
yang lain. Hal ini tentu saja mempersempit kesempatan bagi para
penafsir lain.
Yang kelima,
atsar terebut bermaksud untuk memmperingatkan manusia agar mau
mentadabur dan menakwil serta menjauhi sikap terburuburu dalam masalah
ini.
Dalam kondisi ini, para ulama
berbeda-beda tingkatannya. Bahkan muncul sikap berlebihan dalam
ketakwaan pada sebagian mereka, sehingga hampir-hampir tidak mau
menyebutkan tafsir sesuatu tanpa menyandarkannya kepada yang lainnya,
seperti al-Ashma’i yang tidak menafsirkan satu kata bahasa Arab jika
sudah ada dalam al-Qur’an.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
[1] Muqaddimah Ushulit Tafsir Ibnu Taimiyah.
[2] Tafsir wal Mufassirun (1/34).
[3] Adhwaul Bayan (1/5) dalam Asbabul Khatha’ fit Tafsir (53).
[4] Lihat juga Adhwaul Bayan asy-Syaikh asy-Syinqithi, Tafsir wal Mufassirun (1/32)
[5] HR. Ahmad dan Abu Dawud (4606) dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani.
[6] Syarah Muqaddimah Ushulit Tafsir Ibnu Taimiyah hlm. 58.
[7] HR. at-Tirmidzi (2542), kata asy-Syaikh al-Abani, “Hasan sahih.”
[8] Syarah Muqaddimah fi Ushulit Tafsir hlm. 58
[9] HR. ad-Darimi (1/115), Ibnu Abi ‘Ashim (as-Sunnah 5/2)
[10] Muqaddimah Ushulit Tafsir Ibnu Taimiyah
[11] Syarh Muqaddimah Ushulit Tafsir Ibnu Taimiyah hlm. 192.
[12] Dar’ut Ta’arudh (5/383) dalam Asbabul Khatha’ (1/62)
[13] HR. Abu Dawud (3654) dan dinyatakan lemah oleh asy-Syaikh al-Albani.
[14] Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi (2950) ayat, baik sebelum maupun sesudahnya.

Rambu-rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan al-Qur’an
Di antara nikmat terbesar yang Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada umat Islam adalah Kitab Suci al-Qur’an. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai pedoman dan lentera bagi kehidupan umat manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-mu (Muhammad dengan
mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang
benderang (al-Qur’an).” (an-Nisa’: 174)
Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling
mulia. Hikmah yang dikandungnya pun sangat luas dan berharga. Di
dalamnya terdapat lautan ilmu, petunjuk kepada jalan yang lurus, rahmat,
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Firman-Nya ‘azza wa jalla,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab
(al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)
“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada
kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang
kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepada
kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Dengan
kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya
kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang
dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk
dicurahkan kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk
dikerahkan kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena. Sebab, ia
adalah sumber segala ilmu dan hikmah, tempat setiap petunjuk dan rahmat.
Al-Qur’an adalah bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat
bagi orang-orang yang berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa
berpegang teguh dengannya, sungguh telah berpegang dengan tali yang
kuat; barang siapa berjalan di atasnya, sungguh telah berjalan di atas
jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal mustaqim.” (al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)
Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an
Kitab Suci al-Qur’an tidaklah diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk dibaca dan dihafalkan semata. Allah ‘azza wa jalla
menurunkannya supaya direnungkan ayat-ayatnya dan dipetik
pelajaran-pelajaran berharga darinya. Itulah hikmah diturunkannya
al-Qur’an. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan
ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan
pelajaran.” (Shad: 29)
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla
menerangkan (dalam ayat ini) bahwa hikmah dari penurunan al-Qur’an yang
penuh berkah itu, supaya manusia mentadabburi (merenungkan)
ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran berharga darinya. Maksud dari
mentadabburi adalah merenungkan lafadz-lafadznya hingga dapat memahami
kandungan maknanya. Jika upaya perenungan tersebut tak dilakukan,
hilanglah hikmah penurunan al-Qur’an. Jadilah ia lafadz-lafadz yang tak
bermakna. Lebih dari itu, tidaklah mungkin pelajaran-pelajaran berharga
dapat dipetik darinya tanpa memahami kandungan maknanya.” (Tafsir al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Telah maklum bahwa target dari setiap perkataan yang
diucapkan adalah agar dipahami maknanya dan tidak sekadar dikenali
lafadz-lafadznya. Sudah barang tentu, yang lebih utama untuk dipahami
makna-maknanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla).
Demikian pula menurut kebiasaan,
tidaklah dibenarkan sekelompok orang yang mempelajari suatu disiplin
ilmu seperti ilmu kedokteran atau matematika, namun tidak berupaya
memahaminya dengan baik. Bagaimanakah dengan kalamullah yang merupakan
pedoman hidup mereka, dan dengannya akan diraih keselamatan,
kebahagiaan, dan tegaknya urusan agama dan dunia mereka?! (Majmu’ Fatawa 13/332)
Kewajiban Mengkaji dan Memahami Kitab Suci Al-Qur’an dengan Baik dan Benar
Betapa besar hikmah dari penurunan Kitab
Suci al-Qur’an. Hikmah itu pun tak mungkin terwujud tanpa adanya upaya
mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar.
Atas dasar itu, mengkaji dan memahami
Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan kewajiban setiap
muslim. Dengannya, pengamalan terhadap al-Qur’an menjadi benar dan
sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Demikianlah yang dilakukan oleh para pendahulu umat ini (salaful ummah).
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Para pendahulu umat ini (salaful ummah) berjalan di atas
kewajiban ini, mereka mempelajari al-Qur’an lafadz dan maknanya. Karena
itu, mereka lebih mudah mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan yang
dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sebab, tidak mungkin beramal dengan sesuatu yang tidak dipahami.
Abu Abdirrahman as-Sulami rahimahullah berkata, ‘Telah memberitakan kepada kami orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan selain keduanya bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan tidaklah mereka melanjutkannya hingga memahami kandungan maknanya
dari ilmu dan pengamalannya. Mereka pun mengatakan, kami mempelajari
al-Qur’an, ilmu, dan pengamalannya secara sekaligus’.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)
Mengkaji dan memahami Kitab Suci
al-Qur’an adalah amalan mulia. Dengannya, hati seseorang akan hidup.
Sebaliknya, sikap enggan mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an
adalah perbuatan tercela. Karena itu, hati seseorang akan mati terkunci.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memerhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla berfirman memerintahkan agar al-Qur’an ditadabburi dan dipahami, serta melarang dari sikap berpaling darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir 7/320)
Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Tidakkah orang-orang yang berpaling dari kitabullah mau
merenungi dan memerhatikannya dengan saksama? Sungguh, jika mereka mau
merenunginya. niscaya ia akan mengarahkan mereka kepada seluruh kebaikan
dan memperingatkan mereka dari seluruh kejelekan. Kalbu mereka akan
dipenuhi iman. Hati mereka pun akan dipenuhi keyakinan.
Al-Qur’an mengantar mereka kepada
cita-cita yang mulia dan karunia yang tak terhingga; menjelaskan kepada
mereka jalan yang mengantarkan kepada Allah ‘azza wa jalla dan
Jannah-Nya, serta hal-hal yang dapat menyempurnakan jalan tersebut dan
merusaknya. Demikian pula jalan yang mengantarkan kepada azab-Nya dan
bagaimana cara menghindarinya; mengenalkan kepada mereka Rabb mereka;
nama-nama dan sifat-sifat- Nya serta kebaikan-Nya; memotivasi mereka
untuk selalu merindukan pahala yang besar dan mewanti-wanti mereka dari
azab yang pedih.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 788)[1]
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla
mencela orang-orang yang enggan mentadabburi al-Qur’an, dan
mengisyaratkan bahwa itu termasuk penguncian terhadap hati mereka dan
tidak sampainya kebaikan kepadanya.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)
Tak mengherankan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.
Dengan begitu, predikat terbaik akan diraih. Dengannya pula berbagai
kebaikan akan selalu mengiringi perjalanan hidup seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari no. 5027, dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)
Jangan Salah Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan Al-Qur’an!
Mengkaji dan memahami al-Qur’an tak
boleh asal-asalan. Kecerdasan atau kebersihan jiwa semata tak cukup
untuk mengkaji dan memahaminya. Sebab, al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang
datang dari Allah Rabb Semesta Alam. Kedudukannya pun sangat sakral
dalam agama ini.
Tak mengherankan apabila para pendahulu terbaik umat ini (as-salafush shalih)
selalu berpegang dengan atsar (riwayat-riwayat) dalam mengkaji,
memahami, dan menafsirkannya. Tidak bermudah-mudahan menggunakan logika
atau ijtihad, padahal mereka adalah orang-orang yang jenius. Tidak
gegabah mengeluarkan gagasan jiwa, meski mereka adalah orang-orang yang
dikaruniai kebersihan jiwa. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an haruslah
dikaji, dipahami, dan ditafsirkan sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah
‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara metode yang tepat dan benar dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:
- Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya.
Sebab, Allah ‘azza wa jalla yang menurunkannya dan Dia ‘azza wa jalla lebih mengetahui maksudnya. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Yunus: 62)
Siapakah wali-wali Allah ‘azza wa jalla itu? Mereka adalah orang yang beriman dan selalu bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang sesudahnya,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 63)
- Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah).
Sebab, beliau adalah utusan Allah ‘azza wa jalla yang bertugas menyampaikan segala yang datang dari Allah ‘azza wa jalla. Tentunya, beliaulah orang yang paling mengetahui kandungan makna Al-Qur’an. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26)
Yang dimaksud dengan “tambahan” di sini adalah kenikmatan melihat wajah Allah ‘azza wa jalla sebagaimana keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim no. 297—298 dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu dan hadits-hadits selainnya.
- Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para sahabat g terutama para ulama mereka yang mumpuni di bidang tafsir.
Sebab, al-Qur’an turun dengan bahasa
mereka dan di masa mereka. Merekalah orang yang paling
bersungguh-sungguh mencari kebenaran setelah para nabi, orang yang
paling jauh dari kesesatan, dan paling bersih dari hal-hal yang
menghalangi mereka dari kebenaran. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan.” (an-Nisa’: 43)
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan “menyentuh perempuan” dengan jima’.
- Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu tafsir dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab, mereka adalah orang terbaik umat ini setelah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lebih terselamatkan dari kesesatan daripada generasi sesudah mereka,
dan bahasa Arab pun belum banyak berubah di masa mereka. Pemahaman
mereka tentang al-Qur’an jauh lebih benar daripada generasi sesudah
mereka.
- Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pengertiannya secara terminologi (istilah) atau etimologi (bahasa) yang sesuai dengan redaksinya.
(Diringkas dari Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/23-24)
Demikianlah lima tahapan penting
dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an. Barang siapa
berpegang teguh dengannya niscaya akan terbimbing kepada kebenaran.
Barang siapa tak mengindahkannya, niscaya akan terjauhkan dari
kebenaran.
Menelisik Syarat-Syarat Penafsir
Tafsir ( التَّفْسِير ), secara etimologi berasal dari kata al-fasr ( الفَسْر
) yang bermakna; menyingkap dari sesuatu yang tertutup. Secara
terminologi bermakna; penjelasan tentang kandungan makna al-Qur’anul
Karim.[2] Orang yang menjelaskan kandungan makna al-Qur’anul Karim disebut mufassir ( المفَسِّر ) atau penafsir.
Mengingat betapa rawan dan bahayanya
menafsirkan Al-Qur’an dengan logika atau ijtihad, maka para ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah memberikan syarat-syarat yang ketat sebagaimana
berikut.
- Berilmu tentang akidah as-Salaf dan tauhid dengan tiga jenisnya, agar tidak terkontaminasi dengan akidah kelompokkelompok sesat ketika menafsirkan semisal; Jahmiyah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji’ah, dan yang lainnya.
- Berilmu tentang al-Qur’an dan menghafalnya, agar memungkinkan baginya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya atau mampu menempatkan al-mutasyabih pada tempatnya dan al-muhkam pada tempatnya. Lebih bagus lagi jika menguasai ilmu qiraat.
- Berilmu tentang as-Sunnah, sehingga ijtihadnya tentang tafsir ayat tertentu bersandarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Berilmu tentang perkataan-perkataan sahabat, sehingga tafsirnya tidak berseberangan dengan tafsir mereka.
- Berilmu tentang peradaban bangsa Arab, agar dapat menempatkan sebuah ayat pada tempatnya.
- Menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengannya seperti; nahwu, sharaf, ilmu al-ma’ani, dan balaghah. (Diringkas dari kitab Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/15-16)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata,
“Tujuan dari semua ini adalah agar orang-orang yang mengira dirinya
layak menafsirkan al-Qur’an padahal tidak layak, tidak gegabah
menafsirkan dengan ijtihad dan istinbath sementara perangkat-perangkatnya belum dimiliki. Sebab, permasalahan tafsir itu berat.
Oleh karena itu, sekelompok as-Salaf
mengharamkan tafsir dengan ijtihad. Mereka pun mengatakan, ‘Kami tidak
menafsirkan al-Qur’an kecuali dengan apa yang dinukil dari para sahabat.
Adapun setelah sahabat, maka tak seorang pun berhak menafsirkan
al-Qur’an.’ Namun, ini pendapat sekelompok kecil dari tabi’in. (Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/17)
Sekelumit Tentang Sejarah Penyelewengan Tafsir
Sejarah telah mencatat bahwa Khawarij,
kelompok sesat pertama dalam Islam tidaklah tersesat melainkan karena
memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan logika mereka tanpa metode
yang tepat dan benar. Mereka mengambil ayat-ayat yang berisi ancaman
azab (wa’id) dan mengesampingkan ayat-ayat lainnya yang berisi rahmat dan ampunan Allah ‘azza wa jalla.
Kemudian mereka mengembangkannya dengan logika hingga terjatuh ke dalam
praktik takfir (pengkafiran) terhadap pelaku dosa besar di bawah dosa
syirik. Kafir di dunia dan kekal abadi di neraka.
Sejarah pun mencatat, tatkala terjadi rekonsiliasi antara pihak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, pasca-Perang Shiffin, dengan kesepakatan mengembalikan amar putusan (bertahkim) kepada para juru pendamai (hakam), yaitu Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu dari pihak Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma,
maka kaum Khawarij tanpa keraguan sedikit pun mengkafirkan kedua belah
pihak dengan alasan “telah berhukum kepada manusia dan tidak berhukum
kepada Allah ‘azza wa jalla”. Mereka berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla
memerintahkan agar mengutus juru pendamai dari pihak suami dan pihak
istri manakala terjadi pertikaian antara keduanya, guna mendapatkan
solusi yang terbaik. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kamu khawatirkan ada
pertikaian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai)
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35)
Kalaulah mengutus dua juru pendamai untuk urusan rumah tangga diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla,
lebih berhak lagi mengutus dua juru pendamai untuk urusan yang lebih
besar, dalam hal ini berkaitan dengan darah dan kehormatan kaum
muslimin. Beliau radhiallahu ‘anhuma juga membawakan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (al-Maidah: 95)
Kalaulah putusan harga (denda) hewan buruan tersebut diserahkan oleh Allah ‘azza wa jalla
kepada dua orang yang adil, tentunya boleh juga menyerahkan amar
putusan kepada para juru pendamai terkait dengan kemaslahatan kaum
muslimin yang jauh lebih besar. Kalaulah permasalahan hewan buruan
tergolong penting untuk segera diselesaikan dengan dipercayakan kepada
ahlinya, lebih-lebih lagi permasalahan yang berkaiatan dengan darah dan
kehormatan kaum muslimin.[3]
Demikianlah di antara contoh kasus
memahami dan menafsirkan al-Qur’an tanpa menggunakan metodologi yang
tepat dan benar. Akibatnya, mereka terjatuh dalam takfir (pengkafiran)
yang sesat dan menyesatkan. Bahkan, kesudahannya adalah mengkafirkan
siapa saja yang bukan kelompoknya, serta menghalalkan darah dan
hartanya.[4] Wallahul Musta’an.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
[1]
Beliau juga berkata, “Membaca al-Qur’an dengan penuh tadabbur lebih
utama daripada membacanya dengan cepat (banyak) tanpa mentadabburinya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 712)
[2]Tafsir Al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20.
[3] Lihat Kitab al-Khashaish karya al-Imam an-Nasa’i hlm. 195, Talbis Iblis karya al-Imam Ibnul Jauzi hlm. 82, dan al-Ajwibah al-Atsariyyah ‘anil Masail al-Manhajiyyah karya asy-Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali hlm. 91-93.
[4] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata,
“Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan
dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan
keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)

Surat Pembaca Edisi 103
Lanjutan Pembahasan Shalat
Setelah kajian tentang shalat sudah tamat. Mudah-mudahan bisa segera dibukukan beserta kajian tentang azan (jadi satu buku). Berikutnya, mohon juga dimuat di majalah ini tentang zikir-zikir setelah shalat fardhu. Barakallahu fikum.
Ulul Albab—0852597xxxxxx
Ukuran Majalah Diperkecil
Saya mau usul, bagaimana kalau Majalah Asy Syariah dibuat ukuran kecil (ukuran saku, 8x12cm) agar bisa dibawa dengan mudah/praktis. Barakallahu fikum.
085221xxxxxx
Menyebarluaskan Isi Asy Syariah
Apa boleh isi Majalah Asy Syariah saya perbanyak dengan cara difotokopi lalu saya sebarluaskan?
085250xxxxxx
Pembahasan Mengurus Jenazah
Berkat kemudahan dari Allah ‘azza wa jalla kami senang bisa menjadi pelanggan Asy Syariah, membacanya tidaklah membosankan. Alhamdulillah. Namun, kami menunggu Majalah Asy Syariah untuk membahas seputar ‘kematian’ dan yang terkait dengannya, semisal cara mengafani, cara memandikan, cara menyalati disertai bacaannya.
Abu Affan—087839xxxxxx
Bahas ISIS
Mohon dibahas tuntas tentang kelompok ISIS yang mulai memasuki Indonesia, dan dikhawatirkan merupakan kelompok teroris baru.
081327xxxxxx
Setelah kajian tentang shalat sudah tamat. Mudah-mudahan bisa segera dibukukan beserta kajian tentang azan (jadi satu buku). Berikutnya, mohon juga dimuat di majalah ini tentang zikir-zikir setelah shalat fardhu. Barakallahu fikum.
Ulul Albab—0852597xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Ukuran Majalah Diperkecil
Saya mau usul, bagaimana kalau Majalah Asy Syariah dibuat ukuran kecil (ukuran saku, 8x12cm) agar bisa dibawa dengan mudah/praktis. Barakallahu fikum.
085221xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Menyebarluaskan Isi Asy Syariah
Apa boleh isi Majalah Asy Syariah saya perbanyak dengan cara difotokopi lalu saya sebarluaskan?
085250xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Pembahasan Mengurus Jenazah
Berkat kemudahan dari Allah ‘azza wa jalla kami senang bisa menjadi pelanggan Asy Syariah, membacanya tidaklah membosankan. Alhamdulillah. Namun, kami menunggu Majalah Asy Syariah untuk membahas seputar ‘kematian’ dan yang terkait dengannya, semisal cara mengafani, cara memandikan, cara menyalati disertai bacaannya.
Abu Affan—087839xxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Bahas ISIS
Mohon dibahas tuntas tentang kelompok ISIS yang mulai memasuki Indonesia, dan dikhawatirkan merupakan kelompok teroris baru.
081327xxxxxx
- Jawaban Redaksi:

Mencari Tafsir yang Benar
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Sebagai produk intepretasi, tafsir
niscaya akan beragam. Walaupun objek tafsirnya sama, namun keilmuan
penafsir, serta pemikiran dan kultur yang memengaruhi, akan membedakan
hasilnya.
Benar memang jika dikatakan bahwa
al-Qur’an bagaikan permata, dipandang dari sudut mana pun akan tetap
memancarkan cahaya. Namun, bukan berarti semua “sudut pandang” ini
lantas dikatakan benar semua.
Objektivitas tetaplah dibutuhkan. Secara
akal sehat, tafsir yang benar adalah tafsir yang penafsirnya tidak
menaruh pemikirannya di dalamnya. Ketika tafsir sudah dirancukan oleh
pemikiran penafsir atau menitikberatkan pada paham tertentu, produk
tafsirnya jelas akan berkurang nilainya.
Tafsir yang dalam memahami kandungan
ayat al-Qur’an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur’an dan riwayat
hadits, tentunya akan lebih selamat. Karena tafsir sejatinya menjelaskan
makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai sisi, baik konteks historisnya
maupun sebab turunnya, dengan menggunakan penjelasan yang dapat menunjuk
kepada makna yang dimaukan.
Sebagai hasil penalaran, kajian, dan
ijtihad para mufassir (baca: manusia) yang terbatas, tafsir memang bisa
saja salah. Para sahabat yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu,
memahami konteksnya, serta mengerti struktur bahasa dan makna kosa
katanya, bisa berbeda pendapat dalam memahaminya, tentu kita yang
ilmunya dangkal dan dipisahkan oleh rentang waktu yang panjang dari
turunnya wahyu, sangat mungkin salah.
Oleh karena itu, seseorang yang mengaku
ahli tafsir atau suka menafsirkan ayat tapi tidak paham ilmu bahasa
Arab, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu ma’any, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu
qiraah, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, musthalah hadits, dan ilmu
lain yang dipersyaratkan dimiliki oleh seorang mufassir, dijamin dia
akan gegabah dalam menafsirkannya.
Maka menjadi aneh jika muncul
metode-metode tafsir kontemporer seperti: hermeneutik, tematik, dan
semiotik, yang tidak berpijak pada ilmu-ilmu tersebut, bahkan tidak
menggunakan sumber penafsiran yang jelas: yakni al-Qur’an sendiri,
hadits-hadits Nabi n yang berkaitan dengan topik penafsiran, riwayat
para sahabat dan tabi’in, kaidah-kaidah bahasa Arab, pendapat salafush
shalih, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan, produk tafsir macam apa
yang dihasilkannya.
Wajar jika tafsir berlabel
“kontekstualisasi” yang kuat bersentuhan dengan pemikiran Barat ini,
tidaklah dianggap sama sekali. Di saat Rasulullah masih hidup, umat
memang tidak menemukan kesulitan dalam memahami “petunjuk” karena mereka
memiliki tempat untuk bertanya. Namun, sepeninggal Rasulullah n, umat
Islam banyak menemukan kesulitan. Meskipun ada yang mengerti bahasa Arab
al-Qur’an, namun dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan
mudah memahami al-Qur’an.
Oleh sebab itu, mereka membutuhkan
tafsir yang bisa membimbing dan mengantarkan mereka untuk memahami
kandungan yang terpendam di dalamnya.
Maka dari itu, ulama tafsir memegang
posisi yang sentral. Melalui produk tafsirnya, mereka banyak memberikan
kemaslahatan bagi umat. Tinggal kita sebagai umat sekaligus masyarakat
pembacanya, bisa memilih dan memilah produk tafsir yang benar dan
selamat.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Siapakah Khawarij?
Al-Imam Muhammad bin Husain al-Ajurri rahimahullah berkata,
“Tidak sepantasnya orang yang melihat kesungguhan seorang Khawarij—yang telah memberontak kepada penguasa, baik yang adil maupun yang jahat; lantas keluar dari ketaatan kepada penguasa, membuat kelompok sendiri, menghunuskan pedangnya, dan menghalalkan pembunuhan terhadap kaum muslimin—tertipu oleh bacaan al-Qur’an si Khawarij itu, lamanya berdiri ketika shalat, puasanya yang terus-menerus, dan indahnya ucapannya ketika menerangkan ilmu. Tidak sepantasnya dia tertipu oleh (penampilan dan ibadah) orang tersebut, selama orang tersebut masih berpemahaman Khawarij.” (asy-Syari’ah karya al-Ajurri, no. 48)
Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata,
“(Golongan al-Qa’ad) ialah Khawarij yang tidak terlihat berperang, tetapi mengingkari para penguasa yang jahat semampu mereka, mengajak (manusia kepada) pemikiran mereka; bersamaan dengan itu, mereka menghias-hiasi tindakan memberontak dan menjadikannya terlihat bagus.” (at-Tahdzib, 8/144)
Beliau rahimahullah berkata pula,
“Al-Qa’adiyah ialah orang-orang yang menghias-hiasi tindakan keluar dari ketaatan (pemberontakan) terhadap penguasa, meski tidak melakukannya secara langsung.” (Hadyus Sari, hlm. 459)
(Diambil dari Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, hlm. 60, karya Jamal bin Furaihan al-Haritsi)

Fatwa Seputar Shalatnya Wanita (2)
TIDAK MENYADARI ADA NAJIS PADA PAKAIAN SAAT SHALAT
Ada seseorang shalat lima waktu dari
shalat Subuh sampai shalat Isya dalam keadaan pada pakaiannya ada najis
sementara dia tidak menyadarinya. Apakah dia harus mengulang shalatnya?
Atau apa yang harus dilakukannya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh al-Muhaddits Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah menjawab sebagai berikut.
“Orang yang telah mengerjakan shalat
lima waktu dalam keadaan pada pakaiannya ada najis tanpa diketahuinya,
maka shalatnya sah, tidak perlu diulangi. Argumennya di antaranya adalah
saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat beliau dalam keadaan memakai sendal, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sendal beliau. Para sahabat pun mengikuti beliau, melepas sendal mereka.
Setelah salam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyai mereka, “Mengapa kalian melepas sendal kalian?”
Mereka menjawab, “Kami melihat Anda melepas sendal anda, maka kami pun melepas sendal-sendal kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ جِبْرَائِيْلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيْهِمَا قَذَرًا
“Sesungguhnya Jibril datang kepadaku lalu mengabariku bahwa pada kedua sendalku ada kotoran/najis.”[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dikabarkan oleh Jibril q tentang adanya kotoran pada kedua sendal
beliau. Beliau kemudian melepaskan keduanya di tengah shalat tanpa
mengulang shalat yang telah dikerjakan saat masih memakai dua sendal
yang terdapat najis tersebut.
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini menunjukkan bahwa ketika seorang muslim shalat dalam keadaan tidak
menyadari pada pakaiannya ada najis dan baru mengetahuinya setelah
selesai shalat, tidak diharuskan baginya mengulang shalat. Sebab, dia
dalam posisi beruzur, dan shalatnya saat itu sah.
Dari sini ulama membedakan antara najis
dan janabah atau hadats kecil atau hadats besar. Jika seseorang shalat
dalam keadaan junub (berhadats besar, –pen.), ia wajib mengulangi shalatnya (setelah mandi janabah, –pen.).
Demikian pula seseorang yang shalat dalam keadaan berhadats kecil (seperti buang angin, buang air kecil, atau besar, –pen.),
kemudian ingat bahwa dia telah mengerjakan satu shalat fardhu atau
lebih dalam keadaan berhadats kecil atau besar, ia wajib mengulang
shalatnya.
Pernah terjadi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah siap memimpin shalat setelah diserukannya iqamah. Tatkala shaf
telah lurus, beliau berkata, “Tetaplah kalian di tempat kalian!”
Kemudian beliau pergi, lalu mandi (karena janabah) dan kembali lagi.
Setelah itu, beliau mengimami mereka.
Ulama memandang bahwa hadats besar dan
kecil membatalkan shalat. Apabila seseorang shalat lalu ingat bahwa dia
sedang berhadats besar atau kecil, shalatnya dia batalkan[2]. Setelah (bersuci), dia mengulangi shalatnya dari awal.
Adapun najis, hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan.”
(Pertanyaan dalam kitab ‘Aun al-Bari bi Bayan Ma Tadhammanahu Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahari, 2/650—651)
SYARAT WANITA JADI IMAM
Apa syarat-syarat wanita bisa menjadi imam bagi sesama wanita di dalam shalat?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdullah bin Humaid[3] rahimahullah
menjawab, “Apabila si wanita paling bagus dan paling pandai membaca
Kitabullah, tidak ada larangan baginya menjadi imam para wanita
sebagaimana lelaki[4]. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ummu Waraqah radhiallahu ‘anha mengimami orang-orang di rumahnya.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil ‘Aqaid wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, 1/419)
WANITA MENGIMAMI ANAK LELAKI
Apa hukumnya wanita mengimami anak lelaki?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab sebagai berikut.
“Yang benar, wanita tidak boleh
mengimami lelaki, baik si lelaki masih kecil maupun sudah besar.
Berdasarkan hal ini, apabila seorang wanita ingin menegakkan shalat
berjamaah, hendaknya dia menjadikan anak lelaki kecil (yang ada
bersamanya untuk shalat) sebagai imam dan dia shalat di belakang si
anak. Sebab, anak lelaki dibolehkan menjadi imam, meskipun dalam shalat
fardhu.
Hal ini telah pasti haditsnya dari ‘Amr
ibnu Salamah al-Jurmi, beliau berkata, “Ayahku berkata, ‘Aku benar-benar
datang dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam — karena ayahnya adalah salah seorang utusan yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 9 H. Beliau berkata, “Aku benar-benar datang kepada kalian dari sisi Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَ لْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآناً
‘Apabila telah datang waktu shalat,
hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan azan dan hendaknya
mengimami kalian orang yang paling banyak hapalan Qur’annya di antara
kalian’.”
Ayahku berkata, “Mereka pun melihat
siapa di antara mereka yang paling banyak hafalannya. Ternyata mereka
tidak dapati orang yang paling banyak hafalannya daripada aku. Mereka
mengedepankan aku (sebagai imam), padahal di saat itu usiaku baru 6
tahun atau 7 tahun.” (Shahih al-Bukhari no. 3402)
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya anak kecil menjadi imam dalam shalat fardhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 15/147)
SHALAT TARAWIH DI RUMAH ATAU DI MASJID?
Manakah yang lebih utama bagi wanita apakah shalat tarawih di rumahnya ataukah di masjid bersama kaum muslimin?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah menjawab sebagai berikut.
“Yang afdal bagi wanita adalah shalat di
rumahnya. Namun, ia boleh shalat di masjid bersama jamaah, baik shalat
fardhu, shalat tarawih, shalat kusuf, maupun shalat jenazah, dengan
syarat dia mengenakan hijab yang sempurna dan jauh dari perbuatan
berhias, baik pada tubuh maupun pakaiannya, serta tidak memakai
wewangian pada tubuh dan pakaiannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا إِماءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاَتٍ.
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah subhanahu wa ta’ala dari
masjid-masjid Allah. Namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.
(Kalaupun mereka keluar ke masjid), hendaknya mereka keluar dalam
keadaan tafilat.” (HR. Abu Dawud no. 567 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Adapun baris pertama diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu)
Makna tafilat dalam hadits adalah tidak berhias dan tidak memakai wewangian.
Hadits ini menunjukkan boleh wanita
keluar shalat ke masjid dengan syarat yang disebutkan, yaitu dia
berpegang dengan rasa malu dan menutup diri, tidak berhias, tidak
memakai wewangian dan bershaf di belakang jamaah laki-laki.
Namun, bersamaan dengan keharusannya
berpegang dengan syarat yang disebutkan, shalatnya di rumahnya lebih
baik baginya karena lebih memberikan penjagaan kepadanya, dia tidak
terfitnah dan tidak menjadi fitnah.
Adapun apabila si wanita tidak memegangi
syarat yang ada, maka keluarnya ke masjid hukumnya haram, dia berdosa,
walaupun tujuannya untuk mengerjakan shalat.” (al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/180-181)
MENGIKUTI BACAAN IMAM DENGAN MELIHAT MUSHAF
Bolehkah seorang wanita atau lelaki
yang sedang shalat mengikuti bacaan imam dalam shalat tarawih dengan
melihat mushaf, baik yang mengikuti ini mengeraskan suaranya maupun
hanya membaca dalam hati?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah menjawab sebagai berikut.
“Tidak boleh bagi makmum lelaki ataupun
wanita mengikuti bacaan imam dengan melihat mushaf. Sebab, hal itu akan
menyibukkannya dari amalan shalat tanpa kebutuhan. Ini yang tampak dari
perbuatan sebagian pemuda sekarang ini, padahal ini bukanlah termasuk
amalan salaf menurut apa yang kuketahui. Perbuatan ini wajib
ditinggalkan dan dilarang.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum
imam membaca al-Qur’an di dalam shalat (qiraah dalam shalat) dengan
melihat mushaf pada saat dibutuhkan. Lantas, bagaimana halnya dengan
makmum?”
(al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/204)
[1] HR. Abu Dawud no. 650 dari hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu; dinyatakan sahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dan disepakati oleh adz-Dzahabi; dinyatakan sahih sanadnya oleh Ibnu Katsir dalam Tuhfah ath-Thalib hlm. 135 dan penulis Fathul Bari (1/348) menukilkan pensahihan Ibnu Khuzaimah terhadap hadits ini. tersebut.
[2] Untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi kalau berhadats besar atau wudhu apabila berhadats kecil.
[3]
Beliau adalah asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Aziz bin
Abdirrahman bin Husain bin Humaid dari Bani Khalid. Lahir di Riyadh pada
1329 H dan wafat 1402 H. Kehilangan penglihatan di usia kanak-kanak
tidak mengendurkan semangat beliau untuk menuntut ilmu. Beliau menimba
ilmu dari ulama besar di negerinya, di antaranya asy-Syaikh Muhammad bin
Ibrahim alusy Syaikh rahimahullah, mufti Kerajaan Saudi di
zamannya. Semasa hidupnya, beliau diamanahi beberapa tugas dakwah yang
dengannya beliau berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah
subhanahu wa ta’ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas.
[4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ. فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ, فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ . فَإِنْ كَانُوْا فِي السُّنَّةِ سَوَاءٌ, . فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً . فَإِنْ كاَنوُاْ فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءٌ, فَأَقْدَمُهُمِ سِلْمًا
“Yang mengimami suatu kaum
adalah yang paling pandai membaca Kitabullah di antara mereka. Jika
mereka semua-sama dalam hal membaca Kitabullah, maka yang jadi imam
adalah yang paling berilmu tentang as-Sunnah. Jika mereka juga sama,
maka yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka sama dalam hal berhijrah,
maka yang terdahulu masuk Islam.” (HR. Muslim)

Menjaga Diri Dari Ujian & Godaan
al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Anda pernah menghadapi soal-soal tes
yang diujikan oleh penguji Anda? Bagaimana rasanya menghadapi ujian
tersebut, menegangkan bukan? Akan tetapi, alhamdulillah kita
tidak mesti menghadapinya. Kalaupun harus menjalani tes seperti itu
karena satu urusan, sebagai pelajar misalnya, itu pun tidak setiap hari.
Betul bukan?
Nah, ada ujian yang mau tidak mau akan kita jumpai, siapa pun kita.
Ketahuilah wahai saudariku, dunia yang
sedang kita huni ini adalah ujian yang sesungguhnya. Tentu saja, kita
diuji bukan dengan soal tes tertulis atau tes lisan, melainkan dengan
beragam kesenangan dan kesulitan. Apakah kita bersyukur ataukah kita
bersabar? Siapakah yang memberi ujian tersebut? Jelas jawabannya, Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah berfirman, Alif laam miim. Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan berkata, “Kami telah beriman,” sementara mereka belum diuji? (al-Ankabut: 1—2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Tatkala para rasul diutus kepada manusia, mereka berada di
antara dua perkara. Bisa jadi, mereka berkata, “Kami beriman,” atau
berkata, “Kami enggan beriman.” Barang siapa mengaku beriman, dia akan
diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk membedakan siapa yang jujur imannya dan siapa yang dusta.”
Ujian yang dihadapi oleh seorang mukmin
dalam kehidupan dunia ini bisa jadi besar dan bisa pula kecil. Bisa jadi
datang dari dalam (internal kaum muslimin) dan dari luar (dari
nonmuslim).
Karena dahsyatnya akibat ujian ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dalam sabda beliau,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الْمَرْءُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ أَحَدُكُمْ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ قَلِيْلٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian beramal,
sebelum datang ujian seperti potongan malam yang gelap. Ketika itu
seseorang di pagi hari beriman, namun di sore harinya dia kafir. Ada
yang sorenya beriman, ketika pagi hari dia telah kafir; salah seorang
dari kalian menjual agamanya dengan harta dunia yang sedikit.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menerangkan dengan rinci ujian tersebut. Beliau telah pula
memberikan solusinya, dan melarang kita menceburkan diri ke dalamnya.
Beliau telah menerangkan sebab-sebab terjadinya, di antaranya:
- Sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan
- Ditinggalkannya aturan Islam
- Banyaknya diperbuat dosa dan maksiat
- Adanya pelanggaran kehormatan
Dua sahabat mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dan Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, memberitakan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ؛ الْهَرْجُ الْقَتْلُ
“Menjelang hari kiamat akan ada hari-hari yang di dalamnya turun kebodohan, ilmu diangkat (hilang), dan banyak al-harj. Al-Harj adalah pembunuhan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ujian dan godaan akan sampai pada
puncaknya hingga seorang muslim berangan-angan mati daripada hidup
dipenuhi ujian. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُوْلُ: يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَهُ
Tidak akan tegak hari kiamat sampai
seseorang melewati kubur orang lain lantas berkata, “Duhai kiranya aku
yang menempati tempatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Di masa fitnah (ujian) berkecamuk, akal
manusia hilang. Mereka dikuasai olehnya, tercampur dan kaburlah yang
baik dari yang buruk. Sampai-sampai seorang yang membunuh tidak tahu
untuk apa dia membunuh, dan orang yang dibunuh pun tidak tahu sebab dia
dibunuh.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ يَوْمٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِيْمَ قَتَلَ وَلاَ الْمَقْتُوْلُ فِيْمَ قُتِلَ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidaklah dunia ini hilang sampai datang kepada manusia suatu
hari di mana orang yang membunuh tidak tahu untuk apa dia membunuh dan
orang yang dibunuh tidak tahu mengapa dia dibunuh.” (HR. Muslim)
Hati-hati dari Dua Macam Ujian
Ujian dan godaan itu bisa berupa syubhat (kerancuan pemikiran) dan bisa berupa syahwat (keinginan hawa nafsu).
- Ujian syubhat datang dari arah keyakinan (i’tiqad) dan ibadah yang berdampak pada kebimbangan dan keguncangan.
Selanjutnya, syubhat mengantarkan pelakunya kepada perbuatan bid’ah dalam agama dan menggiringnya kepada suul khatimah (akhir hidup yang buruk). Na’udzu billah.
- Godaan syahwat datang dari jalan harta, ketenaran, dan hal-hal lain yang dapat dirasakan indra.
Dalam menghadapi dua ujian ini, manusia terbagi dua:
- Orang yang imannya kokoh dan tidak terguncang ketika godaan menghampiri.
Dia menolak syubhat dengan al-haq yang ada padanya. Demikian pula ketika syahwat mengajak pada maksiat dan dosa atau hal yang memalingkan dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya, dia pun beramal dengan kandungan imannya dan memerangi
syahwatnya. Hal ini menunjukkan kejujuran dan kesahihan imannya.
- Syubhat yang datang berdampak pada munculnya keraguan dalam kalbunya.
Ketika syahwat menghampiri, dia
menceburkan dirinya dalam maksiat atau berpaling dari kewajiban. Hal ini
menunjukkan kelemahan imannya.
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum mengucapkan salam di dalam shalat adalah memohon perlindungan dari fitnah kehidupan.
“(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari)… dari fitnah kehidupan…”
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Fitnah kehidupan adalah ujian yang menguji manusia dalam
hidupnya. Ujian ini beredar di atas dua hal: (1) kebodohan,
syubhat/kerancuan, dan tidak mengetahui al-haq/kebenaran. Orang
yang keadaannya demikian akan terjatuh dalam kebatilan. Akibatnya, dia
pun binasa; (2) syahwat, yaitu hawa nafsu. Seseorang sebenarnya
mengetahui al-haq, tetapi dia tidak menginginkannya. Yang dia inginkan hanyalah kebatilan.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 3/559)
Berbagai Ujian yang Datang
Harta, kedudukan, anak, dan istri termasuk ujian dalam kehidupan, karena manusia akan diuji dengan halhal tersebut.
Seorang muslim akan diuji dan dicoba dengan harta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan di antara mereka ada orang-orang
yang telah berjanji kepada Allah, “Sungguh jika Allah memberikan
sebagian karunia-Nya, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah
kamitermasuk orang-orang yang saleh.”
Setelah Allah memberikan kepada
mereka sebagian karunia-Nya, merekakikir dengan karunia itu dan
berpaling. Memang mereka itu adalah orang-orang yang suka membelakangi
kebenaran. (at-Taubah: 75—76)
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan bagi kalian.Dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)
Seorang muslim akan diuji dengan
kedudukan, maka ada di antara mereka yang berambisi memperolehnya
walauharus mengorbankan agamanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan
orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi dan senja hari karena
mengharapkan keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia….” (al-Kahfi: 28)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan bahaya dua ujian ini (harta dan kedudukan/tahta) dalam sabda beliau yang agung,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ بِغَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua serigala lapar yang
dilepas di sekawanan kambing lebih merusak kawanan tersebut daripada
rusaknya agama seseorang karena rakusnya terhadap harta dan kemuliaan
(kedudukan).” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 3/460, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 5496)
Maksud hadits di atas, ambisi seseorang
untuk beroleh kedudukan dan harta lebih merusak agamanya daripada
kerusakan yang ditimbulkan oleh dua serigala lapar yang dilepas di
tengah sekawanan kambing. Anda bisa membayangkan serigala yang lapar
ketika berhasil beroleh mangsanya. Tentu dia akan mencabik-cabik
mangsanya tanpa ampun dan tanpa belas kasih.
Berbeda halnya dengan orang yang
berambisi terhadap dunia. Dia tidak akan berhenti memangsa, karena dunia
tidak pernah membuatnya kenyang. Dia terus memburu dan memburu dunia
tanpa peduli halal haram hingga rusaklah agamanya. Sungguh mengerikan
akibatnya.
Seorang muslim akan diuji dengan istri dan anak-anaknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istri kaliandan anak-anak kalian ada yang
menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah dari mereka….” (at-Taghabun: 14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ مَجْبَنَةٌ مَبْخَلَةٌ مَحْزَنَةٌ
“Anak itu membuat seseorang menjadi penakut, pelit, dan sedih.” (HR. Abu Ya’la, 2/305, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 3073)
Seseorang diuji dengan istri dan anaknya, apakah dia perintah mereka untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atau tidak? Apakah dia telah berusaha melindungi mereka dari api
neraka? Apakah dia memerintah mereka mengerjakan shalat pada waktunya?
Apakah dia melarang mereka berteman dan duduk-duduk dengan orang yang
jelek?
Ujian bagi seorang muslim bisa pula
datang dari orang-orang zalim. Semakin kuat imannya, semakin besar pula
cobaannya. Kita teringat kisah umat terdahulu yang dikisahkan oleh Allah
dalam surat al-Buruj berikut ini.
“Binasalah orang-orang yang membuat
parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka
duduk-duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka
perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tidaklah menyiksa
orang-orang yang beriman itu melainkan karena orang-orang itu beriman
kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. Dzat Yang memiliki
kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (al-Buruj: 4—9)
Luar biasa ujian sakitnya fisik yang mendera mereka demi mempertahankan keimanan dan keyakinan. Bagaimana halnya dengan kita?
Para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun telah merasakan ujian keimanan dari orang-orang kafir. Bilal bin
Abi Rabah, Khabbab ibnul Art, Ammar bin Yasir dan kedua orang
tuanya—semoga Allah meridhai mereka semuanya—termasuk deretan dari
sekian namayang harus menanggung siksa demi mempertahankan keimanan
mereka.
Khabbab radhiallahu ‘anhu
misalnya, orang-orang kafir menyiksanya dengan menempelkan punggung
Khabbab di batu yang panas membakar hingga hilang daging yang ada di
punggungnya.
Said bin Jubair rahimahullah, seorang tabi’in yang mulia, pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Apakah orang-orang musyrik dahulu menyiksa orang-orang beriman dengan
siksaan yang sampai pada taraf mereka diberi uzur untuk berpura-pura
meninggalkan keimanan mereka?”
Dijawab oleh Ibnu Abbas, “Ya, demi
Allah! Orang-orang kafir dahulu memukuli orang-orang beriman, membuat
mereka kelaparan dan kehausan (tidak diberi makan dan minum).
Sampai-sampai di antara mereka ada yang tidak bisa duduk dengan lurus
karena hebatnya rasa sakit yang dirasakannya. Karena siksaan demikian
keras, mereka terpaksa mengikuti kemauan orang-orang kafir.
Orang-orang kafir berkata kepada mereka yang disiksa, ‘Latta dan Uzza adalah sembahanmu selain Allah?!’
Yang disiksa pun terpaksa menjawab, ‘Ya.’
Sampai-sampai ketika ada seekor kumbang
melewati mereka, orang-orang kafir berkata, ‘Kumbang ini adalah
sesembahanmu selain Allah?!’
Dia pun terpaksa menjawab, ‘Ya’.
Mereka menjawab demikian karena sudah
tidak mampu lagi menanggung sakitnya siksaan. Demikianlah perbuatan
orang-orang kafir, orang-orang zalim, dan orang-orang yang melampaui
batas terhadap orang-orang beriman di setiap zaman sampai datangnya hari
kiamat.
Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu
berkata, “Aku adalah orang yang paling tahu tentang fitnah yang akan
terjadi antara masaku dan hari kiamat. “ (Diriwayatkan oleh al-Imam
Muslim)
Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat orang-orang bertanya tentang kebaikan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hudzaifah radhiallahu ‘anhu bertanya tentang keburukan karena khawatir tertimpa oleh kejelekan tersebut. (HR. al-Bukhari)
Tameng dari Ujian & Godaan
Berikut ini beberapa hal yang dengan izin Allah akan menjaga diri kita dari fitnah:
- Menguatkan keimanan dalam jiwa dan beramal untuk menambah keimanan.
- Mempersenjatai diri dengan ilmu yang bermanfaat, banyak berzikir, dan terus-menerus dalam keadaan berzikir.
- Bersegera dan tidak menunda-nunda beramal saleh.
- Mengenali jalan orang-orang yang beriman dan berusaha mengikutinya. Di sisi lain, mengenali jalan orang-orang pendosa agar bisa menjauhinya.
- Berpegang dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, serta ikhlas dalam melakukannya.
- Tolong-menolong dalam hal kebaikan dan takwa.
- Menjauhi perpecahan dan perselisihan.
Tatkala para rasul diutus kepada
manusia, mereka berada di antara dua perkara. Bisa jadi, mereka berkata,
“Kami beriman,” atau berkata, “Kami enggan beriman.” Barang siapa
mengaku beriman, dia akan diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk membedakan siapa yang jujur imannya dan siapa yang dusta.
- Mensyukuri kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
- Berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari fitnah.
- Memerangi hawa nafsu dan kebid’ahan, serta menjaga diri dari syubhat.
- Menolak syahwat, sangat berhati-hati darinya dan menjauh dari tempat-tempatnya.
- Berteman dengan orang-orang yang baik dan menjauh dari orangorang yang jelek.
Inilah yang bisa kami kumpulkan dari sebab-sebab menjaga diri dari fitnah. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Si Tumit Tinggi
al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Berbusana modis ala zaman
‘sesuai anggapan mereka’ lengkap dengan sepatu berhak tinggi merupakan
pemandangan yang terlalu sering dan sangat biasa terlihat di luar sana.
Seakan-akan semua itu merupakan penampilan yang harus diikuti oleh
perempuan modern.
Sepatu berhak tinggi yang dianggap
kelayakan dari sebuah penampilan ini sungguh merupakan musibah, karena
terlalu banyak perempuan (baca: muslimah) yang tergoda untuk memakainya.
Padahal kalau mau dirunut, budaya memakai alas kaki “kelebihan hak” ini
bukanlah dari Islam. Lantas, budaya dari mana? Kita pun teringat dengan
perempuan Bani Israil atau Yahudi, bagaimana mereka mengada-ada dalam
berhias sehingga terjatuh dalam pelanggaran syariat.
Sebagai contoh, akan kita bawakan beberapa kabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat tentang hal tersebut.
Sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisah,
كَانَتِ امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ قَصِيْرَةٌ تَمْشِي مَعَ امْرَأَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ، فَاتَّخَذَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ وَخَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ مُغْلَقٍ مُطْبَقٍ، ثُمَّ حَشَتْهُ مِسْكًا وَهُوَ أَطْيَبُ الطِّيْبِ، فَمَرَّتْ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ فَلَمْ يَعْرِفُوْهَا
“Ada seorang wanita bertubuh pendek
dari kalangan Bani Israil berjalan bersama dua wanita yang berpostur
tinggi. Yang bertubuh pendek memakai dua kaki dari kayu (semacam sandal
atau sepatu untuk menambah tingginya) dan mengenakan cincin dari emas
yang digantung, yang ditutup. Kemudian dia memenuhinya dengan misik yang
merupakan minyak wangi paling harum. Lalu dia lewat di antara dua
wanita yang tinggi sementara mereka tidak mengenalinya.” (HR. Muslim, kitab al-Alfazh, no. 5842)
Said ibnul Musayyab rahimahullah, tokoh ulama tabi’in, berkata, “Muawiyah radhiallahu ‘anhu datang ke Madinah, lalu berkhutbah dan mengeluarkan gelungan rambut[1].
Beliau pun berkata,
مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُهُ إِلاَّ الْيَهُوْدُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ بَلَغَهُ فَسَمَّاهُ الزُّوْرَ
‘Semula aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang melakukannya[2] selain Yahudi. Sesungguhnya telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (berita) tentang menyambung rambut, maka beliau menamakannya dengan kedustaan’.” (HR. Muslim, kitab al-Libas, no. 5545)
Abdur Razzaq ash-Shan’ani rahimahullah, alim dari negeri Yaman pada masanya, membawakan riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha yang berkata,
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ أَرْجُلاً مِنْ خَشَبٍ يَتَشَرَّفْنَ لِلرِّجَالِ فِي الْمَسَاجِدِ، فَحَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِنَّ الْمَسَاجِدَ وَسُلِّطَتْ عَلَيِهْنَّ الْحَيْضَةُ
“Dahulu para perempuan Bani Israil
mengenakan kaki-kaki dari kayu agar mereka terlihat lebih tinggi oleh
para lelaki di masjid-masjid. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mengharamkan bagi mereka mendatangi masjid dan ditimpakan kepada mereka haid.” (Mushannaf Abdur Razzaq 3/149)
Kata Ibnu Hajar rahimahullah, “Sanadnya sahih.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Walaupun hadits ini mauquf (ucapan sahabat, yaitu Aisyah radhiallahu ‘anha), tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sebab, urusan seperti ini tidak bisa dikatakan bersumber dari pendapat sendiri atau akal-akalan. Maksud ‘ditimpakan kepada mereka haid’
dalam hadits di atas adalah masa haid perempuan Bani Israil panjang.
Mereka harus menjalani waktu yang lama untuk sampai kepada masa suci.
Hal ini termasuk hukuman yang ditimpakan akibat perbuatan mereka yang
disebutkan dalam hadits.” (Fathul Bari, 2/407)
Maksud ‘kaki-kaki dari kayu’ menjadi lebih jelas dengan atsar dari sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahuyah rahimahullah dalam Musnadnya (2/147),
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ قَوَالِبَ …
Kata قَوَالِب adalah bentuk jamak dari قاَلِبٌ , artinya ‘sandal dari kayu’. (Lisanul ‘Arab, maddah qalaba, 1/689)
Berita tentang perbuatan perempuan
Yahudi dan kerusakan yang mereka adaadakan adalah bukti bahwa sumber
mayoritas kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini adalah mereka, bangsa
Yahudi.
Kita tidak heran dengan ulah bangsa yang dimurkai[3] dan dilaknat ini[4] karena mereka memang cinta kerusakan dan membenci perbaikan, cinta kekafiran dan benci kepada keimanan berikut ahlul iman[5], kecuali mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dengan mendapat petunjuk.[6]
Karena ulah kaum perempuan Yahudi
tersebut, kaum lelaki mereka tergoda. Kita pun teringat dengan hadits
yang menyatakan bahwa bencana pertama yang menimpa Bani Israil bersumber
dari kaum perempuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوْا الدُّنْيَا وَاتَّقُوْا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيِلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah dari wanita[7], karena sesungguhnya awal bencana yang menimpa Bani Israil adalah pada godaan wanita.” (HR. Muslim, kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, no. 6883)
Nah, sepatu tinggi ternyata
diadopsi dari kaki kayu yang dibuat oleh perempuan Yahudi untuk
mengesankan tubuhnya lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kita katakan
seperti ini karena merekalah yang pertama kali berhias dan tampil di
hadapan lelaki dengan model seperti itu, sebagaimana tersebut dalam
hadits.
Jadi, memakai sandal atau sepatu tinggi berarti bertasyabbuh (menyerupai atau meniru) dengan Yahudi, padahal mereka adalah orang-orang kafir penghuni neraka. Tasyabbuh dengan ashabun nar (penghuni neraka) dalam hal yang merupakan kekhususan mereka adalah terlarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam haditsnya,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, kitab al-Libas, no. 4031. Dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’, 2/1059)
Menyerupai orang kafir secara lahiriah akan mengantarkan kepada penyerupaan secara batin. Tasyabbuh dengan orang yang buruk adalah keburukan dan sebaliknya tasyabbuh dengan orang yang baik adalah kebaikan.
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana
apabila perempuan yang mengenakan sepatu tinggi tersebut tidak berniat
tasyabbuh sama sekali?”
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya, al-Iqtidha’, berikut ini adalah jawabannya. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa termasuk tasyabbuh dengan orang kafir ialah melakukan sesuatu yang asalnya merupakan perbuatan mereka.
Berdasarkan hal ini, wanita yang memakai sepatu tinggi berarti ber-tasyabbuh dengan
wanita kafir, walaupun tujuannya bukan meniru mereka. Hanya saja,
karena asal perbuatan tersebut diambil dari mereka, jadilah yang berbuat
terjatuh dalam tasyabbuh.
Ternyata, bukan hanya kerusakan tasyabbuh yang
dihindari dari pemakaian sepatu berhak tinggi ini. Namun, ada kerusakan
atau pelanggaran lain pada pemakaiannya. Apakah itu? Perempuan yang
keluar rumah memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi telah melanggar
salah satu adab syar’i bagi muslimah saat keluar rumah.
Adab yang dimaksud adalah tidak
bersengaja memperdengarkan suara langkah kaki atau apa yang tersembunyi
di baliknya dari perhiasan yang dikenakan, seperti suara gelang kaki.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan….” (an-Nur: 31)
Apabila perempuan bersepatu tinggi
melangkah, satu, dua, tiga langkah, dan seterusnya…. Apakah Anda
mendengar suara sepatunya? Ya…. tuk…tuk…tuk atau suara semacam itu. Belum lagi apabila dia mengenakan gelang kaki, tentu lebih ramai lagi suaranya.
Kata Ummu Abdillah al-Wadi’iyah hafizhahallah, seorang penuntut ilmu senior dari negeri Yaman, putri al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I rahimahullah, “Kita ditimpa bencana di zaman ini dengan al-ka’bul ‘ali (alas
kaki bertumit tinggi). Kita dapati perempuan mengenakannya. Saking
tingginya sandal tersebut, sampai memiliki suara (saat dipakai
melangkah). Kadang si perempuan bertingkah genit ketika berjalan.[8]
Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat. Jika dia keluar rumah, setan memerhatikannya dan menghiasinya (dalam pandangan lelaki[9]).” (HR. at-Tirmidzi, kitab ar-Radha’, no. 1173, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Misykat no. 3109 dan al-Irwa’ no. 273. Lihat Nashihati lin Nisa’, hlm. 99)
Ada lagi satu madarat ketika perempuan
mengenakan alas kaki yang tinggi. Si perempuan menghadapkan dirinya
kepada bahaya, yaitu bisa saja terpeleset jatuh saat berjalan karena hak
tinggi yang dikenakannya. Apalagi ketika dia berjalan terburu-buru.
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ ketika ditanya tentang hukum memakai sepatu hak tinggi bagi wanita memberikan jawaban sebagai berikut.
“Memakai sepatu hak tinggi tidak
diperbolehkan. Sebab, perempuan yang memakainya bisa terjatuh. Sementara
itu, syariat ini memerintah manusia untuk menjauhi segala yang
berbahaya, semisal keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (al- Baqarah: 195)
“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (an-Nisa: 29)
Selain itu, sepatu ini menampakkan perawakan si perempuan lebih dari yang semestinya (tampak lebih tinggi) sehingga ada unsur tadlis (menipu, menampakkan kepalsuan).
Di samping itu, mengenakan sepatu tinggi
berarti memperlihatkan sebagian perhiasaan perempuan mukminah (di
hadapan lelaki yang tidak halal melihatnya)[10]. Hal ini dilarang berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah mereka (para perempuan)
menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka,
ayah-ayah mereka, mertua lelaki mereka, anak-anak lelaki mereka,
anak-anak lelaki dari suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka,
anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki mereka (keponakan),
anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau
perempuan-perempuan mereka.” (an-Nur: 31) (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 475)
Yang jelas, seorang muslimah yang taat
bukanlah pengikut setiap gaya dan mode yang ditawarkan di luar sana.
Seorang muslimah sejati bukanlah seseorang yang latah atau ikut-ikutan
dengan manusia di sekitarnya.
Dia adalah seseorang yang selalu
berpegang dan terikat dengan aturan agamanya. Dia selalu memerhatikan,
apakah sesuatu itu sesuai dengan ketentuan agamanya atau tidak? Adakah
pelanggaran ataukah tidak? Apabila ternyata melanggar dan berbahaya, dia
tidak merasa berat untuk meninggalkannya.
Nasihat untuk muslimah, jadilah seorang
yang memerhatikan perhiasan untuk negeri akhiratmu, beroleh keridhaan
sang Rabb. Sebab, sebentar lagi akan tiba hari perjumpaan dengan-Nya.
Janganlah perhatian diri hanya tertuang
untuk berhias di negeri dunia hingga tidak peduli, apakah melanggar
aturan Rabb atau tidak. Agama kita tidak melarang berhias dan
berpenampilan, namun tentu dengan sesuatu yang tidak melanggar syariat
dan mengandung dosa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Rambut palsu ini biasa dipakai oleh wanita untuk disambungkan dengan rambut aslinya.
[2] Menyambung rambut.
[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan doa orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya ash-shirathal mustaqim dan berlindung dari jalan Yahudi,
“… bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai….” (al-Fatihah)
[4] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Yahudi,
“Telah dilaknat orang-orang
kafir dari Bani Israil lewat lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu
karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka tidak saling melarang
terhadap perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu lihat kebanyakan dari
mereka berloyalitas dengan orang-orang kafir. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka dan mereka akan kekal dalam azab.” (al-Maidah: 78—80)
[5] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sungguh-sungguh kamu akan mendapati manusia yang paling sengit permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (al-Maidah: 82)
[6] Di antara orang-orang Yahudi yang beroleh kemuliaan dengan petunjuk tersebut ialah Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha dan sahabat yang mulia, Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya.
[7] Maknanya, hindarilah, jangan sampai kalian para lelaki tergoda dengan perempuan. (al-Minhaj, 17/58)
[8] Karena sepatu yang tinggi mendorong pemakainya berlenggak-lenggok ketika berjalan, dan ini bisa kita buktikan.
[9] Akibatnya lelaki tergoda dengannya.
[10]
Dalam hal ini sepatu tinggi tersebut merupakan perhiasan si perempuan
yang sengaja dipakainya untuk memberi nilai lebih atau menambah indah
penampilannya.

Cinta Bukan Kuasa Kita
al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Perkara yang paling disenangi oleh Iblis dan bala tentaranya adalah memisahkan orang-orang yang saling mencintai.
Cinta itu datang dari dalam kalbu. Allah subhanahu wa ta’ala
lah yang menganugerahkannya kepada hamba-hamba-Nya. Suami istri dalam
ikatan pernikahan yang sah bisa saling mencinta karena Dia Yang
Mahakuasa yang menumbuhkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari diri-diri kalian
agar kalian merasa tenang kepadanya dan Dia menjadikan di antara kalian
rasa cinta dan kasih sayang….” (ar-Rum: 21)
Cinta bukanlah kuasa kita, melainkan
anugerah-Nya semata. Maka dari itu, tidak salah kalau dikatakan, cinta
itu tak dapat dipaksakan, walaupun kita bisa belajar untuk mencinta dan
dicinta. Seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri (berpoligami)
tidak bisa disalahkan manakala dia mencintai salah seorang istrinya
melebihi yang lain. Dia tidak mungkin kuasa menyamakan cinta dan berlaku
adil di dalamnya karena ini di luar kemampuannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sang teladan, sangat berlaku adil di antara istri-istri beliau dalam
perkara yang tampak. Namun, bukan rahasia bahwa cinta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang istrinya yang bernama Aisyah bintu Abi Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma melebihi cinta beliau kepada istri-istri yang lain.
Amr Ibnul Ash radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku memimpin sebuah pasukan. Di antara anggota pasukan ada Abu Bakr ash-Shiddiq dan Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma. Ketika pulang dari memimpin pasukan tersebut, aku bertanya kepada beliau,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ؟ قَالَ: وَمَا تُرِيْدُ؟ قُلْتُ: أُحِبُّ أَنْ أَعْلَمَ. قَالَ: عَائِشَةُ. قُلْتُ: إِنَّمَا أَعْنِي مِنَ الرِّجَالِ. قَالَ: أَبُوْهَا
‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling Anda cintai?’
Beliau balik bertanya, ‘Apa yang kamu inginkan?’
‘Saya ingin sekali mengetahuinya,’ jawabku.
‘Aisyah,’ kata beliau.
‘Maksud saya dari kalangan lelaki,’ kataku menjelaskan.
‘Ayah Aisyah,’ tukas beliau.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah radhiallahu ‘anha , putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , untuk menemui ayahnya guna meminta keadilan beliau dalam permasalahan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Sebab, mereka mengetahui besarnya kedudukan ‘Aisyah di hati beliau dan besarnya cinta beliau kepadanya[1].
Fathimah pun minta izin masuk menemui ayahnya yang sedang berbaring bersama ‘Aisyah di dalam selimutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan.
Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, istri-istrimu mengutusku untuk menemuimu guna meminta keadilan kepadamu dalam hal putri Abu Quhafah (yakni ‘Aisyah)”[2].
‘Aisyah terdiam mendengar hal tersebut. Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap,
أَلَسْتِ تُحِبِّيْنَ مَا أُحِبُّ؟ قَالَتْ: بَلَى. قَالَ: فَأَحِبِّي هَذِهِ
“Wahai putriku, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?”
Fathimah menjawab, “Ya.”
Rasulullah bersabda, “Kalau begitu cintailah dia ini (Aisyah).” (HR. Muslim)
Pernah Anda dengar kisah Barirah dan suaminya, Mughits?
Setelah Barirah merdeka dari perbudakan, sementara suaminya masih berstatus budak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan pilihan kepada Barirah, apakah meneruskan pernikahannya atau
mengakhirinya. Barirah akhirnya memilih lepas dari Mughits. Ketika itu,
tampaklah Mughits berjalan di belakang Barirah, mantan istrinya, dalam
keadaan air mata Mughits berlinang membasahi kedua pipinya, menangisi
perpisahan mereka.
Melihat hal tersebut, bersabdalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ ثُمَّ قَالَ لَهَا: لَوْ رَاجَعْتِهِ. فَقَالَتْ: أَتَأْمُرُنِي؟ فَقَالَ: إِنَّمَا أَنَا شَافِعٌ قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ
“Wahai Ibnu Abbas, tidakkah engkau takjub melihat cinta Mughits kepada Barirah, dan kebencian Barirah kepada Mughits?”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah, “Seandainya engkau mau kembali kepada Mughits.”
“Apakah Anda memerintah saya untuk berbuat demikian?” tanya Barirah.
“Saya hanya pemberi syafaat,” jawab beliau.
“Saya tidak berminat kepadanya,” kata Barirah. (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
memberikan komentar terhadap hadits Barirah di atas, “Ini adalah
syafaat dari pemuka para pemberi syafaat untuk orang yang mencinta
kepada orang yang dicintainya. Ini adalah syafaat yang paling utama dan
paling besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, syafaat ini mengandung penyatuan orang-orang yang bercinta di atas apa yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya cintai (cinta dalam pernikahan).
Oleh sebab itu, perkara yang paling
disenangi oleh Iblis dan bala tentaranya adalah memisahkan orang-orang
yang saling mencintai.” (Raudhah al-Muhibbin)
Hal ini sebagaimana berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيئُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيئُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتىَّ فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ: نِعْمَ أَنْتَ.
Sesungguhnya Iblis meletakkan
singgasananya di atas air, kemudian mengirim tentara-tentaranya. Yang
paling dekat di antara mereka dengan Iblis adalah yang paling besar
fitnah yang ditimbulkannya.
Salah seorang dari mereka datang seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.”
Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.”
Datang lagi yang lain seraya
berkata, “Tidaklah aku meninggalkan dia (manusia yang digodanya) hingga
aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.”
Iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut kepadanya dan memujinya dengan berkata, “Ya, engkaulah.” (HR. Muslim)
Ketik ada seorang lelaki mengadukan istrinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa istrinya ‘tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya’, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan,
طَلِّقْها .قَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَتْبَعَهَا نَفْسِي.فَقَالَ: اسْتَمْتِعْ بِهَا.
“Kalau begitu, ceraikan istrimu tersebut.”
Si lelaki menjawab, “Aku khawatir jiwaku akan terus-menerus mengikutinya.”[3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, bersenang-senanglah dengannya.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dll.)
Dalam riwayat lain ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh si lelaki menceraikan istrinya, dia menjawab, “Saya tidak bisa bersabar (berpisah) darinya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyarankan, “Kalau begitu tahanlah istrimu (tidak dicerai).” (Din yatakan sahih sanadnya oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang si lelaki mencintai istrinya padahal keadaan istrinya demikian. Sebab, cintanya tersebut bukan kuasa dia.”
Terkait dengan keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar si lelaki tetap mempertahankan istrinya, tidak menceraikannya, sebagian ulama berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menolak mafsadat (kerusakan) yang lebih besar yang akan timbul dengan melakukan mafsadat yang lebih ringan.
Ketika si lelaki mengadu bahwa dia tidak
bisa bersabar bila berpisah dengan istrinya dan bisa jadi cintanya akan
menyeretnya kepada maksiat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan si lelaki untuk tetap mempertahankan istrinya guna
menjaga rasa dalam kalbunya dan mencegah mafsadat yang dikhawatirkannya.
Walaupun dia terpaksa menanggung mafsadat yang diadukannya, yaitu
istrinya tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya.
Banyak tafsiran tentang makna ‘tidak menolak tangan lelaki yang menyentuh’ ini. Di antaranya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah sebagai berikut. Si lelaki tidaklah mengadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa istrinya berzina dengan setiap lelaki yang menginginkannya. Sebab, kalau itu yang diadukannya, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menyuruhnya mempertahankan perempuan yang suka berzina. Selain itu, berarti si lelaki adalah dayyuts[4], karena membiarkan istrinya berzina.
Namun, yang diadukan oleh si lelaki
adalah istrinya tidak menarik jiwanya dari orang yang menggodanya (tidak
tegas), membiarkan tangan lelaki mencoleknya, menarik bajunya, dan yang
semisalnya. Sebab, ada perempuan yang lemah lembut ketika berbicara
dengan lelaki, suka bercanda, dan semisalnya; dalam keadaan dia menjaga
diri dan menolak ketika ada yang mengajaknya berzina.[5] (Raudhah al-Muhibbin, hlm. 130)
Cinta adalah anugerah, telah kita
maklumi. Namun, alasan ini tidak berarti seseorang menganggap sah-sah
saja mencintai lawan jenis di luar pernikahan, toh cinta itu datang sendiri, Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi. Sungguh ini hias-hiasan syaitan.
Mengapa? Karena cinta lawan jenis yang Allah subhanahu wa ta’ala
perkenankan dan ridhai hanyalah cinta yang tumbuh dalam ikatan
pernikahan yang sah. Adapun di luar itu adalah percintaan yang
diharamkan oleh syariat.
Ketahuilah, di antara sumber datangnya
cinta terhadap lawan jenis adalah pandangan yang terus-menerus. Satu
pandangan diikuti oleh pandangan berikutnya, dan seterusnya. Demikian
pula ikhtilath, campur baur lelaki perempuan yang bukan mahram tanpa ada pemisah.
Karena khawatir menjerumuskan dalam
cinta yang terlarang, syariat mengharamkan segala perantara yang
mengantarkan kepadanya, di antaranya melarang memandang lawan jenis yang
tidak halal untuk dipandang. Apabila tidak sengaja, pandangan harus
segera dipalingkan. Di samping itu, syariat melarang ikhtilath lelaki dan perempuan yang bukan mahram.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kalian tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara para istri walaupun kalian sangat ingin untuk berlaku adil.” (an-Nisa: 129)
[2] Mereka meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan di antara mereka dalam hal cinta. (Syarhu Shahih Muslim, 15/205)
‘Abidah as-Salmani rahimahullah mengatakan, “Yakni kalian tidak bisa berlaku adil dalam masalah cinta dan jima’.”
Namun, apabila seorang suami memungkinkan baginya berlaku adil dalam hal jima’, itu lebih baik dan lebih utama. (al-Mughni, 7/35)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Seorang suami tidak boleh melebihkan salah seorang istrinya
dalam hal pembagian. Akan tetapi, apabila ia mencintai salah seorang
istrinya melebihi yang lain, begitu pula ia menggaulinya lebih dari yang
lain, tidak ada dosa atasnya dalam hal ini.” (al-Fatawa, 32/269)
[3]
Karena sangat mencintainya, sebagaimana pengakuan si suami dalam
riwayat lain, “Saya memiliki istri, dia adalah orang yang paling saya
cintai.”
[4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dayyuts ini,
ثَلاَثٌ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، وَالدَّيُّوْثُ الَّذِي يُقِرُّ الْخَبَثَ فِي أَهْلِهِ.
“Ada tiga golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan
surga atas mereka, yaitu; pecandu khamr (miras), anak yang durhaka
kepada orang tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kemaksiatan pada
keluarganya.” (Hadits ini dinyatakan hasan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2512)
[5] Intinya, si istri tidak sampai berzina sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memperkenankan si suami untuk mempertahankan pernikahannya. Seandainya si istri berzina, tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan demikian. Sebab, perempuan pezina hanya untuk lelaki pezina, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an.

Kitab yang Menjelaskan Manhaj Salaf
Apa kitab-kitab yang Anda sarankan untuk dibaca para penuntut ilmu dan kitab apa yang menjelaskan manhaj salaf?
Jawab:
Saya nasihatkan untuk diri saya dan
saudara-saudara saya, yang pertama untuk mempelajari Kitabullah, karena
di dalamnya ada petunjuk dan cahaya; itulah pokok ajaran Islam.
Berikutnya, mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu merupakan penjelasan bagi al-Qur’an.
Selanjutnya, mempelajari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dua kitab shahih (Shahih Bukhari dan Muslim), kitab sunan yang empat (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah), kitab-kitab Musnad, dan kitab-kitab Jami’ dalam bab hadits.
Saya wasiatkan kepada para penuntut ilmu agar mempelajari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sahih dari beliau; mempelajari sebagian kitab-kitab induk, dan
lebih memfokuskan lagi kitab induk tersebut dalam mempelajarinya. Sebab,
kitab induk tersebut mengandung pengajaran terhadap pokok agama,
seperti kitab Shahih Bukhari pada Kitabul Ilmi dan Kitabul Iman.
Dalam Kitabul Iman yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, beliau menyebutkan sekumpulan hadits untuk menerangkan manhaj Ahlus Sunnah dalam hal iman dan amal. Beliau rahimahullah menyebutkan bantahan terhadap golongan Murji’ah, kelompok sesat yang menyelisihi Ahlus Sunnah dalam pokok ajaran ini.
Demikian pula, seseorang hendaknya memfokuskan dalam Kitab al-I’thisam, Kitab Akhbarul Ahad, dan Kitabut Tauhid dari Shahih al-Bukhari.
Sebab, pembahasan-pembahasan di dalamnya sangat terkait dengan
pokok-pokok agama penting yang wajib kita pelajari setelah kitabullah ‘azza wa jalla.
Hendaknya dia berkonsentrasi pula dalam mempelajari bab sunnah, yakni Aqidah dari kitab Sunan Abi Dawud yang terletak pada akhir kitab. Ini juga merupakan pokok agama yang sangat penting. Yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dalam
bab-bab ini sesuai dengan yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam
kitabnya. Abu Dawud mengisyaratkan dalam kitab tersebut adanya bid’ah,
seperti bid’ah Jahmiyah, Khawarij, dan lainnya. Beliau juga memilah dan
menjelaskan perbedaan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan manhaj atau
keyakinan yang menyimpang.
Oleh karena itu, pokok agama dalam bab ini hendaknya dipelajari. Kitab al-Ittiba’ dalam Sunan Ibnu Majah dan kitab Khalqu Af’al al-‘Ibad karya al-Imam al-Bukhari hendaknya dipelajari.
Dengan demikian, seseorang akan
mengetahui prinsip-prinsip agung yang menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jamaah dan akidah kelompok yang menyimpang dari akidah salafus shalih,
semacam akidah Jahmiyah dan lainnya.
Pelajari pula kitab Syarhus Sunnah karya
al-Baghawi juz pertama. Juz pertama kitab tersebut lebih ditekankan,
karena isinya menekankan masalah akidah dan keyakinan. Demikian pula
kitab as-Sunnah karya al-Khallal dan kitab as-Sunnah karya al-Lalika’i rahimahumullah, yakni Syarhu I’tiqad Ahli Sunnah, kitab al-Hujjah karya al-Ashfahani, al-Ibanah karya Ibnu Baththah, dan yang semacamnya.
Setelah itu, buku-buku Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, karena di dalam kitab mereka ada
keterangan yang memuaskan terhadap pokok agama dan cabangnya. Ini adalah
perkara ilmu.
Ini adalah perkara ilmiah yang
menghidupkan ilmu tersebut. Pelajari al-Qur’an, akidah, manhaj, dan
pokok agama, serta cabangnya seolah-olah dipelajari langsung dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mempelajari buku-buku akidah yang kami sebutkan, seseorang seakanakan mempelajari langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula mempelajari seluruh kitab yang kami sebutkan, seolah-olah Anda mempelajarinya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat g, dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka.
Tidaklah Ibnu Taimiyah menonjol, luas
ilmunya, dan mapan dalam menerangkan kebenaran kecuali setelah
mempelajari kitab-kitab itu. Kita pun harus mempelajari kitab dan bab
dari kitab yang disebutkan di atas.
Berikutnya, kita pelajari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita melihat dan mempelajari kitab fikih, tafsir, dan hadits. Semua
adalah kitab penting. Akan tetapi, bab akidah perlu difokuskan lebih
khusus; terlebih pada zaman sekarang, yang banyak penyimpangan dalam
pokok agama yang dilakukan oleh ahli bid’ah, baik dalam hal pemikiran,
politik, tasawuf, atau ahli bid’ah Syiah Rafidhah maupun yang lain.
Mereka memiliki banyak kegiatan dan gerakan di masa ini yang sangat
mengherankan. Terlebih lagi, mereka memiliki dan menggunakan banyak
sarana untuk menyebarkan pemikiran mereka yang rusak.
Bid’ah, khurafat, dan berbagai kekacauan
ini dapat kita hancurkan dengan ilmu yang diambil dari kitabullah,
sunnah Rasul-Nya, pemahaman salaf, serta dari kitab-kitab yang telah
kita sebutkan, yang mengandung ajaran al-Qur’an, hadits, dan pemahaman
as-salafus shalih.
Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberi kami dan kalian semua pemahaman yang benar terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang Allah inginkan baginya kebaikan, Allah pahamkan baginya urusan agama.”
(diterjemahkan dari Majmu’ Kutub wa Rasail asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah [15/79—81], oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)
Posting Komentar