
Etika Pemberitaan dalam Islam
Beragam media massa yang sulit
dihitung karena saking banyaknya dewasa ini merupakan bukti nyata
pesatnya teknologi informasi. Era globalisasi telah menyuguhkan
kemudahan akses informasi yang dibutuhkan dalam hitungan detik dengan
biaya yang relatif murah. Sekian banyak peristiwa yang ada di jagat raya
ini dengan cepatnya diberitakan. Bumi yang luas terbentang ini ibarat
sebuah desa yang kecil yang mudah dikenali dari ujung hingga ke ujung.
Memang kenyataannya media massa tidak
hanya menyuguhkan berita tentang suatu peristiwa. Media massa juga
sebagai sarana hiburan, ajang promosi berbagai produk, dan kepentingan
yang lain. Akan tetapi, pemberitaan masih merupakan salah satu menu
pokok yang disajikan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik.
Satu hal yang tidak bisa dimungkiri,
pemberitaan memegang peranan penting dalam mewarnai pola hidup dan pola
pikir masyarakat. Pemberitaan yang positif, akurat, dan bermanfaat bisa
menjadi titik tolak perubahan mental ke arah yang positif serta menjadi
sarana terpenuhinya kebutuhan masyarakat, baik yang bersifat spiritual
maupun material. Akan tetapi, pemberitaan bisa juga dijadikan sebagai
sarana untuk meruntuhkan pokok-pokok agama dan menjadi alat untuk
meretakkan sendi-sendi pergaulan di tengah-tengah masyarakat apabila
yang disuguhkan adalah info yang tidak akurat, penuh kedustaan, dan
penyimpangan.
Karena pemberitaan yang tidak benar bisa menimbulkan efek negatif yang sangat serius, maka Allah ‘azza wa jalla mengingatkan kita tentang bahaya ucapan yang dusta. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱجۡتَنِبُواْ قَوۡلَ ٱلزُّورِ ٣٠
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (al-Hajj: 30)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga mengingatkan umatnya dari bahaya ucapan dusta dan persaksian palsu
dengan memasukkan perkara tersebut dalam rentetan dosa besar yang
paling besar, seperti tersebut dalam hadits riwayat al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.
Allah ‘azza wa jalla juga
memerintahkan kita untuk bersikap hati-hati dari berita orang yang fasik
(yaitu pelaku dosa besar atau orang yang terus-terusan melakukan dosa
kecil). Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesali perbuatanmu
itu.” (al-Hujurat: 6)
Ayat yang mulia ini turun berkaitan dengan (kisah) al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, yang ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Bani al-Musthaliq dari (kabilah) al-Khuza’ah untuk mengambil
zakat harta mereka. Ketika Bani al-Musthaliq mendengar (kedatangannya),
mereka menyambutnya dengan senang. (Akan tetapi), al-Walid justru takut
kepada mereka dan menyangka mereka akan membunuhnya. Al-Walid pulang
menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan
kepada beliau bahwa Bani al-Musthaliq menolak memberikan zakat dan
(justru) ingin membunuhnya. (Setelah itu) datanglah utusan dari Bani
al-Musthaliq menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kepada beliau tentang kedustaan al-Walid. (Adhwaul Bayan, 7/626)
Menyikapi Berita Orang Fasik
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla
tidak memerintahkan untuk menolak berita orang yang fasik dan
mendustakan info dan persaksiannya secara mutlak. Hanyalah yang
diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla adalah mengecek kebenarannya.
Jadi, apabila ada indikasi dan
bukti-bukti dari luar yang menunjukkan kebenaran berita tersebut, maka
ia dipercaya karena ada bukti pembenarannya, seperti apa pun orang yang
memberitakan. (at-Tafsir al-Qayyim, 441)
Demikian pula, tidak mengapa berita yang
datang dari orang yang bisa dipercaya dilakukan penelitian, karena bisa
saja orang yang dapat dipercaya terjadi darinya kekeliruan. Karena
berita yang tersebar ada yang bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya
dan ada yang justru sebaliknya. Perlu kiranya kita mengetahui
etika-etika pemberitaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Lebih-lebih
pemberitaan bisa memengaruhi kondisi suatu masyarakat, baik dari sisi
agama maupun sisi dunianya.
Berikut etika pemberitaan ditinjau dari berbagai sisinya.
Pembawa Berita
Orang yang menyampaikan suatu berita
adalah orang yang paham terhadap berita yang disampaikan dan mengetahui
kebenaran info yang hendak disajikan, terlebih apabila yang diberitakan
berkaitan dengan masalah agama.
Sebab, semua ucapan dan perbuatan hamba akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti
(mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan
dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36)
Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah
mengatakan sesuatu yang tidak diketahui oleh yang mengatakannya masuk
di dalamnya: persaksian palsu, menuduh orang dengan tuduhan yang tidak
benar, mengaku mendengar sesuatu yang dia tidak mendengarnya, dan
mengakungaku melihat sesuatu (padahal) ia tidak melihatnya. (Tafsir ath-Thabari, 15/86)
Ketidakakuratan dalam menyampaikan
permasalahan agama bisa berdampak luas seperti dihukuminya sesuatu yang
halal menjadi sesuatu yang haram, demikian pula sebaliknya. Pembawa
berita juga harus menjunjung tinggi amanat ilmiah, menetapi kejujuran,
serta memiliki integritas yang tinggi sehingga ia tidak akan memotong
berita untuk menimbulkan kekacauan di tengahtengah masyarakat atau
memberikan informasi yang bertentangan dengan realita hanya ingin meraup
keuntungan duniawiah.
Pembawa berita sebisa mungkin menggali berita dari sumber yang tepercaya dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ‘azza wa jalla
kemudian di hadapan hukum yang adil yang berlaku. Adapun hanya sekadar
sangkaan dan terkaan, maka hal ini berbahaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hati-hatilah kamu dari prasangka, karena prasangka adalah berita yang paling dusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Memerhatikan Isi Berita
Tentu tidak semua info yang didengar oleh seseorang itu diberitakan karena belum tentu semuanya benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan berdusta bila ia menceritakan semua apa yang ia dengar.” ( HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Yang diberitakan adalah sesuatu yang
jelas kebenarannya serta membawa maslahat bagi manusia baik untuk urusan
agama maupun urusan dunianya. Pada dasarnya, masyarakat membutuhkan
informasi yang benar sehingga mereka akan memiliki sikap yang benar
berdasarkan informasi yang telah mereka serap.
Menyikapi Berita
Berita ditinjau dari sumbernya, terbagi menjadi dua macam.
- Berita yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, yang tertera dalam ayat-ayat suci al-Qur’an atau tersebut dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Berita-berita yang sumbernya adalah wahyu semacam ini harus kita yakini kebenarannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا ٨٧
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (an-Nisa’: 87)
Cerita-cerita yang ada dalam al- Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang kuat tentang peristiwa di masa lalu bukanlah dongeng yang hampa
dari makna. Di dalamnya terkandung pelajaran bagi orang-orang yang
datang setelahnya. Demikian pula berita tentang beberapa hal yang akan
terjadi nanti, sesuatu yang nyata terjadinya yang mempunyai maksud di
antaranya sebagai berita gembira bagi orang yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla serta ancaman bagi yang bermaksiat dan menentang.
- Berita-berita yang berasal dari manusia.
Berita yang seperti ini tidak selamanya
kita yakini kebenarannya. Sebab, sumber-sumber pemberitaan dan media
massa saat ini kebanyakan milik orang-orang kafir, fasik, dan
orang-orang yang tidak mengenal agama. Orang-orang kafir tentu tidak
suka dengan Islam dan kaum muslimin. Bahkan, mereka siap menggelontorkan
dana guna menghalang-halangi manusia dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ لِيَصُدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (al-Anfal: 36)
Oleh karena itu, kaum muslimin mesti
waspada dari pemberitaan mereka yang berkaitan dengan Islam dan
muslimin. Sebab, media massa yang mereka miliki dijadikan sarana untuk
membuat kesan negatif seputar masalah keislaman. Belum lagi media-media
yang dimiliki oleh orang fasik yang tidak lagi mengindahkan norma agama
dan kesopanan. Sebagian mereka tidak peduli dengan keakuratan info yang
ditebarkan, karena yang dicari hanyalah sensasi dan keuntungan.
Pendek kata, setiap media massa punya
misi yang ingin ditebarkan melalui pemberitaan dan yang semisalnya.
Sebagai bukti, ketika mengabarkan satu peristiwa, terkadang pemberitaan
media tersebut bertolak belakang. Salah satu media memberikan penilaian
positif, sementara media yang lain sebaliknya. Hal ini tentu
membingungkan masyarakat. Pada tahap berikutnya, masyarakat menjadi
korban pembodohan publik. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya tidak
mudah percaya dengan berita agar tidak menjadi korban dari pemberitaan
yang menyesatkan.
Cara Pemberitaan
Beragam informasi tentang kejadian dan
peristiwa yang ada di jagat raya ini, bahkan materi ilmiah sekalipun,
tersampaikan kepada khalayak dalam beragam bentuk. Ada yang tersajikan
dalam kemasan bahasa, mencakup lisan dan tulisan. Ada juga yang
tersampaikan melalui bentuk gambar (visual) dan yang semisalnya.
Pembawa berita yang muslim tentu siap
tunduk dengan aturan-aturan agama seputar pemberitaan dan yang lainnya.
Di samping keakuratan data yang disiarkan, bahasa yang digunakan juga
mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah kamu mengajak bicara suatu kaum yang akal/nalar mereka belum sampai kecuali akan timbul fitnah dari sebagian mereka.” (HR. Muslim)
Di antara kemungkaran dalam masalah
pemberitaan adalah pemberitaan diiringi dengan alunan musik. Hal ini
dilarang agama sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku orang yang menghalalkan perzinaan, sutra, khamr, dan alat-alat musik.” (HR. al-Bukhari secara mu’allaq, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lain-lain, lihat ash-Shahihah no. 91)
Hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Adapun sutra, boleh dipakai untuk wanita sedangkan haram untuk kalangan lelaki.
Di antara kemungkaran yang lain
berkaitan dengan pemberitaan ialah penyiarnya seorang wanita yang
mendayu-dayukan suaranya sehingga menggoda para lelaki sehingga timbul
syahwat yang diharamkan. Dalam pemberitaan di televisi dan media
semisalnya, para penyiar wanita tampil memperlihatkan bagian tubuh yang
tidak boleh dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Mereka menampakkan
perhiasan, dandanan, serta segala yang menimbulkan godaan dan
membangkitkan syahwat yang diharamkan.
Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Saya tidak
memandang bolehnya wanita menyamai lelaki dalam hal penyiaran karena
suaranya yang merdu akan menyebabkan orang tergoda dengannya. Selain
itu, bisa mengantarkan kepada berbaurnya wanita dengan pria saat
perekaman acara dan menyepinya wanita dengan pria. Hal ini akan menyeret
kepada maksiat.” (Fatawa Islamiah, 4/ 369)
Adapun pemberitaan dengan menampilkan
gambar, perlu dirinci. Jika yang digambar bukan makhluk bernyawa,
seperti gambar air, gunung, batu, dan semisalnya, hal ini dibolehkan.
Adapun gambar makhluk yang bernyawa, telah datang ancaman yang keras
tentang hal ini.
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di hari kiamat adalah para tukang gambar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apabila kamu mau tidak mau harus menggambar, buatlah (gambar) pohon dan apa-apa yang tidak ada ruhnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hukum larangan menggambar makhluk yang bernyawa ini mencakup menggambar dengan tangan, kamera, dan yang sejenisnya.
Disebutkan dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh asy-Syaikh bin Baz rahimahullah,
“Menggambar makhluk yang bernyawa dengan kamera atau semisalnya
hukumnya haram. Karena itu, orang yang melakukannya harus bertobat
kepada Allah ‘azza wa jalla, meminta ampun kepada-Nya, menyesali perbuatan yang telah ia lakukan, dan tidak akan mengulanginya.” (1/670—671)
Adapun gambar/foto untuk membuat KTP,
paspor, dan semisal, tidak mengapa karena sifatnya terpaksa dan
dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya, para pembaca yang budiman kami
persilakan membaca Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (1/660—724) yang membahas masalah gambar.
Dalam menampilkan berita, hendaknya
dihindari ilustrasi yang menyesatkan, seperti menggambarkan azab api
neraka dengan dibumbui ilustrasi api yang menyala-nyala. Sebab, perkara
neraka adalah gaib.
Pemberitaan Tentang Situasi Politik
Di antara yang harus diperhatikan bahwa
pemberitaan tentang situasi politik suatu negara diserahkan kepada para
ulama dan pemerintah negeri setempat. Seseorang tidak boleh mengeluarkan
statemen kondisi suatu negara tempat ia tinggal itu aman atau mencekam.
Kita tahu bahwa hati manusia itu lemah dan mudah terpengaruh dengan
pemberitaan yang menebar meskipun belum tentu kebenarannya.
Karena itu, pemberitaan tentang situasi
politik suatu negara sangat berbahaya bila tidak diserahkan kepada yang
berkompeten, yaitu para alim ulama dan pemerintah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٣
“Dan apabila datang kepada mereka
suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil
amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah ‘azza wa jalla kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (an-Nisa’: 83)
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Ini adalah pengajaran (teguran) dari Allah ‘azza wa jalla
untuk para hamba-Nya terhadap perbuatan mereka yang tidak pantas, yaitu
bahwa yang seyogianya mereka lakukan bila datang kepada mereka suatu
perkara (berita) yang penting dan maslahat umum terkait dengan kondisi
aman dan menyenangkan kaum mukminin atau kondisi takut yang padanya ada
musibah.
Hendaknya mereka mengecek terlebih
dahulu kebenarannya dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut.
Mereka seharusnya mengembalikan berita itu kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan orang-orang yang memegang kendali perkara/para penguasa,
orang-orang yang jauh pandangannya, ahli pikir, berilmu, tulus, berakal,
dan pandai; yang mengetahui masalah serta maslahat dan mudaratnya.
Apabila orang-orang tersebut memandang
disebarkannya berita tersebut ada maslahatnya untuk menyemangati kaum
mukminin, menyenangkan mereka, dan terjaganya mereka dari musuh;
merekalah yang akan menyiarkannya.
Sebaliknya, jika mereka memandang
penyebaran berita itu tidak ada maslahat atau ada maslahatnya namun
mudaratnya lebih banyak, mereka tidak akan menyiarkannya.
Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla mengatakan,
لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri).” (an-Nisa: 83)
Maksudnya, mereka (para penguasa, ulama,
dan pakar di bidangnya) bisa mengeluarkan pernyataan dengan pikiran dan
pandangan mereka yang tepat serta dengan pengetahuan yang benar.
Di sini ada dalil tentang sebuah prinsip
dalam masalah etika, yaitu apabila terjadi pembahasan tentang suatu
perkara, sepantasnya diserahkan kepada yang berkompeten dan yang ahli
serta tidak mendahului mereka. Sikap yang seperti ini lebih dekat kepada
kebenaran dan lebih bisa selamat dari kekeliruan.
Padanya (juga) ada larangan dari sikap terburu-buru untuk menebarkan perkara di saat mendengarnya.
Padanya ada perintah untuk meneliti
sebelum berbicara dan menimbang apakah padanya ada maslahat sehingga
seorang akan melakukannya atau memandang tidak ada maslahatnya lalu ia
menahan diri darinya?” (Tafsir as-Sa’di surat an-Nisa ayat 83)
Berhati-hati Menyebarkan Berita Kriminalitas
Sangat disayangkan, media massa saat ini
umumnya menyuguhkan berita kriminal, kekejian, dan asusila secara
vulgar. Berita kriminal memang banyak diminati oleh pembaca dan pemirsa.
Akan tetapi, dampak buruk dari pemberitaan seperti ini sangat jauh. Di
antaranya:
- Masyarakat akan menyikapi kriminalitas sebagai hal yang biasa karena seringnya berita seperti ini disuguhkan. Bahkan, berita seperti ini akan mendorong sebagian orang untuk melakukan kriminalitas karena memandang banyaknya orang yang melakukannya dan ringannya hukuman atas pelaku kejahatan yang terkadang diberikan.
Peran media semestinya tidak hanya
sebatas menyiarkan berita, tetapi berusaha mencarikan solusi agar
kriminalitas bisa diberantas habis atau setidaknya bisa ditekan. Adapun
menyajikan berita kriminalitas hanya sebagai info yang menghibur,
sungguh sangat bertentangan dengan norma agama.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩
“Sesungguhnya orang-orang
yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia
dan di akhirat dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah menampakkan dan menyiarkan perzinaan.” (Ma’alimut Tanzil, 3/333)
Kalau seperti ini hukuman orang yang ingin/suka untuk tersebarnya kekejian, lalu bagaimana kiranya orang yang menebarkannya?!
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang yang (pertama) mengucapkan kekejian dan yang menebarkannya dosanya sama.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 247)
Bahkan, ‘Atha rahimahullah berpendapat bahwa orang yang menebarkan berita perzinaan diberi hukuman sebagai pelajaran bagi yang lain. (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 249)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin ditanya, “Apa hukum orang yang menyiarkan berita yang
menebar (isu) di antara manusia?”
Beliau menjawab, “Berita yang menebar
itu ada dua macam: berita kebaikan dan berita kejelekan. Orang yang
menebarkan sesuatu yang mengandung kebaikan di tengah manusia, seperti
memberitakan kebid’ahan ahli bid’ah, ucapan seorang atheis, atau yang
serupa agar diwaspadai, dia telah melakukan tindakan terpuji. Sebab, hal
ini akan menjaga manusia dari kemungkaran tersebut.
Adapun orang yang menebarkan kejelekan
agar kekejian tersebar di tengah kaum mukminin, yang seperti ini haram
atasnya dan tidak halal, dikarenakan akan timbul kemudaratan yang
bersifat khusus dan bersifat umum.
Seseorang seharusnya
menyikapi/mempergauli manusia dengan sesuatu yang ia suka jika mereka
mempergaulinya dengannya. Hendaknya seorang mencintai bagi mereka apa
yang ia cintai untuk dirinya. Jika seseorang tidak suka cacatnya
tersebar di tengah manusia, sebagai sikap yang adil ia juga tidak
menebarkan cacat orang lain.” (Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 946)
Seperti diketahui bahwa yang namanya
manusia itu tidak luput dari cacat dan kekurangan. Oleh karenanya, sudah
menjadi kewajiban atas seorang muslim terhadap saudaranya se-Islam
untuk menutupi cacatnya dan tidak menebarkannya kecuali dalam kondisi
yang terpaksa.
Suka tersebarnya kekejian di tengah orang yang beriman memiliki dua makna.
- Suka tersebarnya kekejian di tengah masyarakat muslim. Misalnya, orang yang menayangkan film cabul dan menebarkan majalah/surat kabar yang porno dan buruk yang mendorong kepada pelacuran. Mereka ingin menggoda agama seorang muslim dengan tayangan tersebut. Berapa banyak kriminalitas terjadi di tengah masyarakat karena tayangan seperti ini.
- Suka tersebarnya kekejian pada seorang muslim secara khusus, bukan ditebarkan di tengah masyarakat secara umum.
Orang seperti ini juga diancam dengan azab yang pedih. (Diringkas dari penjelasan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarh Riyadhush Shalihin bab “Satru ‘Auratil Muslim”)
Berita Provokatif
Di antara macam pemberitaan yang
menimbulkan dampak buruk yang sangat serius adalah pemberitaan yang
mengangkat kejelekan pemerintah yang pembawa berita ada di negeri
tersebut atau tidak.
Berita provokatif bisa menjadi pemicu
munculnya gelombang perlawanan dan pemberontakan terhadap penguasa yang
sah seperti yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa negara di belahan
bumi.
Akibat dari munculnya aksi perlawanan
kepada pemerintah adalah hilangnya ketenteraman yang sebelumnya
dirasakan segenap lapisan masyarakat. Rakyat saling curiga dengan
penguasa yang bisa berujung saling menumpahkan darah.
Sangat disayangkan bahwa kebebasan
berpendapat dijadikan tameng untuk tersebarnya berita provokatif ini.
Padahal, sejatinya hal ini telah menabrak rambu-rambu agama dan bentuk
kebebasan yang keterlaluan.
Semua kita tahu bahwa penguasa itu
adalah manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan kealpaan, sehingga
mereka membutuhkan bimbingan dan nasihat. Akan tetapi, agama telah
menjelaskan cara menasihati para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَأَنْ يَنْصَحَ لِذِى سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ فَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّاكَانَ قَدْأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati
penguasa, maka janganlah ia menampakkan secara terang-terangan. Akan
tetapi, ia memegang tangannya lalu menyepi bersamanya. Bila nasihatnya
diterima, maka itu yang diharapkan. Jika tidak, maka dia telah
menunaikan yang menjadi kewajibannya.” (HR. Ibnu abi ‘Ashim dari ‘Iyadh bin Ghunmin radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hadits sahih dalam Zhilalul Jannah)
Dalam hadits ini disebutkan cara
menasihati penguasa yaitu dengan sembunyi-sembunyi dan tidak
terang-terangan di hadapan khalayak. Cara seperti ini tentu akan lebih
bisa diterima daripada nasihat yang disampaikan dari atas mimbar,
podium, atau surat terbuka untuk penguasa yang bisa diketahui khalayak.
Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata,
“Membeberkan kejelekan penguasa dan menyebutkannya di atas mimbar bukan
cara salaf (pendahulu umat Islam yang baik). Sebab, cara yang seperti
ini bisa mengarah kepada penggulingan kekuasaan, tidak didengar dan
tidak ditaatinya penguasa dalam kebaikan dan akan menyeret kepada
pemberontakan yang menimbulkan mudarat dan tidak mendatangkan kebaikan.
Akan tetapi, cara yang dilakukan oleh
salaf adalah penyampaian nasihat antara ia dengan penguasa (secara
sembunyi-sembunyi) dan menulis (nasihat) kepadanya atau menghubungi
ulama mengenal baik penguasa agar ulama tersebut mengarahkan penguasa
tersebut kepada kebaikan. (Mu’amalatul Hukkam hlm. 43, karya Abdus Salam Barjas)
Nasihat Bagi Wartawan
Seperti yang telah diketahui bersama
bahwa pemberitaan disamping memberikan info yang mungkin dibutuhkan oleh
masyarakat ia juga merupakan cara yang efektif untuk memengaruhi
pandangan umum masyarakat dan sarana penggiringan opini.
Karena dampak yang luas dari
pemberitaan, tentu para pewarta harus berhati-hati dalam memberikan
info. Seorang wartawan muslim tentu memiliki jati diri yang berbeda
dengan para wartawan yang nonmuslim. Wartawan muslim akan menjadikan
tugas yang diembannya untuk membela Islam dan mengangkat kaum muslimin
dari keterpurukan. Keimanannya kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari pembalasan menjadikannya berhati-hati dalam berbuat dan berucap.
Berikut beberapa nasihat untuk para wartawan.
- Hendaknya yang mereka suguhkan adalah sesuatu yang bermanfaat baik dalam perkara dunia dan agama.
- Mengambil berita dari sumber yang tepercaya, bukan dari sumber yang tidak jelas kejujurannya apalagi hanya sekadar mendengar atau melihat tanpa melakukan penelitian lebih dalam.
- Menghindari pemberitaan yang sifatnya gosip dan kabar burung karena bisa mencemarkan nama baik seseorang tanpa ada bukti yang jelas. Perlu diketahui bahwa kehormatan pribadi seorang muslim itu dijaga oleh agama dan haram untuk dibicarakan tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh agama.
- Mengemas berita dengan bahasa yang santun dan mudah dipahami. Yang terpenting menghindari kata atau kalimatyang bertentangan dengan agama. Hal ini bisa tercapai bila para wartawan mereka membekali diri mereka dengan ilmu agama. Jangan sampai karena sibuk dengan profesinya, mereka lupa dari menimba ilmu agama dan menjalankan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Ingat, semua kita akan berpulang menghadap Allah ‘azza wa jalla dan akan meninggalkan dunia yang fana ini beserta kegemerlapannya.
- Waspada dari memberitakan sesuatu yang kontroversial, semata-mata hanya ingin mendapatkan keuntungan duniawi yang semu lagi menipu.
Jangan karena ingin menaikkan oplah atau
mengangkat rating sehingga menabrak aturan agama dan tidak memedulikan
kehormatan orang. Ingatlah, semua aktivitas kita akan dimintai
pertanggungjawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla.
- Jangan tergesa-gesa menyiarkan berita karena kejar tayang atau ingin menampilkan yang unik sebelum segala sesuatunya diteliti dan dipikirkan lebih jauh.
- Di antara yang harus diwaspadai oleh wartawan adalah upaya pemerasan melalui pemberitaan seperti meminta sejumlah uang dari orang yang diketahui bahwa orang tersebut tersandung kasus.
Bila tidak ingin diberitakan kasusnya
dan dibeberkan aibnya, dia harus memberikan sejumlah uang yang dimintai
oleh wartawan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
“Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188)
Demikian pula seorang wartawan muslim
tidak boleh menutup-nutupi hakikat berita yang harus disampaikan karena
adanya iming-iming harta benda atau ditakut-takuti oleh sebagian pihak.
Independensi wartawan muslim dan integritasnya diuji oleh hal seperti
ini.
- Jadilah wartawan yang mampu menyuguhkan yang terbaik untuk manusia dan memberi kontribusi bagi umatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ للِنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bisa memberi manfaat bagi orang lain.” (Hadits hasan riwayat al-Qudha’i dari Jabir radhiallahu ‘anhu seperti yang disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
- Berusahalah menjadi orang yang bisa membuka pintu harapan dan kebaikan dan mewaspadai menjadi sebab dibukanya pintu kejelekan melalui Anda.
Nabi bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada orang yang menjadi pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Ada pula manusia orang yang menjadi pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan kunci kebaikan melalui tangannya dan celakalah orang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan kunci kejelekan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Berusahalah menjadi teladan dalam
kebaikan sehingga pahala akan Anda dapat dari upaya Anda dan orang yang
mengikuti Anda dalam kebaikan.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman

Makar Orang Kafir Melalui Media Massa
Freedom of the Press. Ya, kebebasan pers. Bebas tanpa batas. Kalau pun ada batas, maka batas itu pun masih ditafsir bebas tiada berbatas.
Freedom of the Press. Deret
kalimat ampuh untuk memayungi keberadaan media massa di tengah
masyarakat dan di hadapan penguasa. Dengan slogan ‘Kebebasan Pers’ media
massa bebas melakukan pemberitaan sesuai misinya. Ungkapan ‘Kebebasan
Pers’ sendiri bila ditelisik bukan asli karya anak bangsa Indonesia.
Ungkapan itu muncul bersumber dari Amandemen Pertama Konstitusi Amerika
Serikat: “Congress shall make no law… abridging the freedom of speech, or of the press.” (Kongres dilarang membuat hukum… yang membatasi kebebasan berbicara atau pers).
Karena itu, tak aneh bila ‘Kebebasan
Pers’ sangat kental beraroma Amerika. Lebih-lebih, lahirnya
Undang-undang Pers No. 40/1999 di Indonesia tak lepas dari keterlibatan
ahli hukum Article 19, Toby Mendel. Sisi lain, UU Pers No. 40/1999
melandasi dengan Pasal 19 UU HAM: “Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan
mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan
pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang
batas-batas.” (Lihat Membincang Pers, Kepala Negara, dan Etika Media, Sirikat Syah, hlm. 3—4)
Lengkaplah sudah arti sebuah kebebasan.
Bebas menerabas kultur masyarakat Indonesia yang banyak diwarnai norma
agamis. Bebas tidak memandang batas-batas. Jadi, media massa pun bebas
menyiarkan berita selama ada fakta. Tak memedulikan dampak berita itu di
tengah masyarakat. Juga tak memedulikan asas kepatutan dan moral. Sebut
saja, siaran televisi berisi talk show yang mengadu domba,
sinetron yang menyesatkan dan membodohkan, atau sebuah acara yang
menayangkan naluri dan perilaku rendah manusia digali dan diekspos
(Lihat Membincang Pers, hlm.194), infotainment yang banyak
membongkar aib, serta berita yang dikemas sesuai misi meraup dunia dan
kekuasaan. Bahkan, tak sedikit yang terang-terangan menyajikan menu yang
mengundang syahwat selera rendah.
Media massa telah menjadi alat untuk
menyuarakan kebebasan yang tiada kendali. Walau dengan kebebasan itu
bakal menimbulkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat. Media massa
semakin jauh dari kesantunan. Media massa menjadi pupuk penyubur para
kapitalis tak berhati lurus.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩
“Sesungguhnya orang-orang yang
menginginkan agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberi penjelasan terkait ayat di atas bahwa yang dimaksud “menyukai penyebaran perbuatan keji (al-fahisyah) di kalangan orang-orang beriman” meliputi dua makna:
- Menyukai al-fahisyah tersebar di tengah kaum muslimin.
Terkait hal ini, menyebarkan beragam
film cabul dan surat kabar (atau media lainnya –red.) yang jelek, jahat
dan porno. Media-media semacam ini, tak diragukan lagi, merupakan media
yang menyukai penyebaran al-fahisyah di tengah masyarakat
muslimin. Mereka menghendaki timbulnya kerusakan agama pada diri seorang
muslim. Tentunya, kerusakan itu timbul melalui sebab perbuatan mereka
(yang menyebarkan al-fahisyah) melalui beragam majalah, surat kabar, dan media lainnya. Barang siapa menyukai al-fahisyah itu tersebar di tengah kaum muslimin, dia berhak untuk mendapatkan azab nan pedih di dunia dan akhirat.
- Menyukai al-fahisyah tersebar pada kalangan tertentu, bukan lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh.
Balasan bagi yang berbuat demikian ialah diazab di dunia dan akhirat. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, I/598)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin menyebutkan pula bahwa musuh-musuh Islam dari kalangan
Yahudi, Nasrani, musyrikin, komunis, dan para kaki tangannya sangat
bersemangat menebarkan godaan wanita di tengah kaum muslimin. Mereka
menyerukan tabarruj, mendedahkan aurat wanita, menghasung
ikhtilat, mengajak pada kerusakan akhlak. Mereka dengan gencar
menyuarakan semua itu melalui media yang mereka miliki, baik secara
lisan maupun tulisan. Mereka mengetahui, ini merupakan godaan terbesar
yang akan menjadikan manusia lupa kepada Rabb dan agamanya. Semua itu
bisa terjadi melalui pintu godaan wanita. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 1/48)
Membincang fitnah wanita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan perihal itu, sebagaimana diungkap hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tiada fitnah sepeninggalku kelak yang lebih membahayakan (selain godaan) wanita terhadap laki-laki.” ( HR. al-Bukhari no. 5096, Muslim, no. 97)
Apa yang terjadi kini? Makar orang kafir
untuk menghancurkan kaum muslimin di antaranya dengan memperalat kaum
wanita. Lebih memprihatinkan lagi, banyak kaum muslimah tidak menyadari
bahwa dirinya diperalat untuk kepentingan busuk orang-orang kafir.
Hingga kaum muslimah berbondongbondong menjajakan diri, memamerkan
kecantikan dan kemolekannya, guna dipasarkan oleh kaum kafir melalui
media mereka. Nas’alullaha as-salaamah.
“Hendaknya, kita jangan tertipu oleh
seruan orang-orang yang berbuat kejelekan dan kerusakan dari kalangan
yang membebek orang-orang kafir. Mereka mengajak untuk berikhtilath (membaurkan antara wanita dan laki-laki). Sebab, sungguh itu ajakan setan. Wal ‘iyadzu billah,” demikian penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ’Utsaimin rahimahullah.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memerintahkan kaum wanita untuk menghadiri Shalat ‘Id di
lapangan. Namun, tidak menyatukan (membaurkan) antara kaum wanita dan
laki-laki. Para wanita dikumpulkan secara khusus di satu tempat yang
terpisah dari kaum laki-laki,” kata beliau rahimahullah lebih jelas. (Syarhu Riyadhi ash-Shalihin, 1/674—675)
Propaganda ala Yahudi
Dalam lintasan sejarah terpatri nama
Abdullah bin Saba. Sosok pria keturunan Yahudi kelahiran Kota Shan’a,
Yaman. Hidupnya menampakkan seorang muslim, namun yang terpendam dalam
hatinya; permusuhan dan kebencian nan sengit kepada Islam dan kaum
muslimin. Hidupnya nomaden, selalu berpindah dari satu wilayah ke
wilayah lainnya. Di setiap wilayah yang disinggahinya senantiasa
menebarkan pemahaman sesatnya.
Abdullah bin Saba memompa masyarakat
dengan propaganda licik. Menyemai permusuhan dalam tubuh umat agar
membenci penguasa muslim, yaitu Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Upaya menghasut kaum muslimin yang dilakukan Yahudi satu ini, digalang
di beberapa daerah. Bashrah, Kufah, Syam, Hijaz, dan Mesir adalah lahan
garap untuk menumbuhsuburkan kebencian umat kepada pemerintahan kaum
muslimin.
Saat pergerakannya tidak menampakkan
hasil yang memuaskan, sang Yahudi ini beralih menuju Mesir. Di tempat
ini ia melancarkan makarnya. Penduduk Mesir dihasut. Ia tebar beragam
informasi menyesatkan. Dalam tempo yang dirasa tepat, penduduk Mesir itu
pun digerakkan menuju Kota Madinah.
Aksi provokasi Yahudi telah memerdaya
umat. Kebencian, permusuhan, dan kemarahan telah menyelimuti. Mereka
tiada segan untuk menekan dan melawan Amirul mukminin, sahabat mulia,
menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan khalifah, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Mata hati mereka telah terkunci. Hawa nafsu mencengkram kukuh,
menggelapkan pandangan akal mereka. Terjadilah apa yang terjadi. Para
demonstran mengepung kediaman Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Suplai makanan dan minuman dihentikan. Khalifah beserta keluarga dikungkung.
Akhir dari konspirasi jahat ini, terbunuhlah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Tikaman pedang mengoyak tubuh sahabat mulia ini. Tetesan darah seorang
syahid membasahi mushaf al-Qur’an. Tindak angkara murka telah menodai
sejarah umat Islam. Melalui beragam media yang dikuasai, Abdullah bin
Saba’ berhasil merekrut para pengikutnya untuk berbuat anarkis. Sebuah
tindak zalim menjijikkan. Persekongkolan jahat telah membuahkan
malapetaka. Kekacauan melingkupi umat. Semua tercatat dalam lembaran
hitam kelam sejarah umat. Ingat, Yahudi di balik semua peristiwa
bersimbah darah ini. (Lihat Mukhtashar Sirah ar-Rasul, asy-Syaikh Muhammad bin Abdilwahhab, hlm. 218)
Begitulah watak Yahudi. Lihai melakukan
beragam hilah (tipu muslihat). Dahulu, kaum Yahudi melakukan hilah
sebagai upaya menolak kebenaran. Mereka tak segan melakukan tipu
muslihat dalam rangka menjaga kekufuran dan kesesatan yang diyakininya.
Mereka lakukan tipu muslihat lantaran tak mampu secara kesatria dan
terang-terangan menunjukkan hujahnya. Karena itu, seringkali mereka
berbuat makar secara sembunyi-sembunyi.
Ketika Perang Badr usai, manusia
berbondong-bondong memeluk Islam. Orang-orang Yahudi pun tak kuasa
menghalanginya. Lalu, orang-orang Yahudi di Madinah membuat makar.
Mereka ucapkan, “Masuklah Islam saat awal siang. Jika telah akhir siang,
murtadlah kalian dari Islam. Katakan, ‘Kami tak memperoleh kebaikan
dalam agama Muhammad.’ Niscaya orang akan mengikuti jejak kalian karena
kalian ahli kitab.”
Makar Yahudi ini dibongkar Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,
وَقَالَت طَّآئِفَةٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ ءَامِنُواْ بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَجۡهَ ٱلنَّهَارِ وَٱكۡفُرُوٓاْ ءَاخِرَهُۥ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٧٢
“Sekelompok ahli kitab (kepada
sesamanya) berkata, ‘Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman pada
apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat
Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya
mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali Imran: 72)
Makar Yahudi Kini
Yahudi kerap kali memanfaatkan media
guna menyusupkan pemahamannya. Melalui media, disusupkanlah
pemahaman-pemahaman yang mengagungkan kaum kafir. Diopinikan, seakan
persenjataan dan kelengkapan militer orang-orang kafir itu canggih dan
tak ada yang mampu menandinginya.
Propaganda melalui tayangan telivisi,
misalnya, bisa berakibat menumbuhkan jiwa inferior (minder, merasa kecil
dan tak berdaya) pada sebagian kaum muslimin di hadapan kaum kafir.
Seakan-akan orang-orang kafir itu hebat, sedangkan kaum muslimin lemah.
Seakan-akan kaum kafir itu unggul, sedangkan kaum muslimin tersisih.
Secara perlahan namun pasti, nilai-nilai
itu tertanam dalam benak sebagian kaum muslimin. Mereka mengelu-elukan
kehidupan orang-orang kafir, bahkan meniru gaya hidup mereka dan
membuang ajaran Islam. Begitu dahsyat pengaruh media massa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ لَوْ دَخُلُوا حُجْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh kalian akan mengikuti jejak
orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Andai mereka masuk ke lubang dhab (binatang sejenis reptil), niscaya
kalian akan mengikutinya. Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, Yahudi dan
Nasranikah?’ Jawabnya, ‘Siapa lagi?’” ( HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Dunia film, sinetron, drama dengan
segala bentuk aktingnya menjadi daya tarik. Sebagian kaum muslimin
bahkan tergiur dengan pertunjukan akting tersebut. Lebih tragis, ada
sekelompok aktivis dakwah yang melabelkan diri dengan sebutan “salaf”
pun turut berakting. Melalui sarana televisi yang dikelolanya, mereka
tayangkan bentuk-bentuk drama berdurasi pendek. Setapak demi setapak
program siaran televisi yang dikelolanya telah membuka celah untuk
mengikuti jejak Yahudi dan Nasrani.
Melalui tayangan televisi yang dikelola
mereka terkuak pintu petaka. Di antara pemirsa yang sebagiannya para
ibu, mulai tergoda. Para ibu muda belia yang masih bersuami ini mulai
berceloteh tentang sang ustadz, tentang baju yang dikenakan sang ustadz,
tentang sesuatu yang membangkitkan daya tarik.
Siapa yang bisa menjamin hati bisa tetap
selamat? Siapa pula yang bisa menjamin bulir-bulir syahwat tak akan
bersemi di lubuk hati terdalam?
Kala pintu fitnah itu dikuak semakin
terbuka, saat itu rindu dan cinta membara. Syahwat pun menggelora. Nafsu
bergejolak. Telah tiadakah kecemburuan di relung hati sang suami kala
celoteh sang istri berucap tentang pria lain? Melalui televisi yang
dikelolanya, mereka tengah menabur badai. Nas’alullaha as-salamah.
Propaganda ala Munafikin
Peristiwa itu terjadi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pulang dari peperangan Bani Musthaliq. Adapun Bani Musthaliq itu
sendiri merupakan salah satu nama kabilah dari rumpun kabilah Khuza’ah.
Bani Musthaliq menetap di wilayah Qudaid, berdekatan dengan mata air
al-Muraisi.
Setelah kaum muslimin berhasil menaklukan pasukan Bani Musthaliq, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beserta pasukan kaum muslimin pulang ke Madinah. Saat tiba di satu
daerah dekat Madinah, beliau beserta pasukannya beristirahat. Turut
dalam rombongan pasukan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha. Kala malam tiba, beliau dan pasukannya bergerak meninggalkan tempat itu menuju Madinah.
Namun, saat pasukan itu bergerak. Aisyah radhiallahu ‘anha tidak bersama mereka. Aisyah radhiallahu ‘anha tertinggal. Itu terjadi tatkala Aisyah radhiallahu ‘anha
telah menunaikan keperluannya, lalu terasa kalungnya terjatuh. Maka, ia
pun segera kembali ke tempat tadi untuk mencari kalungnya. Akhirnya,
setelah dicari, kalung itu pun ditemukannya. Ia pun bergegas kembali ke
rombongan pasukan. Namun, ternyata rombongan pasukan telah berangkat
menuju Madinah. Aisyah radhiallahu ‘anha tertinggal.
Lantas Aisyah radhiallahu ‘anha
berdiam diri di tempatnya semula. Harapannya, rombongan pasukan yang
bersamanya mengetahui kalau dirinya tertinggal lalu kembali ke tempat
itu. Saat menunggu, Aisyah radhiallahu ‘anha tertidur.
Dalam waktu bersamaan, ada juga seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami radhiallahu ‘anhu
tertinggal dari pasukannya. Ia tertinggal lantaran tertidur dan tidak
diketahui oleh anggota pasukan lainnya. Maka, ketika ia bergerak
mengejar rombongan pasukan, Shafwan radhiallahu ‘anhu melihat sesuatu. Ia dekati. Ternyata, yang ada di hadapannya adalah Aisyah radhiallahu ‘anha.
Saat itu perintah berhijab belum turun sehingga Shafwan radhiallahu ‘anhu mengenali bahwa itu adalah Aisyah radhiallahu ‘anha. “Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun, seorang istri Rasulullah?” Kata-kata itu terucap olehnya.
Aisyah radhiallahu ‘anha pun terbangun lalu menutupkan jilbab ke wajahnya.
Shafwan pun mendekatkan untanya. Setelah Shafwan dudukkan binatang tunggangannya, Aisyah radhiallahu ‘anha
pun menaikinya. Shafwan berjalan di depan binatang tunggangannya seraya
memegang tali kendali. Ia berjalan cepat tanpa berkata sepatah kata
pun. Hingga kemudian dirinya berhasil mengejar rombongan pasukan di satu
daerah bernama Nahru azh-Zhahirah.
Abdullah bin Ubay, sang munafik, melihat
hal itu. Akal busuknya langsung bergerak. Kebenciannya nan memuncak
mendapat angin untuk dimuntahkan. Ia langsung mencari informasi.
Menampung beragam berita. Menyebarkannya. Dengan gencar provokasi
dilancarkan. Tuduhan keji pun dilontarkan. Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh melakukan maksiat. Masyarakat pun goncang. Bara telah menyala.
Keadaan runyam di tengah kaum muslimin
tentu menyenangkan orang-orang munafik di Madinah. Kesempatan untuk
menggunjing rumah tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah menguat. Fitnah berkecamuk.
Namun, makar orang-orang munafik itu hancur berserak setelah wahyu turun. Aisyah radhiallahu ‘anha dinyatakan suci bersih. Tuduhan keji tiada terbukti. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla mengancam para penyebar berita dusta nan keji dengan ancaman mengerikan. Firman-Nya,
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah
kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan itu ada
baiknya (hikmahnya) bagi kalian. Tiap-tiap seorang dari mereka
mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bagian terbesar dalam menyiarkan berita bohong
itu, maka baginya siksa yang besar.” (an-Nur: 11)
Upaya Menghancurkan Agama Allah ‘azza wa jalla
Orang-orang kafir dan munafik tiada henti untuk menghancurkan agama Allah ‘azza wa jalla.
Semenjak dahulu hingga sekarang makar itu terus berlangsung. Mereka
hendak memadamkan cahaya Islam melalui beragam media yang dimilikinya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يُرِيدُونَ لِيُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨
“Mereka hendak memadamkan cahaya
(agama) Allah dengan mulut-mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah
tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.”
(ash-Shaf: 8)
Untuk menghancurkan akhlak kaum
muslimin, orang-orang kafir, dan munafik merancang strategi dengan
menerbitkan majalah, tabloid, surat kabar, dan media audio-visual,
seperti televisi, yang menyuguhkan kisah-kisah berselera rendah.
Menampilkan gambar-gambar seronok. Menyajikan informasi yang
membangkitkan birahi.
Sementara itu, dalam dunia sosial
politik ditebar beragam berita yang merendahkan penguasa, bahkan mencela
dan mencacatnya. Walau pun mereka membungkusnya dengan kemasan kata
“mengkritisi” atau dengan bahasa “pers sebagai alat kontrol sosial”.
Dampak dari media semacam ini,
masyarakat terdidik untuk suka mencela pemerintah. Padahal tindakan
demikian bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Barang siapa yang merendahkan (menghina, mencela) penguasa Allah ‘azza wa jalla di muka bumi, Allah ‘azza wa jalla akan merendahkan (menghinakan)nya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2224, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 2296)
Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحُ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati
penguasa karena satu perkara, hendaknya jangan melakukannya di hadapan
publik (secara terbuka). Akan tetapi, lakukanlah dengan cara mengambil
tangannya lantas (menasihatinya) di tempat tersembunyi bersamanya (tidak
dipublikasikan). Jika ia menerima (nasihat)nya, itulah (yang diharap).
Jika tidak menerima nasihatnya, sungguh nasihat itu telah sampai
kepadanya.” (HR. Ahmad dari Syuraih bin Ubaid radhiallahu ‘anhu)
Adapun untuk menebar kerancuan memahami
Islam, sejumlah media telah getol menyuguhkannya. Pemahaman Islam
Liberal, Syiah, Mu’tazilah dijajakan dalam beragam bentuk, baik secara
terang-terangan maupun melalui cara halus tersembunyi. Bahkan, ada
sebuah terbitan yang menyediakan halaman khusus.
Selain itu, media pun kerapkali
menggiring masyarakat untuk membenci dan tak menyukai orang-orang yang
menampakkan syiar-syiar keislaman. Peristiwa terorisme dijadikan kuda
tunggangan untuk menghantam orang-orang yang berpegang teguh kepada
Islam yang benar. Tak sedikit media yang tak mampu membedakan siapa
teroris dan siapa yang benar-benar mengamalkan Islam secara baik dan
benar. Satu contoh, tuduhan Wahabi identik terorisme seringkali
dilontarkan media. Padahal, bila ditelisik, pengelola media itu sendiri
tidak memahami sejatinya apa dan bagaimana Wahabi itu. Tragis!
Kini, tampak di hadapan kita betapa
banyak anggota masyarakat yang tak mengindahkan bimbingan Islam yang
mulia ini. Senyatanya, inilah yang dikehendaki orang-orang kafir dan
munafik. Mereka menghendaki agar ajaran Islam ditinggalkan oleh umatnya.
Dengan begitu Islam tiada menyinari kehidupan manusia. Begitulah makar
orang-orang kafir dan munafik. Wal ‘iyadzu billah.
Namun, yang menjaga Islam adalah Allah ‘azza wa jalla. Kesucian dan keberadaannya dipelihara Allah ‘azza wa jalla. Betapa pun busuk makar orang-orang kafir dan munafik, Allah ‘azza wa jalla
tetap akan menampakkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Kebenaran akan tetap tampak walau orang-orang kafir, munafik, musyrik
membencinya.
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya
dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di
atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (ash-Shaf: 9)
Hati-hati memilih media. Sebab, hal ini menyangkut keselamatan agama yang ada pada kita.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin

Surat Pembaca Edisi 105
Bahas Tuntas Imunisasi
Mohon dibahas tentang imunisasi untuk bayi, wanita hamil, atau sebelum menikah. Bagaimana sikap yang benar bagi salafiyyin untuk menyikapi hal itu? Padahal pemerintah telah mencanangkan program imunisasi dasar. Apakah hal itu berarti wajib bagi WNI untuk patuh imunisasi? Ataukah pemerintah hanya menganjurkan saja?
08573xxxxxxx
Kesalahan Teks Hadits
Ralat, pada Majalah Asy Syariah edisi 104 hlm. 105 terdapat dalil, “Ya’ti ‘ala at-tasi.” seharusnya, “Ya’ti ‘ala an-nasi.”
08571xxxxxxx
Makna Zuhud
Pada majalah Asy Syariah edisi 104 hlm. 106 terdapat kalimat zuhud bermakna tidak butuh kepada akhirat? Bukankah zuhud bermakna tidak butuh kepada dunia? Mohon penjelasannya.
08529xxxxxxx
Adil Terhadap Anak
Pada edisi 104 hlm. 100 terdapat pembahasan Masalah Adil Terhadap Anak. Yang dimaksud dengan adil pada masalah apa dan apa hukumnya?
08572xxxxxxx
Rubrik Cerminan Shalihah
Mengapa Majalah Asy Syariah sudah tidak menampilkan rubrik Cerminan Shalihah?
08572xxxxxxx
Mohon dibahas tentang imunisasi untuk bayi, wanita hamil, atau sebelum menikah. Bagaimana sikap yang benar bagi salafiyyin untuk menyikapi hal itu? Padahal pemerintah telah mencanangkan program imunisasi dasar. Apakah hal itu berarti wajib bagi WNI untuk patuh imunisasi? Ataukah pemerintah hanya menganjurkan saja?
08573xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Kesalahan Teks Hadits
Ralat, pada Majalah Asy Syariah edisi 104 hlm. 105 terdapat dalil, “Ya’ti ‘ala at-tasi.” seharusnya, “Ya’ti ‘ala an-nasi.”
08571xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Makna Zuhud
Pada majalah Asy Syariah edisi 104 hlm. 106 terdapat kalimat zuhud bermakna tidak butuh kepada akhirat? Bukankah zuhud bermakna tidak butuh kepada dunia? Mohon penjelasannya.
08529xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Adil Terhadap Anak
Pada edisi 104 hlm. 100 terdapat pembahasan Masalah Adil Terhadap Anak. Yang dimaksud dengan adil pada masalah apa dan apa hukumnya?
08572xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Rubrik Cerminan Shalihah
Mengapa Majalah Asy Syariah sudah tidak menampilkan rubrik Cerminan Shalihah?
08572xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:

Media: Pisau Bermata Dua
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Media memang pisau bermata dua. Di satu sisi ia bisa multiguna, di sisi lain, juga bisa membawa petaka.
Sisi manfaat media memang tak terhitung.
Banyak hal-hal keduniawian bahkan akhirat yang bisa ditunjang dengan
media. Usaha, berita terkini, hingga dakwah, bisa demikian berkembang
dengan adanya media, biidznillah.
Sisi lain, dampak negatif yang
ditimbulkan media juga tak terbendung. Media sering dijadikan alat
propaganda, dari soal politik hingga soal agama. Banyak kesesatan yang
tumbuh subur dan dengan cepat dianut masyarakat karena dilariskan media.
Banyak kemaksiatan yang mudah diakses hanya dengan memainkan
jari-jemari kita di rumah.
Lebih-lebih dengan menjamurnya media
sosial di dunia maya. Ruang-ruang pribadi yang tercipta membuat manusia
lupa. Perselingkuhan pun menjadi muaranya. Sebaliknya, media sosial juga
menciptakan ruang publik yang seluas-luasnya. Di sini, manusia pun
lupa. Pamer kekayaan dan kesuksesan dipertontonkan. Masalah pribadi dan
rumah tangga diumbar. Foto-foto narsis bahkan yang memamerkan aurat
dipajang seakan media sosial adalah kamar pribadinya.
Tak cukup sampai di sini sisi negatif
media yang kita tuai. Islam sebagai agama yang haq, sering menjadi
bulan-bulanan media. Pengusaha media yang mayoritas orang-orang
non-Islam atau muslim tetapi tidak paham Islam, menjadikan media sebagai
alat untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin. Dari yang halus, yakni
mencitrakan kemaksiatan sebagai sesuatu yang lumrah, hingga yang sudah
“menabuh genderang perang” yakni menghina Islam secara terang-terangan.
Opini demi opini terus diciptakan demi
mengesankan bahwa Islam adalah agama yang kolot dan horor. Ajaran Islam
yang demikian melindungi wanita dianggap sudah tak relevan. Adapun
terorisme dan anarkisme terkesan dilakukan oleh muslim yang
“lahiriahnya” taat. Sekian juta umat pun termakan. Opini media mampu
membolak-balik penilaian seseorang.
Masyarakat juga latah mengekor media
yang menjelma menjadi hakim. Kasus apa saja, karena sudah menjadi
konsumsi media, dengan mudahnya masyarakat memutuskan siapa yang benar
dan siapa yang salah. Hanya dengan bermodal baca koran atau menonton
berita televisi, masyarakat dengan strata apa pun telah demikian
“pintar” menghakimi. Kebenaran menjadi demikian sempit, sebatas apa yang
dibaca, apa yang ditonton, dan apa yang (mau) disimpulkan.
Padahal, disadari atau tidak, media
massa lebih sering mengajarkan buruk sangka, utamanya jika sasarannya
adalah pemerintah. Di mata media, pemerintah berkuasa seakan tidak
pernah ada benarnya, kebijakannya seakan 100% cacat dan cela.
Seakan-akan jika kita duduk di pemerintahan, kita mampu mengemban amanat
yang demikian besar dengan mudahnya. Kita bahkan lupa bahwa kita
sendiri juga manusia biasa.
Menjadi amat aneh, jika media sekarang
mengaku tidak memihak, objektif, dan independen. Berita kecelakaan yang
nyaris tanpa tendensi saja, bisa berbeda versi antara satu dengan yang
lainnya. Bagaimana jadinya jika berita itu sudah masuk ranah politik?
Bukankah orang-orang di balik media juga memiliki keberpihakan? Jika
satu media mendukung dan satunya menentang lantas mana yang benar? Mana
yang harus kita ikuti?
Namun layaknya senjata, media akan
kembali pada siapa yang memegangnya. Senjata bisa mencelakai diri bahkan
orang lain, namun bisa memberi manfaat jika digunakan sebagaimana
mestinya.
Maka dari itu, dengan keadaan diri kita
yang banyak dosa, yang mudah terjerumus ke dalamnya, kita juga hidup di
tengah masyarakat yang lebih banyak maksiat daripada yang taat, sudah
semestinya kita menjauhi media-media yang lebih banyak mudaratnya
ketimbang manfaatnya.
Wallahu a’lam.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Amalan Semata Tidak Menyebabkan Masuk Surga
Al-Imam Abu Utsman Ismail bin Abdur Rahman ash-Shabuni rahimahullah mengatakan,
“Mereka (ashabul hadits)
meyakini dan mempersaksikan bahwa seseorang tidaklah mesti masuk surga
meski amalnya bagus, (ibadahnya paling ikhlas, ketaatannya paling
murni), jalan hidupnya diridhai, kecuali karena Allah subhanahau wa ta’ala memberi kemuliaan kepadanya dengan anugerah dan keutamaan-Nya sehingga memasukkan dirinya ke dalam surga.
Sebab, amal kebaikan yang dia kerjakan
tidaklah mudah dia kerjakan kecuali dengan kemudahan yang diberikan oleh
Allah yang Mahamulia nama-Nya. Jika Allah tidak memudahkan, tentu dia
tidak bisa dengan mudah mengamalkannya. Jika Allah tidak memberi hidayah
untuk mengerjakannya, tentu dia tidak diberi taufik untuk
mengamalkannya hanya berbekal dengan semata-mata kesungguhan dan
semangatnya.
Allah ázza wa jalla berfirman,
وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ
“Sekiranya tidaklah karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang
pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nur: 21)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang (ucapan) penghuni surga,
وَقَالُواْ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهۡتَدِيَ لَوۡلَآ أَنۡ هَدَىٰنَا ٱللَّهُۖ
“Segala puji bagi Allah yang telah
menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan
mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” (al-A’raf: 43)
(‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hlm. 108, poin ke-145)

Seperti Menggenggam Bara Api
Pernahkan Anda mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini?
يَأْتِي عَلى النَّاسِ زَمَانٌ اَلصَّابِرُ فِيْهِمْ عَلى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang pada manusia suatu
zaman,saat orang yang bersabar di antara mereka di atas agamanya seperti
orang yang menggenggam bara api.”
Hadits di atas tersampaikan kepada kita lewat sahabat yang mulia Anas bin Malik al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya (no. 2260). Namun, dalam sanadnya ada Umar ibnu Syakir (perawi yang meriwayatkan dari Anas bin Malik), seorang rawi yang dhaif/lemah sebagaimana disebutkan dalam at-Taqrib.
Kata al-Imam at-Tirmidzi, “Hadits ini gharib dari sisi ini….”
Namun, alhamdulillah, hadits ini memiliki syawahid yang menguatkannya sehingga kedudukannya menjadi sahih sebagaimana dijelaskan dalam ash-Shahihah (no. 957)[1].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan bahwa di suatu masa, orang yang bersabar menjaga agamanya
dengan meninggalkan dunia seperti sabarnya orang yang menggenggam bara
api dalam hal kesulitan dan puncak ujian. Demikian diterangkan dalam Tuhfah al-Ahwadzi (2/1822).
Ath-Thibi berkata, “Maknanya adalah
sebagaimana tidak sanggupnya orang yang menggenggam bara api untuk
bersabar karena bara api tersebut akan membakar tangannya, demikian pula
orang yang beragama pada waktu tersebut. Dia tidak mampu kokoh di atas
agamanya karena dominannya orang-orang yang bermaksiat dan kemaksiatan,
tersebarnya kefasikan, dan kelemahan iman.”
Al-Qari berkata, “Yang tampak, makna
hadits ini adalah sebagaimana tidak mungkinnya orang yang menggenggam
bara api kecuali harus bersabar dengan sangat dan siap beroleh
kesulitan, demikian pula di zaman tersebut. Tidaklah tergambar orang
yang menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang
besar.” (Tuhfah al-Ahwadzi, 2/1822)
Mungkinkah zaman yang dimaksud adalah zaman kita sekarang?
Sebab, betapa susahnya berpegang dengan agama yang haq dan menetapi sunnah al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman kita ini! Betapa beratnya bersabar dalam keterasingan memegang al-haq di tengah manusia yang menyelisihi!
Apapun dan bagaimana pun keadaan di zaman kita ini, yang jelas hadits di atas terkandung di dalamnya berita dan bimbingan.
Berita yang terkandung ialah sebagai berikut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa di akhir zaman yang namanya kebaikan dan sebab
kebaikan itu sedikit. Sebaliknya, kejelekan dan sebabnya banyak. Ketika
itu, orang-orang yang berpegang dengan agama Islam yang haq sangat
sedikit, dalam keadaan mereka harus menanggung keadaan yang payah dan
kesulitan yang besar, seperti orang yang menggenggam bara api, karena
kuatnya orang-orang yang berpaling atau menentang mereka, banyaknya
fitnah yang menyesatkan, baik fitnah syubhat, keraguan dan penyimpangan,
maupun fitnah syahwat. Manusia mencari dunia. Manusia menceburkan diri
ke dalamnya, tenggelam jauh ke dasar jurangnya, baik zahir maupun batin,
sementara iman demikian lemah.
Orang-orang yang berpegang dengan agama
ketika itu demikian terasing, sendiri di tengah kebanyakan manusia, atau
sedikit di kumpulan manusia yang banyak, sedikit yang mau menolong dan
membantu mereka.
Akan tetapi, orang yang tetap teguh
berpegang dengan agama di masa tersebut, yang tetap berdiri kokoh
menolak setiap yang menentang dan menghalau segala rintangan, mereka itu
tidak lain adalah orang yang memiliki bashirah, ilmu, dan keyakinan, orang yang beriman dengan kokoh, orang yang paling utama, paling tinggi derajatnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan paling agung kadarnya. Tidak ada yang bisa kokoh di atas agama dalam keadaan demikian kecuali mereka yang disebutkan ini.
Adapun bimbingan yang termuat, berikut ini penjelasannya.
Hadits ini merupakan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umat beliau agar mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang
demikian dahsyat. Mereka harus tahu bahwa masa itu pasti akan terjadi.
Siapa yang menghadapi segala aral melintang di masa tersebut, tetap
sabar di atas agama dan imannya walau demikian dahsyat keadaannya, dia
akan beroleh derajat yang tinggi di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala
akan menolongnya kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Sebab,
pertolongan itu sesuai dengan kadar kesabaran menghadapi kesulitan.
Demikian yang diterangkan oleh al-Allamah Abdurrahman Ibnu Nashir Sa’di rahimahullah tentang hadits di atas (Bahjah Qulub al-Abrar hlm. 234).
Beliau berkata tentang keadaan di zaman beliau[2], “Alangkah miripnya keadaan yang disebutkan (dalam hadits) dengan zaman kita ini. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak ada yang tersisa dari Islam kecuali namanya, tidak pula al-Qur’an
kecuali simbolnya, iman yang lemah, hati yang bercerai-berai,
permusuhan dan kebencian di antara kaum muslimin, serta musuh yang lahir
dan batin. “
“Para musuh melakukan makar rahasia dan
terang-terangan untuk menghancurkan agama Islam. Adanya penyimpangan dan
pandangan materialisme, propaganda, dan seruan menuju kerusakan akhlak,
kemudian manusia menghadapkan diri kepada perhiasan dunia.“
“Dunia telah menjadi puncak ilmu mereka,
cita-cita mereka yang terbesar. Mereka ridha dan marah karena dunia.
Seruan untuk zuhud/tidak butuh kepada akhirat, sikap totalitas untuk
memakmurkan dunia, menghancurkan agama, menghina dan mengolokolok orang
yang berpegang dengan agamanya,… dst.”
Ucapan al-Allamah as-Sa’di rahimahullah
di atas menggambarkan kerusakan di zaman beliau. Kalau semua itu sudah
terjadi di zaman beliau, lantas bagaimana halnya dengan zaman kita
sekarang? Sungguh kita dapati kebenaran hadits di atas! Ya Allah,
selamatkan kami!
Akan tetapi, bagaimana pun “kengerian zaman”, seorang mukmin tidak boleh putus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Dia tidak patah arang mengharapkan pertolongan-Nya. Pandangan seorang
mukmin tidak hanya dibatasinya pada sebab-sebab yang zahir.
Akan tetapi, kalbunya di sepanjang waktu
senantiasa bergantung kepada Zat yang menciptakan sebab, Zat Yang Maha
Pemurah lagi Pemberi anugerah. Dengan demikian, dia dapati kelapangan
dan jalan keluar ada di hadapan kedua matanya. Janji Rabb yang tidak
pernah mengingkari janji diingatnya, bahwa Dia subhanahu wa ta’ala
akan menjadikan setelah kesulitan ada kemudahan, kelapangan ada bersama
kesulitan, serta lepas dari marabahaya ada bersama dahsyatnya
marabahaya.
Ketika menghadapi kesulitan dan masa yang genting, tetap kokoh di atas agamanya, seorang mukmin berucap,
لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ باِللهِ
“Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.”
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah bagi kami Allah dan Dialah sebaik-baik Zat yang diserahkan urusan.”
عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا
“Hanya kepada Allah kami bertawakal.”
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، وَإِلَيْكَ الْمُشْتَكَى، وَأَنْتَ الْمُسْتَعَانُ، وَبِكَ الْمُسَتَغَاثُ، وَلَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
“Ya Allah, hanya untuk-Mu lah segala
pujian dan hanya kepada-Mu kami mengadu. Engkau-lah Zat yang dimintai
pertolongan. Hanya Engkau-lah tempat kami meminta bantuan dari
kesulitan. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang
Mahatinggi lagi Mahaagung.”
Seorang mukmin akan tegar dengan
keimanannya. Ia berusaha sekuat kemampuan untuk memberikan nasihat dan
mengajak manusia kepada kebaikan. Dia merasa cukup dengan yang sedikit,
apabila tidak mungkin mendapatkan yang banyak. Dia merasa bersyukur
dengan hilangnya sebagian kejelekan dan berkurangnya sedikit kejelekan,
apabila dia tidak mampu melakukan lebih dari itu. Bukankah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (ath-Thalaq: 2)
وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
“Siapa yang bertawakkal kepada Allah, Allah akan mencukupinya.” (ath-Thalaq: 3)
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan kemudahan untuknya dalam urusannya.” (ath-Thalaq: 4) (Bahjah Qulub al-Abrar, hlm. 235)
Kesimpulannya, kita harus sadar
sepenuhnya bahwa berpegang dengan al-haq itu tidak mudah. Karena tidak
mudah, pemegang al-haq yang tetap kokoh itu sedikit dari masa ke masa,
apalagi di akhir zaman. Ya Allah, selamatkan kami! Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita termasuk golongan itu. Allahumma amin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Kata al-Imam al-Albani rahimahullah, “Hadits ini dengan syawahidnya shahih tsabit/pasti/kokoh, karena tidak ada satu pun dari jalur-jalur haditsnya seorang rawi yang muttaham (tertuduh berdusta), lebih-lebih lagi sebagian jalurnya dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan selainnya. Wallahu a’lam.” (ash-Shahihah, 2/647)
[2] Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir Sa’di rahimahullah wafat sebelum fajar hari Kamis, 22 Jumadal Akhirah, 1376 H.

Perhatikan Pergaulan Anak Kita
asy-Syaikh Abdul Qadir bin Muhammad bin Abdur Rahman al-Junaid
Sebagian orang tua—semoga Allah
meluruskan mereka—ketika melihat anak mereka bergaul dengan orang yang
tampak baik dan istiqamah—apalagi melihat perubahan keadaan anaknya yang
semula malas dan meremehkan urusan shalat, puasa, haji, umrah, sedekah,
menghafal al-Qur’an, dan mengamalkan kebaikan—mereka pun lalai
mengikuti dan memerhatikan anak mereka.
Orang tua tidak lagi menganggap penting untuk tahu:
- buku apa yang dipelajari oleh anaknya, siapa guru yang mengajarinya buku tersebut,
- kaset dan CD apa yang didengarnya,
- apa yang dia dengar dan lihat kutipan suara melalui internet,
- siapa dai dan penasihat yang dia dengarkan,
- asupan apa yang didapat dari internet, dan situs mana yang diikuti oleh anak,
- apa saja kicauan anak di Twitter, siapa saja yang menjadi followernya, dan siapa saja yang membalas kicauannya.
Anda dapat pula mengatakan seluruh hal di atas atau sebagiannya untuk anak perempuan.
Tidak diragukan lagi bahwa ini tindakan
yang salah, menganggap enteng masalah, pembiaran, penyia-nyiaan, tidak
menjaga dan merawat, serta lari dari tanggung jawab.
Hal ini akan menjadi jelas dengan
mengetahui beberapa hal berikut, merenunginya secara mendalam, dengan
melibatkan akal sehat dan rasa kasih sayang.
Ayah dan ibu—semoga Allah memberi
keduanya keselamatan—adalah orang yang pertama kali terkena kewajiban
dan keharusan mendidik anak lelaki dan perempuan, baik menurut syariat,
akal, maupun kebiasaan masyarakat.
Tanggung jawab perhatian dan pendidikan
orang tua ini tidak gugur, hilang, atau berkurang dengan adanya teman si
anak atau murabbi (pendidik) yang istiqamah dan saleh.
Ketika mewajibkan seseorang menjaga
keluarganya dari api neraka, Allah menujukan kewajiban tersebut kepada
seorang mukmin terhadap dirinya sendiri dan keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Di samping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membebankan tanggung jawab terbesar dalam hal mendidik anak dan mewajibkannya kepada ayah dan ibu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan
akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemerintah yang menguasai manusia
adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka. Seorang lelaki adalah
pemimpin terhadap keluarganya dan akan ditanya tentang mereka. Seorang
wanita adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan anak-anaknya, dan
akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin terhadap
harta tuannya dan akan ditanya tentangnya. Ingatlah, setiap kalian
adalah pemimpin, dan masing-masing akan ditanya tentang yang
dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Orang yang dengan baik menjaga anak
lelaki dan anak perempuannya, ketika mendapatkan pihak lain yang
membantunya untuk memperbaiki anaknya, dia tetap bersungguh-sungguh, dan
tidak lantas menyepelekan urusan anaknya. Dia justru akan tetap
bersemangat, tidak bermalas-malasan. Dia akan mendukung dan saling
membantu dengan pihak lain tersebut, tidak lantas diam. Dia akan terus
mengikuti perkembangan anaknya, tidak lantas lalai.
Ketika anaknya berubah ke arah yang
lebih utama dan lebih bagus, sesuai dengan naluri dan kasih sayang
seorang ayah, dia ingin agar anaknya meraih kedudukan yang tertinggi,
keadaan yang terbaik, dan orientasi yang paling selamat.
Dia tidak ingin dirinya bertindak
berlebih-lebihan yang justru akan mengantarkan dirinya bertindak
melampaui batas dan zalim terhadap keluarganya, sehingga dia
mencelakakan mereka dan dirinya sendiri. Atau sebaliknya; bersikap
meremehkan yang akan melemahkan dirinya (dalam hal mendidik anak)
seiring dengan berlalunya waktu, sehingga anaknya kembali ke keadaan
semula atau lebih jelek dari itu.
Beberapa orang yang penampilan
lahiriahnya seperti orang yang baik dan istiqamah ternyata bukanlah
orang saleh dan istiqamah pada urusan tertentu.
Bisa jadi, dia terlumuri kesyirikan
tertentu, kebid’ahan, atau kesesatan dalam keadaan manusia tidak
mengetahui dan menyadarinya. Bisa jadi pula, dia terpengaruh pemikiran
yang bertentangan dengan Islam, seperti pengkafiran tanpa hak.
Hal-hal tersebut akan dia tularkan
kepada anak Anda, dan disusupkan ke dalam rumah Anda. Kemudian saudara
lelaki atau saudara perempuannya akan terpengaruh dengan pemikiran yang
sama. Bisa jadi pula orang tersebut ternyata bersimpati terhadap
kelompok yang menyimpang, yang lantas mengajak anak Anda bergabung
dengannya dalam organisasi tersebut, atau bahkan dia sudah menjadi
anggota, bahkan tokoh dan dai kelompok menyimpang tersebut.
- Bukankah kita telah melihat ada anak-anak yang terpengaruh pemikiran takfir, pengikutnya, dan dainya?
Selanjutnya, mereka berbuat jahat terhadap diri mereka sendiri dan kaum muslimin (dengan aksi bom bunuh diri -red.), di masjid-masjid muslimin, tempat perdagangan muslimin,bangunan, kantor, dan tempat kerja kaum muslimin.
Mereka melakukan kejahatan terhadap para
pegawai negara, pekerja, orang yang sedang melintas, para wanita, dan
anak-anak. Mereka melakukan kejahatan pula terhadap orang kafir musta’man[1] dan mu’ahad[2], di negeri yang orang kafir itu masuk dengan perjanjian dan jaminan (pemerintah kaum muslimin).
Mereka menyangka bahwa apa yang mereka
lakukan adalah jihad. Mereka saling memberi kabar gembira sesama mereka
dengan surga, bersenang-senang dengan berbagai kenikmatannya dan
bidadarinya.
Sungguh, demi Allah, kita telah melihat,
mengetahui, dan mendengar hal seperti itu. Sejarah dan realita kita
penuh oleh bukti-bukti hal tersebut.
- Bukankah kita juga melihat beberapa orang yang penampilan lahiriahnya seperti orang saleh dan istiqamah ternyata biasa melakukan kesyirikan?
Kita melihat dan mendengar dia berdoa
dan beristighatsah kepada para wali dan orang saleh. Dia meminta
pertolongan dan dilepaskan dari kesulitan kepada mereka. Dia katakan,
“Beri kami jalan keluar, wahai Rasulullah,”
“Lepaskanlah kami dari kesusahan, wahai (Abdul Qadir) al-Jailani,”
“Tolonglah kami, wahai Badawi.”
Sungguh, demi Allah, kita melihat,
mengetahui dan mendengarnya. Sejarah dan realita kita penuh oleh
bukti-bukti akan hal tersebut.
- Bukankah kita melihat orang yang lahiriahnya saleh dan istiqamah ternyata tidak beriman terhadap ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah yang sahih, yang salafush shalih dari kalangan generasi terdahulu telah bersepakat atasnya, bahwa Allah k ber-istiwa’ di atas Arsy-Nya di atas langit; lantas ia berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala ada di mana-mana atau ada di hati para hamba yang beriman?
Sungguh, demi Allah, kita melihat,
mengetahui dan mendengarnya. Sejarah dan realita kita penuh oleh
bukti-bukti akan hal tersebut.
- Bukankah kita melihat orang yang lahiriahnya seperti orang saleh dan istiqamah, ternyata biasa melakukan bid’ah dan kesesatan, saat hari raya, kelahiran, pemakaman, di kuburan, dalam wirid, shalat, haji, dan selainnya?
Sungguh, demi Allah, kita melihat,
mengetahui dan mendengarnya. Sejarah dan realita kita penuh oleh
bukti-bukti akan hal tersebut.
- Bukankah kita melihat ada orang yang sifat dan penampilannya seperti orang saleh dan istiqamah, ternyata bersimpati kepada partai, kelompok sempalan, organisasi, dan lembaga yang menisbatkan dirinya kepada agama dan Islam?
Padahal telah diketahui para pemimpin,
pembesar, dai, dan tokohtokohnya, dikenal pula buku, pemikiran, jalan,
metode, dan pengajaran mereka yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, akidah, amalan, jalan, dan metode salafush shalih.
Sungguh, demi Allah, kita melihat,
mengetahui dan mendengarnya. Sejarah dan realita kita penuh oleh
bukti-bukti akan hal tersebut.
Apabila anak-anak lelaki dan perempuan
ditimpa kejelekan yang bersumber dari berbagai jenis orang, organisasi,
lembaga, pusat dakwah, kelompok sempalan, partai, dan mazhab tersebut,
lantas mereka:
- melakukan hal yang dilarang,
- menggabungkan diri kepada sesuatu yang tidak halal,
- meyakini akidah yang menyelisihi kebenaran,
- bersikap ghuluw dan keras,
- memisahkan diri dari tauhid menuju kesyirikan,
- memisahkan diri dari sunnah menuju bid’ah,
- memisahkan diri dari persatuan menuju perpecahan dan kesendirian, dari keluarga menuju orang-orang yang serupa dan kolega;
yang pertama kali dan palingberhak dicela dan dikoreksi,
dituduh bersikap meremehkan, menganggap enteng urusan, menggampangkan
masalah, ditimpa rasa sempit dada, risau, duka, dan sedih, menderita,
sakit, serta menyesal, ialah kedua orang tua. Sebab, keduanyalah yang diperintah untuk menjaga dan merawat mereka, bukan orang lain.
Semoga Allah merahmati seorang imam yang mengadakan perbaikan dan tulus memberi nasihat, yakni Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah saat berkata dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud (hlm. 337, dan 351—352) ,
“Barang siapa tidak mengajari anaknya,
dia tidak akan mendapat manfaat dari anak tersebut. Siapa yang
membiarkan anaknya (tidak diajari dan dididik), sungguh telah berbuat
hal yang terburuk terhadap anaknya. Kerusakan mayoritas anak disebabkan
oleh orang tua dan kelalaian mereka terhadap anak. Mereka tidak
mengajari urusan agama yang wajib dan yang sunnah.”
“Mereka menyia-nyiakan anak semasa
kecilnya. Anak pun tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan tidak
bermanfaat bagi orang tuanya ketika lanjut usia. Ketika sebagian mereka
mencela anaknya karena durhaka, anaknya akan menjawab, ‘Wahai ayahku,
engkau telah mendurhakaiku semasa aku kecil. Sekarang aku mendurhakaimu
ketika engkau lanjut usia. Engkau menyia-nyiakanku sewaktu anak-anak,
sekarang aku menyianyiakanmu saat engkau tua renta’.”
“Betapa banyak orang yang mencelakakan
anaknya, belahan jiwanya, di dunia dan di akhirat, karena tidak memberi
anak pendidikan adab. Ia justru membantu anak mewujudkan segala
keinginan syahwatnya. “
“Dia menyangka bahwa dengan demikian
berarti dia telah memuliakan si anak, padahal justru menghinakannya. Dia
sangka bahwa dia telah memberi kasih sayang kepada anak, padahal justru
menzaliminya. Akibatnya, dia pun tidak bisa mengambil manfaat dari
keberadaan anak. Dia pun menyebabkan sang anak tidak mendapat bagian di
dunia dan di akhirat.”
“Apabila engkau memerhatikan kerusakan
yang terjadi pada anak-anak, engkau akan melihat bahwa mayoritas
penyebabnya berasal dari orang tua.”
“Tidak ada sesuatu yang lebih merusak
diri anak daripada kelalaian orang tua, pembiaran mereka, dan anggapan
enteng mereka terhadap jahatnya api di antara pakaian.”
(diterjemahkan dari http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146943 dengan beberapa penyesuaian)
[1] Orang kafir yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin.
[2] Orang kafir yang memiliki perjanjian keamanan dengan pihak muslimin.

Melanggar Kodrat
Banci, wadam, dan waria adalah sebutan
yang membuat kita bergidik. Bukan karena mereka menyeramkan, melainkan
karena mereka yang menyengaja berbuat demikian jelas abnormal,
berperilaku menyimpang. Memalukan rasanya bila ada kerabat kita yang
mengalami problem demikian. Ejekan, cibiran, jangan ditanya lagi.
Bahkan, tak jarang menjadi tontonan yang menggelikan.
Allah subhanahu wa ta’ala, Sang
pencipta, menciptakan jenis lelaki di atas tabiatnya. Dia pun
menciptakan jenis wanita di atas tabiatnya. Dia memiliki hikmah yang
agung dalam membedakan antara lelaki dan wanita, agar masing-masingnya
menunaikan tugas yang sesuai dengan tabiatnya dalam kehidupan ini.
Bila ada lelaki yang mengubah diri
menjadi wanita atau berperilaku khas wanita, dan sebaliknya wanita
mengubah diri menjadi lelaki, atau berperilaku khas lelaki, tentu
melanggar tabiat yang telah ditetapkan-Nya.
Nah, perilaku jenis manusia
yang disebut di atas (baca, menjadi banci dengan sengaja) bukan hanya
penyimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat, tak sekadar memalukan,
tetapi lebih penting dari itu melanggar syariat.
Ada hadits yang disampaikan sahabat yang mulia, Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang mereka yang berperilaku menyimpang tersebut,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِبْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki.” (HR.al- Bukhari no. 5885)
Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma juga menyampaikan hadits berikut ini,
لَعَنَ النَّبّيُ الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang keperempuan-perempuanan dan wanita yang kelelaki-lelakian.” (HR. al-Bukhari no. 5886)
Abdullah ibnu Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma
pernah melihat Ummu Said bintu Abi Jahl menyandang busur panah dan
berjalan seperti jalannya lelaki. Ibnu Amr menegur dengan ucapannya,
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَلاَ مَنْ تَشَبَّهَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ.
‘Bukan termasuk golongan kami wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang menyerupai wanita’.” (HR. Ahmad 2/201, dinyatakan hasan sanadnya oleh asy-Syaikh Ahmad Syakir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai lelaki. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan setiap jenis makhluk hidup dan menjadikan kebaikan serta
kesempurnaannya pada urusan yang berserikat di antara satu jenis dan
jenis yang lain, dan pada urusan yang menjadi kekhususan masing-masing.
Urusan yang mereka berserikat (boleh dilakukan oleh semuanya, yang
berjenis lelaki ataupun wanita –pen.) tidak menjadi kekhususan bagi satu
jenis saja. Karena itulah, hal seperti ini tidak dilarang. Yang
dilarang hanyalah yang bersangkutan dengan hal yang khusus. Apabila
sesuatu telah menjadi kekhususan bagi kaum wanita, tidaklah boleh kaum
lelaki melakukannya sehingga menyerupai wanita. Sebaliknya, yang menjadi
kekhususan kaum lelaki, tidaklah boleh kaum wanita menyerupainya.” (Majmu’ Fatawa, 32/259—260)
Selain itu, menyerupai lawan jenis menunjukkan ketidakridhaan terhadap ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala
dalam penciptaan-Nya. Seakan-akan si pelaku berjenis lelaki protes,
tidak terima dengan kelelakiannya sehingga mengubah diri menjadi wanita,
atau tetap tampil sebagai lelaki namun berperilaku seperti wanita.
Sebaliknya, ada wanita yang berperilaku seperti lelaki, tomboi, atau mengubah diri menjadi lelaki, seakanakan dia protes dan menganggap pilihannya lebih baik dari ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dalam penciptaan-Nya.
Berperilaku menyimpang seperti ini,
lelaki menyerupai wanita atau wanita memiripkan dirinya dengan lelaki,
juga menunjukkan adanya kelainan pada diri si pelaku, Dia mengubah
dirinya kepada sesuatu yang bukan asal penciptaannya. Semua ini
merupakan kezaliman yang melampaui batas. Karena itu, pantaslah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah
berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya lelaki menyerupai wanita dan
sebaliknya wanita menyerupai lelaki, baik dalam hal ucapan (cara atau
gaya berbicara), pakaian, cara berjalan, maupun selainnya.” (Nailul Authar, 4/529)
Laknat sendiri maknanya adalah terusir
dan dijauhkan dari rahmat ataupun kebaikan. Kalimat laknat jelas
mengandung celaan. Di samping itu, laknat menunjukkan keharaman yang
ditekankan. Sebab, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melaknat kecuali terhadap pelaku dosa yang besar.
Dengan demikian, laknat yang disebutkan
dalam hadits di atas menunjukkan perbuatan menyerupai lawan jenis dalam
hal yang menjadi kekhususan jenis masing-masing, bukan dalam urusan yang
berserikat, termasuk keharaman yang besar atau dosa besar.
Sebab dilaknatnya pelaku perbuatan
demikian adalah karena dia telah mengeluarkan atau menyimpangkan sesuatu
dari sifat yang diletakkan oleh Ahkamul Hakimin (Allah subhanahu wa ta’ala Dzat Yang Mahahakim/Memiliki hikmah). (Fathul Bari, 10/410)
Penyerupaan yang dilarang seperti yang
telah disinggung adalah dalam hal pakaian khas, sebagian sifat, gerakan,
dan semisalnya. Adapun lelaki menyerupai wanita dan sebaliknya dalam
hal kebaikan, tentunya tidak masuk dalam pelarangan. (Fathul Bari, 10/409)
Karena menyerupai lawan jenis itu
diharamkan, ada beberapa hal yang tidaklah dilarang kecuali karena
alasan menyerupai lawan jenis. Contohnya berikut ini.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat beliau tentang tashfiq[1] (tepuk tangan) di dalam shalat,
التَّسْبِيْحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيْقُ للنِّسَاءِ
“Tasbih (mengucapkan ‘subhanallah’) untuk lelaki dan tashfiq untuk wanita.” (HR. al-Bukhari no. 1203 dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membedakan bagi lelaki dan wanita dalam hal cara menegur atau
mengingatkan imam dalam shalat. Lelaki mengucapkan tasbih, sedangkan
wanita melakukan tashfiq. Lelaki tidak boleh melakukan tashfiq karena hal itu menyerupai wanita.
- Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma berkata,
رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَال :أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا. قَالَ: بَلْ أَحْرِقْهُمَا.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku mengenakan dua pakaian mu’ashfar[2]. Beliau pun bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?”
Aku menjawab, “Apakah saya cuci saja dua pakaian ini[3]?”
Beliau bersabda, “Bahkan, bakarlah dua pakaian tersebut!” (HR. Muslim no. 5401)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?’, maknanya adalah pakaian yang kamu kenakan ini termasuk pakaian kaum wanita, pakaian khas mereka dan akhlak mereka.” (al-Minhaj, 13/280)
- Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ.
“Diharamkan memakai sutra dan emas bagi kalangan lelaki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1720, an-Nasa’i no. 5148, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Di antara hikmah pelarangan lelaki
memakai sutra adalah karena sutra menjadi pakaian perhiasan khas wanita,
sesuai dengan kehalusan dan kelembutan wanita. Karena itu, sutra tidak
cocok dipakai oleh lelaki karena menyelisihi kejantanan dan
keperwiraannya.
Apabila lelaki dibolehkan memakai sutra,
niscaya akan timbul mafsadat berupa menyerupai wanita. Bisa jadi,
akhirnya akan berefek si lelaki menjadi ‘keperempuan-perempuanan’,
gemulai seperti gaya wanita. Padahal lelaki dituntut menjadi seorang
yang kuat, gagah, dan tidak lembek, karena harus menghadapi kerasnya
hidup dan beratnya pekerjaan di luar sana.
- Ya’la bin Murrah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang lelaki memakai khaluq, maka beliau bersabda,
اذْهَبْ فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ اغْسِلْهُ، ثُمَّ لاَ تَعُدْ.
“Pergilah untuk mencuci bekas khaluq ini, lalu cuci lagi, kemudian jangan kamu ulangi.” (HR. an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi, dinyatakan dha’if oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Dha’if Sunan at-Tirmidzi)
Wewangian khaluq dilarang bagi lelaki karena merupakan wewangian khas wanita.
- Pensyariatan membiarkan jenggot bagi lelaki juga termasuk dalam bab ini, ‘agar tidak seperti wanita’ dan masih banyak lagi.
Para ulama pun berfatwa melarang beberapa hal dengan alasan ‘tasyabbuh’ (menyerupai lawan jenis). Seperti kata al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Tidaklah aku membenci lelaki memakai mutiara kecuali karena mutiara adalah perhiasan khas wanita.” (Fathul Bari, 10/410)
Tasyabbuh yang Dicela
Telah disebutkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang laknat bagi lelaki yang menyerupai wanita dan sebaliknya.
Laknat yang ditujukan pada suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut tercela.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
menyebutkan bahwa laknat tersebut khusus bagi orang yang bersengaja
melakukannya. Artinya, si lelaki memang sengaja menyerupai wanita dan si
wanita sengaja menyerupai lelaki.
Adapun seseorang yang asal tabiatnya
memang demikian, dia terlahir sebagai lelaki tetapi memiliki kelainan
berupa tampaknya sifat kewanita-wanitaan, atau sebaliknya terlahir
sebagai wanita tetapi punya sifat kelelaki-lelakian, dia diperintah
untuk mengubah kelainan sifat tersebut, memaksa dirinya dan melatihnya
secara bertahap.
Apabila dia tidak melakukannya dan terus
‘memelihara’ kelainan tersebut, orang ini pun masuk dalam celaan.
Terlebih lagi apabila tampak darinya tanda yang menunjukkan dia senang
dengan kelainan yang ada padanya. (Fathul Bari, 10/409)
Nah, apabila seseorang yang
asalnya memang mengidap kelainan saja diperintah untuk berusaha
mengobati kelainannya walau secara berlahan dan bertahap, lantas
bagaimana halnya dengan seseorang yang lahir normal sebagai lelaki
dengan sifat-sifat lelaki atau lahir sebagai wanita dengan sifat-sifat
wanita, namun karena pengaruh lingkungan atau salah asuh, dia berubah;
‘lelaki tetapi seperti wanita’, ‘wanita tetapi seperti lelaki’?
Bagaimana pula dengan seseorang yang mengubah penampilannya karena
tuntutan profesi atau pekerjaan?
Apabila karena salah asuh, dia harus memiliki kesadaran diri untuk berubah sebagaimana asal penciptaannya.
Apabila dia terlahir sebagai lelaki, dia harus sadar untuk menjadi lelaki yang sebenarnya dan ridha dengan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila dia terlahir sebagai wanita, dia harus sadar untuk menjadi wanita dan ridha pula. Tentu Allah subhanahu wa ta’ala melihat usahanya dan tidak membebaninya selain yang dia mampu setelah mencurahkan segala upaya.
Bagaimana halnya dengan orang yang
mengubah dirinya karena tuntunan profesi atau pekerjaan? Dia lelaki
tulen, tetapi karena harus berlakon sebagai wanita, dia mengubah
penampilan sebagai wanita, atau tetap berpenampilan lelaki namun bergaya
banci. Tentu yang seperti ini tidak pantas, dan sangat tepat dia
diancam dengan hadits-hadits di atas.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Bedakan dengan tepuk tangan yang dilakukan oleh orang-orang jahil yang meniru orang-orang kafir.
[2] Pakaian yang dicelup dengan ushfur, sejenis tumbuhan yang tumbuh di Jazirah Arab, sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah yang khas.
[3] Sehingga warna celupannya luntur.

Untuk Pendamba Bahagia
Siapa gerangan yang tak ingin
berbahagia dalam hidup ini? Tentu kita sepakat menjawab, “Tidak ada
seorang pun.” Ya, semua pasti mendamba yang namanya bahagia.
Insan yang menjalin rumah tangga pun
ingin meraih bahagia. Pengantin barukah atau pengantin lama, tidak ada
beda dalam keinginan yang satu ini. Namun kenyataan yang ada walau semua
ingin beroleh bahagia, ada yang berhasil meraihnya dan banyak pula yang
gagal. Dalam kehidupan rumah tangga pula, tidak semua sukses meraih
bahagianya. Awalnya saja bahagia, setelah waktu berlalu, entah ke mana
raibnya bahagia itu….?
Ambisi meraih bahagia dalam hidup ini
tidaklah tercela dan tidak pula seseorang disalahkan ketika menempuh
sebab-sebab bahagia, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang
bermanfaat. Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, menyampaikan hadits yang agung dari sang junjungan shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باِللهِ وَلاَ تَعْجَزْ. وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَ لكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah subhanahu wa ta’ala daripada
mukmin yang lemah. Pada semuanya ada kebaikan. Berambisilah untuk
beroleh apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala serta jangan kamu merasa lemah.
Jika menimpamu sesuatu, janganlah
kamu berkata, “Seandainya aku melakukan ini dan itu niscaya akan begini
dan begitu.” Akan tetapi katakanlah, “Qadarullah wa masya’a fa’ala (Ini
adalah ketetapan takdir Allah subhanahu wa ta’ala dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan),” karena kalimat ‘lau’ (seandainya) itu membuka perbuatan setan. (HR. Muslim)
Yang tercela hanyalah bila seseorang
berambisi terhadap sesuatu yang bermudarat dengan kebodohannya dan buruk
sangkanya, sementara dia yakin upayanya itu merupakan kebahagiaan.
Padahal sejatinya merupakan kesengsaraan walaupun ada nikmat sesaat yang
dirasa. Seperti seseorang yang mencari kebahagiaan dengan menghisap
obat-obat terlarang. Disangkanya apa yang dihisapnya adalah obat bahagia
padahal racun yang membunuh bahagianya.
Banyak manusia yang keadaannya seperti
itu. Mereka mencari kebahagiaan namun tidak mengetahui jalan yang harus
ditempuh dan tidak mengerti pintu mana yang harus diketuk. Jadilah
mereka berdiri dalam keadaan bimbang, ke sana kemari, atau berjalan
serampangan menuju kebahagiaan semu, hingga datanglah suatu hari yang
mereka meratap di dalamnya:
قَالُواْ رَبَّنَا غَلَبَتۡ عَلَيۡنَا شِقۡوَتُنَا وَكُنَّا قَوۡمٗا ضَآلِّينَ ١٠٦
Mereka berkata, “Wahai Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kesengsaraan kami dan adalah kami orang-orang yang sesat.” (al-Mukminun: 106)
Ada manusia yang menganggap kebahagiaan
itu terletak pada materi. Mereka pun berlomba-lomba mengumpulkannya
karena disangka sumber bahagia. Ada yang mencari bahagia dalam jabatan,
kedudukan, dan kekuasaan hingga mereka rakus untuk menggapainya. Segala
cara ditempuh tanpa peduli halal atau haram. Ada yang memandang
kebahagiaan itu dengan memuaskan syahwat perut dan kemaluan. Apa saja
yang dituntut oleh perut dan kemaluan diturutinya karena disangkanya
kebahagiaan ada di situ. Semua yang telah disebutkan tidak lain hanyalah
kesenangan dalam kehidupan dunia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
“Dijadikan indah pada pandangan
manusia kecintaan kepada syahwat yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan-hewan ternak,
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik.” (Ali Imran: 14)
Lalu apa sebenarnya bahagia itu?
Benarkah kebahagiaan hanya dimiliki orang berduit, berkedudukan, dan
terkenal serta bisa mendapatkan apa saja yang dimaui? Bagaimana dengan
orang-orang miskin, tidak punya apaapa, tidak kedudukan, tidak pula
jabatan, apakah mereka tidak bisa berbahagia?
Anda, wahai pendamba bahagia dalam rumah tangga, kebahagiaan apakah yang Anda cari dalam kehidupan rumah tangga?
Seperti yang telah disinggung di atas,
Anda jangan mematok kebahagiaan itu hanya dalam pandangan materi. Namun,
lihatlah bahagia itu dengan makna yang lain yang lebih mendalam dan
jauh ke depan, kebahagiaan yang sebenarnya! Jadi, walaupun rumah tangga
Anda sulit ekonominya misalnya, Anda dan pasangan bisa tetap berbahagia.
Anda belum dapat keturunan dalam kebersamaan Anda dengan pasangan sehingga Anda tidak merasa bahagia?
Oh… jangan demikian. Anda tetap bisa berbahagia bila Anda menyadari tentang keadilan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ketetapan takdir-Nya.
Anda tidak berbahagia karena tidak
dicintai atau tidak bisa mencintai pasangan Anda? Rumah tangga Anda
banyak masalah sehingga jauh dari kebahagiaan?
Semua ini telah diberikan solusinya oleh
Islam, tinggal Anda mau mencarinya atau tidak, mau mempelajarinya
ataukah tidak. Sungguh, dengan belajar Islam yang haq kemudian
diamalkan, hati menjadi lapang. Persoalan dapat dicarikan solusinya
hingga kebahagiaan pun lebih dekat.
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (ath-Thalaq: 2—3)
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤
“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (ath-Thalaq: 4)
Apabila Anda ingin mengetahui
tanda-tanda seseorang telah benar langkahnya dalam menempuh jalan
orang-orang yang berbahagia, renungkanlah ucapan al-Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya al-Fawaid (hlm. 400) berikut.
“Di antara tanda kebahagiaan,
keberuntungan, dan kesuksesan seorang hamba adalah semakin bertambah
ilmunya, bertambah pula sifat tawadhu (rendah hati kepada sesama), dan
kasih sayangnya. Semakin bertambah umurnya, berkuranglah ambisi
dunianya. Semakin bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanannya,
dan kegemarannya untuk memberi. Semakin bertambah kedudukan dan
kemuliaannya, bertambah pula kedekatannya dengan orang-orang, semakin
bersemangat memenuhi kebutuhan mereka dan rendah hati terhadap mereka.
Sementara itu, di antara tanda
kesengsaraan dan kecelakaan seorang hamba adalah semakin bertambah
ilmunya, bertambah pula sifat sombongnya. Semakin bertambah amalnya,
bertambah congkaknya, merendahkan manusia, dan berbaik sangka kepada
dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya, bertambah pula ambisi
dunianya. Semakin bertambah hartanya, bertambah pula kikirnya dan
keengganannya untuk memberi. Semakin bertambah kedudukan dan
kemuliaannya, bertambah pula kesombongannya.
Ini merupakan ujian dan cobaan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia timpakan atas para hamba, maka ada orang-orang yang berbahagia dengannya dan ada yang sengsara karenanya.”
Kesimpulan dari apa yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah
adalah orang yang berbahagia adalah orang yang mana kala ditambah
nikmat untuknya, maka dihadapinya nikmat tadi dengan amalan kebaikan.
Dalam kitab lain, al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan kenikmatan kepadanya, maka dia bersyukur. Jika dia diberikan
ujian, dia pun bersabar. Jika dia berbuat dosa, dia memohon ampun. Tiga
perkara ini (syukur, sabar, dan istighfar) merupakan alamat kebahagiaan
hamba dan tanda kesuksesannya di dunia dan di akhirat. Tidak bisa
seorang hamba terlepas darinya selama-lamanya. Senantiasa dia
berbolak-balik di antara tiga tingkatan ini.” (al-Wabil ash-Shayib, hlm. 11)
Kesimpulannya, orang yang benar-benar
bahagia adalah yang bersyukur ketika mendapat tambahan nikmat dan
bersabar saat hilang nikmat. Dia menggunakan nikmat tersebut dalam
perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai sebagai bentuk rasa syukur dan enggan menggunakan nikmat dalam urusan maksiat kepada Sang Pemberi nikmat.
Dia adalah orang yang suka kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala (inabah), bertobat dari seluruh dosa, enggan menceburkan diri dalam maksiat walaupun di dalamnya ada kenikmatan dan kelezatan sesaat.
Karena itu, Anda yang mendamba
kebahagiaan sejati dalam rumah tangga, jadikanlah kehidupan rumah tangga
Anda beredar di antara syukur dan sabar, inabah (selalu kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala) tobat dan istighfar, niscaya Anda akan dapati bahagia itu dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

Memakmurkan Masjid
KHUTBAH PERTAMA:
الْحَمْدَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Segala puji hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
Sidang jum’at yang semoga diberkahi oleh Allah,
Marilah kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, sungguh telah beruntung orang-orang yang bertakwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah,
Perlu kita semua ketahui bahwa di antara
bentuk ketakwaan seseorang ialah mengagungkan serta memuliakan
syiar-syiar Islam. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Kaum muslimin rahimakumullah,
Masjid merupakan salah satu syiar Islam yang wajib dimakmurkan oleh kaum muslimin. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan perbuatan memakmurkan masjid sebagai salah satu tanda dari tanda kesempurnaan iman seorang hamba. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٨
“Hanyalah yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak
takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah: 18)
‘Ibadallah, kaum mukminin rahimakumullah,
Tinggal sekarang bagaimana cara kita memakmurkan masjid. Secara umum, memakmurkan masjid terdiri dari dua bentuk.
Pertama,
memakmurkan bangunan masjid. Misalnya, ikut seseorang ikut
berpartisipasi dalam kegiatan membangun dan mendirikan masjid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَنَى بَيْتًا بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan mendirikan rumah untuknya di surga.” (HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)
Ma’asyiral muslimin rahimani warahimakumullah,
Akan tetapi, perlu kita ketahui bersama,
tidaklah termasuk memakmurkan masjid bermegah-megahan dan
berlomba-lomba menghiasi masjid. Hal itu justru termasuk yang dilarang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ١٤١
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-An’am: 141)
وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (al-Isra: 26—27)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
“Tidaklah terjadi hari kiamat hingga manusia berlomba-lomba memegahkan masjid-masjid.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang sahih)
Sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, berkata,
لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Sungguh, benar-benar kalian akan menghias-hiasi masjid sebagaimana halnya Yahudi dan Nasrani menghias-hiasinya.”
Termasuk memakmurkan bangunan masjid ialah menjaga kebersihannya. Ini juga salah satu bentuk memakmurkan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذَا الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid-masjid ini
tidaklah layak ada di dalamnya air seni dan kotoran. Masjid hanyalah
untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Bahkan, ketika mendapati bau yang tidak sedap dari sebagian sahabat yang memakan bawang mentah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَ ئَالِكَةَ تَتَأَذَّى بِمَا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
“Barang siapa memakan bawang putih
atau bawang merah, janganlah ia datang ke masjid kita. Sebab, para
malaikat terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika beliau mendapati air ludah atau dahak di bagian kiblat masjid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membersihkannya dengan menggosoknya dengan tongkat beliau.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai sahabat beliau yang sehari-hari membersihkan masjid. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
merasa kehilangan wanita yang biasa menyapu masjid. Setelah diberitakan
bahwa ternyata wanita tersebut telah meninggal dunia, beliau minta
ditunjukkan letak kuburannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menyalatinya di atas kuburan wanita tersebut.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi kemudahan bagi kita untuk memakmurkan masjid-masjid-Nya.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي
الْقُرآنِ الْكَرِيم،ِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ
الْآيَاتَ وَالذِّكْرِ الْحَكِيم .أَقُولُ قَوْلِي
هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمِ.
KHUTBAH KEDUA:
الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا
طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّ مَالُ عَلَى نَبِيِّنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Kaum muslimin rahimakumullah,
Adapun bentuk kedua dalam
hal memakmurkan masjid ialah memakmurkannya secara maknawi, yaitu
dengan memanfaatkan masjid tersebut untuk beribadah kepada Allah,
seperti shalat berjamaah, membaca al-Qur’an, berzikir, dan majelis ilmu.
Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٨
“Hanyalah yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak
takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah: 18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Inilah sesungguhnya tujuan utama didirikannya masjid yang besar sekali keutamaannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
أَحَبُّ الْبِ دَالِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِ دَالِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
“Tempat yang paling dicintai oleh
Allah adalah masjid-masjidnya, sedangkan yang paling dibenci oleh Allah
dalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَ ئَالِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di
salah satu rumah Allah (yaitu masjid) dalam rangka membaca al-Qur’an dan
mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan),
mendapatkan rahmat, dikelilingi oleh malaikat, dan disebut-sebut oleh
Allah (memuji mereka) di hadapan makhluk yang di sisi-Nya.” (HR. Abu Dawud no. 1455 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, mudahkanlah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.”
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Kalbu yang Selamat
Kalbu yang selamat yang terbebas dari azab Allah subhanahu wa ta’ala
adalah kalbu yang pasrah kepada Rabbnya, yang tunduk kepada
perintah-Nya dan tidak ada padanya rasa penentangan terhadap
perintah-Nya; tidak pula ada pengingkaran terhadap kabar yang datang
dari-Nya. Dialah kalbu yang selamat dari selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak ada yang ia inginkan selain Allah subhanahu wa ta’ala. Tidaklah dia berbuat kecuali apa yang Allah subhanahu wa ta’ala
perintahkan. Allahlah satu-satunya yang ia tuju. Perintah dan
syariat-Nya ia jadikan sebagai wasilah dan jalan hidupnya. Tidak ada
sedikit keraguan yang mejadi penghalang baginya untuk membenarkan berita
yang datang dari-Nya. Tidaklah keraguan datang kecuali hanya terlintas
sejenak saja. Kemudian ia tahu bahwa ia tidak bisa menetap di kalbu
tersebut. Demikian pula hawa nafsu, ia tidak mampu menghalangi kalbu
tersebut dari mengikuti keridhaan Allah.
Tatkala kalbu itu demikian keadaannya,
ia akan selamat dari kesyirikan, kebid’ahan, penyimpangan, dan
kebatilan. Seluruh pendapat yang menafsirkan makna qalbun salim tercakup dalam penjelasan di atas.
Pada hakikatnya, kalbu yang selamat adalah kalbu yang tunduk dan pasrah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan penuh rasa malu, takut, dan harap. Ia mencukupkan diri dengan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kecintaan kepada selain-Nya, dengan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari takut kepada selain-Nya, dan dengan rasa harap kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari berharap kepada selain-Nya.
Ia menerima segala perintah-Nya dan
perintah Rasul-Nya sebagai bentuk keimanan dan ketaatannya. Ia menerima
segala takdir dan ketetapan-Nya sehingga ia tidak berprasangka buruk,
tidak menentang atau marah terhadap segala ketetapan-Nya. Ia senantiasa
berserah diri kepada Allah dengan penuh ketaatan, kerendahan diri,
kehinaan, dan penghambaan.
Ia menyerahkan setiap keadaan,
perkataan, perbuatan, perasaan, dan daya-upayanya, baik lahir maupun
batin, kepada tuntunan Rasul-Nya dan menolak segala sesuatu yang datang
dari selainnya. Yang sesuai dengan tuntunan Rasulnya ia terima, dan apa
yang menyelisihinya ia tolak. Adapun sesuatu yang belum jelas baginya
apakah itu sejalan dengan tuntunan Rasulnya ataukah bertentangan, ia
menunda dan mengakhirkannya sampai hal itu menjadi jelas.
Ia senantiasa sejalan dengan wali-wali
Allah dan golongan-Nya yang beruntung, yang senantiasa membela agama-Nya
dan sunnah Nabi-Nya serta menegakkannya.
Ia pun memusuhi musuh-musuh Allah yang
selalu menyelisihi kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya, yang keluar dari
bimbingan keduanya, bahkan menyeru manusia untuk menyelisihi keduanya.
(Diambil dari kitab Miftah Daris Sa’adah, karya al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 54, cet. Darul Hadits, Kairo)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar

Al-Mujib
Al-Mujib adalah salah satu nama Allah al-Husna yang Mahaindah. Nama ini terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَٰلِحٗاۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٞ مُّجِيبٞ ٦١
Dan kepada Tsamud (Kami utus)
saudara mereka Saleh. Saleh berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada bagimu Rabb selain Dia. Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah
ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat
dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61)
Al-Mujib bermakna yang menjawab, yang mengabulkan, atau yang mengijabahi doa hamba yang berdoa kepada-Nya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dialahal-Mujib. Dia mengatakan, ‘Siapa yang berdoa,’ ‘Akulah yang menjawab setiap orang yang memanggil-Ku.’ Dialah yang mengabulkan doa orang yang terhimpit ketika memohon kepada-Nya, dalam keadaan tersembunyi atau terang terangan.”
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Dialah yang mengabulkan secara umum terhadap doa orang yang berdoa,
bagaimanapun keadaan mereka dan dalam kondisi apapun, sebagaimana
janji-Nya secara mutlak. Dialah pula yang mengabulkan secara khusus bagi
orang-orang yang menyambut seruan Allah subhanahu wa ta’ala
dan tunduk kepada syariat-Nya. Dia jugalah yang mengijabahi doa orang
yang terhimpit dan telah putus harapan mereka dari makhluk, lantas
menguatlah ketergantungan mereka kepada Allah dengan penuh harapan dan
rasa takut kepada-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras berkata, “Di antara nama Allah adalah al-Mujib. Kata ini adalah bentuk isim fail dari kata masdar ‘ijabah’ (bermakna mengabulkan atau menjawab). Pengabulan Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam.
- Pengabulan secara umum bagi tiap yang berdoa kepada-Nya dengan doa ibadah atau doa mas’alah.
Doa ibadah adalah suatu ucapan yang bertujuan memuji Allah subhanahu wa ta’ala
dengan menyebut nama-nama-Nya yang Mahaindah dan sifat-sifat-Nya yang
Mahatinggi tanpa diiringi oleh permintaan keperluan tertentu.
Adapun doa mas’alah adalah
seorang hamba berkata, ‘Ya Allah, berikan kepadaku sesuatu, atau
hindarkan dariku sesuatu.’ Hal ini dilakukan oleh manusia yang baik
maupun yang jahat.
Allah subhanahu wa ta’ala akan mengabulkan bagi siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala
kehendaki dari hamba yang berdoa kepada-Nya sesuai dengan hikmah-Nya.
Pengabulan doa tidak khusus bagi orang yang ikhlas dan bertakwa, karena
kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala mencakup orang yang baik dan orang yang jahat sekalipun, sedangkan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.
Oleh karena itu, pengabulan doa semacam
ini tidak menunjukkan baiknya keadaan orang yang berdoa dan terkabul
doanya selama tidak ada padanya tanda kejujuran dan kebenaran, seperti
doa para Nabi, doa mereka untuk kebaikan kaumnya, atau doa untuk
kecelakaan kaum yang membangkang terhadap mereka, lantas Allah
mengabulkan doanya. Ketika itu, pengabulan doa Allah subhanahu wa ta’ala terhadap mereka menunjukkan kejujuran mereka dalam hal berita yang sampaikan dan kemuliaan mereka di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
- Pengabulan doa secara khusus
Jenis pengabulan doa yang ini memiliki
sebab yang banyak. Di antaranya, seseorang telah berada pada keadaan
yang sangat sempit dan terjatuh pada kesulitan yang sangat dahsyat, lalu
dia berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah mengabulkan doanya dan menghilangkan kesulitannya sebagaimana firman-Nya,
وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِي ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُۖ فَلَمَّا نَجَّىٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَٰنُ كَفُورًا ٦٧
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di
lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala
Dia menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah
selalu tidak berterima kasih.” (al-Isra’: 67)
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٦٢
“Atau siapakah yang memperkenankan
(doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat
sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (an-Naml: 62)
Hal itu karena dia merasa sangat membutuhkan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala dan merasa sangat hancur kalbunya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala serta terlepas ketergantungannya dari makhluk.
Di antara sebab terkabulnya doa pula adalah panjangnya perjalanan safar, mencari perantara dengan perantara yang paling Allah subhanahu wa ta’ala cintai dengan menyebut asma Allah saat berdoa, doa orang sakit, terzalimi, dan yang berpuasa.
Demikian pula pada waktu dan keadaan
yang mulia, seperti pada akhir tiap shalat, waktu akhir malam, saat
azan, saat turun hujan, saat gentingnya peperangan, dan kesempatan lain
sebagaimana yang terdapat dalam hadits.” (Syarah Nuniyyah, 2/94—95 dengan sedikit diringkas)
Buah Mengimani Nama Allah Al-Mujib
Tentu saja, hamba yang beriman dengan nama Allah al-Mujib tidak akan merasa rugi, apalagi resah. Mengapa? Karena dia punya harapan besar dari Rabbnya yang Maha mengabulkan permintaan.
Apa saja yang dia minta dari kebaikan dunia dan akhirat akan Allah subhanahu wa ta’ala
kabulkan. Betul-betul kalbu ini merasa lega, tenang, dan senantiasa
optimis menghadapi kehidupan ini; apapun keadaannya. Saya yakin, setiap
kita telah benar-benar merasakan berbagai doa yang diijabahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan berbagai permintaan yang dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala pasti
mengabulkan doa kita selama tidak ada penghalang terkabulnya doa. Hanya
saja yang perlu kita pahami, terkadang terkabulnya doa itu dalam bentuk
langsung terkait dengan apa yang kita minta, atau dalam bentuk tabungan
bagi kita di akhirat, atau dalam bentuk diselamatkan dari kejelekan
yang senilai dengan doa yang diminta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ.
“Tidaklah seseorang yang berdoa
dengan sebuah doa kecuali Allah akan berikan apa yang dia minta, atau
Allah hindarkan dia dari keburukan yang senilai dengannya, selama dia
tidak meminta sesuatu yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهُ فِيهَا إِثْمٌ أَوْ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أنْ يُعجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَكْشِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا: إِذاً نُكْثِرُ؟ قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ
“Tidaklah seorang muslim berdoa
dengan sebuah doa yang tidak mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi
kecuali Allah akan kabulkan dengan salah satu dari tiga hal: Allah akan
segerakan pengabulan doanya, Allah akan tabung untuknya di akhirat, atau
Allah akan hindarkan dia dari kejelekan yang senilai dengannya.”
Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rasulullah, kalau begitu kita memperbanyak doa?!”
Beliau menjawab, “Allah akan lebih banyak.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٦٢
“Atau siapakah yang
memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
(manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (an-Naml: 62)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam
dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Ibnu Katsir rahimahullah
menceritakan bahwa Ibnu Asakir menyebutkan dalam kitab beliau tentang
biografi seseorang yang menceritakan kisahnya tentang pengabulan doanya.
“Aku menyewakan seekor baghal (hewan
hasil persilangan antara kuda dan keledai) untuk perjalanan dari
Damaskus ke negeri Zabadani. Suatu saat seseorang menaikinya bersamaku
sehingga kami melewati jalan yang tidak pernah dilalui.
Dia berkata, ‘Lewatlah jalan ini, karena jalan ini lebih dekat.’
Aku menjawab, ‘Aku tidak punya pengalaman melalui jalan itu.’
‘Itu lebih dekat,’ jawabnya.
Kami kemudian melaluinya. Sampailah kami
pada suatu tempat berlumpur dan lembah dalam yang terdapat banyak
mayat. Dia berkata, ‘Tahanlah baghal ini, biarkan aku turun.’
Dia turun dan menyingsingkan bajunya
lalu mencabut pisau dan pergi menuju diriku. Aku lari dari hadapannya,
namun dia mengejarku. Aku ingatkan dia terhadap Allah dan kukatakan,
‘Ambillah baghal itu dengan semua yang ada padanya.’
Dia menjawab, ‘Ya, itu untukku, tetapi aku juga ingin membunuhmu.’
Akupun mengingatkan dia agar takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan mengingatkan hukuman dari-Nya. Namun, dia tidak menerimanya.
Akhirnya, aku pasrah di hadapannya dan aku katakan, ‘Kalau boleh,
biarkan aku shalat dua rakaat terlebih dahulu.’
Dia berkata, ‘Shalatlah, dan cepat!’
Aku pun shalat dengan sangat gemetar
ketika hendak membaca al-Qur’an sehingga tidak ingat satu huruf pun. Aku
hanya berdiri bingung.
Dia berkata, ‘Ayo cepat selesaikan!’
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengalirkan pada lisanku bacaan ayat,
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan
(doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan….” (an-Naml: 62)
Tiba-tiba, aku melihat seorang
penunggang kuda datang dari ujung lembah, membawa sebuah tombak. Lantas
dia lemparkan tombak itu ke tubuh si perampok dan tidak meleset sedikit
pun dari jantungnya. Tumbanglah ia, tersungkur.
Segeralah aku memegangi penunggang kuda itu dan kukatakan, ‘Demi Allah, siapa engkau?’
Ia menjawab, ‘Aku adalah utusan Allah
yang mengabulkan permintaan hamba-Nya yang sedang terjepit apabila dia
berdoa. Dialah yang menghilangkan keburukan.’
Aku kemudian mengambil kembali baghal itu dan bawaannya. Akhirnya, aku kembali dengan selamat.”
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi doa

Aplikasi Mushaf Pada Ponsel Pintar
Apa hukumnya kita membaca al-Qur’an lewat handphone? Apakah sama pahalanya dengan membaca al-Qur’an dalam bentuk mushaf? Bolehkah kita membuka aplikasi al-Qur’an yg ada di HP kita dalam keadaan berhadats kecil/besar? Mohon penjelasannya.imam********@gmail.com
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
Para ulama telah berbeda pendapat
tentang pemasangan aplikasi mushaf al-Qur’an pada perangkat elektronik.
Sebagian ulama, di antaranya al-Lajnah ad-Daimah (Dewan Fatwa) Saudi
Arabia yang diketuai oleh asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh dengan salah
satu anggotanya ialah asy-Syaikh al-Fauzan, membolehkan hal tersebut.
Hanya saja untuk menyentuhnya, seseorang tidak perlu dalam keadaan suci
dari hadats. Sebab, aplikasi mushaf berbeda dengan mushaf kertas dalam
beberapa sisi.
Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkous hafizhahullah, salah seorang ulama Aljazair, menjelaskannya ketika menjawab pertanyaan berikut ini.
Smartphone (telefon pintar) telah
tersebar di masyarakat muslim dan mengandung beberapa aplikasi islami,
seperti mushaf elektronik secara lengkap. Apabila seseorang membuka
mushaf dari smartphonenya, dia layaknya membuka mushaf kertas. Apakah
orang yang membacanya mendapat pahala seperti yang membaca mushaf
kertas? Apakah boleh membawanya ke WC (toilet), dan apakah boleh bagi
orang yang berhadats menyentuhnya?
Berikut ini jawaban beliau.
Bisa jadi, definisi mushaf masa kini
ialah semua sarana yang mencakup al-Qur’anul Karim dengan urutan ayat
dan surat yang sesuai dengan tulisan al-Qur’an yang telah disepakati
oleh umat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Tampak dari definisi di atas bahwa
mushaf mencakup semua macam mushaf, sama saja baik itu mushaf kertas
model terdahulu yang terdiri dari kertas dan huruf yang mencakup
al-Qur’an di antara dua sampul yang menjaganya, maupun mushaf elektronik
yang tersimpan dalam kartu elektronik maupun kepingan CD. Demikian pula
ekstrusi yang digunakan dengan jarum braille pada kertas khusus bagi tuna netra.
Karena mushaf elektronik memiliki
beberapa sifat yang berbeda dengan mushaf kertas dalam hal susunan dan
hurufnya, tidak berlaku padanya hukum mushaf kertas kecuali setelah
perangkat elektronik dihidupkan dan menampilkan ayat al-Qur’an yang
tersimpan pada memori mushaf elektronik.
Apabila mushaf elektronik tampil dengan
modelnya yang dapat dibaca, orang yang membacanya mendapatkan pahala
seperti membaca mushaf kertas, sebagaimana yang disebutkan hadits Ibnu
Mas’ud yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَ مَالٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barang siapa membaca satu huruf
dari Kitabullah, dengan itu dia mendapatkan satu kebaikan. Kebaikan itu
dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif
lam mim itu satu huruf. Akan tetapi, alif itu satu huruf, huruf lam
satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. at-Tirmidzi no. 2910)
Demikian pula hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُحِبَّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَقْرَأْ فِي الْمُصْحَفِ
“Barang siapa suka untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya, hendaknya dia membaca dari mushaf.”
Selain itu, banyak hadits sahih yang menunjukkan keutamaan membaca al- Qur’an dan memperbanyaknya.
Perangkat tersebut memiliki hukum sama
dengan mushaf kertas dari sisi tidak boleh dibawa masuk ke dalam wc
(toilet) tanpa ada kebutuhan atau keperluan darurat. Hal itu dilarang
selama perangkat tersebut hidup dan menampilkan ayat al-Qur’an.
Termasuk hal yang dilarang pula ialah
menempelkan, meletakkan, atau mengotori mushaf dengan benda najis. Hal
itu karena kehormatan al-Qur’an yang ada padanya dengan aktifnya
perangkat tersebut dan tampilnya ayat dan surat al-Qur’an.
Hanya saja larangan di atas tidak
berlaku saat apllikasi tidak aktif dan saat ayat tidak tampak dengan
hilangnya tampilan huruf tersebut pada layar. Dalam kondisi tidak aktif
dan mushaf tidak tampak padanya, tidaklah diperlakukan seperti mushaf
kertas.
Dari sisi lain, orang yang berhadats
kecil maupun besar diperbolehkan menyentuh bagian tertentu ponsel atau
perangkat elektronik lain yang terdapat aplikasi mushaf, baik saat mati
atau hidup. Sebab, huruf dalam mushaf elektronik yang tampak pada layar
tidak lain adalah getaran elektronik yang diolah dan ditata serta tidak
bisa tampak dan memantul pada layar kecuali dengan program elektronik.
Atas dasar itu, menyentuh layar tidak dianggap menyentuh mushaf
elektronik secara hakiki. Tidak tergambar penyentuhan secara langsung
berdasarkan keterangan yang lalu.
Berbeda halnya dengan mushaf kertas,
menyentuh kertas dan hurufnya tergolong penyentuhan secara langsung dan
hakiki. Oleh karena itu, orang yang menyentuh mushaf elektronik tidak
diperintah untuk berwudhu terlebih kecuali dalam rangka hati-hati.
Ilmu yang sesungguhnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Akhir ucapan kami, alhamdulillahi Rabbil alamin. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan shalawat-Nya kepada Nabi- Nya, keluarganya, para sahabatnya
sampai hari kiamat; serta memberikan salam- Nya kepadanya. -selesai jawaban asy-Syaikh Muhammad Ali Firkous-
Sebagian ulama yang lain, di
antaranya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi, sebagaimana dinukilkan oleh
asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari, tidak membolehkannya. Inti alasannya,
demi menghormati al-Qur’an supaya tidak terhinakan karena perangkat
elektronik terkadang diletakkan di sembarang tempat.
Atas dasar itu, kami sarankan bagi yang
memasang aplikasi al-Qur’an elektronik agar berusaha selalu menjaga
kehormatan HP tersebut.
Wallahu a’lam.

Nabi Sulaiman Wafat
(bagian ke-3)
Telah dikisahkan tentang keistimewaan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, sebagai seorang hamba Allah subhanahu wa ta’ala, sekaligus Nabi dan Raja Bani Israil. Sebaik-baik hamba dan memiliki kedudukan mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِسُلَيۡمَٰنَ ٱلرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهۡرٞ وَرَوَاحُهَا شَهۡرٞۖ وَأَسَلۡنَا لَهُۥ عَيۡنَ ٱلۡقِطۡرِۖ وَمِنَ ٱلۡجِنِّ مَن يَعۡمَلُ بَيۡنَ يَدَيۡهِ بِإِذۡنِ رَبِّهِۦۖ وَمَن يَزِغۡ مِنۡهُمۡ عَنۡ أَمۡرِنَا نُذِقۡهُ مِنۡ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ ١٢
يَعۡمَلُونَ لَهُۥ مَا يَشَآءُ مِن مَّحَٰرِيبَ وَتَمَٰثِيلَ وَجِفَانٖ كَٱلۡجَوَابِ وَقُدُورٖ رَّاسِيَٰتٍۚ ٱعۡمَلُوٓاْ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكۡرٗاۚ وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ ١٣
فَلَمَّا قَضَيۡنَا عَلَيۡهِ ٱلۡمَوۡتَ مَا دَلَّهُمۡ عَلَىٰ مَوۡتِهِۦٓ إِلَّا دَآبَّةُ ٱلۡأَرۡضِ تَأۡكُلُ مِنسَأَتَهُۥۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ ٱلۡجِنُّ أَن لَّوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٱلۡغَيۡبَ مَا لَبِثُواْ فِي ٱلۡعَذَابِ ٱلۡمُهِينِ ١٤
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi
Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan
sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan
(pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebagian dari jin
ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin
Rabbnya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami,
Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.
Para jin itu membuat untuk Sulaiman
apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung
dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap
(berada di atas tungku). Bekerjalah, hai keluarga Dawud, untuk bersyukur
(kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima
kasih.
Maka tatkala Kami telah menetapkan
kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya
itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah
tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang
gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba: 12—14)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya sebagai berikut.
Setelah menerangkan karunia-Nya kepada Dawud ‘alaihissalam, Allah menerangkan pula karunia-Nya kepada Sulaiman putra Dawud ‘alaihissalam. Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala
menundukkan angin baginya agar bertiup sesuai dengan perintahnya, agar
membawanya dan apa saja yang menyertainya, melintasi jarak yang sangat
jauh dalam waktu yang sangat singkat, dalam satu hari menempuh jarak
yang seharusnya ditempuh selama satu bulan.
Allah subhanahu wa ta’ala
menundukkan pula untuk beliau cairan tembaga dan memudahkan berbagai
sarana untuk mengeluarkan apa yang dapat dihasilkan dari tembaga itu,
berupa bejana-bejana dan sebagainya.
Allah subhanahu wa ta’ala
menundukkan pula para jin dan setan serta Ifrit, yang melakukan
pekerjaan besar menurut keinginan beliau. Di antara jin dan setan itu
ada yang diperintah oleh beliau agar menyelam dan mengeluarkan berbagai
kekayaan alam yang ada di dasar laut, seperti mutiara dan permata
berharga lainnya. Ada pula yang melakukan pekerjaan yang lain dan tidak
ada satupun yang keluar dari perintah beliau. Siapa saja di antara
mereka yang berani melanggar, niscaya terkena azab yang bernyala-nyala
dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يَزِغۡ مِنۡهُمۡ عَنۡ أَمۡرِنَا نُذِقۡهُ مِنۡ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ
“Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.”
Apa saja yang dikehendaki oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam,
pasti mereka kerjakan. Mereka membuat bangunan yang kokoh dan megah,
patung-patung dalam berbagai bentuk. Mereka juga membuatkan
piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tidak
bergeser dari tempatnya, karena sangat besar ukurannya.
Akan tetapi, sebagai sebuah ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak akan berubah, bahwa segala sesuatu di alam ini adalah fana. Yang kekal hanya Allah Yang Mahamulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُّ مَنۡ عَلَيۡهَا فَانٖ ٢٦ وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ ٢٧
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (ar-Rahman: 26—27)
Dalam ayat lainnya, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَمَا جَعَلۡنَا لِبَشَرٖ مِّن قَبۡلِكَ ٱلۡخُلۡدَۖ أَفَإِيْن مِّتَّ فَهُمُ ٱلۡخَٰلِدُونَ ٣٤
“Kami tidak menjadikan hidup abadi
bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati,
apakah mereka akan kekal?” (al-Anbiya: 34)
Demikianlah kematian itu, apabila sudah tiba waktunya tidak mungkin dapat dipercepat ataupun ditunda, meskipun sesaat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ ٣٤
“Tiap-tiap umat mempunyai batas
waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (al-A’raf: 34)
Akhirnya, setiap orang pasti akan merasakannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Ali Imran: 185)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam pun wafat.
Dinukil oleh para ulama dari sebagian
riwayat Israiliyat bahwa di antara kebiasaan Nabi Sulaiman adalah senang
i’tikaf di Baitil Maqdis. Kadang beliau beribadah di dalamnya selama
setahun, kadang dua tahun, atau satu sampai dua bulan. Beliau menetap di
sana membawa makanan dan minumannya. Seperti biasa, beliau masuk ke
dalam masjid pada hari beliau wafat. Adapun sebabnya, setiap pagi selalu
tumbuh satu tanaman di mihrab beliau. Kemudian beliau menanyai tanaman
itu, “Tanaman apa kamu ini?”
“Aku tanaman anu,” jawab tumbuhan itu.
“Untuk apa kamu diciptakan?” Kalau dia
menjawab untuk ditanam (dipanen), beliau memerintahkan dicabut dan
ditanam di tempat lain. Kalau untuk obat, beliau menuliskan keterangan
untuk apa tanaman tersebut. Akhirnya tumbuh tanaman kharubah.
Beliau menanyai tanaman itu, “Untuk apa kamu tumbuh?”
“Untuk meruntuhkan masjidmu ini.”
Kata Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, “Tidak mungkin Allah subhanahu wa ta’ala meruntuhkannya sedangkan aku masih hidup. Engkaulah tanda kematianku dan runtuhnya Baitul Maqdis.”
Kemudian beliau mencabutnya dan
menanamnya di salah satu dinding, seraya berdoa, “Ya Allah, butakan mata
jin itu tentang kematianku (jangan sampai mereka tahu), sampai manusia
menyadari bahwa jin-jin itu sama sekali tidak mengetahui perkara gaib.”
Dahulu, para setan dan jin-jin kafir itu
selalu menyebut-nyebut kepada manusia bahwa mereka mengetahui hal-hal
yang gaib dan mengerti rahasia alam ini. Mereka sesumbar bahwa mereka
tahu apa yang akan terjadi esok hari. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala ingin menampakkan kebohongan ucapan mereka kepada para hamba-Nya.
Pada hari yang telah ditetapkan, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
memasuki mihrabnya. Di depan dan belakang beliau dalam mihrab itu ada
semacam ventilasi, sehingga apa yang terjadi dalam mihrab itu jelas
dapat dilihat dari luar. Nabi Sulaiman mulai shalat sambil berdiri
dengan bertelekan di atas tongkat beliau. Masih sambil berdiri, Malaikat
Maut datang mencabut ruh suci beliau, dan beliau pun wafat dalam
keadaan masih berdiri.
Di luar mihrab, seperti biasanya, jin-jin itu melaksanakan pekerjaan berat yang diperintahkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Sambil bekerja, mereka mengintip ke arah mihrab, ternyata Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
masih berdiri dalam shalatnya. Sama sekali mereka tidak menyadari bahwa
Nabi Sulaiman sudah sejak tadi meninggal. Mereka tidak merasa aneh,
karena memang demikian kebiasaan Nabi Sulaiman jika sudah larut dalam
shalatnya.
Itu adalah pekerjaan yang menyusahkan
mereka. Seandainya mereka mengetahui yang gaib, pasti mereka mengetahui
kematian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang mereka
nanti-nantikan, agar terbebas dari keadaan mereka saat itu. Setelah itu,
setiap kali melewati beliau yang sedang bertelekan di atas tongkatnya,
mereka mengira beliau masih hidup, sehingga mereka merasa takut. Mereka
pun tetap melaksanakan tugas mereka seperti biasa. Hal itu berlangsung
selama setahun penuh.
Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan rayap memakan tongkat beliau ‘alaihissalam. Akhirnya, tongkat itu rapuh dan jasad Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tersungkur. Demi mengetahui hal ini, para setan itu melarikan diri. Barulah mereka menyadari ternyata Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
telah lama wafat. Para jin itu sangat berterima kasih kepada
rayap-rayap tersebut, karena telah memberitahukan mereka kematian Nabi
Sulaiman ‘alaihissalam.
Akhirnya jelaslah bagi manusia bahwa jin-jin itu membohongi mereka, dan sebagaimana (firman Allah subhanahu wa ta’ala),
لَّوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٱلۡغَيۡبَ مَا لَبِثُواْ فِي ٱلۡعَذَابِ ٱلۡمُهِينِ ١٤
“Sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.”
Maksudnya, tidak mungkin mereka merasakan kepayahan dan ditundukkan untuk Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Faedah
- Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, sebagaimana nabi lainnya, adalah manusia biasa yang pasti merasakan kematian.
- Yang menundukkan para jin agar bekerja menurut perintah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan mereka.
Dinukil dari Ibnu ‘Abbas c, Allah subhanahu wa ta’ala menugaskan malaikat untuk mencambuk mereka dengan pecut api, jika mereka menentang perintah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
- Para jin yang sampai saat ini masih saja ada manusia yang meyakini mereka mengetahui hal yang gaib, sebetulnya tidak mengetahui yang gaib. Mereka juga tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudarat untuk diri mereka atau orang lain.
- Siapa yang mengaku-aku mengetahui perkara gaib, dia kafir, bahkan termasuk salah satu dari lima pimpinan thaghut. Mengetahui perkara gaib adalah salah satu kekhususan rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit dan di bumi melainkan Allah subhanahu wa ta’ala.
- Tunduknya para jin mematuhi perintah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, menunjukkan bahwa para jin itu adalah makhluk yang lemah sehingga tidak layak seorang manusia—yang lebih mulia daripada jin—meminta perlindungan dan bantuan kepada mereka.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Runtuhnya Dinasti Sasanid
Runtuhnya Dinasti Sasanid
Ketika menerima tugas ketentaraan itu,
Sa’d menyadari bahwa dengan pasukannya yang serbakekurangan baik bekal
dan perlengkapan, dia harus menghadapi pasukan Persia yang berjumlah
besar, kuat, dan terlatih, serta bersenjata lengkap. Akan tetapi, Sa’d
sangat yakin, janji Allah subhanahu wa ta’ala yang diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti terlaksana.
Ya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menyerahkan perbendarahan Persia dan Romawi kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kerajaan Bizantium Romawi telah dipatahkan oleh kaum muslimin di
Yarmuk. Kini, Istana Putih Persia, pasti di ambang kehancurannya.
Pasukan al-Mutsanna bin Haritsah telah memulai penaklukan di sekitar tanah Persia.
Ketika hendak melepas Sa’d, ‘Umar
memberi pesan, “Hai Sa’d, putra Ibu Sa’d. Janganlah kamu tertipu karena
dipanggil khali (paman dari pihak ibu)[1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi Dia menghapus kejelekan dengan kebaikan. Tidak ada antara Allah subhanahu wa ta’ala dan siapa pun hubungan, kecuali dengan menaati-Nya.
Manusia di dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala
ini, sama. Allah Rabb (Pencipta, Pengatur, Pemberi rezeki, dan
Pemelihara) mereka, dan mereka adalah hamba-hamba-Nya. Mereka
berbeda-beda dalam hal kesejahteraan dan mendapatkan apa yang ada di
sisi-Nya dengan ketaatan. Karena itu, perhatikanlah urusan yang kalian
lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakannya, maka tekunilah dan bersabarlah.”
Sebelum berpisah, ‘Umar berkata lagi,
“Kamu akan menghadapi urusan berat, maka bersabarlah menerima semuanya.
Pusatkan rasa takutmu hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ketahuilah rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala
itu berpangkal pada dua hal, yaitu menaati-Nya dan menjauhi maksiat
terhadap-Nya. Ketaatan orang yang menaati-Nya adalah dengan membenci
dunia dan mencintai akhirat, sedangkan kedurhakaan orang yang
mendurhakai-Nya adalah karena mencintai dunia dan membenci akhirat.”
Setelah itu, bergeraklah rombongan pasukan yang berjumlah empat ribu orang itu menuju Irak (Persia).
Berturut-turut, untuk memperkuat pasukan kaum muslimin yang dipimpin Sa’d, Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
mengirim Ba’ashmah bin ‘Abdullah dengan sepasukan tentara, menugaskan
pula al-Mutsanna bin Haritsah yang sudah berada di tanah Persia sejak
masa Khalid Saifullah, agar bergabung dengan Sa’d. Bahkan, al-‘Ala’ bin
al-Hadhrami yang sedang bertugas di Bahrain juga diperintahkan bergerak
menuju Babil.
Al-‘Ala’ berangkat setelah menunjuk Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menggantikannya di Bahrain. Tetapi, dalam perjalanan, al-‘Ala meninggal dunia.
Al-Mutsanna bin Haritsah juga sudah bertolak. Namun, takdir Allah subhanahu wa ta’ala berlaku lain. Luka yang dideritanya dalam peristiwa jembatan (al-Jusr) yang heroik, pecah kembali hingga membawa kematiannya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya.
Mengatur Barisan Muslimin
Muharram tahun empat belas hijriah.
Pasukan Persia sudah mempersiapkan diri untuk menghancurkan orang-orang
Arab. Tujuh belas ekor gajah diikutsertakan dalam pasukan Persia
diiringi dua puluh prajurit khusus. Di atas gajah-gajah itu diberi tutup
dari besi. Gading-gadingnya dibungkus sutra berhias dan setiap gajah
dikawal oleh pasukan berkuda.
Setelah keberangkatan Sa’d, beberapa
kekuatan prajurit tiba di Madinah memenuhi panggilan jihad dari Amirul
Mukminin. Tanpa menunggu waktu, ‘Umar mengirim mereka menyusul Sa’d bin
Abi Waqqash. Dengan demikian, kekuatan pasukan Sa’d semakin bertambah.
Berturut-turut, para pahlawan Islam di
Tanah Arab mulai bergabung dalam pasukan yang dipimpin Sa’d. Para
pahlawan itu sendiri tidak hanya jago dalam memainkan pedang dan tombak,
tetapi juga ahli dalam berpidato dan bersyair. Mereka mempunyai
kedudukan di kabilah dan negeri mereka masing-masing. Di antara mereka
ada Asy’ats bin Qais, Thulaihah al-Asadi, dan ‘Amr bin Ma’dikariba,
serta yang lainnya.
Mendekati Zamrud, kekuatan pasukan
muslimin sudah bertambah menjadi 20.000 orang. Setelah pasukan
al-Mutsanna dan beberapa kabilah berdekatan bergabung, demikian pula
yang akan datang dari Syam, jumlah pasukan menjadi 36.000 orang.
Sambil menunggu pasukan yang datang dari
Syam, Sa’d berhenti di Syaraf. Menunggu kedatangan sahabatnya
al-Mutsanna. Akan tetapi, yang muncul adalah saudara al-Mutsanna,
Mu’anna bin Haritsah bersama Salma, istri al-Mutsanna.
Setelah bertemu dengan Sa’d, Mu’anna
menyampaikan pesan-pesan al-Mutsanna, di antaranya agar tidak menyerang
Persia di dalam wilayah mereka sendiri, tetapi seranglah mereka di
perbatasan yang dekat tanah Arab, tetapi tidak jauh dari perkotaan.
Sebab, jika kaum muslimin menang, semua yang dibawa bangsa Persia akan
menjadi milik kaum muslimin dan bila kebalikannya, orang-orang Majusi
itu lebih tahu menyelamatkan diri dan lebih berani di negeri mereka
sendiri.
Sa’d memahami pendapat dan pesan
al-Mutsanna yang disampaikan Mu’anna. Hal ini membuat Sa’d semakin
sedih, maka dia pun mendoakan al-Mutsanna. Sebetulnya, jarak pertemuan
antara Sa’d dan al-Mutsanna sudah dekat, tetapi kematian lebih dahulu
menjemput al-Mutsanna. Pahlawan besar itu pun berangkat memenuhi
janjinya.
Al-Mutsanna memang bukan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi, keimanan dan keberaniannya serta keahliannya dalam
peperangan telah mengantarkannya menjadi panglima kaum muslimin sesudah
Khalid, untuk memimpin pasukan menaklukkan Persia. Selain itu,
sebagaimana telah diceritakan, al-Mutsanna sangat mengenal keadaan di
wilayah tersebut.
Beberapa waktu kemudian, Sa’d melamar
Salma dan menikahinya. Inilah salah satu kebiasaan orang Arab sebagai
penghargaan dan mengenang jasa serta kemuliaan pemimpin yang sudah
meninggal dunia, sekaligus penghormatan terhadap jandanya, agar dengan
demikian wanita yang mulia itu tetap berstatus mulia sebagaimana bersama
suaminya dahulu.
Qadisiyah, di zaman jahiliah adalah
gerbang menuju tanah Persia. Daerah ini pintu masuk berbagai bahan
keperluan bangsa ini. Pelabuhan-pelabuhannya luas, tanahnya subur dan
diperkuat dengan benteng-benteng yang kokoh serta jembatan penyeberangan
yang melengkung dengan sungai-sungai yang jarang ada.
Sa’d juga melaporkan keadaan di setiap
tempat yang disinggahi pasukannya. Dia menceritakan keadaan Qadisiyah
yang hijau membentang panjang ke Hirah. Dia melaporkan bagaimana
penduduk Sawad yang pernah berdamai dengan pasukan muslimin sekarang
bergabung dengan Persia.
Amirul Mukminin tetap memantau dan
meminta Sa’d agar tetap di tempatnya, dan baru betul-betul menyerang
setelah berada di Madain. Sebab, menurut beliau di situlah kehancuran
mereka, Insya Allah. Keyakinan Amirul Mukminin bukan karena meremehkan bangsa Persia, melainkan janji yang sudah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu pun, bukan karena Allah subhanahu wa ta’ala
menzalimi bangsa Persia, melainkan merekalah yang menzalimi diri
sendiri dengan kesyirikan dan kekejaman serta keingkaran yang mereka
perbuat. Wallahu a’lam.
Setelah menerima perintah dari Amirul
Mukminin melalui surat-menyurat yang terus berlangsung sampai peperangan
berlangsung, Sa’d pun bergerak menuju Qadisiyah sesudah mengatur
pasukannya sedemikian rupa.
Sa’d mulai menunjuk beberapa komandan
pasukan dan memecahnya menjadi beberapa regu. Kemudian, Sa’d menetapkan
posisi masing-masing regu dengan komandannya.
Di barisan depan, beliau tempatkan para sahabat senior yang pernah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berperang. Tujuh puluh orang di antara mereka adalah veteran Perang
Badr. Sekitar 300-an sisanya adalah orang-orang yang pernah ikut dalam
Sumpah Setia di Hudaibiyah (Bai’atur Ridhwan).
Sa’d membawa mereka ke ‘Uzaib dan
menetap beberapa lama sebelum melanjutkan perjalanan menuju Qadisiyah.
‘Uzaib adalah sebuah gudang senjata bangsa Persia yang dijaga ketat. Di
setiap benteng ada orang yang mengawasi. Pasukan muslimin yang bertindak
sebagai perintis sudah tiba di waktu subuh. Mereka tidak segera maju
sampai datang satu regu pasukan yang akan menyerang benteng itu.
Setelah mendekat ke arah benteng, mereka
melihat ada orang yang memacu kudanya menuju Qadisiyah. Ternyata
orang-orang yang mereka lihat adalah bagian taktik Persia untuk
mengintai kekuatan pasukan muslimin yang datang ke negeri mereka. Begitu
kaum muslimin memasuki benteng, orang-orang itu sudah tidak ada di
sana. Kaum muslimin hanya menemukan sejumlah tombak dan panah.
Sa’d tetap di ‘Uzaib walaupun pasukan
Persia sudah tidak ada di sana. Kesempatan itu digunakan Sa’d menanamkan
rasa takut di hati penduduk di sekitar ‘Uzaib dengan serangkaian
serangan kecil. Ketika mereka tiba di ibu kota Bani Lakhm, mereka
menyergap iring-iringan pengantin putri yang akan diserahkan kepada
seorang pejabat di Sinnain.
Barang-barang berharga berikut pengiring
rombongan itu ditawan dan diserahkan kepada Sa’d. Kemudian, Sa’d
membagi-bagikannya kepada pasukan muslimin.
Demi mengetahui kejadian tersebut,
penduduk Irak semakin ketakutan. Mereka tidak lagi mampu membangkang
terhadap pasukan muslimin.
Sa’d semakin kuat di ‘Uzaib dan mulai membuat markas di Qudais.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1] Sa’d dari Bani Zuhrah, kabilah Ibunda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Doa Orang Tua untuk Anak
Allah subhanahu wa ta’ala
dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna menjadikan dunia yang fana
ini sebagai ujian dan cobaan bagi seluruh hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبۡتُمۡ أَنَّمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ عَبَثٗا وَأَنَّكُمۡ إِلَيۡنَا لَا تُرۡجَعُونَ ١١٥ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡكَرِيمِ ١١٦
“Apakah kamu mengira bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Mahatinggi Allah, Raja
Yang Sebenarnya; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb
(Yang mempunyai) Arsy yang mulia.” (al-Mu’minun: 115—116)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Apakah kalian, wahai manusia, mengira bahwa Kami menciptakan
kalian di dunia yang fana ini dengan sia-sia (tanpa tujuan yang mulia)?
Kalian makan, minum, Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
bersenang-senang, dan bernikmat-nikmat dengan kelezatan dunia lantas
Kami biarkan begitu saja tanpa Kami perintah dan Kami larang? Apakah
Kami tidak membalas dan menghukum (perbuatan kalian) sehingga kalian
menganggap tidak akan kembali kepada Kami (untuk mempertanggungjawabkan
amalan kalian)? Jangan sampai anggapan hal seperti ini terlintas pada
hati-hati kalian! Sebab, Mahatinggi dan Mahasuci Allah dari anggapan
seperti ini; karena hal ini tidak sesuai dengan hikmah-Nya.”
Di antara ujian dan cobaan yang dihadapkan kepada para hamba-Nya adalah orang tua diuji dengan anak-anak mereka. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan hal ini dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤ إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (at-Taghabun: 14—15)
Tatkala orang tua menghadapi berbagai
problem tarbiyah (mendidik dan mengasuh) anak-anak, apa yang harus
dilakukan? Siapakah yang berkuasa untuk mengubah berbagai penyimpangan
dan kenakalan yang terjadi pada mereka? Berikut ini sebagian prinsip
yang harus kita pahami. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah taufik agar kita berjalan di atasnya.
Pemberi Petunjuk Hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala
Dalam upaya memperbaiki dan membenahi
tarbiyah orang tua terhadap anak, hal yang paling mendasar yang harus
diyakini oleh para orang tua adalah bahwa pemberi petunjuk (hidayah
taufik) itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Dialah satu-satunya Dzat yang berkuasa
untuk menjadikan saleh atau tidaknya kita dan anak-anak kita, bahkan
muslim atau kafirnya kita semua. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ فَمِنكُمۡ كَافِرٞ وَمِنكُم مُّؤۡمِنٞۚ
“Dialah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang beriman.” (at-Taghabun: 2)
مَن يَهۡدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلۡمُهۡتَدِيۖ وَمَن يُضۡلِلۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ١٧٨
“Barang siapa diberi petunjuk oleh
Allah, dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan oleh
Allah, merekalah orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 178)
Dalam pembukaan khutbah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia berkata,
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
“Barang siapa diberi petunjuk oleh
Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya; dan barang siapa disesatkan
oleh Allah, tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.”
Masih banyak ayat dan hadits sahih yang semakna dengan ayat dan hadits di atas.
Para nabi ‘alaihim as salam adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang paling mulia. Akan tetapi, mereka tidak mampu memberikan hidayah taufik kepada orang yang mereka cintai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ٥٦
“Sesungguhnya kamu (wahai
Rasulullah) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya,
dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (al-Qashash: 56)
Nabiyullah Nuh ‘alaihissallam pun tidak mampu memberi petunjuk kepada anak dan istrinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَهِيَ تَجۡرِي بِهِمۡ فِي مَوۡجٖ كَٱلۡجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبۡنَهُۥ وَكَانَ فِي مَعۡزِلٖ يَٰبُنَيَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٤٢
قَالَ سََٔاوِيٓ إِلَىٰ جَبَلٖ يَعۡصِمُنِي مِنَ ٱلۡمَآءِۚ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلۡيَوۡمَ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا ٱلۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡمُغۡرَقِينَ ٤٣
Dan bahtera itu berlayar membawa
mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya,
sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku,
naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir.”
Anaknya menjawab, “Aku akan mencari
perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh
berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain
Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang
antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orangorang yang
ditenggelamkan. (Hud: 42—43)
Tatkala Allah telah menakdirkan kekafiran anak laki-laki Nabi Nuh ‘alaihissallam, berbagai upaya beliau agar anaknya beriman tidak bermanfaat. Hal ini sebagaimana ucapan beliau ‘alaihissallam, yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
وَلَا يَنفَعُكُمۡ نُصۡحِيٓ إِنۡ أَرَدتُّ أَنۡ أَنصَحَ لَكُمۡ إِن كَانَ ٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يُغۡوِيَكُمۡۚ هُوَ رَبُّكُمۡ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ ٣٤
“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu
nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah
hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Rabbmu dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (Hud: 34)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya, kehendak (takdir) Allah subhanahu wa ta’ala yang menang. Apabila Dia subhanahu wa ta’ala
berkehendak menyesatkan kalian karena kalian menolak kebenaran—walaupun
aku bersemangat mencurahkan seluruh kemampuanku (demi kebaikanmu),
menasihatimu dengan nasihat yang paling bagus, (dan beliau ‘alaihissallam sungguh telah menunaikan hal ini)—hal itu tidak bermanfaat bagi kalian sedikit pun. Sebab, Dia subhanahu wa ta’ala
adalah Rabb kalian yang melakukan (menakdirkan) apa saja yang Dia
kehendaki pada kalian. Dia pula yang menghukumi segala sesuatu yang
terjadi pada kalian dengan apa yang Dia kehendaki. Hanya saja, kalian
akan kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala lalu Dia akan membalas kalian sesuai dengan amalan kalian.”
Demikian pula keturunan para nabi dan rasul ‘alaihim as salam,
tidak ada jaminan menjadi orang yang saleh. Jika demikian, terlebih
lagi golongan hamba Allah yang berada di bawah mereka. Di antara dalil
yang menunjukkan hal ini adalah kisah Nabiyullah Nuh ‘alaihissallam dengan anaknya di atas. Demikian pula firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang keturunan Nabiyullah Ibrahim dan Ishaq ‘alaihimassalam,
وَبَٰرَكۡنَا عَلَيۡهِ وَعَلَىٰٓ إِسۡحَٰقَۚ وَمِن ذُرِّيَّتِهِمَا مُحۡسِنٞ وَظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ مُبِينٞ ١١٣
“Kami limpahkan keberkatan atasnya
dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada
(pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (ash-Shaffat: 113)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Kami turunkan barakah kepada mereka berdua. Maksudnya
adalah tumbuh dan bertambah ilmu, amal, dan keturunan mereka berdua.
Allah subhanahu wa ta’ala menumbuhkembangkan keturunan mereka menjadi tiga umat yang besar. Bangsa Arab adalah keturunan Nabi Ismail ‘alaihissallam, sedangkan bani Israil dan bangsa Romawi adalah keturunan Nabi Ishaq ‘alaihissallam.
Di antara keturunan mereka, ada yang saleh dan ada pula yang tidak
saleh; ada yang adil dan ada yang zalim yang sangat jelas kezalimannya
dengan kekafiran dan kemusyrikannya.
Boleh jadi, firman Allah subhanahu wa ta’ala ini bertujuan menghilangkan kesalahpahaman terhadap firman-Nya, ‘Dan Kami turunkan barakah kepada Ibrahim dan Ismail.’ Sebab, konsekuensi barakah yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada keturunan mereka ialah keturunan mereka semua bagus. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa keturunan mereka ada yang bagus dan ada yang zalim. Wallahu a’lam.”
Dengan penjelasan di atas, kita bisa mengambil faedah bahwa penentu kebaikan bagi kita dan anak-anak kita adalah Allah subhanahu wa ta’ala
semata. Tidak boleh bagi kita untuk bersandar kepada keturunan,
kemampuan, kesungguhan, fasilitas pendidikan, kurikulum sekolah, dan
sebagainya. Ketahuilah bahwa itu semua hanyalah upaya dan usaha,
sedangkan penentunya adalah Allah subhanahu wa ta’ala.
Doa Orang Tua Demi Kebaikan Anak-Anaknya
Kunci kebaikan itu berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah taufik bagi kita dan
anak-anak kita selain dengan terus meminta dan berdoa kepada pemiliknya,
yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para hamba-Nya untuk senantiasa memohon hidayah taufik-Nya dalam setiap rakaat kita, demi kebaikan kita pula.
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (al-Fatihah: 6—7)
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian
adalah orang yang sesat, kecuali orang yang Aku beri hidayah. Karena
itu, mintalah hidayah kepada-Ku, Aku pasti memberi hidayah kepada
kalian.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu no. 2577)
Dalam masalah tarbiyah, orang tua
memiliki peran penentu yang sangat besar dan menjadi salah satu sebab
keselamatan, kebaikan, dan kebahagiaan bagi anak-anaknya, dengan izin
Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Ada tiga macam doa yang tidak
diragukan bahwa doa itu mustajabah (akan terkabulkan): doa orang yang
dizalimi, doa orang safar, dan doa orang tua atas anaknya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 372)
Terlebih lagi Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para hamba-Nya untuk senantiasa berdoa dan meminta segala hajat mereka, baik urusan dunia maupun agama. Allah subhanahu wa ta’ala berjanji untuk mengabulkannya. Allah subhanahu wa ta’ala memberi perintah,
ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Oleh karena itu, jangan biarkan kesempatan mulia ini berlalu begitu saja!
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan perbedaan antara harapan dan angan-angan dalam ad-Da’u wa ad-Dawa’ (hlm.
60), “Termasuk hal yang harus diketahui, siapa saja yang mengharapkan
sesuatu, harapan/citacita itu berkonsekuensi tiga hal:
- Mencintai hal yang diharapkan itu,
- Mengkhawatirkan hal itu akan lepas/hilang,
- Berusaha mendapatkan hal itu dengan berbagai cara (yang dihalalkan).
Adapun harapan yang tidak diiringi oleh
hal-hal yang telah disebutkan di atas, berarti itu hanya angan-angan
(bukan harapan). Harapan adalah suatu urusan, sedangkan angan-angan
adalah urusan yang lain.
Setiap orang yang mengharapkan sesuatu,
akan khawatir apabila yang dia harapkan hilang. Misalnya, orang yang
berjalan di jalanan, apabila dia takut/khawatir, dia akan mempercepat
jalannya karena khawatir harapan/cita-citanya lepas.”
Berpijak dari perkataan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
di atas, tatkala orang tua mengharapkan anak-anaknya menjadi saleh dan
salehah, maka harapannya menuntut tiga hal yang disebutkan di atas.
Ketiga hal di atas menjadi bukti akan harapannya. Jika tidak diiringi
dengan usaha, upaya, dan doa secara terus-menerus dengan segenap
kemampuannya, ketahuilah bahwa itu hanya angan-angan, bukan harapan.
Di antara upaya dan usaha yang terus
bisa dilakukan oleh orang tua adalah doa. Adapun doa orang tua untuk
kebaikan anaknya terbagi menjadi dua.
- Doa sebelum anak dilahirkan
Contohnya ialah doa Nabiyullah Zakaria ‘alaihissallam. Dengan sebab doa tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan Yahya ‘alaihissallam kepada beliau ‘alaihissallam.
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥۖ قَالَ رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ ٣٨ فَنَادَتۡهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٞ يُصَلِّي فِي ٱلۡمِحۡرَابِ أَنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحۡيَىٰ مُصَدِّقَۢا بِكَلِمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَسَيِّدٗا وَحَصُورٗا وَنَبِيّٗا مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٣٩
Di sanalah Zakaria mendoa kepada
Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi-Mu seorang
anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” Kemudian
Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, ketika ia tengah berdiri melakukan
salat di mihrab. (Katanya), “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu
dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang
datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan
seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.” (Ali Imran: 38—39)
Contoh lain ialah doa yang diajarkan oleh Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat seorang suami hendak menggauli istrinya,
Jika salah seorang di antara kalian ingin menggauli istrinya, berdoalah,
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkan setan dari yang Engkau karuniakan kepada kami.”
Apabila dari hubungan mereka berdua
ditakdirkan tercipta seorang anak, niscaya setan tidak akan mampu
membahayakannya selamanya. (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari hafizhahullah menjelaskan,
“Ini adalah suatu hal yang jelas. Pengikut sunnah dalam urusan ini
termasuk hal yang agung, karena merupakan realisasi terhadap peribadatan
dan memurnikan ittiba’/mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada keraguan bahwa seorang hamba tentu benar-benar bersemangat
untuk menjauh dari setan, dan dirinya dia serta anak-anaknya dijauhkan
dari berbagai tipu daya setan. Dia memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari setan dan tipu dayanya. Sampai-sampai dia memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menjauhkan anak yang dikaruniakan kepadanya dari tipu daya setan.
Perhatikanlah bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia ini. Sudah selayaknya seorang hamba mengikuti sunnah sampai
pun dalam hal seperti ini. Mengikuti sunnah adalah kebaikan.” (Huququl Aulad, hlm. 19)
- Doa kebaikan bagi anak setelah dilahirkan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ
“Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu.” (al-Ahqaf: 15)
Doa kebaikan bagi anak kita adalah sebaik-baik sedekah yang bisa kita berikan kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik adalah sedekah.” (HR. Muslim no. 1009)
Demikian pula, itu adalah salah satu bukti kecintaan kita kepada mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala. Kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لَِأخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhari dari Anas radhiallahu ‘anhu no. 13)
Peringatan: Orang tua
tidak boleh mendoakan kejelekan bagi anak-anaknya dalam kondisi apa pun,
baik senang maupun susah, taat maupun maksiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنْ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ
“Jangan kalian mendoakan kejelekan
atas diri kalian. Jangan kalian mendoakan kejelekan atas anak-anak
kalian. Jangan kalian mendoakan kejelekan atas harta kalian. Jangan
sampai kalian menepati suatu waktu yang pada waktu itu Allah subhanahu wa ta’ala diminta sesuatu lantas Dia kabulkan bagi kalian.” (HR. Muslim no. 3014)
Dikisahkan, ada seseorang yang datang kepada Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah. Dia mengeluhkan kelakuan sebagian anak-anaknya kepada beliau. Beliau rahimahullah balik bertanya, “Apakah kamu pernah mendoakan kejelekan atasnya?”
Dia menjawab, “Ya.”
Beliau rahimahullah berkata, “Engkau telah merusaknya (dengan doamu).”
Adab Berdoa dan Sebab Terkabulnya Doa
Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan empat adab berdoa dan sebab terkabulnya doa.
- Bepergian jauh (safar)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Tatkala menempuh safar, hal itu akan lebih mendekatkan
terkabulnya doa. Sebab, keadaan yang seperti itu akan menjadikan jiwa
dan hati seseorang hancur karena jauh dari kampung halamannya. Dia
menanggung berbagai kesusahan dalam safarnya. Remuknya hati merupakan
sebab yang paling besar akan terkabulnya doa.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/269)
- Penampilan dan pakaian yang lusuh, kusut, serta berdebu
Hal ini diterangkan oleh hadits,
رُبَّ أَشْعَثَ أَغَبْرَ مَدْفُوعٍ بِالَأبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأبَرَّهُ
“Boleh jadi, orang yang kusut rambutnya, berdebu (pakaiannya), ditolak di pintu-pintu, seandainya dia bersumpah atas nama Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala akan mengabulkannya.” (HR. Muslim)
- Menengadahkan kedua tangan ke langit
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Salman radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Mahamalu dan Mahamulia. Dia subhanahu wa ta’ala malu
apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya dan meminta
kepada-Nya, lalu dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong
lagi kecewa (tidak dikabulkan).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
- Mengulang-ulangi doa dengan menyebut Rabbnya
Hal ini menunjukkan seorang hamba sangat berharap terkabulkan doa-doanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَكَانَ إِذَا دَعَا دَعَا ثَلَاثًا، وَإِذَا سَأَلَ سَأَلَ ثَلَاثًا
“Apabila berdoa, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Apabila meminta, beliau n mengulangi permintaannya tiga kali.” (HR. Muslim)
Peringatan: Sungguh,
makanan, minuman, dan pakaian yang haram bisa menjadi penghalang
terkabulnya doa, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sa’d radhiallahu ‘anhu, “Perbaguslah makananmu (dengan makanan yang halal), niscaya doamu terkabulkan.”
Oleh karena itu, hendaknya para orang
tua tidak merasa bosan dan putus asa untuk mengharapkan kebaikan dan
perbaikan bagi anak-anaknya. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mengabulkan doa-doa kita demi kebaikan kita dan mereka. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Anakku, Kokohkan Fondasi Hidupmu
Anakku…
Hidup di dunia hanya satu kali. Yang
telah berlalu tidak mungkin akan terulang kembali. Yang telah luput pun
sulit untuk bisa diraih lagi. Ingat bahwa ujian hidup selalu ada, kian
hari kian bertambah. Waspadalah kalian, karena di belakang ujian itu ada
kelulusan dan kegagalan. Bercita-citalah engkau menjadi orang yang
lulus dan berhasil.
Anakku… Sungguh, terlalu banyak anak
yang sebaya denganmu telah hancur masa depannya, rusak moral dan
akhlaknya, terjatuh ke dalam jurang kehancuran dan kehinaan. Masa
depanmu adalah masa yang sangat berharga, terlebih masa depan di
akhiratmu. Masa depanmu di akhirat tidak akan didapatkan selain dengan
kelurusan di dunia ini.
Anakku… Ingatlah, kelulusan itu adalah
sebuah perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan yang berujung kalah atau
menang, dan pengorbanan yang berakhir dengan untung atau merugi. Tidak
sedikit orang yang kalah dan menyerah dalam perjuangannya; tidak sedikit
pula yang rugi besar dalam pengorbanannya. Dengarkan pesan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam kitab suci-Nya,
قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤
Katakanlah, “Maukah kami beri
tahukan kepada kalian tentang orang-orang yang merugi amalnya? Yaitu
orang-orang yang tersesat amalnya di dunia dan mereka menyangka telah
melakukan yang terbaik.” (al-Kahfi: 103—104)
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣
“Dan kami hadirkan apa yang mereka telah kerjakan dari amal-amal dan kami menjadikannya bagaikan debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)
Korbankanlah segala yang engkau miliki
untuk menyelamatkan diri dan agamamu dan. Engkau tidak akan bisa bangkit
berjuang dan mau berkorban apabila tidak memiliki mesin penggerak.
Mesin penggerakmu tidak akan berarti besar apabila tidak ditopang dengan
penyangga yang kokoh, kuat, dan handal.
Ada empat hal yang harus engkau
perhatikan sebagai dasar melangkah yang akan menjadi pelitamu dalam
kegelapan dan menjadi senjatamu ketika berjuang dan berkorban.
- Engkau harus berilmu tentang Rabbmu, tentang Nabimu, dan agamamu dengan dalil-dalilnya.
- Engkau harus berani dan kuat untuk mengamalkan ilmu yang telah engkau ketahui.
- Engkau harus berani menyuarakan kebenaran yang telah engkau ilmui dan amalkan.
- Engkau harus berhias dengan kesabaran baik ketika mendalami ilmu atau saat beramal dan menyuarakan kebenaran.
Empat pilar inilah yang akan menjadi
pelita hidupmu dan senjatamu saat bertarung. Pada akhirnya engkau
termasuk orang yang berhasil dan lulus dengan, izin Allah subhanahu wa ta’ala. Empat pilar ini telah dirangkum oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam kitab suci-Nya dalam satu surat, yaitu surat al-‘Ashr.
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Zadul Ma’ad (4/38),
menyebutkan, “Berjuang ada empat tingkatan: (1) berjuang melawan diri
sendiri, (2) berjuang melawan setan, (3) berjuang melawan orang kafir,
dan (4) berjuang melawan kaum munafik.” Adapun berjuang melawan diri
sendiri ada empat tingkatan pula.
- Berjuang agar dirinya mau belajar petunjuk dan agama yang benar.
Tidak ada kemenangan dan kebahagiaan
dalam kehidupan dunia dan akhirat selain dengannya. Jika ini luput
darinya, dia akan celaka di dua negeri tersebut.
- Berjuang agar dirinya tunduk beramal setelah mengetahui ilmu.
Sebab, sebatas berilmu tanpa amal, jika tidak mendatangkan mudarat, minimalnya akan menjadi tidak berguna.
3 . Berjuang agar dirinya mendakwahkan ilmu tersebut dan mengajari orang yang tidak mengetahuinya.
Jika dia tidak melakukannya, niscaya dia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
- Berjuang agar dirinya bersabar menanggung beban ketika berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar dari gangguan manusia serta menanggung semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Apabila telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, dia tergolong rabbaniyyin. Telah ijma’ (sepakat) ulama salaf umat ini bahwa seorang alim tidak dikatakan sebagai rabbani sampai
dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barang
siapa mengilmui kebenaran, mengamalkan, dan mengajarkannya, dia dipuji
dalam kehidupan penduduk langit.
Anakku…
Engkau hidup di dunia ini akan
berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan manis, yang kamu sukai dan
kamu benci. Jadilah engkau orang yang memiliki hati dan dada yang lapang
untuk menerimanya. Ketentuan yang engkau akan hadapi itu adalah pasti
dan tidak akan berubah dan tersalah. Sebab, semua itu telah ada dalam
suratan takdirmu sejak 50 ribu tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi.
Anakku…
Di sinilah engkau membutuhkan fondasi
hidup yang kokoh dan kuat sehingga tidak bimbang dan goyah saat
berhadapan dengan kenyataan pahit yang dibenci. Fondasi hidup itu adalah
akidah yang kokoh dan kuat.
Bagaimanapun badai ujian mengempas,
duri-duri hidup menusuk, kerikil-kerikil tajam merintangi; apabila
memiliki fondasi hidup yang kuat, engkau bagaikan karang di laut, tidak
akan goyah dengan ombak yang besar. Engkau bagaikan gunung yang tinggi
menjulang yang tidak akan oleng oleh badai topan. Engkau bergembira saat
orang-orang dirundung kesedihan. Engkau tenang dan tenteram saat
kebanyakan orang gundah gulana. Engkau selalu tersenyum saat orang
banyak dirundung kesedihan dan meneteskan air mata. Engkau pun tegar dan
tabah ketika kebanyakan orang dihantui ketakutan.
Anakku…
Pentingnya membangun hidup di atas fondasi akidah ini tecermin dalam beberapa nuansa sejarah yang besar.
Pengutusan Para Nabi dan Rasul
Saat dunia ini berada dalam krisis kerusakan dan kehancuran, Allah subhanahu wa ta’ala
mengutus para nabi dan rasul untuk menjawab segala kerusakan tersebut
dan melakukan perombakan dan perbaikan. Tugas besar disebutkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an,
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus
kepada setiap umat seorang rasul (yang bertugas) menyerukan mereka agar
beribadah kepada Allah dan menjauhi segala sesembahan selain Allah.” (an-Nahl: 36)
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa
agama para rasul adalah satu, tugas yang mereka emban pun sama. Tugas
mereka yang besar tersebut adalah mengajak umat untuk beribadah hanya
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi segala bentuk penyembahan kepada selain-Nya.
Jika ada yang lebih penting dari persoalan tauhid dan akidah, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala
akan menjadikannya mandat pertama dan utama kepada para rasul yang
diutus. Saat kita tidak menemukan hal itu, berarti masalah tauhid dan
akidah menjadi persoalan yang inti dan fundamental.
Kejahatan besar dalam hidup ini adalah saat sebagian kaum muslimin menganggap persoalan akidah dan tauhid sebagai qusyur (kulit agama); meremehkan dan mengentengkan permasalahannya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya menjadikannya perkara yang sangat besar dalam agama.
Sungguh, betapa jahat ucapan ini dan betapa jelek sikap tersebut. Ucapan yang akan menyebabkan seseorang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Lantunan Doa Nabi Ibrahim
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنٗا وَٱجۡنُبۡنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ ٣٥
“Dan ingatlah ketika Ibrahim
berkata, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini adalah negeri yang aman,
dan jauhkanlah diriku serta anak keturunanku dari menyembah
patung-patung’.” (Ibrahim: 35)
Nabi Ibrahim ‘alaihissallam adalah bapak orang-orang yang bertauhid. Semua kehidupan beliau digunakan untuk berdakwah kepada tauhidullah.
Beliau harus berhadapan dengan bapak yang kufur dan ingkar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau juga menghadapi penguasa yang menobatkan dirinya menjadi tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Amanat yang besar dan tugas yang berisiko tinggi beliau hadapi dengan
penuh keberanian dan ketegaran, ketabahan, dan kesabaran. Karena itu,
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan beliau sebagai qudwah hasanah dalam kehidupan manusia.
قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ
Sesungguhnya telah ada suri teladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya Kami berlepas
diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, Kami ingkari
(kekafiran) kalian dan telah nyata antara Kami dan kalian permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.”
(al-Mumtahanah: 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibrahim adalah imam sebagaimana dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Baqarah (Sesungguhnya Aku menjadikanmu pemimpin atas manusia). Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan nubuwwah, menurunkan kitab-kitab, dan risalah pada anak
keturunan beliau. Mereka semua dari keluarga beliau, yaitu keluarga yang
telah diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (Amradhul Qulub, hlm. 61)
Kendati demikian. beliau tetap mendoakan anak keturunannya agar terpelihara dan terlindungi dari perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.
Wasiat Luqman Al-Hakim kepada Anaknya
وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣
“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata
kepada anaknya dan dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, jangan kamu
menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah itu adalah kezaliman
yang besar’.” (Luqman: 13)
Warisan Ya’qub kepada Putra-Putranya
أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٣
“Apakah kalian menyaksikan saat
kematian mendatangi Ya’qub, saat dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa
yang kalian sembah sepeninggalku?’
Mereka menjawab, ‘Kami akan
menyembah Ilahmu dan Ilah bapak-bapakmu, yaitu Ibrahim, Isma’il, dan
Ishaq, yaitu Ilah yang satu, dan kami kepada-Nya berserah diri.” (al-Baqarah: 133)
As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Saat orang-orang Yahudi mengaku berada di atas agama Nabi Ibrahim dan Ya’qub, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengingkari mereka, ‘Apakah kalian menghadiri saat tanda-tanda kematian datang kepada Nabi Ya’qub ‘alaihissallam, ketika itu beliau menguji anak-anaknya agar menyejukkan matanya saat masih hidup dalam melaksanakan wasiat-wasiatnya.’
Mereka memberikan jawaban yang menyejukkan mata beliau yaitu, ‘Menyembah kepada Ilahmu dan Ilah bapakmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, yaitu Ilah yang satu, kami tidak menyekutukan- Nya dan tidak meninggalkan-Nya.’
Mereka menghimpun antara tauhid dan amal.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 49)
Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ يَوْمًا فَقَالَ: يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظْ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ؛ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ؛ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ؛ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ؛ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.
Suatu hari saat saya berada di
belakang Rasulullah, beliau berkata, “Wahai anak, aku akan mengajarkan
kepadamu beberapa kalimat. (Yaitu) jagalah Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu. Jagalah Allah, subhanahu wa ta’ala niscaya kamu akan menjumpai-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jika kamu meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah, jika umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu,
niscaya mereka tidak akan sanggup kecuali apa yang telah dituliskan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala untukmu. Jika mereka bersatu untuk memudaratkanmu, mereka tidak akan mampu kecuali apa yang telah ditulis oleh Allah subhanahu wa ta’ala atasmu. Telah terangkat pena dan telah kering lembaran.” (HR. at-Tirmidzi no. 2440)
Pendidikan yang agung nan mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma dan sahabat yang lain serta umatnya. Ini adalah penanaman fondasi hidup yang agung dan mulia pada diri Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang akan menjadi cikal bakal imam dalam agama setelah itu.
Ada beberapa pelajaran berharga buat
kita melalui pendidikan nabawi yang langsung dilakoni oleh imam para
nabi dan rasul, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pelajaran pertama
احْفَظْ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu, dan jagalah Allah subhanahu wa ta’ala niscaya kamu akan menemukannya di depanmu.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Jagalah perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengerjakannya dan tinggalkan segala larangan-larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjagamu dalam semua keadaan dan menjagamu di dunia dan di akhirat.”
Ibnu Daqiq al-‘Id rahimahullah berkata, “Jadilah kamu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.”
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Jagalah hukum-hukum dan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaga agamamu, keluargamu, hartamu, dan dirimu. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaga orang yang berbuat baik dengan sebab kebaikannya. Dari sini diketahui bahwa siapa saja yang tidak menjaga Allah subhanahu wa ta’ala, dia tidak berhak mendapatkan pemeliharaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Di sini juga terdapat dorongan untuk menjaga hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarah Arbain Nawawiyah, Majmu’ah Ulama, hlm. 224)
Tentu saja ini adalah nasihat besar bagi
kita sebagai orang tua dan bagi para pendidik anak kaum muslimin, agar
kita melindungi putra, putri, serta anak didik kita untuk tidak
melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala sekecil apa
pun. Jangan meremehkan dosa dan pelanggaran tersebut. Jangan suka
memberi atau membuat-buat alasan untuk mereka. Misalnya, anak masih
kecil dan belum dikenai dosa, anak tidak boleh dipaksa dan terlalu
ditekan, atau alasan-alasan yang lain.
Saudaraku, dosa adalah masalah besar,
kita tidak boleh berkompromi dengannya. Kita wajib melakukan
pengingkaran terhadap dosa siapa pun yang mengerjakannya dan bagaimana
pun bentuk dosa tersebut, besar atau kecil.
Pelajaran kedua
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala; dan apabila kamu minta tolong, minta tolonglah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa manusia
selalu memiliki berbagai kebutuhan dalam hidupnya di dunia. Di sinilah
letak pendidikan akidah, yaitu menggantungkan tawakal kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dalam urusan kecil dan yang besar, sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala,
وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dialah yang akan memberikan kecukupan kepadanya.” (ath-Thalaq: 3)
Apabila seseorang cenderung kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala
ketika membutuhkan sesuatu walaupun kecenderungan itu hanya dalam hati
dan angan-angannya, seukuran itu pula dia berpaling dari Rabbnya kepada
makhluk yang tidak mampu memberi mudharat dan manfaat.
Apabila engkau menginginkan bantuan, janganlah kamu memintanya kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebab, di Tangan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi. Dialah yang
menolongmu apabila Dia menghendaki. Apabila engkau mengikhlaskan diri
dalam meminta pertolongan kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya,
niscaya Dia akan menolongmu. Apabila engkau meminta pertolongan kepada
makhluk dan dia mampu, yakinilah bahwa itu semua sebagai sebab, dan
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang telah menundukkannya untukmu. (Syarah Arbain Nawawiyah, Majmu’ah Ulama, hlm. 225)
Pelajaran ketiga
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ؛ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah jika umat ini bersatu
atau sepakat untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak
akan sanggup memberikan manfaat kecuali apa yang telah dituliskan oleh
Allah untukmu. Apabila mereka bersepakat untuk mencelakakanmu, niscaya
mereka tidak sanggup melakukannya kecuali apa yang telah ditentukan oleh
Allah atasmu.”
Dari sini kita ketahui bahwa manfaat yang kita rasakan dari uluran tangan makhluk sesungguhnya bersumber dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, Dialah yang telah menentukan hal itu untukmu. Selain itu, kita dianjurkan menyandarkan semua urusan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tahu bahwa manusia tidak akan bisa memberikan satu kebaikan kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula, apabila engkau
mendapatkan suatu bahaya dari seseorang, sadarilah bahwa itu adalah
sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atasmu. Oleh karena itu, hendaknya engkau ridha dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dan keputusan-Nya.
Tidak mengapa pula engkau menolak sesuatu yang membahayakanmu, karena Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan,
“Imbalan kejelakan itu adalah kejelekan yang serupa.” (Syarah Arbain Nawawiyyah, Majmu’ah Ulama, hlm. 228)
Pelajaran keempat
رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Telah terangkat pena dan dan telah kering lembaran-lembaran.”
Segala ketentuan dalam hidup ini sudah
terangkum dalam catatan takdir dan telah selesai ditulis. Lembaran
catatan sudah mengering dan tidak akan ada lagi perubahan dan kesalahan
setelahnya. Semuanya berjalan di atas kepastian dan apa yang telah
dicatat.
Beruntunglah orang-orang yang beriman
dengan takdir sebagai rukun iman yang keenam. Merugilah orang-orang yang
menentangnya dan tidak memercayainya.
Wallahul Muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman

Tanya Jawab Ringkas Edisi 104
Berikut ini kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Tanya Jawab Ringkas
Bolehkah Akikah Sekaligus Kurban?
Apakah boleh jika seekor kambing yang diniatkan untuk akikah anak perempuan sekaligus diniatkan menjadi hewan kurban?
Berkurban dengan Sapi Betina
Apakah boleh berkurban dengan sapi betina? Sebab, dana kami tidak cukup untuk membeli sapi jantan.
Uang Pembelian Kurban dari Istri
Jika suami tidak mampu untuk berkurban,sedangkan istrinya mampu dan ingin berkurban, apakah kurban tersebut atas nama istri? Jika atas nama istri, apakah suami terkena kewajiban tidak mencukur dan memotong kuku ataukah istri yang terkena kewajiban tersebut dengan alasan uang pembelian hewan kurban dari istri)?
Mahar Terpakai untuk Beli Kambing Akikah
Jika mahar nikah digunakan untuk membeli kambing akikah anak, apakah sang suami wajib mengganti mahar tersebut?
Lima Orang Berkurban Seekor Sapi
Apakah boleh seekor sapi digunakan oleh lima orang untuk berkurban?
Kurban bagi Ibu yang Sudah Meninggal
Ibu saya sudah meninggal. Apa boleh jika membelikan kambing untuk berkurban atas nama beliau?
Kupon Sembako dari Bank Konvensional
Apakah boleh mendapatkan sembako dari kupon yang diberikan oleh bank konvensional?
Undian Produk
Kita biasa menggunakan produk tertentu dalam keseharian. Suatu ketika, produsen mengadakan program undian dengan cara pembeli mengirimkan bungkus produk. Bagaimana hukumnya baik tentang pelaksanaan undian dan hadiahnya?
Kaos Kaki/Tangan Menyerupai Warna Kulit
Bolehkah wanita memakai kaos kaki atau kaos tangan yang menyerupai warna kulit?
Larangan Memotong Kuku dan Rambut bagi yang Akan Berkurban
Dalam rubrik Tanya Jawab Ringkas vol. IX no. 102/1435H/2014 disebutkan bahwa jika telah niat berkurban, seseorang tidak boleh memotong kuku atau rambut. Bagaimana halnya dengan orang yang menabung dengan niat akan berkurban jika uangnya sudah terkumpul dan cukup untuk membeli hewan kurban; apakah orang tersebut juga terkena larangan memotong kuku dan rambut?
Meremehkan Ulama
Saya mau tanya, kalau seseorang meremehkan ulama, apakah termasuk penyimpangan manhaj dan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah (salafi)?
Darah Haid Tersendat karena KB
Seorang wanita melakukan KB suntik tiga bulan sekali. Dia sudah disuntik selama sepuluh bulan dan tidak pernah haid. Didapati hari ini keluar darah merah segar tanpa bau dan tanpa rasa sakit. Darah yang keluar tersendat-sendat sejak pagi sampai sore. Bagaimana hukum puasa wanita tersebut?
Transfer Dahulu, Barang Baru Dikirm
Apakah diperbolehkan secara syariat, transfer uang terlebih dahulu, kemudian barang baru dikirim?
Berikut ini adalah beberapa jawaban dari al-Ustadz Qomar Suaidi.
Menikah dengan Sayyid/Syarifah
Catatan Amalan Diserahkan pada Hari Jumat
Apa benar ketika hari Jumat buku catatan amalan kita diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Apabila amalan kita jelek, orang tua kita yang sudah wafat akan mendapat dosa dan sebaliknya?
Menghadiri Akikah pada Selapanan
Bolehkah kita menghadiri undangan akikah pada hari selapanannya?
Silaturahmi Saat Idul Fitri
Apakah bukan termasuk bid’ah pada hari raya Idul Fitri dengan kita berkunjung/silaturahmi ke tempat karib kerabat yang sudah menjadi tradisi masyarakat?
Doa Minta Khusnul Khatimah
Apakah ada doa khusus agar kita diberi khusnul khatimah dan dilindungi dari su’ul khatimah?
Usaha Pemancingan Ikan
Seseorang memiliki usaha pemancingan ikan. Ikan di dalam kolam dijual dengan cara pembeli membayar sejumlah uang kepada pemilik dan memancing ikan di dalam kolam. Jika ikan yang didapat banyak, pemancing untung; begitu pula sebaliknya. Apakah hal ini termasuk judi?
Bidan Memberikan Pelayanan KB
Apa hukum memberikan pelayanan kontrasepsi (KB) pada pasien yang ingin tidak memiliki anak, atau hanya mengatur jarak kehamilan lebih dari dua tahun?
Doa Dimudahkan Mendapat Jodoh
Adakah doa khusus agar dimudahkan atau didekatkan dengan jodoh?
41
Kirim SMS/WA Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com
Tanya Jawab Ringkas
Bolehkah Akikah Sekaligus Kurban?
Apakah boleh jika seekor kambing yang diniatkan untuk akikah anak perempuan sekaligus diniatkan menjadi hewan kurban?
- Jawaban:
Berkurban dengan Sapi Betina
Apakah boleh berkurban dengan sapi betina? Sebab, dana kami tidak cukup untuk membeli sapi jantan.
- Jawaban:
Uang Pembelian Kurban dari Istri
Jika suami tidak mampu untuk berkurban,sedangkan istrinya mampu dan ingin berkurban, apakah kurban tersebut atas nama istri? Jika atas nama istri, apakah suami terkena kewajiban tidak mencukur dan memotong kuku ataukah istri yang terkena kewajiban tersebut dengan alasan uang pembelian hewan kurban dari istri)?
- Jawaban:
Mahar Terpakai untuk Beli Kambing Akikah
Jika mahar nikah digunakan untuk membeli kambing akikah anak, apakah sang suami wajib mengganti mahar tersebut?
- Jawaban:
Lima Orang Berkurban Seekor Sapi
Apakah boleh seekor sapi digunakan oleh lima orang untuk berkurban?
- Jawaban:
Kurban bagi Ibu yang Sudah Meninggal
Ibu saya sudah meninggal. Apa boleh jika membelikan kambing untuk berkurban atas nama beliau?
- Jawaban:
- Jika dia pernah bernazar untuk kurban, ahli waris harus menunaikannya.
- Jika dia berwasiat, dilaksanakan pula selama harga hewan kurban tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan.
- Dia diikutkan dengan orang yang berkurban yang masih hidup. Misalkan ada orang yang berkurban dengan seekor kambing dengan niat untuk dirinya dan seluruh keluarganya, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal.
Kupon Sembako dari Bank Konvensional
Apakah boleh mendapatkan sembako dari kupon yang diberikan oleh bank konvensional?
- Jawaban:
Undian Produk
Kita biasa menggunakan produk tertentu dalam keseharian. Suatu ketika, produsen mengadakan program undian dengan cara pembeli mengirimkan bungkus produk. Bagaimana hukumnya baik tentang pelaksanaan undian dan hadiahnya?
- Jawaban:
- Harga produk dinaikkan dari harga biasanya, sebab termasuk perjudian. Ini yang umum terjadi.
- Harga tidak naik, tetapi kita membeli di luar batas kebutuhan biasanya. Itu berarti kita membeli karena hadiah, bukan karena kebutuhan.
Kaos Kaki/Tangan Menyerupai Warna Kulit
Bolehkah wanita memakai kaos kaki atau kaos tangan yang menyerupai warna kulit?
- Jawaban:
Larangan Memotong Kuku dan Rambut bagi yang Akan Berkurban
Dalam rubrik Tanya Jawab Ringkas vol. IX no. 102/1435H/2014 disebutkan bahwa jika telah niat berkurban, seseorang tidak boleh memotong kuku atau rambut. Bagaimana halnya dengan orang yang menabung dengan niat akan berkurban jika uangnya sudah terkumpul dan cukup untuk membeli hewan kurban; apakah orang tersebut juga terkena larangan memotong kuku dan rambut?
- Jawaban:
Meremehkan Ulama
Saya mau tanya, kalau seseorang meremehkan ulama, apakah termasuk penyimpangan manhaj dan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah (salafi)?
- Jawaban:
Darah Haid Tersendat karena KB
Seorang wanita melakukan KB suntik tiga bulan sekali. Dia sudah disuntik selama sepuluh bulan dan tidak pernah haid. Didapati hari ini keluar darah merah segar tanpa bau dan tanpa rasa sakit. Darah yang keluar tersendat-sendat sejak pagi sampai sore. Bagaimana hukum puasa wanita tersebut?
- Jawaban:
- Lihat sifat darahnya. Jika sifatnya seperti darah haid, dihukumi haid. Jika tidak, dianggap darah biasa dan suci. Dari sifat yang disebutkan, itu bukan darah haid.
- Kebiasaan (jadwal) haid. Jika dia tahu kebiasaan haidnya selama ini dan darah tersebut keluar pada waktu normal, itu dihukumi sebagai haid. Jika dia tidak mengetahui kebiasaannya atau tahu tetapi darah tersebut keluar bukan pada waktu kebiasaan, tidak dihukumi haid.
Transfer Dahulu, Barang Baru Dikirm
Apakah diperbolehkan secara syariat, transfer uang terlebih dahulu, kemudian barang baru dikirim?
- Jawaban:
Berikut ini adalah beberapa jawaban dari al-Ustadz Qomar Suaidi.
Menikah dengan Sayyid/Syarifah
- Apakah benar sayyid dan syarifah itu keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
- Apakah boleh orang lain menikahi syarifah?
- Kalau tidak boleh, jika sudah menikah dan memiliki anak, bagaimana yang bisa dilakukan?
- Jawaban:
- Orang yang mengaku sayyid dan syarifah, maka dilihat nasabnya.
- Diperbolehkan menikahi syarifah.
Catatan Amalan Diserahkan pada Hari Jumat
Apa benar ketika hari Jumat buku catatan amalan kita diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Apabila amalan kita jelek, orang tua kita yang sudah wafat akan mendapat dosa dan sebaliknya?
- Jawaban:
Menghadiri Akikah pada Selapanan
Bolehkah kita menghadiri undangan akikah pada hari selapanannya?
- Jawaban:
Silaturahmi Saat Idul Fitri
Apakah bukan termasuk bid’ah pada hari raya Idul Fitri dengan kita berkunjung/silaturahmi ke tempat karib kerabat yang sudah menjadi tradisi masyarakat?
- Jawaban:
Doa Minta Khusnul Khatimah
Apakah ada doa khusus agar kita diberi khusnul khatimah dan dilindungi dari su’ul khatimah?
- Jawaban:
Usaha Pemancingan Ikan
Seseorang memiliki usaha pemancingan ikan. Ikan di dalam kolam dijual dengan cara pembeli membayar sejumlah uang kepada pemilik dan memancing ikan di dalam kolam. Jika ikan yang didapat banyak, pemancing untung; begitu pula sebaliknya. Apakah hal ini termasuk judi?
- Jawaban:
Bidan Memberikan Pelayanan KB
Apa hukum memberikan pelayanan kontrasepsi (KB) pada pasien yang ingin tidak memiliki anak, atau hanya mengatur jarak kehamilan lebih dari dua tahun?
- Jawaban:
Doa Dimudahkan Mendapat Jodoh
Adakah doa khusus agar dimudahkan atau didekatkan dengan jodoh?
- Jawaban:
41
Kirim SMS/WA Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Pemuda, Dalam Bidikan Musuh Islam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَدْلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah subhanahu wa ta’ala dengan
naungan Arsy-Nya pada hari tidak ada naungan di hari tersebut kecuali
naungan-Nya: (1) Pemimpin yang adil, (2) Pemuda yang senantiasa tumbuh
dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, (3)
Orang yang senantiasa hatinya tertambat dengan masjid ketika ia keluar
darinya hingga kembali lagi kepadanya, (4) Dua orang yang saling
mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala, keduanya berkumpul karena Allah subhanahu wa ta’ala,
dan berpisah karena-Nya, (5) Orang yang mengeluarkan sedekah kemudian
merahasiakannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
diinfakkan oleh tangan kanannya, (6) Seorang laki-laki yang dirayu
berbuat keji oleh wanita bangsawan lagi rupawan, lalu menjawab,
‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, (7) dan Seseorang yang ingat
(berzikir) kepada Allah subhanahu wa ta’ala di tempat yang sunyi kemudian kedua matanya meneteskan air mata.”

Ashabul Kahfi, Para Pemuda Mukmin
نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّهُمۡ فِتۡيَةٌ ءَامَنُواْ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدٗى ١٣
وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَن نَّدۡعُوَاْ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهٗاۖ لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذٗا شَطَطًا ١٤
هَٰٓؤُلَآءِ قَوۡمُنَا ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ ءَالِهَةٗۖ لَّوۡلَا يَأۡتُونَ عَلَيۡهِم بِسُلۡطَٰنِۢ بَيِّنٖۖ فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗا ١٥
Kami ceritakan kisah mereka kepadamu
(Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah
pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada
mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka
berdiri lalu mereka berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi;
kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum
kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk
disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang
kepercayaan mereka?) Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (al-Kahfi: 13—15)
Tafsir Ayat
نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ
“Kami mengisahkan kepadamu berita mereka dengan benar.”
Ayat ini merupakan awal penjelasan rinci tentang kisah Ashabul Kahfi yang telah disebutkan sebelumnya, yang Allah ‘azza wa jalla mengisahkan kepada nabinya dengan kebenaran apa yang mereka alami, yang tidak ada keraguan dalam kisah tersebut.
Pada ayat sebelumnya, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِذۡ أَوَى ٱلۡفِتۡيَةُ إِلَى ٱلۡكَهۡفِ فَقَالُواْ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةٗ وَهَيِّئۡ لَنَا مِنۡ أَمۡرِنَا رَشَدٗا ١٠ فَضَرَبۡنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمۡ فِي ٱلۡكَهۡفِ سِنِينَ عَدَدٗا ١١ ثُمَّ بَعَثۡنَٰهُمۡ لِنَعۡلَمَ أَيُّ ٱلۡحِزۡبَيۡنِ أَحۡصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓاْ أَمَدٗا ١٢
(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu
mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Wahai Rabb,
kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi
kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini). Maka Kami tutup
telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami bangunkan
mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang
lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua
itu).” (al-Kahfi: 10—12)
Sebagian mengatakan bahwa mereka adalah
kaum yang berasal dari keturunan bangsawan kota Diqyus, dari seorang
raja kafir yang bernama Daqinus. Mereka berasal dari bangsa Romawi yang
mengikuti ajaran Nabiyullah Isa q. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka
hidup sebelum zaman Isa q. Wallahu a’lam. (Tafsir al-Qurthubi 214/13)
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Yang tampak, mereka hidup sebelum munculnya agama Nasrani
secara umum. Sebab, seandainya mereka berkeyakinan Nasrani, tentu para
pendeta Yahudi tidak terlalu perhatian untuk menjaga kisah mereka dan
memerintahkan untuk menjauhinya.
Telah disebutkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa kaum Quraisy mengutus kepada para pendeta Yahudi untuk meminta mereka menguji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengutus untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kisah mereka ini (Ashabul Kahfi -pen.), tentang kisah Dzulqarnain, dan tentang ruh.
Ini menunjukkan bahwa kisah ini telah disebutkan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan lebih dahulu dari kemunculan agama Nasrani. Wallahu a’lam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/109)
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah
berkata, “Perlu diketahui bahwa kisah Ashabul Kahfi, siapa nama-nama
mereka, dan negeri tempat tinggal mereka, semua itu tidak sahih
datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada
penjelasan tambahan dari apa yang telah disebutkan dalam al-Qur’an, dan
yang menafsirkan hal itu banyak berasal dari berita israiliyat.
Kami sengaja tidak menyebutkannya karena tidak adanya kevalidan berita tentangnya.” (Adhwa’ul Bayan, 4/27)
Makna Al-Fata/Al-Fityah
إِنَّهُمۡ فِتۡيَةٌ ءَامَنُواْ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدٗى ١٣
“Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”
Al-Fityah adalah bentuk jamak taksir dari al-fata.
Fityah bermakna para remaja/pemuda. Akan tetapi, terkadang yang dimaksud dengan istilah al-fata adalah budak sahaya, seperti firman Allah ‘azza wa jalla,
مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ
“… dari budak-budak wanita kalian yang mukminah….” (an-Nisa: 25)
Tatkala seorang pemuda memiliki tabiat
yang lebih lembut, memiliki kedermawanan dan kemuliaan yang tidak
ditemukan pada banyak orang tua, mereka menyematkan julukan al-fata bagi seorang yang dermawan dan mulia. Penggunaan istilah al-fata untuk menyebut orang yang memiliki sifat mulia, banyak ditemukan pada kebanyakan ucapan para ulama.
Di antaranya adalah perkataan ahli bahasa, “Inti al-futuwwah (kepemudaan) adalah keimanan.”
Junaid berkata, “Al-futuwwah (kepemudaan) adalah menginfakkan harta, menghilangkan gangguan, dan meninggalkan keluhan.”
Ada pula yang berkata, al-Futuwwah adalah menjauhi hal-hal yang diharamkan dan bersegera melakukan hal-hal yang mulia.
Al-Qurthubi rahimahullah
berkata tentang makna yang terakhir, “Pendapat ini bagus sekali karena
bersifat umum, mencakup semua yang disebutkan tentang makna futuwwah.” (Tafsir al-Qurthubi, 13/223, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 11/83)
Di antaranya pula perkataan Abu Ismail al-Anshari rahimahullah, “Al-futuwwah
adalah engkau mendekati orang yang mendatangimu, engkau memuliakan
orang yang menyakitimu, berbuat baik kepada yang berbuat buruk kepadamu,
sebagai bentuk pemberiaan maaf, bukan menahan amarah; bentuk rasa
cinta, bukan kesabaran.”
Dinukil dari Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa beliau berkata, “Al-futuwwah adalah meninggalkan sesuatu yang engkau inginkan karena ada sesuatu yang engkau khawatirkan.”
Ini sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (an-Nazi’at: 40)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Siapa yang mengajak kepada sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya mengajak kepadanya, berupa akhlak yang mulia, dialah orang yang telah berbuat kebaikan, baik hal itu dinamakan futuwwah maupun tidak. Siapa yang mengada-ada di dalam agama Allah ‘azza wa jalla sesuatu yang bukan berasal darinya, ia tertolak.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 11/84)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla menyebutkan bahwa mereka adalah para pemuda. Mereka lebih mudah menerima kebenaran dan hidayah untuk menempuh jalan Allah subhanahu wa ta’ala
dibandingkan dengan orang-orang tua yang telah lama tenggelam dalam
keyakinan yang batil. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menerima
ajakan agama Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah para pemuda. Adapun mayoritas orang tua dari Quraisy bersikukuh
mempertahankan keyakinan mereka.Tidak ada yang selamat dari mereka
kecuali sedikit. Demikian pula Allah ‘azza wa jalla memberitakan tentang Ashabul Kahfi bahwa mereka adalah para pemuda yang masih remaja.” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/109)
وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدٗى
“dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”
Maknanya, Kami memudahkan mereka untuk beramal saleh, dengan mengkhususkan diri beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla, menjauhkan diri dari manusia, dan bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Ini merupakan tambahan dari keimanan yang telah ada.(Tafsir al-Qurthubi, 13/ 223)
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang
dijadikan hujah oleh para ulama bahwa keimanan itu bisa bertambah dan
bertingkat-tingkat, sebagaimana bisa berkurang. Hal ini dikuatkan lagi
dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
وَٱلَّذِينَ ٱهۡتَدَوۡاْ زَادَهُمۡ هُدٗى وَءَاتَىٰهُمۡ تَقۡوَىٰهُمۡ ١٧
“Dan orang-orang yang mendapat
petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada
mereka (balasan) ketakwaannya.” (Muhammad: 17)
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنٗا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ
“Dialah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka
bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (al-Fath: 4)
dan ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla yang lain.
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah
berkata setelah menyebutkan ayat-ayat tentang bertambahnya keimanan,
“Ayat-ayat yang disebutkan ini adalah nash-nash yang jelas menunjukkan
bahwa iman itu bertambah. Maka dari itu, dipahami bahwa iman juga dapat
berkurang. Hal ini sebagaimana al-Imam al-Bukhari rahimahullah
menjadikannya sebagai dalil tentang hal tersebut. Ini menunjukkan dengan
sangat jelas tanpa keraguan. Jadi, tidak ada alasan untuk berselisih
tentang bertambahnya iman dan berkurangnya sebagaimana yang Anda lihat.”
(Adhwaul Bayan, 4/39)
وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
Dan Kami meneguhkan hati mereka di
waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb
seluruh langit dan bumi.”
Kata “rabth” dalam ayat ini menunjukkan kekuatan tekad kesabaran yang tinggi, yang Allah ‘azza wa jalla
berikan kepada mereka, sehingga mereka mampu berkata di hadapan
orang-orang kafir, “Rabb Kami adalah Rabb pemilik seluruh langit dan
bumi.”
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan makna ayat ini, “Kami memberi kesabaran kepada mereka untuk
menyelisihi kaum dan masyarakatnya, dan meninggalkan kehidupan yang
lapang, bahagia, serta kenikmatan yang mereka rasakan sebelumnya. Telah
disebutkan oleh banyak ahli tafsir dari kalangan salaf maupun khalaf,
mereka adalah anak-anak raja Romawi dan pembesarnya.
Pada suatu hari, mereka keluar menuju
perayaan sebagian kaumnya. Mereka memiliki hari berkumpul dalam setahun.
Mereka berkumpul di lapangan negeri tersebut, melakukan penyembahan
kepada patung-patung dan thaghut, dan menyembelih untuknya.
Mereka memiliki seorang penguasa angkuh dan penentang kebenaran yang
bernama Diqyanus. Dia memerintah manusia untuk melakukan penyembahan
tersebut, menganjurkannya, dan menyerukannya.
Tatkala manusia keluar menuju tempat
perkumpulan itu, para pemuda ini juga turut keluar bersama ayah-ayah
mereka dan kaumnya. Mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri
apa yang dilakukan oleh kaumnya. Mereka pun meyakini bahwa apa yang
dilakukan kaumnya tersebut,yaitu sujud kepada berhala dan melakukan
penyembelihan kepadanya, tidak sepantasnya dilakukan kecuali hanya untuk
Allah ‘azza wa jalla yang menciptakan langit dan bumi.
Alhasil, masing-masing memisahkan diri
dari kaumnya dan menjauhkan diri dari mereka. Para pemuda tersebut
mendatangi satu bagian daerah itu. Orang pertama dari mereka duduk di
bawah sebuah pohon, lalu seorang lagi datang dan duduk di dekatnya, lalu
datang lagi yang lainnya dan duduk di dekatnya pula, begitu seterusnya.
Tidak seorang pun di antara mereka yang saling mengenal. Yang
mengumpulkan mereka di tempat tersebut adalah bersatunya mereka di atas
keimanan.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh manusia itu berkelompok
sesuai dengan sifatnya. Jika saling mengenal sifatnya, ia akan saling
mencintai, dan jika berbeda sifatnya, ia akan berselisih.” (Muttafaq alaihi)
Manusia mengatakan, “Sejenis adalah sebab menyatu.”
Yang jelas, masing-masing berusaha
menyembunyikan ihwalnya dari sahabatnya karena khawatir. Mereka tidak
tahu bahwa mereka memiliki kesamaan prinsip. Hingga salah seorang dari
mereka berkata, “Kalian mengetahui—demi Allah—bahwa tidak ada yang
mengeluarkan kalian dari kaum kalian, dan kalian menjauh dari mereka
melainkan ada sesuatu. Maka dari itu, hendaknya setiap orang dari kalian
menjelaskan tujuannya.”
Seseorang berkata, “Adapun saya, demi
Allah, sesungguhnya aku melihat apa yang dilakukan oleh kaumku. Aku
meyakini bahwa itu adalah kebatilan. Sesungguhnya yang berhak disembah
hanyalah Allah ‘azza wa jalla semata, tiada sekutu baginya. Dialah Allah ‘azza wa jalla yang menciptakan segala sesuatu, langit, bumi dan yang di antara keduanya.”
Yang lain berkata, “Demi Allah demikian pula yang aku alami.”
Yang lain juga mengatakan hal yang sama.
Akhirnya, mereka semua sepakat di atas satu kalimat. Mereka pun menyatu
dan menjadi saudara yang dibangun di atas kejujuran. Mereka pun membuat
tempat ibadah yang di dalamnya mereka menyembah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketika diketahui oleh kaumnya,
orang-orang melaporkan perbuatan para pemuda kepada raja mereka. Sang
raja pun meminta untuk menghadirkan mereka di hadapannya. Sang raja
bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan. Para pemuda itu
menjawabnya dengan kejujuran dan mengajaknya kepada jalan Allah ‘azza wa jalla.
Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang mereka,
وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
Dan Kami meneguhkan hati mereka di
waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Pemilik
seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain
Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/110—111)
Namun kisah rinci yang disebutkan tentang kejadian ini merupakan berita israiliyat. Asy-Syinqithi rahimahullah
berkata, “Kisah mereka disebutkan dalam semua kitab-kitab tafsir. Kami
sengaja tidak menyebutkannya karena beritanya israiliyat.” (Adhwaul Bayan, 4/40)
Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Dipahami dari ayat yang mulia ini bahwa siapa yang berada dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, Dia akan menguatkan hatinya, meneguhkannya untuk memikul beban yang berat, dan memberinya kesabaran yang tinggi.
Allah ‘azza wa jalla telah mengisyaratkan hal ini pada beberapa kejadian dalam ayat-ayat yang lain. Di antaranya firman Allah ‘azza wa jalla tentang mereka yang mengikuti Perang Badr. Allah ‘azza wa jalla mengatakan kepada Nabi-Nya dan para sahabatnya,
إِذۡ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةٗ مِّنۡهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذۡهِبَ عَنكُمۡ رِجۡزَ ٱلشَّيۡطَٰنِ وَلِيَرۡبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمۡ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلۡأَقۡدَامَ ١١
إِذۡ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ أَنِّي مَعَكُمۡ فَثَبِّتُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ سَأُلۡقِي فِي قُلُوبِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلرُّعۡبَ فَٱضۡرِبُواْ فَوۡقَ ٱلۡأَعۡنَاقِ وَٱضۡرِبُواْ مِنۡهُمۡ كُلَّ بَنَانٖ ١٢
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan
kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguangangguan setan dan untuk menguatkan
hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu).
(Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan
kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah
(pendirian) orang-orang yang telah beriman.” Kelak akan Aku susupkan
rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (al-Anfal: 11—12)
Demikian pula firman Allah ‘azza wa jalla kepada ibu Musa ‘alaihissalam,
وَأَصۡبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَٰرِغًاۖ إِن كَادَتۡ لَتُبۡدِي بِهِۦ لَوۡلَآ أَن رَّبَطۡنَا عَلَىٰ قَلۡبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٠
“Dan menjadi kosonglah hati ibu
Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa,
seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang
yang percaya (kepada janji Allah).” (al-Qashash: 10) (Adhwaul Bayan, 4/39)
لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذٗا شَطَطًا ١٤
“Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.”
Syathath maknanya penyimpangan yang jauh dari kebenaran, dan jalan yang sangat jauh dari kebenaran.
Jadi, makna ayat di atas ialah, jika kami menyembah bersama Allah subhanahu wa ta’ala
sembahan-sembahan yang lain setelah kami mengetahui bahwa Dia-lah Rabb
yang merupakan sembahan yang tidak sepantasnya diibadahi kecuali hanya
Dia, berarti kami mengucapkan kalimat yang batil dan sangat menyimpang
dari kebenaran.
هَٰٓؤُلَآءِ قَوۡمُنَا ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ ءَالِهَةٗۖ لَّوۡلَا يَأۡتُونَ عَلَيۡهِم بِسُلۡطَٰنِۢ بَيِّنٖۖ فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗا ١٥
“Kaum kami ini telah menjadikan
selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak
mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah?”
Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Tatkala para pemuda ini mengingat anugerah yang Allah ‘azza wa jalla
berikan kepada mereka, berupa keimanan, hidayah, dan ketakwaan, mereka
pun memerhatikan apa yang dilakukan oleh kaumnya yang membuat
sembahan-sembahan selain Allah ‘azza wa jalla. Mereka pun
membencinya. Para pemuda itu menjelaskan bahwa sesungguhnya kaumnya
tidak berjalan di atas keyakinan dalam urusan mereka. Kaumnya justru
benar-benar berada dalam kejahilan dan kesesatan.
Oleh karena itu, para pemuda itu
berkata, “Tidakkah mereka mendatangkan hujah dan bukti atas kebatilan
yang mereka perbuat—dan tidak mungkin mereka mampu melakukannya?
Sesungguhnya, itu hanyalah kebohongan terhadap Allah ‘azza wa jalla dan kedustaan atas-Nya. Ini adalah kezaliman yang paling besar.”
Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla menyatakan,
فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗا
“Siapakah yang paling besar kezalimannya dari orang-orang yang mengada-ada terhadap Allah?” (Tafsir al-Karim ar-Rahman, hlm. 950)
Wallahul Muwaffiq.
Posting Komentar