Langsung ke isi

Kristenisasi Tiada Henti
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Sebuah ironi baru saja
dipertontonkan di negeri ini. Gempita natal begitu meriah, seolah negeri
ini mayoritas dihuni oleh Nasrani. Mal, pusat perbelanjaan,
supermarket, hotel, rumah makan dan restoran, tempat wisata atau
rekreasi, dipenuhi pernak-pernik natal. Pohon natal dan patung
sinterklas raksasa, miniatur Bethlehem, topi sinterklas yang menghiasi
kepala karyawan sampai yang berkerudung sekalipun, menjadi potret buram
di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini.

Terus Terang dan Menasihati
Ketika berteman dengan orang-orang
yang baik, seseorang terkadang mendapatkan nasihat yang keras. Akan
tetapi, ketika bersahabat dengan orang-orang yang buruk, dia akan sering
mendapatkan basa-basi dan sanjungan.

Mengakikahi Anak yang Sudah Meninggal
Allah ‘azza wa jalla memberi saya rezeki berupa tiga anak perempuan. Hanya saja, mereka meninggal dunia dalam keadaan masih kecil, sementara saya belum sempat mengakikahi mereka. Padahal saya pernah mendengar bahwa syafaat anak-anak kecil[1] dikaitkan dengan akikah[2]. Maka dari itu, apakah sah saya mengakikahi mereka setelah meninggalnya? Apakah saya gabungkan akikah mereka dalam satu sembelihan atau masing-masing disembelihkan sembelihan tersendiri?
Jawab:
Berikut ini jawaban Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah.
Akikah untuk anak yang baru lahir hukumnya sunnah muakkadah (sunnah
yang ditekankan), menurut pendapat jumhur (mayoritas) ahlul ilmi
(ulama). Akan tetapi, hukum ini berlaku untuk anak-anak yang masih
hidup, tanpa ada keraguan di dalamnya, karena hal ini adalah sunnah yang
pasti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun akikah untuk anak-anak yang sudah
meninggal (yang belum diakikahi saat hidupnya), tidak tampak
disyariatkan bagi Anda. Sebab, akikah itu disembelih hanya sebagai
tebusan bagi anak yang lahir, untuk tafaul (berharap/optimis) akan
keselamatannya, dan untuk mengusir setan dari si anak, sebagaimana hal
ini ditetapkan oleh al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud. Tujuan-tujuan ini tidak ada pada anak-anak yang sudah meninggal.
Adapun hal yang diisyaratkan oleh
penanya bahwa akikah masuk dalam (syarat) syafaat anak yang lahir bagi
ayahnya apabila ayah mengakikahinya, hal ini tidaklah benar dan telah
didhaifkan (dilemahkan) oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa rahasia dalam akikah itu adalah:
- Akikah menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tatkala beliau menebus putranya, Ismail ‘alaihissalam.
- Akikah bertujuan untuk mengusir setan dari anak yang lahir, sementara makna hadits,
كُل غُلاَمٍ رَهيْنَةٌ بعَقيْقَتِهِ
“Setiap anak tergadai dengan akikahnya.” (HR Ahmad (5/12), Abu Dawud no. 2837, at-Tirmidzi no. 1522, dll.; dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 4541.)
Maknanya, si anak tergadai pembebasannya dari setan dengan akikahnya.
Apabila si anak tidak diakikahi, niscaya
dia tetap sebagai tawanan bagi setan. Jika diakikahi dengan akikah yang
syar’i, dengan izin Allah ‘azza wa jalla hal itu akan menjadi sebab terbebasnya dia dari tawanan setan. Demikian makna yang dihikayatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Bagaimana pun, apabila si penanya ingin
mengakikahi anak-anak perempuannya yang sudah meninggal dan menganggap
baik hal tersebut, silakan dia lakukan. Akan tetapi, yang rajih/kuat
menurut saya, hal tersebut tidaklah disyariatkan.
Kapan waktu yang afdal/lebih utama untuk mengakikahi anak yang lahir dan hidup?
Yang afdal adalah hari ketujuhnya. Inilah waktu yang paling utama. Sebagaimana disebutkan dalam nash/dalil.
Namun, seandainya ditunda dari hari ke tujuh, tidaklah apa-apa. Tidak
ada batasan untuk akhir waktunya. Hanya saja sebagian ahlul ilmi
memandang apabila anak telah dewasa, berarti waktu akikah telah gugur.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa tidak ada akikah untuk orang
yang sudah dewasa. Sementara itu, jumhur ulama berpandangan tidak ada
larangan untuk hal tersebut meskipun yang diakikahi sudah dewasa.”
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/573—574)
[1] Anak-anak kecil yang meninggal sebelum baligh, bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya dengan izin Allah ‘azza wa jalla.
[2] Bisa memberi syafaat kepada orang tuanya asalkan si anak sudah diakikahi.

Wanita Menikah Tanpa Izin Wali
Seorang pemuda yang taat beragama sekaligus memiliki sifat-sifat yang terpuji melamar saya. Akan tetapi, ayah saya menolak lamarannya dengan alasan tidak sekufu dengan saya dari sisi kedudukan dan nasab. Ayah menginginkan saya menikah dengan seorang pemuda dari keluarga ningrat yang kaya dan punya martabat/kedudukan.Sementara itu, saya telah ridha dengan pemuda yang melamar saya dan tidak menginginkan yang selainnya. Apakah dibolehkan bagi saya menikah dengannya tanpa sepersetujuan wali saya? Saya pernah membaca dalam Fiqh as-Sunnah, bahwa Abu Hanifah membolehkan pernikahan yang demikian.Sungguh Allah ‘azza wa jalla menyerahkan urusan seorang hamba kepada dirinya sendiri, termasuk di antaranya urusan pernikahan. Apabila ayah saya menghalangi saya untuk menikah dengan lelaki yang sesuai bagi saya, seorang lelaki yang begitu bersungguh-sungguh ingin menjaga kemuliaan saya, menjaga kehormatan saya, dan dia sendiri seorang yang berpegang teguh dengan agama, namun ayah saya justru ingin saya menikah dengan lelaki yang tidak memiliki sifat-sifat yang saya sebutkan; bukankah berarti saya berhak untuk tidak meminta izinnya dalam urusan pernikahan saya dengan seorang yang salih tersebut?Saya urusi sendiri pernikahan saya di hadapan qadhi (hakim) atau saya meminta izin kepada salah seorang kerabat saya yang lain yang mau menerima pandangan saya dan menjadi wali dalam urusan pernikahan saya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berfatwa sebagai berikut.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri. Siapa pun yang melakukannya, pernikahan tersebut batil,
menurut mayoritas ulama, baik yang terdahulu maupun yang belakangannya.
Sebab, dalam urusan pernikahan, Allah ‘azza wa jalla menujukan pembicaraan kepada para wali yang mengurusi para wanita (bukan wanita yang diajak bicara).
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
sendiri (belum punya pasangan) di antara kalian dan orang-orang salih
dari kalangan budak-budak kalian.” (an-Nur: 32)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ ديْنَهُ وَحُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
“Apabila datang kepada kalian (untuk
melamar wanita kalian) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, nikahkanlah dia (dengan wanita yang berada di bawah perwalian
kalian).”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ نكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”[2]
Adapun pendapat yang Anda baca dalam
sebagian kitab fiqih bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, itu
adalah pendapat yang dhaif/lemah dan marjuh (tidak kuat, lawan
dari rajih). Pendapat yang benar, yang tegak di atas dalil, adalah
pendapat yang menyelisihinya, sehingga pendapat yang lemah tersebut
tidak boleh diamalkan.
Penanya mengajukan pertanyaan terkait
dengan adanya perselisihan pendapat antara dia dan ayahnya. Ayahnya
menginginkannya bersuamikan seseorang yang punya martabat, dari
keturunan yang sekufu dengan dirinya, sementara si wanita sendiri tidak
memandang demikian. Dia hanyalah condong untuk menikah dengan seorang
lelaki yang dipandangnya memiliki agama, walaupun tidak memiliki
kedudukan dan tidak bernasab tinggi.
Dalam hal ini, kebenaran bersama ayahnya
karena ayahnya lebih jauh pandangannya daripada dirinya. Terkadang
dibayangkan oleh si wanita bahwa lelaki yang datang melamarnya tersebut
sesuai untuknya padahal sebenarnya tidak sesuai.[3] Oleh karena itu, tidak sepantasnya dia menentang ayahnya selama si ayah menginginkan kemaslahatan putrinya.
Namun, jika ternyata dipastikan lelaki
yang datang melamar si wanita itu memang sesuai, pantas dan cocok
dengannya, sekufu dalam hal kedudukan, martabat, dan agamanya, sementara
si ayah enggan menikahkan putrinya dengan lelaki yang demikian, si ayah
menjadi ‘adhil.[4] Jika demikian, perwalian dalam pernikahan berpindah kepada wali yang berikutnya setelah sang ayah.
Akan tetapi, urusan ini harus dengan pertimbangan qadhi/hakim yang nantinya memindahkan perwalian dari ayah yang berbuat ‘adhal kepada wali yang setelahnya dari kalangan para lelaki yang berhak menjadi wali si wanita.
Dalam hal ini, si wanita tidak boleh
mengurusi sendiri urusan seperti ini. Tidak boleh pula salah seorang
wali mengurusinya tanpa ada keridhaan dari ayahnya. Jadi, dalam urusan
ini harus kembali kepada qadhi yang syar’i. Hakim yang akan melihat
permasalahan dan menilai fakta yang ada. Apabila dia memandang bolehnya
perpindahan wali kepada yang lain, dipindahkan sesuai kemaslahatan. Oleh
karena itu, dalam hal pernikahan ini harus dipastikan perkaranya.
Para wanita tidak boleh mengurus sendiri
urusan pernikahannya. Urusan ini harus ditangani dengan semestinya oleh
walinya yang berhak. Sebab, wanita itu pandangannya terbatas/dangkal,
tidak jauh ke depan. Para wali dari kalangan lelaki yang mengurus wanita
tentu harus memiliki semangat untuk memberikan penjagaan kepada wanita
yang di bawah perwaliannya dan punya kecemburuan terhadap mereka. Semua
ini tentu tidak dimiliki oleh para wanita. Oleh karena itu, sepantasnya
hal ini menjadi perhatian.”
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/536—537)
[1] HR at-Tirmidzi (no. 1085), Ibnu Majah (no. 1968), dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami no. 270.
[2] HR ad-Daraquthni dalam as-Sunan (3/226), Ibnu Hibban (no. 1247) dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ (no. 7557).
[3]
Sebab, wanita lebih sering menilai dengan perasaannya, tanpa
pertimbangan yang matang dan jauh ke depan sebagaimana halnya kaum
lelaki.
[4] Lafadz ‘adhal, yang pelakunya disebut ‘adhil, terambil dari ayat,
فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ
“… maka janganlah kalian (para wali)
berbuat ‘adhal/mencegah atau menghalangi mereka (wanita yang di bawah
perwalian kalian) untuk menikah kembali dengan (mantan) suami-suami
mereka.” (al-Baqarah: 232)
Makna ‘adhal sama dengan mana’a, yaitu menahan, mencegah, atau menghalangi.
Apabila seorang ayah mencegah, melarang,
atau tidak menerima pinangan seorang lelaki terhadap putrinya dan
enggan menikahkannya, padahal si lelaki sekufu dengan putrinya dalam hal
agama, akhlak, atau harta, dalam keadaan putrinya sendiri ridha/suka
dengan si lelaki, perwalian ayah bisa dipindahkan kepada wali
berikutnya. Misalnya, saudara laki-laki si wanita, paman (dari pihak
ayah/saudara lelaki ayah), atau keponakan lelaki dari saudara lelakinya.
Sebab, tidak ada hak bagi si ayah untuk menolak pinangan lelaki
baik-baik tersebut. Sebagai wali, seharusnya dia melakukan apa yang
paling bermaslahat atau yang terbaik untuk putrinya. Apabila si ayah
tidak mau melakukannya, hak perwaliannya berpindah kepada selainnya.
Demikian keterangan dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (12/86).

Ternyata Istri Sudah Tidak Perawan
Seorang lelaki menikahi seorang gadis. Ketika berhubungan intim si lelaki mendapati istrinya tersebut tidak perawan lagi. Apa yang harus dilakukannya?
Jawab:
Kehilangan keperawanan bisa karena
beberapa sebab selain zina. Yang wajib bagi si lelaki untuk berbaik
sangka apabila secara zahir si istri adalah perempuan baik-baik dan
istiqamah. Sekali lagi wajib husnuzhan dalam hal ini.
Memang dahulu si perempuan telah
melakukan perbuatan zina kemudian dia bertobat dan menyesal. Keperawanan
juga bisa hilang karena mengalami haid yang deras. Hal ini disebutkan
oleh ulama. Bisa pula keperawanan hilang karena melompat dari satu
tempat ke tempat yang lain, atau si perempuan jatuh dari tempat yang
tinggi. Tidak mesti keperawanan hilang karena perbuatan zina.
Jika si perempuan mengaku keperawanannya
hilang karena selain perbuatan zina, tidak ada permasalahan bagi si
lelaki. Bisa jadi, dia mengaku hilang karena zina, tetapi dia diperkosa
ketika itu, hal ini juga tidak bermudarat, apabila telah berlalu pada si
perempuan satu kali haid setelah kejadian tersebut.[1]
Bisa jadi pula dia melakukannya dahulu
saat dia masih lugu dan bodoh, namun sekarang dia telah bertobat dan
menyesali perbuatannya. Hal ini pun tidak memudaratkan si lelaki
(suaminya). Tidak sepantasnya si lelaki menyebarkan hal tersebut, justru
seharusnya ditutupi/dirahasiakan. Apabila besar prasangkanya bahwa si
perempuan itu jujur dan istiqamah, hendaklah tetap dia pertahankan
sebagai istri. Jika tidak, dia bisa menceraikannya dengan baik-baik
dengan menutupi keadaannya dan tidak membongkar rahasianya yang akan
menjadi sebab fitnah dan kejelekan.
(Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibni Baz, pertanyaan no. 152, 20/286—287)
[1] Istibra’ rahim: tidak ada janin yang tumbuh dalam rahimnya dengan dia mengalami satu kali haid.

Tarbiyah yang Baik Adalah Perhatian dan Pengawasan
“Apabila anak dan ayah masuk surga, sedangkan kedudukan ayah lebih tinggi dari si anak, Allah ‘azza wa jalla akan mengangkat derajat anak tersebut menjadi sama dengan ayahnya agar ayah merasa tenteram dan sejuk matanya. Dengan demikian, anak akan menjadi penyejuk mata bagi orang tuanya, di dunia dan di akhirat.”
Ketahuilah, (kedudukan) anak-anak itu seperti harta. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)
Oleh karena itu, sebagaimana halnya diuji dengan harta, manusia juga diuji dengan anak-anak. Firman Allah ‘azza wa jalla,
وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةٗۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ ٣٥
“Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kami lah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya: 35)
Jadi, Allah ‘azza wa jalla akan
menguji kedua orang tua dengan anak-anak. Apakah mereka berdua berusaha
memperbaiki dan mendidiknya di atas kebaikan, ataukah justru
menelantarkannya dan bermudah-mudah tentang urusannya? Kedua sikap
tersebut memiliki akibat yang berbeda, bisa jadi baik atau buruk.
Anak adalah tanggung jawab ayah. Dia
akan diuji dengan anak, apakah dia peduli ataukah acuh tak acuh? Jika
orang tua peduli dengan anak, anak akan menjadi penyejuk matanya di
dunia dan di akhirat. Jika dia membiarkannya, anak akan menjadi
penyesalan bagi dirinya. Firman Allah ‘azza wa jalla,
وَلَا تُعۡجِبۡكَ أَمۡوَٰلُهُمۡ وَأَوۡلَٰدُهُمۡۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُعَذِّبَهُم بِهَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَتَزۡهَقَ أَنفُسُهُمۡ وَهُمۡ كَٰفِرُونَ ٨٥
“Dan janganlah harta benda
dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan
mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar
melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.” (at-Taubah: 85)
Kebaikan dan kerusakan anak,
masing-masing ada sebabnya. Benar bahwa baik atau rusaknya anak telah
ditakdirkan oleh Allah k, tetapi takdir tersebut memiliki sebab-sebab
dari sisi hamba itu sendiri.
Apabila orang tua berusaha mentarbiyah
anak-anaknya di atas kebaikan sejak kecil, mereka akan menjadi anak-anak
yang saleh—dengan izin Allah ‘azza wa jalla. Sebab, orang tua mereka telah berusaha menempuh sebabnya, dan Allah ‘azza wa jalla akan menolongnya untuk mewujudkannya.
Adapun jika orang tua membiarkan
anaknya, tidak pernah bertanya tentang keadaan mereka, anak-anak akan
tumbuh di atas pembiaran. Ketika itu, orang tua akan sulit mengembalikan
mereka pada kebaikan.
Oleh karena itu, bersegeralah kalian mendidik anak kalian dengan baik—semoga Allah ‘azza wa jalla
memberi taufik kepada kalian—dan jangan membiarkan mereka. Sebab,
kalian berada pada sebuah zaman yang dipenuhi keburukan, syahwat, dan
syubhat. Selain itu, banyak pula penyeru kesesatan dan kejelekan berikut
tokoh-tokoh dan sarana yang mereka sebarkan.
Bertakwalah kalian dalam hal anak-anak kalian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Jadi, asal mula keadaan seorang anak adalah di atas fitrah, yaitu agama Islam. Firman Allah ‘azza wa jalla,
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (ar-Rum: 30)
Apabila orang tua menjaga dan
mengembangkan fitrah anaknya di atas kebaikan, dia akan memasuki masa
muda, masa dewasa, dan seterusnya, di atas fitrah tersebut—dengan izin
Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi, apabila orang tua merusak
fitrah tersebut, akan rusaklah fitrah ini. Permisalannya seperti tanah
yang bagus yang menumbuhkan kebaikan dan produktif, ketika dirusak,
tanah tersebut tidak lagi produktif. Demikian pula halnya fitrah. Fitrah
siap menerima kebaikan, arahkanlah menuju perbaikan dan kebaikan. Akan
tetapi, jika ada gangguan yang merusaknya, fitrah pun akan rusak. Sebab
yang merusaknya ialah orang tua.
Oleh karena itu, jagalah fitrah anak-anak kalian. Kembangkanlah fitrah tersebut di atas kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لسَبْعِ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرِ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian
melakukan shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah dia (jika
tidak mau melaksanakannya) ketika berumur sepuluh tahun. Pisahkanlah
tempat tidur mereka.”
Pengembangan fitrah anak ini dilakukan bertahap sejak usia tamyiz.
Ketika berusia 7 tahun, anak diperintah untuk menunaikan shalat. Hal
ini juga berkonsekuensi bahwa anak dibiasakan dan diajari berwudhu dan
bersuci, tata cara shalat, hal-hal yang wajib dan yang sunnah dalam
shalat, hingga terbiasa dan tumbuh di atasnya.
Setelah mencapai usia 10 tahun, bisa jadi anak mengalami ihtilam (mimpi basah) atau telah memasuki masa baligh, tarbiyah anak berpindah ke tahapan kedua,
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لعَشْرِ
“Dan pukullah dia (jika tidak mau melaksanakannya) ketika berumur sepuluh tahun.”
Apabila si anak meremehkan urusan
shalat, dia dipukul sehingga merasakan sakitnya hukuman. Dengan
demikian, si anak akan menjaga urusan shalat dan senantiasa begitu.
Demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita dalam hal mendidik anak, yakni kita bertahap sesuai dengan umur mereka.
Adapun opini yang tersebar sekarang bahwa mendidik anak, memukulnya[1],
dan mengajarinya adab teranggap sebagai tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT); ini adalah pemikiran yang datang dari musuh kita dari
kalangan Barat, para perusak.
Mereka ingin merusak diri kita,
istri-istri, dan anak-anak kita. Mereka sebut tarbiyah ini sebagai KDRT.
Justru inilah tarbiyah Islam yang telah menghasilkan sekian generasi
yang baik dan mengadakan perbaikan. KDRT yang sesungguhnya ialah
menelantarkan dan menyia-nyiakan anak dan istri. Inilah hakikat KDRT.
Mengupayakan kebaikan bagi mereka, inilah kebaikan dan perbaikan sejati
yang dibawa oleh agama kita.
Hak anak yang wajib ditunaikan oleh
orang tua, sudah ada terlebih dahulu dan melekat pada diri orang tua.
Sebagian orang mengatakan, “Saya memiliki hak yang harus ditunaikan oleh
anak saya.”
Ya, benar bahwa Anda memiliki hak. Akan
tetapi, anak Anda juga memiliki hak yang harus Anda tunaikan terlebih
dahulu sebelum dia menunaikan hak Anda. Hak anak itu adalah Anda
mendidiknya.
Oleh karena itu, ketika anak telah
baligh dan menjadi orang yang saleh dengan sebab tarbiyah yang baik,
sedangkan sang orang tua memasuki usia senja dan membutuhkan bakti dari
anak, Allah ‘azza wa jalla pun memerintah si anak untuk mengatakan (sebagaimana firman-Nya),
وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا ٢٤
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.” (al-Isra: 24)
Bagaimana halnya jika orang tua tidak
mendidik anaknya sewaktu kecil? Pantaskah dia mengharap bakti dari
anaknya? Tidak. Sekali-kali tidak. Bahkan, seribu kali tidak.
Anak yang saleh menjadi penyejuk mata
orang tuanya semasa hidup dan setelah matinya. Ketika orang tua masih
hidup, si anak menunaikan bakti kepada orang tua, melayaninya, dan
melakukan berbagai urusan demi kemaslahatannya, terkhusus apabila orang
tua sudah lanjut usia.
Adapun setelah kematian orang tua, sang
anak mendoakan orang tua, melaksanakan berbagai wasiat dan wakafnya.
Anak yang saleh juga akan memikul berbagai urusan orang tua setelah
kematiannya, menggantikan kedudukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الِإنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal, akan
terputus amalannya kecuali dari tiga hal: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu
yang diambil manfaatnya, dan (3) anak saleh yang mendoakannya.”
Akan tetapi, jika anaknya rusak, tidak
saleh, dia justru mendoakan kejelekan bagi orang tuanya, bukan kebaikan.
Ternyata, sebabnya ialah orang tua telah menelantarkan (membiarkan,
tidak mendidik) anaknya sewaktu kecil. Akhirnya, sang anak pun durhaka
ketika orang tua berusia lanjut, baik semasa hidup maupun setelah
kematiannya.
Karena itu, bertakwalah kalian dalam
urusan anak-anak kalian. Jangan kalian menelantarkan mereka. Ada orang
yang menyangka bahwa mendidik anak ialah dengan cara memberinya harta,
membelikan mobil, dan memenuhi segala keinginannya. Setelah itu dia
berkata, “Demi Allah, aku tidak menyian-yiakan anakku.”
Ya, Anda tidak menyia-nyiakannya kecuali
dalam hal ini. Justru inilah bentuk menyia-nyiakan dan menelantarkan.
Harta yang Anda berikan kepadanya, mobil yang Anda belikan untuknya,
inilah penyia-nyiaan terhadap anak.
إنَّ الشَّبَابَ وَالْفَرَاغَ وَالِجدَه
مَفْسَدَةٌ لِلْمَرْءِ أَيُّ مَفسَدَة
Sungguh, masa muda, waktu luang, dan serba ada
adalah kerusakan bagi seorang manusia, serusak-rusaknya
Anda telah memberinya sarana kerusakan.
Anda penuhi sakunya dengan harta. Anda beri dia mobil yang akan
membawanya kemana pun dia kehendaki. Jadi, hakikatnya justru Anda yang
menjerumuskan anak pada kerusakan.
Ya, kita katakan, “Berilah anakmu
(harta), nafkahilah dia, belikanlah dia mobil. Akan tetapi, awasi dan
perhatikan perilakunya. Jangan sampai Anda lalai mengawasinya. Jangan
sampai Anda lalai terhadap anak hingga mereka dewasa dan bisa mengurus
dirinya sendiri. Selama anak belum baligh, dia menjadi tanggung jawab
Anda. Anda akan ditanya tentangnya di hadapan Rabb Anda, tentang
kerusakan dia yang disebabkan oleh Anda dan pembiaran yang Anda lakukan
terhadapnya.”
Bertakwalah kepada Allah ‘azza wa jalla dalam urusan anak-anak. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang anak-anak kalian.” (an-Nisa: 11)
Jadi, anak adalah beban yang dipikulkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada orang tua. Maka dari itu, orang tua hendaknya bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla. Anak adalah amanat yang dititipkan kepada orang tua. Karena itu, hendaknya orang tua bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam hal amanat tersebut.
Tidak diragukan lagi, (merawat dan
mendidik) anak mendatangkan rasa lelah, membutuhkan kesabaran. Orang
yang tidak memiliki kesabaran dan tidak sabar menghadapi rasa lelah saat
merawat anaknya, dia akan menelantarkan anaknya.
Ada orang yang berkata, “Aku tidak mampu. Hidayah di tangan Allah ‘azza wa jalla.”
Anda tidak bisa berkata seperti itu
sementara Anda sendiri tidak berusaha sedikit pun. Apabila Anda menjadi
sebab anak mencari hidayah, sungguh Allah Mahadekat dan Maha
Mengabulkan. Akan tetapi, jika Anda tidak mengusahakan sebab-sebab
hidayah, tentu saja Anda tidak akan mendapat hidayah. Anda justru
mendapatkan yang sebaliknya.
Sebelum sebab-sebab yang lain, hendaknya
orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak. Orang tua sendiri yang
menjadi teladan. Bagaimana halnya apabila orang tua sendiri yang rusak
dan biasa melakukan kerusakan? Menyia-nyiakan shalat; tertidur ketika
waktu shalat tiba; tidak pulang ke rumah selain untuk makan dan minum….
Dia tidak pernah menanyakan keadaan anak-anaknya. Ini adalah orang tua
yang seperti hewan, bukan orang tua yang bertanggung jawab di hadapan
Allah ‘azza wa jalla….
Selain itu, doakanlah anak-anak. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata (sebagaimana firman Allah),
وَٱجۡنُبۡنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ ٣٥
“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)
Beliau juga menyertakan anak keturunan beliau dalam doa beliau,
رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ ٤٠
“Ya Rabbku, jadikanlah aku
dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb kami,
perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Doakanlah anak-anak kalian disertai dengan menempuh sebab-sebab kebaikannya, yakni dengan mendidiknya. Berdoalah agar Allah ‘azza wa jalla
membantu Anda dan memperbaiki anak-anak Anda. Bersihkan rumah Anda dari
berbagai sarana kerusakan dan media yang merusak, berupa lagu-lagu,
alat-alat musik, dan gambar-gambar wanita telanjang. Jika tidak
demikian, rumah Anda akan menjadi sarang kerusakan.
Jadikan rumah Anda bersih, sebagai tempat beribadah dan berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.
Tidak didengar di dalamnya selain zikir, bacaan al-Qur’an, ucapan yang
baik, bagus, dan bersih. Ajari anak Anda sedikit dari al-Qur’an atau
suruhlah dia menghafalnya sesuatu dari al-Qur’an.
Pilihkanlah untuknya tempat belajar yang
baik berikut kepala sekolah, para pengajar, dan murid-muridnya.
Pilihkanlah sekolah yang baik, lalu ikuti perkembangan belajarnya.
Tanyakanlah (kepada sekolah) tentang keadaan anaknya. Bantulah dia
belajar dan berilah motivasi.
Jika Anda memberi sesuatu kepada salah satu anak, berilah anak-anak Anda yang lain sesuatu semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan berlaku adillah terhadap anak-anak kalian.”
Kisahnya, seorang sahabat memberikan
sesuatu kepada anaknya. Ibunya berkata, “Hingga engkau persaksikan
(pemberian ini) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Sahabat tersebut menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mempersaksikan pemberian terhadap anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah semua anakmu engkau beri semisal ini?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah orang lain untuk mempersaksikan pemberian ini. Sungguh, aku tidak bersaksi atas sebuah kezaliman.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau senang apabila bakti anak-anakmu kepadamu sama?”
Dia menjawab, “Ya.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, jangan.”
Maksudnya, jangan engkau beri sebagian anakmu dan tidak memberi yang lain.
Sampai pun dalam hal berbicara,Anda
tidak boleh berbicara, tertawa, dan memuji hanya salah seorang anak.
Perhatikan pula anak-anak Anda yang lain. Anda ajak bicara semuanya.
Anda beri motivasi semua anak Anda. Doakan semua anak Anda, meskipun
mereka tidak sebaik anak yang Anda kagumi. Bagaimanapun, mereka semua
adalah anak Anda. Mereka semua memiliki hak yang harus Anda tunaikan.
Perhatikanlah anak-anak Anda.
Akan tetapi, apa yang bisa kita katakan
sekarang ketika ayah tidak lagi mengenali anak-anaknya? Bisa jadi karena
sibuk mencari materi dan berbisnis, bisa jadi pula karena dia berada di
tempat permainan, kelalaian, begadang di tempat hiburan atau tempat
lain di luar rumah. Dia tidak pernah bertanya tentang keadaan
anak-anaknya.
Demikian pula ibu yang keadaannya
seperti sang ayah. Dia tidak berdiam di rumah, tetapi keluar untuk
bekerja, kuliah, atau bertemu teman-temannya. Dia tinggalkan anak-anak
di rumah.
Lantas di mana anak-anak? Di tempat
penitipan anak. Mereka dididik oleh orang yang tidak menyayangi dan
tidak berlemah lembut terhadap mereka. Mereka diasuh oleh orang yang
tidak akan dimintai tanggung jawabnya tentang mereka. Mereka hanyalah
orang-orang yang dibayar. Ini serupa dengan orang yang menggembalakan
sekumpulan domba untuk mendapatkan upah.
Mereka tidak perhatian terhadap akhlak
dan agama anak-anak, itu adalah urusan orang tua. Yang bukan orang
tuanya tidak akan peduli tentang baik atau rusaknya anak. Mereka
hanyalah orang yang dibayar layaknya penggembala domba yang tugasnya
hanya menjaga agar domba-domba itu tidak hilang….
Salah satu pengaruh tarbiyah yang buruk
dan menelantarkan anak ialah berbagai perilaku buruk yang dilakukan oleh
para pemuda yang kalian saksikan sekarang. Yang mereka pikirkan
hanyalah bagaimana menggeber mobil di jalanan, meski membahayakan diri
dan orang lain. Berapa banyak kematian terjadi akibat kebut-kebutan?
Berapa banyak harta yang terbuang sia-sia dan mobil yang hancur? Apa
hasilnya?
Jika anak ingin sesuatu, dia akan
melakukannya. Sebab, dia tidak disibukkan dengan kegiatan yang baik dan
bermanfaat. Dia hanya diberi sarana kerusakan lantas dibiarkan begitu
saja…
Akhirnya, orang-orang mendoakan
kejelekan bagi orang tua si anak, bahkan sampai-sampai ada yang
mendoakan laknat. Melaknat orang tua yang membiarkan anaknya mengganggu
dan membahayakan orang lain.
Perhatikanlah tembok rumah-rumah.
Lihatlah bagaimana para pelajar membuat tulisan-tulisan jelek di sana.
Tulisan yang menggambarkan bahwa jiwa penulisnya menyimpan kerusakan,
yang lantas dituangkan ke tembok.
Semua tindak kriminalitas di atas dengan
jelas menunjukkan pengaruh tarbiyah yang buruk. Pengaruh tersebut
terlihat dengan jelas di masyarakat.
Lihatlah, orang-orang kafir pun mendidik
anak mereka di rumah, meski dalam bentuk pendidikan duniawi. Anda tidak
melihat mereka membiarkan anak mereka berkeliaran di jalanan membawa
mobil, padahal mereka orang kafir. Bagaimana bisa kaum muslimin justru
dalam keadaan yang buruk seperti ini?
Sekali lagi, perhatikan dan awasi
anak-anak kalian. Sadarilah bahwa anak-anak adalah ujian bagi kalian,
apakah kalian memperbaiki ataukah merusak mereka. Kalian akan ditanya di
hadapan Allah ‘azza wa jalla tentang mereka.
Apabila menjadi anak saleh, mereka akan menjadi penyejuk mata bagi kedua orang tua, sampai pun di surga kelak. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi
sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya.” (ath-Thur: 21)
Para ahli tafsir berkata, “Apabila anak dan ayah masuk surga, sedangkan kedudukan ayah lebih tinggi dari si anak, Allah ‘azza wa jalla
akan mengangkat derajat anak tersebut menjadi sama dengan ayahnya agar
ayah merasa tenteram dan sejuk matanya. Dengan demikian, anak akan
menjadi penyejuk mata bagi orang tuanya, di dunia dan di akhirat.
Buah karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
(diterjemahkan dan diringkas dari http://www.alfawzan.af.org.sa/ node/14450)
[1]
Perlu diingat bahwa dalam hal memukul anak, Islam memiliki aturan,
sehingga tidak dibolehkan sembarangan memukul. Di antara aturannya ialah
pukulan tersebut tidak keras. (-ed)

Meniru yang Terlarang
Lelaki meniru atau menyerupakan diri
dengan wanita dalam hal yang khusus atau sebaliknya wanita menyerupai
lelaki dalam sesuatu yang menjadi kekhususan laki-laki adalah perilaku
yang terlarang. Dalilnya telah kita baca pada edisi sebelum ini. Berikut
ini kita akan melihat sisi-sisi penyerupaan yang dilarang tersebut.
Tasyabbuh (Penyerupaan) dalam Berbusana
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ رَسُوْلُ الله الرجُلَ يَلْبَسُ لبْسَةَ الْمَرْأَة وَ الْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لبْسَةَ الرجُل.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian wanita dan melaknat wanita yang mengenakan pakaian lelaki.” (HR. Abu Dawud no. 4098, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Larangan menyerupai pakaian lawan jenis
ini mencakup macam atau jenis pakaiannya, tata cara, dan modelnya. Bahan
sutra, misalnya, tidak boleh dipakai lelaki karena sutra adalah jenis
pakaian khusus wanita. Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَريْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإنَاثِهِمْ
“Diharamkan pakaian sutra dan emas bagi lelaki dari kalangan umatku dan dihalalkan untuk kaum wanita mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 1720, an-Nasa’i no. 5148, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Jenis pakaian yang dicelup dengan ushfur (mu’ashfar) tidak boleh dipakai oleh lelaki karena merupakan pakaian khas wanita. Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma berkata,
رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَينِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ :أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا؟ قَالَ: بَلْ أَحْرِقْهُمَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku mengenakan dua pakaian mu’ashfar[1]. Beliau pun bersabda, “Apakah ibumu yang menyuruhmu untuk memakainya?”
Aku menjawab, “Apakah saya cuci saja dua pakaian ini[2]?”
Beliau bersabda, “Bahkan bakarlah dua pakaian tersebut!”[3] (HR. Muslim no. 5401)
Dalam satu riwayat Abu Dawud disebutkan oleh Abdullah radhiallahu ‘anhuma,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله مِنْ ثَنِيَّةٍ فَالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَلَيَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُورِ، فَقَالَ: مَا هَذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ فَأَتَيْتُ أَهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُونَ تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ فَقاَلَ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا فَعَلَتِ الرَّيْطَةُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَال: أَلاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أَهْلِكَ، فَإنَّهُ لاَ بَأْسَ بِهِ لِلنِّسَاءِ
Kami turun bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Tsaniyah (dataran tinggi), beliau lalu menoleh kepadaku sementara aku mengenakan pakaian yang dicelup dengan ushfur. Beliau pun bersabda, “Pakaian apa yang kamu kenakan ini?”
Aku melihat ketidaksukaan beliau,
aku pun mendatangi keluargaku yang saat itu tengah menyalakan tungku api
mereka. Pakaian yang dicelup ushfur itu pun (setelah kutanggalkan) aku
lemparkan ke dalam tungku api. Keesokan harinya aku mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda, “Wahai Abdullah, apa yang diperbuat pakaianmu (yang kemarin)[4]?”
Aku pun memberitahukan kepada beliau apa yang telah kuperbuat terhadap pakaian tersebut.
Setelah mendengar penuturanku beliau
bersabda, “Mengapa tidak kau pakaikan saja kepada istrimu, karena
pakaian demikian tidak apa-apa dipakai oleh kaum wanita.” (HR. Abu Dawud no. 4066, dinyatakan hasan dalam Shahih Abi Dawud)
Kaum wanita ketika keluar rumah atau di hadapan lelaki ajnabi dilarang memakai pakaian yang menampakkan wajah[5],
kepala, atau lehernya, atau menampakkan bagian tubuhnya yang
diperintahkan untuk ditutup di hadapan nonmahram. Selain karena semua
itu merupakan aurat bagi kaum wanita, juga agar mereka berbeda dengan
lelaki.
Kalaupun ada model pakaian yang menutup tubuh tetapi model yang khusus bagi lelaki, si wanita tetap tidak boleh memakainya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata menukilkan ucapan al-Imam ath-Thabari rahimahullah,
“Maknanya, tidak boleh kaum lelaki bertasyabbuh dengan kaum wanita
dalam hal pakaian dan perhiasan yang merupakan kekhususan wanita.
Demikian pula sebaliknya.”
Al-Hafizh rahimahullah
menambahkan, “Demikian pula dalam cara berbicara dan cara berjalan.
Adapun model pakaian maka berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan setiap
negeri. Bisa jadi, ada kaum (di satu negeri) tidak membedakan pakaian
khas wanita dari pakaian khas lelaki. Akan tetapi, untuk wanita ditambah
dengan hijab dan menutup tubuh.” (Fathul Bari, 10/409)
Tasyabbuh dalam Cara Berjalan
Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma
pernah melihat Ummu Said putri Abu Jahl berselempang busur dan berjalan
seperti cara berjalan kaum lelaki. Berkatalah Abdullah, “Siapa
perempuan ini?”
Dijawab, “Ini Ummu Said bintu Abi Jahl.”
Abdullah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَلاَ مَنْ تَشَبَّهَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ
‘Bukan termasuk golongan kami wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang menyerupai wanita’.” (HR. Ahmad 2/199—200, lihat penjelasan panjang lebar tentang hadits ini dalam catatan kaki kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, karya al-Imam al-Albani, hlm. 142—144)
Ini adalah peringatan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa pelaku tasyabbuh dengan lawan jenis tersebut ‘bukan termasuk golongan kami’, yakni bukan orang yang mengikuti sunnah kami atau bukan orang yang berjalan di atas jalan kami, jalan Islam.
Tasyabbuh dalam Suara
Di antara wanita ada yang
memberat-beratkan suaranya meniru suara lelaki sebagaimana ada lelaki
yang melembut-lembutkan suaranya, dibuat mendayu-dayu meniru suara
wanita. Keinginan agar seperti lawan jenis ini menunjukkan terbaliknya
fitrah mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah melaknat lelaki yang menyerupai wanita ataupun sebaliknya.
Bagaimana bila ada wanita yang
memang dari asalnya bersuara berat, bukan karena dibuat-buat, apalagi
bermaksud meniru lelaki?
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
memberikan pencerahan terhadap pertanyaan semisal ini. Kata al-Hafizh,
“Celaan tasyabbuh (dengan lawan jenis) dalam hal ucapan dan cara jalan
dikhususkan bagi orang yang bersengaja melakukannya. Adapun seseorang
yang asal tabiatnya memang demikian, maka dia diperintah untuk
memaksakan dirinya meninggalkan kelainan perilaku tersebut dan terus
berupaya meninggalkannya walau secara bertahap. Apabila tidak
melakukannya dan terus ‘memelihara kelainan’ tersebut, dia pun masuk
dalam celaan. Lebih-lebih lagi apabila tampak darinya hal-hal yang
menunjukkan dia senang dengan kelainan yang ada padanya.” (Fathul Bari, 10/409)
Tasyabbuh dalam Berhias
Contohnya memakai hena/pacar di tangan dan kaki, yang merupakan cara berhias kaum wanita. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu memberitakan, pernah didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang banci yang mewarnai kedua tangan dan kedua kakinya dengan hena/daun pacar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
مَا بَالُ هَذَا؟ قَالُوا: يَتَشَبَّهُ بِالنِّسَاءِ. فَأُمِرَ بِهِ فَنُقِّيَ إِلَى النَّقِيعِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَ نَقْتُلُهُ؟ فَقَالَ: إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّيْنَ
“Ada apa dengan orang ini?”
Dijawab, “Wahai Rasulullah, orang ini menyerupai wanita.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan orang tersebut diasingkan ke an-Naqi’.
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita membunuhnya saja?”
“Aku dilarang membunuh orang__ orang yang shalat,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(HR. Abu Dawud no. kitab al-Adab, dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani dalam al-Misykat no. 4481)
Dari hadits di atas dipahami bahwa
mewarnai tangan dan kaki merupakan kekhususan kaum wanita, tidak boleh
dilakukan kaum lelaki. Buktinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukum lelaki banci yang melakukannya.
Adapun mewarnai rambut dengan hena untuk
mengubah uban boleh dilakukan, bahkan disyariatkan bagi wanita dan
lelaki, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh as-Sunnah.
Diperkenankan pula menggunakan hena untuk pengobatan. Abu ‘Amr ibnu Shalah rahimahullah
mengatakan, “Memacari jenggot guna mengubah uban dibolehkan dan
merupakan ajaran sunnah. Adapun menggunakan hena bagi lelaki untuk
selain mengubah uban rambut/jenggot, maka dilihat. Kalau si lelaki
memakainya untuk pengobatan, hukumnya boleh. Jika maksudnya untuk
berhias dan semisal dengan maksud wanita memakainya, hukumnya tidak
boleh.” (Adab al-Mufti wa al-Mustafti, 2/502)
Penyembuhan dan Hukuman bagi Pelaku
Telah dijelaskan di atas bahwa seseorang
yang terkena penyakit penyimpangan perilaku dengan menyerupai lawan
jenis, dia harus berusaha “sembuh” dari kelainan tersebut, bila tidak
maka dia akan jatuh ke dalam laknat. Lalu bagaimana bila kelainan
tersebut bawaan sejak lahir?
Menurut an-Naawi rahimahullah, mukhannats khalqi (seseorang yang terlahir banci) tidaklah ditujukan kepadanya celaan (karena di luar kuasanya, alias bukan kesengajaan)[6].
Akan tetapi, kata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
apa yang dinyatakan oleh an-Nawawi dan yang sependapat dengannya di
atas berlaku ketika seorang banci tersebut sama sekali tidak mampu lagi
meninggalkan sifat keperempuan-perempuanannya, sulit meninggalkan
gemulainya saat berjalan dan berbicara, setelah dia melakukan upaya
penyembuhan untuk bisa meninggalkan kelainan tersebut. Sebab, hal itu
masih mungkin dihilangkan walaupun dengan bertahap, dia harus
mengupayakannya. Jika dia tidak berupaya menghilangkannya tanpa ada uzur
padahal dia bisa sembuh, dia pun terkena celaan. (Fathul Bari, 10/409)
Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya, al-Kabair, menyebutkan
dosa tasyabbuh dengan lawan jenis ini sebagai salah satu dari dosa
besar. Beliau menyatakan bahwa apabila wanita memakai pakaian khusus
lelaki, berarti si wanita telah menyerupai lelaki dalam hal pakaian,
sehingga dia masuk dalam laknat Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya.
Suami si wanita menanggung pula dosanya
apabila si suami memberi kelapangan bagi istrinya untuk melakukannya
atau dia menyenanginya dan tidak melarangnya. Suami turut menanggung
dosanya karena dia diperintah untuk meluruskan istrinya di atas ketaatan
kepada Allah ‘azza wa jalla dan melarangnya berbuat maksiat. Hal ini berdasar firman Allah ‘azza wa jalla,
قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
“Jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim: 6)
Dan berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقيَامَةِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan ditanya tentang rakyatnya (yang dipimpinnya). Seorang
lelaki adalah pemimpin di keluarganya dan dia akan ditanya/dimintai
pertanggungjawaban tentang mereka pada hari kiamat.” (Muttafaqun ‘alaihi) (al-Kabair, hlm. 129)
Al-Imam al-Haitsami rahimahullah dalam az-Zawajir (1/126)
berkata, “Perbuatan tasyabbuh dengan lawan jenis terhitung dalam dosa
besar adalah merupakan hal yang jelas berdasarkan hadits-hadits yang
Anda ketahui dan ancaman keras yang di dalamnya.
Yang aku lihat dalam tasyabbuh ini, para
imam (ulama) kita memiliki dua pendapat: satu pendapat mengatakan
haram. Pendapat ini yang dinyatakan sahih oleh an-Nawawi, bahkan beliau
benarkan. Pendapat kedua mengatakan makruh dan ini dinyatakan sahih oleh
ar-Rafi’i dalam satu tempat.
Namun, yang sahih, bahkan yang benar,
adalah pendapat yang dinyatakan oleh an-Nawawi bahwa hal tersebut haram,
bahkan termasuk dosa besar—sebagaimana telah aku kemukakan.
Aku juga melihat sebagian orang yang
membahas tentang dosa-dosa besar menggolongkan tasyabbuh dengan lawan
jenis sebagai dosa besar, dan inilah pendapat yang zahir.” (Sebagaimana
dinukil dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 148—149)
Ibnu at-Tin rahimahullah
berkata, “Pihak yang mendapat laknat dalam hadits ini adalah para lelaki
yang bertasyabbuh dengan para wanita atau para wanita bertasyabbuh
dengan para lelaki dalam hal pakaian khusus (masing-masing).
Adapun para lelaki yang perbuatan
tasyabbuhnya dengan para wanita (si lelaki telah menjelmakan dirinya
atau memosisikan dirinya sebagai wanita) sampai pada taraf berhubungan
badan dengan sesama lelaki pada duburnya (melakukan liwath/sodomi sebagaimana perbuatan kaum Luth ‘alaihissalam),
atau tasyabbuh para wanita dengan lelaki (si wanita telah menjelma
menjadi lelaki) sampai pada taraf dia “mendatangi” sesama wanita dengan
melakukan sahq (dimaklumi dari perbuatan para lesbian), na’udzubillah, kedua macam penyimpangan moral ini sangat pantas beroleh celaan dan hukuman lebih keras[7] daripada pelaku yang belum sampai pada taraf demikian.” (Fathul Bari, 10/409)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan (dalam urusan orang banci dan lesbian),
أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ
“Keluarkan (usirlah) mereka dari rumah-rumah kalian.” (HR. al-Bukhari no. 5886)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Fulan (seorang banci) dan Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu mengusir Fulanah (seorang wanita yang menyerupai lelaki).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mengusir mukhannats (banci) dan mutarajjilah
(lesbian) dengan maksud agar tasyabbuh yang mereka lakukan dengan lawan
jenis tidak sampai pada taraf melakukan perbuatan mungkar di atas
(melakuan liwath dan sahq). (Fathul Bari, 10/409)
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja mengusir mereka dan memerintahkan mengusir mereka, mengapa ada orang-orang yang sok berteriak-teriak
agar para banci dan para lesbian ini diberi tempat dan diakui
keberadaannya, lalu menganggap sah-sah saja adanya transgender? Wallahul musta’an.
Sebagai penutup, kita bawakan sebuah
hadits yang apabila dibaca oleh orang-orang yang berperilaku menyimpang
tersebut, semoga mereka mau segera bertobat dan memaksimalkan pengobatan
penyakit ‘kelainan’nya. Mereka yang belum terkena, jangan coba-coba
mendekati penyakit tersebut.
Abdullah ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ إلَيْهِمْ يَوْمَ الْقْيَامَةِ: الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ، وَالدَّيُّوثُ
“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah ‘azza wa jalla tidak akan melihat mereka pada hari kiamat kelak,
- anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya,
- wanita mutarajjilah (kelelaki-lelakian) yang menyerupai kaum lelaki, dan
- dayyuts.”[8]
(HR. an-Nasa’i, kata al-Imam al-Hakim rahimahullah, “Shahihul isnad,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullah. Kata al-Imam al-Albani rahimahullah, “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan keduanya, insya Allah.” Catatan kaki Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 145)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur,
sejenis tumbuhan yang tumbuh di Jazirah Arab, sehingga warna pakaian
yang dicelup tersebut berubah menjadi kuning atau merah yang khas.
[2] Sehingga warna celupannya luntur.
[3] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan demikian sebagai peringatan keras bagi lelaki yang memakai pakaian mu’ashfar.
[4] Yakni bagaimana kabarnya.
[5] Menurut pendapat yang mewajibkan menutup wajah bagi wanita. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
[6] Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berdalil untuk pendapat ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak melarang seorang banci masuk ke tempat para wanita sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar si banci tersebut menyebutkan secara rinci sifat seorang wanita. Ketika itu barulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang si banci masuk ke tempat para wanita. Dikabarkan oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang berada di sisinya saat di rumahnya ada seorang banci. Si banci
berkata kepada Abdullah saudara lelaki Ummu Salamah, “Wahai Abdullah,
apabila besok Allah ‘azza wa jalla memberikan kemenangan kepada
kalian atas negeri Thaif, aku akan menunjukkan kepadamu putri Ghailan,
karena dia menghadap dengan empat dan membelakang dengan delapan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali mereka ini masuk ke tempat kalian.”
Hal ini menunjukkan tidak ada celaan bagi seorang banci yang memang asal penciptaannya demikian. (Fathul Bari, 10/409)
[7] Ada sebuah hadits yang menyebutkan tentang hukuman bagi pelaku liwath/sodomi, disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ
“Siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah (pelaku) dan yang menjadi obyek).”
(HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dll. Al-Imam Ahmad berargumen dengan hadits ini. Sanad haditsnya menurut syarat al-Bukhari, kata al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ad-Da’u wa ad-Dawa’ [hlm. 262—263]. Beliau juga menyatakannya sahih dalam Zadul Ma’ad.)
[8]
Suami/kepala keluarga yang tidak memiliki kecemburuan terhadap
keluarganya dengan membiarkan kemungkaran di tengah-tengah mereka.

Engkau Istimewa Karena Takwa
Pernikahan insan selalu saja
menjadi saat yang berharga dan spesial dalam hidupnya. Siapa gerangan
yang tidak berbahagia menghadapinya, kecuali mungkin mereka yang “kawin
paksa”, dan kejadian yang seperti itu sedikit.
Sebelum ke jenjang pernikahan, orang biasa pilah pilih,
siapa yang bakal menjadi teman hidupnya. Si lelaki memilih, si
perempuan pun memilih. Karena perempuan berhak memilih, dia boleh
menolak pinangan lelaki yang datang apabila memang dia tak suka.
Perempuan biasa dipilih karena empat hal, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ، لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Perempuan dinikahi karena empat
hal; karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Utamakanlah oleh kalian perempuan
yang baik agamanya, taribat yadak.” (HR. Muslim no. 3620)
Perhatikan hadits di atas! Memang,
ketaatan beragama selalu saja menjadi prioritas terdepan dalam urusan
pernikahan. Siapa pun dia dan dari mana pun dia. Jadi, apabila seorang
perempuan cantik jelita, kaya raya, memiliki kedudukan dan martabat
tinggi di tengah-tengah manusia, dari keturunan bangsawan pula, namun
agamanya ‘hampa’, dia bukan perempuan salihah. Adakah kebaikan yang
diharapkan darinya, padahal kebaikan yang hakiki adalah kebaikan agama?
Apabila perempuan dituntut kesalihannya, demikian pula lelaki. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertitah kepada para wali perempuan yang didatangi oleh lelaki saleh yang ingin melamar putri atau saudari mereka,
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ، فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Jika melamar kepada kalian,
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah perempuan
kalian dengannya. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah
(bencana) di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan sahih, lihat Shahih at-Tirmidzi no. 1084, al-Irwa no. 1868, ash-Shahihah no. 1022)
Dalam Tuhfatul Ahwadzi dijelaskan
makna hadits di atas sebagai berikut. Jika seseorang yang kalian anggap
baik agama dan pergaulannya meminta kalian untuk menikahkannya dengan
seorang perempuan dari kalangan anak-anak atau karib kerabat kalian,
nikahkanlah perempuan kalian dengannya. Apabila tidak kalian lakukan,
padahal agama dan perangai si lelaki bagus, karena kalian hanya
menginginkan seseorang yang terpandang nasabnya, bagus fisiknya (tampan
rupawan), atau hartanya, niscaya akan terjadi fitnah (bencana) dan
kerusakan yang besar.
Sebab, kalau kalian tidak mau menikahkan
perempuan kalian kecuali dengan lelaki yang berharta atau berkedudukan,
bisa jadi banyak perempuan kalian yang hidup tanpa memiliki suami. Akan
banyak pula lelaki kalian yang tidak memiliki istri. Akhirnya.
merebaklah bencana dengan terjadinya perbuatan zina. Bisa jadi, para
wali perempuan mendapatkan cela hingga bergejolaklah bencana demi
bencana dan kerusakan, dan berdampak terputusnya nasab, sedikitnya
kesalihan dan sedikitnya iffah ( kehormatan diri). (Kitab an-Nikah, bab “Ma Ja’a, Idza Ja’akum man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu”)
Demikianlah bimbingan agama yang mulia
bagi para pendamba kemuliaan. Akan tetapi, banyak manusia berpaling
darinya, sadar ataupun tidak. Tidak murni salah memang apabila seseorang
memilih pasangan karena kebagusan fisiknya. Tidak pula disalahkan
seseorang yang mengutamakan nasab tertentu atau memilih yang sesuku.
Ingin yang bangsawan dan orang terpandang, ingin yang berharta… dst.
Semuanya keinginan yang manusiawi, boleh-boleh saja. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati dan memberikan arahan kepada Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha agar tidak menerima lamaran Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, karena Muawiyah seorang yang fakir, tidak berharta?[1]
Sebelum jauh mengurus proses pernikahan, bukankah disyariatkan nazhar (melihat calon pasangan) terlebih dahulu? Kira-kira apa fungsinya? Melihat fisik, bukan?
Yang dicela hanyalah apabila sisi agama
diabaikan dan tidak dijadikan prioritas. Maka dari itu, janganlah
manusia hanya dinilai dari kedudukan, keturunan, dan
kekayaannya. Yang keturunan bangsawan enggan menikah dengan yang bukan
bangsawan. Kabilah yang dianggap mulia hanya mau menikah dengan yang
sederajat. Keturunan Arab berpikir seribu kali untuk menikah dengan
orang ajam (non-Arab).
Apabila ada yang beralasan bahwa menikah
haruslah dengan yang sekufu, perlu dipahami terlebih dahulu apa maksud
sekufu tersebut. Makna sekufu, kata al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah, adalah sama dan semisal. Sekufu yang teranggap adalah sekufu dalam hal agama. (Subulus Salam, 6/57)
Jadi, si lelaki dan si perempuan seagama[2], dan keduanya adalah orang baik-baik. Sebab, Allah ‘azza wa jalla mengingatkan dalam Tanzil-Nya,
ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ
“Perempuan-perempuan yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji. Dan lakilaki yang keji adalah untuk
perempuan-perempuan yang keji pula. Perempuan-perempuan yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik adalah untuk
perempuan-perempuan yang baik pula.” (an-Nur: 26)
Al-Imam Malik rahimahullah termasuk yang berpendapat bahwa kafa’ah (sekufu) yang teranggap hanyalah dalam masalah agama, bukan yang lain. (al-Mughni, Kitab an-Nikah, Mas’alah Wal Kuf’u Dzud Din wa al-Manshib)
Dinukilkan pula pendapat seperti ini dari Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Demikian pula Ibnu Sirin rahimahullah dan Umar bin Abdil Aziz rahimahullah dari kalangan tabi’in. (Fathul Bari, 9/165—166)[3]
Dalilnya, kata al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah, ialah ayat 13 dari surah al-Hujurat dan hadits,
النَّاسُ كُلُّهُمْ وَلَدُ آدَمَ
“Manusia semuanya adalah anak Adam.” (HR. Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat 1/25. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dalam Sunannya dengan sedikit perbedaan lafadz no. 5116 dan at-Tirmidzi no. 3955; dinyatakan hasan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi) (Subulus Salam, 6/57)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengisyaratkan dukungan terhadap pendapat ini. Dalam Kitab an-Nikah dalam Shahih-nya, beliau membuat judul bab: al-Ikfa’ fid Din (bab “Sekufu Itu dalam Agama”). Kemudian beliau membawakan firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ مِنَ ٱلۡمَآءِ بَشَرٗا فَجَعَلَهُۥ نَسَبٗا وَصِهۡرٗاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرٗا ٥٤
“Dan Dia pula yang menciptakan
manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu berketurunan dan
bermushaharah (hubungan yang terjalin karena pernikahan)….” (al-Furqan: 54)
Beliau bawakan pula beberapa hadits, di antaranya hadits Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha tentang Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah radhiallahu ‘anhu
yang memiliki anak angkat bernama Salim, seorang maula (bekas budak),
dan dinikahkannya dengan keponakannya, Hindun bintu al-Walid bin Utbah
bin Rabi’ah. (Hadits no. 5088)
Dengan demikian, apabila engkau, wahai
lelaki, ingin menikah dengan perempuan yang mulia, carilah perempuan
yang bertakwa. Sebab, kemuliaan ada pada takwa, bukan yang lain. Setelah
itu, baru engkau memperhitungkan paras si perempuan, nasabnya, dan
seterusnya. Demikian pula dirimu, wahai perempuan, pilihlah seorang yang
bertakwa sebagai suamimu, setelah itu baru engkau melihat sisi yang
lain.
Jadi, tidak masalah engkau yang
bangsawan menikah dengan yang bukan bangsawan, asal saling ridha. Tidak
masalah engkau yang kaya menikah dengan yang miskin. Sebab, semua itu
bukan standar kemuliaan. Kemuliaan, sekali lagi, hanya ada pada takwa.
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
berkata, “Ulama Islam sepakat tentang bolehnya seorang lelaki menikahi
perempuan yang bukan dari kabilahnya, apabila agama mereka sama. Ulama
pun sepakat tentang bolehnya seorang muslim menikahi perempuan ahlul
kitab yang menjaga kehormatan dirinya, walaupun si perempuan bukan dari
kalangan bangsa Arab. Dalil tentang hal ini banyak didapatkan dari
al-Quran, as-Sunnah, dan amalan salaf. Di antaranya,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Dalam ayat yang mulia di atas, Allah ‘azza wa jalla menjelaskan kepada para hamba-Nya, tidak ada kelebihan atau keistimewaan seseorang terhadap orang lain di sisi Allah ‘azza wa jalla selain dengan takwa. Maka dari itu, orang yang paling mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla adalah yang paling bertakwa di antara mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang paling mulia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang paling bertakwa di antara manusia.”
Ayat dan hadits yang disebutkan di atas
menunjukkan bahwa kabilahkabilah yang ada di tengah-tengah masyarakat
manusia adalah sekufu, sama, dan sederajat. Oleh karena itu, seorang
lelaki dari kabilah Quraisy (Qurasyi) dan dari Bani Hasyim (Hasyimi)
boleh menikah dengan seorang perempuan dari Bani Tamim dan Qahthan, atau
selain keduanya. Demikian pula sebaliknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri, yang merupakan seorang dari Bani Hasyim yang paling mulia,
menikah dengan Zainab bintu Jahsyin dari Bani Asad bin Khuzaimah. Zainab
bukanlah dari suku Quraisy. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga menikah dengan Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, Hafshah bintu Umar,
Juwairiyah bintu al-Harits, Saudah bintu Zam’ah, Ummu Salamah dan
Aisyah, semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka, semuanya bukan dari kalangan Bani Hasyim. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyah bintu Huyai, seorang keturunan Bani Israil.
Umar ibnu al-Khaththab radhiallahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum bintu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, padahal Umar dari Bani ‘Adi sedangkan Ummu Kultsum dari Bani Hasyim.
Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu menikah dengan dua putri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
, secara berurutan yang satu setelah meninggal yang lain, yaitu
Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Utsman dari Bani Umayyah sementara dua putri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas dari Bani Hasyim.
Kenyataan seperti ini banyak sekali (menikah dengan kabilah yang berbeda). Semua ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau g adalah orang-orang yang tidak lagi memedulikan urusan nasab ketika urusan agama telah lurus.
Termasuk bukti yang menunjukkan akan hal ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Usamah bintu Zaid radhiallahu ‘anhu dengan Fathimah bintu Qais, seorang perempuan dari suku Quraisy. Padahal, Usamah adalah seorang bekas budak dari Bani Kalb.
Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams radhiallahu ‘anhu
menikahkan putri saudara lelakinya (keponakannya) dengan bekas budaknya
yang bernama Salim, padahal keponakannya dari suku Quraisy, sedangkan
Salim seorang mantan budak.
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu
menikahkan saudara perempuannya dengan al-Asy’ats bin Qais. Abu Bakr
dari Bani Tamim dari suku Quraisy, sedangkan al-Asy’ats dari Bani Kindah
(al-Kindi).
Abdur rahman ibnu Auf radhiallahu ‘anhu
menikahkan saudara perempuannya dengan Bilal bin Rabah, sang muazin,
padahal saudarinya adalah Zuhriyah Quraisyiyah sedangkan Bilal seorang
Habasyi (dari Afrika).
Semua ini menunjukkan kepada pencari
ilmu tentang bolehnya pernikahan dengan selain kabilahnya jika memang
urusan agama sudah lurus. Dalil dan kenyataan yang disebutkan di atas
kiranya mencukupi, insya Allah.” (Fatwa ini disampaikan
Samahatusy Syaikh tatkala beliau masih menjabat sebagai Wakil Rektor
Universitas Islam Madinah. Dikutip dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, hlm. 401—403)
Seseorang hanyalah istimewa dengan
takwa. Maka dari itu,ketika memilih pasangan ataupun memilihkan pasangan
untuk orang lain, utamakan takwa, setelahnya baru mempertimbangkan hal
lain. Tidak boleh menganggap remeh urusan agama si calon. Periksalah,
apakah dia seorang yang senantiasa menegakkan shalat dan menjalankan
rukun-rukun Islam yang lain? Apakah dia seorang yang selalu berupaya
meninggalkan kemaksiatan? Apakah dia seorang yang berbakti kepada kedua
orang tuanya, suka beramar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai kebaikan
lainnya?
Seseorang yang mengesampingkan perkara
agama dalam urusan ini menunjukkan bahwa dia seorang yang lemah
agamanya, lemah keimanannya, dan sedikit takwanya.
Para wali yang mengurusi perempuan
mereka, baik putri, saudara perempuan, maupun keponakan perempuan,
hendaknya mengedepankan kesalihan seorang lelaki yang meminang perempuan
mereka.
Apabila si perempuan ridha terhadap
lelaki yang datang, tanpa ada cela pada agama dan akhlak si lelaki, wali
wajib menikahkannya, walaupun si lelaki bukan dari kasta atau “kelas”
yang sama dengan mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas,
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ، فَزَوِّجوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Jika melamar kepada kalian,
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah perempuan
kalian dengannya. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah
(bencana) di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Wali tidak boleh memaksa seorang perempuan untuk menikah dengan lelaki pilihan walinya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Anak gadis tidak boleh dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. al- Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, tidak ada kehinaan bagi
seorang bangsawan menikah dengan bukan bangsawan. Tidak ada kerendahan
bagi seorang Arab ketika menikah dengan non-Arab. Tidak ada cela satu
suku menikah dengan suku yang berbeda. Manusia semuanya sama, anak
keturunan Adam q. Yang membuatmu istimewa hanyalah karena takwa. Karena
takwa pula engkau pantas diutamakan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Ketika Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha selesai dari iddahnya,
datanglah Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm melamarnya. Fathimah
menyampaikan perihal lamaran tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam guna meminta bimbingan beliau. Beliau menasihatkan, “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sementara itu, Muawiyah seorang yang fakir, tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid….” (HR. Muslim)
[2] Walaupun ada kebolehan bagi lelaki untuk menikah dengan perempuan dari kalangan ahlul kitab.
[3] Adapun jumhur ulama memandang bahwa selain agama maka nasab juga termasuk dalam kafa’ah. (Fathul Bari, 9/166)

Tiga Hal yang Diridhai dan Tiga Hal yang Dimurkai Allah
KHUTBAH PERTAMA:
الْحَمْدَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Hadirin rahimakumullah,
Allah ‘azza wa jalla telah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102)
Tidak bosan-bosannya para khatib dan
penceramah mengajak kaum muslimin agar bertakwa kepada Allah, yaitu
dengan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebab,
itulah pangkal kesejahteraan.
Hadirin rahimakumullah,
Di antara bentuk ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla adalah mencari keridhaan-Nya serta menjauhi kemurkaan-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman di dalam al-Qur’anul karim,
أَفَمَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٰنَ ٱللَّهِ كَمَنۢ بَآءَ بِسَخَطٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦٢
Apakah orang yang mengikuti keridaan
Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar)
dari Allah dan tempatnya adalah Jahanam? Dan itulah seburuk-buruk tempat
kembali. (Ali Imran: 162)
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Dalam khutbah kali ini, kami akan menyebutkan beberapa hal yang diridhai dan yang dimurkai oleh Allah ‘azza wa jalla. Beberapa hal tersebut disebutkan oleh hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَ ثَالًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَ ثَالًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا، وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَن وَ هَّالُ اللهُ أَمْرَكُمْ، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah ridha terhadap kalian pada tiga hal dan memurkai kalian karena tiga hal. Allah meridhai kalian jika,
- Kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya
- Kalian semua berpegang teguh dengan tali Allah serta tidak berpecah belah
- Kalian saling memberi nasihat dengan orang yang Allah kuasakan padanya urusan kalian,
Allah ‘azza wa jalla akan memurkai kalian pada tiga hal,
- Berkata-kata dengan berprasangka
- Banyak meminta-minta atau banyak bertanya-tanya
- Membuang-buang harta.”
(HR . Muslim)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!
Hadits tersebut menunjukkan bahwa perkara pertama yang diridhai oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam hal beribadah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ
“Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (an-Nisa’: 36)
Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Tauhid adalah modal utama untuk seseorang masuk surga dan selamat dari neraka sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ لَقِيَ اللهَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa berjumpa dengan Allah dengan tidak menyekutukan apapun dengan-Nya, niscaya akan masuk surga.” (HR . al-Bukhari dari Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka bagi orang70 orang yang berkata, ‘La ilaha ilallah,’ (Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah ‘azza wa jalla) dengan ikhlas sepenuh hati mengharap wajah Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Utbah radhiallahu ‘anhu)
Kesyirikan adalah penyebab utama masuk dan kekalnya seseorang dalam neraka serta terhalangnya dari masuk surga. Firman Allah ‘azza wa jalla,
لَقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۖ وَقَالَ ٱلۡمَسِيحُ يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمۡۖ إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.”
Padahal al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu.”
Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi
orang-orang lalim itu seorang penolong pun. (al-Maidah: 72)
Hadirin rahimakumullah!
Perkara kedua yang diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla yang disebutkan dalam hadits di atas, “Berpegang teguhlah dengan tali Allah ‘azza wa jalla dan jangan berpecah belah.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ
“Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran:103)
Maksudnya adalah berpegang teguh dan
berpedoman dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala aspek kehidupan
beragama (ibadah, akhlak, akidah, maupun muamalah) serta mengedepankan
ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah daripada ajaran lain apa pun bentuk
ajarannya.
Larangan bercerai berai dari ayat dan
hadits tadi menuntut kita untuk bersatu dan bersepakat di atas al-haq,
al-Qur’an, dan as-Sunnah sebagaimana yang ditegakkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Ini tidak akan terealisasi kecuali
dengan mengembalikan segala perselisihan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan pemahaman para sahabat dan orang yang mengikuti jejak mereka.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
“Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri (pemegang
kekuasaan dan alim ulama) di antara kalian. Jika kalian berbeda
pendapat, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul
(as-Sunnah) jika kalian beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu
lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Rasulullah bersabda,
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي إِلَى ثَ ثَالٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: هُمْ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Umat ini akan terpecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di neraka kecuali satu. (Para
sahabat) bertanya, ‘Siapa mereka yang selamat wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab, ‘Mereka adalah yang seperti aku dan para sahabatku sekarang
ini’.” (HR . at-Tirmidzi dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Hal ketiga yang diridhai Allah ‘azza wa jalla
dalam hadits di atas adalah saling menasihati dan bekerja sama dengan
pemegang kekuasaan pemerintahan negeri kaum muslimin. Keputusan dan
peraturan penguasa kaum muslimin temasuk pihak yang diperintahkan oleh
Allah ‘azza wa jalla untuk kita taati dan patuhi, dalam hal yang baik.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri (pemegang kekuasaan dan
alim ulama) di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama dan lebih
baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Kita juga berhak memberi usulan,
masukan, dan untaian nasihat secara sopan, diam-diam, tidak
terang-terangan. Kita dituntut untuk bersabar menghadapi berbagai hal
atau sikap penguasa yang menurut kita tidak cocok, baik terhadap kita
pribadi atau masyarakat umum. Di antara nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرَا فَيَمُوتُ إِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa melihat dari tindakan
pemimpinnya kurang berkenan di hatinya, hendaknya dia bersabar. Karena
tidaklah seseorang yang menyelisihi jamaah walaupun hanya sejengkal,
kemudian dia mati, melainkan dia mati jahiliah.” (HR . al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas)
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرآنِ الْكَرِيم،ِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتَ وَالذِّكْرِ الْحَكِيم. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمِ.
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وِدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا، وَأَشْهَدُ أَنْ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ شَرِيكَ لَهُ إِقْرَارًا بِهِ وَتَوْحِيدًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُه، صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا مَزِيدًا. أَمَّا بَعْدُ
Jamaah Jumat rahimakumullah,
Adapun tiga hal yang dimurkai oleh Allah ‘azza wa jalla yang disebutkan dalam hadits di atas;
Pertama, suka membicarakan berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, hindarilah dari banyak berprasangka.” (al-Hujurat: 12)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Tinggalkanlah berprasangka, karena berprasangka adalah sedusta-dustanya pembicaraan.” (HR . Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Bahkan Islam melarang seseorang memberitakan setiap apa yang dia dengar dan setiap apa yang dia lihat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap dusta dengan dia membicarakan setiap apa yang dia dengar.” (HR . Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Terlebih lagi kalau sampai berdusta, padahal Allah ‘azza wa jalla telah berfirman,
وَٱجۡتَنِبُواْ قَوۡلَ ٱلزُّورِ ٣٠
“Jauhilah perkataan dusta.” (al-Hajj: 30)
Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Jauhilah dusta, karena berdusta
akan mengantarkan kepada keburukan, sedangkan keburukan akan
mengantarkan ke neraka. Jika seseorang selalu berdusta dan menekuninya,
niscaya akan ditulis di sisi Allah ‘azza wa jalla sebagai pendusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Hal kedua yang dimurkai oleh Allah ‘azza wa jalla
adalah banyak meminta-minta apa yang dimiliki oleh orang lain serta
senang mengajukan kebutuhannya kepada orang lain. Tidaklah sepantasnya
seorang muslim yang sehat menghinakan dirinya dengan cara meminta-minta.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لاَ تَزَالُ الْمَسْأَلَةَ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مَزْعَةُ لَحْمٍ
“Tidaklah perbuatan meminta-minta
ditekuni oleh seseorang kecuali dia akan berjumpa dengan Allah dalam
keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Pada hadits lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Perbuatan meminta-minta adalah penggaruk yang mengoyak wajah seseorang. Kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa atau dalam urusan yang mengharuskannya meminta.” (HR . at-Tirmidzi, dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu)
Hal ketiga yang dimurkai oleh Allah dalam hadits di atas adalah perbuatan menyia-nyiakan harta. Sebab, harta adalah karunia dan kenikmatan dari Allah ‘azza wa jalla yang wajib disyukuri. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman,
وَٱشۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ ١١٤
“Syukurilah kenikmatan Allah atas kalian jika kalian hanya beribadah kepadanya.” (an-Nahl: 114)
اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, mudahkanlah kami dalam berzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.”
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Shaf Shalat Jenazah Jika Makmum Satu Orang
Bagaimana posisi imam dan makmum dalam shalat jenazah yang menyalatkan hanya dua orang? Jazakumullahu khairan.
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Sebagian ulama berpendapat, jika yang
berjamaah menyalati jenazah adalah dua orang lelaki, keduanya berjamaah
dengan dua shaf; imam berdiri sendiri di depan dan makmum berdiri
sendiri di belakangnya, bukan satu shaf dengan berdiri sejajar seperti
halnya pada shalat-shalat lainnya. Ini pendapat yang dipilih oleh
al-Albani dalam kitab Ahkamul Jana’iz (hlm. 128).
Pendapat ini berdalil dengan hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ دَعَا رَسُوْلَ اللهِ إِلَى عُمَيْرِ بْنِ أَبِيْ طَلْحَةَ حِيْنَ تُوُفِّيَ، فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ فِيْ مَنْزِلِهِمْ، فَتَقَدَّمَ رَسُوْلُ اللهِ وَكَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ وَرَاءَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ وَرَاءَ أَبِيْ طَلْحَةَ، وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ غَيْرُهُمْ
“Sesungguhnya Abu Thalhah mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah ‘Umair bin Abi Thalhah ketika wafatnya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dan menyalatinya di rumah mereka, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maju
ke depan, sedangkan Abu Thalhah di belakangnya dan Ummu Sulaim di
belakang Abu Thalhah, tidak ada orang lain selain mereka.” (HR . al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabarani)
Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz (hlm. 126).
Al-Albani semakin memperkuatnya dengan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ahmad yang semakna dengannya.
Sebagian fuqaha Hanabilah menjadikan
hadits ini sebagai dalil untuk berpendapat disyariatkan bagi makmum
bershaf seorang diri untuk merealisasikan tiga shaf saat menyalati
jenazah.
Maksudnya, jika yang hadir Cuma tiga
orang, lebih utama bershaf sendiri-sendiri; shaf imam, satu makmum di
belakang imam, dan satu makmum di belakang makmum tersebut.
Ibnu Rajab al-Hanbali menukilnya sebagai pendapat al-Qadhi Abu Ya’la dan Ibnu ‘Aqil. Begitu pula al-Mardawi dalam kitab al-Inshaf menukil hal yang sama dari sebagian fuqaha Hanabilah tersebut.
Adapun mazhab Hanbali yang merupakan pendapat jumhur fuqaha Hanabilah—sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Inshaf—menyatakan
tidak boleh dan tidak sah seorang makmum bershaf seorang diri secara
mutlak, yakni baik pada shalat fardhu, shalat sunnah, maupun shalat
jenazah. Walau dengan alasan ingin merealisasikan tercapainya tiga shaf
dalam pelaksanaan shalat jenazah—yang menurut mazhab Hanbali disunnahkan
berjamaah tiga shaf pada shalat jenazah—tetapi jika tiga shaf itu hanya
dapat direalisasikan dengan bershaf sendiri-sendiri, hal itu tidak sah.
Pendapat ini yang benar, insya Allah, kendati tidak ada nash (dalil langsung dalam masalah ini) yang tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun hadits yang diriwayatkan sebagai nash dalam masalah ini adalah hadits yang keliru. Dalam kitab Fathul Bari, syarah hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kuburan, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalati jenazah yang sudah terkubur itu dari atas kuburannya dan para sahabat bershaf di belakangnya, Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
berkata, “Hadits ini telah dikeluarkan pula oleh ad-Daraquthni dari
jalan riwayat Syarik dari asy-Syaibani dengan sanad tersebut. Dia
mengatakan pada haditsnya,
.فَقَامَ فَصَلَّى عَلَيْهِ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ
“Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
dan menyalatinya, kemudian aku berdiri (sejajar) di sebelah kirinya.
Beliau lalu memindahkanku ke sebelah kanannya (sejajar dengannya).”
Ini adalah lafadz tambahan yang
ganjil/keliru. Aku tidak mengetahui rawi lain yang menyebutkannya selain
Syarik padahal dia bukan hafizh (penghafal hadits). Seandainya
riwayat ini benar, tentulah akan dijadikan dalil bahwa sifat susunan
shaf pada shalat jenazah sama dengan sifat susunan shaf pada
shalat-shalat lainnya. Dalam masalah ini, sahabat-sahabat kami (fuqaha
Hanabilah –pen.) telah berbeda pendapat.”
Kemudian Ibnu Rajab menukil pendapat
sebagian fuqaha Hanabilah yang menyatakan sama dengan sifat shaf pada
shalat fardhu dan itu adalah lahiriah ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah. Ini yang telah kami sampaikan di atas sebagai mazhab Hanbali.
Ibnu Rajab juga menukil pendapat sebagian fuqaha Hanabilah lainnya yang telah kami sampaikan pula di atas.[1] Jadi, yang menjadi dalil dalam masalah ini adalah keumuman makna hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai sifat susunan shaf dalam shalat berjamaah.
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa jika
shalat berjamaah didirikan oleh dua orang lelaki saja, imam dan makmum
berdiri sejajar dalam satu shaf; imam di sebelah kiri dan makmum di
sebelah kanannya.
Hadits-hadits tersebut adalah:
- Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu yang meriwayatkan safarnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada safar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan,
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُوْلِ اللهِ فَأَخَذَ بِيَدِيْ فَأَدَارَنِيْ حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُوْلِ اللهِ، فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ بِيَدِنَا جَمِيْعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Lalu aku datang hingga berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sejajar
dengannya), lantas beliau memegang tanganku dan menggeserku ke sebelah
kanannya (sejajar dengannya). Selanjutnya datang Jabbar bin Shakhr, lalu
dia berwudhu, kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sejajar
dengannya), lantas Rasulullah memegang tangan kami berdua dan mendorong
kami (ke belakang) hingga beliau memosisikan kami di belakangnya.” (HR. Muslim)[2]
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa ia pernah bermalam di rumah khalahnya (bibinya), Maimunah radhiallahu ‘anha yang merupakan salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun melaksanakan shalat malam.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
.فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِينِهِ
“Kemudian aku datang dan berdiri di
sebelah kirinya (sejajar dengannya), lantas beliau menggeserku ke
sebelah kanannya (sejajar dengannya).” (Muttafaq ‘alaih)
Kaidah syariat menyatakan bahwa hukum
yang berlaku pada shalat wajib berlaku pula pada shalat sunnah, kecuali
ada dalil yang membedakan. Begitu pula sebaliknya, hukum yang berlaku
pada shalat sunnah berlaku pula pada shalat wajib, kecuali ada dalil
yang membedakan.
Artinya, keumuman makna hadits-hadits
ini menunjukkan hukum yang sama untuk sifat susunan shaf dalam shalat
berjamaah pada seluruh jenis shalat; shalat wajib, shalat sunnah, dan
shalat jenazah.
Pendalilan dengan keumuman makna hadits-hadits ini lebih kuat—insya Allah—daripada pendalilan pendapat pertama dengan hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma dan hadits Anas radhiallahu ‘anhu yang keduanya memiliki kelemahan dari segi riwayat.
Benar, hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma telah dinyatakan sahih oleh sebagian ahli hadits. Al-Hakim menyatakannya sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, dibenarkan oleh adz-Dzahabi. Al-Muhaddits al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz meluruskan bahwa hadits ini sahih menurut syarat Muslim saja[3].
Namun, guru besar kami al-Muhaddits Muqbil Al-Wadi’i menyatakan hadits ini dha’if (lemah) dalam Tatabbu’ Auham al-Hakim[4] dengan alasan sanadnya mursal[5], karena ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma adalah sahabat kecil. Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha mengandungnya ketika Perang Hunain, sebagaimana dalam Tahdzib at-Tahdzib.
Artinya, dia belum mumayyiz (berakal) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga belum paham dengan apa yang terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi, dia memiliki kemuliaan persahabatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi riwayatnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terputus (mursal) dan hukumnya seperti mursal tabi’i (murid sahabat).
Adapun hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sanadnya dha’if (lemah), karena pada sanadnya ada periwayat lemah bernama ‘Abdullah bin ‘Umar al-’Umari[6] dan periwayat majhulah (tidak dikenal) bernama Ummu Yahya[7].
Kesimpulannya, pendapat yang benar
adalah pendapat yang mengatakan sifat susunan shaf pada shalat jenazah
sama dengan shalat-shalat lainnya. Jika shalat berjamaah didirikan oleh
dua orang lelaki saja, imam dan makmum berdiri sejajar dalam satu shaf;
imam di sebelah kiri dan makmum di sebelah kanannya.
Wallahu a’lam.
[1] Lihat kitab Fathul Bari, syarah kitab al-Adzan, Bab “Wudhu’i ash-Shibyan” (8/24—25) karya Ibnu Rajab dan al-Inshaf karya al-Mardawi (2/289—290) dan (2/515).
[2] Adapun amalan Jabbar bin Shakhr radhiallahu ‘anhu
pada hadits ini, hal itu karena pada mulanya disyariatkan bagi imam
yang berjamaah dengan dua orang atau lebih agar berdiri satu shaf.
Namun, hukum tersebut mansukh (dihapus) dengan hukum baru yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini, yaitu imam berdiri sendiri di depan dan para makmum (minimal dua lelaki) bershaf di belakangnya.
[3] Karena al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits ‘Imarah bin Ghuzayyah kecuali dalam bentuk ta’liq, yaitu dengan membuang sanadnya sehingga tidak termasuk hadits musnad yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
[4] Lihat kitab Tatabbu’ Auham al-Hakim al-Lati Sakata ‘Alaiha adz-Dzahabi fi al-Mustadrak (1/513—514).
[5] Sanad yang mursal adalah sanad yang terputus antara periwayat tabi’i (murid sahabat) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tabi’i tidak mendapati zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[6] Lihat kitab Taqrib at-Tahdzib, dan ini salah satu dari faedah yang kami dapatkan dari guru besar kami al-Muhaddits al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar al-’Umari berderajat dha’if. Walhamdulillah.
[7] Al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawa’id (3/52,
no. 4168, Maktabah Syamilah), “Diriwayatkan oleh Ahmad. Pada sanadnya
ada Ummu Yahya dan aku tidak menemukan seorang pun yang menyebutkan
biografinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata dalam Ta’jil al-Manfa’ah bi Zawa’id Rijal al-Aimmah al-Arba’ah (1/564, Maktabah Syamilah), “Ummu Yahya tidak dikenal dan yang meriwayatkan darinya adalah ‘Abdullah bin ‘Umar al-’Umari.”

Merasa Nyaman dengan Hukuman
Hukuman terberat adalah ketika seorang
yang dihukum tidak merasakan hukuman tersebut. Parahnya lagi ketika ia
justru senang dengan hukuman itu. Ini seperti seorang yang bahagia
dengan harta yang haram dan merasa nyaman dengan dosanya. Orang yang
semacam ini tidak akan beruntung.
Sungguh, saya perhatikan keadaan
kebanyakan ulama dan ahli zuhud, saya memandang mereka berada dalam
suatu hukuman tetapi mereka tidak merasakannya. Kebanyakannya karena
mereka punya orientasi mencari kepemimpinan.
Seorang yang berilmu dari mereka marah
ketika kesalahannya dibantah. Seorang penceramah membuat-buat keindahan
dalam ceramahnya. Seorang yang ahli zuhud, ternyata munafik dan
mengharap pujian.
Awal hukuman bagi mereka adalah
berpalingnya mereka dari kebenaran karena sibuk mencari perhatian
makhluk. Barang siapa yang hukumannya tidak tampak, ia akan kehilangan
manisnya bermunajat dengan Allah ‘azza wa jalla, dan kehilangan kelezatan ibadah.
Kecuali orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, Allah ‘azza wa jalla
menjaga bumi dengan mereka. Batin mereka sama dengan lahiriah mereka.
Bahkan, batin mereka lebih tampak. Yang tersembunyi sama dengan yang
tampak, bahkan lebih jelas. Cita-cita mereka setinggi bintang kejora,
bahkan lebih tinggi lagi.
Apabila dikenal. mereka justru tidak suka. Jika Anda lihat karamah (hal keluarbiasaan) pada mereka, mereka merasa tidak punya karamah.
Manusia tidak sadar dengan keberadaan mereka, sementara mereka sudah jauh melintasi padang sahara.
Mereka dicintai belahan bumi dan para malaikat di langit berbangga dengan mereka.
Kami memohon kepada Allah taufik-Nya
untuk bisa mengikuti jejak mereka dan menjadikan kita termasuk pengikut
mereka. (Ibnul Jauzi, kitab ash-Shaid)
ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi

Al-Muhith
Al-Muhith adalah salah satu asmaul husna. Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan nama tersebut dalam sebagian ayat-Nya, di antaranya dalam firman-Nya,
إِن تَمۡسَسۡكُمۡ حَسَنَةٞ تَسُؤۡهُمۡ وَإِن تُصِبۡكُمۡ سَيِّئَةٞ يَفۡرَحُواْ بِهَاۖ وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لَا يَضُرُّكُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيًۡٔاۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ ١٢٠
“Jika kamu memperoleh kebaikan,
niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka
bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya
mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali ‘Imran: 120)
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَٰرِهِم بَطَرٗا وَرِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ ٤٧
“Dan janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan
maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah.
Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (al-Anfal: 47)
Adapun makna al-Muhith yang telah dijelaskan oleh beberapa ulama di antaranya sebagai berikut.
Qiwamus Sunnah al-Ashfahani mengatakan dalam kitab al-Hujjah, “Al- Muhith artinya
adalah yang Kemampuan-Nya meliputi segala makhluk-Nya, yang Ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu, dan menghitung segala sesuatu.”
Al-Baihaqi mengatakan dalam kitab al-I’tiqad, “Al-Muhith artinya
Yang Kemampuan-Nya meliputi segala sesuatu, Ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu. Kemampuan adalah sifat yang selalu lekat pada Dzat-Nya,
demikian pula ilmu adalah sifat yang selalu lekat pada Dzat-Nya.”
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Al-Muhith, Yang Meliputi Segala Sesuatu dengan Ilmu-Nya, Kemampuan-Nya, Kasih Sayang-Nya, dan Pemaksaan-Nya.”
Buah Mengimani Nama Allah Al-Muhith
Dengan mengimani nama Allah al-Muhith, seorang hamba mengetahui keluasan ilmu Allah ‘azza wa jalla, kemampuan-Nya, dan rahmat-Nya. Tidak ada sesuatupun kecuali Allah ‘azza wa jalla
mengetahuinya. Tidak ada sesuatupun kecuali dia merasakan kasih sayang
Allah, dan tidak ada sesuatupun melainkan berada dalam kekuasaan-Nya.
Mahabesar Allah.
Dengan demikian, semestinya kita
senantiasa berhati-hati saat berbuat, karena perbuatan kita apapun dan
di manapun selalu dalam liputan ilmu Allah. Firman-Nya,
قَالَ يَٰقَوۡمِ أَرَهۡطِيٓ أَعَزُّ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَٱتَّخَذۡتُمُوهُ وَرَآءَكُمۡ ظِهۡرِيًّاۖ إِنَّ رَبِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ ٩٢
Syuaib menjawab, “Hai kaumku, apakah
keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang
Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya
(pengetahuan) Rabbku meliputi apa yang kamu kerjakan.” (Hud: 92)
ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi

Manusia vs Iblis; bagian ke-1
Setiap kenikmatan yang dirasakan oleh
manusia, pasti ada yang berusaha merampas atau melenyapkannya. Demikian
pula dalam perjalanannya di dunia yang tidak ringan ini, banyak musuh
yang mengintai kelengahan seorang manusia, lebih-lebih seorang mukmin.
Ada musuh yang membisikkan di dalam
dirinya dan mendorongnya ke jalan yang salah. Ada musuh yang tegak
berdiri di hadapannya, merintangi langkahnya, atau membelokkannya ke
arah yang salah. Kadang mereka bersatu padu untuk menjauhkan manusia
dari tujuannya. Kadang mereka bekerja sendiri-sendiri dalam upaya untuk
menggelincirkan manusia itu.
Kadang mereka menghiasi berbagai
kejelekan agar terlihat indah lalu manusia tertarik untuk melakukannya.
Atau, sebaliknya, membuat yang baik seakan-akan sebuah keburukan yang
harus dijauhi dan dimusuhi.
Banyak hal yang merintangi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah ‘azza wa jalla.
Ada dunia yang berhias secantik-cantiknya sehingga manusia terlena dan
berjuang mengejarnya. Ada nafsu yang selalu mendorongnya dan tidak
pernah merasa terpuaskan. Ada pula setan yang menipunya dengan
janji-janji palsu, sehingga dia mengikuti bujukannya.
Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah
menyebutkan, “Musuh manusia itu ada tiga; dunia, setan, dan nafsunya.
Bentengilah diri dari dunia dengan zuhud terhadap dunia, dari setan
dengan menyelisihi perintahnya, dan dari nafsu dengan meninggalkan
syahwatnya.”[1]
Secara bahasa, musuh (‘aduw) adalah lawan dari teman, pelindung, penolong (waliy), dan bentuk jamak dari ‘aduw ialah a’da`.
Di antara musuh-musuh yang dihadapi oleh
manusia, ada yang kita memang diperintahkan untuk memusuhinya, bahkan
memeranginya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوّٖ لَّكُمۡ
“Maka jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang menjadi musuh bagi kamu….” (an-Nisa: 92)
Ada pula golongan yang memusuhi mereka
bukan sebagai tujuan utama (harus dimusuhi). Akan tetapi, kadang-kadang
seseorang terpaksa harus menghadapi sikap permusuhan (gangguan –red.)
dari golongan ini, sebagaimana dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ
“Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu.” (at-Taghabun: 14)[2]
Mereka (istri dan anak-anak) pada
dasarnya bukanlah musuh, tetapi digolongkan sebagai musuh, karena
mendorong seorang suami atau ayah melakukan pelanggaran untuk menuruti
kemauan istrinya; Atau menyebabkan seorang ayah bermaksiat demi
menyenangkan anak-anaknya, hingga menjerumuskannya ke dalam kebinasaan
abadi.
Hanya karena permintaan istri yang ingin
memiliki rumah dan perabotan mewah, kendaraan yang bagus, atau
perhiasan yang mahal, seorang suami tergerak melakukan penipuan,
pencurian, penggelapan, pengkhianatan, bahkan pembunuhan. Hanya karena
memenuhi keinginan anak kesayangannya yang ingin tampil di hadapan teman
sebayanya, sang ayah rela merampok dan membunuh.
Akhirnya dia harus menjalani hukuman had, kisas, atau penjara. Itu baru di dunia, belum lagi di akhirat.
Lebih buruk lagi—dan ini terjadi—demi
meraih impian duniawinya, seorang ayah atau suami ‘terpaksa’ menjual
manhajnya, merendahkan dirinya, dan menghinakan ilmu yang dibawanya,
hingga dia terlepas dari lingkup pergaulannya dengan Ahlus Sunnah.
Bahkan, ia ikut menyebarkan fitnah dan syubhat di kalangan Ahlus Sunnah
serta orang-orang awam. Wal ‘iyadzu billahi.
Menurut istilah, al-‘aduw (musuh) adalah siapa saja yang berusaha mencelakakan orang lain dan melawannya hingga menjerumuskan lawannya ke dalam kerugian.[3]
Bisa juga dikatakan bahwa musuh
seseorang adalah siapa saja yang merasa senang melihat kesengsaraannya
dan tidak senang dengan keberhasilannya. Sebagaimana salah satu sifat
orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,
إِن تَمۡسَسۡكُمۡ حَسَنَةٞ تَسُؤۡهُمۡ وَإِن تُصِبۡكُمۡ سَيِّئَةٞ يَفۡرَحُواْ بِهَاۖ وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لَا يَضُرُّكُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيًۡٔاۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ ١٢٠
“Jika kamu memperoleh kebaikan,
niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka
bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya
mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya
Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali ‘Imran: 120)
Setelah menerangkan sifat-sifat orang
munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan kasih sayang kepada
orang-orang beriman, padahal hati mereka bertolak belakang dengan apa
yang mereka tampakkan, Allah ‘azza wa jalla menjelaskan pula betapa besarnya permusuhan dan kebencian mereka terhadap orang-orang mukmin.
Apabila kaum mukminin mendapatkan
kesuburan, dukungan, dan pertolongan, serta bertambah banyak jumlah
mereka, hal itu sangat menyusahkan dan merisaukan hati orang-orang
munafik ini. Sebaliknya, jika kaum mukminin ditimpa paceklik
(kekeringan, kemarau), atau dikalahkan oleh musuh, orang-orang munafik
itu bergembira dan merasa senang.
Allah ‘azza wa jalla berfirman mengingatkan bahwa orang-orang munafik adalah musuh yang sesungguhnya bagi kaum mukminin,
وَإِذَا رَأَيۡتَهُمۡ تُعۡجِبُكَ أَجۡسَامُهُمۡۖ وَإِن يَقُولُواْ تَسۡمَعۡ لِقَوۡلِهِمۡۖ كَأَنَّهُمۡ خُشُبٞ مُّسَنَّدَةٞۖ يَحۡسَبُونَ كُلَّ صَيۡحَةٍ عَلَيۡهِمۡۚ هُمُ ٱلۡعَدُوُّ فَٱحۡذَرۡهُمۡۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ ٤
“Dan apabila kamu melihat mereka,
tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu
mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang
tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan
kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah
terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka
sampai dipalingkan (dari kebenaran)?” (al-Munafiqun: 4)
Demikianlah kehidupan manusia, orang-orang beriman khususnya, dalam perjalanannya menuju Allah ‘azza wa jalla,
senantiasa menghadapi musuh yang beragam. Permusuhan sampai kepada
peperangan yang terjadi, akan senantiasa berlanjut hingga hari ketika
Allah ‘azza wa jalla mewarisi alam semesta dan isinya.
Yang akan kita bahas pada kesempatan ini
adalah permusuhan antara syaitan dan manusia. Apa sebabnya dan
bagaimana bentuk permusuhan tersebut serta dari mana awalnya.
Semoga menjadi pelajaran berharga bagi
orang-orang yang beriman sekaligus bekal agar selamat dari tipu daya
musuh mereka, dengan izin Allah ‘azza wa jalla.
Wallahul Muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
(Insya Allah edisi berikutnya: Apa dan Siapa Setan itu?)
[1] Ihya ‘Ulumiddin (3/71).
[2] al-Mufradat (226—227).
[3] adz-Dzari’ah (259).

Globalisasi Menghancurkan Generasi
Karena seringnya membaca, melihat, dan
mendengar hal-hal yang haram melalui berbagai media, rasa malu pun akan
terkikis dari hati, bahkan bisa jadi hilang sama sekali. Padahal rasa
malu adalah unsur pokok yang menghidupkan hati.
Islam datang membawa syariat yang mulia lagi sempurna. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam kitab-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberitakan tentang misi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah ‘azza wa jalla,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad, Malik, dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (1/75)
Akan tetapi, kemuliaan dan kesempurnaan
syariat Islam tidak akan disadari dan diyakini selain oleh orang-orang
yang diberi hidayah taufik dari Allah ‘azza wa jalla.
Apalagi di zaman sekarang, yang disebut
era globalisasi dan teknologi informasi. Cepat dan dahsyatnya informasi
ternyata tidak identik dengan kemajuan pada bidang yang lain. Terkhusus
bidang agama, moral dan spiritual kaum muslimin secara umum dan generasi
mudanya secara khusus telah dirusak oleh berbagai asupan yang bersumber
dari media massa, baik elektronik maupun cetak.
Media massa yang ada saat ini umumnya
dimiliki oleh Yahudi dan Nasrani. Kalaupun ada yang dimiliki oleh kaum
muslimin, tetap tidak terlepas dari berbagai hal mungkar yang terjadi di
dalamnya. Karena itu, berbagai bentuk media penyaji informasi tersebut
dimanfaatkan untuk menghancurkan moral dan agama bangsa ini, terkhusus
generasi muda kaum muslimin. Perhatikanlah acara-acara televisi,
terkhusus film, sinetron, hiburan, iklan, dan bahkan berita yang
disajikan pun mengandung kemungkaran.
Hal ini diperparah oleh ketersediaan
layanan internet yang mudah, murah, dan cepat; yang bisa diakses melalui
ponsel pintar yang tergenggam di tangan generasi muda muslimin. Belum
lagi kalau kita mengengok media cetak, seperti majalah, koran, dan
tabloid, yang dipenuhi gambar-gambar tidak pantas yang membangkitkan
nafsu syahwat. Akibatnya, tidak ada yang selamat dari kerusakan yang
ditimbulkan oleh media massa selain orang-orang yang dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla.
Di antara bentuk kerusakan moral terbesar yang ditimbulkan oleh media massa adalah sebagai berikut.
Hilangnya Rasa Malu
Karena seringnya membaca, melihat, dan
mendengar hal-hal yang haram melalui berbagai media, rasa malu pun akan
terkikis dari hati, bahkan bisa jadi hilang sama sekali. Padahal rasa
malu adalah unsur pokok yang menghidupkan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan keutamaan rasa malu melalui sabdanya,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidaklah mendatangkan selain kebaikan.” ( Muttafaqun alaih dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan, “Di antara hukuman akibat perbuatan dosa adalah hilangnya
rasa malu yang merupakan unsur pokok yang menentukan hidupnya hati. Rasa
malu adalah dasar seluruh kebaikan. Maka dari itu, hilangnya rasa malu
akan menyebabkan sirnanya seluruh kebaikan.” (ad-Da’ wad-Dawa’ hlm. 105)
Berdasarkan penjelasan di atas, barang
siapa yang sudah tidak memiliki rasa malu disebabkan oleh
kemaksiatannya, dia akan melakukan berbagai kemaksiatan yang lain tanpa
rasa malu pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya, di antara perkataan
nubuwah terdahulu yang masih didapatkan oleh manusia ialah apabila
engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Perintah dalam hadits ini (‘berbuatlah sesukamu’)
bermakna berita. Artinya, barang siapa tidak memiliki rasa malu, dia
akan berbuat semaunya. Sebab, yang menghalangi seseorang berbuat jelek
adalah rasa malu. Jadi, ketika seseorang tidak memiliki rasa malu,
niscaya dia akan bersemangat melakukan seluruh perbuatan keji dan
mungkar.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam 1/498)
Di antara akibat buruk yang ditimbulkan oleh hilangnya rasa malu dalam kehidupan masyarakat ialah sebagai berikut.
- Campur baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram (ikhtilath)
Hal ini terjadi di sekolah, perguruan
tinggi, kantor, dan tempat lainnya. Mereka bercampur baur dengan
berbagai bentuk penampilan, dandanan, dan wewangian, meniru apa yang
dilihat di televisi.
Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai keburukan dan godaan terhadap lawan jenis. Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Nabi-Nya dan istri-istri beliau—yang menjadi teladan bagi kaum muslimah,
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, “Tetaplah kalian tinggal di
rumah-rumah kalian, karena hal itu lebih selamat dan lebih menjaga
kehormatan. Janganlah kalian sering keluar rumah dalam keadaan bersolek
dan memakai wewangian sebagaimana halnya kebiasaan orang-orang jahiliah
sebelum kedatangan Islam yang tidak memiliki ilmu dan agama. Sebab,
semua hal itu akan menyeret ke dalam berbagai kejelekan dan sebabnya.”
- Pacaran telah menjadi hal yang biasa
Di antara fitnah yang terjadi karena
ikhtilath ialah khalwat (pacaran), terkhusus di tempat-tempat
hiburan/wisata. Ini pun mereka lakukan karena meniru apa yang mereka
dapatkan dari berbagai media.
Perlu diketahui, ikhtilath dan khalwat
akan menyeret kepada perbuatan keji yang lain, seperti onani, zina, dan
pemerkosaan. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla melarang berbagai hal yang menyeret manusia menuju zina.
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (al-Isra: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang umatnya melakukan khalwat,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan hadits di atas, “Yang dimaksud adalah wanita yang bukan
mahramnya, seperti anak perempuan bibi atau paman, atau yang tidak
memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Anda. Jadi, berdua-duaan
dengan wanita yang seperti ini hukumnya haram. Tidaklah seseorang
lelaki berkhalwat dengan perempuan kecuali setan akan menjadi pihak yang
ketiga. Bagaimana menurut Anda tentang orang yang berkhalwat
(berpacaran) yang disertai oleh setan? Sungguh, kita yakin keduanya akan
menceburkan diri ke dalam kejelekan. Kita memohon perlindungan kepada
Allah ‘azza wa jalla.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/167)
Karena itu, benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan bagian dari perbuatan zina bagi anak Adam, dia pasti akan mendapatkannya, tidak mungkin selamat.
Dua mata zinanya dengan melihat
(halhal yang haram dilihat), dua telinga zinanya dengan mendengarkan
(hal-hal yang haram didengar). Lisan zinanya dengan mengucapkan (hal-hal
yang keji). Tangan zinanya dengan menyentuh/meraba. Adapun kalbu
menginginkan dan berangan-angan (melakukan zina). Yang akan membenarkan
atau mendustakannya adalah kemaluan.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
- Perzinaan dan pemerkosaan
Ikhtilath dan khalwat yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat sudah menjadi adat kebiasaan. Bahkan, sebagian
orang tua mengkhawatirkan anak mereka yang sudah menginjak dewasa namun
belum punya pacar. Mereka khawatir, jangan-jangan anaknya memiliki
kelainan. Na’udzu billah min dzalik.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas dan pacaran ialah merebaknya perzinaan. Padahal, Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang semua itu sebagai bentuk kasih sayang kepada para hamba. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan salah satu sifat calon penghuni surga Firdaus,
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧
Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang
siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. (al-Mukminun: 5—7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الْفَمُ وَالْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan.” (HR. ar-Tirmidzi)
Ketika menerangkan hadits,
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim,
yang bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi dengan
benar selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, ditumpahkan kecuali
dengan tiga sebab, zina muhshan, membunuh jiwa (qishash), dan yang
meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini menyebutkan perbuatan zina beriringan dengan
kekafiran dan membunuh jiwa, sebagaimana surat al-Furqan ayat 68. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan menyebutkan dosa
yang paling banyak dilakukan, kemudian yang berikutnya. Jadi, zina
adalah perbuatan dosa yang paling sering dilakukan dibandingkan dengan
membunuh jiwa. Membunuh jiwa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan
kemurtadan.
Penyebutan perbuatan dosa dalam hadits
ini dimulai dari yang besar menuju yang lebih besar lagi. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh perbuatan zina bertentangan dengan kepentingan umat
manusia. Ketika berbuat zina, seorang wanita telah memasukkan aib yang
memalukan dalam keluarga, suami, dan kerabatnya. Dia menyebabkan kepala
mereka tertunduk malu di hadapan masyarakatnya. Terlebih lagi apabila
sampai hamil karena zina, lalu dia membunuh bayinya. Dia telah
mengumpulkan dua macam dosa, yaitu zina dan membunuh jiwa.
Apabila dia mengaku-aku bahwa hamilnya
adalah karena suami, berarti dia menyisipkan anak hasil zina tersebut ke
dalam keluarga suaminya, padahal anak tersebut bukan bagian dari
mereka. Selanjutnya, anak tersebut akan mendapat warisan dari mereka
padahal dia tidak berhak. Selain itu, anak tersebut akan melihat,
bercampur, dan dinasabkan kepada keluarga suaminya, padahal sama sekali
bukan bagian dari mereka. Masih banyak lagi kerusakan lain yang
disebabkan oleh perbuatan zina seorang wanita.
Jika lelaki yang berbuat zina, akan
mengakibatkan tercampurnya nasab, merusak wanita yang sudah bersuami,
dan menyebabkan kerusakan serta kebinasaan wanita yang dizinainya. Jadi,
perbuatan dosa besar yang satu ini akan menghancurkan urusan dunia dan
agama.” (ad-Da’ wad-Dawa’, hlm. 232)
Tasyabbuh
Di antara kerusakan yang timbul karena
gencarnya media massa baik elektronik maupun cetak adalah kekaguman
mayoritas kaum muslimin terkhusus generasi muda terhadap tokoh yang
sering ditampilkan di media massa, baik bintang iklan, bintang
sinetron/film, bintang sepak bola, maupun lainnya.
Mereka mengagumi cara berpakaian,
penampilan, gaya hidup, gaya bicara, dll. Bahkan, tidak sedikit pula
kaum muslimin yang kagum dengan gaya hidup orang kafir atau fasik di
suatu negara/wilayah sehingga mayoritas kaum muslimin terkena penyakit
“tasyabuh” (penyerupaan yang diharamkan dalam agama).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6149)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umat tentang akan terjadinya wabah tasyabuh ini dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَذْوَ الْقُذَّةِ بِالْقُذَّةِ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ. قاَلُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh, akan ada di antara kalian
orang-orang yang mengikuti cara/adat orang-orang sebelum kalian
sebagaimana bulu anak panah terhadap yang lainnya. Sampai-sampai jika
mereka masuk ke dalam liang kadal padang pasir, sungguh kalian akan ikut
memasukinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah maksudnya
orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa lagi?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jenis tasyabuh yang diharamkan ialah sebagai berikut.
- Tasyabuh laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya, baik dalam hal pakaian, gerakan, maupun penampilan.
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para laki-laki yang menyerupai perempuan dan para perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR. al-Bukhari no. 5885 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 3454)
Jika kita perhatikan kehidupan
masyarakat, betapa banyak orang yang berhak mendapat laknat Rasulullah
dengan sebab ini. Laki-laki berpenampilan seperti perempuan, baik
berambut panjang, memakai perhiasan wanita, dsb. Wanita menyerupai
laki-laki dalam hal potongan rambut, bahkan sampai botak, demikian pula
cara berpakaian dan berpenampilan. Semua hal tersebut terjadi salah satu
sebabnya adalah pengaruh media massa.
- Tasyabuh dengan orang fasik.
Di antara dampak negatif media massa,
terkhusus televisi, ialah menyebabkan kaum muslimin tasyabuh dengan
orang-orang fasik. Misalnya, bermudah-mudahan dalam kawin-cerai
sebagaimana yang dilakukan oleh para selebritis dalam kehidupan rumah
tangga mereka. Jika salah satu pasangan tidak cocok atau salah paham,
ujungnya adalah perceraian. Dampaknya, sebagian kaum muslimin meniru
mereka ketika menghadapi problem rumah tangga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat,
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang suami
membenci istrinya (secara total). Apabila dia membenci salah satu
perangai istrinya, dia akan senang terhadap perangai yang lainnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ
“Orang-orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Contoh lain, seorang istri berani membentak suaminya, bahkan memukulnya lantaran istri sering menonton sinetron. Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (lakilaki) atas sebagian yang lain (wanita).” (an-Nisa’: 34)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali calon istrinya dari bidadari-bidadari akan berkata, ‘Jangan engkau sakiti dia, mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla memerangimu,’ hanya saja dia (suamimu) itu ibarat tamu di sisimu yang hampir-hampir akan berpisah denganmu menuju kami.” (HR. at-Tirmidzi)
radhiallahu ‘anhuma. Tasyabuh dengan orang kafir dan setan
Melalui media massa inilah ditanamkan
simpati, kecintaan, dan pembelaan terhadap orang-orang kafir. Dengan
gencar dipropagandakan bahwa peradaban modern adalah peradaban Barat.
Tidak jarang kita dapatkan sikap dan perbuatan yang menyerupai orang
kafir Barat.
Allah ‘azza wa jalla telah memperingatkan,
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٢٠
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah,
“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan
datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong
bagimu. (al-Baqarah: 120)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Firman Allah ‘azza wa jalla
ini memuat larangan keras mengikuti hawa nafsu orang Yahudi dan
Nasrani. Selain itu, terkandung pula larangan menyerupai mereka,
terkhusus dalam hal agama. Walaupun ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
larangan ini juga tertuju kepada kaum muslimin. Sebab, pelajaran itu
diambil dengan sebab keumuman makna, bukan karena kekhususan yang diajak
bicara. Hal ini sebagaimana pelajaran itu diambil dengan sebab keumuman
lafal, bukan kekhususan sebab.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 65)
Tasyabuh yang dilakukan oleh sebagian
kaum muslimin terhadap Barat terjadi dalam banyak hal. Sampai-sampai
dalam urusan pakaian dan rambut pun meniru mereka, misalnya gaya
berpakaian dan rambut punk. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya,
نَهَى رَسُولُ اللهِ عَنِ الْقَزَعِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari al-qaza’.” (Muttafaqun alaih)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Al-Qaza’ bermakna
mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lainnya.
Sama saja apakah pada satu sisi kepala atau seluruh sisi, baik dari
sebelah atas, sebelah kanan, maupun sebelah kiri; sisi belakang ataupun
depan. Yang jelas, mencukur sebagian rambut kepala dan membiarkan
sebagian yang lain, itulah qaza’ yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/174)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tasyabuh terhadap setan,
لاَ تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
“Jangan kalian makan dengan tangan kiri, karena setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sungguh, engkau heran terhadap suatu kaum pada masa kini yang
membaur dengan orang kafir dan menyaksikan kehidupan mereka (lewat
media massa), lantas meniru pimpinan mereka, yaitu setan, dalam hal
makan dan minum dengan tangan kiri. Engkau heran terhadap sekelompok
muslimin yang makan dan minum dengan tangan kiri, padahal mereka
mendakwahkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, mereka justru menyerupai setan dan orang kafir. Mereka tidak mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, justru menyelisihi petunjuk dan sunnah beliau.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/172)
Tulisan ini hanyalah contoh kecil kerusakan yang ditimbulkan oleh media
massa. Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla
akan senantiasa menjaga kita, keluarga, dan anak-anak kita secara
khusus dan kaum muslimin secara umum dari berbagai hal yang
menghancurkan moral dan agama.
Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Pengaruh Media Massa Terhadap Akidah Umat
Allah ‘azza wa jalla menciptakan manusia di atas fitrah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Hadapkanlah wajahmu kepada
agama yang lurus, (tetaplah di atas) fitrah dari Allah yang menfitrahkan
manusia di atasnya, tiada yang akan bisa merubah ciptaan Allah. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan orang tidak mengetahuinya.” (ar-Rum: 30)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizahullah berkata, “Fitrah adalah agama Islam sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
.كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه
“Setiap anak yang lahir, dilahirkan
di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) (Syarah Fadhlul Islam, hlm. 111)
Perusak Fitrah
Fitrah yang suci ini tentu harus dipupuk
dengan ilmu, iman, dan dijaga dari berbagai hal yang akan merusaknya.
Fitrah manusia yang suci ini dirusak oleh berbagai hal yang dilakukan
setan baik dari kalangan jin maupun manusia.
Dalam hadits qudsi, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“Sungguh, Aku menciptakan hamba-Ku hunafa (lurus di atas tauhid) seluruhnya. Lalu setan mendatangi mereka dan menggelincirkan mereka dari agamanya.” (HR. Muslim no. 2865)
Setan ada dari kalangan jin dan manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ ٥ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ ٦
“Yang melontarkan bisikan-bisikan jelek kepada manusia.dari kalangan jin dan manusia.” (an-Nas: 5—6)
Tarbiyah Orang Tua Memiliki Andil Besar dalam Lurusnya Akidah Anak
Selain setan, tarbiyah orang tua juga memiliki andil besar dalam lurusnya akidah seorang anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه
“Setiap anak yang lahir, dilahirkan
di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menerangkan,
“Ini menunjukkan, pada asalnya fitrah manusia adalah di atas Islam.
Seandainya dia selamat dari tarbiyah yang jelek dan dua orang tua yang
kafir, niscaya dia akan mengarah kepada agama Islam dan mengikuti para
rasul. Akan tetapi, seseorang bisa sesat/menyimpang adalah karena
dai-dai (yang menyeru) kepada kesesatan.” (Syarah Fadhlul Islam, hlm. 111)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzhullah juga
berkata, “Seandainya manusia selamat dari penyeru-penyeru kepada
kesesatan, niscaya fitrah akan menerima al-haq dan mereka akan mengikuti
para rasul….”
Media Massa Sebagai Sarana Perusak Akidah
Dari ucapan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
di atas, kita mendapat kesimpulan bahwasanya di antara yang menyebabkan
rusaknya fitrah, menyimpangnya seseorang dari tauhid dan akidah yang
benar adalah bermunculannya dai-dai yang menyeru kepada kesesatan.
Kemajuan teknologi di zaman sekarang ini
juga dimanfaatkan para penyeru kepada kesesatan untuk melakukan
propaganda dan mempromosikan kesesatan mereka. Di antara sarana yang
dimanfaatkan adalah media massa.
Kalau dahulu mereka menyebarkan
kesesatan mereka di mimbar dan majelis, dalam jumlah pendengar yang
terbatas, kini mereka tampil menyebarkannya di berbagai media kepada
jumlah orang yang tak terbatas.
Media massa adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain
untuk menjangkau masyarakat yang sangat luas.
Media massa ada yang berupa media cetak,
seperti koran, tabloid, majalah, buletin, dan lainnya. Media massa juga
ada yang berupa media elektronik, seperti televisi dan radio. Media
massa yang lain di zaman kita ini ialah media maya (online) yang terwujud dalam bentuk internet.
Ketahuilah, ketiga bentuk media massa di atas memiliki pengaruh besar dalam merusak fitrah seorang muslim.
Kemungkaran dalam Media Massa
Berbagai ragam kemungkaran yang ada
dalam media massa sangatlah berpengaruh pada akidah seorang yang membaca
dan melihatnya. Pengaruh tersebut selanjutnya akan menyebabkan rusaknya
akidah.
Di antara kemungkaran yang ada dalam media massa yang merusak akidah umat adalah:
- Kesyirikan
Banyak media yang menyuguhkan tayangan
syirik dan tulisan berbau syirik, bahkan ada majalah dan tabloid khusus
“menjajakan” kesyirikan, ini sebagian bukti media massa dijadikan sarana
menjajakan kesyirikan.
- Promosi Perdukunan
Perdukunan adalah satu praktik
kesyirikan yang banyak digandrungi masyarakat. Di antara media yang
mengandung kesyirikan adalah buku primbon dan buku mujarabat.
Dahulu dukun-dukun tidak ada yang
berpromosi. Namun, kini mereka melakukan promosi di surat kabar, bahkan
tanpa malu berpromosi di televisi. Para dukun yang dahulunya
bersembunyi, kini tampil bak selebritis di televisi dan media lainnya.
Tokoh-tokoh seperti Ki Joko Bodo, Mbah Maridjan, Mama Lauren dikenal
layaknya selebritas. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Dahulu seorang yang mau berdukun harus bersusah payah datang ke tempat si dukun, namun kini mereka bisa berdukun via SMS.
Bahkan, praktik perdukunan bisa meraup
ratusan juta rupiah dari “program layanan perdukunan via SMS”. Tampil
seorang dukun dalam satu tayangan dan berkata, “Jika Anda ingin tahu
keberuntungan Anda di masa depan, ketik REG (spasi) xxxx kirim.”
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kaum muslimin seakan-akan sudah lupa tentang ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang mendatangi dukun, atau bertanya kepada mereka, memercayai mereka.
Mungkin masih terlintas di ingatan kita,
bagaimana media massa mempopulerkan Ponari yang mereka anggap tahu yang
gaib dan diberi julukan “dukun cilik”.
- Siaran Ritual Syirik
Kesyirikan yang seharusnya
diingkari dan dihilangkan justru menjadi satu ritual budaya yang
disiarkan berbagai media. Akhirnya, tidak ada lagi kebencian kepada
syirik sebagaimana yang diajarkan oleh agama. Generasi muda dan
anak-anak tumbuh dalam keadaan demikian.
Media-media saat ini banyak
mempertontonkan acara yang akan merusak akidah muslim: pocong,
penampakan, sihir, dan semisalnya. Media mempertontonkan bahwa tokoh
politik A sowan ke Mbah B, selebritis C sering datang ke penasihat
spiritualnya, Eyang D, yang notabene adalah dukun dan tukang ramal.
Disiarkan dan ditayangkan pula praktik
pengobatan alternatif yang mengandung kesyirikan, seperti memindahkan
penyakit ke hewan dan lainnya.
Demikianlah berbagai praktik, acara, dan
ritual syirik disuguhkan kepada masyarakat, yang bisa menjerumuskan
mereka ke dalam kubang kesyirikan.
Hampir semua media cetak menampilkan
zodiak; meramal rezeki seseorang, jodoh, dan peruntungan lainnya. Ini
adalah satu perkara yang sangat batil karena sudah melanggar perkara
iman kepada yang gaib. Masalah rezeki dan jodoh adalah urusan gaib,
tidak boleh seseorang meramal atau mengaku-aku tahu urusannya.
- Promosi Paham Sesat
Banyak paham sesat yang tumbuh
berkembang melalui media massa. Bahkan, hampir setiap kelompok sesat
memiliki media untuk menyebarkan paham mereka baik dalam bentuk
televisi, radio, atau minimalnya website. Mereka pun menerbitkan
buku-buku untuk menyebarkan kesesatan mereka.
Media massa adalah sarana yang paling
ideal bagi kaum liberal untuk menjajakan paham liberal. Kita telah
mendengar bagaimana JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan bebasnya
memaparkan paham mereka di hadapan umat, dalam dialog, ceramah dan
tulisan di surat kabar.
- Mengikis Prinsip al-Wala wal Bara
Prinsip al-wala wal-bara adalah
satu prinsip yang agung dalam agama Islam. Namun, media massa telah
banyak memberi andil dalam mengikis prinsip ini. Umat digiring untuk
menerima propaganda bahwa semua agama itu sama.
Lebih-lebih saat ini, umat digiring
untuk berbasa-basi dengan Nasrani, mengucapkan selamat kepada mereka,
mengadiri acara Natal, bahkan membantu perayaan hari raya mereka.
Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman, menjelaskan ciri-ciri hamba yang beriman,
وَٱلَّذِينَ لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri zur.” (al-Furqan: 72)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata bahwa maksudnya ialah tidak menghadiri hari raya mereka.
Para ulama pun telah menegaskan haramnya memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir dalam perayaan hari besar mereka.
Demikianlah kenyataan yang ada di sekitar kita.
Oleh karena itu, kita harus terus
bersemangat belajar tauhid dan bersemangat mendakwahi umat tentang
pentingnya tauhid dan bahaya syirik. Kita harus tahu bahwa setan akan
terus berusaha merusak akidah dengan menjajakan kesyirikan dan kesesatan
di tengah-tengah umat.
Kita juga sangat berharap kepada
instansi terkait agar melarang tayangan, acara, promo, dan tulisan yang
mengandung kesyirikan dan penyimpangan.
Seorang muslim hendaknya berusaha kuat
menjaga kesucian akidahnya. Di antara wujud penjagaan tersebut adalah
selektif mencari bahan bacaan dan informasi yang masuk, serta menjauhi
media massa yang menyuguhkan berbagai kesesatan yang akan merusak
akidahnya.
Kata para ulama kita,
الْقُلُوبُ ضَعِيفَةٌ وَالشُّبُهَاتُ خَطَّافَةٌ
Kalbu itu lemah, sedangkat syubahat gampang menyambar (menyesatkan).
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla terus memberikan hidayah dan keistiqamahan kepada kita semua.
Amin ya Rabbal alamin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdur Rahman Mubarak

Tanya Jawab Ringkas Edisi 105
Berikut ini kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Ralat Jawaban tentang Cadar Butterfly
Pada Rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi sebelumnya pernah dibahas tentang cadar butterfly, disebutkan bahwa hukumnya adalah boleh karena tertutup. Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan:
Beli Saham dari Uang Riba
Bagaimana jika saya bermaksud membeli saham perusahaan tertentu dengan menggunakan uang hasil riba?
Dititipi Beli Barang, Ambil Untung
Jika kita dititipi seseorang untuk membelikan barang dan ketika kita membeli barang tersebut kita mendapatkan potongan harga karena kita biasa menjual barang tersebut jika ada pesanan. Bolehkah kita mengambil untung dan memberi harga kepada si penitip dengan harga jual di pasaran?
Jika kita adalah seorang makelar, tergantung kesepakatan dengan yg meminta tolong. Bisa jadi, kita hanya diberi upah atas jasa kita, maka harga sesuai pasaran dan diskon kembali kepada dia; Atau kita diberi keleluasaan untuk mencari untung, maka kita bisa mencari barang dengan harga di bawah pasar plus diskon untuk kita. Wallahu a’lam.
Hukum Menjual Tas Bermerk
Bagaimana hukum menjual tas bermerk, padahal tas termasuk perhiasan?
Tas pada dasarnya digunakan untuk tempat sebuah barang, bukan untuk kecantikan (tazayyun). Namun jika sudah menjurus ke arah itu sehingga lelaki terfitnah dengan penampilan muslimah yang memakai tas bermerk, jelas tidak boleh memakai tas tersebut keluar rumah dan ditampakkan dengan niatan tersebut. Wallahu a’lam.
Jual Beli Motor
Dua orang melakukan jual-beli secara kredit. Pembeli mencari motor yang dia pilih sesuai selera dalam keadaan pemegang uang (penjual) tidak memiliki motor tersebut. Setelah pembeli mendapat motor yang dia inginkan, pemegang uang memberi uang untuk membayar motor tersebut.
Terjadilah akad jual-beli dengan kesepakatan, pembeli harus kredit motor tersebut sebesar lima juta, sedangkan motor tersebut dibeli dengan harga 4,2 juta. Perlu diketahui pemegang uang/penjual tidak pernah memegang motor tersebut sejak dibeli sampai terjadinya akad. Apakah yang seperti itu termasuk riba?
Teman Pengikut Hajuri
Bagaimanakah menyikapi teman yang terlibat fitnah al-Hajuri?
Mendapat Kepala Hewan Kurban, Dijual
Bagaimana hukumnya seseorang yang mendapat bagian kepala sapi/kambing kurban, lalu dijual?
Larangan menjual kulit atau bagian lain hewan kurban hanya ditujukan kepada pihak yang berkurban atau yang ditunjuk sebagai wakil, seperti panitia kurban.
Mengaminkan Doa Sendiri
Apakah disyariatkan mengucapkan, “Amin,” pada akhir doa ketika sendirian?
Wanita Memotong Rambut Kurang dari Bahu
Apakah perempuan dilarang memotong rambut kurang dari bahu?
Baiat Pemimpin di Indonesia
Bagaimana cara Ahlus Sunnah membaiat pemimpin kaum muslimin pada zaman sekarang, terutama di Indonesia?
Bagaimana sikap bagi warga yang gubernurnya nonmuslim?
Berikut ini kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad as-Sarbini.
Memakai Cincin Perak bagi Lelaki
Apakah hukum memakai cincin perak bagi laki-laki dengan dihiasi batu bernilai tinggi tanpa ada keyakinan bahwa cincin tersebut mendatangkan manfaat atau mudharat?
Menikahkan Anak Saat Hamil
Saya mempunyai anak lelaki yang sedang berpacaran. Ternyata, pacar anak saya sudah hamil satu bulan. Kemudian mereka saya nikahkan. Apakah nikahnya sah? Apakah anaknya kelak bisa jadi ahli waris anak saya?
Status anak itu adalah anak zina. Dinasabkan kepada ibunya, tidak punya bapak. Anak itu tidak punya hubungan waris mewarisi dengan pria yang menghamilinya ibunya. Jika anak itu perempuan, tidak punya hubungan perwalian, walinya adalah hakim (penghulu KUA).
Penamaan Anak
Bolehkan memberi nama anak laki-laki dengan nama Afif Abdurrahman Al-Fauzi?
Tobat dari Zina
Karena kebodohan kami dulu sebelum menikah, kami pernah berzina. Sekarang apa yang harus kami lakukan untuk menebus dosa atas kebodohan kami.
Memanfaatkan Uang Temuan
Bolehkah memanfaatkan uang yang ditemukan di jalan yang sekiranya uang itu tidak mungkin dicari? Misalkan seribu, dua ribu, atau lima ribu rupiah?
Shalat Sebelum Masuk Waktu
Apa yang dilakukan ketika kita telah melaksanakan shalat sedangkan belum masuk waktunya?
Hukum BPJS yang Didaftarkan dan Diangsurkan oleh Orang Lain
Apa hukum seseorang yang memanfaatkan bpjs yang dibuatkan oleh orang lain dan diangsurkan oleh orang lain?
Qadha Shalat
Setelah shalat saya baru mengetahui ada bekas air mani di dalam celana dalam. Apakah saya wajib qadha mengqadha shalat?
Operasi Rahang=Kufur Nikmat?
Ada orang yang operasi rahang karena mirip gorila. Kemudian dia meninggal. Apakah meninggal dalam keadaan kufur nikmat?
Bayar Utang Puasa Tujuh Tahun yang Lalu
Apa yang harus dilakukan jika utang puasa 7 tahun yang lalu belum dibayar karena haid dan lupa jumlahnya?
Memandikan Jenazah Suami/Istri
Apabila seorang suami/istri meninggal, bolehkah ia dimandikan oleh pasangan bersama anaknya baik laki-laki maupun perempuan karena khawatir jika diurusi kerabat lain/tetangga yang tidak tahu syariat sehingga terlihat auratnya di depan orang banyak?
Masa Nifas
Saya adalah seorang ibu dalam masa nifas yang belum genap 40 hari, tepatnya 21 hari. Dua hari ini darah nifas/kotoran tidak keluar. Apakah saya harus mandi janabah lalu shalat dan mengganti shalat dua hari yang tidak tertunaikan?
Rujuk Setelah Masa Iddah
Jika orang yang sudah cerai talak satu dan sudah lewat masa iddah kemudian kembali rujuk, apakah nikahnya harus dengan mahar lagi?
Sudah Menikah, Pacaran via FB
Apakah hukuman, celaan, nasihat bagi dua orang yang sudah mengaji dan menikah, tetapi menjalin hubungan (pacaran) lewat media sosial elektronik? Bahkan, si pria berjanji menikahi si wanita jika sudah menjanda, sedangkan si wanita tidak pernah menolak dan selalu melayani permintaan si pria seakan-akan seperti suami sendiri dengan alasan cinta.
Jamak Shalat Subuh ketika Safar
Bagaimana cara shalat subuh ketika dalam safar dan kendaraan tidak berhenti ketika waktu subuh telah tiba?
Khulu’
Beberapa hari yang lalu, saya telah meminta khuluk kepada suami, karena saya sudah tidak mencintainya dan khawatir akan datang azab dari Allah disebabkan kufur akan kebaikan suami. Suami sampai saat ini belum mengiyakan permintaan khulu’ saya. Sekarang saya ingin pulang ke orang tua, sedangkan suami enggan mengantarkan. Mohon nasihatnya berkenaan masalah yang saya hadapi.
Sekarang, suami saya telah mengiyakan khulu’, apakah mantan suami masih berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir kepada saya dalam kondisi masa iddah?
Lalu bagaimana jika suami tidak menunaikan kewajibannya tersebut?
“Cinta Bukan Kuasa Kita”
Pada edisi lalu, dibahas masalah “Cinta Bukan Kuasa Kita”. Apabila dalam pernikahan, istri tidak bisa mencintai suami dan masih mencintai seseorang pada masa lalu, padahal pernikahan sudah berlangsung enam tahun, apa yang harus dilakukan. Padahal jelas, cinta datang dari Allah tanpa kita bisa menguasainya.
Ralat Jawaban tentang Cadar Butterfly
Pada Rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi sebelumnya pernah dibahas tentang cadar butterfly, disebutkan bahwa hukumnya adalah boleh karena tertutup. Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan:
- Penjelasan tersebut berdasarkan maklumat yang sampai kepada saya.
- Setelah masuk maklumat lain tentang cadar model tersebut, maka saya menyatakan:
- Cadar tersebut sudah keluar dari hakikat hijab syar’i bagi wanita yang bertujuan untuk sitr (menutup aurat dan menutup keindahan mereka) dengan alasan berikut.
- Cadar tersebut lebih banyak sisi tazayyun, yakni digunakan untuk keindahan. Padahal di antara syarat hijab syar’i adalah bukan sebagai keindahan pada zatnya, seperti yang disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Jilbab Mar’ah Muslimah.
- Cadar tersebut memiliki banyak variasi yang semakin menunjukkannya sebagai perhiasan keindahan.
- Mayoritas penggunanya adalah gadis muda, dan umumnya mereka gunakan karena cadar model tersebut dianggap modis.
- Orang yang memandang muslimah bercadar butterfly akan terpesona dan umumnya tergoda.
- Dengan ini saya rujuk dari keterangan sebelumnya dan menegaskan bahwa para muslimah tidak boleh mengenakan cadar butterfly untuk keluar rumah atau di hadapan yang bukan mahram dengan alasan di atas.
Beli Saham dari Uang Riba
Bagaimana jika saya bermaksud membeli saham perusahaan tertentu dengan menggunakan uang hasil riba?
- Jawaban:
Dititipi Beli Barang, Ambil Untung
Jika kita dititipi seseorang untuk membelikan barang dan ketika kita membeli barang tersebut kita mendapatkan potongan harga karena kita biasa menjual barang tersebut jika ada pesanan. Bolehkah kita mengambil untung dan memberi harga kepada si penitip dengan harga jual di pasaran?
- Jawaban:
Jika kita adalah seorang makelar, tergantung kesepakatan dengan yg meminta tolong. Bisa jadi, kita hanya diberi upah atas jasa kita, maka harga sesuai pasaran dan diskon kembali kepada dia; Atau kita diberi keleluasaan untuk mencari untung, maka kita bisa mencari barang dengan harga di bawah pasar plus diskon untuk kita. Wallahu a’lam.
Hukum Menjual Tas Bermerk
Bagaimana hukum menjual tas bermerk, padahal tas termasuk perhiasan?
- Jawaban:
Tas pada dasarnya digunakan untuk tempat sebuah barang, bukan untuk kecantikan (tazayyun). Namun jika sudah menjurus ke arah itu sehingga lelaki terfitnah dengan penampilan muslimah yang memakai tas bermerk, jelas tidak boleh memakai tas tersebut keluar rumah dan ditampakkan dengan niatan tersebut. Wallahu a’lam.
Jual Beli Motor
Dua orang melakukan jual-beli secara kredit. Pembeli mencari motor yang dia pilih sesuai selera dalam keadaan pemegang uang (penjual) tidak memiliki motor tersebut. Setelah pembeli mendapat motor yang dia inginkan, pemegang uang memberi uang untuk membayar motor tersebut.
Terjadilah akad jual-beli dengan kesepakatan, pembeli harus kredit motor tersebut sebesar lima juta, sedangkan motor tersebut dibeli dengan harga 4,2 juta. Perlu diketahui pemegang uang/penjual tidak pernah memegang motor tersebut sejak dibeli sampai terjadinya akad. Apakah yang seperti itu termasuk riba?
- Jawaban:
Teman Pengikut Hajuri
Bagaimanakah menyikapi teman yang terlibat fitnah al-Hajuri?
- Jawaban:
Mendapat Kepala Hewan Kurban, Dijual
Bagaimana hukumnya seseorang yang mendapat bagian kepala sapi/kambing kurban, lalu dijual?
- Jawaban:
Larangan menjual kulit atau bagian lain hewan kurban hanya ditujukan kepada pihak yang berkurban atau yang ditunjuk sebagai wakil, seperti panitia kurban.
Mengaminkan Doa Sendiri
Apakah disyariatkan mengucapkan, “Amin,” pada akhir doa ketika sendirian?
- Jawaban:
Wanita Memotong Rambut Kurang dari Bahu
Apakah perempuan dilarang memotong rambut kurang dari bahu?
- Jawaban:
Baiat Pemimpin di Indonesia
Bagaimana cara Ahlus Sunnah membaiat pemimpin kaum muslimin pada zaman sekarang, terutama di Indonesia?
- Jawaban:
Bagaimana sikap bagi warga yang gubernurnya nonmuslim?
- Jawaban:
Berikut ini kami muat beberapa jawaban dari al-Ustadz Muhammad as-Sarbini.
Memakai Cincin Perak bagi Lelaki
Apakah hukum memakai cincin perak bagi laki-laki dengan dihiasi batu bernilai tinggi tanpa ada keyakinan bahwa cincin tersebut mendatangkan manfaat atau mudharat?
- Jawaban:
Menikahkan Anak Saat Hamil
Saya mempunyai anak lelaki yang sedang berpacaran. Ternyata, pacar anak saya sudah hamil satu bulan. Kemudian mereka saya nikahkan. Apakah nikahnya sah? Apakah anaknya kelak bisa jadi ahli waris anak saya?
- Jawaban:
Status anak itu adalah anak zina. Dinasabkan kepada ibunya, tidak punya bapak. Anak itu tidak punya hubungan waris mewarisi dengan pria yang menghamilinya ibunya. Jika anak itu perempuan, tidak punya hubungan perwalian, walinya adalah hakim (penghulu KUA).
Penamaan Anak
Bolehkan memberi nama anak laki-laki dengan nama Afif Abdurrahman Al-Fauzi?
- Jawaban:
Tobat dari Zina
Karena kebodohan kami dulu sebelum menikah, kami pernah berzina. Sekarang apa yang harus kami lakukan untuk menebus dosa atas kebodohan kami.
- Jawaban:
Memanfaatkan Uang Temuan
Bolehkah memanfaatkan uang yang ditemukan di jalan yang sekiranya uang itu tidak mungkin dicari? Misalkan seribu, dua ribu, atau lima ribu rupiah?
- Jawaban:
Shalat Sebelum Masuk Waktu
Apa yang dilakukan ketika kita telah melaksanakan shalat sedangkan belum masuk waktunya?
- Jawaban:
Hukum BPJS yang Didaftarkan dan Diangsurkan oleh Orang Lain
Apa hukum seseorang yang memanfaatkan bpjs yang dibuatkan oleh orang lain dan diangsurkan oleh orang lain?
- Jawaban:
Qadha Shalat
Setelah shalat saya baru mengetahui ada bekas air mani di dalam celana dalam. Apakah saya wajib qadha mengqadha shalat?
- Jawaban:
Operasi Rahang=Kufur Nikmat?
Ada orang yang operasi rahang karena mirip gorila. Kemudian dia meninggal. Apakah meninggal dalam keadaan kufur nikmat?
- Jawaban:
Bayar Utang Puasa Tujuh Tahun yang Lalu
Apa yang harus dilakukan jika utang puasa 7 tahun yang lalu belum dibayar karena haid dan lupa jumlahnya?
- Jawaban:
Memandikan Jenazah Suami/Istri
Apabila seorang suami/istri meninggal, bolehkah ia dimandikan oleh pasangan bersama anaknya baik laki-laki maupun perempuan karena khawatir jika diurusi kerabat lain/tetangga yang tidak tahu syariat sehingga terlihat auratnya di depan orang banyak?
- Jawaban:
Masa Nifas
Saya adalah seorang ibu dalam masa nifas yang belum genap 40 hari, tepatnya 21 hari. Dua hari ini darah nifas/kotoran tidak keluar. Apakah saya harus mandi janabah lalu shalat dan mengganti shalat dua hari yang tidak tertunaikan?
- Jawaban:
Rujuk Setelah Masa Iddah
Jika orang yang sudah cerai talak satu dan sudah lewat masa iddah kemudian kembali rujuk, apakah nikahnya harus dengan mahar lagi?
- Jawaban:
Sudah Menikah, Pacaran via FB
Apakah hukuman, celaan, nasihat bagi dua orang yang sudah mengaji dan menikah, tetapi menjalin hubungan (pacaran) lewat media sosial elektronik? Bahkan, si pria berjanji menikahi si wanita jika sudah menjanda, sedangkan si wanita tidak pernah menolak dan selalu melayani permintaan si pria seakan-akan seperti suami sendiri dengan alasan cinta.
- Jawaban:
Jamak Shalat Subuh ketika Safar
Bagaimana cara shalat subuh ketika dalam safar dan kendaraan tidak berhenti ketika waktu subuh telah tiba?
- Jawaban:
Khulu’
Beberapa hari yang lalu, saya telah meminta khuluk kepada suami, karena saya sudah tidak mencintainya dan khawatir akan datang azab dari Allah disebabkan kufur akan kebaikan suami. Suami sampai saat ini belum mengiyakan permintaan khulu’ saya. Sekarang saya ingin pulang ke orang tua, sedangkan suami enggan mengantarkan. Mohon nasihatnya berkenaan masalah yang saya hadapi.
- Jawaban:
Sekarang, suami saya telah mengiyakan khulu’, apakah mantan suami masih berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir kepada saya dalam kondisi masa iddah?
Lalu bagaimana jika suami tidak menunaikan kewajibannya tersebut?
- Jawaban:
“Cinta Bukan Kuasa Kita”
Pada edisi lalu, dibahas masalah “Cinta Bukan Kuasa Kita”. Apabila dalam pernikahan, istri tidak bisa mencintai suami dan masih mencintai seseorang pada masa lalu, padahal pernikahan sudah berlangsung enam tahun, apa yang harus dilakukan. Padahal jelas, cinta datang dari Allah tanpa kita bisa menguasainya.
- Jawaban:
Kirim SMS/WA Pertanyaan ke Redaksi 081328078414 atau via email ke tanyajawabringkas@gmail.com
Jika pertanyaan Anda cukup dijawab secara ringkas, akan kami muat di rubrik ini. Namun, jika membutuhkan jawaban yang panjang lebar, akan kami muat di rubrik Problema Anda, insya Allah.
Seluruh materi rubrik Tanya Jawab Ringkas (Asy-Syariah) dapat di akses di www.tanyajawab.asysyariah.com

Berita di Sekitar Kita
…عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ حِينَ قَالَ لَهَا أَهْلُ الإِفْكِ مَا قَالُوا، فَبَرَّأَهَا اللهُ مِنْهُ
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, istri
terkasih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang isu yang disebarkan
oleh ahlul ifki (para penyebar dusta) mengenai kehormatan beliau. Isu
yang kemudian Allah menyucikan diri beliau darinya
Takhrij Haditsul Ifki
Kisah yang disebut dengan haditsul ifki ini secara lengkap diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya (no. 4750) dan beberapa tempat lain.
Al-Imam Muslim juga meriwayatkan kisah ini di dalam Shahih-nya (17/102).
Selain beliau berdua, yang meriwayatkan
kisah ini adalah at-Tirmidzi (4/155), Ahmad (6/59), Abdur Razzaq (5/410)
Ibnu Jarir (18/90) dan lainnya.
Hadits di atas sering dipilih oleh ahli hadits sebagai bukti kejelian, puncak kemampuan, dan kekuatan ilmu al-Imam az-Zuhri rahimahullah.
Betapa tidak? Beliau memperoleh alur kisah di atas dari empat orang
guru, yaitu Urwah bin Zubair, Said bin al-Musayyab, ‘Alqamah bin Waqqash
dan Ubaidullah bin Abdillah. Apa yang telah dilakukan?
Az-Zuhri mengulang kembali haditsul ifki dalam satu alur saja. Sebuah kisah yang tersaji dengan menghimpun seluruh alur cerita yang disampaikan oleh guru-gurunya.
Al-Jam’u baina asy-syuyukh (menghimpun
beberapa riwayat lantas disampaikan dalam satu alur) yang dilakukan
oleh az-Zuhri bisa diterima oleh ulama. Sebab, beliau adalah seorang
perawi yang hafizh lagi mutqin. Selain itu, az-Zuhri menguasai betul letak persamaan dan titik perbedaan riwayat-riwayat tersebut.
Perawi yang tingkatannya tidak seperti az-Zuhri, jika melakukan al-jam’u baina asy-syuyukh,
tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, ulama mengingkari riwayat semacam
ini dari al-Waqidi, Atha’ bin as-Sa’ib, Jabir al-Ju’fi, ‘Auf al-A’rabi,
dan lainnya. Sebab, mereka semua tidak memenuhi kriteria untuk
melakukannya. (Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, 2/672—677)
Berita Dusta
Ada sekian berita dusta yang pernah
tercatat dalam sejarah Islam. Isu-isu tidak berdasar, tuduhan keji,
kabar palsu, dan informasi bohong, menjadi pilihan utama untuk memerangi
Islam dan kaum muslimin. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diisukan sebagai seorang dukun, tukang sihir, dan penyair? Bahkan, beliau dikatakan sebagai orang gila. Subhanallah!
Masihkah kita akan terseret dalam arus
kesedihan? Apakah kita terus terjebak pada belenggu kecewa? Sedih dan
kecewa dengan kadar sewajarnya masihlah disebut manusiawi. Ya,
menghadapi atau mendengar isu dusta dan berita bohong memang amat
mengganggu. Apalagi kita yang menjadi obyeknya. Masya Allah!
Jangan terjebak dalam belenggu kecewa!
Tak usahlah terseret dalam arus kesedihan! Saat isu dusta diembuskan
walau perlahan, ketika berita bohong disebarkan meski terang-terangan,
marilah kita mengingat kembali sepotong cerita tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah tangganya. Cerita yang amat menyayat hati. Cerita yang menyadarkan bahwa kita bukanlah apa-apa.
Ujian di Bulan Sya’ban
Tahun tersebut menjadi tahun kelima Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bumi Madinah. Kisahnya bermula dari kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan undian untuk memilih, siapakah di antara istri-istri beliau
yang akan menemani, melayani, dan berkhidmat selama perjalanan ke luar
kota. Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha menjadi nama yang terpilih saat itu.
Dalam perjalanan pulang, rombongan berkemah untuk beristirahat di malam hari. Walaupun telah memberi izin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha
untuk menunaikan hajat di penghujung malam saja. Benar saja, Ibunda
Aisyah pun mencari lokasi sepi, meninggalkan letak perkemahan, sendirian
dan di akhir malam.
Hampir bersamaan, Rasulullah radhiallahu ‘anha mengeluarkan perintah kepada rombongan untuk berangkat melanjutkan perjalanan.
Khusus untuk kaum wanita, ketika dalam
perjalanan dibuatkan rumah-rumahan kecil semacam tandu untuk kemudian
dipanggul. Tak terkecuali Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha saat
itu. Rombongan berangkat. Mereka yang bertugas untuk mengangkat tandu,
tidak merasa apabila Ibunda Aisyah tidak berada di dalamnya. Ringannya
badan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha ketika itu membuat mereka
tidak dapat membedakan antara ada dan tidak adanya beliau di atas
tandu. Mereka mengira, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha ada di dalamnya. Perjalanan terus dilanjutkan.
Sungguh! Semua urusan di atas muka bumi
ini telah diatur sedemikian sempurna. Ada Dzat yang Mahasempurna di atas
sana. Dialah yang menentukan, memastikan, dan berkuasa atas seluruh
peristiwa. Kita yakin ada sejuta hikmah di balik satu kisah atau
sepotong musibah. Terutama untuk menyadarkan bahwa kita hanyalah makhluk
yang lemah sehingga harus selalu berpulang, pasrah, dan menyerahkan
segala-galanya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sekembalinya ke lokasi perkemahan, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha
terkejut karena tempat telah kosong dan sepi. Berbekal kecerdasan dan
ketenangan, beliau memutuskan untuk menunggu di tempat itu saja, tanpa
harus panik atau bingung. Katanya, “Tentu mereka akan merasa kehilangan
dan akan kembali ke tempatku ini.”
Cukup lama Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha menunggu sampai akhirnya beliau tertidur. Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha terbangun saat mendengar istirja’ sahabat Shafwan bin Mu’aththal radhiallahu ‘anhu, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Ternyata Shafwan yang berkemah di bagian
belakang rombongan pun tertidur pulas sehingga tertinggal. Shafwan yang
melihat sosok seseorang lalu mendekati. Segera Shafwan mengenalinya
sebagai Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, apalagi dia pernah melihatnya sebelum ayat hijab diturunkan. Langsung saja Shafwan radhiallahu ‘anhu mengucapkan istirja’, memanggil dan menderumkan untanya, lalu mendekatkannya ke arah Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha.
Tidak ada satu patah kata pun yang terucap dari Shafwan radhiallahu ‘anhu. Jangankan satu patah kata, satu huruf pun tidak. Shafwan radhiallahu ‘anhu sangat mengerti adab dan etika. Tidak mungkin dia berbicara kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada di sana. Shafwan radhiallahu ‘anhu begitu besar sikap hormatnya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhainya.
Pun demikian Aisyah radhiallahu ‘anha.
Tidak ada satu huruf pun yang terucap, apalagi sampai satu kata. Beliau
adalah wanita suci lagi disucikan. Beliau adalah istri seorang hamba
yang suci. Tidak mungkin Allah ‘azza wa jalla memilihkan seorang pendamping hidup untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali wanita yang terbaik. Itu pasti! Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhainya.
Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha kemudian naik ke atas unta karena memahami maksud dari Shafwan radhiallahu ‘anhu. Mereka berjalan mengejar rombongan. Shafwan radhiallahu ‘anhu
berjalan di depan unta dan menggiringnya, tanpa pernah sekali pun
memandang atau menoleh ke belakang. Akhirnya mereka berhasil menyusul
saat matahari beranjak naik, di waktu dhuha.
Kacamata Berita
Kesempatan. Ya, peristiwa itu digunakan
oleh orang-orang munafik untuk menyebarkan isu, berita bohong, dan kabar
palsu. Mereka menyebarkan bahwa seorang sahabat Nabi telah berselingkuh
dengan salah seorang istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Digembar-gemborkan, digemparkan, dan di-blow-up sedemikian rupa.
Lihatlah! Jangankan berita yang murni
bohong, jelas-jelas palsu, kaum munafikin juga memelintir, merekayasa,
dan memotong-motong sebuah cerita sehingga tersebar tidak seperti
aslinya. Peristiwa yang sebenarnya terjadi sebagaimana dipaparkan di
atas, bukan semacam yang disebarluaskan oleh kaum munafikin!
Seperti itulah liciknya musuh-musuh
Islam. Maka dari itu, janganlah heran atau terkejut apabila ada sekian
banyak isu-isu murahan atau berita dusta yang disematkan pada Islam,
dakwah tauhid, dakwah sunnah, terlebih lagi pada pribadi para
pengampunya. Bukankah dakwah salaf sering dituduh sebagai dakwah keras, takfiri, teroris, jumud, tertutup, merasa benar sendiri, dan seabreg tuduhan lainnya?
Ada duka di kota Madinah. Orang-orang sama bertanya, “Ada apa ini? Mengapa bisa terjadi?”
Ketika kaum munafikin gembira dan tertawa, kaum mukminin bersedih. Mereka bersedih karena ikut merasakan kesedihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada saat yang sama, kaum mukminin sangatlah yakin bahwa kabar itu
adalah dusta semata. Mereka menyatakan dengan penuh keyakinan,
مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبۡحَٰنَكَ هَٰذَا بُهۡتَٰنٌ عَظِيمٞ ١٦
“Sekali-kali tidaklah pantas bagi
kita untuk memperbincangkan hal ini. Mahasuci Engkau (wahai Rabb
kami),ini adalah dusta yang besar.” (al-Nur: 16)
Di sinilah terletak pelajaran penting dalam hal menyikapi berita di seputar kita. Contohlah kaum mukminin di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang berusaha untuk tidak terlarut dalam isu-isu yang diembuskan.
Apalagi terkait dengan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Bersikaplah
teliti, bekali diri dengan filter untuk menyaring, dan bertanyalah
kepada orang-orang tepercaya dalam hal menanggapi berita.
Orang mukmin tidaklah mudah menerima isu
atau kabar burung. Berita yang tidak jelas sumbernya, referensinya
entah dari mana, janganlah langsung diterima. Apalagi terkait dengan
harga diri, kehormatan, dan nama baik seorang muslim. Haruslah lebih
berhati-hati!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الْاِسْتِطَالَةُ فِيْ عِرْضِ الْمُسْلِم بغَيْرِ حَقٍّ
“Sungguh, perbuatan riba yang paling besar adalah berbicara tentang kehormatan seorang muslim secara tidak benar.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad 1/313)
Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berisra’ dan mi’raj, diperlihatkan kepada beliau orang-orang yang
berada di dalam neraka. Mereka memiliki kuku-kuku panjang terbuat dari
tembaga. Mereka mencakar-cakar wajahnya sendiri. Saat ditanyakan,
Malaikat Jibril menjawab,
هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
“Mereka adalah orang-orang yang memakan daging orang lain (berbuat ghibah) dan menjatuhkan kehormatan orang lain.” (HR. Abu Dawud dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad 1/508)
Demikianlah ajaran Islam! Berhati-hati dalam berbicara, bersikap teliti saat menukil berita.
Menjadi Obyek Berita?
Apabila menjadi obyek sebuah isu, apa yang harus dilakukan? Contohlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Tirulah Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha!
Hayatilah secara saksama sikap-sikap beliau saat menghadapi gencarnya
isu sesat yang disebarkan oleh kaum munafikin. Beliau berdua tidak
terburu-buru, tidak pula tergesa-gesa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , hamba yang memperoleh petunjuk ilahi dari atas langit ketujuh, tidaklah mengambil keputusan sendiri. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan tidak berbicara. Yang beliau lakukan adalah menunggu dan menanti turunnya wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Biarlah Allah ‘azza wa jalla yang memutuskan.
Nah, inilah yang mesti kita lakukan saat
menjadi obyek isu. Kembalilah kepada Allah dengan memperbanyak tobat,
istighfar, dan zikir. Mengeluh dan mengadulah kepada-Nya. Mohonlah
petunjuk dan kesabaran dari-Nya. Bacalah kalam Allah ‘azza wa jalla agar hati menjadi sejuk, jiwa bertambah tenang. Seperti itu pula yang dilakukan oleh Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha.
Dalam salah satu perbincangan kecil dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha
mengakui dirinya adalah seorang perempuan muda yang tidak banyak
menghafal al-Qur’an. Akan tetapi, beliau menyatakan, “Demi Allah! Tidak
ada permisalan yang dapat aku sampaikan kepada kalian kecuali ucapan
ayah Nabi Yusuf,
فَصَبۡرٞ جَمِيلٞۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ ١٨
“Maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap
apa yang kamu ceritakan.” (Yusuf: 18)
Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha! Kembali kepada Allah ‘azza wa jalla saat isu dan berita dusta tiba menyapa. Berikutnya adalah memohon masukan dan saran dari orang-orang dekat dan dapat dipercaya.
Selama masa penantian wahyu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu. Subhaanallah! Kepada yang jauh lebih muda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
meminta saran. Berapakah usia Usamah saat itu? Masih sangat belia, muda
sekali. Hanya beberapa belas tahun umurnya. Bayangkan, tentang urusan
rumah tangga yang bersifat privasi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap meminta saran dari orang lain.
Lantas bagaimana halnya dengan kita?
Mestinya tidak perlu sungkan atau malu hati untuk meminta saran dan
masukan dari orang lain saat menghadapi isu atau berita tidak
mengenakkan. Asalkan orang itu dapat dipercaya dan bersifat amanah.
Tirulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Seperti itu juga yang dilakukan oleh Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Saat pertama kali mendengar berita dusta tersebut, Ibunda Aisyah meminta izin kepada Rasulullah radhiallahu ‘anha agar diperbolehkan menemui kedua orangtuanya.Kepada kedua orangtuanya, Abu Bakr ash-Shiddiq dan Ummu Ruman istrinya, Aisyah radhiallahu ‘anha meminta masukan. Sang ibu menyatakan, “Wahai putriku, anggap ringan saja masalah ini bagimu!”
Ingat-ingatlah pula bahwa tentu ada yang
terpengaruh akibat isu atau berita dusta yang beredar. Jika
sungguh-sungguh bertobat dan meminta maaf, berikanlah maaf untuknya. Hal
ini seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq yang memaafkan
Misthah radhiallahu ‘anhu, padahal ia pun terlibat dalam berita dusta yang disebarkan oleh kaum munafikin.
Ringkasnya, hidup di dunia ini tentu tidak akan lepas dan terbebas dari isu miring atau berita dusta. Alhamdulillah, Islam telah mengatur dan membimbing langkah terbaik untuk menghadapinya.
Dengan membaca kisah haditsul ifki, semoga Allah ‘azza wa jalla meringankan beban pikiran kita. Amin.
Wallahul Muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

Jangan Gampang Menggosip!
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin
agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Penjelasan Mufradat Ayat
أَن تَشِيعَ
Bermakna muncul, tampak, tersiar, tersebar.
ٱلۡفَٰحِشَةُ
Bermakna perbuatan jelek, keji, perkara besar; seperti zina atau perkataan buruk.
لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ
“Bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
Azab di dunia, yaitu azab yang
menyakitkan berupa hukuman dera (cambukan) sebanyak delapan puluh kali
bagi yang menuduh wanita dan laki-laki yang baik berbuat zina.
Azab di akhirat, yaitu azab jahannam bagi yang meninggal dalam keadaan meneruskan perbuatan tersebut dan tidak bertobat darinya.
Penjelasan Makna Ayat
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Ayat ini merupakan pendidikan dan hukuman bagi siapa saja yang
mendengar berita buruk, lantas timbul pikiran untuk membicarakan dan
menyiarkannya; serta memilih tersiarnya pembicaraan yang keji pada kaum
mukminin. Oleh karena itu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah,
pasti kalian akan mendapatkan bimbingan.”
Beliau rahimahullah menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah, jangan kalian menjelek-jelekkannya, jangan pula kalian mencari-cari aib mereka. Barang siapa mencari-cari aib saudaranya yang muslim, Allah akan menemukan aib (mereka) hingga memperlihatkan kejelekan dia di rumahnya.”
Dalam Zadul Masir, karya Ibnul Jauzi rahimahullah, setelah mencantumkan ayat,
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong.” (an-Nur: 11)
disebutkan, “Para ulama ahli tafsir
sepakat bahwa ayat ini dan setelahnya yang ada hubungannya turun
berkaitan dengan kisah Aisyah radhiallahu ‘anha atas berita bohong yang dituduhkan kepadanya.
Ketika memaknai ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar,’ Mujahid rahimahullah berkata, “Maksudnya (keinginan untuk) mengumumkan dan menceritakan tentang urusan Aisyah.”
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla befirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan itu tersiar/tersebar di kalangan orang-orang yang membenarkan (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengumumkannya di tengah-tengah mereka bagi mereka azab yang pedih di dunia,’ maknanya adalah azab yang menyakitkan di dunia dengan cara didera. Hukuman ini Allah ‘azza wa jalla timpakan kepada orang yang menuduh wanita dan laki-laki yang baik-baik berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi.
Dalam ayat lain Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤
“Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak
medatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nur: 4)
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Yaitu (menuduh) wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan dirinya.
Demikian pula laki-laki (yang menjaga kehormatan dirinya), tidak ada
perbedaan antara dua hal ini. Ketika mereka (yang menuduh) tidak
medatangkan empat orang saksi laki-laki yang baik agamanya (‘udul),
deralah mereka 80 kali dera dengan cambuk/cemeti berukuran sedang, yang
menyakitkan dan terasa pedih. Tidak boleh mendera secara melampaui
batas dan mengakibatkan kematian. Sebab, tujuan utamanya adalah hukuman
dera, bukan merusak (membinasakan).
Inilah ketetapan hukum bagi seorang yang
melakukan tuduhan zina, dengan syarat bahwa yang dituduh adalah orang
baik-baik lagi beriman, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla di atas.
وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya,”
Mereka mendapatkan hukuman yang lain,
yaitu persaksian mereka tidak diterima meskipun hukuman tersebut telah
diterapkan terhadapnya hingga ia bertobat, sebagaimana yang akan datang
penjelasannya.
وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Dan mereka itulah orang-orang yang fasik,” yaitu keluar dari ketaatan
kepada Allah ‘azza wa jalla dan terlalu banyak kejelekannya. Sebab, ia telah melanggar apa yang Allah ‘azza wa jalla
haramkan dan merusak kehormatan saudaranya. Selain itu, ia telah
memengaruhi manusia dengan tuduhan yang ia ucapkan. Ia telah merusak
tali persaudaraan yang Allah ‘azza wa jalla ikat (tetapkan) di antara ahlul iman. Dia justru ingin agar berita perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang yang beriman.
Ini semua menjadi bukti bahwa menuduh orang baik-baik berbuat keji merupakan dosa besar.
“Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tobat dalam hal ini adalah dengan cara
mendustakan dirinya sendiri. Maksudnya, ia menyatakan bahwa apa yang
telah ia ucapkan adalah kedustaan. Dia wajib menyatakan bahwa dirinya
berdusta walaupun yakin bahwa hal (yang dituduhkan) betul-betul terjadi,
karena ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi.
Jika dia bertobat dan memperbaiki amal
perbuatannya, mengganti keburukan dengan kebaikan, dia terbersihkan dari
kefasikan. Demikian pula kesaksiannya akan diterima, menurut pendapat
yang benar (dalam masalah ini). Sebab, Allah ‘azza wa jalla Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; mengampuni seluruh dosa hamba yang mau bertobat dan kembali kepada-Nya.
Hukum dera ini berlaku apabila tuduhan
tersebut muncul dari selain suami dan tidak mendatangkan empat orang
saksi. Jika tuduhan tersebut datang dari suami, Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan urusannya dalam firman-Nya,
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٦ وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٧ وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٨ وَٱلۡخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٩
“Dan orang-orang yang menuduh
istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri; maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, (bahwa) sesungguhnya dia termasuk
orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya dihindarkan dari hukuman
oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya
itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta; dan (sumpah) yang
kelima bahwa kemarahan Allah atasnya jika suami itu termasuk orang-orang
yang benar.” (an-Nur: 6—9)
Sumpah ini diucapkan sebagai pengganti kedudukan saksi. Para ulama menyebut masalah ini dalam kitab fikih dengan nama li’an; yaitu persaksian yang dikuatkan dengan sumpah disertai dengan laknat dan ghadhab (kemarahan) Allah ‘azza wa jalla.
Disebut dengan li’an, karena ketika seorang suami menuduh istrinya berzina, ada dua tuntutan baginya.
- Mendatangkan bukti (saksi) atas tuduhannya.
- Jika tidak dapat mendatangkan saksi, dia dijatuhi hukuman dera sebanyak 80 kali.
Sebab, hukum asal seorang yang menuduh
zina orang yang baik-baik dan tidak mendatangkan empat orang saksi
adalah didera 80 kali. Hukuman ini tidak gugur, kecuali apabila dia
bersaksi untuk dirinya sendiri dengan empat kali bersumpah dengan nama
Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Sumpah
kelima adalah laknat Allah ‘azza wa jalla atasnya jika dia berdusta. Jika hal ini dia lakukan, gugurlah hukum dera tersebut.
Adapun seorang istri yang dituduh oleh
suaminya berzina, tidak lepas dari dua hal: membenarkan tuduhan tersebut
atau mendustakannya.
- Jika membenarkan, dia terkena hukum rajam.
- Jika istri mendustakan tuduhan tersebut dan suami tidak mempunyai saksi selain dirinya sendiri dengan lima kali bersumpah, sang istri terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas nama Allah ‘azza wa jalla, sesungguhnya suaminya benar-benar berdusta. Sumpah kelima adalah kemarahan Allah ‘azza wa jalla atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar (jujur, ed.).
Mengapa ucapan sumpah yang kelima antara suami dan istri lafalnya berbeda?
Kata la’nat (laknat) mengandung makna seseorang dijauhkan dari rahmat Allah ‘azza wa jalla tanpa disertai kemarahan (kemurkaan) Allah ‘azza wa jalla padanya. Adapun ghadhab, mengandung makna laknat disertai kemarahan Allah ‘azza wa jalla.
Oleh sebab itu, seorang istri diharuskan bersumpah dengan sumpah yang lebih kuat bahwa kemarahan Allah atasnya… dst.
Alasannya, suami lebih dekat kepada
kejujuran dan istri mengetahui kenyataan yang terjadi apabila dia
benar-benar berzina. Apabila hal ini diingkari oleh istri, ia berhak dan
pantas mendapatkan kemarahan Allah ‘azza wa jalla. Sebab, dia
mengingkari sebuah kebenaran (kenyatan yang sesungguhnya) padahal
mengetahuinya. Karena itu, dia mendapatkan kemarahan Allah. Oleh sebab
itu, orang Yahudi dimurkai karena mengetahui kebenaran namun
menentangnya.
Dari sisi inilah, istri berhak mendapat ghadhab (kemurkaan)
Allah. Adapun suami haknya adalah laknat-Nya. Tuduhan suami
mengharuskan manusia menjauhi wanita ini, meninggalkannya, dan mendoakan
laknat baginya.
Berikut ini beberapa persyaratan sah pelaksanaan li’an.
- Terjadi antara suami dengan istri, baik terlaksana sebelum atau sesudah bercampur dengannya.
- Pengucapannya harus dengan bahasa Arab, karena lafalnya (lafadz, Arab) sebagaimana yang termuat dalam al-Qur’an. Menggunakan selain bahasa Arab dikhawatirkan tidak mencakup makna yang dikehendaki dalam bentuk yang sempurna. Barang siapa mampu berbahasa Arab, tidak sah melakukan li’an menggunakan bahasa lain.
Contoh lafal li’an bagi suami,
أَشْهَدُ بِاللهِ إِنِّي لَمِنَ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتُهَا بِهِ (x4)
“Aku bersumpah dengan nama Allah
bahwa sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang benar terhadap apa yang
aku tuduhkan kepadanya.” (sebanyak 4 kali)
Li’an kelima dengan ditambah lafal,
أَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“dan laknat Allah atas diriku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta.”
Demikian pula istri yang dituduh, bersumpah dengan mengatakan,
أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (x4)
“Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya suamiku itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.” (sebanyak 4 kali)
Li’an kelima bagi istri ditambah lafal,
غَضَبَ اللهُ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“(Sumpah kelima), bahwa kemurkaan Allah atasku jika suamiku itu termasuk orang-orang yang benar.”
- Harus sesuai dengan urutan, yaitu pengucapan sumpah tidak terbolak-balik. Suami yang memulai terlebih dahulu baru disusul oleh sang istri.
- Tidak boleh ada kekurangan sedikitpun dari kalimat sumpah sebagaimana yang tersebut dalam al-Qur’an.
- Tidak boleh ada sesuatupun yang diganti, seperti asyhadu diganti dengan aqsamu, bersumpah tetapi tidak menggunakan nama Allah, ghadhab diganti dengan sukhth.
- Perkara li’an berlaku khusus bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina dan tidak berlaku sebaliknya.
Apabila suami-istri telah menyatakan hal di atas (terjadi li’an),
seketika itu pula keduanya harus pisah (cerai) selama-lamanya, dan
tidak boleh menikah kembali walaupun istri pernah dinikahi oleh orang
lain setelahnya.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, Fulan (seseorang) telah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika salah seorang di antara kami mendapati istrinya melakukan perbuatan yang amat keji (zina), apa yang harus ia lakukan? Jika dia ceritakan, niscaya ia telah bercerita tentang perkara yang agung (besar). Jika diam, niscaya dia diam dari (perkara besar) seperti itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (diam) tidak menjawabnya. Sesudah itu, dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya urusan yang pernah aku tanyakan kepadamu telah menimpa saya.”
Kemudian turun ayat-ayat yang terdapat dalam surat an-Nur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya, menasihati, dan mengingatkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan bahwa azab dunia itu lebih ringan daripada azab akhirat.
Orang itu berkata, “Tidak! Demi Dzat yang mengutusmu dengan (membawa) kebenaran, saya tidak berdusta terhadapnya.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
dia (istrinya), dinasihatinya pula. Dia menjawab, “Tidak! Demi Dzat
yang mengutusmu dengan (membawa) kebenaran. Sesungguhnya dia benar-benar
berdusta.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
memerintahkan orang itu memulai (bersumpah). Ia bersumpah empat kali
dengan nama Allah, lalu diikuti oleh istrinya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan keduanya (diceraikan). (HR. Muslim)
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Ayat di ini (yaitu an-Nur: 19) menjelaskan tentang hukum dera
bagi orang yang menuduh wanita yang merdeka, baligh, dan menjaga
kehormatan diri. Demikian pula jika yang dituduh adalah seorang
laki-laki; hukumannya sama, dicambuk. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan
pendapat di antara para ulama. Apabila yang menuduh dapat membuktikan
dengan sebuah alasan yang menunjukkan benarnya apa yang dia ucapakan, ia
dihindarkan dari hukuman tersebut.”
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Apabila ancaman berupa azab yang pedih di dunia dan akhirat, karena
sekadar keinginan agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dan
membuat senang hati, bagaimana halnya dengan yang lebih besar dari itu,
dengan cara mengumumkan, memunculkan, dan menyampaikannya?! Terlepas
dari berita itu benar atau tidak.”
Semua ini adalah bentuk kasih sayang Allah ‘azza wa jalla kepada para hamba-Nya yang mukmin dan perlindungan terhadap kehormatan mereka, sebagaimana dilindunginya darah dan hartanya.
Allah ‘azza wa jalla perintah
mereka melakukan sesuatu yang menunjukkan kemurnian persahabatan, yaitu
mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia mencintainya untuk
dirinya sendiri; dan membenci sesuatu terjadi pada saudaranya
sebagaimana ia membenci hal itu terjadi pada dirinya sendiri.
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla
mengetahui kedustaan orang yang membawa berita bohong dan siapa yang
jujur di antara mereka. Adapun kalian wahai manusia, tidak mengetahui
hal itu. Sebab, kalian tidak mengetahui perkara yang gaib. Dzat Yang
Maha Mengetahui hal yang gaib (Allah ‘azza wa jalla) sajalah
yang tahu. Janganlah kalian menceritakan hal yang tidak kalian ketahui,
yaitu berita bohong, kepada orang yang beriman kepada Allah; terlebih
terhadap para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat membuat kalian binasa.
Oleh sebab itu, Allah ‘azza wa jalla mengajarkan dan menjelaskan kepada kalian urusan yang kalian belum ketahui.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Maraji:
Maktabah Syamilah—Kutub at-Tafsir
Asy-Syarhul Mumti
Tashilul Ilmam
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

Ghuluw dalam Fiqhul Waqi’
Ghuluw ( غُلُوٌّ ) artinya melampaui batas atau berlebih-lebihan. Adapun fiqhul waqi’ ( الْوَاقِعِ فِقْهُ ) artinya memahami kondisi kekinian atau realita yang ada. Yang dimaksud dengan fiqhul waqi’ di sini adalah menyibukkan diri dengan urusan-urusan politik dan mengikuti secara mendalam peristiwa-peristiwa kekinian.
Yang tercela dalam masalah fiqhul waqi’ ada beberapa hal:
- Tenggelam dalam mengikuti peristiwa politik dan beragam peristiwa yang terjadi sehingga melalaikan diri dari yang terpenting yaitu mempelajari sumber agama, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah.
Sebagian mereka berkata, “Apa nilainya
orang yang berilmu bila tidak menjelaskan kepada manusia problema
politik yang mereka hadapi, yang itu adalah masalah terpenting yang
mereka butuhkan.” (al-Ajwibah al-Mufidah, 141)
Karena menyibukkan diri dengan perkara
yang umumnya bukan tugasnya untuk mendalaminya, akhirnya mereka tidak
mengamalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤
“Dan barang siapa berpaling dari
peringatan-Ku (kitab-Ku), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta.” (Thaha: 124)
Saat sebagian orang mempelajari agama Allah ‘azza wa jalla, ternyata orang-orang yang ghuluw dalam fiqhul waqi’ sibuk
menyimak dan mengikuti berita televisi, radio, membaca koran, dan yang
semisal. Karena yang digeluti seperti ini, akhirnya yang mereka
bicarakan adalah masalah perpolitikan. Seolah-olah mereka ingin
mengatakan di majelis bahwa nash-nash syariat Islam tidak mampu menjawab
tantangan zaman. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku tinggalkan di tengah-tengah
kalian dua hal, yang kalian tidak akan tersesat setelah (berpegang teguh
dengan) nya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnahku.” ( HR. al-Hakim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
- Percaya dengan berita yang sumbernya dari orang kafir dan fasik.
Karena pijakan bersikapnya pada sesuatu yang tidak jelas ini, penilaian dan statement yang dikeluarkan tidak tepat. Bagaimana mungkin bayangan sebuah benda akan lurus kalau aslinya saja bengkok? Padahal Allah ‘azza wa jalla
sudah mengingatkan kita dari menerima berita orang fasik secara
serampangan. Lantas bagaimana kiranya kalau itu berita dari orang kafir?
- Menganggap kitab karya ulama sebagai sesuatu yang kering, tidak menarik, dan tidak bisa menjawab tantangan zaman.
Inilah pencetus firqah as-Sururiyyah, Muhammad Surur Zainal Abidin mengatakan dalam kitabnya (Manhajul Anbiya 1/18),
“Aku memerhatikan kitab-kitab akidah; aku lihat ia ditulis bukan untuk
zaman kita. Kitab-kitab itu untuk menjawab perkara dan problem yang pada
masanya, sedangkan untuk zaman kita ada problem yang membutuhkan solusi
baru. Oleh karena itu, metode penyampaian kitab akidah kebanyakannya
kering, karena hanya berupa nash (dalil) dan hukum. Oleh karena itu, sebagian besar para pemuda berpaling dari kitab-kitab itu dan tidak suka.”
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengomentari
ucapan Muhammad Surur, “Orang ini dengan ucapannya telah menyesatkan
para pemuda dan memalingkan mereka dari kitab-kitab akidah yang benar,
kitab-kitab salaf. Ia mengarahkan para pemuda kepada pemikiran yang baru
dan buku baru yang membawa pemikiran yang campur aduk. Kejelekan kitab
akidah menurut Muhammad Surur karena ia hanya memuat nash (dalil-dalil)
dan hukum, padanya disebutkan firman Allah ‘azza wa jalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang diinginkan oleh Muhammad Surur adalah pemikiran fulan dan fulan,
tidak ingin dalil dan hukum. Oleh karena itu, hendaklah kalian waspada
dari pernyataan yang batil ini yang dimaukan darinya adalah memalingkan
pemuda kita dari kitab-kitab salaf.” (al-Ajwibah al-Mufidah, Jamal al-Haritsi hlm. 52—56)
Apabila telah hilang sikap percaya
kepada para ulama, kepada siapa lagi kaum muslimin akan merujuk untuk
menjawab problem mereka dan menjelaskan hukum-hukum syariat?
- Meremehkan para ulama.
Karena merasa lebih banyak mengetahui
perkara kekinian dan peristiwa yang ada di jagat ini melalui media
massa, mereka menganggap para ulama adalah orang yang tidak mengenal
realita. Para ulama dianggap cocok hidup di abad pertengahan yang tidak
mampu menjawab problem kekinian.
Di antara tokoh yang tidak malu-malu
merendahkan para ulama dan meghukumi mereka sebagai orang-orang kolot
dan kuno adalah Abdurrahman Abdul Khaliq, salah satu sesepuh Jum’iyyah Ihya at-Turats al-Islami yang
diagung-agungkan oleh para pengikutnya. Demikian pula Salman al-Audah,
Safar Hawali, Nashir al-Umar, Muhammad Surur, dan lainnya yang satu
pemikiran. Mereka adalah para pengusung fiqhul waqi’ yang sebagian mereka merendahkan ulama.
Inilah di antara ucapan Abdurrahman
Abdul Khaliq, “Para ulama kita yang mulia tidak mengerti sedikit pun
tentang organisasi rahasia yang dimiliki oleh musuh. Mereka tidak tahu
banyak tentang perencanaan musuh dan tidak mempelajari syubhat para
musuh dan tipu muslihat mereka. Para ulama tidak pantas sama sekali
untuk membantah tipu daya musuh dan tidak mampu\ menyelamatkan para
pemuda Islam dari cengkraman kekufuran yang tercela ini.” (Khuthuth Raisiyyah Liba’tsi al Ummah al-Islamiyah 101—103 melalui kitab Jama’ah Wahidah la Jama’at karya asy-Syaikh Rabi, 44).
Perkataan kotor Abdurrahman Abdul Khaliq ini menunjukkan bahwa dia tidak paham fiqhul waqi’.
Bagaimana tidak, ulama telah membeberkan kepada umat tentang makar
musuh Islam. Para ulama menyampaikan hal ini melalui ceramah atau
tulisan.
Abdurrahman Abdul Khaliq juga berkata,
“Apa nilainya seorang alim tentang syariat seandainya diseru kepada
jihad dan menenteng senjata kemudian dia berkata, ‘Ini bukan urusan para
ahli syariat, kita hanya bisa berfatwa tentang halal dan haram, tentang
haid, nifas, dan talak?!’ Kita menginginkan para ulama yang sebanding
dengan zaman yang ada dari sisi ilmu, wawasan, adab, akhlak, keberanian,
berani maju, dan memahami trik makar (para musuh) terhadap Islam. Kita
tidak ingin deretan ulama kolot yang tubuh mereka hidup di zaman kita,
namun akal dan fatwa mereka hidup di selain masa kita.” (Jama’atun Wahidah La Jama’at, hlm. 40)
Dahulu, Abdurrahman Abdul Khaliq ini
merendahkan gurunya sendiri yang telah banyak berjasa kepadanya, yaitu
asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, dengan mengatakan bahwa
beliau seperti perpustakaan keliling, tetapi cetakan lama yang butuh
untuk direvisi. (Jama’ah Wahidah hlm. 42)
Ini tentu suatu contoh kedurhakaan seorang murid yang durhaka kepada Syaikhnya yang salafi yang telah mengajarinya agama Allah ‘azza wa jalla.
Dahulu ketika ulama berfatwa tentang
bolehnya meminta bantuan kepada Amerika Serikat dan sekutunya dalam
peristiwa Perang Teluk di mana Saddam Husain Presiden Irak kala itu
menyerang Kuwait dan Saudi Arabia dengan senjata canggihnya (tentunya
setelah para ulama mempelajari secara saksama kondisi yang ada dan
meneliti dalil syariat tentang meminta bantuan keamanan kepada orang
kafir, dengan syarat yang tidak melanggar aturan agama); muncullah
komentar miring dari para pengusung fiqhul waqi’ terhadap para ulama.
Inilah Muhammad Surur pentolan kelompok
Sururiyyah dalam majalah as-Sunnah (edisi 23 Dzulhijjah 1412 H hlm.
29—30) mencela para ulama dengan memberi julukan jelek bahwa ulama
adalah para budak, intel-intel dakwah, dan munafik.
Dia juga mengatakan, “Wahai
saudara-saudaraku, janganlah kalian tertipu dengan penampilan. Ketokohan
seorang sebagai syaikh itu hanya buatan orang-orang zalim dan tugas
dari syaikh yang mulia tidak beda dengan tugas petinggi kepolisian.”
Belum lagi ucapan Salman ‘Audah yang
mencela para ulama bahwa mereka tugasnya hanya mengumumkan masuk dan
keluarnya bulan Ramadhan. Ketika mengomentari peristiwa Perang Teluk ia
mengatakan bahwa peristiwa ini menyingkap tentang tidak adanya rujukan
ilmiah yang benar dan tepercaya bagi kaum muslimin. (al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah fa’rifuha, hlm. 79—80)
Hal seperti ini memang di antara
ciri-ciri ahli bid’ah, yaitu mencela ahlul atsar, orang yang berjalan di
atas bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Penggiringan opini bahwa merekalah yang berhak ditimba ilmunya dan diikuti sarannya.
Saat mereka merendahkan ulama, tersirat
dari situ bahwa merekalah orang yang paling paham tentang kondisi
sehingga tertipulah sebagian pemuda yang lugu yang tidak tahu hakikat
mereka.
Para pemuda digiring untuk melakukan
demonstrasi dengan alasan bahwa hak rakyat tidak akan diberikan oleh
penguasa kecuali dengan cara menekan mereka. Para pengusung “fiqhul waqi’”
berlagak sok lebih alim, lebih bijak, dan lebih segala-galanya di atas
ulama syariat. Akan tetapi, dengan berlalunya waktu, topeng jahat mereka
tersingkap.
Kedudukan Ulama di Hadapan Syariat
Banyak sekali dalil syariat yang
menyebutkan keutamaan ilmu dan para ulama. Suatu hal yang mengharuskan
kita untuk mengerti posisi para ulama. Yang dimaksud dengan ulama di
sini adalah ulama yang mengerti tentang syariat Allah ‘azza wa jalla.
Para ulama syariat adalah orang yang paling paham tentang kondisi
masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh mereka serta solusi dari problem
yang dihadapi.
Adapun orang yang tahunya hanya permasalahan politik dan yang kekinian tanpa mempelajari lebih dalam tentang syariat Allah ‘azza wa jalla bukanlah yang dimaksud sebagai ulama.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
“Menghormati ulama muslimin adalah wajib, karena mereka pewaris para
nabi. Merendahkan mereka adalah bentuk meremehkan kedudukan mereka dan
kedudukannya sebagai pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan meremehkan ilmu yang mereka bawa para ulama harus dihormati karena
ilmu dan kedudukan mereka di tengah umat dan karena tugas yang mereka
emban untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.
Apabila seseorang tidak percaya kepada ulama, lalu kepada siapa lagi dia akan percaya?
Apabila telah hilang sikap percaya
kepada para ulama, kepada siapa lagi kaum muslimin akan merujuk untuk
menjawab problem mereka dan menjelaskan hukum-hukum syariat?
Ketika kondisi seperti ini, umat akan
tersia-siakan dan kekacauan tersebar. Tiada seorang pun yang merendahkan
ulama kecuali ia telah menghadapkan dirinya kepada hukuman Allah ‘azza wa jalla. Sejarah menjadi saksi yang terbaik tentang dihukumnya mereka baik dahulu maupun sekarang.” ( al-Ajwibah al-Mufidah, 140)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman

Efek Negatif Media Massa
Disadari atau tidak, pola pikir dan
perilaku masyarakat saat ini kebanyakan terpengaruh oleh kultur media
massa. Bermunculannya media informasi yang sangat pesat bak jamur tumbuh
di musim hujan disambut layaknya makanan lezat oleh orang yang lapar
atau air yang sejuk oleh orang yang haus.
Mirisnya, kebanyakan media massa
tersebut berada di genggaman musuh-musuh Islam. Melalui media-media
tersebut, mereka tebarkan virus yang bisa membunuh agama seseorang.
Media dijadikan alat propaganda untuk memberi gambaran buruk tentang
Islam dan kaum muslimin. Islam diopinikan sebagai batu ganjalan
tercapainya kemodernan. Di sisi lain, mereka mengemas kekafiran dan
kemaksiatan sebagai sesuatu yang lumrah dan hak setiap individu.
Memang, sebagian media massa ada yang
dimiliki oleh orang-orang Islam. Akan tetapi, kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik dan tidak paham tentang agama. Di samping itu,
yang dikejar hanyalah profit. Bahkan, karena ketidakpahaman tentang
agama, sebagian media massa yang bernapaskan keislaman terkadang
menyuguhkan info dan menyajikan tayangan yang berbau syirik, bid’ah, dan
khurafat. Sangat minim media massa-media massa yang mengusung risalah
Islam yang sesungguhnya. Karena itu, mengetahui hakikat media massa
menjadi sesuatu yang urgen agar seorang tidak salah menerima informasi.
Dampak Negatif Media Massa
Kajian-kajian tentang dampak buruk media
massa akan terus menjadi topik yang menarik mengingat ketergantungan
manusia saat ini kepada media informasi sangat besar.
Ketika mengemukakan dampak buruk media
massa, tidak berarti kita menolak teknologi informasi yang mutakhir dan
menutup mata dari pengaruh positifnya. Akan tetapi, kita semestinya
mengambil langkah waspada akan dampak buruknya, karena kebanyakan
pemilik media massa adalah orang-orang sekuler yang menghalalkan segala
cara dan orang-orang fasik yang tujuannya hanya dunia. Sementara itu,
dampak negatif media massa sangat jelas dirasakan. Berikut beberapa
dampak negatif media massa secara umum.
- Menjadi sarana musuh-musuh Islam untuk merealisasikan tujuan-tujuan mereka menguasai umat Islam dan melontarkan keraguan seputar syariat Islam.
- Melemahkan akidah umat dengan ditampilkannya syiar-syiar kekufuran dan gambar-gambar orang kafir. Karena sering ditampilkan, kaum muslimin akhirnya menganggap hal-hal semacam ini sebagai suatu yang lumrah. Hilanglah sikap bara’ah (berlepas diri) dari orang-orang kafir dan perbuatan mereka.
- Umat diajak untuk meniru orang-orang kafir dan fasik dalam hal akhlak, pemikiran, adat istiadat, gaya berpakaian, potongan rambut, dan semisalnya.
- Orang menjadi tidak menyukai kebaikan karena digambarkan sebagai kemunduran. Sebaliknya, media massa mendorong orang untuk melakukan kejelekan.
- Menjadikan orang terbiasa melihat dan mendengar kemungkaran tanpa ada pengingkaran.
- Penghakiman sepihak kepada suatu kelompok masyarakat tanpa ditelusuri lebih dalam pangkal masalahnya.
Adapun dampak buruk media massa secara khusus ialah sebagai berikut:
- Dampak negatif terhadap pribadi
- Menelan mentah-mentah info-info miring seputar Islam dan kaum muslimin yang ditebarkan media-media kufur tanpa bisa menyaringnya.
- Hal ini akan melemahkan keyakinannya terhadap agamanya. Satu dampak negatif ini saja sudah cukup untuk meruntuhkan masa depan seseorang.
- Masuknya pemahaman-pemahaman yang menyimpang ke dalam hati seorang muslim karena tidak selektif dalam mencari informasi dari sumber yang tepercaya. Ia terpengaruh dengan pemahaman yang menyimpang tanpa disadari bahwa itu suatu penyimpangan.
- Terjadinya tindak asusila karena seringnya menonton tayangan-tayangan yang membangkitkan nafsu seks yang diharamkan. Hal ini kerap terjadi, bahkan yang parah dilakukan oleh anak di bawah umur.
- Teknologi informasi digunakan untuk melakukan tindak kejahatan, seperti penipuan dan pemerasan. Sebagai misal, seseorang memiliki gambar seseorang atau rekaman video yang bersifat pribadi, lalu gambar atau rekaman tersebut digunakan untuk memeras pemilik gambar itu jika tidak ingin disebarluaskan.
- Kepekaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar menjadi luntur karena asyik menggunakan teknologi informasi yang modern dan sibuk mengikuti program-program tayangan.
- Banyak waktu yang terbuang secara sia-sia.
- Penggunaan teknologi informasi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya menjadi faktor terbengkalainya tugas, timbulnya kecelakaan lalu lintas, dan lelahnya tubuh yang bisa menyebabkan sakit.
- Dampak negatif terhadap kehidupan rumah tangga.
- Banyaknya terjadi kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan pengabaian hak dari dua belah pihak.
- Seorang suami lalai melaksanakan tugasnya untuk mencarikan nafkah bagi anak dan istrinya karena asyik mengikuti tayangan-tayangan yang melalaikan.
- Menjalin pertemanan melalui media sosial dengan wanita lain yang mengarah kepada perselingkuhan.
Di sisi lain, seorang istri terkadang
sibuk mengikuti acara-acara televisi sehingga tugasnya di rumah untuk
mendidik anak dan melayani suami diabaikan. Seorang istri terkadang
menjalin pertemanan dengan pria lain melalui media sosial hingga terjadi
perselingkuhan.
- Seorang istri gemar mengoleksi dan membaca majalah-majalah model untuk meniru gaya berpakaian dan potongan rambut wanita-wanita kafir dan fasik. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَمِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan kaum tersebut.” ( HR. Ahmad dan Abu Dawud)
- Dampak negatif media massa antarelemen masyarakat
- Di antaranya, terjadinya persaingan yang tidak sehat antartetangga dalam memiliki perangkat informasi dan saling memamerkan perangkat informasi yang mahal serta canggih untuk unjuk status sosial.
- Selain itu, media massa juga dijadikan alat untuk menebarkan gosip, fitnah, dan provokasi, hingga timbul kebencian antarelemen masyarakat.
- Dampak negatif media massa dalam hubungan antara rakyat dan penguasa
Apabila ditelusuri, betapa banyak media
massa yang suka membeberkan aib penguasa atau senantiasa
menjelek-jelekkan pemerintah, sehingga muncul kebencian dari rakyat
kepada penguasanya. Situs-situs jejaring sosial juga terkadang
dimanfaatkan untuk menghasut masyarakat agar melakukan aksi demontrasi
dan menolak program-program pemerintah yang baik.
Seharusnya, media massa memosisikan diri
sebagai sarana penghubung dan pendukung agar pemerintah dihormati dan
didukung program-programnya yang baik sehingga hak rakyat akan
tertunaikan dengan baik. Hubungan antara rakyat dengan penguasanya juga
terjalin dengan baik. Dengan demikian, setiap pihak mengetahui hak dan
kewajibannya.
- Media massa bisa berperan sebagai perusak negara
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dunia
menyaksikan kekacauan di beberapa negara bagian utara benua Afrika dan
Timur Tengah berupa penggulingan kekuasaan. Peran media massa dalam hal
ini sangat besar. Media massa mampu menggiring opini publik yang umumnya
mendukung aksi demonstrasi.
Situs-situs jejaring sosial digunakan
oleh demonstran untuk menggalang kekuatan guna menumbangkan kekuasaan
yang sah. Dalam kenyataannya, media massa menjadi alat yang mengerikan
yang kadang sulit dilawan dengan senjata tempur sekalipun.
Sebagai contoh, belum lama ini tersebar isu yang santer tentang rencana pemerintah Arab Saudi untuk memindahkan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia ke kuburan Baqi. Sontak, kabar seperti ini menimbulkan
komentar berupa kecaman terhadap pemerintah Arab Saudi dan para
ulamanya. Isu tentang pemindahan kuburan Nabi itu bermula dari
pemberitaan surat kabar Inggris The Independent.
Adalah wartawan The Independent, Andrew
Johnson, yang menyebutkan bahwa pemberitaan bersumber dari seorang
akademisi di Arab Saudi, Dr. Irfan al-‘Alawi. Dia seorang doktor dalam
teologi dan tasawuf Islam, yang menjadi dosen terbang di London
University di Inggris, California University di AS, dan Research Fellow
di Leiden Belanda.
Dr. Irfan telah membaca langsung makalah
karya Dr. Ali bin Abdul Aziz asy-Syibl yang (konon) berisikan usulan
pemindahan makam (kuburan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ke Baqi. Tulisan itu baru merupakan dokumen konsultasi yang diajukan
oleh Dr. Ali asy-Syibl. Dokumen itu sejatinya membahas tentang isolasi,
pembatasan kuburan Nabi agar tidak menjadi tempat orang-orang berbuat
syirik, bukan pemindahan kuburan beliau (Sumber Mi’raj News.Com).
Dr. Ali asy-Syibl sendiri membantah
surat kabar tersebut dengan ucapannya bahwa isi berita tersebut
mengandung hasutan, tidak benar, dan dusta. Pemerintah Arab Saudi juga
membantah isu tersebut.
- Dampak negatif media massa untuk kaum muslimin
Di antaranya, masyarakat mudah
berkomentar dan bersikap tanpa ilmu. Misalnya, ketika terjadi
penangkapan terduga teroris oleh Densus 88, diberitakan oleh media bahwa
sang teroris berjenggot dan istrinya memakai cadar. Titik tekan
pemberitaan lebih pada ciri-ciri fisik sang teroris sehingga imagi yang
akan muncul di tengah masyarakat bahwa ciri-ciri teroris itu berjenggot
dan istrinya bercadar.
Pemberitaan yang seperti itu akan
menyebabkan masyarakat awam menilai bahwa semua yang berjenggot dan yang
istrinya bercadar adalah teroris. Di sini, disadari atau tidak, media
massa menjadi sumber keretakan hubungan di tengah-tengah masyarakat dan
penghakiman sepihak kepada personal tanpa landasan yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Media massa sekuler memang tak
henti-hentinya menampilkan Islam dengan wajah yang menyeramkan. Media
massa yang seharusnya menjadi sarana mencerdaskan masyarakat ternyata
terkadang dijadikan sarana untuk menebarkan bibit-bibit permusuhan di
tengah masyarakat. Hal ini tentu sebuah pengkhianatan dan pembodohan
publik.
Peran Pemerintah dan Ulama
Setelah pemaparan tentang dampak buruk
media massa terhadap individu dan masyarakat, bahkan terhadap negara,
sudah semestinya pemerintah bergerak cepat memantau pemberitaan dan
tayangan yang ada.
Tentu saja tidak hanya memantau, tetapi
melakukan tindakan yang semestinya terhadap media massa yang menyuguhkan
pemberitaan yang membahayakan urusan dunia atau agama. Hal ini sudah
menjadi kewajiban pemerintah yang kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya di hadapan Allah ‘azza wa jalla.
Para ulama dan da’i juga berkewajiban memberi peringatan kepada masyarakat tentang dampak buruk media massa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَامِنْ قَوْمٍ يٌعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ وَأَكْثَرُ مِمَّنْ يَعْمَلُهُ ثُمَّ لَمْ يُغَيِّرُوْهُ إِلَّا عَمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
“Tiada suatu kaum yang kemaksiatan
dilakukan di tengah-tengah mereka, yang kaum tersebut lebih mulia dan
lebih banyak daripada orang yang berbuat maksiat, tetapi mereka tidak
mau mengubahnya, kecuali Allah ‘azza wa jalla akan ratakan azab kepada mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Jarir radhiallahu ‘anhu. Lihat Shahih al-Jami’ 5749)
Sesungguhnya pembangunan di segala
bidang tidak akan banyak memberi manfaat apabila moralitas masyarakat
rusak. Nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan di rumah-rumah,
masjid-masjid, dan sekolah-sekolah, akan sedikit artinya ketika
kejahatan media dibiarkan merajalela.
Seandainya di sana ada seribu tukang
bangunan bersatu padu membangun sebuah gedung yang tinggi nan kokoh,
namun di belakang mereka ada satu orang yang siap meruntuhkannya, tentu
bangunan itu terancam runtuh. Lantas bagaimana kiranya apabila yang
membangun gedung tersebut hanya satu orang, sementara di belakang dia
ada seribu orang yang siap meruntuhkannya?!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman
Posting Komentar