
Haruskah Kebersamaan Kita Berakhir di Sini?
Dalam ikrar, ikatan itu ingin terus dijalin bersama Namun seketika badai datang menerpa Saat itu, ia pun terpaku seraya bertanya pada diri
Haruskah perjalanan kita berakhir di sini…?
Islam telah memberikan bimbingan untuk mengatasi suami atau istri yang berbuat nusyuz. Islam juga tidak melarang apabila perpisahan terpaksa diambil ketika kedua pihak tidak bisa lagi disatukan.
Mengobati Istri yang Nusyuz
Apabila terjadi problem dalam rumah
tangga, tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan
perceraian, padahal masalah itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang
lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah.
Demikian pula bila terjadi nusyuz
(pembangkangan) dari pihak istri. Islam memberikan jalan untuk
menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam al-Qur’an,
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ
“Dan para istri
yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka
hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur,
dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, janganlah
kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (an-Nisa’: 34)
Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan. Ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Istri itu diberi nasihat kalau memang ia mau menerima nasihat. Kalau
tidak mempan, ia ditinggalkan di tempat tidurnya, bersamaan dengan itu
ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)
Apabila cara nasihat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr
(dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga
tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga, barulah
ditempuh cara pukulan, namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 177)
- Memberi nasihat dan bimbingan
Ini adalah langkah pertama yang harus
ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya
dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasihat dilakukan dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Dalam nasihat itu ia ditakut-takuti kepada Allah subhanahu wa ta’ala, diingatkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala
wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan menaatinya,
diperingatkan akan dosa apabila menyelisihi suami dan bermaksiat
padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian
apabila tetap durhaka kepada suami, dan ia boleh dipukul serta di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasihat.” (al-Mughni, 7/241)
- al-Hajr
Terkadang seorang istri tidak cukup
diberi nasihat dalam upaya menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan,
sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan hajr
dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat
tidurnya, dan memunggunginya. As-Suddi, adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Ibnu
‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan, “Bersamaan dengan itu ia
mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir al-Baghawi, 1/423)
- Pukulan
Terkadang penyembuhan dan pendidikan
butuh sedikit kekerasan. Sebab, ada tipe manusia yang tidak bisa
disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberikan tindakan
fisik.
Termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan oleh al-Qurthubi rahimahullah dengan pukulan pendidikan (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (al-Mughni, 7/242)
Disyaratkan pukulan itu tidak keras atau meninggalkan bekas, sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haji Wada’,
فَاتَّقُوا
اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ
أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرْشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ
ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertakwalah
kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena
sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas
mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak
kalian sukai untuk menginjak permadani kalian[1].
Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak keras. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus
memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf.” (Sahih, HR. Muslim no. 1218)
Yang dimaksud (ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ)[2] kata al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ialah pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504); atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang.
Ibnu Abbas menyatakan, “Memukul dengan siwak.” (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha rahimahullah pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang maksud ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ.
Ibnu ‘Abbas menjawab, “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma’ani, 5/25)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata setelah membawakan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan
bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.”
Beliau menyebutkan sifat pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)
Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ–
“Apabila salah seorang dari kalian memukul, hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara
jelas menunjukkan larangan memukul wajah. Termasuk dalam larangan ini
bila seorang suami memukul istri, anak, ataupun budaknya dengan alasan
pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)
Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”,
yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan
maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk menzalimi para
istri. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113)
Bagaimana Bila Suami yang Nusyuz?
Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya. Namun, tentu saja ia tidak bisa menempuh cara hajr
atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena
perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki serta lemahnya kemampuan dan
kekuatannya.
Seorang istri yang cerdas akan mampu
menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya menjadi suami yang baik
sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang.
Ketika mendapati nusyuz suaminya, ia bisa melakukan hal-hal berikut.
- Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia di balik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
- Menasihati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan atasnya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
- Sepantasnya istri selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya menyayanginya.
Jadi, ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al-Qur’an berikut ini,
وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ
“Dan apabila
seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan
berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk
mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (an-Nisa’: 128)
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah
berkata, “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling
darinya maka ia boleh untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya,
dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya, atau ia
menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami, dalam
rangka mencari simpati dan rasa ibanya. Juga agar ia tetap dalam ikatan
pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir ath-Thabari, 5/306)
Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam
rangka mencari ridha suaminya. Ketika istri mengadakan perdamaian dengan
suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya,
nafkahnya, atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (al-Mughni, 7/243)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di rahimahullah
berkata tentang ayat di atas, “Jadi, yang lebih baik dalam keadaan ini,
keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri
merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami,
asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai). Atau ia ridha diberi
nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya. Atau
dalam hal giliran[3], ia menggugurkan haknya tersebut, atau dengan cara menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 206)
Mendamaikan Sengketa
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ وَحَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهَآ
“Dan bila kalian
khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus
seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim
(pendamai) dari keluarga si istri….” (an-Nisa’: 35)
Apabila terjadi perselisihan antara
suami dan istri, sementara tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di
antara keduanya, atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu
ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka bersepakat, dua orang hakim
itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak. Satu dari pihak suami
dan yang lain dari pihak istri. Namun, jika tidak ada, boleh dari
selain keluarga. (al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hlm. 473)
Apabila kedua pasangan ini tidak bisa
didamaikan kembali, kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara
keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini yang dipegangi oleh mazhab Maliki, satu riwayat dari ulama mazhab Syafi‘i, dan satu riwayat dari ulama Hanbali. (al-Muwaththa’ karya al-Imam Malik rahimahullah, 2/584; al-Mughni, 7/243—244)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah,
istri tidak boleh mengizinkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk
masuk ke rumah kalian dan duduk-duduk di tempat tinggal kalian. Sama
saja, apakah orang tersebut laki-laki yang bukan mahram istri (ajnabi),
seorang wanita, ataupun salah seorang dari mahram istri. (Syarah Shahih Muslim, 8/184)
[2] Yakni tidak mematahkan, sebagaimana disebutkan dalam an-Nihayah (1/113) karya Ibnul Atsir rahimahullah.
[3] Bila suaminya memiliki istri yang lain (poligami).

Kalbu Mengeras Karena Jauh dari Allah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٢٢
“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)
Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya kalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. An-Naar (neraka) diciptakan untuk melunakkan kalbu yang keras. Qalbu yang paling jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala
adalah kalbu yang keras. Jika kalbu sudah keras, mata pun terasa
gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan
melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.
Sebagaimana halnya jasmani jika dalam
keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman,
demikian pula kalbu jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan
keinginan-keinginan jiwa, maka tidak akan mempan dengan nasihat.
Barang siapa hendak menyucikan kalbunya, ia harus mengutamakan Allah subhanahu wa ta’ala dibanding dengan keinginan dan nafsu jiwanya. Sebab, kalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai kadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya.
Banyak orang menyibukkan kalbu dengan gemerlapnya dunia. Seandainya mereka sibukkan dengan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala
dan negeri akhirat, tentu kalbunya akan berkelana mengarungi
makna-makna Kalamullah dan ayat-ayat-Nya yang tampak ini. Ia pun akan
menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah.
Jika kalbu disuapi dengan berzikir dan
disirami dengan berpikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan
melihat keajaiban dan diilhami hikmah.
Tidak setiap orang yang berhias dengan
ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali
jika mereka menghidupkan kalbu dan mematikan hawa nafsunya.
Adapun mereka yang membunuh kalbunya dengan menghidupkan hawa nafsunya, tidak akan muncul hikmah dari lisannya.
Rapuhnya kalbu adalah karena lalai dan merasa aman. Adapun makmurnya kalbu adalah karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan zikir. Maka dari itu, jika sebuah kalbu merasa zuhud dari
hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan
akhirat. Sebaliknya, jika ia ridha dengan hidangan-hidangan dunia, ia
akan terlewatkan dari hidangan akhirat.
Kerinduan bertemu Allah subhanahu wa ta’ala
adalah angin semilir yang menerpa kalbu. Membuatnya sejuk dengan
menjauhi gemerlapnya dunia. Siapa pun yang menempatkan kalbunya di sisi
Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan tenteram. Siapa pun yang melepaskan
kalbunya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana.
Ingatlah! Kecintaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala
tidaklah akan masuk ke dalam kalbu yang mencintai dunia, melainkan
seperti masuknya unta ke lubang jarum (sesuatu yang sangat mustahil).
Jika Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba, Allah subhanahu wa ta’ala akan memilih dia untuk diri-Nya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmat-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala juga akan memilihnya di antara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Lisannya senantiasa basah dengan berzikir kepada-Nya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepada-Nya.
Kalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya
jasmani dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Kalbu pun bisa
berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berzikir.
Kalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya
adalah takwa. Kalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka
makanan dan minumannya adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakal, bertaubat, dan berkhidmat untuk-Nya.
(diterjemahkan dan diringkas dari kitab al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim rahimahullah hlm. 111—112)
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Bolehkah Menikahi Wanita Ahlul Kitab?
Bolehkah menikah dengan wanita-wanita dari kalangan Ahlul Kitab?Muhammad Pandisup…@yahoo.com
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Ma’idah ayat 5,
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Pada hari ini
dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul
Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka.
Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari
kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal
bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini.
- Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.
Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309).
Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal
dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya
boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Adapun siapa pun yang
memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau
selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan
sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)
- Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak berbuat syirik.
Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa
bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia
Nashraniyah (beragama Nasrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah,
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Apabila dia mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala meskipun dia tidak beriman kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)
- Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).
Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.
- Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
- Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah: 221,
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah subhanahu wa ta’ala
juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana
dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika
Nasrani mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah subhanahu wa ta’ala dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
3. Dalam hadits Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk
mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat
Ali ‘Imran.
Jadi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan
kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani
setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)
Kemudian, para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.
- Yang dimaksud adalah ‘afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina).
Jadi, tidak boleh dinikahi wanita-wanita
fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Termasuk di dalamnya
ialah seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah.
Ibnu Jarir rahimahullah menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama salaf (lihat Fathul Qadir).
- Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak).
Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Mereka berdalilkan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 25,
وَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ مِنكُمۡ طَوۡلًا أَن يَنكِحَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ
“Dan barang
siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta
untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk
menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah subhanahu wa ta’ala
mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan
dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi
wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia
merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri)
sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala
membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita
dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak
beriman.
Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
“Lelaki pezina
tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita
pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik;
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)
Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya, Ijabatus Sa’il
(hlm. 614—615), menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi
oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam,
karena dia masih kafir. Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah
senantiasa memiliki sifat iffah. Dinasihatkan bagi sang suami
untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki
pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai
suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il
(hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak
menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut,
Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan
memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.
Saya (penulis) tambahkan, atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.
Saya (penulis) tambahkan, atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.
Catatan:
Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.

Tinggalkanlah Segala Kebimbanganmu
Rasul shallallahu alaihi wa sallam yang mulia bersabda,
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ
“Tinggalkan
perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.
Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu
adalah keraguan.”

Umat Nabi Nuh Ditenggelamkan
Kaum Nabi Nuh ‘alahis salam yang kafir
ditenggelamkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam air bah yang sangat
dahsyat. Semuanya binasa, termasuk putra Nabi Nuh ‘alahis salam yang
sebenarnya masih disayanginya.

Berlindung dari Kebinasaan Ahlul Kitab; bagian ke-2
Pada edisi lalu telah disinggung pelanggaran-pelanggaran Ahlul Kitab yang menyebabkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Poin pertama adalah mengubah agama Allah subhanahu wa ta’ala dan menafsirkannya dengan penafsiran yang batil. Pelanggaran berikutnya adalah:
- Menyembunyikan al-Haq
Menyembunyikan al-haq merupakan salah satu dosa besar yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Firman-Nya:
وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤٢
“Dan janganlah
kalian mencampuradukkan yang haq dengan kebatilan dan janganlah kalian
menyembunyikan kebenaran sedangkan kalian mengetahuinya.” (al-Baqarah: 42)
Dan firman-Nya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
penjelas dan petunjuk serta setelah Kami menjelaskannya kepada manusia
dalam Al-Kitab, mereka itulah yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh
orang-orang yang melaknat.” (al-Baqarah: 159)
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Para ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya menyampaikan ilmu yang haq.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/185). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَا مِنْ رَجُلٍ حَفِظَ عِلْمًا ثُمَّ سُئِلَ فَكَتَمَهُ إِلاَّ كَانَ مَلْجُومًا بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
“Tidaklah
seseorang menghafal suatu ilmu kemudian dia ditanya tentangnya, lalu dia
menyembunyikannya, kecuali didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan
terkekang dengan kekangan dari api neraka.” (HR. Ahmad, 2/263, at-Tirmidzi, 5/29, Ibnu Majah, 1/96/261, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, disahihkan oleh al-Albani rahimahullah dan juga diriwayatkan dari hadits Jabir, Ibnu Mas’ud, dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhum)
Qatadah rahimahullah berkata,
“Barang siapa yang mengilmui sesuatu, hendaklah dia menyebarkannya,
serta jauhilah sikap menyembunyikan ilmu. Sesungguhnya menyembunyikan
ilmu adalah kebinasaan.” (Tafsir ath-Thabari, 4/207)
Nash-nash di atas menunjukkan
kepada kita diharamkannya menyembunyikan ilmu yang semestinya untuk
disampaikan kepada manusia, baik itu disebabkan takut kehilangan
kenikmatan dunia berupa jabatan, harta, kemasyhuran, maupun bertentangan
dengan pendapat, mazhab, ataukah golongannya. Semuanya termasuk dalam
ancaman mendapatkan laknat dari Allah ‘azza wa jalla.
Termasuk di sini adalah para pelaku bid’ah yang menisbahkan bid’ah tersebut kepada Islam. Bahkan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dosa ahli bid’ah lebih besar daripada dosa orang yang hanya menyembunyikan (al-haq). Karena jenis yang kedua hanya menyembunyikan al-haq, sementara ahli bid’ah menyembunyikan al-haq dan mengajak kepada yang menyelisihinya. Maka, setiap ahli bid’ah menyembunyikan (al-haq) dan tidak sebaliknya.” (Madarijus Salikin, 1/263)
c. Ulama yang jahat
Penyebab terbesar terjadinya
penyimpangan adalah munculnya para ulama jahat yang memfatwakan sesuatu
yang menyelisihi al-haq dalam keadaan mereka mengetahuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari manusia tetapi (Allah subhanahu wa ta’ala)
mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga ketika tidak
tinggal seorang alim pun, manusia mengambil pemimpin yang bodoh. Mereka
ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan
menyesatkan.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma)
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umayyah al-Jumahi radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَاعَةِ ثَ ثَالٌ: إِحْدَاهُنَّ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat ada tiga: di antaranya adalah ilmu diambil dari orang-orang kecil.” (HR. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [61], al-Lalikai dalam ‘Ushul ‘Itiqad Ahlus Sunnah [1/102]. Hadits ini hasan, lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi hlm. 201)
Nu’aim berkata ketika ditanya Ibnul Mubarak, “Siapakah orang-orang kecil?”
Ia menjawab, “Orang-orang yang berpendapat dengan akalnya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 201)
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Wahai Rasulullah, kapankah kita meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar?’
Beliau menjawab, ‘Apabila telah tampak pada kalian apa yang telah tampak pada umat-umat sebelum kalian.’
Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang tampak pada umat (sebelum kami)?’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُلْكُ فِي صِغَارِكُمْ وَالْفَاحِشَةُ فِي كِبَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِي رَذَالَتِكُمْ. قَالَ زَيْدٌ –أَحَدُ الرُّوَاةِ-: إِذَا كَانَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْفُسَّاقِ
“Kekuasaan
dipegang oleh orang-orang kecil (maksudnya adalah orang-orang yang bukan
ahlinya) di antara kalian, perbuatan keji dilakukan para pembesar
kalian, dan ilmu dimiliki oleh orang yang hina dari kalian.”
Zaid (salah seorang perawi hadits) berkata, “Yaitu apabila ilmu diambil oleh orang-orang fasik.” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ ash-Shahih, 1/2)
Oleh karena itu, orang-orang yang selama
ini dianggap sebagai orang ‘alim’ atau ‘kiai’ oleh masyarakat,
semestinya menjadi panutan dan pembimbing umat Islam untuk kembali ke
jalan Allah ‘azza wa jalla, karena ketergelinciran mereka merupakan ketergelinciran banyak manusia.
Kita menyaksikan di zaman ini, ada orang
yang dianggap sebagai ‘alim’ atau ‘kiai’ hanya karena kepandaiannya
berorasi di hadapan publik, meskipun ceramahnya kosong dari lantunan
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya dengan bermodalkan sorban di atas kepala, namun sesungguhnya dia adalah orang yang paling tersesat dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan sangat jauh dari ilmu.
Ada lagi yang disebut ‘alim’ hanya
karena berhasil menyandang gelar doktor dari Universitas Chicago AS.
Sungguh keadaan umat ini sangat menyedihkan dalam keadaan majelis taklim
hanya dijadikan sebagai lembaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat: ilmu semakin sedikit dan kebodohan merajalela.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
- Menjual agama karena berharap dunia
Dunia adalah tempat penyeberangan
seorang mukmin dan bukan tempat persinggahan abadi. Maka, alangkah
meruginya orang-orang yang rela menjual agamanya dan mengganti dengan
nilai dunia yang hina-dina. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ١٦ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ ١٧
“Bahkan kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia sedangkan akhirat lebih baik dan kekal.” (al-A’la: 16—17)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mempelajari ilmu yang semestinya dituntut untuk mendapatkan wajah Allah ‘azza wa jalla (namun)
dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan bagian dari dunia,
maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (Sahih, HR. Abu Dawud, 12/3664. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah menyebutkan di antara perbuatan-perbuatan jahiliah adalah “dibesarkannya dunia di dalam hati-hati mereka.”
Padahal jika kembali kepada penjelasan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
akan kita ketahui betapa hina dan rendahnya nilai dunia. Berapa pun
nilai dunia, walaupun dikumpulkan dunia beserta seluruh isi kekayaannya
dari awal hingga hari kiamat, tidak akan bisa menandingi satu pun dari
amalan syariat yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى فِيْهَا كَافِرًا شُرْبَةَ مَاءٍ
“Sekiranya dunia
ini mempunyai nilai di sisi Allah setara sayap nyamuk, maka (Allah)
tidak akan memberikan seteguk air kepada orang kafir.” (HR. at-Tirmidzi, 4/2320, Ibnu Majah, 2/4110, dari hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu disahihkan oleh al-’Allamah al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah no. 686)
- Mengambil harta muslimin dengan cara yang haram
Asal harta kaum muslimin adalah haram
bagi orang lain untuk mengambilnya tanpa seizin pemiliknya. Sebab dengan
keislaman seseorang, Allah subhanahu wa ta’ala telah memelihara darah, harta, dan kehormatannya. Hal ini telah disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’ sebagaimana yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.
Apa yang telah dimiliki oleh seseorang
berupa harta, maka tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk mengambilnya
kecuali atas izin pemiliknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ عَنْ طِيْبٍ مِنْ نَفْسِهِ
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali atas keridhaan dari dirinya.” (Sahih, HR. Abu Dawud dari Hanifah ar-Raqasyi. Lihat Shahihul Jami’ no. 7662)
Maka bagaimana halnya dengan orang-orang
yang mengambil harta orang lain tanpa haq? Yang lebih kejam lagi adalah
mengambil harta orang lain dengan cara-cara yang dihiasi “agama”,
sehingga seseorang tidak menyangka bahwa hartanya dikuras dengan cara
yang tidak halal, dalam keadaan dia menyangka bahwa itu merupakan amal
jariyahnya di kemudian hari.
Telah disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sa’di rahimahullah,
bahwa orang yang mengambil harta orang lain tanpa haq berkedok agama
(“berdalilkan agama”) adalah perbuatan yang sangat batil, bahkan lebih
kejam dari orang yang mengambil harta tersebut dengan cara merampas,
mencuri, dan yang semisalnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengancam mereka dengan dua ancaman:
“kecelakaan terhadap apa yang ditulis oleh tangan-tangan mereka” dan “kecelakaan terhadap apa yang telah mereka peroleh berupa harta.”
Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan
perlindungan kepada kita agar tidak terjerumus di dalam jeratan setan
untuk mengikuti langkah-langkah para penghuni neraka Jahannam.
Wabillahi at-taufiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari

Nifaq
Nifaq atau kemunafikan berasal dari bahasa Arab (نَافِقَاءُ)
yang berarti salah satu liang binatang yarbu’, yaitu semacam tikus yang
memiliki lebih dari satu liang, sehingga tatkala dia dikejar melalui
satu liang akan lari menuju liang yang lain.
Dalam istilah syariat berarti perbuatan menampakkan keislaman dan kebaikan namun menyembunyikan kekafiran serta kejelekan. Diistilahkan demikian karena pelakunya masuk ke dalam agama Islam dari sebuah pintu dan keluar darinya melalui pintu lain. Dalam istilah bahasa Indonesia, nifaq sering disebut kemunafikan.

Macam-Macam Nifaq
Misalnya, berkata dusta, ingkar janji, khianat terhadap yang memberi amanah kepadanya, atau berbuat curang tatkala bertikai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kesalahan Memahami Istilah Nifaq
Sebagian orang memahami bahwa kemunafikan hanya ada satu macam yaitu nifaq i’tiqadi saja, sehingga dari sini timbul kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum. Misalnya dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 145,
Sumber Bacaan:
Dalam istilah syariat berarti perbuatan menampakkan keislaman dan kebaikan namun menyembunyikan kekafiran serta kejelekan. Diistilahkan demikian karena pelakunya masuk ke dalam agama Islam dari sebuah pintu dan keluar darinya melalui pintu lain. Dalam istilah bahasa Indonesia, nifaq sering disebut kemunafikan.

Macam-Macam Nifaq
- Nifaq i’tiqadi yakni kemunafikan yang bersifat keyakinan.
- tidak memercayai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
- tidak memercayai sebagian yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
- membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
- membenci sebagian yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
- merasa senang saat direndahkannya agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
- benci ketika menangnya agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Nifaq ‘amali yakni kemunafikan yang bersifat amalan.
Misalnya, berkata dusta, ingkar janji, khianat terhadap yang memberi amanah kepadanya, atau berbuat curang tatkala bertikai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ
خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خِصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى
يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا
عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat hal yang barang siapa
keempatnya ada pada dirinya maka dia seorang munafik yang murni dan
barang siapa yang terdapat pada dirinya salah satunya berarti ada pada
dirinya sebuah kemunafikan: jika dipercaya berkhianat, jika berbicara
berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika bertikai ia berbuat
curang.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 207)
Kesalahan Memahami Istilah Nifaq
Sebagian orang memahami bahwa kemunafikan hanya ada satu macam yaitu nifaq i’tiqadi saja, sehingga dari sini timbul kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum. Misalnya dalam menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 145,
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ فِي ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِيرًا ١٤٥
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu
(ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari an-naar (neraka).
Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi
mereka.”
Mereka tetapkan hukum ini juga pada orang yang ‘sekadar’ punya sifat kemunafikan padahal dia masih beriman.Sumber Bacaan:
- Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 17—19
- al-Haqiqatusy Syar’iyah, Muhammad ‘Umar Bazmul, hlm. 165
- Tafsir as-Sa’di, edisi revisi cet. ar-Risalah, hlm. 944

Adab Membuang Hajat
Buang hajat merupakan rutinitas alamiah yang dilakukan oleh semua manusia. Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana agama memberikan bimbingan dalam masalah ini sehingga perbuatan yang bisa jadi dipandang ringan oleh banyak orang ini, dalam beberapa sisinya bisa memiliki nilai ibadah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.Lanjutkan membaca Adab Membuang Hajat

Takutlah Kepada Allah
Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat ini akan menjaga pemiliknya untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya.
Menelusuri kehidupan untuk mencari
kebahagiaan yang hakiki sungguh sangat sulit. Kita harus melalui
pertarungan-pertarungan yang sengit, jalan-jalan yang terjal dan
berjurang penuh dengan duri. Jika salah langkah, hanya akan didapati dua
kemungkinan dan tidak ada kemungkinan yang ketiga. Pertama, akan
menjadi orang yang terselamatkan sehingga selamat (dunia akhirat) dan
kedua, menjadi orang yang binasa dan celaka.
Masih beruntung jika terselamatkan
sehingga bisa kembali berjuang dengan menerjang badai yang ganas dan
dahsyat tersebut. Namun, sungguh malang jika setelah terselamatkan tidak
bisa berjuang, tidak bisa bangkit menyelamatkan diri, padahal lawan
bertarung sangat kuat. Itulah Iblis dan tentara-tentaranya dari kalangan
jin dan manusia serta lawan yang ada pada diri kita yang disebut nafsu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ
“Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada yang jelek.” (Yusuf: 53)
Adapun jalan-jalan yang terjal dan berjurang serta penuh dengan duri itu adalah segala yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala yang menghiasi kehidupan ini.
Di sinilah letak pentingnya rasa takut
yang harus menghiasi perjuangan kita. Yang akan membentengi diri kita
agar tidak terjatuh ke lubang yang penuh dengan duri serta mengokohkan
kita agar tidak terseret hawa nafsu yang dikendarai oleh Iblis dan
tentara-tentaranya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Amalan hati seperti tawakal, takut, berharap, dan sejenisnya
serta sabar adalah wajib, menurut kesepakatan para ulama.” (al-Ikhtiyarat, hlm. 85)
Kedudukan Takut dalam Agama
Takut merupakan bentuk ibadah hati yang
memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama, bahkan mencakup
seluruh jenis ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan
merupakan syarat iman.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Ighatsatul Lahafan (1/30) berkata, “Termasuk tipu daya musuh Allah subhanahu wa ta’ala
adalah menakut-nakuti orang beriman dengan balatentara dan wali-wali
mereka (wali setan) agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka,
menyeru mereka (orang-orang yang beriman) kepada kemungkaran dan
mencegah mereka dari kebajikan. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa hal ini adalah tipu daya setan dan merupakan ketakutan yang mereka tanamkan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧٥
“Sesungguhnya
mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang
menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka
tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
Tatkala iman seorang hamba kuat, maka
akan hilang rasa takut terhadap wali-wali setan. Tatkala imannya
melemah, akan menjadi kuat ketakutan tersebut. Maka dari itu, ayat ini
(Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut
kepada Allah subhanahu wa ta’ala termasuk syarat iman.”
Takut Kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah Ibadah
Di samping memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, ‘takut’ juga merupakan salah satu perintah Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya,
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧٥
“Sesungguhnya
mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang
menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka
tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)
فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain, sungguh sangat jelas bahwa takut (kepada Allah subhanahu wa ta’ala)) itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab beliau al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan, “Macam-macam ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti islam, iman, dan ihsan, juga termasuk berdoa, takut, berharap, tawakal, cinta, rahbah (salah satu jenis takut), khasyah
(juga salah satu jenis takut), khusyuk, bertaubat, meminta pertolongan,
meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan selainnya dari
jenis-jenis ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, semuanya milik Allah subhanahu wa ta’ala semata berdasarkan firman-Nya,
وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا ١٨
“Dan bahwasanya
masjid-masjid ini adalah milik Allah maka janganlah kamu berdoa kepada
selain-Nya di samping berdoa kepada Allah.” (al-Jin: 18)
Barang siapa memalingkannya sedikit saja kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala maka dia seorang musyrik dan kafir.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
dalam kitab beliau Fathul Majid mengatakan, “Takut berkedudukan tinggi
dan mulia di dalam agama serta termasuk jenis ibadah yang banyak
cakupannya, yang wajib hanya diberikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Dalil Takut adalah Ibadah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوۡقِهِمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ۩ ٥٠
“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (an-Nahl: 50)
ٱلَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَٰلَٰتِ ٱللَّهِ وَيَخۡشَوۡنَهُۥ وَلَا يَخۡشَوۡنَ أَحَدًا إِلَّا ٱللَّهَۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٣٩
“Orang-orang
yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka
tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah; dan cukuplah
Allah sebagai pembuat perhitungan.” (al-Ahzab: 39)
فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِي
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Baqarah: 150)
Masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang takut.
Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Tujuh golongan
orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada
perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba
(laki-laki) yang ‘diajak’ oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan
dan kecantikan, namun dia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya),
“Demi kemuliaan
dan keagungan-Ku, Aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua
rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia,
maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.
Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman
pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.” (HR. Abu Nu’aim dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam ash-Shahihah no. 742)
Macam-Macam Takut
Para ulama telah membagi jenis takut
menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat,
dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu,
Pertama, takut ibadah.
Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, takut syirik.
Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah tersebut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa memberikannya kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala,
dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti memberikannya kepada
orang mati, dukun-dukun, atau wali-wali yang dianggap bisa memberikan
manfaat dan mudarat, dsb.
Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah serta hartanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (al-Ma’idah: 44)
Ketiga, takut tabiat.
Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa
membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas,
api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui
batas.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Musa ‘alaihis salam,
فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُۖ
“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (al-Qashash: 21)
Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala?
Jawabannya harus dirinci.
- Jika takut kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala menyebabkan seseorang menghinakan diri di hadapannya (selain Allah subhanahu wa ta’ala tersebut) dan mengagungkannya, ini termasuk syirik.
- Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban, takut ini termasuk maksiat dan berdosa.
- Jika takutnya adalah takut tabiat, seperti takut pada air deras yang
bisa menghanyutkan diri, harta, atau anaknya, takut yang demikian itu
adalah boleh.
Wallahu a’lam.
ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Sumber Bacaan:
- al-Qur’an
- al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
- Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
- al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani
- al-Ushuluts Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Rintangan Dakwah Mulai Bermunculan
Perlahan tapi pasti, Islam mulai
memasuki rumah-rumah penduduk Makkah. Mulailah terbuka mata musyrikin
Quraisy bahwa ini bukan main-main, dan pasti menjadi ancaman terhadap
kedudukan mereka selama ini di mata seluruh kabilah Arab. Lanjutkan membaca Rintangan Dakwah Mulai Bermunculan

Lemahnya Hujah Taklid
Ada sebagian orang yang membolehkan taklid. Namun, ternyata hujah mereka sangat lemah.
Seandainya ada yang mengatakan bahwa
sebagian ulama membolehkan taklid dengan dalil dari al-Qur’an,
sesungguhnya pendapat itu juga sudah dibantah oleh ulama yang lain,
bahkan menjelaskan kerusakan taklid ini. Berikut ini kami sebutkan
keterangan dari al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah tentang masalah ini.
Beliau mengatakan, “Adapun dalil mereka yang membolehkan taklid ini di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui!” (an-Nahl: 43)
Mereka menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintah mereka yang tidak mengetahui supaya bertanya kepada orang yang lebih mengetahui.
Jawabnya: Pertama, kita
katakan bahwasanya mengikuti satu mazhab imam tertentu dan menerima
seluruh pendapatnya—yang tidak boleh seseorang keluar dari pendapat itu
sedikit pun—adalah perbuatan bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Maka,
apa artinya berdalil dengan satu kebid’ahan?
Perbuatan ini dikatakan sebagai satu kebid’ahan karena para muqallid (orang yang taklid, red.)
tidak mungkin dapat menyebutkan satu orang di zaman para sahabat yang
mengikuti atau taklid kepada sahabat lainnya dalam segala tindak-tanduk
dan pendapatnya, atau menggugurkan pendapat sahabat yang lain, atau
menakwil ayat-ayat dan hadits agar sesuai dengan pendapat serta
keyakinan orang yang diikutinya.
Hal ini jelas diketahui oleh siapa pun
bahwa tidak pernah terjadi demikian di kalangan para sahabat, bahkan di
zaman tiga generasi terbaik umat ini, seperti yang telah dinyatakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي* ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ
“Sebaik-baik
generasi adalah generasiku (yang aku hidup pada masanya), kemudian
(generasi) berikutnya, dan berikutnya, kemudian (mulai) tersebarlah
kedustaan.” (HR. at-Tirmidzi dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Bid’ah taklid ini baru muncul sesudah
tiga abad pertama ini. Adapun ayat yang mereka jadikan sebagai dalil,
maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintah orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada ahli dzikr (ulama). Yang dimaksud dengan adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana juga dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
وَٱذۡكُرۡنَ مَا يُتۡلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ وَٱلۡحِكۡمَةِ
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)!” (al-Ahzab: 34)
Juga firman-Nya,
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
“Dialah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka,
serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah
(as-Sunnah).” (al-Jumu’ah: 2)
Dengan demikian, perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam
ayat ini adalah perintah kepada orang yang jahil (bodoh) supaya
bertanya kepada orang yang mengerti tentang al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal-hal yang
terdapat pada keduanya. Apabila ulama sudah menerangkan keduanya kepada
yang bertanya, wajib bagi si penanya untuk mengikuti keterangan yang
disampaikan ulama tersebut.
Perhatikanlah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bagaimana dia bertanya kepada para sahabat yang lain tentang apa yang diucapkan dan dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula bagaimana para sahabat bertanya kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang luput dari penglihatan mereka, khususnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Demikian pula keadaan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, mereka bertanya
kepada yang lain tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil kedua mereka
adalah hadits tentang seorang pekerja yang berzina dengan istri
majikannya. Ayah pekerja ini mengatakan, “Saya bertanya kepada ahli ilmu
dan mereka menerangkan bahwa anakku harus dihukum cambuk 100 kali serta
diasingkan selama satu tahun dan istri orang ini harus dirajam.” Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah, dan mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari taklid kepada orang yang lebih berilmu daripada orang tersebut.
Jawabnya: Orang ini bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberi fatwa dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
ketetapan (sunnah) tersebut dalam masalah itu. Hadits ini merupakan
pendukung bagi ayat tersebut, karena yang dimaksud dengan bertanya
kepada ahli dzikr adalah bertanya tentang al-Kitab (al-Qur’an) dan
as-Sunnah, bukan tentang pendapat mereka pribadi.
Dalil mereka berikutnya, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Mereka menyatakan, wajibnya menerima peringatan yang disampaikan itu, dan ini berarti taklid kepada mereka.
Jawabnya: Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang pengertian lafadz indzar (memberi
peringatan). Seseorang baru dikatakan memberi peringatan apabila dia
menyampaikannya dengan hujah (dalil) yang jelas. Adapun orang yang
memberi peringatan tanpa hujah atau dalil, dia belumlah dikatakan
memberi peringatan.
Dengan demikian, pengertian “memberi
peringatan” dalam ayat ini adalah memberi keterangan kepada mereka
dengan hujah dan bukti sesuai dengan apa yang telah mereka pahami dari
hukum-hukum Islam ini.
Bukankah sudah jelas bagi kita bagaimana
para malaikat penjaga neraka berkata kepada para penghuni neraka,
seperti dalam firman Allah,
أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَذِيرٞ ٨ قَالُواْ بَلَىٰ قَدۡ جَآءَنَا نَذِيرٞ فَكَذَّبۡنَا وَقُلۡنَا مَا نَزَّلَ ٱللَّهُ مِن شَيۡءٍ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِي ضَلَٰلٖ كَبِيرٖ ٩ وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ ١٠
“Apakah belum
pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab,
“Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi
peringatan, lalu kami dustakan dia dan kami katakan, ‘Allah tidak
menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang
besar’.” Dan mereka berkata pula, ‘Seandainya kami mau mendengar atau
memikirkannya niscaya kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala’.” (al-Mulk: 8—10)
Mereka mengakui bahwa memang sudah
datang seorang pemberi peringatan kepada mereka. Peringatan tersebut
tidak lain adalah dengan hujjah atau dalil. Namun, mereka mendustakan
peringatan tersebut dengan sikap menentang. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
فَٱعۡتَرَفُواْ بِذَنۢبِهِم
“Mereka pun mengakui dosa mereka.” (al-Mulk: 11)
Akhirnya mereka berkata dengan penuh
penyesalan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut. (Seandainya kami
mau mendengar) yakni seandainya kami mau mengamalkan apa yang kami
dengar, (atau memikirkannya) artinya seandainya kami beramal dengan apa
yang kami pahami. Kalau bukan demikian, sebagaimana sudah dimaklumi
bahwa sesungguhnya mereka mendengar dan memahami namun mereka tidak
mengamalkannya. Ini menunjukkan seolah-olah mereka tidak mempunyai
pendengaran dan pikiran.
Inilah sekelumit jawaban atas alasan atau dalil orang-orang yang membolehkan taklid.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits

Taklid dan Fanatisme Golongan
“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasihat disampaikan. lnilah antara lain gambaran taklid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.
Demikian pula yang menjatuhkan umat
lslam ke dalam perbuatan bid’ah dan khurafat. Bahkan, kebodohan terhadap
agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhsuburkan taklid.
Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur
di atas ketaklidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum
muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar)
dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada
imam-imam mazhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang
menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah
pengakuan dusta.
Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf, atau syarah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berbagai kebid’ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermazhab Fulani. lnnaa lillah wa innaa ilaihi raji’un.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda
kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di
dunia ini, dan akibat taklid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap
apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang
bermazhab dengan satu mazhab tertentu tidak mau menikahkan putrinya
dengan penganut mazhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang
berbeda mazhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut
mazhab ada yang saling mengafirkan.
lnilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. lblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, yang dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini,
قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ١٢
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)
Definisi Taklid
Taklid secara bahasa diambil dari kata
(قَلَّدَ – يُقَلِّدُ) yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi
orang yang taklid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat
lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, taklid
artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari
oleh dalil atau hujjah yang jelas.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa
taklid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak
berilmu) dan jahil. Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taklid ini dalam beberapa tempat dalam al-Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَمۡ ءَاتَيۡنَٰهُمۡ كِتَٰبٗا مِّن قَبۡلِهِۦ فَهُم بِهِۦ مُسۡتَمۡسِكُونَ ٢١ بَلۡ قَالُوٓاْ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ ٢٢ وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِي قَرۡيَةٖ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ ٢٣ قَٰلَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكُم بِأَهۡدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمۡ عَلَيۡهِ ءَابَآءَكُمۡۖ قَالُوٓاْ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ ٢٤ فَٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡۖ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ٢٥
“Atau adakah
Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum al-Qur’an lalu mereka
berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, ‘Apakah (kamu akan
mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak
kalian menganutnya?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari
agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan
mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan itu.” (az-Zukhruf: 21—25)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah, sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah,
mengatakan, “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan
jeleknya taklid. Sebab, sesungguhnya orang-orang yang taklid ini,
mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu
mereka yang diwarisi secara turun-temurun. Apabila datang seorang juru
dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq,
atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi
dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas—hanya
berdasarkan katanya dan katanya—, mereka mengatakan kalimat yang sama
dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah, ‘Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna
dengan ini.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (at-Taubah: 31)
Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan, ketika para ulama
dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama
mereka yang bertentangan dengan ajaran para rasul itu, mereka juga
mengikutinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَٰذِهِ ٱلتَّمَاثِيلُ ٱلَّتِيٓ أَنتُمۡ لَهَا عَٰكِفُونَ ٥٢ قَالُواْ وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا لَهَا عَٰبِدِينَ ٥٣
“Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya? Mereka menjawab, ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’.” (al-Anbiya’: 52—53)
Perhatikanlah bagaimana jawaban yang
mereka berikan. Walhasil, taklid ini menghalangi mereka untuk menerima
kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ ٢٤
“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (az-Zukhruf: 24)
Para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan
yang semakna sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taklid.
Bukan halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat
ini berbicara tentang orang-orang kafir. Sebab, kesamaan yang terjadi
bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, tetapi
kesamaannya adalah bahwa taklid itu terjadi karena keduanya sama-sama
mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang
jelas.
Demi Allah Yang Mahaagung, sesungguhnya
kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang
sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat
pertolongan serta menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai
negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin.
Akan tetapi, ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala
pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada
mereka, serta menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka.
Inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.
Al-‘Allamah al-Ma’shumi mengatakan bahwa
termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan keharusan seorang
muslim bermazhab dengan satu mazhab tertentu serta bersikap fanatik
meskipun dengan alasan yang batil. Padahal mazhab-mazhab ini baru muncul
sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Akhirnya
dengan bid’ah ini, tercapailah tujuan lblis memecah-belah kaum muslimin,
kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari hal itu.
Beliau juga mengatakan bahwa pendapat
yang menyatakan harusnya seseorang bermazhab dengan satu mazhab tertentu
sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, serta
ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Sesungguhnya mazhab yang haq dan
wajib diyakini serta diikuti adalah mazhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan imam yang agung yang wajib diikuti, kemudian para al-Khulafa’ ar-Rasyidin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْ
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (al-Hasyr: 7)
Adapun yang dimaksud dengan Sunnah
al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup
mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
ditulis oleh al-Ustadz ldral Harits
Sumber Bacaan:
1. Jami’ Bayanil ‘llmi wa Fadhlihi, lbnu ‘Abdil Barr
2. Riyadhul Jannah, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
3. Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan al-Ma’shumi
4. al-Hadits Hujjatun Binafsihi, asy-Syaikh al-Albani
5. Ma’na Qaulil Imam al-Muththalibi, as-Subki
6. lrsyadun Nuqqad, al-Imam ash-Shan’ani
7. al-Mudzakkirah, asy-Syinqithi
8. al-lhkam, lbnu Hazm
9. al-lhkam, al-Amidi.
1. Jami’ Bayanil ‘llmi wa Fadhlihi, lbnu ‘Abdil Barr
2. Riyadhul Jannah, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
3. Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan al-Ma’shumi
4. al-Hadits Hujjatun Binafsihi, asy-Syaikh al-Albani
5. Ma’na Qaulil Imam al-Muththalibi, as-Subki
6. lrsyadun Nuqqad, al-Imam ash-Shan’ani
7. al-Mudzakkirah, asy-Syinqithi
8. al-lhkam, lbnu Hazm
9. al-lhkam, al-Amidi.

Bersatu dan Berpisah Karena Allah
Kondisi umat Islam yang berpecah memang memunculkan keprihatinan.
Dari sejumlah tokoh Islam, sering muncul ajakan agar semua kelompok
bersatu dalam satu wadah, tidak perlu mempermasalahkan perbedaan yang
ada karena yang penting tujuannya sama yaitu memajukan Islam. Mungkinkah
umat Islam bersatu dan bagaimana caranya? Lanjutkan membaca Bersatu dan Berpisah Karena Allah

Ucapan Para Imam tentang Taklid
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya.”
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, “Haram bagi siapa pun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Sebab, sesungguhnya kami adalah manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan).”
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, “Haram bagi siapa pun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Sebab, sesungguhnya kami adalah manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan).”
Al-Imam Malik rahimahullah
mengatakan, “Saya hanyalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin
benar. Maka dari itu, perhatikanlah pendapat saya, jika sesuai dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah. Apabila tidak sesuai dengan keduanya,
tinggalkanlah.”
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah mati.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah
mengatakan, “Janganlah kalian taklid kepada saya dan jangan taklid
kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, ataupun (Sufyan) ats-Tsauri. Akan
tetapi, ambillah (dalil) dari mana mereka mengambilnya.”

Menjaga Diri dari Maksiat
Menjaga Diri dari Maksiat
Maimun bin Mihran rahimahullah berkata, “Seseorang mengingat Allah subhanahu wa ta’ala
ketika hendak bermaksiat (sehingga menahan diri darinya) itu lebih baik
dan lebih utama daripada zikir kepada Allah dengan lisan.”
Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah
berkata, “Aku mengembalikan uang syubhat satu dirham lebih aku sukai
daripada aku bersedekah seratus ribu, kemudian seratus ribu lagi, hingga
mencapai sembilan ratus ribu dirham.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
mengatakan, “Takwa itu bukan hanya shalat tahajud dan puasa di siang
hari, lalu merusaknya dengan sesuatu di antara keduanya. Akan tetapi,
takwa adalah menunaikan kewajiban yang ditentukan oleh Allah dan
meninggalkan yang diharamkan oleh-Nya. Jika bersama itu ada amalan, itu
adalah kebaikan di atas kebaikan.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 128)
Ittiba’, Kewajiban Mengikuti As-Sunnah
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Sederhana dalam Sunnah (menjalankan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan.”
Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Kamu harus berpegang dengan jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan as-Sunnah. Sesungguhnya orang yang (berjalan) di atas jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan as-Sunnah kemudian dia mengingat ar-Rahman (Allah subhanahu wa ta’ala) hingga air matanya menetes karena takut kepada-Nya, tidak akan tersentuh api neraka. Sesungguhnya sederhana dalam jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan.”
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan,
“Wahai Yusuf, jika ada seorang Ahlus Sunnah dari negeri timur, sampaikan salamku kepadanya; dan jika ada seorang Ahlus Sunnah dari negeri barat, sampaikan salamku kepadanya. Sungguh, Ahlus Sunnah wal Jamaah sangat sedikit jumlahnya.”
Yunus bin Abil A’la rahimahullah mengatakan,
Aku mendengar asy-Syafi’i berkata,”Jika aku melihat seorang lelaki ahli hadits seolah aku melihat sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi rahimahullah, 33—34)
Al-Auza’i rahimahullah mengatakan,
“Kami berjalan ke mana as-Sunnah berjalan.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, al-Imam al-Lalikai rahimahullah, 1/64)
Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud rahimahullah mengatakan,
“Kamu tidak akan salah selamanya asalkan kamu di atas as-Sunnah.” (ath-Thabaqat, 1/71, al-Hujajul Qawiyah, 30)
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,
“Kamu haruslah komitmen dengan as-Sunnah. Sesungguhnya as-Sunnah akan menjagamu dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Hilyah, 5/338, al-Hujajul Qawiyah,30)
Definisi as-Sunnah adalah mengamalkan al-Qur’an dan Hadits serta mengikuti pendahulu yang saleh serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka (lihat Asy Syariah edisi 04).
“Sederhana dalam Sunnah (menjalankan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan.”
Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Kamu harus berpegang dengan jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan as-Sunnah. Sesungguhnya orang yang (berjalan) di atas jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan as-Sunnah kemudian dia mengingat ar-Rahman (Allah subhanahu wa ta’ala) hingga air matanya menetes karena takut kepada-Nya, tidak akan tersentuh api neraka. Sesungguhnya sederhana dalam jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan.”
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan,
“Wahai Yusuf, jika ada seorang Ahlus Sunnah dari negeri timur, sampaikan salamku kepadanya; dan jika ada seorang Ahlus Sunnah dari negeri barat, sampaikan salamku kepadanya. Sungguh, Ahlus Sunnah wal Jamaah sangat sedikit jumlahnya.”
Yunus bin Abil A’la rahimahullah mengatakan,
Aku mendengar asy-Syafi’i berkata,”Jika aku melihat seorang lelaki ahli hadits seolah aku melihat sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi rahimahullah, 33—34)
Al-Auza’i rahimahullah mengatakan,
“Kami berjalan ke mana as-Sunnah berjalan.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, al-Imam al-Lalikai rahimahullah, 1/64)
Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud rahimahullah mengatakan,
“Kamu tidak akan salah selamanya asalkan kamu di atas as-Sunnah.” (ath-Thabaqat, 1/71, al-Hujajul Qawiyah, 30)
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,
“Kamu haruslah komitmen dengan as-Sunnah. Sesungguhnya as-Sunnah akan menjagamu dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Hilyah, 5/338, al-Hujajul Qawiyah,30)
Definisi as-Sunnah adalah mengamalkan al-Qur’an dan Hadits serta mengikuti pendahulu yang saleh serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka (lihat Asy Syariah edisi 04).
Berlindung dari Thiyarah
“Ya Allah, tidak ada kesialan selain dengan ketentuan-Mu dan tidak
ada kebaikan selain kebaikan-Mu, dan tiada sesembahan yang berhak
disembah selain-Mu.”
(HR. Ahmad, 2/220, Ibnu Sunni no. 292, dan disahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah 3/54 no. 1065)
Penjelasan
Orang-orang jahiliah dulu meyakini bahwa thiyarah (anggapan sial atau keberuntungan) melalui sesuatu (hewan, benda, arah angin, atau selainnya) dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan/menolak marabahaya. Setelah Islam datang, keyakinan ini dianggap sebagai perbuatan syirik (dosa besar) yang terlarang kemudian dihilangkan dengan doa di atas (Tuhfatul Ahwadzi, 5/197) untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah l serta membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain Allah.
(HR. Ahmad, 2/220, Ibnu Sunni no. 292, dan disahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah 3/54 no. 1065)
Penjelasan
Orang-orang jahiliah dulu meyakini bahwa thiyarah (anggapan sial atau keberuntungan) melalui sesuatu (hewan, benda, arah angin, atau selainnya) dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan/menolak marabahaya. Setelah Islam datang, keyakinan ini dianggap sebagai perbuatan syirik (dosa besar) yang terlarang kemudian dihilangkan dengan doa di atas (Tuhfatul Ahwadzi, 5/197) untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah l serta membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain Allah.
Di Balik Kelembutan Suaramu
(dituliis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah & Al-Ustadzah Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim)
Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah.
Ukhti Muslimah…
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.
Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah U. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Rasulullah r juga telah bersabda :
“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah).” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah (1/431, 434).
Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika ber-talbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tasbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi r:
“Ucapan tasbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita.” (Shahih, HR. Al- Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)
Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.
Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah I dalam Surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491)
Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.
Suara Wanita di Radio dan Telepon
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin t pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy-Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi r:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”
Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.
Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah menikmati suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.
Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al-Mar‘ah Al-Muslimah, 1/433-434)
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja baik dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan, dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan, serta terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al-Mar`ah, 1/435)
Laki-laki Berbicara Lewat Telepon dengan Wanita yang Telah Dipinangnya
Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjawab: “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khithbah-nya), apabila memang pinangannya (khithbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta’aruf) –kata mereka– sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah I telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al-Mar`ah, 2/605)
(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim)
Catatan Kaki:
1 Talbiyah adalah melafadzkan Labbaika Allahumma labbaika dan seterusnya di dalam ibadah haji.
Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah.
Ukhti Muslimah…
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.
Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah U. Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Rasulullah r juga telah bersabda :
“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah).” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah (1/431, 434).
Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika ber-talbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tasbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi r:
“Ucapan tasbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita.” (Shahih, HR. Al- Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422)
Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras.
Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah I dalam Surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491)
Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.
Suara Wanita di Radio dan Telepon
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin t pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy-Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi r:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.”
Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.
Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah menikmati suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.
Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al-Mar‘ah Al-Muslimah, 1/433-434)
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja baik dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan, dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan, serta terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al-Mar`ah, 1/435)
Laki-laki Berbicara Lewat Telepon dengan Wanita yang Telah Dipinangnya
Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjawab: “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khithbah-nya), apabila memang pinangannya (khithbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta’aruf) –kata mereka– sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah I telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al-Mar`ah, 2/605)
(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim)
Catatan Kaki:
1 Talbiyah adalah melafadzkan Labbaika Allahumma labbaika dan seterusnya di dalam ibadah haji.
Wanita Haidh Masuk ke Masjid
Bagaimana hukumnya wanita yang sedang haidh masuk masjid untuk
suatu keperluan, misalnya mengikuti ta’lim? Sementara ada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya
aku tidak menghalalkan masjid kepada wanita yang haidh dan orang yang
junub.”
‘Athiyyah, Purwokerto
Jawab:
Dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang berpendapat tidak boleh. Kata Al-Imam Asy-Syaukani t: “Zaid bin Tsabit berpendapat boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid kecuali bila dikhawatirkan darahnya menajisi masjid. Al-Imam Al-Khaththabi menghikayatkan kebolehan ini dari Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan ahlu dzahir. Sedangkan yang berpendapat tidak boleh adalah Sufyan dan Ashabur Ra`yi, dan pendapat ini yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik.” (Nailul Authar, 1/320)
Namun yang kuat dari pendapat yang ada, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wanita haidh dibolehkan masuk masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab beliau Al-Muhalla (2/184-187), karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan tentang hal ini, sementara Rasulullah r telah bersabda:
“Sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Di masa hidup Rasulullah r, ada seorang wanita hitam bekas budak yang biasa membersihkan masjid Nabi dan ia memiliki tenda di dalam masjid. Sebagai seorang wanita tentunya ia mengalami haidh namun tidak didapatkan adanya perintah Rasulullah r agar dia keluar dari masjid ketika masa haidhnya. (Haditsnya disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 439)
Sementara hadits yang anda tanyakan adalah hadits yang dha’if (lemah), dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm sisi kelemahan hadits ini, sebagaimana dalam Al-Muhalla. Demikian pula Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (118-119).
‘Athiyyah, Purwokerto
Jawab:
Dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang berpendapat tidak boleh. Kata Al-Imam Asy-Syaukani t: “Zaid bin Tsabit berpendapat boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid kecuali bila dikhawatirkan darahnya menajisi masjid. Al-Imam Al-Khaththabi menghikayatkan kebolehan ini dari Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan ahlu dzahir. Sedangkan yang berpendapat tidak boleh adalah Sufyan dan Ashabur Ra`yi, dan pendapat ini yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik.” (Nailul Authar, 1/320)
Namun yang kuat dari pendapat yang ada, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wanita haidh dibolehkan masuk masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab beliau Al-Muhalla (2/184-187), karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan tentang hal ini, sementara Rasulullah r telah bersabda:
“Sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Di masa hidup Rasulullah r, ada seorang wanita hitam bekas budak yang biasa membersihkan masjid Nabi dan ia memiliki tenda di dalam masjid. Sebagai seorang wanita tentunya ia mengalami haidh namun tidak didapatkan adanya perintah Rasulullah r agar dia keluar dari masjid ketika masa haidhnya. (Haditsnya disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 439)
Sementara hadits yang anda tanyakan adalah hadits yang dha’if (lemah), dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm sisi kelemahan hadits ini, sebagaimana dalam Al-Muhalla. Demikian pula Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (118-119).
Batasan Kufu dalam Pernikahan
pakah batasan kufu/ kesetaraan dalam pernikahan? Apakah adanya
kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan
dalam agama termasuk dalam kekufuan?
Dianwati
ummuyusuf@…com
Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa`ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (4/22), yang teranggap dalam kafa`ah adalah perkara dien (agama). Beliau t berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur‘an, di antaranya:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An-Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits dan beliau menyebutkan bahwasanya Nabi r sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al-Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al-Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin ‘Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi r dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur‘an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa`ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zadul Ma’ad, 4/22)
Dianwati
ummuyusuf@…com
Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa`ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (4/22), yang teranggap dalam kafa`ah adalah perkara dien (agama). Beliau t berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur‘an, di antaranya:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An-Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits dan beliau menyebutkan bahwasanya Nabi r sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al-Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al-Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin ‘Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi r dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur‘an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa`ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zadul Ma’ad, 4/22)
Posting Komentar