
Pelajaran dari Kisah Nabi Nuh
Pelajaran terpenting yang bisa diambil
dari kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah bahwa dakwah setiap nabi dan
rasul adalah satu, yaitu menyeru umat untuk beribadah kepada Allah
subhanahu wa ta’ala saja (dakwah tauhid).

Mahalnya Nilai Kehalalan
Abu Hurairah radhiallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ }يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَ اعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ{ وَقاَلَ: }يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ{ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana
yang Dia perintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para
rasul, makanlah makanan yang baik (halal) dan beramal salehlah kalian.’ (al-Mu’minun: 51)
Dan Dia berfirman, ‘Wahai
orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik (halal) dari apa
yang telah Kami rezekikan kepada kalian’.” (al-Baqarah: 172)
Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang telah
menempuh perjalanan (safar) yang panjang hingga rambutnya kusut masai
lagi berdebu. Orang itu berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya ke
langit seraya berseru, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Sementara makanan,
minuman, dan pakaiannya haram serta dia diberi makan dengan yang haram[1], maka bagaimana doanya akan dikabulkan?”

Siapakah Orang-orang Yang Merugi
قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤
Katakanlah, “Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104)

Doa Berbuka Puasa
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat serta telah tetap pahala, insya Allah.”
(HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Fasiq
Kata fasiq berasal dari bahasa Arab al-Fisq الْفِسْقُ atau al-Fusuq الْفُسُوقُ
yang bermakna keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lain dalam keadaan
rusak. Adapun dalam pengertian syariat maka artinya adalah keluar dari ketaatan. Lanjutkan membaca Fasiq

Penjelasan Air Suci Tidak Menyucikan
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
dalam kitabnya Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi
Syarhi Jawami’il Akhbar (hlm. 24—25) mengatakan bahwa Abu Sa’id
al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
‘Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya’.” (Sahih, HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an-Nasa’i)

Air yang Menyucikan
Di negeri kita, alhamdulillah, air
mudah dijumpai. Salah satu manfaat terbesar dari air adalah untuk
bersuci. Banyaknya jenis air yang ada menuntut kita untuk memahami mana
air yang bisa dipakai untuk bersuci dan yang tidak.

Kuserahkan Diriku Kepadamu Ya Allah
Manusia adalah makhluk yang serba
lemah. Sungguh sangat tidak pantas bila ada orang yang menyombongkan
diri tidak butuh dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Padahal
berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala baik dalam keadaan lapang
maupun sempit merupakan jalan menuju keselamatan.

Masuk Islamnya Hamzah dan ‘Umar
Saat Hamzah dan ‘Umar bin al-Khaththab
radhiallahu ‘anhuma masuk Islam, posisi kaum muslimin di Makkah
bertambah kuat. Namun upaya kaum musyrikin untuk menghentikan dakwah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah kendor. Melalui paman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum musyrikin meminta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan dakwahnya. Namun upaya ini
pun gagal. Akibatnya, penindasan terhadap kaum muslimin semakin
menjadi-jadi.

Adakah Bid’ah Hasanah?
Banyak alasan yang dipakai orang-orang
untuk ‘melegalkan’ perbuatan bid’ah. Salah satunya, tidak semua bid’ah
itu jelek. Menurut mereka, bid’ah ada pula yang baik (hasanah). Mereka
pun memiliki “dalil” untuk mendukung pendapatnya tersebut. Bagaimana
kita menyikapinya?

Keburukan Bid’ah
Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah
mengatakan bahwa tidak diragukan lagi (bagi kita) bahwa bid’ah itu dari
keadaannya yang demikian adalah sesuatu yang tercela. Hal ini dapat
diterangkan berdasarkan pandangan teoritis ataupun dari dalil-dalil yang
disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lanjutkan membaca Keburukan Bid’ah

Agama ini Telah Sempurna
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan
agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan
penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan
amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan
dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut. Lanjutkan membaca Agama ini Telah Sempurna

Bunda, Kemana Aku Kan Kaubawa?
Anak adalah amanah. Membesarkan anak
bukan semata dengan memenuhi berbagai keinginannya. Lebih dari itu, yang
paling penting adalah bagaimana menanamkan pemahaman agama sejak dini,
sehingga anak bisa mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, Nabi-Nya, serta
memiliki akhlak mulia.

Al-Hizbiyah
Tak bisa dimungkiri, kondisi umat
Islam saat ini telah berpecah menjadi sejumlah kelompok. Tiap-tiap
kelompok memiliki aturan dan jalan sendiri-sendiri. Masing-masing merasa
bangga dengan apa yang ada di kelompoknya dan tentu merasa benar dengan
aturan-aturan yang dibuat kelompoknya. Satu keniscayaan yang pasti ada
di tiap kelompok adalah adanya ‘belenggu-belenggu’ yang dipakai untuk
menjerat anggotanya agar tidak lari.

Memakai Perhiasan Emas yang Melingkar
Bagaimana hukum mengenakan perhiasan emas yang melingkar, misalnya gelang, kalung, cincin, atau yang lainnya bagi wanita?
nuu…@plasa.com
Jawab:
Masalah hukum mengenakan perhiasan emas
yang melingkar bagi wanita diperselisihkan oleh ulama. Ada yang
membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Namun, yang rajih
(kuat) adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama, yaitu
dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan perhiasan emas tanpa dibedakan
bentuknya melingkar ataupun tidak.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
dalam fatwanya memberikan bantahan terhadap mereka yang berpendapat
haramnya wanita mengenakan perhiasan emas melingkar. Antara lain beliau rahimahullah
mengatakan, “Halal bagi wanita untuk mengenakan perhiasan emas, baik
bentuknya melingkar ataupun tidak, karena keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَوَ مَن يُنَشَّؤُاْ فِي ٱلۡحِلۡيَةِ وَهُوَ فِي ٱلۡخِصَامِ غَيۡرُ مُبِينٖ ١٨
“Apakah patut
(menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan
berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam
pertengkaran?” (az-Zukhruf: 18)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa suka memakai perhiasan termasuk salah satu sifat wanita. Perhiasan di sini umum, mencakup emas dan selainnya.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al-lmam Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengabarkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
pernah mengambil sutera, lalu beliau letakkan di tangan kanannya, dan
mengambil emas lalu beliau letakkan pada tangan kirinya, kemudian
bersabda,
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي
“Sesungguhnya dua benda ini haram untuk dikenakan oleh kaum laki-laki dari kalangan umatku.”
lbnu Majah rahimahullah menambahkan dalam riwayatnya,
حِلٌّ لِإِنَاثِهْمْ
“Namun, halal bagi kaum wanitanya.”
Kemudian asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
membawakan dalil lain yang mendukung pendapat ini berikut ucapan para
ulama, seperti al-Baihaqi, an-Nawawi, al-Hafizh lbnu Hajar, dan selain
mereka.
Beliau menegaskan, “Adapun hadits-hadits yang lahiriahnya melarang wanita mengenakan emas maka hadits-hadits tersebut syadz (ganjil), karena menyelisihi hadits lain yang lebih sahih dan lebih kokoh.”
Di akhir fatwanya, beliau rahimahullah
menyatakan tidak benarnya pendapat yang mengatakan dalil-dalil yang
melarang pemakaian emas dibawa pemahamannya kepada emas yang melingkar,
sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan dibawa pemahamannya kepada emas
yang tidak melingkar. Sebab, di antara hadits yang menghalalkan emas
bagi wanita ada yang menyebutkan halalnya cincin padahal cincin
bentuknya melingkar. Ada pula yang menyebutkan halalnya gelang sementara
gelang bentuknya melingkar. Selain itu, hadits-hadits yang menunjukkan
halalnya emas menyebutkan secara mutlak tanpa memberikan batasan bentuk
tertentu, maka wajib mengambil pemahamannya secara umum.
Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat permasalahan ini dalam al-Fatawa Kitabud Da’wah (1/242—247) karya asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah atau sebagaimana dinukilkan dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah (1/453—457).
Wallahu ta‘ala a‘lam.

Berpakaian Tipis di Hadapan Suami
Apa hukum wanita yang mengenakan pakaian tipis, ketat, sehingga menampakkan kedua betis di hadapan suaminya? Apakah ini termasuk di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang?(nhi…@yahoo.com)
Jawab:
Dibolehkan bagi wanita untuk mengenakan
pakaian yang tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya, karena tidak
ada batasan aurat antara suami-istri, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦
“Dan orang-orang
yang menjaga kemaluan mereka. Kecuali di hadapan istri-istri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki, maka mereka dalam hal ini tidaklah
tercela (bila menampakkannya).” (al-Mukminun: 5—6)
Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 321)
Al-Hafizh lbnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan
bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Pendapat
ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan
Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami
melihat aurat istrinya. Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya
kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan
permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini
dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1/455)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab, “Tidak ada aurat antara suami dengan istrinya.”
Sebelumnya, beliau membawakan dalil sebagaimana yang kami nukilkan dalam jawaban kami di atas. (Lihat Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/417—418)
Karena suami dan istri dibolehkan untuk
saling melihat aurat masing-masing, maka istri yang mengenakan pakaian
tipis, ketat, dan pendek di hadapan suaminya tidaklah termasuk dalam
hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Dua golongan dari penduduk an-naar (neraka) yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.”
Kemudian beliau menyebutkan golongan yang pertama, setelahnya beliau lanjutkan dengan golongan kedua, yaitu, “Para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang….” (Sahih, HR. Muslim no. 2128)
Wallahu ta‘ala a‘lam.

Pakaian Wanita dalam Shalat
Pakaian wanita saat mengerjakan shalat
memiliki aturan tersendiri. Setiap wanita hendaknya memerhatikan
pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya
dilakukan sendirian.

Ummu Salamah
Kecantikan dan kemuliaan berpadu dalam
dirinya. Cinta, kesetiaan, dan ketaatannya pada pendamping hidupnya
membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah keindahan
hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia.
Doa Makan
إِذَا أَكَلَ أَحُدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ؛
فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فيِ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
“Jika salah seorang dari kalian makan maka ucapkanlah ‘Bismillah’. Jika ia lupa di awal maka ucapkanlah, ‘Bismillah fi awwalihi wa akhiri’.” (Sahih, HR. Abu Dawud 3/347, at-Tirmidzi 4/288, lihat Shahih at-Tirmidzi karya asy-Syaikh al-Albani 2/167)
Keterangan
Hadits ini dan yang sejenisnya menunjukkan disyariatkannya mengucapkan bismillah ketika hendak makan dan jika lupa mengucapkan seperti yang disebutkan dalam teks hadits di atas. Demikian pula bila tidak mengucapkan dengan sengaja disyariatkan mengucapkannya di saat makan.
Dalam kitab Nailul Authar disebutkan bahwa mengucapkan bismillah hukumnya wajib karena hadits-hadits yang memerintahkannya tidak ada yang menyelisihi dan berlawanan dengannya, serta orang yang meninggalkannya (tidak mengucapkan bismillah) berarti ia makan dan minum bergabung bersama-sama setan. (Nailul Authar, 9/42)
Dalam kitab Subulus Salam disebutkan bahwa sebaiknya setiap orang yang mau makan hendaknya mengucapkan bismillah. Seandainya ada salah seorang telah mengucapkannya (bila makan berjamaah) maka cukup bagi yang lainnya. Dalam hadits yang sebelumnya disebutkan perintah makan dengan tangan kanan sebagai dalil wajibnya makan dengan tangan kanan untuk menyelisihi setan yang makan dan minum dengan tangan kiri, dan perbuatan setan diharamkan bagi manusia untuk menirunya. (Subulus Salam, 3/159)
Tidak disunnahkan membaca bismillah setiap kali menyuap makanan.
Sesuai dengan teks hadits, disunnahkan untuk membaca bismillah saja, tidak bismillahirrahmanirrahim karena tidak ada dalil yang menjelaskannya. (Bahjatun Nazhirin, 2/50)
فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فيِ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
“Jika salah seorang dari kalian makan maka ucapkanlah ‘Bismillah’. Jika ia lupa di awal maka ucapkanlah, ‘Bismillah fi awwalihi wa akhiri’.” (Sahih, HR. Abu Dawud 3/347, at-Tirmidzi 4/288, lihat Shahih at-Tirmidzi karya asy-Syaikh al-Albani 2/167)
Keterangan
Hadits ini dan yang sejenisnya menunjukkan disyariatkannya mengucapkan bismillah ketika hendak makan dan jika lupa mengucapkan seperti yang disebutkan dalam teks hadits di atas. Demikian pula bila tidak mengucapkan dengan sengaja disyariatkan mengucapkannya di saat makan.
Dalam kitab Nailul Authar disebutkan bahwa mengucapkan bismillah hukumnya wajib karena hadits-hadits yang memerintahkannya tidak ada yang menyelisihi dan berlawanan dengannya, serta orang yang meninggalkannya (tidak mengucapkan bismillah) berarti ia makan dan minum bergabung bersama-sama setan. (Nailul Authar, 9/42)
Dalam kitab Subulus Salam disebutkan bahwa sebaiknya setiap orang yang mau makan hendaknya mengucapkan bismillah. Seandainya ada salah seorang telah mengucapkannya (bila makan berjamaah) maka cukup bagi yang lainnya. Dalam hadits yang sebelumnya disebutkan perintah makan dengan tangan kanan sebagai dalil wajibnya makan dengan tangan kanan untuk menyelisihi setan yang makan dan minum dengan tangan kiri, dan perbuatan setan diharamkan bagi manusia untuk menirunya. (Subulus Salam, 3/159)
Tidak disunnahkan membaca bismillah setiap kali menyuap makanan.
Sesuai dengan teks hadits, disunnahkan untuk membaca bismillah saja, tidak bismillahirrahmanirrahim karena tidak ada dalil yang menjelaskannya. (Bahjatun Nazhirin, 2/50)

Hari Ketujuh Detak Kehidupanmu
Memasuki umur tujuh hari, orang tua
dituntunkan melakukan aqiqah bagi anaknya yang baru lahir. Bersamaan
dengan itu, dicukurlah rambut si kecil dan diberi nama.
Posting Komentar