
Tata Cara Wudhu Nabi (bagian 1)
Niat
Niat adalah ketetapan dan kemantapan hati untuk mengerjakan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla (Taisirul ‘Allam, 1/23). Dan niat ini merupakan syarat seluruh amalan ibadah, tidak sebatas amalan wudhu (asy-Syarhul Mumti’, 1/157). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan….” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas menunjukkan niat itu umum dikenakan pada seluruh amalan dan
tidak dikhususkan sesuatu pun darinya, baik itu amalan yang wajib
(fardhu) maupun yang sunnah (nafilah).” (al-Ausath, 1/371)
Namun yang perlu diperhatikan, niat ini
tempatnya di hati, bukan dilafadzkan dengan lisan. Bahkan bid‘ah
hukumnya bila niat itu dilafadzkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Tempat niat itu di hati, bukan di lisan. Hal ini merupakan
kesepakatan para imam kaum muslimin dalam seluruh ibadah seperti
thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak,
jihad, dan selainnya. Seandainya seseorang berucap dengan lisannya namun
berbeda dengan apa yang ada di niatannya (hatinya) maka yang teranggap
adalah apa yang dia niatkan, bukan yang dia lafadzkan. Seandainya ia
mengucapkan niat dengan lisannya sementara tidak terbetik niat itu di
hatinya maka hal ini tidaklah teranggap, menurut kesepakatan para imam
kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 22/217—218)
Pelafadzan niat ini tidak didapatkan riwayatnya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik dalam hadits yang sahih maupun dalam hadits yang dha’if (lemah),
baik yang musnad ataupun mursal. Tidak juga dinukilkan dari para sahabat
beliau, para imam dari kalangan tabi‘in, dan yang setelahnya dari
kalangan imam-imam yang mendapat petunjuk. (Zadul Ma’ad, 1/51)
Seandainya niat itu harus diucapkan dengan lisan, maka tentu akan diterangkan oleh Allah ‘azza wa jalla lewat Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan perbuatan maupun ucapan beliau. (asy-Syarhul Mumti’, 1/159)
Niat ini bukanlah sesuatu yang sulit,
meskipun sebagian orang yang dihinggapi penyakit waswas menganggapnya
sulit. Karena setiap orang yang berakal bisa menentukan sesuai dengan
kehendaknya sendiri apa yang hendak ia lakukan, ketika melakukan sesuatu
tentunya ia telah berniat sebelumnya. Seandainya didekatkan air kepada
seseorang, kemudian ia mengucapkan basmalah, mencuci kedua tangannya,
kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan seterusnya,
maka mustahil dan tidak masuk akal jika hal ini dia lakukan tanpa
dilandasi niat.
Tasmiyah (Membaca Basmalah)
Dalam permasalahan tasmiyah ini, sering dibawakan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ketika mengerjakannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if (lemah).” At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan yang semisal dengan hadits ini dari Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Dalam permasalahan ini tidak ada satu pun hadits yang kokoh (yang bisa jadi hujjah/pegangan).” (Bulughul Maram, hlm. 26)
Ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca basmalah ini. Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah.
Mereka yang berpendapat wajib di antaranya Ishaq bin Rahawaih, mazhab Dzhahiriyah, salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad[1], al-Hasan al-Bashri, Abu Bakar serta asy-Syaukani rahimahumullah (Tamamul Minnah, hlm. 89, al-Mughni, 1/73).
Mereka berdalil dengan hadits di atas.
Menurut pendapat ini, apabila ada orang yang meninggalkan membaca
basmalah dengan sengaja, maka tidak sah wudhunya karena ia meninggalkan
perkara yang wajib dalam wudhu. Namun apabila ia tidak mengucapkannya
karena lupa atau meyakini tidak wajib, wudhunya tidak batal. (al-Majmu’, 1/387)
Ibnul Mundzir rahimahullah
(al-Ausath, 1/367—368) berkata, “Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam
permasalahan wajibnya tasmiyah sebelum berwudhu. Mayoritas ahlul ilmi
menganggap sunnah/disenangi bagi seseorang untuk menyebut nama Allah
apabila ia hendak berwudhu, sebagaimana mereka menganggap sunnah, tidak
wajib membaca basmalah sebelum makan dan minum, tidur, serta yang
lainnya. Kebanyakan mereka mengatakan tidak apa-apa bagi seseorang untuk
meninggalkan tasmiyah saat hendak wudhu, karena sengaja ataupun lupa.
Demikian pendapat Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad ibnu Hambal, Abu
‘Ubaid, dan ashabur ra’yi.”
Ini juga pendapat yang dipegangi jumhur ulama, Abu Hanifah, dan lainnya. (al-Majmu’, 1/386)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku menyenangi bagi seseorang untuk menyebut nama Allah ‘azza wa jalla
saat hendak berwudhu. Bila ia lupa, maka ia mengucapkannya ketika ingat
selama ia sedang menunaikan wudhunya. Bila ia meninggalkan tasmiyah
karena lupa atau sengaja, maka tidak akan merusak wudhunya, insya
Allah.” (al-Umm, 1/31)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Disunnahkan tasmiyah sebelum wudhu, dalam seluruh ibadah
dan juga perbuatan-perbuatan lainnya, sampaipun dalam bersenggama
(jima’).” (al-Majmu’, 1/386)
Beliau juga menyatakan bahwa tasmiyah
ini termasuk sunnah-sunnah wudhu, bila meninggalkannya dengan sengaja
maka tidak membatalkan wudhu.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Disenangi mengucapkan tasmiyah ketika hendak berwudhu, bila ada
seseorang yang meninggalkannya maka wudhunya tetap sempurna.” (al-Muhalla, 2/49)
Dengan pemaparan di atas, maka yang kuat
di antara pendapat-pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan
sunnah, bukan wajib, karena dalil yang dijadikan sandaran yang
mengisyaratkan wajibnya tasmiyah adalah dha’if/lemah. At-Tirmidzi rahimahullah berkata menukilkan ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah, “Aku tidak mengetahui dalam bab ini satu hadits pun yang memiliki sanad yang jayyid/bagus.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/21)
Walaupun di kalangan ahlul ilmi ada yang mensahihkan hadits ini, namun al-Bazzar rahimahullah
mengatakan bahwa pengertian hadits itu dibawa kepada makna ‘tidak ada
keutamaan wudhu bagi orang yang tidak mengucapkan nama Allah’, bukan
maknanya ‘tidak boleh wudhu bagi orang yang tidak membaca basmalah’.” (at-Talkhis, 1/112)
Memulai dari Kanan
Disunnahkan mendahulukan bagian tubuh yang kanan ketika berwudhu dengan berdalil hadits yang umum dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan
dalam mengenakan sandalnya, menyisir rambutnya, dalam bersuci, dan dalam
seluruh keadaannya[2].” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 168, 5854, dan Muslim no. 268)
Yang menyebutkan secara khusus tentang memulai dari bagian kanan ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Dawud rahimahullah dalam Sunan-nya.
إِذَا لَبِسْتُمْ وَإِذَا تَوَضَّئْاتمُ ْ فَابْدَءُوْا بِمَيَامِنِكُمْ
“Apabila kalian mengenakan pakaian dan berwudhu, hendaklah kalian mulai dari bagian yang kanan.” (Hadits ini sahih sesuai dengan persyaratan al-Imam al-Bukhari rahimahullah sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami‘us Shahih 1/507)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Ulama bersepakat tentang sunnahnya mendahulukan bagian yang
kanan dari yang kiri ketika mencuci tangan dan kaki dalam berwudhu.
Siapa yang menyelisihinya maka hilang darinya keutamaan sunnah, namun
wudhunya tetap sah.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160)
Mencuci Kedua Telapak Tangan
Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu menyatakan:
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا
بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا
ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فِي الْوَضُوْءِ، ثُمَّ
تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا
وَيَدَيْهِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ،
ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ
النَّبِيَّ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا وَقَالَ:
مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ
يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Ia pernah
melihat ‘Utsman meminta diambilkan air untuk wudhu, lalu dituangkannya
air dari bejana ke atas dua telapak tangannya dan mencucinya sebanyak
tiga kali. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu,
lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya.
Setelah itu, ia mencuci wajahnya sebanyak tiga kali, mencuci kedua
lengannya sampai siku tiga kali. Setelahnya, ia mengusap kepalanya, lalu
mencuci kedua kakinya tiga kali. Setelah selesai dari semua itu, ia
berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu
seperti wudhuku ini dan beliau bersabda, ‘Siapa yang berwudhu seperti
wudhuku ini, kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak terbetik di dalam
hatinya selain dari perkara shalatnya, maka Allah akan mengampuni
dosanya yang telah lalu’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)
‘Utsman radhiallahu ‘anhu memeragakan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lengkap dan sempurna dengan maksud agar dapat lebih dipahami dan lebih tergambar di benak. (Taisirul ‘Allam, 1/37)
Mencuci kedua telapak tangan ini hukumnya sunnah menurut kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan al-Imam an-Nawawi rahimahullah (Syarah Muslim, 3/105, al-Majmu’, 1/391) dan Ibnul Mundzir rahimahullah (al-Ausath, 1/375). Walaupun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terus-menerus melakukannya, hukumnya tidaklah menjadi wajib, karena
dalam ayat wudhu (surat al-Ma’idah ayat 6), tidak disebutkan mencuci
kedua telapak tangan. (asy-Syarhul Mumti’, 1/137)
Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar
Madhmadhah adalah memasukkan air ke dalam mulut, kemudian berkumur-kumur dengannya, lalu disemburkan keluar. (Fathul Bari, 1/335)
Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung dengan menghirupnya sampai jauh ke dalam hidung. (al-Mughni, 1/74, Nailul Authar, 1/203)
Sedangkan istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. (Syarah Shahih Muslim, 3/105)
Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh dalam ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) kecuali bila sedang puasa. (al-Mughni, 1/74, al-Majmu’ 1/396, Subulus Salam, 1/73, Nailul Authar, 1/212)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali bila engkau sedang puasa.” (HR. Abu Dawud no. 123, at-Tirmidzi no. 718, dan selain keduanya, serta disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/512)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesekali pernah madhmadhah dan istinsyaq dengan satu cidukan. Di waktu lain dengan dua cidukan dan sekali waktu tiga cidukan. Beliau menyambung antara madhmadhah dan istinsyaq
ini. Beliau mengambil dari cidukan tersebut, setengahnya untuk mulut
dan setengahnya lagi untuk hidung, dan tidak mungkin melakukan pada satu
cidukan kecuali dengan cara ini. Adapun dengan dua dan tiga cidukan
memungkinkan untuk memisahkan serta menyambung madhmadhah dan istinsyaq. Namun petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hal ini adalah beliau menyambung antara keduanya (tidak
memisahkan dengan cidukan yang berbeda) sebagaimana terdapat haditsnya
dalam Shahihain dari hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan madhmadhah dan istinsyaq dari satu telapak tangan, dan beliau lakukan hal itu sebanyak tiga kali. Dalam satu lafadz beliau melakukan madhmadhah dan istinsyaq dengan tiga cidukan. Inilah yang paling sahih dalam permasalahan ini.” (Zadul Ma’ad, 1/48—49)
Dalam Sunan Abi Dawud, dibawakan riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang mencontohkan tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara cara wudhunya tersebut ia melakukan madhmadhah dan istintsar
tiga kali dengan menggunakan (satu cidukan) tangan yang dipakai untuk
mengambil air wudhu. (Disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/508)
Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
di atas menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istintsar dari satu
telapak tangan dengan sekali cidukan, dan dilakukan sebanyak tiga kali,
dengan memerhatikan penghematan dalam menggunakan air, karena mulut dan
hidung itu (dianggap) satu anggota atau bagian dari wajah. Sementara
hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu (HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235) menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istinsyaq
dari satu telapak tangan dengan tiga cidukan. Demikian keterangan
asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam ketika memberi keterangan hadits ‘Ali dan
Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma dalam kitabnya Taudhihul Ahkam.
Adapun hadits yang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dari hadits Thalhah bin Musharrif, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dha’if (lemah),
karena adanya perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim. Al-Hafizh
berkata tentangnya, “Orang ini dha’if.” Yahya ibnul Qaththan, Ibnu
Mahdi, Ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah meninggalkan
haditsnya. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam Tahdzibul Asma’, “Ulama bersepakat terhadap pen-dha’if-annya” (at-Talkhis, 1/112). Di samping itu ada illat (penyakit) lain dalam hadits ini.
Kita cukupkan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah
tentang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dengan cidukan
berbeda, bahwasanya tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam
permasalahan ini. (Zadul Ma’ad, 1/49)
Dalam istinsyaq ini disenangi menggunakan tangan kanan, sedangkan istintsar dengan tangan kiri.[3] (al-Majmu’, 1/396, Nailul Authar, 1/209)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Adapun riwayat lain, beliau berpendapat sunnah dan ini yang zhahir (tampak) dari pendapat beliau, kata Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (1/73).
[2]
Lafadz ‘dalam segala keadaan” pada hadits ini umum, namun dikecualikan
pada beberapa perkara, seperti masuk WC, keluar masjid, dan semisalnya
dimulai dengan yang kiri. (Fathul Bari, 1/339)
[3] Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i hadits no. 89.

Titian Tuk Menundukkan Wajahku Dihadapan-Mu (bagian 1)
Wudhu Sebuah Titian
Shalat merupakan ibadah rutin yang kita
kerjakan setiap hari, minimal lima kali sehari berupa shalat fardhu.
Namun ibadah shalat ini tidaklah sah dan tidak akan bisa diterima di
sisi Allah ‘azza wa jalla bila tidak dimulai dengan wudhu bagi
orang yang sebelumnya berhadats, baik hadats kecil (semisal buang air
kecil ataupun besar) maupun hadats besar (junub, haid, dan nifas).
Sehingga sangat tepat sekali bila dikatakan wudhu merupakan sebuah
titian untuk melaksanakan ibadah yang agung ini.
Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat, bahkan wudhu merupakan syarat yang paling besar dan agung. (Subulus Salam, 1/61)
Ulama telah bersepakat bahwa shalat itu tidak boleh ditegakkan oleh seseorang kecuali dengan berwudhu terlebih dahulu selama tidak ada udzur baginya untuk meninggalkannya. Namun bila memiliki udzur, ia bisa meninggalkannya.[1] (al-Ausath, 1/107)
Ulama telah bersepakat bahwa shalat itu tidak boleh ditegakkan oleh seseorang kecuali dengan berwudhu terlebih dahulu selama tidak ada udzur baginya untuk meninggalkannya. Namun bila memiliki udzur, ia bisa meninggalkannya.[1] (al-Ausath, 1/107)
Demikian pula pernyataan ijma’ oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya al-Muhalla (1/71).
Pengertian Wudhu
Definisi wudhu bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata cara yang khusus. (asy-Syarhul Mumti’, 1/148)
Pensyariatan Wudhu
Wudhu adalah suatu ibadah wajib yang ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam Al-Qur’an dan ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat,
basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku.
Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata
kaki….” (al-Maidah: 6)
Ayat yang mulia di atas menetapkan adanya kewajiban wudhu di dalam agama ini bagi seseorang yang hendak mengerjakan shalat. (al-Muhalla, 1/71)
Selain ayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang mengandung pensyariatan wudhu bagi umat beliau:
Selain ayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang mengandung pensyariatan wudhu bagi umat beliau:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّئَا
“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kalian, jika ia berhadats hingga ia berwudhu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 135, 6954 dan Muslim no. 225)
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
“Allah tidak
menerima shalat tanpa bersuci dan Dia tidak menerima sedekah dari hasil
ghulul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi).” (Sahih, HR. Muslim no. 224)
Keutamaan Wudhu
Banyak sekali hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan tentang keutamaan wudhu, di antaranya beliau bersabda, “Apabila
seorang hamba yang muslim atau mukmin berwudhu, lalu ia mencuci
wajahnya maka akan keluar dari wajahnya itu seluruh kesalahan yang
dilihat oleh kedua matanya bersama air wudhu atau bersama akhir tetesan
air wudhu. Apabila ia mencuci kedua tangannya maka akan keluar dari
keduanya setiap kesalahan yang diperbuat oleh kedua tangannya bersama
air atau bersama akhir tetesan air. Apabila ia mencuci kedua kakinya
akan keluar setiap kesalahan yang dilangkahkan oleh kedua kakinya
bersama air atau bersama akhir tetesan air. Hingga ia keluar/selesai
dari wudhunya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosanya.” (Sahih, HR. Muslim no. 244)
مَنْ
تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوئِي هَذا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ
فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang
berwudhu seperti wudhuku ini kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak
terbetik di dalam hatinya selain dari perkara shalatnya, maka akan
diampuni dosanya yang telah lalu[2].” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)
مَنْ تَوَضَّئَا فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
“Siapa yang
berwudhu dan ia membaguskan wudhunya, akan keluar kesalahan-kesalahannya
dari tubuhnya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (Sahih, HR. Muslim no. 245)
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوْءِ
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan ghurran muhajjalin[3] dari bekas wudhu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
(Bersambung)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1]
Contoh udzur yang dimaksud seperti tidak ada air yang bisa digunakan
untuk wudhu sehingga di saat seperti ini, boleh seseorang meninggalkan
wudhu dan menggantinya dengan tayammum.
[2] Al-Hafizh rahimahullah
mengatakan, “Zhahir (tekstual) hadits ini menunjukkan pengampunan dosa
tersebut umum, baik dosa besar maupun dosa kecil. Akan tetapi ulama
mengkhususkan bahwa yang diampuni hanyalah dosa kecil karena adanya
riwayat yang mengecualikan dosa besar.” (Fathul Bari, 1/327)
[3] Yakni bercahaya anggota-anggota wudhunya. (Fathul Bari, 1/297)

Jangan Kau Duakan Ibadahmu
Kesyirikan tidak hanya terjadi pada
zaman jahiliah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum
diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan
bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik
sangatlah penting karena Allah ‘azza wa jalla menyebut perbuatan ini
sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan bagi
pelakunya kecuali jika ia telah bertaubat.

Peristiwa Yang Terjadi Sebelum Hijrah ke Madinah
Peperangan Bangsa Rum (Romawi) dan Persia
Secara ringkas, kami paparkan sebagian sejarah tentang bangsa Romawi dan Persia yang diceritakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya (3/514—515). Beliau mengisahkan:
Bangsa Rum adalah keturunan al-‘Aish bin
Ishaq bin Ibrahim, saudara sepupu Bani Israil. Dinamakan pula dengan
Bani al-Ashfar. Mereka menganut agama orang-orang Yunani. Bangsa Yunani
sendiri adalah keturunan Yafuts bin Nuh yang mereka adalah para
penyembah bintang.
Bangsa Rum inilah yang membangun kota
Damsyik (Damaskus) berikut tempat-tempat ibadahnya. Bangsa ini masih
menganut agama mereka sampai datangnya ‘Isa al-Masih ‘alaihissalam, kira-kira selama 300 tahun. Setiap raja yang memerintah mereka, disebut “kaisar”.
Orang pertama yang masuk agama Nasrani
dari raja-raja bangsa Rum adalah Konstantin. Namun kemudian orang-orang
Nasrani berselisih paham, di mana kemudian para pendetanya (melalui
konsili/pertemuan Nicea tahun 325 M, red.) merumuskan suatu undang-undang doktrin agama bagi negara dan mengubah agama Nabiyullah ‘Isa ‘alaihissalam. Mereka tambah dan kurangi agama Nabi ‘Isa ‘alaihissalam semau mereka (salah satu hasil “terpenting” adalah menetapkan Isa sebagai Tuhan melalui pemungutan suara, red.).
Mereka juga membuat berbagai acara perayaan atau peringatan serta
membagi tingkatan-tingkatan keuskupan atau kependetaan dalam beberapa
tingkat seperti yang kita kenal sekarang ini (Paus, Uskup, dan
sebagainya). Tak cuma itu, orang-orang Nasrani (Kristen) juga sangat
keterlaluan dalam memuliakan dan mengagungkan kaisar. Yang jelas, mereka
tetap memeluk agama tersebut hingga diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap mati seorang kaisar, muncul
kaisar penggantinya, sampai akhirnya datang masa pemerintahan Heraklius.
Heraklius termasuk seorang raja yang cerdas dan cermat. Kekuasaannya
cukup besar dan luas, sehingga Kisra Persia Sabur memusuhinya. Padahal
kerajaannya lebih luas daripada Kaisar (Heraklius). Sabur sendiri
merupakan penganut Majusi (penyembah api).
Bagian termasyhur dari sejarah ini
adalah ketika Kisra pernah maju sendiri menghadapi Kaisar di negerinya,
mengalahkan dan mengepungnya. Tidak ada kota yang tersisa kecuali
Konstantinopel (sekarang Istanbul-Turki, red.) yang juga dikepung cukup lama.
Kisra sendiri merasa tidak sanggup
menembus pertahanan di wilayah Konstantin ini, karena sebagian
wilayahnya berdekatan dengan laut bebas dan sebagian lagi berada di
daratan luas.
Sekian lama berselang, Kaisar kemudian
mencoba sebuah tipu muslihat. Dia minta Kisra agar melepas wilayahnya
dengan menjanjikan sejumlah harta dan beberapa persyaratan. Kisra pun
memenuhi dan menuntut sejumlah harta yang demikian besar yang tidak
mungkin dihimpun oleh seorang raja mana pun di muka bumi ini. Akhirnya
Kaisar meminta agar dibolehkan keluar menuju beberapa wilayah kekuasaan
Romawi untuk mengumpulkan harta tersebut. Kemudian dia memanggil seluruh
pembesar agama dan kerajaannya serta berkata, “Aku akan keluar untuk
suatu urusan yang telah diputuskan untuk aku laksanakan dengan sepasukan
prajurit pilihan. Kalau aku kembali ke tengah-tengah kalian sebelum
satu tahun, maka aku tetap raja kalian. Kalau aku tidak kembali dalam
waktu tersebut, kalian boleh pilih, tetap mengakuiku sebagai raja atau
mengangkat salah seorang dari kalian sebagai pengganti raja buat
kalian.”
Mereka mengatakan, “Anda tetap raja kami dalam keadaan bagaimanapun.”
Akhirnya Kaisar berhasil keluar dan dengan cepat menuju kerajaan Persia. Dengan gerakan cepat bersama beberapa prajurit pilihannya, dia berhasil menghancurkan beberapa wilayah kerajaan Persia seperti Mada’in. Bahkan berhasil membunuh putra mahkota Persia, menawan para wanita dan istri-istri raja, merampas harta benda yang ada dan mengirimkan semua itu kepada Kisra. Tentu saja Kisra Persia yang menerimanya sangat terkejut dan berduka. Tekanannya terhadap pengepungan itu pun semakin keras.
Akhirnya Kaisar berhasil keluar dan dengan cepat menuju kerajaan Persia. Dengan gerakan cepat bersama beberapa prajurit pilihannya, dia berhasil menghancurkan beberapa wilayah kerajaan Persia seperti Mada’in. Bahkan berhasil membunuh putra mahkota Persia, menawan para wanita dan istri-istri raja, merampas harta benda yang ada dan mengirimkan semua itu kepada Kisra. Tentu saja Kisra Persia yang menerimanya sangat terkejut dan berduka. Tekanannya terhadap pengepungan itu pun semakin keras.
Setelah merasa tidak sanggup menembus
pertahanan Kaisar, Kisra Persia mencoba jalan lain melalui sungai Jaihun
yang merupakan satu-satunya jalan menuju ke Konstantinopel.
Ketika hal ini diketahui Kaisar yang
hendak memasuki Konstantinopel, ia pun melancarkan satu taktik jitu yang
belum pernah dilakukan siapa pun sebelumnya. Dia mempersiapkan pasukan
pengintai yang bersamanya di dekat alur sungai. Pasukan lain
diperintahkannya untuk mengangkut jerami dan kotoran hewan kemudian
dilemparkan ke sungai. Ketika benda-benda itu melewati Kisra, dia
menyangka bahwa Kaisar dan pasukannya telah menyelam di arah depan, maka
dia pun memerintahkan untuk mengejar.
Kaisar kemudian tiba di tengah-tengah
pasukan induknya dan memerintahkan untuk bergegas dan menyelam. Mereka
pun menyelam dan bergerak cepat. Akhirnya mereka lolos dari Kisra dan
pasukannya, serta berhasil masuk Konstantinopel kembali. Tinggallah
Kisra dalam keadaan penuh kebingungan dan terheran-heran, apa yang
mereka kerjakan? Negeri Kaisar tidak berhasil ditundukkan, malah negeri
sendiri diporak-porandakan oleh Kaisar. Inilah kemenangan Romawi
terhadap kerajaan Persia yang terjadi dalam waktu sekitar sembilan tahun
setelah mereka dikalahkan oleh Persia. Peristiwa pertempuran kedua
negara super power ini terjadi di dekat wilayah jazirah Arab.
Firman Allah ‘azza wa jalla:
الٓمٓ ١ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ ٣ فِي بِضۡعِ سِنِينَۗ لِلَّهِ ٱلۡأَمۡرُ مِن قَبۡلُ وَمِنۢ بَعۡدُۚ وَيَوۡمَئِذٖ يَفۡرَحُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٤ بِنَصۡرِ ٱللَّهِۚ يَنصُرُ مَن يَشَآءُۖ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ ٥
“Alif Laam Miim.
Telah dikalahkan bangsa Rum, di negeri terdekat dan sesudah dikalahkan
itu mereka akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah segala
urusan sebelum dan sesudahnya. Dan pada hari itu kaum mukminin
bergembira, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (ar-Rum: 1—5)
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, ayat ini turun ketika Raja (Kisra) Persia Sabur menguasai
negeri Syam dan koloninya yang meliputi beberapa wilayah di jazirah Arab
serta pedalaman negeri Romawi. Hal ini memaksa Heraklius, Raja Romawi
menyingkir dan berlindung di Konstantinopel. (at-Tafsir, 3/512)
Al-Imam Ahmad, al-Baihaqi, at-Tirmidzi, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini, dia mengatakan,
“Mereka (Romawi) dikalahkan dan
(kemudian) mengalahkan. Kaum musyrikin sangat senang apabila orang-orang
Persia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi, karena Persia dan
mereka sama-sama penyembah berhala. Sedangkan kaum muslimin menginginkan
agar bangsa Romawi yang menaklukkan Persia karena mereka adalah
orang-orang ahli kitab.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dari Niyar bin Mukarram al-Aslami radhiallahu ‘anhu
dia mengatakan, “Ketika turun ayat-ayat ini, bangsa Persia berhasil
mengalahkan bangsa Romawi. Kaum muslimin sangat menginginkan kemenangan
ada di pihak Romawi, karena mereka ahlul kitab. Sedangkan kaum musyrikin
sangat gembira dengan kemenangan Persia ini, karena mereka bukan ahli
kitab dan tidak pula beriman dengan hari kemudian. Tatkala ayat ini
turun, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu membacakannya dengan lantang.”
Sebagian orang Quraisy yang mengetahui
ini menantang, “Baik. Ini kesepakatan di antara kita. Temanmu itu
menyangka bahwa Romawi akan mengalahkan Persia dalam waktu beberapa
tahun. Maukah kamu, kita bertaruh masalah ini?”
Abu Bakr menjawab, “Boleh.”
Pertaruhan ini terjadi sebelum perkara
ini dilarang. Orang-orang musyrik itu berkata kepada Abu Bakr, “Berapa
tahun kita tetapkan? Yakni antara tiga sampai sembilan tahun. Sebutkan
supaya kita jadikan putusan akhir.”
Kemudian mereka menetapkan waktu enam tahun.
Setelah berlalu enam tahun, belum juga tampak kemenangan itu, akhirnya taruhan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu diambil oleh Quraisy. Namun masuk tahun ketujuh, terjadilah kemenangan itu. Disebutkan oleh perawi bahwa sebagian kaum muslimin mencela Abu Bakr radhiallahu ‘anhu yang membatasi hanya enam tahun, karena Allah ‘azza wa jalla menyatakan:
Setelah berlalu enam tahun, belum juga tampak kemenangan itu, akhirnya taruhan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu diambil oleh Quraisy. Namun masuk tahun ketujuh, terjadilah kemenangan itu. Disebutkan oleh perawi bahwa sebagian kaum muslimin mencela Abu Bakr radhiallahu ‘anhu yang membatasi hanya enam tahun, karena Allah ‘azza wa jalla menyatakan:
فِي بِضۡعِ سِنِينَۗ
“Dalam beberapa tahun.” (ar-Rum: 4)
Ketika itu, banyaklah orang yang masuk Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
أَمَا إِنَّهُمْ سَيَغْلِبُونَ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mereka akan menang.”
Berita ini segera disampaikan oleh Abu Bakr radhiallahu ‘anhu
kepada orang-orang Quraisy. Lalu mereka pun berkata, “Buatlah
kesepakatan di antara kita dengan satu tempo. Kalau kami yang menang
kami berhak mendapatkan sesuatu. Dan kalau kalian yang menang kalian
berhak mendapatkan sesuatu pula.”
Maka Abu Bakr radhiallahu ‘anhu
memberikan batasan bahwa Romawi akan menang dalam waktu lima tahun,
namun ternyata belum juga terbukti. Hal ini juga beliau sampaikan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
أَلَا جَعَلْتَهَا إِلَى دُونِ –أَرَاهُ قَالَ: الْعَشْرِ
“Apakah tidak engkau jadikan sampai masa di bawah—saya kira beliau menyebut— 10 tahun.”
Sa’id bin Jubair mengatakan الْبِضْعُ
artinya bilangan yang ada di bawah sepuluh. Dan memang akhirnya pasukan
Romawi menang. (Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, wallahu a’lam).
Sebagian ulama ada yang menyebutkan
bahwa kemenangan Romawi tersebut terjadi bertepatan dengan peristiwa
Badr al-Kubra. Ada pula yang menyatakan hal itu pada masa Hudaibiyah. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Sumber bacaan:
- Tafsir Ibnu Katsir (jilid 3), Ibnu Katsir
- Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
- Shahih as-Sirah an-Nabawiyyah, asy-Syaikh al-Albani
- Mukhtashar Siratur Rasul, asy-Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab

Hizbullah dan Hizbu Syaithan Perseteruan Tiada Akhir
Kebenaran dan kejahatan adalah dua
kubu yang tidak mungkin bersatu. Kebenaran didukung oleh Allah ‘azza wa
jalla sedangkan kejahatan didukung oleh setan dan pasukannya. Siapa yang
mendukung setan maka dia menjadi musuh Allah ‘azza wa jalla dan dia
tidak mungkin meraih kemenangan.

Doa Pergi ke Masjid
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُوْراً، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَفِي سَمْعِيْ
نُوْرًا، وَفِي بَصَرِي نَوْرًا، وَمِنْ فَوْقِي نُوْرًا، وَمِنْ َتْحْتِي
نُوْرًا، وَعَنْ يَمِيْنِي نُوْرًا، وَعَنْ شِمَالِي نُوْرًا، وَمِنْ
أَمَامِي نُوْراً، وَمِنْ خَلْفِيْ نُوْراً، وَاجْعَلْ فيِ نَفْسِي
نُوْراً، وَأَعْظِمْ لِي نُوْرًا، وَعَظِّمْ لِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ لِيْ
نُوْراً، وَاجْعَلْنِيْ نُوْرًا، اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ
فِيْ عَصَبِي نُوْرًا، وَفِي لَحْمِيْ نُوْرًا، وَفِي شَعْرِي نُوْرًا،
وَفِي بَشَرِيْ نُوْرًا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam
hatiku, cahaya pada lisanku, cahaya pada pendengaranku, cahaya pada
penglihatanku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, cahaya di kananku,
cahaya di kiriku, cahaya di depanku, dan cahaya di belakangku.
Jadikanlah pada diriku cahaya, besarkanlah untukku cahayanya,
besarkanlah cahayaku, jadikanlah untukku cahaya, jadikanlah aku cahaya.
Ya Allah, berikanlah aku cahaya, jadikanlah pada otakku cahaya,
jadikanlah dalam dagingku cahaya, dalam darahku cahaya, dalam rambutku
cahaya, dan dalam kulitku cahaya!” (HR. al-Bukhari 2/116 no. 6316 dan Muslim 1/526, 529, 530 no. 763)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah—menukil perkataan para ulama—berkata, “Rasulullah n meminta cahaya kepada Allah subhanahu wa ta’ala
untuk seluruh anggota badannya dan seluruh arah. Maksudnya adalah minta
ditunjuki kepada kebenaran, keterangan, dan cahaya kebenaran. Sehingga
beliau meminta cahaya untuk badan, perbuatan, segala keadaan, dan arah
yang enam sehingga beliau tidak menyimpang sedikit pun dari kebenaran.” (Syarh Shahih Muslim, al-Imam an-Nawawi, 5/45)
Karamah Hanya Milik Allah
Bagi sebagian masyarakat, wali identik
dengan karamah (dibaca: karomah). Wali yang tidak memiliki karamah akan
diragukan kewaliannya, meski dalam pandangan syariat ia adalah
benar-benar wali Allah ‘azza wa jalla.

Kurma Tak Sekedar Hidangan Berbuka Puasa
Kurma tak semata hidangan buka
puasa. Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari buah yang mudah
dijumpai karena tak mengenal musim ini. Kandungan kaliumnya yang tinggi,
menjadikan kurma ampuh untuk mencegah stroke.

Meluruskan Makna Wali Allah dan Mengenal Wali Syaithan
Di masyarakat, wali adalah gelar yang
memiliki prestise tinggi. Orang yang dianggap sudah mencapai derajat
wali, segala tindakan dan ucapannya bak titah raja, harus diterima dan
dilaksanakan meski tak jarang melanggar syariat. Mestinya keadaan ini
tidak terjadi bila masyarakat paham bahwa tidak semua orang yang
dianggap sebagai wali adalah wali Allah ‘azza wa jalla.

Khawarij, Kelompok Sesat Pertama dalam Islam
Laa hukma illa lillah (tiada
hukum kecuali untuk Allah ‘azza wa jalla). Kata-kata ini haq adanya,
karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian
ditafsirkan menyimpang dari pemahaman as-salafush shalih, kebatilanlah
yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok
sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengafirkan bahkan
menumpahkan darah kaum muslimin.

Takut Kepada Allah
Abu ‘Ubaidah radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah, berapa banyak orang memutihkan baju tetapi mengotori agama. Ketahuilah berapa banyak manusia memuliakan diri sendiri padahal ia hina. Gantilah amal-amal jelek yang telah lewat dengan amal-amal baik sekarang!” (Siyar A’lamin Nubala, 1/18)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berpesan, “Kalian dalam perjalanan malam dan siang, umur-umur
berkurang, amal-amal tercatat, serta kematian datang dengan tiba-tiba.
Siapa yang menanam kebaikan akan segera menuai kesenangan dan siapa yang
menanam kejelekan akan segera menuai penyesalan. Setiap penanam
mendapatkan apa yang ditanam. Yang telah menjadi bagiannya tidak akan
meleset darinya, dan ketamakan tidak akan meraih apa yang tidak
ditakdirkan. Siapa yang memberi kebaikan maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memberinya kebaikan dan siapa yang menjaga diri dari kejelekan maka Allah subhanahu wa ta’ala
akan menjaganya. Orang-orang bertakwa adalah pemimpin, ahli fiqih
adalah penuntun, dan duduk bersama mereka adalah tambahan (ilmu).” (Siyar A’lamin Nubala, 1/497)
Qubaishah bin Qais al-’Anbari rahimahullah
bertutur, “Adalah adh-Dhahhak bin Muzahim, bila datang waktu sore
selalu menangis. Lalu ia ditanya, ‘Mengapa kamu menangis?’ Ia menjawab,
‘Aku tidak tahu apakah amalku naik (diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala) pada hari ini.’” (Shifatush Shafwah, 4/150)
Al-Qasim bin Muhammad rahimahullah
mengisahkan,”Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak dan banyak
pertanyaan yang terlintas di benakku terhadap dirinya, apa yang
menyebabkan lelaki ini dihormati hingga ia sangat populer di kalangan
manusia? Jika ia shalat, puasa, jihad dan haji; kami juga shalat, puasa,
jihad dan haji. Pada suatu perjalanan menuju Syam pada malam hari, kami
makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampu mati. Seseorang berdiri
mengambil lampu dan menyalakannya. Sejenak ia diam kemudian lampu
menyala. Sesaat kemudian aku melihat wajah Ibnul Mubarak dan janggutnya
basah dengan air mata. Batinku berkata, “Karena rasa takut itulah lelaki
ini dihormati melebihi kami, barangkali ketika lampu dibawa, ia
berjalan menuju kegelapan dan mengingat hari kiamat lalu menangis.” (Shifatush Shafwah, 4/140)
Ibnu Syaudzab rahimahullah, “Ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu wafat, dia (Ibnu Syaudzab rahimahullah)
menangis. Ia ditanya mengapa menangis, ia menjawab, ‘Jauhnya perjalanan
akhirat, sedikitnya bekal, dan perjalanan menanjak. Orang yang jatuh ke
dalamnya bisa jadi jatuh ke dalam surga atau ke dalam neraka.’” (Siyar
A’lamin Nubala, 1/694)
(Dipetik dari Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf, hlm. 17—18)

Doa
َتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian.”
Jubair bin Nufair rahimahullah berkata, “Adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, jika bertemu di hari ‘Ied saling mengucapkan kalimat di atas.” (HR. al-Mukamili, asy-Syaikh al-Albani menyatakan bahwa sanadnya sahih dalam Tamamul Minnah hlm. 355. Lihat juga Fathul Bari, 2/446)
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, memulai kalimat tersebut bukanlah Sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang diperintahkan, namun bukan pula perkara yang dilarang. Sebagian ulama seperti al-Imam ِAhmad rahimahullah membolehkannya, dan jika diucapkan kepada seseorang maka ia wajib menjawab. (Majmu’ Fatawa, 24/214 dan Ahkamul ‘Iedain, hlm. 25)

Orang-orang Yang Tidak Wajib Berpuasa
Islam adalah agama yang
sempurna dan mudah. Meski puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap
muslim, namun dalam keadaan tertentu seseorang diperbolehkan untuk
tidak berpuasa. Berikut penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan
untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.

Shalat Tarawih
Shalat tarawih termasuk ibadah
utama di bulan Ramadhan. Sering kita jumpai kaum muslimin memiliki
perbedaan dalam praktik shalat tarawih ini, utamanya dalam jumlah
rakaat. Uraian berikut insya Allah akan memperjelas mana di antara
perbedaan tersebut yang lebih kuat.

Keutamaan Malam Seribu Bulan
Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah k menamainya dengan Lailatul Qadar, menurut sebagian pendapat, karena pada malam itu Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan ajal, rezeki, dan apa yang terjadi selama satu tahun dari aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Lanjutkan membaca Keutamaan Malam Seribu Bulan

Sahur dan Berbuka
Salah satu kebahagiaan yang dirasakan orang berpuasa adalah saat tiba waktu berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa umatnya senantiasa dalam kebaikan selama mereka selalu menyegerakan berbuka. Sementara untuk makan sahur, yang dianjurkan adalah mengakhirkannya.

Jima’ Saat Puasa Ramadhan
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَينِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لاَ. قَال: ثُمَّ جَلَسَ، فَأَتَى النَّبِيُّ بِعِرْقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: عَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِيُّ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah binasa!”
Rasulullah bertanya, “Apa yang membinasakanmu?”
Orang itu menjawab, “Aku telah menggauli (berjima’, pen.) istriku di siang Ramadhan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Kemudian kata beliau, “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Kemudian kata beliau, “Mampukah engkau memberi makan 60 orang miskin?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Kemudian ia pun duduk dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi satu wadah kurma (sebanyak 60 mud,
pen.) dan beliau berkata, “Shadaqahkan ini.”
Orang itu bertanya, “Kepada yang
lebih fakir dari kami? Sungguh di Kota Madinah ini tiada yang lebih
membutuhkan kurma ini daripada kami.”
Mendengar itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pulanglah dan berikan ini
kepada keluargamu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dalam Kutubus Sittah selain an-Nasa’i (al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah), dari jalan az-Zuhri Muhammad bin Muslim, dari Humaid bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.Dari az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:
- Ibrahim bin Sa’d diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (al-Fath, 9/423).
- Sufyan bin ‘Uyainah diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (al-Fath, 11/604) dan al-Qa’nabi (al-Fath, 11/605). Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan Ibnu Numair (7/224). Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhammad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara at-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan, “Hasan sahih.” (al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).
- Syu’aib bin Abi Hamzah diriwayatkan Bukhari dari jalan Abul Yaman (al-Fath, 4/193).
- Manshur diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (al-Fath, 4/204), sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
- Al-Laits diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Qutaibah (al-Fath, 5/264), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah, dan Muhammad bin Rumh (7/226)
- Ma’mar diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Muhammad bin Mahbub dari Abdul Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227), sementara Abu Dawud dari jalan al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul Ma’bud, 7/16)
- Al-Auza’i diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Muhammad bin Muqatil dari Abdullah (10/568).
- Ibnu Juraij diriwayatkan Muslim dari jalan Muhammad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).
- Malik diriwayatkan Abu Dawud dari jalan al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).
Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, dan dalam Kutubus Sittah selain an-Nasa’i, diriwayatkan dari jalan Muhammad bin Ja’far bin az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin az-Zubair dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Dari Muhammad bin Ja’far bin az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:
- Abdurrahman bin Harits, diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhammad bin Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin al-Harits. Dia berkata,
فَيَأْتِي بِعِرْقٍ فِيْهِ عِشْرُونَ صَاعًا
“Beliau membawa satu wadah berisi 20 sha’.” (al-‘Aun, 7/20)
- Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:
b). Yahya bin Sa’id diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair dari Yazid bin Harun (al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad bin Rumh dari al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul Wahhab ats-Tsaqafi (7/228).
Fiqhul (Kandungan) Hadits
- Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhid, dan Ibnu Mulaqqin dalam al-I’lam.
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab Idza Jama’a fi Ramadhan
Al-Imam al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:
وَيُذْكَرُ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ
مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ
صَامَهُ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ
Disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Barang
siapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit
maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia
lakukan.” Demikian pula yang dikatakan Ibnu Mas’ud.
Al-Hafizh berkata, “Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh
Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka
serta disahihkan Ibnu Hazm dari jalan Sufyan ats-Tsauri dan Syu’bah,
keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul
Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:
فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ تَعَالَى لَهُ لَمْ يُقْضَ عَنْهُ وَإِنْ صَامَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa.”
- Lafadz yang dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dengan lafadz, “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Mengapa?” Jawabnya, “Karena aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.”
- Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari apa yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat serta kekhawatiran akan dampak/bahayanya dosa.
- Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa tersebut.
- Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.
- Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja. Ini merupakan mazhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah, demikian diriwayatkan dari asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya. Hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas yang tidak ada celah bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, red.).
- Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama. Yang benar adalah dalam mazhab asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
- Urutan/tingkatan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan, tidak dengan pilihan secara bebas. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama.
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, di mana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi al-Imam asy-Syafi’i, juga mazhab Dawud dan Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’—dia tidak berkewajiban bayar kaffarah—dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran—wajib membayar kaffarah—. Demikian mazhab Malik, al-Imam Ahmad, dan Hanafiyyah. Ada pula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak, tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu al-Imam al-Auza’i rahimahullah.
- Mazhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَك
“Pergi dan berikan ini kepada keluargamu.”
Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, al-Baghawi, Ibnu
Abdil Bar, dan Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahumullah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada
keluarganya karena kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap
dalam tanggungannya dan harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah mazhab
Malik bin Anas radhiallahu ‘anhu.Oleh sebab itu al-Bukhari memberi judul bab:
إِذَا جَامَعَ وَلَـمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهِ فَلْيُكَفِّر
Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar kaffarah.
Kata al-Hafizh rahimahullah, ini menunjukkan bahwa
ketidakmampuan seseorang tidaklah menggugurkan kewajiban membayar
kaffarah, namun hal itu tetap menjadi tanggungannya. (al-Fath, 4/204)- Hadits di atas juga mengajarkan berlemah-lembut kepada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
- Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.
- Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar dan mengajar.
- Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.
- Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.
- Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
- Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
- Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (mengqadha) bagi yang merusak puasanya dengan jima’, dengan alasan puasa yang diwajibkan atasnya belum ia tunaikan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.
Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar utang puasanya. Tetapi bila tidak, tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda. Demikian pendapat al-Auza’i.
Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah adalah lafadz, “Dan puasalah sehari sebagai gantinya” dalam riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Juga disebutkan pada hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar, dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan, dan Muhammad bin Ka’b. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dari keseluruhan jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk membayar puasa memiliki asal (ada benarnya).” (al-Fath, 4/204)
- Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar rahimahullah sengaja dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’, wajib membayar kaffarah. Sementara, beliau mengisyaratkan kelemahan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun sahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan. Tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’. Pembatalan karena jima’ jelas berbeda dengan pembatalan karena makan.
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan bukti. Karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak puasanya.
- Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya oleh al-Imam Abdurrahim bin Husain al-‘Iraqi rahimahullah, yang beliau membahas dan meng-istimbath (mengambil kesimpulan hukum) 1.001 masalah dari satu hadits ini. Ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menuduh bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil, dan sejenisnya, serta tidak mengerti tentang fiqih hadits.
Ditulis oleh al-Ustadz Usamah Mahri
Sumber Bacaan:
- al-I’lam bi Fawa’id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin
- Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfury
- Sunan Ibnu Majah
- ‘Aridhatul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi al-Maliki
- ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq al-Adzimi Abadi
- Fathul Bari, Ibnu Hajar al-’Asqalani
- Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi.

Hal-hal yang diprbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa
- Bersiwak
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
- Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub
- Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah kalian
dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung ketika berwudhu)
kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
- Menggauli istri selain bersetubuh
- Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongan
- Mandi di siang hari
Perbuatan yang Dianjurkan di Bulan Ramadhan
- Memperbanyak shadaqah
- Memperbanyak bacaan Al-Qur’an, zikir, doa, dan shalat
كَانَ رَسُولُ اللهِ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan
lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan
kepadanya Al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari)
- Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa yang memberi makan
orang yang berpuasa maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam
keadaan tidak mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, at-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, ad-Darimi no. 1702, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi).
Wallahul muwaffiq.ditulis oleh al-Ustadz Abu Abdirrahman al-Bugisi

Pembatal Puasa
- Makan dan minum dengan sengaja
وَكُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ
ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى
ٱلَّيۡلِۚ
“Makan dan minumlah hingga jelas bagi
kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian
sempurnakanlah puasa hingga malam.” (al-Baqarah: 187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Jika ia lupa lalu makan dan minum
hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang
memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)
2. Keluar darah haid dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Adalah kami mengalami (haid), maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.
3. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, dan kesepakatan para
ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu
membebaskan budak. Bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara
terus-menerus. Bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin.
Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku
secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami-istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha, dan tidak pula kaffarah.
Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ
“Barang siapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthar mencakup makan, minum, dan bersetubuh. Inilah pendapat
jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
asy-Syaukani rahimahumallah.
4.Berbekam
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. at-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/236, 2370—2371, an-Nasa’i, 2/228, Ibnu Majah no. 1679, dan lainnya)
Hadits ini sahih dan diriwayatkan oleh kurang lebih delapan belas
sahabat serta disahihkan oleh para ulama seperti al-Imam Ahmad,
al-Bukhari, Ibnul Madini, dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat
al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa. Di antaranya:
1.Muntah dengan sengaja
Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah
membatalkan puasa secara mutlak, sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal
puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan
kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقُيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang siapa yang dikalahkan oleh
muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barang siapa yang sengaja
muntah maka hendaklah dia mengqadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, at-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)
Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya al-Bukhari dan
Ahmad. Juga dilemahkan oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.
2.Menggunakan cairan pengganti makanan seperti infus
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:- Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan, maka hal ini membatalkan puasanya. Sebab bila didapatkan sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama dengan nash-nash syariat maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
- Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa. Sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna. Tidak dikatakan makan dan tidak pula minum, serta tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah, 2/130, fatwa asy-Syaikh Bin Baz dalam Fatawa Ramadhan, 2/485, Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah, 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahumullah dalam Haqiqatu ash-Shiyam, 54—60)
3. Onani
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah
membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan
melakukannya, baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧
“Dan (mereka adalah) orang yang
memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita
yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka
barang siapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)
ditulis oleh al-Ustadz Abu Abdirrahman al-Bugisi
Adab-adab Berpuasa
Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُورِ
“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari Salman radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٌ: الْجَمَاعَةُ، وَالثَّرِيدُ، وَالسَّحُورُ
“Berkah ada pada tiga hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. ath-Thabarani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 44)
Disukai untuk mengakhirkan makan sahur, berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma, ia berkata,
Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya, “Berapa jarak antara adzan[1] dan sahur?”
Beliau menjawab, “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Subuh adalah perbuatan bid’ah, karena dalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَذَّنَ بِلَالٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan bagi orang yang ketika adzan
dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum,
diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh
meminumnya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah
seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya)
ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menuntaskan
hajatnya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam al-Jami’ ash-Shahih, 2/418—419)
Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Ibnul Mundzir rahimahullah
berkata, “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah,
dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya, berdasarkan hadits Anas
bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada berkahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, boleh pula dengan yang lain, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَ سَحُورِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, al-Baihaqi, 4/236, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Jika seseorang ragu apakah fajar telah
terbit atau belum, dibolehkan dia makan dan minum hingga dia yakin bahwa
fajar telah terbit. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (al-Baqarah: 187)
As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Pada (ayat ini) terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan
semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian)
tidak mengapa.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hlm. 87)
Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk
menyegerakan berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh
menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun
al-Audi rahimahullah meriwayatkan:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ أَعْجَلُ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأُهُمْ سَحُورًا
“Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bersegera berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. al-Baihaqi, 4/238, dan al-Hafizh Ibnu Hajar mensahihkan sanadnya)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Menyegerakan berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam
matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia
menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah
terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum
mengumandangkan adzan.” (asy-Syarh al-Mumti’)
Berbuka puasa dilakukan dalam keadaan ia
mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa
dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekadar
menduga dengan kegelapan dan semisalnya, bukanlah dalil atas terbenamnya
matahari. Wallahu a’lam.
Menyegerakan buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Menyegerakan buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ
“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang sahih. Lihat Shifat Shaum an-Nabi hlm. 63)
Menyegerakan berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa.” (HR. al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Menyegerakan berbuka puasa juga merupakan perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
“Senantiasa agama ini tampak jelas selama manusia menyegerakan buka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, an-Nasai dalam al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Selain itu, bersegera dalam berbuka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
ثَلَاثٌ
مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيلُ الْإِفْطَارِ، وَتَأْخِيرُ
السَّحُورِ، وَوَضْعِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ
“Tiga hal dari
akhlak kenabian: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ad-Daruquthni, 1/284, dan al-Baihaqi, 2/29)
Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib). Dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ يُفْطِرُ
قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ
فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab (kurma basah)
sebelum shalat (Maghrib). Bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma
kering). Bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, at-Tirmidzi, 3/696, ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang sahih, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah Ta’ala.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, dan al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya.” (HR. al-Bukhari no. 1804)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Abdirrahman al-Bugisi
[1]
Yang dimaksud adalah iqamat, karena terkadang iqamah disebut adzan,
wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu
ketika masuk waktu subuh, sebagaimana akan lebih jelas dalam “Sahur dan Berbuka”.
Posting Komentar