
Kewajiban Taat Kepada Pemerintah
Kewajiban taat kepada pemerintah
merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah
karut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini
menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status
quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana
seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil
maupun yang zalim.

Musuh Dalam Selimut
Globalisasi membuat dunia seakan tanpa
batas. Salah satu ‘hasil’-nya, tayangan-tayangan televisi mengalir
deras mewarnai kehidupan sebagian besar rumah tangga muslim tanpa
terbendung. Ini jelas membawa implikasi serius. Tanpa disadari,
kerusakan akhlak telah menjadi ancaman di depan mata.

Membongkar Kesesatan Syi’ah
Serupa tapi tak sama. Barangkali
ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara
fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah.
Namun jika ditelusuri—terutama dari sisi akidah—perbedaan di antara
keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan.

Kata-kata Mutiara Islam
’Utbah bin Ghazwan mengatakan, “Sesungguhnya, dunia telah mengumumkan kepergian dan keterputusannya. Dia berbalik dengan cepat. Tidak ada yang tersisa selain seukuran air yang tertinggal di dasar gelas yang akan diminum oleh pemiliknya. Sesungguhnya kalian akan berpindah ke satu negeri yang abadi. Berpindahlah dengan membawa barang terbaik yang kalian miliki sekarang. Sungguh telah disebutkan kepada kami bahwa sebuah batu dilempar dari bibir Jahannam lalu melayang jatuh selama tujuh puluh tahun tanpa menyentuh dasarnya.”(Min Washaya as-Salaf hlm. 37—38)
Ali bin Abi Thali berwasiat kepada Kumail bin Ziyad rahimahullah, “Manusia ada tiga golongan:(Min Washaya as-Salaf, hlm. 12—14)
(1) alim rabbani; (2) orang yang belajar di atas jalan keselamatan; dan (3) orang rendahan yang tidak tahu aturan, selalu mengikuti setiap penyeru, condong kemana pun angin bertiup, tidak bisa mengambil penerang dari cahaya ilmu, tidak pula berlindung kepada tiang yang kuat.
Ilmu lebih baik daripada harta karena ia akan menjagamu. Adapun harta, engkau yang menjaganya. Ilmu akan bertambah dengan diamalkan, sedangkan harta akan berkurang ketika dibelanjakan.
Mencintai orang yang berilmu adalah bagian agama.
Ilmu membuat pemiliknya berada dalam ketaatan sepanjang hayatnya, pembicaraan yang baik setelah dia meninggal. Adapun harta, pengaruhnya akan hilang seiring dengan lenyapnya harta itu.
Para penjaga harta seakan-akan mati dalam hidupnya. Adapun orang berilmu akan tetap abadi sepanjang masa ….

Menolak Pinangan Tanpa Alasan
Bagaimana hukum seorang wanita menolak pinangan (khithbah) dari seorang laki-laki tanpa alasan?
08152404xxxx@satelindogsm.com
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah ketika ditanya oleh seorang wanita dengan pertanyaan yang senada dengan pertanyaan di atas, beliau hafizhahullah menjawab,
“Apabila engkau tidak berhasrat untuk menikah dengan seseorang, maka
engkau tidaklah berdosa untuk menolak pinangannya, walaupun ia seorang
laki-laki yang saleh. Karena pernikahan dibangun di atas pilihan untuk
mencari pendamping hidup yang saleh disertai dengan kecenderungan hati
terhadapnya. Namun bila engkau menolaknya dan tidak menyukainya karena
perkara agamanya, sementara dia adalah seorang yang saleh dan berpegang
teguh dengan agama, maka engkau berdosa dalam hal ini karena membenci
seorang mukmin, padahal seorang mukmin harus dicintai karena Allah ‘azza wa jalla.
Engkau juga berdosa karena membenci keteguhannya dalam memegang agama
ini. Akan tetapi baiknya agama laki-laki tersebut dan keridhaanmu akan
kesalehannya tidaklah mengharuskanmu untuk menikah dengannya, selama
tidak ada di hatimu kecenderungan terhadapnya. Wallahu a’lam.” (al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan, 3/226—227, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/706—707)

Shalat Jum’at Bagi Wanita
Bagaimana hukum shalat Jum’at bagi wanita? Apakah khusus bagi laki-laki saja? Mohon penjelasan.
Nurjannah
tri…@pajak.go.id
Jawab:tri…@pajak.go.id
Shalat Jum’at tidaklah wajib bagi wanita menurut kesepakatan ulama, demikian dikatakan Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam Shahih-nya (3/112). Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Adapun wanita, maka tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang tidak wajibnya shalat Jum’at baginya. Ibnul Mundzir menyatakan, ‘Telah bersepakat seluruh ulama yang kami hafal darinya bahwasanya tidak wajib shalat Jum’at bagi kaum wanita’.” (al-Mughni, 2/338)
Yang juga mendukung tidak wajibnya shalat Jum’at bagi wanita adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan keutamaan shalat di rumah bagi wanita dibanding shalatnya di masjid:
صَلاَةُ
إِحْدَاكُنَّ فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا،
وَصَلاتُهَا فِي حُجْرَتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي دَارِهَا،
وَصَلاَتُهَا فِي دَارِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي مَسْجِدِ
قَوْمِِهَا، وَصَلاَتُهَا فِي مَسْجِدِ قَوْمِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا
مَعِي
“Shalat salah seorang dari kalian di
makhda’nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga)
lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar
lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya
lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di
masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 155)
Namun apabila seorang wanita telah mengerjakan shalat Jum’at bersama
imam (di masjid) maka shalatnya sah dan ia tidak perlu lagi mengerjakan
shalat Zhuhur. Demikian yang disepakati oleh ulama sebagaimana
disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (4/495).
Menghadirkan Segenap Hati Dihadapan Ar-Rahman
Saudariku muslimah…
Allah Yang Maharahman telah berfirman dalam tanzil-Nya:
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1—2)
Kata khusyuk ini sering kita dengar
ataupun kita ucapkan namun sulit untuk kita wujudkan, padahal ia
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ibadah kepada Allah Yang
Maharahman, khususnya dalam shalat. Berapa banyak orang yang shalat,
namun tidak ada ruh dalam shalatnya. Jasadnya ruku’ dan sujud, namun
hatinya entah melayang ke mana. Wajar jika nilai shalat setiap orang
tidak sama di hadapan Ar-Rahman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلاَةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلاَّ
عُشُرُهَا، تُسُعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا،
رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا، نِصْفُهَا
“Sesungguhnya
seorang hamba menunaikan shalatnya, namun tidaklah dicatat dari
shalatnya tersebut kecuali hanya sepersepuluhnya, sepersembilannya,
seperdelapannya, sepertujuhnya, seper-enamnya, seperlimanya,
seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.” (HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad yang jayyid/bagus, kata asy-Syaikh al-Albani, dan beliau mensahihkan hadits ini dalam mukadimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, cetakan pertama, hlm. 36)
Banyak kita lihat orang yang shalat namun ia tetap giat dalam maksiat kepada Ar-Rahman, sementara Dia telah berfirman:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُۗ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabut: 45)
Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?
Salah satu penyebabnya adalah hilangnya ruh khusyuk dalam shalatnya. Hatinya tidaklah menghadap sepenuhnya kepada Allah ‘azza wa jalla dan dia tidak mengerti untuk apa dia shalat dan kenapa dia harus shalat.
Keutamaan Khusyuk
Saudariku muslimah…
Allah ‘azza wa jalla dalam Al-Qur’an banyak memuji hamba-hamba-Nya yang khusyuk. Di antaranya:
إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ ٩٠
“Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dalam
keadaan takut dan berharap, dan mereka khusyuk dalam menghadap kepada
Kami.” (al-Anbiya: 90)
وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ ١٠٩
“Dan mereka menyungkur di atas wajah-wajah mereka dalam keadaan mereka menangis, dan mereka bertambah khusyuk.” (al-Isra’: 109)
خَٰشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشۡتَرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ ثَمَنٗا قَلِيلًاۚ
“Mereka khusyuk kepada Allah, mereka tidaklah menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.” (Ali ‘Imran: 199)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji khusyuk yang berbuah tangisan seorang hamba karena takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…”
Lalu beliau menyebut siapa mereka itu. Di antaranya:
“Seseorang yang mengingat Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan sendirian lalu berlinang air matanya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim no. 1031)
Pengertian Khusyuk
Ibnu Rajab rahimahullah berkata
bahwa inti dari khusyuk adalah lembutnya hati, lunak, tenang, tunduk,
dan leburnya hati. Apabila hati ini khusyuk maka akan diikuti dengan
khusyuknya anggota badan. (al-Khusyu’ fish Shalat, hlm. 17)
Khusyuk ini dapat tumbuh karena seorang hamba mengenal Rabb-nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang agung.
Kedudukan Khusyuk di dalam Shalat
Saudariku muslimah…
Ulama berbeda pendapat tentang hukum khusyuk di dalam shalat, ada yang berpendapat wajib, ada yang tidak. Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah
berkata, “Ulama terbagi menjadi dua pendapat tentang khusyuk, apakah ia
termasuk kewajiban shalat atau sebatas keutamaan dan penyempurna
shalat. Yang benar adalah pendapat pertama, yakni khusyuk termasuk
kewajiban yang harus ditunaikan ketika seseorang mengerjakan shalat.
Tempat khusyuk ini di hati dan ia merupakan ilmu pertama yang diangkat
dari manusia. Demikian yang dikatakan ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu….” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/70)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Disunnahkan untuk khusyuk di dalam shalat, tunduk
merendahkan diri dan mentadabburi bacaan shalat beserta zikir-zikirnya
dan segala yang berkaitan dengannya. Disunnahkan pula untuk berpaling
dari memikirkan perkara yang tidak ada kaitannya dengan shalat yang
sedang ditunaikan. Seandainya seseorang di dalam shalatnya memikirkan
perkara lain maka shalatnya tidaklah batal akan tetapi makruh, baik yang
dipikirkan itu perkara yang mubah (dibolehkan) maupun perkara yang
haram.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/35)
Kemudian beliau rahimahullah
membawakan dalil yang menunjukkan tidak batalnya shalat seseorang yang
memikirkan selain perkara shalatnya. Di antaranya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim (no. 127) dalam Shahih keduanya:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ يَتَكَلَّمُوا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam jiwanya selama mereka tidak mengucapkan atau mengerjakannya.”
Juga hadits:
صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ بِالْمَدِيْنَةِ
الْعَصْرَ فَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ مُسْرِعًا فَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ
إِلىَ بَعْضِ حُجَرِ نِسَائِهِ، فَفَزِعَ النَّاسُ مِنْ سُرْعَتِهِ،
فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ فَرَأَى أَنَّهُمْ عَجِبُوا مِنْ سُرْعَتِهِ. فَقَالَ:
ذَكَرْتُ شَيْئًا مِنْ تِبْرٍ عِنْدَنَا، فَكَرِهْتُ أَنْ يَحْبِسَنِي
فأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
“Aku pernah
shalat Ashar di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah
lalu beliau salam, kemudian bangkit dengan segera. Beliau melangkahi
orang-orang yang ada menuju kamar salah satu istrinya. Orang-orang pun
khawatir melihat ketergesaan beliau. Tak lama kemudian beliau keluar
menemui mereka. Beliau melihat keheranan mereka dengan ketergesaan
beliau. Beliau pun bersabda, ‘(Ketika shalat) aku sempat teringat emas
yang ada pada kami, aku tidak suka emas itu menahanku[1] maka aku menyuruh orang untuk membaginya’.” (Sahih HR. al-Bukhari no. 851)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah
menyebutkan beberapa faedah yang bisa diambil dari hadits di atas. Di
antaranya beliau mengatakan, “Memikirkan (sejenak) perkara lain yang
tidak ada kaitannya dengan shalat tatkala sedang mengerjakan shalat
tidaklah merusak shalat tersebut dan tidak pula mengurangi
kesempurnaannya[2].” (Fathul Bari, 2/411)
Pendapat yang dibawakan al-Imam an-Nawawi rahimahullah di atas merupakan pendapat jumhur ulama. Wallahu a‘lam, inilah yang rajih (kuat) dari dua pendapat yang ada.
Saudariku muslimah…
Karena pentingnya kedudukan khusyuk di dalam shalat, banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengandungi anjuran untuk khusyuk. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ الْعَشَاءُ فَابْدَؤُوْا بِالْعَشَاءِ
“Apabila telah dikumandangkan iqamat untuk shalat sementara makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 671, 672, 5465 dan Muslim no. 557)
Ketika datang waktu shalat sementara
makanan telah dihidangkan maka dituntunkan untuk makan terlebih dahulu,
setelah itu mengerjakan shalat. Bila tidak, makanan tadi akan mengganggu
pikiran orang yang sedang shalat sehingga membuatnya tidak khusyuk
dalam shalatnya. Alasan menghilangkan kekhusyukan ini tidak disebutkan
dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dipahami hal ini dari ucapan sebagian sahabat. (Subulus Salam, 1/235)
Jumhur ulama berpendapat perintah untuk
mendahulukan makan malam dalam hadits di atas bukanlah perintah yang
wajib, namun perintah yang sunnah. Mereka kemudian berbeda pendapat
dalam keadaan bagaimana seseorang disunnahkan untuk makan terlebih
dahulu.
Di antara mereka ada yang berpendapat
bila orang tersebut berhajat untuk makan. Pendapat ini yang masyhur di
sisi asy-Syafi‘iyyah.
Di antara mereka ada yang berpendapat
mendahulukan makan malam ini umum, sama saja baik orang itu berhajat
terhadap makanan yang disajikan atau tidak. Ini merupakan pendapat
ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq (Fathul Bari, 2/197). Sama saja baik makanan tersebut dikhawatirkan basi maupun tidak, dan makanan itu ringan maupun tidak. (Subulus Salam, 1/235)
Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ فَلَا يَعْجَلُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ وَإِنْ أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ
“Apabila salah
seorang dari kalian sedang makan maka janganlah ia tergesa-gesa hingga
ia selesai menunaikan kebutuhannya dari makanan tersebut, sekalipun
iqamat untuk shalat telah dikumandangkan.” (HR. al-Bukhari no. 674 dan Muslim no. 559)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah
dalam penjelasannya terhadap hadits di atas, mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan keutamaan khusyuk di dalam shalat lebih dari keutamaan
shalat pada awal waktu.” (Fathul Bari, 2/199)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada
shalat apabila makanan telah dihidangkan serta tidak ada shalat dalam
keadaan seseorang ingin buang air besar dan kecil.” (Sahih, HR. Muslim no. 560)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Hadits-hadits ini menunjukkan dimakruhkannya shalat bagi
seseorang sementara makanan yang ingin disantapnya telah dihidangkan.
Karena hal itu akan menyibukkan hati dan menghilangkan kesempurnaan
khusyuk. Dimakruhkan pula shalat dalam keadaan tengah menahan buang air
kecil dan besar. Termasuk dalam hal ini adalah segala hal yang serupa
dengannya, yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kesempurnaan
khusyuk.” (Syarah Shahih Muslim, 5/46)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha memberitakan:
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى
فِي خَمِيْصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً،
فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: اذْهَبُوْا بِخَمِيْصَتِي هَذَا إِلَى أَبِي
جَهْمٍ وَائْتُوْنِي بِأََنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا
أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan pakaian yang
bergambar. Beliau lantas melihat dengan sekali pandangan ke arah gambar
pakaian tersebut. Ketika selesai shalat, beliau bersabda, ‘Pergilah
kalian membawa pakaianku ini ke Abu Jahm[3] dan berikan untukku pakaian anbijaniyah[4] Abu Jahm, karena pakaian ini menyibukkan (melalaikan) aku dari shalatku tadi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 373, 752, 5817 dan Muslim no. 556)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah
setelah membawakan hadits di atas, menyatakan, “Dalam hadits ini ada
dalil dituntutnya kekhusyukan dalam shalat, menghadapkan hati
sepenuhnya, dan menghilangkan segala perkara yang dapat menyibukkan
pikiran dari amalan shalat yang sedang dilakukan.” (Ahkamul Ah-ham Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/325)

Dipahami pula dari hadits ini akan
makruhnya shalat di atas hamparan/permadani dan sajadah yang penuh
gambar berwarna-warni, serta makruhnya menghiasi masjid dengan
ukiran-ukiran atau yang semisalnya. (Subulus Salam, 1/240)
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Aisyah memiliki tirai tipis yang terbuat dari wol
berwarna-warni. Digunakannya tirai tersebut untuk menutupi sisi
rumahnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah:
أَمِيْطِي عَنَّا قِرَامِكِ هَذَا، فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلاَتِي
“Hilangkan gordenmu ini dari tempat kita, karena gambar-gambarnya terus menerus menganggu (menghalangi kekhusyukan) shalatku.” (Sahih HR. al-Bukhari no. 374, 5959)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang menoleh di dalam shalat tanpa ada keperluan[5], maka beliau bersabda:
“Menoleh itu adalah sambaran yang dilakukan dengan cepat oleh setan dari shalat seorang hamba.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 287)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
menyatakan, disunnahkan menundukkan pandangan ketika sedang shalat dari
perkara yang dapat melalaikan dan pandangan tersebut hanya diarahkan
sebatas apa yang ada di hadapan mata, sehingga dimakruhkan untuk menoleh
ke arah lain. (al-Majmu’, 3/275)
Ketika hari sangat panas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan untuk menunda shalat Dhuhur sampai agak dingin (Sahih, HR. al-Bukhari no. 533, 534), tujuannya juga untuk menjaga kekhusyukan. Sebagaimana dikatakan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,
“Shalat ketika hari sangat panas akan menghalangi seseorang dari
khusyuk dan dari menghadirkan hatinya, dia akan melakukan ibadah dengan
enggan dan gelisah. Karena itulah termasuk hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat Dhuhur sampai
suhu tidak begitu panas. Dengan begitu seorang hamba dapat melaksanakan
shalat dengan menghadirkan hatinya sehingga tercapailah maksud dari
shalatnya itu berupa kekhusyukan dan menghadapkan hati kepada Allah ‘azza wa jalla.” (al-Wabilush Shayyib, hlm. 16)
(Fatawa asy-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin, 2/898, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/578)
CARA UNTUK KHUSYUK
Saudariku muslimah…
Setelah kita mengetahui arti pentingnya
khusyuk, mungkin timbul pertanyaan di benak kita bagaimana cara
menghadirkan khusyuk di dalam shalat? Dalam permasalahan ini, ulama kita
memberikan beberapa bimbingan. Di antaranya:
- Meminta perlindungan (isti‘adzah) kepada Allah ‘azza wa jalla dari gangguan dan godaan setan.
- Meletakkan sutrah (pembatas) dan memandang hanya ke tempat sujud.
- Mengosongkan hati dari kesibukan-kesibukan lainnya. Bila terlintas pikiran lain di benak kita, maka segera ditampik dan tidak diindahkan. Bila ada kesibukan atau keinginan maka segera dituntaskan sebelum shalat, seperti bila lapar maka makan terlebih dahulu, bila hendak buang air maka segera ditunaikan, dsb.
- Berupaya menghadirkan hati dan terus mengingat-ingat bahwa sekarang kita sedang berdiri di hadapan Raja Diraja (Malikul Mulk) Yang Maha Mengetahui segala perkara yang tersembunyi, baik yang samar maupun rahasia dari orang yang sedang bermunajat kepada-Nya, dan kita terus mengingat bahwasanya amalan shalat ini nantinya (di hari akhir) akan ditampakkan kepada kita.
- Menenangkan anggota badan dengan tidak melakukan sesuatu perkara yang dapat mengganggu kekhusyukan, seperti memilin-milin rambut, menggerak-gerakkan cincin, dsb.
- Berusaha memahami, merenung-kan, memerhatikan, dan memikirkan bacaan-bacaan shalat dan zikir-zikirnya, karena yang demikian itu akan menyempurnakan kekhusyukan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 19/118, Taisirul ‘Allam, 1/292)
Khusyuk yang Tercela
Di antara sifat khusyuk ini ada khusyuk yang tercela. Menurut al-Imam al-Qurthubi rahimahullah,
khusyuk yang tercela adalah khusyuk yang dibuat-buat dan dipaksakan.
Ketika shalat di hadapan manusia, ia memaksakan diri untuk khusyuk
dengan menundukkan kepalanya dan berpura-pura menangis, sebagaimana hal
ini banyak diperbuat oleh orang-orang bodoh. Ini jelas merupakan tipu
daya setan terhadap anak manusia. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 19/119)
Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla
agar menganugerahkan kepada kita kekhusyukan hati tatkala bermunajat
kepada-Nya dan kita berlindung kepada-Nya dari khusyuk yang tercela.
Amin…
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Yakni menyibukkan aku dari mengarahkan dan menghadapkan diri kepada Allah ázza wa jalla karena memikirkannya. (Fathul Bari, 2/411)
[2] Dan pikiran ini tidak terus diikuti namun segera dihalau untuk kembali menghadapkan hati kepada shalat yang sedang dikerjakan.
[3] Karena Abu Jahm-lah yang menghadiahkan pakaian tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4] Anbijaniyah adalah pakaian yang tebal yang tidak bergambar. Ibnu Baththal mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meminta ganti dari Abu Jahm pakaian yang selain itu untuk
memberitahukan kepadanya bahwa beliau tidaklah menolak hadiahnya karena
meremehkannya.” (Fathul Bari, 1/604)
[5] Adapun menoleh karena ada keperluan maka dibolehkan seperti yang pernah dilakukan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pergi ke tempat Bani ‘Amr bin Auf untuk mendamaikan perkara di antara
mereka. Tibalah waktu shalat maka muadzin mendatangi Abu Bakr seraya
berkata, “Apakah engkau mau mengimami manusia? Bila mau, aku akan
menyerukan iqamat.” Abu Bakr menjawab, “Ya.” Maka majulah Abu Bakr
sebagai imam. Ketika mereka sedang shalat, datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu masuk ke dalam shaf hingga berdiri di shaf yang pertama.
Orang-orang yang menyadari kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
segera memberi isyarat kepada Abu Bakr dengan menepuk tangan mereka.
Sementara Abu Bakr tidak menoleh dalam shalatnya. Namun ketika semakin
banyak orang yang memberi isyarat, ia pun menoleh dan melihat keberadaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah kemudian
memberi isyarat kepada Abu Bakr agar tetap di tempatnya…” Demikian
seterusnya dari hadits yang panjang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari no.
684.

Zainab Bintu Jahsy
Terasa berat baginya kala itu
menerima keputusan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Wanita bangsawan harus bersanding dengan seorang bekas sahaya. Namun,
segala keinginan dan kegundahan ditepisnya di hadapan Allah subhanahu wa
ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menggiring
keindahan hidup di sisi utusan Rabb-nya.

Berawal dari Pandangan Mata
“Pandangan mata” ternyata bukan
perkara remeh. Darinya, bisa muncul berbagai macam bahaya atau kejelekan
bagi yang dipandang. Sekilas memang tak masuk akal, namun banyak
kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Padamnya Rasa Cemburu
Cemburu, asal tidak berlebihan,
merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki pasangan
suami-istri. Sayangnya, kerusakan moral atas nama modernitas telah
mengikis rasa cemburu itu. Walhasil, pintu perselingkuhan pun terbuka
lebar hingga berujung pada runtuhnya bangunan rumah tangga.
Banyak kita jumpai fenomena di mana
seorang suami tidak lagi merasa berat hati bila melihat istrinya keluar
rumah berdandan lengkap dengan beraneka polesan make-up di wajah. Sang
istri datang ke pesta, ke pusat perbelanjaan, ataupun ke tempat kerja
hanya dengan pakaian ‘sekadarnya’ yang menampakkan auratnya. Tak cuma
itu, keluarnya istri dari rumah pun seringkali hanya ditemani sopir
pribadinya.
Hati suami seakan tak tergerak. Darahnya
pun seolah tidak mendidih melihat semua itu. Justru terselip rasa
bangga bila istrinya dapat tampil cantik di hadapan banyak orang.
Parahnya lagi, dia tetap merasa tenang ketika ada lelaki lain yang
mendekati istrinya dan berbicara dengan nada akrab. Bahkan sekali lagi
dia merasa bangga bila lelaki lain itu mengagumi kecantikan istrinya.
Yang ironis, sang suami dengan semua
itu, kemudian memandang dirinya sebagai seorang yang berpikiran maju,
moderat, penuh pengertian, dan mengikuti perkembangan zaman. Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un.
Kebobrokan akhlak yang sangat parah pun menimpa, tatkala ghirah itu hilang… tatkala bara cemburu itu padam… Seorang suami tidak lagi memiliki ghirah
terhadap istrinya. Tidak ada rasa cemburu yang membuat dia menjaga
istri dengan baik. Menyimpannya dalam istana yang mulia agar tidak
terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tidak halal… Tidak ada
lagi rasa cemburu di hatinya yang dapat mendorongnya untuk menjaga
istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar tidak melakukan pelanggaran akhlak dan moral. Bahkan, dia sendiri terjerembab, jatuh dalam jurang kenistaan.
Ghirah yang Hilang
Bila kita bandingkan kenyataan yang kita
dapati pada hari ini dan kisah masa lalu, maka yang terucap hanyalah
kata rindu. Rindu kepada masa lalu. Betapa orang-orang dahulu begitu
menjaga wanita mereka. Tidak mereka biarkan wanita mereka terlihat oleh
mata-mata yang tidak halal, apalagi terkena sentuhan. Merupakan suatu
aib bagi mereka bila wanita keluar rumah tanpa memakai kain penutup
seluruh tubuhnya. Suatu cela bagi mereka bila ada lelaki lain berbicara
dengan wanita mereka.
Mereka lazimkan wanita untuk mengenakan perhiasan rasa malu dan ‘iffah
(menjaga kehormatan dan harga diri). Perbuatan seperti itu bukan
sekadar tradisi dan budaya suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Namun
demikianlah yang diinginkan dalam syariat agama yang mulia ini. Dengan ghirah ini kemuliaan mereka pun tetap terjaga dan akhlak mereka terpelihara. Namun ketika ghirah
ditanggalkan dan wanita dibiarkan keluar dari rumahnya tanpa rasa malu,
terjadilah apa yang terjadi. Fitnah dan kerusakan moral yang tak
terkira. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh sebelumnya telah memperingatkan:
إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا
فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguhnya
dunia ini manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai pengatur
di dalamnya dengan turun-temurun, lalu Dia melihat bagaimana kalian
berbuat. Maka hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah kalian
dari wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil adalah pada
wanitanya.” (Sahih, HR. Muslim no. 2742)
Zaman memang telah berubah. Mayoritas manusia semakin jauh dari akhlak yang lurus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ وَالَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ
“Tidak datang
kepada kalian suatu zaman kecuali zaman setelahnya lebih jelek darinya
(yakni dari zaman sebelumnya) hingga kalian bertemu dengan Rabb kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7068)
Ghirah Seorang Suami Menurut Tuntunan Islam
Di dalam agama yang mulia ini, seorang
suami dituntut untuk memiliki ghirah atau rasa cemburu kepada istrinya,
sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis
rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ
“Seandainya aku
melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul
laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red.)…”
Mendengar penuturan Sa‘d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau bersabda:
أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu dariku.” (Sahih, HR. al-Bukhari, dalam “Kitab an-Nikah, bab al-Ghairah” dan Muslim no. 1499)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim disebutkan bahwa tatkala turun ayat:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ
“Dan orang-orang
yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat
menghadirkan empat saksi maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak
delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka
selama-lamanya.” (an-Nur: 4)
Sa‘d bin ‘Ubadah mengatakan, “Apakah
demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki
berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku
mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat
saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa‘d, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menjawab, “Wahai
Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat
pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita
pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan
seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk
menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”
Sa’d berkata, “Demi Allah, sungguh aku tahu, wahai Rasulullah, bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/385)
Asma’ bintu Abi Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya,
“Az-Zubair menikahiku dalam keadaan
ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki
apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi
makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon
tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka
tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya. Mereka
adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas
kepalaku dari tanah milik az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya. Jarak tempat tinggalku
dengan tanah tersebut 2/3 farsakh[1].
Suatu hari aku datang dari tanah
az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sekelompok orang
dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya
untuk memboncengkan aku di belakangnya[2].
Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu.
Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali
berjalan hingga menemui az-Zubair. Lalu kuceritakan kepadanya, ‘Tadi aku
berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau
disertai oleh beberapa orang sahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar
aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Bukanlah makna ghirah atau cemburu itu
dengan selalu berprasangka buruk kepada istri sehingga selalu
mengintainya siang dan malam guna mencari-cari kesalahannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
“Jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka karena sebagian prasangka itu dosa….” (al-Hujurat: 12)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
“Hati-hati kalian dari prasangka[3] karena prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563)
Ghirah Menyaring Kejelekan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah
berkata, bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan
sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang
mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki
ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat
dengannya, juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memiliki ghirah terhadap umatnya. Dan ghirah Allah ‘azza wa jalla lebih dibanding beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (ad-Da’u wad Dawa, hlm. 106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ أَحَدَ أَغْيَرَ مِنَ اللهِ، وَلِذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ ما ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
“Tidak ada satu
pun yang lebih ghirah daripada Allah. Karena ghirah-Nya inilah Dia
mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, “Pokok dari agama ini adalah ghirah, maka siapa yang tidak memiliki ghirah berarti ia tidak memiliki agama. Ghirah
ini akan melindungi hati sehingga terlindung pula anggota badan
lainnya. Tertolaklah dengannya segala perbuatan jelek dan keji.
Sementara tidak adanya ghirah menyebabkan matinya hati hingga
anggota badan lainnya pun ikut mati, akibatnya tidak ada penolakan
terhadap perbuatan jelek dan keji.” (ad-Da’u wad Dawa, hlm. 109—110)
Awal Runtuhnya Ghirah
Hilangnya ghirah dari lubuk hati seorang insan disebabkan oleh banyak hal. Di antara sebab terbesar yang bisa kita saksikan adalah:
- Kebanyakan mereka berpaling dari mempelajari agama yang agung ini, yang dengannya Allah ‘azza wa jalla memuliakan kita setelah sebelumnya kita hina. Namun ketika nikmat yang agung ini disia-siakan dan manusia enggan mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan agama ini, mereka kembali terpuruk hina-dina di hadapan umat lainnya. Sehingga mereka merasa minder bila tidak mengikuti orang-orang kafir.
Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, mereka terus mengikuti jejak orang-orang kafir tersebut. Dalam
keadaan mereka menyangka bahwa itu adalah peradaban dan kemajuan,
padahal sebenarnya hal itu adalah kehinaan dan kehancuran. Kenyataan
yang demikian ini telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh sebelumnya, beliau bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ
سُنَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوْهُ.
قُلْنا: يَا رَسُوْلَ اللهُ، الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
“Sungguh-sungguh
kalian akan mengikuti sunnah (cara hidup) orang-orang sebelum kalian,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka
masuk ke dalam lubang dhabb (sejenis biawak), kalian pun akan
memasukinya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?”
Beliau menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
- Termasuk perkara yang menyebabkan hilangnya ghirah dalam dada kaum muslimin adalah banyaknya fitnah dan perubahan yang mereka terima, lalu ditelan mentah-mentah oleh hati-hati mereka sehingga menjadi bagian darinya. Akibatnya terbaliklah fitrah mereka. Dalam pandangan mereka, yang mungkar adalah ma‘ruf dan yang ma‘ruf adalah mungkar. Bila ada yang membawakan kebenaran kepada mereka sementara kebenaran itu menyelisihi kebiasaan mereka, maka mereka menganggap hal itu jumud, terbelakang, dan menghambat kemajuan. Membebaskan wanita keluar dari rumahnya dengan segenap keindahannya adalah termasuk kemajuan dalam pikiran kotor mereka.
- Hal lain yang membuat seorang suami menanggalkan ghirah-nya adalah persangkaannya yang keliru. Dia menyangka bahwa rasa malu dan menutup tubuh (berhijab) bagi wanita adalah bagian dari masa lalu, sehingga ketinggalan zaman bila tetap diterapkan di masa modern ini. Ia tidak ingin mengekang istrinya dengan kebiasaan yang sudah usang dimakan zaman. Bahkan ia ingin menunjukkan kepada istrinya dan kepada orang lain bahwa ia adalah seorang laki-laki yang moderat dan selalu mengikuti kemajuan.
- Tenggelam dalam lumpur dosa termasuk salah satu sebab padamnya api ghirah di dalam hati. Hal ini merupakan hukuman atas dosa yang diperbuat. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ad-Da’u wad Dawa, hlm. 106)
Dari penjelasan yang kita dapatkan di atas, pahamlah kita bahwa ghirah dalam batasan yang diperkenankan syariat merupakan sifat yang terpuji. Dengan ghirah ini, seorang laki-laki dapat menjaga istrinya dan mahramnya yang lain dari perbuatan yang melanggar syariat Allah ‘azza wa jalla. Sebaliknya tidak adanya ghirah menyebabkan seorang suami membiarkan istrinya jatuh ke dalam lumpur noda dan dosa. Akibatnya kejelekan dan fitnah pun tersebar…
Betapa butuhnya kita untuk kembali
kepada aturan syariat yang mulia ini. Betapa perlunya kita kembali
menengok ke masa lalu yang sangat menjaga ghirah, masa lalu
yang sarat dengan penerapan ajaran agama yang mulia ini. Dan sungguh ini
adalah senandung kerinduan kepada masa lalu….
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Satu farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
[2] Asma’ memahami demikian dari keadaan yang ditunjukkan pada waktu itu. Namun dimungkinkan pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin agar Asma’ naik ke unta beliau beserta bawaannya sementara beliau akan menaiki unta yang lain. (Fathul Bari, 9/390)
[3] Yang dimaksud dengan prasangka di sini, kata al-Imam an-Nawawi, adalah prasangka yang jelek. (Syarah Shahih Muslim, 16/118)

Al-Qur’an Penyejuk Kalbu
Al-Qur’an mengandung obat segala penyakit kalbu. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ
“Wahai manusia, telah datang kepada kalian pelajaran (mau’izhah) dari Rabb kalian dan penyembuh apa yang ada dalam hati.” (Yunus: 57)
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an ini sesuatu yang merupakan penyembuh dan rahmat buat kaum mukminin.” (al-Isra’: 82)

Hukum Memberi Ucapan Selamat Ulang Tahun
Bagaimana hukumnya mengucapkan selamat ulang tahun, adakah penggantinya yang lebih baik dari ucapan itu?
Rasyid Ariefiandysalafy…@myquran.com
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Berkaitan dengan masalah ini ada dua pembahasan:
Pertama, hukum perayaan ulang tahun itu sendiri.
Kedua, hukum mengucapkan selamat ulang tahun.
Permasalahan pertama telah dibahas oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab al-Qaulul Mufid
(1/382). Beliau mengatakan, “Setiap perkara yang dijadikan ‘ied atau
perayaan berulang setiap pekan atau setiap tahun, dan tidak
disyariatkan, maka itu termasuk perkara bid’ah. Dalil yang menunjukkan
bid’ahnya perayaan hari ulang tahun (kelahiran) adalah bahwa pembuat
syariat ini, yaitu Allah ‘azza wa jalla, yang mewahyukannya kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menetapkan acara aqiqah untuk kelahiran seorang anak dan tidak
menetapkan selain dari itu. Sedangkan kegiatan mereka merayakan
hari-hari tersebut yang berulang setiap pekan atau setiap tahun berarti
menyamakannya dengan hari raya Islam. Padahal tidak ada dalam Islam
kecuali tiga hari raya atau ‘ied yaitu ‘Iedul Fitri, ‘Iedul Adha, dan
‘Iedul Usbu’ (hari raya tiap pekan), yaitu hari Jum’at. Ini bukanlah
perkara adat kebiasaan belaka, karena dilakukan berulang-ulang. Oleh
karena itu, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah dan mendapati kaum Anshar merayakan dua ‘ied, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah
menggantikan bagi kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya,
yaitu ‘Iedul Adha dan ‘Iedul Fitri.”[1]
Padahal kedua hari yang mereka rayakan itu merupakan perkara yang biasa bagi mereka.”
Begitu pula asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah telah berfatwa yang sama, kata beliau, “Tidak boleh mengadakan perayaan maulid, baik hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun (hari kelahiran) selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para al-Khulafa ar-Rasyidin serta yang lainnya dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhum,
tidak pernah mengadakannya. Tidak pula para tabi’in dan tabi’ut tabi’in
yang mengikuti mereka dengan baik dari generasi-generasi yang
mufadhdhalah (dipersaksikan keutamaannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari generasi-generasi yang lainnya). Padahal mereka rahimahumullah
adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang sunnah dan paling
sempurna kecintaan dan mutaba’ah-nya (pengikutannya) terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan kami (agama ini) yang bukan darinya maka tertolak.”[2]
Kemudian asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menyebutkan hadits-hadits lainnya dan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum dalam menjalani kehidupan ini. (Majmu’ al-Fatawa, 1/178—182)
Adapun hukum mengucapkan selamat ulang
tahun, pembahasannya sama dengan permasalahan pertama karena merupakan
bagian dari perayaan. Tidak dibenarkan seseorang untuk turut andil dalam
menyukseskan acara tersebut, seperti membantu menata ruang tempat acara
atau yang lainnya, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla:
وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Bahkan sekadar hadir pun tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla:
وَٱلَّذِينَ لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ
“Dan mereka hamba-hamba Allah yang beriman tidak menyaksikan/menghadiri perkara yang mungkar.” (al-Furqan: 72)
Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua sehingga kita terjaga dari amalan yang tidak diridhai oleh-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1]
HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan yang lainnya, disahihkan Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari (2/442) dan al-Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud no. 1134.
[2] Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah.

Bolehkah Mengunjungi Borobudur?
Apa hukumnya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang merupakan tempat ibadah orang kafir seperti Candi Borobudur dan semisalnya?Rasyid Ariefiandysalafy…@myquran.com
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah.
Ini adalah perbuatan yang di dalamnya terdapat perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat Islam, di antaranya:
- Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢
“Dan barang siapa memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu termasuk ketakwaan hati kepada Allah.” (al-Hajj: 32)
- Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦۗ
“Dan barang
siapa memuliakan perkara-perkara yang memiliki kehormatan di sisi Allah
maka hal itu lebih baik baginya di sisi Rabb-nya.” (al-Hajj: 30)
Allah ‘azza wa jalla memerintahkan dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam sebagai suatu bentuk ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla, dan hal itu lebih baik bagi kita di sisi Allah ‘azza wa jalla.
Sedangkan tempat-tempat itu merupakan syi’ar-syi’ar kekufuran dan
kesyirikan yang diagungkan serta dimuliakan oleh orang-orang kafir
sebagai tandingan terhadap syi’ar-syi’ar Islam. Maka apakah pantas bagi
seorang muslim yang beriman dan bertakwa untuk mengagumi dan
mengunjunginya?
- Bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, dihasankan Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, dan asy-Syaikh al-Albani sebagaimana dalam Jilbabul Mar’ah al-Muslimah, hlm. 203—204, dan juga oleh Syaikhuna al-Wadi’i)
Karena tempat-tempat tersebut merupakan
tempat perayaan atau ‘ied bagi kaum musyrikin, sebagaimana diterangkan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Bahwa setiap
tempat yang dimaksudkan sebagai tempat berkumpul, beribadah, ataupun
selain ibadah, maka itu dinamakan ‘ied atau perayaan.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 300)
Jadi mengunjungi tempat-tempat tersebut
menyerupai perayaan atau ‘ied mereka, apalagi bila waktu berkunjung
tersebut bertepatan dengan waktu ‘ied atau perayaan mereka.
- Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
وَٱلَّذِينَ لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ
“Dan mereka hamba-hamba Allah yang beriman tidak menyaksikan perkara yang mungkar.” (al-Furqan: 72)
Jadi menghadiri/menyaksikan perkara yang
mungkar bukanlah merupakan sifat orang-orang yang beriman. Sementara di
tempat-tempat itu terdapat berbagai macam kemungkaran. Kalaulah tidak
ada kemungkaran lain selain bahwa itu adalah tempat kesyirikan, maka itu
sudah cukup untuk menghalangi hamba Allah ‘azza wa jalla yang beriman dan bertakwa untuk mengunjungi tempat tersebut.
- Bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.
Paling tidak dengan pengingkaran dalam
hati. Adapun mengagumi dan mengunjungi tempat-tempat tersebut merupakan
satu bentuk keridhaan seseorang terhadapnya serta semakin mengokohkan
keberadaan tempat-tempat tersebut sehingga menjatuhkan dia dalam
perbuatan mudahanah, yaitu bermuka manis terhadap kemungkaran, sedangkan
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَدُّواْ لَوۡ تُدۡهِنُ فَيُدۡهِنُونَ ٩
“Mereka kaum
musyrikin berharap jika seandainya kamu (wahai Muhammad) bermudahanah
terhadap mereka, maka mereka pun akan melakukan hal yang sama.” (al-Qalam: 9)
Jadi Allah ‘azza wa jalla
mengingatkan khalil-Nya (kekasih-Nya) yang juga merupakan peringatan
terhadap seluruh umat ini untuk tidak bermuka manis terhadap kaum
musyrikin. Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata
dalam Taisir al-Karimir Rahman ketika menafsirkan ayat ini, “Kamu
setuju dengan sebagian kemungkaran yang ada pada mereka, baik dengan
ucapan, perbuatan, maupun dengan cara diam terhadap perkara yang
semestinya diingkari.”
Wallahu a’lam.

Iman
‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata kepada sahabatnya, “Marilah kita menambah iman!” Lalu mereka berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Hubaib bin Hamasah radhiallahu ‘anhu berucap, “Sesungguhnya iman bertambah dan berkurang.”
Ia ditanya, “Apakah tanda bertambah dan berkurangnya?”
Ia menjawab, “Jika kita mengingat dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka itu tanda bertambahnya keimanan; dan jika kita lalai, lupa, dan menyia-nyiakan waktu, itu pertanda berkurangnya iman.”
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Seluruh keyakinan yang benar adalah keimanan.” (Maksudnya keyakinan yang mendorong amal saleh).
Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata, “Marilah duduk bersamaku untuk beriman (berzikir) sesaat.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah bertutur, “Aku mencari jannah
(surga) dengan keyakinan, lari dari neraka dengan keyakinan, menunaikan
kewajiban dan sabar di atas kebenaran dengan keyakinan.” (maksudnya
dengan iman)
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah
menulis surat kepada ‘Adi bin ‘Adi, “Sesungguhnya iman mempunyai
kewajiban-kewajiban, syariat-syariat, hukum-hukum, dan sunnah-sunnahnya.
Barang siapa menyempurnakan perkara-perkara tersebut maka ia telah
menyempurnakan keimanannya. Dan barang siapa tidak menyempurnakannya
berarti ia belum menyempurnakan keimanannya. Jika aku masih diberi umur
panjang, aku akan menjelaskan masalah ini kepadamu hingga kamu
melaksanakannya. Jika aku mati, maka aku memang tidak bersemangat untuk
bersama kalian.”
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
berkata, “Bila keimanan bersemi dalam hati sesuai dengan tuntunan
syariat niscaya hati rindu terbang ke jannah dan takut dari siksa
neraka.”
Luqman berkata, “Amal tidak mampu tegak kecuali dengan iman. Barang siapa lemah keimanannya, maka lemah amalnya.”
Abdullah bin Ukaim rahimahullah bercerita, “Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berdoa, ‘Ya Allah, tambahkan keimanan, keyakinan, dan pemahamanku’.”
(Dari Fathul Bari karya Ibnu Rajab al-Hanbali, Maktabah Sahab)

Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri
Ghibah atau menggunjing atau
membicarakan aib orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi)
adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara
sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan
telah menghiasi perbuatan ini sehingga tampak indah dan menyenangkan.
Tahukah Anda bahwa Allah ‘azza wa jalla mengibaratkan ghibah dengan
perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?

Nabi Shalih dan Kaum Tsamud
Bangsa Tsamud dapat dikatakan sebagai
bangsa ‘Aad yang kedua. Mereka tinggal di daerah Hijr (sekitar 300 km
utara Madinah arah Jordania) dan sekitarnya. Bangsa ini memiliki
peternakan dan pertanian yang demikian berlimpah. Kenikmatan demi
kenikmatan datang silih berganti. Mereka mampu mengubah bumi yang datar
menjadi istana yang mempunyai hiasan begitu indah. Juga gunung-gunung
cadas menjulang mereka ubah menjadi gedung-gedung yang indah. Namun
mereka tidak mengakui bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah ‘azza wa jalla. Mereka mengingkari itu semua. Yang lebih parah lagi, mereka melakukan peribadatan kepada selain Allah ‘azza wa jalla. Lanjutkan membaca Nabi Shalih dan Kaum Tsamud

Prinsip Yang Tak Pernah Sirna (bagian 1)
Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, ipar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan putra dari sahabat yang mulia ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, menyampaikan kepada kita apa yang dia dengar dari ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Lanjutkan membaca Prinsip Yang Tak Pernah Sirna (bagian 1)

Kebencian Yahudi Terhadap Malaikat Jibril
قُلۡ مَن كَانَ عَدُوّٗا لِّـجِبۡرِيلَ فَإِنَّهُۥ نَزَّلَهُۥ عَلَىٰ قَلۡبِكَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَهُدٗى وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ ٩٧
“Katakanlah,
‘Barang siapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya
(Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa
(kitab-kitab) sebelumnya, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi
orang-orang yang beriman’.” (al-Baqarah: 97)

Jahiliah
Jahiliah terambil dari kata, al-jahl,
yang berarti bodoh. Zaman jahiliah adalah zaman kebodohan. Dalam istilah
syariat, zaman jahiliah adalah kebodohan yang ada pada manusia sebelum
Islam datang, berupa kebodohan terhadap Allah ‘azza wa jalla, para rasul-Nya, dan syariat-Nya. Lanjutkan membaca Jahiliah

Wajibkah membaca Bismillah Saat Mulai Berwudhu?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Apakah mengucapkan tasmiyah (membaca basmalah) itu wajib di dalam berwudhu?” Lanjutkan membaca Wajibkah membaca Bismillah Saat Mulai Berwudhu?
Posting Komentar