
Al-Ilmu
Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah
berkata: “Para ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit.
Bila bintang-bintang itu tampak, maka orang-orang mengambil petunjuk
dengan bintang-bintang itu. Dan bila bintang-bintang itu tidak terlihat
oleh mereka, mereka menjadi bingung.”
Abul Aswad Ad-Duali rahimahullah
berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu. Para raja
adalah hakim atas manusia sedangkan para ulama adalah hakim atas
raja-raja.”
Wahab bin Munabbih rahimahullah
berkata: “Akan lahir dari ilmu: kemuliaan walaupun orangnya hina,
kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan walaupun orangnya jauh,
kekayaan walaupun orangnya fakir, dan kewibawaan walaupun orangnya
tawadhu’.”
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah orang yang kedudukannya berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Mereka adalah para Nabi dan para ulama.”
(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, Ibnu Jamaah Al-Kinani)

Untukmu Para Penuntut Ilmu
Berikut ini adalah nasihat berharga
yang ditinggalkan oleh seorang ‘alim yang mulia yang kini telah tiada.
Keharuman ilmunya yang semerbak tetap dinikmati oleh para penuntut ilmu
yang ingin meraup faedah darinya, asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah
bin Baz, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya.

Shaf Wanita dalam Shalat
Ketika disampaikan kepada asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah
bahwasanya dalam bulan Ramadhan kaum wanita yang ikut hadir shalat
berjamaah di masjid memilih menempati shaf yang akhir. Akan tetapi shaf
wanita yang pertama terpisah jauh dari shaf jamaah pria. Karena
mayoritas wanita menempati shaf akhir ini, sehingga shaf penuh sesak dan
menutup jalan bagi wanita lainnya yang hendak menuju ke shaf pertama.
Mereka melakukan hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir.”
Beliau hafizhahullah memberikan
jawaban terhadap permasalahan di atas dengan mengatakan, “Dalam
permasalahan ini ada perincian. Apabila jamaah wanita (yang ikut hadir
di masjid) shalat tanpa ada pemisah (penutup) antara mereka dengan
jamaah pria maka keadaan mereka sebagaimana ditunjukkan dalam hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang paling akhir.” Karena shaf yang akhir itu jauh dari kaum pria sedangkan shaf yang depan dekat dengan kaum pria.
Adapun bila mereka shalat dengan
diletakkan pemisah/penutup antara mereka dengan pria, maka yang lebih
utama bagi mereka adalah shaf yang terdepan karena hilangnya (tidak
adanya) perkara yang dikhawatirkan, dalam hal ini fitnah antara lawan
jenis. Sehingga keberadaan shaf mereka sama dengan shaf pria, yang
paling depan adalah yang terbaik, selama diletakkan penutup (pemisah)
antara shaf mereka dengan shaf pria. Shaf-shaf wanita wajib diatur
sebagaimana shaf-shaf pria, mereka sempurnakan/penuhi dulu shaf yang
terdepan, baru yang di belakangnya dan demikian seterusnya. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/323—324)
Wallahu a’lam.

Menata Shaf Sunnah Rasulullah yang Terabaikan
Menata shaf dalam shalat merupakan hal
penting saat kita menunaikan shalat berjamaah. Namun sangat
disayangkan, sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mulai
diabaikan bahkan cenderung dilupakan.

Juwariyah Bintu Al-Harits, Kepak Kebebasan Dalam Jalinan Kasih Sayang
Wanita itu memesona setiap pandangan
yang menatapnya, berpadu dengan kemuliaan dalam diri seorang wanita
bangsawan. Di tengah kegundahan kaumnya, dia berikan pula segenap
kebaikan lewat sebuah kebebasan.

Kado Untuk Ayah Bunda
Banyak orang tua yang merasa telah cukup memberikan perhatian kepada anak dengan menuruti segala keinginan mereka. Namun soal pendidikan agama terutama akhlakul karimah, para orang tua cenderung menomorduakannya. Walhasil, anak bukan menjadi anugerah, namun justru menjadi fitnah.

Saat Cemburu Menyapa; bagian ke-1
Cemburu merupakan tabiat wanita. Ini
juga dialami para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak
serta-merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?

Sisa Mani Keluar dari Farji, Membatalkan Wudhu?
Bagaimana hukumnya bila seorang istri saat shalat mengeluarkan sisa mani dari farjinya? Dikarenakan sebelumnya dia berjima’ dengan suaminya. Apakah dia harus membatalkan shalatnya. Dan apakah itu membatalkan wudhu?and…@hotmail.com
Dijawab Oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah. Perlu diketahui bahwa
mani yang keluar dari dzakar (penis) lelaki dan farji (vagina) wanita
dalam keadaan terjaga (bukan mimpi) bentuknya ada dua.
Pertama, yang keluar (karena syahwat, red.) dengan memancar, disertai rasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemahnya badan). Inilah yang dinamakan inzal, seperti yang terjadi saat mencapai puncak hubungan suami istri (orgasme).
Kedua, keluar tanpa disertai sifat-sifat di atas (atau tanpa syahwat, red.).
Menurut pendapat yang rajih (kuat), yang menimbulkan hadats akbar (besar)—disebut janabah—dan mewajibkan mandi adalah bentuk yang pertama. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
Menurut pendapat yang rajih (kuat), yang menimbulkan hadats akbar (besar)—disebut janabah—dan mewajibkan mandi adalah bentuk yang pertama. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ
“Jika kalian junub, maka hendaknya kalian bersuci dengan mandi.” (al-Maidah: 6)
Hal ini dikuatkan dengan hadits ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya:
إِذَا حَذَفْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفاً فَلاَ تَغْتَسِلْ
“Jika kamu memancarkan mani, maka hendaknya kamu mandi karena janabah. Dan jika keluar tanpa memancar maka jangan mandi.” (Hadits ini disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 125)
Adapun mani yang keluar dengan bentuk
yang kedua hanya menimbulkan hadats ashghar (kecil) dan membatalkan
wudhu. Ini adalah mazhab jumhur, seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan
dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahumallah. Adapun pendapat asy-Syafi’i rahimahullah bahwa kedua bentuk ini mewajibkan mandi menurut kami adalah pendapat yang marjuh (lemah). (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/158, karya an-Nawawi, Majmu’ Fatawa, 21/296 dan asy-Syarhul Mumti’, 1/278—279)
Jadi apa yang dialami oleh wanita
sebagaimana pertanyaan di atas, merupakan hadats kecil yang membatalkan
wudhu dan shalat, meskipun yang keluar tersebut mani suaminya yang
tertampung ketika jima’ (berhubungan dengan suaminya). Ini sebagaimana
diriwayatkan dari Jabir bin Zaid radhiallahu ‘anhu, az-Zuhri, Qatadah, al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah, serta dipilih oleh kalangan asy-Syafi’iyyah (para pengikut mazhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah).
Adapun pendapat Ibnu Hazm rahimahullah
yang mengatakan bahwa mani suami yang keluar dari farji istrinya bukan
hadats, merupakan pendapat yang lemah. Karena mani tersebut keluar
melalui farjinya ditambah lagi bahwa tentunya mani tersebut tidak lepas
dari percampuran dengan ruthubah (cairan farji wanita) itu sendiri. Bahkan apabila sang istri pun mengalami inzal
ketika jima’ maka berarti kedua mani tersebut telah bercampur dan
keluar bersama-sama. Hal ini dikatakan oleh sebagian ulama
asy-Syafi’iyyah. (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/172, karya an-Nawawi rahimahullah, Jami’ Ahkamin Nisa, 1/77—78)
Wallahu a’lam.

Angin yang Keluar dari Kemaluan
Apakah termasuk membatalkan wudhu dan shalat apabila keluar angin dari kemaluan setelah melahirkan dan setelah nifas, dan hal itu selalu terjadi ketika itu ruku’ ataupun sujud dalam shalat?Ummu Ubaidurrahman-Poso
Dijawab Oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah. Perlu diketahui bahwa
angin yang keluar dari lubang kemaluan (qubul) bukanlah perkara yang
biasa dan bukan hal yang sering terjadi, berbeda dengan angin yang
keluar dari dubur. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Angin ini terkadang keluar dari lubang kemaluan (qubul) para
wanita. Aku beranggapan tidak akan keluar dari qubul laki-laki, dan
boleh jadi keluar, akan tetapi itu jarang sekali.”
Oleh karena itulah, para ulama berselisih pendapat apakah hal itu membatalkan wudhu atau tidak:
- 1. Mazhab jumhur ulama, di antaranya Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, dan Ahmad, bahwa hal itu membatalkan wudhu dengan dalil-dalil sebagai berikut.
Pertama, hal itu masuk dalam keumuman hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat Muslim dan hadits Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma
yang muttafaqun ‘alaih, tentang orang yang merasakan sesuatu pada
perutnya ketika shalat kemudian dia ragu apakah ada sesuatu yang keluar
atau tidak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْحاً
“Janganlah dia membatalkan shalatnya sampai dia mendengar ada bunyi (angin yang keluar) atau mencium baunya.”
Artinya sampai dia yakin adanya angin
yang keluar meskipun tidak mendengarnya atau mencium baunya. Jadi hadits
ini umum menunjukkan bahwa angin yang keluar melalui salah satu dari
dua lubang kemaluan depan (qubul) dan belakang (dubur) membatalkan
wudhu. Hanya saja yang lazim terjadi adalah dari dubur.
Kedua,
pengkiasan terhadap benda-benda lain yang keluar sebagaimana lazimnya
melalui salah satu lubang kemaluan seperti kencing, berak, keluarnya
madzi, dan yang lainnya. Karena, penyebutan perkara-perkara tersebut
dalam banyak hadits bukanlah sebagai suatu bentuk pengkhususan, akan
tetapi merupakan penyebutan sebagian (contoh) dari segala sesuatu yang
keluar melalui dua lubang kemaluan. Hanya saja konteks ucapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentunya berkaitan dengan perkara-perkara yang umum dan lazim terjadi.
- 2. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.
Wallahu a’lam, yang kami pandang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur. (lihat Sunan at-Tirmidzi dalam penjelasan hadits no. 74, al-Majmu’ karya an-Nawawi rahimahullah, 2/4—8, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd rahimahullah, 1/24—25, asy-Syarhul Mumti’, 1/220)
Namun apabila angin tersebut senantiasa
keluar dari qubul seorang ibu setiap kali ruku’ dan sujud sehingga
merupakan hadats yang terus-menerus, maka dinamakan salasil ar-rih (angin yang keluar terus-menerus). Hukumnya sama dengan salasil al-hadats lain seperti salasil al-baul (air kencing yang keluar terus-menerus), salasil al-madzi (madzi yang keluar terus-menerus), dan yang lainnya. Wanita yang mengalami salasil ar-rih
cukup baginya berwudhu setiap kali hendak melaksanakan shalat fardhu
(wajib) ketika waktu shalat tersebut telah masuk, kemudian dia shalat
dan berusaha menjaga agar tidak berhadats semampunya. Sedangkan angin
yang keluar dari qubulnya di tengah-tengah shalatnya tidak membatalkan
wudhu dan shalatnya, kecuali bila terjadi hadats yang lain seperti angin
yang keluar dari duburnya, maka ini tentunya membatalkan wudhu dan
shalatnya. Namun apabila ada waktu-waktu tertentu yang salasil al-hadats
tersebut reda atau berhenti, maka wajib baginya untuk menanti kemudian
berwudhu dan shalat pada saat-saat tersebut, selama tidak keluar dari
batasan waktu shalat. (Lihat Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, 21/221, asy-Syarhul Mumti’ karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 1/392, terbitan Muassasah Asam)

Akhlak Iblis
Setiap orang bercita-cita untuk
mendapatkan yang terbaik dan yang paling membahagiakan, mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat. Akan tetapi sedikit dari mereka yang
mengetahui jalannya. Seorang pencuri, pezina, dan pemabuk bisa
mengatakan dirinya yang paling bahagia dan tenteram, serta mengklaim
orang lain yang menjaga dirinya dari bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala
sebagai seorang yang sok suci dan bersih, mengklaimnya sebagai seorang
yang kolot dan kuno. Demikianlah hawa nafsu apabila telah mencapai apa
yang diinginkan. Rintangan demi rintangan bukan sebagai badai yang
mengempas bahtera nafsunya. Zikir dan peringatan serta nasihat bukan
lagi sebagai pengetuk gendang telinga dan mata hatinya. Lanjutkan membaca Akhlak Iblis

Hikmah Dakwah Nabi Ibrahim
Dalam berdakwah menghadapi kaumnya,
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam banyak melakukan dialog yang penuh dengan
hikmah dan hujjah, yang bila hati seseorang masih bersih niscaya akan
menerima dakwah beliau. Namun mereka tetap pada kekafirannya, termasuk
ayah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sendiri.

Prinsip Yang Tak Pernah Sirna; bagian 2
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam itu dibangun di atas lima
(tiang ataupun rukun): (yaitu) syahadat laa ilaaha illallah (tidak ada
sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah subhanahu wa
ta’ala) serta Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, haji ke Baitullah, serta puasa Ramadhan.”
Shalat
Shalat secara bahasa maknanya adalah doa. Adapun ditinjau dari pandangan syariat, shalat adalah suatu peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu, diawali dengan takbir, diakhiri dengan salam, dan disertai dengan niat. (asy-Syarhul Mumti’ 2/5, Taisirul ‘Allam 1/109)
Kewajiban shalat ini demikian jelasnya
ditunjukkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin. Dalam hadits di atas disebutkan bahwasanya shalat merupakan
asas bangunan Islam sebagaimana ia juga merupakan tiang agama. Seperti
disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang mulia:
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ
“Pokok dari perkara ini adalah Islam dan tiangnya adalah shalat…” (HR. Ahmad, 5/231, 237 dan selainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz[1])
Oleh karenanya, apabila roboh tiang ini maka bangunan Islam tidak akan bisa berdiri tegak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima perintah shalat langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala saat beliau di-mi’raj-kan ke langit sebelum hijrah ke Madinah. (Fathul Bari, 1/576, Syarah Shahih Muslim, 2/210)
Siapa yang menunaikan amalan agung ini sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai kekhusyukan hati dan anggota badannya, niscaya akan mendapatkan keberuntungan yang dijanjikan dalam ayat Allah subhanahu wa ta’ala:
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢
“Sungguh beruntunglah orang-orang beriman, yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (al-Mu’minun: 1—2)
Sampai pada firman-Nya:
أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ ١٠ ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ١١
“Mereka itulah
orang-orang yang mewarisi, yaitu orang-orang yang berhak untuk menempati
surga Firdaus dan mereka kekal di dalamnya.” (al-Mu’minun: 10—11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
خَمْسُ
صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، مَنْ أَحْسَنَ
وُضُوءَهُنَّ، وَصَلاَّهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ، وَأَتَمَّ رُكُوْعَهُنَّ
وَسُجُوْدَهُنَّ وَخُشُوْعَهُنَّ، كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ
يَغْفِرَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ،
إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Shalat lima
waktu diwajibkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Siapa yang membaguskan
wudhunya guna melaksanakan shalat yang lima ini dan melaksanakannya pada
waktunya, dia sempurnakan ruku’, sujud, dan khusyuknya, maka orang yang
seperti ini akan mendapatkan janji dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk
mendapatkan ampunan-Nya. Namun siapa yang tidak melaksanakan seperti
ketentuan tersebut, dia tidak mendapatkan janji dari Allah subhanahu wa
ta’ala. Bila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka Allah subhanahu
wa ta’ala akan mengampuninya dan bila Allah subhanahu wa ta’ala
berkehendak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengazabnya.” (HR. Abu Dawud no. 361, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam mukadimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 36)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Tidak ada satu ibadah pun dari ibadah-ibadah yang ada setelah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang Allah subhanahu wa ta’ala namakan dengan istilah iman[2] dan dinamakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkannya dengan kufur[3] selain ibadah shalat.” (Mukhtashar Syu’abil Iman, hlm. 52)
Zakat
Secara etimologis, makna zakat adalah
tumbuh berkembang dan penyucian. Makna zakat secara bahasa ini juga
menjadi makna secara syar‘i, karena mengeluarkan zakat merupakan sebab
berkembangnya (bertambahnya) harta, menyucikan jiwa dari kerendahan
sifat bakhil, dan membersihkan diri dari dosa (Fathul Bari, 3/319).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
“Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan diri mereka dan menyucikan mereka dengan zakat tersebut.” (at-Taubah: 103)
Dalam ayat yang mulia di atas, Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan tujuan dikeluarkannya zakat antara lain untuk membersihkan
dan menyucikan jiwa pemilik harta dari sifat bakhil, sekaligus
membersihkan harta yang dimiliki dari kotoran yang menodainya. Ketika
ada seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu apabila seseorang menunaikan zakat dari hartanya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
مَنْ أَدَّى زَكَاةَ مَالِهِ فَقَدْ ذَهَبَ عَنْهُ شَرُّهُ
“Siapa yang menunaikan zakat dari hartanya maka sungguh telah hilang kejelekan harta tersebut.” (HR. ath-Thabarani dan Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam at-Targhib, no. 743)
Selain itu, zakat akan mengokohkan rasa
cinta dan kasih sayang antara orang kaya dengan fakir miskin. Karena
jiwa ini memiliki kecenderungan untuk mencintai orang yang berbuat baik
kepadanya. (Risalatani Mujazatani fiz Zakat wash Shiyam, asy-Syaikh Ibnu Baz, hlm. 6)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabatnya Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Engkau
akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab (Yahudi). Maka
bila engkau telah tiba di tempat mereka, awal pertama yang engkau
dakwahkan adalah agar mereka mau bersaksi Laa Ilaaha illallah dan
Muhammad Rasulullah. Bila mereka menaatimu (mau mengikutimu) dalam
perkara ini, beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah subhanahu wa
ta’ala mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap malam dan siang
hari. Bila mereka menaatimu dalam perkara ini, kabarkanlah bahwasanya
Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil
dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan kepada fakir miskin
mereka….” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1395, 1496, 4347 dan Muslim no. 19)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menekankan kita semua untuk mengeluarkan zakat, bahkan diwajibkan.
Namun tentunya zakat ini dikeluarkan oleh seorang muslim yang mampu dan
memiliki harta yang mencukupi kadar yang telah ditentukan dikeluarkannya
zakat baik berupa hasil bumi, hewan peliharaan, maupun emas dan perak,
serta genap setahun dalam pemilikan.
Haji ke Baitullah
Haji adalah bersengaja menuju ke Baitullah untuk mengerjakan amalan-amalan yang khusus/tertentu. (Fathul Bari, 3/461)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Wajib bagi manusia untuk menunaikan haji karena Allah bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk menempuh jalan ke sana.” (Ali ‘Imran: 97)
Haji ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mukallaf (baligh dan berakal) dan dia seorang yang merdeka (bukan budak) serta memiliki kemampuan (Syarah Shahih Muslim,
8/72). Kewajiban ini harus segera ditunaikan tanpa ditunda oleh seorang
hamba yang memiliki kemampuan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama
seperti al-Imam Ahmad, murid-murid Abu Hanifah, al-Muzani, dan pendapat
yang kuat dari al-Imam Malik. (Nailul Authar, 4/362, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 17/24)
Yang dimaksud mampu di sini adalah
memiliki bekal, kendaraan untuk pulang pergi (kalaupun tidak memiliki
kendaraan namun ia mampu dan memungkinkan untuk berjalan kaki karena
jaraknya yang dekat, maka dia termasuk kategori orang yang mampu),
adanya jaminan bagi orang yang ditinggalkan (yang berada di bawah
tanggungan/tanggung jawabnya), dan aman jiwa beserta hartanya dalam
perjalanan. (Thariqul Wushul, hlm. 154, 167—168)
Kita tahu bahwa masalah kemampuan ini merupakan syarat dalam seluruh ibadah, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
Lalu mengapa dikhususkan penyebutannya dalam permasalahan haji?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Dalam hal ini dikhususkan haji karena umumnya dalam pelaksanaan haji itu adalah kesulitan dan kepayahan serta ketidakmampuan.” (kaset Durus al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Dalam hal ini dikhususkan haji karena umumnya dalam pelaksanaan haji itu adalah kesulitan dan kepayahan serta ketidakmampuan.” (kaset Durus al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Adapun keutamaan haji disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah yang satu
ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa antara keduanya, sedangkan
haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” (HR. al-Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna haji mabrur yang benar dan masyhur adalah haji yang dilakukan tidak bercampur dengan dosa.”
Beliau melanjutkan, “Adapun makna لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
(tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga) maksudnya balasan
bagi yang mengerjakan haji mabrur, tidak dibatasi dengan pengampunan
sebagian dosanya, bahkan pasti ia akan masuk surga. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 9/119)
Puasa Ramadhan
Puasa secara bahasa adalah menahan diri.
Sedangkan dalam pandangan syariat, puasa adalah menahan diri dari
makan, minum, jima’, dan selainnya pada siang hari menurut cara yang
disyariatkan. Konsekuensi dari menahan diri tersebut adalah juga menahan
diri dari perkara laghwi (sia-sia), dari perkataan keji, serta ucapan
yang diharamkan dan dibenci selain keduanya. (Subulus Salam, 2/239)
Sementara perkara-perkara yang
membatalkan puasa seperti makan, minum, dan jima’, tidaklah membatalkan
puasa seseorang kecuali bila terkumpul padanya tiga syarat:
- Orang itu mengetahui bahwa perkara tersebut merupakan pembatal puasa
- Dia ingat ketika melakukannya (tidak dalam keadaan lupa)
- Dia berkeinginan sendiri ketika melakukannya bukan karena dipaksa… (kaset Durus al-Arba’in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Tidak kita ragukan lagi bahwasanya puasa ini merupakan satu kewajiban agama, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
“Wahai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana
diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian
mau bertakwa.” (al-Baqarah: 183)
Dari ayat di atas dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:
Pertama: Kedudukan puasa sangatlah penting yang Allah ‘azza wa jalla juga mewajibkannya kepada umat sebelum kita dan ini menunjukkan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap amalan ini.
Kedua:
Keringanan terhadap umat ini yang kewajiban puasa tidak hanya dibebankan
kepada mereka tetapi juga terhadap umat sebelum mereka.
Ketiga: Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan bahwasanya Dia memberikan kesempurnaan kepada umat ini dalam perkara agama mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan bagi mereka keutamaan-keutamaan yang pernah dimiliki oleh umat sebelum mereka.
Keempat: Hikmah puasa mengantarkan pelakunya untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 74)
Banyak sekali yang kita dapatkan dari keutamaan puasa ini. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1901)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah
berfirman, ‘Seluruh amalan anak Adam untuknya kecuali puasa, maka dia
untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah tameng. Apabila
salah seorang dari kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan
berucap keras (tanpa keperluan). Jika ada seseorang mencelanya atau
memeranginya, hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang puasa’. Demi Dzat
yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang puasa
lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Bagi orang yang berpuasa
mendapatkan dua kegembiraan: apabila berbuka ia bergembira dan apabila
bertemu kelak dengan Tuhannya dia bergembira dengan puasanya (ketika di
dunia).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 1894) disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Ia
meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena-Ku. Puasa itu untuk-Ku
dan Aku yang akan membalasnya, sedangkan satu kebaikan itu
dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat.”
Faedah Hadits
- Islam diibaratkan sebuah bangunan yang tidak akan tegak tanpa tiang-tiangnya.
- Syahadatain, shalat, zakat, puasa, dan haji merupakan pilar-pilar Islam, adapun kewajiban lain merupakan penyempurna bangunan Islam.
- Cabang-cabang iman itu banyak, dalam hadits ini hanya dibatasi lima perkara karena kelima perkara ini merupakan pokok, asas, dan fondasi bangunan Islam.
- Islam itu adalah akidah/keyakinan dan amalan. Maka tidak bermanfaat amal tanpa iman sebagaimana tidak ada wujudnya iman tanpa amal.
- Tidaklah dimaksudkan dari ibadah dalam Islam sekadar model dan bentuknya saja namun yang dimaksudkan adalah tujuannya dan maknanya disertai pengamalannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Sebagaimana dalam ta’liq Syarhu Tsalatsatil Ushul, hlm. 83.
[2] Yang dimaksud al-Baihaqi adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
“Dan Allah tidaklah menyia-nyiakan keimanan kalian.” (al-Baqarah: 143)
Yang dimaksud dengan “keimanan kalian” dalam ayat di atas adalah shalat kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/197)
[3] Yaitu hadits Jabir radhiallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 82) :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran, adalah meninggalkan shalat.”

Hasad Sumber Kesesatan
وَلَمَّا جَآءَهُمۡ كِتَٰبٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٞ لِّمَا مَعَهُمۡ وَكَانُواْ مِن قَبۡلُ يَسۡتَفۡتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِۦۚ فَلَعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ ٨٩
“Dan setelah
datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa-apa yang
ada pada mereka (Taurat), padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
ingkar kepadanya. Maka laknat Allahlah atas orang-orang yang ingkar
tersebut.” (al-Baqarah: 89)

Tata Cara Wudhu Rasulullah (bagian 2)
Dalam edisi yang lalu, telah
dipaparkan tata cara wudhu yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mulai dari niat hingga pembahasan madhmadhah, istinsyaq, dan
istintsar. Dalam edisi ini, kita masih melanjutkan pembahasan yang lalu,
yang dimulai dari mencuci wajah.

Bahaya Laten Penyimpangan Akidah
Bagi seorang muslim, keharusan
memiliki akidah yang benar merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar
lagi. Baginya, kedudukan akidah yang benar seperti kepala bagi jasad. Di
atas akidah yang benar inilah akan dibangun segala amal perbuatannya,
yang nantinya akan menentukan bermanfaat atau tidaknya amalan tersebut
di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Kisah Bai’at Aqobah
Beberapa orang suku Khazraj dari
Madinah ketika melakukan ibadah haji akhirnya bersedia menerima dakwah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelumnya, mereka telah
mendengar dari orang-orang Yahudi bahwa akan datang seorang nabi. Ketika
nabi itu benar-benar datang, mereka pun beriman kepadanya, sementara
orang-orang Yahudi malah mengkufurinya.

Kapan Dibolehkan Memberontak?
Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa memberontak (kudeta) kepada
penguasa adalah tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat-syarat. Lanjutkan membaca Kapan Dibolehkan Memberontak?

Cara Menasehati Penguasa
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah
dalam menyikapi kesalahan-kesalahan penguasa kita harus selalu sabar,
diam, dan menerima sepenuhnya apa yang dilakukan penguasa? Lantas
bagaimana dengan anjuran untuk melakukan ingkarul mungkar dan
memberikan nasihat kepada penguasa, yang notabene keduanya adalah bagian
dari prinsip-prinsip Islam yang tidak mungkin ditinggalkan? Lanjutkan membaca Cara Menasehati Penguasa

Pemberontakan Tidak Akan Membawa Dampak Positif
Hadits-hadits yang telah dijelaskan
sebelumnya mengingatkan kaum muslimin, jika mengharapkan munculnya
penguasa yang baik dan saleh, maka harus menjadi rakyat yang baik dan
saleh. Jalanilah apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan, ikutilah apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sunnahkan, sebarkanlah ilmu, dan anjurkanlah agar manusia beramal
dengannya, baik mereka sebagai penguasa maupun sebagai rakyat jelata.
Niscaya dengan ini, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan apa yang kita harapkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa urusannya sangat dekat.
Emosi dan pemberontakan hanya akan
melahirkan dampak negatif. Selain itu, pemberontakan hanya akan
menghasilkan kekacauan, penjarahan, dan pertumpahan darah. Bahkan yang
diperintahkan kepada kaum muslimin adalah bersabar atas kezaliman
penguasa dan menghadapi gangguan mereka dengan tabah. Karena yang
demikian dapat mencegah timbulnya kerusakan yang lebih besar baik
kerusakan pada agama maupun kerusakan materi, yang terjadi akibat
ketidaksabaran dan pemberontakan.
Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah
berkata, “Adapun keharusan taat kepada mereka walaupun jahat adalah
karena dengan memberontak kepada mereka (justru) akan mengakibatkan
kerusakan yang berlipat ganda lebih daripada kejahatan mereka. Sungguh
dalam kesabaran (terhadap kejahatan mereka), ada penghapusan terhadap
dosa-dosa dan pahala yang berlipat-lipat, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka (yang jahat, pen.)
atas kita karena amalan-amalan kita yang jelek. Sedangkan suatu balasan
adalah sesuai dengan bentuk amalannya. Maka wajib atas kita untuk
bersungguh-sungguh dalam meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bertaubat serta memperbaiki amalan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠
“Dan tidaklah
menimpa kalian suatu musibah kecuali disebabkan perbuatan kalian
sendiri, dan Allah memaafkan banyak (yang lainnya).” (asy-Syura: 30)
Abu Bakr al-Marwadzi rahimahullah berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (al-Imam Ahmad rahimahullah) memerintahkan untuk menahan/mencegah tertumpahnya darah dan mengingkari pemberontakan dengan pengingkaran yang keras.” (Riwayat al-Khallal dalam as-Sunnah dengan sanad yang sahih, hlm. 131, cet. Darur Rayyah ar-Riyadh)
Ditulis oleh al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed

Menyikapi Penguasa Yang Kejam
Catatan sejarah membuktikan,
setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i selalu
melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar
daripada kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana
diamanatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan
yang zalim.
Posting Komentar