
Asy-Syaikh Muqbil Dakwah Di Tengah Basis Syiah
Pengantar
Satu hari pada pengujung tahun 2006, di
Shan’a, ibukota Republik Yaman. Seorang pemuda Indonesia duduk di sebuah
rumah makan menunggu jamuan makan siang dihidangkan. Saat itu,
tiba-tiba seorang warga Yaman duduk di hadapan pemuda tadi dan mengajak
berbincang.
Kala warga Yaman itu mengetahui bahwa
pemuda yang diajak berbincang adalah penuntut ilmu di Dammaj, Sha’dah,
ia langsung menyebut nama Asy-Syaikh Muqbil. “Asy-Syaikh Muqbil pencela
ulama,” katanya seraya menampakkan ketidaksukaan.
Melihat sikap tidak terpuji dari lawan
bicaranya, pemuda Indonesia itu menjawab tegas, “Ya, benar. Asy-Syaikh
Muqbil seorang pencela ulama. Ulama su’ (buruk).” Lanjutkan membaca Asy-Syaikh Muqbil Dakwah Di Tengah Basis Syiah

Surat Pembaca Edisi 109
Bundel Majalah Berlanjut?
Alhamdulillah, Majalah Asy
Syariah telah menerbitkan beberapa edisi bundel. Jika akan terus
tersambung menerbitkan bundel hingga edisi yang terkini (anyar dan
terbaru), apakah Majalah Asy Syariah yang setiap bulannya terbit, akan
tetap diterbitkan? Apakah tidak ada perencanaan untuk dibundel juga, di
edisi per bulan yang terbaru?
08560xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Insya Allah kami akan berusaha
menerbitkan bundel Majalah Asy Syariah. Hanya saja, kami akan
memprioritaskan penerbitan bundel edisi-edisi lama, mengingat edisi
tersebut sudah tidak ada stok sementara pembahasan yang termuat di
dalamnya masih banyak dicari dan diminati.
Salah Simbol
Afwan, koreksi Majalah Asy
Syariah edisi 108 vol.IX/1436 H/2015 pada hlm. 86 pada kalimat, “Hal ini
sebagaimana persaksian Rabbnya…” mengapa di sampingnya tercetak lambang
rahimahullah, bukan azza wa jalla atau yang semisalnya? Atas perhatiannya jazakumullah khairan.
08564xxxxxxx
Salah Kata?
Afwan, sepertinya ada beberapa kata yang salah dalam Asy Syariah edisi 107.
- Hlm. 10, Rubrik Manhaji: “Padahal tahdzir terhadap individu atau kelompok menyimpang yang dilakukan oleh para ulama Ahlus Sunnah yang mulia tiada bertujuan untuk memberi nasihat…”, seharusnya “tiada lain/hanya bertujuan…” dst., agar para pembaca tidak salah paham.
- Hlm. 38, Rubrik Kajian Utama, tertulis “Al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali rahimahullahu”, seharusnya hafizhahullahu.
- Hlm. 56, Rubrik Hadits, tertulis “Muhammad ‘alaihis salam”, seharusnya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam. Wal ‘afwu minkum. Barakallahu fikum. Jazakumullahu khairan.
08536xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Wa antum fajazakumullah khairan. Anda benar, ada kesalahan cetak sebagaimana yang Anda sebutkan.
Harga Bundel Naik?
Afwan, mau tanya, kok bundel Asy Syariah harganya naik banyak ya?
08572xxxxxxx
- Jawaban Redaksi:
Harap dimaklumi. Kami menyesuaikan
harga Bundel Asy Syariah dengan kenaikan biaya cetak yang cukup
signifikan. Oleh karena itu, dengan berat hati kami harus menaikkan
harga jual Bundel tersebut. Barakallahu fikum.

Mengenal Pembaru dari Yaman
Kala itu, dari sebuah desa terpencil
bernama Dammaj, yang berjarak sekitar 250 km dari ibukota Yaman,
terpancar sebuah dakwah yang mampu menyinari sebagian besar wilayah
Yaman. Dengan kondisi Yaman yang dipenuhi orang-orang (Syiah) Rafidhah,
Syi’ah Zaidiyah, Sufi, dan komunis, tentu berdakwah di negara ini bukan
perkara mudah. Apalagi Yaman terhitung sebagai negara miskin, tentu
menambah beban dakwah tersendiri.
Namun, ketika Allah subhanahu wa ta’ala
berkehendak, apa pun bisa terjadi. Di tengah karut-marut keberagamaan
Yaman, muncullah seorang asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i yang
menebar dakwah tauhid, memerangi segala kesyirikan yang bercokol di
negeri tersebut. Membendung laju Sufi dan Syiah dengan dakwah as-Sunnah.
Berawal dari mengajari al-Qur’an kepada
anak-anak di kampungnya yang kecil yang dikelilingi gunung-gunung, pelan
namun pasti, cahaya dakwah asy-Syaikh Muqbil bertebaran ke seantero
Yaman. Setiap beliau mengisi muhadharah (taklim) di kota-kota di Yaman, selalu dihadiri ribuan orang, hingga masjid tidak mampu menampung jumlah yang hadir.
Asy-Syaikh Muqbil memang telah diberikan banyak kelebihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, salah satunya adalah ilmu hadits. Tak heran jika masyarakat Yaman memberi tempat bagi dakwah beliau. Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala
kemudian dengan kesabaran beliau, masyarakat Yaman sedikit-sedikit
mulai meninggalkan kesyirikan dan kemaksiatan yang telah mengakar
menjadi kebiasaan.
Berdirilah kemudian ma’had (pondok
pesantren) Ahlus Sunnah yang pertama dan terbesar di Yaman di desa
Dammaj bernama Darul Hadits. Yang menakjubkan, tidak hanya dari
masyarakat setempat, berdatanganlah para penuntut ilmu dari dari luar
Yaman seperti Saudi Arabia, Indonesia, Mesir, Kuwait, Libia, Aljazair,
Maroko, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Somalia, Belgia, dan
negara-negara lainnya.
Tentu sudah menjadi keniscayaan, para
penentang selalu siap sedia menghadang. Apalagi beliau dikenal berani
dalam mengingkari kemungkaran. Beliau banyak membantah kesesatan
sekaligus menyingkap kedok kelompok-kelompok menyimpang seperti Syi’ah,
Sufi, Ikhwanul Muslimin (baca: Ikhwanul Muflisin), Jum’iyatul Hikmah,
Jum’iyatul Ihsan, atau ‘Ilmaniyun (sekuler) melalui muhadharah atau tulisan dilengkapi dengan pendalilan yang sangat kuat yang teramat sulit dibantah.
Upaya-upaya pembunuhan yang dilakukan
musuh-musuh dakwah untuk menghabisi nyawa asy-Syaikh, bahkan
murid-muridnya, tidak pernah menyurutkan langkah asy-Syaikh dan dakwah
as-Sunnah.
Kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kezuhudan, kesederhanaan, kedermawanan, dan sikap wara’nya, setelah taufik Allah subhanahu wa ta’ala,
menjadi kunci keberhasilan dakwah asy-Syaikh Muqbil di Yaman hingga
mampu menembus belantara paham Syiah dan Sufi yang mengakar di Yaman.
Dakwah beliau begitu menyentuh hingga banyak berpengaruh di hati-hati
manusia. Beliau selalu mengajak untuk beragama dengan menyandarkan diri
kepada dalil yang sahih. Beliau juga mewariskan banyak tulisan dan
nasihat untuk umat. Tak heran jika banyak pujian ulama mengalir ke
pribadi beliau.
“Sesungguhnya
Allah membangkitkan untuk umat ini di setiap ujung seratus tahun orang
yang memperbarui untuk mereka agama mereka.” (HR. Abu Dawud [no. 4291] dan yang lainnya)
Ya, asy-Syaikh Muqbil menjadi pembaru agama di negara yang kemurnian Islamnya telah mulai memudar. Wallahu a’lam.

Waspadai Kemaksiatan!
Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah berkata,
“Tidaklah para hamba memuliakan jiwanya dengan sesuatu (yang lebih baik daripada) ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Tidak pula para hamba menghinakan jiwanya dengan sesuatu (yang lebih
buruk daripada) kemaksiatan kepada-Nya. Cukuplah sebagai pertolongan
Allah subhanahu wa ta’ala kepada seorang mukmin, ketika dia melihat musuhnya melakukan kemaksiatan kepada-Nya.” (Shifatu ash-Shafwah, 2/81)
Urwah ibnu az-Zubair rahimahullah berkata,
“Apabila engkau melihat seseorang
beramal sebuah kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki
saudara-saudara (yakni ada kebaikan-kebaikan lain pada dirinya, -pent.).
Apabila engkau melihatnya melakukan suatu keburukan, ketahui pula bahwa
keburukan itu memiliki saudara-saudara (yakni ada keburukan-keburukan
lain pada dirinya, -pent.). Sebab, sebuah kebaikan akan
menunjukkan pada saudaranya (kebaikan yang lain), sedangkan sebuah
keburukan akan menunjukkan pada saudaranya (keburukan yang lain).” (Shifatu ash-Shafwah, 2/85)

Meminta Surga dan Berlindung dari Neraka
Anas radhiallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘allaihi wa sallam bersabda,
مَا يَسْأَلُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ اللهَ الْجَنَّةَ ثَلَاثًا إِلَّا قَالَتْ الْجَنَّةُ :اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ. وَلَا
اسْتَجَارَ رَجُلٌ مُسْلِمٌ اللهَ مِنَ النَّارِ ثَلَاثًا إِلَّا قَالَتِ النَّارُ: اللَّهُمَّ أَجِرْهُ
“Tidaklah
seorang muslim meminta surga kepada Allah sebanyak tiga kali, melainkan
surga akan berkata, ‘Ya Allah, masukkanlah dia.’ Dan tidaklah seorang
muslim berlindung dari neraka sebanyak tiga kali, melainkan neraka akan
berkata, ‘Ya Allah lindungilah dia’.” (HR. Ahmad juz 2 hlm. 141) Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini sahih. (al-Jami’ ash-Shahih mimma Laisa fi ash-Shahihain juz 2 hlm. 472)

Dia Tidak Riya
Tentang Riya
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
memberikan penjabaran, “Riya adalah seseorang beribadah kepada Rabbnya,
tetapi dia membaguskan ibadahnya saat manusia melihatnya hingga mereka
memujinya dengan berkata, ‘Alangkah rajinnya dia beribadah!’, ‘Bagusnya
ibadahnya!’, dan pujian semisalnya.
Si pelaku riya menginginkan manusia memujinya karena ibadah yang dilakukannya, bukan ingin taqarrub atau mendekatkan diri kepada mereka dengan ibadah tersebut[1]. Dia menginginkan pujian dan penilaian baik dari manusia. Dia beramal untuk Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi tidak ikhlas untuk-Nya.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/262)
Berbicara tentang hukum riya, ada dua perincian.
- Jika riya itu ringan atau sedikit, termasuk syirik ashghar/kecil.
- Jika riya tersebut banyak, sudah termasuk syirik akbar/besar.
Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari terjatuh ke dalamnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
“Tidaklah mereka
diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dalam
keadaan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, condong kepada tauhid dan
meninggalkan kesyirikan….” (al-Bayyinah: 5)
Ayat di atas menunjukkan, kita diperintah untuk ikhlas dalam beribadah. Kita shalat ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Kita berpuasa ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Kita berhaji ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Semuanya harus ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Senantiasa riya dalam beramal hanyalah perilaku munafik. Karena riyalah mereka beramal dari awal sampai akhir.
Adapun orang beriman, mereka beramal kebajikan karena Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi riya bisa mendatangi mereka di tengah-tengah amalan.
Selanjutnya, apakah mereka menghalau
riya tersebut, membenci, dan berusaha menghilangkannya sehingga mereka
selamat ataukah membiarkan dan ridha dengan riya tersebut sehingga
rusaklah amalan mereka.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‘Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang beramal suatu amalan
yang dia menyekutukan-Ku dengan yang lain dalam amalan tersebut, Aku
akan meninggalkannya dan meninggalkan amalannya tersebut’.” (HR. Muslim)
Hadits di atas adalah ancaman bagi orang yang berbuat riya dalam amalannya, yaitu amalannya tidak akan diterima.
Oleh karena itu, hendaknya kita
berhati-hati dan menjaga diri. Jangan sampai kita merasa telah beramal
saleh, ternyata di akhirat kelak kita tidak beroleh apa-apa di sisi
Allah subhanahu wa ta’ala, justru mendapat dosa karena amal kita dikotori oleh noda riya.
Satu hal pula yang perlu kita ingat,
jangan sampai kita meninggalkan beribadah karena takut riya. Setan biasa
mendatangi sebagian orang yang ingin beramal saleh lantas membisikkan,
“Jangan kamu bersedekah, kamu riya ‘kan?”
“Jangan baca al-Qur’an, nanti kamu riya.”
“Jangan shalat sunnah, nanti riya.”
“Sudah, tidak usah bantu orang itu, daripada kamu riya, lebih baik ditinggalkan.”
Mengapa setan membisikkan hal itu? Tujuannya adalah menghalangi manusia beramal saleh.
Karena itu, janganlah kita memberi
kesempatan kepada setan. Tetaplah beramal, baik dalam bentuk bersedekah,
membaca al-Qur’an, shalat, maupun lainnya, dengan tetap berusaha ikhlas
lillahi ta’ala.
Jika setan datang menggoda untuk riya, tolaklah dan mohonlah pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan berbuat seperti itu, setan akan mundur, bi idznillah.
Terkait dengan amalan ibadah, manusia memang dilingkupi dua hal.
- Sebelum dia melakukan ibadah, setan membisikan kepadanya agar dia mengurungkan ibadahnya, “Jangan kamu lakukan amal itu, nanti riya. Kamu ingin orang-orang melihatmu lalu memujimu ‘kan? Sudahlah, tinggalkan amal tersebut!”
- Saat dia mulai beribadah, setan datang lagi untuk menggodanya agar ibadahnya rusak sama sekali atau berkurang pahalanya.
Sebelum dan saat kita sedang beramal,
setan pasti datang menggoda. Tolaklah bisikan setan tersebut. Mohonlah
perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari gangguannya. Teruslah beramal dan jangan memutusnya.
Bahagia setelah Beramal
Ketika seseorang telah selesai melakukan
suatu amal ibadah, dia mendengar ada orang yang memuji dan
menyanjungnya karena ibadah yang telah dilakukannya.
Jawabannya, tidak berbahaya. Sebab,
ibadahnya sudah selesai ditunaikan dalam keadaan selamat dari riya.
Adapun pujian manusia kepadanya setelahnya, hal tersebut adalah kabar
gembira yang disegerakan untuknya asalkan ibadahnya benar-benar telah
selesai ditunaikan.
Bagaimana pula jika seseorang setelah
beribadah timbul rasa bahagia di hatinya dengan ibadahnya tersebut?
Apakah rasa ini teranggap ujub yang membatalkan amalnya?
Jawabannya, tidak membatalkan ibadah yang telah dilakukannya, karena bukan ‘ujub.
‘Ujub adalah merasa kagum
selesai beribadah. Dia merasa kagum dengan dirinya. Dia menganggap
dirinya hebat. Dia merasa telah memberikan anugerah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ibadahnya tersebut sehingga merasa pantas mendapatkan kebaikan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Inilah ujub yang membatalkan amalan, na’udzu billah. Adapun orang yang ditanyakan di atas, tidaklah terbetik di hatinya perasaan tersebut. Dia hanyalah memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan merasa bahagia karena Allah subhanahu wa ta’ala memberinya taufik kepada kebaikan. Dalam sebuah hadits disebutkan,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمنُ.
“Siapa yang kebaikannya membahagiakannya dan kejelekannya menyusahkannya, dia adalah orang yang beriman.” (Dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 6294)
Dianggap Riya, Ternyata Bukan
Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: تِلْكَ عَاجِلُ يُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal satu amalan kebaikan dan manusia memujinya atas amalan tersebut?”
Rasulullah menjawab, “Itu adalah penyegeraan berita gembira bagi si mukmin.” (HR. Muslim)
Hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu ini menjadi dalil bagi masalah yang kita bawakan di atas tentang seseorang yang dipuji oleh manusia setelah dia beramal.
Gambaran hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu ini adalah sebagai berikut. Ada seseorang beramal saleh untuk Allah subhanahu wa ta’ala
tanpa memedul ikan apakah manus ia mengetahui amalannya atau tidak
mengetahuinya, apakah manusia melihatnya atau tidak melihatnya, manusia
mendengarnya atau tidak mendengarnya, sama sekali dia tidak peduli.
Yang ada dalam keinginannya adalah ikhlas beramal karena Allah subhanahu wa ta’ala semata. Setelah beramal, ada orang-orang yang membicarakan amalannya dan memujinya, seperti berkata, “Memang si Fulan itu muslim yang taat,” “Dia banyak melakukan ibadah.”Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, “Itu adalah penyegeraan berita gembira bagi si mukmin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
tidak mengatakannya riya, tetapi berita gembira. Ya, pujian manusia
tersebut adalah berita gembira bagi si mukmin yang telah beramal saleh.
Sebab, jika orang-orang yang beriman memuji seseorang (yang beriman juga) dengan kebaikan, mereka adalah saksi-saksi Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi-Nya.
Tatkala di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum lewat rombongan manusia yang mengusung sebuah jenazah, para sahabat radhiallahu ‘anhum memuji jenazah tersebut dengan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
وَجَبَتْ، وَجَبَتْ، وَجَبَتْ
“Pasti, pasti, pasti.”
Setelah itu, lewat rombongan lain yang membawa jenazah pula. Mereka menyebutnya dengan kejelekan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berkata yang sama,
وَجَبَتْ، وَجَبَتْ، وَجَبَتْ
“Pasti, pasti, pasti.”
Ketika hal ini ditanyakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau menjawab,
مَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَمَنْ أَثْنَيْتُمْ عَلَيهِ شَرًّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ. أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي الْأَرْضِ، أَنْتُمْ شُهََدَاءُ اللهِ فِي الْأَرْضِ، أَنْتُمْ شُهََدَاءُ اللهِ فِي الْأَرْضِ
“Jenazah yang kalian puji dengan kebaikan pasti masuk surga. Jenazah yang kalian sebut dengan kejelekan[2]
pasti masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.
Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi. Kalian adalah saksi-saksi
Allah di muka bumi.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ada dua pendapat ulama tentang makna hadits di atas.
- Pujian kebaikan untuk si jenazah diucapkan oleh orang-orang yang memiliki keutamaan.
Pujian mereka tidak mungkin mengada-ada.
Artinya, memang sesuai dengan perbuatan si jenazah tatkala hidupnya.
Jenazah tersebut termasuk penghuni surga. Jika ternyata amalan jenazah
tersebut tidak sesuai dengan pujian yang ditujukan kepadanya, niscaya
bukanlah dia yang dimaksudkan dalam hadits ini.
- Pendapat yang sahih lagi terpilih, hadits ini berlaku umum dan mutlak.
Maksudnya, setiap muslim yang meninggal dunia lalu Allah subhanahu wa ta’ala ilhamkan kepada kebanyakan manusia untuk memujinya, niscaya itu adalah dalil
bahwa muslim yang meninggal tersebut termasuk penghuni surga.
Sama saja, baik perbuatannya semasa
hidup menunjukkan hal tersebut maupun tidak. Kalaupun perbuatan seorang
muslim ketika hidupnya tidak menunjukkan dia pantas masuk surga, kita
tidak boleh memastikan orang tersebut akan mendapat hukuman, karena dia
tergantung pada kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, apakah Dia berkehendak mengampuninya atau tidak[3].
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala mengilhamkan manusia untuk memujinya, kita mendapatkan bukti dengan hal tersebut bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan untuk mengampuninya. Dengan ini, tampaklah faedah pujian[4]. (al-Minhaj, 7/23)
Apa Bedanya dengan Riya?
Jelas berbeda. Orang yang riya beramal
karena ingin dilihat dan dipuji manusia sehingga dalam niatnya ada
kesyirikan yakni menyertakan yang lain bersama Allah subhanahu wa ta’ala. Dia bangkit berdiri untuk shalat, di awal atau tengah shalat, dia ingin manusia melihat dan mengetahui shalatnya tersebut.
Dia berucap kebaikan, kalimah thayyibah keluar
dari lisannya, membaca al-Qur’an, tetapi dia ingin manusia mendengar
ucapannya tersebut dan memujinya karenanya. Ini adalah riya.
Adapun yang satu ini, niatnya ikhlas lillahi ta’ala,
tidak terlintas di benaknya dia akan dipuji atau dicela oleh manusia.
Namun, ternyata ada manusia yang mengetahui amalannya dan memujinya. Ini
bukanlah riya, melainkan kabar gembira untuknya bahwa dia memang orang
baik.
Sebab, siapa yang dipuji dengan kebaikan oleh manusia, dia pantas menjadi penghuni surga.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Jika tujuannya seperti ini, hukumnya syirik akbar.
[2] Bagaimana mengompromikan penyebutan kejelekan orang mati dalam hadits ini dengan hadits dalam Shahih al-Bukhari dan selainnya yang berisi larangan mencela orang mati?
Jawabannya, an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Larangan mencela orang mati adalah pada selain munafik, orang
kafir, dan orang yang menampakkan kefasikan atau kebid’ahan. Sebab,
orang-orang yang dikecualikan ini tidaklah haram menyebutkan kejelekan
mereka dalam rangka tahdzir/memperingatkan manusia agar tidak mengikuti jalan mereka, tidak meniru jejak mereka, dan tidak berakhlak seperti mereka.
Hadits ini dipahami bahwa jenazah yang
disebut dengan kejelekan itu adalah jenazah yang terkenal dengan
kemunafikan atau semisalnya sebagaimana disebutkan di atas.
Inilah jawaban yang benar tentang
masalah ini, yang dengan tepat menggabungkan hadits ini dengan hadits
lain yang berisi larangan mencela orang yang telah meninggal.” (al-Minhaj, 7/23)
[3] Hal ini terkait dengan dosa besar selain syirik.
Apabila orang yang meninggal tersebut
belum sempat bertobat dari dosa besar selain syirik, menurut pendapat
yang benar, orang tersebut di bawah kehendak Allah. Adapun jika dosa
yang dilakukannya adalah kesyirikan dan dia belum bertobat, pastilah dia
tidak diampuni berdasarkan nash al-Qur’an al-Karim.
[4]
Sebab, kalau pujian kebaikan itu harus ditunjukkan oleh amalan si mayat
ketika hidup dahulu, niscaya pujian tidak ada faedahnya.
Artinya, seseorang yang dahulunya ketika
hidup baik, dia dipuji ataupun tidak, tetap akan beroleh balasan
kebaikan. Sementara itu, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menetapkan adanya faedah pujian tersebut bagi si jenazah dengan ucapan beliau, “Jenazah yang kalian puji dengan kebaikan pasti masuk surga. Jenazah yang kalian sebut dengan kejelekan pasti masuk neraka.”
Terkait pujian terhadap mayat, al-Imam al-Albani rahimahullah
menyatakan bahwa pujian kebaikan untuk mayat dari sekumpulan muslimin
yang jujur, minimal dua orang: dari tetangga si mayat atau orang yang
dekat dengannya dan mengenalinya, yang memiliki kesalehan dan ilmu;
menunjukkan si mayat pantas masuk surga dengan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, dengan dalil hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu di atas dan hadits yang lain.
Adapun ucapan sebagian orang kepada
hadirin setelah shalat jenazah, “Apa yang kalian persaksikan terhadap si
mayat? Persaksikanlah baginya kebaikan!” Hadirin menjawab, “Dia orang
saleh,” “Dia termasuk orang baik.” Ini bukanlah yang dimaukan oleh
hadits di atas. Perbuatan ini adalah bid’ah yang jelek. Sebab, dahulu
salaf tidak pernah melakukannya.
Selain itu, mereka yang mempersaksikan
demikian terhadap si mayat, umumnya tidak mengenali si mayat. Bahkan,
terkadang mereka mempersaksikan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
mereka ketahui dari si mayat, karena semata-mata memenuhi harapan orang
yang meminta persaksian agar mempersaksikan si mayat dengan kebaikan.
Mereka menyangka, hal tersebut bermanfaat bagi si mayat.
Karena kebodohan mereka pula, persaksian
yang bermanfaat hanyalah apabila yang dipersaksikan sesuai dengan
kenyataan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Anas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki para malaikat yang berbicara lewat lisan Bani Adam tentang seseorang, apakah orang itu baik atau buruk.” (Ahkam al-Janaiz wa Bida’uha, hlm. 61-62

Fatwa Seputar Shalat Wanita dan Takziyah
Mengeraskan Bacaan dalam Sholat bagi Wanita
Apakah wanita yang sedang shalat
boleh mengeraskan bacaan dengan suara yang bisa didengar, sementara
shalat yang dikerjakan tersebut bukan shalat jahriyah tetapi shalat
sunnah, shalat rawatib, atau shalat sirriyah. Tujuan si wanita
mentartil/mengeraskan bacaannya adalah agar bisa khusyuk dan tidak lupa,
dalam keadaan di dekatnya tidak ada lelaki dan tidak pula wanita yang
lain?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab,
“Apabila dalam shalat yang dikerjakan pada malam hari, wanita disunnahkan mengeraskan (jahr) bacaan shalatnya, baik shalat tersebut adalah shalat fardhu (Maghrib, Isya, dan termasuk Subuh, -pent.) maupun shalat sunnah, selama suaranya tidak terdengar oleh lelaki ajnabi (nonmahram) yang dikhawatirkan akan tergoda dengan suaranya.
Jadi, apabila si wanita shalat di tempat yang suaranya tidak terdengar oleh lelaki ajnabi dan
shalat yang dikerjakan adalah shalat malam hari, si wanita boleh
mengeraskan bacaannya. Akan tetapi, jika hal tersebut mengganggu orang
lain (mengacaukan bacaan orang lain yang juga sedang shalat -pen.), dia
membaca dengan sirr/perlahan.
Adapun dalam shalat yang dikerjakan siang hari, bacaannya sirr. Sebab, shalat siang hari adalah shalat sirriyah, bacaannya dilafadzkan sebatas bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Tidak disunnahkan mengeraskan bacaan dalam shalat siang hari karena hal tersebut menyelisihi sunnah.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 51)
Wanita Shalat di Rumahnya Setelah Azan atau Setelah Iqamat di Masjid?
Kapan waktunya wanita mengerjakan
shalat di rumahnya? Apakah setelah terdengar azan? Ataukah menunggu
setelah diserukan iqamat (di masjid)?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab,
“Apabila telah masuk waktu shalat, para
wanita yang berada di rumah boleh mengerjakan shalat tanpa harus
menunggu iqamat. Mereka boleh shalat setelah mendengar azan
dikumandangkan, apabila memang muazin menyerukan azan ketika telah masuk
waktunya.
Para wanita diperbolehkan pula menunda
shalat dari awal waktunya (tidak mengerjakannya di awal waktu, tetapi
setelahnya selama waktu shalat tersebut belum habis, -pent.).
Wallahu a’lam.”
(al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 3/181)
Syarat Wanita Menjadi Imam bagi Sesamanya
Apakah ada syarat-syarat bagi wanita untuk menjadi imam sesama wanita?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah menjawab,
“Apabila seorang wanita memiliki bacaan
al-Qur’an yang lebih bagus dan hafalan lebih banyak dibandingkan dengan
para wanita yang lain, tidak ada larangan baginya (menjadi imam shalat
bagi sesama wanita) sebagaimana halnya seorang lelaki. Sebab, dahulu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pernah memerintah Ummu Waraqah untuk mengimami penghuni rumahnya.”
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, siaran radio Saudi)
Hukum Wanita Mengimami Anak Lelaki
Apa hukumnya wanita mengimami anak lelaki?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Yang benar, seorang wanita tidak boleh
menjadi imam bagi lelaki, baik si lelaki masih kecil (anak-anak) maupun
sudah besar (remaja/dewasa). Jadi, apabila wanita ingin shalat berjamaah
maka dia jadikan anak kecil tersebut sebagai imam, sementara dia shalat
di belakang si anak. Sebab, anak kecil dibolehkan menjadi imam
sampaipun dalam shalat fardhu.
Telah tsabit dari hadits ‘Amr bin Salamah al-Jarmi, dia memberitakan, “Ayahku berkata, ‘Aku sungguh-sungguh datang dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam—karena ayahnya dahulunya adalah salah seorang utusan dari utusan-utusan yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada 9 H.’ Ayah berkata, ‘Aku datang kepada kalian sungguh-sungguh dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau ketika itu bersabda (kepada kami),
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآناً.
‘Apabila telah
datang waktu shalat, hendaknya salah seorang dari kalian menyerukan
adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan al-Qur’annya
mengimami kalian dalam shalat.’
Amr berkata, ‘Mereka (kaumnya) melihat
(siapa yang paling banyak hafalannya). Ternyata mereka tidak dapati ada
orang yang paling banyak hafalannya selainku. Mereka pun mengedepankan
aku (sebagai imam). Padahal ketika itu usiaku baru enam atau tujuh
tahun’.”
Hadits di atas tsabit dalam Shahih al-Bukhari dan menjadi dalil bahwa anak kecil boleh menjadi imam dalam shalat fardhu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 15/147)
Shalat Kusuf/Gerhana di Rumah
Apakah diperkenankan bagi wanita
untuk mengerjakan shalat gerhana sendirian di rumahnya? Manakah yang
lebih utama bagi si wanita?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Tidak apa-apa wanita shalat gerhana sendirian di rumahnya. Sebab, perintah mengerjakan shalat tersebut umum, yaitu, ‘Shalatlah kalian dan berdoalah sampai tersingkap apa yang tertutup pada kalian’.
Jika si wanita keluar ke masjid
sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita sahabiyah lantas shalat
bersama manusia, hal ini memiliki kebaikan.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 16/310)
Ucapan Ta’ziyah
Apa yang diucapkan ketika berta’ziyah ke keluarga orang yang meninggal?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Kalimat terbagus yang diucapkan ketika ta’ziyah adalah apa yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
kepada salah seorang putri beliau. Saat itu, putri beliau mengutus
orang untuk memanggil beliau agar datang ke tempatnya karena anak lelaki
atau anak perempuannya (cucu beliau) tengah menghadapi kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pun bersabda kepada si utusan,
مُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ، فَإِنَّ لِلهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَبْقَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى
“Suruhlah dia agar bersabar
dan mengharapkan pahala. Sebab, sungguh hanya milik Allah-lah apa yang
diambil-Nya dan milik-Nya pula apa yang Dia biarkan (tidak ambil).
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang sudah ditentukan.”[1]
Adapun ucapan yang tersohor di tengah manusia,
عَظَّمَ اللهُ أَجْرَكَ
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membesarkan pahalamu.”
أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَك
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membaikkan [menggantikan] dukamu.”
غَفَرَ اللهُ لِمَيِّتِكَ
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni mayitmu.”
Sebagian ulama memilih (membolehkan)
ucapan-ucapan ini. Akan tetapi, apa yang disebutkan dalam as-Sunnah
tentu lebih utama dan lebih baik.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 17/339)
[1] HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma.

Kemuliaan Akhlak Muslimah
Dalam sebuah hadits yang agung, tersebut sabda Khairul Anam shallallahu ‘alaihi wa salam,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 45) Lanjutkan membaca Kemuliaan Akhlak Muslimah

Sikap yang Tepat dalam Mendidik Anak
Mendidik anak bukan urusan sepele
dalam agama ini. Salah bersikap terhadap anak bisa menimbulkan dampak
yang tidak ringan. Alih-alih menjadi anak baik, anak justru lari
berbalik. Karena itu, penting adanya bimbingan orang-orang alim dalam
perjalanan kita mendidik anak.

Kita Menikah, Tetapi Ceraikan Dia
Ini bukanlah nukilan dari sepenggal
drama rumah tangga yang tidak patut kita lakukan. Namun, hal ini benar
terjadi dalam panggung kehidupan insan di dunia nyata.
Seorang suami yang ingin menikah lagi dengan perempuan kedua acap dihadapkan pada permintaan si perempuan, “Pilih istrimu atau aku!”. Ini ucapan halusnya. Ada lagi yang lebih terang-terangan, “Ceraikan istrimu, setelah itu baru nikahi aku!”
Ada saja ya, perempuan yang tega berbuat demikian. Ouw, ternyata banyak. Sebenarnya, secara syariat, apakah dibenarkan permintaan dan tuntutan si perempuan tersebut? Lanjutkan membaca Kita Menikah, Tetapi Ceraikan Dia

Anak Adalah Amanat
KHUTBAH PERTAMA:
إِنَّ الْحَمْدَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كَلَامُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah sidang Jumat rahimakumullah!
Anak, di samping sebagai buah hati bagi kedua orang tuanya, anak merupakan amanat yang Allah subhanahu wa ta’ala titipkan di pundak kedua orang tuanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ
“Allah wasiatkan kepada kalian agar kalian memerhatikan anak-anak kalian.” (an-Nisa: 11)
Maksudnya, hendaknya kalian memerhatikan
kemaslahatan dunia dan akhirat mereka dengan memberi pendidikan,
pembekalan jasmani, dan rohani mereka.
Pada kesempatan khutbah Jumat yang
berbahagia ini, kami ingin mengajak para hadirin untuk mengevaluasi
tanggung jawab yang mulia ini. Kebahagiaan dunia dan akhirat putra-putri
adalah dambaan setiap mukmin.
Kaum muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Kita tidak boleh menutup mata dari
kenyataan kemerosotan nilai agama dan akhlak pada anak remaja
akhir-akhir ini. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Pada hari kiamat kelak, kita akan diminta pertanggungjawaban terhadap keluarga dan anak-anak kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَا مْألَِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Kalian semua
adalah penjaga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dijaganya. Seorang pemimpin adalah penjaga bagi rakyatnya. Seorang
laki-laki (kepala keluarga) adalah penjaga bagi keluarganya. Wanita
(istri) adalah penjaga rumah tangga dan anak suaminya. Kalian semua
adalah para penjaga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dijaganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah!
Seiring dengan pesatnya perkembangan
teknologi dan semaraknya media komunikasi, kondisi agama putra-putri
kita semakin buruk dan semakin rusak. Jarang sekali orang tua yang
peduli dengan hal ini, kecuali orang-orang yang mendapat taufik dari
Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagian orang tua merasa sangat
terpukul saat prestasi sekolah anaknya menurun, tetapi mereka tidak
merasa terpukul saat menjumpai anaknya tidak melaksanakan ibadah yang
wajib semisal shalat dan puasa. Sebagian orang tua justru lebih condong
membantu anaknya untuk melampiaskan hawa nafsunya daripada membekali
anaknya dengan pendidikan agama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa ketika dia menelantarkan asuhannya.” (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma)
Tentu saja, menelantarkan agama mereka
jauh lebih buruk daripada menelantarkan makan dan minumnya. Dalam hadits
lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba yang Allah subhanahu wa ta’ala amanahi
untuk menjaga orangorang tanggungannya kemudian mati pada hari
kematiannya dalam keadaan mengkhianati mereka, kecuali akan Allah subhanahu wa ta’ala haramkan baginya surga.” (HR. an-Nasai dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Dan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ أَمْ ضَيَّعَ حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Sesungguhnya
Allah bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah
dia menjaganya atau menyia-nyiakannya. Sampai-sampai Allah bertanya
kepada seseorang tentang tanggung jawabnya terhadap keluarganya.” (HR. an-Nasai, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Hadirin rahimani wa rahimakumullah!
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ ٢١٤
“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” (asy-Syu’ara: 214)
وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabarlah dalam menunaikannya.” (Thaha: 132)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مُرُوا أَوْ دَالَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkanlah
anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun.
Pukullah mereka yang tidak mau mengerjakan shalat setelah umur sepuluh
tahun.” (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma)
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيم،ِ أَقُولُ مَا تَسْمَعُونَ، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَأشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْد
Jamaah Jumat rahimakumullah!
Anak-anak juga merupakan ujian bagi orang tuanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah ujian bagi kalian. Dan di sisi Allah pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)
Keberhasilan mendidik anak-anak akan membuahkan kebahagiaan yang abadi bagi orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-orang
yang beriman beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam
keimanan, niscaya Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka di
surga.” (ath-Thur: 21)
Jika anak tersebut menjadi anak yang saleh, niscaya dia akan mendoakan orang tuanya sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِ مِنْ ثَ ثَالٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang
meninggal dunia, amalannya terputus kecuali tiga hal: amal/sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang
tuanya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ سِتْرًا لَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa
diuji dengan anak-anak perempuan, kemudian dia berbuat baik kepada
mereka, niscaya mereka sebagai pelindung baginya dari api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiallahu ‘anhua)
رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Wahai Rabb
kami, karuniakanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak kami sebagai
penyejuk mata kami. Jadikanlah kami sebagai imam bagi orang yang
bertakwa.” (al-Furqan: 74)
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ وَالْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar

Hukum Menunda-nunda Membayar Utang
Lanjutkan membaca Hukum Menunda-nunda Membayar UtangAssalamu’alaikum.Sebelumnya terima kasih atas penjelasan yang diberikan. Saya menghadapi suatu permasalahan hukum yang sangat membutuhkan penjelasan. Ada dua orang muslim yang terikat perjanjian utang piutang. Kemudian orang yang berutang menyalahi perjanjian karena suatu sebab, bisa jadi karena sebab-sebab di luar kemampuannya, atau bisa jadi juga memang tidak punya itikad untuk membayar utangnya.

Manusia vs Iblis; bagian ke-3
Dua Tujuan Utama
Setan sangat pandai memanfaatkan kelemahan manusia. Seperti telah diuraikan pada tulisan sebelumnya,
manusia mempunyai banyak kelemahan yang hakikatnya adalah penyakit yang
menimpa hatinya. Akhirnya kelemahan-kelemahan itu menjadi sebagian
pintu masuk setan.
Setan mempunyai dua tujuan: jangka
panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka panjangnya ialah menarik
manusia sebanyak-banyaknya menjadi temannya di neraka. Adapun jangka
pendeknya ialah menjerumuskan manusia ke dalam kekafiran dan kesyirikan.
Dalam usahanya mencapai tujuan jangka
panjang dan jangka pendek ini, setan tidak akan menyuruh manusia,
“Tinggalkanlah shalat, jauhilah tauhid, kafirlah kepada Allah!”
seandainya dia berbuat demikian, tentu tidak akan diikuti oleh banyak
manusia. Sebab, manusia diciptakan di atas fitrahnya, mengakui
keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabb (Yang Maha Menciptakan, Memberi rezeki dan Mengatur)nya. Tentang hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
Dan (ingatlah),
ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
“Bukankah aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami),
kami menjadi saksi.” (Kami lakukan hal itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini.” (al-A’raf: 172)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wa ta’ala
menjelaskan bahwa Dia mengeluarkan anak manusia dari tulang sulbi
bapak-bapak mereka, menjadikan mereka saling berketurunan, generasi demi
generasi. Ketika mengeluarkan mereka dari perut ibu mereka, Allah subhanahu wa ta’ala
menekankan kepada mereka Rububiyah-Nya sebagaimana telah ditanamkan-Nya
dalam fitrah mereka, bahwa Dia adalah Rabb mereka, Yang Menciptakan dan
Menguasai serta Memiliki mereka, “Bukankah Aku adalah Rabb (Pencipta,
Pengatur, Pemberi rezeki dan Pemelihara) kamu?”
Saat itu manusia mengatakan, “Betul, kami mengakui dan bersaksi.”
Siapa pun, telah diciptakan di atas fitrah tersebut. Akan tetapi, fitrah ini bisa berubah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيَ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“Sungguh, Aku
menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya, dan
sesungguhnya setan mendatangi mereka lalu menarik mereka keluar dari
agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu)
Hadits ini menerangkan secara tegas bahwa manusia diciptakan dalam keadaan hanif (Islam dan bertauhid), tetapi setan menyeret mereka keluar dari agama mereka.
Upaya setan menyeret mereka keluar dari
fitrah tersebut tidak serta-merta dengan seketika, tetapi bertahap dan
berangsur-angsur, sebagaimana telah dijelaskan. Bahkan, dia akan datang
dengan cara-cara yang licik, yang tidak pernah diperkirakan oleh
manusia.
Di antara caranya yang keji untuk
menjerumuskan manusia ke dalam kekafiran atau pelanggaran adalah dengan
menampakkan seolah-olah dia sedang memberi nasihat. Dia mendatangi
seorang manusia untuk mengajaknya kepada maksiat, sementara manusia itu
mengira bahwa setan sedang menasihati dan mengajaknya kepada kebaikan.
Dia selalu berusaha menjegal dakwah para
nabi dan rasul dengan seluruh kemampuannya. Dialah yang menjadi sebab
terbunuhnya Yahya dan Zakariya ‘alaihimassalam. Dia pula yang berusaha mencelakai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melemparkan api ke wajah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga yang membantu orang-orang Yahudi menyihir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pintu-Pintu Setan
Tidak ada jalan untuk menghindar dari kejahatannya selain dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kita tidak mungkin membatasi jenis-jenis kejahatannya, apalagi
menyebutnya satu per satu, karena semua kejahatan di alam ini, dialah
sebabnya.
Akan tetapi, mungkin dapat diringkas, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah,
secara umum ada enam pintu kejahatan yang dimasukinya Sebab, dia ingin
meraih kemenangan dengan menjerumuskan manusia melalui pintu-pintu
kejahatan yang sebagiannya lebih sulit daripada yang lainnya. Setan
tidak akan berpindah ke pintu yang lebih rendah, kecuali jika dia
kesulitan untuk memasuki pintu yang di atasnya.
Pintu yang pertama adalah kekufuran dan kesyirikan serta memusuhi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Apabila dia berhasil menghancurkan
manusia melalui kejahatan ini, tenanglah hatinya, redalah kesedihannya,
dan dia dapat beristirahat dari kepayahannya melumpuhkan manusia. Inilah
yang pertama kali diinginkannya terhadap diri manusia.
Setan tidak henti-hentinya membujuk dan
merayu manusia sampai manusia itu jatuh dalam kekafiran, kesyirikan, dan
permusuhan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Kalau berhasil, dia akan menjadikan manusia itu sebagai prajuritnya,
bahkan menjadi pengganti setan untuk menghancurkan manusia lainnya.
Kaum musyrikin secara lahiriah terlihat
menyembah patung dan berhala yang mereka buat dan mereka beri nama,
tetapi sesungguhnya, mereka itu sedang beribadah kepada setan yang
membuat mereka memandang indah dan baik kesyirikan tersebut.
Seandainya setan gagal dari arah ini, dia akan beralih kepada kejahatan berikutnya, yaitu…
Pintu yang kedua ialah bid’ah.[1]
Termasuk pula ide-ide sempalan yang menyelisihi pemahaman dan prinsip
para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Mengapa setan menjadikannya sebagai jalan kedua untuk menghancurkan manusia?
Alasannya, karena bahaya bid’ah dan
dosanya sangat besar jika menimpa agama seseorang. Bahkan, hampir dapat
dipastikan pelakunya sangat sulit untuk bertobat dan berhenti dari suatu
kebid’ahan atau pemikiran hizbiyah, karena pelakunya merasa yakin bahwa
dia sedang melakukan sebuah kebaikan atau ketaatan yang mendekatkannya
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahul Musta’an.
Dikisahkan, di masa tabi’in terkemuka, Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah,
ada yang mengerjakan shalat sunah subuh di Masjid Nabawi berulang kali.
Sa’id bin al-Musayyab menegur dan menasihatinya. Akan tetapi, orang itu
membantah, “Wahai Imam, apakah saya akan disiksa karena mengerjakan
shalat?”
Sa’id bin al-Musayyab berkata, “Engkau
tidak disiksa karena mengerjakan shalat, tetapi disiksa karena
menyelisihi perintah/sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Seperti itu juga yang pernah dialami oleh al-Imam Malik rahimahullah ketika ada seseorang yang bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, dari manakah saya ihram?”
Beliau berkata, “Dari Dzul Hulaifah, dari tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ihram.”
Orang itu berkata lagi, “Saya ingin berihram dari masjid, dekat kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kata beliau, “Jangan lakukan, karena saya khawatir kamu ditimpa fitnah.”
Orang itu bertanya pula, “Fitnah apa yang ada dalam masalah ini? Bukankah saya hanya menambah jarak beberapa mil?”
Kata beliau, “Fitnah apa lagi yang lebih
besar daripada kamu menganggap bahwa kamu telah bersegera menuju sebuah
keutamaan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurang mendapatkannya?! Sungguh, aku mendengar Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”[2]
Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu
yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Akan tetapi, yang dimaksud dalam
hadits dan perkataan para ulama Ahlus Sunnah adalah bid’ah dalam urusan
agama, bukan dunia.
Oleh sebab itu, bid’ah yang dinyatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semua ajaran yang menyelisihi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ajakan untuk menyimpang dari ajaran yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
Berdasarkan tinjauan inilah, sebagian
ulama salaf mengatakan, “Bid’ah itu lebih dicintai oleh iblis daripada
kemaksiatan. Sebab, pelaku kemaksiatan itu, mungkin saja bertobat,
sedangkan pelaku bid’ah tidak mungkin (susah) bertobat (karena merasa
dirinya benar).”
Sebab itu pula, semua gagasan pemikiran
atau kaidah yang menyalahi sunnah dan manhaj salaf termasuk bid’ah, yang
diancam dengan neraka.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنّ اللهَ احَتَجَرَ التَّوْبَةَ على كلِّ صاحِبِ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menghalangi tobat setiap pelaku bid’ah.”[3]
Wallahul Musta’an.
Kalau setan berhasil melalui jalan ini,
dia akan menjadikan manusia itu sebagai wakilnya yang mengajak manusia
lain kepada kebid’ahan. Andaikata dia gagal, misalnya karena manusia itu
diberi anugerah kecintaan kepada sunnah dan memusuhi bid’ah dan para
pengusungnya, setan akan menggunakan arah berikutnya, yaitu;
Pintu yang ketiga ialah dosa-dosa besar (al-kabair)
dengan semua bentuk dan tingkat perbedaannya. Setan sangat berambisi
menjerumuskan seorang manusia ke dalamnya. Terutama apabila manusia itu
dikenal sebagai seseorang yang berilmu dan diikuti. Setan sangat
antusias membuat manusia lari meninggalkan orang tersebut.
Jika dia berhasil menjerumuskan orang
yang berilmu itu hingga melakukan dosa besar, dia akan menyebarkan dosa
itu di tengah-tengah manusia, bahkan menunjuk wakil-wakilnya di antara
mereka untuk menyebarkannya ke seluruh penjuru dengan dalih taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun tanpa disadarinya dia menjadi wakil iblis.
Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan
ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan
dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang
besar.” (an-Nur: 11)
Inilah buahnya jika mereka senang
menyebarkannya. Lalu, bagaimana jika mereka justru yang paling berperan
menyebarkan aib itu tanpa memberinya nasihat, tetapi menuruti ajakan
iblis agar membuat orang lari dari orang alim tersebut dan ilmunya?
Adapun dosa yang dilakukan orang alim itu, meskipun sampai ke ujung
langit, masih lebih ringan dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala daripada perbuatan mereka.
Dosa itu adalah kezaliman terhadap dirinya sendiri, yang seandainya dia meminta ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bertobat kepada-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala
menerimanya dan mengganti kejelekannya dengan kebaikan. Adapun dosa
mereka yang menyebarkan aib tersebut, adalah kezaliman terhadap
orang-orang yang beriman dan mencari-cari aib mereka serta sengaja ingin
mempermalukan mereka.
Wallahul Musta’an.
(Insya Allah Bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
[1]
Yaitu perkara baru yang dibuat-buat di dalam urusan agama, menyerupai
ajaran agama, dengan tujuan berlebih-lebihan dalam mendekatkan diri
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, bukan bid’ah dalam urusan dunia, sebagaimana anggapan sebagian kaum muslimin.
[2] Lihat Dzammul Kalam karya al-Harawi dan al-I’tisham karya asy-Syathibi, sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh al-Albani dalam adh-Dha’ifah (1/377).
[3] HR. ath-Thabarani dari Anas radhiallahu ‘anhu dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ (no. 1699).

Amirul Mukminin Umar Bin Al-Khaththab (14) :Runtuhnya Dinasti Sasanid
Runtuhnya Dinasti Sasanid
Sejak keberangkatan Rustum hingga
bertemu dengan Sa’d, terhitung empat bulan. Hal itu disengaja oleh
Rustum karena dia sudah mencium kegagalan dan bencana yang akan menimpa
pasukannya.
Rustum selain ahli perang, juga seorang
dukun, ahli nujum. Dia pernah bermimpi melihat tanda-tanda kekalahan
Persia di tangan bangsa Arab ini. Karena itulah dia setengah hati
menjalankan perintah Yazdajird serta berusaha mengulur-ulur waktu agar
kaum muslimin bosan dan pulang ke negeri mereka. Lanjutkan membaca Amirul Mukminin Umar Bin Al-Khaththab (14) :Runtuhnya Dinasti Sasanid

Akhlak Seorang Dai
Mengajak manusia kepada agama Allah subhanahu wa ta’ala (berdakwah) adalah sebaik-baik amalan. Orang yang menjalankannya merupakan manusia pilihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)

Tauhid Awal Dakwah Ilallah
Dakwah kepada jalan Allah subhanahu wa ta’ala
menurut pandangan syariat adalah amalan dan bentuk ibadah yang besar,
agung, dan mulia, apabila syaratnya terpenuhi dan tidak ada
penghalangnya.
Dalil yang menunjukkan agungnya tugas ini sangat banyak, baik dari al- Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun amalan para nabi, rasul, serta orang-orang saleh.
Di antaranya ialah firman Allah, Lanjutkan membaca Tauhid Awal Dakwah Ilallah

Mengoreksi Perilaku Para Dai
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata,
عَنْ أَبيْ مَسْعُودٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: وَا يَا رَسُولَ ا إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ ا فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْهُ يَوْمَئِذٍ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ
Dari Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
seseorang datang mengadu, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku sengaja
mengakhirkan shalat subuh karena perbuatan fulan. Ia memanjangkan
(bacaan shalat) saat mengimami kami.”
Abu Mas’ud berkata, “Sungguh, aku belum pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat marah ketika menyampaikan peringatan melebihi kemarahan beliau pada hari tersebut.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh,
di antara kalian ada ,lorang yang membuat manusia lari! Siapa pun di
antara kalian mengimami manusia, ringankanlah! Sebab, di antara mereka
ada orang yang lemah, tua renta, atau memiliki keperluan.”

Meneladani Pemimpin Umat
إِنَّ إِبۡرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةٗ قَانِتٗا لِّلَّهِ حَنِيفٗا وَلَمۡ يَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٢٠
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
imam teladan yang patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (an-Nahl: 120)

Tanya Jawab Ringkas Edisi 108
Berikut ini adalah jawaban dari al-Ustadz Muhammad Afifuddin.
Harta Waris bagi Ahli Waris yang Meninggal
Jika salah seorang ahli waris telah
meninggal, apakah bagian harta warisan untuknya diberikan kepada
istri/suami dan anak-anak yang ditinggalkan? Lanjutkan membaca Tanya Jawab Ringkas Edisi 108

Nilai Integritas Seorang Dai
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, berdakwah adalah amalan yang mulia, bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta ketaatan yang agung.
Adalah hal yang tercela, ketika dakwah
yang disampaikan oleh seorang dai ternyata tidak sejalan dengan
perbuatannya. Perilakunya tidak lurus dan selaras dengan apa yang
disampaikannya. Lanjutkan membaca Nilai Integritas Seorang Dai
Posting Komentar