
Hukum Meminta Jabatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ
إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ
أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun
jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan
kepadamu (tidak akan ditolong).”

Shalawat Nabi Antara Sunnah dan Bid’ah
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٥٦
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya!” (al-Ahzab: 56)

Yahudi dan Nasrani adalah Orang-orang Kafir
Bagi seorang muslim, kekafiran
Yahudi dan Nasrani merupakan perkara yang telah jelas. Namun oleh para
penyeru penyatuan agama, kekafiran mereka dibuat kabur sehingga ada
orang Islam yang menganggap mereka sama dengan kaum muslimin. Berikut
ini penjelasan dari asy-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
bahwa Yahudi dan Nasrani adalah kafir sehingga seorang muslim tidak
boleh bersikap loyal kepada mereka, sekalipun dalam hal memberi salam
lebih dahulu.

Surat Pembaca edisi 10
Belajar Agama Cukup Lewat Situs?
Saya sangat tertarik dengan situs
“Asy-Syariah”. Terus terang selama ini saya tidak tahu madzhab apa yang
saya anut. Tetapi dengan adanya situs ini, hati saya menjadi terbuka.
Cukupkah saya mempelajari atau menjadi anggota hanya dengan
mempelajarinya lewat situs ini?
Sjachrul HP
mahendra_…@yahoo.com
mahendra_…@yahoo.com
- Jawaban Redaksi:
Alhamdulillah, barakallahu fikum. Dakwah yang dikembangkan majalah ini adalah dakwah As-Sunnah yakni madzhab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Madzhab sendiri muncul di masa-masa belakangan (muta’akhirin). Sehingga
para imam madzhab seperti Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam
Ahmad, maupun Abu Hanifah rahimahumullah tidak mengenal model madzhab
sebagaimana yang dipahami umat saat ini. Mereka dalam banyak riwayat,
bahkan meminta murid-muridnya untuk tidak mengambil pendapat mereka jika
pendapat tersebut bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Mempelajari ilmu
agama tentu saja jauh lebih baik jika kita dapat menghadiri majelis
taklim (tentunya yang mendakwahkan Al Qur’an dan As Sunnah menurut
pemahaman salaful ummah) secara langsung. Sebagaimana ulama-ulama
terdahulu yang menempuh perjalanan jauh dalam waktu berbulan-bulan hanya
untuk mendapatkan satu hadits. Dengan adanya bimbingan seorang guru
atau ustadz, kita akan lebih terbimbing dan lebih mudah dalam memahami
ilmu-ilmu agama.
Mempelajari ilmu
agama, sedikit tetapi rutin memang lebih baik daripada jarang mengikuti
taklim. Namun akan lebih baik lagi jika kita mampu meningkatkan
frekuensi kehadiran kita di majelis taklim semaksimal kita.
Bahasa Standar
Redaksi hafizhakumullah, ana ingin
memberikan sedikit kritikan, bagaimana kalau bahasa kajiannya dibuat
standar orang-orang awam seperti kita. Karena selama ini ana merasa
ketika membaca majalah ini kurang begitu memahami jalannya pembahasan
yang ada pada majalah tersebut…
Jazakumullah atas dimuatnya uneg-uneg ana.
Jazakumullah atas dimuatnya uneg-uneg ana.
Abu Ayyub
abuayyub…@yahoo.com
- Jawaban Redaksi:
Barakallahu fikum.
Kami memang
mengusahakan untuk memakai bahasa yang semudah mungkin, hanya saja kami
masih menghadapi kendala pada beberapa istilah yang sulit dicari padanan
katanya dalam bahasa Indonesia. Selain itu, redaksi hadits atau kalimat
yang berupa komentar dari para ulama memang diterjemahkan semirip
mungkin, meski bagi sebagian orang kemudian hal ini dipahami sangat
letterlijk atau tekstual. Karena ini menyangkut ilmu agama yang
pertanggungjawabannya di akhirat sangat besar, mau tidak mau kita harus
menonjolkan sikap kehati-hatian. Jangan sampai terjemahan hadits atau
ucapan ulama tersebut melenceng dari maksud dan substansi aslinya.
Namun Insya Allah kami terus mengusahakan untuk bisa lebih baik. Jazakumullahu khairan katsiran.
Pesan Bundel
Saya termasuk suka membaca majalah
Asy-Syariah, apalagi dibubuhi dengan dalil dengan teks bahasa Arab. Bisa
tidak saya memesan dalam bentuk bundel dari edisi pertama? Syukron katsiran ala musa’adatikum.
Akim
akim_76…@yahoo.com
- Jawaban Redaksi:
Afwan, untuk
sementara waktu kami belum bisa menyediakan bundel majalah. Mungkin
antum bisa langsung menanyakan ke agen terdekat apabila mereka
menyediakannya. Sebagai catatan, kami mengijinkan bagi para pembaca
untuk memfotocopy majalah apabila memang tidak didapati lagi sisa
majalah.

Istilah Hadits
Berikut ini beberapa istilah hadits yang sering dipakai dalam Asy-Syariah:
- Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan dari banyak
jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya
mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama
berdusta. Perkara yang mereka bawa adalah perkara yang indrawi yakni
dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberi faedah ilmu yang
harus diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.
- Ahad
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
- Sahih (sehat)
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang
adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan yaitu melakukan dosa
besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari sesuatu yang
menjatuhkan muru’ah/kewibawaan) dan sempurna hafalan/penjagaan
kitabnya terhadap hadits itu, dari orang yang semacam itu juga dengan
sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih kuat. Hadits sahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.
- Hasan (baik)
Hadits yang sama dengan hadits sahih
kecuali pada sifat rawinya di mana hafalan/penjagaan kitabnya terhadap
hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah. Hadits hasan hukumnya
diterima.
- Dha’if
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih atau hasan. Hadits dha’if hukumnya ditolak.
- Maudhu’ (palsu)
Hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.
- Mursal
Yaitu seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi’in tersebut dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi yang lemah.
- Syadz
Hadits yang sanadnya sahih atau hasan
namun isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat dari hadits itu
sendiri, hukumnya tertolak.
- Mungkar
Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya
menyelisihi riwayat yang sahih atau hasan dari hadits itu sendiri,
hukumnya juga tertolak.
- Munqathi’
Hadits yang terputus sanadnya secara
umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih dalam sanad, bukan di
awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya secara
berurutan. Hukumnya tertolak.
- Sanad
Rangkaian para rawi yang berakhir dengan matan.
- Matan
Ucapan rawi atau redaksi hadits yang terakhir dalam sanad.
- Rawi
Orang yang meriwayatkan atau membawakan hadits.
- Atsar
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni kepada para sahabat dan tabi’in.
- Marfu’
Suatu ucapan, perbuatan, atau persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Mauquf
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada sahabat.
- Jayyid (bagus)
Suatu istilah lain untuk sahih.
- Muhaddits
Orang yang menyibukkan diri dengan ilmu
hadits secara riwayat dan dirayat (fiqih hadits), serta banyak
mengetahui para rawi dan keadaan mereka.
- Al-Hafizh
Orang yang kedudukannya lebih tinggi dari muhaddits, yang ia lebih banyak mengetahui rawi di setiap tingkatan sanad.
- Majhul
(Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak
ada yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-nya
(lihat istilah ta’dil di poin 23, red.), dan yang meriwayatkan darinya
cenderung sedikit. Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka
disebut majhul al-‘ain, dan bila lebih dari satu maka disebut majhul
al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.
- Tsiqah
(Rawi yang) tepercaya, artinya tepercaya kejujuran dan keadilannya serta kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits.
- Jarh
Cacat, dan majruh artinya tercacat.
- Ta’dil
Menilai adil.
- Muttafaqun ‘alaih
Maksudnya hadits yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih mereka.
- Mu’allaq/ta’liq
Hadits yang terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Racun Pluralisme Agama
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Teologi Pluralis. Isme yang menghusung ide penyatuan berbagai agama yang ada di muka bumi ini, sejatinya telah lama digagas oleh sejumlah ‘tokoh Islam’ beberapa abad silam. Belakangan, ide nyleneh ini meruak lagi di tengah umat. Lagi-lagi, yang berada di balik upaya pengkaburan agama ini adalah orang-orang yang selama ini ditokohkan oleh umat.
Jadilah ide ini tumbuh bak jamur di musim hujan. Hampir tak ada polemik yang meramaikan media massa saat itu. Yang menentang terpaksa ‘kalah’ tertelan mesin opini yang tentu saja digerakkan oleh mereka yang anti Islam.
Situasi yang tidak kondusif bagi para pembela Islam itu diperparah dengan maraknya kasus bom di tanah air. Aksi-aksi kekerasan yang tak bisa dipungkiri dilakukan oleh oknum-oknum pemeluk Islam, benar-benar dimanfaatkan secara maksimal oleh kelompok pro-pluralisme. Berbagai peristiwa itu dan kian mendapat tempatnya kalangan Islam ‘moderat’ (baca: orang-orang tak paham Islam), kemudian dijadikan momentum untuk makin mengukuhkan berbagai gagasan dan upaya untuk mencari kesamaan persepsi (termasuk dalam hal ini prinsip aqidah) di antara berbagai pemeluk agama yang ada. Semua ajaran agama mengajarkan kebaikan, tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk membunuh sesama, adalah secuil propaganda ‘manis’ yang banyak ditelan mentah-mentah oleh umat.
Di sisi lain, beberapa interest group (kelompok pemerhati) yang menghusung ide ini kian intensif menjual dagangannya baik dalam seminar, forum dialog, pernyataan di sejumlah media massa, ataupun dalam bentuk ritus berupa doa bersama, renungan perdamaian, dan sebagainya.
Jadilah, menurut mereka, semua agama sama, semua mengajarkan kebaikan, tidak perlu ada klaim ajaran yang paling benar, istilah kafir hanya akan memicu pertumpahan darah, dan sebagainya.
Berbagai kemasan indah propaganda itu seolah menafikan banyak ayat dalam Al Qur’an yang secara jelas menyebut dan memposisikan orang-orang kafir.
Ironinya, orang-orang Islam sendiri yang paling bersemangat dan paling lantang menyuarakan dan ‘mendakwahkan’ gagasan gila ini. Faktanya, dalam menggawangi isme ini, mereka yang digelari ‘guru bangsa’ itu tak segan-segan mengeluarkan berbagai dalil ngawur dan fatwa instant untuk meyakinkan umat.
Siapa saja para tokoh yang terlibat konspirasi besar untuk meruntuhkan aqidah Islam ini? Lalu bagaimana kita harus menyikapi ‘agama’ baru ini? Jawabannya dapat pembaca simak dalam Kajian utama. Di dalamnya, juga dikupas batasan-batasan toleransi dalam Islam. Karena kita tahu, toleransi yang selama ini banyak diterapkan secara salah kaprah oleh kaum muslimin merupakan pintu gerbang utama masuknya isme ini, sekaligus menjadi senjata andalan para ‘pendekar pluralisme’.
Di Lembar Sakinah, Rubrik Mengayuh Biduk mengangkat peran domestik kaum istri/ibu dalam rumah tangga. Sebuah tugas nan mulia yang diemban mereka, namun dikampanyekan secara negatif oleh kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam.
Untuk Ramadhan kali ini, mungkin kami hanya sedikit menampilkan kajian yang mengangkat seputar Ramadhan dan shalat Ied. Tapi, insya Allah kami tetap berupaya memberikan sajian terbaik kepada anda, pembaca.
Selamat menyimak!
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Bekerja dan Beramal
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,
Wahai saudaraku, hendaknya engkau
memiliki pekerjaan dan penghasilan yang halal yang kamu peroleh dengan
tanganmu. Hindari memakan atau mengenakan kotoran-kotoran manusia
(maksudnya pemberian manusia, –ed.). Sebab, sesungguhnya orang
yang memakan kotoran manusia, laksana orang yang memiliki sebuah kamar
di bagian atas, sedangkan yang di bawahnya bukan miliknya. Ia selalu
takut terjatuh dan kamarnya roboh. Karena itu, orang yang memakan
kotoran-kotoran manusia akan berbicara sesuai hawa nafsu. Dia
merendahkan dirinya di hadapan manusia karena khawatir mereka akan
menghentikan (bantuan) untuknya.
Wahai saudaraku, jika menerima sesuatu
dari manusia, engkau pun memotong lisanmu (bungkam, tidak berani bicara
di saat wajib menegur mereka). Engkau akan memuliakan sebagian orang dan
merendahkan yang lain, padahal ada balasan yang akan menimpamu di hari
kiamat. Maka dari itu, harta yang diberikan oleh seseorang kepadamu
hakikatnya adalah kotorannya. Tafsir dari ‘kotorannya’ adalah
pembersihan amalannya dari dosa-dosa.
Jika menerima sesuatu dari manusia, saat
mereka mengajakmu kepada kemungkaran engkau pun menyambutnya. Jadi,
orang yang memakan kotoran manusia bagaikan orang yang memiliki
sekutu-sekutu dalam suatu perkara yang mau tidak mau dia akan menjadi
bagian dari mereka.
Wahai saudaraku, kelaparan dan ibadah
yang sedikit itu lebih baik daripada engkau kenyang dengan
kotoran-kotoran manusia sekalipun banyak beribadah. Sungguh, telah
sampai kepada kami bahwa Rasulullah n bersabda, “Andai salah seorang dari kalian mengambil seutas tali lalu mengumpulkan kayu bakar dan memikulnya di belakang punggungnya, niscaya lebih baik baginya daripada terus-menerus meminta kepada saudaranya atau mengharap darinya.”
(Dinukil dari kitab Mawa’izh lil Imam Sufyan ats-Tsauri, hlm. 82—84)

Tata Cara Wudhu; bagian ke-3
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang tata cara wudhu, beliau berkata, “Tata cara wudhu yang syar’i itu ada dua sisi:
Sisi pertama: Tata cara wajib di mana tidak sah wudhu tanpanya, yakni yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat,
basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku.
Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata
kaki….” (al-Maidah: 6)
Mencuci wajah sekali, termasuk
madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq (menghirup air ke hidung), mencuci
dua tangan dari ujung-ujung jari sampai siku sekali. Ketika mencuci
lengan ini, orang yang berwudhu hendaknya memerhatikan kedua telapak
tangannya dengan turut mencucinya bersamaan dengan mencuci tangan.
Karena sebagian manusia melalaikan hal ini hingga tidak mencucinya,
namun hanya mencuci lengannya. Ini jelas satu kesalahan.
Setelah itu ia mengusap kepala sekali
termasuk mengusap kedua telinga karena kedua telinga merupakan bagian
dari kepala. Sebagai penutup wudhunya, ia mencuci kedua kakinya termasuk
mata kaki sekali. Demikian tata cara wudhu yang wajib dan tidak boleh
ditinggalkan.
Sisi kedua: tata cara yang mustahab (sunnah) yang akan kami sebutkan berikut ini dengan memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala:
- Membaca basmallah ketika seseorang hendak berwudhu
- Mencuci kedua telapak tangan tiga kali
- Madhmadhah dan istinsyaq tiga kali dengan tiga kali cidukan
- Mencuci wajah tiga kali
- Mencuci kedua lengan sampai siku masing-masing tiga kali, dimulai dari lengan kanan kemudian dilanjutkan lengan kiri
- Mengusap kepala sekali, dengan membasahi kedua telapak tangannya kemudian menjalankan kedua tangannya tersebut dari depan kepalanya sampai ke belakang kepala kemudian dari belakang kepala ia jalankan kembali ke depan.
- Mengusap telinga dengan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinga sementara kedua ibu jarinya mengusap bagian luar telinga
- Mencuci kedua kaki sampai mata kaki masing-masingnya tiga kali, dimulai dari kaki kanan kemudian kaki kiri.
- Setelah itu ia berdoa:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Aku bersaksi
tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah sendiri-Nya, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat
dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang membersihkan/menyucikan
dirinya.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/150—151)

Titian Tuk Menundukkan Wajahku Dihadapan-Mu; bagian ke-3
Dalam edisi yang lalu, telah disebutkan tata cara wudhu yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari mencuci wajah hingga mengusap kepala dan telinga. Berikut ini merupakan kelanjutannya.

Ghuluw Jembatan Menuju Kesesatan
Berlebih-lebihan dalam segala hal
tentu tak membawa manfaat apa pun. Demikian juga dengan berlebih-lebihan
(ghuluw) dalam menjalankan agama ini. Meski dilandasi dengan niat yang
baik sekalipun, sikap ghuluw tak lain hanya akan membawa kita menuju
kesesatan.

Kisah Isra’ dan Mi’raj
Banyak penggal kisah Isra’ Mi’raj yang
telah terdistorsi. Sebagian ada yang menolak karena sulit dicerna oleh
logika manusia. Sebagian lain justru membumbuinya dengan deskripsi dan
tafsir yang tidak ada sumbernya sama sekali dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Bagaimana kisah sesungguhnya dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj?

Fatwa Ringkas Demonstrasi
Demonstrasi, unjuk rasa, dan
semacamnya seolah telah menjadi elemen penting dalam denyut nadi
demokrasi. Ia diagungkan sebagai gerakan moral untuk mengontrol
kekuasaan yang dianggap melenceng dari “konstitusi”. Ketika aksi “turun
ke jalan” mereka diberangus, maka istilah yang mengemuka adalah
demokrasi telah dikhianati.
Namun Islam memandang lain terhadap
perilaku ini. Telah ada riwayat dari ulama salaf, yang menggambarkan
penentangan Islam terhadap demonstrasi dengan berbagai dampak buruknya.
Bahkan Islam memandang demonstrasi sebagai bagian dari pemberontakan
lisan. Bahasan berikut memang sangat ringkas karena berupa fatwa, namun
insya Allah memberi manfaat.
Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih as-Sadlan
ditanya, “Wahai syaikh, menurut pemahaman saya, Anda tidak mengkhususkan
pemberontakan itu hanya dengan pedang tetapi juga termasuk
pemberontakan yang dilakukan dengan lisan?”
Beliau menjawab, “Ini pertanyaan penting
karena sebagian dari saudara-saudara kita telah melakukannya dengan
niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan itu hanya dengan
pedang. Padahal pada hakikatnya, pemberontakan itu tidak hanya dengan
pedang dan kekuatan saja, atau penentangan dengan cara-cara yang sudah
diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan
justru lebih dahsyat dari pemberontakan bersenjata karena pemberontakan
dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari pemberontakan dengan
lisan.
Maka kita sampaikan kepada mereka
saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi yang kami berprasangka baik
kepada mereka bahwa mereka berniat baik—insya Allah subhanahu wa ta’la—agar
mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada mereka, tenang dan
sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan membawa dampak yang
jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan emosi yang
tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu juga
akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk
mengeluarkan pernyataan yang sesuai dengan hawa nafsunya, haq ataupun
batil.
Tidak diragukan lagi bahwa memberontak
dengan lisan, menggunakan pena dan tulisan, melalui penyebaran
kaset-kaset, tabligh akbar, maupun ceramah-ceramah umum dengan membakar
emosi massa, serta tidak dengan cara yang syar’i, maka saya meyakini
bahwa ini adalah dasar (pemicu) meletusnya pemberontakan bersenjata.
Saya memperingatkan dari perbuatan
seperti ini dengan sekeras-kerasnya peringatan, dan saya katakan kepada
mereka, “Kalian harus melihat dan mempertimbangkan apa hasilnya? Dan
hendaklah melihat kepada pengalaman orang yang telah melakukan
sebelumnya dalam masalah ini!” Hendaklah mereka melihat fitnah-fitnah
yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah sebabnya? Apakah
tindakan awalnya sehingga mereka sampai kepada keadaan seperti ini. Jika
telah mengetahui yang demikian, maka akan kita ketahui bahwa
memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk
membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan menyulut kekerasan akan
melahirkan fitnah dalam hati.” (lihat ‘Ulama Su’udiyyah Yu-akkiduna ‘alal Jama’ah wa Wujubus Sam’i wath Tha’ah li Wulatil Amri, hlm. 5—6)
Ditulis oleh al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed

Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktik
sistem syura dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah. Jauhnya
perbedaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara
perbedaannya adalah:
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
- Aturan syura berasal dari Allah subhanahu wa ta’la dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.
- Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara mayoritas menghendaki, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
- Anggota majelis syura adalah para ulama dan yang memiliki sifat-sifat seperti telah dijelaskan. Sedang dewan perwakilan rakyat atau majelis permusyawaratan dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama, ada yang bodoh, ada yang bijak, ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan rakyat, dan ada yang mementingkan diri sendiri. Mereka semua yang menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.
- Dalam sistem syura, kebenaran tidak diukur dengan suara mayoritas tapi kesesuaian dengan sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah subhanahu wa ta’la yang jelas.
- Syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada Allah subhanahu wa ta’la, karena jika mayoritas memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti menurut mereka.
- Syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi menghargai orang-orang kafir.
- Syura membedakan antara orang yang saleh dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya. Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Sistem pemilu… tidak membedakan antara yang saleh dan yang jahat, masing-masing mereka berhak untuk memilih dan dipilih, dan tidak ada perbedaan pada jenis ini semua antara ulama dan orang yang bodoh. Sementara Islam tidak menghendaki pada majelis parlemen (maksudnya majelis syura) kecuali orang-orang pilihan dari masyarakat muslim dari sisi ilmu (agamanya) dan kesalehannya serta laki-laki, bukan perempuan.” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir, hlm. 110)
- Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin lepas darinya.
- Sistem demokrasi jelas menolak Islam dan menuduh bahwa Islam lemah
serta tidak mempunyai maslahat, sedangkan keadaan syura tidak demikian.
(Lihat kitab Fiqih as-Siyasah asy-Syar’iyyah 61)
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Siapakah Ahli Syura?
Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote.
Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau
kafir, ulama atau juhala, ahli maksiat atau orang saleh, dan seterusnya.
Semua suara bernilai sama di hadapan “hukum”. Walhasil, keputusan
“terbaik” adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu
bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?

Menggugat Hukum Mayoritas
Telah menjadi sunnatullah kalau
kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi
ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.

Al-Qadariah, Majusi Umat ini
Siapakah yang tak mengenal Majusi?
Aliran penyembah api atau lazim disebut Zoroaster ini, punya dualisme
keyakinan tentang sumber kebaikan dan sumber kejahatan. Di umat ini,
juga telah muncul aliran serupa. Dialah al-Qadariyyah.

Menjahui Popularitas
Dari Habib bin Abi Tsabit rahimahullah, katanya, “Pada suatu hari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu keluar dari rumahnya, lantas (ada beberapa) orang membuntutinya. Ia bertanya, ‘Apakah kalian punya keperluan?’
‘Tidak, akan tetapi kami ingin berjalan bersamamu,’ jawab mereka.
‘Kembalilah, sesungguhnya hal itu sebuah
kehinaan bagi yang mengikuti dan membahayakan (fitnah) hati bagi yang
diikuti,’ tukas Ibnu Mas’ud.” (Shifatush Shafwah, 1/406)
Dari al-Harits bin Suwaid rahimahullah, katanya, “Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
berkata, ‘Seandainya kalian mengetahui diriku (seperti) yang aku
ketahui, pasti kalian akan menaburi tanah di atas kepalaku’.” (Shifatush Shafwah, 1/406, 497)
Dari Bistham bin Muslim rahimahullah, katanya, “Adalah Muhammad bin Sirin rahimahullah jika berjalan bersama seseorang, ia berdiri dan berkata, ‘Apakah kamu punya keperluan?’
Jika orang yang berjalan bersamanya
mempunyai keperluan, maka ia tunaikan. Jika kembali berjalan bersamanya,
ia bertanya lagi, ‘Apakah kamu mempunyai keperluan?’.” (Shifatush Shafwah 3/243)
Dari al-Hasan rahimahullah, salah seorang murid Ibnul Mubarak rahimahullah,
katanya, “Pada suatu hari aku bepergian bersama Ibnul Mubarak. Lalu
kami mendatangi tempat air minum yang manusia berkerumun untuk mengambil
airnya. Ibnul Mubarak mendekat untuk minum. Tidak ada seorang pun yang
mengenalnya sehingga mereka mendesak dan menyingkirkannya. Ketika telah
keluar, berkatalah ia kepadaku, ‘Inilah kehidupan, yaitu kita tidak
dikenal dan tidak dihormati.’
Ketika berada di Kufah, kitab manasik
dibacakan kepadanya, hingga sampai pada hadits dan terdapat ucapan
Abdullah bin al-Mubarak (Ibnul Mubarak, red.) dan kami mengambilnya. Ia berkata, ‘Siapa yang menulis ucapanku ini?’
Aku katakan, ‘Penulis.’
Maka ia mengerik tulisan itu dengan jari
tangannya hingga terhapus kemudian berkata, ‘Siapakah aku hingga
ditulis ucapannya?’.” (Shifatush Shafwah, 4/135)
Dari seseorang, katanya, “Aku
melihat wajah al-Imam Ahmad sangat muram setelah dipuji seseorang
(dengan ucapan) ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah subhanahu wa ta’la membalas Anda dengan kebaikan, red.) atas perjuangan Islam Anda.’
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, ‘Bahkan Allah subhanahu wa ta’la telah memberi kebaikan Islam kepadaku. Siapakah dan apa aku ini?’.” (Siyar A’lamin Nubala, 11/225)

Doa Ziarah Kubur
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
(وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ)
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا
وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada
kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan) orang-orang beriman dan
orang-orang Islam, (semoga Allah subhanahu wa ta’la merahmati
orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang
belakangan). Kami insya Allah akan bergabung bersama kalian, saya
meminta keselamatan untuk kami dan kalian.” (HR. Muslim 2/671 dan Ibnu Majah 2/494)

Lezatnya Ibadah Kepada Arrahman
Termasuk kenikmatan yang dirasakan
oleh seorang yang beriman adalah kebahagiaan yang didapat saat
beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berikut ini penjelasan
beberapa kiat agar kita bisa mendapatkan kebahagiaan saat beribadah.

Ayah Tiri Mahram bagi Istri Anak Tiri?
Ana mau tanya kepada Ustadzah barakallahu fikum, siapa sajakah wanita yang haram dinikahi oleh seorang lelaki karena hubungan mahram? Apakah istri anak tiri merupakan mahram bagi ayah tirinya? Jazakumullah khairan atas jawaban yang diberikan.Lanjutkan membaca Ayah Tiri Mahram bagi Istri Anak Tiri?
(Ummu Fulan, Cilacap, Jateng)
Posting Komentar