
Meniru Perilaku Kafir
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Setiap mengawali pergantian tahun
(Masehi), akan kita jumpai bagaimana meriahnya masyarakat dalam
merayakannya. Fenomena tahun baru berikut ritus yang dilakukan
masyarakat itu hanyalah secuil fakta betapa produk budaya Barat telah
menjadi bagian dari ritme kehidupan umat. Di tempat lain, “dengan niat
baik”, sebagian umat Islam menggelar “ritual tahun baru” guna menandingi
maraknya acara-acara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Paling akhir, menjamurnya acara reality
show di televisi semacam AFI dan Indonesian Idol juga “menggugah”
sebagian umat Islam untuk menggelar acara serupa. Lahirlah kemudian
kontes Nasyid.
Dua fenomena di atas seolah merupakan
dua sisi dari sekeping uang logam. Namun jika ditelusuri lebih dalam,
keduanya sama-sama cermin dari sikap latah umat ini meski niat yang
melatarinya berbeda.
Lembar sejarah telah lama mencatat,
lahirnya peringatan Maulid Nabi beberapa abad sepeninggal generasi
terbaik umat ini, juga lahir dari “niat baik” semata. Teladan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya seolah diabaikan begitu saja.
Tanpa sadar, umat Islam telah mempunyai
“hari natal tandingan” sendiri. Yang miris, melihat faktanya, peringatan
Maulud Nabi dan semacamnya pada prakteknya juga sangat jauh dari
nilai-nilai Islam. Bahkan boleh dikatakan menyentuh pun tidak. Setelah
hari-hari yang dirayakan itu berlalu, masyarakat yang merayakannya pun
tak memperoleh nilai tambah. Mereka masih awam tentang sunnah-sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih untuk mengamalkannya.
Masih soal latah. Dalam hal pemahaman
agama, para ‘pakar’ Islam juga lebih percaya diri menggunakan
konsep-konsep yang ditawarkan tokoh-tokoh Barat. Dalil mereka bukan lagi
Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi pendapat para orientalis. Pemahaman
Islam yang masih murni justru ditempeli segudang julukan negatif seperti
puritan, tekstual, jumud, ekstrim, dan kaku. Sementara pemahaman yang
merupakan hasil olah pikir pemikir Barat merupakan langkah maju dan
sikap kritis yang demokratis.
Di bidang eknomomi, para pakar kita
jugalah yang paling bersemangat membela sistem ekonomi Barat. Meski
terbukti, konsep ekonomi mereka tak mampu mengentaskan permasalahan yang
membelit negeri ini.
Sekali lagi, itulah fenomena keminderan
umat ini. Kesan bahwa apa-apa yang dari Barat (baca: Nashrani) lebih
maju demikian kuat. Segala yang berbau Barat, baik berupa busana, pola
hidup, maupun pemikiran ditelan mentah-mentah oleh umat. Celana jeans
tentu lebih dipilih kawula muda ketimbang sirwal atau sarung. Jas
lengkap dengan dasi juga menjadi prioritas utama dibandingkan dengan
gamis misalnya. Para ABG barangkali juga lebih mengenal artis-artis
Hollywood ketimbang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua ini adalah gambaran betapa umat
ini tanpa sadar telah menjadi pengekor budaya kaum kafir. Sikap
menyerupai orang kafir dalam pemikiran, budaya, pola hidup, terbukti
demikian kronis menjangkiti umat ini.
Tema tasyabbuh inilah yang kami angkat
untuk kajian utama edisi kita kali ini. Mengingat, tasyabbuh merupakan
perilaku umat yang sering dilakukan namun tidak pernah disadari
bahayanya bagi aqidah. Lebih detil, pembaca dapat menyimak beberapa
rubrik lain yang juga membahas tema di atas.
Di lembar Sakinah, tepatnya dalam rubrik
Mengayuh Biduk, pembaca akan disuguhi artikel tentang sikap sabar dalam
melihat kekurangan pasangan (suami/ istri) masing-masing. Sebuah sikap
yang barangkali sulit dijumpai di tengah kehidupan rumah tangga saat
ini. Juga masih ada kajian tentang mahram susuan, sebagai kelanjutan
dari artikel edisi-edisi sebelumnya. Tanpa berpanjang kata, kami dari
redaksi, mempersilahkan anda untuk menyimak lembar demi lembar majalah
ini.
Selamat mengkaji!
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Saat Cemburu Menyapa; Bagian ke-2
Suatu ketika, di malam giliran ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
meletakkan selendangnya, melepas kedua sandalnya, serta meletakkannya
di sisi kedua kakinya. Lalu beliau membentangkan ujung sarungnya di atas
tempat tidurnya, setelah itu beliau pun berbaring. Tak berapa lama,
beliau bangkit lalu mengambil selendangnya dengan perlahan dan
mengenakan sandalnya dengan perlahan agar tidak mengusik tidur ‘Aisyah,
kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar ‘Aisyah. Setelahnya, pintu
ditutup kembali dengan perlahan. ‘Aisyah yang ketika itu disangka telah
lelap dalam tidurnya, ternyata melihat apa yang diperbuat suaminya. Ia
pun bangkit mengenakan pakaian dan kerudungnya.
Selanjutnya, kita dengar penuturan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
“Kemudian aku mengikuti beliau, hingga beliau sampai di pekuburan
Baqi’. Beliau berdiri lama lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga
kali. Kemudian beliau berbalik dan aku pun berbalik. Beliau bersegera,
aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, aku pun berlari kecil. Beliau
berlari lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat
mendahului beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku
membaringkan tubuhku, beliau masuk.
Melihat keadaanku beliau pun berkata, “Ada apa dengan dirimu wahai ‘Aisyah, kulihat napasmu memburu?”
Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa.”
Beliau berkata, “Beritahu aku atau Allah subhanahu wa ta’ala yang akan mengabarkan kepadaku.”
Aku pun menceritakan apa yang baru
berlangsung. Mendengar ceritaku beliau berkata, “Berarti engkau adalah
sosok yang aku lihat di hadapanku tadi?”
Aku menjawab, “Iya.” Beliau mendorong
dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda,
“Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil
terhadapmu[1]?”
Aisyah berkata, “Bagaimana pun manusia menyembunyikannya, niscaya Allah mengetahuinya, memang semula aku menyangka demikian.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan, “Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, maka
aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya. Jibril tidak
mungkin masuk ke kamar ini sementara engkau telah membuka pakaianmu.
Tadi aku menyangka engkau sudah tidur maka aku tidak ingin membangunkan
tidurmu, karena aku khawatir engkau akan merasa sendirian (dalam sepi)
dalam kegelapan malam. Jibril berkata kepadaku saat itu, ‘Sesungguhnya
Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi pekuburan Baqi’ guna memintakan
ampun bagi penghuninya’…” (Sahih, HR. Muslim no. 974)
Masih kisah malam-malam ‘Aisyah. Ia pernah merasa kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka ia pun meraba-raba mencari beliau. Ia menyangka beliau pergi ke
rumah istri yang lain. Ternyata ‘Aisyah mendapatkan beliau sedang ruku’
atau sujud seraya berdoa:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.”
‘Aisyah pun berkata, “Sungguh, aku berada dalam satu keadaan, sementara engkau berada dalam keadaan yang lain.” (Sahih, HR. Muslim no. 485)
‘Aisyah juga menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya pada suatu malam, maka kata ‘Aisyah, “Aku pun cemburu.”
Lalu beliau datang melihat apa yang kuperbuat. Beliau bertanya, “Ada apa denganmu, wahai ‘Aisyah, apakah engkau cemburu?”
Aku menjawab, “Bagaimana orang sepertiku tidak cemburu dengan orang yang semisalmu?”
Beliau berkata, “Sungguh setanmu telah mendatangimu.[2] ” (Sahih, HR. Muslim no. 2815)
Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bila hendak bepergian (safar) beliau mengundi di antara istri-istrinya
siapa yang diajak dalam safar tersebut. Suatu ketika jatuhlah undian
kepada ‘Aisyah dan Hafshah, maka keduanya pun keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam safar tersebut, bila malam telah menjelang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berjalan bersisian dengan unta yang ditunggangi ‘Aisyah (yang berada di
dalam sekedup/semacam tandu yang diletakkan di atas unta, sehingga
tidak terlihat orang-orang di sekitarnya) dan beliau berbincang
bersamanya. Suatu ketika Hafshah berkata kepada ‘Aisyah, “Tidakkah engkau mau menaiki untaku malam ini dan aku menaiki untamu, hingga engkau bisa melihat dan aku bisa melihat?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.”[3]
Lalu ia pun menaiki unta Hafshah sementara Hafshah menaiki untanya. Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menuju unta yang biasa dinaiki ‘Aisyah tanpa mengetahui bahwa di dalam
sekedupnya adalah Hafshah, bukan ‘Aisyah. Beliau mengucapkan salam
kemudian berjalan bersisian dengan unta tersebut hingga mereka singgah
di suatu tempat. ‘Aisyah merasa kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada malam itu. Ia pun cemburu, hingga ketika mereka berhenti dan
singgah di suatu tempat, ‘Aisyah memasukkan kakinya ke dalam
rumput-rumputan seraya berkata, “Ya Rabbku, biarkanlah seekor kalajengking atau seekor ular menyengatku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa kepada Rasul-Mu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 2445)
Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri ‘terbagi’ dalam dua kelompok, satu kelompok terdiri dari
‘Aisyah, Hafshah, Shafiyyah, dan Saudah. Sedangkan kelompok lain terdiri
dari Ummu Salamah, Zainab bintu Jahsyin, Ummu Habibah, Juwairiyah, dan
Maimunah[4]. Kaum muslimin mengetahui bagaimana kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap ‘Aisyah. Maka bila mereka ingin memberikan hadiah kepada
beliau, mereka menanti saat beliau berada di rumah ‘Aisyah. Mengetahui
hal tersebut, berkatalah kelompok Ummu Salamah kepada Ummu Salamah, “Bicaralah
kepada Rasulullah agar beliau menyampaikan kepada manusia, ‘Siapa yang
ingin memberikan suatu hadiah kepada Rasulullah maka hendaklah dia
menyerahkan hadiah tersebut kepada beliau di mana saja beliau berada
dari rumah istri-istrinya (jangan hanya di rumah ‘Aisyah)’.”
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pun menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau hanya diam, tidak mengatakan sesuatu. Ketika Ummu Salamah ditanyai oleh kelompoknya, ia katakan, “Beliau tidak berkata apa-apa kepadaku.” Mereka berkata, “Sampaikan lagi kepada beliau.”
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha pun menyampaikan kembali keinginan mereka saat gilirannya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tetap diam. Pada kali yang ketiga, Ummu Salamah kembali diminta untuk
menyampaikan keinginan kelompoknya. Ketika itu berkatalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan
engkau menyakiti aku dalam perkara ‘Aisyah, karena sesungguhnya wahyu
tidak pernah diturunkan kepadaku saat aku berada dalam selimut seorang
istriku kecuali dalam selimut ‘Aisyah.”
Mendengar pernyataan demikian, Ummu Salamah berkata, “Aku bertaubat kepada Allah dari menyakitimu, wahai Rasulullah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2581)
Mereka pun pernah mengutus Fathimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menemui ayahnya guna meminta keadilan beliau dalam permasalahan
‘Aisyah, karena mereka mengetahui besarnya kedudukan ‘Aisyah di hati
beliau dan besarnya cinta beliau kepadanya[5].
Fathimah pun minta izin masuk menemui ayahnya yang ketika itu sedang
berbaring bersama ‘Aisyah di dalam selimutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkan. Fathimah radhiallahu ‘anha berkata, “Wahai
Rasulullah, istri-istrimu mengutusku untuk menemuimu guna meminta
keadilan kepadamu dalam permasalahan putri Abu Quhafah (maksudnya putri
Abu Bakr, yakni ‘Aisyah).”[6]
‘Aisyah terdiam mendengar hal tersebut. Sedangkan Rasulullah berucap, “Wahai putriku! Bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?”
Fathimah menjawab, “Ya.”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu cintailah ‘Aisyah.”
Mendengar hal tersebut, Fathimah pun
bangkit, pamit kepada ayahnya dan berlalu untuk mengabarkan hal itu
kepada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain. Mereka pun berkata kepada Fathimah, “Kami
memandangmu sedikit pun belum mencukupi apa yang kami inginkan.
Kembalilah kepada Rasulullah dan sampaikan lagi kehendak kami agar
beliau berlaku adil dalam permasalahan putri Abu Quhafah.”
Fathimah berkata, “Demi Allah! Aku tidak akan berbicara lagi tentang permasalahan ini kepada beliau.”
Maka istri-istri Nabi pun mengutus
Zainab bintu Jahsyin. Kata ‘Aisyah, “Zainab inilah yang menyamaiku dan
menyaingiku di antara mereka dalam kedudukan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang paling baik agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi,
paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk
bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan serta untuk mendekatkan diri kepada
Allah subhanahu wa ta’ala. Kecuali satu kekurangannya, ia cepat
marah (emosional) namun ia cepat pula menyadari kemarahannya tersebut
dan tidak terus-menerus dalam emosinya.”
Zainab pun meminta izin masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu berada dalam selimut bersama ‘Aisyah sebagaimana keadaan beliau ketika Fathimah menemuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun mengizinkan. Zainab lalu mengutarakan maksud kedatangannya. Setelah
itu ia mencela ‘Aisyah habis-habisan. ‘Aisyah berkata, “Aku
mengamat-amati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mencari tahu apakah beliau mengizinkan aku untuk membalas. Terus-menerus
Zainab melemparkan kemarahannya terhadapku hingga aku tahu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempermasalahkan bila aku membela diri.”
Maka ‘Aisyah pun membalas perbuatan Zainab tersebut, hingga ia dapat mematahkan ucapan Zainab dan mengalahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tersenyum seraya berkata, “Inilah dia putri Abu Bakr.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2581 dan Muslim no. 2442, lafadz di atas adalah menurut riwayat Muslim)
Kecemburuan ini juga ada di kalangan
para shahabiyyah. Al-Imam an-Nasa’i meriwayatkan dari Anas bin Malik
bahwasanya para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menikahi wanita Anshar?” Beliau menjawab,
إِنَّ فِيْهِمْ لَغِيْرَةً شَدِيْدَةً
“Pada diri mereka ada kecemburuan yang sangat.” (HR. an-Nasa’i, 6/69. Asy-Syaikh Muqbil berkata dalam ash-Shahihul Musnad [1/82], “Hadits sahih di atas syarat Muslim.”)
Cemburu Tidak Membutakan Mereka
Kisah-kisah cemburu di atas kita bawakan bukan untuk mencela istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan kita katakan mereka adalah wanita-wanita yang paling mulia. Cukuplah bagi mereka kemuliaan dengan Allah subhanahu wa ta’ala
memilih mereka menjadi pendamping hidup Rasul-Nya yang mulia.
Seandainya ulama kita tidak membawakan kisah cemburu mereka dalam
kitab-kitab yang kita warisi sampai hari ini niscaya kita pun tidak akan
menyinggungnya. Namun karena pada kisah mereka ada pelajaran dan ilmu
maka disampaikanlah kepada umat. Sekali lagi bukan dengan tujuan
melekatkan aib pada mereka.
Jangan pula kisah mereka dijadikan dalil
oleh wanita-wanita sekarang untuk membenarkan tindakan salah mereka
dengan dalih cemburu. Jangan pula wanita-wanita itu menolak ucapan baik
dari suami mereka yang menasihati mereka dalam masalah cemburu dengan
mengatakan, “Istri-istri Rasulullah juga cemburu dan berbuat ini dan itu karena dorongan cemburunya.”
Memang benar, mereka (istri-istri Rasul) cemburu dan engkau pun
cemburu, namun kebaikan yang ada pada diri mereka tidak didapatkan pada
dirimu….
Ketahuilah, bagaimanapun cemburu yang
ada di tengah mereka, tidaklah membuat mereka menutup mata dari kebaikan
yang ada pada madu mereka. Tidak pula mengantarkan mereka untuk membuat
kedustaan guna menjatuhkan madu mereka.
Satu contoh, ketika peristiwa Ifk[7], Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat Zainab bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha, salah seorang istri beliau, tentang diri ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau berkata kepada Zainab:
مَاذَا عَلِمْتِ أَوْ رَأَيْتِ؟ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَحْمِي سَمْعِي وَبَصَرِي، وَاللهِ مَا عَلِمْتُ إِلاَّ خَيْرًا
“Apa yang engkau
ketahui tentang Aisyah dan apa pendapatmu?” Zainab menjawab, “Wahai
Rasulullah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, demi Allah aku
tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 4141)
Lihatlah bagaimana kejujuran Zainab.
Cemburunya kepada ‘Aisyah tidak membuatnya lupa akan kebaikan dan
keutamaan ‘Aisyah. Demikian pula sebaliknya pada diri ‘Aisyah, ia pernah
memuji Zainab, “Aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang paling
baik agamanya daripada Zainab. Dia seorang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
paling jujur dalam ucapan, paling menyambung hubungan silaturahmi,
paling banyak bersedekah, paling banyak mencurahkan kemampuannya untuk
bekerja lalu hasilnya ia sedekahkan dan untuk mendekatkan diri kepada
Allah subhanahu wa ta’ala.” Padahal Zainab inilah yang menyamainya dalam kedudukan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Dengarkan pula pujian ‘Aisyah terhadap Juwairiyah radhiallahu ‘anha,
salah seorang Ummahatul Mukminin, “Kami tidak pernah mengetahui ada
seorang wanita yang lebih besar berkahnya terhadap kaumnya daripada
Juwairiyah.” (al-Istiab, 4/1805)
Pujian ini dilontarkan ‘Aisyah ketika
Bani Mushthaliq, kaum Juwairiyah, dibebaskan oleh kaum muslimin dari
penawanan karena pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan Juwairiyah. Pujian ini dengan jujur diucapkan ‘Aisyah padahal
sebelumnya ‘Aisyah cemburu kepada Juwairiyah. ‘Aisyah mengatakan,
“Juwairiyah adalah wanita yang berparas elok dan manis. Setiap orang
yang memandangnya pasti akan terpikat. Aku melihatnya dari balik pintu
saat menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
meminta tolong dalam perkara pembebasan dirinya dari status tawanan
perang. Ketika itu aku tidak menyukainya karena aku tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melihat keelokannya sebagaimana yang aku lihat.” (al-Isti’ab, 4/1804)
Demikian sedikit contoh dari kejadian
yang ada yang menunjukkan bahwa kecemburuan tidaklah membutakan mereka
dari kebenaran dan dari melihat kenyataan.
Bandingkan dengan apa yang ada pada diri
wanita-wanita yang cemburu pada hari ini… Sungguh cemburu membuat
mereka buta. Mereka jatuhkan kehormatan wanita yang mereka cemburui di
hadapan suami mereka dan di hadapan orang lain. Bahkan mereka menempuh
cara-cara yang dilarang oleh agama ini guna “menyingkirkan” wanita yang
membuat panas hatinya dengan luapan api cemburu. Wallahu al-musta’an (Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan).
Meredam Cemburu
Kita pasti memiliki cemburu seperti halnya istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia. Namun seharusnyalah kita bersabar dengan kecemburuan yang
ada pada diri kita dan berupaya meredamnya dengan kesabaran yang indah
ini. (Nashihati lin Nisa’, hlm. 161).
Ketahuilah kesabaran itu termasuk buah iman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala. (al-Jami’ush Shahih fil Qadar, asy-Syaikh Muqbil, hlm. 11)
Apa pun yang menimpa dan terjadi pada diri kita, semuanya tidak lepas dari ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan takdir-Nya. Hendaknya kita sadari bahwasanya semua ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala itu memiliki hikmah, dan hikmah itu terkadang bisa kita ketahui dan pada waktu lain tidak kita ketahui. Allah subhanahu wa ta’ala
sekali-kali tidak berbuat zalim kepada hamba-hamba-Nya. Dia Mahatahu
apa yang pantas dan baik bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui
apa yang sebenarnya baik bagi diri mereka, di dunia mereka dan di
akhirat mereka kelak.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Dengan pergi ke tempat istri yang lain sementara malam ini adalah malam giliranmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin melakukan hal tersebut tanpa izin dari Allah subhanahu wa ta’ala. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi terhadap Sunan an-Nasa’i, 4/75)
[2]
Dengan engkau menyangka bahwa aku pergi ke rumah istriku yang lain,
karena itu engkau menyelidikiku. (Hasyiyah al-Imam as-Sindi terhadap Sunan an-Nasa’i, 4/72)
[3] ‘Aisyah
memenuhi permintaan Hafshah karena ia sangat berkeinginan untuk melihat
apa yang belum pernah ia lihat. Hal ini menunjukkan ketika dalam
perjalanan, unta keduanya tidaklah berdekatan. (Fathul Bari, 9/375)
[4] Sedangkan istri beliau yang bernama Zainab bintu Khuzaimah Ummul Masakin radhiallahu ‘anha telah meninggal sebelum beliau menikah dengan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, demikian disebutkan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat.
[5]
Namun sebenarnya dalam permasalahan cinta ini, seorang suami tidaklah
dituntut untuk berlaku adil terhadap semua istrinya. Ia diperkenankan
untuk mencintai salah seorang istrinya melebihi yang lain.
Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di kalangan
ulama bahwasanya tidak wajib bagi seorang suami untuk menyamakan di
antara istri-istrinya dalam masalah jima’ (senggama). Ini merupakan pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi’i rahimahumallah. Hal ini karena terjadinya jima’
berawal dari dorongan syahwat dan adanya kecondongan hati, serta tidak
akan bisa seorang suami bersikap sama di antara istri-istrinya dalam hal
ini, karena hatinya kadang lebih condong kepada salah seorang istrinya
lebih dari yang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ
“Kalian tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara para istri walaupun kalian sangat ingin untuk berlaku adil.” (an-Nisa’: 129)
‘Abidah as-Silmani berkata, “Yakni
kalian tidak bisa berlaku adil dalam masalah cinta dan jima’.” Namun
bila seorang suami memungkinkan baginya berlaku adil dalam perkara
jima’, maka itu lebih baik dan lebih utama. Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi giliran di antara istri-istri beliau dan beliau berlaku adil terhadap mereka. Beliau pernah berkata, “Ya Allah, inilah pembagianku dalam apa yang aku mampu. Maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang aku tidak mampu.” (al-Mughni, 7/35)
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Tidak boleh seorang suami melebihkan salah seorang istrinya
dalam pembagian. Akan tetapi bila ia mencintai salah seorang istrinya
lebih dari yang lain, begitu pula ia menjima’inya lebih dari yang lain,
maka tidak ada dosa atasnya dalam hal ini.” (al-Fatawa, 32/269)
[6] Mereka meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan di antara mereka dalam masalah cinta. (Syarh Shahih Muslim, 15/205)
[7] Dalam peristiwa itu, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dituduh berzina dengan Shafwan ibnul Mu’aththal radhiallahu ‘anhu sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari perang Bani Mushthaliq. (Mukhtashar Siratir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 125)

Mengenal Tabiat Jiwa
Membahas hakikat jiwa manusia amatlah
penting karena seluruh penyakit kalbu timbul dari sana. Dari jiwalah,
benih-benih yang rusak menjalar ke seluruh anggota tubuh. Yang pertama
kali terkena adalah kalbu.
Oleh karenanya, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar melindunginya dari kejahatan jiwa manusia:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
“Sesungguhnya
pujian itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya,
dan memohon ampunan dari-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari
kejahatan jiwa-jiwa kami.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari sifat dan amal jiwa itu. Telah disepakati bahwa jiwa dapat memutus hubungan perjalanan kalbu menuju Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam menghadapi jiwa ini, manusia
terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok dari mereka telah berhasil
mengalahkan jiwanya dan menundukkannya sehingga selalu taat terhadap
perintah agama. Tapi sekelompok yang lain justru jiwanya yang menguasai
sehingga ia selalu tunduk kepada semua titah jiwanya yang akhirnya
membinasakannya.
Sebagian ahli hikmah mengatakan,
“Perjalanan para penuntut ridha Allah berakhir dengan menundukkan jiwa
mereka. Maka barang siapa yang menang atas jiwanya, ia telah menang dan
berhasil. Barang siapa yang jiwanya menguasainya, ia rugi dan binasa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَن طَغَىٰ ٣٧ وَءَاثَرَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ٣٨ فَإِنَّ ٱلۡجَحِيمَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ ٣٩ وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ ٤١
“Adapun orang
yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (an-Nazi’at: 37—41)
Jiwa mengajak untuk melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia. Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala
mengajak untuk takut kepada-Nya dan menahan jiwa dari
keinginan-keinginannya. Maka kalbu berada di antara dua penyeru.
Terkadang cenderung kepada yang satu dan terkadang cenderung kepada yang
lainnya. Inilah tempat cobaan dan ujian.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menyifati jiwa dalam Al-Qur’an dengan tiga sifat: al-muthmainnah, al-ammarah bis-suu’, dan al-lawwamah.
Nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang) yaitu yang tenteram menuju Allah subhanahu wa ta’ala,
tenang dengan berzikir kepada-Nya, kembali kepada-Nya, merindukan
pertemuan dengan-Nya, dan tenteram dengan kedekatan-Nya. Jiwa itulah
yang akan diberi kabar gembira ketika wafatnya, seperti dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27—28)
Yaitu seorang mukmin yang jiwanya tenang terhadap apa yang Allah subhanahu wa ta’ala janjikan, demikian ditafsirkan oleh Qatadah rahimahullah. Al-Hasan rahimahullah menafsirkan, yaitu yang merasa tenang dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dan membenarkannya. Mujahid rahimahullah mengatakan, yaitu jiwa yang kembali dan tunduk (kepada Allah subhanahu wa ta’ala) yang yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Rabbnya. Hatinya tunduk kepada perintah-Nya dan taat kepada-Nya, serta yakin dengan pertemuan dengan-Nya.
Jadi hakikat thuma’ninah jiwa adalah ketenteraman dan ketenangan. Tenteram bersama Allah subhanahu wa ta’ala,
ketaatan-Nya, dan dengan mengingat-Nya, serta tidak tenteram kepada
selain-Nya. Tenang dengan cinta-Nya, peribadatan-Nya, dan berzikir
kepada-Nya. Juga tenteram kepada perintah-Nya, larangan-Nya, dan
berita-Nya. Tenteram dengan membenarkan hakikat asma dan sifat-Nya, dan
ridha akan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulnya. Tenteram dengan qadha dan qadar-Nya. Tenteram dengan perlindungan dan jaminan-Nya. Tenteram dengan Allah subhanahu wa ta’ala
sebagai Rabbnya, ilahnya, sesembahannya, yang memiliki dirinya, dan
segala urusannya, serta bahwa kembalinya hanya kepada-Nya, dan ia tidak
pernah bisa lepas darinya sekejap mata pun.
Jika sebuah jiwa memiliki lawan dari sifat-sifat di atas, maka itu adalah jiwa ammarah bis-suu’
(suka memerintahkan kepada kejelekan). Yang menitahkan kepada jiwa
untuk mengikuti apa yang diinginkannya, yang melenceng, dan mengekor
kepada kebatilan. Maka jiwa semacam itu adalah sarang segala kejelekan.
Jika ditaati, akan menyeretnya pada segala kejelekan.
Ammarah artinya selalu
memerintahkan. Maksudnya, telah menjadi kebiasaan dan adatnya karena
sifat kebodohan dan kezaliman yang ada padanya. Ia terus akan seperti
itu kecuali jika dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Kalaulah tidak karena Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak satu jiwa pun akan suci dari sifat-sifat tercela itu.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ditanya apakah nafsu lawwamah itu? Jawabnya, “Yaitu yang suka mencela (dirinya).” Al-Hasan rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin—demi Allah—tidak engkau lihat
kecuali mencela dirinya dalam segala keadaannya. Ia merasa kurang dalam
segala apa yang ia lakukan sehingga menyesali dan mencelanya. Adapun
orang yang jahat, ia akan terus melaju tanpa mencela dirinya.”
Mujahid rahimahullah mengatakan, yaitu yang menyesali atas apa yang terlewatkan dan mencela dirinya.
Nafsu lawwamah karena seringnya bimbang maka ia mencela dirinya.
Kesimpulannya, sebuah jiwa terkadang menjadi nafsu ammarah, terkadang menjadi nafsu lawwamah, dan terkadang menjadi nafsu muthmainnah.
Bahkan dalam satu hari atau satu saat, terkadang jadi seperti ini atau
seperti itu. Yang akan menguasai adalah yang banyak mendominasi
keadaannya.
Sifat muthmainnah adalah sifat yang terpuji. Sifat ammarah adalah sifat tercela baginya. Sedangkan sifat lawwamah bisa jadi pujian dan bisa jadi celaan, tergantung pada apa yang ia sesali.
(Diterjemahkan dan diringkas dari Ighatsatul Lahafan, hlm. 82—86 karya Ibnul Qayyim)
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Wanita Suci dari Haid Setelah Waktu Shalat
Benarkah apabila wanita haid suci setelah Ashar, maka diharuskan shalat Dzuhur dan Ashar? Dan bila suci setelah shalat ‘Isya, maka harus shalat Maghrib dan ‘Isya? Apakah ada hadits sahih yang menunjukkan hal tersebut?
Ukhti Zahrah
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Alhamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala alihi waman walah.
Sesungguhnya apa yang ditanyakan di sini adalah permasalahan khilafiyyah yang diperselisihkan oleh para ulama:
- Mazhab al-Imam Ahmad, asy-Syafi’i, tujuh fuqaha Madinah (al-fuqaha as-sab’ah), dan lainnya adalah sebagaimana yang dituturkan dalam pertanyaan. Dengan dalil, bahwa waktu shalat Ashar merupakan waktu untuk shalat Dzuhur, begitu pula waktu shalat ‘Isya merupakan waktu untuk shalat maghrib bagi orang yang menjama’ shalat karena udzur safar. Maka wanita haid yang suci di waktu Ashar kehilangan waktu Dzuhur karena udzur, yaitu haid. Sehingga, wajib baginya untuk shalat Dzuhur dan Ashar. Demikian pula bagi yang suci di waktu ‘Isya. Hadits khusus yang menunjukkan hal itu sendiri tidak ada. Yang ada adalah atsar yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, bahwa Ibnu ‘Abbas dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhuma berfatwa demikian.
- Mazhab al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, Abu Hanifah, al-Imam Malik, Dawud adz-Dzahiri, dan yang lainnya, bahwa dia hanya diwajibkan shalat Ashar saja apabila suci pada waktu Ashar atau shalat ‘Isya saja apabila suci pada waktu ‘Isya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, muttafaqun ‘alaihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Barang siapa yang mendapati satu rakaat dari waktu shalat berarti dia telah mendapati shalat tersebut.”
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila
wanita yang suci dari haidnya mendapati waktu suatu shalat yang
memungkinkan dia untuk melaksanakan satu rakaat dari shalat tersebut,
maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat tersebut. Adapun shalat
yang sebelumnya maka tidak diwajibkan atasnya, karena dia tidak
mendapati waktunya sedikit pun dan shalat tersebut telah berlalu
waktunya. Dia lalui waktu tersebut dalam keadaan tidak terbebani untuk
melaksanakan shalat tersebut karena haid yang dialaminya. Maka bagaimana
mungkin kita mewajibkan atasnya untuk melaksanakan suatu shalat yang
dia lalui waktunya dalam keadaan tidak terbebani dengannya?
Oleh karena itu, kami memandang bahwa yang rajih adalah pendapat kedua, dan pendapat ini adalah tarjih (yang dikuatkan oleh) asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (al-Majmu’, 3/70, al-Mughni, 1/95, asy-Syarhul Mumti’, 2/129—131)
Kemudian berdasarkan hadits di atas, maka yang rajih
(kuat) bahwa wanita yang baru suci dari haid, yang wajib melaksanakan
shalat adalah yang dia dapati waktunya. Dipersyaratkan minimal dia
mendapati sisa waktu untuk menunaikan satu rakaat. Ini adalah salah satu
pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad, yang di-tarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Adapun jika dia suci dari haid dan tidak tersisa dari waktunya untuk
bisa menunaikan satu rakaat maka tidak wajib atasnya untuk melaksanakan
shalat tersebut. (al-Mughni, 1/273, asy-Syarhul Mumti’, 2/ 117)
Satu rakaat yang dimaksud berupa takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, ruku’, i’tidal
(bangkit dari ruku’), sujud dua kali yang diselai duduk di antara dua
sujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar, dan asy-Syaukani. (Fathul Bari, 2/56, Nailul Authar, 2/22)
Namun apakah dipersyaratkan bersama satu rakaat tersebut waktu yang digunakan untuk bersuci atau tidak?
Ada dua pendapat di kalangan ulama, namun al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa dzahir hadits (yang tampak dari hadits) adalah tidak dipersyaratkan. Wallahu a’lam. (al-Majmu’, 3/69)

Tangisan Seorang Mukmin
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Barang siapa yang ilmunya membuat dia menangis, maka dia seorang yang alim.” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّدٗاۤ ١٠٧
“Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an
dibacakan kepadanya, mereka menyungkurkan muka mereka sambil bersujud.” (al-Isra’: 107)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُ ٱلرَّحۡمَٰنِ خَرُّواْۤ سُجَّدٗاۤ وَبُكِيّٗا۩ ٥٨
“Apabila dibacakan ayat-ayat
Ar-Rahman (Dzat Yang Maha Pemurah) kepada mereka, maka mereka menyungkur
dengan sujud dan menangis.” (Maryam: 58) (Mawa’izh lil Imam Sufyan ats-Tsauri, hlm. 132—133)
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Andai seseorang menangis pada sekumpulan manusia karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya mereka dirahmati semuanya.”
“Tidak ada satu amalan pun kecuali ada timbangannya yang jelas kecuali menangis karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala tidak membatasi sedikit pun nilai dari setiap tetes air matanya.”
Beliau juga berkata, “Tidaklah seseorang menangis kecuali hatinya menjadi saksi akan kebenaran atau kedustaan dia.” (Mawa’izh lil Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 109)
Abdul Karim bin Rasyid rahimahullah
berkata, “Aku pernah berada di majelis al-Hasan al-Bashri, kemudian ada
yang menangis dengan mengeraskan tangisannya. Al-Hasan berkata,
‘Sesungguhnya sekarang setan telah membuat orang ini menangis’.” (Mawa’izh lil Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 152)

Dua Sifat Yang Dibenci Para Pencari Kebenaran
Perbedaan sifat/ tabiat di antara
manusia memang hal lumrah karena itu merupakan bagian dari ketentuan
Allah subhanahu wa ta’ala. Namun tentu saja, sebagai makhluk-Nya kita
dituntut berikhtiar dengan menjauhi akhlak dan tabiat yang jelek. Di
antaranya adalah rakus dunia dan tidak mau rujuk kepada ulama.

Dua Kalimat yang Berfaedah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ :ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيم
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan dan dicintai oleh Ar-Rahman (adalah): Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘adzim.” (Shahih al-Bukhari hadits no. 7008; Shahih Muslim hadits no. 4860)

Adab Keluar Rumah
Saudariku muslimah…
Telah termaktub dalam al-Qur’an, ayat yang berbunyi,
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (al-Ahzab: 33)

Ar-Radha’ (Hukum Persusuan)
Hubungan mahram bisa terjalin dengan
tiga sebab: hubungan nasab, penyusuan, dan karena pernikahan. Kajian
mahram karena hubungan nasab dan pernikahan telah dibahas dalam edisi
sebelumnya. Edisi kali ini akan mengulas hubungan mahram karena sebab
kedua, yaitu karena penyusuan. Namun sebelumnya kami bawakan hukum
penyusuan ini secara umum untuk tambahan faedah ilmu bagi kita semua,
wabillahi taufik.

Zainab bintu Rasulullah
Cinta tak cukup untuk menyatukan dua manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali yang telah terpisahkan sekian lama.

Wujudkan Anganmu dengan Bimbingan Ilmu
Suatu ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu melihat dua orang laki-laki. Bertanyalah beliau pada salah seorang dari mereka, “Siapa orang ini?”
Orang itu menjawab, “Dia ayahku.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
kemudian berpesan, “Jangan engkau panggil dia dengan menyebut namanya,
jangan berjalan di depannya, dan jangan engkau duduk sebelum dia duduk.”

Seputar Zakat Fitrah
Zakat Fitrah
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan?

Hikmah Dakwah Nabi Ibrahim; Bagian ke-2
Karena menghancurkan seluruh berhala
milik kaumnya—hanya menyisakan patung yang paling besar—Nabi Ibrahim
‘alaihissalam pun ditangkap dan dibawa ke tengah lapangan. Namun
sesungguhnya inilah yang diharapkan beliau agar dirinya bisa menegakkan
hujjah (keterangan) di depan orang banyak.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun
Siapakah yang mampu menolak ketetapan
Allah ketika Ia menakdirkan lahirnya seorang nabi yang kemudian
dibesarkan di lingkungan musuh besarnya. Dialah Musa ‘alaihissalam, nabi
yang sempat mengenyam asuhan dari istri sang angkara murka, Fir’aun.
Kisahnya yang agung banyak menghiasi lembar al-Qur’an serta memberikan
banyak pelajaran berharga bagi umat nabi lain di kemudian hari.

Membungkam Lolongan Para Thaghut Penyeru Pluralisme dan Inkluvisme
MEMBUNGKAM LOLONGAN PARA THAGHUT PENYERU PLURALISME DAN INKLUSIVISME[1]
Abu Hurairah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah mendengar dariku seseorang dari umat ini[2] baik
orang Yahudi maupun orang Nasrani, kemudian ia mati dalam keadaan ia
tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni
neraka.”

Bila Kuburan Diagungkan
Suatu ketika mungkin kita pernah
menyaksikan sebuah bus besar membawa rombongan yang di sampingnya
terdapat sebuah tulisan “Rombongan Ziarah Makam Sunan Fulan”. Mereka
terkadang datang dari tempat yang jaraknya ratusan kilometer, semata
hanya ingin berdoa di sisi kuburan Sunan Fulan karena memiliki keyakinan
bahwa doanya akan lebih terkabul. Pemandangan seperti ini dan yang
sejenisnya banyak dijumpai di sekitar kita. Padahal kalau kita mau
menelaah, praktik demikian merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam.
Lebih jauh lagi ia merupakan bagian dari perilaku jahiliah, yaitu
amalan orang-orang sebelum Islam datang.

Masyarakat Madinah
Kedatangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di Madinah menimbulkan ketidaksenangan kalangan Yahudi
yang tinggal di negeri tersebut. Masuk Islamnya tokoh mereka Abdullah
bin Salam dan turunnya syariat tentang perpindahan kiblat adalah
sebagian persoalan yang memicu gesekan dengan kaum muslimin. Puncaknya,
beberapa kabilah besar mereka seperti bani Nadhir, bani Qainuqa’, dan
bani Quraizhah menyatakan perang dengan umat Islam setelah sebelumnya
mengkhianati perjanjian damai yang telah dibuat.

Tokoh-tokoh Penyeru Penyatuan Agama
Ironis memang, ketika didapati
sebagian “muslimin” yang menisbatkan dirinya kepada Islam menyambut baik
seruan penyatuan agama, paling bersemangat menghadiri
seminar-seminarnya, serta paling tinggi suaranya. Bahkan mengalahkan
kegigihan orang-orang kafir dalam menyuarakannya. Yang menyedihkan, di
antara mereka adalah ‘tokoh’ yang suaranya sangat didengar umat.

Batasan Toleransi
Toleransi selama ini terbukti
cukup ‘sakti’ dan banyak memakan korban dari umat Islam yang memang
hidup di tengah masyarakat yang majemuk. Toleransi kerap kali dijadikan
sebagai pembenar untuk melegalkan perbedaan dan perselisihan meskipun
hal tersebut sudah menyentuh prinsip-prinsip agama. Bagaimana
sesungguhnya konsep toleransi dalam Islam?

Sinkretisme Agama
Bagaimana jadinya jika Islam,
Yahudi, dan Nasrani disatukan di bawah satu payung akidah? Yang
terbayang di benak umat Islam yang masih berakal barangkali adalah
sebuah permisalan laksana minyak dengan air, dua senyawa di muka bumi
yang tak mungkin bersatu selama-lamanya. Namun inilah ide setan kesekian
kalinya yang tengah dirumuskan para perusak agama saat ini, dan
ironisnya justru kaum musliminlah yang selalu menjadi target untuk
dipaksa menelan ide setan ini mentah-mentah.
Posting Komentar