
Menyusui anak yang sudah besar/dewasa
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi
walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang
disebutkan dalam ayat. Lanjutkan membaca Menyusui anak yang sudah besar/dewasa

Mahram Susuan
Pada edisi terdahulu kita telah
ketahui bila seorang bayi disusui oleh wanita selain ibunya (ibu susu)
terjalinlah hubungan mahram antara keduanya berikut pihak-pihak tertentu
yang terkait dengan keduanya. Namun hubungan mahram tersebut tidak
dapat terjalin bila tidak menetapi ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu
kapan/pada usia berapa penyusuan itu terjadi dan berapa kali terjadinya
penyusuan (kadar penyusuan).

Ruqayyah dan Ummu Kultsum, Kisah Perjalanan Dua Cahaya
Tumbuh beriringan bak dua kuntum
bunga, berhias keindahan. Lepas dari belenggu ikatan, bertabur
kemuliaan. Berlabuh di sisi kekasih nan dermawan, sang pemilik dua
cahaya.

Dia yang Selalu Bersamamu
Salah satu bekal yang penting
diberikan para orang tua kepada anak-anaknya adalah upaya menumbuhkan
rasa optimis pada diri anak dalam menghadapi kehidupan yang sarat dengan
problema. Cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan
mengenalkan pada anak akan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala yang
diberikan kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Anak perlu dipahamkan
bahwa bila Allah telah memberikan pertolongan-Nya, maka permasalahan
seberat apa pun akan bisa diselesaikan.

Jangan Terlalu Membenci Istri
Suami yang bijak adalah orang yang mau
menerima segala kekurangan yang ada pada istrinya. Ia menyadari bahwa
tidak ada wanita yang sempurna, yang bisa memenuhi semua harapannya.
Inilah salah satu kunci terciptanya keharmonisan rumah tangga, yang
selayaknya dimiliki oleh setiap suami.

Hukum Memotong Jenggot
Lanjutkan membaca Hukum Memotong JenggotApa hukum mencukur jenggot sampai habis atau memotong sebagiannya?

Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun (bagian 2)
Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam
banyak memberikan pelajaran berharga bagi umat sesudahnya. Allah
subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah tersebut di dalam Al-Qur’an juga
agar umat Islam bisa mengambil pelajaran tersebut. Berikut ini beberapa
pelajaran yang bisa dipetik.

Shaffiyah Binti Huyai Cinta dari Tanah Khaibar
Benteng-benteng Khaibar menyisakan
kemenangan bagi kaum muslimin setelah terkepung selama 20 hari. Pasukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak hanya pulang membawa
kegemilangan, namun juga membawa cinta seorang wanita, Shafiyyah bintu
Huyai radhiallahu ‘anha.

Kecupan Kasih Sayang
Banyak hal yang bisa dilakukan orang
tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai
agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan
dalam hal ini.

Islam Diantara Hantaman Badai Peradaban Kuffar
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
Kalian
sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya
mereka masuk ke lubang dhabb (binatang sejenis biawak), niscaya kalian
akan masuk pula ke dalamnya.
Kami tanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nasrani?”
Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya,
kitab Ahaditsul Anbiya, bab “Ma Dzukira ‘an Bani Israil” (no. 3456) dan
Kitab al-I‘tisham bil Kitab was-Sunnah, bab “Qaulin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Latattabi‘unna sanana man kana qablakum’.” (no. 7320) dan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-‘Ilmi (no. 2669) dan diberi judul bab oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab “Ittiba‘u Sananil Yahudi
wan Nasrani”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang senada dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَالرُّوْمِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسِ إِلاَّ أُولَئِكَ؟
“Tidak akan
tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat sebelumnya
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.”
Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?[1]”
Beliau menjawab, “Siapa lagi dari manusia kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 7319)
Pengabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits yang mulia di atas merupakan tanda dan bukti tentang kebenaran nubuwwah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta merupakan mukjizat beliau yang dzahir karena telah tampak dan telah terjadi apa yang beliau beritakan tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Kitabut Tauhid, hlm. 26, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Lebih khusus lagi bila kita menyaksikan
keadaan kaum muslimin di zaman kita ini, kebiasaan menyerupai dan meniru
orang Barat yang notabene mereka itu adalah orang-orang kafir dari
kalangan Yahudi dan Nasrani, merupakan fenomena yang biasa namun
menyakitkan dan menyedihkan. Dengan budaya penjajah ini, kalangan muda
maupun orang-orang tua dari kaum muslimin seakan merasa minder dan
rendah derajatnya bila tidak sama dengan gaya hidup, model, dan budaya
orang-orang kafir (peradaban kuffar). Sebaliknya, mereka merasa bangga
dan sangat percaya diri bila mana mereka dapat “tampil sama” atau paling
tidak sekedar mirip dengan orang-orang kafir.
Budaya “yang penting dari Barat” dan
“asal sama dengan Barat” ini telah mencengkeram kehidupan kaum muslimin
dari kalangan orang-orang metropolitan, merambah sampai ke pedesaan dan
pedusunan yang terpencil bagaikan sebuah revolusi peradaban yang telah
disiapkan oleh orang-orang kafir sehingga semua yang datang dari Barat
mereka anggap baik dan diterima dengan penuh ketundukan. Ibaratnya
mereka berkata sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat), baik itu cara berpakaian, cara bergaul, cara makan, cara berbicara, gaya hidup, dan sebagainya.
Budaya-budaya impor yang diobral
orang-orang Barat lewat media massa baik di televisi yang merupakan da’i
yang paling berhasil di sisi mereka ataupun lewat ekspos kehidupan
artis-artis mereka yang laku keras diterima oleh kaum muslimin yang
maghru (tertipu) dan buta mata hatinya dari semua lapisan. Jangankan
mereka yang dikatakan bodoh terhadap agamanya, orang yang dianggap tahu
agama pun ikut jadi korban.
Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah
dan yang lainnya dari kalangan salaf berkata, “Sungguh orang yang rusak
dari kalangan ulama kita, karena penyerupaannya dengan Yahudi. Orang
yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, karena penyerupaannya dengan
Nasrani.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 23—23)
Gelombang badai yang besar ini menghantam segala apa yang ada di hadapannya dan membawa korban yang besar. Wallahu al-Musta‘an wa ilallahi al-Musytaka (Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita meminta tolong dan mengadu).
Sungguh benar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika menyatakan umat beliau akan meniru dan menyerupai umat
terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Karena saking
ingin sama dan serupanya dengan peradaban kafirin, bila diibaratkan
umat terdahulu masuk ke lubang dhabb yang sedemikian sempit, maka umat ini pun akan masuk pula ke dalamnya. Nas’alullah as-Salamah wal ‘Afiyah (hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon keselamatan).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan, “Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengkhususkan penyebutan lubang dhabb karena lubangnya sangat sempit.
Namun bersamaan dengan itu umat beliau akan mengambil jejak umat
terdahulu dan mengikuti jalan mereka, walaupun seandainya mereka masuk
ke lubang yang sesempit itu niscaya umat ini akan tetap mengikutinya.” (Fathul Bari, 6/602)
Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta
dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan
betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan
dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan
dicela oleh syariat. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitahukan bahwa umat beliau akan mengikuti perkara-perkara baru
(yang diada-adakan), bid’ah, dan hawa nafsu, sebagaimana terjadi pada
umat-umat sebelum mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memperingatkan hal ini dalam hadits yang banyak bahwasanya di
akhir zaman akan ada kejelekan. Hari kiamat tidak akan datang kecuali
pada sejelek-sejelek manusia dan agama ini hanya tetap tegak di sisi
orang-orang yang khusus.”[2] (Fathul Bari, 13/314)
Dalam hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Yahudi dan Nasrani, sedangkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebut Persia dan Romawi. Karena memang Romawi identik dengan
Nasrani, sementara di kalangan bangsa Persia ada orang Yahudi. Namun
dimungkinkan pula Rasulullah memberikan jawaban sesuai dengan tempatnya,
yakni dalam perkara yang berkaitan dengan hukum di antara manusia dan
politik kemasyarakatan, umat ini akan mengikuti Persia dan Romawi. Dalam
perkara yang berkaitan dengan agama yang pokok maupun yang cabangnya,
umat ini akan mencontoh Yahudi dan Nasrani. (Fathul Bari, 13/314)
Keharusan Menyelisihi Kuffar dan Tercelanya Tasyabbuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam sabda beliau,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”
Tidaklah dimaksudkan beliau memberikan
pengesahan dan penetapan tentang bolehnya hal tersebut, namun justru
yang beliau inginkan adalah memberi tahdzir (peringatan) dari mengikuti
orang kafir dalam perkara kesesatan dan penyimpangan. (al- Qaulul Mufid, 1/202, I’anatul Mustafid, 1/224)
Ketika para sahabat radhiallahu ‘anhum yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah ingin ber-tabarruk
(mencari berkah) dengan pohon, beliau mengingkari dengan keras dan
menyatakan bahwa ucapan mereka menyerupai dan persis dengan ucapan bani
Israil yang minta sesembahan (ilaah) kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Setelah itu, beliau mengabarkan bahwa umat beliau akan mengikuti jalannya umat terdahulu.
Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain sementara kami ketika itu baru saja meninggalkan kekufuran—mereka baru berislam ketika Fathu Makkah.”
Abu Waqid berkata setelah itu, “Lalu
kami melewati sebuah pohon, kami pun berkata, ‘Wahai Rasulullah,
buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath[3]
sebagaimana mereka (orang-orang kafir musyrikin) memiliki Dzatu Anwath
yang berupa sebuah pohon, tempat mereka beri’tikaf (berdiam) di
sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon
tersebut.’ Mendengar permintaan kami seperti itu, bersabdalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللهُ أَكْبَرُ وَقُلْتُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ– كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى: اِجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُم آلِهَةٌ. قَالَ: إِنَّكُم قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
‘Allah Mahabesar![4]
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah
berucap sebagaimana ucapan bani Israil kepada Musa: (‘Buatkanlah untuk
kami ilaah sebagaimana mereka memiliki ilaah-ilaah.’ Musa pun berkata,
‘Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang bodoh.’)[5]. Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.’ (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, 5/218, at-Tirmidzi, 6/343, Ibnu Abi ‘Ashim dalam as- Sunnah, no. 76, berkata asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah, “Isnadnya hasan.”)
Dalam kisah di atas jelas sekali bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan demikian dalam rangka peringatan dan pengingkaran beliau
bila umat beliau mengikuti umat terdahulu. Asy-Syaikh Sulaiman bin
Abdillah rahimahullah berkata, “Di sini ada larangan dari perbuatan tasyabbuh dengan orang-orang jahiliah dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm. 143)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “(Hadits) ini merupakan pengabaran tentang akan terjadinya
perkara tersebut dan celaan bagi orang yang melakukannya. Hal ini
seperti pengabaran beliau tentang apa yang akan dilakukan manusia
menjelang datangnya hari kiamat sebagai tanda-tanda kiamat dan
perbuatan-perbuatan mereka nantinya berupa perkara-perkara yang
diharamkan.
Dengan demikian diketahui, penyerupaan
(tasyabbuh) umat ini dengan Yahudi dan Nasrani serta Persia dan Romawi
termasuk perkara yang dicela oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.” (Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 77)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda sebagai peringatan dari menyerupai suatu kaum,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 3012, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Hijabul Mar’ah hlm. 104 dan al-Irwa no. 1269)
Al-Qari rahimahullah berkata,
“Siapa yang menyerupai orang-orang kafir, fasik, fajir (jahat), pengikut
tashawwuf, atau menyerupai orang yang berbuat kebaikan semisal dalam
berpakaian dan selainnya, (maka ia termasuk mereka) yakni dalam dosa
ataupun dalam kebaikan.” (‘Aunul Ma’bud, 11/51)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Apa yang menimpa sebagian kaum muslimin berupa perkara-perkara yang
jelek lagi mengerikan, mayoritas terjadi dikarenakan tasyabbuh dengan
kuffar. Semisal kesyirikan yang terjadi di Makkah, awalnya disebabkan
karena tasyabbuh dengan kuffar.” (I’anatul Mustafid, 1/220)
Merupakan sifat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mengubah kemungkaran apabila beliau melihatnya dan menyerukan
kepada yang ma‘ruf dan menganjurkannya apabila beliau mengetahuinya.
Ketika ada perkara mungkar baik itu maksiat, kesyirikan, ataupun
kekufuran, beliau pasti mengingkarinya. Di antara pengingkaran itu
adalah, beliau paling tidak suka bila ada satu perkara yang dilakukan
oleh kaum muslimin menyepakati atau menyerupai orang-orang kafir. Hal
tersebut salah satunya bisa kita lihat dalam peristiwa disyariatkannya
adzan.
Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma
berkata, “Kaum muslimin ketika telah menetap di Madinah, mereka
berkumpul dan memperkirakan datangnya waktu shalat dan ketika itu belum
ada seruan untuk shalat (belum ada azan). Suatu hari mereka membicarakan
hal tersebut. Sebagian mereka berkata, ‘Ambillah lonceng (dibunyikan
sebagai tanda seruan untuk shalat) seperti loncengnya Nasrani.’ Yang
lain berkata, ‘Gunakan terompet seperti terompetnya Yahudi.’
‘Umar berkata, ‘Apakah tidak sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk memanggil manusia agar berkumpul untuk shalat?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Bilal, bangkitlah, serukan azan untuk shalat’.” (HR. al-Bukhari no. 604 dan Muslim no. 277)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyukai terompet Yahudi yang ditiup dengan mulut dan lonceng
Nasrani yang dipukul dengan tangan, karena meniup terompet dan
membunyikan lonceng itu merupakan perbuatan orang Yahudi dan Nasrani.
Hal ini menunjukkan larangan beliau dari seluruh perkara yang merupakan
kebiasaan Yahudi dan Nasrani. (Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 189)
Faedah
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Adapun dalam perkara-perkara yang mubah maka tidak masalah
mengambilnya (dari selain muslimin). Kita boleh mengambil
pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dari musyrikin. Demikian juga
barang-barang dagangan dan persenjataan. Perkara-perkara ini sebetulnya
asalnya untuk kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ مَنۡ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِيٓ أَخۡرَجَ لِعِبَادِهِۦ وَٱلطَّيِّبَٰتِ مِنَ ٱلرِّزۡقِۚ قُلۡ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا خَالِصَةٗ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ
Katakanlah,
‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) yang baik-baik dari
rezeki?’ Katakanlah, ‘Perhiasan dan yang baik-baik dari rezeki ini
diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan
khusus bagi mereka nantinya pada hari kiamat.’ (al-A’raf: 32)
Perkara-perkara yang bermanfaat asalnya
diperuntukkan bagi kaum muslimin. Namun ketika kaum muslimin
bermalas-malasan dan bermusuh-musuhan, mereka pun mengambil bagiannya.
Dengan begitu tidak ada penghalang bagi kaum muslimin untuk mengambil
perkara-perkara yang bermanfaat tersebut, dan ini bukanlah termasuk
tasyabbuh. Karena yang dinamakan tasyabbuh hanyalah mengikuti mereka
dalam perkara-perkara yang tidak ada faedahnya dan tidak ada nilainya,
atau mengikuti mereka dalam perkara-perkara yang termasuk dalam ibadah,
akidah, dan agama.” (I‘anatul Mustafid, 1/224)
Kekokohan Islam
Islam bagaikan mercusuar yang menerangi
dan memberi petunjuk kepada kapal-kapal di tengah samudra di malam yang
kelam dan pekat sehingga kapal-kapal tersebut bisa terarahkan dan
terbimbing di dalam pelayarannya. Kapal yang mau mengambil penerangan
dan petunjuknya, akan selamat berlayar di tengah lautan. Namun bagi yang
enggan akan memperoleh hasil kebinasaannya.
Walaupun dengan keberadaannya di tengah
samudra, mercusuar tidak luput dari hantaman badai dan gelombang samudra
yang begitu keras dan dasyhat, namun ia tetap kokoh berdiri, memberikan
cahayanya untuk kemanfaatan. Demikian juga gambaran Islam, walaupun ia
terus dihantam badai dan gelombang yang dahsyat dari musuh-musuhnya
dengan segala makar yang ditujukan untuk meruntuhkannya, namun ia tetap
kokoh berdiri dengan sinarnya yang tetap menerangi. Hal ini tentunya
karena Allah subhanahu wa ta’ala lah yang menyempurnakan cahaya Islam tersebut.
يُرِيدُونَ لِيُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨
“Mereka ingin
memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka namun Allah terus
menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu benci (tidak
menyukainya).” (ash-Shaff: 8)
Sungguh, siapa yang mengambil petunjuk
Islam, ia akan selamat. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan dan tidak
memerhatikan Islam, ia akan celaka dan binasa. Namun, mengambil petunjuk
Islam itu haruslah secara keseluruhan, tidak hanya mengambil sebagian
dan meninggalkan sebagian yang lain. Hal ini tidak akan menyelamatkan.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ
“Masukkanlah kalian ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan).” (al-Baqarah: 208)
Islam pun tetap akan berdiri kokoh
selamanya hingga akhir zaman, tidak akan runtuh dengan perjalanan waktu,
yang demikian ini karena Allah subhanahu wa ta’ala yang memberikan jaminan terhadap penjagaannya yang sejalan dengan penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kitab suci agama ini (al-Qur’an) sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pula yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan jaminan terhadapnya dengan mendatangkan dan memilih para
penjaga agama-Nya dari kalangan hamba-hamba- Nya yang saleh yang selalu
membela agama-Nya, sebagaimana Dia Yang Mahasuci berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ
“Wahai
orang-orang yang beriman, siapa yang murtad dari agamanya di antara
kalian, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai
dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka itu merendahkan diri dan lemah
lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang
kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan si
pencela.” (al-Maidah: 54)
Demikian pula Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam sabdanya.
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ وَهُمْ كذَلِكَ
“Akan
terus-menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan (menampakkan)
alhaq, tidak bermudarat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka
hingga datang perkara Allah tabaraka wa ta’ala sementara mereka dalam
keadaan demikian.” (HR. al-Bukhari no. 7459 dan Muslim no. 1920)
Syaikhuna Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i rahimahullah berkata, “Thaifah (kelompok) yang ditolong ini dikatakan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah bahwasanya mereka adalah ahlul ilmi. Sementara itu, al-Imam Ahmad rahimahullah
menyatakan, ‘Bila mereka itu bukan ahlul hadits maka aku tidak tahu
lagi siapa yang dimaksud dengan mereka.’ Hadits ini walaupun tidak
secara lafadz menunjukkan terhadap perkataan al-Imam al-Bukhari dan
al-Imam Ahmad rahimahumallah, namun sesungguhnya Ahlul
Hadits-lah yang seharusnya dimasukkan paling awal dalam thaifah ini
karena kekokohan mereka di atas al-haq, pengabdian mereka dan pembelaan
mereka terhadap Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas mereka dengan kebaikan yang banyak atas apa yang mereka sumbangkan terhadap Islam dan muslimin.” (al- Jami‘us Shahih, 1/11)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang diinginkan al-Imam Ahmad rahimahullah (dengan thaifah ini) adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan orang yang meyakini mazhab ahlul hadits.” Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Dimungkinkan kelompok ini tersebar di berbagai kalangan kaum
muslimin. Sehingga ada di antara mereka orang-orang pemberani yang
berperang (di jalan Allah subhanahu wa ta’ala), ada fuqaha
(ahli fiqih/orang yang faqih), ada muhadditsun (ahlul hadits), ada
orang-orang yang zuhud, ada orang-orang yang memerintahkan kepada yang
ma’ruf dan melarang dari yang mungkar dan dari kalangan orang-orang yang
berbuat kebaikan yang lainnya. Tidak mesti terkumpul/ terkonsentrasi
(di suatu tempat/negara), bahkan yang terjadi, mereka terkadang
terpencar dan tersebar di berbagai penjuru bumi.
Hadits ini merupakan mukjizat yang jelas (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena thaifah yang bersifat seperti ini terus-menerus ada, alhamdulillah, sejak zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang. Terus-menerus mereka ada sampai datang perkara Allah subhanahu wa ta’ala yang disebutkan dalam hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 13/67)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita dari kalangan mereka. Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin.
Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1]
Persia dengan raja mereka Kisra, dan Romawi dengan raja mereka Qaishar,
merupakan dua bangsa yang terkenal (adi daya) di waktu itu. Dua negeri
ini merupakan kerajaan terbesar di muka bumi, paling banyak penduduknya
dan paling luas wilayahnya. (Fathul Bari, 13/313)
[2] Mereka inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ وَهُمْ كذَلِكَ
“Akan terus
menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al-haq, tidak
bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang
perkara Allah tabaraka wa ta’ala, sementara mereka dalam keadaan
demikian.” (HR. al-Bukhari no.7459 dan Muslim no.1920)-pen.
[3] Mereka ingin menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut karena mengharapkan barakah dari pohon tersebut. (al-Qaulul Mufid, 1/201)
[4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertakbir karena menganggap besar permintaan tersebut dan merasa heran,
bukan bertakbir karena senang. Beliau heran, bagaimana bisa mereka
mengatakan ucapan seperti itu dalam keadaan mereka beriman bahwasanya
tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja. (al-Qaulul Mufid, 1/201)
[5] Surat al-A‘raf ayat 138.

Larangan Tasyabbuh dengan Orang Kafir
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٢٠
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti
agama mereka. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk
(yang benar). Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu.” (al-Baqarah: 120)

Ad-Din
Secara bahasa, ad-Din artinya taat,
tunduk, dan berserah diri. Adapun secara istilah berarti sesuatu yang
dijadikan jalan oleh manusia dan diikuti (ditaati) baik berupa
keyakinan, aturan, ibadah, maupun yang semacamnya, benar maupun salah.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦
“Untukmulah agama (terjemahan din, red)-mu dan untukkulah agamaku.” (al-Kafirun: 6)
Ad-Din yang benar adalah Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ
“Sesungguhnya din (yang diridhai) di sisi Allah, hanyalah Islam….” (Ali ‘Imran: 19)
Dinul Islam mencakup akidah (keyakinan),
ibadah, muamalah, dan akhlak sebagaimana dalam hadits Jibril yang
menyebutkan tentang rukun Islam, rukun iman, dan ihsan. Dikatakan pada
akhir hadits tersebut, “Ini Jibril, datang kepada kalian mengajari din
kalian.”
Salah Paham
Sebagian orang memahami kata ad-Din
hanya berkutat pada hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah dan
ibadah. Mereka memilah-milah bahwa perkara ini adalah perkara din,
adapun perkara itu adalah perkara akhlak, dan seterusnya. Pemahaman
semacam ini salah. Yang benar adalah sebagaimana telah diterangkan di
atas.
Al-Islam
Secara bahasa berarti berserah diri,
pasrah, tunduk, dan merendah. Diambil dari kata yang berarti berdamai.
Secara istilah artinya berserah, patuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dengan menaati-Nya, serta berlepas diri dari perbuatan syirik dan dari para pelakunya.
Asy-Syariah
Dilihat dari asal bahasanya berarti
jalan menuju tempat pengambilan air. Jadi asy-syariah artinya jalan yang
terang, jelas, dan lurus. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ ١٨
“Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu. Maka
ikutilah syariat itudan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
yaitu di atas (jalan, sunnah, dan minhaj).
Dalam istilah diartikan sebagai agama, yaitu apa yang Allah subhanahu wa ta’ala
jelaskan atau syariatkan untuk hamba-hamba-Nya. Termasuk dalam
pengertian ini yang berkaitan dengan akidah (keyakinan) atau amal.
Terkadang orang menyebut kata
asy-Syariah untuk hal-hal yang berkaitan dengan fikih seperti ibadah dan
muamalah. Terkadang juga menyebutnya untuk hal yang berkaitan dengan
akidah saja. Namun bila dipahami atau dibatasi bahwa asy-Syariah hanya
terbatas pada fikih saja atau akidah saja, tentu hal ini salah.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Sumber Bacaan:
- Al-Haqiqah asy-Syar’iyyah, hlm. 92 dan 110
- Al-‘Aqidah wal Adyan, hlm. 3
- Mukadimah tahqiq kitab Asy-Syari’ah, 1/172
- Al-Qamus al-Muhith, hlm. 946
- Al-Mishbahul Munir, hlm. 310
- Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, hlm. 46—47

Mengusap Khuf (2)
Menyambung bahasan tentang “Mengusap Khuf” yang telah lalu, kami lanjutkan beberapa hal yang masih berkaitan dengan bahasan.

Masyarakat Madinah (bagian 2)
Semakin lama kedudukan masyarakat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin
kokoh. Syariat jihad pun akhirnya turun setelah sebelumnya kaum
muslimin diperintahkan untuk bersabar atas gangguan musuh-musuhnya.

Menyelisihi Kaum Kafir
Berikut adalah ringkasan tulisan (dengan perubahan seperlunya) yang diambil dari Kitab al-Mukhtarat min Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.

Hadits Tentang Menyelisihi Kuffar
عَنْ أَبِي عُمَيْرٍ ابْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُوْمَةٍ لَهُ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ: اهْتَمَّ النَّبِيُّ لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا فَقِيْلَ لَهُ: انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُوْرِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا أَذَّنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا. فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ. قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ، يَعْنِي الشَّبُّوْرَ ) وَفِي رِوَايَةٍ: شَبُّوُرُ الْيَهُوْدِ( فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ، وَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُوْدِ. قَالَ: فَذُكِرَ لَهُ. النَّاقُوْسُ. فَقَالَ: هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى. فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللهِ بْنُ زَيْدٍ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ، وَهُوَ مُهْتَمٌ لِهَمِّ رَسُوْلِ اللهِ فَأُرِيَ اْلأَذَانَ فِي مَنَامِهِ
Dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya dari kalangan Anshar berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memikirkan
tentang shalat, yaitu bagaimana cara mengumpulkan manusia untuk shalat.
Dikatakan kepada beliau, “Kibarkan bendera saat tiba waktu shalat. Jika
kaum muslimin melihatnya, maka sebagian menyeru (memberi tahu) kepada
yang lain.”Namun beliau tidak menyukai hal itu.
Kemudian Abu
‘Umair berkata, “Lantas disebutkan kepada beliau tentang al-Qun’u yaitu
terompet (dalam satu riwayat: terompet Yahudi) dan beliau tetap tidak
menyukainya dan bersabda, ‘Terompet itu dari Yahudi’.”
Abu ‘Umair berkata, “Disebutkan kepada beliau tentang lonceng. Maka beliau bersabda, ‘Lonceng itu dari Nasrani’.”
Pulanglah Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, dan dia adalah orang yang perhatian terhadap apa yang dipikirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia diperlihatkan adzan dalam tidurnya.” (Ini adalah hadits sahih yang kami riwayatkan dalam kitab kami Shahih Sunan Abu Dawud no. 511 dan kami sebutkan di dalam kitab itu para imam yang menyatakan sahih)
عَنْ جُنْدُبٍ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ قَبْلَ أَنْ يَمُوْتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُوْلُ ….. :أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundub bin Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum wafat beliau, beliau mengatakan, “… Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur nabinabi dan orang saleh mereka sebagai masjid-masjid. Perhatikanlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan seperti itu.” (HR. Muslim 2/67—68, Abu ‘Awanah, 1/401 di dalam Shahih keduanya, dan Ibnu Sa’d, 2/2/35)
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :خَالِفُوا الْيَهُوْدَ، فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلاَ فِي خِفَافِهِمْ
Dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Selisihilah Yahudi. Karena mereka tidak shalat di atas sendalnya dan tidak dalam khuf mereka.” (Kami riwayatkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 659 dan kami sebutkan di sana para imam yang menyatakan sahih)

Tidak Menyerupai Orang Kafir
Fenomena perilaku menyerupai orang
kafir dalam berbagai bentuknya di kalangan kaum muslimin, saat ini telah
sampai pada keadaan yang memprihatinkan. Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyinggung hal ini dalam salah satu
bab dalam kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah yang kami nukil
sebagiannya.

Al-Wala’ dan Al-Bara’ terhadap Orang Kafir
Sikap wala’ dan bara’ merupakan prinsip dalam akidah yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Berikut adalah tulisan yang berisi tanya jawab dengan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah kaitannya dengan perkara tersebut.

Tasyabbuh Bahaya Laten Ditengah Umat
Oleh Barat (baca: musuh-musuh Islam),
selama ini masyarakat Islam dikesankan sebagai sebuah gambaran
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Begitu kuatnya
kesan itu, sehingga umat Islam pun berhasil dibuat alergi dengan segala
atribut dan nilai yang berbau Islam. Alhasil, umat merasa lebih nyaman
dan lebih percaya diri jika berbusana ala Barat, atau menjadi bagian
dari produk-produk budaya Barat.

Surat Pembaca edisi 11
Artikel Jihad
Semoga Allah selalu memberikan kita
hidayah dan kekuatan untuk selalu taat kepada-Nya. Ana ingin tanya
mengenai makna jihad secara benar dan metode atau cara yang benar untuk
melaksanakannya pada zaman ini sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jazakallahu khairan katsiran.
Sigit
sigit_m…@yahoo.com
sigit_m…@yahoo.com
Ana mau usul sedikit. Bagaimana
kalau redaksi juga mengkritisi bukunya Imam Samudra (Aku Melawan
Teroris). Supaya tidak ada syubhat dan ada pencerahan
kitab-kitab/ulama-ulama salaf yang bisa dijadikan rujukan jihad. Jazakumullah khairan.
Fajar W
fw_a…@yahoo.com
fw_a…@yahoo.com
- Jawaban Redaksi:
Insya Allah kami
akan membahas tentang permasalahan jihad pada edisi-edisi mendatang.
Kami menyadari permasalahan ini memang sangat penting untuk diangkat
agar masyarakat lebih mengerti dan bisa membedakan mana jihad yang
syar’i dan tidak, serta bagaimana menyikapi ‘jihad’ ala Imam Samudra dan
kelompoknya. Harap sabar menunggu. Jazakumullahu khairan katsiran.
Tentang Alam Ghaib
Sekarang ini di televisi banyak
ditayangkan kisah-kisah mistis tentang fenomena alam ghaib. Saya usul
agar Majalah Asy-Syariah pada edisi berikutnya membahas tentang Alam Jin
dan hubungannya dengan manusia.
Ade
Eretan-Indramayu
Eretan-Indramayu
- Jawaban Redaksi:
Masukan anda bagus. Insya Allah ada saatnya nanti kami angkat.
Tulisan yang Diterima Redaksi
Yang saya hormati dewan redaksi majalah
Asy Syariah, mudah-mudahan majalah ini tetap eksis memperjuangkan sunnah
dan manhaj yang lurus. Saya selaku thalib yang juga sama ingin sekali
bersama memperjuangkan manhaj yang lurus, maka dari itu saya ingin
mengajukan satu pertanyaan, apakah redaksi menerima tulisan? Sebelumnya
terima kasih atas jawabannya.
- Abdurrahman Hidayat
abu_el…@yahoo.com
- Jawaban Redaksi:
Barakallahu fikum.
Redaksi membatasi penerimaan naskah/tulisan hanya pada rubrik info
praktis saja. Adapun untuk rubrik yang lain telah diampu oleh redaktur
ahli, di mana silabus materi yang akan ditulis telah ditentukan
sebelumnya. Atas perhatiannya kami ucapkan jazakumullahu khairan katsira.
Bahan-Bahan Kajian
Mohon kiranya dibuatkan suatu kolom yang
menyediakan bahan-bahan untuk kajian Islam yang dapat kami gunakan
sebagai syi’ar Islam dalam lingkungan kami. Terima kasih.
Ardi
ard…@yahoo.com
ard…@yahoo.com
- Jawaban Redaksi:
Maaf, kami sementara
ini belum menyediakan kolom khusus seperti yang anda inginkan, namun
artikel yang ada di majalah/ situs kami boleh disalin dengan ketentuan:
- Artikel dikutip utuh, tidak ditambah atau dikurangi, dan tidak pula digabungkan dengan sumber yang lain.
- Menyebutkan sumbernya.
Semoga apa yang kami sajikan bisa bermanfaat bagi Anda dan lingkungan tempat anda tinggal. Jazakumullahu khairan.
Terima Kasih
Saya berterima kasih karena mendapatkan
informasi yang saya butuhkan di sini. Semoga Allah memberikan pahala
yang berlipat dalam ibadah menyebarkan ilmu agama.
Ernita Diansari
roy…@indo.net.id
roy…@indo.net.id
- Jawaban Redaksi:
Barakallahu fikum.
Kami hanyalah menyampaikan ilmu dari apa yang kami ketahui. Keluasan
ilmu dan keistiqamahan -setelah hidayah dari Allah- berpulang kepada
kesungguhan anda pembaca dalam menuntut ilmu. Tidak hanya dari majalah
ini juga dari majelis-majelis taklim yang di dalamnya dibahas tentang
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman shahabat radhiallahu ‘anhum.
Posting Komentar