Seorang Penasehat Bukan Berarti Ma’shum
(ditulis oleh: Al-Ustadz Zainul Arifin)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah U, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus-meneruslah berada pada majelis-mejelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah U mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah kalian semua kepada Allah U dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Pada suatu hari beliau t pergi menemui murid-murid beliau dan mereka tengah berkumpul, maka beliau t berkata: “Demi Allah U, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama (umat ini) sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian (hanya) seperti orang yang bermain-main. Dan seorang yang rajin dari kalangan kalian (hanya) serupa dengan orang yang suka meninggalkan. Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian (dengannya), akan tetapi Allah U Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya.”
(Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 185-187)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah U, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus-meneruslah berada pada majelis-mejelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah U mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah kalian semua kepada Allah U dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Pada suatu hari beliau t pergi menemui murid-murid beliau dan mereka tengah berkumpul, maka beliau t berkata: “Demi Allah U, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama (umat ini) sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian (hanya) seperti orang yang bermain-main. Dan seorang yang rajin dari kalangan kalian (hanya) serupa dengan orang yang suka meninggalkan. Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian (dengannya), akan tetapi Allah U Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya.”
(Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 185-187)

Untuk Wanita Yang Keluar Rumah Tanpa Berhijab
Sebuah Nasihat dari Samahatusy Syaikh Al-’Allamah Ibnu Baz rahimahullah
Merebaknya kejahatan seksual
kian memprihatinkan. Namun sedikit yang menyadari bahwa semua itu
bersumber dari tersebarnya kerusakan akibat diumbarnya aurat wanita di
tempat-tempat umum.
Bocah yang masih ingusan atau
kakek yang telah renta bisa menjadi pelaku kejahatan karena mereka
secara terus-menerus ‘dipaksa’ mengonsumsi pemandangan yang bukan
haknya.
Ironisnya, sebagian korban
adalah bocah perempuan yang belum mengerti apa-apa. Artikel berikut
barangkali bisa menjadi renungan untuk kita semua.

Hubungan Pra Nikah
Bagaimana pandangan agama terhadap hubungan yang terjalin sebelum pernikahan?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menjawab,
Apabila yang dimaksud dengan hubungan sebelum pernikahan adalah sebelum dukhul (jima’)
setelah dilangsungkannya akad nikah, tidak ada dosa dalam hubungan
tersebut. Sebab, itu terjadi setelah akad nikah dan si wanita telah
menjadi istrinya walaupun belum terjadi dukhul.
Adapun hubungan yang terjalin
sebelum akad nikah, di tengah-tengah masa pinangan atau sebelumnya,
tidak dibolehkan. Hukumnya haram. Seorang laki-laki tidak diperkenankan
bernikmat-nikmat mendengarkan ucapan seorang wanita ajnabiyah (bukan mahramnya), memandang wajahnya, atau berkhalwat (berdua-duaan) dengannya.

Wanita Kurang Agamanya
Sebagian orang berkata bahwa wanita kurang akal dan agamanya, kurang pula haknya dalam warisan dan dalam memberikan persaksian. Sebagian lagi berkata, Allah subhanahu wa ta’ala menyamakan wanita dan laki-laki dalam mendapatkan pahala dan siksaan. Apa pendapat Anda, apakah memang wanita itu dianggap kurang dalam syariat Sayyidul Khalq (junjungan/tokoh para makhluk, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau tidak?

Mempersiapkan Jenazah Menuju Alam Barzakh
Pada edisi yang lalu telah dibahas
tuntunan menghadapi sakaratul maut. Masih dalam rangkaian tema yang
sama, berikut adalah bahasan tentang mempersiapkan jenazah menurut tata
cara yang benar dalam Islam.
Sesosok jenazah terbujur di
hadapan kita menanti uluran tangan insan yang hidup untuk memandikan,
mengafani, menshalatkan dan menguburkannya. Inilah kewajiban orang yang
masih hidup. Akan tetapi, apabila ada sebagian orang yang menunaikannya,
gugurlah kewajiban yang lain. (al-Hawil Kabir, al-Mawardi, 3/6; al-Muhalla 4/343)
Berikut ini kami akan merinci penyelenggaraan jenazah seorang muslim, dimulai dari memandikannya.

Ummu Haram Bintu Milhan
Bak kemuliaan raja-raja di
atas singgasana, mereka hendak muliakan kalimat Rabbnya. Di antara
mereka, seorang wanita menyimpan sebuah asa. Bukanlah dunia yang dia
inginkan, melainkan menggapai ketinggian di sisi Rabbnya.
Tak ubahnya seperti saudari
kandungnya, Ummu Sulaim bintu Milhan, dia pun seorang wanita yang begitu
mendambakan kemuliaan. Dia begitu dimuliakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengunjunginya, tidur siang di rumahnya[1], dan mendoakannya agar meraih kesyahidan.

Berbuat Adil Terhadap Anak
Lanjutkan membaca Berbuat Adil Terhadap AnakMemiliki anak lebih dari satu merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan kepada kita. Rumah serasa makin lengkap dengan derai tawa dan canda mereka. Namun, banyak hal yang terluput dari kita dalam menyikapi karunia ini. Sudahkah kita memberikan hak-hak mereka? Sudahkah kita bersikap adil kepada semua anak kita?

Arti Sebuah Kejujuran
Dalam kehidupan rumah tangga, dusta kepada pasangan barangkali telah menjadi hal lumrah. Lebih-lebih bila aroma perselingkuhan sudah merebak di antara mereka. Tak pelak, rasa percaya dan cinta pun akan terurai menjadi kebencian yang berujung pada kehancuran rumah tangga. Namun, dalam keadaan tertentu, dusta terkadang boleh dilakukan suami/istri. Kapan? Simak bahasan berikut.

Hukum Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala
Ada seorang muslim yang sering mengalami kegagalan dan ditimpa berbagai persoalan hidup. Ia kemudian merasa kecewa dan marah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan mulai mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala, serta berburuk sangka kepada-Nya. Setelah amarahnya mereda, timbul rasa penyesalan atas tindakan tercela yang telah ia lakukan itu.
Pertanyaan:
- Apakah tindakan orang tersebut termasuk kufur akbar?
- Apakah ia perlu memperbaharui keIslamannya dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan ulama dan saksi-saksi?
- Bagaimanakah cara bertaubat bagi orang tersebut?
- Bagaimanakah caranya agar orang tersebut tidak lagi mengalami kegagalan dan tidak ditimpa kesulitan hidup?
- Bagaimanakah seharusnya orang tersebut menyikapi segala kegagalan dan kesulitan hidup yang dihadapinya?
- Bagaimanakah cara mengatasi rasa kecewa dan amarah yang timbul, jika ditimpa kegagalan dan kesulitan hidup?
Mawardi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari:
Alhamdulillah wabihi nasta’in.
Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan haram yang merupakan kekufuran (kufur akbar). Ini adalah ijma’ di kalangan ulama. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah memiliki pembahasan tentang ini, menukilkan penjelasan para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Lihat Fatawa Ibnu Baz (1/91—94).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/270, terbitan Darul Atsar), “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala atau menyifati-Nya dengan aib/celaan, dan celaan yang paling keji adalah melaknat Allah subhanahu wa ta’ala atau memprotes/mengkritik hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala berupa kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan atau aturan-aturan syariat yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, meski kritikan itu dalam bentuk isyarat dan sindiran; sesungguhnya pelakunya kafir.
Sebab, ini adalah penghinaan terhadap kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai satu-satunya Rabb, Penguasa yang mencipta, memberi rezeki dan mengatur alam ini. Ini adalah perkara besar.
Barang siapa mencaci Allah subhanahu wa ta’ala,
sama saja baik dengan ucapan atau dengan isyarat, dengan serius atau
hanya bercanda–bahkan dengan bercanda lebih keji, karena menjadikan
Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bahan candaan dan ejekan–lalu mencari alasan agar tidak disalahkan, dia kafir berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦
”Jika engkau (wahai Nabi) menanyakan kepada mereka (tentang perbuatan mereka mengolok-olok sahabat radhiallahu ‘anhum), mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau.’ Katakan (kepada mereka):
‘Apakah
terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok?
Janganlah kalian minta uzur, sungguh kalian telah kafir setelah kalian
beriman’.” (at-Taubah: 65—66)
Demikian pula, mencaci Allah subhanahu wa ta’ala berarti merendahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, setiap yang merendahkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan ucapan, perbuatan, atau kalbunya, dia kafir. Sebab, iman adalah beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan rububiyah-Nya (bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berkuasa, mencipta, memberi rezeki, dan mengatur alam) yang sempurna.”
Penyesalannya setelah amarahnya
mereda menunjukkan bahwa dia telah mengetahui haramnya perbuatan
tersebut. Itu cukup untuk menghukumi bahwa dia kafir (murtad), meskipun dia tidak tahu kalau hal itu adalah kekafiran[1].
Oleh karena itu, dia wajib
bertobat dengan sebenar-benarnya dan bersyahadat kembali. Apabila tidak
ada orang lain yang mengetahuinya, ia cukup bertobat dan bersyahadat
sendiri. Hendaklah dia merahasiakan kesalahan itu yang merupakan aib
dirinya.[2]
Adapun apabila sudah diketahui
oleh kaum muslimin, dia harus mempersaksikan tobatnya dan syahadatnya
kembali di hadapan hakim dan kaum muslimin. Setelah itu, ia diberi
muamalah sebagai seorang muslim. Sebab, menurut pendapat yang rajih (paling kuat), tobatnya diterima.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata setelah menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima,
“Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tobatnya diterima jika dia benar-benar jujur bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengakui kesalahan yang dilakukannya, serta menyifati Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat pengagungan yang pantas bagi (keagungan dan kesempurnaan) Allah subhanahu wa ta’ala.
Hal itu berdasar keumuman dalil-dalil tentang diterimanya tobat secara umum (tanpa kecuali), seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣
Katakan (wahai Nabi), “Wahai hamba-hamba Allah yang telah
berlebih-lebihan melakukan dosa (yang berakibat) terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggguhnya
Allah Maha Mengampuni seluruh dosa (bagi siapa saja yang bertobat).” (az-Zumar: 53)
Di antara orang-orang kafir ada yang mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala dan tobatnya diterima. Inilah pendapat yang benar (dalam masalah ini).” (al-Qaulul Mufid, 2/268)
Kegagalan dan persoalan hidup yang dialami orang tersebut adalah bagian dari seluruh urusan yang telah Allah subhanahu wa ta’ala
tuliskan takdirnya dalam al-Lauhul Mahfudz, sejak 50.000 tahun sebelum
diciptakan langit dan bumi. Hal ini disebutkan dalam hadits Abdullah bin
‘Amr yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim.
Kita wajib mengimani hal
tersebut. Selain itu, kita harus menyadari bahwa kita tidak akan meraih
apa yang kita dambakan, begitu pula kita tidak akan mampu mengelak dari
apa yang kita khawatirkan, kecuali sebatas apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan. Meskipun seluruh manusia dan jin bersatu-padu membantu kita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi.[3]
Ketahuilah, setiap hukum yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, baik hukum syariat maupun kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan, mesti memiliki suatu hikmah. HIkmah ini menunjukkan kebijaksanaan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menetapkan sesuatu sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا يُسَۡٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسَۡٔلُونَ ٢٣
“Tidak
dipertanyakan apa yang Allah perbuat (karena kesempurnaan hikmah-Nya),
sedangkan hamba-hamba Allah akan dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan mereka.” (al-Anbiya: 23)
Di antara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala
menimpakan musibah dan cobaan hidup kepada seseorang adalah agar dia
mengoreksi diri dan mengoreksi maksiat-maksiat yang telah dilakukannya,
berupa kelalaian dalam menunaikan kewajiban-kewajiban syariat yang
dibebankan kepadanya atau kelancangan melanggar larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Hal ini sebagai hukuman dan pelajaran baginya agar dia bertobat, kembali ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan memperbaiki kembali agamanya yang selama ini telah dia sepelekan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١
“Telah
tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah perbuatan manusia
sendiri (kemaksiatan yang mereka lakukan) yang mana Allah melakukan
dalam rangka mengazab mereka agar mereka (sadar) kembali ke jalan
Allah.” (ar-Rum: 41)
Itupun sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak mengampuni sebagaimana firman-Nya,
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠
“Tidaklah menimpa kalian suatu musibahpun kecuali akibat perbuatan
kalian sendiri dan sesungguhnya Allah banyak mengampuni kesalahan
kalian.” (asy-Syura: 30)
Jadi, seharusnya kita mengoreksi diri, apakah kita telah mensyukuri nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak terhitung banyaknya, yang telah kita rasakan dan sedang kita rasakan?
Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ
“Tidak ada satu nikmat pun yang kalian rasakan melainkan dari Allah.” (an-Nahl: 53)
Jangan kita justru mengoreksi Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala
tidak menzalimi siapa pun, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan
hadits. Bukankah alam ini dan seluruh isinya adalah ciptaan-Nya,
milik-Nya, dan kekuasaan-Nya? Adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberi dan menahan apa yang Dia inginkan.
Seharusnya kita malu dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kita masih kurang memuji dan mengagungkan-Nya, dibandingkan dengan nikmat yang telah dianugerahkan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita agar menyadari besarnya nikmat dan tidak meremehkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Hendaklah engkau memandang kepada orang yang diberi nikmat yang lebih
sedikit darimu, dan janganlah memandang kepada orang yang diberi nikmat
lebih darimu. Hal itu akan lebih menjadikan kamu tidak meremehkan nikmat
Allah atasmu.”
Wallahu a’lam.
[1] Sebagaimana ditegaskan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
ketika ditanya, “Jika seseorang mengetahui bahwa hal itu haram, tetapi
tidak tahu bahwa itu kekafiran, apakah dia dihukumi kafir?”
Beliau menjawab, “Ya.” (Kaset Pelajaran al-Qawa’idul Mutsla pada pembahasan hukum Ahli Takwil)
[2] Dalam hal ini ada beberapa ayat dan hadits tentang menutupi aib
(kesalahan) selama tidak ada maslahat untuk membukanya.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya setiap orang merahasiakan aibnya (kesalahannya) serta memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas keselamatan yang Dia subhanahu wa ta’ala anugerahkan padanya. Hendaknya ia bertobat kepada-Nya subhanahu wa ta’ala antara dia dan Rabbnya. Jika dia telah bertobat, Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya dan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (Syarah Riyadhus Shalihin Bab Menutupi Aib Sesama Muslim)

Makan Ala Islam (3)
Menjilati jari-jemari usai makan atau
memungut makanan yang berceceran lalu memakannya, perbuatan ini
dipandang menjijikkan dan tidak beradab oleh sebagian orang. Namun,
dalam Islam, keduanya justru adab yang dianjurkan. Memang terasa ganjil,
tetapi demikianlah adanya. Pembahasan berikut menjelaskan bahwa dua
perbuatan itu mengandung banyak kebaikan yang kadang tidak pernah kita
pikirkan.

Perang Uhud (2): Kekalahan Akibat Kelalaian
Kemenangan yang sudah
berada di depan mata, dalam sekejap berubah menjadi kekalahan. Inilah
keadaan kaum muslimin dalam Perang Uhud. Kemenangan yang sudah hampir
diraih berubah menjadi kekalahan karena pasukan pemanah yang ditempatkan
di atas Bukit Uhud tidak mematuhi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akibat kelalaian ini, pasukan musyrikin berkesempatan memukul balik pasukan muslimin.

Tawasul, Syubhat dan Bantahannya
Kaum muslimin yang “hobi”
melakukan ziarah kubur, hampir dipastikan mereka juga memiliki agenda
untuk melakukan tawassul. Ritual doa melalui perantara ini sepertinya
telah menjadi menu wajib dari rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang,
perbuatan tawassul itu mayoritas menjurus kepada amalan syirik yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka menolak
dengan keras karena mereka juga punya “dalil”. Apa saja “dalil” mereka
itu dan bagaimana bantahannya?
Sebagai lanjutan dari pembahasan
tentang tawassul yang disyariatkan pada edisi lalu, kali ini akan
dibahas tentang tawassul yang dilarang.

Apakah Ahlul Bait Maksum?
Jabir ibnu Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkisah, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
saat haji Wada’ pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah sambil
menunggangi untanya yang bernama al-Qashwa. Aku mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا: كِتَابَ الله وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْت
“Wahai sekalian manusia!
Sungguh, aku telah meninggalkan pada kalian dua hal, yang jika kalian
mengambilnya, kalian tidak akan sesat, yaitu kitabullah dan ‘itrati
ahlul baitku.”

Ahlul Bait dalam Al Quranul Karim
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرٗا ٣٣
“Sesungguhnya
Allah hanya bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul
Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
إِنَّمَا
Sesungguhnya hanya.
Maknanya menunjukkan batasan, yaitu menetapkan hukum yang disebutkan dan meniadakan yang lainnya.
Batasan yang dimaksud adalah batasan secara idhafi. Maknanya sesuatu yang dibatasi tersebut sesuai dengan keadaannya, seperti firman Allah,
إِنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۚ
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan melalaikan.” (Muhammad: 36)
Tidak berarti bahwa kehidupan dunia hanya itu, tetapi bisa menjadi sarana mengamalkan kebaikan. (Syarah Arba’in, Ibnu Daqiqil ‘Ied, hlm. 28, dan Tafsir Surat al-Ahzab oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
يُرِيدُ ٱللَّهُ
Allah bermaksud hendak.
Yang dimaksud di sini adalah kehendak
kauniyah, yaitu Allah menghendaki hal tersebut secara takdir. Pendapat
ini dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Hanya saja, dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat.
لِيُذۡهِبَ
Menghilangkan.
ٱلرِّجۡسَ
Kotoran atau najis.
Yang dimaksud adalah kotoran atau najis secara makna, berupa akhlak dan amalan buruk lagi rendah. (Lihat Tafsir Surat al-Ahzab, Ibnu Utsaimin rahimahullah)

Khilafah Tidak Mesti Pada Ahlul Bait
Kaum muslimin (baca: para sahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah shallalalhu ‘alaihi wa sallam adalah
Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku sebagai
muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku sebagai
pecinta Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak
menjadi khalifah dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah
orang-orang Syi’ah. Uraian berikut mencoba membongkar berbagai
kebohongan yang menjadi pijakan sikap mereka.

Keutamaan Ahlul Bait
Istilah Ahlul Bait mungkin
terdengar agak asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi,
mengingat keadaan kaum muslimin yang semakin kurang peduli terhadap
agamanya. Padahal ketika seseorang tidak dibimbing secara benar dalam
memahami persoalan Ahlul Bait, ia sangat rentan terjatuh pada
penyimpangan. Realitas menunjukkan, pemahaman yang keliru terhadap
kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan banyak kelompok menyimpang.
Seluruh ulama Ahlus Sunnah mengakui keutamaan Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena telah jelas dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan mereka dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرٗا ٣٣
“Dan
hendaklah kalian tetap di rumah kalian. Janganlah kalian berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan
membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Dalil lainnya adalah hadits Ghadir Khum yang diriwayatkan dari Zaid ibnu Arqam,
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا فِيْنَا خَطِيْبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمَّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ :أَمَّا بَعْدُ، أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِيِ رَسُوْلُ رَبِّي فَأُجِيْبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلَهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيْهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ، فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ
فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ ثُمَّ قَالَ :وَ أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah berdiri di depan kami berkhutbah di daerah mata air yang bernama Khum[1], antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat dan peringatan.
Beliau
berkata, ‘Amma ba’du. Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia
biasa yang sebentar lagi akan didatangi utusan Rabbku (malaikat maut)
dan aku akan menyambutnya.
Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, Kitab Allah subhanahu wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala ini dan berpeganglah dengannya.”
Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah an-Nawawi, 15/174—175)

Kontroversi Sikap Terhadap Ahlul Bait
Di kalangan umat, muncul perbedaan yang demikian mencolok dalam menyikapi Ahlul Bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ada yang demikian tinggi memuliakan mereka—sampai menganggap sebagian Ahlul Bait sebagai Tuhan—ada pula yang demikian merendahkan dan membenci mereka.
Ahlus Sunnah, sebagai
kelompok yang senantiasa bersikap pertengahan, memiliki sikap memuliakan
mereka namun tidak terlalu berlebihan. Karena Ahlul Bait juga manusia
biasa, yang kemuliaan mereka tergantung pada agama mereka.
Siapakah Ahlul Bait?
Ahlul Bait (أَهۡلُ ٱلۡبَيۡتِ) merupakan sebutan lain dari Alul Bait (أَلُ ٱلۡبَيۡتِ)
dan Al-’Itrah (الْعِتْرَةَُ), sebagaimana yang dinyatakan al-Imam
asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad, asy-Syarif Abu Ja’far, dan yang lainnya. (Minhajus Sunnah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [7/75] dan Daf’ul Kadzibil Mubin, karya Dr. Abdul Qadir bin Muhammad ‘Atha hlm. 27)
Mereka adalah keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga yang tinggal serumah dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) maupun keluarga yang terkait hubungan nasab dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak diperbolehkan memakan harta shadaqah. Mereka adalah semua Bani Hasyim, semua putri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga anak cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. Demikian pula Bani al-Muththalib menurut salah satu pendapat para ulama. (Lihat ash-Shawa’iq al-Muhriqah, karya al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami hlm. 222, dan Minhajus Sunni, 4/595, 7/239—240)
Bagaimanakah Menyikapi Ahlul Bait?
Secara garis besar, ada tiga kelompok manusia yang berkontroversi di dalam menyikapi Ahlul Bait.
- Kelompok Pertama: Syi’ah Rafidhah
Mereka adalah orang-orang yang sangat berlebihan di dalam memuliakan dan mengultuskan Ahlul Bait (versi mereka)[1],
bahkan di antara mereka (yakni kelompok Saba’iyyah) memosisikan ‘Ali
bin Abi Thalib sebagai Tuhan yang berhak diibadahi. (lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, juz 1, hlm. 144—146)
Mereka juga menyatakan bahwa
para imam Ahlul Bait adalah ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan
mengetahui perkara-perkara gaib. Sebagaimana disebutkan al-Kulaini dalam
kitabnya al-Kaafi (setingkat Shahih al-Bukhari di
sisi Ahlus Sunnah) Kitabul “Hujah” juz 1, hlm. 149, dengan menukil
(secara dusta) perkataan Ja’far ash-Shadiq (salah seorang Imam Ahlul
Bait),
“Kami adalah perbendaharaan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, kami adalah penerjemah wahyu Allah subhanahu wa ta’ala, kami adalah kaum yang ma’shum, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan (umat manusia) untuk menaati kami dan melarang mereka untuk menyelisihi kami… Kami adalah hujah Allah subhanahu wa ta’ala yang kokoh atas seluruh makhluk yang berada di bawah naungan langit dan berpijak di atas bumi.”
Adapun keyakinan bahwa para imam Ahlul Bait mengetahui perkara-perkara gaib, maka bisa dilihat dalam kitab al-Kaafi pula
juz 1, hlm. 200-203 Kitabul Hujah, bab ‘Sesungguhnya para imam
mengetahui sesuatu yang telah terjadi dan yang akan terjadi dan tidak
ada sesuatu pun yang terluput dari mereka.’
Mereka juga berkeyakinan bahwa
para imam Ahlul Bait lebih mulia dari malaikat dan nabi, sebagaimana
yang dikatakan Khomeini, “Sesungguhnya di antara prinsip terpenting dari
agama kami adalah tidak ada seorang pun yang dapat meraih kedudukan
para imam (kami), walaupun malaikat terdekat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala atau nabi utusan Allah subhanahu wa ta’ala sekalipun.” (lihat asy-Syi’ah wa Ahlul Bait karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 25)
Syi’ah Rafidhah juga
berpandangan, bahwa di antara konsekuensi kecintaan kepada Ahlul Bait
adalah bersikap bara’ (benci/berlepas diri) dari Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma serta mayoritas para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, karya al-Imam Ibnu Abil ‘Iz, hlm. 697). Sehingga—dalam kaca mata mereka—siapa saja yang mencintai Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, maka dia tergolong sebagai musuh Ahlul Bait.
2. Kelompok Kedua: An-Nawashib atau An-Nashibah atau Ahlun Nashb.
Mereka adalah orang-orang yang
berkeyakinan bahwa membenci dan memusuhi ‘Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya (Ahlul Bait) merupakan bagian dari agama. (Lihat Lisanul ‘Arab dan Minhajus Sunnah, 4/554)
Mereka sangat bangga ketika
berhasil menyakiti Ahlul Bait, sampai-sampai tokoh kondang mereka yang
bernama ‘Imran bin Hiththan melantunkan bait-bait kegembiraannya atas
keberhasilan Abdurrahman bin Muljim al-Muradi dalam operasinya membunuh
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Bait “petaka” itu adalah sebagai berikut:
“Duhai sebuah tebasan pedang dari seorang yang kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Tidaklah dia melakukannya kecuali untuk meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala
Sungguh hari-hariku selalu mengingatnya
Karena keyakinanku bahwa dia (Abdurrahman bin Muljim) adalah seorang yang telah meraih pahala besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani, hlm. 120)
3. Kelompok Ketiga: Ahlus Sunnah wal Jamaah atau as-Salafiyyun.
Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa mencintai Ahlul Bait merupakan suatu kewajiban dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Ahlu Bait Nabi merupakan kewajiban dalam agama. (Minhajus Sunnah, 7/102)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Termasuk dari pemuliaan dan berbakti kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berbuat baik kepada keluarga dan keturunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (asy-Syifa 2/47, dinukil dari catatan kaki kitab Shabbul ‘Azab, hlm. 276)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Kami tidak mengingkari adanya wasiat dan perintah untuk
berbuat baik kepada Ahlul Bait, menghormati dan memuliakan mereka.
Karena mereka berasal dari keturunan yang baik, dan dari keluarga yang
termulia di muka bumi ini dalam hal ketinggian derajat, kedudukan, dan
nasab. Lebih-lebih jika mereka termasuk orang-orang yang mengikuti
Sunnah Nabi….” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat asy-Syuraa ayat 23)
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak
berlebihan dalam memuliakan Ahlul Bait sebagaimana halnya Syi’ah
Rafidhah, dan juga tidak membenci Ahlul Bait sebagaimana an-Nawashib.
Sikap mereka penuh dengan keadilan dan jauh dari ekstrem (ghuluw).
Pijakan mereka adalah wahyu Ilahi dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hawa nafsu.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
berkata, “Ahlus Sunnah wal Jamaah berlepas diri dari jalan Syi’ah
Rafidhah yang berlebihan di dalam memuliakan sebagian Ahlul Bait dan
mengklaim bahwa mereka (Ahlul Bait) ma’shum. Ahlus Sunnah juga berlepas
diri dari jalan an-Nawashib yang memusuhi dan mencela Ahlul Bait yang
istiqamah di atas agama ini, sebagaimana mereka berlepas diri dari jalan
Ahlul Bid’ah dan Khurafat yang bertawassul dengan Ahlul Bait dan
menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala.” (Kitabut Tauhid, hlm. 92)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka mereka mencintai seluruh
orang-orang yang beriman, selalu berbicara dengan ilmu dan keadilan,
bukan dari kalangan orang-orang bodoh lagi pengikut hawa nafsu. Mereka
berlepas diri dari jalan Syi’ah Rafidhah sekaligus jalan an-Nawashib.
Mereka mencintai semua sahabat yang terdahulu masuk Islam; mengerti
kedudukan, keutamaan, dan keistimewaan para sahabat, serta selalu
memerhatikan hak-hak Ahlul Bait yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka….” (Minhajus Sunnah, 2/71)
Namun bukan berarti pula setiap Ahlul Bait itu lebih utama dari seluruh manusia dan semuanya wajib dicintai.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Namun bukan berarti setiap Ahlul Bait itu lebih utama dan
lebih berilmu dari seluruh kaum mukminin. Karena tolok ukur keutamaan
adalah sempurnanya keimanan dan ketakwaan, bukan kedekatan hubungan
nasab semata, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
menerangkan, “Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait adalah sikap yang
adil, yaitu mencintai mereka yang istiqamah di atas agama ini, dan
berlepas diri dari yang menyimpang dan menyelisihi Sunnah Nabi walaupun
dari kalangan Ahlul Bait. Karena posisinya sebagai Ahlul Bait dan
kerabat Rasul tidaklah bermanfaat hingga benar-benar istiqamah di atas
agama ini.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika turun firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ ٢١٤
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (asy-Syu’ara’: 214)
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai kaum Quraisy!—atau
yang senada dengan itu. Belilah (berusahalah untuk) diri-diri kalian,
aku tidak bisa menjamin kalian dari azab Allah sedikit pun. Wahai ‘Abbas
bin Abdul Muththalib! Aku tidak bisa menjaminmu dari azab Allah sedikit
pun. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah! Aku tidak bisa menjaminmu dari
azab Allah sedikit pun. Wahai Fathimah bintu Muhammad! Mintalah harta
kepadaku sekehendakmu, namun aku tidak bisa menjaminmu dari azab Allah
sedikit pun.” (HR. al-Bukhari Kitabut Tauhid, hlm. 91—91)
Bukti Kebenaran Sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan Kesesatan Syi’ah Rafidhah dan An-Nawashib
Para pembaca, setelah kita ulas
tiga kelompok yang berseberangan di dalam menyikapi Ahlul Bait, maka
tampak jelas bagi siapa saja yang di hatinya ada kejujuran dan keadilan
bahwa Ahlus Sunnahlah kelompok yang benar dan adil di dalam menyikapi
Ahlul Bait. Adapun Syi’ah Rafidhah dan an-Nawashib telah terjatuh dalam
sikap ekstrem (ghuluw), baik dalam hal pengultusan maupun pelecehan. Dan
akan semakin jelas insya Allah, ketika mencermati ulasan berikut ini:
- Sikap ekstrem yang ada pada Syi’ah Rafidhah dan an-Nawashib dalam menyikapi Ahlul Bait adalah dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana dalam firman-Nya,
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ
“Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian ekstrem (berlebihan) dalam agama kalian.” (an-Nisa’: 171)
Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala selalu memerintahkan untuk berbuat adil, sebagaimana dalam firman-Nya,
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
“Berbuatlah adil (karena) ia lebih dekat kepada ketakwaan.” (al-Ma’idah: 8)
- Sikap (permusuhan) yang ditempuh an-Nawashib terhadap Ahlul Bait merupakan sikap yang batil.
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرٗا ٣٣
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan sabdanya,
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتيِ
“Aku ingatkan kalian dengan nama Allah untuk selalu berbuat baik kepada Ahlul Baitku.” (HR. Muslim, 4/1873)
- Sikap pengultusan Syi’ah Rafidhah terhadap Ahlul Bait juga merupakan
sikap yang batil, bahkan jauh dari kejujuran dan keadilan.
Perhatikanlah poin-poin berikut ini!
- Mayoritas mereka membatasi Ahlul Bait hanya pada ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain. Mereka tidak memasukkan 12 putra dan 18/19 putri ‘Ali lainnya ke dalam lingkaran Ahlul Bait. Mereka juga tidak memasukkan putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Fathimah ke dalam lingkaran Ahlul Bait.
Lebih dari itu mereka keluarkan anak
cucu Hasan dari lingkaran Ahlul Bait. Bahkan mereka keluarkan pula anak
cucu Husain yang tidak disukai seperti Zaid bin ‘Ali bin Husain dan
putranya yang bernama Yahya. Demikian pula putra imam mereka Musa
al-Kazhim yang bernama Ibrahim dan Ja’far. (Lihat asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 20 dan Shabbal ‘Azab ala Man Sabbal Ash-haab, karya al-Imam al-Alusi hlm. 279—281)
Di dalam Shahih Muslim
(2/752—753), disebutkan bahwasanya Fadhl bin ‘Abbas dan Abdul Muththalib
bin Rabi’ah bin al-Harits bin Abdul Muththalib, (keduanya) meminta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dijadikan sebagai petugas shadaqah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَ تَحِلُّ لُحِمَمَّد وَلاَ لِآلِ مُحَمَّدٍ، وَإِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya shadaqah itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ahlul Bait), karena shadaqah merupakan kotoran manusia.”
Para pembaca, kalau putra ‘Abbas
bin Abdul Muththalib dan anak cucu al-Harits bin Abdul Muththalib masuk
ke dalam lingkaran Ahlul Bait, tentunya anak cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri, dan anak cucu ‘Ali bin Abi Thalib lebih berhak masuk ke dalam
lingkaran Ahlul Bait. Tidakkah kaum Syi’ah Rafidhah mau berpikir, walau
sejenak?!
Demikian pula, mereka keluarkan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lingkaran Ahlul Bait. Mereka berdalil dengan surat al-Ahzab ayat 33, yakni lafadz (عَنكُمْ)[2] menunjukkan bahwa yang dituju adalah laki-laki, sehingga para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk dari Ahlul Bait.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah—setelah menyebutkan surat al-Ahzab ayat 30—34—berkata, “Ini
(justru -pen.) menunjukkan bahwa para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait. Karena konteks ayat-ayat tersebut sesungguhnya tertuju untuk mereka (dimulai dengan seruan يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ / Wahai para istri Nabi -pen.).
Firman-Nya, لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ (untuk menghilangkan kotoran dari kalian hai Ahlul Bait)
justru menunjukkan bahwa seruan tersebut juga mencakup para Ahlul Bait
lainnya, seperti Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dan Allah subhanahu wa ta’ala
sebutkan dengan bentuk mudzakkar (laki-laki) agar seruan ini lebih
mencakup orang-orang yang dituju dari lelaki dan wanita Ahlul Bait.”[3] (Minhajus Sunnah, 4/23—24)
- Keyakinan batil mereka bahwa para imam Syi’ah mengerti perkara-perkara gaib, sehingga ketinggian kedudukan mereka tidak bisa dicapai oleh malaikat terdekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan nabi utusan Allah subhanahu wa ta’ala sekalipun, merupakan pendustaan dan pelecehan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Bagaimana tidak?! Dialah yang telah berfirman,
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.” (an-Naml: 65)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku adalah pemimpin (pemuka) anak cucu Adam di hari kiamat.” (HR. Muslim, 4/1782 no. 2278)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas seluruh makhluk.” (al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj 15/40)
- Adapun klaim mereka bahwa para imam Ahlul Bait itu ma’shum berdasarkan surat al-Ahzab ayat 33, maka sungguh tidak benar.
Karena /pembersihan dalam ayat tersebut tidak bermakna ‘ishmah (terjaga dari segala dosa). Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Ma’idah: 6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala suka, ridha, dan memerintahkan kalian untuk melakukan amalan-amalan tersebut[4].
Siapa saja yang mengerjakannya
maka dia akan meraih kecintaan dan keridhaan-Nya, dan siapa saja yang
tidak mengerjakannya maka dia tidak dapat meraihnya.” (Minhajus Sunnah, 4/260)
Adapun pembersihan dosa itu
sendiri, maka dengan dua cara yaitu; tidak mengerjakan perbuatan dosa
tersebut atau bertaubat dari dosa yang dilakukan. (Minhajus Sunnah, 7/79—80)
Aneh Tapi Nyata
Dalam bahasan yang lalu, telah
dijelaskan bahwasanya Syi’ah Rafidhah sangat berlebihan dalam mencintai
Ahlul Bait (versi mereka). Namun ketahuilah, hakikatnya mereka tidak
beda dengan an-Nawashib di dalam memusuhi Ahlul Bait. Memang ini terasa
aneh, tapi itulah fakta dan kenyataan.
Di antara sekian bukti dari permusuhan mereka terhadap Ahlul Bait adalah sebagai berikut:
- Pernyataan mereka bahwa para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah “pelacur”. Dalam Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal 57—60, ath-Thusi menukilkan (secara dusta) perkataan Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah, “Kamu tidak lain hanyalah seorang dari sembilan pelacur yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” (Daf’ul Kadzibil Mubin, hlm. 11)
- Pelecehan mereka terhadap ‘Ali bin Abi Thalib sebagaimana dalam kitab Salim bin Qais, hlm. 221, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersama ‘Aisyah hanya mempunyai satu selimut, dan beliau pun shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur (ketika itu) di antara Ali dan ‘Aisyah dengan satu selimut tersebut. Di saat bangun malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil selimut tersebut dan meletakkannya di antara Ali dan ‘Aisyah.” (Lihat asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 273)
- Pelecehan mereka terhadap Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dia menikah dengan ‘Ali bin Abi Thalib karena terpaksa. Sebagaimana dalam kitab al-Kaafi (al-Furuu’ minal Kaafi), “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah, maka beliau pun menemui keduanya, dan Fathimah saat itu sedang menangis.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Mengapa engkau menangis? Demi Allah, kalaulah ada dari keluargaku yang lebih baik dari ‘Ali maka aku akan nikahkan kamu dengannya, tidak dengan ‘Ali. Namun Allah subhanahu wa ta’ala yang menikahkan kamu.” (Dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 272)
- Mereka ramai-ramai mengeroyok (memukuli) Hasan bin ‘Ali, hingga salah seorang dari mereka (al-Jarrah bin Sinan) berhasil menusuk paha Hasan hingga robek dan mengenai tulangnya. (Lihat asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm.
- Mereka telah berkhianat kepada Husain bin Ali, hingga menyebabkan terbunuhnya beliau radhiallahu ‘anhuma. Sebagaimana yang disebutkan Muhsin al-Amin dalam A’yaanusy Syi’ah bagian I hlm. 34, “Kemudian 20.000 penduduk Irak membai’at Husain, lalu mereka berkhianat dan tidak menaatinya, padahal bai’at ada di leher mereka. Hingga akhirnya mereka membunuhnya.” (Dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 272)
- Adapun Ahlul Bait lainnya, maka sangat banyak pelecehan terhadap mereka, sebagaimana dalam buku-buku ternama Syi’ah. (Lebih rincinya lihat kitab asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 266—297)
Karena itu, tidaklah mengherankan bila:
- ‘Ali bin Abi Thalib berdoa (seperti yang mereka nukilkan), “Ya Allah, aku telah bosan dengan mereka (Syi’ah) dan mereka pun telah bosan denganku. Maka gantikanlah untukku orang-orang yang lebih baik dari mereka, dan gantikan untuk mereka seorang yang lebih jelek dariku….” (Nahjul Balaghah, hlm. 66—67, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 300)
- Hasan bin ‘Ali berkata, “Demi Allah, menurutku Mu’awiyah lebih baik daripada orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ah-ku, mereka berupaya untuk membunuhku dan mengambil hartaku.” (al-Ihtijaj, karya ath-Thabrisi hlm. 148, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 300)
radhiallahu ‘anhuma.
Husain bin ‘Ali berdoa, “Ya Allah, jika Engkau beri mereka (Syi’ah)
kehidupan hingga saat ini, maka porak porandakanlah mereka dan
jadikanlah mereka berkeping-keping. Dan janganlah Engkau jadikan para
pemimpin (yang ada) ridha kepada mereka (Syi’ah) selama-lamanya. Karena
kami diminta membantu mereka, namun akhirnya mereka justru memusuhi kami
dan membunuh kami.” (al-Irsyad, karya al-Mufid hlm. 341, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 302)
- ‘Ali bin Husain Zainal Abidin berkata, “Mereka (Syi’ah) bukan dari kami, dan kami pun bukan dari mereka.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 111, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 303)
- Muhammad al-Baqir berkata, “Kalau seandainya semua manusia ini Syi’ah, niscaya tiga perempatnya adalah orang-orang yang ragu dengan kami, dan seperempatnya adalah orang-orang dungu.” (Rijalul Kisysyi, hlm. 179, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hlm. 303)
- Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala berlepas diri dari orang-orang yang benci terhadap Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala’, karya Adz-Dzahabi, 6/260)
Demikianlah apa yang dapat kami sajikan seputar bahasan Ahlul Bait. Mudah-mudahan kita dibimbing Allah subhanahu wa ta’ala
untuk selalu bersikap adil terhadap Ahlul Bait, dan dijauhkan dari
jalan an-Nawashib yang berlebihan di dalam memusuhi mereka, serta jalan
Syi’ah Rafidhah yang juga memusuhi Ahlul Bait dengan berkedok kecintaan
kepada mereka.
Amiin, ya Mujibas Sa’iliin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
[1] Karena mereka membatasi Ahlul Bait pada orang-orang tertentu saja, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
[3] Di dalam bahasa Arab, dhamir (kata ganti) laki-laki terkadang ditujukan untuk laki-laki dan wanita (sekaligus).
[4]
Pembersihan yang terdapat pada surat Al-Ahzab ayat 33 terkait dengan
perintah dan larangan yang terdapat dalam ayat 30-32. Adapun pembersihan
yang terdapat pada surat al-Ma‘idah ayat 6 terkait dengan perintah
bersuci (thaharah).

Surat Pembaca Edisi 18
Dari Penulis Info Praktis
Berkaitan dengan Rubrik Info
Praktis di Majalah Asy Syariah edisi 17 halaman 77, dengan judul ‘Bila
Anak Kejang Demam’ ada beberapa hal yang perlu diluruskan:
- Pada alinea keempat, tertulis: “Kejang biasanya berlangsung kurang dari 15 detik.”
Yang benar: “Kejang biasanya berlangsung kurang dari 15 menit.”
- Pada alinea kelima poin 7, tertulis: “Kurangi demam dengan mengkompres dengan air hangat.”
Yang benar: “Kurangi demam dengan mengkompres dengan air dingin (es).”
Ummu Auzai Misykah
Jawaban Redaksi:
Jazakumullah khairan atas perbaikannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Selalu Ada Ralat
Mengapa selalu ada ralat?
Hendaknya dalam menulis dan atau menyalin tulisan diperhatikan dengan
sungguh-sungguh dan lebih berhati-hati lagi, ittaqullah!
Rubrik problema anda ganti
masalah anda. Itu tadi saran-saran ana untuk majalah Asy Syariah, semoga
bermanfaat bagi muslimin Barakallahufikum.
Abu Asad As-Solowy
081226xxxxx
Jawaban Redaksi:
Ralat memang
nampaknya telah menjadi bagian dari majalah kesayangan kita ini. Bagi
kami, ralat setidaknya memiliki dua kedudukan yang tidak bisa diabaikan
begitu saja:
- Ralat merupakan bentuk tanggung jawab amanah kami kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga ketika kami melakukan kesalahan segera memperbaikinya. Ini merupakan perwujudan dari sikap ilmiah dan kehati-hatian.
- Ralat merupakan cermin dari sifat dasar tiap manusia, yaitu sering terjatuh dalam kesalahan dan memiliki banyak kekurangan. Ralat yang sering muncul di majalah ini menunjukkan bahwa kami adalah manusia biasa yang banyak kekurangan, meski setiap kali terbit naskah telah melewati editan yang bertingkat, baik oleh asatidzah maupun kru sendiri. Sudah tentu kami memiliki keinginan seperti anda, yaitu agar tidak ada lagi ralat di majalah ini.
Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan kepada kita. Jazakumullahu khairan atas usulnya.
Halaman Warna Jangan Ngumpul
Ana sangat mendukung kehadiran
majalah Asy Syariah yang makin fresh baik dari segi ilustrasi, gambar
maupun ilmu yang terkandung di dalamnya yang sangat dibutuhkan bagi
orang yang haus akan ilmu agama. Ana punya usulan, gimana kalau halaman
berwarna dipisah alias jangan ngumpul biar tidak terkesan ngirit,
terutama halaman pertama dan 5, juga untuk rubrik doa diperbesar tulisan
Arabnya biar nggak bikin malas membacanya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengistiqomahkan kita dalam manhaj yang haq ini, jazakumullah khairan katsira.
Khanif
Jl. Dieng Km. 4 Kepakisan, Batur, Banjarnegara
Jl. Dieng Km. 4 Kepakisan, Batur, Banjarnegara
Jawaban Redaksi:
Halaman berwarna
tidak bisa dipisah-pisah seperti yang anda inginkan, karena ini berkait
dengan masalah teknis di percetakan. Tentang tulisan Arab di rubrik Doa,
sebenarnya sudah lebih besar daripada tulisan Arab yang ada di rubrik
lainnya. Bagaimanapun juga, masukan antum akan dipertimbangkan.
Kurang Nyaman dengan Halaman Bersambung
Saya penbaca Asy Syariah,
sebagai pembaca merasa kurang nyaman dengan cara penyajian majalah ini
dengan banyaknya tulisan bersambung ke hal …
Mohon untuk dipertimbangkan.
Mubarok Al-Makzum
- Miftahul Haq, Kedung Adem
Bojonegoro, Jatim
Jawaban Redaksi:
Saran senada kami
terima dari beberapa pembaca lainnya. Jazakumullah khairan. Kami
memunculkan halaman bersambung untuk menyiasati naskah yang cukup
panjang. Cara ini kami pandang lebih baik daripada harus mengecilkan
huruf.

Makan Ala Islam (2)
Makan atau minum dengan tangan
kiri, bagi kebanyakan orang sudah menjadi hal yang biasa. Namun, dalam
Islam, perbuatan jelek ini bukan masalah yang ringan. Setidaknya, makan
dan minum dengan tangan kiri adalah perbuatan yang menyerupai setan.
Jadi, penting untuk mengajari anak bagaimana makan dan minum sesuai
dengan tuntunan Nabi. Sebab, apabila terlambat melakukannya, anak akan
susah dibetulkan.

Pelajaran dari Kisah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman
Barang siapa meninggalkan sesuatu
karena Allah ‘azza wa jalla, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan
memberinya ganti dengan yang lebih baik.”
Inilah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini. Ketika Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membunuh kuda-kudanya karena telah membuat lalai dari berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, Allah ‘azza wa jalla menggantinya dengan ditundukkannya angin dan setan bagi beliau.
Posting Komentar