Al-Masih Versi Al-Qiyadah Al-Islamiyyah
Adalah salah satu kelompok yang memanfaatkan keyakinan akan
munculnya Al-Masih. Pencetus aliran ini mengaku bahwa dirinya telah
mendapat wahyu di gunung Bunder, Bogor, dan menjadi Al-Masih, atau yang
diistilahkan Mesias yang dijanjikan sebagai penyelamat. Dia sebut
dirinya sebagai Al-Masih Al-Maw’ud, artinya Al-Masih yang dijanjikan.
Disayangkan, kawanan Al-Masih Palsu ini telah berhasil merekrut demikian banyak pengikut dari kalangan mahasiswa dan pelajar di berbagai penjuru tanah air. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengelabui pelajar muslim untuk mempelajari Al-Qur`an, namun mereka tafsirkan sesuai dengan misi mereka. Lantas mereka kait-kaitkan dengan ajaran Yesus yang ujung-ujungnya mencampur-adukkan antara ajaran Islam dan Kristen. Nampak dari luar Islam tapi dalamnya Kristen.
Mereka sendiri tidak melaksanakan syariat Islam, termasuk yang terpentingnya yaitu shalat lima waktu. Mereka menganggap orang yang shalat sebagai orang musyrik, dan bercita-cita memerangi orang-orang yang shalat. Syahadatnya pun sudah berbeda, bukan lagi “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah” tapi “Asyhadu Anna Al-Masih Al-Mauw’ud Rasulullah.” Ini adalah kekafiran yang nyata!!! Namun tetap saja mereka mengelak ketika ditanya tentang syahadat mereka.
Dan pelbagai keyakinan Al-Qiyadah Al-Islamiyyah yang sangat menyimpang dari prinsip ajaran Islam yang murni masih banyak. Apakah demikian Al-Masih yang dijanjikan?! Kalau dia tetap sebut dirinya Al-Masih maka dia Al-Masih Ad-Dajjal cilik, artinya Al-Masih pendusta/pemalsu kecil. Maka waspadalah wahai kaum muslimin, gerak mereka masih senyap, belum terang-terangan. Lebih jauh tentang Al-Qiyadah Islamiyyah ini dapat dikaji di bagian lain majalah kita ini.
Disayangkan, kawanan Al-Masih Palsu ini telah berhasil merekrut demikian banyak pengikut dari kalangan mahasiswa dan pelajar di berbagai penjuru tanah air. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengelabui pelajar muslim untuk mempelajari Al-Qur`an, namun mereka tafsirkan sesuai dengan misi mereka. Lantas mereka kait-kaitkan dengan ajaran Yesus yang ujung-ujungnya mencampur-adukkan antara ajaran Islam dan Kristen. Nampak dari luar Islam tapi dalamnya Kristen.
Mereka sendiri tidak melaksanakan syariat Islam, termasuk yang terpentingnya yaitu shalat lima waktu. Mereka menganggap orang yang shalat sebagai orang musyrik, dan bercita-cita memerangi orang-orang yang shalat. Syahadatnya pun sudah berbeda, bukan lagi “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah” tapi “Asyhadu Anna Al-Masih Al-Mauw’ud Rasulullah.” Ini adalah kekafiran yang nyata!!! Namun tetap saja mereka mengelak ketika ditanya tentang syahadat mereka.
Dan pelbagai keyakinan Al-Qiyadah Al-Islamiyyah yang sangat menyimpang dari prinsip ajaran Islam yang murni masih banyak. Apakah demikian Al-Masih yang dijanjikan?! Kalau dia tetap sebut dirinya Al-Masih maka dia Al-Masih Ad-Dajjal cilik, artinya Al-Masih pendusta/pemalsu kecil. Maka waspadalah wahai kaum muslimin, gerak mereka masih senyap, belum terang-terangan. Lebih jauh tentang Al-Qiyadah Islamiyyah ini dapat dikaji di bagian lain majalah kita ini.
Al-Masih Versi Yahudi dan Nashrani
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.)
Keyakinan akan munculnya Al-Masih di akhir zaman juga diakui Yahudi
dan Nasrani. Namun tentu saja keyakinan mereka menyimpang dari
kebenaran (Islam) yang kemudian mewujud menjadi kekufuran terhadap Allah
l.
Yahudi
Di antara aqidah Yahudi, mereka meyakini kemunculan seseorang yang
diklaim bakal mengembalikan kejayaan mereka. Mereka menyebutnya
“Al-Masih Al-Muntazhar” yakni Al-Masih yang dinanti. Dalam keyakinan
mereka, orang tersebut berasal dari keluarga Nabi Dawud, yang nantinya
akan menundukkan umat, memperbudak mereka, dan mengembalikan kejayaan
Yahudi. Serta berbagai keyakinan dan harapan yang dibumbui
bermacam-macam kedustaan sebagaimana tertera dalam kitab Talmud mereka.
Aqidah ini terus mereka yakini hingga saat ini, terbukti dengan
tercantumnya hal itu dalam Protokolat Yahudi Zionis. (Dirasat fil Adyan,
hal. 265, Badzlul Majhud, 1/227)
Nasrani
Orang-orang Nasrani juga meyakini akan munculnya Al-Masih di akhir
zaman meskipun mereka telah meyakini kematiannya. “Injil-injil” mereka
menyebut, Isa disalib pada Jum’at dini hari lalu meninggal pada sore
harinya setelah menyeru: “Tuhanku, Tuhanku, mengapa engkau biarkan
aku?”1 Selanjutnya pada malam itu, diturunkan dari salib dan dimasukkan
ke liang kubur malam itu juga serta terus di dalam kubur hingga malam
Ahad. Esoknya, pada hari Ahad, ketika orang-orang datang ke kuburannya
ternyata kuburnya telah kosong. Dikatakan kepada mereka bahwa ia bangkit
dari kuburnya, lantas tinggal bersama mereka selama 40 hari lalu ia
terangkat ke langit sementara mereka melihatnya…
Demikian –secara ringkas– “injil-injil” mereka menyebut. Sebuah
keyakinan yang pasti bahwa injil-injil mereka telah mereka selewengkan
sehingga cerita semacam ini tidak bisa kita percayai. Terlebih yang
jelas bertentangan dengan Al-Qur`an, yaitu penyebutan kematian Isa,
penyaliban Isa, dan pembunuhan terhadapya.
Dari kisah tadi mereka meyakini akan kembalinya Isa di mana
nantinya ia akan menghisab/menghitung amal manusia, membalas mereka,
serta mengumpulkan kembali orang-orang Nasrani. (Dirasat fil Adyan hal.
264, 283)
Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Tiga umat menyepakati berita akan
munculnya Al-Masih pembawa petunjuk dari keluarga Dawud dan Al-Masih
pembawa kesesatan. Dan mereka sepakat bahwa Al-Masih pembawa kesesatan
belum muncul, tapi akan muncul. Mereka juga sepakat bahwa Al-Masih
pembawa petunjuk akan datang. Lalu muslimin dan Nasrani sepakat bahwa
Al-Masih pembawa petunjuk adalah Isa bin Maryam, sementara Yahudi
mengingkarinya, dengan pengakuan mereka bahwa Al-Masih itu memang dari
keturunan Dawud. (Dalam pengingkaran ini, -pent.) mereka beralasan bahwa
Al-Masih yang dijanjikan adalah yang seluruh manusia beriman kepadanya.
Mereka beranggapan, Al-Masih Isa diutus dengan agama Nasrani padahal
itu agama yang jelas salah. Karena itu, ketika muncul Al-Masih Ad-Dajjal
mereka pun mengikutinya. Maka keluarlah mengikutinya 70.000 Yahudi
Ashbahan2 yang memakai jubah hijau.” (Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala
Dinal Masih, 3/324 dinukil dari kitab Badzlul Majhud, 1/262)
Dari keterangan Ibnu Taimiyyah t di atas, kita bisa mengambil suatu
bantahan terhadap sikap Yahudi, di mana yang mereka sebut Al-Masih
Al-Muntazhar itu sejatinya adalah Nabi Isa bin Maryam r. Namun sejak
diutusnya, mereka sudah mengingkarinya, bahkan melontarkan
tuduhan-tuduhan keji serta tuduhan kekafiran kepada Isa dan kepada
ibunya sebagaimana termaktub dalam kitab Talmud mereka3. Sehingga
mereka, ketika turunnya Isa nanti di akhir zaman, akan menjadi
musuh-musuh utama Nabi Isa. Maka terjadilah peristiwa terbunuhnya
Al-Masih Ad-Dajjal pembawa kesesatan oleh Al-Masih Ibnu Maryam, pembawa
hidayah. Sebagaimana terjadi pula peperangan antara pengikut
masing-masing Al-Masih.
Lantas, Al-Masih apa yang dinanti Yahudi dengan segala harapan dan
‘kesabaran’ mereka? Ternyata dia adalah Al-Masih Ad-Dajjal, sang pembawa
kesesatan, yang ternyata juga seorang Yahudi.
Adapun keyakinan Nasrani, walaupun mereka sepakat dengan muslimin
bahwa yang dimaksud adalah Isa bin Maryam, namun pada perincian
keyakinan mereka sangat jauh berbeda dan sangat bertolak belakang.
Karena orang Nasrani meyakini Isa sebagai Tuhan dan nanti akan
menghisab/menghitung amalan manusia serta membalasi amal mereka. Adapun
muslimin meyakini bahwa Isa naik sebagai manusia, demikian pula turun
sebagai manusia sebagaimana perincian yang telah lewat.
Atas dasar keyakinan mereka itu, mereka sejatinya lebih dekat
kepada Al-Masih Ad-Dajjal, karena Dajjal nanti akan mengaku sebagai
Tuhan dan akan membawa semacam surga dan neraka, menguji manusia dan
membalas mereka. Sehingga bila seorang Nasrani tidak beriman akan
kemanusiaan Al-Masih Ibnu Maryam, tentu ia akan menjadi pengikut
Al-Masih Ad-Dajjal.
Hanya kepada Allah l kami memohon keselamatan.
1 Dari kata-kata yang mereka kisahkan ini, kalau mereka jujur,
mereka akan mengetahui bahwa Isa q sesungguhnya bukan Tuhan. Bahkan ia
adalah seorang hamba yang butuh pertolongan Tuhannya.
2 Salah satu kota di Iran yang banyak dihuni orang Yahudi. Bisa
juga dibaca Ashfahan. Kini lebih dikenal sebagai Isfahan atau Esfahan.
3 Lihat Badzlul Majhud, 1/262-263
Syubhat dan Bantahan Seputar Turunnya Nabi Isa
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc)
Mengkaji hal-hal yang sifatnya ghaib seperti turunnya Nabi Isa q di akhir zaman, tentu tak luput dari pro dan kontra. Karena sebagai bagian dari ranah keimanan, tentu itu semua tak bisa ditelisik hanya dengan mengandalkan indera manusia yang terbatas. Siapa yang tak mampu menundukkan akalnya di bawah kendali keimanan, niscaya ia akan berada di barisan pasukan pengingkar.
Pengingkar Turunnya Al-Masih Isa
Di antara bentuk penyimpangan aqidah adalah pengingkaran atau tidak mengimani akan turunnya Isa. Pengingkaran ini bisa dilakukan secara individual semacam yang dilakukan oleh Mahmud Syaltut, guru besar Universitas Al-Azhar, Mesir1, atau secara kelompok seperti sebagian kelompok Mu’tazilah serta orang-orang filsafat dan atheis. (Iqamatul Burhan hal. 6)
Di antara alasan mereka dalam mengingkari turunnya Isa adalah:
• Bahwa hadits-hadits dalam hal itu palsu dan tidak masuk akal.
Jawab: Bahwa hadits-hadits dalam hal ini sangat banyak. Bahkan para ulama menggolongkannya sebagai hadits mutawatir. Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri mengatakan bahwa jumlahnya mencapai lebih dari 50 hadits. Mayoritasnya shahih dan sebagian lagi hasan. Adapun anggapan tidak masuk akal, Asy-Syaikh At-Tuwaijiri juga telah menyanggahnya. Beliau mengatakan: “Adapun nalar yang lurus dan akal sehat yang selalu berjalan bersama kebenaran ke mana kebenaran itu mengarah, niscaya tidak akan ragu-ragu dalam menerima kebenaran yang datang dari Kitabullah atau yang secara mutawatir datang dari hadits Rasulullah n dalam hal turunnya Al-Masih (Isa) di akhir zaman. Tapi nalar yang melenceng serta akal yang rusak, tidak akan segan-segan menolak kebenaran. Sehingga akal yang rusak serta pengusungnya itu tidak perlu diperhitungkan.”
• Syubhat: Turunnya Isa itu mustahil, karena Nabi Muhammad n adalah penutup para nabi dengan nash Al-Qur`an.
Jawab: Bahwa turunnya Isa di akhir zaman tidaklah membawa syariat yang baru. Tidak pula berhukum dengan Injil. Namun berhukum dengan syariat Allah l dan Sunnah Rasulullah n. Dan ia menjadi salah satu umat ini (seperti pada hadits-hadits yang lalu, -pent.). Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dari Samurah bin Jundub z bahwa Nabi Allah dahulu mengatakan:
إِنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ -فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَفِيْهِ- ثُمَّ يَجِيءُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ مُصَدِّقاً بِمُحَمَّدٍ n وَعَلَى مِلَّتِهِ، فَيَقْتُلُ الدَّجَّالَ ثُمَّ إِنَّمَا هُوَ قِيَامُ السَّاعَةِ
“Bahwa Dajjal pasti keluar –lalu beliau melanjutkan haditsnya, dalam hadits itu–. Lalu datanglah Isa bin Maryam membenarkan Muhammad dan di atas agama Muhammad, kemudian setelah itu tegaklah hari kiamat.” (HR. Ath-Thabarani, dan Al-Haitsami mengatakan: “Para rawinya adalah para rawi kitab Shahih.”) [Iqamatul Burhan, At-Tuwaijiri]
• Syubhat: Seandainya turunnya Isa itu termasuk prinsip iman, tentu itu akan disebut dalam Al-Qur`an dengan tegas.
Jawab: Semua yang telah shahih dari Nabi n, sesuatu yang telah beliau beritakan akan terjadi, wajib kita imani. Dan ini merupakan realisasi dari syahadat Muhammad Rasulullah. Dan realisasi ini termasuk prinsip iman, di mana seseorang tidak menjadi seorang mukmin yang terlindungi darah dan hartanya hingga merealisasikan persaksian kerasulan Muhammad n, berdasarkan sabda beliau:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar kecuali Allah, serta beriman denganku dan dengan apa yang aku bawa. Bila mereka melakukan itu maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Dan telah shahih dari Nabi n bahwa beliau memberitakan akan munculnya Mahdi di akhir zaman, keluarnya Dajjal, serta turunnya Isa. Sehingga wajib mengimani hal itu sebagai bentuk bukti pembenaran terhadap firman Allah l:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya.” (An-Najm: 3-4)
Dan sebagai pengamalan terhadap firman-Nya:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
• Syubhat: berita-berita semacam ini akan membuka pintu bagi manusia untuk mengaku-ngaku bahwa dirinya Mahdi atau bahkan Al-Masih Ibnu Maryam r.
Jawab: Berita-berita dari Nabi n yang shahih, tidak bisa ditolak dengan alasan kemungkinan-kemungkinan serta argumen yang tidak tepat semacam ini. Bahkan harus dipercayai dan diterima, meskipun ada yang tergoda dengan kandungannya (sehingga mengaku-ngaku, -pent.). Allah n memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada manusia:
“Dan supaya aku membacakan Al-Qur`an (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan’.” (An-Naml: 92)
Demikianlah cara menyikapi berita-berita yang shahih dari Nabi n, yakni disambut dengan sikap menerima dan percaya. Serta tidak perlu menoleh kepada ahlul fitnah yang menyelewengkan maknanya, tidak sesuai dengan yang semestinya dan menerapkannya tidak pada tempatnya… Dan barangsiapa mengaku bahwa dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam r sementara Dajjal belum keluar maka dia adalah seorang pendusta. Dan Al-Masih Ibnu Maryam r itu punya dua tanda yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain:
1. Bahwa ia membunuh Dajjal, sebagaimana dalam hadits yang mutawatir.
2. Bahwa tidak mungkin bagi seorang kafir yang mendapatkan desah nafasnya kecuali pasti mati. Sedangkan nafasnya berakhir ke mana berakhirnya pandangannya, seperti dalam hadits An-Nawas bin Sam’an z yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan: “Gharib, hasan shahih.”
Dengan dua tanda ini, terkuburlah segala harapan bagi setiap pendusta yang mengaku-aku dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam r. (Diringkas dari kitab Iqamatul Burhan, hal. 11-27 karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri)
Ahmadiyyah
Golongan lain yang menyeleweng dalam hal keimanan akan turunnya Al-Masih Ibnu Maryam r adalah Ahmadiyyah. Aliran yang diprakarsai oleh seorang bernama Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani ini mengklaim bahwa dirinyalah sesungguhnya yang dijanjikan dalam hadits-hadits akan turunnya Isa Ibnu Maryam. Namun karena tahu bahwa dirinya bukanlah Al-Masih Ibnu Maryam maka dia menciptakan suatu doktrin bagi pengikutnya bahwa Al-Masih Ibnu Maryam telah mati. Ini dia lakukan demi mencapai sebuah sasaran, yakni bahwa sebenarnya yang muncul bukanlah Al-Masih, tapi orang yang menyerupainya. Siapa dia? Tentu yang dia maksudkan adalah dirinya.
Bantahan:
Amat mudah sebenarnya mengungkap kedustaan mereka dan membantah pembodohan mereka terhadap umat. Saya nyatakan, mereka tentunya mengimani hadits-hadits yang menerangkan akan turunnya Isa. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka mengklaim bahwa yang dijanjikan dalam hadits adalah orang yang menyerupai Al-Masih.
Dan sejak awal langkah, akan hancurlah proklamasi mereka bahwa Mirza-lah yang dijanjikan dalam hadits. Karena jikalau mereka mengimani hal itu, semestinya pula mereka beriman dengan sifat-sifat fisik Al-Masih, bagaimana peristiwa turunnya, misi yang diembannya, serta kondisi alam pada zamannya. Termasuk dua hal yang disebut oleh At-Tuwaijiri di atas, bahwa ia membunuh Dajjal dan bahwa setiap orang kafir yang mendapati desah nafasnya pasti akan mati.
Apakah ini terjadi pada Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani, bila ia benar-benar orang yang dijanjikan dalam hadits? Tentu setiap orang tahu –termasuk Mirza sendiri– bahwa itu semua tidak terjadi pada dirinya…. Demikian pula kata-kata “turun” yang tidak menunjukkan adanya kematian, mereka takwil. Sehingga tidak mereka imani apa adanya, bahkan mereka selewengkan kepada makna lain, semacam “keluar” atau “kebangkitan”.
Adapun anggapan mereka bahwa Nabi Isa q telah wafat, tidak diangkat kepada Allah l, tentu ini juga merupakan kebatilan yang nyata. Melalui pembahasan sebelumnya, pembaca dapat menakar seberapa nilai keyakinan ini.
Namun mereka berupaya melegitimasi keyakinan tersebut dengan ayat yang mereka selewengkan maknanya. Di antaranya:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali ‘Imran: 144)
Mereka anggap bahwa para nabi seluruhnya telah wafat atas dasar makna (خَلَتْ) yakni yang telah mati. Dan bahwa Abu Bakr berdalil dengan ayat ini atas kematian Nabi Muhammad n karena para nabi sebelumnya telah mati. Para sahabat juga berijma’ atas kematian Nabi Muhammad n dan seluruh rasul sebelumnya.
Jawab: Seandainya kita terima bahwa (خَلَتْ) bermakna mati, maka dalil-dalil yang lain menunjukkan pengkhususan Isa dari hukum ini. Artinya mereka semua mati terkecuali Isa. Lalu, siapakah yang menukilkan “ijma’ para sahabat” bahwa mereka sepakat atas kematian seluruh nabi termasuk Nabi Isa? Bukankah ini semata-mata kedustaan?
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya.” (Ali ‘Imran: 55)
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas c menafsirkan kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” yakni mematikanmu.
Jawab: Bahwa maksud Ibnu Abbas adalah mewafatkannya di akhir zaman setelah turunnya. Yang semakin menguatkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas c dalam menafsirkan ayat ini. Beliau katakan: “Allah l mengangkatmu kemudian mewafatkanmu di akhir zaman.” (lihat Ad-Dur Al-Mantsur, 2/36)
Dan Ibnu Abbas c sendirilah yang menjelaskan maksud ucapannya, tidak memerlukan orang-orang Ahmadiyyah untuk menyelewengkan ucapannya menuruti keinginan mereka. Demikian pula riwayat-riwayat lain dari beliau yang menunjukkan keimanan tentang diangkatnya Isa dan akan turunnya beliau. Seperti tafsir beliau terhadap ayat 61 dari surat Az-Zukhruf: “Sungguh itu adalah tanda untuk datangnya hari kiamat.” Beliau katakan: “Yakni munculnya Isa bin Maryam r sebelum hari kiamat.” (HR. Al-Imam Ahmad)
Kemudian kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” dalam penggunaan bahasa Arab yaitu bahasa Al-Qur`an, tidak terbatas pada “kematian”. Bahkan bisa berarti “mengambil atau menangkap”, terkadang juga bermakna “menidurkan”. Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: “Adapun firman Allah l:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu, mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir’.” (Ali Imran: 55)
justru menunjukkan bahwa Allah l tidak memaksudkan dengan kata (مُتَوَفِّيكَ) adalah mati. Kalau yang Allah l maksudkan adalah kematian, tentu dalam hal ini Isa sebagaimana mukminin yang lain, karena sesungguhnya Allah l ambil arwah mereka dan Allah l angkat menuju langit. Dengan itu diketahui, tidak ada keistimewaan (pada Nabi Isa kalau begitu, pent.)… Padahal pada ayat yang lain, Allah l berfirman:
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya….” (An-Nisa`: 157-158)
Firman Allah l di sini “Allah mengangkatnya kepada-Nya” menerangkan bahwa ia diangkat dengan jasad dan rohnya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa makna: (مُتَوَفِّيكَ) adalah “mengambilmu”2 yakni mengambil roh dan badanmu… Dan terkadang bermakna menidurkan seperti firman-Nya:
اللهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (Az-Zumar: 42)
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Al-An’am: 60) [Majmu’ Fatawa, 4/322-323]
Ahmadiyyah mengatakan bahwa maksud diangkatnya Isa adalah diangkat derajatnya. Allah l mengangkat derajatnya dan Allah l angkat rohnya sebagaimana arwah kaum mukminin. Seperti Nabi Idris q:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا. وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 56-57)
Jawab: Tentang Idris q, para ulama memiliki beberapa tafsir tentang ayat itu. Di antara para ulama mengatakan bahwa Allah l mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup lalu meninggal padanya. Dan ini tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, dan selain keduanya dari ulama salaf. Dengan tafsir ini maka ayat ini justru menjadi dalil yang mematahkan pendapat mereka.
Yang lain berpendapat diangkatnya derajat Nabi Idris di dalam surga, dan tanpa diragukan, bahwa itu dengan jasad dan rohnya. Lalu seandainya pun ayat yang berkaitan dengan Idris itu artinya terangkatnya derajat, tidak mesti berarti demikian pada ayat yang berkaitan dengan Isa. Karena tentang Isa sangat jelas bahwa maksudnya adalah terangkatnya roh dan jasad dengan alasan:
Allah l mengatakan: “Dan mengangkatmu kepada-Ku”, “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya.” Dan sesuatu yang telah tetap/pasti dan disepakati kaum muslimin bahwa Allah l berada pada ketinggian. Sehingga arti diangkat kepadanya adalah ke langit. Berbeda dengan ayat yang berkaitan dengan Idris “Dan kami mengangkatnya pada tempat yang tinggi” (tidak ada kata-kata “kepada-Ku” atau “kepada-Nya”). Tentu orang yang sedikit saja tahu bahasa Arab akan mengetahui perbedaan kedua susunan kalimat itu.
Seandainya pun –kita mengalah dalam diskusi– bahwa ayat tidak menunjukkan diangkatnya jasad Isa ke langit, namun hadits-hadits sendiri dengan tegas menunjukkan demikian dan jumlahnya sangat banyak. Lantas apa keistimewaan Isa kalau dikatakan seperti layaknya muslimin yang lain?
Dalam ayat An-Nisa 157-158 di atas terdapat dalil yang sangat jelas bagaikan terangnya matahari menunjukkan apa yang telah dijelaskan dan yang diimani kaum mukminin. Firman-Nya: “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya” menunjukkan diangkatnya roh dan jasad. Seandainya Allah memaksudkan kematian, tentunya akan dikatakan: “Tidaklah mereka membunuhnya dan tidaklah mereka menyalibnya… bahkan ia mati.” (Lihat At-Taudhih li Ifkil Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatal Masih, karya Shalih bin Abdul ‘Aziz As-Sindi)
Wallahu a’lam bish shawab.
Mengkaji hal-hal yang sifatnya ghaib seperti turunnya Nabi Isa q di akhir zaman, tentu tak luput dari pro dan kontra. Karena sebagai bagian dari ranah keimanan, tentu itu semua tak bisa ditelisik hanya dengan mengandalkan indera manusia yang terbatas. Siapa yang tak mampu menundukkan akalnya di bawah kendali keimanan, niscaya ia akan berada di barisan pasukan pengingkar.
Pengingkar Turunnya Al-Masih Isa
Di antara bentuk penyimpangan aqidah adalah pengingkaran atau tidak mengimani akan turunnya Isa. Pengingkaran ini bisa dilakukan secara individual semacam yang dilakukan oleh Mahmud Syaltut, guru besar Universitas Al-Azhar, Mesir1, atau secara kelompok seperti sebagian kelompok Mu’tazilah serta orang-orang filsafat dan atheis. (Iqamatul Burhan hal. 6)
Di antara alasan mereka dalam mengingkari turunnya Isa adalah:
• Bahwa hadits-hadits dalam hal itu palsu dan tidak masuk akal.
Jawab: Bahwa hadits-hadits dalam hal ini sangat banyak. Bahkan para ulama menggolongkannya sebagai hadits mutawatir. Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri mengatakan bahwa jumlahnya mencapai lebih dari 50 hadits. Mayoritasnya shahih dan sebagian lagi hasan. Adapun anggapan tidak masuk akal, Asy-Syaikh At-Tuwaijiri juga telah menyanggahnya. Beliau mengatakan: “Adapun nalar yang lurus dan akal sehat yang selalu berjalan bersama kebenaran ke mana kebenaran itu mengarah, niscaya tidak akan ragu-ragu dalam menerima kebenaran yang datang dari Kitabullah atau yang secara mutawatir datang dari hadits Rasulullah n dalam hal turunnya Al-Masih (Isa) di akhir zaman. Tapi nalar yang melenceng serta akal yang rusak, tidak akan segan-segan menolak kebenaran. Sehingga akal yang rusak serta pengusungnya itu tidak perlu diperhitungkan.”
• Syubhat: Turunnya Isa itu mustahil, karena Nabi Muhammad n adalah penutup para nabi dengan nash Al-Qur`an.
Jawab: Bahwa turunnya Isa di akhir zaman tidaklah membawa syariat yang baru. Tidak pula berhukum dengan Injil. Namun berhukum dengan syariat Allah l dan Sunnah Rasulullah n. Dan ia menjadi salah satu umat ini (seperti pada hadits-hadits yang lalu, -pent.). Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim dari Samurah bin Jundub z bahwa Nabi Allah dahulu mengatakan:
إِنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ -فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَفِيْهِ- ثُمَّ يَجِيءُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ مُصَدِّقاً بِمُحَمَّدٍ n وَعَلَى مِلَّتِهِ، فَيَقْتُلُ الدَّجَّالَ ثُمَّ إِنَّمَا هُوَ قِيَامُ السَّاعَةِ
“Bahwa Dajjal pasti keluar –lalu beliau melanjutkan haditsnya, dalam hadits itu–. Lalu datanglah Isa bin Maryam membenarkan Muhammad dan di atas agama Muhammad, kemudian setelah itu tegaklah hari kiamat.” (HR. Ath-Thabarani, dan Al-Haitsami mengatakan: “Para rawinya adalah para rawi kitab Shahih.”) [Iqamatul Burhan, At-Tuwaijiri]
• Syubhat: Seandainya turunnya Isa itu termasuk prinsip iman, tentu itu akan disebut dalam Al-Qur`an dengan tegas.
Jawab: Semua yang telah shahih dari Nabi n, sesuatu yang telah beliau beritakan akan terjadi, wajib kita imani. Dan ini merupakan realisasi dari syahadat Muhammad Rasulullah. Dan realisasi ini termasuk prinsip iman, di mana seseorang tidak menjadi seorang mukmin yang terlindungi darah dan hartanya hingga merealisasikan persaksian kerasulan Muhammad n, berdasarkan sabda beliau:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar kecuali Allah, serta beriman denganku dan dengan apa yang aku bawa. Bila mereka melakukan itu maka mereka telah melindungi dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Dan telah shahih dari Nabi n bahwa beliau memberitakan akan munculnya Mahdi di akhir zaman, keluarnya Dajjal, serta turunnya Isa. Sehingga wajib mengimani hal itu sebagai bentuk bukti pembenaran terhadap firman Allah l:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya.” (An-Najm: 3-4)
Dan sebagai pengamalan terhadap firman-Nya:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
• Syubhat: berita-berita semacam ini akan membuka pintu bagi manusia untuk mengaku-ngaku bahwa dirinya Mahdi atau bahkan Al-Masih Ibnu Maryam r.
Jawab: Berita-berita dari Nabi n yang shahih, tidak bisa ditolak dengan alasan kemungkinan-kemungkinan serta argumen yang tidak tepat semacam ini. Bahkan harus dipercayai dan diterima, meskipun ada yang tergoda dengan kandungannya (sehingga mengaku-ngaku, -pent.). Allah n memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada manusia:
“Dan supaya aku membacakan Al-Qur`an (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan’.” (An-Naml: 92)
Demikianlah cara menyikapi berita-berita yang shahih dari Nabi n, yakni disambut dengan sikap menerima dan percaya. Serta tidak perlu menoleh kepada ahlul fitnah yang menyelewengkan maknanya, tidak sesuai dengan yang semestinya dan menerapkannya tidak pada tempatnya… Dan barangsiapa mengaku bahwa dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam r sementara Dajjal belum keluar maka dia adalah seorang pendusta. Dan Al-Masih Ibnu Maryam r itu punya dua tanda yang tidak dimiliki oleh manusia yang lain:
1. Bahwa ia membunuh Dajjal, sebagaimana dalam hadits yang mutawatir.
2. Bahwa tidak mungkin bagi seorang kafir yang mendapatkan desah nafasnya kecuali pasti mati. Sedangkan nafasnya berakhir ke mana berakhirnya pandangannya, seperti dalam hadits An-Nawas bin Sam’an z yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan: “Gharib, hasan shahih.”
Dengan dua tanda ini, terkuburlah segala harapan bagi setiap pendusta yang mengaku-aku dirinya adalah Al-Masih Ibnu Maryam r. (Diringkas dari kitab Iqamatul Burhan, hal. 11-27 karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri)
Ahmadiyyah
Golongan lain yang menyeleweng dalam hal keimanan akan turunnya Al-Masih Ibnu Maryam r adalah Ahmadiyyah. Aliran yang diprakarsai oleh seorang bernama Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani ini mengklaim bahwa dirinyalah sesungguhnya yang dijanjikan dalam hadits-hadits akan turunnya Isa Ibnu Maryam. Namun karena tahu bahwa dirinya bukanlah Al-Masih Ibnu Maryam maka dia menciptakan suatu doktrin bagi pengikutnya bahwa Al-Masih Ibnu Maryam telah mati. Ini dia lakukan demi mencapai sebuah sasaran, yakni bahwa sebenarnya yang muncul bukanlah Al-Masih, tapi orang yang menyerupainya. Siapa dia? Tentu yang dia maksudkan adalah dirinya.
Bantahan:
Amat mudah sebenarnya mengungkap kedustaan mereka dan membantah pembodohan mereka terhadap umat. Saya nyatakan, mereka tentunya mengimani hadits-hadits yang menerangkan akan turunnya Isa. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka mengklaim bahwa yang dijanjikan dalam hadits adalah orang yang menyerupai Al-Masih.
Dan sejak awal langkah, akan hancurlah proklamasi mereka bahwa Mirza-lah yang dijanjikan dalam hadits. Karena jikalau mereka mengimani hal itu, semestinya pula mereka beriman dengan sifat-sifat fisik Al-Masih, bagaimana peristiwa turunnya, misi yang diembannya, serta kondisi alam pada zamannya. Termasuk dua hal yang disebut oleh At-Tuwaijiri di atas, bahwa ia membunuh Dajjal dan bahwa setiap orang kafir yang mendapati desah nafasnya pasti akan mati.
Apakah ini terjadi pada Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani, bila ia benar-benar orang yang dijanjikan dalam hadits? Tentu setiap orang tahu –termasuk Mirza sendiri– bahwa itu semua tidak terjadi pada dirinya…. Demikian pula kata-kata “turun” yang tidak menunjukkan adanya kematian, mereka takwil. Sehingga tidak mereka imani apa adanya, bahkan mereka selewengkan kepada makna lain, semacam “keluar” atau “kebangkitan”.
Adapun anggapan mereka bahwa Nabi Isa q telah wafat, tidak diangkat kepada Allah l, tentu ini juga merupakan kebatilan yang nyata. Melalui pembahasan sebelumnya, pembaca dapat menakar seberapa nilai keyakinan ini.
Namun mereka berupaya melegitimasi keyakinan tersebut dengan ayat yang mereka selewengkan maknanya. Di antaranya:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (Ali ‘Imran: 144)
Mereka anggap bahwa para nabi seluruhnya telah wafat atas dasar makna (خَلَتْ) yakni yang telah mati. Dan bahwa Abu Bakr berdalil dengan ayat ini atas kematian Nabi Muhammad n karena para nabi sebelumnya telah mati. Para sahabat juga berijma’ atas kematian Nabi Muhammad n dan seluruh rasul sebelumnya.
Jawab: Seandainya kita terima bahwa (خَلَتْ) bermakna mati, maka dalil-dalil yang lain menunjukkan pengkhususan Isa dari hukum ini. Artinya mereka semua mati terkecuali Isa. Lalu, siapakah yang menukilkan “ijma’ para sahabat” bahwa mereka sepakat atas kematian seluruh nabi termasuk Nabi Isa? Bukankah ini semata-mata kedustaan?
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya.” (Ali ‘Imran: 55)
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas c menafsirkan kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” yakni mematikanmu.
Jawab: Bahwa maksud Ibnu Abbas adalah mewafatkannya di akhir zaman setelah turunnya. Yang semakin menguatkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas c dalam menafsirkan ayat ini. Beliau katakan: “Allah l mengangkatmu kemudian mewafatkanmu di akhir zaman.” (lihat Ad-Dur Al-Mantsur, 2/36)
Dan Ibnu Abbas c sendirilah yang menjelaskan maksud ucapannya, tidak memerlukan orang-orang Ahmadiyyah untuk menyelewengkan ucapannya menuruti keinginan mereka. Demikian pula riwayat-riwayat lain dari beliau yang menunjukkan keimanan tentang diangkatnya Isa dan akan turunnya beliau. Seperti tafsir beliau terhadap ayat 61 dari surat Az-Zukhruf: “Sungguh itu adalah tanda untuk datangnya hari kiamat.” Beliau katakan: “Yakni munculnya Isa bin Maryam r sebelum hari kiamat.” (HR. Al-Imam Ahmad)
Kemudian kata (مُتَوَفِّيكَ) “mewafatkanmu” dalam penggunaan bahasa Arab yaitu bahasa Al-Qur`an, tidak terbatas pada “kematian”. Bahkan bisa berarti “mengambil atau menangkap”, terkadang juga bermakna “menidurkan”. Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: “Adapun firman Allah l:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu, mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir’.” (Ali Imran: 55)
justru menunjukkan bahwa Allah l tidak memaksudkan dengan kata (مُتَوَفِّيكَ) adalah mati. Kalau yang Allah l maksudkan adalah kematian, tentu dalam hal ini Isa sebagaimana mukminin yang lain, karena sesungguhnya Allah l ambil arwah mereka dan Allah l angkat menuju langit. Dengan itu diketahui, tidak ada keistimewaan (pada Nabi Isa kalau begitu, pent.)… Padahal pada ayat yang lain, Allah l berfirman:
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya….” (An-Nisa`: 157-158)
Firman Allah l di sini “Allah mengangkatnya kepada-Nya” menerangkan bahwa ia diangkat dengan jasad dan rohnya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa makna: (مُتَوَفِّيكَ) adalah “mengambilmu”2 yakni mengambil roh dan badanmu… Dan terkadang bermakna menidurkan seperti firman-Nya:
اللهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (Az-Zumar: 42)
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Al-An’am: 60) [Majmu’ Fatawa, 4/322-323]
Ahmadiyyah mengatakan bahwa maksud diangkatnya Isa adalah diangkat derajatnya. Allah l mengangkat derajatnya dan Allah l angkat rohnya sebagaimana arwah kaum mukminin. Seperti Nabi Idris q:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا. وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 56-57)
Jawab: Tentang Idris q, para ulama memiliki beberapa tafsir tentang ayat itu. Di antara para ulama mengatakan bahwa Allah l mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup lalu meninggal padanya. Dan ini tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, dan selain keduanya dari ulama salaf. Dengan tafsir ini maka ayat ini justru menjadi dalil yang mematahkan pendapat mereka.
Yang lain berpendapat diangkatnya derajat Nabi Idris di dalam surga, dan tanpa diragukan, bahwa itu dengan jasad dan rohnya. Lalu seandainya pun ayat yang berkaitan dengan Idris itu artinya terangkatnya derajat, tidak mesti berarti demikian pada ayat yang berkaitan dengan Isa. Karena tentang Isa sangat jelas bahwa maksudnya adalah terangkatnya roh dan jasad dengan alasan:
Allah l mengatakan: “Dan mengangkatmu kepada-Ku”, “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya.” Dan sesuatu yang telah tetap/pasti dan disepakati kaum muslimin bahwa Allah l berada pada ketinggian. Sehingga arti diangkat kepadanya adalah ke langit. Berbeda dengan ayat yang berkaitan dengan Idris “Dan kami mengangkatnya pada tempat yang tinggi” (tidak ada kata-kata “kepada-Ku” atau “kepada-Nya”). Tentu orang yang sedikit saja tahu bahasa Arab akan mengetahui perbedaan kedua susunan kalimat itu.
Seandainya pun –kita mengalah dalam diskusi– bahwa ayat tidak menunjukkan diangkatnya jasad Isa ke langit, namun hadits-hadits sendiri dengan tegas menunjukkan demikian dan jumlahnya sangat banyak. Lantas apa keistimewaan Isa kalau dikatakan seperti layaknya muslimin yang lain?
Dalam ayat An-Nisa 157-158 di atas terdapat dalil yang sangat jelas bagaikan terangnya matahari menunjukkan apa yang telah dijelaskan dan yang diimani kaum mukminin. Firman-Nya: “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya” menunjukkan diangkatnya roh dan jasad. Seandainya Allah memaksudkan kematian, tentunya akan dikatakan: “Tidaklah mereka membunuhnya dan tidaklah mereka menyalibnya… bahkan ia mati.” (Lihat At-Taudhih li Ifkil Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatal Masih, karya Shalih bin Abdul ‘Aziz As-Sindi)
Wallahu a’lam bish shawab.
1 Dalam buku kumpulan fatwanya hal. 59-82. Lihat Asyrathus Sa’ah hal. 349, Ash-Shahihah no. 1529.
1 Bukan “mewafatkanmu”.
Hikmah Turunnya Nabi Isa
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.)
Orang yang beriman niscaya meyakini bahwa setiap peristiwa diciptakan Allah l dengan suatu hikmah. Tak terkecuali turunnya nabi Isa q ke muka bumi pada akhir zaman nanti. Meski tentunya, dengan keterbatasan sebagai manusia, kita hanya bisa mengungkap sebagian saja hikmah di balik peristiwa tersebut.
Peristiwa besar turunnya Isa ke bumi memiliki hikmah yang amat besar. Para ulama semisal Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari menyebutkan beberapa hikmah dari turunnya Isa q di akhir zaman. Di antara hikmah yang terpenting:
1. Membantah klaim Yahudi bahwa merekalah yang membunuh Isa, menyalibnya, dan anggapan bahwa yang disalib adalah orang terlaknat. Dengan turunnya Isa, kenyataan justru membuktikan bahwa Nabi Isa-lah yang membunuh Yahudi sekaligus pemimpin mereka yakni Dajjal, sebagaimana akan disinggung nanti.
2. Membantah orang-orang Nasrani yang menuhankan Isa, menolak agama Islam, mengagungkan salib, dan menghalalkan babi. Di mana nantinya justru Nabi Isa mengajak kepada Islam, memerangi orang agar masuk Islam, berhukum dengan syariat Islam, tidak menerima dari ahlul kitab kecuali Islam, tidak lagi menerima jizyah, salib akan ia hancurkan dan babi akan ia bunuh. Pada akhirnya ia akan wafat sebagaimana manusia biasa, bukan Tuhan atau anak Tuhan, atau salah satu dari Tuhan yang tiga.
Sifat Turunnya Nabi Isa q dan Pembunuhannya Terhadap Dajjal
Nabi n mengisahkan dalam haditsnya: “(Lalu Dajjal datang ke gunung Iliya, sehingga ia mengepung sekelompok dari kaum muslimin). (Maka kaum muslimin diliputi rasa takut yang sangat), (sehingga orang-orang lari dari Dajjal menuju gunung-gunung).” Ummu Syuraik mengatakan: “Wahai Rasulllah, di mana orang-orang Arab ketika itu?” Beliau menjawab: “Mereka ketika itu sedikit dan imam mereka seorang lelaki shalih.” [Rasulullah mengatakan: “Al-Mahdi dari kami, ahlul bait (dari anak keturunan Fathimah).”] (Allah menyiapkannya dalam waktu semalam) (namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku) (dahinya lebar dan hidungnya mancung), (ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kecurangan dan kedzaliman), (ia berkuasa selama tujuh tahun).”
Dan Nabi n bersabda: “Dua kelompok dari umatku yang Allah lindungi mereka dari neraka. Satu kelompok memerangi India dan satu kelompok bersama Isa bin Maryam.”
Beliau juga mengatakan: ”Barangsiapa di antara kalian yang mendapati Isa, sampaikanlah salam dariku. Maka tatkala imam mereka hendak maju untuk mengimami mereka shalat Shubuh, tiba-tiba turun kepada mereka (dari langit) Isa bin Maryam, subuh) di manaratul baidha (menara putih), sebelah timur Damaskus1 di antara dua pakaian yang dicelup dengan wewangian Za’faran. Ia letakkan dua telapak tangannya di atas sayap-sayap malaikat. Bila ia menganggukkan kepalanya, maka menetes. Dan bila ia angkat berjatuhan darinya butir-butir perak layaknya permata. Sehingga tidak halal bagi seorang kafir yang mendapati desah nafasnya kecuali ia akan mati, padahal desah nafasnya berakhir sejauh pandangannya2. Tidak ada antara aku dengan dia nabi –yakni Isa– dan ia pasti turun. Dan bila kalian melihatnya maka ketahuilah dia seorang lelaki yang tingginya sedang, agak merah dan putih, antara dua pakaian yang berwarna agak kuning, seakan-akan kepalanya meneteskan air, walaupun tidak basah, lalu ia memerangi manusia agar masuk Islam, menghancurkan salib, membunuh babi, menghilangkan jizyah, dan pada masanya Allah hancurkan agama-agama seluruhnya kecuali Islam.” Dan beliau bersabda: “Bagaimana kalian bila putra Maryam turun di tengah-tengah kalian sedang imam kalian (dalam riwayat lain: dan ia mengimami kalian) dari kalian?” Ibnu Abi Dzi`b (salah seorang rawi hadits, pent.) mengatakan (kepada Al-Walid bin Muslim, rawi hadits yang lain, pent.): “Kamu tahu apa maksudnya ‘ia mengimami kalian dari kalian?’ Aku katakan: ‘Kamu beritahukan kepadaku?’ Ibnu Abi Dzi`b menjawab: ‘Ia memimpin kalian dengan kitab Rabb kalian dan Sunnah Nabi kalian’.”
Maka imam tersebut berjalan mundur agar Isa maju. (Lalu dia katakan: “Kemarilah, imamilah kami”). Maka Nabi Isa meletakkan tangannya di antara dua pundaknya dan mengatakan kepadanya: (“Tidak, sesungguhnya sebagian kalian pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai kemuliaan Allah atas umat ini”). Maka imam tersebut maju dan imam mereka tetap shalat bersama mereka. (Kemudian datanglah Dajjal ke gunung Iliya, sehingga ia mengepung sekelompok kaum muslimin. Maka pemimpin mereka mengatakan: “Apa yang kalian tunggu dari thaghut ini kecuali kalian perangi dia sehingga kalian bertemu Allah, atau kalian diberi kemenangan.” Mereka pun berencana memeranginya jika mereka masuk waktu pagi.) (Tatkala mereka menyiapkan untuk berperang dan meluruskan shaf-shaf, lalu dikumandangkan iqamat shalat) (subuh). Pada waktu itu mereka bersama dengan Isa bin Maryam), (sehingga Isa mengimami mereka, maka bila ia angkat kepalanya dari ruku’nya mengatakan: “Sami’allahu liman hamidah, (semoga Allah bunuh Al-Masih Ad-Dajjal dan kaum muslimin menang).” Begitu selesai shalat, ia mengatakan: “Bukalah pintu,” sehingga pintu dibuka dan Dajjal melihat beliau. Bersama dia ada 70.000 orang Yahudi. Semuanya memiliki pedang yang berhias dan jubah hijau3, (lalu Isa mengejarnya) (sehingga ia pergi dengan tombaknya menuju Dajjal.) Sehingga bila Dajjal melihatnya, ia meleleh sebagaimana melelehnya garam di dalam air. (Seandainya beliau biarkan, tentu ia akan meleleh terus sampai mati. Akan tetapi Allah membunuh Dajjal dengan tangan Isa, sehingga Ia perlihatkan darahnya di tombaknya.) Ia tangkap Dajjal di Bab (pintu) Ludd sebelah timur, sehingga Isa membunuh dia. Maka Allah membinasakan Dajjal di Aqabah (tempat mendaki yang susah) Afyaq). Allah kalahkan Yahudi dan (kaum muslimin menguasai mereka) (dan membunuh mereka) sehingga tidak ada sesuatu pun dari apa yang Allah ciptakan yang dipakai sembunyi orang Yahudi kecuali Allah berikan kepadanya kemampuan untuk bicara baik itu batu, pohon, tembok, atau binatang –kecuali pohon gharqad, karena itu adalah pohon mereka, ia tidak bicara– kecuali akan mengatakan: “Wahai hamba Allah muslim, ini Yahudi di belakangku. Kemari, bunuhlah dia.” Kemudian tetaplah manusia setelahnya selama tujuh tahun, tidak ada permusuhan antara dua orang … Lalu Allah utus Ya`juj dan Ma`juj….”4
Kondisi Alam di Masa Turunnya Isa
Setelah Allah l binasakan kaum Ya`juj dan Ma`juj, Nabi n menerangkan: “Lalu Allah mengirim hujan. Tidak dapat menghindar darinya satu rumah pun, rumah dari tanah liat maupun dari bulu5. Sehingga Allah l membasuh bumi ini sampai menjadi seperti cermin. Lalu diperintahkan kepada bumi: “Tumbuhkan buah-buahanmu dan kembalikanlah keberkahanmu.” Sehingga pada masa itu sekumpulan manusia cukup memakan satu buah delima dan mereka dapat bernaung dari kulitnya, serta diberkahi susu mereka. Sampai-sampai satu ekor onta betina yang banyak susunya mencukupi sekian kabilah manusia. Satu sapi betina yang banyak susunya mencukupi satu kabilah. Satu ekor kambing betina yang banyak susunya mencukupi 1 kabilah kecil6, dan satu sapi jantan harganya sekian dari harta, serta satu ekor kuda hanya beberapa dirham.
(Nabi bersabda: “Sangat beruntung kehidupan setelah turunnya Al-Masih. Sangat beruntung kehidupan setelah Al-Masih. Langit diberi ijin untuk menurunkan hujan. Bumi diberi ijin untuk menumbuhkan tumbuhan, sampai seandainya engkau tabur biji di batu yang halus niscaya akan tumbuh. Dan tidak ada kekikiran. Tidak ada kedengkian, dan kebencian), serta setiap binatang yang berbisa dihilangkan bisanya, (dan terwujudlah keamanan di muka bumi. Sehingga harimau-harimau dapat bergembala bersama onta. Macan bersama sapi. Dan serigala bersama kambing. Bahkan anak-anak bermain ular dan tidak membahayakan mereka7, sampai-sampai bayi memasukkan tangan kepada ular dan tidak menggigitnya. Dan bayi perempuan membuka mulut harimau untuk melihat giginya, namun harimau itu tidak mencelakainya. Dan serigala berada di tengah-tengah kambing seolah-olah ia sebagai anjing penjaganya. Bumi dipenuhi kedamaian seperti dipenuhinya bejana dengan air. Kata-kata mereka satu (sepakat) sehingga tidak ada yang diibadahi selain Allah l. Peperangan meletakkan bebannya, bangsa Quraisy mengambil kerajaannya, (lalu dikatakan: ‘Bumi menjadi semacam bejana yang terbuat dari perak (yakni hidangan) yang mengeluarkan tumbuhan, tumbuhannya sama di masa Adam’).”
Masa Tinggalnya
Nabi n mengatakan: (Lalu Isa tinggal di bumi selama 40 tahun. Kemudian Allah l wafatkan beliau. Kaum muslimin kemudian menyalatinya)8. Dalam keadaan seperti itu, Allah l mengutus angin (yang dingin dari arah Syam) sehingga menerpa mereka dari bawah ketiak-ketiak mereka dan mencabut roh setiap mukmin dan muslim.9 (Dalam hadits Ibnu ‘Amr: “Tidak tersisa lagi di muka bumi seorang pun yang terdapat dalam qalbunya seberat semut dari keimanan kecuali angin itu mencabutnya, walaupun seseorang di antara mereka berada pada tengah-tengah gunung, tentu angin itu akan menerpanya), dan tersisalah sejelek-jelek manusia….
Perhatian:
Terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa masa tinggalnya adalah tujuh tahun seperti dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin ‘Amr c (bab Dzikru Ad-Dajjal).
Untuk mengompromikan dua riwayat itu, maka disimpulkan bahwa tujuh tahun itu adalah masa tinggalnya setelah turunnya, sedang umurnya saat diangkat ke langit adalah 33 tahun menurut pendapat yang masyhur. (Asyrathus Sa’ah hal. 364)
Wallahu a’lam bish shawab.
Orang yang beriman niscaya meyakini bahwa setiap peristiwa diciptakan Allah l dengan suatu hikmah. Tak terkecuali turunnya nabi Isa q ke muka bumi pada akhir zaman nanti. Meski tentunya, dengan keterbatasan sebagai manusia, kita hanya bisa mengungkap sebagian saja hikmah di balik peristiwa tersebut.
Peristiwa besar turunnya Isa ke bumi memiliki hikmah yang amat besar. Para ulama semisal Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari menyebutkan beberapa hikmah dari turunnya Isa q di akhir zaman. Di antara hikmah yang terpenting:
1. Membantah klaim Yahudi bahwa merekalah yang membunuh Isa, menyalibnya, dan anggapan bahwa yang disalib adalah orang terlaknat. Dengan turunnya Isa, kenyataan justru membuktikan bahwa Nabi Isa-lah yang membunuh Yahudi sekaligus pemimpin mereka yakni Dajjal, sebagaimana akan disinggung nanti.
2. Membantah orang-orang Nasrani yang menuhankan Isa, menolak agama Islam, mengagungkan salib, dan menghalalkan babi. Di mana nantinya justru Nabi Isa mengajak kepada Islam, memerangi orang agar masuk Islam, berhukum dengan syariat Islam, tidak menerima dari ahlul kitab kecuali Islam, tidak lagi menerima jizyah, salib akan ia hancurkan dan babi akan ia bunuh. Pada akhirnya ia akan wafat sebagaimana manusia biasa, bukan Tuhan atau anak Tuhan, atau salah satu dari Tuhan yang tiga.
Sifat Turunnya Nabi Isa q dan Pembunuhannya Terhadap Dajjal
Nabi n mengisahkan dalam haditsnya: “(Lalu Dajjal datang ke gunung Iliya, sehingga ia mengepung sekelompok dari kaum muslimin). (Maka kaum muslimin diliputi rasa takut yang sangat), (sehingga orang-orang lari dari Dajjal menuju gunung-gunung).” Ummu Syuraik mengatakan: “Wahai Rasulllah, di mana orang-orang Arab ketika itu?” Beliau menjawab: “Mereka ketika itu sedikit dan imam mereka seorang lelaki shalih.” [Rasulullah mengatakan: “Al-Mahdi dari kami, ahlul bait (dari anak keturunan Fathimah).”] (Allah menyiapkannya dalam waktu semalam) (namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku) (dahinya lebar dan hidungnya mancung), (ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kecurangan dan kedzaliman), (ia berkuasa selama tujuh tahun).”
Dan Nabi n bersabda: “Dua kelompok dari umatku yang Allah lindungi mereka dari neraka. Satu kelompok memerangi India dan satu kelompok bersama Isa bin Maryam.”
Beliau juga mengatakan: ”Barangsiapa di antara kalian yang mendapati Isa, sampaikanlah salam dariku. Maka tatkala imam mereka hendak maju untuk mengimami mereka shalat Shubuh, tiba-tiba turun kepada mereka (dari langit) Isa bin Maryam, subuh) di manaratul baidha (menara putih), sebelah timur Damaskus1 di antara dua pakaian yang dicelup dengan wewangian Za’faran. Ia letakkan dua telapak tangannya di atas sayap-sayap malaikat. Bila ia menganggukkan kepalanya, maka menetes. Dan bila ia angkat berjatuhan darinya butir-butir perak layaknya permata. Sehingga tidak halal bagi seorang kafir yang mendapati desah nafasnya kecuali ia akan mati, padahal desah nafasnya berakhir sejauh pandangannya2. Tidak ada antara aku dengan dia nabi –yakni Isa– dan ia pasti turun. Dan bila kalian melihatnya maka ketahuilah dia seorang lelaki yang tingginya sedang, agak merah dan putih, antara dua pakaian yang berwarna agak kuning, seakan-akan kepalanya meneteskan air, walaupun tidak basah, lalu ia memerangi manusia agar masuk Islam, menghancurkan salib, membunuh babi, menghilangkan jizyah, dan pada masanya Allah hancurkan agama-agama seluruhnya kecuali Islam.” Dan beliau bersabda: “Bagaimana kalian bila putra Maryam turun di tengah-tengah kalian sedang imam kalian (dalam riwayat lain: dan ia mengimami kalian) dari kalian?” Ibnu Abi Dzi`b (salah seorang rawi hadits, pent.) mengatakan (kepada Al-Walid bin Muslim, rawi hadits yang lain, pent.): “Kamu tahu apa maksudnya ‘ia mengimami kalian dari kalian?’ Aku katakan: ‘Kamu beritahukan kepadaku?’ Ibnu Abi Dzi`b menjawab: ‘Ia memimpin kalian dengan kitab Rabb kalian dan Sunnah Nabi kalian’.”
Maka imam tersebut berjalan mundur agar Isa maju. (Lalu dia katakan: “Kemarilah, imamilah kami”). Maka Nabi Isa meletakkan tangannya di antara dua pundaknya dan mengatakan kepadanya: (“Tidak, sesungguhnya sebagian kalian pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai kemuliaan Allah atas umat ini”). Maka imam tersebut maju dan imam mereka tetap shalat bersama mereka. (Kemudian datanglah Dajjal ke gunung Iliya, sehingga ia mengepung sekelompok kaum muslimin. Maka pemimpin mereka mengatakan: “Apa yang kalian tunggu dari thaghut ini kecuali kalian perangi dia sehingga kalian bertemu Allah, atau kalian diberi kemenangan.” Mereka pun berencana memeranginya jika mereka masuk waktu pagi.) (Tatkala mereka menyiapkan untuk berperang dan meluruskan shaf-shaf, lalu dikumandangkan iqamat shalat) (subuh). Pada waktu itu mereka bersama dengan Isa bin Maryam), (sehingga Isa mengimami mereka, maka bila ia angkat kepalanya dari ruku’nya mengatakan: “Sami’allahu liman hamidah, (semoga Allah bunuh Al-Masih Ad-Dajjal dan kaum muslimin menang).” Begitu selesai shalat, ia mengatakan: “Bukalah pintu,” sehingga pintu dibuka dan Dajjal melihat beliau. Bersama dia ada 70.000 orang Yahudi. Semuanya memiliki pedang yang berhias dan jubah hijau3, (lalu Isa mengejarnya) (sehingga ia pergi dengan tombaknya menuju Dajjal.) Sehingga bila Dajjal melihatnya, ia meleleh sebagaimana melelehnya garam di dalam air. (Seandainya beliau biarkan, tentu ia akan meleleh terus sampai mati. Akan tetapi Allah membunuh Dajjal dengan tangan Isa, sehingga Ia perlihatkan darahnya di tombaknya.) Ia tangkap Dajjal di Bab (pintu) Ludd sebelah timur, sehingga Isa membunuh dia. Maka Allah membinasakan Dajjal di Aqabah (tempat mendaki yang susah) Afyaq). Allah kalahkan Yahudi dan (kaum muslimin menguasai mereka) (dan membunuh mereka) sehingga tidak ada sesuatu pun dari apa yang Allah ciptakan yang dipakai sembunyi orang Yahudi kecuali Allah berikan kepadanya kemampuan untuk bicara baik itu batu, pohon, tembok, atau binatang –kecuali pohon gharqad, karena itu adalah pohon mereka, ia tidak bicara– kecuali akan mengatakan: “Wahai hamba Allah muslim, ini Yahudi di belakangku. Kemari, bunuhlah dia.” Kemudian tetaplah manusia setelahnya selama tujuh tahun, tidak ada permusuhan antara dua orang … Lalu Allah utus Ya`juj dan Ma`juj….”4
Kondisi Alam di Masa Turunnya Isa
Setelah Allah l binasakan kaum Ya`juj dan Ma`juj, Nabi n menerangkan: “Lalu Allah mengirim hujan. Tidak dapat menghindar darinya satu rumah pun, rumah dari tanah liat maupun dari bulu5. Sehingga Allah l membasuh bumi ini sampai menjadi seperti cermin. Lalu diperintahkan kepada bumi: “Tumbuhkan buah-buahanmu dan kembalikanlah keberkahanmu.” Sehingga pada masa itu sekumpulan manusia cukup memakan satu buah delima dan mereka dapat bernaung dari kulitnya, serta diberkahi susu mereka. Sampai-sampai satu ekor onta betina yang banyak susunya mencukupi sekian kabilah manusia. Satu sapi betina yang banyak susunya mencukupi satu kabilah. Satu ekor kambing betina yang banyak susunya mencukupi 1 kabilah kecil6, dan satu sapi jantan harganya sekian dari harta, serta satu ekor kuda hanya beberapa dirham.
(Nabi bersabda: “Sangat beruntung kehidupan setelah turunnya Al-Masih. Sangat beruntung kehidupan setelah Al-Masih. Langit diberi ijin untuk menurunkan hujan. Bumi diberi ijin untuk menumbuhkan tumbuhan, sampai seandainya engkau tabur biji di batu yang halus niscaya akan tumbuh. Dan tidak ada kekikiran. Tidak ada kedengkian, dan kebencian), serta setiap binatang yang berbisa dihilangkan bisanya, (dan terwujudlah keamanan di muka bumi. Sehingga harimau-harimau dapat bergembala bersama onta. Macan bersama sapi. Dan serigala bersama kambing. Bahkan anak-anak bermain ular dan tidak membahayakan mereka7, sampai-sampai bayi memasukkan tangan kepada ular dan tidak menggigitnya. Dan bayi perempuan membuka mulut harimau untuk melihat giginya, namun harimau itu tidak mencelakainya. Dan serigala berada di tengah-tengah kambing seolah-olah ia sebagai anjing penjaganya. Bumi dipenuhi kedamaian seperti dipenuhinya bejana dengan air. Kata-kata mereka satu (sepakat) sehingga tidak ada yang diibadahi selain Allah l. Peperangan meletakkan bebannya, bangsa Quraisy mengambil kerajaannya, (lalu dikatakan: ‘Bumi menjadi semacam bejana yang terbuat dari perak (yakni hidangan) yang mengeluarkan tumbuhan, tumbuhannya sama di masa Adam’).”
Masa Tinggalnya
Nabi n mengatakan: (Lalu Isa tinggal di bumi selama 40 tahun. Kemudian Allah l wafatkan beliau. Kaum muslimin kemudian menyalatinya)8. Dalam keadaan seperti itu, Allah l mengutus angin (yang dingin dari arah Syam) sehingga menerpa mereka dari bawah ketiak-ketiak mereka dan mencabut roh setiap mukmin dan muslim.9 (Dalam hadits Ibnu ‘Amr: “Tidak tersisa lagi di muka bumi seorang pun yang terdapat dalam qalbunya seberat semut dari keimanan kecuali angin itu mencabutnya, walaupun seseorang di antara mereka berada pada tengah-tengah gunung, tentu angin itu akan menerpanya), dan tersisalah sejelek-jelek manusia….
Perhatian:
Terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa masa tinggalnya adalah tujuh tahun seperti dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin ‘Amr c (bab Dzikru Ad-Dajjal).
Untuk mengompromikan dua riwayat itu, maka disimpulkan bahwa tujuh tahun itu adalah masa tinggalnya setelah turunnya, sedang umurnya saat diangkat ke langit adalah 33 tahun menurut pendapat yang masyhur. (Asyrathus Sa’ah hal. 364)
Wallahu a’lam bish shawab.
2 Shahih, HR. Muslim dan yang lain, lihat Qishshatul Masihiddajjal wa Nuzul ‘Isa hal. 10.
3 Lihat An-Nihayah, 2/432.
4 Susunan kisah ini kami nukil dari buku Qishshatul Masihid Dajjal
wa Nuzul ‘Isa karya Asy-Syaikh Al-Albani t, di mana beliau pilih
hadits-hadits yang shahih, lalu beliau gabungkan dan susun masing-masing
sesuai pada tempatnya. Sehingga bagi yang hendak memeriksa
sumber-sumbernya dalam literatur hadits, silahkan merujuk kepada buku
tersebut.
5 Rumah dari tanah maksudnya adalah rumah orang-orang yang menetap,
di mana rumahnya permanen. Sedangkan rumah dari bulu adalah rumah
orang-orang padang pasir. Penghidupan mereka dari gembalaan. Mereka
membuat rumah dari bulu-bulu onta, kelinci, kambing, dan semacamnya.
6 Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 10.
7 Shahih, HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lain. Lihat
Ash-Shahihah no. 2182, Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 31.
8 Shahih, HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban, dan yang lain. Lihat
Ash-Shahihah no. 2182, Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 31.
9 Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 10.
Misi Nabi Isa Turun ke Bumi
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.)
Nabi Isa q diturunkan ke muka bumi memang bukan dalam kapasitasnya sebagai rasul yang menyerukan syariat baru. Tidak pula menghapus syariat nabi terakhir Muhammad n. Lantas misi apa yang beliau emban?
Merujuk kepada hadits-hadits yang lalu, kita akan mengetahui misi Nabi Isa q ketika turunnya. Di antaranya:
1. حَكَمًا عَدْلًا, sebagai hakim yang adil.
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan: “Yakni beliau turun sebagai hakim dengan (hukum) syariat ini, bukan turun sebagai nabi yang membawa risalah tersendiri atau syariat yang menghapus (syariat Nabi Muhamad n, -pent.). Bahkan beliau adalah salah seorang hakim di antara hakim-hakim umat ini. (Syarah Muslim, 2/366. Demikian pula Ibnu Hajar t menerangkan dalam Fathul Bari, 6/491)
Ibnu Abi Dzi’b mengatakan kepada Al-Walid bin Muslim, ketika menyampaikan hadits Abu Hurairah z, bahwa: “Nabi Isa mengimami/memimpin kalian dengan kitab Rabb kalian dan Sunnah Nabi kalian.” (Shahih Muslim 1/369-392 Kitabul Iman, Fi Nuzul Ibnu Maryam. Cet. Darul Ma’rifah)
2. يَكْسِرَ الصَّلِيبَ, memecah atau menghancurkan salib.
Ibnu Hajar t mengatakan: “Yakni membatalkan agama Nasrani, dengan cara menghancurkan salib dengan sebenar-benarnya, serta membatalkan apa yang diyakini oleh orang Nasrani tentang keagungannya.” (Fathul Bari, 6/491)
3. َيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ, membunuh babi.
Al-Imam An-Nawawi t mengatakan bahwa padanya terdapat dalil bagi pilihan madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i) dan madzhab mayoritas para ulama bahwa bila kita mendapati babi di negeri peperangan atau negeri aman sementara kita dapat membunuhnya maka hendaknya kita membunuhnya. (Syarhun Nawawi, 2/367)
4. يَضَعَ الْـجِزْيَةَ, meletakkan atau menggugurkan jizyah.
Jizyah adalah semacam upeti yang dibebankan kepada ahlul kitab yang hidup di tengah negeri muslimin, ketika mereka tidak mau memeluk agama Islam. Dengan itu, mereka boleh tinggal di negeri muslimin serta mendapatkan jaminan keamanan dari muslimin. Tapi dengan turunnya Nabi Isa q maka Islam tidak lagi menerima jizyah, yang juga berarti tidak diterimanya lagi dari ahlul kitab kecuali Islam. Al-Imam An-Nawawi t mengatakan: “Makna yang benar adalah bahwa beliau tidak akan menerima jizyah, tidak menerima dari orang kafir kecuali Islam, dan orang kafir yang tetap ingin membayar jizyah, mereka tidak akan dilindungi. Bahkan beliau tidak akan menerima kecuali Islam atau kalau tidak, dibunuh. Demikian dikatakan Abu Sulaiman Al-Khaththabi t dan yang lain dari kalangan para ulama.” (Syarhun Nawawi, 2/367)
Nabi Isa q diturunkan ke muka bumi memang bukan dalam kapasitasnya sebagai rasul yang menyerukan syariat baru. Tidak pula menghapus syariat nabi terakhir Muhammad n. Lantas misi apa yang beliau emban?
Merujuk kepada hadits-hadits yang lalu, kita akan mengetahui misi Nabi Isa q ketika turunnya. Di antaranya:
1. حَكَمًا عَدْلًا, sebagai hakim yang adil.
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan: “Yakni beliau turun sebagai hakim dengan (hukum) syariat ini, bukan turun sebagai nabi yang membawa risalah tersendiri atau syariat yang menghapus (syariat Nabi Muhamad n, -pent.). Bahkan beliau adalah salah seorang hakim di antara hakim-hakim umat ini. (Syarah Muslim, 2/366. Demikian pula Ibnu Hajar t menerangkan dalam Fathul Bari, 6/491)
Ibnu Abi Dzi’b mengatakan kepada Al-Walid bin Muslim, ketika menyampaikan hadits Abu Hurairah z, bahwa: “Nabi Isa mengimami/memimpin kalian dengan kitab Rabb kalian dan Sunnah Nabi kalian.” (Shahih Muslim 1/369-392 Kitabul Iman, Fi Nuzul Ibnu Maryam. Cet. Darul Ma’rifah)
2. يَكْسِرَ الصَّلِيبَ, memecah atau menghancurkan salib.
Ibnu Hajar t mengatakan: “Yakni membatalkan agama Nasrani, dengan cara menghancurkan salib dengan sebenar-benarnya, serta membatalkan apa yang diyakini oleh orang Nasrani tentang keagungannya.” (Fathul Bari, 6/491)
3. َيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ, membunuh babi.
Al-Imam An-Nawawi t mengatakan bahwa padanya terdapat dalil bagi pilihan madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i) dan madzhab mayoritas para ulama bahwa bila kita mendapati babi di negeri peperangan atau negeri aman sementara kita dapat membunuhnya maka hendaknya kita membunuhnya. (Syarhun Nawawi, 2/367)
4. يَضَعَ الْـجِزْيَةَ, meletakkan atau menggugurkan jizyah.
Jizyah adalah semacam upeti yang dibebankan kepada ahlul kitab yang hidup di tengah negeri muslimin, ketika mereka tidak mau memeluk agama Islam. Dengan itu, mereka boleh tinggal di negeri muslimin serta mendapatkan jaminan keamanan dari muslimin. Tapi dengan turunnya Nabi Isa q maka Islam tidak lagi menerima jizyah, yang juga berarti tidak diterimanya lagi dari ahlul kitab kecuali Islam. Al-Imam An-Nawawi t mengatakan: “Makna yang benar adalah bahwa beliau tidak akan menerima jizyah, tidak menerima dari orang kafir kecuali Islam, dan orang kafir yang tetap ingin membayar jizyah, mereka tidak akan dilindungi. Bahkan beliau tidak akan menerima kecuali Islam atau kalau tidak, dibunuh. Demikian dikatakan Abu Sulaiman Al-Khaththabi t dan yang lain dari kalangan para ulama.” (Syarhun Nawawi, 2/367)
5. Mengajak orang untuk masuk Islam atau memerangi manusia demi
Islam. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah z, Nabi n bersabda:
لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ -يَعْنِي عِيسَى- وَإِنَّهُ
نَازِلٌ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَاعْرِفُوهُ رَجُلٌ مَرْبُوعٌ إِلَى
الْحُمْرَةِ وَالْبَيَاضِ بَيْنَ مُمَصَّرَتَيْنِ كَأَنَّ رَأْسَهُ
يَقْطُرُ وَإِنْ لَمْ يُصِبْهُ بَلَلٌ فَيُقَاتِلُ النَّاسَ عَلىَ
الْإِسْلَامِ فَيَدُقُّ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعُ
الْجِزْيَةَ وَيُهْلِكُ اللهُ فِي زَمَانِهِ الْـمِلَلَ كُلَّهَا إِلاَّ
الْإِسْلَامَ وَيُهْلِكُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ
أَرْبَعِينَ سَنَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى فَيُصَلِّي عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ
“Tidak ada antara aku dengan dia nabi –yakni Isa– dan ia pasti
turun, dan bila kamu melihatnya maka ketahuilah dia. Seorang lelaki yang
tingginya sedang, agak merah dan putih, antara dua pakaian yang
berwarna agak kuning, seakan-akan kepalanya meneteskan air, walaupun
tidak basah. Lalu ia memerangi manusia agar masuk Islam, menghancurkan
salib, membunuh babi, menghilangkan jizyah, dan pada masanya, Allah
hancurkan agama-agama seluruhnya kecuali Islam, dan ia membunuh Al-Masih
Ad-Dajjal, lalu ia tinggal di bumi selama 40 tahun. Kemudian ia wafat
lalu kaum muslimin menyalatinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 4324, dan
Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 6/493 dan
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 2182)
Turunnya Nabi Isa diAkhir Zaman Sebuah Akidah yang Wajib di Imani
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.)
Muara dari kisah Nabi Isa q masih samar bagi sebagian kaum muslimin. Terlebih hal ini terancukan oleh keyakinan Nasrani yang meyakini bahwa Isa telah wafat karena disalib. Bagaimana kisah sebenarnya dari nabi Isa q ini?
Siapakah Isa Al-Masih1?
Dia adalah Isa Ibnu (putra) Maryam, seorang hamba Allah (Abdullah) dan utusan-Nya (Rasulullah) serta Nabi-Nya. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Isa q sendiri, seperti yang dikisahkan oleh Allah l dalam ayat-ayat Al-Qur`an:
Muara dari kisah Nabi Isa q masih samar bagi sebagian kaum muslimin. Terlebih hal ini terancukan oleh keyakinan Nasrani yang meyakini bahwa Isa telah wafat karena disalib. Bagaimana kisah sebenarnya dari nabi Isa q ini?
Siapakah Isa Al-Masih1?
Dia adalah Isa Ibnu (putra) Maryam, seorang hamba Allah (Abdullah) dan utusan-Nya (Rasulullah) serta Nabi-Nya. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Isa q sendiri, seperti yang dikisahkan oleh Allah l dalam ayat-ayat Al-Qur`an:
“Berkata Isa: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku
Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan
aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama
aku hidup, serta berbakti kepada ibuku. Dan Dia tidak menjadikan aku
seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada
hari aku dibangkitkan hidup kembali.’ Itulah Isa putera Maryam, yang
mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang
kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia.
Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya:
‘Jadilah,’ maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabbmu,
maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.
Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang
besar.” (Maryam: 30-37)
“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya
nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan
Allah) untuk Bani Israil.” (Az-Zukhruf: 59)
“Al-Masih putera Maryam hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya
telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang
membenarkan, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana
Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan
(Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memerhatikan ayat-ayat Kami itu).” (Al-Ma`idah: 75)
Ayat yang menegaskan demikian cukup banyak, apa yang disebutkan
sudah cukup menjelaskan siapakah Nabi Isa q. Dalam hadits yang
diriwayatkan dari Ubadah ibnush Shamit z juga disebutkan bahwa Nabi n
bersabda:
“Barangsiapa bersaksi bahwa tiada ilah yang benar kecuali Allah
satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad hamba dan
Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya serta kalimat-Nya
yang Allah lontarkan kepada Maryam, dan bahwa surga itu benar dan neraka
itu benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Al-Jannah sesuai
dengan amalnya.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, Nabi Isa q sama sekali tidak memiliki sifat-sifat
ketuhanan, sehingga tidak berhak untuk diibadahi atau dipertuhankan.
Sebagaimana juga beliau adalah seorang rasul yang berhak untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai rasul, sehingga harus diimani
kerasulannya, dicintai dan dihormati yang semua itu tidak melebihi
kedudukannya sebagai manusia. Tidak boleh pula dihinakan atau
dilecehkan, lebih-lebih dikatakan sebagai anak zina.
Sifat Fisik Nabi Isa q
Beliau adalah seorang lelaki yang postur tubuhnya tidak tinggi
tidak pula pendek, kulitnya kemerahan, dadanya bidang2, rambutnya lurus,
melebihi ujung telinganya, telah beliau sisir dan memenuhi antara dua
pundaknya3. Rambutnya meneteskan air seolah-olah baru keluar dari kamar
mandi4.
Sikap yang benar terhadap Nabi Isa
Sesungguhnya Nabi yang mulia ini memiliki kedudukan yang tinggi
dalam Islam. Namun tidak diketahui oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani
atau mereka pura-pura bodoh terhadapnya dalam realita mereka, atau dalam
keyakinan serta tulisan-tulisan mereka. Islam telah memenuhi kedudukan
mulia tersebut, menetapkannya dengan sebaik-baiknya, serta
menyempurnakannya. Islam juga bersikap obyektif dalam banyak ayat yang
jelas dan mulia. Hanya apa yang ditetapkan Islam itulah yang dapat
diterima oleh akal yang sehat, bukan selainnya. (Mauqiful Islam Min ‘Isa
q, hal. 3)
Sikap yang benar terhadap Nabi Isa q adalah meyakini bahwa beliau
adalah Hamba Allah dan Rasul-Nya. Allah l utus beliau kepada Bani
Israil, ia tercipta dengan kalimat Allah l yang Allah l lontarkan kepada
Maryam, beliau adalah salah satu Ulul ‘Azmi dari kalangan para Rasul,
berbagai keistimewaan Allah l berikan kepadanya, Allah l ciptakan dengan
sebuah kalimat-Nya yang ditujukan kepada Maryam yaitu kata ‘kun’
(jadilah), sehingga jadilah sebuah janin pada perut Maryam, wanita mulia
lagi shalihah yang tidak pernah terjamah siapapun. Ia dapat berbicara
saat bayinya, Allah l beri mukjizat berupa menghidupkan orang mati
dengan izin Allah l, menyembuhkan orang dari penyakit sopak dan bisu,
serta dapat memberi tahu apa yang dimakan oleh orang-orang dan apa yang
disimpan di rumah mereka. (Sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran:
45-50)
Atas dasar segala keistimewaan yang ada tersebut maka kita
mengimaninya, mencintai, dan menghormatinya. Namun dengan segala
keistimewaan yang ada tersebut, beliau tetaplah sebagai manusia yang
tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan sehingga tidak boleh dipertuhankan,
bukan Tuhan atau Anak Tuhan atau salah satu dari tiga unsur Tuhan.
Sikap ekstrem Nasrani
Orang-orang Nasrani yang mengaku sebagai pengikut Nabi Isa meyakini
bahwa Nabi Isa adalah sebagai Tuhan atau Anak Tuhan, atau dia adalah
Tuhan anak yang merupakan salah satu dari tiga unsur trinitas, yaitu
Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruhul Qudus. Masing-masing berbeda dari
yang lain, akan tetapi ketiganya merupakan Tuhan yang satu.
Keyakinan semacam ini terhadap Nabi Isa q tentu keyakinan ekstrem,
yang teramat keliru menurut agama Allah l yang dibawa para rasul,
termasuk yang dibawa Nabi Isa q itu sendiri. Di mana keyakinan semacam
ini artinya mendudukkan Nabi Isa q bukan pada tempatnya, melebihi
posisinya sebagai seorang manusia. Nabi Isa sendiri sangat mengingkari
keyakinan ini. Allah l menyatakan:Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman:
“Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:
‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan/sesembahan selain Allah?’.”
Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka
tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. Aku tidak
pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan
kepadaku (mengatakan) nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu’,
dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah
yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu.” (Al-Ma`idah: 116-117)
Ini merupakan salah satu kekafiran dan kesesatan terbesar, karena
hal itu merupakan puncak celaan terhadap kebesaran Allah l, keagungan
serta rububiyah-Nya. Tidak ada selain Allah l melainkan makhluk-Nya yang
tunduk kepada keagungan dan kebesaran-Nya, serta terbebani beban ibadah
kepada-Nya. (Mauqiful Islam Min ‘Isa)
Allah l berfirman:
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang
Nasrani berkata: ‘Al-Masih itu putera Allah.’ Demikian itulah ucapan
mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai
berpaling?” (At-Taubah: 30)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih
(sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabbmu.’
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah
adalah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti
dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara
mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Ma`idah: 72-73)
“Dan mereka berkata: ‘Rabb Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai)
anak.’ Sesungguhnya kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat
mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi terbelah,
dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Rabb Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali
akan datang kepada Rabb Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.”
(Maryam: 88-93)
Dalam Injil-pun terdapat bantahan terhadap aqidah ini. Di mana
disebutkan di dalam seluruh kitab Injil bahwa Isa adalah putra Maryam
dan menimpanya apa yang menimpa manusia. Di antaranya bahwa ia menjadi
ada setelah ketiadaan, butuh makan dan minum, merasa letih dan ia tidur
bahkan mati5, serta sifat-sifat kemanusiaan lainnya. (Dirasat fil Adyan,
Su’ud Al-Khalaf hal. 136)
Terdapat pula ucapan-ucapan Nabi Isa q dalam Injil bahwa ia adalah
seorang Rasul (utusan). Dalam Injil Matius (10/40) Nabi Isa mengatakan:
”Siapa yang menerima kalian berarti ia menerima aku, dan siapa yang
menerima aku berarti menerima yang mengutusku.” (Dirasat fil Adyan,
Su’ud Al-Khalaf, hal. 136)
Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan Allah l dalam Al-Qur`an:
“Al-Masih putera Maryam hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya
telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang
membenarkan, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana
Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan
(Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memerhatikan ayat-ayat Kami itu).” (Al-Ma`idah: 75)
Ia juga mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah l. Disebutkan
dalam Injil Matius (4/10) bahwa Nabi Isa mengatakan: “Untuk Rabb
sesembahanmu kamu melakukan sujud, dan hanya kepada-Nya kamu beribadah.”
(Dirasat fil Adyan, Su’ud Al-Khalaf, hal. 138)
Dalam Injil Yohanes, Al-Masih mengatakan: “Inilah kehidupan yang
abadi, yaitu agar mereka tahu bahwa Engkaulah sesembahan yang
sesungguhnya, satu-satu-Nya, sedangkan Yesus Al-Masih, dialah yang
Engkau utus.” (Dirasat fil Adyan, Su’ud Al-Khalaf, hal. 138)
Ini sesuai dengan apa yang Allah l kisahkan tentang Al-Masih bahwa beliau mengatakan:
“Sesungguhnya Allah, Rabbku dan Rabb kalian, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (Ali ‘Imran: 51)
Sikap tafrith (meremehkan) Kaum Yahudi terhadap Nabi Isa q
Allah l berfirman:
“Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari
yang besar.” (Maryam: 37)
Dalam ayat tersebut, Allah l terangkan perbedaan pendapat manusia
tentang Nabi Isa q, padahal telah Allah l terangkan dengan begitu jelas
siapakah sebenarnya beliau. Ibnu Katsir t mengatakan ketika menafsirkan
ayat tersebut: “Yakni ucapan Ahlul kitab saling berselisih tentang Nabi
Isa setelah kejelasan siapakah sebenarnya beliau dan setelah jelasnya
keadaan beliau, bahwa beliau adalah hamba Allah l dan Rasul-Nya dan
kalimat-Nya yang Allah l lontarkan kepada Maryam serta roh dari-Nya.
Maka sekelompok dari mereka, yaitu mayoritas Yahudi –semoga Allah
melaknati mereka– menetapkan bahwa Isa adalah anak zina dan mereka
mengatakan bahwa ucapan Isa (ketika bayi) adalah sihir. Sedangkan
sekelompok yang lain (sebagian orang Nasrani, pent.), mengatakan: ‘Yang
bicara itu sesungguhnya hanyalah Allah’, yang lain mengatakan: ‘Bahkan
itu anak Allah’, yang lain mengatakan: ‘Itu adalah salah satu dari tiga
unsur tuhan (trinitas)’. Yang lain mengatakan: ‘Dia adalah hamba Allah
dan utusan-Nya’. Dan itulah kebenaran yang Allah l bimbing kaum mukminin
kepadanya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 3/127)
Dalam surat An-Nisa ayat 156 disebutkan:
“Dan karena kekafiran mereka (terhadap ‘Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar.”
Ditafsirkan oleh Ibnu Abbas c dan yang lain bahwa maksudnya adalah orang Yahudi menuduh Maryam berzina.
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Dan itu sangat nampak dalam ayat, bahwa
Yahudi menuduh putra Maryam dan Maryam dengan berbagai tuduhan besar,
sehingga menganggap bahwa Maryam adalah pelacur dan mengandung anak
hasil zina. Sebagian mereka menambahkan tuduhan bahwa ia melakukan zina
dalam keadaan haid. Semoga Allah l timpakan pada mereka laknat-Nya yang
berturut-turut, sampai hari kiamat.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/574)
Ucapan orang-orang Yahudi itu tentu sangat berlebihan. Sebuah
penghinaan yang sangat tidak pantas ditujukan pada manusia umumnya,
lebih-lebih kepada seorang Nabi dan Rasul pilihan yang Allah l muliakan
dengan berbagai kemuliaan, salah satu dari ulul azmi. Padahal beliau
membenarkan kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa q untuk kaum
Yahudi.
Dalam hal ini, Yahudi berada pada kutub yang sangat berlawanan dengan ucapan orang Nasrani.
Allah l telah membantah bualan orang Yahudi itu dalam ayat-ayat-Nya
mulia:“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur`an, yaitu ketika
ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur,
maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami
mengutus malaikat kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam
bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: ‘Sesungguhnya aku
berlindung darimu kepada Rabb Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang
bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang
utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam
berkata: ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang
tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula)
seorang pezina!’ Jibril berkata: ‘Demikianlah. Rabbmu berfirman: ‘Hal
itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda
bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu
perkara yang sudah diputuskan.’ Maka Maryam mengandungnya, lalu ia
menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (Maryam:
16-22)
Sampai pada firman Allah l:
“Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya.
Kaumnya berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu
yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali
bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang
pezina’, maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: ‘Bagaimana
kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?’ Berkata
Isa: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil)
dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang
diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan
berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong
lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari
aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan
hidup kembali.’ Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang
benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (Maryam:
27-34)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan hakikat penciptaan Isa.
Diangkatnya Nabi Isa q dan bahwa Beliau belum Wafat
Orang-orang Yahudi mengklaim bahwa mereka telah membunuh Nabi Isa q
dan mereka berbangga dengan itu. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang
terbunuh dengan disalib adalah orang yang mendapatkan laknat Allah l.
Tapi sungguh aneh dan disayangkan bahwa orang-orang Nasrani pun meyakini
kematian Nabi Isa di tiang aslib. Ini semua karena kebodohan mereka
akan hakikat apa yang terjadi pada Nabi Isa. Lebih dari itu, mereka
meyakini bahwa beliau dengan kematiannya yang tersalib adalah sebagai
penebus dosa-dosa anak manusia karena kesalahan Nabi Adam q. Padahal
Allah l telah ampuni Adam jauh-jauh hari sebelum lahirnya Isa. Allah l
berfirman:
“Kemudian Rabbnya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 122)
Allah l telah membantah semua itu melalui ayat-ayat-Nya yang mulia:
“Dan karena kekafiran mereka (terhadap ‘Isa), dan tuduhan mereka
terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina), dan karena ucapan mereka:
‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul
Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi
mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
(pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh
itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa
yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah
mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman
kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu
akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 156-159)
Di antara pengekor Yahudi dan Nasrani dalam hal kematian Isa adalah
aliran Ahmadiyah-Qadyaniyyah yang telah divonis kafir oleh para ulama
dan lembaga-lembaga Islam. Mereka meyakini demikian demi mencapai misi
mereka, yaitu untuk menyatakan bahwa nanti yang dibangkitkan bukanlah
Isa yang sesungguhnya karena ia telah wafat, tapi yang dibangkitkan
adalah orang yang serupa Isa. Mereka maksudkan adalah pemimpin mereka
yaitu Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani. Mereka sempat berdalil dengan
beberapa ayat yang dianggap oleh mereka mendukung keyakinan sesat
mereka. Akan datang nanti, insya Allah, bantahannya.
Dari keterangan di atas nyatalah bahwa Isa belum meninggal, bahkan Allah l angkat menuju kepada-Nya. Allah l juga menyatakan:
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu
daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ingatlah),
ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan
orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga
hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan
di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya’.” (Ali
‘Imran: 54-55)
Mereka bermakar, yakni hendak membunuh Nabi Isa q dan memadamkan
cahaya Allah l. Di antara yang menunjukkan bahwa beliau masih hidup
adalah firman Allah l:
“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman
kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu
akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)
Ibnu Abbas c mengatakan bahwa maksudnya adalah beriman dengan Nabi
Isa sebelum kematian beliau. (Riwayat Ibnu Jarir t dan sanadnya
dishahihkan Ibnu Hajar t. Lihat Fathul Bari, 4/492)
Al-Hasan t mengatakan: “Maksudnya sebelum kematian Isa. Demi Allah,
sungguh dia sekarang hidup di sisi Allah l, tapi bila beliau turun
nanti semuanya akan beriman.” (Tafsir Ath-Thabari, dinukil dari
Asyrathus Sa’ah hal. 346)
Turunnya Nabi Isa q dan Itu Sebagai Tanda Hari Kiamat
Tentang turunnya Nabi Isa q telah disebutkan oleh ayat Al-Qur`an
yang sekaligus menunjukkan bahwa itu sebagai salah satu tanda hari
kiamat. Di antara dalil yang menunjukkan demikian adalah:
“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya
nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan
Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami
jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun
temurun. Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar adalah tanda bagi hari
kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan
ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 59-61)
“Dan sesungguhya Isa itu adalah tanda bagi hari kiamat”, maksudnya
adalah bahwa turunnya Isa termasuk tanda-tanda hari kiamat, dan dengan
itu diketahui bahwa kiamat sudah dekat. Demikian menurut penafsiran Ibnu
Abbas, Mujahid, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi. (Zadul Masir,
7/325, Al-Qurthubi, 16/105). Dan Ibnu Abbas c membacanya dengan لَعَلَمٌ
yang berarti tanda.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas c, dari Nabi n, tentang tafsir “Dan
sungguh Isa itu adalah tanda bagi hari kiamat”, beliau n menyatakan:
“Itu adalah turunnya Isa bin Maryam sebelum hari kiamat.” (HR. Ibnu
Hibban dalam Shahih-nya. Bab Al-Bayan bi anna Nuzul Isa ibni Maryam min
A’lamis Sa’ah, 15/228 no. 6817)
Firman Allah l:
“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman
kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu
akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)
Telah lewat tafsir Al-Hasan t terhadap ayat ini.
Adapun hadits-hadits Nabi n, maka cukup banyak yang menunjukkan
akan turunnya Isa bahkan sampai kepada derajat mutawatir, sebagaimana
disebutkan oleh para ulama hadits dan yang lain, seperti Ibnu Jarir,
Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Shiddiq Hasan Khan, Anwar Syah Al-Kasymiri,
Al-Azhim Abadi, Asy-Syaikh Al-Albani6, dan akan kita sebutkan nanti
sebagian ucapan mereka. Dan di sini saya akan sebutkan sebagian hadits
tersebut.
1. Dari Abu Hurairah z ia mengatakan: Rasulullah n bersabda:
“Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, hampir-hampir akan turun di
tengah-tengah kalian Ibnu (putra) Maryam, sebagai hakim yang adil. Ia
memecahkan salib, membunuh babi, dan meletakkan (tidak memungut, pent.)
jizyah, dan harta ketika itu melimpah tidak seorang pun menerimanya,
sehingga satu sujud menjadi lebih baik daripada dunia dan apa yang ada
padanya.” Abu Hurairah mengatakan: Bacalah bila kalian mau, ayat
(artinya): Dan tidaklah seorang pun dari ahlul kitab kecuali akan
benar-benar beriman kepadanya sebelum kematiannya, dan di hari kiamat
nanti ia akan menjadi saksi bagi mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.
3264, 3/1272. Bab 50 Nuzul Isa bin Maryam r; Muslim no. 155, 1/135 Bab
71 Nuzul Isa bin Maryam Hakiman bi Syari’ati Nabiyyina Muhammad. Ini
adalah lafadz Al-Bukhari)
2. Dari Abu Hurairah z ia mengatakan, Rasulullah n bersabda:
“Bagaimana kalian bila turun putra Maryam di tengah-tengah kalian
dan imamnya dari kalian.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ahaditsul Anbiya` Bab
49 Nuzul Isa ibn Maryam no. 3449; Muslim Kitabul Iman 1/135 no. 390, Bab
71 Nuzul Isa bin Maryam Hakiman bi Syari’ati Nabiyyina Muhammad cet.
Darul Ma’rifah)
Dari Jabir bin Abdillah c ia mengatakan: Aku mendengar Nabi n bersabda:
“Masih tetap sekelompok dari umatku mereka berperang di atas
kebenaran, mereka unggul sampai pada hari kiamat.” Beliau besabda: “Lalu
turunlah Isa bin Maryam, lalu pemimpin kaum muslimin mengatakan:
‘Kemari, jadilah imam kami.’ Maka ia menjawab: ‘Sesungguhya sebagian
kalian pemimpin atas sebagian yang lain sebagai kemuliaan Allah atas
umat ini’.” (Shahih, HR. Muslim, 2/368 Bab 71 Nuzul Isa bin Maryam
Hakiman bi Syari’ati Nabiyyina Muhammad; Ibnu Hibban, no. 6819, 15/231,
Bab Al-Bayan bi Anna Imama Hadzihil Ummah ‘inda Nuzul ‘Isa bin Maryam
Yakunu minhum duna an yakuna ‘Isa Imamahm fi Dzalika Az-Zaman)
Dari Hudzaifah bin Usaid Al-Ghifari z, ia berkata:
Rasulullah melihat kami dalam keadaan kami sedang saling mengingat,
maka beliau mengatakan: “Sedang saling mengingatkan apa kalian? Mereka
menjawab bahwa kami sedang saling mengingat hari kiamat. Beliau
mengatakan: Kiamat tidak akan bangkit sehingga kalian melihat 10 tanda,
lalu beliau menyebut: Asap, dajjal, binatang, terbitnya matahari dari
barat, turunnya Isa bin Maryam, Ya`juj dan Ma`juj, 3 peristiwa
tenggelamnya (suatu daerah, -pent) ke dalam bumi, di daerah barat, di
daerah timur, dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah api yang muncul
dari negeri Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya
mereka.” (Shahih, HR. Muslim, Kitabul Fitan Wa Asyrathus Sa’ah, Bab Fil
Ayat Allati Takunu Qabla As-Sa’ah, 18/234 no. 7214. Cet. Darul Ma’rifah.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh yang lain)
Atas dasar dalil-dalil yang ada maka kaum muslimin bersepakat akan
turunnya Nabi Isa q di akhir zaman, sebagaimana keterangan para ulama
berikut ini:
Ibnu ‘Athiyyah t mengatakan: “Umat telah berijma’ atas apa yang
terkandung dalam hadits yang mutawatir, bahwa Isa hidup di langit dan
bahwa ia akan turun di akhir zaman. Lalu ia akan membunuh babi dan
memecah salib, membunuh Dajjal, melimpahkan keadilan dan agama akan
unggul –yaitu agama Nabi Muhammad n– dan beliau akan haji dan tinggal di
bumi selama 24 tahun, dan dikatakan pula selama 40 tahun.” (Tafsir
Al-Muharrar Al-Wajiz, 3/143)
As-Safarini t mengatakan: “Umat telah berijma’ akan turunnya Isa
dan tidak ada yang menyelisihinya dari ahlu syariah (pengikut syariah).
Yang mengingkari hanyalah para filosof dan atheis, yang tidak
diperhitungkan penyelisihannya. Dan telah terdapat ijma’ pula bahwa ia
turun dan berhukum dengan syariat Nabi Muhammad n bukan dengan syariat
yang tersendiri saat turunnya.” (Lawami’ Al-Anwar, 2/94-95)
Di antara yang menukilkan ijma’ juga adalah Al-Munawi t dalam kitabnya Faidhul Qadir. (Lihat Iqamatul Burhan)
Dengan ini, maka hal ini menjadi aqidah muslimin. Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Al-Azhim Abadi mengatakan: “Telah mutawatir berita
dari Nabi n dalam hal turunnya Isa bin Maryam r dari langit dengan
jasadnya ke bumi saat mendekati terjadinya kiamat. Dan ini adalah mazhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 11/457)
Demikian pula kita dapati para ulama yang menuliskan aqidah Ahlus
Sunnah, mereka menyebutkan bahwa keyakinan ini sebagai salah satu aqidah
Ahlus Sunnah. Sebagai contoh, Al-Imam Ahmad bin Hanbal t dalam kitabnya
Ushulus Sunnah, Al-Barbahari t dalam kitabnya Syarhus Sunnah, Abul
Hasan Al-Asy’ari t dalam kitabnya Maqalat Islamiyyin, Ath-Thahawi t
dalam kitabnya ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwani t dalam
Risalah-nya, Abu Ahmad bin Husain Asy-Syafi’i t yang dikenal dengan
Ibnul Haddad dalam kitab Aqidah-nya, serta Ibnu Qudamah t dalam
Aqidah-nya.
1 Mengapa disebut Al-Masih? Dari kata “Ma-sa-ha” yang artinya
menghapus atau mengusap. Ibnul Atsir t menjelaskan: Telah berulang-ulang
penyebutan “Al-Masih q” dan penyebutan “Al-Masih Ad-Dajjal”. Adapun Isa
dinamakan demikian karena beliau tidak pernah mengusap seorang yang
cacat kecuali mesti sembuh. Pendapat lain: “Karena telapak kaki beliau
tidak cekung”, atau “karena beliau lahir dari ibunya dalam keadaan
diusap dengan minyak”, atau “karena beliau mengusap bumi” artinya
memotong jarak yang jauh, atau artinya “yang sangat jujur”, atau “Dia
dalam bahasa Ibrani disebut ‘Masyih’ lalu diarabkan menjadi ‘Masih’.”
Adapun Dajjal disebut Al-Masih, karena matanya yang satu terhapus,
pendapat lain: “yang mengusap bumi artinya yang memotong jarak yang
jauh”, “yang fisiknya jelek”. (An-Nihayah, 4/326-327)
2 Shahih, HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas c.
3 Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar c.
4 Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z.
5 Demikian tersebut dalam Injil. Adapun kaum muslimin meyakini
bahwa beliau belum mati bahkan diangkat menuju kepada Allah l,
sebagaimana akan kami jelaskan dalam pembahasan mendatang, insya Allah.
6 Bisa dilihat nukilan ucapan-ucapan mereka dalam kitab Asyrathus Sa’ah hal. 350-352.
Mengimani Isa Turun Sebuah Keniscayaan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Selain didasari keikhlasan, satu amal bisa diterima sebagai bentuk ibadah kepada Allah l (amal shalih), harus didasari pula bahwa amal tersebut selaras dengan Sunnah Rasulullah n. Seperti dinyatakan Al-Fudhail bin ‘Iyadh t saat menjelaskan pengertian ayat:
“Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
Maka, dijelaskan bahwa yang lebih baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Karena sesungguhnya amal itu bila dilakukan secara ikhlas namun tidak dilakukan secara benar (sesuai As-Sunnah), maka tidak diterima amal tersebut. Begitu pula satu amal yang dilakukan secara benar (sesuai tuntunan As-Sunnah) namun tidak diiringi dengan keikhlasan, amal tersebut tetap tertolak. Satu amal diterima bila keikhlasan dan dilakukan secara benar tersebut menjadi landasannya. Yang dimaksud keikhlasan yaitu menjadikan (amal tersebut) hanya bagi Allah l. Sedangkan yang dimaksud dilakukan secara benar yaitu menjadikan amal tersebut berdasar atas As-Sunnah. Semua ini telah ditunjukkan berdasarkan firman Allah l:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110) [Syarh Hadits Innamal A’malu bin Niyat, Ibnu Taimiyyah t, hal. 9-10]
Nyatalah, agar sebuah amal memiliki nilai di hadapan Allah l, tidak bisa cuma mencukupkan keikhlasan atau mencukupkan dengan mengikuti tuntunan As-Sunnah (tanpa diiringi keikhlasan). Keduanya, keikhlasan dan ittiba’ kepada Sunnah Rasulullah n merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba.
Mengikuti As-Sunnah merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Sebagaimana disebutkan dalam Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari t: “Sesungguhnya Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam. Tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.”
Disebutkan pula oleh Al-Imam Al-Barbahari t bahwa manusia tidaklah melakukan satu perbuatan bid’ah, hingga dia meninggalkan As-Sunnah yang semisalnya. Maka berhati-hatilah dari perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah. Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat dan pelakunya di neraka.
Betapa dahsyat akibat yang ditimbulkan dari seorang hamba yang meninggalkan As-Sunnah. Betapa tidak, ini menyangkut keselamatan dirinya di akhirat kelak.
Karenanya, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab t menjelaskan kewajiban setiap muslim yang mukallaf untuk mengenal Nabi-Nya. Maknanya, menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t, yaitu satu bentuk pengenalan yang menjadikan seorang muslim memiliki komitmen untuk menerima terhadap apa yang telah datang dari Rasulullah n, dalam bentuk petunjuk dan agama yang haq (benar), membenarkan terhadap apapun yang telah dikabarkannya, menunaikan atas apa yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dicegahnya. Lantas, dia mau berhukum dengan syariatnya, dan ridha dengan segala ketetapan hukumnya. Allah k berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)
Demikianlah semestinya komitmen seorang muslim terhadap agamanya. Dia akan senantiasa memateri sikap hidupnya di atas landasan Sunnah Nabi n. Setiap apa yang sah datang dari Nabi n senantiasa dikedepankan walau secara akal belum bisa dicerna, atau bahkan mungkin akan dirasa sebagai sesuatu yang bertentangan. Namun lantaran bentuk iltizam (komitmen) terhadap apa yang datang dari Nabi n begitu membaja dalam keyakinan di hatinya, rasa penentangan yang bersemi di akalnya, ia luluhkan. Akalnya ditundukkan di hadapan As-Sunnah. Rasa ketaatan ia bangun dalam kalbunya. Dia menyadari bahwa kemampuan akal yang ada pada dirinya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Karenanya, ia menyadari benar bahwa tak semua perkara agama harus mampu dicerna akalnya. Kata Ali bin Abi Thalib z: “Andai agama ini atas dasar ra`yu (akal), maka sungguh mengusap bagian bawah khuf lebih utama dibanding mengusap bagian atasnya.”1
Dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas c: “Sungguh, adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Barangsiapa berkata setelah itu dengan ra`yunya, maka saya tidak mengetahui apakah di dalam itu terkandung kebaikan atau kejelekan.”
Perhatikan pula apa yang diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud z perihal keterpurukan akibat mengunggulkan ra`yu tatkala berbicara agama.
إِيَّاكُمْ وَأَرَأَيْتَ أَرَأَيْتَ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِأَرَأَيْتَ أَرَأَيْتَ، وَلَا تَقِيْسُوا شَيْئًا فَتَزِلُّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَإِذَا سُئِلَ أَحَدُكُمْ عَمَّا لَا يَعْلَمُ فَلْيَقُلْ لَا أَعْلَمُ، فَإِنَّهُ ثُلُثُ الْعِلْمِ
“Hati-hatilah kalian dari (perkataan) ‘Apa pendapatmu, apa pendapatmu.’ Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian disebabkan oleh ‘Apa pendapatmu, apa pendapatmu.’ Janganlah kalian analogikan (dalam urusan agama) dengan sesuatu pun. Maka, kelak kamu bisa tergelincir setelah kokoh pijakanmu. Apabila di antara kalian ditanya tentang sesuatu yang tidak (kalian) ketahui, maka jawablah dengan mengatakan: ‘Saya tidak tahu.’ Karena menjawab dengan perkataan seperti itu adalah sepertiga ilmu.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim t, hal. 53-54)
Peringatan dari Abdullah bin Mas’ud z merupakan salah satu bentuk dorongan, hendaknya seorang muslim menjauhi sumber malapetaka yang diakibatkan ra`yu, pendapat pribadi seseorang yang tak sejalan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana dipahami salafus shalih.
Secara lebih rinci, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, menyebutkan ragam ra`yu yang batil. Beliau t di antaranya menyebutkan bahwa ra`yu yang batil adalah yang menyelisihi nash (Al-Qur`an dan As-Sunnah, -ed.). Selain itu, ra`yu batil pun bisa dikemas dalam bentuk perkataan (kalam) yang secara tematikal mengangkat pembicaraan tentang perkara agama dengan duga-duga dan zhan (sesuatu yang tidak pasti). Termasuk ra`yu yang batil manakala ra`yu (pemikiran) tersebut mengandung muatan meniadakan asma, sifat, dan perbuatan Allah l melalui cara analogi yang batil. Macam ra`yu batil lainnya yaitu pemikiran yang mengada-ada dalam urusan agama hingga melahirkan bid’ah.
Apa jadinya bila agama ini diwarnai pemikiran-pemikiran liar yang tidak terbimbing dengan pemahaman salafus shalih. Apa jadinya pula agama ini tatkala setiap individu pemeluknya bebas memberi tafsir dalam setiap perkara agama, tanpa diiringi kaidah-kaidah yang telah baku sebagaimana dilakukan salafus shalih. Maka, tak sepatutnya bagi seorang muslim meninggalkan ketentuan yang telah secara sah berdasar nash lalu mengambil pemikiran manusia, hanya karena pemikiran tersebut sejalan dengan akalnya.
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Menyikapi berbagai peristiwa yang bakal terjadi menjelang hari kiamat, yang didasari hadits-hadits yang dinyatakan shahih, bagi seorang muslim merupakan bagian dari wujud keimanan terhadap hal-hal ghaib. Ketundukan dan ketaatan dirinya lantaran i’tiqadnya yang lurus. Karenanya, tidaklah menjadi sesuatu yang sulit untuk mengimani bahwa menjelang akhir zaman kelak akan turun Isa q. Peristiwa turunnya Isa q telah dikabarkan secara kuat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih lagi mutawatir. Demikian ini sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda hari kiamat kubra (besar).
Allah l berfirman:
“Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: ‘Manakah yang lebih baik, sesembahan-sesembahan kami atau dia (Isa)?’ Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. Dan sesungguhnya (turunnya) Isa itu benar-benar pertanda akan datangnya hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 57-61)
Inilah ayat yang memberitakan tentang Isa q, disebutkan di akhir ayat:
Maksudnya, turunnya Isa q sebelum hari kiamat merupakan pertanda telah dekatnya Kiamat. Ditunjukkan pula dengan qira`ah yang lain, yaitu dengan memfathah huruf ‘ain dan lam:
yang memiliki pengertian alamat (tanda) atas terjadinya kiamat. Ini merupakan qira`ah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan yang selainnya dari kalangan imam ahli tafsir.
Kemudian firman Allah l:
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 157-159)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi tidaklah membunuh ataupun menyalib ‘Isa q. Dari ayat tersebut justru terungkap bahwa Allah l telah mengangkatnya ke langit. Ini sebagaimana dijelaskan pula dalam firman-Nya:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku…’.” (Ali ‘Imran: 55)
Juga terungkap dari ayat:
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya.” (An-Nisa`: 159)
bahwa dari kalangan Ahli Kitab ada yang beriman kepada Isa q pada akhir zaman kelak hingga turunnya Isa (yang turun secara hakiki ke bumi) sebelum kematiannya. Ini seperti dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir yang shahih.
Dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t saat ditanya berkenaan dengan wafat dan diangkatnya Isa, maka jawab beliau: “Alhamdulillah. Isa q masih hidup. Sungguh telah kuat dinyatakan dalam Ash-Shahih dari Nabi n, yang bersabda:
يَنْزِلُ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلًا وَإِمَامًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ
‘Ibnu Maryam turun di tengah-tengah kalian sebagai hakim dan imam yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan meletakkan jizyah’.”
Selanjutnya kata Ibnu Taimiyyah t, bahwa telah tetap dalam Ash-Shahih, Isa akan turun di menara putih di sebelah timur Damsyiq (Damaskus). Dia akan membunuh Dajjal. Maka, seseorang yang terpisah antara ruh dan jasad, tentulah jasadnya tidak turun dari langit. Dan apabila dihidupkan kembali tentu akan bangkit dari kubur. Adapun firman Allah l:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 55)
Ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya dia bukan menjumpai kematian (al-maut). Sebab, jika yang dimaksud adalah kematian maka Isa sama dengan mukmin yang lainnya. Karena Allah l mengambil arwah orang-orang yang beriman dan menaikkannya ke langit. Dengan begitu, diketahuilah bahwa tidak ada lagi kekhususan bagi Isa q.
Dan firman-Nya:
“Dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 55)
Andai ruh dan jasadnya terpisah, niscaya badannya ada di bumi sebagaimana para nabi lainnya atau yang selain nabi.
Sehingga jelaslah bahwa Isa telah diangkat Allah l dengan mengangkat tubuh dan ruhnya sekaligus, sebagaimana halnya Isa akan turun ke bumi dengan tubuh dan ruhnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shahih. (Asyrathus Sa’ah, Yusuf Al-Wabil, hal. 343-344)
Perihal turunnya Isa q ke bumi dijelaskan pula dalam hadits-hadits yang shahih. Di antaranya disebutkan dalam Ash-Shahihain hadits dari Abu Hurairah z:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ
“Bagaimana keadaan kalian nanti apabila putra Maryam telah turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian adalah dari antara kalian sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mengimani akan turunnya Isa q adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mengimaninya termasuk ushul (prinsip) dari prinsip-prinsip As-Sunnah (Ushulus Sunnah). Sebagaimana yang dinyatakan Al-Imam Ahmad bin Hambal t, bahwa prinsip-prinsip As-Sunnah pada kami yaitu berpegang teguh atas apa yang dipegangi oleh para sahabat Rasulullah n, mengikuti dan meneladani mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. Kemudian beliau menyebutkan beberapa kalimat tentang akidah Ahlus Sunnah. Lantas beliau t berkata:
الدَّجَّالُ خَارِجٌ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ (كَافِرٌ) وَالْأَحَادِيْثُ الَّتِي جَاءَتْ فِيهِ وَالْإِيْمَانُ بِأَنَّ ذَلِكَ كَائِنٌ وَأَنَّ عِيْسَى يَنْزِلُ فَيَقْتُلُهُ بِبَابِ لُدٍّ
“Dajjal akan muncul (di muka bumi ini), tertulis di antara kedua matanya ‘kafir’, dan (mengimani) hadits-hadits yang datang (membicarakan) tentangnya dan mengimani (pula) sesungguhnya yang demikian itu bakal terjadi, serta sesungguhnya Isa akan turun lantas akan membunuh Dajjal di Bab Ludd.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 1/241-243, Al-Qadhi Al-Hasan bin Muhammad bin Abi Ya’la, dinukil dari Asyrathus Sa’ah, Yusuf Al-Wabil hal. 353)
Wallahu a’lam.
1 Karena yang terkena kotoran adalah bagian bawah khuf, sehingga menurut logika, tentunya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap. Namun Rasulullah n memberikan tuntunan untuk mengusap bagian atas khuf ketika berwudhu. Karena agama ini tidaklah berlandaskan kepada akal, maka yang pantas hanyalah tunduk kepada bimbingan Rasulullah n.
Selain didasari keikhlasan, satu amal bisa diterima sebagai bentuk ibadah kepada Allah l (amal shalih), harus didasari pula bahwa amal tersebut selaras dengan Sunnah Rasulullah n. Seperti dinyatakan Al-Fudhail bin ‘Iyadh t saat menjelaskan pengertian ayat:
“Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
Maka, dijelaskan bahwa yang lebih baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Karena sesungguhnya amal itu bila dilakukan secara ikhlas namun tidak dilakukan secara benar (sesuai As-Sunnah), maka tidak diterima amal tersebut. Begitu pula satu amal yang dilakukan secara benar (sesuai tuntunan As-Sunnah) namun tidak diiringi dengan keikhlasan, amal tersebut tetap tertolak. Satu amal diterima bila keikhlasan dan dilakukan secara benar tersebut menjadi landasannya. Yang dimaksud keikhlasan yaitu menjadikan (amal tersebut) hanya bagi Allah l. Sedangkan yang dimaksud dilakukan secara benar yaitu menjadikan amal tersebut berdasar atas As-Sunnah. Semua ini telah ditunjukkan berdasarkan firman Allah l:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110) [Syarh Hadits Innamal A’malu bin Niyat, Ibnu Taimiyyah t, hal. 9-10]
Nyatalah, agar sebuah amal memiliki nilai di hadapan Allah l, tidak bisa cuma mencukupkan keikhlasan atau mencukupkan dengan mengikuti tuntunan As-Sunnah (tanpa diiringi keikhlasan). Keduanya, keikhlasan dan ittiba’ kepada Sunnah Rasulullah n merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba.
Mengikuti As-Sunnah merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Sebagaimana disebutkan dalam Syarhus Sunnah karya Al-Imam Al-Barbahari t: “Sesungguhnya Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam. Tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.”
Disebutkan pula oleh Al-Imam Al-Barbahari t bahwa manusia tidaklah melakukan satu perbuatan bid’ah, hingga dia meninggalkan As-Sunnah yang semisalnya. Maka berhati-hatilah dari perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah. Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat dan pelakunya di neraka.
Betapa dahsyat akibat yang ditimbulkan dari seorang hamba yang meninggalkan As-Sunnah. Betapa tidak, ini menyangkut keselamatan dirinya di akhirat kelak.
Karenanya, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab t menjelaskan kewajiban setiap muslim yang mukallaf untuk mengenal Nabi-Nya. Maknanya, menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t, yaitu satu bentuk pengenalan yang menjadikan seorang muslim memiliki komitmen untuk menerima terhadap apa yang telah datang dari Rasulullah n, dalam bentuk petunjuk dan agama yang haq (benar), membenarkan terhadap apapun yang telah dikabarkannya, menunaikan atas apa yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dicegahnya. Lantas, dia mau berhukum dengan syariatnya, dan ridha dengan segala ketetapan hukumnya. Allah k berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65)
Demikianlah semestinya komitmen seorang muslim terhadap agamanya. Dia akan senantiasa memateri sikap hidupnya di atas landasan Sunnah Nabi n. Setiap apa yang sah datang dari Nabi n senantiasa dikedepankan walau secara akal belum bisa dicerna, atau bahkan mungkin akan dirasa sebagai sesuatu yang bertentangan. Namun lantaran bentuk iltizam (komitmen) terhadap apa yang datang dari Nabi n begitu membaja dalam keyakinan di hatinya, rasa penentangan yang bersemi di akalnya, ia luluhkan. Akalnya ditundukkan di hadapan As-Sunnah. Rasa ketaatan ia bangun dalam kalbunya. Dia menyadari bahwa kemampuan akal yang ada pada dirinya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Karenanya, ia menyadari benar bahwa tak semua perkara agama harus mampu dicerna akalnya. Kata Ali bin Abi Thalib z: “Andai agama ini atas dasar ra`yu (akal), maka sungguh mengusap bagian bawah khuf lebih utama dibanding mengusap bagian atasnya.”1
Dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas c: “Sungguh, adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Barangsiapa berkata setelah itu dengan ra`yunya, maka saya tidak mengetahui apakah di dalam itu terkandung kebaikan atau kejelekan.”
Perhatikan pula apa yang diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud z perihal keterpurukan akibat mengunggulkan ra`yu tatkala berbicara agama.
إِيَّاكُمْ وَأَرَأَيْتَ أَرَأَيْتَ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِأَرَأَيْتَ أَرَأَيْتَ، وَلَا تَقِيْسُوا شَيْئًا فَتَزِلُّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَإِذَا سُئِلَ أَحَدُكُمْ عَمَّا لَا يَعْلَمُ فَلْيَقُلْ لَا أَعْلَمُ، فَإِنَّهُ ثُلُثُ الْعِلْمِ
“Hati-hatilah kalian dari (perkataan) ‘Apa pendapatmu, apa pendapatmu.’ Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian disebabkan oleh ‘Apa pendapatmu, apa pendapatmu.’ Janganlah kalian analogikan (dalam urusan agama) dengan sesuatu pun. Maka, kelak kamu bisa tergelincir setelah kokoh pijakanmu. Apabila di antara kalian ditanya tentang sesuatu yang tidak (kalian) ketahui, maka jawablah dengan mengatakan: ‘Saya tidak tahu.’ Karena menjawab dengan perkataan seperti itu adalah sepertiga ilmu.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim t, hal. 53-54)
Peringatan dari Abdullah bin Mas’ud z merupakan salah satu bentuk dorongan, hendaknya seorang muslim menjauhi sumber malapetaka yang diakibatkan ra`yu, pendapat pribadi seseorang yang tak sejalan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana dipahami salafus shalih.
Secara lebih rinci, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, menyebutkan ragam ra`yu yang batil. Beliau t di antaranya menyebutkan bahwa ra`yu yang batil adalah yang menyelisihi nash (Al-Qur`an dan As-Sunnah, -ed.). Selain itu, ra`yu batil pun bisa dikemas dalam bentuk perkataan (kalam) yang secara tematikal mengangkat pembicaraan tentang perkara agama dengan duga-duga dan zhan (sesuatu yang tidak pasti). Termasuk ra`yu yang batil manakala ra`yu (pemikiran) tersebut mengandung muatan meniadakan asma, sifat, dan perbuatan Allah l melalui cara analogi yang batil. Macam ra`yu batil lainnya yaitu pemikiran yang mengada-ada dalam urusan agama hingga melahirkan bid’ah.
Apa jadinya bila agama ini diwarnai pemikiran-pemikiran liar yang tidak terbimbing dengan pemahaman salafus shalih. Apa jadinya pula agama ini tatkala setiap individu pemeluknya bebas memberi tafsir dalam setiap perkara agama, tanpa diiringi kaidah-kaidah yang telah baku sebagaimana dilakukan salafus shalih. Maka, tak sepatutnya bagi seorang muslim meninggalkan ketentuan yang telah secara sah berdasar nash lalu mengambil pemikiran manusia, hanya karena pemikiran tersebut sejalan dengan akalnya.
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Menyikapi berbagai peristiwa yang bakal terjadi menjelang hari kiamat, yang didasari hadits-hadits yang dinyatakan shahih, bagi seorang muslim merupakan bagian dari wujud keimanan terhadap hal-hal ghaib. Ketundukan dan ketaatan dirinya lantaran i’tiqadnya yang lurus. Karenanya, tidaklah menjadi sesuatu yang sulit untuk mengimani bahwa menjelang akhir zaman kelak akan turun Isa q. Peristiwa turunnya Isa q telah dikabarkan secara kuat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih lagi mutawatir. Demikian ini sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda hari kiamat kubra (besar).
Allah l berfirman:
“Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: ‘Manakah yang lebih baik, sesembahan-sesembahan kami atau dia (Isa)?’ Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. Dan sesungguhnya (turunnya) Isa itu benar-benar pertanda akan datangnya hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 57-61)
Inilah ayat yang memberitakan tentang Isa q, disebutkan di akhir ayat:
Maksudnya, turunnya Isa q sebelum hari kiamat merupakan pertanda telah dekatnya Kiamat. Ditunjukkan pula dengan qira`ah yang lain, yaitu dengan memfathah huruf ‘ain dan lam:
yang memiliki pengertian alamat (tanda) atas terjadinya kiamat. Ini merupakan qira`ah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan yang selainnya dari kalangan imam ahli tafsir.
Kemudian firman Allah l:
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 157-159)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi tidaklah membunuh ataupun menyalib ‘Isa q. Dari ayat tersebut justru terungkap bahwa Allah l telah mengangkatnya ke langit. Ini sebagaimana dijelaskan pula dalam firman-Nya:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku…’.” (Ali ‘Imran: 55)
Juga terungkap dari ayat:
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya.” (An-Nisa`: 159)
bahwa dari kalangan Ahli Kitab ada yang beriman kepada Isa q pada akhir zaman kelak hingga turunnya Isa (yang turun secara hakiki ke bumi) sebelum kematiannya. Ini seperti dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir yang shahih.
Dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t saat ditanya berkenaan dengan wafat dan diangkatnya Isa, maka jawab beliau: “Alhamdulillah. Isa q masih hidup. Sungguh telah kuat dinyatakan dalam Ash-Shahih dari Nabi n, yang bersabda:
يَنْزِلُ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلًا وَإِمَامًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ
‘Ibnu Maryam turun di tengah-tengah kalian sebagai hakim dan imam yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan meletakkan jizyah’.”
Selanjutnya kata Ibnu Taimiyyah t, bahwa telah tetap dalam Ash-Shahih, Isa akan turun di menara putih di sebelah timur Damsyiq (Damaskus). Dia akan membunuh Dajjal. Maka, seseorang yang terpisah antara ruh dan jasad, tentulah jasadnya tidak turun dari langit. Dan apabila dihidupkan kembali tentu akan bangkit dari kubur. Adapun firman Allah l:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 55)
Ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya dia bukan menjumpai kematian (al-maut). Sebab, jika yang dimaksud adalah kematian maka Isa sama dengan mukmin yang lainnya. Karena Allah l mengambil arwah orang-orang yang beriman dan menaikkannya ke langit. Dengan begitu, diketahuilah bahwa tidak ada lagi kekhususan bagi Isa q.
Dan firman-Nya:
“Dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 55)
Andai ruh dan jasadnya terpisah, niscaya badannya ada di bumi sebagaimana para nabi lainnya atau yang selain nabi.
Sehingga jelaslah bahwa Isa telah diangkat Allah l dengan mengangkat tubuh dan ruhnya sekaligus, sebagaimana halnya Isa akan turun ke bumi dengan tubuh dan ruhnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shahih. (Asyrathus Sa’ah, Yusuf Al-Wabil, hal. 343-344)
Perihal turunnya Isa q ke bumi dijelaskan pula dalam hadits-hadits yang shahih. Di antaranya disebutkan dalam Ash-Shahihain hadits dari Abu Hurairah z:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ
“Bagaimana keadaan kalian nanti apabila putra Maryam telah turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian adalah dari antara kalian sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mengimani akan turunnya Isa q adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mengimaninya termasuk ushul (prinsip) dari prinsip-prinsip As-Sunnah (Ushulus Sunnah). Sebagaimana yang dinyatakan Al-Imam Ahmad bin Hambal t, bahwa prinsip-prinsip As-Sunnah pada kami yaitu berpegang teguh atas apa yang dipegangi oleh para sahabat Rasulullah n, mengikuti dan meneladani mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. Kemudian beliau menyebutkan beberapa kalimat tentang akidah Ahlus Sunnah. Lantas beliau t berkata:
الدَّجَّالُ خَارِجٌ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ (كَافِرٌ) وَالْأَحَادِيْثُ الَّتِي جَاءَتْ فِيهِ وَالْإِيْمَانُ بِأَنَّ ذَلِكَ كَائِنٌ وَأَنَّ عِيْسَى يَنْزِلُ فَيَقْتُلُهُ بِبَابِ لُدٍّ
“Dajjal akan muncul (di muka bumi ini), tertulis di antara kedua matanya ‘kafir’, dan (mengimani) hadits-hadits yang datang (membicarakan) tentangnya dan mengimani (pula) sesungguhnya yang demikian itu bakal terjadi, serta sesungguhnya Isa akan turun lantas akan membunuh Dajjal di Bab Ludd.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 1/241-243, Al-Qadhi Al-Hasan bin Muhammad bin Abi Ya’la, dinukil dari Asyrathus Sa’ah, Yusuf Al-Wabil hal. 353)
Wallahu a’lam.
1 Karena yang terkena kotoran adalah bagian bawah khuf, sehingga menurut logika, tentunya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap. Namun Rasulullah n memberikan tuntunan untuk mengusap bagian atas khuf ketika berwudhu. Karena agama ini tidaklah berlandaskan kepada akal, maka yang pantas hanyalah tunduk kepada bimbingan Rasulullah n.
Kisah Keruntuhan Salib
Satu lagi peristiwa besar yang menandai hari kiamat adalah
turunnya Nabi Isa q ke muka bumi. Dari kacamata Islam, peristiwa ini
merupakan salah satu bukti yang membongkar pandangan yang menyatakan
bahwa Nabi Isa q telah wafat di tiang penyaliban sebagaimana terilusikan
dalam keyakinan-keyakinan Nasrani. Demikian mengental keyakinan itu,
sehingga hal itu terus terserukan dan didengungkan di atas mimbar-mimbar
gereja mereka sampai sekarang. Jejak penyimpangan ini lantas
tersimbolkan oleh patung salib yang dipasang di altar atau dinding
rumah, ataupun menjadi liontin kalung mereka.
Sementara menurut akidah Islam, Isa bin Maryam e belumlah meninggal. Apa yang diyakini sebagai Isa, yang dalam terminologi Kristen disebut Yesus, adalah salah satu murid Isa yang wajahnya serupa Isa karena diserupakan Allah l. Isa, sejatinya diangkat ke langit untuk kemudian diturunkan ke muka bumi menjelang hari kiamat.
Namun demikian, Isa bin Maryam turun bukan dalam kapasitasnya sebagai nabi dengan membawa risalah sendiri serta menghapus syariat Muhammad n. Ia justru membenarkan kerasulan Muhammad n dan turun dengan mengemban sejumlah tugas, di antaranya menghancurkan salib, membunuh babi-babi, serta meletakkan hukum jizyah (upeti) bagi kafir dzimmi.
Setelah beliau turun di bumi, banyak dari para penyimpang ajaran tauhid yang dibawa beliau, yang kemudian beriman. Namun keimanan mereka tidaklah berarti apa-apa karena muncul secara terpaksa di saat tanda-tanda kiamat telah nampak dengan jelas. Selanjutnya, sebagaimana diwartakan dalam banyak hadits, Nabi Isa membunuh Dajjal di sebuah daerah di Palestina. Bagaimana detil kisahnya, pembaca dapat menelusurinya dalam Kajian Utama.
Pembaca, pembangkangan istri terhadap suami memang telah menjadi kisah ”klasik” di masa sekarang karena saking seringnya kita mendengar hal itu, baik dari tetangga sekitar, saudara, atau media massa. Biasanya hal ini terjadi karena suami kian tak berharga di mata istri. Banyak suami yang dicampakkan karena ketidakmampuannya memenuhi selera dan gaya hidup istri yang tinggi, ”karir” istri yang melejit meninggalkan suami, atau faktor-faktor lain yang semuanya dilambari minimnya kesa-daran beragama di tengah masyarakat kita.
Hal itu diperparah dengan perge-seran cara pandang (baca: semakin ditinggalkan ajaran agama) karena lebih mengedepankan falsafah kebebasan, kesetaraan jender atau emansipasi, nilai-nilai demokrasi, dan falsafah (rusak) Barat lainnya. Alhasil, keyakinan beragama kian larut karena demikian memuja serta silau dengan segala ”kemajuan” Barat.
Namun bagaimanapun Islam tetap menyuguhkan solusi manakala hal itu benar-benar terjadi. Solusi yang tak semata mengedepankan emosi karena dibimbing langsung oleh Rabb yang di atas langit melalui lisan Rasul-Nya. Apa saja yang mesti dilakukan oleh sang suami tatkala menjumpai keadaan istri yang demikian? Simak bahasannya dalam rubrik Mengayuh Biduk.
Simak pula rubrik-rubrik lain yang insya Allah juga sarat dengan muatan ilmu.
Sementara menurut akidah Islam, Isa bin Maryam e belumlah meninggal. Apa yang diyakini sebagai Isa, yang dalam terminologi Kristen disebut Yesus, adalah salah satu murid Isa yang wajahnya serupa Isa karena diserupakan Allah l. Isa, sejatinya diangkat ke langit untuk kemudian diturunkan ke muka bumi menjelang hari kiamat.
Namun demikian, Isa bin Maryam turun bukan dalam kapasitasnya sebagai nabi dengan membawa risalah sendiri serta menghapus syariat Muhammad n. Ia justru membenarkan kerasulan Muhammad n dan turun dengan mengemban sejumlah tugas, di antaranya menghancurkan salib, membunuh babi-babi, serta meletakkan hukum jizyah (upeti) bagi kafir dzimmi.
Setelah beliau turun di bumi, banyak dari para penyimpang ajaran tauhid yang dibawa beliau, yang kemudian beriman. Namun keimanan mereka tidaklah berarti apa-apa karena muncul secara terpaksa di saat tanda-tanda kiamat telah nampak dengan jelas. Selanjutnya, sebagaimana diwartakan dalam banyak hadits, Nabi Isa membunuh Dajjal di sebuah daerah di Palestina. Bagaimana detil kisahnya, pembaca dapat menelusurinya dalam Kajian Utama.
Pembaca, pembangkangan istri terhadap suami memang telah menjadi kisah ”klasik” di masa sekarang karena saking seringnya kita mendengar hal itu, baik dari tetangga sekitar, saudara, atau media massa. Biasanya hal ini terjadi karena suami kian tak berharga di mata istri. Banyak suami yang dicampakkan karena ketidakmampuannya memenuhi selera dan gaya hidup istri yang tinggi, ”karir” istri yang melejit meninggalkan suami, atau faktor-faktor lain yang semuanya dilambari minimnya kesa-daran beragama di tengah masyarakat kita.
Hal itu diperparah dengan perge-seran cara pandang (baca: semakin ditinggalkan ajaran agama) karena lebih mengedepankan falsafah kebebasan, kesetaraan jender atau emansipasi, nilai-nilai demokrasi, dan falsafah (rusak) Barat lainnya. Alhasil, keyakinan beragama kian larut karena demikian memuja serta silau dengan segala ”kemajuan” Barat.
Namun bagaimanapun Islam tetap menyuguhkan solusi manakala hal itu benar-benar terjadi. Solusi yang tak semata mengedepankan emosi karena dibimbing langsung oleh Rabb yang di atas langit melalui lisan Rasul-Nya. Apa saja yang mesti dilakukan oleh sang suami tatkala menjumpai keadaan istri yang demikian? Simak bahasannya dalam rubrik Mengayuh Biduk.
Simak pula rubrik-rubrik lain yang insya Allah juga sarat dengan muatan ilmu.
Surat Pembaca edisi 35
Permasalahan KB
Tolong di bahas permasalahan KB dan seluk beluknya, karena banyak ikhwan yang belum paham dan menganggap masalah ini haram hukumnya.
Abu Abdillah – Lampung
085292xxxxxx
Masalah pemakaian alat kontrasepsi pencegah kehamilan pernah disinggung pada rubrik Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah edisi 21. Silakan dilihat kembali.
Surga dan Neraka
Mohon mengangkat tema mengenai surga dan neraka guna menambah semangat kita untuk istiqamah pada dien dan sunnah yang kita jalani ini.
Abu Harits – Pekanbaru
081378xxxxxx
Jazakumullah khairan atas masukannya.
Nabi Palsu
Ana sangat terkesan dengan pembahasan imam mahdi, pembahasannya sangat ilmiah dan banyak dari kaum muslimin yang mendapat hidayah dan terbuka mata hati mereka tentang siapa itu imam mahdi yang sebenarnya. Ana ada saran bagaimana kalau edisi berikutnya membahas tentang nabi palsu, sebab sekarang di Indonesia ini lagi marak adanya nabi palsu yang bernama Michael Muchdats dan banyak kaum muslimin yang tertipu.
Adi – Gresik
085649xxxxxx
Insya Allah bisa Anda dapatkan sedikit pembahasan tentang Al-Qiyadah Al-Islamiyah pada edisi kali ini.
Ibnu ‘Arabi
Setahu ana, Ibnu Arabi penganut paham sesat wihdatul wujud. Mengapa Asy-Syariah kerap mengambil riwayatnya (lebih tepat: ucapannya, red)? Siapa Ibnu Arabi yang dimaksud?
Kilat – Bekasi
Benar bahwa Ibnu ‘Arabi (ابْنُ عَرَبِي) penganut paham sesat wihdatul wujud bahkan termasuk penyerunya. Ibnu ‘Arabi ini namanya Abu Bakr Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Hatimi Ath-Tha`i Al-Andalusi, meninggal pada tahun 638 H.
Adapun yang pernah kita nukil ucapannya adalah Ibnul ‘Arabi (ابْنُ الْعَرَبِي), seorang ulama yang terkenal. Perhatikan perbedaan penulisannya. Nama beliau adalah Abu Bakr Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah Al-Mu’afiri Al-Andalusi Al-Isybili Al-Maliki. Beliau wafat pada tahun 543 H.
Jadi, meski mirip namanya, mereka adalah dua orang yang berbeda.
Cerminan Shalihah
Edisi 33, kenapa Cerminan Shalihahnya gak ada sementara di daftar halaman ada Asy-Syifa’ x?
Ummu Abdirrazaq – Stabat
081375xxxxxx
Afwan, ada kesalahan teknis dari kami. Kisah Asy-Syifa` x dalam rubrik Cerminan Shalihah sudah dimuat pada edisi 34. Jazakumullah khairan atas koreksinya.
Rasul Rabb semesta alam
Tolong jelaskan maksud kalimat “…Kembalilah kepada Islam yang dibawa oleh Rasul Rabb semesta alam…” di Asy-Syariah edisi 33 hal 33, bantahan singkat terhadap keyakinan syiah.
Ahmad – Jakarta
08562xxxxxx
Maksudnya adalah Rasul Allah, karena Rabb semesta alam adalah Allah. Ada beberapa pertanyaan senada tentang masalah ini, semoga bisa terwakili dengan jawaban ini. Jazakumullah khairan.
Tolong di bahas permasalahan KB dan seluk beluknya, karena banyak ikhwan yang belum paham dan menganggap masalah ini haram hukumnya.
Abu Abdillah – Lampung
085292xxxxxx
Masalah pemakaian alat kontrasepsi pencegah kehamilan pernah disinggung pada rubrik Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah edisi 21. Silakan dilihat kembali.
Surga dan Neraka
Mohon mengangkat tema mengenai surga dan neraka guna menambah semangat kita untuk istiqamah pada dien dan sunnah yang kita jalani ini.
Abu Harits – Pekanbaru
081378xxxxxx
Jazakumullah khairan atas masukannya.
Nabi Palsu
Ana sangat terkesan dengan pembahasan imam mahdi, pembahasannya sangat ilmiah dan banyak dari kaum muslimin yang mendapat hidayah dan terbuka mata hati mereka tentang siapa itu imam mahdi yang sebenarnya. Ana ada saran bagaimana kalau edisi berikutnya membahas tentang nabi palsu, sebab sekarang di Indonesia ini lagi marak adanya nabi palsu yang bernama Michael Muchdats dan banyak kaum muslimin yang tertipu.
Adi – Gresik
085649xxxxxx
Insya Allah bisa Anda dapatkan sedikit pembahasan tentang Al-Qiyadah Al-Islamiyah pada edisi kali ini.
Ibnu ‘Arabi
Setahu ana, Ibnu Arabi penganut paham sesat wihdatul wujud. Mengapa Asy-Syariah kerap mengambil riwayatnya (lebih tepat: ucapannya, red)? Siapa Ibnu Arabi yang dimaksud?
Kilat – Bekasi
Benar bahwa Ibnu ‘Arabi (ابْنُ عَرَبِي) penganut paham sesat wihdatul wujud bahkan termasuk penyerunya. Ibnu ‘Arabi ini namanya Abu Bakr Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Hatimi Ath-Tha`i Al-Andalusi, meninggal pada tahun 638 H.
Adapun yang pernah kita nukil ucapannya adalah Ibnul ‘Arabi (ابْنُ الْعَرَبِي), seorang ulama yang terkenal. Perhatikan perbedaan penulisannya. Nama beliau adalah Abu Bakr Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah Al-Mu’afiri Al-Andalusi Al-Isybili Al-Maliki. Beliau wafat pada tahun 543 H.
Jadi, meski mirip namanya, mereka adalah dua orang yang berbeda.
Cerminan Shalihah
Edisi 33, kenapa Cerminan Shalihahnya gak ada sementara di daftar halaman ada Asy-Syifa’ x?
Ummu Abdirrazaq – Stabat
081375xxxxxx
Afwan, ada kesalahan teknis dari kami. Kisah Asy-Syifa` x dalam rubrik Cerminan Shalihah sudah dimuat pada edisi 34. Jazakumullah khairan atas koreksinya.
Rasul Rabb semesta alam
Tolong jelaskan maksud kalimat “…Kembalilah kepada Islam yang dibawa oleh Rasul Rabb semesta alam…” di Asy-Syariah edisi 33 hal 33, bantahan singkat terhadap keyakinan syiah.
Ahmad – Jakarta
08562xxxxxx
Maksudnya adalah Rasul Allah, karena Rabb semesta alam adalah Allah. Ada beberapa pertanyaan senada tentang masalah ini, semoga bisa terwakili dengan jawaban ini. Jazakumullah khairan.
Ilmu dan Akhlak Pemiliknya
(Nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz)
Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka adalah pemimpin manusia sepeninggal para nabi. Mereka membimbing manusia kepada Allah l, memberi arahan dan mengajari manusia tentang agama mereka. Sehingga akhlak para ulama ini demikian agung, sifat-sifat mereka demikian terpuji. Mereka adalah ulama yang haq, ulama petunjuk dan pengganti para rasul. Mereka memiliki sifat sangat takut kepada Allah l, senantiasa merasakan pengawasan-Nya, mengagungkan perintah dan larangan-Nya sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya.
Para ulama memiliki akhlak yang paling tinggi karena mereka menempuh jalan para rasul. Mereka berjalan di atas manhaj dan jalan para rasul dalam berdakwah kepada Allah l serta memberi peringatan kepada umat dari sebab-sebab datangnya kemurkaan Allah l. Mereka adalah orang yang bersegera mengamalkan kebaikan yang mereka ketahui, baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Dan sebaliknya, mereka amat jauh dari kejelekan yang mereka ketahui, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan. Mereka adalah qudwah dan uswah setelah para nabi dalam akhlak mereka yang agung, sifat mereka yang terpuji dan amal mereka yang mulia. Mereka berilmu dan beramal serta mengarahkan para murid mereka kepada akhlak yang tinggi dan jalan yang terbaik.
Telah lewat penjelasan kami bahwa ilmu itu adalah ucapan Allah l dan ucapan Rasul-Nya. Inilah ilmu syar’i, ilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n serta ilmu yang mendukung untuk memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Wajib bagi ahlul ilmi untuk berpegang dengan asas yang agung ini, mengajak manusia kepadanya, mengarahkan murid-murid mereka kepadanya. Dan hendaklah yang selalu menjadi tujuan adalah ilmu tentang apa yang diucapkan Allah l dan Rasul-Nya, mengamalkannya, mengarahkan dan membimbing manusia kepadanya.
Dalam berdakwah, ahlul ilmi tidak boleh berpecah belah dan berselisih. Tidak boleh pula berdakwah kepada kelompok/partai si Fulan, atau kepada pendapat si Fulan atau kepada pikiran si Allan. Namun yang wajib, dakwah itu hanyalah satu yaitu dakwah kepada Allah l dan Rasul-Nya, kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Bukan dakwah kepada madzhab Fulan, atau kepada dakwah si Allan, atau kepada partai tertentu atau pendapat tertentu. Wajib bagi muslimin untuk menempuh jalan yang satu, tujuan yang satu yaitu mengikuti kitabullah dan Sunnah Rasulullah n.
Adapun perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama dalam madzhab yang empat dan selainnya, maka yang wajib adalah mengambil pendapat yang paling dekat kepada kebenaran, yaitu pendapat yang paling dekat kepada ucapan Allah l dan Rasul-Nya atau yang lebih dekat kepada kandungan kaidah-kaidah syar’iyyah.
Para imam mujtahid, tujuan mereka hanyalah demikian itu. Para sahabat sebelum mereka pun demikian. Para sahabat yang berposisi sebagai para imam/pemimpin sepeninggal Rasulullah n, merupakan orang-orang yang paling tahu tentang Allah n, paling utama di kalangan manusia, paling sempurna ilmu dan akhlak mereka. Mereka pun pernah berbeda pendapat dalam sebagian masalah. Akan tetapi dakwah mereka tetap satu, jalan mereka hanya satu. Mereka mengajak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Demikian pula orang-orang yang datang setelah para sahabat dari kalangan tabi’in dan atba’ut tabi’in, seperti Al-Imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selain mereka dari kalangan para imam yang memberi petunjuk seperti Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Ishaq bin Rahuyah dan yang semisal mereka dari kalangan ahlul ilmi dan iman rahimahumullah.
Dakwah mereka satu yaitu dakwah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Mereka melarang para pengikut mereka untuk taqlid terhadap mereka. Mereka mengatakan, “Ambillah dari mana kami mengambil.” Yang mereka maksudkan adalah ambillah dari Kitabullah dan As-Sunnah.
Siapa yang tidak mengetahui al-haq, wajib baginya untuk bertanya kepada ahlul ilmu yang dikenal memiliki ilmu dan keutamaan, memiliki akidah dan perjalanan hidup yang baik. Ia mengambil ilmu dari mereka disertai dengan sikap memuliakan ulama dan mengetahui kadar/keutamaan mereka, mendoakan agar mereka mendapat tambahan taufik dan pahala yang besar.
Semua itu dikarenakan para ulama adalah orang-orang terdepan dalam melakukan kebaikan yang besar. Mereka telah mengajarkan dan memberi bimbingan serta menjelaskan jalan kebenaran kepada manusia. Semoga Allah lmerahmati mereka…
Kita harus tahu kadar dan keutamaan mereka, mendoakan rahmah bagi mereka, mencontoh mereka dalam semangat berilmu dan berdakwah kepada Allah l serta mendahulukan ucapan Allah l dan Rasul-Nya daripada yang selainnya. Kita harus bersabar di atas semua itu, bersegera dalam beramal shalih dan mencontoh mereka dalam keutamaan yang agung. Akan tetapi kita tidak boleh sama sekali ta’ashshub/fanatik buta kepada salah seorang dari mereka atau kita menganggap ucapan/pendapatnya adalah kebenaran mutlak. Tapi yang semestinya kita katakan: “Setiap orang terkadang salah, terkadang benar.” Yang benar hanyalah apa yang mencocoki ucapan Allah l dan Rasul-Nya.
Bila ada perselisihan/beda pendapat maka wajib mengembalikannya kepada Allah l dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah l berfirman:
“Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah.” (An-Nisa`: 59)
Allah ljuga berfirman:
“Apa saja perkara yang kalian berselisih di dalamnya maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.” (Asy-Syura: 10)
Tidak boleh sama sekali fanatik buta dengan si Zaid misalnya atau si ‘Amr. Tidak boleh pula kepada pendapat si Fulan atau si Allan. Sebagaimana tidak boleh fanatik buta kepada partai A atau jalan B, atau jamaah C. Sikap fanatik buta seperti ini termasuk kesalahan terkini di mana mayoritas manusia jatuh ke dalamnya.
Ketahuilah, wajib bagi kaum muslimin menempuh satu tujuan yaitu mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam segala keadaan, baik dalam keadaan sempit ataupun lapang, ketika safar (bepergian ke luar kota) ataupun mukim (berdiam/tidak safar). Bila seseorang mendapatkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, hendaklah ia melihat pendapat-pendapat mereka dan mengikuti pendapat yang mencocoki dalil, tanpa ta’ashshub kepada seorang pun.
Seorang alim dikenali dengan kesabaran dan takwanya, rasa takutnya kepada Allah l, bersegeranya kepada perkara yang diwajibkan Allah l dan Rasul-Nya serta menjauhnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya haramkan.
Demikianlah seharusnya keberadaan seorang alim, baik ia berprofesi sebagai guru, hakim, ataupun juru dakwah (da’i yang mengajak manusia kepada Allah l). Wajib baginya untuk menjadi qudwah dalam kebaikan, uswah dalam keshalihan. Ia wajib beramal dengan ilmunya, bertakwa kepada Allah l di mana saja ia berada. Ia wajib membimbing manusia kepada kebaikan, sehingga dapat menjadi qudwah yang shalih bagi murid-muridnya, keluarganya, tetangganya dan selain mereka dari orang-orang yang mengenalnya. Mereka mencontohnya dalam ucapan dan amalannya yang mencocoki syariat Allah l.
Seorang penuntut ilmu wajib untuk berhati-hati sekali dari sikap menyepelekan perkara yang Allah l wajibkan atau menggampang-gampangkan dirinya ketika jatuh dalam perkara yang Allah l haramkan. Karena penuntut ilmu menjadi contoh bagi yang lain. Bila ia bersikap demikian, maka orang yang lain pun akan bersikap sama.
Sepantasnya pula bagi penuntut ilmu untuk bersemangat menjalankan amalan sunnah agar ia terbiasa dengan amalan tersebut dan manusia pun dapat mencontohnya. Sebaliknya, ia harus menjauh dari perkara yang makruh dan syubhat hingga manusia tidak mencontohnya.
Penuntut ilmu itu mulia keberadaannya. Mereka adalah orang pilihan di alam ini. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dipikul oleh selain mereka. Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang kepemimpinannya.”1
Orang yang berilmu adalah para pembimbing dan pemberi petunjuk. Maka wajib bagi mereka memerhatikan orang-orang yang di bawah bimbingannya. Hendaklah mereka takut kepada Allah l dan membimbing manusia kepada sebab-sebab keselamatan serta memperingatkan mereka dari sebab-sebab kebinasaan.
Hendaklah mereka menumbuhkan rasa cinta kepada Allah l dan Rasul-Nya di antara mereka, istiqamah di atas agama Allah l, rindu kepada-Nya, kepada surga dan kemuliaan-Nya. Sebaliknya, mereka berhati-hati dari api neraka karena neraka adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Ilmu-ilmu selain ilmu syar’i seperti pertambangan, pertanian, perikanan dan seluruh industri yang bermanfaat, terkadang bisa menjadi wajib bila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, dan hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memerhatikan perkara yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah kepada Allah l, bila murni/tulus niatnya, ikhlas karena Allah l. Namun bila tanpa niat, maka terhitung perkara mubah.
Adapun ilmu syar’i, haruslah dituntut oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Karena Allah l menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya. Sementara, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu syar’i, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Seharusnya penuntut ilmu tafaqquh (mendalami) agamanya, mempelajari hukum-hukum Allah, mengenali akidah salafiyyah yang shahihah yang dipegangi oleh Rasulullah n dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Berupa iman kepada Allah l dan Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah l tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil2, tidak dikurangi dan tidak ditambah.
Kita mohon kepada Allah l agar memberikan taufik kepada para penuntut ilmu dan agar Allah l membantu mereka dalam perkara yang mendatangkan ridha-Nya, agar Dia memberi petunjuk kepada para hamba dan memperbaiki keadaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga tertuju kepada Nabi kita Muhammad n. Demikian pula untuk keluarga beliau dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.
(Dinukil oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz t)
Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka adalah pemimpin manusia sepeninggal para nabi. Mereka membimbing manusia kepada Allah l, memberi arahan dan mengajari manusia tentang agama mereka. Sehingga akhlak para ulama ini demikian agung, sifat-sifat mereka demikian terpuji. Mereka adalah ulama yang haq, ulama petunjuk dan pengganti para rasul. Mereka memiliki sifat sangat takut kepada Allah l, senantiasa merasakan pengawasan-Nya, mengagungkan perintah dan larangan-Nya sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya.
Para ulama memiliki akhlak yang paling tinggi karena mereka menempuh jalan para rasul. Mereka berjalan di atas manhaj dan jalan para rasul dalam berdakwah kepada Allah l serta memberi peringatan kepada umat dari sebab-sebab datangnya kemurkaan Allah l. Mereka adalah orang yang bersegera mengamalkan kebaikan yang mereka ketahui, baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Dan sebaliknya, mereka amat jauh dari kejelekan yang mereka ketahui, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan. Mereka adalah qudwah dan uswah setelah para nabi dalam akhlak mereka yang agung, sifat mereka yang terpuji dan amal mereka yang mulia. Mereka berilmu dan beramal serta mengarahkan para murid mereka kepada akhlak yang tinggi dan jalan yang terbaik.
Telah lewat penjelasan kami bahwa ilmu itu adalah ucapan Allah l dan ucapan Rasul-Nya. Inilah ilmu syar’i, ilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n serta ilmu yang mendukung untuk memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Wajib bagi ahlul ilmi untuk berpegang dengan asas yang agung ini, mengajak manusia kepadanya, mengarahkan murid-murid mereka kepadanya. Dan hendaklah yang selalu menjadi tujuan adalah ilmu tentang apa yang diucapkan Allah l dan Rasul-Nya, mengamalkannya, mengarahkan dan membimbing manusia kepadanya.
Dalam berdakwah, ahlul ilmi tidak boleh berpecah belah dan berselisih. Tidak boleh pula berdakwah kepada kelompok/partai si Fulan, atau kepada pendapat si Fulan atau kepada pikiran si Allan. Namun yang wajib, dakwah itu hanyalah satu yaitu dakwah kepada Allah l dan Rasul-Nya, kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Bukan dakwah kepada madzhab Fulan, atau kepada dakwah si Allan, atau kepada partai tertentu atau pendapat tertentu. Wajib bagi muslimin untuk menempuh jalan yang satu, tujuan yang satu yaitu mengikuti kitabullah dan Sunnah Rasulullah n.
Adapun perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama dalam madzhab yang empat dan selainnya, maka yang wajib adalah mengambil pendapat yang paling dekat kepada kebenaran, yaitu pendapat yang paling dekat kepada ucapan Allah l dan Rasul-Nya atau yang lebih dekat kepada kandungan kaidah-kaidah syar’iyyah.
Para imam mujtahid, tujuan mereka hanyalah demikian itu. Para sahabat sebelum mereka pun demikian. Para sahabat yang berposisi sebagai para imam/pemimpin sepeninggal Rasulullah n, merupakan orang-orang yang paling tahu tentang Allah n, paling utama di kalangan manusia, paling sempurna ilmu dan akhlak mereka. Mereka pun pernah berbeda pendapat dalam sebagian masalah. Akan tetapi dakwah mereka tetap satu, jalan mereka hanya satu. Mereka mengajak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Demikian pula orang-orang yang datang setelah para sahabat dari kalangan tabi’in dan atba’ut tabi’in, seperti Al-Imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selain mereka dari kalangan para imam yang memberi petunjuk seperti Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Ishaq bin Rahuyah dan yang semisal mereka dari kalangan ahlul ilmi dan iman rahimahumullah.
Dakwah mereka satu yaitu dakwah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n. Mereka melarang para pengikut mereka untuk taqlid terhadap mereka. Mereka mengatakan, “Ambillah dari mana kami mengambil.” Yang mereka maksudkan adalah ambillah dari Kitabullah dan As-Sunnah.
Siapa yang tidak mengetahui al-haq, wajib baginya untuk bertanya kepada ahlul ilmu yang dikenal memiliki ilmu dan keutamaan, memiliki akidah dan perjalanan hidup yang baik. Ia mengambil ilmu dari mereka disertai dengan sikap memuliakan ulama dan mengetahui kadar/keutamaan mereka, mendoakan agar mereka mendapat tambahan taufik dan pahala yang besar.
Semua itu dikarenakan para ulama adalah orang-orang terdepan dalam melakukan kebaikan yang besar. Mereka telah mengajarkan dan memberi bimbingan serta menjelaskan jalan kebenaran kepada manusia. Semoga Allah lmerahmati mereka…
Kita harus tahu kadar dan keutamaan mereka, mendoakan rahmah bagi mereka, mencontoh mereka dalam semangat berilmu dan berdakwah kepada Allah l serta mendahulukan ucapan Allah l dan Rasul-Nya daripada yang selainnya. Kita harus bersabar di atas semua itu, bersegera dalam beramal shalih dan mencontoh mereka dalam keutamaan yang agung. Akan tetapi kita tidak boleh sama sekali ta’ashshub/fanatik buta kepada salah seorang dari mereka atau kita menganggap ucapan/pendapatnya adalah kebenaran mutlak. Tapi yang semestinya kita katakan: “Setiap orang terkadang salah, terkadang benar.” Yang benar hanyalah apa yang mencocoki ucapan Allah l dan Rasul-Nya.
Bila ada perselisihan/beda pendapat maka wajib mengembalikannya kepada Allah l dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah l berfirman:
“Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah.” (An-Nisa`: 59)
Allah ljuga berfirman:
“Apa saja perkara yang kalian berselisih di dalamnya maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.” (Asy-Syura: 10)
Tidak boleh sama sekali fanatik buta dengan si Zaid misalnya atau si ‘Amr. Tidak boleh pula kepada pendapat si Fulan atau si Allan. Sebagaimana tidak boleh fanatik buta kepada partai A atau jalan B, atau jamaah C. Sikap fanatik buta seperti ini termasuk kesalahan terkini di mana mayoritas manusia jatuh ke dalamnya.
Ketahuilah, wajib bagi kaum muslimin menempuh satu tujuan yaitu mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam segala keadaan, baik dalam keadaan sempit ataupun lapang, ketika safar (bepergian ke luar kota) ataupun mukim (berdiam/tidak safar). Bila seseorang mendapatkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, hendaklah ia melihat pendapat-pendapat mereka dan mengikuti pendapat yang mencocoki dalil, tanpa ta’ashshub kepada seorang pun.
Seorang alim dikenali dengan kesabaran dan takwanya, rasa takutnya kepada Allah l, bersegeranya kepada perkara yang diwajibkan Allah l dan Rasul-Nya serta menjauhnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya haramkan.
Demikianlah seharusnya keberadaan seorang alim, baik ia berprofesi sebagai guru, hakim, ataupun juru dakwah (da’i yang mengajak manusia kepada Allah l). Wajib baginya untuk menjadi qudwah dalam kebaikan, uswah dalam keshalihan. Ia wajib beramal dengan ilmunya, bertakwa kepada Allah l di mana saja ia berada. Ia wajib membimbing manusia kepada kebaikan, sehingga dapat menjadi qudwah yang shalih bagi murid-muridnya, keluarganya, tetangganya dan selain mereka dari orang-orang yang mengenalnya. Mereka mencontohnya dalam ucapan dan amalannya yang mencocoki syariat Allah l.
Seorang penuntut ilmu wajib untuk berhati-hati sekali dari sikap menyepelekan perkara yang Allah l wajibkan atau menggampang-gampangkan dirinya ketika jatuh dalam perkara yang Allah l haramkan. Karena penuntut ilmu menjadi contoh bagi yang lain. Bila ia bersikap demikian, maka orang yang lain pun akan bersikap sama.
Sepantasnya pula bagi penuntut ilmu untuk bersemangat menjalankan amalan sunnah agar ia terbiasa dengan amalan tersebut dan manusia pun dapat mencontohnya. Sebaliknya, ia harus menjauh dari perkara yang makruh dan syubhat hingga manusia tidak mencontohnya.
Penuntut ilmu itu mulia keberadaannya. Mereka adalah orang pilihan di alam ini. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dipikul oleh selain mereka. Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang kepemimpinannya.”1
Orang yang berilmu adalah para pembimbing dan pemberi petunjuk. Maka wajib bagi mereka memerhatikan orang-orang yang di bawah bimbingannya. Hendaklah mereka takut kepada Allah l dan membimbing manusia kepada sebab-sebab keselamatan serta memperingatkan mereka dari sebab-sebab kebinasaan.
Hendaklah mereka menumbuhkan rasa cinta kepada Allah l dan Rasul-Nya di antara mereka, istiqamah di atas agama Allah l, rindu kepada-Nya, kepada surga dan kemuliaan-Nya. Sebaliknya, mereka berhati-hati dari api neraka karena neraka adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Ilmu-ilmu selain ilmu syar’i seperti pertambangan, pertanian, perikanan dan seluruh industri yang bermanfaat, terkadang bisa menjadi wajib bila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, dan hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memerhatikan perkara yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah kepada Allah l, bila murni/tulus niatnya, ikhlas karena Allah l. Namun bila tanpa niat, maka terhitung perkara mubah.
Adapun ilmu syar’i, haruslah dituntut oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Karena Allah l menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya. Sementara, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu syar’i, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Seharusnya penuntut ilmu tafaqquh (mendalami) agamanya, mempelajari hukum-hukum Allah, mengenali akidah salafiyyah yang shahihah yang dipegangi oleh Rasulullah n dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Berupa iman kepada Allah l dan Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah l tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil2, tidak dikurangi dan tidak ditambah.
Kita mohon kepada Allah l agar memberikan taufik kepada para penuntut ilmu dan agar Allah l membantu mereka dalam perkara yang mendatangkan ridha-Nya, agar Dia memberi petunjuk kepada para hamba dan memperbaiki keadaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga tertuju kepada Nabi kita Muhammad n. Demikian pula untuk keluarga beliau dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.
(Dinukil oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz t)
1 Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam Shahih keduanya. -pen
2 Lihat makna dari semua kata ini dalam pembahasan Tauhid Asma dan
Sifat dalam rubrik Kajian Utama dalam Majalah Syariah Vol. III/No. 30.
–pen
Ihdad Bagi Wanita
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?
Ihdad maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu. Bila dikatakan seorang istri berihdad atas kematian suaminya, maknanya si istri yang sedang menjalani masa ihdad1 karena meninggalnya suaminya, menahan diri dari mengenakan perhiasan seluruhnya baik berupa make up, wewangian (parfum), dan selainnya serta segala hal yang menjadi pendorong untuk melakukan jima’2.
Mungkin ada di antara pembaca muslimah yang belum begitu faham hukum permasalahan ini beserta aturan-aturannya, maka kami ingin membantu dengan sedikit penjelasan berikut ini. Wabillahit taufiq.
Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka, kecuali pendapat berbeda yang dinukilkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan Asy-Sya’bi. Namun pendapat keduanya ganjil, menyelisihi sunnah hingga tak perlu ditengok. Kata Al-Imam Ahmad t, “Tersembunyi perkara ihdad ini bagi keduanya.”
Adapun selain kematian suami, baik kematian ayah, ibu saudara laki-laki, anak dan sebagainya, maka haram hukumnya bila melebihi tiga hari3.
Zainab bintu Abi Salamah berkata, “Aku masuk menemui Ummu Habibah x istri Nabi n, saat datang berita kematian ayahnya Abu Sufyan z dari negeri Syam. Pada hari ketiga setelah meninggalnya sang ayah, Ummu Habibah meminta minyak wangi lalu mengusapkannya pada kedua sisi wajahnya dan kedua pergelangannya. “Demi Allah!”, katanya, “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda di atas mimbar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”
Zainab berkata lagi, “Kemudian aku masuk menemui Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsyin x ketika saudara laki-lakinya meninggal dunia. Lalu ia minta diambilkan minyak wangi untuk diusapkan pada dirinya.Ia pun berkata, ‘Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda di atas mimbar: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari. Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah x, berkata, ‘Datang seorang wanita menemui Rasulullah n. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah n sebanyak dua atau tiga kali. Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 1281, 1282, 5336 dan Muslim no. 3709)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam hadits di atas ada dalil wajibnya berihdad bagi wanita yang menjalani ‘iddah karena wafatnya suami. Perkara ini secara umum disepakati walaupun ulama berselisih dalam perinciannya. Ihdad ini wajib bagi setiap wanita yang menjalani ‘iddah karena kematian suami, baik ia telah ‘berkumpul’ dengan suaminya atau pun belum, si wanita masih kecil atau sudah besar, perawan (ketika dinikahi suaminya) atau sudah janda, wanita merdeka atau budak4, wanita muslimah atau wanita kafir5. Ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i t dan jumhur. Abu Hanifah t dan selainnya dari kalangan ulama negeri Kufah, Abu Tsaur t, dan sebagian Malikiyah menyatakan, “Tidak wajib berihdad bagi seorang istri dari kalangan ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani, –pent.). Karena ihdad hanya khusus bagi istri yang muslimah, berdasarkan sabda Rasulullah n:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ…
‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah….’
Dalam hadits di atas dikhususkan penyebutan wanita yang beriman (mukminah).”
Jumhur6 memberi jawaban dengan menyatakan bahwa dalam hadits disebutkan orang yang beriman karena hanya orang berimanlah yang bisa mengambil buah dari pembicaraan sang penetap syariat, mengambil manfaat dengannya dan terikat padanya. Karena itulah, sasaran pembicaraan dalam hadits dikaitkan dengannya7.
Abu Hanifah t juga berkata menyelisihi pendapat jumhur, “Tidak ada ihdad bagi istri yang masih kecil. Tidak pula bagi istri yang berstatus budak.”
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah melahirkan anak untuk tuannya, –pent.), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal8. Demikian juga istri yang ditalak raj’i (talak satu dan dua atau talak yang bisa dirujuk kembali oleh suaminya, –pent.).
Adapun terhadap istri yang ditalak tiga (talak ba’in), mereka berbeda pendapat.
‘Atha`, Rabi’ah, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah berpendapat tidak ada ihdad baginya.
Sedangkan Al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad bagi istri yang ditalak tiga. Asy-Syafi’i t juga memiliki pendapat seperti ini, namun merupakan pendapat yang lemah dari beliau.
Al-Qadhi t menghikayatkan satu ucapan dari Al-Hasan Al-Bashri t yang menyatakan tidak wajibnya ihdad bagi wanita yang ditalak, bahkan juga bagi wanita yang suaminya meninggal dunia. Namun pendapat ini ganjil dan aneh.
Mereka yang berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak tiga, berdalil dengan sabda Rasulullah n: عَلَى مَيِّتٍ.9 Rasulullah n mengkhususkan kebolehan berihdad disebabkan kematian seseorang setelah mengharamkannya, bila bukan karena kematian. Al-Qadhi t berkata: “Wajibnya ihdad bagi wanita yang meninggal suaminya diketahui dari kesepakatan ulama yang membawa hadits tentang ihdad kepada hukum wajib. Walaupun dalam lafadz hadits tersebut tidak ada yang menunjukkan wajibnya, akan tetapi mereka sepakat membawa hadits tersebut kepada hukum wajib. Bersamaan pula adanya pendukung dari sabda beliau n dalam hadits lain seperti hadits Ummu Salamah x10, hadits Ummu ‘Athiyyah x tentang celak, minyak wangi, dan pakaian perhiasan11, serta pelarangan beliau darinya. Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 9/351-352)
Dalam hadits di atas juga terdapat dalil bolehnya berihdad karena kematian kerabat atau yang lainnya selama tiga hari dan tidak boleh (haram) jika lebih. Batasan waktu tiga hari ini dibolehkan karena syariat memerhatikan keadaan jiwa dan tabiat seorang manusia yang jelas berduka bila ditinggal mati oleh orang yang dikasihinya hingga ia tak berselera berdandan, memakai pakaian bagus dan sebagainya. Karena itulah Ummu Habibah x dan Zainab bintu Jahsyin x memakai wewangian untuk keluar dari ihdadnya. Dan secara jelas keduanya menyatakan bahwa mereka memakai wangi-wangian bukan karena suatu kebutuhan. Ini sebagai isyarat bahwa bekas-bekas kesedihan masih ada pada mereka, namun karena syariat tidak membolehkan berihdad lebih dari tiga hari, maka tidak ada yang melapangkan mereka kecuali berpegang dengan perintah agama12.
Lama Ihdad
Lamanya masa ihdad adalah selama masa ‘iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Dan sepuluh hari yang disebutkan dalam hadits: وَعَشْرًا mencakup pula malam-malamnya13.
Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Ini merupakan madzhab kami dan madzhab ulama secara keseluruhan. Kecuali pendapat berbeda yang dihikayatkan dari Yahya ibnu Abi Katsir dan Al-Auza’i yang menyatakan lamanya empat bulan sepuluh malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada hari yang kesepuluh14. Sementara pendapat kami dan jumhur, si wanita tidak halal hingga ia masuk malam yang kesebelas.”15 (Al-Minhaj, 9/352)
Bila si istri dalam keadaan hamil, maka masa iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, walaupun ia melahirkan sesaat sebelum jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya saat itu telah berakhir dan halal baginya untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, dengan dalil ayat berikut ini:
“Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)16
Dan juga berdalil dengan kisah Subai’ah Al-Aslamiyyah x. Ummul Mukminin Ummu Salamah x menceritakan:
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَـهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى. فَخَطَبَهَا أَبُوْ السَّنَابِلِ بنُ بَعْكَكِ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ. فَقَالَ: وَاللهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنِكِحِيْهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ. فَمَكَثَتْ قَرِيْبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمّ جَاءَتِ النَّبِيَّ n فَقَالَ : انْكِحِيْ
Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah. Ia sedang hamil saat suaminya meninggal dunia. Setelah melahirkan ia dipinang oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, namun Subai’ah menolak untuk menikah dengannya. Lalu Abus Sanabil berfatwa kepada Subai’ah, “Demi Allah, tidak sepantasnya engkau menikah dengannya17 sampai engkau beriddah dalam waktu yang paling akhir (paling panjang) dari dua waktu yang ada18.” Maka Subai’ah pun berdiam selama sepuluh malam. Kemudian ia mendatangi Nabi n, untuk bertanya tentang perkaranya dan ternyata Nabi bersabda, “Menikahlah.” (HR. Al-Bukhari no. 5318)
Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud mengabarkan bahwa ayahnya menulis surat kepada ‘Umar bin Abdilllah Ibnul Arqam Az-Zuhri memerintahkannya agar bertanya kepada Subai’ah Al-Aslamiyyah tentang haditsnya dan tentang apa yang difatwakan Nabi n dalam perkaranya ketika ia minta fatwa. Maka Umar bin Abdillah pun membalas surat Abdullah bin Utbah mengabarkan bahwa Subai’ah berkisah, dulunya ia bersuamikan Sa’d bin Khaulah yang bernisbah kepada Bani Amir bin Lu`ai. Suaminya termasuk sahabat yang ikut dalam perang Badar. Ketika haji wada’, suaminya meninggal dunia dalam keadaan ia sedang mengandung. Tidak berapa lama setelahnya ia melahirkan. Sesucinya dari nifasnya, ia pun berdandan untuk menerima orang-orang yang mau melamarnya.
Ketika itu masuk Abus Sanabil bin Ba’kak, seorang lelaki dari Bani Abdid Dar, menemuinya sambil berkata memberi fatwa, “Kenapa aku melihatmu berdandan? Mungkinkah engkau ingin menikah lagi? Padahal demi Allah, engkau tidak boleh menikah hingga berlalu waktu empat bulan sepuluh hari.”
Subai’ah berkata, “Mendengar ucapan demikian darinya, maka pada sore harinya aku menemui Rasulullah n untuk bertanya tentang hal tersebut. Ternyata beliau memfatwakan bahwa aku telah halal (selesai dari masa iddah) ketika aku melahirkan kandunganku19, dan beliau memerintahkan agar aku menikah jika ada keinginan ke sana.” (HR. Al-Bukhari no. 3991, 5319 dan Muslim no. 3706)
Sepanjang masa iddahnya, si istri harus berihdad hingga selesai melahirkan kandungannya, sama saja baik masanya pendek atau panjang. Bila ia telah melahirkan maka tidak ada ihdad setelahnya20.
Masa iddah disertai ihdad yang harus dijalani seorang istri yang ditinggal mati suami ini terhitung masa yang pendek bila dibandingkan dengan keadaan wanita di masa jahiliahnya bangsa Arab. Di mana seorang istri yang ditinggal mati suami harus berkabung selama setahun, sebagaimana telah disinggung dalam hadits tentang ihdad di atas.
Dalam riwayat lain Rasulullah n mengabarkan tentang iddah wanita di jaman jahiliah dengan pernyataan:
قَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ تَكُوْنُ فِي شَرِّ بَيْتِهَا فِي أَحْلاَسِهَا –أَوْ: فِي شَرِّ أَحْلاَسِهَا فِي بَيْتِهَا– حَوْلاً، فَإِذَا مَرَّ كَلْبٌ رَمَتْ بِبَعْرَةٍ فَخَرَجَتْ…
“Dulunya salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya dengan menetap di rumahnya yang paling buruk dengan mengenakan pakaiannya yang paling jelek –atau: ia mengenakan pakaiannya yang paling jelek di dalam rumahnya– selama satu tahun. Apabila lewat seekor anjing, ia melempar kotoran hewan kemudian ia keluar….” (HR. Al-Bukhari no. 1280 dan Muslim no. 3711)
Ibnu Daqiqil ‘Ied t menyatakan, dalam hadits di atas ada isyarat pendeknya waktu ihdad seorang istri bila dibandingkan dengan iddah dan ihdad para istri di masa jahiliah, sehingga sepatutnya si istri lebih bersabar menjalaninya. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-‘Iddah)
Sebenarnya masa iddah dan ihdad selama setahun tersebut terus berlanjut setelah datangnya Islam, dengan dalil firman Allah l:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya…” (Al-Baqarah: 240)
Namun kemudian ayat ini dihapus dengan ayat yang sebelumnya, yaitu:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari …” (Al-Baqarah: 234)21
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. Akan kita lanjutkan, Insya Allah, dalam edisi mendatang.
1 Ihdad adalah istilah bagi tenggang waktu yang dijalani seorang istri di mana dalam masa itu ia harus menahan diri/menunda untuk menikah lagi setelah wafatnya sang suami atau setelah bercerai dengannya, baik perhitungannya dengan kelahiran kandungan, dengan quru`, atau dengan bulan. (Fathul Bari, 9/582, Subulus Salam 3/307)
‘Iddah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, sebagaimana tersebut dalam ayat:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah para istri tersebut menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)
Adapun bila si istri yang ditinggal mati oleh suaminya itu dalam keadaan hamil, tentang masa ‘iddahnya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama sendiri berpendapat ‘iddahnya sampai dengan melahirkan. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/115)
2 Al-Minhaj 9/350, Fathul Bari 9/600, Asy-Syarhul Mumti’ 5/712, Nailul Authar 6/343.
3 Fathul Bari 9/601,602, Zadul Ma’ad 4/220, Subulus Salam 3/312.
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?
Ihdad maknanya meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu. Bila dikatakan seorang istri berihdad atas kematian suaminya, maknanya si istri yang sedang menjalani masa ihdad1 karena meninggalnya suaminya, menahan diri dari mengenakan perhiasan seluruhnya baik berupa make up, wewangian (parfum), dan selainnya serta segala hal yang menjadi pendorong untuk melakukan jima’2.
Mungkin ada di antara pembaca muslimah yang belum begitu faham hukum permasalahan ini beserta aturan-aturannya, maka kami ingin membantu dengan sedikit penjelasan berikut ini. Wabillahit taufiq.
Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka, kecuali pendapat berbeda yang dinukilkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan Asy-Sya’bi. Namun pendapat keduanya ganjil, menyelisihi sunnah hingga tak perlu ditengok. Kata Al-Imam Ahmad t, “Tersembunyi perkara ihdad ini bagi keduanya.”
Adapun selain kematian suami, baik kematian ayah, ibu saudara laki-laki, anak dan sebagainya, maka haram hukumnya bila melebihi tiga hari3.
Zainab bintu Abi Salamah berkata, “Aku masuk menemui Ummu Habibah x istri Nabi n, saat datang berita kematian ayahnya Abu Sufyan z dari negeri Syam. Pada hari ketiga setelah meninggalnya sang ayah, Ummu Habibah meminta minyak wangi lalu mengusapkannya pada kedua sisi wajahnya dan kedua pergelangannya. “Demi Allah!”, katanya, “Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda di atas mimbar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”
Zainab berkata lagi, “Kemudian aku masuk menemui Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsyin x ketika saudara laki-lakinya meninggal dunia. Lalu ia minta diambilkan minyak wangi untuk diusapkan pada dirinya.Ia pun berkata, ‘Aku sebenarnya tidak berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda di atas mimbar: ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari tiga hari. Kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari’.”
Zainab melanjutkan penjelasannya, “Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah x, berkata, ‘Datang seorang wanita menemui Rasulullah n. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya?’ ‘Tidak,’ jawab Rasulullah n sebanyak dua atau tiga kali. Setelahnya beliau bersabda: “Masa ihdad itu hanyalah empat bulan sepuluh hari. Adapun dulu di masa jahiliah salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya selama satu tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 1281, 1282, 5336 dan Muslim no. 3709)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam hadits di atas ada dalil wajibnya berihdad bagi wanita yang menjalani ‘iddah karena wafatnya suami. Perkara ini secara umum disepakati walaupun ulama berselisih dalam perinciannya. Ihdad ini wajib bagi setiap wanita yang menjalani ‘iddah karena kematian suami, baik ia telah ‘berkumpul’ dengan suaminya atau pun belum, si wanita masih kecil atau sudah besar, perawan (ketika dinikahi suaminya) atau sudah janda, wanita merdeka atau budak4, wanita muslimah atau wanita kafir5. Ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i t dan jumhur. Abu Hanifah t dan selainnya dari kalangan ulama negeri Kufah, Abu Tsaur t, dan sebagian Malikiyah menyatakan, “Tidak wajib berihdad bagi seorang istri dari kalangan ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani, –pent.). Karena ihdad hanya khusus bagi istri yang muslimah, berdasarkan sabda Rasulullah n:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ…
‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah….’
Dalam hadits di atas dikhususkan penyebutan wanita yang beriman (mukminah).”
Jumhur6 memberi jawaban dengan menyatakan bahwa dalam hadits disebutkan orang yang beriman karena hanya orang berimanlah yang bisa mengambil buah dari pembicaraan sang penetap syariat, mengambil manfaat dengannya dan terikat padanya. Karena itulah, sasaran pembicaraan dalam hadits dikaitkan dengannya7.
Abu Hanifah t juga berkata menyelisihi pendapat jumhur, “Tidak ada ihdad bagi istri yang masih kecil. Tidak pula bagi istri yang berstatus budak.”
Ulama sepakat tidak ada ihdad bagi ummul walad (budak perempuan yang telah melahirkan anak untuk tuannya, –pent.), tidak pula bagi budak perempuan yang tuannya meninggal8. Demikian juga istri yang ditalak raj’i (talak satu dan dua atau talak yang bisa dirujuk kembali oleh suaminya, –pent.).
Adapun terhadap istri yang ditalak tiga (talak ba’in), mereka berbeda pendapat.
‘Atha`, Rabi’ah, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah berpendapat tidak ada ihdad baginya.
Sedangkan Al-Hakam, Abu Hanifah, ulama Kufah, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid rahimahumullah berpendapat ada ihdad bagi istri yang ditalak tiga. Asy-Syafi’i t juga memiliki pendapat seperti ini, namun merupakan pendapat yang lemah dari beliau.
Al-Qadhi t menghikayatkan satu ucapan dari Al-Hasan Al-Bashri t yang menyatakan tidak wajibnya ihdad bagi wanita yang ditalak, bahkan juga bagi wanita yang suaminya meninggal dunia. Namun pendapat ini ganjil dan aneh.
Mereka yang berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita yang ditalak tiga, berdalil dengan sabda Rasulullah n: عَلَى مَيِّتٍ.9 Rasulullah n mengkhususkan kebolehan berihdad disebabkan kematian seseorang setelah mengharamkannya, bila bukan karena kematian. Al-Qadhi t berkata: “Wajibnya ihdad bagi wanita yang meninggal suaminya diketahui dari kesepakatan ulama yang membawa hadits tentang ihdad kepada hukum wajib. Walaupun dalam lafadz hadits tersebut tidak ada yang menunjukkan wajibnya, akan tetapi mereka sepakat membawa hadits tersebut kepada hukum wajib. Bersamaan pula adanya pendukung dari sabda beliau n dalam hadits lain seperti hadits Ummu Salamah x10, hadits Ummu ‘Athiyyah x tentang celak, minyak wangi, dan pakaian perhiasan11, serta pelarangan beliau darinya. Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 9/351-352)
Dalam hadits di atas juga terdapat dalil bolehnya berihdad karena kematian kerabat atau yang lainnya selama tiga hari dan tidak boleh (haram) jika lebih. Batasan waktu tiga hari ini dibolehkan karena syariat memerhatikan keadaan jiwa dan tabiat seorang manusia yang jelas berduka bila ditinggal mati oleh orang yang dikasihinya hingga ia tak berselera berdandan, memakai pakaian bagus dan sebagainya. Karena itulah Ummu Habibah x dan Zainab bintu Jahsyin x memakai wewangian untuk keluar dari ihdadnya. Dan secara jelas keduanya menyatakan bahwa mereka memakai wangi-wangian bukan karena suatu kebutuhan. Ini sebagai isyarat bahwa bekas-bekas kesedihan masih ada pada mereka, namun karena syariat tidak membolehkan berihdad lebih dari tiga hari, maka tidak ada yang melapangkan mereka kecuali berpegang dengan perintah agama12.
Lama Ihdad
Lamanya masa ihdad adalah selama masa ‘iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Dan sepuluh hari yang disebutkan dalam hadits: وَعَشْرًا mencakup pula malam-malamnya13.
Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Ini merupakan madzhab kami dan madzhab ulama secara keseluruhan. Kecuali pendapat berbeda yang dihikayatkan dari Yahya ibnu Abi Katsir dan Al-Auza’i yang menyatakan lamanya empat bulan sepuluh malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada hari yang kesepuluh14. Sementara pendapat kami dan jumhur, si wanita tidak halal hingga ia masuk malam yang kesebelas.”15 (Al-Minhaj, 9/352)
Bila si istri dalam keadaan hamil, maka masa iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, walaupun ia melahirkan sesaat sebelum jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya saat itu telah berakhir dan halal baginya untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf, dengan dalil ayat berikut ini:
“Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)16
Dan juga berdalil dengan kisah Subai’ah Al-Aslamiyyah x. Ummul Mukminin Ummu Salamah x menceritakan:
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَـهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى. فَخَطَبَهَا أَبُوْ السَّنَابِلِ بنُ بَعْكَكِ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ. فَقَالَ: وَاللهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنِكِحِيْهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ. فَمَكَثَتْ قَرِيْبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمّ جَاءَتِ النَّبِيَّ n فَقَالَ : انْكِحِيْ
Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah. Ia sedang hamil saat suaminya meninggal dunia. Setelah melahirkan ia dipinang oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, namun Subai’ah menolak untuk menikah dengannya. Lalu Abus Sanabil berfatwa kepada Subai’ah, “Demi Allah, tidak sepantasnya engkau menikah dengannya17 sampai engkau beriddah dalam waktu yang paling akhir (paling panjang) dari dua waktu yang ada18.” Maka Subai’ah pun berdiam selama sepuluh malam. Kemudian ia mendatangi Nabi n, untuk bertanya tentang perkaranya dan ternyata Nabi bersabda, “Menikahlah.” (HR. Al-Bukhari no. 5318)
Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud mengabarkan bahwa ayahnya menulis surat kepada ‘Umar bin Abdilllah Ibnul Arqam Az-Zuhri memerintahkannya agar bertanya kepada Subai’ah Al-Aslamiyyah tentang haditsnya dan tentang apa yang difatwakan Nabi n dalam perkaranya ketika ia minta fatwa. Maka Umar bin Abdillah pun membalas surat Abdullah bin Utbah mengabarkan bahwa Subai’ah berkisah, dulunya ia bersuamikan Sa’d bin Khaulah yang bernisbah kepada Bani Amir bin Lu`ai. Suaminya termasuk sahabat yang ikut dalam perang Badar. Ketika haji wada’, suaminya meninggal dunia dalam keadaan ia sedang mengandung. Tidak berapa lama setelahnya ia melahirkan. Sesucinya dari nifasnya, ia pun berdandan untuk menerima orang-orang yang mau melamarnya.
Ketika itu masuk Abus Sanabil bin Ba’kak, seorang lelaki dari Bani Abdid Dar, menemuinya sambil berkata memberi fatwa, “Kenapa aku melihatmu berdandan? Mungkinkah engkau ingin menikah lagi? Padahal demi Allah, engkau tidak boleh menikah hingga berlalu waktu empat bulan sepuluh hari.”
Subai’ah berkata, “Mendengar ucapan demikian darinya, maka pada sore harinya aku menemui Rasulullah n untuk bertanya tentang hal tersebut. Ternyata beliau memfatwakan bahwa aku telah halal (selesai dari masa iddah) ketika aku melahirkan kandunganku19, dan beliau memerintahkan agar aku menikah jika ada keinginan ke sana.” (HR. Al-Bukhari no. 3991, 5319 dan Muslim no. 3706)
Sepanjang masa iddahnya, si istri harus berihdad hingga selesai melahirkan kandungannya, sama saja baik masanya pendek atau panjang. Bila ia telah melahirkan maka tidak ada ihdad setelahnya20.
Masa iddah disertai ihdad yang harus dijalani seorang istri yang ditinggal mati suami ini terhitung masa yang pendek bila dibandingkan dengan keadaan wanita di masa jahiliahnya bangsa Arab. Di mana seorang istri yang ditinggal mati suami harus berkabung selama setahun, sebagaimana telah disinggung dalam hadits tentang ihdad di atas.
Dalam riwayat lain Rasulullah n mengabarkan tentang iddah wanita di jaman jahiliah dengan pernyataan:
قَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ تَكُوْنُ فِي شَرِّ بَيْتِهَا فِي أَحْلاَسِهَا –أَوْ: فِي شَرِّ أَحْلاَسِهَا فِي بَيْتِهَا– حَوْلاً، فَإِذَا مَرَّ كَلْبٌ رَمَتْ بِبَعْرَةٍ فَخَرَجَتْ…
“Dulunya salah seorang wanita dari kalian menjalani masa iddahnya dengan menetap di rumahnya yang paling buruk dengan mengenakan pakaiannya yang paling jelek –atau: ia mengenakan pakaiannya yang paling jelek di dalam rumahnya– selama satu tahun. Apabila lewat seekor anjing, ia melempar kotoran hewan kemudian ia keluar….” (HR. Al-Bukhari no. 1280 dan Muslim no. 3711)
Ibnu Daqiqil ‘Ied t menyatakan, dalam hadits di atas ada isyarat pendeknya waktu ihdad seorang istri bila dibandingkan dengan iddah dan ihdad para istri di masa jahiliah, sehingga sepatutnya si istri lebih bersabar menjalaninya. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-‘Iddah)
Sebenarnya masa iddah dan ihdad selama setahun tersebut terus berlanjut setelah datangnya Islam, dengan dalil firman Allah l:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya…” (Al-Baqarah: 240)
Namun kemudian ayat ini dihapus dengan ayat yang sebelumnya, yaitu:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari …” (Al-Baqarah: 234)21
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. Akan kita lanjutkan, Insya Allah, dalam edisi mendatang.
1 Ihdad adalah istilah bagi tenggang waktu yang dijalani seorang istri di mana dalam masa itu ia harus menahan diri/menunda untuk menikah lagi setelah wafatnya sang suami atau setelah bercerai dengannya, baik perhitungannya dengan kelahiran kandungan, dengan quru`, atau dengan bulan. (Fathul Bari, 9/582, Subulus Salam 3/307)
‘Iddah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, sebagaimana tersebut dalam ayat:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri maka hendaklah para istri tersebut menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari….” (Al-Baqarah: 234)
Adapun bila si istri yang ditinggal mati oleh suaminya itu dalam keadaan hamil, tentang masa ‘iddahnya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama sendiri berpendapat ‘iddahnya sampai dengan melahirkan. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/115)
2 Al-Minhaj 9/350, Fathul Bari 9/600, Asy-Syarhul Mumti’ 5/712, Nailul Authar 6/343.
3 Fathul Bari 9/601,602, Zadul Ma’ad 4/220, Subulus Salam 3/312.
4 Bila seorang wanita yang berstatus budak dinikahkan oleh tuannya
dengan seorang lelaki, lalu si lelaki meninggal dunia maka wanita
tersebut wajib berihdad berdasarkan keumuman ayat:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri -istri….” (Al-Baqarah: 234)
Permasalahan ihdad ini berkaitan dengan hak suami. Dan ihdad merupakan perkara yang mengikuti iddah. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/717)
5 Dari kalangan Yahudi atau Nasrani. Apabila ada wanita Yahudi atau
Nasrani yang dinikahi oleh seorang muslim, lalu si suami meninggal
dunia maka si istri wajib berihdad. Karena ihdad itu mengikuti ‘iddah
walaupun si istri kafir. Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan
meninggalkan istri -istri….” (Al-Baqarah: 234) [Asy-Syarhul Mumti’,
5/715]
6 Yang berpendapat bahwa ihdad berlaku bagi setiap istri yang
ditinggal mati suaminya, baik si istri muslimah ataupun non muslimah.
7 Dalam Fathul Bari disebutkan, jawaban jumhur dalam hal ini adalah
bahwa lafadz beriman kepada Allah l disebutkan sebagai penekanan untuk
menyatakan sangat dicercanya hal tersebut (berihdad lebih dari tiga hari
karena kematian selain suami). Sehingga tidak bisa difahami bahwa ihdad
hanya berlaku bagi wanita yang beriman. Sebagaimana kalau kita
menyatakan, “Ini adalah jalan kaum muslimin .” Sementara jalan tersebut
terkadang dilalui pula oleh selain kaum muslimin. (9/602)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t menyatakan bahwa yang dimaukan dengan hadits:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Adalah untuk memberi hasungan dan anjuran kepada wanita agar tidak
melakukan perbuatan demikian. Bukan maksudnya membatasi hukumnya hanya
untuk wanita beriman saja sementara yang lain tidak masuk di dalamnya.
Sebagaimana kalau kita mengatakan, “Tidak mungkin seorang yang dermawan
menghinakan tamunya.” Kita maksudkan dengan kalimat ini sebagai hasungan
untuk memuliakan tamu. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/716)
8 Karena mereka tidak berstatus istri dan si mayat bukan suami
mereka. Sementara dalam hadits disebutkan dengan lafadz: إِلاَّ عَلَى
زَوْجٍ “…kecuali bila yang meninggal suaminya….” (Al-Mughni, kitab
Al-‘Iddah, fashl La Ihdada ‘ala Ghairiz Zaujat)
9 Lengkapnya:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ…
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat….”
Kata Al-Imam Ash-Shan’ani t, “Dalam ucapan Nabi: عَلَى مَيِّتٍ ada
dalil tentang tidak adanya ihdad bagi istri yang ditalak. Bila talaknya
raj’i maka perkaranya disepakati. Adapun kalau talaknya ba’in, jumhur
ulama berpendapat tidak ada ihdadnya.” (Subulus Salam, 3/313)
10 Tentang seorang wanita yang memintakan izin putrinya yang baru
ditinggal mati suaminya untuk memakai celak karena keluhan sakit pada
matanya. Hadits ini menunjukkan wajib berihdad bagi wanita yang wafat
suaminya. Karena kalau tidak wajib, niscaya Rasulullah n tidak akan
melarang seseorang berobat dengan pengobatan yang mubah seperti
mengobati penyakit mata dengan bercelak. (Fathul Bari, 9/601)
11 Akan dijelaskan di edisi mendatang, insya Allah.
12 Fathul Bari 9/602, Asy-Syarhul Mumti’ 5/712, Nailul Authar 6/3434.
13 Fathul Bari 9/603.
14 Karena menurut pendapat ini, yang terhitung hanyalah malam tidak menyertakan hari.
15 Setelah berlalu hari kesepuluhnya.
16 Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 3/115, Al-Hawi 11/235, Al-Minhaj
9/348, Al-Mughni kitab Al-‘Iddah, fashl Aqsamul Mu’tadat, Al-Muhalla bil
Atsar 10/41.
17 Dalam Muwaththa` Al-Imam Malik t (no. 1286) disebutkan bahwa ada
dua orang lelaki yang meminang Subai’ah. Seorang anak muda (Abul
Basyar) dan seorang lagi lelaki berusia antara 30-50 tahun (Abus
Sanabil). Subai’ah cenderung dan lebih terpikat kepada Abul Basyar. Maka
Abus Sanabil mengatakan, “Engkau belum halal untuk menikah.” Ia
mengatakan demikian karena berharap sekembalinya keluarga Subai’ah dari
bepergian, mereka akan mengedepankannya dari yang lain untuk menikahi
Subai’ah.
18 Demikian pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib z
dan Ibnu ‘Abbas c, dengan mengumpulkan dua firman Allah l, yaitu:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan
meninggalkan istri -istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri
mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari .…” (Al-Baqarah: 234)
dan ayat:
“Dan istri-istri yang sedang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Menurut pendapat ini, iddah si wanita adalah masa yang paling
akhir/paling panjang dari dua waktu yang ada, waktu 4 bulan 10 hari atau
waktu melahirkan.
Misalnya bila ia melahirkan 2 bulan setelah suaminya wafat,
iddahnya belumlah berakhir karena waktu yang paling panjang adalah 4
bulan 10 hari. Sehingga ia harus menunggu sampai selesainya 4 bulan 10
hari tersebut.
Contoh lain, bila sampai 4 bulan 10 hari ia belum juga melahirkan,
maka iddahnya belumlah selesai meski sudah berlalu 4 bulan 10 hari
tersebut. Ia harus menunggu hingga melahirkan kandungannya, karena
itulah masa yang paling panjang dari dua waktu yang ada. Misalnya ia
baru melahirkan setelah 9 bulan suaminya wafat, maka itulah akhir masa
iddahnya. Wallahu a’lam. (lihat Ihkamul Ahkam kitab Ath-Thalaq, bab
Al-’Iddah, no. hadits 320, Asy-Syarhul Mumti’, 5/674)
Pendapat ini ditolak oleh hadits Subai’ah yang shahih, sebagai nash
yang menunjukkan Subai’ah telah halal dengan melahirkan kandungannya
(selesai dari iddah). Dengan demikian dari hadits Subai’ah tersebut kita
dapatkan keterangan bahwa yang ditujukan oleh firman Allah l:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan
meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri
mereka (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari .…” (Al-Baqarah: 234)
Adalah para istri yang tidak sedang mengandung. Hadits Subai’ah
merupakan pengkhusus dari keumuman ayat ini dan menerangkan bahwa firman
Allah l:
“Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)
berlaku umum, baik bagi istri yang ditalak ataupun istri yang meninggal suaminya. (Al-Minhaj 9/348, Fathul Bari, 9/587)
19 Nabi n menetapkan bahwa Subai’ah telah selesai iddahnya dan
halal untuk menikah tatkala ia telah melahirkan dan Nabi tidak
mensyaratkan agar Subai’ah suci dulu dari nifasnya, karena nifas
sebagaimana haid bukanlah penghalang untuk melangsungkan akad nikah.
Ibnu Syihab t berkata, “Aku memandang tidak apa-apa si wanita
menikah seselesainya dari melahirkan, walaupun darah nifasnya masih
keluar. Hanya saja suaminya yang baru tersebut tidak boleh menggaulinya
sampai ia suci dari nifasnya.” (Al-Minhaj 9/349)
20 Al-Minhaj 9/352, Al-Muhalla 10/72, Asy-Syarhul Mumti’ 5/714.
21 Tafsir Ibni Katsir 1/388, Al-Hawil Kabir 11/232.
Asy-Syifa’
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Allah l telah anugerahkan ilmu kepada seorang wanita bernama Asy-Syifa`. Anugerah itu benar-benar membawa kemuliaan baginya. Bahkan Amirul Mukminin ‘Umar ibnul Khaththab z pun mengedepankan buah pikirannya. Riwayatnya pun tersebar di kalangan orang-orang sesudahnya.
Namanya Laila. Namun ia lebih dikenal dengan nama Asy-Syifa`, bintu Abdillah bin ‘Abdi Syams bin Khalaf1 bin Syaddad2 bin Abdillah bin Qarth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’b Al-Qurasyiyah Al-‘Adawiyah x. Ibunya adalah Fathimah bintu Abi Wahb bin ‘Amr bin ‘A`idz bin ‘Imran bin Makhzum.
Di Makkah dia menyatakan masuk Islam, sebelum masa-masa hijrah. Dia pun berbai’at kepada Rasulullah n. Saat Allah l izinkan para sahabat untuk berhijrah membawa agama mereka, Asy-Syifa` termasuk wanita yang berhijrah pertama kali.
Dulu Rasulullah n biasa singgah di rumahnya dan numpang tidur siang di sana. Untuk tidur beliau, Asy-Syifa` biasa menyiapkan tempat tidur dan kain.
Asy-Syifa` adalah wanita yang cerdas. Dia ajarkan pula ilmu yang dimilikinya. Suatu saat, dia sedang berada di rumah Hafshah bintu ‘Umar x, istri Rasulullah n. Dalam kesempatan itu, dia bertanya kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, saya dulu biasa meruqyah pada masa jahiliah. Saya akan menunjukkan ruqyah itu kepada anda.” Ditunjukkannya ruqyah itu kepada beliau. Di antaranya ada ruqyah untuk penyakit namlah3. Rasulullah n pun berkata padanya, “Ajarkan pada Hafshah ruqyah namlah itu, seperti engkau mengajarkannya menulis.”
Rasulullah n pernah memberinya sebuah tempat tinggal. Asy-Syifa` menghuni tempat itu bersama putranya, Sulaiman.
Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab z, ‘Umar mengambil pemikiran dan pandangan Asy-Syifa`. ‘Umar pun memuliakan dan merasa ridha kepadanya. Bahkan sekali waktu ‘Umar pernah memercayai Asy-Syifa` untuk menangani masalah pasar.
Semasa hidupnya, Asy-Syifa` menyampaikan ilmu/ hadits yang pernah didapatkannya dari Rasulullah n, begitu pula yang pernah diperolehnya dari ‘Umar ibnul Khaththab z. Ilmu yang dimilikinya pun diwarisi oleh orang-orang sesudahnya. Di antara mereka ada Sulaiman bin Abi Hatsmah, putranya, dan ‘Utsman bin Sulaiman, cucunya.
Asy-Syifa` bintu Abdillah Al-Qurasyiyah, semoga Allah l meridhainya.…
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (7/727-728)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1868-1870)
Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/207-208)
Allah l telah anugerahkan ilmu kepada seorang wanita bernama Asy-Syifa`. Anugerah itu benar-benar membawa kemuliaan baginya. Bahkan Amirul Mukminin ‘Umar ibnul Khaththab z pun mengedepankan buah pikirannya. Riwayatnya pun tersebar di kalangan orang-orang sesudahnya.
Namanya Laila. Namun ia lebih dikenal dengan nama Asy-Syifa`, bintu Abdillah bin ‘Abdi Syams bin Khalaf1 bin Syaddad2 bin Abdillah bin Qarth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’b Al-Qurasyiyah Al-‘Adawiyah x. Ibunya adalah Fathimah bintu Abi Wahb bin ‘Amr bin ‘A`idz bin ‘Imran bin Makhzum.
Di Makkah dia menyatakan masuk Islam, sebelum masa-masa hijrah. Dia pun berbai’at kepada Rasulullah n. Saat Allah l izinkan para sahabat untuk berhijrah membawa agama mereka, Asy-Syifa` termasuk wanita yang berhijrah pertama kali.
Dulu Rasulullah n biasa singgah di rumahnya dan numpang tidur siang di sana. Untuk tidur beliau, Asy-Syifa` biasa menyiapkan tempat tidur dan kain.
Asy-Syifa` adalah wanita yang cerdas. Dia ajarkan pula ilmu yang dimilikinya. Suatu saat, dia sedang berada di rumah Hafshah bintu ‘Umar x, istri Rasulullah n. Dalam kesempatan itu, dia bertanya kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, saya dulu biasa meruqyah pada masa jahiliah. Saya akan menunjukkan ruqyah itu kepada anda.” Ditunjukkannya ruqyah itu kepada beliau. Di antaranya ada ruqyah untuk penyakit namlah3. Rasulullah n pun berkata padanya, “Ajarkan pada Hafshah ruqyah namlah itu, seperti engkau mengajarkannya menulis.”
Rasulullah n pernah memberinya sebuah tempat tinggal. Asy-Syifa` menghuni tempat itu bersama putranya, Sulaiman.
Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab z, ‘Umar mengambil pemikiran dan pandangan Asy-Syifa`. ‘Umar pun memuliakan dan merasa ridha kepadanya. Bahkan sekali waktu ‘Umar pernah memercayai Asy-Syifa` untuk menangani masalah pasar.
Semasa hidupnya, Asy-Syifa` menyampaikan ilmu/ hadits yang pernah didapatkannya dari Rasulullah n, begitu pula yang pernah diperolehnya dari ‘Umar ibnul Khaththab z. Ilmu yang dimilikinya pun diwarisi oleh orang-orang sesudahnya. Di antara mereka ada Sulaiman bin Abi Hatsmah, putranya, dan ‘Utsman bin Sulaiman, cucunya.
Asy-Syifa` bintu Abdillah Al-Qurasyiyah, semoga Allah l meridhainya.…
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (7/727-728)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1868-1870)
Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/207-208)
1 Ada yang mengatakan Khalid.
2 Ada yang mengatakan Shaddad, ada pula Dhirar.
3 Penyakit namlah adalah semacam bisul-bisul bernanah yang keluar
di lambung. Dinamakan namlah (semut) karena penderitanya merasakan
adanya sakit yang menggigit di daerah itu.
Menjaga Rahasia
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Memegang teguh suatu rahasia adalah sikap yang sangat sulit dipegangi di masa sekarang. Maka alangkah baiknya jika anak-anak kita sudah terdidik dengan sikap itu sejak kecil. Sifat kanak-kanak yang melekat, seperti keingintahuan yang besar, tentu saja menjadikan upaya itu tak mudah. Sehingga teladan orangtua menjadi hal yang sepatutnya dilakukan.
Memegang teguh suatu rahasia adalah sikap yang sangat sulit dipegangi di masa sekarang. Maka alangkah baiknya jika anak-anak kita sudah terdidik dengan sikap itu sejak kecil. Sifat kanak-kanak yang melekat, seperti keingintahuan yang besar, tentu saja menjadikan upaya itu tak mudah. Sehingga teladan orangtua menjadi hal yang sepatutnya dilakukan.
Gosip, layaknya sesuatu yang mudah ditemui. Satu rahasia yang
semestinya tersimpan rapi pun begitu mudah dibongkar melalui jalan ini.
Tak hanya diminati oleh kaum ibu, anak-anak pun banyak menggemarinya.
Tatkala duduk-duduk bersama teman, tak jarang berbagai obrolan meluncur
tanpa terasa. Sampai hal yang semestinya tak disampaikan pun akhirnya
terungkap. Terkadang disertai bumbu, “Ssst… tapi jangan bilang
siapa-siapa, ya! Ini rahasia!”
Hal tercela yang dianggap biasa. Orangtua yang mendengar atau
menyaksikan anak-anaknya melakukan seperti ini pun tak bereaksi.
Wallahul musta’an …
Padahal tidak demikian yang ada dalam kehidupan para pendahulu kita
yang shalih. Mereka begitu kukuh memegang sesuatu yang disebut rahasia.
Barangkali perlu kita lihat, bagaimana putri Rasulullah n, Fathimah x
memegang rahasia sang ayah, sampai waktunya dia bisa mengungkapkannya.
Aisyah x mengisahkan:
أَقْبَلَتْ فَاطِمَةُ تَمْشِي كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مَشْيُ النَّبِيِّ،
فَقَالَ النَّبِيُّ: مَرْحَبًا يَا ابْنَتِي، ثُمَّ أَجْلَسَهَا عَنْ
يَمِيْنِهِ -أَوْ عَنْ شِمَالِهِ- ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيْثًا
فَبَكَتْ، فَقُلْتُ لَهَا: لـِمَ تَبْكِيْنَ؟ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا
حَدِيْثًا فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ فَرَحًا
أَقْرَبَ مِنْ حُزْنٍ، فَسَأَلْتُهَا عَمَّا قَالَ. فَقَالَتْ: مَا كُنْتُ
لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُوْلِ اللهِ -حَتَّى قُبِضَ النَّبِيُّ- فَسَأَلْتُهَا
Suatu ketika, Fathimah datang berjalan kaki. Cara jalannya amat
mirip dengan cara jalan Nabi n. Nabi n lantas menyambut, “Selamat
datang, wahai putriku!” Lalu beliau mendudukkan Fathimah di sebelah
kanannya –atau di sebelah kirinya– kemudian beliau membisikkan sesuatu
kepadanya. Fathimah pun menangis. Kutanyakan padanya, “Mengapa engkau
menangis?” Kemudian beliau membisikkan sesuatu lagi kepadanya, lalu dia
tertawa. Aku berkata heran, “Tak pernah kulihat kegembiraan yang begitu
dekat dengan kesedihan seperti hari ini.” Aku pun bertanya pada Fathimah
tentang apa yang dikatakan Nabi n. Fathimah menjawab, “Aku tak akan
menyebarkan rahasia Rasulullah n!” Sampai ketika Nabi n telah wafat, aku
tanyakan kembali hal itu kepadanya (barulah Fathimah menceritakannya).”
(HR. Al-Bukhari no. 3623 dan Muslim no. 2450)
Kalau sekarang kita dapati, orangtua yang membiarkan perilaku
anaknya menyebarkan rahasia, dulu pada masa sahabat, orangtua justru
membimbing anaknya untuk menjaga rahasia. Seorang ibu yang mulia, yang
dikenal amat besar semangatnya untuk memberikan kebaikan pada anaknya,
Ummu Sulaim x, menjadi cermin bagi kita untuk berkaca diri. Diceritakan
oleh putranya, Anas bin Malik z:
أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ.
قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ. فَأَبْطَأْتُ
عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي
رَسُوْلُ اللهِ n لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا
سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَدًا
“Rasulullah n pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main
dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu
menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada
ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, “Apa yang membuatmu
terlambat?” “Rasulullah n menyuruhku untuk suatu keperluan,” jawabku.
“Apa keperluannya?” tanya ibuku. Aku menjawab, “Itu rahasia.” Ibuku pun
mengatakan, “Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah n
kepada siapa pun!” (HR. Al-Bukhari no.6289 dan Muslim no.2482)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t menjelaskan, sebagian ulama mengatakan bahwa
sepertinya rahasia itu khusus berkenaan dengan istri-istri Nabi n.
Seandainya rahasia itu berupa ilmu tentu tidak ada celah bagi Anas z
untuk menyembunyikannya.
Al-Hafizh t juga menukilkan penjelasan Ibnu Baththal t bahwa
pendapat yang dipegangi oleh ahlul ilmi, rahasia tidak boleh
disembunyikan bila mengandung bahaya bagi pemiliknya. Sebagian besar
dari mereka berpendapat bila pemilik rahasia itu meninggal, maka tidak
harus disembunyikan rahasianya sebagaimana yang harus dilakukan semasa
hidupnya, kecuali bila berakibat merendahkan martabatnya. (Fathul Bari,
11/99)
Demikian semestinya. Orangtua harus benar-benar bijak mengajarkan
kepada anak-anaknya untuk menjaga rahasia. Tidak setiap hal boleh
diberitakan dan tidak setiap rahasia boleh disebarkan. Dengan ini, akan
tumbuh kepercayaan masyarakat pada dirinya di masa mendatang, sebagai
seseorang yang dipandang bisa memegang rahasia.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Hak Suami dalam Islam
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh ku bersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku…
Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh ku bersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku…
Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang
istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya. Bagaimana tidak,
sementara Rasul yang mulia n telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ
الْـمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْـمَرْأَةُ
حَقَّ اللهِ k عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا
عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَـهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ
قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada
orang lain1niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada
suaminya2. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah
l terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai
jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang
berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus
memberikannya (tidak boleh menolak).”3 (HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan
sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan
Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan t menceritakan bahwa bibinya pernah datang
ke tempat Nabi n karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan
tersebut, Rasulullah n bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟
قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ
أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia
menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang
aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu
dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan
nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:
Pertama: Ditaati dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh
perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah l. Rasulullah n
bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْـمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau n pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِـمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ l
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah
l.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir t
dalam syarah dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan
dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah no. 181)
Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat
kepada Allah l seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi
si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya berarti ia berbuat
dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah memerintahkannya
bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya
adalah adanya perintah dari Allah l agar suami memberikan ‘pengajaran’
kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah l
melarang seorang suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat
kepadanya. Allah l berfirman:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini)
nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka
di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati
kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan
mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’5 diberikan kepada istri
dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada
suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi
panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah n dengan sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْـمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si
istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai
pagi.” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ
إِلـَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ
سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami
memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan
suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri
tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Hadits ini merupakan dalil haramnya
seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur
syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena
suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si
istri pada bagian atas izarnya6. Makna hadits di atas adalah laknat
terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan
terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan
taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj,
9/249)
Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu
memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari,
9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan, wajib bagi istri untuk taat
kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan
suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah l berikan kepada
kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan
dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun
kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf,
hal. 175-176)
Kedua: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin
suaminya.Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya
ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di
masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Tidak halal bagi
seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.”
Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya
berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah l dan
Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
Ketiga: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak
perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib,
haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang,
ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam
bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di
tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan
Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman.
Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab
kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena
suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya
ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya
karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib
namun dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t mengatakan: “Hadits ini
menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami
daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami
itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada
menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)
Keempat: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah n telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah
suaminya terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan
Muslim no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash z meriwayatkan dari Nabi n, sabda beliau:
…أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ
عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ
فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لـِمَنْ
تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ
فيِ كِسْوَتهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan
mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka
adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai
untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan
orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak
mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam
hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu
Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih
At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
Kelima: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal
ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan sahabiyah
seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq c yang
berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam z. Ia mengurusi hewan
tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan
menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang
memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat
tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh7.” (HR. Al-Bukhari
no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah n di rumah
suaminya, Ali bin Abi Thalib z. Sampai-sampai kedua tangannya lecet
karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Sahabat Rasulullah n, Jabir bin Abdillah c, menikahi seorang janda
agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara
perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah n, “Ayahku,
Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku
tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan
mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan
merawat mereka.” Rasulullah n mendoakan Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ -أَوْ: خَيْرًا-
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)
Keenam : Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya
atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri
akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah l.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi n bersabda
menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika
shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ
وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لـِمَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ:
يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ
إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا
رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat
pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas
penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita
menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Disebabkan kekufuran mereka8.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah
para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak,
melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada
suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang
tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali
belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan
Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi t berkata: “Dalam hadits ini disebutkan
secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa
lainnya. Karena Nabi n telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk)
niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi
n mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah l9, maka bila
seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami
terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai
bukti istri tersebut meremehkan hak Allah l. Karena itulah diberikan
istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai
mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau
Idul Fithri, Rasulullah n keluar menuju lapangan untuk melaksanakan
shalat.
Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau
bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah
istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku
mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Salah seorang wanita yang
hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas
penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak
melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang
yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang
memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami
yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan
mohonlah pertolongan Allah l untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Sujud kepada sesama makhluk.
2 Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah l.
3 Rasulullah n bersabda demikian berkaitan dengan penuturan
Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal z datang ke
negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada
para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan
memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah n adalah yang paling berhak
untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah n, ia
berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada
para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan
memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk
diagungkan seperti itu’.”
4 Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun
kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak
menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau
keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang
seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’
Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya
menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti
meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh
Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
5 Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
6 Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan
si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri
sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah n kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah
(maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
7 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
8 Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur
kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan.
Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas
mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya
sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang
diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi t berkata dalam syarahnya
sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t: “Maksud
penulis (Al-Imam Al-Bukhari t) membawakan hadits ini (seperti dalam
kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk
menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka
demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi
kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur
kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya
sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah
l. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)
9 Maksudnya Nabi n mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain
Allah l niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun
mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah l. Tidak
ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.
Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjahui Bid’ah
Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjahui Bid’ah
ِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
ِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita
kepada Allah l. Yaitu dengan mempelajari dan mengamalkan serta berpegang
teguh di atas syariat-Nya. Karena di dalamnya ada cahaya dan petunjuk
yang demikian mencukupi untuk membimbing dan mengatur seluruh sisi
kehidupan kita. Mulai dari urusan rumah tangga hingga ketatanegaraan.
Sehingga selama seseorang itu mengikuti petunjuk dan aturan-Nya pasti
dia akan selamat di dunia dan akhirat. Karena Allah l telah berjanji
bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:
“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan petunjuk Allah l
sehingga menyelisihinya, pasti dia akan rugi dan celaka. Meskipun orang
melihatnya hidup dengan penuh kemewahan dan serba ada. Namun
sesungguhnya dia tidak merasakan kelapangan dan ketenangan di dalam
jiwanya. Karena Allah l telah mengancam bagi orang-orang yang
menyelisihi petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)
Hadirin rahimakumullah
Seorang muslim yang hakiki tidak akan ridha untuk meninggalkan
petunjuk Allah l. Meskipun ditawarkan kepadanya dunia seisinya. Dia akan
tetap berpegang teguh di atas syariat-Nya meskipun cobaan dan ujian
menimpa dirinya. Karena dia mengetahui bahwa kehidupan yang sesungguhnya
bukanlah di dunia dan apa yang dimilikinya berupa kenikmatan dunia baik
berupa harta, kedudukan, dan yang semisalnya, pasti akan sirna.
Sehingga yang senantiasa diinginkan oleh dirinya adalah meraih kecintaan
Allah l dan diampuni seluruh dosanya serta mendapatkan hidayah dan
curahan rahmat-Nya. Oleh karena itu, dia berusaha untuk mengikuti jalan
Rasulullah n, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena
itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan
dirahmati serta diberi hidayah oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana
tersebut dalam firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni
dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah:
‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 31-32)
Maka di dalam ayat tersebut Allah l menjelaskan bahwa menaati
Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah l,
sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah l.
Dan Allah l juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa
menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam
firman-Nya:
“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (An-Nur: 54)
Begitupula Allah k beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab
yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana
dalam firman-Nya:
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, seorang muslim akan mengikuti jalan Rasulullah n
dan akan meninggalkan seluruh ajaran yang menyimpang dari ajarannya n.
Dia tidak akan terburu-buru dalam meyakini dan mengamalkan suatu ajaran
dalam beribadah kepada Allah k, baik yang berupa ucapan maupun amalan
anggota badan. Akan tetapi dia akan menimbang terlebih dahulu seluruh
ucapan dan amalan ibadahnya dengan amalan dan ucapan Rasulullah n.
Apabila sesuai maka diterima, namun apabila bertentangan maka dia akan
menolak, dari manapun datangnya. Karena beliau n bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari
kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan:
لَقَدْ أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ تَبَيَّنَ لَهُ سُنَّةُ
رَسُوْلِ اللهِ n لاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Para ulama telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas
baginya jalan Rasulullah n, tidak boleh baginya untuk meninggalkannya
karena ucapan siapapun.”
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah bahwa Rasulullah n telah mengingatkan umatnya agar
jangan sampai terjatuh pada perbuatan bid’ah, yaitu mengada-adakan
amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya. Hal ini sebagaimana
tersebut di dalam sabdanya n:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah kalian dari terjatuh kepada amalan-amalan ibadah baru
yang diada-adakan, karena setiap amalan tersebut adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Bahkan beliau n menyebutkan bahwa perbuatan mengada-adakan amalan
ibadah baru yang tidak ada syariatnya adalah sejelek-jelek amalan.
Sebagaimana tersebut dalam haditsnya:
وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
“Dan sejelek-jelek amalan adalah amalan ibadah yang diada-adakan
(yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah n dan Al-Khulafa`
Ar-Rasyidin).” (HR. Muslim)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Para ulama telah menjelaskan di dalam kitab-kitab mereka tentang
maksud dari amalan bid’ah. Di antaranya disebutkan bahwa bid’ah adalah
aturan yang diada-adakan dalam beragama yang menandingi syariat dan
dimaksudkan dengan mengikuti aturan tersebut untuk beribadah kepada
Allah l. Dan bid’ah itu bermacam-macam jenisnya. Ada yang berupa amalan
ibadah baru yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah n
dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Seperti mengadakan acara perayaaan dan
peringatan hari kelahiran atau hari kematian seseorang. Ataupun dengan
mengubah tata cara ibadah yang telah disyariatkan. Seperti berdzikir
secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam setelah selesai dari
shalat berjamaah.
Hadirin rahimakumullah,
Seluruh jenis bid’ah dengan berbagai macamnya adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi n:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan Al-Albani t)
Begitu pula dikatakan oleh Abdullah ibnu ‘Umar c:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”
Maka tidak benar kalau dikatakan ada bid’ah yang baik atau hasanah.
Akan tetapi yang ada adalah sunnah yang hasanah, bukan bid’ah hasanah.
Yaitu melakukan amal ibadah yang disyariatkan dan kemudian dicontoh
serta diikuti oleh yang lainnya. Adapun mendekatkan diri kepada Allah l
dengan amal ibadah yang dibuat sendiri atau dibuat oleh gurunya, hal
tersebut adalah amalan bid’ah dan tidak ada baiknya sama sekali. Karena
seluruh amalan bid’ah adalah keluar dari petunjuk Rasulullah n. Meskipun
kadar kesesatannya dan kejelekannya berbeda-beda.
Akhirnya, marilah kita senantiasa mengikuti wasiat Nabi n untuk
berpegang teguh di atas jalannya. Begitupula wasiat beliau n untuk
berhati-hati terhadap kerusakan yang sangat berbahaya, yaitu bid’ah
serta orang-orang yang mengajaknya. Karena hal itu akan menjauhkan kita
dari agama yang mulia.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ
وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْـمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ،
فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَـمِيْنَ أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ
صِرَاطِهِ الْـمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ
الْـجَحِيْمِ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ، الْـمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْـمُبِيْنَ،
وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا
عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا،
أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berusaha untuk selalu menjaga diri-diri kita dari
adzab Allah l dengan bertakwa kepada-Nya. Yaitu dengan senantiasa
mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya n dan tidak menyelisihinya.
Karena Allah l telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan
rasul-Nya dengan ancaman yang keras. Sebagaimana hal ini tersebut di
dalam firman-Nya:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 50)
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah bahwa bid’ah adalah bentuk penyelisihan paling besar
dari jalan Rasulullah n setelah perbuatan syirik. Hal ini karena
perbuatan bid’ah akan memecah-belah kaum muslimin serta menyeret
pelakunya pada kerusakan agama dan hatinya. Perbuatan bid’ah akan
menjadikan hati pelakunya menjadi benci kepada As-Sunnah. Karena, hati
tidak akan menerima Sunnah Rasul jika sudah ditempati oleh bid’ah. Oleh
karena itu, kita dapati orang yang melakukan atau bergelut dengan bid’ah
serta menghidupkannya adalah orang yang jauh dari Sunnah Nabi n. Setan
akan menghiasi amalan bid’ah sehingga akan menjadi sangat mudah bagi
orang yang tertipu untuk mengamalkannya meskipun harus mengeluarkan
banyak biaya dan menyita sebagian besar waktunya. Dan bid’ah akan
menyeret pelakunya menjadi orang yang sombong untuk menerima kebenaran.
Hal itu karena setiap pelaku bid’ah akan membanggakan dirinya dan
menganggap cara serta amalannya adalah yang paling baik.
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa termasuk dari amalan bid’ah yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin adalah mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban
atau yang dikenal dengan istilah Nishfu Sya’ban dengan shalat malam
secara berjamaah.
Al-Imam An-Nawawi t berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Shalat yang
dikenal dengan istilah shalat Ar-Ragha`ib yaitu shalat 12 rakaat yang
dilakukan antara Maghrib dan ‘Isya pada malam Jum’at pertama di bulan
Rajab dan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat,
keduanya adalah amalan bid’ah dan mungkar. Janganlah tertipu karena
disebutkannya dua jenis shalat ini dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya`
‘Ulumuddin. Dan jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang tersebut
di dalam dua kitab tadi. Karena sesungguhnya semua itu batil.”
Berkata pula Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz t:
“Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban adalah
hadits-hadits yang dha’if. Tidak boleh dijadikan sebagai pegangan.
Sementara hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat pada
malam Nishfu Sya’ban semuanya adalah hadits palsu, sebagaimana telah
diingatkan oleh banyak ulama.”
Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan serta
mengistimewakan pertengahan bulan ini daripada hari-hari lainnya di
bulan tersebut. Karena Rasulullah n dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin tidak
pernah melakukannya. Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk
mendukung dan membantu pelaksanaannya. Karena hal itu sama saja dengan
menghancurkan agama saudaranya. Bukan berarti tidak diperbolehkan bagi
seseorang untuk shalat malam pada hari tersebut. Akan tetapi
mengistimewakan hari dan malam tersebut dari hari-hari lainnya di bulan
Sya’ban untuk shalat atau ibadah lainnya bukanlah ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah n.
Akhirnya marilah kita senantiasa berhati-hati dari jalan-jalan yang
menyimpang dari jalan Rasulullah n. Karena jalan yang ditempuh oleh
Rasulullah n dan orang-orang yang terbaik di umat ini baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan yang mengikuti mereka adalah satu-satunya jalan
yang benar.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ
اْلإِسْلاَمَ وَالْـمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْـمُشْرِكِيْنَ.
وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْـمُوَحِّدِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْـمُسْلِمينَ في كُلِ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والْـمُسْلِمَاتِ، وَالْـمُؤْمِنِيْنَ
وَالْـمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ
مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ
العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى الْـمُرْسَلِينَ وَالْـحَمْدُ
لِلهِ ربِّ الْعَالَـمِينَ.
Jual Beli dengan Uang Muka
Pertanyaan:
Benarkah jual beli dengan sistem panjar (uang muka/downpayment-DP)? Kemudian jika pembeli menggagalkan, halalkah mengambil uang panjar tersebut? Bagaimana jual beli yang benar?
Abdurrazzaq – Temanggung
0815xxxxxxx
Jawab:
Jual beli ini dikenal dalam bahasa fiqih dengan istilah ‘urbun. Definisi terbaik untuk jual beli ini adalah apa yang telah disampaikan Ibnu Qudamah t, yaitu seseorang membeli barang kemudian membayarkan kepada penjual satu dirham atau semisalnya. Dengan syarat, bila pembeli jadi membelinya maka uang itu dihitung dari harga, dan jika tidak jadi membeliya maka itu menjadi milik penjual.
Tentang hukum jual-beli ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Mayoritas para ulama, satu riwayat dari Al-Imam Ahmad t dan yang dikuatkan oleh Abul Khaththab t dari kalangan ulama Hambali dan Ibnu Qudamah t mengatakan bahwa itulah yang sesuai dengan qiyas. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy-Syaukani t. Mereka semua mengatakan bahwa jual beli ‘urbun sesuai dengan gambaran di atas, batal. Dengan argumen hadits yang berbunyi:
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبُونِ
“Rasulullah melarang jual beli ‘urbun.”
2. ‘Umar ibnul Khaththab, Abdullah –putranya– c, Ibnu Sirin, Nafi’ bin Abdul Harits, Zaid bin Aslam rahimahumullah, satu riwayat yang lain dari Al-Imam Ahmad t dan yang masyhur di kalangan ulama Hambali, mereka membolehkan jual beli sesuai gambaran di atas.
Dengan alasan:
• Bahwa hadits yang disebutkan di atas dha’if/lemah1.
• Karena penjual bisa jadi menanggung kerugian dengan sebab masa tunggu. Misalnya harga barangnya menjadi turun atau penjual kehilangan calon-calon pembeli. Semua risiko ini ditanggung penjual bila pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli. Demikian pula pembeli berikutnya bisa menawar lebih murah setelah ditinggalkan oleh pembeli pertama.
Namun demikian dinasihatkan kepada para penjual, bilamana ia tidak menanggung kerugian apa-apa agar mengembalikan uang itu dalam rangka menjaga sikap wara’.
Atas dasar yang membolehkan jual beli ‘urbun, maka dikecualikan tiga keadaan:
1. Pada sesuatu yang disyaratkan secara syar’i harus kontan pada masing-masing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang mengandung riba (lihat penjelasan tentang Riba di Asy Syariah edisi 28). Misalnya uang, seperti menukar uang real Saudi dengan real Yaman. Maka tidak boleh menerapkan sistem ‘urbun.
2. Sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan penuh pada salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual beli sistem salam2. Di mana dipersyaratkan secara kontan memberikan uang secara penuh di muka. Maka tidak boleh diberlakukan sistem ‘urbun.
3. Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual, maka tidak boleh dengan sistem ‘urbun.
(diringkas oleh Qomar ZA, dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adani dalam kitabnya Syarhul Buyu’, hal. 36-37)
1 Dianggap lemah oleh para ulama, di antaranya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Dha’iful Jami’ Ash-Shaghir, Dha’if Abu Dawud, Dha’if Ibnu Majah, Misykatul Mashabih. Dikarenakan sanadnya tidak tersambung antara Al-Imam Malik t dengan ‘Amr bin Syu’aib. Yakni Al-Imam Malik t meriwayatkan dengan cara balaghan.
2 Sistem salam yaitu seseorang membeli suatu barang yang belum ada di tangan penjual namun ada dalam pikirannya. Maka pembeli dan penjual menyepakati barang yang dibeli dan sifat-sifatnya lalu pembeli menyerahkan uangnya di muka secara penuh. Dalam hal ini disyaratkan barangnya harus jelas, sifatnya jelas, jumlahnya jelas dan waktunya jelas.
Benarkah jual beli dengan sistem panjar (uang muka/downpayment-DP)? Kemudian jika pembeli menggagalkan, halalkah mengambil uang panjar tersebut? Bagaimana jual beli yang benar?
Abdurrazzaq – Temanggung
0815xxxxxxx
Jawab:
Jual beli ini dikenal dalam bahasa fiqih dengan istilah ‘urbun. Definisi terbaik untuk jual beli ini adalah apa yang telah disampaikan Ibnu Qudamah t, yaitu seseorang membeli barang kemudian membayarkan kepada penjual satu dirham atau semisalnya. Dengan syarat, bila pembeli jadi membelinya maka uang itu dihitung dari harga, dan jika tidak jadi membeliya maka itu menjadi milik penjual.
Tentang hukum jual-beli ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Mayoritas para ulama, satu riwayat dari Al-Imam Ahmad t dan yang dikuatkan oleh Abul Khaththab t dari kalangan ulama Hambali dan Ibnu Qudamah t mengatakan bahwa itulah yang sesuai dengan qiyas. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy-Syaukani t. Mereka semua mengatakan bahwa jual beli ‘urbun sesuai dengan gambaran di atas, batal. Dengan argumen hadits yang berbunyi:
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبُونِ
“Rasulullah melarang jual beli ‘urbun.”
2. ‘Umar ibnul Khaththab, Abdullah –putranya– c, Ibnu Sirin, Nafi’ bin Abdul Harits, Zaid bin Aslam rahimahumullah, satu riwayat yang lain dari Al-Imam Ahmad t dan yang masyhur di kalangan ulama Hambali, mereka membolehkan jual beli sesuai gambaran di atas.
Dengan alasan:
• Bahwa hadits yang disebutkan di atas dha’if/lemah1.
• Karena penjual bisa jadi menanggung kerugian dengan sebab masa tunggu. Misalnya harga barangnya menjadi turun atau penjual kehilangan calon-calon pembeli. Semua risiko ini ditanggung penjual bila pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli. Demikian pula pembeli berikutnya bisa menawar lebih murah setelah ditinggalkan oleh pembeli pertama.
Namun demikian dinasihatkan kepada para penjual, bilamana ia tidak menanggung kerugian apa-apa agar mengembalikan uang itu dalam rangka menjaga sikap wara’.
Atas dasar yang membolehkan jual beli ‘urbun, maka dikecualikan tiga keadaan:
1. Pada sesuatu yang disyaratkan secara syar’i harus kontan pada masing-masing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang mengandung riba (lihat penjelasan tentang Riba di Asy Syariah edisi 28). Misalnya uang, seperti menukar uang real Saudi dengan real Yaman. Maka tidak boleh menerapkan sistem ‘urbun.
2. Sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan penuh pada salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual beli sistem salam2. Di mana dipersyaratkan secara kontan memberikan uang secara penuh di muka. Maka tidak boleh diberlakukan sistem ‘urbun.
3. Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual, maka tidak boleh dengan sistem ‘urbun.
(diringkas oleh Qomar ZA, dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adani dalam kitabnya Syarhul Buyu’, hal. 36-37)
1 Dianggap lemah oleh para ulama, di antaranya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Dha’iful Jami’ Ash-Shaghir, Dha’if Abu Dawud, Dha’if Ibnu Majah, Misykatul Mashabih. Dikarenakan sanadnya tidak tersambung antara Al-Imam Malik t dengan ‘Amr bin Syu’aib. Yakni Al-Imam Malik t meriwayatkan dengan cara balaghan.
2 Sistem salam yaitu seseorang membeli suatu barang yang belum ada di tangan penjual namun ada dalam pikirannya. Maka pembeli dan penjual menyepakati barang yang dibeli dan sifat-sifatnya lalu pembeli menyerahkan uangnya di muka secara penuh. Dalam hal ini disyaratkan barangnya harus jelas, sifatnya jelas, jumlahnya jelas dan waktunya jelas.
Syarat-syarat Shalat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari)
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum shalat ditunaikan. Berikut adalah penjelasannya.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum shalat ditunaikan. Berikut adalah penjelasannya.
Sebagai salah satu bentuk ibadah, shalat memiliki syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Pengertian syarat sendiri menurut ulama ilmu ushul
adalah perkara yang keberadaan suatu hukum tergantung dengannya. Dalam
arti, bila ia tidak ada maka pasti tidak ada hukum. Namun adanya perkara
tersebut tidak mengharuskan adanya hukum. Contohnya, adanya wudhu
sebagai suatu syarat dalam ibadah shalat tidak mengharuskan adanya
shalat. Karena bisa jadi orang berwudhu bukan untuk shalat tapi untuk
menjaga agar ia selalu di atas thaharah atau ia wudhu karena hendak
tidur. Sebaliknya bila tidak ada wudhu (ataupun penggantinya) maka tidak
sah shalatnya. Contoh lain, adanya dua saksi merupakan syarat sahnya
suatu akad nikah. Namun adanya dua saksi tidak mengharuskan adanya akad
nikah, sebaliknya bila tidak ada dua saksi tidak sah suatu pernikahan.
(Asy-Syarhul Mumti’, 1/396, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/86)
Setelah kita fahami makna syarat, maka kita masuk pada pembahasan syarat-syarat shalat1.
1. Sudah masuk waktu shalat
2. Suci dari hadats
3. Suci pakaian, badan, dan tempat shalat dari najis
4. Menutup aurat
5. Menghadap kiblat
6. Niat
1. Telah Masuk Waktu
Allah k berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
Dalam hadits Rasulullah n banyak sekali kita dapatkan dalil tentang
permasalahan ini. Kaum muslimin pun sepakat akan tidak sahnya shalat
yang dikerjakan sebelum masuk waktunya. Bila seseorang shalat sebelum
waktunya dengan sengaja maka shalatnya batil dan ia tidak selamat dari
dosa. Namun bila tidak sengaja, dalam arti ia mengira telah masuk waktu
shalat padahal belum, maka ia tidak berdosa. Shalatnya tersebut
teranggap shalat nafilah (shalat sunnah) dan ia wajib mengulangi
shalatnya setelah masuk waktunya. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/398)
Perincian tentang waktu shalat akan kami bawakan dalam pembahasan tersendiri, insya Allah.
2. Suci dari Hadats
Allah k berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menegakkan
shalat, basuhlah wajah kalian dan lengan kalian sampai siku, lalu
usaplah kepala kalian dan cucilah kaki kalian sampai mata kaki. Dan jika
kalian junub, bersucilah….” (Al-Ma`idah: 6)
Dalam ayat di atas ada perintah dari Allah k kepada hamba-hamba-Nya
yang ingin shalat sementara mereka belum bersuci agar membasuh wajah
dan tangan mereka sampai siku dengan menggunakan air, dan seterusnya
dari amalan wudhu. (Jami’ul Bayan fit Ta`wil Ayil Qur`an, 4/50)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t mengatakan
bahwa dalam ayat yang agung ini terkandung banyak hukum. Di antaranya:
– Disyaratkannya thaharah untuk sahnya shalat, karena Allah l
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berthaharah ketika hendak menunaikan
shalat. Sementara, hukum asal suatu perintah adalah wajib.
– Thaharah tidak wajib dilakukan ketika telah masuk waktu shalat,
namun thaharah hanya diwajibkan ketika seseorang ingin mengerjakan
shalat.
– Seluruh amalan yang dinamakan shalat, baik shalat itu wajib atau
nafilah, maupun shalat yang fardhu kifayah seperti shalat jenazah,
disyaratkan thaharah sebelumnya. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 222)
Abu Hurairah z berkata, “Rasulullah n bersabda:
“Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135 dan Muslim no. 536)
Al-Imam An-Nawawi t memaknakan hadits di atas: “(Tidak diterima
shalat seseorang yang berhadats) hingga ia bersuci dengan air atau
tanah/debu. Dalam hadits, Nabi n hanya menyebut wudhu karena asal mula
bersuci itu dengan wudhu (bila tidak ada air baru menggantinya dengan
yang lain, –pent.) dan itu yang lebih banyak dilakukan. Wallahu a’lam.”
(Al-Minhaj, 3/99)
Ibnu ‘Umar c berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ …
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci…” (HR. Muslim no. 534)
Hadits di atas merupakan nash yang menunjukkan wajibnya thaharah
bila hendak mengerjakan shalat sementara ia dalam keadaan berhadats. Dan
ulama sepakat bahwa thaharah ini merupakan syarat sahnya shalat.
(Tharhut Tatsrib 2/400, 409, Al-Minhaj 3/98)
Hadats yang dimaksudkan dalam pembahasan di sini mencakup hadats
besar seperti janabah dan hadats kecil seperti buang air besar, kencing,
buang angin, dan sebagainya.
3. Suci Pakaian, Badan dan Tempat Shalat dari Najis
Dalil tentang sucinya pakaian didapatkan dari firman Allah k:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu sucikanlah.” (Al-Mudatstsir: 4)
Sebagian ahlul ilmi menafsirkan ayat ini dengan: “Sucikanlah
pakaianmu dari najis untuk mengerjakan shalat.” Adapun yang lainnya
menafsirkan dengan selain makna ini. (Ma’alimut Tanzil 4/383, Adhwa`ul
Bayan 8/619)
Dari As-Sunnah didapatkan banyak dalil, seperti hadits Asma` bintu
Abi Bakr c berkata, “Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah n,
‘Ya Rasulullah, apa pendapatmu bila pakaian salah seorang dari kami
terkena darah haid, apa yang harus diperbuatnya?” Rasulullah n bersabda
memberi bimbingan:
إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمَ مِنَ الْـحَيْضَةِ فَلْتُقْرِصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيْهِ
“Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid,
hendaklah ia mengeriknya kemudian membasuhnya dengan air. Setelah itu,
ia boleh mengenakannya untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 307 dan Muslim
no. 673)
Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t, dalam hadits ini terdapat
isyarat dilarangnya shalat bila mengenakan pakaian yang terkena najis.
(Fathul Bari, 1/532)
Demikian pula hadits tentang Rasulullah n melepas sandalnya ketika shalat, sebagaimana diberitakan Abu Sa’id Al-Khudri z:
بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ n يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ
نَعْلَيْهِ، فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ. فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ
الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَـهُمْ. فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ n
صَلاَتَهُ قَالَ: مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ؟
قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا.
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنَّ جِبْرِيْلَ q أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ
فِيْهِمَا قَذَرًا -أَوْ قَالَ: أَذًى-. وَقَالَ: إِذَا جاَءَ أَحَدُكُمْ
إِلَى الْـمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ، فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا
أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا
Tatkala Rasulullah n sedang shalat bersama sahabat-sahabat beliau,
tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya2 lalu meletakkannya di sebelah
kiri beliau. Ketika melihat hal tersebut, mereka (para sahabat) pun
melepaskan sandal mereka. Selesai dari shalat, Rasulullah bertanya, “Ada
apa kalian melepaskan sandal-sandal kalian?” Mereka menjawab, “Kami
melihatmu melepas sandalmu maka kami pun melepaskan sandal-sandal kami.”
Rasulullah n menjelaskan, “Tadi Jibril mendatangiku dan mengabarkan
bahwa pada kedua sandalku ada kotoran/najis, maka akupun melepaskan
keduanya.” Beliau juga mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian
datang ke masjid, sebelum masuk masjid hendaklah ia melihat kedua
sandalnya. Bila ia lihat ada kotoran atau najis maka hendaklah
membersihkannya. Setelah bersih, ia boleh shalat dengan mengenakan kedua
sandalnya.” (HR. Abu Dawud no. 650 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Shahih Abi Dawud, Irwa`ul Ghalil no. 284 dan Ashlu Shifati
Shalatin Nabi n, 1/110)
Mengenai kesucian badan maka tentunya lebih utama daripada sucinya
pakaian yang dikenakan. Di samping ada pula hadits yang menunjukkan
wajibnya membersihkan najis yang ada pada badan seperti hadits Anas z.
Ia berkata, “Nabi n bersabda:
تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ
“Bersucilah kalian dari kencing karena kebanyakan adzab kubur
disebabkan kencing.” (HR. Ad-DaraQathani dalam Sunan-nya hal. 7,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 280)3
Demikian pula hadits ‘Ali bin Abi Thalib z, ia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ
النَّبِيَّ n لِـمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْـمِقْدَادَ بْنَ
الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهَ ويَتَوَضَّأُ
“Aku seorang lelaki yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu
menanyakannya langsung kepada Nabi n disebabkan keberadaan putri beliau
(sebagai istriku). Maka aku menyuruh Al-Miqdad ibnul Aswad untuk
menanyakannya. Ia pun bertanya kepada beliau, maka beliau n memberikan
tuntunan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya kemudian berwudhu4’.” (HR.
Al-Bukhari no. 132 dan Muslim no. 693)
Adapun dalil tentang kesucian tempat shalat adalah firman Allah l:
أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Bersihkanlah rumah-Ku (Baitullah) (wahai Ibrahim dan Ismail) untuk
orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.”
(Al-Baqarah: 125)
Demikian pula adanya perintah Nabi n untuk menyiram kencing A’rabi
(Arab gunung/Badui) sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik z:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَامَ إِلَى نَاحِيَةِ الْـمَسْجِدِ فَبَالَ
فِيْهَا، فَصَاحَ بِهِ النَّاسُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: دَعُوهُ.
فَلَمَّا فَرَغَ أَمَرَ رَسُولُ اللهِ n بِذَنُوْبٍ فَصُبَّ عَلَى بَوْلِهِ
Ada seorang A’rabi bangkit menuju ke pojok masjid lalu kencing di
tempat tersebut. Melihat hal itu, orang-orang berteriak menghardiknya.
Rasulullah n pun menegur, “Biarkan ia menyelesaikan kencingnya.”
Seselesainya si A’rabi kencing, Rasulullah n memerintahkan agar
mengambil air satu ember penuh, lalu dituangkan di atas kencingnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 658)
Bila seseorang melihat pada tubuh, pakaian atau tempat shalatnya
ada najis setelah selesai shalatnya, apakah ia harus mengulangi
shalatnya?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Namun yang rajih, wallahu
a’lam, orang itu tidak wajib mengulangi shalatnya, baik keberadaan
najis tersebut telah diketahuinya sebelum shalat tapi ia lupa, atau lupa
mencucinya, ataupun ia tidak tahu bila najis itu terkena dirinya, atau
ia tidak tahu kalau itu najis, atau ia tidak tahu hukumnya, atau ia
tidak tahu apakah najis itu mengenainya sebelum shalat ataukah sesudah
shalat. Pendapat ini yang dipilih oleh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah,
Al-Majdu, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim, dan selain mereka
rahimahumullah. Dalilnya adalah kaidah umum yang agung yang Allah l
letakkan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu firman-Nya:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau keliru….” (Al-Baqarah: 286)
Dan juga hadits Rasulullah n yang melepas sandal beliau dalam
shalatnya setelah Jibril q mengabarkan bahwa pada sandalnya ada
kotoran/najis. Beliau tidaklah membatalkan shalatnya, namun
melanjutkannya setelah melepas kedua sandalnya. (Al-Mughni, kitab
Ash-Shalah fashl Man Shalla Tsumma Ra`a ‘Alaihi Najasah fi Badanihi au
Tsiyabihi, Asy-Syarhul Mumti’ 1/485, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/94,
Taudhihul Ahkam 2/33)
4. Menutup Aurat
Allah k berfirman:
“Wahai anak Adam kenakanlah zinah5 kalian setiap kali menuju masjid.” (Al-A’raf: 31)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Mereka diperintah untuk mengenakan
zinah ketika datang ke masjid guna melaksanakan shalat atau thawaf di
Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup
aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur
ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan, sekalipun
seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits
yang shahih.” (Fathul Qadir, 2/200)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan, “(Perintah Allah l dalam
ayat di atas adalah) perintah untuk mengenakan zinah setiap kali ke
masjid, yang dinamakan oleh para fuqaha: bab Sitrul ‘Aurah fish Shalah
(bab Menutup aurat dalam shalat).” (Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish
Shalah hal. 14)
Ibnu ‘Abbas c menerangkan sebab turunnya ayat di atas, “Dulunya di
masa jahiliah, wanita biasa thawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana.
Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Ia thawaf seraya bersyair:
Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya
Maka apa yang nampak darinya tidaklah aku halalkan.
Lalu turunlah ayat di atas.” (HR. Muslim no. 7467)
Al-Imam Al-Baghawi t dalam tafsirnya terhadap firman Allah l di
atas menyatakan, “Yang dimaksud dengan zinah adalah pakaian. Mujahid
berkata, ‘(Zinah adalah) apa yang menutupi auratmu walaupun berupa
‘aba’ah.’ Al-Kalbi berkata, ‘Zinah adalah apa yang menutupi aurat setiap
kali ke masjid untuk thawaf dan shalat’.” (Ma’alimut Tanzil, 2/157)
Dulunya orang-orang jahiliah thawaf di Ka’bah dalam keadaan
telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya
tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu
lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya,
hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliah ini berlangsung
hingga datang Islam dan Allah k memerintahkan mereka untuk menutup
aurat: “Wahai anak Adam, kenakanlah zinah kalian setiap kali menuju
masjid.”
Nabi n bersabda:
لاَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْياَنٌ
“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka’bah.” (HR. Al-Bukhari no. 369, 1622 dan Muslim no. 3274) [Lihat Al-Minhaj 18/357]
Hadits di atas selain dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam
Shahih-nya, kitab Al-Hajj bab Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di
Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji, dibawakan
pula oleh beliau dalam kitab Ash-Shalah, bab Wajibnya shalat dengan
mengenakan pakaian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t dalam penjelasannya terhadap
hadits di atas menyatakan: “Sisi pendalilan hadits ini dengan judul bab
yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari t (bab Wajibnya shalat dengan
mengenakan pakaian) adalah apabila dalam thawaf dilarang telanjang, maka
larangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi. Karena apa yang
disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam
thawaf, bahkan dalam shalat ada tambahan. Dan jumhur berpendapat menutup
aurat termasuk syarat shalat.” (Fathul Bari, 1/604)
Faedah
Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah
cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat, tidak
peduli pakaian itu bau dan kotor misalnya. Namun perlu memerhatikan sisi
keindahan dan kebersihan. Karena Allah k dalam firman-Nya memerintahkan
untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat,
sebagaimana dalam ayat di atas. Sehingga sepantasnya seorang hamba
shalat dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah,
karena dia akan ber-munajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di
hadapan-Nya. (Al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiyyah t hal. 43)
Bedanya Menutup Aurat di Dalam dan di Luar Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Mengenakan zinah di dalam
shalat merupakan hak Allah l, sehingga tidak boleh bagi seseorang untuk
thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang walaupun bersendiri di waktu
malam. Tidak boleh pula ia shalat dalam keadaan telanjang walaupun
sendirian. Maka mengenakan zinah dalam shalat bukanlah untuk berhijab
(menutup tubuh) dari manusia tapi menunaikan hak Allah k. Dengan
demikian, menutup aurat di luar shalat dibedakan dari menutup aurat di
dalam shalat. Kita dapatkan seseorang yang shalat menutup bagian
tubuhnya yang justru boleh tampak bila ia sedang tidak shalat (di luar
shalat)6. Sebaliknya ia menampakkan dalam shalatnya apa yang justru
harus ditutupnya di luar shalat7. (Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish
Shalah hal. 23)
Sebenarnya memang yang diperintahkan dalam shalat adalah berhias
dan berpenampilan bagus karena hendak berdiri di hadapan Allah l. Bila
seseorang merasa malu bertemu dengan seorang raja atau salah seorang
pembesar di muka bumi ini dengan pakaian kotor, bau, kusut masai, atau
terbuka separuh tubuhnya, lalu bagaimana ia tidak malu berdiri di
hadapan Raja Diraja Penguasa alam semesta k dengan pakaian yang tidak
patut dikenakannya ketika shalat? Karena itulah Abdullah bin ‘Umar c
pernah bekata kepada maulanya, Nafi’, yang shalat dalam keadaan tidak
menutup kepala (dengan peci dan semisalnya), “Tutuplah kepalamu! Apakah
engkau biasa keluar ke hadapan manusia dalam keadaan membuka kepalamu?”
Nafi’ menjawab, “Tidak pernah.” “Allah adalah Dzat yang lebih pantas
untuk engkau berhias bila hendak menghadap-Nya”, kata Abdullah bin ‘Umar
c. (Syarh Ma’anil Atsar, 1/377)
Dengan demikian, semakin fahamlah kita bahwa yang sebenarnya
dituntut dalam shalat bukan sekedar menutup aurat, tapi mengenakan
zinah. Seseorang yang hendak shalat dituntut agar berada dalam
penampilan yang bagus dan indah, karena ia akan berdiri di hadapan Allah
k. (Adz-Dzakhirah lil Qarafi 2/102, Al-Mulakhkhashul Fiqhi 1/93)
Hukum Menutup Pundak bagi Laki-laki di Dalam Shalat
Abu Hurairah z berkata, “Nabi n bersabda:
لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ
“Tidak boleh seorang lelaki di antara kalian shalat dengan hanya
mengenakan satu kain sementara tidak ada di atas pundaknya sedikitpun
dari kain tersebut8.” (HR. Al-Bukhari no. 359 dan Muslim no. 1151)
Dalam hadits di atas, Nabi n memberikan bimbingan kepada orang yang
shalat dengan mengenakan satu kain saja tanpa ada pakaian lain, agar
tidak mengikat kainnya pada bagian tengah tubuhnya sehingga dua
pundaknya dibiarkan terbuka. Tapi hendaknya ia berselubung dengan kain
tersebut, dua ujung kainnya diangkat lalu disilangkan dan diikatkannya
di atas pundaknya, sehingga kain tersebut keberadaannya seperti izar dan
rida`. Hal ini mungkin dilakukan bila kainnya lebar/lapang. Namun bila
sempit maka terpaksa diikatkan pada pinggang sebagaimana ditunjukkan
dalam hadits Jabir z, Rasulullah n bersabda kepadanya:
فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا فَلْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Bila kainmu lebar berselimutlah dengannya (menutupi tubuh bagian
bawah dan atas dengan disilangkan dua ujungnya di atas dua pundak) namun
bila kainmu sempit ikatkanlah pada setengah tubuhmu yang bagian
bawah9.” (HR. Al-Bukhari no. 361) [Syarhus Sunnah Al-Baghawi 2/433]
Dari dua hadits di atas, tergambar bagi kita hukum menutup pundak
dalam shalat. Dalam masalah ini memang ada perselisihan pendapat di
kalangan ahlul ilmi.
Al-Imam Ahmad t dalam pendapatnya yang masyhur mengatakan wajib
bagi orang yang memiliki kemampuan, berdalil dengan dzahir hadits Abu
Hurairah z di atas.
Sementara jumhur ulama, di antaranya imam yang tiga, berpandangan
mustahab, karena yang wajib ditutup hanyalah aurat sementara dua pundak
bukanlah aurat. Adapun larangan dalam hadits tidaklah menunjukkan haram
karena adanya hadits Jabir z di atas. Sehingga larangan shalat dalam
keadaan pundak terbuka mereka bawa kepada nahyut tanzih wal karahah,
yaitu makruh, bukan haram. Wallahu a’lam. (Al-Umm kitab Ash-Shalah bab
Jima’i Libasil Mushalli, Al-Majmu’ 3/181, Al-Mughni kitab Ash-Shalah
fashl Hukmi Sitril Mankibain, Raddul Mukhtar ‘Ala Ad-Darril Mukhtar
Syarhu Tanwiril Abshar Ibnu ‘Abidin 2/76, Subulus Salam 1/211, Taisirul
Allam 1/259,260, Tamamul Minnah hal. 163)
Faedah
Apakah shalat seseorang batal bila di tengah shalatnya tersingkap bagian tubuhnya yang mesti ditutupi dalam shalat?
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t menerangkan:
1. Bila ia melakukannya dengan sengaja maka batal shalatnya, baik
sedikit atau banyak bagian tubuhnya yang tersingkap, lama ataupun hanya
sebentar.
2. Bila tidak sengaja dan yang tersingkap hanya sedikit, shalatnya tidak batal.
3. Bila tidak sengaja namun yang tersingkap banyak dalam waktu yang singkat, shalatnya tidak batal.
4. Tersingkap banyak bagian tubuhnya tanpa sengaja dalam waktu yang
lama, ia tidak tahu kecuali di akhir shalatnya atau setelah salam, maka
shalatnya tidak sah.
Misalnya: Seseorang shalat memakai sirwal (celana panjang yang
luas/longgar) dan kain. Selesai salam dari shalatnya, ia dapatkan
sirwalnya sobek besar pada bagian kemaluannya hingga menampakkannya,
maka shalatnya tidak sah dan ia harus mengulangi shalatnya karena
menutup aurat termasuk syarat sahnya shalat. Adapun bila di tengah
shalat, pakaiannya sobek besar namun dengan segera ia pegang bagian yang
sobek maka shalatnya sah. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/446-447)
5. Menghadap Kiblat
Yang dimaukan dengan kiblat adalah Ka’bah. Dinamakan kiblat karena
manusia menghadapkan wajah mereka dan menuju kepadanya. (Al-Majmu’
3/193, Ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’, 1/119, Asy-Syarhul
Mumti’ 1/501, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/96)
Awalnya Rasulullah n shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian
Allah k memerintahkan beliau menghadap ke Ka’bah, kiblat yang beliau
cintai. Allah k berfirman:
“Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit10, maka sungguh
Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Hadapkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, hadapkanlah
wajah-wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi
Al-Kitab (dari kalangan Yahudi dan Nasrani) memang mengetahui bahwa
menghadap ke Masjidil Haram itu benar dari Rabb mereka, dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah:
144)
Al-Bara` bin ‘Azib z berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ n إِلَى بَيْتِ الْـمَقْدِسِ سِتَّةَ
عَشَرَ شَهْرًا، حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَةُ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ
{وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ} فَنَزَلَتْ
بَعْدَمَا صَلَّى النَّبِيُّ n فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَمَرَّ
بِنَاسٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ، فَحَدَّثَهُمْ فَوَلَّوْا
وُجُوْهَهُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
“Aku shalat bersama Nabi n menghadap ke arah Baitul Maqdis selama
16 bulan, hingga turunlah ayat dalam surah Al-Baqarah: ‘Dan di mana saja
kalian berada, palingkanlah (hadapkanlah) wajah kalian ke arahnya.’
Ayat ini turun setelah Nabi n shalat. Lalu pergilah seseorang dari
mereka yang hadir dalam shalat berjamaah bersama Nabi. Ia melewati
orang-orang Anshar yang sedang shalat (dalam keadaan masih menghadap ke
arah Baitul Maqdis), maka ia pun menyampaikan kepada mereka tentang
perintah perpindahan arah kiblat. Mendengar hal tersebut orang-orang
Anshar pun memalingkan/menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah
Baitullah.” (HR. Muslim no. 1176) [Al-Hawil Kabir 2/68]
Rasulullah n bila bangkit untuk shalat, beliau menghadap Ka’bah,
baik dalam shalat wajib maupun shalat nafilah. Kata Asy-Syaikh Al-Albani
t: “Berita ini merupakan sesuatu yang pasti keberadaannya karena
mutawatirnya….” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi n, 1/55)
Beliau n berkata kepada orang yang salah shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ…
“Bila engkau bangkit untuk menegakkan shalat maka baguskanlah wudhu
kemudian menghadaplah kiblat, setelah itu bertakbirlah….” (HR.
Al-Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 884)
Orang yang Melihat Ka’bah dan yang Tidak Melihatnya
Bagi orang yang shalat dalam keadaan dapat melihat Ka’bah maka
wajib baginya shalat menghadap persis ke Ka’bah, seperti keadaan orang
yang shalat di Masjidil Haram. Adapun orang yang tidak bisa menyaksikan
Ka’bah secara langsung karena negerinya jauh dari Makkah misalnya, maka
wajib baginya menghadap ke arah Ka’bah. Dalam hal ini perkaranya lapang,
dalam arti bila seseorang shalat dalam keadaan menyimpang sedikit dari
arah kiblat maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena tetap saja ia
dikatakan menghadap ke arah kiblat, berdasarkan firman Allah k:
“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dan juga berdasarkan hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
مَا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. At-Tirmidzi no. 342,
Ibnu Majah no. 1011, dan selain keduanya. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 292) [Lihat Al-Umm, kitab Ash Shalah, bab
Istiqbalil Qiblah, Al-Majmu’ 3/195, Subulus Salam 1/214, Asy-Syarhul
Mumti’ 1/509, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/96,97, Taudhihul Ahkam 2/17,18]
Keberadaan arah kiblat di antara timur dan barat ini berlaku bagi
penduduk Madinah dan negeri-negeri yang searah dengan Madinah. Dengan
demikian, bagian selatan seluruhnya kiblat bagi mereka. Adapun yang
tidak searah maka tentunya akan berbeda, arah kiblatnya bukan antara
timur dan barat. Seperti kita di Indonesia ini, arah kiblatnya justru
antara utara dan selatan. Wallahu a’lam.
Kapan Gugur Kewajiban Menghadap Kiblat?
Menghadap kiblat sebagai salah satu syarat shalat yang harus
dipenuhi dapat gugur pewajibannya dalam keadaan-keadaan berikut ini:
1. Shalat tathawwu’ (shalat sunnah) bagi orang yang berkendaraan,
baik kendaraannya berupa hewan tunggangan ataupun berupa alat
transportasi modern seperti mobil, kereta api, dan kapal laut.
Jabir bin Abdillah Al-Anshari c berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ n فِي غَزْوَةِ أَنْمَارٍ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ مُتَوَجِّهًا قِبَلَ الْـمَشْرِقِ مُتَطَوِّعًا
“Aku melihat Nabi n dalam perang Anmar mengerjakan shalat sunnah di
atas hewan tunggangannya sementara hewan tersebut menghadap ke timur.”
(HR. Al-Bukhari no. 4140)
Jabir z juga mengabarkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيْضَةِ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ
“Adalah Rasulullah n mengerjakan shalat sunnah di atas hewan
tunggangannya ke arah mana saja hewan itu menghadap. Namun bila beliau
hendak mengerjakan shalat fardhu, beliau turun dari tunggangannya lalu
menghadap kiblat.” (HR. Al-Bukhari no. 400)
‘Amir bin Rabi’ah z berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ،
يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَـمْ يَكُنْ رَسُولُ
اللهِ n يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ الْـمَكْتُوْبَةِ
“Aku melihat Rasulullah n shalat nafilah di atas hewan
tunggangannya menghadap ke arah mana saja hewan itu menghadap, beliau
memberi isyarat dengan kepalanya (ketika melakukan ruku’ dan sujud,
–pent.). Rasulullah n tidak pernah melakukan hal itu dalam shalat
fardhu.” (HR. Al-Bukhari no. 1097)
2. Shalat orang yang dicekam rasa takut seperti dalam keadaan
perang, orang yang sakit, orang yang lemah, dan orang yang dipaksa (di
bawah tekanan).
Orang yang tidak mampu menghadap kiblat disebabkan takut, sakit,
atau dipaksa, ataupun dalam situasi berkecamuk perang maka diberi udzur
baginya untuk shalat dengan tidak menghadap kiblat, berdasarkan firman
Allah k:
“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
“Jika kalian dalam keadaan takut maka shalatlah dalam keadaan berjalan kaki atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239)
Ibnu ‘Umar c setelah menjelaskan tata cara shalat khauf, pada akhirnya beliau berkata:
فَإِنْ كَانَ خَوْفَ هُوَ أَشَدُّ مِنْ ذَلِكَ، صَلُّوا رِجَالاَ
قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِم أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةَ
أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيْهَا
“Bila keadaan ketakutan lebih dahsyat daripada itu, mereka shalat
dengan berjalan di atas kaki-kaki mereka atau berkendaraan, dalam
keadaan mereka menghadap kiblat ataupun tidak.” (HR. Al-Bukhari no.
4535)
Ibnu ‘Umar c juga berkata:
غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n قِبَلَ نَجْدٍ، فَوَازَيْنَا
الْعَدُوَّ، فَصَافَفْنَا لَـهُمْ فَقَامَ رَسُولُ اللهِ n يُصَلِّي لَنَا…
“Aku pernah berperang bersama Rasulullah n di arah Najd. Kami
berhadapan dengan musuh, lalu beliau mengatur shaf/barisan kami untuk
menghadapi musuh. Setelahnya Rasulullah n shalat mengimami kami ….” (HR.
Al-Bukhari no. 942)
Hadits di atas menunjukkan ketika situasi perang, seseorang tidak
harus menghadap kiblat. Namun dia bisa menghadap ke mana saja sesuai
dengan keadaan dan posisi musuh. (Al-Umm kitab Ash-Shalah, bab Al-Halain
Al-Ladzaini Yajuzu Fihima Istiqbalu Ghairil Qiblah, Al-Hawil Kabir
2/70, 72,73, Al-Majmu’ 3/212, 213, Ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil
Mustaqni’ 1/119, Al-Muhalla bil Atsar 2/257, Adz-Dzakhirah 2/118,122,
Subulus Salam 1/214,215, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/97, Taudhihul Ahkam
2/20,21)
Orang yang Tersamar baginya Arah Kiblat
‘Amir bin Rabi’ah z mengabarkan:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ n فِي سَفَرٍ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ فَلَمْ
نَدْرِ أَيْنَ الْقِبْلَةُ، فَصَلَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَىحِيَالِهِ،
فَلَمَّا أَصْبَحْنَا ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ n فَنَزَلَ
{فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ}
“Kami pernah bersama Nabi n dalam satu safar di malam yang gelap.
Ketika hendak shalat, kami tidak tahu di mana arah kiblat. Maka
masing-masing orang shalat menghadap arah depannya. Di pagi harinya,
kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah n, turunlah ayat ‘Maka ke mana
saja kalian menghadap, di sanalah wajah Allah’.” (HR. At-Tirmidzi no.
345, Ibnu Majah no. 1020. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih
At-Tirmidzi, Shahih Ibni Majah, dan Al-Irwa` no. 291)
Jabir z berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah n dalam satu
pasukan perang. Ketika itu, kami ditimpa mendung hingga kami bingung dan
berselisih tentang arah kiblat. Pada akhirnya masing-masing dari kami
shalat menurut arah yang diyakininya. Mulailah salah seorang dari kami
membuat garis di hadapannya guna mengetahui posisi kami. Ketika pagi
hari, kami melihat garis tersebut dan dari situ kami tahu bahwa kami
shalat tidak menghadap arah kiblat. Kami ceritakan hal tersebut kepada
Nabi n, namun beliau tidak menyuruh kami mengulang shalat. Beliau
bersabda: “Shalat kalian telah mencukupi.” (HR. Ad-DaraQathani, Al-Hakim
dll. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa` 1/323)
Abdullah bin ‘Umar c berkata, “Tatkala orang-orang sedang
mengerjakan shalat subuh di Quba`, tiba-tiba ada orang yang datang
seraya berkata, ‘Semalam telah diturunkan kepada Rasulullah n ayat
Al-Qur`an. Beliau diperintah untuk shalat menghadap ke Ka’bah.’
Mendengar hal tersebut, orang-orang yang sedang shalat itu pun mengubah
posisi menghadap ke arah Ka’bah. Tadinya wajah mereka menghadap ke arah
Syam, kemudian mereka membelakanginya untuk menghadap ke arah Ka’bah.”
(HR. Al-Bukhari no. 403, 4491, 7251 dan Muslim no. 1178)
Hendaknya seseorang mencurahkan segala upayanya untuk mengetahui
arah kiblatnya. Bila jelas baginya setelah selesai shalat bahwa ia
menghadap selain arah kiblat, ia tidak perlu mengulang shalatnya karena
shalat yang telah dikerjakannya telah mencukupi. (Subulus Salam, 1/213)
6. Niat
Niat merupakan ketetapan hati untuk melakukan suatu ibadah dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah k. Niat tempatnya di hati, tidak
dibenarkan dan bahkan termasuk perkara bid’ah bila diucapkan dengan
lisan. (Raddul Mukhtar 2/90, 91, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/98, 99)
Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيََّاتِ
“Hanyalah amalan-amalan itu dengan niat….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebagai bagian dari amalan ibadah, shalat yang dikerjakan tentunya harus diawali dan disertai niat.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Termasuk syarat shalat adalah Islam, baligh/tamyiz, dan berakal.
Syarat yang tiga ini harus ada dalam seluruh ibadah. (Ar-Raudhul Murbi’
Syarhu Zadil Mustaqni’, 1/98)
2 Dan termasuk perkara sunnah adalah shalat dengan memakai sandal
(tentunya dengan perincian seperti yang dijelaskan oleh para ulama),
sebagaimana hadits Rasulullah n:
خَالِفُوا الْيَهُوْدَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ فِي نِعَالِـهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ
“Selisihilah Yahudi karena mereka tidak shalat dengan mengenakan
sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no. 652, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani t dan beliau membahas hadits ini dalam Ashlu
Shifati Shalatin Nabi n, 1/109)
3 Dalam Ash-Shahihain, ada hadits Rasululllah n:
مَرَّ النَّبِيُ n بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ،
وَمَا يُعَذَّباَنِ فِي كَبِيْرٍ، بَلَى، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ
يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ (وَ فِي رِوَايَةٍ: بَوْلِهِ)…
Nabi n melewati dua kuburan, beliau berkata, “Kedua penghuni
kuburan ini sedang diadzab. Tidaklah mereka diadzab karena perkara yang
dianggap besar (oleh manusia) padahal sungguh perkaranya sebenarnya
besar. Adapun salah satu penghuninya, (ia diadzab karena) tidak bersuci
dari kencingnya (dalam satu riwayat: ia diadzab karena perkara
kencingnya/ia tidak menjaga dari percikan najisnya)….”
4 Bila hendak mengerjakan shalat, karena keluarnya madzi merupakan salah satu pembatal wudhu.
5 Zinah adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri seperti pakaian. (Mukhtarush Shihah, hal. 139)
6 Pundak laki-laki misalnya, bukanlah aurat di luar shalat karena
batas aurat laki-laki dengan sesama lelaki adalah antara pusar dan
lutut. Namun di dalam shalat ada perintah untuk menutup pundak
sebagaimana akan disebutkan haditsnya.
7 Misalnya wajah dan kedua telapak tangan wanita boleh ditampakkan
ketika shalat, selama tidak ada lelaki ajnabi (non mahram). Namun di
luar shalat ia harus menutupnya dari pandangan laki-laki yang bukan
mahramnya.
Tentang pakaian wanita dalam shalat telah dibahas dalam lembar Sakinah dari majalah ini.
8 Maksudnya shalat dalam keadaan kedua pundak terbuka, tidak ada pakaian yang menutupi.
9 Daerah aurat antara pusar dan lutut harus tertutup.
10 Dalam keadaan beliau n berdoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu
dari langit yang memerintahkan beliau untuk menghadap ke Baitullah
ketika shalat.
Perang Ahzab Menumpas Bani Quraizhah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)
Tikaman dan pengkhianatan Yahudi yang dirasakan kaum muslimin saat terkepung pasukan sekutu musyrikin, tak pelak menyulut api peperangan kembali. Untuk kesekian kalinya, kaum muslimin ‘dipaksa’ mengangkat pedang guna menumpas ‘duri dalam daging’ yang selama ini hidup damai dan tinggal dalam naungan serta lindungan Islam.
Tikaman dan pengkhianatan Yahudi yang dirasakan kaum muslimin saat terkepung pasukan sekutu musyrikin, tak pelak menyulut api peperangan kembali. Untuk kesekian kalinya, kaum muslimin ‘dipaksa’ mengangkat pedang guna menumpas ‘duri dalam daging’ yang selama ini hidup damai dan tinggal dalam naungan serta lindungan Islam.
Sa’d bin Mu’adz z
Beliau salah seorang tokoh sahabat Anshar yang terkemuka dan
disegani. Termasuk orang-orang yang bersegera beriman sebelum Rasulullah
n dan para sahabat hijrah ke Madinah. Beliau selalu menyertai
peperangan bersama Rasulullah n. Dan yang terakhir adalah peristiwa
Khandaq dan menumpas Bani Quraizhah yang berkhianat.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Sirah-nya dari ‘Aisyah x yang ketika
itu berada dalam benteng Bani Haritsah, salah satu benteng kota Madinah.
Waktu itu, ibu Sa’d bin Mu’adz z juga berada dalam benteng tersebut.
Kata beliau: “Ketika itu sebelum diwajibkan hijab, Sa’d yang mengenakan
baju besi melewati kami. Tapi baju besi itu tidak menutupi seluruh
lengannya. Sa’d berjalan menggenggam sebilah tombak.”
Sebagaimana diceritakan, antara kaum muslimin dan orang-orang
musyrikin hanya terjadi saling lempar dengan panah dan batu. ‘Aisyah
berkata kepada ibu Sa’d bin Mu’adz: “Demi Allah, saya ingin kalau bisa
baju besi Sa’d lebih menutupi lagi, saya khawatir dia terkena tembakan
panah.”
Terjadilah apa yang dikehendaki Allah l. Sa’d terkena sebatang
panah yang dilepaskan oleh Ibnul ‘Araqah. Seusai melepaskan panahnya
yang lantas mengenai Sa’d, dia berkata: “Makanlah olehmu, itu dari Ibnul
‘Araqah.”
Sa’d membalas: “Semoga Allah benamkan wajahmu di neraka. Ya Allah,
seandainya masih Engkau sisakan peperangan antara kami dengan (kafir)
Quraisy, panjangkan umurku. Karena tidak ada kaum yang paling senang aku
perangi daripada mereka yang telah menyakiti dan mengusir Rasul-Mu. Dan
jika Engkau menghentikan peperangan antara kami dan mereka, jadikanlah
aku sebagai syuhada dan jangan Engkau matikan aku sampai Engkau
senangkan aku dengan (membalas) Bani Quraizhah.”
Sa’d terluka cukup parah dan dirawat di dalam sebuah tenda di Masjid Rasulullah n.
Kehancuran Bani Quraizhah
Ternyata doa Sa’d dikabulkan oleh Allah k. Setelah kaum muslimin
mendengar seruan Rasulullah n, bersiaplah mereka menuju perkampungan
Bani Quraizhah.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar c, bahwa Rasulullah n bersabda pada peristiwa Ahzab:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ.
فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا
نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ
يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan
Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di
tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai
tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga.
Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan
kepada Rasulullah n namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Ibnu Hajar Al-’Asqalani v (dalam Al-Fath) setelah menerangkan
sebagian isi hadits ini mengatakan: “Kesimpulan dari kisah ini ialah
bahwa para sahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan
hakikatnya. Mereka tidak memedulikan habisnya waktu sebagai penguat
larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat
sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil
bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama
halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga
telah disebutkan dalam hadits Jabir z bahwa mereka shalat ‘Ashar setelah
matahari terbenam karena sibuk berperang… Yang lain memahaminya sebagai
kiasan untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah.
Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas
mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah n tidak mencela salah
satu dari dua kelompok sahabat tersebut.”
Ibnul Qayyim v mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131): “Ahli fiqih
berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu
kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya.
Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka
menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan
takwilan yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.
Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat
di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera
mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera
menuju keridhaan Allah l dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu
menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan; keutamaan jihad
dan shalat pada waktunya… Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat
‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala
karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah
menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sementara
yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah
tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan
dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua
pahala. Yang lain juga menerima pahala g.” Wallahu a’lam.
Kemudian Rasulullah n menyerahkan bendera perang kepada ‘Ali bin
Abi Thalib z dan mengangkat Ibnu Ummi Maktum z sebagai pengganti beliau
di Madinah.
Akhirnya pasukan muslimin tiba di perbentengan Bani Quraizhah.
Ibnu Katsir t menceritakan, Rasulullah n bertanya kepada para
sahabatnya, apakah ada seseorang yang melewati mereka? Para sahabat
menjawab bahwa yang melewati mereka adalah Dihyah Al-Kalbi. Beliaupun
mengatakan bahwa itu adalah Jibril yang menuju perkampungan Bani
Quraizhah untuk menggoncang bumi yang mereka pijak dan melemparkan rasa
takut ke dalam hati mereka. (As-Sirah, 3/226)
Akhirnya kaum muslimin mengepung kompleks benteng tersebut selama
25 malam. Setelah sekian lama pengepungan dan merasakan tekanan,
pemimpin Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad, berbicara kepada orang-orang
Yahudi tersebut menawarkan tiga hal; mereka masuk Islam dan beriman
kepada Rasulullah n, atau membunuh anak cucu mereka lalu menyerang
Rasulullah n dan kaum muslimin sampai menang atau mati; atau mereka
langsung menyerang pada hari Sabtu karena mereka merasa aman untuk
berperang pada hari itu.
Tetapi ketiga tawaran itu tidak satupun mereka terima. Akhirnya
mereka meminta agar Abu Lubabah diizinkan masuk menemui mereka untuk
bermusyawarah. Begitu melihatnya, mereka semua menangis di hadapan Abu
Lubabah, kata mereka: “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk
dengan keputusan Muhammad (n)?”
Abu Lubabah menjawab: “Ya.” Lalu dia mengisyaratkan tangannya ke
leher, yakni disembelih. Tapi kemudian, Abu Lubabah segera sadar bahwa
dia telah mengkhianati Allah l dan Rasul-Nya maka diapun berlalu dari
situ dan tidak datang menemui Rasulullah n sampai tiba di masjid Nabi di
Madinah. Setelah itu dia mengikat dirinya di salah satu tiang masjid
dan bersumpah tidak akan melepasnya kecuali Rasulullah n sendiri yang
membebaskannya dengan tangan beliau, serta tidak akan pernah lagi
memasuki kampung Bani Quraizhah selama-lamanya.
Berita itupun sampai kepada Rasulullah n. Beliau bertanya-tanya
mengapa Abu Lubabah terlambat menemui beliau? Setelah mendengar
kisahnya, Rasulullah n mengatakan bahwa kalau dia datang menemui beliau
tentulah akan dimintakan ampun untuknya. Tapi karena dia telah melakukan
seperti itu, Rasulullah n membiarkannya sampai Allah l menurunkan
keputusan tentang taubatnya.
Allah l pun menerima taubat Abu Lubabah, dan Rasulullah n sendiri yang melepaskannya.
Setelah berjalan beberapa hari dan semakin tertekan, akhirnya
orang-orang Yahudi harus tunduk menerima keputusan hukum Rasulullah n.
Beberapa tokoh Aus datang menemui Rasulullah n seraya mengatakan:
“Wahai Rasulullah, anda sudah memutuskan perkara Bani Qainuqa’
sebagaimana anda ketahui, dan mereka adalah sekutu saudara kami dari
Khazraj. Sedangkan mereka ini (Bani Quraizhah) adalah mawali (sekutu
kami), maka berbuat baiklah terhadap mereka.”
Beliaupun menjawab: “Tidakkah kalian ridha kalau yang memutuskan
perkara mereka ini adalah salah seorang dari kalangan kalian sendiri?”
Mereka berkata: “Tentu.”
Kata beliau pula: “Itu adalah hak Sa’d bin Mu’adz.”
Kata mereka: “Kami ridha.” Lalu mereka menemui Sa’d yang ketika itu masih di Madinah karena luka panah yang dideritanya.
Setelah itu Sa’d dinaikkan ke atas seekor keledai untuk pergi
menghadap Rasulullah n. Mulailah tokoh-tokoh Aus membujuknya: “Wahai
Sa’d, berbuat baiklah kepada mawali-mu. Karena sesungguhnya Rasulullah n
telah mengangkatmu sebagai hakim tentang urusan mereka, maka berbuat
baiklah kepada mereka.”
Sa’d tetap diam dan tidak menanggapi perkataan mereka. Setelah
mereka terus-menerus membujuknya, dia berkata: “Sungguh, sudah tiba
waktunya bagi Sa’d untuk tidak takut celaan para pencela di jalan Allah
l.”
Mendengar jawaban Sa’d ini, sebagian mereka segera kembali ke Madinah lalu meratapi orang-orang Yahudi (akan nasib mereka).
Setelah Sa’d tiba di hadapan Rasulullah n, beliau berkata kepada para sahabat:
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah kepada sayyid (pemimpin) kalian.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Setelah mereka menurunkan Sa’d dari atas keledai, merekapun
berkata: “Wahai Sa’d, sesungguhnya orang-orang ini tunduk kepada
keputusanmu.” Sa’d balik bertanya: “Apakah keputusan hukumku berlaku
atas orang-orang ini?”
Mereka (Aus) mengatakan: “Ya.”
Sa’d berkata pula: “Juga atas kaum muslimin?”
Mereka menjawab: “Ya.”
“Juga atas beliau yang ada di sini?” kata Sa’d pula sambil
menghadapkan wajahnya memberi isyarat ke arah Rasulullah n sebagai
bentuk pemuliaan dan penghormatan kepada beliau.
Mereka pun menjawab: “Ya.”
Kata Sa’d pula: “Juga atas diriku?”
Lalu Sa’d mengatakan: “Maka saya putuskan bahwa yang laki-laki
semuanya dibunuh, anak cucu mereka dijadikan tawanan, dan harta mereka
dibagi-bagi!”
Rasulullah n pun mengatakan: “Sungguh, engkau telah menetapkan
keputusan tentang mereka sesuai dengan hukum Allah dari tujuh lapis
langit.”
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz: “Engkau sudah menetapkan keputusan atas mereka sesuai dengan hukum Allah k.”
Lalu dibuatlah lubang-lubang parit di pasar Madinah, serta
digiringlah mereka sebagian demi sebagian untuk menerima hukuman mati.
Dan ini sangat pantas dilakukan terhadap mereka karena pengkhianatan
mereka memang sangat berbahaya. Jumlah mereka yang dibunuh ketika itu
adalah 600 sampai 700 orang laki-laki dan seorang perempuan Yahudi yang
melemparkan batu gilingan ke arah Suwaid hingga membunuhnya.
Demikianlah watak Yahudi. Jangankan perjanjian mereka dengan sesama
manusia yang mereka langgar dan mereka ingkari. Bahkan
perintah-perintah Allah l yang ditetapkan atas mereka dengan sumpah dan
janji yang beratpun mereka langgar.
Dan tentang kisah Yahudi ini, Allah l abadikan di dalam Al-Qur`an. Allah l berfirman:
“Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang
membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka,
dan Dia memasukkan rasa takut dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu
bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan.” (Al-Ahzab: 26)
Inilah salah satu yang melatarbelakangi dendam dan kedengkian
bangsa Yahudi terhadap bangsa Arab dan kaum muslimin umumnya. Maka
hendaknya ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi mereka yang
terlalu memuja dan silau dengan “kemajuan” mereka.
Firman Allah l:
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang
kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara,
kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah
tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali ‘Imran: 196-197)
Dan ingat pula firman Allah l:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
(bersambung, insya Allah)
Menepati Janji
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan
orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan
manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan
menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang
baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan
akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan
adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan
memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah l
berfirman:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”
(An-Nahl: 91)
Allah l juga berfirman:
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah l kepada hamba-hamba-Nya yang beriman
untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini
mencakup janji seorang hamba kepada Allah l, janji hamba dengan hamba,
dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini
apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad
jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.
Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak
terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan
panutan umat dan penyampai risalah Allah l kepada manusia, menghiasi
diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim q, bapak para
nabi dan imam ahlut tauhid. Allah l telah menyifatinya sebagai orang
yang menepati janji. Allah l berfirman:
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim q telah melaksanakan seluruh apa yang
Allah l ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok
agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah l berfirman tentang Nabi Ismail q:
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini
mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah l maupun kepada manusia.
Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih
oleh bapaknya –karena perintah Allah l– ia pun menepatinya dengan
menyerahkan dirinya kepada perintah Allah l. (Taisir Al-Karimir Rahman,
hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad n, beliau memperoleh bagian yang besar dalam
permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau n telah dijuluki
sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau n
diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin
sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya,
terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi n pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah
menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para sahabatnya. Waktu
itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di
Al-Hudaibiyah, beliau n dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin.
Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah n dan kaum musyrikin.
Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan
senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum
muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini
dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus
membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas
pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke
Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak
Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama
sahabat Nabi n ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi n bahwa
jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani
kesepakatan. Rasulullah n akhirnya menandatangani perjanjian tersebut
dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus
membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi
kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun
kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan,
orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan
tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa
pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan
menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando
musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan
berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya
pertolongan dan kemenangan dari Allah l. (Zadul Ma’ad, 3/262)
Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang sahabat Nabi n bernama Anas bin An-Nadhr z. Dia
amat menyesal karena tidak ikut perang Badr bersama Rasulullah n. Dia
berjanji jika Allah l memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama
Rasulullah n, niscaya Allah l akan melihat pengorbanan yang
dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah n.
Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari
medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju
menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan
kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin
An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak
ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat
Al-Qur`an:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i z, dia berkata: “Dahulu
kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi n.
Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?”
Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah
berbaiat kepadamu wahai Rasulullah n, lalu atas apa kami membaiat anda?”
Nabi n bersabda:
“Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun,
kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada
penguasa) –dan Nabi n mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata),
dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”
‘Auf bin Malik z berkata: “Sungguh aku melihat cambuk sebagian
orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang pun
untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata
generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan
dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah l. Dan tiada kalimat yang
terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang
benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai
terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi
janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka
takut kepada adzab Allah l karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu
bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan
ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang
telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.
Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah l menciptakan Adam q dan memuliakannya di hadapan
para malaikat, muncullah kedengkian dan menyalalah api permusuhan pada
diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah l mengutuknya dan mengusirnya
dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi
mereka dari berbagai arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di
neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya
dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan
yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya
dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani
Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin
Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia
pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya
pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah n
mengambil segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin
sehingga mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi
Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada
genggaman seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari
terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: “Wahai Suraqah,
bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata:
“Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan
Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah l berfirman:
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka
dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas
kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’
Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan),
setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku
berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian
tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat
keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)
Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak
menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu
pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya
makar yang jelek serta rusaknya hati.
“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila
berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim,
Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah z)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara,
jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya
untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya
menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik
dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat
Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)
Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi n dan generasi Salafush
Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidak
terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap lawan pun demikian.
Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi n dan
orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau n jaga,
sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah l
berfirman:
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari
isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang
memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”
(At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan c ada ikatan perjanjian
(gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud
menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis
masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya
dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan
berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang sahabat Nabi n yang bernama
‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku
mendengar Rasulullah n bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia
dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas
ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu
kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri
beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah
5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu
lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang
maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi n bersabda:
“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian
mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau
menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat
Irwa`ul Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila
jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi n bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin
menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan
barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah
akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah z, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah l berfirman:
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi n bersabda:
“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang
kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang
berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak
melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan
syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau
dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih
dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)
Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama
Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari
atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri
mereka perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud t telah meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah
bin ‘Amir c dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah n duduk di
tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan:
‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah n mengatakan kepada
ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’
Lalu Rasulullah n bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لـَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis
bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498,
lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh
manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang
tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah
diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)
Abdullah bin Mas’ud z berkata:
لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلَا هَزْلٍ، وَلَا أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لَا يُنْجِزُ لَهُ
“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak
boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak
menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta
sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang
memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau
mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan,
maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang
yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi n bersabda:
لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir z, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan
surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah
Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di
atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini
diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di
antaranya adalah menepati janji. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi n bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian
niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah
jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah
kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari
sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)
Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa
Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada
orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah
masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya
sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang
disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan
tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah l
berfirman:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah
ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu)
orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah
itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak
takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi n bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya
di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id
Al-Khudri z)
Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan
adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia
saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta
pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat
perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari
ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani
Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah
mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah n yang berujung dengan
kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena
tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang
mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka
menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal
demi tegaknya kalimat Allah l dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam
akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu
a’lam.
Dajjal antara Kenyataan dan Kamuflase
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
“Dajjal” acap menjadi topik seru yang dibicarakan banyak
orang. Perkaranya pun kian hangat dengan munculnya orang-orang yang
mengaku atau dianggap orang lain sebagai Dajjal, seperti yang
dialamatkan pada Sri Sathya Sai Baba, seorang begawan dari India.
Benarkah dia Dajjal?1
l adalah sangat tepat untuknya, karena Dajjal berarti banyak
berdusta dan menipu. Siapa pun yang banyak berdusta dan menipu, ada
pengikutnya ataupun tidak, maka dia adalah Dajjal. Demikianlah yang
diistilahkan oleh Rasulullah n tentang mereka. Beliau menjelaskan hal
ini dalam banyak hadits seperti yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari t dalam dua tempat (no. 3340 dalam Kitabul Manaqib dan no.
6588 dalam Kitab Al-Fitan) dan Muslim t dalam dua tempat (no. 8 dalam
Muqaddimah dan no. 5205 dalam Kitab Al-Fitan Wa Asyrathis Sa’ah) dari
sahabat Abu Hurairah z:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ
يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
وَحَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلَاثِينَ
كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ وَحَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ
وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ
وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهُوَ الْقَتْلُ وَحَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمُ
الْـمَالُ فَيَفِيضَ حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ الْمَالِ مَنْ يَقْبَلُ
صَدَقَتَهُ وَحَتَّى يَعْرِضَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ الَّذِي يَعْرِضُهُ
عَلَيْهِ: لَا أَرَبَ لِي بِهِ؛ وَحَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي
الْبُنْيَانِ وَحَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ:
يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ؛ وَحَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
فَإِذَا طَلَعَتْ وَرَآهَا النَّاسُ يَعْنِي آمَنُوا أَجْمَعُونَ فَذَلِكَ
حِينَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ
أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga dua kelompok besar saling
berperang dan banyak terbunuh di antara dua kelompok tersebut, yang
seruan mereka adalah satu. Dan hingga dibangkitkannya para Dajjal lagi
pendusta hampir 30 orang, semuanya mengaku bahwa dirinya Rasulullah,
dicabutnya ilmu, banyak terjadi gempa, zaman berdekatan, fitnah menjadi
muncul, banyak terjadi pembunuhan, berlimpah ruahnya harta di tengah
kalian sehingga para pemilik harta bingung terhadap orang yang akan
menerima shadaqahnya. Sampai dia berusaha menawarkannya kepada seseorang
namun orang tersebut berkata: ‘Saya tidak membutuhkannya’; orang
berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan. Ketika seseorang lewat pada
sebuah kuburan dia berkata: ‘Aduhai jika saya berada di sana’; terbitnya
matahari dari sebelah barat dan apabila terbit dari sebelah barat di
saat orang-orang melihatnya, mereka beriman seluruhnya (maka itulah
waktu yang tidak bermanfaat keimanan bagi setiap orang yang sebelumnya
dia tidak beriman atau dia tidak berbuat kebaikan dengan keimanannya).”
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kata Dajjal sering dipakai
untuk menamai seseorang yang banyak berdusta dan banyak menipu umat.
Para dedengkot kesesatan yang memproklamirkan diri sebagai nabi setelah
Rasulullah n adalah para Dajjal. Dan bila disebutkan Dajjal secara
mutlak (tanpa keterangan tambahan, red.) maka tidak ada yang tergambar
dalam benak setiap orang melainkan Ad-Dajjal Al-Akbar (yang terbesar),
yang akan muncul di akhir zaman sebagai tanda dekatnya hari kiamat
dengan sifat-sifat yang sudah jelas sebagaimana dijelaskan Rasulullah n.
Mengimani Munculnya Dajjal Al-Akbar
Tidak ada keraguan bagi orang yang beriman terhadap segala berita
yang datang dari Rasulullah n, masuk akal ataupun tidak. Karena mereka
meyakini bahwa segala yang diberitakan oleh Rasulullah n, sepanjang
riwayatnya shahih, merupakan berita wahyu dari Allah l. Dan segala
perkara yang disebutkan oleh Rasulullah n yang terkait dengan Dajjal
–seperti sifat-sifatnya, kejadian-kejadian luar biasa yang diperbuatnya,
masa tinggalnya di atas dunia, para pengikutnya, tempat turunnya, siapa
yang akan membunuhnya dan sebagainya– bagi orang yang beriman bukanlah
sebuah khurafat dan tahayul yang menjajah akal serta hati mereka. Bukan
pula sebuah keanehan bagi Allah l untuk menjadikan keluarbiasaan pada
diri Dajjal. Dan ini tidak akan mengurangi kemuliaan Allah l sedikitpun.
Mereka menjadikan segala yang terkait dengan Dajjal sebagai perkara
yang akan menambah dan mengokohkan keimanan mereka terhadap kekuasaan
Allah l serta kebenaran berita Rasulullah n. Mereka akan menjadikan
segala yang terkait dengan Dajjal sebagai ujian yang datang dari Allah l
untuk menambah kebajikan mereka di atas kebajikan. Tidak ada ucapan
yang keluar dari orang-orang yang beriman melainkan:
“Kami beriman kepadanya, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (Ali ‘Imran: 7)
“Kami mendengar dan kami patuh.” (Al-Baqarah: 285)
Dajjal sebagai Tanda Hari Kiamat
Munculnya Dajjal merupakan salah satu tanda hari kiamat kubra
(tanda-tanda yang besar). Artinya, tanda-tanda yang muncul mendekati
hari kiamat dan bukan tanda yang biasa terjadi. Seperti munculnya
Dajjal, turunnya ‘Isa, munculnya Ya’juj dan Ma’juj, serta terbitnya
matahari dari sebelah barat. (Lihat At-Tadzkirah karya Al-Imam
Al-Qurthubi t hal. 264, Fathul Bari 13/485, dan Ikmal Mu’allim Syarah
Shahih Muslim, 1/70)
Rasulullah n telah memberitakan akan munculnya Dajjal di dalam
banyak hadits. Di antaranya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t (no.
5228) dari An-Nawwas bin Sam’an z:
ذَكَرَ رَسُولُ اللهِ n الدَّجَّالَ ذَاتَ غَدَاةٍ فَخَفَّضَ فِيهِ
وَرَفَّعَ حَتَّى ظَنَنَّاهُ فِي طَائِفَةِ النَّخْلِ فَلَمَّا رُحْنَا
إِلَيْهِ عَرَفَ ذَلِكَ فِينَا. فَقَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قُلْنَا: يَا
رَسُولَ اللهِ ذَكَرْتَ الدَّجَّالَ غَدَاةً فَخَفَّضْتَ فِيهِ وَرَفَّعْتَ
حَتَّى ظَنَنَّاهُ فِي طَائِفَةِ النَّخْلِ. فَقَالَ: غَيْرُ الدَّجَّالِ
أَخْوَفُنِي عَلَيْكُمْ، إِنْ يَخْرُجْ وَأَنَا فِيكُمْ فَأَنَا حَجِيجُهُ
دُونَكُمْ، وَإِنْ يَخْرُجْ وَلَسْتُ فِيكُمْ فَامْرُؤٌ حَجِيجُ نَفْسِهِ
“Rasulullah n berkisah tentang Dajjal pada pagi hari dan beliau
mengangkat dan merendahkan suaranya seakan-akan kami menyangka dia
(Dajjal) berada di sebagian pohon korma. Lalu kami berpaling dari sisi
Rasulullah. Kemudian kami kembali kepada beliau dan beliau mengetahui
hal ini, lalu beliau berkata: ‘Ada apa dengan kalian?’ Kami berkata: ‘Ya
Rasulullah, engkau bercerita tentang Dajjal pada pagi hari dan engkau
mengangkat serta merendahkan suara, sehingga kami menyangka bahwa dia
berada di antara pepohonan korma.’ Rasulullah lantas bersabda: ‘Bukan
Dajjal yang aku khawatirkan atas kalian. Dan jika dia keluar dan aku
berada di tengah kalian maka akulah yang akan menyelesaikan urusannya.
Dan jika dia keluar dan aku tidak berada di tengah kalian, maka setiap
orang menyelesaikan urusannya masing-masing’.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah t dalam Kitabul Fitan (no. 4045) dari Hudzaifah bin Usaid Abu Suraihah z:
كُنَّا قُعُودًا نَتَحَدَّثُ فِي ظِلِّ غُرْفَةٍ لِرَسُولِ اللهِ n
فَذَكَرْنَا السَّاعَةَ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
n: لَنْ تَكُونَ -أَوْ لَنْ تَقُومَ- السَّاعَةُ حَتَّى يَكُونَ قَبْلَهَا
عَشْرُ آيَاتٍ طُلُوعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوجُ الدَّابَّةِ
وَخُرُوجُ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَالدَّجَّالُ وَعِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
وَالدُّخَانُ وَثَلَاثَةُ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ
بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ تَخْرُجُ
نَارٌ مِنْ الْيَمَنِ مِنْ قَعْرِ عَدَنٍ تَسُوقُ النَّاسَ إِلَى
الْـمَحْشَرِ
“Kami sedang duduk-duduk berbincang di bayang-bayang salah satu
kamar Rasulullah. Kami berbincang tentang hari kiamat, dan suara kami
pun menjadi meninggi. Lalu beliau bersabda: ‘Tidak akan terjadi hari
kiamat sehingga muncul sepuluh tanda; yaitu terbitnya matahari dari
sebelah barat, munculnya Dajjal, munculnya asap, keluarnya binatang,
munculnya Ya’juj dan Ma’juj, turunnya Isa putra Maryam, dan tiga khusuf
(terbenam ke dalam bumi), satu di timur, satu di barat dan satu di
Jazirah Arab, dan api yang keluar dari arah Yaman dari dataran terendah
‘Adn yang menggiring manusia ke tempat mahsyar’.”
Berita tentang munculnya Dajjal dari Rasulullah n yang wajib
diimani dengan sifat-sifat yang telah disebutkan dengan terang dan jelas
yang tidak butuh penakwilan apapun, di antaranya:
1. Dia dari Bani Adam
2. Laki-laki
3. Pemuda
4. Pendek
5. Berkulit merah
6. Keriting rambutnya
7. Dahinya lebar
8. Lehernya lebar
9. Matanya buta sebelah kanan
10.Tertulis di antara dua matanya
ك ف ر (yang bermakna kafir)
11.Tidak berketurunan
12.Pada matanya sebelah kiri terdapat daging tumbuh.
Sifat-sifat di atas disebutkan di dalam banyak hadits baik dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) atau selain keduanya.
Dajjal adalah dari Bani Adam, Bukan Lambang Kejahatan dan Kerusakan
Termasuk benarnya keimanan seorang hamba kepada Allah l dan
Rasul-Nya yaitu mengimani bahwa Dajjal adalah dari Bani Adam, dan bukan
sebuah lambang kejahatan dan lambang khurafat, seperti yang telah
dikatakan oleh Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya Al-Manar (3/317),
lalu diikuti oleh Abu ‘Ubayyah yang mengatakan bahwa Dajjal adalah
sebuah lambang dari kejahatan dan bukan salah seorang Bani Adam.
(Asyrathus Sa’ah, hal. 316)
Penakwilan ini termasuk sikap memalingkan makna lahiriah (tekstual) nash-nash.
Asal Dajjal dari Bani Adam telah dijelaskan oleh Rasulullah n dalam
banyak hadits. Dari penjelasan nash tersebut tidaklah masuk akal bila
dimaknakan kepada sebuah lambang. Coba perhatikan hadits di bawah ini
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t (no. 6484) dan Al-Imam
Muslim t (no. 246) dari sahabat Ibnu ‘Umar c:
ذَكَرَ رَسُولُ اللهِ n يَوْمًا بَيْنَ ظَهْرَانَيِ النَّاسِ
الْـمَسِيحَ الدَّجَّالَ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
لَيْسَ بِأَعْوَرَ أَلَا إِنَّ الْـمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ عَيْنِ
الْيُمْنَى كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ. قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ n: أَرَانِي اللَّيْلَةَ فِي الْـمَنَامِ عِنْدَ الْكَعْبَةِ
فَإِذَا رَجُلٌ آدَمُ كَأَحْسَنِ مَا تَرَى مِنْ أُدْمِ الرِّجَالِ
تَضْرِبُ لِـمَّتُهُ بَيْنَ مَنْكِبَيْهِ، رَجِلُ الشَّعْرِ يَقْطُرُ
رَأْسُهُ مَاءً، وَاضِعًا يَدَيْهِ عَلَى مَنْكِبَيْ رَجُلَيْنِ وَهُوَ
بَيْنَهُمَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالُوا:
الْـمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ. وَرَأَيْتُ وَرَاءَهُ رَجُلًا جَعْدًا قَطَطًا
أَعْوَرَ عَيْنِ الْيُمْنَى كَأَشْبَهِ مَنْ رَأَيْتُ مِنْ النَّاسِ
بِابْنِ قَطَنٍ، وَاضِعًا يَدَيْهِ عَلَى مَنْكِبَيْ رَجُلَيْنِ يَطُوفُ
بِالْبَيْتِ. فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا الْـمَسِيحُ
الدَّجَّالُ
Rasulullah n menyebutkan pada suatu hari di tengah keramaian
tentang Al-Masih Ad-Dajjal. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak
buta sebelah, dan ketahuilah Al-Masih Ad-Dajjal adalah buta mata sebelah
kanannya, seperti buah anggur yang menonjol.” Ibnu ‘Umar berkata:
“Rasulullah bersabda: ‘Diperlihatkan dalam mimpiku pada suatu malam
ketika aku berada di Ka’bah, kemunculan secara tiba-tiba seseorang dari
Bani Adam yang terlihat sangat bagus, berkulit sawo matang dari Bani
Adam, rambutnya tersisir di antara kedua pundaknya, dalam keadaan
meletakkan kedua tangannya di atas dua pundak dua lelaki dan dia
melaksanakan thawaf di antara keduanya aku berkata: ‘Siapa ini?’ Mereka
berkata: ‘Al-Masih bin Maryam.’ Dan aku melihat di belakangnya ada
seseorang yang sangat keriting rambutnya dan buta matanya sebelah kanan
dan serupa dengan Ibnu Qathan. Dia meletakkan tangannya di atas pundak
dua laki-laki dan thawaf di Ka’bah. Lalu aku berkata: ‘Siapa ini?’
Mereka menjawab: ‘Ini adalah Al-Masih Ad-Dajjal’.”
Kenapa Tidak Disebutkan Dajjal Di dalam Al-Qur`an dengan Jelas Sebagaimana dalam Hadits-hadits?
Mungkin orang-orang akan bertanya kenapa tidak disebutkan di dalam
Al-Qur`an dengan jelas tentang Dajjal sebagaimana disebutkan di dalam
hadits-hadits? Padahal perkara Dajjal tidaklah jauh lebih besar dari
perkara Ya’juj dan Ma’juj, sementara urusan Ya’juj dan Ma’juj disebutkan
di dalam Al-Qur`an?
Telah disebutkan alasannya oleh para ulama dalam banyak pendapat. Di antaranya:
1. Penyebutan Dajjal di dalam Al-Qur`an termasuk dalam kandungan ayat:
“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat
kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa)
Rabbmu atau kedatangan beberapa ayat Rabbmu. Pada hari datangnya ayat
dari Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya
sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan
kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu, sesungguhnya
kamipun menunggu (pula)’.” (Al-An’am: 158)
Yang dimaksud dengan ‘tanda-tanda Rabbmu’ dalam ayat ini adalah
munculnya Dajjal, terbitnya matahari dari sebelah barat, dan munculnya
daabbah (binatang). Rasulullah n telah menjelaskan di dalam sebuah
sabdanya:
ثَلَاثَةٌ إِذَا خَرَجْنَ لَـمْ يَنْفَعْ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَـمْ
تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ: الدَّجَّالُ وَالدَّابَّةُ وَطُلُوْعُ
الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Tiga hal apabila telah muncul (terjadi) maka tiada bermanfaat lagi
sebuah keimanan bagi seorang jiwa yang belum beriman (sebelumnya):
Dajjal, daabbah, dan terbitnya matahari dari arah barat.”
2. Al-Qur`an menyebutkan akan turunnya Nabi ‘Isa q dan dialah yang
akan membunuh Dajjal. Maka dengan menyebutkan Masihil Huda (Nabi ‘Isa q)
sudah cukup dari penyebutan Masihidh Dhalal (Dajjal). Dan kebiasaan
orang Arab adalah mencukupkan diri dengan menyebutkan salah satu yang
berlawanan.
3. Bahwa munculnya Dajjal disebutkan oleh Allah l di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada
penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(Al-Mu`min: 57)
Yang dimaksud kata “manusia” di dalam ayat ini adalah Dajjal. Dalam
istilah kaidah bahasa termasuk dalam bab penyebutan secara umum
sedangkan yang dimaksud adalah khusus, yaitu Dajjal. Abu ‘Aliyah
berkata: “Artinya lebih besar dari penciptaan Dajjal yang diagungkan
oleh orang-orang Yahudi.” (Tafsir Al-Qurthubi, 15/325)
Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ini, kalau memang benar,
adalah sebaik-baik jawaban. Dan ini termasuk perkara-perkara yang
ditugaskan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan. Dan ilmunya ada di sisi
Allah l.” (Fathul Bari, 13/92)
4. Al-Qur`an tidak menyebutkan Dajjal sebagai bentuk penghinaan
terhadapnya. Di mana dia menobatkan dirinya sebagai Tuhan, padahal dia
adalah manusia. Tentu sikapnya ini menafikan kemahaagungan Allah l dan
kemahasempurnaan-Nya serta kesucian-Nya dari sifat-sifat kekurangan.
Oleh karena itu, urusan Dajjal di sisi Allah l adalah sangat hina dan
kecil untuk disebutkan.
Jika demikian, mengapa tentang Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan
disebutkan di dalam Al-Qur`an? Jawabannya adalah: “Perkara Fir’aun telah
selesai dan habis masanya, dan disebutkan sebagai peringatan bagi
manusia. Adapun urusan Dajjal, akan muncul di akhir zaman sebagai ujian
bagi manusia.”
Dan terkadang, sesuatu itu tidak disebutkan karena jelas dan nyata perkaranya.
Inilah beberapa pendapat dari jawaban dan alasan ulama tentang
mengapa tidak disebutkan permasalahan Dajjal di dalam Al-Qur`an.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar bila muncul, karenanya Ibnu
Hajar t menjelaskan: “Pertanyaan tentang tidak disebutkannya Dajjal di
dalam Al-Qur`an akan terus muncul. Karena Allah l menyebutkan perkara
Ya`juj dan Ma`juj, sementara fitnah mereka sama dengan fitnahnya
Dajjal.” (Fathul Bari, 13/91-92)
Pengarang kitab Asyrathus Sa’ah menguatkan pendapat yang pertama
yaitu Dajjal telah disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagaimana kandungan
ayat dalam surat Al-An’am di atas secara global, dan Rasulullah n
diamanatkan untuk menjelaskannya (secara rinci). (Asyrathus Sa’ah, hal.
333)
Fitnah Dajjal
Tidak ada yang mengingkari bahwa fitnah Dajjal adalah fitnah besar
sepanjang perjalanan hidup Bani Adam di atas dunia ini sampai pada hari
kiamat. Hal ini disebabkan berbagai bentuk keanehan yang diciptakan
Allah l yang bisa diperbuat oleh Dajjal tersebut, sebagaimana dijelaskan
dalam banyak riwayat. Dua fitnah yang sesungguhnya diusung oleh Dajjal
untuk merekrut pengikut itulah fitnah syahwat dan fitnah syubuhat. Di
bawah ini akan dijelaskan beberapa fitnah besar Dajjal terhadap umat
Rasulullah n:
1. Bersama Dajjal ada surga dan neraka
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 2934) dari
sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
الدَّجَّالُ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُسْرَى جُفَالُ الشَّعَرِ مَعَهُ جَنَّةٌ وَنَارٌ فَنَارُهُ جَنَّةٌ وَجَنَّتُهُ نَارٌ
“Dajjal adalah buta sebelah kiri, sangat keriting rambutnya, dan
bersamanya surga dan neraka. Namun nerakanya adalah surga dan surganya
adalah neraka.”
2. Bersamanya ada sungai-sungai yang penuh air
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t (no. 2934) dari sahabat Hudzaifah z berkata:
لَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا مَعَ الدَّجَّالِ، مِنْهُ مَعَهُ نَهْرَانِ
يَجْرِيَانِ أَحَدُهُمَا رَأْيَ الْعَيْنِ مَاءٌ أَبْيَضُ وَالْآخَرُ
رَأْيَ الْعَيْنِ نَارٌ تَأَجَّجُ فَإِمَّا أَدْرَكَنَّ أَحَدٌ فَلْيَأْتِ
النَّهْرَ الَّذِي يَرَاهُ نَارًا وَلْيُغَمِّضْ ثُمَّ لْيُطَأْطِئْ
رَأْسَهُ فَيَشْرَبَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مَاءٌ بَارِدٌ، وَإِنَّ الدَّجَّالَ
مَمْسُوحُ الْعَيْنِ عَلَيْهَا ظَفَرَةٌ غَلِيظَةٌ مَكْتُوبٌ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٍ وَغَيْرِ كَاتِبٍ
Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
menyertai Dajjal. Yaitu, bersamanya ada dua sungai yang mengalir. Dengan
penglihatan mata, salah satunya adalah air yang putih dan yang lain api
yang berkobar. Maka barangsiapa menjumpai yang demikian hendaklah dia
mendatangi sungai yang dia lihat sebagai api dan pejamkan matanya
kemudian tundukkan kepalanya dan minumlah darinya, karena sesungguhnya
itu adalah air yang dingin. Sesungguhnya Dajjal buta dan pada matanya
ada daging tumbuh yang tebal serta tertulis di antara dua matanya kafir,
yang akan dibaca oleh setiap orang yang beriman baik yang bisa menulis
atau tidak.”
3. Memerintahkan langit untuk menurunkan hujan dan bumi menumbuhkan tanamannya
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah n sebagaimana dalam riwayat
Al-Imam Muslim t dalam Shahih beliau (no. 2937) dari sahabat An-Nawwas
bin Sam’an z:
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا لَبْثُهُ فِي الْأَرْضِ؟
قَالَ:أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ
كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ
اللهِ، فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ
يَوْمٍ؟ قَالَ: لَا، اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ،
وَمَا إِسْرَاعُهُ فِي الْأَرْضِ؟ قَالَ: كَالْغَيْثِ اسْتَدْبَرَتْهُ
الرِّيحُ، فَيَأْتِي عَلَى الْقَوْمِ فَيَدْعُوهُمْ فَيُؤْمِنُونَ بِهِ
وَيَسْتَجِيبُونَ لَهُ فَيَأْمُرُ السَّمَاءَ فَتُمْطِرُ وَالْأَرْضَ
فَتُنْبِتُ
Kami berkata: “Ya Rasulullah, berapa lama masa tinggalnya di atas
dunia?” Beliau bersabda: “40 hari. Satu hari bagaikan satu tahun, satu
hari bagaikan satu bulan, dan satu hari bagaikan satu minggu dan selain
itu harinya sama dengan hari biasa.” Kami mengatakan: “Ya Rasulullah,
bagaimana kalau satu hari bagaikan satu tahun, apakah cukup bagi kita
untuk melaksanakan shalat satu hari?” Rasulullah bersabda: “Tidak,
tetapi ukurlah kadarnya.” Kami berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana
tentang kecepatannya di muka bumi?” Beliau bersabda: “Bagaikan hujan
yang ditiup oleh angin lalu dia mendatangi kaum dan menyerukan mereka
sehingga mereka beriman kepadanya dan menerima seruannya. Dia juga
memerintahkan langit untuk menurunkan hujan dan kemudian hujan turun;
dan memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tanaman maka kemudian tumbuh.”
4. Bersamanya segala perbendaharaan bumi, dan bisa menempuh arah
dengan cepat bagaikan hujan yang ditiup oleh angin. Sebagaimana dalil
yang disebutkan di atas.
5. Menghidupkan dan mematikan.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dari sahabat Abu Sai’d Al-Khudri z (no. 2938) berkata:
حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ n يَوْمًا حَدِيثًا طَوِيلًا عَنِ
الدَّجَّالِ فَكَانَ فِيمَا حَدَّثَنَا قَالَ: يَأْتِي وَهُوَ مُحَرَّمٌ
عَلَيْهِ أَنْ يَدْخُلَ نِقَابَ الْـمَدِينَةِ فَيَنْتَهِي إِلَى بَعْضِ
السِّبَاخِ الَّتِي تَلِي الْـمَدِينَةَ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ يَوْمَئِذٍ
رَجُلٌ هُوَ خَيْرُ النَّاسِ أَوْ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ فَيَقُولُ لَهُ:
أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ الَّذِي حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ n
حَدِيثَهُ. فَيَقُولُ الدَّجَّالُ: أَرَأَيْتُمْ إِنْ قَتَلْتُ هَذَا ثُمَّ
أَحْيَيْتُهُ أَتَشُكُّونَ فِي الْأَمْرِ؟ فَيَقُولُونَ: لَا. قَالَ:
فَيَقْتُلُهُ ثُمَّ يُحْيِيهِ فَيَقُولُ حِينَ يُحْيِيهِ: وَاللهِ مَا
كُنْتُ فِيكَ قَطُّ أَشَدَّ بَصِيرَةً مِنِّي الْآنَ. قَالَ: فَيُرِيدُ
الدَّجَّالُ أَنْ يَقْتُلَهُ فَلَا يُسَلَّطُ عَلَيْهِ
Rasulullah n menyampaikan kepada kami sebuah hadits yang panjang
tentang Dajjal pada suatu hari. Di antara apa yang beliau sampaikan
adalah: “Dajjal datang dan dia diharamkan untuk masuk ke kota Madinah,
maka dia berakhir di daerah yang tanahnya bergaram yang berada di
sekitar Madinah. Maka keluarlah kepadanya seorang yang paling baik dan
dia berkata: ‘Aku bersaksi bahwa kamu adalah Dajjal yang telah
diceritakan oleh Rasulullah.’ Lalu Dajjal berkata (kepada pengikutnya):
‘Bagaimana jika aku membunuh orang ini kemudian menghidupkannya, apakah
kalian masih tetap ragu tentang urusanku?’ Mereka berkata: ‘Tidak.’ Dia
pun membunuhnya kemudian menghidupkannya. Orang yang baik itu berkata
setelah dihidupkan: ‘Demi Allah, aku semakin yakin tentang dirimu.’
Rasulullah berkata: ‘Lalu Dajjal ingin membunuhnya lagi namun dia tidak
sanggup melakukannya’.”
6. Melakukan penipuan dengan mengubah wujud seseorang
Demikianlah beberapa bentuk dari sekian fitnah Dajjal yang sangat
dahsyat. Tidak ada seorang pun yang akan selamat melainkan orang-orang
yang berusaha menyelamatkan dirinya kemudian dijemput oleh rahmat Allah
l. Dengan rahmat Allah l, dia selamat dari fitnah Dajjal yang amat
sangat dahsyat.
Bentuk fitnah yang juga diusung oleh Dajjal dalam rangka mencari
pengikut adalah fitnah syahwat. Sungguh Allah l telah menguji kita
dengan sedikit harta benda dunia dan kita berguguran menjadi budak
kesesatan. Bisa dibayangkan jika si Dajjal mengusung surga dan neraka,
membunuh dan menghidupkan, di tangannya ada perbendaharaan bumi,
memerintahkan langit untuk menurunkan hujan lalu turun. Dan
memerintahkan bumi menumbuhkan tanam-tanaman lalu tumbuh, kemudian
menawarkannya kepada kita. Ke manakah kita akan menginjakkan kaki?
Apakah menjadi pengikut Dajjal yang di tangannya kenikmatan semu, atau
menjadi kekasih Allah l? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.
Ucapan Ulama tentang Kejadian Luar Biasa pada Dajjal
Al-Qadhi ‘Iyadh t berkata: “Hadits-hadits ini yang disebutkan oleh
Al-Imam Muslim t dan selain beliau tentang kisah Dajjal adalah hujjah
bagi ahlul haq tentang kebenarannya. Dia adalah manusia biasa yang
dijadikan oleh Allah l sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya. Allah l
memberikan kemampuan kepadanya berupa hal-hal yang merupakan kekuasaan
Allah l semata, seperti menghidupkan mayat yang dibunuhnya, serta
bersamanya ada segala kenikmatan dunia, surga dan neraka, perbendaharaan
dunia, dia memerintahkan langit untuk menurunkan hujan lalu terjadi dan
memerintahkan bumi untuk menumbuhkan lalu terlaksana. Semuanya terjadi
dengan kekuasaan Allah l dan kehendak-Nya. Kemudian Allah l memberikan
kepadanya ketidaksanggupan untuk membunuh orang tersebut (setelah dia
menghidupkannya) dan selain orang tersebut. Allah l juga membatilkan
urusannya lalu dia dibunuh oleh Nabi ‘Isa q dan Allah l mengokohkan
orang-orang yang beriman. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan seluruh ahli
hadits serta para fuqaha dan para peneliti. Berbeda dengan orang-orang
yang mengingkarinya dan menolak perkaranya, seperti Khawarij, Jahmiyyah,
sebagian Mu’tazilah serta selain mereka, yaitu bahwa Dajjal itu benar
adanya, namun kejadian-kejadian luar biasa pada diri Dajjal adalah
khayalan yang tidak memiliki hakikat. Mereka mengira, jika hal itu benar
niscaya tidak ada perbedaan dengan mukjizat yang terjadi pada diri
nabi. Cara berfikir seperti ini termasuk kesalahan mereka seluruhnya,
karena Dajjal tidak mengaku sebagai nabi dan apa yang terjadi pada
dirinya hanya sebatas sebagai bukti bahwa dia Dajjal. Dia justru mengaku
sebagai Rabb, meski pada kenyataannya dia berdusta dalam pengakuannya,
dari sisi penampilannya sendiri, sesuatu yang baru terjadi, kekurangan
dalam hal penciptaan, ketidaksanggupannya untuk menghilangkan kebutaan
matanya dan menghilangkan tulisan kafir yang terdapat di antara dua
matanya.
Karena bukti-bukti ini dan selainnya pada diri Dajjal, maka tidak
tertipu dengannya kecuali orang-orang rendahan. Ini semata-mata untuk
menutupi keinginan dan kemiskinan, berharap untuk memenuhi kebutuhan
hidup, atau menyelamatkan dirinya, atau takut dari gangguannya, karena
fitnahnya yang dahsyat dan membingungkan akal.
Oleh karena itulah, para nabi memperingatkan dari fitnahnya serta
menjelaskan tentang kelemahan dan bukti kedustaannya. Adapun orang yang
diberikan taufiq oleh Allah l mereka tidak akan tertipu dan terpesona
dengan apa yang menyertainya dari bukti-bukti yang penuh kedustaan
bersamaan dengan apa yang telah dijelaskan tentang keadaannya. Pantaslah
orang yang telah dibunuhnya berkata: “Tidak menambahku tentang dirimu
kecuali keyakinan.” (Syarah Shahih Muslim 18/58-59 dan Fathul Bari
13/105 )
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Sesungguhnya Dajjal dijadikan
oleh Allah l sebagai ujian bagi hamba-hamba-Nya dengan kejadian-kejadian
luar biasa yang diciptakan Allah l melalui tangannya yang bisa
disaksikan pada masanya. Dan bagi orang yang memenuhi panggilannya;
memerintahkan langit untuk menurunkan hujan lalu turun dan memerintahkan
bumi untuk menumbuhkan tanamannya lalu terlaksana yang bisa dimakan
oleh binatang-binatang ternak dan dimanfaatkan oleh mereka sendiri
kemudian mereka bisa mengambil manfaat dari binatang ternak baik daging
ataupun susunya. Dan orang yang tidak memenuhi panggilannya serta
menolak seruannya akan ditimpa oleh paceklik penuh kekurangan,
binatang-binatang ternak mereka habis mati, kekurangan pada harta benda,
jiwa, dan buah-buahan. Bersamanya juga ada perbendaharaan bagaikan
mayang kurma dan dia membunuh seseorang lalu menghidupkannya. Ini semua
bukan penipuan melainkan hakikat yang nyata yang diciptakan Allah l
untuk menguji hamba-hamba-Nya pada akhir zaman nanti. Allah l
menyesatkan banyak orang dan memberikan hidayah kepada mereka.
Orang-orang yang ragu, niscaya mereka akan kafir. Dan akan bertambahlah
iman orang-orang yang beriman.” (An-Nihayah/Al-Fitan Wal Malahim 1/121)
Ibnu Hajar t berkata: “Pada diri Dajjal terdapat bukti nyata atas
kedustaannya di hadapan orang-orang yang berakal. Karena dia memiliki
memiliki wujud fisik serta memiliki bukti dari perbuatannya. Bersamaan
dengan kekurangan pada dirinya bahwa dia adalah orang yang buta sebelah
matanya. Jika dia menyeru manusia untuk mempertuhankannya itu
menunjukkan keadaannya yang paling buruk. Bagi orang yang berakal
mengetahui bahwa dia tidak mungkin akan bisa menciptakan selainnya,
memperbaiki dan memperbagus serta dia tidak sanggup untuk menghilangkan
kekurangan (seperti: matanya yang buta, tulisan kafir di dahinya, dll)
yang ada pada dirinya. Maka ucapan yang paling ringan untuk dikatakan
adalah: ‘Wahai orang yang menyangka bisa menciptakan langit dan bumi,
bentuklah dirimu, perbaguslah dan hilangkan sifat kekurangan pada
dirimu. Dan jika kamu menyangka bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang
baru pada diri Rabb, maka hilangkan apa yang tertulis di antara kedua
matamu’.” (Fathul Bari 13/103)
Ibnul ‘Arabi t berkata: “Segala tanda-tanda kebesaran yang terjadi
pada tangan Dajjal, dari turunnya hujan serta tanah menjadi subur bagi
orang yang memercayainya, dan ketandusan atas orang yang mengingkarinya,
dan segala yang bersamanya berupa perbendaharaan bumi, bersamanya surga
dan neraka dan air yang mengalir, semuanya merupakan ujian dari Allah l
agar orang-orang yang ragu menjadi binasa dan orang-orang yang bertakwa
menjadi selamat. Semuanya merupakan perkara yang sangat menakutkan.
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda: “Tidak ada fitnah yang paling
besar dari fitnah Dajjal.” (Fathul Bari 13/103)
Demikianlah beberapa ucapan para ulama bahwa kejadian-kejadian luar
biasa pada diri Dajjal adalah perkara yang hakiki, bukan khayalan atau
sebuah kamuflase. Dan demikianlah keterangan-keterangan nash yang wajib
diimani.
Kiat-Kiat Terhindar dari Fitnah Dajjal
Sebagaimana dalam pembahasan di atas sangat jelas bahwa fitnah
Dajjal amat sangat berat dan besar sehingga tidaklah heran jika Dajjal
memiliki banyak pengikut. Dan pengikut Dajjal yang terbanyak adalah dari
kalangan Yahudi, orang ajam (orang-orang non Arab), bangsa Turki,
orang-orang A’rabi (orang Badui yang dikuasai kejahilan), dan kaum
wanita. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah n seperti sabda beliau:
يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُودِ أَصْبَهَانَ سَبْعُونَ أَلْفًا عَلَيْهِمُ الطَّيَالِسَةُ
“Yang akan mengikuti Dajjal adalah Yahudi Ashbahan dan 70.000 dari
mereka memakai pakaian yang tebal dan bergaris.” (HR. Muslim no. 5237
dari sahabat Anas z)
Dalam riwayat Al-Imam Ahmad t no. 11290 disebutkan: “70.000 dari mereka memakai mahkota.”
Begitu juga dari kaum ‘ajam, telah dijelaskan oleh Rasulullah n dalam riwayat Al-Bukhari (no. 3323) dari sahabat Abu Hurairah z.
Adapun bangsa Turki disebutkan oleh Ibnu Katsir t: “Yang nampak,
wallahu ‘alam, yang dimaksud dengan orang-orang Turki adalah para
pembela Dajjal.” (An-Nihayah 1/117)
Tentang keadaan orang-orang Badui sebagai pengikut Dajjal terbanyak
disebabkan kejahilan menguasai mereka, sebagaimana dalam riwayat Muslim
t dari sahabat Abu Umamah z.
Adapun kebanyakan pengikut mereka dari kaum wanita karena keadaan
mereka lebih jelek dari kaum Badui, karena cepatnya mereka terpengaruh
dan mereka dikuasai kejahilan, sebagaimana dalam riwayat Ibnu ‘Umar c
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t dan dishahihkan sanadnya oleh
Ahmad Syakir t.
Kalaulah demikian besar fitnahnya dan banyak yang mengikutinya,
maka sudah barang tentu kita harus berusaha menyelamatkan diri dari
fitnahnya. Dan inilah beberapa kiat untuk menyelamatkan diri dari
fitnah-fitnah Dajjal.
Pertama: Berpegang teguh dengan Islam dan bersenjatakan iman serta
mengetahui nama-nama Allah l dan sifat-sifat-Nya yang mulia yang tidak
ada seorangpun menyamai-Nya dalam masalah ini. Diketahui bahwa Dajjal
adalah manusia biasa yang makan dan minum, dan Maha Suci Allah dari hal
itu. Dajjal buta sebelah sementara Allah l tidak demikian. Dan tidak ada
seorang pun bisa melihat Allah l sampai mati, sementara Dajjal dilihat
ketika keluarnya baik oleh orang-orang kafir atau mukmin.
Kedua: Berlindung dari fitnah Dajjal, terlebih ketika shalat sebagaimana yang banyak diriwayatkan dari Rasulullah n.
Ketiga: Membaca sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi baik awal ataupun
akhirnya di hadapan Dajjal, sebagaimana yang telah disebutkan oleh
Rasulullah n.
Keempat: Lari dari Dajjal dan mencari tempat perlindungan, seperti
kota Makkah dan Madinah. Karena keduanya adalah tempat yang tidak akan
dimasuki oleh Dajjal, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dari sahabat ‘Imran bin Hushain z dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam kitab Shahih Al-Jami’us
Shagir (5/303 no. 6177).
Wallahu alam.
1 Tentu jawabnya bukanlah dia yang dimaksud dalam hadits-hadits
Dajjal. Karena banyak sifat dan keadaan Dajjal yang tidak ada padanya.
Dan tanda-tanda kiamat yang besar itu datang silih berganti dengan cepat
sebagaimana disebutkan dalam sebagian hadits. Dan ini belum terjadi
pada zaman ini. (ed)
Posting Komentar